SATU
SEKITAR tiga puluh orang yang
memadati sebuah ruangan cukup besar, bergerak berlutut ketika seorang laki-laki
tua berjubah putih memasuki ruangan itu. Dua orang wanita tampak mengiringi
dari belakang. Yang mengenakan baju kuning memegang sebatang tombak pendek
berwarna kuning keemasan. Dan yang mengenakan baju merah muda membawa pedang
yang tersampir di pinggang. Sedangkan laki-laki tua berjubah putih itu berjalan
tegap. Tongkat putihnya nampak lurus terayun mantap, mengikuti irama langkah
kakinya.
Dia langsung menuju ke
tengah-tengah ruangan yang telah dikosongkan. Tampak di sana sesosok tubuh
tengah terbaring tertutup sehelai tikar pandan yang sudah lusuh dan ternoda
darah. Laki-laki tua itu berhenti melangkah di dekat sosok tubuh yang
terbaring. Dengan ujung tongkatnya, dibukanya tikar yang menutupi tubuh itu.
Sebentar dirayapi wajah yang
sudah membiru. Darah menggumpal kental di leher yang koyak hampir buntung.
Kemudian ditutupnya kembali tubuh tak bernyawa itu. Sekarang pandangannya
beredar berkeliling. Sekitar tiga puluh orang laki-laki yang berada di ruangan
itu tak ada yang berani mengangkat kepalanya. Mereka berlutut dengan kepala
tertunduk menekuri lantai.
“Jarwa...!” panggil laki-laki tua
itu.
Suaranya terdengar besar dan
berat sekali. Seorang pemuda berwajah cukup tampan dan berbaju warna biru
gelap, bergegas bangkit dan menghampiri laki-laki tua itu. Tubuhnya membungkuk
setelah berada di depannya. Sebatang pedang tampak tergantung di pinggangnya.
“Ceritakan, bagaimana hal ini
bisa terjadi?” pinta laki-laki tua itu, masih tetap dengan suara berat dan agak
tertahan.
“Tidak tahu, Eyang. Dua orang
murid menemukannya sudah tergeletak di depan pintu pagar,” sahut pemuda yang
dipanggil Jarwa.
“Siapa yang menemukannya?” tanya
laki-laki tua itu.
“Jalil dan Mudor, Eyang,” sahut
Jarwa.
Laki-laki tua yang sebenarnya
bernama Eyang Jaraksa itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dia juga dikenal
dengan julukan Dewa Tongkat Putih. Tatapan matanya langsung tertuju pada dua
orang pemuda yang duduk agak menyendiri berdampingan. Mereka berlutut dengan
kepala tertunduk dalam.
“Benar kalian yang pertama kali
melihatnya...?” tanya Eyang Jaraksa tajam. Tatapan matanya tetap tertuju pada
dua orang pemuda itu.
“Benar, Eyang. Kami berdua yang
pertama kali menemukannya,” sahut pemuda berbaju putih yang bernama Jalil.
“Kalian tahu, kenapa Santika
sampai tewas...?” kali ini pandangan Eyang Jaraksa beredar berkeliling.
Tak ada seorang pun yang
menjawab. Mereka semua tetap berlutut sambil menundukkan kepala, menekuri lantai.
Jarwa yang berada dekat di depan laki-laki tua itu juga tidak bisa menjawab
pertanyaan tadi.
Memang tak ada seorang pun murid
Padepokan Tongkat Putih itu yang mengetahui peristiwanya.
Mereka hanya tahu setelah pagi
hari tadi, Jalil dan Mudor menemukan Santika sudah tergeletak tak bernyawa di
depan pintu pagar padepokan ini. Dari lehernya yang terkoyak hampir buntung,
sudah dapat dipastikan kalau Santika terbunuh. Tapi siapa yang membunuhnya...?
Pertanyaan ini tidak mungkin bisa cepat terjawab. Karena, tak seorang pun yang
tahu peristiwanya.
“Jarwa, urus mayat Santika. Lalu,
secepatnya temui aku di kamar semadi,” parintah Eyang Jaraksa.
“Segera, Eyang,” sahut Jarwa
cepat
Setelah memberi perintah,
laki-laki tua berjubah putih itu bergegas melangkah meninggalkan ruangan yang
cukup besar ini. Dua orang wanita betubuh sintal yang mendampinginya, ikut
melangkah meninggalkan ruangan itu. Salah seorang yang mengenakan baju merah
muda sempat melirik dan mengerling pada Jarwa. Sedangkan pemuda itu hanya
membalas dengan senyum kecil di bibir.
“Masuk...!”
Jarwa tertegun sesaat begitu
terdengar suara berat dari balik pintu. Balum juga pintu diketuk, sudah
terdengar suara yang menyuruhnya masuk. Perlahan pemuda itu mendorong daun
pintu di depannya, lalu melangkah masuk. Di dalam ruangan yang tidak begitu
besar ini sudah menunggu Eyang Jaraksa. Laki-laki tua itu duduk bersila di atas
sebuah batu putih berbentuk bulat ceper.
“Tutup pintunya, Jarwa,” perintah
Eyang Jaraksa.
Jarwa bergegas menutup pintu
ruangan semadi itu. Pemuda itu kemudian mendekati Eyang Jaraksa, dan duduk
bersila di depannya. Selembar tikar pandan menjadi alas duduk pemuda itu.
Gagang pedangnya digeser sedikit, agar tidak mengganggu kenyamanan duduknya.
“Aku menghadap, Eyang. Siap
menerima perintah,” ucap Jarwa dengan sikap hormat
“Jarwa, kau tahu mengapa aku
memintamu datang ke sini?” tanya Eyang Jaraksa tanpa menghiraukan sikap hormat
muridnya.
Jarwa hanya menggelengkan kepala
saja. Sama sekali tidak diketahuinya, apa maksud gurunya ini meminta untuk
menemui di ruang semadi. Jarwa hanya bisa menduga-duga dalam hati. Tapi, pemuda
itu sudah yakin kalau panggilan ini ada kaitan dengan tewasnya Santika. Hanya
saja sulit diduga, perintah apa yang akan diberikan gurunya nanti.
“Sudah berapa orang murid
Padepokan Tongkat Putih yang tewas dengan cara seperti ini...?”
“Lima,” sahut Jarwa perlahan.
“Dalam berapa hari?” tanya Eyang
Jaraksa lagi.
“Lima hari.”
“Berarti dalam satu hari, ada
yang tewas satu orang. Dan semuanya tewas dengan leher tergorok hampir putus.
Kau tahu, siapa orang gila yang berani main-main dengan Padepokan Tongkat
Putih, Jarwa...?” berat sekali nada suara Eyang Jaraksa.
Jarwa hanya diam saja.
Perlahan-lahan kepalanya bergerak menggeleng. Memang dalam lima hari ini, sudah
ada lima orang murid Padepokan Tongkat Putih yang tewas tanpa diketahui sebab
musababnya. Dan mereka semua tewas dengan leher terkoyak hampir buntung.
Keadaan seperti ini memang tidak menguntungkan. Semua murid Padepokan Tongkat
Putih kini diliputi kegelisahan.
Selama lima hari ini, tak seorang
pun yang berani keluar rumah sendirian, meskipun di siang hari. Terlebih lagi
sekarang ini, setelah Santika ditemukan tewas dengan cara yang sama. Santika
adalah murid kesayangan Eyang Jaraksa, selain Jarwa. Malah, tingkat
kepandaiannya tidak bisa dibilang enteng, meskipun masih satu tingkat di bawah
Jarwa. Tapi tewasnya Santika membuat semua murid padepokan ini jadi gentar dan
cemas.
“Kejadian ini tidak bisa
dibiarkan terus berlanjut. Jadi, kita tidak bisa tinggal diam begitu saja.
Secepatnya orang gila itu harus ditemukan,” tegas Eyang Jaraksa, agak ditekan
nada suaranya.
Jarwa tetap diam. Dia tahu,
gurunya ini tengah memendam kemarahan. Lima orang muridnya tewas secara gelap.
Dan itu menyakitkan sekali. Hal ini merupakan sebuah tamparan keras bagi
laki-laki tua ini Jarwa bisa merasakan, bagaimana marahnya laki-laki tua ini.
“Tinggal kau satu-satunya murid
utama di padepokan ini. Maka aku hanya bisa menaruh harapan padamu untuk
menyelesaikan persoalan ini, Jarwa,” sambung Eyang Jaraksa.
Jarwa tersentak kaget,
sampai-sampai mengangkat kepalanya dan menatap laki-laki tua itu. Pemuda itu
seakan-akan tidak percaya dengan pendengarannya barusan. Sungguh tidak disangka
kalau Eyang Jaraksa menaruh harapan yang begitu besar padanya untuk
menyelesaikan kemelut ini.
“Kau bisa mengerti maksudku,
Jarwa?” tanya Eyang Jaraksa seraya menatap tajam muridnya ini
“Mengerti, Eyang,” sahut Jarwa seraya
menundukkan kepala.
“Aku memberikan kebebasan
kepadamu. Hanya satu yang kuinginkan. Secepatnya, bekuk manusia gila itu
sebelum jatuh korban lebih banyak lagi,” tegas Eyang Jaraksa lagi.
Jarwa hanya menganggukkan kepala
saja, dan tidak tahu lagi harus berkata apa. Perintah sudah dijatuhkan, dan
tidak mungkin bisa ditolak. Apa pun yang terjadi, perintah itu harus
dijalankan. Meskipun, hatinya menjerit ingin menolak.
“Pergilah sebelum gelap, dan bawa
ini untuk peganganmu.”
Eyang Jaraksa menyodorkan sebatang
tongkat putih yang lurus sepanjang lengan. Dengan sikap ragu-ragu, Jarwa
menerima benda itu, kemudian bangkit berdiri. Tubuhnya dibungkukkan sedikit,
memberi hormat pada laki-laki tua itu.
“Tinggalkan pedang itu, Jarwa.
Kau tidak memerlukannya lagi,” kata Eyang Jaraksa.
Tanpa membantah sedikit pun,
Jarwa melepaskan pedangnya. Kemudian diserahkan pada gurunya. Eyang Jaraksa
menerima pedang itu. Setelah memberi hormat sekali lagi, Jarwa bergegas keluar
dari ruangan semadi ini. Tongkat putih yang menjadi lambang dari padepokan ini
kini berada di tangannya.
***
Jarwa menghentikan lari kudanya
setelah cukup jauh meninggalkan Padepokan Tongkat Putih. Kuda-nya diputar, lalu
matanya memandang ke arah bangunan yang dikelilingi pagar kayu cukup tinggi
itu. Mendadak saja keningnya berkerut ketika melihat seekor kuda yang dipacu
cepat keluar dari Padepokan Tongkat Putih. Hampir saja dia tidak percaya begitu
mengenali penunggang kuda itu.
“Arini...,” desis Jarwa.
Penunggang kuda itu seorang gadis
berwajah cantik. Bajunya cukup ketat berwarna merah muda, sehingga membentuk
tubuhnya yang ramping dan padat berisi. Pedang yang tergantung di pinggangnya
terombang-ambing mengikuti irama lari kuda. Gadis itu baru menghentikan lari
kudanya setelah berada di depan Jarwa.
“Kenapa kau keluar dari
padepokan, Arini...?” tegur Jarwa langsung.
“Aku ingin ikut denganmu,
Kakang,” sahut Arini, masih dengan napas agak tersengal.
“Heh...?!” Jarwa terperanjat
mendengar jawaban gadis itu.
“Aku tidak ingin tinggal diam,
sementara kau harus menghadapi bahaya di luar,” lanjut Arini.
“Ayahmu tahu kau ke sini?” tanya
Jarwa.
“Tidak. Kalau aku minta izin,
tidak mungkin diperbolehkan,” sahut Arini agak memberengut
“Sebaiknya kau kembali saja,
Arini. Tugas ini sangat berat dan berbahaya. Dan lagi, apa kata ayahmu kalau
sampai tahu kau ikut bersamaku...? Kumohon, kembali saja ke padepokan, Arini,”
bujuk Jarwa.
Tidak mungkin bagi Jarwa membawa
putri gurunya ini dalam mengemban tugas yang begitu berat dan berbahaya. Pemuda
itu harus mencari pembunuh gelap yang telah meminta korban lima orang.
Sedangkan sampai saat ini sama sekali tidak diketahuinya, siapa orang yang
telah membuat resah seluruh penghuni Padepokan Tongkat Putih. Jarwa sendiri
masih belum tahu, ke mana harus mencari pembunuh gelap itu.
“Aku ingin ikut..!” sentak Arini,
agak keras suaranya.
“Aku mohon, Arini. Kembalilah
kepadepokan,” bujuk Jarwa lagi.
“Tidak!” sentak Arini tegas.
Jarwa menghembuskan napasnya
kuat-kuat. Dia kenal betul watak gadis ini yang begitu keras. Kalau sudah
keinginannya begitu, sulit dicegah lagi. Meskipun ayahnya sendiri yang
melarang, tidak bakalan dia mau mundur setapak pun. Jarwa jadi kebingungan
sendiri. Dia tidak tahu lagi, dengan cara apa men-cegah Arini ikut dengannya.
“Baik.... Kalau Kakang tidak mau
mengajak, aku akan pergi sendiri. Kita bertaruh, siapa yang lebih dulu
menemukan pembunuh gila itu!” tegas Arini, agak ketus suaranya.
“Jangan nekat, Arini...!” desis
Jarwa jadi kesal juga atas kenekatan gadis ini.
Arini mendengus sinis, kemudian
menggebah cepat kudanya melewati pemuda itu.
“Arini, kembali…!” teriak Jarwa
terkejut melihat kenekatan gadis itu.
Tapi, Arini malah semakin cepat
menggebah kudanya. Jarwa bergegas menghentakkan tali kekang kuda untuk mengejar
gadis itu. Tidak mungkin Arini dilepaskan sendirian saja di alam bebas yang
terkenal ganas ini. Kudanya terus digebah agar berlari lebih kencang lagi.
“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”
Tangkas sekali pemuda itu
mengendalikan kudanya, sehingga dapat menyusul Arini. Kudanya disejajarkan di
samping kuda gadis itu. Dengan cepat diraihnya tali kekang kuda itu dan
ditariknya agar berhenti. Bersamaan dengan berhentinya kuda Jarwa, kuda Arini
juga berhenti berlari. Gadis itu memberengut, sambil menggerutu kesal.
***
Jarwa melompat turun dari
punggung kudanya, diikuti Arini. Mereka berjalan kaki sambil menuntun kuda
masing-masing, tanpa tujuan pasti. Mereka terus berjalan menyusuri jalan tanah
berdebu dan agak berbatu. Jalan ini menuju desa terdekat dari kaki Bukit
Tengkorak. Sementara lembah tempat Padepokan Tongkat Putih berdiri sudah tidak
terlihat lagi.
“Kita bermalam di Desa Jati,”
usul Jarwa.
“Berapa hari kita di sana?” tanya
Arini.
“Sampai ada yang datang
menjemputmu kembali ke padepokan,” sahut Jarwa seenaknya.
“Aku tidak sudi kembali...!”
sentak Arini langsung menghentikan langkahnya.
Jarwa ikut berhenti.
Dipandanginya gadis itu dalam-dalam. Semula Arini sudah senang, karena mengira
Jarwa akan membawanya pergi mencari pembunuh gelap itu. Tapi begitu mendengar
kata-kata pemuda itu tadi, dia jadi kembali memberengut kesal.
“Dengar, Arini....”
“Tidak!” sentak Arini cepat
memutuskan ucapan pemuda itu. “Pokoknya aku tidak akan pulang!”
Arini kembali melangkah sambil
menghentakkan kakinya dengan kesal. Sebentar Jarwa memperhatikan sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Dihembuskannya napas panjang, kemudian bergegas
melangkah menyusul gadis itu.
“Arini! Dengar dulu
kata-kataku...,” desah Jarwa setelah bisa mensejajarkan langkahnya di samping
gadis itu.
“Sekali kukatakan tidak, tetap
tidak...!” sentak Arini tegas.
“Kau akan menghadapi banyak bahaya,
Arini,” Jarwa mencoba memperingatkan gadis ini.
“Aku tidak peduli,” dengus Arini.
“Bagaimanapun juga, kau tetap
harus pulang.”
“Pulang saja sendiri. Katakan
pada ayah kalau tugasmu kugantikan!”
“Jangan nekat Arini.”
“Biar...!”
Jarwa sudah kehilangan kata-kata
untuk membujuk gadis ini. Memang tidak mudah melunakkan hati Arini. Jika dia
sudah bilang hitam, maka seterusnya tetap hitam. Sulit untuk merubahnya lagi.
Dan Jarwa tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukan agar gadis ini bersedia
kembali pulang ke padepokan.
Sementara senja tenis merayap
turun. Desa Jati sudah terlihat di depan. Keadaan sekitarnya tampak
remang-remang. Sebentar lagi, sekitar Bukit Tengkorak ini akan terselimut
kegelapan. Sementara Jarwa benar-benar tidak berhasil membujuk gadis itu untuk
kembali ke padepokan.
“Baiklah, kau boleh ikut
bersamaku,” akhirnya Jarwa menyerah juga.
“Dari tadi saja begitu. Kenapa
susah-susah membujukku...?” dengus Arini.
Meskipun di wajahnya masih
terlihat memberengut, namun di hati gadis itu bersorak kesenangan. Rasanya dia
ingin mengucapkan terima kasih, tapi keangkuhan hatinya tidak mengizinkan
lidahnya untuk mengucapkan itu. Matanya hanya melirik sedikit saja pada pemuda
di sampingnya. Wajah Jarwa kelihatan kusut. Dia terpaksa mengizinkan Arini
ikut, karena tidak ada cara lain lagi untuk menolak. Dan Arini tidak peduli,
meskipun tahu kalau Jarwa terpaksa mengizinkannya.
“Apa kira-kira pembunuh itu ada
di Desa Jati, Kakang?” tanya Arini langsung melupakan pertengkarannya dengan
pemuda itu tadi.
“Aku tidak tahu. Kita telusuri
saja desa-desa yang ada di sekitar kaki Bukit Tengkorak ini,” sahut Jarwa.
“Kalau kita tidak juga
menemukannya, kau akan kembali ke padepokan?” tanya Arini lagi.
“Ayahmu tidak mengizinkan aku
pulang tanpa hasil,” sahut Jarwa.
“Aku akan membantumu sampai
berhasil, Kakang,” tegas Arini
Jarwa hanya tersenyum tipis saja.
Hatinya tidak yakin kalau Arini dapat membantu. Bahkan mungkin malah akan
merepotkan saja. Dia tidak tahu, sampai di mana tingkat kepandaian gadis ini.
Yang diketahuinya, Arini hanyalah seorang gadis manja yang keras kepala. Gadis
ini tidak pernah terlihat berlatih dengan tekun seperti kakaknya. Dan Jarwa
memang mengakui kalau Arini lebih cantik daripada Purmita, kakaknya.
Yang lebih mengherankan lagi,
semua murid laki-laki di Padepokan Tongkat Putih menyukai gadis ini. Selain
wataknya yang keras dan tidak suka mengalah, Arini juga ramah dan mudah bergaul
pada siapa saja. Lain dengan kakaknya yang pendiam dan sukar diajak bicara.
Tapi Jarwa lebih menyukai Purmita daripada Arini. Kelihatannya Purmita lebih
dewasa, dan selalu berpikir panjang sebelum melakukan tindakan. Kalau saja
Purmita yang memintanya ikut, dengan senang hati akan diterimanya.
“Kok melamun, Kakang...? Ada yang
dipikirkan, ya?” tegur Arini.
Jarwa hanya tersenyum tipis saja.
“Di penginapan mana nanti,
Kakang?” tanya Arini.
“Di penginapan Ki Sawung,” sahut
Jarwa.
Arini tidak bertanya lagi. Dia
tahu kalau penginapan milik Ki Sawung adalah yang terbaik di Desa Jati. Dan
hampir semua murid Padepokan Tongkat Putih pernah menginap di sana jika sedang
melakukan perjalanan. Itu bila memang terpaksa harus bermalam di desa itu.
Arini sendiri sering menginap di sana. Ki Sawung juga kenal baik dengan gadis
ini. Dan pasti, mereka akan mendapat kamar yang terbaik.
***
DUA
Dugaan Arini memang tepat. Begitu
muncul, Ki Sawung langsung menyambutnya dengan hangat. Disediakannya dua kamar
berdampingan yang terbaik di penginapannya. Laki-laki berusia lanjut itu tidak
banyak bertanya atas kedatangan mereka di saat malam sudah datang menyelimuti
Desa Jati ini. Sudah sering Arini datang ke penginapan ini. Juga murid ayahnya.
Setelah mengisi perutnya, Arini
keluar dari kamarnya. Matanya melirik ke kamar yang ditempati Jarwa. Keningnya
agak berkerut, melihat pintu kamar itu sedikit terbuka. Perlahan gadis itu
menghampiri. Diintipnya sedikit dari celah pintu. Kosong.... Tak ada seorang pun
di dalam sana.
“Kakang...,” panggil Arini seraya
mendorong pintu kamar itu.
Perlahan-lahan pintu kamar itu
terbuka. Benar-benar kosong, tak ada seorang pun di dalam. Bahkan tempat
tidurnya saja masih rapi, seperti belum tersentuh. Gadis itu mengedarkan pandangan
berkeliling. Matanya tertuju pada baki perak yang terletak di meja dekat
pembaringan. Arini melangkah masuk dan menghampiri meja kecil itu.
Dibukanya penutup baki. Keningnya
jadi berkerut. Hidangan di dalam baki ini masih utuh, tak tersentuh sedikit pun
juga. Mendadak saja wajah gadis itu jadi memerah. Mulutnya mendesis geram, lalu
membanting tutup baki itu.
“Kurang ajar...! Awas kau, berani
pergi tanpa pamit..!” geram Arini merasa dibohongi.
Bergegas gadis itu melangkah ke
luar. Namun belum juga kakinya melintasi pintu, mendadak saja Jarwa muncul.
Hampir-hampir mereka bertabrakan kalau tidak sama-sama melompat mundur.
“Arini..?! Sedang apa kau di
sini?” tanya Jarwa terkejut begitu mengenali gadis di dalam kamarnya.
“Dari mana kau?!” dengus Arini
malah balik bertanya.
Jarwa melangkah masuk dan
membiarkan pintu kamarnya terbuka lebar. Diliriknya tutup baki yang tergeletak
di lantai, lalu dipungut dan diletakkan pada tempatnya. Sedangkan Arini hanya
memandangi dengan mata mendelik lebar.
“Mau coba-coba meninggalkan aku,
ya...?!” lagilagi Arini mendengus ketus.
“Untuk apa...? Aku hanya keluar
sebentar membeli tembakau,” sergah Jarwa jadi ikut sewot. “Kalau tidak percaya,
nih lihat..!”
Jarwa menunjukkan bungkusan daun
pisang berbentuk kerucut. Arini tahu, bungkusan itu berisi tembakau, seperti
yang dibeli ayahnya setiap kali datang ke desa ini. Sementara Jarwa menghampiri
jendela, dan membukanya lebar-lebar. Angin malam yang dingin langsung menerobos
masuk ke dalam kamar ini, membuat suasana yang agak tegang tadi perlahan
mendingin. Sedingin hembusan angin malam ini.
Pemuda itu menghempaskan
tubuhnya, duduk di kursi dekat jendela. Sedikit pun tidak dipedulikannya Arini
yang masih saja berdiri memperhatikan. Jarwa malah asyik melinting tembakau dan
membakarnya. Begitu nikmatnya asap tembakau itu dihisap, dan dipermainkannya
menjadi bulatan-bulatan kecil. Bau harum daun tembakau menyeruak ke dalam
hidung Arini.
“Sudah makan?” tanya Jarwa seraya
berpaling sedikit menatap gadis itu.
“Sudah,” sahut Arini singkat
“Kalau masih kurang, makan saja
punyaku. Aku masih kenyang,” ujar Jarwa lagi.
Arini tidak menyahuti, tapi malah
melangkah menghampiri pembaringan dan duduk di sana. Direntangkan kakinya, dan
disandarkan punggungnya ke dinding yang terbuat dari belahan papan. Bola
matanya terus memperhatikan Jarwa yang tetap asyik mempermainkan asap tembakau.
Jarwa melirik sedikit pada gadis
itu, namun cepat mengalihkan ke arah lain. Seperti disengaja, Arini
menggeliatkan tubuhnya. Mau tak mau, belahan dadanya agak tersingkap. Lagi-lagi
Jarwa melirik ke arah gadis itu. Dadanya jadi berdebar kencang melihat lekukan
dada yang agak terbuka. Pemuda itu cepat bangkit berdiri dan membuang puntung
tembakaunya ke luar jendela.
“Aku ingin keluar sebentar. Kau
jangan ke mana-mana,” pamit Jarwa.
“Ingin ke mana lagi...?” tanya
Arini.
“Mencari keterangan, kalau-kalau
ada yang tahu si gila itu,” sahut Jarwa.
Bergegas pemuda itu melangkah ke
luar. Arini cepat bangkit dan mengejar pemuda itu. Namun Jarwa terus saja
melangkah tidak peduli. Dan Arini menghentikan langkah saat berada di depan
pintu kamarnya sendiri. Matanya hanya memandangi saja punggung pemuda itu,
sampai lenyap di tikungan.
“Huuuh...!” Arini mendengus
panjang. Dia membuka pintu kamarnya dan cepat masuk. Seperti sedang kesal,
dibantingnya pintu kamar itu hingga tertutup dan menimbulkan suara keras bagai
hendak meruntuhkan seluruh dinding penginapan ini.
Sementara Jarwa sudah berada di
luar rumah penginapan Ki Sawung. Langkahnya berhenti sebentar, lalu matanya
menatap ke arah jendela kamar Arini. Napasnya sedikit dihembuskan. Dia cepat
keluar, sebenarnya bukan untuk apa-apa. Tapi, hanya ingin menghindar saja dari
gadis itu. Dia tidak ingin tergoda oleh sikap Arini yang begitu bebas,
seakan-akan mengundang. Jarwa terus mengayunkan kakinya meninggalkan penginapan
itu. Sementara di dalam kamar, Arini memperhatikan dari balik jendela yang
sedikit dibuka.
***
Pagi-pagi sekali, di saat
matahari belum lagi menampakkan diri, Jarwa dan Arini sudah meninggalkan
penginapan itu. Mereka memacu kudanya menuju ke Selatan, memutari kaki Bukit
Tengkorak. Kuda-kuda itu dipacu tidak terlalu cepat, karena hari masih begitu
gelap. Sukar untuk memandang jauh. Sekitar kaki Bukit Tengkorak ini masih
berselimut kabut tebal. Dan udara pun terasa begitu dingin menggigilkan.
“Ke mana lagi tujuan kita,
Kakang?” tanya Arini sambil menggeletar menahan dingin.
“Desa Talang,” sahut Jarwa
singkat
“Apa tidak terlalu jauh ke sana,
Kakang?” tanya Arini lagi.
Dia tahu kalau Desa Talang cukup
jauh letaknya. Bisa satu hari perjalanan berkuda. Gadis itu merasa tidak yakin
kalau orang yang mereka cari ada di sana. Sedangkan murid-murid Padepokan
Tongkat Putih selalu ditemukan tewas tidak jauh dari padepokan.
Tapi Arini tidak ingin
mengemukakan pikirannya. Gadis itu diam saja, mengikuti ke mana tujuan pemuda
ini. Dan mereka kini semakin jauh meninggalkan Desa Jati. Bahkan sudah memasuki
kawasan hutan yang jarang dilalui orang. Mereka terpaksa harus menerobos
pepohonan yang cukup lebat, hingga sampai di sebuah danau kecil yang cukup
indah pemandangannya. Kedua orang itu terus saja menggebah kudanya, menyusuri
tepian danau. Tapi mendadak....
“Berhenti...!”'
Terdengar bentakan keras
mengejutkan. Jarwa dan Arini segera menghentikan langkah kaki kudanya, langsung
berpandangan sejenak. Belum juga hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba saja
berkelebat sebuah bayangan hitam dari atas kepala mereka. Dan tahu-tahu, di depan
sudah berdiri seorang perempuan tua berjubah panjang berwarna hitam.
Sebuah tongkat berkeluk tak
beraturan, tergenggam di tangan kanannya. Tubuhnya sudah bungkuk, namun
berdirinya masih kokoh. Tatapan matanya begitu tajam dan agak memerah. Seluruh
rambutnya sudah memutih.
“Kalian dari Padepokan Tongkat
Putih...?” terdengar kering suara wanita tua itu.
“Benar! Dan kau siapa?! Dan
mengapa menghadang jalan kami?” sahut Arini ketus, dan langsung balik bertanya.
“Kalian tidak perlu tahu, siapa
diriku. Sebaiknya cepat tinggalkan tempat ini, dan kembali ke padepokan
kalian!” semakin kering nada suara wanita tua berjubah hitam itu.
“Heh...?! Apa urusanmu
memerintah...?!” bentak Arini sengit
“Kau pasti Arini,” wanita tua ini
menatap tajam pada gadis itu.
“Dari mana kau tahu namaku...?!”
Arini jadi terkejut
Perempuan tua itu tidak
mempedulikan Arini yang sudah memerah mukanya. Matanya malah menatap Jarwa yang
sejak tadi hanya diam saja. Pemuda itu balas menatap dengan sinar mata penuh
selidik, mencoba mencari tahu tentang perempuan tua berjubah hitam ini. Di hatinya
juga timbul keheranan, karena perempuan tua ini seperti tahu banyak tentang
Padepokan Tongkat Putih.
“Anak muda, kembalilah ke
padepokan. Kau hanya membuang-buang waktu saja dengan perjalananmu itu. Kau
tidak akan mendapatkan apa-apa, kecuali penyesalan pada akhirnya,” tegas wanita
tua berjubah hitam itu. Nada suaranya terdengar berubah sedikit lunak.
“Maaf! Boleh aku tahu, siapa
dirimu dan mengapa kau meminta kami kembali ke padepokan?” tanya Jarwa sopan.
“Turuti saja kata-kataku, Anak
Muda. Jangan sampai kau menyesal di belakang hari nanti,” perempuan tua itu
tidak menjawab pertanyaan Jarwa.
“Sudah, Kakang. Jangan layani
perempuan gendeng ini!” selak Arini.
Gadis itu langsung menghentakkan
tali kekang kudanya, sehingga membuat perempuan tua berjubah hitam itu jadi
mendengus kesal. Dia melompat ke belakang, langsung menghadang langkah kuda
Arini. Dicekalnya tali kekang kuda gadis itu kuat-kuat, sehingga berhenti
melangkah.
“Bocah bandel...!” dengus
perempuan tua itu agak menggeram.
“Minggir!” bentak Arini kesal.
Perempuan tua itu tidak juga
menyingkir, dan malah menatap tajam Arini. Tentu saja hal ini membuat gadis itu
semakin berang. Tiba-tiba saja Arini menghentakkan kakinya, menendang ke arah
dada perempuan tua berjubah hitam itu. Namun tanpa diduga sama sekali,
perempuan tua itu mengegoskan tubuhnya, sehingga tendangan Arini meleset tidak
menemui sasaran.
“Minggir kataku, Setan...!”
bentak Arini semakin berang.
Bet!
Cepat sekali gadis itu
mengibaskan tangan ke arah perempuan tua berjubah hitam. Dan sekali lagi,
perempuan tua itu mengegoskan kepala sedikit Arini jadi bertambah berang, lalu
cepat melompat turun dari punggung kudanya. Dan begitu kakinya menjejak tanah,
langsung dilontarkannya satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi.
“Hiyaaat..!”
Perempuan tua berjubah hitam itu
tidak mencoba berkelit, bahkan menanti serangan Arini. Seketika dengan cepat
tangan kirinya diangkat.
Tap!
“Ikh...!” Arini tersentak, karena
kepalan tangannya dicengkeram erat oleh tangan kiri perempuan berjubah hitam
itu.
Arini mencoba menarik tangannya,
tapi cengkeraman perempuan tua itu demikian kuat. Tanpa mau menyadari kalau
yang dihadapinya memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi darinya, Arini
cepat menghentakkan kakinya ke depan, sambil cepat memutar tubuhnya.
“Hiyaaa...!”
“Hait!”
Manis sekali perempuan tua
berjubah hitam itu berkelit menghindar. Seketika tangannya yang mencengkeram
kepalan tangan Arini dihentakkan. Tak pelak lagi, gadis itu terdorong cukup
keras hingga terhuyung-huyung. Kalau saja Jarwa tidak cepat bertindak
menangkapnya, pasti Arini sudah jatuh tersuruk mencium tanah.
Sambil mendengus kesal, Arini
mendorong dada pemuda itu. Lalu, cepat-cepat tubuhnya diputar berbalik.
Gerahamnya menggeretak menahan marah. Sementara Jarwa terdorong ke belakang,
cepat melompat saat Arini sudah memegang gagang pedangnya.
Tap!
Jarwa cepat menahan tangan gadis
itu untuk mencabut pedang. Arini mendelik. Dengan kasar di-dorongnya tubuh
pemuda itu, sehingga membuatnya kembali terjajar ke belakang.
Sret!
Arini cepat mencabut pedangnya.
Sementara Jarwa berusaha menguasai keseimbangan tubuhnya. Dan sebelum Jarwa
bisa mencegah, gadis itu sudah melompat cepat sambil berteriak keras menenang
perempuan tua berjubah hitam itu. Pedangnya ber-kelebat cepat mengincar anggota
tubuh lawan.
“Hiyaaat..!”
Bet! Wuk!
“Hait!”
Perempuan tua berjubah hitam itu
manis sekali meliuk-liukkan tubuhnya, sehingga tak satu pun serangan Arini yang
berhasil mengenai sasaran. Namun Arini tidak berhenti sampai di situ. Jurusnya
cepat diubah, dan terus menyerang kembali. Pedang di tangannya berkelebat cepat
mengurung lawan.
***
Jurus demi jurus cepat berlalu.
Meskipun terus menyerang, tapi Arini belum juga mampu mendesak perempuan tua
berjubah hitam itu. Bahkan sudah dua kali Arini harus menerima pukulan keras di
tubuhnya. Meskipun tidak mengandung pengerahan tenaga dalam, tapi cukup membuat
gadis itu meringis kesakitan.
Sementara itu Jarwa hanya
menyaksikan saja. Pemuda ini sudah bisa melihat kalau Arini tidak mungkin bisa
menandingi perempuan tua itu. Sudah lebih dari lima jurus dikeluarkan, tapi
gadis itu belum mampu menyentuh sedikit pun ujung rambut lawan. Sedangkan
wanita tua itu hanya berkelit saja tanpa mengeluarkan satu jurus pun.
“Cukup, Arini! Jangan memaksaku
untuk bertindak kejam...!” sentak wanita berjubah hitam itu seraya melompat ke
belakang.
“Mau lari ke mana kau...?!
Hiyaaat..!”
Arini benar-benar sudah tidak
mungkin lagi dikendalikan. Gadis itu langsung melompat sambil mengebutkan
pedangnya ke arah dada lawan. Namun hanya sedikit saja menarik tubuh ke
belakang, perempuan tua itu mampu mengelakkan tebasan pedang Arini yang
berkelebat cepat hampir membelah dada.
“Keras kepala! Hih...!” dengus
wanita tua itu menggeram.
Cepat sekali tangan kanannya
dikebutkan ke arah dada Arini, begitu pedang gadis itu lewat di depan dadanya.
Begitu cepatnya sodokan tangan wanita berjubah hitam itu, sehingga Arini tidak
sempat menghindar lagi.
Des!
“Akh...!” Arini menjerit agak
tertahan.
Gadis itu terhuyung-huyung ke
belakang. Dan sebelum keseimbangan tubuhnya sempat terkuasai, mendadak saja
perempuan tua berjubah hitam itu sudah bergerak cepat. Dia melompat sambil
memberi satu totokan keras ke dada Arini.
Lagi-lagi Arini terpekik, dan
seketika ambruk menggeletak di tanah. Jarwa bergegas menghampiri gadis itu.
Matanya menatap tajam perempuan tua berjubah hitam yang berdiri dengan tongkat
menyangga tubuhnya.
“Dia tidak apa-apa. Sebentar juga
pulih,” jelas wanita tua itu.
Jarwa memeriksa tubuh Arini. Dia
tahu kalau Arini hanya terkena totokan yang tidak membahayakan pusat jalan
darahnya. Namun paling tidak, gadis itu jadi lemas tak berdaya. Perlahan pemuda
itu bangkit berdiri setelah yakin kalau Arini tidak mengalami sesuatu yang
parah. Ditatapnya perempuan tua berjubah hitam yang berdiri di depannya.
“Apa keinginanmu sebenarnya,
Nisanak?” tanya Jarwa, agak dalam nada suaranya.
“Sebaiknya, cepat bawa pulang
gadis liar itu,” ujar perempuan tua berjubah hitam tanpa menjawab pertanyaan
Jarwa.
Selesai berkata demikian, cepat
perempuan tua itu melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga Jarwa tidak sempat
lagi mencegah. Dalam sekejapan mata saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap dari
pandangan. Jarwa masih berdiri mematung sebentar. Wajahnya kemudian berpaling
saat mendengar rintihan lirih dari belakangnya.
Arini mulai menggerakkan kepala
perlahan sambil merintih lirih. Bergegas Jarwa menghampiri gadis itu, dan
membantunya bangun. Arini menggeleng-geleng-kan kepala, mencoba mengusir rasa
pening yang menyerang seluruh kepala. Sebentar pandangannya beredar
berkeliling, lalu menatap Jarwa yang berdiri di depannya.
“Mana nenek keparat itu...?!”
dengus Arini.
“Dia sudah pergi,” sahut Jarwa.
“Kau membiarkannya pergi begitu
saja...?” mata Arini mendelik, seakan-akan tidak percaya kalau Jarwa membiarkan
perempuan tua berjubah hitam itu pergi tanpa berusaha mencegah sedikit pun.
Jarwa tidak menjawab, tapi malah
melangkah menghampiri kudanya. Sebentar ditepuk-tepuknya leher kuda itu,
kemudian melompat naik ke punggungnya. Arini masih berdiri memandangi. Perlahan
kemudian, kakinya terayun menghampiri kudanya. Dengan gerakan ringan, gadis itu
melompat naik ke punggung kudanya. Namun mereka belum juga bergerak
meninggalkan tempat itu. Tampak Jarwa seperti ragu-ragu untuk meneruskan
perjalanannya ini.
“Ada apa, Kakang...?” tegur
Arini.
“Ah, tidak ada apa-apa,” sahut
Jarwa seraya menggelengkan kepala.
“Kau kelihatan memikirkan
sesuatu. Apa yang dipikirkan, Kakang?” Arini sedikit mendesak.
Jarwa tidak menjawab. Lalu, tali
kekang kudanya disentakkan. Seketika kuda itu bergerak melangkah
perlahan-lahan. Arini mengikuti pemuda itu, lalu mensejajarkan langkah kaki
kudanya di samping kuda pemuda itu. Sesekali diperhatikannya raut wajah Jarwa.
Dia yakin kalau pemuda itu sedang memikirkan sesuatu, tapi tidak ingin
mengutarakannya.
“Kau kenal nenek itu, Kakang?”
tanya Arini dengan benak terus menduga-duga.
“Tidak,” sahut Jarwa.
“Lalu, kenapa meminta kita
kembali pulang...?” nada suara Arini seperti menyelidik.
“Aku tidak tahu, Arini. Mungkin
maksudnya memang baik. Hanya saja, tidak diutarakannya pada kita,” duga Jarwa
sambil berpaling menatap gadis di sebelahnya.
“Baik...?! Huh! Tampangnya saja
sudah mencurigakan,” dengus Arini mencibir.
“Jangan melihat seseorang dari
luarnya saja, Arini.”
“Aku tahu sekarang... Kau pasti
memikirkan kata-kata nenek itu, bukan...?” tebak Arini langsung.
Jarwa hanya diam saja. Diakui,
kalau tebakan Arini memang tepat Sejak tadi ucapan-ucapan perempuan tua
berjubah hitam yang tidak dikenalnya sama sekali tenis dipikirkannya. Dia yakin
kalau ada sesuatu tersembunyi di balik ucapan itu tadi. Tapi untuk kembali ke
padepokan..., rasanya memang tidak mungkin. Jarwa ingat kata-kata gunanya yang
tidak mengizinkannya kembali sebelum menyelesaikan tugas, meringkus si pembunuh
gelap yang telah meminta korban lima orang murid Padepokan Tongkat Putih.
Jarwa menghentikan langkah kaki
kudanya. Sejenak ditatapnya Arini yang juga balas menatapnya dengan kelopak
mata agak menyipit Untuk beberapa saat, mereka saling pandang tanpa berkata
apa-apa.
“Sebaiknya kita kembali saja,
Arini. Aku merasa ada sesuatu yang terjadi di padepokan,” duga Jarwa perlahan.
“Kembali...?!” Arini terkejut
tidak percaya.
Dan sebelum gadis itu bisa
mengeluarkan suara lagi, Jarwa sudah memacu cepat kudanya. Arini berteriak
memanggil, tapi pemuda itu tidak lagi peduli. Dia terus menggebah kudanya bagai
dikejar setan.
“Kunyuk...!” dengus Arini kesal.
Sebentar gadis itu mengedarkan
pandangan ke sekeliling, kemudian cepat memutar kudanya dan menggebah agar
berlari kencang. Tubuh gadis itu terguncang-guncang di atas punggung kuda. Dia
berteriak-teriak sambil menggebah kudanya agar berlari lebih cepat untuk
menyusul Jarwa yang sudah begitu jauh di depannya.
“Kakang, tunggu...!” teriak Arini
sekuat-kuatnya.
Tapi Jarwa seperti tidak
mendengar, sehingga terus saja memacu kudanya dengan cepat. Arini menggerutu
dan memaki sejadi-jadinya. Tali kekang kudanya semakin cepat disentakkan agar
berpacu lebih cepat lagi. Sementara keadaan di sekitarnya sudah terang.
Matahari sudah sejak tadi menampakkan diri dengan cahayanya yang hangat
menyirami seluruh permukaan Bukit Tengkorak ini.
“Kakang, tunggu...!” teriak Arini
begitu bisa memperpendek jarak dengan pemuda itu.
Jarwa berpaling sedikit, lalu
memperlambat lari kudanya. Dan kini Arini bisa cepat mengejarnya. Gadis itu
terengah-engah begitu berada di samping Jarwa. Mereka kemudian mengendarai kuda
tidak terlalu kencang, sehingga bisa terus berdampingan.
“Setan! Kau akan meninggalkan
aku, ya...?!” dengus Arini memberengut kesal.
Jarwa hanya diam saja. Dia tahu,
kalau dilayani bisa bertambah panjang. Dan yang pasti, Arini tidak sudi
mengalah barang sedikit saja. Jadi Jarwa lebih memilih diam, meskipun telinganya
panas mendengar gerutuan yang tidak hentinya dari bibir mungil yang selalu
merah basah itu.
***
TIGA
Sementara itu suasana di
Padepokan Tongkat Putih semakin menegang. Sejak Jarwa meninggalkan padepokan
itu, sudah tiga orang lagi murid Eyang Jaraksa yang ditemukan tewas tidak jauh
dari bangunan besar di tengah-tengah lembah di lereng Bukit Tengkorak ini.
Dan yang terakhir, satu orang
sempat lolos. Dia kembali ke padepokan meskipun dengan tubuh berlumuran darah.
Langsung ditemuinya Eyang Jaraksa yang saat itu tengah berbincang-bincang
bersama putri sulungnya. Laki-laki tua itu terkejut melihat muridnya datang
dengan tubuh berlumuran darah.
“Gandik.... Apa yang terjadi?!
Kenapa kau berlumuran darah begini...?” tanya Eyang Jaraksa terkejut
“Dia.... Dia datang lagi, Eyang,”
sahut Gandik seraya meringis menahan sakit.
“Dia siapa...?”
“Penjagal Bukit Tengkorak....
Akh!”
“Gandik...!”
Eyang Jaraksa bergegas
menghampiri, tapi Gandik sudah menggeletak tak bernyawa lagi. Terlalu banyak
darah yang keluar dari tubuhnya. Saat itu, seluruh murid Padepokan Tongkat
Putih ini sudah berkumpul. Tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Mreka
begitu ngeri melihat keadaan rubuh Gandik yang penuh luka dan berlumuran darah.
Bahkan tangan kiri anak muda itu buntung dari pangkalnya.
“Penjagal Bukit Tengkorak...,”
desis Eyang Jaraksa agak menggumam.
Laki-laki tua berjubah putih itu
bergegas melangkah menuju samping rumah. Purmita, putri sulungnya segera
mengikuti. Sedangkan semua murid-murid di padepokan ini hanya bisa memandangi
tanpa melakukan sesuatu.
“Ayah....,” panggil Purmita
seraya mempercepat langkahnya, dan mensejajarkan diri di samping lakilaki tua
itu.
Eyang Jaraksa berhenti melangkah.
Ditatapnya anak gadisnya ini lekat-lekat. Perlahan tangannya terulur dan
memegang pundak Purmita.
“Kau lekas pergi, Purmita. Cari
adikmu. Aku yakin, dia menyusul Jarwa,” ujar Eyang Jaraksa sebelum putri
sulungnya ini berbicara.
“Ayah sendiri akan ke mana?”
tanya Purmita.
“Aku harus menemui si Penjagal
Bukit Tengkorak. Dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya ini,” tegas
Eyang Jaraksa.
Purmita tidak mencegah lagi
ketika ayahnya melompat naik ke punggung kuda yang tertambat di sebatang pohon.
Eyang Jaraksa memandangi murid-muridnya yang berdiri saja di belakang Purmita.
“Kalian ambil kuda masing-masing,
dan ikut aku!” perintah Eyang Jaraksa.
Tanpa menunggu perintah dua kali,
sekitar tiga puluh orang murid laki-laki tua berjubah putih itu bergegas
mengambil kuda. Tak berapa lama kemudian, mereka bergerak cepat meninggalkan
padepokan. Tinggal Purmita sendiri yang memandangi kepergian mereka.
“Ke mana aku harus mencari
Arini...?” keluh Purmita bertanya pada dirinya sendiri.
Arini pergi sejak kemarin,
bersamaan dengan kepergian Jarwa yang mendapat tugas dari Eyang Jaraksa.
Perlahan gadis itu menghampiri seekor kuda yang tidak jauh darinya. Lalu, dia
naik ke punggung kuda itu. Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling.
Kemudian tali kekang kudanya disentakkan hingga bergerak perlahan meninggalkan
padepokan ini.
“Hiya! Hiyaaa...!”
Purmita segera menggebah kudanya
begitu melewati pintu gerbang Padepokan Tongkat Putih, menuju ke arah yang
berlawanan dengan yang dituju rombongan ayahnya. Arah yang dituju gadis itu
jelas ke Desa Jati. Desa yang terdekat dari Padepokan Tongkat Putih.
***
Sementara itu Eyang Jaraksa dan
murid-muridnya terus bergerak mendaki Bukit Tengkorak. Mereka menuju puncak
bukit yang jarang didatangi orang. Meskipun ada jalan yang cukup lebar untuk
menuju ke sana.
Rombongan itu bani berhenti
setelah sampai di puncak Bukit Tengkorak. Eyang Jaraksa melompat turun dari
punggung kudanya. Tatapan matanya begitu tajam tak berkedip, lurus ke arah
sebuah gubuk kecil yang dikelilingi kebun sayuran. Seorang laki-laki berusia
setengah baya dengan tubuh coklat dan kekar, tengah sibuk merawat tanamannya.
“Suryadana...!” teriak Eyang
Jaraksa lantang menggelegar.
Laki-laki bertubuh tegap berotot
itu mengangkat kepalanya. Dia seperti tertegun ketika melihat banyak orang di
seberang kebunnya ini. Bergegas dia berdiri, lalu melangkah menghampiri.
Keningnya semakin berkerut begitu mengenali orang yang memanggilnya. Laki-laki
berperawakan kekar yang dipanggil Suryadana ini menghentikan langkahnya.
“Eyang Jaraksa.... Tidak biasanya
kau ke sini? Ada perlu apa, Eyang?” tanya Suryadana seraya mengamati
pemuda-pemuda yang berada di belakang laki-laki tua berjubah putih itu.
“Jangan banyak tanya! Kau harus
bertanggung jawab atas perbuatanmu, Suryadana!” bentak Eyang Jaraksa.
“Bertanggung jawab...?” Suryadana
jadi kebingungan. “Aku tidak mengerti maksudmu, Eyang Jaraksa?”
“Jangan pura-pura, Setan! Berapa
orang lagi muridku yang akan kau penggal kepalanya, heh...?”
“Tunggu dulu. Aku benar-benar
tidak mengerti maksudmu. Kau tiba-tiba datang dan marah-marah begini. Bahkan
menuntutku harus bertanggung jawab. Apa sebenarnya yang terjadi, sehingga kau
marah-marah begini...?” Suryadana meminta penjelasan.
“Masih juga ingin berkelit kau,
Setan Keparat! Hiyaaat..!”
Eyang Jaraksa tidak dapat lagi
mengendalikan amarahnya. Bagaikan kilat, tongkatnya dikibaskan ke arah kepala
Suryadana. Sejenak laki-laki bertubuh kekar yang tidak mengenakan baju itu
terperangah, namun cepat merundukkan kepalanya. Maka tebasan tongkat Eyang
Jaraksa tidak sampai mengenai sasaran.
“Bagus! Bela dirimu sebelum
kukirim ke neraka!” desis Eyang Jaraksa dingin.
Suryadana menggeser kakinya ke
belakang dua langkah. Dia masih belum mengerti maksud kedatangan laki-laki tua
berjubah putih yang dikenal sebagai Ketua Padepokan Tongkat Putih itu. Namun
melihat sinar mata dan raut wajah yang memerah, Suryadana bisa memastikan kalau
Eyang Jaraksa tengah memendam amarah yang sukar dikendalikan lagi.
“Kendalikan amarahmu, Eyang
Jaraksa. Jelaskan dulu persoalannya. Kenapa tiba-tiba kau datang lalu meminta
pertanggungjawabanku?” Suryadana masih meminta penjelasan dari
ketidakmengertiannya.
“Sudah cukup kau membantai
murid-muridku, Penjagal Bulat Tengkorak! Sekarang giliran aku menagih hutang
nyawa murid-muridku!” desis Eyang Jaraksa dingin.
“Hutang nyawa...? Heh...! Apa
yang telah kulakukan pada murid-muridmu?” Suryadana yang juga dijuluki si
Penjagal Bukit Tengkorak oleh Eyang Jaraksa semakin tidak mengerti.
“Jangan banyak omong! Terimalah
kematianmu, Setan Jagal! Hiyaaat..!”
“Hait!”
Cepat Suryadana melompat ke
belakang begitu Eyang Jaraksa kembali mengebutkan tongkat putihnya yang
terkenal dahsyat. Hampir saja ujung tongkat itu merobek dada si Penjagal Bukit
Tengkorak. Untung saja dia segera melompat ke belakang beberapa tindak. Tapi begitu
kakinya menjejak tanah, Eyang Jaraksa sudah mengebutkan tongkatnya kembali ke
arah kaki.
“Hup!”
Suryadana segera melentingkan
tubuh ke udara. Dan pada saat itu, Eyang Jaraksa juga melesat ke atas.
Laki-laki tua berjubah putih itu menghentakkan tangan kirinya ke arah dada.
Pada saat yang bersamaan, Suryadana mendorong tangan kanannya ke depan. Tak
pelak lagi, dua telapak tangan beradu keras di udara.
Blarrr...!
Begitu kerasnya benturan itu,
sehingga terjadi satu ledakan keras menggelegar yang memekakkan telinga. Semua
murid Padepokan Tongkat Putih bergegas berlompatan mundur sambil menarik tali
kekang kudanya masing-masing. Sementara terlihat Eyang Jaraksa dan Suryadana
sama-sama terpental ke belakang. Mereka melakukan putaran beberapa kali, lalu mantap
sekali mendarat kembali di tanah.
“Hiyaaat..!”
“Hap!”
Eyang Jaraksa langsung melompat
kembali menyerang si Penjagal Bukit Tengkorak itu. Gerakannya sungguh cepat
luar biasa. Tapi, Suryadana juga cepat melakukan tindakan menghindar dengan
membungkukkan tubuhnya ketika tongkat laki-laki tua itu berkelebat cepat
menyambar ke arah kepala.
Suryadana langsung menegakkan
tubuhnya kembali, dan cepat melenting ke belakang saat Eyang Jaraksa
mengebutkan tongkatnya kembali ke arah dada. Dua kali Suryadana berputaran ke
belakang. Dan tangan kanannya menyambar cangkul yang ter-geletak di tanah.
Manis sekali kakinya dijejakkan di tanah kebun yang baru saja dipaculi.
“Rupanya kau bersungguh-sungguh
hendak membunuhku, Tongkat Putih!” desis Suryadana, agak dingin nada suaranya.
“Tahan jurus 'Tongkat Seribu' ku,
Setan Jagal Keparat! Hiyaaat…!” teriak Eyang Jaraksa lantang menggelegar.
Laki-laki tua berjubah putih itu
cepat memutar tongkatnya bagaikan baling-baling. Lalu, tubuhnya meluncur deras
ke arah Suryadana. Cepat sekali tongkatnya dikebutkan beberapa kali, membuat
Suryadana jadi kelabakan menghindarinya. Si Penjagal Bukit Tengkorak itu
berlompatan sambil meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari serangan Eyang Jaraksa
yang begitu dahsyat luar biasa.
Tongkat putih itu berkelebatan
cepat mengurung tubuh Suryadana, seakan-akan ada di sekitar tubuhnya. Tongkat
itu seperti menjelma jadi seribu banyaknya. Beberapa kali tongkat itu hampir
mengenai tubuh Suryadana. Dan untungnya si Penjagal Bukit Tengkorak itu masih
mampu berkelit menghindar. Namun lewat suatu gerakan yang tidak terduga,
mendadak saja....
Bet!
Eyang Jaraksa membalikkan
tongkatnya. Dan secepat itu pula ditusukkan ke arah dada Suryadana. Gerakan
berbalik yang begitu cepat, sama sekali tidak diduga si Penjagal Bukit
Tengkorak itu. Akibatnya, dia terlambat menghindar.
Des!
“Akh...!” Suryadana terpekik
keras begitu ujung tongkat menghantam dadanya yang bidang berotot
Laki-laki bertubuh tinggi tegap
penuh otot itu terhuyung-huyung ke belakang. Dadanya didekap karena terasa
nyeri dan sesak. Untung saja bukan ujungnya yang runcing, sehingga tidak sampai
menembus dada si Penjagal Bukit Tengkorak.
“Ha ha ha...! Bersiaplah ke
neraka, Jagal Keparat! Hiyaaat..!”
Bagaikan kilat, Eyang Jaraksa
melompat sambil membalikkan tongkatnya. Dan kali ini ujung tongkat yang runcing
mengarah lurus ke dada Suryadana. Pada saat itu, si Penjagal Bukit Tengkorak
masih berusaha menguasai pernapasannya yang mendadak sesak.
“Hait..!”
Meskipun pernapasannya belum lagi
sempurna, Suryadana bergegas membanting tubuhnya ke tanah. Dan cangkul yang
berada di tangan kanan langsung dikebutkan ke arah tongkat putih itu.
Trak!
Cangkul itu seketika terbelah
jadi dua begitu membentur tongkat putih di tangan Eyang Jaraksa. Mata Suryadana
jadi terbeliak. Ternyata ujung tongkat itu terus meluruk deras ke arahnya,
tidak terpengaruh oleh benturan tadi. Maka cepat-cepat tubuhnya bergelimpangan,
sehingga hunjaman ujung tongkat yang runcing itu hanya mengenai tanah.
“Hup!”
Suryadana cepat melompat bangkit
berdiri. Sementara Eyang Jaraksa sudah kembali bersiap hendak menyerang
kembali. Cepat sekali tubuhnya melesat menyerang dengan tongkat berkelebat
cepat ke kepala si Penjagal Bukit Tengkorak
“Hiyaaat…!”
Bet!
“Uts!”
Suryadana merundukkan kepala
sedikit, tapi hatinya jadi terkejut. Ternyata tiba-tiba saja Eyang Jaraksa
sudah memutar tongkatnya, yang melayang deras ke arah kaki. Si Penjagal Bukit
Tengkorak tak sempat lagi menghindar.
Wuk!
Crasss...!
“Akh...!” Suryadana memekik
tertahan begitu ujung tongkat putih yang runcing merobek paha kanannya.
Seketika, darah mengucur deras dari luka yang cukup panjang dan dalam di paha
kanannya. Suryadana terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi paha kanannya
yang mengucurkan darah segar. Pada saat itu, Eyang Jaraksa sudah kembali
bersiap hendak menghunjamkan tongkatnya untuk mengakhiri hidup si Penjagal
Bukit Tengkorak ini.
“Mampus kau, Keparat!
Hiyaaat...!”
Tinggal sejengkal lagi ujung
tongkat putih yang runcing itu menembus dada Suryadana, tiba-tiba saja
berkelebat sebuah bayangan putih menyambar si Penjagal Bukit Tengkorak sambil
menyentakkan tongkat Eyang Jaraksa.
Tak!
“Heh...?!” Eyang Jaraksa
terperanjat.
Cepat Eyang Jaraksa melompat
mundur sambil menarik tongkatnya kembali. Laki-laki tua berjubah putih itu jadi
terlongong, karena si Penjagal Bukit Tengkorak tiba-tiba saja lenyap dari
hadapannya. Pandangannya beredar ke sekeliling, tapi tak terlihat satu bayangan
pun berkelebat.
“Setan keparat..!” geram Eyang
Jaraksa.
Matanya memandangi semua muridnya
yang juga bengong menyaksikan kejadian itu. Si Penjagal Bukit Tengkorak
benar-benar lenyap, di saat maut hampir saja merenggutnya.
“Kalian semua...! Periksa seluruh
tempat ini, dan bakar rumah itu!” perintah Eyang Jaraksa mengumbar amarahnya.
Tak ada seorang pun yang berani
membantah. Murid-murid Padepokan Tongkat Putih itu bergegas berhamburan.
Sementara dua orang berlarian menuju ke gubuk kecil yang terbuat dari bilik
bambu. Tak berapa lama kemudian, terlihat api berkobar membakar gubuk itu.
Eyang Jaraksa mendengus sambil mengumpat kesal. Dia melompat naik ke punggung
kuda, dan langsung menggebahnya. Kuda itu meringkik keras, lalu berlari cepat.
***
Eyang Jaraksa melompat turun dari
punggung kuda begitu sampai di depan rumah besar yang menjadi tempat
tinggalnya, sekaligus tempat pendidikan ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan
bagi para pemuda. Dengan ayunan kaki yang lebar, diterobosnya pintu itu untuk
masuk ke dalam. Langsung dirinya dihempaskan di atas balai-balai bambu yang
hanya beralaskan selembar tikar anyaman daun pandan.
“Satira...!” panggil Eyang
Jaraksa.
Belum juga gema teriakan itu
menghilang dari pendengaran, dari salah satu pintu muncul seorang wanita
berusia sekitar empat puluh tahun. Langkahnya tampak tergopoh-gopoh menghampiri
laki-laki tua berjubah putih itu. Senyumnya langsung terkembang, lalu duduk di
samping Eyang Jaraksa. Diambilnya sehelai saputangan, kemudian disekanya
keringat yang membanjiri leher laki-laki tua itu dengan sikap lembut sekali.
“Dari mana, Kakang? Sampai
berkeringat begini,” lembut sekali suara wanita yang dipanggil Satira ini.
“Kau tahu...? Aku hampir saja
melenyapkan pembunuh edan itu!” dengus Eyang Jaraksa, memberi tahu.
“Pembunuh edan...? Maksud Kakang,
pembunuh yang telah...,” Satira tidak meneruskan ucapannya.
“Iya.... Pembunuh edan itu
ternyata si Penjagal Bukit Tengkorak!”
Satira tertegun. Seketika
tangannya ditarik dari leher laki-laki tua itu. Dipandanginya wajah yang penuh
debu dan berkeringat itu dalam-dalam, seakan-akan ingin mencari kebenaran dari
ucapan yang didengarnya barusan.
“Kenapa...? Kau terkejut...?”
agak sinis nada suara Eyang Jaraksa.
“Rasanya tidak mungkin kalau
Kakang Suryadana melakukan itu,” ujar Satira, agak ragu-ragu nada suaranya.
“Kenapa tidak...? Kau ingat
ancamannya ketika aku mengawinimu?”
Satira tidak menjawab, namun
tentu saja tidak akan melupakannya. Di hari perkawinan dengan laki-laki tua
yang pantas menjadi ayahnya ini, Suryadana melontarkan ancaman akan memusnahkan
Padepokan Tongkat Putih sampai ke akar-akarnya. Memang, sebelum memilih
laki-laki tua ini, Satira sempat menjalin hubungan dengan Suryadana. Satira
tidak mungkin bisa menikah dengannya, karena waktu itu Suryadana masih menjadi
pelaksana hukuman penggal kepada penjahat-penjahat besar. Wanita itu tidak
ingin kehidupannya selalu diwarnai darah dan jeritan menjelang ajal dari
orang-orang yang terpenggal kepalanya oleh pedang Suryadana. Makanya, dia lebih
memilih Eyang Jaraksa yang lebih pantas menjadi ayahnya daripada suami.
“Seharusnya tadi aku bisa
membunuhnya, kalau saja tidak muncul setan edan yang membawanya kabur!” dengus
Eyang Jaraksa.
Satira menatap laki-laki tua itu.
Entah kenapa, hatinya merasa bersyukur mendengar Suryadana belum tewas dan
sempat tertolong oleh seseorang yang tidak dikenal. Hatinya memang tidak yakin
kalau semua pembunuhan gelap yang terjadi dalam beberapa hari ini di Padepokan
Tongkat Putih, adalah perbuatan Suryadana. Tapi, dia juga tidak mungkin
membelanya di depan Eyang Jaraksa.
“Siapa yang menolongnya, Kakang?”
tanya Satira ingin tahu.
“Aku tidak tahu! Gerakannya
begitu cepat. Tahu-tahu dia hilang begitu menyambar Suryadana,” sahut Eyang
Jaraksa.
“Kau tidak mengejarnya?”
“Kalau aku bisa, sudah
kulakukan!” dengus Eyang Jaraksa.
Satira jadi terdiam. Dia tahu,
laki-laki tua ini sedang diliputi kekesalan. Tepat pada saat itu terdengar
derap langkah beberapa ekor kuda di depan. Dari pintu yang terbuka lebar,
terlihat murid-murid Padepokan Tongkat Putih yang tadi ikut bersama gurunya
mulai berdatangan memasuki halaman yang cukup luas. Mereka langsung menuju
bagian samping untuk menaruh kuda. Seorang menghampiri kuda Eyang Jaraksa yang
masih berada di depan pintu, dan membawanya ke samping kanan bangunan besar
ini.
“Istirahat di dalam saja, Kakang.
Nanti kupijiti badanmu,” kata Satira lembut.
Sebentar Eyang Jaraksa menatap
wanita itu, kemudian bangkit berdiri. Satira membimbingnya melangkah masuk ke
dalam kamar. Pintu kamar itu tertutup rapat begitu mereka berada di dalam.
***
EMPAT
Di tepi sebuah sungai kecil yang
mengalir di lereng Bukit Tengkorak sebelah Timur, Suryadana duduk bersandar
pada sebatang pohon yang cukup rindang. Sehingga, tubuhnya ternaungi dari
sengatan sinar matahari. Paha kanannya sudah terbalut kain putih yang bernoda
darah, tapi sekarang tak ada lagi setetes darah pun yang keluar.
Laki-laki bertubuh tegap dan agak
kecoklatan itu menggerakkan tubuhnya ketika dari sungai seorang gadis cantik
berbaju biru muda menghampiri. Di tangannya membawa air yang ditampung oleh
tempurung kelapa. Sambil menyunggingkan senyum, gadis itu menghampiri Suryadana
dan menyerahkan tempurung kelapa berisi air jemih itu. Suryadana menerimanya
sambil melemparkan senyum, lalu meneguk air hingga habis.
“Terima kasih,” ucap Suryadana.
“Bagaimana lukamu, Paman?” tanya
gadis itu lembut
“Masih terasa nyeri,” sahut
Suryadana. “Di mana Rangga, Pandan?”
“Cari makanan,” sahut gadis
cantik berbaju biru yang ternyata memang Pandan Wangi atau si Kipas Maut.
“Hhh.... Untung saja dia cepat
datang. Kalau tidak..., kalian pasti hanya akan menemukan pusaraku,” desah
Suryadana perlahan.
“Sudahlah, Paman. Yang penting
Paman harus beristirahat dulu. Nanti kalau Kakang Rangga datang, kita bicarakan
lagi,” kata Pandan Wangi mengalihkan kegalauan hati Suryadana..
Suryadana tersenyum dan
menyerahkan tempurung kelapa yang sudah kosong pada gadis itu. Pandan Wangi
menerimanya seraya bangkit berdiri.
“Mau lagi?” tanya Pandan Wangi.
“Sudah cukup,” tolak Suryadana.
Pandan Wangi kembali duduk di
depan laki-laki setengah baya yang bertubuh masih kekar itu, meskipun rambutnya
sudah ada yang memutih. Sebentar Suryadana memejamkan matanya, kemudian
membukanya kembali. Pandangannya langsung tertuju pada seraut wajah cantik di
depannya.
“Sudah berapa lama kau kenal
Rangga, Pandan?” tanya Suryadana.
“Lama juga,” sahut Pandan Wangi.
“Dan Paman sendiri, sudah berapa lama kenal Kakang Rangga?” Pandan Wangi balik
bertanya.
“Sejak dia lahir. Aku kenal betul
ayah dan ibunya. Tapi, lama juga aku tidak pernah bertemu mereka lagi. Dan
tahu-tahu, aku menerima undangan saat penobatan Rangga sebagai raja di Karang Setra.
Aku sendiri tidak pernah membayangkan kalau Karang Setra bisa menjadi sebuah
kerajaan yang begitu makmur,” Suryadana jadi terkenang masa-masa lalunya.
“Aku dengar, Paman seorang
pejabat penting di Kadipaten Karang Setra dulu,” pancing Pandan Wangi, ingin
mengenal lebih jauh lagi laki-laki setengah baya ini.
“Bukan pejabat penting. Aku hanya
pesuruh yang harus menjalankan tugas menghukum mati penjahat-penjahat di Karang
Setra,” ujar Suryadana merendah.
“Jadi itu sebabnya, kenapa Paman
dijuluki si Penjagal Bukit Tengkorak...?”
“Benar! Apalagi, aku memang
tinggal di puncak Bukit Tengkorak. Dan di sana juga aku menjalankan tugas.
Semua terhukum yang akan menjalankan hukuman mati dibawa ke Bukit Tengkorak.
Hanya sekali-sekali saja aku turun dan datang ke Karang Setra.”
“Lalu, kenapa Paman berhenti?”
tanya Pandan Wangi ingin tahu.
“Ha ha ha...! Aku rasa kau sudah
bisa menjawabnya, Pandan. Tidak ada seorang pun yang bercita-cita ingin menjadi
penjagal kepala,” sahut Suryadana seraya tertawa bergelak.
Pandan Wangi jadi meringis,
merasa pertanyaannya tadi begitu bodoh. Memang tidak ada seorang pun yang ingin
jadi pemenggal kepala, meskipun yang dilakukan adalah tugas. Gadis itu bangkit
berdiri ketika terdengar langkah kaki kuda, disusul ringkikan yang panjang dan
keras.
Dari dalam semak, muncul seekor
kuda hitam gagah yang ditunggangi seorang pemuda tampan. Dia berbaju rompi
putih dengan gagang pedang berbentuk kepala burung menyembul dari punggungnya.
Pemuda tampan itu melompat turun dari punggung kudanya, lalu memberikan sebuah
bungkusan pada Pandan Wangi. Kemudian dihampirinya Suryadana yang menyambutnya
dengan senyuman lebar terkembang di bibir.
“Bagaimana keadaanmu, Paman?”
tanya pemuda itu.
“Tidak ada masalah. Pandan Wangi
merawatku dengan baik,” sahut Suryadana.
Sementara itu, Pandan Wangi sudah
membuka bungkusan yang dibawa pemuda berbaju rompi putih itu, yang tak lain
Rangga atau berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Bungkusan itu ternyata berisi
macam-macam makanan yang masih mengepulkan uap harum.
“Dari mana kau dapatkan makanan
ini, Kakang?” tanya Pandan Wangi.
“Dari desa. Tidak jauh dari sini,
kok,” sahut Rangga.
“Yuk makan dulu, Paman. Biar
cepat sembuh lukanya,” ajak Pandan Wangi.
“Ah! Aku tidak pernah
membayangkan akan bisa makan sama-sama Penguasa Karang Setra,” desah Suryadana.
“Tidak ada penguasa di sini,
Paman,” kata Rangga merendah.
“Bagaimanapun juga, kau tetap
seorang raja, Rangga,” tegas Suryadana seraya menerima makanan dari Pandan
Wangi.
“Tapi, kenapa Paman tidak
menyebutnya Gusti Prabu...?” timpal Pandan Wangi.
“Gusti Prabu...? Ha ha ha...!”
Suryadana jadi tertawa terbahak-bahak.
“Kenapa tertawa, Paman?” tanya
Pandan Wangi.
“Tanyakan saja pada Rangga. Kapan
aku pernah menyebut gusti pada seseorang,” sahut Suryadana sambil melirik
Rangga.
“Tidak pernah,” tegas Rangga.
“Nah, dengar itu. Meskipun
seorang penguasa mayapada, tidak bakal aku akan panggil gusti, atau apa pun
namanya.”
“Kenapa?” tanya Pandan Wangi
ingin tahu.
“Karena aku si Penjagal Bukit
Tengkorak,” sahut Suryadana. “Ha ha ha...!”
Rangga juga ikut tertawa.
Sedangkan Pandan Wangi hanya tersenyum saja. Suryadana memang mudah sekali
tertawa. Mungkin karena pekerjaannya dulu, sehingga harus selalu tertawa agak
tidak jadi gila. Karena, hampir setiap hari dia harus melihat darah mengalir
dari kepala yang dipenggalnya. Mereka terus menikmati makanan yang dibawa
Rangga sambil berbicara ringan. Sesekali tawa mereka meledak jika ada yang
membuat lelucon menggelitik.
Rangga merebahkan tubuhnya dengan
kedua tangan mengganjal kepala. Api unggun yang menyala di sampingnya, membuat
sekitar tepi sungai itu jadi terasa sedikit hangat. Tidak jauh darinya, tampak
Pandan Wangi sudah melingkar, dan mendengkur kecil. Rangga melirik Suryadana
yang juga belum memejamkan mata. Padahal, ini sudah lewat tengah malam.
“Paman! Bisa dijelaskan sekarang,
kenapa orang tua siang tadi menyerangmu?” tanya Rangga sambil memiringkan
tubuhnya, menghadap pada Suryadana.
“Aku sendiri tidak tahu. Tiba-tiba
saja dia datang bersama murid-muridnya, lalu menyerangku,” sahut Suryadana
pelan.
“Murid-muridnya...?” kening
Rangga agak berkerut.
“Dia Ketua Padepokan Tongkat
Putih. Namanya, Eyang Jaraksa. Padepokannya ada di lereng bukit sebelah
Selatan, di sebuah lembah,” jelas Suryadana.
“Ooo...,” Rangga
mengangguk-anggukkan kepala. “Lalu, kenapa dia menyerangmu?”
“Aku sendiri tidak tahu.”
“Mustahil bila seorang ketua
padepokan menyerang tanpa alasan,” Rangga tidak percaya.
“Tuduhannya yang tanpa alasan.”
“Tuduhan apa, paman?”
“Aku dituduh telah membunuh
murid-muridnya.”
“Kau lakukan itu?”
“Untuk apa...?! Sudah lebih dua
puluh tahun aku tidak pemah melihat darah lagi, kecuali darah ayam atau
kelinci. Memangnya aku sudah gila, main bunuh orang tanpa alasan...?!” agak
tinggi nada suara Suryadana.
“Aku percaya padamu, Paman,” ujar
Rangga.
“Kepercayaan tidak ada gunanya
tanpa bukti yang jelas.”
“Maksudmu...?”
“Akan kubuktikan kalau tuduhan
Eyang Jaraksa tidak benar. Aku yakin, ada orang yang menggunakan namaku untuk
menghancurkan Padepokan Tongkat Putih,” tegas Suryadana.
“Kau tahu, siapa orang ketiga
itu?” tanya Rangga.
“Terlalu banyak musuh Eyang
Jaraksa. Juga, tidak sedikit musuhku. Sukar ditentukan, siapa dalang semua
fitnah keji ini. Bisa kau bayangkan, Rangga. Pekerjaanku sebagai penjagal
kepala, tentu tidak sedikit kepala yang sudah jadi korban pedangku. Entah,
berapa banyak keluarga atau sahabat-sahabat mereka yang menaruh dendam padaku.
Hhh...! Aku merasa akan seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.”
“Barangkali kehadiranku bisa
sedikit membantu, Paman,” kata Rangga menawarkan jasa.
“Persoalanmu sendiri sudah
terlalu banyak, Rangga. Jangan melibatkan dirimu dalam persoalan ini,” dengan
halus Suryadana menolak bantuan Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga hanya mengangkat bahunya
sedikit.
Pendekar Rajawali Sakti tahu
kalau sifat Suryadana begitu keras, dan tidak pernah mau melibatkan orang lain
dalam persoalan yang sedang dihadapinya. Dia akan menyelesaikan sendiri, walau
apa pun yang harus dihadapi. Tapi Rangga tidak mungkin tinggal diam begitu
saja, melihat orang yang pernah mengabdi pada ayahnya terlibat dalam kesulitan
besar. Bahkan dapat mengancam jiwanya.
“Sudah terlalu malam. Sebaiknya
kau tidur saja, Rangga. Besok kau harus ke Desa Jati, bukan...?” ujar Suryadana
mengingatkan.
“Ya, ada urusan sedikit di sana,”
sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti kembali
menelentangkan tubuhnya. Perlahan kemudian, matanya terpejam. Namun, Rangga
sama sekali tidak bisa tidur. Benaknya terus berputar, memikirkan persoalan
yang sedang dihadapi Suryadana. Dia percaya kalau laki-laki tegap itu tidak
melakukan pembunuhan keji, seperti yang dituduhkan Eyang Jaraksa.
Sementara, Suryadana tengah
membuka balutan pada pahanya. Dia tersenyum melihat luka di pahanya sudah
mengering. Ramuan obat yang dibuat Pandan Wangi memang cukup manjur juga. Dalam
waktu kurang dari satu hari, luka yang besar itu sudah mengering. Suryadana
menggerak-gerakkan kakinya perlahan.
“Hm.... Aku rasa besok sudah bisa
berlari cepat,” gumam Suryadana dalam hati.
Matanya melirik sedikit pada
Pandan Wangi yang melingkar di samping Pendekar Rajawali Sakti. Dalam hati,
diucapkannya terima kasih pada gadis itu, yang telah merawat dan memberikan
obat pada lukanya. Untung saja hanya luka luar, sehingga tidak perlu
dikhawatirkan.
***
Rangga menggeliat bangun dari
tidur saat kehangatan sinar matahari menyorot tubuhnya. Bergegas dia bangkit,
begitu menyadari tidak ada lagi seorang pun di dekatnya. Sebentar Pendekar
Rajawali Sakti mengedarkan pandangan berkeliling. Dia bergegas melangkah begitu
matanya menangkap gerak-gerak halus di dalam semak.
“Auwh...!”
Terdengar pekikan tertahan ketika
Rangga menyibakkan semak itu. Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti melompat mundur
sambil memalingkan muka. Dari dalam semak, muncul Pandan Wangi sambil merapikan
pakaiannya. Rangga cepat memutar tubuh, karena bagian dada gadis itu masih agak
terbuka.
“Sudah mulai berani ngintip,
ya...?!” rungut Pandan Wangi.
“Maaf, aku tidak sengaja,” ucap
Rangga.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti
memutar tubuhnya berbalik. Pandan Wangi sudah rapi, bahkan sudah mengenakan
pedangnya di punggung. Perlahan Rangga menghampiri gadis itu.
“Ke mana Paman Suryadana?” tanya
Rangga yang sejak bangun tadi tidak melihat si Penjagal Bukit Tengkorak.
“Aku tidak tahu,” sahut Pandan
Wangi.
“Tidak tahu...? Kau kan bangun
lebih dulu...?”
“Aku bangun, Paman Suryadana
sudah tidak ada.”
Rangga jadi teringat
pembicaraannya semalam dengan si Penjagal Bukit Tengkorak itu. Bergegas
dihampiri kudanya, lalu melompat naik. Pendekar Rajawali Sakti menatap Pandan
Wangi yang masih saja berdiri memandangnya.
“Cepat naik...!” perintah Rangga.
“Mau ke mana?” tanya Pandan Wangi
seraya melangkah menghampiri kudanya.
Gadis itu melompat naik ke
punggung kuda putih yang tinggi dan tegap. Gerakannya ringan dan indah sekali.
Sementara itu Rangga sudah menyentakkan tali kekang kudanya. Pandan Wangi
bergegas mengikuti dan mensejajarkan langkah kaki kudanya di samping Pendekar
Rajawali Sakti. Mereka mengendalikan kudanya agar tetap berjalan
perlahan-lahan.
“Tidak menunggu Paman Suryadana
kembali dulu?” ujar Pandan Wangi.
Rangga tidak menyahuti. Benaknya
tengah sibuk mengira-ngira, ke mana perginya si Penjagal Bukit Tengkorak itu.
Dia menelaah setiap cerita yang dikemukakan si Penjagal Bukit Tengkorak
semalam. Rangga teringat, Suryadana mengatakan sebuah nama yang tinggalnya di
Padepokan Tongkat Putih, di sebuah lembah di lereng Bukit Tengkorak ini.
Tapi Pendekar Rajawali Sakti jadi
ragu-ragu. Rasanya terlalu berani kalau si Penjagal Bukit Tengkorak mendatangi
Eyang Jaraksa di padepokannya. Sementara Pandan Wangi yang berkuda di samping
Pendekar Rajawali Sakti hanya diam saja. Gadis itu tidak tahu kalau pikiran
pemuda berbaju rompi putih ini sedang berputar keras, mencari jawaban dari
kepergian Suryadana yang tanpa pamit tadi.
“Berhenti dulu, Pandan...,” desis
Rangga tiba-tiba.
Pandan Wangi menghentikan langkah
kaki kudanya, begitu Rangga juga menghentikan kudanya. Gadis itu menatap wajah
Rangga, saat telinganya mendengar denting senjata beradu, disertai teriakanteriakan
keras saling sambut
“Kau dengar suara itu, Pandan?”
tanya Rangga.
“Ya! Seperti suara pertarungan,”
sahut Pandan Wangi.
Seketika Rangga cepat melesat
dari punggung kudanya. Begitu kakinya menjejak tanah, dia langsung berlari
cepat meninggalkan kudanya dan Pandan Wangi. Begitu sempurna ilmu meringankan
tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti. Tak heran bila dalam sekejapan
mata saja sudah lenyap tak terlihat lagi. Pandan Wangi mengambil tali kekang
kuda Pendekar Rajawali Sakti, lalu menuntunnya menuju ke arah suara pertempuran
itu.
Sementara Rangga terus berlari
cepat, dan baru berhenti setelah sampai di daerah yang berbatu. Pendekar
Rajawali Sakti itu melompat naik ke atas sebongkah batu yang tinggi. Tampaklah,
di bawah sana dua orang tengah bertarung sengit. Tidak jauh dari pertarungan
itu, terlihat dua orang gadis cantik tengah memperhatikan.
“Paman Suryadana...,” desis
Rangga begitu mengenali salah seorang yang bertarung.
Sedangkan lawannya adalah seorang
pemuda berwajah cukup tampan. Bentuk tubuhnya tegap dan berotot. Senjatanya
adalah sebatang tongkat berwarna putih sepanjang lengan. Melihat tongkat yang
dipergunakan itu, Rangga menduga kalau pemuda yang bertarung dengan Suryadana
adalah salah seorang dari Padepokan Tongkat Putih.
“Berhenti...!” seru Rangga keras
menggelegar.
Teriakan Rangga yang disertai
pengerahan tenaga dalam sempurna itu mengejutkan sekali. Akibatnya pertarungan
itu seketika berhenti. Dan dua gadis yang sedang memperhatikan jalannya
pertarungan tadi, langsung berpaling ke arah datangnya bentakan tadi.
“Hup...!”
Bagaikan kilat. Rangga melompat
dari atas batu yang dipijaknya. Sungguh cepat dan ringan gerakan Pendekar
Rajawali Sakti. Tiga kali dia berputaran di udara, lalu mendarat manis sekali
di tengah-tengah antara Suryadana dan pemuda bertongkat putih.
“Rangga...!” desis Suryadana
begitu melihat Rangga tahu-tahu sudah berada di depannya.
“Kisanak! Siapa kau...?!” tanya
pemuda bertongkat putih yang tak lain adalah Jarwa, keras.
“Aku Rangga,” sahut Rangga
memperkenalkan diri. “Dan siapa Kisanak ini, serta dua gadis itu?” Rangga balik
bertanya.
“Aku Jarwa. Mereka adalah Purmita
dan Arini,” Jarwa juga memperkenalkan dirinya serta dua gadis yang berada tidak
jauh darinya.
“Rangga, mereka dari Padepokan
Tongkat Putih. Kedua gadis itu adalah putri-putri Eyang Jaraksa,” selak
Suryadana memberi tahu.
“Hm...,” Rangga menggumam
perlahan. Dugaannya benar, mereka memang dari Padepokan Tongkat Putih.
“Kisanak, apakah kau teman si
Penjagal Bukit Tengkorak itu?” tanya Jarwa seraya menatap tajam Pendekar
Rajawali Sakti.
“Benar,” sahut Rangga.
“Sebaiknya kau menyingkir, agar
tidak tersangkut dalam persoalan ini,” tegas Jarwa.
“Kalau boleh tahu, ada
perselisihan apa antara Padepokan Tongkat Putih dengan Penjagal Bukit
Tengkorak?” Rangga bertanya, meminta penjelasan.
“Ini menyangkut persoalan nyawa,
Kisanak.
Penjagal Bukit Tengkorak telah
membunuh murid-murid Padepokan Tongkat Putih secara kejam dan pengecut!” Jarwa
menuding Suryadana.
“Kau punya bukti atas tuduhanmu
itu?” agak ditekan nada suara Rangga.
“Purmita! Apa yang kau dengar
dari Gandik sebelum tewas?” seru Jarwa seraya berpaling menatap Purmita yang
berdiri di sebelah kanan adiknya.
“Dia menyebut pembunuh itu
berjuluk Penjagal Bukit Tengkorak,” sahut Purmita.
“Kau dengar itu, Kisanak...?
Sebaiknya cepat menyingkir, agar aku bisa lebih cepat melenyapkan iblis itu!”
dengus Jarwa.
Setelah berkata demikian, Jarwa
langsung menyilangkan tongkat di depan dada, bersiap hendak melakukan
penyerangan kembali. Kakinya bergerak menggeser beberapa tindak ke samping.
Tatapan matanya begitu tajam, tertuju lurus pada si Penjagal Bukit Tengkorak.
“Tunggu...!” sentak Rangga
cepat-cepat
“Tidak ada lagi yang perlu
dibicarakan, Kisanak!” dengus Jarwa.
“Kau salah besar jika menyangka
si Penjagal Bukit Tengkorak adalah yang membunuh teman-temanmu. Aku berani
memastikan kalau bukan dia yang melakukan pembunuhan itu,” tegas Rangga
“Jangan dengarkan, Kakang! Biar
aku yang menghadapinya kalau mau terus ikut campur!” selak Arini lantang.
Rangga melirik gadis cantik
berbaju merah muda itu. Sedangkan Arini sudah melompat mendekati Jarwa. Gadis
itu langsung mencabut pedangnya. Meskipun tatapan matanya tajam, tapi bibir
gadis itu terukir senyuman tipis, dan hampir tidak terlihat
“Kau begitu gigih membela dia.
Jangan-jangan, kau sendiri pembunuhnya,” ujar Arini, sinis.
Rangga hanya tersenyum saja
mendengar tuduhan yang sembarangan itu. Matanya sedikit melirik Purmita yang
masih berada di tempatnya. Rangga menyadari, memang tidak mudah membelokkan
keyakinan seseorang. Terlebih lagi, hal ini menyangkut banyak nyawa yang sudah
melayang.
“Rangga, menyingkirlah. Mereka
sudah buta. Percuma saja kau bicara banyak dengan cacing-cacing ini,” ujar
Suryadana.
“Apa kau bilang...?!” Arini
mendelik berang dikatakan cacing. “Kau ulat busuk yang harus mampus!”
“Ini hanya kesalahpahaman saja,
Paman. Harus diselesaikan sebelum terjadi penyesalan di belakang hari,” tegas
Rangga, tetap tenang dan lembut suaranya.
“Hik hik hik...!”
Tiba-tiba saja terdengar suara
tawa kering terkikik yang menggema. Semua yang tengah bersitegang itu terkejut.
Dan sebelum hilang keterkejutan mereka, tiba-tiba saja berkelebat sebuah
bayangan hitam. Tahu-tahu di antara mereka sudah berdiri seorang perempuan tua
berjubah hitam. Tubuhnya agak membungkuk, dan berdirinya disangga oleh sebatang
tongkat.
“Kau lagi...,” desis Arini
langsung mengenali perempuan tua berjubah hitam itu.
“Dewi Jubah Hitam...,” desis
Suryadana juga mengenali perempuan tua itu.
“Hik hik hik.... Suryadana,
mengapa kau berurusan dengan bocah-bocah nakal ini?” terdengar kering suara
perempuan tua yang dikenal Suryadana berjuluk Dewi Jubah Hitam.
“Apa keperluanmu, hingga datang
ke Bukit Tengkorak ini?” Suryadana malah balik bertanya. Nada suaranya agak
ketus, seakan-akan tidak menyukai kehadiran perempuan tua berjubah hitam itu.
“Aku datang justru ingin bertemu
denganmu, Penjagal Bukit Tengkorak. Tapi, rupanya kau juga punya urusan dengan
bocah-bocah nakal dari Padepokan Tongkat Putih. Apa kau pernah memenggal kepala
teman-teman mereka, Suryadana?” agak sinis nada suara perempuan tua berjubah
hitam itu.
“Itu bukan urusanmu!” bentak
Suryadana tidak senang.
“Memang bukan urusanku, karena
kita punya urusan sendiri, Suryadana.”
Suryadana mendesis dingin.
Sementara Rangga hanya memperhatikan saja dengan kening berkerut. Dia menduga
kalau persoalan ini akan semakin rumit. Satu masalah belum juga selesai, muncul
lagi masalah lain. Kedatangan perempuan tua yang dikenal berjuluk Dewi Jubah
Hitam ini tentu membawa persoalan lain untuk si Penjagal Bukit Tengkorak.
“Persoalan apa lagi yang dibawa
perempuan tua ini...?” keluh Rangga dalam hati.
***
LIMA
Rangga menggeser kakinya
mendekati si Penjagal Bukit Tengkorak. Ada rasa iba di hatinya melihat keadaan
laki-laki bertubuh tegap itu. Kelihatannya, dia terjepit sekali. Tiga anak muda
dari Padepokan Tongkat Putih telah menuduhnya membunuh beberapa orang teman
mereka. Dan persoalan itu belum juga selesai, muncul seorang perempuan tua
berjubah hitam yang membawa persoalan bani lagi.
Meskipun tidak tahu persoalan apa
yang dibawa si Dewi Jubah Hitam itu, tapi Rangga sudah bisa menebak kalau
urusannya tentu menyangkut nyawa juga. Pendekar Rajawali Sakti teringat
pembicaraannya dengan Suryadana semalam. Si Penjagal Bukit Tengkorak itu
mengakui kalau dalam hidupnya selalu dikelilingi orang-orang yang hendak
membalas dendam. Pekerjaannya sebagai penjaga kepala orang-orang hukuman, sudah
barang tentu akan me-nimbulkan kebencian dan dendam bagi keluarga, maupun
sahabat terhukum. Dan Rangga sudah menduga kalau urusan yang dibawa si Dewi
Jubah Hitam tentu ada hubungannya dengan pekerjaan Suryadana di masa lalu itu.
“Tampaknya, tidak menguntungkan,
Paman,” bisik Rangga. “Sebaiknya, kau cepat pergi. Biar mereka yang akan
mengejarmu kuhadang.”
“Aku bukan pengecut, Rangga,”
tolak Suryadana tegas.
“Kau memang harus membuktikan
kalau tidak bersalah. Tapi, bukan dengan cara seperti ini, Paman,” kata Rangga
lagi.
“Mereka sudah menjual, Rangga.
Dan aku tidak bisa menolak untuk membelinya. Lagi pula, si Dewi Jubah Hitam
punya urusan lain. Maaf, aku tidak bisa pergi dan dianggap pengecut.”
“Ada urusan apa antara kau dengan
perempuan tua itu?” tanya Rangga.
“Adiknya seorang perampok,
pembunuh dan pemerkosa yang dijatuhi hukuman mati. Dan akulah pelaksana hukuman
itu. Sudah dua kali dia mencoba membalas kematian adiknya padaku. Dan aku tahu,
dia tidak akan puas sebelum melihat darahku mengalir,” dengan singkat Suryadana
menjelaskan.
Sementara Suryadana sudah
bergerak ke samping menjauhi Pendekar Rajawali Sakti. Gerakan si Penjagal Bukit
Tengkorak itu diikuti Dewi Jubah Hitam. Mereka lalu berdiri saling berhadapan
dengan jarak sekitar dua batang tombak.
“Mau apa mereka?” tanya Arini
berbisik pada Jarwa.
“Aku tidak tahu,” sahut Jarwa
seraya mengangkat pundaknya.
Sementara Suryadana dan Dewi
Jubah Hitam sudah bersiap bertarung, Rangga memperhatikan sikap tiga orang dari
Padepokan Tongkat Putih. Pendekar Rajawali Sakti berjaga-jaga agar ketiga orang
itu tidak ikut campur. Pada saat itu, Pandan Wangi datang. Langsung
dihampirinya Rangga begitu turun dari punggung kudanya.
“Ada apa, Kakang?” tanya Pandan
Wangi.
“Nanti akan kujelaskan,” sahut
Rangga.
Sebentar Pandan Wangi
memperhatikan Suryadana dan Dewi Jubah Hitam yang sudah membuka kembangan
jurus, kemudian melirik Jarwa, Arini, dan Purmita yang juga tengah
memperhatikan dua orang itu. Sementara Rangga terus mengawasi tiga orang dari
Padepokan Tongkat Putih ini.
“Hiyaaat!”
“Yeaaah...!”
Pertarungan antara Suryadana dan
Dewi Jubah Hitam tidak dapat dihindari lagi. Mereka langsung mengerahkan
jurus-jurus tingkat tinggi yang dahsyat Jarwa yang tadi sempat bertarung dengan
si Penjagal Bukit Tengkorak, sempat terhenyak menyaksikan pertarungan tingkat
tinggi yang begitu dahsyat dan mengagumkan.
Jarwa cepat menyadari kalau dalam
pertarungan dengannya tadi, si Penjagal Bukit Tengkorak itu tidak
bersungguh-sungguh mengerahkan semua kemampuannya. Walaupun demikian, sangat
sukar bagi Jarwa untuk memasukkan serangannya. Bahkan sedikit pun tidak dapat
mendesak. Kini seakan-akan mata murid Padepokan Tongkat Putih itu baru terbuka,
kalau lawan yang tadi dihadapi bukanlah tandingannya.
Sementara pertarungan itu terus
berlangsung, diam-diam Jarwa mendekati Rangga yang sejak tadi memang
memperhatikannya. Jarwa berdiri sekitar dua langkah lagi di samping Rangga.
Sedangkan Arini dan Purmita hanya melirik sedikit. Kedua gadis itu kembali
memusatkan perhatian ke arah pertarungan antara Suryadana dan Dewi Jubah Hitam.
“Sudah lama kau kenal si Penjagal
Bukit Tengkorak?” tanya Jarwa, agak berbisik suaranya.
“Lama juga,” sahut Rangga seraya
melirik sedikit pemuda di sampingnya ini.
“Aku rasa, mungkin kau benar.
Kami telah salah menuduh,” kata Jarwa tanpa malu-malu lagi.
Rangga jadi berkerut keningnya.
Wajahnya berpaling, menatap pemuda murid Padepokan Tongkat Putih itu
dalam-dalam. Seakan-akan dia ingin mencari kepastian dari ucapan Jarwa barusan.
Sedangkan Jarwa mengarahkan pandangan pada pertarungan. Pemuda itu seakan-akan
tidak mempedulikan pandangan Rangga yang bernada menyelidik kebenaran dari
ucapannya tadi.
“Menurutmu, siapa pelaku
pembunuhan di Padepokan Tongkat Putih yang sebenarnya, Kisanak?” tanya Jarwa
tanpa berpaling sedikit pun.
“Rangga! Panggil saja aku
Rangga,” Rangga menyebutkan namanya tanpa menjawab pertanyaan tadi.
“Hm.... Kau tahu, siapa pelaku
pembunuhan itu, Rangga?” Jarwa mengulangi pertanyaannya yang belum terjawab
tadi.
“Sulit dipastikan,” sahut Rangga.
“Sewaktu aku meninggalkan
padepokan, sudah lima orang yang tewas secara gelap. Dan baru tadi kudengar
kabar, ada tiga lagi yang tewas. Satu orang sempat memberi tahu padaku kalau
pelakunya si Penjagal Bukit Tengkorak. Purmita-lah yang memberi tahu. Dia
sengaja meninggalkan padepokan untuk memberi tahu hal itu padaku,” jelas Jarwa
tanpa diminta. “Dan kebetulan, waktu kami akan kembali ke padepokan, bertemu si
Penjagal Bukit Tengkorak. Dia juga akan ke sana, makanya aku mencoba mencegah
dan terjadilah pertarungan tadi.”
“Kau percaya kalau si Penjagal
Bukit Tengkorak yang melakukan?” tanya Rangga agak menyelidik.
Jarwa tidak menjawab.
Kelihatannya pemuda itu ragu-ragu untuk menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali
Sakti tadi. Kembali matanya beralih ke arah pertarungan yang berlangsung
semakin sengit. Entah sudah berapa jurus, tapi tampaknya masih akan terus
berlangsung lama. Belum ada tanda-tanda akan berakhir. Masing-masing kelihatan
masih tetap tangguh, dan belum ada yang mampu mendesak.
Rangga mencolek sedikit lengan
Pandan Wangi. Dan gadis itu berpaling menatapnya. Pendekar Rajawali Sakti
menarik tangan Pandan Wangi agar lebih mendekat dengannya. Gadis itu menuruti
saja tanpa membantah.
“Kau tetap di sini. Kalau terjadi
sesuatu pada Paman Suryadana, cepat bantu,” kata Rangga berbisik.
“Kau akan ke mana?” tanya Pandan
Wangi langsung tanggap.
“Aku akan pergi bersama pemuda
ini,” sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti
menghampiri Jarwa lagi, sebelum Pandan Wangi bisa bersuara lagi. Jarwa sedikit
melirik pada pemuda berbaju rompi putih itu.
“Antarkan aku ke padepokanmu,”
pinta Rangga.
“Untuk apa ke sana?” tanya Jarwa
heran.
“Katakan saja pada kedua gadis
itu. Kalau bisa, jaga jangan sampai si Penjagal Bukit Tengkorak mendapat
celaka,” ujar Rangga bersungguh-sungguh.
Sebentar Jarwa memandangi
Pendekar Rajawali Sakti, kemudian bergegas menghampiri Arini dan Purmita. Murid
Padepokan Tongkat Putih itu bicara sebentar dengan kedua gadis cantik itu,
kemudian kembali menghampiri Rangga sambil menuntun kudanya. Sedangkan Rangga
kembali mendekati Pandan Wangi.
“Berhati-hatilah, Pandan. Jangan
bertindak ceroboh,” pesan Rangga.
“Jangan khawatir. Kalau perlu,
aku bisa mengatasi perempuan tua itu,” sahut Pandan Wangi.
Rangga cepat melompat ke punggung
kudanya. Sedangkan Jarwa sudah sejak tadi berada di punggung kudanya sendiri.
Tak berapa lama kemudian, kedua pemuda itu sudah memacu cepat kudanya menuju
Padepokan Tongkat Putih.
Cepat sekali mereka memacu
kudanya. Dalam waktu tidak berapa lama saja, mereka sudah begitu jauh dan
lenyap ditelan lebatnya pepohonan. Sementara pertarungan antara Suryadana dan
Dewi Jubah Hitam masih berlangsung sengit Meskipun hanya dengan bertangan
kosong saja, Suryadana kelihatan mampu mengimbangi permainan tongkat perempuan
tua berjubah hitam itu.
“Hup! Yeaaah...!”
Sambil berteriak keras
menggelegar, tiba-tiba saja Dewi Jubah Hitam melompat ke udara sambil
berputaran dua kali. Lalu cepat sekali tubuhnya meluruk deras, dan tongkatnya
berkelebat cepat mengincar kepala si Penjagal Bukit Tengkorak itu.
“Hap!”
Cepat sekali si Penjagal Bukit
Tengkorak mengegoskan kepalanya, menghindari tebasan ujung tongkat yang runcing
itu. Dan secepat kilat, dia melesat ke udara. Langsung dilepaskannya satu pukulan
keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, tepat ke arah dada Dewi Jubah
Hitam.
“Hiyaaa...!”
Pada saat yang sama, Dewi Jubah
Hitam juga menghentakkan tangan kirinya. Langsung disambutnya pukulan tangan
kanan Suryadana. Tak dapat dihindari lagi, dua pukulan bertenaga dalam tinggi
beradu keras sekali di udara, sehingga menimbulkan ledakan menggelegar
memekakkan telinga.
Dua orang yang bertarung itu
berpentalan satu sama lain ke belakang. Mereka berputaran di udara beberapa
kali, lalu sama-sama mendarat kokoh di tanah. Tapi Dewi Jubah Hitam kelihatan
agak terhuyung sedikit. Dari sudut bibirnya mengalir darah kental. Tongkatnya
kontan dihentakkan ke tanah, tepat di ujung jari kakinya.
“Kau memperoleh kemajuan yang
sangat pesat Dewi Jubah Hitam,” puji Suryadana tulus.
“Phuih!” Dewi Jubah Hitam
menyemburkan ludahnya yang telah bercampur darah.
Perempuan tua berjubah hitam itu
menyadari kalau sudah menderita luka dalam akibat benturan kekuatan tenaga
dalam tadi. Dan dia melihat si Penjagal Bukit Tengkorak itu sama sekali tidak
mengalami pengaruh apa-apa.
Bet!
Dewi Jubah Hitam kembali
mengebutkan tongkatnya. Dan sambil berteriak nyaring melengking tinggi, dia
melompat cepat sambil menghunjamkan ujung runcing tongkatnya ke dada Suryadana.
“Hait!”
Sedikit saja Suryadana
mengegoskan tubuhnya ke kiri, maka tongkat itu lewat di depan dada. Lalu tangan
kirinya cepat dikibaskan, menyodok ke arah lambung. Begitu cepatnya kibasan
itu, sehingga Dewi Jubah Hitam tidak sempat lagi menghindar.
Des!
“Hugkh...!” Dewi Jubah Hitam
mengeluh pendek Perempuan tua itu terhuyung-huyung ke belakang dengan tubuh
agak membungkuk. Pada saat itu, Suryadana melontarkan satu pukulan keras
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu keras dan cepatnya pukulan itu,
hingga tepat mendarat di wajah Dewi Jubah Hitam.
“Hiyaaa...!”
Prak!
“Aaakh...!” Dewi Jubah Hitam
menjerit melengking panjang. Kepalanya terdongak ke atas, dan tubuhnya berputar
beberapa kali. Kemudian, dia ambruk menggelepar di tanah sambil meraung
menutupi muka dengan kedua tangannya. Dari sela-sela jari tangannya, mengalir
darah segar yang cukup deras. Agak lama juga Dewi Jubah Hitam menggelepar di
tanah, lalu kembali melesat bangkit berdiri. Darah terus mengucur dari wajahnya
yang retak akibat pukulan bertenaga dalam tinggi dari si Penjagal Bukit
Tengkorak.
Sukar dikenali lagi wajah
perempuan tua itu, karena terlalu banyak darah yang mengucur di wajahnya.
Dengan ujung jari kakinya, wanita tua itu menjentikkan tongkatnya yang
tergeletak di tanah, lalu dengan cepat menangkap tongkat itu. Secepat
tongkatnya ditangkap, secepat itu pula meluruk deras menyerang Suryadana lagi.
“Hiyaaat..!”
“Hih! Yeaaah...!”
Kembali Suryadana memiringkan
tubuhnya, dan cepat sekali menghentakkan tangan kanannya. Kontan dilepaskannya
satu pukulan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Tidak
sampai di situ saja serangan Suryadana. Seketika, dilepaskannya satu tendangan
keras ke arah dada perempuan tua berjubah hitam itu.
“Aaa...!” Dewi Jubah Hitam
menjerit keras melengking tinggi.
Satu pukulan dan tendangan yang
dilepaskan Suryadana, tepat menghantam dada wanita tua itu. Akibatnya Dewi
Jubah Hitam terpental deras sejauh tiga batang tombak. Sebongkah batu yang
cukup besar, menghentikan luncuran tubuhnya. Sebentar dia menggeliat, lalu
mengejang kaku dan tak bergerak-gerak lagi. Suryadana menarik napas panjang
seraya memandangi tubuh Dewi Jubah Hitam yang sudah tidak bernyawa lagi.
Penjagal Bukit Tengkorak itu
memutar tubuhnya, langsung menatap Arini dan Purmita. Kedua gadis itu tampak
gentar melihat kedigdayaan Suryadana. Terlebih lagi Arini, yang sudah pernah
bertarung melawan Dewi Jubah Hitam. Saat itu Pandan Wangi bergegas menghampiri
Suryadana.
“Kau tidak apa-apa, Paman?” tanya
Pandan Wangi.
“Tidak,” sahut Suryadana. “Mana
Rangga...?”
“Pergi, bersama teman kedua gadis
itu,” sahut Pandan Wangi.
“Ayo kita susul, Pandan,” ajak
Suryadana. Baru saja si Penjagal Bukit Tengkorak itu hendak melompat ke
punggung kudanya, mendadak saja Arini berteriak lantang mencegah.
“Tunggu...!”
Suryadana tidak jadi melompat
naik ke punggung kudanya. Langsung ditatapnya gadis cantik berbaju merah muda
itu. Sementara Arini sudah melangkah beberapa tindak ke depan. Tangannya
menggenggam erat gagang pedang yang masih tergantung di dalam warangkanya di
pinggang. Tatapan mata gadis itu demikian tajam, meskipun di hatinya terselip
rasa gentar.
“Apa yang kau inginkan lagi? Kau
tahu kalau bukan aku yang membunuh murid-murid ayahmu!” agak bernada kesal
suara Suryadana.
“Apa jaminan dan buktinya kau
tidak bersalah?” tanya Arini tegas.
Suryadana melirik Pandan Wangi
sedikit. Dan gadis itu bisa mengerti arti lirikan si Penjagal Bukit Tengkorak
ini.
“Aku jaminannya, dan kau akan
memperoleh bukti,” tegas Pandan Wangi mantap.
Arini menatap penuh selidik pada
si Kipas Maut itu. Bibirnya langsung dicibirkan sedikit.
“Apa hubunganmu dengannya?” tanya
Arini.
“Hanya teman,” sahut Pandan Wangi
mulai tidak menyukai sikap gadis ini yang kelihatannya begitu angkuh.
“Hanya teman...?” terasa sinis
nada suara Arini.
“Apa maksudmu, Nisanak...?”
sentak Pandan Wangi.
Arini hanya mencibir saja.
Meskipun sudah berusia setengah baya, tapi Suryadana masih kelihatan gagah.
Ketampanan wajahnya masih tersisa. Tubuhnya juga tegap, meskipun agak
kecoklatan, karena sering berpanas-panas di bawah teriknya sinar matahari.
Tanpa dijelaskan pun, Pandan Wangi sudah bisa mengerti sikap dan tatapan mata
Arini. Dan ini semakin membuatnya muak. Tapi Pandan Wangi mencoba untuk tetap
bersabar. Dia ingat pesan Rangga untuk tidak bertindak apa-apa pada kedua gadis
ini.
“Sudah! Jangan dilayani, Pandan.
Ayo, kita cepat menyusul Rangga,” ujar Suryadana yang sudah memahami watak
Arini.
Suryadana cepat melompat naik ke
punggung kudanya. Pandan Wangi bergegas mengikuti. Mereka cepat menggebah
kudanya meninggalkan tempat itu. Arini berteriak-teriak kesal, karena tidak
dipedulikan sama sekali. Maka, gadis itu segera memungut sebuah batu. Hampir
saja batu itu dilemparkan ke arah Pandan Wangi. Untung saja Purmita cepat
menangkap tangan Arini yang sudah terangkat naik.
“Jangan bodoh, Arini! Biarkan mereka
pergi,” sentak Purmita.
“Huh!” Arini mendengus kesal.
Gadis itu menurunkan tangannya,
dan melemparkan batu itu disertai rasa kesal sambil mendengus. Dipandanginya
Pandan Wangi dan Suryadana yang sudah jauh meninggalkan tempat ini. Kemudian
tubuhnya berputar, dan melangkah menghampiri kudanya. Sementara Purmita hanya
memandangi adiknya. Dia cepat melesat begitu Arini naik ke atas punggung
kudanya. Purmita kini sudah duduk di punggung kudanya sendiri.
“Hiya!”
“Hiyaaa...!”
Kedua gadis putri Eyang Jaraksa
itu menggebah cepat kudanya. Mereka langsung menuju ke Padepokan Tongkat Putih.
Cepat sekali mereka memacu kudanya, sehingga sebentar saja sudah jauh
meninggalkan daerah berbatu itu. Tak ada sorang pun yang menyadari kalau di
suatu tempat tersembunyi, sepasang mata selalu memperhatikan sejak tadi.
Bersamaan dengan menghilangnya kedua gadis dari Padepokan Tongkat Putih itu ke
dalam hutan, berkelebat sebuah bayangan biru gelap dari sebongkah batu yang
cukup besar.
Tahu-tahu di dekat mayat Dewi
Jubah Hitam, sudah berdiri seseorang yang mengenakan baju biru gelap panjang.
Seluruh kepalanya terselubung kain biru, dengan dua lubang kecil pada bagian
matanya. Dipandanginya mayat Dewi Jubah Hitam sebentar, lalu berpaling ke arah
Padepokan Tongkat Putih yang berada di balik hutan di depannya.
“Rangga.... Hhh! Kau tidak akan
bisa merubah keyakinan tua bangka itu dalam menuduh si Penjagal Bukit
Tengkorak. Aku tahu siapa kau, Rangga...,” desis orang berbaju biru gelap itu
dingin.
Mendadak saja sosok tubuh itu
melesat cepat. Dan sekejapan mata saja sudah lenyap bagai tertelan bumi. Daerah
berbatu itu jadi sunyi. Yang tinggal kini hanya mayat Dewi Jubah Hitam yang
terbujur kaku.
***
ENAM
Saat itu Rangga dan Jarwa sudah
sampai di Padepokan Tongkat Putih. Rangga sendiri tidak menyangka kalau
laki-laki tua berjubah putih yang dikenal dengan nama Eyang Jaraksa, mengenali
dirinya sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan Ketua Padepokan Tongkat Putih
itu menyambutnya dengan hangat. Padahal Jarwa telah membisikinya, kalau kedatangan
pemuda berbaju rompi putih itu saat dirinya tengah bertarung melawan si
Penjagal Bukit Tengkorak.
Eyang Jaraksa meminta
ditinggalkan berdua saja bersama Rangga di ruangan depan bangunan besar
padepokan ini. Tak ada seorang pun di sana, kecuali Eyang Jaraksa dan Pendekar
Rajawali Sakti sendiri. Bahkan Jarwa juga sudah lenyap entah ke mana.
“Maaf, mungkin kedatanganku ke
sini tidak tepat pada waktunya,” ucap Rangga sopan.
“Ah, tidak.... Aku senang
padepokan kecil ini dikunjungi seorang pendekar besar dan digdaya sepertimu,
Pendekar Rajawali Sakti,” sambut Eyang Jaraksa.
“Aku sudah sering mendengar
tentang Padepokan Tongkat Putih yang dipimpin orang bijaksana dan patut menjadi
teladan bagi semua orang,” puji Rangga.
Eyang Jaraksa hanya tersenyum
tipis, meskipun hatinya seperti tersentil atas ucapan Pendekar Rajawali Sakti
barusan. Bisa dibaca arah pembicaraan pemuda berbaju rompi putih itu. Memang
diakui, tindakannya menyerbu si Penjagal Bukit Tengkorak kurang bijaksana. Saat
itu dia terlalu menuruti kata hati dan amarah. Mungkin karena tidak tahan lagi
melihat murid-muridnya tewas setiap hari, tanpa diketahui siapa pelakunya.
“Rasanya tidak pantas aku
menerima pujianmu, Pendekar Rajawali Sakti,” sergah Eyang Jaraksa agak tersipu.
“Ini bukan pujian kosong, Eyang
Jaraksa. Sudah banyak padepokan yang kau pimpin melahirkan pemuda tangguh.
Bahkan tidak sedikit yang mengabdikan diri untuk memperkuat barisan pertahanan
di Karang Setra. Maaf, kedatanganku ini bukan karena aku raja si Karang Karang
Setra. Tapi atas nama dunia kependekaran dan diriku pribadi,” ujar Rangga.
“Maaf, cara penyambutanku kurang
baik,” ucap Eyang Jaraksa.
Laki-laki tua ini memang sudah
tahu kalau pemuda yang duduk di depannya ini adalah Raja Karang Setra. Dan
Bukit Tengkorak ini masih termasuk wilayah Kerajaan Karang Setra. Hanya saja,
Rangga belum mengenal betul tentang padepokan ini, juga pemimpinnya yang sudah
berusia lanjut. Rangga memang sengaja mengelilingi seluruh wilayah Karang
Setra, untuk mengenal lebih dekat tentang wilayah kerajaannya.
Padepokan Tongkat Putih ini bukan
padepokan pertama yang disinggahi Pendekar Rajawali Sakti. Sudah banyak
padepokan yang dikunjunginya, baik yang terkenal maupun yang belum dikenal.
Tapi pada umumnya, pemimpin padepokan di seluruh wilayah Kerajaan Karang Setra,
sudah mengenal Pendekar Rajawali Sakti. Entah tahu dari mana, dan Rangga tidak
pernah mempersoalkannya. Seperti halnya Padepokan Tongkat Putih ini, yang tidak
diketahui sebelumnya. Eyang Jaraksa sudah mengenal dirinya.
“Aku senang atas penyambutanmu
ini, Eyang Jaraksa. Meskipun kau telah tahu siapa diriku, tapi tidak kau
tunjukkan di depan murid-muridmu. Sungguh kuhargai sikapmu. Dan aku menaruh
hormat atas kebijaksanaanmu yang juga telah menghormatiku sebagai sesama kaum
pendekar,” kata Rangga, lagi-lagi memuji laki-laki tua ini.
Dan itu membuat Eyang Jaraksa
semakin tersipu. Laki-laki tua itu tahu arah pembicaraan Pendekar Rajawali
Sakti ini. Jelas, itu ditujukan atas tindakannya yang menyerang si Penjagal
Bukit Tengkorak. Tindakan yang sebenarnya sangat ceroboh, karena tidak
diselidiki terlebih dahulu kebenarannya. Ada rasa malu menyelinap dalam
hatinya. Karena dia yang sudah berumur dan jauh lebih tua daripada Pendekar
Rajawali Sakti, masih juga tidak dapat mengendalikan diri. Bahkan tak mampu
bertindak bijaksana. Itu bisa menimbulkan citra buruk di depan murid-muridnya
sendiri. Bahkan tidak mungkin, dunia luar akan mencemoohnya kalau hal ini
sampai tersebar luas.
“Aku memang ceroboh, Pendekar
Rajawali Sakti. Aku akan meminta maaf pada si Penjagal Bukit Tengkorak, tapi
itu kalau terbukti tidak bersalah,” tegas Eyang Jaraksa langsung pada pokok
persoalannya.
Laki-laki tua itu tidak ingin
berlarut-larut, sehingga dapat membuat dirinya semakin merasa rendah di depan
pemuda berbaju rompi putih ini Sedangkan Rangga hanya tersenyum saja. Dalam
hatinya, dia semakin memuji laki-laki tua berjubah putih ini, karena bisa
menangkap cepat arah pembicaraannya.
“Aku yang menyelamatkannya dari
ujung tongkatmu, Eyang Jaraksa,” jelas Rangga, jujur.
“Oh...,” Eyang Jaraksa terkejut
tidak menyangka.
Pantas saja si Penjagal Bukit
Tengkorak bisa lenyap begitu cepat, di saat maut tengah berada di depan
matanya. Kalau Pendekar Rajawali Sakti ini yang menyelamatkannya, laki-laki tua
itu tidak bisa menyangsikan lagi. Memang sudah sering didengarnya kehebatan dan
kedigdayaan Pendekar Rajawali Sakti, yang sukar diukur tingkat kepandaiannya.
“Waktu itu, aku tidak tahu apa
persoalannya. Dan aku juga tidak mengenalmu. Paman Suryadana yang
memberitahuku. Itu sebabnya, mengapa aku segera datang kemari. Dan muridmu, aku
lihat sempat bertarung dengannya,” jelas Rangga lagi, tanpa diminta.
“Maafkan atas kelancangan
muridku,” ucap Eyang Jaraksa.
“Sudahlah, kita lupakan saja hal
itu. Kedatanganku hanya ingin tahu, apa benar di sini terjadi pembunuhan gelap,
sehingga kau dan murid-muridmu mengira Paman Suryadana yang melakukannya,” kata
Rangga. Pendekar Rajawali Sakti memang tidak mau lagi membicarakan tindakan
laki-laki tua ini dengan murid-muridnya pada si Penjagal Bukit Tengkorak.
“Benar. Dalam beberapa hari ini,
sudah hampir sepuluh orang murid-muridku tewas tanpa diketahui pembunuhnya. Aku
sendiri tidak tahu, mengapa murid-muridku dibantai dengan cara seperti itu,”
Eyang Jaraksa membenarkan pertanyaan Rangga.
“Kau tidak berusaha
menyelidikinya?” tanya Rangga lagi.
“Sudah! Bahkan aku mengutus Jarwa
untuk menyelidiki dari luar. Tapi sampai sekarang ini, belum jelas hasilnya.
Dan semalam jatuh satu korban lagi. Lehernya hampir putus terpenggal,” sahut
Eyang Jaraksa.
Saat itu muncul seorang wanita
setengah baya yang masih kelihatan cantik. Bajunya biru agak ketat. Rangga
mengangkat kepala, dan menatap wanita itu. Yang ditatap langsung menganggukkan
kepala sedikit sambil memberi senyum. Rangga membalasnya dengan anggukan kepala
juga. Eyang Jaraksa buru-buru memperkenalkan wanita itu pada Pendekar Rajawali
Sakti.
Hampir Rangga tidak percaya kalau
wanita setengah baya dan masih kelihatan cantik ini adalah istri Eyang Jaraksa.
Mereka bukan seperti suami istri, tapi lebih pantas anak dengan ayahnya. Wanita
setengah baya yang dikenalkan Eyang Jaraksa bernama Satira itu, duduk si
samping laki-laki tua berjubah putih ini.
Sementara Rangga seakan-akan
masih belum percaya, kalau wanita secantik ini lebih suka menikah dengan
laki-laki tua yang pantas menjadi ayahnya ini. Dan usianya juga pasti tidak
lebih dari empat puluh tahun.
“Cukup lama kami menikah. Sekitar
dua puluh tahun,” kata Eyang Jaraksa memberi tahu tanpa diminta.
Rangga hanya tersenyum saja.
Sukar baginya untuk bisa memberi tanggapan tentang pasangan yang dipandangnya
sangat aneh dan tidak masuk akal ini. Tapi, dia hanya diam dan tidak mau
memikirkannya. Sedangkan Satira tanpa ada yang menyadari selalu merayapi wajah
Pendekar Rajawali Sakti. Seakan-akan dia begitu terpikat pada ketampanan dan
kegagahan pemuda yang duduk di depannya ini.
“Eyang, boleh aku melihat-lihat
sekitar padepokanmu ini?” pinta Rangga seraya bangkit berdiri.
“Oh, silakan. Apa perlu
diantar...?” Eyang Jaraksa juga bergegas berdiri.
“Tidak perlu. Aku bisa meminta
Jarwa menemaniku,” tolak Rangga halus.
Pendekar Rajawali Sakti
menganggukkan kepala sedikit pada Satira, kemudian melangkah keluar dari
ruangan ini. Eyang Jaraksa memandangi sampai pemuda itu menghilang di balik
pintu, kemudian beralih pada Satira yang kini sudah berdiri di sampingnya.
“Dari mana saja kau, Satira?
Kenapa baru datang...?” tegur Eyang Jaraksa.
“Habis dari pancuran. Aku tidak
tahu kalau akan ada tamu,” sahut Satira beralasan.
“Kau tidak bertemu Basrin?”
“Tidak. Memangnya kenapa...?”
“Aku menyuruhnya menyusulmu ke
pancuran.”
“Mungkin berselisihan jalan,
Kakang. Aku tidak lewat jalan biasa.”
“Hhh..., sudahlah. Sebaiknya,
siapkan kamar untuknya. Ingat! Kau harus melayani segala keperluannya dengan
baik. Dia tamu terhormat kita,” pesan Eyang Jaraksa.
“Memangnya dia siapa, Kakang?”
“Pendekar Rajawali Sakti,” sahut
Eyang Jaraksa. “Aku ingin menemaninya melihat-lihat padepokan ini.”
Eyang Jaraksa bergegas melangkah
keluar dari ruangan ini. Sedangkan Satira hanya memandangi saja kepergian
laki-laki tua itu. Keningnya jadi sedikit berkerut. Dan dia masih berdiri di
sana meskipun Eyang Jaraksa sudah menghilang di balik pintu.
“Pendekar Rajawali Sakti...,”
desis Satira setengah bergumam. “Hm.... Jadi itu yang bernama Pendekar Rajawali
Sakti...? Hm....”
Satira mengangguk-anggukkan
kepala, kemudian bergegas meninggalkan ruangan ini dari pintu yang lain.
Sebentar saja wanita itu sudah lenyap di balik pintu yang berwarna hijau. Dan
ruangan itu kembali sunyi tak seorang pun terlihat di sana.
***
Waktu terus berjalan tanpa ada
yang dapat menghentikannya. Siang pun berganti malam tanpa terasa. Suasana di
Padepokan Tongkat Putih kelihatan lebih tenang. Karena semua murid padepokan
itu sudah mengetahui, kalau tamu yang siang tadi datang bersama Jarwa adalah
Pendekar Rajawali Sakti. Mereka semua sudah sering mendengar tentang pendekar
muda berkepandaian tinggi dan sukar dicari tandingannya itu.
Tapi ada sedikit kecemasan di
hati mereka, meskipun tidak diungkapkan. Siang tadi, si Penjagal Bukit Tengkorak
datang bersama Pandan Wangi, yang juga berjuluk si Kipas Maut. Kemudian disusul
kembalinya Purmita bersama adiknya, Arini. Kedua gadis itu tidak menyangka
kalau pemuda berbaju rompi putih yang sempat dicurigai dan dimusuhi, ternyata
Pendekar Rajawali Sakti yang namanya sudah sering terdengar. Tapi baru kali ini
bertemu langsung.
Walaupun malam sudah teramat
larut, tapi Rangga belum juga dapat memicingkan mata dalam kamarnya. Malam yang
begitu dingin, dirasakan sangat panas. Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah
keluar dari kamarnya. Dilewatinya ruangan depan, dan terus keluar dari pintu
depan. Dua orang murid Padepokan Tongkat Putih yang bertugas jaga malam di
depan pintu, menganggukkan kepala seraya menyapa hormat Rangga membalas dengan
anggukan kepala juga, dan memberikan senyum.
Pendekar Rajawali Sakti terus
melangkah menuju bagian samping kiri bangunan besar ini. Ayunan langkahnya
begitu perlahan, dan matanya tidak berkedip merayapi setiap sudut yang
dilaluinya. Siang tadi, dia sudah melihat-lihat keadaan sekitar bangunan
Padepokan Tongkat Putih ini. Namun begitu sampai di bagian belakang, mendadak
saja....
“Akh...!”
“Heh...?!”
Rangga tersentak kaget ketika
tiba-tiba saja terdengar erangan tertahan yang begitu pelan dari arah samping
kanannya. Cepat-cepat tubuhnya melesat ke atas, dan hinggap di atap bangunan
besar ini. Pada saat itu, matanya langsung menangkap sesosok bayangan
berkelebat cepat di balik pagar bagian belakang. Dan Rangga jadi terkejut,
karena di sana juga terlihat sesosok tubuh tergeletak di tanah.
“Hup...!”
Begitu sempurnanya ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga dalam satu kali lesatan saja,
Pendekar Rajawali Sakti sudah berada di luar pagar Padepokan Tongkat Putih ini.
Begitu kakinya menjejak tanah, kembali tubuhnya melesat cepat mengejar bayangan
yang berkelebat tadi.
Namun sesampainya Rangga di
sebuah tikungan jalan, bayangan yang dikejarnya lenyap begitu saja bagai
tertelan bumi. Rangga menghentikan pengejarannya. Pandangannya beredar
berkeliling. Pendengarannya dipasang tajam. Pada saat itu, tiba-tiba saja
terdengar desiran halus dari arah samping kanan.
Wusss!
Cepat Rangga memutar tubuhnya,
dan langsung melenting ke belakang, seraya berputar satu kali. Hanya sekejap
saja, dia mampu melihat bayangan biru pekat berkelebat cepat hampir menyambar
tubuhnya. Dan begitu bayangan biru itu lewat, mendadak saja melesat seberkas
sinar keemasan ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
“Uts!”
Manis sekali Rangga memiringkan
tubuhnya ke kanan, maka sinar keemasan itu lewat sedikit di samping tubuhnya.
Seketika terdengar ledakan keras menggelegar, begitu sinar keemasan itu
menghantam sebatang pohon di belakang Rangga. Pohon itu seketika tumbang, dan
hampir saja mengenai Rangga. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat
menghindar.
“Heh...?! Ke mana dia...?” Rangga
terperanjat, karena bayangan biru pekat tadi sudah lenyap tak terlihat lagi.
Pendekar Rajawali Sakti
mengedarkan pandangan berkeliling. Tapi hanya pepohonan dan kegelapan saja yang
ada di sekitarnya. Bayangan itu benar-benar lenyap, di saat Rangga tengah sibuk
menghindari sinar keemasan dan pohon yang tumbang ke arahnya tadi.
“Hm.... Siapa dia?” gumam Rangga
bertanya-tanya sendiri.
Setelah yakin tidak mungkin lagi
bisa menemukan bayangan gelap itu, Rangga cepat bertari menuju Padepokan
Tongkat Putih. Tak disadari, kalau Pendekar Rajawali Sakti tengah diamati
sepasang mata yang tersembunyi dari atas pohon.
“Benar-benar tangguh dia...,”
terdengar gumaman pelan.
***
Manis sekali Rangga melompati
pagar belakang Padepokan Tongkat Putih ini. Suasananya masih tetap sunyi. Tak
terlihat seorang pun di bagian belakang ini. Dia berjalan perlahan mendekati
sebuah pintu kamar yang tampak terbuka. Dia tahu, kamar itu memang ditempati
Suryadana. Dan di sebelahnya kamar yang ditempati Pandan Wangi. Sedangkan
Rangga sendiri mendapatkan kamar yang berada jauh dari kedua kamar itu.
Tepatnya, di bagian depan bangunan besar ini.
“Hm...,” Rangga agak tertegun
begitu dekat dengan kamar Suryadana.
Pintu kamar itu terbuka agak
lebar, dengan nyala pelita yang menerangi seluruh kamar itu. Tak ada seorang
pun terlihat di dalam. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti mendekati. Dan begitu
kepalanya dijulurkan, karena hendak memastikan keadaan kamar itu, mendadak saja
sebuah tangan menepuk pundaknya.
“Oh...!” Rangga agak terkejut
karena perhatiannya saat itu tengah tertuju pada keadaan sekeliling kamar.
Cepat tubuhnya berbalik.
Keningnya jadi berkerut melihat Suryadana kini sudah berada di depannya. Si
Penjagal Bukit Tengkorak itu tersenyum, dan terus menghempaskan tubuhnya ke
kursi panjang yang ada di samping pintu kamar ini.
“Dari mana malam-malam begini,
Paman?” tanya Rangga sedikit menegur.
“Jalan-jalan, cari udara segar,”
sahut Suryadana. “Kau sendiri, kenapa masih berada di luar?”
“Di kamar udaranya terlalu panas.
Tapi sekarang sudah mendingan,” sahut Rangga lagi, tanpa menceritakan kalau
baru saja memergoki seseorang yang telah membunuh seorang murid Padepokan
Tongkat Putih.
Suryadana mengangguk-anggukkan
kepala. Diambilnya tempat tembakau dari kulit yang terselip di balik sabuknya.
Kemudian dilintingnya tembakau itu dengan daun jagung kering berwarna kuning
muda. Sebentar kemudian, dia sudah asyik dengan asap tembakaunya.
“Aku kembali dulu ke kamar,
Paman,” pamit Rangga yang tidak menyukai asap tembakau itu.
“Oh, ya...,” sahut Suryadana
seraya mengangkat kepala sedikit
Rangga melangkah meninggalkan
laki-laki berusia separuh baya itu, untuk kembali menuju ke bagian depan. Dia
melalui pintu penghubung di bagian belakang bangunan besar dan memanjang ini.
Sedikit matanya melirik Suryadana sebelum lenyap di balik pintu. Sedangkan
Suryadana masih terus asyik dengan lintingan tembakaunya.
Rangga terus mengayunkan kakinya
menyusuri lorong yang tak seberapa panjang. Di kiri kanan lorong ini terdapat
pintu-pintu kamar yang semuanya tertutup rapat. Setelah melewati lorong ini,
dia sampai di bagian ruangan tengah yang cukup besar dan terang. Pendekar
Rajawali Sakti terus melangkah melewati ruangan tengah ini, kemudian sampai di
ruangan depan. Di sini juga terdapat beberapa pintu kamar. Dia tahu kalau
kamar-kamar itu ditempati oleh keluarga Eyang Jaraksa.
“Hm....”
Kembali Pendekar Rajawali Sakti
tertegun saat melihat salah satu pintu kamar. Semua kamar dalam keadaan gelap,
tapi satu pintu terlihat terang. Tampak sedikit cahaya membias dari lubang di
bawah pintu itu. Rangga tahu kalau itu kamar Purmita. Perlahan-lahan Pendekar
Rajawali Sakti mendekati kamar yang masih terlihat terang itu.
Sebentar Rangga berhenti di depan
pintu, dan memasang telinganya tajam-tajam. Tak terdengar suara sedikit pun
dari dalam kamar ini Rangga tercenung sebentar, kemudian bergegas melangkah
kembali keluar, dan memutari bangunan besar ini. Ayunan langkahnya kembali
terhenti setelah sampai di dekat jendela kamar yang tampak sedikit terbuka.
Cahaya terang tampak membias dari balik jendela ini. Rangga tahu kalau itu
jendela kamar yang ditempati Purmita.
Pelan-pelan Rangga mencoba
membuka jendela itu. Tapi belum juga daun jendela kamar itu bergerak terbuka,
mendadak saja terdengar bentakan keras dari belakangnya.
“Hei...!”
“Uts...!” Rangga terlonjak kaget
dan cepat memutar tubuhnya.
Bukan hanya Pendekar Rajawali
Sakti saja yang terkejut tapi orang yang membentak tadi. Di depan Rangga,
berdiri seorang gadis cantik bertubuh ramping dan padat berisi. Dia mengenakan
baju agak ketat, sehingga hampir memetakan bentuk tubuhnya yang indah untuk
dipandang mata.
“Oh, maaf. Aku kira siapa...,”
ucap gadis itu seraya mendekat “Maaf, aku telah membuatmu terkejut Gusti.”
“Tidak... Aku tidak terkejut.
Hm.... Sebaiknya jangan panggil aku gusti. Panggil saja Rangga.”
Gadis itu hanya tersenyum kecil
dan menganggukkan kepala sedikit. Rangga memperhatikan gadis yang dikenalnya
bernama Purmita ini. Pendekar Rajawali Sakti jadi teringat bayangan yang tadi
dipergokinya telah membunuh seorang murid padepokan ini. Orang itu juga
mengenakan baju warna gelap. Dan kalau tidak salah menilai, bentuk tubuhnya
ramping dan bagus seperti bentuk tubuh wanita muda.
Tapi Rangga tidak ingin terlalu
cepat menduga, meskipun berbagai macam dugaan telah mampir di kepalanya
barusan. Hal itu cepat-cepat dibuangnya jauh-jauh. Sementara Purmita
menghampiri jendela kamarnya, lalu membuka lebar-lebar. Cahaya dari pelita di
dalam kamar itu menerobos keluar, seakan-akan hendak mengalahkan sinar rembulan
malam ini.
“Dari mana malam-malam begini?”
tanya Rangga ingin tahu.
“Meronda,” sahut Purmita seraya
duduk di kursi, di bawah jendela kamar ini.
“Meronda...?!” Rangga seolah-olah
tidak mempercayai jawaban gadis ini.
“Memangnya kenapa? Meronda itu
bukan hanya pekerjaan laki-laki saja, bukan...? Wanita juga bisa melakukannya.
Dan hampir setiap malam aku selalu melakukannya,” kata Purmita lugas.
“Kau juga meronda di bagian
belakang?” tanya Rangga, jadi teringat kalau di bagian belakang, di luar pagar
tadi terjadi pembunuhan.
“Benar!” sahut Purmita kalem.
“Kalau begitu...?” Rangga tidak
meneruskan kata-katanya.
Pendekar Rajawali Sakti
memandangi gadis itu dalam-dalam. Timbul lagi kecurigaan di hatinya, yang tadi
telah dibuang jauh-jauh. Namun Rangga tetap tidak ingin menduga kalau gadis ini
yang melakukan semua pembunuhan gelap di Padepokan Tongkat Putih, dalam
beberapa hari ini. Sedangkan Purmita kelihatan tidak peduli, dan malah mengarahkan
pandangannya jauh ke depan.
“Purmita, bisa kita bicara...?”
pinta Rangga dengan suara terdengar agak ragu-ragu.
Purmita menatap Pendekar Rajawali
Sakti.
“Boleh aku duduk?”
Purmita menggeser duduknya, dan
Rangga menempatkan diri di samping gadis itu. Untuk beberapa saat mereka hanya
berdiam diri saja. Dua kali Rangga mendehem, seakan tengah mengumpulkan
kata-kata dalam kepalanya.
“Aku rasa kau sudah tahu, untuk
apa aku datang ke sini,” kata Rangga memulai.
“Ya! Kau ingin membersihkan nama
Penjagal Bukit Tengkorak,” sahut Purmita kalem.
“Bukan itu saja. Kedatanganku ke
sini juga untuk mencari kebenaran,” Rangga menambahkan.
Purmita hanya mengangkat bahunya
saja. Dia sudah tahu dari ayahnya kalau Pendekar Rajawali Sakti juga seorang
raja di Karang Setra. Dan Suryadana yang selalu dipanggil Penjagal Bukit
Tengkorak, pernah bekerja untuk ayah pendekar muda ini. Jadi, tidak heran kalau
Rangga akan membelanya. Namun mengingat nama besar Pendekar Rajawali Sakti, langsung
Purmita percaya. Dia yakin, seandainya terbukti memang Suryadana yang melakukan
semua pembunuhan itu, akan tetap menerima hukuman.
“Tadi, secara tidak sengaja, aku
melihat sesuatu terjadi di balik pagar belakang...,” ujar Rangga, agak terputus
suaranya.
“Oh...?! Apakah terjadi
pembunuhan lagi?” sentak Purmita kelihatan terkejut
“Ya,” sahut Rangga seraya
mengangguk.
“Ayah harus segera tahu,” ujar
Purmita seraya bangkit berdiri.
“Tunggu dulu, Purmita,” cegah
Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti cepat
menangkap pergelangan tangan Purmita. Dan gadis itu kembali duduk. Wajahnya
agak memerah. Cepat-cepat Rangga melepaskan cekatannya pada tangan gadis itu.
“Maaf,” ucap Rangga.
“Tidak apa-apa,” sahut Purmita
sedikit gugup.
“Ayahmu memang perlu tahu. Tapi,
aku ingin bicara sedikit denganmu dulu,” tegas Rangga.
Purmita hanya diam saja.
Ditatapnya wajah pemuda itu sebentar, lalu pandangannya dialihkan ke arah lain.
Hatinya langsung bergetar saat pandangannya bertemu sinar mata pemuda itu,
meskipun hanya sebentar.
“Kau tadi ke bagian belakang,
bukan?” tanya Rangga langsung.
“Ya,” sahut Purmita.
“Tidak melihat ada orang lain di
sana?”
“Aku hanya bertemu si Penjagal
Bukit Tengkorak. Hanya bertegur sapa sedikit saja,” sahut Purmita.
“Juga tidak melihat ada mayat di
sana?”
“Aku tidak keluar dari pagar. Aku
baru tahu setelah kau mengatakannya.”
“Baiklah. Cepatlah beri tahu
ayahmu. Aku akan menunggu di sana,” kata Rangga seraya bangkit berdiri.
Purmita bergegas bangkit dan
melangkah setengah berlari menuju ke dalam bangunan besar ini. Sebentar
Pendekar Rajawali Sakti memperhatikan, lalu cepat melesat pergi. Sekejap saja
bayangan tubuhnya sudah lenyap di balik pagar yang mengelilingi bangunan besar
dan memanjang ini.
***
TUJUH
Rangga memandangi pohon besar
yang tumbang melintang di depannya. Pohon ini semalam hampir membuat tubuhnya
gepeng. Pendekar Rajawali Sakti melompat melewati batang pohon ini. Di depan
sanalah bayangan semalam menghilang. Rangga mengangkat kepalanya ketika mendengar
langkah kaki menuju ke arahnya. Terlihat Pandan Wangi berjalan cepat lalu
melompati pohon yang tumbang melintang dengan gerakan indah. Pandan Wangi
mendarat tepat di samping Pendekar Rajawali Sakti.
“Aku cari-cari, tidak tahunya ada
di sini,” kata Pandan Wangi.
“Tahu dari mana aku di sini?”
tanya Rangga.
“Nyai Satira yang bilang.
Katanya, dia melihatmu menuju ke sini,” sahut Pandan Wangi.
“Nyai Satira...?” Rangga
mengerutkan keningnya.
“Iya, kenapa...?”
Rangga diam saja. Dia jadi
tercenung sendiri. Setahunya, tidak seorang pun dijumpai ketika pergi ke tempat
ini. Bahkan tidak seorang pun yang melihatnya. Pendekar Rajawali Sakti jadi
teringat, kalau semalam hampir luput memperhatikan kamar yang ditempati Satira.
Pintu kamar itu agak terbuka, meskipun lampunya mati.
Dan ketika hampir pagi, pintu
kamar itu tetap terlihat sedikit terbuka dalam keadaan masih gelap. Juga, saat
semua orang terbangun, setelah Purmita memberitahukan ada pembunuhan lagi.
Semua penghuni Padepokan Tongkat Putih berhamburan ke belakang bagian luar
pagar, tapi sama sekali wanita muda istri ketua padepokan itu tidak terlihat.
“Ada apa, Kakang? Kenapa
termenung mendengar nama Nyai Satira?” tanya Pandan Wangi ingin tahu.
“Tidak..., tidak apa-apa. Aku
tiba-tiba saja teringat sesuatu,” sahut Rangga.
“Boleh aku tahu?” pinta Pandan
Wangi.
Rangga menghampiri pohon yang
tumbang, langsung meneliti bagian bawah yang hancur. Tubuhnya membungkuk, dan
mengambil sesuatu dari serpihan kayu pohon itu. Tampaknya sebuah benda yang
terbuat dari emas. Pandan Wangi ikut memperhatikan benda di tangan Pendekar
Rajawali Sakti.
“Amel...,” desis Pandan Wangi.
“Benar! Tusuk rambut ini milik
pembunuh murid-murid Padepokan Tongkat Putih,” kata Rangga begitu pasti.
“Kau tahu, siapa kira-kira
pemiliknya, Kakang?” tanya Pandan Wangi.
“Aku belum tahu pasti. Tapi yang
jelas, pelakunya adalah pemilik benda ini,” sahut Rangga.
“Kalau begitu, Paman Suryadana
terbebas dari tuduhan...?” Pandan Wangi jadi senang.
“Belum,” sahut Rangga.
“Belum...?” Pandan Wangi jadi
tidak mengerti. “Apa maksudmu, Kakang? Bukankah tadi kau mengatakan pelakunya
wanita...?”
“Aku tidak mengatakan wanita.
Tapi pemilik benda inilah mungkin pelaku pembunuhan itu,” Rangga menegaskan.
“Bisa siapa saja. Juga termasuk kau, Pandan.”
“Jangan bercanda, ah! Benda
seperti itu memang dimiliki setiap wanita, Kakang. Banyak corak dan ragamnya.
Bahkan yang sama juga banyak. Aku juga memakai dengan bentuk dan warna seperti
itu,” kata Pandan Wangi.
Gadis itu meraba rambutnya. Tapi
mendadak saja Pandan Wangi terkejut, karena di rambutnya tidak terpasang amel.
Rangga memperhatikan dengan kening berkerut. Diserahkannya tusuk rambut itu
pada Pandan Wangi, lalu diperlihatkan bagian tangkainya yang terukir nama gadis
itu. Sejenak Pandan Wangi menatap benda di tangan Rangga, lalu menatap pemuda
itu dengan sinar mata sukar diartikan.
“Jangan katakan kalau kau
kehilangan tusuk rambutmu, Pandan,” kata Rangga, agak dalam nada suaranya.
“Tapi...,” suara Pandan Wangi
terputus.
“Baru kemarin kita berkumpul
lagi. Dan selama sepuluh hari, kau kutinggalkan di Desa Jati, bertepatan dengan
peristiwa pembunuhan di sini,” kata Rangga, tetap dalam nada suaranya.
“Tega benar kau menuduhku,
Kakang...!” desis Pandan Wangi bisa menangkap kata-kata yang diucapkan Pendekar
Rajawali Sakti barusan.
“Aku tidak menuduhmu, Pandan.”
“Kata-katamu barusan...!”
“Maaf, kalau kata-kataku tadi
menyinggungmu. Tapi, kau harus tahu. Aku hanya mencari kebenaran saja. Tolong
jelaskan, apa saja yang kau lakukan selama sepuluh hari belakangan ini. Juga,
mengenai amelmu yang ada di sini. Aku percaya, bukan kau yang melakukannya,
Pandan. Orang itu hanya menggunakan amelmu, agar perhatianku beralih padamu,”
Rangga buru-buru menjelaskan.
“Aku tidak ke mana-mana selama
kau tinggalkan di Desa Jati, Kakang. Setiap hari aku hanya ke rumah Nyai Karti,
belajar membuat pakaian dari kulit. Kalau tidak percaya, tanya saja pada Nyai
Karti sendiri. Juga pada Ki Sawung, pemilik penginapan di sana. Dan mengenai
amelku.... Sama sekali aku tidak tahu, Kakang. Aku tidak pernah menyadari kalau
amel itu lepas dari rambutku,” jelas Pandan Wangi dengan dada sedikit
bergemuruh.
“Itu yang ingin aku dengar
darimu, Pandan,” ujar Rangga seraya tersenyum.
“Sekarang, terserah padamu. Kau ingin
percaya atau tidak alasanku tadi,” kata Pandan Wangi.
“Aku percaya, Pandan.”
“Tapi, kenapa kau kelihatannya
mencurigaiku?”
“Jangan salah mengerti, Pandan.
Dalam keadaan seperti ini, aku perlu penjelasan yang lengkap dari semua yang
kutemukan. Kau bisa bayangkan, bagaimana kalau orang lain yang menemukan amelmu
ada di sini. Aku yakin, akan sama seperti yang dialami Paman Suryadana. Untung
saja mereka masih memandangku, sehingga tidak berbuat sesuatu lagi padanya.
Meskipun aku tahu, mereka pasti tetap menaruh kecurigaan pada Paman Suryadana.”
“Maaf, Kakang. Aku tadi...”
“Sudahlah. Sekarang sebaiknya
kembali saja ke padepokan. Aku tidak ingin Paman Suryadana berada sendirian di
sana,” potong Rangga cepat
“Tapi, Kakang…”
“Ada apa lagi?”
“Aku ke sini justru ingin
mengatakan kalau Paman Suryadana tidak ada lagi di padepokan.”
“Apa...?!”
Rangga yang begitu terkejut
mendengar kalau Suryadana sudah meninggalkan Padepokan Tongkat Putih secara
diam-diam, segera kembali ke padepokan itu. Langsung ditemuinya Eyang Jaraksa
yang saat itu tengah berkumpul di ruangan depan bersama istri dan dua orang
anak gadisnya. Kedatangan Rangga dan Pandan Wangi disambut hangat Eyang
Jaraksa.
“Kebetulan kau datang, Rangga.
Tadinya, aku ingin menyuruh murid-muridku untuk mencarimu,” kata Eyang Jaraksa.
“Ada sesuatu yang penting?” tanya
Rangga.
“Benar. Aku rasa Pandan Wangi
telah mengatakannya padamu,” sahut Eyang Jaraksa.
Rangga sedikit melirik Pandan
Wangi yang berada di sampingnya.
“Belum seluruhnya, Eyang,” ujar
Pandan Wangi.
“Begini, Rangga. Suryadana
meninggalkan kamarnya di saat semua orang tengah sibuk menguburkan mayat
muridku pagi tadi. Tidak ada yang melihat kepergiannya,” jelas Eyang Jaraksa,
singkat
“Sudah dicari?” tanya Rangga.
“Sudah. Bahkan beberapa muridku
telah mencari ke bekas tempat tinggalnya, tapi dia tidak ada di sana,” sahut
Eyang Jaraksa.
“Kalau begitu, aku akan
mencarinya,” kata Rangga.
“Aku ikut, Kakang,” kata Pandan
Wangi. Rangga mengangguk.
“Aku pamit dulu, Eyang,” ujar
Rangga berpamitan.
“Baik. Kuharap kau bisa
menemukannya, Rangga.”
Pendekar Rajawali Sakti dan si
Kipas Maut ber-gegas meninggalkan ruangan itu. Eyang Jaraksa mengantarkan
sampai di depan pintu. Dia baru kembali setelah kedua pendekar muda itu
melewati pintu gerbang dengan kudanya. Arini bangkit berdiri, saat melihat
ayahnya kembali ke ruangan ini. Gadis itu bergegas menghampiri.
“Ayah, boleh aku mencari si
Penjagal Bukit Tengkorak itu...?” pinta Arini.
“Untuk apa? Aku sudah menyerahkan
persoalan ini pada Pendekar Rajawali Sakti. Aku tidak ingin kau membuat kacau,
Arini,” dengan halus Eyang Jaraksa menolak permintaan anak gadisnya ini.
“Aku tidak membuat kacau, aku
hanya ingin membantu,” rungut Arini manja.
“Kau tetap di sini, karena
sewaktu-waktu aku membutuhkanmu,” tegas Eyang Jaraksa.
Arini ingin memaksa, tapi
laki-laki tua itu sudah cepat berlalu meninggalkannya. Gadis itu mem-berengut
kesal, menghentak-hentakkan kakinya ke lantai. Purmita bangkit berdiri dan
menghampiri adiknya ini. Sedangkan Eyang Jaraksa dan Satira sudah meninggalkan
ruangan depan yang cukup besar ini.
“Aku ingin bicara denganmu,
Arini,” pinta Purmita.
“Jangan membujukku, Kak. Pokoknya
aku harus pergi mencari si Penjagal Bukit Tengkorak itu!” sentak Arini.
“Dengar dulu, Arini. Ada sesuatu
yang penting, dan kau harus mengetahuinya. Aku tidak bisa mempercayai orang
lain, selain dirimu,” nada suara Purmita terdengar sungguh-sungguh.
“Katakan saja,” Arini masih
memberengut.
“Aku tahu, di mana si Penjagal
Bukit Tengkorak itu berada,” kata Purmita berbisik pelan.
“Apa...?! Kau tahu di....”
“Ssst.., jangan keras-keras,”
potong Purmita, langsung membekap mulut adiknya.
“Kau tahu di mana dia...?” kali
ini suara Arini jadi berbisik pelan.
“Ayo....”
Arini yang masih keheranan,
mengikuti saja ketika kakaknya mengajak pergi meninggalkan ruangan itu. Mereka
keluar melalui pintu depan. Sebenarnya Arini ingin bertanya lebih banyak lagi,
tapi Purmita selalu saja memotong dan mencegahnya. Terpaksa gadis itu diam dan
terus mengikuti langkah kakaknya ini.
Arini semakin keheranan ketika
Purmita mengajaknya ke jurang yang berada di sebelah Selatan Padepokan Tongkat
Putih. Letaknya cukup jauh, dan harus melewati hutan kecil yang cukup lebat
untuk bisa mencapai ke sana. Belum lagi jalannya yang harus menurun, agak curam
dan sedikit berbatu. Salah melangkah sedikit saja, bisa tergelincir dan masuk
jurang yang cukup dalam.
Mereka baru berhenti setelah
benar-benar berada di bibir jurang. Arini agak bergidik juga melihat kedalaman
jurang ini. Belum pernah dia ke tempat seperti ini, karena memang ayahnya tidak
pernah mengizinkannya. Selain daerahnya yang memang sangat berbahaya, juga
sukar dilalui jika tidak menguasai ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi.
“Kau bisa menyeberangi jurang
ini, Arini?” tanya Purmita seperti menguji.
“Menyeberang...?” Arini tertegun
menatap kakaknya.
“Iya. Si Penjagal Bukit Tengkorak
ada di seberang sana,” kata Purmita lagi.
“Tapi...,” Arini jadi menelan
ludahnya yang mendadak saja terasa begitu pahit.
Dipandanginya jurang di depannya.
Cukup lebar. Dan yang pasti tidak mungkin bisa diseberanginya, walaupun
mempergunakan ilmu meringankan tubuh untuk melompati jurang ini. Dan kalau
gagal.... Arini tidak sanggup membayangkan. Jurang ini sungguh dalam. Sehingga
dari tempatnya berdiri, tidak bisa terlihat dasarnya karena tertutup kabut
tebal yang menghitam.
“Kau lihat di sebelah sana,
Arini,” Purmita menunjuk ke sebelah kiri dari adiknya.
Arini menoleh, menatap arah yang
ditunjuk kakaknya. Kembali hatinya tertegun, karena tidak jauh di sebelah
kirinya ada seutas tambang yang merentang di atas jurang. Tambang itu terikat
pada batang pohon di sebelahnya, dan di batang pohon di seberang sana.
Kelihatannya memang cukup kuat.
“Kau lihat ini,” kata Purmita.
“Hup...!”
Purmita langsung melompat ringan.
Dilewatinya kepala Arini, lalu berputaran dua kali. Dan dengan manis sekali
kakinya hinggap di atas tambang itu.
Sedikit pun tambang itu tak
bergerak. Purmita berdiri tegak, seperti berada di atas permukaan tanah saja.
Bibirnya tersenyum menatap Arini yang terlongong bengong.
“Tidak terlalu sulit, Arini.
Ayo...,” ajak Purmita.
Seperti berjalan di tanah saja,
Purmita melangkah ringan melintasi rentangan tambang itu. Gerakannya sangat
ringan dan cepat. Dan sebentar saja dia sudah berada di tengah-tengah tambang
itu. Arini masih tetap berdiri memandangi.
“Ayo, Arini...! Kau pasti bisa
melakukannya!” teriak Purmita mengajak.
“Bagaimana kalau jatuh, Kak?”
teriak Arini bertanya.
“Aku akan membantumu.
Percayalah...! Hanya sedikit saja mengerahkan ilmu meringankan tubuh, kau pasti
bisa berjalan di atas tambang ini. Ayo, Arini...!”
Arini melangkah juga mendekati
tambang itu. Sedangkan Purmita sudah bergerak lagi. Bahkan tidak berjalan, tapi
berlompatan ringan lincah sekali. Seakan-akan dia ingin memamerkan
kepandaiannya dalam ilmu meringankan tubuh.
“Hup!”
Begitu Purmita sampai di
seberang, Arini langsung melompat naik ke atas tambang itu. Ada sedikit getaran
di tambang saat kaki Arini menjejaknya. Gadis itu menenangkan diri sebentar,
lalu mulai melangkah meniti tambang yang hanya seutas ini.
“Jangan melihat ke bawah. Kau
akan pusing nanti...!” teriak Purmita dari seberang.
“Iya...!” sahut Arini.
Arini tenis berjalan hati-hati di
atas tambang yang melintang menyeberangi jurang ini. Seluruh kemam-puan ilmu
meringankan tubuhnya dikerahkan. Dia tidak ingin terjerumus ke dalam jurang
yang sangat dalam ini. Dan begitu tinggal satu tombak lagi sampai di seberang,
cepat-cepat tubuhnya melenting, melompat dari tambang itu. Dua kali Arini
berputaran di udara, kemudian manis sekali menjejakkan kakinya di depan
Purmita.
“Huh...!” Arini menghembuskan
napasnya kuat-kuat
“Aku sudah yakin, kau pasti bisa
melakukannya,” puji Purmita.
“Iya, tapi jantungku seperti akan
copot,” dengus Arini.
“Yuk...?” ajak Purmita.
Sebentar Arini memandang ke
seberang, kemudian bergegas menyusul Purmita yang sudah berjalan lebih dahulu.
Langkahnya disejajarkan di samping kakaknya ini. Kedua gadis itu terus
berjalan, dan kini harus mendaki sambil menerobos lebarnya hutan.
“Masih jauh, Kak?” tanya Arini.
“Tidak. Sebentar lagi juga
sampai. Tuh... sudah kelihatan.”
Arini menatap ke arah yang ditunjuk
kakaknya, tapi tidak melihat sesuatu yang khusus. Hanya pepohonan dan
batu-batuan saja yang ada di depan matanya. Kakinya terus terayun mengikuti
Purmita yang melangkah ringan di sampingnya.
Mereka baru berhenti setelah
sampai di depan sebongkah batu yang cukup besar, bagaikan sebuah tugu
peringatan. Batu itu berwarna hitam dan berlumut tebal. Arini tadi memang
melihat batu ini, tapi tidak menyangka kalau ke sini tujuannya. Purmita
mencolek tangan adiknya, dan mengajak kembali melangkah. Mereka memutari batu
itu.
“Oooh…” desah Arini.
Gadis itu tidak menyangka kalau
di belakang batu besar ini ada sebuah pondok kecil dikelilingi taman indah,
penuh bunga yang bermekaran. Kedua gadis itu terus melangkah melintasi jalan
berbatu kerikil. Arini masih terkagum-kagum melihat keindahan di sekitarnya.
Ternyata di tengah-tengah hutan yang lebat dan tampak ganas ini, terdapat
sebuah tempat yang begitu indah, harum oleh semerbaknya bunga-bunga yang
bermekaran.
“Punya siapa semua ini...?” tanya
Arini ingin tahu.
“Punyaku,” sahut Purmita.
“Sungguh...?” Arini seperti tidak
percaya.
Purmita hanya tersenyum saja.
Mereka kemudian sampai di depan pondok yang terbuat dari kayu. Arini semakin
kagum, karena kayu pondok ini begitu halus buatannya. Bentuknya juga sangat manis,
bagaikan tempat peristirahatan putri-putri bangsawan.
“Mereka ada di dalam,” kata
Purmita.
“Mereka, si...?”
Diegkh!
“Hegkh...!”
Belum juga Arini sempat
meneruskan ucapannya, mendadak saja Purmita melayangkan tangannya ke tengkuk
gadis itu. Seketika Arini ambruk ke lantai beranda yang terbuat dari kayu halus
berwarna kecoklatan. Gadis itu langsung tidak sadarkan diri, begitu tubuhnya
menyentuh lantai kayu.
“Kau cukup bandel dan liar. Tapi
bodoh...!” dengus Purmita mendesis dingin.
Purmita menyeret tubuh Arini
masuk ke dalam pondok kecil itu. Sedangkan Arini benar-benar tidak sadarkan
diri, tak tahu lagi apa yang terjadi. Pukulan Purmita pada tengkuknya demikian
keras, karena langsung menghantam urat syaraf. Tak heran kalau dia jatuh
pingsan seketika.
***
DELAPAN
“Ohhh...,” Arini merintih lirih.
Gadis itu menggerak-gerakkan kepalanya perlahan, lalu kelopak matanya mulai
bergerak terbuka. Dia hendak bangkit, tapi langsung terkejut. Ternyata dia
mendapati seluruh tubuhnya dalam keadaan terikat. Arini terbeliak begitu
mengetahui dirinya terikat di lantai kayu.
“Arini.... Kau sudah sadar...?”
“Oh...!” Arini terkejut ketika
mendengar suara tidak jauh dari sampingnya.
Gadis itu semakin terkejut,
karena di sampingnya ada orang lain yang seluruh tubuhnya juga terikat tambang.
Bahkan sampai ke kaki. Dan orang itu adalah si Penjagal Bukit Tengkorak. Di
samping laki-laki itu, tampak tergolek seorang gadis lain. Juga dengan seluruh
tubuh terikat tambang.
“Kau...?” Arini tidak dapat
meneruskan kata-katanya.
“Rupanya nasib kita sama, Arini.
Dia begitu manis dan pandai bermain kata-kata. Dia menyuguhkan secangkir teh
padaku. Setelah kuminum..., entah apa yang terjadi. Aku tidak sadarkan diri,
dan tahu-tahu sudah berada di sini,” Suryadana yang juga dikenal sebagai
Penjagal Bukit Tengkorak mengisahkan kejadiannya, sampai berada di tempat ini.
“Bagaimana denganmu, Arini?”
“Aku...,” Arini tidak bisa
menjawab. Masih sulit baginya untuk bisa mengerti.
Arini menatap wanita yang
tergolek di samping tubuh Suryadana. Seluruh tubuh wanita itu juga terikat,
seperti dirinya dan juga Suryadana. Sulit dikenali, karena wajahnya tertutup
tubuh laki-laki kekar ini.
“Siapa dia?” tanya Arini.
“Kakakmu,” sahut Suryadana.
“Purmita...? Dia juga...,”
lagi-lagi Arini tidak melanjutkan.
“Dia kakakmu yang asli,” jelas
Suryadana.
“Maksudmu?” Arini tidak mengerti.
“Dia kakakmu yang asli, Arini.
Sedangkan yang selama ini ada di padepokan adalah Purmita palsu,” Suryadana
mencoba menjelaskan lebih lanjut
“Aku..., aku tidak mengerti
maksudmu,” Arini meminta penjelasan lagi.
“Cukup sulit menjelaskannya,
Arini. Sayang, Purmita tidak sadarkan diri lagi. Kesehatan tubuhnya sangat
lemah. Entah sudah berapa hari dia berada di sini. Yang jelas, sewaktu terjadi
pembunuhan-pembunuhan di padepokan ayahmu. Orang yang melakukan pembunuhan itu
adalah si Purmita palsu. Dia sebenarnya bernama Wiranti, putri tunggal Nyai
Kalamurti,” Suryadana menghentikan ceritanya.
“Teruskan. Aku ingin tahu
seluruhnya,” pinta Arini yang mulai bisa memahami sedikit demi sedikit
“Nyai Kalamurti dulu adalah istri
pertama ayahmu. Sebelum mendiang ibumu, Arini. Dia telah kepergok melakukan
hubungan gelap dengan sahabat ayahmu sendiri. Akibat perbuatannya, ayahmu
mengusir dan membuat cacat wajahnya. Sedangkan laki-laki itu tewas di tangan
ayahmu. Sejak saat itu Nyai Kalamurti tidak terdengar lagi kabarnya. Tapi
ternyata dia menyepi di tempat ini hingga melahirkan seorang putri hasil
hubungan gelapnya. Anaknya itu dinamakan Wiranti. Kemudian Nyai Kalamurti
mengajarkan segala cara pada anaknya. Dan Wiranti diminta agar membalaskan
dendam dan sakit hatinya setelah dia meninggal...,” sampai di situ Suryadana
berhenti lagi.
“Aku mengerti sekarang,” ujar
Arini yang memang pernah mendengar sedikit tentang istri pertama ayahnya itu.
“Tapi...”
“Tapi kenapa, Arini?”
“Wajahnya.... Kenapa begitu mirip
kakakku?”
“Sebelum meninggalkan Padepokan
Tongkat Putih, Nyai Kalamurti sempat mencuri beberapa kitab dari sana. Dan
salah satunya adalah kitab yang berisi ilmu-ilmu pengobatan dan ramuan yang
langka, selain kitab-kitab berisi ilmu-ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan.
Dari kitab-kitab itu, Wiranti berhasil menemukan satu ramuan untuk membuat
topeng yang sangat halus dan tipis dari campuran kulit binatang. Topeng itu
bisa membentuk wajah siapa saja. Begitu halusnya, sehingga tidak bisa
membedakan antara yang asli dan yang palsu,” jelas Suryadana kembali.
“Bagaimana kau bisa tahu tentang
itu semua?” tanya Arini.
“Bukan hanya aku, tapi ayahmu
juga tahu.”
“Ayahku...?”
“Ya, hanya saja dia tidak
berpikir sejauh itu. Bahkan tidak menyadari kalau di dekatnya ada seseorang
yang siap menikam dari belakang. Mungkin dia sudah melupakan kitab-kitab yang
hilang itu. Dan menganggap persoalannya dengan Nyai Kalamurti sudah berakhir.
Sedangkan aku tahu betul sejarah ayahmu, dan istri pertama ayahmu itu.”
“Boleh aku bertanya lagi...?”
pinta Arini.
“Silakan.”
“Kenapa dia melibatkanmu, Paman?”
tanya Arini yang kini memanggil si Penjagal Bukit Tengkorak itu dengan sebutan
paman.
“Dia tahu dari ibunya, kalau
antara aku dan ayahmu tidak pernah cocok, sehingga selalu saja terjadi perselisihan
paham. Padahal, antara aku dan ayahmu masih terikat tali persaudaraan. Aku
adalah adik sepupunya. Dan memang sudah sepantasnya kau memanggilku paman.”
“Oh...,” desah Arini.
Sungguh tidak disangka kalau si
Penjagal Bukit Tengkorak ini adalah pamannya. Sama sekali dia tidak tahu. Dan
lagi, ayahnya memang tidak pernah menceritakan tentang si Penjagal Bukit
Tengkorak ini. Tapi, kenapa di antara mereka terjadi permusuhan, sampai-sampai
bisa tega untuk membunuh. Dan itu langsung ditanyakan Arini.
“Ayahmu memang ingin sekali
membunuhku, Arini,” kata Suryadana seraya tersenyum pahit.
“Kenapa...?” tanya Arini ingin
tahu.
“Dia pernah meminta agar tidak
menghukum mati adik iparnya. Tapi, tidak kupedulikan. Perbuatan yang dilakukan
adik iparnya sudah terlalu berat. Membunuh, merampok, dan memperkosa
wanita-wanita. Bahkan berani memperkosa dan membunuh putri seorang bangsawan.
Ayahmu meminta agar aku melepaskan adik iparnya itu, yang juga adik kandung
ibumu. Tapi, aku tidak pernah menuruti dan tetap menjalankan tugasku. Sejak
saat itu, kebencian semakin berkobar di dada ayahmu. Kami seperti dua orang
musuh, dan bukannya dua orang saudara yang seharusnya saling melindungi.”
“Oh...,” Arini mendesah perlahan.
Kini segalanya bani jelas bagi gadis itu. Bukan hanya persoalan pembunuh gelap
itu yang terungkap. Bahkan persoalan keluarganya yang tersimpan puluhan tahun
pun jadi terungkap ke permukaan. Gadis itu jadi senang dan tidak menduga kalau
masih mempunyai paman, yang sebenarnya begitu dekat dan sudah dikenalnya. Tapi
dalam keadaan seperti ini, tidak mungkin seluruh perasaannya ditumpahkan.
“Paman, apa yang harus kita
lakukan sekarang?” tanya Arini.
“Berdoa,” sahut Suryadana.
“Berdoa...?”
“Benar. Berdoa agar penolong yang
membebaskan kita dari sini segera datang.”
“Huuuh...! Kita harus melakukan
sesuatu, Paman!” rungut Arini.
“Apa yang bisa kita lakukan?”
“Putuskan tambang ini!” sahut
Arini.
“Tambang ini terbuat dari campuran
otot binatang dan urat-urat kayu yang sangat kuat. Meskipun kau mengerahkan
seluruh tenaga dalam, tidak akan mampu memutuskannya. Coba saja kalau tidak
percaya,” jelas Suryadana.
“Huuuh...!” Arini jadi kesal.
“Tenang saja, Arini. Pendekar
Rajawali Sakti pasti bisa menemukan kita di sini,” ujar Suryadana menenangkan
gadis itu.
“Jangan terlalu berharap, Paman.
Siap tahu dia sudah jauh meninggalkan Bukit Tengkorak ini.”
“Arini! Bagaimana kau bisa sampai
di sini?” tanya Suryadana.
“Aku diajak Purmita..., eh! Siapa
tadi namanya?”
“Wiranti.”
“Iya! Aku diajak Wiranti ke sini.
Tiba-tiba saja dia memukul tengkukku hingga pingsan,” singkat saja Arini
menceritakan tentang dirinya.
“Kau datang dalam keadaan sadar?”
“Tentu saja.”
Suryadana tersenyum-senyum.
“Kenapa tersenyum, Paman?”
“Aku yakin, sebentar lagi
Pendekar Rajawali Sakti pasti datang membebaskan kita,” ujar Suryadana.
“Harapan kosong!” dengus Arini.
“Mau taruhan...?”
“Tidak! Aku tidak pernah menang
taruhan!” sentak Arini.
“Itu berarti kau juga berharap
Pendekar Rajawali Sakti datang ke sini.”
“Huuuh...!” Arini mencibir.
Brak!
Suryadana dan Arini terkejut
setengah mati ketika tiba-tiba saja pintu kamar tempat mereka disekap, hancur
berkeping-keping. Tiba-tiba saja muncul seorang pemuda berbaju rompi putih ke
dalam kamar itu.
“Rangga...,” desis Suryadana
gembira melihat kedatangan pemuda berbaju rompi putih yang ternyata memang
Rangga si Pendekar Rajawali Sakti.
Tanpa berkata apa-apa, Rangga
bergegas melepaskan ikatan tambang di tubuh Suryadana dan Arini. Dan begitu
terbebas, Suryadana segera melepaskan ikatan pada Purmita yang masih juga belum
sadarkan diri.
“Bagaimana kau bisa tahu aku ada
di sini Rangga?” tanya Suryadana.
“Sejak semula, aku sudah curiga
pada Purmita. Aku mengikuti dia dan Arini sampai ke sini,” sahut Rangga.
“Tapi.... Bukankah kau tadi sudah
pamitan hendak pergi?” selak Arini.
“Itu hanya siasatku saja untuk
memberi kesempatan padanya membawamu.”
“Tuh.... Percaya, tidak? Sudah
kukatakan kalau Rangga pasti datang,” kata Suryadana seraya memencet hidung
Arini.
“Huuu...,” Arini hanya
mencibirkan bibirnya saja.
“Ayo! Sebaiknya cepat tinggalkan
tempat ini, selagi Purmita pergi,” kata Rangga menengahi gurauan itu.
“Ah! Masa. kau lupa! Dia bukan
Purmita, tapi Wiranti,” Suryadana membetulkan ucapan Rangga.
Suryadana memang telah
menceritakan segalanya pada Pendekar Rajawali Sakti. Termasuk, latar belakang
Eyang Jaraksa yang masih ada hubungan saudara dengan dirinya. Juga tentang
perkawinan Eyang Jaraksa terdahulu, di mana istri pertamanya telah berbuat
serong sehingga menghasilkan seorang anak perempuan. Siapa lagi kalau bukan
Wiranti, si Purmita palsu.
“Siapa pun dia, yang penting
kalian harus secepatnya meninggalkan tempat ini,” tegas Rangga.
Suryadana memondong tubuh Purmita
asli. Mereka bergegas keluar dari kamar berdinding papan halus yang tidak
begitu besar ukurannya ini. Di luar pondok. Pandan Wangi sudah menunggu. Gadis
itu bergegas menghampiri Rangga yang melangkah paling depan.
“Dia sudah kembali?” tanya
Rangga.
“Kulihat dia menyeberang jurang
tadi,” Pandan Wangi memberi tahu.
“Hm.... Dia pasti ke padepokan,”
gumam Rangga.
“Aku pergi duluan. Kalian
langsung saja ke padepokan.”
Setelah berkata demikian, Rangga
cepat melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejapan mata saja
bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.
“Ayo, Paman, Arini. Aku sudah
buat jembatan bambu di sebelah sana. Biar lebih mudah melewatinya,” ajak Pandan
Wangi seraya memberi tahu.
“Ayolah.... Lebih cepat sampai,
lebih baik,” sahut Suryadana, tetap memondong Purmita asli.
Tanpa bicara lagi, mereka
bergegas meninggalkan tempat itu. Pandan Wangi berada di depan, menunjukkan
jalan tempat jembatan bambu yang telah dibuatnya untuk menyeberangi jurang.
Sementara itu di Padepokan
Tongkat Putih, kekacauan sedang terjadi. Eyang Jaraksa mendapati mayat-mayat
muridnya bergelimpangan di mana-mana. Dan begitu keluar, tampak lima orang
muridnya tengah bertarung sengit melawan seseorang yang berkelebatan cepat
menghajar mereka. Jeritan-jeritan panjang terdengar melengking saling susul.
Dan begitu kaki Eyang Jaraksa
menjejak halaman, kelima muridnya sudah bergelimpangan dengan tubuh bersimbah
darah. Kedua bola mata laki-laki tua itu jadi terbeliak, begitu mengenali orang
yang telah membantai habis murid-muridnya. Eyang Jaraksa hampir tidak percaya
dengan penglihatannya sendiri!
“Purmita..., apa yang kau lakukan
ini...?” agak bergetar suara Eyang Jaraksa.
“Membalas perlakuanmu terhadap
ibuku!” desis Purmita dingin
“Purmita..., kau sadar apa yang
kau ucapkan?”
“Kau pikir aku sudah gila, Tua
Bangka! Kau rusak wajah ibuku, lalu kau campakkan seperti sampah busuk tak
berguna!”
“Heh...?! Siapa kau
sebenarnya...?” Eyang Jaraksa tersentak kaget
Laki-laki tua itu langsung
teringat istri pertamanya. Seketika dipandanginya gadis yang berdiri di
depannya dengan pedang tergenggam berlumuran darah. Sedangkan perlahan-lahan
gadis itu mengangkat tangan kirinya ke muka, lalu....
Rrrt..!
Bola mata Eyang Jaraksa semakin
terbeliak, begitu menyaksikan Purmita merobek kulit wajahnya sendiri. Dan kini,
timbul wajah lain yang sama sekali beda dengan wajah Purmita. Wajah seorang
gadis yang mengingatkan Eyang Jaraksa pada istrinya dulu. Wajah Nyai Kalamurti.
“Kau...?” suara Eyang Jaraksa
terputus.
“Aku Wiranti, putri tunggal Nyai
Kalamurti. Sudah saatnya kau harus membayar hutang-hutangmu pada ibuku, Eyang
Jaraksa,” ujar Wiranti yang kini sudah berubah pada wajah aslinya.
Eyang Jaraksa tidak sempat lagi
mengucapkan sesuatu, karena Wiranti sudah melompat cepat menerjangnya sambil
mengebutkan pedang.
“Hiyaaat..!”
Bet!
Bet!
“Hait..!”
Eyang Jaraksa cepat melentingkan
tubuhnya ke belakang, lalu berputaran beberapa kali. Manis sekali kakinya
kembali mendarat begitu berhasil mengelakkan serangan gadis itu. Namun Wiranti
rupanya tidak akan memberi kesempatan pada laki-laki tua berjubah putih ini
untuk mengatur serangan. Dengan cepat kembali diberikannya serangan dahsyat dan
berbahaya sekali.
Terpaksa Eyang Jaraksa
bertimpangan menghindari serangan-serangan yang dilancarkan gadis itu. Pedang
yang berlumuran darah itu berkelebatan di sekitar tubuhnya. Akibatnya, Eyang
Jaraksa jadi kelabakan menghindarinya. Dan begitu memiliki kesempatan, dia
cepat melompat mundur untuk keluar dari lingkaran serangan Wiranti.
“Gila...! Jurus-jurus dari
kitabku yang hilang telah dikuasainya dengan sempurna,” dengus Eyang Jaraksa
dalam hati, langsung mengenali jurus-jurus yang digunakan Wiranti. “Betapa
bodohnya aku, karena telah menyepelekan kitab-kitab yang hilang itu!”
“Kau tidak akan lolos dari
tanganku, Eyang Jaraksa! Semua anakmu sudah ada di tanganku!” dengus Wiranti.
“Keparat..! Apa yang kau lakukan
pada anakku?” geram Eyang Jaraksa jadi memuncak amarahnya.
“Membantu mereka ke neraka.”
“Setan...! Kubunuh kau,
hiyaaat..!”
Eyang Jaraksa tidak dapat lagi
mengendalikan amarahnya mendengar kata-kata Wiranti barusan. Bagaikan kilat
tubuhnya melesat cepat dan melontarkan dua pukulan keras bertenaga dalam tinggi
secara beruntun. Namun manis sekali Wiranti meliukkan tubuhnya, menghindari
serangan laki-laki tua berjubah putih ini. Bahkan tanpa diduga sama sekali,
mampu membalas dengan mengebutkan pedangnya.
Wuk!
“Hih!”
Tongkat putih Eyang Jaraksa cepat
menangkis tebasan pedang itu.
Trang!
“Heh...?! “
Wiranti terkejut, karena
tangannya terasa bergetar saat pedangnya beradu dengan tongkat kakek itu. Dan
belum lagi lenyap keterkejutannya, mendadak saja Eyang Jaraksa sudah kembali
menebaskan tongkatnya ke arah dada gadis itu.
Bet!
“Uts!”
Wiranti sudah berusaha cepat
menghindar, namun sama sekali tidak menduga kalau Eyang Jaraksa dapat
menghentikan arus tebasan tongkatnya. Bahkan cepat sekali berputar menusuk ke
arah dadanya. Wiranti tersentak kaget, lalu buru-buru menarik tubuhnya ke
samping.
Wus!
Tongkat Eyang Jaraksa lewat di
depan dadanya. Dan sebelum Wiranti bisa menegakkan tubuhnya kembali, mendadak
saja tongkat putih di tangan kiri laki-laki tua itu sudah dikebutkan dengan
cepat
Tak!
“Hih...!” Wiranti tersentak kaget
Pedang gadis itu terpental ke
udara, namun cepat dikejarnya. Dan pada saat Wiranti berhasil meraih gagang
pedangnya di udara, Eyang Jaraksa sudah melompat cepat sambil melepaskan satu
pukulan keras ke dada gadis itu.
Begkh!
“Akh...!” Wiranti terpekik keras.
Gadis itu terpental deras ke
belakang, namun berhasil menguasai diri sebelum mendarat di tanah. Bersamaan
dengan itu, di depannya juga mendarat Eyang Jaraksa.
“Setan...,” desis Wiranti.
“Semuanya sudah berakhir,
Wiranti. Semua jurus-jurus yang kau miliki sudah kuketahui,” tegas Eyang
Jaraksa, agak dalam nada suaranya.
“Phuih!” dengus Wiranti sambil
menyemburkan ludahnya. Belum sempat Wiranti melakukan sesuatu, Eyang Jaraksa
sudah kembali menyerang. Tongkat putihnya berkelebatan cepat mengurung tubuh
gadis itu. Membuat Wiranti harus jumpalitan menghindar.
“Hiyaaa...!”
Satu sabetan tongkat yang cepat
membuat Wiranti jadi terperangah. Cepat pedangnya dikebutkan, menangkis tongkat
Eyang Jaraksa. Tapi pada saat yang hampir bersamaan, satu tendangan menggeledek
dilepaskan laki-laki tua itu.
Des!
“Akh...!” Wiranti terpekik keras.
Di saat gadis itu terpental ke belakang, Eyang Jaraksa sudah menusukkan ujung
tongkatnya yang runcing. Begitu cepatnya tusukan itu, sehingga Wiranti tidak
dapat lagi menghindar. Dan....
Crab!
“Aaa ...!”
Wiranti langsung ambruk
menggelepar. Darah mengalir keluar dari dada yang tertembus ujung tongkat yang
runcing hingga ke punggung. Sebentar gadis itu mengerang. Kemudian mengejang
kaku tak bergerak-gerak lagi. Eyang Jaraksa menarik napas panjang dan
menghembuskannya kuat-kuat.
Pada saat itu Rangga tiba di
tempat halaman padepokan. Dan tak lama kemudian, Suryadana, Pandan Wangi,
Arini, dan Purmita yang sudah sadar dari pingsannya tiba pula di tempat itu.
“Ayah...!” teriak Arini dan
Purmita bersamaan.
“Oh, Anakku...,” desah Eyang
Jaraksa seraya memeluk hangat kedua putrinya.
“Oh, semua murid-muridmu telah
tewas, Ayah!” teriak Arini kaget, ketika melihat banyak mayat-mayat
bergelimpangan di sekitar halaman padepokan.
“Mereka telah menunjukkan
pengabdian yang tulus. Aku benar-benar bahagia. Terlebih lagi, melihat kalian
selamat, tak kurang satu apa pun juga,” ujar Eyang Jaraksa.
“Tapi aku lapar, Ayah...,” rengek
Purmita manja.
“Eh...?!” Eyang Jaraksa
memandangi putri sulungnya ini.
Sebentar kemudian, laki-laki tua
itu jadi tertawa terbahak-bahak. Sungguh anak sulungnya ini hampir terlupakan.
Memang, Purmita kelihatan pucat dan kurus. Mungkin selama menjadi tawanan
Wiranti tidak pernah mendapat makan. Atau barangkali makanan yang disediakan
tidak enak dan tidak mengundang selera. Sedangkan Rangga, Pandan Wangi, Arini,
dan Suryadana hanya tersenyum saja.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
DARAH SERATUS BAYI
Emoticon