Dewi Ular - Lorong Penembus Kubur(1)


Seri Dewi Ular
Karya Tara Sagita
LORONG TEMBUS KUBUR

1
CAHAYA petir menyambar salah satu pucuk pohon hutàn
tembaga. Warna cahaya itu bukan biru atau putih menyilaukan
seperti petir-petir yang sering berkerilap di awan bumi.
Warna
cahaya petir itu merah saga. Terang sekali. Bentuknya bukan
berkelok-kelok seperti petir yang sering terlihat di permukaan burni.
Bentuk cahaya merah itu menyerupai pedang raksasa. Panjang dan
berukuran besar.
Sekali melesat menimbulkan dentuman dahsyat. Menghentak
kuat, bagaikan ingin membelah alam dimensi mist ik. Suara
dentuman itu bergelombang panjang, seolah-olah berjalan dari satu
tempat ke tempat yang lainnya. Ketika lidah petir alam mistik itu
menyambar salah satu pucuk pohon hutan tèmbaga, maka dalam
sekejap. saja puluhan pohón lainnya ikut menjadi hangus. Terbakar
dan hancur menjadi debu serbuk tembaga.
“Aku belum pernah melewati hutan ini, Paman. Apakah pohonpohonnya
benar-benar terdiri dan lapisan logam tembaga?”
“Kurasa benar. Petiklah daun pohon yang pendék itu, Kumala.
Coba, petiklah sehelai saja.”
Kumala Dewi menuruti saran tersebut. Anak pohon yang rnasih
tergolong muda dengan tinggi hanya sebatas lutut itu memiliki daun
selebar telapak tangan orang dewasa. Warnanya coklat bening.
Sepertinya tampak rentan dan mudah dipetik.
Tapi kenyataannya tidak demikian. Kumala Dewi mengerahkan
tenaganya untuk memetik sehelai, ternyata tidak bérhasil. Daun
anak pohon itu selain keras juga kenyal. Dipulir ke kanan, kembali
ke kiri, dipulir ke kiri kembali ke kanan. Ketika daun itu beradu
dengan daun yang timbul adalah suara gesekan dan benturan logam
tembaga. Traang, .zzssrreeng, traaang, trrreeeng, zzssreeeng...!
“Heeh, heeeh heeeh, heeeh... Biar jarimu sampai geripis habis
nggak bakalan kamu bisa memetik daun pohon itu, Kumala,” ujar
sang paman yang mengenakan baju biru bergari-garis putih dengan
hiasan benang perak. Sejak dalam perjalanan sang paman sering
tertawa terkekeh-kekeh, menbuät mimik mukanya semakiñ tampak
tua dan kempot.
Kali ini perjalanan Dewi Ular dalam melintasi dimensi alam gaib
tidak sendirian. Ia ditemani oleh sosok tua berambut panjang warna
putih uban merata. Si muka tua itu juga mengeñakan kain pembalut
pinggang warna merah. Kain pinggang menyerupai selendang itu
berfungsi sebagai tempat menyelipkan sebuah kipas, manakalà
kipas tersébut sedang tidak digunakan.
Saat ini kipas lipat berwarna biru beludru deñgan hiasan bulu
héwan halus ditepiannya itu sedang berada dalam genggaman:
Sesekali ditebarkan buat kipasan, sesekali dikatupkan buat mainan
tangan isengnya.
Pada saat menemui Kumala dibumi, kipas itu tak pernah
digunakan. Hanya térselip di pinggang. Agaknya kipas itu sebagai
senjata juga baginya. Jika sekarang kipas itu sering berada dalam
genggamannya hal itu dikarenakan ia merasa perlu waspada dalam
melintasi alamdimensi gaib ini.
“Mengapa Pamañ dewa membawaku melewati tempat ini ?
Bahkan rnengajakku berhenti sejenak di sini?”
“Aku curna mau pamer. Hee, hee, hee ...”
“Pamer apa?” Dewi Ular menatap dengan sedikit kerutan dahi.
“Pamer tentang hutan ini. Apakah orang tuamu belüm pernah
bercerita tentang hutan tembaga. ini, Déwi Ular ?”
“Belum. Ada apa dengán hutan pohon tembaga mi?”
“Aku yang menciptakan hutan ini! Hiieeh, hehe, hehe:..”
Kümala tampak terperangah kagum.
“ O, ya? Jadi, hutan tembaga ciptaan Paman sendiri?!”
Dewa Bahakara menyeringai bangga, mengipas-ngipaskan
kipasnya di depan dada. Padahal udara tidak panas. Terang, namun
tanpa matahari. Tapi gerakan mengipas itu agaknya merupakan
kebiasaan sang dewa senior jika sedang waspada dalarn santainya.
“Hutan tembaga ini kuciptakan dalam waktu satu malam,
menurut hitungan bumi. Dan, kukerjakan sendirian, tanpa bantuan
ayahmu atau yang lain.”
“Untuk apa Paman rnenciptakan hutan tembaga yang luasnya
sekitar.. . .lirna hektar ini?”
“Yeeeehhe, hehehehe. . hehehé... kamu pasti kepengen tahu,
kan ? Sudah kuduga sebelumnya, kamu pasti tanya begitu.”
“Apakah Paman Bahakara keberatan rnenjawabnya.”
“Ooo, tidak. Justru aku ingin pamerkan padamu nostalgia masa
mudaku dulu.”
“Maksud, Paman?”
‘Hutan tembaga ini kuciptakan dengan mengerahkan
kesaktianku, lalu kuprsembahkan kepada bidadari teman karib
nenekmu, sebagai tanda cinta dan sekaligus maskawinnya.”
‘O, yaaa...??!” wajah Kumala ceria mendengar kisah romantis
yang ternyata dimiliki oleh si Dewa Bahakara, alias Dewa Jenaka,
atau dewa penabur tawa itu.
“Siapa bidadari yang kau suntingitu Paman?”
“Dewi Lajangsuri. Woooww, hohohoho... keren kan namanya?”
Ia kegirangan sendiri membuat Kumala jadi tertawa geli.
“Apakah Bibi Lajangsuri senang menerima hadiah hutan
tembaga ini, Paman?”
“Ooh, yaaa... senang sekali, sebab dia adalah satu-satunya
bidadari yang hobinya makan tembaga.”
“Apa.?! Makan tembaga?.!”
“He, he, he, he.... sudah kuduga kamu pasti bakalan kaget,
mata melotot, mulut menganga dan hidung megar tanpa sadar.
Hehe, hehe, hehe, hehe..!”
Ia menari-nari dengan lompatan-lompatan kecil mengelilingi
Kumala. Tingkahnya sungguh kocak dan sangat menghibur hati.
“Kamu tahu, Kumala... pohon-pohon tembaga itu meskipun
hancur berkali-kali dirusak oleh Abadho dengan petirnya, tapi
serpihannya akân tumbuh sebagai biji ternbaga, dan hutan ini akan
semakin lebih rimbun lagi.”
“Abadho...?! Siapa itu Abadho, Paman?”
Dengan dada sedikit dibusungkan, si Dewa Jenaka menjawab,
“Biasaaa... kalau bahasa buminya: rivalku, saingan asmaraku.
Tápi sampai sekarang Abadho nggak dapat apa-apa, cuma bisa
dongkol keselak jengkol ngeliatin kemesraanku. dengan Lajangsuri.
Makanya, dari dulu dia selalu berusaha merusak prasasti cintaku ini
dengan segala macamcara.”
“Paman tidak mencegahnya?”
“Nggak perluuuu.... Ngapain dicegah, bikin capek aja. Kan enak,
semakin dirusak semakin rimbun hutanku.. “
“Dan, Bibi Lajangsuri semakin kenyang menikmati makanan
tembaganya, ya?”
“Otomatiiiiiss...!!” bibirnya sambil menyong seperti terong Lucu
sekali. Entah berapakali sudah Kumala dibuatnya tertawa kegelian,
sampai perutnya mulai merasa kaku dan rahangnya sedikit ngilu.
“Kelak,kalau kau benar-benar sudah mau dipinang,, kusarankan
mintalah sesuatu dari calon suamimu yang bisa dijadikan prasasti
cinta kalian berdua. Kamu percaya nggak, orang yang mempunyai
prasasti cinta dalam hidupnya, dia akan selalu bergairah dalam
cinta, dan keromantisan jiwanya tak akan padam.”
“Wwoow.. luar biasa tutur katamu, Paman. Bak penyair tak
berpena,” senyum Kumala masih memancarkan pesona kecantikan
alami, yang nyaris tanpa pulasan kosmetik sedikit pun.
“Apakah nanti di Kahyangan aku bisa bertemu Bibi Lajangsuri,
Paman? Boleh aku kenalan dengan beliau?”
Raut wajah tua si Dewa Jenaka mulai kusut. Tawanya surut,
senyumannya pun susut Bias rona keceriaan seolah padam sama
sekali dari permukaan wajah tuanya. Kumala Dewi mulai berkerut
dahi pelan-pelan sambil memandangi sang Dewa Jenaka.
“Kenapa, Paman?” tanya Kumala hati-hati sekali.
Dewa Bahakara yang menjadi comblang cintanya kedua orang
tua Kumala itu kini melangkah dan melangkah pelan. Kumala Dewi
mengikut inya dengan perasaan sesal, karena agaknya apa yang ia
katakan tadi justru menghadirkan duka di hati sang dewa.
“Paman, hmmm... maafkan aku kalau kata-kataku tadi tidak
berkenan di hati Paman. Aku... aku nggak tahu kalau ucapanku tadi
membuat Paman jádi bersedih. Maafin aku, ya Parnan. Aku...”
“Aku nggák sedih,” potongnya cepat. Mulai berpaling menatap
Kumala dan rnenyeringai dalam senyuman tuanya. Kipasnya dibuka
lagi dan dibuat kipasan di depan dadanya.
“Aku hanya. teringat sesuatu. Bukan sedih.”
“Tapi wajah Paman kehilangan senyum, dan..”
“Bukan hilang, tapi sengajà kutelan,” sangkalnya. “Aku teringat
sesuatu yang sangat serius. Dan, kalau lagi serius itu boleh nggak
pake senyurn kan!. Nggak pàke tawa juga bolehkan?”
“Maaf, Paman,” desis suara Kumala pelan.
“Kenapa aku terbungkam sërius waktu kau bilang kepingin
kenalan dengan istriku? Karena... “
Ia menghentikan langkahnya. Merapatkan kipasnya menjadi
seperti tongkat. Lalu, bicara berhadapan langsung dengan Kumala
dalam jarak hanya tiga jengkal.
“Karena. . .dia termakan oleh sumpahnya sendiri.”
“Sumpah? Maksudnya sumpah bagaimana, Paman?”
“Dia pernah bersumpah untuk tidak mencintai siapa pun lebih
besar selain cintanya padaku. Dia berjanji, bahwa cintanya padaku
adalah cinta yang paling agung, paling besár, dan, paling mulia,
dibandingkan cintanya kepada keluarga, teman, atau bahkan dirinya
sendiri. “
‘Luar biasa keagungan cintanya,” gumam Kumala lirih.
“Tapi pada suatu ketika, ia lupa akan sumpahnya. Ia lebih
mencintai hutan tembaga ini dibandingkan mencintai diriku. Maka,
seketika itu juga ia termakan sumpahñya, dan berubah menjadi
sebatang pohon tembaga yang tumbuh di antara pohon-pohon di
sekitar sini.”
“Ooh. ..?!“ Kumala tercengang kaget dan sedih..
“Sekian lama aku mencari yang mana pohon jelmaan dirinya,.
namun tidak pernah berhasil, Kumala. Seluruh kesaktianku
kukerahkan untuk mengenali yang mana pohon perwujudan istriku,
tapi tetap saja siâ-sia. Bantuan dari para dewa seniórku pun tak
dapat memulihkan dan mènunjukkan mana pohon jelmaan’istriku
itu. Akhirnya, aku hanya bisa menjalani nasib hidupku, menjadi
jomblo begini sekian ratus tahun lamanya, sambil sesekali kutengok
prasasti cinta ini sebagai tanda bahwa aku masih tetap
mencintainya.”
“Duuh, Paman... tragis sekali nasib percintaanmu...”
“ Tragis ya? Ah, cuekin ajalah! Nggak perlu sedih. Tertawa itu
lebih baik daripada menangis. Iya, khan? Heeh, heeh, heeh....!”
Dewa Jenaka itu kembali bertingkah lucu dalam gerakan, lucu
dalam tawanya, dan lucu dalam ucapannya. keseriusannya tadi
hilang lenyap tak berbékas di raut wajahnya. Tapi di lubuk hatinya
yang paling dalarn?Hanya dia yang tahu. Hanya dia yang bisa
merasakan, adakah duka di lubuk sana, atau hanya tawa yang ada.
“Kumala, kunjungan ke prasasti cinta sudah selesai. Mari kita
lanjutkan perjalanan kita dengan potong kompas.”
“Potong kompas, Paman?”
“Punya kompas nggak?”
“Aku nggak punya kompas, Paman.”
“Ya sudah, jangan potong kompas. Potong bébek angsa saja,
hehe, hehe, hehe... weeek, weeek, week ..... ! “ ia berputar-putar
menirukan suara bebek. Kumala Dewi geleng-geleng kepala sambil
berkata dalam hatinya.
“Dewa Jenaka..., si Penabur Tawa..., pantaslah kalau,,dia tak
mau sedih sedikit pun, selain riang, jenaka, dan tertawa..”
Dewa lucu yang oleh ayah-ibunya Kumala sering dipanggil: Bokis
itu., segera mengunakan kesaktian geràknya untuk melanjutkan
perjalanan menuju Kahyangan. Ia berkelebat sangat cepat, melebihi
kecepatan badai mana pun.
Sementara itu, Dewi Ular ták. mau kehilangan jejak sang paman
dewa, sehingga ia gunakan pula kesaktiannya yang mampu
bergerak dengan kecepatan melebihi gerakan cahaya.
Mereka menerabas hutän tembaga sebagai jalur ‘potong kompás’
yang tadi disebutsebut si dewa Bokis itu. Bukan hal aneh lagi kalau
Bokis mengetahui jalur cepàt menuju Kahyangan, karena tentunya
sudah ribuan kali ia mondar-mandir dari hutan tembaga ke
Kahyangan. Terutama saat ia kehilangan istrinya dan sibuk
menentukan pohon tembaga yang mana yang merupakan jelmaan
dan sang istri. Kumala yakin, perjalanannya tak akan tersesat
selama Dewa Jenaka sebagai pemandu jalannya.
Tapi belum1agi’ mereka kelüar dari melintasi hutan tembaga,
tahu-tahu si muka tua ilu rnerentangkan kedua tangannya sambil
berhenti seketika. Seeet...! Kurnala Dewi nyaris tak bisa ‘menginjak
rem’ kesakt iannya, sehingga hampir saja menerjang Dewa Bahakara
dari belakang.
Untung saja ia segera melambung melewati atas kepala si Dewa
Jenaka itu, sehingga benturan dari belakang tak sempat terjadi.
“Ada apa, Pamar?! Kenapa berhenti?”
“Lihatlah sekeliling kita, Kümala. !”
Dewi Ular memandangi seke1i1ingnya Tak ada sesuatu yang
mencurigakan, pikirnya. Ia coba menggunakan aji Mata Dewanya,.
ternyata tak ada sesuatu yang menarik untuk dibicarakan.
Tapi kenapa Dewa Jenaka itu cengar-cengir sendiri sambil melirik
ke sana-sini?
“Ada apa sih,Paman?”
“Aji Mata Dewa-mu tidak cukup untuk menembus lapisan kabut
iblis. Gunakan aji Sukma Netra.”
Dewi Ular makin heran walau bungkam.
“Gunakan rohmu untuk memandang. Rohmu!”
“Aku belumpunya Aji Sukma Netra,” bisik Kumala.
“Ooo, pantas...! Kalau begitu, pandangIah ini, hiiieeehh...!!”
Kipas yang sudah dibukä itu segera dikibaskan dalam satu
lompatan memutar cepat.
Wuuuusss . .! Angin yang keluar dari kibasan kipas tadi
bercampur asap merah dan butiran lembut yang menyerupai serbuk
emas.
Dalam sekejap lapisan udara di sekeliling mereka hancur seperti
dinding kaca yang diterjang badai besar.
Jeggaaaaarrrrrrr....!!
Alam yang semula redup kini menjadi terang benderang, walau
tetap tanpa sengatan rasa panas matahari. Terangnya alam
sekeliling hutan tembaga membuat Kumala Dewi tercengang dan
segera pasang kuda-kuda, karena tèrnyata mereka berdua telah
dikelilingi oleh puluhan tengkorak bertulang hitam.
Ukuran mereka sama seperti manusia bumi, namun tak memiliki
daging, kulit, dan sebagainya, selaiñ hanya tulang belulang
berwarna hitam..Namun, pada bagian rongga mata mereka terisi
gumpalan bara merah yang dapat bergerak seperti bola mata
manusia.
“Siapa mereka ini, Paman?” bisik Kumala sarnbil beradu
punggung dengan Dewa Jenaka.
“Laskar Tengkorak Hitam, prajurit setianya Abadho.”
“Ooo. . .saingan cinta yang paman ceritakan tadi?”
“Ya. Hati-hati, jangan sampai tersentuh sèdikit pun olehnya.
Sekujur tulang mereka mengandung racun mematikan! Biar aku
yang bereskan mereka!”
“Tapi, Paman...”
Täk sampai tuntas Kumala bicara, tengkorak-tengkorak hitam
yang mengepung mereka berdua maju serempak dengan
beterbangan tak beraturan. Benturan tulang tulang mereka
menimbulkan suara gaduh tersendiri, yang terasa asing bagi
pertärungannya Kumala selama mi.
Untuk menghindari sentuhan lawannya, Dewi Ular terpaksa
menggunakan kesaktian naganya. Ia berubah menjadi sinar hijau
bening berbentuk naga kécil yang segera melesat naik ke atas.
Claaap, wuiiissst...! Meluncur terus naik tinggi dan t inggi sekali.
Sementara itu Dewa Bahakara melesat ke atas pula.melebihi
ketiñggian .para tengkorak hitam itu, lalu ia bergerak seperti lari
cepat menge1i1ingi lawannya dengan kipas diayunkan dalam
gerakan bersilang-silang.
Wiist, wiiist, wiist, wiist...!
Dalam sekejap para tengkorak hitam itu terkurung oleh kabut
biru yang bergerak makin sempit. Mata merah para tengkorak hitam
mulai memancarkan sinar. seperti laser ke berbagai penjuru,
termasuk ke atas mereka.
Claap, claap, claap, claap, claap, claap...!
Dentuman beruñtun terjadi akibat sinar sinar merah mereka
menghañtam pohon pohon tembaga. Pohon itu hancur, tumbang,
remuk, namun si Dewa Jenaka selamat dari kilatan cahaya merah
lawannya.
Ia sudah beradá di ujung sana. Duduk di atas gugusan batu
tembàga, sambil bertumpang satu kaki dan berkipas-kipas déngan
santaiñya.
“Heeehh, hehehe, hehehe, hehehe...!”
suara tawanya terdengar terkkeh-kekeh, sambil menyaksikan
lawan-lawannya saling tabrak; berusaha keluar dari kabut biru yang
makin menyempit.
Ternyata tak satu pun mampu keluar dari kabut biru itu. Bahkan
dalam beberapa detik berikutnya, terdengar suara berderak keras
seperti batu-batu besar dihancurkan bersamaan.
Grrreeprrrraaaaaaaak...!!
“Hee, hee, heee, hee, hee.. !”
Ia tertawa terkekeh-kekeh, girang sekali melihat tengkoraktengkorak
hitam itu hancur remuk secara bersamaan, bagaikan
digencet baja penghancur tulang. Kabut birunya tadi merniliki daya
jerat yang amat kuat dan mempunyai daya hancur’yang sulit
dihindari siapa pun.
Dalam sekejap saja mereka sudah menjadi serpihan tulang hitam
yang bertumpuk-tumpuk setinggi pundak orang dewasa. Tak satu
pun lawan tersisa.
Kumala Dewi menyaksikan penghancuran tulang-belulang itu dari
ketinggian sana dalam keadaan masih berwujud cahaya hijau
seperti naga kecil, yang diam mengambang di udara namun tetap
penuh waspada.
Maka, ketika seberkas sinar rnerah menyerupai pedang besar
tampak rnelesàt dari langit gaib sebagai kilatan cahaya petir, Dewi
Ular berkelebat cepat sebagai sinar hijaü yang menyongsong lidah
petir itu.
Sebab, jika ia tidak bergerak cepat, maka Dewa Jenaka akan
menjadi sasaran empuk bagi Iidah petir yang bergerak lebih cepat
dari suara dentumannya.
Zlaabb, wuiissst..!
J1eggaaaaaarrr.. ..! Bleguuummmm...!
Dentuman dahsyat yang pertama akibat benturan:sinar hijaunya
Kumala Dewi dengan lidah petir merah, dentuman yang kedua
adalah gema maut dari petir itu sendiri.
Dewa Jenaka terbelalak melihat sinar hijaunya Kumala nekat
diadu dengan lidah petirnya Abadho. Ia mencemaskan nasib Kumala
yang terpental entah ke mana.
Dengan gerakan aji Badai Purba sang paman dewa berkelebat
mencari keberadaan Dewi Ular.
“Terlalu berani anak itu! Dia belum tahu. kekuatan Abadho
dengan Aji Jagal Guntur-nya itu! Waaah, waaah, waaah.... Bisa mati
hangus anaknya Permana itu! Celakà!. Aku bisa disalahkan oleh
semua penghuni Kahyangan kalau sampai terjadi apà-apa páda diri
bocah itu?! Gawat, gawat, gawat...!”
Sambil menggerutu cemas sendirian,
Dewa Jenaka melayang kian kemari mencari keberadaan Dewi
Ular. Namun ia sempat tercengang heran melihat langit koyak dan
berongga hitam.
Dari rongga yang tampak itu menetes butiran meräh yang tak
lain adalah hujan darah. Bersamaan itu terdengar pula suara
meraung besar memenuhi alam hutan tembaga.
“Hah...?! Abadho terluka parah rupa‘nyà?! Waah, hebat juga
kesaktian anakmu, Permana. Dia bisa melukai Abadho, si penguasa
langit gaib itu?! Ya, ya. ..top abis deh Dewi Ular!”
Dewa Jenaka geleng-geleng kepala. Kagum. Setelah itu baru
garuk-garuk kepala. Bingung.
“Tapi, sekarang dia mental ke mana?! Ya, ampuuün... Getaran
dewaniku tak menangkap gelombang hawa sakt inya sama sekali?!”
Dewa jenaka pun berseru sambil melayang mengeliling hutan
tembaga ciptaannya sendiri itu.
“Kumalaaaaa...!! Dimana kaaauuuu...!!”
-ooo0dw0ooo-

2
ADA suara tangis di keheningán malam. Pelan tapi terdengar
dengan jeIas. Tangis itu adalah tangis seorang perempuan yang
merintih pilu tak berkesudahan. Tak jelas berapa usianya, tapi
sudah pasti dia seorang perempuan. Setiap orang yang mendengar
suara tangis itu akan terharu hatinya, tapi setelah itu akan bergidik
merinding sekujur tubuhnya.
“Kayaknya bukan suara tangis biasâ nih, Dung.”
“Maksud lu?”
“Bukan tangisan manusia.”
“Ah, lu kalo becanda jangan kayak gitu dong. Sekarang malam
Jumat nih, Cing. Nggak usah pake ngomong begituan, kenapa sih?”
“Yaah, lu takut ya? Payah lu. penakut, jangan jadi Satpam
komplek dong. Biar nggak dapat tugas ronda tengah malam begini,
bego! He, he, he...!”
Dudung mengakui dirinva bukan orang yang berani pada hal-hal
bersifat gaib. Ia hanya berani berhadapan dengan kejahatan nyata;
pencuri, rampok, preman dan sebagainya. Ia pernah berkelahi
melawan tiga orang pencuri yang bermaksud membobol sebuah
ruko di wilayahnya. Ia berani hadapi mereka. Tapi sejujurnya Ia
akui sangat ngeri berhadapan dengan roh halus, atau hantu dalarn
bentuk apapun.
Meski pun Dudung merasa dirinya pengecut terhadap hal-hal
gaib, tapi Ia yakin belum tentu Ocing lebih berani dari dirinya. Bisa
saja Ocing berpura-pura berani, berlagak menertawakan dirinya,
namun semua itu semata-mata untuk menutupi rasa takutnya
sendiri. Atau, bisa saja Ocing tiba-tiba menjadi pemberani setelah ia
tahu temannya jauh lebih pengecut dari dirinya.
PesoaIannya bukan itu. Masalah yang dihadapi oleh para
penghuni komplek perumaham Jatiwangi Estate adalah mnculnya
suara tangis seorang wanita yang memilukan, Juga menyeramkan.
Suara itu didengar di mana-mana. Hampir tiap penghuni rumah
mendengar suara tangis yang sepertinya ada di depan rumah, di
belakang, atau di samping rumah mereka.
Beberapa penghuni rumah keluar mencari suara tangis itu.
Namun tidak seorang, pun menemukan sumber tangisan. Semakin
didekati, suara tangis itu sepertinya semakin menjauh. Akibatnya,
banyak orang yang keluar dari rumahnya hanya. untuk mencari di
mana sumber suara tangisan berasal.
“Saya nggak bisa tidur dengar suara tangisan itu,” ujar seorang
lelaki yang menempati rumah di Blok D.
“Saya juga risi mendengarnya, makanya saya keluar mencari
siapa yang menangis dari tadi nggak berhenti-berhenti,” kata pria
gemuk yang tinggal di Blok K.
“Kedengarannya sih dari samping rumah saya,” timpal seorang
pemuda yang mengaku menempati rumah di Blok N, paling
belakang dari urutan Blok di komplek tersebut.
Katanya lagi, “Tapi saya dekati suara itu ternyata bukan dari
samping rumah. Saya ikuti terus, eeeh tahu-tahu saya sampai sini?”
“lih, gue jadi merinding lagi, Cing!” ujar Satparn bernarna
Dudung setelah mereka bergabung dengan orang-orang itu.
”Gue juga,” bisik Ocing. “Kita pulang aja, yuk?”
“Pale lu, pulang:mendingan kita ngetemdi pos ajalah.”
Kedua Satpam itu sebenarnya sama-sama bingung. Mestinya
mereka jagá berempat, tapi teman mereka yang satu sudah izin
pulang kampung dua hari, yang satunya lagi sakit karena habis
kecelakaan kemarin lusa.
Petugas penggantinya belum bisa dipastikan bisa datang atau
tidak, karena tak ada kabar. Mau tak mau malam inii hanya mèreka
berdua yang bertanggung jawab atas keamanan komplek
perumahan kelas menengah itu.
Jarum jam di pos keamanan menunjukkan pukul satu lewat
beberapa menit. Ocing dan Dudung ternyata tak berani
menimggalkan pos tersebut. Mereka takut kena sangsi berat,
sementara mereka mengaku penghasilannya menjadi Satparn
komplek cukup lumayan. Alangkah sayangnya jika harus kehilangan
pekerjaan tersebut hanya karená terganggu suara tangis misterius.
Untuk mengatasi rasa takut, mereka menyumpal lubang telingä
dengan kapas.
“Gue heran, Cing. ..udah disumpal pake kapas tapi kenapa suara
tangis itu masih kedengaran jelas, ya?”
“He,eh .! Eeh, stel radio aja! Wayang golek, atau dangdut,
biarlàh. Yang penting ada suara lain, ,biar suara tangis itu nggak
terlalu mengganggu kita.”
Dudung menyeringai girang.
Gagasan tersebut sangat tepat menurutnya. Maka, mereka pun
menghidupkan radio dan menemukan siaran lagu-lagu dangdut.
Mereka membunyikan radio cukup keras. Memenuhi ruangan pos
penjagaan yang tak seberapa lebar itu. Tapi belum ada 5 menit,
ternyata radio itu tiba-tiba mati sendiri. Tidak ada aliran listrik yang
bisa masuk ke radio minicompo tersebut Mereka mencoba
mengutak-atik tapi tak berhasil menghidupkan kembali minicompo
tersebut .
Suara tangis wanita terdengar lagi. Sesekali hilang, sesekali
muncul dalam tempo lama, lalu hilang beberapa menit, muncul lagi
dengan lebih jelas. kedua security itu benar-benar mengalami
tekanan batin mendapat teror suara tangisan yang selalu membuat
bulu kuduk merinding. Karena semakin larut malam sémakin jelas
suara tersebut seakan berjarak hanya beberapa meter dan mereka.
“Dung, suaranya seperti ada di... di seberang selokan depan itu,
Dung. Coba.. coba lu periksa deh.”
“Ogah. Lu aja sana!”
“Yaaah, eluuu... Atau, kita periksa berdua deh, biar...”
Kata-kata Ocing terhenti. Ada mobil yang mendekati pintu
gerbang dari arah dalam. Mobil itu jelas mau keluar komplek. Tapi
Ia harus berhenti di pos karena jalan keluarnya terhalang portal
besi.
Dudung segera keluar dari pos, karena ía lebih dulu mengenal
siapa pengeniudi mobil Grand Cherokee warna hitam itu. Tapi
sebelum Dudung menyapa, ternyata si pengemudi mobil lebih dulu
menyapanya dengan keramahan yang agak tegang.
“Malem, Bang Dudung...’
“Eeh, malem Juga, Tuan Sam...,” Dudung bergegas melepaskan
rantai dan mendorong besi penghalang jalan. Ocing berseru dari
dalam pos, karena ia pun mengena! eksekutif muda yang sangat
ramah, supel dan mau bergaul dengan siapa saja itu. “Maleeem,
Boss...!”
“Malem, Bang Ocing.” “Mau beli makanan ya?”
“Nggak. Mau ke rumah temen.” Dudung sudah membukakan
pintu portal, lalu mendekati Samon sambil bertanya pelan.
“Tuan Sam, ngomong-ngomong Tuan merasa terganggu nggak
dengan suara tangisan aneh itu?”
“0, sangat terganggu. Nggak bisa tidur. Iya tuh, kenapa sampai
ada suara kayak gitu ya? Padahal kemarin-kemarin nggak ada suara
aneh begitu kan?”
“Kita berdua di sini juga heran. Kayaknya ada sesuatu yang mesti
ditangani oleh ‘orang pinter’ nih.”
“Makanya saya paksain keluar jam segini. Mau jemput teman
yang bisa ngatasin suara aneh itu.”
“Wah, itu ide bagus, Boss. Bagus sekali itu!” Ocing tampak
senang, dan berapi-api memnjinya. Dudung pun menyatakan hal
yang sarna. Ia berharap orang yang diandalkan Samon itu benarbenar
mampu membuat tenang kembali suasana komplek tersebut.
Mobil Jenis Jeep warna hitam itu meluncur di kesunyian nialam.
Jalanan yang lengang membuat Samon tak khawatir mengemudikan
mObil dalam kecepatan tinggi.
Ia sengaja ngebut biar lekas sampai dan bisa cepat membawa
temannya itu pulang. Suara tangis misterius yang rnengganggu
semua penghuni komplek Jatiwangi Estate harus segera dihentikan
Sam menyadari bahwa suara itu makin lama semakin mengganggu
kejiwaan semua orang yang mendengarnya. Larna-lama banyak
orang menjadi gila karena tertekan jiwanya. Ia sendiri hampir stress
menghadapi gangguan itu.
Sayangnya, upaya mencari solusi itu menemui hambatan. Di luar
dugaan tiba-tiba mobilnya kehilangan tenága. Mesin màti. Sam baru
ingat bahwa tadi ia lupa belum isi bensin. Sedangkan bensin
cadangan tak ada. Pom bensin cukup jauh.
Mobil itu akhirnya berhenti di pinggir jalan. Dekat dengan warung
tenda yang masih buka.
Jaraknya sekitar 20 meter dari tempat berhentinya mobil Samon.
Warung tenda itu menjual roti bakar, mie rebus, dan beberapa
minuman malam. Sepertinya kurang begitu laku. Tak ada orang
yang makan di situ, atau sekedar nongkrong untuk minum kopi.
“Cari bensin ke mana, ya? Seingatku pom bensin masih jauh dari
sini. Sial!” Sam menggerutu sendiri.
“Mobil angkot nggak ada yang lewat Kalau toh ada, siapa yang
disuruh beli? Masa’ mobil kutinggal di sini, sementara aku cari
bensin? Apa aman? Ah, nggak. Tempat ini nggak aman. Sebaiknya...
o,ya. . . sebaiknya aku cari tahu dulu sama orang di warung itu.
Siapa tahu dia mengetihui pom bensin terdekat, atau bisa kusuruh
beli ke sana. Daripada aku yang berangkat dan meninggalkan mobil
ini, mendingan aku suruh orang. Kasih upah agak gede dikit nggak
masalah...”
Di dalam warung tenda itu ada seorang anak remaja berkaus
lusuh, mengenakan topi dibalik. Dan, seorang wanita berusia sekitar
35 tahuñ kurang. Mengenakan sweater merah. Rambutnya ikal
selewat pundak. Dijepit dengan bando warna pink. Badannya sekal.
Tidak gemuk, tapi padat berisi. Tingginya sekitar 170 cm. Berkulit
kuning langsat.
Samon sempat tercengang beberapa detik begitu wanita itu
berbalik menghadapnya. Ternyata ada kecantikan yang sangat
menarik di wajah berhidung mancung itu. Kecantikan yang terkesan
matang itu merniliki sepasang alis yang tebal namun tersusun indah
di atas sepasang bola mata yang agak lebar. Bola mata itu sendiri
memancarkan keindahan yang sulit diurai dengan kata-kata.
“Cantik juga dia?” gumam hati Samon. “Mungkin kecantikan itu
diandalkan bisa menjadi daya tarik bagi pembeli agar sélalu datang
ke warung ini. Tapi, kenapa sepi? Apakah karena sudah larut malarn
sehingga sudah tak ada pembeli yang datang?”
Samon yang tertegun segera menggeragap ketika mendapat
sapaan ramah dari perempuan cant ik itu.
“Silakan duduk, Mas. Mau roti bakar apa mie rebus?”
“Hmm, eeh... nggak, saya cuma mau numpang tanya, apakah
Mbak tahu tempat orang jual bensin yang paling dekat dari sini?”
“Waah, setahu saya sih ya cuma pom bensin yang di dekat
pertigaan sana yang paling dekat. Kenapa? Mobilnya kehabisan
bensin?”
“Hmmm, iyy, iya... kehabisan bensin. Duuh, gimana ya?”
Sam duduk di bangku itu, tapi menghadap ke jalanan, sambil
mengawasi mobilnya.
Ia benar-benar bingung. Apa yang harus dilakukan dan apa yang
harus dikatakan lagi. Kecantikan tanpa make up itu sempat
menggoda hatinya, sehingga ketenangan berpikirnya jadi
terganggu.
“Sebentar lagi ada angkot lewat kok. Pasti lewat depan pom
bensin. Mas bisa ke sana, dan mobil biar karni jagain deh.”
“Hmm, iya... tapi... tapi...”
“Atau, biar pelayan saya yang beli bensin ke sana? Mas bisa
tunggu sini sambil ngopi atau...”
“0, ya... bisa minta tolong, ya? Maksud saya, bisa suruh Mas itu
untuk beli bensin di pom sana? Hmrnm, nanti saya kasih uang
lelahnya deh.”
“Bisa aja,” kemudian perempuan berbibir sensual itu bicara pada
anak remaja yang ternyata pelayannya.
“Bar, tolongin Mas itu beli bensin, ya?”
“Ya, Mbak.”
“Kasihan, mobilnya mogok kehabisan bensin. Ntar nggak bisa
pulang,” seraya la tertawa kecil.
Tawanya renyah dan indah.
“Aduuh, terirna kasih sebelumnya. Terirna kasih...”
“Tapi, ternpatnya ada nggak?”
“Hmmrn, wah... jerigen kecil saya juga ketinggaln tuh. Tapi saya
ada bekas botol air mineral. Cukuplah bensin sebotol buat
sementara. Asal jalan saja. Sebentar saya ambil.”
Sambil mengambil botol bekas air mineral, hati Samon berdecak
heran dan kägum.
“Nggak sangka di warung sederhana kayak gitu ada daya tarik
istimewa yang bisa bikin setiap pembeli maunya jadi pelanggan di
situ. Cántik sekali dia. Bodynya juga okey banget. Pantasnya dia
nggak jadi pemilik warung tenda kayak gitu. Jadi pemilik café
bergengsi lebih pantas. Duuh, jantungku jadi berdetak-detak.
Waaah, gawát nih, hehehehe...” Sam tertawa dalam hati. Merasa
malu pada diri sendiri setelah menyadari hatinya tertarik pada
kecantikan di bãlik warung tenda.
Barno, pelayan yang masih berusia sekitar 16 tahun itu, akhirnya
pergi juga setelah menunggu angkot sekitar 10 menit. Selama
menunggu kembalinya Barno, Sam terpaksa memesan minurnan
hangat Ovaltine. Paling tidak hal itu sebagai balas Jasa atas bantuan
yang diberikan oleh perempuan cantik itu.
“Emang malam-malam begini mau ke mana, Mas? Mau pulang ke
rumah apa mau pergi ke suatu tempat?” tanyanya sambil
menyiapkan pesanan Samon.
“Mau ke rumah teman, Mbak. Ada keperluan penting. 0, ya... jam
segini kok belum tutup, apa nunggu suaminya datang.., Ya ? "
“Kami biasa tutup menjelang pukul tiga, Mas.”
“Ooo, kirain nunggu dijemput suaminya.”
Sambil menghidangkan segelas ovaltine panas perempuan itu
tersenyuni malu dan berkata dengan nada ringan.
“Udah lama nggak punya suami kok, Mas.”
“0, ya...?!”
“Udah kabur, nggak tahu ke mana dia. Dengar kabarnya aja
nggak pernah,” ujarnya dengan aksen Jawa cukup kental. Ia tidak
kembali ke balik meja dagangan, melainkan duduk dalam satu
bangku dengan Sam, walau jaraknya lebih dari satu jangkauan.
“Ooooo... jadi, usaha begini cuma dibantu pelayan satu, si Barno
tadi?” Samon mengeluarkan sebungkus rokoknya, lalu menyalakan
sebatang.
“Biasanya ada dua pelayan, tapi yang satu lagi sedang pulang
kampung. Jadi, ya cuma satu orang yang bantuin saya.”
Sam menggumam dan manggut-manggut Berusaha untuk tetap
tenang, walau pun setiap kali beradu pandang dadanya selalu
bergemuruh. Seolah-olah detak jantungnya menjadi sangat cepat
“Sudah berapa tahun usaha begini, Mbak? O,ya... Mbak siapa sih
panggilannya?”
“Mbak Ajeng. Dari anak kecil sarnpai orang tua manggil saya
rata-rata Mbak Ajeng semua. Padahal narna saya bukan cuma Ajeng
saja. Ada terusannya.” Ia tertawa malu, tapi justru makin cantik,
makin menawan, dan makin membuat Samon seperti dibakar api
kemesraan.
Ketika perempuan itu ganti menanyakan nama tamunya, Sam
pun menyebutkan namanya dengan jelas.
Hampir lima belas menit sudah sejak kepergian Barno, ternyata
anak itu beum juga kembali. Memang tak ada kendaraan umum
yang lewat dari arai pom bensin sejak tadi. Kemungkinan besar
Barno sendiri jengkel menunggu angkutan umum belum ada yang
lewat. Dan, waktu menunggu itu telah memberikan peluang banyak
bagi Sam dan Mbak Ajeng untuk ngobrol apa saja yang ingin
mereka obrolkan. Termasuk tujuan Samyang sebenarnya.
“Lho, memangnya kenapa kok malam malam begini harus carl
‘orang pintar’? Apa ada keluarga yang sakit?”
“Bukan sakit, tapi ada gangguan dari alam gaib...,” Sam
rnenjelaskan secara singkat tentang suara tangis misterius itu.
“Oooo, kalau cuma begituan sih, kenapa mesti jauh-jauh panggil
‘orang pintar’, Mas. Buang waktu dan buang tenaga.”
“Maksud Mbak Ajeng... di sekitar sini ada ‘orang pintar’ yang bisa
mengatasi gangguan macam itu?”
Mbak Ajeng menyunggingkan senyum malu-malu.
“Mas tinggalnya...”
“Panggil aja saya; Samon atau Sam,” potongnya cepat.
“Tinggalnya jauh dari sini?”
“Di komplek perumahan Jatiwangi. Tahu kan?”
“Hmm, ya, ya... saya tahu. Kalau begitu, nanti kalau Barno sudah
datang, biar dia kemasi semua dagangan di sini. Kita segera menuju
ke rumah situ deh.”
“Terus, jemput si ‘orang pintar’ itu di mana?”
“Nggak usah dijemput. Kan sudah ada di depan situ.”
Sam terhenyak bungkam. Matanya menatap dalam keraguan.
Ajeng bergegas bangkit menghampiri kompor yang tadi lupa
dipadarnkan apinya. Sambil pergi ke sana ia berkata agak pelan.
“Yaaah, itu sih kalau situ percaya dengan kemampuan-saya.
Kalau nggak percaya, ya jangán dipaksain. Ntar malah kecewa.”
“Mbak Ajeng serius nih?”
Perempuan itu membalikkan badan, menatap Sanion.
“Apa perlu bukti?”
Tatapan matanya begitu tajam, namun punya getaran indah
yang terasa menembus Sampai ke ulu hati. Bikin hati bedesir-desir.
“Kamu sudah tiga kali pacaran, kan? Tapi selalu saja pacarmu
menikah duluan karena dijodohkan oleh orang tuanya?”
Samon tertegun kaget. “Dari mana dia tahu, ya?” pikirnya sambil
tersenyum-senyum kecil menutupi rasa malunya.
“Pacarmu yang kedua berdarah campuran, kan? Dia mirip orang
bule. Rarnbutnya pirang, matanya biru. Sering disangka orang bule
beneran. Betul?”
Kali ini wajah Sam tercengang jelas-jelas. Luar biasa kagetnya
hati Sam mendengar Mbak Ajeng bisa menyebutkan ciri-ciri
Francisca, pacar keduanya itu. Hati semakin berdeba-rdebar stelah
menyadari bahwa ternyata di warung tenda itu Ia justru bertemu
dengan ‘orang pintar’ yang mampu meneropong kehidupan masa
lalunya. Bahkan, rnasalah pribadinya di kantor pun bisa dibeberkan
oleh Ajeng dengan sangat lancar.
“Ada perempuan separoh baya yang sedang jatuh cinta padamu
di kantor. Ia ingin sekali bisa tidur bersarnamu. Ia selalu
memanjakan dirimu, mengistimewakan dirimu, tapi kamu selalu
menghindar karena dia adalah atasanmu sendiri. Dan, kamu merasa
bahwa kehangatan asmararnu tidak bisa dibeli dengan
kekuasaannya. Betul begitu?”
“Cukup, cukup... !“ potong Samon secepatnya. “Okey, okey...
saya percaya Mbak ‘orang iintar’. Tapi tolong jangan kupas rahasia
pribadi saya lagi. Saya malu sambil tertawa cànggung dan salah
tingkah-sendiri.
“Bayangan kehidupanmu bisa kulihat dengan jélas lewat
pandangan matamu, Sam. Bahkan tanpa menatap matamu pun aku
bisa melakukannya.”
“Iya, iya... saya percaya, Mbak... saya percaya.... Cukup deh,
jangan diteropong lagi pribadi saya,” pinta Sam sambil mengangkatangkat
kedua tangannya tanda menyerah. Táwanya tetap tawa
yang sumbang karna bingung menyembunyikan rasa malu.
Kini tatapan mata Ajeng tak setajam tadi. Ekspresi wajahnya
kembali ceria, senyüm manisnya mulai tampak menggoda lagi.
“Jadi, bagaimana?”
“Iya, deh... Saya setuju dengan rencana tadi tolong singkirkan
suara tangis yang menyiksa batin kami itu. ya Mbak.”
“Boleh. Tapi.... kalau ada syaratnya, keberatan nggak?”
“Ada syaratnya? Hmmm, boleh tahu apa syaratnya?”
Mbak Ajeng menatap dengan pandangan yang makin
rnembangkitkan hasrat asmara. Mata indahnya itu menjadi sedikit
sayu. Sementara senyumannya menjadi semacam magnit yang
niemiliki daya tarik sangat kuat, sukar untuk dihindari atau pun
dilawan.
Samon menelan ludah sendiri sambil berkata dalam hatinya,
‘Jangañ-jangan aku salah mengartikan syarat yang dià maksud?
Waaah, bakalan malu lagi kalau aku salah paham nih...”
-ooo0dw0ooo-

3
JARUM jam bergerak tepat di angka 12. Maka, jam dinding itu
berdentang dua kali. Bukan dua belas kalL Karena yang bergerak ke
angka 12 tadi, jarum yang panjang, sedangkan jarum yang pendek
menanti dengan setia di angka dua.
Dentang jam dinding itu menggema memenuhi rumah indah
sang putri dewa. Suasana sepi membuat suara tersebut menjadi
cukup keras, membangunkan Sandhi yang tertidur di sofa panjang
ruang tengah. Dilihatnya Buron masih memainkan remote control
mencari tayangan TV yang cocok dengan seleranya. Beda-beda dikit
tak apalah, pikirnya.
Sandhi pindah tidurnya ke kamar. Saat menuju kamar Ia sempat
melempar kepala Buron dengan bantal yang tadi dipakainya tidur di
sofa. Buuk...!
“Nggak tidur lu?!”
“Ntar...,” jawab Buron pendek. Ia tak marah kepalanya dilempar
pakai bantal karena pelan, dan sudah hal biasa bagi mereka berdua
untuk bercanda kurangajar seperti itu.
“Udah jam dua nih, Ron. Lihat tuh... !"
“Iya, gue tau. Cerewèt Lu, ah!”
“Emang ntar ada pertandingan bola ..?!’
“Nggak.”
“Ya, udah. Matiin aja tevenya. Hemat listrik tau!”
“Gue lagi nungguin Samon, bego!” sentak Buron.
Ia merasa kesal digurui terus seperti anak kecil. Sandhi tak jadi
masuk kamar. Berhenti di depan pintu dan menatap Buron dengan
mata masih sayu karena belumtuntas masa kantuknya.
“Samon? Emang dia mau ke sini .. ?"
“Dia mau jemput gue.Tadi dia telepon, katanya di daerah tempat
tinggalnya dari tadi ada suara orang menangis. Dicari orang
sekomplek nggak ketemu, tapi suara itu masih tetap ada
mengganggu ketenangan para penghuni komplek tersebut. Tadinya
dia mau minta Kumala supaya datang ke sana. Tapi karena gue
bilang Kumala nggak ada di rumah, maka dia paksa gue supaya
menangani misteri itu, gantiin Kumala. Dia mau jemput gue ... "
Kata-katanya berhenti karena merasa tak ada respon dari Sandhi.
Ketika ia menatap ke arah pintu kamar, ternyata Sandhi tertidur
sambil berdiri dan bersandar di kusen pintu. Buron kesal. Dia ambil
bungkus rokok kosong dan dilemparkan tepat mengenai kening
Sandhi.
“Kampret luh, dijelasin malah molor!! Huh... !
Ptetaak...!
“Aaauh...!!” pekik Sandhi langsung menyeringai. Memegangi
jidatnya yang terasa seperti dilempar dengan sepatong kayu keras.
Padahal hanya gumpalan kertas pembungkus rokok yang
sebelunmya sudah diremat-remat Buron. Kertas bungkus rokok itu
tidak akan sekeras kayu mahoni kalau tidák diisi tenaga gaib saat
diremat-remat oleh jelmaan Jin Layon itu.
“Candaan lu kasar,Sapi!” sambil melemparkan bantalnya, tepat
mengenai muka Baron.
Buron tertawa pelan melihat Sandhi bersungut-sungut sambil
mengusap-usap jidatnya. Ternyata lemparan tadi telah membuat
rasa kantuk hilang seketika.
Bahkan selera untuk berbaring pun tak ada lagi. Sandhi bergegas
ke ruang makan Membuka kulkas, minurn air es dari botol. Lalu,
menyambar sepotong kue bikinan Mak Bariah tadi sore dan
memakannya sambil ke ruang tengah lagi.
“Jam berapa lu mau dijemput Samon?”
“Dia bilang sih paling lama setengah jam. ini udah lebih dari
setengah jambelum muncul juga. "
“Telepon ke HP-nya.”
“Udah gue coba. HP-nya nggak aktif.”
“Hmm, kalau gitu..., lu dikerjain ama dia.”
“Gue yakin nggak dikerjain. Gue malah mencemaskan dia.
Jangan-jangan ada sesuatu yang menghalangi perjalanannya
kemari. Dari tadi gue kebayang terus mukanya tuh.”
“Lu homo kali, pengen ciuman ama dia,” ujar Sandhi seenaknya.
Memberi kesan tak serius menanggapi kecemasan Baron. Karena
selama ini Buron dikenal sebagai jelmaan sesosok jin yang suka usil,
konyol dan slebor, maka firasatnya jarang dipercaya Sandhi sebagal
firasat yang serius. Berbeda dengan, Kumala Dewi. Firasatnya selalu
serius dan terbukti dalam kenyataan yang ada.
Sayang sekali malam itu Kumala Dewi tidak ada di rumah.
Kumala telah dijemput oleh utusan dari Kahyangan. ia dipanggil
pentolan dewa-dewa Kahyangan untuk membahas sesuatu yang
sangat pemting.
Semula Kumala ingin menolak panggilan itu, mengingat dulu
ketika ia lahir ia dibuang ke bumi hingga sekarang. Tetapi sang
utusan yang diwakili oleh Dewa Bahakara alias Dewa Jenaka itu
telah menggunakan siasat paksaan halus, yaitu dengan menanam
benih janin ke dalam perut cowok kesayangan Kumala, yaitu Rayo
Pasca.
Jika undangan itu tetap ditolak oleh Kumala, maka dalam waktu
dekat Rayo akan hamil dan melahirkan. Tentunya hal itu akan
memalukan pribadi Rayo sebagai pria sejati, Karena itu lah Kumala
terpaksa bersedia dijemput dan dibawa ke Kahyangan, (Baca serial
Dewi Ular dalarn episode: “Misteri Santet Iblis”).
Perjalanan mereka diawali tadi pagi, setelah Kumala
menyelesaikan kasus Santet iblis.
Tentunya Sandhi maupun Buron menyangka perjalanan Kumala
ke Kahyangan lancar-lancar saja.
Apalagi mereka tahu Kumala tidak sendirian, ada Dewa Jenaka
yang mendampinginya sebagai utusan terhormat dari Kahyangan.
Dewa senior itu tentunya akan melindungi Kuniala jika terjadi
sesuatu.
Tetapi dalam prakteknya si dewa senior justru terkagum-kagum
melihat keberanian Kumala beradu kesaktian dengan senjata
mautnya Penguasa Langit Gab Abadho. Setelah terkagum-kagum si
dewa senior terbingung-bingung karena kehilangan Kumala.
Dewa Jenaka kali ini bersungut-sungut sambil menggerutu
bergaya ABG bumi.
“Gue aja selalu hindari Aji Jagal Gunturnya si Abadho, eeh... dia
main slonong boy aja. Akibathya ya beginilah. mental kemana tuh
anak ya? Wah, jangan-jangan mokat, alias mati?! Aduuhh, jangan
sampai deh, jangan sampai mati . Gue bisa bunuh diri kalau dia
sampai mati. Eh, tapi katanya bunuh diri kan dosa, ya? Nggak jadi
deh. Kapan-kapan aja kalau lagi mood ... "
Sambil mencari dengan getaran radar gaibnya si dewa Bokis
berceloteh terus tiàda hentinya. Kadang dengan suara kadang
hanya dibatin saja. Dewa Bokis bertambah cemas karena radar
gaibnya tidak dapat menangkap sinyal gelombang gaibnya Dewi
Ular. Akibatnya Ia tak dapat memperkirakan dimana titik koordinat
Dewi Ular berada.
Ada beberapa faktor yang membuat sinyal gelombang gaib tidak
dapat terdeteksi pihak lain. Satu di antaranya, apabila orang
tersebut berada dalam ruang hampa gaib. Kesaktian setinggi
apapun apabila berada dalam wilayah ruang hampa gaib, maka
pihak lain tidak alsan bisa menangkap sinyal gaibnya, demikian juga
yang berada di situ tidak dapat menangkap sinyal gaib dari luar.
Tetapi energi gaib yang dimiliki tetap ada. Hanya tidak berfungsi
untuk melakukan komunikasi gaib dengan pihak luar.
Apakah Dewi Ular saat ini berada di wilayah ruang hampa gaib ?
Jawabnya, ya! Akibat adu kesaktian dengan Aji Jagal Guntur
andalannya si Penguasa Langit Gaib, sinar hijau berbentuk seperti
naga kecil itu bagaikan kapas tertiup badai. Melesat cepat dalam
keadan hilang keseimbangan.
Sebenarnya seberkas sinar apapun tak dapat terpental. Tapi
karena di dalamnya terdapat energi padat dari kesaktian Dwi Ular,
maka sinar hijau itu dapat terpental hingga masuk sumur kecil tanpa
air.
Sumur itu hanya berisi gumpalan kabut berwarna kuning, seperti
uap belerang.
Garis tengah sumur itu tidak lebar, sekitar dua kali ukuran
tombak. Permukaannya tertutup kabut putih, sehingga tidak mudah
terlihat oleh siapa pun. Mirip lubang jalanan yang digenangi air. Tak
ada yang menyangka kalau di situ terdapat sumur tanpa air. Meski
pun Iebarnya tak seberapa, tapi kedalamannya sungguh tak dapat
diduga.
Ketika sinar hijaunya Kumala masuk ke situ, Ia merasakan
gerakan meluncur ke bawah cukup lama. Saat meluncur di
kedalaman sumur itu Kumala Dewi tak dapat melihat apa-apa selain
warna kuning, yaitu kuningnya kabut yang baunya mirip daun
kemangi.
Semakin turun semakin jelas warna kuning itu, seperli cahaya
pagi. Makin lama makin jelas, dan akhirnya Ia temükan suasana
terang tapi tak benderang. Seperti suasana senjadi bumi.
Zlaaab. .! Sinar hijau mirip naga kecil ilu berubah menjadi sosok
gadis cantik berambut panjang dengan pakaian ketat berwarna
hijau, bercelana lentur sebatas betis.
Kedua kakinya mengenakan semacam sandal yang terbuat dari
bahan Lentur dengan tali melilit silang - menyilang sampai hampir
menutupi betis indahnya.
Kedua kaki itu kini menapakdi atas tanah bertimput lembut, mirip
lurnut warna orange.
Sebelum Ia bergerak Ieblh lanjut, ía terpaksa menarik napas
panjang. Ada rasa sakit di tulang rusuknya. Mungkin akibat adu
kekuatân déngan Aji Jagal Guntur, sehingga ia terluka di bagian
rusuk kanan. Dengan menarik napas panjang dan menyalurkan
hawa saktinya, maka rasa sakit itu berangsur-angsur hilang.
Kini mata beningnya yang berbulu lentik lebat itu menatap alam
sekeliling. Alisnya. sedkit mengeriñyit, menandakan Ia merasa asing
dengan tempat tersebut.
“Di mana aku ini?!”
Tempat yang aneh namun punya keindahan itu memiliki langit
juga. Tapi langit di situ tidak setinggi jarak pandang langit di bumi.
Langit itu mempunyai gumpalan mega yang berwarna merah
tembaga, namun sebenarnya langit itu sendiri memliki warna dasar
kuning keperak-perakan.
Anehnya, udara di bawah langit itu mempunyai lorong-lorong
yang ditandai dengan warna kabut hitam. Ada yang lorong memiliki
warna kabut merah, biru dan ungu. Ketebalan kabut yang bergerakgerak
membuat Kumala tak bisa melihat ada apa di dalam lorong
berkabut itu.
Di depan matanya terdapat hamparan rumput orange yang
sangat luas. Menyerupai padang golf. Pohon-pohonnya tertata rapi.
Tumbuh teratur. Tidak liar. Daun dan batang pohon rata-rata
memiliki unsur warna kuning. Ada yang kuning gading, kuning
kunyit, ada yang kecoklat-coklatan.
Tanah berumput yang menghampar di depan mata Kumala Dewi
itu tidak datar seperti lapangan bola, melainkan memiliki gundukangundukan
bergelombang, seperti susunan tanah di padang golf.
Pada salah satu sisi terdapat serumpun bambu yang tumbuh
bergerombol dan berderet membentuk huruf U. Warnanya kuning
gading dengan daun coklat agak tua. Bambu-bambu itu tumbuh
melingkari sebuah danau yang berbentuk bundar. Cukup besar.
Airnya berwarna hijau giok. Bening menyegarkan.
“Aaih, bagus sekali air danau itu. ? ! “
Kumala Dewi tersenyum kegirangan, lalu segera menghampiri
danau tersebut.
Namun belum sampai kaki Kumala mendekati pinggiran danau,
tiba-tiba ia merasakan datangnya hawa panas dari arah belakang.
Dengan cepat Ia berbalik ke belakang, dan dilihatnya sebongkah
batu berkobaran lidah api sebesar kepala bayi sedang meluncur
cepat ke arahnya.
Seketika itu tangan Kumala berkelebat sambil tubuhnya
melayang ke atas.
Wuuusst...!
Tangan itu mengeluarkan semburan asap putih berbintik-bintik
hijau, lalu rnenghantambatu terbungkus api.
Jegaaaarrr...!
Ledakan itu membiaskan sinar orange. Menyebar cepat,
menghantam tubuh Dewi Ular. Maka, tubuh itu pun terhempas ke
belakang, lalu jatuh ke tanah berumput dengan cukup kuat.
Bluuugh...! , Dewi Ular langsung menyeringai. “Aauulthkk...!!”
Tulang punggungnya terasa seperti patah. Sementara itu pakaian
hijaunya membekas warna hitam hangus. Membentuk garis
melintang dari dada kiri ke perut kanan. Ia juga merasakan luka
bakar yang cukup serius di bagian perut dan dadanya.
"Uuuhhkk...! Sakit -sekali ... ! Dada dan. perutku pasti robek dan,
oohhhkk...! Urat-uratku seperti putus semua! Celaka. Aku sulit
bergerak, aahk,..aahk, aaahhk..!"
Ia berhasil, duduk. Terengah-engah. Mata tetap waspada.
Dilihat dari luka pada bagian dada sampai perut, Kumala Dewi
yakin lawannya pasti punya kesaktian cukup tinggi. Sinar yang
membias tadi memang melukai tubuhnya, tapi tidak membuat rusak
pakaiannya, kecuali hanya bergaris hitam. pakaiannya tetap utuh,
Dan, itu berarti jenis kesaktian yang digunakan bukan kesakt ian
tingkat sedang. Pasti tingkat tinggi.
"Haaagghh ... !" Dewi Ular mengerahkan hawa salju dari dalam
tubuhnya. Hawa salju itu dialirkan ke sekujur tubuh, sehingga
lukanya tidak terasa, sakit. Ia dapat bangkit kembali.Hawa murni
mengalir deras, sehingga membuat luka koyak di dada dan perut itu
segera bergerak menutup dan akhirnya lenyap tanpa bekas.
Sayang, tak seorang pun, boleh melihat bagian bekas luka itu.
Kena sensor.
"Ke mana dia?" bisik hati Kumala. "Atau mungkin dia memang
hanya sekedar ingin berkenalan dan mengujiku?"
Aji Mata Dewa segera digunakan. Setiap sudut tempat
diperhatikan. Akhirnya ia menemukan sesuatu yang mencurigakan
di antara dua pohon berdahan rimbun bagaikan sepasang payung.
Kekuatan aji Mata Dewa membuatnya mampu melihat pada
lapisan udara. di antara kedua pohon. Ada energi panas yang
sedang aktif. Maka dengan cepat jari tangannya dikibaskan seperti
melempar pisau belati, dan ujung jari itu mengeluarkan sinar hijau
berbentuk runcing, mirip mata tombak.
Claaap... !
Sinar itu luar biasa cepatnya, sehingga dalam sekejap sudah
menerjang lapisan udara di antara dua pohon.
Bleeegaarr...!
"Aahkk ...............!!!!"
Ada suara pekikan pendek. Suara itu bersamaan dengan
pecahnya lapisan udara dan terlemparnya sesosok tubuh dari sana.
Wuuut, bruuuss ... !
Srossssoooooott ....... !!!
Tubuh.yang terlempar.dari persembunyiannya itu meluncur
seperti kereta salju di atas rerumputan. Kumala Dewi segera
mengejarnya. Bukan untuk menghajarnya kembali. Namun hanya
mengikut i sampai tubuh itu berhenti dari meluncurnya.
"Hahh... ??!" tersentak suara kaget Kumala setelah mengetahui
bahwa musuh yang dihantamnya tadi ternyata gadis kecil berusia
sekitar 6 tahun. Tubuhnya agak kurus, tapi berkulit kuning bersih.
Wajahnya mungil, matanya bundar indah, rambutnya panjang
berponi di bagian depan.
"Ya,. ampuuun...! Ooh, maafkan aku:, maafkan aku, Dik... !"
Kumala Dewi sangat menyesali tindakannya tadi. la segera
berlutut menolong lawannya, karena anak tersebut menyeringai
kesakitan dan mengalami sukar bernapas.
Dewi Ular segera menyalurkan hawa suci untuk pengobatan.
Dalam waktu singkat anak itu pun mulai bisa bernapas longgar dan
tidak menyeringai kesakitan lagi.
"Maafkan -aku, ya Dik? Kalau tahu kau masih anak-anak, aku
tidak akan menyerangmu! Maaf, ya?"
"He,eh ... Nggak apa-apa kok, Kak. Tadi aku juga nakal, cobacoba
gangguin Kakak."
"Oo., jadi benar, tadi yang menyerangku kamu?"
Gadis cantik nan mungil itu menganggukkan kepala dengan
sangat lugu. Polos sekali sikapnya.
"Tadi aku coba-coba mainkan tanganku maju-mundur, eeh tahutahu
keluar apinya. Api itu nyerang Kakak... terus... terus, meledak,
keras sekali. Aku.takut. Maka, aku sembunyi. Maapin aku juga,
ya Kak."
"Iya, iya... Kakak nggak marah kok,"' Kumala Dewi memberikan
senyum keramahannya , supaya anak itu yakin betul kalau sang
kakak benar-benar tidak marah.
Sebab, saat menuturkan pengakuannya tadi, wajah mungil
secantik boneka itu tampak ketakutan. Rona penyesalannya
kelihatan jelas. Maka, Kumala harus segera menetralkan perasaan
bersalah anak tersebut.
"Kamu bisa panggil aku Kak Mala, ya? Nama kakak Kumala Dewi.
Nama kamu siapa?"
"Hmmm, hmmm... nggak tahu, Kak."
"Lho, kok sama namanya sendiri nggak tahu?"
"Habis, aku lupa, Kak. Waktu aku jatuh kejeblos lubang,
kepalaku, terbentur-bentur. Sakiiiit, sekali. Terus, aku nggak tahu
bagaimana, eeh... tahu-tahu,,.aku udah di sini."
"Sendirian ...!”
"He,eh. Sendirian. Aku takut. Terus aku nangis. Lamaaaa... sekali
aku nangis. Habis, aku lapar, hauuus banget.. Mau minum air
danau., tapi takut mati. Habisnya, aku lempar kayu di danau, eeh...
kayunya langsung terbakar. Jadi, aku nangis .terus. Sampai ada
bayangan orang kasih minuman, ada teh, ada kopi, ada air putih...,
terus, aku minum bayangan itu. Uuh, lega deh. Hausku jadi ilang..."
Kumala dewi menggumam haru. "Kasihan anak ini..."
Lalu, ia bertanya, "Jadi kamu bukan tinggal di sini?"
"Bukan," ia menggeleng dengan lugu. "Kamu tinggal di mana?"
"Ngggg... nggak tahu. Aku lupa."
"Orang tuamu siapa?"
"Naah, itu juga aku lupa, Kak. Aku udah berusaha ingetin.
lamaaa... sekali, eeh nggak inget-inget juga. Kalau aku paksain
inget-inget terus, kepalaku jadi sakit. Eeh, tapi sekarang rasa ngilu
di kepalaku kok udah nggak ada? ,Udah sembuh, ya Kak?".
"'Mudah-mudahan," jawab Kumala sambil tersenyum lembut.
Sebenarnya ia ingin katakan, bahwa hawa suci yang disalurkan
darinya tadi dapat untuk menyembuhkan semua penyakit yang
diderita anak itu.
Tapi agaknya keterangan tersebut belum diberikan, mengingat si
gadis kecil tidak membutuhkan penjelasan seperti itu.
Kumala hanya berkata dalam, hatinya, "Anak ini jatuh, terperosok
lubang, mungkin sama dengan keadaanku tadi. Bedanya, kepala dia
terbentur-bentur, sedangkan aku nggak sampai begitu. Mungkin
benturan di kepala itulah yang membuatnya lupa jati diri. Kalau
bahasa ilmiahnya... amnesia."
Gadis mungil secantik boneka Barbie itu memang tampak lugu
dan polos. Tapi sebenarnya ia memiliki kesaktian yang cukup
lumayan. Barangkali kesaktian itu adalah kesakt ian turun temurun,
yang didapatkan, tanpa melalui berlatih dan bertapa. Namun dari
mana ia berasal sebenarnya, sulit dipastikan. Mungkin anak manusia
bumi hasil perkawinan silang dengan dewa, atau mungkin anak dari
penghuni planet lain-yang jauh dari bumi.
"Dilihat dari pakaiannya yang serba ketat, warna merah, kainnya
halus dan bagus, berhias manik-manik intan, aah... aku yakin dia
bukan anak biasa. Setidaknya anak raja atau penguasa yang punya
status terhormat. Hmm, tapi badannya berbau wangi? Apakah dia
anak dewa juga? Cuma... aroma. wanginya kok nggak kayak aroma
dari badanku, ya?"
Anak itu berkata, "Kakak, kamu jangan mandi di danau itu. Nanti
bisa kebakar lho."
"Apa iya?"
"Danau itu ada racunnya."
"Dari mana kamu tahu?"
"Kan aku pernah. lemparkarr kayu, terus kayunya kebakar. Kalau
kakak kebakar, nanti kakak item Iho. Nggak cantik lagi kayak aku..."
sambil ia tersenyum malu.
Lucu dan membuat Kumala tertawa geli. la cubit pipi si bocah
dengan gemas, lalu Kumala pun berkata padanya.
"Kamu kuberi nama Barbie aja,,ya? Buat sementara aja."
"Barbie itu apa binatang yang katanya suka dipotong dan
dimakan manusia bumi .”
"Itu... babi!",Kumala tertawa. "Kecil kecil kok udah main plesetan
kata kamu ini. Barbie itu Hanya boneka. Lucu, cantik, dan mungil
kayak kamu. Bagaimana, mau kan kuberi nama Barbie?"
"Nanti aku jadi boneka?"
"Ya, nggak. Cuma pinjem nama aja. Daripada ,ingat-ingat
namamu .susah. Biarkalau ada apa-apa kakak bisa manggil kamu."
"O000... jadi kakak mau manggil aku? . Manggil aja sekarang."
Kumala.semakin geli mendengar kepolosan Barbie. Kepala anak
itu dipeluk di perutnya sambil tertawa gembira. Anak itu pun ikut
tertawa walau pun mungkin tak tahu apa yang harus ditertawakan.
"Kak Mala mau bobo? Yuk, aku kasih tahu tempat yang fenak
buat bobo..."
"'Kok bobo? Kita harus cari jalan keluar dari tempat ini, Barbie.
Ngapain buang-buang waktu buat bobo?"
"cari jalan keluar? Aaah, percuma-lah. Nggak akan nemu."
"Maksudmu?"
"Aku udah coba ke sana-sini cari jalan keluar, tapi nggak pernah
bisa, Kak. Nggak ada jalan keluar dari tempat ini."
"Nggak ada?"
"Iya. Aku udah lompat masuk ke lorong-lorong di langit itu, tapi
ternyata itu bukan, jalan keluar. Itu cuma lorong buntu. Isinya cuma
kabut."
"Kamu .bisa lompat masuk ke lorong udara itu?! Setinggi itu
kamu bisa jangkau dengan, lompatan?!"
"Bisa," sambil mengangguk polos lagi. "Kak Mala bisa nggak?
Mau aku ajarin supaya bisa?!"
Tertegun bengong Kumala mendengarnya. Masih sekecil itu,
Barbie sudah bisa melompat ke tempat yang cukup t inggi dan
berjarak cukup jauh. Luar biasa sekali anak ini, pikir Kumala.
Dan, dia bilang... dia sudah menjelajahi tempat ini untuk mencari
jalan keluar? Hmm, tentu saja,,ia menjelajahi bukan dengan jalan
kaki biasa. Pasti dengan kesaktiannya yang membuatnya bisa
bergerak sangat cepat.
Tapi... tapi apa benar nggak ada jalan keluar dari sini? Gawat
dong kalau benar begitu. Duuh... gimana caranya, ya? Masa sisa
umurku harus ku habiskan' di sini hanya bersama si mungil Barbie
ini?"
Kumala Dewi tertegun lama memikirkan sebuah cars untuk bisa
keluar dari.alamsunyi tak berpenghuni itu .
oooOdOwOooo