Pendekar Mabuk 7 - Utusan Siluman Tujuh Nyawa (Bagian 1)


CERITA SILAT INDONESIA ONLINE
SERIAL PENDKAR MABUK
EPISODE
UTUSAN SILUMAN TUJUH NYAWA


Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing

1
SEBELUM berangkat ke Puri Gerbang Surgawi,
tempat kediaman Nyai Gusti Dyah Sariningrum yang
menjadi kekasih idaman Suto, Pendekar Mabuk murid si
Gila Tuak itu menyempatkan  diri untuk singgah ke
Jurang Lindu. Kali ini ia terpaksa tidak bisa
meninggalkan Dewa Racun, orang kepercayaan Nyai
Gusti Dyah Sariningrum yang ditugaskan menjemput
dan mengawal Suto Sinting. Tetapi, Dewa Racun
agaknya tahu diri dalam hal ini.
"Tem... tem... temuilah gurumu, akkk... akkk... aku
akan menunggu di luar gua. Aaakk... aku tidak perlu ikut
masuk!"
"Baiklah. Aku tak lama!"
Suto cepat tinggalkan orang kerdil berpakaian putih-
putih dari jenis kulit binatang berbulu itu. Curahan air


terjun yang deras ditembusnya masuk dengan satu
kelebatan secepat kilat. Jraasss...!
Mulut gua yang ada di balik curahan deras air terjun
itu dipakai mendarat sepasang kaki Pendekar Mabuk
yang kokoh. Jika bukan orang berilmu tinggi, tak
mungkin bisa menerabas tembus curahan air sebegitu
besarnya dari jarak lompat lebih delapan belas langkah.
Apalagi tanah di mulut gua itu licin oleh lumut, sudah
pasti akan membuat orang yang tidak mempunyai ilmu
peringan tubuh akan tergelincir.
"Sudah kau selesaikan urusanmu, Suto?!"
Kehadiran Suto disambut oleh seorang berpakaian
serba hijau yang tidak mengenakan jubah. Jubah
kuningnya itu tampak digantungkan pada salah satu sisi
dinding gua. Orang tua berambut panjang beruban itu
tak lain adalah si Gila Tuak, guru Suto Sinting.
"Maksud Guru, urusan yang mana?" Suto ganti
bertanya sambil langkahkan kaki mendekati gentong
tuak.
"Pertarunganmu dengan Manusia Sontoloyo apa
sudah kau selesaikan?"
"Sudah, Guru!"
"Bagus. Sebab, menang atau kalah sebuah
pertarungan tak boleh ditolak oleh seorang pendekar.
Dengan cara licik atau ksatria, janji pertarungan tanding
laga tetap harus dilaksanakan!"
"Saya paham, Guru!"
Tak jauh dari gentong-gentong tuak itu, seorang
perempuan cantik yang anggun dan bijaksana duduk


memandangi Suto. Perempuan yang mengenakan
pakaian biru muda dengan jubah tipis sutera warna
kuning itu sunggingkan senyumnya saat Suto menuang
tuak ke dalam bumbung sambil melirik kepadanya.
"Apakah Dirgo Mukti, si Manusia Sontoloyo itu
tewas di tanganmu, Suto?" tanya perempuan itu yang tak
lain adalah Betari Ayu.
"Tidak, ia dirobohkan oleh muridmu sendiri, Nyai
Betari."
"Muridku?!" Betari Ayu berdiri dengan rasa kaget.
"Muridku yang mana? Selendang Kubur?" 
"Ya. Dia bergabung dengan Peri Malam dan Perawan
Sesat."
"Bergabung dengan Perawan Sesat?! Aneh sekali!"
"Mereka bertiga yang memprakarsai pertarungan di
Bukit Jagal. Mereka bertiga ingin membunuhku setelah
terlebih dulu tenagaku dipancing agar terkuras dengan
melawan Manusia Sontoloyo. Mereka berjanji kepada
Manusia Sontoloyo akan sanggup menjadi istri si
Sontoloyo itu, apabila Sontoloyo bisa mengalahkan aku!
Seorang temanku mengetahui rencana itu, lalu kubuat
kelicikan lain juga untuk menjebak mereka bertiga.
Sontoloyo kubiarkan menang, tentu saja mereka bertiga
jadi kelabakan dituntut janjinya oleh Sontoloyo.
Akhirnya mereka bertiga yang bertarung melawan
Sontoloyo!" (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Pertarungan di Bukit Jagal").
Si Gila Tuak perdengarkan tawanya yang mirip orang
menggumam. Kemudian ia ajukan tanya, "Apakah


Sontoloyo menang?"
"Tidak, Kakek Guru!" jawab Suto sudah terbiasa
memanggil gurunya dengan sebutan kakek, karena Suto
diambil murid sejak berusia delapan tahun. (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Bocah Tanpa Pusar").
Suto lanjutkan kata, "Dirgo Mukti atau si Manusia
Sontoloyo itu terluka parah, nyaris mati di tangan tiga
perempuan itu. Tapi Mawar Hitam datang dan segera
mengambil tubuh Dirgo Mukti kemudian membawanya
pergi ke Pulau Hantu."
"Mawar Hitam...?!" gumam Nyai Betari Ayu. Ada
kecemasan terbayang di wajahnya yang cantik itu.
"Dia masih punya dendam padaku, juga kepada Bibi
Guru," Suto palingkan wajah kepada si Gila Tuak yang
punya nama asli Ki Sabawana.
"Hati-hatilah jika ketemu dia," kata si Gila Tuak.
"Dia bukan saja berilmu tinggi, tapi punya banyak
kelicikan."
"Saya mengerti, Guru."
"Kau tak perlu mengejarnya ke Pulau Hantu. Di sana
banyak jebakan maut yang mematikan! Kalau kau ingin
menghadapi dia, pancing dia supaya keluar dari Pulau
Hantu dan lawanlah di tempat lain. Itu pun kalau
memang terasa perlu!"
"Baik, Guru!"
Betari Ayu bertanya, "Lalu, apa alasannya ketiga
perempuan itu ingin membunuhmu?"
"Aku kurang jelas, Nyai Betari. Tapi aku punya
kemungkinan, barangkali saja mereka sakit hati sebab


cintanya tak pernah kuhiraukan."
Si Gila Tuak terkekeh dalam tawa pelannya.
"Perempuan bisa lebih ganas dari seekor singa lapar jika
sudah berurusan tentang cinta."
"Tapi bisa selembut sutera jika bisa mengendalikan
cintanya," timpal Betari Ayu kemudian. Si Gila Tuak
makin terkekeh.
"Guru, saya datang menemui Guru hanya sekadar
untuk pamit. Saya hampir menemukan siapa perempuan
yang bernama Dyah Sariningrum itu. Di mana
tinggalnya pun saya sudah tahu. Sekarang saya akan
berangkat ke Pulau Serindu untuk menemuinya."
Si Gila Tuak melayangkan pandang ke arah  Betari
Ayu yang mulai berwajah sendu. Si Gila Tuak tahu, di
dalam hati Betari Ayu tersimpan duka kala Suto
sebutkan nama Dyah Sariningrum. Karena, si Gila Tuak
pun tahu bahwa Betari Ayu menyimpan rindu dan cinta
untuk Suto Sinting. Tapi agaknya Betari Ayu  lebih
berjiwa mengalah dan tak mau memperlihatkan rasa
kecewanya.
"Guru, apa saran Guru untuk perjalananku ke Pulau
Serindu? Menurut kabar dari Peramal Pikun, Guru
sebenarnya banyak tahu tentang calon jodoh saya itu,
tapi selama ini  Guru tidak pernah bilang apa-apa pada
saya. Jika Guru berkenan, tolong ceritakan sedikit
tentang Dyah Sariningrum, Guru!"
Kepala berikat kain merah itu menggeleng. Gila Tuak
ucapkan kata dengan pelan, sangat berwibawa dan bijak
sikapnya.


"Betari Ayu lebih banyak tahu tentang Dyah
Sariningrum daripada aku. Tanyakan saja padanya."
Cepat-cepat Pendekar Mabuk palingkan wajah dan
lemparkan pandangan tajam kepada Betari Ayu. Dahi
pun dikerutkan tanda heran dan terperanjat, sebab
selama ini Betari Ayu tak pernah mau bicarakan tentang
Dyah Sariningrum. Jika benar Betari Ayu tahu banyak
tentang Dyah Sariningrum, mengapa selama ini ia
rahasiakan hal itu di depan Pendekar Mabuk?
Betari Ayu tak berani membalas tatapan Suto.
Pandangan mata Pendekar Mabuk bagaikan menyimpan
segunung cinta dan daya pikat yang luar biasa, sehingga
Betari Ayu tak mau terjerat perasaannya terlalu dalam. Ia
palingkan wajah ke arah lain sewaktu Suto ajukan tanya,
"Benarkah kau banyak tahu tentang Dyah
Sariningrum?"
"Karena gurumu sudah buka rahasia, terpaksa aku tak
bisa berpura-pura lagi," jawab Betari Ayu.
Pendekar Mabuk langkahkan kaki dua tindak ke
depan Betari Ayu. Sengaja ia berdiri di depan wajah
cantik itu supaya ia bisa menatap lekat-lekat wajah
perempuan yang selama ini menyimpan cinta dan kasih
sayang kepadanya itu.
"Nyai," ucap Suto dengan lembut, "Katakanlah apa
yang kamu tahu tentang kekasihku itu! Katakanlah apa
adanya, Nyai."
Terdongak sedikit wajah Betari Ayu. Dipaksakan diri
memandang wajah Suto sambil ucapkan kata,
"Dyah Sariningrum adalah adikku!"


"Hah...?!"
Terperangah mulut Pendekar Mabuk seketika.
Terbelalak mata pemuda tampan itu, dan mematunglah
ia di depan Betari Ayu. Debar-debar jantung Suto seakan
ingin meledak menjebol dada demi mendengar jawaban
dari mulut berbibir manis milik Nyai Betari Ayu itu.
"Saat kau sebutkan nama adikku, saat kau mengigau
dalam sakitmu memanggil-manggil nama adikku, hatiku
pedih sekali, Suto. Perih, tapi juga bangga. Aku tahu kau
sangat mencintai adikku walau belum pernah bertemu di
alam nyata, kecuali di alam mimpi dan di alam
semadimu. Tapi aku percaya, kau punya cinta yang tulus
kepadanya. Itulah sebabnya aku tak banyak menuntut
dari cinta yang tumbuh di hatiku, Suto. Karena aku tahu,
hatimu itu ingin kau persembahkan kepada adikku
sendiri. Aku hanya bisa merawat cinta untuk diriku
sendiri, dan membagikan kasih sayang kepadamu yang
jauh lebih dalam dari seluruh kasih sayang yang pernah
ada."
"Mengapa kau tidak pernah mengatakannya padaku,
Nyai?"
"Kau tidak mudah percaya. Kau akan tuduh aku
mempengaruhi jalan pikiranmu. Kau akan anggap aku
berdusta. Dan yang terakhir, kau bisa benci padaku
karena salah duga. Aku tak ingin kau benci, Suto. Aku
juga tak ingin membencimu. Karenanya, semua
kupendam dan kujadikan rahasia pribadi buat diriku
sendiri."
Saat ucapkan kalimat terakhir, Nyai Betari Ayu


tundukkan wajahnya, ia menggigit bibirnya sendiri, bak
menahan luapan rasa yang tak mampu terucap lewat
kata.
"Nyai...," Suto ingin ucapkan sesuatu, namun ia tak
mampu menyampaikannya. Kerongkongannya bagai
tersekat gumpalan rasa yang tak tahu apa namanya.
Betari Ayu mengangkat wajahnya pelan-pelan.
Tangannya menggenggam pundak Suto sambil ucapkan
kata,
"Pergilah. Berangkatlah ke Puri Gerbang Surgawi.
Temui dia dan sampaikan salamku kepadanya! Kabarkan
keadaanku baik-baik saja!"
Suto makin tak tahu harus bilang apa melihat
kebijakan begitu agung dari Nyai Betari Ayu. Ia hanya
pandang gurunya, dan si Gila Tuak cepat menambahkan.
"Hati-hati, kau pasti akan berhadapan dengan
Siluman Tujuh Nyawa!"
Dahi Suto berkerut. "Siapa Siluman Tujuh Nyawa itu,
Guru?"
Gila Tuak hanya memandang Betari Ayu, lalu
memberi isyarat dengan anggukkan kepala pelan sekali,
hampir tak terlihat oleh mata Suto. Setelah melihat
isyarat itu, Betari Ayu pun tuturkan kata sebagai
jawaban pertanyaan Suto tadi.
"Nama aslinya Durmala Sanca, murid seorang
Pendeta Tibet, ia penguasa Laut Tenggara. Usianya
sudah seratus tahun, tapi masih kelihatan seperti berusia
lima puluh tahun. Durmala Sanca orang berilmu tinggi.
Jarang menginjakkan kakinya di tanah Jawa jika tidak


ada urusan penting. Salah satu ilmu kesaktiannya adalah,
bisa berubah wujud menjadi tujuh rupa yang berbeda-
beda. Itulah sebabnya ia mendapat julukan di kalangan
rimba persilatan sebagai Siluman Tujuh Nyawa."
"Apakah Kakek Guru pernah bertemu dengannya?"
tanya Pendekar Mabuk kepada si Gila Tuak.
"Secara berhadapan belum pernah, ia selalu
menghindari pertemuan denganku. Antara aku dan dia
tidak punya persoalan apa-apa. Tapi dengan bibi
gurumu, Bidadari Jalang, dia pernah bentrok dan hampir
saja tewas di tangan Bidadari Jalang. Sejak itu ia tak
pernah muncul lagi."
Suto Sinting angguk-anggukkan kepala. Lalu, ia
alihkan pandang kepada Betari Ayu, dan lontarkan
tanya,
"Lantas, apa hubungannya dengan Dyah
Sariningrum?"
"Sejak masa mudanya, ia mengejar-ngejar adikku.
Dia ingin memperistri adikku, tapi adikku menolak dan
mengadakan perlawanan. Sampai akhirnya, Dyah
Sariningrum terkena satu pukulan darinya yang bernama
pukulan 'Candra Badar'."
"Apakah pukulan itu berbahaya?"
"Sampai sekarang masih berbahaya dan tetap
bersarang di tubuh adikku. Pukulan 'Candra Badar' itu
membuat adikku bagai tahanan yang terkurung, tak bisa
keluar ke mana-mana, kecuali di lingkungan istananya."
"Mengapa bisa begitu?"
"Pukulan 'Candra Badar' membuat tubuh adikku


terbakar jika terkena sinar matahari, cahaya rembulan,
atau cahaya bintang. Jadi, baik siang maupun malam,
Dyah Sariningrum tidak bisa keluar dari istananya.
Karena cahaya kunang-kunang pun bisa membuat
tubuhnya terbakar. Semua cahaya yang bersifat alam,
akan membakar tubuhnya sebelum pukulan 'Candra
Badar' itu dibuang atau ditawarkan dari tubuh adikku.
Itulah sebabnya ia tak pernah berkunjung kemari untuk
menemuiku. Hanya sekali tempo saja aku ke sana
menengok keadaannya."
Bukan hanya Pendekar Mabuk yang terkesiap
mendengar penjelasan itu, tapi si Gila Tuak pun jadi
kerutkan dahi, matanya tajam memandang Betari Ayu.
Lalu, sebelum Suto Sinting bicara, Gila Tuak mendului
berkata kepada Betari Ayu,
"Mengapa kau tak pernah ceritakan padaku tentang
'Candra Badar' itu, Betari?! Aku malah baru
mendengarnya saat ini!"
"Urusan ini terlalu pribadi, sehingga tak enak jika
harus kubeberkan pada orang lain," jawab Nyai Betari
Ayu.
Rupanya keadaan Dyah Sariningrum yang diceritakan
Betari Ayu membuat panas hati si Gila Tuak. Baik Nyai
Betari Ayu maupun  Dyah Sariningrum adalah teman
baik semasa muda si Gila Tuak. Usia mereka sebenarnya
seimbang, hanya bedanya Betari Ayu dan Dyah
Sariningrum menguasai ilmu kecantikan abadi sehingga
kelihatan tetap muda dan cantik, seperti yang dialami
oleh Bidadari Jalang, Nyai Lembah Asmara, dan


beberapa tokoh tingkat tinggi lainnya.
Merasa teman baiknya dalam keadaan dilukai oleh
Durmala Sanca, si Gila Tuak pandangkan mata ke arah
luar mulut gua. Pandangannya kaku, dingin. Tangannya
menggenggam kuat, giginya menggeletuk menahan
geram. Lalu, terdengar suaranya yang sangat berwibawa
di telinga Pendekar Mabuk.
"Suto, cepat berangkat! Bebaskan kekasihmu itu dan
hancurkan Siluman Tujuh Nyawa:"
"Baik, Guru!" jawab Pendekar Mabuk tegas dan
bersikap patuh. "Saya pamit sekarang, Guru!"
"Ya."
"Saya pamit, Nyai!"
"Tunggu," cegah Nyai Betari Ayu, membuat Suto
menghentikan langkahnya yang sudah sampai di mulut
gua, juga membuat si Gila Tuak kerutkan dahi dalam
menatapkan pandangannya.
"Bawalah cincin ini. Kau yang berhak memakainya,
Suto. Bukan aku!" Nyai Betari Ayu melepaskan Cincin
Pusaka Manik Intan yang mempunyai kekuatan sangat
dahsyat itu. Tempo hari Pendekar Mabuk mengenakan di
jari Betari Ayu sebagai sikap berjaga-jaga dari serangan
mendadak, karena pada waktu itu Betari Ayu dalam
keadaan terluka. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Pertarungan di Bukit Jagal").
"Sebenarnya aku ingin menitipkan cincin ini padamu
sebagai ganti diriku menjaga keselamatanmu, Nyai!"
"Tidak, Suto. Aku tidak berhak memakai cincin
pusaka ini! Kaulah yang berhak memakainya, karena


cincin ini milik bibi gurumu, Bidadari Jalang."
Si Gila Tuak segera menyahut, "Simpan saja di dalam
bumbung tuakmu. Tuak itu akan semakin mempunyai
kekuatan dahsyat jika dipakai merendam cincin itu,
Suto!"
"Baik, Guru!"
"Jika keadaan sangat memaksa, kau masih bisa
memakai dan menggunakannya!" 
"Baik, Guru. Saya paham!"
"Suto," Betari Ayu meraih tangan pemuda tampan itu.
"Ingatlah, kita saling menyimpan kasih sayang, tapi
berikan cintamu kepada adikku setulus mungkin, dan
kumohon jangan sakiti hatinya."
"Tidak akan aku melukai hatinya maupun kulitnya.
Bahkan bayangannya pun tak berani sembarangan
kuinjak!"
Senyum manis mekar di bibir Nyai Betari Ayu.
Senyum manis itu berbaur dengan rasa iba, cinta,
sayang, dan kebahagiaan. Pendekar Mabuk melirik
gurunya sebentar. Tapi karena sang Guru tidak
palingkan pandang, walau sudah ditunggu sekian lama,
maka Pendekar Mabuk nekat mencium pipi Nyai Betari
Ayu. Setelah itu, Pendekar Mabuk jadi malu melirik
gurunya sendiri dan berkata pelan, "Maaf, Guru...!"
"Teruskan!" hanya itu jawaban si Gila Tuak, lalu
balikkan badan dan melangkah ke gentong tuak.
Pendekar Mabuk baru akan mengulangi kembali
kecupannya tadi, namun si Gila Tuak segera menoleh
kaget. Dari sana ia membentak keras,


"Yang kumaksud, teruskan langkahmu!" 
"Oh, hmm... iya... anu, maaf, Guru!" Suto kaget dan
jadi gelagapan. Lalu, dengan cepat ia melesat pergi
tinggalkan mulut gua.
Si Gila Tuak memandangi kepergian muridnya
sambil geleng-gelengkan kepala dan menggumam.
"Dasar murid sinting...!"
*
*  *


2
SATU hal yang belum diketahui secara pasti oleh
Suto, yaitu dengan apa ia harus pergi ke Pulau Serindu,
yang konon jauh letaknya dari tanah Jawa.
"Kkkam... kam... kamu tidak usah khawatir, Suto.
Aku sudah siapkan pe... pppeee... per...." 
"Perawan?!"
"Husy! Bukan! Akk... aku sudah siapkan perahu
untuk perjalanan kita ke sana. Perahu itu kugunakan
waktu kemari dan kusimpan di tempat yang... yang
ammm... ammm..."
"Ampuh?!"
"Aman!" sentak Dewa Racun.
Setiap Suto mendengar omongan Dewa Racun, ia
selalu merasa capek sendiri melihat orang kerdil itu
terengah-engah dalam bicaranya. Kadang Suto tak ingin
mengajak Dewa Racun untuk bicara, tapi orang kerdil
berkepala botak bagian tengahnya itu justru memancing


percakapan. Kadang Pendekar Mabuk merasa tak sabar
jika bicara dengan Dewa Racun yang gagap itu. Kadang
juga merasa kasihan jika Dewa Racun harus banyak
bicara. Tapi si kerdil bersenjata panah pendek itu
agaknya tersinggung jika tidak diajak bicara.
"Ap... apa... apakah kita mau mampir dulu ke
pondoknya Renggono?" tanya Dewa Racun dalam
perjalanan menuju pantai,
"Siapa itu Renggono?"
"Nama aslinya Peee... pee.... Peramal Pikun!"
"Menurutmu sendiri bagaimana? Apakah kita perlu
mampir ke sana dulu atau langsung ke pantai tempat
perahumu disembunyikan?"
"Per... perrr... perasaanku tak enak sejak tadi. Ada
baiknya kalau kita mammm... maamm... maamm...."
"Kamu itu lapar atau bagaimana? Kok maem, maem,
terus?"
"Maksudku, mammm... mampir ke Peramal Pikun!"
Dewa Racun bersungut-sungut merasa dilecehkan.
Pendekar Mabuk tertawa sambil tepuk-tepuk pundak
Dewa Racun, menenangkan perasaan Dewa Racun agar
tidak tersingung.
"Baiklah, kalau memang kau punya perasaan tak
enak, aku tak keberatan untuk mampir ke pondoknya
Renggono sekalian aku mau pamitan sama dia."
Pondok persinggahan Peramal Pikun terletak di tepi
sungai yang sunyi, rimbun oleh pepohonan sekitarnya.
Tepatnya, pondok itu terletak di kaki sebuah bukit tanpa
nama. Enak untuk mengasingkan diri, juga enak untuk


berlatih ilmu.
Peramal Pikun bukan orang dari golongan hitam.
Tapi ia mempunyai adik yang termasuk dalam golongan
hitam, yaitu Cadaspati, murid dari Malaikat Tanpa
Nyawa yang sudah dibunuh oleh si Gila Tuak, sebelum
Suto menjadi muridnya. Cadaspati sendiri dibunuh oleh
Datuk Marah Gadai. (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Pusaka Tuak Setan").
Manusia kurus kering yang sudah tua renta itu
sebenarnya adalah teman baik Dewa Racun. Semasa
Peramal Pikun menjadi muridnya Nyai Gusti Dyah
Sariningrum, ia berteman akrab dengan Dewa Racun.
Sayang sekali, Renggono jatuh cinta pada gurunya
sendiri, yaitu Dyah Sariningrum dan pernah melawan
untuk memperkosanya, sehingga ia diusir dari Pulau
Serindu dan dikutuk dengan ilmu yang bernama
'Rentang Kutuk'. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Pertarungan di Bukit Jagal"). Tetapi pengaruh
kutukan itu bisa ditawarkan oleh Suto, sehingga Peramal
Pikun yang tidak pernah meramal dan bila meramal
tidak pernah tepat itu, lolos dari maut yang mengancam
nyawanya.
Langkah Suto Sinting tiba-tiba terhenti, tangannya
meraih lengan Dewa Racun. Berhentinya langkah
Pendekar Mabuk bikin Dewa Racun kerutkan dahi
pertanda merasa heran.
"Add... adda... ada apa, Suto?"
"Aku melihat mayat di sebelah kanan sana!" kata
Pendekar Mabuk berbisik. Matanya yang memandang ke


arah kanan segera diikuti oleh pandangan mata Dewa
Racun. Dengan satu lompatan Suto mendekati
pandangan matanya, Dewa Racun juga ikut-ikutan
lompat dalam kecepatan tinggi.
Wuuttt...!
Sesosok tubuh terkulai di atas batang pohon yang
tumbang. Sesosok tubuh itu sudah tidak bernyawa lagi.
Mayat perempuan itu berpakaian coklat tua ketat tanpa
lengan baju. Keadaannya tertelungkup bagai jemuran
basah disampirkan di batang pohon. Perempuan bernasib
malang itu mempunyai wajah cantik, rambutnya acak-
acakkan. Suto Sinting tak asing lagi dengan wajah itu,
yang tak lain adalah wajah Perawan Sesat.
Karenanya, Pendekar Mabuk sangat terkejut melihat
Perawan Sesat telah menjadi mayat di situ. Dewa Racun
sendiri terperanjat, karena dia tahu Perawan Sesat adalah
salah satu dari  tiga kelompok perempuan patah hati.
Temannya yang dua adalah Selendang Kubur dan Peri
Malam. Perawan Sesat inilah yang membujuk Suto
setengah mendesak untuk tetap hadir dalam pertarungan
di Bukit Jagal melawan Dirgo Mukti.
"Ada apa sebenarnya? Apa yang telah terjadi di sini?
Bukankah tempat ini sudah dekat dengan pondok
kediaman Peramal Pikun?" pikir Suto dalam renungan
sejenaknya.
Dewa Racun membalikkan tubuh mayat itu. Ia
terkesiap sejenak melihat permukaan dada Perawan
Sesat hangus bagai terbakar api yang amat dahsyat. Di
sekitar lehernya ada bilur-bilur luka, dan di kedua


lengannya juga ada luka terkoyak bagai sabetan senjata
tajam beberapa kali.
Dewa Racun memandang mata Pendekar Mabuk.
Pendekar Mabuk masih tertegun menatapi keadaan
mayat Perawan Sesat. Lalu, Pendekar Mabuk
melayangkan pandang ke alam sekeliling. Banyak pohon
tumbang atau rusak, ada yang kering tapi masih berdiri
dengan daun-daunnya yang masih tergantung menempel.
Ada bongkahan batu yang tampak pecah dalam beberapa
waktu yang lalu. Juga  beberapa lubang tanah yang
terjadi bagai disemburkan dari kedalaman bumi.
"Tampaknya habis ada pertarungan hebat di sini,"
gumam Pendekar Mabuk seperti bicara pada dirinya
sendiri. Tapi Dewa Racun merasa diajak bicara,
sehingga ia pun menyahut.
"Ya. Ada pertarungan heb... heeb... hebat di sini.
Sepertinya belum laaam... laaam... lama. Bau asap dari
benda terbak... bakar masih kurasakan jelas di hiid...
hiiidung... hidungku!"
"Hmmm... siapa orang yang membunuh Perawan
Sesat ini? Setahuku Perawan Sesat punya  ilmu cukup
tinggi. Aku pernah menolongnya, aku pernah
bersamanya beberapa saat, dan aku tahu sebatas apa
tinggi ilmunya! Apalagi dia punya pedang gading yang
berkekuatan dahsyat! Hmmm... ke mana pedang
gadingnya? Tak kulihat ada di sekitar sini?"
Pendekar  Mabuk masih terpukau melihat keadaan
mayat Perawan Sesat yang dianggap misterius itu. Tanpa
pedang gading, tanpa Selendang Kubur dan Perawan


Sesat, dadanya hangus sampai pakaiannya pun tampak
habis terbakar, matanya masih mendelik saat sebelum
dikatupkan  oleh Dewa Racun. Padahal Suto tahu, ilmu
yang dimiliki Perawan Sesat bukan ilmu rendahan.
Gerakannya cepat sekali, bahkan mempunyai gerak
siluman yang bisa melesat cepat pindah tempat di
kejauhan sana. Suto pernah adu kecepatan gerak pada
waktu itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Perawan Sesat" dan "Murka Sang Nyai"). Melihat
keadaan seperti ini, pastilah lawan si Perawan Sesat
mempunyai ilmu lebih tinggi lagi.
"Mungkinkah kedua pppeee... perempuan temannya
itu yang membunuhnya?" tanya Dewa Racun.
"Maksudmu Selendang Kubur dan Peri Malam?
Hmmm... tidak! Menurutku bukan mereka. Sebab, aku
bisa mengukur ilmu mereka berdua dibandingkan
ilmunya Perawan Sesat masih belum seberapa. Masih
tinggi ilmunya Perawan Sesat."
"Tap... tap... tapi mengapa dia sekarang mati?"
"Pasti lawannya lebih sak... sak... sakti lagi!"
"Ah, jangan ikut-ikutan bi... bicara gagap!"
"Maaf, aku sedikit latah," kata Suto tanpa ada kesan
bercanda, berarti dia tadi memang benar-benar latah
sebentar karena terbawa gaya bicara Dewa Racun.
"Dddi... dia terkena pukulan beracun. Racun itu
sangat gaaa... ga... ganas," sambil Dewa Racun
mengamat-amati mayat itu.
"Apakah bukan karena pukulan tenaga dalam yang
amat tinggi?"


"Ya. Mmme... memang. Tapi ada campuran rraaa...
raa... racunnya! Lihat bagian bibirnya tampak biru."
"Itu karena dia mati. Semua mayat bibirnya tampak
biru!"
"Tiddd... tidak semua. Kulit di sekitar bib... bib...
bibirnya ini kelihatan biru, dddan... dan daging di dalam
kuku-kukunya itu juga membiru. Berarti addda... ada
racun yang ikut masuk ke dalam tubuhnya. Mungkin
bersamaan pukulan bertenaga tinggi, aaat... atau pukulan
beracun dulu, baru pukulan yang meng... meng...
meng...."
"Mengerut?!"
"Bukan. Menghanguskan dadanya! Jeel... jelll..."
"Jelek?"
"Jelas! Jelas kematiannya disebabkan pula karena ada
rrra... raa...."
"Raja?"
"Racun!" sentak Dewa Racun jengkel pada
kegagapannya sendiri.
Suto diam sejenak, memandangi mayat itu lebih dekat
lagi dengan berjongkok kaki. Lalu, ia berkata pada Dewa
Racun.
"Luka di tangannya seperti luka cambuk. Juga di
leher dan di bagian perutnya. Lihat, pakaiannya sampai
robek seperti habis kena cambuk keras!"
"Berrr... berr... beeer...," Dewa Racun megap-megap
sambil matanya terpejam-pejam. "Berr... berarti, ia
bertarung dengan orang yang bersenjatakan cccam...
cccam... caambuk!"


"Ya. Tapi, siapa tokoh berilmu tinggi yang
bersenjatakan cambuk? Menurut cerita Peri Malam, ia
pernah melihat Cadaspati bertarung dengan Datuk
Marah Gadai dengan senjata cambuk. Cambuk itu milik
Cadaspati. Tapi, Cadaspati sudah lenyap. Mati di tangan
Datuk Marah Gadai. Setelah itu... siapa lagi yang punya
senjata cambuk? Seingatku tak ada!"
"Bbberr... beeer...."
"Beranak?"
"Berarti! Berarti kita harus mencari orang yang
bersenjata cambuk. Pasti dialah pembunuh Perawan
Sesat."
"Kenapa harus mencari orang itu? Aku tidak punya
urusan apa-apa. Kematian Perawan Sesat bukan
urusanku."
"Kal... kali... kalau begitu, sebaiknya kita ting...
ting...."
"Tinggi?"
"Bukan. Kita ting... ting... ting...."
"Ah, kamu seperti lonceng penjual  tuak saja, tang-
ting, tang-ting tak jelas artinya!"
"Maksudku, ting... tinggalkan saja! Ya, tinggalkan
saja mayat ini kalau memang tak ada urusannya dengan
diir... diiir... dirimu!"
Pendekar Mabuk diam sebentar. Ada sesuatu yang
dipikirkan, seperti mengganjal di hatinya. Dewa Racun
pandangi wajah Suto yang berpikir. Lama sekali, baru
Dewa Racun ajukan tanya.
"Add... ada... ada apa, Suto?"


"Hmm... tidak ada apa-apa! Mari kita ke pondoknya
Peramal Pikun!" kata Pendekar Mabuk, lalu melesat
cepat, bagai menghilang dari depan Dewa Racun. Mata
orang kerdil itu jelalatan mengikutinya dengan
terbengong heran. Lalu, cepat ia susul Suto sambil
membatin dalam hatinya.
"Mengapa gerakan Suto jadi cepat sekali? Ia seperti
terburu-buru. Ada apa? Apakah mau kasih laporan pada
Renggono? Mungkin karena kata Suto, Renggono
pernah menolong Perawan Sesat, jadi ia merasa perlu
memberi tahu Renggono perihal kematian Perawan
Sesat?"
Dewa Racun berhenti jarak sepuluh langkah dari
pondoknya Peramal Pikun. Mata si kerdil berambut
jarang itu terbuka lebar tak berkedip melihat dinding
terbuat dari anyaman bambu itu jebol dan berantakan.
Pondok itu juga jebol bagian atapnya, seperti habis
dipakai keluar makhluk yang bisa terbang, atau seperti
habis kejatuhan seekor garuda raksasa.
Dewa Racun segera sentakkan kaki dan melesat pergi
dari tempatnya menuju pondok itu. Wajah tegangnya
memperhatikan Suto yang mencoba masuk ke dalam
pondok dengan susah, karena terhalang reruntuhan
sebagian atap.
"Pikun...!" desis Suto dengan mata tak berkedip,
jantungnya berdetak dengan kuat. Di belakangnya segera
menyusul masuk Dewa Racun yang juga berdesis
tegang.
"Renggono...?"


Tubuh Renggono atau Peramal Pikun yang kurus
kering itu terkapar di atas balai-balai bambu bertikar
anyaman pandan. Tubuhnya dalam keadaan berdarah di
bagian mulut dan telinga serta hidungnya. Melihat letak
kaki sebelah masih terkulai di luar balai-balai, berarti
Peramal Pikun baru saja berniat baringkan badan di situ
dengan keadaan susah payah.
Hal yang membuat mata Dewa Racun terkesiap
adalah bintik-bintik merah yang memenuhi tubuh
Peramal Pikun. Bintik-bintik itu seperti cacar berdarah,
menggelembung kecil dan akhirnya pecah memercikkan
darah segar. Sedangkan wajah Peramal Pikun sudah
seputih kapas, napasnya sangat tipis, namun masih bisa
membuka mata sedikit.
"Racun cobra...!" desis Dewa Racun setelah
memandangi bintik-bintik merah di sekujur tubuh
Peramal Pikun, sampai pada bagian daun telinganya
juga.
"Pikun, apa yang telah terjadi?" tanya Pendekar
Mabuk sambil menahan kegeraman di dalam hatinya
melihat nasib Peramal Pikun yang mengenaskan itu.
"Barrru... sajaaa... diiia... dia pergi," ucap Peramal
Pikun dengan lirih sekali dan susah payah melontarkan
nya.
"Siapa? Siapa yang menyerangmu?" desak Suto.
Dewa Racun menyahut, "Renggono, kau  pasti ter...
terkena pukulan... pukulan 'Racun Sengat Cobra'
Dddaan... ddaan... pemilik pukulan itu aad... ada... ada
lah Siluman Tujuh Nyawa! Bbbe... benarkah yang


datang menyerangmu aaad... ada... adalah Siluman
Tujuh Nyawa itu?"
Peramal Pikun makin berat helakan napas. Ada
sesuatu yang ingin dikatakannya, tapi sulit sekali keluar.
Napas dan suara bagai berdesak ingin lebih dulu keluar
dari mulut.
Melihat keadaan sudah separah itu, Suto cepat-cepat
ambil bumbung tuaknya yang sejak tadi tersandar di
punggung bagaikan pedang. Suto buka tutup bumbung,
dan ia tenggak tuak beberapa teguk, sebagian di
pakainya berkumur-kumur di mulut. Lalu, serta-merta
tuak itu disemburkan ke sekujur tubuh Peramal Piku
Buuurs... bruus...!
"Ahhg... aahg...!" Peramal Pikun gelagapan.
Suto tuang tuak ke dalam mulutnya lagi, lalu
semburkan kembali ke tubuh Peramal Pikun. Bruuus...!
Bruuus...! Bweeerrs...!
"Ahhhhggg...!"tubuh Peramal Pikun mengejang kaku,
kepalanya terdongak ke atas dengan mata tuanya
terpejam rapat-rapat. Makin lama dari tiap lubang keluar
asap kehijau-hijauan. Peramal Pikun mengerang dengan
suara tertahan bagaikan orang sekarat. Tubuh kakunya
menggeliat-geliat. Asap semakin banyak keluar dari tiap
lubang pori-pori tubuhnya. Asap kehijauan itu
mengabarkan bau aroma sangit, seperti rambut terbakar.
Melihat hal itu, Dewa Racun mundur tiga tindak.
Tegang dan merasa aneh melihat apa yang dilakukan
Pendekar Mabuk. Tetapi Pendekar Mabuk tetap tenang
memandang walau ia pun mundur satu tindak.


Setelah asap kehijauan membungkus tubuh Peramal
Pikun, asap itu mulai mereda tipis, dan makin lama
makin habis. Tapi tubuh Peramal Pikun tidak sekejang
tadi. Tubuh itu terkulai lemas dengan mata terpejam.
Lemas bagai tanpa tulang dan urat sedikit pun. Dewa
Racun menyangka Peramal Pikun mati. Tapi melihat
dari gerakan dadanya yang turun naik dengan pelan itu,
Dewa Racun yakin bahwa Renggono tidak mati.
Hal yang kemudian membuat Dewa Racun tak
berkedip menatap tubuh Peramal Pikun itu ialah keadaan
yang bersih di tubuh itu. Bintik-bintik merah seperti
cacar berdarah itu sudah tidak ada. Lenyap sama sekali.
Bahkan sisa darah yang semula membekas di hidung,
bibir, dan telinga, juga lenyap tak berbekas. Peramal
Pikun bagaikan orang sedang tertidur dalam istirahat
tenangnya.
Pendekar Mabuk sedikit sunggingkan senyum. Wajah
cemas hilang, berganti kelegaan yang menghadirkan
sorot pandangan mata teduh. Bahkan ia segera
melangkahkan kaki keluar untuk memandang sekeliling
tempat itu, sambil melewati Dewa Racun dan berkata,
"Biarkan ia tidur sejenak."
Dewa Racun tidak mengucapkan sepatah kata pun,
karena ia masih terpaku di tempat, terheran-heran
melihat cara penyembuhan yang dilakukan Pendekar
Mabuk. Kelihatannya sangat sederhana, tuak diminum,
dikumur-kumur, lalu disemburkan. Mudah sekali, tapi
sebenarnya punya kekuatan ilmu tinggi. Pengobatan
seperti itu belum pernah dilihat Dewa Racun


sebelumnya.
"Aneh sekali," Dewa Racun membatin, "Begitu
sederhana tapi punya khasiat yang amat tinggi. Luka itu
lenyap tanpa menunggu waktu berlama-lama. Peramal
Pikun kelihatan kembali segar tubuhnya. Ilmu macam
apa sebenarnya yang dimiliki anak muda itu?"
Dewa Racun cepat berkelebat menyusul Suto di luar
pondok. Pendekar Mabuk duduk di atas sebuah batu
dengan mata memandang dedaunan.
"Saam... sampai kapan dddii... dia siuman?"
"Dia tidak pingsan. Dia hanya tertidur sebentar. Tak
lama dia akan bangun. Tapi...," Suto diam, berkerut dahi,
dan melepaskan kerutannya, seakan pasrah pada
keadaan.
Dewa Racun jadi penasaran, lalu ajukan pertanyaan
yang mendesak,
"Tapi kena... kenapa?"
"Dia akan lupa padaku."
"Maks... maksud... maksudmu?"
"Ilmu 'Sembur Husada' adalah jenis pengobatan yang
bersifat sangat gawat. Korban bisa sembuh, tapi dia akan
lupa ingatan tentang diriku. Dia tidak ingat kapan
bertemu dengan aku."
"Mengapa bisa begitu?"
"Semburan tuakku membuat ingatan masa lalunya
tersapu habis. Terutama ingatan masa lalu tentang
diriku. Tapi, penyakitnya pun tersapu habis tak
berbekas."
"Heeb... hebb... hebat sekali ilmumu."


"Ah, sekadar ilmu pengobatan biasa, untuk menolong
sesama," Pendekar Mabuk merendahkan diri. Dewa
Racun geleng-geleng kepala, ia segera duduk di batu
depan Suto dan bertanya,
"App... apakah... ilmu 'Sembur Husada' bisa untuk...
untuk mengobati segala macam luka raac... raac...
racun?"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum rikuh, namun
ia anggukkan kepala, "Ya. Bisa."
"Wah, ilmuku biiis... biisa... bisa kalah. Seemmua...
semua racunku biiis... bisa kau tawarkan dengan ilmu
Sembur Hus... Huss...."
"Di sini tak ada ayam, tak perlu berhas-hus, has-hus!"
Suto terkikik geli. Dewa Racun bersungut-sungut.
Sebelum Dewa Racun bicara lagi, tiba-tiba dari
pondok reot itu muncul Peramal Pikun, seperti baru saja
bangun tidur, ia menguap di depan pintu, dan segera
berseri setelah memandang Dewa Racun.
"Dewa Racun, oh... rupanya kau datang membawa
teman baru? Hmm... siapa namanya? Kulihat anak muda
itu cukup gagah dan ganteng."
Dewa Racun kerutkan dahi, lalu ucapkan kata lirih
seperti bicara pada diri sendiri,
"Benar juga apa katamu, Sut... Sut... Suto! Dia tidak
mengenalimu laaa... laaa... lagi!"
"Tak apa. Kau bisa membimbing ingatannya dengan
menceritakan tentang diriku."
Peramal Pikun mendekati Dewa Racun dan Suto, tapi
ia bersikap tak kenal Suto dan merasa baru kali itu


melihat Suto. Dewa Racun segera ajukan tanya,
"Kau sama sekali tak mengenal anak muda ini?"
"Kalau kukenal namanya, sudah kusapa dia sejak
tadi! O, ya... siapa namamu, Anak Muda?"
"Suto...!"
"Hmmm... Suto...? Ya, sepertinya aku pernah dengar,
tapi di mana dan kapan. Aku lupa. Maklum sudah tua,
sudah waktunya pikun lagi!" Peramal Pikun nyengir
terkekeh.
"Dia yang baru saja sembuhkan kamu, Renggono!"
"Sembuhkan aku? Hmm...?" Renggono kerutkan dahi
mengingat-ingat. "Seingatku, aku tadi dapat serangan
dari orang tinggi besar menggendong tambang di
pundaknya...."
"Tinggi, bess... besar...? Gendong tambang di pun...
pundak?"
"Ya. Orang itu serang aku, karena ia tersinggung
dengan jawabanku. Dia tanyakan di mana murid si Gila
Tuak, dan aku bilang agar dia cari sendiri di setiap
gentong tuak, lalu dia marah. Dia serang aku habis-
habisan dan...."
"Dia itulah yang... yang... yang bernama Dadung
Amuk!" sela Dewa Racun.
"Siapa Dadung Amuk itu?" 
"Oor... or... or... orang kepercayaan Siluman Tujuh
Nyawa! Pantas kaal... kaaall... kalau kau kena pukulan
'Racun Sengat Cobra'!"
"Dadung Amuk?!" gumam Pendekar Mabuk. "Dia
cari aku? Untuk apa dan ke mana dia sekarang?"




3
KEPERGIAN ke Pulau Serindu tertunda karena hati
Suto dibuat penasaran oleh dua kejadian aneh, yaitu
kematian Perawan Sesat dan penyerangan terhadap diri
Peramal Pikun. Sesuatu yang amat membuat penasaran
hati Suto adalah ciri-ciri orang yang menyerang Peramal
Pikun. Kepada Dewa Racun, Peramal Pikun
mengatakan, bahwa orang yang menyerangnya dengan
sebuah pukulan 'Racun Sengat Cobra'  itu adalah orang
yang tinggi, besar, matanya lebar, berkumis tebal
melintang, jari-jari tangannya besar, alis juga tebal.
Pakaiannya komprang, baju tak dikancingkan.
"Menurutku, orang itu bukan bernama Dadung
Amuk," kata Suto dalam perjalanan menuju pantai. "Aku
pernah jumpai orang yang berciri-ciri begitu."
"Dddi... di... di mana kamu pernah jumpa orang itu?"
"Di sebuah desa nelayan. Nanti desa itu akan kita
lewati."
"App... appa... apakah dia penduduk asli desa itu?"
"Ya. Dia menetap di desa itu!" jawab Suto
memastikan diri.
Dewa Racun diam memikirkah jawaban-jawaban
Suto. Saat berikutnya ia perdengarkan suara gagapnya
lagi,
"Set... set... seet... setahuku, Dadung Amuk tidak
pernah tinggal menetap di sebuah desa. Ia selalu ikut ke
mana pun Siluman Tujuh Nyawa pergi, karena ia


termasuk tangan kanannya Siluman Tujuh Nya... Nya...
Nyawa! Ilmunya cukup ting... ting... tinggi, karena ia
termasuk murid dari Siluman Tujuh Nyawa."
"Setahuku," kata Pendekar Mabuk setelah diam
sesaat, "Orang yang punya ciri-ciri seperti warok, bukan
bernama Dadung Amuk, tapi bernama Singo Bodong!
Dan dia tidak punya ilmu sedikit pun! Ia orang lugu!"
Pendekar Mabuk ingat saat ia mengejar Peri Malam
dan masuk ke sebuah desa, di situ ia menemukan sebuah
kedai. Suto mengisi tuaknya di kedai tersebut. Tapi ia
diganggu oleh penampilan seseorang yang bertubuh
tinggi besar, jarinya ibarat sebesar pisang, semuanya
mirip dengan orang yang diceritakan Peramal Pikun.
Pendekar Mabuk sempat menumbangkan orang itu, dan
orang itu bernama Singo Bodong. Bahkan waktu
bermalam di keluarga Kriyo Suntuk, Singo Bodong ikut
hadir sebagai pendengar saat Suto menuturkan kisah
kependekaran para tokoh-tokoh dunia persilatan. Singo
Bodong ikut dalam kelompok orang-orang pengagum
Suto Sinting. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Darah Asmara Gila").
Jika benar orang yang ciri-cirinya diceritakan oleh
Peramal Pikun adalah Singo Bodong, yang mungkin
juga bergelar Dadung Amuk, maka Suto benar-benar
terkecoh kala itu. Ia menyangka Singo Bodong orang
polos dan lugu dalam hal keilmuannya, tapi ternyata
justru berilmu tinggi dan berbahaya, ia bisa
melumpuhkan Peramal Pikun yang punya ilmu cukup
tinggi itu, juga bisa melumpuhkan Perawan Sesat.


Sebab menurut dugaan Dewa Racun, orang yang
membunuh Perawan Sesat itu juga orang yang sama
dengan yang telah menyerang Peramal Pikun. Luka
koyak pada beberapa tubuh Perawan Sesat diduga
merupakan luka akibat cambukan, dan Dewa Racun
tahu, bahwa Dadung Amuk banyak menggunakan
senjata cambuk dalam pertarungannya. Sedangkan
setahu Suto, Singo Bodong tidak pernah membawa-
bawa cambuk yang berupa tali di pundaknya. Inilah beda
gambaran antara Dadung Amuk dengan Singo Bodong.
"Ada apa dia mencariku, sehingga dia membunuh
Perawan Sesat dan melukai Peramal Pikun?" tanya
Pendekar Mabuk seakan bicara pada dirinya sendiri.
Dewa Racun mendengar dan menanggapinya,
"Ku... ku... kurasa, kematian Perawan Sesat tid...
tidak ada hubungannya dengan pencarian dirimu. Ku...
kurasa nasib perempuan itu hampir sama dengan nasib
Peramal Pikun."
"Maksudmu?"
"Per... peeer... perkelahian itu timbul karena Dadung
Amuk tersinggung, atau merasa jengkel dengan jaaa...
jaaa...."
"Janda?"
"Bukan. Jengkel dengan jaaa... jawaban Perawan
Sesat. Seb... seeeb... seeb...." 
"Sebul?"
"Sebab! Sebab, Dadung Amuk orang yang mudah
tersinggung dan cepat marah. Kaaal... kaaal... kalau
sedang marah, tak segan-segan membunuh orang


walaupun perkaranya kee... keee...." 
"Kecil!"
"Bukan! Eh, iya... kecil! Perkara kecil bisa bikin
Dadung Amuk bunuh ooor... orrr... orrr..." 
"Orok?"
"Orang!" sentak Dewa Racun.
"Kau tahu banyak tentang dia rupanya?"
"Kka... kare... karena dia peer... pernah mengamuk di
Puri Gerbang Surgawi. Ak... aku... aku pernah terdesak
melawannya."
Semakin sangsi hati Suto. Jika benar Singo Bodong
itu adalah Dadung Amuk, tak mungkin Dewa Racun
terdesak melawan Singo Bodong. Tapi pengakuan Dewa
Racun itu agaknya bukan pengakuan yang dibuat-buat.
Dia bukan orang yang punya kebiasaan menipu.
Jika benar Dadung Amuk itu adalah Singo Bodong,
maka wajarlah jika ia mengetahui nama Pendekar
Mabuk. Tapi tidak wajar jika dia mencari Suto sampai
membunuh Perawan Sesat atau melukai Peramal Pikun.
Langkah Pendekar Mabuk pun terhenti kembali. Kali
ini Dewa Racun menabrak Suto dari belakang, karena
dia tidak tahu bahwa Suto akan menghentikan
langkahnya, ia sempat mengomel,
"Lain kali kalau mau berhenti kasih tan... tan... tanda!
Jadi aku tidak menabrakmu!"
"Kita sudah sampai di batas desa yang kuceritakan
tadi."
"Hmmm... kkaal... kalau begitu, mari kita cari orang
yang... yang kamu bilang beer... berr... bernama Singo


Dobong!"
"Singo Bodong!" Pendekar Mabuk membetulkan. 
"O, iya. Singo Bodong!"
"Tak usah jauh-jauh mencarinya," kata Suto. "Kita
bisa nongkrong di kedai yang dulu pernah kusinggahi
itu. Pasti cepat atau lambat kita bisa bertemu Singo
Bodong. Dia suka nongkrong di kedai itu, karena di sana
ada jual arak. Singo Bodong suka minum arak. Kita bisa
sergap dia di sana!"
Sebuah kedai yang dulu pernah disinggahi Suto,
keadaannya masih sama. Bedanya, dulu kedai itu hanya
ditunggui oleh pemiliknya seorang perempuan tua kurus.
Sekarang perempuan tua itu bersama suaminya, yang
juga kurus badannya.
Kedai itu mempunyai bentuk meja yang berkeliling
dalam bentuk huruf 'U'. Meja itu panjang dan
mempunyai bangku yang panjang pula. Saat Suto dan
Dewa Racun tiba di kedai itu, di sana sudah ada empat
pembeli, dua di meja yang berhadapan dengan Pendekar
Mabuk dan Dewa Racun, dua lagi ada di samping depan
Pendekar Mabuk. Seperti biasa, pertama kali yang
dilakukan Suto adalah pesan tuak untuk ditambahkan ke
dalam bumbung tuaknya.
Dua pembeli yang duduk berseberangan meja dengan
Suto selalu cekikikan menertawakan bentuk tubuh kerdil
Dewa Racun. Mereka sebentar-sebentar melirik,
berbisik, cekikik-cekikik, sambil menikmati
makanannya berlalap pete. Dewa Racun menahan
kejengkelan hati, sebab ia tahu dirinya ditertawakan.


Bahkan yang berbaju hijau berseru kepada pemilik
kedai.
"Mak, Mak... tolong ambilkan kerupuk gendar  di
depan bocah cilik itu, Mak!"
Sebelum pemilik kedai mengambil kerupuk gendar,
Dewa Racun sudah lebih dulu mengambilkannya, sambil
berkata,
"Tak usah merepotkan si Mak, Kang.... Ini kuambil...
kuambilkan! Te... te... terimalah!"
Wuuuttt...!
Dewa Racun melemparkan kerupuk gendar kepada si
baju hijau. Tangan si baju hijau berkelebat menangkap,
claapp...! Ia tersenyum menunjukkan ketangkasannya.
"Terima kasih, Nang! Kecil-kecil sudah ringan tangan
besok gedenya pasti panjang tangan, he he he...!" si baju
hijau tertawa, temannya si baju hitam juga tertawa.
Temannya itu segera memotong kerupuk gendar
tersebut, lalu keduanya sama-sama mencaplok kerupuk
gendar yang agaknya baru saja digoreng sehingga
terdengar kriyuk-kriyuk. Orang berbaju putih yang ada
di depan samping Pendekar Mabuk itu jadi kepingin dan
dia mengambil sendiri kerupuk itu lalu menyantapnya
dengan nikmat.
Pendekar Mabuk diam-diam sudah menaruh curiga
pada tindakan Dewa Racun. Mata Pendekar Mabuk
memandangi wajah dua orang yang sebentar-sebentar
cekikikan menertawakan Dewa Racun itu. Makin lama
makin jelas ada perubahan di wajah kedua orang
tersebut. Dari pori-pori wajahnya keluar rambut kecil-


kecil. Rambut itu makin lama makin cepat
bertumbuhnya, sehingga wajah orang itu mulai
menghitam samar-samar.
Pemilik kedai dan dua orang di samping depan Suto
itu terperangah melihat perubahan di wajah dua orang
itu. Bahkan yang berbaju putih berseru,
"Kang, Kang...! Kenapa wajah kalian itu? Banyak
rambutnya!"
Orang berbaju hitam memandang temannya dan
berkata, "Iya. Wajahmu ada rambutnya itu, Min!"
Yang dipanggil Min juga berkata kepada si baju
hitam, "Wajahmu sendiri banyak rambutnya, Jo?!"
Lalu, kedua orang itu saling tegang. Mereka
mengusap-usap rambut di wajah, mengibas-
ngibaskannya, tapi rambut tetap tumbuh dengan cepat.
Makin lama makin banyak. Orang itu ketakutan dan
panik, ia berdiri dan melepas bajunya. Bajunya
digosokkan ke wajah. Tapi pertumbuhan rambut begitu
cepat dan semakin lebat. Bahkan bukan hanya di
wajahnya saja, melainkan di dada, pundak, lengan, serta
sekujur tubuh menjadi berambut lebat. Rambut
kepalanya sendiri menjadi meriap panjang.
"Kenapa kita ini, Jo...?! Ooh... gatal sekali! Uuh...!"
"Kita jadi seperti monyet, Min! Aduh, gatal sekali
rambut-rambut ini?! Oooh... bagaimana ini, Min?!"
Suasana menjadi gaduh. Kedua orang itu garuk-garuk
dan berpola serba salah. Rambut makin menutup sekujur
tubuhnya. Mereka jejeritan  sambil meraungkan tangis
ketakutan. Satu dari mereka lari ke bawah pohon dan


menggosok-gosokkan punggungnya dengan batang
pohon itu. Temannya pun menyusul, sehingga akhirnya
mereka jadi bahan tontonan orang banyak.
"Mungkin dia keracunan kerupuk gendar yang
dimakannya tadi!" kata orang berbaju merah, yang
duduk di samping orang berbaju putih. Yang berbaju
putih menyanggah.
"Ah, kurasa kerupuk itu tidak ada racunnya. Buktinya
aku juga makan kerupuk itu dan tidak tumbuh rambut
seperti mereka!"
Dewa Racun tertawa dengan mulut dibekap pakai
tangannya sendiri. Pendekar Mabuk melirik dan
membatin, "Tak salah lagi dugaanku, pasti dia yang
bikin ulah terhadap dua orang itu. Tapi, biar sajalah. Biar
dua orang itu belajar untuk tidak menertawakan
kecacatan seseorang. Biar kapok mereka! Cuma... diam-
diam hebat juga Dewa Racun ini. Pasti saat ia lemparkan
kerupuk tadi, ia sudah salurkan racun di dalam kerupuk
yang membuat pertumbuhan bulu kedua orang itu
menjadi cepat dan lebat."
Ulah Dewa Racun mendatangkan banyak orang.
Mereka menonton kedua orang berbulu itu dengan
kasihan dan geli, karena gerakannya menjadi seperti
monyet kegatalan. Tontonan itu memancing seseorang
untuk datang melihat, dan orang itulah yang ditunggu-
tunggu oleh Suto.
Dewa Racun terkesiap sejenak, lalu berbisik pada
Suto,
"Lihat ooor... orr... orang yang baru ddaaa... daa...


datang itu. Dialah... dialah yyyaaah... yyyang namanya
Dadung Amuk!"
Suto kerutkan dahi. Setahu Suto, orang tinggi besar
yang baru datang itu bernama Singo Bodong, bukan
Dadung Amuk. Dan, dipundaknya tidak ada tambang
seperti ciri-ciri Dadung Amuk. Maka Suto pun
membantah.
"Dia bukan Dadung Amuk. Dia yang kukatakan tadi
bernama Singo Bodong!"
"Buk... buk... bukan! Dia itu Dadung Amuk. Aaak...
aaak... aku pernah ketemu dengan dia. Dddi... dia pasti
mengenaliku, Suto! Kaaal... kalau... kalau tidak percaya,
cobalah kau panggil dia!"
Orang berkumis tebal yang jari-jarinya besar dan
mengenakan gelang akar bahar itu tertawa keras melihat
ulah kebingungan dua manusia berbulu itu.
"Huaaa, ha ha ha ha...! Ini baru tontonan segar, hua,
ha ha ha...!"
Dari tempat duduknya di kedai itu, Suto mengambil
sebutir jagung rebus, yang diambilnya dari kumpulan
jagung rebus di atas meja. Biji jagung rebus yang lunak
itu disentilkan ke betis orang tinggi besar tersebut.
Tasss...!
Biji jagung melesat cepat, mengenai betis yang
sebesar gedebong pisang. Plik...!
"Aaauh...!" orang tinggi besar itu tiba-tiba menjerit
dan jatuh ke tanah dalam keadaan terduduk, ia
mengerang sambil memegangi betisnya yang tiba-tiba
sakit sekali bagai dipatok ular berbisa, ia meraung


sambil memaki-maki kesakitan,
"Babi bunting! Siapa yang lempar kakiku pakai batu
besar, hah?! Kucing kurap! Kambing kudis! Auuooh..
sakitnya, Diamput!"
Pendekar Mabuk berbisik kepada Dewa Racun,
"Kalau dia orang berilmu tinggi, tak mungkin akan
meraung kesakitan hanya terkena sentilan jagung rebus!"
"Aneh?!" gumam Dewa Racun sambil memandangi
orang besar itu dengan mata terbengong. Lalu, ia segera
bisikan kata pada Suto.
"Setahuku, Ddda... Dadung Amuk tidak bisa
kesakitan seperti itu. App... aap... apalagi hanya kena
sebutir jagung, walau kau isi tenaga dalam, terkena
tendangan dadanya ser... ser... seribu kali juga tidak akan
mengaduh begitu."
"Itu tandanya dia bukan Dadung Amuk!"
"Tid... tidak... tidak mungkin. Dia pasti Dadung
Amuk. Aku kenali suara tawanya tadi!"
Orang-orang yang menonton dua manusia berbulu itu
sebagian memandang dan mengerumuni orang besar
yang kesakitan dan duduk di tanah. Betis orang itu
memar membiru sebesar kelereng. Jelas itu karena
tenaga dalam Pendekar Mabuk yang disalurkan melalui
sebutir jagung rebus tadi. Jika tidak dialiri tenaga dalam,
tak mungkin bisa membekas biru dan membuat orang
tinggi besar bagaikan lumpuh seketika. Tapi, tentu saja
tenaga dalam itu tidak berbahaya. Suto Sinting tidak
ingin mencelaki orang tak bersalah.
"Ada apa ini?!" Suto tampil dengan lagak tidak tahu-


menahu.
"Oh, kamu...?! Kebetulan, kakiku sakit sekali, ada
yang melemparnya pakai batu besar. Entah siapa
orangnya dan entah di mana batunya! Aduuuh... tolong
sembuhkan kakiku ini, sepertinya lumpuh dan tak bisa
dipakai berdiri lagi!"
"Mungkin kena kencing kodok, Kang!" kata Suto
dengan kalem. Kemudian betis itu diperiksanya sebentar,
dan tiba-tiba ditepuk dengan keras. Plakkk...!
"Wadooow...!" teriak orang itu dengan mulut lebar
menganga. Teriakan itu justru ditertawakan oleh
beberapa orang, karena wajah angker orang tinggi besar
itu kelihatan lucu dalam keadaan meraung kesakitan
begitu.
"Kamu ini bagaimana? Kusuruh menyembuhkan
malah ditabok! Dasar murid sinting! Apa begitu perintah
gurumu si Gila Tuak jika harus menolong orang?!"
"Maaf, memang begitulah caraku mengobati penyakit
seperti ini! Kalau kau tak terima, kukembalikan lagi
penyakitnya!" seraya Suto angkat tangannya untuk
menabok betis lagi,
"Eeeh, jangan, jangan! Sudah. Sudah cukup...!" orang
itu menggerak-gerakkan kakinya. "Hmmm... kok rasa
sakitnya jadi hilang seketika? Tadinya urat kakiku terasa
kaku, sekarang jadi lemas," sambil ia sentak-sentakkan
kakinya ke depan.
Plokkk...!
Tiba-tiba ada orang yang terkena sentakkan kaki itu.
Orang itu hanya memekik kecil, lalu mundur. Tidak


mengalami luka apa pun. Orang besar itu justru
mengomel.
"Lain kali kalau ada orang sedang goyang-goyangkan
kaki jangan di depannya, tahu?! Kalau kena begitu
bukan salah kakinya!"
Orang besar itu berdiri, mencoba berjalan mondar-
mandir. Bahkan melonjak-lonjak kecil, ia pun akhirnya
nyengir kepada Pendekar Mabuk.
"Enteng sekali, Suto! Tak ada rasa sakit sedikit pun!
Terima kasih atas pertolonganmu, Pendekar Mabuk!"
Lalu,  dia segera mendekat dan menepuk-nepuk
pundak Suto, "Kapan kau tiba di desa ini? Kapan
datangnya, Suto?"
Pendekar Mabuk tidak langsung menjawab, tapi
melirik tangan orang itu yang menepuk-nepuk
pundaknya. Orang itu cepat-cepat hentikan gerakan
tangannya dan menarik tangan sambil cengar-cengir
malu.
"Maaf, bukan maksudku berkurang ajar padamu. Aku
gembira sekali kau datang dan tentunya kau
menceritakan kisah pertempuran tokoh-tokoh di dunia
persilatan, seperti waktu di rumahnya Kriyo Suntuk itu,
bukan?"
"Apa benar kau yang bernama Singo Bodong?"
"O, ya jelas! Jelas!" Singo Bodong busungkan dada.
"Orang perkasa begini mana ada lainnya kecuali Singo
Bodong! Semua penduduk desa sini tahu kalau orang
gagah dan ganteng seperti ini adalah Singo Bodong! Ha
ha ha ha...! Ayo kutraktir minum kau! Mau minum Arak


Mujolangu atau Tuak Kebalen?"
Dewa Racun garuk-garuk kepala melihat keakraban
Pendekar Mabuk dengan orang yang disangkanya
Dadung Amuk itu. Di dalam hati Dewa Racun masih
membantah penglihatannya.
"Tak mungkin Dadung Amuk seperti ini. Tendangan
kakinya yang tak sengaja mengenai orang tadi, membuat
orang itu tidak apa-apa. Padahal angin tendangan
Dadung Amuk sudah cukup membuat mulut orang
menjadi pecah. Baru anginnya saja begitu, apalagi
tendangan langsungnya. Hmmm... dia sepertinya
memang bukan Dadung Amuk, tapi mataku belum rabun
dan belum pikun, aku lihat jelas orang itu adalah Dadung
Amuk. Anehnya dia sangat akrab dengan Suto?! Apakah
dia mengenaliku juga? Seharusnya dia mengenaliku
sebagai orang Puri Gerbang Surgawi, sebab aku pernah
bertarung dengannya beberapa waktu yang lalu."
Pendekar Mabuk mengajak Singo Bodong duduk di
dalam kedai, dan memperkenalkan Dewa Racun kepada
Singo Bodong.
"Ini temanku, Dewa Racun julukannya. Dia orang
sakti, berilmu tinggi. Jangan coba-coba menghina
kekerdilannya, kau bisa dibuat berbulu seperti kedua
orang tadi."
"Oh, eh... hmm... ya... aku percaya. Aku tak akan
menghina.... Hmmm... kau mau minum juga, Dewa
Racun?"
Pertanyaan itu tak dijawab oleh Dewa Racun,
melainkan ia ganti bertanya kepada Singo Bodong,


"Bukkk... bukankah kamu yang ber... berr... bernama
Dadung Amuk?"
"Bukan. Namaku Singo Bodong," jawab Singo
Bodong dengan polos, tanpa ngotot sedikit pun.
"Setahuku kam... kamu Dadung Amuk, orangnya
Siluman Tujuh Nyawa!"
Singo Bodong tertawa geli, "Mana ada siluman kok
punya tujuh nyawa? Orang mana dia itu?"
"Jja... jang... jangan berlagak bodoh, Dadung Amuk!"
sentak Dewa Racun dengan kegeramannya. Singo
Bodong ketakutan dan segera berlindung di belakang
Suto.
"Kenapa dia galak padaku, Suto?"
*
* *

4
KALAU tidak ditahan Suto, Dewa Racun sudah
melancarkan pukulan tenaga dalamnya ke arah Singo
Bodong. Pukulan itu menyentak begitu saja melalui
telapak tangan kiri Dewa Racun. Karena Suto berada di
depan Singo Bodong, maka pukulan itu dihadang dengan
tangan kanan Suto. Deebb...!
Tubuh Dewa Racun terguncang sedikit, seperti mau
jatuh. Tubuh Pendekar Mabuk juga meliuk sedikit ke
belakang. Itu pertanda pukulan tenaga dalam yang
dilancarkan Dewa Racun cukup besar. Setidaknya dapat
membuat  dada Singo Bodong memar membiru jika
terkena pukulan itu.


"Suto, mengapa temanmu memusuhiku? Aku tidak
menghinanya dan tidak pula meremehkan kesaktiannya.
Sumpah! Aku tidak menghinanya sedikit pun! Apa
salahku hingga dia memusuhi aku?!"
"Tenanglah. Temanku ini tidak suka dengar orang
banyak omong!"
"O, ya ya ya...! Aku akan diam," kata Singo Bodong
kelihatan sangat ketakutan. Dari raut mukanya saja
sudah dapat diketahui, Singo Bodong benar-benar
ketakutan hingga wajahnya jadi pucat.
"Dewa Racun, kurasa ada sedikit kesalahpahaman di
antara kita. Sebaiknya kita selesaikan dengan baik-baik."
"Aku masih tidak percaya kalau dia buk... buk...
bukan Dadung Amuk! Aku kenal betul lagak-lagaknya!"
"Ya. Boleh saja kau beranggapan begitu. Tapi lihat
wajah pucatnya. Dia benar-benar takut padamu!"
Dewa Racun perhatikan kepucatan wajah Singo
Bodong. Yang diperhatikan sedikit tundukkan kepala
alihkan pandangan dengan perasaan takut. Kemudian,
terdengar Pendekar Mabuk berbisik lagi,
"Dewa Racun, kita cari tempat yang lebih baik untuk
selesaikan perkara ini!"
"Baik!" jawab Dewa Racun dengan wajah bersungut-
sungut memendam kejengkelan.
Pendekar Mabuk membawa mereka berdua di
perbatasan desa. Di sana ada pohon rindang yang
berbentuk seperti payung raksasa. Biasanya pohon itu
dipakai meneduh anak-anak penggembala kambing. Tapi
kala itu suasana sepi, tak ada anak-anak penggembala


kambing. Mungkin mereka sedang bermain ke pantai
yang ada di sebelah utara desa itu. Sebab, sebagian dari
penduduk desa itu ada yang hidup sebagai nelayan, ada
pula yang bercocok tanam. Yang rumahnya lebih ke
utara hidup dengan bernelayan, yang rumahnya lebih ke
selatan hidup dengan bercocok tanam atau berternak
kambing.
Pendekar Mabuk berhenti melangkah setelah sampai
di bawah pohon besar yang rindang mirip payung
raksasa itu. Ia selalu memandang ke arah Dewa Racun,
karena takut kalau-kalau manusia kerdil itu tiba-tiba
menyerang Singo Bodong.
"Suto," kata Singo Bodong. "Aku sangat senang
sekali bisa bertemu denganmu. Aku mencarimu ke
mana-mana di sekitar pantai tapi kau tidak kutemukan.
Aku sangat berharap bisa bertemu dengan kamu.
Semula, aku berharap kau izinkan aku ikut kamu ke
mana pun kamu pergi. Aku sangat kagum pada kesaktian
ilmumu. Aku ingin berguru kepadamu supaya punya
simpanan seperti yang kau miliki. Tapi begitu aku
merasa dimusuhi oleh temanmu ini, aku jadi tak berani
ikut kamu. Aku bisa mati dihajar oleh temanmu, yang
walaupun kecil orangnya tapi aku tahu ilmunya tinggi."
"Darimana kau tahu kalau dia berilmu tinggi?"
pancing Pendekar Mabuk.
"Dari caranya memandang diriku, dia tak punya rasa
takut sedikit pun. Kalau orang tidak punya ilmu tinggi,
dia pasti akan takut memandang diriku yang tinggi,
besar dan kelihatannya angker ini!"


Sederhana sekali cara berpikirnya, pikir Pendekar
Mabuk tapi ia mempercayai pendapat Singo Bodong, ia
pun segera berkata kepada Dewa Racun,
"Kurasa kau sudah mendengar sendiri kata-katanya
tadi, Dewa Racun. Dia takut padamu."
"It... itu... itu hanya pura-pura saja! Ak... aku... aku
masih ingin menjajalnya. Dia akan kupaksa agar
menunjukkan ilmunya kepada kit... kit... kita!"
"Jangan. Itu berbahaya. Dia bisa mati karena
pukulanmu tadi!"
"Om... om... om...."
"Ompong?!"
"Omong kosong!" sentak Dewa Racun. "Dii... dia
bisa menangkisnya sendiri. Kal... kalau... kalau tidak
percaya, hhiiah...!"
Tiba-tiba Dewa Racun sentakkan dua tangannya dari
atas ke depan sambil kedua kakinya menghentak bumi.
Gerakan itu begitu cepat dan mengagetkan Suto Sinting.
Tenaga dalam dihempaskan dari kedua tangan dan
dibarengi oleh hentakan kaki ke bumi.
Singo Bodong yang masih terbengong tiba-tiba
terlempar ke belakang tujuh langkah jauhnya. Tubuhnya
bagaikan terbang dengan membungkuk ke depan, dan
akhirnya jatuh terkapar sambil meraung keras-keras, ia
terbatuk-batuk di sana dan memuntahkan darah kental
dari mulutnya. Darah itu tak banyak namun membuat
Suto cemas.
Suto bergegas menghampirinya. Menarik tangan
Singo Bodong hingga terduduk di tempat. Mata orang


tinggi besar berkumis melintang itu terbeliak-beliak
bagai sedang sekarat. Suto cepat tempelkan  tangan
kanannya ke punggung orang itu. Hawa murni
disalurkan lewat punggung Singo Bodong. Kejap
berikutnya, Singo Bodong hempaskan napas panjang-
panjang, lalu terengah-engah. Padahal tadi ia tak bisa
bernapas dan tersengal-sengal.
"Adduuh... apa salahku, Suto?" ratapnya dengan nada
sangat menderita sekali. "Kau bawa aku kemari hanya
untuk kau siksa begini. Sebaiknya aku pulang saja,
Suto!"
"Maafkan temanku itu. Dia salah duga. Kau disangka
Dadung Amuk."
"Dadung Amuk, Dadung Amuk, mukanya kusut itu
yang seperti dadung sedang mengamuk!" gerutu Singo
Bodong, (dadung = tali tambang).
Dewa Racun tertegun diam memandangi Pendekar
Mabuk melangkah bersama Singo Bodong ke arah
bawah pohon. Dewa Racun hanya membatin,
"Cukup berbahaya pukulanku tadi. Tak mungkin ia
biarkan begitu saja. Mestinya ia tangkis walau secara
diam-diam. Tapi darah yang keluar dari mulutnya itu
menandakan pukulanku kena pada sasaran. Kalau tidak
segera ditolong Suto, bisa mati dia! Apakah dia memang
bukan Dadung Amuk? Rasa-rasanya sulit aku
mempercayai dirinya bukan Dadung Amuk?!"
Suto Sinting berbisik kepada Dewa Racun, "Kurasa
sudah cukup, jangan kau jajal lagi ilmunya. Dia kosong.
Tidak punya ilmu apa-apa."


"Jang... jang... jangan mudah tertipu oleh permainan
liciknya, Suto," balas Dewa Racun berbisik.
"Waktu kusalurkan hawa murni di dalam tubuhnya,
aku tidak merasakan getaran membalik sedikit pun. Itu
tandanya dia kosong, seperti gentong tanpa isi."
"Benarkah?!"
"Ya. Aku bukan ada di pihaknya! Aku hanya ingin
mencegah agar jangan terjadi kesalahpahaman yang
menimbulkan korban."
Dewa Racun tarik napas, mengangkat pundaknya
pertanda pasrah pada keputusan Suto Sinting. Kemudian
ia dekati Singo Bodong dengan maksud mau minta
maaf. Tapi Singo Bodong bergerak lari ke belakang
pohon dengan ketakutan. Gerakannya itu menimbulkan
kaget bagi si kerdil Dewa Racun, sehingga Dewa Racun
pasang kuda-kuda dan siap menyerang dengan pukulan
jarak jauhnya.
"Tahan...!" sentak Suto cepat-cepat.
"Suto, aku mau pulang saja!" kata Singo Bodong
dengan wajah makin merasa ngeri berada di depan Dewa
Racun.
"Jangan bikin dia ketakutan dulu kalau kau mau tahu
bagaimana keadaan sebenarnya." kata Suto kepada
Dewa Racun.
"Kkku... kupikir dia mau menyerangku," kata Dewa
Racun dengan tersipu malu. Melihat ada senyum malu di
bibir  Dewa Racun, Singo Bodong sedikit lega. Ketika
Suto memanggilnya, ia pun mendekat.
Dewa Racun segera berkata kepada Singo Bodong,


"Maafkan aku. Kau memang mirip sekali dengan bekas
mus... mus... musuhku!"
"Aku merasa tidak bermusuhan denganmu."
"Kkau... kau  berkata dde... dengan sungguh-
sungguh?"
"Sumpah! Berani disambar janda terbang atau apa
saja, aku bukan musuhmu. Mak... mak... maksudku aku
tidak pernah bermusuhan deng... denganmu!"
"Hai! Jang... jangan... jangan ikut-ikutan gagap
kamu!" gertak Dewa Racun.
"Aku bukan ikut-ikutan gagap. Ak... aku... aku takut
sama kamu!"
Pendekar Mabuk tertawa geli mendengarnya. Yang
satu memang gagap omongannya, yang satu gagap
karena gugup. Keringat dingin Singo Bodong sampai
keluar semua karena ia duduk berhadapan dengan Dewa
Racun yang berdiri, ia merasa ngeri kalau sewaktu-
waktu wajahnya menjadi tempat tamparan atau
tendangan orang kerdil itu, sehingga ia gugup
menghadapi Dewa Racun.
"Jad... jadi... jadi kamu bukan Dadung Amuk?'
"Buk... buk... bukan! Summ... sumpah!"
"Ha ha ha ha...!" Pendekar Mabuk tertawa terbahak-
bahak melihat kedua orang itu. Yang satu kecil tapi
berani, yang satu besar tapi penakut. Sungguh keadaan
yang menggelikan buat Suto.
Setelah tawa dan kegelian itu reda, Suto bertanya
pada Singo Bodong,
"Apakah kau belum pernah mendengar nama Dadung


Amuk?"
"Belum, Suto."
"Apakah di sini ada yang bernama Dadung Amuk?"
"Seingatku, tidak ada yang bernama Dadung Amuk di
desa ini."
"Kal... kalau... kalau orang yang mirip kamu, apa ada
di desa ini, Sing... Sing... Sing... Singo Bodong?"
"Tidak ada. Tidak ada orang yang mirip aku di sini!"
kemudian Singo Bodong berbisik kepada Suto,
"Aku capek kalau dia ngomong."
"Ssst...!" Suto mengingatkan, Singo Bodong segera
diam.
"Tap... tapi... tapi tadi di sana kudengar kamu
mencari-cari Suto sam... sampai ke mana-mana. Apakah
benar begitu?"
"Ya. Benar."
"Da... Dadung Amuk jug... juga mencari-cari Suto!"
"Apa perlunya dia mencari Suto? Kurasa berbeda
dengan keperluanku mencari Suto," jawab Singo
Bodong.
"Ap... apa... apa perlumu mencari Suto?"
"Mmmmau... mau berguru!" jawab Singo Bodong
dengan masih menyimpan rasa waswas, takut dipukul
orang kerdil itu.
"Mmme... meng... mengapa kamu mau berguru
kepada Suto?"
"Sebab... sebab... sebab Suto sakti. Pendekar Mabuk
punya ilmu tinggi. Aku kepingin seperti Pendekar
Mabuk. Kalau perlu aku mau cari si Gila Tuak, dan


menjadi muridnya juga, seperti Suto. Ak... aku... aku
malu jadi orang besar dan berwajah angker begini, tapi
tak bisa mainkan jurus sedikit pun. Ak... aku— aku malu
pada diriku sendiri."
Plakkk...!
"Jangan ikut-ikutan gagap, nanti aku tersinggung!"
kata Dewa Racun sambil menampar pelan pipi Singo
Bodong. Yang ditampar kaget dan segera menggeser
duduknya agak menjauh, sambil mengusap-usap pipinya
yang pedas karena tamparan tangan kecil berbobot besar.
Pendekar Mabuk segera berkata kepada Dewa Racun,
"Dewa Racun, ada yang ingin kubicarakan sebentar
denganmu." Setelah itu Suto melangkah agak menjauhi
Singo Bodong. Dewa Racun segera mendekati.
Suto segera jongkok biar bisik-bisiknya  jelas di
telinga Dewa Racun,
"Aku punya gagasan untuk membawa serta Singo
Bodong ke mana pun kita pergi."
"Apa... apa mak... mak... maksudmu membawa dia?"
bisik Dewa Racun.
"Kalau dia bersama kita terus, segala gerak-geriknya
bisa kita awasi, sehingga kita tahu apakah dia berpura-
pura bodoh atau memang bodoh. Selain itu, kita bisa
membatasi gerakan Dadung Amuk agar tidak melakukan
pembantaian terhadap siapa pun, kalau memang ternyata
Singo Bodong adalah Dadung Amuk." 
"Hmmm... ya, ak... ak... aku tahu maksudmu
sekarang. Jadi, kita tidak boleh kelihatan men... men...
mencurigai dia. Ada baiknya kalau nanti kita berpura-


pura  lengah, sup... supaya dia terpancing dengan jati
dirinya.  Tap... tapi kalau dia memang bukan Dadung
Amu dan... dan memang Singo Bodong yang bodoh dan
penakut, apakah dia tidak akan menambah beb... beb...
beban kita?"
"Kit... kita bisa gunakan tenaga kasarnya," jawab
Suto agak terbawa gagap. Akhirnya ia tertawa sendiri
karena kegagapannya itu benar-benar tidak disadari.
Kepada Singo Bodong, Suto berkata, "Singo Bodong,
aku dan Dewa Racun mau pergi menyeberang  lautan.
Apakah kau mau ikut kami?!"
"Iyyy... iya! Mau! Mmmmau... mau sekali!" sambil 
berdiri penuh semangat. Tapi Dewa Racun menggerutu,
"Dia ikut-ikutan gagap disengaja atau tidak
disengaja?!"
"Dia kegirangan. Wajar kalau gagap sedikit. Jangan
tersinggung."
Pendekar Mabuk ganti bicara pada Singo Bodong,
"Kalau begitu, kita berangkat sekarang juga!"
"Hmmm... tapi... tapi bolehkah aku pulang sebentar,
Suto? Aku harus pamit pada ibuku dulu, supaya dia tahu
ke mana aku pergi!"
"Jabang bayi! Sud... sudah tua begitu kalau pergi
mass... masih harus pamit ibunya segala!" kata Dewa
Racun.
"Soalnya, ibuku hanya tinggal sendirian di rumah."
"Tak ada temannya?"
"Ada. Adik perempuanku. Yah, cuma adik
perempuanku yang menemani ibuku. Adik perempuanku


dan suaminya, dan keenam anaknya, dan dua adik
iparnya!"
"Itu namanya tidak sendirian! Ibumu banyak teman!"
kata Pendekar Mabuk sedikit membentak dan menahan
rasa geli. "Ya, sudah... cepatlah pulang dan bawa
makanan kalau memang ada."
"Singkong rebus! Ibuku punya singkong rebus yang
tadi pagi tidak laku dijual. Apa kalian mau?"
"Ambil saa... saa... saja!" jawab Dewa Racun
berlagak acuh tak acuh tapi kelihatan butuh.
Singo Bodong berlari seperti kerbau kebakaran ekor.
Tak ada tenaga peringan tubuh sedikit pun yang
digunakan dalam larinya. Pendekar Mabuk dan Dewa
Racun sengaja memperhatikan larinya untuk meneliti
kebenaran jati diri Singo Bodong.
"Orang berilmu tinggi tidak mungkin berlari seperti
itu," kata Suto bersuara lirih.
"Kalau dia pintar bersandiwara, jelas dia akan berlari
seperti itu di depp... deep... depan kita!"
Terdengar Suto berkata lagi tanpa memandang Dewa
Racun.
"Bagaimana mengenai wajah pucatnya? Apakah
orang bersandiwara bisa memainkan wajah pucat dengan
sendirinya? Apakah wajah pucat bisa timbul pada  diri
orang yang berpura-pura takut?"
"Memm... memm... memang tidak bisa. Tap... tapi
kalau dia pandai berpura-pura, wajah pucat bis... bis...
bisa keluar dengan sen... sendirinya."
Suto Sinting  duduk di sebuah batu yang licin, di


bawah pohon. Batu itu agaknya sudah sering digunakan
duduk oleh para penggembala, ia mengambil bumbung
dan menenggak tuak beberapa teguk.
Napas dihempas lepas, Suto berkata bebas, "Orang itu
memang aneh dan membingungkan. Kalau tidak ada
penjelasan darimu tentang Dadung Amuk, aku tidak
akan terheran-heran dan bingung sendiri seperti saat ini.
Separo hatiku percaya bahwa dia adalah Singo Bodong,
tapi separo hatiku sangsi. Hanya saja aku lebih
mengikuti separo hatiku yang percaya bahwa dia Singo
Bodong."
"Sep... sep... separo hatiku juga sangsi, tapi separo
hatiku percaya bahwa dia Dadung Amuk, dan akk... ak
cenderung mengikuti separo hatiku, bah... bah... bahwa
dia adalah Dadung Amuk. Bedanya hanya pada tali saja!
Kal... kalau dia menggantungkan tali di pundaknya ak...
aku tak sangsi lagi kalau dia adalah Dadung Amuk.
Dan... dan... hei, aku jadi punya curiga lain, Suto!"
"Curiga akan hal apa? Wajahmu jadi tegang, Dewa
Racun?!"
"Jaaa... jang... jangan-jangan, dia melarikan diri
karena kita telah tahu kedoknya, bahwa dia addda...
adalah Dadung Amuk?!"
"Melarikan diri?"
"lyyy... iyaa.... Dia melarikan diri dan mencari
kelengahanmu untuk menyerangmu dari belakang! Aku
menyusulnya ke sana!"
Dewa Racun cepat sentakkan kaki dan melesat pergi.
Suto terperanjat dan berseru,


"Mau ke mana kau?"
"Mencari rumah Singo Bodong dan membuktikan
bahwa ddiii... dia tidak melarikan diiir... diiir... diri!
tetaplah di situ, aku segera daaa... datang bersamanya!"
Tak sempat Suto punya pertimbangan lain, Dewa
Racun sudah menghilang. Dalam kesendiriannya di
bawah pohon itu, Pendekar Mabuk merenungkan
kejadian eneh tersebut. Suto membatin,
"Ada benarnya dugaan Dewa Racun. Kalau memang
Singo Bodong adalah Dadung Amuk, bisa jadi dia
melarikan diri dan tak mau menemuiku. Tapi dia akan
menghantamku dari belakang, tapi apa mungkin hal itu
akan terjadi? Belum tentu Dadung Amuk bermusuhan
denganku. Siapa tahu dia mencariku untuk satu
keperluan. Hanya karena jawaban Peramal Pikun waktu
itu menyinggung perasaannya, maka dia jadi marah dan
mengamuk seperti itu. Ah, semuanya serba tak jelas.
Apa perlunya Dadung Amuk mencariku, juga tak jelas.
Mengapa ia membunuh Perawan Sesat, juga belum pasti
karena kesalahan bicara. Mungkin punya alasan  lain.
Mungkin malah bukan Dadung Amuk yang
membunuhnya. Sebaiknya aku tak perlu terlalu gampang
mengambil kesimpulan. Aku tak perlu gegabah dalam
bertindak. Tapi, bagaimanapun juga aku harus bisa
bertemu dengan Dadung Amuk yang sebenarnya, supaya
persoalan ini menjadi gamblang. Setelah itu, baru aku
berangkat ke Pulau Serindu."
Pendekar Mabuk hempaskan napas panjang. Dewa
Racun belum muncul juga bersama Singo Bodong.


Apakah ada masalah di sana? Jangan-jangan Dewa
Racun yang sangat penasaran itu menjajal ilmunya
Singo Bodong hingga terjadi keributan? Itu yang
mencemaskan hati Suto. Maka, Suto pun bergegas untuk
menyusul ke pertengahan desa mencari Singo Bodong
atau Dewa Racun, ia harus mencegah rasa penasaran
Dewa Racun, cupaya tidak timbul korban salah paham.
Tetapi baru saja Suto Sinting berdiri sambil
membetulkan letak bumbung tuaknya di punggung, tiba-
tiba ia melihat seorang bertubuh besar melompat lari ke
arah kaki bukit di depan Suto. Cepat-cepat Suto
menggumam dalam batinnya,
"O, rupanya Singo Bodong hanya ganti pakaian, yang
semula hitam sekarang ganti pakai baju merah. Tapi
celananya masih hitam juga. Tapi... tapi mengapa dia
membawa tambang? Gulungan tambang itu
digantungkan di pundak seperti tas gantung saja. Mau
apa dia membawa tambang? Mau gali sumur atau mau
tebang pohon? Oh, dia menuju kemari. Rupanya dia
hampir lupa menghampiriku di sini. Eh, tapi di mana
Dewa Racun? Mengapa dia tidak bersama Dewa
Racun?"
Pendekar Mabuk menjadi semakin curiga melihat
gerakan Singo Bodong berbaju merah. Gerakan itu cepat
dan ringan, tidak seperti kerbau kebakaran ekornya.
Kejap berikutnya, Singo Bodong berbaju merah tanpa
dikancingkan itu sudah berada di depan Suto.
Matanya lebar, seperti biasanya. Alisnya tebal,
kumisnya juga tebal melintang. Tapi kali ini Singo


Bodong berbaju komprang merah itu menatap Suto
dengan sedikit menyipit curiga. Kain ikat kepalanya
sedikit lebih rapi dari yang tadi. Dan anehnya, Singo
Bodong menyapa Suto dengan suaranya yang besar bulat
seperti biasanya,
"Apakah kau kenal dengan orang yang bernama Suto
Sinting?!"

5
KECURIGAAN Pendekar Mabuk menjadi bertambah
setelah Singo Bodong berbaju merah itu menggertak
Pendekar Mabuk dengan sungguh-sungguh.
"Aku tanya kepadamu! Kenapa kamu melotot saja
hah?!"
Di dalam hati Suto berkata, "Singo Bodong tidak
akan berani membentakku begini! Rasa-rasanya aku
berhadapan dengan jelmaan Singo Bodong saat ini!"
"Hei, kau tuli?!" sentak orang tinggi besar itu. "Aku
tanya kepadamu, apakah kamu kenal dengan orang yang
bernama Suto Sinting?! Kalau kenal bilang saja kenal,
kalau tidak bilang saja tidak! Jangan bikin kemarahanku
melabrak kepalamu, tahu?!"
"Sepertinya... aku baru sekarang mendengar nama
orang yang kau cari itu," jawab Pendekar Mabuk dengan
kalem. "Siapa namanya tadi?"
"Suto Sinting!" teriaknya keras dengan wajah
dongkol.
"Aneh. Nama kok Suto Sinting?" gumam Suto
berlagak bingung.


"Itu urusan dia! Urusanku hanya mencari dia dan
membunuhnya!"
Terkesiap Pendekar Mabuk mendengar kalimat
terakhir. Geram  mendengar dirinya dicari untuk
dibunuh. Tapi Suto cepat menahan nafsu amarahnya,
dan bersikap tetap tenang, ia hanya lontarkan tanya
kepada orang itu,
"Apakah kau belum pernah bertemu dengan Suto
Sinting?"
"Kalau sudah pernah bertemu, aku tak akan bertanya-
tanya lagi! Cukup dengan melihat orangnya, langsung
kuhancurkan kepalanya!"
"Kau ini bagaimana? Belum pernah ketemu orangnya
kok sudah mau main bunuh saja? Jangan-jangan malah
kau yang terbunuh!"
"Gggrr...!" orang itu menggeram seperti singa. "Baru
sekarang ada orang berani bicara seperti itu! Kurang
ajar! Jangan berani sepelekan aku sekali lagi, kalau kau
masih ingin bisa bersiul esok hari!"
"Aku tidak sepelekan kamu. Tapi aku khawatirkan
dirimu. Badan  besar begitu kalau tahu-tahu mati
alangkah sayangnya?! Siapa yang mau menguburkan
dirimu segede gajah itu?!"
"Lancang mulutmu, Anak  Muda!  Jangan bikin
persoalan denganku kalau kau memang tak kenal Suto
Sinting! Bisa-bisa nasibmu seperti perempuan berambut
jabrik dan lelaki kurus kering di dalam pondoknya!"
Suto cepat membatin, "Perempuan berambut jabrik?
O, pasti yang dimaksud adalah Perawan Sesat. Hmmm...


jadi rupanya dialah orang yang membunuh Perawan
Sesat dan melukai Peramal Pikun!"
Orang itu berkata dengan mata melebar ganas,
"Ingat! Jangan lagi bicara sembrono di depanku! Kau
bisa kehilangan nyawamu dalam satu helaan napas saja,
tahu?!"
Suto tersenyum, bahkan tertawa pendek seperti orang
terbatuk.
"Kau tak perlu berlagak galak di depanku, Singo
Bodong! Aku...!"
"Namaku bukan Singo Bodong!" bentak orang itu.
"Namaku Dadung Amuk! Ingat, Dadung... Amuk...!"
Pendekar Mabuk makin lebarkan senyum dan
berkata, "Mau Dadung Amuk atau Dadung Keropos, di
mataku kau tetap Singo Bodong! Kau tak bisa bohongi
aku!"
"Kurang ajar! Hihhh...!"
Dadung Amuk melayangkan tamparan bertenaga
dalam, arahnya ke pipi kiri Suto. Tapi dengan cepat jari
telunjuk dan jari tengah tangan kanan Pendekar Mabuk
bergerak ke samping, menghadang gerakan tangan itu.
Tap...!
Telapak tangan bagai tertotok dua jari Suto. Tubuh
Dadung Amuk tersentak bagai mau melonjak namun
ditahan, ia menggeram sambil kibas-kibas tangannya
yang membentur dua jari Suto,
"Ooo...?! Rupanya kau punya isi juga, Bocah
Kencur?!" Dadung Amuk mulai tampak merah
mukanya. Suto masih tetap tenang, berdiri tegak


memandang wajah Dadung Amuk.
"Boleh aku tahu, mengapa kau ingin membunuh
Suto?" tanya Pendekar Mabuk sambil ia melipat tangan
di dada.
"Perlu apa kau tahu urusanku, hah! Terima saja
pelajaran keras dariku ini! Huhh...!" 
Wuugh...!
Dadung Amuk kepalkan tangannya. Tinju yang besar
itu dihantamkan ke wajah Pendekar Mabuk. Tapi tubuh
Pendekar Mabuk hanya berkelit ke samping dengan
sedikit miring. Wuuus...! Pukulan besar itu lolos, tidak
mengenai sasaran.
Orang tinggi besar itu hentikan gerak. Makin tajam ia
perhatikan wajah Pendekar Mabuk sambil melangkah
mengitarinya.
"Lincah juga kau rupanya!" gumam Dadung Amuk.
Suto hanya mengikuti dengan lirikan mata sambil
berkata,
"Kalau kau mau jelaskan persoalanmu, mungkin aku
bisa ikut membantumu mencarikan Suto."
"Semula aku butuh bantuanmu!" kata Dadung Amuk
yang kini ada di belakang Suto. Pendekar Mabuk tetap
tidak berpaling. Lalu, Dadung Amuk lanjutkan kata,
"Tapi setelah kutahu kau sepertinya menantang ilmu
padaku, aku jadi ingin mencoba isimu, setinggi apa
kesombonganmu bicara dengan kenyataan yang ada.
Hiaaah...!"
Dadung Amuk sentakkan tangannya. Pukulan
bertenaga dalam melesat dari tepian tangan. Arahnya ke


punggung Suto. Suto tersentak bagai mendapat dorongan
keras dari belakang, tapi ketika ia terlompat ke  depan,
rupanya kedua kakinya menyepak ke belakang.
Prakkk...!
Kedua kaki Suto menendang bagai kuda dan tepat
mengenai wajah angker badung Amuk. Orang itu
tersentak bagai menggeragap dan mundur empat
langkah, terhuyung-huyung jadinya.
Sementara itu, setelah kakinya mendarat di wajah
Dadung Amuk, tubuh Suto bergerak terguling di
rerumputan, tapi punggungnya tak sampai menyentuh
tanah. Tahu-tahu kakinya telah berpijak di tanah secara
mantap dan bersama-sama. Jlegg...! Dalam keadaan
jongkok, Pendekar Mabuk segera balik berdiri dan
balikkan kepala bagai ingin membuang rasa sakit.
"Monyet!" geram Dadung Amuk di  dalam hatinya,
"Tendangan bocah itu melebihi tendangan dua ekor
kuda! Kalau aku tidak segera sigap, sudah berantakan
gigiku!"
Dadung Amuk yang berpenampilan seperti seorang
warok itu segera maju tiga langkah dengan mata makin
buas dan liar. Penuh nafsu untuk membunuh. Sedangkan
Suto bergerak ke samping dengan kalem, dan berdiri
dengan punggung disandarkan pada batang pohon besar.
"Bocah keparat! Sudah terlambat kau minta ampun
padaku! Terima 'Racun Sengat Kobra'-ku ini, hiaaah...!"
Dadung Amuk mengangkat kedua tangannya di
depan wajah membentuk tegak lurus ke atas. Lalu, dari
kesepuluh kukunya mengeluarkan cahaya merah seperti


benang-benang menyala. Cahaya merah itu menjadi satu
di depan tangan dan melesat membentuk bayangan
seekor kobra melesat, menghantam dada Suto.
Tetapi sebelum bayangan ular kobra itu
mendekatinya, Suto sudah lebih dulu memutar bumbung
bambu tempat tuaknya dari punggung ke depan, lalu
bayangan merah seekor ular kobra itu ditangkisnya
dengan bumbung tempat tuak. Trangngng...!
Terdengar seperti suara besi bolong yang dihantam
besi padat saat bayangan seekor kobra mematuk
bumbung tuak. Bayangan merah itu berbalik arah,
bahkan kini menjadi tiga bayangan ular kobra melesat
menuju kepada pemiliknya.
Wesss... wess... wess...!
Dadung Amuk belalakkan matanya lebar-lebar. Kaget
melihat bayangan merah tiga ekor ular kobra menuju ke
arahnya. Cepat-cepat ia sentakkan kedua telapak
tangannya dari bawah ke atas dengan sedikit
merendahkan kedua kaki yang merenggang kokoh itu.
Wuurrsss...!
Pukulan dari atas ke bawah itu membuat bayangan
tiga ekor ular kobra menjadi nyala api sekejap. Lalu,
padam dan tinggal kepulan asapnya saja. Kepulan asap
itu cepat menghilang ditiup angin.
Mulut Dadung Amuk tak bisa bicara apa-apa. Ia
masih terkesima memandang tabung tuak yang dipegang
satu tangan oleh Suto itu. Ia masih merasa seperti sedang
bermimpi melihat pukulan 'Racun Sengat Cobra' bisa
dikembalikan dengan kekuatan tiga kali lipat itu. Baru
 kali ini ia mengalami kejadian yang sungguh
mengherankan dan menakjubkan.
"Siapa anak muda itu sebenarnya? Tak mungkin ia
berilmu rendah. Pukulan maut itu bisa ditangkis dan
dikembalikan, ini benar-benar luar biasa ilmunya!
Siluman Tujuh Nyawa jelas tak akan percaya kalau
kuceritakan kejadian ini kepadanya. Hmmm... sebaiknya
tak  perlu cerita kepada siapa-siapa, nanti malahan aku
ditertawakan mereka. Tapi..., agaknya anak muda ini
tidak bisa dibuat main-main!"
Dengan lantang, untuk menutupi rasa kagetnya atas
kejadian tadi, Dadung Amuk serukan kata,
"Bocah kencur! Siapa dirimu sebenarnya, hah?!"
"Apa perlunya kau tahu siapa diriku?" Suto sengaja
berlagak sinis untuk memancing kemarahan Dadung
Amuk.
"Sebaiknya kau mengaku saja, supaya aku bisa
mencatat namamu dalam daftar orang-orang yang telah
kubunuh!"
"Akan kucatatkan sendiri setelah aku berhasil kau
bunuh!"
Geram dari mulut Dadung Amuk semakin jelas.
Napasnya pun ngos-ngosan seperti seekor banteng mau
mengamuk.
"Kuhitung tiga kali, kalau kau tak mau menyebutkan
siapa dirimu, kuhabisi nyawamu sekarang juga!"
"Hitung saja satu kali!  Jangan tiga kali. Itu terlalu
banyak!" kata Suto makin memanaskan dada Dadung
Amuk.


Orang yang tidak mau disebut Singo Bodong itu
segera mengangkat kedua tangannya pelan-pelan.
Tangan yang menyerupai terkaman seekor singa itu
bergetar dan bergerak terus sampai di atas kepala. Lalu,
kedua telapak kakinya pelan-pelan terangkat naik sedikit
dari permukaan tanah. Mata itu semakin tajam
memandang. Dan tiba-tiba tubuhnya bergerak melesat
cepat menuju ke arah Pendekar Mabuk.
Wuuut...!
Wess...!
Pendekar Mabuk pun bergerak sangat cepat,
menggunakan gerak siluman. Kejap berikut Pendekar
Mabuk sudah berada jauh di bawah pepohonan pisang.
Dan gerakan cepat tubuh Dadung Amuk menghantam
pohon besar yang menyerupai bentuk payung besar itu.
Brruess...!
Wwwrrrr...!
Daun-daun runtuh bagaikan pohon mendapat
guncangan hebat. Tubuh Dadung Amuk yang
membentur pohon dengan keras itu terpental ke belakang
dan terkapar telentang di rerumputan. Hidungnya
berdarah, juga bibirnya ada yang robek sebagian.
Dadung Amuk sesak napas, ia mencoba berdiri dengan
terengap-engap. Tubuhnya terkena rontokan daun cukup
banyak, hingga ia merasa semakin geram dengan daun-
daun yang mengotori kepalanya.
"Haaah...!" Ia menyentak jengkel, lalu segera bangkit.
Matanya memandang celingak-celinguk mencari Suto.
Sedangkan yang dipandang hanya senyum-senyum saja


di tempat berjarak dua puluh langkah dari pohon besar
itu.
"Monyet borok!" geramnya memaki Suto. Darah
yang mengalir dari hidung diusapnya dengan lengan
baju.
"Anak setan!" geram Dadung Amuk. "Cepat sekali
gerakannya. Jangan-jangan dia punya ilmu sejajar
dengan Siluman Tujuh Nyawa. Bisa mampus aku di sini!
Sebaiknya kutinggalkan saja dia! Tak perlu kulayani,
ketimbang aku gagal menemukan Suto, bisa kena
pancung leherku oleh Siluman Tujuh Nyawa!"
Dengan satu hentakan kaki, Dadung Amuk segera
melesat pergi, ia menjauh dan makin menjauh menuju
lereng perbukitan. Suto hanya memandanginya dengan
senyum. Dan ketika Dadung Amuk tiba di perbatasan
bukit, Suto gunakan gerak silumannya lagi. Wuuut...
wuuut...!
Tahu-tahu ia sudah menghilang dari tempat semula
dan membuat Dadung Amuk terkejut sekali. Karena
sewaktu ia hendak teruskan langkah setelah melewati
perbatasan bukit, ternyata Pendekar Mabuk sudah berdiri
di depannya dalam jarak tujuh langkah. Maka Dadung
Amuk  pun menahan gerak selanjutnya, ia berhenti dan
menggumam dalam hati,
"Monyet juling! Itu bocah sudah ada di sana! Cepat
sekali gerakannya?! Setahuku dia masih tenang-tenang
di bawah pohon pisang!"
Suto sunggingkan senyumnya, ramah tapi menantang.
Dadung Amuk gemetar dibakar kemarahannya.


Napasnya pun naik-turun dengan cepat bukan karena lari
tapi karena memendam nafsu amarahnya.
"Heii, Bocah Kencur...!" sapanya dengan lebih galak
lagi, sambil ia langkahkan kaki tiga tindak ke depan.
"Apa maksudmu menghadang langkahku, hah?! Mau
benar-benar cari mati kau, hah?!"
"Aku hanya ingin tahu, apa alasanmu ingin
membunuh Suto?!"
"Itu tugasku! Tugas dari ketuaku!"
"Siapa ketuamu?"
"Siluman Tujuh Nyawa!"
"Ooo...," Pendekar Mabuk manggut-manggut.
"Kenapa hanya 'O' saja?  Kau tak merasa takut
mendengar nama angker itu? Siluman Tujuh Nyawa!
Bisa kau bayangkan betapa hebatnya ketuaku itu
mempunyai tujuh nyawa!"
"Kurang angker menurutku! Dan lagi, itu hanya
sebutan saja! Toh nyawanya tetap hanya satu?!"
"Tapi kau bisa dipancung dalam sekejap jika kau
berhadapan dengannya! Dia orang yang tak pernah kenal
kata ampun dan menyerah!"
"Ooo...," Suto manggut-manggut lagi namun tetap
tenang dan tersenyum-senyum kalem. "Lantas, apa
alasannya Siluman Tujuh Nyawa mau membunuh Suto
Sinting?"
"Itu rahasia!"
"Apakah Pendekar Mabuk itu musuh lamanya
Siluman Tujuh Nyawa?" 
"Musuh barunya!"


"Musuh baru?! Hmmm... sejak kapan Siluman Tujuh
Nyawa bermusuhan dengan Pendekar Mabuk?"
"Sejak Siluman Tujuh Nyawa mendengar kekasihnya
mengirim utusan kemari untuk mencari orang yang
bernama Suto Sinting!"
"Siapa kekasihnya Siluman Tujuh Nyawa itu?" 
"Gusti Mahkota Sejati!"
Pendekar Mabuk perdengarkan tawa kecil berkesan
meremehkan. Dadung Amuk tetap bermata nanar, penuh
nafsu membunuh tapi tak berani lakukan karena
pertimbangan ilmu Suto yang dianggapnya sangat tinggi
itu,
"Mengapa kau tertawa? Apakah kau pernah
mendengar nama itu?"
"Pernah atau tidak, itu urusanku, Dadung Amuk. Tapi
tolong sampaikan kepada Durmala Sanca, bahwa I Gusti
Mahkota Sejati tidak pantas menjadi kekasihnya,"
"Tunggu dulu!" sergah Dadung Amuk sambil maju
dua tindak. "Kau menyebut nama asli ketuaku Durmala
Sanca. Apakah kau kenal dengan dia? Apakah kau tahu 
persis tentang dia?"
"Tentu saja aku tahu, karena dulu aku gurunya
Durmala Sanca. Dulu dia berguru denganku di Tibet."
"Ooh... jad... jadi...?" Dadung Amuk mulai gentar
karena dia tahu persis cerita tentang Siluman Tujuh
Nyawa itu.
Melihat lawannya mulai terpengaruh oleh kata-
katanya, Suto menambahkan bualannya, sekadar untuk
menghindari pertumpahan darah. Sebab menurutnya,


Dadung Amuk tak bisa diusir pergi jika tanpa dilawan
dengan kekerasan atau dengan kelicikan.
"Ketahuilah, Dadung Amuk, ketuamu itu mempunyai
ilmu pukulan 'Candra Badar' juga dari aku!"
"'Candra Badar'...?! Oh, kau tahu juga tentang
pukulan 'Candra Badar' itu?!"
"Jelas tahu, karena memang itu sebenarnya ilmuku
yang kuturunkan kepadanya. Durmala Sanca bisa
menjelma menjadi tujuh wujud yang berbeda-beda, yang
dinamakan ilmu 'Siluman Tujuh Nyawa'. Itu juga ilmu
yang kuturunkan padanya!"
"Oooh...?!" Dadung Amuk terperangah. Mulutnya
yang berbibir tebal itu melongo bagai liang tikus. Untuk
lebih meyakinkan, Dadung Amuk ajukan tanya,
"Jika kau benar mengetahui tentang diri ketuaku,
coba sebutkan berapa usianya?"
"Usianya  sudah cukup banyak. Mungkin kau tidak
percaya kalau kukatakan bahwa usia Durmala Sanca
sudah mencapai seratus tahun."
"Oh, benar...!" ucap Dadung Amuk dengan desah
keheranan.
"Tapi karena dia kuberi ilmu awet muda, maka ia
seperti baru berumur antara lima puluh tahunan."
"Benar lagi...," desahnya kagum.
"Sekarang, sebaiknya kembalilah kepada dia, dan
katakan kau telah menemui gurunya. Katakan pula, guru
berpesan agar dia jangan mengganggu Gusti Mahkota
Sejati, dan jangan mencoba bermusuhan dengan anak
muda yang bernama Suto Sinting itu!"


"Hmmm... ah, eh... anu... tapi, apakah kau juga tahu
siapa perempuan yang bernama Gusti Mahkota Sejati
itu?"
"Kenapa tidak? Aku selalu mengikuti gerakan
Durmala Sanca! Aku tahu, sejak muda dia mengejar-
ngejar perempuan yang bernama Dyah Sariningrum,
yang kemudian menjadi penguasa di negeri Puri
Gerbang Surgawi, yang ada di Pulau Serindu!"
"Ooh... benar lagi dia...," desah Dadung Amuk makin
gemetar.
"Dan sekarang perempuan itu sedang terpenjara oleh
ilmu 'Candra Badar', ia tak  bisa keluar ke mana-mana
karena takut kena sinar matahari, sinar rembulan, sinar
bintang, bahkan sinar kunang-kunang pun bisa
membakar tubuh perempuan itu! Dan memang begitulah
ilmu 'Candra Badar' kuciptakan!"
"Dia tahu semuanya tentang ilmu itu? Oh, kalau
begitu apa yang dikatakannya memang benar. Dia
gurunya sang ketua!" pikir Dadung Amuk. "Tetapi, siapa
nama orang ini? Bagaimana aku harus menyebutkan
namanya jika ditanya oleh sang ketua nanti?"
Lalu, Suto pun berkata dengan gaya wibawanya,
"Dadung Amuk,  kuperintahkan kau segera kembali
kepada ketuamu dan tinggalkan pulau ini! Mengerti?!"
"Hmmm... eh... tapi... tapi jika benar kau guru sang
ketua, hmmm... lantas bagaimana aku harus menjelaskan
namamu? Sebab kamu kelihatannya jauh lebih muda
dari sang ketua!"
"Tentu saja. Kalau muridku bisa semuda itu, mengapa
 aku tidak bisa jauh lebih muda lagi?"
"O, hmmm... iya. Benar."
"Dan katakan saja kepadanya, bahwa kau habis
bertemu dengan Pendeta Tibet!  Tak perlu kau sebut
namaku, dia sudah akan menyebutnya sendiri! Dia pasti
masih ingat namaku!"
"Pendeta Tibet...! Oh, benar. Sang ketua memang
pernah bercerita bahwa gurunya adalah Pendeta Tibet.
Jadi... oh, celaka! Jadi sejak tadi aku berhadapan dengan
gurunya sang ketua?! Pantas ilmuku tidak ada apa-
apanya?!"
"Berangkatlah, Dadung Amuk! Pulanglah kepada
muridku si Durmala Sanca itu!"
"Tapi... tapi...."
"Atau kau ingin aku menghantamkan pukulan
'Candra Badar' ke tubuhmu, Dadung Amuk?!"
Orang itu kaget dan ketakutan. "Oh, hmmm... eh...
tidak... jangan! Sebaiknya memang aku pulang dan
melaporkan pada sang ketua...!"
*
* *
Bersambung ke Bagian 2


Pendekar Mabuk