BILAL
BIN RABAH
MUADZIN
RASULLULAH & LAMBANG PERSAMAAN DERAJAT MANUSIA
Bila
disebut nama Abu Bakar, maka Umar akan berkata: “Abu Bakar adalah
pemimpin kita, yang telah memerdekakan pemimpin kita”. Maksudnya
ialah Bilal ….
seorang
yang diberi gelar oleh Umar “pemimpin kita”, tentulah suatu
pribadi besar yang layak memperoleh kehormatan seperti itu! Tetapi setiap
menerima pujian yang ditujukan kepada dirinya, maka laki-laki
yang berkulit hitam, kurus kerempeng, tinggi jangkung, berambut lebat
dan bercambang tipis — sebagai dilukiskan oleh ahli-ahli riwayat — akan
menundukkan kepala dan memejamkan mata, serta dengan air mata
mengalir membasahi pipinya, akan berkata: “Saya ini hanyalah
seorang Habsyi, dan kemarin saya seorang budak belian!”
Nah,
siapakah kiranya orang Habsyi yang kemarin masih jadi budak belian ini …
? Itulah dia Bilal. bin Rabah, muaddzin Islam dan penggoncang berhala
yang dipuja Quraisy sebagai tuhan! la merupakan salah satu
keajaiban iman dan kebenaran! Salah satu mujizat Islam yang maka besar!
Dari
tiap sepuluh orang, semenjak munculnya Agama itu sampai sekarang, bahkan
sampai kapan saja dikehendaki Allah, kita akan menemukan sedikitnya
tujuh orang yang kenal terhadap Bilal. Artinya dalam lintasan kurun dan
generasi, terdapat jutaan manusia yang mengenal Bilal; hafal akan
namanya dan tahu riwayatnya secara lengkap, sebagaimana mereka kenal akan dua
Khalifah terbesar dalam Islam (Abu Bakar dan Umar).
Anda
akan dapat menanyakan kepada setiap anak yang masih merangkak pada tahun-tahun
pelajaran dasarnya; baik di Mesir, Pakistan, Indonesia atau Cina . . . di
Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa dan Asia … di Irak, Syria, Turki, Iran
dan Sudan . . . di Tunisia, Aljazair, dan Maroko … pendeknya di seluruh
permukaan bumi yang didiami oleh Kaum Muslimin …. anda akan dapat menanyakan
kepada setiap remaja Islam: “Siapakah Bilal itu, wahai buyung?” Tentulah akan
keluar jawabannya yang lancar: “Ia adalah muaddzin Rasul. Asalnya seorang
budak, yang disiksa oleh tuannya dengan batu pangs, agar ia
meninggalkan Islam, tetapi jawabnya: “. . . Ahad … Ahad . . Allah Yang Maha
Tunggal … Allah Yang Maha Tunggal … ! “
Dan
setelah anda lihat keabadian yang telah dianugerahkan Islam kepada Bilal . . .
, bahwa sebelum Islam, Bilal ini tidak lebih dari seorang budak belian; yang
menggembalakan unta milik tuannya dengan imbalan dua genggam kurma! Tanpa
Islam, pastilah ia takkan luput dari kenistaan perbudakan — sampai maut datang
merenggutnya — setelah itu orang melupakannya….
Tetapi
kebenaran iman dan keagungan Agama yang diyakini-nya telah meluangkan baginya
dalam kehidupan dan riwayat hidup, suatu kedudukan tinggi pada deretan
tokoh-tokoh Islam dan orang-orang sucinya . . .! Banyak di antara orang-orang
terkemuka — golongan berpengaruh dan mempunyai harta —yang tidak berhasil
mendapatkan agak sepersepuluh dari keharuman nama yang diperoleh Bilal si
Budak Habsyi ini . . . ! ‘Bahkan tidak sedikit tokoh-tokoh sejarah yang tidak
mencapai separoh kemasyhuran yang dicapai oleh Bilal!
Kehitaman
warna kulit; kerendahan kasta dan bangsa, serta kehinaan dirinya di antara
manusia selama itu sebagai budak belian, sekali-kali tidaklah menutup pintu
baginya untuk menempati kedudukan tinggi yang dirintis oleh kebenaran, keyakinan,
kesucian dan kesungguhannya setelah ia memasuki Agama Islam.
Semua
itu adalah karena dalam neraca penilaian dan penghormatan yang diberikan
kepadanya, tak ada perhitungan lain kecuali kekaguman; yakni ketika dijumpai
kebesaran yang tidak terduga. Orang menyangka bahwa seorang hamba seperti Bilal,
biasanya asal-usulnya tidak menentu; tidak berdaya dan tidak
mempunyai keluarga, serta tidak memiliki suatu hak pun dari hidupnya. Dirinya
adalah milik tuannya yang telah membeli dengan hartanya, dan kerjanya
berada di tengah hewan ternak, pulang balik di antara unta dan domba
tuannya. Menurut dugaan mereka, makhluq seperti ini takkan mampu melakukan
sesuatu, atau menjadi sesuatu yang berarti!
Kiranya
ia berbeda dengan spa yang disangka dan diper-kirakan itu. Karena ia
mampu mencapai derajat keimanan yang tidak mungkin dicapai oleh lainnya …. lalu
menjadi muaddzin pertama bagi Rasulullah dan Islam; suatu aural yang menjadi inceran
bagi setiap pemimpin dan pembesar Quraisy yang telah masuk Islam dan
menjadi pengikut Rasul.
Benar
. . . , Bilal bin Rabah!
Corak
kepahlawanan apakah, dan bentuk kebesaran manakah yang ditonjolkan oleh
ketiga kata-kata ini, “Bilal bin Rabah .. .?” Ia seorang Habsyi dari golongan
orang berkulit hitam. Taqdir telah membawa nasibnya menjadi budak dari Bani
Jumah di kota Mekah, karena ibunya salah seorang hamba sahaya mereka.
Kehidupannya
tidak berbeda dengan budak biasa. Hariharinya berlalu secara rutin tapi
gersang, tidak memiliki sesuatu pada hari itu, tidak pula menaruh harapan pada
hari esok. Dan berita-berita mengenai Muhammad saw. telah mulai sampai ke
telinganya, yakni ketika orang-orang di Mekah menyampaikan-nya dari mulut ke
mulut. Juga ketika mendengar obrolan majikannya bersama tetamunya;
terutama majikannya Umayah bin khdaf, salah seorang pemuka Bani Jumah, yaitu
kabilah yang menjadi majikan yang dipertuan oleh Bilal.
Lamalah
sudah didengarnya Umayah ketika membicarakan Rasulullah, baik dengan
kawan-kawannya maupun sesama warga sukunya; mengeluarkan kata-kata berbisa;
penuh dengan rasa amarah, tuduhan dan kebencian. Di antara apa yang dapat
ditangkap oleh Bilal dari ucapan kemarahan yang tidak berujung pangkal itu,
ialah sifat-sifat yang melukiskan Agama baru baginya. Dan menurut hematnya,
sifat-sifat itu merupakan hal-hal baru dipandang dari sudut lingkungan di mana
ia tinggal. Sebagaimana juga di antara ucapan-ucapan yang keras penuh ancaman
itu, tapi pula kedengaran olehnya pengakuan mereka akan kemuliaan Muhammad
saw., tentang kejujuran dan keterpercayaannya …
Benar,
didengarnya mereka ta’jub dan keheranan terhadap ajaran yang dibawa oleh
Muhammad saw.! Sebagian mereka mengatakan kepada yang lain: “Tidak pernah
Muhammad saw. berdusta atau menjadi tukang sihir . . . tidak pula sinting atau
berubah akal . . . , walau kita terpaksa menuduhnya demikian, demi untuk
membendung orang-orang yang berlomba-lomba memasuki Agamanya!”
Didengarnya
mereka mempercakapkan kesetiaannya menjaga amanat . . . , tentang kejujuran dan
ketulusannya – . . , tentang akhlaq dan kepribadiannya …. Didengarnya pula
mereka berbisik-bisik mengenai sebab yang mendorong mereka menentang dan
memusuhinya, yaitu: pertama kesetiaan mereka terhadap kepercayaan yang
diwariskan nenek moyangnya; dan kedua kekhawatiran merosotnya kemuliaan
Quraisy, kemuliaan yang mereka peroleh sebagai imbalan kedudukan mereka menjadi
markas keagamaan, sebagai pusat ibadat dan upacara haji di serata jazirah Arab
. . . , kemudian kedengkian terhadap Bani Hasyim, kenapa munculnya Nabi dan
Rasul itu dari golongan ini dan bukan dari fihak mereka ..
Pada
suatu hari, Bilal bin Rabah melihat Nur Ilahi dan mendengar imbauannya dalam
lubuk hatinya yang suci murni. Maka ia mendapatkan Rasulullah saw. dan
menyatakan keislamannya. Dan tidak lama antaranya, berita rahasia keislaman
Bilal terungkaplah …. dan beredar di antara kepala tuan-tuannya dari Bani
Jumah, yakni kepala-kepala yang selama ini ditiup oleh kesombongan dan ditindih
oleh kecongkakan . . . ! Maka setan-setan di muka bumi tampillah bermunculan
dan bersarang dalam dada Umayah bin Khalaf, yang menganggap keislaman seorang
hambanya sebagai tamparan pahit yang menghina dan menjatuhkan kehormatan mereka
semua ….
Apa
. . . ? Budak mereka orang Habsyi itu masuk Islam dan menjadi pengikut Muhammad
. . . ? Walaupun demikian, tidak apa! kata Umayah dalam hatinya. “Matahari yang
terbit hari ini takkan tenggelam dengan Islamnya budak durhaka itu … ! ”
Memang, bukan saja sang surya itu tidak tenggelam dengan Islamnya Bilal, tetapi
pada suatu hari kelak matahari akan tenggelam dengan membawa semua
patung-patung dan pembela pembela berhala itu … !
Mengenai
Bilal, tidak saja ia beroleh kedudukan yang merupakan kehormatan bagi Agama
Islam semata — walau Islam memang lebih berhak untuk itu — tetapi juga
merupakan kehormatan bagi perikemanusiaan umumnya … ! la telah menjadi sasaran
berbagai macam siksaan sebagai dialami oleh tokoh-tokoh utama lainnya.
Seolah-olah
Allah telah menjadikannya sebagai tamsil perbandingan bagi ummat manusia,
bahwa hitamnya warna kulit dan perbudakan, sekali-kali tidak menjadi penghalang
untuk mencapai kebesaran jiwa, asal saja ia beriman dan taat kepada Tuhannya
serta memegang teguh haq-haqnya ….
Bilal
telah memberikan pelajaran kepada orang-orang yang semasa dengannya, juga bagi
orang-orang di segala masa; bagi orang-orang yang seagama dengannya, bahkan bagi
pengikut pengikut agama lain; suatu pelajaran berharga yang
menjelaskan bahwa kemerdekaan jiwa dan kebebasan nurani, tak dapat dibeli
dengan emas separuh bumi, atau dengan siksaan bagaimanapun dahsyatnya … !
Dalam
keadaan telanjang ia dibaringkan di atas bara, dengan tujuan agar ia
meninggalkan Agamanya atau mencabut pengakuannya, tetapi ia menolak ….
Maka
budak Habsyi yang lemah tidak berdaya ini telah dijadikan oleh Rasulullah saw.
dan Agama Islam sebagai guru bagi seluruh kemanusiaan dalam soal menghormati
hati nurani dan mempertahankan kebebasan serta kemerdekaannya.
Pada
suatu ketika, di tengah hari bulat; waktu padang pasir berganti rupa menjadi
neraka jahannam, mereka membawanya ke luar, lalu melemparkannya ke pasir yang
bagai menyala dalam keadaan telanjang, kemudian beberapa orang laki-laki mengangkat
batu besar panas laksana bara, dan menjatuhkannya ke atas tubuh dan dadanya ….
Siksaan
kejam dan biadab ini mereka ulangi setiap hari, hingga karena dahsyatnya
lunaklah hati beberapa orang di antara algojo-algojo yang menaruh kasihan
kepadanya. Mereka berjanji dan bersedia melepaskannya asal saja ia mau menyebut
nama tuhan-tuhan mereka secara baik-baik walau dengan sepatah kata sekalipun —
tak usah lebih — yang akan menjaga nama baik mereka di mata umum, hingga tidak
menjadi buah pembicaraan bagi orang-orang Quraisy bahwa mereka telah mengalah
dan bertekuk lutut kepada seorang budak yang gigih dan keras kepala.
Tetapi,
walau sepatah kata pun yang dapat diucapkan bukan dari lubuk hatinya, dan yang
dapat menebus nyawa dan hidupnya tanpa kehilangan iman dan melepas
keyakinannya, Bilal tak hendak mengucapkannya … !
Memang,
ditolaknya mengucapkan hal itu, dan sebagai gantinya diulang-ulanglah
senandungnya yang abadi: “Ahad … ! Ahad . . .! Allah Yang Maha Tunggal . . . !
Allah Yang Maha Tunggal . . .!” Pendera-pendera itu pun berteriak, bahkan
seakan-akan hendak memohon kepadanya: “Sebutlah Lata dan ‘Uzza!” Tetapi
jawabannya tidak berubah dari: “Ahad … ! Ahad … ! ” “Sebutlah apa yang kami
sebut!”, pinta mereka pula. Tetapi dengan ejekan pahit dan penghinaan yang
mena’jubkan ia menjawab: “lidahku tak dapat mengucapkannya … ! “
Tinggallah
Bilal dalam deraan panas dan tindihan batu, hingga ketika hari petang mereka
tegakkan badannya dan ikatkan tali pada lehernya, lalu mereka suruh anak-anak
untuk mengaraknya keliling bukit-bukit dan jalan-jalan kota Mekah, sementara
Bilal tiada lekang kedua bibirnya melagukan senandung sucinya: “Ahad. . .!
Ahad. . .!”
Berat
dugaan kita, bahwa bila malam telah tiba, orang-orang itu akan menawarkan
padanya: “Esok, ucapkanlah kata-kata yang baik terhadap tuhan-tuhan kami,
sebutlah: tuhanku Lata dan ‘Uzza . . . , nanti kami lepaskan dan biarkan kamu
sesuka hatimu! Telah letih kami menyiksamu, seolah-olah kami sendirilah yang
disiksa!” Tetapi pastilah Bilal akan menggelengkan kepalanya dan hanya
menyebut: “Ahad … ! Ahad . ! “
Karena
tak dapat menahan gusar dan amarah murkanya, Umayah meninju sambil berseru:
“Kesialan apa yang menimpa kami disebabkanmu, hai budak celaka?! Demi tuhan
Lata dan ‘Uzza, akan kujadikan kau sebagai contoh bagi bangsa budak dan
majikan-majikan mereka!” Dengan keyakinan seorang Mu’min dan kebesaran seorang
suci, Bilal menyahut: “Ahad … Ahad…
Orang-orang
yang diserahi tugas berpura-pura menaruh kasihan kepadanya, kembali membujuk
dan mengajukan tawaran, katanya kepada Umayah: “Biarkanlah ia wahai Umayah!
Demi Lata dan ‘Uzza! Mulai saat ini ia takkan disiksa lagi! Bilal ini anak buah
kami, bukankah ibunya sahaya kami . . .? Nah, ia takkan rela bila dengan
keislamannya itu nama kami menjadi ejekan dan cemoohan bangsa Quraisy . . .!”
Bilal
membelalakkan matanya menentang para penipu dan pengatur muslihat licik itu,
tetapi tiba-tiba ketegangan itu menjadi kendur dengan tersunggingnya sebuah
senyuman bagai cahaya fajar dari mulutnya. Dan dengan ketenangan yang dapat
menggoncangkan dan mengarubirukan mereka, katanya: “Ahad…!
Ahad . ! “
Waktu
pagi hampir berlalu, waktu dhuhur dekat menjelang, dan Bilal pun dibawa orang
ke padang pasir, tetapi tetap shabar dan tabah, tenang tak tergoyah. Sementara
mereka menyiksanya, tiba-tiba datanglah Abu Bakar Shiddiq, serunya: “Apakah
kalian akan membunuh seorang laki-laki karena mengatakan bahwa Tuhanku ialah
Allah?!” Kemudian katanya kepada Umayah bin Khalaf: “Terimalah ini untuk
tebusannya, lebih tinggi dari harganya, dan bebaskan ia … ! “
Bagai
orang yang hampir tenggelam, tiba-tiba diselamatkan oleh sampan penolong,
demikianlah halnya Umayah saat itu; hatinya lega dan merasa amat beruntung demi
didengarnya Abu Bakar hendak menebus budaknya. la telah berputus asa akan dapat
menundukkan Bilal. Apalagi mereka adalah orang-orang saudagar, dengan dijualnya
Bilal mereka melihat keuntungan yang tidak akan diperoleh dengan jalan
membunuhnya.
Dijualnyalah
Bilal kepada Abu Bakar yang segera membebaskannya, dan dengan demikian Bilal
pun tampillah mengambil tempatnya dalam lingkungan orang-orang merdeka . . . .
Dan ketika as-Shiddiq mengepit Bilal membawanya ke alam bebas, berkatalah
Umayah: “Bawalah ia! Demi Lata dan ‘Uzza, seandainya harga tebusannya tak lebih
dari satu ugia, pastilah ia akan kulepas juga!”
Abu
Bakar ‘arif akan keputusasaan dan pahitnya kegagalan yang tersirat dalam ucapan
itu, hingga lebih baik tidak dilayaninya.
Tetapi
karena ini menyangkut kehormatan seorang laki-laki yang sekarang telah menjadi
saudara yang tak berbeda dengan dirinya, maka jawabnya kepada Umayah: “Demi
Allah, andainya kalian tak hendak menjualnya kecuali seratus ugia, pastilah
akan kubayar juga!”
Kemudian
pergilah Abu Bakar bersama shahabatnya itu kepada Rasulullah saw. dan
menyampaikan berita gembira tentang kebebasannya, maka saat itu pun tak ubah
bagai hari rays besar juga … !
Dan
setelah Rasulullah saw. bersama Kaum Muslimin hijrah dan menetap di Madinah,
beliau pun mensyari’atkan adzan untuk melakukan shalat. Maka siapakah kiranya
yang akan menjadi muaddzin untuk shalat itu sebanyak lima kali dalam sehari
semalam . . . yang suara takbir dan tahlilnya akan berkumandang ke seluruh
pelosok … ? Ialah Bilal . . . , yang telah menyerukan: “Ahad . . . ! Ahad . . .
! Allah Maha Tunggal . . . ! Allah Maha Tunggal . . .!” semenjak 13 tahun yang
lalu, sementara siksaan membantai dan menyelai tubuhnya.
Pada
hari itu pilihan Rasulullah jatuh atas dirinya sebagai muaddzin pertama dalam
Islam. Dan dengan suaranya yang merdu dan empuk diisinya hati dengan keimanan
dan telinga dengan keharuan, sementara seruannya menggemakan:
“Allahu
Akbar. . . Allahu Akbar Allahu Akbar … Allahu Akbar Asyhadu allailaha illallah
Asyhadu
allailaha illallah
Asyhadu
anna Muhammadar Rasulullah Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah Hayya ‘alas
shalah
Hayya
‘alas shalah
Hayya
‘alal falah
Hayya
alai falah
Allahu
Akbar.. . Allahu Akbar La ilaha illallah. . . “.
Antara
Kaum Muslimin dan tentara Quraisy yang datang menyerang Madinah terjadi
peperangan . . . . Pertempuran berkecamuk dengan amat sengit dan dahsyat . . .
, sementara Bilal maju dan menerjang dalam perang pertama yang diterjuni Islam
itu, yaitu Bakar . . . , yang sebagai semboyannya dititahkan oleh Rasulullah
menggunakan ucapan: “Ahad … ! Ahad … ! “
Dalam
peperangan ini Quraisy mengerahkan tenaga intinya, dan pemuka-pemukanya
terjun untuk akhirnya menemui tempat pembantaian mereka . . .! Pada mulanya
Umayah bin Khalaf, yaitu bekas majikan Bilal yang telah menyiksanya secara
kejam dan biadab, tak hendak ikut dalam peperangan itu. Tetapi demi mendengar
keengganan dan sifat pengecutnya itu, maka salah seorang di antara kawannya
yang bernama ‘Uqbah bin Abi With mendatanginya sambil di tangan kanannya
membawa sebuah mijmar — pedupaan yang dipergunakan wanita untuk mengasapi
tubuhnya dengan kayu wangi —.
Setelah
sampai dan ia berhadapan muka dengan Umayah Yang ketika itu sedang duduk di
tengah-tengah anak buahnya, ditaruhlah pedupaan itu di hadapannya seraya
berkata: “Hai Abu Ali! Terimalah dan pergunakanlah pedupaan ini. Karena kamu
tak lebih dari seorang wanita!”
“Keparat!
apa yang kau bawa ini?, teriak Umayah dengan seramnya. Tetapi tak dapat
mengelak terpaksa akhirnya ia turut dalam peperangan itu bersama kawan-kawannya
….
Amboi,
rahasia taqdir apakah kiranya yang tersembunyi di balik peristiwa ini . . .?
Uqbah bin Mu’ith adalah seorang yang paling gigih mendorong Umayah untuk
melakukan siksaan terhadap Bilal dan orang-orang tak berdaya lainnya dari Kaum
Muslimin Dan sekarang, ia pulalah yang mendesaknya supaya ikut dalam
Perang Badar, tempat ia akan menemui ajalnya . . .! Tetapi juga tempat tewasnya
‘Uqbah itu sendiri tanpa kecuali …
Mulanya
Umayah keberatan dan enggan untuk ikut dalam peperangan . . . , dan kalau
bukanlah karena desakan Uqbah dengan cara sebagai kita ketahui itu, tidaklah ia
hendak mengambil bagian di dalamnya …
Tetapi
rencana Allah pasti berlaku!
Umayah
harus ikut. Ada piutang lama antara dirinya dengan salah seorang hamba Allah
yang datang saatnya untuk diselesaikan. Allah tak pernah mati, dan sebagaimana
kalian memperlakukan orang demikianlah pula kalian diperlakukan orang!
Dan
taqdir ini gemar sekali mempermainkan orang sombong dan aniaya! Uqbah yang
kata-katanya didengar oleh Umayah dan kemauannya untuk menyiksa orang-orang
Mu’min yang tak berdosa diturutnya, justeru yang menyeretnya ke liang kubur … !
Kemudian
di tangan siapakah Di tangan Bilal. . . , tidak lain di tangan Bilal sendiri!
Tangan yang oleh Umayah dulu diikat dengan rantai, sedang pemiliknya didera dan
disiksa.
Maka
tangan inilah pula pada hari itu — ya’ni di waktu perang Badar — suatu saat
yang tepat dan diatur oleh taqdir, yang telah menyelesaikan utang-piutang dan
membuat perhitungan dengan algojo-algojo Quraisy yang telah menimpakan
penghinaan dan kedhaliman terhadap orang-orang Mu’min … ! Peristiwa ini terjadi
secara sempurna, tanpa ditambah atau dibumbui … !
Ketika
pertempuran di antara dua pihak telah mulai, dan barisan Kaum Muslimin maju
bergerak dengan semboyannya: “Ahad . ..! Ahad … !’,’maka jantung Umayah pun
bagai tercabut dari urat akarnya dan rasa takut mengancam dirinya. . . Kalimat
yang kemarin diulang-ulang oleh hambanya di bawah tekanan siksa dan dera,
sekarang telah menjadi semboyan dari suatu Agama secara utuh, dan dari suatu
ummat yang baru secara keseluruhan . . . ! “Ah ad ! Ahad . . .!” Demikianlah
dan dengan kecepatan seperti ini . . . , serta pertumbuhan yang demikian besar …
? Pertempuran telah berkecamuk dan pedang bertemu pedang
Ketika
perang telah hampir usai, kelihatanlah oleh Umayah, abdurrahman bin ‘Auf,
seorang shahabat Rasulullah saw. Maka segera ia melindungkan diri kepadanya,
dan meminta untuk menjadi tawanannya; dengan harapan akan dapat menyelamatkan
nyawanya ….
Permintaan
itu dikabulkan oleh Abdurrahman yang bersedia melindunginya, dan di
tengah-tengah hiruk-pikuknya perang dibawanyalah Umayah ke tempat orang-orang
tawanan. Di tengah jalan ia kelihatan oleh Bilal, yang segera berseru: “Ini
dia .. . gembong kekafiran, Umayah bin Khalaf! Biar aku mati daripada orang ini
selamat … ! “
Sambil
menyatakan itu diangkatlah pedangnya hendak memenggal kepala yang selama ini
menjadi besar disebabkan kecongkakan dan kesombongan. “Hai Bilal, ia
tawananku! ” seru Abdurrahman. “Tawanan – . . ? ” ujar bilal, ‘padahal
pertempuran masih berkobar dan roda
peperangan
masih berputar . . . ? ” la
diterima sebagai tawanan . . . , padahal belum lama berselang senjatanya
terhunjam di tubuh Kaum Muslimin yang sampai sekarang masih meneteskan darahnya
… ? Tidak . . .! bagi Bilal itu artinya berolok-olok dan penindasan. Dan
cukuplah selama ini Umayah berolok-olok dan melakukan penindasan. la
telah menindas demikian rupa, hingga hari ini tak ada lagi kesempatan tersisa,
dalam keadaan segawat ini . . . dalam akibat yang menentukan ini!
orang
kafir, Umayah bin Khalaf … ! Biar aku mati daripada dia lolos … ! “
Berdatanganlah
serombongan Kaum Muslimin dengan pedang penyebar maut di tangan mereka dan mengepung
Umayah bersama puteranya — yang berperang di pihak Quraisy — sementara
Abdurrahman bin Auf tak dapat berbuat apa pun, bahkan juga tidak dapat
melindungi bajunya yang telah terkoyak-koyak oleh desakan orang banyak.
Bilal
memandangi tubuh Umayah yang telah rubuh oleh tebasan pedang-pedang itu dengan
lama sekali, kemudian ia bergegas meninggalkan tempat itu, sementara suaranya
yang nyaring mengumandangkan: “Ahad … ! Ahad
Menurut
hemat saya, bukanlah haq kita untuk membahas keutamaan toleransi dari pihak
Bilal dalam suasana seperti itu …. Tetapi seandainya pertemuan antara Bilal
dengan Umayah terjadi pada suasana lain, maka bolehlah kita meminta kepadanya
agar memberi ma’af, yang tak mungkin ditolak oleh orang yang seperti Bilal
keimanan dan ketaqwaannya.
Hanya
sebagai kita ketahui, mereka bertemu di medan laga, masing-masing pihak
mendatanginya dengan tujuan untuk menghancurkan pihak. lawannya . . . . Pedang
dan tombak herkelebatan … para korban berguguran – – – , dan maut merajalela
berseliweran . . .! Tiba-tiba pada saat seperti itu Bilal melihat Umayah, yang
tak sejengkal pun dari tubuhnya luput dari bekas kekejaman dan adzab siksa
Umayah!
Lalu
di manakah dan betapa tampak olehnya … ? Dilihatnya dalam kancah pertempuran;
memenggal kepala Kaum Muslimin yang ditemui Umayah, dan seandainya ia beroleh
kesempatan untuk memenggal kepala Bilal pada saat itu, tentulah tidak akan
disia-siakannya! Nah, dalam keadaan seperti demikianlah kedua laki-laki itu
berhadapan muka! Maka tidaklah adil menurut logika, bila kita bertanya kepada
Bilal, kenapa ia tak hendak memberi ma’af dengan sebaik-baiknya . . .!
Hari-hari
berlalu . . . dan Mekah dibebaskan . . . . Dengan mengepalai sepuluh ribu Kaum
Muslimin, Rasulullah memasuki kota itu, bersyukur dan mengucapkan takbir.
Beliau langsung menuju Ka’bah yang telah dipadati berhala oleh Quraisy dengan
jumlah bilangan hari dalam setahun, ialah tidak kurang dari 360 buah berhala. Yang
benar telah datang, hancur luluhlah kebathilan ….
Mulai
hari itu tak ada lagi Lata .‘Uzza … atau. Hubal, dan semenjak itu manusia tidak
lagi menundukkan kepalanya kepada batu atau berhala – . . , dan tak ada lagi
yang mereka puja sepenuh hati kecuali Allah yang tak ada tara atau bandingan-Nya;
Tuhan yang Maha Tunggal lagi Esa, Maha Tinggi dan Maha Besar ….
Rasulullah
memasuki Ka’bah dengan membawa Bilal sebagai teman . . .! Baru saja masuk,
beliau telah berhadapan dengan sebuah patung pahatan, menggambarkan Ibrahim
‘alaihissalam sedang berjudi dengan menggunakan anak panah. Rasulullah amat
murka, sabdanya:
“Semoga
mereka dihancurkan Allah! Tak pernah nenek moyang kita melakukan perjudian
demikian . . .. Dan Ibrahim itu bukanlah seorang yahudi, bukan pula seorang
nasrani, tetapi seorang yang beragama suci dan seorang Muslim, dan sekali-kali
bukan dari golongan musyrik “.
Rasulullah
menyuruh Bilal naik ke bagian atas masjid untuk mengumandangkan adzan. Maka
Bilal pun adzanlah . . ‘ dan amboi . . . , alangkah mengharukan saat itu,
tempat itu dan suasana kala itu … ! Gerakan kehidupan di Mekah terhenti, dan
dengan jiwa yang satu, ribuan Kaum Muslimin dengan hati khusyu’ dan secara
berbisik mengulangi kalimat demi kalimat yang diucapkan Bilal.
Orang-orang
musyrik di rumahnya masing-masing hampir tak percaya dan bertanya-tanya dalam
hatinya:
—
Inikah dia Muhammad dengan orang-orang miskinnya yang kemarin terusir
meninggalkan kampung halamannya … ?
—
Betulkah dia, yang mereka usir, mereka perangi, dan mereka bunuh keluarga yang
paling dicintainya serta kerabat yang paling dekat kepadanya … ?
—
Dan betulkah dia, yang beberapa saat yang lalu, nyawa mereka berada di
tangannya, memaklumkan kepada mereka: “Pergilah kalian . . . , kalian semua
bebas … !”
Tiga
orang bangsawan Quraisy sedang duduk-duduk di pekarangan Ka’bah. Mereka tampak
terpukul menyaksikan panorama itu, yaitu ketika Bilal menginjak-injak
berhala-berhala mereka dengan kedua telapak kakinya, kemudian di atas reruntuhannya
yang telah hancur luluh, menyenandungkan suara adzannya yang berkumandang di
seluruh pelosok Mekah yang tak ubahnya bagai tiupan angin di musim bunga ….
Ketiga
orang itu ialah: Abu Sufyan bin Harb — yang telah masuk Islam beberapa saat
yang lalu — dan ‘Attab bin Useid serta Harits bin Hisyam — kedua mereka belum
lagi masuk Islam —. Sementara matanya tertuju kepada Bilal yang sedang
menyuarakan adzan, ‘Attab berkata: “Sungguh Useid dimuliakan Allah, ia tidak
mendengar sesuatu yang amat dibencinya!” Berkata pula Harits: “Demi Allah,
seandainya saya tahu bahwa Muhammad saw. itu di pihak yang benar, pastilah saya
paling dahulu akan mengikutinya . . .! Sedang Abu Sufyan yang diplomat itu
menukas pembicaraan kedua shahabatnya dengan katanya: “Saya tak hendak
mengatakan sesuatu, karena seandainya saya berkata pastilah akan disebarkan
oleh kerikil kerikil ini!”
Ketika
Nabi saw. meninggalkan Ka’bah tampaklah mereka olehnya, lalu dalam sekejap
waktu dibacanya wajah-wajah mereka. Kemudian dengan kedua matanya yang bersinar
dengan Nur Hahi, sabdanya kepada mereka: “Saya tahu apa yang telah kalian
katakan tadi . . …. Lalu diceriterakannyalah apa yang mereka katakan itu. Maka
Harits dan ‘Attab pun berseru: “Kami menyaksikan bahwa anda adalah
Rasulullah. Demi Allah tak seorang pun mendengarkan pembicaraan kami, hingga
kami dapat menuduh bahwa ia telah menyampaikannya kepada anda … !”
Sekarang
mereka menghadapi Bilal dengan pandangan baru
.
Dalam lubuk hati mereka bergema kembali kalimat-kalimat yang mereka dengar
dalam pidato Rasulullah sewaktu mula-mula masuk Mekah.
Hai
golongan Quraisy . . Allah telah melenyapkan daripada kalian kesombongan
jahiliyah dan kebanggaan dengan nenek moyang… , Manusia itu dari Adam …. sedang
Adam dari tanah … !
Bilal
melanjutkan hidupnya kini bersama Rasulullah saw. dan ikut mengambil bagian
dalam semua perjuangan bersenjata yang dialaminya. la tetap menjadi muaddzin,
menjaga serta menyemarakkan syi’ar Agama besar ini, yang telah membebaskan
dari kegelapan kepada cahaya, dari perbudakan kepada kemerdekaan … !
Kedudukan
Agama Islam semakin tinggi, demikian pula halnya Kaum Muslimin, taraf dan derajat
mereka ikut naik; dan Bilal semakin lama semakin dekat di hati Rasulullah saw.
yang menyatakannya sebagai “seorang laki-laki penduduk surga”.
Tetapi
sikapnya tidak berubah, tetap seperti biasa; mulia dan besar hati, yang selalu
memandang dirinya tidak lebih dari “seorang Habsyi yang kemarin menjadi budak
belian”.
Pada
suatu hari ia pergi meminang dua orang wanita untuk diperisterikannya dan
diperisterikan saudaranya, maka katanya kepada bapa wanita itu: “Saya ini
Bilal, dan ini saudaraku, kami berasal dari budak bangsa Habsyi. . . . Pada
mulanya kami berada dalam kesesatan kemudian diberi petunjuk oleh
Allah, dahulu kami budak-budak belian lalu dimerdekakan oleh Allah
.
. . . Jika pinangan kami anda terima alhamdulillah — segala puji bagi Allah,
dan seandainya anda tolak, maka Allahu Akbar, Allah Maha Besar … !
Rasulullah
saw. pergi meninggalkan alam fana dan .naik ke rafiqul a’la dalam
keadaan ridla dan diridlai, dan penanggung jawab Kaum Muslimin sepeninggal
beliau dibebankan di atas pundak khalifahnya Abu Bakar as-Shiddiq
Bilal
pergi mendapatkan khalifah Rasulullah, menyampaikan isi hatinya.
Wahai
Khalifah Rasulullah, saya mendengar Rasulullah bersabda:
Aural
orang Mu’min yang utama adalah berjihad fi sabilillah.
“Jadi
apa maksudmu, hai Bilal?” tanya Abu Bakar. “Saya ingin berjuang di jalan Allah
sampai saya meninggal dunia”, ujar Bilal. “Siapa lagi yang akan menjadi
muaddzin bagi kami?”, tanya Abu Bakar pula. Dengan air mata berlinang Bilal menjawab:
“Saya takkan menjadi muaddzin lagi bagi orang lain setelah Rasulullah”. “Tidak”
kata Abu Bakar, “tetaplah tinggal di sini hai Bilal, dan menjadi muaddzin
kami!” Jawab Bilal pula: “seandainya anda memerdekakan saya dulu adalah untuk
kepentingan anda, baiklah saya terima permintaan anda itu. Tetapi bila anda
memerdekakan saya karena Allah, biarkanlah diri saya untuk Allah sesuai dengan
maksud baik anda itu!” “Tak lain saya memerdekakanmu itu, hai Bilal,
semata-mata karena Allah!”
Kemudian
mengenai kelanjutannya terjadi perbedaan pendapat di antara para ahli
riwayat. Sebagian meriwayatkan bahwa ia pergi ke Syria dan menetap di sana
sebagai pejuang dan mujahid. Sementara menurut lainnya, ia menerima permintaan
Abu Bakar untuk tinggal bersamanya di Madinah. Kemudian setelah Abu Bakar wafat
dan Umar diangkat sebagai khalifah, barulah Bilal minta idzin dan mohon diri
kepadanya, lalu berangkat ke Syria.
Bagaimanapun
juga, Bilal telah menadzarkan sisa hidup dan usianya untuk berjuang
menjaga benteng-benteng Islam di perbatasan, dan membulatkan tekadnya untuk
dapat menjumpai Allah dan Rasul-Nya, sewaktu ia sedang melakukan aural yang
paling disukai oleh keduanya . . . . Dan suaranya yang syandu, dalam dan penuh
wibawa itu, tidak lagi mengumandangkan adzan seperti biasa. Sebabnya ialah
karena demi ia membaca “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah “, maka
kenangan lamanya bangkit kembali, dan suaranya tertelan oleh kesedihan,
digantikan oleh cucuran tangis dan air mata ….
Adzannya
yang terakhir, ialah ketika Umar sebagai Amirul Mu’minin datang ke Syria.
Orang-orang menggunakan kesempatan tersebut dengan memohon kepada khalifah
untuk meminta Bilal menjadi muaddzin bagi satu shalat saja. Amirul Mu’minin
memanggil Bilal; ketika waktu shalat telah tiba, maka dimintanya ia menjadi
muaddzin.
Bilal
pun, naik ke menara dan adzanlah . . . . Shahabat shahabat yang
pernah mendapati Rasulullah di waktu Bilal menjadi muaddzinnya sama-sama
menangis mencucurkan air mata, yang tak pernah mereka lakukan selama ini ….
sedang yang paling keras tangisnya di antara mereka ialah Umar …
Bilal
berpulang ke rahmatullah di Syria sebagai pejuang di jalan Allah seperti
diinginkannya. Dan di bawah bumi Damsyiq, sekarang terpendam kerangka dan
tulang-belulang suatu pribadi yang besar di antara pribadi-pribadi manusia,
yang amat teguh dan tangguh pendiriannya dalam mempertahankan ‘aqidah dan
keimanan ….
Semoga
Rahmat dan Karunia Allah melimpah rush kepada Bilal dan kepada kita semua
Emoticon