Pendekar Mabuk 8 - Istana Berdarah(Bagian 1)

Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ


CERITA SILAT INDONESIA
SERIAL PENDEKAR MABUK
EPISODE
ISTANA BERDARAH
KARYA SURYADI





1
GULUNGAN ombak setinggi rumah mengamuk di
tengah lautan. Hembusan angin begitu besar, bagai
tiupan napas-napas iblis dari neraka. Gulungan ombak
itu semakin besar dan meninggi, seakan ingin menembus
langit. Kilatan cahaya halilintar pun menyambar murka
pada benda apa pun yang muncul di permukaan laut.
Gelegar suaranya bagai geram raksasa di atas langit.
Sebuah perahu berlayar tunggal, tumbang diamuk
badai dan gelombang. Lambung perahu pecah, tiangnya
patah, layarnya tak tersisa sedikit pun pada tiang. Papan-
papan kayunya mengambang terombang-ambing ombak,
kadang terlempar ke angkasa dan jatuh entah ke mana.
Ketika murka samudera mereda, tampak sesosok
tubuh terkapar tak berdaya di pasir pantai. Orang itu
bertubuh tinggi besar tanpa mengenakan baju lagi.
Masih untung celananya tetap melekat dan tidak hanyut
terbawa ombak seperti bajunya. Orang itu dalam
keadaan tengkurap dan masih memeluk sebatang balok.
Melihat dari gelang kayu akar bahar di tangan
kanannya, melihat bentuk jari sebesar pisang ibaratnya,
orang itu tak lain ialah Singo Bodong. Bentuk pusarnya
yang menonjol tak bisa dipungkiri lagi, bahwa ia adalah
Singo Bodong yang mengikuti perjalanan Pendekar
Mabuk dan Dewa Racun ke Pulau Serindu.
Malang bagi sang Singo, perahu itu pecah dihantam
badai lautan, ia pun terpisah dari Pendekar Mabuk dan
Dewa Racun. Apakah Pendekar Mabuk masih bersama
Dewa Racun, ia pun tak tahu pasti. Yang jelas ia sadari,
bahwa pulau tempatnya terdampar itu adalah bukan
pulau tujuan terakhir. Pulau itu terlewati oleh perahu
mereka saat badai belum datang dan menggulung habis.
Cahaya sinar matahari yang menyengat kulit
membuat Singo Bodong sadar dari pingsannya, ia
menggeliat pelan diiringi oleh suara erang memanjang.
Sekujur tubuhnya sakit semua, tulang-tulangnya
bagaikan patah. Kulit pun terasa perih karena sabetan
lidah-lidah ombak. Urat-uratnya bagaikan putus semua
akibat berjuang mempertahankan hidup di tengah
amukan badai dan ombak.
"Pendekar Mabuk... Dewa Racun...!" Singo Bodong
memanggil dengan mata mengerjap-ngerjap perih, ia
menyeringai, menyipitkan mata karena tak kuat
menerima sinar matahari. Tubuhnya yang mau bangkit
jatuh kembali karena lemas.
"Aku terdampar!" pikirnya dalam kelemasannya.
"Pasti aku terdampar di suatu pulau. Kalau tahu pada
awalnya bahwa aku akan terdampar begini, aku tak mau
ikut Pendekar Mabuk! Perahu pecah, aku tak bisa
pegangan Pendekar Mabuk, untung aku menemukan
potongan balok, lalu aku berjuang sendiri melawan maut
di tengah laut, aah... sungguh tak enak! Ternyata
mengikuti perjalanan seorang pendekar sungguh tak
enak!"
Tiba-tiba ada sesuatu yang menyentak dari dalam
perut Singo Bodong yang berwajah sangar dan berkumis
tebal itu. Sesuatu yang menyentak itu makin kuat, dan
akhirnya Singo Bodong paksakan diri untuk duduk, lalu
tersontaklah isi perutnya keluar mulut. "Hoooek...!
Hoooek...!"
Tak banyak yang terkuras keluar, namun bikin Singo
Bodong semakin geram menahan jengkel. Batinnya
mengucap, "Mabuk yang telat! Mestinya tadi, sewaktu
aku terombang-ambing ombak, muntah ini bekerja.
Sekarang giliran aku mau istirahat, baru muntah ini
datang!"
Baru saja Singo Bodong bangkit dengan
menggeloyor, tiba-tiba dari arah punggungnya ada benda
keras yang menyentak kuat. Bukk!
"Ehg...!" Singo Bodong memekik tertahan dan
tubuhnya yang besar itu tersungkur ke depan sedikit
terlonjak. Bruusss...!
Singo Bodong terpaksa mencium pasir basah. Bahkan
setengah terpaksa membenamkan wajahnya ke sana.
Kepalanya semakin berat, pandangan matanya
berkunang-kunang saat ia kibaskan pasir-pasir pantai
yang menempel di kumisnya.
Benda apa yang menimpa punggungnya tadi? Begitu
besar dan berat rasanya. Singo Bodong sempat menduga
dirinya ditabrak kapal. Tapi ketika ia berpaling ke
belakang, sangat kaget hatinya melihat seorang lelaki
kurus berdiri tegak dan sepasang kaki merentang, seakan
siap menerima pembalasan dari Singo Bodong.
Lelaki kurus berwajah bengis licik itu mengenakan
celana merah dengan ikat pinggang kain biru. Orang itu
tidak mengenakan baju, sehingga garis-garis tulangnya
yang menonjol keluar itu terlihat jelas sekali, ia mirip
sesosok tulang-belulang yang dibungkus oleh kulit.
Nyaris tanpa daging secuil pun. Bahkan wajahnya
kelihatan kempot sekali, dengan tulang pipi dan bagian
radang menonjol keras. Matanya cekung ke dalam tanpa
alis mata sedikit pun. Rambutnya panjang meriap sampai
lewat pundak, tapi tak terlalu lebat. Merawis tipis bagai
orang habis menderita sakit panas berat. Rambut itu
berwarna abu-abu, dan saat tertiup angin pantai mirip
bendera tercabik-cabik badai.
Singo Bodong berwajah angker, tapi menurutnya
orang kurus tanpa daging itu lebih angker lagi wajahnya.
Mata cekungnya memandang dengan tajam, bagai ingin
menembus ke dalam kelopak mata Singo Bodong.
Karenanya, Singo Bodong segera mundur tiga tindak.
Apalagi ia melihat senjata cakra di pinggangnya, Singo
Bodong menjadi lebih ngeri lagi.
"Kali ini kau tak akan bisa lolos lagi!" kata orang
kurus itu dengan suaranya yang cempreng mirip kaleng
rombeng.
"Siapa kamu, Pak Tua!?" Singo Bodong menatap
heran.
"Jangan berlagak lupa! Kau pasti masih mengenaliku.
Akulah Cakradanu, alias si Tengkorak Terbang!"
"Tengkorak Terbang?!" gumam Singo Bodong
kerutkan dahi. "Terbang ke mana? Aku tidak tahu!"
"Terbang ke ragamu untuk cabut nyawamu! Hiaah ha
ha hah...!"
Singo Bodong hanya membatin, "Ya ampun ini
orang... suaranya benar-benar bikin gendang telingaku
robek! Keras tapi tajam!"
Cakradanu alias si Tengkorak Terbang melangkahkan
kaki mendekati Singo Bodong tiga tindak. Matanya tetap
memandang tajam dan bermusuhan sikapnya. Singo
Bodong hanya bisa menahan rasa waswas dan ngeri,
sambil bergeser mundur sedikit demi sedikit.
"Sekarang tinggal pilih, mau mati di tanganku atau
kuserahkan kepada Ratu Pekat?!"
Singo Bodong gumamkan suara, "Ratu Pekat?! Siapa
lagi itu Ratu Pekat?! Aku semakin tidak mengerti apa
maunya orang ini?!"
"Jawab...!" sentak Tengkorak Terbang dengan suara
mengagetkan gendang telinga Singo Bodong.
"Aku tidak mengenal siapa kamu, dan siapa Ratu
Pekat itu! Aku tidak punya urusan dengan kamu,
Tengkorak Terbang!"
"Hiah, hah hah hah hah...!" Tengkorak Terbang
melontarkan tawa hingga tubuhnya terlonjak-lonjak
karena ringannya. Tiba-tiba tawa itu hilang lenyap bagai
ditelan bumi. Wajah Tengkorak Terbang menjadi kaku
dan bengis kembali. Terdengar suaranya menurun.
"Jangan berpura-pura pikun! Mataku masih jelas,
ingatanku masih tajam! Aku tak bisa melupakan
dirimu!"
"Aku tidak tahu apa-apa tentang kamu. Permisi!"
Singo Bodong cepat langkahkan kaki, lari seperti kerbau
mabuk. Larinya tak bisa kencang karena masih lemah
badannya dan berkurang tenaganya. Tapi sekuat tenaga
Singo Bodong harus bisa melarikan diri, sebab ia merasa
tidak mengenal orang itu dan tidak punya urusan apa-apa
yang perlu dijelaskan, ia merasa dalam bahaya yang tak
mungkin bisa dilawannya. Singo Bodong tahu, orang
sekurus tengkorak itu pasti berilmu tinggi, terbukti
tendangan kakinya tadi terasa begitu berat di punggung.
Sepertinya tulang punggung Singo Bodong mau patah
saat menerima tendangan kaki kurus yang terdiri dari
tulang terbungkus kulit itu.
Dugaan Singo Bodong tentang ketinggian ilmu
Cakradanu itu memang benar. Terbukti larinya yang
sudah sekencang itu masih bisa disusul oleh Cakradanu.
Bahkan tubuh kurus itu melompati tubuh Singo Bodong
yang tinggi besar, bersalto di udara dua kali, lalu
mendaratkan kakinya persis di depan langkah Singo.
Mau tak mau Singo pun berhenti secara mendadak.
Napasnya terengah-engah. Sedangkan napas Tengkorak
Terbang itu tetap tenang, bagai tak melakukan gerakan
apa pun.
"Kau tak akan bisa lolos lagi, Dadung Amuk!" kata
Cakradanu.
Singo Bodong jadi kerutkan dahi dalam
kecemasannya. Tapi ia mulai bisa menangkap persoalan
sebenarnya, bahwa Cakradanu telah salah duga,
menyangka Singo Bodong adalah Dadung Amuk. Maka,
Singo Bodong pun segera jelaskan kata.
"Kau salah sangka, Tengkorak Terbang. Kau pasti
mencari orang yang bernama Dadung Amuk. Aku bukan
Dadung Amuk. Aku bernama Singo Bodong! Sumpah!
Aku bernama Singo Bodong!"
"Hiaaah, hah hah hah hah...!" Tengkorak Terbang
tertawa keras. Singo Bodong cepat menutup telinganya.
Cakradanu berkata lagi,
"Rupanya kau sekarang menjadi orang yang paling
pengecut di dunia ini, Dadung Amuk!"
"Terserah anggapanmu. Tapi yang jelas aku bukan
Dadung Amuk!"
Lalu, di hati Singo Bodong menggeram jengkel,
"Lagi-lagi orang menyangka aku Dadung Amuk! Dulu
aku juga dicurigai sebagai Dadung Amuk oleh Pendekar
Mabuk dan Dewa Racun. Sekarang ini di sini pun
begitu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Utusan Siluman Tujuh Nyawa). Nasib sial apa yang
kualami ini sebenarnya? Dulu waktu Ibu mengandung
aku, ngidam apa dia, sehingga anaknya hidup serba sial
begini?!"
Rupanya Tengkorak Terbang sama sekali tidak mau
mempercayai penjelasan Singo Bodong. Bahkan ia
berkata,
"Kau boleh berganti nama jika kau sudah terbujur
kaku tanpa nyawa, Dadung Amuk!"
"Jangan begitu," Singo Bodong tampak gemetar.
"Aku benar-benar bukan Dadung Amuk. Mungkin
wajahku memang mirip dia, tapi aku bukan dia,
Tengkorak Terbang. Sungguh! Berani sumpah apa saja!"
"Tutup mulutmu! Aku tak butuh kepura-puraanmu!
Sekarang terimalah pukulan 'Gempur Baja' ini,
hiaaaaah...!"
Tengkorak Terbang sentakkan sedikit kaki ke tanah,
tubuhnya sudah melayang cepat menuju ke arah Singo
Bodong. Kedua tangannya mengepal dan begitu
mendarat tepat di depan Singo Bodong, kedua tangan itu
disentakkan ke depan dengan cepat sekali. Brreggh...!
Dada Singo Bodong menjadi sasaran empuknya.
Singo Bodong mencoba kibaskan tangan untuk
menangkis, tapi meleset. Akibatnya, tubuh besar itu
tersentak ke belakang, kedua kakinya sampai
mengambang di permukaan tanah. Lalu. ia jatuh
terjengkang dalam satu sentakan yang mantap sekali.
Blegggh...!
Singo Bodong menyeringai. Ingin rasanya ia
mengerang dan mengaduh tapi tak ada suara yang
mampu dikeluarkan, ia hanya meringis-meringis dengan
mencoba menarik napas yang rasanya sangat berat itu.
Pukulan 'Gempur Baja' membuat Singo Bodong
seperti kejatuhan batu sebesar ukuran tubuhnya sendiri.
Tulang dadanya menjadi ngilu dan sakit di bagian
dalamnya. Napasnya hanya bisa dihela sedikit, itu pun
terasa senut-senut. Jika tidak berisi tenaga dalam yang
cukup besar, tak mungkin pukulan dua tangan bertulang
tanpa daging itu bisa membuat tubuh tinggi besar
tersentak terbang ke belakang sampai berjarak empat
tindak.
"Bisa mati aku kalau tetap bertahan dan
melawannya," kata Singo Bodong dalam hatinya. "Tak
guna kujelaskan bahwa diriku bukan Dadung Amuk.
Sebaiknya, aku berpasrah diri saja. Biarlah dibawa ke
Ratu Pekat. Mungkin di sana aku bisa jelaskan siapa
diriku. Mungkin Ratu Pekat bisa percayai kata-kataku
ketimbang Tengkorak Terbang ini!"
Terdengar Cakradanu serukan suara cemprengnya,
"Dulu kau buat tulang punggungku hampir patah.
Sekarang giliranku membuat tulang lehermu patah,
Dadung Amuk!"
"Tunggu, tunggu, tunggu...!" sergah Singo Bodong
sambil kedua tangannya terjulur ke depan menahan agar
lawannya tidak bertindak. Lalu, Singo Bodong mencoba
berdiri. Pada saat itu, Tengkorak Terbang berkata,
"O, jadi kau sudah mulai siap menghadapi
seranganku kembali?!"
"Bukan begitu. Aku... aku tidak bermaksud melawan
dan menyerang. Kalau kau tadi bilang aku disuruh
memilih, baiklah.... Aku memilih diserahkan kepada
Ratu Pekat! Bawalah aku menghadap dia!"
Tengkorak Terbang memandang penuh sangsi. Sinar
matanya yang penuh curiga itu tak berkedip. Sekalipun
Singo Bodong telah sodorkan kedua tangannya untuk
siap dirantai atau diikat, tapi Tengkorak Terbang tak
cepat bertindak. Orang kurus kerontang itu justru
membatin dalam hatinya.
"Mengapa dia semudah itu kutumbangkan? Mengapa
dia segampang itu mau menyerah? Ada apa dengan
dirinya?"
Singo Bodong melihat lawannya ragu-ragu. Mulanya
ia merasa ada harapan, bahwa kata-katanya tadi akan
dipercaya. Tapi segera ia punya praduga lain, bahwa
lawannya tidak percaya tentang kepasrahannya dan
masih ingin mencoba menghajarnya. Singo Bodong
cemas dan segera ucapkan kata,
"Bawalah aku menghadap Ratu Pekat! Aku sudah
jelaskan bahwa diriku bukan si Dadung Amuk, tapi kau
tidak percaya! Kalau kau menantangku bertarung, aku
tidak berani. Aku bukan orang berilmu tinggi! Aku pasti
bisa kau bunuh dalam satu gebrakan saja. Daripada aku
mati nganggur, lebih baik bawalah aku menghadap Ratu
Pekat, yang juga tak kutahu siapa dia itu. Aku pasrah
padamu!"
Masih membatin Tengkorak Terbang saat ia berkata
dalam hati.
"Setahuku Dadung Amuk tidak punya jiwa seperti
ini! Setahuku Dadung Amuk pantang menyerah. Dia
memilih lebih baik mati daripada menyerah. Tapi
mengapa orang ini mudah sekali pasrah padaku? Apakah
dia memang bukan Dadung Amuk? Ah, tak mungkin!
Baru enam bulan aku berpisah dari pertarungannya,
mana mungkin aku lupakan wajah angkernya itu?!
Hmmm... sebaiknya biar Ratu Pekat yang menentukan
apakah dia Dadung Amuk atau bukan. Kalau toh dia
memang Dadung Amuk, tak urung aku juga yang akan
diperintahkan untuk menghabisi nyawanya!"
Singo Bodong segera digiring oleh Tengkorak
Terbang. Sebagai jaga-jaga, Tengkorak Terbang tak mau
berjalan di depan atau di samping Singo Bodong. Tetapi
hal itu menyulitkan buat Singo Bodong, sebab tiba-tiba
ia sering ditendang pinggangnya jika salah arah. Singo
Bodong sampai merasa jengkel sendiri dan berkata,
"Jalanlah lebih dulu, jadi aku bisa mengikutimu! Aku
tidak tahu ke mana arah menuju Ratu Pekat!"
"Jangan berlagak bodoh, Dadung Amuk!" kata
Cakradanu dingin.
"Aku memang tidak tahu arah! Ke mana seharusnya
aku melangkah sekarang ini?!"
"Belok ke kiri, Tolol!" bentak Tengkorak Terbang
dengan suaranya yang nyaring memekakkan telinga.
Akhirnya Singo Bodong melangkah mengikuti
perintah Tengkorak Terbang, ia sama sekali tidak
memperlihatkan tanda-tanda akan melakukan
perlawanan. Tengkorak Terbang semakin heran melihat
sikap polos itu.
Hanya saja, tiba-tiba Singo Bodong tersentak mundur
dalam tiga langkah sambil badannya melengkung ke
depan. Ada sesuatu yang telah menyodok perutnya,
hingga Singo Bodong merasa mual dan hampir muntah
lagi.
Sentakan mundur itu membuat tubuh besarnya
menabrak Tengkorak Terbang. Akibatnya, punggung
Singo Bodong kembali terkena pukulan tangan kurus
kerontang itu.
Plokk...!
"Aku tersentak dari depan!" bentak Singo Bodong
karena jengkel tak tertahankan. "Jangan marah padaku!
Ada sesuatu yang menyodok perutku dari arah depan!
Beratnya melebihi sebatang balok!"
Tengkorak Terbang tak jadi lepaskan pukulan lagi ke
arah wajah Singo Bodong. Mata cekungnya segera
menangkap memar merah di perut Singo Bodong, ia pun
segera tahu, ada orang yang telah menyerang Singo
Bodong dari kejauhan. Pukulan jarak jauh itu tepat
mengenai perut Singo Bodong, pada bagian sedikit di
atas pusarnya.
Mata cekung itu cepat layangkan pandang ke arah
depan. Keadaan di depan sana sepi-sepi saja. Tiap
jengkal tanah, tiap bentuk tanaman, disusuri oleh mata
cekung Tengkorak Terbang. Tapi tak terlihat tanda-tanda
gerakan yang mencurigakan. Akhirnya si Tengkorak
Terbang serukan suaranya,
"Siapa yang ada di depan?! Keluarlah! Jangan bikin
aku marah!"
Dari atas pohon meluncur orang berpakaian serba
ungu. Melihat warna pakaiannya saja Tengkorak
Terbang sudah dapat mengerti siapa tokoh perempuan
yang baru saja turun dari pohon itu.
"Cempaka Ungu...?!" sebut Tengkorak Terbang
dengan sedikit kerutkan dahi.
Perempuan bertusuk konde bentuk kembang cempaka
itu berdiri dengan kedua kaki sedikit merenggang.
Sebagian rambutnya yang samping jatuh ke depan
telinga berbentuk lengkung-lengkung indah, ia
menyandang pedang di punggungnya dengan gagang
dan sarung pedang dibungkus kain ungu. Perempuan
berusia antara tiga puluh tahun itu bukan hanya cantik,
tapi juga bermata menarik. Mata itu memandang Singo
Bodong dengan tajam, penuh nafsu untuk membunuh.
Wajahnya terlihat angkuh, menggambarkan
ketegarannya sebagai perempuan gesit penantang maut.
"Apa maksudmu mengganggu perjalananku,
Cempaka Ungu?!"
"Apakah kau sekarang berpihak kepada si Badak
Busuk itu?!" sambil matanya tetap memandang Singo
Bodong.
"Jangan salah sangka! Aku hanya akan membawa dia
menghadap ibumu, si Ratu Pekat!"
"Ibu tidak butuhkan orang itu! Jadi serahkan saja dia
padaku! Cukup mampu aku melenyapkan nyawanya
dalam satu jurus saja!"
"Cempaka Ungu, biar keputusan akhir ada di tangan
ibumu!"
"Tidak perlu! Aku cukup bisa memutuskannya
sendiri! Dua kakakku telah dibunuhnya, sudah pantas
jika sebagai adik aku menuntut kematian kedua
kakakku!"
"Tahan dulu, Cempaka Ungu! Dia bukan Dadung
Amuk!"
"Omong kosong! Aku tahu persis wajahnya! Aku
hafal persis tiap lekuk tubuhnya! Karena waktu itu aku
pun hampir mati di tangannya! Dan sekarang,
minggirlah, Tengkorak Terbang! Biar kubereskan
dendamku kepada bangsat itu!"
Singo Bodong makin terbengong. Singo Bodong
bergeser mundur dengan rasa takut, sebab perempuan itu
telah mencabut pedangnya dari punggung. Sreeet...!
*
* *
2
SEBENARNYA Tengkorak Terbang bisa saja
merobohkan Cempaka Ungu. Dilihat dari gerakan
ringannya sudah dapat ditakar kekuatan Tengkorak
Terbang dalam menghadapi putri bungsu Ratu Pekat.
Terbukti satu serangan kaki Cempaka Ungu yang
menendang menggunakan jurus 'Tendangan Kipas', yaitu
tendangan yang berputar berturut-turut, telah berhasil
dihindari Tengkorak Terbang dengan hanya berkelit ke
sana-sini, melompat-lompat bagai belalang sulit untuk
disentuh.
Tak satu pun serangan Cempaka Ungu dibalas oleh
Tengkorak Terbang. Sebab akan berbahaya jika
Cempaka Ungu mengadu kepada ibunya, kalau ia
terkena pukulan dari Tengkorak Terbang. Pasti murka
sang Ratu Pekat akan menimpa diri Tengkorak Terbang.
Jika sampai begitu, Tengkorak Terbang tak tahu harus
lari ke mana menghadapi murka sang Ratu. Karena Ratu
Pekat mempunyai pukulan yang bernama 'Renta Buana'.
Tengkorak Terbang pernah melawan Ratu Pekat dan ia
terkena pukulan 'Renta Buana', yang dapat membuat
tubuh orang menjadi kurus berwajah tua.
Sebelum Cakradanu mendapat julukan Tengkorak
Terbang, ia adalah seorang pemuda yang gagah dan
rupawan. Pada waktu itu ia berusia antara dua puluh
enam tahun, tapi ilmunya sudah bisa dibilang tinggi, ia
murid seorang resi dari Partai Petapa Sakti yang bergelar
Resi Tembang Dewa.
Merasa dirinya muda dan tampan, juga berilmu
tinggi, Cakradanu mencoba melamar Kenanga Merah,
kakak dari Cempaka Ungu. Tetapi lamarannya ditolak,
Cakradanu sakit hati dan menyerang istana kecil yang
menjadi kekuasaan Ratu Pekat di Pulau Beliung itu.
Istana itu dikenal dengan nama Istana Cambuk Biru.
Pada waktu itu, dua putri Ratu Pekat, yaitu Kenanga
Merah dan Melati Hitam berusaha mengatasi amukan
Cakradanu. Tetapi, kedua kakak Cempaka Ungu itu
dapat dikalahkan. Namun ketika Ratu Pekat murka,
Cakradanu dihantamnya dengan pukulan 'Renta Buana',
ia menjadi lumpuh selama tujuh hari. Tubuhnya cepat
sekali menjadi susut dan menua. Dagingnya habis
bagaikan dimakan waktu yang ganas. Untung ia segera
mendapat obat penawar dari Ratu Pekat dengan
perjanjian, Cakradanu akan bersedia mengabdi
selamanya kepada Ratu Pekat sebagai penjaga pantai
Pulau Beliung. Kalau saja Ratu Pekat tidak memberi
obat dari pukulan 'Renta Buana'-nya itu, maka dalam
waktu sepuluh hari Cakradanu akan mati dalam keadaan
keropos tanpa kulit sedikit pun.
Usia Cakradanu yang pada waktu itu dua puluh enam
tahun berubah menjadi seperti orang berusia enam puluh
tahun. Bahkan sekarang, saat ia menemukan Singo
Bodong di pantai, usianya sebenarnya masih empat
puluh tahun kurang sedikit, tapi ia sudah kelihatan
seperti berusia delapan puluh tahunan.
Ingat kekuatan Ratu Pekat yang begitu hebat.
Cakradanu menjadi enggan membalas pukulan Cempaka
Ungu. Tetapi ketika Cempaka Ungu hendak melepaskan
pukulan pedang saktinya ke arah Singo Bodong,
Tengkorak Terbang cepat-cepat melompat dan
menyambut tubuh besar Singo Bodong. Tubuh besar itu
dengan entengnya dipanggul di pundak yang tinggal
tulang-belulang itu, lalu dibawanya lari cepat hingga
mirip jerakan terbang.
"Lepaskan dia atau kuhancurkan tubuhmu yang
keropos itu, Cakradanu!" teriak Cempaka Ungu dengan
sangat bernafsu hendak membunuh Singo.
Ternyata Tengkorak Terbang tak pedulikan seruan
itu. Cempaka Ungu cepat mengejarnya sambil masih
tetap memegang pedang di tangannya. Gerakan
Cempaka Ungu tak kalah cepat, hingga dalam waktu
singkat ia berhasil memotong jalan dan menghadang
langkah Cakradanu.
Mau tak mau Tengkorak Terbang berhenti dan
tuunkan tubuh besar Singo Bodong dari pundaknya.
Tubuh itu dibanting begitu saja bagai meletakkan karung
pasir. Blukk...!
"Uuhhg...!" Singo Bodong menyeringai kesakitan
sambil mengusap-usap pinggangnya.
"Cempaka Ungu, aku tahu kau punya dendam kepada
Dadung Amuk, tapi kumohon urusan itu diselesaian
nanti saja, setelah orang ini kuserahkan kepada ibumu!"
"Tidak bisa! Aku harus membunuhnya sekarang juga!
Setelah kupenggal kepalanya baru kau boleh serahkan
kepala orang itu kepada ibuku, Cakradanu!"
"Itu menyalahi tugas yang diberikan ibumu kepadaku,
Cempaka! Karena aku dipercaya untuk menjadi penjaga
pantai yang sewaktu-waktu harus bisa menangkap mata-
mata yang ingin menyusup masuk ke pulau ini! Aku
harus bisa menyerahkannya hidup-hidup. Aku takut
murka dari sang Ratu Pekat, Cempaka Ungu!
Mengertilah dengan alam pikiranku ini, Cempaka!"
Perempuan bertampang cantik namun angkuh itu
mendenguskan hidungnya. Semakin benci ia
memandang Singo Bodong, semakin bergolak darahnya
dan bertambah besar nafsunya untuk membunuh orang
besar itu. Mata indahnya itu menatap Singo Bodong
dengan buas, seolah-olah seluruh darah Singo Bodong
ingin dihirupnya habis sebagai pembalasan atas
kematian kedua kakaknya, yaitu Melati Hitam dan
Kenanga Merah.
Singo Bodong sendiri semakin sedih hatinya, ia tahu
bahwa perempuan itu ingin sekali menghabisi
nyawanya. Seandainya ia bisa jelaskan bahwa dirinya
bukan Dadung Amuk, ia akan jelaskan sejelas-jelasnya.
Tapi geram kemarahan perempuan itu kelihatan tak akan
mau menerima penjelasan Singo Bodong, dan sulit
mempercayai kata-katanya. Sebab itu Singo Bodong
sekarang justru bertaruh harap kepada Tengkorak
Terbang, ia sengaja berdiri di belakang Tengkorak
Terbang sebagai pelindung dari serangan Cempaka
Ungu.
"Cempaka," kata Tengkorak Terbang tanpa ada kesan
mengimbangi kemarahan perempuan itu, "Kalau aku
bukan orang yang ditugaskan oleh ibumu untuk
menangkap orang asing yang berkeliaran di pantai, aku
akan serahkan orang besar ini kepadamu. Atau mungkin
aku telah membunuhnya saat kutemukan ia terkapar di
pantai. Tapi demi menjunjung tinggi titah sang Ratu,
demi hormatku kepada ibumu, aku harus serahkan orang
ini hidup-hidup kepada beliau. Jadi tolong jangan paksa
aku bertarung melawanmu hanya mempertahankan
orang yang nantinya akan dijatuhi hukuman mati oleh
ibumu. Biarkan aku membawa orang ini ke Istana
Cambuk Biru dan jangan halangi langkahku lagi,
Cempaka Ungu!"
Perempuan berhidung bangir itu sentakkan napas
kekesalannya lewat lubang hidung. Agaknya ia mulai
bisa memahami kata-kata Tengkorak Terbang. Gerakan
uratnya yang kencang kelihatan mengendor, pedangnya
mulai dimasukkan kembali ke sarung pedang yang ada
di punggung. Tapi sikapnya masih keras dan ketus.
"Ingat, Cakradanu... orang itu adalah bagianku! Kalau
Ibu telah lepaskan dia sebagai orang hukuman yang
patut menjalankan hukuman mati, maka akulah algojo
yang harus memenggalnya!"
"Itu terserah keputusan dari ibumu, Cempaka! Bukan
aku yang memutuskannya!" kata Tengkorak Terbang
dengan suara kecilnya.
Dari belakang Tengkorak Terbang, Singo Bodong
beranikan diri untuk berbisik. Tapi karena jenis suaranya
suara besar, maka bisikannya itu pun terdengar sampai
di telinga Cempaka Ungu,
"Kalau bisa jangan sampai dihukum mati, Paman!"
"Diam kau!" sentak Tengkorak Terbang.
Singo Bodong sempat tersentak kaget mendengar
suara bentakan Tengkorak Terbang yang memekakkan
gendang telinga itu. Sempat pula ia melirik kepada
Cempaka Ungu, dan perempuan itu tampak cibirkan
mulutnya dengan sinis mendengar bisikan tadi.
"Semudah itu ia menyerah kepada Tengkorak
Terbang," pikir Cempaka. "Padahal tempo hari aku
melihat sendiri saat ia menggempur Tengkorak Terbang
yang hampir-hampir tak bernyawa lagi itu. Mengapa
sekarang ia menjadi tunduk kepada Tengkorak Terbang?
Apakah Tengkorak Terbang sudah mempunyai ilmu
baru yang lebih dahsyat dari sebelumnya?"
Salah duga itu membuat Cempaka Ungu menjadi
sedikit ciut nyalinya bila harus bertarung menghadapi
Tengkorak Terbang. Sebab itu, ia seolah-olah tidak mau
tahu lagi urusan Tengkorak Terbang dengan orang yang
disangkanya Dadung Amuk itu. Segera ia tinggalkan
mereka berdua dengan kata-kata,
"Kutunggu kedatanganmu dengan babi bengkak itu
ke istana!"
Kalau saja Singo Bodong adalah seorang perempuan
tanpa ilmu, ingin sekali ia menangis keras-keras saat itu.
Betapa sedih hatinya melihat banyak orang yang
memusuhi dirinya. Sedangkan dia tidak merasa berbuat
jahat kepada orang-orang itu. Ternyata orang-orang
Pulau Beliung banyak yang tidak suka melihat
kehadirannya. Bahkan ketika mendekati Istana Cambuk
Biru, beberapa pemuda tanggung melempari batu ke
arah Singo Bodong. Kalau Tengkorak Terbang tidak
menghalangi dan menghancurkan batu-batu yang
beterbangan dengan pukulan tenaga dalamnya, pasti
kepala Singo Bodong sudah bocor sejak tadi.
Bahkan seorang anak berusia antara dua belas tahun
berlari mendekati Singo Bodong dengan membawa pisau
dan hendak menusukkan pisau itu ke tubuh Singo
Bodong. Anak itu berteriak benci.
"Kau yang membunuh bapakku, Setan Bengkak!
Terimalah pembalasanku ini, ciaaat...!"
Plakk...! Anak itu terjengkang dan berjungkir balik di
tanah karena gebrakan tangan Tengkorak Terbang. Anak
itu bukan anak yang punya ilmu, hanya punya dendam
dan keberanian saja, sehingga dengan ditampar pipinya
sudah melintir jatuh dan kesakitan.
Singo Bodong merasa sangat bersyukur bertemu
Tengkorak Terbang, walau tetap saja diserahkan kepada
pengadilan sang Ratu. Tetapi dapat dibayangkan
olehnya, seandainya ia berada di pulau itu tanpa
Tengkorak Terbang, jelas tubuhnya akan hancur
dicincang banyak orang yang menaruh dendam
kepadanya.
Di dalam hati Singo Bodong terlontar lagi
keluhannya, "Seandainya Suto dan Dewa Racun ada
bersamaku, maka habislah orang-orang itu diamuknya!
Oh, Suto... di mana kamu? Apakah kamu tidak tahu
kalau aku dimusuhi orang begini banyaknya dan aku tak
bisa berkutik sedikit pun! Brengsek benar Suto dan
Dewa Racun! Pergi dari perahu tanpa membawaku!
Menyesal sekali aku mengikuti langkah orang yang
kubangga-banggakan itu. Ternyata Suto tidak seperti
bayangan kebanggaanku!"
Waktu Tengkorak Terbang mendekati pintu gerbang
istana bersama Singo Bodong, beberapa orang yang
menjadi prajurit istana itu segera mengepung mereka
berdua. Orang-orang itu bersenjata semua, dan senjata
mereka siap menghujam ke tubuh Singo Bodong.
Melihat ujung-ujung tombak yang runcing, mata pedang
yang berkilat tajam, Singo Bodong menjadi hampir tak
bisa berjalan lagi karena gemetarnya kedua lutut begitu
kuat.
Tengkorak Terbang tetap tenang di dalam kepungan
itu. Mulanya ia sempat menduga orang-orang itu adalah
suruhan Cempaka Ungu. Tapi pikirannya segera berubah
setelah ia ingat amukan Dadung Amuk yang banyak
menimbulkan korban baik prajurit-prajurit pengawal
istana atau penduduk desa tak bersalah. Mungkin
prajurit-prajurit yang mengepungnya saat itu bersikap
waspada dan siap tempur melihat orang yang datang
adalah orang yang disangkanya Dadung Amuk.
"Untuk apa kalian mengepung kami?!" suara
Tengkorak Terbang sedikit menyentak. Orang-orang
yang mengepung hanya saling pandang.
"Bubarkan kepungan ini!" sentak Tengkorak Terbang
lagi.
"Tidak bisa!" jawab salah seorang dari mereka.
"Kenapa tidak bisa?"
"Kau bersama Dadung Amuk!"
"Apa kau tak lihat keberadaanku di sini, hah?!"
"Justru aku dan teman-teman khawatir jika Dadung
Amuk menyerangmu secara tiba-tiba!"
"Kalau ku mau, sudah kupenggal batang lehernya dari
tadi!"
"Kenapa tidak kau lakukan?"
"Karena dia sudah menyerah dan siap dihadapkan
pengadilan sang Ratu! Siapa menentang langkahku ini,
berarti menentang keputusan sang Ratu!"
Orang yang tadi berani bicara sekarang terdiam.
Matanya memandangi teman-temannya. Teman-
temannya juga saling pandang satu dengan yang lain.
Pada saat hening tanpa kata, Tengkorak Terbang cepat
sentakkan suaranya lagi,
"Minggir kalian!"
Maka, empat orang yang menutup jalan menuju pintu
gerbang itu pun segera menepi dengan sikap tetap
mengacungkan senjatanya, seakan berjaga-jaga
mendapat serangan sewaktu-waktu dari Singo Bodong
yang dianggap tawanan mereka.
"Buka pintu!" sentak Tengkorak Terbang kepada
penjaga pintu gerbang itu. Dengan terburu-buru kedua
penjaga segera membukakan pintu, dan Tengkorak
Terbang menarik tangan Singo Bodong agar
mempercepat langkahnya. Kali ini, Singo Bodong ada di
belakang Tengkorak Terbang yang melangkah lebih
dulu.
Begitu mereka masuk ke pintu gerbang, ternyata di
sana sudah ada rombongan penyambut kedatangan
mereka. Rombongan itu bukan orang-orang yang ingin
menjamu kedatangan seorang tamu, melainkan sebarisan
prajurit yang bersiaga menghadapi kedatangan
tawanannya.
Dua barisan bersenjata lengkap memagari jalan
menuju serambi istana. Mereka berjajar di kanan-kiri
membentuk barisan siap serang kapan saja terdengar
perintah dari atasannya. Singo Bodong menyeringai
karena merasa ngeri melihat senjata-senjata berkerlip
pantulan sinar matahari menuju ke arahnya.
Rupanya kedatangan Tengkorak Terbang sudah
diketahui oleh para penghuni Istana Cambuk Biru itu,
sehingga sudah dilakukan persiapan penyambutan
seperti itu. Siapa lagi yang membawa kabar tentang
kedatangan Tengkorak Terbang dan Singo Bodong jika
bukan Cempaka Ungu. Karenanya, Tengkorak Terbang
tidak heran jika di serambi istana kecil itu sudah berdiri
Ratu Pekat didampingi oleh Cempaka Ungu dan seorang
lelaki tampan yang menjadi tangan kanan dan pengawal
pribadi sang Ratu. Lelaki tampan itu dikenal dengan
nama Abirawa, berjuluk si Mata Elang, karena bentuk
matanya yang kecoklatan itu mirip mata burung elang.
Sekalipun Mata Elang menjadi pengawal sang Ratu,
yang tentunya punya ilmu cukup tinggi, tetapi ketika
bertarung melawan Dadung Amuk, ia terdesak mundur
dan hampir saja mati dengan aji pamungkas milik
Dadung Amuk. Kalau saja Ratu Pekat tidak turun tangan
menghadang aji pamungkas Dadung Amuk, mungkin
Mata Elang sampai sekarang tak bisa lagi berdiri
mendampingi sang Ratu.
Mata Elang, selain menjadi pengawal sang Ratu, juga
sebagai pria pemuas birahi sang Ratu. Karenanya, sang
Ratu tak mau jauh-jauh dari pemuda itu. Walau usia
Ratu Pekat sudah mencapai lima puluh tahun lebih, tapi
sisa kecantikan dan keelokan masa mudanya masih ada.
Bahkan semangat cintanya masih meletup-letup dalam
jiwa tuanya itu.
Perempuan berambut sedikit uban dengan wajah tua
yang masih nampak cantik itu, berdiri tegak dengan
kedua tangan di belakang. Matanya memandang liar
kepada Singo Bodong, raut wajahnya mencerminkan
murka yang tertahan.
Tengkorak Terbang segera bungkukkan badan tanda
memberi hormat kepada sang Ratu. Semua dalam
keadaan diam tanpa suara. Suasana menjadi hening
mencekam, terutama buat Singo Bodong. Matanya yang
lebar berkesan beringas itu tak berani memandang sang
Ratu terlalu lama. Ia segera tundukkan wajah dengan
jantung berdebar-debar.
Di sela heningnya suasana itu, terdengarlah suara
kecil melengking milik Tengkorak Terbang, yang
sempat mengguncangkan tubuh Singo Bodong karena
kagetnya.
"Cakradanu menghadap, Nyai Ratu!"
"Sudah tahu!" jawab Ratu Pekat dengan suara besar
untuk jenis suara perempuan. "Siapa yang kau bawa
itu?"
"Menurut dugaan saya semula, dia adalah Dadung
Amuk! Tapi orang ini mengaku bernama Singo Bodong,
Nyai Ratu!"
"Dia jelas Dadung Amuk!" mata Ratu Pekat menyipit
dalam memandangi Singo Bodong.
"Terserah keputusan, Nyai Ratu!" kata Tengkorak
Terbang.
"Suruh dia mendekat!"
Kemudian Tengkorak Terbang menyuruh Singo
Bodong mendekat.
"Kau dengar apa perintahnya? Cepat sana,
mendekatlah!"
"Aku takut, Paman!" Singo Bodong meringis takut
dengan mata berkedip-kedip, ia bagaikan memohon
belas kasihan dan pembelaan dari Tengkorak Terbang.
"Mendekatlah sebelum Ratu murka!" sentaknya
dalam bisik.
"Ta... tapi... tapi aku tak berani. Aku takut dibunuh
olehnya!"
"Kalau kau bukan Dadung Amuk, kau harus bisa
jelaskan padanya!"
Tengkorak Terbang mendorong punggung Singo
Bodong. Kaki orang tinggi besar itu bagai sulit
digerakkan untuk melangkah maju. Lemas dan gemetar
sekali rasanya. Wajahnya sebentar-sebentar menoleh ke
belakang, seakan minta didampingi oleh Tengkorak
Terbang.
"Lekas maju!" sentak Tengkorak Terbang dalam
bisikan kecilnya, sambil mendorong punggung Singo
Bodong yang lebih tinggi dari kepalanya itu.
Singo Bodong menaiki tangga serambi yang terdiri
dari lima baris itu. Kakinya terpeleset dan ia jatuh karena
gemetarnya. Sang Ratu tersenyum sinis melihat jatuhnya
Singo Bodong, karena menganggapnya pura-pura.
"Cepat bangun atau kutendang pantatmu!" sentak
Tengkorak Terbang dengan mata cekungnya melotot.
Singo Bodong takut dan segera bangkit dengan wajah
mau menangis, ia menjadi sangat grogi karena semua
mata memandang ke arahnya.
"Belum puaskah kamu mengobrak-abrik wilayahku
ini, hah?!" sentak Ratu Pekat dengan mata membelalak
tajam.
"Belum, eh... sudah, eh... anu... tidak! Tidak, Nyai
Ratu!" Singo Bodong menjawab dengan tergagap-gagap,
sekujur tubuhnya penuh dengan keringat dingin.
"Kau masih menyangka aku menyembunyikan kitab
itu?!"
'Tidak, eh... anu... jangan! Eh, bukan., anu... ya,
tidak!" Singo Bodong geleng-gelengkan kepala dalam
kepolosan bodohnya.
Ratu segera sentakkan napas melalui hidungnya.
Suuut...! Dan tubuh besar itu tumbang ke belakang,
berguling-guling menuruni anak tangga batu. Kepalanya
terbentur beberapa kali hingga ia mengerang dalam
kesakitan.
"Kosong sekali...?!" pikir Ratu Pekat. "Hempasan
napasku seperti menghantam gentong tanpa isi. Tak ada
sentakan padat sedikit pun pada dirinya! Aneh. Kenapa
Dadung Amuk seperti itu? Apakah dugaan Cempaka
Ungu memang benar, bahwa Dadung Amuk ilmunya
sudah berhasil dilenyapkan oleh Tengkorak Terbang?
Jika benar begitu, berarti Tengkorak Terbang telah
menguasai sebuah ilmu yang bernama ilmu 'Lebur
Samudera', yang bisa menghilangkan seluruh kekuatan
dan ilmu-ilmu yang dimiliki lawan! Hmm... dapat dari
mana Tengkorak Terbang? Ilmu itu hanya dimiliki oleh
beberapa gelintir orang dalam dunia persilatan. Aku saja
susah mendapatkannya sampai sekarang! Gawat! Aku
bisa celaka kalau melawan Cakradanu!"
*
* *
3
ILMU 'Lebur Samudera' adalah ilmu yang sangat
berbahaya. Si Gila Tuak pun tidak memiliki ilmu itu.
Tetapi Ratu Pekat tahu, satu-satunya orang yang
memiliki ilmu 'Lebur Samudera' yang ada di
sekelilingnya itu adalah Dewi Kencana Langit, yang
bersemayam di pesisir selatan bagian timur tanah Jawa.
'Lebur Samudera' ilmu yang tak kenal ampun lagi.
Orang yang memiliki kesaktian setinggi apa pun, jika
terkena pukulan ilmu 'Lebur Samudera', akan hilang
semua kesaktiannya, dan ia tak akan bisa berbuat apa-
apa. Ia akan menjadi orang polos dan bodoh. Bahkan
untuk berlari cepat pun tak akan mampu.
Ratu Pekat melihat keadaan Singo Bodong yang
dianggap Dadung Amuk itu, menjadi sangat curiga dan
agak ragu dalam bertindak. Sebab ia tahu ciri-ciri orang
berilmu tinggi yang habis terkena pukulan 'Lebur
Samudera' akan menjadi seperti Singo Bodong; bodoh,
penakut, dan kosong tanpa isi sedikit pun.
"Setidaknya," pikir Ratu Pekat, "Kalau Dadung
Amuk hanya berpura-pura kalah, maka hempasan 'Napas
Naga'-ku akan merasakan menyentuh benda padat. Itu
tandanya ada sisa ilmu yang disembunyikan oleh orang
yang kuserang. Tapi, 'Napas Naga'-ku tidak menyentuh
benda padat sedikit pun. Tak ada sebagian yang
memantul balik. Nyeplos begitu saja. Itu berarti Dadung
Amuk tanpa ilmu sedikit pun!"
Sementara itu, si Mata Elang dan Cempaka Ungu
menunggu keputusan yang akan dilontarkan oleh Ratu
Pekat. Mereka berdua memandang sang Ratu. Tetapi
sang Ratu memperhatikan gerakan Singo Bodong yang
menggeliat bangkit dalam keadaan hidung berdarah
sedikit.
"Apa keputusan Nyai...?!" Tengkorak Terbang
memberanikan diri bertanya, karena ia merasakan
kebisuan yang terjadi terlalu lama.
"Gantung dia di depan umum!" Cempaka Ungu yang
menjawab.
Nyai tetap diam. Tapi Singo Bodong terperangah
kaget dan semakin ketakutan, ia memandang
sekelilingnya, belum ada yang bergerak menyeretnya.
Bahkan Tengkorak Terbang hanya diam saja dengan
menatap Ratu Pekat. Seakan keputusan dan perintah
yang keluar dari mulut Cempaka Ungu itu tidak
dihiraukan sama sekali. Mereka masih menunggu-
nunggu keputusan dari Ratu Pekat.
Beberapa saat kemudian, Ratu Pekat serukan kata,
"Karena kau yang berhasil melumpuhkannya, Tengkorak
Terbang, maka kuserahkan nasibnya ke tanganmu!"
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh riuh seperti
ratusan lebah bergaung. Rupanya para prajurit dan
orang-orang yang ada di depan serambi itu saling
bergumam, saling membicarakan keputusan Ratu Pekat
yang terasa kurang sreg di hati mereka.
Tengkorak Terbang sendiri sempat bingung
menerima putusan itu, karena ia masih belum bisa
menentukan sikap dalam menghadapi keraguannya
tentang diri Singo Bodong. Sedangkan di serambi sana,
Cempaka Ungu mengajukan sanggahan terhadap
keputusan ibunya,
"Ini tidak adil! Ibu harus menjadi penentu hukuman.
Bukan Tengkorak Terbang! Karena Ibu yang kehilangan
dua anak akibat kebiadaban si Dadung Amuk itu!"
"Aku sudah menjadi penentu! Aku sudah putuskan
masalah ini. Tengkorak Terbang yang kuserahi tugas
menentukan hukumannya!"
"Ibu...."
"Jangan lawan Tengkorak Terbang!" sergah Ratu
Pekat berbisik kepada anaknya. "Nanti kujelaskan
mengapa aku berkeputusan begitu!"
Cempaka Ungu tampak kecewa sekali, ia menggeram
jengkel dengan kedua tangan menggenggam kencang.
Lalu, matanya dilemparkan ke arah Tengkorak Terbang,
dan ia berseru,
"Cakradanu...!" Cempaka Ungu segera turuni tangga
dan mendekati Tengkorak Terbang. Dengan mata yang
tajam memandang, Cempaka Ungu berkata dalam geram
kemarahannya,
"Seperti apa yang kukatakan tadi, kau hanya boleh
menyerahkan babi bengkak itu ke hadapan ibuku. Tapi
akulah yang menjadi algojo dalam melaksanakan
hukumannya nanti! Jadi sekarang, kuminta tawanan itu
diseret ke lapangan! Gantung dia di sana!"
Tengkorak Terbang menarik napasnya dalam-dalam
untuk meredam sesuatu yang menggelisahkan hatinya.
Kemudian dengan suara pelan ia menjawab,
"Ratu Pekat yang menjadi penguasa di Pulau Beliung
ini! Bukan kamu, Cempaka Ungu!"
"Tapi aku anaknya! Aku yang kehilangan kedua
kakakku dibunuh oleh babi bengkak itu! Aku berhak
menentukan putusan juga!"
"Tapi Nyai Ratu menyerahkannya kepadaku!"
"Gantung dia! Ini perintahku!" sentak Cempaka Ungu
dengan suara keras dan tangan menuding tegas.
Tengkorak Terbang memandang Ratu Pekat. Sang
Ratu diam saja, seakan menyetujui putusan yang
dilontarkan dari Cempaka Ungu. Tengkorak Terbang
merasa takut membantah keputusan itu, maka segera
tangannya berkelebat mencandak lengan Singo Bodong,
lalu menyeretnya pergi. Sementara, Singo Bodong
sendiri menjadi semakin gugup dan ketakutan,
"Jangan...! Jangan gantung aku, Paman! Aku benar-
benar bukan Dadung Amuk! Janganlah Paman salah
duga! Paman akan menyesal menggantung orang tak
bersalah. Sungguh, Paman... aku bukan Dadung Amuk.
Aku Singo Bodong yang...."
"Diaaam...!" bentak Tengkorak Terbang yang
membuat kata-kata Singo Bodong hilang seketika ditelan
lengkingnya suara tadi. Ia tetap diseret oleh Tengkorak
Terbang, dan keluar dari benteng istana kecil itu.
"Cempaka!" panggil Ratu Pekat ketika Cempaka
Ungu mau bergerak mengikuti langkah Tengkorak
Terbang. "Masuklah, aku mau bicara denganmu,
Cempaka!"
Napas Cempaka Ungu disentakkan dalam satu
hempasan rasa dongkol. Tapi akhirnya ia menuruti
perintah itu. Ia masuk ke dalam istana kecil yang
berlantai marmer hitam.
Ratu Pekat duduk di sebuah kursi bantalan merah
yang berpunggung ukiran bentuk mahkota. Kursi itu
panjang, bisa untuk melonjorkan kaki. Tapi saat itu Ratu
Pekat duduk dengan sedikit bersandar, punggungnya
dipijit-pijit oleh si Mata Elang dengan penuh kesetiaan
dari sebuah pengabdian.
"Cempaka, saat kuhempaskan 'Napas Naga'-ku, aku
merasakan ada kejanggalan dalam diri Dadung Amuk
tadi!"
Cempaka Ungu hanya cemberut, tak mau memberi
ucapan kata apa pun, wajahnya memandang ke arah lain.
Ratu Pekat melanjutkan kata,
"Dadung Amuk kehilangan semua ilmu dan
kesaktiannya! Ia telah kosong, seperti bayi baru lahir!"
Setelah palingkan wajah ke arah sang Ibu, Cempaka
segera ajukan tanya, "Dari mana Ibu tahu hal itu?"
"'Napas Naga'-ku menemukan tempat kosong, tak ada
sentakan balik sedikit pun. Itu tandanya Dadung Amuk
tanpa isi sedikit pun!"
Cempaka Ungu kerutkan dahi. "Mengapa bisa begitu,
Ibu?"
"Tengkorak Terbang yang melakukannya dan
membuat dia menjadi seperti itu."
"Apa maksud, Ibu?"
"Kau tahu sendiri kehebatan jurus dan ilmunya
Dadung Amuk sewaktu dia mengamuk di sini dan
mencari Kitab Pusaka Wedar Kesuma! Begitu tangguh
dan hebatnya dia. Ibu mengakui hal itu. Tapi di tangan
Tengkorak Terbang, ia menjadi luluh dan tak berdaya
seperti itu. Kesaktian dan kekuatannya hilang tak tersisa
sedikit pun. Dan hanya orang yang mempunyai ilmu
'Lebur Samudera' yang bisa membuat lawan menjadi
seperti itu."
"Jadi... jadi maksud Ibu, Tengkorak Terbang telah
memiliki ilmu 'Lebur Samudera'? Oh, tidak mungkin,
Ibu! Aku tidak percaya kalau Cakradanu bisa memiliki
ilmu sehebat itu!"
"Nyatanya Dadung Amuk menjadi sebegitu lemahnya
setelah dibawanya kemari! Tentunya saat ia temukan
Dadung Amuk di pantai, ia telah lepaskan pukulan
'Lebur Samudera' yang membuat ilmu dan kesaktian
Dadung Amuk menjadi sirna tanpa bekas!"
Tertegun Cempaka Ungu merenungi kata-kata
ibunya. Tertegun pula si Mata Elang mendengar hal itu,
hingga pijitan di pundak Ratu Pekat terhenti. Setelah
Ratu Pekat menepuk pundaknya sendiri, si Mata Elang
bergegas memijitnya lagi dengan pelan-pelan.
"Aku tahu Cakradanu menyimpan ilmu itu baru-baru
ini saja. Sengaja ia tidak keluarkan kepada siapa pun,
kecuali kepada Dadung Amuk. Itu pun mungkin karena
sangat terpaksa. Dan kau tahu, Cempaka Ungu... jika ia
benar telah menguasai ilmu 'Lebur Samudera', maka
seluruh kesaktianmu, kesaktianku, bisa habis terkuras
tanpa bekas sedikit pun. Ibu, kamu, Mata Elang, dan
orang-orang kita bisa kehilangan kekuatan yang selama
ini kita gali dengan bersusah payah! Tengkorak Terbang
diam-diam menjadi orang paling berbahaya dari semua
orang yang menjadi musuh kita. Bahkan Siluman Tujuh
Nyawa pun bisa ditaklukkan oleh Tengkorak Terbang
karena ilmu pukulan 'Lebur Samudera' itu!"
Gemetar hati Cempaka Ungu mendengarnya. Apa
yang dikatakan oleh ibunya merupakan suatu keyakinan
yang tak bisa disanggah lagi. Cempaka Ungu mulai
merasa ngeri jika berhadapan dengan Tengkorak
Terbang.
Ratu Pekat berkata lagi. "Jadi kuminta kau berhati-
hati bila berhadapan dengannya. Sekali ia lancarkan
pukulan itu, habislah kekuatanmu, menjadi seperti bayi
baru lahir! Ibu pun diam-diam mencari cara untuk
menghindari bentrokan dengan dia!"
"Bukankah dia berada di bawah kekuasaan Ibu?"
"Memang. Tapi kekuasaan tidak cukup untuk
menandingi ilmu pukulan 'Lebur Samudera'!"
Si Mata Elang yang sejak tadi diam, kali ini mulai
angkat bicara dengan suaranya yang sedikit serak,
"Nyai masih bisa menggunakan kekuasaan untuk
mengalahkan ilmu baru yang dimiliki Tengkorak
Terbang!"
"Bagaimana caranya?"
"Beri dia tugas untuk satu perjalanan yang jauh, yang
kira-kira memakan waktu bertahun-tahun, sampai ia mati
dimakan usia di tempat itu!"
"Itu sudah kupikirkan," jawab Ratu Pekat. "Tapi jika
dia tidak berada di sini, kekuatan kita masih kalah
tanding dengan kekuatan Siluman Tujuh Nyawa. Kalau
kita bisa memanfaatkan Tengkorak Terbang, maka
Siluman Tujuh Nyawa bisa kita gulung habis, dan negeri
manapun bisa kita tundukkan. Kita bisa mempunyai
wilayah jajahan yang luas dan luas sekali!"
"Ya," sahut Cempaka. "Tengkorak Terbang itu ibarat
barang yang dibuang sayang, tapi jika dirawat
membahayakan!"
"Kalau begitu, siapkan dulu pertempuran untuk
melawan Siluman Tujuh Nyawa. Setelah kita tundukkan
Siluman Tujuh Nyawa dan begundal-begundalnya, baru
kita kirim Tengkorak Terbang ke tempat yang amat jauh
dari sini!" kata Mata Elang lagi dengan penuh semangat.
Hal itu membuat Ratu Pekat termenung
mempertimbangkannya.
Seperti dikisahkan dalam episode "Utusan Siluman
Tujuh Nyawa", bahwa ada tokoh yang wajah dan
penampilannya serupa betul dengan Dadung Amuk.
Dadung Amuk adalah orang kepercayaan Siluman Tujuh
Nyawa yang ditugaskan membunuh Suto Sinting, si
Pendekar Mabuk itu, dan bertugas pula mencari Kitab
Pusaka Wedar Kesuma. Kitab itu adalah sebagai syarat
mas kawin untuk mempersunting Gusti Dyah
Sariningrum, orang yang dari dulu dicintai Siluman
Tujuh Nyawa, juga yang menjadi kekasihnya Suto
Sinting.
Ketika Dadung Amuk bertemu dengan Pendekar
Mabuk, ia berhasil dikelabuhi oleh Pendekar Mabuk,
dan segera menuju ke Pulau Hantu untuk mencari tokoh
sakti yang sesat bernama Mawar Hitam. Padahal Kitab
Wedar Kesuma adalah milik Nyai Betari Ayu, yang
merupakan kakak dari Dyah Sariningrum, penguasa Puri
Gerbang Surgawi di Pulau Serindu. Kitab itu sudah ada
di tangan Suto, dan perjalanan menuju Pulau Serindu
pun dilakukan bersama penunjuk jalan si Dewa Racun,
dan Singo Bodong diajaknya serta. Mulanya Pendekar
Mabuk ingin mengetahui apakah Singo Bodong adalah
Dadung Amuk, sehingga perlu mengawasi segala gerak-
gerik Singo Bodong dalam perjalanannya. Tetapi,
sebelum Suto memperoleh kepastian tentang perbedaan
atau kesamaan tersebut, perahunya pecah dihantam
ombak samudera. Singo Bodong pun terdampar di Pulau
Beliung.
Kehadiran Singo Bodong itulah yang membuat
Tengkorak Terbang dicurigai sebagai pemilik ilmu
'Lebur Samudera'. Karena baik Ratu Pekat maupun
penduduk Pulau Beliung menyangka Singo Bodong
adalah Dadung Amuk. Sedangkan Tengkorak Terbang
sendiri tidak tahu adanya ilmu 'Lebur Samudera'.
Bahkan mendengar dari gurunya pun belum pernah.
Karenanya ia tidak tahu kalau sedang dibicarakan oleh
Ratu Pekat, dan Cempaka Ungu.
Bahkan Tengkorak Terbang merasa takut membuat
Ratu Pekat marah jika ia menentang keputusan yang
dilontarkan oleh Cempaka Ungu. Karena itu, ia pun
cepat menyeret Singo Bodong ke alun-alun kecil, di sana
sudah tersedia tiang gantungan, untuk menjalankan
hukuman gantung bagi siapa pun yang menentang
kepemerintahan Ratu Pekat. Konon, tiang gantungan itu
telah merenggut lebih dari sepuluh nyawa, termasuk
nyawa para musuh yang menjadi tawanan.
Tiang gantungan itu berbentuk tiang gawang dengan
sebuah panggung kecil di atasnya. Seorang algojo
berselubung kain hitam di kepalanya, tanpa memakai
baju, dan bercelana hitam ketat, telah berdiri di atas
panggung kecil itu. Badannya besar dan berotot.
Singo Bodong menjadi semakin takut lagi melihat
algojo berselubung kain hitam di kepalanya, dengan
hanya bagian kedua mata, hidung, dan mulut saja yang
kelihatan dari luar. Melihat orang menyeramkan telah
siap di atas panggung gantungan. Singo Bodong
meronta-ronta saat dibawa ke sana.
"Jangan..! Jangan gantung aku, Paman...! Jangan!
Aku tidak bersalah! Aku orang baik-baik, Paman!
Oooh... Ibu...! Ibu tolong aku, Buuuuu...!"
Tengkorak Terbang walau berbadan kurus kerontang,
tapi tenaganya jauh lebih besar dari tenaga Singo
Bodong. Dengan sekali sentakan, tubuh besar itu
terlempar sampai membentur tepian panggung
gantungan.
Duuok...!
"Adduh...! Mati aku, Buuu...!" Singo Bodong
akhirnya menangis, ia ditangkap oleh kedua tangan
algojo, lalu segera diikat dengan kain kuat-kuat. Kedua
tangan Singo Bodong yang terikat ke belakang itu
membuat Singo Bodong tak lagi bisa bergerak, ia hanya
bisa meronta-ronta sambil berteriak memanggil ibunya
beberapa kali. Hal itu membuat Tengkorak Terbang
semakin menaruh curiga besar kepada Singo Bodong.
Tengkorak Terbang membatin, "Seperti itukah
Dadung Amuk? Secengeng itukah anak buah Siluman
Tujuh Nyawa? Sekecil itukah nyali orang yang dengan
hebatnya mampu membunuh Melati Hitam dan Kenanga
Merah? Rasa-rasanya aku seperti bukan melihat Dadung
Amuk!"
Keraguan itu membingungkan hati Tengkorak
Terbang, ia cepat melesat tinggalkan tempat itu, seakan
tak mau tanggung jawab jika ada kesalahan hukuman.
Niatnya untuk kabur dari arena penggantungan menjadi
terhalang karena datangnya rombongan Ratu Pekat
bersama Cempaka Ungu, Mata Elang, dan pengawal-
pengawal lainnya.
"Sudah kau gantung orang itu?!" tanya Ratu Pekat.
"Menunggu perintah selanjutnya dari Nyai Ratu,"
jawab Cakradanu.
"Sudah kubilang, keputusannya kuserahkan ke
tanganmu! Karena mulai saat ini, kau kuangkat menjadi
panglimaku."
"Apa...?!" Tengkorak Terbang terkejut. "Saya
diangkat menjadi panglima di Istana Cambuk Biru ini?!"
"Ya. Tadi aku lupa mengatakannya padamu!" jawab
Ratu Pekat.
Cempaka Ungu menambahkan kata, "Jabatan itu
sebagai hadiah dari ibuku atas keberhasilanmu
menangkap Dadung Amuk!"
Tengkorak Terbang kerutkan dahi melihat sikap
Cempaka Ungu tidak seketus tadi. Sekarang wajah
Cempaka Ungu kelihatan lebih ramah dari sebelumnya.
"Mengapa jadi begitu?" pikir Tengkorak Terbang.
Bahkan si Mata Elang pun memandangnya dengan sikap
bersahabat. Biasanya anak muda yang bertubuh kekar itu
memandangnya dengan sikap angkuh, seakan
meremehkan keberadaan Tengkorak Terbang di
lingkungan para pejabat istana. Sekarang sikap angkuh
dan meremehkan itu sudah tidak ada lagi. Bahkan
dengan senyum kecilnya, si Mata Elang berkata,
"Sebagai seorang panglima yang baru saja diangkat,
kau harus bisa tunjukkan sikap kejantananmu yang
mengagumkan hati Nyai Ratu itu, Tengkorak Terbang.
Kurasa tak ada jeleknya kau memutuskan apakah
hukuman gantung itu perlu dilaksanakan atau tidak! Kau
punya kekuasaan sekarang ini!"
"Nyai Ratu," kata Tengkorak Terbang. "Penghargaan
ini terlalu tinggi buat saya! Tak pantas rasanya saya
menjadi panglima!"
"Siapa bilang tak pantas?!" senyum Ratu Pekat
tersungging. "Bahkan menurutku kau sangat pantas
untuk mendapat gelar sang Penakluk dari Pulau
Beliung!"
"O, tidak, Nyai! Itu semakin tidak pantas untuk orang
seperti saya. Sebab...!"
"Jangan tolak kebaikanku ini, Cakradanu!" ucap Ratu
Pekat dengan nada wibawanya. Tengkorak Terbang tak
bisa menyanggah lagi. Karena di dalam otaknya
terbayang pukulan 'Renta Buana', yang jika Ratu Pekat
murka kembali, pukulan itu bisa mengakhiri masa
hidupnya dalam waktu yang amat singkat. Terus terang
saja, Tengkorak Terbang merasa takut menghadapi
murka sang Ratu.
"Baiklah jika memang itu putusan baik, Nyai Ratu!
Saya menerimanya," jawab Tengkorak Terbang dengan
hati masih diliputi tanda tanya yang besar.
"Sekarang aku ingin melihat tawanan kita itu!
Digantung ataupun tidak, tergantung keputusanmu. Dan
jika tidak, kau harus bisa berikan alasan kepada rakyat
yang telah menaruh dendam kesumat kepada Dadung
Amuk."
"Baik, Ratu...!"
Baru saja mereka bergegas melangkah mendekati
kerumunan rakyat, tiba-tiba terdengar suara pekikan
keras yang memberat. Pekikan itu datangnya dari arah
tiang gantungan. Tengkorak Terbang tersentak kaget dan
bergumam tegang.
"Celaka! Pasti petugas algojo itu telah melakukah
penggantungan tanpa perintah lagi!"
Tetapi, mengapa rakyat yang berkerumun di situ pun
bubar melarikan diri? Bukan hanya Tengkorak Terbang
yang heran, tapi Ratu Pekat dan Cempaka Ungu serta si
Mata Elang pun merasa heran. Maka, mereka bergegas
lebih cepat lagi menuju arena penggantungan.
Apa yang terjadi di sana ternyata sangat tak diduga.
Algojo telah tumbang dalam keadaan dadanya tertancap
anak panah. Singo Bodong masih berdiri berkalung tali
gantungan. Tapi tali itu segera putus ketika sebatang
anak panah berukuran pendek melesat dan memutuskan
tali penggantung itu. Tass...!
"Mata Elang, cepat bawa pergi tubuh Dadung Amuk
itu!" teriak Tengkorak Terbang, yang membuat si Mata
Elang cepat melakukan tugas.
*
* *
4
ALUN-ALUN menjadi sepi. Mereka yang tadinya
berkerumun dengan berkasak-kusuk kegirangan karena
ingin melihat kematian Dadung Amuk, sekarang
menjadi diam tanpa suara. Sebagian masuk ke dalam
rumah, sebagian lagi bersembunyi di balik pohon atau di
balik apa saja, ingin melihat kelanjutan dari hukuman
gantung itu. Padahal saat itu Singo Bodong sudah
dilarikan si Mata Elang. Tetapi karena di alun-alun
masih berdiri Ratu Pekat didampingi Cempaka Ungu,
dan di tengah alun-alun masih berdiri Tengkorak
Terbang, maka mereka masih berharap adanya kejutan-
kejutan berikutnya.
Tengkorak Terbang mencabut anak panah yang
menancap di dada algojo. Satu sentakan penuh
kemarahan membuat anak panah lepas dari tubuh kekar
itu. Tengkorak Terbang memperhatikan beberapa saat
anak panah itu, kemudian dibawa mendekati Ratu Pekat
dan ditunjukkan kepada sang Ratu sambil ia berkata,
"Panah pendek!"
"Hmmm... ya! Aku tahu pemilik panah pendek ini!
Kau tahu, Tengkorak Terbang?" tanya Ratu Pekat.
"Saya tahu, Nyai!"
"Lakukanlah tugasmu sebagai panglima!" Setelah
berkata begitu, Ratu Pekat segera tinggalkan tempat.
Cempaka Ungu mengiringinya dengan mata memandang
liar ke arah sekeliling. Siaga untuk penyerangan
mendadak. Sedangkan enam orang prajurit pengawalnya
pun cepat mengambil sikap mengurung Ratu Pekat
dengan memberikan jalan di bagian depannya. Dua
prajurit ada di bagian depan, tujuh langkah dari Ratu
Pekat.
Tengkorak Terbang layangkan pandangan matanya
ke sekeliling alun-alun. Tiap wajah tersembunyi
dipandanginya dengan seksama. Lalu, karena yang
dicarinya tak terlihat, ia pun berteriak keras,
"Dewa Racun...! Keluar kau dari persembunyianmu!"
Panah pendek itulah yang menjadi tanda bahwa
senjata itu adalah milik Dewa Racun. Mereka
mengenalinya, karena mereka pernah bentrok dengan
orang-orang Pulau Serindu, termasuk Dewa Racun dan
anak buah Dyah Sariningrum lainnya.
"Jangan sangka aku tidak mengenalimu, Kerdil!
Keluar kau!"
Tiba-tiba meluncur anak panah dari depan Tengkorak
Terbang. Zzlaaap...! Tangan kurus tanpa daging itu
segera berkelebat cepat. Tabb...! Anak panah itu
ditangkap tepat di depan matanya.
Sebuah pohon berdaun rimbun segera menjadi
sasaran Tengkorak Terbang, ia lepaskan pukulan jarak
jauhnya dengan menghentakkan pangkal telapak
tangannya. Wuuugh...! Tenaga dalam itu melesat tanpa
sinar dan menghantam kerimbunan pohon.
Brusss...! Kraak...! Grusaaak...!
Dahan pohon terkena pukulan tenaga dalam dari jarak
jauh. Dahan sebesar paha Singo Bodong itu patah dan
tumbang ke bawah. Tetapi dari pohon itu tak terlihat
gerakan manusia berpindah tempat.
Mendadak dari arah samping kiri Tengkorak Terbang
meluncur kembali sebatang anak panah dengan
kecepatan tinggi, bagian ekor anak panah berhulu putih
seperti tadi.
Zlappp...!
Tebb...! Anak panah itu berhasil ditangkap kembali
oleh Tengkorak Terbang. Terlambat sedikit mengenai
lehernya. Segera anak panah itu dipatahkan dengan
menggunakan satu tangan meremas. Trakk...! Kemudian
dibuang dengan sentakkan menggeram.
Sebuah pohon rimbun kembali menjadi sasaran
pukulan jarak jauh Tengkorak Terbang. Pukulan itu
menghentak ke pohon sebelah kirinya dan terdengar
suara grusak yang keras dan bunyi gedebuk yang sangat
jelas. Tengkorak Terbang merasa pukulan jarak jauhnya
mengenai sasaran. Lawan pasti jatuh dari atas pohon, ia
menunggu sesaat.
Tetapi sesosok bayangan putih yang ditunggunya itu
justru muncul dari sebelah kanan. Suaranya terdengar
jelas menyapa Tengkorak Terbang dengan kesan kalem.
"Aku di sini, Tengkorak Terbang!"
Cepat-cepat Tengkorak Terbang palingkan wajah.
Mata cekungnya menatap sipit pada Dewa Racun yang
bertubuh pendek kerdil, berpakaian dari bulu binatang
berwarna putih, celana pendeknya pun berwarna putih
bulu. Sementara di pinggangnya terselip dua pisau, dan
di punggungnya tanpa tempat panah, tanpa busur panah
juga.
"Kudengar kau memanggil namaku, Tengkorak
Terbang!"
"Karena aku tahu kau memancing kemarahanku,
Dewa Racun!"
"Kau salah duga, Tengkorak Terbang!"
"Tidak. Aku tidak salah duga!" sentak Tengkorak
Terbang. "Aku kenal betul senjatamu itu, panah pendek!
Sesuai dengan tubuhmu yang kerdil!"
"Justru aku keluar dari persembunyianku karena aku
melihat ada orang menggunakan senjataku!"
"Omong kosongi Kau bersekongkol dengan anak
buah Siluman Tujuh Nyawa itu!"
"Salah!" sahut Dewa Racun. "Kau tidak tahu bahwa
aku telah kehilangan senjata saat perahuku pecah! Busur
dan anak panahku hilang entah ke mana, juga kedua
teman yang bersamaku hilang tak kutahu di mana.
Hanya satu orang yang kutahu di mana letaknya!"
"Kau ingin cuci tangan dari persoalan ini, rupanya!"
"Terserah apa katamu, yang jelas...."
Belum selesai Dewa Racun bicara, datang anak panah
dari arah kiri Tengkorak Terbang. Zllappp...!
Kewaspadaan yang tinggi, kepekaan kulit yang
tinggi, membuat Tengkorak Terbang berkelebat ke
samping dengan tangan mengibas karena merasa adanya
bahaya. Tebb...! Tangan itu cepat menangkap anak
panah berbulu putih di ekornya.
Cepat-cepat Tengkorak Terbang melayangkan
pandangan matanya mengelilingi arah. Tapi tak
ditemukan kecurigaan di mana-mana. Tempat
meluncurnya anak panah yang baru saja ditangkapnya
itu, adalah arah depan dari tempatnya berdiri tadi.
Sekarang arah itu menjadi sebelah kirinya, karena
Tengkorak Terbang berhadapan dengan Dewa Racun
yang muncul dari arah kanannya tadi.
"Bukankah ini anak panahmu, Dewa Racun?!"
"Ya. Benar. Tapi apakah kau melihat aku
memanahkannya?"
Tengkorak Terbang diam sambil menggeram. Anak
panah itu diremas dan patah menjadi dua bagian.
Trakk...! Lalu, dibuang lagi dengan gemas. Prukk...!
"Jika bukan kau, lantas siapa yang
menggunakannya?"
"Mana aku tahu?"
"Pasti temanmu yang berjuluk si Cakar Jatayu!"
"Cakar Jatayu tidak ikut dalam perjalananku,
Tengkorak Terbang!" jawab Dewa Racun dengan lancar,
karena semalaman ia menghabiskan banyak ikan bakar
dan aroma ikan bakar masih ada di dalam mulutnya,
sehingga bahasa gagapnya hilang, belum tumbuh lagi.
Apabila aroma ikan bakar hilang dari mulutnya, ia akan
bicara dengan gagap lagi, karena memang begitulah
keanehan yang dimiliki Dewa Racun.
"Yang jelas, pemanahnya memihak dirimu, Dewa
Racun!"
"Mungkin juga begitu. Mungkin ia hanya ingin
membebaskan tawanan yang akan kau gantung itu,
Tengkorak Terbang! Barangkali ia tahu, tawanan itu
tidak punya dosa apa pun kepada orang-orang Istana
Cambuk Biru, sehingga ia merasa perlu
membebaskannya!"
"Persetan dengan kesimpulanmu! Yang kutahu, panah
ini milikmu, dan kamulah yang harus bertanggung
jawab!"
Ekor mata Dewa Racun sempat melihat bayangan
jatuh dari pohon. Orang yang turun dari pohon itu ada di
sebelah kanan Tengkorak Terbang. Jadi pada waktu
pertama datangnya anak panah ke arah Tengkorak
Terbang, orang itu ada di belakang Tengkorak Terbang.
Tapi anehnya anak panah yang dilepaskan bisa berarah
dari depan dan samping kiri Tengkorak Terbang.
Dewa Racun tahu, orang yang turun dan mengendap-
endap pergi itu membawa busur dan beberapa anak
panah miliknya. Dewa Racun tidak mengejarnya, karena
ia tahu orang berbaju coklat dan bercelana putih itu tak
lain adalah Suto Sinting, yang telah terpisah olehnya
sejak perahu mereka pecah di lautan. Rupanya Pendekar
Mabuk yang menemukan busur dan anak panah itu.
Rupanya Pendekar Mabuk yang waktu itu ingin meraih
tubuh Dewa Racun agar jangan terbawa ombak, tak
berhasil dan hanya bisa meraih busur dan anak panah
yang ada di punggung Dewa Racun.
Sebenarnya saat itu Dewa Racun telah menemukan
dua temannya yang terpisah sejak badai lautan kemarin
malam, ia ingin menemui kedua temannya itu, tapi
suasananya tidak mengizinkan. Bahkan ekor matanya
tadi juga melihat gerakan isyarat dari Suto agar dia tetap
menghadapi Tengkorak Terbang, sementara Pendekar
Mabuk berkelebat menuju ke istana. Pasti Pendekar
Mabuk akan membebaskan Singo Bodong, sebab nasib
Singo Bodong ada dalam tanggung jawabnya.
Hanya saja, Dewa Racun merasa heran melihat
gerakan panah Suto. Panah itu dilepaskan dari arah
belakang Tengkorak Terbang, tapi bisa meluncur ke
sasaran dari arah depan Tengkorak Terbang, atau dari
arah kirinya. Berarti Pendekar Mabuk menggunakan cara
pantulan, di mana panah dilepaskan ke depan,
membentur salah satu dahan atau benda lainnya dan
membalik dengan sama cepatnya ke arah lain. Sehingga.
Tengkorak Terbang sempat terkecoh beberapa kali
dengan melepaskan pukulan tenaga dalamnya ke arah
depan, padahal lawan ada di belakangnya. Dewa Racun
merasa tak mampu melakukan pemanahan seperti itu,
dan dia tak sangka bahwa Pendekar Mabuk mempunyai
cara sehebat itu.
Kepada Tengkorak Terbang, Dewa Racun berkata,
"Kalau kau menuntut tanggung jawabku, karena panah
itu milikku, lantas apa yang kau kehendaki dariku?"
"Kubawa kau menghadap kepada Ratu Pekat sebagai
tawananku!"
"Itu tak mudah, Tengkorak Terbang," Dewa Racun
tersenyum di balik wajah tuanya. "Kalau kau ingin
jadikan aku tawananmu, berarti kau harus tundukkan aku
lebih dulu!"
"Seberapa sulit menundukkan orang kerdil seperti
kamu, ha?! Apakah kau tak sayang pada nyawamu kalau
sampai melayang lenyap karena tangan kurusku ini?!"
"Yang kusayangkan kalau nyawamu sendiri yang
minggat dari ragamu setelah mendapat satu jurus
pukulan dariku, Tengkorak Terbang!"
"Kecil-kecil bermulut lebar kau, hah?!" geram
Tengkorak Terbang. "Belum jera kau menderita pukulan
'Bayu Paksi'-ku?! Rasakan lagi kalau kau belum jera,
hiiaaah...!"
Tengkorak Terbang sentakkan kaki dan tubuhnya
meluncur ke arah Dewa Racun bagaikan terbang. Jarak
yang sepuluh langkah itu bisa dicapainya dengan cepat,
dan pukulan 'Bayu Paksi' menghantam wajah Dewa
Racun. Pukulan itu datang secara beruntun, bertubi-tubi
dan dengan kecepatan yang cukup tinggi. Hampir tak
bisa terlihat oleh mata orang biasa kecepatan pukulan
beruntun itu. Wuk wuk wuk...!
Tab tab tab tab tab...l
Bleggh...!
Pukulan 'Bayu Paksi' bisa ditangkis oleh tangan Dewa
Racun. Kalau dulu Dewa Racun terdesak menghadapi
pukulan itu dan sempat terkena dua pukulan cepat itu,
tapi sekarang semua pukulan dapat dilayani dengan
kecepatan tangkisannya. Bahkan yang terakhir Dewan
Racun sempat menyentakkan kedua telapak tangannya
ke dada Tengkorak Terbang. Sentakkan kedua telapak
tangan itu membuat Tengkorak Terbang terlempar ke
belakang, dan jatuh berguling satu kali.
"Bangsat kau!" geram Tengkorak Terbang.
"Kuharap jangan kau teruskan niatmu menjadikan
aku tawananmu!" kata Dewa Racun yang sejak tadi
hanya berdiri tanpa bergeser sedikit pun dari tempatnya,
ia melanjutkan kata-katanya,
"Kalau kau teruskan, kau akan mati. Jujur saja
kukatakan padamu, bahwa sekujur tubuhmu telah penuh
racun! Pukulanku yang mengenai dadamu menyebarkan
racun berbahaya ke dalam jantung dan paru-parumu,
Tengkorak Terbang. Sebentar lagi kau akan lumpuh!
Dan tangkisan-tangkisanku tadi membuat racun Rengas
Tulang akan membuat seluruh tulangmu menjadi
keropos!"
"Persetan dengan bualanmu!" geram Tengkorak
Terbang, ia segera sentakkan kedua tangannya ke depan
dalam keadaan menggenggam semuanya. Kedua kakinya
merentang lebar dan merendah. Sentakan itu cukup kuat,
hingga menimbulkan gelombang pukulan tenaga dalam
jarak jauh yang amat besar. Woouugh...!
Tapi Dewa Racun cepat sentakkan tangan kanannya
ke kiri dengan badan sedikit merendah dan meliuk ke
kiri. Telapak tangannya yang sedikit terbuka itu
mengeluarkan gelombang hawa panas cukup besar.
Wuuuhg....!
Gelombang hawa panas bukan hanya membentur
pukulan tenaga dalam Tengkorak Terbang, melainkan
juga menyingkirkan dari jalur arah yang menuju ke
tubuh Dewa Racun. Breeebeeehg...!
Bouuhg...! Kedua pukulan itu beradu dan sama-sama
menghantam ke tanah samping. Tanah itu seketika
menjadi cekung bagai ditumbuk oleh sebatang pohon
sebesar gajah. Tengkorak Terbang terkesiap melihat
tanah cekung tanpa menyemburkan percikan pasir
sedikit pun. Jika bukan tenaga yang amat besar, tak
mungkin membuat tanah cekung tanpa menyemburkan
percikan pasirnya.
"Hiaaat...!" tiba-tiba Tengkorak Terbang meloncat ke
depan dengan tubuh bagaikan terbang, kedua tangannya
siap menerkam tubuh kecil Dewa Racun.
Srepp...! Tubuh Dewa Racun berhasil disergap
dengan kedua tangan Tengkorak Terbang. Tapi pada saat
itu juga tubuh kerdil itu melesat ke atas bagaikan belut
licin, dan bersalto di udara dengan menggunakan kepala
Tengkorak Terbang sebagai tempat kaki menjejak.
Kepala itu tersentak ke depan, membuat Tengkorak
Terbang terpaksa berguling di tanah berumput sebelum
jatuh tersungkur.
Wuug, wuug...!
Jleeg...! "
Dewa Racun sudah mendaratkan kakinya dengan
mantap, ia berdiri tanpa goyah sedikit pun. Matanya
memandang tajam pada Tengkorak Terbang, tangannya
menggenggam dalam keadaan tetap lurus ke bawah.
Tengkorak Terbang berdiri dengan satu kaki berlutut
di tanah. Pandangan matanya mulai terasa berkunang-
kunang. Kepala pun terasa mulai memberat. Dipakai
menggeleng bagaikan kaku.
"Tengkorak Terbang, kuingatkan sekali lagi, jangan
nekat mau menangkapku sebagai tawanan! Kau telah
termakan oleh racun dari telapak kakiku tadi. Racun itu
telah meresap masuk ke dalam otakmu dan sebentar lagi
akan membuatmu tak mampu mengangkat kepala!"
Tengkorak Terbang tidak menjawab, ia tarik
napasnya dalam-dalam. Terasa sakit dadanya untuk
bernapas. Berat sekali tarikan napas itu hingga ia
terpaksa busungkan dada. Kemudian ia mencoba berdiri
dengan limbung.
"Percayalah dengan kata-kataku, Tengkorak Terbang!
Racun akibat pukulanku itu telah bekerja menyempitkan
jantungmu, juga mengecilkan paru-paru-mu! Sedangkan
racun Rengas Tulang telah mulai menggerogoti tulang-
belulangmu yang sebentar lagi akan membuatmu
keropos! Hanya aku yang bisa menawarkan racun-racun
itu, Cakradanu!"
"Kau memang jahanam!"
Kedua tangan Tengkorak Terbang terangkat naik
sampai di atas kepala, bentuk telapak tangannya
merenggang kaku dan melengkung ke bawah. Kedua
telapak tangan itu mulai berasap tipis bagai terbakar dari
dalam.
Melihat hal itu, Dewa Racun cepat rentangkan kedua
tangannya ke samping kanan kiri dengan lurus, kedua
kakinya merapat. Telapak tangan Dewa Racun pun
mengeluarkan asap kekuning-kuningan. Lalu, kedua
kakinya yang rapat itu ditekuk ke depan bagian lututnya.
Kedua tangan bergerak terlipat sikunya hingga kedua
telapak tangan yang menghadap ke depan mendekati
bagian dadanya.
"Kalau kau lepaskan pukulan 'Karang Iblis', aku juga
akan melepaskan pukulan 'Halilintar'-ku!" ancam Dewa
Racun.
"Baik! Kita adu pukulanmu dengan pukulanku, siapa
yang unggul. Salah satu dari kita pasti mati, atau
keduanya!"
"Aku tak keberatan!" balas Dewa Racun, siap
sentakkan kedua telapak tangan yang sudah berasap
kuning itu.
Tetapi, tiba-tiba seorang prajurit bersenjatakan
tombak berlari dan melompat ke pertengahan jarak
antara Dewa Racun dengan Tengkorak Terbang.
"Tahan...! Tahan...!" serunya dengan panik.
"Minggir kau, Pragulo!" teriak Tengkorak Terbang.
"Tahan, Tengkorak Terbang! Kau harus segera ke
istana! Ratu memanggilmu. Ada bahaya besar di istana!"
seru Pragulo.
Sesaat terpikir dalam otak Tengkorak Terbang
jabatannya sebagai panglima baru. Segera kedua tangan
yang siap melancarkan pukulan 'Karang Iblis' itu
diturunkan. Tengkorak Terbang pejamkan mata sejenak
untuk meredam ilmu yang sudah hampir terlepaskan
tadi. Dan di sisi lain, Dewa Racun pun redamkan ilmu
mautnya yang bernama 'Halilintar Racun Bumi' itu.
Tengkorak Terbang masih menyimpan dongkol
dengan kemunculan Pragulo. Lalu, ia membentak, "Apa
yang terjadi di istana, ha?!"
"Lihatlah sendiri! Sangat mengerikan!" jawab
Pragulo.
"Aku harus cepat kembali, Tengkorak Terbang!"
Setelah berkata begitu, Pragulo pun segera berlari
kembali ke istana. Sementara itu, Tengkorak Terbang
palingkan pandang ke arah Dewa Racun dan berseru,
"Setelah kuselesaikan urusanku di istana, kita
lanjutkan pertarungan ini!"
"Aku siap menunggumu kapan saja, Tengkorak
Terbang!"
Tengkorak Terbang pun cepat-cepat sentakkan
kakinya dan melesat bagaikan terbang. Namun dalam
jarak antara sepuluh langkah ia jatuh ke tanah dan
terkulai lemas, ia berusaha ingin bangkit, tapi jatuh lagi.
Ia kerahkan tenaganya untuk berdiri, baru mendapat
separo bagian sudah jatuh lagi.
Dewa Racun segera melesat mendekatinya, ia berdiri
di depan Tengkorak Terbang dan memandanginya
dengan senyum sinis, senyum kemenangan. Tengkorak
Terbang memandang dengan geram, karena ia tahu
kelumpuhannya itu akibat racun yang berhasil
dipukulkan ke tubuhnya oleh Dewa Racun.
"Apa yang kukatakan tadi bukan suatu gertakan
semata, Tengkorak Terbang!" kata Dewa Racun. "Kau
akan lumpuh dan mati dalam keadaan jantungmu
menjadi sebesar biji salak!"
"Dewa Racun....'" Tengkorak Terbang mengerang
dalam geram kemarahan yang tak mampu berbuat
banyak. Bahkan untuk mengangkat tangannya pun mulai
terasa sakit di seluruh tulangnya.
"Buka mulutmu!" kata Dewa Racun memerintahkan
hal itu. Tengkorak Terbang tak mau buka mulut, ia
bahkan menggeletukkan giginya menahan luapan
amarah.
"Buka mulutmu dan kuberikan obat penawarnya!"
bentak Dewa Racun. Tetapi Tengkorak Terbang masih
menatap dengan mata buas dan menggeletukkan gigi
menahan rasa sakit di sekujur tulangnya.
"Kau akan mati jika tak mau menelan obat penawarku
ini!"
*
* *
5
ISTANA Cambuk Biru dilanda bencana. Di sana-sini,
darah membanjir, memercik pada dinding, dan mayat
tergeletak tak berbentuk lagi wajahnya. Mayat para
prajurit pada umumnya pecah di bagian kepalanya,
seperti mendapat hantaman benda keras yang cukup
besar. Bahkan para penjaga di serambi istana yang
berjumlah lima orang itu, tergeletak semuanya bermandi
darah tanpa nyawa lagi. Lantai marmer hitam digenangi
darah mereka. Dinding bermarmer abu-abu pun terkena
percikan darah mereka.
Dewa Racun melihat keadaan itu dari atas sebuah
pohon, tak begitu jauh jaraknya dari benteng istana, ia
terperangah dan lama tak bisa mengedipkan mata
menyaksikan pemandangan yang mengerikan. Hampir
satu persatu dari mayat yang ada di depan istana
dipandangi pakaiannya. Tak satu pun yang berpakaian
mirip Suto, atau Singo Bodong. Dewa Racun sedikit
lega. Berarti kedua temannya itu tidak menjadi korban.
Tapi bagaimana jika mereka menjadi korban di dalam
istana? Sebab di serambi samping dekat jendela pun
terdapat dua mayat tergeletak bertumpuk. Sebagian kaki
mereka ada di dalam. Itu menandakan di bagian dalam
istana juga banyak mayat yang bermandi darah, pecah
kepalanya.
Bulu kuduk Dewa Racun berdiri, ia yakin Tengkorak
Terbang akan terpaku melihat pemandangan mengerikan
itu. Sayang sekali Tengkorak Terbang belum siuman
sejak Dewa Racun membuka paksa mulut orang itu dan
memasukkan segelintir obat hitam mirip kotoran
kambing. Obat itu adalah penawar racun. Sengaja Dewa
Racun tidak membiarkan Tengkorak Terbang mati oleh
racunnya, sebab banyak saksi mata yang melihat
pertarungannya dengan Tengkorak Terbang. Sedangkan
Nyai Gusti Dyah Sariningrum telah berpesan berulang-
ulang, agar anak buahnya jangan membuat perselisihan
dengan orang-orang Pulau Beliung. Ada suatu siasat
yang sudah diatur oleh Dyah Sariningrum, penguasa Puri
Gerbang Surgawi itu, yang membuat ia dan anak
buahnya harus menghindari perselisihan dengan orang-
orang Pulau Beliung.
Melihat pemandangan mengerikan di mana darah
mengalir membanjir di dalam maupun di luar istana,
Dewa Racun menjadi gelisah karena ia menemukan
suatu dugaan.
"Jangan-jangan Pendekar Mabuk yang melakukan
pembantaian seperti ini? Celaka kalau dia yang
melakukannya. Padahal dia calon suami Nyai Gusti,
sedangkan Nyai Gusti Dyah Sariningrum sudah wanti-
wanti untuk tidak bikin perkara dengan orang-orang
Pulau Beliung. Hmmm... kulihat Suto tadi memberi
isyarat untuk menyusup ke istana. Aku tahu, tujuannya
adalah membebaskan Singo Bodong. Tapi haruskah
dengan melakukan pembantaian seperti ini?"
Zlabbb...! Crabb!
Sebuah anak panah menancap pada batang pohon,
tepat di depan hidung Dewa Racun. Hampir saja Dewa
Racun terjengkang jatuh dari pohon karena kagetnya.
Dan kini ia segera mencabut anak panah itu, yang
ternyata adalah miliknya sendiri, ia cepat pandangkan
matanya ke arah datangnya anak panah. Ternyata di
salah satu pohon tak jauh darinya telah bertengger
sesosok tubuh berpakaian coklat dan celana putih,
berikat pinggang merah sebagai tali pengikat tempat
anak panah. Tempat anak panah itu ada di dadanya,
menyilang ke kiri. Sedangkan di punggungnya
tersandang bambu bumbung tuak yang menyilang ke
arah kanan.
"Haram jadah! Si Suto sudah berada di sana!
Hmmm...! Sebaiknya aku segera mendekatinya!" pikir
Dewa Racun kegirangan.
Wuuut...! Dewa Racun melompat dari dahan ke
dahan tanpa menimbulkan suara, dan kejap berikutnya
dia sudah berada dekat Suto Sinting.
"Maaf, aku hanya bisa selamatkan busur dan anak
panahmu waktu kita terlempar dari perahu!" Suto
menyerahkan busur dan tempat anak panah kepada
Dewa Racun.
"Iya. Tapi kau gunakan anak panahku dengan ugal-
ugalan! Aku jarang lepaskan anak panah kalau tidak
benar-benar dalam keadaan kepepet! Hmmm... yang
berbulu putih tinggal dua?!"
"Aku tadi hanya ingin mengecohkan Tengkorak
Terbang dan membuat nyalinya ciut sebentar."
"Kau juga yang memanah tali gantungan Singo
Bodong?!"
"Ya. Tapi aku belum berhasil membawa keluar Singo
Bodong dari dalam istana!"
"Untung tak kau gunakan anak panah berbulu merah
ini!"
"Kenapa?
"Bisa meledak tali itu dan kepala Singo Bodong bisa
hancur seperti kepala mayat-mayat berserakan itu!"
"Kebetulan saja yang kuambil selalu yang berbulu
putih!" jawab Pendekar Mabuk sambil tersenyum, lalu
diambilnya bumbung tuak dan menenggak tuaknya
beberapa teguk.
"Suto, apakah bukan kau yang melakukan
pembantaian itu?"
"Bukan!" jawab Suto tegas. "Aku datang dalam
keadaan mayat sudah bergelimpangan di sana-sini. Aku
sendiri heran melihatnya."
"Hmmm...," Dewa Racun manggut-manggut setelah
ia menyandang tempat anak panah dan busurnya di
punggung. Lalu, ia berkata seperti orang menggumam,
"Jika bukan kau, bukan aku, lantas siapa yang
melakukan pembantaian sebegitu kejinya? Apakah
Singo Bodong?"
"Itu yang kupikirkan sejak tadi. Mungkinkah Singo
Bodong memberontak dengan kekuatan Dadung
Amuk?!"
"Aku tak berani memberi jawaban. Makin lama
keberadaan Singo Bodong makin membuatku pusing
memikirkannya."
Pendekar Mabuk menenggak lagi tuaknya beberapa
kali, lalu ia ajukan tanya,
"Siapa sebenarnya mereka-mereka itu, Dewa Racun?
Aku tak sempat tahu persoalannya. Yang kutahu, Singo
Bodong telah berada di tiang gantungan. Lalu aku segera
membebaskannya dari maut!"
"Singo Bodong mereka sangka Dadung Amuk.
Menurut percakapan yang kusadap, ternyata Dadung
Amuk pernah membuat kerusuhan di Pulau Beliung ini
dalam upayanya mencari Kitab Wedar Kesuma...," Dewa
Racun berhenti sejenak, alihkan percakapan, "Hei,
bagaimana dengan kitab itu, apa masih ada padamu?"
"Ada di punggungku, di balik pakaianku!"
"Syukurlah! Aku khawatir kitab itu hanyut. Hmmm.
Apakah kitab itu basah?"
"Kelihatannya kitab ini terbuat dari kulit yang anti
basah. Seperti dilapisi lilin setiap permukaannya. Aku
sudah memeriksanya begitu aku terdampar di pantai,
kemarin malam."
"Bagus. Aku ikut senang mendengarnya."
"Lalu, soal Pulau Beliung dan ratunya itu
bagaimana?"
"Hmmm... begini! Tengkorak Terbang menemukan
Singo Bodong terdampar di pantai, lalu dibawa
menghadap kepada Ratu Pekat...."
"Itu sudah kupahami. Yang belum kupahami, siapa
Ratu Pekat itu?"
"Ratu Pekat adalah tokoh tua yang menguasai Pulau
Beliung ini. Dulu dia anak seorang tokoh sakti yang
bergelar Iblis Pulau Bangkai! Tentunya kau kenal nama
itu."
"Ya. Dia lawan dari bibi guruku, si Bidadari Jalang.
Tapi dia sudah dibunuh oleh Bibi Guru. Iblis Pulau
Bangkai juga mempunyai murid yang bernama
Nagadipa, tempo hari bertemu denganku hendak
menuntut balas." (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Pertarungan di Bukit Jagal").
"Ya. Benar. Tetapi, Iblis Pulau Bangkai lebih sayang
kepada murid lelakinya itu, sehingga Ratu Pekat minggat
dari Pulau Bangkai dan mengasingkan diri di sini! Tapi
ia mencuri satu dari dua kitab milik ibunya. Di sinilah
akhirnya ia berkuasa sebagai ratu penguasa Pulau
Beliung."
"Tapi, kulihat tadi sepertinya Tengkorak Terbang
sudah mengenal namamu. Apakah ada hubungan antara
orang-orang Pulau Beliung ini dengan orang-orang
Pulau Serindu?"
"Hubungan yang terjalin adalah permusuhan."
"Oh...?!" Pendekar Mabuk terkejut sedikit.
"Permusuhan bagaimana maksudmu?"
"Ratu Pekat ingin merebut Pulau Serindu. Mereka
pernah menyerang ke sana. Kami hampir terdesak
mundur. Tapi, Siluman Tujuh Nyawa muncul dan
memihak kami. Ratu Pekat terusir pulang ke
kandangnya. Sejak itu, mereka tak berani menyerang
Pulau Serindu, karena merasa tak mungkin bisa berhasil
selama Siluman Tujuh Nyawa berada di pihak kami.
Sedangkan Siluman Tujuh Nyawa memanfaatkan
pertarungan kami untuk mencari jasa dan unjuk
kesaktian di depan nyai gustiku. Dengan begitu, nyai
gustiku berhutang jasa pada Siluman Tujuh Nyawa. Tapi
Nyai Gusti tidak pernah mau peduli tentang pembelaan
Siluman Tujuh Nyawa itu. Karenanya, kami dilarang
bikin persoalan dengan orang-orang Pulau Beliung ini,
supaya Durmala Sanca atau Siluman Tujuh Nyawa tidak
menanam jasa lagi pada kami."

BAGIAN 2

PENDEKAR MABUK