SATU
AWAN hitam bergulung-gulung di langit, menyelimuti Hutan Gading dan sekitarnya. Bahkan gulungan awan hitam itu sampai ke Desa Jatiwangi yang letaknya agak jauh dari hutan itu. Angin pun bertiup begitu kencang.
Daun-daun yang tak mampu menahan
gempuran angin yang begitu keras bagai hendak terjadi badai dahsyat, terpaksa
berguguran. Langit tampak kelam, membuat matahari tak mampu lagi memancarkan
sinarnya ke bumi. Begitu pekatnya, sehingga suasana siang ini terasa bagaikan
malam.
Seluruh penduduk Desa Jatiwangi
jadi gelisah melihat keadaan alam yang kelihatan hendak murka. Mereka
menduga-duga, apa yang bakal terjadi di desa ini. Bahkan semuanya kini
berbondong-bondong, dan tumpah ruah di halaman depan rumah kepala desa yang
cukup luas. Halaman itu dipadati hingga tak ada lagi tempat yang tersisa.
Sementara awan hitam terus
bergerak semakin pekat menyelimuti langit di desa itu. Angin pun bertiup
semakin kencang, menyebarkan udara dingin menggigilkan tubuh. Satu dua pohon
mulai bertumbangan, tak mampu menahan gempuran angin yang begitu kencang.
Penduduk Desa Jatiwangi yang
berkumpul di halaman depan rumah kepala desa yang bernama Ki Rangkuti jadi
semakin gelisah saja. Berbagai macam suara dan pendapat pun mulai terdengar
terlontar, seakan-akan ingin mengalahkan deru angin yang semakin bertambah
dahsyat saja. Mereka tidak tahu, apa yang bakal terjadi. Belum pernah
tanda-tanda badai yang begini dahsyat dialami sebelumnya.
Sementara itu di beranda depan,
tampak Ki Rangkuti berdiri tegak didampingi anak gadisnya yang bernama Sekar
Telasih.
“Tenang kalian semua! Tenang...!
Jangan membuat keributan...!" teriak Ki Rangkuti mencoba menenangkan warga
desanya.
Seruan Ki Rangkuti yang begitu
keras, membuat semua orang yang memadati halaman rumahnya jadi terdiam. Mereka
semua mengarahkan pandangan ke arah laki-laki tua kepala desa itu. Sedangkan Ki
Rangkuti sendiri merayapi tiap-tiap wajah dengan sinar mata berharap banyak.
Keadaan alam yang tampaknya
sedang murka seperti ini, memang membuat semua orang yang ada di Desa Jatiwangi
jadi gelisah. Dan mereka menunggu petunjuk dari kepala desanya yang begitu
dihormati.
"Sebaiknya kalian semua
kembali ke rumah masing-masing. Ini hanya badai biasa saja. Tidak perlu
ditakuti...!" seru Ki Rangkuti dengan suara yang begitu lantang dan keras
sekali.
Dari gema suara yang hampir
mengalahkan deru angin keras, jelas kalau Ki Rangkuti mengeluarkannya disertai
pengerahan tenaga dalam. Tapi semua orang yang memadati halaman rumahnya tidak
juga akan beranjak pergi. Mereka tetap diam dengan raut wajah mencerminkan
kecemasan yang tiada tara.
"Dengar..! Ini hanya badai
biasa. Cepatlah kalian kembali ke rumah masing-masing. Tidak ada yang bisa
dikerjakan di sini!" ujar Ki Rangkuti lagi. Suaranya masih terdengar keras
dan lantang.
Para penduduk Desa Jatiwangi itu
belum juga ada yang beranjak pergi. Tapi ketika tiba-tiba saja terdengar
ledakan dahsyat menggelegar di angkasa, seketika itu juga mereka berlarian
sambil menjerit-jerit ketakutan.
Ledakan menggelegar tadi langsung
disusul berkelebatnya secercah cahaya kilat. Lidah-lidah kilat itu sempat
menyambar beberapa orang, sehingga seketika itu terjungkal roboh tak
bangun-bangun lagi. Seluruh tubuh mereka hangus bagai terbakar.
Suasana kalang-kabut semakin
melanda seluruh warga Desa Jatiwangi. Sedangkan Ki Rangkuti jadi kebingungan
sendiri. Bahkan beberapa penduduk sudah menerobos masuk ke dalam rumahnya.
Laki-laki tua berjubah putih itu tidak bisa melarang mereka yang mencari
perlindungan. Sedangkan mereka yang rumahnya dekat dengan tempat tinggal kepala
desa itu, sudah menghilang di dalam rumahnya masing-masing.
Crasss! Kembali terdengar ledakan
dahsyat menggelegar disertai sambaran kilat dari angkasa. Sebatang pohon besar
yang berdiri di tengah-tengah halaman rumah Ki Rangkuti, seketika hancur
berkeping-keping tersambar kilat.
Kekacauan semakin menjadi-jadi.
Orang-orang yang tadi berkumpul di halaman rumah Ki Rangkuti itu berlarian tak
tentu arah menyelamatkan diri masing-masing. Desa Jatiwangi benar-benar
bagaikan sedang mengalami kiamat.
Sementara itu kilat semakin
sering menyambar ke bumi, disertai ledakan dahsyat menggelegar memekakkan
telinga. Ki Rangkuti terus berteriak-teriak memerintahkan warganya untuk
mencari tempat perlindungan yang aman.
Secercah cahaya kilat kembali
berkelebat. Namun, kali ini menyambar langsung ke sebuah rumah yang terletak
tidak seberapa jauh dari rumah kepala desa itu. Tak dapat dikatakan lagi Rumah
itu hancur seketika, sehingga menimbulkan kobaran api yang menyebar ke segala
arah. Bahkan beberapa rumah lainnya terkena percikan bunga api dari sambaran
kilat tadi. Lidah api begitu cepat menjilat-jilat apa saja, membuat orang-orang
yang memang su-dah bingung semakin kalang-kabut.
"Oh, Dewata Yang Agung....
Dosa apa yang telah kami perbuat, sehingga kau timpakan malapetaka sehebat ini
pada kami...," keluh Ki Rangkuti mendesah perlahan.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba saja terdengar tawa
keras menggelegar di antara deru angin yang begitu keras dan suara-suara
gemuruh guntur yang membelah angkasa. Suara tawa itu semakin membuat semua
orang kalang-kabut. Bahkan Ki Rangkuti sampai terlompat keluar dari beranda
rumahnya. Kepalanya segera di tengadahkan ke atas.
Pada saat itu, tampak sebuah
bentuk seekor ular naga berukuran sangat besar luar biasa. Sisiknya berwarna
merah menyala bagai darah. Naga berwarna merah itu melayang-layang di angkasa,
di antara gelombang awan hitam yang menyelubungi seluruh Desa Jatiwangi. Bukan
hanya Ki Rangkuti yang melihat naga merah itu. Bahkan Sekar Telasih dan semua
orang yang berada di situ, melihatnya dengan jelas.
Namun tiba-tiba saja naga merah
itu lenyap dari pandangan. Bersamaan dengan itu, awan hitam yang menyelubungi
angkasa juga sirna. Dan keadaan pun kembali terang Bahkan angin badai yang
semula mengamuk begitu dahsyat, kini berhenti sama sekali.
"Oh..., pertanda malapetaka
apa ini...?" keluh Ki Rangkuti bertanya sendiri dalam hati.
Kekacauan yang terjadi, mendadak
saja lenyap. Dan keadaan alam yang semula mengamuk begitu dahsyat kini kembali
seperti sediakala. Bahkan tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Mereka
semua begitu terpaku pada naga merah yang mengambang, melayang di angkasa tadi.
Sementara api terus berkobar menghanguskan beberapa rumah yang tadi tersambar
petir.
***
Ki Rangkuti terduduk lemas di
beranda depan rumahnya. Pandangannya begitu nanar merayapi beberapa warga Desa
Jatiwangi yang menangis, meratapi rumahnya yang habis terbakar tak bersisa
lagi. Sedangkan sebagian penduduk sudah kembali ke rumah masing-masing. Memang,
tak ada satu rumah pun yang kelihatan utuh lagi. Badai topan yang begitu
dahsyat tadi telah menghancurkan rumah-rumah mereka. Tapi, bukan kehancuran ini
yang membuat laki-laki tua berjubah putih itu kelihatan berduka.
"Ayah...."
Ki Rangkuti mengangkat kepalanya
sedikit dan berpaling begitu mendengar panggilan lembut dari arah samping
kanannya. Tampak seorang gadis cantik yang sejak tadi berdiri tidak jauh
darinya, melangkah menghampiri dan duduk di samping kepala desa itu. Ki Rangkuti
menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Tangannya meraih
tangan Sekar Telasih, dan menggenggamnya hangat-hangat. Sesaat mereka saling
berpandangan, dengan sinar mata yang sukar diartikan.
"Naga Merah itu mengingatkan
aku pada Nyi Rongkot si Ular Betina...," kata Ki Rangkuti, agak menggumam
nada suaranya. Seakan-akan dia bicara pada diri sendiri.
Sedangkan Sekar Telasih hanya
diam saja membisu. Dia tahu, apa yang baru saja dikatakan ayahnya ini. Tentu
saja peristiwa yang pernah terjadi beberapa waktu lalu di Desa Jatiwangi ini
tidak bisa terlupakan begitu saja.
Desa Jatiwangi ini memang pernah
kedatangan seorang tokoh wanita rimba persilatan yang berkepandaian sangat
tinggi. Wanita tua itu bernama Nyi Rongkot, dan lebih dikenal dengan julukan
Ular Betina. Kedatangan si Ular Betina ke desa ini bukan saja menimbulkan
malapetaka bagi diri Ki Rangkuti. Tapi, juga bagi seluruh penduduk Desa
Jatiwangi. Bahkan hampir saja dia tewas dalam peristiwa itu.
Dan tadi.., baru saja muncul
seekor naga merah di angkasa yang didahului terjadinya badai topan begitu
dahsyat luar biasa. Sehingga, desa ini bagaikan hendak kiamat saja rasanya.
“Tapi, Ayah. Nyi Rongkot sudah
tewas di tangan Pendekar Rajawali Sakti...," bantah Sekar Telasih seperti
mengingatkan.
"Di dalam kehidupan
orang-orang persilatan, terlalu banyak hal yang sukar bisa diterima akal,
Sekar. Terlebih lagi, Nyi Rongkot memiliki kepandaian tinggi sekali,"
balas Ki Rangkuti, masih dengan nada suara perlahan.
"Maksud, Ayah.... Nyi
Rongkot masih hidup, dan sekarang muncul lagi hendak membalas dendam?"
terka Sekar Telasih.
Gadis itu memang cerdas, dan bisa
cepat menerka maksud pembicaraan seseorang. Terlebih lagi terhadap ayahnya,
yang sudah diketahui watak maupun kemauannya. Sehingga, isi hati dan pikiran
orang tua itu bias cepat diterka.
"Hhh...!" Ki Rangkuti
hanya menghembuskan nafasnya saja. Terasa begitu berat sekali tarikan nafasnya.
Perlahan Ki Rangkuti bangkit berdiri dan melangkah sampai ke depan beranda
rumahnya. Pandangannya kembali tertuju pada para penduduk yang masih sibuk
membenahi rumahnya.
Sementara, Sekar Telasih masih
tetap duduk di kursi yang terbuat dari bahan rotan itu. Dia kemudian bangkit
berdiri lalu berjalan menghampiri ayahnya. Gadis itu berdiri di samping kanan
ayahnya yang masih tetap diam memandangi orang-orang yang sibuk membenahi rumah
yang rusak akibat terlanda badai.
"Rasanya sulit dipercaya
kalau Nyi Rongkot masih hidup...," gumam Sekar Telasih seperti bicara pada
diri sendiri.
“Tapi kenyataannya dia sudah muncul,
dan membuat tanda malapetaka tadi," sergah Ki Rangkuti.
"Ayah, apa tidak sebaiknya
kita memberitahukan hal ini pada Pendekar Rajawali Sakti...?" usul Sekar
Telasih.
"Kau tahu, di mana
menghubunginya?" tanya Ki Rangkuti seperti menguji.
Sekar Telasih tidak bisa menjawab
pertanyaan itu. Jangankan menghubungi, mengetahui di mana Pendekar Rajawali
Sakti sekarang berada saja tidak mungkin bisa diketahui. Waktu itu kedatangan
Pendekar Rajawali Sakti juga secara tiba-tiba dan tidak diketahui. Dan
kepergiannya pun tanpa ada seorang pun yang tahu.
Sekar Telasih kini tahu, apa yang
sekarang menjadi beban pikiran ayahnya. Rasanya memang tidak mungkin bagi
mereka untuk menghadapi keganasan Nyi Rongkot si Ular Betina itu. Tingkat
kepandaiannya terlalu tinggi bagi mereka. Naga Merah yang terlihat di angkasa
tadi, memang merupakan suatu pertanda akan datang malapetaka di Desa Jatiwangi
ini.
Tapi tak ada seorang pun yang
bisa menebak, malapetaka apa yang akan terjadi nanti. Bukan hanya Sekar Telasih
yang tidak bisa menebak. Bahkan Ki Rangkuti sendiri tidak bisa menduga-duga.
Tapi mereka sudah yakin, malapetaka itu akan datang dengan cepat, dan tentunya
lebih dahsyat dari yang pertama dahulu.
"Apa yang harus kita lakukan
sekarang, Ayah?" tanya Sekar Telasih.
"Rasanya tidak ada waktu
lagi untuk melakukan sesuatu," jelas Ki Rangkuti, menggumam.
"Bagaimanapun juga, kita
harus berusaha sebelum si Ular Betina itu datang, Ayah," tegas Sekar
Telasih memberi dorongan semangat
"Apa yang akan kau
lakukan?" tanya Ki Rangkuti ingin tahu.
"Aku akan mengundang
beberapa pendekar tangguh sahabat kita, Ayah," jawab Sekar Telasih mantap.
"Kau akan pergi dari
sini?" Ki Rangkuti menggeleng-gelengkan kepala. Dia tidak yakin rencana
anak gadisnya akan berhasil. Laki-laki tua itu kenal betul watak Nyi Rongkot
yang berjuluk si Ular Betina. Sekali saja memberi tanda, maka tidak akan ada
seorang pun yang bisa keluar dari desa ini dalam keadaan hidup. Bahkan tak akan
ada seorang pun yang bisa masuk ke desa ini.
Dan itu berarti seluruh penduduk
Desa Jatiwangi benar-benar tinggal menunggu nasib saja. Namun Ki Rangkuti lebih
senang bila menggunakan kata menunggu kematian. Hal ini bisa dikatakannya,
karena mengingat watak Nyi Rongkot yang tidak pernah kepalang tanggung jika
sudah melakukan tindakan balas dendam.
"Kau tidak akan bisa keluar
dari desa ini, Sekar," tegas Ki Rangkuti dengan kepala masih bergerak
menggeleng perlahan.
"Aku yakin bisa, Ayah,"
tekad Sekar Telasih.
"Tidak mungkin.... Itu
sangat mustahil."
"Kenapa...?" Sekar
Telasih jadi ingin tahu.
"Kau tidak akan mengerti,
Sekar. Nyi Rongkot telah memberi tanda kehancuran dan kematian bagi seluruh
penduduk Desa Jatiwangi ini. Dan itu berarti tidak akan ada seorang pun yang
bisa keluar atau masuk desa ini. Aku kenal betul wataknya. Jadi, aku tidak ingin
kau mendapat celaka jika terus memaksakan keinginanmu," Ki Rangkuti
mencoba memberi penjelasan.
Sekar Telasih jadi terdiam.
Memang semua yang dikatakan ayahnya barusan tidak bisa lagi dibantahnya.
Meskipun gadis itu tidak begitu tahu seluruhnya akan watak dan tindakan Ular
Betina, tapi paling tidak pernah menghadapi perempuan tua itu. Kekejamannya
memang tidak bisa dikatakan lagi.
Bagi si Ular Betina, membunuh
merupakan pekerjaan yang paling mudah. Semudah membalikkan telapak tangan.
Untung waktu itu penduduk Desa Jatiwangi ditolong Pendekar Rajawali Sakti.
Sehingga, pembantaian seluruh penduduk dapat ditekan sekecil mungkin.
"Lalu, apa yang akan kita
lakukan...?" tanya Sekar Telasih setelah berdiam diri cukup lama juga.
"Diam, dan menunggu
perkembangan selanjutnya," sahut Ki Rangkuti.
***
Malam sudah begitu larut.
Sementara itu Ki Rangkuti masih juga berada di depan rumahnya yang besar. Rumah
yang juga digunakan untuk tempat berlatih ilmu olah kanuragan para pemuda Desa
Jatiwangi. Selain sebagai kepala desa, Ki Rangkuti juga dikenal sebagai Ketua
Padepokan Jatiwangi. Sebuah padepokan yang didirikan untuk mendidik
pemuda-pemuda desa ini agar memiliki kepandaian. Dengan demikian, mereka dapat
menjaga keamanan dan ketenteraman desanya.
Saat itu Ki Rangkuti melihat
empat orang mendatanginya dari arah depan. Salah seorang yang berjalan paling
depan, sudah sangat dikenali. Dialah Sayuti, salah seorang pengajar ilmu olah
kanuragan di Padepokan Jatiwangi ini. Keempat orang itu segera menjura memberi
hormat begitu sampai di depan Ki Rangkuti yang masih tetap berdiri membelakangi
rumahnya.
"Bagaimana? Sudah kau
tempatkan mereka di tempat-tempat rawan?" tanya Ki Rangkuti langsung.
"Sudah, Ki. Tinggal sekitar
sepuluh orang saja yang tinggal di padepokan," sahut Sayuti.
Kepala Ki Rangkuti
terangguk-angguk. Memang hanya itu saja yang bisa dilakukan untuk berjaga-jaga,
setelah peristiwa mengejutkan yang membuatnya menduga kalau Nyi Rongkot masih
hidup. Memang, dia sendiri tidak yakin akan berhasil baik dengan tindakannya
sekarang ini. Tapi untuk menjaga segala kemungkinan yang bisa saja terjadi
sewaktu-waktu, tak ada cara lain yang harus dilakukannya, selain meningkatkan
penjagaan keamanan di setiap pelosok Desa Jatiwangi.
"Ki..," ujar Sayuti
terputus.
"Ada apa, Sayuti?"
desah Ki Rangkuti.
"Apa benar Ular Betina akan
datang dan membalas dendam?" tanya Sayuti, terdengar ragu-ragu nada
suaranya.
"Aku baru menduga begitu.
Tapi tanda yang diberikannya tidak bisa kuabaikan begitu saja. Tidak ada
seorang tokoh pun di dunia ini yang mempunyai lambang Naga Merah. Hanya si Ular
Betina itu saja yang memilikinya," jelas Ki Rangkuti.
Sayuti terdiam. Dia juga melihat
Naga Merah di angkasa ketika terjadi badai yang melanda secara aneh di desa ini
siang tadi. Dan memang tidak bisa disalahkan jika Ki Rangkuti memerintahkan
seluruh murid Padepokan Jatiwangi untuk melipatgandakan penjagaan di seluruh
pelosok desa ini.
"Ki, apa tidak mungkin si
Ular Betina itu akan mengambil Nini Sekar Telasih lagi...?" kembali Sayuti
membuka suaranya.
"Dia tidak akan berhenti
sebelum mendapatkan Sekar Telasih dan membunuhku. Bahkan pasti akan
membumihanguskan seluruh desa ini. Aku tahu betul wataknya yang kejam dan tidak
mengenal ampun itu. Hhh.... Sebaiknya kalian tetap bersiaga, dan jangan lengah
sedikit pun juga. Kalau ada sesuatu yang terjadi, kalian harus cepat laporkan
padaku," pinta Ki Rangkuti.
"Baik, Ki," sahut
Sayuti dan empat orang pendampingnya serempak.
"Kembalilah kalian ke tempat
masing-masing," ujar Ki Rangkuti.
Setelah menjura memberi hormat,
Sayuti dan ketiga orang temannya yang juga sama-sama pengajar di Padepokan
Jatiwangi, segera melangkah pergi meninggalkan orang tua itu seorang diri.
Sepeninggal mereka, Ki Rangkuti masih tetap berdiri mematung di depan rumahnya.
Beberapa kali terdengar tarikan nafasnya yang begitu berat dan dalam.
"Hik hik hik...!"
"Heh...?!"
Ki Rangkuti terkejut setengah
mati ketika tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik keras. Begitu terkejutnya,
sampai-sampai terlompat ke belakang beberapa langkah. Belum juga rasa
keterkejutannya hilang, mendadak saja dari atas kepalanya melesat sebuah
bayangan merah yang begitu cepat luar biasa. Untung saja Ki Rangkuti cepat
merundukkan kepala, sehingga hanya hembusan angin saja yang menerpa rambut
putih di kepalanya. Dan begitu tubuhnya ditegakkan kembali, tahu-tahu di
depannya sudah berdiri seseorang berbaju merah menyala yang begitu longgar dan
panjang, sehingga menutupi seluruh bagian kakinya.
"Hm...," Ki Rangkuti
menggumam perlahan.
***
DUA
"Siapa kau...?!" tanya
Ki Rangkuti. Suaranya terdengar dingin.
"Kau tidak mengenaliku lagi,
Rangkuti...?" terdengar serak dan datar sekali suara orang berjubah merah
itu.
"Lihat aku baik-baik,
Rangkuti. Kau akan tahu siapa aku."
Ki Rangkuti menyipitkan sedikit
matanya, mencoba melihat wajah orang berjubah merah di depannya. Jantung Ki
Rangkuti seketika seperti berhenti berdetak ketika orang berjubah merah itu
menyibakkan rambutnya yang panjang teriap tak teratur. Sehingga, seluruh
wajahnya dapat terlihat jelas di bawah siraman cahaya rembulan.
"Nyi Rongkot...," desis
Ki Rangkuti hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Hik hik hik...! Kau
sekarang tahu siapa aku, Rangkuti...?" semakin dingin nada suara wanita
tua berjubah merah yang ternyata memang Nyi Rongkot, atau berjuluk Ular Betina.
Ki Rangkuti masih merayapi wajah
tua di depannya. Sungguh tidak disangka kalau si Ular Betina itu masih tetap
hidup. Bahkan sekarang tengah berdiri di depannya. Semula hanya diduga-duga
saja atas kejadian siang tadi. Tapi kini bukan lagi menduga, melainkan suatu
kenyataan yang harus dihadapinya. Nyi Rongkot ternyata masih hidup!
"Bagaimana mungkin kau masih
bisa hidup, Nyi Rongkot..?" tanya Ki Rangkuti masih diliputi perasaan
herannya.
"Kau tidak perlu tahu,
Rangkuti. Hidup dan matiku bukan urusanmu!" sahut Nyi Rongkot, begitu
dingin nada suaranya.
"Apa maksudmu datang lagi ke
sini...?" tanya Ki Rangkuti mulai dingin kembali suaranya.
"Hik hik hik...! Kenapa
mesti kau tanyakan, Rangkuti? Seharusnya kau sudah tahu maksud kedatanganku ke
sini. Kau toh, bukan orang bodoh!" sahut Nyi Rongkot bernada menghina.
"Jika ingin mengambil Sekar Telasih
dan menghancurkan desa ini, kau tentu juga sudah tahu apa yang akan kulakukan,
Nyi Rongkot," tegas Ki Rangkuti.
"Hik hik hik...! Bagus...!
Memang itu yang kuharapkan, Rangkuti. Tapi jangan harap aku akan melakukannya
begitu saja. Terlalu enak bagimu jika desa ini kuhancurkan sekaligus. Kau sudah
membuatku begitu menderita. Dan sekarang, aku akan membuatmu merasakan
bagaimana penderitaan itu, Rangkuti," kata Nyi Rongkot bernada mengancam.
"Apa maksudmu...?"
sentak Ki Rangkuti, agak bergetar suaranya.
"Hik hik hik...!" Si
Ular Betina itu tidak menjawab pertanyaan Ki Rangkuti barusan. Sambil
memperdengarkan tawanya yang mengikik mengerikan, Nyi Rongkot melesat pergi
cepat sekali. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah tidak
terlihat lagi bayangannya. "Tunggulah hari-hari penderitaanmu, Rangkuti!
Hik hik hik...!"
"Setan...!" dengus Ki
Rangkuti menggeram. Sayang sekali, laki-laki tua itu tidak bisa lagi mengejar.
Ilmu meringankan tubuh si Ular Betina itu memang sudah mencapai tingkat
sempurna, sehingga bisa melesat begitu cepat bagaikan kilat. Dia seperti lenyap
begitu saja bagai ditelan bumi. Ki Rangkuti hanya bisa mendengus dan menggerutu
dalam hati. Kemunculan Ular Betina yang begitu tiba-tiba dan mengejutkan
barusan, tentu sudah bisa diramalkan maksudnya.
"Hhh...! Aku tidak tahu, apa
yang akan dilakukannya. Wanita keparat itu memiliki seribu macam cara untuk
membuat orang menderita sepanjang hidup," dengus Ki Rangkuti, bicara pada
diri sendiri.
Saat itu terdengar suara
langkah-langkah kaki yang terdengar cepat, menghampirinya dari arah belakang.
Perlahan laki-laki tua berjubah putih itu memutar tubuhnya berbalik. Tampak
Sekar Telasih menghampirinya dengan langkah cepat setengah berlari. Ki Rangkuti
menunggu saja sampai gadis itu berada dekat di depannya.
"Ada apa, Ayah? Tadi
kudengar ada suara orang lain di sini," tanya Sekar Telasih langsung.
"Perempuan iblis itu
benar-benar masih hidup. Baru saja dia muncul di sini," jawab Ki Rangkuti,
masih dengan nada suara agak mendengus geram.
"Maksud, Ayah...? Ular
Betina...?" agak terbeliak bola mata Sekar Telasih.
Ki Rangkuti hanya menganggukkan
kepala saja, kemudian melangkah menuju beranda depan rumahnya. Sekar Telasih
bergegas mengikuti dari belakang. Mereka kemudian duduk di sebuah bangku
panjang dari rotan di beranda depan rumah yang berukuran sangat besar. Untuk
beberapa saat mereka terdiam, tidak saling membuka suara.
Sementara beberapa kali terdengar
tarikan napas Ki Rangkuti yang panjang dan berat sekali. Seakan-akan, dia ingin
melonggarkan rongga dadanya yang terasa begitu sesak, bagai terhimpit sebongkah
batu yang teramat besar dan berat.
“Jadi dia benar-benar masih
hidup, Ayah...?" tanya Sekar Telasih ingin memastikan lagi.
"Ya! Dia masih hidup dan
ingin melaksanakan maksudnya yang gagal waktu itu," sahut Ki Rangkuti.
"Ohhh...," Sekar
Telasih mendesah panjang. Lemas seluruh tubuh Sekar Telasih saat itu juga.
Betapa tidak...? Gadis itu tahu, apa yang dimaksudkan ayahnya barusan. Dan dia
juga sudah tahu kalau dirinya diakui Nyi Rongkot sebagai anaknya. Sedangkan
gadis itu sendiri tidak pernah mengakui kalau Nyi Rongkot adalah ibu yang telah
melahirkannya.
Memang tidak ada seorang pun yang
sudi mengakui wanita iblis itu sebagai saudara. Apalagi ibu. Padahal, Ki
Rangkuti sendiri sudah mengatakan kalau Sekar Telasih memang anak tunggal Nyi
Rongkot. Tapi, gadis itu tetap hanya memilih Ki Rangkuti sebagai orang tuanya.
"Bukan hanya kau saja yang
diinginkannya, Sekar. Tapi, kematianku juga diinginkannya. Aku akan dibuat
menderita terlebih dahulu sebelum pada akhirnya dikirim ke liang kubur,"
jelas Ki Rangkuti lagi. Masih terdengar perlahan suaranya.
"Kita tidak boleh menyerah
begitu saja, Ayah. Kita harus bisa bertahan. Paling tidak, memberikan
perlawanan," tegas Sekar.
"Ya! Kita memang akan
mempertahankannya. Meskipun, kita sendiri tahu tidak akan ada gunanya,"
sahut Ki Rangkuti jadi bersemangat melihat kegigihan gadis ini.
"Apa pun yang terjadi, aku
tetap anakmu, Ayah. Aku bukan anak perempuan iblis itu!" dengus Sekar
Telasih berapi-api.
Ki Rangkuti jadi terharu
mendengar kata-kata Sekar Telasih yang begitu bersemangat dan berapi-api. Maka
keharuannya tidak bisa lagi tertahankan. Direngkuhnya gadis itu ke dalam
pelukannya. Beberapa saat mereka berpelukan, menumpahkan rasa kasih dan cinta
yang begitu mendalam. Perlahan Ki Rangkuti melepaskan pelukannya. Ditatapnya
bola mata Sekar Telasih dalam-dalam, lalu lembut sekali kening gadis itu
diciumnya.
"Sudah malam. Sebaiknya kau
tidur," ujar Ki Rangkuti lembut.
"Ayah juga harus istirahat,
dan harus menjaga kesehatan badan," kata Sekar Telasih memperlihatkan
perhatian dan kasih sayangnya.
Ki Rangkuti tersenyum dan
mengangguk. Sekar Telasih bangkit berdiri, lalu melangkah masuk ke dalam rumah.
Sementara Ki Rangkuti masih tetap duduk bersila di bangku beranda depan
rumahnya yang sangat luas ini.
"Dewata Yang Agung.... Beri
petunjuk padaku untuk menghadapi Ular Betina itu," desah Ki Rangkuti
seraya menengadahkan kepala ke atas.
Ki Rangkuti cepat melompat
bangkit dari pembaringannya, begitu mendengar ketukan di pintu kamarnya. Sempat
disambarnya senjata yang berupa sebilah keris dari atas meja di samping tempat
tidur. Hanya sekali lompat saja, laki-laki tua kepala desa itu sudah mencapai
pintu, dan segera membukanya. Di depan pintu itu sudah berdiri Sayuti yang
didampingi tiga orang temannya, pengajar Padepokan Jatiwangi.
"Ada apa...?" tanya Ki
Rangkuti langsung.
"Bagian Selatan desa habis
diporakporandakan, Ki. Tak ada seorang penduduk pun yang tersisa," lapor
Sayuti.
"Apa...?!" Bukan main
terperanjatnya Ki Rangkuti mendengar laporan salah satu orang kepercayaannya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
dia bergegas keluar. Ayunan langkahnya begitu cepat dan lebar-lebar, membuat
Sayuti dan ketiga temannya terpaksa harus menggunakan ilmu meringankan tubuh
untuk mengimbanginya. Di depan pintu rumah, Ki Rangkuti dihadang Sekar Telasih
yang tampak sudah siap hendak bepergian.
Sebilah pedang sudah tersandang
di pinggangnya. Kali ini gadis itu mengenakan pakaian kependekaran yang begitu
ketat dan berwarna merah muda. Celananya sebatas lutut, sehingga memperlihatkan
sepasang betis yang begitu indah dan mulus. Ki Rangkuti terpaksa menghentikan
langkahnya di depan pintu.
"Aku ikut" pinta Sekar
Telasih tegas.
"Jangan Sekar. Kau tidak
akan tahan melihatnya," tolak Ki Rangkuti.
"Aku bukan lagi gadis yang
dulu, Ayah. Sekar yang dulu sudah mati. Yang ada sekarang ini adalah Sekar
Telasih, putri Ketua Padepokan Jatiwangi," lagi-lagi Sekar Telasih berkata
tegas.
"Kau belum ada satu tahun
mempelajari ilmu olah kanuragan, Sekar. Kau tidak akan tahan melihatnya nanti.
Sebaiknya...."
"Aku bisa pergi
sendiri!" potong Sekar Telasih cepat. Gadis itu cepat memutar tubuhnya,
lalu berlari menghampiri kuda yang sudah siap tidak jauh dari beranda depan
rumah itu.
Sejenak Ki Rangkuti jadi
kebingungan melihat tekad yang begitu bulat pada diri Sekar Telasih.
"Sekar, tunggu...!"
Tapi Sekar Telasih sudah keburu
melompat naik ke punggung kudanya. Langsung digebahnya kuda itu hingga melesat
cepat Ki Rangkuti tidak bisa berbuat lain lagi. Cepat-cepat dia melompat naik
ke punggung kuda, dan segera menggebahnya dengan cepat Sayuti dan ketiga
temannya juga segera mengikuti. Meskipun sudah berusia lanjut, tapi Ki Rangkuti
masih begitu tangkas mengendalikan binatang tunggangannya. Sebentar saja Sekar
Telasih yang berkuda lebih dahulu sudah bisa disusul.
"Sekar...," panggil Ki
Rangkuti terputus.
"Ini bukan hanya masalah
Ayah saja. Tapi, juga menyangkut diriku. Tidak mungkin aku tinggal diam
menunggu begitu saja, Ayah. Aku juga harus ikut terlibat" kata Sekar cepat
sebelum Ki Rangkuti melanjutkan ucapannya.
"Tapi dengarlah dulu
kata-kataku, Sekar. Yang kita hadapi sekarang ini bukan orang sembarangan.
Ilmunya demikian tinggi. Dan aku sendiri belum tentu bisa menghadapinya.
Sedangkan kau juga belum lama mempelajari ilmu olah kanuragan. Aku ingin, kau
bisa menahan diri. Jangan sampai terpancing oleh siasatnya," bujuk Ki
Rangkuti mencoba menasihati gadis itu.
"Aku akan melihat, sampai
sejauh mana perbuatan perempuan iblis itu, Ayah," balas Sekar Telasih
tetap tegas.
"Biar bagaimanapun, dia
tetap...."
"Tidak! Dia bukan
ibuku!" sentak Sekar Telasih cepat memutuskan ucapan Ki Rangkuti.
"Tidak ada seorang pun yang
sudi punya ibu jahat. Dia bukan ibuku! Tapi iblis...!"
"Sekar...."
"Jangan katakan itu lagi,
Ayah," potong Sekar Telasih cepat.
Ki Rangkuti tidak bisa lagi
berkata-kata. Sungguh baru kali ini Sekar Telasih kelihatan begitu keras.
Tekadnya benar-benar keras, seperti batu karang di lautan yang tak pernah habis
meskipun setiap saat selalu digempur gelombang ombak. Memang Sekar Telasih
sudah jauh berubah. Dia bukan lagi gadis manja yang tidak mampu melakukan
sesuatu.
Sejak empat guru pengajar
Padepokan Jatiwangi menggemblengnya dengan berbagai macam ilmu olah kanuragan
selama hampir setahun, Sekar Telasih sudah berubah jauh. Bahkan sifat manjanya
telah hilang sama sekali. Sekar Telasih telah benar-benar berdiri dengan kedua
kakinya sendiri.
Bukan hanya Sayuti. Bahkan
Darmaji, Gagak Aru, dan Walikan mengakui kalau Sekar Telasih memiliki bakat
luar biasa dalam mempelajari jurus-jurus ilmu olah kanuragan. Belum ada
setahun, Sekar Telasih telah melebihi tingkatannya dari murid-murid yang lebih
lama belajar di padepokan itu.
Terlebih lagi, Sekar Telasih
mengkhususkan diri memperdalam jurus-jurus permainan pedang. Sehingga, tak ada
seorang pun murid Padepokan Jatiwangi yang bisa menandingi kepandaiannya dalam
permainan jurus-jurus pedang. Perubahan pada dirinya terjadi setelah Sekar
Telasih menyadari betapa pentingnya mempelajari ilmu olah kanuragan untuk
membela diri.
Pengalaman pahitnya telah membuka
mata hati gadis itu, yang sebelumnya tidak pernah tertarik terhadap ilmu-ilmu
kepandaian. Sementara itu enam kuda terus bergerak menuju ke arah Selatan dari
Desa Jatiwangi. Ki Rangkuti tidak lagi berusaha membujuk Sekar Telasih untuk
kembali ke rumah. Dibiarkan saja gadis itu berkuda di sampingnya.
***
Sekar Telasih meringis melihat
keadaan di bagian Selatan Desa Jatiwangi. Tak ada satu rumah pun yang kelihatan
masih berdiri. Mayat bergelimpangan di mana-mana. Bau anyir darah menyeruak
tajam menusuk hidung. Hampir saja gadis itu tidak tahan melihat pemandangan
yang begitu mengerikan dan mengenaskan sekali.
Bukan hanya mayat orang dewasa
saja yang terlihat bergelimpangan di sepanjang jalan ini. Bahkan mayat
anak-anak dan bayi terlihat juga di antara reruntuhan rumah dan mayat-mayat
lain yang berserakan tak tentu arah. Asap tipis masih terlihat mengepul di
beberapa tempat. Benar-benar suatu pemandangan yang tidak sedap dinikmati.
Sementara Ki Rangkuti yang duduk
di punggung kudanya di samping Sekar Telasih, hanya bisa menggeretakkan
gerahamnya begitu melihat hasil kekejaman Ular Betina. Perempuan berhati iblis
itu benar-benar tidak lagi menyisakan seorang pun untuk hidup.
"Aku akan kembali,
Ayah," kata Sekar Telasih tiba-tiba, sambil memutar kudanya. Tanpa
menunggu jawaban Ki Rangkuti lagi, gadis itu segera menggebah kudanya
meninggalkan bagian Selatan Desa Jatiwangi ini.
"Darmaji, temani
putriku," perintah Ki Rangkuti.
"Baik, Ki," sahut
Darmaji langsung menggebah kudanya menyusul Sekar Telasih.
"Hiya! Hiyaaa...!"
"Berapa orang kau tempatkan
di sini, Sayuti?" tanya Ki Rangkuti seraya merayapi mayat-mayat di
sekitarnya.
"Sepuluh orang, Ki,"
sahut Sayuti yang kini sudah berada di samping laki-laki tua berjubah putih
itu.
"Bagaimana keadaan
mereka?"
"Tak ada seorang pun yang
hidup," sahut Sayuti perlahan.
"Hhh...!" Ki Rangkuti
menghembuskan napas berat. Laki-laki tua Kepala Desa Jatiwangi itu melompat
turun dari punggung kudanya.
Sayuti, Gagak Aru, dan Walikan
ikut melompat turun dari punggung kuda masing-masing. Walikan bergegas
mengambil tali kekang kuda Ki Rangkuti sambil menuntun kuda masing-masing,
mereka berjalan mengikuti Ki Rangkuti yang berjalan paling depan.
Hampir semua mayat yang
berserakan di sepanjang jalan ini diperiksa. Memang tak ada satu pun yang
kelihatan masih hidup. Semua tewas dengan luka-luka di tubuh. Darah yang
berceceran, terlihat sudah hampir mengering. Itu berarti baru semalam sebagian
dari Desa Jatiwangi dihancurkan.
"Sebaiknya kita kembali
saja, Ki. Tak ada lagi yang bisa dilakukan di sini," ujar Sayuti memecah
kebisuan yang terjadi di antara mereka.
"Ya.... Memang tak ada yang
bisa kita lakukan," desah Ki Rangkuti perlahan.
"Kita tidak memiliki
kekuatan apa pun untuk melawan keangkaramurkaan Ular Betina."
"Kami semua akan
mempertaruhkan nyawa, Ki," tekad Sayuti mewakili teman-temannya.
“Terima kasih atas kesetiaan
kalian semua. Tapi aku tidak bisa menjamin keselamatan kalian. Hhh...," ucap
Ki Rangkuti disertai hembusan napas panjang dan terasa berat sekali.
Laki-laki tua itu menghentikan
ayunan langkahnya. Tubuhnya berbalik, lalu matanya merayapi ketiga guru
pengajar di padepokan yang didirikannya hampir setahun yang lalu. Sedangkan yang
dipandangi hanya menundukkan kepala saja, seakan-akan mereka tidak sanggup
membalas tatapan mata Ketua Padepokan Jatiwangi itu. Beberapa saat lamanya
mereka hanya terdiam, tak ada yang membuka suara sedikit pun. Sementara suasana
memang terasa begitu sunyi mencekam.
"Desa Jatiwangi sudah berada
di ambang kehancuran. Dan aku tidak ingin lebih banyak lagi melihat mereka yang
tak berdosa harus mati sia-sia. Juga kalian bertiga...," ungkap Ki
Rangkuti. Suaranya begitu perlahan, bahkan hampir tak terdengar.
Tak ada seorang pun yang berani
berbicara. Mereka terdiam dengan kepala masih tertunduk dalam, menekuri tanah
di ujung kakinya. Sebentar Ki Rangkuti menarik napas dalam-dalam, dan
menghembuskannya kuat-kuat, seakan-akan ingin melonggarkan rongga dadanya yang
mendadak saja jadi terasa begitu sesak. Pokoknya, seperti terhimpit sebongkah
batu yang sangat besar, sehingga membuat pernafasannya seperti terhambat.
"Apa yang kau inginkan dari
kami, Ki?" tanya Sayuti memecah kebisuan kembali.
"Aku ingin kalian membawa
semua penduduk desa ini ke tempat yang lebih aman, dan tidak terjangkau si Ular
Betina," jelas Ki Rangkuti setelah menghembuskan napas panjang.
"Mustahil.... Itu tidak
mungkin, Ki," desah Sayuti.
"Benar, Ki. Ular Betina
tidak akan membiarkan seorang pun keluar dari desa ini," sambung Gagak
Aru.
"Aku hanya ingin kalian
menyelamatkan semua penduduk dari kebiadaban si Ular Betina itu," kata Ki
Rangkuti lagi.
"Tapi bagaimana caranya,
Ki...?" tanya Walikan yang sejak tadi diam saja.
"Yang pasti, dia tidak
seorang diri. Dan Desa Jatiwangi sudah terawasi dari luar. Mereka tak mungkin
memberi sedikit celah pada kita untuk keluar dari desa ini. Kalaupun ada, itu
pasti hanya jebakan saja untuk membantai habis siapa saja yang mencoba keluar
dari desa ini."
"Kalian rupanya sudah begitu
paham akan sifat dan watak si Ular Betina," desah Ki Rangkuti.
"Kami tahu betul, Ki,"
ujar Sayuti.
"Kalau sudah tahu, kalian
harus bisa menyelamatkan penduduk desa ini dari kehancuran," tegas Ki
Rangkuti lagi.
"Kami akan menghadapinya
sekuat tenaga dan kemampuan kami, Ki," tegas Sayuti bertekad.
"Kalian tidak ada artinya
bagi si Ular Betina. Dia bisa membunuh kalian semua, semudah membalikkan
telapak tangan."
"Kami rela mati untuk itu,
Ki," selak Gagak Aru.
"Itulah yang tidak
kuinginkan. Aku ingin kalian tetap hidup dan dapat meneruskan Padepokan
Jatiwangi yang kita dirikan dengan darah dan keringat. Kalian ingat peristiwa
berdirinya Padepokan Jatiwangi, bukan...? Tidak mudah mendirikan sebuah
padepokan. Apalagi mempertahankannya. Dan aku ingin kalian tetap
mempertahankannya. Jadi, kalian harus tetap hidup walau Desa Jatiwangi jadi
lautan api," tegas sekali kata-kata yang diucapkan Ki Rangkuti.
"Kami akan selalu setia
padamu, Ki. Juga pada Padepokan Jatiwangi," tegas Sayuti., Gagak Aru, dan
Walikan serempak seraya menjura memberi penghormatan.
"Aku tidak meragukan
kesetiaan kalian. Dan aku juga tidak meragukan kemampuan kalian membawa keluar
seluruh penduduk desa ini," kata Ki Rangkuti lagi.
Sayuti, Gagak Aru, dan Walikan
hanya saling melempar pandangan saja. Mereka tidak bisa lagi berkata lain.
Terlebih lagi membantah keinginan kepala desa, dan juga Ketua Padepokan
Jatiwangi ini. Mereka tahu, Ki Rangkuti tidak menginginkan ada pembantaian lagi
di Desa Jatiwangi ini Tapi keadaan yang dihadapi memang tidak mudah diatasi.
Mereka kini benar-benar terjepit.
"Kalian atur saja bagaimana
caranya," kata Ki Rangkuti lagi.
Setelah berkata demikian, Ki
Rangkuti mengambil tali kekang kudanya dari tangan Walikan. Kemudian, dia
melompat naik ke punggung kudanya dengan gerakan begitu ringan dan manis
sekali. Tanpa berbicara lagi, laki-laki tua yang selalu mengenakan baju jubah
putih panjang itu melompat naik ke punggung kudanya.
"Ayo, kita kembali...,"
ajak Ki Rangkuti.
Sayuti, Gagak Aru, dan Walikan
bergegas berlompatan naik ke punggung kuda masing-masing. Tak berapa lama
kemudian, mereka sudah bergerak cepat meninggalkan bagian desa yang sudah rata
dibumi-hanguskan itu. Mereka cepat memacu kudanya, meninggalkan debu yang
mengepul membumbung tinggi ke angkasa.
"Sayuti...!" panggil Ki
Rangkuti.
"Ya, Ki," sahut Sayuti
seraya menghampiri, dan mensejajarkan langkah kudanya di samping kuda laki-laki
tua berjubah putih itu.
"Jika kau bisa keluar dari
desa ini, usahakan temui Pendekar Rajawali Sakti dan Bayangan Malaikat. Atau,
pendekar siapa saja yang berkepandaian tinggi. Katakan pada mereka, aku
membutuhkan bantuannya," pesan Ki Rangkuti.
"Baik, Ki," sahut
Sayuti. "Tapi ada satu pesan yang harus kau ingat, Sayuti. Juga kalian
berdua," tambah Ki Rangkuti lagi.
"Apa itu, Ki?" tanya
Sayuti. "Jangan katakan hal ini pada Sekar Telasih," kata Ki Rangkuti
memberi pesan lagi.
"Kenapa, Ki?" tanya
Sayuti ingin tahu
"Kalian harus ingat. Ini
persoalan antara aku, Sekar, dan si Ular Betina. Jadi hanya aku dan Sekar saja
yang harus menghadapinya. Kecuali, orang-orang yang kusebutkan namanya tadi.
Kau paham, Sayuti...?"
"Paham, Ki," sahut
Sayuti mantap.
Ki Rangkuti tidak berkata-kata
lagi. Dan mereka semua juga tidak ada yang bersuara lagi. Sementara kuda yang
ditunggangi terus berpacu cepat membelah jalan tanah berdebu.
***
TIGA
Sayuti dan tiga orang rekannya
mengambil cara untuk mengeluarkan penduduk dari Desa Jatiwangi ini dengan
bergelombang. Para penduduk dibagi empat gelombang yang akan dipimpin
masing-masing dari mereka berempat. Dan seluruh murid padepokan Jatiwangi juga
dibagi menjadi empat bagian.
Setiap bagian akan mengawal satu
gelombang penduduk yang harus keluar dari desa ini, sebelum ancaman si Ular
Betina benar-benar terlaksana. Malam ini akan berangkat gelombang pertama yang
dipimpin Gagak Aru. Ada sekitar tiga puluh orang penduduk, baik tua, muda, dan
anak-anak yang dikawal tidak kurang lima belas murid Padepokan Jatiwangi.
Mereka berangkat melalui jalan
Utara, mengingat pada bagian Selatan desa sudah dihancurkan hingga tak ada lagi
yang tersisa. Tepat tengah malam, mereka berangkat meninggalkan desa secara
diam-diam. Dan keberangkatan ini memang sangat dirahasiakan, sehingga penduduk
yang belum mendapat giliran pun tidak ada yang tahu.
Hanya Ki Rangkuti dan para
pembantunya di padepokan saja yang mengetahui semua rencana ini. Bahkan Sekar
Telasih sendiri tidak mengetahui. Dan inilah yang memang diinginkan Ki
Rangkuti, agar Sekar Telasih tidak nekat ikut bersama rombongan itu keluar dari
Desa Jatiwangi ini. Tapi begitu rombongan penduduk sampai di perbatasan desa
sebelah Utara, mendadak saja....
"Berhenti...!"
Bentakan keras yang begitu
menggelegar bagai guntur, membuat mereka terkejut setengah mati. Dan belum lagi
hilang rasa keterkejutannya, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan merah.
Tahu-tahu, di depan mereka sudah berdiri sesosok tubuh berjubah merah menyala.
Ternyata, seorang perempuan tua berambut meriap panjang yang hampir menutupi
wajahnya sudah menghadang mereka. Sebatang tongkat berbentuk seekor ular naga,
tergenggam di tangan ka-nannya.
"Ular Betina...," desis
Gagak Aru langsung mengenali perempuan tua yang tiba-tiba saja muncul di
depannya.
"Mau ke mana kalian,
heh...?!" bentak perempuan tua berjubah merah yang dikenal sebagai si Ular
Betina.
"Ke mana saja kami pergi,
itu bukan urusanmu!" dengus Gagak Aru ketus.
Ular Betina langsung menatap
tajam Gagak Aru. Sinar matanya tampak tajam menusuk langsung ke bola mata
laki-laki separuh baya ini.
Sedangkan Gagak Aru sudah memberi
isyarat pada murid-muridnya untuk bersiaga. Tanpa diperintah dua kali, lima
belas murid Padepokan Jatiwangi segera mencabut senjata masing-masing.
"Kalian hanya punya satu
pilihan. Kembali ke desa, atau mati di sini!" desis si Ular Betina
mengancam.
"Hhh! Kau tidak ada hak
melarang kami, Perempuan Iblis!" dengus Gagak Aru, tetap ketus suaranya.
"Keras kepala...!"
geram Ular Betina. "Kalian memaksaku bertindak, heh...?!"
Setelah berkata demikian, Ular
Betina langsung menghentakkan tongkatnya ke tanah. Dan tiba-tiba saja dari
balik rimbunan semak belukar dan pepohonan, berlompatan orang-orang berbaju
merah bersenjatakan golok terhunus di tangan kanan. Jumlah mereka tidak kurang
dari dua puluh orang. Mereka langsung mengurung para penduduk Desa Jatiwangi
yang hanya diperkuat Gagak Aru dan lima belas muridnya.
"Bunuh mereka
semua...!" perintah si Ular Betina lantang menggelegar.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaa...!" Seketika
itu juga, dua puluh orang laki-laki berbaju serba merah berlompatan cepat
menyerang para penduduk Desa Jatiwangi yang mencoba keluar dari desa itu. Jerit
dan pekikan melengking menyayat hati langsung terdengar saling sambut yang
disusul berjatuhannya tubuh-tubuh bersimbah darah.
"Iblis keparat..! Kubunuh
kalian semua!" geram Gagak Aru melihat kekejaman orang-orang berbaju serba
merah ini.
"Hiyaaat...!" Sret!
Bet!
Gagak Aru langsung mencabut
pedang, dan secepat kilat mengibaskannya ke arah salah seorang yang berada
paling dekat dengannya. Tapi orang berbaju merah itu demikian gesit. Dengan
merundukkan tubuh saja, tebasan pedang Gagak Aru yang begitu cepat berhasil
dielakkan. Pada saat itu, dua orang lain yang mengenakan baju serba merah
berlompatan menyerang Gagak Aru.
Sementara yang lain terus
membantai para penduduk Desa Jatiwangi yang sama sekali tidak berdaya. Bahkan
lima belas murid Padepokan Jatiwangi sama sekali tidak berdaya menghadapi
amukan orang-orang itu. Satu persatu mereka roboh bergelimang darah.
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi semakin sering terdengar, diiringi
tubuh-tubuh berlumuran darah terus berjatuhan.
Sementara Gagak Aru harus
menghadapi tiga orang yang menyerangnya dengan cepat dan bergantian. Hanya
dalam beberapa jurus saja, Gagak Aru sudah kelihatan demikian terdesak. Sama
sekali tidak dipunyainya kesempatan untuk balas menyerang. Tiga orang lawan
terus menerjang tanpa henti secara bergantian dari tiga jurusan. Akibatnya
Gagak Aru semakin kelabakan menghadapinya.
"Ha ha ha...!" si Ular
Betina tertawa terbahak-bahak menyaksikan orang-orangnya demikian mudah
membantai penduduk Desa Jatiwangi tanpa perlawanan berarti.
“Iblis…”! geram Gagak Aru semakin
mendidih darahnya mengetahui orang-orang yang harus dijaga keselamatannya terus
terbantai tanpa ampun lagi
“Hiyaaa…!” Dengan darah
menggelegak dalam dada, Gagak Aru jadi nekat. Bagaikan kilat tubuhnya melenting
ke udara, dan langsung meluruk deras ke arah Ular Betina yang tengah
terbahak-bahak. Cepat sekali Gagak Aru membabatkan pedangnya ke arah perempuan
tua berjubah merah itu.
"Mampus kau, Iblis Laknat!
Hiyaaat...!"
Bet!
"Ikh...!
Wuk!
Ular Betina hanya menarik
tubuhnya sedikit ke belakang seraya menghentakkan tongkatnya, menyambut kebutan
pedang Gagak Aru. Tak dapat dihindari lagi, pedang Gagak Aru beradu keras
dengan tongkat berbentuk ular naga itu.
Trang!
"Akh...!" Gagak Aru
terpekik keras begitu pedangnya menghantam tongkat berbentuk ular naga itu.
"Hih! Yeaaah...!"
Bagaikan kilat, Ular Betina menghentakkan kakinya ke depan. Begitu cepatnya
tendangan yang dilepaskan perempuan tua berjubah merah itu, sehingga Gagak Aru
tidak dapat lagi menghindarinya.
Bek!
"Akh...!" lagi-lagi
Gagak Aru memekik keras agak tertahan. Seketika itu juga tubuh Gagak Aru
terpental ke belakang sejauh dua batang tombak, begitu dadanya terkena
tendangan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam sangat
tinggi Keras sekali tubuhnya terbanting di tanah. Dan sebelum bisa bangkit
berdiri, seorang yang mengenakan baju merah menyala sudah melompat ke arahnya
sambil membabatkan golok tajam berkilatan.
"Hiyaaa...!"
Wuk!
Cras!
"Aaa...!" jeritan
panjang melengking tinggi terdengar membelah angkasa. Pedang orang berbaju serba
merah itu langsung membelah dada Gagak Aru. Seketika itu juga, darah menyembur
deras dari dada yang terbelah sangat lebar dan panjang. Dan sebelum Gagak Aru
menyadari apa yang terjadi, sebilah golok kembali berkelebat cepat sekali ke
arahnya. Dan....
Bres!
"Aaa...!" lagi-lagi
Gagak Aru menjerit panjang melengking tinggi. Sebentar laki-laki setengah baya
itu mengejang kaku, lalu diam tak bergerak-gerak lagi. Sebilah golok tampak
tertanam dalam di dadanya.
Seorang berbaju serba merah
menghampiri, dan mencabut goloknya yang terbenam di dada Gagak Aru. Sementara
itu, pembantaian terhadap para penduduk Desa Jatiwangi pun sudah berakhir. Tak
ada seorang pun yang dibiarkan hidup. Mereka semua tewas bergelimpangan
bermandikan darah.
"Ha ha ha....!" si Ular
Betina tertawa terbahak-bahak kesenangan, seperti melihat satu pertunjukkan
menarik. Bersamaan melesatnya perempuan tua berjubah merah itu, dua puluh orang
berpakaian serba merah juga segera berlompatan pergi meninggalkan puluhan mayat
yang berserakan saling tumpang tindih.
Sementara malam terus merayap
semakin larut. Udara dingin ditambah angin yang berhembus agak keras,
menebarkan bau amis darah dari tubuh-tubuh tak bernyawa lagi.
***
Gagalnya Gagak Aru membawa keluar
sebagian penduduk keluar dari Desa Jatiwangi membuat Ki Rangkuti terpaksa harus
mengumpulkan para pembantu setianya yang kini tinggal tiga orang. Mereka
berkumpul di bangunan Padepokan Jatiwangi yang letaknya tidak jauh dari rumah
Ki Rangkuti sendiri. Biasanya, ruangan tertutup itu dijadikan ruangan khusus
untuk bersemadi Ki Rangkuti.
"Iblis...!" desis Ki
Rangkuti menggeram marah.
"Bagaimana, Ki? Apa rencana
ini diteruskan?" tanya Sayuti.
"Tidak...! Aku tidak ingin
mereka semua mati terbantai sia-sia," tegas Ki Rangkuti.
"Kalau begitu, biar aku saja
yang keluar sendiri, Ki," kata Sayuti lagi menawarkan diri.
Ki Rangkuti menatap Sayuti
dalam-dalam. Memang terlalu sulit mengabulkan keinginan pengajar di padepokan
Jatiwangi itu. Sedangkan melarang pun, rasanya tidak mungkin dilakukan. Mereka
memang sudah semakin terdesak keadaan. Korban sudah cukup banyak berjatuhan.
Desa Jatiwangi ini bagai tinggal menunggu datangnya saat-saat kehancuran itu.
Apa yang diduga selama ini memang
menjadi kenyataan. Satu rombongan penduduk yang mencoba keluar dari desa ini,
dan dipimpin Gagak Aru telah tewas tanpa seorang pun yang dibiarkan hidup.
Bahkan Gagak Aru sendiri tewas bersama para penduduk dan lima belas orang
muridnya.
"Beri aku kesempatan, Ki.
Aku akan hati-hati," pinta Sayuti memohon.
"Kau tahu, apa
bahayanya?" tanya Ki Rangkuti.
"Aku tahu, Ki. Aku akan
menanggung semua akibatnya," sahut Sayuti mantap.
"Kau orang terbaik yang
kumiliki, Sayuti. Aku pasti akan kehilanganmu," ujar Ki Rangkuti agak
sendu.
"Masih banyak yang lebih baik
dariku, Ki," Sayuti merendah.
Ki Rangkuti terdiam membisu.
Memang sulit mengucapkan sesuatu bagi Sayuti, orang yang paling dipercayai dan
disukai. Meskipun masih ada dua orang lagi kepercayaannya, tapi Sayuti adalah
orang pertama yang menyatakan kesetiaan. Bahkan orang pertama pula yang pernah
dipercayainya.
Terasa sulit bagi Ki Rangkuti
untuk menerima kenyataan pahit ini. Terlebih lagi, harus kehilangan orang
pertama yang begitu setia dan paling dipercaya. Tapi semua memang harus
dihadapi. Keadaan yang semakin mendesak, membuatnya harus rela melepaskan
Sayuti.
"Kapan kau akan berangkat,
Sayuti?" tanya Ki Rangkuti setelah cukup lama terdiam.
"Besok, sebelum matahari
terbit," sahut Sayuti mantap.
"Aku hanya bisa berpesan.
Jangan tinggalkan pedang pusaka itu. Mudah-mudahan Hyang Widhi selalu
melindungimu," ucap Ki Rangkuti.
"Terima kasih, Ki."
Sayuti segera menjura menyentuhkan keningnya di lantai, memberi hormat pada
orang tua yang sangat disegani ini.
Sayuti jadi teringat saat-saat
pertama bertemu Ki Rangkuti yang saat itu belum menjabat sebagai kepala desa.
Waktu itu Sayuti masih berusia muda, dan sudah memiliki kepandaian cukup
tinggi. Tapi memang wataknya melenceng, sehingga membuatnya terlalu angkuh dan
jumawa. Sayuti berbuat apa saja yang disukai. Bahkan akan membunuh siapa saja
yang mencoba merintangi.
Waktu itu, dia mencoba menodai
putri Kepala Desa Jatiwangi. Tapi sebelum maksudnya terlaksana, Ki Rangkuti
yang waktu itu masih gagah dan belum setua ini keburu datang menolong anak
gadis kepala desa itu. Kepandaian yang dimiliki Ki Rangkuti memang jauh lebih
tinggi daripada Sayuti. Sehingga, mudah sekali Ki Rangkuti menaklukkannya.
Kalau bukan Ki Rangkuti pula, mungkin sudah sejak dulu Sayuti terbaring di
lubang kubur.
Seluruh penduduk Desa Jatiwangi
sudah begitu muak dan marah atas perbuatannya. Namun Ki Rangkuti masih memberi
kesempatan pada Sayuti untuk tetap hidup, walau dengan satu syarat. Sayuti
harus meninggalkan Desa Jatiwangi, dan tidak boleh datang lagi ke desa ini. Dan
ternyata Sayuti malah kembali lagi, namun untuk menyatakan kesetiaannya, tepat
ketika Ki Rangkuti melangsungkan pernikahan dengan anak gadis kepala desa yang
ditolongnya. Hingga akhirnya, Ki Rangkuti diangkat menjadi kepala desa.
Sedangkan Sayuti terus
mendampinginya dengan setia. Segala sifat buruknya benar-benar telah dikubur
dalam-dalam. Bahkan seluruh penduduk Desa Jatiwangi yang semula membenci,
berubah menjadi mencintainya. Beberapa kali Sayuti memperlihatkan kesetiaannya,
dengan mempertaruhkan nyawa untuk mengamankan Desa Jatiwangi dari rongrongan
gerombolan pengacau yang datang dari luar. Dan itu membuat namanya semakin
disegani. Tapi, Sayuti memang benar-benar sudah berubah. Dia tidak mabuk akan
sanjungan. Bahkan semakin merasa rendah diri saja. Hingga akhirnya, Ki Rangkuti
mengangkatnya sebagai saudara.
"Sebaiknya kau istirahat
sekarang, Sayuti," ujar Ki Rangkuti membuyarkan kenangan Sayuti.
Perlahan laki-laki separuh baya
yang selalu mengenakan baju warna merah muda itu, mengangkat kepala. Sebentar
ditatapnya Ki Rangkuti, lalu kembali membungkuk. Kemudian dia menjura memberi
hormat, lalu bangkit berdiri dan melangkah keluar meninggalkan ruangan
berukuran tidak begitu besar ini. Kini di dalam ruangan itu, tinggal Ki
Rangkuti yang masih ditemani dua orang pembantu setianya.
"Walikan...," panggil
Ki Rangkuti.
"Iya, Ki," sahut
Walikan seraya menjura memberi hormat dalam keadaan tetap duduk bersila.
"Ikutilah Sayuti. Tapi kau
harus menjaga jarak, dan jangan sampai Sayuti tahu. Aku ingin kau cepat
melaporkan setiap terjadi sesuatu padanya," perintah Ki Rangkuti.
"Aku siap melaksanakannya,
Ki," sahut Walikan mantap.
"Pergilah," desah Ki
Rangkuti.
"Pamit, Ki," ucap
Walikan kembali menjura memberi hormat.
Walikan bergegas bangkit berdiri,
lalu sekali lagi memberi penghormatan pada Ki Rangkuti sebelum meninggalkan
ruangan itu. Kini tinggal Darmaji saja yang masih duduk bersila di depan
laki-laki tua Kepala Desa Jatiwangi yang juga sekaligus ketua padepokan di desa
ini. Mereka masih tetap berdiam diri, meskipun Walikan sudah tidak terlihat
lagi diruangan berukuran tidak terlalu besar ini.
"Lalu, apa tugasku,
Ki...?" tanya Darmaji yang sejak tadi diam saja.
"Kau tetap di sini
bersamaku, Darmaji. Cukup banyak tugas yang akan kau emban. Bahkan jauh lebih
berat daripada kedua saudaramu," sahut Ki Rangkuti, yang selalu
membiasakan semua pembantu setianya untuk saling menganggap saudara.
"Apa tidak sebaiknya aku juga
pergi, Ki. Melalui jalan lain yang bertolak belakang dengan Kakang
Sayuti," usul Darmaji.
"Tidak. Kau tidak boleh
meninggalkan desa ini," tolak Ki Rangkuti tegas.
"Tapi, Ki.„." Belum
juga Darmaji melanjutkan ucapannya, tiba-tiba saja Ki Rangkuti mendongakkan
kepala ke atas.
Pada saat Ki Rangkuti melesat
tinggi menjebol atap ruangan ini, Darmaji sempat mendengar ada hembusan napas
orang lain di atas atap bangunan Padepokan Jatiwangi ini. Tanpa membuang-buang
waktu lagi, Darmaji cepat melompat keluar melalui pintu. Ditabraknya pintu itu
hingga hancur berkeping-keping. Sementara tubuh Ki Rangkuti sudah lenyap
setelah menjebol atap kamar bangunan Padepokan Jatiwangi ini.
***
"Siapa kau?!
Berhenti...!" seru Ki Rangkuti keras menggelegar.
"Hup...!" Cepat sekali
gerakan laki-laki tua berjubah putih itu. Dan hanya sekali lesatan yang manis
sekali, laki-laki tua itu bisa melewati kepala seseorang yang mengenakan baju
warna hitam pekat yang begitu ketat Tanpa menimbulkan suara sedikit pun Ki
Rangkuti mendarat tepat di depan orang berbaju serba hitam yang baru saja
menjejakkan kakinya di tanah. Pada saat yang sama, Darmaji sudah sampai. Dia
langsung berdiri di samping kanan Ki Rangkuti.
"Sekar...," desis Ki
Rangkuti begitu bisa melihat wajah orang berbaju hitam yang menyelinap
menguping pembicaraannya tadi dengan para pembantu kepercayaannya.
"Ayah jahat...! Ayah tidak
cinta lagi pada Sekar...," sentak Sekar Telasih, agak terisak nada
suaranya.
Setelah berkata demikian, orang
berbaju serba hitam yang ternyata Sekar Telasih cepat berbalik dan berlari
cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
"Sekar, tunggu...!"
seru Ki Rangkuti. Bagaikan kilat, laki-laki tua Kepala Desa Jatiwangi itu
melompat cepat mengejar gadis itu. Hanya tiga kali lompatan saja, Ki Rangkuti
sudah berhasil menghadang Sekar Telasih yang berlari kencang mempergunakan ilmu
meringankan tubuh. Memang ilmu yang dimiliki Sekar Telasih belum ada seujung
kuku bila dibanding Ki Rangkuti. Sehingga mudah sekali laki-laki tua itu bisa
mengejar gadis ini.
"Dengar dulu,
Sekar...," Ki Rangkuti mencoba menyabarkan hati anak gadisnya.
"Kenapa Ayah punya rencana
diam-diam...? Kenapa Sekar tidak diberi tahu?" agak keras nada suara
Sekar. Gadis itu menuntut penjelasan dari ayahnya.
"Bukannya aku melupakanmu,
Sekar. Aku hanya merasa belum saatnya memberitahukanmu. Lagi pula, semua
rencana ini belum ketahuan hasilnya," Ki Rangkuti mencoba menjelaskan.
"Tapi kenapa harus
diam-diam?"
"Maafkan aku, Sekar. Aku
tidak bermaksud mengecilkan arti dirimu," ucap Ki Rangkuti bernada
menyesal.
Perlahan Ki Rangkuti melangkah
mendekati gadis itu, lalu tangannya terulur. Diraihnya kedua tangan Sekar
Telasih. Kini tangan gadis itu digenggamnya erat-erat. Sesaat mereka saling
bertatapan. Sementara dari tempat yang cukup jauh, Darmaji hanya memperhatikan
saja. Dia tidak tahu, apa yang dibicarakan antara anak dan ayah itu.
"Kau ingin berbuat sesuatu
yang berarti bagi desa ini, Sekar?" tanya Ki Rangkuti.
Sekar Telasih mengangguk pasti,
meskipun di hatinya terselip suatu keheranan atas pertanyaan ayahnya barusan.
Di hati gadis itu jadi timbul berbagai pertanyaan yang bernada keheranan. Dia
juga tidak yakin kalau laki-laki tua ini bisa berubah keputusannya begitu
cepat.
"Apa yang akan kau lakukan
untuk desa ini?" tanya Ki Rangkuti lagi.
Sekar Telasih malah tidak bisa
menjawab pertanyaan itu. Bahkan jadi kebingungan sendiri, dan tidak tahu harus
menjawab pertanyaan yang dilontarkan begitu lembut. Sekar Telasih jadi
tertunduk. Tapi, Ki Rangkuti cepat menahan dagu gadis itu dengan ujung jari
tangannya. Sehingga, membuat Sekar Telasih terpaksa harus tetap memandang wajah
ayahnya ini.
"Aku akan mengirimmu keluar
dari desa ini," kata Ki Rangkuti, mantap dan perlahan sekali suaranya.
"Oh...?" Sekar Telasih
terkejut mendengarnya.
Sungguh tidak diduga kalau
ayahnya akan berkata seperti itu. Malah tadi disangka kalau laki-laki tua yang
selalu mengenakan baju jubah putih panjang ini akan marah atas perbuatannya
yang mendengarkan secara diam-diam pembicaraan ayahnya tadi. Tapi apa yang
didengarnya barusan, sungguh tidak disangka sama sekali sebelumnya.
Dan sebelum Sekar Telasih bisa
mengucapkan sesuatu, Ki Rangkuti sudah melambaikan tangannya memanggil Darmaji
yang sejak tadi berdiri sambil memperhatikan di kejauhan.
Melihat lambaian tangan Ki
Rangkuti, pembantu setia yang satu-satunya berusia muda itu bergegas
menghampiri. Dia menjura hormat membungkukkan tubuhnya setelah berada dekat di
depan laki-laki tua berjubah putih ini. Ki Rangkuti menepuk pundak Darmaji sambil
tersenyum manis sekali.
"Darmaji, kau tadi
mengusulkan apa padaku?" tanya Ki Rangkuti.
"Apa, Ki...?" Darmaji
malah balik bertanya. Sungguh tidak disangka kalau Ki Rangkuti akan bertanya
seperti itu. Padahal usulnya yang langsung ditolak tegas oleh Ki Rangkuti sudah
dilupakannya. Tapi sekarang Ki Rangkuti malah menanyakan kembali usulnya tadi.
"Aku ingin dengar lagi
usulmu, Darmaji," pinta Ki Rangkuti, terdengar lembut nada suaranya.
"Kau sungguh-sungguh,
Ki...?" Darmaji masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Apa aku kelihatan
main-main...?"
"Maaf, Ki. Tapi sudah
ditolak," kata Darmaji agak tersipu.
"Aku kini menyetujui usulmu
itu, Darmaji."
"Oh! Benarkah itu,
Ki...?" Darmaji jadi terbeliak.
"Pergilah bersama Sekar,
pada saat keberangkatan Sayuti. Tapi, ingat. Seperti usulmu, kau harus pergi ke
arah yang berlawanan dengan Sayuti," kata Ki Rangkuti lagi.
Darmaji tidak bisa lagi berkata
apa-apa. Segera tubuhnya dibungkukkan, menjura memberi hormat pada laki-laki
tua ini. Sedangkan Sekar Telasih sendiri begitu gembira, meskipun kepergiannya
harus didampingi salah seorang dari pengajar di Padepokan Jatiwangi.
"Terima kasih, Ayah,"
ucap Sekar Telasih dengan bola mata berkaca-kaca.
Ki Rangkuti hanya tersenyum saja,
kemudian melangkah meninggalkan tempat itu. Sekar Telasih dan Darmaji masih
tetap berdiri memandangi sampai laki-laki tua kepala desa itu jauh
meninggalkannya.
"Aneh.... Kenapa tiba-tiba
keputusannya berubah?" gumam Darmaji bertanya pada diri sendiri.
"Ayah memang orang yang
bijaksana," desah Sekar Telasih, juga seperti bicara pada diri sendiri.
Sesaat mereka sating
berpandangan. Memang rasanya tidak pantas kalau Darmaji yang baru berusia
sekitar dua puluh lima tahun itu disebut guru. Tapi, memang itulah
kenyataannya. Darmaji adalah satu-satunya murid Ki Rangkuti yang tertua dan
paling lama menerima ilmu-ilmu dari laki-laki tua Kepala Desa Jatiwangi itu.
Meskipun di padepokan, Sekar Telasih memanggilnya guru, tapi jika berada di
luar padepokan selalu memanggil kakang. Dan ini memang yang diinginkan Darmaji.
Memang, dirinya masih merasa
belum pantas disebut guru. Dia sendiri sebenarnya masih perlu banyak belajar
mengenai ilmu-ilmu olah kanuragan dan kesaktian. Bahkan dirinya merasa belum
cukup terjun ke dalam rimba persilatan. Apalagi harus dipanggil guru.
"Sebenarnya apa usul Kakang
pada ayah tadi?" tanya Sekar Telasih ingin tahu.
"Kau tidak dengar?"
Darmaji malah balik bertanya.
"Aku tadi keburu ketahuan,
jadi tidak sempat mendengar," sahut Sekar Telasih malu-malu.
"Aku hanya mengusulkan untuk
keluar dari desa ini, bersamaan waktunya dengan Paman Sayuti. Tapi, melalui
jalan lain yang berlawanan," Darmaji menjelaskan usulnya pada Ki Rangkuti
tadi di dalam ruangan bangunan Padepokan Jatiwangi.
"Dan ayah menolak?"
tanya Sekar Telasih ingin meyakinkan.
Darmaji mengangguk. "Tapi
aku heran, kenapa tiba-tiba saja Ki Rangkuti jadi berubah pikiran?" agak
menggumam nada suara Darmaji.
"Aku tahu. Ayah pasti
berpikir, usul Kakang itu bagus. Bukankah dengan demikian perhatian si Ular
Betina jadi terpecah, dan tidak mungkin menghalangi dalam dua tempat
sekaligus...?" ujar Sekar Telasih.
"Kau cerdas, Sekar,"
puji Darmaji.
Sekar Telasih jadi tersipu
mendapat pujian pemuda yang juga gurunya dalam ilmu dasar olah kanuragan ini.
Mereka kemudian melangkah meninggalkan tempat itu tanpa bicara lagi. Dalam
hati, mereka sama-sama memuji kebijaksanaan yang diberikan Ki Rangkuti, dan
semakin menghormatinya. Mereka bertekad untuk bisa keluar dari desa ini, lalu
meminta bantuan pada pendekar yang bisa ditemui di mana saja untuk
menyelamatkan Desa Jatiwangi yang begitu mereka cintai.
***
EMPAT
Tepat seperti yang sudah
direncanakan. Begitu Sayuti berangkat untuk mencoba keluar dari Desa Jatiwangi
ini, Walikan juga berangkat mengikuti kepergian Sayuti secara diam-diam. Pada
saat itu juga, Darmaji bersama Sekar Telasih berangkat meninggalkan desa ini.
Namun semua itu tidak lepas dari pengamatan Ki Rangkuti dari dalam kamarnya.
Laki-laki tua itu memperhatikan, berdiri di depan jendela kamarnya.
Sementara itu Darmaji dan Sekar
Telasih terus bergerak ke arah Selatan. Sedangkan Sayuti terus bergerak ke arah
Utara. Hal ini memang disengaja, karena untuk mengecoh perhatian si Ular Betina
yang selalu mengawasi entah dari mana. Tapi itu juga hanya perkiraan saja. Dan
mereka tetap harus waspada, karena apa yang dilakukan si Ular Betina tidak
dapat diduga dan diramalkan sebelumnya.
"Kakang Darmaji, bukankah
ini jalan yang menuju...?"
"Benar, Sekar," sahut
Darmaji sebelum Sekar Telasih menyelesaikan pertanyaannya.
"Kenapa harus lewat
sini?" tanya Sekar Telasih.
"Ular Betina sudah
mengobrak-abrik dan membumihanguskan bagian Selatan Desa Jatiwangi. Jadi,
kurasa tidak mungkin dia menjaga daerah ini, Sekar. Sedangkan Paman Sayuti
melalui jalan Utara yang pasti dijaga ketat si Ular Betina. Karena memang jalan
Utaralah yang terdekat dengan desa sebelah," Darmaji mencoba menjelaskan.
"Kau menyangka begitu,
Kakang...?" agak lain nada suara Sekar Telasih.
"Bagaimana menurutmu,
Sekar?"
"Aku memang tidak
berpengalaman dalam masalah pertempuran, Kakang. Aku hanya gadis desa yang baru
saja mempelajari ilmu olah kanuragan. Tapi menurutku, jalan yang kita lalui
justru akan membawa ke mulut buaya," Sekar Telasih mengemukakan
pendapatnya.
"Aku tidak mengerti
maksudmu, Sekar," kata Darmaji, meminta penjelasan lagi.
"Kau tahu, Kakang. Nyi
Rongkot yang dikenal berjuluk si Ular Betina itu sangat licik. Kau pasti juga
tahu, bahwa aku dianggap anaknya. Bahkan ayahku sendiri mengakui kalau aku
adalah anak si Ular Betina itu. Dan aku sempat tinggal beberapa hari
bersamanya, ketika dia berhasil menculikku. Jadi, aku sedikitnya bisa
mengetahui watak-wataknya," jelas Sekar Telasih.
Darmaji mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tanpa disadari, mereka menghentikan langkah kaki kuda masing-masing,
sementara kegelapan masih menyelimuti sekitar Desa Jatiwangi. Dan memang, hari
masih begitu pagi. Malah sang mentari juga belum menampakkan diri, meskipun
beberapa kali sudah terdengar suara ayam jantan berkokok di kejauhan.
"Aku yakin, si Ular Betina
sengaja menghancurkan bagian Selatan ini agar dikira daerah ini bisa dilalui
oleh semua orang dengan bebas. Tapi sebenarnya, justru itu hanya jebakan
belaka, Kakang Darmaji. Dia pasti lebih memperketat penjagaan di sekitar daerah
Selatan ini. Justru, aku merasa yakin kalau Paman Sayuti yang akan berhasil keluar
dari Desa Jatiwangi ini," jelas Sekar Telasih lagi.
"Lalu, apa yang harus kita
lakukan sekarang, Sekar?" tanya Darmaji mulai mengerti.
"Kita kembali, Kakang,"
sahut Sekar Telasih mantap.
"Kembali...?"
"Ya! Saat ini pasti Paman
Sayuti sudah berada di luar Desa Jatiwangi. Dan sebaiknya kita kembali saja,
Kakang."
"Baiklah. Ayo...."
Tapi baru saja memutar kuda,
mendadak saja berlompatan tubuh-tubuh berbaju serba merah yang langsung
mengurung mereka berdua. Sebentar saja, sekitar dua puluh orang laki-laki
berbaju serba merah sudah mengepung Sekar Telasih dan Darmaji. Mereka
masing-masing menghunus senjata golok yang bentuk dan ukurannya sama persis.
Pada saat itu, berkelebat sebuah
bayangan merah yang begitu cepat bagai kilat. Dan tahu-tahu, di depan mereka
sudah berdiri seorang perempuan tua berjubah merah. Tangannya tampak memegang
tongkat berbentuk ular yang juga berwarna merah tua bagai berlumur darah.
"Ular Betina...," desis
Darmaji langsung mengenali perempuan tua yang baru muncul itu.
"Hik hik hik.... Kalian
hendak pergi ke mana, heh?!" terasa begitu kering suara perempuan tua yang
dikenal berjuluk si Ular Betina itu.
"Tidak ke mana-mana. Kami
hendak kembali pulang," sahut Sekar Telasih ketus.
"Kau memang cerdik sekali,
Sekar Telasih. Pantas saja ibumu begitu gigih ingin mengambilmu kembali dari
tangan si tua bangka Rangkuti," kata si Ular Betina, terasa begitu sinis.
"Heh...?! Siapa kau sebenarnya?
Apakah kau bukan Nyi Rongkot si Ular Betina...?" sentak Sekar Telasih
terkejut mendengar kata-kata perempuan tua berjubah merah itu.
"Ha ha ha...!"
perempuan tua berjubah merah itu jadi tertawa terbahak-bahak.
Bukan hanya Sekar Telasih yang
terkejut. Tapi Darmaji juga jadi tersentak. Sungguh tidak dimengerti maksud
kata-kata yang terlontar dari mulut perempuan tua berjubah merah itu. Seketika
itu juga, timbul satu pertanyaan di kepala Darmaji. Apakah perempuan tua ini
bukan si Ular Betina? Kalau bukan, lalu siapa perempuan tua ini sebenarnya...?
Bukan hanya pakaiannya saja yang sama persis dengan si Ular Betina. Tapi, suara
dan wajahnya juga tidak terbuang sedikit pun.
Inilah yang membuat Darmaji dan
Sekar Telasih jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati. Sedangkan kata-kata yang
tadi meluncur begitu saja dari bibir perempuan tua yang selama ini dikenal
bernama Nyi Rongkot si Ular Betina, jelas mengakui kalau dirinya bukanlah si
Ular Betina. Melainkan, orang lain yang sama persis dengan si Ular Betina.
Lalu, siapa sebenarnya...? Belum juga Darmaji maupun Sekar Telasih melontarkan
pertanyaan yang mengganggu kepalanya, tiba-tiba saja perempuan tua berjubah
merah itu sudah berteriak lantang memberi perintah.
"Serang...!" Belum juga
teriakan perempuan tua itu menghilang dari pendengaran, seketika itu juga dua
puluh orang berpakaian serba merah sudah berlompatan cepat menyerang Darmaji
dan Sekar Telasih. Padahal dua anak muda itu masih berada di punggung kuda
masing-masing.
Sret!
"Hih! Yeaaah...!"
Darmaji langsung mencabut
pedangnya, dan secepat itu pula membabatkannya pada seorang penyerang yang
dekat dengannya. Cepat sekali pedang keperakan itu berkelebat. Namun sungguh
tidak diduga, ternyata orang berbaju serba merah itu bisa berkelit begitu
manis. Tubuhnya melenting ke udara, melewati kepala Darmaji yang masih tetap
berada di punggung kudanya.
"Heh...?!" Darmaji jadi
terkejut setengah mati begitu laki-laki berbaju serba merah itu tiba-tiba
melepaskan satu tendangan keras menggeledek selagi berada tepat di atas
kepalanya. Tak ada pilihan lain lagi bagi Darmaji. Cepat tubuhnya dijatuhkan
dari punggung kuda. Beberapa kali dia bergelimpangan di tanah. Dan begitu
melompat bangkit berdiri, satu tebasan golok melayang deras ke arahnya dari
samping kanan.
"Ikh...!" Cepat cepat
Darmaji menempatkan pedangnya ke samping, menangkis tebasan golok orang berbaju
merah lainnya. Dua senjata seketika itu juga beradu keras, hingga menimbulkan
percikan bunga api yang menyebar ke segala arah. Dan belum lagi Darmaji bisa menarik
pulang pedangnya, kembali satu serangan datang dari depan.
"Hup!" Cepat-cepat
Darmaji melompat menghindari tebasan golok yang begitu deras berkelebat
mengarah ke dadanya. Dua kali pemuda itu berjumpalitan ke belakang. Dan begitu
kakinya menjejak tanah, tahu-tahu sebuah pukulan lurus telah melayang ke dadanya.
Begitu cepat serangan itu datang, sehingga Darmaji tidak sempat lagi
menghindar.
Diegkh!
"Akh...!" Darmaji
terpekik keras agak tertahan. Darmaji terhuyung-huyung ke belakang sambil
mendekap dadanya yang terasa begitu sesak akibat terkena satu pukulan keras yang
mengandung tenaga dalam cukup tinggi. Pada saat itu, satu orang berbaju serba
merah sudah melompat cepat. Langsung dilepaskannya satu serangan, tanpa
menunggu Darmaji siap lebih dahulu.
"Awas, Kakang...!"
teriak Sekar Telasih memperingatkan.
"Hiyaaat...!" Sekar
Telasih cepat melompat turun dari punggung kudanya. Dan secepat itu pula
pedangnya dicabut dan langsung dikibaskan ke arah golok yang berkelebat cepat
mengarah ke dada Darmaji.
Trang!
"Aaakh...!" Sekar
Telasih terpekik keras begitu pedangnya beradu dengan golok laki-laki berbaju
serba merah itu. Tenaga dalam yang dimiliki Sekar Telasih memang masih tingkat
dasar. Sehingga, dia tidak bisa lagi menguasai pedangnya yang mencelat ke udara
begitu membentur golok laki-laki berbaju merah yang menyerang Darmaji tadi.
Sedangkan gadis itu sendiri jadi terhuyung-huyung sambil memegangi tangan
kanan-nya yang seketika jadi terasa panas bagai terbakar.
"Sekar, cepat pergi dari
sini. Selamatkan dirimu...!" sentak Darmaji.
"Kau...?" "Jangan
hiraukan aku! Cepat pergi...!" sentak Darmaji.
Sekar jadi ragu-ragu. Tapi,
Darmaji sudah mendorong gadis itu ke belakang ketika dua orang berbaju serba
merah sudah kembali menyerang dari arah depan secara bersamaan. Dua bilah golok
berkelebat cepat mengarah ke kaki dan kepala Darmaji secara bersamaan.
"Hup! Yeaaah...!" Cepat
Darmaji mengibaskan pedangnya ke bawah sambil merundukkan tubuhnya untuk
menghindari tebasan golok yang mengarah ke kepala. Pedangnya berhasil menangkis
serangan golok yang mengarah ke kaki. Dan tebasan golok yang secara bersamaan
menyerang bagian kepalanya juga berhasil dihindari.
Sementara Sekar Telasih masih
kelihatan ragu-ragu. Gadis itu sendiri jadi merasa heran, karena tak ada
seorang pun yang menyerangnya. Dua puluh orang berbaju serba merah, justru
mengeroyok Darmaji dari berbagai jurusan.
"Pengecut..! Kalian bisanya
hanya main keroyok!" desis Sekar Telasih geram.
"Hiyaaat...!" Sekar
Telasih tidak bisa melihat Darmaji kewalahan dikeroyok dua puluh orang.
Tanpa menghiraukan tingkat
kepandaiannya yang masih tergolong rendah, gadis itu cepat melompat dan
memberikan beberapa pukulan ke arah orang-orang yang mengeroyok Darmaji. Tapi,
tak satu pun dari pukulannya yang mengenai sasaran. Gerakan orang-orang berbaju
merah itu memang gesit sekali. Tapi, sama sekali mereka tidak mempedulikan
Sekar Telasih. Dan hal ini membuat gadis itu semakin bertambah geram.
"Mundur...!" tiba-tiba
saja terdengar bentakan keras menggelegar.
Seketika itu juga dua puluh orang
mengeroyok Darmaji, berlompatan mundur begitu mendengar teriakan keras
menggelegar tadi. Darmaji berdiri dengan pedang menyilang di depan dada.
Nafasnya terengah-engah, dan keringat mengucur deras membasahi sekujur
tubuhnya. Matanya menatap tajam pada perempuan berbaju merah yang melangkah
angkuh mendekati.
Sedangkan Sekar Telasih berdiri
tegak, bersikap menantang di samping Darmaji. Sarung pedang yang tersampir di
pinggangnya sudah kosong. Gadis itu tidak tahu lagi, di mana pedangnya berada
setelah mencelat ke udara akibat berbenturan dengan golok salah seorang
pengeroyok.
"Pergi dari sini, Sekar.
Sebelum pikiranku berubah!" desis perempuan tua berjubah merah itu dingin.
"Enak saja memerintah.
Memangnya aku ini apamu, heh...?!" dengus Sekar Telasih ketus.
"Anak keras kepala!
hih...!"
Bet!
"Akh...!" Sekar Telasih
langsung jatuh tersuruk ketika ujung tongkat perempuan tua itu menghantam dada
bagian kanannya. Melihat perbuatan perempuan tua itu, darah Darmaji seketika
saja bergolak mendidih.
"Iblis keparat...! Kubunuh
kau! Hiyaaat...!"
Darmaji tidak peduli lagi kalau
lawan yang dihadapinya kali ini memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih
tinggi. Dengan cepat sekali pemuda itu melompat. Pedangnya langsung dikebutkan
ke arah batang leher perempuan tua berjubah merah itu.
"Hih!"
Wuk!
Tapi hanya sedikit mengegoskan
tubuh sambil menghentakkan tongkatnya, serangan Darmaji sama sekali tak
berarti. Bahkan pedang pemuda. itu jadi terpental lepas dari pegangan begitu
membentur tongkat ular berwarna merah itu. Dan sebelum Darmaji sempat melakukan
sesuatu, perempuan tua berjubah merah itu sudah mengebutkan tangan kirinya ke
depan. Kecepatannya memang luar biasa. Akibatnya, Darmaji tak sempat lagi
menghindar.
Desss!
"Aaakh...!" Darmaji
menjerit keras melengking.
Kebutan tangan kiri perempuan tua
itu tepat menghajar kening Darmaji. Mau tak. mau, tubuh pemuda itu terpental ke
belakang sejauh dua batang tombak. Tampak bulatan merah tergambar di kening
Darmaji. Hanya sebentar saja pemuda itu berkelojotan di tanah, kemudian diam
tak bergerak-gerak lagi.
"Ayo kita pergi," ajak
perempuan tua itu pada dua puluh orang laki-laki berbaju serba merah.
"Gadis itu, Nyi...?"
ujar salah seorang sambil menunjuk Sekar Telasih yang tergeletak tak sadarkan
diri di tanah.
"Biarkan saja. Sebentar juga
sadar. Belum saatnya mengurusi anak keras kepala itu!" dengus perempuan
tua berjubah merah itu.
Tak ada seorang pun yang
membantah. Mereka bergegas berlompatan pergi begitu perempuan tua berjubah
merah itu melesat pergi cepat sekali. Dan suasana pun kembali sunyi. Sekar
Telasih menggeletak tak sadarkan diri setelah terkena totokan tongkat ular
perempuan tua berjubah merah. Sedangkan Darmaji telah tewas dengan kening
terdapat bulatan merah bagai darah membeku.
***
Sekar Telasih membuka matanya
ketika merasa kan kehangatan sinar matahari membakar kulit wajahnya. Dia
mencoba menggerinjang bangkit, tapi sebuah tangan telah mencegahnya. Sebentar
gadis itu mengerjapkan matanya. Dan begitu kelopak matanya terbuka, langsung
jadi terbeliak melihat seraut wajah tampan berada dekat di atasnya. Bibir yang
tipis dan agak merah, menyunggingkan senyuman yang begitu manis.
"Jangan bangun dulu.
Kesehatan tubuhmu belum pulih benar," kata pemuda itu lembut sekali
suaranya.
"Kakang Rangga...,"
desah Sekar Telasih, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Pemuda berbaju rompi putih itu
memang Rangga yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Dia
tersenyum begitu manis. Sementara pandangan Sekar Telasih beralih, ketika
mendengar langkah kaki halus menghampiri. Keningnya jadi berkerut melihat
seorang gadis cantik berbaju biru sudah berdiri di belakang Rangga. Tampak
sebuah gagang pedang berbentuk kepala naga, menyembul dari balik punggungnya.
Wajah gadis itu demikian cantik. Kulitnya putih mulus, tanpa cacat sedikit pun.
"Kalian pasti belum saling
mengenal. Ini Pandan Wangi...," ujar Rangga memperkenalkan kedua gadis
ini.
Sekar Telasih hanya tersenyum
saja. Dan gadis berbaju biru yang ternyata memang Pandan Wangi, membalas
senyuman dengan manis sekali. Di kalangan rimba persilatan, Pandan Wangi lebih
dikenal berjuluk si Kipas Maut. Karena senjatanya yang berbentuk sebuah kipas,
sehingga gadis itu dijuluki si Kipas Maut sebelum menyandang sebuah pedang yang
bernama Pedang Naga Geni. Pedang itu juga tidak kalah dahsyatnya dari kipas
baja putih yang membuatnya terkenal di kalangan rimba persilatan.
"Aku menemukanmu tengah
tergeletak pingsan di tengah jalan. Kebetulan, aku dan Pandan Wangi lewat
daerah ini Dan aku memang ingin mengajak Pandan Wangi singgah di Desa Jatiwangi
ini," kata Rangga memberi tahu tanpa diminta.
"Oh...," Sekar Telasih
hanya mendesah saja. Sesaat mereka terdiam.
"Kau melihat Kakang
Darmaji...?" tanya Sekar Telasih.
Rangga mengangguk.
"Bagaimana keadaannya?"
tanya Sekar Telasih ingin tahu.
"Dia sudah tewas aku sudah
menguburkannya," jawab Rangga.
Lagi-lagi Sekar Telasih mendesah
lirih. Sebentar matanya dipejamkan. Terbayang kembali peristiwa yang dialaminya
bersama Darmaji Memang sudah diduga kalau perempuan tua berhati iblis itu tidak
akan membiarkan Darmaji hidup. Tapi, dia tidak tahu kenapa mereka membiarkan
dirinya tetap hidup. Bahkan hanya dibuat tidak sadarkan diri saja.
Sekar Telasih kembali membuka
kelopak matanya. Perlahan Sekar Telasih beringsut bangkit. Kali ini Rangga
tidak mencegah lagi. Gadis itu duduk bersila di depan Pendekar Rajawali Sakti
dan si Kipas Maut. Mereka masih belum ada yang membuka suara. Sedangkan Sekar
Telasih memandangi Rangga dan Pandan Wangi bergantian.
"Kulihat di bagian Selatan
Desa Jatiwangi ini begitu menyedihkan. Apa sebenarnya yang terjadi di sini,
Sekar?" tanya Rangga ingin tahu.
"Sukar dikatakan, Kakang.
Rasanya kiamat sudah dekat bagi desa kami," sahut Sekar Telasih. Suaranya
yang mendesah, begitu perlahan.
"Kau pasti tidak akan
percaya kalau aku mengatakannya, Kakang. Tapi, itulah kenyataan yang sedang
kami hadapi sekarang ini."
"Katakan, apa yang sedang
terjadi di sini..?" desak Rangga semakin ingin tahu.
"Perempuan iblis itu muncul
lagi...,"
"Siapa?"
"Ular Betina."
"Ular Betina...?!"
Rangga terkejut bukan main mendengar nama Ular Betina muncul lagi.
Memang sukar dipercaya. Jelas
sekali perempuan berhati iblis itu sudah ditewaskan di Hutan Gading dalam suatu
pertarungan yang sengit dan sangat melelahkan. Rasanya, memang mustahil kalau
orang yang sudah mati dan terkubur di dalam tanah bisa muncul lagi.
"Siapa itu Ular
Betina?" tanya Pandan Wangi yang sejak tadi diam saja mendengarkan.
"Dia pernah datang ke desa
ini, dan hampir menghancurkan Desa Jatiwangi ini. Aku kemudian berhasil
menghentikan keangkaramurkaannya, dan terpaksa menewaskannya. Bahkan bukan aku
saja yang mengalami. Tapi, juga banyak orang yang menyaksikan pertarunganku
dengan si Ular Betina itu. Dia tewas di Hutan Gading. Sudah lama itu
terjadi...," secara singkat Rangga menjelaskan, siapa si Ular Betina itu
pada Pandan Wangi.
Meskipun belum jelas benar, tapi
Pandan Wangi tidak ingin bertanya lagi. Memang, pada saat peristiwa yang pernah
terjadi beberapa waktu di Desa Jatiwangi ini, Pandan Wangi tidak ada bersama
Pendekar Rajawali Sakti. Jadi, dia sama sekali tidak tahu.
"Ayo, aku antar kau
pulang," kata Rangga seraya bangkit berdiri. "Sekalian, aku juga
ingin bertemu ayahmu."
"Ayah pasti senang melihat
kau datang, Kakang," kata Sekar Telasih juga bangkit berdiri.
Rangga hanya tersenyum saja.
Mereka kemudian melompat naik ke punggung kuda masing-masing. Pendekar Rajawali
Sakti menunggang seekor kuda hitam yang gagah. Namanya adalah Kuda Dewa Bayu.
Kuda hitam itu memang bukan kuda sembarangan. Kecepatan larinya tak ada yang
menandingi. Bahkan kuda itu sangat cerdik. Dia bisa mengerti setiap kata yang
diucapkan Pendekar Rajawali Sakti.
Tak berapa lama kemudian, mereka
sudah ber-pacu meninggalkan tempat itu. Debu langsung mengepul membumbung
tinggi ke angkasa, tersepak kaki tiga ekor kuda yang dipacu dengan kecepatan
sedang. Me-reka berkuda secara bersisian, sehingga lebar jalan yang ada begitu
pas dilalui tiga ekor kuda ini.
"Bagaimana kau bisa masuk ke
desa ini, Kakang?" tanya Sekar Telasih ingin tahu.
"Kenapa kau tanyakan itu,
Sekar? Memangnya ada yang melarang orang masuk ke desa ini...?" Rangga
malah balik bertanya.
"Perempuan iblis itu
melarang siapa saja yang keluar masuk desa ini, Kakang. Sudah ada yang mencoba,
tapi mereka semua mati dibantai," jelas Sekar Telasih.
"Mungkin dia tidak sedang
menjaga ketika aku masuk ke sini, Sekar. Atau barangkali juga sedang
lengah," sahut Rangga seenaknya.
"Syukurlah kalau begitu. Aku
senang kau sudah ada di sini," ujar Sekar Telasih.
Lagi-lagi Rangga tersenyum saja.
Dan mereka terus di atas kuda yang diperlambat. Sepanjang jalan, Sekar Telasih
menceritakan semua yang terjadi di Desa Jatiwangi. Juga diceritakan peristiwa
yang dialaminya, sehingga pingsan setelah mendapat satu totokan Ular Betina di
bagian kanan dadanya.
Rangga dan Pandan Wangi
mendengarkan saja tanpa memberi tanggapan sedikit pun. Jalan yang dilalui
semakin melebar, kare-na mereka sudah mendekati pusat Desa Jatiwangi yang besar
ini.
***
LIMA
Ki Rangkuti begitu gembira atas
kedatangan Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut bersama Sekar Telasih.
Langsung disambutnya kedatangan pendekar muda dan digdaya yang memang sangat
diharapkan kemunculannya pada saat seperti ini. Tapi kegembiraannya juga
bercampur kesedihan begitu mendengar Darmaji tewas di tangan perempuan berhati
iblis yang dikenal berjuluk si Ular Betina.
Saat ini kepandaian yang dimiliki
Pendekar Rajawali Sakti memang sukar dicari tandingannya. Begitu tingginya
tingkat kepandaian Rangga, sehingga tidak sedikit tokoh beraliran hitam yang
memilih menghindar daripada harus berurusan dengannya.
"Aku benar-benar sudah putus
asa menghadapinya, Rangga. Rasanya tidak ada harapan lagi untuk bisa
menyelamatkan desa ini dari amukan si Ular Betina itu," keluh Ki Rangkuti.
"Tindakannya semakin tak karuan saja. Entah sudah berapa orang penduduk
desa ini yang jadi korban. Padahal aku tahu, apa sebenarnya yang diinginkan.
Tapi, dia sengaja ingin membuatku mati perlahan-lahan, dan melihat kehancuran
desa ini terlebih dahulu. Hhh...! Sungguh menyakitkan, melihat desa yang
kubangun dengan susah payah harus hancur begitu saja."
"Aku bisa mengerti
perasaanmu, Ki. Dalam hal ini, aku ikut bertanggung jawab atas keutuhan Desa
Jatiwangi," tegas Rangga perlahan.
"Aku percaya padamu, Rangga.
Dan kedatanganmu ke sini, pasti karena petunjuk Hyang Widi," kata Ki
Rangkuti langsung menaruh harapan pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku berjanji akan
menghadapinya dengan segala daya yang kumiliki, Ki," tegas Rangga.
"Terima kasih, Rangga. Hanya
kau satu-satunya harapanku untuk menyelamatkan desa ini dari kehancuran,"
ujar Ki Rangkuti disertai bola matanya yang berkaca-kaca.
Mereka jadi terdiam ketika
Walikan yang mendapat tugas mengawasi Sayuti, datang dengan langkah lebar dan
tergesa-gesa. Laki-laki berusia sekitar empat puluh tahunan itu langsung
menjura memberi hormat begitu tiba di depan Ki Rangkuti. Dan begitu melihat ada
Pendekar Rajawali Sakti, segera tubuhnya membungkuk memberi penghormatan.
Rangga membalas dengan membungkukkan tubuhnya sedikit.
"Bagaimana, Walikan?"
tanya Ki Rangkuti.
"Selamat, Ki. Kakang Sayuti
sudah jauh meninggalkan desa ini," sahut Walikan, agak tersengal suaranya.
“Tapi, Ki...."
"Ada apa lagi?"
"Pendekar Rajawali Sakti
sudah ada di sini. Jadi, apakah kepergian Kakang Sayuti tidak sia-sia...?"
tanya Walikan seraya melirik Rangga yang hanya tersenyum-senyum saja.
"Tidak ada yang sia-sia
dalam berusaha, Walikan. Tujuan utamanya memang mencari Pendekar Rajawali
Sakti. Tapi terlebih dahulu akan menemui Bayangan Malaikat yang tidak seberapa
jauh tempat tinggalnya dari sini," jelas Ki Rangkuti. "Juga beberapa
pendekar lain yang tidak jauh tempat tinggalnya."
"Apa mungkin bisa keburu,
Ki?" tanya Walikan.
"Kalau tidak ada Pendekar
Rajawali Sakti di sini, mungkin juga aku akan cemas sepertimu, Walikan. Tapi
kini aku sudah benar-benar tenang. Dan tak ada lagi yang perlu dicemaskan,"
ungkap Ki Rangkuti.
"Kau terlalu merendahkan
diri, Ki," selak Rangga merasa pujian Ki Rangkuti terlalu tinggi untuknya.
"Aku berkata yang
sebenarnya, Rangga. Kehadiranmu di sini, memang sangat tepat waktunya. Dan itu
membuatku, dan semua penduduk Desa Jatiwangi merasa tenteram. Aku yakin, kau
pasti bisa menghentikan keberingasan si Ular Betina itu."
"Kita serahkan segalanya
pada Hyang Widi, Ki," lagi-lagi Rangga merendah.
"Ayah, boleh aku
bicara...?" selak Sekar Telasih yang sejak tadi diam saja.
"Apa yang ingin kau katakan,
Sekar?" Tanya Ki Rangkuti.
"Apakah Ayah memang
betul-betul kenal Nyi Rongkot..?" tanya Sekar Telasih bernada ragu-ragu.
"Tentu saja," sahut Ki
Rangkuti.
"Apa mungkin Nyi Rongkot
punya saudara kembar Ayah...?" kembali terdengar keraguan dalam suara
Sekar Telasih.
"Apa maksudmu, Sekar?"
Ki Rangkuti malah ba-tik bertanya.
“Terus terang, Yah. Aku jadi
tidak yakin kalau yang sekarang muncul adalah Nyi Rongkot si Ular Betina,"
ungkap Sekar Telasih. "Waktu sebelum bertarung tadi, dia sempat mengatakan
kalau aku tidak beda jauh dari ibunya. Dari kata-kata itu saja bisa diduga
kalau dia bukan si Ular Betina. Bahkan anak buahnya sama sekali tidak
menyerangku. Mereka malah mengeroyok Kakang Darmaji. Sedangkan aku hanya dibuat
pingsan saja. Aku jadi curiga, kalau dia bukan Nyi Rongkot."
"Hm.... Benar dia berkata
seperti itu?" tanya Ki Rangkuti agak menggumam.
"Kalau benar Kakang Darmaji
masih hidup, pasti akan berkata sama denganku, Ayah," sahut Sekar Telasih.
"Aneh... Padahal, dia begitu
ingin mengambilmu dariku, Sekar. Tapi kenapa sekarang justru berbalik?" Ki
Rangkuti seperti bicara sendiri.
Dari penuturan Sekar Telasih,
membuat semua orang yang ada di ruangan depan rumah Ki Rangkuti ini jadi
terdiam merenung. Bahkan Rangga yang sebelumnya sudah diceritakan oleh Sekar
Telasih dalam perjalanan tadi, juga ikut berpikir. Memang kalau mendengar
kata-kata yang dituturkan Sekar Telasih barusan, tampaknya wanita tua yang
muncul kali ini bukanlah Nyi Rongkot si Ular Betina. Kalau memang demikian,
lalu siapa sebenarnya wanita tua yang begitu mirip dengan Nyi Rongkot...?
Pertanyaan seperti itu muncul di
benak mereka semua yang ada di ruangan berukuran cukup besar ini. Hanya Pandan
Wangi saja yang tetap diam dan tidak mengerti semua pembicaraan ini. Memang,
dia tidak tahu sama sekali apa yang terjadi di Desa Jatiwangi ini. Mereka semua
jadi terdiam, dengan berbagai macam pikiran berkecamuk dalam kepala
masing-masing.
"Apa sebaiknya kita lihat
kuburannya, Ki..?" usul Walikan memecah kesunyian yang terjadi cukup lama
ini.
"Untuk apa?" tanya Ki
Rangkuti. "Mungkin dari sana bisa diketahui, apakah benar-benar Nyi
Rongkot atau bukan," sahut Walikan.
"Kau akan membongkar
kuburannya?" tanya Ki Rangkuti lagi. Jelas, dari nada suaranya laki-laki
tua itu tidak setuju kalau harus membongkar kuburan. Meskipun, kuburan itu
berisi manusia berhati iblis.
"Tidak perlu, Ki. Kita lihat
saja. Kalau kuburan itu masih utuh, berarti wanita tua yang muncul kali ini
bukan Nyi Rongkot Tapi kalau kuburannya terbongkar, ada kemungkinan memang Nyi
Rongkot yang sekarang muncul," jelas Walikan.
"Biar aku yang melihatnya,
Ki," selak Rangga.
Dan sebelum ada yang menjawab,
Pendekar Rajawali Sakti sudah bangkit berdiri, dan langsung bergegas keluar dari
ruangan itu. Ki Rangkuti segera berdiri dan melangkah menyusul Pendekar
Rajawali Sakti diikuti yang lainnya. Tapi begitu mereka sampai diluar, Rangga
sudah memacu cepat kudanya.
Kuda hitam yang bernama Dewa Bayu
itu berlari bagaikan angin saja. Dalam waktu sebentar saja, sudah tak terlihat
lagi bayangannya. Hanya debu saja yang mengepul membumbung tinggi ke angkasa.
Rangga menghentikan lari kudanya begitu tiba di tengah-tengah Hutan Gading.
Gerakan tubuhnya begitu indah dan
ringan sekali saat melompat turun dari punggung kudanya. Tanpa menimbulkan
suara sedikit pun, Pendekar Rajawali Sakti mendarat tepat di dekat gundukan
tanah, yang pada satu ujungnya terdapat sebuah batu berlumut hitam. Rerumputan
liar hampir menutupi gundukan tanah yang ternyata sebuah ku-buran itu.
"Hm...," Rangga
menggumam perlahan dengan kening berkerut. Dengan teliti sekali Pendekar
Rajawali Sakti memperhatikan setiap jengkal tanah di sekitar kuburan itu.
Perlahan kemudian, kepalanya mendongak ke atas. Kembali terdengar gumaman yang
perlahan dan lirih sekali. Dan tiba-tiba saja, Pendekar Rajawali Sakti melesat
cepat ke udara. Dan kakinya langsung hinggap di atas sebatang pohon yang cukup
tinggi dan rimbun.
Sebentar pandangannya beredar,
lalu kembali melompat turun dengan gerakan indah dan ringan sekali. Pendekar
Rajawali Sakti langsung hinggap di atas punggung kudanya. Sekali hentak saja,
kuda hitam bernama Dewa Bayu itu melesat cepat bagai anak panah lepas dari
busur. Sebentar saja Dewa Bayu sudah berada di tepi Hutan Gading. Tapi
tiba-tiba saja Rangga menarik tali kekang kudanya. Maka seketika itu juga, Dewa
Bayu berhenti berlari seraya meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki
depannya tinggi-tinggi.
"Hup!" Ringan sekali
gerakan Rangga saat melompat turun dari punggung kuda hitam itu. Kedua matanya
menyipit memperhatikan sekitar dua puluh orang berbaju serba merah yang berdiri
berjajar menghadang jalannya. Di depan dua puluh orang berbaju serba merah itu,
berdiri seorang perempuan tua.
Jubahnya panjang, berwarna merah
menyala. Sebatang tongkat berbentuk ular yang juga berwarna merah, tergenggam
di tangan kanannya. Perlahan Rangga melangkah mendekat. Pendekar Rajawali Sakti
baru berhenti, setelah jaraknya tinggal sekitar satu batang tombak lagi dari
orang-orang yang berjajar menghadang jalannya.
"Kau yang bernama Pendekar
Rajawali Sakti?" tanya perempuan tua berjubah merah itu. Suaranya kering
dan dingin sekali.
"Seharusnya tidak perlu
bertanya seperti itu, kalau kau benar-benar si Ular Betina, Nisanak,"
sahut Rangga tidak kalah dingin.
"Ha ha ha...! Pandanganmu
sungguh tajam, Anak Muda," perempuan tua itu tertawa terbahak-bahak.
"Hm.... Siapa kau
sebenarnya?" tanya Rangga.
"Semua orang menyebutku Naga
Merah," sahut perempuan tua berjubah merah itu memperkenalkan diri.
"Rupamu memang mirip Nyi
Rongkot si Ular Betina, Naga Merah. Pantas semua orang di Desa Jati-wangi
menyangka kau adalah Nyi Rongkot," kata Rangga, setengah menggumam
suaranya. Seakan-akan bicara pada diri sendiri.
"Aku kagum dengan
pandanganmu yang begitu tajam, Anak Muda. Pantas saja semua orang selalu
membicarakanmu. Bahkan Nyi Rongkot sendiri bisa kau kalahkan," puji si
Naga Merah. Tapi nada suaranya terdengar begitu meremehkan.
"Kau benar-benar bernyali
besar berani datang ke sini, Pendekar Rajawali Sakti. Aku senang, ternyata kau
ada di sini. Dan itu berarti tujuanku akan tercapai hanya sekali jalan
saja."
"Apa yang kau inginkan dari
Desa Jatiwangi, Naga Merah?" tanya Rangga ingin tahu.
"Kematian, Pendekar Rajawali
Sakti. Aku ingin semua orang di Desa Jatiwangi mati!" sahut Naga Merah,
dingin menggetarkan.
"Hm.... Mengapa kau ingin
membunuh semua orang di desa ini?" tanya Rangga lagi dengan suara agak
tertahan.
"Seharusnya kau sudah tahu
jawabannya, Pendekar Rajawali Sakti."
"Kau ingin membalas kematian
Nyi Rongkot?"
"Tepat!"
"Apa hubunganmu
dengannya?"
"Aku adalah saudara kembar
Nyi Rongkot yang kau bunuh. Dan semua itu akibat ulah seluruh penduduk Desa
Jatiwangi. Aku ingin mereka merasakan pembalasanku!" tegas sekali jawaban
si Naga Merah.
"Mereka tidak bersalah.
Bahkan tak ada sangkut pautnya dengan kematian saudara kembarmu, Naga Merah.
Jadi tidak selayaknya kau mengumbar nafsu dendammu pada mereka," tegas
Rangga.
"Kau pikir aku bodoh,
Pendekar Rajawali Sakti! Mereka selalu menghalangi saudaraku untuk mengambil
anaknya dari si Tua Bangka Rangkuti. Jadi sudah selayaknya mereka menerima
ganjaran yang setimpal karena telah mencampuri urusan saudaraku. Dan kau juga,
Pendekar Rajawali Sakti.... Kau juga harus menerima pembalasanku!" dingin
sekali nada suara si Naga Merah itu.
Wukkk!
Cepat sekali si Naga Merah
mengebutkan tongkatnya ke depan. Maka seketika itu juga, dua puluh orang
berbaju serba merah berlompatan dan langsung mengepung Pendekar Rajawali Sakti.
Mereka mencabut golok masing-masing, lalu melintangkannya di depan dada.
Sementara Rangga memperhatikan
dengan tajam lewat sudut ekor matanya. Dia menggumam perlahan. Dan perhatiannya
kembali tertuju pada perempuan tua berjubah merah yang selama ini dianggap
sebagai si Ular Betina, tapi ternyata berjuluk Naga Merah. Saudara kembar dari
si Ular Betina yang sudah tewas di tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau boleh bangga bisa
mengalahkan Nyi Rongkot dengan kepandaianmu, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi
jangan harap bisa menggunakannya padaku...!" desis Naga Merah.
"Hm...," Rangga hanya
menggumam perlahan.
"Serang...!" seru Naga
Merah lantang.
"Hiyaaa...!"
Yeaaah...!"
Seketika itu juga, dua puluh
orang murid Naga Merah yang memang sudah mengepung, serentak berlompatan
menyerang dengan golok ke arah Rangga. Tapi begitu tiba, mereka bergantian
mengebutkan goloknya dari segala penjuru. Pendekar Rajawali Sakti segera
mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' untuk menghadapi keroyokan dua puluh
orang yang menggunakan senjata golok itu.
"Pusatkan pada
kaki...!" seru Naga Merah memberi perintah dengan suara keras menggelegar.
"Heh...?!" Rangga jadi
terkejut setengah mati. Karena, baru beberapa gebrakan saja perempuan tua itu
sudah bisa mengetahui kelemahan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Sesaat Pendekar
Rajawali Sakti jadi kelabakan, karena dua puluh orang yang menyerangnya
memindahkan arah serangan ke kaki. Rangga terpaksa harus berjumpalitan
menghindari serangan golok yang datang bertubi-tubi itu.
"Edan!" dengus Rangga
dalam hati. "Yeah...!"
Begitu mendapat kesempatan,
secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuh ke udara mempergunakan
jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Kedua tangan Rangga merentang lebar ke
samping. Sedangkan tubuhnya berputaran beberapa kali di udara. Lalu, dia
tiba-tiba saja meluruk deras sambil mengebutkan tangan yang merentang lebar
bagai burung rajawali ke arah para pengeroyoknya.
"Mundur...!" seru Naga
Merah.
Seketika itu juga, dua puluh
orang berbaju merah yang bersenjatakan golok berlompatan mundur dan menyebar
begitu mendengar teriakan perintah dari Naga Merah.
Rangga jadi tersentak kaget. Maka
serangannya segera dihentikan. Setelah melakukan putaran di udara dua kali,
manis sekali Pendekar Rajawali Sakti mendarat di tanah. "Edan...!"
dengus Rangga lagi.
"Hik hik hik...! Kau kaget
aku bisa menanggulangi jurus-jurusmu, Pendekar Rajawali Sakti..?" ejek
Naga Merah memanasi.
"Hm...," Rangga hanya
menggumam perlahan. Dalam hati, sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti memang
terkejut. Baru dua jurus dikeluarkan, tapi sudah cepat dimentahkan. Bahkan
jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' yang dikeluarkannya tadi, belum sempat
mencapai sasaran sama sekali. Jurusnya itu langsung mentah sebelum Rangga
sendiri sempat melancarkan serangannya. Semua pengeroyoknya cepat menghindar
sebelum Pendekar Rajawali Sakti mendekat. Itu berarti si Naga Merah benar-benar
mengetahui cara menghadapi jurus-jurus 'Rajawali Sakti'.
"Sebenarnya, aku tidak
mengharapkan bertemu denganmu secepat ini, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi,
memang pertemuan ini tidak bisa dihindari lagi. Dan kau sekarang sudah
berhadapan denganku. Bersiaplah menerima kematianmu, Pendekar Rajawali
Sakti," ancam si Naga Merah.
"Hm...," lagi-lagi
Rangga hanya menggumam perlahan saja. Sementara itu, perempuan tua berjubah
merah yang merupakan kembaran Nyi Rongkot, sudah mengangkat tongkatnya yang
berbentuk ular berwarna merah darah. Tongkat itu disilangkan di depan dada.
Tatapan matanya begitu tajam, seakan-akan sedang mengukur tingkat kepandaian
pemuda berbaju rompi putih di depannya.
“Tahan seranganku, Anak Muda!
Hiyaaat..!" seru Naga Merah keras menggelegar.
"Hup!" Begitu si Naga
Merah melompat menyerang, Rangga seketika itu juga melentingkan tubuhnya ke
udara. Langsung kedua tangannya dihentakkan ke depan, mengerahkan jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali' pada tingkatan yang terakhir.
Bersamaan dengan itu, si Naga
Merah mengebutkan tongkatnya menyilang ke depan. Tak pelak lagi, kedua telapak
tangan Rangga membentur bagian tengah tongkat berbentuk ular naga merah itu.
Glarrr...! Ledakan keras
menggelegar terdengar dahsyat memecah angkasa. Tampak kedua tokoh tingkat
tinggi yang berada di udara itu sama-sama terpental ke belakang. Mereka saling
berputaran di udara, lalu hampir bersamaan pula mendarat manis di tanah. Pada saat
itu, si Naga Merah sudah cepat mengebutkan tongkatnya ke depan. Dan dari mulut
tongkat berbentuk ular itu, meluncur secercah cahaya merah yang langsung
meluruk deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Yeaaah...!"
Bergegas Rangga melentingkan tubuh, berputaran beberapa kali ke udara untuk
menghindari serangan yang dilancarkan perempuan tua saudara kembar si Ular
Betina itu.
Sinar merah yang melesat keluar
dari tongkat ular merah itu menghantam tanah hingga menimbulkan ledakan keras
menggelegar. Tanah yang terhantam sinar merah itu seketika terbongkar,
menimbulkan kepulan debu yang membumbung ke angkasa, membentuk sebuah jamur
raksasa yang begitu indah namun dahsyat.
"Gila...!" desis Rangga
begitu kakinya kembali menjejak tanah.
Memang sungguh dahsyat sekali
serangan perempuan tua ini. Bisa dibayangkan, bagaimana jadinya jika sinar
merah itu tadi mengenai tubuh manusia. Jelas, bisa hancur berkeping-keping jadi
serpihan dendeng! Sementara itu si Naga Merah sudah bersiap hendak melancarkan
serangan kembali. Dan Rangga juga sudah siap menerimanya.
***
ENAM
"Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!" Secepat kilat Naga Merah melompat menerjang Rangga yang
memang sejak tadi sudah siap menghadapi serangan perempuan tua itu. Dan ketika
si Naga Merah mengebutkan tongkatnya ke arah kaki, cepat sekali Pendekar
Rajawali Sakti melompat ke atas menghindarinya. Tapi tanpa diduga sama sekali,
si Naga Merah justru cepat menarik serangan tongkatnya. Dan seketika itu juga
tubuhnya melesat ke udara mengejar Pendekar Rajawali Sakti yang tengah melayang
di atas. Bagaikan kilat, perempuan tua berjubah merah itu melepaskan satu
pukulan keras menggeledek dengan tangan kiri.
"Yeaaah...!" "Uts!
Hiyaaa...!" Memang tak ada lagi kesempatan bagi Rangga untuk berkelit
menghindar. Maka cepat-cepat tangan kanannya dikibaskan, menyampok pukulan
tangan kiri yang dilancarkan perempuan tua itu.
Trak!
Dua tangan beradu keras di udara.
Tampak Rangga cepat melesat berputaran beberapa kali ke belakang. Begitu juga
si Naga Merah. Tapi begitu mereka menjejak tanah, Naga Merah sudah kembali
melompat memberi serangan yang semakin bertambah dahsyat saja. Sedangkan Rangga
terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangan-serangan yang dilancarkan
perempuan tua itu.
Jurus demi jurus pun berlalu
cepat tanpa terasa. Mereka saling bertahan dan menyerang secara bergantian.
Rangga sendiri mengeluarkan rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti'. Bahkan tidak
jarang mencampur dua jurus sekaligus. Tapi perempuan tua berjubah merah yang
mengaku berjuluk Naga Merah ini memang memiliki tingkat kepandaian tinggi
sekali.
Serangan-serangan yang
dilancarkan Rangga bisa dipatahkan, meskipun harus berjumpalitan dan
mengerahkan seluruh kemampuannya. Tapi serangan-serangan yang dilancarkan si
Naga Merah juga membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi kelabakan mematahkannya.
Entah sudah berapa kali pukulan yang dilepaskan bersarang di tubuh satu sama
lain. Tapi pertarungan itu masih terus berlangsung semakin sengit.
Gerakan-gerakan yang dilakukan pun semakin cepat. Sehingga kini yang terlihat
hanya bayangan-bayangan merah dan putih berkelebatan saling sambar.
Sementara dua puluh orang anak
buah si Naga Merah hanya bisa jadi penonton saja. Tidak mungkin mereka ikut
dalam pertarungan tingkat tinggi itu. Hingga akhirnya, mereka sama-sama
berlompatan ke belakang, dan menghentikan pertarungan yang sudah menghabiskan
puluhan jurus. Mereka berdiri tegak saling berhadapan, dengan sorot mata tajam
yang sukar diartikan. Tapi di dalam hati, mereka sama-sama mengakui ketangguhan
satu sama lain.
Beberapa saat mereka saling
menatap tajam, bagai sedang mengukur sisa kepandaian yang dimiliki
masing-masing, setelah bertarung puluhan jurus.
"Kuakui kau memang tangguh,
Pendekar Rajawali Sakti. Tidak heran jika Nyi Rongkot bisa kau kalahkan,"
puji Naga Merah, tulus. Namun nada suaranya terdengar begitu dalam sekali.
“Tingkat kepandaianmu juga lebih
tinggi dari saudara kembarmu. Meskipun beberapa jurus masih sama persis. Tapi
kau lebih matang dan sempurna menggunakannya," Rangga balas memuji.
"Hm.... Baru kali ini aku
mendapatkan lawan yang masih muda dan berkepandaian tinggi."
"Hm...."
"Tapi aku tidak menyerah
begitu saja, Pendekar Rajawali Sakti. Aku ingin tahu, sampai di mana tingkat
dari ilmu kesaktian yang kau miliki," kata Naga Merah lagi. Kali ini
suaranya terdengar begitu dingin.
"Kau menginginkan adu
kesaktian, Naga Merah?" gumam Rangga.
"Kita tentukan sekarang.
Siapa yang lebih unggul di antara kita berdua, Pendekar Rajawali Sakti."
Kening Rangga jadi berkerut, dan
langsung ingat saat pertarungannya melawan saudara kembar si Naga Merah ini
dalam Hutan Gading. Waktu itu, Pendekar Rajawali Sakti sempat juga dikalahkan
Nyi Rongkot. Bahkan hampir mati kalau saja tidak segera ditolong Rajawali
Putih. Seekor burung rajawali raksasa yang telah membuatnya jadi seorang
pendekar tangguh.
Dan sekarang, di depannya berdiri
seorang perempuan tua yang wajah dan bentuk tubuhnya begitu mirip dengan Nyi
Rongkot si Ular Betina. Dalam pertarungan tadi, Rangga sudah bisa menilai kalau
kepandaian yang dimiliki si Naga Merah jauh lebih tinggi dan sempurna daripada
saudara kembarnya. Dan bukannya Pendekar Rajawali Sakti gentar, tapi harus
lebih waspada. Rangga tidak ingin kecolongan untuk kedua kalinya yang
mengakibatkan dirinya hampir tewas.
"Kau pasti sudah tahu ilmu
'Naga Merah', Pendekar Rajawali Sakti," kata Naga Merah, dingin.
"Hm...," Rangga hanya
menggumam saja. Rangga sudah tidak terkejut lagi mendengar ilmu 'Naga Merah'
yang disebut perempuan tua berjubah merah ini. Karena, memang sudah pernah
menghadapinya ketika ilmu itu dikeluarkan Nyi Rongkot Dalam pertarungannya yang
pertama, Pendekar Rajawali Sakti memang dapat dikalahkan. Bahkan hampir mati
kallau tidak segera ditolong burung rajawali raksasa. Tapi setelah mendapatkan
jurus 'Pedang Pemecah Sukma' dan aji 'Cakra Buana Sukma', ilmu itu dapat
ditaklukkannya.
“Tapi jangan harap kau bisa melihat
ilmu itu lagi, Pendekar Rajawali Sakti. Karena, aku sudah lebih sempurna lagi
daripada Nyi Rongkot. Dan kau akan merasakan ilmu 'Naga Merah' yang lebih
sempurna dari yang kau rasakan saat bertarung dengan saudara kembarku,"
ancam Naga Merah, semakin dingin nada suaranya.
Rangga hanya diam saja. Dia tahu,
ilmu 'Naga Merah' yang dimiliki perempuan tua ini pasti lebih sempurna. Memang,
perempuan tua inilah yang sebenarnya pemilik ilmu yang sangat dahsyat itu. Dan
tentu saja akan lebih dahsyat. Mengingat akan hal itu, Rangga tidak mau lagi
menganggap main-main. Dia harus lebih berhati-hati menghadapinya, dan tidak
boleh menganggap enteng sedikit pun.
"Bersiaplah, Pendekar
Rajawali Sakti. Gunakan ilmu yang paling kau andalkan," kata Naga merah
memperingatkan. Suaranya teramat dingin menggetarkan.
"Hadapi ilmu 'Naga Merah'ku
ini, Pendekar Rajawali Sakti...."
Setelah berkata demikian,
perempuan tua berjubah merah yang berjuluk si Naga Merah itu segera melompat ke
belakang. Pada saat yang bersamaan, tongkatnya yang berbentuk ular dilemparkan
ke depan. Dan begitu tongkat ular berwarna merah itu menyentuh tanah, seketika
itu juga mengepul asap tebal berwarna merah yang langsung membumbung tinggi ke
angkasa.
Rangga jadi terbeliak begitu
tiba-tiba tongkat itu berubah menjadi seekor naga yang sangat besar ukurannya.
Warnanya merah menyala, dan berkilatan. Rangga cepat-cepat melentingkan tubuh
ke belakang, dan melakukan beberapa kali putaran di udara sebelum menjejak
tanah dengan manis sekali. Memang dahsyat sekali ilmu 'Naga Merah' yang
dikeluarkan perempuan tua itu. Lebih dahsyat dari yang pernah dialami Rangga
ketika bertarung melawan Nyi Rongkot yang juga memiliki ilmu 'Naga Merah’.
"Hup...!" Tiba-tiba si
Naga Merah melompat ke udara, lalu manis sekali hinggap dan duduk di atas
kepala Ular Naga Merah jelmaan tongkatnya.
"Bunuh bocah setan itu, Naga
Merah!" perintah perempuan tua berjubah merah itu seraya menuding kepada
Pendekar Rajawali Sakti.
Ular Naga Merah itu menggerung
dahsyat. Begitu keras suaranya, sehingga bumi jadi bergetar bagai di-guncang
gempa. Sedangkan Rangga melangkah mundur beberapa tindak. Perlahan tangan
kanannya terangkat, lalu menggenggam gagang pedangnya yang tersampir di
punggung.
"Tidak ada jalan lain,
Pedang Rajawali Sakti harus kugunakan," desis Rangga perlahan.
Sret!
Seketika cahaya biru berkilau
menyemburat terang menyilaukan mata, begitu Pedang Rajawali Sakti tercabut dari
warangkanya. Rangga menggenggam pedang itu erat-erat, dan menyilangkan di depan
dada. Pendekar Rajawali Sakti agak terkejut juga melihat si Naga Merah yang
tidak terkejut sedikit pun melihat pamor pedangnya. Bahkan perempuan tua itu
malah tertawa terbahak-bahak, diikuti dua puluh orang anak buahnya yang berada
agak jauh dari tempat itu.
Hal ini membuat Rangga jadi agak
kebingungan juga. Belum pernah dia menghadapi lawan yang menertawakannya selagi
Pedang Rajawali Sakti tercabut. Biasanya lawan yang dihadapi langsung terkesiap
begitu melihat pamor pedang yang begitu dahsyat dan memancarkan sinar biru
terang menyilaukan mata. Tapi kali ini lawannya justru menertawakan, seperti
tidak menanggapi kehebatan pamor pedang itu.
"Kalian akan menyesal
menertawakan Pedang Rajawali Sakti," desis Rangga sedikit berang.
"Tunjukkan kehebatan pedang
rongsokanmu itu, Pendekar Rajawali Sakti!" tantang si Naga Merah ketus.
Bet!
Rangga langsung mengebutkan
pedangnya beberapa kali di depan dada, lalu menarik kakinya ke samping hingga
terpentang lebar. Tangan kirinya agak menyilang di bawah gagang pedang yang
tergenggam tegak lurus ke atas. Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin
tanggung-tanggung lagi. Langsung dikerahkannya salah satu jurus andalannya,
yakni 'Pedang Pemecah Sukma' yang sangat dahsyat.
Jurus ini jarang sekali digunakan
jika tidak dalam keadaan terpaksa. Tapi kali ini disadarinya kalau lawan
bukanlah orang sem-barangan. Terlebih lagi si Naga Merah sudah mengeluarkan
ilmunya yang begitu dahsyat Ilmu 'Naga Merah' yang bisa merubah sebatang tongkat
menjadi seekor ular naga raksasa berwarna merah menyala.
"Serang dia, Naga
Merah...!" perintah perempuan tua berjubah merah itu lantang menggelegar.
Sambil menggerung keras, Ular Naga Merah itu menyambar Rangga dengan juluran
kepalanya yang begitu cepat. Pada saat yang bersamaan, si Naga Merah
melentingkan tubuhnya ke udara. Mendapat serangan yang begitu cepat Rangga
segera melesat ke atas. Sehingga, serangan ular naga raksasa itu tidak sampai
mengenai sasaran.
Tapi begitu Rangga berada di
udara, si Naga Merah langsung memberi satu pukulan keras bertenaga dalam sangat
tinggi. Sesaat Rangga terkesiap, lalu cepat-cepat meliukkan tubuhnya
menghindari pukulan yang dilepaskan perempuan tua berjubah merah itu. Pada saat
yang bersamaan, Rangga mengebutkan pedangnya ke depan.
Wuk!
Tapi tanpa diduga sama sekali, si
Naga Merah cepat memutar tubuhnya, sehingga tebasan pedang Rangga hanya
mengenai angin kosong belaka. Pendekar Rajawali Sakti cepat-cepat memutar
tubuhnya beberapa kali, dan manis sekali menjejakkan kakinya di tanah. Dan belum
juga Pendekar Rajawali Sakti bisa mengatur posisi tubuhnya, ular naga raksasa
jelmaan tongkat si Naga Merah sudah kembali menyerang cepat dan dahsyat.
Terpaksa Rangga kembali melompat
ke udara menghindari serangan ular naga raksasa berwarna merah itu. Dan pada
saat Rangga berada diudara, si Naga Merah kembali menyerang cepat. Hal ini
membuat Rangga harus berjumpalitan menghindarinya.
"Keparat..!" dengus
Rangga geram begitu kembali mendarat di tanah. Pertarungan seperti ini memang
bisa menguras banyak tenaga. Dan hal itu cepat disadari Pendekar Rajawali
Sakti. Terlebih lagi, jurus 'Pedang Pemecah Sukma' yang digunakan tidak bisa
berkembang lebih banyak lagi. Dia terus diserang dari bawah dan atas dalam
waktu yang begitu cepat dan hampir bersamaan.
Dan ketika kembali menjejak
tanah, ular naga raksasa itu kembali menyerangnya. Tapi kali ini Rangga tidak
menghindar. Ditunggunya serangan kepala ular naga raksasa itu mendekat
kepadanya. Dan begitu jaraknya berada dalam jangkauan, cepat sekali Pendekar
Rajawali Sakti mengebutkan pedangnya, disertai pengerahan tenaga dalam sempurna
sekali.
"Yeaaah...!"
Bet! Crab!
"Aaargkh...!" Ular naga
raksasa berwarna merah itu meraung keras begitu pedang Rangga membabat tepat di
bawah kepalanya.
Pada saat yang bersamaan,
Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuh dan berputaran ke belakang beberapa
kali. Lalu, manis sekali dia mendarat sekitar tiga batang tombak jauhnya dari
lawan-lawan dahsyatnya ini.
Sementara ular naga raksasa itu
menggelepar sambil meraung-raung keras. Beberapa batang pohon yang terlanda
tubuhnya seketika itu juga hancur berkeping-keping. Bahkan batu-batuan sebesar
kerbau yang banyak terdapat di sekitar tepian Hutan Gading, juga hancur
terlanda tubuh ular raksasa itu.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja si Naga Merah
menghentakkan tangan kanannya ke arah ular naga merah itu. Dari telapak
tangannya langsung memancar sinar merah, dan segera menghantam tubuh ular naga
raksasa itu. Tiba-tiba saja, ular raksasa itu lenyap. Dan kini, berubah kembali
menjadi sebatang tongkat merah berbentuk ular. Tongkat itu melesat cepat ke
arah si Naga Merah. Manis sekali perempuan tua berjubah merah itu menangkap
tongkatnya.
"Keparat...!" desis si
Naga merah sambil menatap Rangga dengan sinar mata yang begitu tajam.
Sementara Pendekar Rajawali Sakti
hanya berdiri tegak dengan pedang menyilang di depan dada. Sorot matanya juga
tidak kalah tajam. Mereka berdiri saling berhadapan, berjarak sekitar dua
batang tombak.
Sementara agak jauh di belakang
perempuan tua itu, berdiri berjajar dua puluh orang berbaju merah yang semuanya
menghunus golok.
"Aku belum kalah, Pendekar
Rajawali Sakti. Satu saat nanti, kau akan menyesal...," desis si Naga
Merah dingin menggeletar.
"Hm...," Rangga hanya
menggumam perlahan.
Sambil mendengus keras, si Naga
Merah tiba-tiba saja melesat cepat. Tubuhnya langsung lenyap tertelan lebatnya
pepohonan Hutan Gading. Begitu tingginya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki
perempuan tua itu, sehingga dalam sekali lesatan saja, bayangan tubuhnya sudah
lenyap tak terlihat lagi. Pada saat yang bersamaan, dua puluh orang pengikutnya
juga segera berlompatan masuk ke dalam hutan.
Trek!
Rangga memasukkan kembali Pedang
Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung. Sebenarnya bila Rangga mengeluarkan
aji 'Cakra Buana Sukma, ular naga itu pasti hancur. Bahkan pemiliknya pun akan
tewas. Tapi Pendekar Rajawali Sakti masih menganggap belum perlu, karena lawan
juga belum mengeluarkan seluruh kesaktiannya. Dan Pendekar Rajawali Sakti tak
mau dianggap jumawa dengan ilmunya yang dahsyat.
Kini ditatapnya kuda hitam
bernama Dewa Bayu yang meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya
tinggi-tinggi ke udara. Rangga tersenyum melihat kudanya menyambut gembira
kemenangannya kali ini. Kuda hitam itu menghampiri, dan menyorongkan kepala ke
arah pemuda berbaju rompi putih itu. Rangga menepuk-nepuk leher kuda itu penuh
kasih sayang, lalu melompat naik ke punggung kuda hitam itu. Sekali hentak
saja, kuda hitam itu sudah melesat cepat menuju Desa Jatiwangi.
"Hiya! Hiya!
Hiyaaa...!"
Rangga terus menggebah kudanya
dengan kecepatan penuh. Sehingga, kuda hitam itu berlari cepat bagaikan angin
saja. Keempat kakinya bergerak begitu cepat, seakan-akan tidak menapak tanah.
Debu mengepul membumbung tinggi ke angkasa di belakang kuda hitam itu. Rangga
terus menggebah cepat kudanya. Dan dia memang ingin segera sampai di rumah Ki
Rangkuti, Kepala Desa Jatiwangi.
Rangga langsung melompat turun
dari punggung kudanya, begitu tiba di depan rumah Ki Rangkuti. Bergegas kakinya
melangkah memasuki beranda depan rumah yang disangga dua buah pilar berukuran
besar. Tapi belum juga tiba di depan pintu, dari dalam sudah keluar Ki Rangkuti
yang diikuti Pandan Wangi, Sekar Telasih, dan Walikan.
"Bagaimana, Rangga...?"
Ki Rangkuti langsung menyambut dengan pertanyaan.
"Dia bukan Nyi Rongkot"
sahut Rangga.
"Oh! Lalu, siapa
dia...?" tanya Ki Rangkuti terkejut, tidak menyangka akan mendengar
jawaban seperti itu dari Pendekar Rajawali Sakti.
"Saudara kembarnya,"
sahut Rangga.
"Saudara kembarnya...?!"
lagi-lagi Ki Rangkuti terkejut. Begitu terkejutnya, sampai mulutnya ternganga
dan matanya terbuka lebar merayapi wajah Rangga yang bersimbah keringat.
Sedangkan Pandan Wangi, Sekar
Telasih, dan Walikan hanya diam saja memperhatikan orang tua itu yang sedang
terlongong kaget mendengar jawaban-jawaban Rangga tadi. Jawaban yang begitu
tegas dan singkat, tapi sangat mengejutkan semua yang mendengarnya.
"Aku tadi sudah bertanya
padamu, Ki. Apakah Nyi Rongkot punya murid atau mungkin saudara kembar,"
kata Rangga memecah kebisuan yang terjadi beberapa saat.
"Aku tidak tahu kalau dia
punya saudara kembar," sahut Ki Rangkuti, agak perlahan suaranya.
“Tapi kenyataannya, dia sangat
mirip Nyi Rongkot. Bahkan kepandaiannya jauh lebih tinggi dari si Ular Betina
itu," jelas Rangga, agak dalam nada suaranya.
"Oh...?!" lagi-lagi Ki
Rangkuti tersentak kaget.
"Kau bertemu dengannya,
Rangga...?"
"Sempat bertarung," sahut
Rangga.
Bukan hanya Ki Rangkuti yang
terkejut mendengar jawaban Pendekar Rajawali Sakti kali ini. Bahkan semua orang
yang ada di beranda depan ini jadi terlongong. Mereka memandangi Rangga seperti
tidak percaya dengan apa yang baru saja didengar. Tapi melihat sorot mata dan
raut wajah Pendekar Rajawali Sakti, mereka tahu kalau penjelasan itu tidak
main-main. Maka, persoalan yang kini dihadapi juga bukan persoalan biasa. Suatu
persoalan yang tidak mudah diselesaikan.
"Dia datang ke sini untuk
membalas kematian saudara kembarnya. Dan seluruh penduduk desa ini dianggapnya
harus bertanggung jawab. Tapi yang lebih utama lagi, dia akan membalas kematian
Nyi Rongkot padamu, Ki. Juga padaku...," jelas Rangga lagi, memecah
kebisuan yang terjadi beberapa saat lamanya tadi.
"Ya! Dia juga mengatakan
begitu padaku," desah Ki Rangkuti perlahan.
"Jadi, kau sudah bertemu
dengannya, Ki?" tanya Pandan Wangi yang sejak tadi diam saja
"Dia datang, dan hanya
memberi peringatan saja padaku," sahut Ki Rangkuti, pelan.
"Dia akan memaksaku
menyaksikan kehancuran desa ini, sebelum menyelesaikan urusannya denganku.
Lalu, dia akan mencari Pendekar Rajawali Sakti yang telah mengalahkan Nyi
Rongkot"
"Kalau begitu jelas sudah.
Dia memang bukan Nyi Rongkot," desis Sekar Telasih seperti bicara pada
diri sendiri.
"Tapi, kenapa aku tidak
dibunuhnya...?"
"Karena kau adalah
kemenakannya, Sekar," kata Ki Rangkuti.
"Aku tidak pernah punya bibi
berhati iblis seperti dia!" dengus Sekar Telasih tidak sudi mengakui.
"Dia tetap tidak akan
menyakitimu, Sekar. Tujuannya datang ke sini hanya untuk menuntut balas atas
kematian saudara kembarnya. Dan kau tidak termasuk dalam perhitungan
orang-orang yang harus disingkirkan," selak Rangga.
"Itu tidak adil! Semua
pangkal persoalan ini berawal dari diriku. Lalu kenapa justru dia tidak mau
berurusan denganku...?" sentak Sekar Telasih jadi berang.
"Huh! Aku tidak akan tinggal
diam. Akan kubunuh perempuan iblis itu,..!"
"Kau tidak akan mampu
melakukannya, Sekar. Bahkan kalau mau, mungkin sekarang ini kau tidak sempat
lagi menghirup udara," kata Rangga tanpa bermaksud mengecilkan arti gadis
ini.
"Aku tahu..., aku memang
tidak setangguh kalian semua. Tapi kalian harus ingat, awal dari malapetaka ini
bersumber dari diriku. Jika saja tidak ada orang gila yang mengakuiku sebagai
anaknya, mung-kin hal ini tidak akan pernah terjadi," kata Sekar Telasih
masih dengan nada tinggi.
Semua jadi terdiam.
"Kita akan menghadapinya
bersama-sama," tegas Sekar Telasih.
***
TUJUH
Tindakan pembalasan si Naga Merah
semakin menjadi-jadi. Beberapa tempat pemukiman penduduk Desa Jatiwangi mulai
dihancurkan satu persatu. Desa Jatiwangi ini memang tergolong desa besar.
Sementara, penduduk biasanya membangun rumah secara berkelompok. Dan mereka
membagi-bagi desa ini sesuai kelompok-kelompok itu bertempat tinggal. Sehingga
tidak heran jika ada yang menyebut Desa Jatiwangi Utara, Desa Jatiwangi
Selatan, dan banyak lagi sebutan untuk desa ini.
Hal itu memang mempermudah si
Naga Merah menghancurkan desa ini sedikit demi sedikit. Janjinya pada Ki
Rangkuti telah ditepati. Dia akan membuat kepala desa itu menderita terlebih
dahulu sebelum akhirnya dilenyapkan juga dari muka bumi ini. Dan tentu saja
cara yang digunakan si Naga Merah membuat Ki Rangkuti benar-benar terpukul.
Sedikit demi sedikit bagian
wilayah desanya dihancurkan tanpa dapat berbuat sesuatu untuk menyelamatkan
warga desanya. Bahkan Rangga sendiri yang ada di desa itu jadi kelabakan. Si
Naga Merah dan orang-orangnya muncul dan menghilang cepat bagaikan hantu saja.
Mereka muncul untuk menghancurkan, dan menghilang cepat begitu selesai.
Sehingga, tidak memberi kesempatan sedikit pun pada Pendekar Rajawali Sakti
untuk menghentikannya. Mereka selalu muncul tanpa dapat diduga waktu dan
tempatnya.
"Sekarang kita benar-benar
berada di tengah-tengah neraka, Kakang," desah Pandan Wangi agak bergumam.
Malam itu Rangga dan Pandan Wangi
sedang mengelilingi Desa Jatiwangi sambil menunggang kuda. Bukan hanya malam
ini saja mereka melakukan perondaan. Bahkan sudah empat malam, sejak sampai di
Desa Jatiwangi ini. Tapi, tetap saja mereka kecolongan. Karena selama empat
hari ini sudah tiga kali berturut-turut si Naga Merah dan gerombolannya
berhasil menghancurkan sebagian Desa Jatiwangi tanpa dapat dicegah lagi.
"Aku tahu, dan aku tidak
akan membiarkan hal ini terus berlarut-larut," tegas Rangga juga agak
mendesah suaranya.
"Apa yang bisa kita lakukan
untuk menghentikannya, Kakang? Sedang mereka bergerak begitu cepat seperti
hantu, tanpa bisa dicegah sedikit pun juga," kata Pandan Wangi bernada
mengeluh.
"Mungkin tidak ada yang bisa
dilakukan. Tapi kita harus menyelamatkan penduduk yang tidak bersalah sama
sekali," sahut Rangga.
"Maksudmu, mengikuti rencana
Ki Rangkuti..?" tanya Pandan Wangi mencoba menebak jalan pikiran Pendekar
Rajawali Sakti.
"Tepat!" sahut Rangga
singkat.
"Sama saja menggiring
penduduk untuk bunuh diri, Kakang," dengus Pandan Wangi tidak menduga
kalau Rangga punya pikiran seperti itu.
"Tidak, jika dengan maksud
berbeda," sahut Rangga kalem.
"Maksud, Kakang...?"
Pandan Wangi jadi tidak mengerti.
"Itu hanya sekadar pancingan
saja, Pandan. Kita memancing mereka keluar, di samping mengeluarkan penduduk
dari desa ini. Kita akan menghadapi mereka, sementara Ki Rangkuti membawa
keluar semua penduduk dan desa ini. Dengan begitu, penduduk bisa diselamatkan
sambil menghadapi mereka semua, Pandan," Rangga mengutarakan maksud yang
terkandung dalam pikirannya.
"Terlalu besar akibatnya,
Kakang," desah Pandan Wangi mulai mengerti.
"Segala cara harus dicoba,
Pandan. Tapi kita juga harus menekan jatuh korban lebih banyak lagi. Kalau
tidak, akan bertambah banyak korban, Pandan. Dan aku tidak mungkin mengawasi
seluruh Desa Jatiwangi ini siang dan malam."
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Bisa dimengerti kesulitan yang dihadapi Rangga sekarang ini.
Pendekar Rajawali Sakti bukan hanya harus menghadapi keangkaramurkaan si Naga
Merah dan para begundalnya, tapi juga harus memikirkan keselamatan penduduk
Desa Jatiwangi.
Terutama sekali, mempertahankan
desa ini agar tidak hancur oleh keangkaramurkaan si Naga Merah. Memang berat
beban yang ditanggung Rangga kali ini. Dan Pandan Wangi bisa mengerti kalau
Rangga merasa bertanggung jawab atas peristiwa yang terjadi di Desa Jatiwangi.
Suatu tanggung jawab yang sangat besar dari seorang pendekar.
"Ayo kita kembali,
Pandan," ajak Rangga seraya memutar kudanya.
Pandan Wangi mengikuti Pendekar
Rajawali Sakti tanpa berkata sedikit pun. Tapi baru saja hendak memacu kuda
menuju rumah Ki Rangkuti kembali, mendadak saja mereka dikejutkan suara-suara
teriakan panjang melengking tinggi dari arah belakang. Sejenak mereka saling
berpandangan, lalu sama-sama memutar kudanya kembali. Kedua pendekar muda itu
jadi terkejut setengah mati begitu tiba-tiba terlihat semburat terang dari api
yang berkobar cukup jauh di depan sana.
"Hiya...!"
"Yeaaah...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
Rangga cepat menggebah kudanya, diikuti Pandan Wangi. Tapi tentu saja gadis itu
tidak bisa menyusul Dewa Bayu yang berlari begitu cepat bagai angin, meskipun
kudanya sudah dipaksa berpacu dengan kecepatan tinggi sekali.
Jeritan-jeritan panjang melengking
itu semakin jelas terdengar saling susul. Dan udara malam yang dingin jadi
terasa panas oleh api yang semakin terlihat besar berkobar. Sementara Rangga
yang memacu kudanya seperti kesetanan, lebih dahulu sampai. Pendekar Rajawali
Sakti jadi terbeliak begitu melihat bagian Timur Desa Jatiwangi ini sudah jadi
lautan api. Mayat-mayat bergelimpangan di antara rumah-rumah yang terbakar.
"Hiyaaa...!" Rangga
langsung melompat turun dari punggung kuda begitu melihat beberapa orang
berbaju serba merah tengah mengamuk membantai penduduk yang hanya bisa
berlarian kalang kabut. Dengan beberapa kali lompatan saja, Pendekar Rajawali
Sakti sudah sampai di tempat itu.
Tanpa berkata-kata lagi, pemuda
berbaju rompi putih itu langsung melepaskan satu pukulan keras mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi kepada salah seorang berbaju merah yang berada
dekat dengannya. Pukulan Rangga begitu cepat dan keras tidak dapat dihindari
lagi, tepat menghantam dada orang berbaju serba merah itu.
"Aaa...!" orang itu
menjerit keras. Jeritan yang melengking itu membuat enam orang berbaju merah
lain jadi terperanjat. Mereka terbeliak begitu melihat salah seorang temannya
terjungkal tewas seketika. Lebih terkejut lagi begitu mengetahui kalau ada
Pendekar Rajawali Sakti di sini. Maka mereka bergegas berlompatan hendak
melarikan diri.
"Jangan lari kalian,
Keparat! Hiyaaat...!" Rangga jadi geram setengah mati melihat enam orang
berbaju merah mencoba melarikan diri. Dengan kecepatan bagai kilat, Pendekar
Rajawali Sakti melompat cepat mengejar enam orang berpakaian serba merah yang
dikenalinya sebagai orang-orangnya Naga Merah. Dengan beberapa kali putaran di
udara, Pendekar Rajawali Sakti berhasil melewati kepala enam orang berbaju
merah itu.
"Berhenti...!" bentak
Rangga begitu mendarat di depan enam orang berpakaian serba merah ini.
Keenam orang anak buah si Naga
Merah itu jadi terkejut setengah mati melihat Pendekar Rajawali Sakti tahu-tahu
sudah berdiri menghadang di depan. Maka mereka langsung mencabut golok
masing-masing, dan melintangkannya di depan dada.
"Seraaang..!" seru
salah seorang memberi perintah.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Seketika itu juga enam orang
berbaju serba merah berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Golok-golok
di tangan mereka berkelebat cepat di sekitar tubuh pemuda berbaju rompi putih
itu.
Tapi Rangga bukanlah pemuda yang
mudah ditaklukkan begitu saja. Gerakan-gerakan tubuhnya begitu cepat dan gesit.
Sehingga, tidak mudah bagi enam orang itu untuk mendesak. Apalagi
menjatuhkannya. Bahkan ketika Rangga mengebutkan tangannya menggunakan jurus
'Sayap Rajawali Membelah Mega', satu orang seketika menjerit keras, begitu
kebutan itu menghantam kepala.
Kembali Rangga mengebutkan cepat
tangannya ke arah satu orang lagi. Begitu cepat serangannya sehingga orang berbaju
serba merah itu tidak dapat lagi menghindar. Dia terpekik keras, dan tubuhnya
terpental ke belakang. Orang berbaju merah itu langsung tewas seketika begitu
tubuhnya menghantam tanah.
"Yeaaah...!" Tiba-tiba
saja Rangga berteriak nyaring. Dan seketika itu juga, tangannya menghentak ke
depan, mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Tepat pada saat itu,
dua orang lawannya sudah bergerak menyerang secara bersamaan.
Mereka kontan terkejut setengah
mati, dan tak dapat lagi menarik diri menghindari pukulan lurus yang dilepaskan
Pendekar Rajawali Sakti.
Des! Bek!
"Aaa...!"
"Akh...!"
Dua jeritan panjang melengking
terdengar saling susul begitu pukulan lurus kedua tangan Rangga menghantam dada
dua orang berbaju serba merah. Mereka langsung terpental deras sekali ke
belakang, dan terbanting di tanah begitu kerasnya. Pukulan yang dilepaskan
Rangga dalam jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' memang dahsyat luar biasa.
Dada kedua orang itu remuk, melesak kedalam. Dari mulut dan hidungnya
mengucurkan darah kental agak kehitaman.
Dalam dua jurus saja, Rangga
sudah menjatuhkan empat lawannya begitu cepat. Hal ini membuat dua orang yang
masih hidup jadi bergetar hatinya. Mereka jadi ragu-ragu untuk menyerang.
Sementara, Rangga sudah memutar tubuhnya menghadap dua orang berbaju merah yang
masih tersisa hidup. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah mendekati.
Tatapan matanya begitu tajam menusuk langsung ke bola mata kedua laki-laki
berbaju serba merah itu.
"Hanya ada satu pilihan buat
kalian. Menyerah, atau mati di sini..!" desis Rangga mengancam.
Kedua laki-laki berbaju merah itu
saling melemparkan pandangan. Mereka seperti ragu-ragu, dan tidak yakin akan
diri sendiri. Sedangkan Rangga sudah semakin dekat saja, dan baru berhenti
melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi di depan dua
laki-laki pengikut si Naga Merah itu.
Pada saat itu Pandan Wangi
terlihat berkuda, menghampiri sambil menuntun kuda hitam yang tadi ditinggalkan
Rangga, Gadis cantik berbaju biru yang dijuluki si Kipas Maut itu segera
melompat turun dari punggung kudanya setelah dekat dengan Pendekar Rajawali
Sakti. Kakinya langsung mendarat ringan di samping kanan pemuda berbaju rompi
putih ini.
Menyadari keadaan dirinya yang
tidak mungkin lagi bertahan, kedua laki-laki berbaju serba merah itu tiba-tiba
saja mengambil jalan yang tidak diduga, baik oleh Rangga maupun Pandan Wangi.
Mereka menikam diri sendiri dengan golok.
Perbuatan kedua orang ini tentu
saja membuat kedua pendekar muda itu jadi tersentak kaget. Tapi, sudah tidak
ada waktu lagi untuk mencegah. Dua orang pengikut Naga Merah itu hanya sebentar
saja bertahan berdiri. Sedangkan golok mereka sudah terbenam dalam di dada.
Darah menyemburat keluar dari dada yang tertembus golok. Sesaat kemudian,
mereka jatuh bergelimpang di tanah dan tak bergerak-gerak lagi.
"Edan...!" desis Pandan
Wangi.
Sementara di sekitar mereka, api
masih terus berkobar besar. Dan penduduk yang belum sempat terbantai, hanya
bisa meratapi rumahnya yang habis termakan api. Memang tak ada satu rumah pun
yang masih utuh berdiri di bagian Timur Desa Jatiwangi ini. Semua rumah yang
berdiri sudah terbakar, sehingga membuat udara malam yang seharusnya dingin
jadi terasa begitu hangat. Dan tidak sedikit pula penduduk yang tergeletak tak
bernyawa lagi.
Pada saat itu, terdengar derap
kaki kuda dipacu cepat. Rangga dan Pandan Wangi memutar tubuhnya berbalik.
Tampak Ki Rangkuti bersama Sekar Telasih langsung menghampiri kedua pendekar
muda itu. Sedangkan yang lainnya membantu penduduk yang kehilangan rumah dan
sanak saudaranya. Mereka dikumpulkan di tengah jalan, menjauhi kobaran api yang
membakar rumah-rumah mereka.
"Hanya tujuh orang, Ki. Tak
ada Naga Merah di sini," jelas Rangga setelah Ki Rangkuti dan Sekar
Telasih turun dari kudanya.
"Hhh.... Hanya tujuh orang,
tapi sudah membuat kerusuhan begitu besar," desah Ki Rangkuti lirih.
"Sebenarnya berapa jumlah
mereka, Kakang?" tanya Sekar Telasih.
"Aku tidak tahu pasti.
Mungkin sekitar dua puluh orang," sahut Rangga.
"Jumlah yang cukup besar
untuk menghancurkan sebuah desa," desah Pandan Wangi agak menggumam.
"Mereka juga memiliki
kepandaian yang rata-rata cukup tinggi," sambung Rangga.
"Apa mungkin kita
menghadapinya, Kakang?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Memang mustahil dengan
kekuatan yang ada sekarang. Tapi itu bukan berarti harus diam dan menyerah
begitu saja. Harus ada cara untuk menghentikan ulah mereka. Kalau perlu,
membasmi mereka dari muka bumi ini," tegas Rangga.
Memang Rangga jadi cepat geram
jika melihat kebiadaban yang terjadi di depan matanya. Dan biasanya, Pendekar
Rajawali Sakti tidak akan memberi ampun pada orang-orang semacam Naga Merah
ini. Orang macam Naga Merah memang selalu menggunakan cara-cara keji dan kotor,
hanya untuk melampiaskan kata hatinya yang terbalut nafsu iblis.
"Kita harus can cara untuk
melawan mereka, Rangga," kata Ki Rangkuti.
"Hal itu sudah kupikirkan,
Ki. Tapi aku juga memikirkan keselamatan penduduk desa ini. Korban sudah
terlalu banyak berjatuhan. Dan aku tidak ingin jatuh korban lebih banyak
lagi," tegas Rangga menyambut ucapan Ki Rangkuti barusan.
"Kau punya cara,
Rangga?" tanya Ki Rangkuti seperti ingin tahu jalan pikiran Pendekar
Rajawali Sakti.
"Ada. Tapi, ini mengandung
bahaya yang sangat besar, Ki," sahut Rangga.
"Cara apa pun harus
dilaksanakan. Dan pengorbanan sudah barang tentu harus ada, demi tujuan mulia,
Rangga," tegas Ki Rangkuti, bisa mengerti perkataan Pendekar Rajawali
Sakti tadi.
"Kakang, apa tidak sebaiknya
dipikirkan dulu mengenai rencana itu...," selak Pandan Wangi yang
tampaknya masih kurang setuju dengan rencana yang dikemukakan Rangga.
"Memang harus dibicarakan
dulu, Pandan. Dan aku rasa tidak baik jika hanya kita saja yang mengetahui. Ini
harus diketahui, paling tidak oleh sesepuh desa ini," kata Rangga, bisa
menangkap nada kurang setuju dari suara Pandan Wangi.
"Besok aku mengumpulkan
sesepuh desa ini, dan kita bisa bicarakan cara-cara yang terbaik untuk
menanggulangi bencana ini, Rangga," selak Ki Rangkuti.
"Itu lebih baik, Ki,"
sambut Rangga.
"Sebaiknya, sekarang kita
bantu penduduk dulu. Nanti dibicarakan lagi, Rangga," kata Ki Rangkuti
lagi.
Mereka kemudian melangkah
menghampiri penduduk yang berkumpul di tengah jalan. Hanya tinggal sekitar dua
puluh orang saja yang tersisa. Memang tindakan orang-orang Naga Merah begitu
cepat dan kejam. Sehingga dalam waktu sebentar saja, sudah membakar habis
rumah-rumah di bagian Timur Desa Jatiwangi ini, walau hanya dengan tujuh orang
saja. Kalau saja Rangga tidak keburu datang tadi, mungkin tak ada lagi penduduk
yang masih bisa bernapas sekarang ini.
***
Bukan hanya Ki Rangkuti saja.
Tapi semua sesepuh Desa Jatiwangi yang siang ini berkumpul di rumah kepala desa
itu tidak ada yang mempunyai satu cara pun untuk menghadapi kebrutalan si Naga
Merah. Sehingga, begitu Rangga mengemukakan satu cara, mereka langsung
menyetujui. Meskipun Pendekar Rajawali Sakti juga mengemukakan bahaya terberat
yang akan dihadapi.
Terlebih lagi jika rencana yang
dikemukakannya tidak berjalan mulus. Bukan hanya kegagalan yang akan
didapatkan, tapi juga kehancuran Desa Jatiwangi yang memang diinginkan si Naga
Merah.
Setelah pertemuan itu selesai,
Rangga langsung keluar dari rumah Ki Rangkuti. Wajahnya kelihatan begitu
murung. Hatinya begitu terenyuh melihat kepasrahan sesepuh desa yang tidak bisa
lagi mengemukakan pendapat untuk menanggulangi malapetaka ini. Sehingga, mereka
langsung menyetujui usul yang diberikan Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga menghempaskan diri di
bangku samping rumah. Pandangannya begitu kosong, tertuju lurus ke depan.
Matanya merayapi sekitarnya yang terasa lengang, bagaikan berada di sebuah desa
mati yang tak berpenghuni lagi.
"Kakang...!"
Rangga berpaling ketika mendengar
suara lembut dari belakang. Bibirnya berusaha tersenyum saat melihat Sekar
Telasih berjalan menghampirinya. Gadis itu langsung duduk di samping Pendekar
Rajawali Sakti. Rangga juga sempat melihat Pandan Wangi di depan rumah sedang
berbincang bersama Ki Rangkuti.
Pandan Wangi juga sempat melirik
ke arah Pendekar Rajawali Sakti ini. Tapi, gadis itu bersikap seolah-olah tidak
melihatnya. Dan Rangga tahu kalau kekasihnya memang sengaja tidak menghampiri,
bahkan malah membelakanginya.
"Kau sedih melihat sikap
mereka, Kakang...?" ujar Sekar Telasih seperti mengetahui yang ada dalam
hati Pendekar Rajawali Sakti saat ini.
"Entahlah...," desah
Rangga perlahan.
"Memang seharusnya mereka
tidak perlu bersikap begitu, Kakang. Tapi, kepasrahan mereka tidak bisa
disalahkan. Memang tidak ada yang bisa dilakukan selain bersikap pasrah
menerima nasib," kata Sekar Telasih juga pelan suaranya.
"Kepasrahan itu yang membuat
bebanku terasa semakin berat. Aku seperti dituntut untuk menyelamatkan mereka
dari keangkaramurkaan Naga Merah. Hhh...! Seharusnya hal ini tidak perlu
terjadi jika ayahmu mau berterus terang sejak dulu. Barangkali malapetaka ini
bisa dicegah," ujar Rangga masih dengan suara perlahan.
"Bukan hanya ayah saja yang
salah, Kakang. Tapi aku juga," sergah Sekar Telasih. "Kalau saja aku
mau mengakui Nyi Rongkot sebagai ibuku, barangkali semua ini tidak akan pernah
terjadi."
"Ya! Dan kau harus rela
menjadi istri si Buto Dungkul," agak mendengus nada suara Rangga.
"Itu yang tidak kuinginkan,
Kakang. Aku hanya mengakui Nyi Rongkot adalah ibuku, barangkali masih bisa
kuterima. Tapi perjanjiannya dengan si Buto Dungkul itu yang membuatku semakin
membencinya."
"Semua sudah berakhir,
Sekar. Tak ada gunanya lagi disesalkan. Apalagi mesti mencari kambing hitam
segala. Yang harus kita lakukan sekarang, mempersiapkan diri untuk menghadapi
si Naga Merah. Hanya itu, Sekar...," tegas Rangga mantap.
“Ya, memang hanya itu yang bisa
dilakukan sekarang, Kakang," desah Sekar Telasih.
Mereka kemudian terdiam membisu.
Tak ada lagi yang berbicara. Sedangkan Rangga masih memikirkan cara yang
terbaik untuk bisa menghadapi si Naga merah, tanpa harus mengorbankan banyak
penduduk. Hal ini memang terasa amat sulit. Mengingat, ilmu 'Naga Merah' yang
dimiliki perempuan tua itu dahsyat luar biasa. Belum lagi para pengikutnya,
yang rata-rata memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi.
Sedangkan yang diandalkan hanya
dirinya sendiri dan Pandan Wangi. Dan di Desa Jatiwangi ini sendiri, hanya Ki
Rangkuti saja yang memiliki kepandaian tinggi. Sedangkan Sekar Telasih dan
semua murid Padepokan Jatiwangi hanya memiliki kepandaian rendah dan tak
mungkin bisa diandalkan. Keadaan seperti ini yang membuat Rangga harus berpikir
keras, mencari cara yang terbaik. Sedangkan pelaksanaan rencana itu akan
dilakukan malam nanti.
***
DELAPAN
Pagi-pagi sekali, di saat
matahari belum menampakkan diri, seluruh penduduk Desa Jatiwangi sudah
berkumpul di halaman depan rumah Ki Rangkuti. Rangga yang menyaksikan kalau
semua penduduk desa sudah berkumpul, hampir tidak percaya dengan apa yang
dilihatnya. Sungguh tidak disangka kalau kepercayaan yang diberikan penduduk
Desa Jatiwangi kepadanya begitu besar.
Memang Rangga sudah berpesan pada
sesepuh desa agar tidak memaksa penduduk desa untuk ikut dalam permainan ini.
Tapi kenyataannya, begitu mendengar yang akan melindungi adalah Pendekar
Rajawali Sakti, tak ada lagi keraguan di hati mereka semua. Karena, semua
penduduk Desa Jatiwangi memang sudah mengetahui kedigdayaan Pendekar Rajawali
Sakti.
"Ternyata mereka lebih
percaya padamu daripada kepala desanya sendiri, Kakang," ujar Pandan Wangi
setengah berbisik di dekat telinga Rangga.
"Jangan menyindirku,
Pandan," desis Rangga juga berbisik.
“Tapi kenyataannya begitu,
bukan...?"
"Aku rasa bukan kepercayaan
dasarnya. Tapi, tekanan yang dihadapi, yang menyebabkan mereka memilih
menerjang bahaya daripada tetap tinggal di sini. Toh, apa pun yang dipilih,
keadaan akan tetap sama saja. Jika Hyang Widi menghendaki, mereka bisa terbebas
dari tekanan penderitaan ini, Pandan," elak Rangga, merendah.
Sementara itu Ki Rangkuti memberi
beberapa penjelasan pada warga desanya. Kepala desa itu meminta agar tak
seorang pun berbuat di luar perintah yang akan diberikan Pendekar Rajawali
Sakti nanti. Dan ketika Ki Rangkuti meminta Rangga untuk berbicara, dengan
halus Pendekar Rajawali Sakti menolak. Karena tak ada lagi yang dibicarakan,
mereka memutuskan segera berangkat meninggalkan desa ini melalui jalan Utara.
Rangga dan Ki Rangkuti berkuda paling depan, disusul Sekar Telasih dan Pandan
Wangi. Kemudian para sesepuh desa dan seluruh penduduk Desa Jatiwangi mengikuti
dari belakang.
Sementara kegelapan masih
menyelimuti seluruh desa, meskipun kokok ayam jantan sudah terdengar riuh
saling sambut. Kicauan burung pun sudah terdengar, seakan-akan mengiringi
keberangkatan mereka yang hendak meninggalkan desa ini. Semburat rona merah
mulai terlihat di kaki langit sebelah Timur ketika rombongan yang berjumlah
cukup besar itu mulai memasuki wilayah Utara Desa Jatiwangi.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa keras menggelegar mengejutkan mereka semua.
Rangga langsung menghentikan
langkah kaki kudanya. Tangannya segera diangkat, meminta seluruh penduduk yang
mengikutinya untuk berhenti. Suara tawa itu terus terdengar semakin keras.
Tapi, tak ada seorang pun penduduk Desa Jatiwangi itu yang bergeming. Mereka
begitu patuh pada perintah Rangga.
"Hup...!"
Dengan satu gerakan ringan
sekali, Rangga melompat turun dari punggung kudanya. Ki Rangkuti, Pandan Wangi,
dan Sekar Telasih bergegas melompat turun dari punggung kuda masing-masing
mengikuti Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan murid-murid Pa-depokan Jatiwangi
yang dipimpin Walikan, segera bersiap menghadapi segala yang akan terjadi.
Golok-golok mereka sudah terhunus tergenggam di tangan kanan.
"Suruh mereka semua
menyingkir, Ki," kata Rangga setengah berbisik.
Ki Rangkuti bergegas
memerintahkan warga desanya untuk menyingkir menjauhi tempat ini. Tanpa ada
yang membantah sedikit pun, mereka bergerak menjauhi tempat itu. Tapi, mereka
masih berkumpul di belakang murid-murid Padepokan Jatiwangi. Sementara Rangga,
Pandan Wangi, Sekar Telasih, Walikan, dan Ki Rangkuti masih tetap tak beranjak
dari tempatnya.
Bersamaan menghilangnya suara
tawa yang terdengar keras menggelegar, dari balik semak dan pepohonan
bermunculan orang-orang berbaju serba merah yang semuanya menghunus senjata
golok berukuran lebih panjang dari golok biasa. Mereka berdiri berjajar,
bersikap menantang sekitar dua tombak di depan Pendekar Rajawali Sakti dan
pendampingnya.
"Hosss...!"
Tiba-tiba terdengar suara
mendesis yang begitu keras. Tak berapa lama kemudian, muncul seekor ular naga
raksasa berwarna merah dari kelebatan pepohonan dibelakang orang-orang berbaju
serba merah itu. Tampak di atas kepala ular naga itu berdiri perempuan tua
berjubah merah.
Ki Rangkuti, Pandan Wangi, Sekar
Telasih, dan semua penduduk Desa Jatiwangi jadi terkejut setengah mati melihat
seekor naga berwarna merah. Besarnya, tidak kalah dari pohon kelapa. Binatang
aneh itu muncul bersama perempuan tua yang selama ini menjadi momok bagi mereka
semua. Hanya Rangga yang kelihatan begitu tenang, menatap tajam pada si Naga
Merah yang berada di atas kepala ular naganya.
"Hancurkan mereka
semua...!" seru si Naga Merah lantang.
"Yeaaah...!"
"Hiyaaa...!"
Seketika itu juga orang-orang
berbaju serba merah berlarian cepat sambil berteriak-teriak mengayunkan golok
di atas kepala. Rangga yang memang sudah muak oleh kekejaman mereka, langsung
melentingkan tubuhnya. Segera disongsongnya orang-orang berbaju serba merah itu
"Hiyaaa...!" Pandan
Wangi juga tidak mau ketinggalan. Sambil berteriak nyaring melengking, si Kipas
Maut melompat cepat sambil mencabut kipas baja putihnya yang terkenal membawa
hawa maut. Sementara Sekar Telasih dan Walikan yang hendak mengikuti kedua
pendekar muda itu, sudah keburu dicegah Ki Rangkuti. Pertarungan pun tak dapat
dihindari lagi.
Rangga dan Pandan Wangi mengamuk
begitu dahsyat, membuat orang-orang berbaju merah jadi kalang kabut
menghadapinya. Pukulan-pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang
dilepaskan Rangga memang dahsyat luar biasa. Tak ada seorang pun dari lawan
yang mampu menandingi jurus dahsyat itu. Terlebih lagi, Pandan Wangi dengan
kipas mautnya yang memang sukar dicari tandingannya.
Teriakan-teriakan pertarungan
seketika bercampur baur dengan pekik dan jerit melengking kematian dari
orang-orang berbaju merah. Mereka berpentalan, tak mampu menghadang gempuran
kedua pendekar muda digdaya itu. Satu persatu mereka dibuat ambruk tak mampu
bangkit lagi. Dan kenyataannya, memang kedua pendekar muda itu tidak memerlukan
bantuan untuk menghadapi para pengikut si Naga Merah ini.
Dalam waktu yang tidak berapa
lama saja, sudah tak ada seorang pun dari lawan-lawan yang bisa berdiri lagi.
Tubuh-tubuh berbaju merah bergelimpangan di tanah tanpa nyawa lagi. Sementara
Rangga dan Pandan Wangi berdiri tegak, bersikap menantang si Naga Merah yang
berdiri angkuh di atas kepala ular naga raksasanya.
***
"Kau mundur, Pandan,"
ujar Rangga tanpa berpaling sedikit pun.
"Tapi, Kakang...,"
Pandan Wangi kelihatan cemas melihat ular naga raksasa itu.
"Aku sudah pernah
menghadapinya, Pandan. Minggirlah," ujar Rangga cepat sebelum Pandan Wangi
bisa berkata lagi.
Sebentar Pandan Wangi menatap
Pendekar Rajawali Sakti, kemudian melangkah mundur menjauh. Sementara Rangga
melangkah beberapa tindak ke depan, mendekati si Naga Merah yang masih berdiri
angkuh di atas kepala ular naga raksasanya. Sedangkan Ki Rangkuti yang sudah
mengetahui akan terjadi pertarungan dahsyat, segera membawa Pandan Wangi, Sekar
Telasih, dan Walikan menyingkir lebih jauh lagi. Bahkan warga desanya
diperintahkan agar mencari tempat berlindung yang agak jauh lagi.
"Kita selesaikan urusan ini
sekarang, Pendekar Rajawali Sakti," desis si Naga Merah dingin.
"Hm..., silakan,"
sambut Rangga kalem.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja perempuan tua
berjubah merah itu melenting tinggi ke udara. Pada saat yang bersamaan, ular
naga raksasa itu bergerak cepat menerkam Rangga yang sejak tadi memang sudah
siap. Pendekar Rajawali Sakti sudah mengetahui cara penyerangan Naga Merah ini.
Dan begitu kepala naga raksasa itu dekat dengan dirinya, cepat sekali tubuhnya
melesat ke samping, dan bergulingan beberapa kali di tanah.
"Hup! Yeaaah...!"
Rangga cepat melesat bangkit, lalu melenting ke udara sambil mencabut pedangnya
yang tersampir di punggung. Cahaya biru berkilau menyilaukan mata seketika
menyemburat keluar menerangi sekitarnya, begitu Pedang Rajawali Sakti keluar
dari warangkanya.
"Hiyaaa...!" Beberapa
kali Rangga berputar di udara, lalu cepat-cepat mengebutkan pedangnya. Dan
secepat itu pula, tubuhnya meluruk deras ke bawah dengan ujung pedang tertuju
lurus ke tubuh ular naga raksasa itu.
Crab! "Ghraaaugkh...!
Ular naga raksasa itu menggelepar
sambil meraung keras menggelegar, begitu pedang Pendekar Rajawali Sakti
menghunjam dalam di tubuhnya.
"Hap!" Sambil
menjejakkan kakinya ke tubuh ular naga raksasa itu, Rangga kembali melenting ke
udara sambil mencabut pedang yang terbenam cukup dalam di tubuh ular naga itu.
Beberapa kali Rangga melakukan putaran yang indah di udara, sebelum kakinya
menjejak cukup jauh dari ular naga raksasa itu.
Pada saat yang bersamaan,
perempuan tua yang berjuluk si Naga Merah meluruk deras ke arah Pendekar
Rajawali Sakti sambil memberi satu pukulan keras menggeledek mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaat...!"
"Uts!"
Hanya sedikit saja Rangga
memiringkan tubuhnya ke kiri, sehingga pukulan yang dilepaskan si Naga Merah
tidak sampai mengenai sasaran.
Bet!
Secepat kilat Rangga mengebutkan
pedangnya, memberi serangan balasan. Tapi si Naga Merah sudah lebih cepat lagi
melompat mundur menghindari tebasan pedang yang memancarkan sinar biru berkilau
itu. Dan sebelum Rangga bisa menarik pedangnya kembali, ular naga raksasa
berwarna merah itu sudah kembali menyerang dahsyat sambil menggerung keras
bagai halilintar.
"Suiiit...!"
Tiba-tiba saja Rangga bersiul
nyaring melengking tinggi begitu kakinya menjejak tanah. Belum lagi siulannya
menghilang dari pendengaran, perempuan tua berjubah serba merah sudah kembali
memberi serangan cepat dan beruntun. Rangga terpaksa berjumpalitan menghindari
pukulan-pukulan yang begitu cepat dan bertenaga dalam sangat tinggi itu.
Memang, keadaan Pendekar Rajawali
Sakti sungguh mencemaskan Dia diserang perempuan tua berjubah merah dan ular
naga raksasa secara bergantian, beruntun dan cepat sekali. Jurus-jurus yang
dikerahkannya seperti tidak punya arti sama sekali. Namun demikian, beberapa
kali Rangga berhasil menebaskan pedangnya ke tubuh ular naga raksasa itu.
Tapi, ular itu seperti tidak
berpengaruh sama sekali. Bahkan serangan-serangannya semakin dahsyat saja,
sehingga membuat Rangga tampak kerepotan. Belum lagi harus menghindari
serangan-serangan yang dilancarkan si Naga Merah yang tidak kalah dahsyatnya
dari ular naga raksasa itu.
Entah sudah berapa jurus berlalu,
tapi pertarungan belum juga ada tanda-tanda akan berakhir. Sedangkan keadaan
Rangga semakin kelihatan kedodoran menghadapi dua lawan yang begitu dahsyat
serangan-serangannya. Hingga pada satu saat...
"Yeaaah...!"
Cepat sekali si Naga Merah
melepaskan satu pu-kulan keras berkekuatan tenaga dalam yang begitu tinggi
tingkatannya. Rangga yang baru saja menghindari serangan ular naga raksasa,
tidak dapat lagi mengelak. Dan....
Desss! "Aaakh...!"
Rangga terpental deras ke
belakang ketika pukulan yang dilepaskan si Naga Merah menghantam telak dadanya.
Sebongkah batu yang cukup besar seketika hancur berkeping-keping terlanda tubuh
Pendekar Rajawali Sakti. Dan sebelum pemuda berbaju rompi putih itu bisa
bangkit berdiri, ular naga raksasa sudah melesat cepat hendak menerkam.
Mulutnya yang begitu besar tampak ternganga lebar, siap mengoyak tubuh Pendekar
Rajawali Sakti. Tapi belum juga ular naga raksasa itu sampai, tiba-tiba
saja....
"Khraaagkh...!"
Sukar diikuti pandangan mata
biasa. Mendadak saja dari angkasa meluncur cepat bagai kilat seekor burung
rajawali putih raksasa yang langsung menyerang ular naga merah raksasa itu.
Paruh burung rajawali putih itu mendarat tepat di mata ular naga merah, hingga
ular raksasa itu meraung keras menggelegar.
"Hup!"
Rangga cepat-cepat melompat
bangkit berdiri. Sementara itu, si Naga Merah jadi terlongong melihat
kemunculan burung rajawali raksasa yang langsung menyerang ular naga
ciptaannya. Di lain tempat Rang-ga sudah melompat cepat sambil mengebutkan
pedang pusakanya ke arah perempuan tua berjubah merah itu.
"Hiyaaat...!"
Bet!
"Ikh...!" Si Naga Merah
jadi terkejut setengah mati. Cepat-cepat perempuan tua itu melompat ke belakang
menghindari tebasan pedang yang memancarkan sinar biru terang berkilau. Dan
begitu kakinya menjejak tanah, seketika kedua tangannya dihentakkan ke depan.
"Yeaaah...!" Secercah
cahaya merah tiba-tiba saja meluncur deras keluar dari kedua telapak tangannya.
Sementara Rangga yang mengetahui
kalau lawan sudah mengeluarkan ilmu kesaktian, cepat-cepat memiringkan tubuh ke
kanan, lalu cepat menarik ke kiri. Dan begitu tubuhnya tegak, mata pedangnya
digosok dengan telapak tangan kirinya.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'....
Yeaaaah...!" Seketika itu juga, Rangga menghentakkan pedangnya ke depan,
tepat ketika sinar merah yang keluar dari telapak tangan si Naga Merah berada
dekat dengannya.
Glarrr...!
Satu ledakan keras menggelegar
tiba-tiba terdengar dahsyat ketika sinar merah menghantam ujung pedang yang
kini cahayanya membentuk bulatan sebesar kepala manusia. Dan bulatan cahaya
biru itu langsung melesat cepat ke arah si Naga Merah, begitu sinar merahnya
menghilang. Begitu cepatnya cahaya biru itu meluncur, sehingga Naga Merah tidak
sempat lagi menghindarinya.
"Akh...!"
Seluruh tubuh si Naga Merah
begitu cepat terselubung sinar biru yang memancar deras dari mata Pedang
Rajawali sakti. Perlahan-lahan Rangga melangkah mendekati, di saat perempuan
tua itu menggeliat-geliat sambil menjerit-jerit melengking tinggi terselubung
cahaya biru seluruh tubuhnya.
“Yeaaah...!" tiba-tiba saja
Rangga berteriak keras menggelegar. Dan bagaikan kilat, pedangnya dikebutkan ke
arah leher si Naga merah yang sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi setelah
seluruh tubuhnya terselubung cahaya biru. Sehingga....
Cras!
"Aaa...!"
"Hup!"
Rangga cepat-cepat melompat ke
belakang sejauh satu batang tombak. Saat itu juga Pedang Rajawali Sakti
dimasukkan ke dalam warangkanya di punggung. Maka, sinar biru langsung lenyap
seketika. Sementara itu, tampak si Naga Merah berdiri kaku tak bergeming. Lalu,
sesaat kemudian tubuhnya ambruk ke tanah dengan kepala terpisah dari leher.
Darah langsung muncrat keluar dari leher yang terpenggal.
"Aaargkh.,.!"
Pada saat yang bersamaan, ular
naga merah raksasa menggelepar dahsyat sambil menggerung keras. Akibatnya, bumi
bergetar bagai terguncang gempa. Lalu, seluruh tubuh ular raksasa itu
mengepulkan asap tebal berwarna merah. Dan begitu asap menghilang, ular raksasa
itu pun lenyap. Tampak sebatang tongkat berbentuk ular berwarna merah
tergeletak di tanah.
"Hhh...!" Rangga
menghembuskan napas panjang.
Kemenangan Pendekar Rajawali
Sakti langsung disambut sorak-sorai yang begitu gegap gempita oleh seluruh
penduduk Desa Jatiwangi. Mereka berhamburan, berlarian menghampiri Pendekar
Rajawali Sakti. Tanpa dapat dicegah lagi, mereka langsung mengangkat Rangga
beramai-ramai. Hal ini membuat Pendekar Rajawali Sakti tak dapat lagi menahan
keharuannya. Mereka bersorak-sorai menggotong Rangga beramai-ramai, kembali ke
Desa Jatiwangi.
Sementara, Pandan Wangi dan Sekar
Telasih hanya dapat memandangi dengan mata berkaca-kaca. Sedangkan di tempat
lain, Ki Rangkuti langsung menjatuhkan diri, berlutut mengucapkan syukur karena
malapetaka telah berlalu dari desanya. Suasana yang semula begitu mencekam,
kini berubah jadi gegap gempita oleh sorak-sorai para penduduk yang meluapkan
kegembiraan. Mereka kini telah terbebas dari belenggu ketakutan yang menghantui
selama beberapa hari ini.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA
KUDA API GORDAPALA
Emoticon