SATU
SIANG itu terasa begitu indah.
Langit begitu bening, dihiasi awan tipis yang berarak perlahan mengikuti
hembusan angin sejuk. Hangatnya sang mentari tak begitu terasakan menyengat.
Seakan-akan bola api raksasa itu pun ingin menikmati pula indahnya siang ini.
Keadaan alam seperti itu, dinikmati oleh hampir seluruh penduduk Desa Ragasari
yang terletak di sepanjang sungai. Mereka seakan-akan tidak ingin melewatkan
begitu saja hari nan indah ini. Seolah-olah tak ada hari-hari yang indah lagi
yang akan dijumpai.
Di sebuah dangau kecil yang tidak
jauh dari sungai, terlihat seorang laki-laki setengah baya ditemani dua anak
muda berusia sekitar dua puluh tahun. Mereka memandangi orang-orang yang
bergembira bermain-main di sungai, atau berjemur diri di tepinya. Dari pakaian
yang dikenakan, bisa dipastikan kalau mereka termasuk orang berada. Terlebih
lagi, di sekitar dangau kecil itu tampak beberapa orang bersenjata golok di
pinggang, seperti sedang berjaga-jaga.
"Lihatlah, mereka begitu
gembira. Seakan-akan tiada hari lain untuk bergembira...," ujar laki-laki
setengah baya itu, agak bergumam.
"Seharusnya mereka tidak
perlu terlalu cepat bergembira, Ayah," selak pemuda yang mengenakan baju
warna merah ketat.
Di pinggangnya tergantung sebilah
pedang yang dihiasi sebuah batu merah delima pada bagian ujung gagangnya.
Wajahnya cukup tampan, dengan senyum yang memikat. Kulitnya kuning langsat,
bagai kulit seorang wanita. Laki-laki setengah baya yang berada di sampingnya,
menatap pemuda itu lekat-lekat. Kemudian, ditepuk-tepuknya bahu pemuda itu
sambil melepaskan senyum lebar.
"Kenapa kau masih juga
beranggapan kalau peristiwa itu belum tuntas, Candraka?" lembut sekali
suara laki-laki setengah baya itu.
"Kita belum menangkap si
Anggrek Hitam, Ayah. Sedangkan dia sendiri belum jelas, siapa orangnya. Aku
yakin, cepat atau lambat, peristiwa itu akan terulang kembali. Dan yang pasti,
akan lebih dahsyat daripada kemarin," tegas pemuda berbaju merah ketat
yang dipanggil Candraka.
"Kakang Candraka terlalu
khawatir. Anggrek Hitam pasti akan berpikir seribu kali untuk datang lagi ke
desa kita," selak seorang pemuda lainnya yang mengenakan baju warna
kuning.
Pemuda itu berkulit lebih putih
daripada Candraka. Bahkan wajahnya tidak bisa dikatakan tampan, tapi lebih
tepat dikatakan cantik. Tubuhnya juga ramping seperti perempuan. Apalagi, sikap
serta tutur katanya begitu lembut. Jika dilihat sepintas lalu saja, orang pasti
akan menduga wanita. Hanya pakaiannya saja yang menandakan kalau dirinya
laki-laki.
"Kekhawatiran selalu ada,
Salaya. Dan itu sangat perlu. Apalagi bila mengingat kedudukan ayah sebagai
kepala desa, dan sangat terpandang di Desa Ragasari ini," sergah Candraka.
"Tapi aku tetap yakin kalau
Anggrek Hitam tidak akan berani lagi datang ke sini," tukas Salaya mantap,
namun tetap terdengar lembut suaranya.
"Sudah..., sudah. Persoalan
itu tidak perlu dibicarakan lagi. Sebaiknya kalian ikut bersenang-senang
bersama mereka," laki-laki setengah baya yang ternyata Kepala Desa
Ragasari menengahi. Dia juga dikenal dengan nama Ki Anggarasana.
Kedua pemuda itu tidak lagi
bertentangan pendapat. Mereka langsung terdiam begitu ditengahi. Sementara di
tepian sungai, penduduk Desa Ragasari masih terus menikmati hari yang cerah
ini. Mereka benar-benar melupakan peristiwa berdarah yang baru saja berakhir
didesa ini. Peristiwa yang membuat mereka selalu dicekam rasa takut. Kini,
mereka bisa bebas keluar. Bahkan bisa bersenang-senang seperti hari-hari
sebelum munculnya seorang yang dijuluki si Anggrek Hitam bersama enam
pengikutnya.
"Coba kalian lihat, banyak
gadis cantik disana. Kenapa kalian tidak bergabung, dan memilih salah seorang
dari mereka...?" pancing Ki Anggarasana.
"Ayah selalu saja berkata
seperti itu. Sekarang, kenapa Ayah sendiri tidak mencari pengganti
ibu...?" selak Candraka.
"Benar! Sudah lama Ayah
hidup sendiri. Kami ingin Ayah juga bersenang-senang. Dan kalau bisa, memilih
calon pendamping pengganti ibu," sambung Salaya.
"Ah! Kalian selalu saja
mendesak. Padahal sudah berulang kali kukatakan, aku tidak ingin mencari
pengganti kedudukan ibu kalian. Aku sudah cukup bahagia bisa mendidik dan
membesarkan kalian, sehingga berguna bagi desa ini," sergah Ki Anggarasana
agak terharu.
Memang, sudah lama laki-laki
setengah baya ini ditinggal mati istrinya. Sejak kedua anaknya masih
kecil-kecil dan membutuhkan perhatian serta belaian kasih sayang seorang ibu.
Tapi, hal itu tidak membuatnya jadi patah semangat. Bahkan berhasil mendidik
kedua putranya dengan baik. Sudah seringkali kedua anaknya ini mendesak agar
dirinya mencari seorang istri lagi. Tapi, Ki Anggarasana tidak pernah punya
niatan ke situ.
Sebenarnya hati laki-laki
setengah baya itu terharu akan kasih sayang dan perhatian anak-anaknya ini. Dia
selalu saja teringat istrinya, setiap kali hal itu dibicarakan. Tapi Ki
Anggarasana selalu bisa menutupi walau hanya dengan senyuman. Meskipun,
senyuman itu terasa hambar. Kalau pembicaraan sudah mengarah ke situ, dia
selalu cepat mengalihkannya, seakan-akan hal seperti itu tidak ingin
dibicarakannya lagi.
"Kalian di sini saja,"
ujar Ki Anggarasana seraya bangkit berdiri.
"Ayah akan ke mana?"
tanya Salaya.
"Pulang," sahut Ki
Anggarasana.
"Pulang...? Kenapa...?"
"Aku lupa, ada sesuatu yang
harus kukerjakan," Ki Anggarasana beralasan. Candraka dan adiknya hanya
saling berpandangan saja. Sedangkan Ki Anggarasana sudah melangkah meninggalkan
dangau kecil itu. Tampak empat orang yang berjaga-jaga di sekitar dangau itu
segera mengikuti Ki Anggarasana. Kini tinggal Candraka dan adiknya yang masih
berada di dangau ini. Namun, masih ada empat orang lagi yang tetap
berjaga-jaga.
"Kalian boleh pergi,"
ujar Candraka pada empat orang itu, setelah Ki Anggarasana jauh.
"Tapi, Den...," salah
seorang merasa keberatan.
"Aku bukan anak kecil lagi
yang masih perlu dijaga. Pergilah kalian, ke mana saja," sentak Candraka
agak keras.
Empat orang laki-laki bersenjata
golok terselip di dipinggang itu saling berpandangan. Kemudian mereka
membungkuk sedikit dan melangkah pergi.
"Tidak seharusnya berkata
kasar begitu pada mereka, Kakang," tegur Salaya.
"Sesekali kita harus
bersikap tegas, Salaya," sahut Candraka.
"Bersikap tegas, bukan
berarti membentak, Kakang."
"Sudahlah.... Sebaiknya kau
pergi saja, bergabung bersama mereka. Aku ingin tidur," dengus Candraka.
"Tidur di sini...?"
"Kenapa? Di sini, atau di
mana saja sama."
Salaya tidak dapat lagi berkata
apa-apa, melihat kakaknya sudah membujur sambil menekuk kedua tangannya di
belakang kepala. Pemuda berbaju kuning yang. lembut bagai wanita itu hanya
menggeleng-gelengkan kepala saja. Dia kemudian beranjak bangkit berdiri.
Dipandanginya Candraka yang sudah terpejam. Entah sudah tidur, atau belum.
"Hhh...!" Salaya hanya
bisa menghembuskan napas saja.
Pemuda itu kemudian melangkah
pergi. Disadari kalau antara dirinya dengan Candraka memang terdapat perbedaan
menyolok. Meskipun mereka bersaudara kandung, tapi watak, sifat, jalan pikiran,
serta tindak-tanduk mereka berdua sangat berbeda jauh. Bahkan begitu bertolak
belakang. Sering mereka berbeda pendapat, walaupun hanya sebatas perang mulut
saja. Tapi, mereka juga sangat menyayangi dan saling melindungi.
Sepeninggal adiknya, Candraka
membuka matanya kembali. Sedikit kepalanya diangkat, lalu bibirnya tersenyum
melihat Salaya berjalan perlahan-lahan semakin jauh menyusuri tepian sungai.
Beberapa orang yang berada di sepanjang tepian sungai tampak menyapanya. Salaya
menyambut sapaan itu dengan sikap lembut dan ramah.
"Uh! Bosan di sini
terus...!" dengus Candraka mengeluh.
Ringan sekali pemuda itu melompat
bangkit, langsung turun keluar dari dangau ini. Gerakannya begitu indah dan
ringan. Jelas, kepandaiannya cukup tinggi juga. Sebentar pandangannya beredar
ke sepanjang sungai, lalu kakinya terayun mantap meninggalkan tempat itu.
Candraka tidak menuju ke sungai, melainkan menyusuri jalan setapak yang
menanjak dan agak berliku. Ayunan kakinya begitu mantap, namun terasa ringan
sekali. Dia terus berjalan agak tergesa-gesa, seakan-akan ada yang hendak
dikejarnya.
"Hhh...! Mudah-mudahan saja
dia masih sabar menungguku. Gara-gara si Salaya, rencanaku hampir gagal!
Huh...!" Candraka menggerutu sendiri.
Sampai di tikungan jalan yang
menuju tiga arah, Candraka berbelok ke kiri. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke
kiri, lalu cepat berlari menggunakan ilmu meringankan tubuh. Jalan yang
diambil, tampaknya menuju sebuah lembah kecil di tengah hutan. Candraka terus
berlari cepat, sehingga sebentar saja sudah mencapai hutan yang tidak begitu
lebat lagi. Memang, penduduk Desa Ragasari selalu mengambil kayu di hutan ini.
"Hup! Yeaaah...!"
Candraka melompat tinggi ketika
di depannya menghadang sebatang pohon tua tumbang. Dan begitu kakinya kembali
menjejak tanah, dia cepat berlari lagi. Ilmu meringankan tubuh yang dikuasainya
memang cukup tinggi. Dan dalam waktu tidak berapa lama saja, pemuda itu sudah
mencapai lembah kecil yang memiliki pemandangan indah, bagai di sebuah taman
Swargaloka. Candraka menghentikan larinya, kemudian berjalan ringan melintasi
lembah itu. Dia terus berjalan tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri lagi.
Tatapan matanya lurus ke depan,
memandang sebuah pondok kecil yang letaknya cukup tersembunyi di antara
rapatnya pepohonan. Pemuda itu baru berhenti berjalan, setelah berada di depan
pondok. Sunyi sekali keadaannya, seperti tidak ada seorang pun yang menempati
pondok ini. Namun sebelum Candraka mengayunkan kakinya kembali, pintu pondok
bergerak terbuka. Seketika dari dalam pondok muncul seorang wanita berbaju
ketat berwarna hijau muda. Sehingga, lekuk-lekuk tubuhnya yang ramping dan
padat nampak terpetakan di balik bajunya.
Candraka memberi senyuman.
Bergegas dihampirinya wanita cantik berkulit putih halus bagai kapas itu.
Tangannya langsung merentang, mencengkeram lembut bahu wanita itu. Senyum di
bibirnya semakin lebar mengembang, manakala wanita itu juga menyunggingkan
senyum manis.
"Lama kau menungguku
Andira...?" lembut sekali suara Candraka.
"Baru saja aku akan
pergi," sahut wanita yang dipanggil Andira itu, manja.
"Maaf, aku harus menemani
ayah dan Salaya," ucap Candraka beralasan.
Mereka kemudian masuk ke dalam
pondok itu Dengan ujung kakinya, Candraka menutup pintu pondok kembali.
Dibimbingnya Andira dengan tangan melingkar di bahu. Dan wanita itu semakin
bertambah manja, sehingga tubuhnya langsung dirapatkan dan kepalanya diletakkan
didada Candraka. Bau harum yang menyebar dari rambut Andira, menyeruak mengusik
cuping hidung pemuda itu.
"Ah! Rupanya kau sudah
mempersiapkan biduk kita, Andira," desak Candraka.
Senyum pemuda itu semakin lebar
terkembang ketika melihat pembaringan yang sudah rapi, beralaskan kain sutra
halus berwarna jingga. Andira hanya tersenyum saja. Dilepaskannya rangkulan
pemuda itu, lalu duduk di tepi pembaringan. Candraka memandangi wajah cantik di
depannya Sikap Andira begitu manja. Seketika tangannya direntangkan ke depan.
Maka, Candraka menyambut uluran tangan itu, kemudian duduk di sampingnya.
"Ahhh...," Andira
mendesah seraya menggeliat dan menengadahkan kepalanya ketika Candraka memeluk
pinggangnya. Melihat leher yang putih jenjang, Candraka tak dapat lagi
bertahan. Bagai seekor serigala buas yang kelaparan, dipagutnya leher putih
jenjang itu. Lagi-lagi Andira mendesah lirih, begitu merasakan pagutan hangat
di lehernya. Andira semakin merapatkan tubuhnya, saat Candraka mulai melumat
bibirnya disertai gairah menggelegak.
"Ahhh..., Kakang,"
desah Andira lirih. Perlahan tubuh mereka rebah ke atas pembaringan. Jari-jari
tangan Candraka mulai nakal, menjelajahi tubuh wanita itu. Mau tak mau, Andira
menggelinjang sambil merintih lirih. Hati-hati sekali Candraka mulai melepaskan
pakaian yang dikenakan wanita ini. Matanya jadi liar begitu menangkap sebentuk
bukit indah yang putih menegang kaku. Candraka tak mampu lagi menguasai diri.
Diremasnya bukit yang indah itu penuh gairah.
"Auh...!" Andira
terpekik manja.
"Kau menggairahkan sekali,
Andira," desah Candraka di sela-sela dengus napasnya yang memburu.
Hanya itu saja yang diucapkan
Candraka. Sedangkan napasnya semakin memburu, bagai kuda pacu yang didera terus
mendaki bukit yang tertinggi. Suara erangan lirih dan dengus napas memburu
berbaur menjadi satu. Sementara keadaan di luar pondok ini tetap sunyi. Desir
angin yang mempermainkan dedaunan, seakan-akan tak mampu mengusik dua insan di
dalam pondok itu. Sementara desah napas semakin keras terdengar memburu. Hingga
akhirnya....
"Kakang, akh...!"
"Ohhh...."
Candraka mengejang sesaat,
kemudian menggelimpang dengan tubuh bersimbah peluh. Sebentar matanya terpejam,
seakan akan ingin membayangkan kembali kenikmatan yang baru saja dirasakan.
Matanya baru terbuka saat merasakan ada satu kecupan lembut di bibirnya, Bibirnya
tersenyum menatap wajah cantik yang begitu dekat dengan wajahnya. Candraka
kemudian melingkarkan tangannya ke tubuh ramping wanita itu.
"Kakang...," desah
Andira lembut.
"Hm...," gumam Candraka
perlahan.
"Boleh aku bertanya sesuatu
padamu?" pinta Andira, tetap lembut seraya melepaskan pelukan muda itu.
Andira meraih pakaiannya yang
teronggok di ujung kakinya, kemudian mengenakannya kembali. Candraka juga ikut
duduk, dan juga mengenakan pakaiannya. Namun pandangan pemuda itu tidak beralih
dari wajah cantik didepannya.
"Apa yang ingin kau
tanyakan, Andira? Tentang hubungan kita ini?" kata Candraka, tetap lembut
nada suaranya.
"Bukan," sahut Andira.
Candraka mengerutkan keningnya.
"Aku tidak pernah
mempersoalkan hubungan kita ini, Kakang. Aku tahu, kita tidak mungkin bisa
melanjutkan ke jenjang perkawinan. Hatiku sudah cukup puas dengan cara
begini," jelas Andira, seperti ingin meyakinkan pendiriannya pada pemuda
itu.
"Lalu, apa yang ingin
ditanyakan?" tanya Candraka tidak mengerti.
Pemuda itu memang tahu kalau
Andira tidak menuntut banyak dari hubungan mereka selama ini. Sementara
Candraka sendiri sebenarnya tidak menginginkan hal ini berlangsung
terus-menerus. Tapi, keadaan lah yang memaksa demikian. Maka kini mereka
sama-sama sepakat untuk saling merahasiakan hubungan ini. Dan selama ini,
memang belum ada yang tahu kalau mereka sering bertemu di lembah ini. Ada satu
jurang perbedaan yang sangat besar di antara mereka berdua, sehingga tidak
mungkin dapat bersatu dalam membina rumah tangga. Dan itu sama-sama disadari
satu sama lain.
"Tentang Anggrek
Hitam," kata Andira pelan.
Candraka terkejut bukan main
mendengar kata-kata Andira barusan. Sungguh tidak pernah disangka kalau Andira
akan menanyakan tentang Anggrek Hitam. Sebuah nama yang dalam beberapa hari
lalu sangat ditakuti seluruh penduduk Desa Ragasari. Dan sekarang, mereka semua
hendak melupakan nama mengerikan itu. Tapi sekarang, Andira justru ingin
mengetahui, di saat mereka baru saja mengarungi samudera cinta dengan biduk
asmara. Candraka memandangi wanita itu dalam-dalam, seakan-akan tidak percaya
kalau Andira melontarkan kata-kata yang tidak pernah diduga sebelumnya.
"Kenapa kau ingin tahu
tentang Anggrek Hitam, Andira?" tanya Candraka ingin tahu.
"Hanya ingin tahu saja,
Kakang. Tapi kalau kau tidak bersedia mengatakannya, aku tidak memaksa,"
sahut Andira seraya beranjak turun dari pembaringan.
Wanita itu menghampiri meja kecil
yang terletak di sudut ruangan ini. Diambilnya dua cawan dari perunggu dan
diisinya dengan arak. Andira menghampiri pemuda itu lagi, lalu menyerahkan
secawan arak. Satu lagi untuknya sendiri. Dia kembali duduk di tepi pembaringan
ini.
"Apa yang ingin kau ketahui
dari Anggrek Hitam, Andira?" tanya Candraka setelah meneguk araknya.
"Aku hanya ingin tahu, apa
kau sudah mengetahui siapa Anggrek Hitam sebenarnya," sahut Andira kalem.
Candraka menggeleng.
"Lalu, kenapa dia mengacau
Desa Ragasari? Bahkan membunuhi penduduk yang keluar dari rumahnya."
"Aku tidak tahu,
Andira," sahut Candraka.
"Kau tidak
menyelidikinya?"
"Sudah, tapi sulit, Segala
tindakannya begitu cepat dan tidak diduga. Dia seperti iblis, sehingga bisa ada
di mana-mana tanpa dapat diketahui kapan kemunculannya."
"Kakang, apa kau punya
dugaan kalau Anggrek Hitam akan muncul lagi?" tanya Andira lagi.
"Ya, aku selalu berpikir
demikian. Tapi, ayah dan adikku begitu yakin kalau Anggrek Hitam tidak mungkin
berani menampakkan diri lagi di Desa Ragasari," sahut Candraka.
"Aku juga begitu,
Kakang," Andira mengemukakan dugaannya.
"Maksudmu...?" Candraka
tidak mengerti.
"Sama sepertimu. Aku yakin,
Anggrek Hitam bakal muncul lagi. Dia pasti belum memperoleh keinginannya,
sehingga akan datang lagi mengacau desa ini. Atau mungkin juga, dengan cara
lain," jelas Andira, kini mengemukakan pendapatnya.
"Bagaimana kau bisa
berpendapat demikian, Andira?" tanya Candraka agak heran juga.
"Aku dilahirkan dari
kalangan persilatan, Kakang. Kedua orang tuaku adalah tokoh persilatan yang
disegani pada masanya. Sedikit banyak, aku tahu seluk beluk dan cara-cara orang
persilatan. Mereka tidak akan pergi begitu saja, tanpa membawa hasil yang diinginkan.
Aku yakin, Anggrek Hitam menginginkan sesuatu dari Desa Ragasari. Hanya saja,
sesuatu itu belum didapatkan. Jadi, berarti dia pasti akan datang lagi,"
Andira mengutarakan pengetahuannya mengenai orang-orang persilatan.
"Kau yakin hal itu,
Andira?" tanya Candraka, seakan-akan ingin meyakinkan dirinya sendiri.
"Entahlah. Itu hanya
dugaanku saja, Kakang," sahut Andira seraya mengangkat bahunya.
"Aku juga menduga seperti
itu. Tapi setiap kali ku utarakan, tidak ada yang peduli. Bahkan aku dianggap
hanya mengada-ada saja," jelas Candraka.
"Juga ayah dan
adikmu...?"
"Mereka selalu berpendapat
kalau Anggrek Hitam tidak bakal muncul lagi. Padahal, aku begitu yakin kalau
dia akan muncul lagi untuk menghancurkan seluruh Desa Ragasari."
Mereka jadi terdiam cukup lama.
"Sudah hampir malam. Aku
harus segera pulang," pinta Andira seraya beranjak bangkit berdiri.
"Kau kuantar pulang,
Andira," kata Candraka ikut turun dari pembaringan.
"Jangan! Nanti ada yang
melihat kita," tolak Andira.
Sebenarnya Candraka tidak mau
peduli. Tapi, dia teringat dengan janjinya sendiri. Terpaksa Andira
dibiarkannya pulang sendiri. Candraka baru meninggalkan pondok setelah wanita
itu sudah tidak terlihat. Kali ini pemuda itu berjalan tidak tergesa-gesa
seperti berangkat tadi.
"Kapan semua ini akan
berakhir...? Apakah Andira tidak pantas jadi istriku?" keluh Candraka
dalam hati.
Candraka sebenarnya sudah bosan
dengan cara sembunyi-sembunyi seperti ini. Tapi untuk berhubungan secara
terang-terangan, rasanya memang tidak mungkin. Semua orang di Desa Ragasari
sudah tahu, siapa Andira itu. Dan ini yang menjadi ganjalan berat di hati
Candraka. Semula semua itu tidak ingin dipedulikan Candraka. Tapi mengingat
ayahnya adalah kepala desa yang teramat disegani, pemuda itu tidak mampu menolak
keadaan. Candraka tidak bisa membayangkan, bagaimana rupa ayahnya jika sampai
tahu hubungan ini. Candraka tidak tahu, apa yang harus dilakukannya lagi.
Keadaannya memang sulit. Dan dia harus menerima, meskipun menyakitkan sekali.
***
DUA
Keadaan di Desa Ragasari sudah
benar-benar kembali seperti biasa. Mereka yang bertani, sudah mulai menggarap
sawah ladangnya. Pedagang pun sudah kembali memenuhi pasar. Kesibukan kembali
terasa di desa yang cukup besar ini. Tak seorang pun yang menyebut-nyebut
Anggrek Hitam lagi. Mereka sudah melupakan julukan yang sempat menjadikan desa
ini bagai neraka.
Malam sudah mulai menyelimuti
seluruh Desa Ragasari yang terletak di tepi Sungai Ajir. Beberapa orang masih
terlihat berada di luar rumahnya. Semakin larut, satu persatu mereka masuk ke
dalam rumah masing-masing. Sementara suasana di Desa Ragasari jadi sunyi. Tak
terdengar lagi suara-suara percakapan, kecuali gerit serangga malam.
Namun tiba-tiba saja, di dalam
kesunyian malam itu terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat cepat. Dia
kemudian menyelinap kebalik sebatang pohon beringin yang sangat besar, di
pinggir jalan yang membelah Desa Ragasari ini. Sebentar bayangan hitam itu
tidak terlihat, kemudian kembali berkelebat cepat menuju sebuah rumah yang hanya
diterangi sebuah pelita di beranda.
Sosok hitam itu merapatkan
tubuhnya kedinding dekat pintu. Sukar dikenali wajahnya, karena seluruh
kepalanya terselubung kain hitam pekat. Sedangkan wajahnya mengenakan topeng
dari kayu berbentuk tengkorak. Sebentar diamatinya keadaan sekelilingnya.
Kemudian, tubuhnya melesat ringan ke atas atap rumah itu. Tak terdengar suara
sedikit pun saat kakinya mendarat di atap.
"Hm..., sepi. Kesempatan
baik bagiku," gumam sosok tubuh hitam itu perlahan.
Hati-hati sekali, dibukanya atap
rumah itu. Setelah cukup mendapat lubang untuk masuk ke dalam, cepat tubuhnya
meluruk turun melalui atap yang sudah terbuka. Gerakannya ringan sekali,
sehingga sedikit pun tidak ada suara yang ditimbulkannya. Kakinya seketika
mendarat lunak di dalam sebuah ruangan di rumah ini. Keadaan ruangan itu cukup
remang-remang, karena hanya sebuah pelita kecil yang ada di sini. Mata sosok
bayangan itu menatap tajam empat orang yang tertidur pulas di atas balai-balai
bambu. Perlahan-lahan didekatinya empat orang yang tengah terbuai dalam mimpi
itu. Diamatinya sebentar wajah-wajah itu.
"Saatmu sudah tiba, Sarta.
Cukup mahal akibat perbuatanmu yang harus kau tanggung," desis sosok tubuh
hitam bertopeng tengkorak itu.
Setelah mendesiskan kata-kata,
tiba-tiba saja tangannya dikibaskan cepat sekali. Dan seketika itu juga
meluncur deras empat buah benda berwarna hitam, dan langsung menghantam empat
orang yang tengah tertidur lelap.
Crab! Crab...!
Tak ada suara sedikit pun yang
terdengar. Orang-orang yang tertidur itu hanya mampu tersentak, dan menggeliat
sebentar. Kemudian mereka diam tak bergerak-gerak lagi. Sedikit pun tak ada
gerakan di dada mereka. Tampak dari dada, mengalir cairan merah kental.
"Selamat tinggal,
Sarta," ucap sosok tubuh hitam itu perlahan.
Kemudian sosok itu kembali
melesat ke atas dengan cepat sekali. Sebentar kemudian, tubuhnya sudah berada
di atas atap kembali. Sejenak diamati keadaan sekitarnya yang masih sepi, lalu
tubuhnya meluruk turun. Gerakannya indah dan ringan sekali. Dan begitu kakinya
menjejak tanah, mendadak saja sebuah bayangan merah berkelebat menyambarnya.
"Heh...?! Hfs...!"
Cepat-cepat sosok bayangan hitam
itu memiringkan tubuh ke kiri, sehingga terjangan bayangan merah itu sudah
kembali berbalik. Langsung menarik kembali sikap tubuhnya, bayangan merah itu
sudah kembali berbalik. langsung diterjangnya sosok tubuh hitam itu dengan
kecepatan tinggi bagai kilat.
"Hup...!"
Sosok tubuh hitam itu cepat
melentingkan tubuhnya ke atas, berputaran dua kali melewati bayangan merah.
Secepat kilat tangannya dihentakkan, untuk memberikan satu pukulan dari arah
belakang.
"Yeaaah...!"
Begkh! "Ugkh...!"
Bayangan merah itu terhuyung-huyung
begitu punggungnya terkena pukulan keras dari belakang. Namun keseimbangan
tubuhnya cepat bisa dikuasai. Tubuhnya kemudian segera berputar, tepat di saat
sosok tubuh hitam bertopeng tengkorak itu menjejakan kakinya ditanah. Mereka
berdiri saling berhadapan dalam jarak sekitar dua batang tombak.
"Anggrek Hitam...,"
desis pemuda berbaju merah yang juga membawa sebilah pedang tergantung di
pinggang.
"Kau belum cukup mampu
melawanku, Candraka," terdengar dingin nada suara orang berbaju hitam itu.
Pemuda berbaju merah yang
ternyata Candraka, menggeser kakinya ke kanan beberapa tindak. Sedangkan sosok
tubuh hitam bertopeng tengkorak yang dikenal sebagai si Anggrek Hitam, tetap
berdiri tegak dengan tangan terlipat didepan dada.
"Sudah kuduga, kau pasti akan
kembali lagi, Anggrek Hitam," kata Candraka, agak mendesis suaranya.
"Tapi kali ini, kau harus berhadapan langsung denganku."
Setelah berkata demikian,
Candraka langsung melompat cepat bagaikan kilat menyerang orang berbaju serba
hitam yang dikenal berjuluk si Anggrek Hitam. Serangan putra Kepala Desa
Ragasari itu demikian cepat. Bahkan satu pukulan yang dilepaskannya juga
sungguh dahsyat, sehingga menimbulkan suara angin menderu.
"Mampus kau!
Hiyaaat..!"
"Hap! Yeaaah...!"
Manis sekali Anggrek Hitam memiringkan
tubuhnya ke kanan, sehingga pukulan geledek yang dilepaskan Candraka tidak
sampai mengenai sasaran. Dalam keadaan tubuh miring ke kanan, Anggrek Hitam
melepaskan satu sodokan dengan tangan kanan ke arah lambung
"Uts!"
Candraka cepat menarik tubuh ke
belakang, lalu bergegas menggeser kakinya ke kanan. Bagaikan kilat, pemuda itu
melepaskan satu tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam penuh.
"Yeaaah...!"
"Hap!"
Anggrek Hitam tidak berusaha
menghindari tendangan itu, tapi malah menangkis dengan tangan kirinya. Candraka
jadi terkejut. Pemuda itu tidak sempat lagi menarik kakinya yang sudah melayang
cepat.
Des! Tak pelak lagi, satu
benturan keras terjadi. Candraka cepat melentingkan tubuh ke belakang. Namun
pemuda itu agak terhuyung begitu mendarat. Bibirnya meringis menahan sakit pada
tulang kaki. Akibat benturan keras dengan tangan kiri manusia berpakaian hitam
bertopeng tengkorak itu.
"Aku bisa mudah mematahkan kakimu,
Candraka," dengus Anggrek Hitam dingin.
"Phuih! Jangan bangga dulu,
Iblis!" geram Candraka sengit.
Sret!
Candraka cepat mencabut
pedangnya. Secepat itu pula dia melompat, kembali menyerang sambil mengebutkan
pedang beberapa kali. Anggrek Hitam terpaksa harus berjumpalitan menghindari
serangan-serangan pemuda tampan itu. Beberapa kali mata pedang Candraka hampir
menebasnya. Namun, Anggrek Hitam masih mampu mengelak dengan manis sekali.
Candraka yang memang sudah
menunggu lama kesempatan untuk bertemu manusia bertopeng tengkorak ini, seperti
tidak memberi kesempatan lawan untuk balas menyerang. Dengan pedang kebanggaan
di tangan, serangan-serangan putra kepala desa itu semakin dahsyat dan
berbahaya. Hal ini membuat Anggrek Hitam jadi agak kewalahan juga
menghadapinya.
"Setan! Dia benar-benar
ingin membunuhku...!" maki Anggrek Hitam, sengit. Memang sulit bagi
Anggrek Hitam untuk keluar dari serangan-serangan Candraka. Setiap kali
berusaha, pemuda itu langsung mengejar dan menutup ruang geraknya. Pedang di
tangan pemuda itu seperti memiliki mata saja. Ke mana si Anggrek Hitam
bergerak, pedang itu selalu mengikuti dan mengancam nyawanya.
Anggrek Hitam semakin berang,
karena benar-benar kerepotan menghadapi serangan-serangan Candraka yang begitu
gencar. Menyadari kesungguhan serangan-serangan Candraka yang begitu dahsyat
dan berbahaya, Anggrek Hitam jadi berang juga. Semula, dia memang hanya ingin
menghindar dengan sesekali balas menyerang yang tak berarti. Seakan-akan dia
tidak ingin mencelakakan pemuda ini. Tapi menghadapi serangan-serangan
berbahaya, Anggrek Hitam tidak bisa terus-menerus begini.
"Hiyaaat...!"
Tiba-tiba saja Anggrek Hitam
melesat tinggi ke udara sambil berteriak nyaring melengking tinggi Candraka
tertegun sejenak, lalu cepat-cepat mengikuti. Tubuhnya melesat ke udara
mengejar manusia bertopeng tengkorak itu.
"Yeaaah...!"
Namun begitu Candraka melesat ke
udara, mendadak saja Anggrek Hitam memutar tubuhnya dan meluruk deras ke arah
pemuda itu. Gerakan yang begitu cepat dan tidak terduga itu membuat Candraka
jadi terperangah. Pemuda itu tak mampu lagi berbuat sesuatu manakala Anggrek
Hitam melepaskan satu pukulan keras secepat kilat.
"Hiyaaa...!"
Begkh!
"Akh...!" Candraka
memekik keras agak tertahan. Tubuh pemuda berbaju merah itu terpental keras
sekali. Candraka benar-benar tidak dapat menguasai keseimbangan tubuhnya, sehingga
harus jatuh terbanting ke tanah dan bergulingan beberapa kali. Namun, pemuda
itu cepat bisa bangkit berdiri. Pada saat itu, Anggrek Hitam sudah meluruk
deras ke arahnya. Kemudian, satu tendangan keras cepat dilepaskannya.
Dess!
"Aaakh...!" lagi-lagi
Candraka memekik keras. Pemuda itu kembali terbanting di tanah. Tendangan
Anggrek Hitam tepat menghantam bagian tengah dadanya. Candraka seketika
memuntahkan darah kental dua kali. Dia masih mencoba bangkit berdiri. Namun
belum juga mampu berdiri tegak, tubuhnya sudah ambruk kembali. Pandangannya
jadi nanar dan berkunang-kunang. Napasnya begitu sesak, tersengal di dada.
Sementara Anggrek Hitam berdiri tegak sekitar satu batang tombak didepannya.
"Seharusnya kau tidak perlu
keras kepala begitu, Candraka. Aku bisa saja membunuhmu, semudah membalikkan
telapak tangan. Tapi, kau begitu tampan dan perkasa untuk cepat mati. Itu hanya
peringatan saja, Candraka. Jika tetap keras kepala, aku terpaksa menjatuhkan
tangan kejam padamu," ancam Anggrek Hitam.
"Iblis kau...."
Bruk!
Candraka langsung ambruk ke tanah
tak bergerak-gerak lagi. Pingsan! Seluruh rongga mulutnya dipenuhi darah
kental. Sementara Anggrek Hitam yang masih memandangi pemuda itu, langsung
tersentak ketika ada cahaya terang menyorot dari sebuah rumah. Bergegas
tubuhnya melesat pergi. Hanya sekali lesatan saja, manusia berbaju hitam yang
mengenakan topeng tengkorak itu sudah lenyap ditelan kegelapan malam.
Suara-suara pertarungan tadi,
rupanya membangunkan penduduk yang berada di sekitar tempat itu. Satu persatu
lampu rumah-rumah di sekitar tempat itu menyala. Dan sebentar kemudian,
terlihat beberapa orang keluar dari rumahnya. Mereka bergegas menghampiri tubuh
berbaju merah yang tergeletak di tanah. Begitu mengetahui siapa yang
tergeletak, mereka kontan terkejut. Apalagi ketika melihat mulut Candraka yang
penuh tersumpal darah kental.
"Den Candraka...?!"
***
Peristiwa semalam benar-benar
menggemparkan seluruh Desa Ragasari. Baru beberapa hari mereka menikmati
ketenangan, kini kembali dicekam rasa takut. Hal ini akibat peristiwa semalam
yang menimbulkan korban satu keluarga terbunuh. Dan hingga matahari naik
tinggi, Candraka belum juga sadarkan diri. Sementara Ki Anggarasana merenung
sambil bertopang dagu di ruangan tengah. Sesekali matanya melirik ke pintu
kamar Candraka yang sedikit terbuka.
Ki Anggarasana berpaling saat
mendengar suara-suara langkah kaki dari arah depan rumahnya yang besar dan
megah ini. Dari pintu depan muncul Salaya dengan ayunan langkah halus dan
gemulai, bagai langkah seorang putri bangsawan. Pemuda berkulit halus dan
wajahnya pantas dikatakan cantik itu langsung duduk didepan ayahnya.
"Bagaimana keadaan Kakang
Candraka, Ayah?" tanya Salaya.
"Belum sadar, masih
ditunggui Nyai Koret," sahut KI Anggarasana.
Salaya melirik ke arah pintu
kamar kakaknya. Dia tahu kalau di dalam sana terbaring Candraka, ditunggui
seorang perempuan tua yang ahli dalam pengobatan. Nyai Koret sudah terkenal di
Desa Ragasari ini. Bahkan desa-desa lain di sekitar Sungai Ajir mengenal tabib
wanita itu. Sementara, Salaya kembali berpaling menatap ayahnya.
"Sudah kau urus pemakaman
keluarga Sarta, Salaya?" tanya Ki Anggarasana.
"Sudah selesai semua,"
sahut Salaya. "Tapi...."
"Ada yang tidak beres?"
tanya Ki Anggarasana, melihat Salaya menghentikan ucapannya.
"Semua beres dan lancar,
Ayah."
"Tapi, kenapa...?"
"Tidak ada seorang penduduk
pun yang mau mengantar. Bahkan tak seorang pun terlihat berada di luar
rumahnya. Keadaan sepertinya semakin lebih buruk lagi," jelas Salaya
"Akan bertambah buruk lagi
kalau tidak segera ditanggulangi, Salaya," desah Ki Anggarasana.
"Itulah sulitnya, Ayah. Yang
kita hadapi si Anggrek Hitam. Dan desa ini tidak memiliki jago-jago yang mampu
menandingi kesaktiannya. Aku merasa dia akan semakin merajalela...," kata
Salaya, seakan-akan mengeluh melihat keadaan yang tidak menyenangkan Ini.
"Salaya! Apa sebaiknya kita
minta bantuan orang-orang persilatan untuk menghadapi si Anggrek
Hitam...?" Ki Anggarasana meminta pendapat anaknya.
"Apakah itu tidak akan memperburuk
keadaan, Ayah?"
"Mengundang orang-orang
persilatan memang mengandung akibat besar. Tapi, rasanya tidak ada pilihan
lain, Salaya. Meskipun dia sekarang sendiri, namun terlalu kuat untuk
dihadapi," tukas Ki Anggarasana.
Salaya belum bisa menyamakan
pendapatnya dengan pemikiran ayahnya barusan. Saat itu, dari kamar Candraka
keluar seorang perempuan tua mengenakan baju panjang berwarna hitam. Meskipun
usianya mungkin sudah lebih delapan puluh tahun, tapi masih kelihatan segar. Ki
Anggarasana dan Salaya bergegas berdiri. Wanita tua yang dikenal bernama Nyai
Koret itu menghampiri, lalu duduk di kursi.
"Dia ingin bicara denganmu,
Ki Anggarasana," kata Nyai Koret.
"Dia sudah bisa
bicara...?" tanya Ki Anggarasana.
"Dia cukup kuat untuk luka
seperti itu."
Ki Anggarasana bergegas melangkah
masuk ke dalam kamar anaknya. Sedangkan Salaya kembali duduk menemani perempuan
tua berjubah hitam ini. Sebentar matanya melirik ke arah kamar Candraka.
Sementara Ki Anggarasana sudah tenggelam dalam kamar itu.
"Bagaimana keadaannya,
Nyai?" tanya Salaya.
"Tidak mencemaskan. Tapi
harus beristirahat, sedikitnya tiga hari," sahut Nyai Koret.
"Tidak ada luka dalam?"
"Tidak terlalu parah. Dia
hanya mendapat luka dalam ringan. Untung saja lawannya hanya mengeluarkan
sedikit tenaga dalam. Jadi, tidak perlu dicemaskan. Kakakmu pasti akan pulih
seperti semula lagi."
"Syukurlah kalau
begitu," desah Salaya. Nyai Koret memandangi pemuda itu dalam-dalam,
sehingga membuat Salaya agak jengah. Pandangannya langsung dialihkan ke arah
lain.
Sementara Nyai Koret terus
memandangi pemuda itu dengan sinar mata yang sukar dipahami.
"Kenapa kau memandangiku
seperti itu, Nyai?" tegur Salaya risih.
"Kau habis bertarung,
Salaya?" Nyai Koret malah balik bertanya.
Salaya langsung menatap tajam
perempuan tua ini, seraya menekap pelipis kanannya. Untuk sesaat tak ada yang
bicara. Sementara mereka saling pandang dengan sinar mata memancarkan suatu
gambaran yang sukar dilukiskan.
"Kenapa pelipismu?"
tanya Nyai Koret lagi.
"Terbentur," sahut
Salaya.
"Bukan karena pukulan?"
"Aku tidak sepandai Kakang
Candraka dalam ilmu olah kanuragan, Nyai. Bagaimana mungkin bisa bertarung...?
Aku tadi hanya terbentur waktu mengetahui Kakang Candraka terluka," Salaya
memberikan alasan. "Dan lagi, aku tidak pernah punya musuh. Dan kalaupun
ada, aku selalu menghindari pertarungan."
"Kuharap kau tidak berdusta,
Salaya," ujar Nyi Koret agak menggumam.
"Maaf, Nyai. Aku harus
menemui seseorang." Salaya bergegas bangkit berdiri, lalu melangkah ke
luar. Sementara Nyai Koret memandangi pemuda itu. Wajahnya masih tetap tak
berpaling, meskipun Salaya sudah tidak terlihat lagi. Terdengar tarikan
napasnya yang panjang dan terasa berat.
"Anak itu seperti
menyembunyikan sesuatu.... Aku yakin luka memar di pelipisnya bukan dari
benturan biasa," desah Nyai Koret setengah menggumam.
Baru saja Nyai Koret bangkit
berdiri, Ki Anggarasana keluar dari kamar anaknya. Laki-laki separuh baya itu
bergegas menghampiri tabib wanita tua ini.
"Ke mana Salaya, Nyai?"
tanya Ki Anggarasana.
"Katanya hendak menemui
seseorang," sahut Nyai Koret "Ada masalah dengan anakmu?"
"Tidak"
"Bagaimana Candraka?"
"Sudah bisa duduk, dan
sedang bersemadi."
"Bagus. Itu akan mempercepat
penyembuhan lukanya."
"Silakan duduk, Nyai. Aku
ingin sedikit bicara denganmu," pinta Ki Anggarasana.
Nyai Koret duduk kembali.
Sedangkan Ki Anggarasana mengambil tempat di depan perempuan tua itu. Tak
berapa lama, mereka sudah terlibat dalam suatu pembicaraan penting.
***
TIGA
Suasana Desa Ragasari begitu
sunyi, seperti sebuah desa mati yang tidak berpenghuni. Meskipun matahari siang
ini bersinar penuh dan langit begitu cerah, namun tak terlihat seorang pun
berada di luar rumah. Jalan-jalan di seluruh desa begitu lengang. Hanya debu
saja yang beterbangan tertiup angin. Peristiwa malam itu benar-benar membuat
semua orang tidak ada lagi yang berani ke luar rumah. Tapi, tidak demikian
halnya seorang wanita muda dan cantik berbaju hijau muda. Dia seperti tidak
mempedulikan keadaan di desa ini.
Wanita itu malah berjalan-jalan
di sekitar rumahnya yang agak menyendiri dari rumah-rumah lain. Dia ditemani
seorang laki-laki tua yang sudah berusia sekitar tujuh puluh tahun. Mereka
berjalan-jalan ringan sambil menikmati cerahnya sinar matahari siang ini.
"Kau sudah dapat kabar
tentang keadaan Kakang Candraka, Ki Rasut?" tanya wanita berbaju hijau
itu.
"Kabarnya, Den Candraka
tidak mengalami luka yang berarti, Nyai Andira," sahut laki-laki tua yang
dipanggil Ki Rasut itu.
Sikapnya begitu hormat, bahkan
terkadang membungkuk seperti menghadapi seorang putri raja. Wanita cantik
berbaju hijau ketat itu tersenyum manis. Kakinya terus terayun sambil menikmati
keindahan alam di sekitar rumahnya. Tapi sebentar kemudian, langkahnya berhenti
ketika terdengar derap langkah kaki kuda. Andira menatap Ki Rasut sebentar,
kemudian berpaling ke arah datangnya hentakan kaki kuda yang dipacu cepat.
Laki-laki yang bernama Ki Rasut
itu memang pelayan setia Andira. Dia memang tak jelas asal-usulnya, karena
ditemui Andira tengah sekarat di pinggiran Sungai Ajir beberapa purnama yang
lalu. Wanita itu kemudian menolongnya. Setelah laki-laki tua itu sembuh,
ternyata dia memiliki kepandaian juga. Maka, Andira pun memintanya untuk
menjadi pelayan setia, sekaligus pengawal pribadinya.
Sementara itu tampak debu
mengepul dari arah jalan di depan mereka. Tak lama kemudian, terlihat seekor
kuda putih yang dipacu cepat oleh seorang pemuda berbaju kuning. Andira tetap
berdiri didampingi Ki Rasut. Pemuda berbaju kuning itu menarik tali kekang
kudanya setelah berada dua batang tombak di depan wanita cantik itu.
"Hup!"
Ringan sekali gerakan pemuda itu
saat melompat turun dari punggung kuda putih tunggangannya. Kakinya melangkah
beberapa tindak menghampiri. Andira tersenyum menyambut kedatangan pemuda
berwajah halus bagai wanita ini. Wajah pemuda itu memang seperti wanita, begitu
halus dan cantik. Siapa lagi kalau bukan Salaya, putra kedua dari Ki
Angarasana.
"Senang sekali melihatmu,
Salaya," ucap Andira menyambut hangat.
Salaya hanya tersenyum saja.
Diliriknya sedikit laki-laki tua yang berdiri di samping Andira. Ki Rasut
membungkukkan tubuhnya sedikit. Sementara Salaya sudah kembali mengalihkan
pandangan pada wanita cantik bertubuh sintal, dan padat berisi ini. Dan Andira
seperti tidak menghiraukan Ki Rasut. Dihampirinya pemuda itu, lalu tangannya
dilingkarkan ke leher. Lembut sekali dia memberi satu kecupan di bibir pemuda
itu.
"Ayo kita ke dalam,
Salaya," ajak Andira manja. Salaya tidak membantah.
Pemuda itu menurut saja dibimbing
wanita cantik yang selalu berpenampilan menggairahkan ini. Sedangkan Ki Rasut
mengambil tali kekang kuda putih itu, lalu membawanya ke samping rumah.
Sementara Salaya dan Andira sudah tenggelam di dalam rumah yang tidak begitu
besar, namun kelihatan cantik dan terawat rapi.
"Tubuhmu kotor sekali,
Salaya. Ingin mandi dulu...?" Andira menawarkan, setelah berada didalam
sebuah kamar yang berukuran cukup besar.
Salaya tidak menjawab, tapi malah
menghempaskan diri di atas pembaringan yang beralaskan kain sutra halus
berwarna jingga. Andira tersenyum dan menghampiri. Wanita itu duduk di tepi
pembaringan. Seperti disengaja, bagian bawah baju yang dikenakannya dibiarkan
tersingkap. Hal itu membuat sepasang paha yang putih gempal mencuat keluar.
Sepasang mata Salaya jadi nakal, menjilati bentuk paha yang begitu indah tanpa
cacat. Tangannya segera diangkat dan ditaruh di atas daging gempal terbungkus
kulit putih halus itu.
"Kau tahu, Andira. Setiap
kali berada di sini, hatiku selalu terasa damai dan tenteram. Tidak seperti di
rumahku sendiri," jelas Salaya lembut.
"Tapi seharusnya kau berada
di rumah, Salaya. Kakakmu sedang terluka, dan pasti membutuhkanmu."
"Sudah ada Nyai Koret. Lagi
pula, Kakang Candraka tidak pernah membutuhkan aku. Dia lebih segala-galanya
dari padaku. Makanya ayah lebih sayang padanya,".Salaya seakan-akan
mengeluh, mengeluarkan ganjalan hatinya.
"Kau hanya iri saja,
Salaya."
"Aku memang iri. Terutama
terhadap sikap ayah yang selalu memperhatikan Kakang Candraka. Sedangkan
aku...? Apa karena aku seperti wanita? Tapi kau kan tahu, Andira. Aku laki-laki
perkasa, dan mampu memuaskan wanita. Kau sering berkata begitu padaku,
kan...?"
"Kau memang laki-laki
perkasa, Salaya. Bahkan aku belum pernah bertemu laki-laki seperkasa
dirimu," Andira membesarkan hati pemuda ini.
"Seharusnya hal ini kau
katakan pada mereka, Andira. Biar mereka tahu, aku tidak lemah. Aku adalah
laki-laki tulen yang mampu melakukan lebih dari Kakang Candraka."
Andira malah tertawa
terbahak-bahak. Terdengar merdu dan renyah sekali tawa wanita cantik itu.
Salaya jadi meneguk ludahnya melihat baris-baris gigi yang putih rapi. Seketika
tangannya dilingkarkan ke pinggang wanita itu, lalu ditariknya. Akibatnya
Andira jatuh menindih dada pemuda itu.
"Auwh...!" jerit Andira
manja. "Kau nakal, Salaya...."
"Kau menggairahkan. Selalu
membuatku bergairah," desah Salaya berbisik di telinga wanita itu.
Andira jadi terkikik, ketika
merasakan sesuatu yang hangat menggelitik telinganya. Tubuhnya kemudian
menggelinjang, namun Salaya malah membalikkannya. Dan kini pemuda itu
menghimpit tubuh yang ramping menggiurkan ini. Seperti angsa melihat cacing,
Salaya mereguk bibir yang selalu memerah itu. Pemuda itu melumat, mengecup
dengan gairah yang semakin menggelegak membara di dalam dada. Mau tak mau,
Andira menggelinjang dan merintih lirih penuh kenikmatan.
"Oh, ahhh...," Andira
mendesis panjang. Lagi-lagi tubuh wanita itu menggelinjang saat merasakan
jari-jari tangan Salaya jadi liar, menjelajahi tubuhnya. Satu persatu, pakaian
yang melekat di tubuh Andira berhamburan ke lantai. Hingga, tak ada selembar
benang pun yang melekat lagi. Dengus napas dan rintihan lirih tertahan berbaur
menjadi satu. Keringat mulai bercucuran membasahi tubuh.
Tak ada lagi kata-kata yang
terucapkan. Semua berganti gerakan-gerakan liar yang membangkitkan gairah.
Hanya desah napas memburu dan rintihan tertahan yang terdengar. Salaya pun
sudah tidak sabar lagi untuk melepaskan pakaiannya. Lagi-lagi, tubuh Andira menggelinjang
saat merasakan jari-jari tangan Salaya jadi liar. Terdengar rintihan lirih
keluar dari mulut wanita itu. Tak ada lagi kata-kata yang terucap. Semua
berganti gerakan-gerakan liar yang membangkitkan gairah.
Kedua manusia itu semakin
tenggelam dalam kenikmatan alunan gelombang asmara yang semakin dahsyat
menggelora. Sampai-sampai, mereka tidak mengetahui kalau ada sepasang mata yang
memperhatikan sejak tadi dari celah pintu yang tidak tertutup rapat. Tapi
sepasang mata itu cepat-cepat menghilang ketika tubuh Salaya terlihat
menggelimpang disertai tarikan napas panjang. Andira menarik selembar kain dari
ujung kakinya, lalu menutupi tubuh mereka berdua. Tubuhnya dirapatkan dengan
manja, lalu meletakkan kepalanya di dada pemuda itu.
"Kau benar-benar perkasa,
Salaya," puji Andira.
"Kau yang membuatku selalu
perkasa," sambut Salaya seraya memberi kecupan di bibir wanita itu.
"Kau lelah?" tanya
Andira lembut.
"Sedikit," sahut
Salaya.
"Istirahatlah dulu. Aku akan
pergi, menyiapkan air mandi untukmu." Salaya sempat memberi satu kecupan
lembut di bibir wanita itu, sebelum beranjak bangkit dari pembaringan. Andira
meraih pakaiannya yang teronggok di lantai, lalu mengenakannya kembali.
Dilemparkannya senyuman manis pada pemuda itu, lalu melangkah ke luar.
"Ah...! Seandainya aku bisa
mengenalkannya pada ayah dan Kakang Candraka...?" desah Salaya menggumam
perlahan. "Tapi apakah mungkin...? Ayah pasti tidak menyukai Andira.
Yaaah..., kenapa tidak dari dulu saja aku mengenalnya, sebelum...."Salaya
tidak melanjutkan kata-katanya.
Pemuda itu membuka matanya
kembali, lalu menggeleng beberapa kali. Saat itu Ki Rasut masuk ke kamar sambil
membawa baki berisi sebuah guci arak dan sebuah cawan panjang dari perak.
Dengan sikap hormat, laki-laki tua itu meletakkan baki perak bakar ke atas meja
kecil disamping pembaringan.
"Terima kasih," ucap
Salaya.
Ki Rasut hanya mengangguk
sedikit, kemudian melangkah ke luar. Hati-hati sekali pintu kamar itu ditutup
kembali. Salaya bangkit dan menuang arak ke dalam cawan perak. Sekali teguk
saja, arak manis itu sudah amblas ke dalam perutnya. Kemudian bergegas
pakaiannya dipungut dan dikenakannya kembali. Lalu, melangkah ke luar dari
kamar setelah merapikan diri.
***
Sampai matahari hampir tenggelam
di ufuk Barat, Salaya baru meninggalkan rumah Andira. Kudanya dipacu cepat
seakan-akan tidak ingin ada seorang pun yang mengetahui kalau dirinya habis
dari rumah wanita itu. Salaya baru memperlambat lari kudanya setelah berbelok,
dan sudah cukup jauh meninggalkan rumah Andira. Sementara suasana semakin
meremang. Sebentar lagi gelap akan menyelimuti Desa Ragasari.
Salaya tidak langsung pulang ke
rumahnya, tapi menuju ke sungai yang memberi nilai kehidupan bagi seluruh
penduduk Desa Ragasari. Kudanya dihentikan setelah sampai di tepi sungai itu.
Sebentar matanya memandang jauh ke tengah sungai yang nampak keperakan berkilau
bagi bertaburkan sejuta permata. Ringan sekali dia melompat turun dari punggung
kuda, dan melangkah menghampiri sebongkah batu yang cukup besar dan menjorok ke
dalam air. Salaya naik ke atas batu itu, lalu duduk mencangkung di sana.
"Ehm-ehm...!"
"Ohhh...?!"
Salaya terkejut ketika tiba-tiba
terdengar suara mendehem dari belakang. Cepat dia berpaling ke belakang. Entah
dari mana datangnya, tahu-tahu di belakangnya sudah berdiri seorang wanita muda
berwajah cukup cantik. Bajunya ketat berwarna hitam dan agak tipis.
Kelihatannya memang dari bahan sutra halus. Salaya bangkit berdiri dan memutar
tubuhnya. Dia melompat turun dari batu dengan gerakan ringan dan indah sekali.
"Surti.... Aku kira
siapa," Salaya langsung mengenal wanita itu.
"Kenapa menyendiri di sini?"
wanita yang dikenal Salaya bernama Surti itu malah balik bertanya.
"Melamun," sahut Salaya
seenaknya.
"Apa kau tidak tahu, kalau
di sini banyak setannya. Orang yang senang melamun bisa kesambet," gurau
Surti.
Salaya tertawa geli mendengar
gurauan gadis ini. Mereka kemudian melangkah menuju dangau kecil yang tidak
jauh dari tepi sungai itu. Kedua anak muda itu duduk di sana memandang ke
tengah sungai. Sementara matahari sudah benar-benar tenggelam. Dan kini
tugasnya digantikan sang dewi malam. Suasana malam di tepian sungai ini terasa
begitu indah dan damai. Namun di balik semua itu terdapat satu ancaman besar,
sehingga membuat keadaan di desa sekitar Sungai Ajir ini bagai berada dalam
neraka.
"Kau tidak takut keluar
malam sendirian, Surti?" tanya Salaya.
"Apa yang harus
ditakutkan...?" Surti seperti bertanya pada diri sendiri.
"Aku rasa, kau sudah tahu
kalau Anggrek Hitam sudah muncul lagi. Dan semalam membantai keluarga
Sarta," Salaya seperti memperingatkan gadis itu.
"Seharusnya, kau berada di
rumah, Surti. Terlalu berbahaya malam-malam di luar."
"Di luar, atau di dalam
rumah sama saja. Toh, Anggrek Hitam bisa muncul kapan saja. Tidak peduli di
dalam rumah atau di luar rumah. Bukankah keluarga Sarta dibunuh di dalam
rumahnya sendiri...?" Surti berdalih.
Salaya tidak bisa berkata lagi,
dan hanya mengangkat bahu saja. Kata-kata Surti yang meluncur bagai air sungai
itu memang tidak dibantah lagi. Bagi Anggrek Hitam memang tidak ada persoalan
dalam melancarkan kegiatannya. Dalam keadaan seperti ini, memang tidak ada
tempat aman. Dan lagi, tidak ada seorang pun yang dapat menduga korban
berikutnya. Salaya memandangi gadis itu dalam-dalam. Semua orang tahu, Surti
adalah seorang gadis yang tinggal sendiri tanpa sanak keluarga dan orang tua
lagi. Tidak ada seorang pun yang tahu asal usulnya. Surti menempati sebuah
rumah kosong yang sudah ditinggalkan penghuninya.
Satu purnama setelah kedatangan
Surti ke desa ini, musibah itu terjadi. Dan itu bertepatan dengan munculnya
seseorang yang mengaku bernama Anggrek Hitam. Tapi, bukan hanya Surti yang
datang ke desa ini dan terus menetap sebelum munculnya Anggrek Hitam. Andira
malah datang lebih awal dari gadis ini. Juga, masih ada dua keluarga lagi yang
baru menetap di Desa Ragasari.
"Kenapa memandangku begitu,
Salaya?" tegur Surti jengah.
"Ah, tidak apa-apa. Aku
hanya kagum dengan kecantikanmu," kata Salaya seraya tersenyum manis.
"Kau merayu ku,
Salaya."
"Kalau kau senang...?"
Surti malah tertawa
terbahak-bahak. Salaya jadi terdiam. Sulit dimengerti, kenapa tiba-tiba gadis
ini jadi tertawa. Seakan-akan kata-katanya begitu menggelitik, membuat Surti
jadi tertawa begitu lepas.
"Tidak ada yang lucu,
Surti," dengus Salaya.
"Maaf, aku bukan
mentertawakanmu. Tapi...," Surti tidak melanjutkan.
"Tapi kenapa?" desak
Salaya.
"Belum begitu Lama aku
mengenalmu, Salaya Tapi aku sudah sering mendengar cerita-cerita orang tentang
dirimu. Rasanya, semua yang kudengar jadi hambar. Sungguh, tidak kusangka kau
bisa merayu. Semua orang bilang kau...," Lagi-lagi Surti tidak melanjutkan
kata-katanya.
"Banci...?! serobot Salaya
langsung bisa menebak kelanjutannya.
"Aku tidak pernah mengatakan
itu, Salaya," ujar Surti cepat-cepat
"Tidak apa-apa. Aku sudah
terbiasa, kok," kata Salaya. Namun nada suaranya jadi lain.
Setelah berkata demikian, Salaya
bangkit berdiri dan melangkah keluar dari dangau kecil itu. Surti bergegas
keluar dan mengejar pemuda itu. Di hatinya terselip perasaan tidak enak, karena
telah menyinggung perasaan pemuda ini. Dia memang belum lama tinggal di Desa
Ragasari ini. Tapi, dia sering mendengar orang-orang menggunjingkan Salaya,
yang dikatakan sebagai laki-laki yang memiliki kelainan.
"Maaf, Salaya. Aku tidak
bermaksud menyinggung perasaanmu," ucap Surti merasa bersalah.
"Lupakan saja," ujar
Salaya sambil tetap melangkah. Sedikit pun dia tidak berpaling pada gadis yang
berjalan di sebelahnya.
"Kau marah padaku,
Salaya?"
"Tidak," singkat saja
jawaban Salaya.
Pemuda itu melompat naik ke
punggung kudanya. Sebentar matanya menatap Surti dalam-dalam. Kemudian kudanya
cepat digebah untuk meninggalkan tepian sungai ini. Surti berdiri mematung
memandangi kepergian pemuda dengan bentuk tubuh dan raut wajah seperti wanita
itu. Entah apa yang ada dalam benaknya saat ini. Dia baru melangkah pergi
setelah Salaya tidak terlihat lagi.
Sementara malam terus merambat
semakin larut. Sudah sejak tadi binatang malam menggerit, mengalunkan tembang
malam yang merdu. Surti terus melangkah dengan wajah tertunduk, mengamati
gerakan ujung kakinya. Dia seperti menyesali kata-katanya yang telah membuat
Salaya jadi tersinggung, dan pergi begitu saja. Namun begitu melewati tikungan
jalan yang menuju rumahnya, mendadak saja sebuah bayangan hitam berkelebat
cepat memotong didepannya. Gadis itu tersentak kaget, lalu cepat melompat
beberapa tindak ke belakang.
"Hei..! Siapa itu...?!"
sentak Surti berseru nyaring.
"Aku...."
"Kau...?!"
Mata Surti terbeliak begitu
tiba-tiba saja di depannya sudah berdiri seseorang berbaju ketat berwarna hitam
pekat. Bentuk tubuhnya begitu ramping, bagai bentuk tubuh seorang wanita.
Seluruh kepalanya terselubung kain hitam. Sedangkan wajahnya mengenakan topeng
dari kayu berbentuk tengkorak manusia. Surti bergegas melangkah mundur beberapa
tindak.
Surti benar-benar terkejut
melihat kemunculan orang berbaju serba hitam yang mengenakan topeng tengkorak
itu. Orang inilah yang selama ini ditakuti, hingga membuat Desa Ragasari
seperti berada dalam neraka. Semua penduduk Desa Ragasari menyebutnya si
Anggrek Hitam. Karena, semua korbannya tewas dengan tubuh tertembus senjata
rahasia berbentuk bunga anggrek berwarna hitam yang terbuat dari logam hitam.
"Kau terkejut,
Surti...?" terasa dingin sekali nada suara Anggrek Hitam.
"Mau apa kau ke sini?"
agak bergetar suara Surti.
"Kau cantik sekali, Surti.
Tapi sayang, kau tidak bisa lagi menikmati hangatnya matahari esok pagi,"
kata Anggrek Hitam, mengandung ancaman.
"Aku tidak pernah berurusan
denganmu. Kenapa kau ingin membunuhku...?" Surti langsung dapat mencerna
maksud kata-kata si Anggrek Hitam.
"Ha ha ha...! Kau sudah
berurusan denganku, Surti. Dan urusanmu menyakitkan sekali."
Setelah berkata demikian,
tiba-tiba saja si Anggrek Hitam cepat mengebutkan tangan kanannya. Sejenak
Surti terhenyak kaku. Namun begitu sebuah benda hitam melesat cepat dari
telapak tangan orang bertopeng tengkorak itu, secepat kilat Surti memiringkan
tubuhnya ke kiri. Maka benda hitam itu lewat sedikit di samping tubuhnya.
"Ternyata kau punya
kepandaian juga, Surti. Bagus...! Sekarang terimalah seranganku!
Hiyaaat..!"
"Hup! Yeaaah...!"
Surti cepat melompat ke atas
sambil menghentakkan kedua tangan ke depan untuk menyambut serangan yang
dilancarkan si Anggrek Hitam. Tak pelak lagi, dua pasang telapak tangan
berbenturan keras di udara. Akibatnya, timbullah ledakan dahsyat bagai letusan
gunung berapi. Tampak Surti terpental ke belakang sejauh dua batang tombak.
Beberapa kali gadis itu melakukan putaran indah di udara, kemudian manis sekali
mendarat di tanah. Tepat pada saat itu si Anggrek Hitam Juga mendarat manis
sekali. Mereka berdiri saling berhadapan, berjarak sekitar tiga batang tombak.
"Tidak semudah itu
membunuhku, Anggrek Hitam!" dengus Surti dingin.
Bet!
Surti cepat mengebutkan tangan ke
depan, dan perlahan Anggrek Hitam juga sudah bersiap hendak menyerang kembali.
Tampak jelas kalau dia seperti tidak percaya, karena Surti mampu menerima
serangannya tadi. Gadis yang tampak lemah itu ternyata memiliki kepandaian yang
cukup tinggi.
"Sia-sia saja kau bertahan,
Surti. Kau akan mampus malam ini juga! Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat Anggrek Hitam
melompat menyerang gadis berbaju hitam ketat itu. Dua kali pukulan keras
bertenaga dalam tinggi dilepaskan. Namun Surti dapat menghindar dengan
meliukkan tubuhnya. Bahkan tanpa diduga sama sekali, gadis itu mampu memberi
serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.
Di bawah siraman cahaya bulan,
dua tubuh hitam bertarung saling bertahan dan menyerang. Jurus-jurus yang
digunakan sudah mencapai taraf tinggi, sehingga sungguh dahsyat Dan mereka
bergerak begitu cepat, sehingga sukar diikuti pandangan mata biasa. Jurus demi
jurus pun cepat berlalu. Tanpa terasa, mereka sama-sama sudah menghabiskan
lebih dari sepuluh jurus. Namun sampai saat ini belum seorang pun yang
kelihatan terdesak.
"Phuih! Ternyata dia tangguh
juga...!" dengus Anggrek Hitam.
Memang si Anggrek Hitam tidak
menyangka kalau gadis lemah ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Tidak
heran sampai lebih sepuluh jurus Surti masih mampu bertahan.
"Pecah kepalamu!
Hiyat..!" teriak Surti tiba-tiba. Bagaikan kilat, gadis itu melompat
sambil melepaskan satu pukulan keras menggeledek mengandung pengerahan tenaga
dalam tinggi.
Namun dengan merundukkan kepala
saja, si Anggrek Hitam berhasil mengelakkan pukulan itu. Kemudian tubuhnya
cepat diputar ketika Surti sudah melewati atas kepalanya. Namun begitu tubuhnya
berbalik, mendadak saja Surti melepaskan satu tendangan keras yang cepat luar
biasa ke arah dada.
Dieghk!
"Akh...!" si Anggrek
Hitam memekik tertahan. Sungguh tidak disangka kalau Surti mampu melepaskan
tendangan. Padahal, sedikit pun kakinya belum menjejak tanah Si Anggrek Hitam
terhuyung-huyung ke belakang beberapa tindak, sambil mendekap dada. Bergegas
dia melakukan beberapa gerakan untuk mengusir rasa sesak yang tiba-tiba saja
mengganjal dadanya. Sementara itu Surti sudah bersiap kembali hendak menyerang.
"Hiyaaat..!"
Surti benar-benar tidak ingin
memberi kesempatan kepada manusia bertopeng tengkorak itu untuk memulihkan
keadaan tubuhnya. Cepat-cepat dia menyerang dahsyat dan cepat luar biasa,
sebelum si Anggrek Hitam selesai menguasai pernapasannya. Terpaksa Anggrek
Hitam menjatuhkan diri ke tanah, Lalu bergulingan beberapa kali menghindari
serangan gadis itu.
"Hup!" Cepat dia
melompat bangkit, dan secepat itu pula tangan kanannya bergerak mengibas ke
depan sambil menekuk lutut hingga hampir menyentuh tanah. Dua buah benda
berwarna hitam, meluncur deras dari telapak tangan kanannya. Surti yang baru berbalik,
jadi terperangah.
"Hait..!"
Bergegas gadis itu memiringkan
tubuh ke kanan, dan langsung menarik kembali ke kiri. Namun gerakannya
terlambat sedikit. Maka....
Crab!
"Akh...!" Surti memekik
tertahan. Sebuah benda hitam berbentuk bunga anggrek menancap cukup dalam di
bahu kanannya. Gadis itu terhuyung-huyung ke belakang. Seketika itu juga
pandangannya jadi berkunang-kunang, dan kepalanya terasa berat bagai diganduli
batu besar. Sukar bagi Surti untuk bisa menguasai keseimbangan tubuhnya. Dan
sebelum gadis itu benar-benar bisa menguasai diri, si Anggrek Hitam sudah
melompat sambil melepaskan satu tendangan keras bertenaga dalam penuh.
"Hiyaaat..!"
Des!
"Aaakh...!" Surti
menjerit melengking tinggi. Gadis itu terpental sejauh tiga batang tombak, lalu
keras sekali jatuh ke tanah. Dari mulutnya tampak menyemburkan darah kental
agak kehitaman. Hanya sebentar gadis itu mampu bergerak menggeliat, kemudian
diam tak berkutik lagi. Sementara Anggrek Hitam memandangi beberapa saat.
"Sebenarnya kau sangat
cantik dan cukup tangguh. Sayang, harus mati dengan cara seperti ini,"
desah Anggrek Hitam, seperti menyesali kematian gadis itu.
Dihampirinya Surti yang
tergeletak tak bernyawa lagi. Anggrek Hitam berlutut di samping tubuh gadis
itu. Jari tangannya ditekan ke bagian leher yang terlihat putih bernoda darah.
Perlahan-lahan manusia bertopeng tengkorak itu bangkit berdiri. Kemudian dia
mendesah panjang dan terasa begitu berat.
"Seharusnya kau tidak perlu
datang ke sini, Surti...," desah si Anggrek Hitam perlahan. Sejenak
dipandanginya wajah Surti yang memucat kaku agak membiru. Kemudian, dia melesat
pergi dengan gerakan ringan bagaikan kapas tertiup angin. Begitu cepatnya,
sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap ditelan kegelapan malam.
Sementara Surti tetap tergeletak tak bernyawa.
***
EMPAT
Siang ini udara terasa panas
sekali. Matahari bersinar terik, seakan-akan hendak membakar seluruh isi Desa
Ragasari yang tampak sunyi senyap bagai tak berpenduduk lagi. Hanya beberapa
orang saja yang terlihat berada di luar rumah. Itu pun tidak jauh-jauh dari
rumahnya. Tak terlihat anak-anak bermain, dan tak terlihat gadis-gadis bercanda
ria di tepi sungai. Suasana di desa itu begitu senyap, tanpa ada nafas
kehidupan.
Di jalan yang sunyi dan berdebu,
terlihat dua ekor kuda berjalan perlahan. Di punggung binatang itu, duduk
seorang pemuda tampan bertubuh tegap. Bajunya rompi putih, dan gagang pedangnya
yang berbentuk kepala burung menyembul dari balik punggungnya. Dia menunggang
kuda hitam pekat dan gagah. Di sebelahnya, tampak seorang gadis cantik berbaju
biru ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping. Di balik sabuk
pinggangnya yang berwarna kuning keemasan, terselip sebuah kipas yang masih
kuncup. Dari balik punggungnya menyembul gagang pedang berbentuk kepala naga
berwarna hitam.
Mereka mengendalikan kuda agar
berjalan perlahan, sambil mengamati keadaan Desa Ragasari yang begitu sunyi.
Sesekali mereka saling berpandangan, seakan-akan ingin melontarkan pertanyaan
melihat suasana yang begitu sunyi dan terasa ganjil. Beberapa laki-laki tua
yang berada di depan rumah, bergegas masuk ke dalam begitu melihat kedua
penunggang kuda itu. Sikap mereka membuat kedua penunggang kuda itu jadi
terheran-heran.
"Mereka seperti ketakutan
melihat kita, Kakang," kata gadis berbaju biru itu, perlahan.
"Aku merasa ada sesuatu yang
ganjil di sini," balas pemuda berbaju rompi putih itu agak bergumam,
seakan bicara pada diri sendiri.
"Tidak ada satu rumah pun
yang terbuka pintunya."
"Kau tahu nama desa ini,
Pandan?" tanya pemuda berbaju rompi putih itu. Yang ditanya tidak segera
menjawab. Gadis itu memang Pandan Wangi, yang dikenal berjuluk si Kipas Maut.
Sedangkan pemuda berbaju rompi putih itu jelas Rangga. Di kalangan rimba
persilatan, dia dikenal dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara itu
Pandan Wangi mengedarkan pandangan berkeliling. Dia melihat kilauan cahaya
keperakan yang memantulkan cahaya matahari dari sebuah sungai tidak jauh dari
desa ini.
"Kalau tidak salah, di depan
sana Sungai Ajir. Dan desa ini bernama Desa Ragasari, Kakang," jelas
Pandan Wangi, baru menjawab pertanyaan Rangga tadi.
"Kau pernah ke sini
sebelumnya, Pandan?" tanya Rangga lagi.
"Sekali. Tapi, itu dulu
ketika masih kecil," sahut Pandan Wangi.
"Apa keadaannya selalu sepi
begini?"
"Dulu tidak. Desa ini
terkenal selalu ramai. Biasanya, banyak pendatang yang melancong kesini.
Gadisnya cantik-cantik, Kakang," ujar Pandan Wangi berseloroh.
"Oh, ya...? Cantik mana
denganmu?" Rangga menimpali.
"Cantik aku, dong...."
"Masa...?"
"Tentu, dong. Kalau aku
jelek, mana kau mau...?" cibir Pandan Wangi.
Rangga tersenyum saja.
"Tapi jangan coba-coba
bermain mata dengan gadis-gadis di sini, bisa kupenggal batang lehermu!"
ancam Pandan Wangi bergurau.
"Ha ha ha...!" Rangga
jadi tertawa terbahak-bahak.
"Tapi kalau aku yang dapat
pemuda tampan, kau tidak boleh marah, ya...?" sambung Pandan Wangi.
"Mau enaknya sendiri!"
dengus Rangga.
Sekarang malah Pandan Wangi yang
tertawa terkikik.
"Cari kedai dulu, Pandan.
Perutku sudah bunyi terus sejak tadi," ujar Rangga sambil meringis.
"Di mana ada kedai yang
buka...?"
"Iya, ya. Dari tadi tidak
ada satu kedai pun yang buka," Rangga jadi garuk-garuk kepala.
Mereka terus mengendarai kuda
perlahan-lahan menyusuri jalan tanah berdebu yang membelah Desa Ragasari ini.
Memang tak ada satu kedai pun yang buka. Bahkan tak satu rumah pun yang
pintunya terbuka. Mereka kemudian menghentikan langkah kaki kuda ketika sampai
di jalan yang bercabang. Sebentar mereka saling pandang, seakan-akan hendak
menentukan arah mana yang harus dituju.
"Kelihatannya di sana ada
pondok kecil, Kakang," kata Pandan Wangi sambil menunjuk jalan ke kanan.
"Mudah-mudahan saja itu
kedai," ujar Rangga.
Mereka segera mengarahkan kuda
menuju pondok kecil yang berada di ujung jalan ke kanan ini, tidak seberapa
jauh dan tikungan jalan tadi. Kedua pendekar dari Karang Setra ini kemudian
menghentikan kuda tepat di depan pondok kecil itu. Harapan Rangga memang terkabul.
Pondok itu ternyata sebuah kedai kecil yang ditunggui seorang laki-laki tua
berusia lanjut. Laki-laki tua itu bergegas menghampiri, begitu Rangga dan
Pandan Wangi turun dari kudanya. Tubuhnya terbungkuk-bungkuk seraya memberi
salam dengan sikap ramah.
"Silakan, mampir sebentar di
kedaiku ini," ajak laki-laki tua itu ramah.
Rangga menggamit tangan Pandan
Wangi, lalu mengajaknya masuk ke dalam kedai. Sementara laki-laki tua berusia
lanjut pemilik kedai ini sudah lebih dulu berada di dalam. Tak seorang
pengunjung pun berada di kedai ini. Keadaannya begitu sunyi, seperti tidak
pernah didatangi seorang pun. Rangga memilih tempat yang berada tidak jauh dari
pintu masuk kedai ini. Laki-laki tua itu berdiri saja di dekatnya.
"Ingin makan, atau minum saja?"
laki-laki tua itu menawarkan.
"Kalau ada makanan,
keluarkan saja, Pak Tua," sahut Rangga.
"Suka arak...? Arak buatan
Desa Ragasari terkenal kelezatannya, Den," lagi-lagi pemilik kedai tua itu
menawarkan.
"Terima kasih, air biasa
saja," tolak Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti memang
tidak biasa minum arak. Tapi Pandan Wangi malah memesan seguci arak yang
terbaik di kedai ini. Laki-laki tua pemilik kedai itu tersenyum, dan bergegas
ke belakang. setelah tidak ada lagi yang dipesan. Tidak berapa lama, dia sudah
muncul lagi sambil membawa baki penuh berisi pesanan kedua pendekar muda dari
Karang Setra itu.
"Banyak sekali...? Bisa kau
habiskan semua, Kakang?" Pandan Wangi mendelik melihat hidangan yang
disediakan begitu banyak, Rangga hanya tersenyum saja. Ditatapnya laki-laki tua
pemilik kedai ini.
"Kau ikut makan bersama
kami, Pak Tua," ajak Rangga.
"Ah! Biar saja, Den. Kalau
tidak habis, paling-paling juga dikasih ayam," jelas laki-laki. tua itu
menolak halus.
"Ayo, Pak Tua. Jangan
malu-malu. Kau ikut makan bersama kami. Toh, tidak ada pengunjung lain lagi,
bukan..?" desak Pandan Wangi.
Karena didesak terus, akhirnya
laki-laki tua pemilik kedai itu bersedia juga menemani makan kedua pendekar
muda ini. Mereka menikmati hidangan sambil berbincang-bincang ringan. Laki-laki
tua pemilik kedai itu mengaku bernama Ki Muhijar. Dia sempat mengeluh, karena
dalam hari-hari belakangan ini kedainya tidak pernah lagi dikunjungi orang.
Setiap hari, dia harus membuang makanan yang tidak tersentuh sedikit pun.
Pandan Wangi jadi kasihan juga.
Dan memang, kedai ini begitu sunyi. Padahal, hanya satu-satunya yang buka. Dia
dan Rangga sudah hampir mengelilingi seluruh pelosok desa ini. Namun tak satu
pun kedai yang buka. Hanya disinilah mereka baru menemukannya. Memang aneh kalau
tidak ada seorang pengunjung pun yang datang.
"Apa ada sesuatu yang
terjadi di desa ini, Ki Muhijar?" tanya Pandan Wangi seraya melirik
Rangga.
"Sukar dikatakan, Den. Desa
ini benar-benar akan musnah. Sudah jadi neraka...," sahut Ki Muhijar
mengeluh lirih.
"Lho...?! Kenapa
begitu?" tanya Rangga keheranan.
"Semua orang tidak ada yang
berani ke luar rumah. Mereka takut..," Ki Muhijar tidak melanjutkan.
"Apa yang ditakutkan,
Ki?" tanya Pandan Wangi agak mendesak.
"Mereka takut kalau-kalau
bertemu Anggrek Hitam," pelan sekali suara Ki Muhijar, sehingga hampir
tidak terdengar.
"Anggrek Hitam...?!"
Pandan Wangi berkerut keningnya.
Gadis itu melemparkan pandangan
ke arah Pendekar Rajawali Sakti, yang pada saat itu juga tengah memandang
kepadanya. Sejenak mereka saling berpandangan, kemudian kembali menatap Ki
Muhijar. Untuk beberapa saat lamanya, tidak ada yang bicara. Entah apa yang ada
dalam benak masing-masing.
"Kakang, apa tidak
mungkin...?" pertanyaan Pandan Wangi terputus, karena tiba-tiba saja
kuda-kuda yang ditinggalkan di luar meringkik keras seperti ketakutan.
"Hup...!"
Cepat sekali Rangga melesat ke
luar. Kemudian Pandan Wangi bergegas menyusul Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan Ki Muhijar jadi memucat wajahnya. Laki-laki tua itu juga ikut berlari
keluar dari kedainya. Saat itu tidak lagi terdengar ringkikan kuda. Dan Rangga
kini sudah berada di samping dua ekor kuda yang tertambat di batang pohon
kenanga. Sementara Pandan Wangi tetap berdiri tidak jauh dari ambang pintu
kedai.
"Ada apa, Kakang...?"
tanya Pandan Wangi.
Rangga tidak langsung menjawab.
Pendekar Rajawali Sakti menepuk-nepuk kuda Dewa Bayu tunggangannya, kemudian
melangkah menghampiri gadis berbaju biru itu. Sedangkan dibelakang Pandan
Wangi, terlihat Ki Muhijar sedikit menggigil tubuhnya. Wajah laki-laki tua itu
semakin terlihat memucat.
"Aku hanya melihat bayangan
hitam berkelebat cepat, kemudian hilang di dalam kebun itu," jelas Rangga,
menunjuk ke arah kebun yang cukup lebat pepohonannya.
"Celaka.... Mati
aku...," desah Ki Muhijar.
"Kenapa, Ki...?" tanya
Pandan Wangi seraya memutar tubuhnya.
"Dia pasti si Anggrek Hitam.
Oh...! Habis sudah nyawaku malam nanti," keluh Ki Muhijar.
Pandan Wangi dan Rangga jadi
saling berpandangan. Sementara Ki Muhijar melangkah gontai, kembali masuk ke
dalam kedainya. Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu bergegas mengikuti.
Ki Muhijar menghempaskan tubuhnya di kursi sambil mendesah lirih. Lemas seluruh
tubuhnya, seperti tidak memiliki semangat hidup lagi. Pandan Wangi menghampiri
laki-laki tua itu, sedangkan Rangga duduk tidak jauh dari pintu.
"Ada apa, Ki? Ceritakanlah
padaku. Mungkin aku bisa membantu," desak Pandan Wangi lembut.
Perlahan Ki Muhijar mengangkat
kepalanya. Ditatapnya Pandan Wangi yang berdiri didepannya. Sinar mata tua itu
begitu redup, seakan-akan tidak ada lagi cahaya kehidupan disana. Raut wajahnya
pun terlihat begitu pucat, bagai tak pernah teraliri darah. Pandan Wangi
semakin heran melihat wajah yang memucat tanpa ada semangat hidup lagi itu.
"Kalau karena kedatangan
kami sampai nyawamu terancam, kami akan melindungimu, Ki. Percayalah,"
tegas Pandan Wangi, namun tetap lembut meyakinkan.
"Percuma saja, Nini. Tidak
ada gunanya melawan si Anggrek Hitam. Sebaiknya kalian berdua cepat tinggalkan
tempat ini, sebelum dia datang membunuh kalian berdua di sini," ujar Ki
Muhijar lirih.
"Siapa Anggrek Hitam itu,
Ki?" tanya Rangga agak dikeraskan suaranya. Seakan-akan dia sengaja agar
orang yang ditakuti laki-laki tua pemilik kedai ini mendengar perkataannya.
"Aduh...! Jangan
keras-keras, Den. Kalau dia dengar, bisa celaka kita semua," ratap Ki Muhijar
ketakutan.
"Biar dia dengar Ki. Kalau
perlu, datang saja sekarang. Aku paling tidak suka pada orang-orang yang suka
membuat resah penduduk!" desis Pandan Wangi, suaranya juga dikeraskan.
Ki Muhijar terlongong,
seakan-akan tidak percaya dengan kata-kata Pandan Wangi barusan. Suara Pandan
Wangi yang cukup keras tadi sudah pasti terdengar sampai ke luar kedai ini. Dan
itu membuat Ki Muhijar jadi bertambah gemetar ketakutan. Dia yakin, saat ini si
Anggrek Hitam pasti mendengar semua kata-kata Pandan Wangi barusan.
"Siapa Anggrek Hitam itu,
Ki?" desak Pandan Wangi, mengulangi pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti.
Ki Muhijar tidak segera menjawab.
Beberapa kali napasnya ditarik dalam-dalam dan dihembuskan kuat-kuat.
Benar-benar sulit keadaannya saat ini. Berkata terus terang atau tidak, saat
ini baginya sama saja. Dia yakin, malam nanti si Anggrek Hitam pasti muncul.
Dan ini berarti hari terakhir baginya untuk bisa menikmati sinar matahari. Ki
Muhijar mengeluh dalam hati, karena tidak mempunyai pilihan lain lagi. Dia
benar-benar terjepit, dan jadi serba salah.
"Tidak ada yang tahu, siapa
Anggrek Hitam itu sebenarnya. Dia datang dan pergi begitu saja seperti hantu.
Kemunculannya selalu membawa korban penduduk. Bahkan belakangan ini, dia tidak
memilih-milih korbannya. Satu keluarga dibantai habis hampir setiap
malam," pelan sekali suara Ki Muhijar.
"Bagaimana rupanya,
Ki?" tanya Rangga.
"Selalu mengenakan baju
hitam, dan topeng tengkorak. Tidak seorang pun yang tahu wajah aslinya di balik
topeng itu. Semua korbannya mati terkena senjata berbentuk bunga anggrek hitam
yang beracun. Sedikit saja terkena, langsung mati," jelas Ki Muhijar.
Pandan Wangi dan Rangga saling
berpandangan. Gadis itu menghampiri Pendekar Rajawali Sakti, lalu duduk di
depannya. Untuk beberapa saat tak ada lagi yang bicara. Sementara Ki Muhijar
hanya tertunduk saja. Seluruh tubuhnya kini terasa lemas, sekan-akan saat ini
sudah kehilangan nyawanya.
"Sepertinya bukan dia,
Kakang," duga Pandan Wangi perlahan agak bergumam.
Rangga tidak menanggapi dugaan
Pandan Wangi. Pandangannya dialihkan pada Ki Muhijar. Perlahan Pendekar
Rajawali Sakti bangkit berdiri, dan melangkah menghampiri laki-laki tua pemilik
kedai ini. Ditariknya kursi kayu, Lalu didekatkan ke depan Ki Muhijar. Pemuda
berbaju rompi putih itu duduk di kursi itu.
"Sebenarnya, kedatangan kami
ke sini sedang mengejar seseorang, Ki. Barangkali saja orang yang dikenal
berjuluk si Anggrek Hitam itu buruan kami," kata Rangga perlahan.
"Keberadaannya di sini sudah
lebih dari satu purnama," jelas Ki Muhijar.
"Sudah dua purnama kami
mencari buronan itu, Ki," selak Pandan Wangi seraya menghampiri.
"Oh, benarkah...?" Ki Muhijar
mengangkat kepalanya.
"Benar, Ki. Kalau ternyata
si Anggrek Hitam itu memang buronan kami, maka kau tidak perlu takut. Kalaupun
dia datang, pasti akan berhadapan dengan kami berdua," tegas Rangga.
"Sebenarnya kalian datang
dari mana? Dan kenapa memburu seseorang?" tanya Ki Muhijar.
Rangga dan Pandan Wangi tidak
segera menjawab, tapi hanya saling melemparkan pandangan. Sementara Ki Muhijar
seperti berharap kalau si Anggrek Hitam itu benar-benar buronan yang dicari
kedua pendekar muda ini. Kalau ternyata benar, itu berarti ada harapan Desa
Ragasari ini akan terbebas dari neraka yang membelenggu selama ini.
"Kami utusan dari Karang
Setra, Ki. Buronan itu telah mengacau Istana Karang Setra, dan mencuri beberapa
benda berharga dari istana. Kami harus mendapatkannya, dan mengembalikannya
pada tempat semula," jelas Rangga singkat.
"Kalau begitu, sebaiknya
kalian menemui kepala desa. Di sana, kalian bisa mendapatkan keterangan
darinya," kata Ki Muhijar.
"Kau bersedia mengantarkan
kami, Ki?" pinta Rangga.
"Dengan senang hati. Lagi
pula, aku tidak sudi sendirian lagi di sini."
Rangga dan Pandan Wangi
tersenyum. Terbetik kilatan harapan dalam mata laki-laki tua pemilik kedai itu.
Harapan untuk bisa terlepas dari belenggu ketakutan, dan harapan untuk bisa
melihat matahari esok pagi. Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka segera berangkat
meninggalkan kedai kecil yang letaknya agak terpencil itu. Ki Muhijar sudah
berada di atas punggung kuda yang diambilnya dari belakang kedai. Ternyata
laki-laki tua itu tangkas juga menunggang kuda. Meskipun sudah terbilang
lanjut, namun masih juga tangkas mengendalikan kudanya. Bahkan bisa mengimbangi
ketangkasan kedua pendekar muda dari Karang Setra itu.
"Jangan terlalu cepat, Ki.
Nanti bisa menarik perhatian penduduk," tegur Rangga.
"Aku ingin cepat-cepat
sampai, biar si Anggrek Hitam itu lenyap!" sahut Ki Muhijar.
"Kau begitu yakin, Ki,"
ujar Pandan Wangi seraya tersenyum.
"Aku yakin, kalian pasti
memiliki kepandaian tinggi. Kalau tidak, mana mungkin menjadi utusan sebuah
kerajaan. Kalian pasti bisa mengalahkan si Anggrek Hitam," tegas Ki Muhijar
begitu yakin.
Rangga dan Pandan Wangi jadi
berpandangan. Mereka benar-benar heran melihat perubahan yang begitu cepat
terjadi pada diri laki-laki tua ini. Semula semangat hidupnya sudah lenyap. Dan
sekarang, dia begitu bersemangat setelah Rangga mengatakan sebagai utusan
Karang Setra yang mengejar seorang buronan pencuri harta kerajaan.
"Cepat sekali dia berubah,
Kakang. Apa saja yang kau katakan padanya?" tanya Pandan Wangi.
"Kau dengar sendiri,
Pandan," sahut Rangga.
"Mudah-mudahan saja si Anggrek
Hitam itu buronan kita," gumam Pandan Wangi berharap.
"Kalaupun bukan, apa
salahnya membebaskan penduduk desa ini dari ketakutan, Pandan."
"Aku juga benci pada manusia
pengecut yang bisanya bersembunyi di balik topeng. Pekerjaan mereka hanya
menakut-nakuti penduduk saja," dengus Pandan Wangi.
"Tapi kau harus waspada
dengan senjatanya, Pandan," Rangga memperingatkan.
"Kenapa harus takut? Kan ada
kau, Kakang."
"Dasar...!"
Pandan Wangi tertawa mengikik
geli, sehingga membuat Ki Muhijar jadi bengong keheranan tidak mengerti.
Melihat raut wajah Ki Muhijar yang terlongong begitu, Rangga jadi ikut tertawa
juga.
"Kenapa kalian
tertawa...?" tanya Ki Muhijar.
"Tidak apa-apa, Ki. Jalan
terus saja," sahut Pandan Wangi.
Mereka terus mengendalikan
kudanya agar berjalan perlahan-lahan saja, karena tidak ingin menimbulkan
perhatian penduduk yang tengah dicekam rasa takut. Keadaan Desa Ragasari tetap
saja sunyi, tanpa seorang pun terlihat berada diluar rumah. Melihat keadaan
itu, Pandan Wangi jadi tidak sabaran lagi ingin bertemu manusia bertopeng
tengkorak yang berjuluk si Anggrek Hitam.
"Seperti apa sih
rupanya...?" pertanyaan itu yang terbetik di benak Pandan Wangi saat ini.
***
LIMA
Ki Anggarasana begitu gembira
atas kedatangan Rangga dan Pandan Wangi di Desa Ragasari ini. Terlebih lagi
setelah mengetahui tujuan kedua pendekar muda dari Karang Setra itu. Saat ini,
dia memang membutuhkan seorang pendekar digdaya untuk menghadapi si Anggrek
Hitam. Dan kedatangan Pendekar Rajawali Sakti terasa bagai setetes air sejuk di
tengah-tengah luasnya padang pasir.
Ki Anggarasana memperkenalkan
kedua pendekar muda itu pada Candraka yang sempat terluka akibat bertarung
melawan si Anggrek Hitam. Sebenarnya Rangga berharap putra kepala desa itu tahu
banyak tentang si Anggrek Hitam. Tapi, ternyata Candraka juga tidak tahu, siapa
sebenarnya si Anggrek Hitam itu. Meskipun sempat bertarung, tapi dia tidak
sempat mengenali wajah lawan yang tertutup topeng kayu berbentuk tengkorak
manusia.
"Aku sering mendengar
kehebatan jago-jago dari Karang Setra. Maka kuharap kalian berdua mampu
menghadapi si Anggrek Hitam," pinta Ki Anggarasana, penuh harap.
"Kami juga berharap si
Anggrek Hitam adalah orang yang kami cari," sambut Pandan Wangi.
Saat itu muncul Salaya dari pintu
depan. Ki Anggarasana segera memperkenalkan putra bungsunya itu kepada Rangga
dan Pandan Wangi. Salaya hanya menganggukkan kepala saja, yang kemudian dibalas
dengan anggukan kepala juga oleh kedua pendekar muda itu.
"Dari mana saja kau,
Salaya?" tanya Ki Anggarasana sedikit menegur.
"Jalan-jalan," sahut
Salaya, seenaknya saja.
"Jalan-jalan dimalam hari
begini...? Apa kau tidak sadar kalau keadaan sedang tidak memungkinkan untuk
jalan-jalan dimalam hari, Salaya...?"
Salaya hanya diam saja. Sebentar
matanya melirik Ki Muhijar. Sinar matanya seperti memancarkan kekuatan aneh.
Pemuda berparas cantik seperti wanita itu kemudian meringis sedikit kepada
ayahnya. Ki Anggarasana yang sedang memperhatikan, jadi berkerut keningnya.
Sedangkan Salaya seperti tidak peduli. Pemuda itu hendak meninggalkan ruangan
depan ini, tapi Ki Anggarasana sudah cepat mencegahnya.
"Aku akan istirahat, Ayah.
Lelah...," kilah Salaya.
Ki Anggarasana tidak mencegah
lagi. Salaya segera melangkah cepat meninggalkan ruangan itu. Semua orang yang
berada di ruangan depan rumah Kepala Desa Ragasari itu hanya memandangi
kepergian Salaya ke dalam kamarnya. Sambil menghembuskan napas panjang, Ki
Anggarasana menghempaskan diri dikursi.
"Maaf, anakku yang satu itu
memang lain," ucap Ki Anggarasana pada Rangga.
"Maaf, Ki. Dia laki-laki
atau perempuan?" tanya Pandan Wangi yang sejak kemunculan Salaya tadi,
selalu memperhatikannya terus.
"Laki-laki," sahut Ki
Anggarasana tanpa ada rasa tersinggung.
"Tapi, kok...," Pandan
Wangi tidak meneruskan.
"Dia memang sudah seperti
itu sejak kecil. Sulit untuk bisa merubahnya. Aku hanya bisa pasrah menerima
keadaannya. Aku juga tidak menuntut banyak darinya, sehingga tidak seperti
kakaknya. Yaaah.... Memang berat untuk menerima, tapi apa boleh buat...,"
ada sedikit nada keluhan di dalam suara Ki Anggarasana.
"Maaf, Ki. Bukan maksudku
untuk...."
"Tidak mengapa," potong
Ki Anggarasana, bisa mengerti.
Pandan Wangi merasa tidak enak
juga. Diliriknya Rangga. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya terdiam saja.
Suasana yang semula terasa riang, kini berubah jadi kaku. Bahkan Ki Muhijar
yang belum bersuara, hanya bisa mengkeret di kursinya. Sementara malam terus
merayap semakin larut. Keadaan di Desa Ragasari begitu sunyi, seakan-akan
berada di tengah-tengah hutan. Hanya suara binatang malam saja yang terdengar
mengisi kesunyian malam ini.
"Sudah terlalu malam.
Sebaiknya kalian semua tidur saja di sini. Rumah ini terlalu besar, dan banyak
kamar kosong," ujar Ki Anggarasana.
Ki Anggarasana meminta Candraka
mengantarkan ketiga tamunya, ke kamar masing-masing untuk beristirahat.
Sedangkan dirinya sendiri masih tetap duduk di kursi, di ruangan depan rumah
yang cukup besar ini. Pandangannya begitu kosong, tertuju lurus keluar. Tak berapa
lama berselang. Candraka kembali masuk ke ruangan itu. Pemuda itu telah
menunjukkan kamar-kamar untuk tamu mereka yang menginap malam ini.
"Seharusnya Ayah tidak
terlalu banyak cerita tentang Salaya pada mereka," tegur Candraka seraya
menghenyakkan diri dikursi depan laki-laki setengah baya itu.
"Aku tidak ingin menutupi
kenyataan yang ada, Candraka," tegas Ki Anggarasana.
"Aku mengerti, Ayah. Tapi
hal itu bisa menyinggung perasaan Salaya. Apa Ayah tidak ingat peristiwa itu
lagi. Sejak peristiwa dua tahun yang lalu, Salaya membunuh pemilik kerbau,
hanya karena penggembala itu menertawakannya," sergah Candraka.
"Peristiwa itu sudah lama
berlalu, Candraka. Tidak perlu diungkit-ungkit lagi. Kulihat, Salaya tidak lagi
mudah tersinggung. Bahkan bisa menerima keadaan dirinya, dan sudah bisa bergaul
seperti yang lain."
Candraka terdiam. Juga, Ki
Anggarasana tidak bicara lagi. Sejak peristiwa dua tahun yang lalu, Salaya
memang banyak berubah. Dia tidak lagi cepat marah, meskipun ada orang yang
menyinggung perasaannya. Bahkan seringkali hanya dihadapi dengan senyum. Memang
hampir semua orang didesa ini selalu mencemooh pemuda itu. Bahkan tidak ada
seorang pemuda pun di desa ini yang suka bergaul dengannya. Salaya memang lain.
Perawakan dan sikapnya lebih mirip wanita daripada laki-laki.
"Aku akan meronda dulu,
Ayah," pamit Candraka.
"Apa tidak ada masalah
dengan lukamu, Candraka?"
Candraka hanya tersenyum saja,
kemudian bangkit berdiri dan melangkah ke luar. Ki Anggarasana mengantarkan
pemuda itu sampai ke depan pintu. Seekor kuda tinggi dan tegap, telah menanti
Candraka di halaman depan rumah ini
"Sebaiknya kau bawa teman,
Candraka," ujar Ki Anggarasana menyarankan.
"Tidak perlu. Nanti akan
menimbulkan banyak korban saja," sahut Candraka.
Pemuda itu melompat naik ke
punggung kuda, dan langsung menggebahnya dengan cepat. Sebentar Ki Anggarasana
memperhatikan anaknya sampai hilang ditelan kegelapan malam, kemudian dia
melangkah masuk. Namun belum juga melewati ambang pintu, mendadak saja dari
arah belakangnya berdesir angin dingin.
Wusss!
"Heh...?! Uts!"
Jleb!
Sebuah benda berwarna hitam
berbentuk bunga anggrek, melesat lewat di atas bahu Ki Anggarasana dan langsung
menancap di tiang pintu. Ki Anggarasana cepat memutar tubuhnya, dan melompat
sambil berputaran dua kali diudara. Ringan sekali kakinya menjejak tanah,
ditengah-tengah halaman rumahnya.
"Hahhh...?!" Ki
Anggarasana terkejut setengah mati begitu kepalanya menengadah, menatap ke atas
atap rumahnya. Di atas atap, tampak berdiri berkacak pinggang seseorang
mengenakan baju hitam pekat. Wajahnya tertutup sebuah topeng kayu berbentuk
tengkorak. Bentuk tubuhnya begitu ramping, karena baju yang dikenakannya sangat
ketat. Ki Anggarasana menelan ludahnya yang terasa pahit. Dia tahu manusia
berbaju hitam itu adalah si Anggrek Hitam.
"Anggrek Hitam...,"
desis Ki Anggarasana.
Slap...!
Ringan sekali manusia berbaju
hitam bertopeng tengkorak yang berjuluk Anggrek Hitam itu melompat turun dari
atas atap. Tiga kali dia berputaran di udara. Dan tanpa menimbulkan suara
sedikit pun, kakinya menjejak tanah, tepat sekitar enam langkah di depan Ki
Anggarasana.
"Kau terlalu berani menerima
kedua pendekar itu ke sini, Ki Anggarasana. Padahal, aku tidak pernah mengusik
keluargamu. Tapi kau selalu saja mengusik kehidupanku," terasa dingin
sekali suara Anggrek Hitam.
"Itu urusanku! Kedua
pendekar itu memang sengaja datang hendak mencarimu!" dengus Ki
Anggarasana, ketus.
"Orang yang mereka cari
bukan diriku. Sebaiknya, usir mereka malam ini juga! Aku tidak mau melihat
mereka masih ada di sini besok pagi. Dan kalau tidak kau turuti, maka Desa
Ragasari ini akan kuratakan dengan tanah!" ancam Anggrek Hitam
bersungguh-sungguh.
"Rupanya kau hanya berani
pada penduduk kampung!" desis Ki Anggarasana mengejek. "Kalau merasa
digdaya, hadapi kedua pendekar itu!"
"Aku tidak main-main, Ki.
Lihat saja besok...!"
Setelah berkata demikian, Anggrek
Hitam melesat pergi dengan kecepatan kilat. Dia melompat ke atas atap, dan
langsung menghilang seperti lenyap begitu saja. Ki Anggarasana hanya bisa
memandangi. Dia tidak mungkin mengejar manusia bertopeng tengkorak itu. Pada
saat itu, dari dalam rumah keluar Pendekar Rajawali Sakti. yang disusul Pandan
Wangi dan Ki Muhijar. Mereka bergegas menghampiri Ki Anggarasana.
"Siapa yang bicara denganmu
tadi, Ki?" tanya Rangga.
Ki Anggarasana tidak segera
menjawab, namun malah memandangi Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam. Dan yang
dipandangi malah membalasnya tidak kalah tajam. Tanpa berkata apa-apa, Ki
Anggarasana melangkah menuju ke beranda depan rumahnya. Rangga, Pandan Wangi
dan Ki Muhijar mengikuti dari belakang. Pandan Wangi mencolek pergelangan
tangan Rangga. Si Kipas Maut itu menunjuk tiang pintu dengan bibirnya.
Rangga menatap ke arah tiang
pintu yang ditunjuk gadis itu. Dihampiri dan dicabutnya benda hitam berbentuk
bunga anggrek yang tertanam cukup dalam di tiang pintu. Diamatinya benda yang
merupakan senjata ampuh itu dalam-dalam. Pendekar Rajawali Sakti segera dapat
merasakan kalau benda itu mengandung racun yang sangat mematikan, dan bekerja
sangat cepat. Orang yang terkena senjata berbentuk bunga anggrek berwarna hitam
ini, pasti akan tewas seketika tanpa mampu memberi perlawanan lagi.
"Orang itu si Anggrek Hitam,
Ki?" tanya Rangga sambil terus mengamati benda hitam berbentuk bunga
anggrek di telapak tangannya.
Ki Anggarasana hanya mendesah
saja sambil menganggukkan kepala. Dihempaskan dirinya dikursi Rangga dan Pandan
Wangi memandangi kepala desa yang tampaknya begitu lemas seperti tidak punya
semangat hidup lagi.
"Mau apa dia menemuimu,
Ki?" tanya Pandan Wangi.
"Mengancamku," sahut Ki
Anggarasana perlahan.
"Mengancam...?" Pandan
Wangi jadi berkerut keningnya.
"Ya! Dia akan menghanguskan
desa ini kalau kalian tidak segera pergi," jelas Ki Anggarasana, tetap
lesu suaranya.
"Hhh...! Dasar...!"
dengus Pandan Wangi jadi jengkel. "Kau tahu, Ki. Orang seperti si Anggrek
Hitam itu sebenarnya orang pengecut dan tidak ada apa-apanya. Bisanya hanya
main gertak, menakut-nakuti penduduk lemah."
"Tapi kalau kalian tidak
pergi sampai esok pagi, dia akan melaksanakan ancamannya," tegas Ki
Anggarasana.
"Dia tidak akan punya
kesempatan, Ki. Percayalah! Kami berdua akan menjaga desa ini siang dan malam.
Kami akan menangkap orang itu, dan menyerahkannya pada penduduk desa ini,"
janji Pandan Wangi
"Memang itu yang kuharapkan.
Juga, seluruh penduduk desa ini berharap bisa menghentikan si Anggrek Hitam.
Tapi mereka hanya petani yang tidak memiliki kepandaian apa pun juga," ada
nada keluhan di dalam suara Ki Anggarasana.
"Aku mengerti, Ki,"
Kata Pandan Wangi, setengah bergumam. Gadis itu berpaling menatap Rangga yang
sejak tadi hanya diam saja. Dihampirinya Pendekar Rajawali Sakti dan berdiri di
depannya.
Sementara Ki Anggarasana masih
tetap terduduk lemas. Dia tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukan untuk
menyelamatkan desa ini dari kehancuran.
"Bagaimana, Kakang?"
Pandan Wangi meminta pendapat Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau tetap di sini saja,
Pandan. Aku akan melihat-lihat keadaan sekitar desa ini," ujar Rangga.
Setelah berkata demikian, Rangga
bergegas melangkah menghampiri kudanya yang tertambat di bawah pohon. Sekali lompatan
saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah berada di punggung kuda hitam Dewa Bayu.
Binatang itu meringkik keras, lalu cepat melesat pergi begitu tali kekangnya
dihentakkan dengan kuat.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Sepeninggal Rangga, Pandan
mengelilingi rumah kepala desa itu, setelah terlebih dulu menyuruh Ki Muhijar
untuk masuk ke kamarnya kembali. Sementara Ki Anggarasana sudah kembali masuk
ke dalam rumah itu. Keadaan tetap sunyi, tak terlihat seorang pun berada
diluar. Sementara malam terus merayap semakin larut. Pandan Wangi terus
mengayunkan kakinya perlahan-lahan menuju bagian belakang rumah besar ini. Agak
heran juga hatinya karena rumah sebesar ini tidak ada penjaga seorang pun yang
ditemui. Tapi mengingat suasananya seperti ini, Pandan Wangi bisa memaklumi.
Sampai di bagian belakang, tetap
saja tidak ditemui seorang pun. Pandan Wangi.berhenti melangkah. Pandangannya
beredar berkeliling. Pada saat itu, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan
didepannya.
"Hei...?!" Pandan Wangi
tersentak kaget. Bergegas gadis itu melesat mengejar bayangan hitam yang
berkelebat cepat di depannya tadi. Dia masih sempat melihat, bayangan hitam itu
menuju bagian samping kanan rumah besar ini. Pandan Wangi langsung menuju bagian
samping rumah, bayangan hitam itu menghilang di balik tembok. Pandan Wangi
celingukan ke sana kemari, mencari-cari bayangan hitam tadi. Jelas kalau
bayangan hitam itu menghilang di depan jendela kamar Salaya. Gadis itu kemudian
segera membalikkan tubuh, hendak kembali dari tempat datangnya tadi. Namun
sebelum kakinya melangkah, dari arah belakangnya terasa ada desir angin
menyambar. Pandan Wangi langsung berbalik. Sejenak gadis itu terhenyak, lalu
cepat melentingkan tubuhnya ke udara.
"Hup! Yeaaah...!"
Wusss!
Ternyata beberapa benda hitam
berbentuk bunga anggrek melesat lewat di bawah tubuh Pandan Wangi. Dua kali si
Kipas Maut itu berputaran di udara, kemudian manis sekali mendarat lunak di
tanah. Namun belum juga menarik napas lega, mendadak berkelebat sebuah bayangan
hitam, meluruk deras ke arahnya.
"Uts!"
Pandan Wangi segera menarik
tubuhnya ke kiri, menghindari tenangan bayangan hitam itu. Cepat-cepat tubuhnya
diputar begitu bayangan hitam itu lewat. Lalu bagaikan kilat, gadis berbaju
biru itu melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam penuh.
"Hiyaaa...!"
Pukulan yang dilepaskan Pandan
Wangi tidak mengenai sasaran, karena bayangan hitam itu dapat berkelit manis
sekali. Dan sebelum Pandan Wangi bisa menarik kembali tangannya, bayangan hitam
itu sudah melenting ke atas. Pada saat itu juga, dilepaskannya satu tendangan
keras ke arah kepala. Cepat-cepat Pandan Wangi merunduk, menghindari tendangan
keras menggeledek itu.
Begitu kaki orang berbaju hitam
itu lewat, bergegas Pandan Wangi menjatuhkan tubuh ketanah, lalu bergulingan
beberapa kali. Langsung tubuhnya melesat bangkit, seraya melepaskan satu
pukulan keras menggeledek. Serangan Pandan Wangi yang begitu cepat dan tidak
terduga itu tak dapat dihindari lagi, tepat menghantam bagian punggung orang
berbaju serba hitam itu.
Des! Orang berbaju ketat serba
hitam itu, jatuh bergulingan di tanah. Namun, dia bisa cepat bangkit lagi.
Seketika tubuhnya diputar menghadap Pandan Wangi. Kini, ada jarak sekitar dua
batang tombak di antara mereka. Saat itu, Pandan Wangi terbeliak. Karena, wajah
orang itu bukan wajah manusia, melainkan wajah tengkorak.
Pandan Wangi melangkah mundur dua
tindak. Dia sempat menelan ludahnya, begitu tahu kalau wajah tengkorak itu
terbuat dari kayu. Dia juga cepat menyadari kalau sekarang berhadapan dengan
manusia yang selama ini menjadi momok menakutkan bagi seluruh penduduk Desa
Ragasari.
"Kau pasti si Anggrek
Hitam...," desis Pandan Wangi menebak.
"Dugaanmu tepat. Aku memang
si Anggrek Hitam," sahut orang berbaju serba hitam yang mengenakan topeng
tengkorak itu.
"Oh..., jadi kau orangnya.
Kebetulan, aku idak perlu repot-repot mencarimu lagi," terasa dingin suara
Pandan Wangi.
"Aku memang tidak ingin
merepotkanmu, Pandan Wangi..."
"Heh...?! Kau tahu
namaku...?" Pandan Wangi agak terkejut juga, karena si Anggrek Hitam sudah
mengenalnya.
Padahal, mereka baru kali ini
bertemu. Tapi Anggrek Hitam sudah tahu, kalau yang berdiri di depannya adalah
Pandan Wangi. Gadis cantik yang dikenal berjuluk si Kipas Maut. Pandan Wangi
jadi menatap wajah bertopeng itu dalam-dalam. Sayang sekali, keadaan begitu
gelap. Apalagi seluruh wajah orang itu tertutup topeng kayu berbentuk
tengkorak. Jadi, tidak mudah untuk bisa dikenali. Sedangkan dari nada suaranya,
Pandan Wangi tahu kalau suara manusia bertopeng tengkorak ini dibuat-buat.
"Siapa kau
sebenarnya...?!" tanya Pandan Wangi keras.
"Tidak ada gunanya kau tahu
tentang diriku, Pandan Wangi. Karena, sebentar lagi kau akan mati!" terasa
dingin nada suara Anggrek Hitam.
Setelah berkata demikian, Anggrek
Hitam mengibaskan tangan kanannya dengan cepat kedepan. Seketika itu juga
melesat sebuah benda hitam berbentuk bunga anggrek. Sejenak Pandan Wangi
terbeliak, namun cepat menarik tubuhnya ke kanan. Maka senjata maut si Anggrek
Hitam itu berhasil dihindarinya.
Namun belum juga Pandan Wangi
bisa menarik kembali tubuhnya, si Anggrek Hitam sudah melompat cepat bagai
kilat sambil melepaskan satu tendangan menggeledek mengandung pengerahan tenaga
dalam penuh.
"Hiyaaat...!"
"Ufs...!"
Tak ada kesempatan lagi bagi
Pandan Wangi untuk menghindar. Cepat-cepat tangannya digerakkan untuk menangkis
tendangan manusia bertopeng tengkorak itu. Tak pelaklagi, satu benturan keras
pun terjadi. Pandan Wangi sempat terkejut. Memang begitu membentur kaki si
Anggrek Hitam, tangannya terasa bagai tersengat ribuan lebah berbisa. Bergegas
si Kipas Maut itu melompat mundur beberapa tindak. Sedangkan si Anggrek Hitam
berputar dua kali, lalu mendarat kembali di tanah dengan manis sekali.
"Gila...! Tenaga dalamnya
luar biasa!" dengus Pandan Wangi dalam hati.
Pandan Wangi tidak sempat lagi
berpikir lebih jauh, karena si Anggrek Hitam sudah menyerang kembali. Gadis itu
terpaksa berjumpalitan menghindari serangan serangan yang begitu gencar dan
dahsyat luar biasa. Bisa dirasakan kalau angin pukulan si Anggrek Hitam itu
mengandung hawa panas yang menyengat kulit tubuhnya. Beberapa kali pukulan si
Anggrek Hitam berhasil dihindari Pandan Wangi. Namun ketika gadis itu baru saja
mengelak dari satu tendangan keras, mendadak saja si Anggrek Hitam melontarkan
satu pukulan menggeledek ke dada. Pandan Wangi jadi terhenyak, dan tidak sempat
lagi menghindarinya.
Diegkh!
"Akh...!" Pandan Wangi
terpekik agak tertahan. Si Kipas Maut itu terpental ke belakang sejauh dua
batang tombak. Tubuhnya terhuyung-huyung mencoba menguasai keseimbangan
tubuhnya. Saat itu juga dadanya terasa begitu sesak. Bahkan hawa panas pun
menjalar keseluruh tubuhnya. Tampak setetes darah menggulir ke luar dari sudut
bibirnya.
"Kau tidak akan bisa
menghentikan ku, Pandan Wangi. Juga temanmu itu...!" desis Anggrek Hitam
dingin. "Sekarang terimalah kematianmu. Hiyaaat...!"
Cepat sekali Anggrek Hitam
mengibaskan tangannya ke depan, dengan tubuh agak membungkuk ke kiri. Seketika
itu juga, dari telapak tangannya meluncur bunga-bunga Anggrek Hitam yang
mengandung racun sangat mematikan.
Sret!
"Hiyaaat...!"
Meskipun masih merasakan sesak
pada dadanya, Pandan Wangi cepat mencabut kipas maut yang berwarna keperakan.
Cepat-cepat senjata mautnya itu dikibaskan untuk menangkis bunga-bunga anggrek
hitam yang meluncur deras mengincar tubuhnya.
Tring! Trang...!
Bunga-bunga anggrek hitam itu
jatuh berguguran tersambar senjata kipas baja putih. Begitu cepat gerakan
Pandan Wangi, sehingga membuat si Anggrek Hitam terperangah. Sungguh tidak
diduga kalau gadis ini masih mampu bertahan, meskipun sudah terkena pukulan
dahsyat di dadanya. Bahkan bunga-bunga anggrek hitam yang dilepaskannya, tak
satu pun yang berhasil menyentuh tubuh si Kipas Maut.
Pandan Wangi membuka kipasnya di
depan dada. Namun mulutnya masih meringis merasakan nyeri pada tulang-tulang
dadanya. Gadis itu menyadari kalau dirinya mendapat luka dalam yang cukup
parah. Tapi, dia tidak sudi mati begitu saja. Sementara si Anggrek Hitam sudah
kembali bersiap hendak melakukan serangan kembali. Hatinya jadi penasaran,
karena tak satu pun dari senjatanya yang mengenai sasaran.
"Kau cukup tangguh, Pandan
Wangi. Tapi cobalah jurus 'Anggrek Seribu' ini...!" desis si Anggrek
Hitam. "Hiyaaat...!"
Cepat sekali tangan kanan si
Anggrek Hitam bergerak, melontarkan senjata-senjata mematikan itu. Pandan Wangi
terpaksa berjumpalitan diudara untuk menghindari serangan manusia bertopeng
tengkorak itu. Kipas baja putih yang menjadi andalannya, berkelebat menyambar
bunga-bunga anggrek hitam beracun yang meluncur deras menghujani tubuhnya.
***
ENAM
Anggrek Hitam berlompatan
mengelilingi Pandan Wangi sambil melontarkan senjatanya yang berbentuk bunga
anggrek hitam. Akibatnya, Pandan Wangi benar-benar kerepotan menghindarinya.
Senjata-senjata beracun itu berhamburan disekitar tubuh gadis itu, bagai hujan
yang dijatuhkan dan langit. Sedikit pun tidak ada kesempatan bagi si Kipas Maut
untuk menarik napas. Apalagi membalas serangan-serangan manusia bertopeng
tengkorak itu.
Pada saat Pandan Wangi kerepotan
menghindari hujan bunga anggrek hitam itu, mendadak saja si Anggrek Hitam
meluruk deras ke arahnya. Langsung dilontarkannya pukulan keras menggeledek,
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Serangan itu demikian cepat, sehingga
tak sempat lagi bagi Pandan Wangi untuk menghindar.
"Yeaaah...!"
"Uts...!" Pandan Wangi
masih berusaha berkelit. Gadis itu terpental sejauh dua batang tombak. Pukulan
yang dilepaskan si Anggrek Hitam tadi, hanya menghantam bagian samping bahunya.
"Uhk...!" Pandan Wangi
meringis, merasakan nyeri dibahu kanannya Dia mencoba berdiri tegak. Namun
belum juga berhasil, satu tendangan keras mendarat di tubuhnya. Tak pelak lagi,
si Kipas Maut bergulingan di tanah sambil menjerit melengking. Tubuhnya baru
berhenti ketika menghantam keras sebatang pohon yang cukup besar. Lagi-lagi
Pandan Wangi menjerit. Pohon itu sampai bergetar, dan menggugurkan
daun-daunnya.
"Sudah saatnya kau pergi ke
neraka, Pandan Wangi..!" desis si Anggrek Hitam dingin.
Manusia bertopeng tengkorak itu
memiringkan tubuhnya agak membungkuk kekiri. Tangan kanannya siap melontarkan
senjata andalannya yang terkenal sangat dahsyat itu. Namun sebelum bunga
anggrek hitamnya terlontar, mendadak saja sebuah bayangan berkelebat cepat di
depannya. Dan tahu-tahu seorang wanita cantik berbaju hijau sudah berdiri
melindungi Pandan Wangi yang terkapar sambil merintih lirih.
"Kau.... Mau apa ke
sini...?!" Anggrek Hitam terkejut melihat kedatangan wanita cantik berbaju
hijau ketat itu.
"Kau sudah keterlaluan! Ayo
ikut..!" bentak wanita berbaju hijau itu dingin.
Kelihatannya wanita cantik
berbaju hijau itu begitu berpengaruh di depan si Anggrek Hitam. Ini terbukti
dari sikap orang berbaju hitam itu yang kelihatan gugup menghadapi wanita berbaju
hijau di depannya.
Sementara, wanita berbaju hijau
itu memang tidak ingin si Anggrek Hitam bertindak terlalu jauh. Karena, hal itu
akan menyulitkan mereka juga. Belum juga si Anggrek Hitam bisa mengucapkan
sesuatu, mendadak saja wanita berbaju hijau itu melompat cepat menyambarnya.
Anggrek Hitam tersentak kaget. Tapi sebelum bisa berbuat sesuatu, tangan
kanannya sudah dicekal. Dan...
Slap!
Bagaikan sekarung kapas ringan,
Anggrek Hitam melesat dibawa wanita berbaju hijau itu. Begitu cepatnya, hingga
dalam sekejapan saja mereka sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Sementara
dalam keadaan yang parah, Pandan Wangi masih sempat memperhatikan kejadian yang
begitu cepat tadi. Sambil meringis menahan sakit disekujur tubuhnya, terutama
rasa sesak di dadanya, si Kipas Maut mencoba bangkit berdiri. Meskipun berhasil
berdiri, namun tubuhnya masih limbung.
"Ugkh...!" Sekali lagi
Pandan Wangi memuntahkan darah kental agak kehitaman. Disekanya darah yang
mengotori bibirnya dengan punggung tangan. Sambil tertatih-tatih, gadis itu
melangkah menuju rumah Ki Anggarasana. Sesekali dia terbatuk disertai darah
dari mulutnya. Gadis itu langsung jatuh tersungkur begitu mencapai pintu depan,
tepat saat Ki Anggarasana membuka pintu. Dia terkejut melihat keadaan Pandan
Wangi yang tampak kepayahan.
"Pandan...?! Apa yang
terjadi..?" sentak Ki Anggarasana terkejut. Bergegas laki-laki setengah
baya itu memapah tubuh Pandan Wangi, dan membawanya masuk ke dalam. Dia
berteriak-teriak memanggil siapa saja yang masih berada didalam rumah ini.
Beberapa orang laki-laki bertubuh tegap berdatangan. Mereka terkejut melihat Ki
Anggarasana memondong seorang gadis dalam keadaan terluka.
"Kalian jaga di sekitar
rumah ini. Si Anggrek Hitam ada di sini...!" perintah Ki Anggarasana.
Laki-laki setengah baya itu
langsung menuju kamar tempat istirahat Pandan Wangi. Sementara orang-orang yang
diperintah, segera menjalankan tugasnya menjaga rumah besar itu. Meskipun
dihati mereka terbetik kegentaran, tapi dilaksanakan juga. Dan mereka hanya
bisa berharap agar tidak bertemu Anggrek Hitam.
"Kurang ajar...! Ini sudah
keterlaluan. Iblis keparat itu tidak lagi memandang kita, Ayah!" geram
Candraka berang.
Pagi ini kegemparan memang
terjadi dirumah Ki Anggarasana. Bukan hanya Candraka yang berang, tapi juga
Rangga. Bahkan Ki Anggarasana berang setengah mati. Terlebih kepala desa itu
merasa malu karena tidak dapat melindungi tamunya, hingga Pandan Wangi
mengalami luka dalam begitu parah. Dan sekarang, gadis itu dalam perawatan Nyai
Koret, tabib tua yang terkena! di Desa Ragasari ini.
"Bagaimana mungkin semua
orang di sini tidak ada yang mendengar pertarungan itu...? Apa semua sudah
tidur? Apa mereka tidak diperintahkan menjaga rumah ini...?" agak keras
suara Candraka.
"Jangan salahkan ayahmu,
Candraka. Aku bertarung agak jauh di samping rumah," jelas Pandan Wangi
lemah.
"Mana Salaya, Ayah?"
tanya Candraka teringat adiknya.
"Ada di kamar. Sejak semalam
tidak keluar dari kamarnya," sahut Ki Anggarasana.
"Anak pemalas itu makin
manja saja!" dengus Candraka menggerutu. "Sudah tahu ada tamu, malah
enak-enakan tidur!" Candraka bergegas melangkah keluar dari kamar Pandan
Wangi.
"Mau ke mana kau,
Candraka?" tanya Ki Anggarasana.
"Sekali-sekali dia harus
dikerasi, Ayah!" sahut Candraka.
"Kau jangan terlalu keras
padanya, Candraka! Dia terlalu lemah."
Candraka tidak lagi mendengar
kata-kata ayahnya. Dia sudah keluar dari kamar ini. Ki Anggarasana hendak
menyusul, tapi Rangga sudah keburu mencegahnya. Pendekar Rajawali Sakti mencekal
tangan Ki Anggarasana.
"Aku tidak ingin mencampuri
urusan keluargamu, Ki. Tapi biarkanlah Candraka," kata Rangga lembut.
"Salaya orangnya lemah. Dia
beda dari pemuda-pemuda lainnya. Aku tidak ingin dia sakit, karena dikasari
kakaknya," jelas Ki Anggarasana.
"Apa Candraka sering
mengasari adiknya?" Tanya Rangga.
"Dulu sering. Tapi setelah
peristiwa dua tahun lalu, tidak pernah lagi. Bahkan Candraka selalu
melindunginya.
"Boleh aku tahu peristiwa
apa itu, Ki?" tanya Rangga ingin tahu.
"Salaya pernah membunuh
seorang penggembala, karena ditertawakan dan dikatakan banci," agak pelan
suara Ki Anggarasana.
"Hm...," gumam Rangga
perlahan.
"Salaya seringkali
mendapatkan perlakuan seperti itu. Bahkan semua orang di desa ini selalu
mencemoohkannya."
"Apa dia selalu marah bila
dicemoohkan?" tanya Rangga lagi.
"Tidak begitu sering,
kecuali dua tahun lalu itu. Dia mendorong penggembala itu, maka terjadilah
perkelahian. Salaya merebut parang dari teman si penggembala, dan menusuknya
hingga tewas. Sejak itu, dia lebih senang menyendiri, dan menjauh dari
pergaulan. Dia juga tidak pernah lagi marah kalau diejek dan dicemoohkan orang.
Salaya lebih memilih diam, dan menatap tajam orang yang mengejeknya. Tapi kalau
dia berjalan bersamaku, tidak ada seorang pun yang berani mengejeknya.
Yaaah..., mungkin mereka memandang kedudukanku sebagai kepala desa di
sini."
Saat itu Candraka kembali masuk
ke dalam kamar dengan sikap tergopoh-gopoh. Ki Anggarasana dan Rangga langsung
memandang pemuda itu.
"Dia tidak ada di kamarnya,
Ayah. Pintunya terkunci, tapi jendelanya terbuka. Aku terpaksa mendobrak
pintunya," jelas Candraka.
"Mustahil...! Tidak biasanya
dia pergi melalui jendela!" desis Ki Anggarasana tidak percaya.
Laki-laki setengah baya itu
bergegas keluar dari kamar ini. Rangga dan Candraka juga bergegas mengikuti.
Tinggal Pandan Wangi yang masih terbaring di ranjang, ditunggui Nyai Koret.
Mereka hanya bisa saling berpandangan. Sebenarnya Pandan Wangi ingin bangkit
dari pembaringan. Tapi baru sedikit saja tubuhnya digerakkan, dadanya sudah
terasa sesak sekali.
"Bantu aku duduk, Nyai. Aku
akan bersemadi," pinta Pandan Wangi.
Nyai Koret membantu gadis itu
duduk di pembaringan, kemudian keluar dari kamar itu. Perlahan ditutupnya
pintu, dan membiarkan Pandan Wangi melakukan semadi untuk memulihkan kekuatan
tubuhnya.
"Tidak pernah Salaya keluar
diam-diam begini...," gumam Ki Anggarasana hampir tidak percaya. Laki-laki
setengah baya itu memandangi kamar Salaya yang kosong.
Pintunya memang rusak dibongkar
Candraka. Tapi, jendelanya tidak mengalami kerusakan sedikit pun, dan dalam
keadaan terbuka lebar. Sementara Rangga memeriksa setiap sudut kamar yang
berukuran cukup besar ini. Kamar yang rapi dan berbau harum, seperti kamar
seorang gadis. Pandangan Pendekar Rajawali Sakti tertuju pada sebuah guci besar
yang terletak di bagian sudut dekat jendela. Dihampirinya guci itu. Keningnya
jadi berkerut begitu melihat ke dalam guci. Tangannya segera merogoh masuk ke
dalam guci, dan keluar lagi dengan membawa beberapa buah benda hitam berbentuk
bunga anggrek. Digenggamnya bunga anggrek hitam itu beberapa saat, lalu telapak
tangannya dibuka kembali.
"Dia selalu mengumpulkan
benda-benda itu, setiap kali si Anggrek Hitam muncul," jelas Ki
Anggarasana memberi tahu, tanpa diminta lagi.
"Untuk apa mengumpulkan
benda ini?" tanya Rangga agak heran.
"Dia memang aneh, Rangga.
Kemauan dan tingkah lakunya sukar ditebak," selak Candraka yang masih
tetap berdiri diambang pintu.
"Benda ini tidak
beracun...," ujar Rangga setengah bergumam, seperti bicara pada dirinya
sendiri.
Pendekar Rajawali Sakti melangkah
mendekati jendela. Sebentar diamatinya jendela itu. Ternyata jendela ini
menghadap langsung kebagian samping kanan rumah. Dari kamar ini, bisa langsung
terlihat tempat pertarungan Pandan Wangi dengan si Anggrek Hitam semalam.
"Hup!"
Ringan sekali gerakan Pendekar
Rajawali Sakti saat melompat keluar dari kamar ini, melalui jendela yang
terbuka. Begitu kakinya menjejak tanah, langsung berlari cepat ke tempat Pandan
Wangi bertarung semalam. Sementara Ki Anggarasana hanya memperhatikan saja,
sedangkan Candraka ikut melompat ke luar dan menghampiri Rangga yang berjongkok
memungut sebuah bunga anggrek hitam dari tanah.
Rangga berpaling memandang
Candraka yang sudah berada di sampingnya. Di sekitar mereka, terdapat belasan,
bahkan mungkin puluhan bunga anggrek hitam yang bertebaran ditanah. Bahkan
tidak sedikit yang menancap dipepohonan. Melihat banyaknya benda yang
mengandung racun mematikan itu, sudah dapat dipastikan kalau Pandan Wangi pasti
telah digempur habis-habisan. Masih untung gadis itu tidak terkena satu pun
dari benda-benda mematikan ini.
"Benda-benda ini mengandung
racun. Sebaiknya segera disingkirkan. Sangat berbahaya kalau sampai mengenai
orang," jelas Rangga.
"Akan kuperintahkan pekerja
di sini untuk menguburkan benda-benda ini," sambut Candraka.
Rangga memandang jendela kamar
Salaya yang masih terbuka lebar. Di sana, Ki Anggarasana masih berdiri
memperhatikan. Pendekar Rajawali Sakti kemudian kembali menatap Candraka.
"Adikmu bisa ilmu
kedigdayaan?" tanya Rangga hati-hati, takut menyinggung perasaan pemuda
ini.
"Dia tidak pernah
bersungguh-sungguh mempelajarinya. Aku sendiri hanya belajar dari ayah,"
sahut Candraka.
"Kenapa kau bertanya seperti
itu? Kau mencurigai Salaya...?"
"Tidak," sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti melangkah
kembali menuju kamar Salaya. Candraka mengikuti, dan mensejajarkan langkahnya
di samping kiri pemuda berbaju rompi putih itu. Sementara itu Rangga teringat
cerita Pandan Wangi. Saat itu mereka mempunyai kesempatan berdua di dalam
kamar, pagi-pagi sekali tadi. Pandan Wangi menyatakan kalau si Anggrek Hitam
bertubuh ramping seperti wanita, tapi suaranya besar dan seperti dibuat-buat.
"Aku akan pergi
sebentar," pamit Rangga setelah dekat dengan jendela kamar Salaya.
Tanpa menunggu jawaban lagi,
Pendekar Rajawali Sakti bergegas melangkah ke depan rumah besar ini. Sementara
Ki Anggarasana dan Candraka hanya memandangi kepergian pemuda berbaju rompi
putih itu, sampai lenyap di balik dinding bagian depan. Tak berapa lama kemudian,
terdengar derap langkah kaki kuda yang dipacu cepat.
"Dia meminta benda-benda itu
disingkirkan dari sana," jelas Candraka. "Aku juga akan pergi dulu,
Ayah."
Candraka juga tidak menunggu
jawaban dari ayahnya, dan bergegas melangkah pergi. Ki Anggarasana memandangi
punggung anaknya itu sebentar, kemudian menuju jendela kamar.
Candraka memacu cepat kudanya
melintasi jalan tanah berdebu. Pandangannya lurus ke depan, menatap langsung ke
sebuah rumah kecil yang agak menyendiri dari rumah-rumah lain. Tampak seorang
laki-laki tua tengah berdiri memandangi di depan rumah itu. Dia kemudian
bergegas menghampiri, begitu Candraka dekat. Pemuda tampan itu cepat melompat
turun dari punggung kudanya, begitu dekat di depan rumah kecil yang tampak
cantik ini.
"Andira ada, Ki Rasut?"
tanya Candraka.
"Oh...! A..., ada! Di
dalam," sahut Ki Rasut tergagap.
Candraka memandangi laki-laki tua
itu dengan kening berkerut, "Kenapa kau gugup, Ki Rasut?" tegur
Candraka.
"Tidak.... Tidak apa-apa,
Den. Sebentar Nyai Andira ku kasih tahu dulu," sahut Ki Rasut sambil
berpegas melangkah masuk ke dalam rumah itu.
Kening Candraka semakin dalam
berkerut. Tidak biasanya Ki Rasut tergagap begitu. Sebentar dipandanginya
laki-laki tua itu yang sudah lenyap ke dalam rumah. Sedangkan kudanya sudah
ditambatkan di sebatang pohon yang ada di depan rumah itu. Dia kemudian
melangkah menuju pintu yang masih sedikit terbuka. Belum juga Candraka
mendorong, pintu itu sudah terbuka lebar. Seketika muncul wanita cantik yang
mengenakan baju hijau ketat. Dia tersenyum manis menyambut kedatangan Candraka.
"Aku tidak mengira kau akan
datang hari ini, Candraka," ujar wanita itu lembut "Yuk,
masuk...."
Candraka melangkah masuk
mengikuti wanita cantik berbaju hijau itu. Sebentar pandangannya beredar mengitari
ruangan depan rumah ini. Dia berdiri saja tidak jauh dari pintu. Sementara
wanita cantik bernama Andira itu memandanginya.
"Ada apa, Candraka? Kau
seperti baru sekali ini datang ke sini," tegur Andira.
"Ada orang lain di
sini?" tanya Candraka, bernada curiga.
"Pertanyaanmu aneh,
Candraka. Tidak ada siapa-siapa di sini selain aku dan Ki Rasut," sahut
Andira seraya memberi senyum manisnya.
Baru saja Candraka hendak membuka
mulutnya, tiba-tiba saja terdengar derap kaki kuda yang dipacu cepat menjauh.
Bagaikan kilat, pemuda itu melesat ke luar menerobos pintu. Manis sekali
kakinya menjejak tanah di depan beranda rumah ini. Candraka masih sempat
melihat seekor kuda yang dipacu cepat, berbelok dari jalan yang menuju ke arah
sungai. Candraka membalikkan tubuh, lalu bergegas masuk kembali. Mukanya
memerah, menatap tajam wanita cantik yang masih menunggunya dengan bibir
menyungging senyuman manis menggoda. Perlahan Candraka menghampiri, lalu dengan
kasar didorongnya tubuh wanita itu.
"Auh...!" Andira
terpekik kaget. Wanita itu jatuh tersuruk ke lantai. Bibirnya meringis begitu
punggungnya menghantam lantai papan yang keras. Candraka menghampiri sambil
menggertakkan rahangnya. Perlahan-lahan Andira bangkit berdiri. Senyumnya
langsung menghilang dari bibirnya yang selalu merah, indah, dan menggiurkan
itu.
"Keluar kau dari
rumahku!" bentak Andira jadi kalap, diperlakukan kasar begitu.
"Dasar pelacur! Perempuan
rendah...! Berani benar menyembunyikan laki-laki lain dirumah ini!" geram
Candraka memaki.
Plak!
"Akh...!" lagi-lagi
Andira memekik begitu satu tamparan keras mendarat di wajahnya. Wanita cantik
berbaju hijau itu melintir beberapa kali. Dia terjatuh menabrak kursi, hingga
hancur berantakan. Mulutnya mendesis geram bagaikan ular. Wajahnya memerah
bagai besi terbakar. Cepat dia bangkit berdiri. Saat itu juga, kecantikan
wajahnya hilang. Bola matanya kini berapi-api, menyimpan amarah membara. Kata-kata
Candraka dan perlakuan kasar pemuda itu, membuat hatinya bagai tertusuk sebilah
pedang!
"Aku memang pelacur! Tidak
ada seorang pun yang bisa melarangku menerima laki-laki kesini! Pergi kau!
Pergi...!" jerit Andira kalap.
Candraka sempat terhenyak melihat
Andira jadi kalap begitu. Tubuhnya cepat dimiringkan ketika sebuah jambangan
bunga tiba-tiba dilemparkan wanita itu ke arahnya. Jambangan itu hancur
menghantam dinding. Andira kini mengamuk sejadi-jadinya. Diraihnya apa saja
yang bisa terjangkau, dan dilemparkannya kearah Candraka. Akibatnya pemuda itu
jadi sibuk menghindarinya.
"Pergi kau, Jahanam!
Pergi...!" jerit Andira semakin kalap.
Tanpa berkata apa-apa lagi,
Candraka bergegas memutar tubuhnya dan melompat keluar dari dalam rumah ini.
Andira langsung berhenti mengamuk. Dipandanginya. pemuda yang cepat lenyap dari
balik pintu itu. Tak berapa lama kemudian, terdengar suara derap kaki kuda
dipacu cepat.
"Huh! Dasar laki-laki...!
Mau menangnya sendiri!" dengus Andira.
Saat itu Ki Rasut datang tergopoh-gopoh,
dan langsung tertegun melihat keadaan ruangan depan yang berantakan seperti
baru saja terjadi perang. Andira melirik sedikit pada laki-laki tua itu, lalu
menghempaskan tubuhnya di kursi. Napasnya tersengal dan memburu, seperti baru
saja mendaki bukit yang tinggi sekali.
"Ada apa, Nyai? Kenapa
berantakan begini?" tanya Ki Rasut
"Anak itu telah menghinaku,
Ki," sahut Andira masih tersengal.
"Dia menyakitimu?"
Ki Rasut menghampiri dan
mengamati pipi kanan Andira yang memerah, bergambar lima jari tangan. Tangannya
terulur, membelai lembut pipi yang memerah itu. Andira diam saja. Dia masih
sibuk mengatur pernapasannya yang jadi sesak, akibat kemarahan meluap setelah
mendapat hinaan begitu menyakitkan.
"Sudah kukatakan, tidak ada
gunanya semua ini, Nyai. Hal ini hanya akan membuat hatimu sakit," hibur
Ki Rasut lembut.
Andira diam saja. Pernapasannya
sudah bisa dikendalikan. Namun warna merah di pipi kanannya belum juga hilang.
Sakit yang dirasakan akibat tamparan tidak sebanding dengan sakit yang diderita
hatinya.
"Aku kasihan padamu, Nyai.
Seumur hidup kau hanya jadi bahan permainan laki-laki. Seharusnya, kau bisa
melawan anak itu. Aku yakin, dengan mudah kau dapat membunuhnya, semudah
membalikkan telapak tangan. Tapi terus terang, sebenarnya aku tidak setuju
dengan rencanamu. Buat apa kau mengacukan Desa Ragasari, sedangkan kau tidak
mempunyai masalah di sini? Tapi kau tetap nekat. Bahkan mengorbankan perasaanmu
sendiri. Sebaiknya, hentikan saja, Nyai Tidak ada gunanya rencanamu ini
diteruskan," bujuk Ki Rasut lagi.
"Aku tidak akan berhenti,
sebelum yang kuinginkan tercapai," dengus Andira.
"Bukankah yang kau inginkan
sudah tercapai, Nyai?"
"Belum!"
"Semua orang yang...."
"Ki...," potong Andira
cepat "Lima tahun aku merencanakan semua ini. Lima tahun aku bekerja
keras. Aku tidak ingin semuanya berantakan gara-gara Candraka. Toh, dia hanya
cemburu buta saja. Aku yakin, dia tidak tahu apa-apa. Dan ini masih bisa
diteruskan. Percayalah! Kalau semua sudah berhasil, aku akan meninggalkan desa
ini. Aku tidak akan kembali lagi ke sini."
"Aku hanya khawatir,
Nyai..."
"Apa yang kau khawatirkan,
Ki?"
"Cerita Salaya
semalam," sahut Ki Rasut.
Andira jadi terdiam, dan langsung
teringat cerita Salaya semalam. Jika mengingat hal itu, ada sedikit
kekhawatiran di hatinya. Tapi dia yakin, utusan dari Karang Setra yang
dikatakan Salaya semalam, pasti belum tahu keberadaannya di desa ini. Hanya
saja kalau diingat tentang ciri-ciri utusan itu, rasa kekhawatiran langsung
datang menyelinap di hatinya.
Dia yakin kalau utusan itu
pastilah Rangga, yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti dan juga Raja
Karang Setra. Dan gadis itu, pastilah Pandan Wangi si Kipas Maut. Andira mendesah
panjang, mencoba menghilangkan kekhawatiran yang menyelinap di hatinya.
"Kita akan segera pergi
setelah tujuan utama kita di sini tercapai, Ki. Yang penting, Candraka dan
Salaya harus diadu domba dahulu. Kemudian..., Ki Anggarasana harus dibunuh.
Lalu, kita tempatkan Salaya menjadi kepala desa. Dengan demikian, desa ini bisa
berada dalam kekuasaanku. Dan kita kendalikan dari jauh. Sebab, kita juga harus
melumpuhkan desa-desa lain yang berada di bawah Kerajaan Karang Setra,"
tegas Andira setelah terdiam beberapa saat lamanya.
"Terserahlah, Nyai. Tapi kau
harus hati-hati. Aku yakin, mereka adalah Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas
Maut. Mungkin kau bisa menandingi si Kipas Maut. Tapi rasanya kau tidak akan
dapat menandingi Pendekar Rajawali Sakti. Kau harus menghindar dan jangan
sampai bentrok dengannya," ujar Ki Rasut memperingatkan.
"Itu tidak akan terjadi, Ki.
Percayalah," Andira meyakinkan laki-laki tua itu.
"Aku percaya padamu,
Nyai."
"Sebaiknya kau bersiap-siap,
Ki. Dua hari lagi semuanya akan selesai. Jangan lupa, harta pusaka itu jangan
sampai tertinggal. Kita sangat membutuhkannya," tegas Andira lagi.
"Aku selalu menjaganya
baik-baik, Nyai" Ki Rasut beranjak meninggalkan ruangan itu. Tapi sebelum
menghilang, Andira sudah memanggil lagi. Laki-laki tua itu berhenti melangkah,
dan memutar tubuhnya.
"Apa Salaya yang pergi tadi,
Ki?" tanya Andira.
"Hanya kudanya saja. Anak
itu masih ada dikamar belakang," sahut Ki Rasut.
"Aku akan ke sana."
Andira bergegas beranjak bangkit
berdiri. Ki Rasut hanya menggeleng-gelengkan kepala saja. Cepat sekali Andira
melupakan kemarahan dan sakit hatinya atas hinaan Candraka tadi. Sementara Ki
Rasut masih berada di ruangan itu, Andira sudah lenyap tidak terlihat lagi.
***
TUJUH
Sementara itu, Candraka terus
memacu kudanya menuju sungai. Pemuda itu ingin tahu, siapa yang tadi pergi dari
rumah Andira. Kecemburuan telah menghimpit dadanya. Meskipun dia tahu kalau
Andira bukan wanita baik-baik, tapi sudah begitu disukainya. Tidak heran kalau
kecemburuannya sering timbul jika melihat ada laki-laki lain yang datang atau
keluar dari rumah itu. Tapi tadi, dia tidak dapat menahan diri. Dan semuanya
terjadi begitu saja, bagai tak disadari. Candraka menghentikan lari kudanya
begitu sampai di tepi sungai. Hatinya tertegun melihat Rangga sudah ada di sana
bersama kudanya. Dan lebih terkejut lagi, karena di situ juga ada seekor kuda
yang dikenalinya.
"Rangga...," panggil
Candraka seraya melompat turun dari punggung kudanya.
Rangga berpaling menatap putra
kepala desa itu. Candraka bergegas menghampiri. Sebentar dipandanginya Pendekar
Rajawali Sakti, kemudian diamatinya kuda putih dengan kaki belang coklat di
belakang pemuda berbaju rompi putih itu.
"Kau kenal kuda ini,
Candraka?" tanya Rangga.
"Milik adikku," sahut
Candraka.
"Kuda ini tiba-tiba datang
dari arah kedatanganmu tadi, Candraka," jelas Rangga.
"Tidak bersama Salaya?"
tanya Candraka.
Rangga hanya menggelengkan kepala
saja. Sedangkan Candraka mengamati kuda yang sangat dikenalinya ini.
Dihampirinya kuda itu. Sejenak terlintas di kepalanya, saat melihat selintas
seekor kuda berbelok dan terus menghilang dari rumah Andira. Kuda itu memang
berwarna putih. Tapi tidak pernah sedikit pun terlintas dalam pikirannya
kalau.... Candraka tidak meneruskan. Dia tidak yakin kalau kuda ini yang tadi
dilihatnya.
Dia tahu betul, siapa Salaya.
Adiknya tidak pernah main perempuan. Salaya selalu merasa takut bila berdekatan
dengan wanita. Demikian pula bila bergaul dengan laki-laki. Kebenciannya
seketika timbul. Karena, setiap pemuda seusianya di desa ini selalu mengejek
dan mencemoohkannya. Bahkan tidak sedikit orang-orang tua yang melarang anaknya
bergaul dengan Salaya. Katanya, takut ketularan. Entah ketularan apa! Mungkin
mereka takut anak laki-lakinya mengikuti jejak Salaya yang bersikap seperti
wanita.
"Candraka, apa Salaya sering
meninggalkan kudanya begitu saja?" tanya Rangga.
"Salaya begitu menyukai kuda
itu. Dia tidak pernah meninggalkannya begitu saja. Apalagi membiarkannya pergi
sendiri," sahut Candraka.
"Sebaiknya kita cari adikmu.
Barangkali dia mengalami sesuatu, dan menyuruh kuda itu pulang untuk memberi
tahu," Rangga menduga-duga.
"Kuda ini sudah terlatih.
Dia bisa menunjukkan, di mana Salaya berada," jelas Candraka.
"Itu lebih bagus,"
sambut Rangga.
Candraka mengambil tali kekang
kuda adiknya ini, kemudian menuntun mendekati kudanya sendiri. Pemuda itu
melompat naik kepunggung kudanya. Rangga juga bergegas naik kepunggung kudanya.
Kemudian mereka bergerak meninggalkan tepian sungai itu. Candraka membiarkan
kuda putih berkaki belang coklat itu berjalan didepan. Dia hanya memegangi
ujung tali kekangnya saja, dan mengikuti dari belakang. Sementara Rangga
mensejajarkan langkah kudanya di samping kanan putra kepala desa itu.
"Ada apa, Candraka?"
tanya Rangga melihat kening pemuda itu berkerut.
"Ah! Tidak apa-apa,"
sahut Candraka buru-buru.
Candraka tadi sempat tertegun,
karena jalan yang dilaluinya kini menuju rumah Andira. Hanya satu jalan ini
yang menuju ke sana dari sungai. Tikungan jalan yang menuju ke perkampungan padat,
sudah terlewati. Dan Candraka yakin sekali, kalau tidak ada tujuan lain jika
melalui jalan ini. Dia jadi bertanya-tanya dalam hati, mungkinkah Salaya
sekarang ada di rumah Andira...? Namun Candraka tidak ingin menduga terlalu
jauh. Hatinya tidak yakin kalau adiknya bermain-main dengan perempuan pelacur
itu.
Candraka cepat menghentikan kuda
itu saat berbelok menuju rumah Andira. Dari tikungan jalan ini, rumah itu sudah
terlihat jelas sekali. Rangga ikut menghentikan ayunan kaki kudanya. Sebentar
matanya memandang ke arah rumah yang menyendiri dan jauh dari pemukiman
penduduk itu. Sebentar kemudian ditatapnya Candraka yang berada di sampingnya.
"Ada apa, Candraka?"
tanya Rangga.
"Sebaiknya kau saja yang ke
sana sendiri, Rangga. Aku akan mengawasi dari sini," ujar Candraka tanpa
menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kenapa? Siapa pemilik rumah
itu?" tanya Rangga jadi heran.
"Aku tidak bisa
menjelaskannya. Aku tidak mau ke sana. Kau saja yang ke sana, Rangga,"
Candraka tidak mau mengatakan alasannya.
"Baiklah. Mudah-mudahan saja
adikmu ada di sana," Rangga menyerah.
Pendekar Rajawali Sakti menggebah
kudanya perlahan, mendekati rumah itu. Sementara Candraka menyembunyikan kuda
miliknya sendiri dan kuda adiknya ke dalam semak di belokan jalan. Dia sendiri
menyembunyikan diri, sambil terus memperhatikan Rangga yang semakin dekat
dengan rumah Andira.
Rangga tidak jadi mengetuk,
karena pintu itu sudah terbuka. Dari dalam, muncul seorang laki-laki tua
berusia sekitar tujuh puluh tahun. Dia tersenyum ramah, seraya menganggukkan
kepala dalam-dalam ketika menyambut kedatangan Pendekar Rajawali Sakti. Rangga
melangkah masuk begitu dipersilakan. Dipandanginya keadaan ruangan yang agak
berantakan.
"Ada yang bisa kubantu,
Den?" tanya laki-laki tua yang ternyata adalah Ki Rasut.
"Kau pemilik rumah
ini?" Rangga malah balik bertanya.
"Bukan, Aku hanya pelayan di
sini," sahut Ki Rasut.
"Aku ingin bertemu
pemiliknya," kata Rangga.
"Oh, tentu.... Semua yang
datang ke sini pasti ingin menemui pemilik rumah ini. Jangan khawatir, Den.
Pelayanan majikanku sangat luar biasa. Raden pasti betah dan selalu teringat
akan kecantikan dan kemolekan tubuhnya," jelas Ki Rasut seraya tersenyum
menyeringai.
Rangga jadi tertegun mendengar
ucapan laki-laki tua ini. Tapi belum sempat mulutnya terbuka, Ki Rasut sudah
meninggalkan ruangan itu. Sementara Rangga mengedarkan pandangan ke sekeliling,
mengamati keadaan ruangan yang agak berantakan ini.
Sementara Ki Rasut sudah berada
di dalam sebuah kamar belakang yang berukuran tidak begitu besar. Bergegas
ditutupnya pintu kamar itu. Dia sedikit meringis melihat di atas pembaringan,
Andira tergolek hanya ditutupi selembar kain tipis. Di sampingnya terbaring
seorang pemuda yang tidak bisa dikatakan tampan, tapi lebih tepat kalau disebut
cantik. Karena, wajah, bentuk tubuh, serta kulitnya, lebih mirip wanita
daripada laki-laki.
"Maaf, Nyai Andira. Ada
sesuatu yang penting," ujar Ki Rasut.
"Katakan saja," pinta
Andira.
Ki Rasut melirik pemuda yang tak
lain Salaya. Sedangkan pemuda itu seakan-akan tidak peduli, tapi malah
melingkarkan tangannya ke pinggang Andira yang ramping dan indah. Andira
melepaskan pelukan itu. Pakaiannya kemudian diraih, dan cepat dikenakannya. Lalu
wanita itu beranjak turun dan pembaringan.
"Jangan ke mana-mana,
Salaya. Aku segera kembali," ujar Andira berpesan seraya memberi satu
kecupan lembut di bibir pemuda itu.
Salaya hanya mengangguk saja.
Andira bergegas menghampiri Ki Rasut Mereka kemudian melangkah keluar dari
kamar itu. Ki Rasut menutup pintu kembali. Digamitnya tangan Andira dan
dibawanya mendekati pintu Iain. Sedikit dibukanya pintu itu, lalu meminta
Andira untuk mengintip dari celah pintu. Andira langsung tersentak. Kedua
matanya terbeliak setelah mengintip dari celah pintu yang langsung berhubungan
dengan ruangan depan rumah ini. Di ruangan yang agak berantakan itu, tampak
Rangga sedang mengamati keadaan sekelilingnya. Hati-hati sekali Andira menutup
pintu itu kembali, lalu melangkah menjauhinya.
Ki Rasut mengikuti. Mereka masuk
ke dalam kamar lain.
"Apa maksudnya dia ke
sini...?" tanya Andira setengah berbisik, setelah berada didalam kamar
lain. Hanya ada sebuah pembaringan dan dua buah kursi di dalam kamar yang
berukuran tidak terlalu besar ini. Tapi, keadaannya cukup rapi dan bersih.
"Aku tidak tahu. Dia ingin
bertemu pemilik rumah ini," sahut Ki Rasut.
"Kau katakan ada
pemiliknya?" tanya Andira lagi. Ki Rasut mengangguk.
"Kau sebutkan namaku?"
"Tidak."
"Ahhh...," Andira mendesah
panjang.
"Untung dia tidak mengenal
rupamu, Ki. Tapi dia mengenalku. Dan itu jangan sampai terjadi."
"Lantas, apa yang harus
kulakukan?" tanya Ki Rasut jadi bingung.
"Katakan kalau aku sedang
keluar," sahut Andira.
"Kalau dia menunggu?"
"Terserah kau, bagaimana
caranya agar dia cepat-cepat pergi."
Ki Rasut bergegas keluar dari
kamar itu. Sementara Andira menghembuskan napas panjang seraya menyandarkan
punggungnya kedinding. Di luar sana, Ki Rasut kemudian menggunakan caranya agar
Pendekar Rajawali Sakti pergi dari situ. Dan memang, tak lama kemudian Rangga
berlalu.
"Dari mana dia tahu rumah
ini...?" Andira bertanya-tanya sendiri. Bergegas wanita itu keluar dari
kamar ini, dan kembali ke kamar. Di situ, Salaya seperti tak sabar menunggu. Wanita
itu memberi senyuman manis begitu berada di kamar. Salaya membalasnya dengan
senyuman manis pula. Pemuda itu sudah berpakaian kembali.
"Ada apa Ki Rasut
memanggilmu?" tanya Salaya.
"Ada persoalan
sedikit," sahut Andira.
"Persoalan apa?"
"Tamu ayahmu datang ke
sini."
Salaya tersentak kaget.
Dipandanginya Andira dalam-dalam.
"Jangan khawatir, Salaya.
Dia tidak tahu kalau kau ada di sini," hibur Andira lembut.
"Bukan itu yang kucemaskan.
Tapi untuk apa dia datang ke sini...?"
"Mencariku," tenang
sekali suara Andira.
"Mencarimu? Untuk apa,
Andira...?"
"Kau tahu bukan, maksud
kedatangannya ke desa ini?" Andira malah balik bertanya.
"Ya! Tapi apa hubungannya
denganmu, Andira?"
"Akulah yang
dicarinya."
"Kau...?" Salaya
memandangi wanita itu tidak percaya.
"Sekarang kau sudah tahu,
siapa aku sebenarnya, Salaya. Aku adalah buronan Karang Setra. Dan tamu ayahmu
itu sebenarnya Raja Karang Setra. Dia juga bergelar Pendekar Rajawali Sakti.
Dan gadis yang semalam bertarung denganmu adalah Pandan Wangi yang berjuluk si
Kipas Maut," tenang sekali suara Andira menjelaskan siapa dirinya pada
pemuda itu.
"Tidak mungkin.... Kau pasti
bergurau, Andira,'' Salaya masih belum percaya kalau wanita secantik Andira
adalah seorang buronan.
"Aku tidak bergurau. Memang
itulah kenyataannya."
"Tapi..., untuk apa kau
lakukan itu?"
"Sama sepertimu. Semua ini
kulakukan karena dendam dan sakit hati yang berkepanjangan. Ibuku seorang selir
di Karang Setra. Dan begitu jabatan Adipati Karang Setra jatuh ke tangan
Rangga, semuanya berubah. Ibuku sengsara, Lalu aku jadi permainan laki-laki.
Tak sedikit pun kekayaan Karang Setra yang bisa ku nikmati. Aku hanya mengambil
sedikit hakku, hak ibuku yang mati merana karena kemiskinan yang berkepanjangan.
Dua purnama yang lalu, aku pergi keKarang Setra. Aku hanya mengambil
barang-barang berharga dari Istana Karang Setra. Memang semua itu terbuat dari
emas murni yang tentu mahal sekali harganya. Aku bisa jadi kaya dengan
benda-benda itu, Salaya. bahkan bisa memperkuat diri untuk membalas dendam pada
keluarga Adipati Arya Permadi, ayah kandung Rangga," jelas Andira, panjang
lebar.
"Andira, aku tidak ingin
mempercayai ceritamu. Tapi kenapa semua dendammu kau lampiaskan di desa
ini?"
"Desa Ragasari termasuk
wilayah Kerajaan Karang Setra. Ini sebagian dari rencanaku, Salaya. Sedikit
demi sedikit, aku akan melemahkan dan mengacaukan desa-desa diseluruh Karang
Setra. Maaf, aku harus melibatkan dan menjadikanmu seorang yang ditakuti di
desa ini. Tapi perlu kau ketahui, semua itu kulakukan untuk membalas dendam.
Juga, membantu membalaskan sakit hatimu pada mereka yang menghina dan
mengejekmu selama ini"
"Aku tidak tahu, apa yang
harus kukatakan. Hanya kau yang menganggapku Laki-laki. Bahkan ayahku, dan
kakakku sendiri tidak pernah memandangku sebagai laki-laki. Sudah terlalu
banyak yang kau lakukan untukku, Andira. Selama lima tahun ini, kau dan Ki
Rasut menggemblengku dengan ilmu-ilmu kedigdayaan, tanpa seorang pun tahu.
Hingga, aku dapat membalas sakit hatiku pada mereka. Andira..., izinkan aku
terus bersamamu. Ke mana kau pergi, dan apa yang kau lakukan, aku harus selalu
disisimu. Hanya kau yang bisa mengerti tentang diriku," kata Salaya
berharap.
"Aku seorang buronan,
Salaya," kata Andira.
"Aku tidak peduli."
"Aku ini pelacur, seperti
yang dituduhkan kakakmu padaku."
"Siapa pun dirimu, aku tidak
peduli," tegas Salaya.
"Kau bersungguh-sungguh,
Salaya?"
"Apa yang harus kulakukan
untuk membuktikan kesungguhanku, Andira?"
Andira menjatuhkan diri ke dalam
pelukan pemuda itu. Dengan lembut, dikecupnya bibir Salaya, dan dikulumnya
dalam-dalam. Perlahan bibirnya dilepaskan dari bibir pemuda itu. Kemudian,
dipandangnya wajah itu lekat-lekat.
"Malam nanti, kita bumi
hanguskan Desa Ragasari. Lalu, kita pergi dari sini sejauh-jauhnya, sampai tak
seorang pun yang bisa menemukan kita, Salaya," tegas Andira, lembut.
"Apakah setelah itu si
Anggrek Hitam tidak ada lagi?"
"Rupanya kau sudah begitu
lekat dengan Anggrek Hitam, Salaya."
"Rasanya aku tidak bisa lagi
dipisahkan dengan Anggrek Hitam."
"Kau akan menjadi
pendampingku, sekaligus pelindungku yang paling perkasa, Salaya."
"Ya! Dan kau adalah
permaisuriku yang paling cantik." Salaya mengangkat tubuh ramping wanita
itu, dan berputaran beberapa kali.
Andira tertawa terkikik manja.
Tangannya dilingkarkan di leher pemuda itu. Mereka sama-sama terpekik begitu
jatuh ke pembaringan. Salaya langsung melumat bibir wanita itu dalam-dalam, dan
mengulumnya penuh gairah yang menggelora.
"Ah! Kau nakal,
Salaya," desah Andira seraya menggeliat dari himpitan pemuda itu.
"Kau cantik."
"Auwh...!"
"Ha ha ha...!"
***
DELAPAN
Waktu memang terus berputar.
Siang pun berganti malam. Dan tugas sang mentari kini sudah digantikan sang
dewi malam, dengan sinarnya yang lembut dan anggun. Namun suasana di Desa
Ragasari tidak juga berubah. Tetap sunyi lengang bagaikan tak berpenghuni. Diantara
kesunyian itu, terlihat tiga sosok tubuh hitam berkelebatan cepat melintasi
jalan tanah berdebu.
Dari gerakan mereka yang cepat
dan ringan, sudah dapat dipastikan kalau rata-rata memiliki kepandaian yang
cukup tinggi. Ketiga sosok itu berhenti tepat di tengah-tengah jalan, di antara
rumah-rumah penduduk. Mereka terdiri dari seorang laki-laki tua, seorang wanita
cantik, dan seorang lagi yang mengenakan topeng tengkorak
"Ingat, jangan terpisah.
Begitu api berkobar, cepat tinggalkan desa ini," jelas wanita cantik yang
tak lain adalah Andira.
Wanita yang kini mengenakan baju
hitam ketat itu, menatap manusia bertopeng tengkorak. Seluruh penduduk Desa
Ragasari mengenalnya dengan julukan si Anggrek Hitam. Karena, senjata mautnya
berupa anggrek berwarna hitam.
"Kau sudah siap,
Salaya?" tanya Andira.
"Jangan ragukan lagi diriku,
Andira," sahut si Anggrek Hitam itu.
"Ini desa kelahiranmu,
Salaya."
"Aku tidak peduli, sekali
pun harus membakar rumah ayahku sendiri. Laksanakan saja, akan kuhadang siapa
saja yang berani menghalangi," mantap sekali nada suara si Anggrek Hitam
yang dipanggil Salaya oleh Andira.
"Ki Rasut..," Andira
menatap Laki-laki tua disampingnya.
Tanpa banyak cakap lagi, Ki Rasut
menyalakan obor. Langsung dilemparkannya keatas atap salah satu rumah di
dekatnya. Si Anggrek Hitam yang sebenarnya adalah Salaya juga segera menyalakan
obor, lalu melemparkannya keatap rumah lain. Begitu juga Andira, melakukan hal
yang sama. Sebentar saja api sudah berkobar cepat, melahap rumah-rumah di Desa
Ragasari itu. Namun ada sesuatu kejanggalan yang terjadi. Dan ini cepat
diperhatikan Andira.
"Tunggu...!" seru
Andira tiba-tiba.
Ki Rasut dan Anggrek Hitam tidak
jadi melemparkan obor yang sudah menyala ditangannya. Mereka berbarengan
berpaling, menatap wanita cantik itu.
"Apa kalian tidak melihat
ada keanehan disini...?" tanya Andira.
Anggrek Hitam dan Ki Rasut saling
berpandangan. Mereka tidak mengerti pertanyaan Andira barusan. Kedua orang itu
tidak merasakan adanya sesuatu, tapi Andira justru merasakan adanya kejanggalan
disekitar desa ini.
"Ada apa, Andira? Kenapa kau
hentikan?" tanya Anggrek Hitam.
"Kalian perhatikan. Hampir
semua rumah sudah terbakar, tapi tak seorang pun terlihat keluar dari rumahnya.
Apa kalian tidak melihat kejanggalan ini?"
"Celaka...!" sentak
Anggrek Hitam mendesis.
"Cepat kita pergi dari
sini!" seru Andira memberi perintah.
Belum juga mereka bergerak
meninggalkan desa yang terbakar itu, mendadak saja beberapa tubuh berkelebatan,
seakan-akan keluar dari api yang berkobar besar membakar rumah-rumah itu.
Tampak, Rangga, Pandan Wangi, Candraka, dan Ki Anggarasana, serta empat orang
pengawal khusus kepala desa itu sudah berdiri menghadang.
Sebenarnya, Candraka terkejut
sekali melihat keterlibatan Andira dengan Anggrek Hitam dalam masalah ini. Tapi
mengingat kecintaannya pada desa kelahiran, ditambah rasa cemburu yang mendera
dadanya, membuat pemuda itu harus menyingkirkan jauh-jauh rasa cintanya
terhadap Andira. Apalagi setelah melihat kenyataan ini. Ternyata Andira
bersekongkol dengan Anggrek Hitam.
"Kalian tidak bisa pergi
begitu saja. Kalian harus bertanggung jawab!" desis Ki Anggarasana dingin,
meskipun udara di sekitarnya terasa panas oleh api yang semakin besar berkobar.
"Bunuh mereka semua, Anggrek
Hitam!" perintah Andira lantang.
Tanpa diperintah dua kali,
Anggrek Hitam mengibaskan tangan kanannya ke depan, sambil memiringkan tubuh ke
kiri. Seketika itu juga, bunga-bunga anggrek hitam berhamburan dari telapak
tangan kanannya.
"Awas...!" seru Rangga
memperingatkan.
"Hiyaaat..!" Pandan
Wangi cepat mencabut kipas baja putihnya, dan mengebutkannya begitu terbuka
mengembang. Si Kipas Maut cepat berlompatan menyampok bunga-bunga anggrek hitam
itu. Candraka dan Ki Anggarasana juga cepat mencabut pedangnya. Mereka berlompatan
sambil memutar pedangnya dengan cepat.
Candraka sengaja tidak mau
berhadapan dengan Andira, karena biar bagaimanapun, perasaan cinta masih
terselip di hatinya. Maka dia lebih memilih mengeroyok Anggrek Hitam. Apalagi
sosok berbaju hitam dan bertopeng tengkorak itu adalah biang kerusuhan di
desanya. Pada saat itu terdengar beberapa jeritan panjang melengking tinggi
yang saling susul.
Terlihat empat orang yang berada
dibelakang Ki Anggarasana bergelimpangan tersambar bunga-bunga anggrek hitam
yang dilontarkan si Anggrek Hitam itu.
"Kau sudah cukup merepotkan
aku, Andira," desis Rangga begitu mendarat sekitar lima langkah di depan
Andira dan Ki Rasut.
"Serang dia, Ki Rasut!"
perintah Andira.
"Hiyaaat..!" Tanpa
menunggu perintah dua kali, Ki Rasut cepat melompat menyerang Pendekar Rajawali
Sakti.
Sret! Bet!
Laki-laki tua itu langsung
mencabut goloknya, dan secepat kilat mengibaskannya kearah leher pemuda berbaju
rompi putih itu. Namun hanya dengan menarik sedikit kepala kebelakang, Rangga
berhasil mengelakkan tebasan golok itu. Hanya sedikit saja ujung golok yang
cukup besar itu lewat di depan lehernya.
Beberapa kali Ki Rasut menebaskan
goloknya ke tubuh Rangga. Namun Pendekar Rajawali Sakti selalu berhasil
mengelak dengan manis sekali. Tak satu pun serangan Ki Rasut yang berhasil
mengenai sasaran. Bahkan sudah beberapa kali laki-laki tua itu terpaksa
menerima pukulan dan tendangan keras Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara di tempat lain, Anggrek
Hitam terus melancarkan serangannya. Bunga-bunga anggrek hitamnya dilontarkan,
menghujani Pandan Wangi, Ki Anggarasana, dan Candraka. Sementara semua pengawal
Ki Anggarasana sudah tidak ada lagi yang hidup. Mereka sudah tergeletak tak
bernyawa, tertembus senjata beracun itu.
Sedangkan di lain tempat, tampak
Andira memperhatikan jalannya pertarungan antara Ki Rasut melawan Pendekar
Rajawali Sakti. Wanita berwajah cantik itu tampak cemas melihat Ki Rasut terus
terdesak, tak mampu lagi mengimbangi pendekar muda berbaju rompi putih itu.
"Kesempatan.... Aku harus
pergi dari sini. Masa bodoh dengan mereka!" dengus Andira menggumam
perlahan.
Saat itu, memang banyak sekali
kesempatan bagi Andira untuk meninggalkan desa ini. Dan rupanya kesempatan baik
ini tidak ingin disia-siakan. Tanpa mempedulikan Ki Rasut dan Anggrek Hitam,
wanita itu cepat melesat pergi. Namun, kepergiannya diketahui Pandan Wangi.
"Setan! Jangan lari kau...!
Hiyaaat..!" teriak Pandan Wangi lantang.
Bagaikan kilat, si Kipas Maut
melentingkan tubuh ke udara, sambil mengibaskan kipas baja putihnya beberapa
kali untuk menangkis bunga-bunga anggrek hitam yang dilontarkan manusia
bertopeng tengkorak itu. Cepat sekali gerakan gadis itu. Dia langsung meluruk
deras mengejar Andira yang terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan
tubuh. Dan begitu kakinya menjejak tanah, tubuhnya kembali melesat cepat
disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi.
"Hiyaaat..!"
Beberapa kali Pandan Wangi
berputaran diudara, dan kini berhasil melewati kepala Andira. Setelah melakukan
putaran dua kali lagi, gadis itu mendarat. Langsung dihadangnya Andira,
sehingga membuat wanita cantik berbaju hitam itu terkejut. Sungguh tidak
disangka kalau Pandan Wangi berhasil mengejarnya. Bahkan kini berdiri
menghadang. Andira cepat menghentikan larinya. Dan seketika itu juga, tangan
kanannya dikibaskan cepat kedepan.
"Yeaaah...!"
"Huh!"
Pandan Wangi kembali cepat
melentingkan tubuh ke udara, begitu beberapa buah benda berwarna hitam terlihat
meluncur deras dari tangan wanita itu. Benda-benda hitam itu melesat, lewat di
bawah tubuh si Kipas Maut. Dan dengan manis sekali Pandan Wangi kembali
mendarat di tanah, tepat sekitar tiga langkah lagi di depan Andira.
Bet! Pandan Wangi langsung
mengebutkan kipasnya ke arah dada Andira. Namun wanita berbaju hitam itu
berhasil menghindar dengan menarik tubuhnya sedikit kebelakang. Dan sebelum
Pandan Wangi bisa menarik tangan kembali, Andira sudah melepaskan satu sodokan
keras dengan tangan kirinya.
"Hih!"
"Uts...!"
Cepat sekali Pandan Wangi
memiringkan tubuh ke kanan, dan secepat itu pula kipasnya ditebaskan ke tangan
Andira. Namun wanita berbaju hitam itu sudah menarik pulang tangannya. Dan
tanpa diduga sama sekali, dia melompat ke atas sambil memutar tubuh. Satu
tendangan keras menggeledek dilepaskan Andira dengan cepat.
"Yeaaah...!"
Pandan Wangi terhenyak kaget,
karena tidak menyangka kalau Andira mampu melakukan gerakan begitu cepat luar
biasa. Buru-buru si Kipas Maut itu merundukkan kepala, menghindari tendangan
Andira. Desir angin keras terasa, begitu kaki Andira melewati ujung kepala
Pandan Wangi. Bergegas gadis berbaju biru itu menarik kakinya kebelakang. Saat
itu dirasakannya ada aliran hawa panas disekitarnya.
"Huh! Jurus-jurusnya sama
persis dengan si Anggrek Hitam. Tapi ini lebih dahsyat" dengus Pandan
Wangi di dalam hati.
Pandan Wangi jadi berpikir,
apakah si Anggrek Hitam itu adalah Andira? Tapi yang sedang dihadapi Ki
Anggarasana dan Candraka sekarang juga si Anggrek Hitam. Pandan Wangi tidak
sempat lagi berpikir jauh, karena Andira sudah menyerang kembali. Dan kali ini
serangan-serangan yang dilancarkan wanita berbaju hitam itu lebih dahsyat dari
yang sebelumnya.
"Modar! Yeaaah...!"
teriak Andira tiba-tiba.
Seketika itu juga, Andira
melentingkan tubuhnya ke udara. Tangan kanannya langsung dikebutkan cepat
beberapa kali. Beberapa buah benda berwarna hitam, seketika berhamburan menghujani
Pandan Wangi. Dan selagi si Kipas Maut itu sibuk menghindari serangan
benda-benda hitam, mendadak saja Andira meluruk deras. Langsung dilepaskannya
satu pukulan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam
sepenuhnya.
"Hiyaaa...!"
Diegkh!
"Akh...!" Pandan Wangi
memekik agak tertahan. Pukulan yang dilepaskan Andira, tepat menghantam dada
gadis itu. Seketika Pandan Wangi terjengkang ke belakang, sejauh lima langkah.
Dan begitu tubuh Pandan Wangi menghantam tanah, cepat sekali Andira mengebutkan
tangan kanannya kembali. Maka dua buah benda berwarna hitam berbentuk bulat
sebesar mata kucing seketika terlontar. Pandan Wangi hanya mampu terbeliak.
Memang tak ada kesempatan lagi baginya untuk menghindar. Namun tinggal
sejengkal lagi benda-benda itu menghantam dadanya, mendadak saja....
Trang!
Secercah cahaya biru berkilau,
berkelebat cepat di depan dada Pandan Wangi. Seketika dua buah benda bulat
berwarna hitam itu terpental jauh ke angkasa. Entah bagaimana mulanya,
tahu-tahu di depan Pandan Wangi sudah berdiri Pendekar Rajawali Sakti dengan pedang
bersinar biru menyilaukan tersilang di depan dada.
Cring!
Pendekar Rajawali Sake memasukkan
kembali pedangnya ke dalam warangka dipunggung. Seketika cahaya biru terang
menyilaukan Lenyap, bersamaan dengan masuknya pedang itu ke dalam warangka.
Kedatangan Rangga yang begitu tiba-tiba, membuat Andira terkejut setengah mati.
Wajahnya sempat berpaling, memandang ketempat Rangga bertarung dengan Ki Rasut
tadi. Tampak laki-laki tua itu sudah tergeletak tak bernyawa lagi, dengan darah
mengucur dari dadanya.
"Sebaiknya menyerah saja,
Andira. Tidak ada gunanya tetap bertahan," bujuk Rangga.
"Kau boleh bangga bisa
membunuh Ki Rasut! Tapi jangan harap dapat menyentuhku, Rangga!" dengus
Andira membentak.
"Baiklah! aku akan memberi
keringanan padamu, Andira. Kau boleh pergi ke mana saja kau suka. Tapi, kau
harus mengembalikan benda-benda yang kau curi dari istana," kata Rangga
kembali membujuk.
"Kembalikan...? Heh! Itu
milikku, tahu! Aku hanya mengambil hakku. Dan itu tidak ada artinya
dibandingkan kekayaan yang kau kuasai sekarang ini, Rangga. Malah, seharusnya
aku berhak sepertiga atas kekayaan Karang Setra!" agak keras nada suara
Andira.
"Ibumu sudah memperoleh
haknya, Andira. Kalau sampai habis, dan kau tidak memperoleh sedikit pun, itu
kesalahan ibumu sendiri yang menghambur-hamburkannya di meja judi," jelas
Rangga, membeberkan yang sebenarnya.
"Ibu kecewa karena kau
membagi secara tidak adil! Kau pilih kasih. Bahkan mengusir aku dan ibuku dari
istana, sementara yang lain kau izinkan tinggal di istana!"
"Itu tidak benar, Andira.
Ibumu sendiri yang menginginkan keluar dari istana. Aku sudah memberinya tempat
tinggal yang layak, harta yang cukup. Bahkan sebenarnya kau masih mempunyai hak
untuk tinggal di istana. Kau masih memiliki tunjangan seperti putra-putra selir
lainnya. Tapi, kau tidak pernah sudi datang ke istana. Bahkan beberapa kali aku
mengutus orang untuk memintamu dan ibumu datang, tapi ibumu malah menolak dan
mengusir setiap utusan yang datang."
"Kau dusta! Bohong...! Kau
harus mati ditanganku, Rangga! Hiyaaat..!" Andira jadi kalap.
"Andira, tunggu...!"
sentak Rangga. "Dimana harta benda yang kau curi itu?"
"Ha ha ha...! Jangan mimpi
dulu, Rangga! Kau tidak akan pernah sampai ke rumahku yang kau datangi tadi
siang. Karena kau akan mati ditanganku! Hiyaaat..!"
Tapi Andira tidak peduli lagi.
Dia sudah melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Dua pukulan bertenaga
dalam tinggi dilepaskan Andira secara beruntun. Tubuh Rangga cepat meliuk
menghindari serangan itu. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat
mundur beberapa langkah. Namun Andira segera melakukan serangan kembali.
Beberapa pukulan dilontarkan tanpa henti, membuat Pendekar Rajawali Sakti
sedikit kerepotan juga menghindarinya.
Terpaksa Rangga menggunakan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib', sehingga membuat serangan-serangan yang dilancarkan
Andira jadi mentah. Tak satu pun yang berhasil bersarang ditubuh Pendekar
Rajawali Sakti. Hal ini membuat wanita cantik itu semakin berang, karena Rangga
seperti enggan bertarung. Gerakan-gerakannya bagaikan seorang peminum yang
kebanyakan arak. Tidak beraturan sama sekali. Namun sukar bagi Andira untuk
menyarangkan pukulannya.
"Jangan membabi buta,
Andira. Hentikan...!" sentak Rangga keras.
"Kau harus mampus, Rangga!
Hiyaaat..!"
"Uts...!"
Hampir saja satu pukulan keras
menghantam dada, kalau saja Pendekar Rajawali Sakti tidak segera menarik tubuh
ke kanan. Dan begitu tangan Andira lewat di depan dada, cepat Rangga memberi
satu sodokan ke bagian lambung wanita itu. Gerakan Rangga begitu cepat,
diimbangi liukan tubuh yang indah. Akibatnya Andira tak sempat lagi menghindar.
"Begkh!
"Ugkh...!" Andira
mengeluh pelan.
Tubuh wanita itu terhuyung-huyung
ke belakang, agak membungkuk. Seketika Adira merasakan perutnya jadi mual,
terkena sodokan tangan Rangga yang begitu keras. Namun, wanita itu cepat
mengibaskan tangan kanannya, sambil melentingkan tubuh berputar ke belakang.
Sebuah benda bulat berwarna hitam pekat melesat cepat ke arah Pendekar Rajawali
Sakti.
"Hap!"
Rangga bergegas miring ke kiri,
maka benda hitam itu lewat di samping tubuhnya. Bagaikan kilat, Pendekar
Rajawali Sakti melompat menerjang Andira yang masih menguasai keseimbangan
tubuhnya. Satu pukulan keras dilontarkannya ke arah dada.
"Hiyaaat..!"
"Ufs!"
Andira cepat membanting tubuh ke
tanah dan bergulingan beberapa kali. Namun begitu melompat bangkit berdiri,
mendadak saja Rangga sudah melepaskan satu tendangan keras tanpa disertai
pengerahan tenaga dalam sedikit pun juga. Gerakan kakinya memang begitu cepat,
sehingga Andira tak sempat lagi menghindar. Akibatnya, tendangan Rangga
berhasil menghantam dada wanita berbaju hitam itu.
Des! "Akh...!" Andira
terpekik agak tertahan. Meskipun tendangan Rangga tidak disertai pengerahan
tenaga dalam, namun keras sekali. Akibatnya Andira terpental kebelakang
beberapa langkah. Pada saat itu, Pandan Wangi sudah melesat mendahului Rangga.
"Biar kubereskan, Kakang!
Hiyaaat..!" seru Pandan Wangi lantang.
"Pandan, jangan...!"
sentak Rangga terkejut.
Namun Pandan Wangi sudah cepat
mengibaskan kipasnya. Dalam keadaan tubuh tidak seimbang, Andira tidak mampu
bergerak menghindari serangan Pandan Wangi yang begitu cepat dan mendadak.
Bret!
"Akh...!" lagi-lagi
Andira terpekik keras agak tertahan. Ujung kipas Pandan Wangi berhasil merobek
perut Andira. Seketika, darah mengucur deras dari luka di bagian perut wanita
itu. Andira bergegas melompat kebelakang, namun sedikit terhuyung begitu
kakinya menjejak tanah. Darah terus bercucuran dari luka di perutnya.
"Manusia tidak tahu
diuntung! Mampus kau, hiyaaat..!" geram Pandan Wangi seraya berteriak
nyaring. Si Kipas Maut itu kembali melancarkan serangan cepat dan dahsyat Gadis
itu memang sudah muak atas kelakuan Andira. Semenjak diKarang Setra, Pandan
Wangi memang sudah tidak menyukai tingkah laku gadis ini, yang begitu bebas dan
tak terkendali.
Bet!
Cepat sekali Pandan Wangi
mengebutkan kipasnya ke arah leher Andira. Namun sebelum kipas maut itu merobek
leher yang putih jenjang itu, mendadak saja....
Takkk!
"Heh...?!" Pandan Wangi
tersentak kaget. Tiba-tiba saja kipasnya terpental balik. Dan lebih terkejut
lagi, setelah mengetahui kalau yang menghalangi serangannya ternyata Pendekar
Rajawali Sakti yang tahu-tahu sudah berdiri diantara kedua wanita ini.
"Kau tidak perlu
membunuhnya, Pandan," desis Rangga mengingatkan.
"Perempuan iblis ini tidak
pantas lagi hidup, Kakang!" dengus Pandan Wangi.
"Kendalikan dirimu,
Pandan."
"Huh...!" Pandan Wangi
mendengus kesal.
Rangga tahu, kemarahan Pandan
Wangi diakibatkan api cemburu. Gadis itu memang sempat marah, ketika untuk
pertama kalinya Andira datang memenuhi undangan Rangga. Sikapnya sangat
memuakkan, dan selalu mencari perhatian Pendekar Rajawali Sakti dengan kata-kata
rayuan yang tidak pantas diucapkan seorang wanita baik-baik. Tapi, semua itu
akhirnya dapat diatasi oleh Rangga.
"Awas, Kakang...!" seru
Pandan Wangi tiba-tiba.
"Uts...!" Rangga segera
merunduk ketika tiba-tiba saja merasakan desiran angin yang kuat menyambar ke
arahnya. Saat itu, Pandan Wangi sudah melompat cepat bagaikan kilat. Langsung
dilewatinya kepala Pendekar Rajawali Sakti. Kipas mautnya segera dikebutkan ke
arah dada Andira yang pada saat itu baru saja melontarkan sebuah senjata
berbentuk bulatan hitam sebesar mata kucing kearah Rangga.
Serangan Pandan Wangi yang begitu
cepat dan tidak terduga, tak dapat dihindari lagi. Terlebih-lebih keadaan
Andira memang sudah melemah, akibat terlalu banyak kehilangan darah. Meskipun
sudah berusaha menghindar, namun tebasan kipas Pandan Wangi masih juga merobek
lehernya.
Crasss!
"Aaa...!" Andira
memekik melengking tinggi. Sebentar wanita itu masih mampu berdiri, kemudian
terhuyung-huyung dan ambruk menggelepar di tanah. Darah muncrat dengan deras
dari lehernya yang koyak tersabet senjata maut Pandan Wangi. Rangga bergegas
menghampiri wanita itu. Dan begitu tubuhnya disentak, Andira langsung
mengejang. Kemudian, tergolek tak bernyawa lagi.
Rangga menghembuskan napasnya
kuat-kuat. Wajahnya berpaling menatap Pandan Wangi. Sedangkan yang ditatap jadi
tertunduk. Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri, dan
menghampiri Pandan Wangi yang terus tertunduk.
"Maaf, Kakang. Aku tidak
bisa mengendalikan diri," ucap Pandan Wangi.
"Sudahlah.... Semua sudah
terjadi," ujar Rangga agak mendesah.
Pada saat itu, Ki Anggarasana dan
Candraka datang menghampiri. Rangga dan Pandan Wangi berpaling hampir
bersamaan. Seluruh tubuh Ki Anggarasana dan putranya telah dibasahi keringat.
Napas mereka juga tersengal begitu dekat di depan kedua pendekar muda dari
Karang Setra.
"Dia kabur...," kata
Candraka dengan napas yang masih terengah-engah. Mata pemuda itu agak melirik
ke sosok mayat wanita yang memang Andira. Hatinya terus terang agak tercekat.
Namun, hal itu harus disembunyikan, mengingat di sini ada ayahnya yang
jelas-jelas memusuhi Andira.
"Siapa?" tanya Pandan
Wangi.
"Anggrek Hitam," Ki
Anggarasana yang menyahuti.
"Sebaiknya dibiarkan saja,
Ki. Aku yakin, dia tidak akan kembali lagi ke desa ini," ujar Rangga.
"Sebab, biang keladi semua
ini sebenarnya adalah Andira."
"Aku hanya berharap agar dia
tidak kembali lagi, Rangga," sahut Ki Anggarasana masih agak
terengah-engah.
"Ini yang kedua kali, Ayah.
Dia pasti kembali lagi," selak Candraka.
"Kalau kembali lagi, kau
bisa meminta menghubungi kami di Istana Karang Setra, Candraka."
"Terima kasih," ucap Ki
Anggarasana yang masih belum tahu kalau yang dihadapinya adalah Raja Karang
Setra. Padahal, desa yang dipimpinnya masih di bawah kekuasaan Kerajaan Karang
Setra.
"Sebaiknya cepat beri tahu
penduduk untuk memadamkan api. Jangan terlalu lama dibiarkan, bisa habis semua
rumah di desa ini," kata Rangga mengingatkan.
"Oh, iya.... Cepat beri tahu
mereka, Candraka," perintah Ki Anggarasana.
Tanpa membantah sedikit pun,
Candraka bergegas berlari untuk memberi tahu penduduk yang sudah diungsikan ke
rumah kepala desa yang besar dan luas itu. Ki Anggarasana juga bergegas
melangkah pergi. Tinggallah Rangga dan Pandan Wangi yang masih tetap berada
ditempatnya.
"Apakah kau sudah tahu kalau
si Anggrek Hitam itu adalah Salaya, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Sebenarnya, aku memang
menduga demikian. Tapi, dari mana kau tahu kalau Salaya adalah si Anggrek
Hitam?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Lho? Apa kau tidak ingat
ketika sehabis pertarunganku dengan si Anggrek Hitam, Salaya tidak ada di
kamarnya? Dan sebelum pertarungan itu, si Anggrek Hitam menghilang, tepat
didepan jendela Salaya. Bukti satu lagi, di kamarnya kau menemukan banyak
anggrek hitam yang merupakan senjata rahasianya."
Pendekar Rajawali Sakti hanya
mengangguk-anggukkan kepala. Dalam hati, diakui kecerdikan Pandan Wangi.
"Sekarang, apa tidak
sebaiknya kita katakan pada Ki Anggarasana kalau si Anggrek Hitam adalah
Salaya, anaknya sendiri, Kakang?" usul Pandan Wangi.
"Lihat keadaannya dulu,
Pandan," sahut Rangga.
"Maksudmu...?" Pandan
Wangi tidak mengerti.
"Aku tahu, kemana Salaya
pergi. Akan kucoba menyadarkannya. Kalau dia menyadari kesalahannya, rasanya
tidak perlu Ki Anggarasana mengetahui. Sudah terlalu banyak beban yang
ditanggungnya."
"Kalau tidak sadar
juga?"
"Ya, harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya."
"Kau akan
menghukumnya?"
"Pengadilan desa ini"
"Oh ya..., kapan kau akan
mengambil harta di rumah Andira dan mengembalikannya ke Istana Karang
Setra?" tanya Pandan Wangi tiba-tiba teringat pada harta yang cukup
berharga itu.
"Setelah kobaran api ini
padam, Pandan," jawab Rangga sambil memandangi jilatan api yang masih
cukup besar.
Pada saat semua penduduk yang
diungsikan mulai berdatangan. Mereka langsung bekerja memadamkan kobaran api.
Dan Pendekar Rajawali Sakti tidak segan-segan turun tangan membantu. Sementara
malam terus beranjak semakin larut. Malam yang seharusnya dingin dan tenang,
kini jadi panas oleh kobaran api dan hiruk pikuk orang-orang yang mencoba
memadamkannya.
Sementara Pandan Wangi hanya
memperhatikan saja dari kejauhan. Diam-diam Candraka datang kembali ketempat
pertarungan tadi berlangsung tanpa sepengetahuan Pendekar Rajawali Sakti,
Pandan Wangi, dan Ki Anggarasana. Kemudian, dipondongnya mayat Andira. Tubuh
pemuda itu melesat cepat sambil membawa mayat bekas kekasihnya, lalu hilang di
kegelapan.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
PENJAGAL BUKIT TENGKORAK
Emoticon