SATU
SEEKOR kuda hitam berpacu cepat melintasi jalan tanah berbatu. Debu mengepul tinggi ke angkasa, menambah pengapnya udara di siang hari yang panas. Matahari bersinar begitu terik, membuat kulit serasa bagai terbakar.
Kuda hitam itu meringkik keras
dan berhenti seketika saat penunggangnya menarik tali kekangnya kuat-kuat dan
tiba-tiba sekali, tepat di saat beberapa orang bersenjata golok terhunus
bermunculan dari sisi kiri-kanan jalan yang dipenuhi semak belukar.
Ada sekitar dua puluh orang
laki-laki berperawakan kasar dan berwajah bengis menghadang perjalanan
penunggang kuda itu. Golok-golok yang tergenggam terhunus melintang di depan
dada, berkilatan tertimpa cahaya matahari yang bersinar sangat terik.
Pemuda tampan penunggang kuda
hitam itu memperhatikan orang-orang yang kini sudah cepat mengepungnya. Sinar
matanya menyorot begitu tajam. Sedangkan bibirnya yang tipis agak memerah,
terkatup rapat. Tatapannya kemudian tertuju langsung pada laki-laki bertubuh
tinggi besar yang berdiri tepat satu batang tombak di depannya.
“Siapa kalian? Mau apa kalian
menghadang jalanku?” tanya pemuda itu dingin.
“Turun dari kudamu!” laki-laki
bertubuh tinggi tegap yang berbaju hitam pekat itu malah membentak kasar.
“Hm..., kenapa aku harus turun
dari kuda...?” pemuda itu seperti tidak senang mendengar bentakan kasar tadi.
“Jangan banyak omong! Turun dari
kudamu dan serahkan semua barangmu, atau kau ingin jadi dendeng, hah...?!”
Ucapan laki-laki bertubuh tinggi
tegap dengan kumis tebal melintang menghiasi bibirnya, disambut tawa keras
terbahak-bahak dari teman-temannya. Sedangkan pemuda tampan berbaju merah muda
dari bahan sutera halus itu jadi menggumam kecil dengan mata agak menyipit.
Perlahan dia turun dari kudanya, lalu melangkah beberapa tindak ke depan.
Sikapnya begitu tenang. Bahkan bibirnya mengulas senyum manis.
“Kalian ingin merampokku?
Silakan. Tidak ada yang bisa kalian rampas dariku,” kata pemuda itu, tenang
sekali suaranya.
Tanpa sedikit pun menghiraukan
mereka yang mengepung dengan bersenjatakan golok terhunus, pemuda itu terus
saja melangkah tenang sambil menuntun kudanya. Sikap tenang dan tidak peduli
ini, membuat para penghadangnya jadi geram. Maka laki-laki berkumis tebal itu
langsung saja melompat cepat menghadang. Seketika pemuda tampan berbaju merah
muda itu menghentikan ayunan kakinya.
“Jangan berlagak jago di depan
Singo Barong, Bocah!” bentak laki-laki kekar berkumis tebal itu geram.
“Telah kukatakan padamu, Kisanak.
Tidak ada yang bisa dirampas dariku. Dan kalian semua akan menyesal jika tidak
mendengarkan kata-kataku,” dingin sekali nada suara pemuda itu.
“Keparat..! Kau mengancam,
heh...?!” gertak Singo Barong.
“Aku tidak mengancam, hanya
mengingatkan saja supaya kalian tidak menyesal nantinya.”
“Setan...! Mampus kau.
Hiyaaat..!”
Wuttt!
Cepat sekali Singo Barong
melompat sambil mengecutkan golok besarnya ke dada pemuda tampan berbaju merah
muda itu.
“Uts...!”
Tapi sedikit saja pemuda itu
menarik tubuhnya ke belakang, tebasan golok Singo Barong hanya lewat sedikit di
depan dadanya. Dan sebelum Singo Barong bisa menarik kembali goloknya,
tiba-tiba saja pemuda itu sudah cepat menghentakkan kakinya ke arah perut, sambil
memiringkan tubuh ke kiri.
“Yeaaah...!”
Begkh!
“Akh...!” Singo Barong terpekik
keras agak tertahan.
Tubuh laki-laki kekar berkumis
tebal itu seketika terpental sejauh dua batang tombak ke belakang. Keras sekali
tubuhnya menghantam tanah, lalu bergulingan beberapa kali. Gerakan cepat pemuda
tampan ini, tentu saja membuat yang lain jadi terkejut. Sedangkan Singo Barong
sudah bergegas bangkit berdiri. Dia menggeram dahsyat. Wajahnya memerah menahan
kemarahan yang langsung meluap sampai ke ujung kepala.
“Serang...! Bunuh bocah setan
itu...!” teriak Singo Barong lantang menggelegar.
“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”
Hampir dua puluh orang bersenjata
golok seketika itu juga berlompatan sambil berteriak-teriak menyerang pemuda
tampan berbaju merah muda ini. Namun, pemuda itu tetap kelihatan tenang sambil
tersenyum tipis. Dan ketika satu orang mengibaskan goloknya dari arah samping
kanan, cepat sekali tangannya dikebutkan.
Tap!
“Hih!”
“Akh...!”
Sukar diikuti pandangan mata
biasa. Begitu cepatnya tangan pemuda itu menangkap pergelangan tangan
penyerangnya. Bahkan langsung dibarengi satu tendangan keras menggeledek yang
mengandung pengerahan tenaga dalam sangat tinggi. Akibatnya, laki-laki kasar
penyerangnya itu menjerit keras melengking tinggi. Dia jatuh bergulingan di
tanah, dan goloknya kini sudah berpindah ke tangan pemuda itu.
“Hiyaaat...!”
Begitu mendapat golok, pemuda
tampan itu langsung mengebutkannya sambil berputar. Tiga orang yang berada
dekat dengannya tidak bisa lagi menghindari kelebatan golok yang begitu cepat
bagai kilat. Mereka menjerit melengking tinggi begitu golok di tangan pemuda
tampan itu membabat tubuhnya.
Belum lagi hilang jeritan panjang
melengking dari pendengaran, pemuda tampan itu sudah kembali bergerak cepat
sambil mengebutkan golok beberapa kali. Jeritan-jeritan panjang melengking
kembali terdengar saling sambut, disusul bergelimpangannya tubuh-tubuh
berlumuran darah.
Sungguh menakjubkan! Hanya
beberapa gebrakan saja, sudah lebih dari separuh yang bergelimpangan tewas
berlumuran darah. Singo Barong yang menyaksikan anak buahnya berjatuhan tanpa
mampu melakukan perlawanan berarti, langsung memucat wajahnya. Sedangkan
jeritan-jeritan panjang melengking masih terus terdengar begitu menyayat
“Gila.... Bisa habis anak buahku
kalau begini...,” desah Singo Barong dalam hati.
Memang tidak mungkin Singo Barong
dan anak buahnya bisa menandingi pemuda tampan yang bergerak begitu cepat bagai
kilat. Malah, setiap gerakannya sukar sekali diikuti pandangan mata mereka.
“Lari...!” seru Singo Barong
tiba-tiba.
Cepat sekali Singo Barong
melompat masuk ke dalam semak, dan menghilang seketika. Sisa anak buahnya yang
tinggal enam orang lagi langsung berlompatan kabur begitu mendengar teriakan
pemimpinnya. Sedangkan pemuda tampan ini hanya diam saja, membiarkan
pengeroyoknya yang tinggal enam orang itu kabur. Bibirnya tampak menyunggingkan
senyuman tipis. Lalu, dibuangnya golok rampasan yang sudah berlumuran darah.
“Hhh...! Baru segitu saja sudah
mau sok jago!” dengus pemuda itu, mencibir.
Sambil merayapi mayat-mayat yang
bergelimpangan berlumuran darah, kakinya melangkah menghampiri kudanya di tepi
jalan. Seekor kuda hitam yang begitu gagah, berpelana perak. Tali kekangnya pun
berwarna kuning, bagai terbuat dari emas. Bagian sisi pelana itu dihiasi
batu-batu berwarna merah yang berkilatan indah tertimpa cahaya matahari. Kuda yang
gagah dengan pelana indah gemerlap, memang membuat siapa saja yang melihatnya
pasti ingin memiliki.
“Kau tidak apa-apa, Jaran Geni?”
tanya pemuda itu sambil menepuk-nepuk leher kudanya.
Kuda hitam yang dipanggil Jaran
Geni itu mendengus sambil mengangguk-anggukkan kepala. Kaki depan bagian
kanannya dihentakkan beberapa kali ke tanah. Dari lubang hidungnya, mengepul
asap tipis agak kemerahan saat mendengus untuk menjawab ucapan pemuda tampan
ini.
“Cukup banyak orang seperti
mereka, Jaran Geni. Tapi bukan seperti itu yang kuinginkan. Orang seperti
mereka hanya bikin susah saja,” kata pemuda tampan itu lagi.
Kuda hitam bernama Jaran Geni
hanya mendengus sambil mengangguk-anggukkan kepala, disertai kepulan asap tipis
kemerahan dari mulutnya.
“Ayo, kita teruskan perjalanan
ini. Kita harus segera mengumpulkan orang-orang pilihan yang berkepandaian
tinggi,” kata pemuda itu lagi. “Pendekar Rajawali Sakti.... Hm, tunggulah
pembalasanku. Kau akan menyesal nanti.... Juga kalian semua orang Karang
Setra....”
Manis sekali gerakan pemuda itu
saat melompat naik ke punggung kuda hitamnya. Kemudian tali kekangnya
dihentakkan perlahan. Maka Jaran Geni melangkah perlahan-lahan melewati
mayat-mayat yang bergelimpangan bersimbah darah. Meskipun kuda itu kelihatannya
berjalan biasa, tapi sebentar saja sudah jauh meninggalkan jalan berdebu yang
kini dipenuhi tubuh-tubuh tak bernyawa bermandikan darah.
Setelah pemuda penunggang kuda
hitam itu tidak terlihat lagi, dari balik semak muncul Singo Barong diikuti
sisa anak buahnya yang tinggal enam orang lagi. Rupanya, mereka belum
meninggalkan tempat itu.
“Anak setan...!” desis Singo
Barong menggeram sambil merayapi anak buahnya yang bergelimpangan tak bernyawa
lagi.
“Ki Singo! Sebaiknya kita
laporkan saja pada Nini Naga Kembar,” kata salah seorang menyarankan.
“Nini Naga Kembar baru saja
pulang. Aku tidak ingin mengganggu istirahatnya!” dengus Singo Barong.
“Tapi bisa berbahaya buat kita
semua kalau pemuda setan itu lama-lama berada di daerah ini, Ki,” selak
laki-laki satunya lagi.
“Benar, Ki. Dia tidak boleh
merajalela, dan menguasai daerah kita. Malah, bisa-bisa kita yang disalahkan
Nini Naga Kembar kalau tidak segera melapor,” sambung satunya lagi.
“Nini Naga Kembar pasti punya
cara sendiri untuk menaklukkannya, Ki.”
“Hm..., baiklah,” ujar Singo
Barong akhirnya menyetujui.
“Kita harus cepat, Ki. Sebelum
anak setan itu bisa berbuat banyak.”
Mereka kemudian berlompatan
cepat, masuk ke dalam semak belukar yang tumbuh di sepanjang sisi jalan ini.
Sebentar saja mereka sudah menghilang, berlari-lari masuk ke dalam lebatnya
hutan yang dibelah jalan tanah agak berbatu ini. Tak ada seorang pun yang terlihat
lagi. Hanya tubuh-tubuh tak bernyawa saja yang bergelimpangan di jalan.
***
Singo Barong terkejut ketika
melihat seekor kuda hitam tertambat di depan sebuah rumah yang berukuran sangat
besar dan megah, bagai sebuah istana kecil di tengah-tengah hutan lebat ini.
Bahkan enam orang yang mengikuti di belakang juga jadi bengong memandangi kuda
hitam yang sudah mereka kenali. Dan belum juga keterkejutan itu hilang, dari
dalam rumah keluar dua orang gadis cantik yang masing-masing menyandang pedang
tersampir di punggung. Dua gadis itu mengiringi seorang pemuda tampan berbaju
merah muda.
Melihat pemuda tampan itu, Singo
Barong dan enam orang anak buahnya langsung memucat wajahnya. Seketika, tubuh
mereka menggeletar bagai tersengat kala berbisa. Semua orang yang ada di
sekitar rumah besar dan megah itu langsung berkumpul membentuk lingkaran, saat
salah seorang gadis cantik tadi mengangkat tangannya ke atas. Sekitar lima
puluh orang yang semuanya bersenjata golok segera membentuk lingkaran di
halaman depan rumah ini. Sedangkan Singo Barong dan enam orang anak buahnya,
masih berdiri terpaku di tengah-tengah lingkaran itu.
“Kalian sudah membuatku malu di
depan junjungan kalian sendiri! Apa kalian tidak tahu, siapa yang kalian
serang, heh...?!” dingin sekali nada suara salah seorang gadis yang mengenakan
baju warna biru muda. Dialah Untari, salah satu dari gadis yang berjuluk Dewi
Naga Kembar.
Singo Barong dan enam orang anak
buahnya jadi tidak bisa berkata-kata lagi. Wajah mereka semakin memucat pasi.
Mereka langsung terjatuh lemas, berlutut di tanah dengan kepala tertunduk.
Sungguh mereka tidak tahu. Ternyata pemuda tampan yang tadi diserang adalah
junjungan mereka, dan penguasa dunia hitam dari seluruh penjuru mata angin.
Sedangkan Dewi Naga Kembar merupakan salah satu pemimpin dari mata angin
kelima.
“Mereka sudah berbuat kesalahan
yang cukup membuat malu, Raden. Dan kesalahan ini bisa berakibat parah jika
didiamkan begitu saja,” tegas gadis berbaju kuning yang dikenal sebagai Legini,
salah satu lagi dari Dewi Naga Kembar.
Memang, kedua gadis itu bukan
gadis kembar. Hanya pedang mereka saja yang kembar, dan bernama Naga Kembar.
Sehingga, kedua gadis ini dijuluki Dewi Naga Kembar. Dan keistimewaannya lagi,
mereka tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Karena, jurus-jurus yang dimiliki
selalu saling berkaitan. Mereka begitu kuat jika bertarung bersama-sama, tapi
juga bukan gadis lemah bila seorang diri. Hanya saja, Pedang Naga Kembar yang
tersandang, memang lebih dahsyat bila digunakan secara bersama-sama. Karena
kehebatan inilah, sehingga Dewi Naga Kembar bisa menjadi pemimpin dari delapan
penjuru mata angin kelima.
“Kami serahkan pada Raden untuk
menghukumnya,” kata Untari lagi.
“Mereka orang-orangmu, Untari.
Biar kalian berdua saja yang menghukum. Aku sudah malas mengotori tangan dengan
darah manusia busuk seperti mereka,” dingin sekali suara pemuda tampan yang
ternyata Raden Gordapala. Dia adalah seorang tokoh hitam yang dikenal berjuluk
Jago dari Alam Kubur.
Untari melangkah menghampiri
Singo Barong dan enam orang anak buahnya. Gadis itu berdiri tegak di depan
mereka. Tidak terlihat lagi kecantikan di wajahnya. Gadis itu bagaikan iblis
neraka yang hendak mencabut nyawa. Singo Barong dan enam orang anak buahnya
semakin menggeletar hebat melihat keangkeran gadis ini.
“Ampunkan kami, Nini...,” rintih
Singo Barong.
“Kalian semua, ke sini...!”
bentak Untari sambil menunjuk enam orang yang berada di belakang Singo Barong.
Wajah mereka semakin bertambah
pucat Dengan tubuh gemetar, mereka bangkit berdiri dan melangkah maju mendekati
gadis itu. Kemudian, kembali berlutut sekitar tiga langkah di depan Untari.
“Dengar kalian semua...! Jika
kalian tidak patuh dan melakukan perbuatan di luar perintahku, akan bernasib
sama dengan mereka!” lantang sekali suara Untari.
Sret!
Keringat sebesar butir-butir
jagung mengucur deras di tubuh enam orang itu, saat Untari mencabut pedangnya.
Dan sebelum mereka bisa membuka suara, tiba-tiba saja Untari sudah cepat
mengebutkan pedangnya.
“Hiyaaa...!”
Sedikit pun tak ada suara yang
terdengar. Tepat ketika Untari menyarungkan pedangnya kembali, enam orang itu
sudah ambruk ke tanah dengan kepala terpisah dari leher. Darah langsung
menggenangi halaman rumah besar yang dijadikan tempat jagal manusia itu. Memang
dahsyat sekali pedang gadis itu. Dengan sekali tebas saja, enam kepala seketika
menggelinding!
Untari melangkah beberapa tindak
mendekati Singo Barong yang semakin lemas tubuhnya setelah melihat enam orang
anak buahnya kini tak bernyawa lagi dengan kepala terpenggal buntung. Sedangkan
semua orang yang mengelilingi tempat itu, tak ada yang berani membuka suara.
Wajah mereka memucat, melihat kekejaman yang berlangsung di depan mata. Memang,
Dewi Naga Kembar tidak segan-segan memenggal kepala anak buahnya sendiri jika
berbuat kesalahan, meskipun hanya kesalahan yang kecil sekali. Tapi tak ada
seorang pun dari mereka yang berani menentang. Karena mereka sadar, tidak mungkin
bisa menang menghadapi kedigdayaan gadis-gadis cantik ini
Sementara itu baru saja Untari
akan mencabut pedangnya, tiba-tiba saja....
“Untari, tunggu...!” sentak
Legini tiba-tiba.
Untari tidak jadi mencabut
pedangnya. Kepalanya berpaling menatap Legini yang masih berdiri di samping
Raden Gordapala. Pemuda tampan itu tersenyum-senyum melihat sikap Untari yang
begitu tegas pada anak buahnya. Memang suatu hiburan yang menyegarkan bagi Raden
Gordapala melihat darah menyembur dari leher yang buntung. Dan ini membuat bola
matanya jadi berbinar.
“Biarkan dia hidup, Untari. Kita
tidak punya lagi orang yang setia seperti dia,” sergah Legini.
“Kau dengar permintaan Nini
Legini, Singo Barong...?” desis Untari dingin.
Singo Barong hanya mampu
mengangguk saja.
“Kau harus berterima kasih
padanya, karena masih bisa bernapas lagi. Tapi sekali saja berbuat salah, tidak
ada lagi yang bisa menyelamatkan nyawamu, Singo Barong,” ancam Untari mendesis dingin.
Singo Barong langsung menjatuhkan
diri, menempelkan keningnya ke tanah di depan kaki Untari. Sedangkan gadis itu
langsung berbalik dan melangkah menghampiri Raden Gordapala dan Legini yang
masih berdiri di depan pintu rumah bagai istana kecil di tengah hutan ini.
“Hebat...! Aku mengagumi tindakan
kalian ber-dua,” puji Raden Gordapala tersenyum puas.
“Kami memang harus bertindak
tegas, Raden,” jelas Untari.
“Ayolah kita masuk lagi. Masih
ada yang perlu kubicarakan dengan kalian berdua,” ajak Raden Gordapala.
“Mari, Raden,” ucap Legini
mempersilakan pemuda itu masuk terlebih dahulu.
***
DUA
“Seharusnya kami tidak
meninggalkan Raden saat itu...,” desah Legini perlahan bernada menyesal.
“Kau tidak perlu merasa bersalah,
Legini. Aku sendiri tidak menyangka kedatangan Pendekar Rajawali Sakti. Hhh...!
Dia benar-benar seorang pendekar tangguh,” sergah Raden Gordapala juga perlahan
suaranya. “Semua pisau emas, kini tidak ada lagi padaku. Kalian tahu, apa
jadinya jika pisau emas itu tidak bersemayam dalam tubuhku...?”
Dewi Naga Kembar hanya mengangguk
saja. Mereka tahu, Raden Gordapala hanya mampu bertahan hidup paling lama satu
purnama tanpa pisau emas bersemayam dalam tubuhnya. Memang, pisau-pisau emas
itu merupakan nyawa bagi kehidupan dan kesaktiannya. Dan sekarang, pisau-pisau
itu berada di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Jadi, itu sama saja nyawa Jago
dari Alam Kubur ini sekarang berada di tangan Rangga yang berjuluk Pendekar
Rajawali Sakti.
“Pendekar Rajawali Sakti adalah
Raja Karang Setra. Dan di sana, biasa dipanggil Prabu Rangga Pati Permadi.
Rasanya, tidak sulit memperoleh kembali pisau-pisau emas itu, Raden,” tegas
Untari, mantap.
“Benar, Raden. Kita bisa
menelusupkan orang-orang kita ke dalam istana. Itu perkara yang sangat mudah.
Kami tahu, penjagaan di Istana Karang Setra tidak begitu ketat. Tapi...,”
ucapan Legini terputus.
“Tapi apa, Legini?” tanya Raden
Gordapala.
“Para pembesar Kerajaan Karang
Setra begitu patuh dan setia pada rajanya. Sulit sekali mempengaruhi mereka.
Bahkan prajurit rendahan saja tidak mudah dipengaruhi. Juga seluruh rakyatnya
begitu setia, dan mencintai rajanya. Karang Setra memang sebuah kerajaan yang
penuh cinta, Raden. Tidak mudah bagi orang-orang seperti kita bertahan di sana.
Sedikit saja sikap kita mencurigakan, mereka cepat bisa menciumnya. Mereka
benar-benar terlatih. Dan penjagaan yang tidak begitu ketat, tidak bisa
dipandang rendah. Mereka bisa bergerak cepat, dan menjadi kuat seketika tanpa
dapat diduga sama sekali, Raden,” jelas Legini tentang keadaan di Kerajaan
Karang Setra.
“Hm.... Ini berarti kita akan
menghadapi lawan yang begitu besar kekuatannya...,” gumam Raden Gordapala.
“Melawan mereka dengan kekuatan,
memang tidak mungkin, Raden,” tambah Legini.
Mereka jadi terdiam membisu, dan
sama-sama menyadari keadaan yang sedang dihadapi sekarang ini. Dan mereka juga
menyadari kalau tidak semudah membalikkan tangan dalam menghadapi Pendekar
Rajawali Sakti. Terlebih lagi, sekarang ini pendekar muda dan digdaya itu
berada di tanah kelahirannya. Maka sudah barang tentu dikelilingi orang-orang
berkepandaian tinggi yang patut diperhitungkan. Memang, Karang Setra sudah
terkenal sebagai gudangnya tokoh tingkat tinggi yang tidak bisa dianggap
sebelah mata begitu saja.
“Sayang sekali, orang-orang di
wilayah kesatu dari delapan penjuru mata angin sudah porak-poranda. Padahal,
mereka lebih tahu seluk-beluk Kerajaan Karang Setra. Terutama, pemimpin kesatu
yang tahu betul tentang kerajaan itu,” desah Untari perlahan, seakan bicara
untuk dirinya sendiri.
“Kenapa kita tidak tanyakan saja
pada Kakek Siulan Maut? Dia juga tahu seluk-beluk Karang Setra,” selak Legini.
“Percuma, Legini. Kakek Siulan
Maut sudah tewas di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Juga, Iblis Kembar dari
Utara,” kata Raden Gordapala memberi tahu.
“Edan...!” desis Legini. terkejut
“Bagaimana mungkin itu bisa terjadi, Raden...?”
“Mereka mencoba menghalangi
Pendekar Rajawali Sakti ke istanaku. Tapi, kepandaian mereka memang masih
kalah. Dan mereka tewas demi membelaku.”
“Lalu, bagaimana dengan Iblis
Tongkat Merah dan Dewi Cambuk Maut?” tanya Untari.
“Sampai saat ini, aku belum
mendengar kabar beritanya. Itu sebabnya, kenapa aku langsung ke sini. Karena,
aku tahu kalian pasti ada di sini,” sahut Raden Gordapala.
“Mudah-mudahan ini bukan awal
dari kehancuran Delapan Penjuru Mata Angin...,” desah Untari perlahan sekali.
Hampir tidak terdengar suaranya.
“Kita tidak bisa diam saja. Harus
ada cara tepat yang terbaik untuk mendapatkan kembali pisau-pisau emas itu,”
desis Legini.
“Memang! Dan waktu yang kita
miliki tidak cukup banyak,” sambung Untari.
“Hm... Kira-kira, berapa lama ke
Karang Setra?” tanya Legini lagi.
“Tiga hari perjalanan berkuda,”
jawab Raden Gordapala.
“Itu dengan kudamu, Raden.”
“Mungkin lima atau enam hari
dengan kuda biasa,” kata Raden Gordapala lagi.
“Semakin sedikit saja,” desah Legini.
“Apa kau mampu tetap bertahan,
Raden?” tanya Untari.
“Mungkin masih mampu bertahan
lebih dari satu pekan dari satu purnama. Setelah itu, aku tidak bisa berkata
apa-apa lagi. Dan mungkin juga, ini memang awal dari kehancuran Delapan Penjuru
Mata Angin,” sahut Raden Gordapala, seakan-akan putus asa.
“Tidak akan, Raden. Delapan
Penjuru Mata Angin tidak boleh hancur. Kalaupun terlambat mendapatkan pisau
emas itu kembali, kami akan membangkitkan Raden lagi dari kubur,” tegas Untari
bertekad.
“Kalian berdua memang pengikutku
yang setia. Terima kasih. Dan kalian patut mendapatkan penghargaan yang layak,”
ucap Raden Gordapala gembira mendengar tekad Dewi Naga Kembar ini.
“Terima kasih, Raden,” ucap
Untari dan Legini bersamaan.
“Aku berjanji, jika kalian
berhasil mendapatkan ke delapan pisau emasku, akan mendapatkan kedudukan
mewakiliku memerintah Delapan Penjuru Mata Angin. Dan kalian bisa menentukan
wakil-wakil dari setiap penjuru mata angin,” tegas Raden Gordapala.
Bola mata kedua gadis Dewi Naga
Kembar jadi berbinar mendengar janji itu. Dan tentu saja, kedudukan yang tinggi
seperti itu memang sangat didambakan. Bukan saja oleh Dewi Naga Kembar, tapi
juga oleh seluruh tokoh golongan hitam yang tergabung dì dalam kekuasaan Delapan
Penjuru Mata Angin. Karena orang yang menduduki jabatan bisa menentukan apa
saja tanpa harus meminta persetujuan Raden Gordapala, yang menguasai seluruh
wilayah Delapan Penjuru Mata Angin.
“Besok, pagi-pagi sekali, kami
akan berangkat ke Karang Setra, Raden,” kata Untari jadi lebih bersemangat.
“Bukan hanya kalian saja. Tapi
aku juga akan pergi ke sana. Aku tidak akan kembali ke istana di Gunung Tangkup
sebelum mendapatkan pisau amas itu. Terutama sekali, membunuh Pendekar Rajawali
Sakti...!” agak mendesis kata-kata terakhir Raden Gordapala.
“Dia memang harus dilenyapkan,
Raden. Sekarang ini, memang Pendekar Rajawali Sakti yang selalu menjadi batu
sandungan dari semua kegiatan anggota Delapan Penjuru Mata Angin,” nada suara
Untari juga ikut mendesis.
“Benar, Raden! Sudah tidak
terhitung lagi, berapa anak buah kami yang tewas di tangannya,” sambung Legini.
“Aku tahu itu. Dan kalian tidak
perlu khawatir! Kalau pisau emas sudah ada di tanganku, tak ada seorang pun
yang bisa menandingiku lagi. Bahkan Dewata pun akan tunduk pada perintahku!”
desis Raden Gordapala pongah.
“Kami akan segera berkemas,
Raden,” pamit Untari seraya bangkit berdiri dari kursinya.
“Silakan. Aku juga ingin
istirahat,” sahut Raden Gordapala.
“Raden ingin ditemani?” tanya
Legini.
“Tidak malam ini, Legini. Sama
sekali aku tidak ada selera malam ini. Terima kasih,” ucap Raden Gordapala
tersenyum.
Legini mengangkat bahunya,
kemudian melangkah meninggalkan ruangan itu mengikuti Untari. Sementara Raden
Gordapala masih tetap duduk diam di kursinya. Sebentar kemudian,
ditinggalkannya juga ruangan berukuran cukup besar itu. Lalu, tubuhnya
tenggelam di dalam kamar istirahat yang disediakan untuknya.
Sementara malam terus merayap
semakin larut. Kesunyian begitu terasa di sekitar bangunan besar bagai istana
di tengah-tengah hutan itu. Beberapa orang masih terlihat berjaga-jaga di
sekitarnya, seperti tak peduli terhadap dinginnya angin malam ini.
***
Sementara itu, di Istana Kerajaan
Karang Setra, Pendekar Rajawali Sakti selalu dihantui mimpi-mimpi buruk yang
belum pernah dialami sebelumnya, setelah pertarungannya melawan Jago dari Alam
Kubur. Telah tiga hari mimpi-mimpi itu benar-benar menyiksanya.
Sekarang ini Pendekar Rajawali
Sakti jadi lebih banyak menyendiri. Seringkali Pandan Wangi, Danupaksi, maupun
Cempak memergoki Pendekar Rajawali Sakti duduk termenung menyendiri di dalam
taman kaputren yang berada di bagian belakang istana ini. Dan sikap Raja Karang
Setra yang tidak seperti biasanya itu, tentu saja membuat mereka jadi
bertanya-tanya.
“Aku merasa ada sesuatu yang
terjadi pada Kakang Rangga...,” desah Cempaka sambil tidak lepas memperhatikan
Rangga yang tengah duduk merenung sendiri dari balik jendela.
“Memang tidak biasanya Kakang
Rangga begitu,” sambung Danupaksi.
“Apa mungkin Kakang Rangga sudah
tidak betah lagi di sini?” tanya Cempaka seraya berpaling menatap Pandan Wangi
yang hanya diam saja duduk di kursi dekat Danupaksi.
“Aku rasa tidak. Kakang Rangga
mengatakan kalau ingin tinggal di sini paling tidak satu purnama,” jelas Pandan
Wangi.
“Tapi kenapa selama tiga hari ini
murung terus?” Cempaka seperti bertanya pada diri sendiri.
“Akan kutanyakan,” kata Pandan
Wangi seraya bangkit berdiri.
“Jangan, Pandan...,” cegah
Danupaksi cepat-cepat
“Harus ada yang bisa menegurnya,
Danupaksi. Dan aku rasa hanya salah satu dari kita yang bisa menegurnya,” tegas
Pandan Wangi lagi.
“Kalau begitu, biar aku saja,”
selak Cempaka.
“Tidak. Kita bertiga yang akan
menemuinya,” ujar Danupaksi mengambil jalan tengah.
Mereka saling berpandangan
sesaat, kemudian sama-sama mengangguk. Mereka kemudian bergegas melangkah
keluar dari ruangan itu. Dua orang prajurit penjaga yang berada di pintu,
segera membungkukkan tubuh saat ketiga anak muda itu melewatinya. Mereka terus
berjalan menyusuri lorong yang ditiap pintu selalu berdiri dua orang prajurit
penjaga. Prajurit-prajurit itu selalu membungkukkan tubuh memberi hormat saat
dilewati.
Mereka langsung menuju ke taman
kaputren yang terletak di bagian belakang Istana Karang Setra ini. Empat orang
prajurit bersenjata lembing, segera membungkukkan tubuh begitu melihat
Danupaksi, Cempaka, dan Pandan Wangi hendak masuk ke taman itu. Mereka segera
melangkah melewati pintu taman kaputren yang dijaga empat orang prajurit. Tapi
begitu berada di dalam taman, mereka kelihatan jadi ragu-ragu untuk menghampiri
Rangga yang hanya duduk membelakangi.
“Kenapa kalian berhenti di
situ...? Kemarilah,” ujar Rangga tanpa berpaling sedikit pun.
Rupanya Pendekar Rajawali Sakti
tahu kedatangan Pandan Wangi dan kedua adik tirinya. Maka ketiga anak muda itu
saling melemparkan pandangan sejenak, kemudian melangkah menghampiri pemuda
yang saat ini mengenakan baju berbentuk jubah panjang berwarna putih dari bahan
sutra halus. Tidak terlihat pedang pusakanya yang terkenal dahsyat itu. Bahkan,
baju rompi putihnya juga tidak dikenakan. Dan memang, Rangga harus bisa
menyesuaikan diri dalam dua dunia kehidupan yang sangat jauh perbedaannya.
Ketiga anak muda itu berdiri di
depan Rangga. Lalu, mereka duduk di bangku taman di depan Pendekar Rajawali
Sakti, setelah memberi penghormatan dengan merapatkan kedua telapak tangan di
depan hidung.
“Ada yang ingin kalian bicarakan
denganku?” Rangga lebih dulu membuka suara.
“Maaf kalau kami mengganggu
istirahat Kakang Prabu,” ucap Cempaka seraya merapatkan kedua tangan di depan
hidung.
Rangga tersenyum dan
menggeleng-gelengkan kepala melihat cara penghormatan yang dilakukan adik
tirinya ini. Tapi cepat disadari kalau sekarang ini berada di lingkungan
istana. Sudah sewajarnya kalau mereka bersikap begitu. Di istana ini, Rangga
memang bukan lagi seorang pendekar kelana yang bergelar Pendekar Rajawali
Sakti. Tapi, seorang raja yang memerintah di Kerajaan Karang Setra ini.
“Katakan, apa yang hendak kalian
bicarakan...,” pinta Rangga sambil tersenyum.
Entah apa arti senyum Pendekar
Rajawali Sakti itu. Begitu tipis dan sukar sekali diartikan. Mungkin dia
menertawakan dirinya sendiri. Dan memang, Rangga selalu merasa canggung bila
berada di dalam istana ini, tapi tidak berdaya untuk menolaknya. Karena, segala
aturan dan tata krama yang ada di istana ini sudah terbentuk sebelum dirinya
lahir. Bahkan sudah ada sejak nenek moyangnya terdahulu.
“Kenapa kalian saling pandang?
Bicara saja...,” kata Rangga lagi melihat Pandan Wangi dan adik-adik tirinya
hanya diam saja dan saling berpandangan satu sama lain.
“Maaf, Kakang Prabu. Hamba
bertiga ke sini sebenarnya....”
“Tunggu dulu...,” selak Rangga,
memutuskan ucapan Danupaksi.
Danupaksi cepat memberi hormat
dengan merapatkan kedua tangan di depan hidung.
“Kalian ini kenapa...? Apa karena
aku mengenakan pakaian seperti ini, sehingga kalian selalu bersikap begitu? Aku
tidak suka kalian bersikap seperti berhadapan dengan raja. Kalian bukan
siapa-siapa lagi. Ayo..., bersikaplah seperti biasa,” pinta Rangga tegas seraya
melepaskan jubahnya yang putih dan panjang.
Kini Pendekar Rajawali Sakti
hanya mengenakan celana putih sebatas lutut, dengan sabuk kuning keemasan
membelit pinggangnya. Sungguh tegap bentuk tubuhnya yang terbalut kulit putih,
seperti kulit wanita.
“Ayo, pandang aku sebagai Rangga.
Sebagai kakakmu, Danupaksi, Cempaka. Sebagai kekasihmu, Pandan Wangi. Sebagai
pendekar, dan bukan raja di sini,” kata Rangga lagi lebih tegas.
“Tapi...,” Danupaksi jadi
ragu-ragu melihat sikap Pendekar Rajawali Sakti ini.
“Ah..., sudahlah. Tidak ada orang
lain di sini,” selak Rangga memutuskan cepat.
Danupaksi, Cempaka, dan Pandan
Wangi saling berpandangan. Mereka sama-sama mengangkat bahunya. Mereka tahu
betul sikap dan watak Pendekar Rajawali Sakti. Tidak peduli apakah di dalam
istana atau bukan, selalu saja tidak mau diperlakukan seperti raja jika tidak
ada orang lain, selain mereka berempat.
“Nah...! Siapa yang akan memulai
lebih dulu?” tanya Rangga seraya merayapi wajah-wajah di depannya.
“Aku harap Kakang tidak marah
mendengarnya,” kata Danupaksi sudah biasa lagi sikapnya. Tidak lagi menuruti aturan
tata krama istana.
“Kenapa aku harus marah...?
Katakan saja, Danupaksi,” desak Rangga dengan kening berkerut
“Masalahnya ini menyangkut diri
Kakang sendiri,” kata Danupaksi lagi.
“Aku...? Kenapa dengan diriku?”
Rangga jadi tidak mengerti.
“Tiga hari ini, Kakang selalu
menyendiri dan termenung saja. Kami khawatir terjadi sesuatu padamu,” Danupaksi
langsung mengemukakan kecemasan hatinya. Juga, kecemasan hati Pandan Wangi dan
Cempaka.
Rangga tersenyum seraya
mengangguk-anggukkan kepala, kemudian tertawa kecil. Begitu renyah suara
tawanya. Pendekar Rajawali Sakti kemudian bangkit berdiri dan melangkah
mendekati kolam yang ada di tengah-tengah taman kaputren ini. Diambilnya batu
kerikil, dan dilemparkannya ke tengah kolam.
“Aku tidak mengira kalau kalian
selalu memperhatikan. Yaaah.... Memang aku tidak berdiri sendiri di sini. Masih
ada kalian bertiga. Dan aku sekarusnya selalu membagi rasa suka dan duka. Hanya
kalian bertiga milikku yang berharga sekarang ini,” kata Rangga perlahan,
sambil memutar tubuhnya berbalik.
Pendekar Rajawali Sakti duduk di
batu pinggir kolam. Sedangkan Danupaksi, Cempaka, dan Pandan Wangi masih tetap
duduk di kursi taman memandangi pemuda tampan yang dikenal berjuluk Pendekar
Rajawali Sakti. Untuk beberapa saat, mereka semua terdiam membisu tanpa bicara
sedikit pun.
“Memang ada sesuatu yang
mengganjal pikiranku selama tiga hari ini. Dan itu membuatku merasa tidak
tenteram...,” desah Rangga lagi seraya berdiri, lalu berjalan menghampiri
mereka. Dia kembali duduk di tempatnya semula.
“Bisakah kami mengetahuinya,
Kakang...?” pinta Cempaka.
Rangga tersenyum menatap adik
tirinya ini.
“Kalian memang perlu tahu. Dan
itu yang sejak tadi kupikirkan untuk memberi tahu kalian. Karena, aku sendiri
sebenarnya belum begitu yakin,” kata Rangga, masih pelan suaranya.
“Katakan, Kakang,” selak Pandan
Wangi meminta.
“Kalian tentu belum lupa peristiwa
beberapa hari yang lalu, bukan...?”
Danupaksi, Cempaka, dan Pandan
Wangi hanya mengangguk saja. Peristiwa beberapa hari lalu yang terjadi, tidak
mungkin bisa terlupakan begitu saja. Terlebih lagi, masih begitu hangat
dibicarakan semua orang di istana ini. Tapi, memang peristiwa itu tidak sampai
menyebar ke luar, karena memang dirahasiakan. Dan mereka semua tahu kalau
Rangga telah menyelesaikannya dengan baik, tanpa harus mengorbankan satu nyawa
pun dari rakyat Karang Setra.
“Kalian pasti menyangka kalau aku
sudah membunuh Raden Gordapala di Puncak Gunung Tangkup,” kata Rangga lagi.
“Memang demikian kenyataannya
kan, Kakang? Kau sudah bisa mengambil ketujuh pisau emas yang merupakan
kehidupan Raden Gordapala dari tubuhnya. Dan itu berarti dia sudah tewas. Jadi,
tidak perlu ada yang dicemaskan lagi,” selak Pandan Wangi.
“Itu memang benar, Pandan. Tapi,
itu bukan berarti Raden Gordapala sudah tewas,” kata Rangga.
“Aku tidak mengerti maksudmu,
Kakang...?” ujar Cempaka sambil mengerutkan keningnya.
“Seharusnya, kau bertanya lebih
jelas lagi pada putra-putra Elang Maut tentang Jago dari Alam Kubur itu,
sebelum mereka pulang, Cempaka,” selak Danupaksi.
“Apa hubungannya dengan mereka,
Kakang Danupaksi?” Cempaka semakin tidak mengerti.
“Karena, mereka lebih tahu
tentang si Jago dari Alam Kubur itu,” sahut Danupaksi.
“Kau tanyakan pada mereka?” tanya
Cempaka agak mencibir.
“Tentu saja. Liliani yang
mengatakannya padaku semalam, sebelum mereka berangkat pulang,” sahut Danupaksi
seraya tersenyum, seperti bangga.
Cempaka hanya mencibir saja.
“Sudahlah...,” Rangga cepat
menengahi. “Kalian memang sebaiknya perlu mengetahui lebih jelas lagi tentang
Raden Gordapala yang penuh teka-teki dan rahasia itu. Hal ini penting, karena
aku merasa akan terjadi sesuatu pada Karang Setra. Dan aku yakin, Raden
Gordapala masih hidup sekarang ini.”
“Bagaimana mungkin, Kakang...?!”
tanya Cempaka tidak percaya. Dan dia lebih percaya kalau Pendekar Rajawali
Sakti telah menewaskannya.
“Hal itu bisa saja terjadi,
Cempaka. Karena, Raden Gordapala juga dikenal berjuluk Iblis Seribu Nyawa.
Sukar sekali membinasakannya. Kalaupun mati dan dikuburkan, dia bisa bangkit
lagi tanpa bisa diduga kapan kebangkitannya. Hal ini karena pisau-pisau emas
sebagai nyawa kehidupannya masih tetap ada,” Rangga mencoba menjelaskan.
“Kalau begitu, kenapa tidak
dimusnahkan saja pisau-pisau emas itu, Kakang...?” selak Pandan Wangi yang
sejak tadi diam saja.
“Tidak mudah melakukannya,
Pandan. Sudah pernah ada yang mencoba. Dulu, seorang pandai pengolah emas
mencoba meleburnya. Tapi, akhirnya dia tewas sebelum melaksanakan pekerjaannya.
Pisau-pisau itu seperti memiliki nyawa, dan selalu menentang jika ada yang
mencoba meleburnya,” sahut Rangga menjelaskan lagi.
“Edan...! Kalau semua orang jahat
seperti dia, bisa hancur dunia ini...,” dengus Pandan Wangi seolah-olah untuk
dirinya sendiri.
“Itulah tugas kita kaum pendekar
pembela kebenaran dan keadilan, agar menumpas iblis-iblis berbentuk manusia
seperti Raden Gordapala,” tegas Rangga lagi.
“Lalu, bagaimana cara
menghentikannya, Kakang?” tanya Danupaksi.
“Inilah yang sedang kupikirkan,
Danupaksi,” desah Rangga.
“Jadi selama ini kau menyendiri
memikirkan itu, Kakang?” Pandan Wangi mulai mengerti.
“Benar. Tapi, aku belum bisa
menemukan jalan keluarnya yang terbaik. Rasanya sulit sekali menemukan cara
menghentikan Jago dari Alam Kubur itu.”
“Pasti ada cara, Kakang.”
“Benar, Kakang. Dan kita akan
menemukannya,” sambung Danupaksi.
“Ya, kita semua...,” desah
Rangga.
“Apakah itu berarti kita akan
keluar istana, Kakang?” tanya Cempaka begitu bersemangat.
“Tampaknya begitu,” sahut Rangga.
“Ah! Senang sekali bisa
berpetualang bersamamu, Kakang,” ujar Cempaka gembira.
“Tapi tidak keluar dari Kerajaan
Karang Setra ini.”
“Itu pun aku sudah senang.”
“Kalau begitu, bersiaplah kalian.
Malam nanti, kita berangkat,” kata Rangga.
“Kenapa tidak besok pagi saja,
Kakang?” tanya Pandan Wangi.
Rangga hanya tersenyum saja.
***
TIGA
Empat ekor kuda berpacu cepat
meninggalkan benteng Istana Karang Setra, melalui jalan rahasia di bagian
belakang istana itu. Keempat kuda yang ditunggangi orang-orang utama kerajaan
itu terus bergerak cepat, masuk ke dalam hutan yang berada tepat di bagian
belakang benteng istana. Saat itu, malam memang sudah jatuh. Sehingga, seluruh
Kerajaan Karang Setra sudah terselimut kegelapan yang cukup pekat
Keempat penunggang kuda yang tak
lain dari Rangga, Pandan Wangi, Danupaksi, dan Cempaka, terus bergerak cepat
semakin jauh masuk ke dalam hutan. Tapi tiba-tiba sekali, Rangga yang berada
paling depan menghentikan lari kudanya. Maka ketiga anak muda yang ada di
belakangnya segera menarik tali kekang, hingga kuda-kuda yang di-tunggangi
berhenti berlari. Mereka langsung menatap lurus ke depan. Di dalam kegelapan
malam yang begitu pekat, terlihat seseorang berada di punggung kuda, tepat di
bawah sebatang pohon yang sangat besar dan lebat daunnya. Sehingga, sukar untuk
mengenalinya.
“Siapakah kau di sana, Kisanak...?”
tanya Rangga, agak lantang suaranya.
“Hamba, Gusti Prabu...,”
terdengar sahutan yang cukup keras.
Penunggang kuda itu mendekati
Rangga yang masih duduk di punggung kuda Dewa Bayu. Dan begitu dekat, wajahnya
baru bisa terlihat Bukan hanya Rangga yang terkejut, tapi juga Danupaksi,
Cempaka, dan Pandan Wangi. Mereka mengenali kalau orang itu adalah Banara,
salah satu dari putra Elang Maut, dari Padepokan Elang Maut
“Banara, sedang apa kau di sini?”
tanya Rangga. “Bukankah kau dan adik-adikmu sudah kembali ke Padepokan Elang
Maut?”
“Maaf, Gusti Prabu. Hamba dan
kedua adik hamba tidak jadi pulang ke padepokan,” sahut Banara.
“Kenapa?” tanya Rangga jadi tidak
mengerti.
“Hamba memutuskan untuk tetap
berada di Karang Setra ini, “ sahut Banara lagi.
Pada saat itu, dari balik pohon
besar itu muncul dua orang penunggang kuda lagi. Mereka adalah Sarala dan
Liliani.
“Kami akan bergabung menumpas
Raden Gordapala dan orang-orangnya, Gusti Prabu,” kata Banara lagi.
“Kalian sudah tahu kalau Raden
Gordapala masih hidup?” tanya Rangga.
“Bukan hanya tahu. Yang jelas,
cerita tentang Raden Gordapala sudah di luar kepala kami,” jelas Banara.
Rangga tidak bisa berkata apa-apa
lagi, dan hanya mengangkat bahunya saja sambil menghembuskan napas panjang.
Danupaksi, Cempaka, dan Pandan Wangi juga tidak bisa menolak kesediaan
putra-putra Elang Maut itu untuk bergabung. Dan mereka memang berkepentingan
dalam hal ini. Memang ayah yang juga sekaligus guru mereka telah tewas oleh
Jaran Geni, tunggangan Raden Gordapala. Kuda aneh yang bisa menyemburkan api
dari mulutnya.
“Baiklah, kalian boleh bergabung.
Tapi, aku tidak ingin kalian memanggilku Gusti Prabu. Panggil saja aku seperti
mereka memanggilku,” pinta Rangga sambil menunjuk kedua adik tirinya dan Pandan
Wangi.
“Terima kasih, Gusti Prabu,”
sahut Banara seraya memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di
depan hidung.
“Lupakan sebutan itu, Banara,”
pinta Rangga.
“Baiklah, Ka.... Kakang,” sahut
Banara kaku.
Rangga tersenyum saja seraya
menggeleng-gelengkan kepala. Mereka kemudian bergerak lagi menembus kegelapan
malam di dalam hutan yang tidak begitu lebat ini. Dan rombongan ini sekarang
berjumlah tujuh orang, yang masing-masing menunggang kuda. Sementara itu,
diam-diam Danupaksi mendekati Liliani yang berkuda di samping Sarala.
“Kau diam saja sejak tadi.
Kenapa...?” Danupaksi memulai pembicaraan dengan suara begitu perlahan, seakan
tidak ingin didengar yang lain.
“Tidak apa-apa,” sahut Liliani
seraya memberi senyuman yang manis sekali.
“Aku bisa merasakan ada sesuatu
di hatimu, Nini,” tebak Danupaksi.
Liliani berpaling menatap
Danupaksi dengan kening berkerut sedikit. Kemudian pandangannya kembali
dialihkan ke depan. Sedangkan Danupaksi terus memandangi wajah cantik yang
berkuda di sampingnya ini. Beberapa kali Liliani melirik, dan ini membuatnya
jadi gelisah. Entah kenapa, setiap kali bertemu pandang, jantungnya langsung
berdetak lebih cepat dari biasanya.
“Aku tahu, kau adalah orang kedua
di Karang Setra. Tapi, bisakah kau hilangkan sebutan Nini padaku? Kau sendiri
tidak suka bila dipanggil dengan sebutan Gusti Danupaksi atau Raden Danupaksi,”
kata Liliani tanpa berpaling sedikit pun.
Danupaksi tersenyum. “Cukup pedas
juga kata-katamu, Liliani. Tapi, aku senang dengan gadis yang memiliki gairah
dan semangat yang besar,” kata Danupaksi lagi.
“Kau sudah mulai merayuku,
Kakang.”
“Tergantung dari penilaianmu.”
Liliani hanya diam saja. Mereka
tidak berbicara lagi, karena Rangga yang berkuda di depan sudah berhenti.
Memang, perjalanan jadi tidak terasa bila diisi dengan obrolan-obrolan ringan.
Dan kini mereka sudah sampai di depan kuil yang dibangun Rangga untuk
menghormati berdirinya Kerajaan Karang Setra. Seluruh benda bersejarah bagi
Karang Setra tersimpan di kuil ini.
“Kita bermalam di sini. Ada
banyak kamar untuk beristirahat di kuil ini,” kata Rangga setelah turun dari
punggung kudanya.
Baru saja Rangga melangkah
menjejak anak tangga pertama kuil itu, mendadak saja....
“Awas, Kakang...!” seru Pandan
Wangi.
“Uts!” Cepat-cepat Rangga menarik
tubuhnya ke kiri, lalu tangannya bergerak cepat menangkap sebuah benda yang
tiba-tiba meluncur cepat bagai kilat ke arahnya.
Tap!
“Hup...!” Bergegas Pendekar
Rajawali Sakti melentingkan tubuh berputar dua kali ke belakang. Saat itu juga,
mereka yang berada di belakang pemuda berbaju rompi putih ini langsung
berlompatan ke belakang beberapa tindak. Tanpa diperintah lagi, kuda hitam Dewa
Bayu menggiring kuda-kuda lainnya menjauhi halaman depan kuil itu. Dewa Bayu
yang bukan kuda biasa, sudah bisa merasakan akan terjadi sesuatu. Dan seperti
biasa, binatang itu harus menyingkir menjauh.
“Apa itu, Kakang?” tanya Pandan
Wangi yang sudah mendekat di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti.
“Panah,” sahut Rangga seraya
menyerahkan sebatang panah yang tadi berhasil ditangkapnya.
“Hm.... Siapa yang melakukan
ini..?” gumam Pandan Wangi bertanya sendiri sambil mengamati panah yang sudah
berpindah ke tangannya.
Tapi belum juga ada yang menjawab
pertanyaan si Kipas Maut itu, tiba-tiba saja terdengar suara tawa keras
menggelegar yang memekakkan telinga.
“Ha ha ha...!”
***
“Jangan berkumpul. Kalian semua
berpencar,” perintah Rangga, agak berbisik suaranya.
“Tidak ada waktu lagi, Pendekar
Rajawali Sakti! Tempat ini sudah terkepung...!” terdengar suara keras
menggelegar.
Belum lagi suara gema itu
menghilang dari pendengaran, tiba-tiba saja berlompatan sosok-sosok tubuh
berbaju ketat serba merah dari balik pepohonan yang menghitam pekat. Mereka
semua membawa tongkat pendek yang kedua ujungnya berbentuk mata tombak. Dan
sebentar saja, halaman depan kuil ini sudah dikepung deh tidak kurang dari lima
puluh orang berbaju merah bersenjatakan tongkat pendek bermata tombak pada
kedua ujungnya.
Pada saat itu, dari dalam kuil
melesat sebuah bayangan merah. Dan tahu-tahu, di ujung bawah tangga kuil sudah
berdiri seorang laki-laki tua berjubah merah. Tampak tongkat berkepala
tengkorak tergenggam di tangan kanan.
“Iblis Tongkat Merah...,” desis
Banara langsung mengenali laki-laki tua berjubah merah itu.
Memang, laki-laki tua berjubah
merah yang dikenal sebagai Iblis Tongkat Merah itu sudah pernah bertemu dengan
ketiga putra Elang Maut (Ikuti serial Pendekar Rajawali Sakti, dalam kisah Kuda
Api Gordapala). Saat itu, mereka sama-sama mengejar kuda hitam Jaran Geni, tapi
dengan tujuan berbeda.
“Siapa kau, Kisanak?! Apa
keperluanmu berada di kuil suci ini?” tanya Rangga meskipun sudah mendengar
desisan Banara yang begitu perlahan tadi.
“He he he...! Aku Iblis Tongkat
Merah! Maksud kedatanganku ke kuil ini pasti sudah kau ketahui, Pendekar
Rajawali Sakti,” sahut Iblis Tongkat Merah, lantang suaranya.
Laki-laki tua berjubah merah itu
menatap tajam ketiga putra Elang Maut yang berdiri tepat di belakang Rangga.
Kemudian, matanya kembali menatap Pendekar Rajawali Sakti. Sinar matanya begitu
tajam, bagai sedang mengukur tingkat kepandaian pemuda berbaju rompi putih ini.
Sementara Danupaksi, Cempaka, dan
Pandan Wangi sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.
Mereka mengedarkan pandangan, merayapi orang-orang berbaju ketat serba merah
yang mengepung tempat ini begitu rapat. Sehingga, tak ada sedikit pun celah
untuk dapat meloloskan diri, tanpa harus melakukan pertarungan. Dan tampaknya
mereka juga sudah siap melakukan pertarungan. Yang jelas, hanya tinggal
menunggu perintah saja dari Iblis Tongkat Merah.
“Aku tidak punya banyak waktu,
Pendekar Rajawali Sakti. Kuharap, kau mau menyerahkan delapan pisau emas itu,”
tegas Iblis Tongkat Merah dingin.
“Dia pemimpin keempat Delapan
Penjuru Mata Angin, Kakang,” bisik Banara memberi tahu.
“Hm...,” Rangga menggumam
perlahan.
Pendekar Rajawali Sakti membalas
tatapan laki-laki tua berjubah merah itu dengan sinar mata yang tidak kalah
tajamnya.
“Untuk apa kau menginginkan pisau
emas itu, Kisanak?” tanya Rangga.
“Jangan berpura-pura tidak tahu,
Pendekar Rajawali Sakti!” sentak Iblis Tongkat Merah jadi berang.
“Baik.... Tapi sayang,
pisau-pisau emas itu sudah kulebur,” kata Rangga enteng.
“Keparat..! Jangan coba-coba
mempermainkan aku, Bocah!” Iblis Tongkat Merah semakin bertambah berang
mendengar kata-kata Rangga barusan.
“Aku tidak main-main. Tanyakan
saja pada mereka. Justru kedatangan kami ke kuil ini hendak mengambil hasil
leburan pisau-pisau emas itu. Leburan itu ada di dalam kuil. Kalau kau mau
melihatnya, silakan,” kata Rangga lagi semakin ringan suaranya.
“Setan...! Aku tidak butuh
bualanmu, Pendekar Rajawali Sakti! Serahkan pisau emas itu, atau seluruh
Kerajaan Karang Setra jadi lautan api!” ancam Iblis Tongkat Merah menggeram
marah.
“Hebat juga ancamanmu, Iblis
Tongkat Merah. Tapi, aku khawatir kau tidak sempat lagi melakukannya,” pancing
Rangga terus memanasi.
“Setan keparat..! Serang, bunuh
mereka semua...!” geram Iblis Tongkat Merah berseru lantang memberi perintah.
“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”
Seketika itu juga, orang-orang
berbaju merah yang sejak tadi memang sudah menunggu perintah, langsung saja
berlompatan sambil berteriak-teriak menyerang pendekar-pendekar muda yang sudah
terkepung ini.
Dan memang, pertarungan yang
sudah diduga sejak tadi tidak bisa dihindari lagi. Ketiga putra Elang Maut
langsung mencabut pedang masing-masing. Danupaksi dan Cempaka segera melompat
menyebar, menyambut lawan-lawannya. Mereka juga langsung menarik pedang dari
warangkanya. Hanya Rangga dan Pandan Wangi saja yang masih bertangan kosong.
Memang, mereka adalah pendekar-pendekar yang sudah sering menghadapi segala
macam pertarungan di dalam pengembaraan selama ini.
“Hup! Hiyaaat..!”
Begitu memiliki kelonggaran,
Rangga langsung melentingkan tubuh ke udara, lalu meluruk deras ke arah Iblis
Tongkat Merah yang masih berdiri pada undakan pertama tangga kuil. Begitu
ringan dan manis gerakan Pendekar Rajawali Sakti saat mendarat sekitar lima
langkah di depan Iblis Tongkat Merah. Sementara, pekik dan jeritan melengking
terdengar saling sambut, disertai teriakan-teriakan pertempuran yang begitu
membahana. Denting senjata beradu pun mewarnai suasana malam ini.
“Bagus! Kau bisa keluar dari
orang-orangku, Pendekar Rajawali Sakti,” dengus Iblis Tongkat Merah sinis.
“Mereka orang-orang malang, yang
seharusnya tidak perlu mengorbankan nyawa untuk orang sepertimu, Iblis Tongkat
Merah,” sambut Rangga tidak kalah sinisnya.
“Kau akan menyesal mencampuri
urusan Kelompok Delapan Penjuru Mata Angin, Pendekar Rajawali Sakti.”
“Aku khawatir kau sendiri yang
menyesal telah berurusan denganku,” balas Rangga lagi, semakin dingin nada
suaranya.
“Phuih! Bersiaplah, Bocah
Setan...!”
“Hm..., silakan. Kau tamuku,
silakan menyerang lebih dulu,” tantang Rangga langsung.
“Phuih!”
Perlahan Iblis Tongkat Merah
melangkah ke depan dua tindak. Beberapa kali ludahnya disemburkan, mencoba
mengurangi kemarahan yang begitu meluap dalam dada. Laki-laki tua berjubah
merah ini adalah seorang tokoh persilatan yang sangat diperhitungkan. Makanya,
dia tahu kalau dalam pertarungan sudah dihinggapi nafsu amarah, rasanya
serangannya bakal tidak terkendalikan lagi. Iblis Tongkat Merah mencoba untuk
tidak terpancing amarahnya. Meskipun, kata-kata balasan dari Pendekar Rajawali
Sakti cukup membuat telinganya jadi terasa panas memerah bagai terbakar.
“Tahan seranganku, Pendekar
Rajawali Sakti. Hiyaaat..!”
“Hap! Yeaaah...!”
Begitu Iblis Tongkat Merah
mengecutkan tongkatnya, cepat sekali Rangga merunduk. Sehingga, tongkat
berwarna merah yang bagian ujungnya berbentuk kepala tengkorak itu lewat di
atas kepalanya. Dan pada saat itu juga, Rangga cepat memutar tubuhnya sambil
melepaskan satu tendangan berputar yang begitu cepat, disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi.
Serangan balasan yang diberikan
Rangga begitu cepat dan tidak terduga, membuat Iblis Tongkat Merah sempat
terperangah juga. Tapi tendangan itu masih bisa dihindarinya dengan menarik
mundur kakinya dua langkah. Tendangan keras bertenaga dalam sempurna itu tidak
sampai mengenai sasaran.
“Yeaaah...!”
Begitu Rangga menegakkan tubuhnya
kembali, Iblis Tongkat Merah sudah kembali mengebutkan tongkatnya kuat-kuat.
Begitu tinggi tenaga dalam yang dimiliki laki-laki tua ini, sehingga kebutan
tongkat merahnya menimbulkan deru angin dahsyat bagai badai topan.
“Hup...!” Rangga buru-buru
melentingkan tubuh ke udara, lalu cepat sekali meluruk ke arah kepala Iblis
Tongkat Merah, dengan kedua kaki bergerak cepat seperti berputar. Saat itu
Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
Begitu cepat serangan yang dilakukan Rangga, membuat Iblis Tongkat Merah jadi
terperanjat bukan main.
“Hait…!”
Cepat-cepat Iblis Tongkat Merah
mengebutkan tongkatnya berputar ke atas, untuk melindungi kepalanya dari
serangan kaki Pendekar Rajawali Sakti. Tapi tanpa diduga sama sekali, Rangga
justru melentingkan tubuh berbalik, dan tahu-tahu sudah mendarat tepat di depan
laki-laki tua berjubah merah itu. Pada saat Iblis Tongkat Merah belum sempat
menyadari apa yang dilakukan Rangga, tahu-tahu...
“Yeaaah...!”
Bet!
Begkh!
“Akh...!” Iblis Tengkorak Merah
terpekik keras terkejut
Sungguh sukar dipercaya! Gerakan
Rangga ternyata begitu cepat. Tanpa diduga sama sekali, langsung dilepaskannya
satu pukulan keras menggeledek ke dada, tanpa dapat dihindari laki-laki tua
berjubah merah itu.
Tak pelak lagi, tubuh Iblis
Tongkat Merah terpental deras ke belakang. Tapi keseimbangan tubuhnya masih
bisa dikuasai meskipun dengan terhuyung-huyung. Tampak setetes darah menitik keluar
dari sudut bibirnya. Iblis Tongkat Merah mendekap dadanya yang terkena pukulan
keras menggeledek tadi. Untung saja tadi tengah mengerahkan tenaga dalam,
sehingga pukulan Rangga yang bersarang di dadanya tidak sampai menimbulkan luka
mengkhawatirkan.
“Hap! Hsss...!”
Wuk! Wuk...!
Iblis Tongkat Merah cepat-cepat
menarik napas dalam-dalam, dan mengecutkan tongkatnya beberapa kali. Dia
melakukan beberapa gerakan untuk mengatur jalan pernapasan dan peredaran
darahnya yang tadi sempat terganggu akibat terkena pukulan bertenaga dalam
tinggi dari Pendekar Rajawali Sakti. Sementara Rangga berdiri tegak dengan
bibir mengulas senyuman tipis. Pendekar Rajawali Sakti menunggu sampai lawannya
benar-benar siap melakukan pertarungan kembali.
Sementara itu pertarungan di
tempat lain masih terus berlangsung sengit Sudah terlihat tubuh-tubuh berbaju
merah bergelimpangan bersimbah darah. Entah sudah berapa orang yang tewas di
tangan para pendekar muda itu. Tapi pertarungan masih saja terus berlangsung
sengit. Dan jeritan-jeritan panjang melengking tinggi masih terus terdengar,
bercampur teriakan pertarungan dan denting senjata beradu.
“Gila...! Bisa habis semua anak
buahku kalau begini terus,” desis Iblis Tongkat Merah dalam hati.
Rupanya laki-laki berjubah merah
ini juga memperhatikan pertarungan itu. Dan dia tahu, orang-orangnya tidak
mungkin lagi bisa bertahan lebih lama menghadapi para pendekar muda yang
rata-rata memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi. Dan ini sudah bisa
terbaca oleh Iblis Tongkat Merah, saat melihat hampir separuh anak buahnya
sudah bergelimpangan tidak bernyawa lagi.
“Tinggalkan tempat ini,
cepaaat..!” teriak Iblis Tongkat Merah tiba-tiba.
Begitu keras suara teriakannya!
Sehingga mereka yang sedang bertarung, seketika itu juga berhenti. Pada saat
itu, Iblis Tongkat Merah sudah melesat cepat bagai kilat meninggalkan halaman
depan kuil ini. Melihat pemimpinnya melesat pergi, orang-orang berbaju merah
ketat itu segera berlompatan cepat meninggalkan ajang pertarungan.
“Jangan dikejar...!” seru Rangga
cepat begitu melihat teman-temannya ingin mengejar.
Seruan Rangga yang cukup keras,
membuat mereka mengurungkan keinginan untuk mengejar Iblis Tongkat Merah dan
orang-orangnya yang berlarian cepat meninggalkan halaman depan kuil ini. Mereka
kemudian segera menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.
“Kenapa mereka dibiarkan kabur,
Kakang?” tanya Cempaka merasa tidak puas.
“Tidak ada gunanya mengejar
mereka, Cempaka. Paling-paling kau hanya akan mendapatkan mereka yang
tertinggal, dan tidak bisa berlari cepat. Dan itu tidak ada artinya untuk
mengetahui di mana Raden Gordapala saat ini,” sahut Rangga menjelaskan.
“Aku tidak yakin kalau iblis itu
masih hidup, Kakang,” dengus Cempaka.
“Dia memang masih hidup, Cempaka,”
serobot Banara.
“Bagaimana kau bisa yakin?”
Cempaka meminta penjelasan.
“Raden Gordapala sudah bisa
bangkit hanya dengan tujuh pisau emas, walaupun seharusnya ada delapan pisau
untuk membangkitkannya dari kubur, Namun, itu saja sudah cukup bagi kehidupannya
sampai purnama yang akan datang,” kata Banara mencoba menjelaskan.
“Tapi Kakang Rangga sudah
membunuhnya, Banara,” sanggah Cempaka.
“Hanya dari luarnya saja,
Cempaka. Rohnya masih tetap hidup, dan masih akan bangkit selama semua pisau
emas itu belum dimusnahkan.”
Sementara Cempaka dan Banara
berdebat, Rangga mengajak yang lain untuk masuk ke dalam kuil. Dan Banara yang
ingin ikut, dapat dicegah Cempaka. Sehingga, pemuda itu terpaksa menemani gadis
yang masih penasaran ini. Memang, dia masih belum jelas tentang Raden Gordapala
yang diyakini mereka semua masih hidup.
“Katakan padaku, Banara. Kenapa
kau dan mereka semua begitu yakin kalau Jago dari Alam Kubur itu masih
hidup...?” desak Cempaka meminta penjelasan untuk keyakinan dirinya sendiri.
“Penjelasanku tadi belum cukup,
Cempaka? Yang jelas, Raden Gordapala memiliki seribu satu macam rahasia yang
sukar dicari jawabannya. Dia juga dikenal berjuluk Iblis Seribu Nyawa, karena
memang sukar untuk bisa benar-benar membunuhnya,” Banara mencoba menjelaskan.
“Tapi dia manusia biasa, kan...?”
“Sekarang ini aku sendiri tidak
yakin. Sebab, tidak sedikit orang yang mengatakan kalau dia jelmaan iblis dari
dasar neraka. Dan sampai saat ini juga, belum ada yang tahu rahasia
kelemahannya. Terlebih lagi mengetahui titik kelemahan untuk membunuhnya,
hingga benar-benar mati,” jelas Banara lagi.
“Sudah berapa kali dia bisa
bangkit lagi dari kematian?” tanya Cempaka lagi.
“Ayahku pernah cerita tentang
dia, Cempaka. Katanya, Raden Gordapala sudah hidup tujuh keturunan sebelum kita
lahir ke dunia ini. Dan sampai saat ini, belum ada seorang pun yang bisa
menemukan rahasia kematiannya yang abadi. Dia selalu bisa bangkit kembali,
setiap kali orang yang bertarung dengannya menyangka sudah bisa membunuhnya.
Sehingga, tidak jarang para pendekar jadi gila, karena beberapa kali harus
berhadapan dengan Jago dari Alam Kubur itu.”
Cempaka mengangguk-anggukkan
kepala, kemudian melangkah meniti anak-anak tangga yang langsung menuju ke
pintu kuil. Banara mengikuti, dan mensejajarkan langkahnya di samping gadis
ini.
“Kau sudah puas, Cempaka?” tanya
Banara.
“Cukup untuk saat ini,” sahut
Cempaka.
***
EMPAT
“Heh...?!” Rangga menggerinjang
bangun dengan terkejut dari tidur, begitu telinganya mendengar
teriakan-teriakan keras memanggilnya. Cepat dia melompat menghampiri jendela
kamar, dan langsung dibukanya lebar-lebar. Tampak Danupaksi berdiri di depan
jendela kamar ini.
“Ada apa, Danupaksi...?”
“Mereka hendak menghancurkan desa
sebelah Timur, Kakang,” sahut Danupaksi.
“Mereka siapa...?” tanya Rangga.
“Iblis Tongkat Merah dan anak
buahnya, Kakang. Mereka sudah bergerak ke sana.”
“Keparat..!” geram Rangga. “Beri
tahu yang lainnya.”
“Mereka semua sudah berangkat
sejak tadi,” sahut Danupaksi.
“Heh...?! Kenapa tidak
memberitahuku dari tari?”
“Aku tidak tahu kalau kau tidur
di sini, Kakang. Kamar yang biasa kau tempati kudapati kosong. Sejak tadi, aku
mencarimu,” sahut Danupaksi menjelaskan, tidak mau disalahkan.
“Kau cepat susul yang lain. Aku
segera ke sana,” kata Rangga.
“Baik, Kakang.”
Danupaksi bergegas berlari
menghampiri kudanya yang tertambat tidak jauh di bawah pohon. Cepat sekali dia
melompat. Lalu begitu hinggap di atas punggung kudanya, langsung digebahnya
keras-keras. Kuda tinggi besar berwarna coklat tua itu meringkik keras, kemudian
berlari cepat seperti anak panah terlepas dari busurnya.
Sementara Rangga juga bergegas
mengenakan pakaian dan pedangnya, lalu melesat keluar dari kamar itu melalui
jendela yang masih terbuka lebar. Dia terus berlari menghampiri kuda hitamnya
yang ditambatkan di bawah sebatang pohon kemuning. Tapi, Pendekar Rajawali
Sakti tidak jadi naik ke punggung kuda hitam itu.
“Kau segera ke desa sebelah
Timur, Dewa Bayu. Aku akan menggunakan Rajawali Putih. Kita bertemu di sana,”
kata Rangga sambil menepuk punggung kuda hitam itu.
Setelah meringkik keras, Dewa
Bayu segera berlari cepat ke arah yang sama dengan Danupaksi tadi. Sementara
Rangga bergegas ke tengah-tengah halaman depan kuil. Lalu, dia berdiri tegak di
tengah-tengah halaman kuil yang cukup luas ini, sehingga cukup untuk mendarat
Rajawali Putih. Seekor burung rajawali raksasa yang merawat dan membesarkan
Rangga, serta membekalinya dengan ilmu-ilmu kedigdayaan tingkat tinggi. Bahkan
menjadi tunggangan Pendekar Rajawali Sakti di saat-saat genting seperti
sekarang ini.
“Suiiit..!”
***
Danupaksi terkejut begitu tiba di
desa sebelah Timur dari Kotaraja Karang Setra. Seluruh rakyat Karang Setra
menyebut desa ini adalah Desa Lampak. Adik tiri Pendekar Rajawali Sakti ini
hampir tidak percaya dengan apa yang disaksikannya. Suasana desa ini begitu
tenang dan sunyi. Tak seorang pun terlihat berduka. Semuanya dalam keadaan
wajar, bagai tak pernah terjadi sesuatu di sini. Bahkan sedikit pun tak ada
tanda-tanda kalau desa ini habis diserang. Keadaannya begitu bersih.
“Cempaka...!” seru Danupaksi
begitu melihat Cempaka keluar dari sebuah rumah.
Bergegas Danupaksi melompat turun
dari punggung kudanya, lalu berlari-lari menghampiri Cempaka yang berpaling
begitu namanya dipanggil. Cempaka berdiri saja menanti sampai Danupaksi dekat
di depannya.
“Kita terlambat, Kakang,” jelas
Cempaka sebelum Danupaksi sempat membuka mulutnya.
“Eh...?! Apa maksudmu, Cempaka?”
tanya Danupaksi tidak mengerti.
“Kakang Rangga sudah membereskan
mereka sebelum sampai ke desa ini,” sahut Cempaka memberi tahu.
“Kakang Rangga...? Sekarang di
mana dia?”
“Di rumah kepala desa, bersama
yang lain,” sahut Cempaka lagi kalem.
Danupaksi jadi tertegun.
“Hanya dua puluh orang. Dan tidak
ada Iblis Tongkat Merah bersama mereka,” sambung Cempaka.
“Aneh.... Padahal aku pergi lebih
dulu. Kenapa sekarang Kakang Rangga yang lebih dulu sampai...?” gumam Danupaksi
bertanya-tanya sendiri keheranan.
“Jangankan kau, Kakang. Aku saja
yang pergi lebih dulu masih juga tidak kebagian,” celetuk Cempaka. “Tapi jangan
heran. Soalnya, pasti Kakang Rangga mengendarai Rajawali Putih. Tentu saja bisa
sampai lebih dulu.”
“Iya, ya...,” Danupaksi
mengangguk-anggukkan kepala.
Danupaksi baru ingat kalau kakak
tirinya itu punya tunggangan seekor burung rajawali raksasa. Sudah barang tentu
bisa sampai ke desa ini dalam waktu yang sangat singkat. Dan lagi, bagi
Pendekar Rajawali Sakti bukanlah pekerjaan yang sulit untuk menghadapi dua
puluh orang anak buah Iblis Tongkat Merah, yang rata-rata berkepandaian rendah.
Danupaksi sendiri masih sanggup menghadapi mereka dalam jumlah yang sama.
“Kakang, boleh aku tanya...?”
“Apa?”
“Dari mana kau bisa tahu kalau
mereka hendak menggempur desa ini?” tanya Cempaka ingin tahu.
“Dari salah seorang telik sandi
yang kusebar ke seluruh pelosok kerajaan,” sahut Danupaksi.
“Telik sandi itu tahu kau ada di
kuil?”
“Aku yang memberi tahu,” sahut
Danupaksi lagi. “Mereka semua tahu, di mana aku berada. Dan harus cepat melapor
jika terjadi sesuatu.”
“Kakang Rangga tahu?”
“Tidak. Dan kuminta, kau juga
jangan memberi tahu.”
“Kenapa?”
“Itu tugasku, Cempaka.
Bagaimanapun juga, aku bertanggung jawab atas keselamatan Karang Setra,
meskipun ada Kakang Rangga di sini.”
“Aku mengerti, Kakang.”
“Terima kasih, Cempaka. Hanya kau
saja yang tahu.”
Mereka terdiam dan terus
melangkah menyusuri jalan desa yang berdebu ini. Penduduk masih banyak terlihat
sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Mereka seperti tidak tahu kalau desa
ini hampir saja digempur anak buah Iblis Tongkat Merah.
“Apakah penduduk tidak ada yang
tahu, Cempaka?” tanya Danupaksi.
“Tidak. Dan ini memang disengaja
agar mereka tidak resah,” sahut Cempaka.
Danupaksi mengangguk-anggukkan
kepala. Pemuda itu sudah menduga kalau Rangga pasti tidak mengizinkan kepala
desa untuk memberi tahu warganya. Dan itu memang watak Pendekar Rajawali Sakti,
yang tidak pernah mau melibatkan seluruh rakyat Karang Setra dalam persoalan
seperti ini. Hal itu tentu dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pertumpahan
darah dari para penduduk, di samping tidak ingin terjadi keresahan yang akan
membuat keadaan semakin bertambah kacau. Bahkan mungkin bisa tidak terkendali.
Kalau hal itu sampai terjadi, bisa menguntungkan pihak lawan yang semakin
leluasa mengacaukan keadaan.
Mereka berhenti melangkah ketika
melihat Rangga dan Pandan Wangi keluar dari sebuah rumah berukuran cukup besar
dan berhalaman luas diikuti tiga orang putra Elang Maut. Mereka diiringi
seorang laki-laki separuh baya, bertubuh tegap dengan sebuah gagang golok
menyembul di pinggang.
Danupaksi dan Cempaka segera
menghampiri saat Rangga melambaikan tangan memanggil. Mereka kemudian
dikenalkan kepada laki-laki separuh baya yang bernama Ki Lantaka, Kepala Desa
Lampak ini.
“Aku harap kau tidak perlu resah,
Ki. Semuanya sudah kami tangani. Dan kuharap lagi, kau tidak perlu memberi tahu
warga desa ini. Sebentar lagi desa ini akan dijaga para prajurit kerajaan,”
kata Rangga.
“Baik, Den. Terima kasih,” ucap
Ki Lantaka seraya membungkuk hormat.
Kepala desa ini memang tidak
tahu, siapa pendekar-pendekar muda ini sebenarnya. Karena, mereka semua memang
mengenakan pakaian biasa seperti umumnya kaum pendekar. Tak ada seorang pun
yang menunjukkan ciri kalau mereka adalah orang-orang utama Kerajaan Karang
Setra. Di antara mereka, hanya ketiga putra Elang Maut saja yang bukan anggota
keluarga Istana Karang Setra. Sedangkan Pandan Wangi sudah diangkat sebagai
anggota keluarga kehormatan Istana Karang Setra.
“Kami harus pergi sekarang, Ki.
Masalahnya, harus tiba lebih dahulu sebelum mereka sampai,” kata Rangga
langsung berpamitan.
“Kalau ada yang bisa kubantu,
pasti dengan senang hati akan turut membantu, Den,” kata Ki Lantaka.
“Kau sudah cukup membantu dengan
membuat keadaan desa ini tetap tenang,” ujar Rangga.
“Akan kuusahakan, Den.”
“Terima kasih, Ki. Nah, sekarang
kami mohon diri.”
“Selamat jalan, Den. Semoga Hyang
Widi menyertai kalian semua.”
Rangga menepuk pundak kepala desa
itu, kemudian melompat naik ke punggung kuda hitam Dewa Bayu, diikuti yang
lainnya. Sebentar kemudian, para pendekar muda penegak keadilan itu sudah
bergerak cepat meninggalkan desa itu. Dan tujuan mereka sudah pasti, ke Puncak
Gunung Tangkup! Di sanalah Raden Gordapala mendirikan istananya. Dan Rangga
menduga kalau Jago dari Alam Kubur itu berada di sana bersama para pengikutnya.
***
Perjalanan yang ditempuh ke
Puncak Gunung Tangkup memang tidak terlalu sulit. Bahkan sama sekali tidak
ditemui hambatan berarti. Sehingga, rombongan para pendekar muda yang dipimpin
Pendekar Rajawali Sakti sampai di Puncak Gunung Tangkup dalam waktu yang tidak
begitu lama. Malah bisa lebih cepat dari perhitungan mereka semula.
“Wah...! Aku tidak tahu kalau di
sini ada bangunan istana...,” desah Cempaka menggumam perlahan, seperti bicara
pada diri sendiri.
“Kelihatannya sudah puluhan tahun
tidak dihuni,” sambung Danupaksi menggumam.
Keadaan bangunan istana itu
memang kotor dan tak terawat. Tanaman rambat hampir menutupi seluruh dindingnya
yang sudah retak dan berlumut. Rerumputan tampak tumbuh liar di sekeliling
bangunan ini. Sarang-sarang burung terlihat di setiap dinding yang berlubang.
Bahkan di atap, dan lubang-lubang jendela serat-serat laba-laba tersebar di
mana-mana. Benar-benar sebuah istana yang mengerikan keadaannya. Tidak heran
kalau bangunan itu disebut Istana Hantu.
“Sepi, Kakang. Apa mungkin Raden
Gordapala ada di sini?” bisik Pandan Wangi bertanya perlahan pada Pendekar
Rajawali Sakti yang berdiri di sampingnya.
“Mungkin. Tapi, aku tidak yakin,”
sahut Rangga, juga perlahan suaranya.
“Apa tidak sebaiknya kita periksa
saja ke dalam, Kakang?” saran Pandan Wangi.
Rangga terdiam sebentar, kemudian
menganggukkan kepalanya sedikit. Hampir tak terlihat gerakan kepala Pendekar
Rajawali Sakti. Perlahan kakinya melangkah mendekati pintu depan bangunan istana
itu. Rerumputan yang tumbuh liar, cukup merepotkan juga. Sarala terpaksa berada
di depan, membabat rerumputan yang menghalangi jalan mereka untuk mendekati
pintu Istana Hantu ini.
Krieeet..!
Suara berderit menggiriskan
terdengar menyakitkan telinga saat Rangga membuka pintu Istana Hantu ini. Bau
tidak sedap langsung menyeruak hidung mereka saat berada dalam bangunan tua
yang sudah tidak terawat ini. Sungguh tidak sedap keadaan di dalam bangunan
ini. Keadaannya begitu kotor dan berantakan.
Daun-daun kering, debu, batu-batu
kerikil dan serpihan kayu berserakan di lantai. Sarang laba-laba tersebar
hampir menutupi ruangan yang berukuran sangat besar ini. Pendekar-pendekar muda
itu terus melangkah perlahan-lahan, melintasi ruangan yang kotor dan berantakan
ini.
“Kakang...,” desis Cempaka ketika
mereka memasuki ruangan dalam yang tidak kalah besarnya dari ruangan depan
tadi.
Mereka semua memandang ke arah
yang ditunjuk Cempaka. Di sudut ruangan, terlihat tulang-tulang tengkorak
manusia bertumpuk membukit. Pendekar-pendekar muda itu terus melangkah,
memasuki setiap ruangan yang ada di dalam bangunan istana ini. Tak ada yang
didapatkan di dalam istana ini. Hampir setiap ruangan yang dimasuki, hanya
tulang-tulang tengkorak manusia saja yang ditemukan. Tak ada satu ruangan pun
yang kelihatan bersih. Semuanya dalam keadaan rusak, kotor, dan berantakan.
Sampai mereka tiba di luar istana melalui pintu belakang, tetap tak menemukan
sesuatu yang berarti.
“Tidak ada yang berarti di sini,
Kakang,” kata Pandan Wangi, agak mendesah suaranya.
“Kalau tidak di sini, di mana
lagi dia tinggal, Banara?” tanya Danupaksi seraya menatap Banara yang selalu
didampingi kedua adiknya.
“Hanya istana ini satu-satunya
tempat tinggal Raden Gordapala. Dan menurut ayahku, semua rahasia Raden
Gordapala tersimpan di istana ini,” sahut Banara.
“Tapi sudah seluruh bagian istana
ini diperiksa, tapi tak ada sesuatu pun yang berarti,” kata Danupaksi lagi.
“Mungkin ada tempat rahasia yang
tidak bisa kita lihat di sini,” selak Sarala.
“Ya, mungkin juga. Tapi aku ragu
bisa menemukan tempat rahasia itu,” gumam Danupaksi, seakan-akan untuk dirinya
sendiri.
“Apa tidak sebaiknya kita
berpencar saja, Kakang...?” usul Pandan Wangi.
“Jangan edan-edanan, Kak Pandan!”
rungut Cempaka.
“Sangat berbahaya kalau kita
berpencar, Pandan Wangi. Kita semua tidak paham seluk-beluk daerah ini,” Banara
juga tidak menyetujui usul si Kipas Maut itu.
“Tapi....”
Belum juga Pandan Wangi selesai
dengan ucapannya, tiba-tiba saja....
“Akh...!” pekik Liliani.
Mereka semua jadi terkejut,
melihat sebuah tangan yang kotor berlumpur dan rusak tiba-tiba saja menyembul
dari dalam tanah. Tangan itu mencengkeram pergelangan kaki Liliani.
“Hiyaaa...!”
Sret!
Bet!
Danupaksi cepat bertindak. Bagai
kilat pedangnya dicabut, langsung dibabatkan ke tangan yang menyembul dari
dalam tanah, dan tengah mencengkeram pergelangan kaki Liliani. Sekali tebas
saja, tangan membusuk itu buntung. Lalu Danupaksi cepat melompat menyambar
tubuh gadis itu.
Belum lagi hilang keterkejutan
mereka, tiba-tiba saja dari dalam tanah di sekitar mereka bersembulan
tubuh-tubuh rusak yang begitu mengerikan. Sosok-sosok mayat hidup itu terus
bermunculan semakin banyak mengepung para pendekar muda ini.
Sret!
Cring!
Mereka semua langsung mencabut
senjata masing-masing. Hanya Rangga yang tidak mengeluarkan pedang pusakanya.
Mayat-mayat hidup yang bermunculan dari dalam tanah itu bergerak lamban dan
kaku menghampiri para pendekar muda itu. Suara-suara menggereng terdengar
mendengung.
“Hiyaaat..!”
Tiba-tiba saja Cempaka berteriak
nyaring, dan melompat menyambut mayat-mayat hidup itu. Cepat sekali pedangnya
dikebutkan pada salah satu mayat hidup yang berhasil dijangkaunya.
Crakkk!
“Aaargkh...!” mayat hidup itu
meraung keras, langsung ambruk begitu pedang Cempaka membelah dadanya.
Saat itu, Danupaksi dan ketiga
putra Elang Maut juga sudah bertindak. Raungan-raungan keras terdengar
menggema, disusul ambruknya mayat-mayat hidup itu. Tapi makhluk-makhluk
bertubuh rusak dan kotor berlumpur lainnya tetap saja maju dengan gerakan
lamban dan kaku. Pendekar-pendekar muda itu terus berlompatan sambil
mengebutkan cepat pedangnya, membabat makhluk-makhluk bertubuh rusak mengerikan
itu.
Tapi mereka semua jadi terkejut
setengah mati, karena mayat-mayat hidup yang tadi ambruk bisa bangkit lagi. Dan
mereka terus merangsek semakin rapat mengepung para pendekar muda ini. Bahkan
yang sudah buntung kepalanya saja, masih bisa bangkit lagi. Sementara
kepala-kepala yang buntung itu ikut bergerak, sehingga membuat hati ngeri
melihatnya. Melihat kenyataan ini, Rangga yang sejak tadi tidak melakukan
tindakan apa pun segera bertindak.
“Kalian semua ke belakangku...!”
seru Rangga lantang.
Tanpa menunggu waktu lagi, mereka
semua berlompatan ke belakang Pendekar Rajawali Sakti. Sementara Rangga sudah
merentangkan kakinya lebar-lebar ke samping, dan merendahkan tubuh dengan lutut
tertekuk. Kedua telapak tangannya merapat di depan dada. Sebentar, ditariknya
napas dalam-dalam. Lalu....
“Aji 'Bayu Bajra'...! Yeaaah...!”
Tepat di saat Rangga
menghentakkan kedua tangannya merentang ke samping, seketika itu juga bertiup
angin badai yang begitu keras menderu-deru. Begitu hebatnya badai topan yang
diciptakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga mayat-mayat hidup itu tidak mampu
lagi bertahan. Mereka beterbangan bagai daun-daun kering tersapu angin. Bahkan
pepohonan di sekitar bagian belakang istana ini ikut beterbangan, terbongkar
dari akarnya. Tapi aneh, badai topan itu sama sekali tidak dirasakan pendekar-pendekar
muda yang berada di belakang Pendekar Rajawali Sakti. Dan mereka hanya bisa
terlongong bengong melihat mayat-mayat hidup itu berpelantingan tak mampu
menghadapi gempuran aji 'Bayu Bajra'.
“Hep!”
Rangga kembali merapatkan kedua
tangannya di depan dada. Seketika itu juga badai topan lenyap, begitu Rangga
menarik ajiannya yang dahsyat. Tak ada lagi satu makhluk mayat hidup di sekitar
mereka.
“Ayo, cepat tinggalkan tempat
ini,” ajak Rangga.
Tanpa menunggu waktu lagi, mereka
segera berlarian sambil menyimpan senjata masing-masing. Mereka terus berlari
ke bagian depan halaman Istana Hantu lewat samping. Tapi mendadak saja....
“Ha ha ha...!”
Ketujuh pendekar muda itu
seketika berhenti berlari, begitu tiba-tiba terdengar tawa yang begitu keras
menggelegar. Begitu kerasnya, seakan-akan datang dari segala penjuru mata
angin. Saat itu mereka baru saja sampai di halaman depan Istana Hantu ini.
Mereka benar-benar terkejut mendengar suara tawa yang begitu keras menggelegar
dan tiba-tiba sekali datangnya.
Dan belum lagi rasa terkejut itu
hilang, tiba-tiba saja mereka dikejutkan kembali. Tanah yang dipijak, tiba-tiba
saja bergetar hebat bagai diguncang gempa. Lalu....
Grakh...!
“Whaaa...!”
“Aaa...!”
Mereka jadi menjerit, begitu
tiba-tiba saja tanah yang dipijak terbelah lebar. Tak ada lagi kesempatan bagi
mereka untuk menyelamatkan diri. Ketujuh pendekar muda itu langsung terjatuh
masuk ke dalam tanah yang terbelah dengan sendirinya. Jeritan panjang terus
terdengar bersamaan dengan meluncurnya tubuh-tubuh mereka ke dalam tanah yang
terbelah!
***
LIMA
Entah berapa lama
pendekar-pendekar muda itu meluncur masuk ke dalam tanah yang terbelah. Hingga
akhirnya, mereka merasa seperti terbanting di tempat yang cukup keras, seperti
terbanting di atas batu cadas keras. Untung saja sebelum tubuh mereka menyentuh
bumi, terlebih dahulu mereka mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Sehingga,
tubuh mereka tidak remuk. Namun, tetap saja mereka meringis, menahan pegal pada
persendian tubuh.
Ketujuh pendekar itu jadi
terkejut, karena tahu-tahu sudah berada di dalam sebuah ruangan yang dindingnya
terbuat dari batu hitam. Suasana di ruangan itu lembab dan pengap. Hanya ada
sebuah pelita kecil yang menerangi ruangan batu ini
Sedikit pun tak ada lubang atau
pintu di ruangan ini. Mereka sama-sama mendongak ke atas. Tampak begitu jauh
mereka berada di dalam tanah ini. Begitu jauhnya, sehingga hanya terlihat
sedikit lubang bulat berada tepat di atas kepala. Sehingga, cahaya matahari tak
sanggup menerobos masuk menerangi ruangan yang tidak begitu besar ini.
“Tempat apa ini...?” gumam Pandan
Wangi bertanya pada diri sendiri.
Tidak ada yang bisa menjawab. Dan
memang, mereka semua tidak tahu tempat ini. Mereka juga tidak tahu sekarang
berada di mana. Sementara Rangga sudah memeriksa dinding batu yang mengelilingi
ruangan berukuran tidak begitu besar ini Sedangkan Cempaka menyandarkan
punggungnya ke dinding. Tapi mendadak saja....
“Eh...?!” Cempaka terkejut sambil
melompat
“Ada apa, Cempaka?” tanya Rangga
seraya bergegas menghampiri.
“Dinding ini seperti bergerak,”
sahut Cempaka seraya memandangi dinding yang tadi disandarinya.
Rangga cepat menghampiri dinding
itu. Tangannya meraba-raba. Tidak ada yang aneh. Dinding ini sama dengan yang
lainnya. Tapi saat memandang ke bawah, kening Pendekar Rajawali Sakti jadi
berkerut dalam. Memang, dinding ini tadi bergerak sedikit. Ada segaris debu
terlihat di lantai batu yang keras dan dingin ini.
“Hep. .!”
Rangga mencoba mendorong dinding
batu yang kelihatannya berat Sedikit demi sedikit, mereka berhasil mendorong
dinding batu itu, hingga akhirnya mereka menemukan pintu. Ketujuh pendekar muda
itu bergegas keluar dari ruangan ini.
“Lorong...,” desis Cempaka begitu
berada di luar ruangan batu itu.
“Tingkatkan kewaspadaan kalian.
Kita telusuri lorong ini,” kata Rangga, agak berbisik suaranya.
Mereka mulai melangkah menyusuri
lorong batu ini. Rangga berjalan paling depan, diikuti Danupaksi, Cempaka, dan
Liliani. Sedangkan Pandan Wangi berada di belakang kedua gadis itu, diikuti
Banara dan Sarala. Mereka melangkah begitu hati-hati. Lorong ini cukup terang,
karena setiap jarak tiga tombak terdapat obor yang terpancang di dinding.
Tampaknya, lorong ini cukup panjang, dan penuh belokan berliku.
Hingga akhirnya, mereka sampai di
depan pintu yang terbuat dari besi, setelah melewati satu tikungan yang cukup
tajam. Mereka berhenti berkumpul di depan pintu besi yang sudah karatan ini.
Rangga memeriksa sisi pintu, kemudian mengetuk-ngetuk seluruh bagian pintu itu.
“Dobrak saja, Kakang,” usul
Danupaksi.
“Silakan!” ujar Rangga
menyetujui.
Danupaksi segera bersiap-siap.
Kemudian, Rangga meminta yang lainnya untuk menyingkir menjauhi pintu ini. Lalu
Pendekar Rajawali Sakti juga melangkah mundur beberapa tindak. Sementara,
tinggal Danupaksi yang masih berdiri tegak di depan pintu besi yang sudah
karatan itu.
“Hati-hati, Danupaksi,” desis
Rangga berbisik memperingatkan.
Saat itu Danupaksi sudah bersiap
hendak menghancurkan pintu besi itu. Kakinya direntangkan agak lebar. Lalu,
kedua lututnya ditekuk, hingga tubuhnya merendah. Kedua tangannya terkepal
berada di samping pinggang. Tatapan matanya begitu tajam tertuju lurus ke pintu
besi di depannya.
“Hiyaaa...!”
Sambil berteriak nyaring,
Danupaksi menghentakkan kedua tangannya ke depan, dengan seluruh jari-jari
mengembang terbuka. Secercah sinar terang, menyemburat keluar dari kedua
telapak tangan pemuda itu. Lalu....
“Yeaaah...!”
Cepat sekali Danupaksi melompat
menghantam pintu besi itu dengan keras sekali. Seketika itu juga, terdengar
ledakan keras menggelegar. Akibatnya, seluruh dinding dan atap lorong ini jadi
bergetar, bagaikan hendak runtuh. Tampak Danupaksi terpental ke belakang, dan
jatuh bergulingan beberapa kali di lantai batu lorong ini. Bergulingnya baru
berhenti setelah menyentuh kaki Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti membantu
Danupaksi berdiri. Mereka kemudian menatap pintu besi yang sudah hancur terkena
pukulan dahsyat yang dilancarkan Danupaksi tadi. Debu masih mengepul di sekitar
pintu yang sudah hancur itu. Perlahan Rangga dan Danupaksi menghampir, diikuti
yang lainnya.
“Edan...!” desis Danupaksi begitu
berada di ambang pintu.
Semua pendekar muda itu
berjejalan di ambang pintu. Mereka jadi mengeluh, begitu di depan terlihat
hanya ada kubangan lumpur panas yang mendidih dan berwarna merah. Uap berbau
belerang tercium menyengat lubang hidung. Baru disadari kalau sekarang ini
mereka berada di dalam perut Gunung Tangkup. Dan kolam lumpur mendidih itulah
yang membuat mereka jadi mengeluh. Tak ada lagi jalan keluar dari tempat ini.
Dengan tubuh lemas, mereka
menjauhi pintu itu. Sementara, Rangga dan Danupaksi masih tetap berdiri di
ambang pintu. Mereka merayapi sekitarnya. Batu-batu yang ada semuanya berwarna
merah membara seperti terbakar. Sesekali, terlihat semburan api dari dalam
kubangan lumpur yang bergolak mendidih itu.
“Bagaimana sekarang, Kakang?”
tanya Danupaksi.
Rangga hanya diam saja.
“Apa mungkin ada jalan lain
keluar dari sini...?” tanya Danupaksi lagi, seperti untuk diri sendiri. Dan
nada suaranya jelas terdengar mengeluh menghadapi kenyataan ini.
“Mungkin. Dugaanku, jalan keluar
hanyalah memanjat dinding batu ini, Danupaksi,” kata Rangga seraya mendongak ke
atas.
“Mustahil, Kakang. Lihat saja
batu-batu ini semuanya panas terbakar. Mana mungkin bisa melewatinya...?” keluh
Danupaksi.
Mereka kembali terdiam. Memang
sangat kecil kemungkinannya untuk bisa keluar dari tempat ini, meskipun
memanjat dinding batu di sekitar kubangan lumpur yang bergolak mendidih ini.
“Kakang, apa tidak mungkin kalau
memanggil Rajawali Putih?” usul Danupaksi.
Rangga menatap adik tirinya ini,
kemudian berpaling ke arah tiga putra Elang Maut. Kini Danupaksi baru bisa
mengerti. Memang sulit bagi Rangga untuk memanggil Rajawali Putih, karena ada
orang lain di antara mereka. Kalau hanya ada dirinya, Pandan Wangi, dan
Cempaka, tidak ada persoalan bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk memanggil
burung rajawali raksasa tunggangannya. Karena, mereka semua tahu. Tapi yang
menjadi persoalan adalah ketiga putra Elang Maut itu. Mereka belum tahu kalau
Rangga mempunyai tunggangan seekor burung rajawali raksasa, yang bisa dipanggil
dengan siulan sakti.
“Sebaiknya, kita cari dulu jalan
keluar yang lain, Danupaksi,” kata Rangga merasa keberatan terhadap usul adik
tirinya tadi.
“Aku mengerti, Kakang. Maaf...,”
ucap Danupaksi
“Sudahlah,” Rangga menepuk pundak
Danupaksi seraya tersenyum.
Mereka kemudian berbalik, dan
melangkah menghampiri yang lain. Rangga tahu, mereka semua kini mulai
dihinggapi perasaan putus asa. Ini bisa terlihat dari raut wajah dan sinar mata
yang begitu lesu menghadapi kenyataan seperti ini. Terkurung di dalam perut
Gunung Tangkup, tanpa ada jalan keluar yang bisa ditemukan. Hanya Pandan Wangi
yang kelihatannya tetap tabah. Si Kipas Maut itu masih tetap percaya kalau ada
jalan keluar dari tempat ini.
Ketabahan Pandan Wangi bisa
terbentuk, karena sudah begitu sering menghadapi hal-hal yang tak terduga
seperti sekarang ini. Dan dia percaya, kalau bisa menemukan jalan keluar.
Persoalannya hanya tergantung dari keuletan serta ketabahan diri masing-masing
dalam menghadapi kejadian seperti ini.
“Ayo, kita telusuri lagi lorong
ini,” ajak Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti langsung
saja melangkah menyusuri lorong ini melalui jalan yang sama. Pandan Wangi
mengikuti, dan mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan yang lain hanya bisa mengikuti di belakang kedua pendekar muda yang
sudah berpengalaman dalam menghadapi segala macam persoalan dan kejadian yang
tidak terduga.
“Mereka sepertinya putus asa,
Kakang,” ujar Pandan Wangi berbisik perlahan.
“Ya, aku tahu,” sahut Rangga.
“Kita harus segera menemukan
jalan keluarnya, Kakang. Sebelum mereka benar-benar putus asa,” kata Pandan
Wangi lagi, tetap pelan suaranya.
Rangga hanya diam saja. Memang,
keikutsertaan tiga putra Elang Maut sebenarnya menjadi beban bagi mereka
berdua. Tapi baik Rangga maupun Pandan Wangi tidak bisa lagi menolak keinginan
mereka untuk ikut serta dalam memburu Raden Gordapala. Tapi, semuanya memang
sudah terjadi. Dan mereka berdua harus bisa menemukan jalan keluar dari tempat
ini secepatnya, sebelum terjadi sesuatu yang bisa membuat mereka semua semakin
kehilangan semangat
Pendekar Rajawali Sakti berhenti
melangkah begitu sampai di depan pintu ruangan, tempat mereka tadi terperosok
masuk ke dalam perut Gunung Tangkup ini. Sebentar matanya merayapi keadaan
ruangan itu, kemudian kembali melangkah menyusuri lorong ini, diikuti yang
lain. Lorong yang arahnya berlawanan dengan yang dilalui tadi.
Mereka semua terus berjalan
menyusuri lorong yang cukup terang oleh obor terpancang di dinding, tanpa ada
seorang pun yang membuka suara. Sementara, Pandan Wangi terus mendampingi
Pendekar Rajawali Sakti dengan bibir terkatup. Gadis ini memandangi setiap
jengkal dinding yang dilewati. Seperti lorong yang dilalui tadi, lorong ini
juga cukup panjang dan banyak terdapat tikungan cukup tajam dan berliku. Tapi,
mereka merasakan kalau lorong ini menanjak, meski tidak ada satu pun undakan
ditemui. Jalan yang menanjak naik ini semakin terasa setelah mereka melewati
lima buah tikungan yang cukup tajam. Hingga akhirnya, mereka kembali menemui
sebuah pintu yang juga terbuat dari besi.
Tapi, pintu ini tidak tertutup
rapat. Sehingga, mudah sekali Rangga membukanya. Pendekar Rajawali Sakti jadi
tertegun, karena di balik pintu ini terdapat sebuah ruangan yang berukuran
cukup besar. Mereka kemudian melangkah memasuki ruangan itu.
“Seperti sebuah gelanggang,
Kakang,” bisik Pandan Wangi yang masih tetap mendampingi Rangga di sampingnya.
Memang, ruangan ini merupakan
sebuah gelanggang. Sekelilingnya terdapat undakan-undakan batu yang melingkar
menyerupai tempat duduk. Ada beberapa pintu yang tertutup jeruji besi.
Sedangkan atap ruangan ini terbuat dari batu yang melingkar seperti stupa candi
yang sangat besar ukurannya. Saat mereka tengah memandangi sekitarnya,
tiba-tiba saja....
Brakkk!
Semua jadi terkejut! Tiba-tiba
saja, pintu yang dimasuki tadi tertutup dengan sendirinya. Danupaksi cepat
melompat ke pintu itu, dan mencoba membukanya. Tapi, pintu itu sudah terkunci
kuat dan sulit dibuka lagi. Danupaksi jadi mendengus mengeluh.
“Ha ha ha...!”
Tiba-tiba saja terdengar suara
tawa keras menggelegar dan menggema. Suara tawa yang mereka dengar ketika
terperosok masuk ke dalam tanah yang terbelah di depan bangunan Istana Hantu.
Kini suara tawa itu kembali terdengar menggema di ruangan yang bentuknya
seperti sebuah gelanggang pertandingan.
“Selamat datang di gelanggang
istanaku, Pendekar-pendekar Gagah!”
“Heh...?!”
Kembali mereka terkejut, begitu
tiba-tiba di atas mimbar sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan. Bajunya
berwarna merah muda, dan terbuat dari bahan sutera halus. Indah sekali. Pemuda
itu didampingi dua orang gadis cantik, seorang perempuan tua membawa cambuk
ekor kuda, dan seorang laki-laki tua berjubah merah membawa tongkat berkepala
tengkorak.
Pada saat itu seluruh ruangan ini
jadi terang benderang, begitu atap batu di atas mereka membelah terbuka lebar.
Tampak langit biru yang berawan tipis berarak di atas sana. Matahari pun
terlihat bersinar cerah. Dan di sekeliling mereka, sudah terlihat puluhan
orang, bahkan mungkin ratusan orang yang membawa senjata berbagai macam bentuk.
Mereka menempati undakan-undakan tangga bagian atas, seperti hendak menyaksikan
suatu pertunjukan di tengah-tengah gelanggang ini.
“Kita masuk perangkap Raden
Gordapala, Kakang Rangga,” bisik Banara yang tahu-tahu sudah berdiri di samping
kiri Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga hanya diam saja, menatap
lurus pemuda tampan yang berdiri di atas mimbar kehormatan gelanggang ini. Dia
tahu, pemuda itu adalah Raden Gordapala. Memang, mereka sempat bertemu dan
bertarung di depan bangunan Istana Hantu di Puncak Gunung Tangkup. Sedangkan
yang mendampingi si Jago dari Alam Kubur itu adalah Iblis Tongkat Merah, Dewi
Cambufr Maut, dan kedua gadis berjuluk Dewi Naga Kembar. Dan ratusan orang
bersenjata yang berkeliling di sekitar bagian atas gelanggang ini sudah pasti para
pengikut si Jago dari Alam Kubur itu.
“Ternyata tidak terlalu sulit
menggiringmu ke sini, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, aku tidak menyangka kau
membawa orang lain yang sama sekali tidak kubutuhkan,” lantang sekali suara
Raden Gordapala.
“Apa yang kau inginkan dariku,
Gordapala?” tanya Rangga tidak kalah lantang suaranya.
“Kenapa mesti bertanya begitu...?
Seharusnya kau sudah tahu apa yang kuinginkan. Pendekar Rajawali Sakti!” agak
menggeram nada suara Raden Gordapala.
“Kalau kau menginginkan pisau
emas itu, aku sudah meleburnya kemarin. Tidak mungkin kau bisa mendapatkannya
lagi,” kata Rangga, tetap lantang suaranya.
“Bedebah...! Jangan coba-coba
mempermainkan aku, Pendekar Rajawali Sakti!” geram Raden Gordapala jadi berang.
“Aku tidak main-main. Lihat saja
ini...!”
Rangga mengeluarkan sebuah
lempengan logam berwarna kuning keemasan yang berkilat dari balik sabuk
pinggangnya. Kemudian benda itu dilempar-kannya begitu saja, jauh ke depan.
Melihat lempengan emas itu, bola mata Raden Gordapala jadi terbeliak lebar.
Begitu juga para pendampingnya. Mereka terkejut setengah mati melihat lempengan
emas yang dilemparkan Pendekar Rajawali Sakti.
“Setan keparat..! Kau benar-benar
membuatku marah, Pendekar Rajawali Sakti! Kau harus mampus! Juga Kerajaan
Karang Setra yang kau bangga-banggakan itu harus hancur...!”
Raden Gordapala tidak bisa lagi
menahan kemarahannya, melihat lempengan emas yang dilemparkan Rangga. Wajahnya
memerah bagai besi yang terbakar dalam tungku pembakaran. Gerahamnya
bergemeletuk, dan matanya berkilatan merah bagai sepasang bola mata api yang
hendak menghanguskan apa saja yang dilihat.
Sementara, Rangga tetap kelihatan
tenang. Bahkan bibirnya menyunggingkan senyum tipis.
Ketika tiba-tiba Raden Gordapala
mengangkat tangannya ke atas, mendadak saja dari dalam tanah bersembulan
jeruji-jeruji besi baja hitam yang terlihat kokoh. Rangga yang melihat terlebih
dahulu cepat melompat menghindar, hingga terpisah dari yang lain. Dan jeruji
besi baja itu cepat sekali menyembul keluar begitu tinggi dan rapat, sebelum
pendekar-pendekar muda itu sempat menyadari. Sehingga, mereka jadi terkurung
jeruji besi baja hitam yang begitu rapat dan kuat. Hanya Rangga yang tidak
terkurung, karena tadi sempat melompat.
“Ha ha ha...!” Raden Gordapala
tertawa terbahak-bahak.
Dan memang inilah yang diinginkan
si Jago dari Alam Kubur itu. Memisahkan Rangga dengan yang lain. Jadi, hanya
sekali saja bertindak, keinginannya itu sudah bisa terlaksana. Sekarang Rangga
berhasil dipisahkan dari yang lain. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti itu jadi
terkejut begitu menyadari akal licik dari Raden Gordapala. Bergegas dia bangkit
berdiri dan hendak menghampiri rekan-rekannya.
Tapi belum juga sampai, kurungan
besi baja itu sudah cepat terangkat naik. Dan enam pendekar muda itu kini
terkurung berada jauh di atas tanah. Rangga hanya bisa memandangi saja.
Sementara, Raden Gordapala terus tertawa terbahak-bahak. Begitu keras
menggelegar suara tawanya. Sedangkan Rangga hanya memandangi saja tiang besi baja
yang menopang kurungan berisi enam pendekar muda itu.
“Licik...!” desis Rangga seraya
memutar tubuhnya, menghadapi Raden Gordapala lagi.
“Itu baru permulaan, Pendekar
Rajawali Sakti. Sebentar lagi, kau akan menghadapi suatu kematian yang begitu
indah.... Kau akan menghadapi kematianmu secara perlahan-lahan. Ha ha ha...!”
Rangga hanya bisa mendesis geram.
Memang tidak ada yang bisa dilakukannya, selain menghadapi semua rencana yang
ada di benak Jago dari Alam Kubur itu. Apa pun yang akan terjadi, memang sukar
diduga. Tapi yang pasti, tidak akan mungkin menguntungkan Pendekar Rajawali
Sakti. Dan ini sudah dipikirkannya dalam menghadapi keadaan semacam ini.
“Buka pintu pertama...!” seru
Raden Gordapala tiba-tiba.
Rangga cepat berpaling saat
mendengar suara berderak dari sebuah pintu jeruji besi yang berada tepat di
sebelah kanannya. Hati Pendekar Rajawali Sakti jadi terkesiap, begitu dari
dalam pintu itu keluar sesosok tubuh tinggi besar bagai raksasa. Tingginya dua
kali dari ukuran manusia biasa. Seluruh tubuhnya hampir tertutup rambut-rambut
halus yang ikal menghitam. Makhluk raksasa itu menyandang sebuah gada berduri
tajam berkilatan yang ukurannya sama dengan paha orang dewasa.
“Manusia apa ini...?” desis
Rangga dalam hati.
“Ghraaagkh...!”
Bumi jadi bergetar saat makhluk
raksasa itu menggerung keras menggelegar sambil mengangkat gadanya
tinggi-tinggi ke atas kepala. Sedangkan Rangga melangkah mundur perlahan-lahan
beberapa tindak. Dari atas mimbar, terdengar suara tawa keras menggelegar.
Sementara, enam pendekar muda yang terkurung di atas hanya bisa menahan napas
saja melihat Rangga harus menghadapi manusia raksasa yang begitu liar ini.
“Hadapi jagoku ini, Pendekar
Rajawali Sakti! Ha ha ha...!”
Sementara itu, si manusia raksasa
sudah bergerak mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Dan sambil menggeram dahsyat
gadanya diayunkan ke atas kepala pemuda berbaju rompi putih itu. Begitu kuat
ayunan gadanya, sehingga menimbulkan suara angin yang menderu bagai badai
topan.
“Hup...!”
Rangga cepat melenting ke
belakang menghindari hantaman gada baja berduri itu. Bumi seketika bergetar
ketika gada baja berduri itu menghantam tanah tempat Rangga berdiri tadi.
Manusia raksasa itu menggerung keras. Matanya yang besar, memerah marah melihat
lawannya berhasil lolos dari hantaman gadanya.
“Ghraaagkh...!”
Wukkk!
Kembali si manusia raksasa itu
menghantamkan gadanya dengan kuat sekali. Dan lagi-lagi Rangga melentingkan
tubuh ke belakang. Sehingga hantaman manusia raksasa itu lagi-lagi hanya
menemui tanah kosong. Dan begitu kakinya menjejak tanah, Rangga cepat melesat
tinggi ke udara. Lalu, dia meluruk deras sambil mengerahkan jurus 'Rajawali
Menukik Menyambar Mangsa'. Begitu cepatnya gerakan yang dilakukan, sehingga
manusia raksasa yang bergerak lamban itu tidak bisa menghindari dupakan kaki
Rangga yang bergerak cepat luar biasa.
Plakkk!
“Ghraaagkh...!”
“Hup!”
Cepat-cepat Rangga melompat ke
belakang begitu berhasil mendaratkan tendangan di kepala manusia raksasa itu.
Tapi dia jadi mendengus heran. Ternyata manusia raksasa itu tidak mengalami
luka sedikit pun di kepalanya. Dan begitu berbalik, cepat sekali Rangga
melepaskan satu pukulan keras bertenaga dalam sangat tinggi dari jurus 'Pukulan
Maut Paruh Rajawali'.
“Hiyaaa...!”
Begkh!
“Aaargkh...!”
Makhluk raksasa itu meraung keras
begitu pukulan Rangga mendarat telak di dadanya. Begitu kerasnya pukulan yang
dilepaskan, sehingga manusia raksasa itu terhuyung-huyung ke belakang sambil
menggerung marah. Rangga tidak lagi menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Kembali
Pendekar Rajawali Sakti melompat cepat sambil melepaskan satu pukulan keras
disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan.
“Yeaaah...!”
Desss!
Untuk kedua kalinya pukulan
Pendekar Rajawali Sakti menghantam telak dada makhluk raksasa dengan keras
sekali. Begitu kerasnya pukulan yang dilepaskan, sehingga membuat makhluk
raksasa itu terbanting ke tanah. Akibatnya, tanah di sekitar gelanggang ini
jadi bergetar hebat bagai terguncang gempa. Tapi, makhluk raksasa itu bisa
cepat bangkit kembali. Bahkan langsung meluruk deras ke arah Rangga yang baru
saja menjejakkan kakinya di tanah. Deras sekali gadanya yang besar dan berduri
tajam itu diayunkan.
“Graaagkh...!”
“Hup! Yeaaah...!”
***
ENAM
Rangga cepat-cepat menjatuhkan
diri begitu gada baja besar dan berduri melayang deras ke arah kepalanya.
Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti bergulingan di tanah, lalu cepat bangkit
berdiri. Langsung dia melompat cepat bagai kilat sambil mencabut pedang yang
selalu tersimpan dalam warangkanya di punggung. Cahaya biru terang berkilau,
seketika menyemburat begitu Pedang Rajawali Sakti keluar dari warangkanya.
“Hiyaaa...!”
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali
Sakti melesat cepat sambil mengecutkan pedangnya ke arah leher manusia raksasa
itu. Begitu cepat tebasannya, sehingga manusia raksasa itu tidak dapat lagi
meng-hindar.
Cras!
“Aaargkh...!”
Rangga cepat-cepat melompat ke
belakang begitu pedangnya berhasil mengoyak tenggorokan manusia raksasa itu.
Tapi, makhluk raksasa itu masih mampu berdiri. Bahkan mampu mengayunkan gadanya
beberapa kali, meskipun darah terus mengucur deras dari lehernya yang terkoyak
cukup lebar.
“Hiyaaat...!”
Cepat sekali Rangga melompat ke
udara. Lalu bagaikan kilat, pedangnya dihunjamkan hingga terbenam dalam di dada
manusia raksasa itu. Sambil melepaskan satu tendangan keras menggeledek,
Pendekar Rajawali Sakti melenting ke belakang mencabut pedangnya yang terbenam
di dada makhluk itu.
Cras!
“Aaargkh...!”
Pedang Pendekar Rajawali Sakti
berhasil mengoyak tenggorokan manusia raksasa itu. Tapi hebatnya, makhluk
raksasa itu masih mampu berdiri! Bahkan masih mampu mengayunkan gadanya
beberapa kali.
Manusia raksasa itu
menggerung-gerung dahsyat, lalu ambruk menggelepar di tanah. Cukup lama juga
makhluk raksasa itu menggelepar meregang nyawa, lalu diam meregang kaku tak
berkutik-kutik lagi. Begitu banyak darah yang keluar dari dada dan lehernya.
Sementara Rangga sudah berdiri
tegak, dengan Pedang Rajawali Sakti masih tergenggam erat di tangan kanannya.
Tatapan matanya begitu tajam, tertuju lurus kepada Raden Gordapala yang tampak
memerah geram melihat jagonya tewas di tangan Pendekar Rajawali Sakti.
“Kakang...!”
Rangga cepat berpaling, mendongak
ke atas begitu terdengar suara keras memanggilnya. Dia tahu, yang berteriak
memanggilnya tadi adalah Pandan Wangi. Geraham pemuda berbaju rompi putih itu
jadi menggeretak melihat Pandan Wangi dan yang lain terkurung tak berdaya.
Cukup tinggi juga tiang besi baja yang menyangga kurungan besi itu. Tapi, masih
bisa dijangkau dengan hanya sekali lompatan saja. Bahkan masih bisa terjangkau
oleh orang yang berkepandaian lumayan.
“Menyingkir kalian...!” seru
Rangga keras.
Mereka semua yang terkurung
langsung bergerak menyingkir ke sisi lain, begitu mendengar teriakan Rangga.
Tanpa menunggu waktu lagi, tiba-tiba saja....
“Hiyaaa...!”
Sambil berteriak keras
menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat cepat, melambung tinggi
ke angkasa. Begitu cepat gerakannya, sehingga belum ada yang bisa menyadari
lebih dulu. Dan kini, Rangga sudah berada dekat di jeruji besi baja yang
mengurung enam orang pendekar muda itu.
“Yeaaah...!”
Cepat sekali Rangga mengebutkan
pedangnya yang memancarkan sinar biru berkilau ke jeruji besi baja yang
mengurung enam pendekar muda itu.
Wukkk!
Trang!
“Hap!”
Rangga langsung melunak turun
begitu pedangnya berhasil menghancurkan jeruji besi baja yang mengurung enam
orang pendekar muda itu. Manis sekali gerakannya, sehingga tak ada sedikit pun
suara yang terdengar saat kakinya menjejak tanah.
“Ayo, cepat keluar...!” teriak
Rangga begitu sudah berdiri lagi di tanah.
Mereka yang terkurung, segera
berlompatan keluar dari kurungan besi itu. Enam pendekar muda itu adalah
orang-orang yang berkepandaian tinggi. Sehingga bukan suatu hal yang sulit
untuk melompat dari ketinggian seperti ini.
Sementara Raden Gordapala, Iblis
Tongkat Merah, Dewi Cambuk Maut, dan Dewi Naga Kembar yang berada di atas
mimbar kehormatan, jadi terkejut setengah mati melihat tindakan Rangga yang
tidak pernah diduga sama sekali. Pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti itu
mampu menghancurkan jeruji besi baja hanya sekali tebas saja!
“Serang...! Bunuh mereka semua!”
seru Raden Gordapala lantang menggelegar.
Seketika itu juga, orang-orang
yang berada di sekeliling gelanggang pertarungan, langsung berhamburan meluruk
turun sambil berteriak-teriak dan mengayun-ayunkan senjata masing-masing.
Sementara Rangga, Pandan Wangi,
Danupaksi, Cempaka, dan tiga putra Elang Maut segera bersiap menghadapi
orang-orang yang jumlahnya ratusan itu.
“Kita tidak mungkin bisa
menghadapinya, Kakang. Jumlah mereka begitu banyak,” desis Pandan Wangi yang
berada tepat di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti.
“Gunakan saja aji 'Bayu Bajra',
Kakang,” usul Danupaksi yang berada agak ke belakang di sebelah kiri Pendekar
Rajawali Sakti.
Sedangkan Rangga hanya diam saja.
Sinar matanya tajam merayapi orang-orang yang terus berlarian cepat memasuki
gelanggang pertarungan ini. Memang, jumlah mereka tidak sebanding. Tujuh orang
harus menghadapi ratusan orang. Jadi, sama saja mereka harus menghadapi satu
pasukan penuh sebuah kerajaan. Bahkan bukannya tidak mungkin, orang-orang ini
berkepandaian lebih tinggi dari para prajurit. Karena, mereka sudah tentu
berpengalaman dalam berbagai macam pertarungan.
Baru saja Rangga membuka mulutnya
hendak menyuruh mereka berlindung di belakangnya, tiba-tiba saja dari atas
bangunan gelanggang pertarungan ini berhamburan ratusan anak panah yang
langsung menghujani para pengikut Raden Gordapala. Dan seketika itu juga, jeritan-jeritan
panjang melengking tinggi terdengar saling sambut, disusul berjatuhannya
tubuh-tubuh tertembus anak panah.
***
“Kakang, lihat...!” seru Pandan
Wangi sambil menunjuk ke atas.
Mereka semua mendongak, memandang
ke arah yang ditunjuk Pandan Wangi. Tampak di atas tembok batu yang
mengelilingi gelanggang, sudah dipenuhi orang berseragam prajurit. Tentu saja
mereka mengenali, karena para prajurit itu mengenakan seragam prajurit Karang
Setra. Prajurit-prajurit itu kini tengah menghujani orang-orang Raden Gordapala
yang jadi kalang-kabut karenanya.
“Seraaang...!”
Tiba-tiba saja terdengar perintah
keras menggelegar. Seketika itu juga, dari atas tembok yang mengelilingi
gelanggang ini berhamburan para prajurit bersenjata tombak dan pedang. Mereka meluncur
turun melalui tambang, dan langsung menyerang orang-orang Raden Gordapala yang
sudah kalang-kabut kehilangan kendali lagi. Pertempuran pun tak dapat dihindari
lagi. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi, kini bercampur denting senjata
beradu.
Sementara Danupaksi, Cempaka, dan
ketiga putra Elang Maut sudah terjun ke dalam pertempuran. Tinggal Rangga dan
Pandan Wangi yang masih tetap diam memperhatikan pertarungan yang terjadi di
sekitarnya. Tapi, perhatian Rangga cepat berubah. Ditatapnya mimbar kehormatan
yang berada di sebelah Timur gelanggang ini. Tapi, di sana tidak ada lagi Raden
Gordapala dan para pembantunya. Mimbar itu sudah kosong, tanpa seorang pun
terlihat di sana.
“Pengecut..!” desis Rangga
menggeram.
“Ada apa, Kakang?” tanya Pandan
Wangi.
Rangga tidak menjawab pertanyaan
si Kipas Maut itu, tapi malah cepat melompat. Ilmu meringankan tubuhnya yang
sudah mencapai taraf kesempurnaan dikerahkan. Pandan Wangi sempat memperhatikan
sejenak, lalu bergegas melesat mengikuti Pendekar Rajawali Sakti, begitu
melihat ke arah mimbar yang sekarang sudah kosong tak ada seorang pun di sana.
Sementara itu, Rangga sudah
berada di atas mimbar itu. Pendekar Rajawali Sakti mendengus melihat di mimbar
kehormatan itu terdapat sebuah pintu yang terbuka lebar. Bergegas kakinya
melangkah ke pintu itu. Tapi belum juga melewati pintu, tiba-tiba saja....
Wusss!
“Uts!”
Cepat Rangga menarik tubuhnya ke
belakang, begitu tiba-tiba dari balik dinding pintu meluncur dua batang tombak
yang lewat di atas kepalanya. Dan begitu tombak ditarik kembali, dari balik
pintu itu melesat dua orang laki-laki setengah baya menghunus tombak, yang
langsung dihunjamkan kembali ke dada Pendekar Rajawali Sakti.
“Hup!”
Cepat Rangga memiringkan tubuhnya
ke kanan, menghindari hunjaman dua batang tombak yang meluruk deras mengancam
dadanya. Dan sebelum dua orang penyerangnya bisa menarik tombaknya pulang,
cepat sekali Rangga memutar tubuhnya sambil melepaskan satu tendangan keras
bertenaga dalam tinggi pada salah seorang. Lalu disusul lagi dengan satu
pukulan keras menggeledek dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' kepada
orang satunya lagi.
Dua laki-laki setengah baya itu
seketika menjerit keras melengking begitu serangan balasan yang dilancarkan
Rangga tidak dapat dihindari lagi. Begitu keras tendangan dan pukulan yang
dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga kedua orang laki-laki separuh baya
itu terpental deras ke belakang. Tubuh mereka langsung meluncur turun dari
mimbar ini.
Rangga sempat melirik ke arah dua
penyerangnya yang sudah tergeletak tak bernyawa lagi di atas batu gelanggang
ini. Pada saat itu, Pandan Wangi sudah sampai di atas mimbar, tepat di saat
Rangga melangkahkan kakinya memasuki pintu ini. Pandan Wangi bergegas mengikuti
di belakang Pendekar Rajawali Sakti. Mereka terus melangkah cepat anak-anak
tangga batu di sebuah lorong yang cukup besar.
Mereka terus melangkah cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Hingga akhirnya, mereka tiba di depan sebuah
pintu yang tertutup rapat. Rangga tidak mau lagi gegabah. Cepat dilontarkannya
satu pukulan jarak jauh yang mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna.
“Yeaaah...!”
Glarrr...!
Pintu itu hancur seketika
disertai ledakan dahsyat menggelegar. Di sela-sela ledakan itu, terdengar
jeritan panjang melengking tinggi.
“Hup!”
Rangga cepat melesat melewati
pintu yang sudah hancur itu. Tampak dua orang berbaju merah menggeletak di
dekat pintu dengan tubuh penuh tertusuk kepingan kayu dari pintu yang hancur
terkena pukulan jarak jauh Pendekar Rajawali Sakti tadi. Tepat ketika kakinya
menjejak tanah, tiba-tiba saja melesat sebuah bayangan kuning yang meluruk
deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
“Awas, Kakang...!” seru Pandan
Wangi yang baru saja melewati pintu yang hancur.
“Uts!”
Rangga cepat merundukkan tubuh ke
depan, begitu merasakan adanya hembusan angin halus dari arah belakang.
Terjangan bayangan kuning itu lewat sedikit saja di atas kepala pemuda berbaju
rompi putih ini. Dan begitu tubuhnya ditegakkan sambil berbalik, tahu-tahu di
depannya sudah berdiri seorang perempuan tua berbaju kuning. Sebuah cambuk
berbentuk buntut kuda tampak tergenggam di tangan kanannya.
“Kau harus mampus, Pendekar
Rajawali Sakti! Kau sudah menghina junjunganku!” desis wanita tua yang tak lain
Dewi Cambuk Maut itu dingin.
Setelah berkata demikian, Dewi
Cambuk Maut cepat mengecutkan cambuknya yang berbentuk buntut kuda.
Ctar!
“Ups!”
Rangga cepat melompat mundur
sambil menahan napasnya. Kebutan cambuk itu menimbulkan asap hitam, selain
menyebarkan bau busuk yang tidak sedap. Sehingga membuat perut langsung
bergolak mau muntah.
“Pandan, cepat menyingkir...!”
seru Rangga. Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau kebutan cambuk wanita tua itu
mengandung asap racun yang berbahaya sekali bila terhisap. Sedangkan Pandan
Wangi yang mendapat perintah untuk menyingkir, segera saja berlompatan menjauh.
Gadis itu juga langsung menyadari kalau kebutan cambuk buntut kuda itu
mengandung racun berbahaya dan mematikan.
“Hep! Hsss...!”
Rangga cepat memindahkan
pernapasannya ke perut. Meskipun dirinya kebal terhadap segala jenis racun,
tapi tetap saja tidak ingin untung-untungan dalam menghadapi senjata yang
mengandung racun.
“Mampus kau! Hiyaaat..!”
Sambil berseru lantang
menggelegar, Dewi Cambuk Maut cepat melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
Cambuk buntut kudanya dikebutkan beberapa kali, mengincar bagian-bagian tubuh
Rangga yang mematikan. Tapi lincah sekali Pendekar Rajawali Sakti berlompatan
menghindari serangan yang dilancarkan lawan. Bahkan tubuhnya meliuk-liuk indah,
mengikuti gerakan kakinya yang begitu lincah. Rangga langsung mengerahkan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib'.
Jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'
memang seringkali digunakan Pendekar Rajawali Sakti dalam menjajaki tingkat
kepandaian yang dimiliki lawan. Dan jurus itu memang luar biasa, meskipun tidak
bersifat menyerang. Tapi, tidak mudah bagi lawan untuk mematahkan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib'. Bahkan lawan bisa jadi kehilangan kendali, karena
serangan-serangannya sama sekali tidak membawa hasil.
“Hup! Yeaaah...!”
Rangga cepat melentingkan tubuh
ke udara, begitu Dewi Cambuk Maut mengecutkan cambuk buntut kudanya ke arah
kaki. Pada saat itu, Dewi Cambuk Maut cepat melompat ke atas mengejar Rangga
yang sudah lebih dulu melayang di udara. Cepat sekali wanita tua itu
mengecutkan cambuknya ke tubuh Rangga.
Menghadapi serangan itu, Pendekar
Rajawali Sakti sama sekali tidak gugup. Tubuhnya segera meliuk-liuk menghindari
kebutan cambuk buntut kuda yang mengeluarkan asap beracun itu. Dan begitu
serangan Dewi Cambuk Maut melonggar, cepat sekali Rangga merentangkan kedua
tangannya ke samping. Lalu sepasang tangan Pendekar Rajawali Sakti cepat bergerak
mengebut, seperti sepasang sayap burung rajawali. Rangga saat ini memang tengah
mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
“Hiyaaa...!”
“Uts...!”
Dewi Cambuk Maut jadi kelabakan
setengah mati menghindari kibasan-kibasan kedua tangan Rangga yang merentang
dan bergerak cepat. Lalu, cepat-cepat tubuhnya melenting berputar ke belakang,
dan meluruk deras turun kembali ke tanah. Pada saat itu juga, Rangga segera
merubah jurusnya menjadi jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
“Yeaaah...!”
“Heh...?!”
Dewi Cambuk Maut jadi terkejut
setengah mati. Buru-buru cambuk buntut kudanya dikebutkan ke atas, untuk
melindungi kepalanya dari incaran kedua kaki Rangga yang bergerak begitu cepat.
Tapi tanpa diduga sama sekali, Rangga malah memutar tubuhnya berbalik. Dan
tiba-tiba saja, dilepaskannya satu pukulan keras ke arah dada Dewi Cambuk Maut
yang benar-benar kosong tak terlindungi. Gerakan Rangga yang begitu cepat dan
tak terduga itu, benar-benar membuat Dewi Cambuk Maut jadi terperangah setengah
mati. Tapi, perempuan tua itu tidak sempat lagi menghindar. Sehingga....
Desss!
“Aaakh...!”
Pukulan yang dilepaskan Rangga,
memang sungguh keras. Sehingga, tubuh wanita tua itu terpental deras ke
belakang. Hanya sebentar saja Dewi Cambuk Maut bergulingan di tanah, lalu cepat
bangkit berdiri, meskipun dalam keadaan limbung. Tampak dari sudut bibirnya
menetes darah agak kental.
“Phuih!” Dewi Cambuk Maut
menyemburkan ludahnya yang bercampur darah.
Setelah melakukan beberapa
gerakan, perempuan tua itu cepat melompat kembali menyerang Pendekar Rajawali
Sakti. Beberapa kali cambuknya dikebutkan, tapi Rangga berhasil menghindarinya
dengan gerakan-gerakan tubuh yang begitu indah dan manis.
“Hup!”
Begitu ada kesempatan, Rangga
cepat melompat keluar dari lingkaran serangan yang dilancarkan Dewi Cambuk
Maut. Lalu, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang.
Kemudian, pedang pusaka yang selalu berada di balik punggungnya segera dicabut
Sret!
Cring!
Seketika cahaya biru berkilau
menyemburat terang begitu Rangga mencabut keluar pedang pusakanya. Hati Dewi
Cambuk Maut seketika terkesiap melihat pamor pedang Pendekar Rajawali Sakti
yang begitu dahsyat luar biasa. Tapi, dia tidak bisa lama-lama tertegun.
Apalagi lawannya sudah melompat menyerang sambil mengecutkan pedangnya seperti
membentuk lingkaran.
“Hup! Yeaaah...!”
Dewi Cambuk Maut cepat-cepat
melompat ke belakang beberapa tindak. Lalu, langsung disiapkannya jurus baru
yang lebih dahsyat lagi. Sedangkan Rangga mengerahkan jurus 'Pedang Pemecah
Sukma'. Satu jurus andalan yang begitu dahsyat dan jarang sekali digunakan di
dalam pertarungan.
Gerakan-gerakan yang dilakukan
Rangga, sungguh cepat luar biasa. Sedangkan pedangnya berkelebat cepat
mengurung seluruh ruang gerak Dewi Cambuk Maut. Akibatnya perempuan tua itu
benar-benar tidak mampu lagi melakukan perlawanan. Terlebih lagi, perhatiannya
terasa jadi terpecah.
Sedangkan jiwanya terasa
tercabik-cabik, sehingga tidak mampu lagi menguasai keadaan. Dewi Cambuk Maut
tidak menyadari kalau pikirannya sudah terpengaruh jurus 'Pedang Pemecah Sukma'
yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti.
“Yeaaah...!” tiba-tiba Rangga
berteriak keras.
Bet!
Cepat sekali Pendekar Rajawali
Sakti menusukkan pedang ke arah Dewi Cambuk Maut. Begitu cepat gerakan yang
dilakukannya, sehingga membuat Dewi Cambuk Maut tidak dapat lagi berkelit menghindar.
Dan tak pelak lagi, Pedang Rajawali Sakti menghunjam dadanya hingga tembus ke
punggung.
Crab!
Tak ada suara jeritan sedikit
terdengar. Dewi Cambuk Maut hanya berdiri terpaku mematung dengan kedua bola
mata terbeliak lebar.
Sementara Rangga sudah menarik
pedangnya, dan melompat ke belakang beberapa tindak. Dan Pedang Rajawali Sakti
segera dimasukkan kembali ke dalam warangka di punggung.
Pada saat itu, Dewi Cambuk Maut
sudah limbung. Dan sebentar kemudian, tubuhnya ambruk ke tanah tak bernyawa lagi.
Darah seketika menyembur dari dada yang tertembus pedang.
***
TUJUH
“Hhh...!” Rangga menghembuskan
napas panjang.
Sementara itu, Pandan Wangi sudah
berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti. Sejenak mereka memandangi mayat
Dewi Cambuk Maut yang tergeletak di depannya. Darah semakin banyak menggenang
dari luka tusukan pedang di dadanya. Kemudian, kedua pendekar muda ini saling
berpandangan.
Sedangkan di dalam gelanggang,
masih terdengar suara-suara pertarungan. Itu berarti pertarungan di dalam gelanggang
masih terus berlangsung sengit. Tapi, Rangga yakin kalau para prajurit Karang
Setra mampu menumpas gerombolan Raden Gordapala. Karena, mereka dibantu
Danupaksi, Cempaka, dan tiga orang pendekar muda putra Elang Maut
“Ayo, Pandan. Kita kejar Raden Gordapala,”
ajak Rangga.
“Ke mana...?” tanya Pandan Wangi.
Rangga yang baru saja melangkah
dua tindak, langsung berhenti mendengar pertanyaan si Kipas Maut itu. Tubuhnya
berbalik memutar dan langsung menatap Pandan Wangi yang masih berdiri
memandanginya.
“Maaf, Kakang. Tidak seharusnya
aku bertanya seperti itu,” ucap Pandan Wangi baru menyadari.
“Tidak. Kau benar, Pandan. Saat
ini Raden Gordapala mungkin sudah jauh. Dan lagi kita memang tidak tahu, ke
mana harus mengejarnya,” kata Rangga juga baru menyadari.
Pertanyaan Pandan Wangi tadi
seakan-akan membangunkan mimpi buruknya. Sungguh Rangga tidak sadar kalau
hatinya sudah dikuasai nafsu amarah dan duniawi. Kini baru disadari, tidak
sepatutnya seorang pendekar bertindak seperti ini, walau dalam keadaan marah
sekalipun. Dia harus dapat mengendalikan diri agar tidak terpancing amarahnya.
Pada saat itu muncul Danupaksi
dan seorang laki-laki setengah baya berpakaian panglima perang Kerajaan Karang
Setra. Mereka langsung menghampiri Rangga dan Pandan Wangi yang sudah berpaling
memandanginya. Laki-laki separuh baya yang mengenakan pakaian panglima perang
itu, segera membungkukkan tubuh memberi penghormatan pada Rangga. Sedangkan
Rangga sendiri hanya membalas dengan membungkukkan tubuhnya sedikit saja.
“Rupanya kau yang memimpin
prajurit, Panglima Rakatala,” ujar Rangga lebih dahulu membuka suara.
“Benar, Gusti Prabu. Ampunkan
hamba yang telah bertindak di luar perintah,” sahut Panglima Rakatala.
“Kau bertindak cepat dan tepat
pada waktunya, Panglima Rakatala,” kata Rangga, sama sekali tidak marah ataupun
tersinggung atas tindakan yang dilakukan panglima perangnya ini. “Aku justru
berterima kasih padamu.”
“Hamba, Gusti Prabu.”
Panglima Rakatala membungkukkan
tubuh menerima pujian dan ucapan terima kasih dari Pendekar Rajawali Sakti yang
juga rajanya di Kerajaan Karang Setra.
“Tapi, bagaimana kau bisa tahu
kalau kami semua ada di sini, Panglima,” tanya Rangga.
“Ampunkan hamba, Gusti Prabu.
Secara diam-diam hamba memang mengikuti, dan menyebar telik sandi untuk terus
mengawasi ke mana saja Gusti Prabu dan rombongan pergi. Hal ini hamba lakukan
atas perintah langsung dari Gusti Danupaksi,” sahut Panglima Rakatala.
Rangga langsung menatap Danupaksi
yang berdiri di samping Panglima Rakatala. Danupaksi cepat-cepat membungkukkan
tubuh seraya merapatkan kedua tangan di depan hidung.
“Kenapa kau lakukan itu,
Danupaksi?” tanya Rangga meminta penjelasan.
“Maaf, Kakang Prabu. Hamba hanya
merasa kalau lawan yang dihadapi sangat licik dan berbahaya. Itu sebabnya,
kenapa hamba memerintahkan para telik sandi untuk tetap mengawasi. Dan juga
memerintahkan Paman Panglima Rakatala mengikuti dari jarak yang cukup jauh.
Hamba hanya berjaga-jaga dari segala kemungkinan, Kakang Prabu,” sahut
Danupaksi menjelaskan dengan sikap seperti layaknya seorang adik raja.
“Aku tidak menyalahkan
tindakanmu, Danupaksi. Tapi apakah sudah kau pikirkan keamanan di kotaraja
sendiri? Bukankah dengan begitu jumlah prajurit yang ada jadi berkurang,” kata
Rangga lagi.
“Hamba sudah pikirkan semua itu,
Kakang Prabu. Dan jika terjadi sesuatu, maka seorang telik sandi akan datang
memberi tahu. Atau, mereka akan memberi tanda dengan asap merah ke udara,”
sahut Danupaksi menjelaskan lagi. “Terlebih lagi jika Raden Gordapala dan
orang-orangnya datang ke kotaraja, Kanda Prabu. Kita semua pasti bisa cepat
mengetahui. Bahkan sebelum mereka sampai di gerbang kota.”
Rangga tersenyum sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Dalam hati, Pendekar Rajawali Sakti begitu kagum
dan bangga akan sikap dan tindakan adik tirinya ini. Sungguh suatu sikap dan
tindakan yang patut mendapat pujian serta penghargaan, sebagai seorang abdi
yang begitu setia dan berpikiran luas. Danupaksi mampu mengambil tindakan yang
tepat, tanpa harus mempertaruhkan banyak korban sia-sia.
“Panglima Rakatala....”
“Hamba, Gusti Prabu,” sahut
Panglima Rakatala cepat memberi hormat.
“Selesaikan urusan di sini
segera, lalu secepatnya bawa pulang prajurit ke kotaraja. Aku tidak ingin
mereka yang di sana kehilangan pemimpin sepertimu,” perintah Rangga.
“Segera hamba laksanakan, Gusti
Prabu,” sahut Panglima Rakatala.
Setelah memberi penghormatan,
Panglima Rakatala bergegas masuk kembali ke dalam gelanggang pertarungan. Masih
terdengar teriakan-teriakan pertempuran, dan jeritan-jeritan melengking tinggi
mengiringi kematian yang diwarnai denting senjata beradu. Setelah Panglima
Rakatala tidak terlihat lagi, Rangga menghampiri Danupaksi. Langsung ditepuk-tepuknya
pundak adik tirinya ini dengan lembut dan senyum terulas di bibir.
***
Rangga memacu kudanya
perlahan-lahan sambil mengarahkan pandangan ke depan. Sementara Pandan Wangi
yang berkuda di samping Pendekar Rajawali Sakti, seringkali mencuri pandang ke
wajah tampan di sampingnya. Tapi bukan ketampanan wajah Rangga yang
diperhatikan, melainkan raut wajah yang tampak muram itu yang menjadi
perhatiannya.
Memang, sejak meninggalkan Puncak
Gunung Tangkup, Rangga lebih banyak diam dan muram. Wajahnya benar-benar
terselimut mendung yang begitu tebal. Pandan Wangi tahu, kemuraman Pendekar
Rajawali Sakti karena telah gagal memburu Raden Gordapala. Mereka hanya
berhasil menumpas para pengikutnya, ditambah satu orang pembantu utama Jago
dari Alam Kubur itu. Memang tinggal mereka berdua saja yang terakhir
meninggalkan Puncak Gunung Tangkup.
Sedangkan Danupaksi, Cempaka dan
ketiga pendekar muda putra Elang Maut, bergabung dengan para prajurit yang
dipimpin Panglima Rakatala kembali ke Kotaraja Kerajaan Karang Setra. Dan
mereka semua nanti akan berkumpul di Balai Sema Agung Istana Karang Setra.
Tapi, tampaknya Rangga sama sekali tidak bergairah untuk kembali ke istana,
sebelum berhasil me-numpas Raden Gordapala yang menjadi ancaman berbahaya bagi
keutuhan Kerajaan Karang Setra.
“Pandan! Apa kau bisa perkirakan,
di mana Raden Gordapala berada sekarang ini?” tanya Rangga perlahan seraya
berpaling menatap gadis cantik yang berkuda di sebelahnya.
“Sulit, Kakang,” sahut Pandan
Wangi. “Tapi aku yakin, sekarang ini Raden Gordapala pasti sedang merencanakan
untuk menyerang Karang Setra. Dan mungkin tidak jauh dari kotaraja.”
“Seluruh pengikutnya sudah habis.
Jadi, hanya tinggal tiga orang lagi yang mendampinginya. Rasanya tidak mungkin
dia bisa menyerang Karang Setra, Pandan,” kata Rangga, membantah perkiraan
Pandan Wangi.
“Kemungkinan juga, dia
melakukannya sedikit-sedikit, Kakang.”
“Itu yang menjadi beban pikiranku
saat ini. Kalau dia bertindak seperti tikus, sangat sulit bagi kita untuk bisa
mendapatkannya. Sedangkan dia begitu tangguh, dan sukar dibinasakan. Kecuali,
bila kita bisa mendapatkan rahasia kelemahannya,” kata Rangga lagi.
“Yang pasti, kematiannya ada pada
kedelapan pisau emas itu, Kakang,” kata Pandan Wangi.
“Memang benar. Tapi, tidak mudah
untuk memusnahkannya, Pandan. Sudah dua orang ahli pembuat emas yang kuminta
melebur pisau itu, tapi mereka semua tewas saat mengerjakannya. Pisau itu
seperti bernyawa,” sahut Rangga, masih tetap pelan suaranya.
“Kenapa kita tidak tanyakan saja
pada Banara dan adik-adiknya, Kakang?” usul Pandan Wangi.
“Percuma saja, Pandan. Mereka
juga tidak tahu kelemahan Raden Gordapala. Aku sudah tanyakan hal itu pada
Banara, dan dia sendiri belum mengetahui rahasianya,” sahut Rangga.
“Hm… Kalau begitu, harus mencari
orang yang mengetahui tentang Jago dari Alam Kubur itu, Kakang,” gumam Pandan
Wangi.
Rangga menggeleng-gelengkan
kepala mendengar gumaman Pandan Wangi yang begitu perlahan seperti bisikan.
“Kau tahu, Pandan? Lebih dari
seratus tahun lalu, Raden Gordapala sudah ada. Dan hingga sekarang, dia masih
bisa muncul dalam bentuk tubuh yang tegap dan muda. Rasanya tidak ada lagi
orang yang mengetahui rahasianya. Kalaupun ada, pasti sudah lama meninggal,” bantah
Rangga.
Pandan Wangi jadi terdiam. Memang
tidak mudah memecahkan rahasia kelemahan Raden Gordapala. Kedua pendekar muda
itu jadi terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tapi, tiba-tiba saja
Rangga menghentikan laju kudanya. Sedangkan Pandan Wangi segera mengikuti,
menarik tali kekang kudanya hingga berhenti.
“Kau pergi dulu ke istana,
Pandan. Ada sesuatu yang akan kukerjakan sendirian,” kata Rangga.
“Apa yang akan kau lakukan,
Kakang?” tanya Pandan Wangi.
“Aku ada jalan yang baik untuk
memecahkan rahasia Raden Gordapala, Pandan. Tapi sayang, aku tidak bisa
mengajakmu,” jelas Rangga lagi.
“Kenapa...?”
“Aku tidak bisa menjelaskannya,
Pandan. Dan sebaiknya tidak perlu bertanya alasannya. Maaf...,” tegas Rangga.
Pandan Wangi mengangkat bahunya
sedikit. Dia tahu, bila Rangga sudah berkata seperti itu, tidak mungkin bisa
didesak lagi. Setelah memandangi Pendekar Rajawali Sakti beberapa saat, Pandan
Wangi kemudian memacu cepat kudanya menuju Kotaraja Karang Setra. Sedangkan
Rangga masih tetap berada di punggung kuda, kemudian baru melompat turun
setelah kuda yang ditunggangi Pandan Wangi tidak terlihat lagi.
“Kau juga kembali ke istana, Dewa
Bayu,” kata Rangga sambil menepuk punggung kuda hitam itu.
Tanpa diminta dua kali, kuda
hitam yang bernama Dewa Bayu itu langsung berlari kencang menuju arah yang sama
dengan Pandan Wangi. Sebentar Rangga memandangi, kemudian mendongakkan kepala
ke atas.
“Hanya Eyang Guru Pendekar
Rajawali yang bisa mengetahui kelemahan Raden Gordapala. Hm.... Aku harus
bertanya padanya,” gumam Rangga perlahan.
Sebentar Rangga menarik napas
dalam-dalam. Lalu....
“Suiiit..!”
Siulan panjang melengking bernada
aneh terdengar menggema ke segala penjuru mata angin. Rangga masih berdiri
tegak dengan kepala mendongak memandang langit. Beberapa saat dia menunggu,
kemudian bibirnya tersenyum begitu melihat satu titik melayang di angkasa. Dan
perlahan-lahan, titik itu semakin membesar. Lalu, terlihat seekor burung
rajawali raksasa berbulu putih keperakan tengah melayang cepat bagai kilat ke
arah Pendekar Rajawali Sakti.
“Khraaagkh...!”
“Cepat ke sini, Rajawali...!”
seru Rangga seraya melambaikan tangan.
“Khraaagkh!”
Manis sekali burung rajawali
raksasa itu mendarat tidak jauh dari Rangga. Dan pemuda berbaju rompi putih itu
bergegas menghampiri, lalu melompat naik ke punggung Rajawali Putih.
“Antarkan aku ke Lembah Bangkai,
Rajawali. Ada yang ingin kutanyakan pada Eyang Guru,” pinta Rangga.
“Khraaagkh...!”
“Iya, nanti akan kukatakan juga
padamu di perjalanan. “
“Khragkh!”
Sekali kepak saja, Rajawali Putih
cepat membumbung tinggi ke angkasa. Lalu, burung raksasa itu melesat cepat
bagai kilat membawa Rangga yang berada di punggungnya. Memang sungguh luar biasa
kecepatan terbang burung raksasa itu. Sehingga, tidak mudah diikuti pandangan
mata biasa. Dalam waktu sekejapan mata saja, burung rajawali raksasa itu sudah
tidak terlihat lagi, menghilang di balik awan.
***
Rangga duduk bersila di depan
seorang laki-laki yang sebenarnya telah berusia lanjut namun wajahnya masih
muda dan tampan, semuda dan setampan Pendekar Rajawali Sakti. Laki-laki
berjubah putih itu berdiri mengambang di atas lubang makam bercungkup. Di
belakang Pendekar Rajawali Sakti, terlihat seekor burung rajawali raksasa
mendekam dengan kepala sedikit tertunduk. Laki-laki itulah yang dianggap Rangga
sebagai gurunya. Dialah Pendekar Rajawali yang hidup lebih dari seratus tahun
lalu.
Di depan gurunya ini, Rangga
menceritakan semua yang telah terjadi di Kerajaan Karang Setra. Juga
ditunjukkannya kedelapan pisau emas, di mana yang tujuh bilah diambil dari
dalam tubuh Raden Gordapala. Tak ada yang dikurangi atau dilebihkan. Rangga
menceritakan seluruh kejadian dari awal hingga akhir secara lengkap. Sampai
Rangga selesai bercerita, Pendekar Rajawali masih tetap diam memandangi
muridnya.
“Jadi kau tidak bisa
melenyapkannya, Anakku?” tanya Pendekar Rajawali setelah cukup lama berdiam
diri.
“Benar, Eyang,” sahut Rangga
seraya memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
Pendekar Rajawali
mengangguk-anggukkan kepala.
“Aku tahu, memang sulit
melenyapkan Raden Gordapala. Dia memang sudah hidup ratusan tahun yang lalu di
dunia ini. Bahkan sebelum aku lahir lebih dari seratus tahun lalu pun, sudah
ada. Hhh...! Sayang sekali! Selama aku hidup dulu, belum pernah sekali pun
bertemu dengannya. Hingga akhirnya, aku menyendiri di sini dan meninggal,”
jelas Pendekar Rajawali.
“Jadi, Eyang sendiri juga tidak
tahu rahasianya?” tanya Rangga.
Pendekar Rajawali tersenyum, lalu
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Dulu, aku pernah berhadapan
dengan orang seperti itu. Tapi bukan Raden Gordapala. Dia juga menggunakan
sebuah benda untuk kehidupan dan kesempurnaan ilmunya. Rasanya, pengalamanku
tidak jauh berbeda denganmu. Beruntunglah kau bisa mengambil benda kehidupan
dan kesempurnaan ilmunya, Anakku. Itu sudah suatu langkah yang baik untuk
melenyapkan selama-lamanya. Dan berarti, tidak sulit lagi bagimu untuk
membunuhnya, Anakku. Karena, dia tidak lagi memiliki kekuatan yang bisa
diandalkan untuk hidup kembali. Semua kekuatannya kini telah kau miliki,” jelas
Pendekar Rajawali lagi.
“Oh.... Jadi, sebenarnya rahasia
kekuatannya tertumpu pada kedelapan pisau emas ini?”
“Benar. Tanpa benda-benda itu,
dia tidak memiliki kekuatan sama sekali. “
“Lalu, bagaimana dengan kuda
ajaibnya? Kuda tunggangannya itu bisa mengeluarkan api dari mulutnya, Eyang,”
kata Rangga lagi.
“Kuda itu akan musnah jika Raden
Gordapala sendiri sudah mati. Memang, kuda itu adalah satu bagian dari dirinya.
Bahkan kuda itu juga salah satu kekuatannya. Tapi kau tidak perlu
memikirkannya. Binatang siluman itu akan musnah dengan sendirinya kalau kau
bisa membunuh penunggangnya. Tapi jangan khawatir, Anakku. Rajawali Putih tahu
apa yang harus dilakukan, untuk memudahkan kau menghadapinya nanti. Biarkan
Rajawali Putih yang akan membereskannya. “
“Baik, Eyang. Terima kasih,” ucap
Rangga.
“Tapi ingat kau tidak akan bisa
membunuh Raden Gordapala dengan Pedang Pusaka Rajawali Sakti,” kata Pendekar
Rajawali.
“Kenapa...?”
“Kau pernah menggunakan padanya,
bukan...?”
Rangga mengangguk.
“Jika saat itu kau langsung
menghunjamkan sepotong besi biasa saja ke dadanya, dia pasti tidak akan bisa
bangkit lagi. Itulah pengalaman yang pernah kudapat. Dan bangkitnya Jago dari
Alam Kubur itu, mungkin karena kekuatan yang ada pada pedang pusakamu terserap
ke dalam tubuhnya. Biasanya, siluman macam itu memang bisa menyerap kekuatan
benda-benda pusaka. Itu sebabnya, kenapa dia tidak pernah mau berhadapan dengan
orang biasa yang menggunakan senjata dari bahan biasa. Tidak heran bila dia
lebih senang berhadapan dengan orang-orang berkepandaian tinggi, yang memiliki
senjata pusaka berkekuatan tinggi pula. Karena, semakin banyak tubuhnya
menerima hunjaman senjata pusaka berkekuatan tinggi, semakin besar pula
kekuatan senjata itu terserap ke dalam tubuhnya,” lagi-lagi Pendekar Rajawali
menjelaskan.
“Jadi, aku harus menghadapinya
dengan pedang biasa, Eyang?”
“Benar. Karena ibarat api dengan
air, salah satu akan terkalahkan. Jika api dilawan oleh api, akan bertambah
besar. Begitu pula jika air dilawan air, yang akan menimbulkan malapetaka.
Maka, api itu harus dihadapi dengar air untuk memadamkannya. Kau mengerti
maksudku, Rangga?”
“Mengerti, Eyang.”
“Bagus.”
“Wejangan ini akan berharga
sekali, Eyang. Aku akan menggunakannya nanti.”
“Aku rasa sudah cukup, Rangga.
Pergilah secepatnya, sebelum dia benar-benar menghancurkan kerajaanmu. “
“Pamit, Eyang.”
Rangga merapatkan kedua telapak
tangan di depan hidung. Pada saat itu, asap putih tipis mengepul menyelubungi
seluruh tubuh Pendekar Rajawali. Dan perlahan-lahan, tubuh laki-laki berjubah
putih itu menghilang. Sementara gumpalan asap putih itu merembes masuk ke dalam
lubang kuburan yang menganga lebar. Lalu perlahan-lahan, lubang kuburan itu
bergerak merapat.
Rangga kembali merapatkan kedua
telapak tangan di depan hidung, setelah kuburan gurunya kembali seperti semula.
Kemudian, dia bergegas berdiri. Lalu diambilnya pisau-pisau emas yang
tergeletak di tanah.
“Tinggalkan benda-benda itu di
sini, Rangga...!” terdengar suara lembut menggema.
“Baik, Eyang,” sahut Rangga
langsung mengetahui kalau itu suara gurunya.
Rangga kemudian meletakkan
pisau-pisau emas berjumlah delapan itu di sisi makam gurunya. Kemudian, cepat
dihampirinya Rajawali Putih yang sudah berdiri menunggu. Dengan gerakan ringan
sekali, Rangga melompat naik ke punggung burung rajawali raksasa itu.
“Langsung ke Karang Setra,
Rajawali,” ujar Rangga seraya menepuk leher Rajawali Putih.
“Khraaagkh...!”
Wusss...!
***
DELAPAN
Rangga melompat turun begitu
Rajawali Putih mendarat tidak jauh dari perbatasan sebelah Utara Kotaraja
Karang Setra. Tapi baru saja Pendekar Rajawali Sakti hendak berbicara dengan
burung rajawali raksasa itu, tiba-tiba saja jadi tersentak ketika mendengar
suara-suara ribut dari sebuah pertarungan. Dan suara itu ternyata datangnya
dari gerbang perbatasan Utara kotaraja.
“Edan...! Mereka benar-benar
sudah bertindak...!” desis Rangga tidak menyangka.
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat cepat. Dia berlari kencang
mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan.
Pada saat yang sama, Rajawali Putih juga melesat tinggi ke angkasa. Tapi burung
rajawali raksasa itu tidak kembali ke Lembah Bangkai, melainkan meluncur ke
arah perbatasan kotaraja. Diikutinya Rangga yang terus berlari kencang
mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang telah sempurna.
Begitu cepatnya Rangga berlari,
sehingga dalam waktu singkat saja sudah sampai di perbatasan Utara Kotaraja
Karang Setra. Dan apa yang didengar Rangga, memang benar. Para prajurit Karang
Setra tengah bertempur melawan empat orang tokoh persilatan yang selama ini
menjadi beban pikiran Pendekar Rajawali Sakti.
Tepat saat Rangga muncul, dari
arah kotaraja juga datang Danupaksi, Cempaka, Pandan Wangi, dan tiga orang
putra Elang Maut yang disertai para panglima perang Kerajaan Karang Setra.
Mereka semua langsung terjun ke dalam kancah pertempuran. Bahkan Danupaksi
justru malah memerintahkan para prajurit menyingkir dari kancah pertarungan.
“Ha ha ha...! Ternyata kalian
semua berkumpul di sini. Bagus...! Aku bisa menghancurkan kalian tanpa
susah-susah!” Raden Gordapala tertawa terbahak-bahak.
“Aku yang akan menghancurkanmu,
Raden Gordapala!” sambut Rangga lantang.
“Pendekar Rajawali Sakti...,”
desis Raden Gordapala begitu melihat Rangga tahu-tahu sudah ada di tempat ini
juga.
Cepat-cepat tokoh siluman itu
melompat turun dari punggung kudanya. Sementara itu, Danupaksi, Cempaka, dan
Pandan Wangi serta ketiga putra Elang Maut sudah menghadang Iblis Tongkat Merah
dan Dewi Naga Kembar. Tempat pertarungan kini sudah terkurung rapat oleh para
prajurit dan Panglima Kerajaan Karang Setra.
“Mampus kau, Keparat!
Hiyaaat...!”
Cepat sekali Raden Gordapala
melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti yang sejak tadi sudah siap
menghadapinya. Dan begitu Raden Gordapala menyerang, cepat sekali pemuda
berbaju rompi putih itu menghentakkan kedua tangannya ke depan. Lalu, dengan
cepat kedua tangannya ditarik kembali. Langsung dilepaskannya satu pukulan
keras bertenaga dalam tinggi dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Rangga mengerahkan jurus itu pada
tingkat yang terakhir, sehingga kedua kepalan tangannya berwarna merah membara
seperti besi terbakar dalam tungku. Raden Gordapala terkejut melihat jurus
dahsyat Pendekar Rajawali Sakti itu, tapi serangannya sudah tidak bisa ditarik
lagi. Sehingga....
Plak!
Glarrr...!
Satu ledakan menggelegar
terdengar dahsyat membelah angkasa begitu pukulan yang dilepaskan Raden
Gordapala beradu dengan pukulan Pendekar Rajawali Sakti. Tampak si Jago dari
Alam Kubur itu terpental deras ke belakang sambil menjerit melengking tinggi.
Sedangkan Rangga sendiri hanya terdorong dua langkah saja ke belakang.
“Hiyaaa...!”
Pendekar Rajawali Sakti langsung
melesat cepat menerjang Raden Gordapala yang tengah terhuyung-huyung menguasai
keseimbangan tubuhnya. Maka serangan Rangga yang begitu cepat, tidak dapat
dielakkan lagi.
Desss!
“Aaakh...!
Satu pukulan yang dilepaskan
Rangga dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' berhasil mendarat telak di dada
Jago dari Alam Kubur itu. Begitu kerasnya pukulan itu, sehingga membuat Raden
Gordapala terpental jauh ke belakang. Lalu, keras sekali tubuhnya terbanting ke
tanah, dan bergulingan beberapa kali.
“Hup!”
Raden Gordapala cepat bangkit
berdiri, dan membuat beberapa gerakan. Dia menggereng kuat dan dahsyat sekali.
Kedua bola matanya memerah, bagai sepasang bola api membara, menyimpan
kemarahan yang amat sangat Sementara Rangga sudah mulai bersiap kembali
menggunakan jurus lain. Pendekar Rajawali Sakti melirik ke kanan dan ke kiri.
Seketika terngiang lagi kata-kata wejangan gurunya.
“Hm...,” sebentar Rangga
menggumam. Lalu....
“Hup!”
Begitu cepatnya Pendekar Rajawali
Sakti melompat dan menyambar sebilah pedang yang tergenggam di tangan seorang
prajurit. Tahu-tahu, Rangga sudah kembali berdiri tegak sekitar enam langkah di
depan Raden Gordapala. Pedang dari bahan biasa yang tergenggam di tangan Rangga,
membuat Jago dari Alam Kubur itu menggereng geram.
“Ghrrr...! Yeaaah...!”
“Hup! Hiyaaa...!”
Pertarungan yang terjadi antara
Pendekar Rajawali Sakti melawan Jago dari Alam Kubur berlangsung begitu sengit
dan dahsyat. Jurus demi jurus berlalu cepat. Pertarungan yang begitu dahsyat
dan indah, membuat semua orang yang ada di sekitar pertarungan jadi ternganga
takjub menyaksikannya.
Bahkan Danupaksi, Cempaka, Pandan
Wangi, dan tiga putra Elang Maut yang sudah berhadapan dengan Iblis Tongkat
Merah dan Dewi Naga Kembar, jadi terkesan dengan pertarungan itu. Mereka
seperti lupa, dan berhenti bertarung. Kini, mereka telah menyaksikan
pertarungan dua tokoh tingkat tinggi itu tanpa berkedip.
Entah sudah berapa jurus berlalu,
tapi pertarungan itu masih terus berlangsung semakin sengit. Serangan Rangga
tidak berubah, terus menggunakan rangkaian lima jurus rajawali yang
digabung-gabungkan antara satu dengan lain. Sehingga, jurus itu menjadi puluhan
jurus yang dahsyat dan sukar ditandingi. Dan ini membuat Raden Gordapala
semakin bertambah kelabakan saja.
Beberapa kali Raden Gordapala
harus menerima pukulan maupun tendangan Rangga yang selalu disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi. Tapi, Jago dari Alam Kubur itu memang benar-benar tangguh.
Semua pukulan dan tendangan yang bersarang di tubuhnya tidak menjadikannya
gentar. Hanya saja, dia selalu menghindari pedang yang berada di dalam
genggaman tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan hal ini membuat Rangga merasa
kesulitan untuk membabatkan pedangnya ke tubuh pemuda yang berjuluk Jago dari
Alam Kubur itu.
“Akan kugunakan jurus 'Pedang
Pemecah Sukma'...,” dengus Rangga dalam hati. “Hiyaaat...!”
Cepat sekali Pendekar Rajawali
Sakti merubah jurusnya. Dan kini, seluruh kekuatannya dipusatkan pada pedang
yang diambil dari salah seorang prajurit Karang Setra. Gerakan-gerakan yang
dilakukan Rangga begitu cepat dan luar biasa. Pedangnya berkelebat bagai kilat,
mengurung setiap jengkal ruang gerak Raden Gordapala.
“Awas kepala...!” seru Rangga
tiba-tiba, begitu keras.
Wuk!
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali
Sakti mengecutkan pedang ke arah kepala Raden Gordapala. Sesaat Jago dari Alam
Kubur itu terperangah, lalu cepat-cepat merundukkan kepalanya. Sehingga,
tebasan pedang Rangga lewat sedikit di atas kepala Jago dari Alam Kubur itu.
Tapi tanpa diduga sama sekali,
Rangga memutar tubuhnya sambil melayangkan satu tendangan berputar yang begitu
cepat dan luar biasa. Dan ini tidak bisa lagi dihindari Raden Gordapala. Sama
sekali tidak disangka kalau Rangga bisa melakukan dua serangan beruntun begitu
cepat, di saat serangan pertamanya belum lagi berakhir.
Desss!
“Akh...!” Raden Gordapala
menjerit keras.
Tendangan Rangga tepat mendarat
di dada Jago dari Alam Kubur itu. Seketika tubuhnya terhuyung-huyung ke
belakang sambil mendekap dadanya yang terkena tendangan keras bertenaga dalam
tinggi itu. Pada saat itu juga, Rangga sudah melompat cepat sambil mengecutkan
pedang yang diambil dari seorang prajurit Karang Setra.
“Hiyaaat..!”
Bet!
“Uts!”
Raden Gordapala berusaha
menghindar dengan menarik-tubuhnya ke kanan. Namun sungguh di luar perhitungan,
ujung pedang itu bergetar hebat dan meliuk begitu cepat ke arah gerakan tubuh
Jago dari Alam Kubur itu. Hingga akhirnya....
Crab!
“Akh...!” Raden Gordapala
menjerit tertahan.
Pedang itu berhasil merobek bahu
kanan Raden Gordapala. Darah seketika mengucur deras dari bahu yang sobek cukup
lebar. Kembali Raden Gordapala terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap
bahunya yang berlumuran darah.
“Saatmu sudah tiba, Raden
Gordapala...!” desis Rangga agak menggeram.
“Huh!” Raden Gordapala mendengus
berat
“Terimalah kematianmu!
Hiyaaat..!”
Rangga langsung melompat dengan
ujung pedang tertuju lurus ke depan. Maka Raden Gordapala cepat-cepat
melentingkan tubuh ke udara. Sehingga, hunjaman pedang Pendekar Rajawali Sakti
tidak mengenai sasaran. Dan pada saat itu pula, terdengar ringkikan seekor kuda
yang begitu keras menyakitkan telinga.
Tiba-tiba saja, seekor kuda hitam
melompat cepat menerjang Rangga yang tengah meluncur deras di atas tanah.
Begitu cepatnya serangan binatang itu, sehingga Rangga tidak bisa lagi
menghindar.
Plakkk!
“Akh...!” Rangga terpekik agak
tertahan.
Depakan kaki kuda hitam itu
membuat tubuh Pendekar Rajawali Sakti terguling beberapa kali di tanah. Dan
begitu Rangga melompat bangkit, kuda hitam itu menyemburkan api dari mulutnya.
Maka cepat-cepat tubuhnya dibanting ke tanah dan bergelimpangan beberapa kali.
Secepat itu pula Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri sambil menyilangkan
pedang di depan dada.
“Khraaagkh...!”
Semua orang yang ada di
perbatasan Utara Kotaraja Kerajaan Karang Setra jadi terperangah begitu tiba-tiba
saja terdengar suara keras meng-gelegar dari angkasa. Dan sebelum mereka bisa
terbebas dari rasa terkejutnya, mendadak saja dari angkasa meluncur seekor
burung rajawali raksasa.
“Khraaagkh...!”
Rajawali Putih yang memang sejak
tadi memperhatikan pertarungan dari angkasa, langsung saja meluruk menyerang
begitu melihat Rangga mendapat serangan dari kuda aneh yang bisa menyemburkan
api dari mulut itu. Begitu cepat serangan yang dilakukan Rajawali Putih,
sehingga kuda hitam bernama Jaran Geni itu tidak dapat lagi menyadari. Dan
tahu-tahu, Rajawali Putih sudah mendaratkan paruhnya di punggung kuda hitam
itu.
Keras sekali Rajawali Putih
menghajar punggung, sehingga Jaran Geni meringkik keras dengan semburan api
dari mulutnya. Seketika darah mengucur dari punggung Jaran Geni yang berlubang.
Dan sebelum ada yang sempat menyadari, Rajawali Putih sudah menyambar leher
kuda itu dengan cakar-cakarnya yang kuat dan besar. Burung raksasa itu langsung
melesat ke angkasa, sedangkan Jaran Geni mencoba bertahan. Tapi justru
kepalanya malah tidak bisa dipertahankan lagi. Maka seketika itu juga kepalanya
buntung. Kuda hitam itu menggelepar di tanah dengan kepala terpisah dari leher.
Darah berhamburan ke segala arah. Sementara dari atas, kepala kuda hitam itu
melayang turun, dan jatuh bergelimpangan tidak jauh di depan kaki Raden
Gordapala.
“Setan keparat..!” geram Raden
Gordapala. Matanya langsung terbeliak lebar melihat kuda kesayangan dan belahan
jiwanya tewas oleh seekor burung rajawali raksasa yang tiba-tiba saja muncul
dari angkasa.
Raden Gordapala seketika
menggeletar tubuhnya. Memang, seketika itu juga sebagian dari jiwa kehidupannya
terasa telah lenyap, bersamaan dengan tewasnya Jaran Geni. Disadari kalau
dirinya tidak akan mungkin lagi bisa hidup jika sampai terbunuh kali ini.
Terlebih lagi, tampaknya Rangga memang sudah mengetahui kelemahan kehidupannya.
Dan itu bisa diketahuinya dari cara Rangga yang menggunakan pedang biasa, bukan
pedang pusaka miliknya sendiri. Memang, justru senjata yang tidak memiliki kekuatan,
dan terbuat dari bahan biasa yang menjadi pangkal kematiannya.
“Setan...! Aku harus pergi dari
sini...,” dengus Raden Gordapala langsung menyadari keadaan dirinya yang
terdesak.
Mendapat pikiran demikian, cepat
sekali Jago dari Alam Kubur itu melompat hendak kabur. Tapi Rangga yang memang
sudah sejak tadi terus memperhatikan, tidak akan melepaskan begitu saja. Dengan
cepat sekali dilemparkannya pedang yang berada dalam genggamannya, disertai
pengerahan seluruh kekuatan tenaga dalamnya yang sudah mencapai taraf
kesempurnaan.
“Hiyaaa...!”
Wusss...!
Jleb!
“Aaa...!”
Raden Gordapala langsung
terpental. Tubuhnya kontan terguling begitu pedang yang dilemparkan Rangga
menembus punggung, hingga ujungnya menyembul keluar dadanya. Hanya sebentar
saja Jago dari Alam Kubur itu menggelepar, kemudian diam tak bergerak-gerak
lagi. Rupanya rahasia yang diberikan Pendekar Rajawali kepada Pendekar Rajawali
Sakti tepat sekali. Dan itu memang dari pengalaman Pendekar Rajawali yang hidup
seratus tahun lalu, dalam menghadapi makhluk jenis ini.
Melihat junjungannya tewas, Iblis
Tongkat Merah dan Dewi Naga Kembar, langsung mengambil langkah seribu.
“Jangan dikejar...!” seru Rangga
melihat adik-adik tirinya dan Pandan Wangi hendak mengejar.
Tapi para prajurit Karang Setra
yang sudah begitu marah atas tindakan tokoh-tokoh sesat itu, langsung saja
melemparkan tombak dan melepaskan anak-anak panah ke arah mereka. Hunjaman
tombak dan anak panah yang meluncur cepat bagai hujan, membuat keinginan
tokoh-tokoh sesat itu untuk kabur jadi terhambat. Dan mereka jadi kerepotan
menghalau senjata-senjata yang menghujaninya.
“Mereka harus dibasmi, Kakang!”
seru Pandan Wangi. “Hiyaaat...!”
Cepat sekali Pandan Wangi melompat
sambil mengecutkan kipas mautnya ke arah Untari yang sedang sibuk menghalau
anak panah yang menghujani tubuhnya. Pada saat yang bersamaan, ketiga putra
Elang Maut, Danupaksi, dan Cempaka juga sudah berlompatan menyerang orang-orang
kepercayaan Raden Gordapala itu. Sedangkan Rangga sudah tidak bisa lagi
mencegah.
“Mampus kau! Hiyaaa...!”
Wukkk!
Cepat sekali kebutan kipas Pandan
Wangi, sehingga Untari tidak sempat lagi berkelit menghindar. Gadis itu
menjerit keras melengking tinggi begitu dadanya robek tersabet kipas baja putih
yang terkenal membawa hawa maut itu. Pada saat yang bersamaan, Cempaka juga
berhasil menyarangkan pedangnya ke tubuh Legini, dibarengi tebasan pedang
Sarala ke leher gadis itu.
Sedangkan Danupaksi masih
kerepotan menghadapi Iblis Tongkat Merah. Tapi begitu Banara dan Liliani ikut
membantu, Iblis Tongkat Merah tidak bisa lagi berbuat banyak. Terlebih lagi,
Cempaka dan Sarala segera berlompatan ikut menyerangnya. Tentu saja hal ini
membuat Iblis Tongkat Merah benar-benar kewalahan dikeroyok pendekar-pendekar
muda yang rata-rata berkepandaian tinggi. Hingga akhirnya....
“Mampus kau! Yeaaah...!”
Crab...!
Bres...!
Iblis Tongkat Merah tak mampu
lagi bersuara, begitu pedang para pendekar muda itu menghunjam tubuhnya. Dan
tokoh sesat itu langsung ambruk tak bernyawa lagi dengan tubuh berlumuran darah
tertembus beberapa pedang dari para pendekar muda ini.
Rangga yang menyaksikan itu semua
hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala saja. Pendekar Rajawali Sakti tahu,
mereka semua memang masih muda. Jelas, mereka tidak bisa mengendalikan nafsu
amarah yang meluap, melihat kekejaman Raden Gordapala dan orang-orangnya.
Terlebih lagi, mereka memang
begitu mendendam atas peristiwa yang dialami akibat jebakan Raden Gordapala di
perut Gunung Tangkup. Itulah rupanya yang membuat mereka tidak bisa lagi
mengendalikan amarah dan dendam. Para pendekar muda itu meng-hampiri Rangga
yang sudah didampingi Pandan Wangi.
“Jangan bicara apa-apa, nanti
saja di istana,” kata Rangga langsung, sebelum ada yang membuka suara.
Mereka semua jadi terdiam. Tapi,
Cempaka mendekati Pendekar Rajawali Sakti dan melingkarkan tangannya. Langsung
dipeluknya lengan pemuda berbaju rompi putih ini.
“Maaf. Kakang...,” ucap Cempaka
pelan sekali.
“Sudahlah.... Ayo, kembali saja
ke istana,” ujar Rangga
“Oh, ya. Apakah pisau-pisau emas
itu benar-benar sudah dilebur?” tanya Cempaka, karena takut kalau Raden
Gordapala hidup lagi. Memang, gadis ini paling ceriwis di antara yang lain,
terutama persoalan Raden Gordapala.
“Belum,” sahut Rangga enteng.
“Belum? Lalu...?” Cempaka tampak
begitu khawatir.
“Batangan emas yang kulempar
waktu itu memang bukan dari leburan pisau-pisau emas milik Raden Gordapala.
Tapi, ah! Sudahlah. Yang penting, Raden Gordapala tak akan bangkit lagi.
Percayalah!”
“Kau yakin!”
“Yakin sekali.”
Kemudian, mereka berjalan
beriringan menuju Istana Karang Setra yang megah dan indah itu.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA
PERANGKAP BERDARAH
Emoticon