JERIT dan pekik melengking terdengar begitu menyayat saling sambut, memecah kesunyian alam siang ini. Tampak asap hitam membumbung tinggi ke angkasa dari beberapa rumah yang terbakar. Teriakan-teriakan ketakutan yang dibarengi hentakan kaki kuda, berbaur menjadi satu. Sehingga membuat kekacauan di Desa Gronggong semakin menjadi-jadi.
Di antara orang-orang yang berlarian
sambil menjerit-jerit ketakutan, terlihat seekor kuda hitam mengamuk, mendepak
orang-orang di sekitarnya. Beberapa tubuh terlihat tergeletak berlumuran darah.
Ketakutan penduduk Desa Gronggong semakin menjadi-jadi. Kuda hitam itu
benar-benar seperti kesetanan, mengejar orang-orang yang berlarian ketakutan
menghindarinya.
Hieeegkh...!
Sambil meringkik keras, kuda hitam
itu mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi ke udara. Sementara, semua penduduk
Desa Gronggong terus berlarian mencari tempat aman agar terlindung dari amukan
kuda hitam yang seperti kesetanan itu. Hingga, tak ada seorang pun yang berada
dekat dengan kuda hitam itu. Binatang itu terus mendengus-dengus sambil
menghentak-hentakkan kaki depannya ke tanah. Kedua bola matanya tampak memerah,
bagai sepasang bola api yang siap membakar apa saja di dekatnya.
Sementara itu, di balik sebongkah
batu besar, tampak seorang laki-laki tua berjubah merah muda tengah
memperhatikan kuda hitam itu. Di belakangnya, terlihat empat orang pemuda
bersenjatakan golok terselip di pinggang masing-masing.
"Heran...? Dari mana datangnya
kuda setan itu?" desah laki-laki tua berjubah merah muda itu perlahan.
"Dia muncul tiba-tiba saja, Ki.
Bahkan langsung mengamuk," sahut salah seorang pemuda yang berada di
sebelah kanannya.
Sementara kuda hitam itu terus
meringkik-ringkik sambil mendengus, seakan-akan ingin menantang siapa saja yang
ada. Tapi, tak ada seorang pun yang berani lagi mendekati. Semua penduduk Desa
Gronggong sudah bersembunyi, tak berani menampakkan diri lagi. Hanya ada
sekitar sepuluh tubuh saja yang bergelimpangan tak bernyawa di dekat kuda hitam
itu. Sedangkan, sudah tiga rumah yang habis terbakar. Api masih berkobar,
disertai asap hitam yang mengepul ke angkasa.
"Hieeegkh...!"
Setelah memperdengarkan ringkikan
yang begitu keras menggetarkan, kuda hitam itu langsung berlari cepat meninggalkan
Desa Gronggong yang sudah begitu porak-poranda. Begitu cepatnya berlari,
sehingga seakan-akan kaki kuda itu tidak menapak tanah. Dan sebentar saja
binatang itu sudah menghilang di dalam lebatnya pepohonan di sebelah Timur Desa
Gronggong.
Setelah yakin kuda hitam itu tidak
muncul lagi, laki-laki tua berjubah merah muda baru keluar dari tempat
persembunyiannya. Dia diikuti empat pemuda yang mendampinginya. Saat itu, para
penduduk yang tadi bersembunyi juga sudah menampakkan diri. Jerit dan pekik ketakutan
tidak lagi terdengar. Kini, semuanya berganti gerung tangis dan rintihan
menyayat dari mereka yang keluarganya tewas akibat amukan kuda hitam yang aneh
itu tadi.
"Sukar dipercaya. Seekor kuda
mampu menghancurkan sebuah desa dalam waktu singkat...," desah laki-laki
tua berjubah merah muda itu perlahan.
Laki-laki tua itu mengedarkan
pandangannya ke sekeliling, merayapi keadaan Desa Gronggong yang porak-poranda
diamuk seekor kuda hitam. Memang, tidak kurang dari sepuluh orang tewas dengan
tubuh rusak terinjak-injak kaki kuda hitam tadi. Bahkan ada beberapa yang
kepalanya hancur tak berbentuk lagi.
"Kalian bantu mereka. Aku akan
melihat anak dan istriku dulu di rumah," ujar laki-laki tua berjubah merah
muda itu.
"Baik, Ki," sahut empat
pemuda di belakangnya serempak.
Laki-laki tua berjubah merah muda
itu bergegas melangkah cepat, tanpa seorang pun yang sempat memperhatikan.
Mereka semua sibuk membenahi rumah masing-masing yang berantakan diamuk kuda
hitam. Sedangkan empat anak muda yang menyandang golok di pinggang,
mengumpulkan mayat-mayat di sekitar jalan desa ini. Tak ada seorang pun yang
berpangku tangan. Semua sibuk membenahi desa yang hancur dalam sekejap, akibat
diamuk seekor kuda hitam yang seperti kesetanan.
Malam hari, Desa Gronggong begitu sunyi
senyap. Hanya beberapa orang saja yang masih terlihat berada di luar rumah.
Begitu sunyinya keadaan di desa itu, sehingga suara langkah kaki kuda yang
menuju ke desa itu terdengar begitu jelas. Orang-orang yang berada di luar
rumah, jadi saling berpandangan. Mereka bergegas masuk ke dalam rumah
masing-masing begitu terlihat tiga ekor kuda berjalan perlahan-lahan memasuki
desa itu. Lampu-lampu pelita yang menyala di setiap rumah, seketika dimatikan.
Hal ini membuat kening tiga orang penunggang kuda itu jadi berkerut.
"Kenapa tiba-tiba desa ini jadi
gelap, Kakang Banara...?" desis salah seorang penunggang kuda yang
ternyata seorang gadis cantik berbaju hijau.
Gadis itu menunggang seekor kuda
belang putih dan coklat yang tinggi gagah. Sedangkan dua orang lagi adalah
laki-laki muda berusia sekitar dua puluh lima tahun. Gadis itu memandang pemuda
yang mengenakan baju putih agak ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang tegap
dan berotot. Dan pemuda satunya lagi yang mengenakan baju warna biru, juga
memandang pemuda berbaju putih yang dipanggil Banara tadi.
"Sepertinya desa ini baru saja
terkena bencana," tebak pemuda bernama Banara itu. Suaranya terdengar
pelan, seperti menggumam, seakan-akan bicara pada diri sendiri.
"Coba perhatikan, Liliani...,
Sarala.... Tiga rumah seperti baru terbakar, dan di sana-sini tampak begitu
berantakan."
Gadis yang ternyata bernama Liliani,
dan pemuda berbaju biru yang bernama Sarala mengedarkan pandangan merayapi
keadaan desa yang gelap tanpa sedikit pun ada cahaya pelita menerangi. Memang,
keadaan Desa Gronggong ini masih tampak berantakan. Mereka semakin memperlambat
langkah kudanya. Begitu sunyi! Sehingga, langkah kaki kuda begitu jelas
terdengar, bercampur detak jantung mereka bertiga.
"Ada satu rumah yang memasang
pelita, Kakang," kata Liliani seraya menunjuk ke arah sebuah rumah yang
tampak paling besar di desa ini.
"Hm.... Coba kita ke
sana," ajak Banara.
Mereka kemudian menghentakkan tali
kekang kudanya agar berjalan lebih cepat menuju rumah yang masih diterangi
sebuah pelita di beranda depannya. Sedangkan sekelilingnya kelihatan gelap
gulita. Terlebih lagi, malam ini bulan seakan-akan enggan menampakkan diri,
terus bersembunyi di balik gumpalan awan yang agak tebal dan menghitam.
Ketiga anak muda itu menghentikan
kudanya setelah sampai di depan rumah berukuran cukup besar itu. Mereka
berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing. Gerakannya saat melompat
turun dari punggung kuda, kelihatan begitu ringan. Dari sini bisa dilihat kalau
kepandaian mereka tidak rendah. Mereka berdiri tegak di depan beranda rumah
yang pintunya tertutup rapat. Hanya sebuah pelita saja yang masih menerangi
beranda depan rumah itu. Sedangkan ba-gian dalam rumah, tampak begitu gelap.
Tak ada sebuah pelita pun yang menyala.
"Kalian tunggu di sini.
Mudah-mudahan penghuninya belum tidur," ujar Banara seraya melangkah
mendekati pintu rumah itu.
Banara berhenti tepat di depan
pintu. Sebentar ditatapnya Sarala dan Liliani yang menunggu di depan kuda
masing-masing. Banara mengetuk pintu itu perlahan, sambil mengucapkan salam
dengan suara agak keras. Tak ada sahutan sedikit pun dari dalam rumah ini.
Kembali diketuknya pintu sambil memberi salam.
"Siapa...?" terdengar
suara dari dalam.
"Kami, Ki. Kami pengembara yang
kemalaman," sahut Banara seraya melirik Liliani dan Sarala.
Banara melangkah mundur dua tindak
begitu telinganya mendengar suara langkah terseret mendekati pintu. Tak berapa
lama kemudian, pintu itu terkuak perlahan-lahan, Dari dalam, menyembul seorang
laki-laki tua berjubah merah muda. Sebatang tongkat kayu tampak tergenggam di
tangan kanan untuk menyangga tubuhnya yang tampak sudah renta.
Walaupun seluruh rambutnya sudah
memutih namun masih kelihatan gagah. Banara segera menjura memberi hormat.
Sedangkan laki-laki tua berjubah merah muda itu memperhatikan, namun sinar
matanya seperti curiga. Kemudian, ditatapnya dua orang lagi yang masih berdiri
di depan beranda rumah ini. Kedua anak muda itu menganggukkan kepala sedikit,
dan melangkah menghampiri.
"Kalian ini siapa?" tanya
laki-laki tua berjubah merah muda itu masih bernada curiga.
"Aku Banara. Dan mereka
adik-adikku. Sarala dan Liliani, namanya. Kami bertiga pengembara yang
kemalaman, dan kebetulan melewati desa ini," sahut Banara memperkenalkan
diri dan kedua adiknya.
"Aku Ki Lokan, kepala desa
ini," kata laki-laki tua berjubah merah itu juga memperkenalkan diri.
"Ada keperluan apa kalian ke desa ini?"
"Kami hanya meminta izin untuk
bermalam, Ki. Tapi tampaknya desa ini tidak memiliki penginapan. Bahkan tak ada
satu rumah pun yang menyalakan pelita. Kebetulan hanya rumah ini saja yang
masih memasang satu pelita. Jadi, kami memutuskan untuk ke sini, Ki,"
jelas Banara lagi, mewakili kedua adiknya.
"Ada dua rumah penginapan di
desa ini, tapi sudah tutup sejak siang tadi. Dan lagi, kami semua sekarang ini
tidak bisa menerima tamu, meskipun hanya satu malam saja. Maaf, bukannya aku
tidak sopan pada kalian. Tapi, keadaanlah yang memaksaku tidak mengizinkan
kalian bermalam di sini," tegas Ki Lokan, tapi masih bernada ramah.
"Kenapa, Ki...? Apakah ada yang
melarang pendatang masuk ke desa ini?" tanya Liliani jadi tidak mengerti
sikap Ki Lokan.
"Memang aku yang melarangnya.
Hal ini kulakukan untuk menjaga segala kemungkinan yang bakal terjadi. Kalian
pasti sudah melihat keadaan desa ini, bukan...?"
Banara dan kedua adiknya mengangguk.
Memang, keadaan Desa Gronggong ini membuat mereka sejak tadi bertanya-tanya
terus dalam hati. Tapi, mereka sudah menduga kalau desa ini baru saja tertimpa
musibah. Dugaan itu semakin menebal, saat melihat sikap Ki Lokan, Kepala Desa
Gronggong ini yang tidak mengizinkan mereka bermalam.
"Maaf, Ki. Kalau boleh tahu,
bencana apa yang terjadi di desa ini?" tanya Banara tidak bisa menahan
rasa keingintahuannya.
"Sore tadi, juga telah datang
dua orang pe-nunggang kuda seperti kalian. Dan mereka juga bertanya seperti
itu. Lalu, mereka langsung pergi ke arah Timur untuk mengejar kuda setan itu,
setelah semuanya kuceritakan. Apakah tujuan kalian juga sama dengan mereka
untuk mengejar kuda setan yang telah menghancurkan desa ini...?" tanya Ki
Lokan, pada akhirnya.
"Kuda setan...? Apa maksudnya,
Ki?" tanya Liliani sambil memandangi kedua kakaknya.
Ki Lokan memandangi Liliani dan
kedua kakaknya bergantian. Dia seakan-akan tidak percaya kalau ketiga anak muda
tamunya ini tidak tahu tentang kuda hitam yang siang tadi mengamuk di desa ini.
Sedangkan yang dipandangi masih tetap menunggu jawaban atas pertanyaan Liliani
tadi.
"Kalian benar-benar tidak tahu
tentang kuda setan itu?" Ki Lokan malah bertanya sambil merayapi wajah
ketiga tamunya.
Banara dan Liliani saling
berpandangan, kemudian menggelengkan kepala. Hanya Sarala saja yang tampak diam
memandangi Ki Lokan.
"Mari sini. Duduklah di
dalam," ujar Ki Lokan seraya membuka pintu rumahnya lebar-lebar.
Ketiga anak muda itu saling
berpandangan sejenak. Sementara, Ki Lokan sudah lebih dulu masuk ke dalam.
Laki-laki tua kepala desa itu menyalakan pelita yang tergantung di
tengah-tengah ruangan depan rumahnya. Cahaya lampu pelita segera menerangi
ruangan yang berukuran cukup besar ini. Banara dan kedua adiknya melangkah
masuk. Ki Lokan mempersilakan ketiga tamunya ini duduk di kursi yang melingkari
sebuah meja bundar beralaskan batu manner putih yang berkilat. Sedangkan pelita
yang menyala terang tergantung tepat di atas meja. Ki Lokan mengambil tempat
duduk di samping Banara.
"Tidak ada orang lagi di sini,
kecuali aku dan empat orang pembantuku. Semua anak dan istriku sudah diungsikan
ke rumah adikku yang cukup jauh dari sini, sampai keadaan desa ini tenang kembali,"
jelas Ki Lokan tanpa diminta.
"Hanya seekor kuda saja, mampu
membuat desa ini jadi kacau, Ki...?" tanya Liliani seperti tidak percaya.
"Itu bukan kuda sembarangan,
Nisanak. Dua orang yang sore tadi datang, mengatakan kalau kuda itu jelmaan
seseorang yang belum menginginkan kematiannya. Dan dia sedang menyempurnakan
kehidupannya kembali. Katanya lagi, kuda itu akan kembali menjadi seorang
manusia yang tangguh dan tak terkalahkan bila sudah bertemu pasangannya,"
jelas Ki Lokan, menceritakan tentang kuda hitam yang hampir menghancurkan Desa
Gronggong ini.
"Pasangannya itu seekor kuda
juga, Ki?" tanya Liliani seperti tertarik cerita kepala desa ini.
"Bukan. Tapi seseorang yang
sudah mati," sahut Ki Lokan.
"Maksudmu, Ki...?!" tanya
Banara jadi terkejut keningnya.
"Ya. Mereka mengatakan, orang
yang mati itu pasangannya. Juga, dia bisa kembali hidup jika bersatu lagi
dengan jasadnya pada waktu yang tepat. Itulah yang bisa mengembalikan kuda
setan itu kembali ke asalnya sebagai manusia tangguh berkepandaian tinggi.
Sayang, mereka tidak cerita lebih banyak lagi, karena langsung pergi setelah
aku menunjukkan arah kuda setan itu pergi," kata Ki Lokan lagi,
menjelaskan.
"Aneh.... Seseorang yang belum
mau mati, lalu menjelma menjadi seekor kuda liar. Hm..., seperti sebuah dongeng
saja," gumam Banara seperti bicara pada diri sendiri.
"Tapi, itulah kenyataannya.
Sepuluh orang warga desa ku tewas diinjak-injak. Kuda itu kuat sekali. Bahkan
tidak mempan senjata. Dari mulutnya juga bisa mengeluarkan api," jelas Ki
Lokan lagi.
"Aku jadi penasaran, seperti
apa kuda itu, Kakang," kata Liliani seraya menatap Banara.
Banara hanya tersenyum saja.
Sedangkan Ki Lokan jadi terlongong mendengar kata-kata Liliani tadi.
"Sebaiknya, kalian jangan cari
penyakit. Kuda itu bukan binatang sembarangan. Tidak ada kuda yang bisa
menyemburkan api dari mulutnya. Kalian lihat... Beberapa rumah di sini habis
terbakar semburan api dari mulutnya," kata Ki Lokan mencoba
memperingatkan.
"Sebenarnya kami juga sedang
memburu kuda itu, Ki," selak Sarala yang sejak tadi diam saja.
"Apa...?!" Ki Lokan jadi
terkejut setengah mati.
"Seperti yang terjadi di sini,
Ki. Kuda itu juga telah menghancurkan desa kami. Bahkan lebih parah daripada di
sini. Ayah yang sekaligus guru kami, juga tewas oleh kuda itu. Bahkan lebih
dari separuh penduduk desa kami tewas," jelas Sarala memberi tahu.
"Jadi kalian sama seperti dua
orang yang datang terdahulu...? Kenapa tidak bilang sejak tadi?! Kenapa
berpura-pura tidak tahu, dan pura-pura terkejut?" Ki Lokan jadi kecewa,
dan memberondong dengan pertanyaan.
"Kami membutuhkan tempat untuk
bermalam, Ki. Perjalanan yang kami lakukan begitu melelahkan. Sudah tiga desa
kami masuki, tapi semuanya menolak bila mengetahui kami mengejar kuda
itu," kata Sarala lagi, tanpa menghiraukan pandangan kedua saudaranya.
"Aku sebenarnya tidak memusuhi
orang-orang yang mengejar kuda itu, seperti kalian. Aku hanya khawatir, kuda
itu datang lagi ke sini karena merasa dikejar. Aku hanya memikirkan keselamatan
penduduk saja. Tidak lebih dari itu," sergah Ki Lokan.
"Kami mengerti, Ki," ucap
Sarala.
"Aku jamin, Ki. Kuda itu tidak
akan kembali lagi ke desa yang sudah dilewatinya. Dia akan terus mencari gadis
itu, dan akan menjelajahi setiap desa yang belum pernah dimasukinya. Binatang
itu akan mengambil jalan memutar jika mengetahui telah memasuki desa yang akan
dilewatinya. Yang jelas, dia seperti memiliki pantangan untuk melewati sebuah
desa dua kali."
Ki Lokan terdiam memandangi Sarala,
kemudian beralih menatap Banara dan Liliani. Malam memang sudah begitu larut.
Dan hatinya merasa tidak tega juga bila mengusir ketiga anak muda ini untuk
keluar dari desa malam ini juga. Terlebih lagi, apa yang mereka alami lebih
buruk daripada yang diderita Desa Gronggong. Beberapa saat mereka jadi terdiam,
tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Sambil menghembuskan napas
panjang, Ki Lokan bangkit dari duduknya. Dia melangkah ke pintu, lalu menutup
pintu rumahnya. Dikuncinya pintu itu rapat-rapat.
"Sepertinya, aku tidak bisa
membiarkan kalian pergi malam ini...," kata Ki Lokan, agak menggumam
suaranya.
Laki-laki tua kepala desa itu
melangkah meng-hampiri ketiga anak muda itu lagi, tapi tetap berdiri di
belakang Liliani. Sedangkan ketiga anak muda itu hanya memandangi Ki Lokan
seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja didengar. Semula, Ki Lokan
tidak mengizinkan mereka tinggal di desa ini, meskipun hanya semalam saja.
Tapi, tiba-tiba saja jadi berubah setelah Sarala mengatakan tujuan yang sebenarnya.
Bahkan juga menceritakan keadaan desa mereka yang hancur diamuk kuda hitam itu.
"Sebaiknya, kalian istirahat
saja di sini. Besok pagi kalian bisa melanjutkan perjalanan," ujar Ki
Lokan seraya memutar tubuhnya berbalik.
"Terima kasih, Ki," ucap
Sarala seraya bangkit berdiri, dan membungkukkan tubuhnya sedikit memberi
hormat.
"Banyak kamar di sini. Kalian
bisa memilih yang mana saja. Jangan canggung-canggung, anggap saja seperti
rumah sendiri. Maaf, aku tidak bisa melayani kalian lebih baik lagi," kata
Ki Lokan lagi.
"Terima kasih, Ki," ucap
ketiga anak muda itu bersamaan, seraya membungkukkan tubuh memberi hormat.
"Sebaiknya kalian cepat tidur.
Aku juga sudah mengantuk," ujar Ki Lokan seraya melangkah meninggalkan
ruangan depan ini.
Setelah Ki Lokan menghilang di dalam
sebuah kamar, Banara langsung mencekal pundak Sarala. Sinar matanya begitu
tajam, menatap langsung ke bola mata adiknya.
"Seharusnya tidak perlu kau
katakan yang sebenarnya, Sarala. Hampir saja kau merusak semua rencana
kita," desis Banara begitu perlahan.
"Untuk apa harus bersandiwara?
Yang penting sekarang, kita bisa beristirahat di bawah atap malam ini,"
jawab Sarala kalem.
Pemuda itu melepaskan cekalan tangan
Banara pada pundaknya, kemudian melangkah ringan meninggalkan kedua saudaranya.
Sarala cepat tenggelam di dalam sebuah kamar yang dipilihnya. Pintu kamar itu
langsung menghadap ke pintu kamar yang ditempati Ki Lokan.
"Anak itu benar-benar susah
diajak damai!" dengus Banara bernada kesal.
"Sudahlah, Kakang.... Kakang
Sarala tidak suka berlaku tidak jujur," bujuk Liliani, mencoba menyabarkan
kakaknya.
"Hhh...! Bohong sedikit itu
perlu untuk kebaikan dan kebenaran, Liliani."
"Aku tahu. Tapi, keyakinan
setiap orang pasti berbeda, Kakang. Sudahlah.... Ayo kita istirahat. Masih
terlalu panjang perjalanan kita," ajak Liliani seraya melangkah
meninggalkan kakak sulungnya.
"Hhh...!" Banara hanya
menghembuskan napas panjang saja. Kemudian, kakinya melangkah memilih kamar
untuk beristirahat setelah Liliani menghilang ke dalam kamar yang dipilihnya.
Dan keadaan di dalam rumah kepala desa itu jadi sunyi senyap. Tak terdengar
suara sedikit pun, kecuali desir angin dan gemerisik dedaunan saja yang
terdengar, ditingkahi gerit binatang malam.
***
DUA
Pagi-pagi sekali, di saat matahari
belum menampakkan diri, Banara, Sarala dan Liliani sudah meninggalkan Desa
Gronggong. Mereka diantar Ki Lokan dan empat orang pembantunya sampai ke
perbatasan sebelah Timur, ke arah kuda setan itu pergi. Sebelum berpisah,
Banara sempat berpesan agar Ki Lokan dan seluruh penduduk desanya tidak perlu
khawatir. Karena, kuda itu tidak akan kembali lagi ke desa ini. Maka, hal itu
membuat Ki Lokan bisa bernapas lega.
Sementara itu Banara dan kedua
adiknya terus memacu cepat kudanya, semakin jauh meninggalkan Desa Gronggong.
Setelah melewati sebuah sungai kecil, mereka mulai memasuki sebuah hutan yang
cukup le-bat. Sehingga, mereka tidak mungkin bisa memacu kuda dengan cepat.
Saat ini, hari memang masih terlalu pagi. Dan matahari pun belum juga menampakkan
diri. Hanya bias cahayanya saja yang terlihat di ufuk Timur. Warnanya merah
jingga, dan begitu indah. Namun nampaknya ketiga anak muda itu tidak sempat
menikmati keindahan pagi ini.
"Hup...!"
Banara cepat melompat turun setelah
meng-hentikan langkah kudanya. Pemuda itu berjongkok sambil memegangi tali
kekang kudanya. Diperiksanya tanah yang berumput cukup tebal. Sarala dan
Liliani ikut melompat turun. Mereka mengedarkan pandangan, menyusuri tanah
berumput di sekitarnya.
"Banyak sekali jejak kuda di
sini, Kakang," kata Liliani.
"Aku yakin, bukan hanya kita
bertiga dan si Iblis Kembar dari Utara saja yang mengejar kuda itu...,"
gumam Sarala perlahan, seperti untuk diri sendiri.
"Aku jadi heran. Untuk apa
mereka mengejar Jaran Geni itu...?" Liliani juga menggumam, bertanya pada
diri sendiri.
"Jaran Geni memang bukan kuda
sembarangan. Jelas tujuan mereka tidak sama dengan kita. Tapi, bisa juga punya
tujuan sama," sahut Banara menanggapi pertanyaan adiknya yang menggumam
tadi.
"Hhh...! Semakin banyak
rintangan yang akan kita hadapi," keluh Liliani mendesah panjang.
"Rintangan apa pun harus
dihadapi, Liliani," tegas Banara mantap.
"Ha ha ha...!"
"Heh...?!"
"Hah...?!"
Ketiga anak muda itu jadi terkejut
setengah mati, ketika tiba-tiba saja terdengar suara tawa yang begitu keras
menggelegar. Sehingga, membuat telinga mereka jadi terasa sakit. Liliani
cepat-cepat menutup telinganya dengan kedua tangan. Suara tawa itu terus
terdengar keras dan menggema, seakan-akan datang dari segala penjuru mata
angin.
"Kalian tidak pantas ikut
permainan ini, Bocah-bocah ingusan. Sebaiknya pulang saja sebelum ada
penyesalan di kemudian hari!" begitu lantang suara itu terdengar, setelah
suara tawa yang keras menggelegar tak terdengar lagi.
"Siapa kau?! Keluar...!"
bentak Banara tidak kalah lantangnya.
Brusss...!
Ketiga anak muda itu jadi terkejut
bukan main, dan sampai terlompat ke belakang beberapa langkah. Memang,
tiba-tiba di depan mereka mengepul asap tebal kemerahan, seperti muncul begitu
saja dari dalam tanah. Dan ketika asap tebal kemerahan itu memudar, muncul
seorang laki-laki tua berbaju merah menyala yang longgar dan panjang dari dalam
asap.
Di tangan kanan orang tua itu
tergenggam sebatang tongkat, dengan bagian ujung kepalanya berbentuk tengkorak.
Sepasang bola matanya memerah bara, bagai sepasang bola api. Wajahnya kelihatan
begitu bengis. Dan rambutnya yang memutih, dibiarkan tak teratur hampir
menutupi sebagian wajahnya.
"Setan Tengkorak
Merah...," desis Banara langsung mengenali orang tua berjubah merah yang
tiba-tiba muncul di tempat ini.
"Apa maksudmu menghadang jalan
kami di sini, Setan Tengkorak Merah?" tanya Sarala langsung, suaranya
lantang dan keras menggelegar.
"He he he.... Rupanya kalian
sudah tahu siapa aku. Maka, sebaiknya pergi. Dan jangan coba-coba ikut mengejar
Kuda Api!" dengus laki-laki tua berjubah merah yang ternyata berjuluk
Setan Tengkorak Merah dingin, diiringi suara tawanya yang terkekeh kering.
"Hhh! Kau tidak ada hak
melarang putra-putra Elang Maut, Setan Tengkorak Merah...!" desis Banara
tidak kalah dingin.
"Kalian memang bocah-bocah
sombong yang keras kepala! Apa mata kalian sudah buta, heh...?! Lihat! Siapa
yang ada di depan kalian ini...?!" bentak Setan Tengkorak Merah jadi
geram.
"Kami tahu siapa dirimu, Setan
Tengkorak Merah. Dan kami tidak akan mundur setapak pun!" tegas Banara.
"Grrr...!" Setan Tengkorak
Merah menggeram dahsyat, seperti seekor serigala yang marah melihat pemburu di
dekatnya.
Sementara Banara dan kedua adiknya
sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Mereka tahu
kalau orang yang dihadapi ini memiliki tingkat kepandaian sangat tinggi. Tapi,
tak ada sedikit pun rasa gentar di hati ketiga anak muda putra Elang Maut itu.
"Berpencar...!" seru
Banara tiba-tiba, dengan suara lantang menggelegar.
"Hup...!"
"Hap...!"
Sarala dan Liliani langsung
berlompatan ke samping kanan dan kiri Setan Tengkorak Merah. Sedangkan Banara
tetap berada di depan. Setan Tengkorak Merah hanya mendengus saja sambil
memperhatikan ketiga anak muda yang sudah siap melakukan serangan.
Sret..! Cring...!
Ketiga putra Elang Maut itu segera
mencabut pedang masing-masing yang tipis dan berwarna keperakan. Bentuk dan
ukurannya sama persis. Bagian ujung gagangnya berbentuk kepala burung elang
berwarna perak berkilatan. Pedang itu memantulkan cahaya matahari yang baru
saja menyembul keluar dari batik pepohonan di sebelah Timur.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Setan Tengkorak Merah
berteriak keras menggelegar. Dan bagaikan kilat, dia melompat cepat sambil
mengebutkan tongkatnya ke arah Banara. Begitu cepat dan mendadak sekali
serangannya, sehingga membuat Banara jadi terperangah sesaat.
"Hait..!"
Cepat-cepat Banara menarik tubuhnya
ke belakang, sehingga kebutan tongkat Setan Tengkorak Merah hanya lewat sedikit
di depan dadanya. Pada saat itu, Sarala sudah melompat cepat disertai teriakan
keras. Pedangnya langsung dikebutkan ke arah kepala Setan Tengkorak Merah.
"Hiyaaa...!"
Bet!
"Hih!" Setan Tengkorak
Merah tidak berusaha menghindar sedikit pun. Tongkatnya malah ditarik dan
ditegakkan di samping kepalanya. Tak dapat dihindari lagi, pedang Sarala
menghantam tongkat berwarna merah yang bagian ujungnya berbentuk kepala
tengkorak.
Trang!
"Ikh...!" Sarala terpekik
agak tertahan. Cepat-cepat dia melompat mundur, lalu berputaran beberapa kali
ke belakang sambil memegangi pergelangan tangan kanannya. Seluruh tangan
kanannya terasa jadi bergetar kesemutan saat pedangnya menghantam tongkat si
Setan Tengkorak Merah barusan. Pemuda itu agak terhuyung begitu kakinya
menje-jak tanah.
"Hiyaaat...!"
Setan Tengkorak Merah cepat melompat
sambil mengebutkan tongkatnya ke arah Sarala yang masih berusaha menguasai
diri. Cepat sekali kebutan tongkatnya, sehingga Sarala tak mungkin lagi bisa
menghindar. Tapi pada saat yang tepat, tiba-tiba saja Liliani melompat
mengibaskan pedangnya. Dicobanya untuk menyampok tongkat si Setan Tengkorak
Merah.
"Yeaaah...!"
Bet!
Trang!
"Hih! Yeaaah...!"
Begitu tongkatnya tersampok pedang
Liliani, cepat sekali Setan Tengkorak Merah memutar tubuhnya sambil membungkuk.
Sementara kaki kanannya bergerak cepat melepaskan satu tendangan menggeledek
yang begitu keras ke arah perut Liliani. Padahal, gadis itu masih tersentak
akibat benturan pedangnya dengan tongkat si Setan Tengkorak Merah barusan.
Sehingga, tak ada lagi kesempatan bagi Liliani untuk menghindari tendangan
laki-laki tua berjubah merah itu.
Desss!
"Akh...!" Liliani terpekik
keras agak tertahan begitu tendangan Setan Tengkorak Merah menghantam telak
perutnya. Tubuh gadis itu terpental deras ke belakang. Begitu kerasnya
tendangan yang dilakukan Setan Tengkorak Merah. Sehingga, saat tubuh Liliani
membentur sebongkah baru yang cukup besar, baru itu langsung hancur
berkeping-keping seketika.
"Liliani...!" seru Sarala
keras.
Baru saja Sarala hendak melompat
menghampiri Liliani yang menggeliat merintih di antara puing-puing pecahan
baru, tiba-tiba saja Setan Tengkorak Merah sudah melesat cepat sambil
melepaskan satu pukulan tangan kiri yang cukup keras, disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi sekali.
"Yeaaah...!"
Begkh!
"Akh...!" Sarala terpekik
keras begitu pukulan Setan Tengkorak Merah menghantam telak dadanya. Sarala tak
mampu lagi bertahan, dan langsung terpental ke belakang. Tubuhnya menghantam
beberapa batang pohon hingga roboh. Sarala menggelepar di tanah sambil
mengerang.
Sementara Setan Tengkorak Merah
memutar tubuhnya perlahan, menghadap Banara yang jadi terlongong bengong
melihat kedua adiknya tergeletak menggelepar di tanah hanya beberapa gebrakan
saja.
"Kali ini kalian kuberi
kesempatan hidup. Kuperingatkan sekali lagi, jangan sekali-sekali lagi berani
mengejar Kuda Api. Dia sudah jadi milikku, dan biarkan menitis kembali ke
asalnya," dingin sekali nada suara Setan Tengkorak Merah.
Kali ini Banara benar-benar tidak
bisa berkata-kata lagi, dan hanya bisa diam tak bergeming sedikit pun.
Sementara Setan Tengkorak Merah sudah berbalik, dan melangkah cepat
meninggalkan tepian hutan ini. Arahnya terus menuju ke Timur, semakin masuk ke
dalam hutan. Banara baru bisa bergerak menghampiri adik-adiknya setelah Setan
Tengkorak Merah tidak terlihat lagi.
"Bagaimana keadaan
kalian?" tanya Banara.
"Aku harus segera bersemadi.
Keras sekali pukulan Setan Tengkorak Merah...," jelas Sarala tersengal.
"Aku juga, Kakang...,"
sambung Liliani juga tersengal.
"Cepatlah bersemadi. Kalian
akan ku jaga," kata Banara begitu cemas melihat keadaan kedua adiknya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
Sarala dan Liliani mengambil tempat yang teduh di bawah pohon. Kemudian, mereka
duduk bersila untuk memulai bersemadi. Sementara Banara menunggui tidak jauh
dari kedua adiknya itu. Sesekali matanya menatap mereka yang sudah bersemadi.
Jelas sekali kalau raut wajah-nya begitu cemas. Apalagi ketika melihat mulut
mereka yang terus mengalirkan darah agak kental kehitaman.
***
Sementara itu jauh di tengah Hutan
Gronggong, tampak seekor kuda hitam tengah menghentak-hentakkan kakinya di atas
sebuah gundukan tanah yang dilapisi rerumputan tebal. Begitu gundukan ta-nah
yang tampaknya seperti sebuah kuburan itu mulai terbongkar, tiba-tiba saja kuda
hitam itu berhenti menghentak-hentakkan kakinya. Sedangkan kepalanya langsung
terdongak ke atas. Binatang itu mendengus keras, sehingga dari lubang hidungnya
keluar segumpal asap tebal kemerahan.
"Hieeekh...!" Kuda itu
meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke atas,
tepat ketika dua orang penunggang kuda keluar dari lebatnya pepohonan di hutan
ini.
Kedua penunggang kuda yang wajah dan
bentuk tubuhnya sama persis itu segera berlompatan turun dari kuda masing-masing.
Sukar membedakan kedua laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun ini, kecuali
dari warna pakaiannya saja. Yang seorang mengenakan baju warna biru tua, dan
berjuluk Iblis Biru. Sedangkan yang seorang lagi mengenakan baju warna hitam
pekat, dengan julukan Iblis Hitam. Mereka memang orang kembar, dan berjuluk si
Iblis Kembar dari Utara.
"Kita datang tepat pada
waktunya, Iblis Hitam," kata Iblis Biru perlahan.
"Benar. Jaran Geni sudah
menemukan kuburannya," sahut Iblis Hitam, juga perlahan suaranya.
Baru saja mereka hendak melangkah
mendekati kuda hitam itu, tiba-tiba saja terdengar siulan panjang yang begitu
nyaring melengking tinggi. Siulan yang tiba-tiba terdengar melengking itu
membuat si Iblis Kembar dari Utara jadi terkejut. Mereka langsung saling
melempar pandangan.
"Hm, siapa dia...?" tanya
Iblis Hitam.
"He he he...!"
Bersamaan terdengarnya suara tawa
terkekeh yang menggantikan siulan melengking tadi, tiba-tiba saja berkelebat
sebuah bayangan putih. Dan tahu-tahu, tidak jauh dari si Iblis Kembar dari
Utara sudah berdiri seorang laki-laki tua berjubah putih panjang. Suara tawanya
yang terkekeh dan begitu kering, sungguh menyakitkan telinga. Memang suara tawa
itu disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Di rimba persilatan dia berjuluk
Kakek Siulan Maut.
"He he he... Ternyata kalian
lebih dulu sampai dariku," kata laki-laki tua berjubah putih yang berjuluk
Kakek Siulan Maut, diiringi suara tawanya yang kering dan terkekeh.
"Jika tujuanmu sama dengan
kami, sebaiknya diam dan jangan mengganggu Jaran Geni," dengus Iblis
Hitam, ketus.
"Tentu saja aku tidak akan
mengganggu Jaran Geni, tapi justru akan menjaganya dari keusilan kalian
berdua," sambut Kakek Siulan Maut, sinis.
Kakek Siulan Maut segera mengambil
tempat di bawah pohon yang cukup rindang. Kemudian dia duduk bersila, seraya
meletakkan tongkat pendek yang terbuat dari baja putih di sampingnya. Kedua
ujung tongkatnya bercabang tiga, dan berbentuk runcing seperti mata tombak.
Melihat laki-laki tua berjubah putih ini kelihatan tenang dan langsung
memperhatikan kuda hitam aneh itu, si Iblis Kembar dari Utara juga segera duduk
di dekat kudanya.
Sementara kuda hitam itu masih
mendengus-dengus sambil memandangi tiga orang yang duduk bersila agak jauh
darinya. Dan pada saat itu, muncul lagi seorang laki-laki tua berjubah merah.
Dia seperti tidak peduli pada tiga orang yang sudah duduk bersila dengan
tenang.
Tampak sebatang tongkat merah yang
pada bagian ujung atas terdapat tengkorak kepala manusia, tergenggam di
tangannya. Dia langsung saja mengambil tempat, dan duduk bersila tanpa berkata
sedikit pun. Di kalangan rimba persilatan dia dikenal sebagai Iblis Tongkat
Merah.
Namun tak berapa lama kemudian,
muncul lagi dua orang gadis berwajah cantik yang di punggung masing-masing
tersampir sebilah pedang. Kemunculan mereka, masih disusul oleh munculnya
seorang perempuan tua berbaju hitam pekat dan longgar. Dia membawa sebuah
cambuk pendek berbentuk ekor kuda yang juga berwarna hitam pekat. Perempuan tua
ini, dikenal berjuluk Dewi Cambuk Maut. Sedangkan dua orang gadis yang sudah
duduk bersila di bawah pohon itu, di kalangan persilatan dikenal sebagai Dewi
Naga Kembar. Masing-masing bernama asli, Untari dan Legini.
"Hieeekh...!" tiba-tiba
saja kuda hitam yang mereka kenal sebagai Jaran Geni, meringkik keras
melengking tinggi sambil mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi ke atas.
Begitu keras ringkikannya, sehingga
tanah di sekitarnya jadi bergetar. Dan entah dari mana, tiba-tiba saja angin
berhembus kencang bagai badai topan. Akibatnya, pepohonan di sekitar Hutan
Gronggong itu jadi berderak, seperti hendak roboh. Sedangkan orang-orang yang
duduk bersila di sekitarnya masih tetap duduk tenang, tak bergeming sedikit
pun. Mereka mengambil sikap seperti sedang bersemadi.
"Hieeekh...!" Lagi-lagi
Jaran Geni meringkik keras beberapa kali, sambil menghentak-hentakkan kedua
kaki depannya ke tanah.
Dan begitu ringkikannya berhenti,
seketika itu juga suasana menjadi tenang kembali. Tidak ada lagi hembusan angin
badai, dan bumi tak lagi terasa bergetar. Bahkan suara menderu pun tidak lagi
terdengar. Suasana di tengah Hutan Gronggong kini mendadak saja jadi sunyi senyap
bagai berada di tengah-tengah kuburan.
Entah berapa lama kesunyian itu
berlangsung menyelimuti Hutan Gronggong ini, bahkan tak ada seorang pun yang
membuka suara. Kuda hitam Jaran Geni yang semula liar, kini jadi tenang sekali.
Dan binatang itu juga tidak lagi mendengus-dengus, namun kepalanya masih
mendongak ke atas. Tiba-tiba saja, langit tampak gelap, tertutup awan hitam
yang menggumpal. Mendadak....
Cras! Glarrr...!
Satu ledakan keras menggelegar
terdengar ketika tiba-tiba saja secercah kilat langsung menyambar kuburan yang
sudah mulai terbongkar. Api langsung berkobar membakar kuburan yang berlubang
oleh hentakan kaki kuda hitam itu tadi. Dan lubang itu semakin lebar
terbongkar, setelah tersambar kilat. Seperti datangnya tadi, awan hitam yang menggumpal
menutupi langit tiba-tiba saja menghilang entah ke mana.
Dan keadaan di tengah-tengah Hutan
Gronggong itu jadi terang kembali. Api masih berkobar besar dari lubang kuburan
yang terbongkar. Saat kuda hitam yang bernama Jaran Geni melangkah menghampiri
kobaran api itu, semua orang yang ada di sekitarnya bergegas bangkit berdiri.
Mereka langsung melangkah menghampiri kuda hitam itu.
Perlahan-lahan api yang berkobar
dari dalam lubang kuburan itu mengecil, lalu tak berapa lama kemudian padam.
Kini tinggal asap hitam yang masih mengepul membumbung tinggi. Tapi kepulan
asap hitam itu hanya sebentar saja, karena kemudian menghilang terbawa angin
yang berhembus agak kencang di tengah Hutan Gronggong ini.
"Jaran Geni, izinkan aku
membantu menyempurnakan kebangkitan mu," pinta Kakek Siulan Maut seraya
menjura membungkukkan tubuhnya sedikit, memberi hormat pada kuda hitam aneh
itu.
Kuda hitam itu berpaling menatap
Kakek Siulan Maut dengan sepasang bola matanya yang merah bagai darah.
Kemudian, dipandanginya orang-orang yang berada di sekelilingnya. Semua yang
dipandangi segera membungkukkan tubuhnya, seperti memberi hormat pada seorang
pimpinan.
"Hieeekh...!" kuda hitam
itu tiba-tiba saja me-ringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya
tinggi-tinggi ke udara.
Seketika itu juga wajah mereka semua
langsung cerah, begitu melihat kepala kuda hitam itu terangguk-angguk. Mereka
lalu saling berpegangan tangan, dan melingkari kuda hitam itu bersama kuburan
yang sudah terbongkar. Tampak jelas, di dalam lubang kuburan itu tergolek
sesosok tubuh yang hitam dan hangus seperti baru saja terbakar.
"Akan kuangkat jasadmu, Jaran
Geni," ujar Iblis Tengkorak Merah.
Belum juga ada yang sempat membuka
suara, Iblis Tengkorak Merah langsung melompat cepat masuk ke dalam lubang kuburan
itu. Tak lama kemudian, laki-laki bertongkat merah itu kembali melompat naik
sambil membawa sesosok tubuh hitam yang hangus bagai terbakar. Perlahan-lahan,
diletakkannya sosok tubuh hitam itu di depan Jaran Geni.
Kuda hitam itu menghentakkan kaki
depan kanannya tiga kali ke tanah, maka tujuh orang yang ada di tengah Hutan
Gronggong itu segera menghampiri mendekat. Mereka berdiri setengah melingkar di
depan sosok tubuh menghitam hangus itu, lalu sama-sama mengeluarkan sebilah
pisau kecil berwarna kuning keemasan. Bentuk dan ukuran pisau itu serupa
persis, sedikit pun tak ada perbedaannya.
"Hieeekh...!"
kuda hitam itu kembali meringkik
keras sambil mendongakkan kepalanya. Serentak, tujuh orang golongan hitam itu
mengangkat pisau yang tergenggam di tangan kanan tinggi-tinggi ke atas kepala.
Lalu, ujung pisau itu disatukan, tepat di atas dada sosok tubuh menghitam
hangus yang terbaring di depan mereka.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
***
TIGA
Tujuh orang tokoh tingkat tinggi
golongan hitam itu tiba-tiba saja menghunjamkan pisau tepat ke bagian tengah
dada sosok tubuh yang menghitam hangus terbaring di tanah. Pada saat itu,
terdengar ledakan guntur menggelegar di angkasa, disusul berkelebatannya
secercah cahaya kilat yang langsung menyambar dada sosok tubuh hitam itu.
Pada saat yang bersamaan, tujuh
orang tokoh persilatan itu berlompatan mundur sejauh dua batang tombak.
Tiba-tiba saja, muncul asap hitam yang menggumpal menyelimuti seluruh tubuh
hitam hangus itu. Pada saat yang bersamaan, kuda hitam itu menggelepar jatuh ke
tanah sambil menggerung-gerung. Bumi langsung bergetar. Bahkan angin seketika
berhembus kencang, menerbangkan apa saja yang ada di sekitar Hutan Gronggong
ini. Asap hitam itu semakin besar menggumpal, hingga menyelimuti tubuh kuda
hitam yang menggelepar sambil menggerung-gerung di tanah.
Tiba-tiba saja, warna asap itu
berubah jadi merah bagai darah. Lalu, berganti warna hingga beberapa kali. Dan
bersamaan dengan tenangnya alam, asap yang kembali hitam itu pun menyebar
hilang. Pada saat itu, di tempat sesosok mayat tadi tergeletak, kini sudah
berdiri seorang pemuda berwajah tampan. Bajunya indah, berwarna biru muda. Di
sampingnya berdiri seekor kuda hitam yang tinggi dan gagah.
"Ha ha ha...!" pemuda
tampan itu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Tapi tiba-tiba, suara tawanya
terhenti begitu melihat tujuh orang berlutut sekitar dua tombak di depannya.
Kemudian kakinya melangkah tenang sambil merayapi wajah tujuh orang yang masih
berlutut di depannya.
"Aku senang kalian bisa
memenuhi undangan dan permintaanku. Tapi sayang, seharusnya ada delapan pisau
emas yang tertanam di tubuhku. Bukannya tujuh...," kata pemuda itu,
suaranya terdengar dingin menggetarkan.
"Kami tidak tahu. Yang jelas,
hanya kami bertujuh yang datang ke sini," kata Iblis Tengkorak Merah.
"Hm.... Itu berarti kalian
harus bisa mendapatkan satu pisau emasku lagi. Dengan demikian, kehidupan dan
kekuatanku baru benar-benar sempurna. Hanya dengan tujuh pisau emas saja,
kehidupanku belum begitu sempurna. Dan itu berarti aku masih memerlukan
pelindung kalian semua," jelas pemuda itu lagi, tetap dingin suaranya.
"Kami akan mendapatkannya,
Raden Gordapala," sahut Iblis Tengkorak Merah lagi.
"Hm...," pemuda yang
dipanggil Raden Gordapala tiba-tiba menggumam kecil. Kepalanya bergerak
menggeleng ke kanan dan ke kiri, lalu memandangi tujuh orang yang masih
berlutut di depannya.
Ketujuh orang tokoh persilatan itu
hanya memandangi tidak mengerti. Tapi mendadak saja, Iblis Tengkorak Merah dan
Kakek Siulan Maut melesat cepat ke arah sebuah batu besar yang tingginya hampir
menyamai pohon.
"Aaa...!" tiba-tiba saja
terdengar jeritan panjang melengking tinggi. Tak lama kemudian, sesosok tubuh
kurus tanpa baju terlempar ke udara. Tubuh laki-laki tua kurus itu lalu
terbanting keras di tanah dengan dada terbelah mengeluarkan darah. Hanya
sebentar dia menggeliat, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
Iblis Tengkorak Merah dan Kakek
Siulan Maut kembali melesat keluar dari balik batu. Masing-masing kini telah
mencengkeram seorang wanita muda berwajah cukup cantik. Mereka lalu mendorong
dua gadis muda itu, hingga tersuruk ke depan kaki Raden Gordapala.
"Siapa bocah-bocah ayu ini,
Paman Tengkorak Merah?" tanya Raden Gordapala.
"Aku tidak tahu, Raden. Mungkin
hanya pencari kayu bakar saja," sahut Iblis Tengkorak Merah.
Sementara itu, Iblis Kembar dari
Utara, Dewi Naga Kembar, dan Dewi Cambuk Maut sudah berdiri di belakang Raden
Gordapala. Sedangkan dua gadis berusia sekitar tujuh belas tahun itu masih
berlutut dengan tubuh gemetar di depan pemuda tampan yang menatap dengan sinar
mata tajam berkilat.
"Apakah hanya mereka saja yang
ada di sini, Paman Siulan Maut?" tanya Raden Gordapala tanpa mengalihkan
tatapannya pada kedua gadis itu.
"Ada satu orang lagi, Raden.
Tapi berhasil kabur," sahut Kakek Siulan Maut.
"Setan...! Kejar, dan bunuh
dia!" geram Raden Gordapala langsung memerah wajahnya. "Apa kalian
tidak tahu, tak seorang pun boleh berada di sini, selain kalian yang memegang
pisau emasku!"
"Maafkan kelalaian kami, Raden.
Kami begitu bahagia melihat Raden hidup kembali, sehingga tidak memperhatikan
keadaan sekeliling," ucap Kakek Siulan Maut.
"Aku tidak peduli alasan kalian
semua! Cepat pergi, dan bawa kepalanya padaku!" perintah Raden Gordapala
lantang dan menggelegar.
"Baik, Raden," sahut
ketujuh orang itu seraya membungkuk memberi hormat.
Tanpa diperintah dua kali, tujuh
tokoh persilatan yang sudah kondang namanya itu segera berlompatan ke balik
batu besar, tempat Iblis Tengkorak Merah dan Kakek Siulan Maut tadi menemukan
laki-laki tua yang sekarang sudah tergeletak tewas, dan dua orang gadis muda
berwajah cukup cantik. Sebentar saja bayangan tubuh mereka sudah lenyap tak
terlihat lagi.
Kini, Raden Gordapala memandangi
kedua gadis yang masih berlutut di depannya. Dengan kasar sekali, gadis itu
disentakkan hingga berdiri. Tubuh mereka semakin bergetar, dengan kepala
tertunduk tak sanggup menentang sorot mata Raden Gordapala yang begitu tajam
menusuk.
"Kenapa kalian mengintai
ku?" tanya Raden Gordapala dingin. Suaranya terdengar agak mendesis.
Kedua gadis itu tidak menjawab.
Bahkan tubuh mereka malah semakin gemetar ketakutan. Raden Gordapala mendesis
geram. Dengan kasar sekali, dicengkeramnya dagu salah seorang gadis yang
berbaju kuning, lalu mengangkatnya. Mau tak mau, Raden Gordapala bisa menatap
wajahnya yang pucat lebih jelas lagi.
"Aku bisa berbuat apa saja
padamu...," desis Raden Gordapala, semakin dingin suaranya. "Tapi kau
cukup cantik untuk mati lebih cepat. Lama sekali aku tidak pernah lagi
menikmati kehalusan kulit wanita. Kalian berdua akan menjadi gadis-gadis
pertama yang merasakan permainan ini."
"Oh...?!" gadis berbaju
kuning itu terkejut setengah mati. Wajah gadis itu semakin pucat pasi, dan
tubuhnya semakin keras menggeletar.
Tiba-tiba saja Raden Gordapala
menggerakkan tangannya dengan cepat. langsung ditotoknya dada kiri gadis yang
satunya lagi. Gadis itu mengeluh pendek, dan langsung ambruk menggeletak di
tanah. Seluruh tubuhnya jadi lemas tak bertenaga. Hanya bagian kepalanya saja
yang masih bisa digerakkan. Sementara, seluruh tubuh lain tak mampu digerakkan
lagi.
"Kau akan mendapat giliran
nanti, Anak Manis! he he he...!"
"Auwh...!" Gadis berbaju
kuning itu terpekik. Sekuat daya tubuhnya beringsut, mencoba berontak. Tapi
Raden Gordapala malah tersenyum menyeringai kesenangan. Tangannya kembali
bergerak cepat mendekap tubuh yang tergolek di depannya.
"Akh...!"
Kasar sekali Raden Gordapala
menyentakkan tubuh gadis yang berbaju kuning itu, sehingga terjatuh terlentang
di tanah berumput cukup tebal. Perlahan Raden Gordapala melangkah menghampiri,
dan menjulurkan tangan kanannya. Lalu cepat sekali disambarnya baju bagian dada
gadis itu, dan disentakkan kuat-kuat.
"Auwh...!" gadis itu
terpekik. Cepat-cepat gadis berbaju kuning itu menutupi dadanya yang terbuka
dengan kedua tangan. Dengan wajah pucat dan tubuh gemetar ketakutan, dia
berusaha menghindari laki-laki tampan berwajah bengis itu. Sekuat daya tubuhnya
beringsut, mencoba menjauh.
Tapi, Raden Gordapala malah
tersenyum menyeringai kesenangan. Namun kembali tangannya cepat digerakkan,
menyambar pakaian yang dikenakan gadis itu lagi.
Brettt!
"Auwh...!"
"He he he...!" Raden
Gordapala terkekeh liar melihat tubuh yang hampir terbuka tergolek di depannya.
Kulit tubuh yang halus tanpa cacat, membuat bola mata laki-laki tampan itu jadi
berbinar penuh gejolak nafsu.
Sedangkan gadis itu berusaha
menutupi tubuhnya yang sudah terbuka. Tapi belum juga bisa menutupi tubuhnya,
tiba-tiba saja Raden Gordapala sudah cepat menerkamnya. Kembali gadis itu
terpekik, dan meronta berusaha melepaskan diri.
Tapi pelukan Raden Gordapala begitu
kuat. Terlebih lagi, pemuda tampan itu menekan dadanya. Sehingga, membuat napas
gadis itu jadi sesak. Dengan kasar sekali, Raden Gordapala merenggut seluruh
pakaian yang melekat di tubuh gadis itu. Akibatnya, tak ada selembar benang pun
yang melekat. Seluruh tubuh gadis itu benar-benar polos. Sepasang bola mata
Raden Gordapala semakin liar menjilati sekujur tubuh menggairahkan.
"Oh..., tolong...! Lepaskan!
Jangan sakiti aku...," rintih gadis itu lirih.
Tak ada lagi yang bisa dilakukannya.
Tenaganya memang kalah jauh bila dibanding Raden Gordapala yang sudah dirasuki
nafsu yang tak terkendali lagi. Rintihan gadis itu tidak membuat gairah pemuda
yang baru bangkit dari kubur itu jadi surut. Bahkan semakin liar saja. Dan
gadis yang malang itu tak bisa lagi berbuat apa-apa. Air matanya malah sudah
menitik deras. Dia hanya bisa merintih, dan memohon. Tapi rintihannya sama
sekali tidak dipedulikan.
"Ahhh...!" tiba-tiba saja
gadis itu memekik agak tertahan.
Tubuh bugil itu langsung mengejang
kaku, dan kelopak matanya terbeliak lebar. Sesaat kemudian, dia terkulai lemas.
Hanya isak tangis dan rintihan lirih saja yang terdengar. Matanya dipejamkan,
tak sanggup melihat pemuda yang tengah berpacu di atas tubuhnya.
***
Iblis Tengkorak Merah jadi terbeliak
begitu melihat dua gadis cantik tergolek tanpa benang sehelai pun melekat di
tubuhnya. Sedangkan Raden Gordapala tampak duduk tenang bersandar di bawah
sebatang pohon. Sinar matanya begitu berbinar, dan bibirnya menyunggingkan
senyuman penuh kepuasan. Bukan hanya Iblis Tengkorak Merah yang terkejut.
Bahkan Kakek Siulan Maut, si Iblis Kembar dari Utara, Dewi Naga Kembar, dan
Dewi Cambuk Maut, juga jadi terbeliak melihat dua orang gadis tergolek polos
tidak jauh dari Raden Gordapala.
"Kenapa kalian jadi bengong,
heh...?" tegur Raden Gordapala seraya bangkit berdiri, dan mengenakan
pakaiannya kembali.
Tak ada seorang pun yang menjawab.
Tujuh orang tokoh persilatan itu segera menjura, membungkukkan tubuhnya memberi
hormat. Iblis Tengkorak Merah bergegas melangkah maju mendekati, begitu Raden
Gordapala memberi isyarat dengan ujung jarinya.
"Bagaimana? Kau temukan tikus
itu?" tanya Raden Gordapala, agak dingin nada suaranya.
"Sudah, Raden. Ini
kepalanya," sahut Iblis Tengkorak Merah seraya meletakkan sebuah bungkusan
kain di depan pemuda tampan itu. Dari bawah kain, tampak menetes cairan merah.
"Ha ha ha...! Bagus...! Kalian
benar-benar pengikut ku yang setia," ujar Raden Gordapala seraya tertawa
terbahak-bahak.
"Kami semua akan melaksanakan
perintahmu, Raden. Kami akan mewujudkan semua impian mu," tegas Iblis
Tengkorak Merah seraya menjura memberi hormat
"Aku senang mendengarnya,
Paman. Tapi ada satu yang masih merisaukan ku," kata Raden Gordapala.
"Apa itu, Raden?" tanya
Iblis Tengkorak Merah.
"Kehidupanku rasanya belum
sempurna bila belum ada delapan pisau emas di dalam tubuhku," ungkap Raden
Gordapala.
Tak ada yang berbicara. Mereka semua
kini terdiam membisu. Sebentar Raden Gordapala memandangi tujuh orang tokoh
persilatan yang sudah menyatakan kesetiaan. Berkat mereka, dia bisa bangkit
lagi dari kematiannya yang cukup panjang.
"Saat rohku masih menyatu dalam
tubuh Jaran Geni, aku memberi delapan pisau emasku. Dan kalian masing-masing
memegang satu. Sedangkan satu pisau lagi...," Raden Gordapala tidak
meneruskan ucapannya.
"Siapa yang memegang pisau emas
satunya lagi, Raden?" tanya Untari, salah satu dari Dewi Naga Kembar.
"Aku memberikannya pada salah
seorang di Kerajaan Karang Setra. Hhh.... Inilah kesalahan pertama yang kubuat.
Aku memberikannya begitu saja tanpa mengetahui dirinya yang sebenarnya terlebih
dahulu. Bahkan namanya aku juga tidak tahu. Kemunculannya saat aku kebingungan
mencari kalian semua, para pengikut setia ku. Kalian memang tidak saling
mengenal sebelumnya, karena aku memang menginginkannya begitu. Paling tidak,
agar kebangkitan ku sekarang tidak diketahui orang lain, sehingga menyebabkan
kegagalan. Semua pisau mestinya kuberikan pada masing-masing pemimpin tokoh
hitam di delapan penjuru mata angin. Tapi sayang, satu buah tidak kuberikan
pada pemimpin penjuru angin pertama," ujar Raden Gordapala menyesali
kesalahan yang telah diperbuatnya.
"Apakah kami harus mendapatkan
pisau emas itu, Raden?" tanya Dewi Cambuk Maut.
"Itu sudah pasti. Karena
kehilangan satu pisau emas saja, belum berarti apa-apa untuk kehidupanku ini.
Kesempurnaan seluruh ilmuku tergantung dari jumlah pisau emas yang harus
tertanam dalam tubuhku. Karena, pisau-pisau emas itulah yang membuat kekuatanku
jadi abadi. Kalian tentu sudah tahu akan hal ini," kata Raden Gordapala.
Mereka hanya mengangguk saja. Selama
ini, mereka memang tahu kalau mempunyai seorang pimpinan yang tangguh dan
digdaya. Tapi di antara mereka sendiri memang tidak pernah ada hubungan satu
sama lain. Sehingga, tidak heran jika mereka tidak ada yang saling mengenal.
Mereka terlalu sibuk melebarkan sayap di daerah kekuasaan masing-masing, di
delapan penjuru angin. Dan memang, mereka hanya patuh pada satu perintah yang
datang langsung dari Raden Gordapala ini. Dan tentu saja sekarang mereka sudah
saling mengenal. Itu pun setelah Raden Gordapala menyebut julukan
masing-masing.
"Raden, apa tidak sebaiknya
kita segera saja pergi ke Karang Setra...?" usul Kakek Siulan Maut.
"Tidak semuanya," sahut
Raden Gordapala.
"Maksud, Raden...?" tanya
Iblis Hitam, salah satu dari Iblis Kembar dari Utara.
"Kalian memang pergi ke Karang
Setra, tapi Dewi Naga Kembar dan Paman Tengkorak Merah tidak. Mereka harus ikut
denganku ke istana di Gunung Tangkup."
"Kalau begitu, kami segera saja
berangkat, Raden," pamit Kakek Siulan Maut.
"Pergilah, dan kalian harus
berhasil."
Setelah menjura memberi hormat,
mereka segera meninggalkan Hutan Gronggong itu. Tinggal Iblis Tengkorak Merah
dan Dewi Naga Kembar saja yang masih tinggal bersama Raden Gordapala.
"Ayo, kita tinggalkan tempat
ini," ajak Raden Gordapala setelah empat orang pengikutnya tidak terlihat
lagi, tenggelam dalam lebatnya Hutan Gronggong ini.
"Bagaimana dengan gadis-gadis
ini, Raden?" tanya Tengkorak Merah seraya menunjuk dua gadis yang
tergeletak tanpa busana.
"Tinggalkan saja. Mereka tidak
ada gunanya lagi bagiku," sahut Raden Gordapala seraya melangkah
menghampiri kuda hitamnya yang gagah.
Kuda hitam yang bernama Jaran Geni
memang bukan kuda sembarangan. Binatang aneh itu bisa mengeluarkan api dari
mulutnya. Dan jika mendengus marah, dari lubang hidungnya mengepulkan asap
kemerahan. Ringan sekali gerakan tubuh pemuda tampan itu saat melompat naik ke
punggung Jaran Geni.
Sementara dua orang gadis cantik
yang berjuluk Dewi Naga Kembar, juga sudah berlompatan naik ke punggung kuda
masing-masing. Tinggal Iblis Tengkorak Merah saja yang masih berdiri di samping
kudanya, memandangi dua orang gadis yang tergeletak diam tanpa selembar pakaian
pun melekat di tubuhnya.
"Ada apa, Paman?" tegur
Raden Gordapala.
"Kenapa memandangi mereka
terus?"
"Mereka masih hidup,
Raden," jelas Iblis Tengkorak Merah.
"Biarkan saja. Sebentar lagi
malam menjelang. Mereka pasti mati jadi santapan binatang hutan ini,"
sahut Raden Gordapala dingin tak peduli.
"Apa tidak sebaiknya dibuat
mati saja, Raden? Mereka sudah melihat apa yang kita lakukan di sini. Dan
mereka juga melihat kebangkitan Raden," saran Iblis Tongkat Merah.
"Ah! Sudah lupakan saja, Paman.
Ayo cepat, sebelum hari jadi gelap," sentak Raden Gordapala langsung saja
menghentakkan tali kekang kudanya.
Iblis Tengkorak Merah tidak
berkata-kata lagi. Sebentar dipandanginya tubuh dua orang gadis yang tergeletak
tanpa pakaian, kemudian melompat naik ke punggung kudanya. Langsung kudanya
dipacu, mengejar Raden Gordapala dan Dewi Naga Kembar yang sudah berpacu cepat
meninggalkan tempat itu.
Dan memang, saat ini matahari sudah
condong ke arah Barat Sinarnya tidak lagi terik menyengat. Sementara di tengah
Hutan Gronggong itu kini jadi sunyi, tak terdengar suara sedikit pun. Hanya
desir angin saja yang terdengar menggesek dedaunan yang menjadi saksi bisu dari
semua peristiwa di tempat ini.
***
EMPAT
Kegelapan mulai menyelimuti sekitar
Hutan Gronggong. Binatang-binatang malam mulai keluar dari sarangnya. Hutan
yang sungguh lebat ini terasa begitu mencekam dan mengerikan suasananya.
Berbagai macam suara yang bisa membuat bulu kuduk berdiri, terdengar di setiap
sudut hutan ini. Tapi keadaan yang begitu mencekam ini, tidak menyurutkan nyali
tiga orang anak muda untuk terus mengendarai kudanya yang tampak sudah
kelelahan.
Ketiga anak muda itu adalah Banara,
Sarala, dan Liliani. Mereka adalah putra Elang Maut dari Bukit Elang. Meskipun
rona merah masih terlihat membias di ufuk Barat, tapi kegelapan sudah
menyelimuti sekitar Hutan Gronggong yang begitu lebat ini. Sementara, ketiga
putra Elang Maut itu terus maju, tanpa mempedulikan keadaan hutan yang semakin
sulit saja dilalui.
"Sebentar lagi hari benar-benar
menjadi gelap, Kakang. Apakah tidak sebaiknya berhenti dulu di sini,"
saran Liliani memecah kesunyian dan kebisuan yang terjadi sejak tadi.
"Tidak. Sebentar lagi kita
sampai. Tinggal melewati pohon yang besar itu saja," sahut Banara seraya
menunjuk sebatang pohon yang paling besar, di antara pohon-pohon lainnya dalam
hutan ini.
Liliani tidak bicara lagi. Dan
mereka memang terus bergerak, meskipun tersendat-sendat. Hingga akhirnya,
mereka tiba di tempat yang dituju, setelah melewati pohon besar yang ditunjuk
Banara. Keadaan memang sudah begitu gelap, sehingga sulit untuk menembus
kegelapan yang begitu pekat. Liliani turun dari punggung kudanya, dan
menyalakan api dari batu pemantik api yang selalu dibawa. Gadis itu membuat api
unggun, sehingga bisa mengurangi kegelapan malam ini.
"Kakang, lihat...!" seru
Sarala tiba-tiba.
Liliani dan Banara segera
menghampiri Sarala. Liliani jadi terpekik. Buru-buru mukanya dipalingkan begitu
melihat dua tubuh tergolek tanpa selembar pakaian menutupnya. Banara segera
menghampiri kedua gadis itu, dan menempelkan ujung jarinya di bagian leher
dekat dagu.
"Bagaimana?" tanya Sarala
yang berada di belakang kakaknya ini.
"Satu masih hidup. Cepat ambil
kain di kudaku," ujar Banara.
"Baik, Kakang," sahut
Sarala seraya bergegas berlari menuju kuda yang ditunggangi Banara tadi.
Sementara Liliani masih belum
menghampiri Banara yang tengah memeriksa keadaan tubuh salah seorang gadis yang
masih hidup. Tak berapa lama kemudian, Sarala sudah menghampiri sambil membawa
dua lembar kain. Mereka menutupi gadis-gadis itu dengan kain, hingga tidak
terlihat polos lagi. Liliani baru menghampiri setelah yakin kedua gadis itu
tidak lagi dalam keadaan polos tanpa pakaian.
"Kenapa mereka bisa sampai ada
di sini, Kakang? Siapa mereka...?" tanya Liliani.
Tentu saja pertanyaan gadis itu
tidak ada yang bisa menjawab. Sementara Sarala yang memeriksa sekitar tempat
ini sudah berdiri mematung di pinggir sebuah lubang yang kelihatannya bekas
kuburan. Banara dan Liliani menghampiri pemuda itu. Mereka jadi terdiam
memandangi lubang bekas kuburan yang menganga cukup lebar.
"Kita terlambat, Kakang. Dia
sudah berhasil bangkit dari kubur," ujar Sarala perlahan.
"Sukar dipercaya kalau hal ini
dilakukan siang hari. Padahal perhitungan kita, baru malam hari mereka
melakukannya," kata Banara seperti bicara pada diri sendiri.
"Tapi kenyataannya, kita
benar-benar terlambat, Kakang," sambung Liliani.
"Hhh.... Apa yang harus kita
lakukan sekarang?" tanya Banara seraya berbalik dan melangkah perlahan
menghampiri api unggun yang dibuat Liliani tadi.
Sarala dan adik perempuannya
mengikuti Banara. Mereka kemudian duduk tidak jauh dari api unggun. Sedangkan
tidak jauh dari api unggun, tergolek sesosok tubuh seorang gadis yang tertutup
kain cukup tebal yang sudah agak lusuh. Tarikan napas gadis itu begitu
perlahan. Bahkan gerak dadanya hampir tidak terlihat. Mereka memperhatikan
gadis yang masih belum juga sadarkan diri itu.
"Dia mendapat totokan yang
hampir sempurna. Cukup sulit juga membebaskan totokannya. Seluruh darah di
tubuhnya hampir membeku. Sedikit saja terlambat, dia akan mati seperti gadis
satunya itu," jelas Banara.
"Apa masih lama pingsannya,
Kakang?" tanya Liliani.
"Entahlah. Mungkin baru besok
pagi sadar," sahut Banara.
"Itu juga kalau pembuka
totokanku bekerja di dalam tubuhnya. Aku sendiri tidak yakin, karena dia
mendapat totokan dari kekuatan tenaga dalam yang jauh lebih tinggi
dariku."
"Mudah-mudahan saja dia bisa
sadar, Kakang. Kita membutuhkan keterangannya," kata Liliani lagi.
"Kasihan...," desah Sarala
perlahan, seakan-akan untuk dirinya sendiri.
"Kita terpaksa bermalam di
tengah hutan ini," kata Banara lagi.
"Ya.... Hutan ini terlalu lebat
kuda-kuda kita juga sudah kelelahan," desah Liliani.
Ketiga putra Elang Maut itu tidak
ada lagi yang berbicara. Mereka semua terdiam, dengan pikiran bergelut dalam
benak masing-masing. Sementara malam terus merayap semakin jauh. Kabut pun
semakin tebal, menyebarkan udara dingin yang begitu menusuk sampai ke tulang.
Api unggun yang menyala cukup besar, seakan-akan tak sanggup mengusir dinginnya
udara malam ini. Tapi tak ada seorang pun dari mereka yang memperdengarkan
keluhan. Mereka memang sudah terbiasa hidup di alam terbuka seperti ini.
***
Liliani menggelinjang bangun dari
tidurnya, begitu merasakan sengatan hangat matahari yang menerpa kulit
tubuhnya. Gadis itu jadi terkejut mendengar suara isak tangis yang lirih. Cepat
kepalanya berpaling, dan melihat gadis yang semalam ditemukan tak sadarkan diri
di tengah hutan ini tengah menangis memeluk lututnya. Gadis itu menyembunyikan
wajahnya dalam lekukan lututnya.
Perlahan Liliani merangkak mendekat.
Pada saat itu, Banara dan Sarala juga terbangun ketika mendengar tangisan
lirih. Sarala hendak menghampiri gadis itu, tapi Banara sudah lebih cepat
mencegah dengan cekalan tangan. Mereka hanya memperhatikan Liliani saja yang
kini sudah berada dekat di samping gadis yang masih menangis memeluk lutut ini.
"Nisanak...," panggil
Liliani lembut seraya menyentuh pundak yang terbuka berkulit putih mulus itu.
Suara isak tangis gadis itu seketika
terhenti. Perlahan kepalanya terangkat, dan berpaling menatap Liliani yang ada
di sampingnya. Liliani memberikan sedikit ulasan senyum, meskipun terlihat
begitu dipaksakan.
"Aku Liliani...," Liliani
langsung mengenalkan diri. "Aku dan kedua kakakku menemukanmu ping-san di
sini." Agak tertekan suara Liliani.
Dan tentu saja dia tidak sampai hati
mengatakan keadaan gadis ini ketika ditemukan tergeletak tak sadarkan diri
tanpa benang sehelai pun menutupi tubuhnya.
"Terima kasih...," pelan
sekali suara gadis itu. Suaranya masih terdengar tersendat dengan isak
tangisnya yang baru saja terhenti begitu Liliani menyentuh pundaknya.
"Siapa namamu?" tanya
Liliani lembut.
"Malita," sahut gadis itu,
masih pelan dan tersendat suaranya.
Liliani terdiam beberapa saat.
Matanya melirik kedua kakaknya yang memperhatikan saja tanpa mendekati.
Kemudian, kembali ditatapnya gadis yang ternyata bernama Malita.
"Boleh ku tahu, apa yang
terjadi padamu di sini?" pinta Liliani hati-hati.
Gadis itu tidak langsung menjawab,
tapi malah menangis seraya memeluk Liliani. Hal ini membuat putri bungsu Elang
Maut itu jadi tersedak, tak mampu berkata-kata lagi. Meskipun belum begitu
yakin, tapi Liliani sudah menduga, pasti ada sesuatu yang terjadi pada Malita
di tengah hutan ini. Hanya saja dia tidak tahu, bagaimana Malita bisa berada di
hutan yang, begitu lebat dan masih liar ini.
Sedangkan Liliani belum bisa
bertanya, karena Malita terus menangis sambil memeluknya begitu erat. Cukup
lama juga Liliani membiarkan Malita menangis sambil memeluknya. Beberapa kali
matanya melirik kedua kakaknya. Tapi kedua pemuda itu masih tetap diam
memandangi. Sebenarnya Liliani ingin mereka mendekat, namun rasanya tidak bisa
mengatakannya sekarang. Perlahan Liliani melepaskan pelukan itu, setelah tangis
Malita mulai mereda. Malita masih sedikit terisak. Beberapa kali air mata yang
terus membanjir disusut dengan ujung kain yang melilit tubuhnya.
"Aku ada pakaian. Barangkali
cocok untukmu," kata Liliani seraya bangkit berdiri.
Liliani bergegas menghampiri
kudanya. Dari kantung pelana kuda, diambilnya sebuah baju dari bahan sederhana.
Kemudian kembali dihampirinya Malita. Lalu, pakaian berwarna merah muda itu
diserahkan pada gadis itu.
"Terima kasih," ucap
Malita seraya menerima pakaian itu.
"Pakailah," pinta Liliani.
Malita menatap dua orang pemuda yang
masih memandanginya. Banara dan Sarala bisa mengerti. Bergegas mereka memutar
tubuh, membelakangi kedua gadis itu. Liliani membantu Malita mengenakan pakaian
yang diberikannya. Cocok sekali ukuran dan potongan baju Liliani di tubuh
Malita.
"Kau kelihatan cantik dengan
baju ini, Malita," puji Liliani.
Malita hanya tersenyum tipis. Masih
sukar baginya untuk tersenyum, meskipun agak tersipu juga mendengar pujian
Liliani yang bernada begitu tulus.
Sementara Banara dan Sarala sudah
kembali berbalik memandangi kedua gadis itu. Mereka berdiri dan melangkah
menghampiri. Malita kini memandangi dua gundukan tanah yang berada tidak jauh.
Perlahan kakinya melangkah menghampiri. Liliani dan kedua kakaknya mengikuti.
Mereka berdiri mengapit gadis itu yang memandangi dua kuburan dengan sinar mata
nanar.
"Kami menguburkannya
semalam," jelas Liliani tanpa diminta lagi.
"Siapa mereka?" tanya
Banara, agak ditahan suaranya.
Malita tidak menjawab, dan hanya
diam saja dengan kepala tertunduk. Terbayang kembali peristiwa kemarin yang
tidak pernah dilupakannya seumur hidup. Dan api dendam pun langsung tersulut
dalam hatinya. Tapi mengingat kenyataan dirinya yang lemah, dan siapa pemuda yang
dibangkitkan dari kuburnya kemarin, Malita langsung menyadari kalau tidak
mungkin bisa membalas sakit hatinya yang sudah terkoyak ini.
"Lalu, kenapa kau bisa berada
di tengah hutan ini, Malita?" tanya Sarala tidak sabar, melihat Malita
hanya diam saja dengan kepala tertunduk dalam.
Malita tidak langsung menjawab
pertanyaan pemuda itu. Tubuhnya segera diputar berbalik, dan melangkah menjauhi
kuburan itu. Sementara ketiga putra Elang Maut hanya saling melempar pandangan
satu sama lain saja. Mereka kemudian bergegas menyusul Malita yang sudah duduk
lagi di dekat api unggun.
"Kau bisa percaya pada kami
semua, Malita. Jika punya persoalan, atau ingin menceritakan sesuatu, ceritakan
pada kami. Mungkin kami bisa membantumu, Malita," bujuk Liliani.
"Aku akan mengatakan apa yang
terjadi di sini semalam. Tapi jangan paksa untuk mengatakan siapa diriku
sebenarnya," kata Malita, agak ditekan nada suaranya.
"Ceritakan, apa yang kau
ketahui semalam," pinta Sarala tidak sabaran.
Sebentar Malita menarik napas
dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat. Kembali terbayang suatu peristiwa
yang begitu mengerikan, dan tak pernah terbayangkan sebelumnya. Dan yang lebih
mengerikan lagi adalah kejadian yang menimpa dirinya setelah itu. Rasanya sukar
bagi Malita untuk mengatakan, apa yang dilihat dan dialaminya.
"Katakan, Malita...,"
desak Sarala.
"Mengerikan sekali...,"
desis Malita jadi memucat wajahnya.
"Mengerikan...? Apa yang
terjadi, Malita?" desak Sarala lagi semakin tidak sabar.
"Mereka membangkitkan mayat
dari dalam kubur. Dan mereka memanggilnya Raden Gordapala...," begitu
tersendat suara Malita.
"Raden Gordapala..," desis
Banara dan Sarala hampir bersamaan.
Sedangkan Liliani hanya memandangi
kedua kakaknya bergantian. Mereka merasakan seperti berhenti bernapas saat itu
juga, begitu mendengar nama Raden Gordapala disebut Malita. Sedangkan Malita
hanya menatap kosong ke depan. Sama sekali tidak diperhatikannya raut wajah
ketiga putra Elang Maut yang tiba-tiba saja berubah itu.
"Kau tahu, siapa saja mereka
itu, Malita?" tanya Banara setelah beberapa saat terdiam.
"Aku tidak kenal satu persatu,
tapi mereka sangat kejam. Mereka membunuh...," Malita tidak meneruskan.
Gadis itu menarik napas panjang, dan meng-hembuskannya begitu kuat. Hampir saja
dia terlepas bicara dan untung masih bisa ditahan sebelum telanjur.
"Mereka yang meninggal itu
saudaramu, Malita?" tanya Sarala ingin tahu.
Malita tidak menjawab, namun hanya
menundukkan kepalanya saja. Setitik air bening kembali menggulir dari sudut
ekor matanya. Lalu, cepat-cepat air matanya dihapus sebelum jatuh melewati
pipi. Malita menghembuskan napas panjang, mencoba melonggarkan rongga dadanya
yang mendadak jadi terasa, begitu sesak.
"Malita. Kau tahu, ke mana
mereka pergi?" tanya Liliani seperti bisa mengetahui perasaan hari gadis
itu saat ini. Memang, cepat-cepat diluruskannya kembali pembicaraan yang sempat
berbelok akibat pertanyaan Sarala yang tidak bisa dijawab Malita saat ini.
"Tidak...," sahut Malita
perlahan seraya menggelengkan kepalanya. "Aku pingsan, dan tidak tahu
apa-apa lagi."
"Jelas, iblis itu benar-benar
sudah bangkit dari kuburnya, Kakang," ujar Liliani seraya menatap kedua
saudaranya bergantian.
Mereka kembali terdiam membisu,
sibuk dengan pikiran masing-masing yang begitu sulit diterka. Sedangkan Malita
juga terdiam membisu. Pandangannya tetap lurus ke depan. Sinar matanya begitu
kosong, tanpa ada cahaya gairah hidup sedikit pun. Seakan-akan, semangat hidup
dan jiwanya sudah hilang entah ke mana.
"Malita! Kau tahu, berapa
jumlah mereka?" tanya Banara tiba-tiba, setelah cukup lama berdiam diri.
"Tujuh," sahut Malita
singkat.
"Hanya tujuh...? Kau tidak
salah, Malita?" tanya Sarala, seakan-akan tidak percaya atas jawaban
Malita barusan.
"Tidak. Mereka memang tujuh
orang yang membangkitkan mayat itu dari kuburnya. Juga ada kuda hitam yang
aneh," sahut Malita, begitu yakin sekali dengan jawabannya.
"Seharusnya mereka ada delapan,
Kakang...," desis Sarala seraya menatap Banara yang tampak termenung
mendengar jawaban Malita yang begitu polos dan yakin sekali.
Sedangkan Banara hanya diam saja
dengan kening berkerut cukup dalam. Dan saat itu, Malita seperti baru menyadari
akan keadaan saat ini. Dipandanginya ketiga putra Elang Maut itu satu persatu
dengan sinar mata seperti kebingungan. Entah kenapa, gadis itu seakan-akan baru
saja terbangun dari mimpi yang begitu buruk dan mengerikan!
Tapi, Malita tidak mau bertanya,
karena juga tidak ingin dirinya diketahui mereka yang belum dikenal betul.
Meskipun, mereka telah menolongnya dari maut yang siap merenggutnya akibat
tertotok pada pusat jalan darahnya. Sedikit saja terlambat menolongnya, mungkin
saat ini Malita sudah menghuni liang lahat.
"Bagaimana sekarang,
Kakang?" tanya Liliani yang sejak tadi diam saja.
"Bagaimana lagi...? Kita sudah
gagal. Dan mereka sudah berhasil membangkitkan iblis itu dari kuburnya,"
sahut Banara terdengar lesu nada suaranya, seraya mengangkat bahunya sedikit.
"Tapi kebangkitannya belum
sempurna, Kakang. Mereka hanya tujuh orang. Bukankah seharusnya delapan, baru
kebangkitannya bisa sempurna?" selak Sarala.
"Benar, Kakang. Sebaiknya kita
mencari orang terakhir yang memegang pisau emas itu lagi," celetuk Liliani
cepat.
"Kau pikir dunia ini kecil,
Liliani...? Sama saja mencari jarum dalam tumpukan jerami," dengus Banara.
"Aku yakin kita bisa
mengetahuinya, Kakang," ujar Liliani begitu yakin dan bersemangat.
"Bagaimana caranya?" tanya
Banara tidak mengerti jalan pikiran adik bungsunya ini.
"Tiga orang kita sudah tahu.
Yaitu, Iblis Tengkorak Merah dan si Kembar dari Utara. Kita tinggal tanyakan
ciri-ciri yang empat orang lagi pada Malita. Kita pasti bisa menemukan, siapa
orang yang satunya lagi itu, Kakang," jelas Liliani, begitu bersemangat.
"Kau benar, Liliani. Kita bisa
menentukan, siapa yang tidak hadir kemarin," cetus Sarala langsung bisa
memahami jalan pikiran adiknya ini.
Banara mengangguk-anggukkan kepala.
Kemudian, mereka menatap Malita yang tampak terbengong tidak mengerti
pembicaraan ketiga anak muda ini.
"Malita, bisa kau sebutkan satu
persatu ciri-ciri mereka, bukan...?" pinta Liliani, begitu lembut
suaranya.
"Aku tidak yakin, tapi akan ku
coba," sahut Malita agak ragu. Tapi...."
"Tapi kenapa, Malita?" selak
Sarala.
"Kenapa kalian begitu ingin
tahu tentang mereka?" tanya Malita.
"Sukar dikatakan, Malita. Tapi
ini adalah tugas kami untuk menyelamatkan jagat raya ini dari kehancuran oleh
para iblis itu," sahut Banara.
"Kalian akan memburunya?"
tanya Malita lagi.
"Benar," sahut ketiga
putra Elang Maut itu bersamaan. Kedua bola mata Malita jadi berbinar.
Terbetik satu harapan dalam hatinya
untuk membalas sakit hati dari perbuatan pemuda yang dipanggil Raden Gordapala.
Pemuda yang dibangkitkan dari dalam kubur oleh tujuh orang tokoh persilatan
tingkat tinggi, yang dibantu seekor kuda hitam berperangai aneh seperti jelmaan
iblis dari neraka.
Malita kemudian menyebutkan satu
persatu ciri-ciri dari ketujuh orang yang membangkitkan Raden Gordapala dari
dalam kubur. Memang agak tersendat, karena Malita memang tidak begitu
memperhatikan benar. Tapi, ketiga putra Elang Maut itu bisa menebak semua yang
disebutkan Malita satu persatu.
"Jadi, yang tidak ada hanya si
iblis penguasa mata angin ke satu, Kakang," desis Sarala setelah Malita
menyebutkan satu persatu ciri-ciri orang yang membangkitkan Raden Gordapala
dari kuburannya.
"Di mana wilayah mata angin ke
satu itu, Kakang?" tanya Liliani tidak tahu.
"Cukup luas. Karena, daerah itu
meliputi tujuh kerajaan. Di antaranya yang terbesar adalah Kerajaan Giri
Gading, Kerajaan Batang Ketapang, dan Kerajaan Karang Setra," jelas
Sarala.
"Tapi, bukankah semua orang
menganggap Kerajaan Karang Setra adalah pusat dari delapan mata angin pertama,
Sarala...?" tanya Banara ingin kepastian.
"Benar, Kakang. Tapi kita semua
tahu kalau Kerajaan Karang Setra merupakan kerajaan yang damai dan tenteram.
Bahkan begitu damainya, sampai kejahatan kecil saja jarang sekali ditemui.
Terlebih lagi, kabarnya tokoh-tokoh tingkat tinggi beraliran putih banyak
bertempat tinggal di sana. Kabarnya lagi, Raja Karang Setra seorang pendekar
digdaya yang sukar dicari tandingannya saat ini," jelas Sarala lagi.
"Lalu, kerajaan-kerajaan
lain?" tanya Liliani.
"Tidak jauh berbeda dengan
kerajaan di manapun juga. Tapi yang paling lain sendiri di wilayah ke satu dari
delapan penjuru mata angin hanya Kerajaan Karang Setra. Sehingga, kerajaan itu
menjadi panutan kerajaan-kerajaan lain," sahut Sarala lagi.
"Bagaimana, Kakang...?"
tanya Liliani meminta pendapat Banara.
"Kalian ingat, apa kata ayah
sebelum meninggal...?" Banara malah balik bertanya.
Sarala dan Liliani menganggukkan
kepala.
"Bukan hanya manusia. Bahkan
binatang pun akan menjaga wilayahnya agar aman, dan tidak dimasuki musuh. Aku
rasa, kita memang harus ke Karang Setra," tegas Banara.
"Kau yakin, Kakang?" tanya
Liliani.
"Ya! Karena keadaan yang lain
seperti itu membuat aku yakin kalau dia pasti ada di Karang Setra. Rasanya, dia
tidak mungkin mengacau kerajaan itu. Ini sama saja dengan memporak-porandakan
pembaringan sendiri," sahut Banara begitu mantap.
"Kau benar, Kakang. Sebaiknya
kita berangkat saja sekarang, jangan membuang-buang waktu lagi," selak
Sarala seraya bangkit berdiri.
"Tapi bagaimana dengan
Malita?" tanya Banara seraya memandang Malita yang sejak tadi diam saja.
"Biar dia ikut dengan kudaku.
Nanti kalau menemukan desa, kita bisa membeli kuda untuknya," kata Liliani
cepat.
"Baiklah. Ayo kita berangkat
sekarang," ajak Banara menyetujui.
Memang tidak mungkin mereka
meninggalkan Malita seorang diri di tengah hutan yang begitu lebat dan masih
kelihatan liar ini. Mereka kemudian cepat, meninggalkan hutan ini. Malita
memang ikut membonceng pada kuda yang ditunggangi Liliani. Hutan yang begitu
lebat dan rapat, cukup menyulitkan mereka untuk memacu cepat kudanya.
***
LIMA
Suasana di Kerajaan Karang Setra
begitu damai dan tenang. Malahan suasana gembira telah terjadi di dalam Istana
Karang Setra yang begitu besar dan megah. Memang, hari ini mereka bisa kembali
melihat rajanya yang baru saja pulang dari pengembaraannya yang begitu panjang,
seperti tanpa batas akhir.
Rangga, Raja Karang Setra yang juga
dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti memang lebih suka mengembara daripada
berdiam diri dalam istana. Baginya, dekat dengan rakyat jelata merupakan satu
kebahagiaan tersendiri. Terlebih lagi sebagai seorang pendekar. Dia memiliki
suatu tugas yang tidak kecil nilainya. Dan tugas kependekarannya tidak bisa
terlak-sana jika harus berdiam diri saja di dalam istana ini.
"Sepertinya sudah sepuluh tahun
kau meninggalkan istana ini, Kakang," kata Cempaka, adik tiri Rangga.
"Benar, Kakang. Kami semua
begitu rindu dan selalu mengharap agar kau pulang," sambung Danupaksi.
Sedangkan Rangga hanya tersenyum
saja seraya melirik Pandan Wangi yang duduk di samping kirinya. Di taman belakang
istana ini, bukan hanya mereka berempat. Tapi juga ada beberapa orang pembesar
kerajaan dan para panglima serta patih kepercayaan Rangga. Dan seharusnya pula,
mereka berkumpul di Balai Sema Agung. Tapi Rangga lebih senang memilih taman
ini daripada berada dalam ruangan yang pasti dikelilingi para prajurit,
punggawa, serta pembesar lainnya.
"Sekarang aku sudah ada di
tengah-tengah kalian, semua. Ada yang hendak kalian sampaikan...?" ujar
Rangga setelah merasa puas menerima ucapan-ucapan kerinduan dari orang-orang
yang dekat dengannya ini.
"Sampai saat ini, tidak ada
peristiwa penting yang terjadi, Kakang. Semuanya berjalan wajar. Bahkan
pembangunan di kotaraja semakin meningkat pesat," lapor Danupaksi tentang
keadaan Kerajaan Karang Setra selama ditinggal Pendekar Rajawali Sakti.
Dan memang, Rangga mempercayakan
Danupaksi menggantikannya bila tidak ada di istana ini.
"Tidak ada keluhan?" tanya
Rangga lagi.
"Tidak, Gusti Prabu,"
sahut semua orang yang ada di taman itu serentak.
Rangga bukannya tersenyum senang
setelah mendengar jawaban yang begitu serentak, tapi malah mengerutkan
keningnya. Matanya merayapi mereka yang duduk bersila di atas rerumputan,
beralaskan permadani berwarna merah. Semua kepala tertunduk, seakan-akan tidak
ada yang berani membalas tatapan mata Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku lebih senang jika tidak
ada yang main sembunyi," kata Rangga, agak dalam nada suaranya.
"Tidak ada yang disembunyikan,
Kakang," selak Danupaksi cepat-cepat.
"Kau yakin, Danupaksi...?"
Danupaksi tidak langsung menjawab,
tapi malah tertunduk begitu Rangga menatap tajam ke arahnya. Sedangkan Cempaka
juga jadi terbungkam. Biasanya, gadis itu sangat manja pada Rangga.
Tapi kini, sikapnya seperti begitu
kaku. Hal ini membuat Rangga menduga, telah terjadi sesuatu yang disembunyikan
mereka semua padanya. Bahkan bukan hanya Rangga saja yang menduga, tapi juga
Pandan Wangi pun demikian. Rangga menatap seorang gadis cantik yang duduk
bersimpuh di samping Ki Lintuk, seorang tua berjubah putih yang menjadi
penasihat di Istana Karang Setra ini.
Gadis yang bernama Retna Nawangsih
itu juga menundukkan kepalanya. Dia adalah murid Dewi Purmita, adik kandung
ayah Pendekar Rajawali Sakti. Pandangan Rangga kemudian beralih pada Cempaka
yang duduk di samping Pandan Wangi, lalu kembali menatap Retna Nawangsih dan Ki
Lintuk.
"Ki Lintuk...," dalam
sekali nada suara Rangga.
"Hamba, Ananda Prabu,"
sahut Ki Lintuk seraya merapatkan kedua tangan di depan hidung.
"Kau sebagai penasihat di sini,
dan orang tertua di Istana Karang Setra ini. Katakan, apa yang disembunyikan
mereka semua terhadapku," desak Rangga tegas.
"Hamba sendiri tidak tahu,
Ananda Prabu. Hamba baru saja tiba dari pertapaan, begitu mendengar Ananda
Prabu kembali dari pengembaraan yang panjang," sahut Ki Lintuk dengan
sikap begitu hormat.
"Retna...?" Rangga menatap
Retna Nawangsih.
Gadis itu hanya diam saja dengan
kepala tertunduk. Rangga kemudian bertanya pada Batara Yoga, Rakatala, dan
semua orang yang ada di taman ini. Tapi, tak ada seorang pun yang mampu
menjawab. Semuanya terdiam dengan kepala tertunduk. Terakhir, Pendekar Rajawali
Sakti bertanya pada Cempaka dan Danupaksi. Tapi, kedua adik tirinya itu juga
tidak berkata apa-apa.
"Baiklah... Aku tidak akan
memaksa kalian lagi. Mungkin kalian tidak ingin persoalan itu ku campuri.
Baik.... Aku akan melihat saja, bagaimana kalian menyelesaikannya. Dan aku
tidak akan berbuat apa pun sampai kalian datang padaku memintanya," tegas
Rangga seraya bangkit berdiri.
"Kakang...," Pandan Wangi
ikut berdiri.
"Aku tidak pernah menarik
ucapanku, Pandan. Mereka mempunyai persoalan yang tidak ingin ku campuri.
Bahkan juga tidak ingin aku mengetahuinya. Aku tidak akan memaksa. Mereka akan
kuberi kesempatan untuk menyelesaikannya. Aku akan berada di istana ini sampai
persoalan yang kalian rahasiakan padaku bisa terselesaikan"
Setelah berkata demikian, Rangga
segera melangkah meninggalkan taman belakang istana ini. Pandan Wangi jadi
kelihatan kebingungan. Kemudian, bergegas disusulnya Pendekar Rajawali Sakti
yang sudah mencapai pintu keluar dari taman ini. Dua orang prajurit yang
menjaga pintu taman itu segera membungkuk memberi hormat begitu Rangga dan
Pandan Wangi melewatinya.
"Tampaknya, Gusti Prabu marah
terhadap sikap kita," kata Ki Lintuk setelah Rangga dan Pandan Wangi
benar-benar tidak terlihat lagi di taman ini.
"Seharusnya kalian tidak perlu
menutup diri seperti ini. Katakan saja, apa yang sebenarnya. Toh Gusti Prabu
sudah begitu percaya pada kemampuan kalian semua mengatasi segala permasalahan
di Karang Setra ini."
Tak ada seorang pun yang berbicara.
Bahkan Danupaksi sendiri hanya diam membisu. Juga Cempaka yang sudah berdiri di
bawah pohon bersama Retna Nawangsih, hanya bisa diam membisu seperti yang lain.
"Sebenarnya, masalah apa yang
sedang kalian hadapi...?" tanya Ki Lintuk yang memang benar-benar tidak
tahu.
"Tidak ada apa-apa...,"
sahut Danupaksi agak mendesah seraya melangkah pergi meninggalkan taman itu.
Sikap Danupaksi seperti tidak ambil
peduli. Dan hal inilah yang membuat kening Ki Lintuk jadi berkerut semakin
dalam. Kepergian Danupaksi diikuti Cempaka dan Retna Nawangsih, lalu disusul
Batara Yoga, Rakatala dan yang lainnya. Hingga tinggal Ki Lintuk seorang diri
yang masih berada dalam taman itu.
"Ada apa ini...? Kenapa mereka
jadi bersikap aneh begitu...?" Ki Lintuk jadi bertanya-tanya sendiri.
***
Sementara itu Rangga berdiri
mematung di depan jendela dalam kamarnya. Sengaja pintu jendela hanya sedikit
saja dibuka untuk mengawasi keadaan di luar. Sementara, Pandan Wangi yang juga
berada dalam kamar itu hanya memperhatikan saja di kursi tidak jauh dari situ.
Sejak meninggalkan pertemuan di taman tadi, Rangga terus berdiri di depan
jendela memandangi ke luar tanpa bergeming sedikit pun.
"Seharusnya kau paksa mereka
untuk mengatakannya, Kakang. Aku yakin, mereka menyembunyikan sesuatu yang
tidak ingin diketahui," ujar Pandan Wangi, agak perlahan suaranya.
"Mereka orang-orang yang taat
pada sumpah dan janji. Meskipun aku membunuhnya, tidak bakalan ada yang
bersedia membuka mulut, Pandan," kata Rangga, juga perlahan suaranya.
"Tapi kau mengatakan kalau
tidak mau ikut campur sampai mereka memintamu, Kakang. Lalu, kenapa sekarang
kau malah akan menyelidikinya...?"
"Aku berkata seperti itu agar
mereka tenang, Pandan. Mereka pasti menyangka aku akan diam saja, dan tidak mau
tahu lagi persoalan yang disembunyikan itu," sahut Rangga membuka akalnya
di taman tadi.
"Oh.... Jadi itu hanya siasat
mu saja...?"
"Tepat"
"Dan kau akan tahu, di saat
mereka mengatakannya nanti. Begitu, bukan...?"
"Pintar juga kau," puji
Rangga bergurau.
"Tentu, dong.... Percuma aku
mengikutimu terus kalau tidak pintar," cibir Pandan Wangi.
Rangga berpaling menatap gadis yang
dikenal berjuluk si Kipas Maut itu. Sedangkan Pandan Wangi pura-pura tidak
tahu. Diteguknya arak di dalam cawannya hingga tandas tak bersisa lagi. Lalu,
diisinya kembali hingga penuh.
"Kau bersedia membantuku,
Pandan...?" pinta Rangga tetap memandangi gadis itu.
"Tentu! Aku selalu siap
membantumu," sahut Pandan Wangi diiringi senyuman yang begitu manis.
"Tolong cari keterangan di luar
istana. Kau tidak begitu dikenal, jadi bisa bebas di luar istana ini,"
kata Rangga, meminta.
"Kenapa harus di luar, Kakang?
Bukankah persoalannya justru ada di dalam lingkungan istana sendiri...?"
tanya Pandan Wangi. Gadis itu benar-benar tidak mengerti permintaan Pendekar
Rajawali Sakti barusan.
"Tidak ada sesuatu yang terjadi
di dalam istana ini, Pandan. Kalaupun ada..., pasti datangnya dari luar. Dan
lagi, biasanya keterangan dari luar istana bisa lebih lengkap dan tidak
dibuat-buat," jawab Rangga beralasan.
"Lalu, apa yang harus
kulakukan?" tanya Pandan Wangi tidak menerima alasan Rangga.
"Jangan bertanya apa pun dan
pada siapa pun juga. Kau hanya memperhatikan saja setiap pelosok kotaraja ini.
Laporkan cepat jika ada sesuatu yang janggal padaku," ujar Rangga lagi.
"Sulit juga...," desah
Pandan Wangi menggumam.
"Apanya yang sulit?" tanya
Rangga kembali memperhatikan keadaan di luar dari balik jendela kamar ini.
"Bagaimana aku bisa mendapat
keterangan kalau tidak boleh bertanya apa-apa, Kakang...?" Desah Pandan
Wangi mengeluh.
"Bukan itu yang kuinginkan,
Pandan. Aku ingin kau bisa mengetahui keadaan di Kerajaan Karang Setra ini.
Dari keadaan itu bisa diambil satu kesimpulan dari semua sikap mereka yang
tidak biasanya ini. Kau mengerti maksudku...?" Rangga mencoba menjelaskan.
Pandan Wangi terdiam. Keningnya kelihatan
berkerut, mencoba mencerna semua kata-kata dan keinginan Pendekar Rajawali
Sakti. Cukup lama juga dia bisa memahami, dan baru menganggukkan kepalanya.
Rangga tersenyum melihat Pandan Wangi bisa me ngerti maksudnya.
"Aku pergi sekarang,
Kakang," pamit Pandan Wangi sambil berdiri.
"Kalau bisa, jangan sampai ada
orang yang tahu Pandan. Mereka main rahasia, kita juga harus begitu,"
pesan Rangga.
"Kau bisa mempercayai ku,
Kakang," sahut Pandan Wangi diiringi senyum manis sekali. Gadis yang
berjuluk si Kipas Maut itu kemudian keluar dari kamar ini.
Sedangkan Rangga kembali
memperhatikan keluar melalui jendela yang sedikit terbuka. Tapi tak lama
kemudian, kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut. Dari jendela kamar ini,
memang bisa melihat langsung pintu rahasia yang biasanya dipakai untuk keluar
dan masuk istana ini.
"Mmm.... Kenapa dia keluar dari
pintu rahasia...?" gumam Rangga bertanya sendiri.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian
membuka jendela kamarnya lebar-lebar. Sebentar diperhatikannya keadaan
sekeliling. Tak terlihat seorang prajurit pun di sekitar luar kamar ini.
Keadaannya begitu sunyi.
"Aku akan mengikuti,"
desis Rangga dalam hati. "Hup...!"
Ringan sekali gerakan Rangga ketika
melompati jendela. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Pendekar Rajawali Sakti
menjejakkan kakinya tepat di depan pintu rahasia yang sudah tertutup lagi.
Memang sulit membedakan antara pintu dengan dinding tembok yang mengelilingi
istana ini. Sementara Rangga mengedarkan pandangan berkeliling, kemudian baru
mendorong pintu batu yang ukuran dan warnanya sama dengan dindingnya.
Rangga bergegas menerobos pintu
rahasia itu, dan kembali menutupnya. Kini, Pendekar Rajawali Sakti sudah berada
di bagian belakang dari Istana Karang Setra. Tak terlihat seorang pun di
sekitarnya. Tapi Pendekar Rajawali Sakti masih sempat melihat sebuah bayangan
berkelebat cepat, masuk ke dalam hutan yang berada tepat di bagian belakang
Istana Karang Setra itu.
"Hup...!" Bergegas Rangga
melompat mengejar bayangan yang berkelebat dan menghilang di dalam hutan itu.
Gerakannya sungguh cepat dan ringan, sehingga sukar melihat jelas. Hanya
bayangan tubuhnya saja yang terlihat berkelebat cepat menembus ke dalam hutan yang
tidak begitu lebat ini.
"Hup...!" Kembali Rangga
melentingkan tubuh ke udara. Dengan manis sekali kakinya hinggap di atas cabang
pohon yang cukup tinggi. Sesaat pandangannya beredar berkeliling. Bibirnya
menyunggingkan senyuman, begitu melihat bayangan yang diikutinya kembali
terlihat berkelebat cepat dari satu pohon ke pohon lainnya.
"Hm.... Dia menuju ke kuil. Aku
harus mendahuluinya," gumam Rangga berkata sendiri dalam hari.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki
Pende-kar Rajawali Sakti memang sudah mencapai tingkat sempurna. Tak heran bila
tidak mengalami kesulitan sedikit pun saat berlompatan dari satu pohon ke pohon
lain. Begitu ringan bagaikan kapas tertiup angin. Bahkan kecepatannya luar
biasa bagai kilat. Hingga sebentar saja, bayangan itu sudah bisa tersusul.
Pendekar Rajawali Sakti terus berkelebat menuju ke kuil yang ada di
tengah-tengah hutan ini.
***
Rangga duduk tenang di tangga kuil
yang berbentuk candi dan terbuat dari tumpukan batu. Matanya tidak berkedip
memperhatikan seseorang yang berlarian cepat menuju ke kuil ini. Orang itu
tampak terkejut begitu tiba di halaman depan kuil. Bola matanya terbeliak
melihat Rangga sedang duduk tenang di tangga yang menuju langsung ke pintu kuil
itu.
"Kenapa terkejut melihatku,
Panglima Rakatala...?" tegur Rangga kalem, diiringi senyum manis sekali.
Laki-laki yang diikuti Rangga tadi,
memang Panglima Rakatala. Dia salah seorang panglima perang Kerajaan Karang
Setra. Laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun itu segera berlutut,
dan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung. Sedangkan Rangga masih
tetap duduk tenang di tangga kuil ini. Pandangannya malah beredar berkeliling.
Memang sunyi sekali kuil ini.
Kuil yang berada di tengah-tengah
hutan ini memang sengaja dibangun hanya untuk tempat persinggahan, jika para
keluarga dan kerabat serta pembesar Istana Karang Setra ingin berburu. Dan
hutan ini juga sengaja dipertahankan untuk ajang berburu.
"Kemarilah, Paman
Panglima," ujar Rangga, memanggil.
"Hamba, Gusti Prabu," ujar
Panglima Rakatala seraya memberi hormat dengan merapatkan kedua tangan di
depart hidung.
Panglima Rakatala kemudian bangkit
berdiri, dan melangkah menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian, dia duduk
dengan jarak dua undakan tangga kuil ini. Sikapnya begitu hormat, tapi Rangga
bisa menangkap adanya kecemasan di mata panglimanya.
"Sudan lama sekali aku tidak
berburu lagi di hutan ini. Kau sering ke sini, Paman...?" tanya Rangga
seraya menatap panglimanya itu.
"Tidak, Gusti Prabu. Tugas di
istana begitu banyak membutuhkan perhatian hamba," sahut Panglima Rakatala
penuh rasa hormat.
"Ya.... Aku juga merasa kalau
kuil ini jarang dikunjungi. Kau lihat saja keadaannya. Begitu kumuh dan
kotor," kata Rangga sambil mengedarkan pandangan berkeliling.
"Maafkan hamba, Gusti. Prabu.
Akan hamba utus para prajurit untuk membersihkan kuil ini," ucap Panglima
Rakatala.
Rangga tersenyum dan bangkit
berdiri, kemudian melangkah menaiki undakan anak-anak tangga kuil ini. Panglima
Rakatala ikut berdiri dan melangkah di belakang Pendekar Rajawali Sakti. Mereka
terus berjalan sampai berada di depan pintu kuil yang tertutup rapat. Perlahan
Rangga membuka pintu kuil itu, dan melangkah masuk ke dalam. Panglima Rakatala
mengikuti sampai mereka berada di dalam ruangan kuil yang tampak begitu megah
dan indah.
"Aku sudah memeriksa keadaan
kuil ini. Tidak pernah berubah. Hanya saja...," ucap Rangga terputus.
"Hanya apa, Gusti Prabu?"
tanya Panglima Rakatala.
"Aku melihat ada sebuah benda
yang tidak pernah ku tempatkan di dalam kuil ini," kata Rangga, masih
terdengar tenang dan perlahan suaranya.
Entah kenapa, wajah Panglima
Rakatala seketika itu juga jadi memucat. Beberapa kali air liurnya ditelan,
untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak saja jadi terasa begitu kering.
Sedangkan Rangga sudah berada di
depan sebuah area dari batu yang berbentuk seekor burung rajawali. Area ini
sengaja dibuat untuk menghormati Rajawali Putih yang telah berjasa
menyelamatkan hidupnya dan membimbingnya, hingga menjadi seorang pendekar digdaya
yang sukar dicari tandingannya.
Kemudian, Rangga kembali melangkah
menghampiri sebuah lemari dari kayu berukir yang penuh berisi berbagai macam
senjata dari segala bentuk dan ukuran. Bahkan ada beberapa buah perisai yang
terbuat dari emas. Pendekar Rajawali Sakti memperhatikan senjata-senjata itu
satu persatu. Kemudian, diambilnya sebilah pisau berukuran kecil yang tampaknya
terbuat dari emas murni. Rangga kembali melangkah menghampiri Panglima Rakatala
sambil membawa pisau kecil berwarna kuning emas itu.
"Rasanya aku belum pernah
melihat benda ini, Paman Panglima. Milik siapa ini...?" tanya Rangga
seraya menunjukkan pisau kecil berwarna kuning emas itu.
Panglima Rakatala tidak langsung
menjawab. Ludahnya ditelan beberapa kali. Dia tampak begitu gelisah melihat
pisau emas berada dalam genggaman Pendekar Rajawali Sakti. Melihat sikap
panglimanya jadi gelisah begitu, Rangga jadi berkerut keningnya.
"Kenapa diam, Paman? Kau tahu
milik siapa ini, bukan...?" desak Rangga.
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Hamba...,
hamba...," suara Panglima Rakatala jadi tergagap.
"Kau tahu kan, Paman...? Kuil
ini ku bangun untuk menyimpan barang-barang yang sangat bersejarah bagi seluruh
rakyat Karang Setra, selain untuk persinggahan. Siapa saja boleh singgah ke
dalam kuil ini, Mereka bisa melihat dari dekat sejarah berdirinya Karang Setra.
Dan semua yang ada di sini memiliki arti dan makna yang sangat dalam. Tapi,
pisau emas ini tidak kukenal. Dan aku yakin, pisau ini tidak memiliki arti apa
pun bagi Karang Setra. Maka kuharap kau bisa menjelaskannya padaku,
Paman," desak Rangga lagi.
Belum juga Panglima Rakatala bisa
membuka suara, tiba-tiba saja...
"Ha ha ha...!"
"Oh...?!"
"Hm...."
Panglima Rakatala jadi terkejut
setengah mati, begitu tiba-tiba saja terdengar suara tawa keras menggelegar
dari luar kuil ini. Sedangkan Rangga hanya menggumam kecil perlahan sekali.
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti
memandangi wajah Panglima Rakatala, kemudian bergegas melangkah mendekati pintu
keluar kuil ini. Pisau kecil berwarna keemasan, diselipkan ke balik ikat
pinggangnya. Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut begitu berada di luar
kuil. Di tengah-tengah halaman depan kuil ternyata sudah ada dua orang
laki-laki. Wajah dan bentuk tubuh mereka sama persis, sehingga sukar membedakan
antara satu dengan yang lainnya. Hanya warna pakaiannya saja yang bisa
membedakannya.
Satu persatu Rangga menuruni anak
tangga kuil itu. Sementara Panglima Rakatala hanya berdiri saja di depan pintu
kuil, kemudian baru bergegas menuruni tangga kuil itu. Sedangkan Rangga kini
sudah berada di depan laki-laki kembar itu. Panglima Rakatala kemudian langsung
berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti.
***
ENAM
"Siapa kalian?" tanya
Rangga langsung, seraya merayapi kedua orang kembar itu dengan sinar mata
tajam.
"Aku Iblis Biru. Dan ini
saudaraku Iblis Hitam. Kami dijuluki Iblis Kembar dari Utara," sahut
laki-laki kembar yang mengenakan baju warna biru.
"Lalu, apa maksud kalian datang
ke kuil ini?" tanya Rangga lagi.
"Junjungan kami pernah datang
ke kuil ini, dan menitipkan sesuatu di sini. Sekarang, kami ingin mengambilnya
kembali atas perintah junjungan kami," sahut Iblis Biru, tegas dan lantang
suaranya.
"Boleh ku tahu, pada siapa dan
benda apa yang dititipkan itu...?" tanya Rangga.
"Sayang, kami tidak tahu
orangnya. Seharusnya dia datang ke Hutan Gronggong tiga hari yang lalu untuk
menyerahkan titipan itu. Tapi, dia tidak muncul. Maka terpaksa kami yang harus
mengambilnya sendiri," sahut Iblis Hitam.
Dan benda itu berbentuk pisau kecil
yang terbuat dari emas murni," sambung Iblis Biru.
"Hm...," Rangga jadi
menggumam kecil dengan kening berkerut. Rangga kini tahu, ternyata pisau emas
itu yang menjadi pangkal persoalannya. Dan kini Pendekar Rajawali Sakti juga
tahu, ternyata sikap diam semua pembesar Istana Karang Setra hanya karena tidak
ingin junjungannya tahu kalau kuilnya telah dimasuki benda asing yang tidak ada
hubungannya sama sekali dengan sejarah Karang Setra. Rangga bisa memaklumi,
karena memang sudah menjatuhkan kata larangan untuk tidak memasukkan benda apa
pun ke dalam kuil ini tanpa persetujuannya. Terlebih lagi, yang tidak memiliki
arti di Karang Setra.
"Aku tidak tahu benda yang
kalian maksudkan Itu. Jika kalian bisa menunjukkan pada siapa benda itu
dititipkan, mungkin bisa kuserahkan kembali pada kalian. Apalagi, kuil ini
memang terlarang bagi benda-benda asing yang tidak ada arti dan hubungan dengan
sejarah Karang Setra," tegas Rangga.
"Junjungan kami mengatakan,
benda itu dititipkan pada orang yang berada di kuil ini. Jika kau pemiliknya,
itu berarti kau yang menerima titipan itu!" dengus Iblis Biru ketus.
"Maaf! Aku tidak suka terhadap
tuduhan tanpa bukti," desis Rangga tersinggung.
"Kau ingin mengelak rupanya.
Baik.... Kami bisa melakukan segala cara untuk mendapatkan pisau emas titipan
junjungan kami!" dengus Iblis Hitam jadi berang atas sikap Rangga.
"Hm...," lagi-lagi Rangga
menggumam perlahan.
"Gusti...," ujar Panglima
Rakatala.
"Kau diam saja, Paman. Biar aku
yang mengurus...!" dengus Rangga.
Panglima Rakatala jadi terdiam. Dia
tahu, Pendekar Rajawali Sakti sudah tersinggung atas ucapan Iblis Kembar dari
Utara tadi. Dan ketersinggungan Rangga juga sudah mulai nampak saat mendapati
sikap adik-adik tirinya, dan juga seluruh pembesar Kerajaan Karang Setra tidak
mau berterus terang. Panglima Rakatala jadi semakin gelisah. Disadari kalau
Pendekar Rajawali Sakti sudah mengetahui apa yang dirahasiakan selama ini. Dia
juga bisa memaklumi kalau Rangga tampak jadi berang.
"Hanya ada satu pilihan
untukmu, Kisanak. Serahkan pisau emas itu pada kami, atau kalian berdua akan
menerima akibatnya. Kami bisa menghancurkan kuil ini dalam sekejap," desis
Iblis Biru dingin, bernada mengancam.
"Kuil ini terlalu suci untuk
dijamah tangan-tangan kotor macam kalian berdua. Sebaiknya, kalian cepat enyah
dari sini!" balas Rangga tidak kalah tajamnya.
"Keparat..!" desis Iblis
Biru menggeram marah.
"Kau benar-benar cari mampus,
Setan...!" Iblis Hitam juga tidak bisa menahan kemarahannya.
Sedangkan Rangga hanya tersenyum
sinis saja. Tangan kirinya kemudian bergerak sedikit. Maka Panglima Rakatala
yang melihat tanda itu segera menarik kakinya ke belakang beberapa langkah
menjauhi Pendekar Rajawali Sakti. Sudah bisa dibaca keadaan yang tampak semakin
memanas ini. Dia tahu kalau pertarungan memang tidak mungkin lagi bisa
dihindari.
"Mampus kau! Hiyaaat..!"
Iblis Hitam melepaskan satu pukulan keras menggeledek ke arah Rangga.
"Uts!" Dengan satu gerakan
manis, Pendekar Rajawali Sakti mengegoskan tubuhnya, sambil memapak dengan
tangan kiri. Sehingga, serangan yang tiba-tiba itu berhasil ditangkisnya.
"Mampus kau! Hiyaaat...!"
Tiba-tiba saja Iblis Hitam melompat cepat menyerang Pendekar Rajawali Sakti
sambil melepaskan satu pukulan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi ke arah dada.
"Uts!" Namun dengan satu
gerakan manis sekali, Rangga mengegoskan tubuhnya, sambil memapak dengan tangan
kiri. Sehingga, serangan yang dilancarkan Iblis Hitam tidak mengenai sasaran.
Tapi belum juga tubuhnya tegak kembali, mendadak saja Iblis Biru sudah
mengebutkan kaki hendak menyampok kaki Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Yeaaah...!"
Rangga segera melentingkan tubuhnya
ke udara menghindari sampokan kaki Iblis Biru. Beberapa kali Pendekar Rajawali
Sakti berputaran di udara. Lalu tiba-tiba saja, tubuhnya meluruk dengan kedua
kaki bergerak begitu cepat mengincar kepala kedua laki-laki kembar yang
berjuluk Iblis Kembar dari Utara. Dari gerakannya, bisa dipastikan kalau Rangga
menggunakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Salah satu jurus dahsyat
dari li-ma rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'.
Namun Iblis Kembar dari Utara bisa
menghindari serangan dahsyat dari jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa',
meskipun tampak kelabakan sekali menghindarinya. Beberapa kali Rangga
menggunakan jurus itu. Akibatnya, kedua laki-laki kembar ini terpaksa harus
berjumpalitan menghindarinya. Dan tiba-tiba saja, Pendekar Rajawali Sakti cepat
sekali merubah gerakannya.
"Yeaaah...!"
Tepat di saat kaki Pendekar Rajawali
Sakti menjejak tanah, bagaikan kilat dilepaskannya satu pukulan keras dari
jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' ke arah dada Iblis Hitam. Begitu cepatnya
serangan dari pergantian jurus yang dilakukan Rangga, sehingga Iblis Hitam
tidak punya kesempatan untuk menghindari diri lagi.
Des!
"Akh...!" Iblis Hitam
terpekik keras agak tertahan. Begitu kerasnya pukulan yang dilepaskan Pendekar
Rajawali Sakti, sehingga membuat tubuh laki-laki kembar itu terpental deras ke
belakang. Dan sebatang pohon yang cukup besar seketika itu juga hancur
berkeping-keping terlanda tubuhnya.
Pada saat itu, Rangga sudah cepat
memutar tubuhnya. Dan tubuhnya segera dimiringkan ke kanan, di saat Iblis Biru
melepaskan satu pukulan keras menggeledek bertenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
Tanpa diduga sama sekali, tangan
kiri Rangga melepaskan satu sodokan keras ke arah perut si Iblis Biru. Begitu
cepat serangan balik yang dilakukannya, sehingga tidak mudah bagi Iblis Biru
untuk menghindari.
Begk!
"Hegkh...! Iblis Biru mengeluh
pendek. Tubuhnya terbungkuk begitu perutnya terkena sodokan keras tangan kiri
Pendekar Rajawali Sakti. Dan di saat tubuh Iblis Biru terbungkuk itu, cepat
sekali Rangga melepaskan satu pukulan keras ke wajah laki-laki kembar itu.
Plak!
"Aaakh...!" Iblis Biru
terpekik keras.
Kepala Iblis Biru langsung terdongak
begitu wajahnya terkena pukulan keras yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti.
Tampak dari mulut dan hidungnya mengalir darah agak kental. Iblis Biru
terhuyung-huyung ke belakang sambil menutupi wajah dengan kedua tangannya. Dan
satu tendangan menggeledek yang tiba-tiba dilepaskan Rangga, membuat tubuh
Iblis Biru terpental jauh ke belakang. Iblis Biru terjengkang ke tanah, tepat
di samping saudara kembarnya yang baru saja berusaha bangkit berdiri.
Sementara Rangga berdiri tegak
berkacak pinggang, menatap tajam Iblis Kembar dari Utara. Sementara kedua
laki-laki kembar itu berusaha bangkit berdiri sambil merintih menahan sakit.
"Sebaiknya kalian cepat pergi
dari sini, sebelum pikiranku berubah!" desis Rangga. Terdengar dingin nada
suaranya.
Iblis Kembar dari Utara menatap
tajam penuh dendam pada Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian sambil mendengus,
mereka cepat berlompatan pergi. Meskipun dalam keadaan terluka, namun gerakan
mereka masih cukup gesit juga. Sehingga dalam waktu tidak berapa lama saja,
sudah tidak terlihat lagi ditelan hutan yang tidak seberapa lebat ini.
Rangga baru membalikkan tubuhnya
menghadap Panglima Rakatala, setelah Iblis Kembar dari Utara tidak terlihat
lagi. Panglima Rakatala langsung menghampiri Pendekar Rajawali Sakti, dan
menjatuhkan diri berlutut begitu dekat di depannya.
"Bangunlah, Paman," ujar
Rangga, terdengar berwibawa suaranya.
"Hamba, Gusti Prabu,"
sahut Panglima Rakatala seraya bangkit berdiri.
"Hhh...!" Rangga
menghembuskan napas panjang setelah Panglima Rakatala berdiri di depannya.
Panglima Rakatala berdiri sambil menundukkan kepala. Seakan-akan tidak sanggup
lagi membalas sorot mata Rangga yang begitu tajam menusuk. Rangga memutar
tubuhnya, lalu berjalan beberapa langkah menjauhi panglimanya itu. Terdengar
tarikan napasnya yang berat dan panjang beberapa kali.
"Aku sudah berjanji tidak akan
mencampuri urusan ini sampai ada yang meminta. Tapi, rasanya aku tidak bisa
tinggal diam bila sudah melibatkan kuil suciku ini," desah Rangga, terasa
agak berat nada suaranya.
"Gusti Prabu bisa menarik janji
itu kembali. Hamba meminta Gusti Prabu untuk menyelesaikannya," ujar
Panglima Rakatala.
"Apa yang bisa kuselesaikan,
Paman? Sedangkan aku sendiri tidak tahu permasalahannya," desak Rangga perlahan.
"Titik persoalannya sebenarnya
ada pada hamba, Gusti Prabu. Hamba akan menceritakannya, tapi mohon Gusti Prabu
mau berjanji," kata Panglima Rakatala.
"Janji apa?" Rangga
memutar tubuhnya berbalik menghadap Panglima Rakatala lagi.
"Gusti Prabu tidak akan
menyalahkan yang lain karena sikap tutup mulut mereka. Terutama, pada Gusti
Danupaksi," pinta Panglima Rakatala.
"Kenapa...?"
"Karena mereka sebenarnya hanya
ingin menolong hamba, Gusti Prabu."
"Katakan saja, apa
persoalannya. Dan aku juga punya pertimbangan sendiri," ujar Rangga.
"Baiklah, Gusti Prabu..."
"Nah.... Katakan
sekarang," pinta Rangga.
"Lebih kurang tiga purnama yang
lalu, hamba menemukan seorang laki-laki yang usianya sebaya dengan hamba, Gusti
Prabu. Laki-laki itu sudah tewas, dengan leher hampir buntung...,"
Panglima Rakatala memulai menceritakan.
"Di mana kau temukan?"
tanya Rangga.
"Di depan kuil ini, Gusti
Prabu," sahut Panglima Rakatala.
"Hm..., lalu?" "Hamba
tidak tahu, siapa dia dan kenapa sampai tewas seperti itu di sini. Hamba lalu
memberi tahu Gusti Danupaksi yang saat itu sedang mengadakan persidangan di
Balai Sema Agung. Sehingga, semua pembesar yang ada langsung datang ke sini.
Jadi semuanya tahu," sambung Panglima Rakatala menceritakan peristiwa yang
terjadi di depan kuil ini.
"Hm..., teruskan."
"Dua hari setelah peristiwa
itu, hamba kembali lagi ke sini. Pada saat itu, hamba melihat seekor kuda hitam
yang sangat aneh. Binatang itu bisa mengeluarkan api dari mulutnya. Lalu hamba
diberi sebilah pisau kecil emas dari dalam mulutnya. Kuda aneh itu langsung
pergi setelah memberi hamba sebilah pisau, Gusti Prabu. Hamba tidak mengerti,
apa maksudnya. Dan semua ini hamba ceritakan pada Gusti Danupaksi, serta semua
pembesar kerajaan di Balai Sema Agung Istana Karang Setra," sambung
Panglima Rakatala lagi.
"Hm.... Selama itu, apa ada
sesuatu yang terjadi di sini?" tanya Rangga ingin tahu lebih banyak lagi.
"Tidak, Gusti. Tidak ada
peristiwa apa pun juga. Tapi tiga hari yang lalu, hamba telah bermimpi aneh. Dalam
mimpi, hamba ditemui seorang pemuda seperti seorang putra raja. Dia meminta
hamba ke Hutan Gronggong dengan membawa pisau itu," sahut Panglima
Rakatala.
"Kau pergi ke sana?" tanya
Rangga.
"Tidak, Gusti."
"Kenapa?"
"Karena hamba mendapat tugas
menumpas gerombolan perampok yang merajalela di desa sebelah Utara Karang
Setra. Perampok itu menuntut agar kami melepaskan pemimpinnya. Padahal, kami
semua tidak tahu tentang pemimpin mereka. Dan baru kemarin hamba bisa menumpas
mereka, Gusti Prabu. Kemudian hamba langsung pulang setelah membereskan
segalanya," jelas Panglima Rakatala lagi.
Rangga terdiam dengan kepala
terangguk bebe-rapa kali. Sebentar matanya menatap lurus ke depan, lalu beralih
memandang Panglima Rakatala. Untuk beberapa saat, tak ada yang membuka suara.
"Paman, kau tahu nama pangeran
yang datang dalam mimpimu?" tanya Rangga setelah cukup lama terdiam.
"Ya! Dia sempat menyebutkan
namanya," sahut Panglima Rakatala.
"Siapa?" "Raden
Gordapala.... Bahkan dia memanggil hamba dengan nama Tangan Baja."
Kepala Rangga kembali bergerak
terangguk beberapa kali. Kemudian menghampiri panglimanya itu, lalu
ditepuk-tepuk pundaknya sambil menyunggingkan senyuman. Panglima Rakatala jadi
tidak mengerti atas sikap Pendekar Rajawali Sakti. Dia hanya menuruti saja saat
Rangga mengajak berjalan meninggalkan kuil di tengah hutan ini. Mereka terus
berjalan tanpa bicara sedikit pun. Hingga jauh meninggalkan kuil, belum juga
ada yang membuka suara lagi.
"Kau tahu, Paman. Siapa Gordapala
itu?" tanya Rangga setelah cukup lama juga berdiam diri.
"Tidak, Gusti," sahut
Panglima Rakatala.
"Gordapala sebenarnya sudah
mati. Dia penguasa dari segala bentuk kejahatan di seluruh penjuru delapan mata
angin di dunia ini. Sudah beberapa kali dia mati, lalu bisa bangkit kembali,
selama para pengikut setianya yang masing-masing berkuasa pada satu penjuru
mata angin masih tetap hidup dan berkuasa. Itulah sebabnya, kenapa Raden
Gordapala selalu disebut dengan julukan Jago dari Alam Kubur. Karena, memang
sulit untuk bisa melenyapkan dia selama-lamanya. Kalaupun ada yang bisa
membunuhnya, dalam waktu tidak lama dia bisa bangkit kembali," jelas
Rangga.
"Oh...?! Lalu, kenapa dia
menemui hamba, Gusti Prabu?" tanya Paman Rakatala terkejut tidak mengerti.
"Dia pasti menyangka, kau
adalah salah satu dari pengikutnya, Paman. Kau tahu, Karang Setra ini juga
dikenal sebagai pusat dari penjuru mata angin yang pertama. Dan aku yakin,
orang yang kau temukan tewas di depan kuil adalah pemimpin daerah delapan penjuru
mata angin pertama. Karena kau yang pertama kali melihat dan menyentuhnya, maka
kuda suruhan Raden Gordapala mengira kau adalah pemimpin yang dimaksud,"
Rangga menjelaskan lagi. "Itulah sebabnya, kenapa kuda itu memberimu
sebilah pisau emas. Dan kau mendapat perintah melalui mimpi untuk datang ke
Hutan Gronggong. Kau tahu apa maksudnya...?"
Panglima Rakatala hanya
menggelengkan kepala saja.
"Raden Gordapala, atau juga
Jago dari Alam Kubur itu mengumpulkan delapan pemimpin penjuru mata angin. Dan
pasti dia sudah memberi pisau emas untuk satu orang. Dengan pisau emas yang
disatukan ke dalam tubuhnya, maka Raden Gordapala bisa bangkit kembali," tambah
Rangga.
"Oh...! Apakah Iblis Kembar
dari Utara itu salah satu pemimpin delapan mata angin, Gusti?" tanya
Panglima Rakatala sudah bisa mengerti akan keadaan yang dihadapi sekarang ini.
"Ada kemungkinan begitu, Paman.
Karena biasanya, satu sama lain dari mereka tidak saling mengenal. Bahkan sulit
mengenali. Mereka memang sering kali bersikap adil dan bijaksana di dalam
kehidupan bermasyarakat, tapi sebenarnya merekalah yang menjadi otak dari
segala macam kekacauan di muka bumi ini."
"Mengerikan sekali...,"
desis Panglima Rakatala.
"Lebih mengerikan lagi kalau
Jago dari Alam Kubur itu sudah bisa bangkit lagi, Paman. Maka kita semua akan
terkena akibatnya. Karena dengan tujuh pisau emas saja, dia bisa bangkit lagi
dari alam kubur. Walaupun, tidak sempurna benar. Hhh.... Kita akan menghadapi
suatu masalah besar, Paman."
"Oh, Gusti.... Kenapa hal ini
justru menimpa pada kita...?" keluh Panglima Rakatala.
"Tidak perlu disesali, Paman.
Semua sudah terjadi. Dan kita harus memikirkan cara untuk menghadapi mereka,"
tegas Rangga.
"Ini semua salah hamba, Gusti.
Seharusnya hamba menceritakan hal ini sejak semula," Panglima Rakatala
menyesali diri.
"Tidak ada yang salah dalam hal
ini, Paman. Semua yang terjadi di dunia ini sudah diatur Hyang Widi. Jadi tidak
patut kalau menyesali diri. Yang harus kita lakukan adalah menghadapi semua ini
dengan hati bersih," kata Rangga bijaksana.
"Ampunkan hamba, Gusti
Prabu...," desah Panglima Rakatala seraya menjatuhkan diri, berlutut
didepan Pendekar Rajawali Sakti.
"Sudahlah, Paman. Bangkitlah...
Tidak baik jika dilihat orang," Rangga cepat-cepat membangunkan panglima
ini.
Mereka kembali melangkah melalui
jalan rahasia yang langsung menuju Istana Karang Setra. Tak ada lagi yang
bicara. Terlebih, Panglima Rakatala yang kini sudah bisa mengerti dan memahami
keadaan yang terjadi. Hatinya benar-benar menyesal, karena tidak cepat
mengatakan hal yang sebenarnya pada Pendekar Rajawali Sakti yang juga Raja
Karang Setra. Padahal dia tahu, di mana Rangga saat itu berada ketika menerima
pisau emas dari kuda ajaib Raden Gordapala yang dikenal berjuluk Jago Alam
Kubur itu.
***
TUJUH
Sejak matahari belum menampakkan
diri, Rangga sudah meninggalkan Istana Karang Setra. Sudah dua hari ini, Pandan
Wangi tidak kelihatan di dalam istana. Dan memang, si Kipas Maut itu sedang
menjalankan tugas yang dibebankan Pendekar Rajawali Sakti. Kepergian Rangga
dari istana pun secara diam-diam, dan melalui jalan rahasia yang tidak banyak
orang tahu.
Sampai matahari tinggi berada di
atas kepala, Rangga terus berada di punggung kuda mengelilingi wilayah Kotaraja
Kerajaan Karang Setra. Pendekar Rajawali Sakti baru berhenti dan turun dari
punggung kuda setelah sampai di sebuah sungai kecil yang berair jernih.
Dibiarkan saja kudanya melepaskan dahaga di sungai itu. Sedangkan dia sendiri
berdiri tegak memandangi sebuah gunung yang berdiri angkuh menjulang tinggi
menentang langit.
Di balik gunung itulah letak Desa
Gronggong yang berada tidak jauh dari Hutan Gronggong. Sebuah hutan yang jarang
sekali dimasuki orang, dan masih sangat liar. Dan gunung yang menjulang itu
selalu disebut Gunung Tangkup. Di puncak gunung itu, berdiri sebuah istana tua
yang sudah lama tidak dihuni. Tapi, istana itu menjadi pusat dari segala
kegiatan Raden Gordapala atau si Jago dari Alam Kubur.
"Hm...," tiba-tiba saja
Rangga menggumam perlahan. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti memalingkan kepala
ke kanan, lalu menepuk bokong kudanya. Kuda hitam bernama Dewa Bayu itu pun
langsung melompat cepat melewati sungai kecil di depannya. Dewa Bayu langsung
berlari cepat, dan menghilang di dalam lebatnya pepohonan.
"Hup!" Rangga cepat-cepat
melentingkan tubuh ke udara. Begitu cepat dan ringan sekali gerakannya.
Sehingga dalam sekejapan mata saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah berada di
atas cabang pohon yang cukup tinggi dan rindang.
"Pandan...," desis Rangga
hampir tidak percaya. Kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti jadi menyipit,
begitu melihat lima orang penunggang kuda menuju sungai kecil itu. Dan salah
satu penunggangnya adalah Pandan Wangi.
Sementara, Rangga baru yakin kalau
yang dilihatnya memang Pandan Wangi bersama empat penunggang kuda yang berada
di belakang, setelah mereka sudah dekat dengan sungai kecil yang menjadi
pembatas Kotaraja Kerajaan Karang Setra.
"Hup...!" Ringan sekali
Rangga melompat turun dari atas pohon. Kemunculan Rangga yang begitu tiba-tiba,
membuat kuda-kuda itu jadi terkejut, dan langsung meringkik keras sambil
mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi ke udara.
"Kakang...," desis Pandan
Wangi begitu bisa menenangkan kudanya. Gadis berbaju biru muda yang berjuluk
Kipas Maut bergegas melompat turun dari punggung kudanya.
Sementara, tiga penunggang kuda yang
tadi juga sempat terkejut, sudah mencabut pedang masing-masing. Tapi begitu
melihat Pandan Wangi menghampiri Rangga yang berdiri tegak menghadang, mereka
jadi saling berpandangan satu sama lain.
"Kau mengagetkan saja,
Kakang...," dengus Pandan Wangi menegur.
"Maaf," sahut Rangga
seraya melirik empat orang yang masih berada di punggung kuda masing-masing.
"Siapa mereka...?"
Pandan Wangi segera berpaling, dan
meminta empat orang yang tadi datang bersamanya agar turun dari kuda. Tiga orang
yang sudah menghunus pedang itu segera berlompatan turun setelah menyarungkan
pedangnya kembali ke punggung. Mereka kemudian menghampiri Pandan Wangi yang
berdiri di depan Rangga.
"Ini Kakang Rangga yang
berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Dia juga Raja Karang Setra, seperti yang
kukatakan pada kalian," kata Pandan Wangi langsung memperkenalkan Rangga
dengan lengkap.
"Pandan...," desis Rangga
kurang setuju.
"Maaf, Kakang. Aku harus
menjelaskan dengan lengkap agar mereka percaya," kilah Pandan Wangi
sebelum Rangga selesai dengan ucapannya.
Pandan Wangi langsung saja
memperkenalkan empat orang yang ikut bersamanya tadi. Mereka ternyata Malita
dan tiga orang putra Elang Mau Banara, Sarala, dan Liliani.
Rangga menganggukkan kepala sedikit
seraya memberi senyum. Kemudian cepat ditariknya tangan Pandan Wangi, dan
membawanya agak menjauh dari ketiga putra Elang Maut dan Malita.
"Siapa sebenarnya mereka?"
tanya Rangga berbisik seraya melirik empat anak muda itu.
"Mereka datang ke sini dengan
maksud baik Kakang. Bahkan sangat membantu dalam memecahkan masalah yang sedang
kita alami sekarang ini. Kau akan terkejut kalau mendengarnya nanti, Kakang,
jelas Pandan Wangi.
Sebentar Rangga memandangi empat
anak muda itu, kemudian melangkah menghampiri. Pandan Wangi mengikuti sambil
tersenyum-senyum. Gadis itu berdiri di samping Rangga yang sedang merayapi
empat anak muda yang berdiri di depannya satu persatu. Seakan-akan Pendekar
Rajawali Sakti sedang menyelidik, dan mencari kebenaran dari keterangan yang
diberikan Pandan Wangi tadi.
"Benar kalian putra Elang
Maut?" tanya Rangga seraya menatap Banara, Sarala, dan Liliani bergantian.
"Benar," sahut Banara
mantap.
"Lalu yang ini?" tanya
Rangga lagi seraya menatap Malita.
"Aku hanya anak dari seorang
perambah hutan," sahut Malita perlahan.
"Malita kami temukan di tengah
Hutan Gronggong. Keluarganya habis dibantai oleh Raden Gordapala, si Jago dari
Alam Kubur itu," selak Banara, menjelaskan keberadaan Malita.
"Raden Gordapala...?!"
Rangga jadi terkejut. Dan keningnya berkerut begitu mendengar nama Raden
Gordapala disebut.
"Maksud kami datang ke sini
untuk memperingatkan seluruh rakyat Karang Setra agar berhati-hati terhadap
orang-orangnya Raden Gordapala yang sangat kejam. Karena, mereka pasti berada
di sini," kata Banara langsung memberi tahu.
"Hm...," kening Rangga
jadi berkerut semakin dalam.
Banara menceritakan semua peristiwa
yang berkaitan dengan bangkitnya kembali Raden Gordapala yang dikenal berjuluk
Jago dari Alam Kubur. Malita sesekali menambahkan, dan menceritakan semua yang
disaksikannya. Bahkan kini tidak lagi menutupi apa yang terjadi pada dirinya,
dan siapa dirinya yang sebenarnya. Semua keluarganya mati, dan dirinya
diperkosa oleh Raden Gordapala. Untung saja nyawa Malita masih tertolong oleh
ketiga putra Elang Maut yang datang ke Hutan Gronggong itu.
Sementara Rangga mendengarkan penuh
perhatian, dengan kepala terangguk-angguk Memang, tadi dia sempat terkejut.
Tapi setelah mengetahui permasalahannya, Pendekar Rajawali Sakti langsung bisa
menarik kesimpulan kalau kerajaannya kini sedang terancam suatu malapetaka
besar. Dia tahu, siapa Raden Gordapala atau si Jago dari Alam Kubur itu.
Rangga meraba sabuk yang melilit
pinggang. Tampak sebilah pisau emas yang diinginkan di Jago dari Alam Kubur itu
berada di balik sabuk pinggangnya. Dan seharusnya, pisau itu berada di tangan
Panglima Rakatala. Inilah satu kesalahan besar yang dilakukan Raden Gordapala.
Dan itu akan berakibat pada Kerajaan Karang Setra. Sudah pasti, si Jago dari
Alam Kubur itu akan bertindak segala cara untuk mendapatkan pisau emas itu kembali,
demi kesempurnaan hidup dan ilmu-ilmunya di dunia ini. Sampai Banara
menyelesaikan ceritanya, mereka semua masih diam, sibuk dengan pikiran
masing-masing.
"Aku memang sering mendengar
nama Raden Gordapala. Dan kabarnya, dia sudah terkubur selama lebih dari
sepuluh tahun. Hm... Dia memang sukar ditaklukkan. Dia punya seribu nyawa, dan
selalu saja bisa bangkit kembali dari kematiannya," jelas Rangga setelah
cukup lama berdiam diri.
"Kakang! Apa mungkin mereka
sudah tahu hal ini, sehingga mereka tutup mulut begitu...?" duga Pandan
Wangi.
"Mereka memang tahu, tapi tidak
seluruhnya, Pandan. Bahkan mereka tidak tahu yang sebenarnya terjadi,"
sahut Rangga.
"Ini berbahaya, Kakang. Mereka
harus segera diberi tahu agar bisa mempersiapkan diri kalau-kalau orang-orang
Raden Gordapala menyerang," kata Pandan Wangi tidak bisa menyembunyikan
kecemasan pada nada suaranya.
"Tidak...," desis Rangga
seraya menggeleng. "Hal itu akan membuat seluruh rakyat Karang Setra jadi
ketakutan, Pandan."
"Lalu, apa yang harus kita lakukan...?"
Tanya Pandan Wangi.
"Aku akan menemuinya langsung,
dan mengajaknya bertarung," sahut Rangga tegas.
"Kau gila, Kakang...?!"
sentak Pandan Wangi terkejut.
Bukan hanya Pandan Wangi saja yang
terkejut mendengar tekad Rangga yang tidak diduga-duga itu. Bahkan Malita dan
ketiga putra Elang Maut hampir membeliakkan mata. Mereka semua tahu, betapa
tingginya ilmu kesaktian yang dimiliki si Jago dari Alam Kubur itu. Meskipun,
mereka juga sudah sering mendengar tentang kedigdayaan Pendekar Rajawali Sakti.
Memang tidak mudah bagi mereka untuk
menilai, siapa di antara Raden Gordapala dan Rangga yang lebih tinggi
kepandaiannya. Dan keputusan Rangga barusan benar-benar membuat mereka
seakan-akan berhenti bernapas seketika.
"Aku tidak ingin terjadi
pertumpahan darah di Karang Setra, Pandan. Dan aku harus bertanggung jawab atas
keselamatan seluruh rakyat Karang Setra. Dan lagi, harus ada orang yang berani
menantangnya bertarung," tegas Rangga.
"Tapi, Kakang...," Pandan
Wangi benar-benar tidak mampu menyembunyikan kecemasannya.
"Kau meragukan kemampuanku,
Pandan?"
Pandan Wangi tidak bisa menjawab,
kecuali menggigit-gigit bibirnya. Dicobanya untuk menghilangkan kecemasan yang
tiba-tiba saja menyelimuti seluruh rongga dadanya. Sungguh, baru kali ini
hatinya merasa cemas yang amat sangat. Biasanya, gadis itu tidak pernah merasa
cemas seperti ini, meskipun Rangga harus berhadapan dengan tokoh persilatan
berkepandaian tinggi.
Tapi yang harus dihadapi kail ini
bukan manusia. Yang jelas, dia adalah iblis dari neraka yang berujud manusia
bernama Raden Gordapala. Memang, tak ada seorang pun yang bisa mengukur tingkat
kepandaian si Jago dari Alam Kubur itu. Bahkan kalaupun mati, pasti bisa
bangkit lagi. Dan iblis itu akan mencari orang yang mengirimnya ke lubang
kubur.
Hal itu sudah berlangsung selama
lebih seratus tahun. Bahkan Raden Gordapala tidak akan pernah menjadi tua.
Karena setiap kali terbunuh dalam pertarungan, dalam waktu paling lama sepuluh
tahun sudah bisa bangkit kembali. Malah tidak jarang kebangkitannya hanya
beberapa hari setelah tewas dalam pertarungan.
Sementara Rangga memutar tubuhnya,
lalu menatap ke arah Puncak Gunung Tangkup yang tampak angkuh, menjulang tinggi
menentang langit. Seluruh puncak gunung itu terlihat berselimut kabut yang
begitu tebal. Paling tidak memerlukan waktu sedikitnya tiga hari berkuda untuk
mencapai kaki gunung itu dari Kotaraja Karang Setra. Malah, tidak sedikit waktu
yang diperlukan untuk mencapai puncaknya. Bisa le-bih dari satu pekan baru
sampai ke Puncak Gunung Tangkup itu.
"Di puncak gunung itu sarang
mereka, Gusti Prabu," kata Banara memberi tahu tanpa diminta.
"Hm.... Rupanya kau tahu banyak
tentang dia, Banara," gumam Rangga perlahan.
"Ayah hamba yang memberi tahu
sebelum meninggal, Gusti Prabu," sahut Banara.
"Sebaiknya, kau jangan
memanggilku dengan sebutan itu. Panggil saja aku seperti Pandan Wangi sering
memanggilku," pinta Rangga.
"Tapi...," Banara hendak
menolak.
"Itu sudah biasa, Banara.
Kakang Rangga tidak pernah suka dipanggil dengan sebutan itu. Kecuali, di dalam
istana," serobot Pandan Wangi.
"Sungguh mulia hati Gusti
Prabu," puji Banara, tulus.
"Sudahlah.... Lupakan panggilan
itu," selak Rangga tidak ingin mendengar sebutan itu lagi.
"Baiklah, Ka..., Kakang,"
sahut Banara jadi canggung.
Rangga tersenyum dan menepuk pundak
Banara dengan sikap penuh persahabatan. Dan sikap Pendekar Rajawali Sakti
membuat Banara merasa begitu bangga, karena sekarang memiliki sahabat seorang
pendekar digdaya yang juga seorang raja dari sebuah kerajaan besar di wilayah
kulon ini.
"Pandan! Bawalah mereka ke
istana. Aku akan ke istana di Gunung Tangkup itu. Katakan pada Danupaksi untuk
selalu waspada. Karena, aku sudah menemukan dua orang dari mereka ternyata ada
di kotaraja," ujar Rangga pada Pandan Wangi.
"Kau sendiri saja, Kakang?"
tanya Pandan Wangi.
Rangga hanya tersenyum saja, seraya
mengerdipkan sebelah matanya pada si Kipas Maut itu. Pandan Wangi langsung bisa
mengerti. Dia tahu, Rangga pasti akan datang menemui Raden Gordapala bersama
Rajawali Putih. Seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan. Ada
sedikit ketenteraman di hati Pandan Wangi saat mengingat Rangga memiliki
pelindung yang tidak dimiliki orang lain. Tapi, tetap saja kecemasan masih
terselip dalam hatinya.
"Kami pergi dulu, Kakang,"
pamit Pandan Wangi. Rangga mengangguk.
"Ayo, kita ke istana dulu.
Sumbangan tenaga kalian pasti sangat diperlukan untuk mengetahui mereka yang
ada di kotaraja saat ini," ajak Pandan Wangi.
Pandan Wangi dan ketiga putra Elang
Maut memberi hormat pada Rangga dengan merapatkan kedua tangan di depan hidung.
Kemudian, mereka naik ke punggung kuda masing-masing, mengikuti Pandan Wangi
yang sudah berada di punggung kuda putihnya.
"Hati-hati, Kakang. Aku segera
menyusulmu," ucap Pandan Wangi.
Rangga hanya tersenyum saja.
"Hiya...!"
"Yeaaah...!" Pandan Wangi menggebah kudanya, diikuti yang lain.
Sementara, Rangga masih berdiri
memandangi mereka sampai jauh, dan lenyap di tikungan jalan yang langsung
menuju ke Kotaraja Karang Setra. Sebentar Rangga masih berada di tepi sungai
itu sambil memandang ke Puncak Gunung Tangkup. "Hm...."
"Suiiit..!" Siulan nyaring
melengking tinggi terdengar membelah angkasa dari sebuah padang rumput yang
tidak begitu luas. Siulan itu menggema terbawa angin. Entah sudah berapa kali
siulan itu terdengar panjang melengking. Dan ini mungkin sudah yang keempat
kalinya siulan itu terdengar.
Tampak di tengah-tengah padang
rumput kecil itu seorang pemuda berbaju rompi putih tengah berdiri tegak.
Kepalanya mendongak ke atas, memandang langit. Pemuda yang menyandang pedang
bergagang kepala burung itu, tak lain adalah Rangga yang lebih dikenal berjuluk
Pendekar Rajawali Sakti.
"Suiiit..!"
Kembali Pendekar Rajawali Sakti
mengeluarkan siulannya yang nyaring dan bernada aneh itu. Kepalanya masih tetap
mendongak ke atas. Tapi, tak ada yang bisa dilihatnya selain gumpalan awan
putih yang berarak tertiup angin.
"Hm.... Tidak biasanya begini.
Kenapa sudah lima kali aku memangilnya tapi belum juga muncul...?" gumam
Rangga bertanya sendiri dalam hari.
Rangga memang jadi tidak mengerti.
Sudah lima kali bersiul memanggil Rajawali Putih, tapi burung itu belum juga
muncul. Biasanya, hanya satu kali panggilan saja Rajawali Putih sudah muncul
tidak lama setelah siulan itu menghilang dari pendengaran. Tapi ini sudah lima
kali, namun burung rajawali raksasa itu belum juga menampakkan diri. Hal ini
membuat Rangga jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati. Dan memang, tidak
biasanya hal ini terjadi.
"Aku coba sekali lagi,"
ujar Rangga menggumam perlahan.
Pendekar Rajawali Sakti kembali
bersiap. Lalu dikeluarkannya siulan yang panjang dan nyaring melengking tinggi.
Tapi mendadak saja siulannya dihentikan. Kepalanya kini menggeleng ke kanan dan
ke kiri, sementara keningnya tampak berkerut Rangga mengedarkan pandangan berkeliling.
Tak ada sesuatu pun yang mencurigakan. Padang rumput ini tampak begitu sunyi
sekali. Bahkan seekor binatang pun tidak dilihatnya.
"Hm..., aneh. Aku merasa
siulanku terdengar lain. Seperti ada dua suara...," gumam Rangga bicara
dalam hati.
Rangga kembali mengedarkan pandangan
berkeliling, sambil terus mencari-cari jawaban dari keanehan ini. Hatinya
begitu yakin kalau siulannya terdengar janggal. Dan ini baru disadari kalau
siulannya seperti ada yang menyamai, sehingga terdengar begitu lain. Pantas
saja Rajawali Putih tidak mau muncul sejak tadi.
"Aku yakin, ada seseorang yang
mengacaukan siulanku. Hm..., baik. Aku pasti segera tahu, siapa orang usil
itu," gumam Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti kembali
mendongakkan kepala ke atas. Lalu, kembali dikeluarkannya siulan nyaring
melengking. Tapi mendadak saja siulannya dihentikan. Dan sesaat, terdengar
suara siulan lain yang juga mendadak berhenti.
"Keparat..!" desis Rangga
menggeram.
"Hup...!" Bagaikan kilat
Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuh dengan cepat sekali. Begitu
sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pemuda berbaju rompi putih
itu, sehingga gerakannya sukar diikuti mata biasa. Dan tahu-tahu, Rangga sudah
berdiri tegak di atas sebongkah batu yang begitu besar dan tinggi bagai bukit.
"Setan...! Rupanya kalian biang
keladinya," desis Rangga menggeram dalam hati, begitu melihat seorang
laki-laki tua berjubah putih dan dua orang laki-laki kembar bersembunyi di
balik sebatang pohon.
Jelas sekali mereka memperhatikan padang
rumput itu. Dan tampaknya, mereka tengah kebingungan. Karena, tiba-tiba saja
orang yang diperhatikan lenyap begitu saja seperti ditelan bumi. Dan pada saat
itu, Rangga meluruk turun dengan gerakan cepat dan manis sekali. Begitu
ringannya seperti kapas, sehingga tak ada suara sedikit pun yang ditimbulkannya
saat kakinya menjejak tanah di belakang tiga orang ini. Tapi kehadiran Pendekar
Rajawali Sakti cepat diketahui, sehingga mereka langsung berbalik. Tampak
sekali raut wajah mereka begitu terkejut melihat pemuda yang sejak tadi
diintainya, tahu-tahu sudah berada di belakang.
"Rupanya tikus-tikus macam
kalian yang mengganggu pekerjaanku," desis Rangga dingin menggetarkan.
Wajah Pendekar Rajawali Sakti tampak kelihatan memerah, melihat dua laki-laki
kembar yang sempat bertarung dengannya di depan kuil.
Mereka adalah Iblis Kembar dari
Utara. Sedangkan yang seorang lagi adalah laki-laki tua berjubah putih.
Sepasang tongkat pendek yang pada bagian ujung-ujungnya berbentuk mata tombak
bermata tiga, tampak tergenggam di tangannya. Rangga bisa langsung mengenali,
kalau laki-laki tua berjubah putih itu adalah Kakek Siulan Maut. Dia ingat
cerita Banara dan Malita yang menyebutkan ciri-ciri semua pengikut Raden
Gordapala. Dan salah satunya, adalah Kakek Siulan Maut ini.
"He he he...! Kau benar-benar
hebat Anak Muda. Tidak percuma kau dijuluki Pendekar Rajawali Sakti, sehingga
menggemparkan rimba persilatan," ujar Kakek Siulan Maut sinis, diiringi
tawanya yang terkekeh.
"Terima kasih atas pujian mu,
Orang Tua," ucap Rangga tidak kalah sinisnya.
"Kau tentu masih ingat kedua
temanku ini, Pendekar Rajawali Sakti...," kata Kakek Siulan Maut lagi,
seraya menunjuk Iblis Kembar dari Utara yang berada di sebelah kanan dan kirinya.
Rangga hanya menggumam perlahan
sambil menatap tajam Iblis Kembar dari Utara. Sedangkan laki-laki kembar itu
sudah menggeser kakinya melebar ke samping, menjauhi Kakek Siulan Maut. Mereka
baru berhenti setelah berada sekitar sepuluh langkah di kanan dan kiri Pendekar
Rajawali Sakti. Sedangkan Kakek Siulan Maut masih berada sekitar lima langkah
di depan pemuda berbaju rompi putih itu.
"Aku sudah tahu, siapa kalian.
Dan aku juga sudah tahu tujuan kalian datang ke sini," kata Rangga tajam,
sambil menatap langsung ke bola mata Kakek Siulan Maut.
Perlahan Rangga meraba sabuk yang
membelit pinggangnya. Kemudian dikeluarkannya sebilah pisau kecil berwarna
keemasan dari balik sabuk pinggangnya. Bukan hanya Kakek Siulan Maut yang
terbeliak melihat pisau emas itu berada di tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Bahkan Iblis Kembar dari Utara jadi terlongong bengong dengan mata membeliak
lebar, menatap pisau emas itu.
"Kalian menginginkan ini,
bukan...?" ujar Rangga sinis, sambil menyimpan kembali pisau emas itu ke
dalam kantung sabuk pinggangnya.
"Rupanya kau yang memegang
pisau emas itu, Pendekar Rajawali Sakti! Pantas saja kau tidak muncul di Hutan
Gronggong," dengus Kakek Siulan Maut.
"Untuk apa aku datang ke
sana...? Aku bukan budak iblis seperti kalian," dingin sekali nada suara
Rangga.
"Setan keparat..! Lidahmu
terlalu lancang berbicara, Pendekar Rajawali Sakti!" geram Kakek Siulan
Maut langsung memuncak amarahnya.
"Kalian ingin pisau jelek ini,
bukan...? Ambillah kalau kalian mampu!" jelas sekali kalau kata-kata
Rangga bernada menantang.
"Kau akan menyesal di dalam
kematianmu, Bocah Setan!" geram Kakek Siulan Maut.
"Biarkan kami yang bereskan,
Kek!" selak Iblis Hitam, lantang. "Hiyaaat..!"
"Hait..!"
***
DELAPAN
Rangga cepat-cepat memiringkan tubuh
ke belakang begitu tiba-tiba saja Iblis Hitam melompat cepat sambil melepaskan
satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi. Pukulan Iblis Hitam lewat di depan
dada Pendekar Rajawali Sakti. Dan pada saat itu juga, cepat sekali Rangga
melepaskan satu sodokan kilat ke arah perut. Begitu cepat dan tidak terduga
serangan balasannya, sehingga Iblis Hitam tidak sempat lagi menghindar.
Des!
"Hegkh...!" Iblis Hitam
mengeluh pendek. Tubuhnya terbungkuk begitu perutnya terkena sodokan tangan
Rangga. Pada saat itu, Rangga cepat melepaskan satu pukulan keras ke wajah
Iblis Hitam yang tertunduk. Cepat sekali pukulan Pendekar Rajawali Sakti,
sehingga Iblis Hitam benar-benar tidak sempat lagi menghindar.
Diegkh!
"Akh...!" Iblis Hitam terpekik
keras. Kepalanya langsung terdongak ke atas begitu pukulan Rangga bersarang
telak di wajahnya. Iblis Hitam Langsung terhuyung-huyung ke belakang sambil
menutupi wajahnya. Dari sela-sela jari tangannya tampak mengucur darah cukup
deras.
"Setan keparat...! Kubunuh kau,
hiyaaat..!" Iblis Biru tidak bisa lagi menahan amarahnya melihat saudara
kembarnya terluka kena pukulan Rangga yang begitu keras, walaupun tidak
disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Beberapa kali Iblis Biru melepaskan
pukulan beruntun.
Tapi lewat jurus 'Sembilan Langkah
Ajaib', Pendekar Rajawali Sakti berhasil menghindari pukulan-pukulan itu dengan
manis sekali. Bahkan... "Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali
Sakti cepat merubah jurusnya. Satu pukulan keras menggeledek melayang cepat
bagai kilat ke arah dada Iblis Biru. Begitu cepatnya serangan balik yang
dilancarkan Rangga, sehingga Iblis Biru tidak sempat lagi menghindari pukulan
bertenaga dalam tinggi dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Des!
"Aaakh...!" Iblis Biru
menjerit melengking tinggi. Pukulan yang dilepaskan Rangga memang tepat
mengenai dada Iblis Biru. Akibatnya laki-laki itu jadi terpental keras ke
belakang.
Rangga cepat-cepat melompat mundur.
Kakinya dipentang lebar, dan kedua tangannya berada di depan dada. Tatapan
matanya begitu tajam, mengawasi ketiga orang lawannya
Sret! Cring!
"Hm...," Rangga menggumam
kecil begitu ketiga lawannya mencabut senjata masing-masing. Iblis Kembar dari
Utara yang begitu dendam pada Pendekar Rajawali Sakti, sudah bergerak melangkah
perlahan sambil melintangkan golok di depan dada.
Sementara Kakek Siulan Maut masih
tetap berdiri tegak pada tempatnya. Sedikit pun dia tidak bergeming, sambil
terus memperhatikan Rangga dengan sinar mata tajam. Seakan-akan sedang mengukur
tingkat kepandaian Pendekar Rajawali Sakti.
"Kalian menggunakan senjata.
Bagus...! Lebih cepat urusan ini selesai, rasanya lebih baik lagi," kata
Rangga dingin. "Aku juga punya senjata yang jauh lebih bagus daripada
senjata rongsokan kalian."
"Jangan banyak omong! Mampus
kau. Hiyaaa...!" Iblis Kembar dari Utara cepat sekali melompat menerjang
sambil mengebutkan goloknya ke arah kepala Rangga.
Tapi hanya sedikit saja menarik
kepala ke belakang, tebasan golok Iblis Biru hanya lewat sedikit saja di depan
wajahnya.
"Hiya! Hiya! Yeaaah...!"
Iblis Hitam juga tidak mau ketinggalan. Langsung dia melompat menyerang begitu
serangan saudara kembarnya manis sekali dapat dielakkan Rangga. Dan mereka
memang seperti tidak memberi kesempatan Pendekar Rajawali Sakti untuk mencabut
senjatanya. Serangan mereka bergantian, dan begitu gencar dengan jurus-jurus
cepat dan dahsyat.
Namun sampai lima jurus berlalu,
belum juga Iblis Kembar dari Utara mampu menjatuhkan Pendekar Rajawali Sakti.
Bahkan untuk mendesak saja, sudah terlalu berat. Tidak heran mereka terpaksa
harus berjumpalitan beberapa kali menghindari serangan serangan balasan yang
dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Rangga melentingkan tubuh ke udara. Lalu...
"Suiiit..!"
Nyaring sekali siulan yang
dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti begitu berada di udara. Lalu cepat sekali
tubuhnya meluruk deras ke arah Iblis Kembar dari Utara sambil mencabut
pedangnya yang tersampir dl punggung. "Hiyaaa...!"
Cring!
Seketika itu juga cahaya biru
berkilau, menyemburat keluar begitu Pedang Rajawali Sakti tercabut dari
warangkanya. Cepat sekali Rangga mengebutkan pedangnya ke arah Iblis Kembar
dari Utara. Akibatnya, dua orang kembar itu jadi berpelantingan menghindarinya.
Bahkan mereka benar-benar tidak kuat lagi bertahan, karena Rangga menggunakan
jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Beberapa gebrakan saja ber-langsung, perhatian
dan jiwa mereka jadi terpecah-pecah akibat pengaruh jurus 'Pedang Pemecah
Sukma' yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti saat ini.
"Hiyaaat..!" Sambil
berteriak keras menggelegar, tiba-tiba saja Rangga mengebutkan pedang ke arah
dada Iblis Hitam. Begitu cepatnya tebasan pedang bercahaya biru itu, sehingga
Iblis Hitam benar-benar tidak dapat lagi berkelit.
Cras!
"Aaa...!" Satu jeritan
panjang melengking tinggi terdengar begitu menyayat. Tampak Iblis Hitam
terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang terbelah oleh tebasan
pedang Rangga. Darah kontan mengucur deras dari dada yang menganga cukup lebar
itu.
"Hiyaaa...!" Belum lagi
ada yang sempat menyadari apa yang terjadi pada Iblis Hitam, Rangga sudah
melompat cepat sambil menusukkan pedangnya ke dada Iblis Biru. Begitu cepat
serangannya sehingga Iblis Biru tidak sempat lagi menghindari diri. Dan...
Crab!
"Heps...!" Iblis Biru
hanya mengeluh kecil. Dia tampak berdiri mematung dengan bola mata terbeliak
lebar. Lalu tak berapa lama kemudian, tubuhnya ambruk ke tanah dengan darah
mengucur deras dari dada.
"Keparat...!" desis Kakek
Siulan Maut menggeram marah melihat Iblis Kembar dari Utara sudah tergeletak
berlumuran darah dan tak bernyawa lagi.
"Khraaagkh...!" Tiba-tiba
saja terdengar pekikan keras menggelegar dari angkasa. Rangga dan Kakek Siulan
Mau langsung mendongak ke atas. Seketika itu juga, wajah Kakek Siulan Maut jadi
berubah memucat, begitu melihat seekor burung rajawali raksasa menukik cepat
bagai kilat ke arahnya.
"Khraaagkh...!"
"Rajawali, jangan...!"
seru Rangga tiba-tiba. Tapi....
"Aaa...!"
"Khraaagkh...!" Memang
kecepatan burung rajawali putih raksasa itu sukar diikuti pandangan mata biasa.
Tiba-tiba saja, Rajawali Putih sudah melambung tinggi ke angkasa sambil
menyambar tubuh Kakek Siulan Maut. Dan begitu pada ketinggian hampir mencapai awan,
tiba-tiba saja Rajawali Putih melepaskan cengkeramannya pada tubuh Kakek Siulan
Maut.
"Aaa...!" Tidak bisa
dibayangkan, bagaimana jadinya bila tubuh tua renta itu menghantam tanah. Dan
Rangga sendiri segera memalingkan mukanya begitu tubuh Kakek Siulan Maut keras
sekali menghantam tanah.
"Khraaagkh...!" Rajawali
Putih langsung menukik turun, dan mendarat tepat di depan Rangga. Sementara,
Rangga sempat memperhatikan tubuh Kakek Siulan Maut yang menggeletak di tanah
dengan tubuh hancur membentur batu.
"Kenapa kau lakukan itu,
Rajawali Putih?" Tanya Rangga seraya menepuk leher Rajawali Putih.
"Khraaagkh...!"
"Hm.... Jadi kau juga tahu
kalau panggilan ku diganggu?"
"Khrrr...!" Rajawali Putih
mengkirik sambil menganggukkan kepala.
"Sudahlah, Rajawali Putih.
Sebaiknya kita segera pergi ke Puncak Gunung Tangkup. Ada satu persoalan yang
harus kuselesaikan di sana," ujar Rangga.
"Khraaagkh...!"
"Hup!" Ringan sekali
gerakan Pendekar Rajawali Sakti saat melompat naik ke punggung dekat leher
burung rajawali raksasa itu. Dan sebentar saja, Rajawali Putih sudah melayang
di angkasa dengan seorang pemuda berbaju rompi putih dipunggungnya.
"Khraaagkh...!"
***
Rangga cepat melompat turun dari
punggung Rajawali Putih, begitu mendarat di depan sebuah bangunan besar bagai
istana yang tampak sudah tahunan tidak dihuni. Inilah Istana Setan yang berdiri
di Puncak Gunung Tangkup. Melihat bangunan istana ini, kesan pertama yang
muncul adalah rasa mengerikan yang amat sangat.
Pendekar Rajawali Sakti melangkah
perlahan-lahan mendekati pintu depan yang terbuka lebar. Penghuni istana ini
sepertinya sudah menanti kedatangannya. Kelopak mata Rangga tidak berkedip
merayapi pintu bangunan istana itu. Tak ada seorang pun terlihat di dalam sana.
Bahkan sekelilingnya juga begitu sunyi. Sampai-sampai, angin pun seperti enggan
berhembus. Begitu sunyi dan sangat mencekam.
"Awasi aku dari angkasa,
Rajawali Putih," pinta Rangga.
"Khrrrk...!" Rajawali
Putih langsung membumbung tinggi ke angkasa hanya sekali mengepakkan sayapnya
saja.
Sementara, Rangga sudah semakin
dekat dengan pintu bangunan istana itu. Sinar matanya masih tetap tajam tak
berkedip memandangi pintu yang terbuka lebar, bagai sengaja menanti
kedatangannya.
"Ha ha ha...!" tiba-tiba
saja terdengar suara tawa yang begitu keras menggelegar.
"Hm...." Belum lagi suara
tawa itu menghilang dari pendengaran, tiba-tiba saja dari dalam bangunan istana
itu melesat sebuah bayangan merah. Dan tahu-tahu, di depan Pendekar Rajawali
Sakti sudah berdiri seorang pemuda tampan berbaju merah muda yang begitu indah.
"Selamat datang di istanaku,
Pendekar Rajawali Sakti," ucap pemuda itu, disertai senyum menyeringai
mengulas bibirnya yang tipis memerah, bagai bibir seorang dara.
"Hm..., kau yang bernama Raden
Gordapala?" Rangga langsung bertanya. Suaranya dingin dan dalam.
"Tidak salah lagi, Pendekar
Rajawali Sakti. Kau berhadapan dengan Raden Gordapala, penguasa seluruh jagat
raya ini. Ha ha ha...!" pongah sekali sikap dan jawaban pemuda tampan itu.
"Hm...," Rangga hanya
menggumam kecil.
"Apa maksud kedatanganmu ke
sini, Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Raden Gordapala yang lebih dikenal
berjuluk Jago dari Alam Kubur.
"Mengirimmu kembali ke alam
kubur," sahut Rangga, tegas dan dalam suaranya.
"Phuah...! Lidahmu terlalu
lancang bicara, Pendekar Rajawali Sakti!" sentak Raden Gordapala, langsung
memerah wajahnya.
"Aku tahu, siapa dirimu, Raden
Gordapala. Dan sebelum kau menyebar maut lebih banyak lagi, aku akan mengirimmu
lebih dulu ke neraka!" semakin dingin nada suara Rangga.
"Ha ha ha...!" "Bumi
ini bukan tempatmu lagi, Raden Gordapala. Kau tidak berhak lagi hidup di dunia
ini...," kata Rangga lagi.
"Tutup mulutmu, Setan...!"
bentak Raden Gordapala keras menggelegar.
"Aku hanya akan memperpendek
jalan menuju ke tempatmu, Raden Gordapala," kata Rangga lagi tidak
terpengaruh sedikit pun oleh bentakan pemuda tampan yang sebenarnya sudah mati
itu.
"Setan keparat...! Kau
benar-benar cari mampus rupanya, heh...?!" geram Raden Gordapala langsung
memuncak amarahnya. "Rasakan ini. Hiyaaa...!"
Cepat sekali Jago dari Alam Kubur
itu mengebutkan tangan kanannya. Dan tiba-tiba saja, dari telapak tangan
kanannya meluncur secercah sinar merah yang langsung meluruk cepat ke arah
Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup!" Tapi mudah sekali
Rangga mengelakkan terjangan sinar merah itu dengan melentingkan tubuh ke
udara. Ledakan keras menggelegar terdengar dahsyat begitu sinar merah
menghantam tanah tempat Rangga berdiri tadi.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Raden Gordapala terus menghujani Rangga dengan sinar-sinar merah yang keluar
dari telapak tangan kanan dan kiri yang dikebutkan secara cepat dan bergantian.
Sementara, Rangga terpaksa harus
berpelantingan di udara menghindari serangan-serangan dahsyat itu. Suara-suara
ledakan keras menggelegar terdengar saling susul. Sebentar saja, sudah begitu
banyak pepohonan yang tumbang, tersambar sinar merah yang tidak mengenai
sasaran. Bahkan tanah yang semula tertutup rumput tebal, kini sudah terbongkar
teracak-acak tidak karuan. Sementara, Raden Gordapala terus menghujani Pendekar
Rajawali Sakti dengan senjata sinar merahnya.
"Gila...! Kalau begini terus,
bisa habis tenagaku," dengus Rangga dalam hati.
Memang serangan-serangan yang
dilancarkan Raden Gordapala begitu dahsyat dan gencar. Bukan hanya sinar-sinar
merah itu saja yang menghujani tubuh Rangga. Tapi juga pukulan-pukulan keras
bertenaga dalam tinggi juga dilepaskan Jago dari Alam Kubur itu. Entah sudah
berapa jurus pertarungan itu berlalu. Tapi, belum ada tanda-tanda sedikit pun
bakal berhenti. Bahkan pertarungan itu semakin bertambah dahsyat saja, sehingga
membuat sekitar pertarungan porak-poranda bagai terlanda badai topan.
"Huh! Akan ku coba dengan aji
'Cakra Buana Sukma'," gumam Rangga dalam hati lagi.
"Hup...!" Rangga
cepat-cepat melentingkan tubuh, berputaran ke belakang beberapa kali begitu ada
kesempatan. Dan begitu kakinya menjejak tanah, cepat kedua telapak tangannya
dirapatkan di depan dada. Lalu tubuhnya ditarik hingga doyong ke kanan. Cepat
sekali Rangga menarik tubuhnya kembali ke kiri. Dan begitu tubuhnya ditegakkan,
tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya ke depan,
tepat di saat Raden Gordapala melepaskan sinar merahnya.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!
Yeaaah...!" teriak Rangga keras menggelegar.
Slap!
Seketika itu juga dari kedua telapak
tangan Pendekar Rajawali Sakti meluncur secercah cahaya biru berkilauan
menyilaukan mata. Dua cahaya merah dan biru itu langsung beradu tepat di
tengah-tengah.
"Hep...!" Rangga segera
merentangkan kedua kakinya melebar ke samping, begitu merasakan mendapat
perlawanan dari Raden Gordapala. Dua sinar saling dorong dengan kekuatan
semakin berlipat ganda. Tampak tubuh Rangga mulai menggeletar, diiringi
keringat yang mengucur deras di seluruh tubuhnya.
Sedangkan wajah Raden Gordapala juga
tampak memerah dengan tubuh menggeletar seperti terserang demam. Mereka
sama-sama mengerahkan seluruh kekuatannya.
"Hsss...! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Rangga melentingkan tubuh ke udara sambil menarik kembali
ajiannya. Sehingga, sinar merah yang memancar dari telapak tangan Raden
Gordapala langsung meluncur deras tanpa dapat dicegah lagi. Beberapa pohon yang
terhantam sinar merah itu seketika hancur berkeping-keping, menimbulkan ledakan
keras menggelegar.
"Hiyaaa...!"
Sret! Wuk!
Cepat sekali Rangga mencabut
pedangnya, lalu secepat kilat pula dikibaskan ke kepala Raden Gordapala. Begitu
cepatnya serangan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Raden
Gordapala tidak sempat lagi menghindar. Terlebih lagi, saat itu dia tengah terkejut
oleh tindakan Rangga yang begitu tiba-tiba menarik ajiannya. Padahal saat itu
dia tengah mengeluarkan seluruh kekuatan pada ajiannya yang sangat dahsyat.
Dan...
Cras!
"Aaa...!" Raden Gordapala
menjerit melengking tinggi. Tebasan pedang Rangga tepat membelah kepala Jago
dari Alam Kubur itu, hingga hampir terbelah menjadi dua bagian. Darah seketika
muncrat dari kepala manusia iblis itu.
Pada saat itu, Rangga manis sekali
memutar tubuhnya. Dan begitu kakinya menjejak tanah di depan Raden Gordapala,
cepat sekali pedangnya dikebutkan ke dada Jago dari Alam Kubur.
"Yeaaah...!"
Bet! Crab!
Kembali darah muncrat begitu Pedang
Rajawali Sakti membelah dada pemuda tampan itu. Raden Gordapala meraung keras
menggelegar, membuat bumi bergetar bagai diguncang gempa. Rangga cepat-cepat
melompat sambil melepaskan satu tendangan keras menggeledek, begitu melihat
Raden Gordapala masih mampu berdiri. Tubuh Jago dari Alam Kubur itu terpental
deras ke belakang, dan baru berhenti setelah menghantam dinding bangunan istana
tua itu.
"Hhh...!" Rangga
menghembuskan napas panjang.
Sementara Raden Gordapala hanya
mampu menggelepar sebentar, kemudian diam tak berkutik lagi. Perlahan Rangga
menghampiri sambil menyimpan pedang ke dalam warangka di punggung. Sejenak
Pendekar Rajawali Sakti memperhatikan dada Jago Alam Kubur yang terbelah cukup
lebar itu. Tampak di dalam dada itu terhunjam tujuh bilah pisau kecil berwarna
kuning keemasan.
Tanpa menunggu waktu lagi, Rangga
segera mencabut pisau-pisau dari dalam dada Raden Gordapala. Lalu, pisau-pisau
itu disimpannya di dalam saku sabuk pinggangnya. Setelah semua pisau dicabut,
Rangga segera melangkah mundur menjauhi tubuh yang sudah tergeletak tak
bernyawa lagi.
"Suit..!" Rangga bersiul
nyaring sambil mendongakkan kepala ke atas.
"Khraaagkh...!"
Dari angkasa, meluncur Rajawali
Putih dengan cepat sekali. Burung rajawali raksasa itu langsung mendarat di
depan Rangga. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti memperhatikan Raden Gordapala
yang sudah tergeletak tak bernyawa lagi, kemudian mengedarkan pandangan ke
sekeliling. Lalu dengan gerakan ringan dan manis sekali, Pendekar Rajawali
Sakti melompat naik ke punggung Rajawali Putih.
"Langsung ke istana,
Rajawali," pinta Rangga.
"Khraaagkh...!" Wuk!
Sekali kepak saja, burung rajawali
raksasa itu sudah melambung tinggi ke angkasa membawa Rangga di punggungnya.
Belum juga Rajawali Putih melesat meninggalkan bangunan istana tua itu,
tiba-tiba saja....
"Tunggu, Rajawali...!"
seru Rangga.
"Khragkh!"
"Jaran Geni...," desis
Rangga begitu melihat seekor kuda hitam tiba-tiba saja muncul menghampiri Raden
Gordapala.
Rangga hampir tidak percaya dengan
penglihatannya sendiri. Ternyata Raden Gordapala bisa bangkit lagi setelah kuda
hitam itu menyemburkan api dari mulutnya, yang langsung menjilat dada Jago dari
Alam Kubur itu. Tampak Raden Gordapala melompat naik ke punggung kuda hitam itu.
Bahkan kini kepalanya sudah utuh kembali. Dadanya yang tadi terbelah, kini juga
sudah rapat tak berbekas sama sekali.
"Ha ha ha...! Tunggu
pembalasanku, Pendekar Rajawali Sakti! Aku belum kalah! Aku belum mati! Ha ha
ha...!"
"Edan...!" desis Rangga
tidak percaya dengan apa yang baru saja disaksikannya. Suara tawa Raden
Gordapala masih terdengar menggema ke seluruh penjuru. Padahal, dia sendiri
sudah lenyap bersama kuda hitam yang berlari begitu cepat bagaikan terbang
saja. Sementara Rangga yang berada di angkasa bersama Rajawali Putih, jadi
tertegun tidak percaya.
"Hm.... Mungkinkah dia memang
tidak bisa mati...?" gumam Rangga bertanya sendiri dalam hati.
Setelah beberapa saat terdiam
merenung, Pendekar Rajawali Sakti meminta Rajawali Putih mengantarkannya ke
Istana Karang Setra. Maka, burung rajawali raksasa itu langsung melesat cepat
bagai kilat membelah angkasa.
"Khraaagkh...!"
Benarkah Raden Gordapala tidak bisa
mati? Lalu apa yang akan terjadi bila Jago dari Alam Kubur itu benar-benar
melaksanakan ancamannya pada Pendekar Rajawali Sakti? Apakah Rangga mampu
menandingi manusia iblis itu? Untuk mengetahui jawabannya, nantikan kisah
petualangan Pendekar Rajawali Sakti dalam episode Rahasia Gordapala.
Emoticon