Pendekar Mabuk 8 - Istana Berdarah(Bagian 2)




CERITA SILAT INDONESIA
SERIAL PENDEKAR MABUK
EPISODE
ISTANA BERDARAH
KARYA SURYADI




"Hmmm... begitu!" Suto manggut-manggut, lalu
mengambil bumbungnya dan menenggak tuaknya lagi.
Pada saat itu, terlihat oleh mereka kedatangan
Tengkorak Terbang yang segera memandang keadaan
sekeliling dengan tegang. Mata cekungnya terbuka lebar,
napasnya naik turun bagai ingin meledak dari dadanya.
Tengkorak Terbang telah pulih dan terhindar dari racun
maut yang nyaris mematikannya itu.
"Itu orang yang kau lawan tadi," kata Pendekar
Mabuk.
"Ya. Kuharap kau diamlah dulu. Aku akan menyadap
percakapan Tengkorak Terbang dengan Pragulo."
Suto diam, memandang pertemuan Tengkorak
Terbang dengan orang yang disebut Pragulo itu.
Sementara Dewa Racun tempelkan kedua jari
telunjuknya di pelipis kanan kiri, lalu matanya tetap
memandang kedua orang yang berbicara di depan
serambi istana.
"Mengapa bisa sampai begini, Pragulo?! Siapa yang
melakukannya, hah?! Siapa?!"
"Aku tak melihat siapa orangnya! Tapi menurut
pengakuan Damar Jati sebelum ia menghembuskan
napas terakhir, seseorang telah melesat lewat di
dekatnya, tangan orang itu bergerak ke mana-mana
sambil melompat dengan cepat. Lalu, tiba-tiba beberapa
orang jatuh dengan kepala mengucurkan darah. Damar
Jati segera menutup hidung karena mencium bau hangus.
Tapi sekujur kepalanya terasa panas, ia bertahan
memburu orang itu, tapi tak berhasil. Orang itu telah
membawa lari Cempaka Ungu, dan sekarang sedang
dikejar oleh Ratu Pekat bersama si Mata Elang."
"Tawanan kita bagaimana?"
"Dia sudah dimasukkan dalam ruang bawah tanah
oleh si Mata Elang. Sekarang masih ada."
"Kau sendiri ada di mana waktu kejadian ini, hah?!"
"Aku... aku... aku sedang buang hajat di belakang
kamar mandi! Waktu aku datang kemari, keadaan sudah
menjadi seperti ini. Dan, aku mendapat cerita itu dari
Damar Jati, yang segera menghembuskan napas
terakhirnya."
"Edan semua!" geram Tengkorak Terbang. "Orang
satu istana dibantai habis! Setan mana yang bikin
perkara ini?!"
"Seb... sebaiknya, susul saja Ratu Pekat bersama si
Mata Elang. Dia lari ke arah barat!"
"Dia siapa?!" bentak Tengkorak Terbang.
"Orang yang mencuri Cempaka Ungu itu!" jawab
Pragulo dengan tegangnya. Dan tiba-tiba tangan
Tengkorak Terbang melayang cepat menamparnya.
Plokk...!
Dewa Racun segera menceritakan percakapan yang
disadapnya kepada Suto. Kemudian ia menambahkan
kata,
"Orang berkelebat sambil menggerak-gerakkan
tangan dan menimbulkan bau hangus, itu pertanda orang
tersebut menebarkan racun yang amat ganas. Bila
dihirup oleh seseorang, racun itu terbawa melalui napas
dan membuat hancur pembuluh darahnya khusus di
bagian kepala. Karena itu mayat-mayat tersebut pecah
kepalanya, bahkan ada yang sampai tak berbentuk lagi
wujudnya. Sedangkan bagian tubuh mereka tampak
masih utuh."
"Hmmm...! Ya, aku paham cara kerjanya. Tapi,
menurutmu siapa tokoh penebar racun yang begitu keji
itu?"
"Setahuku, racun itu adalah racun Angin Jantan."
"Nama yang cukup aneh," gumam Suto. Ia meneguk
tuaknya kembali.
"Hanya ada tiga orang yang memiliki racun Angin
Jantan, yaitu orang yang berjuluk si Darah Beku."
"Siapa itu Darah Beku?"
"Tokoh sakti di ujung tanah Tiongkok, kemudian
yang kedua adalah orang yang berjuluk Gagak Neraka."
"Siapa itu Gagak Neraka?" potong Pendekar Mabuk.
"Pelayan setia Siluman Tujuh Nyawa. Dan yang
ketiga...," Dewa Racun berhenti sejenak, menatap ke
arah mayat-mayat yang bergelimpangan di pelataran
Istana Cambuk Biru itu. Melihat berhentinya kata-kata
Dewa Racun, Suto segera mendesak dengan berbisik,
"Siapa yang ketiga?"
"Aku sendiri!' jawab Dewa Racun dengan tanpa
memandang Suto.
"Kau memiliki ilmu racun Angin Jantan...?!"
"Ya. Tapi bukan aku pelaku pembantaian berdarah
itu!"
"Jadi menurutmu siapa? Siapa pula yang menculik
Cempaka Ungu?"
"Tak mungkin orang itu adalah Darah Beku, sebab
dia tidak punya urusan dengan orang-orang Pulau
Beliung dan orang-orang Pulau Serindu."
"Jadi menurutmu, orang yang mencuri anak Ratu
Pekat itu adalah Gagak Neraka?"
"Ya. Aku menduga dialah pelakunya."
"Mengapa hal itu ia lakukan?"
"Entah. Tapi bisa jadi karena ia cinta kepada
Cempaka Ungu!"
"Cinta?!" Suto Sinting tertawa pendek dan pelan.
"Bosan aku mendengar orang bercinta! Karena cintaku
sendiri belum tiba pada tujuannya."
"Itu hanya kemungkinan yang ada padaku, Suto. Tapi
untuk lebih jelasnya, kita susul saja mereka ke arah
barat!"
Tiga teguk tuak ditelannya lebih dulu, setelah itu
Pendekar Mabuk melesat pergi mengikuti Dewa Racun.
Tujuannya untuk membebaskan Singo Bodong menjadi
tertunda, karena rasa penasaran ingin mengetahui siapa
pelaku pembantaian berdarah di Istana Cambuk Biru itu,
dan apa tujuan orang tersebut.
Di bagian barat pulau itu, terdapat sebuah bukit
karang tanpa tanaman sedikit pun kecuali lumut pada
tebingnya. Bukit karang itu mempunyai bebatuan karang
yang bertonjolan di sana-sini, seperti patok-patok
makam raksasa. Di atas bukit karang itulah Ratu Pekat
dan si Mata Elang mengejar orang yang mencuri
Cempaka Ungu. Pada saat itu, Cempaka Ungu terkulai
tak jauh dari kaki seorang berpakaian abu-abu muda,
agak keputih-putihan, ia mengenakan sabuk hitam besar
dengan hiasan kepala burung gagak di perutnya.
Tubuhnya agak besar, tapi masih kalah besar dengan
Singo Bodong. Di kedua pinggangnya terselip piringan
logam baja yang tipis separo lingkaran. Bagian yang
lurus dari piringan itu berbentuk rata, tapi punya lubang
besar untuk memasukkan keempat jarinya, sedangkan
bagian yang lengkung bergerigi tajam. Piringan itu
menyerupai kipas yang terbuat dari baja. Besar
ukurannya sebesar kipas biasa. Warnanya putih
mengkilap.
Orang itulah yang berjuluk Gagak Neraka.
Rambutnya panjang berwarna hitam kelam sebatas
punggung. Diikat dengan ikat kepala dari kulit buaya
berwarna abu-abu juga. Usianya antara empat puluh
tahun, sehingga masih tampak tegar dan tegap. Kedua
pergelangan tangannya mengenakan gelang kulit dari
kulit buaya.
Rupanya ia telah menotok jalan darah Cempaka
Ungu, sehingga gadis itu tak bisa berkutik sedikit pun.
Hanya matanya yang berkedip-kedip dengan keadaan
tubuh terbaring lunglai.
Si Mata Elang tetap berdiri di samping Ratu Pekat
yang segera bicara kepada Gagak Neraka.
"Apa maksudmu menyerang kami?! Jangan bikin
persoalan dengan kami kalau kau ingin pulang tetap
membawa nyawamu!"
"Ratu Pekat! Kau yang bikin persoalan lebih dulu,
sehingga aku terpaksa bertindak. Putrimu yang tinggal
satu ini yang akan menjadi penebus kesalahanmu, Ratu
Pekat!" kata Gagak Neraka dengan suara besar.
Wajahnya yang lonjong menampakkan kesan bengis dan
tak kenal ampun.
"Apa kesalahanku, Gagak Neraka?! Bukankah kau
yang bikin gara-gara dengan membantai habis anak
buahku dan menculik putriku, si Cempaka Ungu?!"
"Karena kau menawan orangku, maka aku bikin ulah
seperti itu!" sentak Gagak Neraka dengan mata tajam.
"O, jadi kau menghendaki Dadung Amuk yang
menjadi tawananku itu, Gagak Neraka?!"
"Ya! Lepaskan dia nanti kulepaskan putrimu ini!"
"Manusia licik dan pengecut!" sentak si Mata Elang
tiba-tiba.
"Tutup mulutmu, Mata Elang!" Gagak Neraka
menuding, dan tiba-tiba melesat sinar merah dari ujung
telunjuknya. Zuuut...! Sinar itu melesat cepat menuju ke
tubuh si Mata Elang.
Tapi dengan cepat, bola mata si Mata Elang itu
menjadi merah membara, lalu sebuah sinar merah pula
melesat dari kedua matanya. Zlasss...!
Crub, bummm...!
Kedua sinar merah itu beradu di udara, dan
menimbulkan ledakan yang tidak kecil. Gagak Neraka
sempat terguncang tubuhnya demikian pula si Mata
Elang. Tapi keduanya tetap sama-sama berdiri di tempat
masing-masing dalam jarak delapan langkah.
Ratu Pekat serukan kata lagi, "Ketahuilah, Gagak
Neraka...! Temanmu Dadung Amuk telah banyak
menimbulkan korban di tempatku, gara-gara mencari
Kitab Pusaka Wedar Kesuma. Sepantasnya kalau dia
kutangkap dan kujatuhi hukuman gantung! Berarti dari
pihakmu dulu yang membuat keonaran di pulauku ini,
Gagak Neraka!"
"Kalau kau menyerahkan kitab itu, maka kami tak
akan bikin keonaran apa pun!" debat Gagak Neraka
dengan senyum sinisnya.
"Kau salah alamat! Bukan di sini tempatnya mencari
Kitab Pusaka Wedar Kesuma! Kau telah berbuat
ngawur, Gagak Neraka! Itu menunjukkan kebodohan
dari pihakmu!"
"Terserah apa katamu, Ratu Pekat! Yang jelas,
anakmu ini akan kujadikan pemuas gairah teman-teman
kapalku, jika Dadung Amuk tidak kau serahkan
padaku!"
"Manusia haraaam....'" geram Ratu Pekat dengan
tangan menggenggam kuat-kuat. Matanya mulai
memancarkan murka yang hampir tak tertahan lagi.
"Serahkan Dadung Amuk itu kepadaku, atau kubawa
pergi putrimu ini!" ulang Gagak Neraka dalam
ancamannya. "Bila kau serang aku, akan kuhantamkan
pukulan mautku ke kepala anakmu. Pasti pecah, Ratu
Pekat! Ha ha ha ha...!"
Si Mata Elang ingin menyerang, tapi ditahan oleh
Ratu Pekat demi keselamatan Cempaka Ungu. Bahkan
kedatangan Tengkorak Terbang pun segera dihadang
oleh Ratu Pekat agar tidak turun tangan secara gegabah.
Tetapi Tengkorak Terbang menggeram dan berkata,
"Saya mampu membunuhnya, Ratu! Biarkan saya
menyerangnya!"
*
* *
6
RATU Pekat bukan orang bodoh, ia tidak mau
korbankan anaknya yang tinggal satu-satunya itu demi
mempertahankan tawanannya. Sebab itu, Ratu Pekat
tetap melarang keinginan Tengkorak Terbang
menyerang Gagak Neraka. Salah-salah anaknya bisa jadi
korban.
"Bebaskan Dadung Amuk!" perintah Ratu Pekat.
Si Mata Elang dan Tengkorak Terbang sama-sama
lemparkan pandang pada Ratu Pekat. Si Mata Elang
berkata dalam bisik,
"Yakinkah keputusan Nyai itu benar?"
"Ya. Aku tak mau kehilangan anak lagi."
"Mengapa bukan Tengkorak Terbang yang Nyai
percaya untuk mengatasi hal ini?!" Si Mata Elang makin
membisik, jarak wajahnya dengan Ratu Pekat cukup
dekat. "Bukankah Tengkorak Terbang sudah memiliki
ilmu 'Lebur Samudera', yang telah membuat Dadung
Amuk tak berdaya karena hilang kesaktiannya?! Biarkan
saja Tengkorak Terbang yang melancarkan pukulan
'Lebur Samudera' kepada Gagak Neraka. Biar orang itu
pun mengalami nasib seperti Dadung Amuk, Nyai!"
"Itu bisa diatur nanti, Mata Elang. Yang penting
sekarang selamatkan dulu anakku, setelah itu baru
Tengkorak Terbang menyerang si Gagak Negara dengan
pukulan 'Lebur Samudera'-nya!"
"O, begitu maksud, Nyai?"
"Ya. Dan sekarang, cepat ambil tawanan kita, tukar
dengan Cempaka Ungu!"
"Baik, Nyai Ratu!" kata si Mata Elang dengan penuh
hormat sebagai lambang kepatuhannya.
Pada salah satu sisi, di balik jajaran batu-batu karang
yang membentuk barisan mirip pagar berbunga itu,
terpancang sorot pandangan dari dua pasang mata
manusia. Kedua manusia itu bersembunyi di sana
memperhatikan percakapan dan pertemuan Gagak
Neraka dengan Ratu Pekat. Siapa lagi pengintai itu jika
bukan Dewa Racun dan Pendekar Mabuk, si murid
sinting Gila Tuak; Suto!
Dengan sedikit merendahkan badan, Suto masih
sempat menenggak tuaknya. Glek, glek, glek. Cukup
tiga kali teguk. Bumbung tuak kembali disandangnya di
punggung. Sementara itu, Dewa Racun tertawa dengan
mulut dibekap pakai tangan sendiri.
"Ada apa...?"
"Ratu Pekat menyangka Tengkorak Terbang
mempunyai ilmu 'Lebur Samudera'! Karena mereka
sangka, Singo Bodong adalah Dadung Amuk yang
ilmunya telah hilang musnah karena pukulan 'Lebur
Samudera'. Hi hi hi hi...!"
"Apanya yang lucu?" Suto bahkan tampak bingung.
"Mereka tidak tahu, bahwa orang yang mereka
tangkap itu Singo Bodong yang tidak punya ilmu apa-
apa."
"Siapa tahu dugaan mereka benar, bahwa Singo
Bodong itu memang Dadung Amuk."
"Tidak, tidak!" potong Dewa Racun. "Kita tidak perlu
memikirkan hal itu, Suto, karena yang penting adalah
menyelamatkan dia; orang besar yang polos dan bodoh
itu, terlepas siapa dia sebenarnya, entah Singo Bodong
atau Dadung Amuk."
"Ya, begitu saja!" jawab Suto sambil mengangguk
tegas.
"Lalu, bagaimana? Apakah kita mau turun tangan
sekarang juga atau...?"
"Tunggu, sampai Singo Bodong diserahkan kepada
Gagak Neraka, baru kita rebut darinya. Dengan begitu,
kita tidak membuat perselisihan dengan orang-orang
Pulau Beliung ini. Yang kita serang adalah orangnya
Siluman Tujuh Nyawa."
"O, ya. Benar! Tepat sekali perhitunganmu!" kata
Dewa Racun sambil tunjukkan jempolnya tanda memuji.
"Selama aku berhadapan dengan Gagak Neraka, kau
tak perlu ikut campur. Tapi awasi saja gerak-gerik si
Mata Elang atau Tengkorak Terbang. Aku curiga mereka
bisa melakukan kecurangan terhadap apa pun dan
terhadap siapa pun."
"Ya, ya...! Aku paham. Bahkan sekarang pun rasa-
rasanya aku perlu mengawasi si Mata Elang dalam
membawa Singo Bodong kemari. Aku takut dia
melakukan kelicikan terhadap diri Singo Bodong."
"Itu juga baik!" jawab Suto, kemudian dia biarkan
Dewa Racun bergegas pergi meninggalkannya. Pendekar
Mabuk sendiri segera beringsut dari tempatnya, mencari
persembunyian yang lebih dekat lagi.
Entah apa saja yang dipercakapkan antara Ratu Pekat
dengan Gagak Neraka, Suto tak mendengar. Yang jelas
ia menunggu saatnya bergerak setelah Singo Bodong
diserahkan kepada Gagak Neraka.
Pada saat itu, Pendekar Mabuk berpikir, "Dari mana
Gagak Neraka tahu bahwa di pulau ini temannya si
Dadung Amuk akan menjalani hukuman gantung?
Apakah dia sudah lama bersembunyi di pulau ini?
Walaupun ternyata orang yang dianggap Dadung Amuk
itu bukan teman sebenarnya, tapi setidaknya ia melihat
dan tahu ciri-ciri tawanan yang akan dihukum gantung
itu. Atau, barangkali memang Singo Bodong adalah
Dadung Amuk, dan hanya Gagak Neraka-lah yang tahu
persis siapa orang bertubuh tinggi besar berwajah angker
tapi bodoh itu. Ya, ya... kurasa Singo Bodong memang
Dadung Amuk, sebab Gagak Neraka sampai mau
menjemputnya kemari, dan mau bertindak sekeji itu
demi menyelamatkan temannya. Jika Singo Bodong
bukan Dadung Amuk, tak mungkin Gagak Neraka mau
turun tangan sampai menggunakan pukulan 'Racun
Angin Jantan'?!"
Saat yang ditunggu tiba. Singo Bodong siap ditukar
dengan Cempaka Ungu. Pendekar Mabuk menyiapkan
diri untuk bergerak sewaktu-waktu. Sementara itu,
Gagak Neraka pun melirik kanan-kiri, memeriksa
keadaan sekelilingnya, ia tak mau terkecoh karena
penukaran yang gagal.
"Lepaskan Cempaka Ungu!" perintah Ratu Pekat.
Gagak Neraka menjawab," Serahkan dulu dia padaku,
dan kuserahkan Cempaka Ungu padamu!"
Ratu Pekat memandang penuh selidik. "Kalau kau
curang, kulabrak kau sampai di depan Siluman Tujuh
Nyawal Kuhancurkan semua orang-orangmu! Tentunya
aku tidak sendirian, Gagak Neraka! Aku masih bisa
punya kekuatan lebih besar lagi dengan meminta
bantuan kepada teman-temanku yang kukenal!"
"Ha ha ha...! Percayalah pada Gagak Neraka, Ratu
Pekat! Kita bertukar tawanan secara ksatria! Kalau kau
curang, aku pun bisa menenggelamkan pulau ini!"
"Baik!" jawab Ratu Pekat. Kemudian ia berikan
isyarat kepada si Mata Elang. Mata Elang pun segera
melepaskan Singo Bodong dan mendorong tubuh besar
itu, hingga Singo Bodong berhenti ke depan hampir
jatuh. Tetapi, setelah itu Singo Bodong berhenti dalam
kebingungan, ia justru memandangi si Mata Elang,
Tengkorak Terbang, dan Ratu Pekat.
"Pergilah sana, Babi! Jangan buang-buang waktu!"
sentak si Mata Elang dengan kasar kepada Singo
Bodong.
"Pergi... pergi ke mana?' Singo Bodong bingung,
kesan yang timbul ialah, bahwa ia tidak tahu masalah
apa-apa tentang penukaran tawanan itu.
Terdengar Gagak Neraka berseru, "Dadung Amuk,
cepatlah kemari!"
Singo Bodong memandang Gagak Neraka dengan
dahi berkerut. Bahkan kepalanya sempat dimiring-
miringkan sedikit untuk mengenali suara yang
memanggilnya itu.
"Cepat kemari, Dadung Amuk!" seru Gagak Neraka
tak sabar.
"Siapa... siapa orang itu, Tengkorak Terbang?" tanya
Singo Bodong kepada Tengkorak Terbang, karena ia
lebih akrab dengan nama tersebut. Dan hal itu membuat
Tengkorak Terbang serta yang lainnya merasa heran.
"Ternyata dia tidak mengenali teman sendiri," pikir
Tengkorak Terbang. "Tak mungkin Dadung Amuk
sampai saat ini masih berpura-pura bodoh. Bukankah dia
sudah ada temannya untuk melakukan penyerangan
terhadapku?"
Sementara itu, terdengar kasak-kusuk antara si Mata
Elang dengan Ratu Pekat. Sang Ratu berbisik,
"Lihat kehebatan ilmu 'Lebur Samudera'. Bukan saja
menghilangkan semua ilmu dan kesaktian lawan, tapi
juga menghilangkan ingatan lawan. Sampai-sampai
Dadung Amuk tidak mengenali Gagak Neraka."
"Begitu hebatnya ilmu yang dimiliki Tengkorak
Terbang!" bisik si Mata Elang.
"Dadung Amuk!" panggil Gagak Neraka kepada
Singo Bodong. Tapi Singo Bodong hanya memandang
bingung pada keadaan sekeliling.
Tengkorak Terbang tak sabar. Ia segera mencekal
lengan Singo Bodong dan menariknya, membawa
mendekati Gagak Neraka. Dalam jarak dua langkah,
Tengkorak Terbang berhenti.
"Ambillah orang ini, dan akan kuambil Cempaka
Ungu!"
Gagak Neraka melompat maju, menyambar lengan
Singo Bodong, ia melangkahi tubuh Cempaka Ungu.
Lalu, berkata kepada Tengkorak Terbang, "Ambil dan
bawalah pulang gadis itu! Aku sudah tidak
membutuhkannya lagi!"
Tengkorak Terbang segera mengangkat tubuh
Cempaka Ungu yang masih tertotok jalan darahnya itu,
lalu selekasnya tinggalkan tempat tersebut, bergabung
kembali kepada Ratu Pekat. Sang Ratu sentakkan satu
jari tengahnya ke bagian belakang telinga Cempaka
Ungu. Seketika itu, totokan jalan darah menjadi bebas
dan Cempaka Ungu hembuskan napas lega.
Terdengar Gagak Neraka tertawa sambil berkata,
"Aku tahu.... Aku tahu kau memang jago untuk hal ini,
Dadung Amuk! Sebaiknya mari kita tinggalkan pulau ini
dan jangan usik mereka lagi!"
"Kamu siapa?" terdengar pula suara Singo Bodong
bernada heran.
"Sudahlah, jangan main-main lagi!" kata Gagak
Neraka sambil menepuk-nepuk pundak Singo Bodong.
"Mari pulang, Sobat!"
"Pulang ke mana?!" Singo Bodong menolak tarikan
tangan Gagak Neraka. Ia kerutkan dahi semakin tajam.
Saat itu pula dalam hati Suto berkata, "Kalau begitu,
dia memang bukan Dadung Amuk! Bukan! Kalau dia
Dadung Amuk yang punya ilmu cukup tinggi itu, pasti
dia akan serang balik kekuatan Ratu Pekat bersama-sama
Gagak Neraka! Bukankah Gagak Neraka hanya seorang
diri mampu membuat istana berlumur darah dalam
sekejap. Tentunya bersama Dadung Amuk dia bisa bikin
habis keempat nyawa di pihak Ratu Pekat. Tapi
mengapa Singo Bodong semakin bingung melihat dan
mendengar ajakan Gagak Neraka? Itu sudah pasti, sebab
Singo Bodong bukan Dadung Amuk!"
Semangat Pendekar Mabuk untuk selamatkan Singo
Bodong semakin tinggi. Tetapi ia tetap tidak mau
gegabah dalam bertindak. Karena pada saat itu, ia
melihat seberkas sinar merah keluar melesat dari
sepasang mata milik si Mata Elang. Sinar itu melesat ke
arah Gagak Neraka. Tetapi dengan cepat Gagak Neraka
sentakkan kaki dan melompat tinggi selamatkan diri.
Sinar merah itu menerpa seonggok batu karang, dan
seketika itu pula batu karang sebesar dua kali tubuh
Singo Bodong itu pecah berantakan.
Duaaar...!
"Auuh...!" terdengar Singo Bodong mengaduh,
karena pecahan karang itu ada yang melesat dan
mengenai tulang kering kakinya. Singo Bodong meringis
kesakitan sambil memegangi kaki.
"Dadung Amuk, serang mereka!" teriak Gagak
Neraka sambil melompat kembali dan sentakkan tangan
kanannya ke depan. Wuuush...! Tangan kanan itu
melepaskan pukulan bersinar putih. Melesat ke arah
tubuh si Mata Elang yang berpakaian serba merah.
Tapi, Mata Elang pun cepat sentakkan kaki dan
melompat ke samping dengan lincahnya. Sementara itu,
Singo Bodong masih mengaduh-aduh dengan suara
tertahan. Tulang kering kakinya melepuh. Memar
membiru.
"Kau mau main curang, Ratu Pekat! Kau pikir aku
belum siap?!" seru Gagak Neraka.
Sreet...! Sreet...! Gagak Neraka mencabut senjata
bergeriginya. Dua tangannya telah menggenggam
senjata lempengan baja putih. Kedua tangan itu bergerak
menyilang bolak-balik, dan cahaya kemilau dari baja
putih itu memancarkan sinar berganti-ganti warna.
Pada saat itu, Tengkorak Terbang segera
meluncurkan tubuhnya bagai melayang menuju ke arah
Singo Bodong. Tetapi, dua senjata bergerigi itu segera
digesekkan di atas kepala oleh Gagak Neraka.
Zrengngng...!
Gesekan dua logam itu menimbulkan nyala sinar
merah bagai lahar gunung berapi. Sinar itu menyembur
ke arah Tengkorak Terbang dengan sangat cepatnya.
Wuuuut...!
Hampir saja sinar itu mengenai pinggang Tengkorak
Terbang jika tidak segera dihantam oleh kibasan tangan
si Mata Elang yang mengeluarkan cahaya biru muda.
Sinar keduanya membentur dalam jarak satu depa dari
tubuh Tengkorak Terbang.
Blarrr...!
Kedua sinar yang berbenturan menimbulkan suara
berdentum keras. Dentuman itu membuat satu
gelombang tenaga yang menghentak begitu besarnya,
sehingga tubuh Tengkorak Terbang yang sedang
melayang itu terpental tak tentu arah dan jatuh dengan
punggung membentur salah satu dinding batu karang.
Bluuuk...! Breeg...! Tubuh Tengkorak Terbang jatuh ke
tanah dalam keadaan menahan napas. Orang akan
menyangka salah satu tulang Cakradanu pasti ada yang
patah. Tapi nyatanya tidak. Cakradanu kembali tegak
dengan mata liarnya.
"Biadab orang itu!" geram Cempaka Ungu. Ia mau
bergerak, tapi tangan ibunya menghadang di depannya,
menahan gerakan selanjutnya.
"Aku ingin menghadapi orang itu, Bu!"
"Jangan! Dia bukan lawanmu! Sebaiknya kita
menjauh dulu. Biarkan Tengkorak Terbang dan si Mata
Elang yang menanganinya!"
"Dadung Amuk! Bantu aku menyerang mereka,
Tolol!" teriak Gagak Neraka kepada Singo Bodong.
Tetapi Singo Bodong justru melangkah mencari tempat
untuk berlindung dengan kaki pincang.
Si Mata Elang cepat gerakkan kedua tangannya
menghantam ke depan. Pukulan jarak jauh dilepaskan.
Tapi Gagak Neraka melompat dan bersalto di udara.
Rupanya itu pancingan saja buat si Mata Elang. Dengan
cepat, dari sinar matanya melesat cahaya merah
membara.
Suuuut...!
Duaaar...!
Tubuh Gagak Neraka terpental. Sinar merah itu
ditangkisnya dengan senjatanya. Akibatnya, tubuh yang
melayang itu bagai terkena dorongan sangat kuat, hingga
tubuh itu terhempas dan jatuh di depan Tengkorak
Terbang.
Segera Tengkorak Terbang mencabut senjata
cakranya, yang berbentuk gerigi juga tapi bertangkai
panjangnya satu hasta. Senjata cakra itu dikibaskan
seperti membabatkan pedang, dan meluncurlah api
warna-warni itu melesat menghantam tubuh Gagak
Neraka.
Zrengngng...! Dua senjata Gagak Neraka digesekkan
dengan cepat. Gesekan itu menimbulkan nyala api putih
menyilaukan dan membentuk perisai segi empat yang
cukup besar. Akibatnya, kekuatan tenaga dalam yang
meluncur dari senjata cakra itu tertahan oleh cahaya
putih menyilaukan tersebut. Duuub...! Dan akhirnya
membalik menyerang pemiliknya. Wuuus...!
Tengkorak Terbang segera sentakkan kaki dan
melompat di udara dengan bersalto dua kali. Sinar
warna-warni itu menghantam batu karang di
belakangnya. Buubh...!
Batu karang putih itu tiba-tiba menjadi hitam dan
mengepulkan asap selintas. Asap lenyap, batu karang
hitam itu menjadi rapuh, dan berwujud debu sisa
pembakaran. Debu itu segera lenyap dihempaskan angin.
Singo Bodong terbengong-bengong. Pertarungan
hebat seperti inilah yang sejak dulu ingin ia saksikan.
Karenanya, Singo Bodong menjadi girang hatinya dan
tiada hentinya mengikuti kedahsyatan ilmu-ilmu mereka
dengan mulut melongo, lupa pada sakit di kakinya.
Sementara itu, mata Singo Bodong cepat membelalak
lebar ketika tubuh si Mata Elang melenting tinggi
dengan gerakan bersalto satu kali. Kaki Mata Elang
menjejak telak tengkuk kepala Gagak Neraka yang
sedang menghadapi serangan Tengkorak Terbang.
Akibatnya, Gagak Neraka tersentak ke depan dan
berguling di bebatuan dengan menggunakan dua senjata
piringnya itu sebagai tumpuan di tanah. Dalam kejap
berikutnya tubuh itu sudah kembali tegak dan
mengibaskan tangan kanannya dari kiri ke kanan.
Wuuut...! Brett...!
Tubuh Tengkorak Terbang yang sedang menyerang
ke tempat kosong akibat terjungkalnya Gagak Neraka
itu, menjadi sasaran empuk bagi senjata di tangan kanan
Gagak Neraka. Pinggang kurus terbungkus kulit itu pun
robek tercabik. Panjangnya dari pinggang sampai ke
dekat ketiak.
Tengkorak Terbang tersentak saat itu. Ia jatuh
berlutut dan memegangi lukanya yang amat sakit. Luka
itu ternyata bergerak makin lebar, makin lebar lagi, dan
terus bergerak melebar dengan sendirinya. Jika bukan
karena racun yang ada di gerigi senjata Gagak Neraka,
tak mungkin luka itu bergerak melebar.
Si Mata Elang semakin gusar melihat Tengkorak
Terbang terluka. Ia segera melompat dan mencabut
pedangnya yang pendek itu dari sarungnya. Sreeet...!
"Mampus kau, Jahanaaam...!" teriak si Mata Elang.
Traang...! Pedang dikibaskan, tapi ditangkis oleh
Gagak Neraka dengan senjata di tangan kirinya. Pedang
itu menyelip di antara gerigi senjata itu. Posisi Gagak
Neraka dalam keadaan setengah berlutut, ia melihat
sasaran empuk di betis Mata Elang, maka dengan cepat
ia kibaskan senjata di tangan kanannya merobek kulit
Mata Elang. Brettt...!
"Aahk...!" Mata Elang memekik tertahan, ia segera
mengangkat pedangnya dan hendak ditebaskan dari atas
ke bawah. Tapi, lutut Gagak Neraka menghentak, dan
tubuh itu tersentak naik, lalu dengan cepat ia rapatkan
dua tangannya, disentakkan ke depan sambil membuka
ke kanan kiri.
Craaas...! Breet...!
"Aaahk...!" sekali lagi si Mata Elang terpekik dengan
suara tertahan. Dadanya robek karena jurus menebar dari
dua senjata bergerigi itu. Panjang robekan dadanya
sampai ke pinggang kanan-kiri. Dan luka itu pun
bergerak sendiri makin melebar, seperti luka di betisnya
pula.
Tubuh si Mata Elang terhuyung ke belakang dengan
pedang masih di tangan dan diangkat ke atas, namun tak
pernah sempat ditebaskan ke depan. Akhirnya ia rubuh
dengan luka makin melebar, makin kelojotan tubuhnya
direnggut rasa sakit yang luar biasa. Demikian pula
halnya dengan Tengkorak Terbang yang menggeliat
menahan sakit.
"Dadung Amuk, cepat pergi...!" sentak Gagak Neraka
sambil masukkan dua senjata ke pinggang kanan-
kirinya. Lalu, ia hampiri Singo Bodong yang ketakutan
itu, dan tiba-tiba ia sentakkan jarinya ke leher Singo
Bodong. Seketika itu Singo Bodong lemas bagaikan
cucian basah, lalu diangkat oleh Gagak Neraka,
dipanggul dan dibawanya lari dalam satu lompatan
bertenaga ringan. Wuuust...!
Jleeg...! Tiba-tiba Pendekar Mabuk menghadang di
depan Gagak Neraka. Orang itu terkejut dan terhenti
langkahnya.
*
* *
7
BUKAN hanya Gagak Neraka yang terkejut, tetapi
Ratu Pekat dan Cempaka Ungu juga terkejut melihat
kemunculan pemuda tampan yang belum dikenalnya.
Cempaka Ungu sempat berbisik kepada ibunya,
"Siapa dia, Ibu?"
"Entah. Baru kali ini aku melihatnya. Yang jelas dia
bukan orang Pulau Beliung."
"Ada di pihak siapa dia?"
"Lihat saja nanti!" jawab Ratu Pekat sambil tetap
memandang Suto.
Gagak Neraka segera menurunkan Singo Bodong.
Matanya memandang Pendekar Mabuk dengan penuh
waspada. Apalagi saat itu Pendekar Mabuk segera
meneguk tuaknya sedikit, Gagak Neraka semakin
menaruh curiga. Sikap Pendekar Mabuk yang tenang dan
seolah-olah meremehkan lawan, membuat Gagak Neraka
menggeram sejenak dan segera bertanya,
"Siapa kau?! Begundal Ratu Pekat yang baru?!"
"Bukan," jawab Suto Sinting tetap tegas walau
bernada pelan. "Aku tak punya hubungan apa-apa
dengan mereka."
"Lalu mengapa kau menghadang langkahku, hah?
Mau cari mampus kamu?! Mau sumbangkan nyawa sia-
sia untuk Ratu Pekat? Biar putrinya jatuh cinta padamu?
Iya?!"
"He he he...," Suto tertawa sedikit sumbang, kentara
tuaknya mulai mempengaruhi suaranya. "Tak perlu aku
membuat Cempaka Ungu jatuh cinta, dia sudah akan
jatuh dengan sendirinya!"
"Lalu, mau apa kau menghadangku, Setan!"
"O, namaku bukan Setan! Julukanku Pendekar
Mabuk! Tapi bukan Mabuk Setan! He he he...!"
Pendekar Mabuk tetap berdiri tegak. Tangan
kanannya menjinjing tali bumbung tuaknya. Bibirnya
tetap sunggingkan senyum, dan membuat dua
perempuan di bawah pohon itu bergetar hatinya.
Cempaka Ungu berbisik, "Siapa Pendekar Mabuk itu,
Ibu?"
"Entahlah. Tapi sepertinya Ibu pernah mendengar
julukan itu."
Gagak Neraka bergerak ke samping dua langkah,
mencari posisi enak untuk menyerang. Jarak mereka
hanya tiga langkah, ia menatap dengan pandangan asing
melihat wajah dan penampilan Suto.
Terdengar Pendekar Mabuk ucapkan kata, "Gagak
Neraka, pelayan setia Siluman Tujuh Nyawa... mestinya
kau bergegas pulang setelah berhasil tumbangkan
Tengkorak Terbang dan si Mata Elang!"
"Apa pedulimu?"
"O, aku hanya ingin mempersilakan kau pulang. Tapi
tolong orang bodoh yang kau totok jalan darahnya itu
tinggalkan saja di sini!"
Gagak Neraka menggeram. "Persetan dengan
omonganmu!" Lalu, lelaki berwajah lonjong dengan
dagu agak panjang itu melangkahi tubuh Singo Bodong.
Jaraknya semakin dekat dengan Suto. Tapi Suto tidak
mundur selangkah pun.
"Kalau kau menghalangi niatku membawa pulang
temanku, kau akan mati juga seperti yang lain, Pendekar
Mabuk!"
"O, belum tentu!" Suto sunggingkan senyum.
"Mungkin kau yang mati seperti mereka!"
"Kurobek mulut bocahmu! Hiaaah...!"
Wuuut...!
Tangan Gagak Neraka bergerak hendak mencakar
mulut Suto. Tetapi tubuh Suto cepat meliuk ke belakang,
lalu mengayun ke samping dan tegak lagi. Gerakannya
mirip orang mabuk yang limbung akibat kebanyakan
tuak. Tetapi, gerakan itulah sebenarnya yang membuat
Suto dikenal dengan nama Pendekar Mabuk. Jurus-
jurusnya bagaikan orang dipengaruhi racun tuak yang
memabukkan.
"Pendekar Mabuk! Kuharap jangan kau memancing
perkara denganku jika kau sudah tahu aku adalah
pelayan setia Siluman Tujuh Nyawa. Apakah kau belum
mendengar kabar kesaktiannya?"
"Sudah!" jawab Pendekar Mabuk. "Dan aku tidak
memancing perkara. Aku hanya minta kau pergi tanpa
membawa orang itu," Suto Sinting menuding Singo
Bodong. Gerakan jarinya yang menuding itu ternyata
mempunyai kekuatan yang membuat pengaruh totokan
pada diri Singo Bodong terlepas. Singo Bodong segera
bangkit.
Melihat Singo Bodong terkejut dan ingin berteriak
"Suto...!" Pendekar Mabuk cepat hentakkan suaranya
kepada Singo Bodong,
"Diam kau!"
Singo Bodong hanya mengangguk-angguk dengan
penuh rasa takut, kemudian melangkah mundur dengan
terpincang-pincang. Ilmu 'Sentak Bidadari' telah
digunakan oleh Pendekar Mabuk untuk membuat Singo
Bodong tidak bicara apa pun dalam beberapa saat.
Akibatnya, Singo Bodong hanya bisa bengong
memperhatikan Suto yang berhadapan dalam jarak dekat
dengan Gagak Neraka.
Melihat Singo Bodong lepas dari totokannya, Gagak
Neraka sempat kerutkan dahi dan merasa heran. Tetapi
ia segera tahu, bahwa totokannya telah dilepaskan oleh
Pendekar Mabuk melalui tudingan tangannya tadi.
Gagak Neraka hanya membatin, "Boleh juga permainan
bocah ingusan ini! Bisa melepaskan totokan dari jarak
jauh."
Tetapi, di mulut Gagak Neraka terucap kata lain. Ia
ajukan tanya kepada Suto Sinting,
"Mengapa kau menghendaki temanku tinggal di sini?
Apakah kau punya dendam kepada Dadung Amuk?"
"Tidak," jawab Pendekar Mabuk. "Kalau dia adalah
Dadung Amuk, untuk apa aku menahannya? Bawalah
pulang. Itu urusanmu. Tapi karena dia bukan Dadung
Amuk, maka aku menahan niatmu untuk membawanya
pergi."
"Kau gila! Kau pikir mataku rabun?!"
"Matamu tidak rabun, Gagak Neraka, tapi pikiranmu
yang sedikit rabun, karena kau tidak bisa membedakan
mana Dadung Amuk, dan mana yang bukan!"
"Kuhancurkan mulutmu itu jika kau mencoba
mengelabuiku sekali lagi, Pendekar Mabuk! Dia adalah
Dadung Amuk! Hanya karena dia terdampar saja, maka
dia tidak membawa tambang saktinya, sehingga tidak
mirip Dadung Amuk! Tapi aku tahu persis gayanya,
suaranya, wajahnya dan...."
"Dan kesaktiannya apakah sama? Tidak! Dadung
Amuk mungkin orang sakti, setidaknya punya ilmu
kanuragan. Tapi dia tidak," sambil Suto Sinting
menuding Singo Bodong lagi. "Kalau dia punya
kesaktian, punya ilmu kanuragan, dia pasti akan
melawan si Tengkorak Terbang atau orang-orang Istana
Cambuk Biru lainnya. Dia tidak akan tinggal diam,
apalagi melihat kau bertarung dikeroyok dua orang, tak
mungkin Dadung Amuk akan tinggal diam. Pasti ikut
turun tangan! Pasti dia memberontak dan melawan saat
kau menotok jalan darahnya!"
"Kau pintar bersilat lidah rupanya!"
"Tidak juga. Aku hanya mengingatkan kau, bahwa
orang yang kau anggap Dadung Amuk itu sebenarnya
adalah Singo Bodong! Karena itulah dia tidak
mengenalimu!"
Sambil mata tetap layangkan pandang ke wajah
Pendekar Mabuk yang minum tuak seenaknya di
depannya, Gagak Neraka membatin sendiri di hatinya,
"Benarkah dia bukan Dadung Amuk? Ia memang tidak
mengenaliku, ia memang lemah dan tak mau
membantuku menyerang kedua lawan tadi. Tapi, seluruh
wujudnya adalah Dadung Amuk! Ah, kurasa sang ketua
lebih bisa mengenali apakah dia Dadung Amuk atau
bukan. Aku harus membawanya menghadap sang
ketua!" Setelah itu, Gagak Neraka berkata kepada Suto,
"Siapa pun dia, aku harus membawanya menghadap
sang ketua!"
"Tidak perlu! Tinggalkan saja dia di sini bersamaku!"
"Kalau begitu keputusanmu, aku terpaksa mencabut
nyawamu sekarang juga, Pendekar Mabuk! Hiaaat...!"
Wuuut...!
Sebuah sodokan pangkal telapak tangan dihantamkan
ke dada Pendekar Mabuk. Pada waktu itu, Pendekar
Mabuk sengaja tidak menangkisnya. Tapi ia gerakkan
tangan kirinya menghantam dada Gagak Neraka juga,
sehingga dua pukulan itu sama-sama mengenai pada
sasarannya.
Plakkk...! Plakkk...!
Gagak Neraka tersentak mundur dua tindak,
sedangkan murid sinting si Gila Tuak tetap di tempat.
Orang bermata bengis itu tersenyum lega setelah melihat
hasil adu kekuatan pukulan yang sama-sama
menggunakan tangan kiri itu. Ia melihat bekas merah di
dada Suto, sedangkan di dadanya sendiri tak membekas
warna merah sedikit pun.
"Minggirlah, Bocah Ingusan! Daripada nanti dadamu
kubuat jebol dengan pukulanku yang kedua. Baru satu
kali pukulan saja dadamu telah memerah begitu.
Lihatlah...!"
Suto memandang dadanya sendiri. Tapi ia tetap
sunggingkan senyum saat memandang ke arah lawan
dan berkata,
"Benar, dadaku merah karena pukulanmu!"
"Tentu. Dan dadaku tidak menjadi merah sedikit pun.
Itu tandanya kekuatanmu belum seimbang dibanding
kekuatanku!"
"Dadamu memang tidak memerah, Gagak Neraka,
tapi bisakah kau melihat punggungmu?!"
Gagak Neraka terkesiap, lalu alisnya mengernyit, ia
merasakan ada rasa sakit di punggungnya. Seperti rasa
panas terbakar api. Dan ia pun mencium bau hangus,
seperti kain terbakar. Maka, cepat-cepat ia berusaha
menengok ke belakang, dan ternyata ada asap mengepul
di bagian belakangnya, ia tarik ke depan bajunya, oh...
ternyata bolong karena hangus terbakar. Terbayang
dalam benak Gagak Neraka, pasti kulit punggungnya
menjadi biru legam akibat pukulan lawannya tadi. Rasa
sakit makin memanas di kulitnya.
Rasa panas itu merayap ke hati, dan membuat Gagak
Neraka makin menggeram jengkel, lalu segera ia
lontarkan kemarahannya.
"Bangsat kau, Bocah Ingusan! Terimalah pukulan
'Ombak Racun'-ku ini, hiaaah...!"
Kedua tangan Gagak Neraka menjambak tubuh Suto
dari bawah ke atas secara bergantian. Gerakannya begitu
cepat, hingga terdengar bunyi: wuuugh...!
Wuuugh...!
Tubuh Pendekar Mabuk hanya meliuk-liuk seperti
orang mabuk mau jatuh. Tapi jambakan tangan berjari
bentuk cakar itu tidak satu pun mengenai kulit tubuh
Pendekar Mabuk. Dengan cepat pula Suto
menggerakkan bumbung bambu tempat tuak itu ke atas
dalam sodokan yang kuat.
Duggh...!
"Eehhg...!" Gagak Neraka terdongak kepalanya,
dagunya yang panjang itu menjadi sasaran bumbung
tuak. Tangannya sempat terbentang karena sodokan
tersebut. Kakinya melangkah ke belakang satu tindak.
Dan, bumbung bambu itu segera berbalik arah menukik,
lalu menyodok bagian perut Gagak Neraka. Begggh...!
Sodokan kedua ini yang membuat tubuh Gagak
Neraka terlempar ke belakang dengan kedua kaki
mengambang tanah. Tubuh itu bagai diseruduk tiga ekor
banteng. Terlempar cukup jauh, ada sepuluh langkah.
Lalu, tubuh itu jatuh membentur dinding batu karang.
Breehhg...!
"Hooek...!" Darah kental hitam kemerahan keluar dari
mulut Gagak Neraka, ia jatuh berlutut dan terbungkuk-
bungkuk. Setelah beberapa saat darah keluar dari
mulutnya, Gagak Neraka mencoba untuk bangkit dengan
mata sayu dan wajah pucat pasi. Tapi agaknya ia tak
mampu lagi berdiri, ia melangkah dengan sempoyongan
dan akhirnya jatuh lagi.
Singo Bodong terbengong-bengong melihat kejadian
itu. Mata melebar, mulut melompong mirip sapi
ompong. Waktu Suto mendekatinya, Singo Bodong
masih tak sadar dari kebengongannya. Karena menurut
penglihatannya, Suto menyodokkan bumbung tuaknya
tidak dengan tenaga kuat, hanya cepat. Tapi mengapa
bisa membuat tubuh Gagak Neraka yang tergolong besar
bisa tersentak terbang sejauh itu? Tentu saja jika tidak
disertai tenaga dalam yang tinggi, tak mungkin tubuh
Gagak Neraka jadi seperti itu.
"Apa yang kukatakan dulu benar, bukan?! Kau mirip
sekali dengan orang yang bernama Dadung Amuk!" kata
Pendekar Mabuk.
"Tap... tapi... tapi aku tidak punya saudara kembar!
Aku lahir tunggal, artinya sendirian!"
"Kita selidiki nanti, siapa Dadung Amuk sebenarnya,
dan ada hubungan apa denganmu!"
"Hei, Suto... lihat, orang itu mampu berdiri dan
melarikan diri dengan cepat!"
"Biarkan!" jawab Pendekar Mabuk melihat Gagak
Neraka melarikan diri menyusuri pantai, mungkin ia
menuju ke perahunya untuk segera meninggalkan pulau
itu. Tetapi, pada saat itu Suto melihat Cempaka Ungu
mengejar Gagak Neraka dengan cepat pula.
"Ratu, tahan dia!" seru Suto. "Gagak Neraka masih
punya kekuatan simpanan! Berbahaya jika dilepaskan
kepada anak gadismu!"
"Cempaka!" seru Ratu Pekat. Seruan itu tak terlalu
keras, tapi membuat Cempaka Ungu berhenti dan
menutup kedua telinganya dengan tangan, ia tampak
kesakitan di bagian telinganya. Rupanya, itulah cara
yang biasa digunakan Ratu Pekat untuk memanggil
anak-anaknya yang ingin nekat membandel. Gelombang
tenaga dalam dikirimkan melalui suaranya, yang bisa
membuat telinga anak itu sakit, lalu berhenti berlari.
Kejap berikutnya sembuh kembali. Dan biasanya,
Cempaka Ungu selalu cemberut jika habis dipanggil
dengan cara seperti itu.
"Ibu mengapa melarangku mengejar si jahanam itu?!"
"Pendekar Mabuk yang menyuruhku!"
"Mengapa Ibu mau disuruh dia?! Ibu penguasa di
sini!" sentak Cempaka Ungu dengan hati dongkol.
"Jangan salahkan Ibu, salahkanlah pemuda itu!"
Wajah ketus karena marah tak terlampiaskan itu
menatap Suto. Dengan geram ia ucapkan kata,
"Lancang sekali mulutmu, berani memberi perintah
kepada ibuku! Tidak tahukah kau bahwa dia adalah
seorang Ratu yang dihormati di sini?!"
Suto tidak menjawab, sepertinya mengacuhkan kata-
kata Cempaka Ungu. Pendekar Mabuk bahkan berkata
kepada Ratu Pekat,
"Dua orangmu dalam keadaan parah, Ratu. Lukanya
makin lebar. Kalau kau izinkan, mereka akan kubawa ke
istanamu!"
"Lakukanlah jika kau sanggup mengobatinya!"
Suto berpaling kepada Singo Bodong dan berkata,
"Bantu aku membawa dua orang ini, Singo!"
Singo Bodong mengangguk. Cepat-cepat ia
mengangkat orang yang paling ringan bebannya, yaitu
Tengkorak Terbang. Tubuh bertulang-belulang nyaris
tanpa daging itu jelas lebih enteng daripada si Mata
Elang.
Ketika Suto ingin mengangkat si Mata Elang yang
lukanya sudah hampir melingkari bagian dada sampai ke
punggung, tiba-tiba Ratu Pekat berkata, "Biar aku yang
membawanya!" Rasa sayang kepada si Mata Elang, yang
setiap saat tampil sebagai pengawal sekaligus pemuas
gairahnya, Ratu Pekat tak segan-segan mengangkat
tubuh si Mata Elang. Dengan ringan sekali ia
mengangkat tubuh kekar itu, dan membawanya lari
dengan tenaga peringan tubuh yang cukup tinggi.
Cempaka Ungu tertinggal gerakan ibunya, ia
memandang Suto dengan angkuh. Suto tersenyum dan
ingin mengajaknya pergi bersama, tapi Cempaka Ungu
berkelebat meninggalkan Suto lebih cepat. Suto makin
lebarkan senyum dan perdengarkan tawa rendahnya.
Alangkah terkejutnya Cempaka Ungu ketika tiba di
pintu gerbang, ternyata Suto sudah berdiri di depan pintu
gerbang itu. Cempaka Ungu hanya membantin.
"Gila sekali gerakannya. Tadi kutinggalkan dengan
kecepatan lari begitu tinggi, ternyata dia sudah sampai di
sini lebih dulu!"
Cempaka Ungu tidak menyapa sedikit pun ketika
melintas di depan Pendekar Mabuk, ia tetap pasang
wajah cemberut dan angkuh. Tetapi ketika ia hendak
menaiki tangga serambi istana, ia jadi terkejut lagi,
karena ternyata Suto sudah ada di depan langkahnya,
seakan sengaja menunggunya lewat.
"Aku tidak tertarik dengan permainanmu!" ucap
Cempaka Ungu dengan sedikit sipitkan matanya. Dan
Suto hanya tertawa pelan.
Hanya dengan beberapa teguk tuak yang diminumkan
kepada Tengkorak Terbang dan si Mata Elang, luka-luka
itu segera mengering, walaupun tidak hilang dalam
sekejap waktu. Tetapi, racun yang merayap dan
mengganas di tubuh mereka telah mati. Tinggal
menunggu luka itu kering beberapa waktu lagi.
"Jika kau tak keberatan, sudilah kiranya kau
perkenalkan dirimu yang telah menolongku," ujar Ratu
Pekat.
"Aku tidak menolongmu!" kata Suto. "Aku hanya
ingin menyelamatkan temanku yang bernama Singo
Bodong itu!"
"Apakah dia bukan Dadung Amuk?"
"Bukan! Dia termasuk salah satu keajaiban alam!
Tidak punya saudara lelaki, tidak punya saudara kembar,
tapi punya wajah dan potongan tubuh yang mirip dengan
orang lain, yaitu Dadung Amuk! Tapi, nasibnya tidak
cerah. Dia selalu menjadi bahan pelampiasan dendam
atau kemarahan orang yang merasa dirugikan oleh ulah
si Dadung Amuk!"
"Tadi dari mana Gagak Neraka bisa mengetahui dia
ada di sini? Dan membantai habis orang-orangku,
sehingga tinggal lima orang. Kurasa Dadung Amuk yang
datang bersama Gagak Neraka!"
"Tidak begitu, Nyai!" tiba-tiba terdengar suara
seseorang dari arah luar. Orang itu berlari-lari kecil
dengan gerakan kerdilnya. Orang itu tak lain adalah
Dewa Racun.
Ratu Pekat terperanjat dan nyaris melemparkan
kemarahan kepada Dewa Racun yang dianggap musuh
olehnya. Tetapi ketika ia dan anaknya ingin bergerak
menyerang Dewa Racun, Suto cepat ucapkan kata,
"Dia temanku!"
Mendengar kalimat itu Ratu Pekat dan anaknya
segera menahan gerakan berikutnya. Mereka sama-sama
memandang wajah Suto, dan Suto pun hanya tersenyum
tenang, ia bahkan membuka bumbung tuaknya lagi, dan
menenggaknya beberapa teguk.
"Jadi kau orang Pulau Serindu?" tanya Ratu Pekat.
"Belum," jawab Suto. "Mungkin sebentar lagi aku
akan menjadi orang Pulau Serindu. Tapi yang jelas,
hilangkan dulu sikap permusuhanmu dengan Dewa
Racun. Ada sesuatu yang menarik didengar dari kata-
katanya tadi." Suto memandang Dewa Racun dan
berkata, "Teruskan ucapanmu tadi, Dewa Racun!"
"Kurasa di sini ada seorang mata-mata kiriman dari
Siluman Tujuh Nyawa!"
"Dari mana kau tahu?!" tanya Ratu Pekat kepada
Dewa Racun.
"Singo Bodong mirip Dadung Amuk. Singo Bodong
terdampar di pulau ini bersama aku, dan juga Pendekar
Mabuk ini, Nyai. Kami terdampar dalam keadaan saling
terpisah. Lalu, tiba-tiba Singo Bodong mau digantung,
karena disangka Dadung Amuk. Tiba-tiba pula, Gagak
Neraka datang mau menyelamatkan Singo Bodong. Jelas
ada orang yang salah duga, menyangka Dadung Amuk
mau digantung, maka dia segera kirimkan berita kepada
Siluman Tujuh Nyawa dengan caranya sendiri. Mungkin
dengan hubungan batin dia bicara kepada Siluman Tujuh
Nyawa. Lalu, Durmala Sanca itu mengirimkan Gagak
Neraka kemari. Masalahnya sekarang, siapa orang-
orangmu yang ternyata adalah orang susupan yang
menjadi mata-matanya Siluman Tujuh Nyawa?"
*
* *
8
SUTO Sinting, murid si Gila Tuak, membenarkan
dugaan Dewa Racun. Jika tidak ada orang yang
memberitahukan adanya tawanan yang akan dihukum
gantung, tak mungkin Gagak Neraka datang ke Pulau
Beliung dan mengamuk, menaburkan racun Angin
Jantan. Anehnya Ratu Pekat kurang tertarik dengan
dugaan Dewa Racun itu.
Di dalam kamar yang disediakan untuk beristirahat,
Pendekar Mabuk sempat terpikir apa sebab Ratu Pekat
tidak mempercayai dugaan Dewa Racun. Apakah karena
pihak Ratu Pekat bermusuhan dengan pihak Dewa
Racun, atau karena sesuatu hal, sehingga pada waktu itu
Ratu Pekat membantah dengan suara keras.
"Tidak mungkin! Orang-orangku tidak ada yang
berjiwa pengkhianat! Jangan kau menebar racun lewat
mulutmu, Kerdil!"
"Kalau kau seorang Ratu yang cerdas, kau tidak akan
menyanggah pendapatku, Nyai! Tapi kalau kau seorang
Ratu yang picik, kau akan terjebak oleh kepicikanmu
sendiri!" kata Dewa Racun dengan berani.
Ratu Pekat menggeram jengkel sambil melemparkan
pandangan kepada Dewa Racun. Anak gadisnya pun
tampak siap melakukan gerakan yang membahayakan
jika ibunya memberi perintah sewaktu-waktu. Pendekar
Mabuk melihat ketegangan itu dapat menjadikan satu
bentrokan tersendiri antara Dewa Racun dengan Ratu
Pekat Maka, cepat-cepat Suto mengambil alih
pembicaraan pada waktu itu,
"Sebaiknya tak perlu dipikirkan dulu hal itu. Agaknya
untuk membuktikan ada dan tidaknya pengkhianat di
dalam istana ini, dibutuhkan waktu untuk
membuktikannya. Dan... kami tidak punya banyak
waktu, Ratu Pekat. Jadi, masalah ini kembali kuserahkan
padamu! Keperluanku hanya menolong Singo Bodong
saja. Tidak ikut campur dalam urusan kekuasaanmu di
pulau ini!"
Kata-kata itu ternyata memang meredakan
ketegangan tersebut. Ratu Pekat segera tarik napas
dalam-dalam, meredam gemuruh di dalam dadanya.
Setelah itu ia berkata kepada Pendekar Mabuk, "Apa
yang bisa kubantu untuk kalian?"
"Aku butuh sebuah perahu untuk melanjutkan
perjalananku," jawab Suto Sinting.
"Aku akan siapkan," kata Ratu Pekat. "Tapi haruskah
kalian berangkat sekarang juga?"
Cempaka Ungu segera angkat bicara, "Hanya
manusia bodoh yang mau mengawali perjalanan lautnya
pada petang hari!"
Entah kepada siapa kata-kata ketus itu ditujukan,
karena wajah cantik berkesan judes itu memandang ke
arah luar istana. Pendekar Mabuk hanya berkata kepada
Ratu Pekat.
"Agaknya memang kami harus berangkat petang ini
juga. Sebab kami tak punya saudara untuk menumpang
bermalam di pulau ini."
Ratu Pekat berkata. "Kurasa istanaku ini cukup luas
dan lebar. Ada dua kamar yang bisa kalian pakai, dan
dua kamar itu memang kusediakan untuk tamu yang
datang dan bermalam di istanaku. Jika kau tidak
keberatan, kusuruh pelayanku menyiapkan dua kamar
itu!"
Tetapi Cempaka Ungu berkata, "Pelayan kita sudah
ikut mati terkena racun Angin Jantan, Ibu! Kalau
memang dia mau bermalam dan menggunakan kamar
itu, biar dia sendiri yang membereskannya."
"Cempaka, tak boleh kau bicara begitu kepada sang
penolong kita."
"Aku tidak merasa ditolong olehnya?! Aku merasa
mampu menumbangkan Gagak Neraka! Hanya secara
kebetulan saja dia punya urusan pribadi dengan Gagak
Neraka, yaitu menyelamatkan si raksasa bodoh itu,
sehingga sepertinya dia ada di pihak kita!"
"Tutup mulutmu, Cempaka!" sentak ibunya dengan
wibawa. Cempaka Ungu pun tak berani bicara apa-apa
lagi, hanya cemberut dan mendengus kesal. Wajahnya
kembali dipalingkan ke luar.
"Gadis ini lucu," pikir Pendekar Mabuk saat itu.
"Sejak tadi ia bersikap bermusuhan padaku, tapi ia
bermaksud menahanku agar tidak lekas-lekas
meninggalkan pulau ini. Gadis seusia dia memang sering
bersikap aneh jika sedang punya maksud yang
tersembunyi di dalam hatinya. Ah, persetanlah! Biar saja
ia bertingkah dengan pribadinya sendiri...!"
Malam direnggut sepi. Samar-samar suara ombak
terdengar dari kejauhan. Heningnya malam itu justru
membuat Pendekar Mabuk gelisah karena kecamuk di
dalam hatinya. Terbayang wajah yang muncul di alam
semadinya dan di alam mimpi-mimpinya. Wajah itu
milik seorang perempuan cantik yang ternyata adik dari
Betari Ayu, yaitu Dyah Sariningrum.
Pendekar Mabuk bagai tak sabar lagi, ingin segera
bertemu dengan ratu penguasa Puri Gerbang Surgawi di
Pulau Serindu. Berapa jauh lagi Pulau Serindu dari
Pulau Beliung itu, Pendekar Mabuk tak tahu pasti. Tapi
Dewa Racun pasti mengetahuinya, karena memang ia
datang khusus untuk menjemput Pendekar Mabuk atas
perintah nyai gustinya.
Di kamar itu, Pendekar Mabuk sendirian. Justru
dalam kesendiriannya itu ia menjadi tak bisa tidur,
karena tak ada teman berbagi rasa. Sebab itulah
Pendekar Mabuk segera keluar dan masuk ke kamar
Dewa Racun. Ternyata Dewa Racun juga belum tidur, ia
habis melakukan semadi sebagai pengasah ilmu-
ilmunya.
"Dia sudah tidur?" tanya Suto sambil menunjuk Singo
Bodong yang meringkuk di atas pembaringan empuk.
"Kalau sudah tidur tentunya istana ini bergetar,"
jawab Dewa Racun, dan Suto tersenyum, ia ingat
kebiasaan aneh Singo Bodong, yaitu jika tidur
mendengkur dan jika mendengkur seisi rumah menjadi
bergetar.
"Singo Bodong!" panggil Pendekar Mabuk.
Singo Bodong bergegas bangun. "Kau membutuhkan
bantuanku, Pendekar Mabuk?"
"Aku mau jalan-jalan keluar sebentar. Cari angin!
Kau tidur saja di kamarku sana! Lega dan lebih nyaman
tempatnya."
"Baik. Tapi, kapan kau ingin mengajarkan ilmu-
ilmumu kepadaku, Pendekar Mabuk?"
"Kalau sudah tiba waktunya!" jawab Suto sambil
tersenyum. Kemudian ia menepuk punggung Singo
Bodong yang melintas di depannya, lalu pindah ke
kamar Suto.
"Kau ingin ikut jalan-jalan keluar, Dewa Racun?"
"Ada yang ingin kukerjakan. Pergilah dulu, nanti aku
menyusul."
Di dalam kamar Pendekar Mabuk, Singo Bodong
merasa girang melihat tempat tidur yang lebih lebar dari
tempat tidur yang ada di kamar sebelah tadi. Selimutnya
juga tebal dan lebar. Dua obor yang ada di satu sisi
dinding itu menjadi penerang ruangan yang bersih dan
lebih berkesan bagus segala perabotnya. Singo Bodong
tersenyum-senyum, akhirnya menguap sambil
menggeliatkan tubuhnya.
"Oohaaaaem...!"
Blapp...! Tiba-tiba kedua obor itu padam apinya.
Singo Bodong bingung mendapatkan kamar menjadi
gelap. Hanya terkena hembusan napas menguapnya saja,
kedua obor itu bisa padam apinya. Singo Bodong heran
setengah mati. Biasanya ia menguap sampai berkali-kali,
nyala api lilin pun tak akan bisa padam. Kenapa
sekarang nyala dua obor berukuran besar itu bisa padam
dengan satu hembusan napasnya.
"Apakah karena tadi punggungku ditepuk oleh
Pendekar Mabuk, sehingga ada ilmunya yang masuk ke
tubuhku, dan membuat obor itu padam karena hembusan
menguapku?" pikir Singo Bodong sambil meraba-raba
dalam kegelapan menuju pembaringan. Begitu ia
temukan, ia pun berbaring dengan hati berdebar-debar.
"Jika benar Pendekar Mabuk menyalurkan salah satu
ilmunya ke tubuhku melalui tepukan punggung tadi,
oh... alangkah hebatnya dia? Alangkah mujurnya
nasibku? Paling tidak aku bisa melawan orang yang
ingin mempermainkan aku dengan hembusan napasku!"
Sekalipun selimut pembalut dingin sudah
membungkus tubuhnya, tapi Singo Bodong masih belum
terpicing tidur. Hatinya masih berdebar-debar indah
membayangkan napasnya yang bisa memadamkan nyala
api obor itu.
Sambil melangkah di pantai, Pendekar Mabuk
membatin dalam hatinya, "Singo Bodong perlu diberi
sedikit isi, biar tidak terlalu kosong. Kasihan aku melihat
dia diseret ke sana-sini pada saat mau digantung. Jika dia
punya sedikit isi, paling tidak ia tidak menjadi bulan-
bulanan oleh orang-orang yang tidak mengenalnya."
Gemuruh ombak tak begitu menderu. Itu pertanda tak
ada badai di tengah lautan. Suto berhenti memandang
lautan dalam sisa sinar rembulan yang kian redup dari
harinya itu.
"Aku ingin memandang ke arah Pulau Serindu,"
pikirnya. "Tapi ke mana arahnya jika dari pantai sini?
Sayang sekali aku tidak tahu arah Pulau Serindu,
sehingga aku tidak bisa menatap ke arah calon istriku;
Dyah Sariningrum yang berjuluk Gusti Mahkota Sejati."
Tiba-tiba Suto terpaksa harus melompat ke balik
bebatuan, ia melihat seorang prajurit melangkah dengan
terburu-buru dari arah kegelapan. Prajurit itu mendekati
sebuah batu tinggi, dan naik ke atasnya dengan satu kali
hentakkan kaki.
Prajurit itu melepaskan baju rompinya yang menjadi
seragam orang-orang istana. Seragam itu menunjukkan
jabatannya sebagai prajurit pengawal khusus yang
mendampingi Ratu Pekat jika pergi ke mana-mana.
Menurut cerita Dewa Racun, Ratu Pekat selalu
didampingi enam prajurit pengawal yang menjaga
depan, belakang, dan samping kanan-kiri, di samping itu
juga pengawal pribadinya yang berjuluk si Mata Elang.
Melihat prajurit yang satu ini membuka baju
rompinya sambil berdiri di atas batu tinggi, Suto jadi
curiga dan semakin ingin tahu. Ia bergerak mendekat,
dari tempat bersembunyi yang satu pindah ke yang
satunya lagi. Makin dekat makin jelas wajah dan
potongan tubuh prajurit itu.
"Mau apa dia berdiri di atas batu itu?" pikir Pendekar
Mabuk dengan mata sedikit menyipit, memperjelas
penglihatannya. Hatinya tetap memancarkan kecurigaan
yang aneh terhadap prajurit bersenjatakan tombak itu.
Saat ia ada di atas, tombaknya diletakkan di dinding
batu. Sebenarnya Pendekar Mabuk bisa saja menyambar
tombak itu, tapi untuk apa? Ia tak mau lakukan sesuatu
yang tanpa arti.
Prajurit itu tiba-tiba merentangkan kedua tangannya
ke samping kanan kiri dengan gerakan pelan dan
sepertinya disertai dengan mengerasnya urat. Kaki
kirinya diangkat sampai telapak kakinya itu merapat di
samping tumit kanan, lutut yang terangkat itu menjorok
maju ke depan. Lalu, kedua tangannya yang merentang
bergerak pelan-pelan ke atas kepala.
Sampai di atas kepala, kedua tangan itu merapat,
tetapi hanya jari telunjuk dan ibu jarinya yang saling
bertemu merapat, hingga membentuk satu lubang di
antara pertemuan jari-jari itu. Tangan yang tegak lurus
ke atas itu tiba-tiba memancarkan sinar merah ke
kuning-kuningan dari ujung jari telunjuk yang saling
bertemu itu. Sinar merah tersebut melesat tinggi sebesar
lidi, panjang hingga tak terbatas sampai di mana
ujungnya.
Angin laut berhembus, membawa suara yang terucap
dari mulut prajurit itu sampai ke telinga Pendekar
Mabuk. Awalnya Pendekar Mabuk bingung dengan
bahasa-bahasa aneh yang diucapkan prajurit itu. Seperti
bahasa mantera sebuah ilmu. Tapi setelah itu, Pendekar
Mabuk mendengar kalimat yang bisa dimengerti
bahasanya.
"Kekuatan melemah. Istana bebas terkuasai. Segera
tumbuhkan api membakar ilalangnya. Segera tumbuhkan
api membakar ilalangnya...."
Suto membatin, "Apa yang dimaksud kata-kata itu?
Sepertinya ia memanggil seseorang atau menghubungi
seseorang melalui kekuatan batinnya. O, dia punya tato
di bawah ketiak kirinya?"
Mata Suto bertambah menyipit untuk mempertegas
gambar tato yang ada di bawah ketiak orang itu.
Ternyata tato itu bergambar tengkorak manusia dengan
tujuh mata rantai yang mengelilingi bagian atas kepala
tengkorak sampai bagian samping. Pada bagian bawah
tengkorak itu kosong tanpa tulisan atau gambar apa pun.
Suto membatin lagi, "Apa arti tato itu? Atau hanya
sebagai seni semata? Tengkorak...? Apakah dia punya
hubungan dengan Tengkorak Terbang? Lalu apa
maksudnya dia melakukan hal itu? Dia berhubungan
dengan seseorang dan seseorang itu adalah Tengkorak
Terbang?"
Prajurit itu cepat tinggalkan tempat tersebut tanpa
merasa diintai oleh sepasang mata dari balik celah
bebatuan karang. Pendekar Mabuk pun bergegas
mengejarnya. Tapi di perjalanan ia berhenti dan
membatin,
"Tak perlu! Tak perlu kukejar, toh aku tahu ke mana
larinya. Pasti ke istana. Tapi... kenapa hatiku jadi tak
enak setelah melihat apa yang dilakukan oleh prajurit
itu? Naluriku mengatakan, ada sesuatu yang akan terjadi
di pulau ini. Entah apa wujudnya!"
Langkah Pendekar Mabuk santai-santai saja ketika
mendekati istana, ia tak tahu bahwa di istana ada satu
kejadian kecil yang menggelikan.
Diam-diam Cempaka Ungu rupanya tertarik kepada
Pendekar Mabuk, tapi malu terlihat di depan mata
ibunya. Karena itu, Cempaka Ungu memanfaatkan
malam yang sepi, di mana penghuni istana sebagian
besar telah tertidur dengan nyenyaknya. Cempaka Ungu
menyusup masuk ke kamar Suto yang ternyata gelap itu.
"Kebetulan ia matikan lampunya!" pikir Cempaka
Ungu. Karena ia sering keluar-masuk di kamar itu, jadi
ia tahu betul di mana letak ranjang walau dalam keadaan
gelap, ia bersuara membisik,
"Pendekar Mabuk...! Pendekar Mabuk...! Sudah
tidurkah kau?"
Tak ada jawaban. Cempaka Ungu menduga Suto
sudah tertidur nyenyak. Dengan langkah sangat hati-hati
ia semakin mendekati ranjang. Di ranjang itu, Singo
Bodong sebenarnya belum tidur. Tapi karena gelap, dan
mendengar suara perempuan, Singo Bodong tak berani
bergerak sedikit pun. Ia sangat ketakutan.
"Pendekar Mabuk... bangunlah sebentar, aku ingin
bicara denganmu," seru Cempaka Ungu dalam bisik
mendesah, ia pegang kaki orang yang tidur di balik
selimut tebal itu. Ia remas beberapa saat dengan hati
berdebar-debar.
"Pendekar Mabuk, bangunlah sebentar. Sebentar saja.
Aku hanya ingin meminta maaf atas segala sikapku tadi
siang, dan... dan... oh, bangunlah sebentar, Pendekar
Mabuk...."
Tangan Cempaka Ungu menyelusup masuk ke dalam
selimut dan menemukan kaki yang hangat. Kehangatan
itu terasa meresap sampai di hatinya dan membuat
hatinya makin berdebar-debar indah, ia mengusap-usap
kaki itu, sesekali meremasnya dengan suara desis tipis
dari mulutnya.
"Kakimu dingin sekali, Pendekar Mabuk... Boleh
kuhangatkan?"
Tak ada jawaban yang keluar dari orang tidurnya
meringkuk itu. Cempaka Ungu semakin berdesir-desir.
Lalu, ia bergeser mendekati bagian atas orang itu. Gelap
pekat yang terjadi di kamar itu membuat Cempaka Ungu
tak malu-malu untuk mengusap-usap rambut orang yang
disangkanya Suto Sinting itu.
"Pendekar Mabuk, bisakah kau mendengar suaraku,
hmm...?! Jangan kau anggap sikapku sejahat itu padamu.
Aku hanya malu kepada Ibu kalau aku kelihatan tertarik
padamu. Aku tahu kau tersinggung dan marah padaku.
Tapi tak bisakah kau bicara sepatah kata pun untuk
memaafkan aku, Pendekar Mabuk...?"
Usapan-usapan tangan Cempaka Ungu semakin
lembut. Tapi sentuhan jemarinya di rambut atau di
kening orang yang diusapnya, terasa menambah mekar
bunga-bunga di hatinya.
"Kumohon kau mau tinggal di sini sampai beberapa
waktu, Pendekar Mabuk. Jangan lekas-lekas pulang.
Dan, biarkan aku bersikap ketus kepadamu bila di
luaran, tapi sesungguhnya itu hanya suatu kedok saja.
Aku sangat kagum padamu, Pendekar Mabuk. Sungguh
kagum dengan jurus-jurusmu itu. Maukah kau
mengajariku untuk mempermainkan bumbung tuak? Oh,
ya... Ibu masih mempunyai simpanan tuak khusus untuk
para tamu. Kau mau, Pendekar Mabuk? Hmmm...
bagaimana kalau malam ini kita hangatkan diri dengan
minum tuak? Aku juga doyan minum tuak," Cempaka
Ungu mengikik tertahan. Tangannya mengusap-usap
kepala dan kening orang yang tidur meringkuk itu.
Makin lama ia merasakan semakin basah tangannya.
"Oh, kau mengeluarkan keringat dingin, Pendekar
Mabuk? Aha... itu tandanya kau takut menghadapiku.
Tapi, supaya kau tidak grogi, sebaiknya kuambilkan tuak
untukmu. Kita minum bersama di kamar ini, tapi jangan
sampai ada yang tahu. Setuju?!"
Singo Bodong semakin tak bisa berucap kata apa pun.
Seumur-umur baru sekarang ia diusap-usap dengan
mesra oleh seorang gadis cantik yang terbayang jelas
dalam ingatannya. Kecantikan itu pernah menimbulkan
rasa berdesir di hati Singo Bodong, tetapi segera sirna
sejak ia tahu perempuan itu bernafsu untuk
membunuhnya.
Cempaka Ungu sadar bahwa orang yang dianggap
Pendekar Mabuk itu sebenarnya belum tidur. Jika sejak
tadi ia tidak mendapat jawaban dan tanggapan apa pun,
itu lantaran hati Pendekar Mabuk masih dongkol
terhadap sikap ketusnya. Cempaka Ungu
memakluminya. Tapi ia yakin, setelah ia datang bersama
seguci tuak, pasti Pendekar Mabuk itu akan luluh dari
kedongkolan hatinya.
Cempaka Ungu keluar dari kamar dengan
mengendap-endap. Tapi alangkah terkejutnya ia ketika
melihat Suto sedang melangkah menuju kamarnya dan
terkesiap juga memandang kemunculan seorang
perempuan dari dalam kamarnya,
"Cempaka...?" tegurnya dengan heran.
Cempaka merah mukanya. Gemetar sekujur
tubuhnya. Yang ada dalam otaknya adalah sebuah
pertanyaan besar, "Lantas siapa orang yang kuusap-usap
dengan mesra tadi? Aduh, mati aku!" Wajah pucat dan
sesekali semburat merah itu tak berani terlalu lama
berhadapan dengan Pendekar Mabuk. Rasa malunya
begitu besar dan membakar kulit wajah. Cempaka Ungu
cepat tinggalkan tempat dengan kepala menunduk malu.
Tetapi hati Suto menjadi resah dan curiga, ia segera
masuk ke kamarnya, karena menyangka telah terjadi
sesuatu terhadap diri Singo Bodong, ia ingat, bahwa
Cempaka Ungu masih punya kebencian kepada Singo
Bodong dan menyangka Singo Bodong adalah adik
kembar Dadung Amuk. Pendekar Mabuk juga ingat
bahwa Cempaka Ungu bernafsu sekali ingin
menggantung Singo Bodong.
Pintu kamar itu dibuka dengan kasar oleh Suto.
Melihat keadaan gelap, Suto menyangka itu ulah
Cempaka Ungu yang ingin membunuh Singo Bodong.
Seketika itu, Pendekar Mabuk berseru keras, "Singo...?!
Singo Bodong!!" Suara keras membangunkan Dewa
Racun yang hampir tertidur, ia segera melompat keluar
dari kamar dan menuju ke kamar sebelah. Dari pintu
yang terbuka, Dewa Racun berseru,
"Ada apa, Pendekar Mabuk...?!" Suara keras Dewa
Racun juga membangunkan Ratu Pekat yang segera
bergegas ke kamar Pendekar Mabuk. Ratu Pekat pun
berseru,
"Apa yang terjadi?! Apa yang terjadi, Pendekar
Mabuk...?!"
Kamar gelap. Pendekar Mabuk ada di dalamnya.
Singo Bodong makin ketakutan melihat banyak yang
datang, ia diam saja, bagaikan kelu lidahnya tak mampu
berucap kata.
*
* *
9
PAGI yang cerah. Perahu sudah disiapkan oleh
orang-orangnya Ratu Pekat. Kalau saja Suto mau,
mereka sudah bisa bertolak dari Pulau Beliung di pagi
itu. Apalagi perahu yang disiapkan lebih besar dari
perahunya yang pecah dihantam ombak tempo hari.
Perbekalan pun disiapkan di dalam perahu itu, termasuk
dua guci tuak yang paling enak.
Tetapi, Pendekar Mabuk berkata lain kepada Ratu
Pekat, "Aku tidak jadi berangkat hari ini!"
Kata-kata itu tidak mengejutkan Ratu Pekat, tapi
membuat Dewa Racun dan Singo Bodong terperanjat.
Mereka sama-sama memandang Pendekar Mabuk, hanya
Suto tidak peduli dengan sikap memandang mereka.
Suto memandangi wajah-wajah mereka yang ada di
depannya, yaitu wajah Ratu Pekat, Cempaka Ungu, si
Mata Elang dan terakhir Tengkorak Terbang. Luka-luka
kedua orang itu telah mengering, dan kesehatannya
memulih berkat pengobatan sederhana yang punya
kekuatan besar. Hasil pengobatan itu membuat hati
orang-orangnya Ratu Pekat menjadi salut dan hormat
kepada Suto Sinting.
"Kalau boleh aku tahu," kata Ratu Pekat. "Apa yang
membuatmu menangguhkan keberangkatan kalian,
Pendekar Mabuk?"
"Apakah kau keberatan aku menunda
keberangkatanku?" Pendekar Mabuk ganti bertanya
kepada Ratu Pekat.
"Tidak. Sama sekali tidak. Tapi aku ingin tahu.
Apakah karena persoalan tadi malam di kamarmu?"
"O, bukan karena itu! Itu hanya sebuah mimpi Singo
Bodong yang tiba-tiba menjadi ketakutan karena cahaya
api di dalam kamar padam dengan sendirinya."
Singo Bodong memang tidak menceritakan apa yang
sebenarnya terjadi. Hanya kepada Suto ia ceritakan
semuanya secara bisik-bisik, tapi Suto pun tidak ingin
mempermalukan Cempaka Ungu dengan membeberkan
cerita itu kepada setiap orang. Dan diam-diam Cempaka
Ungu merasa bersyukur, bahwa cerita tentang
kenakalannya itu tidak sampai didengar oleh ibunya,
atau oleh Tengkorak Terbang maupun si Mata Elang.
"Sebelumnya aku ingin bertanya," kata Suto.
"Adakah di antara kita yang hadir di sini mengetahui
simbol atau lambang yang menjadi kebanggaan Siluman
Tujuh Nyawa itu?"
Ratu Pekat menyahut, "Yang kutahu, setiap kapal
sekutunya Siluman Tujuh Nyawa selalu memakai
bendera atau layar bergambar tengkorak dengan tujuh
mata rantai melingkarinya. Tengkorak itu
melambangkan siluman, tujuh mata rantai itu
melambangkan tujuh nyawa. Tapi kurasa kita tak perlu
membahas soal lambang yang menjadi kebanggaan dia!
Itu urusan mereka. Yang ingin kutanyakan lagi padamu,
Pendekar Mabuk, mengapa kau menanyakan lambang
tersebut?"
"Aku hanya ingin memastikan bahwa lambang
tengkorak dengan tujuh mata rantai itu bukan milik
Tengkorak Terbang."
Tengkorak Terbang tertawa dengan suara
lengkingnya, "Hiaah, hiah hah hah hah hah...!"
"Husy! Diam!" bentak Ratu Pekat dan tawa itu lenyap
seketika. Sepi bagaikan suara jangkrik terinjak kaki
manusia. Ratu Pekat lanjutkan kata-katanya kepada
Pendekar Mabuk,
"Tengkorak Terbang hanya sebuah julukan karena
kurusnya tubuh dia. Bukan semata-mata menjadi
lambang tersebut."
"Baiklah, jika begitu, kuingatkan sekali lagi padamu,
Ratu Pekat, bahwa apa yang pernah dikatakan Dewa
Racun kemarin itu memang benar."
"Soal apa?" Ratu Pekat kerutkan dahi.
"Salah satu dari orangmu adalah mata-matanya
Siluman Tujuh Nyawa!"
"Tidak mungkin! Orangku tidak punya jiwa
pengkhianat!" Ratu Pekat tetap membantah, mungkin
karena ingin menutup rasa malu bahwa ternyata ia
lengah dan kemasukan mata-mata tanpa diketahui sejak
kapan bercokolnya.
"Ratu Pekat, percayalah dengan pendapatku. Ada
pengkhianat di sini dan istanamu akan direbutnya, pulau
ini akan dikuasai, kau sendiri mungkin akan diusir, atau
dibunuh, atau dijadikan tawanan dari Siluman Tujuh
Nyawa."
"Jangan bicara seenakmu, Pendekar Mabuk! Apakah
kau bisa membuktikan siapa di antara kami yang
menjadi mata-mata?"
"Bisa!" jawab Suto, matanya melirik ke arah
Tengkorak Terbang. Bukan maksud Suto menuduh
Tengkorak Terbang, tapi ia ingin tahu perubahan sikap
Tengkorak Terbang sebagai panglima yang baru
diangkat kemarin siang itu. Hanya saja, lirikan mata
Suto diartikan lain oleh mereka. Mereka ikut-ikutan
memandang Tengkorak Terbang, sehingga yang
dipandang merasa sebagai pihak yang dituduh.
Berdiri seketika Tengkorak Terbang dengan kebuasan
mata cekungnya, ia berkata dengan suara cemprengnya,
"Hati-hati kau bicara, Pendekar Mabuk! Sekalipun
kau telah menyelamatkan lukaku, aku masih tega
membunuhmu jika kau mencoba menghasut Ratu! Aku
bukan mata-mata!"
"Aku tidak menuduh kamu," jawab Suto dengan
tersenyum. "Kalau aku memandangmu, itu karena aku
ingin tahu sikapmu sebagai seorang panglima baru di
Istana Cambuk Biru ini! Kau memang bukan mata-mata
yang kumaksud, Tengkorak Terbang."
"Lantas siapa orang yang kau maksud?" sentak
Tengkorak Terbang yang sudah telanjur dongkol
hatinya.
"Berapa sisa prajurit yang ada di sini?" tanya
Pendekar Mabuk kepada Tengkorak Terbang. "Lima
orang!"
"Kumpulkan dia dan aku bisa membedakan mana
yang mata-mata dan mana yang bukan!"
"Kerjakan!" perintah Ratu Pekat kepada Tengkorak
Terbang. Sang Ratu agak malu menerima kenyataan itu.
Ia menggeram dengan mata memandang dalam terawang
kebencian.
"Kalau benar salah satu prajuritku adalah orangnya
Siluman Tujuh Nyawa, maka hal itu adalah kelalaian
dari Pragulo, sebagai ketua keprajuritan ia tidak bisa
membedakan mana lawan dan mana yang bukan lawan."
Ratu Pekat palingkan wajah kepada si Mata Elang dan
berkata dengan tegas.
"Jika terbukti ada yang menjadi mata-mata, pancung
Pragulo lebih dulu!"
"Baik!" jawab si Mata Elang dengan patuh.
Dewa Racun berkata, "Setahuku, Siluman Tujuh
Nyawa tidak pernah mengirim orangnya untuk
menyusup atau mengemban tugas khusus yang tanpa
ilmu tinggi. Jika benar ada mata-matanya di sini, berarti
sekalipun ia prajuritmu, Ratu, ia pasti punya ilmu
tinggi!"
"Aku tahu!" kata Ratu Pekat tegas. "Tapi akan
kuhadapi sendiri dia! Setinggi apa pun ilmunya, akan
kuhadapi sendiri dia!"
"Itu hal yang baik," kata Dewa Racun, "Sebab, orang-
orang yang disebar oleh Siluman Tujuh Nyawa adalah
orang-orang pilihan, yang sedikitnya punya ilmu
setingkat dengan Gagak Neraka atau Dadung Amuk.
Bisa jadi lebih tinggi tingkatan ilmunya dari kedua orang
yang kusebutkan tadi."
Ratu Pekat mau melanjutkan kata-katanya, tapi
Tengkorak Terbang telah datang bersama keempat
prajurit. Mereka diperintahkan Ratu untuk berjejer di
depan serambi.
"Mana Pragulo...?!" sentak Tengkorak Terbang
kepada salah seorang prajurit. Sebelum prajurit itu
menjawab, suara Pragulo telah menyahut dari samping
istana sambil berlari-lari.
"Ke mana saja kau?"
"Hmmm... anu, maaf. Sedang buang hajat di belakang
kamar mandi!"
Plakkk...! Tangan Tengkorak Terbang bergerak cepat
menampar pipi Pragulo.
Prajurit yang menjadi kepala bagian keprajuritan itu
hanya diam saja, menunduk, merasa bersalah. Kemudian
ia diperintahkan berjejer di antara keempat prajurit
lainnya.
"Biar saya yang menangani, Ratu. Mohon izinmu!"
kata Suto.
"Memang harus kau yang menanganinya!" jawab
Ratu Pekat, ia berdiri didampingi si Mata Elang dan
Cempaka Ungu. Sementara itu, Dewa Racun dan Singo
Bodong ada di sisi lain, agak jauh dari mereka.
Kepada para prajurit, Suto berkata, "Semua buka
baju! Aku akan memilih satu orang untuk kubekali
ilmuku, dan kujadikan benteng terdepan dalam menjaga
keamanan istana!"
Seorang prajurit berwajah bengis berkata dengan
angkuhnya.
"Apakah ilmumu cukup tinggi, sehingga kau berani
mau melatih kami, hah?!"
"Wiroto! Kerjakan apa saja perintahnya!" sentak
Tengkorak Terbang dengan mata cekungnya
memandang keji kepada prajurit angkuh yang bernama
Wiroto itu.
Kini, kelima prajurit telah melepas rompi mereka
masing-masing. Wiroto hanya bisa melirik benci kepada
Pendekar Mabuk, tapi Pendekar Mabuk hanya
tersenyum-senyum saja. Bahkan dengan santainya ia
menenggak bumbung tuak yang sudah terisi kembali itu.
Glek glek glek...!
Tak ada suara, tak ada gerakan, kecuali langkah Suto
yang memandangi wajah-wajah prajurit dengan penuh
selidik. Suasana mencekam tegang. Cempaka Ungu
tampak menahan napas karena meredam nafsu
kemarahannya.
"Coba kamu maju ke depan," perintah Pendekar
Mabuk kepada Wiroto. Prajurit itu melangkah maju dua
tindak. Pendekar Mabuk memberikan sebatang tombak
dan berkata, "Angkat kedua tanganmu ke atas, dan
tahanlah tombak ini. Aku menyalurkan tenaga dalamku
di tombak ini. Aku ingin tahu apakah kau kuat
menahannya atau tidak."
"Apa maksudnya orang itu?" bisik Cempaka Ungu
kepada ibunya.
"Diam saja. Biarkan ia berbuat sesukanya!" jawab
sang Ibu.
Wiroto menahan tombak dengan kedua tangan ke
atas. Rupanya Pendekar Mabuk memang menyalurkan
tenaga dalamnya ke dalam batang tombak itu, sehingga
Wiroto tampak merah mukanya sewaktu
mempertahankan agar tombak tetap tersangga dengan
kedua tangannya, ia sampai meliuk-liuk hampir jatuh,
lututnya gemetar seperti sedang menyangga beban yang
amat besar dan berat.
Akhirnya Wiroto menggeloyor jatuh, tapi buru-buru
ditangkap Pendekar Mabuk, dan tombak itu diambil oleh
Pendekar Mabuk. Wiroto terengah-engah, ia tak mampu
menahan tombak itu dalam sepuluh hitungan. Pendekar
Mabuk geleng-geleng kepala,
"Payah," katanya meremehkan prajurit sombong itu.
Lalu, Pendekar Mabuk menyuruh Pragulo maju ke depan
dan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan
Wiroto.
Pada saat kedua tangan Pragulo terangkat ke atas
untuk menyangga tombak, tiba-tiba Suto berkata kepada
Tengkorak Terbang,
"Lihat tato di bawah ketiaknya!"
Tengkorak Terbang terkesiap dan tegang wajahnya,
ia berseru sambil mencekal tangan Pragulo agar tetap
terangkat ke atas,
"Ratu, lihat tato di bawah ketiaknya! Ini lambang
Siluman Tujuh Nyawa!"
Beggg...!
Tiba-tiba Pragulo sentakkan gagang tombak ke
punggung Tengkorak Terbang. Saat itu, Ratu Pekat
segera berseru,
"Tangkap dia!"
Sebelum yang lain bergerak, Pragulo sudah lebih dulu
melenting di udara dan menjejak kepala salah seorang
prajurit, lalu melesat pergi melarikan diri. Tengkorak
Terbang segera berteriak, "Kejar dia!"
Tapi Ratu Pekat berseru pula, 'Jangan! Biar aku yang
mengejarnya!"
Pragulo tak sadar telah terpancing oleh akal Pendekar
Mabuk, ia tak bisa menyangkal tuduhan lagi. Karenanya
ia lebih baik melarikan diri jika harus bertarung dengan
beberapa orang berilmu tinggi yang ada di situ.
Tetapi karena Ratu Pekat sendiri yang mengejarnya,
maka yang lain pun ikut mengejar, hanya beberapa
prajurit yang masih tinggal menjaga istana. Tak lupa,
Singo Bodong pun ikut lari karena ingin menyaksikan
pertarungan yang menurut dugaannya pasti akan seru,
sebab sang Ratu turun tangan sendiri.
Langkah Pragulo terhenti karena terhadang oleh
munculnya perempuan berpakaian serba hitam dengan
sulaman benang emasnya, dan mengenakan jubah putih
sutera. Perempuan itu menyandang cambuk pendek
berukuran satu depa, kecil seukuran kelingkingnya.
Perempuan itu tak lain adalah Ratu Pekat sendiri.
"Biadab kau, Pragulo! Ternyata selama ini kaulah
racun di dalam istanaku!" geram Ratu Pekat.
"Kau telah kebobolan beberapa kali, Ratu Pekat! Kau
tidak tahu bahwa aku pun ikut ambil bagian membunuh
orang-orangmu pada saat kedatangan Dadung Amuk,
juga pada saat kedatangan Gagak Neraka kemarin itu!
Ha ha ha ha...!"
"Jahanam kau! Hiaaah...!" Ratu Pekat melepaskan
pukulan tenaga dalamnya lewat sentakan punggung
pergelangan tangannya. Wuuust...! Seberkas sinar merah
melesat ke arah Pragulo. Tapi orang itu cepat melompat
dan menghantamkan pukulan jarak jauhnya melalui
kedua telapak tangan yang dihentakkan ke depan.
Wuuugh...!
Sinar merahnya Ratu Pekat mengenai tempat kosong,
tapi pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi tanpa
cahaya itu juga sempat ditahan oleh sentakan tangan kiri
Ratu Pekat yang melesat tinggi ke samping.
Begg...!
Ratu Pekat terjengkang jatuh ke belakang. Itu
pertanda tenaga dalam Pragulo lebih besar dari tenaga
dalam yang digunakan menghadangnya.
"Ibu...?!" teriak Cempaka Ungu sambil cepat
mencabut pedangnya. Tapi gerakannya ditahan oleh
Tengkorak Terbang.
"Jangan! Aku yakin, Ratu bisa selesaikan sendiri
urusan itu! Beri kesempatan pada dia untuk
melampiaskan dendam dan murkanya!"
Hadir juga di situ Pendekar Mabuk dan Dewa Racun
bersama Singo Bodong yang terbengong-bengong. Si
Mata Elang hanya bersiap mengambil kesempatan
sewaktu-waktu Ratu Pekat terdesak. Cempaka Ungu
segera mendekati Suto, berbisik penuh kecemasan,
"Cepat turunlah! Jangan sampai Ibu celaka!"
"Biar saja! Ibumu ingin tunjukkan murkanya bagi
orang yang mencoba mengkhianatinya!"
"Tapi Ibu dalam keadaan sakit!" katanya sambil
mengguncang lengan Pendekar Mabuk.
"Ibumu pasti bisa mengatasinya sendiri!" jawab Suto
acuh tak acuh. Seakan membalas keangkuhan Cempaka
Ungu. Gadis itu menjadi geram dan salah tingkah
sendiri, sampai tak sadar ia masih berpegangan lengan
Pendekar Mabuk. Ketika Suto melirik, Cempaka Ungu
buru-buru melepaskan dengan rasa malu.
Pragulo tampak gesit dan lincah. Gerakannya begitu
cepat, sehingga tombak yang sejak tadi dijatuhkan di
tanah bisa diambilnya hanya dengan satu sentilan ibu jari
kaki. Tapp...! Tombak itu ada di tangannya, lalu diputar-
putar dengan cepat seperti ia memainkan toya. Gerakan
jurusnya cukup indah, enak dipandang mata. Suto
memuji gerakan indah jurus itu, yang mampu
merenggangkan kaki lurus ke tanah sambil memainkan
tombak berputar, bahkan menggelincir sendiri di
punggungnya yang membungkuk itu. Sambil
membungkuk, Pragulo melepaskan pukulan jarak
jauhnya ke atas, ke arah dada Ratu Pekat. Tetapi Ratu
Pekat menghindar dengan satu kali sentakkan kaki,
tubuhnya melenting di udara dan bersalto satu kali.
Sambil bersalto rupanya Ratu Pekat cepat mencabut
cambuknya. Begitu mendarat di tanah dengan kaki
tegak, cambuk kecil itu segera dikibaskan ke depan.
Jaraknya tak menjangkau, tapi ujung cambuk itu
menyemburkan cahaya biru petir dan menggelegar.
Duarrr...!
Pragulo cepat sentakkan tombaknya ke tanah dan
tubuhnya terangkat terbang tinggi-tinggi, lalu tombak itu
dilemparkan dengan cepatnya ke tubuh Ratu Pekat.
Wuttt...! Jrubb...!
Tombak itu menancap di tanah karena Ratu Pekat
menghindar, sedangkan cahaya biru petir tadi
menghantam sebuah pohon yang membuat pohon itu
lenyap dalam sekejap tanpa bekas sedikit pun.
Pragulo mendaratkan kakinya di tanah dengan sedikit
merendah. Lalu, kedua tangannya bergerak mengeras
dari samping pinggul naik ke atas pelan-pelan.
Tubuhnya sampai kelihatan bergetar. Tubuh itu
mengeluarkan asap kebiru-biruan. Dewa Racun cepat
berteriak,
"Minggir semua! Dia mau tebarkan Racun Pemunah
Bangkai! Minggir semuaaa...! Tutup hidung kaliaaan...!"
Asap kebiruan itu makin tebal membungkus diri
Pragulo. Semua mundur menjauh sambil tutup hidung
dengan tangan mengikuti Dewa Racun. Tetapi, Ratu
Pekat tidak mau mundur bahkan melancarkan pukulan
cambuk birunya lagi.
Duarrr...!
Cahaya sembur biru kilat mengenai tubuh Pragulo.
Tetapi tubuh itu tidak lenyap seperti pohon tadi. Tubuh
itu tetap bergerak pelan mendorong tangannya ke atas.
Ratu Pekat menjadi tegang melihat pukulan 'Cambuk
Biru'-nya tidak mempan untuk Pragulo. Tapi sang Ratu
semakin penasaran.
"Cepat ambil sang Ratu!" teriak Dewa Racun dari
kejauhan. "Sekali dia sentakkan tangannya, Racun
Pemunah Bangkai akan menyebar!"
Wuuttt... wuttt...! Pendekar Mabuk bergerak cepat
menyambut sang Ratu dan membawanya pergi menjauh.
Pragulo seperti orang kesurupan, masih tetap berdiri
dengan gerakan berotot dan asap makin banyak
mengepul dari tubuhnya. Tangannya sudah hampir
disentakkan ke depan. Tetapi, Pendekar Mabuk cepat
tenggak tuaknya dan melompat beberapa kali berjungkir
balik di tanah. Tap tap tap tap tap...! Cepat sekali!
Pendekar Mabuk tiba di depan Pragulo. Tepat pada
saat itu Pragulo sentakkan kedua tangannya ke depan, ke
arah Pendekar Mabuk. Tapi segera Pendekar Mabuk
semburkan tuak dari dalam mulutnya itu. Brusss...!
"Aaaaahk...!" Pragulo memekik dengan tubuh
mengejang, kepala terdongak ke atas, mulut terbuka
lebar dan mata terpejam kuat. Pukulan Racun Pemunah
Bangkai itu membalik menyerang dirinya sendiri, dan
akibatnya tubuh Pragulo itu mulai menghitam. Lama-
lama kulit tubuhnya menjadi lumer, bau busuk menyebar
tajam. Suto cepat tinggalkan tempat karena tak tahan bau
bangkai itu.
Dari kejauhan, semua yang tutup hidung hanya bisa
memandang dengan mata melotot melihat tubuh Pragulo
menjadi lumer hitam, dan akhirnya jatuh ke tanah dalam
keadaan tetap melumer menjijikkan. Akhirnya tubuh
Pragulo tak berbentuk manusia lagi, melainkan
berbentuk cairan kental hitam yang baunya sangat
busuk.
Cempaka Ungu muntah-muntah seketika. Singo
Bodong juga muntah-muntah sampai tak sadar mengenai
punggung Dewa Racun. Tentu saja ia mendapat
tamparan Dewa Racun yang merasa jijik terkena
muntahan Singo Bodong.
Pendekar Mabuk segera menenggak tuaknya lagi, lalu
ia melompat dengan cepat dan tiba di dekat benda lumer
itu dan menyemburkan tuak dalam mulutnya, Brusss...!
Bau bangkai itu mulai menipis. Angin pantai
membuatnya terbang, dan cepat menjadi hilang.
Sementara itu, Dewa Racun tertegun bengong melihat
apa yang dilakukan Suto tadi. Menyemburkan tuak
membuat bau busuk itu hilang, sudah merupakan hal
yang menakjubkan buat Dewa Racun. Karena dia tahu,
bau bangkai itu tidak bisa hilang selama tujuh hari. Tapi
ternyata dengan semburan tuak bisa cepat lenyap.
"Luar biasa dia itu...?!" gumamnya dengan mulut
masih bau anyir ikan bakar.
"Terima kasih, Pendekar Mabuk. Sekali lagi kau telah
menyelamatkan aku!" kata Ratu Pekat kemudian.
"Karena aku punya pamrih," jawab Suto.
"Pamrih apa?!" tanya Cempaka Ungu.
"Sebuah perahu!" jawab Pendekar Mabuk dengan
senyum.
"Jadi, kau akan bertolak sekarang juga atau nanti
sore?" tanya si Mata Elang.
"Sedang kupertimbangkan kapan aku harus pergi dari
pulau ini."
"Rupanya ada hal yang meragukan dirimu?" tanya
Tengkorak Terbang.
"Terus terang saja, memang ada keraguan pada
diriku!"
"Keraguan apa?" tanya Ratu Pekat.
"Semalam kulihat Pragulo melakukan hubungan jarak
jauh dengan seseorang. Sepertinya dengan Siluman
Tujuh Nyawa. Dia berdiri di batu sebelah sana," Suto
menunjuk arah batu itu. "Dia menyebut-nyebut istanamu
yang lemah."
"Kalau begitu, mereka akan datang menyerang pulau
ini?" kata Ratu Pekat dalam kecemasan.
"Mereka siapa, Ibu?"
"Kapal Siluman Tujuh Nyawa!"
"Menyerang kita? Kita yang lemah seperti ini akan
kedatangan mereka? Apakah kita mampu bertahan?!"
Si Mata Elang memandang Tengkorak Terbang, dan
Tengkorak Terbang sendiri menatap tegang pada si Mata
Elang.
"Tak bisakah kau tinggal sesaat lagi, Pendekar
Mabuk?" tanya Tengkorak Terbang dengan nada
memohon.
"Ya, tinggallah beberapa hari lagi di sini," sahut Ratu
Pekat.
"Aku harus berunding dengan Dewa Racun dulu,"
kata Suto. Tapi matanya tertuju pada Cempaka Ungu,
dan gadis itu menatap penuh harap. Sebuah harapan
untuk sebentuk perlindungan. Haruskah Suto menunda
lagi perjalanannya ke Pulau Serindu?
SELESAI
PENDEKAR MABUK
Ikuti kelanjutan cerita ini!!!
Serial Pendekar Mabuk Suto Sinting dalam episode:
PUSAKA TOMBAK MAUT

PENDEKAR MABUK