SATU
AWAN hitam bergulung-gulung menyelimuti seluruh permukaan bumi Karang Setra.
Angin bertiup kencang, menebarkan debu dan daun-daun kering ke angkasa.
Sesekali, terdengar guntur menggelegar memekakkan telinga. Sedangkan
titik-titik air mulai jatuh menghantam bumi. Namun, alam yang seakan murka
itu tidak membuat seorang pemuda berbaju rompi putih harus menghentikan
langkah kaki kudanya.
Pemuda berwajah tampan itu terus mengendalikan kuda hitamnya, mendekati
sebuah bangunan batu berbentuk candi. Dengan gerakan ringan, dia melompat
turun dari punggung kudanya. Pemuda itu berlari-lari kecil meniti anak-anak
tangga batu yang mulai dibasahi titik-titik air. Langkahnya terhenti
sebentar begitu sampai di depan pintu. Seorang gadis cantik berbaju biru
muda tampak sudah menunggu di dalam bangunan berbentuk candi itu.
"Maaf, aku terlambat," ucap pemuda itu seraya melangkah masuk ke
dalam.
Saat itu, di luar mulai turun hujan. Bagaikan ditumpahkan dari langit, hujan
turun begitu deras. Sehingga, menimbulkan suara gemuruh yang mengiriskan
hati. Kini di tengah-tengah ruangan yang cukup besar di dalam bangunan
berbentuk candi, dua anak muda tadi telah duduk bersila saling berhadapan.
Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih, dan seorang gadis cantik berbaju
biru muda.
"Apa maksudmu meminta ku datang kepesanggrahan ini, Pandan?" terdengar pelan
dan lembut sekali suara pemuda berbaju rompi putih itu.
Sedangkan gadis cantik berbaju biru muda yang ternyata memang Pandan Wangi,
hanya diam saja tanpa menjawab pertanyaan itu. Malah, dipandanginya wajah
tampan di depannya. Pemuda berbaju rompi putih itu tak lain adalah Rangga,
yang di kalangan persilatan lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
Beberapa saat mereka terdiam, hanya saling pandang saja.
"Kau punya persoalan, Pandan?" tanya Rangga lagi.
"Mungkin...," sahut Pandan Wangi, terdengar agak mendesah suaranya.
"Mungkin...?! Jawabanmu sama sekali tidak ku mengerti, Pandan. Lagi pula,
tidak biasanya kau meminta ku datang ke sini. Kalau ada masalah yang ingin
kau katakan, aku bersedia mendengarkannya," kata Rangga jadi heran atas
sikap Pandan Wangi yang tidak biasanya ini.
"Aku ingin pamit, Kakang," begitu pelan sekali suara Pandan Wangi, sampai
hampir tak terdengar ditelinga Rangga.
"Kau jangan macam-macam, Pandan. Ingin pamit ke mana...?" Rangga semakin
heran tidak mengerti.
"Aku akan pergi," tetap pelan suara Pandan Wangi.
"Ke mana...?"
Pandan Wangi tidak menjawab, tapi malah memandangi wajah tampan Pendekar
Rajawali Sakti. Seakan-akan, ada ganjalan yang begitu berat di dalam
dadanya, dan seperti sukar untuk mengatakannya.
Sedangkan Rangga membalas tatapan gadis itu dengan sinar mata penuh rasa
keheranan. Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak mengerti atas sikap
Pandan Wangi yang begitu aneh dan tidak biasanya ini. Rangga menduga, pasti
ada sesuatu yang terjadi pada diri gadis itu. Tapi hal itu tidak bisa
ditebak sekarang ini. Terlalu cepat kalau menebak sekarang. Sedangkan Pandan
Wangi sendiri seperti berat untuk mengatakan, apa yang menjadi ganjalan
dalam hatinya saat ini.
"Sudah begitu lama kita saling mengenal dan selalu bersama-sama. Dan kau
tidak pernah menyembunyikan sesuatu dariku. Tapi, kenapa sekarang seperti
merahasiakan sesuatu padaku, Pandan?" tanya Rangga mendesak.
"Aku tidak ingin kecewa lagi, Kakang. Sudah terlalu banyak kekecewaan yang
kuterima selama ini," masih terdengar pelan nada suara Pandan Wangi.
"Kecewa ? Siapa yang membuatmu kecewa, Pandan? Apa kau kecewa padaku? Atau,
pada peraturan kerajaan yang tidak mengizinkan kita bersatu sebelum
asal-usulmu diketahui...?"
"Bukan.... Bukan itu, Kakang."
"Lalu...?"
Pandan Wangi kembali terdiam. Perlahan kepalanya tertunduk, menekuri
permadani merah muda yang menjadi alas lantai bangunan pesanggrahan
berbentuk candi ini.
"Katakan, Pandan. Ada persoalan apa sebenarnya?" desak Rangga lagi.
Pandan Wangi tetap terdiam. Dan Rangga semakin tidak mengerti melihat sikap
gadis ini. Duduknya digeser semakin dekat. Lalu, perlahan-lahan diangkatnya
wajah gadis itu dengan ujung jarinya. Kini mereka kembali bertatapan.
"Aku ingin kau merelakan aku pergi, Kakang," kata Pandan Wangi, begitu
perlahan sekali suaranya.
"Kau ingin meninggalkan ku, Pandan?" suara Rangga juga terdengar
pelan.
"Untuk sementara," sahut Pandan Wangi sambil menjauhkan jari tangan Pendekar
Rajawali Sakti dari dagunya.
"Lalu, ke mana kau akan pergi?"
Pandan Wangi tidak menjawab. Perlahan gadis itu bangkit berdiri dan
melangkah mendekati pintu yang terbuka lebar. Suara gemuruh air hujan yang
menghantam tanah, terdengar bagai gemuruh hati Pandan Wangi saat ini.
Sementara Rangga masih tetap duduk bersila beralaskan permadani tebal
berwarna merah muda yang menutupi seluruh lantai ruangan pesanggrahan
ini.
"Kau ingin pergi dariku. Maka, tentu ada alasannya, Pandan," desak Rangga,
masih tetap duduk bersila pada tempatnya.
"Untuk kali ini aku minta pengertianmu, Kakang. Aku tidak bisa mengatakannya
sekarang. Hanya kuminta, kau merelakan kepergianku untuk sementara.
Percayalah... aku pasti kembali lagi ke sini padamu, Kakang" kata Pandan
Wangi seraya memutar tubuhnya berbalik.
Gadis itu melangkah perlahan dan kembali duduk di depan Pendekar Rajawali
Sakti. Untuk beberapa saat mereka kembali terdiam. Dan Rangga terus
memandangi wajah cantik itu. Sepertinya, dia ingin mencari jawaban dari
semua sikap aneh Pandan Wangi sekarang ini. Tapi, sama sekali tidak
ditemukan jawaban yang diinginkannya. Wajah Pandan Wangi begitu mendung,
semendung langit di luar sana.
"Aku mohon padamu, Kakang...," ujar Pandan Wangi berharap.
"Kau bersungguh-sungguh ingin pergi, Pandan?" tanya Rangga seperti belum
percaya pada keinginan gadis ini.
Pandan Wangi hanya mengangguk saja.
"Untuk berapa lama?" tanya Rangga bernada menyerah.
"Aku tidak tahu pasti," sahut Pandan Wangi, masih perlahan suaranya.
Rangga mengangkat bahunya sambil menghembuskan napas panjang. Terlihat, ada
kesungguhan dalam sinar mata si Kipas Maut itu. Dan dia tahu, kalau Pandan
Wangi menginginkan begitu, tidak akan mungkin bisa menghalangi lagi.
Meskipun dengan hati berat, Rangga harus bisa meluluskan permintaan Pandan
Wangi yang tidak pernah diduga selama ini. Rasanya memang sukar bisa
diterima. Masalahnya, sudah begitu lama mereka bersama-sama dalam mengarungi
ganasnya rimba persilatan. Malah, sudah berbagai macam persoalan dihadapi
bersama.
Namun sekarang ini, tiba-riba saja Pandan Wangi hendak meninggalkannya dalam
waktu yang tidak bisa dipastikan. Meskipun tadi si Kipas Maut sudah
mengatakan hanya sementara, tapi masih juga Rangga merasakan begitu berat.
Namun, Pendekar Rajawali Sakti memang tidak bisa berkata lain lagi, selain
meluluskan permintaan gadis yang sangat dicintainya ini. Walaupun, dengan
hati yang begitu berat.
"Kapan kau akan berangkat?" tanya Rangga, agak mendesah suaranya.
"Setelah hujan berhenti," sahut Pandan Wangi.
"Cepatlah kembali kalau persoalanmu sudah selesai," pinta Rangga.
"Terima kasih, Kakang. Aku berjanji...," ucap Pandan Wangi.
"Aku akan selalu menunggumu di sini. Karang Setra selalu membuka pintu
untukmu, Pandan," ujar Rangga.
Pandan Wangi hanya terdiam saja. Tidak ada lagi yang bisa diucapkan. Dan
Rangga juga terdiam memandangi wajah cantik yang kelihatan berselimut kabut
ini. Tidak ada yang berbicara lagi. Sementara, hujan masih turun deras
sekali menyirami seluruh permukaan bumi Karang Setra.
Rangga berdiri di depan pintu pesanggrahan yang berbentuk candi ini,
memandangi kepergian Pandan Wangi yang menunggang kuda putih. Pendekar
Rajawali Sakti masih berdiri tegak tanpa berkedip, meskipun Pandan Wangi
sudah tidak terlihat lagi, tertelan lebatnya pepohonan. Perlahan Pendekar
Rajawali Sakti baru menuruni anak-anak tangga pesanggrahan ini, setelah
tidak lagi mendengar derap kaki kuda yang membawa Pandan Wangi pergi.
Tapi, ayunan langkahnya jadi terhenti begitu telinganya kembali mendengar
langkah kaki kuda yang dipacu cepat menuju ke pesanggrahan ini. Rangga cepat
mengalihkan pandangan ke arah bunyi kaki kuda yang didengarnya semakin
jelas.
Tak berapa lama kemudian, terlihat seekor kuda yang dipacu cepat oleh
seorang gadis cantik mengenakan baju warna merah muda. Kening Rangga jadi
berkerut, melihat Cempaka memacu kuda begitu cepat menuju ke arahnya. Gadis
itu langsung melompat turun, begitu sampai di dekat Pendekar Rajawali Sakti.
"Kak Pandan mana, Kakang...?" Cempaka langsung bertanya dengan napas agak
tersengal.
"Baru saja pergi," sahut Rangga.
"Aduh! Celaka...!" sentak Cempaka.
"Heh...?! Ada apa ini...?" tanya Rangga jadi kebingungan.
"Kenapa kau biarkan Kak Pandan pergi...?" Cempaka malah bertanya, menyesali
Pendekar Rajawali Sakti yang membiarkan si Kipas Maut pergi.
"Dia sudah pamitan denganku. Dan aku tidak...."
"Kenapa diizinkan? Seharusnya kau menahannya supaya tidak pergi, Kakang,"
potong Cempaka cepat.
"Kenapa kau kelihatan cemas sekali, Cempaka? Ada apa sebenarnya dengan
Pandan Wangi?" tanya Rangga tidak mengerti.
Cempaka tidak menjawab. Dikeluarkannya lipatan daun lontar dari balik
kantung bajunya. Lalu, diserahkannya pada Pendekar Rajawali Sakti. Dengan
masih keheranan, Rangga mengambil lipatan daun lontar itu, lalu membukanya.
"Baca saja, Kakang. Aku menemukannya dikamar Kak Pandan," kata Cempaka.
Kening Rangga jadi berkerut dalam, saat membaca kalimat-kalimat yang tertera
pada lembaran daun lontar itu. Sebentar kemudian ditatapnya Cempaka, sambil
melipat kembali lembaran daun lontar itu. Lalu, dimasukkannya ke dalam saku
ikat pinggangnya.
"Kenapa tidak dari kemarin kau berikan ini padaku, Cempaka?" ujar Rangga
seperti menyesali.
"Aku baru menemukannya tadi. Itu sebabnya, aku langsung ke sini," sahut
Cempaka tidak mau disalahkan.
"Kau pulang saja, Cempaka," kata Rangga seraya melangkah mendekati kudanya.
Dengan gerakan ringan sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke
punggung kudanya. Seekor kuda hitam yang gagah, dan dikenal bernama Kuda
Dewa Bayu.
Sementara Cempaka masih berdiri saja sambil memegangi tali kekang kudanya.
Dan kini Rangga sudah memutar kudanya. Dia mendecak perlahan, menyuruh
kudanya melangkah menghampiri gadis itu.
"Kau langsung kembali ke istana. Jangan mengikutiku," pesan Rangga tegas.
Dia tahu watak Cempaka yang haus dengan petualangan. Dan ketegasan Pendekar
Rajawali Sakti, membuat Cempaka langsung terdiam. Memang, tadinya gadis itu
bermaksud ingin ikut kakak tirinya ini. Tapi belum juga dikatakan, Rangga
sudah menyuruhnya kembali ke istana dengan tegas. Dan Cempaka tidak bisa
berbuat lain, kecuali mengangguk lesu.
"Hiya...!" Rangga langsung menggebah cepat kudanya. Maka kuda hitam Dewa
Bayu melesat cepat bagai anak panah lepas dari busur. Tanah memang basah
habis terguyur hujan, sehingga tidak menimbulkan kepulan debu. Cepat sekali
Kuda Dewa Bayu berlari, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah lenyap dari
pandangan Cempaka. Sementara, gadis itu masih tetap berdiri mematung sambil
memegangi tali kekang kudanya, memandang ke arah kepergian Pendekar Rajawali
Sakti.
Sementara Rangga terus memacu cepat kudanya. Dikerahkannya aji 'Tatar Netra'
untuk mengimbangi lari kudanya, dalam memperhatikan jejak-jejak kaki kuda
yang masih tertera begitu jelas di tanah yang basah berlumpur. Dia tahu, itu
adalah jejak-jejak tapak kaki kuda yang ditunggangi Pandan Wangi.
"Hooop...!" Tiba-tiba Rangga menarik tali kekang, sehingga membuat kudanya
meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi ke udara.
Seketika, kuda hitam Dewa Bayu berhenti berpacu. Dengan gerakan begitu
ringan, Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari punggung kuda. Keningnya
jadi berkerut memperhatikan jejak-jejak tapak kaki kuda yang berhenti di
tempat ini.
Heh...?!"
Rangga jadi tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar ringkikan seekor kuda
yang begitu keras. Dan hatinya semakin terkejut saat seekor kuda putih yang
amat dikenalinya, tiba-tiba muncul dari dalam semak belukar. Pendekar
Rajawali Sakti langsung melompat menghampiri. Dikenalinya betul kalau itu
kuda Pandan Wangi. Tapi, kuda itu tidak membawa Pandan Wangi di punggungnya.
"Putih, ke mana Pandan Wangi?" tanya Rangga begitu bisa memegang tali kekang
kuda putih ini.
Kuda berbulu putih bersih itu hanya mendengus-dengus sambil menghentakkan
kaki depannya ke tanah yang becek dan berlumpur. Rangga mengedarkan
pandangan berkeliling. Tidak ada tanda-tanda kalau Pandan Wangi berada di
sekitar tempat ini. Sejauh mata memandang, hanya pepohonan saja yang
terlihat begitu lebat. Kemudian, dipanggilnya Kuda Dewa Bayu yang langsung
menghampiri begitu melihat isyarat tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau bawa putih ke istana, Dewa Bayu," pinta Rangga.
Kuda Dewa Bayu mendengus pendek sambil menganggukkan kepala, seakan-akan
mengerti apa yang diucapkan Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian tanpa diminta
dua kali, Kuda Dewa Bayu mengiring kuda putih milik Pandan Wangi
meninggalkan tempat itu.
Sementara Rangga masih tetap berdiri tegak mengedarkan pandangan
berkeliling. Dan kini dua ekor kuda itu sudah jauh meninggalkannya. Arah
yang dituju dua ekor kuda itu, jelas menuju Istana Karang Setra.
"Ke manapun perginya, pasti belum jauh dari sini. Aku harus segera mengejar
sebelum terlambat," gumam Rangga bicara sendiri.
Tapi belum juga Pendekar Rajawali Sakti bergerak tiba-tiba saja....
Slap!
"Heh...?! Uts!" Rangga jadi terbeliak setengah hati, begitu tiba-tiba dari
atas meluncur sebuah bayangan hitam yang begitu cepat. Untung saja tubuhnya
cepat mengegos, sambil menarik kaki ke belakang beberapa tindak. Sehingga,
dia tidak sampai terkena terjangan bayangan hitam yang muncul begitu
tiba-tiba dari atas pohon.
"Hap...!"
Ringan sekali Pendekar Rajawali Sakti melenting, berputaran beberapa kali ke
belakang. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya menjejak tanah yang
basah oleh air hujan. Kini, di depan Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri
seorang laki-laki berusia muda. Dia mengenakan baju warna hitam ketat.
Tampak dua buah gagang pedang menyembul tersilang dibalik punggungnya.
Sret!
Cring...!
Slap!
Bersamaan tercabutnya dua bilah pedang oleh laki-laki muda berbaju serba
hitam itu, tiba-tiba saja dari balik pepohonan dan dari atas dahan pohon di
sekitar Pendekar Rajawali Sakti, bermunculan orang-orang.berpakaian serba
hitam. Mereka semua menyandang dua bilah pedang di punggung. Dan sebentar
saja, Rangga sudah terkepung tidak kurang dari delapan orang laki-laki
berusia sebaya dengannya.
"Hm...," Rangga menggumam perlahan, sambil merayapi delapan orang yang
berdiri mengepungnya dengan rapat sekali.
"Sebaiknya kembali saja ke istanamu, Rangga. Tidak ada gunanya kau mengikuti
Pandan Wangi," ujar pemuda berbaju serba hitam yang muncul pertama kali.
"Siapa kau dan kalian semua?" tanya Rangga, agak dalam nada suaranya.
"Aku Wadagari. Dan mereka semua saudara- saudaraku," sahut pemuda berbaju
serba hitam itu memperkenalkan diri. "Perlu kau ketahui, Rangga. Kami semua
ditugaskan untuk menghalangimu dalam mengikuti Pandan Wangi. Biarkan dia
menyelesaikan urusannya sendiri tanpa campur tanganmu."
"Siapa yang menyuruh kalian?" tanya Rangga.
"Kau tidak perlu tahu, Rangga. Sebaiknya, segeralah kembali ke istanamu.
Tidak ada gunanya ikut campur dalam urusan pribadi Pandan Wangi," tegas
Wadagari.
"Mungkin aku akan kembali ke istana, jika kau bersedia menjelaskan
persoalannya," pinta Rangga kalem.
"Sayang sekali. Aku tidak bisa menjelaskannya padamu, Rangga," tolak
Wadagari tegas.
"Kalau begitu, aku tetap pada pendirianku. Dan kalian tidak bisa
menghalangiku," tegas Rangga.
"Itu berarti kau harus melewati kami dulu, Pendekar Rajawali Sakti."
Bat! Tring!
Wadagari langsung mengebutkan pedang, dan menyilangkan di depan dada. Pada
saat itu, tujuh pemuda lain yang juga mengenakan baju ketat serba hitam
segera mencabut pedang yang masing-masing menghunus dua bilah. Pedang yang
tergenggam ditangan kanan dan kiri itu disilangkan di depan dada. Sorot mata
mereka begitu tajam, tertuju lurus pada. Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau akan menyesal, Rangga," desis Wadagari memperingatkan.
"Aku khawatir kalian yang akan menyesal telah menghalangiku," balas Rangga
tidak kalah dingin.
"Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti. Hiyaaat..."
Bagaikan kilat, Wadagari melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Kedua
pedangnya dikebutkan cepat sekali. Gerakannya bergantian, menggunting ke
arah beberapa bagian tubuh pemuda berbaju rompi putih itu.
Namun dengan gerakan manis sekali, Rangga berhasil mengelakkan setiap
serangan yang dilakukan Wadagari. Pendekar Rajawali Sakti segera mengerahkan
jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Satu jurus yang seringkali digunakan untuk
menjajaki tingkat kepandaian lawan.
Namun Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa bertahan lama dengan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib', begitu pemuda-pemuda berbaju serba hitam lainnya
berlompatan membantu Wadagari menyerangnya. Rangga terpaksa berjumpalitan
menghindari setiap serangan yang datang dari delapan arah secara bergantian
dan cepat sekali.
Dalam beberapa jurus saja berlalu, Rangga sudah bisa merasakan kehebatan
jurus-jurus delapan orang lawannya ini. Setiap kebutan pedang mereka,
mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi sampai sejauh ini, Rangga
belum juga menggunakan pedang pusakanya yang terkenal dahsyat. Pendekar
Rajawali Sakti masih menggunakan rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti' yang
cepat berganti-ganti.
"Uts! Yeaaah...!"
Manis sekali Rangga meliukkan tubuhnya, menghindari sabetan satu pedang
lawannya. Dan seketika itu juga, tubuhnya dirundukkan sedikit. Lalu,
dilepaskannya satu pukulan keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'
dalam tingkatan terakhir. Begitu cepat serangan balasannya, sehingga satu
lawan yang hampir saja membelah tubuhnya dengan pedang, tidak dapat lagi
menghindari. Tangan Rangga yang sudah berubah menjadi merah bagai terbakar
itu benar-benar mengancam jiwanya.
Desss!
"Aaakh...!"
Pukulan yang dilepaskan Rangga memang dahsyat bukan main. Sehingga, pemuda
berbaju serba hitam itu tidak dapat lagi bertahan. Tubuhnya seketika
terpental deras ke belakang sambil menjerit nyaring melengking tinggi.
"Hiyaaat...!"
***
DUA
Sebelum ada yang menyadari, Rangga sudah bergerak kembali. Kini,
dipadukannya jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' dengan jurus 'Sayap
Rajawali Membelah Mega'. Dua jurus yang begitu dahsyat dan sudah mencapai
tingkat kesempurnaan, membuat lawan-lawannya jadi kelabakan menghindari.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak demikian cepatnya, sehingga
sukar diikuti pandangan mata biasa. Terlebih lagi Rangga berlompatan begitu
cepat, langsung menyerang lawan-lawannya secara bergantian. Hal ini semakin
membuat lawan kelabakan menghindari serangan balasan Pendekar Rajawali
Sakti.
"Jebolll !" teriak Rangga tiba-tiba. "Yeaaah...!"
Bat!
Diegkh!
"Aaakh...!"
Satu orang lagi terpental ke belakang sambil menjerit keras melengking
tinggi begitu pukulan yang dilepaskan Rangga berhasil bersarang di dada. Dan
sebelum jeritan itu menghilang dari pendengaran, kembali Rangga sudah
melesat cepat. Langsung dilepaskannya satu kebutan yang disertai pengerahan
tenaga dalam tingkat sempurna pada salah seorang lawan.
"Yeaaah...!"
Bet!
Des!
"Akh...!" satu orang lagi kembali terguling di tanah yang becek habis
tersiram hujan.
"Hup! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Rangga melentingkan tubuh ke udara. Lalu bagaikan kilat,
tubuhnya meluruk deras dengan kedua kaki bergerak cepat bagai berputar. Saat
itu Rangga mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', yang
merupakan satu dari rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti' yang tidak kalah
dahsyatnya. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Rangga kali ini,
sehingga dua orang lawan tidak bisa lagi menghindari. Mereka menjerit, dan
bergelimpangan di tanah begitu kedua kaki Rangga menghantam kepala tanpa
dapat dicegah.
"Hap!"
Manis sekali Rangga menjejakkan kaki kembali di tanah Dia berdiri tegak
dengan kedua kaki terpentang lebar, dan tangan melipat di depan dada.
Pandangannya begitu tajam merayapi Wadagari dan dua orang lagi yang masih
bisa bertahan berdiri. Sedangkan lima orang lainnya sudah tergeletak tak
bergerak-gerak lagi.
Tampak jelas sekali di wajah mereka terbersit kegentaran melihat kedigdayaan
Pendekar Rajawali Sakti. Dalam beberapa jurus saja, Rangga sudah berhasil
merobohkan lima orang dari mereka. Dan sekarang, tinggal tiga orang lagi.
Perlahan Rangga menggeser kakinya mendekati Wadagari yang didampingi dua
orang yang sudah kelihatan gentar menghadapi Pendekar Rajawali Sakti.
***
"Kau masih ingin menghalangiku, Wadagari...?" desis Rangga, begitu dingin
sekali nada suaranya.
"Kau memang tangguh, Rangga. Tapi bukan berarti kau bisa lewat begitu saja,"
desis Wadagari tidak kalah dingin.
"Aku hargai tekadmu, Wadagari. Tapi aku lebih suka kalau kau menyingkir dan
tidak mencoba menghalangiku lagi."
Bet! Wuk!
Wadagari tidak banyak bicara lagi. Cepat kedua pedangnya digerak-gerakkan,
lalu berhenti dengan salah satu pedang berada di atas kepala. Sedangkan
pedang yang tergenggam di tangan kanan tertuju lurus ke depan, mengarah ke
dada Pendekar Rajawali Sakti. Dua orang yang berada di kanan kirinya juga
segera melakukan gerakan-gerakan yang sama, meskipun dari sinar mata mereka
rasa kegentaran masih belum bisa terhapus. Sedangkan lima orang dari mereka,
masih tetap tergeletak di tanah tak bergerak-gerak lagi.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Wadagari cepat melompat bagai kilat
menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Dua orang lain segera berlompatan
membantunya. Pada saat itu, Rangga segera melenting keudara, menghindari
enam bilah pedang yang berkelebatan cepat mengincar tubuhnya. Pada saat
berada diudara, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti mencabut pedangnya.
Lalu, tubuhnya meluruk deras sambil mengebutkan pedang yang memancarkan
cahaya biru berkilau menyilaukan mata itu.
"Hiyaaa...!"
Bet! Bet...!
Trang!
Desss!
Memang sungguh cepat gerakan Rangga kali ini. Sehingga, sulit diikuti
pandangan mata biasa. Dalam berapa gebrakan saja, sudah terlihat dua orang
berjumpalitan sambil memekik keras melengking tinggi. Manis sekali Rangga
kembali menjejakkan kaki ditanah, sambil memasukkan pedang kembali ke dalam
warangka di punggung. Cahaya biru berkilau terang seketika lenyap begitu
Pedang Rajawali Sakti kembali berada di dalam warangkanya.
"Bagaimana, Wadagari...?" desis Rangga sambil tersenyum, melihat Wadagari
tampak kelabakan melihat tinggal dia seorang yang masih bisa berdiri tegak.
Wadagari tidak bisa lagi berkata-kata. Dirayapinya teman-temannya yang sudah
tergeletak tidak bergerak-gerak lagi. Tak ada setetes darah pun yang
terlihat. Tapi, tujuh orang pemuda berbaju serba hitam itu sama sekali tidak
bergerak di tanah yang basah tersiram hujan tadi.
"Mereka tidak perlu dikhawatirkan, Wadagari. Hanya pingsan saja," kata
Rangga memberi tahu, seakan-akan bisa membaca kecemasan yang tersirat dari
sorot mata Wadagari.
Sedangkan Wadagari hanya diam saja. Ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti
dengan sinar mata yang begitu sulit diartikan. Tapi raut wajahnya,
seakan-akan tidak lagi semangat untuk melanjutkan pertarungan. Baru
disadarinya kalau Pendekar Rajawali Sakti memang bukan tandingannya. Terlalu
tinggi tingkat kepandaian yang dimiliki pemuda berbaju rompi putih itu.
"Kau harus menjaga mereka, Wadagari. Hutan ini banyak binatang buasnya,"
ujar Rangga.
"Apa yang kau inginkan dariku, Pendekar Rajawali Sakti?" ujar Wadagari
bernada pasrah.
Wadagari benar-benar mengakui tidak akan mampu menandingi Pendekar Rajawali
Sakti lagi. Dengan lemas, pedangnya dimasukkan kembali ke dalam warangka di
punggung. Sedangkan Rangga terlihat mengulas senyum sambil melangkah
perlahan mendekati pemuda berbaju serba hitam ketat itu.
"Tunjukkan, ke arah mana Pandan Wangi pergi?" pinta Rangga dengan suara
sudah berubah lembut kembali.
"Ke sana," sahut Wadagari seraya menunjuk kearah Selatan.
"Aku percaya padamu, Wadagari. Tapi jika mengelabui ku, tidak akan ada lagi
maaf untukmu," ujar Rangga bernada mengancam.
"Kau ikuti saja jalan ke arah Selatan. Di sana, kau akan menemui sungai
kecil. Lalu, telusurilah aliran sungai itu. Maka, kau akan menemui Pandan
Wangi di sana," jelas Wadagari.
Sebentar Rangga merayapi wajah Wadagari, kemudian tanpa berbicara lagi,
segera melesat meninggalkan tempat itu menuju arah yang ditunjuk Wadagari.
Begitu tingginya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali
Sakti, sehingga dalam sekejapan mata saja bayangan tubuhnya sudah tidak
terlihat lagi.
Wadagari bergegas menghampiri tubuh-tubuh yang bergelimpangan di tanah.
Diperiksanya satu persatu. Kemudian napas lega berhembus dari hidungnya
setelah mengetahui mereka semua memang hanya pingsan saja.
"Hm.... Kenapa dia tidak membunuh...? Kenapa hanya dibuat pingsan saja...?"
desah Wadagari mengumam, bicara pada diri sendiri.
Memang Wadagari tidak mengerti sikap yang dilakukan Rangga. Tak ada satu pun
yang terluka parah. Mereka semua hanya dibuat pingsan saja. Padahal, tadi
Pendekar Rajawali Sakti bertarung dengan jurus-jurus yang begitu dahsyat
sekali. Bahkan terlalu sukar diukur tingkatannya. Inilah yang membuat
Wadagari jadi tidak mengerti. Tapi, memang tidak mudah baginya untuk bisa
mencari jawabannya sekarang ini.
***
Sementara itu Rangga yang mencari jejak kepergian Pandan Wangi, sudah tiba
di tepi sungai yang ditunjukkan Wadagari padanya. Pendekar Rajawali Sakti
berhenti sebentar memandangi alur sungai yang tidak begitu besar ini Cukup
deras juga alirannya. Kemudian pandangannya diarahkan ke depan, mengikuti
aliran air sungai ini.
"Auuum...!"
Tiba-tiba saja Rangga dikejutkan suara mengaum yang begitu keras dari arah
belakang. Pendekar Rajawali Sakti jadi terkesiap, begitu tubuhnya memutar.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu tidak jauh dari tempatnya berdiri sudah
ada seekor harimau yang berbadan begitu besar, seperti anak lembu.
"Ghraaau...!"
Rangga menggeser kakinya ke belakang beberapa langkah. Sedangkan harimau itu
mendekam sambil terus mengaum, seakan-akan ingin memamerkan baris-baris
giginya yang bertaring tajam. Tatapan matanya begitu tajam memerah, menusuk
langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Kemunculan harimau itu memang
mengejutkan sekali.
Dan binatang yang selalu disebut Raja Rimba ini, memang mempunyai
keistimewaan tersendiri. Setiap langkahnya begitu ringan, sehingga sulit
diketahui kehadirannya. Buktinya, Rangga sendiri sampai tidak mengetahui
kehadirannya. Mungkin karena seluruh perhatiannya tadi tercurah pada Pandan
Wangi yang sampai saat ini belum diketahui keberadaannya.
"Auuum...!"
Tiba-tiba saja harimau itu mengaum keras sekali, membuat bumi yang dipijak
bagai bergetar. Lalu, mendadak saja Raja Rimba itu melompat cepat.
Cakar-cakarnya tampak terkembang, siap mencabik seluruh tubuh Pendekar
Rajawali Sakti.
"Hup! Yeaaah...!"
Rangga cepat-cepat melompat ke samping sambil menjatuhkan tubuhnya ke tanah.
Beberapa kali tubuhnya bergulingan di tanah dekat sungai itu, lalu bergegas
melompat bangkit berdiri. Namun, kembali harimau itu melompat hendak
menerkamnya dengan kecepatan yang luar biasa sekali.
"Hap! Hiyaaa...!"
Rangga segera melentingkan tubuh ke udara. Tepat ketika harimau besar itu
berada di bawahnya, secepat itu pula Pendekar Rajawali Sakti melepaskan satu
pukulan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu
cepatnya pukulan yang dilepaskan, sehingga harimau itu tidak mungkin lagi
bergerak menghindar. Dan...
Begkh!
"Ghrauuugkh...!
Harimau sebesar anak lembu itu menggerung dahsyat. Si Raja Rimba jatuh
bergulingan beberapa kali di tanah yang berbatu dan basah bekas kena air
hujan itu. Namun ternyata binatang itu cepat bisa bangkit berdiri sambil
menggerung-gerung marah.
Rangga yang sudah menjejakkan kakinya kembali ditanah agak berbatu di tepian
sungai ini, jadi tertegun melihatnya. Padahal, tadi tenaga dalam yang
dikerahkan dalam pukulannya sudah cukup tinggi. Dan biasanya, kalau hanya
binatang saja yang terkena pukulan seperti itu pasti sudah ambruk tak bisa
bangun lagi. Tapi, harimau itu malah bisa cepat bangkit. Dan tampaknya,
sudah kembali bersiap menyerang.
"Kuat juga kau...," desis Rangga. "Baik! Aku ingin tahu, sampai di mana
kekuatanmu." Pendekar Rajawali Sakti kembali bersiap.
Sedangkan harimau itu kini mendekam, merapatkan tubuhnya dengan tanah
berbatu. Dia menggereng-gereng sambil menyeringai memperlihatkan
taring-taringnya yang tajam, bagai mata pisau. Seakan-akan, binatang itu
ingin membuat hati Pendekar Rajawali Sakti merasa gentar. Tapi bukan
kegentaran yang diperlihatkan Rangga, melainkan malah geseran kakinya yang
semakin mendekati.
"Ghrrr...!"
Harimau itu kembali menggereng dahsyat. Kemudian tiba-tiba sekali, dia
melompat cepat bagai kilat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan
satu gerakan tubuh manis sekali, Rangga berhasil menghindarinya. Bahkan
dengan kecepatan sungguh luar biasa, satu pukulan keras dari jurus æ…žukulan
Maut Paruh Rajawali' yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi,
langsung dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaah...!"
Begitu cepatnya pukulan yang dilepaskan Rangga, sehingga harimau besar itu
tidak dapat lagi menghindar. Maka pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali' tepat dan telak menghantam tubuhnya.
"Ghraaaugkh...!"
Harimau itu menggerung dahsyat sekali. Tubuhnya jatuh bergulingan di tanah,
hingga menghantam sebongkah batu besar. Rangga yang sudah bersiap kembali
menyerang, jadi berhenti melihat harimau itu tidak bisa bangkit lagi. Si
Raja Rimba itu kini menggeletak di tanah berbatu sambil menggereng-gereng
lirih, seakan-akan merasakan kesakitan akibat pukulan yang diterimanya tadi.
Perlahan Rangga melangkah menghampiri harimau yang masih tergeletak bagai
tak memiliki daya lagi. Binatang itu terus menggeram lirih sambil memandang
Pendekar Rajawali Sakti. Sinar matanya tidak lagi terlihat garang. Bahkan
begitu redup sekali, seakan-akan ingin meminta pertolongan pada Pendekar
Rajawali Sakti.
Sementara, Rangga semakin dekat saja. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti
membungkuk begitu dekat, ingin memeriksa keadaan luka yang diderita harimau
itu akibat pukulannya tadi. Tapi, mendadak saja....
Slap!
"Heh...?!"
Rangga jadi terkejut bukan main. Cepat-cepat tubuhnya melenting dan berputar
ke belakang, begitu tiba-tiba sebuah benda meluncur deras ke arahnya.
Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti melakukan putaran di udara, sebelum
menjejakkan kakinya kembali di tanah tepian sungai yang berbatu ini.
Wusss...!
"Hap...!"
Namun belum juga Rangga bisa menarik napas, kembali terlihat sebuah benda
berwarna merah menyala bagai api meluncur deras ke arahnya. Maka Pendekar
Rajawali Sakti kembali melentingkan tubuh dan berputaran di udara,
menghindari benda yang berwarna merah bagai berapi itu. Beberapa kali Rangga
berjumpalitan di udara untuk menghindari benda-benda berwarna merah bagai
berapi yang berhamburan di sekitar tubuhnya.
Entah berapa jumlah benda-benda yang berhamburan mengancam nyawanya. Dan
Rangga terpaksa berjumpalitan sambil memperhatikan arah datangnya benda-
benda merah bagai bola api itu. Suara-suara ledakan pun terdengar keras
menggelegar di sekitarnya, begitu benda-benda berapi itu menghantam pohon
dan bebatuan di sekitar sungai ini.
"Edan...! Hiyaaa...!"
Rangga merasa jengkel juga menghadapi keadaan seperti ini. Dan ketika
kakinya menjejak tanah kembali, cepat sekali kedua tangannya digerakkan
didepan dada. Lalu begitu kedua kakinya ditarik merentang ke samping, kedua
tangannya dihentakkan ke depan. Seketika itu juga, dari kedua telapak
tangannya meluncur cahaya merah yang langsung meluruk deras menembus
lebatnya pepohonan.
Glarrr...!
"Hup! Yeaaah...!"
Rangga cepat-cepat melenting ke udara, dan melakukan beberapa kali putaran.
Tepat ketika Pendekar Rajawali Sakti mendarat di tepi sungai itu, dari balik
kepulan asap merah yang bercampur debu serta serpihan batu dan pepohonan,
melesat sebuah bayangan merah ke angkasa. Lalu, tahu-tahu pada jarak dua
batang tombak di depan Pendekar Rajawali Sakti, sudah berdiri seorang
perempuan muda dan cantik. Dia mengenakan baju ketat warna merah, sehingga
membentuk tubuhnya yang ramping dan indah berisi.
***
TIGA
Kelopak mata Rangga jadi menyipit begitu melihat seorang gadis berwajah
cantik yang berdiri tegak didepannya. Baju warna merah yang dikenakannya
begitu ketat sekali, sehingga membentuk tubuh yang ramping dan indah. Tampak
dadanya membusung. Bahkan belahan baju bagian dada begitu rendah dan lebar,
seakan-akan ingin memperlihatkan buah dadanya yang begitu indah dipandang
mata.
"Siapa kau, Nisanak?" tanya Rangga, agak dalam nada suaranya.
"Biasanya orang-orang memanggilku Nini Belang;" sahut gadis cantik itu,
lembut sekali nada suaranya.
"Nini Belang...?" Rangga mengerutkan keningnya.
"Benar. Dan kau tadi baru saja mengalahkan sahabatku si Belang," sahut gadis
cantik berbaju merah yang tadi mengaku bernama Nini Belang.
Rangga berpaling, menatap harimau berukuran besar yang kini sudah mendekam
diam dengan kepala berada di ujung kedua kaki depannya. Sungguh tidak
disangka kalau harimau itu peliharaan gadis cantik yang mengaku bernama Nini
Belang. Rangga kembali menatap Nini Belang yang berdiri anggun sekitar dua
tombak di depannya.
"Aku tahu siapa kau, Pendekar Rajawali Sakti. Dan aku juga tahu, kenapa kau
berada di sini sekarang. Mengapa kau tidak bisa melepaskan Pandan Wangi
dalam waktu sebentar saja? Mengapa kau tidak mempercayainya...?" agak dalam
nada suara Nini Belang.
"Maaf. Aku tidak mengerti pembicaraanmu, Nini Belang," ucap Rangga agak
terkejut.
"Seharusnya kau sudah bisa mengetahuinya, Pendekar Rajawali Sakti," desis
Nini Belang.
"Kau ingin menghalangiku, Nini Belang...?" tebak Rangga langsung.
"Benar," sahut Nini Belang tegas.
"Kenapa?" tanya Rangga ingin tahu.
Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak mengerti semua kejadian ini. Sudah
dua kali ini ditemuinya orang yang mencoba menghalanginya mengejar Pandan
Wangi. Sungguh dia tidak tahu, ada apa dibalik semua ini sebenarnya. Dan
mereka yang mencoba menghalangi, sepertinya memang sudah ditempatkan pada
masing-masing tempatnya. Rangga merasa ada satu permainan di balik semua
ini. Dan dia tidak yakin kalau Pandan Wangi terlibat didalamnya.
"Sebaiknya kau kembali saja, Pendekar Rajawali Sakti. Biarkan Pandan Wangi
menyelesaikan urusannya sendiri, tanpa campur tanganmu," tegas Nini Belang.
"Persoalan apa yang dihadapi Pandan Wangi?" tanya Rangga menyelidik ingin
tahu.
"Kau tidak perlu tahu, Pendekar Rajawali Sakti," sahut Nini Belang, agak
ketus nada suaranya." Dan, aku tidak bisa mengatakannya padamu, Pendekar
Rajawali Sakti. Tugasku hanya menghalangimu agar tidak terus membuntuti
Pandan Wangi."
"Jawabanmu sungguh tidak mengenakkan, Nini Belang. Dan aku harus menemui
Pandan Wangi," desis Rangga, agak dalam nada suaranya.
"Itu berarti kau harus melewati ku dulu, Rangga," sambut Nini Belang tegas.
"Hm...," Rangga hanya menggumam perlahan saja.
"Tidak banyak orang yang dapat mengalahkan harimau peliharaanku. Tapi, itu
bukan berarti kau bisa mudah melewati ku begitu saja, Rangga. Dan sebelum
segalanya terlanjur, sebaiknya turuti saja kata-kataku. Tidak akan terjadi
apa-apa pada Pandan Wangi. Dan sebaiknya, kau segera tinggalkan tempat ini.
Kembalilah ke istanamu di Karang Setra," ujar Nini Belang, agak mendesis
nada suaranya.
"Aku hargai kesetiaanmu dalam bertugas, Nini Belang. Tapi perlu kau ketahui.
Aku tetap akan melangkah maju, meskipun ada sepuluh orang sepertimu mencoba
menghalangi," tegas Rangga.
"Sudah kuduga! Kau pasti tidak akan menyerah begitu saja, Pendekar Rajawali
Sakti," desis Nini Belang, agak sinis nada suaranya.
Setelah berkata demikian, Nini Belang menggeser kakinya ke kanan beberapa
langkah. Tatapan matanya menyorot begitu tajam, menusuk langsung ke bola
mata Pendekar Rajawali Sakti. Tak ada lagi yang bicara. Mereka saling
menatap tajam, seakan-akan sedang mengukur tingkat kepandaian masing-masing.
"Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti. Hiyaaat...!"
Cepat sekali Nini Belang melompat sambil melepaskan beberapa pukulan
beruntun yang begitu keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi.
"Hup! Yeaaah...!"
Rangga cepat menggeser kakinya ke kanan dua tindak, lalu meliukkan tubuhnya
menghindari setiap pukulan yang dilepaskan gadis cantik itu. Beberapa kali
pukulan yang dilepaskan Nini Belang tidak sempat mengenai tubuh Pendekar
Rajawali Sakti. Dan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang dikeluarkan Rangga,
memang sukar bisa ditembus. Gerakan-gerakan tubuh Pendekar Rajawali Sakti
demikian cepat, dan sukar diduga arahnya. Akibatnya serangan yang dilakukan
Nini Belang jadi mentah, tanpa dapat mencapai sasaran sedikit pun juga.
"Awas kaki...! Yeaaah...!" seru Rangga tiba-tiba.
Dan begitu cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti merendahkan tubuhnya, lalu
secepat itu pula tangan kanannya dikibaskan ke arah kaki Nini Belang, dalam
jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Begitu cepat serangan baliknya,
sehingga membuat Nini Belang jadi terperangah sesaat. Lalu....
"Hup! Yeaaah...!"
Bergegas wanita itu melenting ke udara, menghindari kibasan tangan Rangga
yang mengarah ke kakinya. Tapi mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti
melenting ke udara, mengikuti gerakan tubuh yang dilakukan gadis cantik
berbaju merah itu. Dan secepat itu pula...
"Hiyaaa...!"
Bet!
Sukar diikuti pandangan mata biasa! Begitu cepatnya Rangga melepaskan satu
pukulan dari jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', sehingga Nini Belang yang
masih berada di udara tidak dapat lagi menghindarinya.
Begkh!
"Akh...!" Nini Belang terpekik keras agak tertahan. Begitu kerasnya pukulan
yang diberikan Rangga, dan tepat menghantam dada Nini Belang. Akibatnya
wanita itu langsung terpental ke belakang sejauh dua batang tombak.
"Ghraaauk...!"
Wusss!
"Heh...?!"
Rangga jadi terperanjat bukan main. Cepat-cepat tubuhnya berputar dan
berjumpalitan ke belakang, begitu tiba-tiba harimau yang sejak tadi mendekam
saja, melompat bagai kilat menerkamnya. Beberapa kali Pendekar Rajawali
Sakti berputaran ke belakang sebelum kakinya kembali menjejak tanah dengan
manis sekali.
"Ghrrr...!"
Si Belang menggereng dahsyat sambil menggaruk-garuk kaki depannya ke tanah.
Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri perlahan-lahan. Bola matanya yang
tadi sudah kelihatan redup, kini kembali memerah membara bagai sepasang bola
api. Sedangkan Rangga sudah bergerak menggeser kakinya beberapa tindak ke
kanan. Sebentar matanya melirik Nini Belang yang kini sudah bisa bangkit
lagi, kemudian kembali menatap tajam pada harimau belang sebesar anak lembu
itu.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
"Heh...?!"
Tiba-tiba saja Nini Belang berlompatan cepat memutari tubuh Rangga sambil
melontarkan puluhan senjata rahasia yang begitu kecil seperti jarum berwarna
merah. Akibatnya Rangga jadi tersentak bukan main.
"Hup! Yeaaah...!"
Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara, menghindari setiap
terjangan senjata-senjata rahasia yang berhamburan di sekitar tubuhnya.
Tepat pada saat itu, si Belang melompat ke belakang. Seakan-akan dia tahu
kalau senjata-senjata rahasia yang dilepaskan gadis cantik berbaju merah itu
sangat berbahaya. Begitu cepatnya Nini Belang melontarkan senjata-senjata
rahasianya, sehingga sedikit pun tak ada kesempatan bagi Rangga untuk bisa
membalas! Bahkan tak ada sedikit pun celah baginya untuk bisa keluar dari
serbuan jarum kecil berwarna merah itu.
"Edan! Hih...!" dengus Rangga jadi kesal. Cepat sekali Pendekar Rajawali
Sakti merentangkan tangannya ke samping. Lalu sambil berjumpalitan, kedua
tangannya dirapatkan di depan dada. Dan secepat itu pula....
"Aji 'Bayu Bajra'.... Hiyaaa...!"
Bersamaan dengan menjejaknya kaki Pendekar Rajawali Sakti ke tanah, seketika
itu juga tangannya merentang lebar ke samping. Dan seketika itu juga,
berhembus angin yang begitu kencang disertai suara menggemuruh. Rangga
memang mengerahkan satu ajiannya yang begitu dahsyat. Aji 'Bayu Bajra'
memang bisa membuat keadaan sekitarnya bagai terjadi badai topan yang begitu
dahsyat.
Bumi jadi bergetar. Angin menderu-deru menerbangkan apa saja yang ada di
sekitar tepian sungai ini. Bahkan air sungai yang mengalir deras jadi
bergolak seperti mendidih. Pepohonan mulai bertumbangan, tercabut sampai ke
akar-akarnya. Batu-batu terpecah berhamburan seperti segumpal kapas yang
tertiup angin.
Sementara itu Nini Belang berusaha bertahan dengan mengerahkan seluruh
kekuatan tenaga dalamnya. Sedangkan si Belang sendiri meraung-raung,
menancapkan kuku-kukunya begitu dalam ke tanah. Tapi, tetap saja dia terus
bergeser terhempas badai topan yang diciptakan Pendekar Rajawali Sakti dari
aji 'Bayu Bajra' yang begitu dahsyat luar biasa.
"Ghrauuugkh...!"
"Aaa...!"
Tiba-tiba saja terdengar raungan yang begitu keras menggelegar, disertai
jeritan panjang melengking tinggi. Tampak Nini Belang dan harimau
peliharaannya terpental melayang terhempas hembusan angin topan yang begitu
dahsyat tercipta dari aji 'Bayu Bajra' yang dikeluarkan Pendekar Rajawali
Sakti. Tubuh mereka melayang tinggi ke udara, dan terus meluncur deras
melewati puncak-puncak pepohonan yang bergoyang-goyang menahan hempasan
badai topan ini.
"Hap!"
Rangga segera merapatkan kedua telapak tangannya kembali di depan dada.
Bersamaan dengan itu, badai topan yang diciptakannya berhenti seketika.
Pemuda berbaju rompi putih itu jadi menghembuskan napas panjang, melihat
keadaan sekitarnya porak-poranda. Aji 'Bayu Bajra' yang dikerahkan tadi
memang begitu dahsyat. Akibatnya, hutan yang semula begitu indah kini jadi
hancur berantakan, seperti terguncang gempa yang teramat dahsyat.
Memang aji 'Bayu Bajra' teramat dahsyat. Dan Rangga tidak akan
mengeluarkannya jika tidak dalam keadaan terpaksa sekali. Tapi, tadi dia
benar-benar kesal. Maka terpaksa ajian yang dahsyat ini digunakan.
"Heh...?!"
Tiba-tiba Rangga tersentak kaget begitu mendengar rintihan mengerang begitu
lirih. Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat ke arah rintihan lirih itu.
Matanya jadi terbeliak melihat tubuh Nini Belang terhimpit sebatang pohon
yang sangat besar sekali. Tidak jauh darinya, terlihat harimau peliharaan
wanita ini menggerung-gerung lirih sambil mengais-ngais tanah di sekitar
pohon itu.
"Ghrrr...!"
Harimau itu menggerung begitu melihat Rangga menghampiri. Dia seakan marah,
karena majikannya sekarang seperti sekarat terhimpit pohon akibat dari aji
kesaktian Pendekar Rajawali Sakti yang begitu dahsyat tadi.
"Tenanglah. Aku akan mengeluarkannya dari pohon ini," ujar Rangga
menenangkan harimau itu.
Tanpa mempedulikan harimau itu, Rangga segera mendekati pohon yang sangat
besar ini. Kemudian ditariknya napas dalam-dalam. Lalu dengan mengerahkan
kekuatan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna, dicobanya untuk
mengangkat pohon itu. Memang berat sekali, dan Rangga terpaksa harus
mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Sedikit demi sedikit, pohon
yang begitu besar itu mulai bergerak terangkat.
"Cepat keluar, Nini...!" desis Rangga sambil menahan beban pohon ini.
"Tidak bisa. Tubuhku tidak bisa bergerak," sahut Nini Belang lirih.
Rangga menatap harimau peliharaan gadis itu. "Tarik dia, cepat..!" perintah
Rangga.
"Ghrrr...!"
Seperti mengerti apa yang diinginkan Pendekar Rajawali Sakti, harimau yang
dipanggil si Belang ini segera menghampiri majikannya. Kemudian digigitnya
baju di bahu kanan Nini Belang. Lalu, wanita itu ditariknya perlahan-lahan
keluar dari himpitan pohon yang sudah diangkat Pendekar Rajawali Sakti.
Sedikit demi sedikit, Nini Belang tertarik keluar. Dan begitu seluruh
tubuhnya tidak lagi berada di bawah batang pohon itu, Rangga segera
melepaskan pohon itu hingga jatuh kembali menghantam bumi.
Rangga langsung menjatuhkan diri bersandar pada batang pohon itu. Keringat
bersimbah di seluruh tubuhnya. Seluruh kekuatan tenaga dalamnya benar-benar
dikerahkan untuk mengangkat pohon yang begitu besar ini.
Setelah beristirahat sebentar, Rangga bangkit berdiri dan menghampiri Nini
Belang yang masih terbaring tak berdaya, ditunggui harimau peliharaannya.
Harimau sebesar anak lembu itu hanya diam saja, memandangi Rangga yang
langsung memeriksa keadaan tubuh gadis cantik berbaju merah ini.
"Kenapa kau menyelamatkan aku, Rangga?" tanya Nini Belang, terdengar lirih
suaranya.
"Tidak layak bagi seorang pendekar melihat kematian lawan seperti itu,"
sahut Rangga seenaknya.
"Tidak seharusnya kau berbuat begitu padaku, Rangga. Biarkan saja aku mati.
Aku sudah kalah bertarung denganmu," ujar Nini Belang lagi.
Rangga tidak mempedulikan kata-kata Nini Belang. Terus diperiksanya keadaan
tubuh gadis ini. Memang tidak begitu parah. Hanya beberapa tulangnya saja
yang patah akibat terhimpit pohon tadi. Tapi, itu sudah membuat Nini Belang
harus terbaring sedikitnya dua hari. Hanya dengan mengerahkan hawa murni dan
sedikit perawatan saja, pasti luka-luka yang diderita gadis ini bisa cepat
sembuh. Dan Rangga tidak perlu mengkhawatirkan lagi keadaannya.
"Maaf. Tidak seharusnya tadi aku mengerahkan ilmu kesaktian, selagi kau
tidak siap," ujar Rangga menyesal.
"Di dalam pertarungan, segala cara apa pun harus dilakukan untuk menang,
Pendekar Rajawali Sakti.
Dan kau telah memenangkan pertarungan tadi," kata Nini Belang jujur.
"Kau tahu, di mana tabib yang terdekat," Tanya Rangga.
"Tidak ada tabib yang dekat di sini," sahut Nini Belang.
"Lukamu harus segera disembuhkan. Tapi, kurasa kau bisa menyembuhkan
sendiri. Hanya patah tulang saja. Aku yakin kau tahu cara penyembuhannya,"
kata Rangga sambil berdiri.
"Kau tetap ingin mencari Pandan Wangi, Rangga?" tanya Nini Belang melihat
Rangga akan pergi meninggalkannya.
"Benar," sahut Rangga tidak jadi melangkah.
"Berjalanlah menyusuri arus sungai. Kau akan menemukannya nanti di sana,"
jelas Nini Belang memberi tahu.
"Kau tahu, apa yang dilakukan Pandan Wangi?" tanya Rangga ingin tahu.
"Sayang. Aku tidak bisa memberitahumu, Rangga. Sebaiknya, kau ikuti saja
arus sungai. Tapi jika tidak mau, kau boleh kembali ke Karang Setra," sahut
Nini Belang.
Rangga hanya tersenyum saja, kemudian mengayunkan kakinya meninggalkan gadis
cantik yang masih ditunggui seekor harimau bertubuh besar peliharaannya.
Rangga terus melangkah tanpa berpaling lagi. Sementara, Nini Belang mencoba
menggerakkan tubuhnya. Tapi hatinya jadi mengeluh, karena seluruh tubuhnya
benar-benar tidak bisa digerakkan lagi. Memang sulit bergerak jika tulang
punggung dan beberapa tulang rusuknya patah.
***
Sementara itu Rangga sudah kembali di tepi sungai. Sebentar dia berhenti
memandang arus sungai yang mengalir cukup deras, kemudian kakinya melangkah
terayun perlahan-lahan mengikuti arus sungai, seperti yang dikatakan Nini
Belang. Bahkan sebelumnya, Rangga juga diberi tahu penghadang pertamanya
untuk mengikuti arus sungai ini. Dia tidak tahu, ada apa di balik semua
peristiwa ini.
Pendekar Rajawali Sakti merasakan seperti tengah berada dalam suatu
permainan yang sulit dimengerti. Dan rasanya, permainan ini merupakan suatu
perangkap baginya. Sudah dua kali dia dihadang. Dan Rangga bisa menilai
kalau penghadangnya itu seperti hanya ingin menjajal kepandaiannya saja.
Tapi, hatinya tidak yakin kalau Pandan Wangi justru yang dijadikan umpan.
Dan Pendekar Rajawali Sakti juga belum bisa mengetahui maksud sebenarnya
dari semua permainan yang tidak mengenakkan ini.
Entah sudah berapa lama Rangga berjalan menyusuri sungai ini. Dan semakin
jauh berjalan, sungai itu semakin melebar saja. Malah arusnya pun tidak lagi
deras seperti tadi. Bahkan hampir tidak terlihat adanya arus di permukaan
sungai yang semakin lebar ini. Tapi sampai matahari berada di ufuk Barat,
belum juga tanda-tanda jejak Pandan Wangi ditemukan.
Rangga baru berhenti melangkah saat menemukan sebuah perahu kecil yang
ditunggui seorang laki-laki tua bertelanjang dada. Tubuhnya begitu kurus,
sehingga tulang-tulangnya kelihatan jelas bersembulan terbungkus kulit yang
hitam legam karena terbakar matahari.
"Ingin menyeberang, Den...?" laki-laki tua tukang perahu itu menegur lebih
dahulu.
"Tidak, Ki," sahut Rangga seraya menghampiri lebih dekat lagi.
"Sebentar lagi malam. Hanya di seberang sana yang ada desanya, Den.
Kebetulan aku juga akan keseberang," kata tukang perahu itu lagi.
Rangga memandang ke arah Barat. Matahari memang sudah begitu condong, hampir
tenggelam di balik peraduannya. Dan memang desa yang terdekat adanya di
seberang sungai ini. Pendekar Rajawali Sakti kembali menatap laki-laki tua
tukang perahu itu.
"Baiklah. Antarkan aku ke seberang, Ki," pinta Rangga seraya naik ke atas
perahu berukuran kecil itu.
Si tukang perahu hanya tersenyum dan mengangguk saja. Kemudian diambilnya
dayung, lalu duduk di bagian belakang perahu ini. Sedangkan Rangga duduk di
depan menghadap si tukang perahu yang mulai mengayuh. Perlahan perahu
berukuran kecil itu bergerak ke tengah sungai yang hampir tak terasa lagi
alirannya. Perahu itu terus bergerak perlahan-lahan semakin ke tengah.
"Ki, apakah kau melihat seorang gadis lewat sini tadi?" tanya Rangga mengisi
kebisuan yang terjadi sejak meninggalkan tepian sungai.
"Sejak tadi banyak orang yang menyeberang, Den. Bahkan ada beberapa gadis
menyeberang," sahut si tukang perahu.
"Maksudku gadis yang mengenakan baju biru, dan membawa pedang di
punggungnya," kata Rangga menjelaskan ciri-ciri Pandan Wangi.
"Ada, Den. Dia minta diantarkan ke seberang. Dan...," si tukang perahu tidak
meneruskan kalimatnya.
"Dan apa, Ki...?" desak Rangga minta diteruskan.
"Kelihatannya dia sedang terburu-buru, Den. Seperti mengejar sesuatu,"
sambung si tukang perahu.
"Lalu, dia pergi ke mana lagi setelah sampai diseberang?" tanya Rangga
semakin ingin tahu.
Rangga yakin kalau yang dilihat dan diantarkan ke seberang oleh tukang
perahu itu adalah Pandan Wangi. Dan Pendekar Rajawali Sakti semakin ingin
tahu saja, apa yang dikerjakan Pandan Wangi sehingga pergi begitu
tergesa-gesa bagaikan sedang mengejar sesuatu seperti yang dikatakan si
tukang perahu ini.
"Dia sudah ditunggu sebuah kereta kuda yang begitu indah. Seperti kereta
para bangsawan, Den. Bahkan kereta itu juga dikawal enam orang pemuda gagah.
Semuanya menunggang kuda dan berpakaian seragam seperti prajurit. Tapi, aku
tidak tahu mereka prajurit dari mana. Masalahnya, aku sering mengantarkan
para prajurit dari Kotaraja Karang Setra yang ingin ke seberang," jelas si
tukang perahu lagi.
Rangga tersenyum dikulum, dan hampir tidak terlihat. Untung saja si tukang
perahu ini tidak mengenalinya, kalau dia adalah Raja Karang Setra. Dalam
pakaian seperti ini, memang tidak ada seorang pun yang akan mengenalinya.
Dan biasanya orang akan mengenalnya sebagai pendekar, bukan sebagai seorang
raja di Karang Setra. Dan memang, ini yang diinginkan Rangga. Sehingga, dia
bisa bergerak leluasa sekali.
"Kalau boleh ku tahu, siapa gadis itu, Den?" tanya si tukang perahu.
"Adikku, Ki. Dia lari dari rumah," sahut Rangga seenaknya.
Si tukang perahu hanya mengangguk-anggukkan kepala saja. Dan mereka tidak
ada yang bicara lagi. Sementara, perahu yang ditumpangi semakin mendekati
tepian seberang sungai. Rangga cepat melompat ke darat begitu perahu sudah
menepi. Setelah memberi bayaran yang cukup, Pendekar Rajawali Sakti bergegas
berjalan cepat mengikuti arah yang ditunjuk si tukang perahu.
***
Malam sudah jatuh menyelimuti sebagian permukaan mayapada. Rangga terpaksa
bermalam di sebuah penginapan yang ada di Desa Karanggati. Memang, tidak
mungkin perjalanannya dilanjutkan di malam hari. Desa Karanggati sendiri
merupakan sebuah desa yang cukup besar dan ramai. Hampir jauh malam, desa
ini masih saja kelihatan ramai. Dan sudah hampir seluruh pelosok desa ini
dijelajahi. Bahkan sudah berpuluh orang ditanya, tapi Rangga belum juga bisa
menemukan petunjuk di mana Pandan Wangi sekarang berada.
Tok, tok, tok...!
Rangga berpaling sedikit ketika mendengar ketukan di pintu kamar
penginapannya.
"Masuk...!" seru Rangga agak keras sambil kembali mengarahkan pandangan ke
luar melalui jendela yang terbuka lebar.
Krieeet..!
Terdengar suara derit pintu yang terbuka perlahan-lahan. Rangga mendengar
suara langkah kaki yang halus memasuki kamarnya, namun tetap tidak
berpaling. Kemudian, kembali terdengar derit suara pintu yang tertutup. Dan
kini tidak lagi terdengar suara sedikit pun. Rangga yang hanya bisa
mendengar tarikan napas begitu lembut di belakangnya.
"Kakang...," terdengar suara lembut sekali dari belakang Pendekar Rajawali
Sakti.
Perlahan Rangga memutar tubuhnya, saat mendengar suara seorang wanita yang
begitu lembut dari belakangnya. Dan begitu berbalik, matanya jadi terbeliak.
Hampir tidak dipercaya dengan apa yang ada di depannya sekarang ini. Sungguh
tidak disangka kalau yang masuk ke kamar penginapannya adalah seorang gadis
berwajah begitu cantik. Dia mengenakan baju warna merah menyala yang ketat,
sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan indah.
Tapi bukan kecantikan dan keindahan tubuh gadis itu yang membuat Rangga jadi
terbeliak. Justru Pendekar Rajawali Sakti tidak menyangka kalau yang
memasuki kamarnya ini adalah Mayang, seorang gadis yang selama ini sudah
dilupakan dan tak terdengar lagi kabar beritanya.
"Kenapa kau ada di sini, Mayang...?" agak tersekat nada suara Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti seperti masih belum percaya kalau yang berdiri di
depannya ini adalah seorang gadis yang mencintainya. Hanya saja, gadis itu
cintanya tidak terbalas, karena Rangga tidak menyukai wataknya yang dengki
dan selalu menyimpan dendam pada Pandan Wangi. Tapi walaupun demikian,
Mayang tidak pernah berputus asa untuk mendapatkan cinta Pendekar Rajawali
Sakti. Sudah segala macam cara dilakukan, namun tidak juga mampu meruntuhkan
ketegaran hati Rangga yang bagaikan batu karang. Tak lebur meskipun setiap
saat terhantam gelombang laut.
"Kau masih belum sudi menerima kehadiranku, Kakang?" perlahan sekali suara
Mayang, seakan-akan mengharapkan sikap yang manis dari Pendekar Rajawali
Sakti.
"Duduklah," Rangga mempersilakan.
Memang tidak ada alasan bagi Rangga untuk membenci gadis ini. Meskipun tidak
menyukai akan sifat-sifatnya, tapi tidak mungkin bisa membencinya
terus-menerus. Dan selama ini, Mayang memang tidak pernah berbuat sesuatu
yang secara langsung merugikannya. Sementara Rangga duduk di dekat jendela,
Mayang mengambil tempat di tepi pembaringan. Untuk beberapa saat lamanya
mereka tidak ada yang bicara. Kesunyian begitu terasa menyelimuti seluruh
kamar penginapan yang tidak besar ukurannya ini.
"Dari mana kau tahu aku ada di sini?" tanya Rangga memecah kebisuan yang
terjadi.
"Sore tadi, aku melihatmu masuk ke sini. Aku sengaja menunggu sampai malam,
agar tidak ada seorang pun yang melihatku masuk ke sini," sahut Mayang.
"Ada perlu denganku?" tanya Rangga lagi.
"Tidak begitu mendesak," sahut Mayang.
"Katakanlah."
"Aku tahu, kenapa kau berada di sini sendirian dan tidak bersama Pandan
Wangi seperti biasanya," kata Mayang, begitu bersungguh-sungguh nada
suaranya.
Kening Rangga jadi berkerut mendengar kata-kata Mayang barusan. Ditatapnya
gadis itu dalam-dalam dengan mata agak menyipit Sedangkan Mayang malah
bangkit dari duduknya, dan berdiri di depan jendela. Rangga masih tetap
duduk memandangi dengan sinar mata tajam dan penuh arti yang mendalam. Entah
apa yang ada di dalam benak Pendekar Rajawali Sakti sekarang ini, sehingga
tidak lagi mengucapkan sesuatu. Dan Mayang sendiri juga terdiam membisu,
memandangi rembulan yang bersinar penuh, bergelayut di langit.
"Kalau kau menyangka Pandan Wangi ada di Desa Karanggati ini, kau salah
besar, Kakang. Pandan Wangi tidak ada di desa ini. Bahkan sama sekali tidak
lewat sini," jelas Mayang mengisi kebisuan yang terjadi untuk beberapa saat
lamanya.
"Kau bicara seolah-olah mengetahui apa yang sedang terjadi, Mayang," desis
Rangga bernada curiga. Rangga tahu betul kalau Mayang begitu membenci Pandan
Wangi, karena dianggap saingannya dalam merebut cinta Pendekar Rajawali
Sakti. Dan lagi, Mayang memang sudah bertekad untuk menjauhkan Pandan Wangi
dari Pendekar Rajawali Sakti dengan cara apa pun juga. Bahkan tidak
segan-segan membunuhnya kalau perlu. Dan itu pernah diucapkan Mayang
beberapa waktu lalu, sebelum menghilang dari Kerajaan Karang Setra.
"Aku sebenarnya sudah tahu kau pasti akan datang ke sini, Kakang. Itu
sebabnya, kenapa aku menunggumu sejak kemarin," jelas Mayang.
"Kau tahu di mana Pandan Wangi, Mayang...?" agak dalam nada suara Rangga.
Mayang tidak menjawab, tapi malah melangkah ke pintu kamar penginapan ini.
Sebentar wajahnya berpaling menatap Pendekar Rajawali Sakti. Bibirnya yang
selalu merah, terlihat mengembangkan senyuman yang begitu manis. Kemudian
kakinya melangkah ke luar, menutup pintu kamar ini kembali.
"Mayang, tunggu...!" sentak Rangga berseru.
Bergegas Pendekar Rajawali Sakti mengejar gadis itu. Tapi begitu sampai di
depan pintu kamarnya, Mayang sudah tidak terlihat lagi. Gadis itu sudah
menghilang, entah pergi ke mana. Rangga mengedarkan pandangan ke lorong
rumah penginapan ini. Tapi tak ada seorang pun yang terlihat. Perlahan-lahan
Pendekar Rajawali Sakti menutup pintu kamar penginapannya kembali. Sebentar
kepala Pendekar Rajawali Sakti berpaling ke kanan dan ke kiri, mengamati
lorong yang tampak sepi, tanpa seorang pun terlihat.
Dengan langkah bergegas, disusurinya lorong yang di kanan kirinya terdapat
pintu-pintu kamar tertutup rapat. Rangga terus melangkah cepat menuju ke
ruangan depan rumah penginapan ini. Di situ, yang ditemuinya hanya seorang
perempuan tua yang terduduk di kursi kayu terkantuk-kantuk. Sebentar
Pendekar Rajawali Sakti menatap wanita tua itu, kemudian terus bergegas
melangkah keluar dari rumah penginapan ini.
***
EMPAT
Semalaman ini Rangga kembali mengelilingi Desa Karanggati mencari Mayang.
Tapi, gadis itu tidak juga dijumpai lagi. Mayang bagaikan lenyap tertelan
bumi. Tak ada seorang pun yang melihat gadis ini ketika ditanya. Bahkan
ketika Rangga bertanya pada wanita tua pemilik rumah penginapan, jawabannya
sama saja. Rangga tidak percaya kalau Mayang bisa tak terlihat oleh siapa
pun juga.
Padahal ketika berada diluar rumah penginapan itu, keadaannya masih cukup
ramai. Meskipun, sudah tidak begitu banyak orang lagi seperti tadi. Tapi tak
ada seorang pun yang melihat gadis cantik berbaju merah yang pedangnya
tersampir di punggung itu. Rangga melangkah perlahan-lahan menyusuri jalan
tanah yang sudah sepi ini.
Tak ada seorang pun yang terlihat lagi. Bahkan lampu-lampu rumah yang
berdiri di sepanjang jalan ini pun sudah tidak ada lagi yang menyala.
Keadaan begitu sunyi, seperti berada di sebuah desa mati tak berpenghuni.
Begitu cepat sekali penduduk desa ini tenggelam ke dalam rumahnya. Padahal
belum lama tadi, masih terlihat cukup ramai.
"Hm...," tiba-tiba Rangga menggumam.
Pendengarannya yang sangat tajam bisa mengetahui ada detak langkah-langkah
kaki yang begitu halus mengikutinya dari belakang. Suara langkah kaki itu
semakin terdengar dekat dan halus sekali. Rangga tahu, orang yang berjalan
di belakangnya memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Sehingga, suara
langkah kakinya hampir tidak terdengar.
"Hup...!"
Tiba-tiba saja Rangga melompat ke atas, lalu hinggap di salah satu cabang
pohon yang cukup tinggi. Matanya langsung ditujukan ke arah suara langkah
kaki yang tadi didengarnya. Dari kegelapan malam, tampak seseorang tengah
melangkah cepat. Namun langkahnya begitu ringan, hingga suara yang
ditimbulkannya begitu halus. Bahkan hampir tak terdengar telinga Pendekar
Rajawali Sakti. Kening Rangga jadi berkerut melihat orang yang mengikutinya
adalah seorang laki-laki tua bertubuh kurus yang tidak mengenakan baju.
Pendekar Rajawali Sakti mengenali betul orang tua itu. Laki-laki berusia
sekitar tujuh puluh tahun itu adalah yang mengantarkannya menyeberangi
sungai. Dan kini dia berhenti tepat di bawah pohon yang dinaiki Rangga.
Laki-laki tua itu seperti kebingungan. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke
kiri, seperti mencari sesuatu. Dan begitu mendongak ke atas....
"Hup...!"
Bagaikan kilat, Rangga melompat turun. Gerakannya begitu cepat dan ringan
sekali, hingga membuat laki-laki tua itu jadi terkejut setengah mati.
Cepat-cepat dia melompat ke belakang beberapa tindak. Gerakannya begitu
ringan dan halus, lalu manis sekali menjejakkan kakinya kembali di tanah.
Pada saat itu, Rangga sudah mendarat di tempat tadi sebelum melompat ke atas
pohon.
"Mau apa kau mengikutiku, Ki...?" desis Rangga langsung bertanya.
"Aku.... Aku tidak bermaksud buruk padamu, Anak Muda. Percayalah. Aku tidak
bermaksud apa-apa...," sahut laki-laki tua itu sambil melangkah mendekati
Pendekar Rajawali Sakti.
"Kalau kau tidak bermaksud buruk, kenapa mengikutiku dengan cara seperti
itu?" desak Rangga.
"Aku tahu siapa kau, Anak Muda. Dan aku juga tahu persoalan yang sedang kau
hadapi sekarang ini. Maka, aku bermaksud ingin membantumu," kata laki-laki
tua itu lagi.
"Katakan, siapa kau sebenarnya?" tanya Rangga dengan mata agak menyipit.
"Di desa ini, orang-orang selalu memanggilku Ki Arman. Tapi, kebanyakan
orang memanggilku si Kakek Maut bertangan Baja. Namun ada juga yang
memanggilku si Tua Tukang Perahu. Terserah kau ingin memanggilku apa,
Pendekar Rajawali Sakti," sahut laki-laki tua itu memperkenalkan dirinya.
"Dari mana kau tahu tentang diriku, Ki?" tanya Rangga agak terkejut juga,
karena Ki Arman sudah mengetahui tentang dirinya.
"Tidak ada seorang pun di dunia ini yang mempunyai pedang sakti bergagang
kepala burung. Dan orang yang mengenakan pakaian sepertimu hanya ada satu.
Kau begitu mudah untuk dikenali, Pendekar Rajawali Sakti," sahut Ki Arman
yang juga berjuluk si Kakek Maut Bertangan Baja atau juga si Tua Tukang
Perahu.
"Lalu, untuk apa kau mengikutiku diam-diam?" tanya Rangga lebih menyelidik
lagi.
"Karena aku tidak ingin melihat pendekar muda dan bijak sepertimu
dipermainkan orang-orang berhati iblis seperti mereka," sahut Ki Arman.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Ki...," ujar Rangga kebingungan.
"Secara tidak sadar, kau telah masuk perangkap mereka, Pendekar Rajawali
Sakti. Sebuah perangkap yang akan berlumur darahmu, atau darah mereka
sendiri. Hal itu bisa kuketahui saat kau bertanya tentang Pandan Wangi,"
jelas Ki Arman lagi.
"Kau juga tahu tentang Pandan Wangi, Ki...?" kali ini Rangga tidak bisa lagi
menyembunyikan keterkejutannya.
Sungguh tidak disangka kalau laki-laki tua yang dikenal berjuluk si Kakek
Maut Bertangan Baja itu tahu banyak tentang dirinya. Bahkan juga tahu
tentang diri Pandan Wangi. Rangga jadi semakin ingin tahu, siapa sebenarnya
laki-laki tua yang belum dikenalnya sama sekali ini. Tapi, dia malah sudah
mengetahui banyak tentang dirinya.
"Kalau kau tidak keberatan, sebaiknya kita bicarakan hal ini di rumahku,"
ajak Ki Arman.
Rangga yang memang ingin tahu, apa sebenarnya yang sedang dihadapinya kali
ini, tidak bisa lagi menolak ajakan si Kakek Maut Bertangan Baja ini. Dan
Pendekar Rajawali Sakti terus saja melangkah mengikuti ayunan kaki laki-laki
tua yang tidak mengenakan baju ini. Mereka berjalan perlahan-lahan tanpa
berbicara sedikit pun.
Sesekali, Rangga melirik memperhatikan laki-laki tua yang berjalan di
sampingnya ini. Entah berapa banyak pertanyaan yang tidak bisa terjawab
bergayut di dalam benaknya saat ini. Dan Rangga sendiri tidak tahu, kapan
semua pertanyaan itu bisa terjawab.
"Jauh rumahmu, Ki?" tanya Rangga setelah mereka berjalan cukup lama, tapi
belum juga sampai dirumah si Kakek Maut Bertangan Baja ini.
"Tidak, sebentar lagi juga sampai. Tidak jauh dari sungai," sahut Ki Arman.
"Dengan siapa kau tinggal?"
"Cucuku. Tapi, mungkin sekarang dia sudah tidur," sahut Ki Arman lagi.
Rangga tidak bertanya lagi. Memang, malam sudah begitu larut. Dan sebentar
lagi, pagi pasti akan datang menjelang disertai kehangatan sinar sang
mentari. Sementara mereka terus berjalan tanpa bicara lagi. Rangga tahu,
jalan yang ditempuhnya ini menuju sungai yang secara langsung menjadi
pembatas dua buah kerajaan. Kerajaan Karang Setra dan Kerajaan Watugaru. Dua
kerajaan yang bertetangga dekat dan memiliki hubungan yang begitu erat. Dan
Rangga tahu, sekarang ini berada di wilayah Kerajaan Watugaru.
***
Seorang gadis berusia sekitar delapan belas tahun berdiri di ambang pintu
yang terbuka lebar. Cahaya pelita dari dalam rumah kecil berdinding anyaman
bambu itu menerangi tubuh gadis yang ramping dan sintal ini. Sejenak Rangga
memandanginya. Sementara, Ki Arman terus melangkah memasuki beranda rumah
kecil tidak jauh dari tepi sungai yang dikatakan sebagai tempat tinggalnya.
"Kenapa kau belum tidur, Rinjani...?" tegur Ki Arman.
"Aku menunggumu pulang," sahut gadis yang dipanggil Rinjani itu.
Sementara Rangga sudah sampai di depan tangga beranda rumah berukuran kecil
ini. Ki Arman mempersilakan Pendekar Rajawali Sakti masuk. Dengan
menganggukkan sedikit kepalanya pada Rinjani, Pendekar Rajawali Sakti
melangkah memasuki beranda depan rumah Ki Arman. Kemudian, dia duduk bersila
beralaskan tikar lusuh setelah dipersilakan Ki Arman yang sudah lebih dulu
duduk di sana. Sementara, Rinjani masih tetap berdiri di ambang pintu yang
tetap terbuka lebar.
"Sebaiknya kau buatkan minuman yang hangat, Rinjani. Lalu, cepatlah pergi
tidur," kata Ki Arman.
"Aku belum mengantuk, Kek," sahut Rinjani, agak memberengut manja.
"Kalau begitu, buatkan minuman hangat untukku dan tamuku," pinta Ki Arman.
Rinjani hanya mengangguk saja, kemudian cepat sekali tenggelam ke dalam
rumah. Rangga hanya melirik sebentar sambil menyunggingkan senyuman tipis.
Entah kenapa dia tersenyum. Mungkin teringat pertemuan pertamanya dengan
Pandan Wangi.
Saat itu, Pandan Wangi memang kelihatan agak liar dan mudah sekali
memberengut. Tapi di balik itu semua, didalam jiwa Pandan Wangi sudah
tertanam jiwa seorang pendekar sejati. Meskipun, sampai saat ini segala
tindakannya masih juga terburu-buru dan mudah sekali tersambar amarah. Tapi
Rangga menganggapnya wajar, karena sejak kecil Pandan Wangi selalu ditempa
oleh kehidupan keras.
"Itu cucuku satu-satunya, Rangga. Manjanya bukan main...," ujar Ki Arman
memperkenalkan cucunya tadi.
Rangga hanya tersenyum saja. Sementara itu Rinjani sudah keluar lagi sambil
membawa sebuah baki berisi dua gelas bambu mengepulkan uap hangat, dan
sepiring makanan kecil. Dengan sikap lembut sekali, diletakkan bawaannya itu
di depan Rangga dan Ki Arman. Kemudian gadis itu duduk tidak jauh dari
pintu.
"Tidak ada yang keberatan aku menemani, kan...?" ujar Rinjani sebelum Ki
Arman sempat membuka mulutnya.
"Tentu tidak," Rangga cepat menyahuti.
Dan Ki Arman memang tidak bisa berkata lain lagi, meskipun sedikit mendelik
pada gadis itu. Tapi, tampaknya Rinjani tidak mempedulikan. Gadis itu malah
menatap wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti, seakan-akan baru kali ini bisa
melihat wajah seorang pemuda yang begitu tampan. Tapi begitu Rangga
menatapnya, pandangannya langsung diarahkan ke arah lain. Rinjani tetap
tidak mau memandang Ki Arman yang tampaknya tidak setuju dengan adanya
Rinjani bersama mereka sekarang ini.
"Baiklah, Ki. Katakan..., apa saja yang kau ketahui," ujar Rangga langsung
pada pokok persoalannya.
"Kenapa harus terburu-buru, Rangga...? Nikmati dulu minuman buatan cucuku.
Pasti kau tidak akan menyukainya," kata Ki Arman sambil mencibir pada
Rinjani.
Dan ejekan bergurau laki-laki tua itu hanya dibalas cibiran saja oleh gadis
ini. Rangga melihat itu jadi tersenyum saja. Kemudian, dihirupnya sedikit
minuman yang berasa rebusan air jahe itu. Memang terasa hangat dan nikmat
sekali, sehingga Rangga menghirupnya lagi sampai tinggal setengah gelas.
"Sungguh nikmat," puji Rangga sambil meletakkan gelas dari bambu yang
diserut halus itu.
"Ah...! Minuman seperti itu apa nikmatnya, Rangga. Paling-paling juga hanya
bisa menahan rasa kantuk sedikit," dengus Ki Arman seraya melirik Rinjani
lagi.
"Tapi aku yakin, tidak akan bisa menemukan minuman senikmat ini lagi,"
Rangga tetap memuji.
Dan pujian Rangga itu membuat wajah Rinjani jadi memerah. Terlebih lagi,
saat melontarkan pujian itu Rangga sempat melirik padanya. Sehingga, Rinjani
tidak bisa lagi bertahan lama dan bergegas bangkit berdiri. Tanpa
mengucapkan apa pun, gadis itu langsung masuk ke dalam rumah. Rinjani tidak
muncul-muncul lagi, sehingga membuat Ki Arman jadi tertawa terbahak-bahak.
Sedangkan Rangga hanya tersenyum saja.
"Kau benar-benar hebat, Pendekar Rajawali Sakti. Padahal aku sudah
mengusirnya. Tapi dengan sedikit kata-kata saja, kau langsung
mengenyahkannya dari sini," ujar Ki Arman memuji cara Rangga menyuruh
Rinjani masuk ke dalam rumah.
Sedangkan Rangga hanya tersenyum saja. Dia memang tahu kalau Ki Arman tidak
ingin ada orang lain lagi di antara mereka. Maka Pendekar Rajawali Sakti
tahu betul cara menghadapi gadis lugu seperti Rinjani. Terlebih lagi,
beberapa kali dia mendapati Rinjani selalu mencuri pandang padanya. Dan
kesempatan itu dipergunakan untuk memenuhi keinginan Ki Arman. Cara yang
dilakukan Rangga memang sangat ampuh. Rinjani langsung meninggalkan beranda
ini tanpa dapat berkata sedikit pun juga.
"Baiklah.... Sampai di mana pembicaraan kita tadi, Rangga?" tanya Ki Arman
setelah reda tawanya.
"Tentang perangkap itu, Ki," sahut Rangga.
"Oh, ya.... Perangkap yang ditujukan untukmu, bukan...?"
Rangga hanya mengangguk saja.
"Sebenarnya aku sendiri juga kurang begitu paham. Dan aku juga hanya
mendengar dari pembicaraan orang-orang yang membutuhkan jasa penyeberangan
perahuku," jelas Ki Arman memulai pembicaraan lagi.
Rangga hanya diam saja mendengarkan.
"Kau tahu, Rangga...? Hampir setiap hari aku selalu membawa berbagai macam
orang ke seberang sungai. Baik itu orang biasa maupun dari kalangan
persilatan. Dan apa yang dibicarakan, aku selalu jelas mendengar. Dan
belakangan ini, aku sering mendengar pembicaraan mengenai dirimu, juga
Pandan Wangi," Ki Arman kembali berhenti.
"Apa yang mereka bicarakan, Ki?" tanya Rangga jadi tidak sabar lagi.
***
LIMA
"Begitu banyak cerita mengenai dirimu, Pendekar Rajawali Sakti. Dan mereka
selalu membicarakan tentang ketangguhan ilmu kedigdayaan mu. Aku sendiri
tidak tahu, apa sebenarnya yang mereka rencanakan padamu. Tapi naluriku
mengatakan, saat ini kau tengah masuk ke dalam perangkap untuk menguji
sampai di mana tingkat kedigdayaan yang kau miliki," jelas Ki Arman.
"Hm.... Jadi kau sendiri juga tidak tahu tentang mereka, Ki?" ujar Rangga,
agak menggumam suaranya.
"Terlalu sulit untuk memastikannya, Rangga," sahut Ki Arman.
"Tapi kenapa kau mengatakan kalau aku sedang masuk perangkap?" Rangga ingin
kepastian.
"Hanya naluriku saja yang mengatakan begitu, Rangga. Dan biasanya, jika
naluriku berkata begitu jarang sekali meleset," sahut Ki Arman lagi.
Rangga jadi terdiam, dan teringat kembali beberapa peristiwa yang sampai
saat ini belum bisa dimengerti. Peristiwa yang dirasakan sangat aneh ini,
yang berawal dari sikap aneh Pandan Wangi. Kepergian gadis itu katanya ingin
menyelesaikan satu persoalan yang tidak diketahuinya. Pandan Wangi memang
tidak mau mengatakan persoalan yang sedang dihadapinya.
Kemudian setelah Pandan Wangi pergi, muncul Cempaka yang membawa selembar
surat daun lontar yang ditemukannya dikamar Pandan Wangi. Kemudian, muncul
beberapa peristiwa yang tidak bisa dimengerti sama sekali. Sejak pergi
mengikuti Pandan Wangi, sudah dua kali Pendekar Rajawali Sakti dihadang
tanpa alasan yang pasti. Dan tampaknya, penghadang-penghadang itu sudah
mengetahui kalau dia sedang mengejar Pandan Wangi.
Dari petunjuk merekalah, hingga akhirnya Pendekar Rajawali Sakti sampai di
desa ini. Dan sekarang, seorang laki-laki tua yang mengaku bernama Ki Arman
mengatakan kalau Pendekar Rajawali Sakti sedang. masuk suatu perangkap, yang
kemungkinan besar akan berlumur darah. Mungkin juga berlumur darah si
pemasang perangkap itu sendiri, atau juga berlumur darah Pendekar Rajawali
Sakti.
Inilah yang membuat Rangga semakin bingung dan terus bertanya-tanya dalam
benaknya. Tapi, pertanyaan itu belum juga bisa terjawab sampai sekarang ini.
Dia benar-benar tidak tahu, apa sebenarnya yang sedang terjadi sekarang ini.
Rangga juga jadi teringat dengan munculnya Mayang. Kemunculan gadis itu
kembali, memang terasa sangat aneh. Terlebih lagi bila mengingat kata-kata
yang diucapkan Mayang di kamar rumah penginapan.
Namun, Rangga belum bisa menarik suatu garis hubungan dari peristiwa yang
satu dengan peristiwa lainnya. Meskipun dari semua peristiwa itu sudah bisa
terlihat suatu mata rantai yang saling berkaitan, tapi Rangga belum bisa
menghubungkannya satu sama lain. Rangga jadi teringat baris-baris kalimat
yang tertulis di atas selembar daun lontar yang ditemukan Cempaka di dalam
kamar Pandan Wangi.
"Ki! Kau tahu, di mana letaknya Lembah Kumala...?" tanya Rangga setelah
cukup lama berdiam diri.
"Tahu," sahut Ki Arman. "Kenapa kau tanyakan lembah itu, Rangga?"
"Aku merasa kalau Pandan Wangi sedang menuju ke sana. Atau, bahkan mungkin
juga sudah ada di sana," kata Rangga, agak perlahan suaranya, seperti
ragu-ragu.
"Apa Pandan Wangi mengatakan tempat tujuan perginya?" tanya Ki Arman.
"Tidak," sahut Rangga.
"Lalu, kenapa kau punya pikiran begitu?"
Rangga tidak segera menjawab. Hatinya jadi ragu-ragu untuk memberi tahu
surat yang ditemukan Cempaka di kamar Pandan Wangi. Karena, dia sendiri
tidak tahu dari mana dan kapan surat itu diterima Pandan Wangi. Yang
diketahuinya, dua hari sebelum berpamitan hendak pergi, gadis yang berjuluk
si Kipas Maut itu selalu termenung sendiri. Dan di dalam surat itu, jelas
tertulis Lembah Kumala.
"Tidak ada seorang pun yang mau menginjak lembah itu, Rangga. Dan lagi,
letaknya sangat jauh dari sini. Masih memerlukan sedikitnya satu hari penuh
menunggang kuda. Itu pun kalau tidak mendapat rintangan di jalan," jelas Ki
Arman.
"Apakah lembah itu berbahaya, Ki?" tanya Rangga jadi ingin tahu.
"Sebenarnya Lembah Kumala sangat indah. Tapi, sekarang telah dikuasai
seorang tokoh persilatan berilmu tinggi. Entah sudah berapa orang yang
secara sengaja atau tidak memasuki lembah itu. Tapi, sampai sekarang tidak
lagi terdengar kabar beritanya. Hingga, lembah itu sama sekali tidak lagi
didekati," jelas Ki Arman tentang Lembah Kumala.
"Siapa orang itu, Ki?" tanya Rangga semakin ingin tahu.
"Sebenarnya, namanya Ki Badranaya. Tapi orang-orang rimba persilatan selalu
menyebutnya Setan Lembah Kumala," sahut Ki Arman lagi.
"Hm...."
Rangga mengangguk-anggukkan kepala. Sementara itu malam sudah hampir
tergeser. Suara kokok ayam jantan sudah mulai terdengar saling bersahutan.
Dan burung-burung pun sudah mulai terdengar berkicau. Tampak di ufuk Timur
rona merah sudah terlihat membias, menandakan fajar sebentar lagi akan
muncul ke permukaan bumi ini.
Sementara Rangga dan Ki Arman masih terus berbicara di beranda depan rumah
si Tua Tukang Perahu itu. Seakan-akan mereka tidak mempedulikan waktu yang
terus berjalan. Dan mereka juga seperti tidak peduli kalau semalaman tidak
memejamkan mata sekejap pun juga.
***
Baru setelah matahari naik cukup tinggi, Rangga berpamitan pada Ki Arman.
Pendekar Rajawali Sakti melangkah perlahan-lahan meninggalkan rumah
laki-laki tua yang dikenal sebagai si Tua Tukang Perahu di Desa Karanggati
ini. Rangga terus berjalan semakin jauh diiringi pandangan mata Ki Arman
yang terus berdiri memandanginya dari depan beranda rumahnya.
Rangga terus mengayunkan kakinya menuju Selatan sampai hilang dari pandangan
Ki Arman. Sedikit pun ayunan kakinya tidak berhenti. Benaknya terus
mengulang kembali semua pembicaraannya dengan si Tua Tukang Perahu itu. Dan
dia ingat semua yang diucapkan laki-laki tua itu semalaman tadi. Bahkan
sekarang tahu, ke mana tujuan dari perjalanannya ini. Dia yakin, Pandan
Wangi menuju ke Lembah Kumala, seperti yang tertulis di lembaran daun lontar
yang ditemukan Cempaka di kamar Pandan Wangi.
"Kakang...."
Rangga langsung menghentikan langkahnya ketika tiba-tiba saja terdengar
panggilan halus dari arah kanan. Perlahan tubuhnya berputar ke kanan. Kening
Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut begitu melihat Rinjani tahu-tahu sudah
berdiri di bawah sebatang pohon yang cukup rindang, sehingga melindungi
kulitnya yang putih halus dari sengatan matahari. Rangga menghampiri gadis
itu.
"Kenapa kau ada di sini, Rinjani?" tegur Rangga langsung.
"Aku mendengar semua yang kau bicarakan dengan kakek semalam," kata Rinjani
tidak menghiraukan teguran Rangga.
Kening Rangga semakin dalam berkerut. Di pandanginya gadis berwajah cantik
itu lekat-lekat. Dan ini membuat Rinjani harus menundukkan kepala, tidak
sanggup membalas sinar mata Pendekar Rajawali Sakti yang demikian tajam,
namun terasa begitu lembut menyentuh halus ke dalam relung hati. Mereka jadi
terdiam begitu lama.
Perlahan Rangga menghampiri gadis itu lebih dekat lagi. Lalu, lembut sekali
wajah Rinjani diangkat dengan ujung jari tangannya. Sehingga, gadis itu
tidak bisa lagi menghindar dari tatapan mata Pendekar Rajawali Sakti yang
begitu penuh daya pesona yang kuat tak terkirakan. Dan Rinjani hanya dapat
diam dengan dada menggemuruh.
"Kau menghadangku di sini pasti tanpa setahu kakekmu...," tebak Rangga
begitu perlahan suaranya, dan terdengar agak dalam.
Rinjani hanya bisa diam saja tak mampu berkata apa pun juga.
"Sekarang, kembalilah pulang. Kakekmu pasti bingung mencarimu," kata Rangga
tegas.
"Tapi...," suara Rinjani jadi tercekat.
"Tidak ada alasan lagi, Rinjani. Pulanglah...," desis Rangga, tetap tegas
nada suaranya.
Rangga tidak ingin lagi berdebat dengan gadis ini. Segera saja tubuhnya
berbalik dan melangkah cepat meninggalkan gadis itu. Sesaat Rinjani berdiri
terpaku memandangi Pendekar Rajawali Sakti yang beberapa tombak berjalan di
depannya. Namun tiba-tiba saja....
"Hup!"
Bagaikan kilat, tahu-tahu Rinjani melompat begitu cepat. Dan hanya sekali
lompatan saja, gadis itu sudah berdiri menghadang Rangga. Terpaksa Pendekar
Rajawali Sakti menghentikan langkahnya. Hatinya tidak lagi terkejut melihat
ilmu meringankan tubuh yang ditunjukkan Rinjani barusan. Memang pantas jika
cucu seorang tokoh persilatan seperti si Tua Tukang Perahu memiliki tingkat
kepandaian lumayan tinggi.
"Apa sebenarnya yang kau inginkan, Rinjani?" tanya Rangga tidak ingin
bermain-main lagi.
Sudah terlalu berat tekanan yang harus ditanggungnya sekarang ini. Dan
Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin lagi bertahan hanya untuk mengurusi
gadis ini. Pandan Wangi harus secepatnya ditemukan. Pendekar Rajawali Sakti
benar-benar mencemaskan keadaan Pandan Wangi. Dugaannya, si Kipas Maut itu
tanpa disadari telah menjadi umpan di dalam perangkap untuk Pendekar
Rajawali Sakti.
"Kau tidak akan bisa bertemu Pandan Wangi tanpa bantuanku, Kakang," kata
Rinjani, terdengar agak dalam nada suaranya.
"Apa maksudmu, Rinjani?" tanya Rangga, agak berkerut keningnya.
"Aku tahu, di mana Pandan Wangi. Dan aku juga tahu, apa yang terjadi pada
Pandan Wangi dan pada dirimu," tegas Rinjani.
Rangga benar-benar jadi kebingungan sekarang ini. Dia merasa semua orang
yang ada, bisa mengetahui semua yang sedang terjadi pada dirinya. Juga pada
Pandan Wangi. Bahkan banyak orang yang tidak dikenalnya mengetahui persoalan
yang sedang dialaminya. Dan sekarang pun, Rinjani mengetahui persoalan yang
dihadapinya. Dan itu membuat Rangga semakin bertambah bingung saja.
"Apa saja yang kau ketahui, Rinjani?" desak Rangga. Tatapan matanya begitu
tajam menusuk langsung ke bola mata gadis itu.
"Kau sedang mencari Pandan Wangi, bukan...?" Rinjani malah bertanya, seperti
ingin memastikan saja.
Rangga hanya mengangguk, menjawab pertanyaan gadis itu.
"Kau tahu, di mana Pandan Wangi sekarang berada?"
Kali ini Rangga hanya menggelengkan kepala saja. Sinar matanya masih menatap
tajam pada gadis di depannya ini.
"Ayo, kutunjukkan agar kau bisa bertemu Pandan Wangi," ajak Rinjani.
Gadis itu langsung saja menyambar tangan Rangga, dan mengajaknya melangkah
meninggalkan tempat itu. Tapi, Rangga tidak segera mengikutinya. Dia malah
terdiam, dan melepaskan genggaman tangan Rinjani pada tangan kirinya.
Sehingga gadis itu kini malah menatap tajam.
"Aku ingin menolongmu, Kakang. Hanya aku yang bisa menunjukkan di mana
Pandan Wangi berada. Tanpa pertolonganku, kau tidak akan mungkin bisa
bertemu kekasihmu itu," kata Rinjani setengah mendesak.
"Katakan saja, di mana Pandan Wangi sekarang berada...?" desak Rangga, agak
mendesis nada suaranya.
"Aku tidak bisa mengatakannya. Tempat itu tidak bernama, dan hanya sedikit
orang yang mengetahui," sahut Rinjani.
Rangga semakin tajam menatap Rinjani. Sinar matanya tampak memancarkan
ketidakpercayaan. Dan gadis itu rupanya tahu kalau Rangga tidak percaya atas
jawabannya barusan. Perlahan didekatinya Pendekar Rajawali Sakti, lalu
kembali menggenggam tangannya erat-erat. Seakan-akan dia tidak ingin
melepaskannya lagi.
"Aku tahu, dalam keadaan seperti ini kau memang tidak bisa mempercayai siapa
pun juga. Tapi aku sungguh-sungguh ingin membantumu," tegas Rinjani.
"Kita baru kenal semalam. Dan itu pun tidak ada kesempatan berbicara. Kenapa
kau begitu ingin sekali membantuku, Rinjani?" Rangga tampaknya masih belum
bisa mempercayai gadis ini.
Rinjani hanya tersenyum saja. Dilepaskannya genggaman pada tangan Pendekar
Rajawali Sakti. Perlahan tubuhnya berputar dan melangkah tanpa berbicara
lagi. Sesaat Rangga hanya diam berdiri memandangi, kemudian mengayunkan
kakinya menyusul gadis itu. Langkah kakinya disejajarkan di samping gadis
ini.
***
Matahari terus bergulir sejalan dengan sang waktu yang mengikuti
peredarannya sepanjang zaman. Rangga dan Rinjani terus berjalan tanpa banyak
bicara lagi. Hanya sesekali saja mereka berbicara. Dan selama perjalanan
ini, Rangga terus mendesak Rinjani yang begitu ingin membantunya mencari
Pandan Wangi. Tapi, gadis itu seperti menyembunyikan sesuatu. Meskipun
Rangga terus mendesak, dia tetap bertahan tidak mau mengatakan alasannya.
Mereka baru berhenti melangkah setelah sampai di bibir sebuah lembah yang
terlihat begitu indah. Semerbak harum wangi bunga-bunga yang bermekaran
begitu terasa menyengat hidung. Rangga sampai berdecak kagum menyaksikan
keindahan lembah ini. Tapi begitu teringat cerita Ki Arman semalam,
keningnya jadi berkerut. Memang sukar bisa dipercaya kalau lembah yang
begitu indah memiliki keangkeran yang sukar bisa dimengerti.
"Rinjani, bukankah ini yang disebut Lembah Kumala...?" tanya Rangga ingin
memastikan.
"Benar," sahut Rinjani.
"Tadi katamu, kau akan membawaku ke tempat yang tidak bernama?" tanya Rangga
teringat ucapan Rinjani sebelum sampai ke lembah yang begitu indah Ini.
"Memang. Dan kita belum sampai di sana, tapi harus melewati lembah ini
dulu," kata Rinjani, terdengar agak ditekan nada suaranya.
Rangga memandangi gadis ini. Dirasakan ada sesuatu di dalam nada suara
Rinjani. Seperti suatu kekhawatiran untuk melewati Lembah Kumala ini. Dan
memang, Rangga sudah mendengar dari Ki Arman kalau tidak ada seorang pun
yang bisa selamat keluar jika sudah memasuki lembah ini. Tapi dia tidak
tahu, apa sebabnya sehingga Lembah Kumala begitu ditakuti semua orang.
"Kau takut melewati lembah ini, Rinjani?" tegur Rangga.
Rinjani tidak langsung menjawab. Wajahnya berpaling dan menatap Pendekar
Rajawali Sakti. Jelas sekali kalau gadis itu berusaha tersenyum untuk
menghilangkan kecemasan di hatinya. Tapi bibirnya yang bergerak tersenyum
itu tampak bergetar. Rangga tahu, gadis ini berusaha keras untuk bisa tenang
dan mencoba memberikan senyum, meskipun teramat dipaksakan.
"Sudah lama sekali aku ingin ke Lembah Kumala. Tapi kakek tidak pernah
mengizinkan ku datang ke sini. Setiap kali aku pergi, dia selalu mengawasi.
Dia begitu khawatir aku pergi ke lembah ini," jelas Rinjani.
"Aku bisa memaklumi kecemasan kakekmu, Rinjani. Dan memang sebaiknya kau
tidak datang ke sini, meskipun bersamaku," sambut Rangga.
"Kecemasannya terlalu berlebihan, Kakang. Dan itu membuatku semakin ingin ke
lembah ini. Dan kesempatan itu datang waktu aku mendengar semua
pembicaraanmu semalam dengan kakek," kata Rinjani lagi.
"Boleh aku tahu, kenapa kau begitu ingin datang ke Lembah Kumala ini,
Rinjani?" pinta Rangga.
"Ayah dan ibuku adalah sepasang pendekar. Mereka tewas di lembah ini oleh Ki
Badranaya, si Setan Lembah Kumala. Aku begitu dendam dan ingin membalas
kematian kedua orang tuaku. Tapi, kakek tidak pernah mengizinkan untuk
menuntut balas. Bahkan dengan keras sekali melarangku untuk mendekati lembah
ini," tutur Rinjani menceritakan kehidupannya.
"Dan .kau memanfaatkan keberadaanku, begitu...?"
"Lebih tepat kalau dikatakan kerjasama, Kakang."
"Kerjasama apa?"
"Kau ingin menemukan Pandan Wangi kembali, dan aku ingin membalas kematian
kedua orang tuaku di lembah ini. Aku sudah begitu banyak mendengar tentang
dirimu sebelum kau datang bersama kakek semalam. Dan aku yakin, kau mampu
menghadapi Ki Badranaya. Dan sebagai imbalannya, aku akan membawamu menemui
Pandan Wangi. Karena, aku tahu betul tempat Pandan Wangi sekarang berada,"
jelas Rinjani lagi.
"Cerdik...," desis Rangga seraya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala.
"Sudah terlalu lama aku menunggu kesempatan ini, Kakang. Dan aku tidak ingin
melewatkannya begitu saja. Rasanya, hanya satu kali ini saja kesempatan itu
ku peroleh. Kini aku telah mendapatkan seorang pendekar tangguh dan digdaya
yang tingkat kepandaiannya sukar dicari tandingannya," kata Rinjani lagi.
"Bagaimana kalau kakekmu tahu kau ada disini bersamaku, Rinjani?" tanya
Rangga ingin tahu.
"Dia tidak akan tahu. Setiap hari dia sibuk menyeberangkan orang di sungai,"
sahut Rinjani agak ketus.
"Hari ini dia tidak ke sungai. Dan...," Rangga tidak meneruskan.
"Aku ada di sini."
"Eh...?!"
Bukan main terkejutnya Rinjani, begitu tiba-tiba terdengar suara yang begitu
dikenalnya dari arah belakang. Cepat-cepat tubuhnya berbalik. Kedua kelopak
matanya jadi terbeliak begitu melihat Ki Arman, yang dikenal sebagai si Tua
Tukang Perahu sudah ada di bibir Lembah Kumala ini. Sungguh dia tidak tahu,
kapan kakeknya ini datang. Tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya tadi.
"Kakek...," desis Rinjani seperti tidak percaya dengan penglihatannya
sendiri.
"Aku tidak mengerti, kenapa kau bisa lakukan ini, Rinjani...? Sudah berulang
kali aku melarangmu datang ke lembah ini," tegur Ki Arman menyesali tindakan
Rinjani yang nekat datang ke Lembah Kumala ini bersama Pendekar Rajawali
Sakti.
"Maaf, Ki. Aku....."
"Aku tidak menyalahkanmu, Rangga," selak Ki Arman cepat-cepat memutuskan
ucapan Pendekar Rajawali Sakti. "Aku tahu, kau tidak bisa menolak keinginan
cucuku ini. Dia memang bandel. Susah diatur!"
Rinjani diam saja dengan kepala agak tertunduk. Sebentar-sebentar matanya
melirik Rangga yang juga jadi terdiam. Dia tahu, Pendekar Rajawali Sakti
merasa tidak enak pada Ki Arman. Rinjani merasa bersalah, karena telah
melibatkan Pendekar Rajawali Sakti ke dalam urusan pribadinya. Padahal, dia
tahu kalau pemuda berbaju rompi putih itu juga sedang menghadapi suatu
persoalan yang begitu pelik. Di saat mereka semua terdiam, tiba-tiba saja...
Whrrr...!
***
ENAM
"Apa itu...?!" desis Rinjani terkejut.
Bukan hanya Rinjani saja yang terkejut. Bahkan Rangga dan Ki Arman juga jadi
terperanjat begitu tiba-tiba saja berhembus angin yang begitu keras, bagai
terjadi badai topan dahsyat dan tiba-tiba sekali datangnya. Suara angin itu
teramat keras, terdengar menderu-deru menggetarkan jantung. Debu dan
bebatuan berhamburan ke udara. Beberapa pohon mulai jatuh bertumbangan,
membuat bumi yang dipijak jadi bergetar seperti diguncang gempa.
"Hati-hati! Ini bukan badai biasa," desis Rangga memperingatkan.
Rangga yang juga bisa menciptakan badai topan seperti ini, langsung bisa
merasakan kalau badai yang terjadi begitu tiba-tiba memang bukan badai
biasa. Dan dia tahu, badai topan ini buatan seseorang yang memiliki tingkat
kepandaian tinggi.
"Kalian ke belakangku, cepat...!" seru Rangga, agak keras suaranya.
Pendekar Rajawali Sakti langsung bisa merasakan adanya kekuatan yang begitu
besar dari pengerahan tenaga dalam tinggi di balik badai topan ini. Ki Arman
yang sudah sering mendengar sepak terjang petualangan Pendekar Rajawali
Sakti segera menarik tangan Rinjani dan membawanya ke belakang Pendekar
Rajawali Sakti.
"Hep...!"
Rangga segera merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Sebentar
saja ditariknya napas dalam-dalam, lalu ditahannya di dada. Kemudian matanya
sedikit terpejam, memusatkan seluruh perhatian dan inderanya untuk
mengerahkan aji 'Bayu Bajra'. Pendekar Rajawali Sakti akan mengimbangi badai
topan buatan ini.
"Hap...! Aji 'Bayu Bajra'.... Hiyaaa...!"
Cepat sekali Rangga menghentakkan kedua tangannya ke samping, hingga
merentang lebar. Dan seketika itu juga bertiup angin keras menderu-deru,
yang mengimbangi badai topan itu. Tapi mendadak saja seluruh tubuh Pendekar
Rajawali Sakti jadi bergetar dahsyat. Maka segera dilakukannya beberapa
gerakan dengan kedua tangannya.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Rangga menghentakkan kedua tangannya ke
depan. Tampak dari kedua telapak tangan yang terbuka lebar itu mengepulkan
asap putih yang bergulung-gulung, disertai percikan bunga api yang menyebar
ke segala arah. Pada saat itu juga, Ki Arman dan Rinjani yang berada di
belakang Rangga tidak lagi merasakan adanya hembusan angin topan yang keras.
Padahal di sekeliling mereka topan itu masih terlihat mengamuk semakin
dahsyat. Suara ledakan-ledakan mulai terdengar menggelegar memekakkan
telinga. Tampak batu-batu dan pepohonan hancur berkeping-keping seperti
terhantam pukulan keras bertenaga dalam tinggi. Rangga perlahan-lahan segera
menarik kedua tangannya ke belakang, hingga sampai sejajar dada. Lalu...
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan
kedua tangannya kedepan. Seluruh tenaga dalamnya yang sudah mencapai tingkat
kesempurnaan juga dikerahkan. Seketika itu juga terdengar ledakan keras
menggelegar begitu dahsyat. Akibatnya, bumi yang dipijak jadi bergetar
hebat. Pepohonan bertumbangan tercabut sampai ke akar-akarnya. Dan bebatuan
pecah berhamburan mengepulkan debu yang membumbung tinggi ke angkasa.
Pada saat itu, tiba-tiba saja badai topan yang mengamuk dahsyat berhenti
seketika. Dan perlahan-lahan, Rangga menurunkan kedua tangannya. Tampak
dadanya bergerak turun naik cepat sekali. Keringat mengucur deras membasahi
seluruh tubuhnya. Jelas sekali kalau Pendekar Rajawali Sakti tadi
mengerahkan seluruh kemampuan aji 'Bayu Bajra' pada tingkatan yang terakhir.
Dan memang, hasilnya sungguh luar biasa. Hutan di sekitar bibir Lembah
Kumala ini jadi porak-poranda.
"Kalian tunggu di sini," ujar Rangga tanpa berpaling sedikit pun.
Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah menuruni Lembah Kumala.
Tebing lembah yang landai, tidak menyulitkan baginya untuk memasuki lembah
itu. Sementara, perlahan-lahan Ki Arman dan Rinjani melangkah mengikuti
sampai benar-benar berada di tepi bibir jurang. Mereka berhenti di sana, dan
hanya memandangi Rangga yang terus melangkah semakin dalam memasuki Lembah
Kumala ini.
Rangga baru berhenti melangkah setelah sampai di tengah-tengah lembah yang
terlihat indah itu. Hamparan rumput yang tergelar bagai permadani, dan
dihiasi bunga-bunga yang bermekaran menyebarkan harum wangi, membuat
pemandangan di lembah itu terasa begitu indah. Namun di balik keindahan itu,
tersirat sesuatu yang begitu mengerikan. Sesuatu yang teramat sukar
dibayangkan.
"Hm...," Rangga menggumam perlahan. Kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti
jadi sedikit menyipit begitu melihat seonggok tulang-belulang manusia
berserakan tidak seberapa jauh di depannya.
Dan tidak jauh di sebelah kanan, juga terlihat beberapa tulang tengkorak
manusia berserakan. Demikian juga di samping kiri. Entah ada berapa tulang
tengkorak kepala manusia di sekitar Rangga berdiri. Memang tulang-tulang itu
tidak akan terlihat dari atas tebing lembah ini, karena tertutup rerumputan
yang cukup tinggi hingga hampir sampai ke betis. Dan tampaknya, di sinilah
si Setan Lembah Kumala menghabisi mereka yang mencoba memasuki daerah
kekuasaannya diLembah Kumala ini.
"Kau sungguh berani datang ke tempatku, Anak Muda...!"
"Hm...."
Perlahan Rangga memutar tubuhnya berbalik, begitu tiba-tiba terdengar suara
yang begitu dalam dari belakang. Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi
berkerut, dan kelopak matanya menyipit begitu didepannya kini sudah berdiri
seorang laki-laki yang sukar untuk diketahui usianya.
Dia mengenakan baju warna hitam ketat. Sebilah golok berukuran begitu besar,
tersandang di pundaknya. Dan di pinggangnya, menggantung sebilah pedang
bergagang kuning keemasan yang bagian ujungnya berbentuk kepala tengkorak
manusia.
"Kaukah yang bernama Ki Badranaya...?" tanya Rangga ingin memastikan.
"He he he.... Baru kali ini kudengar ada orang menyebut namaku yang benar.
Dan biasanya, mereka selalu menyebutkan Setan Lembah Kumala," ujar laki-laki
itu diiringi suara tawanya yang terkekeh mengerikan.
"Hm...," lagi-lagi Rangga menggumam perlahan.
Diamatinya wajah Ki Badranaya yang tampak rusak. Sebagian pipi kirinya
mengelupas, hingga tulang pipinya yang putih agak kemerahan terlihat. Ada
segaris luka memanjang membelah wajahnya. Dan sebelah matanya tampak bolong.
Rambutnya yang panjang tak teratur, dibiarkan meriap. Sehingga tampang si
Setan Lembah Kumala itu semakin mengerikan.
Dari luka-luka yang sudah mengering itu, Rangga tahu kalau Ki Badranaya
sudah mengalami begitu banyak pertarungan. Dan luka-luka yang membuat
wajahnya jadi rusak begitu pasti akibat dari pertarungannya dengan
lawan-lawan tangguh. Bahkan kaki kirinya pada bagian betis disambung dengan
besi baja berwarna hitam. Keadaan tubuh si Setan Lembah Kumala ini memang
sudah tidak lagi sempurna. Begitu banyak cacat yang tampak pada dirinya,
sehingga sukar diketahui berapa usianya.
"Kau lihat tulang-tulang yang berserakan itu, Anak Muda...? Mereka adalah
orang-orang yang mencoba mengusik ketenteraman hidupku. Dan kau pasti sudah
tahu, tak ada seorang pun yang bisa keluar dari daerah ku ini dalam keadaan
selamat," kata Ki Badranaya, begitu dingin nada suaranya.
"Kau yang membunuh mereka semua?" tanya Rangga ingin tahu.
"Benar," sahut Ki Badranaya cepat.
"Kenapa...?"
"Mereka datang hanya untuk membunuhku. Mereka menganggap, aku orang yang
paling berbahaya dan harus dilenyapkan. Kau tahu, Anak Muda. Aku hanya
mempertahankan diri, dan sebenarnya pula tidak bermaksud membunuh mereka.
Tapi mereka bermaksud membunuhku. Hm.... Kenapa kau datang ke lembah ini,
Anak Muda? Dan siapa namamu?"
"Namaku Rangga. Kedatanganku ke sini hanya untuk lewat saja. Sedikit pun
tidak ada maksud untuk mengusik kehidupanmu di sini. Kalau tidak keberatan,
aku hanya ingin lewat tanpa harus mendapatkan kesulitan darimu," sahut
Rangga kalem.
"Kedatanganmu saja sudah merusak keindahan lembah ini, Anak Muda," desis Ki
Badranaya. "Hm..., namamu Rangga. Kau pasti yang dijuluki Pendekar Rajawali
Sakti."
Rangga tersenyum.
"Maaf. Tadi aku hanya mempertahankan diri saja dari serangan badai mu,"
sahut Rangga sopan.
"He he he...! Ternyata kau bisa cepat tahu kalau badai itu aku yang buat,
Anak Muda. Tidak percuma kau dijuluki Pendekar Rajawali Sakti. Dan tentu
kepandaianmu juga sangat tinggi, sehingga bisa mengalahkan aji 'Badai
Penyapu Bumi'. Kau tahu, Anak Muda. Baru sekarang aji 'Badai Penyapu Bumi'
yang kumiliki bisa tertandingi. Dan aku yakin, kau pasti memiliki
ajian-ajian lain yang lebih dahsyat," kata Ki Badranaya mengakui keunggulan
Rangga tadi dengan hati tulus.
"Terima kasih," ucap Rangga seraya tersenyum. Rangga tahu, apa arti
kata-kata si Setan Lembah Kumala. Dan sudah barang tentu bila diajak
bertarung tidak mungkin bisa ditolak lagi. Meskipun terdengar begitu halus,
tapi kata-kata tadi merupakan suatu tantangan. Ki Badranaya sudah menjual
terlebih dahulu, dan Rangga tidak bisa mengelak untuk membelinya.
Mereka kini tidak berbicara lagi. Tapi sinar mata satu sama lain menyorot
begitu tajam menusuk. Sepertinya, mereka sedang mengukur tingkat kepandaian
masing-masing yang dimiliki. Perlahan mereka sama-sama bergerak ke samping,
hingga membentuk lingkaran. Dan sorot mata mereka masih tetap tajam tanpa
berkedip sedikit pun juga.
"Dengar, Anak Muda. Aku hanya mengenal satu kata dalam pertarungan.
Mati...," desis Ki Badranaya, dingin sekali nada suaranya. "Jadi, kau tidak
perlu sungkan-sungkan lagi. Kau harus dapat membunuhku kalau tidak ingin
mati di sini seperti yang lain."
Rangga hanya diam saja, meskipun agak terkejut juga mendengar kata-kata Ki
Badranaya barusan. Kata-kata yang tidak bisa dianggap enteng begitu saja.
Dan tampaknya, Ki Badranaya memang bersungguh-sungguh. Hal itu terbukti dari
tengkorak-tengkorak yang berserakan di tengah-tengah lembah ini. Pendekar
Rajawali Sakti melirik sedikit pada Ki Arman dan cucunya yang masih berada
di bibir tebing Lembah Kumala ini.
"Bersiaplah kau, Rangga. Hiyaaat...!"
Cepat sekali Ki Badranaya melompat menyerang sambil mengebutkan goloknya
yang berukuran sangat besar. Angin menderu dahsyat begitu golok si Setan
Lembah Kumala berkelebat cepat ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti.
Wusss!
"Hap!"
Hanya sedikit saja Rangga menundukkan kepala, maka golok berukuran sangat
besar yang melayang deras itu lewat di atas kepalanya. Rangga segera menarik
kakinya ke depan beberapa langkah begitu Ki Badranaya cepat menarik
goloknya, dan mengebutkannya kembali ke arah dada. Kembali ujung golok yang
berkilatan tajam itu lewat sedikit saja di depan dada Pendekar Rajawali
Sakti.
"Hiyaaa...!"
Serangan Ki Badranaya rupanya tidak berhenti sampai di situ saja. Dua kali
serangannya manis sekali dapat dielakkan, membuat si Setan Lembah Kumala itu
semakin meningkatkan serangannya. Rangga cepat mengerahkan jurus 'Sembilan
Langkah Ajaib', menghadapi serangan-serangan yang dilancarkan laki-laki
berwajah rusak dan penuh cacat di seluruh tubuhnya.
Sebentar saja dua orang berkepandaian tinggi itu sudah terlibat ke dalam
pertarungan yang begitu dahsyat. Setelah melewati beberapa jurus, Rangga
baru mengeluarkan jurus-jurus dari rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti'.
Namun begitu, hanya sesekali saja melakukan serangan balasan. Tapi itu juga
sudah membuat Ki Badranaya harus berjumpalitan menghindarinya. Dan Rangga
sendiri mengakui dalam hati kalau jurus-jurus yang dimiliki Ki Badranaya
memang sangat dahsyat dan tidak bisa dianggap enteng.
***
Jurus demi jurus berlalu begitu cepat. Entah sudah berapa jurus dilewati
dalam pertarungan itu. Namun, tampaknya Rangga belum juga menggunakan pedang
pusakanya dalam menghadapi Ki Badranaya yang selama ini selalu dikenal
dengan julukan Setan Lembah Kumala. Walaupun Pendekar Rajawali Sakti tidak
menggunakan satu senjata pun, tapi masih terlalu sulit bagi Ki Badranaya
untuk bisa mendesaknya.
Bahkan setiap kali Rangga melakukan serangan balasan, laki-laki cacat itu
jadi kelabakan menghindarinya. Sepuluh jurus berlalu tanpa terasa, dan Ki
Badranaya belum juga dapat mendesak Pendekar Rajawali Sakti. Terlebih lagi,
dia seperti tidak sanggup membuat pemuda berbaju rompi putih itu kerepotan.
"Lepas...!" seru Rangga tiba-tiba.
"Heh...?!"
Ki Badranaya jadi tersentak setengah mati, begitu tiba-tiba Rangga
melentingkan tubuh ke udara. Dan bagaikan kilat, tangan Pendekar Rajawali
Sakti berkelebat menyampok ke arah golok besar yang tergenggam di tangan
kanannya.
"Hait...!"
Buru-buru Ki Badranaya menarik goloknya yang tadi sudah terulur. Tapi,
gerakannya sudah terlambat. Akibatnya kibasan tangan Rangga tepat menghantam
pergelangan tangan kanannya yang menggenggam golok berukuran sangat besar.
Plaak!
"Akh...!" Ki Badranaya terpekik keras agak tertahan.
Begitu kerasnya kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Ki
Badranaya tidak dapat lagi mempertahankan goloknya yang langsung terpental
melayang ke udara.
"Hiya...!"
"Yeaaah...!"
Bersamaan melesatnya tubuh Ki Badranaya keudara, Rangga juga cepat sekali
melenting mengejarnya. Lalu secepat kilat pula, dilepaskannya beberapa
pukulan beruntun yang disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai
tingkat kesempurnaan. Saat itu, Rangga mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali
Membelah Mega'. Sehingga, kedua tangannya bergerak begitu cepat. Mau tak mau
Ki Badranaya jadi kelabakan, dan berjumpalitan di udara menghindari setiap
sambaran dan pukulan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu keras dan cepat
luar biasa.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba saja Rangga memutar cepat
sekali tubuhnya, sehingga kepalanya berada di bawah. Dan sebelum Ki
Badranaya bisa menyadari apa yang akan dilakukan Pendekar Rajawali Sakti,
tiba-tiba saja kedua kaki lawannya sudah bergerak cepat secara bersamaan.
"Heh...?!"
Diegkh!
"Akh...!"
Ki Badranaya memang hanya, mampu terbeliak dan memekik keras agak tertahan
begitu kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti keras sekali menghantam dadanya.
Begitu kerasnya tendangan itu, sehingga Ki Badranaya tidak bisa menguasai
keseimbangan tubuhnya.
Keras sekali laki-laki bermuka cacat itu terbanting ke tanah dan bergulingan
beberapa kali di antara tulang-tulang yang berserakan. Tepat di saat Ki
Badranaya bisa berdiri lagi, Rangga sudah menjejakkan kakinya di tanah yang
berumput cukup tebal dan tinggi ini.
Sret!
Ki Badranaya langsung mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang.
Matanya yang tinggal sebelah, tampak terbuka lebar menatap tajam pada
Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tegak sambil balas menatap tajam pula.
Perlahan-lahan kakinya bergeser ke kanan sambil menggerak-gerakkan pedangnya
perlahan-lahan di depan dada. Sedangkan Rangga masih tetap diam berdiri
tegak, memperhatikan setiap gerak yang dilakukan si Setan Lembah Kumala itu.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, bagaikan kilat Ki Badranaya melompat
cepat sambil mengebutkan pedangnya. Gerakan pedangnya begitu cepat sekali,
tertuju langsung ke arah beberapa bagian tubuh Rangga yang sangat mematikan.
"Hup! Yeaaah...!"
Tapi Rangga yang memang sudah siap sejak tadi, langsung mengegoskan
tubuhnya, menghindari setiap serangan yang dilakukan si Setan Lembah Kumala
ini. Bahkan tanpa diduga sama sekali, Rangga melepaskan satu pukulan keras
bertenaga dalam tinggi dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang begitu
dahsyat luar biasa. Begitu cepatnya pukulan yang dilepaskan, sehingga Ki
Badranaya jadi terbeliak sesaat.
"Hap! Yeaaah...!"
Memang tak ada lagi yang bisa dilakukan Ki Badranaya untuk menghindari
serangan balasan Pendekar Rajawali Sakti, selain melenting ke belakang.
Beberapa kali si Setan Lembah Kumala itu berputaran ke belakang. Tapi begitu
menjejakkan kakinya di tanah, tiba-tiba saja Rangga sudah melepaskan satu
tendangan kilat disertai pengerahan tenaga dalam yang begitu sempurna.
"Yeaaah...!"
Sulit bagi Ki Badranaya untuk menghindari tendangan menggeledek yang
dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga....
Desss!
"Ugkh...!" Ki Badranaya jadi mengeluh pendek.
Tendangan Rangga tepat menghantam perut si Setan Lembah Kumala. Akibatnya,
tubuh laki-laki tua itu terpaksa harus terbungkuk. Pada saat itu juga,
Rangga sudah melepaskan satu pukulan yang begitu keras ke arah wajah Ki
Badranaya. Begitu cepatnya pukulan yang dilepaskan, membuat Ki Badranaya
benar-benar tidak mampu lagi berkelit.
"Akh...!"
Di saat kepala ki Badranaya terdongak akibat terkena pukulan yang begitu
keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, tanpa dapat dicegah
lagi Rangga kembali melepaskan satu pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali'. Akibatnya Ki Badranaya terpental ke belakang sejauh tiga batang
tombak begitu dadanya terhantam pukulan yang begitu dahsyat.
"Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat, Rangga melompat mengejar tubuh Ki Badranaya yang melayang
deras ke belakang. Dan sebelum Setan Lembah Kumala itu menghantam tanah,
Rangga sudah melepaskan satu kibasan tangan kanannya. Kibasan itu langsung
menghantam tangan kanan Ki Badranaya yang menggenggam pedang berwarna kuning
keemasan.
Lagi-lagi Ki Badranaya terpekik keras. Pedangnya yang terpental, tidak bisa
lagi dipertahankan begitu tangannya terkena kibasan tangan Pendekar Rajawali
Sakti. Tubuh Ki Badranaya terbanting keras ketanah, lalu bergulingan
beberapa kali. Namun begitu mencoba bangkit berdiri, darah menyembur keluar
dari mulutnya.
Dan pada saat itu, Rangga sudah berdiri tegak di depannya dengan sebilah
pedang berwarna kuning keemasan tergenggam di tangan kanan. Ujung pedang itu
menempel erat di leher Ki Badranaya yang terus bergerak bangkit
perlahan-lahan. Entah bagaimana caranya, tahu-tahu pedang si Setan Lembah
Kumala itu sekarang sudah berada di tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau kalah, Ki," ujar Rangga tanpa bermaksud mengejek.
Ki Badranaya hanya terdiam saja. Disekanya darah di bibir dengan punggung
tangan. Sementara perlahan-lahan Rangga melangkah mundur menjauh. Lalu,
dibuangnya pedang berwarna kuning keemasan itu ke depan pemiliknya. Pedang
itu menancap tepat diujung jari kaki si Setan Lembah Kumala.
"Kau sudah mengalahkanku, kenapa sekarang tidak membunuhku, Pendekar
Rajawali Sakti...?" agak mendesis suara Ki Badranaya.
"Maaf. Aku bukan pembunuh, Ki. Dan antara kita tidak ada permusuhan. Aku
terpaksa mengalahkanmu, agar kau mengizinkan aku melewati lembah ini," sahut
Rangga sopan.
"Ke mana tujuanmu?" tanya Ki Badranaya.
Rangga tidak langsung menjawab. Wajahnya berpaling, menatap Ki Arman dan
cucunya yang masih berdiri di bibir tebing lembah ini. Ki Badranaya juga
mengarahkan pandangan pada mereka, kemudian kembali menatap Rangga yang
berdiri sekitar satu batang tombak di depannya. Sementara, Ki Arman dan
Rinjani sudah melangkah cepat memasuki lembah itu menghampiri Pendekar
Rajawali Sakti.
"Kenapa kau tidak membunuhku, Pendekar Rajawali Sakti. Dan, apa yang kau
inginkan dariku sekarang?" tanya Ki Badranaya sambil mencabut pedangnya yang
tertancap di tanah, lalu menyarungkan kembali ke dalam warangka di pinggang.
Sementara itu, Ki Arman dan Rinjani sudah berada dekat di belakang Pendekar
Rajawali Sakti. Tampak sekali kebencian terpancar di mata Rinjani melihat si
Setan Lembah Kumala ini.
"Kenapa dia tidak dibunuh saja, Kakang...?" desis Rinjani dengan nada penuh
kebencian.
"Tidak ada alasan untukku membunuhnya. Dan lagi, aku bukan pembunuh," jawab
Rangga.
"Tapi dia sudah membunuh orang tuaku. Dan kau juga sudah berjanji padaku!"
sentak Rinjani.
"Aku tidak berjanji apa-apa padamu, Rinjani," sergah Rangga.
Dan memang, Pendekar Rajawali Sakti tidak pernah mengucapkan janji apa pun
pada Rinjani. Dia hanya mau bertarung dengan Ki Badranaya, tapi bukan untuk
membunuhnya. Rangga hanya ingin mengalahkannya saja untuk bisa melewati
lembah ini dengan leluasa. Dan itu sudah dilaksanakannya. Tapi, tampaknya
Rinjani tidak puas melihat kenyataan ini.
"Kenapa dia menginginkan kematianku, Rangga?" selak Ki Badranaya.
"Dia ingin membalas kematian orang tuanya yang kau bunuh di sini," jelas
Rangga, singkat.
"Hm.... Begitu banyak orang yang datang ke lembah ini ingin membunuhku.
Siapa orang tuanya?" agak menggumam suara ki Badranaya.
"Sepasang Pendekar Pedang Malaikat," sahut Rinjani, terdengar begitu ketus
nada suaranya.
"Hm..., aku tahu," gumam Ki Badranaya.
"Mereka memang datang ke lembah ini dan sempat bertarung denganku. Tapi,
pertarungan ku dengannya belum selesai. Lalu, mereka pergi ke arah Selatan.
Aku tidak mengejar siapa saja yang ingin pergi dengan selamat dari lembah
ini."
"Bohong! Kau pasti sudah membunuhnya! Kalau orang tuaku masih hidup, tentu
akan menemuiku. Tapi, sudah lebih dari enam purnama mereka tidak kembali!"
sentak Rinjani tampak berang.
"Bukan hanya mereka saja yang bisa keluar dari sini hidup-hidup. Mereka
kubiarkan keluar dalam keadaan hidup jika mau mengakui kekalahannya. Dan
mereka yang mati di sini, itu karena terlalu angkuh dan keras kepala. Aku
juga terpaksa membunuh mereka. Kalau tidak, aku yang akan mati di tangan
mereka," jelas Ki Badranaya.
Rinjani terdiam. Sepertinya dia masih belum puas atas jawaban Ki Badranaya
yang mengatakan orang tuanya masih hidup, dan sekarang berada didaerah
Selatan Lembah Kumala ini.
"Belum lama, juga datang seorang gadis ke sini. Tapi aku tidak bisa berbuat
apa-apa, karena telah terikat perjanjian. Dan dia kubiarkan lewat," sambung
Ki Badranaya lagi.
"Gadis...? Kau tahu siapa dia, Ki?" tanya Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti langsung teringat Pandan Wangi yang sampai saat ini
belum juga jelas jejaknya. Dan hatinya begitu terkejut saat Ki Badranaya
mengatakan kalau belum lama ini lewat seorang gadis. Rangga langsung mengira
kalau gadis itu adalah Pandan Wangi.
"Aku tidak kenal. Tapi, aku juga tidak bisa berbuat apa-apa padanya. Karena,
orang yang menginginkan gadis itu sudah mengalahkan aku. Dan aku diminta
agar tidak mengganggu jika ada seorang gadis berbaju biru muda yang membawa
kipas dan pedang bergagang kepala naga hitam lewat lembah ini," jelas Ki
Badranaya lagi.
"Pandan Wangi...," desis Rangga langsung mengenali gadis yang dikatakan Ki
Badranaya barusan.
***
TUJUH
"Kemana perginya?" tanya Rangga langsung.
"Ke arah Selatan. Dia harus menemui seseorang," sahut Ki Badranaya memberi
tahu. "Apa kau ada keperluan dengan gadis itu, Rangga?"
"Maaf, aku tidak bisa mengatakannya, Ki," sahut Rangga.
"Tidak mengapa," ujar Ki Badranaya seraya mengangkat pundaknya.
Kemudian, Ki Badranaya menatap Rinjani yang tampaknya masih belum puas, dan
masih menyimpan dendam padanya. Perlahan-lahan si Setan Lembah Kumala ini
menghampiri gadis itu.
Rinjani jadi agak bergidik melihat wajah yang begitu menyeramkan. Rasanya
memang pantas kalau Ki Badranaya dijuluki Setan Lembah Kumala. Tapi, Rangga
melihat adanya kebersihan di hati laki-laki cacat ini. Dan juga bisa dilihat
kalau apa yang dilakukan Ki Badranaya hanya sekadar mempertahankan diri dari
gangguan orang-orang yang datang ke lembah ini dan ingin membunuhnya.
Cerita-cerita buruk mengenai Setan Lembah Kumala membuat para pendekar yang
sering mengaku berada di jalan lurus jadi merasa terganggu. Bahkan yang
datang ke lembah ini bukan hanya para pendekar, tapi juga tokoh-tokoh
golongan hitam. Kedatangan mereka juga hanya untuk menguji kepandaian Ki
Badranaya saja.
Dan Rangga tahu, mereka yang datang ke Lembah Kumala ini dan ingin membunuh
Ki Badranaya adalah tokoh-tokoh tanggung, yang hanya sedikit saja memiliki
kepandaian. Sedangkan Ki Badranaya sendiri sebenarnya tidaklah setangguh dan
sekejam dari apa yang selama ini diceritakan orang. Dari pertarungan tadi,
Rangga sudah bisa menilai seperti apa si Setan Lembah Kumala itu sebenarnya.
"Kau masih belum percaya kalau aku tidak membunuh orang tuamu, Nisanak...?"
pelan sekali suara Ki Badranaya.
Dengan mata yang hanya tinggal sebelah, ditatapnya Rinjani tajam-tajam. Hal
ini membuat gadis itu melangkah mundur dengan tubuh sedikit bergidik ngeri.
Dia memang dendam dan tidak percaya. Tapi melihat keadaan wajah dan tubuh
laki-laki yang selalu dijuluki Setan Lembah Kumala ini, hatinya jadi
bergetar juga. Bukan tingkat kepandaiannya yang membuat Rinjani bergetar,
tapi sosok yang mengerikan itu yang membuatnya tidak sanggup menatap
lama-lama.
"Kalau kau ingin bertemu orang tuamu, pergilah ke arah Selatan. Aku yakin,
orang tuamu juga pasti ada di sana seperti gadis yang dicari Pendekar
Rajawali Sakti," jelas Ki Badranaya lagi. "Dan aku juga yakin, sebenarnya
kau sudah tahu akan hal itu, Nisanak."
"Jangan menuduh sembarangan...!" sentak Rinjani, agak bergetar suaranya.
Sementara itu, Rangga hanya diam saja memperhatikan. Sebentar ditatapnya Ki
Badranaya, lalu beralih menatap Rinjani dan Ki Arman. Otak Pendekar Rajawali
Sakti itu langsung berputar keras, mencoba mengerti semua pembicaraan yang
didengarnya.
"Rangga! Kalau kau ingin bertemu gadismu itu, dia tahu di mana kau bisa
menemukannya," kata Ki Badranaya tegas, seraya berpaling menatap Pendekar
Rajawali Sakti.
"Aku memang tahu di mana Pandan Wangi berada!" sentak Rinjani menyelak.
Rangga dan Ki Badranaya menatap tajam gadis cantik ini. Dan Rangga juga
sempat melihat Ki Arman menggeser goloknya yang terselip di pinggang.
Sedangkan raut wajah Rinjani kelihatan begitu berang dan memerah. Ketegangan
begitu terasa menyelimuti mereka semua. Dan untuk beberapa saat, mereka jadi
terdiam dengan sinar mata yang sukar diartikan.
"Aku tahu semua rencana busuk ini, Rinjani. Dan kau memanfaatkan kehadiran
Pendekar Rajawali Sakti untuk membunuhku. Tapi aku tahu, pendekar yang kau
harapkan bisa membunuhku ternyata tidak seperti yang ada didalam pikiranmu.
Rangga bukanlah pendekar yang ringan tangan dan gampang membunuh. Dan
sekarang, kau bisa lihat sendiri kalau aku masih hidup. Padahal, tidak sukar
bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk membunuhku tadi," kata Ki Badranaya, agak
dingin nada suaranya.
"Jangan coba-coba memojokkan aku, Setan!" desis Rinjani semakin bertambah
berang.
"Aku tahu, semua alasanmu hanya pura-pura saja. Sebenarnya, kau tahu kalau
orang tuamu masih hidup. Dan kau juga tahu kalau orang tuamu ingin sekali
membunuhku. Benar-benar rencana yang begitu rapi. Sayang, orang-orang yang
kalian rangkul tidak semuanya berhati busuk," kata Ki Badranaya lagi.
"Tutup mulutmu, Keparat!" bentak Rinjani garang.
Sret!
Rinjani langsung saja mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang. Tepat
ketika gadis itu mengebutkan pedangnya ke arah dada Ki Badranaya, Rangga
langsung melompat. Segera ditangkapnya pergelangan tangan gadis itu. Dengan
sedikit mengerahkan tenaga dalam, Pendekar Rajawali Sakti menyentakkan
tangan Rinjani.
Akibatnya, gadis itu jadi terhuyung-huyung ke belakang beberapa tindak.
Kalau saja Ki Arman tidak menahannya, barangkali Rinjani sudah jatuh
terjerembab akibat sentakan Rangga yang cukup kuat, dan disertai sedikit
pengerahan tenaga dalam.
"Kau menyakiti ku, Kakang...," desis Rinjani seraya meringis, mengurut-urut
pergelangan tangannya yang tadi dicengkeram Rangga begitu kuat.
"Aku tidak akan menyakitimu bila kau tidak mempermainkan aku!" sentak Rangga
dingin.
"Aku...? Mempermainkanmu...? Ada apa ini, Kakang? Kenapa tiba-tiba saja kau
menuduhku mempermainkan mu...?" Rinjani seperti jadi kebingungan.
"Jangan mendustai ku lagi, Rinjani. Aku tahu semua yang kau rencanakan. Kau
membuat perangkap padaku, untuk menyingkirkan semua musuh-musuhmu. Kenapa
kau lakukan itu, Rinjani?" desis Rangga, begitu dingin nada suaranya.
"Rencana apa...? Aku..., aku tidak melakukan apa-apa," Rinjani jadi
gelagapan.
"Di mana kau sembunyikan Pandan Wangi...?" tanya Rangga mendesis.
Rinjani jadi celingukan seperti kebingungan mendengar pertanyaan Pendekar
Rajawali Sakti barusan. Ditatapnya Ki Arman yang kini berada di sebelah
kanannya. Sementara perlahan-lahan Rangga melangkah mendekati. Sedangkan Ki
Badranaya tetap berdiri tegak memperhatikan dari jarak sekitar dua batang
tombak jauhnya dari mereka.
"Katakan, di mana Pandan Wangi berada, Rinjani...? Untuk siapa kau lakukan
semua ini?" tanya Rangga lagi, masih terdengar mendesis suaranya.
Rinjani tidak menjawab. Matanya hanya melirik Ki Arman yang berada di
sebelahnya. Dan tanpa banyak bicara lagi, tiba-tiba saja...
"Hiyaaat...!"
Sret!
Bet!
"Uts...!"
***
Cepat sekali Ki Arman melompat sambil mengebutkan goloknya, begitu ditarik
dari sarungnya dipinggang. Namun hanya sedikit saja mengegoskan tubuh,
Rangga berhasil mengelakkan tebasan golok yang berkilat tajam itu. Dan tanpa
diduga sama sekali, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan tangan kanannya
dengan tubuh membungkuk ke arah perut laki-laki tua yang dikenal sebagai si
Tua Tukang Perahu.
"Yeaaah...!"
"Hup!"
Ki Arman cepat-cepat melenting berputar ke belakang, sehingga sodokan tangan
kanan Pendekar Rajawali Sakti tidak sampai mengenai sasarannya. Namun begitu
kaki Ki Arman menjejak tanah yang berumput tebal, tahu-tahu Rangga sudah
membungkuk. Dan secepat dia menjumput sebuah tulang dari ujung kaki, secepat
itu pula dilemparkan ke arah si Tua Tukang Perahu.
"Hiyaaa...!"
Wusss!
"Hait...!"
Ki Arman jadi terperanjat setengah mati. Cepat-cepat goloknya dikebutkan
untuk menyampok tulang yang dilemparkan Pendekar Rajawali Sakti dengan
kecepatan begitu tinggi. Pada saat yang bersamaan, Rangga sudah melenting
tinggi-tinggi ke udara. Lalu tubuhnya meluruk deras disertai gerakan kedua
kakinya yang begitu cepat luar biasa. Saat itu Rangga mengerahkan jurus
'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Salah satu jurus dahsyat dari rangkaian
lima jurus 'Rajawali Sakti'.
"Hiyaaa...!"
"Heh...!"
Ki Arman hanya mampu terbeliak melihat serangan Pendekar Rajawali Sakti yang
begitu cepat dan beruntun. Dan sebelum dia sempat menghindari, men- dadak
saja.... Plak! "Akh...!" Ki Arman jadi terpekik keras.
Satu tendangan kaki Rangga tepat menghantam kepala laki-laki tua itu.
Akibatnya, tubuhnya terpelintir sambil menjerit panjang dan memegangi
kepalanya.
Tampak dari sela-sela jari tangan yang memegangi kepala itu, merembes cairan
agak kental berwarna merah. Sementara itu, Rangga sudah kembali menjejakkan
kakinya sekitar enam langkah dari Ki Arman yang masih menggerung-gerung
memegangi kepalanya yang retak mengucurkan darah.
Bruk!
Tiba-tiba saja Ki Arman ambruk menggelepar ditanah. Darah semakin banyak
mengucur dari kepalanya yang pecah akibat terkena tendangan dari jurus
'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti
tadi. Beberapa saat Ki Arman masih menggelepar meregang nyawa, kemudian
mengejang dan diam tak bergerak-gerak lagi. Darah terus mengucur deras dari
kepalanya yang pecah.
Sementara Rangga sudah melangkah perlahan-lahan mendekati Rinjani yang terus
bergerak mundur dengan wajah kelihatan tegang memerah. Gadis itu tampak
kebingungan melihat Ki Arman tewas hanya dalam beberapa gebrakan saja.
Dengan tangan gemetar, gadis itu merogoh lipatan bajunya bagian dalam. Lalu,
dikeluarkannya sebuah peluit kecil terbuat dari perak.
"Swuiiit...!"
Nyaring sekali suara peluit perak itu, sehingga membuat telinga Pendekar
Rajawali Sakti jadi mendenging. Bahkan Ki Badranaya yang berada cukup jauh
dari Rangga pun terpaksa harus menutup telinganya mendengar suara peluit
yang ditiup Rinjani. Dan belum lagi suara peluit itu menghilang dari
pendengaran, tiba-tiba saja....
"Heh...?!"
Rangga jadi terkejut setengah mati, karena tiba-tiba saja tanah yang
dipijaknya jadi bergetar seperti diguncang gempa. Pada saat itu, Ki
Badranaya cepat melompat mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya jadi
agak limbung begitu kakinya mendarat di samping Rangga. Dan mereka jadi
saling berpandangan, karena getaran di tanah ini semakin bertambah kuat
saja.
"Ada apa ini...?" tanya Rangga.
"Hati-hati, mereka datang...," sahut Ki Badranaya, agak bergetar nada
suaranya.
"Siapa mereka?" tanya Rangga lagi.
Belum juga pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti bisa terjawab, tiba-tiba saja
tanah di sekeliling mereka jadi menggerenjul dan bergerak cepat menuju
kearah mereka. Kelihatannya seperti ada sesuatu yang bergerak di dalam tanah
itu. Rangga mengedarkan pandangan berkeliling, memperhatikan tanah
menggerenjul panjang yang terus bergerak cepat menuju kearahnya.
Dan sebelum bisa berpikir lebih jauh lagi, tiba-tiba saja ujung tanah yang
bergerak itu berhamburan di udara. Lalu dari dalam tanah, bermunculan
orang-orang berpakaian serba hitam yang semuanya membawa tombak bercabang
tiga pada ujungnya.
Sebentar saja, Rangga dan Ki Badranaya sudah dikepung delapan orang
berpakaian serba hitam dan bersenjatakan tombak bermata tiga yang tadi
bermunculan dari dalam tanah. Kini mereka tidak lagi merasakan getaran pada
tanah yang dipijak, setelah delapan orang berbaju serba hitam itu muncul.
"Mereka tidak bisa berbicara. Bahkan akan langsung menyerang dan membunuh
begitu terdengar suara peluit," jelas Ki Badranaya.
"Hm...."
Baru saja Rangga menggumam, terdengar suara peluit yang begitu nyaring
melengking tinggi. Dan tiba-tiba saja, delapan orang berpakaian serba hitam
itu berlompatan menyerang tanpa ada seorang pun yang memperdengarkan suara.
Rangga dan Ki Badranaya cepat melompat menyambut serangan delapan orang
berpakaian serba hitam yang muncul dari dalam tanah itu.
***
Memang tidak ada lagi yang bisa dilakukan, selain menghadapi delapan orang
berpakaian serba hitam itu. Mereka bertarung ganas, dan jurus-jurusnya cepat
sekali. Sedikit pun Rangga dan Ki Badranaya tidak diberi kesempatan untuk
balas menyerang. Beberapa kali Rangga mengumpat, karena ujung-ujung tombak
lawan-lawannya hampir saja merobek tubuhnya. Namun belum ada sedikit pun
kesempatan bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk bisa membalas.
Sementara, Ki Badranaya sudah tampak kewalahan menghadapi empat orang yang
menyerangnya. Dan dia juga hanya bisa berjumpalitan menghindari setiap
serangan yang datang begitu cepat dan beruntun. Memang benar apa yang
dikatakan Ki Badranaya. Tak ada seorang pun dari mereka yang mengeluarkan
suara. Tapi serangan-serangan yang dilancarkan begitu cepat dan dahsyat
sekali.
"Uts! Phuih...!"
Rangga memaki di dalam hati begitu satu batang tombak hampir saja menembus
dadanya. Lalu, cepat sekali tangannya dikibaskan, hendak menyampok tombak
yang lewat di samping tubuhnya. Tapi orang berbaju hitam itu cepat sekali
menarik tombaknya, sehingga kibasan tangan Rangga tidak mengenai sasaran
sama sekali.
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara. Tapi pada saat yang
sama, satu orang penyerangnya juga melesat ke udara sambil menghunjamkan
tombak ke arah dada pemuda berbaju rompi putih itu.
"Hait! Yeaaah...!"
Rangga cepat-cepat mengegos ke kanan. Dan secepat kilat pula tangan kanannya
dihentakkan, untuk memberikan satu pukulan yang begitu keras disertai
pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Begitu
cepatnya pukulan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga orang
berbaju serba hitam itu tidak dapat lagi menghindar.
Desss!
Sedikit pun tak ada jeritan terdengar, meskipun pukulan yang dilepaskan
Rangga tepat menghantam dadanya. Seketika orang berbaju serba hitam itu
terpental kebelakang sejauh dua batang tombak, lalu keras sekali jatuh
bergelimpangan di tanah. Namun, dia bisa cepat bangkit berdiri. Sedikit pun
pukulan Rangga yang mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna itu tidak
ada pengaruhnya.
"Edan...! Apakah mereka bukan manusia...?!" desis Rangga merutuk sendiri
dalam hati.
Sret!
Rangga langsung mencabut pedangnya begitu menjejakkan kakinya kembali di
tanah. Seketika itu juga, cahaya biru terang berkilauan menyemburat begitu
Pedang Rajawali Sakti tercabut dari warangkanya.
"Kalian hadapi pedangku ini! Hiyaaat...!" teriak Rangga keras menggelegar.
Wuk!
Rangga tidak ingin lagi menyia-nyiakan kesempatan yang dimilikinya. Dengan
cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti berlompatan sambil mengebutkan pedang
pusakanya beberapa kali. Pendekar Rajawali Sakti tidak tanggung-tanggung
lagi dalam menghadapi lawannya kali ini. Langsung dikeluarkannya jurus
'Pedang Pemecah Sukma'. Satu jurus andalannya yang jarang sekali digunakan
jika tidak dalam keadaan terpaksa.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Dahsyat sekali jurus 'Pedang Pemecah Sukma' yang dikeluarkan Pendekar
Rajawali Sakti. Gerakan-gerakan yang dilakukan begitu cepat luar biasa,
membuat empat orang berbaju hitam yang mengeroyoknya jadi kelabakan setengah
mati. Tapi sebelum mereka bisa melakukan sesuatu, tiba-tiba saja sudah dua
orang yang terpental dengan leher buntung terbabat pedang pusaka Pendekar
Rajawali Sakti.
Dan sebelum ada yang sempat menyadari, Rangga sudah cepat melompat sambil
mengebutkan pedangnya dengan kecepatan begitu luar biasa. Kebutan pedang
Pendekar Rajawali Sakti menimbulkan deru angin yang demikian dahsyatnya. Dan
kembali serangan Rangga tidak dapat terbendung. Sekali tebas saja, dua orang
lawannya langsung terjungkal dengan dada terbelah menyemburkan darah segar.
"Hiyaaat..!"
Rangga cepat melompat ke arah empat orang lain yang masih mengeroyok Ki
Badranaya. Secepat kilat pula pedangnya dibabatkan ke arah satu orang
berbaju serba hitam itu.
Bet!
Cras!
Tak ada suara jeritan sedikit pun begitu pedang Pendekar Rajawali Sakti
membabat buntung leher orang berbaju serba hitam itu. Dan Pendekar Rajawali
Sakti kembali bergerak cepat sambil membabatkan pedangnya beberapa kali ke
arah lawan-lawannya.
Trek!
Begitu Rangga memasukkan Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangka, tak ada
lawan seorang pun yang bisa berdiri lagi. Dan hal ini membuat Ki Badranaya
jadi terperangah bengong seperti mimpi. Sungguh tidak disangka kalau
Pendekar Rajawali Sakti bisa bergerak demikian cepat, bagai bayangan saja.
Begitu sukar diikuti pandangan mata biasa. Dan tahu-tahu, tak ada seorang
pun dari lawan yang bisa bangkit lagi. Mereka semua sudah tergeletak
berlumuran darah tak bernyawa lagi.
"Oh...! Di mana Rinjani, Rangga...?!" tanya Ki Badranaya langsung teringat
gadis cantik yang bernama Rinjani.
"Dia sempat kabur ke arah Selatan," sahut Rangga yang tadi sempat melihat
Rinjani melarikan diri ke arah Selatan.
Tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak sempat mengejar, karena terlalu sibuk
menghadapi empat orang lawan yang muncul dari dalam tanah.
"Dia pasti menemui pimpinannya," ujar Ki Badranaya, agak mendesis suaranya.
"Kau sudah tahu gadis itu, Ki. Tapi kenapa tadi berpura-pura tidak
mengenalnya...?" desak Rangga meminta penjelasan.
"Maaf. Aku baru menyadari kalau hanya dijadikan alat permainan. Kusadari
kalau sebenarnya aku adalah salah satu umpan dari perangkap mereka," sahut
Ki Badranaya.
"Perangkap apa, Ki?" desak Rangga lagi.
"Nanti saja, akan kujelaskan. Sebaiknya sekarang kita kejar, sebelum Rinjani
sampai," ajak Ki Badranaya.
Rangga tidak bisa mendesak lagi, karena Ki Badranaya sudah berlari cepat
menuju Selatan. Dan Pendekar Rajawali Sakti segera mengerahkan ilmu
meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat sempurna untuk mengikuti
laki-laki cacat itu. Sehingga, tidak ada kesulitan sedikit pun untuk bisa
berada disamping Ki Badranaya yang dikenal berjuluk Setan Lembah Kumala ini.
***
DELAPAN
Rangga memandangi bangunan candi yang begitu besar ukurannya. Seluruh
bangunan itu terbuat dari batu yang sudah ditumbuhi lumut tebal. Begitu
sunyi sekitarnya, sehingga desir angin yang begitu lembut dan perlahan
terasa jelas mengusik telinga. Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti
mengamati keadaan sekitarnya. Sedangkan Ki Badranaya yang berada di
sampingnya, hanya berdiam diri saja memandangi bangunan candi yang sangat
besar ukurannya.
"Kau yakin ini tempatnya, Ki?" tanya Rangga, agak berbisik suaranya.
"Aku pernah satu kali datang ke sini bersama yang lain," sahut Ki Badranaya.
"Waktu itu, aku masih bergabung dengan mereka. Aku dulu memang seorang tokoh
hitam, Rangga. Penggabungan ku dengan mereka karena aku telah dikalahkan.
Maka, aku, Rinjani, dan Ki Arman berupaya memancing mu ke sini. Jadi, waktu
itu kami hanya bersandiwara saja. Dan begitu aku berhasil kau kalahkan, aku
baru yakin kalau kau memang pendekar sejati. Itulah sebabnya, aku langsung
memilih menjadi orang yang lurus. Aku telah banyak berdosa, Rangga."
Pendekar Rajawali Sakti hanya mengangguk-angguk mendengar penuturan Ki
Badranaya. Sungguh hatinya merasa terharu mendengar penuturan yang polos
dari laki-laki tua berwajah cacat itu.
"Apakah mereka semua orang persilatan sepertimu?" Rangga mengalihkan
pembicaraan.
"Benar. Tapi, tidak semua sepertiku. Kebanyakan dari mereka memang ingin
melenyapkanmu. Dan mereka bergabung merencanakan sebuah perangkap untuk
menjebakmu. Waktu itu aku benar-benar terpaksa. Mereka telah mengalahkanku,"
jelas ki Badranaya.
"Berapa jumlah mereka?" tanya Rangga lagi.
"Aku tidak tahu pasti. Tapi sebagian pasti sudah kau hadapi," sahut Ki
Badranaya.
Rangga tidak bertanya lagi. Memang selama pergi mengejar Pandan Wangi, sudah
beberapa orang yang bentrok dengannya. Dan tampaknya mereka memang sudah
mengetahui kalau Pendekar Rajawali Sakti sedang mencari Pandan Wangi. Saat
itu, Rangga sama sekali tidak tahu kalau dirinya sedang masuk suatu
perangkap. Dia kembali teringat kata-kata Ki Arman, yang sama sekali tidak
diduga kalau laki-laki tua itu justru salah satu dari orang-orang yang
menginginkan kematiannya. Benar-benar suatu perangkap berdarah. Persis
seperti yang dikatakan si Tua Tukang Perahu itu.
"Kau yakin Pandan Wangi disekap di sini?" tanya Rangga lagi.
"Ya! Mereka menjadikan Pandan Wangi umpan untukmu," sahut Ki Badranaya lagi.
"Hm.... Bagaimana mereka bisa menangkap Pandan Wangi...?" Rangga menggumam
seperti bertanya pada diri sendiri.
"Mereka tahu kalau Pandan Wangi sedang mencari sanak keluarganya. Dan
kesempatan itu dimanfaatkan. Begitu bertemu Pandan Wangi, mereka mencampur
pembius pada minumannya. Jadi tidak perlu mengeluarkan tenaga untuk
menangkapnya," jelas Ki Badranaya kembali.
"Di mana mereka lakukan itu?" tanya Rangga lagi.
"Di dalam candi itu.
"Hm.... Kau tahu siapa otak dari semua rencana ini, Ki?" tanya Rangga lagi
dengan suara terdengar agak menggumam.
Belum juga Ki Badranaya menjawab, tiba-tiba saja....
"Aku...!"
"Heh...?!"
Mereka jadi terkejut begitu tiba-tiba terdengar suara yang begitu lantang
menggema. Dan tampak pada bagian tingkat kedua dari candi itu, berdiri tegak
seorang gadis berwajah cantik. Tubuhnya yang ramping dan indah, terbungkus
baju warna merah muda. Sebilah pedang tersampir di punggungnya.
"Mayang...," desis Rangga hampir tidak percaya dengan penglihatannya.
Bersamaan dengan itu, dari setiap pintu candi bermunculan orang-orang dari
kaum persilatan. Dari pakaian yang dikenakan dan senjata yang disandang,
sudah dapat dipastikan kalau mereka semua dari kalangan persilatan. Dan
beberapa di antara mereka sudah dikenal Rangga, karena pernah berurusan
dengannya.
Kini Rangga baru benar-benar mengerti kalau mereka bergabung untuk membalas
dendam. Tapi, beberapa dari mereka yang belum dikenal Pendekar Rajawali
Sakti sama sekali tidak diketahui tujuannya. Hanya dari keterangan Ki
Badranaya saja yang mengatakan kalau mereka merasa terusik atas kemunculan
Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan tujuan gadis cantik berbaju merah muda yang dikenali Rangga
bernama Mayang, tidak bisa dijelaskan lagi. Dan yang pasti, Mayang juga
ingin Pendekar Rajawali Sakti lenyap, karena cintanya tidak pernah
terbalaskan. Dan Rangga sudah menjatuhkan pilihan, serta menumpahkan
cintanya pada Pandan Wangi. Lagi pula, Mayang sudah bersumpah untuk
melakukan apa saja agar Rangga bisa terpisah dari Pandan Wangi.
"Kau bisa menghadapi mereka semua, Rangga?" tanya Ki Badranaya, seakan-akan
meragukan kemampuan Rangga dalam menghadapi orang-orang persilatan yang
berada di atas candi itu.
"Entahlah. Jumlah mereka terlalu banyak," sahut Rangga, agak mendesah nada
suaranya.
Rangga memang jadi tidak yakin bisa menghadapi orang-orang berkepandaian
tinggi yang berjumlah cukup besar itu. Terlebih lagi, sebagian dari mereka
sudah diketahui tingkat kepandaiannya. Dan Rangga tidak bisa menganggap
enteng. Apalagi kalau bersatu seperti ini. Rasanya, memang kecil sekali
baginya untuk bisa mengalahkan mereka semua. Tapi, Rangga tidak ingin
mengatakan kalau hari ini adalah akhir dari segalanya.
Walaupun disadari, kematian bukanlah sesuatu yang buruk bagi seorang
pendekar. Dan juga disadari kalau kehadirannya dikalangan rimba persilatan,
membuat banyak orang tidak menyenanginya. Terutama mereka dari kalangan
persilatan golongan hitam. Sudah barang tentu mereka merasa terusik atas
kehadiran seorang pendekar muda digdaya yang berkepandaian sangat tinggi dan
sukar dicari tandingannya.
***
"Sudah kuduga, kau pasti akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan
kekasihmu, Pendekar Rajawali Sakti. Dan mereka sudah tidak sabar lagi
menunggu untuk menguji kepandaianmu," lantang sekali suara Mayang.
"Di mana kau sembunyikan Pandan Wangi, Mayang...?" tanya Rangga, keras
suaranya.
"Sayang sekali! Dia tidak bisa menemuimu lagi, Kakang," sahut Mayang.
"Jangan katakan kau telah membunuhnya! Aku tidak akan berdiam diri kalau kau
sampai berani mencelakakannya!" ancam Rangga tidak main-main lagi.
"Lupakanlah, Kakang. Pandan Wangi tidak pantas mendampingimu. Dia bukan
siapa siapa, dan hanya anak gelandangan yang dipungut dan bernasib baik
hingga kau mengenalnya sebagai pendekar wanita yang tangguh. Tapi
bagaimanapun juga, dia tetap anak gelandangan yang bodoh! Dia benar benar
tidak pantas berdampingan denganmu, Kakang. Dan aku tidak Ingin kau
dipermalukan di depan...."
"Cukup...!" sentak Rangga keras menggelegar, membuat Mayang tidak bisa
melanjutkan ucapannya.
Begitu kerasnya suara Pendekar Rajawali Sakti, sehingga bumi jadi bergetar
seperti diguncang gempa. Di dalam kemarahan yang tiba-tiba saja menggelegak,
tanpa disadari Rangga mengeluarkan seluruh kekuatan tenaga dalam pada
suaranya tadi. Dan itu membuat mereka semua jadi tersentak setengah mati.
"Kau sudah keterlaluan, Mayang. Rasanya sulit bagiku untuk memaafkanmu
lagi," desis Rangga, hampir tidak dapat lagi menahan kemarahannya.
"Aku memang tidak lagi membutuhkan maafmu, Kakang. Dan aku tahu, tidak
mungkin bisa memiliki mu lagi. Tapi tidak ada seorang pun yang bisa
berdampingan denganmu. Tidak seorang pun...! Juga Pandan Wangi!" keras
sekali suara Mayang.
"Hatimu benar-benar sudah dikuasai iblis, Mayang...," desis Rangga
menggeram.
"Aku lebih suka melihatmu mati, daripada harus merelakan mu berdua dengan
gadis lain. Maafkan aku, Kakang...," ujar Mayang, agak perlahan suaranya.
Selesai berkata-kata, Mayang langsung melompat ringan dari atas candi itu.
Gerakannya ringan sekali. Lalu, manis sekali kakinya mendarat sekitar dua
batang tombak di depan Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat itu, mereka yang
berada di atas candi juga berlompatan turun. Tidak kurang dari lima puluh
orang, kini sudah berdiri di depan Pendekar Rajawali Sakti yang hanya
ditemani Ki Badranaya.
Dari jumlah yang tidak berimbang ini, memang kecil sekali kemungkinannya
bagi Rangga dan Ki Badranaya untuk bisa keluar dari tempat ini dalam keadaan
hidup. Dan di antara mereka itu, terlihat Rinjani yang berdiri tepat di
belakang Mayang. Dari Ki Badranaya, Rangga tahu kalau semua yang terjadi di
Lembah Kumala adalah hanya kepura-puraan saja. Tapi, Ki Badranaya cepat
menyadari kalau dirinya hanya diperalat. Sehingga, membuat Rinjani berang
setengah mati.
"Ketahuilah, Kakang. Apa yang kulakukan ini tidak akan bisa menyembuhkan
luka dihatiku. Bagaimanapun juga, aku tetap mencintaimu," tegas Mayang,
begitu perlahan suaranya. Hampir tidak terdengar di telinga.
"Maafkan aku, Kakang. Aku terpaksa melakukan semua ini karena mencintaimu.
Aku tidak rela kau berdampingan dengan gadis lain."
Sret! Mayang langsung mencabut pedangnya, dan diangkat tinggi-tinggi ke atas
kepala. Pada saat itu, semua orang yang berada di pihaknya langsung
berhamburan. Mereka berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti sambil
berteriak-teriak keras menggelegar, seakan-akan ingin meruntuhkan semua yang
ada disekitar candi ini. Namun belum juga sampai, tiba-tiba saja....
Wsss...!
Gerakan mereka seketika jadi tertahan, begitu tiba-tiba saja berhamburan
puluhan anak panah dari atas pepohonan yang berada di belakang Pendekar
Rajawali Sakti. Tentu saja mereka cepat-cepat berlompatan ke belakang,
menghindari hujan anak panah itu. Kejadian ini bukan hanya mengejutkan
mereka, tapi juga membuat Rangga jadi terlongong tidak mengerti. Dan sebelum
ada yang bisa menyadari, tahu-tahu dari balik pepohonan bermunculan
orang-orang bersenjata terhunus.
Dan dari atas pepohonan, juga berlompatan puluhan orang yang membawa panah
serta senjata lain yang beraneka ragam bentuk dan ukurannya. Sebentar saja,
di belakang Pendekar Rajawali Sakti sudah berjajar ratusan orang yang
menyandang senjata lengkap dari berbagai macam bentuk dan ukuran. Di antara
mereka, juga terlihat orang-orang tua berjubah yang sudah dikenal baik oleh
Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti langsung tahu, orang-orang yang tiba-tiba saja
bermunculan itu gabungan dari beberapa padepokan beraliran putih. Enam orang
laki-laki berusia lanjut yang semuanya mengenakan jubah putih segera
menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Dan memang, mereka adalah para ketua
padepokan yang pernah dikunjungi Rangga selama dalam pengembaraannya di
rimba persilatan.
Dan di belakang mereka, tidak kurang dari lima puluh orang para pendekar
golongan putih yang sudah ternama di kalangan rimba persilatan. Tingkat
kepandaian mereka pun tidak bisa dikatakan rendah.
"Kau selamatkan saja Pandan Wangi. Biar kami yang mengurus mereka," kata
salah seorang laki-laki tua berjubah putih.
Rangga tidak bisa lagi berkata apa-apa. Sungguh Pendekar Rajawali Sakti
tidak tahu kalau sahabat-sahabatnya berdatangan membantunya, dan sudah ada
di sini tanpa diketahui sama sekali. Terselip rasa keharuan di dalam
hatinya. Dan Pendekar Rajawali Sakti hanya bisa mengucapkan terima kasih di
dalam hati. Dia tak mampu lagi mengucapkan sesuatu melalui bibirnya yang
jadi bergetar karena haru melihat rasa persahabatan yang ditunjukkan secara
tiba-tiba ini.
"Wadyabala...! Serang mereka...!" seru laki-laki tua berjubah putih itu
dengan suara lantang mengge-legar.
Seketika itu juga terdengar teriakan-teriakan keras menggelegar, bagai
hendak meruntuhkan apa saja yang ada di sekitar candi ini. Bumi bagai
bergetar terguncang gempa begitu ratusan orang di belakang Rangga
berhamburan, meluruk ke arah Mayang dan teman-temannya.
Sementara Rangga hanya bisa terpaku memandangi, tak tahu harus berbuat apa
lagi. Tidak mungkin pertempuran yang langsung terjadi ini bisa dicegah.
Teriakan-teriakan keras dan jerit pekik melengking tinggi serta denting
senjata beradu, langsung terdengar dari pertempuran yang sudah berlangsung
begitu sengit.
"Ayo, Rangga. Kita cepat selamatkan Pandan Wangi," ujar Ki Badranaya sambil
menepuk pundak Pendekar Rajawali Sakti.
"Oh...?!" Rangga jadi tersentak. Sebentar wajahnya berpaling menatap Ki
Badranaya.
"Tidak ada waktu lagi, Rangga. Kita harus cepat, sebelum ada di antara
mereka yang mencelakakan Pandan Wangi," ujar Ki Badranaya lagi.
"Kau tahu, di mana mereka menyembunyikan Pandan Wangi?" tanya Rangga.
"Ikuti saja aku," sahut Ki Badranaya langsung melompat dan berlari cepat ke
arah candi berukuran besar itu.
"Hup!"
Rangga juga segera melompat cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang
sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Hanya beberapa kali lompatan saja,
Pendekar Rajawali Sakti sudah sampai dipintu pertama candi itu. Bahkan
langsung mendahului Ki Badranaya yang sudah lebih dulu melesat tadi.
"Di mana...?" tanya Rangga langsung, begitu Ki Badranaya sudah sampai di
depannya.
"Di pintu paling atas," sahut Ki Badranaya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga langsung melenting ke atas. Sekali
lompatan saja, dilewatinya beberapa tingkat dari candi ini Hingga sebentar
saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah sampai didepan pintu pada tingkat paling
atas. Tapi begitu kakinya menjejak di depan pintu itu, mendadak saja....
Wusss!
"Ufs...!"
Rangga cepat memiringkan tubuh, ketika tiba-tiba dari dalam pintu yang tidak
memiliki penutup meluncur sebatang tombak. Dan sebelum Pendekar Rajawali
Sakti bisa mengembalikan sikap tubuhnya, tahu-tahu dari dalam melesat sebuah
bayangan merah yang langsung menerjangnya.
"Hup...!"
Rangga cepat-cepat melenting, berputaran kebelakang beberapa kali. Dan
begitu menjejakkan kakinya kembali di batu candi ini, di depannya sudah
berdiri seorang laki-laki berusia setengah baya yang mengenakan jubah warna
merah menyala.
"Iblis Merah...," desis Rangga langsung mengenali.
"Tidak semudah itu kau bisa mengambil Pandan Wangi, Pendekar Rajawali
Sakti," desis laki-laki berjubah merah itu dingin menggetarkan.
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja perlahan.
"Hadapi aku dulu, Pendekar Rajawali Sakti. Hiyaaat ..!"
"Hap!"
Cepat-cepat Rangga menarik tubuhnya ke kanan begitu Iblis Merah melepaskan
satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi. Dan sebelum laki-laki berjubah
merah itu bisa menarik kembali pukulannya, cepat sekali Rangga melepaskan
satu sodokan tangan kiri disertai pengerahan tenaga dalam sempurna ke arah
belakang.
"Hait...!"
Tapi Iblis Merah masih bisa mengelakkannya, dengan menarik tubuhnya cepat ke
belakang. Pada saat itu, tampak Ki Badranaya menerobos masuk kedalam
bangunan candi tingkat teratas melalui pintu yang sudah tidak terjaga lagi.
Dan tindakan laki-laki cacat itu bisa diketahui Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaa...!"
Rangga segera melenting ke udara, lalu cepat sekali meluruk deras dengan
kedua kaki bergerak bagai kilat. Rangga langsung mengeluarkan jurus
'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
"Hep...!"
Iblis Merah segera menjatuhkan tubuhnya, dan bergulingan beberapa kali
menghindari serangan Rangga yang begitu cepat luar biasa. Namun baru saja
bisa bangkit berdiri, tahu-tahu Rangga sudah melepaskan satu pukulan keras
menggeledek dari jurus 'Pukulan Maut Panah Rajawali'. Begitu cepatnya
serangan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Iblis Merah tidak
dapat lagi menghindarinya. Dan....
Begkh!
"Aaakh...!" Iblis Merah menjerit keras melengking tinggi.
Begitu keras dan sempurnanya tenaga dalam yang dikerahkan Pendekar Rajawali
Sakti. Sehingga, Iblis Merah langsung terpental jatuh ke belakang deras
sekali, begitu dadanya terkena pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali'. Iblis Merah tidak bisa lagi mengendalikan keseimbangan tubuhnya,
lalu keras sekali tubuhnya terbanting langsung ke tanah.
Hanya sebentar saja tubuhnya mampu menggeliat, kemudian diam tak
bergerak-gerak lagi. Darah tampak mengucur deras dari mulutnya yang terbuka
lebar.
"Kakang...!"
"Oh...?!"
Rangga tidak dapat lagi menguasai diri begitu melihat Pandan Wangi berdiri
didepan pintu. Pendekar Rajawali Sakti langsung menghambur, dan memeluk
gadis itu. Tidak dipedulikan kalau di sana ada Ki Badranaya yang jadi
tersipu sendiri melihat Rangga memeluk Pandan Wangi begitu erat, membuat
gadis itu jadi sesak bernapas.
"Maafkan aku, Kakang," ucap Pandan Wangi lirih.
Sementara itu, pertarungan di bawah tampaknya sudah berhenti. Rangga baru
melepaskan pelukan setelah diingatkan Pandan Wangi kalau ada Ki Badranaya.
Segera dihampirinya si Setan Lembah Kumala itu dengan tangan tidak terlepas
menggenggam tangan Si Kipas Maut ini.
"Terima kasih, kau telah menyelamatkan Pandan Wangi," ucap Rangga sambil
menyalami tangan Ki Badranaya.
"Jangan berterima kasih padaku, Rangga.
Tapi pada mereka yang ada di bawah sana," sahut Ki Badranaya.
Rangga berpaling menatap orang-orang yang berada di bagian depan candi ini.
Bibir Pendekar Rajawali Sakti jadi menyunggingkan senyuman. Sebuah senyuman
haru dan ucapan rasa terima kasih, karena telah dibantu menghadapi
lawan-lawannya pada saat yang sangat tepat.
"Bagaimana mereka bisa tahu, Ki?" tanya Rangga sambil melangkah menuruni
candi ini di samping Pandan Wangi.
Sedangkan Ki Badranaya berjalan di depan kedua pendekar muda dari Karang
Setra ini.
"Kabar tentang perangkap untukmu ini sudah tersebar luas, Rangga. Dan
bukannya tidak mungkin mereka sudah mendengar kabar itu," sahut Ki
Badranaya.
"Tapi, mereka harus melewati lembah untuk sampai ke sini, bukan...?"
"Memang benar," Sahut Ki Badranaya.
"Lalu, bagaimana mungkin mereka bisa sampai lebih dulu?"
Ki Badranaya tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja sambil terus
melangkah. Tentu saja Rangga tidak bisa melihat senyum si Setan Lembah
Kumala itu, karena berjalan di belakangnya. Dan mereka baru berhenti setelah
menjejakkan kakinya di tanah kembali, tepat di depan pintu pertama dari
candi yang berukuran sangat besar ini.
"Aku tidak melihat Mayang dan Rinjani. Di mana mereka...?" tanya Rangga
sambil mengedarkan pandangan, merayapi mayat mayat yang bergelimpangan.
"Dia kabur bersama yang lainnya," sahut salah seorang laki-laki tua berjubah
putih.
"Hm.... Lagi-lagi dia bisa melarikan diri," gumam Rangga perlahan, untuk
dirinya sendiri.
Rangga kembali merayapi mayat-mayat yang bergelimpangan. Hanya sepuluh orang
lawan saja yang terlihat tewas. Sedangkan dari pihak orang-orang yang
membantu Rangga, lebih dari lima puluh orang yang tergeletak tak bernyawa
lagi. Dan Rangga bisa memaklumi, kalau lawan yang dihadapi memang bukan
tandingan. Tapi bagaimanapun juga, Rangga tidak bisa mengabaikan pengorbanan
yang begitu besar ini.
"Rasanya, tidak ada lagi yang bisa kami lakukan di sini. Kami mohon diri,"
ujar laki-laki tua berjubah putih yang rupanya menjadi pemimpin dan
rombongan dari gabungan beberapa padepokan.
"Terima kasih atas bantuan dan pengorbanan kalian semua," ucap Rangga tulus.
Setelah berbasa-basi sebentar, mereka semua bergerak meninggalkan candi ini.
Rangga dan Pandan Wangi memandangi penuh haru dan ucapan terima kasih yang
terpancar dari sinar mata mereka. Sementara itu Ki Badranaya masih tetap
bersama kedua pendekar muda ini. Dan mereka masih belum berbicara, meskipun
orang-orang dari gabungan beberapa padepokan itu sudah tidak terlihat lagi.
Pendekar Rajawali Sakti teringat surat buat Pandan Wangi yang isinya
memberitahukan keberadaan sanak keluarganya. Sebuah surat yang isinya
ternyata hanya kabar bohong belaka. Rangga kemudian mengambil surat itu dari
dalam saku ikat pinggangnya. Tanpa setahu Pandan Wangi, surat itu dilumat
dalam genggaman, lalu dibuang jauh-jauh.
"Surat keparat!" dengus Rangga dalam hati.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA
GEGER PUTRI ISTANA
Emoticon