TRIO DETEKTIF BISNIS KOTOR
ROUGH
STUFF
by
G. H. Stone
Daftar
Isi
1.
Terbang Tinggi di Angkasa Biru 7
2.
Pendaratan Darurat 17
3.
Survival di Alam Terbuka 28
4.
Kesulitan Baru 42
5.
Di Mana Mr. Andrews? 49
6.
Pelari Misterius 60
7.
Orang-orang Sakit 71
8.
Wahyu dari Sang Pencipta 81
9.
Nyaris Celaka 93
10.
Pemburu Manusia 102
11.
Mengatur Siasat 112
12.
Bergelantungan di Tebing Batu Cadas 121
13.
Lembah Leluhur 133
14.
Bisnis Kotor 146
15.
Perangkap Maut 153
16.
Bertarung Melawan Tukang Sihir 162
1.
Terbang Tinggi di Angkasa Biru
Matahari
pagi bersinar dengan cerah. Sebuah pesawat Cessna membelah angkasa biru. Di
bawah pesawat kecil itu, barisan pegunungan Sierra Nevada di California nampak
menghijau karena lebatnya pohon-pohon cemara.
Bob
Andrews menikmati pemandangan lewat jendela kokpit Di sebelah Bob, ayahnya
menerbangkan pesawat bermesin tunggal itu jauh di atas lembah-lembah dan
puncak-puncak gunung.
"Hei,
ada sesuatu di bawah sana," ujar Bob. "Tuh, di lapangan rumput itu!
Kelihatan, tidak?"
Pete
Crenshaw segera menyikut Jupiter Jones, lalu mengedipkan sebelah mata. Mereka
duduk di kursi penumpang di belakang Mr. Andrews dan Bob. Kedua pemuda itu pun
sejak tadi memandang ke luar jendela. Berganti-ganti mereka menggunakan
teropong untuk mengamati pegunungan di bawah.
"Wah,
seorang gadis!" Pete berkata dengan sungguh-sungguh. "Dia cantik
sekali. Sebentar lagi dia pasti akan melambaikan tangan padamu, Bob."
"Dan
setelah itu dia minta nomor teleponmu," Jupiter menambahkan sambil
nyengir.
"Lalu
bertanya apakah kau sudah punya acara malam ini," Pete menyambung.
"Mr.
Andrews, apakah di Diamond Lake ada bioskop?" Jupe berlagak polos.
"Saya rasa Bob tidak akan punya waktu untuk kami. Karena itu Pete dan saya
terpaksa mencari kesibukan sendiri."
Mr.
Andrews hanya tersenyum simpul.
Bob
menurunkan teropong. "Ah, ternyata cuma seekor kucing hutan," ia
berkata sambil menoleh ke arah kedua sahabatnya. Bob memang berwajah tampan, ia
berambut pirang, dan bermata biru. Senyumnya memiliki daya tarik bagaikan
magnet -terutama bagi gadis-gadis cantik. Ke mana pun ia pergi, gadis-gadis
tiba-tiba bermunculan... dan langsung menuju ke arahnya.
"Hahaha,
lucu sekali," Bob menanggapi komentar Pete dan Jupe. "Tapi bagaimana
pun juga, aku tidak perlu minta izin pada pemimpin kelompok cheerleaders kalau
mau pergi berlibur."
"Siapa
yang harus minta izin?" balas Pete dengan nada dibuat-buat. Sepertinya
Pete sudah lupa bahwa Kelly Madigan, pacarnya, sempat minta penjelasan panjang
lebar sebelum mem biarkannya pergi.
Kemudian
Bob berpaling pada Jupe. "Dan kalau aku pergi dengan seorang gadis,"
ia berkata, "maka aku tidak akan merusak suasana dengan berceramah
mengenai struktur atom."
Jupe
segera pasang tampang kencang. "Habis, dia mengatakan bahwa dia ingin
membahas hal-hal yang paling pokok saja!" ia menjawab dengan ketus.
Mr.
Andrews langsung ketawa terbahak-bahak. Jupe tersipu-sipu. Baru sekarang ia
menyadari apa yang dimaksud gadis itu.
Ketiga
sahabat itu pun ikut ketawa. Pete dan Bob karena merasa geli, Jupe karena
terpaksa. Meskipun memiliki otak yang cemerlang, Jupe sampai sekarang belum
bisa memahami kaum wanita.
Dengan
hati-hati Jupe berdiri. Penampilannya memang bukan seperti bintang musik rock.
Wajahnya bulat. Rambutnya hitam dan lurus, ia selalu memakai baju-baju yang
kedodoran untuk menyembunyikan perutnya. Jupe yakin bahwa diet yang
dijalankannya akan membuahkan hasil di masa mendatang. Tapi sampai saat itu, ia
lebih suka menggunakan kata 'gempal' untuk menggambarkan dirinya. Bunyi kata
itu lebih enak didengar dibandingkan 'gendut'.
Langit-langit
di pesawat Cessna itu tidak begitu tinggi. Jupe terpaksa membungkuk ketika
menuju ke ekor pesawat, yang digunakan sebagai tempat barang.
"Hei,
Jupe! Sedang apa kau?" tanya Pete.
"Aku
mencari teropongku," Jupe menjelaskan. "Aku ingin menemukan seorang
gadis di bawah sana, yang sudah tahu apa yang dimaksud dengan E = mc2 alias
teori relativitas Einstein."
Sekali
lagi suara tawa memenuhi kabin pesawat itu. Tapi kali ini Jupe-lah yang tertawa
paling keras.
Akhir
pekan di musim panas ini dimulai dalam suasana yang menyenangkan. Matahari
bersinar cerah. Langit tampak biru, tanpa awan sama sekali. Satu, dua, mungkin
bahkan tiga hari penuh kebebasan menunggu mereka-tergantung pada berapa waktu
yang diperlukan oleh Mr. Andrews untuk mengumpulkan bahan bagi artikelnya.
Kini-setelah
mengudara, setelah segala tugas dan tanggung jawab ditinggalkan di Rocky
Beach-tak ada yang bisa menahan mereka. Mereka akan menikmati liburan singkat
di salah satu kota wisata pegunungan terkemuka di California. Diamond Lake
memiliki lapangan golf kelas dunia, kolam renang berukuran internasional,
belasan lapangan tennis, sejumlah sauna (tempat mandi uap), beberapa tempat
penyewaan kuda, serta lebih dari sepuluh lokasi perkemahan. Diamond Lake bahkan
sudah membangun lapangan terbang untuk menyambut para eksekutif serta
orang-orang terkenal yang sering melarikan diri ke sana.
Jupe
masih sibuk membongkar tas di ekor pesawat "Dengan bantuan teropong, aku
mungkin bisa menemukan Mr. X yang harus dihubungi oleh ayahmu, Bob," ujar
Jupe setengah bercanda. "Sayangnya aku lupa nama orang itu."
"Saya
memang belum menyebutkan namanya," Mr. Andrews langsung menjawab.
"Aha!"
kata Jupe. "Sumber informasi Anda ternyata seorang pria. Saya mengatakan
Mr. X, dan Anda menjawab tanpa merasa perlu membenarkan ucapan saya. Ini adalah
petunjuk pertama bagi kami."
"Ah,
ada-ada saja," Mr. Andrews berkomentar sambil tersenyum. Ini berarti
tebakan Jupe memang tepat
"Ayo
dong, Ayah!" Bob mendesak. "Siapa sih nama orang itu? Percayalah,
kami tidak akan mengatakannya pada siapa pun juga."
"Sorry,"
Mr. Andrews menggeleng, ia berbadan langsing. Tingginya enam kaki kurang
sedikit- masih sedikit lebih tinggi dibandingkan anaknya. Tapi sebentar lagi ia
pasti sudah tersusul oleh Bob. Ia mengenakan kacamata hitam, topi pet
bertulisan Los Angeles Dodgers (nama klub baseball), serta jaket berwarna biru
tua. Di kantong jaketnya ada setengah lusin pensil.
"Artikel
seperti apa yang akan Anda tulis?" tanya Pete. "Barangkali mengenai
seorang atlet terkenal? Seseorang yang sedang menjalani latihan di Diamond
Lake?" Pete memang gemar berolahraga. Anaknya tinggi dan berbadan kekar.
Kekuatan ototnya sudah sering berhasil menyelamatkan Trio Detektif dari ancaman
bahaya. "Hei, saya tahu! Anda akan menulis artikel tentang seorang
petinju! Bulan depan kan ada kejuaraan tingkat negara bagian!"
"Pokoknya
saya takkan memberikan keterangan apa pun pada kalian. Seorang wartawan harus
melindungi sumber informasinya," Mr. Andrews mengingatkan mereka.
"Oh
ya, aku tahu!" Bob mendesah. "Tanpa sumber informasi rahasia,"
ia mengulangi kata-kata yang sudah sering didengarnya, "seorang wartawan
kadang-kadang tidak bisa memperoleh berita secara utuh."
"Dan
jika seorang reporter mengungkapkan dari mana ia memperoleh informasinya,"
Pete mengakhiri kalimat yang sudah akrab di telinga mereka, "maka semua
sumber beritanya akan mengering!"
"Kami
paham bahwa Anda harus menjaga rahasia," Jupe berusaha meyakinkan Mr.
Andrews, "tapi Anda tidak perlu takut bahwa kami akan
membocorkannya."
Mr.
Andrews nyengir lebar. "Tentu saja! Kalian memang tidak bisa membocorkan
sesuatu yang tidak kalian ketahui."
Ketiga
sahabat hanya bisa geleng-geleng kepala. Ayah Bob ternyata benar-benar sulit
ditembus. Pantas saja ia merupakan salah satu wartawan top di sebuah koran
besar di Los Angeles. Biarpun didesak terus menerus, Mr. Andrews tak akan
mengungkapkan berita apa yang sedang dikejarnya.
Sehari
sebelumnya, di rumah mereka, Bob sempat mendengar ayahnya mengurus izin
pemakaian salah satu pesawat perusahaan untuk terbang ke Diamond Lake, ia tahu
bahwa pesawat perusahaan hanya boleh digunakan oleh para wartawan yang akan
meliput berita yang sangat penting. Namun sampai sekarang Bob belum berhasil
mengorek keterangan dari ayahnya.
"Aku
jadi heran kenapa Ayah mengizinkan kami untuk ikut ke Diamond Lake," Bob
menggerutu.
"Ayah
terpengaruh oleh keramahanmu," ujar Mr. Andrews. "Kau selalu bersikap
seperti itu untuk mempengaruhi orang lain-terutama gadis-gadis cantik dalam
radius 15 meter." Ia menatap putranya dengan bangga, lalu menambahkan,
"Tapi kau juga berjanji untuk tidak ikut campur dalam urusan Ayah. Ingat,
yang ditugaskan bukan Trio Detektif!"
Ketiga
sahabat saling berpandangan. Sudah beberapa tahun mereka membuka kantor
detektif secara semi-profesional-semi-profesional karena mereka masih di bawah
umur dan belum memiliki surat izin usaha, sehingga belum bisa pasang tarif.
Meskipun demikian mereka tidak pernah bisa diam kalau menghadapi sebuah
misteri. Pada usia tujuh belas tahun, sudah banyak kasus aneh yang berhasil
mereka pecahkan, dan banyak kejadian misterius yang berhasil mereka jelaskan.
Mereka bahkan berhasil meringkus sejumlah bajingan dan pencuri.
"Jangan
khawatir, Mr. Andrews! Kami kan lagi berlibur," ujar Pete.
"R
& R," Jupe menambahkan. "Rest and relaxation-istirahat dan
bersantai."
"Salah,"
Pete segera menanggapinya. 'Rest and recreation-istirahat dan rekreasi"
Bob
membalik dan nyengir. "Ada satu yang masih ketinggalan: Berkencan dengan
gadis-gadis cantik!" ia bergurau.
Pete
segera mencekik leher Bob, lalu mengguncang-guncang sahabatnya.
"Hei!
Aku rela kehilangan gaji tiga hari bukan untuk disiksa seperti ini," Bob
berseru sambil ketawa.
Bob
memang minta sengaja izin dari Sax Sendler-pemilik perusahaan pencari bakat
Rock-Plus tempat ia bekerja-agar bisa ikut dengan ayahnya. Pete meninggalkan
sebuah sedan kuno yang sedang diperbaikinya untuk dijual kembali. Tugas itu ia
serahkan pada Ty Cassey, sepupu Jupiter dan montir mobil jempolan. Sedangkan
Jupe baru saja selesai membuat daftar barang yang ada di Jones Salvage Yard.
Tempat penimbunan barang bekas itu merupakan usaha keluarga yang dijalankan
oleh Paman Titus dan Bibi Mathilda-paman dan bibi Jupe. Jupe sebenarnya sudah
pernah mendaftar semua barang yang ada di sana dengan bantuan komputer. Tapi
setiap kali paman atau bibinya memakai komputer Jupe, pasti ada file yang
terhapus.
Dengan
uang simpanan hasil bekerja samping-an selama liburan musim panas, ketiga
sahabat itu bisa membayar tempat tidur tambahan di ruang hotel Mr. Andrews.
Mereka juga bisa membeli makanan sendiri tanpa perlu membebani ayah Bob.
"Hei,
anak-anak muda," ujar Mr. Andrews. "Ada sesuatu yang menarik untuk
kalian. Kalian lihat lembah itu?" ia bertanya sambil menunjuk ke depan.
Bob
memandang melalui teropong, lalu menyerahkannya pada Pete.
"Saya
akan turun sedikit, supaya kalian bisa melihat lebih jelas," Mr. Andrews
berkata. "Kita toh sudah hampir sampai di Diamond Lake."
Hidung
pesawat menukik. Mesinnya mendengung secara berirama.
Jupe
berhenti mencari teropongnya, lalu kembali ke tempat duduk di belakang Mr.
Andrews, ia pun menatap ke arah lembah sempit yang nampak di kejauhan. Lembah
itu memanjang ke arah utara-selatan, dan dibatasi oleh dinding batu cadas yang
terjal. Di ujung selatan ada tebing yang menghubungkan tepi kiri dan kanan
lembah. Sebuah air terjun nampak berkilau-kilau.
"Wow!"
Jupe berseru. "Luar biasa!"
"Apa
nama lembah itu?" Bob bertanya.
"Ayah
juga tidak tahu," jawab Mr. Andrews. "Tapi pemandangannya indah
sekali, bukan? Nah, coba lihat ke depan sana. Itu Diamond Lake. Jaraknya masih
sekitar 40 mil dari sini."
Bentuk
danau itu hampir bulat. Permukaannya nampak biru. Bangunan-bangunan mini
memadati salah satu tepi. Sebuah jalan beton nampak berkelok-kelok di antara
gunung-gunung, lalu mengelilingi danau."
Bob
mengangguk. "All right!" ia berseru dengan riang.
"Dan
kita tiba tepat pada waktu makan siang," Jupe berkomentar.
"Itulah
yang paling penting sekarang," Pete mendukung sahabatnya.
Tiba-tiba
saja pesawat mereka bergetar dengan pelan. Getaran itu hampir tidak terasa.
"Apakah
kalian juga...?" Jupe mulai bertanya.
Kemudian
waktu seakan-akan berhenti.
Ketiga
anggota Trio Detektif saling bertatapan, kemudian menoleh ke mesin pesawat
mereka.
Suara
mendengung yang sejak berangkat terus terdengar, kini mendadak lenyap.
"Mr.
Andrews..."
Mata
ayah Bob langsung tertuju ke panel instrumen. Sudah dua tahun ia memiliki izin
terbang. Pesawat Cessna ini pun sudah sering diterbangkannya. Tapi selama ini
ia belum pernah mengalami kesulitan.
ia
menekan berbagai tombol, lalu mengamati jajum-jarum penunjuk. Untuk sejenak ia
tertegun karena tidak ada perubahan sama sekali. Jarum-jarum itu sama sekali
tidak bergerak. Semua instrumen tiba-tiba mati. Aetitude-penunjuk ketinggian,
kecepatan, bahan bakar...
"Sistem
elektrik tidak bekerja!" Bob berseru.
"Bagaimana
dengan mesin?" tanya Jupe, meskipun sudah mengetahui jawabannya.
"Mati!"
kata Mr. Andrews. "Tapi jangan khawatir. Yang penting kita sekarang
cepat-cepat mengurangi ketinggian, sebelum kecepatan pesawat terlalu rendah
untuk tetap melayang."
2.
Pendaratan Darurat
Tanpa
tenaga mesin, pesawat Cessna itu mulai melayang-layang di udara. Suara angin
menderu-deru. Mr. Andrews mencabut mikrofon dari panel instrumen, lalu menekan
tombolnya.
"Mayday!
Mayday!" ia berkata sambil berusaha untuk tetap tenang. "Di sini
Cessna November 3638 Papa. Mesin kami mendadak mati. Terpaksa mendarat darurat.
Posisi kami 047 radial dari Bakersfield VOR pada 75DME!"
Mr.
Andrews memberikan mikrofon pada Bob, dan kembali memegang kemudi.
Bob
menekan tombol mikrofon, lalu mengulangi ucapan ayahnya. "Di sini Cessna
November 3638..."
Tiba-tiba
saja wajah Mr. Andrews menjadi pucat pasi. "Lupakan saja, Bob," ia
memotong. "Sudah terlambat."
"Kenapa?"
Bob bertanya kebingungan.
"Sistem
elektrik tidak berfungsi," ujar Jupe. "Jadi radionya juga tidak
bekerja."
"Tapi
kita kan punya alat pemancar darurat," kata Bob. "Alat itu secara otomatis
mulai bekerja kalau kita jatuh."
"Bob,"
Jupe berkata dengan serius, "kalau aku boleh pilih, maka aku pilih untuk
tidak jatuh." Jantungnya berdetak kencang. "Mudah-mudahan saja kita
bisa mendarat dengan selamat..."
"Ya,
mudah-mudahan saja," Bob dan Pete berkata secara bersamaan.
Sambil
membisu mereka mengencangkan sabuk pengaman masing-masing.
"Mr.
Andrews, berapa kecepatan yang diperlukan supaya kita tetap melayang?"
tanya Jupe.
"Pesawat
Cessna dirancang agar bisa melayang tanpa bantuan mesin, asal kecepatannya
tidak kurang dari 80 mil/jam," ayah Bob menjelaskan secara singkat.
"Apa
artinya?" Pete bertanya dengan cemas.
"Kalau
kecepatan kita lebih rendah dari itu, maka pesawat kita tidak bisa melayang
lagi," jawab Jupe. Wajahnya yang bulat nampak berkerut-kerut "Hidung
pesawat harus tetap menukik. Dengan demikian gaya tarik bumi akan membantu agar
kecepatan kita tetap di atas 80 mil per jam."
"Kalau
tidak," Bob berkomentar dengan nada suram, "maka kita akan jatuh
seperti batu."
"Eh
Jupe, bagaimana kalau kau duduk di hidung pesawat," Pete mencoba bergurau.
Mr.
Andrews beserta ketiga penumpangnya berusaha ketawa. Namun suasana di dalam
kabin terasa mencekam. Hidung pesawat mengarah tepat ke puncak-puncak batu
cadas di bawah. Dibandingkan dengan gunung-gunung di sekitar, pesawat mereka
tak lebih dari mainan anak-anak. Jika sampai membentur salah satu puncak
gunung, maka pesawat itu akan hancur berkeping-keping. Begitupula orang-orang
yang ada di dalamnya.
Rasa
takut yang luar biasa membuat perut Jupe terasa kejang. Seluruh tubuhnya
bermandikan keringat dingin.
Pete
mengepalkan tangan. Otot-ototnya mengencang.
Bob
menelan ludah, dan berusaha menarik napas secara teratur.
Aku
takkan pernah lagi menggoda Jupe mengenai berat badannya, atau mengejek Pete
karena selalu mengalah pada Kelly, Bob berjanji pada dirinya sendiri, asal saja
kita semua masih bisa melihat matahari terbit besok pagi...
"Kita
menuju ke mana?" ia bertanya dengan suara seakan-akan sedang dicekik.
"Kembali
ke lapangan rumput tadi," jawab ayahnya. Lapangan rumput itu cukup luas,
dan terletak di lembah yang mereka lewati sebelumnya.
"Berapa
lama lagi?" tanya Jupe.
"Tiga
menit-kurang lebih..."
Jupe,
Pete, dan Bob menatap ke luar jendela. Mereka tidak bisa mengalihkan pandangan
ketika pesawat mereka meluncur mendekati tanah. Pohon-pohon serta batu-batu
cadas semakin membesar. Tebing panjang di sebelah utara lapangan rumput
kelihatan semakin putih, dan semakin tinggi menjulang ke angkasa.
Bob
teringat pada ibunya. Sungguh menyedihkan kalau ibunya harus membaca berita
mengenai kecelakaan ini di koran: Seorang wartawan dan anaknya tewas karena
pesawat yang mereka tumpangi jatuh di daerah pegunungan.
Semakin
mendekati tanah, pesawat mereka seakan-akan semakin cepat-melaju menuju
bencana!
"Menunduk!"
teriak Mr. Andrews. "Lindungi kepala kalian dengan tangan!"
"Ayah..."
"Kau
juga, Bob. Jangan berlagak jadi jagoan."
Bob
membungkuk dan menutupi kepalanya dengan kedua belah tangan. "Paling tidak
kita masih punya roda untuk mendarat," ia bergumam untuk menghibur diri.
"Roda pesawat Cessna tidak bisa dilipat seperti roda pesawat lain."
Tak
ada yang menyinggung soal rem. Semuanya tahu bahwa rem pesawat tidak bisa
bekerja tanpa sistem elektrik.
Suara
angin di sekitar pesawat semakin keras.
Nah,
ini dia! pikir Bob.
Sedetik
kemudian pesawat mereka menghantam tanah.
Bob
dan yang lain terlempar ke depan, ditahan oleh sabuk pengaman masing-masing,
lalu menabrak sandaran kursi. Rasa sakit yang menusuk-nusuk membuat mata Bob
berkunang-kunang.
Pesawat
mereka melompat ke udara, kemudian kembali membentur tanah dengan keras.
Keempat penumpangnya terguncang-guncang tak berdaya. Kemudian pesawat Cessna
itu terpental lagi.
"Pegangan!"
Mr. Andrews berteriak.
Untuk
ketiga kali mereka menghantam tanah. Pesawat mereka bergetar dengan hebat,
tetapi tidak terpental melainkan meluncur seperti rudal yang kehilangan arah.
Sambil
berpegangan pada tepi kursi, Bob berusaha untuk tetap menundukkan kepala.
Seluruh tubuhnya terasa seperti bubur. Mereka masih hidup, tapi untuk berapa
lama lagi?
Tiba-tiba
terdengar bunyi logam sobek yang memekakkan telinga.
Bob,
ayahnya, Pete, dan Jupe terlempar ke depan. Kepala mereka membentur dinding
pesawat. Kertas-kertas dan buku-buku berhamburan. Sebagian barang bawaan mereka
melayang ke depan. Sesuatu mengenai lengan Bob, tapi ia tidak merasakan
apa-apa. Anak itu nyaris tidak bisa menarik napas, ketika pesawat mereka
berputar-putar dengan kencang.
"Kemudian
semuanya menjadi hening. Tak ada suara sama sekali. Pesawat mereka telah
berhenti.
Perlahan-lahan
Bob mengangkat kepala.
"Ayah!"
Mr.
Andrews bersandar pada panel instrumen.
Bob
mengguncangkan bahu ayahnya. "Ayah! Ayah!!!" Ayahnya tidak bergerak.
"Kita
harus mengeluarkannya dari sini!" Pete memutuskan sambil memanjat ke
depan.
Cepat-cepat
Bob melepaskan head-phone yang dipakai oleh ayahnya. Pete membuka sabuk
pengaman yang melingkar pada pinggang pilot yang pingsan itu. Bercak darah
terlihat pada kening Mr. Andrews.
Bob
melompat keluar dari pintu, disusul oleh Pete. Mereka berlari mengelilingi
pesawat. Bob tidak mengalami cedera. Pete dan Jupe pun kelihatan baik-baik saja,
namun ayahnya terluka! Bob langsung membuka pintu di sisi pilot. Ayah masih
bernapas! ia berkata pada diri sendiri.
Pete
muncul di samping Bob. Dengan tangannya yang kuat ia mengangkat Mr. Andrews.
Pete tidak punya waktu untuk memperhatikan diri sendiri. Ia tahu bahwa Mr.
Andrews membutuhkan pertolongannya.
"Mana
Jupiter?" Pete berseru pada Bob, ketika ia bergegas ke arah sebongkah batu
besar. Bob berlari di samping Pete. Matanya terus tertuju pada ayahnya.
"Aku
di sini!" Jupiter berkata dengan suara lemah. Ia masih di dalam pesawat.
Kepalanya terasa pening dan berdenyut-denyut. Perlahan-lahan ia menggerakkan
tangan dan kakinya. Sepertinya semuanya masih berfungsi secara normal...
"Keluar,
Bodoh!" Pete membentaknya sambil berjalan ke balik batu besar tadi.
Kemudian ia meletakkan Mr. Andrews ke atas rumput.
Bob
berlutut di samping ayahnya, lalu memeriksa denyut nadi di leher. "Ayah!
Ayah bisa mendengarku? Ayah!!!" Pete kembali ke pesawat.
"Aku
pun sedang berusaha keluar dari sini!" Jupe bergumam. Dengan kesal ia
memelototi sahabatnya.
"Tangki
bensinnya!" Pete berseru, lalu menarik lengan Jupe.
Jupe
langsung terbelalak "Tangki bensin!" ia mengulangi dengan panik.
Mesin pesawat pasti panas sekali, dan jika tangki bensin bocor... maka...
pesawat mungkin akan meledak!
Jupe
menjatuhkan diri dari lubang pintu, kemudian segera berdiri, ia tidak punya
waktu untuk menguji keutuhan tubuhnya. Hanya ada dua pilihan: Lari atau mati!
Sambil tergopoh-gopoh ia mengikuti Pete. Mereka menuju ke batu besar yang
melindungi Mr. Andrews dan Bob.
Jupe
roboh di samping Mr. Andrews. Napasnya tersengal-sengal. Wajahnya yang bulat
basah karena keringat. Pete segera duduk di sebelah Jupe.
Mereka
menunggu ledakan yang akan segera mengguncangkan daerah sekeliling.
Bob
telah melepaskan dan menggulung jaket jeans yang ia kenakan, kemudian memakai
gulungan itu sebagai bantal untuk ayahnya. "Denyut nadinya stabil,"
ia berkata sambil menatap kedua sahabatnya.
Jupe
mengangguk. "Mudah-mudahan saja ayahmu segera siuman."
"Ayahmu
tahan bantingan," Pete menghibur Bob. ia pun membuka jaket, menyelimuti
Mr. Andrews, lalu berdiri. Ia meregangkan otot-ototnya, lalu segera kembali
berjongkok untuk menunggu sampai pesawat meledak... atau sampai mesin menjadi
dingin. Punggungnya terasa pegal karena berulang kali terbentur pada sandaran
kursi. Dadanya agak lecet karena tergesek oleh sabuk pengaman. Tapi Pete
berkata pada dirinya sendiri bahwa ia sudah sering lebih pegal dari sekarang
seusai berlatih di fitness-centre.
Mr.
Andrews mengerang.
"Ayah?"
Bob langsung berkata. "Ayah, bangun!"
"Anda
bisa mendengar kami, Mr. Andrews?" tanya Jupe.
Mr.
Andrews membuka mata dan menatap Bob.
Bob
tersenyum lega. "Pendaratan yang mulus, Ayah!"
"Ya,
Anda pantas diberi angka 10 untuk pendaratan tadi," Jupe berkomentar.
"Jadi
kapan Anda akan mulai mengajar kami?" tanya Pete.
Mr.
Andrews tersenyum sambil menahan sakit. "Kalian baik-baik saja?"
"Pokoknya
keadaan kami lebih baik dibandingkan pesawat kita," Jupe menjawab.
"Ya,
Tuhan, pesawat kita!" Mr. Andrews berseru. "Apakah sayapnya
copot?"
"Sayapnya?"
Jupe,
Pete, dan Bob berdiri dan mengintip lewat bagian samping batu besar yang
melindungi mereka. Sebuah alur panjang merupakan jejak pesawat pada lapangan
rumput yang penuh bunga mekar. Beberapa pohon kecil nampak seperti dipancung
oleh kedua sayap Salah satu daun baling-baling terlepas, dan sempat melayang
sejauh beberapa puluh meter. Dua dari ketiga roda pesawat patah. Sayap sebelah
kiri patah, karena tersangkut pada batu-batu besar yang akhirnya menghentikan
laju pesawat. Tanpa sayap, pesawat itu tidak mungkin lepas landas lagi.
"Wow!"
ujar Bob.
"Ini
baru pendaratan!" Pete berkomentar dengan kagum bercampur ngeri.
"Dan
aku hanya mengalami luka memar saja," kata Jupe sambil terheran-heran.
"Mana
topi pet saya?" Mr. Andrews bertanya. Tanpa mempedulikan ketiga pemuda di
sekelilingnya, ia meraih tepi batu, lalu berusaha bangkit.
"Ayah!"
"Mr.
Andrews!"
Mr.
Andrews bersandar pada batu itu, dan memegangi kepala. Ia tersenyum getir.
"Tidak apa-apa. Saya cuma agak pusing."
"Sebaiknya
Ayah duduk saja!" Bob berkeras.
"Nanti
dulu, Bung!" balas ayahnya. "Saya harus memeriksa keadaan
pesawat."
"Tapi
mesinnya..." kata Pete.
"...mungkin
meledak?" tanya Mr. Andrews. "Kalau sampai sekarang belum meledak,
maka kemungkinan besar memang tidak akan ada apa-apa." Dengan hati-hati ia
menuju ke pesawat. "Hmm, lumayan juga," ia bergumam.
Bob
memegang lengan kiri ayahnya. Pete menggenggam lengan yang satu lagi.
"Apakah
sudah pernah ada yang mengatakan bahwa Ayah keras kepala?" Bob bertanya
pada ayahnya.
"Ya,
atasan saya di kantor," Mr. Andrews menjawab sambil ketawa. "Setiap
hari dia mengatakannya." Namun ia tidak menolak bantuan Bob dan Pete.
Jupe
berjalan di samping mereka. Ketika mencapai bangkai pesawat, Bob meraih ke
dalam dan mengambil kacamata hitam serta topi pet ayahnya. Mr. Andrews segera
memasukkan kacamatanya ke dalam kantong baju. Kemudian ia mencoba mengenakan
topinya. Ternyata topinya masih bisa dipakai.
Kini
mereka mengamati lapangan rumput, serta hutan lebat yang mengelilinginya. Pada
tiga sisi, puncak-puncak gunung nampak bermandikan cahaya matahari. Di belakang
mereka ada tebing setinggi 200 kaki, yang melebar sampai ke hutan. Tebing itu
menghalangi pegunungan di sebelah utara.
Tak
ada tanda-tanda kehidupan. Diamond Lake masih berjarak 30 sampai 40 mil dari
sini-di balik tebing yang hampir tegak lurus.
Bob
mulai mempelajari medan. Dalam keadaan normal, ia pasti akan menikmati
pemandangan di sekelilingnya. Puncak-puncak gunung menjulang tinggi di atas
lembah-lembah. Tapi kini satu-satunya pikiran yang terlintas di kepalanya
adalah bahwa mereka sendirian di sini. Mereka terdampar di daerah tak
berpenghuni, tanpa air minum, makanan, radio, maupun perlengkapan camping.
"Hmm,"
Mr. Andrews berkata dengan lesu, seakan-akan bisa membaca pikiran Bob.
"Kelihatannya kita harus bertahan sampai ada bantuan."
3.
Survival di Alam Terbuka
"Seberapa
dingin sih di sini kalau malam?" Bob bertanya pada ayahnya. Mereka berdua
duduk sambil berjemur, sementara Pete dan Jupe mencari kotak obat serta tempat
untuk menampung air minum dalam bangkai pesawat.
"Ah,
biasa saja," jawab Mr. Andrews. "Sepanjang bulan Agustus suhu udara
jarang turun sampai ke bawah titik beku. Saya rasa kita akan mengalami suhu
sekitar delapan sampai sepuluh derajat nanti malam!"
"Delapan
derajat!" Bob berseru. "Kita bisa mati kedinginan!"
"Nah,
ini kesempatan emas bagi kalian untuk menunjukkan bahwa pemuda-pemuda
California zaman sekarang tidak kalah tangguh dengan para perintis yang membuka
daerah ini," Mr. Andrews berkata sambil tersenyum.
"Sebenarnya,
California terkenal karena sinar mataharinya, bukan karena hawa dingin yang
menusuk sampai ke tulang sumsum," ujar Pete sambil melompat ke luar
pesawat. Di tangan kanannya ada sebuah kotak logam berbentuk pipih.
"Ya,
betul!" Bob mendukung sahabatnya. "Secara genetik kami sudah
diprogram untuk cuaca cerah!"
Perut
Pete berbunyi keras. "Kami juga dipro- gram untuk makan tepat pada
waktunya. Saya tadi sudah membayangkan nikmatnya makan siang di Diamond
Lake," Pete menyesalkan. "Makan siang sampai kenyang."
Bob
dan Mr. Andrews mengangguk. Mereka pun merasa lapar.
"Tapi
paling tidak keadaan ini bisa membantu Jupe dalam menjalankan dietnya,"
ujar Bob.
Mr.
Andrews kelihatan penuh harapan. "Hmm, dengan sedikit keberuntungan kita
akan segera keluar dari sini. Pasti ada yang mendengar sinyal yang dikirim oleh
alat pemancar otomatik kita. Alat itu bekerja pada frekwensi 121,5
megahertz."
"Anda
yakin bahwa alat itu hidup?" tanya Pete. Tiba-tiba saja ia merasa gelisah
sekali.
"Alat
pemancar itu dijalankan dengan batere," Mr. Andrews meyakinkan Pete.
"Benturan kecil sudah cukup untuk menyalakannya. Saya pernah dengar cerita
bahwa alat sejenis ini mulai bekerja setelah terjatuh ke lantai."
Mr.
Andrews menunjuk asap putih yang nampak tinggi di langit yang biru.
"Pesawat jet itu mungkin terlalu tinggi untuk melihat kita. tapi sinyal
SOS yang dipancarkan dari sini pasti terekam."
Bob
memandang ke arah pesawat itu, lalu tersenyum pada ayahnya. Mereka memang dalam
keadaan terjepit, namun ketenangan yang diperlihatkan ayahnya membuat Bob
merasa agak lebih lega. ia yakin bahwa mereka akan diselamatkan.
"Apa
saja yang kauperoleh, Pete?" Bob lalu bertanya pada sahabatnya.
"Aku
menemukan kotak obat."
"Sip!"
Bob berseru.
Mereka
segera membuka kotak logam itu. Di dalamnya ada aspirin, sabun, perban,
semprotan anti-nyamuk, obat merah, pil iodine untuk memurnikan air, satu kotak
korek api, serta enam selimut ringan yang terbuat dari bahan mengkilap. Setiap
selimut bisa dilipat sampai mencapai ukuran 7,5 x 12,5 cm.
"Korek
api!" Bob berkata dengan gembira.
"Pil
iodine," ujar Mr. Andrews. "Sekarang kita bisa minum air sungai tanpa
perlu takut terserang sakit perut."
"Ini
sih mirip pakaian astronot," Pete berko mentar ketika memeriksa salah satu
selimut, ia memakai selimut itu sebagai jubah, lalu bertingkah seperti orang
kesurupan.
"Hei,
bagaimana pendapat kalian?" ia berseru pada kedua sahabatnya. "Apakah
aku pantas sebagai bintang rock?"
Bob
hanya menggelengkan kepala. Kemudian ia menggunakan isi kotak obat untuk
membersihkan dan membalut luka pada kening ayahnya. Luka itu tidak terlalu
dalam, tetapi membengkak besar sekali.
Bob
mengamati benjolan itu dengan saksama. "Sebaiknya Ayah jangan terlalu
banyak memeras tenaga. Luka di kepala tidak boleh dianggap enteng. Kalau Ayah
merasa pusing, Ayah harus langsung duduk dan..."
"Ternyata
tidak sia-sia saya menyuruhmu mengikuti kursus P3K dulu," Mr. Andrews
berkomentar sambil ketawa.
Setelah
melipat selimut tadi, Pete menyusuri tepi lapangan rumput untuk mencari dan
mengumpulkan kayu kering. Ia menumpukkan semuanya di dekat batu besar. Jika
mereka perlu membuat api unggun, maka mereka akan menyalakannya jauh dari
pesawat-dan jauh dari tangki bensin.
Sementara
itu Jupe masih mencari tempat untuk menampung air.
"Ya,
Tuhan!" ia tiba-tiba berseru. "Mr. Andrews! Ada yang tidak beres di
sini!"
Bob
dan Pete segera berlari ke pesawat. Mr. Andrews menyusul dengan langkah gontai.
"Alat
pemancar otomatis tidak bekerja," ujar Jupe dengan lesu.
"Coba
saya periksa dulu," kata Mr. Andrews.
Jupe
telah membuka kotak pemancar. "Lampu merah di bagian luar ini seharusnya
berkedap-kedip. Itulah yang menunjukkan bahwa alat itu sedang bekerja.
Sambungan kabel kelihatannya beres semua. Berarti baterenya yang tidak
berfungsi dengan semestinya."
"Baterenya?"
tanya Bob sambil membelalakkan mata.
"Jadi
alat ini sama sekali belum memancarkan isyarat SOS?" Pete berseru.
Wajahnya nampak pucat pasi.
"Sepertinya
begitu," jawab Jupe.
"Aduh!"
kata Pete. ia mengepalkan kedua tangannya. Jantungnya berdebar-debar. Ini
benar-benar suatu bencana.
"Mula-mula
sistem elektrik mati mendadak," ujar Bob sambil menggeleng. "Dan
sekarang ini lagi!" Kepalanya terasa agak pening.
"Kita
kena kutukan para dewa!" Pete berkomentar.
"Sistem
listrik kadang-kadang memang bisa mati mendadak," kata Mr. Andrews.
"Kemungkinan besar karena sambungan kabel yang tidak sempurna. Kasus
seperti ini sudah beberapa kali terjadi. Sedangkan batere tidak selalu
diperiksa secara berkala. Artinya, batere yang sudah mati tidak segera diganti."
"Dan
itu berarti bahwa kita terdampar di sini," ujar Pete lesu.
Tak
ada yang bisa mereka perbuat. Mereka keluar dari pesawat. Angin sore menerpa
pohon-pohon cemara yang berada di sekeliling lapangan rumput.
"Terdampar
di tengah alam yang indah," kata Bob sambil menggeleng.
"Apanya
yang indah?" Jupe segera memprotes. "Ular berbisa, tanah longsor,
batu cadas tajam, kebakaran hutan, petir, binatang pemangsa yang kelaparan,
buah-buah yang beracun-itu baru sebagian dari ancaman-ancaman yang harus kita
hadapi." Jupe memang orang kota sejati. Sejak kecil ia tidak pernah suka
berkeliaran di alam bebas.
"Tunggu
dulu!" Bob berkata dengan nada penuh harap. "Bagaimana dengan orang
yang harus Ayah hubungi di Diamond Lake? Dia pasti curiga kalau kita tidak
muncul-muncul."
"Dia
tidak tahu bahwa kalian ikut," balas Mr. Andrews. "Saya tidak sempat
memberitahunya. Hmm, memang ada kemungkinan bahwa dia akan menelepon ke kantor
kalau saya tidak muncul-muncul. Tapi kalau tidak, maka kita harus menunggu
selama tiga hari sebelum orang-orang di ia mulai merasa curiga."
"Bagus,"
Pete bergumam.
"Oke,
Pete, kau sudah pernah berkemah sebelum ini, bukan?" ujar Mr. Andrews.
"Kau pasti tahu apa yang harus kita lakukan sekarang."
"Pertama-tama
kita harus membuat daftar barang-barang kita," Pete menjelaskan.
"Saya hanya membawa pakaian yang saya kenakan sekarang." Seperti
biasa ia memakai celana jeans dan sepatu tennis. T-shirtnya berwarna hitam.
Pada dadanya ada tulisan Pink Floyd (grup musik rock) dengan huruf-huruf
berwarna emas. "Selain itu saya masih punya jaket, pisau lipat, dan
beberapa potong pakaian dalam koper. Bagaimana dengan kalian?"
"Bawaanku
tidak jauh berbeda," kata Bob. Celana jeansnya bermerk Calvin Klein.
"Tapi aku tidak bawa pisau."
"Saya
juga tidak," kata Mr. Andrews, ia mengenakan celana jeans, kemeja, jaket,
serta topi pet kebanggaannya.
"Coba
kalau aku tahu bahwa kita akan memerlukan peralatan camping, Jupe mendesah.
"Tapi kalau dipikir-pikir, tiga hari rasanya tidak terlalu lama-meskipun
kita harus tidur di langit terbuka, tanpa banyak makanan..."
"Sebentar,
Jupe!" Bob cepat-cepat memotong. "Kenapa kau mengatakan tanpa banyak
makanan? Kau pasti merahasiakan sesuatu. Kalau tidak, kau pasti akan berkata
tanpa makanan sama sekalil Kau bawa perbekalan, ya!?"
Jupe
tersipu-sipu. "Aku tidak mau membangkitkan harapan palsu..."
"Makanan!"
Pete berseru. "Sini, berikan padaku!
"Kau
tidak perlu kalap seperti itu!" Jupe naik darah. "Kau bisa bertanya
secara sopan dan..."
"Sekarang
aku bertanya!" kata Pete.
"Saya
pun tidak keberatan kalau bisa mengisi perut," Mr. Andrews mengakui.
Jupiter
mengangkat bahu. "Oke, tapi makanan yang saya bawa mungkin tidak seperti
yang kalian bayangkan." Ia menghilang ke dalam pesawat.
"Hei,
Jupe!" Pete berseru. "Cepatan, dong! Kau bawa oven microwave,
ya?"
Jupiter
kembali sambil membawa ranselnya. Ransel itu berwarna merah menyala dengan
strip-strip putih. Pada bagian sampingnya ada tulisan came from pizza heaven,
ia mengeluarkan kantong plastik berisi popcorn, dan beberapa batang coklat.
"Sini,
sini, sini! Mana bagianku?" seru Pete dengan semangat berapi-api.
"Diet
macam apa ini, Jupe?" Bob bertanya keheranan. "Dan kenapa kau sendiri
tidak kelaparan?"
"Aku
lagi diet popcorn," jawab Jupe sambil menegakkan tubuh. "Setiap dua
jam aku harus makan secangkir popcorn. Aku baru saja menghabiskan jatahku
sesuai jadwal." ia meraih ke dalam kantong bajunya yang berukuran raksasa,
mengeluarkan tiga kantong plastik berisi popcorn, lalu menyerahkan
ketiga-tiganya pada Pete, Bob, dan Mr. Andrews.
"Bagaimana
dengan batang-batang coklat itu?" tanya Pete sambil melahap jatah
popcornnya.
"Silakan
ambil," Jupe berkata dengan nada datar.
"Batang
coklat? Astaga, diet macam ini?" Bob semakin heran. Tapi ia pun makan
dengan lahap.
"Diet
popcorn dan coklat masih mendingan dibanding diet-diet lain yang pernah dicoba
oleh Jupe," Pete berkomentar. "Kau masih ingat waktu Jupe hanya makan
jeruk dan buah prem?"
"Atau
waktu dia menjalankan diet kentang goreng?" Bob membalas.
"Bagaimana
dengan cairan dalam kaleng yang baunya seperti bensin?" Pete menambahkan.
ia
dan Bob ketawa terbahak-bahak.
"Aku
mengakui bahwa cairan karbohidrat itu tidak terlalu bermanfaat," ujar Jupe
dengan serius, kemudian tersenyum. "Tapi diet yang kujalankan sekarang
merupakan manifestasi kemajuan dunia sains dewasa ini."
"Apa
katanya?" Pete bertanya pada Bob.
"Maksud
Jupe, para pakar ilmu nutrisi akhirnya berhasil menciptakan diet yang efisien
dan efektif."
Dengan
pandangan putus asa Pete menatap Mr. Andrews.
Mr.
Andrews nyengir lebar. "Jupe yakin bahwa diet ini akan membantunya untuk
menurunkan berat badannya."
Pete
langsung geleng-geleng kepala. "Ya, ampun, Jupe! Kenapa kau tidak berlatih
olahraga saja, sih? Kau kan pernah ikut judo." ia melebarkan tangan dan
menggerakkan tubuhnya yang atletis. "Dengan berlatih secara teratur, berat
badanmu pasti akan berkurang. Kecuali itu kau akan merasa lebih sehat."
Jupe
bersandar pada bangkai pesawat, ia nampak pucat. "Setiap kali aku
merasakan dorongan untuk berolahraga," katanya sambil memejamkan mata,
"aku cepat-cepat membaringkan diri dan menunggu sampai dorongan itu hilang
dengan sendirinya."
Semuanya
ketawa. Jupe membuka mata dan tersenyum lebar, ia telah melatih otaknya sampai
cemerlang. Dan itu sudah cukup baginya.
"Terima
kasih atas makananmu, Jupe," ujar Mr. Andrews. "Sebaiknya kau
menjatahkan sisanya untuk tiga hari. Tapi ingat, kita mungkin harus bertahan
lebih lama lagi di sini."
"Bagaimana
kalau kita cari pertolongan saja?" Pete mengusulkan. "Barangkali saja
ada pondok petugas kehutanan di sekitar sini. Atau tempat berkemah, atau sebuah
jalan. Bagaimana pun juga kita harus mencari air minum. Ketika mengumpulkan
kayu bakar tadi, aku sempat mendengar suara air mengalir di sebelah sana."
ia menunjuk ke arah barat daya. "Tempat perke-mahan biasanya ada di dekat
aliran sungai."
"Kau
bisa memakai ini untuk mengangkut air," kata Jupe. Tangannya meraih ke
dalam pesawat, lalu mengambil sebuah botol berukuran dua liter yang pernah
berisi sari jeruk.
"Oke,"
ujar Pete, kemudian menyerahkan botol itu pada Bob. "Tolong bersihkan
dengan sabun, isi dengan air bersih, lalu masukkan pil iodine ke
dalamnya."
Bob
meraih botol itu. "No problem* Tapi apa yang akan kaulakukan
sekarang?"
"Aku
lihat jalan setapak di hutan sebelah selatan dari sini. Mungkin hanya lintasan
binatang liar, tapi siapa tahu?"
"Ide
yang bagus, Pete," kata Mr. Andrews. "Saya akan mencoba memanjat
tebing." ia mengangguk ke arah dinding granit yang membatasi tepi utara
lapangan rumput. Di bagian itu tebingnya tidak terlalu terjal. "Darj atas
sana saya bisa melihat sampai jauh. Mudah-mudahan saja saya menemukan menara
petugas kehutanan di sekitar sini."
"Ayah
sanggup?" tanya Bob dengan nada khawatir. "No problem!"
Kini
Mr. Andrews, Pete, dan Bob menatap Jupiter.
"Ehmmm..."Jupe
bergumam. "Mungkin ada baiknya kalau saya tetap di sini. Siapa tahu tim
penyelamat tiba-tiba muncul?"
"Kita
perlu lebih banyak kayu bakar," kata Pete. "Kayu yang masih basah,
supaya kita bisa membuat api sinyal yang banyak mengeluarkan asap. Dan tolong
ambilkan beberapa T-shirt dari koper-koper kita. Kau harus memanjat tiga atau
empat pohon, lalu mengikatkan baju-baju itu seperti bendera."
Begitu
mendengar penjelasan Pete, Jupe langsung kelihatan letih. Bob tiba-tiba
membayangkan sahabatnya yang gendut itu bertengger di puncak pohon. Langsung
saja ia ketawa berderai-derai.
"Dan
kalau itu semua sudah selesai kaukerja-kan," Pete melanjutkan dengan
riang, "kau harus menyusun batu-batu sehingga membentuk tulisan SOS di
tengah lapangan. Mungkin saja ada sebuah pesawat yang terbang cukup rendah
untuk membaca tulisan itu."
Jupiter
mendesah panjang. "Bagaimana kalau aku membangun pondok peristirahatan
sekaligus?" ia menawarkan. Yang lainnya ketawa.
"Oke,
oke," Jupe mengalah. "Aku akan mengumpulkan beberapa potong kayu
basah."
"Jangan
cuma beberapa," kata Pete. "Setumpuk!" Kemudian ia dan Bob
berangkat.
"Jangan
lupa mengingat-ingat jalan yang kalian lewati!" Mr. Andrews berseru.
"Di hutan seperti ini orang mudah sekali tersesat"
Bob
dan Pete berpencar di tepi lapangan rumput Bob menuju ke barat daya, ke arah
suara aliran air yang terdengar secara sayup-sayup. Pete menyusuri jalan
setapak dan menghilang ke arah tenggara.
Karena
teringat pada pesan ayahnya, Bob memperhatikan jalan yang ia lalui dengan
saksama, ia melewati sebuah pohon berbentuk unik-tiga batang pohon telah tumbuh
menjadi satu. Beberapa waktu kemudian Bob melewati sebuah batu besar, yang
menampilkan cekungan-cekungan mirip mangkok sup. Kelihatannya orang-orang
Indian yang dulu pernah tinggal di sini, memanfaatkan cekungan-cekungan itu
sebagai tempat menggiling gandum. Bob berusaha mengingat semua keanehan yang
dilihatnya sesuai urutan, dan akhirnya tiba di sebuah jalan setapak, ia
menyusuri jalan setapak itu ke arah suara aliran air. Semakin lama, suara itu
semakin keras.
Tidak
lama kemudian Bob telah menemukan sumbernya: sebuah sungai dangkal selebar
ku-rang-lebih 6 meter. Sungai itu mengalir di antara batu-batu, dan
ranting-ranting pohon yang menjuntai. Di kedua tepinya terhampar batu-batu
kerikil yang halus terkena erosi. Airnya jernih sekali, dan kelihatannya bisa
diminum.
Bob
mencuci botol yang dibawanya dengan sabun dari kotak obat di pesawat. Setelah
dibilas sampai bersih, ia mengisi botol itu dengan air, lalu memasukkan pil
iodine.
Tugas
berikutnya adalah mencari pertolongan. Tapi ke mana ia harus mencari?
Bob
teringat pada lembah yang sempat dilihatnya dari pesawat, ia tahu bahwa lembah
itu terletak di sebelah barat lapangan rumput, dan bahwa ada sungai di
tengah-tengahnya. Mungkin saja sungai itu sama dengan sungai tempat ia berdiri
sekarang. Jika perhitungannya tepat, maka lembah itu terletak di sebelah utara.
Lembah seindah itu pasti dilengkapi dengan tempat berkemah yang terbuka untuk
umum.
ia
menyusuri sungai ke arah yang berlawanan dengan aliran air. Hampir sepanjang
waktu ia bisa berjalan di tepi sungai. Tapi kadang-kadang ia harus membelok
untuk menghindari batu-batu besar, semak-semak berduri, atau genangan lumpur.
Suara aliran air semakin keras.
Akhirnya
ia mengelilingi sekumpulan pohon besar, lalu melangkah ke suatu lapangan
terbuka. Di salah satu sisi lapangan ia melihat sebuah air terjun yang cukup
tinggi. Pemandangannya benar-benar menakjubkan. Air terjun itu menderu-deru
seperti dengung sejuta tawon besar.
Bob
menghirup udara yang penuh dengan percikan-percikan air. ia menatap ke arah air
terjun, lalu memperhatikan tebing pada kedua sisinya. Aliran air telah mengikis
tepi atas tebing selama ribuan tahun, sehingga menghasilkan celah yang dalam.
Kalau
inilah air terjun yang sempat dilihat Bob dari pesawat, maka lembahnya ada di
balik tebing. Dan untuk mencapainya Bob harus memanjat dinding, granit di
hadapannya. Masalahnya, dari mana ia harus mulai?
Bob
mempelajari dinding batu yang tegak lurus itu, dan menemukan sebuah tempat
untuk menginjakkan kaki. ia meletakkan botol airnya, melewati hamparan
batu-batu, kemudian mulai memanjat. Ia naik pelan-pelan. Setiap tonjolan dan
akar pohon digunakannya sebagai pegangan.
Tiba-tiba
saja beberapa batu kerikil mengenai kepala Bob. Ia mendengar suara gemuruh, dan
langsung mendongak. Dengan mata terbelalak Bob melihat sebuah batu besar sedang
meluncur ke arahnya!
4.
Kesulitan Baru
Kecepatan
batu-batu longsor di atas Bob semakin tinggi. Tapi Bob tidak bisa mundur. Rasa
takut seakan-akan mencekik lehernya. Ini bukan waktu untuk berpikir, ini waktu
untuk bertindak!
Sambil
merapatkan badan pada permukaan tebing, ia langsung berusaha menghindar.
Keringat dingin membanjiri keningnya. Debu halus yang menempel pada bebatuan
membuat hidungnya terasa gatal.
Dengan
panik Bob bergerak ke kiri.
Suara
gemuruh tadi semakin memekakkan telinga.
Batu-batu
yang longsor meluncur di samping Bob. Kerikil-kerikil tajam menusuk-nusuk
kulitnya seperti ribuan jarum.
Longsoran
batu itu menghantam hamparan batu di kaki tebing. Baru sekarang Bob menyadari
bahwa tumpukan batu dan kerikil itu terbentuk oleh puluhan tanah longsor
seperti ini. Batu-batuan pada tebing ini tidak stabil. Tebing ini tidak aman
untuk dipanjat!
Bob
memejamkan mata. Rasa ngeri akibat kecelakaan yang nyaris menimpanya membuat
jantung anak itu berdetak dengan kencang.
Tetapi
ia tidak bisa berdiri di sini untuk selamanya.
ia
membuka mata dan memandang ke sekeliling. Apa yang harus dilakukannya sekarang?
Naik? Atau turun lagi?
Kemudian
ia melihat pemandangan yang aneh. Tempat pegangan tangan-atau tempat untuk
menginjakkan kaki. Bukan, kedua-duanya! Dan sepertinya buatan manusia! Tak ada
kekuatan alam yang bisa membuat jalur pegangan tangan dan pijakan kaki dengan
begitu sempurna.
Dengan
tubuh masih agak gemetar, Bob pindah dari celah sempit tempat ia bergelantungan
ke jalur pegangan tangan dan pijakan kaki yang lebih aman. Baru sekarang ia
melihat bahwa jumlahnya cukup banyak. Pegangan tangan serta pijakan kaki itu
membentuk jalur memanjat yang rapi namun berbahaya. Jalur yang menuju ke bagian
kiri tebing itu mungkin dibuat oleh orang-orang Indian, lebih dari seratus
tahun lalu.
Bob
melirik jam tangannya. Hari sudah menjelang sore. Yang lain pasti sudah
menunggunya.
Ia
terus merayap naik. Beberapa saat ia mencapai celah di atas air terjun, ia
terus bergerak berlawanan dengan arah aliran air.
Dan
kini ia berhadapan dengan lembah indah yang sempat dilihatnya dari udara.
Lembah itu tertutup hutan, dan memanjang jauh ke arah cakrawala. Tebing-tebing
yang membatasinya terbuat dari granit. Sungai di bagian tengah mengalir pelan
dan penuh damai, berbeda sekali dengan arus deras yang jatuh melewati tepi
tebing. Namun harapan Bob tidak terkabul, ia tidak menemukan tempat perkemahan
seperti yang diharapkannya.
Angin
yang bertiup dari sebelah utara membawa bau belerang yang tajam. Ini berarti
bahwa mungkin ada sumber air panas di sini. Kedua mata Bob terasa perih sekali.
Ia memalingkan kepala, kemudian menoleh lagi untuk terakhir kalinya.
Rasanya
sudah lama sekali sejak ia, Jupe, Pete, dan ayahnya melihat lembah ini dari
pesawat. Begitu banyak yang terjadi sejak itu. Mereka beruntung bahwa mereka
masih hidup sekarang. Kalau bukan karena keahlian ayahnya sebagai pilot ketika
sistem elektrik tiba-tiba mati...
Bob
membuang pikiran itu jauh-jauh, lalu berbalik untuk kembali menyusuri jalur memanjat,
ia lewat di tempat ia nyaris menjadi korban tanah longsor, kemudian menyeberang
sebuah tonjolan sempit yang ditumbuhi semak-semak. Setelah beberapa belas
meter, jalur memanjat mulai menurun lagi.
Entah
kenapa orang-orang Indian tidak ingin orang lain mengetahui jalur yang mereka
buat untuk mencapai lembah tadi. Ketika jalur itu sudah cukup dekat ke kaki
tebing, sehingga kelihatan dari bawah, letaknya malahan berjauhan dari ruang
terbuka di sekitar air terjun.
Bob
segera melompat ke tanah, lalu melirik jam tangannya. Sekarang ia benar-benar
terlambat!
Ia
bergegas ke tempat ia meninggalkan botol air, menyambarnya tanpa berhenti, lalu
berlari menyusuri lintasan binatang liar yang membelah hutan. Kemudian ia
meninggalkan jalan setapak itu, dan menyusuri patokan-patokan yang sempat ia
hafalkan tadi-tapi kini dalam urutan terbalik.
Ketika
Bob sampai di lapangan rumput, matahari sudah hampir terbenam. Bob merasa
letih, tapi gembira. Tunggu saja sampai yang lain mendengar apa yang baru saja
dialaminya!
***
Setelah
berpisah dari Bob, Pete mulai menyusuri jalan setapak yang ia temukan pada
waktu mengumpulkan kayu bakar. Jalan itu menuju ke hutan lebat di sebelah
tenggara-sesuai dengan perkiraan Pete.
Sinar
matahari menyusup di antara daun-daun, dan menghasilkan pola gelap-terang di
tanah. Di atas kepala Pete dahan-dahan besar nampak saling bersilangan, dan
kadang-kadang menghalangi pandangan ke langit Udara berbau tanah dan daun
cemara.
Pete
terus menyusuri jalan setapak itu selama setengah jam. Sepanjang waktu ia
berusaha menemukan jejak manusia, ia melihat jejak rusa dan kucing hutan, juga
tumpukan kotoran kijang dan beruang. Namun dengan kecewa ia menyadari bahwa tak
ada bekas sepatu lars atau sepatu tenis. Dalam hati Pete masih berharap untuk
mencium bau asap dari sebuah api unggun, mendengar suara mesin mobil, atau
melihat tiang telepon. Tapi harapannya tidak menjadi kenyataan.
Tiba-tiba
Pete merasa bahwa sesuatu sedang mendekatinya dari belakang-sejajar jalan
setapak dan dengan kecepatan tinggi. Seseorang atau seekor binatang.
Ia
mendengar bunyi keresek-keresek.
Pete
langsung berhenti dan memasang telinga sambil berkonsentrasi penuh. Tanpa
bersuara ia meninggalkan jalan setapak, lalu bersembunyi di balik sebatang
pohon.
Bunyi
tadi semakin mendekat-hampir di depan Pete-dan kemudian berlalu begitu saja.
Pete tidak sempat melihat apa-apa.
Bulu
kuduknya berdiri. Apa yang menimbulkan bunyi itu?
"Hei!"
Pete berseru keras-keras. Jika bunyi itu ditimbulkan oleh seekor binatang, maka
Pete berharap agar suaranya mengusir binatang itu. "Stop!" Seorang
manusia pasti akan berhenti untuk mencari tahu siapa yang berteriak, dan
mengapa.
Pete
berdiri seperti patung. Tak ada lompatan tiba-tiba. Tak ada bunyi langkah
menembus semak-semak. Namun bunyi keresek tadi tetap menjauh, seakan-akan Pete
tidak pernah berteriak.
Pete
mulai mengejar suara itu. Ia berlari dengan sekuat tenaga. Beberapa saat
kemudian ia mengurangi kecepatan, dan kembali memasang telinga. Suara
keresek-keresek kembali terdengar.
Pete
meninggalkan jalan setapak, lalu menerobos ke dalam hutan.
Kemudian
ia melihat sebuah sosok-seorang laki-laki. Sosok itu nyaris tak kelihatan
karena bergerak di bawah bayang-bayang pepohonan.
"Stop!"
Pete berseru sambil mengejar sosok misterius itu. "Saya ingin bicara
dengan Anda! Kami butuh pertolongan!"
Sosok
itu nampak ragu-ragu. Irama langkahnya jadi kacau. Tapi kemudian ia kembali
menambah kecepatan, dan menghilang di bagian hutan yang paling gelap.
Pete
terus mengejarnya. Orang macam apa yang tidak mau menyahut kalau dimintai
tolong? Dengan gesit Pete melewati sekumpulan pohon-pohon besar.
Sosok
misterius itu telah menghilang. Lenyap! Sikap orang-atau hantu!-itu benar-benar
menyeramkan.
Pete
berhenti untuk mengamati sekitarnya. Tapi tak ada apa-apa.
"Saya
hanya ingin bicara dengan Anda!" Pete berseru. "Saya dan teman-teman
saya tersesat di sini!" Ia menunggu.
Tak
ada jawaban.
"Kami
tidak akan menyakiti Anda..." Hening. Aku harus menemukan orang itu, pikir
Pete, lalu mulai memeriksa daerah sekeliling.
Tiba-tiba
saja ia teringat pada waktu, ia melirik jam tangannya. Hari sudah sore. ia
harus segera kembali.
Tapi
kembali ke mana?
Dasar
ceroboh! Pete memaki dirinya sendiri, ia bahkan tidak tahu di sebelah mana
jalan setapak yang disusunnya tadi! Dan selama mengejar sosok misterius itu, ia
sama sekali tidak ingat untuk memperhatikan patokan-patokan di sepanjang jalan.
Rasa
panik mulai menguasai Pete. Secara mendadak ia sadar bahwa ia telah tersesat!
5.
Di Mana Mr. Andrews?
Pete
menarik nafas dengan pelan. Hei, santai saja! ia berkata pada dirinya sendiri.
Kau berhasil sampai di sini. Sekarang tinggal cari cara untuk kembali!
Sekali
lagi Pete melirik jam tangannya. Kemudian ia pindah ke suatu tempat di mana ia
bisa melihat posisi matahari dengan jelas.
Pete
mulai berpikir. Ketika menyusuri jalan setapak dan menjauh dari lapangan
rumput, ia berjalan ke arah tenggara. Pada waktu itu matahari berada di atas
bahu kanannya. Kini matahari sudah lebih rendah. untuk menuju ke arah barat
laut, matahari harus berada di sebelah kiri, hampir setinggi dadanya.
Menemukan
sebuah lapangan rumput di tengah hutan lebat merupakan tugas yang hampir
mustahil. Tapi mau tidak mau Pete harus mencobanya.
ia
bergerak dengan hati-hati. Pandangannya selalu mengawasi posisi matahari.
Burung-burung berkicau. Angin menerpa puncak pepohonan. Binatang-binatang kecil
berlari menjauh ketika mendengar langkah Pete.
Pete
berjalan selama satu jam. Sial, aku belum mengenali apa-apa, ia berkata pada dirinya
sendiri.
Matahari
semakin rendah. Tinggal sejam lagi sampai matahari tenggelam di sebelah barat
Tiba-tiba Pete kembali mendengar suara langkah di hutan, ia hendak memanggil,
namun kemudian berubah pikiran. Tanpa berkata apa-apa ia berjalan mengikuti
suara itu.
Suara
langkah ini, yang lebih berisik dibandingkan dengan yang ia dengar tadi,
membawanya ke arah utara.
Pete
mungkin sudah kehilangan akal! Seharusnya ia berusaha kembali ke lapangan
rumput, bukannya membiarkan diri semakin tersesat!
Suara
langkah itu berhenti.
Selama
sedetik Pete nampak ragu-ragu. Tapi setelah itu ia segera melesat maju-dan
berhenti mendadak.
"Bob!"
Pete berseru dengan heran.
Bob
menoleh ke belakang. "Hallo, Pete! Bagaimana, kau berhasil menemukan
sesuatu?" ia bertanya sambil tersenyum.
Pete
ketawa. ia lega sekali karena akhirnya menemukan seseorang yang mau menyahut!
Sambil membungkuk ia menyeruduk ke depan.
"Aduuuh!"
Bob berseru, lalu ikut ketawa.
Pete
menabrak perut Bob, kemudian memanggul sahabatnya ke lapangan rumput.
"Hei,
aku baru saja bertemu dengan seseorang yang kukenal!" kata Pete.
"Kau!" Tawanya meledak-ledak.
Bob
melepaskan diri dari cengkeraman Pete, dan menggelengkan kepala. "Dasar
sinting! Apakah pernah ada yang memberitahumu bahwa kau tidak waras?"
"Ada!"
jawab Pete. "Kau!"
Pete
merangkul bahu Bob. Bersama-sama, dan sambil bertukar cerita, mereka menuju
bangkai pesawat.
"Tanah
longsor?!" ujar Pete. "Astaga, untung saja kau tidak tergencet di
bawah batu-batu itu!"
"Dan
kau sendiri?" balas Bob. "Kau tersesat gara-gara hantu hutan!"
Kedua
pemuda itu menggeleng seakan-akan tidak percaya pada kesialan beruntun yang
menimpa mereka.
"Eh,
lihat tuh! Jupiter lebih sukses dari kita berdua," kata Bob sambil
menunjuk ke depan. "Asap api itu cukup tebal untuk menarik perhatian
petugas kehutanan!"
Jupe
duduk di samping api unggun yang mengeluarkan asap tebal. Menjelang malam suhu
udara semakin turun, sehingga Jupe mengancingkan jaketnya sampai ke kerah, ia
telah mengeluarkan semua ransel dari pesawat, lalu menyiapkan tempat bermalam
seadanya. Tanah dalam radius 2 meter dari api unggun sudah dibersihkan dari
daun kering, rumput, serta benda-benda lain yang mudah terbakar. Tumpukan daun
cemara tinggal diatur sebagai tempat tidur darurat.
"Sergapanmu
hebat juga," Jupe berkata pada Pete, ketika melihat kedua sahabatnya
mendekat.
"Pete
cuma gembira karena bertemu aku," Bob menjelaskan.
Jupe
segera menatap tubuh Pete yang penuh otot. "Mudah-mudahan saja aku tidak
disambut dengan cara yang sama."
"Apakah
kau lebih suka kalau aku menciummu?" tanya Pete.
"Coba
saja!" Jupe mengancam. "Bibirmu akan mengering dan copot dari
mulut!"
Ketiga
sahabat itu ketawa. Pete dan Bob mengenakan jaket masing-masing, lalu berdiri
di dekat api. Sambil menghangatkan tangan, keduanya melaporkan hasil pencarian
mereka pada Jupe.
Bob
memandang sekeliling. "Mana ayahku?"
"Belum
datang," jawab Jupe.
"Seharusnya
dia sudah lama kembali ke sini," ujar Bob cemas. Ia menatap ke arah tebing
dan teringat pada luka memar pada kepala ayahnya. Langsung saja ia bergegas ke
arah sana.
"Hei,
tunggu dong!" Pete berseru, lalu menyusul.
Jupe
mendesah, ia pun merasa khawatir. Tapi ia tidak bisa ikut, sebab salah satu
dari mereka harus tetap mengawasi api unggun. Jupe tahu bahwa api unggun yang
dibiarkan menyala tanpa pengawasan bisa menimbulkan kebakaran hutan.
Pete
mengamati langit di sebelah barat. Setengah jam lagi matahari akan menghilang
di balik cakrawala. Dan tidak lama setelah itu keadaan akan menjadi gelap
gulita.
Bob
segera mulai memanjat tebing. Batu-batu di sini ternyata cukup kokoh, karena
tidak terkikis seperti tebing di sekitar air terjun. Kecuali itu
lapisan-lapisan batu granit nampak bertumpuk-tumpuk seperti tangga raksasa,
sehingga tidak terlalu sulit dinaiki. Namun Bob dan Pete tetap harus
berhati-hati. Permukaan batu di beberapa tempat sangat licin, akibat dipoles
oleh gerakan lapisan es beberapa ribu tahun silam.
Ketika
sampai di atas, Pete dan Bob berdiri di tepi tebing. Napas mereka
tersengal-sengal.
Dengan
cemas Bob memandang sekitar. "Aku tidak melihatnya," ia berkata.
"Barangkali
ayahmu sedang duduk dan beristirahat," Pete mencoba menenangkan
sahabatnya.
Di
bawah mereka terdapat pemandangan yang hendak dilihat oleh Mr. Andrews.
Gunung-gunung berhutan menghampar sejauh ratusan mil. Matahari yang sudah
hampir tenggelam membanjiri puncak-puncak gunung dengan cahaya keemasan.
Lembah-lembah sebaliknya nampak hitam pekat Sejauh mata memandang tidak ada
menara petugas kehutanan.
Mereka
berbalik, lalu mulai memeriksa bagian atas tebing. Daerah itu datar, penuh
batu-batu berserakan. Di sebelah utara dataran ini, Pete dan Bob melihat tepi
hutan cemara. Hutan itu merayap sampai ke punggung bukit yang nampak melebar di
kejauhan. Diamond Lake terletak di balik bukit itu.
Pete
dan Bob berpencar lagi.
"Ayah!"
"Mr.
Andrews!
"Ayah!"
Angin
dingin menyapu dataran tempat mereka berdiri. Bob mulai menggigil. Di mana
ayahnya? Ayahnya tidak mungkin pergi jauh-jauh tanpa memberi tahu siapa-siapa.
Dan
kemudian ia melihatnya: topi pet bertulisan Los Angeles Dodgers milik ayahnya.
"Ayah!"
Bob memanggil dengan nyaring. Ia menghampiri topi pet yang tergeletak di
samping semak-semak. "Ayah!" Mr. Andrews pasti tidak jauh dari sini.
"Ayah ada di mana?"
"Hei,
kau menemukan sesuatu?" Pete bertanya sambil mendatangi Bob.
Bob
segera menunjukkan topi ayahnya. "Ini topi kesayangan ayahku. Ia tidak
mungkin membiarkannya tergeletak di sini. Pasti telah terjadi sesuatu. Mungkin
ia cedera. Atau pusing dan bingung. Atau tersesat."
"Coba
kulihat dulu," kata Pete. Ia memeriksa topi Mr. Andrews dari segala sudut.
Topi itu ternyata tidak sobek, kotor, maupun berdarah.
"Ayah!"
Bob kembali berseru.
"Jangan
panik! Mungkin saja topi ini terjatuh tanpa sengaja."
Bob
menggeleng dengan pasti. "Tidak mungkin. Ini adalah topi keberuntungan
ayahku."
Pete
memungut beberapa batu sebesar kepalan tangan. "Aku akan membuat tanda di
sini, supaya kita bisa ingat di mana kita menemukan topi ayahmu. Kau terus saja
mencari."
Bob
mengangguk dan kembali memanggil-manggil ayahnya.
Pete
melirik ke arah matahari tenggelam. Dengan cepat ia membuat tumpukan
batu-sebuah tanda yang umum digunakan oleh para pencinta alam. Kemudian ia ikut
mencari, ia tidak mau menunjukkan pada Bob bahwa ia pun mencemaskan nasib Mr.
Andrews.
Bob
dan Pete membentuk corong dengan tangan masing-masing, lalu mulai memanggil.
Tetapi seruan mereka tersapu oleh tiupan angin. Mereka mencari di balik
batu-batu besar, di belakang pohon-pohon, serta di dalam retakan-retakan batu
granit
"Kita
harus kembali ke pesawat," Pete akhirnya menyerah.
"Jangan
dulu!" Bob memprotes. Sambil terus mencari, ia mendekati hutan yang
membatasi dataran di atas tebing.
"Ayo!"
Pete mendesak. "Ayahmu pasti ingin agar kita kembali!"
"Tidak!"
Bob bisa merasakan bahwa ayahnya berada tidak jauh dari mereka.
"Ayahmu
pasti marah besar kalau tahu bahwa kita juga tersesat!" Pete berseru.
Bob
berhenti, ia nampak putus asa.
"Ayo,
Bob! Matahari sudah hampir tenggelam," Pete berkeras. "Sebentar lagi
kita tidak bisa lihat apa-apa."
Bob
membalik. Logika Pete berhasil membujuknya. Tapi ia belum mau menyerah. Besok
pagi-pagi aku mulai lagi, ia berjanji dalam hati.
Mereka
menyusuri tepi tebing sampai menemukan tempat di mana mereka memanjat ke atas
tadi. Mereka turun lewat jalan yang sama. Bulan di langit nampak hampir bulat,
tetapi pantulan cahayanya tidak cukup terang untuk meneruskan pencarian.
Sambil
menggigil kedinginan, Pete dan Bob bergegas ke arah camp yang disiapkan oleh
Jupe. Mereka dikelilingi kegelapan. Api unggun di depan mereka merupakan
satu-satunya patokan.
"Belum
berhasil?" tanya Jupe.
"Kami
hanya menemukan topi Mr. Andrews," jawab Pete. Kemudian ia melaporkan apa
yang mereka lihat di atas. Bob duduk di atas sebuah batu. ia nampak sedih
sekali. Sambil membisu ia menatap lidah api yang menari-nari di depannya.
Jupe
mengerutkan kening dan menatap Pete. Pete mengangguk. Mereka harus menghibur
Bob.
"Eh,"
Pete tiba-tiba berkata. "Katanya grup 'Hot Pistons' benar-benar hebat,
ya?" Yang dimaksudnya adalah sebuah band yang ditangani oleh perusahaan
pencari bakat tempat Bob bekerja.
"Ya,
kemampuan mereka memang di atas rata-rata," Bob menjawab lesu, sambil
terbengong-gengong.
"Yah,"
Jupe melanjutkan, "apa judul album mereka yang terbaru?"
"Low
to the ground'," jawab Pete. "Hei, Bob! Kau hafal liriknya?"
"Sudahlah,
Pete. Aku tidak..."
"Ayo
dong, Bob! Tempat ini membuatku gelisah," Pete berbohong.
"Oke,
deh...'Cruisin' in my Chevy down the Coast Highway...'" Bob mulai
bernyanyi.
Kedua
sahabatnya segera bergabung. Dalam waktu singkat nyanyian mengenai mobil-mobil
kencang telah memenuhi udara malam. Pete memungut sepotong kayu, lalu mulai
berlagak seperti pemain gitar. Namun Pete pun sempat terkejut ketika Jupe
tiba-tiba berdiri, lalu bergoyang seirama dengan lagu yang mereka dendangkan.
Kemudian, dengan wajah merah padam, ia berganti peran dan mulai meniru tingkah
pemain drum. Mau tidak mau Bob terbawa arus kegembiraan, sehingga untuk sesaat
ia melupakan pikiran suram mengenai nasib ayahnya.
Setelah
menyanyikan beberapa lagu, ketiga sahabat itu bersiap-siap untuk tidur.
"Buka
baju yang kalian pakai sekarang," Pete berkata pada Jupe dan Bob,
"lalu pakai svmua baju lain yang ada. Tidak baik tidur dengan baju lembap
di alam terbuka."
Jupe
menggerutu, tapi ia sadar bahwa Pete benar. Suhu udara pasti turun lagi
menjelang subuh, sedangkan api unggun mungkin sudah padam pada waktu itu.
Setelah
kedua sahabatnya mengancingkan jaket masing-masing, Pete kembali mengatur.
"Sekarang lakukan hal yang sama dengan kaos kaki kalian. Jangan pakai
sesuatu yang sudah kalian pakai tadi. Kaos kaki yang basah akan menyedot panas
tubuh kalian."
Sambil
menyeringai karena terpaksa mencium bau jempol, Bob dan Jupe menuruti anjuran
Pete.
Jupe
mengambil jatah makanan untuk malam ini dari pesawat, lalu membagi-bagikannya.
Mereka makan dengan lahap. Kemudian mereka membuat tempat tidur dengan
daun-daun cemara.
Pete
membawa kantong-kantong popcorn yang telah kosong kembali ke pesawat.
"Jika kita membiarkan sampah bekas makanan tergeletak," katanya,
"maka kita akan kedatangan tamu tak diundang. Binatang-binatang liar
memiliki penciuman yang sangat tajam. Mereka akan datang untuk berfoya-foya.
Apa jadinya kalau seekor puma menyangka bahwa kita hidangan utamanya?"
Ketiga
sahabat itu membungkus diri dengan selimut, lalu berbaring mengelilingi api
unggun. Lidah api yang biru dan Jingga kekuning-kuningan nampak menari-nari.
Mereka
memejamkan mata. Mereka perlu istirahat agar tenaga mereka pulih kembali besok.
Begitu bangun mereka akan segera meneruskan pencarian atas Mr. Andrews!
Tiba-tiba
saja Jupe teringat pada sesuatu. "Hei, Bob!" ia bergumam sambil
terkantuk-kantuk. "Bagaimana dengan lensa kontakmu?"
"Jangan
khawatir, Jupe," jawab Bob. "Aku menggunakan lensa jenis baru, yang
bisa dipakai terus menerus selama seminggu."
"Dan
kita pasti sudah pergi dari sini sebelum lensa kontak yang kaupakai mulai
menempel di bola matamu," Pete berkomentar.
Sambil
ketawa ketiga anggota Trio Detektif bersiap-siap untuk tidur.
Pete
dan Jupe segera terlelap. Namun lain halnya dengan Bob. Ia tetap membuka mata
dan menatap bintang-bintang yang gemerlapan di langit malam. "Ayah tidak
perlu khawatir," ia berbisik dengan lembut. "Kami pasti datang!"
Bob
memejamkan mata. Seekor burung hantu berteriak. Beberapa anjing hutan melolong
bersahut-sahutan. Bob seperti mendengar suara mobil di kejauhan. Tapi pada malam
hari di tengah alam bebas memang sukar untuk membedakan antara khayalan dan
kenyataan.
Ia
menarik napas panjang. Tak ada gunanya untuk tetap terjaga. Perlahan-lahan
otot-otot Bob mulai mengendur. Rasa kantuk mulai menyerang, dan Bob pun
tenggelam dalam alam mimpi.
6.
Pelari Misterius
Matahari
nampak pucat di atas lereng-lereng gunung di sebelah timur lapangan rumput.
Ketiga anggota Trio Detektif segera berdiri, lalu menggerak-gerakkan badan. Api
unggun telah lama padam. Sepanjang malam tidak ada yang menambahkan kayu bakar.
Untung saja tubuh anak-anak itu terbungkus selimut serta pakaian tebal.
"Semalam
suhu tidak jatuh ke bawah titik beku," Bob berkata sambil memperhatikan
air dalam botol minum yang tidak berubah menjadi es. "Mudah-mudahan saja
ayahku tidak terlalu kedinginan."
Ketiga
detektif muda menghabiskan sisa popcorn sebagai sarapan. Batang-batang coklat
mereka simpan untuk makan malam. Mereka menjemur selimut masing-masing, lalu
membuka baju serta kaos kaki tambahan.
Bob
keluar dari pesawat sambil membawa sebuah buku catatan. "Catatan
ayahku," ia menjelaskan. "Pada halaman pertama ada tanggal kemarin,
dan nama seorang pria: Mark MacKeir. Kalian pernah dengar namanya?"
"Belum,"
Pete dan Jupe menjawab berbarengan.
"Barangkali
orang inilah yang seharusnya ditemui oleh ayahku," Bob menduga-duga.
"Tanggalnya cocok, dan ayahku tidak membawa buku catatan lain." Ia
menyelipkan buku kecil itu ke dalam kantong dada. Kemudian ketiganya menuju ke
tebing.
Bob
yang pertama naik. Setelah sampai di atas, ia menunggu yang lain di dekat tanda
yang dibuat Pete. Sambil bertolak pinggang ia mengamati dataran yang penuh
dengan batu berserakan. Karena memakai topi pet ayahnya, ia kelihatan seperti
Mr. Andrews pada waktu masih muda.
"Oke,"
Bob berkata dengan tegas, "kita akan berpencar lagi sekarang. Semalam Pete
dan aku sudah memeriksa daerah sekitar sini. Aku akan menuju lebih ke utara, ke
arah tepi hutan. Kalian mencari di sebelah kiri dan kanan. Dalam satu jam kita
ketemu lagi di sini, oke?"
Ketiga
sahabat itu mencocokkan jam tangan, kemudian berpencar untuk meneruskan
pencarian di antara batu-batu besar. Mereka memanggil-manggil Mr. Andrews, dan
memeriksa setiap celah serta retakan pada permukaan batu cadas-tanpa hasil.
Dalam
waktu singkat mereka telah menyapu daerah yang cukup luas. Ketika kembali,
masing-masing berharap agar temannya lebih beruntung dan berhasil menemukan Mr.
Andrews.
Namun
rupanya mereka masih saja dibuntuti oleh nasib buruk.
Tumpukan
batu yang menunjukkan tempat Bob menemukan topi ayahnya telah lenyap.
"Mana
tanda yang kita buat?" Pete keheranan.
Perlahan-lahan
mereka berjalan di atas batu granit yang berwarna abu-abu.
"Seharusnya
ada sini," kata Bob.
"Bukan,
di sini," ujar Pete.
"Dua-duanya
bukan," Jupe berkata dengan yakin. "Tanda itu mestinya berada di
sini. Aku ingat bercak bekas lumut pada permukaan batu ini. Aku tahu bahwa kita
tadi mulai mencari dari sini."
Ia
membungkuk, memungut sebuah puntung rokok, kemudian mengamatinya dengan
saksama. "Coba perhatikan puntung rokok ini," katanya. "Warnanya
masih putih bersih. Berarti puntungnya belum lama tergeletak di sini. Aku
yakin, puntung ini belum ada di sini waktu kita berpencar tadi. Aku pasti
melihatnya, begitu juga kalian."
"Apa
maksudmu?" tanya Pete.
"Jupe
hendak mengatakan bahwa ada orang yang datang ke sini," ujar Bob sambil
merenung. "Seorang perokok. Orang itulah yang menyingkirkan tanda kita.
Dia juga mengawasi segala gerak-gerik kita."
"Paling-paling
anak-anak iseng," kata Jupe sambil memperhatikan puntung rokok di
tangannya. Sebuah pita berwarna hijau melingkari filter puntung itu.
"Kelihatannya seperti rokok mahal." Ia memasukkan puntungnya ke dalam
kantong baju.
"Kita
harus meneruskan pencarian," Bob memutuskan. "Ayahku tidak ada di
Sini. Aku rasa kita sebaiknya pindah ke daerah yang didatangi Pete kemarin.
Pete sempat melihat seseorang. Mungkin saja ayahku."
"Rasanya
sih bukan," kata Pete.
"Belum
tentu," Bob berkeras. "Kau tidak sempat melihat orang itu dengan
jelas, bukan? Jika kepala ayahku terbentur lagi. maka ada kemungkinan bahwa ia
kehilangan arah dan tersesat sampai ke sana."
"Tapi
kalau itu memang ayahmu," ujar Pete, "kenapa dia tidak menyahut
ketika aku memanggilnya?"
Tak
ada yang bisa menjawab pertanyaan itu.
"Paling
tidak kita bisa mencari tahu siapa yang kaulihat di sana," Bob menanggapi
pertanyaan Pete. "Dan siapa tahu di sana juga ada pos petugas kehutanan.
Mereka pasti bisa membantu kita."
Jupe
dan Pete saling bertatapan, lalu mengangguk Usul Bob memang masuk akal. Dinas
kehutanan memiliki semua perlengkapan yang diperlukan untuk melancarkan
pencarian besar-besaran.
***
Mereka
kembali ke camp. Bara api kelihatannya sudah padam. Tetapi untuk berjaga-jaga,
Jupe menimbunnya dengan tanah. Pete dan Bob mengatur batu-batu sehingga
membentuk tulisan SOS di tengah lapangan rumput. Kemudian mereka mengisi
kantong masing-masing dengan beberapa batang coklat. Bob membawa botol berisi
air minum.
"Jangan
lupa bawa selimut," Pete mengingatkan kedua sahabatnya. "Dan kotak
obat. Aku sempat kesasar kemarin. Sebaiknya kita mempersiapkan diri untuk
menghadapi kemungkinan terburuk."
Bob
dan Jupe mengangguk. Dalam hati Bob menyesalkan bahwa ayahnya tidak punya
selimut semalam.
Sinar
matahari menembus puncak pepohonan, dan membentuk kerucut-kerucut terang di
antara bayang-bayang hutan. Sambil beriring-iringan, Bob, Pete, dan Jupe
menyusuri jalan setapak yang dilewati Pete kemarin sore. Pandangan Bob, yang
masih mengenakan topi ayahnya, terus beralih dari kiri ke kanan.
Mereka
baru saja sampai di tepi suatu lapangan terbuka, ketika mereka mendengar suara
pesawat.
"Ya,
Tuhan!" Jupe berseru.
Ketiga
sahabat itu langsung berlari ke tengah lapangan. Mereka melambaikan tangan ke
arah pesawat yang terbang tinggi di atas hutan. Mereka berteriak-teriak. Pete
mengeluarkan selimut, lalu mengayunkannya dengan liar. Bob dan Jupe melakukan
hal yang sama. Dalam keputus-asaannya, Bob sampai melompat-lompat di tempat. Ia
memerlukan bantuan untuk menemukan ayahnya.
"Hei,
kami ada di sini!"
"Lihat
ke bawah!"
Namun
pesawat itu meneruskan perjalanan, dan akhirnya menghilang di balik gunung.
"Mudah-mudahan
saja mereka lihat tanda SOS kita!" ujar Bob penuh harap.
Tapi
semuanya sadar bahwa pesawat itu terbang terlalu tinggi.
Bob
kembali menyusuri jalan setapak. "Kita harus menemukan ayahku-biarpun
tanpa bantuan mereka."
Dengan
tekad bulat ketiga sahabat itu berangkat lagi.
Perut
Pete berbunyi. Begitu juga perut Jupe.
"Wah,
suaranya stereo!" Pete bergurau.
"Dasar
sinting!" Bob menanggapinya sambil tersenyum.
Tiba-tiba
Pete berhenti, dan menempelkan jari telunjuk pada bibir. Ia memandang ke
sebelah kiri.
Bob
sepera menoleh ke arah yang sama. ia melihat dahan-dahan semak belukar di
antara pohon-pohon bergerak-gerak. Ayah! langsung terlintas kepalanya.
Sayup-sayup terdengar suara langkah. Dan kemudian Bob melihat
penyebabnya-sebuah sosok langsing, berpakaian rompi dan celana kulit, bergerak
dengan gesit di antara bayang-bayang pohon. Bob kecewa sekali. Ternyata bukan
ayahnya.
Pete
menunjuk ke arah jalan setapak. Jupe dan Bob segera paham bahwa Pete
menginginkan mereka tetap di tempat. Sedetik kemudian pemuda itu telah
menghilang di hutan.
Jupe
dan Bob bergegas menyusuri jalan setapak. Mereka berusaha untuk mengimbangi
kecepatan Pete. Mereka mendengar bunyi dahan patah, dan beberapa kali melihat
Pete. Namun orang yang sedang dikejarnya tidak menampakkan diri lagi.
Pete
melesat di antara batang-batang pohon. Ia yakin bahwa orang di depan adalah
orang yang sempat ia lihat pada hari sebelumnya. Tetapi hari ini langkah Pete
lebih ringan dibandingkan kemarin. Sang pemburu dan buruannya terus beradu
cepat, sampai Pete menyadari bahwa irama langkah orang itu mulai berubah.
Rupanya dia sudah mengetahui kehadiran Pete.
Orang
itu membelok ke kanan, melewati sekelompok pohon besar, dan berusaha untuk
melepaskan diri dari kejaran Pete-persis seperti kemarin.
Namun
kali ini Pete tidak mau tertipu Ia segera membelok ke kiri, dan melewati
kelompok pohon itu pada sisi berlawanan. Ketika hampir mengelilinginya, ia
berhenti secara mendadak. Perlahan-lahan ia membalik badan. Matanya nyaris
copot dari kepala.
Pete
menatap sepasang mata berwarna hitam milik seorang pemuda yang sebaya
dengannya.
Pemuda
Indian itu mengenakan rompi kulit dan celana jeans. Ia berdiri seperti patung.
Bahkan matanya pun tidak berkedip.
Pete
menarik napas. "Hei, kami butuh pertolongan..." ia mulai berkata.
Mulut
pemuda Indian itu tetap tertutup rapat. Secepat kilat ia berbalik, lalu berlari
menjauh- nyaris tanpa bersuara.
Pete
berusaha mengejarnya, tetapi pemuda itu telah menghilang. Belum pernah Pete
bertemu dengan pelari secepat itu.
Pete
tetap berlari. Namun akhirnya ia sadar bahwa usahanya sia-sia. Ia kesal sekali
karena pemuda Indian itu menolak untuk bicara dengannya, serta tidak bersedia
membantu.
Sementara
itu Bob dan Jupe terus menyusuri jalan setapak. Bob berlari di depan. Jupe
berusaha keras agar tidak ketinggalan terlalu jauh. Jalan setapak itu
seakan-akan tak berujung, terutama pada saat-saat Pete menghilang di antara
pepohonan.
Tiba-tiba
saja Pete muncul beberapa puluh meter di depan mereka. Napasnya
tersengal-sengal. Rambutnya nampak acak-acakan, dan wajahnya basah karena
keringat
"Kalian
sempat lihat orang itu?" tanya Pete, ketika Bob dan Jupe menghampirinya.
"Siapa?"
"Pemuda
Indian itu!"
"Apa?"
Bob berseru keheranan.
"Brengsek!
Berarti dia lolos lagi," ujar Pete. "Ayo, kita jalan."
Rombongan
kecil itu mengikuti jalan setapak yang naik-turun sesuai keadaan medan. Pete
menceritakan apa yang baru saja dialaminya.
"Hmm,
jadi dia kabur ke arah ini," kata Bob sambil mengerutkan kening.
"Aku
jadi ingin tahu apa yang ada di depan kita," Pete berkomentar.
"Aku
tidak peduli apa yang menunggu kita di sana," Jupe mengeluh, "asal
jaraknya tidak terlalu jauh dari sini."
Karena
merasa kasihan pada Jupe, Bob memutuskan untuk beristirahat selama lima menit.
Kemudian mereka kembali berjalan.
Matahari
semakin tinggi di langit. Perlahan tapi pasti sinarnya mengusir kabut tipis
yang menggantung di atas lembah-lembah. Kupu-kupu mulai beterbangan.
Burung-burung berkicau. Bau cemara dan keringat bercampur baur menjadi satu.
Pete
berjalan dengan cepat, ia mendahului Bob dan Jupe, kemudian menunggu sampai mereka
menyusul. Setelah tiga kali, ia berseru pada mereka agar bergegas.
"Ada
apa, sih?" tanya Bob.
"Awas
kalau tidak ada apa-apa!" Jupe menambahkan dengan geram.
"Ayo,
cepat!" Pete mendesak. "Apa kalian tidak tertarik melihat jalan
ini?"
Bob
dan Jupe langsung mempercepat langkah. Pete ternyata berdiri di tepi jalan
tanah yang sempit. Jalan itu muncul di antara pohon-pohon di sebelah
timur-laut, kemudian kembali menghilang di tengah-tengah hutan di sebelah
barat-daya. Di tengah jalan ada jejak ban yang kelihatannya masih baru.
"Rasanya
aku tidak melihat jalan ini dari pesawat," kata Bob.
"Ketika
kita terbang di atas daerah ini," Jupe mengingatkan, "kita tidak
sempat melihat-lihat pemandangan. Kita sedang bersiap-siap untuk mendarat
darurat!"
Mereka
menatap ke kiri dan kanan. Jalan tanah itu dibatasi oleh semak belukar.
Lebarnya hanya cukup untuk satu setengah mobil.
"Kita
turun bukit saja," ujar Jupe, sesuai kehendak kakinya yang pegal.
"Aku
tidak keberatan," kata Pete.
"Ayo!"
Bob mendesak. Tidak jauh dari sini pasti ada bantuan untuk menemukan ayahnya.
Dan ia harus mencari bantuan itu.
Mereka
menuruni bukit. Tiga perempat kilometer kemudian jalan itu membelok dan menuju
ke arah barat.
Permukaan
tanahnya kering dan keras. Mereka menduga bahwa selokan-selokan yang dalam
terbentuk oleh hujan deras di musim gugur dan musim semi. Pada musim dingin
jalan ini pasti tersembunyi di bawah lapisan salju tebal.
Ketiga
anak itu berjalan dengan hati-hati, agar tidak terperosok ke dalam selokan.
Mereka letih dan lapar. Mereka membisu hampir sepanjang jalan. Sementara itu
matahari semakin terik.
Bunyi
itu mula-mula hanya terdengar secara sayup-sayup. Ketiga anggota Trio Detektif
saling berpandangan dengan heran. Baru ketika mendekat, mereka mengenali bunyi
itu sebagai suara orang, anjing, dan anak-anak.
Semangat
mereka timbul kembali. Bob tersenyum lebar.
Mereka
melewati sebuah tikungan panjang. Di ujungnya ada sekelompok pondok kayu dan
karavan-karavan tua. Di luar rumah-rumah itu ada jala ikan, peralatan berburu,
kandang ayam, serta beberapa jeep dan mobil pick-up tua yang seharusnya sudah
lama dipensiun.
Sebuah
perkampungan Indian! Dua anak kecil berpakaian celana pendek dan T-shirt
berhenti bermain, dan menatap Bob, Jupe, dan Pete. Mata mereka nampak merah.
Anjing coklat di samping mereka langsung mendengus-dengus.
Suasana
di perkampungan itu kelihatan sibuk sekali. Wanita-wanita dan anak-anak
berkumpul di tengah desa. Kemudian terdengar suara-genderang.
"Hei!"
Pete tiba-tiba berseru. "Berhenti!"
Pete
melesat maju, dan menghilang di balik salah satu pondok. Ia menggenggam bahu
seorang pemuda Indian yang mengenakan rompi kulit dan celana jeans. Pemuda itu
membalik, dan menatap Pete dengan tajam.
"Kau!"
Pete membalas tatapannya. "Kau yang sejak kemarin mempermainkan aku!"
7.
Orang-orang Sakit
"Kenapa
kau kabur begitu saja?" Pete menghardik pemuda Indian itu.
Pemuda
di depannya melepaskan diri dari cengkeraman Pete. Dengan rambutnya yang hitam
dan lurus, serta sepasang mata yang berapi-api, pemuda itu tampak garang. Namun
kemudian ia mengenali Pete, dan membelalakkan mata dengan heran. Tampangnya
mengendur. Ia tersenyum.
"Bagaimana
kalian bisa sampai ke sini?" ia bertanya pada Pete. "Kalian melacak
jejakku? Ah, tentu saja tidak. Tapi kalian berhasil menemukan perkampungan
kami! Sebenarnya aku ingin mencari kalian begitu aku punya waktu. Maaf, aku
terpaksa meninggalkanmu begitu saja."
Sekarang
giliran Pete merasa heran. "Apa maksudmu?" ia bertanya.
"Aku
akan menjelaskan semuanya," pemuda Indian itu melanjutkan dengan ramah, ia
merapikan rompi yang dikenakannya. Ikat pinggangnya berbentuk unik-sebuah
bulatan perak dengan batu berwarna hijau di tengahnya. Pemuda Indian itu
menyentuh batu itu, lalu berkata, "Aku mendapat tugas untuk mencari
wahyu..."
Baru
sekarang Jupe dan Bob berhasil menyusul sahabat mereka.
"Namaku
Daniel Grayleaf," pemuda Indian itu memperkenalkan diri dengan sopan.
"Aku..."
"Apakah
ada telepon di sini?" Bob segera mengajukan pertanyaan. "Kami harus
menghubungi Dinas Kehutanan. Pesawat kami jatuh, dan ayahku hilang. Kami belum
berhasil menemukannya!"
Daniel
menggeleng. "Sorry, kami tidak punya telepon maupun radio. Kami selalu
pergi ke kota kalau perlu sesuatu."
"Kalau
begitu, tolong antarkan kami ke pos kehutanan terdekat," Bob memohon.
"Tidak
ada yang pergi dari sini," sebuah suara berat berkata dari belakang Trio
Detektif. "Siapa orang-orang asing ini?"
Ketiga
detektif muda berbalik, dan melihat seorang laki-laki kekar. Matanya nampak
merah dan berair.
"Paman,
inilah orang-orang yang kuceritakan padamu," ujar Daniel. "Kau bicara
dengan mereka?" "Baru sekarang."
"Bagus."
Pria itu tersenyum ke arah Daniel. Tetapi wajahnya kembali kaku ketika menatap
'orang-orang asing' di hadapannya.
Pete,
Jupe, dan Bob segera memperkenalkan diri.
Daniel
memperkenalkan laki-laki itu sebagai Amos Turner, kepala kampung mereka.
"Ayah
saya hilang," ujar Bob. Dengan nada putus asa ia menjelaskan musibah yang
menimpa mereka.
"Paman,
apa yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka?" tanya Daniel.
Penuh
harap Bob memperhatikan si kepala kampung.
"Ini
masalah yang rumit," pria itu berkata. "Belum pernah ada kejadian
seperti ini. Paman harus berunding dulu."
Tanpa
bersuara ia membalik dan melangkah pergi. Bob nampak kecewa sekali.
"Tak
ada yang bisa kita lakukan sekarang," Daniel Grayleaf berusaha menghibur
Bob. "Mudah-mudahan saja pamanku akan membawa kabar baik nanti."
Bob
mengangguk dengan cemas.
"Tadi
kau mengatakan bahwa kau ditugaskan untuk mencari wahyu," Jupiter berkata
untuk mengisi waktu, sekaligus untuk mengalihkan perhatian Bob. "Apa
maksudnya?" Namun sebelum Daniel sempat menjawab, perut Jupe berbunyi
dengan keras. Di dekat tempat mereka berdiri, seseorang sedang memasak sesuatu
yang lezat. Dan Jupe bisa mencium baunya yang merangsang selera.
"Nanti
kujelaskan," jawab Daniel. "Tapi sebelumnya aku akan menyiapkan
makanan dulu. Kalian pasti lapar sekali."
"Betul!"
Jupe membalas dengan spontan.
"Kau
kan masih bawa?" Pete bergurau. Kemudian perutnya ikut berbunyi.
"Kalian
tunggu saja di sini," ujar Daniel. "Aku akan segera kembali."
Langsung saja ia bergegas ke tengah perkampungan.
"Wow!"
Pete bergumam dengan kagum. "Gerakannya benar-benar lincah."
Hanya
ada satu pikiran di kepala Bob. "Mereka harus mengantar kita ke pos
kehutanan terdekat!"
"Jangan
khawatir, mereka pasti akan membantu," kata Jupe dengan yakin. Namun dalam
hati ia merasa ragu-ragu. ia menatap sekeliling sambil bertanya-tanya apa
artinya suara genderang yang sejak tadi terdengar.
Tidak
lama kemudian Daniel sudah muncul lagi. "Ayo, ikut aku. Makanan sudah ada
di atas meja. Pertama-tama kami akan menari, lalu makan, dan kemudian
menjalankan upacara. Kalian adalah tamu kehormatan, jadi kalian dipersilakan
makan duluan."
"Maksudmu,
kalian harus menunggu sampai nanti?" Bob bertanya kebingungan. "Itu
tidak benar!"
"Kami
akan menunggu," Pete berkeras.
Jupe
menelan ludah. "Ya, tentu saja!" katanya dengan berat hati.
Namun
Daniel malah ketawa. "Jangan macam-macam. Makanan sudah disiapkan. Dan
kalian lapar. Bagi kami justru suatu kehormatan kalau kalian makan
duluan." Ketiga detektif muda saling berpandangan.
"Kita
tidak boleh mengecewakan tuan rumah," ujar Jupe.
"Betul,"
Pete mendukung.
"Terima
kasih, Daniel," kata Bob. Dalam hati ia berharap bahwa ayahnya juga
bernasib baik seperti mereka.
Mereka
mengikuti Daniel melalui perkampungan. Orang-orang dewasa dan anak-anak
memperhatikan mereka dengan penuh rasa ingin tahu. Kaum pria mulai bergabung
dengan para wanita dan anak-anak yang telah berkumpul di tengah desa. Mereka
berdada telanjang dan mengenakan hiasan kepala berupa bulu burung, serta kalung
yang terbuat dari bulu burung dan batu-batu berwarna. Kaum wanita mengenakan
kalung dan baju yang dihiasi dengan manik-manik. Beberapa laki-laki nampak
menggoyangkan tongkat sambil melangkah seirama dengan pukulan genderang.
Tongkat-tongkat mereka mengeluarkan bunyi berderak-derak.
"Mereka
sedang melakukan pemanasan," Daniel menjelaskan. "Nah, ini
piring-piring untuk kalian. Silakan ambil makanan sendiri. Kalian bisa makan
sambil nonton. Aku akan mencoba menegangkan semuanya."
Jupe,
Pete, dan Bob, mengisi piring masing-masing dengan daging, kentang rebus,
kacang polong, dan roti. Jupe begitu gembira melihat makanan sungguhan,
sehingga langsung mengambil porsi raksasa. Peduli amat dengan dietnya!
"Daging
rusa?" Pete bertanya pada Daniel sambil menunjuk salah satu piring besar.
"Ya,
dan itu daging kelinci, dan itu daging tupai. Di sebelah sana ada ikan. Kami
menangkapnya di truoc. Dalam bahasa kami truoc berarti sungai."
Mereka
menduduki bangku panjang di bawah pohon-pohon raksasa. Sebuah peti bertulisan
SUKU CADANG MOBIL - Nancarrow Trucking Company berfungsi sebagai meja makan. Di
sebelah kanan, sebuah pick-up tua sedang didongkrak. Bagian-bagian dari
mesinnya tergeletak di atas peti lain. Di sebelah kiri, mereka melihat
truoc-sungai kecil yang mengalir di pinggir perkampungan.
"Apakah
sungai ini berasal dari lembah besar di sebelah utara?" tanya Bob.
"Kau
tahu lembah itu?" Daniel balik bertanya. Ia nampak agak curiga.
Bob
langsung bersikap hati-hati. "Aku melihatnya dari jauh," katanya
sambil menggigit sepotong daging rusa.
"Tak
ada yang boleh pergi ke sana," ujar Daniel. "Lembah itu adalah tempat
keramat bagi kami. Kami menyebutnya Lembah Leluhur. Orang-orang kami dimakamkan
di lembah itu. Kadang-kadang kami juga mengadakan upacara di sana."
"Aku
pun tidak memasuki lembah itu," Bob meyakinkan lawan bicaranya, ia kembali
menggigit sepotong daging. "Suku-mu pasti sudah lama sekali tinggal di
sini."
"Dari
mana kau tahu?"
"Aku
melihat tempat pegangan tangan dan pijakan kaki pada tebing yang membatasi
Lembah Leluhur. Sepertinya tempat pegangan tangan dan pijakan kaki itu sudah
lama sekali ada di sana."
"Sudah
sejak semula, ketika Sang Pencipta menciptakan orang-orang kami." kata
Daniel. "Dia juga menciptakan tanah longsor untuk menghalau orang-orang
yang tidak berkepentingan. Segala sesuatu adalah ciptaan-Nya." Ia
tersenyum. "Aku mengerti sekarang. Kau berusaha mencari ayahmu. Para
leluhur kami tidak akan marah karenanya."
"Tapi
mereka pasti marah kalau didatangi oleh para pelancong."
"Ya,
jangan sampai ada turis yang mengotori kesucian lembah itu," ujar Daniel
dengan tegas.
Jupiter
sudah menghabiskan setengah piring. Ia mulai merasa sehat lagi. "Pasti ada
sesuatu yang sangat penting sehingga tidak ada yang boleh meninggalkan
perkampungan."
"Orang-orang
kami sedang menderita sakit," Daniel menjelaskan. "Mata kami menjadi
merah, sejumlah orang menderita batuk, dan dada kami terasa sesak. Beberapa
orang bahkan diganggu oleh roh-roh jahat yang membuat api di perut mereka. Para
tetua desa memutuskan untuk mengadakan upacara adat untuk mengatasi penyakit
ini. Untuk itu desa kami dinyatakan tertutup sampai besok siang. Tak ada yang
boleh pergi."
"Apakah
tidak lebih baik kalau kalian pergi ke dokter?" Pete bertanya dengan
polos.
Di
bawah meja, Jupiter segera menendang kaki sahabatnya. Pete langsung tersentak.
"Tidak
apa-apa," kata Daniel. "Kalian punya dokter, kami punya shaman. Dia
telah mengurus kami sebelum aku lahir. Orangnya sangat bijaksana. Kadang-kadang
dia menyuruh kami ke rumah sakit di Bakersfield. Tapi itu jarang terjadi.
Biasanya kami selalu sehat, atau cepat sembuh lagi. Sampai beberapa bulan yang
lalu."
"Apakah
peraturan adat kalian juga berlaku untuk kami?" tanya Bob. "Maksudnya,
apakah ada yang bisa mengantarkan kami dalam keadaan darurat?"
"Itulah
yang sedang ditanyakan oleh pamanku."
Tiba-tiba
suara genderang bertambah keras. Tongkat-tongkat di tangan para laki-laki
dibunyikan secara serempak. Sebuah teriakan yang bisa membuat bulu kuduk
berdiri menggema di udara.
Para
penari mulai menari sambil membungkuk dan menegakkan badan. Kaki-kaki mereka
bergerak ringan.
"Coba
perhatikan," ujar Daniel, "mereka naik turun pada saat yang tidak
bersamaan. Itu dilakukan karena dunia tak ubahnya seperti sebuah perahu. Jika
semua orang bergerak secara serempak, maka perahu menjadi oleng, lalu terbalik.
Itu tidak baik."
Beberapa
saat kemudian sejumlah penari melompat ke tengah-tengah lingkaran. Mereka
melompat-lompat dengan gerakan aneh dan terpatah-patah.
"Ketika
dunia dilahirkan kembali," Daniel menjelaskan, "Sang Pencipta
menugaskan burung pelatuk untuk melaporkan bagaimana perkembangannya. Karena
itu para penari meniru gerakan burung pelatuk. Mereka melebarkan tangan, dan
meniru kicauan burung itu. Ini memberi tahu roh burung pelatuk bahwa ada yang
sakit, dan bahwa ia harus melaporkan hal ini pada Sang Pencipta. Jika Sang
Pencipta sudah diberi tahu, maka Dia akan memberikan kekuatan besar pada
Shaman. Dengan demikian Shaman bisa menyembuhkan orang-orang kami."
Tarian
itu terus berlanjut. Para penari bermandikan keringat. Mereka terus
berganti-ganti tempat pada lingkaran. Kaum wanita dan anak-anak duduk sambil
menonton. Kadang-kadang mereka bertepuk tangan serta ikut menyanyi. Orang-orang
yang sakitnya paling parah dibaringkan di tikar-tikar. Kepala-kepala mereka
diganjal dengan selimut, sehingga mereka pun bisa mengikuti jalannya upacara.
Tiba-tiba
semuanya berakhir.
Suara
genderang berhenti. Para penari dan penonton menghampiri meja makan. Jupe
memperhatikan bahwa semua penari bermata merah. Dan beberapa orang di antara
mereka sempat terbatuk-batuk.
Si
Kepala Kampung, yang dipanggil Paman" oleh Daniel, muncul lagi. Ia
ditemani seorang laki-laki tua berwajah tegang. Pakaian kebesaran yang mereka
kenakan nampak menonjol di tengah-tengah kerumunan. Berdasarkan sikap para
penghuni desa yang penuh hormat, Jupe menebak bahwa pria tua itu adalah sang
Shaman.
Akhirnya
mereka berhenti di depan Daniel dan ketiga anggota Trio Detektif.
"Kami
tidak dapat membantu kalian," ujar Amos Turner, si Kepala Kampung.
"Kalian harus berangkat sendiri. Inilah keputusan kami."
8.
Wahyu dari Sang Pencipta
"Risikonya
terlalu besar," sang Shaman berkata. "Kesucian upacara harus dijaga
dengan ketat Terlalu banyak orang yang menderita sakit."
Bob,
Jupiter, dan Pete merasa bahwa sang Shaman benar-benar menyesal karena terpaksa
mengambil keputusan ini. Namun ini tidak membantu Mr. Andrews.
"Saya
rasa kalian lebih baik tinggal di sini saja," Amos Turner, si Kepala
Kampung, berkata. "Besok siang kami bisa mengantarkan kalian."
"Kami
harus berangkat hari ini juga," kata Bob. "Ayah saya mungkin cedera
berat"
"Daerah
ini luas sekali," Amos kembali berkata, "jauh lebih luas dari yang
kalian bayangkan. Bagaimana kalian akan menemukan Diamond Lake?" ia
kelihatan tidak setuju dengan rencana Bob.
"Kami
akan menyusuri jalan tanah yang melewati desa ini," jawab Pete.
"Kalau
begitu kalian harus menempuh 40 mil!" si Kepala Kampung menanggapinya.
"40
mil!" Pete segera menelan ludah.
Jupe
nyaris ambruk ketika mendengarnya-tapi kemudian ia mendapat akal.
"Barangkali
kami bisa menyewa salah satu mobil pick-up Anda," ia mengusulkan.
Gntuk
pertama sejak tiba di perkampungan ini, wajah Bob yang tampan nampak agak
cerah. Jupe memang bisa diandalkan, katanya dalam hati. Jupe selalu menemukan
pemecahan yang luput dari perhatian orang lain.
"Kami
semua punya SIM," Bob cepat-cepat berkata.
"Dan
uang," Pete menambahkan sambil mengeluarkan dompet. Dompet itu berisi
seluruh uang yang hendak dibelanjakannya di Diamond Lake. "Kami akan
membayar tunai."
"Dan
kami akan mengantarkan mobil itu sesuai dengan permintaan Anda," ujar
Jupe. "Kami akan menjaganya dengan cermat. Ini kartu nama kami. Biasanya
orang mempercayakan masalah mereka pada kami. Tapi kali ini kami yang
memerlukan bantuan."
Jupe
menyerahkan dua buah kartu nama pada Shaman dan Kepala Kampung. Kartu-kartu itu
merupakan desain baru yang dirancangnya sendiri.
Si
Kepala Kampung memegang kartunya dengan kaku. Sang Shaman bahkan tidak
membacanya sama sekali. Ia langsung menyerahkan kartu itu pada Daniel. Daniel
membacakannya untuk semua.
TRIO
DETEKTIF
"Kami
Menyelidiki Segala Sesuatu"
Jupiter
Jones, Pendiri
Pete
Crenshaw, Rekan
Bob
Andrews, Rekan
Si
Kepala Kampung menggelengkan kepala. "Rencana kalian tidak akan
berhasil," katanya.
Sang
Shaman mengerutkan kening. "Mungkin saja, tapi saya rasa tidak ada
salahnya kalau mereka mencobanya." Ia menatap ketiga detektif muda dengan
tajam. "Bagaimanapun juga mereka akan berangkat. Karena itu lebih baik
kalau kita membantu mereka sebisa kita."
Si
Kepala Kampung menggigit bibir. Ia tidak setuju, namun sang Shaman telah
mengambil keputusan. "Baiklah, saya akan mengatur semuanya," ia
berkata lalu melangkah pergi.
"Terima
kasih banyak," ujar Bob sambil tersenyum dengan lega.
Sang
Shaman mengangguk pelan. Untuk sesaat kedua matanya nampak bersinar-sinar.
"Anak-anak muda," ia bergumam. "Selalu saja dilanda
kesulitan." Kemudian ia berpaling pada Daniel. "Bagaimana?"
"Aku
sudah melaksanakan tugas yang diembankan padaku."
"Ceritakanlah
apa yang telah kaukerjakan," sang Shaman menyuruh Daniel. "Ketiga
temanmu ini pasti tertarik."
Daniel
menghadapi Jupe, Pete, dan Bob. "Aku ditugaskan mencari wahyu. Selama 24
jam aku berpuasa dan berlari menembus hutan. Aku hanya berhenti untuk berdoa.
Pada malam hari aku tidur, agar Sang Pencipta bisa menyampaikan pesannya."
"Apa
yang kaulihat ketika bermimpi, cucuku?" sang Shaman bertanya.
"Cucu?"
Pete bertanya dengan heran. "Apakah kau punya hubungan saudara dengan
semua orang di sini?"
Daniel
dan sang Shaman langsung ketawa.
"Ini
adalah kebiasaan kami untuk menunjukkan rasa hormat," Daniel menjelaskan.
"Berarti
si Kepala Kampung bukan pamanmu?" Bob menduga-duga.
"Dan
aku juga bukan cucu sang Shaman. Tetapi ia seperti kakek bagi kami semua."
Ketiga
anggota Trio Detektif mengangguk.
"Mimpiku
sungguh aneh, Kakek," Daniel lalu berkata dengan serius. "Aku berada
di danau yang luas. Ketika aku melangkah ke air yang berwarna hijau, tiba-tiba
saja seekor ikan melompat ke tanganku. Aku merasa beruntung sekali- ikan itu
merupakan makanan lezat. Karena itu aku berterima kasih pada Sang Pencipta.
Tapi kemudian banyak sekali ikan yang melompat ke tanganku. Aku tidak bisa
menangkap semuanya. Ikan-ikan itu terus menabrak punggungku, dadaku,
wajahku-makin lama makin keras."
"Dan
kau khawatir bahwa mereka akan menabrakmu sampai mati?" sang Shaman
bertanya.
Daniel
mengangguk. "Aku melemparkan semua ikan yang sempat kutangkap, kemudian
meninggalkan danau itu."
"Tindakanmu
tepat sekali. Pelajaran apa yang bisa diambil dari kejadian itu?"
"Sesuatu
yang diperoleh tanpa usaha seringkali tidak berguna, bahkan bisa
merugikan," Daniel segera menjawab.
Sang
Shaman mengangguk. "Dan pesan apa yang disampaikan oleh Sang
Pencipta?"
"Di
tempat yang benar, namun tanpa diberkati."
"Ahhh!"
Sang Shaman mengulangi kata-kata itu sambil bergumam. "Apakah itu menjawab
pertanyaanmu?"
Ketiga
detektif muda menatap Daniel dengan pandangan bertanya-tanya.
"Aku
tidak memahami artinya," pemuda Indian itu berkata sedih. "Aku takkan
pernah bisa menemukannya."
"Sang
Pencipta telah memberikan jawaban padamu," sang Shaman menyanggah.
"Kau harus bisa mempergunakan jawaban itu."
Daniel
menunduk malu. "Baik, Kakek."
"Sekarang
kau harus berganti pakaian untuk upacara berikut."
"Ya,
Kakek." Daniel berpaling pada Jupiter, Bob, dan Pete, lalu tersenyum.
"Aku akan berdoa agar kalian berhasil." Sedetik kemudian ia telah
pergi.
"Selamat
jalan, prajurit-prajurit muda," ujar sang Shaman. "Jangan percaya
pada siapa pun selain diri kalian sendiri."
Ia
segera bergabung dengan anggota suku yang lain.
"Coba
perhatikan kepala kampung," kata Pete sambil melirik ke sebuah pondok seng
yang berjarak sekitar 50 meter dari tempat mereka berdiri.
Amos
Turner berdiri di depan pondok itu. Ia sedang berbicara dengan seorang
laki-laki yang terus menerus menggosokkan kedua tangan pada celana jeansnya.
Orang itu mengangguk-angguk, seakan-akan sedang diberi perintah oleh lawan
bicaranya. Kemudian si Kepala Kampung menuju ke meja makan, sementara laki-laki
itu menghilang ke dalam pondok. Beberapa peti dengan ukuran berbeda-beda nampak
ditumpuk di satu sisi bangunan kecil itu. Masing-masing bertulisan Nancarrow
Trucking Company.
Jupe
kembali duduk untuk menghabiskan makanannya. Ia meraih garpunya, lalu menunduk
agar lebih mudah menyuap. Pada saat itulah ia melihat sebuah puntung rokok
tergeletak di tanah.
Ia
segera memungut puntung yang sudah mulai menguning itu. Filternya dihias dengan
pita berwarna hijau-persis seperti puntung rokok yang ditemukannya tadi pagi.
"Hei,
Jupe," kata Pete. "Ada apa?"
"Lihat
ini," Jupe menjawab dengan singkat.
"Wow!"
Pete berseru dengan suara tertahan.
"Apa
artinya?" tanya Bob.
"Aku
pun tidak tahu," Jupe mengakui, "tapi aku akan menyimpan puntung ini.
Siapa tahu ada gunanya nanti."
Seorang
wanita muda muncul dari kerumunan orang dan menghampiri Jupe, Pete, dan Bob.
"Aku
Mary Grayleaf, adik Daniel," ia memperkenalkan diri. Matanya terarah pada
Bob. "Ini!" ia menjatuhkan sebuah kunci ke tangannya. "Kepala
Kampung menitip pesan bahwa mobil untuk kalian sedang disiapkan. Apakah kalian
sudah kenyang?"
"Sudah,"
jawab Bob sambil membalas tatapan gadis itu. Wajah Mary cantik sekali.
Rambutnya hitam dan lurus. Ia mengenakan kalung yang terbuat dari batu-batu
berwarna turkis. Bob melihat bahwa mata gadis itu pun nampak merah.
"Apakah
kau benar-benar adik DanieP" Bob bertanya, "Ataukah ini juga hanya
salah satu cara untuk memperlihatkan rasa hormat?"
Untuk
sesaat Mary Grayleaf agak kebingungan. Tetapi kemudian ia ketawa. "Betul,
kok! Daniel adalah kakak kandungku."
Jupiter
dan Pete saling bertatapan. Jupe mengangkat alis. Pete tersenyum simpul. Bob
telah beraksi lagi. Ke mana pun ia pergi, ia selalu menjadi magnet bagi
gadis-gadis cantik.
"Apakah
masih ada upacara lagi setelah ini?" Bob bertanya pada Mary.
"Shaman
akan menari dan menyanyi," jawab Mary sambil menatap mata Bob.
"Kemudian ia akan berdoa, ia sedang mempersiapkan diri untuk menerima
pesan dari Sang Pencipta. Sang Pencipta akan memberitahunya apa yang
menyebabkan penyakit yang menyerang orang-orang kami.
Setelah
itu, Shaman akan menggunakan kekuatan gaib yang dimilikinya untuk mengobati
para penderita."
"Kekuatannya
pasti ampuh sekali," Bob berkomentar sambil tersenyum.
"Kami
selalu disembuhkan oleh kekuatan Shaman," Mary berkata dengan serius.
Jupiter
tidak bisa menahan diri lebih lama lagi. "Bagaimana dengan usaha pencarian
wahyu oleh Daniel?"
Pertanyaan
ini segera menarik perhatian gadis itu. "Kalian sempat mendengar pesan
yang disampaikan pada Daniel? Bagaimana bunyinya?"
Jupe
mengulangi pesan itu. "Di tempat yang benar, namun tanpa diberkati."
Mary
merenung sejenak, kemudian menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu apa
maksudnya. Apakah Daniel bisa mengartikan pesan itu?"
"Tidak.
Tapi Shaman menyuruh Daniel untuk memikirkannya," ujar Bob. "Pesan
itu rupanya penting sekali bagi kalian."
Mary
mengerutkan kening, lalu memejamkan mata selama beberapa detik. "Paman
kami hilang," ia menjelaskan. "Dia membantu ibu kami untuk
membesarkan Daniel dan aku setelah ayah kami pindah dari sini. Sudah
bertahun-tahun ayah kami menghilang. Dan kini paman kami juga lenyap. Sudah
satu bulan dia tidak kelihatan, dan Daniel terus mencarinya di hutan."
"Ada
sesuatu yang tidak beres di sini," kata Bob. "Ayahku juga
hilang."
Mary
mengangguk dengan sedih. Perhatiannya beralih pada seseorang yang berdiri di
tengah kerumunan. Orang itu adalah laki-laki yang sempat berbicara dengan
Kepala Kampung tadi. Ketiga detektif muda tidak melihat dia meninggalkan
pondoknya. Namun kini orang itu mengangkat tangan dan memberi isyarat pada
Mary.
"Mobil
kalian sudah siap," gadis itu berkata sambil menggosok-gosok matanya yang
merah.
ia
mengantarkan Jupe, Pete, dan Bob mengelilingi perkampungan, melewati
anjing-anjing kudisan, serta setumpuk tanah sebesar rumah. "Itu tempat di
mana para pria mensucikan badan mereka," Mary menjelaskan.
"Ada
satu hal lagi yang ingin kutanyakan," ujar Jupe. Tangannya meraih ke dalam
kantong baju, lalu mengeluarkan dua puntung rokok. "Apakah kau tahu siapa
yang mengisap rokok merk ini?"
"Tidak,"
jawab Mary sambil terheran-heran.
Dengan
kecewa Jupe mengembalikan puntung-puntung itu ke kantong bajunya.
Mereka
melewati sebuah pick-up Ford berwarna merah yang masih baru. Mobil itu nampak
menonjol di antara kendaraan-kendaraan lain.
"Mobil
itu milik Kepala Kampung," kata Mary. "Orangnya baik sekali. Dia
penembak paling jago di desa kami. Dia sering membelikan pakaian, alat-alat,
serta suku cadang untuk mobil-mobil yang rusak."
"Dari
mana dia memperoleh uang untuk itu?" tanya Jupe.
Mary
mengangkat bahu. "Entahlah. Mungkin dengan bekerja sambilan di Diamond
Lake. Itu bukan urusanku." Ia menepuk bemper sebuah pick-up yang penuh
karat. "Ini mobilnya yang lama. Dia meminjamkannya pada kalian. Tapi
kalian harus menjaganya baik-baik. Dia minta agar kalian menitipkan mobil ini
di pos kehutanan di Diamond Lake setelah kalian tiba di sana."
Setelah
memasukkan barang-barang mereka ke bak, ketiga anggota Trio Detektif naik ke
mobil.
"Ikuti
jalan tanah ini sampai mencapai jalan yang digunakan untuk mengangkut
batang-batang pohon yang habis ditebang," Mary berkata. "Kemudian
belok ke arah barat. Jalan itu akan membawa kalian ke jalan bebas hambatan.
Kalian tinggal belok ke kanan, sebab jalan bebas hambatan itu menuju ke Diamond
Lake."
Jupe,
Pete, dan Bob mengucapkan terima kasih. Pete menghidupkan mesin. Mary tersenyum
ke arah Bob dan melambaikan tangan.
Mereka
berangkat. Debu beterbangan. Anjing-anjing menyalak.
"Akhirnya
kita bisa naik mobil," Pete berkata dengan gembira.
"Yah!"
ujar Jupe. "Ini hampir cukup untuk melupakan keampuhan daya tarik
Bob."
"Sorry,
Jupe," Bob berkomentar dengan riang. "Kita harus memanfaatkan semua
kelebihan yang kita miliki."
Jupe
dan Pete menoleh dan meringis. Bob duduk di bangku belakang sambil memikirkan
Mary. Pete menggenggam kemudi dengan erat-erat, lalu berkonsentrasi penuh.
Jalan tanah itu berbelok-belok, dan mengikuti naik-turunnya bukit.
"Kelihatannya
si Kepala Kampung tidak menyukai kita," ujar Pete.
"Lain
halnya dengan Shaman," Jupe menanggapinya. "Berkat dialah kita
memperoleh pick-up ini. Apakah kalian sempat memperhatikan tampang Shaman
ketika Daniel menceritakan wahyu yang ia peroleh? Laki-laki tua itu tahu apa
arti wahyu itu, dan ia tidak gembira karenanya."
"Maksudmu,
pamannya Daniel...?"
"Satu
bulan merupakan waktu yang cukup lama untuk menghilang tanpa berita," kata
Jupe. "Dan penyakit apa yang diderita oleh orang-orang Indian itu? Mereka
mungkin terserang sejenis virus, tapi rasanya..." ia terdiam sambil
menggigit bibir, ia selalu bersikap seperti itu kalau sedang memeras otak.
Beberapa
mil kemudian, jalan tanah yang mereka lalui mulai menanjak. Matahari sore
bersinar cerah.
Di
puncak bukit, pick-up tua itu sempat mengeluarkan bunyi mirip tembakan dari
knalpot Kecepatannya mulai bertambah, karena jalanan menurun curam.
Pete
menginjak rem. Mobil tua itu menggelinding pelan. Pete melepaskan rem, dan
mobil mereka kembali melaju dengan kencang.
Mereka
meluncur melewati semak belukar dan pohon-pohon.
Sekali
lagi Pete menginjak rem. Untuk sesaat kecepatan mereka berkurang. Namun
tiba-tiba rem berhenti bekerja. Pete langsung kalang kabut.
"Ya,
Tuhan!" ia berseru. "Remnya blong!"
Edit
by: zhe (zheraf.wapamp.com)
http://www.zheraf.net
9.
Nyaris Celaka
Semakin
cepat pick-up tua itu meluncur menuruni bukit yang curam. Pete menggenggam
kemudi dengan erat. Di sebelahnya, Jupe terlempar-lempar dari kiri ke kanan.
Bob berpegangan pada sandaran tangan yang terpasang di pintu. Ketiga sahabat
itu terguncang-guncang. Berkali-kali kepala mereka membentur atap mobil dengan
keras.
"Rem
tangannya!" Jupe berseru. "Percuma, kita terlalu kencang," balas
Pete. "Lalu apa yang harus kita lakukan?" Bob berteriak.
"Mudah-mudahan
saja jalan ini kembali datar!" Jupe berharap dengan cemas.
"Aku
akan menurunkan gigi," Pete berkata. "Kalau bisa!"
Pete
mulai bermandikan keringat ketika meraih tongkat persnelling. ia ragu-ragu
sejenak, lalu menurunkan gigi dari tiga ke dua secara paksa.
Mesin
mobil mereka meraung-raung. Pick-up tua itu bergetar, kemudian bertambah pelan.
Namun
itu masih belum cukup. Mereka tetap saja meluncur dengan kencang.
"Awas!"
teriak Bob. "Di depan ada tikungan!"
Jalanan
di depan mereka membelok ke kanan, lalu menghilang di balik bukit.
Ketiga
sahabat itu berteriak, "Wuaduuuh!" ketika mobil mereka melewati
tikungan yang panjang dan menurun itu. Akar-akar pohon nampak di tempat-tempat
di mana tanah termakan oleh erosi.
Pete
memutar kemudi ke kanan, mendekati tebing.
"Aku
akan merapat ke tebing," ia berseru. "Itu akan mengurangi kecepatan
kita."
"Awas!"
Jupe berteriak.
Tumpukan
tanah, kerikil, serta bongkahan batu dari tebing tergeletak di sepanjang jalan.
Pick-up mereka segera menerjang tumpukan itu.
Pete
berjuang keras agar tidak kehilangan kendali. Namun akhirnya kemudi terlepas
dari tangannya dan berputar dengan liar. Mobil mereka meronta-ronta dan
bergetar dengan hebat, persis seperti sebuah mesin cuci tua.
Sekali
lagi Pete membelokkan kemudi ke arah tebing. Terlambat-pick-up mereka sudah
mulai selip! Keempat rodanya terperosok ke selokan yang dalam.
"Mulai
lagi, deh," Pete berkata dengan geram.
Karena
terperangkap dalam selokan, mobil mereka melewati tikungan berikut dengan
kecepatan tinggi, lalu hampir keluar dari jalan. Namun dengan sigap Pete
berhasil mencegahnya
"Ya,
Tuhan!" teriak Bob. "Kita akan kebalik!"
Di
depan jalanan mulai mendaki bukit kecil yang landai.
"Wah,
akhirnya!" kata Jupe. Wajahnya yang bulat nampak basah karena keringat.
Pick-up
mereka meluncur ke kaki bukit yang curam, lalu mulai naik ke bukit kecil-persis
seperti rollercoaster di taman ria. Dengan mesin meraung-raung, mobil itu tetap
melaju dengan kecepatan tinggi.
Lengan
Pete nyaris kejang karena terus menggenggam kemudi erat-erat. Bob berpegangan
pada pintu. Sementara Jupe, yang duduk di tengah, hanya bisa menopang dirinya
pada dashboard dan atap.
Tebing
yang membatasi jalan sudah tertinggal jauh di belakang. Di kedua sisi jalan
kini hanya ada semak belukar. Kecepatan mobil mereka agak berkurang ketika
jalanan mulai menanjak.
Ketiga
sahabat bisa menarik napas panjang. Kalau saja ada jalan datar di atas bukit,
maka pick-up mereka bisa menggelinding sampai berhenti...
"Ya,
ampun!" Jupe berseru ketika mobil mereka mencapai puncak bukit.
Meskipun
kecepatannya telah berkurang, pick-up itu tetap saja meluncur dengan kencang.
Mobil tua itu melompat melewati puncak bukit, lalu mendarat dengan keras pada
roda belakang. Roda depannya menyusul.
Dan
kemudian perjalanan gila-gilaan menuruni bukit dilanjutkan lagi.
"Pegangan!"
teriak Pete sambil berusaha untuk menahan mobil mereka dalam posisi lurus.
Tanpa
mengenakan sabuk pengaman, ketiga sahabat itu tak berdaya menghadapi
guncangan-guncangan hebat yang membuat mereka terlempar ke segala arah.
"Mobilnya
sudah mau rontok!" teriak Bob sambil menatap ke luar jendela. Semak
belukar di sebelah kanan jalan telah lenyap. Bob hanya melihat puncak
pepohonan. Sambil membelalakkan mata ia menyadari bahwa bagian kanan jalan kini
diapit oleh jurang sedalam puluhan meter.
Pete
berusaha agar ban mobil mereka tetap berada di dalam selokan. Dengan ngeri ia
mem- bayangkan apa akibatnya kalau mereka sampai masuk ke jurang itu.
"Lihat!"
Pete tiba-tiba berseru.
Tepat
di depan ada sebuah tebing granit yang memanjang ke arah timur-barat Jalan
membelok ke kanan, dan menyusuri tebing yang mungkin merupakan akhir dari mimpi
buruk mereka. Kalau saja Pete bisa merapatkan mobil mereka ke dinding batu
cadas itu...
"Pete,
jangan nekat!" Jupe berkata dengan cemas. "Mobil kita bisa hancur
berantakan!"
"Tangki
bensinnya bisa meledak kalau ada per-cikan api!" Bob pun mengemukakan
keberatannya.
"Apakah
kalian punya ide yang lebih baik?" balas Pete.
Jupe
dan Bob terdiam. Pandangan mereka terpaku pada tebing granit yang kini
membatasi tepi kiri jalan.
Mobil
mereka masih meluncur dengan kencang. Pete kembali membelokkan kemudi, agar ban
mobil bisa keluar dari selokan.
Pick-up
tua itu menabrak tebing. Percikan-percikan api beterbangan ke segala arah.
"Ya,
Tuhan!" Bob bergumam.
Seluruh
perhatian Pete tercurah pada tebing di sebelah kirinya. Dengan hati-hati ia
memutar kemudi. Sekali lagi mobil mereka menyentuh permukaan batu cadas. Sekali
lagi. Dan sekali lagi.
Suasana
di dalam mobil benar-benar tegang.
"Tahan!"
kata Jupe.
"Kau
pasti bisa, Pete!" Bob menyemangati sahabatnya.
Sekali
lagi Pete membelokkan setir. Pick-up mereka menempel pada tebing, tapi kali ini
Pete bertahan pada posisi ini. Bunga api memercik dengan hebat.
Ketiga
sahabat bermandikan keringat
Dan
akhirnya kecepatan mobil mereka mulai berkurang. Sesaat kemudian mereka telah
berhenti. Pete segera mematikan mesin. Bemper mobil mereka menempel pada
tebing.
Pete,
Jupe, dan Bob duduk sambil memejamkan mata. Debu beterbangan di udara. Selama
setengah menit tidak ada yang bergerak atau membuka mulut.
"Pete,
kau telah menghancurkan mobil ini," Jupe lalu berkata dengan serius.
"Kau
harus membayar ganti rugi," Bob menambahkan.
"Reputasimu
sebagai pengemudi terampil telah tercoreng."
Perlahan-lahan
Pete menoleh. Ia menatap kedua sahabatnya sambil terheran-heran.
"Tapi
bagaimana kami bisa membalas jasamu ini?" ujar Jupe sambil menepuk bahu
Pete.
"Kau
benar-benar pengemudi jempolan," Bob berkata sambil nyengir.
Pete
mulai ketawa. "Dasar sinting semua! Ayo, keluar! Sampai kapan kalian mau
duduk di sini, heh? Aku ingin lihat bagaimana keadaan mobil ini. Mungkin kalian
belum sadar, tapi aku tidak bisa buka pintu sebelah sini."
Mereka
turun dari mobil, lalu berjalan ke bagian belakang.
Pete
menggelengkan kepala. "Astaga! Ty pasti tidak percaya kalau mendengar
cerita ini!"
Seluruh
lapisan cat pada sisi sopir telah terkelupas habis. Pinggiran pintu telah
bersatu dengan body mobil. Dan pegangan pintu telah lenyap.
"Aha!"
kata Pete. ia kembali ke depan.
"Aha?"
Jupe menirunya, lalu menyusul.
Pete
masuk ke kolong mobil. Kepala dan tangannya berada di bawah pedal gas, rem, dan
persnelling. ia memungut sesuatu dari tanah.
"Ada
apa, sih?" Jupe bertanya tak sabar.
Pete
berdiri lagi. ia memegang ujung sebuah baut, Jupe segera memeriksanya. Ulir
baut itu nampak seperti habis digergaji. Jupe langsung menyerahkannya pada Bob.
"Ini
pasti ada hubungannya dengan kerusakan rem yang kita alami," ujar Jupe.
"Betul
sekali," Pete menanggapinya. "Pedal rem menggerakkan sebuah tangkai
pendorong yang dihubungkan dengan booster rem. Kalau pedal rem diinjak, maka
sebuah piston di dalam booster akan menekan oli rem ke saluran..."
"Jangan
berbelit-belit, deh!" ujar Bob.
"Oke,
oke," Pete menggerutu. "Baut itu yang menghubungkan pedal rem dengan
tangkai pendorong."
"Dan
seseorang telah menggergajinya sehing-" ga langsung patah pada saat
mengalami tekanan," Jupe menyimpulkan.
"Tepat
sekali!"
Bob
mendesah panjang. Harapan untuk menemukan ayahnya semakin menipis.
Ketiga
sahabat itu saling berpandangan. Sekali lagi mereka berada dalam kesulitan
besar.
"Ini
pasti ulah salah satu orang Indian," kata Jupe.
"Barangkali
si Kepala Kampung?" Pete menduga-duga. "Dia tidak menyukai kita. Tapi
apakah alasan itu cukup kuat sehingga dia tega membunuh kita?"
"Yang
pasti, pelakunya bukan Daniel," ujar Bob sambil merenung. "Atau
Mary," Jupe menambahkan.
"Atau
pun Mary," Bob mengulangi dengan yakin.
"Kita
tidak bisa kembali ke sana untuk minta bantuan," kata Pete.
"Ya,
salah satu penghuni perkampungan itu baru saja mencoba untuk membunuh
kita," Jupe pun sependapat "Aku rasa lebih baik kalau kita teruskan
perjalanan ke Diamond Lake. Apakah kau bisa membetulkan remnya, Pete?"
"Bisa,
tapi untuk itu aku memerlukan baut baru. Di mana kita bisa mendapatkan
baut?"
Pete
dan Bob memeriksa pick-up. Tetapi mereka tidak menemukan apa-apa. Bahkan
dongkrak pun tidak ada.
"Barangkali
di pesawat kita ada baut yang cocok," ujar Jupe. "Kalau tidak salah,
aku sempat melihat kotak peralatan di ekor pesawat." ia mulai menyusuri
tebing ke arah barat
Pete
dan Bob saling berpandangan, kemudian menatap ke arah Jupe.
"Hei,
ini kan tebing yang membatasi lapangan rumput!" Pete tiba-tiba berseru.
"Kelihatannya
begitu," kata Jupe. "Kita bisa menyusuri tebing ini sampai ke tempat
kita mendarat darurat, mengambil baut, kembali ke sini, membetulkan mobil, lalu
meneruskan perjalanan ke Diamond Lake." Jupe mendesah tertahan. Dalam hati
ia merasa puas dengan rencana ini. Namun bayangan mengenai usaha yang
dibutuhkan untuk mencapai pesawat hampir membuatnya patah semangat.
Bob
mengambil botol air dari bak. Ketiga sahabat itu mengikat jaket masing-masing
mengelilingi pinggang, kemudian mulai menyusuri tebing.
Ketika
jalanan membelok ke arah perkampungan orang Indian, mereka tetap mengikuti
tebing dan masuk ke hutan.
Dalam
waktu singkat mereka telah dikelilingi oleh pohon-pohon besar. Kicau burung
terdengar merdu. Daun-daun berdesir karena digerakkan oleh angin lembut. Puncak
pepohonan memberi perlindungan terhadap sengatan matahari.
Tiba-tiba
saja terdengar bunyi tembakan.
Sebuah
peluru berdesing dan mengenai batang pohon cemara di depan Pete.
Jupe,
Pete, dan Bob langsung tiarap. Peluru kedua lewat di atas kepala mereka.
Seseorang
sedang menembak ke arah mereka!
10.
Pemburu Manusia
"Mana
mereka?" seseorang berseru dengan suara serak. Suara itu berasal dari
balik pepohonan di belakang Trio Detektif.
"Ayo,
Biff!" orang lain membalas. "Kita harus menemukan mereka!"
Kata-kata
yang diucapkan kedua orang itu terdengar menggema. Sukar sekali untuk
memastikan dari mana sumbernya.
"Kenapa
mereka menembaki kita?" bisik Bob sambil menempelkan kepala ke tanah.
"Entahlah,"
balas Jupe, "tapi aku rasa akibatnya pasti kurang menyenangkan kalau kita
bertahan di sini untuk memperoleh jawabannya."
Mereka
saling berpandangan, mengangguk, lalu bangkit tanpa mengeluarkan suara.
"Ayo!" Pete mendesak, ia segera lari ke arah semak belukar.
Bob
dan Jupe menyusul. Mereka berlari sejajar dengan tebing, dan menuju lapangan
rumput
Sekali
lagi suara tembakan terdengar. Sebuah dahan rontok dan jatuh ke tanah.
Jupe,
Pete, dan Bob segera menjatuhkan diri, lalu merangkak ke balik sebongkah batu
sebesar rumah.
"Brengsek!
Ke mana mereka?" suara pertama berseru dari tengah hutan.
"Dasar
anak-anak berandal!" rekannya berkomentar dengan kesal. "Bikin repot
saja!"
Kedua
orang itu semakin mendekat. Jupe mendengar suara dahan patah terinjak.
Kelihatannya orang-orang itu tidak peduli apakah kedatangan mereka diketahui
atau tidak.
Pete
dan kedua sahabatnya kembali menerobos semak-semak.
"Itu
mereka!" penembak pertama berseru. "Ayo, Biff! Sikat saja!"
Peluru-peluru
berdesingan. Tanah dan debu tersembul ke atas di sekitar Trio Detektif.
"Cepatan!"
Pete memacu Bob dan Jupe.
ia
memasuki daerah bayangan pepohonan. Bob dan Jupe berada tidak jauh di
belakangnya. Agar tidak kehilangan arah, mereka tetap berlari sejajar dengan
tebing. Jupe sudah terengah-engah. Namun ia berusaha keras agar tidak
ketinggalan. Akhirnya mereka berhenti di balik semak-semak.
"Apakah
kalian sempat melihat tampang mereka?" tanya Jupe di sela sela tarikan
napas.
"Tidak,"
jawab Bob. ia mencopot topi ayahnya dan menyeka keringat. "Kau masih
tahan, Jupe? Wajahmu kelihatan seperti tomat matang."
"Jangan
takut," jawab Jupe sambil tersengal-sengal. "Aku masih kuat."
"Ayo,
kita jalan lagi," ujar Pete. Mereka segera menjauh dengan langkah panjang.
"Apakah
kita berhasil mengelabui mereka?" Bob bertanya.
"Mudah-mudahan
saja," kata Jupe.
"Aku
tidak yakin bahwa mereka mau menyerah begitu saja," Pete memudarkan
harapan kedua sahabatnya.
Ketiga
detektif itu terus menuju ke arah barat. Mereka sebisa mungkin berjalan sambil
berlindung di balik pepohonan. Dalam waktu singkat mereka telah menempuh
beberapa mil. Mereka melewati bunga-bunga liar, tumpukan batu besar, serta
sebuah kali dengan air bening.
"Berapa
lama lagi?" tanya Pete ketika mereka berhenti untuk mengisi botol air.
"Kalau
arahnya tepat, maka seharusnya kita sudah hampir sampai," kata Jupe.
Mereka
berangkat lagi.
"Itu
dia!" Pete tiba-tiba berseru.
Mereka
muncul di sisi selatan dari lapangan rumput yang sudah akrab bagi mereka.
"Lho,
mana pesawat kita?" Jupe langsung bertanya.
Sambil
terbengong-bengong ketiga sahabat itu menatap ke tengah lapangan. Pesawat
mereka tidak kelihatan. Bahkan sayapnya yang patah pun sudah lenyap! Bagaimana
mungkin?
"Tunggu
dulu," Pete berkata sambil mengintai. "Pesawat kita ditutupi dengan
semak-semak."
"Dan
lihat, tuh!" Bob berseru. "Tanda SOS yang kita buat juga sudah tidak
ada!
"Berarti
tidak ada yang bisa menemukan lapangan rumput ini," kata Pete.
"Sepertinya
ada seseorang yang tidak menyukai kita," Jupe berkomentar dengan suara
tertahan.
"Yah...
tapi siapa?" tanya Bob. "Dan kenapa?"
"Apakah
kalian tersesat?" seseorang bersuara berat tiba-tiba berkata.
Jupe,
Pete, dan Bob langsung membalik.
Seorang
pria berbadan besar dan berambut pirang sedang berjalan ke arah mereka.
"Ada
yang bisa saya bantu?" ia mengenakan kacamata hitam, celana serta kemeja
berwarna serba coklat, dan membawa ransel. Sebuah sarung senapan yang terbuat
dari kulit menggantung pada bahu kirinya.
"Siapa
Anda?" Pete langsung bertanya.
"Nama
saya Oliver Nancarrow. Tapi teman-teman saya biasa memanggil saya Ollie,"
pria itu memperkenalkan diri. Sambil tersenyum lebar ia bersalaman dengan Jupe,
Pete, dan Bob. "Saya datang ke sini untuk berburu. Tapi kelihatannya hari
ini bukan hari keberuntungan saya. Ini memang baru pertama kalinya saya berburu
di sini."
Bob
tersenyum penuh harap. "Apakah Anda bawa mobil, Mr. Nancarrow... ehm...
Ollie?"
"Ya,
tapi saya meninggalkannya di atas sana," si pemburu menjawab. Ia menunjuk
ke arah tebing.
"Jaraknya
lumayan jauh dari sini, di pinggir jalan tanah yang menuju ke jalan bebas
hambatan."
"Kita
tidak keberatan kalau harus jalan kaki ke sana, bukan?" Bob bertanya pada
teman-temannya. "Ayo, kita berangkat."
"Nanti
dulu," ujar Nancarrow. "Kalau saya akan mengajak kalian naik mobil,
paling tidak saya harus tahu dulu kenapa kalian cari tumpangan."
Bob
menjelaskan bahwa pesawat mereka jatuh, dan bahwa ayahnya menghilang. Kemudian
ia menambahkan, "Kami harus cepat-cepat ke Diamond Lake untuk minta
bantuan petugas kehu-tanan. Saya khawatir ayah aya pasti memerlukan
pertolongan.
"Apakah
ada kejadian lain kecuali itu?" Nancar-row kembali bertanya. "Saya
mendengar suara tembakan kira-kira sejam yang lalu."
Bob
menatap kedua sahabatnya. Jika mereka berterus terang pada Nancarrow, maka pria
itu mungkin tidak bersedia membantu.
"Saya
rasa hanya pemburu seperti Anda," kata Jupe.
"Kami
tidak bisa membuang-buang waktu lagi," Bob mendesak.
Nancarrow
berpikir sejenak. "Oke. Sepertinya ada yang kalian rahasiakan. Tapi tidak
apa-apa. Itu toh bukan urusan saya. Saya akan membantu kalian."
Nancarrow
mengajak mereka menyeberang lapangan rumput, ke arah tebing-Bob di sebelah
kiri, Jupe di sebelah kanan, dan Pete di belakang.
"Rasanya
saya pernah mendengar nama Anda," ujar Jupe sambil berjalan. "Apakah
Anda orang terkenal?"
"Wah,
rasanya saya belum pantas disebut terkenal," jawab Nancarrow sambil
tersenyum. "Saya hanya memiliki beberapa restoran kecil di Bakersfield.
Ngomong-ngomong, Bob, apa tujuan ayahmu datang ke sini?"
Bob
bercerita bahwa ayahnya bekerja sebagai wartawan koran, dan bahwa ia datang ke
Diamond Lake untuk bertemu dengan seorang sumber berita.
Sambil
mendengarkan penjelasan Bob, Nancarrow mengeluarkan sebungkus rokok. Pete
langsung mengerutkan kening, ia tahu bahwa puntung rokok yang dibuang
sembarangan merupakan penyebab utama kebakaran hutan yang sering terjadi di
musim kemarau seperti sekarang. Namun Jupe segera menoleh ke belakang, dan
memberi isyarat agar Pete jangan mengatakan apa-apa. Rokok yang sedang
dinyalakan oleh Nancarrow memiliki filter yang dihiasi dengan pita hijau-persis
seperti puntung rokok yang ditemukan oleh Jupe di perkampungan orang Indian,
dan di tempat di mana mereka menemukan topi pet Mr. Andrews. Jupe yakin bahwa
ia pernah mendengar atau melihat nama Nancarrow sebelumnya. Tapi di mana? Di
perkampungan orang Indian?
"Kami
menduga, ayah saya hendak menemui seseorang bernama Mark MacKeir," Bob
mengakhiri penjelasannya. Ia mengeluarkan buku catatan ayahnya dan membuka
halaman pertama. "Ya, Mark MacKeir. Apakah Anda pernah mendengar nama
itu?"
"Aneh
sekali," ujar Nancarrow. "Benar-benar aneh. Saya tidak mengenal orang
itu, tapi berita radio tadi pagi mengatakan bahwa seseorang bernama Mark
MacKeir tewas dalam kecelakaan lalu lintas ketika sedang dalam perjalanan
menuju Diamond Lake. Mungkin dia ingin berlibur. Dia kehilangan kendali atas
mobilnya, lalu masuk ke jurang. Mobilnya meledak. Dia tewas seketika."
"Ya,
Tuhan!" Bob mendesah.
Mereka
membisu selama beberapa saat. Masing-masing memikirkan kematian MacKeir yang
mengerikan. Pandangan Jupe tertuju pada penutup sarung senapan Nancarrow, yang
terkepak-kepak setiap kali pria itu melangkah. Setiap kali Jupe melihat
sepotong logam berwarna gelap di dalamnya. Belum lama ini Jupe sempat membaca
sebuah buku mengenai senjata api. Senapan yang disandang Nancarrow memiliki
bentuk yang tidak lazim-bagian tengahnya nampak menggembung. Ini berarti bahwa
sarungnya pun harus dipesan secara khusus, agar bisa menampung senapan yang
aneh itu.
"Sekarang
ini kau dan ayahmu merupakan orang penting di sini," Nancarrow berkata
pada Bob. "Siapa saja yang tahu bahwa kalian datang ke sini?"
"Hanya
beberapa orang," Jupe cepat-cepat berkata sebelum Bob sempat menjawab
bahwa tidak ada yang mengetahui kedatangan mereka. "Orang-orang di kantor
ayah Bob."
"Betul
itu, Bob?" Nancarrow bertanya sambil menoleh ke arah anak itu.
Jupe
segera mencoba untuk mengangkat penutup sarung senapan Nancarrow. Ia ingin
mengintip ke dalamnya.
Ada
sesuatu pada diri pria itu yang membuat Jupe merasa cemas. Peti yang mereka
gunakan sebagai meja ketika makan di perkampungan orang Indian mempunyai cap
Nancarrow Trucking Company pada sisinya. Cap yang sama juga terdapat pada semua
peti yang ditumpuk di luar pondok seng. Pondok itu milik laki-laki Indian yang
memberi isyarat pada Mary bahwa mobil Kepala Kampung sudah siap dipakai. Jupe
yakin bahwa Nancarrow telah berbohong. Dia sudah pernah datang ke sini-dan
lebih dari satu kali.
Bob
memandang ke arah Jupe. Ia nampak terkejut ketika menyadari bahwa Jupe hendak
mengintip ke dalam sarung senapan Nancarrow. Namun Bob langsung bisa menguasai
diri. ia tahu apa yang diinginkan oleh Jupe. Tanpa berpikir panjang Bob
tersenyum ke arah Oliver Nancarrow.
"Betul,"
Bob berkata pada pria itu. "Ayah saya memberi tahu atasannya bahwa kami
akan datang ke sini. Selain itu dia juga menghubungi bagian keuangan, sebab
merekalah yang harus membayar ongkos hotel selama ayah saya tinggal di Diamond
Lake."
Ketika
Jupe agak membungkuk ke depan untuk mengintip ke dalam sarung senapan,
Nancarrow tiba-tiba berhenti.
Jupe
segera menarik tangannya, lalu berlagak mengikat tali sepatu.
Nancarrow
mengisap rokoknya untuk terakhir kali, kemudian menginjaknya sampai mati. Pete
tidak suka melihat alam bebas digunakan sebagai tempat sampah. Karena itu ia
menunggu sampai Nancarrow melihat ke arah lain. Kemudian ia cepat-cepat
berjongkok, dan memungut puntung rokok itu.
"Kapan
ayahmu harus kembali ke kantornya?" Nancarrow bertanya sambil jalan.
Mereka kini sudah di kaki tebing.
"Saya
tidak tahu pasti. Tepi seharusnya dia menelepon ke sana kemarin," ujar
Bob. Ia menduga bahwa Jupe tidak percaya pada Nancarrow. Dan pengalaman di masa
lalu menunjukkan bahwa indra keenam yang dimiliki Jupe lebih sering tepat
daripada meleset Karena itulah ia sengaja memberikan keterangan palsu pada
Nancarrow.
Sementara
Nancarrow berbincang-bincang dengan Bob, Jupe-dengan keterampilan pencopet
ulung-membuka penutup sarung senapan.
"Kalau
begitu mereka pasti akan mengirim orang untuk mencari kalian?" Nancarrow
kembali bertanya.
"Saya
yakin, tim pencari sudah dalam perjalanan ke sini," kata Bob.
"Tapi
kami tidak bisa menunggu sambil berpangku tangan," Pete menambahkan.
Di
bawah penutup sarung senapan, Jupe melihat pegangan tangan di atas laras. Dan
tiba-tiba saja ia mengenali bentuk senjata yang aneh itu.
Tapi
mendadak Nancarrow berhenti lagi.
"Hei!"
ia berseru dengan geram. "Sedang apa kau?" Dengan satu gerakan cepat
ia menepis tangan Jupe. Ia mundur selangkah, lalu menghadap ke arah ketiga
detektif muda. Kemudian ia mengeluarkan senapan besar dan mengarahkannya pada
mereka.
"Ternyata
memang M-16," Jupiter bergumam. Tonjolan pada sarung senapan Nancarrow
dibuat agar bisa menampung pegangan tangan, gagang, serta tempat peluru.
"Apa-apaan
ini?" tanya Bob dengan heran.
"Senapan
M-16 pertama kali diperkenalkan dalam Perang Vietnam," Jupe berkata.
Jantungnya berdebar-debar. "Dan kini senapan itu termasuk jenis yang
paling populer di seluruh dunia. Tapi kegunaannya terutama untuk memburu
manusia, bukan binatang. Siapa Anda sebenarnya, Mr. Nancarrow? Dan apa yang
Anda kehendaki dari kami?"
"Oke,
jagoan-jagoan," Nancarrow menjawab sambil tetap membidikkan senapannya ke
arah mereka. "Saya sudah berusaha untuk menyelesaikan urusan ini secara
baik baik. Tapi sekarang kita akan menempuh jalan yang lebih praktis. Cepat,
naik ke tebing itu! Kalian harus ikut dengan saya!"
11.
Mengatur Siasat
"Ayo,
Bob! Pete!" Jupiter berkata sambil menundukkan kepala. "Jangan sampai
Mr. Nancarrow marah." ia mulai berjalan ke arah tebing.
Pete
dan Bob menatap Jupe dengan heran. Mereka agak terkejut melihat perubahan yang
begitu tiba-tiba. Dulu, ketika masih kanak-kanak, Jupe pernah jadi aktor film.
Pada waktu itu ia memainkan peran Baby Fatso dalam seri TV berjudul The Wee
Rogues alias Berandal Cilik. Jupe tidak suka mengenang peran itu, tetapi sampai
sekarang pun ia belum lupa cara berakting. Bakat itu memang sudah mendarah
daging dalam dirinya. Bob dan Pete mendadak menyadari bahwa sahabat mereka
sedang bersandiwara.
"Ayo,
jalan!" Nancarrow memerintah dengan tegas.
"Apakah
Anda akan membawa kami ke tempat Mr. Andrews?" Jupe bertanya dengan nada
mengibakan.
"Hah,
jangan berharap yang aneh-aneh," balas Nancarrow, lalu ketawa dengan
sinis. "Itu urusan saya. Kau tidak perlu repot-repot memikirkannya."
"Jadi
Anda yang menculik ayah saya!" kata Bob sambil membelalakkan mata.
"Kenapa?"
"Karena
dia sok ingin campur urusan orang lain," Nancarrow menjawab dengan geram.
"Sama seperti temanmu yang gendut ini. Sudah, jangan banyak omong!"
Mereka
menyusuri tebing ke arah barat untuk mencari tempat yang cocok untuk memanjat
naik. Jupe sengaja menarik napas sambil tersengal-sengal.
"Saya
tidak kuat kalau harus terus jalan secepat ini," ia mengeluh.
"Dasar
cengeng!" kata Nancarrow.
"Aduh!"
Jupe mengerang, ia membiarkan kakinya terpeleset pada sebuah batu yang
ditumbuhi lumut, ia jatuh terjengkang, dan menimpa Bob.
Bob
terdorong mundur. Tapi dengan sengaja ia tidak membentur Pete.
Mata
Pete nampak bersinar-sinar, ia memahami apa maksud Jupe dan Bob.
Nancarrow
mengerutkan kening. Meskipun curiga, ia belum memahami apa yang sedang terjadi.
Pete
tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Secepat kilat ia berbalik badan dan
menghampiri Nancarrow. Dengan menggunakan sikut, Pete melancarkan haishu-uke ke
arah laras senapan M-16 di tangan pria itu.
"Lariii!"
ia berteriak pada Bob dan Jupe.
Kedua
anak itu cepat-cepat berdiri, lalu menyeberangi lapangan rumput ke arah tepi
hutan sebelah barat.
Pada
saat yang sama, Pete kembali beraksi. Kali ini sasarannya adalah dada
Nancarrow.
Nancarrow
terhuyung-huyung, ia kehilangan keseimbangan, namun tetap menggenggam
senapannya erat-erat.
Pete
berlari menyusul kedua sahabatnya.
Peluru-peluru
berdesingan di sekitar mereka. Daun-daun cemara, debu, serta kulit pohon
beterbangan di udara. Burung-burung bercuit-cuit, lalu terbang menjauh. Ketiga
detektif muda segera merebahkan diri. untuk sementara mereka cukup terlindung
di balik semak belukar.
"Biff!
George!" Nancarrow memanggil. "Di mana kalian? Dasar pemalas! Cepat
ke sini! Anak-anak itu mencoba melarikan diri."
Pete
mengangkat kepala. Ia melihat Nancarrow berdiri di lapangan rumput.
"Nancarrow bawa walkie-talkie. Dia memanggil bantuan."
"Biff
adalah salah satu dari kedua orang yang mengejar kita tadi," bisik Bob.
"Dialah yang bersuara serak."
"Berarti
yang satu lagi bernama George," ujar Jupe-juga dengan suara tertahan.
"Sepertinya mereka tadi hanya berusaha menggiring kita ke tangan
Nancarrow. Pantas saja mereka tidak terlalu ngo-tot" Jupe lalu bercerita
bahwa ia telah menemukan hubungan antara rokok yang diisap Nancarrow dengan
peti-peti di perkampungan orang Indian.
"Tapi
aku tidak yakin bahwa Nancarrow yang menyabot pick-up kita," ujar Bob.
"Dia tidak punya kesempatan untuk itu."
"Aku
rasa, itu ulah si Kepala Kampung," Pete berpendapat.
"Nanti
saja kita pikirkan soal ini," kata Jupe. "Sekarang kita harus pergi
dulu dari sini."
"Bagaimana
dengan ayahku?" tanya Bob.
"Kalau
mendengar ocehan Nancarrow tadi," jawab Jupe, "aku yakin, ayahmu
masih hidup. Tapi pertama-tama kita harus menyelamatkan diri dulu. Baru setelah
itu kita bisa menyelamatkan ayahmu."
Mereka
memandang ke lapangan rumput. Nancarrow masih berdiri di tempat yang sama.
Pandangannya terarah ke tepi hutan.
"Dia
tidak mau menghambur-hamburkan amunisi," Jupe berkata. "Dia tidak
akan melepaskan tembakan sebelum melihat kita."
Ketiga
sahabat itu berdiri tanpa bersuara, lalu bergerak menjauh melalui hutan.
"Itu
mereka!" suara Biff yang serak terdengar.
Jupe,
Pete, dan Bob masih sempat berlari beberapa langkah. Kemudian mereka berhenti.
Tiba-tiba
saja mereka berhadapan dengan laras M-16 kedua.'
Seorang
pria berambut gelap, bermata biru, dan dengan kulit terbakar oleh matahari,
mengarahkan senjatanya pada mereka. Secara bergantian ia membidik Jupe, Pete,
dan Bob. ia nampak tersenyum, tetapi wajahnya tidak memancarkan keramahan.
"Nah,
akhirnya kena juga!" ia berkata dengan puas. Mendengar suaranya, orang itu
mestinya George. "Hei, Biff! Di mana kau?"
Pria
bernama Biff muncul di sebelah kiri Trio Detektif, ia pun membawa senapan M-16.
"Bagus, George! Tepat di mana kita menghendaki mereka." Biff berbadan
pendek dan kurus. Rambutnya berwarna coklat. Ia memiliki alis yang tebal.
"Anak-anak ini memang tidak punya otak."
Suara
Oliver Nancarrow yang angkuh kini terdengar dari belakang. "Oke, giring
mereka lewat sini. Cepat, perjalanan kita masih panjang."
"Kalian
dengar apa kata Bos," ujar Biff. "Ayo, jalan!"
Jupe,
Bob, dan Pete saling berpandangan. Pete mengangkat bahu. ia sadar bahwa mereka
tidak bisa melakukan apa-apa.
"Jalan!"
Biff menggeram.
Kemudian
ia membuat kesalahan fatal. Si kerdil itu mendorong punggung Pete dengan
menggunakan moncong M-16-nya.
Pete
segera membalik. Ia menggenggam laras senapan, kemudian mendorongnya dengan
keras sehingga popor senjata itu menghantam perut Biff.
Biff
jatuh ke tumpukan dahan-dahan kering.
Seketika
Bob melancarkan tendangan yoko-geri-keage. Kakinya tepat mengenai dagu George.
George terhuyung-huyung ke belakang. Bob segera maju dan melayangkan tendangan
susulan. Kali ini George ambruk.
Jupe
berlindung di balik pohon cemara, ia hendak memanfaatkan kemampuan judo-nya
untuk melumpuhkah Nancarrow. Pria itu sedang bergegas ke arah mereka. Tetapi
pada detik-detik terakhir Jupe memilih cara yang lebih mudah. Langsung saja ia
menjulurkan kaki. Nancarrow tersandung dan kehilangan keseimbangan.
Pria
itu berusaha agar tidak terjatuh. Tapi secepat kilat Pete menghantam tengkuknya
dengan gerakan otoshi hiji-ate. Nancarrow tumbang.
Ketiga
detektif muda tidak membuang-buang waktu. Mereka langsung kabur ke hutan.
Mereka
mendengar Nancarrow menyumpah-nyumpah, dan memaki-maki kedua rekannya.
"Dasar
Tolol semua! Kejar mereka, cepat! Tapi jangan main tembak. Aku menginginkan
mereka hidup-hidup."
Jupe,
Pete, dan Bob menembus hutan ke arah selatan. Sambil berlari, mereka
menghindari pohon-pohon dan batu-batu yang menghalangi jalan. Suara langkah
para pengejar lerdengar dengan jelas di belakang mereka.
Mereka
terus bergegas. Namun tenaga mereka semakin berkurang. Langkah-langkah mereka
semakin berat.
Pete
menemukan sebuah jalan setapak dan langsung membelok ke kanan. Bob seqera
mengenali jalan setapak itu-kemarin, setelah mengisi botol air, ia sempat
menyusurinya.
"Kita
harus susun siasat," Jupe berkata sambil terengah-engah. "Kita tidak
bisa terus-menerus main kucing-kucingan seperti ini."
"Selain
itu kita juga masih harus menyelamatkan ayahku!" ujar Bob.
Dari
belakang terdengar teriakan garang, yang membuat mereka menambah kecepatan.
"Mereka
telah sampai di jalan setapak!" Pete berseru.
"Mereka
akan menyergap kita di sini!" Bob mengingatkan.
"Sebaiknya
pick-up si Kepala Kampung kita lupakan saja," ujar Jupe sambil terus
berlari. "Pete, apakah kau bisa menemukan jalan yang dibicarakan oleh
Nancarrow tadi?"
"Jalan
untuk mengangkut pohon-pohon yang baru ditebang? Jalan itu kan berhubungan
dengan jalan bebas hambatan," Pete mengingat-ingat. "Mary Grayleaf
juga sempat menyinggungnya. Jalan tanah dari perkampungan orang Indian juga
menuju ke sana."
"Ya,
jalan itu yang kumaksud," kata Jupe. Napasnya tersengal-sengal.
"Pete, kaulah yang paling kuat dan paling cepat di antara kita. Kaulah
yang punya kesempatan terbesar untuk bisa mencapai Diamond Lake."
"No
problem," balas Pete dengan yakin.
"Sementara
itu Jupe dan aku harus berusaha agar Nancarrow mengejar kami," Bob
menanggapinya. "Betul tidak, Jupe?"
"Betul!"
Pete
segera berangkat. Ia meninggalkan jalan setapak dan masuk ke hutan. Setelah
Nancarrow dan kedua anak buahnya lewat, Pete akan kembali ke jalan setapak lalu
menuju ke Diamond Lake.
Jupe
dan Bob terus berlari.
"Kita
perlu tempat untuk bersembunyi," Jupe berkata pada Bob.
"Bagaimana
dengan sebuah lembah rahasia?" Bob mengusulkan. "Aku rasa dalam
keadaan seperti ini para Leluhur Indian takkan keberatan."
"Oke!"
Jupe menyetujui gagasan sahabatnya.
Bob
berhenti sejenak ketika mereka mencapai tempat yang agak lebar. "Tapi kita
harus pastikan dulu bahwa Nancarrow memang mengejar kita."
Jupe
tersenyum, ia menarik napas dalam-dalam, lalu berseru,
"Bob,
aku capek! Aku harus istirahat sebentar!"
"Kau
selalu capek!" balas Bob dengan sengit. "Aku bosan dengan
kecengenganmu!"
Meskipun
sadar bahwa Bob hanya bersandiwara, Jupe sempat kaget juga. "Aku tidak
peduli! Berhenti dulu, deh!"
Mereka
berdiri sambil memasang telinga. Nancarrow dan kedua anak buahnya sedang menuju
ke arah mereka. Langkah ketiga pemburu itu terdengar seperti gerombolan gajah
liar yang sedang mengamuk.
"Ya,
Tuhan!" Bob tiba-tiba berseru. "Lihat!"
ia
mengangkat tangan, ia masih membawa botol air.
"Seharusnya
kita berikan ini pada Pete!" ujar Jupe.
"Yah,
di tempat yang kita tuju ada kali kecil. Tapi siapa tahu apa yang dihadapi oleh
Pete?"
12.
Bergelantungan di Tebing Batu Cadas
Seruan-seruan
Jupe dan Bob menggema di hutan, dan juga sampai ke telinga Pete.
Beberapa
saat kemudian ia mendengar suara langkah berat lewat di depan tempat
persembunyiannya.
Pete
membayangkan senapan-senapan M-16 yang dibawa oleh Nancarrow dan kedua anak buahnya,
ia berharap bahwa Jupe dan Bob berada dalam keadaan aman. Kemudian Pete
menyingkirkan kecemasan yang berada dalam hatinya, ia harus memusatkan segala
daya untuk mencapai Diamond Lake. Keselamatan Mr. Andrews tergantung padanya
sekarang.
Ia
mengencangkan otot-ototnya, lalu mulai berlari dengan langkah ringan. Dengan
demikian ia bisa menempuh jarak yang jauh tanpa terlalu memeras tenaga. Suhu
udara di hutan sudah menurun. Angin sore mulai bertiup.
Pete
mengikuti jalan setapak kembali ke lapangan rumput, kemudian menuju ke tebing
batu cadas. Sejauh ini ia belum melihat tanda-tanda
bahwa
Nancarrow masih membawa orang selain Biff dan George. Namun Pete tetap
berhati-hati. ia tidak berani mengambil risiko. Karena itu ia terus berjalan di
bawah lindungan pohon-pohon.
Setelah
sampai di bawah tebing, Pete mulai memanjat naik. Dalam beberapa menit ia telah
mencapai dataran di atas tebing, lalu berhenti sejenak untuk menarik napas. Di
sinilah mereka menemukan topi Mr. Andrews tergeletak. Jadi, kemungkinan besar
di tempat inilah ayah Bob disergap dan diculik. Tapi kenapa? Tindakan seperti
itu rasanya tidak masuk akal.
Pete
menatap gunung-gunung yang ditumbuhi hutan lebat. Angin bertiup dengan kencang
di dataran puncak tebing, dan menembus T-shirt Pete yang tipis. Jaketnya masih
terikat mengelilingi pinggang, dan selimutnya berada dalam kantong jaket. Pete
sadar bahwa ia akan membutuhkan keduanya nanti, ia menyesal karena lupa
mengambil botol air, namun sekarang sudah terlambat untuk kembali lagi. Gntung
saja ia masih menyimpan beberapa batang coklat yang diberikan oleh Jupe.
ia
menuju ke utara, sambil mengingat-ingat dari arah mana matahari mengenai bahu
dan punggungnya. Matahari kini merupakan satu-satunya penunjuk arah yang
dimiliki Pete.
ia
menyeberangi hamparan batu cadas yang mulai menanjak ke arah pepohonan lebat
Ketika tiba di hutan, Pete segera mencari jalan setapak.
Setelah
menemukan satu, ia menembus semak-semak dan meneruskan perjalanan.
Jalan
yang dilewati Pete semakin curam. Ia berlari dan berjalan cepat secara
bergantian. Matahari semakin condong ke barat. Tapi Pete terus memacu dirinya.
Ia telah bermandikan keringat
Menjelang
malam, Pete sampai di sebuah punggung bukit, lalu berhenti, ia melihat ke
bawah, dan nyaris tidak percaya pada pandangan matanya.
Di
kaki bukit ada sebuah jalan tanah yang memanjang ke arah timur-barat Jalan itu
penuh jejak ban kendaraan berat, tetapi dua kali lebih lebar dari jalan yang
menuju ke perkampungan orang Indian-persis seperti yang digambarkan oleh Mary
Grayleaf.
Pete
meluncur menuruni lereng bukit, lalu berhenti sejenak untuk beristirahat dan
menikmati keberhasilan ini. Kalau saja sebuah mobil lewat dan mau menawarkan
bantuan...
Otot-otot
Pete terasa gemetar. Jarak yang sudah ditempuhnya memang cukup jauh. Tapi ia
masih harus berjalan sejauh 25 mil, mungkin bahkan 30 mil.
Mudah-mudahan
saja aku dapat tumpangan setelah sampai di jalan bebas hambatan, ujar Pete
dalam hati.
ia
menuju ke barat, ke arah matahari yang sedang tenggelam. Sambil jalan ia
mengenakan jaketnya, sebab suhu udara turun dengan cepat. Matahari menghilang
di balik cakrawala, dan digantikan oleh bulan purnama. Pete melewati jembatan
yang menyeberangi pertemuan antara dua sungai beraliran deras. Kabut
menggantung di udara. Bau cemara tercium dengan jelas. Pete sebenarnya merasa
haus, tapi ia tidak berani minum air sungai tadi.
ia
berhenti di seberang jembatan. Di depannya ada percabangan jalan. Jalan yang
lebih kecil menuruni bukit-sejajar dengan aliran sungai- sampai akhirnya
menghilang di sebuah ngarai sempit. Melihat palang yang menghalangi ujung
jalan, Pete menyimpulkan bahwa jalan itu digunakan oleh petugas kehutanan untuk
memerangi kebakaran yang sering terjadi di musim kemarau.
Pertama-tama
Pete merasa gembira. Namun kemudian ia teringat bahwa jalan-jalan seperti itu
seringkali terletak di daerah terpencil dan jarang dilewati. Para petugas
kehutanan tidak akan datang ke sini-kecuali jika ada pemberitahuan mengenai
kecelakaan atau kebakaran.
Akhirnya
Pete kembali menyusuri jalan semula, ia makan sebatang coklat. Badannya semakin
letih dan semakin kedinginan. Di kejauhan terdengar lolongan coyote (anjing
hutan).
***
Setelah
Pete berpisah dari mereka, Jupe dan Bob kembali berlari. Nancarrow dan kedua
anak buahnya masih terus mengejar dengan langkah berat Mereka semakin mendekat,
sehingga Jupe dan Bob. terpaksa menambah kecepatan.
Suara
langkah di belakang mereka merupakan kabar baik, sekaligus kabar buruk. Suara
itu menunjukkan bahwa ketiga laki-laki itu melewati tempat pesembunyian Pete
tanpa melihatnya. Tetapi kini Jupe dan Bob harus mencari jalan untuk meloloskan
diri dari para pembunuh, serta senapan-senapan M-16 yang mereka bawa.
Sambil
membisu Bob dan Jupe mencapai sungai yang disebut truoc oleh orang-orang
Indian. Mereka segera menyusurinya ke arah yang berlawanan dengan aliran air.
Angin yang bertiup di atas air yang bening menyebarkan bau belerang, dan
membuat mata kedua detektif muda terasa perih.
Bob
berjalan di depan. Ia mengikuti jalan setapak yang telah dilewatinya kemarin.
Baik Bob maupun Jupe sudah lelah dan kehabisan napas ketika mencapai jalan
masuk ke Lembah Leluhur. Air terjun di hadapan mereka menderu-deru.
"Wow!"
Jupe berseru sambil memandang air terjun itu. "Di sinikah kau hampir jadi
korban tanah longsor?"
"Di
sekitar sini," kata Bob. ia menoleh ke belakang. "Itu mereka!"
Jupe
mengikuti arah pandangan sahabatnya. Kurang lebih setengah mil dari tempat
mereka, Nancarrow, Biff, serta George sedang mengelilingi sebongkah batu besar.
Nancarrow berjalan di depan. Senapan M-16 ketiga laki-laki itu tergantung pada
bahu masing-masing. Mereka menatap ke arah air terjun, lalu melihat Bob dan
Jupe. Biff, si Pendek bersuara serak, meneriakkan sesuatu dan mengacungkan
tinju.
"Ayo,
Bob!" Jupe mendesak. "Kita tidak bisa berlama-lama di sini."
Bob
segera memasuki hutan, dan kembali menyusuri tebing. Jupe berada beberapa meter
di belakangnya. Akhirnya Bob berhenti. Ia meraih ke atas, lalu mengunci
jari-jarinya pada tempat pegangan tangan yang hampir tidak kelihatan. Kemudian
ia menjejakkan kaki pada pijakan yang juga hampir tidak kelihatan. Tempat
pegangan tangan serta pijakan kaki itu sudah selama berabad-abad dimakan erosi,
sehingga sama sekali tidak menyolok.
Bob
mulai memanjat naik.
Dengan
hati-hati Jupe mengikuti contoh yang diberikan sahabatnya. "Ya,
ampun!" ia mendesah tertahan. Jupe tidak menyukai perkembangan terakhir
ini. Keringat mulai membasahi keningnya. Dengan susah payah ia berusaha menjaga
keseimbangan.
"Kau
pasti bisa, Jupe!" Bob memberi semangat
Bob
memanjat dengan cepat, sekaligus menunjukkan jalur yang harus dilewati oleh
Jupe. Dengan setiap langkah mereka semakin tinggi, dan semakin mendekati
dinding batu cadas di atas air terjun. Lembah Leluhur terletak di balik dinding
itu.
Pepohonan
lebat melindungi mereka dari pandangan para pengejar. Nancarrow, Biff, dan
George baru bisa melihat bagian tebing ini setelah mereka berdiri di kaki air
terjun. Bob berdoa bahwa ia dan Jupe sudah mencapai Lembah Leluhur pada saat
itu.
Jupe
bergerak dengan perlahan. Lengan dan kakinya gemetar. Kenapa aku mau dibujuk
oleh Bob? Anak itu bertanya dalam hati. Aku pasti sudah kehilangan akal sehat!
Tiba-tiba
saja kaki kanannya terpeleset. Kejadian itu begitu mendadak sehingga Jupe tidak
sempat berbuat apa-apa. ia telah mencapai ketinggian sekitar 30 meter, dan
percikan air dari air terjun membuat batu cadas selicin es. Sebelum Jupe sempat
mejejakkan kaki, tangan kanannya juga mulai merosot.
Mati-matian
Jupe berusaha mencengkeram permukaan cadas. Jantungnya nyaris copot
Jari-jarinya mulai kejang. Jupe memelototi tangan kanannya, seakan-akan tidak
percaya bahwa tangan itu gagal melaksanakan tugas. Kemudian pegangannya
terlepas sama sekali. Waktu seolah-olah berhenti. Hanya tangan dan kaki kiri
Jupe yang masih menahan berat badannya.
Aku
akan mati di sini, terlintas di kepala Jupe. Aku akan meluncur ke bawah dan
terempas ke batu karang! "Jupe!" teriak Bob. Ia seperti terpaku di
tempat Wajah Jupe nampak pucat pasi. Seluruh tubuhnya terasa lumpuh.
"Tundukkan
kepala!" Bob kembali berseru. Ia dicekam rasa takut. Jupe harus
diselamatkan! "Gerakkan bahu kananmu! Gerakkan kaki kananmu! Atur
keseimbanganmu sampai kau merapat ke tebing!"
Jupe
tidak bereaksi.
Dia
tidak mendengarku, pikir Bob. "Jupe!" ia berteriak, kemudian merayap
turun ke arah sahabatnya.
Jupe
bisa merasakan kehadiran Bob. Namun ia tidak melihatnya. Teriakan-teriakannya
juga hanya terdengar secara sayup-sayup. Tetapi perlahan-lahan perintah Bob
mulai diserap oleh otak Jupe. Gunakan otakmu! Jupe berkata pada diri sendiri.
Berpikirlah!
Tepat
pada waktu Bob tiba di sampingnya, Jupe berhasil menguasai diri. Bob
memperhatikan sahabatnya dengan saksama. Ia seolah-olah bisa melihat roda-roda
di kepala Jupe mulai berputar kembali. Penuh harap Bob menahan napas.
Tiba-tiba
saja kepala Jupe bergerak maju. Dengan gerakan kaku seperti robot, tangan dan
kakinya menemukan tempat berpijak pada tebing. Sambil terengah-engah ia
menempel pada permukaan batu cadas.
"Kau
berhasil, Jupe!" Bob berseru dengan gembira. "Ayo, kita lanjutkan
pendakian. Sedikit di atas sini ada tonjolan pada tebing yang ditumbuhi
semak-semak. Kita bisa beristirahat di sana. Mereka tak bakal melihat kita.
Ayo, Jupe! Sedikit lagi!"
Penuh
rasa was-was Jupe memindahkan tangan ke tempat pegangan berikut. Kakinya
menyusul. Sambil memaksakan diri untuk tetap tenang, ia merayap pada
tebing-semakin lama, semakin tinggi.
Bob
mendahuluinya. Dalam waktu singkat ia telah mencapai tonjolan yang dimaksudnya.
Semak-semak tumbuh pada tepi tonjolan, sehingga mereka bisa berlindung dengan
aman.
"Cepat,
Jupe!" Bob mendesak. "Nancarrow dan kawan-kawannya sudah hampir
sampai."
Perlahan
tapi pasti Jupe memanjat naik. Tak sekalipun ia menoleh ke bawah. Ia terus
memanjat sampai Bob akhirnya bisa mengulurkan tangan dan menyentuh jari Jupe.
"Ayo,
sedikit lagi, Jupe!" Bob berkata dengan lembut. Jari Jupiter terasa basah.
Jupe
tidak mengatakan apa-apa. ia memindahkan kakinya ke pijakan berikut Kemudian ia
menarik diri ke atas. Setelah berhasil mencapai tonjolan batu, ia segera
merangkak ke balik semak-semak, ia duduk seperti patung, sambil memejamkan
mata.
"Berapa
lama lagi mereka sampai di air terjun?" Jupe bertanya dengan suara serak.
"Sebentar
lagi," jawab Bob. "Lihat!"
Percikan-percikan
air memenuhi udara. Angin yang bertiup dari lembah menyebarkan bau belerang.
Mata Jupe dan Bob terasa perih ketika mereka memperhatikan Nancarrow, Biff, dan
George mendekati air terjun.
"Mana
anak-anak brengsek itu?" Nancarrow marah-marah. Sambil bertolak pinggang,
ia me-mandang hutan dan tebing-tebing melalui kacamata hitamnya.
Bob
dan Jupe berusaha keras agar dapat mendengar ucapan Nancarrow.
"Ini
salah kalian!" Nancarrow membentak kedua anak buahnya. "Gara-gara
kebodohan kalian mereka bisa kabur."
"Mereka
pasti di sekitar sini, Bos," ujar George.
"Kami
akan menemukan mereka," Biff berjanji.
"Mereka
tidak boleh lolos!" Nancarrow berkata dengan kesal. "Wartawan sok
tahu itu sudah berhasil kita amankan. Dan sekarang kita juga harus menangkap
bocah-bocah ingusan itu."
Ketika
mendengar kata wartawan, Bob dan Jupe segera bertukar pandang.
"Sepertinya
Nancarrow menculik ayahmu karena ayahmu hendak menyelidiki sesuatu," Jupe
menduga-duga. "Barangkali ada hubungannya dengan sumber berita di Diamond
Lake."
"Hmm,
aku jadi ingin tahu siapa Mark McKeir itu, dan apa yang diketahuinya,"
balas Bob.
"Kita
harus mengatur semuanya supaya kelihatan seperti kecelakaan," Nancarrow
masih memberi kuliah pada Biff dan George.
"Pertama-tama
kita hajar kepala mereka," Biff menanggapinya. "Kita hajar mereka
sampai pingsan-persis seperti kita menghajar McKeir!"
Bob
dan Jupe kembali bertukar pandang. Mereka benar-benar terkejut. Apakah McKeir
menjadi korban pembunuhan yang dilakukan oleh anak buah Nancarrow?
"Setelah
itu kalian harus masukkan mereka ke dalam pesawat," Oliver Nancarrow
berkata. "Kita bakar mereka bersama-sama-Andrews dan anak-anak itu.
Orang-orang akan menyangka bahwa pesawat mereka meledak dan terbakar waktu
jatuh. Sebuah kecelakaan-seperti yang dialami McKeir. Takkan ada yang tahu apa
yang terjadi sesungguhnya."
"Ya,
takkan ada yang tahu," Biff meniru ucapan bosnya dengan sungguh-sungguh.
"Tepat
sekali!" Nancarrow menepuk bahu anak buahnya itu. "Sekarang kau
kembali saja, Biff. Urusan ini mungkin masih makan waktu agak lama. Malam ini
ada kiriman lagi, dan harus ada orang yang menanganinya. Kaulah orang
itu."
"Wah,
Bos!" Biff mengeluh dengan kecewa.
"Kalau
kau melaksanakan tugasmu dengan baik, maka kau boleh menghabisi anak-anak ini
setelah mereka kutangkap," Nancarrow berjanji.
Wajah
Biff langsung kembali cerah. "Oke!" ia membalik dan menyusuri sungai
menjauh dari air terjun.
"Kiriman
apa yang dimaksudnya?" Bob bertanya keheranan.
"Barangkali
berita yang tidak sempat disampaikan oleh McKeir berhubungan dengan kiriman
ini," ujar Jupe.
"Ayo,
George!" Nancarrow mengajak anak buahnya. "Di atas air terjun ini ada
lembah.
Bocah-bocah
tengil itu mungkin bersembunyi di sana."
ia
segera menghampiri tebing.
George
nyengir lebar, ia menggenggam senapannya erat-erat, kemudian mengikuti
Nancarrow yang telah berdiri di kaki tebing-tepat di bawah tempat persembunyian
Bob dan Jupe.
Kedua
detektif muda itu terbelalak. Sebentar lagi Nancarrow dan George akan menemukan
tempat persembunyian mereka. Dan kali ini tidak ada kemungkinan untuk
meloloskan diri!
13.
Lembah Leluhur
Big
Oliver Nancarrow dan George nampak amat berhati-hati ketika melewati tumpukan
batu-batu di kaki tebing. Nancarrow menemukan celah yang dipanjat Bob kemarin.
Ia berpegangan erat-erat, menarik badannya ke atas, dan mulai mendaki.
"Kelihatannya
kurang aman," George bergumam, ia menyandang senapan M-16 pada
punggungnya, lalu menyusul.
Mereka
memanjat dengan mantap. Wajah mereka nampak merah dan basah karena keringat
Tanpa menyadarinya, mereka menuju tonjolan batu tempat Bob dan Jupe
bersembunyi.
"Jupe!"
Bob berbisik cemas.
Lengan
dan kaki Jupe masih gemetar, tapi otaknya bekerja dengan sempurna. Ia segera
meraih akar semak-semak yang tumbuh pada tepi tonjolan, kemudian menariknya
keras-keras -tanpa hasil. Jupe menarik lebih keras lagi. Kali ini ia berhasil mencabut
akar dari tanah. Kerikil-kerikil, debu, dan pasir ikut berhamburan.
Nancarrow
dan George memandang ke atas.
Kerikil-kerikil
itu meluncur ke bawah, dan membentur permukaan tebing. Batu-batu sebesar
kepalan tangan mulai terlepas, kemudian batu-batu seukuran kepala orang dewasa.
Nancarrow
dan George segera menghindar.
Batu-batu
longsor itu lewat di samping mereka.
"Bos...,"
George berkata dengan hati-hati. Wajahnya nampak pucat.
"Sudahlah,"
Nancarrow memutuskan, "lebih baik kita turun lagi. Anak-anak itu tidak
mungkin naik dari sini. Nanti malam kita berkemah di tepi sungai saja. Dan
besok pagi-pagi kita teruskan pencarian."
Bob
mendesah tertahan. "Thanks, Jupe!"
Nancarrow
dan George turun lewat celah yang sama.
Kedua
detektif muda segera menyelesaikan sisa pendakian. Bob berada di depan. Dalam
waktu singkat Lembah Leluhur telah tampak di depan mereka.
Matahari
mulai tenggelam. Bayang-bayang semakin panjang. Sungai di tengah lembah
mengalir tenang. Kedua tepinya ditumbuhi rumput tinggi. Di beberapa tempat uap
nampak menyembur ke udara-mungkin dari sumber air panas alami.
Bob
dan Jupe terus berjalan.
"Hei,"
Jupe tiba-tiba berkata pada Bob, "matamu merah. Bagaimana dengan
mataku?"
Bob
memperhatikan mata sahabatnya dengan saksama, kemudian mengangguk. "Sama seperti
mata orang-orang di perkampungan Indian. Tapi..." Ia terdiam sejenak, dan
merenung. "Hanya mata Daniel yang tidak merah. Waktu kita bertemu
dengannya, dia baru saja kembali ke perkampungan setelah pergi selama satu
hari. Barangkali bau ini yang membuat mereka sakit. Angin yang keluar dari
lembah ini bertiup tepat ke arah perkampungan mereka."
"Orang-orang
Indian itu menderita sakit yang cukup parah. Aku rasa penyebabnya bukan sekadar
bau belerang saja," Jupe berkata cepat-cepat, ia sedang berkonsentrasi
penuh. Dengan hati-hati ia memindahkan kaki dan tangannya. Ia ingin segera
turun dari tebing ini. Perlahan mereka menuju ke bawah. Ketika Jupe akhirnya
melompat ke tengah-tengah pakis, ia langsung mendesah lega.
Jupe
memandang sekeliling. Beberapa tanaman pakis nampak coklat dan layu-terutama
yang dekat dengan sungai. Sedangkan air sungai yang kelihatannya bening, pada
beberapa tempat tertutup oleh lapisan abu-abu yang berbuih.
"Hei,
coba perhatikan buih itu," ia berkata pada Bob.
Bob
menatap permukaan air. "Jorok! Apa itu?"
"Kelihatannya
tidak alami," ujar Jupe.
"Mungkin
semacam polusi air."
"Yah,
mungkin saja," kata Jupe. "Ayo, kita pergi dari sini. Mataku sudah
perih sekali."
Matahari
menghilang di balik punggung bukit yang membatasi lembah ini. Jupe dan Bob
segera mengenakan jaket Kemudian mereka mulai menyusuri sungai. Di sepanjang
tepi sungai mereka menemukan tanaman yang layu dan sudah hampir mati.
Lembah
Leluhur ternyata menanjak dengan landai. Tanah longsor telah mengikis beberapa
bagian dari dinding batu cadas pada kedua sisi lembah.
"Kalau
dipikir-pikir," Jupe berkata sambil mengerutkan kening, "kecelakaan
pesawat yang kita alami sebenarnya agak aneh." Ia mengeluarkan sebatang
coklat dan mulai mengunyah.
"Maksudmu?"
tanya Bob. ia mereguk air dari botol minum, lalu makan juga.
"Sistem
elektrik pesawat kita mendadak mati," ujar Jupe. "Kita terpaksa
mendarat darurat Dan siapa yang sudah siap menunggu untuk menculik ayahmu?
Oliver Nancarrow!"
"Wow!"
Bob membelalakkan mata. "Maksudmu, dia yang menyabot pesawat kita?"
"Dia,
atau salah satu anak buahnya."
Mereka
makan sambil membisu.
"Apa
yang harus kita lakukan sekarang?" Bob akhirnya bertanya. "Kita harus
menemukan ayahku sebelum terlambat"
Jupiter
menjawab sambil mengunyah. "Kita tidak boleh berhenti lama-lama. Kalau aku
tidak salah, lembah ini memanjang ke arah utara-selatan. Dan ini berarti bahwa
jalan kehutanan ada di depan kita. Mungkin kita akan bertemu Pete di sana. Atau
petugas kehutanan!"
"Oke!
Paling tidak kita sudah berhasil meloloskan diri dari kejaran Nancarrow. Dia
takut naik ke tebing."
"Dan
barangkali kita juga menemukan apa yang membuat orang-orang Indian itu
menderita sakit," Jupe menambahkan.
Mereka
menghabiskan batang coklat masing-masing, lalu menyimpan kertas pembungkus
dalam kantong jaket Mereka ingin melestarikan alam dengan tidak membuang sampah
secara sembarangan.
Lembah
kini telah diselimuti kegelapan. Bintang-bintang nampak bergemerlapan di langit
malam. Perlahan-lahan bulan purnama muncul di atas punggung bukit
Dengan
tenaga sudah hampir terkuras habis, kedua sahabat itu melanjutkan perjalanan di
bawah cahaya bulan. Kadang-kadang mereka harus mengitari semak belukar serta
batu-batu besar sebelum kembali ke tepi sungai. Setelah berjalan sekitar
setengah mil, Jupe dan Pete terpaksa mengambil jalan putar untuk menghindari
daerah rawa-rawa, dan akhirnya sampai di tebing yang membatasi lembah.
Tiba-tiba
Bob berhenti. Bulu kuduknya berdiri.
"Ada
apa?" tanya Jupe dengan suara tertahan.
Tanpa
berkata apa-apa Bob menunjuk ke depan. Sekitar 10 meter di depan mereka ada
sesuatu berwarna putih yang memantulkan cahaya bulan.
Jantung
Jupe berdetak dengan kencang.
"Apakah...
apakah itu..." Bob tergagap-gagap.
Bahu-membahu
mereka melangkah maju. Pantulan cahaya di depan mereka semakin meluas.
Berkas-berkas cahaya lemah menembus semak-semak.
Jupe
dan Bob berhenti. Bob nampak ketakutan. Jupe mengumpulkan seluruh
keberaniannya, namun ia pun gemetar.
Di
depan kaki mereka ada sebuah tulang panjang berwarna keperak-perakan.
"Tulang
apa ini?" Bob berbisik.
"Ini
tulang kering," ujar Jupe. "Tulang kering orang dewasa. Sepertinya
kita telah menemukan tempat pemakaman orang-orang Indian."
"Sebenarnya
aku jauh lebih suka kalau kita tidak menemukannya," Bob berkata dengan
sungguh-sungguh. "Tulang-belulang ini pasti diobrak-abrik oleh tanah
longsor. Berapa banyak jumlahnya menurutmu?"
Tulang-belulang
itu berserakan pada tumpukan tanah yang jatuh dari tebing di sebelah kirinya.
Beberapa tulang nampak menancap di tanah.
"Itu
tulang kering yang satu lagi," ujar Jupe sambil menunjuk. "Dan di
sana ada tulang paha, beberapa tulang iga, dan sebagian tulang belakang."
Tulang-belulang itu nampak berpendar di bawah sinar bulan purnama.
"Kelihatannya seperti kerangka yang lengkap."
"Dan
itu tengkoraknya!" kata Bob. "Ih, menyeramkan."
Dua
lubang hitam, yang dulu pernah berisi sepasang mata, menghadap ke arah kedua
detektif muda. Lubang yang lebih kecil merupakan bekas hidung. Mulut tengkorak
itu kelihatan seperti meringis.
"Tunggu
dulu!" Jupe tiba-tiba berkata. Ia memungut sebuah benda yang nampak
berkilau-kilau. Benda itu adalah sebuah gesper perak dengan batu berwarna
turkis.
Bob
memperhatikannya sambil mengerutkan kening. "Persis ikat pinggang yang
dipakai Daniel," katanya.
"Mungkin
milik pamannya," Jupe berkomentar sambil memasukkan gesper itu ke dalam
kantong jaket
"Tapi
pamannya baru menghilang selama sebulan. Sedangkan tulang-belulang ini..."
"Jangan
lupa, di sini masih banyak binatang liar."
Jupe
menatap tengkorak di depan mereka, ia telah berhasil mengatasi rasa takutnya.
Kini ia malah merasa sedih, sangat sedih. "Coba lihat ini!" ia
menunjuk sebuah lubang kecil pada tempurung kepala.
"Lubang
peluru?"
"Yah,"
Jupe menjawab dengan lesu. "Kelihatannya orang ini meninggal karena
dibunuh."
***
Pete
berjalan menembus malam yang dingin. Langkah-langkahnya semakin berat Karena
tidak kuat lagi, ia akhirnya meninggalkan jalan tanah dan mencari tempat untuk
bermalam. Dengan tubuh terbungkus selimut, ia membaringkan diri di atas
tumpukan daun cemara.
Tiba-tiba
Pete mendengar suara truk mendekat. Ia segera bangkit kembali. Sayangnya
kendaraan-kendaraan berat itu menuju ke arah yang salah -kembali ke pegunungan
dari mana ia datang.
Dengan
kecewa Pete duduk lagi. ia melihat dua truk lewat di depannya. Para pengemudi
hanya menyalakan lampu kecil. Aneh, pikir Pete ketika ia mulai diserang kantuk,
kenapa mereka tidak menyalakan lampu besar?
Pete
merasa seolah-olah baru saja tertidur ketika ia dibangunkan oleh suara
kendaraan berat. Ia segera melirik jam digital yang melingkari pergelangan
tangannya: tengah malam kurang beberapa menit.
Cepat-cepat
ia berdiri. Kali ini truk-truk itu menuju ke arah yang tepat-ke arah jalan
bebas hambatan... ke arah bantuan untuk Mr. Andrews, Bob, dan Jupe!
"Stop!"
ia berseru. "Stop!"
Truk
yang paling depan mengurangi kecepatan. Begitu juga truk yang menyusul di
belakangnya.
Penuh
semangat Pete berlari ke arah truk pertama.
Kendaraan
berat itu langsung berhenti. Pintunya dibuka dari dalam.
Pete
segera menggenggam pegangan tangan dan menarik dirinya ke atas.
Ia
baru saja hendak mengucapkan terima kasih pada si pengemudi, ketika menyadari
bahwa ada yang tidak beres. Laras senapan M-16 mengarah tepat pada dahinya.
Pete mulai berkeringat dingin. Ia teringat pada kata-kata yang diucapkan oleh
Jupe: M-16 merupakan senapan untuk berburu manusia.
"Ayo,
masuk!" si Pendek bernama Biff menggeram, ia nampak nyengir lebar.
"Mana teman-temanmu, Bung?"
***
Jupiter
dan Bob memutuskan bahwa mereka harus beristirahat. Sambil membungkus badan
dengan selimut, kedua sahabat itu membaringkan diri di atas tumpukan pakis.
Mereka tidak berani menyalakan api unggun, karena ada kemungkinan bahwa
Nancarrow atau salah satu anak buahnya melihat cahaya yang terpancar.
Menjelang
subuh mereka bangun lagi, kemudian langsung meneruskan perjalanan. Perut
keduanya terasa keroncongan, tetapi mereka sudah kehabisan bekal. Sambil
menahan lapar mereka menatap tanaman-tanaman liar yang tumbuh di dekat sungai.
Namun baik Jupe maupun Bob telah berkali-kali diperingatkan oleh Pete: Jangan
sekali-sekali makan sesuatu yang belum pasti bisa dimakan.
Malah
kebetulan, Jupe menghibur diri. Aku toh harus mengurangi berat badan.
Mereka
terus berjalan pada tepi kanan sungai. Di sini tidak ada jalan setapak,
sehingga mereka hanya bisa maju pelan-pelan. Mereka melewati sumber air panas
yang mengeluarkan bau belerang yang menusuk hidung. Beberapa kali mereka
menemukan lapisan berwarna abu-abu atau genangan oli yang mengambang pada
permukaan sungai.
Akhirnya
Jupe dan Bob mencapai puncak sebuah bukit.
Mereka
berhenti sejenak, sambil merasakan nikmatnya sukses pertama. Mereka telah
menca-j pai ujung lembah, yang dibatasi oleh punggung bukit. Sungai yang mereka
susuri sejak pagi mengalir lewat ngarai sempit.
"Hei,
di sana ada jalan!" ujar Bob, sambil memutar topi pet yang dikenakannya ke
belakang.
Jalan
tanah yang dimaksud Bob juga melewati ngarai sempit yang membelah punggung
bukit di depan mereka.
"Jalan
itu sama sekali tidak mirip dengan jalan kehutanan yang digambarkan oleh Mary
Grayleaf," Jupe berkomentar kemudian.
"Ya,
tidak ada mirip-miripnya sama sekali," ujar Bob.
Mereka
menyeberangi sungai. Tiba-tiba saja bau busuk memenuhi udara di sekeliling
mereka. Bob dan Jupe menahan napas, lalu menatap ke bawah. Sesuatu berwarna
hitam yang nampak seperti ter telah terkumpul di pinggir sungai.
Tanaman-tanaman di sekitar kelihatan layu.
Kedua
sahabat itu mengamati air yang keruh. Lapisan minyak pada permukaannya nampak
berwarna-warni seperti pelangi.
Cepat-cepat
Jupe dan Bob naik ke darat.
"Kelihatannya
seperti aspal, atau minyak, atau mungkin malah kedua-duanya," kata Bob.
"Dan
baunya minta ampun."
"Baunya
mirip dengan cairan busuk yang kaubuat waktu praktikum kimia," ujar Bob
sambil nyengir.
"Asal
tahu saja," balas Jupe dengan kesal, "cairan itu merupakan hasil
akhir dari eksperimen termo-reaktif yang rumit." Namun kemudian ia ketawa.
"Kau masih ingat tampang Mr. Perry waktu cairan itu meledak dan menyembur
sampai ke langit-langit?"
Sambil
ketawa-ketawa mereka menuju ke jalan tanah di depan. Ternyata mereka menemukan
sejumlah jejak kendaraan berat.
"Jejak
truk," kata Bob. ia berjongkok dan memungut puntung rokok yang persis
seperti puntung rokok yang ditemukan Jupe sebelumnya.
Jupe
mengangguk dengan geram. "Rupanya di sinilah tujuan akhir dari kiriman
yang disinggung oleh Nancarrow."
"Nancarrow
Trucking Company! Mungkin ayahku ada di sekitar sini!"
Bob
dan Jupe memandang sungai yang telah tercemar, semak-semak, pohon-pohon, serta
punggung bukit. Jalan tanah di depan mereka nampak bercabang di kejauhan.
Cabang jalan itu menghilang di balik pohon-pohon cemara.
"Coba
lihat ke sebelah sana," ujar Jupe.
Di
sebelah kanan jalan tanah terdapat sejumlah gua pada tepi bukit. Beberapa
pasang jejak ban menuju ke sana. Langsung saja Bob dan Jupe menghampiri gua-gua
itu.
Mereka
menyusuri deretan mulut goa, tetapi bau yang keluar dari sana membuat mata
mereka terasa seperti terbakar. Kedua anak itu terbatuk-batuk, lalu kembali ke
gua pertama.
"Yang
ini masih agak mending dibandingkan yang lain," kata Jupe.
Dengan
mata setengah terpejam mereka mengintip ke gua yang paling dekat ke jalan
tanah.
"Aku
melihat benda berbentuk kotak," ujar Bob.
Mereka
melangkah masuk, lalu berhenti sejenak untuk membiasakan diri dengan cahaya
remang-remang. Sinar matahari mengalir masuk melalui mulut gua yang lebar.
Akhirnya
mereka mulai bisa melihat dengan jelas. Jupe segera memandang sekeliling. Di
depannya ratusan drum tertumpuk-tumpuk.
Jupe
membaca label pada salah satu drum. "PCB," ia berkata.
Bob
membaca label yang lain. "Asam chlorida."
Jupe
melanjutkan, "Alkaline, lumpur belerang."
Dengan
mata terbelalak kedua sahabat itu bertukar pandang.
"Limbah
beracun!" Jupe akhirnya menyimpulkan.
"Kita
menemukan tempat pembuangan limbah beracun," ujar Bob.
Tiba-tiba
keadaan dalam gua menjadi gelap. Mereka segera berbalik dan memandang ke mulut
gua. Seorang pria berdiri di sana dan menghalangi jalan keluar.
Jupe
dan Bob terperangkap!
14.
Bisnis Kotor
"Jupiter!
Bob!" orang di mulut gua itu berseru dengan marah. "Sedang apa kalian
di sini?"
Kedua
detektif muda saling bertatapan.
"Daniel?"
Jupiter berkata dengan ragu-ragu.
"Dari
mana kau tahu bahwa kami ada di sini?" tanya Bob.
Daniel
semakin marah. "Keluar!" pemuda Indian itu berseru. "Kalian
tidak boleh berada di sini. Ini Lembah Leluhur kami!"
"Tidak!"
balas Jupe. "Kau saja yang masuk ke sini. Kami akan menunjukkan apa yang
membuat sukumu menderita sakit."
Daniel
nampak ragu-ragu. Namun kemudian ia melangkah ke dalam gua.
"Matamu
perlu waktu sebentar untuk membiasakan diri dengan keremangan di sini,"
ujar Jupe.
"Aku
harap kalian bisa menjelaskan semua ini," kata Daniel.
"Tenang
saja," jawab Jupe. ia menggiring pemuda Indian itu ke tumpukan drum. Di
bagian belakang gua ternyata ada salah satu drum yang sudah bocor. Uap yang
dihasilkan oleh cairan di dalamnya membuat mata terasa seperti terbakar.
Cepat-cepat mereka menyingkir dan keluar dari gua. Kemudian Jupiter menjelaskan
apa yang ada di dalam drum-drum itu.
"Limbah
beracun?" Daniel mengulangi seakan-akan tidak percaya. "Itukah yang
meracuni air dan tanah kami?"
"Lihat,
matamu sudah merah lagi," ujar Bob. "Begitu juga mata kami."
Daniel
menatap kedua teman barunya. "Kalau begitu, air di truoc tidak bisa
diminum. Dan ikan yang ada di dalamnya tidak bisa dimakan."
"Binatang-binatang
yang kalian buru di hutan juga minum air dari sungai ini," Bob
mengingatkannya.
"Keadaan
di gua-gua yang lain bahkan lebih buruk lagi," Jupe bercerita. "Kami
sama sekali tidak bisa masuk. Sepertinya gua-gua itu penuh dengan drum
bocor."
Daniel
nampak geram. Ia memikirkan bahaya yang ditimbulkan oleh limbah beracun itu.
Kemarahannya meledak. "Siapa yang berani mengotori Lembah Leluhur
kami?"
"Oliver
Nancarrow," Jupe menjawab dengan singkat "Pemilik Nancarrow Trucking
Company. Kau mengenalnya?"
"Tentu
saja," ujar Daniel. "Kepala kampung kami kadang-kadang bekerja untuk
dia. Tapi Mr. Nancarrow selalu membantu desa kami.."
"Dia
sering datang ke sini," kata Bob. "Kalau Nancarrow menculik ayahku,
di mana dia menahannya?"
"Aku
tidak tahu," Daniel berkata sambil mengangkat bahu. "Aku belum pernah
mendatangi bagian Lembah Leluhur ini. Tapi aku yakin kita bisa melacak
jejaknya-atau jejak Mr. Nancarrow."
Ketika
mereka menuju ke jalan tanah, Jupiter bertanya, "Jadi kau melacak jejak
kami?"
Daniel
berjalan sambil membungkuk, ia mengamati bekas ban yang terlihat pada permukaan
jalan. "Kakek mengizinkan aku untuk meninggalkan upacara tadi pagi,"
ia berkata sambil berhenti untuk mempelajari bekas ban yang paling baru.
"Dia mengkhawatirkan keselamatan kalian. Aku pinjam mobil Bibi, lalu
menemukan pick-up yang kalian pakai dalam keadaan ringsek. Telapak sepatu
kalian bergerigi, sehingga meninggalkan jejak yang mudah diikuti. Pertama-tama
hanya ada jejak kalian bertiga. Namun kemudian aku menemukan jejak sepatu lars.
Ada tiga orang yang mengejar kalian. Kalian berusaha kabur, lalu berkelahi dua
kali dengan orang-orang itu. Kemudian Pete memisahkan diri. Kelihatannya Pete
berhasil lolos, tapi ketiga orang itu tetap mengejar kalian berdua."
"Kau
mengetahui itu semua hanya dengan mempelajari jejak sepatu?" Jupe bertanya
sambil terheran-heran.
"Aku
dibesarkan di hutan ini," Daniel menjelaskan. "Dan Paman mengajarkan
cara membaca jejak."
"Apakah
kau juga bisa mengetahui siapa yang menyabot pick-up kami?" tanya Jupe.
"Apaaa?!"
Daniel berseru sambil membelalakkan mata.
Jupe
lalu bercerita mengenai baut pada pedal rem.
Daniel
menundukkan kepala. "Siapa yang tega melakukan sesuatu yang begitu
mengerikan?" ia menatap Jupe dan Bob. "Aku gembira bahwa kalian masih
hidup. Pete pasti pengemudi jempolan."
Jupe
dan Bob mengangguk. "Ehm..." Bob berkata sambil memandang ke arah Jupe.
Jupe
mengangguk sambil memasang tampang serius. Tak ada jalan untuk menghindari
pertanyaan berikut. "Daniel, apakah kau mengenali benda ini?" ia
bertanya dengan berat hati. Tangannya memegang gesper perak dengan batu
berwarna turkis di tenqah-tengahnya.
Tanpa
berkala apa-apa Daniel mengambil gesper itu. Bentuknya hampir sama dengan
gesper yang dikenakannya. "Ini milik Paman," pemuda Indian itu
menjawab, lalu menatap Jupe. "Di mana kalian menemukan ini?"
"Di
samping kerangka manusia di dekat tebing," ujar Jupe. "Kau pasti
melihat tulang-belulang itu waktu menuju ke sini."
Daniel
memejamkan mata dan mengangguk perlahan.
"Sekarang
aku tahu apa arti wahyu yang kuterima," ia berbisik kemudian. "'Di
tempat yang benar, namun tanpa diberkati'. Tubuh pamanku sudah berada di Lembah
Leluhur, namun jiwanya belum memperoleh berkat untuk melakukan perjalanan dari
kehidupan ini ke kehidupan berikut."
Ketiga
pemuda itu terdiam untuk beberapa saat.
"Apakah
kau sempat mengamati tulang-belulang itu?" Jupe bertanya dengan lembut.
"Tidak.
Aku terburu-buru karena memikirkan kalian," ujar Daniel.
"Kalau
begitu masih ada satu berita buruk lagi yang harus kusampaikan padamu. Kami
menemukan lubang peluru pada tengkorak itu."
"Pamanku
dibunuh?" tanya Daniel. ia nampak terpukul sekali. "Siapa?
Kenapa?"
Bob
bercerita mengenai 'kecelakaan' yang dialami Mark McKeir, serta rencana
Nancarrow untuk membunuh Mr. Andrews dan Trio Detektif.
"Jadi
kalian menduga bahwa Paman menemukan... ini?" Daniel bertanya sambil
menunjuk deretan gua pada tebing.
"Ada
kemungkinan," kata Jupiter.
Daniel
merenung sejenak. "Waktu menjalankan upacara, Kakek mendapat pesan dari
Sang Pencipta bahwa penyakit yang kami derita adalah akibat dari ulah seorang
tukang sihir asing. Menurut Kakek, tukang sihir itu teramat serakah dan hanya
bisa dihancurkan jika kita memberikan sesuatu yang diinginkannya."
"Tukang
sihir yang dimaksud kakekmu pasti Oliver Nancarrow," kata Jupe.
"Tapi
apa artinya: memberikan sesuatu yang diinginkannya?" Bob bertanya dengan
heran.
"Aku
pun tidak tahu," balas Daniel, ia memasukkan gesper pamannya ke dalam
kantong celana. "Sebaiknya kita mulai mencari jawabannya." ia
menunjuk sepasang jejak ban lebar pada permukaan jalan tanah.
"Ini
bekas ban dari karavan milik Mr. Nancarrow," ia berkata. Kemudian ia mulai
mengikuti jejak itu.
Bob
dan Jupe segera menyusul. Mereka terka-gum-kagum pada kemampuan membaca jejak
yang dimiliki Daniel. Jejak-jejak yang tak jelas pada debu jalanan bisa
bercerita panjang lebar pada pemuda Indian itu. Mereka menyusuri jalan tanah
sambil setengah berlari.
Dalam
waktu singkat bau yang keluar dari deretan gua mulai digantikan oleh bau
cemara.
Daniel
berhenti. "Itu dia! Mobil karavan milik Mr. Nancarrow. Dia sering membawa
kendaraan itu ke desa kami untuk membagi-bagikan hadiah- makanan, amunisi,
mainan untuk anak-anak."
Karavan
mewah itu diparkir di suatu lapangan terbuka. Mobil itu tidak kelihatan dari
deretan gua. Pohon-pohon besar melindunginya dari bau busuk di tempat itu.
Daniel
segera mendekat.
"Tunggu
dulu!" Jupe berseru dengan suara tertahan. "Barangkali ada orang di
dalamnya.
Nancarrow
dan anak buahnya masing-masing membawa senapan M-16."
Daniel
menunjuk bekas sepatu pada permukaan jalan. Jejak itu menuju ke arah karavan.
"Kalian
tahu siapa yang ada di sini?" Daniel bertanya.
Jupe
dan Bob menggeleng.
"Pete!
Yang lainnya pergi semua. Kalian lihat jejak-jejak itu?" Ia menunjuk
beberapa bekas sepatu yang nampak menjauh dari karavan.
"Mereka
menangkap Pete!" Jupe berseru.
Kedua
detektif muda menatap Daniel. Secara mendadak kecemasan mereka jadi berlipat
ganda.
"Ayo,
kita ke sana," kata Daniel.
"Kita
harus waspada!" Jupe mengingatkan. "Nancarrow mungkin berada di
sekitar sini."
Sambil
membungkuk dan tanpa bersuara, ketiga pemuda itu menghampiri karavan. Kemudian
mereka mengintip dengan hati-hati. Di dalam kendaraan itu ada dua orang. Pete
diikat pada kursi makan. Di sampingnya ada satu orang lagi yang juga dalam
keadaan terikat.
"Ayah!"
Bob memekik.
15.
Perangkap Maut
Jupe
dan Bob melepaskan kain yang menyumbat mulut Mr. Andrews dan Pete.
"Ayah
baik-baik saja?" Bob langsung bertanya.
Mr.
Andrews menganggukkan kepala. Luka pada keningnya masih membengkak. Ia
memerlukan perawatan dokter. Bob berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan
segera mencari dokter-jika mereka bisa lolos dari sini.
"Bagaimana
kau bisa sampai ke sini, Pete?" Jupe bertanya sambil membuka tali yang
mengikat lengan Pete. Sahabatnya itu tampak lelah sekali.
"Aku
capek dan bodoh dan tertangkap oleh Biff," Pete menerangkan dengan
singkat. "Si Cebol itu ternyata tahu jalan potong lewat hutan. Dia lebih
dulu sampai ke jalan, lalu naik mobil."
Begitu
bebas, Mr. Andrews dan Pete berdiri dan menggerak-gerakkan kaki dan tangan.
"Terima
kasih, Bung," Mr. Andrews berkata dengan gembira ketika mengambil topi
petnya dari kepala Bob.
"Kembali,"
ujar Bob sambil nyengir lebar, ia lega sekali karena sudah berhasil membebaskan
ayahnya. Kemudian ia memperkenalkan Daniel.
Dalam
beberapa menit saja Pete sudah mulai pulih. Ia langsung menuju ke lemari es di
bagian belakang karavan. "Aku hampir mati kelaparan," katanya, lalu
mengeluarkan selai kacang, roti, dan sebotol orange-juice. Semuanya makan
dengan lahap.
Mr.
Andrews mencoba berjalan sambil berpegangan pada sandaran kursi serta rak-rak
yang terpasang pada dinding karavan. "Syukurlah kalian semua dalam keadaan
sehat-sehat," ia berkata. "Tolong ceritakan apa saja yang telah
terjadi sejak saya ditahan di sini."
Bob
segera melaporkan petualangan mereka selama dua hari terakhir. "Mark
McKeir sudah mati, Ayah," Bob mengakhiri laporannya. "Dia dibunuh
oleh Nancarrow."
"Saya
rasa Biff yang melakukannya," ujar Mr. Andrews. "Dia mencium bahwa
ada yang tidak beres, lalu membuntuti Mark. Sementara itu George menyabot
sistem elektrik di pesawat untuk melenyapkan saya. Dia memasang bahan peledak
khusus pada kabel-kabel listrik di dekat mesin."
"Kemungkinan
besar dia juga memasang detonator elektronik," Jupe menduga-duga sambil
mengunyah. "Dengan demikian Nancarrow bisa meledakkan bom mini itu dari
bawah."
Mr.
Andrews mengangguk. "Nancarrow memang ingin agar pesawat kita jatuh di
suatu tempat di mana dia bisa memastikan kematian saya. Dan seandainya saya
selamat, maka dia bisa menanyakan siapa saja yang mengetahui bahwa saya pergi
ke Diamond Lake. Ketika mendengar bahwa masih ada orang lain dalam
pesawat-yaitu kalian bertiga-Nancarrow langsung panik. Dia menjalankan bisnis
kotor yang menghasilkan setengah juta dollar per tahun, dan tidak ingin
kehilangan sumber penghasilan itu."
"Saya
tidak pernah menyangka bahwa orang bisa mendapat keuntungan sebesar itu dengan
menyimpan limbah beracun secara ilegal," Pete berkomentar keheranan.
"Begitulah
kenyataannya," ujar Mr. Andrews. "Padahal usaha yang dijalankan
Nancarrow masih termasuk kelas teri. Di seluruh Amerika ada banyak perusahaan
yang dikenakan denda oleh Badan Perlindungan Alam. Penanganan limbah beracun
secara legal memerlukan biaya besar. Karena itu perusahaan-perusahaan tertentu
mau melakukan apa saja asal bisa menekan pengeluaran. Baru beberapa minggu yang
lalu, BPA menangkap seorang pengusaha yang membuang cairan beracun ke
gorong-gorong di Los Angeles."
"Astaga!"
Jupiter berseru sambil membelalakkan mata. "Berarti ada kemungkinan bahwa
air tanah juga telah terkena pencemaran."
"Tepat
sekali," ujar Mr. Andrews. "Setelah kejadian itu terungkap, saya
ditugaskan untuk mengadakan penyelidikan untuk menyiapkan artikel mengenai
limbah beracun. Tidak lama kemudian Mark McKeir menelepon ke kantor, dan minta
untuk bertemu dengan seorang wartawan. Mula-mula dia begitu ketakutan, sehingga
tidak bersedia menyebutkan namanya. Dia hanya memberitahu saya bahwa dia
bekerja di sebuah bengkel mobil, dan bahwa pemilik bengkel itu menekan
pengeluarannya dengan mengupah seorang pengusaha angkutan untuk menangani semua
limbah yang ada-oli rem, oli transmisi, oli mesin, dan sebagainya. Ketika si
pemilik bengkel tidak mau menghentikan perbuatannya, dan bahkan mengancam untuk
memecat McKeir, McKeir mengikuti si pengusaha angkutan-yaitu Oliver
Nancarrow-lalu menemukan usaha sampingannya. Mark McKeir adalah seorang
warganegara yang baik. Dia ingin agar pembuangan limbah beracun secara ilegal
dipublikasikan. Dengan demikian masyarakat luas akan menyadari bahaya limbah
tersebut. Karena itulah dia akhirnya bersedia untuk menemui saya."
Daniel
bersandaran pada pintu. Sejak tadi ia mendengarkan cerita Mr. Andrews tanpa
berkomentar. "Mereka menghancurkan lembah kami," ia kini berkata.
"Tanah, air, binatang-binatang, bahkan udara yang kami hirup. Mereka
membuat kami sakit, dan mungkin juga membunuh paman saya."
"Pihak
pemerintah mempunyai tenaga-tenaga ahli yang akan menangani limbah beracun di
lembah ini," kata Mr. Andrews. "Dan saya turut berduka cita atas
kematian pamanmu. Mereka tidak pernah membicarakan dia, sehingga saya tidak
tahu apa yang terjadi."
Jupe
pindah ke bagian depan karavan, lalu duduk di kursi sopir. "Mr. Andrews,
apakah informasi yang Anda kumpulkan sudah cukup untuk menulis sebuah
artikel?"
"Lumayan,"
ujar Mr. Andrews. "Nancarrow menyimpan dokumen-dokumen penting di meja kerja
ini. Saya tinggal membaca semuanya. Nancarrow rupanya menggunakan karavan ini
sebagai kantor. Dia selalu berpindah-pindah tempat, sehingga sukar
ditangkap."
"Kalau
begitu kita kabur saja dari sini," kata Pete. "Dan kita bawa kantor
ini sekaligus. Ayo Jupe, pindah ke sebelah." Ia menuju ke depan.
"Biar aku yang pegang setir."
"Jangan,
saya saja!" ujar Mr. Andrews.
"Anda
masih cedera, Mr. Andrews," kata Pete.
"Pete
benar, Ayah," Bob menambahkan.
"Saya
tidak apa-apa," kata Mr. Andrews. Tiba-tiba ia berhenti dan memegangi
kepala, ia merasa pusing sekali. Ia berpegangan pada sandaran kursi, lalu
duduk. "Kelihatannya kalian benar," ia akhirnya mengakui.
"Kunci
mobilnya tidak ada," kata Jupe. "Mr. Andrews, apakah Anda tahu di
mana Nancarrow menyimpan kuncinya?"
"Mungkin
Nancarrow membawanya."
Ketiga
detektif muda langsung patah semangat.
"Oke,"
Pete akhirnya berkata. "Kalau begitu saya terpaksa mengutak-atik kabei
sampai mesinnya mau menyala." ia menuju ke pintu.
"Tunggu
dulu!" Kata Daniel tiba-tiba, penuh wibawa. Pemuda Indian itu berdiri
seperti patung, persis seperti di hutan ketika Pete menyergapnya. Ia memejamkan
mata. "Beberapa orang sedang menuju ke sini," ia berkata dengan
yakin.
Cepat-cepat
semuanya berjongkok, lalu mengintip ke luar jendela. Daniel benar. Mereka
melihat gerakan di antara pohon-pohon di sekeliling lapangan. Kadang-kadang ada
berkas cahaya yang terpantul oleh logam senapan.
"Kita
masuk perangkap!" Jupiter berbisik, panik.
Yang
lainnya hanya bisa menelan ludah.
"Itu
Nancarrow!" Bob tiba-tiba berbisik.
"Dan
itu temannya yang haus darah," Pete menambahkan.
"Kita
harus berhati-hati terhadap Biff," Bob berkata dengan gelisah. "Orang
itu benar-benar berbahaya."
"Lho,
Kepala Kampung kami ada bersama mereka," kata Daniel terheran-heran.
"Juga Ike Ladysmith."
"Ike
Ladysmith bekerja untuk Amos Turner?" tanya Jupe. Ia mengenali laki-laki
kurus itu sebagai orang yang memberi isyarat pada Mary bahwa pick-up si Kepala
Kampung sudah siap dipakai.
"Kadang-kadang,"
jawab Daniel. "Lihat! Paman Kepala Kampung dan Ike membawa walkie-talkie.
Dan senapan baru. Aku baru tahu bahwa di desa kami ada orang dengan
perlengkapan sehebat itu! Kepala Kampung kami adalah pemburu ulung. Sebuah
senapan berburu merupakan hadiah yang paling cocok untuknya."
"Senapan
Ruger 10/22," Jupe mengenali senjata-senjata itu. Gntuk sesaat ia dikuasai
rasa panik. Bagaimana mereka bisa meloloskan diri, jika mereka dikelilingi oleh
senapan-senapan dengan daya tembak yang luar biasa?
"Mary
sempat bercerita bahwa Kepala Kampung kalian sering membelikan barang-barang
untuk orang-orang di desamu," Bob menambahkan. "Barang-barang mahal,
seperti suku cadang mesin mobil. Lalu masih ada mobilnya yang baru. Barangkali
ia dibayar oleh Nancarrow supaya tutup mulut mengenai tempat ini."
Daniel
langsung mengerutkan kening. "Tidak mungkin!" ia memprotes.
"Paman Kepala Kampung adalah laki-laki terhormat. Dia tidak mungkin
merusak kesucian Lembah Leluhur."
Suasana
di dalam karavan terasa mencekam. Dan kemarahan Daniel semakin menambah
ketegangan.
"Kita
berada dalam posisi terjepit," kata Mr. Andrews secara diplomatis,
"tapi saya sependapat dengan Daniel. Kita tidak punya bukti yang
memberatkan si Kepala Kampung ataupun Ike Ladysmith."
"Kalau
begitu siapa yang menyabot rem di pick-up yang kami pakai? tanya Pete.
Daniel
menatapnya untuk sejenak, kemudian mengalihkan pandangan. "Aku tidak
tahu," ia berkata dengan nada menyesal.
"Hmm,"
Jupe bergumam, ia kembali menuju kursi sopir. "Satu hal sudah pasti. Kita
harus cari jalan untuk keluar dari sini-secepatnya."
"Barangkali
ada senjata di sini," ujar Pete sambil memeriksa sebuah lemari.
"Lupakan
saja," kata Mr. Andrews. "Nancarrow tidak pernah melepaskan
senapannya. Kita harus cari jalan lain."
Tangan
Jupe meraba-raba bagian bawah dashboard. "Bibi Mathilda selalu mengingatkan
saya agar bersiap-siap terhadap segala kemungkinan. Nancarrow pasti juga
bersikap seperti itu, terutama kalau dia menggunakan karavan ini sebagai
kantor.... Aha!" Jupe menarik tangannya, lalu memperlihatkan sebuah kotak
magnetik. Kotak seperti itu sering digunakan untuk menyimpan kunci cadangan.
Gntuk
sejenak ketegangan di dalam karavan agak berkurang. Sambil tersenyum dengan
puas, Jupe menyerahkan kotak itu pada Pete. Pete segera duduk di kursi sopir.
"Oke,
Pete," Mr. Andrews berkata, ia duduk kembali. "Buktikan bahwa kau
memang pengemudi jempolan. Tancap terus, meskipun mereka menembak ban mobil.
Pokoknya jangan berhenti! Kita harus mencapai Diamond Lake!"
Bob
segera menoleh ke arah ayahnya. Mr. Andrews jarang memperlihatkan rasa takut.
Tapi kali ini ia menyadari bahwa keselamatan mereka tergantung pada
keterampilan Pete sebagai pengemudi.
Pete
mengangguk. "Semuanya tiarap. Cari tempat untuk berpegangan!"
Mr.
Andrews, Bob, Jupe, dan Daniel segera membaringkan diri di lantai. Dalam hati
Bob bertanya-tanya apakah ia akan bertemu lagi dengan Jennifer, atau Amy, atau
Debbie... Jupe menelan ludah, lalu mulai berdoa.
Pete
menarik napas panjang, kemudian memutar kunci kontak. Mesin mobil segera
menyala.
16.
Bertarung Melawan Tukang Sihir
Karavan
itu mulai menggelinding. Pete menyetir sambil membungkukkan badan. Dalam
sekejap saja mereka telah meninggalkan lapangan. Pete sempat melihat bahwa
Oliver Nancarrow nampak terkejut.
Kemudian
peluru-peluru mulai berdesingan. Butir-butir timah panas menembus dinding
karavan, lalu keluar lewat dinding seberang.
"Bagaimana
keadaan di belakang?" teriak Pete.
"Aman!!"
empat suara menyahut.
Kaca
depan pecah diterjang peluru. Pete terus tancap gas, dan menuju ke jalan tanah
yang menjauh dari lapangan.
Si
Kepala Kampung muncul di samping Oliver Nancarrow. ia nampak berbicara dengan
sengit. Nancarrow mendengarnya, lalu memberi isyarat pada yang lain agar
berhenti menembak. Kemudian ia mengatakan sesuatu melalui walkie-talkie.
Ketika
karavan yang dikemudikan Pete melewatinya dengan kecepatan tinggi, Nancarrow
melakukan sesuatu yang aneh-ia tersenyum sinis sambil memperhatikan kendaraan
itu. Pete tidak mengerti apa sebabnya. Mereka sedang melarikan diri. Tapi
kenapa Nancarrow malah tersenyum?
"Mereka
membiarkan kita lolos!" Pete berseru pada rekan-rekannya.
Karavan
itu melaju dengan kencang. Pete menekan pedal gas sebatas keberaniannya. Jalan
yang mereka lewati berkelok-kelok, sehingga ia hanya bisa melihat 25 meter ke
depan. Karavan itu sempat oleng, dan menyerempet dahan-dahan pohon.
Kemudian
ia menyadari kenapa Nancarrow bersikap tenang-tenang saja. Pete segera
menginjak rem.
"Ada
apa?" seseorang bertanya dari belakang.
Di
depan mereka ada sebuah truk besar milik Nancarrow Trucking Company. Kendaraan
berat itu berhenti melintang di jalan. Rupanya George atau orang lain hendak
membawa kiriman baru. Pete tidak mungkin menghindari truk itu.
"Kita
terperangkap!" Pete memekik.
Karavan
itu berhenti secara mendadak. George muncul dari balik truk. Senapan M-16 yang
disandangnya mengarah pada Pete.
Keempat
penumpang segera berdiri dan melihat ke luar.
"Sekarang
apa yang akan kita lakukan?" Bob mendesah.
Jupe
mulai menggigit-gigit bibir.
"Ayo,
keluar!" George berteriak. "Aku akan membiarkan kalian hidup-tapi
hanya karena permintaan Bos!"
"Sebentar
lagi Nancarrow dan yang lain sudah sampai di sini," Mr. Andrews berkata
dengan waswas.
"Aku
punya ide," ujar Jupe tiba-tiba. "Aku akan mengalihkan perhatian
George. Sementara itu kalian bisa kabur ke semak-semak."
"Cepat!"
George kembali berteriak.
"Hati-hati!"
Mr. Andrews mengingatkan.
Jupe
mengangguk, ia menggenggam pegangan pintu, lalu berhenti sejenak. Setelah
menarik napas dalam-dalam, ia membuka pintu, ia memegangi kepala, dan berlagak
kesakitan.
"Ohhh,"
Jupe mengerang sambil melangkah keluar. "Ohhh, sakitnya!" ia
terhuyung-huyung ke arah George.
George
mengerutkan kening, ia nampak curiga. Laras senapannya terus diarahkan pada
Jupe.
"Tolong!"
Jupe berseru. "Saya belum mau mati!"
"Jangan
mendekat!" teriak George.
Jupe
melambaikan tangan, dan secara "tidak sengaja" menepis moncong M-16
di tangan George. "Tolong!" Dengan putus asa ia menerjang pria
bersenjata itu.
"Brengsek!"
Pete
melompat keluar lewat pintu sopir, ia disusul oleh Bob, Mr. Andrews, dan
Daniel.
Jupe
dan George sama-sama terjatuh. Tapi Jupe berada di atas.
"Lepaskan
saya, Gendut!" George berteriak sambil berusaha membebaskan diri dari
himpitan tubuh Jupe.
"Awas!
Mereka mau kabur lagi!" Nancarrow berseru dari jauh. "Hentikan
mereka!"
Nancarrow
dan anak buahnya berlari mendekat.
Jupiter
segera bangkit. Bob dan Mr. Andrews bergegas ke arah hutan. Pete berlari ke
arah jalan yang keluar dari lembah. Daniel menghampiri truk lain milik Nancarrow.
Dan Jupe berusaha menyusul Pete.
Tetapi
ia dikejar oleh si Kepala Kampung. Langkah orang Indian itu jauh lebih panjang
dibandingkan langkah Jupe. Karena sadar bahwa ia tak mungkin lolos, Jupe pun
berganti taktik, ia membelok dan berlari ke arah deretan gua. Sebuah ide
terlintas di kepalanya, ia teringat bahwa kepala kampung itu sempat marah-marah
di depan Nancarrow.
Jupe
memasuki gua pertama. Si Kepala Kampung hanya beberapa meter di belakangnya.
"Ayo,
keluar!" Amos Turner berkata dengan marah, ia berdiri di mulut gua.
"Kau sudah cukup banyak membuat onar di sini. Seharusnya kau tidak boleh
berada di Lembah Leluhur!"
"Bagaimana
dengan Nancarrow dan anak buahnya?" balas Jupe.
"Mereka
membantu orang-orang kami! Sang Pencipta pasti bisa mengerti. Kami menjalani
kehidupan yang berat. Sejak Mr. Nancarrow menyewa ujung lembah ini, segala
sesuatu menjadi lebih baik."
"Dan
penyakit yang kalian derita?"
"Itu
tidak ada hubungannya dengan Mr. Nancarrow!" Amos Turner berkeras.
"Ayo, keluar!"
"Coba
perhatikan drum-drum ini," Jupe berkata tanpa mempedulikan perintah si
Kepala Kampung. "Anda bisa mencium bau busuk di dalam gua? Drum-drum ini
berisi limbah beracun!"
Si
Kepala Kampung memperhatikan tumpukan drum di depannya. Kemudian ia menggeleng.
"Mr. Nancarrow mengatakan bahwa ia menyimpan bahan peledak di sini. Saya
bertugas untuk melaporkan kedatangan setiap orang asing di daerah ini. Mr.
Nancarrow punya banyak saingan. Mereka bersedia melakukan apa saja untuk
menjatuhkannya. Karena itulah dia minta agar saya merahasiakan gua-gua ini.
Kalau dia juga menyimpan barang lain di sini, maka itu urusan dia
sendiri." Amos Turner terdiam sejenak, kemudian menambahkan, "Gang
sewa yang kami peroleh dari Mr. Nancarrow sangat penting bagi desa kami. Gang
itu meringankan beban yang harus kami pikul."
"Tapi
limbah beracun ini justru membuat kalian sakit!"
Si
Kepala Kampung melewati Jupe, kemudian membidikkan senapannya ke punggung
detektif muda itu. "Ayo, jalan!" ia memerintah.
"Nancarrow-lah
tukang sihir yang dimaksud oleh Shaman," Jupiter terus berusaha meyakinkan
orang Indian itu. "Dan saya tidak percaya bahwa Anda benar-benar akan
menembak saya."
Sejenak
si Kepala Kampung nampak ragu-ragu. Kemudian ia kembali membidikkan senapan
berburunya ke arah Jupe. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia lalu menggiring pemuda
itu ke tempat Nancarrow menunggu.
Ike
Ladysmith dengan sabar mengikuti Mr. Andrews dan Bob ke dalam hutan. Dalam
waktu tidak terlalu lama ia pasti akan menemukan mereka.
Pete
dan Biff bertarung di dekat sungai. Pete belum berhasil merebut M-16 dari
tangan laki-laki itu.
"Daniel!"
si Kepala Kampung memanggil.
Daniel
sedang berusaha untuk menyalakan mesin truk. Tapi George keburu membuka pintu
dan menodongnya dengan senapan M-16.
"Daniel,
hentikan kebodohanmu!" Amos Turner berseru. "Ayo, ke sini!"
Jupe
menyadari bahwa ia dan rekan-rekannya terperangkap. Kini hanya masalah waktu
sampai Nancarrow memerintahkan untuk menembak Mr. Andrews dan yang lainnya.
Nancarrow sudah tidak punya alasan untuk membiarkan mereka hidup lebih lama
lagi.
Tanpa
gangguan dari mereka, Nancarrow bisa terus mencemari lembah ini. Sementara
orang-orang Indian akan terus mencari tukang sihir asing dengan sia-sia. Mereka
hanya bisa mengadakan upacara, sambil mengharap agar Sang Pencipta menurunkan
wahyuNya.
Wahyu!
Seusai menjalankan upacara, Shaman telah menceritakan wahyu yang diterimanya
pada Daniel: tukang sihir asing itu hanya bisa dihancurkan jika kita memberikan
sesuatu yang diinginkannya!
Jupiter
memandang sekeliling. Jika memang Nancarrow tukang sihir yang dimaksud, maka
yang diinginkannya adalah menangkap mereka semua. Jupe merenung sejenak.
Perlahan-lahan sebuah ide terbentuk di kepalanya. Risikonya besar... namun
mereka tidak punya pilihan lain.
"Daniel!
Pete! Bob! Mr. Andrews!" Jupe memanggil. "Percuma saja kita
mengadakan perlawanan. Sebaiknya menyerah saja!"
"Tidak!"
teriak Pete. Pada saat yang sama Biff menghantamkan popor senapannya ke perut
Pete.
"Tidak!"
teriak Daniel. Namun kemudian ia menyadari bahwa M-16 di tangan George terarah
pada jantungnya.
Ike
Ladysmith menerjang semak belukar. Ketika muncul lagi, ia menggenggam kerah
baju Mr. Andrews. Bob berdiri di sampingnya.
"Ayo!"
Jupe mendesak. "Kita tidak punya pilihan selain menyerah."
Dengan
heran, dan sambil menahan geram, mereka menuju ke tengah lapangan. Anak buah
Nancarrow menyusul.
"Anda
pasti tahu bahwa Nancarrow akan membunuh kami," Jupe berkata pada Amos
Turner.
"Mr.
Nancarrow hanya akan mengusir kalian dari sini," si Kepala Kampung menanggapinya
dengan dingin, ia masih beranggapan bahwa Jupe hanya mengada-ada.
"Apakah
Anda tahu bahwa rem pada mobil yang kami pinjam telah disabot oleh
seseorang?" Jupe kembali bertanya.
"Apa?"
Amos Turner bertanya dengan kaget. "Saya memang lihat bahwa mobil kalian
telah menabrak tebing, tapi saya tidak..." ia mulai kelihatan ragu-ragu.
Ketika
semuanya berkumpul di tengah lapangan, Jupiter menunjuk ikat pinggang yang
dikenakan Daniel. "Selain Daniel masih ada lagi yang memakai ikat pinggang
seperti itu?" ia bertanya pada si Kepala Kampung.
"Pamannya,"
orang Indian itu menjawab.
Daniel
mengeluarkan gesper pamannya dari kantonq baju, lalu menyerahkannya pada si
Kepala Kampung. "Jupiter menemukan gesper ini tergeletak di samping
tulang-belulang manusia. Tengkoraknya ditembus peluru."
Biff
terperanjat Ia langsung berpaling pada Nancarrow dan berteriak. "Aku kan
sudah bilang bahwa mereka sebaiknya dibunuh saja-seperti Indian tua itu!"
Biff
mulai berlari ke arah truk.
"Berhenti,
Pengecut!" Nancarrow berseru.
Sebelum
Nancarrow sempat bergerak, si Kepala Kampung sudah membidikkan senapannya.
Suara tembakan terdengar menggema.
Senapan
Biff terlepas dari tangannya dan jatuh ke tanah. Pete segera mengejar laki-laki
itu.
Si
Kepala Kampung membalik. Kini bidikannya terarah pada Nancarrow.
"Jangan!"
Nancarrow memohon. Ia menjatuhkan senapannya, lalu bergerak mundur.
"Kalian
membunuh sepupu saya!" si Kepala Kampung membentak Oliver Nancarrow sambil
menghampiri penjahat yang ketakutan itu. "Dan sekarang kalian ingin membunuh
orang-orang yang tidak bersalah ini!"
Nancarrow
membungkuk. Si Kepala Kampung segera melayangkan tinju ke wajah Nancarrow.
Untuk sedetik Nancarrow nampak bengong. Kemudian ia memejamkan mata dan jatuh
pingsan.
Bob
segera melancarkan serangan. Tendangan karatenya mendarat telak pada dagu
George. Bob berputar, lalu menendang sekali lagi. George pun ambruk tanpa
sempat mengadakan perlawanan.
Pete
menggenggam lengan Biff. Si Pendek kehilangan keseimbangan, dan Pete
melumpuhkannya dengan pukulan mae hiji-ate ke arah dada.
"Jangan!
Jangan!" Biff meraung-raung, ia mengangkat kedua tangannya untuk
melindungi wajah. Pete menatapnya dengan jijik, lalu menggiringnya kembali ke
tengah lapangan.
"Saya
berhutang budi pada kalian," ujar Amos Turner. "Sukar bagi saya untuk
percaya bahwa Mr. Nancarrow ternyata berhati busuk."
"Dia
memang cerdik sekali," Mr. Andrews mengakui. "Dengan memberikan
hadiah-hadiah untuk desa Anda, dia berhasil menghapus segala kecurigaan."
"Sebenarnya
Anda harus berterima kasih pada Shaman," kata Jupe, lalu menjelaskan
bagaimana ia dibantu oleh wahyu yang diterima orang tua itu.
Daniel
memandang sekeliling. "Hei, aku tidak melihat Ike!" katanya. "Di
mana bajingan itu?"
Ike
ternyata telah memanfaatkan suasana kacau-balau untuk melarikan diri ke dalam
hutan.
"Dia
pasti dibayar oleh Nancarrow," si Kepala Kampung berkata pada Daniel.
"Kelihatannya Ike yang menyabot rem pick-up saya. Dia nyaris mencelakakan
ketiga temanmu."
"Dia
tidak boleh melarikan diri!" Daniel berseru.
"Saya
akan menemukannya," si Kepala Kampung menjawab dengan pasti. "Tapi
sekarang kita harus mengikat Nancarrow dan kedua anak buahnya. Kita masukkan
mereka ke dalam truk, lalu..."
"Ke
dalam karavan saja," Mr. Andrews memotong. "Di dalam mobil itu ada
dokumen-dokumen penting yang harus ditunjukkan pada polisi."
"Baiklah,"
si Kepala Kampung berkata sambil mengangguk. "Kita pakai karavan saja.
Daniel akan menemani Anda. Dia akan menunjukkan jalan ke kantor polisi."
"Tapi
bagaimana dengan Ike?" tanya Pete.
"Kami
punya polisi sendiri," si Kepala Kampung berkata.
"Paman
adalah kepala polisi kami," Daniel menjelaskan.
"Perjanjian
antara kami dengan pemerintah Amerika Serikat mengatakan bahwa kami berhak
menangani kejahatan yang terjadi di kalangan kami sendiri," kata Amos
Turner. "Kami juga berhak mengadili para pelanggar hukum."
"Kakek
menjabat sebagai hakim," Daniel menambahkan.
Mereka
mengikat Nancarrow dan kedua tukang pukulnya. Ketiga bajingan itu dimasukkan ke
dalam karavan. Amos Turner lalu meminggirkan truk besar yang menghalangi jalan.
Ketika Pete mengarahkan karavan ke jalan kehutanan, si Kepala Kampung
melambaikan tangan. Senyum lebar menghiasi wajahnya.
ia
melompat ke samping, kemudian menghilang di hutan.
***
Daniel
menunjukkan jalan menuju Diamond Lake. Mereka melewati rute yang digambarkan
oleh saudara perempuannya.
Ketika
menuju ke pusat kota wisata itu, mereka melewati kolam renang, lapangan golf,
beberapa lapangan tennis, orang-orang berpakaian koboi yang sedang naik kuda,
pencinta alam yang membawa ransel berwarna-warni, pejalan kaki berpakaian
olahraga, pondok-pondok mungil, serta hotel-hotel mewah. Sebuah pesawat jet
pribadi baru saja mendarat di lapangan terbang.
"Akhirnya
berhasil juga," Pete mendesah dengan lega.
"Aku
sudah hampir mati kelaparan!" Jupe berkomentar.
"Saya
butuh telepon," kata Mr. Andrews, "dan kamar hotel dengan kamar
mandi."
"Dan
perawatan dokter," Bob menambahkan sambil tersenyum.
Tiga
gadis muda nampak tertarik oleh senyum Bob. Mereka segera bersuit-suit sambil
melambaikan tangan.
Daniel
nampak terheran-heran. "Apa tidak kebalik?" ia bertanya dengan polos.
"Wah,
aku tidak bisa bilang apa-apa," ujar Bob sambil tetap memamerkan giginya
yang putih.
Pete
langsung melepaskan kemudi, ia membalik dan melemparkan sebuah bantal ke arah
Bob.
Jupe
segera menghimpit sahabatnya itu.
"Sang
Shaman bisa membantumu, Bob," Daniel berkata dengan sungguh-sungguh.
"Dia bisa menggunakan kekuatan gaibnya untuk membebaskanmu dari beban yang
disebabkan oleh daya tarik yang kaumiliki..."
"Jangan,
jangan! Stop!" Bob berseru sambil ketawa. "Jupe! Lepaskan aku! Berat
badanmu memang turun selama beberapa hari terakhir, tapi kau tetap saja bisa
membuatku gepeng. Tolong! Aku akan mencarikan teman kencan untuk kalian
semua!"
"Oke,"
ujar Jupe sambil berdiri. "Nanti akan kuceritakan kasus ini secara
lengkap. Aku yakin gadis-gadis itu tertarik pada sejarah pembentukan sierra.
Ngomong-ngomong, apakah kalian tahu bahwa kata sierra berasal dari bahasa
Spanyol dan berarti barisan pegunungan? Jadi. istilah 'pegu-
nungan
sierra' yang lazim disebut oleh orang-orang, sebenarnya berarti 'pegunungan
barisan pegunungan'..."
Semuanya
mendesah panjang ketika Pete membelok ke kantor polisi Diamond Lake.
TAMAT
Djvu:
syauqy_arr
Edit
by: zhe (zheraf.wapamp.com)
http://www.zheraf.net
Emoticon