Dewi Ular - Misteri Santet Iblis(1)



 Seri Dewi Ular
Karya Tara Sagita
Misteri Santet Iblis
Lanjutan Ancaman Iblis betina




1
BENDERA kuning terpasang di ujung jalan. Diikatkan pada tiang
nama jalan. Bendera kuning itu sebagai penunjuk jalan bagi mereka
yang ingin melayat ke rumah Yussy. Tak jauh dari tiang penunjuk
jalan ada kios rokok.
Pedagangnya dikenal dengan nama Bang Mamat. Seharian ini
sudah lebih dari sepuluh kali Bang Mamat harus menjawab
pertanyaan yang sama.
"Siapa yang meninggal, Bang?"
"Anaknya Pak Markus."
"Yang mana? Anaknya Pak Markus ada tiga kan?"
"Yang perempuan. Namanya..., ah lupa gue, Din."
"Yang perempuan kan ada dua, yang nomor satu apa yang
nomor dua, Bang?"
"Tau dah yang nomor berapa. Denger-denger sih yang mau
nikah."
"Ya, ampun... ?! Yang sering dipanggil: Kak Nia, itu?"
"IYa. Bener. Lu kenal apa, Din?"
"Lha, kenal banget saya, Bang. Kan dulu dia pernah langganan
ojek saya selama sebulan Bang. Dulu... waktu dia masih kerja di
bank. Sejak dia berhenti kerja, nggak pernah pake ojek saya, Bang."
"Yoh, lu ke sana dong kalo emang lu kenal ama almarhumah.
Jangan sampe nggak ngelawat ke sana, Din. Ntar malem bisa
didatengin lu!"
"liiiiyy, iya dan... saya mau ke sana, ah. Tapi, ngornong-ngomong
sakit apa dia, Bang?"
"Katanya sih kagak sakit apa-apa."
"Hah? Kagak sakit apa-apa kok meninggal? Kecelakaan, gitu?"
"Kagak juga kayaknya deh."
"Nah, trus kenapa dia kok sampe meninggal?"
"Yeee, elu... nanya melulu. Emang gue malaikat, apa? Lu tanyain
yang begituan merulu. Gue mana tahu, Din! Lu tanya aja ama pihak
keluarganya Sono... !"
Mujadin, tukang ojek berusia 26 tahun, adalah salah satu dan
mereka yang merasa heran mendengar kematian Lennia. Ada pula
yang lebih terheran-heran lagi, yaitu tetangga seberang rumahnya.
Andy Sekitar pukul lima sore Andy pulang dari kantomya. la mampir
sebentar ke sebuah mini market tak jauh dari rumah, masih dalam
lingkungan komplek perunahan Cemara - Estate juga. Di mini
market itu Andy bertemu dengan Lennia.
"Hey, borong nih! " tegumya membuat Nia agak kaget dan cepat
berpaling. Gadis berwajah oval namun punya kecantikan cukup
menawan itu tersenyum riang , Ramah dan familiar sekali sikapnya.
"Eeh, elu, An... Udah pulang kerja nih?"
"Sekali-kali pulang sore dong. Biar bisa nyantai di rumah. Sama
siapa lu? Sama calon laki lu?"
"Nggak. Sama adik gue; Shafi."
"Oo, ama Shafina?"
"He,eh... tuh dia anakmya, di pojok sana!"
"Hmm, gue kirain lu sama calon laki lu."
"Belum pulang. Masih di Batam kok."
Percakapan itu terjadi tak lama. Bukan sesuatu yang istimewa
buat Andy. la sudah tidak berminat lagi mendekati Lennia. Terutama
sejak mendengar kabar bahwa Lennia sudah dilamar oleh pria
separoh baya.Tajir dan masih bujang, katanya. Hubungan Andy
dengan Lennia menjadi sebatas teman, tetangga dekat, atau
sahabat sepintas lewat:
Tetapi kabar yang diterimanya sekitar pukul sebelas malam
adalah sesuatu yang sangat mengejutkan. Suara gaduh di luar
kamarnya membuat Andy harus membuka pintu kamar dan
bertanya kepada adiknya ia mendengar kabar, bahwa Nia meninggal
dunia, sekitar tiga menit yang lalu. Andy kurang puas dengan
keterangan itu, la keluar rumah dan pergi ke rumah seberang hanya
mengenakan celana pendek tanpa alas. kaki.
Di rumah Nia hujan tangis terdengar amat memilukan. Barulah
Andy percaya, bahwa Lennia memang meninggal dunia, beberapa
menit yang lalu. la pun tertegun di teras dengan hati berdebardebar
dan kaki gemetar.
Ricko, adik bungsu almarhumah yang baru masuk SLTA,
menuturkan peristiwa duka itu dengan masih menangis. Terputusputus
ucapannya, namun secara garis besar dapat dipahami oleh
Andy dan beberapa tetangga yang ikut mendengarkan.
"Setengah jam sebelumnya, Kak Nia ke kamarku, Agak marah,
karena aku lupa mengembalikan rnajalahnya. Habis itu, Kak Nia
baca majalah di ruang tengah. Di situ ada mama dan Kak Shafi.
Mereka nonton filmteve..."
"Kamu ikut nonton juga?" tanya seorang tetangga.
"Tidak, Pak. Saya tidak ikut nonton. Saya pergi ke ruang makan.
Ambil minuman kaleng yang sudah sejak tadi saya dinginkan di
kulkas. Habis itu saya masuk ke kamar lagi. Main SMS-an sama
teman saya."
Dalam perkiraan Ricko, lebih kurang 30 menit kemudian, ia
mendengar suara Shafina dan mamanya berteriak.
Mula-muta seperti suara ribut, lalu suara mereka makin tinggi.
Memanggil-manggil Lennia. Setelah itu memuncak menjadi jeritan
histeris yang membuat Ricko akhirnya melompat turun dari tempat
tidurnya. la bergegas keluar dari kamar dalam keadaan tegang.
Masih menggenggamhandphone-nya..
"Saat itu... yang saya lihat cuma sentakan tubuh Kak Nia. Satu
kali. Setelah itu... Kak Nia nggak bergerak lagi...," tangis Ricko deras
kembali. la masih berusaha melanjutkan bicaranya walau pun
semakin terputus-putus.
"Kak Shafi... mama... mereka mengguncang-guncang tubuh Kak
Nia. -Tap; Kak Nia tetap tak bergerak. Saya sempat ikut menariknarik
tangan Kak Nia dan sia-sia. Kak Nia nggak bernapas lagi..."
Malam itu juga papanya yang sedang menyelesaikan urusan
bisnisnya di Denpasar segera dihubungi. Pak Markus nyaris tidak
percaya mendengar kabar kematian putri sulungnya, karena siang
sebelumnya ia sempat bicara melalui telepon. la tahu persis Lennia
dalam keadaan sehat. Bahkan sempat bercanda dengan ceria.
Keterangan dari Shafina lebih jelas lagi. Beberapa menit
sebelumnya Shafina mendengar suara Kak Nia mendesah. Seperti
menghembuskan napas panjang.
la hanya melirik kakaknya. Sang kakak tetap membaca majalah
sambil berbaring di sofa panjang. Sebentar-sebentar ikut
memperhatikan filmyang sedang ditonton Shafina dan mamanya.
Kemudian, terdengar suara Lennia mendesis pelan. Shafina
melirik sebentar. Lennia tampak memegangi dadanya. Seperti
merasakan sakit yang tak terlalu mengkhawa tirkan di bagian
dadanya. Tetapi beberapa saat kemudian Lennia berkata kepada
mamanya.
"Dada Nia kok sakit, ya Ma?"
"Masuk angin kau. Udah sana, tidur!" ajar sang mama, juga tak
terlalu mengkhawatirkan.
"Digosok poke minyak kayu putih tuh, di kamar gue ada," timpal
Shafina yang segera mengarahkan pandangan matanya ke layar
teve lagi.
"Gue kayak orang kebanyakan ngerokok sesak napas."
"Yaitulah yang dinamakan masuk angin!" tegas mamanya, mulai
agak kesal karena Lennia justru kembali membaca majalahnya.
Dua menit kemudian, Lennia tersedak. Bukan hanya satu kali,
tapi berkali-kali ia tersedak seperti mau muntah tapi sulit dilakukan.
Matanya terbeliak-beliak, dadanya dipegangi, dan badannya
tersentak-sentak.
Saat itulah kepanikan timbul. Shafina dan mamanya
kebingungan. Mereka bermaksud memberikan pertolongan
sebisanya. Namun, Lennia makin mencemaskan. Tubuhnya seperti
disentakkan ke atas berkali-kali. Tak bisa melontarkan kata selain
suara napas menghentak kuat.
Hanya beberapa detik setelah itu, Shafina dan mamanya
menjerit. Ricko keluar dari kamar. Namun tak banyak yang dapat
dilakukan, karena saat itu Lennia menghembus kan napas terakhir.
Tak bergerak selamanya.
Satu-satunya kemungkinan medis yang dapat digunakan sebagai
alasan kematian Lennia adalah serangan jantung. Tetapi
sesungguhnya Lennia gadis yang sehat, nyaris tanpa penyakit
sedikit pun. Justru Shafina yang sejak kecil sering sakit-sakitan,
sementara Lennia sejak kecil jarang sakit. Dia rajin berolahraga dan
pandai merawat diri. .
"Masalahnya nggak cuma itu ... " kata Andy kepada - adiknya
yang tak berani melihat langung keadaan mayat Lennia.
Andy menjelaskan keadaan mayat Lennia yang cukup
mengerikan.
Gadis berusia 29 tahun itu meninggal dengan mata melotot dan
mulut ternganga seperti menahan rasa-sakit yang luar biasa.
Kelopak matanya sulit dipaksakan untuk terpejam. Begitu pula
rahang mulutnya, sulit dirapatkan. Meskipun sudah digunakan kain
pengikat, namun mulut mayat tak bisa terkatup rapat. Tubuhnya
kaku bagaikan patung batu. Kulit dan dagingnya sangat keras, lebih
keras dari sepotong kayu.
Siapa pun yang membuka kain penutup mayat, ia akan bergidik
merinding atau buru-buru buang muka, karena tak sanggup
menyaksikan wajah mayat yang mengerikan itu. Memang tak ada
luka apapun, namun ekspresi wajah mayat dapat membuat orang
yang memandangnya dan terbayang-bayang setiap waktu. la akan
dihantui oleh bayangannwajah mayat Lennia entah sampai berapa
lama.
Hal itu akan terjadi bagi orang yang mentalnya lemah, atau
seorang yang berjiwa penakut.
Hampir sebagian besar orang menyimpulkan, kematian Lennia
bukan kematian yang sewajamya. Ada sesuatu yang misterius
menyelimuti kematian itu. Dan, sesuatu yang misterius itu sulit
diterka dengan akal dan logika. Hanya orang-orang yang memiliki
kemampuan supranatural saja yang dapat menganalisa sebab-sebab
kematian tersebut.
Salah satu orang yang memiliki kemampuan supranatural dan
punya hubungan dekat dengan Shafina .adalah Adhitya Wisnu
Brama. Akrab dipanggil: Brama, atau Bram.
Pemuda berusia 28 tahun berperawakan tinggi, tegap dengan
ketampanan yang cukup jantan itu adalah seorang penyiar radio.
Dua bulan yang lalu, Brama dipercaya oleh atasannya untuk
menjabat sebagai Kepsto, kepala studio. Namun ia tetap
menjalankan tugasnya sebagai penyiar pada jam-jam tertentu.
Salah satu acara yang menjadi andalannya adalah Jendela
Kehidupan.
Acara ini cukup berhasil, karena respon dari pendengarnya cukup
bagus. Mereka yang tekun mengikuti acara tersebut kebanyakan
dari kawula muda.
Acara yang disiarkan tiap hari Kamis malam Jumat itu berisi
tentang prediksi kehidupan seseorang di masa depan. Yang
bersangkutan hanya diminta menelepon ke studio, bicara basa-basi
sebentar dengan Bram, lalu Bram dapat mengetahui banyak hal dari
orang tersebut; kehidupan masa depannya, kehidupan pribadinya„
problem yang dihadapi, sampai pada perkiraan jodoh dan
perjalanan cintanya.
Lewat acara.lendela Kehidupan itulah Shafina mengenal Brama
dari hari ke hari perkenalan itu menjadi semakin akrab. Pada
dasarnya Shafina sangat mengagumi Brama yang dianggap memiliki
mata batin cukup tajam itu.
Namun Shafina belum berani melangkah lebih jauh selain hanya
menganggap Bram sebagai seorang sahabat yang cukup dekat,
yang tahu banyak tentang pribadinya, dan yang dapat memberikan
solusi ketika Shafina tak mampu menyelesaikan masalah pribadinya
dengan siapapun.
Salah satu ramalan Bram yang telah menjadi kenyataan adalah
putusnya hubungan cinta Shafina dengan Daniel. Satu bulan
sebelumnya Brama berkata pada Shafina, bahwa hubungan cintanya
dengan Daniel terancam bubar jika Shafina membiarkan Daniel
pindah dari tempat kost-nya yang lama.
Namun agaknya Shafina kurang serius dalam melarang
cowoknya. Daniel tetap pindah ke tempat kost yang baru. Di situ
Daniel berkenalan dengan seorang artis sinetron yang namanya
mulai dikenal di masyarakat. Dalam waktu hanya satu bulan, Daniel
sudah bisa melupakan Shafina, dan berpindah ke pelukan artis
muda itu.
"Bram, apa yang lu bilang tempo hari memang benar Gue putus
dari Daniel. Dia udah nggak peduli ama gue lagi, dan... dan..."
Pada saat itu Shafina tak mampu melanjutkan kata-katanya.
Ratapan hati telah menguasai emosi, sehingga yang didengar oleh
Brama lewat teleponnya adalah tangis Shafina.
Brama mencoba menenangkan tangis itu walau sedikit
mengalami kesulitan. Namun sejak itu Brama sering hadir lewat
telepon dan menjadi satu-satunya orang yang dapat menghibur hati
Shafina. Luka yang ditinggalkan Daniel tak sampai berlarut-larut
dirasakan kepedihannya.
Bahkan dalam waktu retatif singkat Shafina dapat melupakan
Daniel. Menganggap semua yang terjadi hanyalah sesuatu yang tak
berarti.
Shafina melewati hari-harinya dengan hati yang kosong. Ia ingin
nikmati kesendirian itu. la tak takut sepi. Toh ada Brama di sela-sela
kesunyian hatinya. Sampai pada suatu hari, kira-kira tiga minggu
yang Ialu, Brama berkata padanya sewaktu mereka bertemu di
pesta ultahnya seorang penggemar acara " Jendelakehidupan".
"Gue merasakan getaran suara lu agak aneh malam mi."
"Agak aneh gimana?" Shafina rnenatap dengan sedikit heran.
"Lu harus lebih tabah lagi, Fin."
"Maksudnya?"
"Akan terjadi suatu perubahan dalam keluarga"
"Perubahan macamapa itu? Baik apa buruk?"
Brama menarik napas panjang. Ia tak mau melanjutkan katakatanya
la mengajak Shafina melupakan apa yang sudah terlanjur ia
katakan tadi.Agaknya ada sesuatu yang sulit ia jelaskan kepada
gadis berusia 26 tahun itu. Sesuatu yang dimaksud adalah tandatanda
gaib yang dapat ia rasakan namun sulit untuk diterjernahkan
lewat kata.
Shafina baru- menyadari kebenaran kata-kata Brama setelah tiga
minggu kemudian.
Perubahan dalam keluarga yang dirnaksud Brama temyata adalah
kematian Lennia yang sama sekali tak diduga-duga itu. Oleh
karenanya, orang pertarna yang ditelepon Shafina sendiri adalah
Brama. Bahkansarnbil meratap dalam tangisnya Shafina memaksa
Brama agar datang malam itu juga.
"Sekarang juga lu harus datang, Bram! Lihatlah jenazah Kak
Nia...! Lihat dengan mata batin lu sendiri, Bram...! Lihatlah. ."
Shafina memang tidak bisa menjelaskan lewat teleponnya. Tapi
ia yakin Brama akan punya kesimpulan sendiri setelah melihat wajah
mayat Lennia .
Maka, ketika Brama tiba di rumah duka bersama teman dekatnya
yang bernama Joddi, mereka langsung diperkenankan untuk
membuka kain kerudung jenazah.
Spontan kepala Brama ditarik mundur. la tersentak dengan mulut
tercengang begitu melihat wajah jenazah di depannya. Joddy buang
muka secepatnya sarnbil menyeringai ngeri. Kain pun buru-buru
ditutupkan kembali ke wajah menyeramkan itu.
”Bagaimana? Katakan, apa pendapatmu setelah melihat wajah
Kak Nia, Bram?!” desak Shafina sambil berusaha menahan
tangisnya.
Brama dan Joddi rnenyingkir ke teras. Di sana menarik papas
panjang, seolah-olah sedang membutuhkan oksigen banyak-banyak
untuk mengendurkan ketegangan batinnya. Dan, Shafina tetap
mengikut i Brama, karena ia sangat berharap pada kemampuan
supranatural nya Brama.
"Apa penyebab kematian kak Nia, Bram?; Ayo, katakan!"
"Gue nggak ngerti apa penyebabnya. Gua cuma bisa meramal,
tapi nggak bisa menyingkap misteri pada mayat. Sorry, Fin."
"Bohong , Lu pasti , Lu pasti bisa. Ayo, lihat lagi keadaan
kakakku, Bram! Ayo... !"
Pemaksaan itu jelas di akibatkan oleh luapan emosi dukanya.
Brama memang t idak menuruti pemaksaan itu, tapi ia segera meraih
Shafina ke dalam pelukannya.
Shafina menangis meratap-ratap dalam pelukan Brama , Pemuda
itu bisa menenangkan luapan emosi duka itu dengan kelembutan
dan kesabarannya.
"Bram...," bisik Joddi ketika Shafina sudah tidak bersama mereka.
"...apa benar lu nggak tahu tentang misteri di balik wajah mayat
tadi?"
"Yang gue tahu cuma... ada ketidak wajaran dalam
kematiannya."
"Ketidak wajaran itu kan bisa lu lihat lewat mata batin lu, Bram?"
"Ya, tapi gue nggak kuat menembusnya. Lu tahu nggak, begitu
gue lihat mata jenazah yang melotot begitu, sepintas pandangan
mata gue gelap. Kayak buta mendadak. Makanya gue buru-buru
tarik kepala dan coba memej am sekejap, terus gue tutup kembali
kainnya. Gue bisa buta kalo ngeliatin mata jenazah terlalu lama."
"Nah, kira-kira kenapa mata jenazah bisa bikin lu begitu?"
"Yaaa, nggak tahu kenapa. Mungkin ada sisa energi gaib di
dalamnya dan energi itu menyerang gue. Kekuatan gue kalah,
nggak sanggup terima serangan itu. Makanya mata gue jadi
langsung gelap sekali. Seperti misalnya kalo mata lu kena sinar yang
amat menyilaukan, gimana reaksi lu? Langsung kayak orang buta
kan? Gelap."
Joddi manggut-manggut dengan suara gumam sangat pelan.
Lalu, ia berbisik kembali dengan suara lebih pelan lagi.
"Menurut lu... dia mati karena santet, begitu?"
"Semacam itu, tapi jelas bukan sekedar santet biasa."
"Santet yang kayak apa maksud lu?"
Brama diam sebentar. Lalu kepalanya digelengkan .
"Sulit gue ngejelasinnya, Jo. Pokoknya, santet tingkat tinggi.
Sangat mematikan dan nggak akan ada yang bisa menolong
korban."
Mulut Joddi mengeluarkan suara berdecak. Ngeri tapi kagum.
Kata Bram, "Santet tingkat t inggi jarang dimiliki orang. Seseorang
bisa memiliki santet seperti itu kalo dia kerjasama dengan jin, iblis,
atau sejenis itulah. Jarang sekali ada orang yang mampu mengolah
indera keenamnya semaksimal mungkin Rata-rata manusia
memaksimalkan energi gaib indera keenamnya cuma sampai 70
persen, nggak bisa full 100 persen. Nah, santet yang digunakan
membunuh Kak Nia ini kayaknya... menurut dugaan gue nih lebih
dari 100 persen kemampuan manusia. Hal seperti itu hanya bisa
dilakukan kalau ada bantuan dari pihak lain, seperti jin, iblis, dan
sejenisnya."
"Jadi, menurut lu, siapa pelakunya? Iblis?"
"Bisa. Atau manusia yang dibantu iblis. Siapa orangnya, gue
nggak tahu, karena gue nggak punya kemampuan meneropong
sampai ke situ."
"Minta bantuan Oma Lui aja, Bram. Kayaknya dia bisa kok "
"Oma Lui neneknya Cloury? Ah, mana bisa. Oma Lui cuma
khusus peramal kartu dan garis tangan. Nggak ngurusin soal santet.
Ngaco aja lu."
"0, gitu ya?"
"Gue rasa santet yang mengenai kakaknya Shafina ini sulit
dilacak gaibnya. Kecuali ama orang yang bener-bener punya
kemampuan tingkat tinggi misalnya, pacarnya Ray. Mendingan kita
minta bantuan dia aja. Eeh, berapa telepon HP-nya Ray yang baru .
"Ray siapa maksud lu?"
Brama tak sempat menjawab. Karena saat itu Shafina sudah
berada di sampingnya. Masih berlinang air mata. Namun sudah tak
sederas tadi. Joddi sengaja agak menjauh, biar mereka berdua agak
leluasa dalam bicara. Sebab, dalam pengamatan Joddi selama
ini,agaknya Shafina naksir Brama . begitu juga dengan brama .
Hanya saja keduanya belum saling membuka rahasia hati . Mungkin
sedang menunggu waktu yang tepat .
Tapi, dia ngerti dunia santet juganggak ya?" agaknya Sahfina
naksir Brama. Begitu juga dengan Brama. Hanyisaja, keduanya
belum saling membirka rahasia Kati. Mungkin sama-sama sedang
menuriggu waktu yang tepat.
-ooo0dw0ooo-
Pada kesempatan itu Joddi bisa tertegun merenungi kematian
Lennia yang misterius itu. Pada dasarnya ia hanya kasihan melihat
seseorang bernasib seperti Lennia.
"Ternyata kejahatan di dunia gaib lebih keji daripada kejahatan di
dunia nyata," pikirnya.
"Kalau benar kata Bram tentang santet tingkat tinggi itu memang
ada, maka dari seluruh kejahatan yang paling kejam adalah
kejahatan santet. iya dung. Soalnya, si pelaku nggak di ketahui dan
nggak bisa ditangkap atas dasar hukum yang ada."
Joddi berdecak sambil geleng-geleng kepala sendiri. Tiba-tiba
paha kanannya bergetar. Ada HP di dalam sakunya. Joddi buru-buru
mengambil HP-nya buru-buru ke halaman samping yang agak sepi
orang. la tahu siapa yang meneleponnya, dan ia tak ingin
percakapannya ada yang mendengar, terutarna Brama. ltulah
sebabnya begitu sudah sampai di tempat yang agak sepi ia baru
menyapa si penelepon.
"Hallo.... lya... Di rumah teman... Tante Lusna di mana nih?
O000h..."
Sekitar dua menit Joddi menerima telepon dari seorang wanita
yang dikenalnya minggu lalu.Wanita itu bemama Tante Lusna.
Tinggal di sebuah apartemen mewah, di pinggiran kota, Terbayang
jelas di benak Joddi wajah Tante Lusna yang menurut perkiraannya
berusia sekitar 35 tahun.
Penampilannya yang modis dengan bentuk tubuh yang super
sexy itu membuat rona kecantikan Tante Lusna menjadi 5 tahun
lebih muda dari usia sebenamya. Daya tariknya sangat Iuar biasa.
"Iya, ya...? Kenapa nggak minta bantuan Tante Lusna aja, ya7'
gumam hati Joddi setelah terpikir tentang Tante Lusna."Kayaknya
dia ngerti urusan gaib Waktu itu gue danger dia bicara di telepon
dengan seseorang, dan menyebut-nyebut soal roh. Dia ngerti
tentang dunia roh. "
Belum banyak yang tahu kalau Joddi punya kenalan baru. Bahkan
kepada Brama pun ia tak ceritakan sejauh mana perkenalannya
dengan Tante Lusna. la hanya pernah bilang pada Brama bahwa ia
punya kenalan baru bernama Tante Lusna, figur wanita karir yang
tajir dan hidup single. Waktu itu, Brama tak begitu tertarik, sehingga
tak banyak yang diceritakan Joddi tentang tante Lusna.
Perkenalan itu bermula dari dalam pesawat. Joddi pulang dari
Surabaya setelah menyelesaikan tugas kantornya. Di pesawat ia
duduk bersebelahan dengan seorang wanita berhidung mancung,
mirip bule. Joddi menyangka wanita itu memang orang bule,
sehingga ia menegur dengan bahasa Inggris. Wanita itu tersenyum
geli dan mengatakan bahwa dia bukan orang bule. Saat itulah
terjadi perkenalan tempat tinggal, pekerjaan, sampai pada akhimya
saling menyebutkan nama.
Tante Lusna berambut pirang. Mungkin disemir. Tapi wama
rambut dan kulitnya yang putih itulah yang membuat Joddi semula
menyangkanya orang bule. Ketika mereka tiba di bandara Soekarno-
Hatta hari sudah petang. Keduanya sama-sama t idak dijemput oleh
siapa pun. Tante Lusna yang punya inisiatif untuk satu taksi. ia bisa
turun lebih dulu, untuk kemudian Joddi melanjutkan perjalanannya
dengan taksi tersebut.
Tentu saja Joddi tidak keberatan, karena sejak dari pesawat
hingga di dalam taksi Tante Lusna sering memamerkan
senyumannya yang indah, la juga sering memamerkan pahanya
yang putih mulus hanya terbungkus span ketat sangat mini.
Entah dengan sadar atau tidak Tante Lusna sering pula
membungkukkan badan, sehingga belahan dadanya yang montok
dapat terlihat jelas oleh Joddi. Hal itu membuat Joddi gelisah
menahan gairah
"Terus terang saja, memang aku belum pernah bersuami. Tapi
hidupku selalu membutuhkan lelaki. Kamu tahu maksudku, bukan?"
"Ya, saya tahu. Yang membuat saya tidak tahu adalah, mengapa
Tante nggak menikah saja kalau memang hidup membutuhkan
lelaki ?"
"Menikah itu mudah. Mencari lelaki yang sesuai untuk dijadikan
suami itu yang susah," sambil menjawab begitu matanya yang indah
memandangi Joddi, seakan ingin menelan Joddi bulat-bulat. Joddi
sempat berdebar-debar lagi. Bahkan senyum balasannya terkesan
salah tingkah.
"Aku suka ngobrol ama kamu, Jo. Nyambung terus. Bagaimana
kalau aku punya usul?"
"Usul apa, Tante?"
"Obrolan kita lanjutin di apartemenku aja. Kan masih sore ini,
masih pukul delapan kurang. Kamu bisa mandi-mandi lulu, terus kita
makan malam sambil lanjutin obrolan. Bagaimana?"
"Hmmm, boleh juga. Apakah nggak mengganggu istirahat Tante
kalau saya ikut ke apartemen?"
Tante Lusna tersenyum penuh tantangan menggoda.
"Apa kamu bisa menggangguku? Kalau memang kamu bisa
menggangguku, silakan. Aku menyukai gangguan cowok kayak
kamu..."
Belum habis bicara, berbunyi. Tante Lusna buru-buru mengambil
HP-nya dari dalam tas kecil di pinggang.
"Ya, ada apa, Erna... ? Benda yang dari aku kemarin udah kamu
pasang di pintu masuk? Hmmm? Oo, ya, ya... Kamu nggak usah
takut lagi kalau memang udah kamu pasang. Kenapa? Percaya aja
deh ama tante, roh mana pun nggak akan berani masuk rumahmu.
Roh berani berkeliaran hanya di tempat-tempat yang nggak
mengandung energi negatif. Sifat roh selalu mencari energi positif
yang buat kehidupan manusia justru-dianggap sebagai energi
negatif..."
Dari situlah Joddi mengetahui bahwa Tante Lusna mempunyai
pengetahuan tentang dunia roh. Meski pun belum jelas seberapa
jauh pengetahuan yang dimiliki Tante Lusna, namun Joddi yakin
perempuan itu bukan perempuan biasa, bukan perempuan lemah,
bukan penakut, dan bukan perempuan yang cengeng.
Tante Lusna memang pemberani. Termasuk berani menyuruh
Joddi berbaring nyantai di ranjangnya, sementara ia akan
membersihkan badan sebentar di karnar mandi. Joddi memilih
duduk di sofa panjang dengan kaki melonjor, mata memandang ke
arah pesawat teve berlayar lebar. Namun pilihan Joddi itu kurang
disukai Tante Lusna. Ia matikan tevenya, kemudian pergi ke
ranjang, clan menyalakan teve kecil di ruang tidurnya.
"Jo... !" panggilnya. "Nih, di sini juga ada teve. Nontonnya di sini
aja!"
Joddi bergegas inenghampirinya dengan membatin, "Bener-bener
bikin gue panas dingin tuh perempuan. Wah, kacau banget detak
jantung gue ?. Darah kemesraan gue bisa ngamuk beneran nih. Apa
memang begitu maunya dia?"
Sekitar lima belas menit Joddi menunggu Tante Lusna keluar dari
kamar mandi. Ketika perempuan itu masuk, Joddi sempat gemetar,
jantungnya berdetak lebih cepat lagi. Perempuan itu mengurai
rambutnya yang panjangnya selewat bahu. Tubuhnya yang sekal,
montok dan berkulit putih mulus itu hanya dibalut dengan handuk
tebal, dari atas dada sampai pertengahan paha. Lebih ke atas lagi.
"Karnu juga mau mandi dulu?"
"Boleh."
Joddi bangkit dari rebahannya. Saat duduk di tepi ranjang, Tante
Lusna menghampiri. Berdiri tepat di depannya.
"Tapi di sini nggak ada handuk lain. Cuma satu ini, Jo. Kalau kau
mau pakai handuk, ambillah sendiri."
"Maaksudd... maksud Tante bagaimana?" Joddi sedikit
mendongak.
"Lepaskan handuk ini, .dan bawalah ke kamar mandi."
Sambil berkata begitu, tangan Tante Lusna mulai mengusap-usap
pundak Joddi. Matanya menatap sayu. Senyumnya semakin
menantang gairah. Joddi benarbenar kikuk dan salah t ingkah.
Jantungnya makin berdetak, makin cepat, dan tangannya terasa
betul kalau sedang gemetar.
"Lakukan, ..," suara Tante Lusna mendesah.
Tangan yang gemetar dipaksakan oleh Joddi untuk melepaskan
handuk itu pelan-pelan.
Ketika akhirnya handuk itu berhasil dilepaskan, mata joddi sulit
berkedip, karena ternyata di balik handuk itu Tante Lusna tidak
mèngenakan ,selembar benang pun. Terpampang jelas sekali apa
yang sejak tadi disembunyikan di balik handuk tersebut.
"Ambillah yang mana kau mau; suara itu mendesah juga.."
Joddi ditantang. Joddi sudah mendapat mandat. Apalagi ........
Heboh. Ranjang itu menjadi karena pergulatan yang sangat
heboh. Bukan saja perlawanan tante Lusna yang keras, tapi
suaranya pun makin keras. Tuntutannya makin banyak. Tidak cukup
sekali-dua kali. Joddi masih sanggup melayani keinginan perempuan
itu. Menjelang tengah malam Joddi pun terkapar. Tak sanggup
melaju.
Namun sang tante masih menunggu......
-ooo0dw0ooo-
Kepada Shafina pun hanya kesimpulan itu yang dapat diberikan
Brama. Bahwa, kematian Lennia adalah kematian akibat santet
tingkat tinggi. Brama mengakui, bahwa dia memang t idak bisa
menyebutkan siapa pelakunya, atau bagaimana ciri-cirinya. Namun
demikian Shafina sudah cukup mempercayai keterangan Brama.
Shafina menggunakan analisa logikanya, bahwa sebelum ajalnya
tiba Nia dalam keadaan sehat, segar, tanpa sakit sedikit pun. Tahutahu
merasakan sakit di dada, lalu menghembus kan napas terakhir.
Ditambah lagi, wajah mayat menampakkan ekspresi sebegitu
ngerinya, sehingga cukup kuat kesimpulan Brama tentang tewasnya
Lennia karena menjadi korban santet tingkat tinggi.
"Gue punya seorang kenalan. Ilmunya tinggi. Gue mau coba
konsultasi ama dia, buat menyingkap rahasia misteri kematian
kakak" kata Brama kepada Shafina.
"Siapa temen lu itu?"
"Paranormal muda yang disegani oleh para seniornya dari
berbagai aliran. Dia bernama.... Kumala Dewi "
Shafina berkerut dahi menatap Brama. Entah tatapan penuh
curiga, atau tatapan bermakna meragukan. Memang tidak begitu
tapi Brama pun tidak begitu menghiraukan ärti tatapan mata
Shafina itu.
-ooo0dw0ooo-
2
BALAI Sidang bukan hanya ada di Jakarta. Balai Sidang ternyata
ada juga di Kahyangan. Hall sebesar lapangan sepak bola Senayan
itu kali ini scdang dipadati wajah-wajah penuh kharisma. Pimpinan
sidang duduk di sebuah kursi tanpa punggung. Hansa menyerupai
sebuah kotak namun berukir emas permata, dilapisi kain halus dan
empuk menyerupai beludru namun jelas nilainya lebih tinggi dari
beludru biasa.
Sidang para dewa-dewi itu dipimpin oleh figur berwibawa yang
amat disegani dan dihormati oleh sesama dewa. Ia berkepala botak
pada bagian tengahnya, namun bagian tepiannya tumbuh rambut
paniang sebahu berwarna abu-abu. Ia berjubah putih bagian
dalamnya orange. Dewa yang satu ini sangat ditakuti oleh bangsa
jin, karena hanya dialah yang punya hak untuk melenyapkan bangsa
jin, jika hal itu dipandangnya perlu.
"Sidang kita mulai " suaranya menggema besar, rnenciutkan nyali
para dewa lainnya. itulah ciri-ciri dari Dewa Nathalaga alias Dewa
Perang.
"Sidang kita mulai! suaranya menggema besar, menciutkan nyali
para dewa lainnya. Itulah dari Dewa Nathalaga alias Dewa Perang.
Kasak-kusuk dewa-dewi yang semula bergemuruh tiba-tiba
lenyap. Seperti suara jangkrik di malam hari yang terinjak langkah
kaki manusia. Hening dan sunyi dalam sekejap. Dewa Nathalaga
pernah muncul ke bumi beberapakali dan sempat membantu
Kumala untuk mendapatkan pedang pusaka mahadahsyat, (baca
serial Dewi !Aar dalam episode "Racun Kecantikan").
Sidang para dewa ini tertutup bagi insan pers, sehingga tidak ada
satu pun pihak lain yang dapat mengetahui apa yang disidangkan
oleh mereka Memang yang hadir di situ hanya dewa-dewi tertentu,
terutama yang memiliki akses dalam permasalahan yang akan
dibahas, yaitu dewa-dewi yang termasuk dalam Komisi 1, Komisi
dan Komisi 7. Namun demikian jumlah mereka tetap saja banyak.
Masing-masing dewa diberi kesempatan untuk mengajukan ide
dan sarannya. Yang lain pun boleh rnenyanggah dengan
argumentasinya, sehingga terjadi perdebatan cukup seru. Namun
keputusan akhir tetap di tangan Dewa Nathalaga.
"Kakang Nathalaga...," ujar Dewa Pralaya, alias Dewa Kematian.
"...menurutku, terlalu naif kalau sampai kita menjadi panik
menghadapi ancaman seperti itu. Kita ini dewa, yang dilengkapi
dengan kesaktian dan kesucian budi lebih tinggi dari antek-anteknya
si Lokapura. Kenapa kita harus panik, Kakang?! Slowly ajalah...
kalem, kalem. ..."
"Kalem gundulmu!" sahut Dewa Murkajagat, kakaknya Dewa
Pralaya, "Kali ini yang -kita hadapi bukan musuh sembara ngan, Dul.
Kesaktiannya nggak bisa dianggap enteng! Pantaslah kalau kakang
Nathalaga turun tangan untuk menghadapi lawan kita. Bukankah
begitu, Saudara-saudara,...?"
"Betuuuul... !" seru yang lain. Namun, sedetik -kemudian Dewa
Ardhitaka yang kesohor sebagai Dewa Bencana segera
mengacungkan .tangan dan berseru dengan lantang.
"Interupsi sebentar, Paduka ketua sidang. Apakah kita sudah
tidak.punya jalan lain sehingga Dewa Perang harus turun tangan
menghadapi ancaman itu? Kalau benar ancaman itu ditujukan pada
pihak Kahyangan, barangkali tidak akan memalukan. Bagaimanakalau
ternyata ancaman itu hanya isapan jempol saja? Bagaimana
kalau ancaman itu hanya gertakan belaka? Apakah kita tidak akan
dipermalukan jika sampa Dewa Perang turun ke lapangan sebagai
korlap, atau bahkan sebagai panglirna terdepan? Malu kita. Malu
kalau semua itu hanya gertak sambal belaka!"
" ya bener juga... bisa jadi begitu... wah, gimana dong...,"suara
gemuruh seperti lebah kembali memenuhi ruangan sidang, karena
mereka sating bergumam dan berkasak-kusuk mengomentari
pendapat tadi.
"Diam semua ..... "' Suara menggema membuat mulut park dewa
lainnya terbungkam seketika. Hening dan sunyi yang ada.Semua
mata tertuju pada Dewa Nathalage yang mengeluarkan suara
bergema tadi.
"Kita hanya punya satu pilihan lain, andai bukan aku yang turun
menghadapi ancaman itu," katanya dengan penuh wibawa.
Mereka masih diam rnenunggu keputusan sang .ketua sidang.
"Permana, aku pinjam anaktnu. Bagairnara?" Dewa Permana
diam sesaat, melirik istrinya yang ada .di deretan paling ujung, yaitu
Dewi Nagadini. Rundingan batin teljadi antara Dewa Permana
dengan Dewi Nagadini. Akhifnya, dewa penguasa ketampanan itu
pun bicara dengan penuh hormat dan tetap tenang.
"Jika itu putusan yang terbaik, aku ikut saja apa putusanmu,
Paman."
"Baik. Sekarang... panggil Dewi Ular!" suaranya menghentak,
menggetarkan bangunan megah berpilar kokoh itu.
Tak satu dewa pun yang berani menentang keputusan tersebut,
walau beberapa ada yang mengecam dalam hati, mengapa hars
Dewi Ular yang harus menyelesaikan masalah ini? Bukankah Dewi
Ular adalah bidadari yang dibuang ke bumi dan tak diizinkan masuk
Kahyangan sebelum is menemukan cinta sej atinya?
Dewi Ular lahir dari perkawinan Dewa Permana dan Dewi
Nagadini. Ia dianggap anak haram, karena suatu masalah yang
dihadapi ayah-ibunya. Untuk itu oleh para dewa senior Dewi Ular
dibuang ke bumi, dan tumbuh dewasa dalam waktu singkat. Ia
mengganti namanya sesuai alam kehidupan bumi menjadi: Kumala
Dewi. Ia harus berbuat kebajikan dan menemukan cinta sejatinya.
Sebelum cinta sejati ditemukari, ia tak diizinkan masuk ke
Kahyangan, (Baca serial Dewi Ular episode "Roh Pemburu Cinta").
Sekarang atas perintah Dewa Perang, ia harus datang ke
Kahyangan. Padahal di atasnya Dewa Perang masih ada Sang Hyang
Maha Dewa. Apakah undangan itu tak dianggap menyalahi
peraturan Kahyangan? Apakah boss para dewa tak akan
menghukum Dewa Perang yang dianggap menyalahi aturan?
-ooo0dw0ooo-
Pemuda berambut ikal sebahu dengan perawakannya yang
tinggi, tegap dan berwajah ganteng itu dulu selalu menggu nakan
mobil Pajero merah jika ke mana-mana. Sekarang ia sudah tukar
mobil. Ia tampak semakin macho dengan mobil Lexus-nya yang
berwarna hitam. Pemuda itu tak lain adalah Rayo Pasca, staf ahli
bidang riset khusus penelitian kasus X-Project. Sampai sekarang is
masih menjalin hubungan int im dengan Kumala dewi sebab mereka
memang saling jatuh cinta.
Namun apakah benar cinta Rayo Pasca adalah cinta sejati yang
dicari sang dewi? Tidak seorang pun tahu kebenaran dari cinta Rayo
kepada Kumala.
Bahkan pihak Kumala sendiri masih bertanya-tanya, benarkah
cinta sejati itu ada pada diri Rayo, meskipun Rayo pernah
mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan nyawa Kumara
dalam suatu pertarungan, (Baca serial Dewi Ular dalam episode:
"Manusia Meteor").
"Kurasa, beban rindumu sama beratnya dengan beban rinduku.
Hanya saja, karena kita berdua mempunyai profesionalitas dalam
karir, maka kita mampu memendam rindu di tengah kesibukan
masing-masing."
"Ya, aku paham. Tapi disela-sela kesibukanku, kadang aku
merasa kesepian tanpa kehadiranmu, Ray."
"Aku pun merasakan hal yang sama. Tapi bukankah cinta kita
adalah cinta yang dewasa? Bukankah cinta kita adalah cinta yang
tak mudah lapuk oleh masa dan tak mudah patah oleh prahara?"
Kumala Dewi yang cantik jelita menatap Rayo Pasca dengan bola
matanya yang indah bak sepasang berlian. Senyumnya begitu manis
penuh ceria hati, membuat malam yang semula tak memiliki
rembulan, kini menjadi cerah ceria karena sepotong rembulan
muncul di balik awan perak. Udara malam menyebarkan aroma
wangi bunga Cendanagiri. Aroma itu muncul dari tubuh sang dewi
yang hatinya berbunga-bunga, penuh getaran gelombang cinta
asmara..
Mereka duduk di ayunan yang ada di halaman luas belakang
rumah Kumala. Mereka sudah lama tak jumpa karena kesibukan
masing-masing, sehingga ingin rasanya Kumala saat itu merebahkan
kepala di dada pria idamannya. Namun, meski mereka .duduk.
berhimpitan dalam ayunan yang bergerak pertahan-lahan, Kumala
Dewi tetap menahan diri untuk tidak mudah rebahkank epala di
dada kekasihnya. Ia tak ingin dinilai rendah dan murah oleh sang
kekasih. Yang ia lakukan hanya sedikit bersãndar ke pundak Rayo
dengan kedua tangan saling menggenggain.Itu pun cukup hangat
dan mesra baginya.
“Sebenamya apa sih yang kamu nndukan dariku, Ray !”
“Kenapa kau bertanya begitu, Sayang?”
“Aku ingn tahu kejujuran cintamu. Nggak boleh !”
Kumala menatap dan Rayo tersenyum dalam pandangan
lembutnya.
“Boleh saja. Bukankah cinta yang terbalut kejujuran adalah kasih
yang sejati? Dan, kau harapkan cinta seperti itu, bukan?”
“Ya, Sayang,” suara Kumala membisik lembut dan mesra. “Untuk
itulah aku ingin tahu kejujuran cintamu, apa sebenarnya yang kau
rindukan dari diriku selama ini?”
Senyum tipis masih menghiasi bibir tanpa nikotin. Senyum tipis
Rayo itu begitu menyejukkan hati sang bidadani. Karenanya dalam
hati Kumala berharap agar Rayo jangan buru-buru menjawab. Ia
ingin Rayo tetap Memandanginya dalam bingkai senyuman mesra
seperti itu, agar ia dapat menikmati lebih lama lagi debar-debar
indah yang melenakan jiwanya saat ini. Sayangnya, Rayo Pasca
segera menjawab dengan suaranya yang lembut dan teramat mesra
kedengarannya.
“Yang kurindukan dari dirimu adalah... kearifanmu.”
Berkerut dahi Kumala mendengar jawaban itu.
“Kearifanku?! Jadi kamu nggak rindu kemesraanku?”
Rayo Pasca diam. Masih menyunggingkan senyum menawan.
“Kamu nggak kangen sama... kecupan bibirku? Nggak kangen
sama... pèlukan hangatku ? Nggak, Ray?’
Pemuda tampan itu masih diam seperti semula. Kumala makin
berkerut dahi. Ia mengguncang tubuh kekasihnya.
“Ray. . .?! Hey, Ray. . ”
“Oh, hmm, eeh ya? Kenapa?” Rayo menggeragap gugup.
“Kok malah melamun sih kamu? Berarti kamu nggak dengerin
pertanyaanku tadi dong, Ray.”
“Dengar. Ya, aku dengar.” Rayo merubah sikapnya menjadi
tegas, penuh kepatian. Badannya pun lebih ditegakkan lagi, hingga
dadanya agak membusung. Tampak lebih gagah.
Kumala Dewi menatapnya dengar mata sedikit mengecil.
“Bener, kamu denger apa yang aku tanyakan tadi ? "
“0, iya dong. Aku belumtuli kok. Apa pertanyaanmu tadi?”
Kumala turun dari ayunan. Tapi tangannya masih memegangi
besi tiang ayunan.
“Huuhh, payah. Ngaku mendengar tapi masih bertanya.
Maksudmu apa sih, Ray?” sambil mengayanayunkan besi pengayun
pelan-pelan.
“Maksudku .. maksudku yaaah, biar lebih jelas "
“Okey deh. Aku tadi tanya, emang kamu nggak kangen dengan
ciumanku? Nggak kangen sama pelukanku?”
“Oh, ya jelas dong. Jelas kangen. Siapa sih yang nggak kangen
dengan ciuman gadis secantik dirimu, Kumala? Hanya orang bodoh
yang...”
“Cukup!” sahut Kuniala dengan tegas. Nadanya sedikit
menyentak. Ia pun mundur dua langkah dari tempatnya semula.
Matanya menatap tajam. Bukan pandangan mesra lagi yang
terpancar dari sepasang mata indahnya.
“Ad... ada apa, Kumala? Hmm, eeh... kenapa kau menatapku
begitu?"
“Siapa kau sebenarnya?!”
“Ak... aku pacarmu kan?? Aku. . . aku Rayo.."
“Kau bukan Rayo? Keluar kau dan raganya!”
Kaki melangkah mundur lebih jauh lagi dari ayunan.
“Hey, Kumala... kau kenapa jadi...”
“Ray nggak pernah memanggilku Kumala!” makin tegas nada
suara Kumala Dewi. Makin menggeragap kebingungan Rayo
menghadapinya.
“Aaaku... aku yaaa... tetap.. tetap...”
Wuuut... tangan kiri Kumala berkelebat seperti membuang kulit
pisang. Tapi yang keluar dari tangan itu adalah cahaya hijau
menyerupai sehelai daun terang. Cahaya itu menghantam Rayo
Pasca, namun tangan Rayo segera menghadang di depan dada
dengan telapak tangan terbuka. Dan telapak tangan itu terpancar
cahaya putih kebiru-biruan menyerupai bola pingpong.
Claaap...
Kedua càhaya itu bertabrakan.
Daaaaam..!.
Suara ledakan tak seberapa keras. Namun ternyata gelombang
ledakkan tadi mampu membuat Kumala Dewi terlempar ke belakang
hingga melambung setinggi tiga meter Ketika kakinya menapak ke
bumi, ia terhuyung-huyung dan limbung sesaat.
“Gila?! Tenaganya boleh juga dia?!” pikir Kumala yang merasa
heran.
Suara ledakan tadi didengar oleh Sandhi dan Buron yang kala itu
ada di ruang dalam. Spontan mereka berdua berlari ke halaman
belakang untuk melihat apa yang terjadi di sana. Sebab, setahu
mereka di sana Kumala sedang pacaran dengan Rayo. Mereka
berdua tak berani mengganggu, bahkan mengint ip pun tak pemah
berani. Maka, ketika mendengar suara ledakan yang mirip ban mobil
meletus; Sandhi dan Buron sangat terkejut. Tanpa dikomando
mereka berkelebat meninggalkan tempat duduknya.
“Busyet..! Ron, lihat.,. Rayo bisa berdiri di udara setinggi lutut
kita!” seru Sandhi terkagum-kagum. Buron yang terperangah segera
menyipitkan matanya, menatap Rayo Pasca dengan kesaktiannya
sebagai jelmaan Jin Layon. Kemudian, ia menggeram penuh
kemarahan di saat Rayo melambung jungkir balik menghindari
pukulan sinar hijaunya Kumala sambil melepaskan sinar putih
kebiruan yang menghantam sinar hijaunya Kumala.
Duaaaarr..... Wuuussst,jegaaarr
“Kurangajar... !“ geram Buron yang menjadi emosional melihat
majikan cantiknya diganggu oleh pihak lain.
‘Ron, jangan serang Rayo. Kasihan dia!” cegah Sandhi.
“Dia bukan Rayo Ada roh lain yang merasuki raganya!” Lalu,
terdengar seruannya dengan lantang.
“Kumala, biar kubereskan pènyusup keparat itu.. ! "
Weeesss ..
Buron melesat sangat cepat, bayangan dirinya dalam gerakan
secepat itu berubah menjadi seperti cahaya kuning kemerahmerahan
Ia menerjang tubuh Rayo yang makin tinggi mengambang
di udara bebas. Namun, pada saat bersamaan tangan Rayo
berkelebat ke samping, mengeluarkan sinar putih perak nyaris tanpa
warna biru. Dan, benturan cahaya kuningnya Buron dengan sinar
putih itu menimbulkan dentuman lebih keras lagi.
Blegaaaarrr ..... !
"Aaahhkk .........!”
Terdengar pekikan suara Buron bersamaan terpentalnya
bayangan cahaya kuning ke arah semula. Tahu-tahu Buron sudah
terkapar setelah membentur sebatang pohon cemara hias di depan
serambi samping. Benturan Itu sangat kuat karena daun-daun
cemara yang masih hijau sempat berguguran sebagian.
Anehnya, dalam keadaan seperti itu Buron justru tertawa
terbahak-bahak sambil kelojotan menahan sakit.
“Huaaahaa, haa,.haa, haa, haa. -. Huuaaahaa, haa, haa, haa,
aaa, haaaaaaa... !!"
Tentu saja keadaan Buron itu membuat Sandhi dan Kumala Dewi
terheran-heran.
Bahkan mereka sempat bertanya dalam hati, apakah Buron
sedang kesakitan atau sedang kegelian? Tawa itu berkepanjangan,
sampai akhirnya Buron tak sanggup bergerak untuk sesaat.
Buron mengerang dalam keadaan terkapar di bawàh pohon itu
dengan sebagian badan dan wajahnya hangus. Pakaiannya pun
sebagian menjadi hitam hangus, mengepulkan asap, namun tanpa
api.
“Ooh, hebat sekali kau?!” ujar Kumala. “Kesaktian jelmaan jin
Layon bisa kau sepelekan sebegitu rupa?!”
Tahu-tahu tubuh Buron tersentak ke atas, lalu duduk agak
merebah sambil tertawa terhahak-bahak lagi. Padahal keadaannya
sudah babak belur, nyaris mirip singkong bakar. Tapi ia masih
tertawa dan tertawa terus, sampai suaranya serak dan tubuhnya
menggelosor di tanah. Kulit tubuh yang terbakar jadi terkelupas.
Buron bertambah terpingkal-pingkal melihat kulitnya mengelupas,
walau pada akhirnya ia terkulai lemas. Kecapean. Lalu, mengerang
kesakitan kembali.
“He, he, he ... " Rayo terkekeh-kekeh. Suatu hal yang tidak
pemah ditakukan Rayo selama ini adalah tertawa terkekeh sambil
rnenyeringai jelek.
“Keluar kau dari raganya, hadapi aku Jangan kau bersembunyi di
balik raga kekasihku"
“Kenapa?! Kamu tak mampu memaksaku keluar dan raga ini
rupanya? He, he, he... -kasiiiaaan deh lu...!"
Wuuut, claaap. .! Dewi Ular melepaskan serangan dari kedua jari
yang mengeras seperti mata pisau. Cahaya kecil berwarna hijau
berbintik-bintik emas melesat cepat.
Namun, cahaya itu meleset jauh dari leher Rayo. Mudah sekali
dihindari dengan hanya memiringkan badan kekiri. Lawannya dapat
tegak kembali, mengejek dengan tawa terkekeh.
Tanpa disadarii oleh lawannya pukulan cahaya hijau berbintikbintik
emas itu sesungguhnya adalab gerak t ipuan dari sang Dew
Ular Sinar itu memang t idak dikenakan persis pada leher atau dada
Rayo, melainkan di arahkan ke sisi lain. Ketika sinar itu mengenai
sehelai daun pohon yang ada di belakang Rayo, maka sinar tersebut
memantul balik dengan kecepatan sepert sinar laser.
Claaap.., Sinar itu langsung mengenai tengkuk Rayo.
Duubbs...!
"Aahhkk ... !!"
Meski tak terdengar suara ledakannya, namun sinar tersebut
telah berhasil membuat Rayo seperti tersodok benda keras dari
belakang, sehingga ia tersentak dengan mulut terbuka lebar. Dan,
saat itulah Kumala segera menghantam perut lawannya dengan
pukulan gelombang padat tak bersinar. Huuubb...! Buuuggh.
Maka, dari mulut yang terbuka lebar itu keluar seberkas sinar
putih kebiru-biruan, berhentuk bulat seperti kelereng. Sinar itu
terpental keluar, dan sesaat kemudian pecah di udara. Rayo Pasca
jatuh terkapar di rerumputan, sementara sinar itu pecah menjadi
bias- bias cahaya menyilaukan. Jika dipandang dengan mata biasa
menimbulkan rasa perih di bola mata, dan rasa sakit pada urat-urat
bola mata bagian dalam, Dalam bias cahaya itu terdengr suara tawa
terkekeh-kekeh yang makin lama semakin menjadi keras. Terbahakbahak.
“Heeeehhhe, heeh, heeeh, heeeh, heeeh, ehhhe, haahaa,
haaaah, haaaah, huaaaaa, huaaaaa, hahahahahaha....!”
Kumala melapisi pandangan matanya dengan asap hijau bèning
yang muncul dari telapak tangannya.
Lapisan itu tidak membuat matanya sakit. Sementara Sandhi dan
Buron yang sedang berusaha untuk bangkit dalam keadaan
terhuyung-huyung itu segera memejamkan mata. Mereka tak
sanggup menerima bias kemilaunya cahaya tersebut.
Tapi anehnya mereka berdua merasakan ada suatu kelucuan
dalam hati, sehingga tak sanggup menahan diri untuk tidak tertawa.
Mereka tertawa berkepanjangan walaupun bukan dalam bentuk
tawa terbahak-bahak. Kumala Dewi makin heran memandangi
keadaan kedua orangnya dan keadaan lawannya yang masih
berbentuk cahaya itu.
Zuuubbbss..
Sesaat kemudian sinar aneh itu padam. Dan, tampaklah sesosok
tubuh agak kurus berambut putih uban rata. Mengenakan jubah biru
muda bergaris-garis putih benang perak. Ia berlutut sambil
memegangi dadanya, dan terbatuk-batuk Salah satu tangannya
diangkat tanda menyerah.
“Cukup, huk, huk,... cukup, Kumala. Aku menyerah, huk. huk,
huk . ! Huuah, hah, hah, haaaa, hehehehehe. .! Nyeraaah. .
.hehehe.... "
Dewi Ular menghembuskan napas panjang.
Lawan sudah rnenyerah pantang diserang juga Kumala Dewi
segera menghampiri Rayo, yang saat itu masih diam berbaring di
rerumputan dalam keadaan bingung.
“Ray.... ?! Ray, kamu nggak apa-apa kan?”
“Kenapa aku tiduran di sini, Lala?”
“Mari kubantu bangun, Ray...”
Rayo Pasca sudah normal kembali. Terbukti ia memanggil Kumala
dengan sebuatan khas, yaitu: Lala. Dari asal kata Kumala. Rupanya
tadi ketika Rayo tertegun memikirkan jawaban untuk pertanyaannya
Kumala, ada roh lain yang sengaja masuk ke raganya
dengan tujuan tertentu. Tapi sayang, roh lain itu t idak tahu bahwa
Rayo punya panggilan khusus untuk kekasihnya. Dia pikir Rayo
memanggil kekasihnya: Kumala. Itulah kesalahan besar yang
dilakukan si penyusup, sehingga Kumala Dewi segera curiga, lalu
yakin betul bahwa yang bicara dengannya sudah bukan Rayo asli.
Kumala segera hampiri lawannya yang kiini sudah berdiri tegak,
namun tak banyak lagak. Ia harya cengar cengir salah tingkah
dengan sesekali meringis menahan sisa sakit di sekujur tubuhnya .
Buron masih punya sisa tenaga dan kesaktian. Ia hampir Saja
menyerang si penyusup yang bertampang tua renta itu. Si penyusup
diam saja walau tahu akan diserang, namun Kumala melarangnya.
Kumala justru menghampiri si penyusup dan menyapa dengan
tenang. Penuh kharisma.
“Siapa kau sebenarnya, Pak Tua?”
Si wajah tua itu terkekeh salah t ingkah Malu dengan ulahnya
tadi.
Lanjut ke bagian 2
-ooo0dw0ooo-