Dewi Ular : Ancaman Iblis Betina


SERIAL DERI ULAR
KARYA TARA ZAGITA
EPISODE 
ANCAMAN IBLIS BETINA


GEMURUH ombak di waktu malam seperti pasukan siluman   menghampiri   pantai.   Tak   terlihat   bentuknya namun terdengar aneh suara gaduhnya. Bulu kuduk pun mulai merinding ketika angin pantai berhembus membawa getaran  Hanya  naluri  yang  dapat  merasakan  kehadiran sang gaib saat ini.
"Apa lu yakin dia akan muncul dalam cuaca seburuk

ini?""Ya, gue  sangat  yakin.  Dia  nggak  akan  ingkar janji. Seperti yang sudah-sudah, dia selalu tepati janjinya."
   Hembusan  angin  di  malam  pekat  semakin  hebat. Kedua   pria   lajang   berusia   sebaya   itu   masih   berdiri
menatap ke arah lautan lepas. Mereka berdiri di depan
Escudo hitam yang di parkir agak jauh dari sapuan riak
ombak.  Hilmon  sengaja  berdiridengan sedikit  bersandar kemobil .Ia tak ingin terlalu lelah dalam berdiri hanya untuk menunggu suatu pembuktian yang menyangsikan. Meski hatinya diliputi kesangsian, tapi Hilmon juga dibayang- bayangi rasa penasaran, yang selalu menggoda.
Malam   Jumat   yang   lalu,   Gerry   mengaku   bertemu
dengan  seorang  gadis  dalam  perjalanannya pulang  dari Pelabuhan   Ratu.   Gadis   itu   menumpang   Mobil   Gerry. menuju Jakarta. Tapi ia tak mau menyebutkan alamat tempat tinggalnya. Ia hanya menyebutkan namanya: Vania Mercury.
"Dia seorang artis sinetron yang baru selesai pulang -
dari  shooting di.  Pelabuhan Ratu," kata  Gerry beberapa waktu yang lalu. Saat itu Hilmon bersikap sebagai pendengar saja, tanpa banyak komentar. Karena saat itu Gerry menuturkan kisahnya dengan berapi-api, bangga dan senang sekali.
   Tak habis-habisnya Gerry memuji kecantikan dan keindahan tubuh sexy Vania di depan Hilmon. Meskipun ia tidak   diberitahu   alamat   tempat   tinggalnya,   tapi   ia mendapat  nomor  HP-ny  Vania,  sehingga  kapan  saja  ia dapat janjian untuk bertemu dengan gadis itu. Tetapi dua
hari sejak pertemuan tersebut, Gerry selalu gagal menghubungi HP-nya Vania. Ia mulai kecewa dan kesal,karena di dalam hatinya mulai tumbuh benih kerinduan pada gadis berperawakan finggi, sekal dan montok itu:
   "Tapi gue ingat, waktu itu dia bilang, bahwa dia akan datang menemui gue pada hari Senin malam Selasa, di kantor. que diminta lembur pada malam itu. Maka, gue coba ikuti saran dia."
   "Hmm, ya gue inget hari Senin kemarin lu nggak mau pulang bareng gue, alasan lu mau lembur. Padahal gue tahu  nggak  ada  pekerjaan yang  harus  Lu  harus  kerjain sampai lembur."
   "Itu karena gue pengen buktiin apa bener dia nemuin gue sesuai janjinya. Dan, ternyata sekitar pukul sebelas lewat dikit, Satpam lobby telepon ke ruangan gue, kasih tahu kalau ada tamu pengen nemuin gue, dan dia adalah... Vania!"
"Lu kasih tahu alamat kantor kita sebelumnya, ya ?"
   "Iya. Tapi kalau dia emang mau ngebullshit kan bisa aja dia nggak datang pada malam itu. Tapi ternyata dia orang yang  tepat  janji,  Mon!  Dia  datang  dan... dan  dia  nggak menolak waktu gue ngajak check-in, hahaha... "
   Pukul 4 dini hari, Vania pamit meninggalkan hotel. Dia melarang keras Gerry yang ingin mengantarnya pulang. Vania bilang, jika  Gerry masah ingin mengulang kencan indahnya, Gerry harus datang ke Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir. Vania akan dating menemui Gerry di sana.
Sekali lagi  janji  itu  ingin dibuktikan oleh Gerry. Hari.
Selasa  sore,  Gerry datang  ke  Pemakaman Tanah  Kusir. Kebetulan salah satu sanak famili Gerry ada yang dimakamkan .di Tanah Kusir. Sambil ziarah ke sana, Gerry menunggu kehadiran Vania. Ternyata gadis-itu benar-benar muncul di pemakaman tersebut, tepat ketika Gerry ingin pulang karena hari sudah larut senja.
Gerry   menuturkan   kisahnya   kepada   Hilmon   esok
harinya. Rabu siang di kantor. Ia katakan bahwa malam itu Vania tidak mau dibawa check-in di hotel mana pun. Vania justru minta diantar pulang ke apartemennya.
"Sudahwaktunya kau tahu apartemenku, Gerry" "Oh, jadi kau tinggal di apartemen?"
"Ya. Keberatankah?"
Gerry  tertawa  senang  menerima  tawaran  itu,  Dan,
agaknya malam itu Vania juga terlihat lebih agresif dari sebelumnya, Sepanjang perjalanan menuju apartemennya tak henti-henti tangan Vania bermain nakal di pangkuan Gerry. Kecupan menantang sering mendarat di pipi, leher dan pelipis Gerry. Hal itu membuat Gerry merasa menemukan obsesinya selama ini, yaitu. mendapatkan teman kencan yang agresif dan liar.
"Hei, hei... sabar dulu, Sayang... "
   "Aku horney banget hari ini," ujar Vania sambil mendesah-desah saat menciumi tubuh Gerry begitu masuk ke apartemennya.
Gerry   tak   diberi   kesempatan  untuk   mengomentari
kemewahan apartemen Vania yang nyaris seluruh perabotnya bernuansa kristal Gerry bahkan tak diberi kesempatan meletakkan kunci mobilnya, karena begitu pintu ditutup Vania langsung menciumi wajah Gerry. Pria berambut ikal rapi itu dibuatnya berdiri bersandar pada dinding samping pintu, menerima kecupan bertubi-tubi. Bibirnya  dilumat-  dengan  liar  oleh  Vania,  sampai  tak sempat membalas dengan lumatan yang setara.
   Dalam sekejap tahu-tahu tubuhnya sudah bersih dari pakaian: Tangan Vania sangat trampil dalam melucuti pakaian Gerry hingga ke bagian yang paling dalam.
   Si mata biru berbulu lentik ternyata dapat berubah menjadi lebih ganas dari singa betina. Gerry hanya bisa menuruti apa yang menjadi keinginan Vania.
Ia  juga  mematuhi  apa  perintah  Vania  ketika  gadis
berdada motok itu berbaring di atas meja kaca tebal. tanpa sehelai benang pun. Gerry bersikap sebagai budak yang setia  pada  ratunya,.  sehingga  pelayanannya  membuat
Vania semakin mengamuk lebih erotis lagi.
   Malam itu Gerry mendapatkan kepuasan bercinta yang lebih indah dari kencan sebelumnya. Vania pun mengaku mendapat kepuasan yang luar biasa indahnya, sehingga di saat ia terkulai bermandi peluh, Gerry mendengar suara paraunya berdada manja.
Memang luar biasa..Gerry tidak menceritakan lebih detil
lagi tentang apa yang dilakukan Vania ketika, malam itu ia berbaring pasrah. Namun Hilmon dapat. membayangkan sendiri apa yang diperoleh Gerry pada hari Selasa malam itu. Keindahan cinta itu membuat Gerry tak sempat tidur. Ia meninggalkan apartemen sebelum matahari terbit.
"Aku akan datang menjemputmu nanti sore kita makan
malam ...."
"Kamu nggak perlu datang lagi ke sini," kata Vania saat
mengantar Gerry sampai di depan pintu. "0, Vani... please. Aku ingin... ,"
   Mulut Gerry segera ditutupi dengan jari telunjuk Vania yang membuat kata-kata Gerry berhenti seketika. Tatapan
matanya lembut dan menghadirkan keindahan tersendiri di hati Gerry. Ia berkata dengan nada berbisik dan sedikit parau.
"Minggu depan kita bertemu, Gerry"
   "Minggu depan?! Ooh, tapi itu terlalu lama bagiku untuk..."
   "Pergilah ke  pantai  pada hari Kamis malam, minggu depan. Aku akan datang menemuimu di sana."
   Gerry  tak  dapat  melakukan  penawaran  waktu  lebih cepat lagi. Janji Vania seakan merupaka.n keputusan yang sudah tidak dapat diganggu gugat lagi.  Gerry dihinggapi
rasa rindu yang amat menyiksa jiwa. lebih-lebih nomor HP
pemberian Vania tetap tidak dapat dihubungi.
   Maka, tiga hari  setelah pertemuannya dengan Vania di apartemen, Gerry nekat menemui gadis itu. Ia datang ke apartemennya sepulang  dan  kantor.  Namun  is  tertegun dalam   keherananan   yang   tinggi,   karena   apartemen tersebut   sudah   terbakar.   Yang   tersisa   hanya   sosok
bangunan hitam penuh dengan puing dan sisa kebakaran.
   Gerry menemui seorang pedagang rokok yang ada di seberang   apartemen   tersebut.   Ia   menanyakan,   sejak kapan apartemen itu terbakar ?
"Empat hari yang lalu, Tuan," jawab pedagang rokok itu.
   "Nggak mungkin! Tiga hari yang lalu saya masih datang ke situ dan menemui teman saya yang tinggal di lantai tujuh. Saya pulang subuh!"
"Wah, aneh sekali kalau begitu. Padahal apartemen itu
terbakar empat hari yang lalu Kan sempat masuk berita TV, karena musibah itu menelan korban 13 orang."
Gerry  selalu  menyangkal  kenyataan  itu.   Di   depan
Hilmon dia ngotot bahwa informasi yang ia dapatkan dari
pedagang rokok itu tidak benar. Hilmon menyodorkan beberapa koran yang memuat berita terbakarnya apartemen tersebut pada hari Senin, tapi Gerry tetap menyangkal tegas-tegas. Berita itu tidak benar. Hari Selasanya ia masih bisa kencan hangat dengan Vania di apartemen itu.
Timbul kecurigaan di benak Hilmon.
"Jangan-jangan dia bukan cewek biasa, Ger?!"
   "Maksud lu... dia cewek luar biasa? Iya, memang dia cewek luar biasa. Kehebatannya di atas ranjang.. "
   "Maksud gue, dia bukan manusia!" potong Hilmon. "Siluman, peri atau sejenisnya."
   Saat itu Gerry menatap Hilmon dengan mata menyipit. Suaranya bernada ketus. "Lu, sirik ya?! lu iri gue bisa dapat cewek secantik dia  kan? Karena lu  merasa iri  maka lu fitnah dia dengan anggapan naif begitu, supaya gue ngelepasin dia. Itukan mau lu?"
   Hilmon tertawa kalem. Tidak terpancing emosi. Ia coba menenangkan Gerry agar di antara mereka tidak terjadi salah paham. ia coba pula untuk memberikan beberapa analisa tentang kemisteriusan Vania Mercury itu. Menurutnya, hanya ada dua kemungkinan dalam analisanya: Gerry mengalami halusinasi, atau Gerry mengarang Cerita bohong untuk memperdaya dirinya.
   "Mon,. semalem gue nggak bisa tidur mikirin Vania. Kayaknya gue mengalami fenomena gaib yang hanya bisa dialami oleh orang-orang tertentu, oleh orang-orang yang punya keistimewaan dalam kodrat hidupnya, seperti halnya diri gue sendiri. Gue yakin, gue punya keistimeWaan yang tidak dimiliki oleh cowok mana pun."
Akhirnya Gerry berkeyakinan demikian. Ia cukup serius
bicara begitu di depan Hilmon, sementara Hilmon menanggapi dengan kalem. Ada senyum dan tawa kecil yang terkesan seolah-olah ia tak akan terhasut oleh omong kosong seperti itu. Gerry pun tampak putus asa,tak ingin meyakinkan Hilmon lagi.
"Persetan lu mau percaya apa nggak, yang jelas hari ini
adalah hari Karnis. Gue pinjem mobil lu. Mobil gue belum keluar dari bengkel."
"Mau ke mana lu?" "Gue mau ke pantai."
   "Aaalaa... udahlah, lupain soal gituan. Kayak kurang kerjaan aja. Mending lu pulang bareng gue. Eeh, kita dapat
undangan makan malam bersama Bu Elsye dan sekretarisnya yang mungil itu lho, Ger." .
   "Gue nggak tertarik. Gue harus ke pantai, karena Vania akan menemui gue di sana sesuai janjitiya. Gue pinjem mobil lu ya "
Sebegitu kuatnya keyakinan Gerry, sampai- sampai hati
Hilmon pun jadi penasaran. Ia ingin tahu, apa sebenarnya yang ada di balik semua ini. Kemisteriusan atau kebohongan? Untuk itulah ia tak keberatan mengantar Gerry ke pantai. Namun sudah sejak dua jam yang lalu yang ia temui di pantai hanyalah gemuruh ombak dan hembusan angin kencang. Hilmon sempat merasa dirinya seperti orang idiot. Melakukan kebodohan di tengah kesadaran logikanya.
Deburan ombak pantai menggema. Hilmon tarik napas
dalam-dalam, lalu rnendesis bernada gerutu. "Ini gila!"
"Gue kan udah bilang elu nggak usah ikut gue ke sini
kalau elu anggap ini sesuatu yang gila!" . "Gue berharap lu masih sadar, Ger."
"0, iya dong. Gue sadar seratus persen! Gue nggak lagi
paranoid. Tapi gue nggak maksa elu kalau elu merasa...." Gerry   menghentikan   kata-katanya.   ,Tatapan   matanya tertuju ke tengah lautan. Bayang-bayang ketegangan mulai membias lewat rona wajahnya yang berkumis tipis dan sedikit bercambang itu.
"Mon,. apaan itu, Mon ..... ? "
   Tampak cahaya kecil  namun berbinar-binar bagaikan bola kristal. Cahaya itu berwarna perak. Makin lama makin bergerak, mendekati garis pantai, dan semakin dekat semakin seperti bola berserabut bentuknya.
   Hilmon terperangah. Matanya tak berkedip. Mulutnya ternganga. Diam-diam jantungnya mulai berdetak cepat. Ia mulai merasa cemas, karena saat itu Gerry pun tertegun bagai seonggok batu tanpa suara.
   Hembusan angin datang dari arah depan mereka, Kencang sekali. Tubuh mereka sempat merasa sedikit terdorong  mundur.  Namun  karena  ada  bumper  mobil, maka tubuh mereka masih bisa tetap berdiri di tempat. Hanya   saja,   mereka   merasakan   ada   sesuatu   yang menekan  dada  cukup  berat.  Pernapasan pun  jadi  agak sesak.
"Ger... ??!" bisik Hilmon makin tegang, karena cahaya
silver itu semakin dekat. Semakin besar bentuknya..Bulat dan  berserabut  bias  cahaya.  me•nyilaukan.   Ombak  di lautan bagaikan mengamuk.Gerakan dan suara gemuruhnya menim bulkan rasa takut;Cahaya itu seakan telah rnenghisap keberanian siapapun yang ada di pantai saat itu Gerry tampak sulit bicara. Kerongkongannya terasa kering. Hilrnonlah yang masih mampu berusaha untuk melontarkan kata dengan napas tersengal-sengal.
"La... lari saja, Ger... !!"
   Gerry mengangguk. Ia berhasil menggerakkan kepala untuk menatap Hilmon. Namun ia tak berhasil menggerakkan  kakinya  sedikit  pun.  Kedua  kaki  Gerry
seperti  dihisap oleh  pasir  pantai  yang  dipijaknya. Sementara kedua kaki Hilmon sudah berhasil melangkah kesamping walau itu pun ia lakukan dengan sangat susah payah. Hilmon berhasil mendekati pintu mobil pada saat cahaya putih menakutkan menjadi lebih besar dan lebih menyilaukan  lagi.  Jaraknya  dengan  pantai  pun  menjadi lebih dekat lagi.
"Masuk... masuk . ! Buruan.....!!"
Hilmon memang berhasil menguasai kesa•darannya. Ia
segera masuk mobil dan berusaha menghidupkan mesin mobil. Namun, Gerry bagaikan terpatri di tempatnya. Bergerak tak bisa, berteriak tak mampu. Sementara itu, mesin mobil ternyata gagal dihidupkan. Hilmon menstarternya berkali-kali namun tak ada hasilnya.
"Yaa,  Tuhaaan... ?!"  keluh  Hilmon  bertambah tegang
dan ketakutan. Kedua bola matanya terbelalak lebar. Ia memandang dari balik kaca mobil.
   Cahaya perak itu  bukan saja semakin besar, namun juga  berubah  bentuknya  menjadi  seperti  angin  topan.
Berputar-putar membentuk cerobong raksasa. Putarannya menimbulkan hembusan angin lebih hebat lagi sehingga dua pohon kelapa tak jauh dari mereka patah bersamaan, sementara di sisi lain ada yang tumbang dan terlempar dan tempatnya.
"Gerrryyy  ..!!  Buruan  masuuuukk  !!  Masuk.,  Gerrr_  !
Masuk ... !!! "
   Teriakan Hilmon di dalam mobil sama sekali tak sarnpai di  pendengaran  Gerry.  Teriakan  itu  terhenti  seketika,
karena Hilinon melihat jelas munculnya seraut wajah dari dalam pusaran cahaya aneh yang makin mendekati pantai
itu. Wajah yang muncul dalam pusaran cahaya itu adalah wajah cantik berambut hitam meriap•riap dengan mahkota
kecil di atasnya. Ciri-ciri kecantikan itu tak lain adalah kecantikan  Vania  Mercury,  seperti  yang  sering  disebut-
sebut Gerry beberapa hari ini. Hanya saja, wanita cantik dalam  pusaran  cahaya  perak  itu  tampak  jelas  bermata
merah menyala, menyeramkan sekali.
   Dengan gerakan panik Hilmon menurunkan kaca pintu. Tujuannya supaya suara teriakannya didengar Gerry.
"Gerrryyy... masuuuk ke mobil  ! Masuuuk, Geeerr ......!! "
   Tapi  gemuruh  ombak  yang  mengamuk  dengann  liar, dan deru angin yang menghempas dahsyat, sangatlah tak sebanding dengan teriakan Atau barangkali telinga Gerry sudah tertutup oleh sesuatu yang gaib sehingga tak mendengar teriakan temannya. Sebaliknya, Hilmon justrit mendengar suara. Gerry berseru rnemanggil-manggil sepotong nama  yang  saat  itu  telah mendominir seluruh kesadarannya.
"Vaniiii ! !"
"Gawat! Gerry semakin nggak. waras!" pikir Almon. "Aku
hams menyeretnya masuk ke sini "
Namun pintu mobil seperti terhalang tebing karang. Tak
bisa    dibuka,    tak    mampu    didobrak    paksa.    Hilmon mendengar   suara    perempuan    yang    bernada    aneh, menyeramkan, dan membuat sekujur tubuhnya semakin merinding: Suara itu menggema pelan namun sangat jelas. "Ake  datang  menjemputmu, Gerryyy.  !"  "Vaniiiaaa, ini
akuuuu .... !!"
   Hilmon semakin panik. Ia berusaha keluar dari mobil lewat jendela kaca yang sudah diturunkan. Namun kepanikan membuatnya tak berhasil lobos. Bahkan gerakkan  tubuhnya  terhenti  seketika  akibat  ia  melihat jelas-jelas cahaya perak itu melesat ke pantai. Kedua tangan Vania Mercury seperti terjulur ke depan dan mengeluarkan cahaya perak lainnya yang segera menyambar tubuh Gerry. Zzrrrup... !
"Gerrryyyyyyy ....... !!!!! "
Hilmon bukan  berteriak   lagi,  tapi  menjerit  histeris  •
sekuat tenaga. Ia melihat Gerry seperti terhisap seluruh daging tubuhnya. dan masuk ke dalam pusaran cahaya
perak itu. Dalam sekejap saja Gerry lenyap, yang tersisa
tinggal kerangka tulang-tulangnya berdiri tegak di depan mobil. Darah, daging, dan yang lainnya telah lenyap dalam satu  gerakan  terbang  ke  arah  Vania  Mercury,  seperti
serpihan sampah yang masuk kedalam mesin penghisap debu. Tak tersisa sehelai rambut pun.
Sekujur  tubuh  Hilmon  pun  menjadi  lemas  bagai  tak
bertulang lagi. Ia  tak  mampu berteriak atau mengerang sedikit pun ketika ia sadari yang ada di depan mobilnya hanya kerangka tulang-tulang Gerry. Kerangka itu sempat berdiri  terayun-ayun  sejenak,  lalu  jatuh  terpuruk berantakan di saat cahaya perak itu padam seketika. Berganti gelap gulita mencekam bumi.
   Kerangka milik Gerry ditemukan seorang pengelola pantai wisata pada pagi harnya. Polisi segera tiba di tempat tersebut,   dan   segera   melakukan   penyidikan   secara intensif:
   Hilmon   yang   ditemukan   di   TKP   dalam   keadaann pingsan dimintai keterangan.
   Namun , penjelasan Hilmon dianggap terlalu mengada- ada, sehingga Hilmon pun untuk sementara diamankan ke
kantor   polisi   terdekat.   Ia   bisa   menjadi   saksi   kunci, sekaligus  bias  menjadi  tertuduh  tunggal  dalam  kasus
ditemukannya kerangka manusia di depan mobilnya itu.


***
2

   LANGIT senja semakin tua. Rona petang mulai membentang. Maka, wajah bumi pun menjadi pucat bak seraut wajah mayat . Kendaraan padat, jalanan terhambat. Mobil BMW warna hijau giok itu tak mampu laju. Sekali pun sempat maju hanya beberapa meter sudah harus berhenti lagi.
"Huhh,.    kapan    daerah    sini    akan    bebas    dari
kemacetan?!" Keluhan itu bercampur desah napas penuh keprihatinan. Keluhan itu meluncur dari mulut sang pengemudi BMW hijau giok yang sejak menjadi sopir pribadinya Kumala. Dewi selalu berpakaian rapi Wajahnya pun bersih. Tidak kucel seperti waktu ia menjadi sopir taxi dulu.
   Tiba-tiba terdengar suara handphone-nya berbunyi. Sandhi segera menyambut karena yang muncul di layar ponselnya tulisan: Bossku, yang tak lain adalah Kumala Dewi alias si Dewi Ular .
"Masih lama sampainya, San?"
"Aku  kena  macet  nih.  Mungkin  20  menit  lagi  baru
sampai kantor."
"Hm  ,  ya  udah.  Aku  nunggu  di  lantai  tiga  aja,  di
ruangarmya Bu Mirne, ya? 0, ya San... nanti sempatkan mampir ke kantornya Zus Rifa sebentar. Bisa kan?"
"Bisa. Terus, aku ngapain di sana?"
"Dia mau kasih oleh-oleh buatku, berupa liontin dari
kristal kosmik yang tergolong langka di dunia ini" "Kristal kosmik?"
"Ya,  liontin  dikenal  dengan  nama  'Liontin  Olympus',
karena termasuk benda bersejarah, peninggalan sejarah mitologi Yunani lama."
"Ooo, dapat darimana dia?"
"Zus  Rifa  kan baru  pulang  kemarin dari  Athena. Dia
belum ada waktu buat temuin aku. kamu ambit saja nanti. Barusan dia telepon. Aku udah bilang kal au karnu yang akan ambil."
   "Ya, udah. Ntar aku usahain bisa lewat Menteng, biar bisa mampir ke kantomya Zus Rifa."
"Tapi  sebelum  jam  enam  nanti  kamu  harus  sudah
sampai ke sana. Jangan lebih Soalnya, jam enam tepat Zus Rifa sudah harus meninggatkan kantor, katanya sih mau menghadiri pertemuan penting dengan keluarga mantan suaminya."
"Ya, ya... aku usahakan bisa sampai sana secepatnya." "Tapi jam  tujuh  kamu harus sudah sampai sini.  Aku
harus sudah ada di Pasific Hotel sebelum pukul delapan. Jelas?"
"Okey, Boss. Apa lagi?"
"Udah, cuma itu. Hati-hati, nggak usah ngebut "
   Tutur katanya selalu terasa teduh dan familiar sekali. Meski pun  terhadap sopir  pribadinya"Kumala Dewi tidak pemah   lupa   berpesan   agar   hati-hati   di   perjalanan. Sikapnya memberikan kesan bahwa ia sangat peduli terhadap Sandhi, atau orang-orang terdekat lainnya. Bagi Kumala, sopir pribadinya itu memang sudah bukan seperti orang lain lagi, tapi seperti saudara sendiri.
Memang begitulah sifat si cantik putri tunggalnya Dewa
Permana dan Dewi Nagadini itu. Selalu ingin bersahabat dan bersaudara dengan siapa saja. Selalu menghargai dan menghormati siapa pun yang datang padanya tanpa pandang bulu. Sandhi sering melihat majikan cantiknya membagi-bagikan uang  pada  pengemis  atau  pengamen jalanan. Kadang mereka juga disapa dan diajaknya bicara selayaknya berhadapan dengan orang  yang  sudah  lama dikenalnya.
"Mereka bukan sampah, bukan penyakit menular, .dan
bukan penjahat yang berbahaya. Nggak ada jeleknya kalau kita memberikan sebagian dari uang kita untuk mereka, sebab mereka pun butuh makan dan butuh hidup sama seperti kita."
   Begitu  ujarnya  kepada  Sandhi  beberapa  waktu  yang lalu, ketika tiga pengemis jalanan menghampiri mobilnya di lampu  merah.  Sandhi  juga  masih  ingat  kata-•kata  bijak
Kumala yang sederhana namun barangkali tidak semua orang bisa malakukannya.
"Kalau nggak ada harta, berilah mereka uang. Kalau
nggak ada uang, berilah mereka keramahan, senyuman, sapaan, tumpangan, atau apa saja yang bisa membuat hati mereka senang. Orang-orang macam mereka itu, San... adalah orang-orang yang merindukan kasih dan perhatian jiwani. Setetes kasih atau sebutir perhatian dari kita bisa terasa seperti segenggam emas bagi mereka."
   Dalam kemacetan lalu lintas sore, disaat mobil-mobil terjebak langkah hingga tak mampu bergerak, disaat itulah
Sandhi teringat kata-kata Kumala yang bersuara jernih dan
merdu. Ingatan itulah yang membuat Sandhi melayangkan pandangannya ke arah depan, sebelah kanan mobilnya. Seketika  itu  Pula  hati  Sandhi  seperti  tersayat  sehelai rambut yang teramat lulus dan tajam. Perih. Namun ia cepat-cepat menekan rasa itu. Menyembunyikan rapat- rapat di batik kalbu  ketabahannya.
   "Kasihan sekali:..," ucapnya dalam nada keluhan membisik.
   Sepasang mata Sandhi yang memiliki alis agak lebat itu masih memandang ke arah kanan-depan. Di sana ia lihat
dengan jelas seorang gadis cilik berusia sekitar 5 tahun sedang mengamen dengan kecrekan dan susunan tutup
botol. Mungkin 5 tahun kurang usianya. Gadis cilik itu mengamen Sendirian dengan pakaiannya yang kumel dan
rambut yang  panjang tapi  kotor.  Sekotor kulit  tubuhnya yang hitam dan kering.
   "Mana teman atau orang tuanya? Yaa, ampuun... rupanya dia ngamen sendirian?! Mestinya anak seusia dia sedang  butuh-butuhnya  kasih  sayang  dan  kehangatan orang tua. Bukannya sibuk cari duit sendiri begitu?"
   Kemacetan masih tak bergeming. Sandhi menurunkan kaca pintunya sedikit. Dia ingin mendengar suara anak itu menyanyi di samping mobil sedan mewah wama merah.
"Ya, Tuhan ..... " Hati Sandhi kian mengeluh sedih.
Suara    anak    itu    sangat    serak.    Dia    mencoba
menyanyikan lagu dewasa dengan suara keras agar didengar oleh penumpang dalam mobil yang dihampirinya. Namun kaca  mobil  yang  tertutup  rapat  membuat suara gadis kecil itu tak seberapa jelas didengar dari Dua orang yang ada di dalam mobil. merah itu sama sekali tidak mempedulikan keberadaan gadis cilik tanpa alas kaki itu.
"Benar-benar nggak punya otak tuh orang yang di dalam
mobil?!" geram Sandhi jengkel sendiri. "Benar-•benar udah pada mati rasa! Masa' mereka nggak mau peduli sedildt pun sama anak itu?!"
   Dengan hati kecewa si gadis kecil berwajah dekil meninggalkan sedan merah. la pindah ke mobil yang lain ,
Temyati suara teriakannya yang serak hingga urat lehernya
bertonjolan keluar, juga tidak ada yang menghiraukan sedikit pun. Akhimya anak itu berjalan lesu menghampiri mobil lain, yaitu mobil BMW hijau giok. Sorot matanya yang tadi menjadi redup, kini tampak sedikit cerah kembali, karena ia tahu mobil BMW hijau giok itu kaca pintunya tidak ditutup rapat seperti mobil-mobil yang tadi. Begitu sudah dekat dengan BMW-nya Dewi Ular, gadis kecil itu langsung menyanyikan lagu dengan urat•urat leher bertonjolan. Tampak memaksakan diri dan ngotot sekuat tenaga.
"Tiga puluh menit, aku di sini... tanpa suara..."
"Cukup, cukup...," potong Sandhi, tak tega membiarkan
bocah kecil itu melanjutkan Iagunya dengan suara serak- serak letih.
   Gadis kecil bermata bundar keruh itu menatap dengan sorot pandangan mata kecewa. Barangkali ia sangka tak akan  mendapatkan  belas  kasihan  sedikit  pun  dari  si
pengemudi sedan hijau keren itu. Tapi ketika ia hendak melangkah pergi, ia mendengar suara si pengemudi mobil keren itu memanggilnya.
"E, eh... sini, sini... !" panggilan dari Sandhi itu disusul
dengan uluran tangan yang memegangi selembar uang 50 ribu.
"Nih, buat kamu !" katanya.
   Gadis kecil itu tertegun ragu. Separoh matanya Mulai tampak berseri-seri, separohnya lagi tak yakin kalau dia akan diberi uang sebesar itu. Namun setelah Sandhi memperjelas maksudnya, gadis kecil itu pun mulai menyunggingkan senyum tipis di sudut bibir keringnya. Meski demikian masih ada sisa kebimbangan yang menahan tangannyauntuk menerima pemberian itu.
   "Ambillah, ini buat kamu. Ayo, nggak usah malu-•malu. Jangan takut sama Oom. Uang ini buat kamu semua. Niihh..."
   Gadis kecil berkulit kusam akhirnya yakin betul bahwa uang sebesar itu memang diberikan untuknya. Maka, ia
pun segera melangkah lebih dekat lagi ke arah pintu sopir.
Kemudian tangannya yang berjari mungil namun kotor itu segera menyambar uang pemberian Sandhi.
   "Makasih...," ia tertawa memandangi selembar uang 50 ribuan.  Sesaat  kemudian  kembali  memandang  Sandhi
dengan kegembiraan yang terbungkus bayangan rasa malu dan kagum. la kagum pada kebaikan si oom pengemudi
sedan keren itu .
"Makasih, Oom...," ulangnya dengan semakin tampak
girang sekali.
Sandhi  rnenyunggingkan  senyum  ramah  dan  sangat
bersahabat. Kepalanya mengangguk kecil. "Namamu siapa, Adik manis?"
   "Oyen," jawabnya singkat. Masih diliputi rasa malu dan girang.
"Oyen sama siapa di sini?"
   "Hii, hii, ha...." Gadis kecil kegirangan itu tidak menjawab.  la  justru  segera  berlari  meninggalkan  BMW
bijau giok..
Sandhi  tidak  kesal  meski  pertanyaannya  diabaikan
Oyen.  la  justru  tersenyum  lebar  dan  menghembuskan napas lega. Lega karena bisa memberikan sebagian kecil dari uang gajinya yang ia terima di kantor tadi siang. Lega juga karena kendaraan didepannya sudah mulai bergerak. Agaknya  kemacetan  mulai  memudar.  Dan,agaknya  juga
penyebab larinya Oyen tadi karena ia mengetahui bahwa sebentar lagi mobil-mobil akan bergerak, dan iatak ingin ditabrak oleh mobil mana pun.
   "Huuhh, kalau tahu tadi mau ke kantornya Zus Rifa, gue nggak lewat sini tapi lewat daerah Manggarai aja Lewat sini sih  bakalan kena  macet  lagi  nih."  Sandhi  mulai berkecamuk dalam hatinya. Bukan hanya kemacetan saja yang menjadi thema kecamuk hatinya, namun masalah pribadirlya dengan seorang gadis juga turut dikecamukkan oleh sang hati. Toh kecamuk itu tidak dapat berlangsung lama. Sandhi mulai tarik napas lagi, lantaran jalanan macet kembali.
"Huuuhhh baru jalan.3 menit kena macet lagi kan?! Gue
bilang juga-apa?! Kalau tadi lewat daerah Manggarai nggak berkali-kali kena macet lampu merah begini!"
   Baru saja menginjak pedal rem, dahi Sandhi terpaksa harus segera berkerut kuat-kuat. Pandangan matanya pun
menatap sangat tajam. la memandang ke arah mobil yang ada di depannya, sebelah kanan. Suatu keganjilan terlihat
dengan jelas di samping sedan Audi wama coldat susu itu. Hati Sandhi bertanya-tanya penuh rasa heran.
   "Bagaimana mungkin dia bisa berada di sini dalam 3 menit ?!" Sandhi rnempertajam pandangan matanya.
" Ah , bukan dia kali?! Cuma mirip dia?"
Apa     yang     dilihatnya     memang     sangat     aneh.
Mengherankan sekali. Perjalanan 3 menit yang dicapai dengan menggunakah mobil dapat dibayanglan berapa kilometer jauhnya. Sesuatu yang sangat membingungkan
•Snidhi adalah ketika ia tiba di lampu merah ini, temyata gadis kecil yang mengaku bemama Oyen itu sudali ada di
depan matanya.
Dalam perhitungan logika tidak mungkin si pengamen
cilik itu bisa melakukan perjalanan sejauh itu dalam waktu hanya 3 menit.
   "Kalau ia tadi menumpang sebuah mobil, mungkin saja bisa tiba di sini dalam waktu 3 menit. Tapi gue yakin nggak
ada orang yang mau memberikan tumpangan gadis kotor
yang  dekil  itu?!  Kalau  toh  dia  jalan  kaki,  atau  berlari , nggak mungkin dia bisa duluan sampai sini ketimbang gue?!" Gadis kecil berbadan kurus itu juga menghampiri mobil Sandhi. Ia mengamen dengan alat musik yang sama, yaitu tumpukan tutup botol yang dipakukan pada ° sepotong kayu, digunakan sebagai kecrekan.
Sandhi   buru-buru   menurunkan   kaca   pintu   untuk
melihat lebih jelas lagi, benarkah gadis kecil itu Oyen. "Astaga! Memang dia?!" gumam hati Sandhi sambil menyeringai sangat terheran-heran. Bahkan suaranya pun sama dengan yang tadi, serak dan kering. Menyedihkan sekali.
Senja  mulai  menua.  Bulu  kuduk  Sandhi  pun  mulai
merinding. Ia tak dapat menyangkal kenyataan yang terjadi pada saat itu, bahwa pengamen cilik yang di sini adalah sama dengan pengamen cilik yang di sana tadi . Karena; ketika gadis cilik itu menghampiri mobil BMW hijau giok dan langsung menyanyikan settuah lagu dengan suara serak dan urat lehernya tampak bersumbulan, maka saat itu pula Sandhi langsung menghentikan nyanyian si bocah.
"Kamu yang tadi ngamen di perempatan jalan Ketapang
kan ?"
"Iya Oom," jawabnya sangat lugu.
"Kamu bemama.. , Oyen, ya kan ! "
Gadis  cilik  yang  mengenakan  rok  Merah  kumuh  itu
mengangguk dengan polosnya. Tanpa beban dusta, tanpa merasa ada yang aneh pada dirinya. Ia memang tidak segera pergi walau lagunya dihentikan Sandhi, karena saat itu ia melihat tangan Sandhi sedan memegangi selembaruang 10 ribuan, Dan sorot matanya anak itu tampak sangat berharap uang tersebut diberilcan padanya.
Dan, Sandhi memang ingin memberikannya seandainya
anak itu bukan Oyen. Tapi ketika anak tersebut mengaku bemama Oyen, mengaku pula tadi habis ngamen di lampu merah perempatan Jalan Ketapang, maka Sandhi pun menjadi ragu menyerahkan uang tersebut. Bukan ragu karena pertimbangan ekonomis, melainkan ragu karena ia
tak tahu harus bersikap bagaimana terhadap si kecil Oyen. "Oom tadi lihat kamu di jalan Ketapang, terus... tahu-
tahu kamu sudah sampai sini sebelum Oom tiba di sini.
Kamu naik apa tadi?"
"Jalan...," jawabnya pendek.
Dahi Sandhi berkerut semakin tajam. " Jalan kaki ?" Oyen mengangguk.
   "Secepat itukah kamu jalan kaki dalam jarak sejauh ini?!".
   Gadis kecil itu diam saja. Menundukkan kepata. Seperti anak yang menyimpan rasa takut karena sedang dimarahi.
Padahal maksud Sandhi bukan,memarahinya. Hanya sekedar ingin mencari kebenaran dari suatu kasus yang
aneh dan sangat membingungkan itu.
Atas pertimbangan rasa tak teganya, akhimya uang 10
ribu itu diberikannya pada Oyen. Lagi-lagi anak itu memancarkan  keceriaan  kembali  dari  raut  wajah kumelnya.  Setelah  menerirna  uang  terstbutt  Oyen  pun pergi dengan berlari girang. Ia tak menghiraukan seruan Sandhi yang mengharapkan agar ia tetap di situ sebentar, karena ada beberapa pertanyaan yang ingin diketahui jawabannya. Oyen pergi sebelum Sandhi sempat bertanya: apakah benar Oyen jalan kaki, siapa yang menjadi orang tua  anak itu  sebenamya dan dimanakah fempat tinggal Oyen bersama keluarganya?
   "Aah, masa' bodoh-lah... !" Sandhi membuang rasa penasarannya dengan desah panjang. Kemudian, bergegas pergi meninggalkan lampu merah. Menuju kantornya Zus Rifa. Kali ini ia terpaksa agak ngebut supaya saat tiba di sana Zus Rifa masih ada di kantomya.
   Namun, kesibukan jam pulang kantor membuat jalanan semakin padat, dan Sandhi tak dapat ngebut sesuai yang dtharapkan. Bahkan lima menit kemudian ia terjebak kemacetan  lagi  di  persimpangan  pintu  kereta.  Antrian mobil  berderet  panjang.  Sementara  mobil  di  belakang BMW hijau giok itu temyata juga sudah antri panjang. Sandhi tak bisa bergerak ke arah mana pun. la seperti
tergencet antrian depan-blakang.
   "Wah, gawat nih.  Bisa lewat jam  enam baru  sampai kantornya Zus Rita. Hhmm, sebaiknya aku telepon Kumala dulu, biar dia..." Kecamuk hati Sandhi terhenti seketika. Seperti  ada  yang  menyumbat rongga  suaranya. Namun, seketika itu juga mulutnya ternganga melongo, matanya memandang tak berkedip.
"Astagaaa... ??!"
Cukup lama mulut Sandhi terperangah, karena ia sama
sekali tak menyangka bahwa di kemacetan ini pun ia temukan si gadis kecil berbadan kurus dekil sedang mengamen dengan alat sederhana.
"Oyen .... ?! .. Benar itu Oyen lagi?!"
   Suaranya mendesah penuh keheranan dan keraguan. Kaca pintu pun segera diturunkan. Gadis kecil berpakaian merah lusuh menyerukan suaranya yang serak di samping mobil sedan warna silver, dua mobil di depan Sandhi. Dengan menurunkan kaca mobil, kini Sandhi semakin jelas dan yakin bahwa anak itu adalah Oyen. Lima menit yang lalu  ia  temukan  di  tempat.  kemacetan cukup  jauh  dari tempat yang sekarang.
   "Bagaimana dia bisa sampai ke sini dalam waktu lima menit ? Tempat yang tadi sangat jauh jaraknya dari sini Nggak mungkin dia bisa menempuhriya dengan jalan kaki secepat ini. Nggak mungkin!"
   Anak itu pindah ke mobil berikutnya setelah di mobil silver ia tak digubris sama sekali oleh penumpangnya. Ketika ia pindah ke mobil berikutnya, pandangan matanya sempat berbenturan dengan tatapan mata, Sandhi. Anak itu  berhenti  melangkah,  seperti  terpana  melihat  Sandhi ada di situ. Tangan Sandhi pun melambai kepadanya. Anak itu segera menghampiri Sandhi dengan sedikit berlari.
"Kamu Oyen?" "Iya, Oom,"
   "Bukankah kamu tadi ngamen di lampu merah sana, jauh dari tempat ini ..?"
"Iya, Oom."
   "Tapi kenapa kamu bisa cepat sampai sini? Naik apa kamu?" Terbungkam mulut Sandhi Bergumam dalam hati
"Jalan kaki?
"Apa benar ?"
Oyen  diam  menunduk,  tapi  matanya  sempat  melirik
ketangan Sandhi, sepertinya ia sedang berharap mendapat uang  lagi  dari  Sandhi.  Gerak-gerik  itu  diketahui  oleh Sandhi, sehingga Sandhi merogoh sakunya mengeluarkan uang yang terdiri dari beberapa lembar ribuan serta lembar lima ribuan. Namun gerak tangar Sandhi terhenti sesaat lantaran terpotong oleh munculnya kecurigaan baru.
"Kamu dikoordinir oleh seseorang ya?"
Oyen  menatap  dengan  wajati  lugu  namun  terkesan
bingung, tak paham maksud ucapan Sandhi
"Oyen dipaksa orang lain untuk ngamen? Apakah ada
yang bawa kamu ke sana-sini pakai mobil?" Oyen menggeleng. Lalu, ia bersuara lirih: "Belum pernah...
"Belum pemah disuruh orang untuk ngamen?"
"Belum pemah naik mobil." "O0000..."
   Tiba-tiba  terlintas  gagasan  nekat  di  benak  Sandhi. Entah  mengapa  ia  tiba-tiba  punya  ide  untuk  membawa
Oyen jalan-jalan merasakan kenyamanan mobil mewah itu. Tanpa  ragu  sedikit  pun  Sandhi  menyuruh  Oyen  untuk
masuk ke dalam mobil lewat pintu belakangnya.
"Masuklah. Kita jalan-jalan sebentar. Nanti Oom antar
kamu ke sini Yuk, naik... !"
   Anak  itu  pun  tanpa  keraguan  sedikit  pun  langsung masuk  ke  mobil  dengan  wajah  berseri-seri  kegirangan.
Sandhi menyuruhnya pindah kejok depan. Anak itu tanpa ragu juga pindah kejok depan tak peduli kakinya yang kotor
menginjak apapun yang ada di depannya. Setelah duduk di depan,  anak  itu  tertawa  cekikikan.  Seolah-olah  merasa
bangga bisa duduk di dalam sedan mewah, meski pun saat itu mobil baru mulai bergerak pelan menuju perlintasan
jalan kereta api.
"Kamu tinggal di mana, Oyen?"
   Anak itu tidak menjawab. Agaknya memang ia tak mendengar suara pertanyaan Sandhi la sibuk ,  tertawa- tawa teruss sambil memandang sana-sini dengan perasaan kagum dan bangga.
"Kamu suka dengan mobil ini?"
Oyen mengangguk malu. Gerak kegirangannya terhenti .
"Kamu tinggal di mana, Sayang?"
Oyen  menggeleng,  wajahnya  mulai  melentur  duka.
Mungkin itu jawaban bahwa dia tak punya tempat tinggal yang tetap. Sandhi menarik napas menahan haru.
lbumu...?"
Oyen menggeleng lagi.
"Oh, kamu nggak punya ibu? Bapak ada kan?"
Sekali lagi anak itu menggeleng. Rona wajah dekilnya
kian tampak membendung kedukaan yang amat dalam.
Sandhi makin trenyuh dan tak berani bertanya masalah
pribadi anak itu. Ia tak ingin Oyen makin duka karena tak tahu harus bicara apa tentang keluarganya. Sementara itu, mobil berjalan melintasi rel kereta. Keadaan jalanan mulai lancar.
   "Kamu mau ikut Oom, menemui majikan oom Sandhi? Dia orang baik kok. Namanya Kak Kumala.
   Eeh , Tante Kumala..." Sandhi tertawa sendiri. "Apa pantes Kumala dipanggil 'Tante', ya?"
la  lupakan  kelucuan itu,  kini  kembali bertanya  pada
Oyen. "Bagaimana, kamu ikut Oom menemui Kak Kumala.
Dia pasti sayang sama kamu. Mau?"
   Oyen diam seperti bingung menjawab. Tapi wajahnya diangkat dan kini ia menatap Sandhi dengan pandangan
teduh.
"Seperti  ada  sesuatu  yang  ingin  ia  katakan?"  pikir
Sandhi. "Cara memandangnya kok begini sih? Aneh. Tapi..." Terdengar suara bocah kecil itu dengan pelan tapi jelas. "Bilang sama dia, Athila sudah siap."
"Athila...??!"
"Athila Darapura."
   Sandhi terbungkam dalam kebingungannya. Pandangan mata  tertuju  ke  depan.  Remang  petang  makin mengaburkan pandangan. Tiba-tiba ia menginjak rem kuat- kuat  karena ada  yang  menyeberang jalan  secara mendadak. Ciit ..... !! .
   "Setaaan !" teriak Sandhi melampiaskan kekagetan dan kecemasannya. Hampir saja ia menabrak seorang bocah cilik yang menyeberang jalan dengan berlari cepat..
"Hahh .. ?!"
   Mata   terbelalak   lebar,   jantung   bagaikan   berhenti sesaat. Sandhi clingak-clinguk karena Oyen tidak ada di sampingnya. Di jok belakang pun tidak ada.
Sementara semua pintu terkunci secara sentral.
"Ya,   ampuuunan,..!"   sebuah   ingatan   menyadarkan
Sandhi dan membuatnya semakin tegang.
   "Bukankah  tadi  yang  hampir  kutabrak  adalah  gadis kecil mengenakan rok merah lusuh?! Bukankah tadi yang hampir kutabrak adalah... si Oyen?!"
Matanya yang melebar itu mencari ke seberang jalan,
namun bocah yang  hampir ditabraknya itu  tidak ada  di sana. Di mana-mana pun tidak kelihatan. Sementara di jok samping kirinya yang ada hanya, kecrekan dari tutup botol. Benda  itu  adalah  sarana  mengamen bagi  Oyen,  namun Oyen sendiri pergi tanpa diketahui bagaimana caranya keluar dari mobil.
   "Pasti  dia  bukan  bocah  biasa!  Duduk  di  sampingku, tahu-tahu hampir ketabrak mobil ini, 000hh... jelas sudah! Oyen   bukan   bocah   gelandangan.   Lalu,   siapa   dia   ? Darimana  asalnya  anak  itu?  Apa  maksidnya  dia  bilang Athila  sudah  siap?  Apakah  dia  sendiri  yang  bernama Athila? Tadi ngakunya bernama Oyen? Duuh, bulu kudukku kok jadi merinding, ya?"
Sandhi    segera    meraih    handphone,   menghubungi
Kumala yang masih menunggunya di kantor

***
3

   PELITA malam mulai tampak di balik awan putih. Hanya separoh rupa yang terlihat, namun bisa dipakai untuk menerangi sebagian bumi. Warna malam pun menjadi pucat. Mengandung makna romantis dan mistis.
Di sudut jalan pertokoan.
   Suasana sepi telah melengang, Mungkin, karena sudah lewat dari Pukul l 0 malam. Tentu saja sudah tidak ada toko yang buka. Tidak ada aktivitas bisnis seramai siang hari. Hanya beberapa warung tenda yang masih buka, dan yang sebentar lagi pasti akan tutup.
Keramaian  lokal  memang  ada.  Letaknya  di  sudut
trotoar menuju pasar tradisional. Ada pangkalan ojek  di sana. Ada sekelompok orang bermain Judi kartu. Tak jauh dan  kelompokpenjudi katu  itu  ada  warung  jamu  seduh
,warung minum kecil. yang dijual bukan hanya minuman
kopi  atau  susu,  tapi  juga  ada  minuman  semi  alkohol; anggur dan ginseng. Bisa bikin mabuk. Tapi banyak peminatnya juga, lantaran banyak orang yang ingin mabuk. Terutama para preman, baik yang punya tato atau yang cuma punya panu.
Heningnya  malam  membantu  kerasnya  suara  kartu
gaple   dibanting.   Kadang   tawa   dan   makian   mereka terdengar jelas pula. Bahkan langkah kaki seorang pemuda yang berjalan menyusuri trotoar toko juga terdengar sedikit menggema. Tampaknya pemuda berperawakan sedang itu memang sedang mencari sesuatu. Gerak-gerik matanya,terkesan sibuk, walau sikapnya tampak tenang. Tapi tampangnya yang cenderung blo' on dan terkesan udik itu membuat banyak orang yang suka meremehkan dirinya.
Para  pemain  kartu  yang  dihampirinya  juga  bersikap
cuek ketika ia bertanya tentang tempat nongkrongnya para pengamen liar Di situ ada empat orang yang bermain kartu, dua orang lagi hanya melihat dalam posisi berdiri di belakang para pemain kartu. Enam orang yang ada di situ rata-rata bertampang kriminal.
   "Maaf , ada yang tahu tempat mangkalnya para pengamen nggak?"
Pertanyaan itulah yang tidak digubris sedikit pun oleh
mereka. Sekali lagi pemuda berambut kucai itu bertanya dengan pertanyaan yang sama.
   "Maaf Bang... saya mau numpang tanya,di sekitar sini katanya  ada   tempat   mangkalnya  para   pengamen,  di
sebelah mana, ya?".
Salah  satu  orang  yang   main  kartu  mulai  merasa
terganggu dengan kehadiran pemuda berjaket hitam itu. ia menegur dengan nada galak.
   "Lu siapa sih?! Ngapain tanya-tanya soal itu sama kita- kita orang ?!"
   Satu lagi menimpali, `udah jalan sana, jangan ikut nongkrong di sini !" Orang, yang tepat berseberang arah
dengan pemuda berjaket hitam itu segera berdiri penuh emosi. "Eh, lu mau pergi nggak dari sini ?! Pergi nggak lu?!
Ntar gue timpa baru tahu rasa lu, ya?!"
Pemuda berjaket hitam bertampang culun itu terpaksa
mundur: Tapi ia sempat tersenyum tipis, lalu melangkah pelan-pelan  meninggalkan  mereka  menuju  ke  warung jamu. Ada dua orang tukang ojek sedang minum jamu di sana.
   Sedianya si pemuda berjaket hitam ingin bertanya pada kedua tukang ojek tersebut, namun semua perhatian orang sudah lebih dulu terpancing ke arah kelompok pemain gaple. Karena, dari sanalah datangnya. jeritan dan teriakan keras yang sangat mengejutkan, yang membuat setiap orang merasa ingin tahu penyebabnya.
"Ada apa?! Kenapa mereka itu?!" kedua tukang ojek
saling bertanya.
"ya,  ampuun.... ?!"  pemilik  warung  jamu  terperangah
setelah ikut memandang ke arah yang sama.
Enam orang yang berada di tempat judi kartu itu saling
berteriak, dan berhamburan, menyebar ke berbagai arah. Tak jauh dari tempatnya semula. Mereka sangat panik setelah mengetahui kepala mereka berasap. Dari lubang
hidung, telinga, mulut, bahkan mata, mengeluarkan asap putih yang makin lama semakin tebal.
Bahkan     dari     sela-sela     rambut     mereka     juga
mengepulkan asap putih, seperti asap rokok yang makin lama semakin banyak. Mereka menyangka diri mereka terbakar. Karena mereka merasakan hawa panas yang cukup menyengat. Hawa panas itu dirasakan-muncul dari dalam dada mereka, lalu menyebar ke sekujur tubuh.
"Tol000ng, air...!
   Keenam orang tersebut memiliki seruan yang hampir sama, yaitu air. Spontatitas mereka mengatakan, rasa panas di sekujur tubuh dapat dipadamkan dengan air. Lelaki gemuk yang tadi mencari plastik buat alas tidur anaknya,  segera  datang  dengan  membawa  air  dalam ember plastic ukuran kecil. Ia guyurkan air itu ke tubuh salah seorang yang mengalami-keanehan tersebut.
Byuuuurrr...
   Ternyata air tidak membuat asap aneh berhenti mengepul.  Kepala  mereka  masih  tetap  mengeluarkan asap, dan rambut mereka mulai keriting akibat hangus terbakar pelan-pelan. Semua  prang  yang  ada  di  sekitar tempat itu ikut menjadi panik: Semua orang terhêran•heran.
   "Api dari mana sih kok bisa membakar tubuh mereka?!" "Mana  gue  tahu.  Yang  gue  lihat  tadi  mereka  teriak bersamaan   dan   kepala   mereka   sudah   mengeluarkan
asap."
"Kalau toh mereka terbakar kok bisa bersamaan, ya?!" "Lagi  pula  nggak  ada  percikan  api  sedikit  pun,  tapi
kenapa kepala mereka masih mengepulkan asap terus?"
   "Ya,, ampuuun... ! Lihat si Salman itu?! Kepalanya jadi perontos karena semua rambutnya hampir habis terbakar!" "Iya, ya?! Anehnya, kenapa cuma kepala mereka yang mengeluarkan  asap?  Kenapa  perut,  dada,  dan  tubuh
lainnya nggak ada yang berasap ya?!"
Mereka sibuk mengguyurkan air dari mana saja yang
mereka dapat. Tujuannya untuk menyelamatkan keenam
orang itu agar tidak mati terbakar. Semua orang memang panik  dan  kebingungan.  Hanya  pemuda  berjaket  hitam yang  tetap  tenang.  Berdiri  di  sarnping  tenda  pedagang jamu seduh: Ia memandangi kepanikan orang dengan senyum lebar. Kadang diiringi tawa,kecil tanpa suara yang membuat badan bergerak.
Tidak jauh dari warung jamu, ada pasir sisa bangunan.
Pemuda berjaket hitam mengambil segenggam pasir, lalu ia menyebarkan pasir ke udara, ke arah keenam orang yang mcngalami keanehan itu.
   Wuuurfss'... !  Tindakannya itu  tidak'ada yang  melihat karena  semua  perhatian  tertuju  pada  orang-orang  yang
mengalami    keanehan.    Setelah    menyebarkan    pasir,
pemuda berambut kucai itu meninggalkan tempat tersebut dengan tenang, sambil tersenyum lega. Tampak 'puas dengan apa yang dilihatnya.
Detik  berikutnya  setelah  penyebaran  pasir  ke  udara
dilakukan, asap-asap yang menyelimuti keenam korban berangsur-angsur pudar. Kepala mereka tidak mengeluarkan asap lagi. Rasa panas di sekujur tubuh juga hilang dalam tempo singkat.
   Tetapi rambut mereka habis  terbakar dengan aroma sangit yang khas. Keenam orang itti terkapar di s. ana-sini, dengan napas terengah; engah dan sekujur tubuh-basah kuyup akibat diguyur air oleh rekan-rekannya yang ingin menyelamatkan mereka dari-ancaman maut, mati bakar.
"Kenapa    kalian    tiba-tiba    bisa    terbakar    secara
bersamaan sih ?"
   "Nggak  tahu...  gue  nggak tahu...  sumpah! Tahu-tahu badan gue terasa panas seperti kesundut rokok,lalu bawa.
panas itu merayap naik memenuhi kepala gue..."
Memang tidak akan ada yang tahu; ,kecuali pemuda
berjaket  hitam.  Dialah  yang  membuat  keenam  orang penjudi kartu mengalami kebakaran gaib dalam tubuhnya. Hal. itu ia lakukan karena ingin memberi pelajaran kepada mereka yang telah bersikap semena-mena dan berani menyepelekan  dirinya.  Seandainya  tadi  salah  satu  dan
keenam korban itu ada yang peduli dan menjawab pertanyaan dengan baik,  maka  peristiwa aneh  itu  tidak akan  terjadi  Pemuda  berjaket  hitam  tidak  akan mengganggu mereka berenam.
"Rasain... Habis, lu-lu orang pada belagu sih!" ujarnya
dalam  hati"Gue  tanya  baik-baik  nggak  dijawab,  eeh... malah diusir Emang lu pikir gue ini siap'a .... ?! Maling ? Copet ? Atau apa... ?!"
Tentu   saja   tak   satu   pun   dari   mereka   ada   yang
mengetahui, bahwa pemuda bertampang blo' on yang mereka  usir  tadi  adalah  jelmaan  dari  bangsa  jin  .  Dia adalah Jin Layon yang menjelma menjadi manusia dan mengabdikan hidupnya  sebagai  `pelayan'  setianya  Dewi Ular alias Kumala Dewi. Andai saja mereka tadi tahu bahwa pemuda berjaket hitam dan berambut kucai itu adalah Buron, jelmaan Jin  Layon,  maka nyali  mereka tak  akan tumbuh sebutir pasir pun. Tak akan ada yang berani cuek dan sok galak di depan Buron.

   Malam itu adalah malam yang ketiga bagi Buron yang menjalankan tugas dari Kumala Dewi. Ia ditugaskan mencari pengamen kecil bertampang dekil sesuai laporan Sandhi   kepada   Kumala.   Menyimak   cerita   aneh   yang dialami Sandhi tentang bocah pengamen itu, Buron pun mempunyai suatu keyakinan yang sama, bahwa gadis kecil itu bukan bocah cilik biasa. Pasti dia bukan penghuni bumi ini. Pasti dia berasal dan alam lain.
"Yang jelas," kata Kumala sambil menatap Buron.
   "kita harus bisa menemukan dia, untuk mengetahui apa maksudnya menyampaikan pesan lewat Sandhi."
"Mungkinkah pesan itu  berkaitan dengan liontin dari
Zus Rifa?" sahut Sandhi dengan suara pelan tapi jelas.
   "Mungkin saja. Tapi juga ada, kemungkinan berkaitan dengan kasus lain; seperti kasus kematian Gerry di pantai." "Ya,  'semuanya memang serba  mungkin," ujar  Buron
sambil manggut-manggut pelan.
Lalu, Kumala Dewi memberikan tugas kepada Buron.
"Cari pengamen cilik itu dan bawa dia kemari,Ron!"
"Baik."
"Tapi kau hati-hati dan jangan gegabah."
   Buron menganggukkan kepala. Sebelum jelmaan Jin Layon  itu  pergi,  Kumala  sempat  menambahkan kata  di depan mereka berdua.
"Aku akan menangani kasus sepupunya Tante Gessy
itu. Malam ini juga aku akan menemui Kapolres setempat untuk minta izin bicara empat mata dengan Hilmon. Sebab, tadi  siang  aku  menemukan jejak  gaib  di  pantai  tempat peristiwa itu tetjadi."
   "Tapi tunggu dulu, kita belum tahu siapa Athila itu?! Oyen menyebutnya dua kali dan... ,"
"Aku   paham,"   potong   Kumala   membuat   kata•kata
Sandhi terputus. "Kita pecahkan misteri ini satu •persatu,
Sandhi. Setidaknya kalau Oyen bisa ditemukan Buron dan dibawa kemari, kita bisa bujuk anak itu untuk menjelaskan siapa yang ia maksud dengan nama Athila itu .."
"Ooo, ya, ya... sorry."
Kumala kembali bicara pada Buron.
"Usahakan jangan terjadi permusuhan dengan anak itu.
Percayalah, naluri gaibku mengatakan, dia punya kesaktian lebih tinggi darimu."
"Okey, aku ngerti." "Bagus."
"Aku berangkat sekarang." "Hati-hati."
   Kesaktian Buron sebagai bangsa jin segera digunakan. Dalam sekejap saja ia sudah berubah menjadi cahaya. Claap  !  Sandhi  tidak  heran  lagi  karena  ia  tahu  banyak
tentang kesaktian Buron, dan sudah terlalu sering melihat perubahan seperti itu. Ia hanya mengikuti dengan pandangan matanya ketika cahaya kuning seperti meteor kecil itu melesat menembus atap rumah tanpa suara dan tanpa getaran sedikit pun.
Itulah  awal  perjalanan  tugas  Buron  mencari  Oyen
menggunakan jalur gaibnya. Sampai tiga hari ternyata Oyen
tidak  ditemukan.  Buron  gagal  menangkap  gelornbang energi  gaib  milik  Oyen.  Ia  jadi  penasaran dan  tak  mau menyerah begtu saja.
   Maka, ia pun bekerja di luar jalur gaib, yaitu menyusuri sudut kota, sampai akhirnya ia bertemu. dengan para pemain kartu, dan terjadilah insiden usil yang membuat para pemain kartu tak berdaya.
   Sementara Buron sibuk  mencari  Oyen,  Kumala Dewi juga sibuk menangani kasus kematian yang misterius. Rupanya, kasus yang ditangani Kumala menjadi semakin pelik. Ia sempat tak enak hati kepada salah satu murid senamnya yang dikenal dengan nama panggilan: Tante Qessy.
   Janda beranak dua itu baru sebulan tergabung dalam club senam yang mempercayakan Kumala sebagai instruktur senamnya. Praktis ia kenal Kumala belum ada satu bulan. Tapi ia sangat tertarik dan kagum sekali terhadap reputasi Kumala yang sering disebut•sebut sebagai 'paranormal cantik' itu. Ia antusias sekali dengan fenomena-fenomena alam supranatural, sehingga ia menjadi cepat akrab dengan Kumala.
   Maka, dua hari yang lalu, Tante Gessy tak merasa sungkan dan tak merasa segan ketika is harus menelepon Kumala sekitar pukul lima pagi. Ia tak berpikir apakah Kumala sudah bangun atau masih tidur. Ia juga tak bertimbang rasa apakah teleponnya mengganggu privacy atau tidak..
   Suasana panik yang dihadapi kala itu membuat Tante Gessy mengesampingkan dulu etika pergaulan. Kepanikan itu timbul akibat datangnya kabar buruk tentang Hilmon yang  ditangkap  polisi  berkaitan  dengan  kasus piembunuhan sadis di sebuah pantai.
   "Hilmon sepupuku. Aku pernah berhutang nyawa pada mendiang mamanya dia: Dia sudah seperti,adik kandungku sendiri. Jadi, tolong selamatkan dia dari kasus itu, Kumala. Aku yakin dia nggak bersalah. Dia bukan tipe orang yang sadis.  Apalagi  yang  tewas  itu  teman  dekatnya.  Nggak
mungkin  Hilmon  yang  membunuhnya! ,Tolong,  Kumala:.. Selamatkan dia!"
Kumala  segera  menjawab  dengan  tenang  dan  tetap
sopan. 'Tante' Gessy, mohon maaf. . posisi saya saat ini masih di Singapore. Bukan di Jakarta."
"O0000h, di Singapore ?!"
"Ya.  Ada  urusan kantor. yang harus saya selesaikan'
Mudah-mudahan nanti siang bisa selesai . Paling lambat besok. Tante tidak perlu panik. Saya akan bantu Tante sepulang dari sini."
   Janji itu bukan janji murahan. Setiap janji selalu ditepati oleh Kumala:. Maka, ketika paranormal cantik bertubuh
sexy ltu pulang dari Singapore, ia langsung menghubungi
rekannya yang dinas di kepolisian, yaitu Sersan Burhan. ia mulai mempelajari kasusnya Hilmon setelah banyak mendapat inforniasi dari Sersan Burhan. Terutama mengenai  pengakuan  Hilmon  sehubungan  dengan kematian Gerry di pantai.
Dari    hasil    penyelidikan    awal    di    TKP,    Kumala
menemukan jejak gaib yang tidak bisa ditemukan oleh setiap orang, bahkan yang sulit dipahami oleh pihak kepolisian. Jejak gaib itu.berupa lapisan semacam lilin yang bertebaran menyatu dengan pasir pantai. Lapisan itu menurutnya adalah  energi  gaib  yang  mengkristal. "Bang Burhan, anak  buah  Abang  menaburkan pasir  di  sini  ke tempat yang berair. Supaya jelas, kita butuh air seember kecil."
"Air laut apa air tawar?" "Sama saja."
Anak   buah   Sersan   Burhan   berhasil   mendapatkan
ember plastik  kecil  dan  diisi  dengan air  laut  yang  ada. Kemudian Sersan Burhan mengambil pasir segenggaman. Pasir itu.dimasukkan ke dalam air ember sesuai perintah Kumala.
   "Ooh,  pasirnya  ngambang.  Nggak  mau  tenggelam?!" gumam Sersan Burhan bernada heran.
"Coba-pasir  yang  ngambang  itu  diambil  lagi.  Pakai
sendok aja, Bang. Ada sendok nggak?"
"Ada, Mbak!" seru anak buah Sersan Burhan.
Dengan  menggunakan sendok  plastik  yang  diambil  .
dari doos nasi Padang, Sersan. Burhan Menyerok pasir•pasir tersebut. Mereka memperhatikan dari jarak sangat dekat.
"Kok pasirnya kering?! Nggak basah sedikit pun?!'
   "Berarti pasir-pasir itu terkena lapisan anti basah. Lapisan itu adalah energi gaib yang mengkristal. Jadi, saya yakin, pelakunya pasti memiliki kekuatan gaib yang cukup besar dan sangat berbahaya. Saya rasa, penghuni bumi ini nggak ada yang memiliki kekuatan gaib itu,
Bang ... !"
   Sersan Burhan manggut-manggut: Mempercayai keterangan Kumala, karena selama ini Kumala sering membantu pihak kepolisian untuk menemukan rahasia suatu kasus yang berkaitan dengan dunia mistik. Dan, selama ini keterangan Kumala selalu benar serta terbukti. Tetapi, bagi pihak kepolisian yang belum tahu banyak tentang siapa Kumala Dewi, dia tidak akan mudah percaya begitu saja.
   Salah satu diantaranya adalah Kapolres tempat Hilmon diamankan. Padahal sersan bertampang ganteng itu sudah menjelaskan  melalui   HP   saat   berada   di   TKP,   tetapi Kapolres yang bersangkutan menyatakan masih butuh waktu   untuk   mempelajari  jejak   gaib   yang   dirnaksud. Artinya, Hilmon tidak bisa dilepaskan dari penahanamiya.
   "Maklum, dia  Kapolres baru. Pindahan dari Kupang," bikin   Sersan   Burhan   menyatakan   keprihatinann   ya terhadap keputusan sang Kapolres .
   Kumala Dewi tetap tersenyum manis dan berkata,- "Yaah,  wajar  kalau  dia   belum  mempercayai  keadaan seperti ini,- Bang. Mungkin saya perlu menghadap dan menjelaskan, kondisi yang sebenarnya.. Barangkali beliau butuh perkenalan din saya..Bagaimana menurut Abang?". .
."Ya,  itu  bagus!  Aku  siap  dampingi  kamu  kesana
Kapan?"
   "Sekarang saja!" desak Tante Gessy yang ikut menyaksikan olah TKP saat itu. Ia terkesan tak sabar, ingin cepat selesaikan masalah itu agar sepupunya terselamatkan. Tapi, sayang... handphone Kumala berdering.Telepon dari kantor.
   Rencana, menghadap Kapolres siang itu terpaksa batg. Kumala hams kembali ke kantor, karena ada dua tamu asing yang sudah datang dan ingin mengadakan meeting dean Oftala.dan stathya. Namur, siang itu Kumala sudah sempat bicara dengan Kapolres sekedar perkenalan singkat, sekaligus minta waktu untuk bertemu. Kapolres barn bisa ditemui nanti malam, usai acara syukuran yang diadakan di kantornya .
   Maka, malam harinya, setelah Kumala menugaskan Buron untuk mencari ia pun pergi menemui Kapolres. Ia pergi berdua dengan Sandhi. Sementara itu, Tante Gessy berangkat dari rumabnya langsung ke Polres dan akanbergabung denan Kumala di sana.
"Bisa lebih cepat lagi, San?"
   Pertanyaan yang terlontar dengan suara pelan dan tenang itu membuat dahi Sandhi berkerut. Ia menangkap isyarat tak beres pada diri Kumala. Sebab, biasanya Mika gadis  cantik  jelda  itu  menyuruhnya lebih  cepat,  dengan sikap tenang dan tidak banyak bicara, maka pasti ada sesuatu  yang  tidak  beres  di  tempat  tujuan  nanti;  atau dalam perjalanan itu  sendiri.Tirasat tak  beres itu  hanya bisa dirasakan oleh Kumala. Sandhi tak memilikinya. Wajar saja, karena Kumala anak dewa. Ia bukan hanya memiliki kepekaan indera keenam saja, tapi juga memiliki kesaktian setara dewa-dewi asli Kahyangan.
   Maka, meski pun Sandhi menambah kecepatan mobilnya, ia tetap bertanya tanpa harus memandang Kuniala yang duduk di jok samping kiri..
"Ada apa? Bisa kau jelaskan?"
Kumala diam seperti tak mendengar suara Sandhi. Duduknya bersandar santai. Pandangan matanya lures
ke depan.
   "Ada yang nggak beres ya?" desak - Sandhi karenaitati penasaran.
"Ake mendengar suara gemuruh dari tadi. Makin lama
makinjelas seperti bangunan runtuh. Aku khawatir ada... " Entah kenapa kata-katanya sengaja dihentikan sampai di situ. Seperti ada keraguan di hati Kumala untuk menlanjutkannya. Sandhi mendesaknya.
"Apa yang .kamu khawatirkan ? "
Mulut berbibir ranum sensual itu masih terkatup rapat.
Sandhi tak sabar menunggu jawaban terlalu lama. "Suara gemuruh itu suara apa sebenamya?"
   "Nggak jelas. Baru saja aku mencoba mengejar suara itu, tapi nggak berhasil mengenali jenisnya."
   Kumala Dewi menarik napas panjang. Lalu, dihembuskan dengan  tetap  tenaug  seperti  tadi.  Namun
sebagai orang yang sudah terbiasa mendampingi Kumala, Sandhi dapat 'mengartikan tarikan napas dan sikap tenang
seperti itu. Ada sesuatu yang meresahkan hati sang putri tunggal  Dewa  Permana.  Keresahan  itu  disembunyikan
rapat-rapat agar tak menimbulkan kecemasan bagi pihak lain.
   Handphone bordering. Kumala cepat Menyambut,"Ya, Bang. Aku masih dalam perjalanan. Sebentar lagi sampai."
   Sandhi tahu, peneleponnya pasti Sersan Burhan yang dipanggil Bang oleh Kumala dan yang seglang menunggu
kedatangan Kumala di Polres yang mereka tujti. Munglclit juga. Sersan Burhan sudah-bersama-sama Kapolres sejak
beberapa menit yang Jalu, sangat mengharapkan kedatangan Kumala secepat mungkin. Barangkali Pak Kapolres sudah mau pulang.
   Tapi dugaan Sandhi ada benamya, ada tidaknya. Penelepon itu memang Sersan Burhan. Namun, masalah yang dibicarakan bukati mengenai Pak Kapolres mau buru- buru   pulang.   Dari   pembicaraan   tadi,   Sandhi   dapat menduga ada kejadian yang cukup menegangkan di sana.
"Tidak ada? Maksudnya tidak ada bagaimana, Bang?
Hilmon; . sejak kapan? Terakhir kali petugas melihatnya,
kapan? Sepuluh menit yang lalu? Ooh... ? Sudah dilakukan pencarian; di sekitar situ, Bang ? hmm..... ya, ya..."
Selesai  mematikan  HP  nya,  Kumala  berkata  kepada
Sandhi.
"Hilmon hilang dan ruang sel nya."
"Hilang? Maksudnya... dia melarikani diri?"
"Belum  jelas.  Sepuluh  menit  yang  lalu  para  petugas
tahanan masih melihat Hilmon duduk melamun di dalam selnya. Pintu sel juga tetap dalam keadaan terkunci. Tapi, baru saja petugas memergoki sel itu kosong. Tanpa ada kerusakan apapun di dalamnya. Pintu jeruji besi tetap terkunci tanpa  ada  yang  patah.  Pokoknya, semua  tetap rapi."
   "Nah, lu... Misterius sekali nih Bagaimana caranya Hilmon  bisa  lenyap  dari  dalam  sel  ya?"  Sandhi  seperti bicara pada diri sendiri.
"Rupanya suara gemuruh yang  kudengar tadi adalah
saat-saat kepergianHilmon," Kumala pun seperti bicara pada dirinya sendiii.
   Baru saja mobil Kumala tiba di kantor Polres, di belakangnya menyusul mobil Tante Gessy yang segera parkir bersebelahan dengan BMW-nya Kumala. Rupanya di petjalanan tadi Tante Gessy sudah mendapat kabar dari Sersan Burhan melalui HP-nya, sehingga , begitu bertemu dengan  Kumala,   ia   langsung  menanyakan  kebenaran kabar tersebut.
"Apa benar Hilmon kabur dari sel nya?! Dia itu anak
baik-baik. Nggak mungkin dia melakukan kejahatan seperti itu. Dia bukan pengecut, Kumala. ".
"Tenang, Tante. Tenang." Kumala menenangkan emosi
Tante Gessy yang selalu menyanjung Hilmon dalam setiap kepanikannya.
   Pada saat itu, tiba-tiba langkah kaki Kumala terhenti dan  matanya  yang  indah  itu  memandang  ke  sana  •sini
dengan gerakan cepat. Sandhi yang ada di belakangnya mulai curiga.
"Ada apa ? " tanyanya pelan.
   "Aku  merasakan  getaran  aneh  di  sekitar  sini?!  Ada energi hitam yang baru saja kabur meninggalkan daerah ini"
   "Energi hitam apa?!" sahut Tante. Gessy dengan dahi berkerut tajam. Ia mulai dihinggapi rasa takut dan kecemasan yang semakin besar.

***
4

   ENERGI hitam adalah enegi kematian. Dapat pula diartikan sebagai energi dari alám kubur. Tapi bisa juga diartikan sebagai bentuk kesaktian yang dimiliki penghuni alam kegelapan. Ilmu hitam atau black magic adalah kekuatan gaib yang sepenuhnyá menggunakan energi hitam, dan sangat terkenal di kalangan para mistikus.
Penjelasan  singkat  itu  diberikan  Kumala  di  depan
beberapa   petugas   kepolisian   yan   sedang   memeriksa kondisi sel tahanan Hilmon. Bapak Kapolres juga ada di situ, ikut mendengarkan keterangan Kumala.
"Melihat keadaan di sini tidak ada  yang berubah,  tidak
ada  yang  rusak,  maka  saya  yakin  ada  kekuatan  energi
hitain yang masuk kemari dan membawa  pergi HIlmon"
"Apa tujuannya?" tanya Bapak Kapolres.
   "Kita belum  tahu  apa tujuanñya, karena belum tahu siapa pemilik energi hitam itu. Yang jelas energi itu mampu
menembus    dinding    penjara    ini,    karena    dia    tidak
membutuhkan  lubang   sekecil   apapun,"   seraya   Kumala
mmegang salah satu sisi diiding kamar sel.
"Dari mana arah datangnya energi hitam itu?"
"Dari   arah   selatan.  Makanya,   saya   tadi   mencoba
mengejarnya ke arah selatan, tapi kehilangan jejaknya di penjalanan. Karena itu saya putuskan segera kembali ke sini sebelum suasana mistisnya pudar. Siapa tahu saya bisa temukan tanda-tanda gaib yang tertinggal di sekitar sini."
   Bapak Kapolres manggut-manggut penuh antusias. Mulanya beliau.memang kurang percaya dengan kemampuan gadis berlesung pipit itu, meski pun beberapa anak buahnya ada yang memberikan informasi tentang reputasi Kumala Dewi selama ini.
Namun  setelah  tadi  Kumala  Dewi  tahu-tahu  lenyap
begitu masuk  ruangan sel  tersebut, dan  kelenyapan itu secara tidak disengaja terjadi tepat di depan matanya, maka pria bertubuh agak gemük itu hanya bisa tercengang
tanpa beredip dan tanpa bersuara. Padahal sejama ini ia selalu  mengklaim cerita  yang  bermuatan mistik  sebagai sebuah tahayul yang direkayasa uñtuk kepentingn pribadi seseorang.
Sayang terlalu cepat tadi Kumala berubah wujud. Bapak
Kapolres tidak sempat melihat secara detil perubahan Kumala saat menjadi seberkas sinar hijau kecil berbentuk seperti  naga.  Pada  saat  séperti  itulah  Kumala menggunakan kesaktian dirinya  sebagai Dewi  Ular  yang disegani para pengbuni alam gaib.
   Sinar hijau kecil tadi melesat sangat cepat, menembus atap hingga lenyap dikegelapan malam. Sebegitu cepatnya
gerakkan  sinar  sakti  Dewi  Ular,  hingga  takt  ertangkap
penglihatan mata manusia biasa.
Sebenarnya sinar hijau itu bukan lenyap begitu saja,
namun menembus lapisan dimensi gaib yang dihuni makhluk-makhluk kasat mata. Tidakan itu dilakukan Dewi Ular  untuk  mengejar  si  pemilik  energi  hitam  yang  ia rasakan membekas di ruangan sel beruküran sempit itu. Dengan menyusuri jejak energi hitam yang ada ia berharap dapat menemukan pemiliknya. Namun, harapan itu kandas lantaran sisa getaran dari energi hitam itu putusdlitengah jalan: Hilang entah kemana.
   "Tinggi  juga  ilmunya?"  gumam  Dewi  Ular  saat kehilangan    jejak..    "Aku    curiga    pasti    didalangi    para
penghuni Istana Hitam, anak buahnya si Lokapura. Hmmm, sebaiknya   aku   kembali   dulu   ke   sel   untuk   mencari
kemungkinan adanya jejak lain yang bisa kugunakan untul mengenali pelakunya. Memang aneh. Kenapa ada pihak yang maunya menculik Hilmon, ya? Apa alasannya?"
   Kumala Dewi muncul kembali di dalam sel tersebut. Tak seorang pun yang ada di situ mengetahui tanda-tanda kedatangannya. Ia  tahu-tahu  sudah  berada  di  belakang Sersan Burhan, membuat Bapak Kapolres dan anak biiah lainnya tersentak heran.
Tapi bagi Sersan Burhan hal itu sudah bukan sesuatu
yang    aneh,    karena    ia    sudah    sering    berpetualang
membongkar kasus kiiminal bermuatan misteri bersama- sama dengan Kumala. Ia sudah sering melihat kesaktian Kumala yang diakui sañgat dahsyat serta mengagumkan sekali itu.
"Bagamana, ada jejak lain yang tertinggal di sini?" tanya
Sersan Burhän kepada Kumala. .Tampaknya Bapak Kapólres yang  sudah mempercayai kemampuan Kumala saat itu juga menunggu jawaban dari pertanyaan Sersan Burhan.
   "Kayaknya sudab  nggak ada  jejak lain. yang  tersisa  di sini, Pak," kali ini Kumala menjawab dengan  sopan,  karena
ia harus menghormati posisi Sersan Burhan di depan anggota polisi lainnya: Jika tidak ada yang lain, .Kumala tidak memanggil Sersan  Burhan dengan  sebutan "pak?, melainkan  cukup  dengan   sebutan "bang?. sebagai tanda keakraban yang familiar.
"Jadi menurut  Anda pelaku yang membunuh almarhum
Gerry itu bukan Hilmón?" tanya Bapak. Kapoires.
"Bukan, Pak. Pelakunya  bukan manusia biasa. Seperti
halnya  pelaku  yang  menculik  Hilmon  dari  sel  mi,  juga
bukan manusia  biasal"
   "Ya,    ya..    saya    paham     sekarang.   Hilmon   harus dibebaskan dari kasus  itu, tapi dia harus bantu kami? untuk
memberi keterangan secara lengkap. Aah, sayang sekali dia menghilang. Apakah Anda masih bisa berusaha menemukan kembali pemuda  itu, Zus Kumala?"
   Senyum manis mendebarkan hati kaum lelaki itu mekar indah dibibir ranum Kumala. Gadis berkulit putih dengan
tubuh memancarkan aroma wangi yang khas itu akhirnya menjawab dengan suara tegas.
   "Sáya  tidak  berani  janji apa-apa  dulu, Pak. Tapi saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk menernukan
Hilmon, hidup atau mati."
   Ketegasan sikap itu diambilnya, karena sadar tugas dan kewajibannya sebagai putri dewa yang dibuang kebumi.
Kumala harus menjadi pelindung umat manusia dari
ancaman   maut   para   penghuni   alam   gaib,   terutama
ancaman   maut   dari   musüh   besarnya,   yaitu   Dewa
Kegelapan alias si Lokapura .
Disamping ia  harus  menemukan cinta  sejati  sebagai
password-nya untuk masuk Khayangan lagi, ia harus banyak-banyak berbuat kebajikan tanpa pamrih apapun. Oleh sebab itulah, penculikan Hilmon dan kematian Gerry secara tidak langsung telah menjadi tugas dan kewajibannya untuk membongkar misteri di dalamnya. Menghentikan aksi kejahatannya.
   Sementara itu, di bangku panjang yang ada di depan ruangan Kapolres, Tante Gessy menangis dalam dicekam duka dan kecemasãn. Sandhi berusaha menghibur duka itu, walau tak pernah berhasil membuat reda tangis Tante Gessy. Melihat tängis janda montok begitu mengharukan, maka timbul kecurigaan di hati Sandhi yang belum berani ia  ungkapkan kepada siapa  pun  Hilmon itu  sebenarnya sepupunya Tante Gessy atau... wah,jangan-jangan ada hubungan lain yang lebih pribadi? Pacarnya, káli ?!"
Kumala Dewi dan rombongan yang ada di sel tadi tiba
di tempat Tante Gessy dan Sandhi berada. Mereka ikut sedih melihat tangis Tante Gessy yang seperti kehilangan suami tërcinta. Kumala Dewi pun segera mengusapkan telapak tangan kanannya ke punggung Tante Gessy. Beberapa detik kemudian tangis itu berhenti sendiri. Dan, yang lebih mengagumkan Bapak.Kapolres adalab perubahan sikap Tante Gessy.
Dalam waktu kurang dari dua menit wanita berambut
sebahu dengan tinggi sekitar 170 centimeter itu mulai menyunggingkan senyum. Cukup manis dan menggoda iman lelaki senyumannya. Wajah itu mulai berseri-seri. Seperti tak pernah mengenal duka sebelumnya.
Bapak  Kapolres  tidak  tahu  bahwa  usapañ  tangan
Kumala tadi mengeluarkan hawa sakti yang meresap ke tubuh Tante Géssy, menyatu dengan aliran darah, dan mempengaruhi otak dan hati. Melenyapkan segala duka dan ketegangan jiwa. Membangkitkan rasä suka dan keceriaanjiwa.
     "Aku curiga," bisik Sandhi. "Jangan-jangan hubungan Tante   Gessy   dengan   Hilmon  bukan   sebatas   saudara sepupu,  tapi..."
"Hilmon memang   bukan   sepupunya,"   balas   Kurnala
membisik, karenà posisi mereka agak jauh dan Tante Gesy yang  sedang  dimintai  ketrangan  oleh  pihak  kepolisian
tentang keseharian Hilmon.
"Jadi, mereka  bukan saudara?"
Senyum tipis mekar dibibir manis Kumala.
     "Sejak ia  meneleponku  saat aku masih di Singapore, aku sudah tahü kalau dia bohong padaku. Hilmon bukan
sepupunya. Memang masih ada hubungan saudara,tapi sáudara    jauh.     Yang     jelas,     Tante    Gessy    sangat
membutuhkan   Hilmon    dalam    kehidupannya   sebagai
janda."
"Kenapa kamu diam saja kalau dia bohong padamu?" "Tiap   orang   punya   alasan  pribadi   untuk   menutupi
aibnya.  Kita   tidak  perlu  rnernbongkar  aib   seseorang. Selama  hal  itu  tidak  merugikan  kita,  biarlah  dia  tutupi
sendiri aib itu sebatas kemarnpuannya. Tapi terlepas siapa itu Hilmon, kita tetap harus membantu siapapun. yang berada dalam kesulitan. Lebih-lebih yang terancam kejahatan gaib. Harus kita selamatkan Dan, itu.adalah tugasku kan ?"
Sandhi   hanya   bisa   menggumam   pelan,   kepalanya
manggut-manggut. Matanya mengikuti gerakan Kurnala yang kembali rnenernui Bapak Kapolres dan Tante Gessy di ruang kérja sang Kapolres.
   Tiba-tiba terdengar suara dentuman keras menggema bagaikan   mernenuhi  seluruh   rongga   bumi   yang   ada.
Blegaaarrrr..!! Kontan semua polisi yang bertugas di malam itu   berhamburan   keluar   ke   halaman   depan.   Mereka
rnenyangka dentuman kerãs rnengejutkan itu adalah ledakan bom di suatu tempat tak jauh dari situ. Tetapi,
angin segera berhembus cukup kencang. Menerbangkan benda-benda ringan. Mematahkan salah satu dahan pohon
yang turnbuh di halarnan kantor polres .
   "Tenang Bang?" kata Kumala yang ikut bergegas  ke haláman.    "Itu   bukan   ledakan    born.   Ada   pertarungan dahsyat  di  alam  sana.   Lihat  di  atas   itu,  Bang?"  seraya tangan Kurnala rnenuding ke langit.
   "Iya,  ya..  . ?I?. gumam  Sersan   Burhan seraya mernandang   ke   langit.   Semuanya   ikut   melemparkan
pandangan matanya ke arah atas.
   Ada sinar merah panjang yang berpijar pijar. Langit seperti mau terbelah.
   Pernandangan itu sempat mencemaskan hati mereka: Hembusan angin juga semakin kuat. Permukaan bumi ini
bagaikan diterjang badai yang tak jelas dari  mana arah datang  nya  .Gerakan  angin  kencang  berputar,  berganti-
ganti arah.
Kedua  tangan  Dewi  Ular  diangkat  naik.  Gelombang
kesaktiannya dipancarkan melalui telapak tangan. Gelombang kesaktian iu tidak berbentuk dan tidak bersuara. Namun, jauh di atas kepalanya terlihat percikan bunga api warna hijau yang rnenyebar dan menyebar terus hingga nyaris menutup rata permukaan langit .

   Pada saat itu, hembusan angin kencang pun reda. Seperti ada yang menangkap pusaran angin dalam satu genggaman  kuat.  Angin  menjadi  tak  berkutik. Hembusannya  lembut  dan  damai  seperti  tadi.  Hanya Sandhi dan Sersan Burhan yang tahu persis bahwa yang membuat angin badai meñjadi lumpuh adalah kesaktian Dewi   Ular   itu.   Bahkan   garis   merah   di   langit   yang menyerupai tanda langit akan terbelah itu pun segera padam , lalu lenyap.
   Alam kehidupan manusia normal kembali. Beberapa pertanyaan segera dilancarkán kepada Kumala dari Kapolres dan anak buahnya. Tujuan mereka sama, yaitu sama-sama ingin mengetahui apa yang baru saja terjadi dan seberapa besár bahayanya.
"Ada    dua    kekuatan   beradu    di   alam    gaib   sana.
Sasarannya bukan  bumi  kediaman kita  ini.  Tapi  karena
masing-masing kekuatan memiliki kesaktian yang cukup - besar, maka ketika berbenturan mengakibatkan ledakan energi yang sangat besar, hingga mampu menembus lapisan dimensi kita ini
"Tapi ledakan  dahsyat itu bisa terjadi lagi, bukan?"
"Bisa," jawab  Kumala  dengan   senyum  yang  memiliki
pengaruh menenangkan hati semua  orang. "Memang bisa
terjadi, tapi... maaf, saya tadi sudah menutup lapisan dimensi kita, sehingga kalau toh terjadi dentuman seperti tadi, imbasnya tidak akan sampai menembus dimensi kchidupan kita di sini."
   Salah seorang petugas jaga menerobos masuk ke ruangan Kapoires.
   "Lapor Pak!" tegasnya  agak tegang. "Tahanan kita yang hilang ternyata sudah  ada di dalam sel itu lagi, Pak."
   "Apa. . .?!1" serentak semua  mata mëmandang ke arah bintara jaga. kemudian, mereka pun bergegas menuju ke
sel tempat penahanan Hilmon.
"Ooh. . . ?!!"
"Hilmooon. . .?! !" seru Tante Gessy kegirangan.
Hilmon sudah ada di tempat penahanannya. Kapolres
segera memerintahkan petugas tahanan untuk membuka pintu sel. Hilmon memang kembali , utuh tanpa luka apapun. Tapi ada perubahan dalam kèjiwaannya. Ia seperti orang pikun. Serba bingung dan sepertinya mengalami lemah otak. Ia  tak  mengenali Tante Gessy. lajuga tidak tahu di mana dirinya berada. Ia merasa asing dengan sel tempat penahanannya selama beberapa hari ini.
   Bahkan ketika dihujani pertanyaan dari mereka, Hilmon tak  bisa  menjawab.  Bukan  bisu.  Tapi  tak  tahu  haruss
berkata apa pada mereka.
"Maaf   boleh   saya    menanganinya   sebentar,"   kata
Kumala.  "Sepertinya  dia  mengalami  penyimpangan  jiwa
dan beku ingatan."
   Yang lain segera mundur. Hilmon hanya diam dengan mulut melongo mirip orang bego ketika dihampiri Kumala Dewi. Ia. seperti orang yang pasrah pada keadaan, mau
diapakan saja tak pernah bisa protes atau membela diri. Maka  ketika  Kumala  mengulurkan  tangannya  di  atas kepala Hilmon pria lajang itu hanya diam saja tánpa reaksi apa-apa .
"Oohh...?!" gumam  salah  seorang  anak  buah  Kapolres
yang melihat semburan cahaya tipis warna hjiau dari telapak tangan Kumala. Cahaya tipis itu menyinari kepala Hilmon.
Lama-lama seluruh kepala dan wajah Hilmon menjadi
berwarna hijau pudar. Kemudian menyebar ke seluruh tubuh,  sampai  jari  tangannya.  tampak  berwama  hijau pucat.
Beberapa  saat  kemudian  Hilmon  yang  dalam  posisi
duduk itu kepalanya terkulai, matanya terpejam. Ia seperti tertidur nyenyak dalam posisi duduk.
Tante Gessy menampakkan kecemasannya.
"Kamu apakan dia,Kumala?I"
   "Tenang,    Tante...    Dia   sedang   mengalami   proses pemulihan  jati  diri.  Tunggu  beberapa  menit,  dia  akan
terbangun dengan kondisi seperti semula. Tante nggak perlu khawatir apa-apa. Dia selamat kok."
   Sersan  Burhan  menyahut,  "Tapi  bagaimana  dia  bisa selamat sampai ada di sini lagi??
   "Pasti dia lebih bisa  menjelaskan dari  pada saya, Pak. Yang dapat saya ketahui hanya bau aneh pada tubuhnya,
seperti bau tanah lembab yang menimbun rempah-rempah busuk... itu ciri khas bau dari alam sana. bukan dari alam
kita ini. Berarti dia memang jelas-jelas baru datang dari alam sana. Dan, agaknya ada pihak yang sengaja menghapus kesadaran jati  dirinya,  supaya  ia  tidak  bisa
menceritakan apa yang sudah dialaminya di alam gaib sana."
"Berarti nanti dia nggak bisa kasih meterangan apa-apa
dong?"
"Mudah-mudahan  bisa. Saya sudah bangkitkan emosi
jati dirinya, termasuk mempertajam seluruh ingatannya".
Mereka  menunggtu. Tante  gessy  tak  sabar.  Kira-kira
kurang dari 5 menit, Hilmon mulaI sadar Ia seperti Iangun dan tidurnya. Ia langsung mengenàli siapa petugas-pètugas yang ada di situ, bahkan sempat menyapa dengan malu- malu kepada seseorang.
"Tante Gessy...... ? Udah lama datangnya?"
   "Oooh, syukurlah  kamu  sudah   normal  kembali, Sayang.!"
   Tante Gessy memeluknya, menciumi, membuat mereka saling  pandang-dengan  dahi  berkerut.  Tentunya  mereka
merasa  heran,  sebegitu  mesrakah  sang  tante  memeluk dan menciumi sepupunya?
   Hilmon segera dibawa keluar dari sel. Ditempatkan diruang   khusus   untuk   para   tamu   yang   mau   bezuk
tahanan.Ruangan itu lebih lega dari ruangan kerjanya Pak
Kapolres.
   Tak heran jika beberapa orang yang tugas dimalam itu mengerumuni Hilmon, ingin  mendengar keterangan apa: aja yang akan dikatakan Hilmon sehubungan dengan misteri kepergiannya tadi..
   Setêlah memperkenalkan diri, Kumala Dewi mulai mengajukan pertanyaan dengan tutur kata sangat hati-hati, dan terkesan sangat bersahabat. Bukan semacam interogasi penuh tekanan. Hilmon pun tampaknya menanggapi dengan senang hati dan cükup ramah.
"Jadi, waktu itu kamu sedang membayangkan kematian
Gerry?"
   "Ya. Aku menyesal sekali melihat kematiannya seperti itu, sementara aku nggak bisa menolongnya. Aku sedang
bayangkan, andai aku punya kekuatan untuk melawan setan itu, pasti sudah kuhancurkan dia"
"Maaf, setan  apa maksudnya?"
   "Vania  Mercury.  Atau  entah   siapa  nama   sebenarnya. Tapi setahuku Gerry menyebutnya  begitu: Vania Mercury..."
Lalu,  apâ  yang  didengarnya  dari  Gerry,  apa  yang
dilihatnya sendiri, semuanya diceritakan secara singkat kepada Kumala. Penuturannya itu sesuai dengan
keterangannya kepada pihak kepolisian pada saat ia
diinterogasi pertama kalinya. ini menunjukkan bahwa apa yang dikatakan Hilmon bukan sebuah cerita yang dikarang- karangnya sendiri.
"Nah  pada   waktu  aku   mikirin  itu,"sambung   Hilmon
kepada Kumala. "... tahu-tahu  ada seberkas sinar masuk ke se ku, wamanya perak seperti lampu blitz. Claap...! Aku
menggeragap  kaget.  Silau  sekali.  Tapi  beberapa  detik
kemudian padam. Gelãp. Aku  nggak  bisa lihat  apa-apa. badanku  melayang,  seperti  ada  yang  membawaku terbang."
"Berapa lama kira-kira?"
   "Hmmrn,kira-kira lima menit-lah aku merasa melayang- layang di tempat gelap. Tapi aku mendengar suara gaduh,
suara menggeram, suara tetawa Iengking dan... nggak tahu
apa lagi.Pokoknya menyeramkan!"
Hilmon bergidik, badannya terguncang sékejap.
"Setelah  melayang  beberapa saat,  aku  mulai  melihat
cahaya redup. Ternyata itu tempat yang agak terang. Tapi semuanya  yang  ada  di  situ  serba  hitam;  pohon,  batu, tanah,  daun, semuanya hitam."
"Ada bangunan seperti rumah atau sejenisnya  ?" "Hmmm, nggak ada: 0, ya... bangunan yang ada cuma
sebuah candi. Entah candi atau apa namanya, yang jelas
aku dibawa ke sana oleh sesuatu yang menentengku terbang. Di sana aku bertemu dengan Gerry yang berpakaian: serba putih dan sekujur kulit tubuhnyà juga putih seperti pakai bedak tebal. Pada saat itu aku sperti dilepaskan dari cengkeraman tangan kekar yng menèntengku terbang. Aku jatuh tepat di depan Gerry. Tapi akujuga sempat melihat wajah  orang  yang  membawaku terbang itu. Ternyata dia seorang wanita berwajah cantik. Rambutnya panjang bermahkota kecil, tapi memiliki sepasan taring menyeramkan dengan bola rnatanya yang merah menyala-nyala."
   Hilmon diam sesaat. Menerawang. Mencoba mencari- cari apa saja yang diingatnya tentang alam serba hitam itu; Kumala  Dewi  dan  yang  lainnya  ikut  diam,  menunggu
kelanjutan kata-kata Hilmon.
   "Aku  mendengar Gerry  memangiI  wanita bertaring itu dengan sebutan Nyai. Entah Nyai siapa, yang jelas saat itu
terjadi dialog antara Gerry dengàn  sang Nyai..."
   "Apa   yang   merekà   bicarakan?"   sahut   Tante  Gessy walau sekujur tubuhnya sempat merinding berkali-kali.
"Gerry  minta  agar  diberi  waktu  untuk  bicara  berdua
denganku. Tapi sang Nyai keberatan. Ia paksa Gerry tetap bicara apa perlunya denganku, setelah itu aku akan dijadikan serupa dengan Gerry. Dengan terpaksa, Gerry berkata padaku dengan suaranya yang datar dan dingin, bahwa dia sekarang sangat menyesal karena tidak mengabaikan   saranku   waktu   itu:Dia.juga   minta   maaf karena telah menunjuk diriku sebagai teman yang harus tinggal bersamanya di tempat tersebut, sehingga sang Nyai menjemputku."
   "Jadi,  dialah   yang   menyuruh   Nyai  menculikmu   dari dalam sel?"
"Sepertinya  begitu,  Tante.  Gerry  minta  teman   untuk
hidup bersamanya di alam serba hitam itu, dan teman yang
dipilih adalah  saya."
"Lalu, kau bilang apä padanya?" tanya Kumala.
   "Aku  nggak  bisa  ngomong  apa-apa.  Ternyata suaraku hilang.  Tenggorokanku kosong nggak  bisa  buat  keluarin
suara.  Yang  jelas,  aku  hanya  bisa  menggeleng  terus-
menerus, menandakan bahwa aku nggak mau hidup dengan Gerry di tempat menyeramkan itu: Geny. seperti nggak peduli dengan penolakan diriku. Tahu tahu dia pecah... "
"Pecah bagaimana?I"sahut Tante Gessy.
"Pecah   seperti  semburan  cahaya   ke  berbagai   arah,
kemudian lenyap tanpa bekas lagi. Dan, pada waktu wanita bertaring itu mau mencengkeram saya lagi, tiba-tibà ada
sekelebat  bayangan  merah  menerjangnya.  Benturan  itu
menimbulkan ledakan besar dan saya terlempar kuat-kuat. Terhempas di bebatuan. Tapi badan saya ggak terasa sakit sedikit pun."
"Dentuman itu tadi kami dengar dari sini," ujar Kumala.
   Yang lainnya jadi manggut-manggut, seakan baru mendapat kesimpulan yang pasti, bahwa dentumañ yang membuat langit seperti mau terbelah tadi akibat peristiwa yaig diceritakan Hilmon itu.
"Lalu,  wanita  bertaring   bagaimana  ?"  tanya   Sersan
Burhan  yang   tampak  paling  serius  mendengar  cerita
Himon.
"Wanita  itu,  saya  lihat  juga  terhempas  jauh,  seperti
daun kering disambar angin badai. Ketika saya mau bangkit, tahu-tahu bayangan merah itu menghampinnsaya..Temyata   dia   seorang   gadis   kecil. Sangat kecil. Usianya masih sekitar lima tahun kurang."
"Gadis kecil?  " gumam  Sandhi  yang  kemudian  saling
beradu pandang dengan Kumala. Namun mereka berdua tetap diam, meski sama-sama punya kecurigaan terhadap
gadis kecil yang mengaku bemama Oyen itu.
   "Ya,  dia  kecil  sekali.  Tapi  dia  bisa  bergerak secepat kilat.  Tahu-tahu  dia  menyambarku  dan  dibawanya  aku
pergi  dari  situ.  Cepat  sekali  gerakkannya,  sampai  aku nggak ingat apa-apa lagi, dan... tahu-tahu aku sudah ada di dalam selku lagi. Mula-mula aku merasa asing dengan sel- ku  itu,  tapi  setelah aku  tertjdur sesaat, aku  baru  ingat kalau tempat itu adälah kamar sel-ku. Dan sekarang, aku masih sangsi apakah kengerian yang kualami tadi hanya sebuah mimpi atau benar-benar terjadi?"
   "Anggap saja  mimpi,." kata Kurnala dengan  tersenyum. la berusaha mengendurkan suasana tegang yang meliputi
hati mereka semua, terutama hati Hilmon.
Kondisi yang terlalu tegang dapat membuat kejiwaan
Hilmon labil kembali.
Di sisi lain Sandhi tampak tertegun merenungi cerita
tadi. Ia penasaran ingin menanyakan pada Hilmon apakah ciri-ciri anak kedil itu sama dengan ciri-cirinya Oyen.
Karena  saat  ini  masih  banyak  yang  bertanya  pada
Hilmon, dan mereka rata-rata adalah petugas kepoIisian,
Sandhi   tak   berani   untuk   ikut-ikutan  bertanya  seperti
mereka.Ia tak ingin dapat kecaman jelek dari mereka, yang hanya akan mempermalukan Kumala sebagai majikannya.
Namun,  beberapa  saat  kemudian  Sandhi  mendapat
kesempatan untuk bertanya kepada Hilmon, yaitu ketika Hilmon minta izin untuk buang air kecil. Sayangnya di saat Sandhi ingin mengejar Hilmon, langkahnya sudah terhalang lebih dulu oleh gerakkan Kumala yang menghampirinya.
"San... nggak perlu."
   Sepertinya   Kumala   sudah   tahu   apa   yang   ingin dilakukan   Sandhi.    Akibatnya,   Sandhi   rnengurungkan
niatnya untuk mendekati Hilmon.
   "Jangan buat otak oráng-orang di sini semakin tegang dengan pertanyaanmu kepada Hilmon tentang gadis kecil
itu."
"Aku  cuma   ingin  memastikan,  apakahgadis  kecil  itu
Oyen atau..."
"Ya.  Dia gadis  kecil yang  kau  temukan  dijalanan  itu,"
sahut Kumala dengan tegas tapi bernada bisik.
"Benarkah?"
   "Aku   menangkap  adanya  kesamaan  frekuensi  gaib antara   gadis   kecil   yang   kau   ceritakan   dengan   yang
diceritakan  HiImon tàdi."
"Ooo. . . ," Sandhi menggumam  tanda  sangat  percaya la
tahu persis, kesaktian Dewi Ular sudah pasti dapat menangkap getaran gelombang gaib dari sesuatu yang terbayang dalam benak orang yang .sedang bercerita.
"Kita pulang sekarang, San. Aku mau ketemu Buron"
"Buron belum pulang dari waktu kau tugaskan itu"
   Kumala terbungkam, termenung sesaat. Seperti sedang meneropong   kedaan   Buron   saat   ini.   Dahinya   mulai
berkerut tipis, membuat Sandhi sedikit curiga dengan perubahan ekspresi wajah Kumala .
"Ada apa?" tanyanya dengan  sangat  ingin tahu.
   "Apakah  ada  sesuatu yang  rnembahayakan diri Buron atau ....."
"Yuk, kita pamit dulu ! "
Sepertinya   Kumala   menutupi   sesuatu   yang   sudah
diketahuinya,   dan   hal   itu   membuat   Sandhi   menjadi penasaran Semakin ingin tàhu, ada apa dengan Buron ?

***
5

   BURON tidak ada apa:apa. Yang ada apa-apa adalah Mak Bariah, pelayan setianya Kumala untuk urusan dapur. Perempuan berkebaya.dengan usia mendekati 50 tahun itu jarang pergi ke mana-mana. Ia hobby merawat rumah dan melakukan kesibukan dapur. Satu-satunya hiburan bagi Mak Bariah adalah nonton TV , khususnya tayngan telenovela.
   Malam  itu,  ketika  Kumala  dan  Sandhi  pulang  dari kantor polisi,mereka menemukan tubuh Mak Bariah tergeletak di lantai teras: Pingsan.
Keadaan itu  membuat Sandhi  agak  panik.  Emosinya
nyaris  meluap. Sandhi sangat  marah  kepada siapa  pun yang telah membuat Mak Bariah pingsan di teras depan rumah.
Bagi  mereka,  Mäk  Bariah  sudah  dianggap  seperti
keluarga sendiri, bukan semata-mata sebagai pembantu. Karenanya, naluri pembelaan Sandhi terbakar melihat keadaan perempuan itu terkapar dengan wajah pucat pasi dan tubuh dingin sekali.
"Kurang  ajar!  Iblis  mana  yang  telah  membuat  Mak
Bariah   sampai   seperti   ini   sih?!   Siapa   yang   berani
mengganggu dia tadi?!"
"Sudah,  nggak  perlu  mencak-mencak  begitu. ini salah
kita juga, meninggalkan  dia sendirian di waktu malam."
   Setelah membawa Mak Bariah masuk, Kumala Dewi melakukan  pemeriksaan  di  sekitar  teras:  Setiap  sudut
diperhatikan. Sampai ke sudut halaman pun diperiksanya dengan  deteksi  gaibnya.   Sesaat   kemudian  ia   masuk
menghampiri Mak Bariah dan Sandhi.
Namun  setiap  langkah  kakinya  selalu  diikuti  dengan
tatapan mata tajam ke berbagai arah.
Sandhi   menghembuskan  napas   panjang,   berusaha
membuang kemarahan dalam hatinya. Ia akui, ini suatu kelalaiannya juga. Biasanya jika ía pergi bersama Kumala, Buron  selalu  tinggal  di  rumah.  Bukan  hanya  menjaga
rumah, tapi juga menjaga keamanan Mak Bariah yang lugü, penakut, tanpa ilmu dan kesaktian apa-apa.
Malam ini tanpa disadari mereka pergi semua. Buron
pun belum kembali dari tugasnya. Mnghadapi hal itu Kumaia Dewi masih kelihatan tenang. tidak segarang Sandhi. Namun, ia tetap merasa iba dan sangat prihatin atas insiden yang dialami Mak Banah .
   Dengan menyalurkan hawà murni ketubuh Mak Bariah, Kumala berhasil myadarkan pelayannya dan mengembalikan kondisi shock menjadi nonnal seperti sediakala.
"Apa  yang  terjadi  tadi,  Mak?"  tanya  Kurnala  sambil
memijat-mijat pundak Mak Bariah. Ia duduk di samping kiri
Mak Bariah, sementara Sandhi di samping kanannya. Mereka berada di ruang tengah yang berukuran lebih luas dari ruang tamu atau ruañg yang lain.
"Saya dengar  suara  klakson mobil kita, Non. Saya lihat
dari balik gordin kaca, lampu mobil sangat terang. Saya kirain itu mobil kita, Non. Saya buka pintu, maksudnya mau bukain pintu pagar..."
   Mak  Bariah  terhenti  dari  ucapannya.  Menelan  ludah satu kali.
"Kamu buka pintu pagarnya, Mak?" tanya Sandhi.
"Maksudku mau begitu, sebab  aku yakin itu mobil kita.
Tapi  waktu  aku  sampái  teras,  sinar  lampu  mobil  jadi terang.  Terang  dan  mendekat, San.  aku  jadi  ketakutan,
karena   seluruh   halaman   rumah   jadi   sangat   terang
menyilaukan.   Lampu   terang   dan   menjadi   besar   itu
menerjangku  di teras. Wuuuss, gitu." "Hmm , terus?"
"Terus... saya  teriak, Non. Tapi suara  saya  pelan.  Saya
nggak bisa bernapas. Sekujur badan terasa dingin sekali, seperti  tersiram  air  es.  Dan,  habis  itu...  habis  itu  saya nggak ingat apa-apa lagi, Non."
   Kumala Dewi beradu pandang dengan Sandhi. Namun tak lama, karena setelah itu pandangan mata Kumala diarahkan  ke  ruang  tamu  lagi,  lalu  ke  beberapã  sudut
ruangan yang ada. Sementara itu, Sandhi bertanya dengan suara pelan kepada Mak Bariah.
"Lampu itu dari mana?  Luar pagar sana?"
"Iya. Bergerak..cepat menerjangku diteras, wwuuuss...!" "Selain suara  klakson,  apa  kamu  dengar  suara  mesin
mobil, Mak?"
   Mak   Bariah   diam   berkerut   dahi,   mengingat-ingat dengan susah payah. Lalu, menjawab dengan nada ragu. "Kayaknya;... kayaknya  iya.  Maksudku...  iya,  aku  dengar
suara  mesin.  Tapi  suaranya  menggeram  seperti  suara
raksasa."
"Seperti suara  ráksasa?!"
"Astaga? Kenapa  baru  sekarang aku ingat kalau  suara
mesin  mobil  seperti  suara  raksasa,  ya?  Kalau  tadi  aku udah ingat begitu, aku nggak akan berani keluar rumah "
   Dewi Ular diam tertegun, lalu terdengar suaranya bernada menggumam, seperti bicara pada dirinya sendiri .
"Bagaimana  mungkin rumahku  bisa  kemasukan orang
asing? Padahal sudah kupagar rapat-rapat dan cukup kuat.
Temyata masih bisa diterobos juga pagarku itu?! Hebat!"
Tiba-tiba terdengar suara perabot dapur jatuh . Gumprraaang...!!!!
"Apa tuh...?!!" sentak  Mak Bariah kaget.
   Kumala dan Sandhi melemparkan pandangan matanya kearah dapur. Namun sebelum Kumala bergerak Sandhi sudah Iebih dulu pergi kedapur dengan terburu-buru ia tak merasa takut karena ia yakin Kumala akan segera menyusulnya.
Lampu dapur yang padam itu segera dinyalakan oleh
Sandhi.  Kliik..  Pintu  dapur  yang  tidak  tertutup  rapat
didorong dengan agak kasar. Sandhi langsung tersentak mundur dengan mata membelalak lebar.
" Hahh ... ??! "
Dalam jarak kurang dari 3 meter; Sandhie melihat Oyen
duduk di mejá dapur samping kompor gas. Gadis kecil berbaju  merah  lusuh  itu  sedang  mengaduk-aduk  sayur yang  sebelumnya  sudah  dihangatkan  oleh  Mak  Bariah.
Sayur itu adalah sayur lodeh. Maka dengan tenang dan santai sekali Oyen mengambil isi sayur lalu memakannya. Ia tak terkejut atau merasa takut ketika tindakannya itu dipergoki Sandhi. Ia tetap menyantap apa yang bisa disantap dengan lahap, sebagaimana seorang bocah yang kelaparan.
"Hey...!  Tu... turun  kamu  dari  situ!" Sandhi  bermaksud
menghardik, namun suaranya lemah, napasnya pun berat. la tak bisa bersikap galak. Bahkan berdiri pun tak bisa tegak karena kedua lututnya terasa lemas. Dadanya bergemuruh  karena  detak  jantungnya  menjadi  sangat cepat. Kulit tubuhnya segera berbintik-bintik. Merinding secara serempak. Kini yang bisa dilakukan Sandhi adalah bersuara lembut tanpa emosi.
"Da... dari mana  kau masuk  kemari, Oyen ? Ayo, turun.
Nanti kamu jatuh kalau nggak mau turun. Turunlah Oyen " "Biarkan  dia,"  suara   Kumala  terdengar  Iembut   dari
belakang Sandhi.
Sang sopir pun menyingkir ke samping. Kumala Dewi
maju   selangkah,   menyunggi   ng   kan   senyum   manis, menatap dengan keramahan. Menggumam dalam hati.
"Luar  biasa  anak  ini. Deteksi  gaibku  nggak  berfungsi
sama sekali. Aku nggak bisa merasakan energi gaibnya, padahal sudah beradu muka begini? Diaseperti anak polos
tanpa kesaktian sedikit pun. Tapi kemampuannya masuk
ke mari sudah merupakan tindakan yang luar biasa Nggak mungkin cuma dilakukan dengan keberanian dan kepandaian  menyusup.  Pasti  ia  gunakan  kesaktiannya untuk menerobos pagar gaibku."
   Gadis kecil berbadan dekil masih menikmati isi sayur lodeh dengan cuek sekali.  Seolah-olah dialah si  pemilik
rumah  yang   bebas  berbuat  apa  saja.  Kumala  justru
berpaling ke belakang dan bicara pada Sandhi.
"Ambilkan dia minum"
"Hmm, minum? Ya, ya... sebentar."
Sandhi bergegas pergi untuk mengambil minuman di
meja makan. Di sàna ia bertemu dengan Mak Bariáh yang
merasa takut serta terheran-heran melihat ada gadis kecil di  dapur.  Mak  Baniah  tak  berani  mendekat  lantaran  ia takut disalahkan atas masuknya anak kecil itu ke dapur .
   "Anak Siapa itu, San ? Aku nggak tahu kapan dia masuknya."
"Ssst...,    kamu   diam   aja,   Mak.   Dia   bukan   anak
sembarangan."
   Sandhi kembali ke dapur membawakan segelas air putih. Air minum itu diserahkan kepada Kumala. Lalu, Kurnala mendekati anak itu untuk menyerahkan rninuman tersebut.
"Ini air minummu."
   Dengan sikap tak merasa bersalah sedikit pun, Oyen menerima   air   minum   yang   disodorkan   Kumala.   Ia
meneguknya setengah gelas. Setelah itu ia baru berkata
dengan suara anak-anak yang lugu dan polos.
"Sayurnya enak."
Senyum manis Kumala kian melebar.
"Mak Bariah yang memasaknya. Habiskan saja kalau
kau suka."
"Udah kenyang."
   Ia  mengusap-usap  perutnya.  Belum  mau  turun  dari meja dapur. Ia duduk dengan kedua kaki berjuntai, diayun- ayunkan dengan santai. Kumala Dewi menatapnya terus sambil mencari getaran energi gaib. Tapi tetap saja  tak menemukan getaran apa-apa dalam diri Oyen.
Tiba-tiba anak itu berkata dengan pandangan mata ke
sana-sini.
"Aku  tadi  habis  bertemu   dengan   Nyai  Sekatpitu.  Dia
akan datang lagi untuk mengambil serat-raga para lelaki bumi.  Tindakan  itu  harus  dicegah.  Kalau  tidak  dicegah nanti alam ini tanpa  kaum lelaki."
"Siapa Nyai Sekatpitu?"
Oyen masih memandang ke sana-sini seenaknya.
"Nyai Sekatpitu yaaa.. .pelayan kepercayaannya Auro "
   Sandhi berkerut dahi tajam-tajam. Ia ingat nama Auro yang pernah muncul dalam kasus yang dihadapi Kumala
beberapa waktu.yang lalu , (Baca sesial Dewi Ular dalam
episode: "MISTERI BENCANA KIAMAT)
   Bagi putri tunggal Dewa Permana itu, nama Auro sudah tidak asing Iagi. la tahu persis bahwa Auro adalah selir-mas
ätau istri kesayangannya Dewa Kegelapan, yaitu Lokapura.
Tapi  nama  Nyai  Sekatpitu  sama  sekali  baru  sekarang didengamya.
   Kini gadis kecil itu menatap Kumala tanpa sungkan- sungkan lagi.
"Kamu nggak kenal samà  Nyai Sekapitu, ya ? " "Belum ?"
"Kenalan dong."
Kumala tersenyum geli, sedikit salah tingkah.
"Yã, nanti aku akan berkenalan dengannya. Apakah dia
yag  menculik  Hilmon?  Kau  pasti  kenal  nama  Hilmon,
bukan?"
"Oo, pemuda  yang  dipenjara itu? Ya,  aku  tahu. Tapi
nggak kenal namánya."
"Tapi   kau   telah   menyelamatkan   dari   alam   hitam,
bukan?"
"Ya,  aku  selamatkan dia dari  ancaman Nyai Sekatpitu
Temánnya  sudah  jadi  korban  pengambilan  serat-raga.
Kasihan deh."
"Gerry      maksudmu?",Sandhi     memberanikan      diri
menyambar pèmbicaraa karena ia penasaran sekali, ingin mendengar kepastian dari apa yang telah diduga duganya
sejak tadi.
"Eeh,  si  Oom" Oyen  nyengir,  lucu  tapi  membuat hati
Sandhi   berdebar-debar   oleh   tatapan   matanya.   Oyen melompat  turun  dari  meja  untuk  menghampiri  Sandhi.
Ketika  kakinya  menyentuh  Iantai,  tak  terdengar  suara berdebam sedikit pun.
   Padahal jarak meja dengan lantai cukup tinggi untuk anak seusia dia.
"Oom kenal  sama   korban  yang  Oom bilang  bernama
Gerry itu ?"
Sandhi      bingung      menjawab,      walau      akhirnya
menggelengkan kepala dengan senyum kikuk.
   "Kasihan dia, Oom. Dia sudah  ngak bisa  ditolong lagi. Serat-raganya  sudah  diambil  Nyai  Sekatpitu.  Makanya,
Oom hati-hati kalo ketemu cewek cantik jangan tergoda. Nanti  bisajadi kayak  Gerry  itu  lho.  Serat-raga Oom  bisa
diambil  sama  NyaiSekätpitu,terus diberikan  untuk  Athila Oom mau serat-raganya diambil, tinggal tulang-tulangnya saja ?Mau?"
   Sekali   lagi   Sandhi   menggeleng  dengan   bulukuduk merinding.
Oyen berjalan ke arah depan tanpa basa-basi sedikit
pun. Seakan ia  berada di  rumah sendiri. Mau  tak  mau
Kumalad an Sandhi bergegas mengikuti Iangkah anak itu.
   Ternyata tempat yang dipilih Oyen adalah sofa panjang, yang tadi buat duduk Sandhi, Kumala dan Mak Bariah.
"Kau mau minum sirup manis? Atau susu panas? atau
... "


"Nggak  mau.   Aku   capek.   Habis  ngamen   seharian,"
sambil anak itu duduk bersandar dengan santai, sedikit merebah.
"Anak  jin itu mana?"  tanyanya  kepada  Kumala.  Tentu
saja yang ia maksud adalah Buron. Kumala dan Sandhi sama-sama tidak menyangka kalau Buron akan ditanyakan oleh  Oyen  Bahkan Sandhi  tidak  menyangka kalau  Oyen tahu tentang Buron.
"Dia  sedang   pergi,"jawab   Kumala   seraya   duduk   di
samping Oyen, tapi dalam jarak tak terlalu dekat.
     "Ngapain  anak  jin itu cari-cari  aku? Suruh pulang aja dia. Nanti malah dihajar Nyai Sekatpitu kalau mereka berpapasan."
"Ya,   nanti   akan   kusuruh   pulang.   Tapi   sebe!urnnya
tolong jelaskan dulu, siapa itu Athila ?"
   "Athila Darapura..  itu anaknya Auro yang baru lahir. Berarti dia anaknya Dewa Kegelapan kan? Karena, Auro
selir kesayangan Dewa Kegelapan. Auro sendiri anaknya
Penghulu Iblis yang memiliki kesaktian tinggi tapi tetap saja
kalah waktu melawan Dewa Kegelapan. Aüro hanya bisa
punya anak satu kali. Nggak akan lebih. Anak itu dikandungnya bukan sembilan bulan, tapi sembilan tahun. Karena, bayi itu terlahir dari perpaduan kesaktiannya Dewa Kegelapan  dengan  kesaktian  Penghulu  lblis  yang diturunkan kepada  Auro."
"Lancar  sekali  dia  bicara,  seperti  mendongeng saja,"
pikir Sandhi.
   Kumala masih diam,menyimak betul setiap yang dikatakan Oyen. Kini dia mulai tahü, Oyen bukan penghuni alam kegelapan. Oyen pasti penghuni Kahyangan, namun belum jelas dari ketürunan siapa.
"Bayi yang dilahirkan Auro adalah  bayi berdarah hitarn.
Baru beberapa waktu yang lalu ia lahir. Diberi nama Athila
Darapura. Bayi itu akan tumbuh dengan pesat kalau dia diberi makan serat-raga manusia, dan memang ia dicanangkan untuk turun kebumi, menjadi manusia biasa, namun ia juga mewakili Dewa Kegelapan, untuk menjadi penguasa bumi."
Mata gadis kecil itu mulai sayu. Sepertinya ia sudah
mulai   mengantuk,   sementara   mulutnya   yang   berbibir mungil agak kotor itu masih saja bertutur dengan lancar.
"Athila adalàh  ancaman maut  bagi kehidupan  di bumi.
Dia   akan   memiliki   kesaktian   yangl   ebih   tinggi   dari bapaknya, juga lebih tinggi dari kakeknya, yaitu si Penghulu
Iblis.  Makanya,  dari  sekarang  kudengar  mereka  sudah
rnenyebutnya: cucu berdarah hitam. Makanya, Auro mengutus pelayan andalañnya, yaitu Nyai Sekatpitu, untuk mencari serat-raga sebanyak-banyaknya. Semakin banyak bayinya  makan  serat-raga,  semakin  cepat pertumbuhannya, semakin bertambah kesáktiannya. Rencana itu harus digagalkan. Karena itulah, aku diutus untuk menghadang langkah Nyai Sekatpitu sebelum terlalu banyak manusia bumi yang diambil serat-raganya. Aku sendiri sebenarnya nggak beminat buat mencampuni urusan  Lokapura, tapi  karena  diutus,  yaah.. mau  nggak mau aku turun juga.."
"Maaf kalo boleh tahu, kamu siapa sèbenarnya?"
   Mata kecil itu mulai terpejam. Suaranya parau karena mulai tertidur.
"Aku...   aku..   yaaah,.   kalau   kusebut    namaku    akan
tãmpak jati diriku, tapi... tapi ngga apalah, biar kamu kenal lebih dekat lagi, ya?"
   "Terima kasih  sebelumnya," Kumala  bersikap  hormat, karena   nalurinya   mengakan,   Oyen   pasti   lebih   senior
darinya.
"Dewi  Ular...,"  Oyen  semakin   lemah  karena   semakin
tertidur,  ketahuilah,  aku   adalah,..  Asmaranada,  yang..
yang..."
   Zlaaaap...! Cahaya terang benderang terpancar dari tubuh Oyen. Cahaya itu seperti lampu mobil yang makin besar dan makin terang. Sangat menyilaukan. Cahaya seperti itulah yang tadi membuat Mak Bariáh pingsan. Bias cahaya terang yang menyentak telah membuat Sandhi dan Kumala terdorong mundur. Bahkan Kumala hampir saja jatuh  terhempas di  lantai  akibat  dorongan  tenaga  yang muncul bersamaan cahaya terang itu.
   Ketika cahaya itu padam secara tiba-tiba , Sandhi dan Mak Bariah yang mengintip dari ruang makan seketika itu juga terperangah kaget. Ternyàta Oyen sudah berubah bukan lagi sebagai gadis kecil yang dekil, melainkan sebagai sosok wanita cantik berambut panjang terurai; mengenakan mahkota hias di kepalanya. Pakaiannya dominan warna pink dengan sulaman dari benang emas berbentuk alat musik harpa.
   Cukup lama Sandhi terbelalak tanpa berkedip, karena selain  terkejut  dengan  perubahan itu  ia  juga  terkagum- kagum melihat kecantikan Asmaranada yang menyerupai wanita keraton berusia 30 tahun. Berbeda halnya dengan Kumala Dewi, begitu mendengar nama Asmaranada dan melihat perubahan wajah Oyen, ia langsung berlutut dan bersikap menghormat dëngan kepala tertunduk, badan terbungkuk.
"Mohon  ampun   jika  aku  tadi  kurang  sopan   kepada
Eyang  Putri  Dewi  Asmaranada,  karena  aku  benar-benar
tidak tahu siapa Eyang Dewi tadi."
   "Hmmm,jadi,.. sekarang..  kamu  sudah   tahu,  begitu?" suara  sang  dewi semakin  pelan.  "Tapi... apa  benar  kamu tahu siapa aku?".
   "Eyang  Dewi Asmaranada,  adalah   Dewi  Sinden, pengayom para  pesinden atau  penyanyi ..," Kumala bicara
dengan kepala tertunduk  rendah.  "Dan, kalau  tidak salah
ingatanku, Eyang Asmaranada adalah istri dari Eyang Dewa
Nathalaga,  alias Dewa Perang..."
"Hmm, ya... bener. Tapi aku ngantuk. Aku tidur..."
   Bidadari cantik seniomya Kumala itu terkulai di sofa, tertidur dengan nyenyak.
Sementara itu; Sandhi menenangkan detak jantungnya
yang tadi berdebar-debar begitu mendengar Asmaranada adalah istri Dewa Perang. Bagaimanapun sibuknya Sandhi ia tetap ingat Dewa Perang yang galak, tegas dan punya kesaktian sangat tinggi, pernah datang bertemu dengannyà dirumah itu. Dan hampir saja Buron hancur dihajar Dewa Nathalaga akibat tak tahu siapa yang dihadapinya.
   "Pantes  aja kalo Kumala langsung  ngeper  berhadapan ama dia?" ujar hati kecil Sandhi. "Pantes jugakah, dia kenal
Buron, habis suaminya Eyang Dewi ini sangat ditakuti para
jin sih."
   Keunikan dari Dewi Sinden ini adalah kemampuannya bicara  atau  pun  ngobrol dalam  keadaan dirinya  sedang tertidu rnyenyak. Sandhi sempat tertawa tanpa suara mendengar Dewi Asmaranada banyak memberi nasihat kepada Kumala dalam keadaan tidur. Sedang Kumala menanggapinya  dengan   senus,   tidak   berani   becanda sedikit pun. Bahkan gerak-geriknya pun dijaga agar tetap menghormat penuh kesopanan. Artinya, Kumala tahu ke unikan dewi yang satu ini, selain bisa ngobrol sambil tidur, ia juga bisa melihat dalam keadaan tetap tertidur
"ngomong-ngomong soal kesaktian, jujur saja kuakui..
kesaktianku akan dapat di ungguli Athilka kalau anak itu sudah tumbuh sedewasa kamu KumaIa, Karena itulah kusarankan, berhati-hatilah jika kau berhadapan dengan
Cucu Berdarah Hitam itu." "Baik Eyang .... "
"Sehebat   apapun   Athila,  kau  tetap  harus  hadapi  dia,
karena kau yang dipercaya oleh pihak Kahyangan sebagai penyelamat bumi, pelindung Umat manusia. Jangan segan- segan  menghancurkan  Athila,  demi  keutuhan  tata kebidupan  penghuni bumi ini. Ngerti?"
"Saya mengerti, Eyang Dewi .."
   Heningnya malam terasa memiliki makna sakral tersendiri bagi  para  penghuni rumah  itu.  Namun, irama
kesunyian yang ada tiba-tiba dirusak oleh suara gadüh dan
atap rumah.
Blegaaar, gubraaaakkk...!
   Kumala Dewi dan Sandhi tersentak kaget, langsung mendongak ke atas. Sementara Dewi Asmaranada tetap tidur tenang, walau muIutnya yang berbibir agak lebar namun indah itu tetap bergerak-gerak dengan suara agak parau.
"Anak   jin  itu   memang   nggak  tahu  sopan  santun,
huuhh...!"
   Dewi  Asmaranada  beringsut  sedikit,  supaya memperoleh posisi tidur yang nyaman.
Tapi pada saat itu juga sebuah benda jatuh dari atap ke
Iantai depan TV Bruuuk...!
"Buron.?!" sentak  Sandhi dengan  suara  membisik, takut
membangunkan tidurnya Dewi Asmaranada.
Buron    menyeningai    kesakitan.    Bagian    kepalanya
mengalami luka memar Hampir seluruh wajah Buron berwama biru legam. Jakët hitam yang dikenakan itu dalam keadaan compang-camping, seperti habis disayat sayat dengan senjata tajam.
"Ada apa?!". Kumala menghampiri Buron menolongnya
bangkit.   "Tapi   ia  menjaga   suaranya   juga  supaya   tidak
membangunan tidurnyá Dewi Asmaranada .
"Ouuhh, kepalaku  pecah. I Kepalaku pecaaah..!"
"Ssst..   Kepalamu   masih   utuh,   cuma   rengat   dikit?"
hardik   Sandhi   yang   ikut   mendekati   Buron..   "Jangan
berteriak. Pelankan  suaramu!?,
"Sakit    semua     badanku,     bego!    !"     Buron    justru
menyentakkan suarinya.
   Sandhi buru-buru membungkam mulut Buron. Tapi tangan itu segera disingkirkan Buron dengan nada kesal.
"Siapa yang kau hadapi?!" tanya Kumala pelan:
"Iblis  betina  bermata merah  Aku  tahu  siapa  dia  Nyai
Sekatpitu, andalannya pihak Lokapura juga. Makanya, Waktu kulihat dia berkeliaran kusikat dia. Daripada sulit nyariin si pengamen cilik, mendingan kulampiaskan stress- ku dengan menghajarnya, eeh... ternyata malah aku yang dihajarnya ? Jahanam betul diá itu! Kalau ...... "
"Ssst.  .! desis  Sandhi  benlada  memenyenta  lagi . "Ada
yang tidur tuh !"
   Karena posisi Buron membelakang sofa panjang, maka ia sejàk tadi tak mengerti.apa maksud Sandhi dan Kumala
menyuruhnya bersuara pelan. Kini setelah Buron berpaling
kebelakang  dan  melihat  wanita  cantik  dengan  pakaian khas Khayangan itu berbaring di sofa, makã seketika itu juga Buron gemetar. Wajah legamnya menampakkan rasa takut yang menegangkan.
   "Bu... bu.:.  bukankah   dia...  Nyai  Dewi  Asmaranada.,., istri dari Dewa Perang?! Hah? Benarkah dia itu, Kumala?"
"Ya. Dialah anak kecil yang sejak kemarin lusa kau cari-
cari."
   "Ddi... di.  dia...???!"  Buron  makin  rnenyeringai  ngeri. "Aduhhh. . mati aku, Mak!" -
   Buron bergegas ingin melarikan diri karena takut berhadapan  dengan  Dewi  Asmaranada.  Namun, langkahnya tertahan oleh tangan Kumala yang mencekal
lengannya.
"Tunggu  dulu.  Dimana  kau  tadi  bertemu  dengan  Nyai
Sekatpitu?"
"Di... di.. hhm,  yuk aku  antarkan aja, dari pada ku di
sini,"  seraya  melirik  Dewi  Asmaranada  dengan   ekspresi
ngeri.
Setelah berpesan pada Sandhi agar melayani segala
keperluan Dewi Asmaranada kapan saja sang dewi terbangun, KumalaDewi dan Buronpun bergegas pergi mengejar Nyai Sekatpitu. Keduanya berubah menjadi sinar. Buron berubah menjadi sinar kuning sepërti meteor kecil, sementara Kumala Dewi berubah menjadi sinar hijau berbentuk naga kecil. Kemudian mereka pun melesat menembus  dinding,   dan   lenyap   di   tengah   kesunyian malam.

***
6

   TERANG bulan di pantai adalah sasaran indah untuk menuai cinta. Wajar saja kalau disana-sini tampak pasangan  mesra  saling  bèrpelukan.  Bahkan  ada  yang nekat untuk saling berciuman. Lebih dari berciuman pun ada, tapi mereka tersembunyi sehingga sulit dijelaskan detilnya.
Tak jauh dari kawasan bercinta itu terdapat gugusan
batu karang yang meñjorok ke perairan laut. Tingginya sekitar tiga meter. Jaraknya dengan pasir pantai hanya sekitar lima meter. Siapa pun bisa berada di gugusan karang  itu  dengan  jalan  kaki,  karena  air  di  bawahnya sangat dangkal, hanya sebatas mata kaki.
Di  atas  gugusan  karang  itu  tampak  seorang  wanita
berambut panjang berdiri dengan gaun putihnya yang meriap-riap  ditiup  angin  pantai.  Wanita  itu  juga membiarkan rambutnya dipermainkan angin. Kesendiriannya di situ seolah-olah merupakan pemberitahuan kepada kaum lelaki, bahwa ia malam ini kesepian.Ia butuh teman asmara untuk saling bertukar kehangatan.
"Gue berani bertaruh  , dia bukan  wanita kesepian, tapi
pelacur yang menunggu rezeki datang."
"Naif amat  lu, John. Nggak semua  wanita yang  ada  dl
sini pelacur. Nggak juga semuanya kesepian. Siapa tahu dia cuma ingin menyendiri lantaran punya problem sangat berat."
John tertawa  kecil. "Lu jangan sok munafik begitu, Bob.
Kalau  dia  memang  wanita  kesepian,  lu  pasti  mau  jadi
teman kencannya  kan?" "Belum tentu."
   "Aaalaaa..,  muke  lu  mesum   gitu,  pake  bilang  belum tentu segala."
   Bob dan john menghamburkan tawanya. Mereka bérjalan  menyusuri  pantai  lantaran  mereka  sama-sama
tidak  punya  teman  wanita  yang  bisa  diajak  menikmati
keindahan di  situ. Target mereka adalah dapat kenalan cewek yang juga berduaan dan sama-sama belum punya pasangan. Tapi obyek sampingan John dan Bobby adalah mengintip pasangan yang sedang asyik kencán, atau bahkan yang nekat bercumbu dari kepala sampai bawah.
   Di  pantai  ini  memang  sering  terlihat  pasangan  yang asyik bercumbu secara fülgar. Dengan bermodal tikar sewaan atau selembar koran, mereka bisa menikmati keindahan laut asmara hingga ke püncak kemesraan.
"Capek jalan  terus,  ah.  Kita nongkrong  sini  aja,"  ajak
Bobby sambil duduk di salah satu gugusan batu pantai yang tingginya pas untuk ukuran tempat duduk.
"Rokok kita habis ya, Bob?"
"Habis. Lu beli dulu deh." "Yaah, beli di mana?"
"Tuuh,  di ujung  tempat  parkiran  mobil  sana  ada  kios
rokok."
"Lu aja yang ke sana.  Nih, pake duit gue aja." "Huuhh,ya udah sini ... "
   Bobby pergi setelah menyambar uang dari John. Hembusan angin  pantai terasa nikmat di  sekujur tubuh John. Matanya memandang ke setiap tempat yang digunakan untuk pacaran bagi masing-masing pasangan .
"Kalau  gue  masih  sama   Titik,  gue  akan  ke  sini  tiap
malem. Sayangnya gue udah nggak sama Titik lagi. Titik udah minggat ke Kalimantan, mungkin udah kawin atau
malah udah jadi janda, nggak tahulah. Nggak usah mikirin
dia, ntar gue jadi stress sendiri. Mending cari pasangan lain
aja yang mungkin jauh lebih cantik dari Titik ."
   John berkecamuk sendiri dalam hatinya. la belum menyadari ada seorang wanita berambut panjang sedang
berjalan  dari  arah  belakang.  Wanitá  itu  akan  melintas
jalanan   di   depannya.   Maka   ketika   wanita   itu   mulai melintas, John terpana dan segera bersuit menggodanya.
"Waah, ini cewek yang ada  di atas  batu  karang  tadi??"
pikir  John.  Dan,  ternyata siulan  penggodanya mendapat respon positif dari wanita berusia sekitar 3O tahun itu. Ia
berpaling kearah John dan tersenyum malu.
"Hey,  mau  ke  mana?   Duduk  sini dululah..  ," pancing
John dengan hati berdebar-debar.
   "Aku  mau  ke  sana.   Di  sini  tempatnya terang.  Nggak aman."
"Waah, emang ada tempat  yang aman?"
" Ada. Dibalik pohon pembatas sana tuh.. ! aman, nggak
dilihat orang. Mau ikutan ke sana?" "Boleh aja... !"
   John bergegas penuh semangat, ada debar debar indah dalam    dadanya:    Wanita    yang    terjerat    godaannya
tädi.berwajah jauh lebih cantik dariTitik, mantan pacarnya. Bahkan   jauh   tebih   sexy   dari   peragawati.   Dadanya
membusung padat berisi dan sangat menantang.
"Kamu sendirian ke sini?" tanya John.
"He,eh. Aku lagi BT banget nih." "Habis ditinggalin cowok kamu ya?" "Kok kamu tahu sih?"
John tersenyum bangga. "Namaku John,kamu...?" "Annes," jawabnya singkat.
Saat itu John mernegang tangannya, dan ia diam saja,
seakan mengizinkan John untuk memegang yang lainnya juga.
"Dapat  durian  runtuh  nih  gue,"  ujar  John  dâlam  hati
dengan tertawa girang. Ia lupa bahwa Ia datang ke situ bersama   Bobby   bukan   Annes.   la   juga   lupa   bahwa
sebenamya  ingin  merokok  Kehadiran  Annes  membuat
semua yang ia inginkan seperi sudah terpenuhi.
   Aroma wangi tubuh Annes membuat darah John mulai bergolak. Apalagi setelah mereka sepakat berhenti di balik
kerimbunan semak pembatas pantai, darah John seperti ingin segera menyembur keluar dari lubang kenikmatannya
"Tuh, di sini lebih aman kan?" kata Annes.
"Iya,   ya...  kamu   pinter  cari   tempat,   rupanya,"   John
mencubit  pipi  annes,  dan.  Annes  berlágak  menghindar walau sengaja telat bergerak.
Namun  sebelum  aksi  mereka  berlanjut,  dua  berkas
cahaya beda warna melintas di langit atas mereka. Radar gaib  ditebarkan  dan  radar  itu  menangkap  gelombang energi hitam dibawahnya. Seketika itu juga, cahayá kuning mirip meteor kecil itu meluncur kebawah dan menerjang tubuh Annes. Wuuuusst...!
   Annes segera bangkit dan mengibaskan tangannya seperti hendak memutar badan. Wuuust... Gerakan itu menimbulkan angin bermuatan energi hitam. Sinar kuning itu membentur energi hitam dan terjadilah ledakan yang cukup keras, sempat memancing perhatian.orang di sekitar pantai tersebut.
Duaaaanrr...
Sinai   kuning   itu   berubah   wujud   menjadi   pemuda
berambut kucai.
"Ooh,    kau     lagi    rupanya?!"     gerarn     Annes     tak
mempedulikan keadaanJohn yang  lari  ketakutan setelah terjadi ledakan dan melihat kemunculan Buron dari cahaya kuning tadi.
Buron  bangkit  dengan  sempoyongan  dan  terengah-
engah.
"Belum jera kau melawanku, Jin busuk?!"
"Aku tidak Iebih busuk dari kamu, iblis betina!?" geram
Buron yang mengetahui bahwa Annes àdaIah jelmaan dari
Nyai Sekatpitu.
"Grrrhhh.     I"Annes      mengerang      penuh      dendam
kebencian. Dengan cepat ia mengibaskan tangannya dan melesatlah tiga anak panah dari sinair biru , Claap, claap,
claap...!
   Buron belum sempat menghintdar tahu-tahu tiga sinar biru berbentuk anak panah itu telah dihantam sinar hijau
mirip cakram yang datang dari arah belakangnya.
Claaasssp...! Jeeegaarrr.
   Ledakan ini lebih besar dari yang tadi. Pohon pembatas terguncang hingga menimbuIkan kegaduhan setempat..Annes  terdorong  mundur.  Matanya  terbelalak liar mencari si pemilik sinar hijau, Ternyata dari belakang Buron muncul seraut wajah cantik yang sudah dikenalinya.
."Akhirnya kau muncul juga, Dewi Ular!"
   "Ya.  Tugasku  menyingkirkan  pengacau  macam   kau, Nyai Sekatpitul"
"Dan, tugasku menghancurkan. . huuggh!"
   Annes  belum  sempat  melanjutkan  kata-katanya, Kumala   Dewi   sudah   bergerak   Iebih   cepat,   seperti
melemparkan sekeping uang ke dada Annes. Benda yang
dilemparkan tak terlihat mata. Namun tahu-tahu sudah mengujam ulu hati Annes.
   Energi  padat  yang  dilemparkan  Kumala  itu  melebihi besi   berton-ton   beratnya,   melebihi   tombak   tajamnya.
Namun, juga memiliki kekuatan pelebur gaib.
Maka,     setelah     Annes     tersedak     dengan     mata
membelalak, tubuhnya mengeluarkan asap kuning, seperti asap belerang. Wuuus... Dan, iapun berubah menjadi sosok wanita bertaring, bermata merah menyala, tingginya sekitar empat meter. Dia dapat lebih tinggi dan lebih besar lagi manakala dia guñakan salah satu kesaktiannya yang dapat menambah ukuran fisiknya.
   Buron sengaja menjauh Ia tak ingin mencarnpuri pertarungan bergengsi itu, supaya Kumala Dewi memperoleh   kemenangan   telak.   Tapi   jika   Dewi   Ular ternyata terpojok dan dalam bahaya, Buron siap menerjang Nyai Sekatpitu sekalipun harus mengorbankan diri.
John yang memandang perubahan Annes dari kejauhan
hanya bisa terbengong dengan sekujur tubuh gemetaran. Ia  ditemukan  Bobby  di  tempatnya  tanpa  bisa  bicara apapun. Yang terbayang dalam benak John adalah kengerian apabila tadi ia sempat bercumbu dengan Annes, yang ternyata memiliki wujud asli mengerikan. Berkuku tajarn dan panjang.. Sepasang tangannya berwarna hitam bagaikan tangan gorila.
"Aaagggrrthh...... !"
   Nyai Sekatpitu menyerang dengan ganas. Ia melayang diudara  dengan  kedua  tangannya  siap  mencakar.  Dari
ujung kuku-kukunya keluar sinar biru seperti arus listnik.
Sinar biru itu menyebar ke arah Dewi Ular. Craaalspp...!
Dengan sigap Dewi Ular menebarkan kedua tangannya dari dada ke atas, seperti menebarkan benih.
Wüuursss...!  Percikan  sinar  hijau  menyebar  dengan
cepat. Bagaikan bunga api yang sedang membungkus sekujur tubuhnya.
Blegaar, blaam , gllleeerrrr. I
Ledakàn  dahsyat  terjadi  mengguncangkan  kawasan
pantai. Dua pohon kelapa yang tak jauh letaknya dari tempat pertarungan itu terpaksa tumbang. Ada tiga sinar birunya Nyai Sekatpitu yang lolos dari sasaran dan menyambar dua batang pohon kelapa tersebut.
   Ledakan itu memang sempat membuat Kumala terhuyung-huyung kebelakang.
   Rupanya kesaktian yang digunakan untuk menangkis serangan  Nyai  Sekatpitu  itu  masih  kurang  kuat.  Tapi
lumayan, bisa buat melindungi dirinya. Ooh, tapi..: kulit tubuh Kumala terasa panas?
   "celaka, diagunakan aji siluman yang tak kentara datangnya   bersama  sinar   birunya   tadi?!"  gumarn   hati
Kumala. Segèra ia mengerahkan hawa sucinya untuk menetralisir racun  panas  yang  menyerap lewat  poti-pori tubuhnya. Sambil mengerahkan.hawa suci, Dewi Ular sengaja melayang ke samping, mengulur waktu pertarungan,
"Mau  Iari   ke   mana   kau,   Keparat   !   !"   teriak   Nyai
Sekatpitu. Ia segera melepaskan serangannya kembali dari tangn kirinya. Hujan cahaya menerjang Kumla Dewi. Tapi lapisan penangkis sudah disiapkan, berupa cahaya hijau transparan membias di depannya, sehingga serangan Nyai Sekatpitu dapat tertahan. Tentu saja  dentuman dahysat kembaIi terjadi dan mengakibatkan alam terguncang bagaikan akan dilanda gempa.
   Dalam kesempatan itu Kümala masih sempat melepaskan cahaya hijau mirip tombak besar. ditelapak tangannya. Claaap. .. I Wuuust...! Nyai Sekatpitu berusaha menangkis, tapi telat, sehingga cahaya itu menghantam dada kanannya. jeagaaaarrtT...!!
   "Aaaahhhggggrrr.. !!  " la menjerit  dengan  suara  keras, menggema mengerikan ke mana-mana;Tubuhnya yang tinggi itu oleng ke belakang.
   Kesempatan itu digunakan oleh Déwi Ular untuk menghajarnya lagi dengan cahaya hijau kecil-kecil dari tiap jari tangannya. Craalp, craalp, crralp..
Zuuub, zuuub, -zduub...! Blegaaarrrr... Blegaarrr...!
"Aaaaaggghhhnrrr. . .! Aaaooooggrrhh. . . !! "
   Nyai Sekatpitu tak diberi kesempatan untuk membalas. Kumala  Dewi  melepaskan  serangannya  beruntun  dan
mengenai pada titik-titik rawannya Nyai Sekatpitu.
   Akibatnya pelayan andalan Auro itu nyanis hancur menjadi bubur seandainya ia tidak segera menggunakan kesaktiannya  untuk  lenyap  dari  penglihatan  mata  gaib siapa pun.
Wuuuussst ..... !!!
Kini yang tinggal adalah suara Nyai Sekatpitu, tanpa
ada yang tahu bagaimana ia melarikan diri dalam keadaan terhuyung-huyung menanggung luka yang sangat parah.
"Aku  belum  menyerah!  Aku  belum  kalah  melawanmu,
Dewi Ular keparaaaat...! Tunggu pembalasankuuuuu...... !!" Suara   itu   menjauh,   dan   kemudian   hilang   ditelan
dimensi  alam  gaib.  Kumala  Dewi  berdini  tegak  dengan
pandangan mata tertuju ke langit .
Hanyá dia yang melihat cahaya merah kecil meletup di
sana, pertanda Nyai Sekatpitu telah memasuki dimensi alam lain, yaitu alam kegelapan. Napas Kumala pun dihembuskan panjang, emosi pertarungan dipadamkan.
"Nggak  ada   yang   perlu   dikhawatirkan,   Buron.  Tapi
lukamu.. ooh, sini kuobati dulu...."
   Sambil menerima energi pemulih luka, Buron masih sempat mengecam dan memaki Nyai Sekatpitu yang sejak dulu paling dibenci, karena pernah menghancurkan saudaranya, yaitu Jin Proga.
"Hey pada ngapain di sini ?!"
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh datangnya anak kecil.
Kumala dan Buron sama-sama terkejut, karena temyata
di belakang Kumala sudah ada Oyen membawa kecrekan dari tutup botol.
"Eyang. .?!"
   KumaIa  Iangsung  berlutut,  begitu  pula  Buron. Kepalanya ditundukkan hampir menyentuh tanah sebegitu takutnya kepada Oyen yang sudah diketahuinya sebagai Dewi Asmaranada. Tentu saja orang-orang yang tadi menyaksikan pertarungan maut menjadi terheran-heran melihat Kumala Dewi dan Buron berlutut di depan gadis cilik berpenampilan pengamen dekil.
"Sudah  kubilang, Sekatpitu  itu bagianku, knapa kamu
yang singkirkan dia, Kumala?!"
"Ampun, Eyang... karena  saya juga merasa punya tugas
dan  kewajiban  menyelamatkan  kehidupan  dibumi. Siapapun yang masuk kebumi dengan membuat onar, saya wajib mengusirnya, Eyang. Tapi jika di alam sana, rnungkin memang tugas Eyang menghadapi Nyái Sekatpitu tadi."
"Oo, begitu?  Ya deh, kamu yang menang.Sekarang,aku
mau pülang. Tapi sebelum aku pulang ke Kahyangan, aku
kepengen kamu bawa jalan-jalan dulu. Aku kepengen tahu tempat wisata yang ada di dunia in apakah ada yang bia melebihi keindahan di
Kahyangan."
"Baik,   saya   siap   menghantar  Eyang.   Sekarang   kita
pulang ke rumah saya dulu, ya Eyang?" "He,eh....! Yuk ... !"
Repotnya, ketika mereka pulang, Oyen minta digendong
Kumala Dewi. Mau tak mau permintaan itu dituruti, demi memanjakan sang Dewi Sinden yang punya kesaktiañ cukup tinggi dan ditakuti Buron itu .
   Kini yang barus dilakukan Kumala adalah mempersiapkan diri menghadapi kedatangan Athila, cucu berdarah hitam, yang memiliki kesaktian sagat tinggi, bahkan mungkin lebih tinggi dan kesaktian yang dimiliki Dewi Ular. Bahaya sedang mengancam kehidupan manusia di bumi

SELESAI EPISODE SELANJUTNYA
MISTERI SANTET IBLIS