Pendekar Mabuk 7 - Utusan Siluman Tujuh Nyawa(Bagian 2)


CERITA SILAT INDONESIA ONLINE
SERIAL PENDEKAR MABUK
EPISODE
UTUSAN SILUMAN TUJUH NYAWA(BAGIAN 2)





 6
SEPERGINYA Dadung Amuk, Pendekar Mabuk tak
dapat menahan tawa. Ia lepaskan tawa itu sambil
sesekali menenggak tuaknya. Dengan modal cerita dari
Nyai Betari Ayu, ternyata ia bisa mengusir Dadung
Amuk  pergi meninggalkan tanah Jawa. Pikir punya
pikir, Dadung Amuk itu sebenarnya sama bodohnya
dengan Singo Bodong.
"Singo Bodong...?!" gumam Suto sendirian. "O, ya...
aku hampir lupa dengan Singo Bodong! Seharusnya tadi
kudesak Dadung Amuk agar mengaku sebagai Singo
Bodong! Paling tidak dia bisa jelaskan apa alasannya
memakai Dadung Amuk dan memihak Siluman Tujuh
Nyawa! Sayang sekali aku lupa, orang itu pasti sudah
pergi jauh ketika kuancam dengan pukulan 'Candra
Badar'...!"
Suto juga ingat tentang Dewa Racun. Maka, segera ia
kembali ke pohon besar yang menyerupai payung
raksasa itu. Ternyata di sana ia sudah ditunggu
kedatangannya oleh dua orang, yaitu Dewa Racun dan
satu lagi... Singo Bodong. Mata Suto sedikit menyipit
heran memperhatikan Singo Bodong berbaju hitam tanpa
dikancingkan.
Sebelum Pendekar Mabuk bicara, Dewa Racun sudah
mendahului menyapanya,
"Ddda... dari... dari mana saja kamu? Sejak tadi aku
menunggu di sini bersama si orang besar ini, tapi baru
sekarang kau muncul!"
Suto masih memandang heran pada wajah Singo
Bodong yang tampak tersenyum ceria. Tak ada rasa
takut dan tegang sedikit pun. Dalam hatinya Suto
berucap kata,
"Secepat itukah Dadung Amuk ganti pakaian?
Secepat itukah dia lepaskan baju dan menyimpannya
dengan rapi bersama tambangnya?"
Dewa Racun ajukan tanya, "Suto... aad... ada apa tadi
 sebenarnya dddi... di sini?! Ak... aku melihat ada bek...
bekas pertempuran. Lihat, pohon itu membekas hit...
hitam... hitam sekali! Memm... memm... membentuk
bayangan manusia! Tadi waktu kutinggalkan, pohon itu
tidak membekas bayangan apa-apa! Ddda... daun-daun
juga rontok. Pa... pas... pasti ada pertarungan di sini!"
Suto tidak menjawab pertanyaan Dewa Racun, ia
bahkan bergegas menghampiri Singo Bodong yang
tampak kegirangan mau diajak pergi itu. Singo Bodong
sendiri ajukan tanya,
"Aku sudah diizinkan pergi oleh Ibu. Kita mau
berangkat kapan? Sekarang?"
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Pendekar
Mabuk. Tapi tangan Pendekar Mabuk segera tarik
lengan Singo Bodong mendekati pohon, lalu berkata,
"Coba kau peluk pohon itu pas di tempat yang
hangus!"
"Apa-apaan ini, Suto?"
"Lakukan saja kalau kau ingin ikut pergi denganku!"
"Baik. Baik! Kau tak perlu bentak aku!"
Singo Bodong memeluk pohon tepat di bagian yang
hangus oleh benturan tubuh Dadung Amuk tadi. Dan
ternyata ukuran tubuh pas dengan bentuk bayangan
manusia yang hangus di pohon itu.
"Cocok! Tak salah lagi!" gumam Pendekar Mabuk
membuat Dewa Racun dan Singo Bodong menatapnya
penuh keheranan.
"Ap... appp... apa maksudmu, Suto?!" tanya Dewa
Racun.
 
"Aku  habis bertarung dengan dia!" sambil Pendekar
Mabuk menuding Singo Bodong. Yang dituding makin
kerutkan dahi.
"Kau habis bertarung denganku? Oh mana mungkin!"
kata Singo Bodong menyanggah. "Aku tidak merasa
bertarung denganmu!"
"Jangan pura-pura!  Ukuran tubuhmu cocok dengan
ukuran bayangan hangus di pohon itu! Kau tadi yang
menabrak pohon itu dengan kekuatan tenaga dalammu!"
Dewa Racun membantah, "Ttid... tidak mungkin. Aku
ada di rumahnya, menunggui dia mandi dan menimba air
sumur! Aku disuguhkan singkong rebus dan diajak
bercerita banyak oleh adik perempuannya!"
"Saat kau ngobrol dengan adik perempuannya itulah
dia lolos dan menemuiku di sini, berlagak tidak
mengenaliku!"
"Tiiid... tidak... tidak mungkin! Aku bicara dengan
adik perempuannya di dekat sumur. Aku lihat dia men...
men... menimba air!"
"Tapi dia tadi kemari sebagai Dadung Amuk dan
mengadu ilmu denganku. Lalu lari ke sana dan aku
mengejarnya! Akhirnya dia kusuruh pulang kepada
ketuanya, dan dia menurut. Dia pergi menghilang dari
pandanganku, lalu aku kemari, dan dia sudah ada di
sini!"

"Tidddak... tidak mungkin! Dia selalu bersamaku!"
debat Dewa Racun. Sekarang ganti Dewa Racun yang
membela Singo Bodong. Sedang yang dibela hanya
 bengong-bengong tak mengerti maksudnya. Singo
Bodong tampak bingung memikirkan perdebatan itu.
Dewa Racun segera mengajak Pendekar Mabuk
menjauhi Singo Bodong dan berbicara secara kasak-
kusuk,
"Apakah kau bertemu Dadung Amuk?"
"Ya!"
"Diiid... dia... dia tidak kau desak untuk mengaku
sebagai Singo Bodong?"
"Dia tidak mau mengaku."
"Apakah tidak ada kemungkinan, bahwa dddia... dia
memang Dadung Amuk dan buk.. buk... bukan Singo
Bodong?"
"Mengapa kau bertanya begitu?"
"Seb... seb... sebab aku berani bersumpah, dia sejak
tadi bersamaku. Tidak ke mana-mana."
"Jangan-jangan dia punya ilmu sejenis 'Seberang
Raga'? Dirinya yang asli sebagai Daduk Amuk, orang
lain atau makhluk lain dijadikan Singo Bodong?"
"Se... se... seperti yang kau miliki itu?"
"Ya!"
Dewa Racun diam tanda tak bisa menjawab dengan
pasti. Menurutnya dugaan Pendekar Mabuk memang
bisa saja terjadi. Tapi ilmu sejenis itu jarang dimiliki
oleh tokoh persilatan. Hanya orang-orang tertentu yang
memiliki ilmu sejenis 'Seberang Raga'. Apakah Singo
Bodong termasuk orang dalam jenis tertentu, entahlah!
Yang jelas, Dewa Racun  kembali mengikuti langkah
Suto mendekati Singo Bodong.

 "Singo Bodong," kata Pendekar Mabuk. "Kau tahu
aku punya ilmu 'Candra Badar' juga! Sekarang juga akan
kupukulkan ke tubuhmu ilmu 'Candra Badar' itu!"
"Maksudnya sekarang juga kau akan turunkan ilmu
'Candra Badar' kepada diriku? O, boleh, boleh...!" Singo
Bodong tampak kegirangan.
Dewa Racun merasa heran sekali dengan sikap Suto.
Bahkan ketika Suto menggerakkan tangannya merentang
ke depan dan ke belakang dengan kaki kanan lurus ke
belakang dan kaki kiri merendah, kepala dan badan ikut
merendah, Dewa Racun cepat lompatkan diri dan hadang
pukulan itu di depan Singo Bodong.
"Tahan!" serunya. "Aaap... apa... apa maksudmu,
Suto?!"
Pendekar Mabuk kendurkan ketegangannya, lalu
hempaskan napas, ia memandang Dewa Racun dengan
dongkol. Lalu, cepat ia tarik tangan Dewa Racun dan
bisikkan kata di tempat jauh dari Singo Bodong.
"Aku hanya ingin mengujinya! Bodoh! Seharusnya
kau biarkan aku berpura-pura mau lancarkan pukulan
'Candra Badar'. Sebab tadi Dadung Amuk ketakutan
waktu kuancam dengan pukulan itu!"
"Ta... tap... tapi apakah kau benar-benar punya
pukulan itu?"
"Tidak, Bodoh! Itu hanya pura-pura untuk
memancing dia!"
"Kulihat dddi... dia... dia tidak takut, malah salah
duga dan kegirangan. Disangkanya kau mau masukkan
ilmu 'Candra Badar' sebagai kekuatan diiir... dirinya!"

"Uuuf...! Pusing sekali aku memikirkan keanehan
ini!"
"Sebentar lagi hari menn... menjadi sore. Sebaiknya
kiit... kita mendekati pantai. Kiit... kita tidur di sana,
baru esok paginya berangkat ke Pulau Serindu!"
"Bagaimana dengan anak gajah itu? Tetap diajak?"
Suto menuding Singo Bodong.
"Kkkkau... kau sendiri tadi yang usulkan begitu,
sekarang kau sendiri yang... yang jadi ragu. Apa maumu
sebenarnya, Suto?!"
"Baiklah. Aku yang usulkan, aku pula  yang harus
tanggung jawab! Kita berangkat sekarang!"
Singo Bodong tampak kegirangan ketika mengikuti
langkah Suto dan Dewa Racun. Mereka menyusuri
pantai, untuk mencapai tempat disembunyikannya
perahu Dewa Racun. Mereka tidak menggunakan
langkah cepat seperti kilat, mereka menggunakan
langkah biasa, hanya sedikit cepat. Itu saja sudah
membuat Singo Bodong ketinggalan beberapa tombak
jaraknya.
"Dadung Amuk tadi mengaku utusan dari Siluman
Tujuh Nyawa. Tugasnya mencari aku dan
membunuhnya. Tapi dia tidak tahu bahwa dia sudah
berhadapan dengan Suto. Dan aku tadi mengaku sebagai
guru Siluman Tujuh Nyawa yang punya nama asli
Durmala Sanca."
"Hei, kkau... kau tahu nama asli Siluman Tujuh
Nyawa? Dari... dari mana kau tahu nama itu?"
"O, ya! Rupanya aku belum cerita padamu. Betari

Ayu, orang yang pernah kuceritakan padamu tempo hari
itu...."
"Hmmm... ya, ya... aakkk... aku... aku ingat. Orang itu
yang menaruh kasih sayang padamu! Lantas, ada apa
dengan dia?"
"Dddi... ddia... dia adalah...."
"Uts! Jangan ikut-ikutan latah!"
"O, ya. Maaf. Dia adalah kakak dari Dyah
Sariningrum!"
"Hahh...?!" Dewa Racun hentikan langkahnya, kaget
dan terperangah dongakkan kepala, memandang Suto.
"Kenapa kau terkejut? Aku tidak mendustaimu!
Betari Ayu itulah yang diceritakan tentang 'Candra
Badar' di dalam tubuh Dyah Sariningrum dan membuat
nyai gustimu itu tidak bisa keluar ke mana-mana. Karena
takut terbakar oleh sinar matahari, rembulan, bintang
bahkan cahaya sinar kunang-kunang...."
"Jjja... jaaadi... jadi Betari Ayu itu adalah Nyai Guru
Dyah Kumalawindu...?!"
"Siapa itu Dyah Kumalawindu?!"
"Kakak da... dari... Nyai Gusti Dyah Sariningrum!"
"Setahuku dia bernama Betari Ayu!"
"Itu nama julukannya! Kkka... kalau benar di... dia...
kakak dari Nyai Gusti, berarti dia menyimpan Kitab
Pusaka Wedar Kesuma!"
"O, ya! Soal kitab pusaka itu aku pernah dengar.
Memang ada di tangannya! Tapi aku tidak tahu kalau dia
punya nama sebenarnya adalah Dyah Kumalawindu."
"Jabang bayi!" gumam Dewa Racun, ia tetap diam di


tempat sampai Singo Bodong mendekat. Dewa Racun
masih termenung, makin lama semakin tampak gelisah.
Singo Bodong berkata, "Langkah kalian boleh cepat
dariku. Tapi napas kalian masih kalah dengan napasku.
Ayo, jalan lagi! Tak perlu pakai istirahat segala! Bikin
lama perjalanan saja!"
Singo Bodong meneruskan langkahnya, menunjukkan
bahwa dia belum merasa lelah. Dia tak tahu Suto dan
Dewa Racun berhenti bukan karena istirahat, tapi ada
sesuatu yang perlu dipikirkan. Dan langkah Singo
Bodong itu dibiarkan oleh mereka berdua, sehingga
Singo Bodong ngeloyor sendiri bagai tak mempedulikan
mereka lagi.
"Ada apa, Dewa Racun? Kelihatannya kau gelisah
sekali setelah kita bicara tentang Betari Ayu itu?"
"Nyai Guru Dyah Kumalawindu, adalah orang yang
paling   dihormati oleh nyai gustiku. Sebab, kitab Pusaka
Wedar Kesuma ada di tangan Nyai Guru Dyah
Kumalawindu."
"Apa arti kitab itu bagi Gusti Mahkota Sejati?"
"Oh, kau tahu... tahu... nama kkke... kehormatan nyai
gustiku juga rupanya?"
"Betari Ayu yang menceritakannya. Jadi, apa artinya
kitab itu bagi nyai gustimu itu?"
"Semua ilmu yang dimiliki nyai gustiku ada di dalam
Kitab Wedar Kesuma. Jaa... jadi... setinggi apa pun ilmu
Nyai Gusti, dapat... diketahui dan diungguli oleh Nyai
Guru Betari Ayu itu. Sedangkan ilmu yang dimiliki Nyai
Betari Ayu, tidak banyak diketahui oleh Nyai Guss...


Gusti!"
"Terus, apa hubungannya?"
"Begg... beg... begini, Suto," Dewa Racun melompat
di salah satu batu supaya tingginya mendekati tinggi
tubuh Suto. Lalu ia bicara sungguh-sungguh,
"Seeb... sebenarnya, aaad... ada dua syarat yang ingin
diajukan oleh Nyai Gusti Dyah Sariningrum kepadamu.
Satu syarat aku sudah tahu, yaitu kkkau... kau harus bisa
memegang Kitab Pusaka Wedar Kesuma itu! Kkkau...
kau harus bisa memilikinya, sebab dengan begitu, semua
kekuatan Nyai Gusti dipasrahkan kepadamu. Itulah
tanda cinta Nyai kepadamu. Syarat yang kedua, aku
bell... beeel... belum tahu!"
"Jadi, aku harus merebut kitab pusaka dari tangan
kakaknya?"
"Ssse... seolah-olah begitu. Kkau... kau harus
mengalahkan kakaknya lebih dulu dan mengambil alih
kitab pusaka itu. Jika kau bisa memiliki dan
mengalahkan Nyai Betari Ayu, berarti hidup Nyai Gusti
ada di tanganmu. Letak kehormatan Nyai Gusti ada pada
dirimu, Suto. Mmmmee... memang sekarang nyai
guruku hanya ingin bertemu denganmu. Tapi dalam
pertemuan nanti, dia akan bicarakan tentang dua syarat
yang... bisa dianggap sebagai mas kawin yang
dimintanya."
"Hmmm... begitu maunya?!"
"Jad... jadi... jadi saranku, sebaiknya kau datang ke
sana dengan sudah mmmemm... memm... membawa
Kitab Wedar Kesuma itu, agar jangan jatuh di tangan

orang lain."
"Apakah menurutmu ada orang lain yang mengincar
kitab itu?"
"Seee... see... seingatku, satu purnama yang lalu, Nyai
Gusti Mahkota Sejati, kedatangan tamu yang paling
memuakkan baginya, yaitu Siluman Tujuh Nyawa.
Kedatangannya masih tetap sama, ingin melamar Nyai
Gusti. Jikk... jik... jika Nyai Gusti menerima
lamarannya, pukulan 'Candra Badar' akan dilepaskan
dari tubuh Nyai Gusti. Tap... tapi... Nyai Gusti
mengatakan bahwa beliau tidak punya pilihan lain
terhadap lelaki yang ingin dijadikan suaminya kecuali...
kecuali kamu: Suto Sinting. Ta... tapi... Siluman Tujuh
Nyawa tetap mendesak, dddan... dan mengancam akan
menghancurkan negeri Puri Gerbang Surgawi, juga akan
menenggelamkan Pul... Pul... Pulau Serindu. Hal itu
membuat  Nyai Gusti cemas, mengkhawatirkan nasib
orang-orangnya. Lalu, Nyai Gusti mempunyai cara
untuk mempersulit niat Siluman Tujuh Nyawa itu.
Beliau mau menerima lamaran Siluman Tujuh Nyawa
kkkaa... kaaalau... kalau  Siluman Tujuh Nyawa bisa
mendapatkan kiiit... kiit.... Kitab Wedar Kesuma.
Tentang di mana kitab itu berada, Nyai Guru tidak
memm... memm... memberitahukannya."
"Hmmm...," Suto manggut-manggut. "Jadi, tentunya
sekarang ini Siluman Tujuh Nyawa sedang kebingungan
mencari Kitab Wedar Kesuma?"
"Aaak.. aku... rasa begitu, Pendekar Mabuk!"
"Dan pantas Siluman Tujuh Nyawa mengutus

Dadung Amuk untuk mencari Pendekar Mabuk dan
membunuhnya. Rupanya Siluman Tujuh Nyawa
cemburu kepadaku, Dewa Racun!"
"Seep... sepertinya begitu!"
"Kitab Wedar Kesuma...?!" gumam Pendekar Mabuk
sambil merenung lama, sampai akhirnya Dewa Racun
berkata,
"Keistimewaan kitab itu lagi, ssse... setiap ilmu yang
ditemukan oleh Nyai Gustiku atau Nyai Betari Ayu,
sudah langsung tertulis dengan sendirinya di dalam kitab
itu!"
"Hebat sekali kitab itu?!" Suto kerutkan dahi.
"Kkaaalau... kalau tidak hebat, tidak akan menjadi
mas kawin buat Nyai Gusti Dyah Sariningrum. Paaal...
paling tidak, orang yang akan meminang Nyai Guru
Mahkota Sejati, harus mengalahkan kakaknya terlebih
dulu dan merebut kitab pusaka itu."
Suto manggut-manggut dalam renungannya, lalu
hatinya membatin,
"Tapi kenapa dulu kitab itu akan diserahkan kepada
Selendang Kubur atau Dewi Murka? Hmmm... mungkin
waktu itu Nyai Betari Ayu menganggap salah satu dari
muridnya layak menjadi penerusnya dan berhak
mempelajari isi Kitab Wedar Kesuma. Tapi, bisa saja
sebenarnya kitab itu diserahkan kembali kepada adiknya,
dan Nyai Betari Ayu mengasingkan diri dari dunia
persilatan. Barangkali sudah ada kesepakatan antara
kakak-beradik itu untuk menjadikan kitab tersebut
sebagai mas kawin buat sang adik? Jadi, mungkin Betari


Ayu tidak ingin adiknya mempunyai sembarang suami
yang ilmunya di bawah ilmu sang kakak. Dengan kata
lain, siapa ingin menjadi suami Dyah Sariningrum harus
diuji dulu tingkat ketinggian ilmunya. Hmmm... apakah
itu berarti aku harus bertarung dulu dengan Nyai Betari
Ayu?"
Mereka teruskan melangkah sambil
mempertimbangkan arah. Singo Bodong bahkan sudah
tidak kelihatan, jalannya tanpa berhenti sehingga bikin
cemas Dewa Racun sendiri.  Karena itu, Suto
memerintahkan Dewa Racun untuk mendahului
langkahnya menyusul Singo Bodong agar tidak tersesat
arah.
Dalam kesendirian langkahnya itulah Suto
mempertimbangkan sikap yang harus diambil. Untuk
mengalahkan Betari Ayu adalah hal yang mudah. Tapi
Suto tidak akan tega melawan Betari Ayu. Jangankan
melukai kulitnya, melukai hatinya pun tak sampai hati.
Haruskah kasih sayang yang terpendam itu dihancurkan
oleh pertarungan untuk memperebutkan Kitab Pusaka
Wedar Kesuma?
Langkah Suto kembali terhenti. Kali ini terhenti
secara mendadak. Karena di depannya tiba-tiba muncul
Singo Bodong berbaju komprang warna merah
membawa tambang di pundaknya.
"Oh, kau belum pergi dari pulau ini, Dadung Amuk?"
"Hmmm... belum, Eyang Guru," Dadung Amuk
menghormat karena menyangka Pendekar Mabuk
gurunya Siluman Tujuh Nyawa.

"Kenapa kau belum pergi? Dan kenapa kau hadang
langkahku?"
"Eyang Guru, saya mohon izin untuk tinggal
beberapa saat di pulau ini."
"Apa perlumu?" Suto menampakkan kesan
wibawanya.
"Ada satu tugas dari sang ketua yang lupa saya
bicarakan tadi."
"Tugas apa?"
"Mencari Kitab Wedar Kesuma untuk mas kawin
Gusti Mahkota Sejati!"
"Kitab itu tidak ada di sini!"
"O, begitukah, Eyang Guru?! Apakah tidak sebaiknya
saya diizinkan untuk mencarinya lebih dulu?"
"Dekatlah kemari!" Pendekar Mabuk memanggil
dengan dada membusung dan jari tangan menyuruh
Dadung Amuk mendekat. Lalu, orang tinggi besar itu
membungkuk dan mendekatkan telinganya, Suto pun
berbisik,
"Kitab Wedar Kesuma..., tapi jangan bilang siapa-
siapa, mengerti?"
"Baik. Baik, Eyang Guru.... Saya mengerti!"
"Kalau mau dapatkan Kitab Wedar kesuma, pergilah
ke Pulau Hantu! Rebutlah dari tangan seorang nenek
peot yang berjuluk si Mawar Hitam! Jelas?"
"Jelas, jelas! Jelas sekali, Eyang Guru!"
"Tapi hati-hati melawan  dia! Jangan mudah ditipu
dan jangan cepat mempercayai kata-katanya. Ingat,
Mawar Hitam hanya akan berikan Kitab Wedar Kesuma
 pada saat menjelang ajal!"
"O, ya! Saya mengerti. Jadi, saya harus bikin dia
sekarat dulu!"
"Terserah caramu! Pergilah sana, Eyang merestui!"
"Terima kasih, Eyang Guru!' dan orang bodoh itu pun
pergi setelah memberi hormat pada Pendekar Mabuk
yang dianggap eyang gurunya.
*
*  *


7
SEPENINGGALAN Dadung Amuk, Pendekar
Mabuk kembali renungkan diri. Ia membatin dalam
hatinya,
"Lagi-lagi dia muncul pada saat Singo Bodong tidak
ada di tempat! Mungkinkah Singo Bodong dapat
berubah secepat itu? Tapi dari mana dia sembunyikan
tambang yang selalu digulung menggantung di
pundaknya! itu? Setahuku sejak dari desa dia berangkat
tanpa membawa tambang. Bajunya tetap hitam, bukan
merah. Dan lagi-lagi aku lupa mendesaknya untuk
mengaku siapa dirinya sebenarnya! Apakah kali ini
Dewa Racun tetap ada bersama Singo Bodong? Ataukah
dia sedang kelimpungan mencari Singo Bodong?"
Dari arah kejauhan, tampak dua  sosok manusia
berlarian menuju ke arah Pendekar Mabuk. Cepat-cepat
Suto menyongsong mereka, karena mereka adalah Dewa
Racun dan Singo Bodong.

 "Hamm... ham... hampir saja dia jatuh dari tebing
kalau tidak segera kutolong!" kata Dewa Racun sambil
menuding Singo Bodong yang terbengong-bengong.
"Kenapa dia berada di tebing?"
Singo Bodong menyahut, "Jalannya buntu. Harus
memanjat tebing untuk mencapai pantai berikutnya!
Jadi, aku naik ke tebing."
"Man... man... manusia ini bodoh sekali! Dia pilih
teb... teb... tebing yang licin untuk dipanjatnya. Padahal
ada tebing yang kering dan bisa untuk lee... leee...
lewat!"
Suto menarik tangan Dewa Racun, menjauh sedikit
dan berbisik,
"Dalam beberapa saat tadi kau benar-benar
bersamanya?"
"Bbe... be... benar! Ada apa?"
"Dadung Amuk baru saja menemuiku."
Terkesiap mata Dewa Racun menatap Pendekar
Mabuk. Suto melanjutkan bisikannya sambil sedikit
melirik Singo Bodong,
"Dia juga diperintahkan untuk mencari Kitab Wedar
Kesuma!"
"Oh...? App... apa... apakah dia sudah tahu di mana
letaknya?"
"Belum. Kutunjukkan arah yang salah. Kusuruh dia
mencarinya pada Mawar Hitam di Pulau Hantu."
"He he he...!" Dewa Racun terkekeh geli. "Pin...
pintar juga kau rupanya. Kkaau... kau umpankan Dadung
Amuk kepada Mawar Hitam. Pas... pasti habislah


Dadung Amuk dihajar si Mawar Hitam itu!
"Ya, tapi itu kalau Dadung Amuk bukan Singo
Bodong goblok itu! Tapi kalau Dadung Amuk adalah
Singo Bodong, maka ia selamat dari ancaman Mawar
Hitam!"
"Kkku... kurasa mereka memang berbeda. Dia sejak
tadi bersamaku dan setiap gerakannya kkku...
kuperhatikan!"
"Baiklah. Aku percaya padamu! Tapi aku perlu
tanyakan sesuatu kepadanya," lalu Pendekar Mabuk pun
bergegas temui Singo Bodong yang merasa tak suka
mereka kasak-kusuk terus sejak tadi.
"Singo Bodong, kau punya saudara berapa?"
"Satu," jawab Singo Bodong setelah diam sebentar
merasa heran.
"Seorang adik atau seorang kakak?"
"Seorang adik."
"Lelaki atau perempuan?"
"Perempuan. Dewa Racun sudah ngobrol sama
adikku!"
Dewa Racun menyahut, "Ya. Ddiiia... dia punya adik
perempuan yang bernama Narsih. Anaknya sudah empat.
Suaminya nelayan."
"Sebaiknya biarkan dulu aku bicara pada dia! Kau tak
perlu ikut campur. Mengerti?"
"Baaa... baik!" Dewa Racun agak takut sedikit
melihat Pendekar Mabuk tanpa senyum.
"Singo Bodong, jujur saja katakan padaku, apakah
kau tidak mempunyai saudara kembar?"

 "Saudara kembar...?! Kurasa aku lahir tunggal dari
perut ibuku."
"Kau yakin tidak punya saudara lagi?"
"Tidak punya!" jawab Singo Bodong. "Ibuku hanya
melahirkan dua kali. Pertama aku, kedua Narsih. Jangan
kau suruh ibuku melahirkan lagi. Dia sudah cukup tua!"
Pendekar Mabuk bergegas ke tepian hutan tak jauh
dari pantai, hanya berjarak sepuluh langkah lewat
sedikit. Dewa Racun dan Singo Bodong mengikutinya.
Suto memberi isyarat supaya orang tinggi besar itu
duduk di dekatnya. Singo Bodong menurut bagaikan
patuh pada segala perintah Suto. Ia duduk di bongkahan
batu yang ada di depan Pendekar Mabuk. Dewa Racun
mendampinginya, dan melompat ke atas sebatang pohon
berdahan lengkung ke bawah, hampir menyentuh tanah.
Di dahan itu Dewa Racun duduk mendengarkan
percakapan Suto dengan Singo Bodong.
Agaknya Pendekar Mabuk kali ini bersungguh-
sungguh ingin mengorek keterangan dari Singo Bodong.
Sore yang kian menua dibiarkan meredup menabur
petang. Sebentar lagi bumi akan gelap, tapi Pendekar
Mabuk tak pernah peduli dengan kegelapan bumi.
"Singo Bodong, ingat-ingatlah siapa dirimu
sebenarnya! Benar-benarkah namamu Singo Bodong?"
"Dari dulu aku memang dipanggil Singo Bodong!"
jawab orang berkumis yang tampangnya angker tapi
bodoh itu.
"Siapa nama aslimu?"
"Sugali!"
 
"Mengapa kau disebut Singo Bodong?"
"Karena... hmmm... karena sewaktu kecil aku hampir
mati dimakan seekor singa. Tapi segera diselamatkan
oleh orang-orang desa. Sejak itu aku dipanggil Bodong!"
sambil menunjukkan pusarnya yang memang melotot
keluar bagai mata orang sedang marah.
"Baiklah, aku percaya!"
"Sejak kita jumpa di kerumunan orang depan kedai
itu, kau dan Dewa Racun selalu curigai aku terus. Ada
apa sebenarnya?"
"Ada orang mirip kamu dan mengaku bernama
Dadung Amuk!"
"Mirip aku?!" Singo Bodong memegang dadanya
sendiri. "Dia mirip Singo Bodong? Oh, tidak mungkin,
Singo Bodong hanya satu! Singo Bodong tidak mau
disamakan dengan Dadung Amuk!"
"Kau benar-benar tidak mengenal Dadung Amuk?"
"Tidak. Singo Bodong tidak kenal dengan Dadung
Amuk!" Singo Bodong tetap menggeleng. "Kalau ada
orang yang meniru-niru penampilan Singo Bodong,
ooh... Singo Bodong akan marah. Singo Bodong akan
adukan orang itu pada Ibu."
"Orang ini gede-gede bisul!" pikir Dewa  Racun.
"Kelihatannya saja gede, tua, tapi jiwanya masih anak-
anak! Masih suka manja kepada ibunya. Pantaslah kalau
dia tidak laku kawin walau usianya sudah cukup
dewasa."
Suto juga mempunyai pemikiran yang sama dengan
Dewa Racun. Namun Suto tidak menghanyutkan diri

 dalam pemikiran itu, ia segera ajukan pertanyaan yang
membuat Singo Bodong tertegun beberapa saat,
"Apakah ayahmu masih ada?"
Singo Bodong menarik napas panjang-panjang.
Matanya yang lebar berkesan galak itu menjadi redup.
Pendekar Mabuk jadi kerutkan dahi. Sesaat kemudian
terdengarlah jawaban dari mulut Singo Bodong yang
bernada lesu,
"Aku tidak tahu, apakah ayahku masih ada atau
tidak."
"Mengapa begitu?"
"Dulu, semasa masih mudanya ibuku adalah seorang
sinden, ia berkeliling ke mana-mana bersama rombongan
tayub. Dulu, katanya Ibu pesinden tercantik. Banyak
lelaki suka padanya. Sampai satu saat, Ibu lahirkan aku
dari lelaki yang tidak mau menikahi Ibu. Lelaki itu
sekarang entah ada di mana, masih hidup atau sudah
mati, Ibu sendiri tak tahu."
Wajah duka melapisi kulit coklat tua yang berkumis
tebal itu. Suto melihat kesungguhan dari cerita Singo
Bodong. Lalu, Suto bertanya lagi.
"Adikmu yang perempuan itu apakah lahir dari lelaki
yang sama?"
"Tidak. Adikku lahir dari Ibu!"
"Iya. Maksudku, apakah lahir akibat hubungan ibumu
dengan laki-laki yang menjadi bapakmu itu?"
"Kata Ibu, memang iya! Tapi sejak lahirnya Narsih,
ibuku tidak mau lagi berhubungan dengan orang itu."
"Kenapa?"

 "Karena orang itu tidak pernah muncul lagi. Dan Ibu
tidak tahu harus mencarinya ke mana. Lalu, Ibu berhenti
jadi sinden, padahal Ibu punya suara bagus. Sampai
sekarang Ibu masih suka alunkan tembang di tengah
malam. Kalau dia sudah alunkan tembang, waaah...."
"Ya ya ya...! Cukup! Aku sudah bisa bayangkan
kehebatan ibumu," potong Suto yang merasa tak perlu
mendengar pujian seorang anak kepada ibunya.
Dewa Racun melompat dari dahan. Turun mendekati
Pendekar Mabuk dan berbisik,
"Aak... aakk... aku rasa dia bukan hasil dari sejenis
Sa... Sab... Sabrang Raga."
"Ya. Lalu siapa Dadung Amuk itu sebenarnya?
Ayahnya dia?"
"Mungkin saja!"
Suto ajukan tanya lagi kepada Singo Bodong,
"Apakah kau pernah dengar ibumu sebutkan ciri-ciri
lelaki yang menjadi bapakmu itu?"
"Hmmm...!" Singo Bodong kerutkan dahi sejenak,
lalu menjawab, "Menurut cerita Ibu, bapakku orang yang
ganteng, tampan sepertiku kira-kira. Dia sering disebut
Ibu dengan sebutan sang Arjuna!"
Dewa Racun tertawa tertahan dan berbisik kepada
Pendekar Mabuk, "Kaaal... kalau hasil cetakannya
seperti dia, lantas sang Arjuna-nya seperti apa
menurutmu?'
"Rusak," jawab Suto sedikit tersenyum, lalu kembali
bersikap tegas kepada Singo Bodong.
"Kau pemah dengar ibumu menyebutkan nama

 bapakmu?"
"Hmmm... hm... dulu pernah."
"Siapa nama bapakmu itu?"
"Aku lupa. Aku tidak pernah mengingatnya. Tapi Ibu
lebih sering memanggilnya Arjuna!"
Dewa Racun berbisik lagi, "Jangan-jangan ibunya
tidak bisa bedakan antara Arjuna dengan Dasamuka?!"
Ia tertawa terkikik dengan mulut dibungkam sendiri.
Suto hanya tersenyum tipis dan tak mau tanggapi kelakar
itu.
Tapi tiba-tiba Singo Bodong berseru, "Naah...!
Hampir seperti itu namanya! Hampir seperti... siapa
tadi?"
"Dasamuka?" ulang Dewa Racun.
"Iya. Iya...! Hampir seperti Dasamuka nama
bapakku."
"Dasamuka itu tokoh raksasa dalam pewayangan!"
"Iya. Aku tahu, karena  aku sering nonton wayang.
Tapi, nama bapakku hampir sama dengan Dasamuka!"
Pendekar Mabuk menggumam dan berpikir beberapa
saat. "Siapa nama tokoh dunia persilatan yang bernama
mirip Dasamuka?"
"Bbbe... belum tentu orang itu dari tokoh persilatan!"
Kemudian Suto ajukan tanya lagi pada Singo
Bodong, "Apakah ibumu pernah ceritakan kehebatan
orang yang menjadi pujaan hatinya itu?"
"Hhmm... ya. Pernah. Ibu pernah cerita kalau sang
Arjuna itu pandai berkelahi. Kalau berkelahi tidak
pernah kalah!"

 Suto memandang Dewa Racun dan berkata pelan,
"Jelas dia dari tokoh persilatan!"
"Hmmm.... Sssi... siapa? Siapa tokoh persilatan yang
namanya mirip Dasamuka? Aaap... apakah Durmala,
kurasa itu tak mungkin!"
Tiba-tiba Singo Bodong berseru, "Yaaaa...! Itu...!" Ia
menuding Dewa Racun, yang membuat Dewa Racun
sempat kaget dan cepat pasang kuda-kudanya.
"Itu nama bapakku! Durmala...! Tapi... Durmala
siapa, ya?" pikir Singo Bodong. Suto cepat menyahut.
"Durmala Sanca...?"
"Nah, tepat!" Singo Bodong pekikkan suara dengan
semangat. "Betul! Nama bapakku betul itu; Durmala
Sanca!"
Tentu saja hal itu membuat Pendekar Mabuk dan
Dewa Racun sama-sama terperangah bengong. Mereka
saling pandang dengan mata menegang. Cukup lama
Suto dan Dewa Racun saling terkunci mulutnya sejak
mendengar nama ayah dari Singo Bodong adalah
Durmala Sanca. Ini sesuatu yang sulit dipercaya oleh
Suto maupun Dewa Racun, karena Durmala Sanca
adalah nama asli Siluman Tujuh Nyawa.
"Apakah kau percaya dengan kata-katanya?" Suto
mencari tahu perasaan Dewa Racun. Dan si kerdil yang
gagap itu menjawab,
"Ag... ag... agak sangsi. Nama Dasamuka tid... tidak
mirip nama Durmala Sanca. Mungkin dia salah dengar
atau salah ingat. Tak mungkin Dur... Durmala Sanca
punya anak seperti dia!"


Kemudian Pendekar Mabuk segera tanyakan pada
Singo Bodong, "Apakah kau tidak salah dengar tentang
nama itu?"
"Tidak. Kurasa tidak. Malahan Ibu pernah bilang aku
tak boleh menanyakan perihal lelaki yang telah
dianggapnya siluman itu."
Kembali mata Suto beradu pandang dengan mata
Dewa Racun. Kejap berikutnya mereka sama-sama
terbungkam mulut, hanyut dalam kecamuk batinnya
masing-masing.
Ketika petang tiba, Pendekar Mabuk mencarikan
tempat bermalam untuk Singo Bodong. Sebuah pohon
berdahan lebar dan pipih dijadikan tempat bermalam
oleh mereka. Dalam kejap berikutnya Singo Bodong
telah tidur mendengkur mirip babi kelelahan. Sesuatu
yang aneh dirasakan oleh Suto dan Dewa Racun.
Sesuatu yang aneh itu sama-sama dipendamnya dalam
hati. Tapi lama-lama keduanya tak tahan memendam
keanehan itu, lalu Suto yang mengawali bicara,
"Kau rasakan sesuatu yang aneh sedang terjadi?'
"Bbbe... betul. Aku merasakan. Taaap... tapi
menurutmu apa keanehan itu?"
"Suara dengkuran Singo Bodong."
"Ya. Beeet... beeet... betul!" bisik Dewa Racun
sedikit tegang.
"Dengkuran Singo Bodong membuat pohon ini
bergetar."
"Ya. Bbbe... beeet... betul. Aku merasakan getarannya
walau sangat pelan."


"Padahal pohon ini cukup besar, akarnya pun
merambah ke mana-mana dalam bentuk pipih. Pohon ini
cukup kekar. Tapi kenapa bergetar hanya karena suara;
dengkuran Singo Bodong?"
"Jang... jang... jangan-jangan dia memang Siluman
Tujuh Nyawa?! Dia mewarisi darah kesaktian Siluman
Tujuh Nyawa! Dia tid.... tidd... tidak menyadari hal itu.
Meen... menurut cerita Narsih, adiknya, Singo Bodong
jarang tidur di rumah. Ibunya tidak suka jika Singo
Bodong tidur di rumah."
"Alasannya apa?"
"Kalau dia tidur, rumahnya seep... seep... seperti mau
runtuh!"
"Begitukah dia?"
"Kupikir tadinya iit... itu hanya olok-olok Narsih saja.
Tapi... tapi melihat kenyataan ini, apa yang dddi...
dikatakan Narsih itu benar. Singo Bodong kalau tidur
bikin rumah mau roboh, kareeena... karena rumah itu
pasti bergetar oleh suara dengkurannya!"
Suto menarik napas, lalu ia ucapkan kata lirih,
"Semakin membingungkan masalah ini! Jika benar
Singo Bodong anak Durmala Sanca atau Siluman Tujuh
Nyawa, lantas Dadung Amuk itu siapa? Apakah juga
anaknya Durmala Sanca? Tapi Dadung Amuk menyebut
Durmala Sanca dengan kata sang ketua. Dia tidak
menyebutkan sang ayah."
"Jang... jaaang... jangan-jangan, Singo  Bodong
sendiri tidak menyadari bahwa dirinya bisa memecah
diri menjadi satu orang lagi. Sat.. satu... satu orang dari


hasil titisannya itulah yang menjadi Dadung Amuk!
Tap... tapi... tapi dia tidak sadari hal itu, sama halnya dia
tidak sadari kaaal... kalau dengkurannya bisa
menggetarkan batang pohon sebesar dan sekokoh iin...
inn... ini!"
"Kau semakin banyak mengajukan kemungkinan,
semakin bingung aku memikirkannya," kata Suto.
"Kalau Singo Bodong bisa memecah diri menjadi
Dadung Amuk, berarti Singo Bodong orang sakti?"
"Sebagai se... se... seorang Singo, mungkin dia tidak
sakti. Tapi see... sebagai seorang Dadung Amuk, dia
cukup sakti. Paling tidak, berilmu ting... ting... tinggi!"
Suto menenggak tuaknya sesaat. Setelah itu
termenung beberapa lama. Suara dengkur Singo Bodong
hampir mirip lolong serigala. Setiap hembusan napas
menghadirkan suara berubah-ubah. Suara itu membuat
dedaunan bergetar, ranting, dan dahan pohon ikut terasa
gemetar.
"Barangkali dia akan menjadi orang hebat kalau
dibekali ilmu tenaga  dalam," kata Suto kepada Dewa
Racun yang duduk di samping kanannya.
"Apakah kau bermaksud membekali sebagian tenaga
dalammu?"
"Aku sedang pertimbangkan untung-ruginya."
"Un... untungnya dia bisa jaga diri sendiri dan... dan...
dan tidak merepotkan kita kalau addd... ada apa-apa.
Tapi ruginya, kalau dddi... dia... dia berontak kepada
kita, sama saja senjata maak... makan... makan tuan!"
"Tentu saja menyalurkan tenaga dalam harus pakai


takaran, yang sewaktu-waktu kita bisa lumpuhkan
sendiri!"
"Kkkal... kalau  kau punya pikiran bbbeg... beeg...
begitu, ya sudah. Lakukanlah!"
Suto masih diam, kembali meneguk tuaknya beberapa
kali. Ia pikirkan masak-masak tentang rencana
menyalurkan tenaga dalam ke tubuh Singo Bodong. Tapi
rasa penasaran ingin mengetahui siapa dan sejauh mana
kekuatan Singo Bodong, membuat Suto akhirnya
bergegas mendekati tidurnya Singo Bodong.
Tetapi baru saja Pendekar Mabuk ingin memegang
kaki Singo Bodong, tahu-tahu tangannya tersentak ke
belakang, hampir membuatnya terjatuh dari atas pohon.
Wuuuut...!
"Edan...!" sentak Suto dengan suara tertahan.
"Add... ada apa...?!" Dewa Racun kaget dan bergegas
bangkit.
Suto melangkah mundur dalam pijakan dahan yang
sama. Ia mendekati Dewa Racun dan berbisik,
"Tubuhnya tak bisa disentuh."
"Mak... maksudmu...?"
"Ada tenaga dalam yang bekerja dengan sendirinya,
melapisi tubuhnya. Tanganku seperti kesemutan. Linu
rasa tulangku."
"Aaan... aneh sekali! Beeet... betul... betulkah
begitu?"
Dewa Racun penasaran, ia segera mendekati Singo
Bodong, ia bermaksud menendang pelan kaki Singo
Bodong yang masih tetap mendengkur itu. Tetapi, tiba-


tiba kaki Dewa Racun bagai ada yang menyentakkan
kuat-kuat, yaitu suatu tenaga bergelombang
menghempaskan kaki itu.
Wuuut...!
Sreet...! Braas...!
"Aauw...!" Dewa Racun terpekik, ia jatuh karena
tubuh kecilnya terpental. Untung tangannya cepat meraih
salah satu akar yang mirip tambang itu, sehingga ia
bergelayutan sesaat di sana. Suto menertawakan sekejap,
dan membiarkan Dewa Racun naik kembali melalui
ayunan tangannya. Tubuh kecil itu bersalto dan hinggap
di dahan samping Suto.
"Bagaimana? Benar apa yang kukatakan tadi, bahwa
dia punya lapisan tenaga dalam yang membuat dirinya
tak bisa disentuh orang?"
"Beeen... ben... benar! Dan cukup kuat. An... aneh
sekali. Dia orang bodoh, lugu, tapi sebenarnya dia punya
kekuatan yang cukup besar. Jang... jang... jangan-jangan
kekuatan itu adalah kekuatan yang dimiliki Dadung
Amuk?!"
"Dadung Amuk?!" gumam Suto dalam berpikir. "Ya.
Mungkin dalam keadaan tak sadar seperti ini, dia
menjadi Dadung Amuk?!"
*
* *

8
SISA cahaya purnama masih ada, membuat keadaan
di pantai menjadi tampak benderang. Karena


benderangnya cahaya itu, Suto melihat sekelebat gerakan
melesat dari arah hutan ke pantai. Kelebat gerakan itu
berlari dari ujung sana mendekati tempat Suto dan dua
teman barunya itu duduk sebelum bergegas naik ke
pohon besar itu.
Dalam kilasan gerak yang lain, Suto melihat
seseorang mengejar cepat orang pertama. Suto cepat
colekkan tangannya ke lengan Dewa Racun dan Dewa
Racun segera lemparkan pandang ke arah Pendekar
Mabuk. Tanpa mendapat jawaban, Dewa Racun sudah
mengerti apa yang dimaksud Suto, maka ia pun ikut
lemparkan pandang ke pantai.
Dewa Racun berbisik, "Aaak... aku seperti pernah
melihat perempuan itu!"
"Tentu saja. Dia adalah Selendang Kubur, satu dari
ketiga perempuan yang hadir di pertarungan Bukit Jagal
tempo hari."
"O, iiy... iya! Tapi ag.. agaknya dia sedang berusaha
menghindari kejaran lawan. Dan... dan apa yang ada di
tangannya itu?!"
"Sebuah kitab!" Suto terperanjat. "Jangan-jangan itu
adalah Kitab Pusaka Wedar Kesuma?!"
"Kau... kaaau... yakin kalau itu Kitab Wedar
Kesuma?"
"Kar... karena dia adalah murid Betari Ayu! Mungkin
dia habis curi itu kitab atau... atau.... Entahlah! Kau tetap
di sini. Aku akan mengurusnya sebentar!"
Sebelum mendapat jawaban dari Dewa Racun, Suto
sudah cepat menghilang dengan satu jejakan lembut


kakinya ke dahan pohon. Wuuut...!
Selendang Kubur terjungkal dari larinya, karena
seseorang menyerang dengan pukulan jarak jauhnya dari
belakang. Tubuh perempuan itu tersungkur di pasir
pantai. Tapi cepat ia hentakkan siku dan melesat bangkit
dengan satu tangan kiri memeluk sebuah kitab.
Sementara itu, orang yang tadi mengejarnya
melompatkan tubuh dan bersalto di udara dua kali untuk
lebih mendekat lagi. Jleeg...! Orang itu mendaratkan
kedua kakinya dengan tepat dan mantap, ia berpakaian
hitam berlilit benang emas di tepiannya, menyandang
pedang perak dengan sarung pedang dari perak berukir
juga. Pakaian orang itu sebagian telah robek bagaikan
koyak, namun jelas bukan koyak oleh cakaran tangan
Selendang Kubur.
Suto mengenali orang itu sebagai tokoh alot yang
berjuluk Datuk Marah Gadai. Tapi Suto tidak tahu
bahwa koyaknya pakaian Datuk Marah Gadai adalah
akibat hempasan badai yang menerbangkan dirinya, saat
Pendekar Mabuk menggunakan Tuak Setan-nya.
"Selendang Kubur!" geram Datuk Marah Gadai.
"Satu kesempatan lagi kuberikan padamu. Serahkan
kitab pusaka itu atau kutenggelamkan dirimu ke dasar
bumi?!"
"Aku memilih, tenggelamkan dirimu sendiri ke dasar
bumi!"
"Keparat betul kau!" Datuk Marah Gadai segera
angkat tangan kanannya setinggi telinga, telapak tangan
itu sudah mengembang dan menghadap ke arah


Selendang Kubur, siap untuk dihentakkan.
Tapi Selendang Kubur tak kalah siap. Ia mengangkat
satu kakinya hingga terlipat ke belakang, dua tangannya
terentang tinggi sambil salah satu tangan masih
menggenggam kitab itu. Selendang Kubur bagai seekor
merpati yang siap murka di hadapan Datuk Marah
Gadai. Sementara itu, Datuk Marah Gadai masih
mencoba menggertak Selendang Kubur dengan kata-
kata,
"Satu jurus lagi kalau kau tak hancur, lebih baik aku
bunuh diri!"
"Lakukanlah sekarang juga kalau kau mau bunuh
diri! Apa pun yang terjadi, kau tidak berhak memiliki
kitab pusaka ini!"
"Kau pun tak berhak, tahu?! Kau telah mencuri kitab
itu tanpa setahu gurumu!"
"Dan kau datang juga untuk mencurinya! Hmm...!
Kita sama-sama pencuri, Datuk! Rasaya tak keberatan
aku beradu nyawa kepadamu untuk mempertahankan
kitab ini! Majulah kalau kau ingin selesaikan riwayatmu
malam ini juga!"
"Keparat kau! Hiih...!"
Datuk Marah Gadai sentakkan tangannya. Dari
sentakan tangan keluar cahaya biru yang melesat cepat
ke arah Selendang Kubur. Tapi perempuan itu segera
kibaskan kedua tangannya bagai sayap merpati
mengamuk. Wuuut... wuuut... wuuut...!
Gelombang tenaga dalam cukup besar keluar dari
kibasan tangan tanpa wujud sedikit pun. Gelombang


hawa bertenaga dalam itu menahan datangnya sinar biru
dari tangan Datuk Marah Gadai.
Blarrr...! Cahaya biru memecah terang dalam sekejap.
Suara benturan tenaga dalam itu menimbulkan sentakan
kuat yang membuat tubuh Selendang Kubur terpental
tiga langkah ke belakang dalam keadaan oleng, dan
akhirnya jatuh bagai merpati patah sayapnya.
Sedang sentakan yang ditimbulkan dari ledakan dua
tenaga dalam beradu itu hanya membuat tubuh Datuk
Marah Gadai guncang sedikit, tapi ia tetap tegak berdiri
dan siap lancarkan serangan lagi.
Suto melihat suatu pertarungan yang tak seimbang.
Datuk Marah Gadai lebih tinggi ilmunya dari Selendang
Kubur. Maka, dengan cepat Pendekar Mabuk melompat
ke arah Selendang Kubur yang sudah berdiri siap
menghadapi serangan lagi. Pada waktu itu, Datuk Marah
Gadai pun sentakkan kakinya dan dari kaki itu keluar
cahaya putih keperakan yang pernah hampir
menghancurkan tubuh Cadaspati. Wuuuut...!
Cahaya putih keperakan itu melesat cepat ke arah
Selendang Kubur. Namun dengan gerakan cepat pula,
Suto melompat dan menghadangkan bumbung tuaknya.
Dubbb! Cahaya putih keperakan membentur bumbung
tuak, dan cahaya itu membalik dengan sinar lebih terang
dan lebih besar lagi. Wooos...!
Datuk Marah Gadai terbelalak melihat tendangan
mautnya dikembalikan dengan lebih besar lagi. Cepat-
cepat ia sentakkan kaki dan melesat naik ke udara pada
saat cahaya perak itu hampir menghantam tubuhnya.


Wesss...! Clappp...!
Sebongkah batuan karang jauh di belakang Datuk
Marah Gadai tiba-tiba lenyap akibat terkena hantaman
cahaya putih keperakan itu. Bahkan debunya tak tersisa
sedikit pun. Datuk Marah Gadai kian terperanjat
memandangnya. Biasanya benda yang terkena cahaya
tendangan jurus 'Tapak Dewa'-nya itu akan hancur
seketika dan menjadi serbuk. Tapi kali ini begitu besar
cahaya putih keperakan itu, hingga serbuk pun tak
tertinggal di tempat bekas batu itu berada. Datuk Marah
Gadai belum pernah melihat kekuatan jurus Tapak
Dewa'-nya sebesar itu.
"Bahaya juga ini si bocah sinting!" pikir Datuk Marah
Gadai dengan menahan serangan berikutnya. Matanya
yang sedikit sipit berkesan bengis itu menatap Pendekar
Mabuk dengan tajam. Suto hanya sunggingkan senyum
kalem.
"Jangan ikut campur urusanku lagi, Pendekar
Mabuk!" kata Selendang Kubur dengan wajah merengut.
"Biarkan aku mengurus diriku sendiri dan kau mengurus
dirimu sendiri!"
Selendang Kubur mendekati Pendekar Mabuk dengan
langkah tegasnya, ia berdiri di samping Pendekar Mabuk
dengan pandangan benci, namun sebenarnya memendam
cinta. Pendekar Mabuk tersenyum menatapnya,
Selendang Kubur mendengus menyambutnya, ia
mencoba untuk tidak tertarik dengan senyuman
Pendekar Mabuk yang tampan rupa itu.
"Kau tentunya sudah tahu kebusukanku saat di Bukit


Jagal! Aku tak butuh sikap baikmu lagi! Jadi, kau tak
perlu bantu aku dalam urusan ini!"
"Tenanglah...!" kata Pendekar Mabuk sambil
menepuk pundak Selendang Kubur. Tepukan pelan itu
membuat tubuh Selendang Kubur sedikit terguncang
tubuhnya, makin mendengus kesal hatinya.
Suto berkata kepada Datuk Marah Gadai, "Tak
sepantasnya kamu lawan dia, Datuk! Sebaiknya
selesaikan perkaramu tanpa kekerasan!"
"Bocah bawang! Tahu apa kau urusan orang tua?!
Kalau dia  bisa berdamai denganku, tak akan mungkin
aku menyerangnya dengan jurus 'Tapak Dewa'-ku!"
"Persoalannya sangat sepele, mengapa harus dengan
menggunakan jurus berbahaya?"
"Buatmu sepele, Suto! Tapi buatku persoalan ini
sangat penting!"
Suto tertawa kecil bersikap melecehkan. Bahkan ia
sempat teguk tuaknya sejenak, lalu ia pandangi
Selendang Kubur yang masih mendekap kitab berwarna
hijau muda.
Tiba-tiba terdengar suara Datuk Marah Gadai
membentak, "Minggir kau, Suto! Atau ikut kuhancurkan
tubuhmu bersama perempuan itu!"
"Jangan mudah menghancurkan orang, supaya dirimu
tidak mudah dihancurkan orang lain, Datuk!"
"Jahanaaam...!" geram Datuk Marah Gadai. "Anak
kemarin sore mau gurui orang tua. Hah...?! Seharusnya
kau pulang ke rumah dan menetek pada ibumu, tidak
ikut campur urusan ini!"


"Kau sajalah yang pulang dan menyusui ibumu!" kata
Suto mulai serius. Agaknya ia cukup tersinggung dengan
hinaan balik itu.
Serta-merta Datuk Marah Gadai sentakkan kedua
kakinya dan melesat terbang ke udara dengan kedua
tangan terangkat ke atas. Suto hentakkan kedua lututnya
dan tubuhnya pun melayang ke udara menyambut Datuk
Marah Gadai.
"Hiaaat...!"
Plakkk... Plakkk...!
Kedua tangan beradu, keras sekali sentakan kedua
pasang tangan itu. Datuk Marah Gadai terhempas ke
belakang dan berguling satu kali di udara, sedangkan
Suto tak sampai terhempas ke belakang, namun segera
turun dan mendaratkan kakinya ke tanah dengan sedikit
merendah. Jleggg...!
Suto dan Datuk Marah Gadai sama-sama berdiri
tegak dalam jarak tujuh langkah. Mata mereka saling adu
pandang sama tajamnya. Tapi bibir Pendekar Mabuk
sunggingkan senyum tipis yang membuat Datuk Marah
Gadai mencibir sambil berkata,
"Heh...! Anak kemarin sore sudah berani mau adu
tenaga sama orang tua! Masih untung kau bisa bernapas
saat ini! Aku tahu kau kewalahan menahan tenaga
dalamku, Suto. Wajahmu mulai memerah. Kau cukup
banyak kerahkan kekuatan untuk menahan pukulanku!"
"Wajahku memerah? Oh, mungkin saja begitu. Tapi
bagaimana dengan kedua telapak tanganmu, Datuk?"
Serentak Datuk Marah Gadai memandang kedua


tangannya. Mata Datuk Marah Gadai terperanjat kaget
melihat kedua telapak tangannya memar biru kemerah-
merahan. Bahkan bagian ujung-ujung jari jelas biru
legam.
Rasa kaget Datuk Marah Gadai membuat tubuhnya
tersentak sedikit ke belakang, ia sama sekali tak
menduga bahwa telapak tangannya menjadi memar
akibat beradu tenaga di udara tadi. Belum pernah ia
alami hal seperti itu, sekalipun ia melawan tokoh tua.
"Kurang ajar anak itu! Ternyata dia punya tenaga
dalam lebih besar dariku! Baru sekarang kurasakan ngilu
tulang-tulang lenganku. Baru sekarang kusadari telapak
tanganku sangat panas! Hmmm...! Anak ini tidak bisa
diajak bercanda rupanya! Cepat atau lambat harus
kulenyapkan, biar tidak menjadi penghalang bagiku
untuk mendapatkan kitab pusaka itu!"
Datuk Marah Gadai berceloteh di dalam hatinya. Suto
hanya melirik sesekali penuh waspada, tapi wajahnya
menatap Selendang Kubur.
"Jangan lawan orang itu. Kau bisa mati, Selendang
Kubur. Ilmunya cukup tinggi, tak sebanding dengan
ilmumu!"
"Persetan dengan omonganmu, Suto! Minggirlah dan
jangan ikut campur lagi urusanku! Aku muak padamu,
Suto!"
"Kalau kau muak padaku, kenapa kau tak lari sejak
tadi? Larilah sana, selama kuhadapi Datuk Marah
Gadai!"
"Hhmmmm...!" geram Selendang Kubur. "Kau telah


menotokku lewat tepukan pundak tadi! Kau telah buat
aku terpaku di sini tak bisa bergerak kecuali bicara!
Kalau saja kau tidak menotokku dengan cara halusmu,
sudah kuserang sendiri kau dari belakang!"
Dewa Racun yang memperhatikan dari atas pohon
menggumam heran setelah menyadari hal itu. Ia berkata
dalam hatinya, "Pantas sejak tadi Selendang Kubur
hanya menjadi penonton saja, rupanya dia telah terkena
totokan melalui tepukan pundak yang dilakukan Suto
tadi. Hmm...! Sungguh mengangumkan sebenarnya anak
muda itu! Serasi sekali jika berjodohan dengan Nyai
Gusti Dyah Sariningrum!"
Datuk Marah Gadai segera pejamkan mata. Rupanya
ia salurkan hawa dingin ke telapak tangannya yang
panas. Telapak tangan itu tampak berasap tipis beberapa
saat. Kejap berikutnya, Datuk Marah Gadai buka
matanya dan serukan kata,
"Suto! Kalau kau tetap tak mau minggir dari
hadapanku, kau akan menerima ajal secepat kilat malam
ini juga!"
"Kalau memang kau mampu, Datuk, lakukanlah
secepatnya!"
"Besar juga nyalimu, rupanya! Apakah kau ingin
memiliki kitab pusaka itu juga?!"
"Kalau aku mau memiliki, tidak dengan jalan
mencurinya! Aku akan minta kepada pemiliknya, yaitu
Betari Ayu! Jadi aku sebenarnya hanya menyelamatkan
kitab itu dari jamahan tangan-tangan pencuri, seperti
kalian berdua!"


"Tutup mulutmu, Suto!" sentak Selendang Kubur
tiba-tiba. Ia masih tak bisa bergerak, tapi  ia mampu
bicara lantang, "Aku murid dari Nyai Betari Ayu, dan
karenanya akulah yang berhak memegang kitab ini,
Suto!"
"Memegang untuk menyelamatkan kitab pusaka, itu
baik. Tapi memegang untuk memilikinya, itu curang!
Aku tahu kau ingin mempelajari semua jurus yang ada di
dalam kitab itu untuk satu keperluan pribadimu,
Selendang Kubur. Karenanya, aku perlu mencegah niat
burukmu itu!"
"Suto!" seru Datuk Marah Gadai di sebelah sana.
"Kesabaranku sudah habis! Waktumu untuk hidup pun
sudah habis! Sekarang tiba saatnya untuk mencabut
nyawamu, Suto! Hiaaat...."
Jari tangan Suto membara hijau, lalu menyentil ke
depan. Tass...! Pada waktu itu, Datuk Marah Gadai
merasakan adanya satu sentakan halus di pinggangnya,
tapi ia tidak pedulikan hal itu. Ia hentakkan kakinya dan
melesat terbang dengan kedua tangan siap menghantam
bersamaan. Kedua tangan itu berada di samping telinga
dengan jari mengeras kaku dan memercik-mercikkan
bunga api biru.
Suto cepat sabetkan bumbung tuaknya ke depan
sebelum tubuh Datuk Marah Gadai tiba di depannya.
Wuuung...! Suara bumbung itu seperti gaung kematian.
Gelombang tenaga dalam yang besar terlepas dari
sabetan bumbung itu. Gelombang besar itu menghantam
tubuh Datuk Marah Gadai, membuat tubuh itu terguling


dan terhempas ke samping. Tubuh Datuk Marah Gadai
terguling-guling di udara, dan akhirnya membentur
batuan karang setinggi dua tombak. Bluukk...! Prass...l
Ujung batuan karang itu patah, sebagian hancur
terkena benturan tubuh Datuk Marah Gadai. Tubuh itu
sendiri jatuh ke tanah dengan kepala terbenam di pasir
pantai. Kalau tubuh Datuk Marah Gadai tidak dialiri
tenaga dalamnya sendiri, maka batuan karang itu tak
akan remuk bagian ujung atasnya saat terkena benturan
tubuhnya itu. Tapi karena aliran tenaga dalam sedang
memenuhi tubuh Datuk Marah  Gadai yang siap
dipukulkan melalui kedua tangannya itu, maka batuan
karang itu pun gompal pada bagian atasnya.
Pinggang Datuk Marah Gadai bagaikan patah. Sakit
sekali untuk berdiri. Tapi dengan menahan napas
beberapa kejap, rasa sakit itu pun hilang, walau tidak
hilang sama sekali. Datuk Marah Gadai bisa berdiri
dengan geram, suaranya penuh hasrat untuk membunuh
Suto. Dua tangannya masih memercikkan bunga api
warna biru. Ia berseru dari sana,
"Suto! Rasakan jurus 'Gledek Menjilat Bumi' ini,
hiaaa...!"
Woosss...! Dari kedua tangan Datuk Marah Gadai
melesat cahaya kilat berkelok-kelok seperti ratusan
cacing ganas, menggerombol dan menuju ke arah
Pendekar Mabuk.
Pendekar Mabuk cepat kibaskan tangannya seperti
memercikkan air. Tapi pada saat itu, semua kuku Suto
Sinting memancarkan cahaya merah bara. Pada saat


tangan kanan Pendekar Mabuk memercikkan sesuatu di
udara, maka bertebaranlah bunga-bunga api warna
merah, melesat ke arah gerombolan sinar biru yang mirip
cacing liar itu.
Prattt...! Trappp... trap...!
Sinar biru itu belum mau padam, tapi berhenti di
udara bagai tertahan percikan bunga api dari tangan
Pendekar Mabuk. Maka, dengan cepat tangan kiri
Pendekar Mabuk memercikkan sesuatu lagi ke udara.
Tangan itu juga berkuku menyala bara, dan bunga-bunga
api terpercik dari jemari Suto Sinting, melesat
menghantam gerombolan sinar biru seperti cacing liar
itu.
Trrappp... cerattt...! Prattt cratt erat...!
Pritik pritik prritik glegarrrr...!
Jurus 'Gledek Menjilat Bumi' hancur oleh percikan
bunga api dari Pendekar Mabuk yang dinamakan jurus
'Lintang Kesumat'. Pecah dan hancurnya gerombolan
sinar biru mirip cacing liar itu menimbulkan ledakan
yang menggema bagai menelusuri seluruh pantai.
Ledakan itu juga menghadirkan hempasan gelombang
besar yang membuat tubuh Datuk Marah Gadai
terlempar ke laut dalam jarak dua puluh langkah dari
pantai. Byurrr...!
Rambut Suto sendiri tersingkap ke belakang karena
angin gelombang yang cukup kuat. Pohon tempat
bersembunyi Dewa Racun berguncang lebih hebat lagi,
daunnya sebagian gugur. Tapi Singo Bodong tetap saja
mendengkur.


Sedangkan tubuh Selendang Kubur yang tertotok itu
jatuh berdebam bagaikan patung kayu. Tapi ia
memekikkan suara ngeri, membuat Suto palingkan
wajah. Melihat Selendang Kubur jatuh dalam keadaan
tetap kaku dan seperti keadaan semula, yaitu mendekap
kitab dengan satu tangannya lurus ke bawah
menggenggam, Pendekar Mabuk segera
menghampirinya dan mengangkat tubuh itu, lalu
diberdirikan lagi dengan kaki Selendang Kubur agak
ditimbuni pasir supaya tak jatuh lagi.
"Jahanam kau, Suto! Jangan bikin aku seperti patung
yang sewaktu-waktu rubuh kau berdirikan lagi!
Lepaskan pengaruh totokanmu ini, Suto! Lepaskan!"
"Sabarlah, ada saatnya sendiri melepaskan
totokanmu!" kata Pendekar Mabuk sambil merapikan
letak baju, rambut, dan ikat pinggang Selendang Kubur.
Kain selendang putih yang selalu melilit di pinggang
Selendang Kubur juga dibetulkan letaknya, dirapikan,
bagaikan patung yang dihias kembali letak busananya.
Selendang Kubur makin merasa dilecehkan. Geram
hatinya, dan menggeletuk giginya, ia berkata dengan
gigi bergeletuk,
"Kubunuh kau setelah bebas totokanku, Suto...!" tapi
mendadak ia berteriak, "Awaaaas...!"
Suto berpaling ke belakang, rupanya Datuk Marah
Gadai telah mengirimkan pukulan jarak jauhnya lagi
berupa bola api yang makin dekat makin besar
bentuknya. Pendekar Mabuk pun segera siapkan
bumbung tuaknya, dan dihentakkkan dari bawah ke atas.


Ujung bawah bumbung tuak itu mengeluarkan cahaya
kuning sebesar lidi, menyentak naik ke atas, mendorong
bola api yang bergerak mendekat menjadi bergerak naik,
naik, dan naik terus begitu tingginya, lalu meledak di
angkasa sana.
Blengngng...!
Dentuman itu membahana sampai ke mana-mana,
bagai ledakan gunung berapi. Asapnya hitam mengepul
membentuk gulungan awan hitam, nyaris menutup
terangnya sisa purnama di malam itu.
"Bangsat!" geram Datuk Marah Gadai. "Pukulan 'Inti
Sukma' bisa dibuang ke atas olehnya! Setan cilik dari
neraka mana bocah itu?!"
Pendekar Mabuk hanya tersenyum tipis memandang
gulungan asap yang menyerupai awan di angkasa.
Setelah makin pudar asap itu, Suto Sinting melirik
Selendang Kubur dan berkata lirih,
"Terima kasih atas peringatanmu tadi. Kalau tidak,
kita mati bersama dalam wujud kepingan tulang dan
cuilan daging hangus!"
"Tak perlu berterima kasih padaku, Setan! Aku tidak
menyelamatkan dirimu!"
"Mengapa kau tadi berteriak 'awas' jika tak
bermaksud menyelamatkan diriku?" goda Pendekar
Mabuk sambil senyum-senyum.
"Karena aku tak ingin kau mati di tangan orang! Kau
harus mati di tanganku sendiri!" sentak Selendang Kubur
dengan ketusnya.
Ia tak tahu, ada orang yang menertawakan dari atas


pohon sebelah sana. Dewa Racun terkikik dengan mulut
dibekapnya sendiri. Sementara itu Singo Bodong masih
tetap tidur mendengkur. Sayang sekali dia tidur, andai
dia dalam keadaan bangun, dia sangat senang melihat
pertarungan dahsyat itu.
Datuk Marah Gadai melompatkan tubuh dengan
kekuatan tenaga peringan tubuhnya yang cukup tinggi, ia
tiba di tanah berpasir dalam keadaan tubuh basah kuyup.
Wajahnya semakin bengis. Oh, rupanya ada darah yang
keluar dari hidungnya saat ia terlempar ke laut tadi.
"Suto!" ia melangkah dengan gusarnya. Berdiri tegak
lagi setelah dalam jarak lima langkah dari Pendekar
Mabuk, ia ucapkan kata dalam nada geram, penuh
dengan nafsu membunuh yang berkobar-kobar di
dadanya.
"Jangan anggap dirimu menang, Suto! Aku masih
punya satu pusaka lagi yang akan mengakhiri masa
hidupmu sekarang juga!"
"Kalau kau masih penasaran padaku, lakukanlah apa
yang ingin kau lakukan," kata Suto. "Kalau kau masih
merasa belum kalah, bertindaklah secara ksatria. Tapi
kalau kau merasa sudah cukup lemah melawanku,
bersikaplah jantan. Pergilah dari sini tanpa pamit pun
aku tetap menghormati sikapmu, Datuk!"
"Mulut busuk! Hadapilah Pedang Lidah Iblis-ku ini,
hiaaat...!"
Gagang pedang digenggam kuat,  lalu dicabut dari
sarungnya.
"Uuh...! Uuh...! Uuuh...!" Datuk Marah Gadai


kebingungan. Pedangnya tak bisa dicabut dari
sarungnya. Susah payah ia kerahkan tenaga untuk
mencabut pedang, tapi dirinya sendiri bahkan
terpelanting ke samping, hampir saja jatuh.  Napasnya
ditahan kuat-kuat, tenaganya dipusatkan ke tangan, tapi
pedang tak bisa dicabut. Akhirnya ia mencaci sendiri
dengan napas terengah-engah.
"Landak buduk! Setan belang! Sulit sekali pedang ini
dicabutnya! Biadab...! Kenapa jadi begini...?! Uuh, uuh,
uuh...!"
Mata perempuan yang bagaikan patung itu
membelalak kagum melihat pedang tak bisa dicabut,
demikian pula mata di atas pohon milik Dewa Racun.
Sedangkan Pendekar Mabuk hanya tersenyum-senyum
saja waktu melihat susah payahnya Datuk Marah Gadai
mencabut pedang.
"Mungkin pedangmu kau gembok dan gemboknya
berkarat, sehingga tak bisa dibuka, Datuk!"
"Congor kurapmu!" sentak Datuk Marah Gadai
dengan hati makin panas. Cacian itu justru membuat
Suto Sinting tertawa geli.
Selendang Kubur membatin, "Pasti itu ulah Pendekar
Mabuk. Tadi kulihat ia sentilkan jarinya dan tubuh
Datuk Marah Gadai terguncang sedikit. Saat itulah
sebenarnya Suto telah mengunci pedang itu hingga tak
bisa dilepas dari sarungnya. Padahal menurut cerita Peri
Malam, Datuk Marah Gadai mempunyai pedang amat
hebat, bisa menerbangkan bebatuan pada saat dicabut
dari sarungnya. Tapi nyatanya menghadapi Suto pedang


itu mampu dibungkam kekuatannya! Hebat sekali si
tampan yang satu ini! Selain memikat hati, juga
mengagumkan dunia persilatan!"
Tentang kehebatan Pedang Lidah Iblis milik Datuk
Marah Gadai hanya Peri Malam-lah yang tahu persis,
karena dia mengintai dari balik semak sewaktu Datuk
Marah Gadai mengalahkan Cadaspati memakai pedang
itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Darah
Asmara Gila").
Tiba-tiba Suto membopong tubuh Selendang Kubur
bagai mengangkat dan memindahkan patung. Selendang
Kubur hanya berteriak-teriak dengan sebaris makian dan
bentakan. Tapi Suto tak peduli. Patung hidup itu
dipindahkan jauh-jauh dari tempatnya semula.
Sementara itu, Datuk Marah Gadai bersusah payah
melepas pedangnya. Bahkan pengait pedang yang
mengikat di pinggang dilepasnya. Pedang berusaha
ditarik dengan kerahkan tenaga dalamnya kuat-kuat, di
depan dadanya pedang itu dibetot ke kanan, tapi tetap
tak bisa terlepas dari sarungnya.
"Mengapa kau pindahkan aku di balik batu ini, hah?!"
bentak Selendang Kubur.
"Demi keselamatan jiwamu," jawab Suto.
"Cuih...! Aku tak butuh penyelamatanmu!"
"Setidaknya dari tempat ini kau bisa melihat kematian
Datuk Marah Gadai, orang yang selalu mengejar-ngejar
pusaka itu!"
"Kau tak akan bisa mengalahkannya, Suto! Dia cukup
kuat!"


"Siapa bilang?"
"Peri Malam pernah melihat kehebatan pedang Lidah
Iblis-nya itu. Kalau pedang itu tercabut, matilah kau di
tangannya!"
"Kalau pedang itu tercabut, dia sudah lebih dulu
mati!" Pendekar Mabuk sunggingkan senyum.
"Sesumbarmu untuk anak kecil saja, Pendekar
Mabuk! Bukan untukku!"
"Karena kau masih anak kecil, maka aku sesumbar
untukmu!"
"Buktikan! Buktikan sesumbarmu!" sentak Selendang
Kubur dengan ungkapan rasa benci karena memendam
kedongkolan hati.
Datuk Marah Gadai kebingungan melepas
pedangnya. Wajahnya jadi memerah akibat kerahkan
tenaga. Tapi pada waktu itu, Pendekar Mabuk yang
berada dalam jarak lima belas langkah bersama
Selendang  Kubur, segera lemparkan pandangannya ke
arah Datuk Marah Gadai. Jari tangan Suto mulai
menyala hijau lagi, khusus hanya jari telunjuknya. Lalu,
Suto pun menyentilkan jari itu ke depan. Tasss...!
Pada saat itu, Datuk Marah Gadai berhenti
mengerahkan tenaga  sebentar, ia menggerutu tak jelas,
lalu mulai mencabut pedangnya lagi. Kali ini, pedang
bisa dicabut dengan enteng. Seerrt...! Tapi tiba-tiba dari
sarung pedang keluar sinar merah terang bersama bunyi
ledakan yang cukup kuat dan keras.
Duarrr...! Lalu, ledakan itu menggema panjang,
glerrrrr...!


Mata Selendang Kubur tak bisa berkedip, mulutnya
tak bisa terkatup. Di balik kerimbunan atas pohon, mata
Dewa Racun juga terbelalak tak bisa berkedip lagi,
karena ia melihat jelas kepala Datuk Marah Gadai pecah
akibat ledakan itu. Tubuhnya tumbang tak bernyawa
lagi. Dewa Racun tak bisa ucapkan sepatah kata pun.
*
* *


9
MALAM menjadi hening kembali setelah kematian
Datuk Marah Gadai. Selendang Kubur bisukan
mulutnya, karena jiwanya terpaku melihat kehebatan
ilmu Pendekar Mabuk yang jelas jauh di atas ilmunya.
Datuk Marah Gadai mati karena pusakanya sendiri. Tapi
Selendang Kubur tahu, Pendekar Mabuk-lah
penyebabnya. Tanpa ketinggian ilmu Suto, tak mungkin
Datuk Marah Gadai dimakan senjatanya sendiri.
Pendekar Mabuk menengadah, bumbung tuaknya
dituang. Glek glek glek...! Tiga teguk tuak membasahi
kerongkongannya. Pendekar Mabuk merasa lega. Ia
kembali menutup tabung itu, dan menyandangnya
kembali ke punggung, seperti menyandang sebilah
pedang. Tali bumbung menyilang di dadanya, dari
pundak kanan ke pinggang kiri.
"Sudah selesai sekarang," kata Suto seraya
memandang mayat Datuk Marah Gadai sebentar.
Terdengar pula Selendang Kubur berkata, "Lepaskan


pengaruh totokanku ini!"
"Nanti dulu!"
"Tunggu apa lagi, Setan!" bentak Selendang Kubur
dongkol sekali.
"Bagaimana dengan kitab itu?"
"Kau tak berhak memiliki! Kau bukan murid
Perguruan Merpati Wingit. Akulah murid Merpati
Wingit yang  berhak mempelajari ilmu-ilmu di dalam
kitab inil"
Pendekar Mabuk tersenyum, bahkan tertawa pelan
berkesan meremehkan kata-kata Selendang Kubur. Lalu,
ia berkata pada perempuan itu,
"Kalau aku mau curang, kuambil kitab itu darimu,
dan kubiarkan kau tetap dalam pengaruh totokan.
Setelah itu aku akan lari jauh sekali, kau tak akan bisa
mengejarnya!"
"Biadab kau! Sekalipun ilmumu tinggi, aku tak takut
melawanmu, Suto! Aku berani taruhkan nyawa untuk
kitab ini!"
"Bertaruh nyawa saja belum tentu bisa, apalagi kau
mau melawanku. Mungkin aku akan kalah padamu, tapi
bukan berarti aku binasa, melainkan kasihan padamu!
Tapi kitab itu, tetap harus kumiliki!"
"Tak ada yang berhak memiliki kitab pusaka ini
kecuali aku!"
"Siapa bilang?!" tiba-tiba sebuah suara terdengar dari
kerumunan dedaunan di belakang Selendang Kubur.
Pemilik suara itu segera melesat dengan satu lompatan
ringan, dan jatuh dengan tegak di depan Selendang


Kubur.
Tersentak kaget Selendang Kubur melihat kehadiran
orang itu. Gemetar bibirnya saat menyebutkan sapa,
"Nyai Guru...?!"
Suto sendiri sebenarnya kaget mendengar sahutan
kata Betari Ayu tadi. Tapi ia bisa menutup kekagetannya
dengan senyum yang dipamerkan di depan Betari Ayu.
Di atas pohon, Dewa Racun terbelalak matanya. Tak
sadar ia mengucap lirih,
"Nyaaa... Nyaaai... Nyaii Guru? Oh, itu dia Nyai
Guru Dyah Kemalawindu...?! Celaka! Suto tak mau
segera ambil kitab itu, akibatnya pemilik kitab da...
daa... datang sebelum kitab jatuh di tangan Suto!  Uh,
bodoh amat Suto itu!"
Dewa Racun sengaja belum mau muncul, ia ingin
melihat peristiwa selanjutnya antara Suto dengan Betari
Ayu. Ia ingin melihat pertarungan yang sudah tentu lebih
dahsyat dibanding pertarungan Suto melawan Datuk
Marah Gadai tadi.
"Rupanya kau yang mencuri kitab itu, Selendang
Kubur!" kata Betari Ayu dengan wajah dingin, kaku,
menampakkan kemarahan yang terpendam. Matanya
memandang tajam namun berkesan sinis.
"Nyai... Nyai Guru, saya hanya sekadar
menyelamatkan pusaka ini dari tangan Datuk Marah
Gadai, yang... yang... yang sudah berhasil saya bunuh,
Nyai!"
Pendekar Mabuk menahan tawa dan segera berpaling
wajah agar tak dilihat Betari Ayu. Selendang Kubur


sebentar-sebentar melirik Suto dengan cemas, dan
berharap Suto tidak ikut bicara dulu.
"Jadi, Datuk Marah Gadai mau mencuri kitab itu?"
"Ben... benar, Nyai."
"Dan kau telah merebut lalu membunuhnya?"
"Ben... ben... benar, Nyai. Lihatlah, mayatnya ad...
ad... ada di sana, Nyai!"
Dewa Racun membatin dari atas pohon, "Kurang
ajar! Perempuan itu ikut-ikutan gagap! Dari mana dia
tahu kalau aku bicara gagap, sehingga dia bisa
menghinaku dengan berpura-pura gagap?!"
Dewa Racun ingin turun untuk menghajar Selendang
Kubur. Tapi segera ia temukan kesimpulan lain, bahwa
rasa takutnya Selendang Kubur itu menghadirkan
kegagapan tersendiri yang tidak semata-mata menghina
kegagapan Dewa Racun. Karena itu, Dewa Racun tak
jadi melepaskan marahnya, ia tetap mengikuti dari atas
pohon.
Terdengar suara Betari Ayu berkata kepada
Selendang Kubur,
"Kalau kau telah membunuh Datuk Marah Gadai,
mengapa kau tidak segera pergi tinggalkan tempat ini?"
"Suto menahan saya, Nyai!"
"Suto menahanmu? Ada perlu apa dia menahanmu?"
"Dia mau rebut kitab ini, Nyai. Tapi saya pertahankan
terus!"
"Suto ingin merebut kitab itu? Untuk apa? Semua
ilmu yang ada di dalam kitab ini masih belum ada
sekuku hitamnya dengan ilmu-ilmu yang dimiliki Suto!"


"Tap... tapi... tapi...."
"Tapi kau ditotok olehnya sejak tadi sehingga kau tak
bisa bergerak?"
Selendang Kubur tak bisa bicara lagi. Bibirnya
gemetar dan lidahnya bagaikan kaku. Nyai Betari Ayu
kembali melanjutkan kata,
"Bagaimana kau bisa membunuh Datuk Marah Gadai
jika sejak tadi kau tak bisa bergerak, bahkan untuk
pindah ke sini pun perlu digotong Suto mirip patung
dipindahkan? Menahan gelombang ledakan pun kau tak
mampu, hingga tubuhmu tumbang seperti batang
pisang?! Bagaimana mungkin kau bisa membunuh
Datuk Marah Gadai?"
Mendengar ucapan Nyai Betari Ayu, baik Pendekar
Mabuk maupun Dewa Racun mengerti bahwa sejak tadi
ternyata perempuan berwibawa yang mempunyai
kecantikan yang anggun itu sudah memperhatikan
pertarungan Suto dengan Datuk Marah Gadai.
Karenanya, Pendekar Mabuk cepat bergerak. Kitab
itu diambil paksa dari Selendang Kubur. Breet...!
Selendang Kubur hanya bisa terperangah dan tak bisa
bergerak sedikit pun. Kemudian, Pendekar Mabuk
menyerahkan kitab itu kepada Betari Ayu.
"Ambillah, ini hakmu, Nyai!"
Betari Ayu memandang Suto dengan mata dingin.
Cukup lama mereka saling pandang. Akhirnya, tangan
Betari Ayu menerima kitab itu dengan mata tetap
menatap Suto Sinting.
Dewa Racun bergumam dalam hatinya, "Bodoh!


Mengapa diserahkan begitu saja! Apakah Pendekar
Mabuk tak berani melawan Nyai Betari Ayu?"
Terdengar Pendekar Mabuk berkata kepada Betari
Ayu sambil ia melangkah ke samping Selendang Kubur,
"Apa hukuman untuk pencuri kitab ini?"
Betari Ayu tidak menjawab. Kitab itu diselipkan di
pinggangnya. Terdengar lagi Pendekar Mabuk berkata,
"Apakah pencuri kitab ini harus dipenggal
kepalanya?"
Selendang Kubur melirik dengan benci. Penuh nafsu
untuk menyerang tapi tangannya tetap kaku, bagai masih
mendekap kitab.
"Atau harus dihukum bakar?" tanya Suto lagi makin
membuat Selendang Kubur cemas  dan memendam
kemarahan.  Saat berikutnya, Betari Ayu yang berdiri
dengan kedua tangan di belakang itu berkata,
"Tanyakan saja pada pencuri itu, hukuman apa yang
ia sukai!"
Suto tertawa kecil semakin memuakkan Selendang
Kubur, lalu ia berkata kepada Selendang Kubur,
"Kau dengar sendiri apa kata gurumu itu? Kau bebas
memilih hukuman. Silakan pilih mana yang kau suka."
"Apa hakmu memilihkan hukuman untukku, Setan?!"
Pakkk...! Tiba-tiba Betari Ayu ayunkan tangannya
dengan gerakan yang tak bisa dilihat mata. Tangan itu
menampar pipi Selendang Kubur dengan keras. Pipi itu
menjadi merah, membekas empat jari. Selendang Kubur
menggigit bibir menahan rasa sakit dengan napas
terengah-engah. Betari Ayu berkata pelan,


"Sekali lagi kau tidak sopan terhadap dia, kupatahkan
kedua tangan dan kakimu!"
Pendekar Mabuk sendiri sempat kaget dan tak
menyangka kalau tangan Betari Ayu mau berkelebat
menampar Selendang Kubur, ia jadi tak enak hati
mendengar kata-kata Betari Ayu tadi, seakan dia sangat
dibela harga dirinya di depan sang murid.
"Ampunilah saya, Guru," ucap Selendang Kubur
setelah hening sejurus dan suaranya terdengar melemah.
Air matanya mulai menggenang di kedua kelopak mata.
Tapi Betari Ayu cepat menggeram bagai lampiaskan
kemarahannya,
"Sekali lagi kuingatkan, aku benci melihat muridku
menangis! Minggat saja kau, jika harus menangis di
depanku!"
Selendang Kubur segera tarik napas dalam-dalam, ia
menelan ludahnya sendiri beberapa kali, kemudian
berkata dengan tegas,
"Saya memang salah, Guru! Saya mohon ampun dan
berjanji untuk tidak mencuri kitab pusaka itu lagi!
Saya... saya butuh ketenangan jiwa untuk beberapa saat
ini, Guru!"
Suto manggut-manggut sambil sesekali melirik
Selendang Kubur. Yang dilirik sudah mulai
mengendurkan permusuhannya. Sikapnya kembali
lunak.
"Ke mana kau akan menenangkan diri?" tanya Nyai
Betari Ayu.
"Barangkali saya perlu beristirahat di Puncak


Kundalini beberapa waktu lamanya."
"Aku sendiri mau mengasingkan diri ke sana!"
"Jika Guru izinkan, biarlah saya berada di
lerengnya!"
Betari Ayu tundukkan kepala sebentar untuk berpikir,
lalu wajahnya ditengadahkan dan berkata kepada
Pendekar Mabuk,
"Lepaskan totokannya, Suto!"
Suto tertawa pelan, kemudian menepuk punggung
Selendang Kubur sambil berkata, "Ingatlah janjimu,
jangan sampai kau langgar!"
Pada saat itulah tubuh Selendang Kubur tersentak dan
jatuh bagaikan lumpuh. Beberapa saat kemudian ia
berusaha bangkit, dan dapat bergerak dengan bebas, ia
segera menunduk, memberi hormat pada gurunya yang
bijak. Sang guru segera berkata,
"Pergilah sekarang juga  ke Gunung Kundalini, aku
nanti menyusulmu!"
"Baik, Guru!"
Setelah itu, Selendang Kubur pun melesat cepat tanpa
menoleh kepada Suto lagi. Kini tinggal Suto berhadapan
dengan Betari Ayu. Dewa Racun berdebar-debar
memperhatikan pertemuan kedua tokoh Ku.
"Benarkah kau membutuhkan Kitab Wedar Kesuma
ini, Suto?"
"Kalau kau izinkan, aku memintanya."
"Bagaimana kalau tak kuizinkan?"
"Bawalah pergi, dan biarlah aku tak jadi memberikan
mas kawin untuk adikmu; Gusti Mahkota Sejati."


"Rebutlah dariku!"
Suto menggeleng dengan mulut bungkam.
"Kalau kau tak merebut dan bertarung denganku,
kitab ini tidak akan kuberikan padamu!"
"Pergilah dan jangan bikin darahku mendidih, Nyai!"
"Baik kalau itu keputusanmu. Aku pergi!"
Slaappp...! Betari Ayu pun melesat cepat tinggalkan
tempat. Suto tertegun tak bergerak dalam kegundahan
hatinya antara mengejar, merebut, bertarung, atau
mengalah? Dan pada saat itu Dewa Racun datang
dengan kegeramannya.
"Bo... bod... bodoh! Rebut kitab itu! Kau harus
tunjukkan pada Nyai Gusti-ku bahwa kau bisa merebut
dan mengalahkan kakaknya! Re... rebut! Lekas kejar di...
dia! Kejar...!"
Suto tetap diam. Bahkan ia tundukkan kepala dan
pejamkan mata. Dewa Racun menggerutu tak karuan.
Tapi tiba-tiba ia berkelebat pergi ke semak-semak, pada
saat itu ia melihat ada bayangan datang mendekati Suto.
Ternyata Betari Ayu kembali lagi.
Perempuan cantik dan anggun itu berdiri di depan
Suto, dan Suto memandangnya dengan lembut. Lalu,
Suto berkata,
"Mengapa tak segera pergi! Jangan paksa aku
membunuhmu, Nyai!"
"Aku telah kalah padamu sebelum kau bertarung
denganku," kata Betari Ayu. "Terimalah kitab ini!
Berikan kepada adikku sebagai mas kawin darimu. Dan
katakan, kau telah menundukkan aku dengan kelembutan
 dan kasih sayangmu!"
Suto menerima kitab itu. Lalu tiba-tiba Betari Ayu
melesat pergi tanpa pamit lagi. Suto menggeragap dan
segera serukan kata,
"Nyaaaaii...!" dengan hati disiram keharuan yang
dalam.
SELESAI
Pendekar Mabuk
Ikuti kisah Petualangan Suto Sinting Pendekar Mabuk
dalam episode:
ISTANA BERDARAH

Pendekar Mabuk