SATU
Tangisan bayi terdengar begitu
menyayat, memecah kesunyian malam yang begitu hening. Tangisan bayi itu berasal
dari sebuah rumah kecil berdinding bilik bambu. Di dalam kamar yang berukuran
tidak terlalu besar, seorang ibu muda tengah berusaha membujuk bayinya agar
berhenti menangis. Tidak jauh dari dipan kayu, duduk seorang laki-laki berusia
sekitar empat puluh tahun. Semua penduduk di Desa Jati Wengker, memanggilnya Ki
Sampir.
"Susui saja biar diam,
Nyai," ujar Ki Sampir sambil melinting daun tembakau.
"Heran! Dia tidak mau diam,
Kang," jelas wanita muda itu lesu.
"Badannya panas,
tidak?"
"Tidak."
Nyai Sampir mengeluarkan puting
susu, dan menyumpalkannya ke mulut bayi. Tapi bayi berusia beberapa bulan itu
malah meronta, tak mau disusui ibunya. Akibatnya, Nyai Sampir jadi kelabakan
juga melihat polah bayinya yang tidak seperti biasanya ini.
"Aku takut, jangan-jangan
ada yang mengganggunya, Kakang," kata Nyai Sampir, agak bergetar nada
suaranya.
"Jangan berpikir yang
bukan-bukan, Nyai," sergah Ki Sampir.
Nyai Sampir menggendong bayinya,
sambil menimang-nimang supaya diam. Tangisan bayi itu mulai mereda setelah
berada di dalam pelukan ibunya yang hangat. Tak berapa lama kemudian, bayi itu
tidak menangis lagi. Nyai Sampir mengeluarkan puting susunya kembali, dan
menyumpalkan ke mulut yang mungil itu.
"Dia tidak mau menyusu,
Kakang," kata Nyai Sampir.
Di wajahnya yang lesu, tersirat
kecemasan melihat bayinya tidak mau lagi menyusu. Sedangkan Ki Sampir diam
saja, seperti tidak peduli. Bahkan malah asyik mempermainkan asap tembakau yang
mengepul dari lubang hidungnya. Pada saat itu terdengar ketukan dipintu. Suami
istri itu saling berpandangan. Ketukan di pintu kembali terdengar semakin
keras.
"Siapa malam-malam begini
bertamu...?" dengus Ki Sampir enggan, seraya bangkit berdiri.
Laki-laki berusia sekitar empat
puluh tahun itu menghampiri pintu. Tapi belum juga sempat dibuka, mendadak saja
pintu yang terbuat dari kayu biasa itu sudah terdobrak dari luar.
Brak!
"Heh...?!"
Ki Sampir tersentak kaget. Cepat
dia melompat mundur, menghindari pecahan daun pintu rumahnya. Belum juga hilang
keterkejutan Ki Sampir dan istrinya, mendadak saja melesat masuk sesosok tubuh
hitam.
"Siapa kau...?!" bentak
Ki Sampir.
Sosok tubuh hitam yang wajahnya
tertutup kain hitam itu tidak menjawab. Matanya malah menatap Nyai Sampir yang
memeluk bayinya erat-erat di tepi dipan. Bola matanya nampak berkilat, melihat
bayi yang mungil dan montok di dalam pelukan ibunya.
"Aku minta bayimu,"
tegas sosok tubuh hitam itu. Suaranya terdengar dingin dan menggetarkan. Tak
ada tekanan nada. sedikit pun. Begitu datar, sehingga membuat Ki Sampir dan
istrinya terhenyak, seakan-akan tidak percaya dengan pendengarannya barusan.
Dan sebelum sempat ada yang menyadari, mendadak saja sosok tubuh hitam itu
melompat ke arah Nyai Sampir. Kedua tangannya terulur hendak merampas bayi
dalam pelukan Nyai Sampir.
"Hei...?!" seru Ki
Sampir.
"Hiyaaat...!"
Ki Sampir langsung melompat cepat
begitu tersadar, dan secepat itu pula dilepaskan satu pukulan keras ke arah
sosok tubuh hitam itu. Namun dengan hanya meliukkan tubuhnya sedikit, pukulan
Ki Sampir berhasil dielakkan. Dan kini sosok tubuh hitam itu berbalik, tidak
jadi merampas bayi di dalam gendongan ibunya.
"Aku hanya ingin bayimu.
Tapi kau sudah membuat kesulitan!" desis sosok hitam itu dingin.
Ki Sampir melangkah mundur
beberapa tindak. Disambarnya sebatang golok yang menempel di dinding rumah ini.
Seketika golok itu dikebutkan cepat sekali, sehingga saningnya terlempar ke
depan. Kalau saja sosok tubuh hitam itu tidak cepat mengegoskan tubuhnya ke
samping, sarung golok yang meluncur deras itu mungkin telah menghantam dadanya.
"Keluar kau dari
rumahku!" bentak Ki Sampir.
Ki Sampir yang sedikit menguasai
ilmu silat, sudah bisa meraba kalau sosok tubuh hitam ini pasti akan membuat
malapetaka bagi keluarganya. Maka goloknya cepat dikebutkan ke depan, mengarah
ke dada sosok tubuh hitam itu. Tapi dengan sedikit saja menarik tubuhnya ke
belakang, orang itu berhasil mengelakkan tebasan golok Ki Sampir. Dan sebelum
Ki Sampir bisa menarik pulang goloknya, dengan kecepatan yang luar biasa orang
berselubung kain hitam itu memberi satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi ke
kepala. Ki Sampir tidak sempat lagi menghindari serangan balasan yang cepat dan
mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Meskipun sudah berusaha, tapi tetap
saja pukulan itu menghantam keras kepalanya.
Prak!
"Aaakh...!" Ki Sampir
menjerit keras melengking tinggi. Laki-laki itu terhuyung-huyung sambil
memegangi kepalanya yang retak terkena pukulan begitu keras tadi. Sebentar
kemudian Ki Sampir jatuh menggelepar di tanah. Darah tampak merembes keluar
dari kepalanya. Sosok tubuh hitam itu mengambil golok Ki Sampir yang tergeletak
di lantai, lalu menghunjamkannya ke dada laki-laki malang ini.
Bres!
"Aaa...!"
Jeritan panjang yang menyayat,
mengakhiri hidup Ki Sampir malam ini. Sebentar tubuhnya masih mampu bergerak
meregang nyawa, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Darah semakin banyak
keluar dari dada yang tertembus goloknya sendiri.
"Tolooong....'" jerit
Nyai Sampir sekuat-kuatnya.
"Huh!" sosok tubuh
hitam itu mendengus.
Tubuh orang itu berputar, dan
cepat melompat menghampiri Nyai Sampir yang menjerit-jerit meminta tolong. Pada
saat itu, terdengar suara-suara kentongan dipukul bertalu-talu saling sambut.
Suara itu semakin ramai terdengar memecah kesunyian malam di Desa Jati Wengker
ini.
Nyai Sampir terus menjerit-jerit
sambil mempertahankan bayinya yang hendak dirampas sosok tubuh hitam itu. Maka
tarik-menarik pun terjadi. Yang satu ingin merebut bayi, yang satu ingin
mempertahankannya. Pertahanan Nyai Sampir membuat sosok tubuh hitam itu jadi
berang. Terlebih lagi, suara kentongan semakin ramai terdengar.
"Keparat, hih...!"
Plak!
"Akh...!"
Hanya sekali saja sosok tubuh
hitam itu melayangkan tamparan keras ke kepala, membuat Nyai Sampir terpekik.
Dia langsung jatuh tersungkur ke lantai rumahnya. Bayi yang dipertahankannya,
kini sudah berpindah tangan. Malah tangisnya semakin menggiris hati. Sebentar
sosok tubuh itu menatap Nyai Sampir yang tergeletak berlumuran darah yang
keluar dari kepalanya. Rupanya pukulan sosok tubuh hitam itu demikian keras,
sehingga kepala Nyai Sampir retak, dan tewas seketika.
Sementara suara kentongan di luar
semakin keras terdengar, dan menuju ke rumah ini. Sosok tubuh hitam itu cepat
memutar tubuhnya, lalu melesat ke luar melalui pintu yang terdobrak hancur.
Tapi begitu kakinya menjejak tanah diluar, beberapa orang sudah menyambutnya
dengan golok terhunus di tangan.
"Bunuh maling keparat
itu...!"
"Hiyaaa...!"
"Hup! Yeaaah...!"
Sambil menggendong bayi yang
terus menangis, sosok tubuh hitam itu berjumpalitan di udara menghindari
serangan-serangan yang datang dari beberapa orang. Sementara tidak jauh,
terlihat penduduk Desa Jati Wengker berlarian sambil berteriak-teriak mengacungkan
parang dan obor. Tampaknya mereka menuju ke rumah Ki Sampir.
"Setan alas...!" desis
sosok tubuh hitam itu ketika melihat penduduk Desa Jati Wengker berhamburan
kearahnya.
Ketika sosok tubuh hitam itu
menjejakkan kakinya di luar, beberapa orang sudah menyambutnya dengan golok
terhunus.
"Bunuh maling keparat
itu...!"
Sambil menggendong bayi yang
terus menangis, sosok tubuh hitam itu terus menghalau serangan-serangan yang datang
dari para penduduk. Maka dia cepat cepat melepaskan beberapa pukulan keras
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi ke arah beberapa orang yang
menyerangnya. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar,
disusul bertumbangannya tubuh-tubuh berlumuran darah.
Sosok tubuh hitam itu cepat
melompat kabur. Tapi beberapa penduduk yang mungkin sudah begitu marah,
langsung menyergap kembali. Sosok tubuh hitam itu terpaksa bergerak cepat,
berlompatan sambil melontarkan pukulan-pukulan keras mengandung pengerahan
tenaga dalam tinggi. Jeritan-jeritan panjang melengking terdengar saling
sambut. Sosok tubuh hitam itu segera melentingkan tubuh keudara, lalu hinggap
di atas sebatang pohon yang tinggi.
Sedikit matanya melirik ke arah
para penduduk yang terus berusaha mengejarnya. Namun, dia cepat melesat kabur
dan lenyap ke dalam lebatnya pepohonan, terselimut kegelapan malam. Penduduk
Desa Jati Wengker terus berusaha mengejar. Mereka semua membawa obor, membuat
suasana malam yang pekat menjadi terang benderang.
Tapi sosok tubuh hitam itu
benar-benar lenyap. Sementara itu dirumah Ki Sampir, seorang laki-laki setengah
baya bertubuh tegap yang terselimut baju putih agak ketat, tengah termenung
memandangi mayat suami istri itu. Beberapa orang masih terlihat disekitar rumah
itu. Empat orang juga terlihat di dalam rumah.
"Terlalu...!" desis
laki-laki setengah baya itu menggeram.
Dipandanginya empat orang yang
berada di dalam rumah ini. Mereka semua rata-rata masih muda, dan di pinggang
masing-masing terselip sebilah golok. Pada saat itu seorang laki-laki tua yang
rambutnya sudah memutih semua, menerobos masuk ke dalam. Dia sedikit tertegun
melihat mayat Ki Sampir dan istrinya tergeletak di lantai.
"Iblis itu sudah
kabur," kata laki-laki tua berjubah biru itu melaporkan. "Bagaimana
mereka?" dia menunjuk kedua mayat itu.
"Sudah meninggal,"
sahut laki-laki setengah baya.
"Kau harus segera bertindak,
Jumpana. Penculik bayi itu tidak bisa dibiarkan begitu saja," desis orang
tua berjubah biru itu.
Laki-laki setengah baya yang
dipanggil Jumpana, hanya terdiam saja. Kerut-kerut di wajahnya terlihat
menegang, menahan kemarahan yang meluap di dalam dada. Dia adalah Kepala Desa
Jati Wengker ini. Sedangkan laki-laki tua berjubah biru itu adalah pamannya.
Dan empat anak muda yang bersamanya adalah para pengawal kepala desa itu.
"Tidak ada jalan lain, aku
harus memberi tahu hal ini pada Eyang Wasista,"
Ki Jumpana memberi keputusan
seraya menatap laki-laki tua berjubah biru yang dikenal bernama Ki Ampal. Sudah
kukatakan sejak kemarin, iblis itu memiliki kepandaian yang sangat tinggi.
Memang sudah saatnya kau meminta bantuan ke Padepokan Awan Perak," tegas
Ki Ampal seperti. menyesali kelambanan Kepala Desa Jati Wengker ini.
"Landira...," panggil
Ki Jumpana.
"Ya, Ki," sahut seorang
anak muda yang mengenakan baju merah muda.
"Kau segera pergi ke
Padepokan Awan Perak. Katakan pada Eyang Wasista kalau aku membutuhkan
bantuannya. Juga ceritakan semua peristiwa yang terjadi di sini," perintah
Ki Jumpana.
"Malam ini juga, Ki?"
tanya pemuda yang dipanggil Landira itu.
"Iya, cepat...!"
Landira kelihatan ragu-ragu, tapi
akhirnya berangkat juga. Ki Jumpana kemudian memerintahkan pada tiga orang
pengawalnya yang lain untuk membereskan mayat Ki Sampir dan istrinya. Kemudian,
dia sendiri melangkah keluar dari rumah itu, diikuti oleh Ki Ampal. Sementara
di luar, masih banyak penduduk yang berkerumun. Mereka memandangi Ki Jumpana
dan Ki Ampal dengan wajah yang sukar dinikmati. Ki Jumpana hanya memandangi
mereka sesaat, kemudian melangkah pergi. Para penduduk yang berkerumun bergegas
menyingkir memberi jalan pada kepala desanya.
***
Siang itu seluruh penduduk Desa
Jati Wengker diselimuti suasana berkabung. Hampir semua penduduk mengantarkan
jenazah Ki Sampir dan istrinya ke tempat peristirahatan yang terakhir. Bagi
keluarga yang memiliki anak bayi, tentu merasa cemas akan keselamatannya.
Peristiwa semalam benar-benar telah menggemparkan seluruh Desa Jati Wengker.
Setelah menguburkan jenazah Ki Sampir dan istrinya, semua orang bergegas masuk
ke dalam rumah masing-masing.
Suasana di Desa Jati Wengker
benar-benar sunyi. Tak seorang pun terlihat berada diluar. Jalan desa yang
cukup besar tampak lengang. Hanya hewan-hewan piaraan saja yang terlihat
berkeliaran di jalan tanah berdebu ini. Sementara itu Ki Jumpana dan Ki Ampal
duduk-duduk di beranda depan rumah. Mereka memandangi jalan yang tampak
lengang, tanpa seorang pun terlihat disana. Tiga anak muda pengawal kepala desa
itu, berdiri di belakang Ki Jumpana.
"Kenapa Eyang Wasista belum
datang juga, Paman?" tanya Ki Jumpana seperti bertanya pada diri sendiri.
"Tunggu saja sebentar
lagi," sahut Ki Ampal menyabarkan.
Baru saja Ki Jumpana bangkit dari
duduknya, terdengar derap langkah kaki kuda dari kejauhan. Tak berapa lama kemudian,
terlihat debu membumbung keangkasa diujung jalan. Lamat-lamat, terlihat empat
ekor kuda dipacu cepat membelah jalan yang berdebu ini, Ki Jumpana bergegas
melangkah keluar dari beranda rumahnya, disusul Ki Ampal dan tiga orang pemuda
pengawal kepala desa itu.
Setelah cukup dekat, baru
terlihat jelas keempat penunggang kuda itu. Seorang penunggang yang berada
paling depan adalah Landira, utusan Ki Jumpana yang ditugaskan ke Padepokan
Awan Perak. Sedangkan tiga penunggang kuda lainnya yang berada di belakang,
adalah tiga orang pemuda yang cukup tampan dan tegap. Masing-masing di pinggang
mereka tergantung sebilah pedang panjang yang ujung gagangnya berbentuk bulan
sabit.
"Hooop...!"
Keempat penunggang kuda itu
segera berlompatan turun begitu berada dekat didepan Ki Jumpana. Mereka
serentak membungkuk memberi hormat. Landira bergegas menghampiri kepala desa
itu, dan kembali memberi hormat.
"Mana Eyang Wasista?"
Ki Jumpana langsung bertanya tidak sabar.
"Maaf, Ki. Eyang Wasista
sedang berhalangan. Dan beliau mengirimkan tiga orang murid utamanya. Widura,
Jambala, dan Sentaka," Landira memperkenalkan ketiga pemuda yang datang
bersamanya.
Ki Jumpana memandangi ketiga anak
muda yang memberi hormat dengan membungkukkan tubuhnya. Ki Jumpana sudah
mengenal yang bernama Widura, tapi dua orang lainnya tidak dikenalnya. Mereka
memang berasal dari Padepokan Awan Perak, dan merupakan murid utama Eyang
Wasista.
"Mari, silakan masuk,"
ajak Ki Jumpana.
Semula kepala desa itu agak
kecewa. Tapi setelah mengetahui kalau yang dikirim adalah Widura, kekecewaannya
sedikit terkikis. Dia memang sudah melihat dan mengetahui kemampuan yang
dimiliki Widura. Meskipun masih berusia sekitar dua puluh lima tahun, tapi
Widura sudah memiliki kepandaian tinggi. Malah boleh dikatakan sukar dicari
tandingannya disekitar Desa Jati Wengker.
Mereka semua kemudian masuk ke
dalam rumah Ki Jumpana yang cukup besar ini. Mereka duduk di depan, melingkari
sebuah meja bundar yang cukup besar. Ki Jumpana sendiri duduk didampingi
pamannya, Ki Ampal. Landira dan ketiga pengawal lainnya berdiri di belakang
kepala desa itu. Sedangkan di depan Ki Jumpana, duduk Widura, Jambala, dan
Sentaka.
Pada saat itu keluar seorang
gadis berwajah cukup cantik mengenakan baju merah muda yang agak ketat,
sehingga memetakan bentuk tubuhnya yang ramping dan gempal. Dia membawa sebuah
baki perak, berisi cawan perak dan tiga buah guci arak. Diletakkannya minuman
itu diatas meja, dan diisinya cawan-cawan itu dengan arak yang menyebarkan bau
harum mengundang selera.
"Silakan," ucap gadis
itu lembut, sambil menghiasl bibirnya dengan senyum manis.
"Terima kasih," ucap
Widura juga memberi senyum cukup manis pula.
Mereka kemudian menikmati arak
yang disediakan tadi. Ki Jumpana memperkenalkan gadis itu, yang ternyata memang
putrinya. Namanya Kinanti. Widura sempat melirik ke arah Kinanti, yang pada
saat itu juga melirik ke arahnya. Entah kenapa, wajah Kinanti seketika berubah
memerah. Cepat-cepat kepalanya tertunduk menyembunyikan rona merah diwajahnya.
"Aku ke belakang dulu,
Ayah," pamit Kinanti.
Tanpa menunggu jawaban ayahnya,
Kinanti bergegas meninggaikan ruangan depan ini. Sebentar Widura masih sempat
memandangi, sampai gadis itu lenyap dibalik pintu. Kemudian pandangannya cepat
dialihkan, saat mendengar batuk kecil dari Ki Jumpana.
"Kalian pasti sudah tahu,
apa yang sedang terjadi di desa ini," kata Ki Jumpana membuka pembicaraan.
"Kakang Landira sudah
bercerita cukup banyak di perjalanan, Ki," jelas Widura dengan sikap sopan.
"Kalau begitu, aku tidak
perlu lagi bercerita banyak," ujar Ki Jumpana.
"Hanya ada satu pertanyaan,
Ki," pinta Widura.
"Katakan," sahut Ki
Jumpana.
"Apakah peristiwa ini sudah
pernah terjadi sebelumnya di sini?" tanya Widura.
"Sejak aku menjadi Kepala
Desa Jati Wengker ini, belum pernah terjadi suatu peristiwa yang sampai
menimbulkan korban jiwa. Dan ini peristiwa pertama yang dialami penduduk Desa
Jati Wengker," jelas Ki Jumpana.
"Lalu, apa saja yang
diambilnya, Ki?" tanya Widura lagi.
"Anak bayi," sahut Ki
Jumpana.
"Bayi...?" Widura
mengerutkan keningnya.
"Tidak ada harta sedikit
pun...?"
"Tidak. Hanya bayi yang
diambil iblis itu. Aku sendiri tidak tahu, untuk apa bayi yang baru berumur
beberapa bulan diculiknya. Dan peristiwa semalam, orang itu sempat membunuh dua
suami istri sebelum mengambil bayinya. Malah beberapa penduduk yang mencoba
menangkap, juga ada yang tewas. Bahkan tidak sedikit yang terluka parah."
"Hm.... Tampaknya orang itu
memiliki kepandaian tinggi juga. Dan yang pasti, perbuatannya itu memiliki
tujuan," agak bergumam nada suara Widura.
"Kau tahu, kenapa dia
menculik bayi?"
"Hanya ada dua kemungkinan,
Kakang Widura," sahut Jambala.
"Apa?"
"Untuk dirinya sendiri, atau
untuk orang lain."
"Maksudmu?"
Jambala tidak segera menjawab.
Pandangannya segera beredar merayapi wajah-wajah yang ada di ruangan ini.
Mereka semua mengharapkan penjelasan dari Jambala, yang tampaknya mengerti
persoalan seperti ini.
***
DUA
"Pertama, orang itu menculik
untuk dirinya sendiri. Entah untuk bersekutu dengan iblis, atau untuk
kesempurnaan ilmu yang sedang dituntutnya," jelas Jambala.
"Lalu yang kedua?"
tanya Ki Jumpana tidak sabar ingin tahu.
"Untuk orang lain,"
sahut Jambala.
"Maksudmu?"
"Orang yang menyuruhnya
menggunakan bayi itu untuk menuntut ilmu hitam, atau untuk membangkitkan orang
mati. Memang aku pemah mendengar adanya ilmu yang dengan perantara darah dari
bayi-bayi, bisa membangkitkan orang mati," kembali Jambala menjelaskan.
"Ohhh...," desah Ki
Jumpana panjang.
Sungguh tidak diduga kalau
persoalan penculikan bayi ini akan melibatkan orang-orang berkepandaian tinggi,
yang tidak mungkin bisa dihadapinya. Terlebih lagi untuk ukuran penduduk Desa
Jati Wengker, yang sebagian besar penduduknya bercocok tanam. Bahkan banyak
dari mereka yang tidak mengerti ilmu olah kanuragan sedikit pun juga.
Penjelasan Jambala memang bisa
membuat semua orang menjadi resah. Tapi memang itulah kenyataan yang sedang
dihadapi sekarang ini. Lagi pula, untuk apa orang berpakaian serba hitam itu
menculik bayi...? Bahkan sekarang ini sudah mulai menggunakan kekerasan, dan
sudah menimbulkan begitu banyak korban jiwa.
"Apa yang harus kulakukan
sekarang...?" desah Ki Jumpana seperti mengeluh.
"Kita atur penjagaan di
setiap sudut desa, Ki. Kumpulkan pemuda-pemuda yang memiliki kepandaian silat,
meskipun hanya sedikit. Pokoknya semua orang didesa ini bertanggung jawab atas
keselamatan diri sendiri dan semua orang di desa ini. Terutama, kaum
laki-lakinya," Widura langsung memberi saran.
"Tidak banyak pemuda di desa
ini yang mengerti ilmu silat, Widura," jelas Ki Jumpana, tentang keadaan
desanya yang memang sangat lemah di dalam pertahanan.
"Paling tidak, kita buat
beberapa pos penjagaan di luar batas desa yang sering dilalui orang,"
saran Widura lagi.
"Benar, Ki. Penjagaan dapat
diatur secara bergilir. Katakanlah, kita membuat pagar betis, dan mewaspadai
siapa saja yang masuk ke desa ini," sambung Sentaka yang sejak tadi diam
saja.
"Baiklah. Aku serahkan semua
ini padamu, Widura," Ki Jumpana menyetujui usul murid utama Padepokan Awan
Perak itu.
Meskipun dicekam ketakutan yang
amat sangat, tapi penduduk Desa Jati Wengker bersedia mengadu nyawa dalam
menghadapi manusia iblis penculik bayi itu. Dan begitu mendengar kalau ketiga
murid utama Padepokan Awan Perak membutuhkan tenaga untuk penjagaan keamanan,
tanpa disuruh lagi mereka segera mendaftarkan diri. Bukan hanya para pemuda,
tapi juga orang-orang tua ikut serta dalam barisan keamanan desa.
Hal ini membuat Ki Jumpana
terharu atas kesetiaan warga desanya. Maka tanpa sungkan-sungkan lagi, dia
turun langsung dalam pembuatan pos penjagaan dibeberapa tempat di pinggiran
desa, yang memang sering dilalui orang-orang keluar masuk desa ini. Mereka juga
membuat pos penjagaan di beberapa tempat yang dianggap tepat untuk mendirikan
pos penjagaan.
Malam itu suasana di Desa Jati
Wengker terlihat lain dari biasanya. Di beberapa sudut desa, terlihat obor menyala
terang dari pos-pos penjagaan yang dibuat penduduk bersama ketiga murid
Padepokan Awan Perak. Setiap pos penjagaan berisi paling tidak, tiga atau empat
orang yang memegang senjata apa saja yang bisa digunakan.
"Kau yakin dengan begini
bisa mengatasi keadaan, Kakang Widura?" tanya Sentaka.
Saat itu ketiga murid Padepokan
Awan Perak tengah berkeliling Desa Jati Wengker. Mereka mengadakan perondaan
untuk menjaga segala kemungkinan yang bakal terjadi setiap saat, meskipun
seluruh Desa Jati Wengker tampaknya dalam penjagaan yang ketat malam ini.
"Kita lihat saja. Ini baru
permulaan," sahut Widura kalem.
Tapi mendadak saja ayunan langkah
mereka terhenti ketika terdengar teriakan panjang melengking tinggi. Sebentar
ketiga murid Padepokan Awan Perak itu saling melemparkan pandangan, kemudian
serentak berlompatan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh, menuju sumber
teriakan tadi. Begitu cepatnya mereka bergerak, sehingga dalam waktu sebentar
saja sudah sampai di depan sebuah rumah yang dikerumuni orang-orang. Nyala api
obor menerangi sekitarnya. Mereka yang berkerumun, segera menyingkir begitu
melihat kedatangan ketiga murid Padepokan Awan Perak itu.
"Ada apa ini...?" tanya
Widura seraya menerobos masuk dari pintu yang hancur berantakan.
Di dalam rumah, terlihat dua
mayat tergeletak di lantai. Di dekat mayat-mayat itu tampak seorang wanita
tengah terduduk sambil menangis menggerung-gerung. Widura bergegas
menghampirinya. Darah mengucur dari bahu kanan wanita itu, seperti tersabet
senjata tajam. Pada saat itu, Ki Jumpana menerobos masuk diikuti Ki Ampal dan
Kinanti.
"Ki... Tolong, Ki. Dia
menculik bayiku...," rintih wanita itu begitu melihat Ki Jumpana.
Wanita itu langsung menubruk Ki
Jumpana, dan menangis sesenggukan sambil memeluk kaki kepala desanya. Ki
Jumpana membangunkannya perlahan-lahan, lalu menyerahkan wanita itu pada
Kinanti Putri kepala desa itu kemudian membawanya duduk di balai-balai bambu
yang hampir berantakan.
"Kita kecolongan,
Widura," desah Ki Jumpana seraya menatap Widura.
Murid Padepokan Awan Perak hanya
terdiam saja merayapi dua sosok tubuh yang sudah tak bernyawa lagi. Darah masih
mengucur menggenangi lantai. Malam ini mereka benar-benar kecolongan. Korban
sudah jatuh lagi, meskipun penjagaan begitu ketat.
"Apa tidak ada yang melihat
kedatangannya?" tanya Ki Ampal.
Tak seorang pun yang menjawab.
Mereka yang bertugas jaga memang sama sekali tidak melihat kedatangan penculik
bayi itu. Semua peronda langsung berdatangan begitu mendengar jeritan, tapi
keadaan di rumah ini sudah berantakan. Bahkan sudah tergeletak dua mayat.
Peristiwa semalam membuat Widura
jadi lebih senang menyendiri. Hal ini merupakan pukulan berat bagi dirinya. Dia
tidak tahu lagi, harus berbuat apa untuk mengatasi keadaan yang jelas semakin
memburuk. Meskipun semua laki-laki di Desa Jati Wengker ini masih tetap
meronda, tapi peristiwa penculikan bayi itu tetap saja berlangsung. Bahkan
sudah tiga malam ini kejadian itu terulang, tanpa ada seorang pun yang berhasil
memergokinya.
Mereka yang sempat hidup, hanya
mengatakan kalau penculik itu mengenakan baju serba hitam. Tak ada seorang pun
yang bisa mengenali wajahnya yang terselubung kain hitam. Hal ini membuat
Widura harus memeras otak untuk menghentikan penculikan bayi itu.
"Kakang...."
Widura berpaling ketika mendengar
sapaan lembut dari belakang. Tampak Kinanti sudah berdiri dekat dibelakangnya.
Sungguh tidak diketahuinya kalau gadis ini sudah di dekatnya. Pikirannya memang
tadi tengah melayang, sehingga tidak mengetahui kedatangan Kinanti. Widura menggeser
duduknya, memberi tempat pada putri kepala desa itu. Namun Kinanti malah duduk
di depan pemuda murid Padepokan Awan Perak ini.
"Sejak pagi tadi, kau
kuperhatikan tidak beranjak dari sini," kata Kinanti.
"Aku memikirkan keadaan yang
semakin memburuk," ujar Widura seraya menghembuskan napas panjang.
"Bukan hanya kau saja,
Kakang Widura. Semua orang juga resah. Iblis penculik bayi itu benar-benar
cerdik," timpal Kinanti.
Pada saat itu Jambala datang
menghampiri tergopoh-gopoh. Widura segera bangkit dan menunggu sampai Jambala
dekat.
"Ada apa, Jambala?"
tanya Widura.
"Kau ditunggu Ki Jumpana.
Ada utusan dari Desa Gadak Arum," sahut Jambala memberi tahu.
"Ada apa mereka datang ke
sini...?" tanya Widura seperti bertanya untuk dirinya sendiri.
"Aku tidak tahu. Sebaiknya,
segeralah temui mereka," sahut Jambala.
Widura bergegas melangkah tanpa
bicara lagi, sedangkan Jambala dan Kinanti mengikuti dari belakang. Mereka kini
berjalan cepat menuju rumah Kepala Desa Jati Wengker. Beberapa orang terlihat
di depan rumah. Juga ada sekitar dua puluh kuda yang berjajar di bawah pohon
waru. Widura langsung menerobos masuk ke dalam rumah yang cukup besar itu. Di
dalamnya, sudah menunggu Ki Jumpana yang selalu didampingi Ki Ampal. Ada enam
orang duduk di seberang meja kepala desa itu. Ki Jumpana langsung
memperkenalkan Widura pada empat orang utusan dari Desa Gadak Arum. Widura
menganggukkan kepala, kemudian duduk di samping Sentaka.
"Mereka datang untuk meminta
si lblis Seribu Nyawa...," kata Ki Jumpana langsung memberi tahu maksud
kedatangan utusan dari Desa Gadak Arum itu.
"Iblis Seribu Nyawa...?
Siapa dia?" tanya Widura.
"Itulah yang tidak
kumengerti, Widura. Mereka menyangka kalau si Iblis Seribu Nyawa tinggal di
desa ini," kata Ki Jumpana, agak mendesah suaranya.
Widura memandangi empat orang
laki-laki dari Desa Gadak Arum. Dia tahu, Desa Gadak Arum cukup jauh letaknya
dari Desa Jati Wengker ini. Mereka harus melewati Hutan Alas Waru yang jarang
sekali dilalui orang.
"Maaf. Kenapa
saudara-saudara menyangka kalau desa ini menjadi tempat tinggal si..., siapa
tadi namanya?" tanya Widura pada laki-laki bertubuh kekar dan berkumis
tebal melintang, yang duduk tepat di depannya.
"Iblis Seribu Nyawa,"
sahut laki-laki kekar itu. Tadi Ki Jumpana memperkenalkan namanya adalah
Jongkor.
"Ya.... Kenapa
saudara-saudara menyangka kalau si Iblis Seribu Nyawa tinggal di sini?"
Widura mengulangi pertanyaannya.
"Sudah lama kami mengejar
iblis itu. Dan kami dengar, iblis itu sekarang berada di sini...," jelas
Jongkor.
"Begini, Saudara Jongkor.
Saat ini kami juga tengah menghadapi malapetaka besar. Hampir setiap malam kami
kehilangan anak-anak bayi...."
"Apa...?!" Jongkor
terbeliak, sebelum Widura menyelesaikan kalimatnya.
"Kenapa terkejut, Saudara
Jongkor?" tanya Widura.
"Tunggu dulu...," ujar
Jongkor. "Jadi kalian juga sedang berhadapan dengan iblis itu...?"
Kini ganti Widura dan Ki Jumpana
yang terkejut. Mereka semua jadi terdiam dan saling pandang. Tanpa diduga sama
sekali, ternyata utusan dari Desa Gadak Arum ini juga berurusan dengan si
penculik bayi yang selama beberapa hari ini membuat keresahan di Desa Jati
Wengker.
"Kenapa kau tidak
mengatakannya dari tadi, Kakang Jumpana?" Jongkor tampak menyesalkan Ki
Jumpana yang tidak mengatakan hal itu sejak tadi, dan malah menunggu kedatangan
Widura.
"Aku ingin mengatakannya,
tapi kau selalu saja mendesakku untuk menyerahkan iblis itu. Mana sempat
semuanya kujelaskan padamu...?" dengus Ki Jumpana tidak terima disalahkan.
"Maaf. Masalahnya, Iblis itu
sudah mengambil lebih dari dua puluh bayi didesaku," jelas Ki Jongkor yang
ternyata memangku jabatan kepala desa juga di Desa Gadak Arum.
"Dua puluh bayi...?!"
Ki Jumpana terbeliak mendengarnya.
"Benar! Dan entah berapa
nyawa lagi yang akan melayang. Tapi, beberapa hari ini dia tidak muncul. Dan
baru dua hari yang lalu kudengar kalau iblis keparat itu ada di sini. Bahkan
beberapa desa yang juga bernasib sama dengan Desa Gadak Arum, sudah tahu kalau
si Iblis Seribu Nyawa selalu masuk ke desa ini setelah melakukan penculikan
terhadap bayi-bayi berumur beberapa bulan," jelas Ki Jongkor, singkat dan
jelas.
"Ooo.... Jadi kau menyangka kalau
Iblis itu salah seorang warga desaku...?" terdengar agak sumbang nada
suara Ki Jumpana.
"Semula kuduga begitu. Maaf,
aku tidak tahu kalau di desa ini juga mengalami hal yang sama," ucap Ki
Jongkor.
"Ah, sudahlah.... Aku sedang
mengalami musibah besar, dan tolong jangan menambah-nambahi lagi," desah
Ki Jumpana.
"Kalau begitu, kami mohon
diri. Maaf telah mengganggu ketenanganmu, Kakang Jumpana," ucap Ki Jongkor
seraya bangkit berdiri.
"Tunggu dulu...!" cegah
Widura.
Ki Jongkor tidak jadi melangkah keluar
dari ruangan ini.
"Apa kau tidak ingin
menangkap si Iblis Seribu Nyawa itu?" tanya Widura.
"Sudah terlalu banyak aku
kehilangan orang, hanya untuk menangkap iblis itu. Bagiku sekarang, yang
terbaik adalah memperkuat keamanan desa sendiri. Iblis itu akan pergi kalau
bayi-bayi disini sudah habis. Dia pasti akan muncul bila mencium bau darah
bayi," jelas Ki Jongkor.
Setelah berkata demikian, Kepala
Desa Gadak Arum itu beranjak pergi diikuti pengawal-pengawalnya. Ki Jumpana
bergegas mengikuti dan berdiri di ambang pintu mmahnya. Saat itu Ki Jongkor
sudah berada di punggung kudanya. Ada sekitar dua puluh orang yang ikut
bersamanya. Setelah memberi salam penghormatan, Ki Jongkor cepat menggebah
kudanya meninggalkan rumah kepala desa itu.
"Setan! Tingkahnya dari dulu
tidak pernah berubah!" rutuk Ki Jumpana.
"Tetap saja dia mementingkan
diri sendiri, tanpa mempedulikan kesulitan orang lain," sambung Ki Ampal
juga mendengus.
Sementara itu Widura, Sentaka,
dan Jambala masih tetap duduk menghadap meja besar di ruangan depan yang cukup
luas. Mereka saling berpandangan satu sama lainnya, kemudian sama-sama beranjak
pergi, dan keluar dari pintu lain.
"Apa yang harus kita lakukan
sekarang, Kakang Widura?" tanya Jambala setelah mereka berada di luar
rumah Ki Jumpana.
"Iblis Seribu Nyawa....
Hm..., sepertinya nama itu pernah kudengar," gumam Widura perlahan,
seperti bicara pada diri sendiri.
"Kau benar, Kakang. Kita
memang pernah mendengarnya sama-sama dari Eyang Wasista," tegas Sentaka
yang lebih pendiam dan tidak banyak bicara.
"Ya...! Aku ingat
sekarang...!" sentak Widura seperti baru terbangun dari ingatannya.
"Tapi apa mungkin dia
orangnya, Kakang? Bukankah Eyang Wasista pernah cerita kalau si Iblis Seribu
Nyawa sudah tewas," sergah Jambala.
"Memang rasanya tidak
mungkin, Kakang," sambut Sentaka.
"Apa kalian tidak mendengar
kata-kata Ki Jongkor tadi...?" ujar Widura.
"Dia mengatakan kalau
perusuh itu bernama Iblis Seribu Nyawa."
"Tapi kita belum membuktikan
kebenarannya, Kakang. Mungkin dia hanya mengada-ada saja menyebut nama
itu," kilah Jambala lagi.
"Aku rasa, sudah waktunya
kita memberitahukan hal ini pada Eyang Wasista," ujar Widura agak
menggumam.
"Apa itu sudah perlu,
Kakang?" tanya Sentaka.
"Benar, Kakang Widura.
Sebaiknya diseliki dulu kebenaran cerita Ki Jongkor tadi. Siapa tahu bukan si
Iblis Seribu Nyawa, tapi orang lain yang menggunakan nama itu hanya untuk
menakut-nakuti saja," Jambala membenarkan pendapat Sentaka.
"Dari mana kita mulai
menyelidikinya? Sedangkan, sampai saat ini belum ada yang melihat wujud si
penculik bayi itu," tanya Widura.
"Kenapa tidak dimulai dari
Hutan Alas Waru saja, Kakang?" usul Sentaka.
"Benar, Kakang. Ki Jongkor
bilang, si Iblis Seribu Nyawa selalu menghilang di Hutan Alas Waru yang menuju
Desa Jati Wengker ini. Dugaanku, dia bersembunyi tidak jauh dari desa
ini," selak Jambala.
Widura mengangguk-anggukkan
kepala. "Kita tidak perlu ke sana. Lebih baik, malam ini tunggu dia di
perbatasan dekat Hutan Alas Waru," ujar Widura.
"Kalau memang benar dia
datang dari sana, siangnya kita geledah seluruh hutan itu." Sentaka dan
Jambala tersenyum.
Paling tidak, dengan kedatangan
Ki Jongkor, sekarang mereka mempunyai gambaran untuk bertemu si perusuh itu.
Dan ketiga murid Padepokan Awan Perak ini bersepakat untuk menunggu si penculik
bayi itu di dekat perbatasan Hutan Alas Waru dan Desa Jati Wengker.
Seperti yang sudah direncanakan,
Widura dan kedua adik seperguruannya sudah berada di perbatasan Desa Jati
Wengker dan Hutan Alas Waru. Mereka sudah berada di sana pada saat matahari
tenggelam. Ada dua pos penjagaan tidak jauh dari perbatasan ini, dan terlihat
sekitar enam orang berjaga-jaga di sana. Sementara malam terus merayap semakin
larut. Ketiga murid Padepokan Awan Perak itu menanti dengan perasaan tegang dan
mencekam. Mereka menunggu munculnya orang yang selama ini mengacau beberapa
desa di sekitar Hutan Alas Waru. Sosok yang belum dikenal, tapi sudah
menimbulkan begitu banyak korban.
"Kau yakin malam ini iblis
itu akan muncul, Kakang?" tanya Sentaka, agak berbisik suaranya.
"Mudah-mudahan saja dia
muncul," sahut Widura.
"Tapi bisa saja dia muncul
dari arah lain," sergah Sentaka lagi.
"Ssst...! Dengar...,"
desis Jambala.
Sentaka dan Widura terdiam.
Mereka memasang telinga tajam-tajam. Sayup-sayup terdengar suara tangisan bayi.
Begitu jauh, seakan-akan berada diseberang Hutan Alas Waru ini. Ketiga murid
dari Padepokan Awan Perak itu saling berpandangan. Kemudian mereka cepat keluar
dari tempat persembunyian ketika tangis bayi itu semakin keras terdengar, dan
berasal dari Desa Jati Wengker.
Pada saat itu terlihat sebuah
bayangan hitam berkelebat cepat melintasi dua pos penjagaan. Enam orang yang
berada didalam pos penjagaan itu tampak terkejut, dan langsung berhamburan
keluar untuk mengejar bayangan hitam yang berlari cepat ke arah Hutan Alas
Waru.
"Itu dia...!" seru
Widura.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Hup! Yeaaah...!"
Ketiga murid Padepokan Awan Perak
itu berlompatan cepat menuju ke arah sosok hitam yang berlari cepat sambil
membawa sesuatu dalam pelukannya. Begitu cepatnya ketiga pemuda itu
berlompatan, sehingga berhasil mengejar dan menghadang sosok tubuh hitam itu.
"Berhenti...!" sentak
Widura lantang. Sosok tubuh hitam itu seketika menghentikan larinya. Widura dan
kedua adik seperguruannya sempat tertegun, karena wajah orang itu tidak dapat
dikenali. Seluruh kepala dan wajahnya tertutup kain hitam yang pekat. Hanya dua
lubang kecil saja terlihat di matanya.
"Phuih! Rupanya kalian murid
si jahanam Wasista!" desis orang berbaju serba hitam itu dingin
menggetarkan.
"Sudah..., jangan banyak
omong.
Serang saja iblis keparat itu,
Kakang Widura," sergah Jambala yang memang sudah tidak sabar lagi.
"Hiyaaat...!"
Jambala langsung melompat sambil
memberi satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Namun sosok
tubuh hitam itu berhasil mengelakkan serangan dengan meliukkan tubuhnya ke
kanan. Dan dengan cepat sekali tubuhnya berputar, lalu memberi satu tendangan
keras luar biasa.
"Hait!"
Jambala cepat melentingkan
tubuhnya dan langsung berputar ke belakang, menghindari tendangan sosok tubuh
hitam itu. Pada saat yang sama, Sentaka sudah melompat cepat menyerang.
Pedangnya langsung dicabut, dan dikibaskan ke arah kepala orang itu. Tapi tanpa
diduga sama sekali, orang itu berputar dan memasang dadanya.
"Heh...!" Sentaka
terkejut setengah mati.
Cepat-cepat serangannya ditarik
kembali, karena di depan dada orang berbaju serba hitam itu terpeluk sosok bayi
yang terselimut kain tebal. Dan pada saat yang tepat, sosok tubuh hitam itu
melepaskan satu tendangan ke arah Sentaka. Tendangan yang cepat dan tidak
terduga itu tak dapat lagi dihindari lagi.
Des!
"Akh!" Sentaka terpekik
agak tertahan.
Tubuh pemuda itu terpental sejauh
dua batang tombak ke belakang, namun cepat memutar tubuhnya. Kakinya berhasil
dijejakkan di tanah, meskipun agak terhuyung. Sentaka merasakan dadanya jadi
sesak, akibat tendangan orang itu.
"Hiyaaat...!"
Kali ini Jambala melakukan
serangan kilat. Pedangnya yang tergantung dipinggang dikeluarkan. Seketika
pedang itu cepat dikebutkan ke arah kaki sosok tubuh hitam dari arah samping
kanan. Dan sosok tubuh hitam itu hanya mengangkat kaki kanannya saja, membuat
tebasan padang Jambala berada di bawah telapak kaki, orang berbaju serba hitam
itu cepat menurunkan kakinya. Langsung dijejaknya pedang itu hingga ke tanah.
"Hih...!"
Jambala mencoba menarik
pedangnya. Pada saat yang sama, orang berbaju hitam itu mengangkat kakinya,
langsungdiberikannya satu tendangan keras yang tepat menghantam dada Jambala.
Diegkh!
"Akh...!" Jambala
terpekik keras. Murid Padepokan Awan Perak itu terpental ke belakang sejauh
satu batang tombak. Jambala jatuh bergulingan di tanah beberapa kali, dan cepat
melompat bangkit berdiri sambil memegangi dadanya yang terasa begitu sesak.
"Kalian belum cukup
melawanku! Suruh si Wasista ke sini...!" dengus orang itu dingin.
"Kau sudah berani menghina
guruku, Iblis...!" desis Widura yang sejak tadi tidak melakukan serangan.
Sosok hitam itu memutar tubuhnya,
langsung menatap tajam Widura. Sedangkan Widura sendiri menatap tidak kalah
tajamnya. Beberapa saat mereka saling berhadapan dan bertatapan tajam, seakan
akan sedang mengukur kepandaian masing-masing.
Sret!
Widura langsung mencabut
pedangnya. Sudah bisa diketahui kalau orang yang dihadapinya ini berkepandaian
tinggi. Ini terbukti dari caranya menjatuhkan Jambala dan Sentaka dengan mudah
sekali. Meskipun kedua adik seperguruannya tidak mengalami luka yang berarti,
tapi sudah membuat Widura harus berhati-hati menghadapinya.
"Kalian akan menyesal karena
berani berurusan dengan Iblis Seribu Nyawa...!" desis orang berbaju serba
hitam itu.
"Kau yang akan menyesali
malam naasmu saat ini, Iblis Keparat..!" desis Widura tidak kalah
dinginnya.
"Hap!"
Sosok tubuh hitam yang menamakan
dirinya Iblis Seribu Nyawa itu, segera mengebutkan tangan kanannya. Sedangkan
tangan kirinya tetap memeluk bayi yang kini sudah diam, karena jalan darahnya
diberi totokan lunak agar tidak terus menangis.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras
menggelegar, Widura cepat melentingkan tubuhnya ke udara. Lalu, dia meluruk
deras sambil cepat memutar pedangnya. Dan begitu kakinya menjejak tanah di
depan Iblis Seribu Nyawa, pedangnya langsung dikebutkan ke arah perut orang
berbaju serba hitam itu.
Bet!
"Uts!"
***
TIGA
Hanya sedikit saja Iblis Seribu
Nyawa menarik kakinya ke belakang, maka tebasan pedang Widura berhasil
dielakkannya. Lalu kakinya cepat diangkat Langsung diberikannya satu tendangan
berputar yang cepat dan dahsyat. Widura bergegas melompat ke belakang. Dan
begitu tendangan itu lewat, kembali tubuhnya melesat sambil menusukkan
pedangnya.
"Hiyaaat...!"
Bet!
"Hap!"
Manis sekali Iblis Seribu Nyawa
menarik tubuhnya ke kanan, sehingga pedang Widura lewat sedikit di samping
tubuhnya. Pada saat itu, dilepaskannya satu sodokan keras ke arah perut. Namun
dengan cepat Widura menghentakkan tangan kirinya, menangkis sodokan orang
berbaju serba hitam itu.
Plak!
Satu benturan tangan tak dapat
dihindari lagi. Widura cepat menarik kakinya ke belakang beberapa langkah.
Mulutnya meringis, karena tangannya seperti tersengat jutaan lebah ketika
berbenturan tadi.
"Hap!"
Widura cepat mengebutkan
pedangnya ke depan, ketika Iblis Seribu Nyawa sudah memberi satu pukulan lagi
dengan tangan kanan. Kebutan pedang Widura membuat orang berbaju serba hitam
itu terpaksa menarik pulang serangannya. Saat yang bersamaan, Jambala dan
Sentaka berbarengan berlompatan menyerang. Pedang mereka berkelebatan cepat
mencecar manusia berpakaian serba hitam itu.
Sementara dari arah Desa Jati
Wengker, terlihat orang-orang berlarian menuju ke arah pertarungan itu. Cahaya
obor seakan-akan hendak merubah suasana malam yang pekat ini menjadi terang
benderang. Suara kentongan pun terdengar dipukul bertalu-talu saling sambut dan
saling susul. Maka malam yang semula sunyi, kini jadi ramai. Bahkan juga
ditingkahi teriakan-teriakan penduduk Desa Jati Wengker yang berdatangan
menghampiri pertarungan ketiga murid Padepokan Awan Perak itu melawan si Iblis
Seribu Nyawa.
"Kepung...! Dia jangan
diberi kesempatan kabur...!" terdengar teriakan keras menggelegar memberi
perintah.
Tampak Ki Jumpana mengatur warga
desanya untuk mengepung tempat itu. Sementara pertarungan antara ketiga murid
Padepokan Awan Perak melawan si Iblis Seribu Nyawa terus berlangsung sengit.
Melihat sekitar tempat itu sudah terkepung puluhan penduduk Desa Jati Wengker,
manusia serba hitam itu jadi kelabakan juga.
"Sial...!" rutuknya
sengit.
Keadaan yang tidak menguntungkan
ini membuat Iblis Seribu Nyawa jadi geram. Tapi justru hal itu membuatnya
kurang waspada. Akibatnya satu pukulan yang dilepaskan Widura tidak dapat
dihindari lagi, telak menghantam dadanya. Dia terhuyung-huyung ke belakang. Dan
sebelum bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, kembali harus menerima satu
tendangan keras dari Jambala.
"Hiyaaa...!"
Sentaka tidak mau ketinggalan.
Dengan cepat dia menerjang. Pedangnya kontan dibabatkan ke punggung orang itu.
Sabetan pedang Sentaka yang begitu cepat, tak dapat dihindari lagi. Meskipun
sudah berusaha menghindar, namun pedang itu telak menghantam punggung lawan.
Bret!
"Akh...!"
Si penculik bayi itu
terhuyung-huyung kedepan. Darah sudah mengucur deras dari punggungnya. Namun
cepat dia menguasai diri. Tubuhnya cepat mengegos ketika Jambala sudah melontarkan
satu pukulan keras. Pukulan Jambala yang begitu keras dan mengandung pengerahan
tenaga dalam, sayangnya tak mengenai sasaran. Bahkan si Iblis Seribu Nyawa
berhasil memasukkan satu sodokan ke arah perut Jambala
"Hugkh!" Jambala
mengeluh pendek.
Pemuda itu terbungkuk sambil
memegangi perutnya. Pada saat itu, si Iblis Seribu Nyawa memberi satu pukulan
keras dengan tangan kirinya ke wajah Jambala. Akibatnya murid Padepokan Awan
Perak itu terpekik keras, dan terpental ke belakang.
"Hiyaaa...!"
Mendapat kesempatan yang sedikit
ini, orang berbaju serba hitam itu cepat melompat kabur. Ilmu meringankan tubuh
yang dimilikinya memang tinggi sekali, sehingga berhasil melewati beberapa
kepala orang yang mengepung tempat ini. Dan begitu kakinya menjejak tanah, dia
langsung berlari cepat masuk ke dalam hutan.
"Kejar...! Jangan biarkan
lolos!" teriak Ki Jumpana memberi perintah.
Penduduk Desa Jati Wengker yang
mengepung tempat itu, seketika berhamburan mengejar. Tapi begitu melihat si
Iblis Seribu Nyawa masuk ke dalam hutan, mereka menghentikan pengejarannya. Tak
ada seorang pun yang berani masuk ke dalam hutan yang terkenal angker itu.
Widura menghampiri Jambala yang
terkapar di tanah. Dan sebelum Widura sempat menyentuh tubuhnya, Jambala sudah
bangkit berdiri sambil memegangi perut. Sentaka menghampiri saudara
seperguruannya itu. Juga, Ki Jumpana dan Ki Ampal.
"Kau terluka, Jambala?"
tanya Widura.
"Sedikit," sahut
Jambala seraya meringis.
"Dia berhasil menculik satu
bayi lagi," jelas Ki Jumpana.
"Kami akan segera
mengejamya, Ki. Dia sudah terluka cukup parah," kata Widura.
"Bagaimana dengan Jambala?
Kelihatannya dia mengalami luka juga," tanya Ki Jumpana seraya memandangi
Jambala.
"Aku tidak apa-apa, Ki. Ini
biasa," sahut Jambala.
"Kau masih bisa jalan,
Jambala?" tanya Widura sedikit khawatir juga.
"Lari pun aku sanggup,"
sahut Jambala.
"Bagus. Ayo berangkat,
selagi dia belum pergi jauh," ajak Widura.
"Kami pergi dulu, Ki,"
pamit Sentaka.
"Salam untuk Kinanti,"
seloroh Jambala.
"Kunyuk, kau...! Masih bisa
bergurau juga," rungut Widura seraya menepuk pundak adik seperguruannya.
Jambala hanya meringis saja.
Kemudian, ketiga murid Padepokan Awan Perak itu bergerak masuk ke dalam Hutan
Alas Waru. Ki Jumpana dan semua penduduk Desa Jati Wengker yang berada
diperbatasan, hanya memandangi sampai ketiga pemuda itu hilang ditelan lebatnya
hutan.
"Apa mungkin mereka bisa
kembali...?" tanya Ki Ampal seperti untuk dirinya sendiri.
"Mudah-mudahan saja mereka
selamat," ujar Ki Jumpana.
Kepala desa itu memerintahkan
warganya untuk kembali ke rumah masing-masing. Sedangkan yang bertugas jaga malam,
kembali ke pos masing-masing. Memang tak ada lagi yang bisa dikerjakan. Dan tak
seorang pun yang mau menanggung akibat bila harus menembus Hutan Alas Waru pada
malam hari begini. Terlebih lagi, mereka juga melihat sendiri kalau si Iblis
Seribu Nyawa yang telah menculik bayi-bayi dan membunuh beberapa penduduk,
masuk ke dalam hutan itu. Dan memang sejak kedatangan Ki Jongkor, Hutan Alas
Waru jadi semakin angker bagi seluruh penduduk Desa Jati Wengker.
Mereka semua kini sudah tahu
kalau di dalam hutan itulah tempat tinggal si Iblis Seribu Nyawa. Sosok yang
selama ini sangat ditakuti, dan dibenci. Ki Jumpana menghentikan ayunan kakinya
saat melihat Kinanti berlari-lari menghampiri. Ki Ampal juga ikut berhenti
melangkah, dibarengi empat orang pengawal yang selalu mendampingi ke mana saja
Ki Jumpana pergi. Kinanti mengatur napasnya sebentar begitu berada di depan
ayahnya.
"Kenapa kau ke sini,
Kinanti?" tegur Ki Jumpana.
"Kudengar, dia muncul lagi.
Benar, Ayah...?" tanya Kinanti masih dengan napas agak tersengal.
"Benar," Ki Ampal yang
menyahuti.
"Lalu, ke mana Kakang
Widura?" tanya Kinanti lagi.
"Mengejar ke dalam hutan,
bersama Jambala dan Sentaka," sahut Ki Jumpana memberi tahu.
"Ayah membiarkan
saja...?"
Tersirat kecemasan di wajah gadis
ini. Ki Jumpana tersenyum, lalu menghampiri anak gadisnya ini dan mengajaknya
melangkah. Laki-laki setengah baya itu melingkarkan tangannya di pundak
Kinanti.
"Rupanya kau sudah besar,
Kinanti," kata Ki Jumpana tidak terlepas dari senyumnya.
"Ayah...," Kinanti jadi
manja.
Wajah gadis itu menyemburat merah
menahan malu. Ki Jumpana tahu, ada perubahan pada diri anak gadisnya sejak
kedatangan Widura ke desa ini. Bahkan beberapa kali Kinanti kelihatan bicara
berdua saja bersama murid utama Padepokan Awan Perak itu. Sebagai orang tua, Ki
Jumpana sudah bisa mengerti, dan tidak keberatan sama sekali.
Sementara malam terus merayap
semakin larut. Beberapa orang masih terlihat bergerombol. Bahkan setiap rumah
telah diterangi pelita atau obor. Maka suasana di desa itu kini jadi terang
benderang, seperti sedang mengadakan pesta panen. Hampir semua laki-laki didesa
ini berada di luar rumah, membawa senjata yang bisa digunakan. Keadaan diDesa
Jati Wengker ini seperti dalam keadaan perang saja. Di mana-mana terlihat orang
membawa senjata dari berbagai bentuk dan jenis.
"Sampai kapan keadaan ini
akan berlangsung...?" desah Ki Jumpana dalam hati.
***
Sementara itu di dalam Hutan Alas
Waru, sesosok tubuh hitam berlari-lari sambil memeluk seorang bayi berusia
beberapa bulan dalam dadanya. Bayi itu seperti tertidur lelap. Sosok tubuh itu
agak terseok-seok, dan terus berlari. Tidak dihiraukannya lagi darah yang
bercucuran keluar dari punggungnya. Dia terus berlari menuju sebuah pondok
kecil yang hanya diterangi sebuah lentera di bagian beranda depan.
"Uhk...!" dia mengeluh
begitu sampai di depan pondok. Dengan tangan agak bergetaran, sosok itu
mengetuk pintu pondok yang tertutup rapat Berkali-kali pintu itu diketuk. Tak
berapa lama kemudian, pintu terbuka. Tampak seorang laki-laki berusia sekitar
dua puluh lima tahun, muncul dari balik pintu yang terbuka. Dia tampak terkejut
melihat sosok tubuh hitam yang berada di depan pintunya.
"Karmapati.... Kenapa
kau...?"
Sosok tubuh hitam itu tidak
menjawab, dan langsung menyerahkan bayi yang berada di dalam gendongannya.
Lalu, dia cepat menerobos masuk. Dan begitu berada di dalam, tubuhnya jatuh
terguling di lantai. Pemuda berbaju merah itu bergegas menutup pintu, dan
menaruh bayi yang tampak tenang itu di atas dipan kayu dekat pintu. Kemudian
bergegas dihampirinya sosok tubuh hitam itu.
"Apa yang terjadi...?"
tanya pemuda berbaju merah ini seraya membuka selubung yang menutupi kepala
orang berbaju serba hitam itu.
"Jangan banyak tanya!
Berikan totokan dipunggungku!" bentak orang berbaju hitam yang dipanggil
Karmapati itu.
Ternyata di balik selubung kain
hitam, tersembunyi seraut wajah cukup tampan. Mulutnya meringis saat
dipunggungnya menerima beberapa totokan. Darah langsung berhenti mengalir.
Pemuda berbaju merah itu membantu Karmapati berdiri, dan memapahnya menuju
pembaringan dari kayu. Karmapati merebahkan tubuhnya di sana.
"Ambilkan aku air,
Legawa," pinta Karmapati.
Pemuda berbaju merah yang bernama
Legawa itu bergegas menuang air dari dalam kendi tanah liat, ke dalam gelas
bambu. Kemudian diberikannya pada Karmapati. Air dingin itu cepat berpindah
keperut.Karmapati
"Apa yang terjadi? Kenapa
sampai terluka begini?" tanya Legawa.
"Ini semua gara-gara murid
sikeparat Wasista!" desis Karmapati.
"Sudah kukatakan, sebaiknya
kita pindah ke desa lain dulu. Tapi kau masih tetap saja nekat masuk ke desa
itu," Legawa tampak menyesalkan kejadian ini.
揟anggung, Legawa. Dan semuanya akan
selesai," tegas Karmapati.
Legawa diam saja. Dibantunya
Karmapati saat membuka bajunya. Lalu, dibersihkannya darah yang melekat
dipunggung. Setelah membubuhkan obat yang membuat Karmapati meringis, Legawa
membalut luka itu dengan kain bersih.
"Bagaimana upacara
nanti?" tanya Karmapati setelah bisa duduk bersila.
"Sudah kusiapkan
semua," sahut Legawa.
"Aku rasa, ini yang
terakhir, Legawa. Apa sudah cukup semuanya?"
"Tinggal tiga lagi,"
sahut Legawa.
"Keberhasilan sudah
membayang didepan mata, Legawa. Dunia persilatan akan gempar. Aku puas bisa
melaksanakan semua ini," jelas Karmapati disertai senyumnya yang
terkembang Iebar.
"Tapi kau terluka begini,
Karmapati. Sebaiknya tugasmu kugantikan saja. Biar aku yang mencari
sisanya," usul Legawa.
"Luka ini tidak akan bisa
menghalangiku, Legawa."
"Bagaimanapun juga, kau harus
istirahat Jangan memaksakan diri, yang akhirnya akan merugikan dirimu
sendiri," Legawa menasihati.
"Kau akan mencari ke
mana?"
"Kau tidak ingin berpindah
dari Desa Jati Wengker, bukan...? Aku akan memperoleh sisanya di sana juga.
Hm.... Apa masih ada bayi di sana, Karmapati?"
"Lebih dari cukup."
"Mudah-mudahan saja aku
tidak bertemu ketiga murid Padepokan Awan Perak itu," desis Legawa.
"Yang dua tidak ada
apa-apanya, Legawa. Tapi kau harus hati-hati dengan yang bernama Widura.
Kepandaiannya cukup tinggi, bahkan hampir menyamai gurunya. Aku sempat
dibuatnya repot," Karmapati memperingatkan.
"Akan kubuat mereka jatuh
bangun. Lihat saja besok malam. Kau akan mendengar salah seorang, atau mungkin
ketiganya terkapar tak bernyawa lagi."
"Sudahlah, aku ingin semadi
dulu. Kau kerjakan saja bayi itu. Aku belum membuka totokannya," ujar
Karmapati tidak ingin meneruskan.
"Kau totok dia...?!"
Legawa tampak terkejut.
"Terpaksa, daripada
menyusahkan."
Legawa bergegas menghampiri bayi
mungil yang berselimut kain cukup tebal. Sebentar diperiksanya, keadaan bayi
itu kemudian ditatapnya Karmapati yang sudah dalam sikap bersemadi.
"Hanya totokan ringan, tidak
akan membuatnya mati," jelas Karmapati.
"Dia bisa mati kalau tidak
segera kau katakan tadi!" dengus Legawa.
Karmapati tidak menyahuti, karena
sudah memejamkan mata dan menghilangkan semua yang berhubungan dengan dunia.
Jiwa dan pikirannya dikosongkan, menyatu dengan alam sekelilingnya. Sementara
Legawa membawa bayi itu ke bagian belakang pondok, membiarkan Karmapati
bersemadi untuk memulihkan kesehatan tubuhnya.
***
Pagi baru saja datang. Ayam
jantan berkokok bersahut-sahutan. Burung-burung berkicau menyambut datangnya
sang surya, yang akan menerangi mayapada. Di dalam Hutan Alas Waru, terlihat
ketiga murid Padepokan Awan Perak berjalan lesu menembus lebatnya hutan ini.
Semalaman mereka tidak tidur, menjelajah hutan yang Iebat ini. Mereka memang
tengah mencari si penculik bayi yang mengacau Desa Jati Wengker. Bahkan
beberapa desa di sekitar Hutan Alas Waru.
"Ke mana lagi kita cari,
Kakang? Rasanya seluruh hutan sudah dijelajahi, tapi tidak juga bertemu iblis
keparat itu," nada suara Jambala terdengar kesal.
"Iya, nih. Seluruh tulangku
rasanya seperti akan copot," keluh Sentaka.
Widura menghentikan langkahnya.
Dia juga sebenarnya sudah letih. Semalaman mereka menerobos hutan yang Iebat
ini, tanpa membawa sedikit hasil yang menggembirakan. Sosok serba hitam yang
mengaku berjuluk Iblis Seribu Nyawa itu seperti lenyap ditelan hutan ini.
Jambala dan Sentaka langsung menghem-paskan tubuhnya, menggeletak direrumputan
yang masih dibasahi embun.
"Sebaiknya kita kembali saja
ke Desa Jati Wengker, Kakang. Barangkali saja malam nanti kita beruntung,"
usul Sentaka.
"Aku jadi penasaran. Apa
benar orang itu si Iblis Seribu Nyawa...?" gumam Widura tanpa menghiraukan
celotehan kedua adik seperguruannya.
"Sudah jelas dia mengaku
begitu, Kakang," dengus Jambala.
"Orang mengaku siapa pun,
bisa saja. Mana mungkin orang mati bisa hidup lagi," bantah Widura.
"Lagi pula, untuk apa dia menculik bayi...?"
"Mungkin saja waktu itu
belum mati, dan sekarang sedang menyempurnakan ilmunya lagi," kilah
Sentaka.
"Segala kemungkinan bisa
saja terjadi. Dan yang pasti, kalau kita sudah tahu, siapa sebenamya penculik
bayi itu," sergah Jambala.
Mereka jadi terdiam, sibuk dengan
pikiran masing-masing. Widura menyandarkan punggungnya ke pohon beringin yang
sangat besar dan menjulang tinggi. Pandangannya beredar berkeliling. Hanya
pepohonan saja yang terlihat di sekitamya. Sementara Sentaka dan Jambala sudah
bangkit berdiri, langsung menyibakkan rerumputan yang menempel di tubuh.
"Ayo kita kembali ke Desa
Jati Wengker, Kakang," ajak Jambala.
Ketiga murid Padepokan Awan Perak
itu kembali berjalan. Mereka terus berbicara, saling bertukar pikiran membahas
penculikan bayi-bayi didesa-desa sekitar Hutan Alas Waru. Tanpa ada yang menyadari,
pembicaraan itu didengar seseorang yang duduk di balik pohon, tempat Widura
tadi menyandarkan punggungnya.
Dia adalah seorang pemuda
berwajah tampan, mengenakan baju rompi putih. Gagang pedangnya yang berbentuk
kepala burung, menyembul dari balik punggungnya. Pemuda itu baru menampakkan
diri setelah ketiga pemuda murid Padepokan Awan Perak jauh meninggalkan tempat
ini. Dia melangkah memutari pohon, dan berdiri tegak memandangi ketiga pemuda
yang semakin jauh, dan lenyap ditelan lebatnya Hutan Alas Waru ini.
"Hm...," gumam pemuda
itu perlahan.
***
EMPAT
Tiga malam berturut-turut terjadi
penculikan bayi di Desa Jati Wengker. Bahkan selama dua malam ini, tidak
sedikit penduduk desa yang jadi korban. Dan kali ini, bukan sosok tubuh hitam
yang muncul. Tapi sosok tubuh merah yang seluruh kepala dan wajahnya
terselubung kain merah. Kemunculannya lebih gila lagi daripada sosok tubuh
hitam beberapa waktu lalu. Bahkan sepertinya sengaja menampakkan diri,
membunuhi beberapa penduduk, lalu menghilang di dalam Hutan Alas Waru.
"Gila! Ini benar-benar sudah
keterlaluan!" geram Widura berang.
Pemuda itu memandangi mayat-mayat
penduduk Desa Jati Wengker yang bergelimpangan di sekitamya. Ada sekitar dua
belas orang tergeletak tak bernyawa. Sedangkan sosok tubuh merah yang mereka
kejar, menghilang di dalam Hutan Alas Waru.
"Aku menduga kalau dia bukan
orang yang kemarin, Kakang," duga Sentaka yang sempat bertarung cukup lama
juga sebelum Widura dan Jambala datang membantu.
"Kau benar. Kita menghadapi
dua orang gila yang menjengkelkan," desis Widura.
"Aku rasa, sudah saatnya
Eyang Wasista diberi tahu," saran Jambala.
"Aku tidak bermaksud
meremehkan kalian bertiga. Tapi keadaan semakin gawat. Dan kalau didiamkan
terus, bisa-bisa seluruh penduduk desa ini habis dibantai. Orang-orang itu
semakin nekat dan gila saja," sergah Ki Jumpana.
"Aku yang akan memberi tahu
Eyang Wasista, Ki," kata Widura. "Ayo, Jambala, Sentaka...."
"Kalian akan pergi
sekarang?" tanya Ki Jumpana.
"Benar, Ki. Agar besok pagi
sudah sampai disini lagi bersama Eyang Wasista," sahut Widura.
Ki Jumpana tidak mencegah lagi
Widura meminta Jambala menyiapkan kuda. Bergegas Jambala berlari ke rumah Ki
Jumpana untuk menyiapkan kuda. Sedangkan Ki Jumpana sendiri memerintahkan warga
desanya untuk mengurus mayat-mayat yang masih bergelimpangan.
"Bayi siapa lagi yang
diculik malam ini, Ki?" tanya Widura.
揟idak seorang pun bayi yang diculik malam
ini," sahut Ki Jumpana.
"Tidak ada penculikan bayi?
Aneh...," desis Widura seakan-akan tidak percaya.
"Aku sendiri tidak tahu.
Setelah tiga malam berturut-turut menculik bayi, dan dua malam belakangan ini
mereka muncul tanpa menculik bayi seorang pun," jelas Ki Jumpana, juga
keheranan.
Widura terdiam. Pandangannya
dilayangkan kearah tempat Kinanti terlihat berdiri disamping rumah seorang
penduduk bersama empat orang gadis lain. Setelah berbicara sebentar pada Ki
Jumpana, Widura menghampiri Kinanti yang sejak tadi berdiri saja disamping
sebuah rumah penduduk yang beberapa malam ini selalu terang benderang. Empat
gadis lain yang bersama Kinanti, segera menyingkir begitu melihat Widura
datang.
"Kudengar kau akan kembali
ke padepokan malam ini juga, Kakang...?" tanya Kinanti mendahului, begitu
Widura berada dekat di depannya.
"Terpaksa. Aku harus memberi
tahu Eyang Wasista," sahut Widura.
"Apa kehadiran Eyang Wasista
bisa merubah keadaan?" tanya Kinanti seperti menyangsikan.
"Kurasa, hanya Eyang Wasista
yang bisa mengatasi keadaan ini. Kalau mereka memang benar orang-orangnya si
Iblis Seribu Nyawa, hanya Eyang Wasista yang bisa menghadapinya. Terlebih lagi,
bila si Iblis Seribu Nyawa memang benar-benar masih hidup."
"Aku sudah dengar
pertarungan antara Iblis Seribu Nyawa melawan Eyang Wasista. Bahkan beberapa
ketua padepokan juga ikut dalam pertempuran itu," kata Kinanti lagi.
"Tapi apa benar si Iblis
Seribu Nyawa masih hidup? Waktu itu, kan banyak mata yang melihat kalau dia
sudah mati."
"Inilah yang membuatku tidak
mengerti, Kinanti. Hanya Eyang Wasista sajalah yang bisa menjernihkan
semuanya," sahut Widura agak mendesah.
"Kakang Widura...!"
tiba-tiba terdengar teriakan memanggil. Widura berpaling. Ternyata yang
berteriak tadi adalah Jambala, yang sudah berada di punggung kuda bersama
Sentaka. Masih ada satu kuda lagi yang kosong. Dan kuda itu untuk pemuda ini.
"Aku harus segera pergi,
Kinanti," pamit Widura.
"Berapa lama?" tanya
Kinanti.
"Besok pagi aku sudah
kembali lagi ke sini," sahut Widura.
"Hati-hati, Kakang...,"
hanya itu yang bisa diucapkan Kinanti.
Sebentar mereka saling
berpandangan, kemudian Widura memutar tubuhnya. Kakinya melangkah cepat
menghampiri kedua adik seperguruannya yang sudah menunggu di atas punggung kuda
masing-masing. Dengan gerakan ringan sekali, Widura melompat naik ke punggung
kuda. Sebentar ditatapnya Kinanti yang juga tengah memandanginya. Kemudian,
pemuda itu menggebah kudanya, diikuti Jambala dan Sentaka.
"Jangan khawatir, Kinanti.
Kakang Widura pasti kembali!" teriak Jambala menggoda.
"Hiya! Hiya...!"
Kinanti hanya tersipu saja
mendengar teriakan Jambala. Sementara ketiga pemuda Padepokan Awan Perak sudah
jauh meninggalkan Desa Jati Wengker ini. Mereka memacu cepat kudanya, menembus
pekatnya malam.
Widura, Jambala dan Sentaka terus
memacu kudanya semakin jauh meninggalkan Desa Jati Wengker. Malam yang begitu
pekat dan berkabut memang menyulitkan untuk memandang jauh. Sehingga ketika
sebuah bayangan hitam berkelebat, tak ada yang sempat melihat. Bayangan hitam
itu meluruk deras ke arah Widura yang berkuda paling depan. Tapi sebelum
bayangan hitam itu sempat mengenai tubuh Widura, Sentaka sudah melihat lebih
dulu.
"Awas, Kakang...!" seru
Sentaka memperingatkan.
"Uts! Yeaaah...!"
Widura langsung melentingkan
tubuh, melompat dari punggung kudanya yang masih berlari cepat Dua kali pemuda
itu berputaran di udara, lalu manis sekali mendarat di tanah. Sementara Sentaka
menghentikan lari kudanya, Jambala terus menggebah kudanya mengejar kuda
Widura.
"Hup!"
Sentaka melompat turun dari
punggung kudanya, langsung mendarat di samping Widura. Di depan mereka kini
sudah berdiri sesosok tubuh hitam yang seluruh kepalanya terselubung kain
hitam. Sehingga, wajahnya sulit dikenali.
"Kau rupanya...," desis
Widura dingin.
"Tidak ada gunanya kalian
kembali kepadepokan. Mereka sudah musnah!" dengus sosok tubuh hitam itu.
"Setan keparat...! Kubunuh
kau!" geram Sentaka langsung memuncak amarahnya.
"Hiyaaat...!"
Sret!
Wuk!
Cepat sekali Sentaka melompat
menerjang orang berbaju serba hitam itu. Pedangnya sudah tercabut dan langsung
ditebaskan ke arah Ieher orang itu. Namun dengan hanya sedikit mengegoskan
kepalanya, orang berbaju serba hitam itu berhasil menghindari tebasan pedang
Sentaka.
"Hiyaaa...!"
Saat itu Widura juga melompat
menyerang begitu serangan Sentaka tidak membawa hasil. Dua kali Widura
melepaskan pukulan cepat dan beruntun.
"Hait...!"
Orang berbaju serba hitam itu
meliuk-liukkan tubuh, menghindari serangan Widura. Dan dia cepat melompat
mundur beberapa langkah. Belum lagi orang itu sempat menarik napas lega,
Sentaka sudah menyerang cepat dengan permainan pedangnya. Di saat pertarungan itu
berlangsung, Jambala datang sambil menuntun kuda Widura. Dia langsung melompat
turun dari kudanya, dan terjun ke dalam kancah pertempuran untuk membantu kedua
saudara seperguruannya.
Menghadapi keroyokan tiga orang
murid Padepokan Awan Perak, tampaknya orang berbaju serba hitam itu tidak
mengalami kesulitan. Gerakan-gerakannya sungguh lincah dan ringan, sehingga
terasa sukar bagi ketiga pemuda itu untuk memasukkan serangan. Bahkan dalam
beberapa jurus saja, Sentaka dan Jambala sudah terkena pukulan telak. Tapi
kedua pemuda itu tidak patah semangat. Mereka kembali bangkit dan melakukan
serangan lagi.
"Modar...!" tiba-tiba
orang berbaju serba hitam itu berseru lantang. Dan tiba-tiba saja tangan
kanannya dikebutkan ke depan, tepat menghantam dada Jambala yang berada dalam
jangkauan pukulannya. Begitu cepatnya pukulan itu datang, sehingga Jambala
tidak sempat lagi menghindar.
Des!
"Akh...!" Jambala
terpekik nyaring. Pemuda itu terpental sejauh dua batang tombak. Dari mulutnya
menyemburkan darah kental agak kehitaman. Sebentar Jambala menggeliat, lalu
diam tak berkutik lagi.
"Keparat...!" desis
Widura geram melihat Jambala tidak bangun-bangun lagi.
Sret!
"Hiyaaat..!"
Kemarahan Widura sudah mencapai
batas takaran, sehingga pedangnya segera dicabut. Langsung pedangnya dikebutkan
ke arah dada orang berbaju serba hitam itu. Tapi manis sekali orang itu
berhasil mengelak, dan cepat menarik kakinya ke belakang beberapa tindak. Pada
saat itu, Sentaka melompat menerjang dari arah kiri. Pedangnya ditusukkan
dengan kemarahan meluap-Iuap. Hal ini membuat pertahanannya jadi terbuka. Dan
begitu pedang Sentaka lewat di depan dada, orang berbaju serba hitam itu cepat
mengebutkan tangan ke arah perut.
Diegkh!
"Ugkh...!" Sentaka
mengeluh pendek.
Pemuda itu terbungkuk begitu
perutnya terkena sodokan keras dan bertenaga dalam tinggi. Selagi Sentaka
terbungkuk, orang berbaju serba hitam itu melepaskan satu pukulan di wajahnya.
Begitu kerasnya pukulan orang itu, sehingga Sentaka terpekik dan kepalanya
terdongak ke atas.
"Yeaaah...!"
Belum juga Sentaka bisa melakukan
sesuatu, orang berbaju hitam itu sudah memberi satu tendangan menggeledek ke
dada. Tendangan yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu tak dapat
dihindari lagi, tepat menghantam dada Sentaka.
"Aaa...!" Sentaka
terpental sejauh dua batang tombak. Tubuhnya menghantam sebatang pohon hingga
hancur berkeping-keping. Pemuda itu menggelepar di antara reruntuhan pohon,
lalu diam tak berkutik lagi. Darah tampak mengucur deras dari lubang hidung dan
mulutnya.
"Sentaka...," desis
Widura agak tersentak, melihat Sentaka juga menggeletak tak berkutik lagi.
Sambil menggeram marah, Widura melompat cepat menyerang orang berbaju serba
hitam itu. Pedangnya berkelebat cepat, mengurung lawannya. Serangan-serangan Widura
yang begitu cepat dan beruntun, membuat orang berbaju hitam itu jadi kelabakan
menghindarinya.
Beberapa kali dia terpaksa harus
menjatuhkan diri dan bergulingan di tanah, menghindari tebasan dan hunjaman
pedang Widura. Pemuda murid Padepokan Awan Perak itu benar-benar tidak memberi
kesempatan pada lawan untuk balas menyerang. Amukannya seperti kesetanan, tidak
mempedulikan tenaganya yang terkuras banyak.
"Hiya! Hiya!
Hiyaaa...!"
"Uts...!"
Hampir saja pedang Widura menebas
leher. Untung saja orang berbaju serba hitam itu segera menarik kepalanya
kebelakang. Tapi sebelum sempat menguasai diri, satu tendangan berputar telah
dilepaskan Widura dengan kecepatan luar biasa.
"Hiyaaa...!"
Diegkh!
"Akh...!" orang berbaju
hitam itu menjerit keras. Tendangan yang dilepaskan Widura tepat menghantam
dadanya. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi dada yang
terasa sesak akibat terkena tendangan Widura tadi. Dan sebelum keseimbangan
tubuhnya bisa terkuasai, Widura sudah melancarkan serangan kembali. Pemuda itu
meluruk deras dengan ujung pedang tertuju langsung ke dada.
"Gila...!" desis orang
berbaju hitam itu terbeliak. Tak ada kesempatan lagi baginya untuk menghindar.
Ujung pedang Widura sudah begitu dekat ke dada. Tapi sebelum menyentuh kulit dadanya,
mendadak saja berkelebat bayangan merah, disusul sebuah cahaya keperakan yang
berkelebat cepat menghantam pedang Widura.
Trang!
"Ikh...!" Widura
terpekik kecil. Cepat pemuda itu menarik pedang, dan segera melompat mundur
beberapa tindak. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di samping orang berbaju
serba hitam sudah berdiri sesosok tubuh merah. Seluruh kepala juga terselubung
kain merah.
"Rupanya Iblis Seribu Nyawa
ada dua orang. Bagus! Biar kalian seribu orang, malam ini harus mampus di
tanganku!" desis Widura dingin dan menggetarkan.
"Bicaralah sepuasmu, karena
sebentar lagi kau akan menyusul gurumu ke neraka," desis orang yang
mengenakan baju merah.
Setelah berkata demikian, orang
berbaju merah itu langsung melompat menyerang dengan pedang tergenggam
ditangan. Serangannya cepat sekali membuat Widura agak kelabakan
menghindarinya. Tapi pemuda itu cepat menguasai keadaan. Bahkan berhasil
memberi beberapa serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya. Pertarungan pun
kembali terjadi dengan sengrtnya. Terlebih lagi setelah orang yang berbaju
hitam terjun ke dalam kancah pertempuran mengeroyok Widura.
Menghadapi seorang saja, Widura
sudah harus memeras seluruh kemampuannya. Apalagi, sekarang ini harus
menghadapi dua orang yang berkepandaian tinggi. Sehingga dalam beberapa jurus
saja, Widura sudah benar-benar kewalahan. Dan sekarang ini dia tidak mampu lagi
memberi serangan balasan. Pemuda itu bagai dijadikan bola mainan, tanpa mampu
memberikan perlawanan lagi. Entah sudah berapa kali tubuhnya menerima pukulan
maupun tendangan keras.
Darah sudah mengucur dari mulut
dan hidungnya. Bahkan pakaiannya sudah robek-robek berlumuran darah. Widura
juga tidak tahu lagi, sudah berapa kali tubuhnya menerima goresan ujung pedang.
Pemuda itu benar-benar sudah tidak dapat bertahan lagi. Dan kini malah jatuh
tersungkur ketika satu tendangan keras menghantam punggungnya. Dia hanya dapat
merintih sambil menggulirkan tubuhnya perlahan. Saat itu, orang berbaju hitam
sudah meluruk deras dengan pedang tertuju ke dadanya.
"Oh, matilah aku...,"
desah Widura dalam hati. Namun begitu ujung pedang orang berbaju hitam itu
hampir menembus dada Widura, mendadak saja berkelebat cepat bagai kilat sebuah
bayangan putih. Bayangan putih itu menyambar tubuh Widura, dan membawanya
pergi.
"Setan...!" maki orang
berbaju hitam itu geram. Pedangnya menembus ke dalam tanah cukup dalam. Bukan
hanya dia saja yang terkejut. Malah orang berbaju merah pun terbeliak matanya
melihat bayangan putih berkelebat cepat menyambar Widura yang sudah berada di
ambang maut.
"Sudah, Karmapati. Ayo kita
pergi," ajak orang berbaju merah.
"Huh!" orang berbaju
hitam itu mendengus kesal.
Sambil menggerutu, kakinya
melangkah meninggalkan tempat itu. Kakinya sempat menendang mayat Jambala yang
menghalangi jalannya. Murid Padepokan Awan Perak yang malang itu menggelimpang
sejauh tiga batang tombak, dan baru berhenti setelah membentur batu. Dan kini
dua orang yang seluruh kepalanya terselubung kain itu, berlompatan cepat, lalu
menghilang didalam kegelapan malam.
***
"Auw...!" Widura
mengaduh.
"Sakit..?"
Widura hanya meringis saja sambil
memandangi wajah cantik di depannya. Dengan lembut, Kinanti merawat luka-luka
di tubuh pemuda itu. Di dalam kamar yang cukup besar ini bukan hanya ada mereka
berdua, tapi juga ada Ki Jumpana, Ki Ampal, dan seorang pemuda tampan berbaju
rompi putih. Gagang pedangnya yang berbentuk kepala burung tampak menyembul
dari balik punggungnya.
"Untung saja kau masih bisa
selamat, Kakang. Aku sudah cemas waktu kau berangkat tadi," kata Kinanti
sambil membalut luka di tubuh pemuda itu.
揚emuda ini yang menyelamatkan nyawamu,
Widura," sambung Ki Jumpana memberi tahu.
Widura memandang pemuda berbaju
rompi putih yang berdiri di samping Ki Jumpana. "Terima kasih," ucap
Widura.
"Tapi, maaf. Aku tidak bisa
menyelamatkan kedua temanmu," ucap pemuda itu.
Widura terdiam. Dia tahu kalau
Jambala dan Sentaka sudah tewas. Dan dia tidak bisa menyalahkan siapa-siapa.
Yang bertanggung jawab hanya dua manusia penculik bayi itu. Merekalah yang
harus bertanggung jawab atas kematian Jambala dan Sentaka, juga beberapa penduduk
Desa Jati Wengker.
"Boleh kutahu, siapa namamu,
Kisanak?" tanya Widura setelah bisa menguasai perasaannya.
"Rangga," sahut pemuda
berbaju rompi putih itu.
Widura mencoba bangkit berdiri,
tapi malah meringis merasakan nyeri pada seluruh tubuhnya. Kinanti membantu
pemuda itu bangkit dari pembaringan. Gadis itu juga membantu mengenakan pakaian
pemuda itu, Pakaian yang baru, karena baju Widura tadi sudah tidak karuan lagi
bentuknya.
"Aku harus segera ke
padepokan, Ki. Aku khawatir ucapan mereka benar," kata Widura.
"Kau masih lemah,
Widura," Ki Jumpana mencoba mencegah.
"Aku masih kuat berkuda, Ki.
Yang kukhawatirkan, mereka benar-benar telah menghancurkan Padepokan Awan
Perak," Widura tetap memaksa hendak pergi.
Meskipun Ki Jumpana dan Kinanti berusaha
mencegah, tapi Widura tetap saja bertekad hendak pergi. Dan meskipun dengan
langkah tertatih-tatih, pemuda itu meninggalkan kamar ini. Kinanti membantu
memapah sampai ke depan rumah kepala desa ini. Sambil menahan nyeri, Widura
melompat naik ke punggung kudanya. Matanya merayapi wajah Ki Jumpana, Kinanti,
dan Ki Ampal yang juga tengah memandanginya dengan berbagai macam perasaan
berkecamuk di dalam dada. Widura memang sudah menceritakan pertarungannya,
hingga mengakibatkan tewasnya Jambala dan Sentaka.
"Aku ikut denganmu,
Widura," pinta Rangga.
Widura sebenarnya ingin menolak.
Tapi melihat Rangga sudah melompat naik ke punggung kudanya, dia tidak dapat
lagi menolak. Setelah berpamitan, kedua pemuda itu menggebah kudanya
meninggalkan rumah kepala desa ini. Suasana di Desa Jati Wengker masih
kelihatan terang benderang oleh nyala pelita dan api obor yang terpancang
sepanjang jalan dan di depan-depan rumah.
"Aku belum pernah melihatmu
di desa ini. Apakah kau pengembara?" Widura membuka suara setelah jauh
berada di luar Desa Jati Wengker.
"Benar. Aku memang
pengembara yang kebetulan lewat dan melihatmu dalam keadaan
mengkhawarirkan," sahut Rangga.
"Terima kasih, kau telah
menyelamatkan nyawaku," ucap Widura.
"Sudah sepantasnya kita
saling menolong," Rangga merendah.
"Ki Jumpana pasti sudah
menceritakan keadaan di desa ini...," kata Widura, agak pelan suaranya.
"Sedikit," sahut
Rangga.
"Aku menyesal tidak bisa
memenuhi harapan mereka. Aku gagal melaksanakan tugas yang diberikan
guruku," nada suara Widura terdengar mengeluh.
"Kau belum gagal. Hanya
saja, keberuntungan belum berada di pihakmu," hibur Rangga. "Aku
yakin, suatu saat mereka pasti bisa kau kalahkan."
"Kau hanya menghiburku
saja," desah Widura. "Oh, ya.... Bagaimana kau bisa menyelamatkan aku
dari hunjaman pedang iblis itu?" Widura mengalihkan pembicaraan. Rangga
hanya tersenyum saja, tidak menjawab pertanyaan itu.
"Aku rasa sukar bagi orang
biasa untuk melakukannya. Aku sendiri tadinya sudah pasrah," kata Widura
lagi.
"Seharusnya, kau bisa
menyelamatkan diri sendiri. Dan aku juga hanya kebetulan saja bisa
menyelamatkanmu," lagi-lagi Rangga merendah.
"Kata-katamu selalu saja
menghibur dan merendahkan diri. Aku yakin, kau bukan hanya pengembara biasa,
tapi seorang pendekar. Apa julukan kependekaranmu, Kisanak?"
"Panggil saja aku
Rangga."
"Kau pasti memiliki nama
julukan," kejar Widura lagi.
"Apakah itu perlu?"
"Aku sering mendengar
nama-nama pendekar ternama dan digdaya. Sepertinya, aku pernah mendengar nama
seorang pendekar yang mirip denganmu. Memakai baju putih tanpa lengan, membawa
pedang bergagang kepala burung dan menunggang kuda hitam, selain tunggangan
anehnya seekor burung rajawali raksasa. Kalau tidak salah, julukan pendekar
itu... Pendekar Rajawali Sakti. Apakah itu dirimu...?"
Lagi-lagi Rangga hanya tersenyum
saja. Diakui kalau pengamatan Widura memang cermat Rangga memang bergelar
Pendekar Rajawali Sakti. Dan julukan itu sudah tidak asing lagi dalam rimba
persilatan. Bahkan orang-orang dikalangan persilatan sudah tahu kalau Pendekar
Rajawali Sakti memiliki tunggangan seekor burung rajawali raksasa, selain
seekor kuda hitam yang tak ada bandingnya. Namanya, Dewa Bayu. Kecepatan
larinya juga tak ada yang mengalahkan. Tapi bagaimanapun juga, Rangga tidak
menonjolkan diri. Dan biasanya orang akan tahu sendiri, siapa dirinya yang
sebenarnya.
***
LIMA
"Iblis...!" desis
Widura sambil memandangi padepokannya yang tinggal puing-puing saja.
Asap tipis masih mengepul di atas
reruntuhan bangunan Padepokan Awan Perak. Tak ada satu bangunan pun yang masih
berdiri. Semua sudah hancur, rata dengan tanah. Bahkan api masih terlihat di
beberapa tempat Di antara puing-puing itu terlihat mayat-mayat berserakan,
saling tumpang tindih. Bahkan beberapa di antaranya tertimbun reruntuhan
bangunan yang hangus terbakar. Widura melompat turun dari punggung kudanya,
diikuti Rangga. Mereka melangkah mendekati reruntuhan bangunan ini. Entah apa
yang tengah berkecamuk dalam batin Widura saat ini. Rangga hanya bisa melihat
wajah pemuda itu selalu berubah-ubah, dengan sinar mata memancarkan ketegangan.
"Ohhh...."
Tiba-tiba saja mereka dikejutkan
rintihan lirih. Sejenak kedua pemuda itu saling berpandangan, kemudian bergegas
mencari sumber rintihan yang hanya terdengar sesaat itu. Suara itu terdengar
lagi, dan kali ini lebih lirih. Bahkan hampir saja menghilang ditelan hembusan
angin.
Pendekar Rajawali Sakti dan
Widura melangkah mendekati reruntuhan Padepokan Awan Perak. Rangga melihat
wajah Widura memancarkan ketegangan. Memang, bangunan tempatnya berlatih selama
ini tinggal puing-puing saja. Dan diantara puing-puing itu terlihat mayat mayat
temannya berserakan!
Rintihan lirih itu tepat di
sebelah kanan Pendekar Rajawali Sakti. "Oh, benarkah...?!" Rangga
tersentak begitu berpaling.
Di sebelah kanannya terdapat
reruntuhan batu dan balok-balok kayu yang saling tumpang tindih. Tapi dia
begitu yakin kalau rintihan itu datang dari tumpukan batu dan balok-balok kayu
itu. Bergegas dihampirinya reruntuhan itu, dan diamatinya sesaat. Saat itu
kembali terdengar rintihan lirih tertahan yang begitu pelan.
"Widura, ke sini....'"
teriak Rangga memanggil.
Widura yang tengah memeriksa
ditempat lain, bergegas beriompatan menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Rangga
menunjuk ke arah tumpukan batu dan balok-balok kayu di depannya. Sebentar
Widura memandangi tumpukan puing yang masih mengepulkan asap, kemudian bergegas
menyingkirkan batu-batu dan balok yang bertumpuk saling tumpang tindih.
Kedua pemuda itu terus membongkar
tumpukan reruntuhan puing, hingga akhirnya menemukan sesosok tubuh tua yang
berlumuran darah. Baju jubah putih panjang yang dikenakan, sudah tidak
beraturan lagi bentuknya. Hanya gerak-gerik halus di dadanya saja yang
menandakan kalau orang tua itu masih hidup.
"Eyang...," desis
Widura, langsung mengenali orang tua itu.
Buru-buru Widura mengeluarkan
laki-laki tua yang ternyata Eyang Wasista dari reruntuhan ini, kemudian
dibawanya ke bawah pohon yang luput dari kehancuran. Hati-hati sekali pemuda
itu membaringkan tubuh Eyang Wasista di atas rerumputan yang hampir kering.
"Eyang...," panggil
Widura perlahan, dekat di telinga laki-laki tua itu.
Mendengar suara Widura, Eyang
Wasista membuka kelopak matanya perlahan-lahan. Sebentar ditatapnya wajah
muridnya itu, kemudian berpindah menatap Pendekar Rajawali Sakti yang berada di
sisi lain dari dirinya. Eyang Wasista kembali menatap Widura dengan sinar mata
redup, seakan-akan sudah tak ada lagi napas kehidupan pada dirinya.
"Apa yang terjadi, Eyang?
Kenapa bisa sampai begini...?" tanya Widura, agak tertahan nada suaranya.
"Widura.... Pergilah ke
Padepokan Selendang Maut dan..., Padepokan Bulan Sabit..," lemah dan agak
tersendat-sendat suara Eyang Wasista.
Widura hanya menganggukkan kepala
saja. Hampir-hampir pemuda itu tidak kuasa lagi menahan air matanya yang hampir
menitik. Sekuat tenaga dicobanya untuk tetap bertahan, dan memperlihatkan
ketabahan di depan gurunya ini.
"Katakan pada mereka, Iblis
Seribu Nyawa masih hidup...." Selesai berkata demikian, tubuh Eyang
Wasista mengejang kaku, lalu menghembuskan napasnya yang terakhir.
"Eyang...!" jerit
Widura langsung memeluk tubuh laki-laki tua yang sudah seperti ayahnya sendiri
itu. Tapi Eyang Wasista sudah tidak bergerak lagi. Tubuhnya terkulai, meskipun
Widura memeluk dan mengguncang-guncangnya. Pemuda itu tak kuasa lagi menahan
air matanya, yang langsung menitik membasahi wajah Eyang Wasista. Rangga yang
menyaksikan semua itu, juga tak sanggup lagi bertahan.
Pendekar Rajawali Sakti bangkit
berdiri dan mengarahkan pandangannya ke tempat lain. Memang sulit menerima
kenyataan, jika ditinggal pergi seseorang yang paling dicintai. Sementara
Widura masih larut dalam kesedihan Dan Rangga sudah melangkah menjauh.
Dirayapinya puing-puing reruntuhan Padepokan Awan Perak. Sungguh mengenaskan
menyaksikan reruntuhan sebuah padepokan yang cukup punya nama. Tak ada seorang
pun yang tersisa hidup. Mayat-mayat bergelimpangan saling tumpang tindih,
bersama reruntuhan bangunan padepokan ini.
"Rangga...," panggil
Widura, agak tersedak suaranya.
Rangga berpaling, dan memutar
tubuhnya. Widura sudah bangkit berdiri di samping tubuh Eyang Wasista. Pemuda
itu saling melemparkan pandang tanpa berkata-kata. Perlahan Pendekar Rajawali
Sakti menghampiri murid Padepokan Awan Perak itu. Tinggal Widura yang tersisa.
"Kita bereskan dulu di sini,
baru melaksanakan amanat eyang gurumu," ujar Rangga.
Widura tidak dapat mengeluarkan
kata-kata lagi, dan hanya dapat mengangguk perlahan. Diturutinya saja apa kata
Pendekar Rajawali Sakti.
Setelah menguburkan mayat Eyang
Wasista dan semua murid Padepokan Awan Perak, Rangga segera mengajak Widura
pergi ke Padepokan Selendang Maut dan Padepokan Bulan Sabit.
"Widura, kau tahu letak
kedua padepokan itu?" tanya Rangga.
"Cukup jauh juga. Padepokan
Selendang Maut yang terdekat dari sini, hanya dua hari perjalanan berkuda.
Sedangkan Padepokan Bulan Sabit, tiga hari," jelas Widura.
"Kalau begitu, kita harus
menggunakan Rajawali Putih. Dan kau bisa menjadi penunjuk jalan."
Widura tercekat juga mendengar
Pendekar Rajawali Sakti menyebut-nyebut Rajawali Putih. Dia berpikir, seberapa
besarnya rajawali yang katanya berukuran raksasa itu. Rangga memang terpaksa
memanggil Rajawali Putih untuk mengantarkan mereka ke kedua padepokan itu.
Kedatangan burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu membuat Widura
hampir saja pingsan berdiri.
"Gunakan kecepatanmu yang
terbaik, Rajawali!" perintah Rangga setelah berada di angkasa.
"Khraaagkh...!"
Widura yang berada di belakang
Rangga, memeluk pinggang Pendekar Rajawali Sakti erat-erat Jantungnya
seolah-olah terasa berhenti berdetak. Baru pertama kali ini dia menunggang
seekor burung rajawali raksasa. Dan pengalaman ini tidak pernah diimpikan sebelumnya.
"Jangan terlalu tegang
begitu, Widura. Rajawali Putih tidak akan menjatuhkanmu dari atas!" seru
Rangga kencang.
Widura hanya diam saja. Kalau
Rangga melihat betapa pucatnya wajah pemuda itu, pasti tertawa terbahak-bahak.
Untung saja Widura berada di belakang, dan menyembunyikan wajahnya di balik
punggung Pendekar Rajawali Sakti.
"Khraaagkh...!"
Dengan menunggang Rajawali Putih,
waktu yang seharusnya dibutuhkan dua hari, hanya dilalui sebentar saja. Bahkan
tidak sampai setengah hari, mereka sudah berada di atas Padepokan Selendang
Maut. Apalagi Widura telah mengetahui letak padepokan itu. Jadi, mereka tidak
sulit untuk mencarinya. Dari angkasa, Rangga terkejut setengah mati karena
padepokan itu sudah rata dengan tanah.
"Widura, kau lihat
itu...?" Rangga menunjuk ke arah Padepokan Selendang Maut yang sudah
hancur rata dengan tanah.
"lya, aku lihat!" sahut
Widura sekeras-kerasnya, agar suaranya tidak mengalahkan deru angin yang begitu
kencang di angkasa ini.
"Kau ingin lihat ke sana,
Widura?" Rangga menawarkan.
"Kita lihat saja dulu.
Barangkali masih ada yang hidup," sahut Widura.
Rangga memerintahkan pada
Rajawali Putih untuk turun. Tanpa diminta dua kali, burung rajawali raksasa
berbulu putih keperakan itu menukik turun dengan kecepatan luar biasa. Sebentar
saja burung itu sudah mendarat di antara puing-puing reruntuhan Padepokan
Selendang Maut Rangga dan Widura berlompatan turun dari punggung Rajawali
Putih.
Sebentar pandangan mereka beredar
mengamati suasana yang tidak sedap dinikmati. Mayat-mayat bergelimpangan,
bahkan sudah mulai menyebarkan bau busuk yang menusuk hidung. Tampaknya mereka
sudah hancur lebih dulu daripada Padepokan Awan Perak, meskipun di beberapa
tempat masih terlihat asap mengepul tipis.
"Tidak ada seorang pun yang
hidup, Kakang Rangga," kata Widura agak mendesah. Dia sudah membiasakan
diri memanggil Pendekar Rajawali Sakti dengan sebutan Kakang Rangga.
"Benar. Dan kelihatannya,
sudah beberapa hari mereka tewas," sahut Rangga juga pelan.
"Dari caranya yang brutal,
pasti perusuhnya adalah orang yang sama," duga Widura, tetap pelan
suaranya.
"Rasanya, kita masih punya
kesempatan untuk ke Padepokan Bulan Sabit," sambung Rangga.
"Apa tidak sebaiknya ke
Padepokan Tongkat Baja dulu, Kakang Rangga?" Widura memberi usul.
"Eyang gurumu tidak
menyebutkan padepokan itu."
"Memang tidak. Tapi Ketua
Padepokan Tongkat Baja adalah adik kandung Eyang Wasista. Aku rasa, dia harus
tahu kejadian ini," Widura beralasan.
"Apa Padepokan Tongkat Baja
juga punya urusan dengan si Iblis Seribu Nyawa?" tanya Rangga ingin tahu.
"Tidak. Tapi, aku tetap saja
khawatir melihat cara-caranya yang brutal seperti ini. Dia bukan lagi manusia,
Kakang. Tapi iblis yang haus darah," agak mendesis nada suara Widura.
"Kita akan ke Padepokan
Tongkat Baja setelah melaksanakan amanat eyang gurumu," Rangga menetapkan.
Widura tidak segera memberi
tanggapan. Pemuda itu melirik ke arah Rajawali Putih yang mendekam di dekat
pohon kemuning. Kemudian ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri
disampingnya.
"Dengan tunggangan ajaibmu,
rasanya kita bisa pergi ke kedua tempat dalam satu hari ini," ujar Widura.
Rangga hanya tersenyum saja,
kemudian melangkah menghampiri Rajawali Putih. Widura bergegas mengikuti, dan
mensejajarkan ayunan kakinya di samping Pendekar Rajawali Sakti. Tanpa bicara
lagi, mereka berlompatan naik kepunggung Rajawali Putih. Sebentar kemudian,
burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu sudah melambung tinggi ke
angkasa. Widura memberi arah yang harus dituju pada Pendekar Rajawali Sakti.
Bagaikan kilat, burung rajawali raksasa itu melesat cepat begitu diberi tahu
arah yang ditunjukkan.
***
Widura dapat menarik napas lega
ketika melihat Padepokan Bulan Sabit masih tetap utuh, tidak seperti dua
padepokan sebelumnya. Rangga memerintahkan Rajawali Putih turun agak jauh dari
padepokan. Kemudian kedua pemuda itu berlari cepat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh, menuju Padepokan Bulan Sabit.
Sesampainya di padepokan itu,
mereka disambut seorang laki-laki bertubuh gemuk dan berperut buncit seperti
gentong air. Kepalanya kelihatan kecil, tanpa sehelai rambut pun yang tumbuh.
Tangannya menggenggam sebatang tongkat pendek dengan kedua ujungnya berbentuk
bulan sabit berwarna kunlng keemasan. Di kalangan persilatan, julukannya adalah
Pendekar Sabit Emas.
"Ada kabar apa dari Kakang
Wasista?" tanya Pendekar Sabit Emas ketika kedua pemuda tamunya ini berada
di dalam ruangan yang cukup besar dan indah.
"Hanya ada satu pesan yang
harus kusampaikan," sahut Widura.
"Katakan," pinta
Pendekar Sabit Emas.
"Tapi sebelumnya, aku ingin
memberi tahu dulu kalau Padepokan Awan Perak dan Padepokan Selendang Maut sudah
musnah," jelas Widura, sangat hati-hati bicaranya.
"Apa...?!" Pendekar
Sabit Emas tersentak kaget setengah mati.
Dia sampai terlonjak bangkit dari
duduknya. Kedua bola matanya berkilatan, merayapi wajah Widura dan Rangga
bergantian. Seakan-akan dia ingin memastikan kebenaran kabar yang disampaikan
Widura barusan.
"Widura, aku kenal dirimu
sejak masih kecil. Kau murid utama Padepokan Awan Perak. Aku tidak ada waktu
untuk bermain-main...!" agak keras suara Pendekar Sabit Emas.
"Maafkan aku, Paman. Mungkin
cara penyampaianku kurang tepat. Tapi, memang begitulah keadaan yang
sebenarnya," ujar Widura seraya menjura memberi hormat.
"Bagaimana itu bisa
terjadi...?" Pendekar Sabit Emas masih belum bisa mempercayai.
Widura segera menceritakan semua
peristiwa yang terjadi, yang bermula dari kedatangan seorang utusan dari Desa
Jati Wengker. Widura juga menceritakan musibah yang dialami desa itu, sehingga
dia dan dua orang adik seperguruannya ditugaskan Eyang Wasista untuk
mengamankannya. Tapi kedua adik seperguruannya tewas. Dan begitu dia kembali ke
padepokan untuk melaporkan semua yang terjadi di Desa Jati Wengker, keadaan di
Padepokan Awan Perak sudah rata dengan tanah. Tak ada seorang pun yang hidup
lagi. Bahkan Eyang Wasista sendiri tewas.
Tapi sebelum menghembuskan napas
yang terakhir, Ketua Padepokan Awan Perak itu sempat memberi beberapa pesan.
Widura juga menyampaikan kabar buruk kalau nasib Padepokan Selendang Maut tidak
jauh berbeda dengan yang dialami Padepokan Awan Perak. Semua diceritakan secara
gamblang, tanpa ada yang dikurangi maupun ditambah. Sementara Pendekar Sabit
Emas mendengarkan penuh perhatian. Sedikit pun dia tidak mengeluarkan suara
sampai Widura menyelesaikan semua kisahnya.
"Rasanya sulit dipercaya
kalau Iblis Seribu Nyawa masih hidup, dan sekarang membalas kekalahannya dengan
cara brutal dan keji...," desis Pendekar Sabit Emas, setengah bergumam
nada suaranya, seakan-akan bicara pada dirinya sendiri.
"Hanya tinggal padepokan ini
saja yang belum terjamah, Paman," kata Widura.
Pendekar Sabit Emas terdiam
sambil merayapi Rangga yang duduk di samping Widura. Sejak tadi, Pendekar
Rajawali Sakti hanya diam saja mendengarkan semua percakapan ini. Bahkan Widura
sendiri sampai lupa memperkenalkan Rangga pada Ketua Padepokan Bulan Sabit itu.
"Apakah kau yang berjuluk
Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Pendekar Sabit Emas langsung menebak.
"Oh, ya. Paman, dia temanku.
Sudah banyak pertolongan yang diberikannya padaku. Namanya Rangga," selak
Widura memperkenalkan.
"Aku sering mendengar sepak
terjang Pendekar Rajawali Sakti, meskipun belum pernah berjumpa langsung
dengannya. Tapi ciri-ciri Pendekar Rajawali Sakti, ada semua padamu. Benarkah
penglihatanku ini..,?" Pendekar Sabit Emas tidak menghiraukan kata-kata
Widura.
Rangga hanya menganggukkan kepala
saja.
"Ah...! Kenapa aku tidak
menyadari sejak tadi...? Rupanya yang ada didepanku ini seorang pendekar
digdaya yang termasyhur, dan selalu menjadi pembicaraan di kalangan kaum
kependekaran," puji Pendekar Sabit Emas.
"Mereka hanya melebihkan
saja, Paman. Aku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan pendahulu,"
Rangga merendah.
"Kau tidak perlu rendah diri
begitu, Pendekar Rajawali Sakti. Aku senang bisa berkenalan denganmu, meskipun
dalam suasana yang tidak menyenangkan ini."
Lagi-lagi Rangga tersenyum dan
memberi salam penghormatan. Sedangkan Pendekar Sabit Emas membalas dengan
menjura pula. Sementara itu Widura hanya memperhatikan saja. Sejak semula dia
memang sudah menduga kalau Rangga sebenarnya adalah Pendekar Rajawali Sakti
yang selalu menggemparkan rimba persilatan di setiap kemuneulannya. Dan
sekarang baru jelas setelah Rangga mengakui, meskipun dengan merendahkan diri.
"Kalian tentu lelah setelah
menempuh perjalanan jauh. Sebaiknya istirahat sajalah dulu. Kamar untuk kalian
sudah disiapkan," ujar Pendekar Sabit Emas.
erima kasih," ucap Rangga
seraya bangkit berdiri.
Sedangkan Widura yang memang
sudah teramat letih, sudah lebih dahulu berdiri. Pendekar Sabit Emas memanggil
dua orang muridnya, dan menyuruh untuk mengantarkan Rangga dan Widura ke kamar
peristirahatannya. Sedangkan dia sendiri kembali duduk di kursinya setelah
Rangga dan Widura meninggalkan ruangan ini.
"Iblis Seribu Nyawa.... Hm,
aku harus mempersiapkan penyambutan untuknya. Dia pasti datang setiap saat.
Hhh...! Sukar dipercaya kalau padepokan Kakang Wasista dan padepokan Nyai
Selendang Maut bisa hancur dalam waktu yang begitu singkat," Pendekar
Sabit Emas berbicara sendiri.
Setelah memeras otak beberapa
saat lamanya, laki-laki bertubuh gemuk dan berkepala gundul itu bangkit
berdiri. Kakinya melangkah sambil mengayun ayunkan tongkatnya, meninggalkan
ruangan besar dan indah ini.
***
Sementara itu, jauh dari
Padepokan Bulan Sabit, tepatnya di Hutan Alas Waru, Karmapati dan Legawa tengah
duduk bersila menghadap sebuah altar batu yang dikelilingi puluhan
tulang-tulang tengkorak anak-anak bayi. Di dekat altar batu itu terdapat sebuah
tempayan dari tanah liat yang penuh berisi darah. Tempayan itu memang berukuran
sangat besar, dan cukup dimasuki satu orang dewasa. Kedua anak muda itu menatap
lurus tak berkedip ke arah tempayan.
Tiba-tiba saja, darah di dalam
tempayan itu bergolak mendidih. Asap kemerahan mengepul, menyebarkan aroma yang
tidak sedap menusuk hidung. Perlahan-lahan, dari dalam tempayan itu muncul
sesosok tubuh yang berlumuran darah. Sosok tubuh itu bangkit, lalu keluar dari
dalam tempayan. Kemudian, dia naik ke atas altar, dan duduk bersila dipermukaan
altar batu itu.
Darah yang menempel di tubuhnya,
perlahan-lahan mencair. Dan sekarang, tampaklah sosok seorang laki-laki tua
berusia sekitar tujuh puluh tahun. Bajunya warna merah menyala, dan cukup ketat
Seluruh rambutnya berwarna merah bagai tersiram darah. Tatapan matanya begitu
tajam, mencerminkan kekejaman dan kebengisan yang tiada tara.
"Ha ha ha...!"
laki-laki tua itu tertawa terbahak-bahak.
Karmapati dan Legawa tampak
tersenyum penuh kepuasan. Kedua pemuda itu bangkit berdiri, begitu laki-laki
tua berbaju merah ini turun dari altar. Dipandanginya dua anak muda yang
berdiri di depannya. Dia tersenyum, dan kembali tertawa terbahak-bahak.
"Mulai sekarang, setiap
bulan purnama muncul, kalian harus bisa menyediakan seorang anak bayi
padaku," tegas laki-laki tua itu.
"Masalah itu tidak perlu
dirisaukan," sahut Karmapati.
"Benar! Selama Iblis Seribu
Nyawa masih ada, tidak ada kesulitan untuk mendapatkan bayi," sambut
Legawa.
"Ha ha ha...! Kalian
benar-benar pengikutku yang setia. Mulai sekarang, kalian menjadi pengawal
pribadiku."
Karmapati dan Legawa tersenyum
lebar. Mereka senang dijadikan pengawal pribadi laki-laki tua ini. Tak ada yang
lebih membanggakan bagi kedua pemuda itu, selain menjadi pengawal pribadi si
Iblis Seribu Nyawa. Apalagi, laki-laki tua itu adalah tokoh kosen yang ditakuti
dan selalu menggemparkan rimba persilatan. Dan kini, Karmapati dan Legawa
berhasil membangkitkannya kembali dari kematian dengan merendam tubuh laki-laki
tua ini didalam tempayan besar berisi darah seratus bayi.
Dan untuk kelangsungan hidupnya,
Iblis Seribu Nyawa membutuhkan darah-darah bayi setiap bulan purnama jatuh.
Bagi kedua pemuda itu tidak menjadi persoalan, karena bayi-bayi bisa didapat
dengan mudah di mana saja. Setiap hari saja mereka bisa mendapatkannya, apalagi
ini hanya setiap kali bulan.
"Sekarang aku yang akan
menguasai dunia ini. Tak ada lagi yang bisa mengalahkanku. Kalian tidak perlu
gentar menghadapi segala macam tantangan," tegas si Iblis Seribu Nyawa,
jumawa.
api masih ada dua padepokan lagi
yang belum dihancurkan, Iblis Seribu Nyawa," selak Karmapati.
"Padepokan Tongkat Baja dan Padepokan Bulan Sabit."
"Aku tahu. Dua padepokan itu
memang yang terkuat. Tapi kalian tidak perlu khawatir. Kematianku dulu hanyalah
kematian semu. Mereka lupa kalau aku memiliki ilmu 'Seribu Nyawa'. Aku
sewaktu-waktu dapat bangkit, bila ada orang yang membangkitkan seperti kalian.
Karena, rohku memang tidak kemana-mana, untuk menunggu orang yang membutuhkan
kehadiranku. Dengan merendam jasadku didalam darah seratus bayi, maka inilah
saat kebangkitanku! Kehidupanku kini sudah kusempurnakan, dan tidak perlu lagi
berendam di dalam darah seratus bayi. Sekarang mereka bukan tandinganku lagi.
Tak ada yang bisa mengalahkanku di jagat raya ini. Ha ha ha...?" jelas
Iblis Seribu Nyawa, panjang lebar.
Karmapati dan Legawa ikut
tertawa. Sudah dua padepokan mereka hancurkan. Padepokan Selendang Maut dan
Padepokan Awan Perak. Padahal saat itu si Iblis Seribu Nyawa belum sempurna
betul kehidupannya. Iblis Seribu Nyawa masih direndam darah bayi agar
kebangkitannya sempurna. Kematiannya dulu, adalah akibat bertarung dengan Eyang
Wasista, Nyai Selendang Maut, dan Pendekar Sabit Emas. Dan kini Iblis Seribu
Nyawa memang ingin melaksanakan dendamnya!
"Ayo, kita ke Padepokan
Bulan Sabit. Aku harus membuat perhitungan dengan si Pendekar Sabit Emas,"
ajak Iblis Seribu Nyawa.
Mereka bergegas keluar dari dalam
gua yang letaknya cukup tersembunyi. Sesampai diluar, mereka cepat melesat
berlari kencang mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Begitu tingginya ilmu
yang dimiliki, sehingga dalam sekejap saja sudah jauh meninggalkan mulut gua
ditengah Hutan Alas Waru.
***
ENAM
"Setan...!"
Iblis Seribu Nyawa menggeram
marah bukan main begitu mendapati keadaan di Padepokan Bulan Sabit dalam
keadaan kosong. Tak dijumpai seorang pun di dalam lingkungan padepokan itu.
Benar-benar sunyi. Mereka memeriksa setiap bangunan yang ada, dan memasuki
seluruh ruangan didalam bangunan padepokan itu. Tapi tetap saja tidak menjumpai
siapa-siapa.
Iblis Seribu Nyawa dan dua orang
pemuda pengawal pribadinya kembali ke tengah-tengah halaman depan yang cukup
luas yang biasa digunakan untuk berlatih murid-murid Padepokan Bulan Sabit.
Pada saat mereka mengedarkan pandangan berkeliling, tiba-tiba saja dari atas
atap bangunan dan pagar yang mengelilingi padepokan, bersembulan kepala-kepala.
Lalu terlihat panah-panah yang siap dilepaskan.
"Keparat...!" desis
Iblis Seribu Nyawa merasa telah masuk ke dalam perangkap.
Di atas atap bangunan utama
berdiri Pendekar Sabit Emas yang didampingi Pendekar Rajawali Sakti dan Widura.
Sedangkan seluruh murid Padepokan Bulan Sabit, sudah siap melepaskan panah ke
arah Iblis Seribu Nyawa dan kedua pengawalnya. Mereka tinggal menunggu perintah
saja untuk melepaskan anak panah yang sudah siap terentang dibusurnya.
"Seraaang...!" seru
Pendekar Sabit Emas memberi perintah.
Seketika itu juga, dari segala
penjuru berdesingan anak-anak panah ke arah Iblis Seribu Nyawa dan kedua
pengawalnya. Serbuan anak panah yang datang bagaikan hujan, membuat ketiga
orang itu terpaksa berjumpalitan menghindarinya.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Karmapati dan Legawa terpaksa
menggunakan pedangnya untuk menghalau anak-anak panah yang menghujani tubuhnya.
Sedangkan Iblis Seribu Nyawa tampak diam saja. Sesekali tangannya dikebutkan
untuk menghalau anak panah yang menghujani tubuhnya. Beberapa batang anak panah
berhasil menancap ditubuhnya. Tapi laki-laki tua berbaju merah dan seluruh
rambutnya berwarna merah itu mencabut anak panah yang menancap ditubuhnya tanpa
sedikit pun merasa sakit. Bahkan tak ada setetes darah pun yang keluar.
"Ha ha ha...!" Iblis
Seribu Nyawa tertawa terbahak-bahak. Bahkan sekarang, sama sekali Iblis Seribu
Nyawa tidak melakukan gerakan. Dibiarkan saja panah-panah itu menghantam
tubuhnya. Sungguh menakjubkan! Panah-panah itu langsung rontok begitu menyentuh
kulit tubuhnya.
Tentu saja hal ini membuat
Pendekar Sabit Emas jadi terbeliak. Sedangkan Rangga hanya memperhatikan saja
dengan mata tidak berkedip. Pendekar Rajawali Sakti juga merasa heran melihat
laki-laki tua itu tidak terpengaruh oleh serbuan anak panah. Bahkan kulit
tubuhnya begitu kebal, sehingga tak satu pun anak panah yang bisa melukainya.
"Dia benar-benar sudah
menyempurnakan ilmu-ilmunya. Tak ada satu senjata pun yang mampu
membunuhnya," gumam Pendekar Sabit Emas.
"Aku akan menghadapinya.
Paman dan kau, Widura, hadapi yang dua orang itu," ujar Rangga.
"Tidak! Kedatangannya ke
sini untuk mencariku. Jadi, sudah selayaknya kalau aku yang menyambutnya,"
sergah Pendekar Sabit Emas menolak keinginan Rangga untuk menghadapi si Iblis
Seribu Nyawa itu.
Rangga tidak dapat lagi
membantah, karena Pendekar Sabit Emas sudah melompat turun dari atap sambil
berteriak memerintahkan murid-muridnya agar menghentikan serangan. Hujan anak
panah langsung berhenti begitu kaki Pendekar Sabit Emas menjejak tanah, sekitar
dua batang tombak di depan Iblis Seribu Nyawa. Sedangkan Karmapati dan Legawa
sudah berada di belakang laki-laki tua berambut merah itu.
"He he he...! Memang
seharusnya kau sendiri yang muncul, Pendekar Sabit Emas," ujar Iblis
Seribu Nyawa diiringi tawanya yang terkekeh.
"Seharusnya kau dibakar
sampai jadi abu...!" dengus Pendekar Sabit Emas.
api mengapa tidak kau lakukan?
Dan sekarang sudah terlambat. Bersiaplah menerima kehancuranmu, Pendekar Sabit
Emas," terdengar dingin nada suara Iblis Seribu Nyawa.
Pendekar Sabit Emas menggeser
kakinya beberapa langkah ke samping ketika Iblis Seribu Nyawa mengebutkan kedua
tangannya di depan dada. Karmapati dan Legawa melangkah mundur beberapa tindak,
membiarkan Iblis Seribu Nyawa menghadapi musuh utamanya. Semua orang yang
menyaksikan kedua tokoh itu saling berhadapan, diliputi perasaan tegang yang
amat sangat
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras
menggelegar, Iblis Seribu Nyawa melompat menyerang Pendekar Sabit Emas. Satu
pukulan dilepaskan lurus ke arah dada laki-laki bertubuh gemuk itu. Namun hanya
mengegos ke kanan, Pendekar Sabit Emas berhasil menghindari pukulan lawan.
Bahkan dengan cepat sekali tongkatnya dikebutkan.
Wuk!
"Hap!"
Iblis Seribu Nyawa melentingkan
tubuh ke udara, membuat serangan Pendekar Sabit Emas hanya mengenai angin
kosong di bawah kakinya. Dua kali laki-laki tua berambut merah itu melakukan
putaran di udara, lalu manis sekali mendarat dibelakang Pendekar Sabit Emas.
Begitu cepat tubuhnya berputar, dan langsung melontarkan satu tendangan
berputar mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Yeaaat...!"
"Halt!"
Bet!
Pendekar Sabit Emas mengebutkan
tongkatnya ke belakang, dengan tubuh sedikit berputar. Tak pelak lagi, tongkat
berujung bulan sabit emas itu menghantam kaki Iblis Seribu Nyawa. Tapi yang
terjadi malah sebaliknya. Pendekar Sabit Emas malah terpental tiga langkah ke
depan. Cepat keseimbangan tubuhnya dikuasai, sebelum si Iblis Seribu Nyawa
melancarkan serangan lagi.
"Gila! Tenaganya jauh
berlipat ganda...!" dengus Pendekar Sabit Emas dalam hati. Pendekar Sabit
Emas cepat mempersiapkan jurus untuk serangan berikutnya. Sedangkan si Iblis
Seribu Nyawa tetap berdiri tegak tak bergeming sedikit pun. Dia hanya
memperhatikan saja setiap gerak kembangan jurus yang dilakukan Pendekar Sabit
Emas. Laki-laki tua berambut merah itu masih tetap diam, meskipun lawannya sudah
melompat menyerang.
"Hiyaaat...!"
Cepat sekali serangan Pendekar
Sabit Emas. Ujung senjatanya siap dihunjamkan ke tengah dada si Iblis Seribu
Nyawa yang tidak bergeming sedikit pun. Bahkan malah dadanya sengaja dibuka
lebar-lebar. Tak pelak lagi, senjata andalan Pendekar Sabit Emas itu amblas ke
dalam dada Iblis Seribu Nyawa. Begitu kerasnya tusukan Pendekar Sabit Emas,
sehingga ujung senjatanya tembus keluar dari punggung. Hasilnya, aneh! Iblis
Seribu Nyawa malah hanya tersenyum saja. Sedikit pun dia tidak terpengaruh,
meski dadanya tertembus senjata maut Pendekar Sabit Emas.
"Heh...?!" Pendekar
Sabit Emas jadi terlongong tidak percaya. Senjatanya yang terbenam di dada
Iblis Seribu Nyawa dicoba dicabut. Tapi sebelum tercabut keluar, Iblis Seribu
Nyawa sudah cepat menghentakkan tangan kanannya tepat menghantam dada Pendekar
Sabit Emas.
Plak!
"Akh...!" Pendekar
Sabit Emas memekik keras. Tubuh gemuk itu terpental sejauh dua batang tombak.
Senjatanya yang terbenam di dada si Iblis Seribu Nyawa terlepas dari genggaman.
Keras sekali tubuhnya jatuh ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Namun dia
cepat bangkit berdiri, meskipun terhuyung-huyung. Dari mulutnya tampak
terlontar darah kental agak kehitaman.
Sementara itu Iblis Seribu Nyawa
mencabut tongkat bulan sabit yang menancap di dadanya. Senyuman masih
tersungging di bibirnya. Dipandanginya senjata Pendekar Sabit Emas itu, setelah
keluar dari dadanya. Tak sedikit pun terlihat adanya bekas luka. Sedangkan
Pendekar Sabit Emas hanya bisa terlongong, seakan-akan tidak percaya dengan
penglihatannya sendiri.
"Bersiaplah menyusul
teman-temanmu di neraka, Pendekar Sabit Emas !" desis Iblis Seribu Nyawa
dingin.
Setelah berkata demikian, secepat
kilat tubuhnya melunik deras ke arah Pendekar Sabit Emas. Tangan kanannya yang
memegang tongkat lawannya, tertuju lurus ke arah dada Pendekar Sabit Emas.
Begitu cepatnya serangan yang dilakukan, membuat Pendekar Sabit Emas tak punya
kesempatan menghindar lagi. Tapi belum juga ujung tongkat berbentuk bulan sabit
itu menghunjam dada, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan putih menyambar
laki-laki gemuk berkepala botak itu.
Slap!
"Heh...?!"
Iblis Seribu Nyawa terkejut
setengah mati. Ternyata calon korban yang sudah berada di depan mata, tiba-tiba
saja lenyap. Maka tusukan tongkat berbentuk bulan sabit emas itu hanya mengenai
angin saja.
"Setan...!" geram Iblis
Seribu Nyawa gusar. Pandangannya beredar berkeliling. Tapi sekitarnya sudah
sunyi kembali. Tak terlihat seorang pun di tempat ini. Laki-laki tua berambut
merah itu menatap Karmapati dan Legawa yang juga jadi kebingungan. Mereka hanya
melihat sekelebatan bayangan putih yang tiba-tiba membawa pergi Pendekar Sabit
Emas. Dan memang, seluruh perhatian mereka tertumpah pada pertarungan Iblis
Seribu Nyawa dengan Pendekar Sabit Emas. Sehingga, sekelilingnya tidak
diperhatikan, dan tidak tahu kalau semua orang sudah meninggalkan padepokan
ini.
"Setan belang...! Ke mana
mereka semua, heh?!" bentak Iblis Seribu Nyawa berang melihat murid-murid
Padepokan Bulan Sabit beserta ketuanya lenyap begitu saja.
Karmapati dan Legawa tidak
menjawab, karena tidak tahu ke mana perginya semua orang yang tadi mengepung
tempat ini. Pertarungan antara Iblis Seribu Nyawa melawan Pendekar Sabit Emas
tadi memang sangat menarik. Akibatnya kedua pemuda itu jadi tak memperhatikan
sekelilingnya.
"Keparat! Hiyaaa...!"
Iblis Seribu Nyawa mengumbar
kemarahannya. Dilepaskannya pukulan-pukulan jarak jauh yang mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi. Suara-suara ledakan terdengar dahsyat
menggelegar, menghancurkan bangunan-bangunan Padepokan Bulan Sabit ini.
"Bakar seluruh tempat
ini...!" teriak Iblis Seribu Nyawa lantang menggelegar.
Karmapati dan Legawa bergegas
menghampiri obor-obor yang terpancang di dekatnya. Lalu obor itu dinyalakan,
dan dilemparkan ke atap-atap bangunan yang ada di sekeliling padepokan.
Sebentar saja api sudah berkobar menyala. Meskipun sudah termakan api, namun
ketiga orang itu masih tetap melepaskan pukulan-pukulan jarak jauh yang dahsyat
kearah bangunan disekitarnya.
Padepokan Bulan Sabit benar-benar
hancur. Setelah puas mengumbar kemarahan, Iblis Seribu Nyawa mengajak kedua
pemuda itu untuk meninggalkan tempat ini. Mereka bergerak cepat, sehingga
sebentar saja sudah tak terlihat lagi, menghilang ditelan kegelapan malam.
***
Sepeninggal Iblis Seribu Nyawa
dan kedua pemuda pengawalnya, Pendekar Sabit Emas, Rangga, Widura, dan seluruh
murid-murid Padepokan Bulan Sabit baru keluar dari tempat persembunyiannya.
Mereka memang bersembunyi di sebuah tempat di dalam ruangan bawah tanah, tidak
jauh dari padepokan itu. Pendekar Sabit Emas termangu memandangi padepokannya
yang hancur dan terbakar.
Padepokan yang didirikan
bertahun-tahun itu kini telah rata dengan tanah. Tapi hatinya tetap bersyukur,
karena tak seorang pun murid-muridnya yang tewas akibat kebrutalan si Iblis
Seribu Nyawa. Juga dirinya masih beruntung karena mendapatkan kembali tongkat
pusakanya yang tergeletak di dekat reruntuhan padepokan.
"Aku harus pergi ke
Padepokan Tongkat Baja. Mudah-mudahan belum terlambat untuk memberi tahu
mereka," kata Rangga.
"Aku tidak tahu, jika kau
tidak menolong tepat pada waktunya, Pendekar Rajawali Sakti. Mungkin nasib
padepokanku akan lebih buruk lagi," desah Pendekar Sabit Emas.
ang penting sekarang, dirikanlah
lagi padepokanmu, Paman. Aku akan terus mencegah tindakannya," tegas
Rangga tidak ingin menerima pujian.
Pendekar Rajawali Sakti mengajak
Widura. Setelah berpamitan, mereka bergegas meninggalkan tempat itu. Pendekar
Sabit Emas memandangi sampai kedua anak muda itu lenyap di dalam hutan yang
lebat. Kemudian murid-muridnya diperintahkan untuk membersihkan padepokan
mereka yang hancur. Sementara Rangga dan Widura terus berlari ke tempat mereka
meninggalkan Rajawali Putih. Kedua pemuda itu berlari cepat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh. Tak berapa lama kemudian, mereka telah sampai. Rajawali
Putih segera bangkit dan menghampiri begitu melihat Rangga dan Widura
berlari-lari menghampirinya.
"Hup...!"
"Hap!"
"Khraaagkh...!"
"Ke Timur,
Rajawali...!" ujar Rangga memberi petunjuk arah. Hanya sekali mengepakkan
sayap saja, Rajawali Putih sudah membumbung tinggi ke angkasa.
Widura yang sudah beberapa kali
menunggang burung rajawali raksasa ini, sudah tidak takut lagi. Namun begitu,
masih juga pinggang Rangga dipeluk erat-erat. Bagaimanapun juga, sedikit rasa
takut masih terselip dihatinya. Apalagi menyadari berada diketinggian yang tak
pernah dibayangkan ini.
"Kau yakin mereka akan pergi
ke Padepokan Tongkat Baja, Widura?" tanya Rangga.
"Aku rasa begitu,"
sahut Widura.
Rajawali Putih terus meluncur
kearah Timur dengan kecepatan bagai kilat. Saat mereka melewati sebuah padang
rumput yang luas, Rangga melihat tiga bayangan berkelebat cepat melintasi
padang rumput itu. Rangga tahu, mereka adalah Iblis Seribu Nyawa dan kedua anak
muda pengawalnya. Widura juga melihat mereka yang berlari cepat melintasi
padang rumput itu.
"Benar dugaanku. Mereka
menuju Padepokan Tongkat Baja," kata Widura.
idak kusangka mereka bisa
bergerak begitu cepat," suara Rangga terdengar agak menggumam, seakan
bicara pada dirinya sendiri.
"Mereka memang berilmu
tinggi. Aku sendiri tidak mungkin sanggup menghadapi dua orang
pengawalnya," Widura mengakui tanpa malu-malu lagi.
Rangga tidak menanggapi Dia tahu,
bagaimana perasaan Widura saat ini. Walau kemampuannya memang terbatas, tapi
pemuda itu memiliki semangat untuk menghentikan rongrongan si Iblis Seribu
Nyawa. Padahal, manusia yang bangkit dari kuburnya itu, sudah memiliki
ilmu-ilmu yang begitu sempurna, setelah mendapatkan seratus darah anak-anak
bayi berumur kurang dari setahun.
"Lebih cepat lagi, Rajawali.
Kita harus mendahului mereka!" seru Rangga.
"Khraaagkh...!"
Rajawali Putih mempercepat
terbangnya, hingga melewati ketiga orang yang berlarian cepat dibawah sana.
Rajawali raksasa itu terus meluncur cepat bagai kilat. Setelah melewati padang
rumput, terus meluncur diatas hutan yang luas dan Iebat. Setelah melewati
sebuah lembah, burung rajawali raksasa itu Iaki menukik turun, tepat berada di
atas sebuah bukit yang tidak begitu tinggi. Di puncak bukit itu terlihat
beberapa bangunan berdiri dikelilingi pagar kayu gelondongan yang tinggi dan
kokoh.
"Khraaagkh...!"
Suara Rajawali Putih yang keras
menggelegar, membuat orang-orang yang berada di sekitar bangunan itu itu jadi
terkejut. Mereka semua mendongakkan kepala ke atas. Sementara Rajawali Putih
terus meluncur turun. Orang-orang disekitar bangunan dikelilingi benteng itu,
jadi kalang-kabut. Mereka berlarian berserabutan sambil berteriak-teriak ribut.
Saat itu, Rajawali Putih sudah mendarat tepat ditengah-tengah lapangan yang
cukup luas, tepat di depan sebuah bangunan yang paling besar.
Begitu Rangga dan Widura melompat
turun, dari dalam bangunan itu muncul seorang laki-laki berusia setengah baya
yang wajahnya masih terlihat gagah dan tampan. Dia juga terkejut begitu melihat
di halamannya ada seekor burung rajawali raksasa. Lebih terkejut lagi, begitu
melihat Widura berdiri di depan burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan
itu.
aman...!" seru Widura seraya
berlari menghampiri.
Sementara Rangga berjalan
mengikuti di belakang pemuda itu. Laki-laki setengah baya yang dipanggil paman
oleh Widura, hanya bengong saja. Dia seperti tidak percaya dengan apa yang
disaksikannya. Sementara di sekeliling mereka sudah berkumpul anak-anak muda
dengan senjata terhunus di tangan.
"Widura.... Kaukah
itu...?" laki-laki setengah baya ini seperti ingin meyakinkan dirinya.
"Benar, Paman. Aku
Widura," sahut Widura. "Kenapa jadi bengong...?"
"Oh...!" laki-laki
setengah baya itu jadi tergagap.
Sebentar laki-laki itu memandangi
Widura, sebentar kemudian beralih pada Rajawali Putih, lalu berpindah pada
Rangga yang berdiri sekitar lima langkah dibelakang Widura. Kembali
dipandanginya Widura, seperti benar-benar ingin meyakinkan kalau murid kakaknya
ini datang bersama seekor burung rajawali raksasa.
"Paman, ini Rangga. Dan itu
Rajawali Putih tunggangannya," Widura cepat memperkenalkan Rangga pada
laki-laki setengah baya ini.
"Rangga, pamanku ini dikenal
berjuluk Pendekar Tongkat Baja. Makanya, padepokan ini juga dinamakan Padepokan
Tongkat Baja."
Rangga menyodorkan tangannya,
yang langsung disambut Pendekar Tongkat Baja. Laki-laki setengah baya itu
meminta kedua tamunya ini untuk masuk, tapi Widura dengan halus menolaknya.
"Kedatanganku karena ada
sesuatu yang penting," kata Widura.
"Ada amanat dari gurumu,
Widura?" tanya Pendekar Tongkat Baja.
Widura tidak segera menjawab,
tapi malah menghembuskan napas berat beberapa kali. Terasa sukar baginya untuk
mengatakan semua yang telah terjadi selama ini. Tapi akhirnya, dengan perasaan
berat dan dipaksakan, Widura menceritakan juga semuanya. Sejak dari awal hingga
terakhir, semua peristiwa itu diceritakannya.
Pendekar Tongkat Baja jadi
tercenung mendengar cerita Widura. Dia seperti tidak percaya setelah mendengar
kalau kakaknya yang bernama Wasista sudah tewas. Dan padepokannya sudah hancur
rata dengan tanah. Bahkan Padepokan Selendang Maut juga musnah. Yang membuatnya
hampir tidak percaya, mereka semua hancur hanya oleh anak buah si Iblis Seribu
Nyawa!
Padahal, tokoh kosen itu
diketahuinya sudah tewas oleh Eyang Wasista, Dewi Selendang Maut, dan Pendekar
Sabit Emas. Meskipun tidak ikut dalam pertarungan itu, tapi dengan mata kepala
sendiri, sempat dilihatnya bagaimana Iblis Seribu Nyawa dibuat tidak berdaya
oleh lawan-lawannya. Dan akhirnya tewas!
Demikian pula para pengikutinya
yang berhasil dihancurkan. Tapi tidak sedikit yang berhasil melarikan diri. Dan
mungkin diantaranya adalah anak buahnya yang sekarang, yang telah menghancurkan
Padepokan Awan Perak dan Padepokan Selendang Maut.
"Sekarang mereka sedang
menuju kesini, Paman. Itu sebabnya, aku dan Kakang Rangga langsung ke sini
untuk memberi tahu agar Paman bersiap-siap menghadapi mereka," jelas
Widura.
"Apa yang harus
kulakukan...?" tanya Pendekar Tongkat Baja seperti bertanya untuk dirinya
sendiri.
"Kosongkan padepokan
ini," selak Rangga.
"Kosongkan...?!"
"Mereka memang akan
menghancurkan padepokan ini, tapi jangan sampai jatuh korban. Biarkan mereka
melampiaskan kekecewaannya," jelas Rangga.
"Apakah itu bukan tindakan
pengecut...?"
"Tidak! Demi menyelamatkan
seluruh murid padepokan, maka bangunan ini harus dikosongkan. Mereka bukan
lawan tanding yang ringan, karena berkepandaian tinggi. Harus dicari cara yang
tepat untuk menghadapinya, tanpa harus menimbulkan korban banyak," kata
Rangga lagi.
"Ikuti saja, Paman. Kakang
Rangga sudah mempunyai rencana matang untuk menghadapi si Iblis Seribu
Nyawa," bujuk Widura.
Pendekar Tongkat Baja memandangi
Rangga dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Keningnya berkerut, dan kelopak
matanya agak menyipit. Rangga sendiri agak jengah juga dipandangi begitu. Tapi,
dibiarkannya saja Pendekar Tongkat Baja ini menilai dirinya. Pendekar Tongkat
Baja mengalihkan pandangan pada burung rajawali raksasa yang mendekam
ditengah-tengah halaman luas.
"Oh! Kenapa mataku jadi buta
begini..? Bukankah kau Pendekar Rajawali Sakti...?" desah Pendekar Tongkat
Baja.
Rangga hanya tersenyum saja.
"Benar, Paman. Kakang Rangga
adalah Pendekar Rajawali Sakti," Widura membenarkan.
"Sungguh beruntung, aku bisa
bertemu denganmu, Pendekar Rajawali Sakti. Maaf, kalau aku tadi sempat
meremehkanmu," ucap Pendekar Tongkat Baja.
"Sudahlah, lupakan saja.
Yang penting sekarang, padepokan ini harus segera dikosongkan. Sebentar lagi
mereka datang," tegas Rangga tidak ingin memperpanjang.
"Baiklah. Akan kuturuti
saranmu, Pendekar Rajawali Sakti," sambut Pendekar Tongkat Baja.
Bergegas laki-laki setengah baya
itu melangkah keluar dari beranda rumah yang berukuran cukup besar ini.
Kemudian dengan suara lantang, diperintahkannya seluruh murid keluar dan
berkumpul dihalaman. Dengan singkat, laki-laki setengah baya bertubuh tegap itu
menjelaskan keadaan yang bakal dihadapi. Lalu, semua muridnya diminta untuk
meninggalkan padepokan ini ke tempat perlindungan yang berada tidak jauh diluar
pagar yang mengelilingi Padepokan Tongkat Baja. Tak ada seorang pun yang
membantah. Mereka semua bergegas keluar dari padepokan, menuju tempat
perlindungan.
"Widura, ikutlah bersama
mereka. Aku akan mengawasi dari udara," kata Rangga.
"Baiklah. Tapi
berhati-hatilah, Kakang," ujar Widura.
Setelah tidak ada seorang pun
yang tinggal di sekitar padepokan ini, Rangga segera naik ke punggung Rajawali
Putih. Lalu, burung raksasa itu melesat tinggi ke angkasa, dan berputar-putar
di atas bangunan padepokan ini. Rangga terus mengamati keadaan sekitarnya dari
angkasa. Pandangannya kemudian tertumpu pada tiga bayangan yang bergerak cepat
menembus lebatnya hutan, menuju kepuncak bukit ini.
"Hm.... Mereka sudah
datang," gumam Rangga dalam hati.
***
TUJUH
Kekecewaan kembali dialami Iblis
Seribu Nyawa, begitu mendapati Padepokan Tongkat Baja dalam keadaan kosong.
Rasa kecewanya menimbulkan kemarahan yang langsung dilampiaskan dengan
penghancuran seluruh bangunan di Padepokan Tongkat Baja ini. Hingga tak ada
satu bangunan pun yang tersisa berdiri tegak. Bahkan pagar yang mengelilingi
padepokan ini pun ikut dihancurkan.
Sementara dari angkasa, Rangga
memperhatikan semua itu dengan hati geram. Tapi semua itu masih berusaha
ditahan agar kemarahannya tidak terpancing. Baru kali ini Pendekar Rajawali
Sakti melihat kebrutalan terjadi di depan matanya. Dan bukannya hal itu tidak ingin
dicegahnya. Tapi, dia menunggu saat yang tepat untuk menghentikan semua
kebrutalan ini.
Setelah melampiaskan
kekecewaannya, Iblis Seribu Nyawa dan kedua anak buahnya meninggalkan Padepokan
Tongkat Baja yang sudah hancur tak berbentuk lagi. Sementara Rangga masih
mengawasi dari angkasa, sampai ketiga orang edan itu tidak terlihat lagi.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian turun dan mendarat di luar pagar Padepokan
Tongkat Baja yang sudah hangus jadi arang.
Pada saat itu Pendekar Tongkat
Baja, Widura, dan seluruh murid padepokan itu berdatangan. Mereka seperti tidak
percaya melihat padepokannya hancur dalam waktu singkat. Semua yang ada disitu
hanya dapat memandangi dengan berbagai macam perasaan berkecamuk dalam dada.
Terutama Pendekar Tongkat Baja. Kemarahannya begitu meluap-luap di dalam dada.
Tapi, memang saat ini dia tidak bisa berbuat banyak. Terlebih lagi setelah
menyaksikan kebrutalan Iblis Seribu Nyawa menghancurkan padepokannya yang
dibangun bertahun-tahun.
"Paman Tongkat Baja! Aku
harap Paman bisa selekasnya datang ke Desa Jati Wengker bersama Paman Sabit
Emas," pinta Rangga.
"Untuk apa aku datang ke
sana?" tanya Pendekar Tongkat Baja.
"Karena di sanalah awal dari
semua bencana ini. Tepatnya, di Hutan Alas Waru. Aku akan mencari kelemahan
Iblis Seribu Nyawa itu di sana, sebelum kita semua menggempurnya," jelas
Rangga mengemukakan rencananya.
"Rasanya tidak mungkin
menghadapinya, meskipun seluruh pendekar di jagat ini bersatu," keluh
Widura bergumam pelan.
"Seperti apa pun tangguhnya,
pasti punya kelemahan. Dan kelemahannya itu yang harus ditemukan. Percayalah.
Dia akan kuhadapi, meskipun kelemahannya belum kudapatkan," tegas Rangga
meyakinkan.
"Aku percaya padamu,
Pendekar Rajawali Sakti. Rasanya memang hanya kaulah yang bisa menghadapi
kebrutalannya," ujar Pendekar Tongkat Baja, mantap. "Terus terang,
dari caranya menghancurkan padepokanku ini saja, aku sudah bisa mengukur kemampuanku
sendiri. Jelas, aku tidak mungkin bisa menandinginya."
"Tidak perlu merasa rendah
diri begitu, Paman. Kita semua akan bahu membahu menghentikan segala
perbuatannya. Aku yakin, Dewata akan selalu menyertai usaha yang mulia
ini," hibur Rangga membesarkan hati Pendekar Tongkat Baja.
"Kau masih muda, Pendekar
Rajawali Sakti. Tapi aku selalu mengagumimu, meskipun baru kali ini bisa
berjumpa langsung," kata Pendekar Tongkat Baja.
Rangga hanya tersenyum saja.
"Aku akan pergi sekarang, Paman. Mudah-mudahan bisa secepatnya menemukan
kelemahan si Iblis Seribu Nyawa itu," Rangga berpamitan.
"Aku ikut, Kakang,"
selak Widura.
"Jangan! Kau nanti
bersama-sama pamanmu. Jemputlah Pendekar Sabit Emas, dan terus ke Desa Jati
Wengker. Kita bertemu di sana," Rangga menolak permintaan Widura dengan
halus namun tegas.
Widura sebenarnya ingin memaksa,
tapi segera mengurungkan keinginannya. Sedangkan Rangga sudah melangkah
menghampiri Rajawali Putih. Dengan satu lompatan indah, Pendekar Rajawali Sakti
naik ke punggung burung raksasa itu. Setelah lehernya ditepuk tiga kali,
Rajawali Putih melesat naik dan langsung membumbung tinggi ke angkasa dengan
kecepatan luar biasa.
"Khraaagkh...!"
"Hm.... Tidak percuma kau
ditempatkan pada urutan pertama dalam dunia persilatan," gumam Pendekar
Tongkat Baja.
Pendekar Tongkat Baja dan Widura
memandangi kepergian Pendekar Rajawali Sakti sampai lenyap ditelan awan. Untuk
beberapa saat, mereka masih berdiri memandang ke awan. Lalu, Pendekar Tongkat
Baja memerintahkan murid-muridnya membangun kembali padepokan mereka yang
hancur. Dia sendiri, kemudian mengajak Widura pergi ke Padepokan Bulan Sabit
Dari situ, mereka terus ke Desa Jati Wengker bersama-sama Pendekar Sabit Emas,
seperti yang diminta Pendekar Rajawali Sakti tadi.
***
Di angkasa, Rangga melihat Iblis
Seribu Nyawa dan kedua orang anak buahnya berlarian menembus lebatnya hutan.
Jelas sekali kalau tujuan mereka adalah Desa Jati Wengker. Dan yang pasti,
mereka akan melewati Hutan Alas Waru. Dari angkasa seperti ini, terlalu sulit
mengamati, jika mereka sudah memasuki Hutan Alas Waru. Karena hutan itu sangat
lebat, dan sukar ditembus oleh penglihatan dari ketinggian seperti ini.
"Rajawali, aku akan sedikit
menghambat mereka, turun di depan sana...!" ujar Rangga sambil menunjuk
sebuah dataran cukup luas untuk didarati burung rajawali raksasa ini.
"Khraaagkh...!"
Rajawali Putih menukik deras ke
arah yang ditunjuk Rangga. Sebentar kemudian, Pendekar Rajawali Sakti sudah
melompat turun dari punggung burung rajawali raksasa yang kemudian kembali
melambung tinggi ke angkasa bersama beberapa pesan yang diberikan Rangga.
"Akan kutunggu dia di
sini," gumam Rangga perlahan. Pendekar Rajawali Sakti melompat keatas, dan
hinggap di cabang sebatang pohon yang cukup tinggi. Pandangannya lurus tak
berkedip, menunggu munculnya si Iblis Seribu Nyawa dan dua orang anak buahnya
yang telah mengacaukan beberapa desa di sekitar Hutan Alas Waru. Tidak berapa
lama, Rangga sudah bisa melihat ketiga orang yang berlari cepat menuju ke
arahnya.
Begitu dekat, Rangga cepat
melompat turun dengan gerakan indah dan manis sekali. Tanpa menimbulkan suara
sedikit pun, Pendekar Rajawali Sakti mendarat menghadang didepan Iblis Seribu
Nyawa. Kemunculannya yang begitu tiba-tiba, membuat Iblis Seribu Nyawa terkejut
Larinya kontan dihentikan. Begitu pula dua pemuda yang menyertainya. Mereka
berhenti berlari dibelakang laki-laki tua berambut merah ini.
"Kau...," desis Iblis
Seribu Nyawa. Laki-laki tua itu mengenali Rangga yang pernah dilihatnya di
Padepokan Bulan Sabit. Dia adalah pemuda berbaju rompi putih yang berdiri
bersama Pendekar Sabit Emas di atas atap. Ditatapnya tajam-tajam pemuda yang
berdiri menghadang di depannya.
"Mau apa kau menghadang
jalanku, Bocah?!" bentak Iblis Seribu Nyawa kasar.
"Menghentikan kebrutalanmu!"
sahut Rangga, dingin dan datar.
"Menghentikanku...? Ha ha
ha...!" Iblis Seribu Nyawa tertawa terbahak-bahak.
Karmapati dan Legawa yang berada
dibelakang laki-laki tua berambut merah itu juga tertawa sinis. Sedangkan
Rangga hanya diam saja. Tatapannya tetap tajam menusuk langsung ke bola mata
Iblis Seribu Nyawa ini
"Aku melihatmu di Padepokan
Bulan Sabit. Apakah kau murid si Pendekar Sabit Emas?" tanya Iblis Seribu
Nyawa ingin tahu. "Kalau kau memang muridnya, lebih baik angkat kaki dari
sini, sebelum kuhancurkan batok kepalamu!"
"Aku bukan muridnya, tapi
sahabatnya. Dan aku tidak akan tinggal diam melihat padepokan sahabatku kau
hancurkan!" tetap dingin nada suara Rangga.
"Ha ha ha.... Bagus! Makin
banyak pendekar yang berdatangan, makin banyak pula darah yang menggenang. Aku
senang bertarung dengan seorang pendekar muda sepertimu, Bocah. Darahmu pasti
harum."
Rangga hanya tersenyum tipis
mendengar kata-kata yang dapat memancing kemarahan itu. Tapi dia tetap tidak
ingin terpancing. Meskipun kata-kata Iblis Seribu Nyawa barusan begitu
menyakitkan dan meremehkan sekali.
"Kau ingin menghentikanku,
Bocah. Sekarang kenapa tidak menyerang?" lagi-lagi Iblis Seribu Nyawa
memancing.
"Aku tidak akan menyerang
sebelum didahului,", sahut Rangga dingin.
"Phuah...! Kau meremehkan
aku, Bocah!" geram Iblis Seribu Nyawa.
"Sama seperti yang kau
lakukan pada Padepokan Awan Perak, Padepokan Selendang Maut dan
padepokan-padepokan lain. Kau juga meremehkan, dan menghancurkan mereka tanpa
sisa. Aku ingin tahu, sampai di mana kemampuanmu, sehingga bisa menghancurkan
dua padepokan dalam waktu singkat," kejar Rangga lagi.
"Beludak...!" bentak
Iblis Seribu Nyawa geram. Semula Iblis Seribu Nyawa yang memancing kemarahan
Pendekar Rajawali Sakti. Tapi sekarang, malah dirinya sendiri yang terpancing
oleh kata-kata Rangga yang begitu halus, tapi sangat menusuk hati. Sambil
mendengus dan menyemburkan ludahnya beberapa kali, Iblis Seribu Nyawa cepat
menggeser kakinya ke depan beberapa langkah. Lalu....
"Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat Iblis Seribu Nyawa
melompat memberi serangan cepat kepada pemuda berbaju rompi putih itu. Sedikit
saja Rangga mengegoskan tubuhnya, maka pukulan yang dilepaskan laki-laki tua
berambut merah itu lewat di samping tubuhnya. Namun Rangga cepat melentingkan
tubuh ke belakang, saat merasakan angin pukulan itu mengandung hawa yang panas
menyengat
"Phuih! Dahsyat sekali
serangannya...!" desah Rangga dalam hati.
Belum juga Rangga sempat melakukan
serangan balasan, Iblis Seribu Nyawa sudah kembali cepat menyerang. Beberapa
kali pukulan yang keras dan cepat dilepaskan, disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi. Namun semua serangan itu berhasil dielakkan Pendekar Rajawali Sakti,
dengan mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
Pertarungan antara Iblis Seribu
Nyawa dengan Pendekar Rajawali Sakti terus berlangsung semakin sengit. Jurus
demi jurus berlalu cepat. Tak terasa, mereka sama-sama menghabiskan sepuluh
jurus. Tapi sampai saat ini, belum satu jurus andalan pun yang dikeluarkan
Pendekar Rajawali Sakti. Namun begitu, kelihatannya tidak mudah bagi Iblis
Seribu Nyawa mendesaknya.
"Akan kucoba dengan jurus
'Sayap Rajawali Membelah Mega'," desis Rangga dalam hati. Pendekar
Rajawali Sakti cepat merubah jurusnya. Kali ini kedua tangannya merentang
lebar, seakan-akan membiarkan dadanya terbuka. Gerakan-gerakan kedua tangannya
begitu cepat, membuat Iblis Seribu Nyawa tampak agak kewalahan menghadapi
serangan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Beberapa kali tebasan tangan
Pendekar Rajawali Sakti hampir mengenai sasaran, tapi Iblis Seribu Nyawa masih
mampu menghindar. Bahkan setelah beberapa gebrakan berlangsung, laki-laki
berambut merah itu berhasil melancarkan serangan balasan yang tidak kalah
dahsyatnya. Pendekar Rajawali Sakti cepat-cepat merubah kembali jurusnya,
menjadi jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', untuk mengimbangi serangan-serangan si
Iblis Seribu Nyawa.
"Setan keparat...! Bocah ini
mempermainkanku!" dengus Iblis Seribu Nyawa geram. Laki-laki tua berambut
merah itu memang merasa sedang dipermainkan pemuda tampan berbaju rompi putih
ini. Karena setiap kali menyerang, Rangga cepat merubah jurusnya menjadi jurus
'Sembilan Langkah Ajaib'. Tapi Pendekar Rajawali Sakti cepat merubah jurusnya
kembali begitu melakukan serangan balasan. Hal ini tentu saja membuat si Iblis
Seribu Nyawa jadi kelabakan menghadapinya. Jurus-jurus yang dikeluarkannya
terasa jadi mentah, dan tidak berguna sama sekali.
"Hup...!"
Tiba-tiba saja Iblis Seribu Nyawa
melesat kebelakang, melakukan putaran diudara beberapa kali. Dengan manis
sekali kakinya mendarat di tanah, sejauh dua batang tombak dari Rangga. Namun
Pendekar Rajawali Sakti membiarkan saja, tidak bermaksud mengejar. Bahkan malah
berdiri tegak dengan tenang. Bibirnya yang tipis dan agak kemerahan,
menyunggingkan senyuman tipis yang hampir tidak terlihat
"Kenapa berhenti, Iblis
Seribu Nyawa?" tanya Rangga, agak sinis.
"Siapa kau sebenarnya?!
Belum pernah aku berhadapan dengan anak muda sampai lebih dari sepuluh
jurus!" agak keras suara Iblis Seribu Nyawa.
Rangga tidak segera menjawab,
tapi malah memberi senyuman yang cukup lebar dan manis. Dia tahu, kalau
laki-laki tua berambut merah ini sudah mengakui ketangguhannya, meskipun tidak
diucapkan secara langsung. Tapi dari kata-katanya tadi, sudah bisa dirasakan
adanya nada pujian.
"Aku Rangga, orang-orang
biasanya memanggilku Pendekar Rajawali Sakti," Rangga memperkenalkan diri
tanpa ada nada kesombongan dalam suaranya.
"Pendekar Rajawali
Sakti...," gumam Iblis Seribu Nyawa.
Laki-laki tua berambut merah itu
memandangi Rangga dari ujung kepala hingga ke ujung kaki Keningnya terlihat
sedikit berkerut, dan matanya agak menyipit. Seakan-akan dia tengah teringat
sesuatu, atau bahkan mungkin juga tengah menilai tingkat kepandaian yang
dimiliki lawannya.
"Namamu pernah kudengar,
Bocah. Hm.... Hampir semua orang di kalangan rimba persilatan selalu
membicarakanmu. Tapi sayang sekali, jalan antara kita berdua saling berlawanan.
Dan terpaksa kita berhadapan sebagai musuh," dingin sekali suara Iblis
Seribu Nyawa.
"Mungkin saja tidak, jika
kau rela kembali ke alammu," balas Rangga.
"Bocah setan...! Apa yang
kau bicarakan, heh?!" bentak Iblis Seribu Nyawa langsung memerah wajahnya.
"Aku bicara yang sebenarnya.
Kau sudah tidak patut lagi berada di dunia nyata ini, Iblis Seribu Nyawa. Sudah
selayaknya kau tinggalkan dunia ini, dan hidup damai di alam akhirat"
tenang sekali suara Rangga.
"Keparat..! Kau telah
menghinaku, Bocah!" geram Iblis Seribu Nyawa.
"Aku tidak pernah menghina
siapa pun juga. Aku tadi hanya mengingatkanmu. Kau sebenarnya sudah mati, dan
tidak ada hak lagi hidup di dunia ini. Tapi, bisa juga jika perkataanku kau
anggap suatu peringatan," ujar Rangga tetap tenang.
"Kau sudah membuka
tantangan, Pendekar Rajawali Sakti. Tak ada seorang pun yang bisa menantangku.
Mereka yang berani coba-coba menantang, harus mati ditanganku. Tidak peduli
kau...!"
Setelah berkata demikian, Iblis
Seribu Nyawa langsung melompat melakukan serangan kembali. Hatinya benar-benar
panas menerima kata-kata yang diucapkan Rangga barusan. Begitu cepatnya
serangan yang dilakukannya, sehingga membuat Rangga terpaksa harus
berjumpalitan menghindari. Beberapa kali dia harus menjatuhkan diri di tanah, bergulingan
dan cepat bangkit berdiri. Tapi Iblis Seribu Nyawa rupanya kali ini tidak ingin
memberi kesempatan pada lawannya untuk melakukan serangan balasan.
"Hiya! Hiya!
Hiyaaa...!"
***
DELAPAN
Rangga yang semula berniat hanya
menghambat perjalanan si Iblis Seribu Nyawa ke Desa Jati Wengker, jadi merasa
tidak punya kesempatan lagi untuk melepaskan diri dari pertarungan. Terlebih
lagi, si Iblis Seribu Nyawa sudah memerintahkan kedua anak buahnya untuk ikut
menyerang. Akibatnya pemuda berbaju rompi putih itu benar-benar tidak bisa
keluar dari pertarungan yang dahsyat ini.
Menghadapi Iblis Seribu Nyawa
sendiri saja, sudah cukup sulit Apalagi ditambah dua orang yang rata-rata
memiliki kepandaian tinggi. Akibatnya Rangga semakin kewalahan dan terus
terdesak. Tapi Pendekar Rajawali Sakti beberapa kali masih sempat memberi
serangan balasan yang cukup membuat mereka sedikit kerepotan, meskipun tidak
sampai membuat serangan dan pertahanan berantakan. Dan itu juga hanya sebentar
saja. Selebihnya, Rangga sudah harus berjumpalitan menghindari
serangan-serangan gencar dan dahsyat
"Huh! Bisa habis tenagaku
kalau begini terus!" dengus Rangga dalam hati. Pendekar Rajawali Sakti
menyadari kalau keadaan yang dialaminya tidak menguntungkan sama sekali Dan
juga disadari kalau tidak mudah keluar dari kancah pertempuran ini begitu saja.
Mereka benar-benar ingin membunuhnya, dan tidak memberi kesempatan menarik
napas sedikit pun.
"Aku harus meminta bantuan
Rajawali Putih," desis Rangga bergumam dalam hati. Tapi tidak mudah bagi
Rangga untuk memanggil Rajawali Putih. Apalagi serangan-serangan yang datang
begitu beruntun, dan tidak ada kesempatan baginya untuk mengeluarkan siulan
ajaibnya. Namun begitu memiliki kesempatan yang sedikit, langsung tidak
disia-siakannya.
"Suiiit..!"
"Khraaagkh...!"
Begitu mendengar siulan, saat itu
juga terdengar suara serak yang begitu menggelegar dari angkasa. Sebelum ada
yang menyadari, tampak dari angkasa meluruk turun seekor burung rajawali
raksasa berbulu putih keperakan. Kibasan kedua sayapnya begitu keras, membuat
tiga orang yang mengeroyok Rangga jadi berpelantingan.
"Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat, Rangga
melentingkan tubuhnya, dan cepat naik ke punggung Rajawali Putih. Secepat kilat
pula, Rajawali Putih melesat ke angkasa. Sedangkan Iblis Seribu Nyawa dan dua
orang anak muda pengawalnya, jadi terbengong-bengong. Mereka seperti tidak
percaya dengan apa yang baru saja disaksikan.
Sedangkan di angkasa, Rangga
meminta agar Rajawali Putih tidak terbang terlalu tinggi. Bahkan burung
rajawali raksasa itu berputar-putar saja. Rangga memperhatikan Iblis Seribu
Nyawa dan dua orang anak buahnya yang tengah mendongak ke atas.
"Heh...! Bukankah
itu..." Pendekar Rajawali Sakti tersentak ketika melihat sekitar tiga
puluhan orang bergerak cepat menuju padang rumput itu. Tampak jelas kalau yang
berada paling depan adalah Pendekar Tongkat Baja, Pendekar Sabit Emas, dan
Widura. Sedangkan yang mengekor dibelakang mereka adalah puluhan murid pilihan
dari kedua pendekar itu.
"Mereka tidak akan sanggup
menandingi si Iblis Seribu Nyawa, dan tidak boleh mati sia-sia. Aku harus cepat
bertindak sebelum korban berjatuhan," gumam Rangga langsung mengambil
keputusan. "Turunkan aku di depan mereka, Rajawali...!"
"Khraaagkh...!"
Rajawali Putih langsung meluruk
deras secepat kilat, dan sebentar saja sudah dekat ke tanah yang berumput tebal
bagai permadani terhampar. Rangga cepat melesat turun dengan gerakan indah dan
ringan sekali. Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya, tepat
sekitar dua batang tombak di depan Iblis Seribu Nyawa.
"Phuih! Rupanya kau masih
punya nyali bertemu dengan denganku, Pendekar Rajawali Sakti," dengus
Iblis Seribu Nyawa sengit
"Majulah. Kita selesaikan
semuanya hari ini," tantang Rangga.
"He he he.... Bagus!
Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti. Hiyaaa...!"
Iblis Seribu Nyawa langsung saja
melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Menyadari akan ketangguhan pendekar
muda itu, jurus-jurus yang dahsyat dan berbahaya langsung dikeluarkan.
Sedangkan Rangga sengaja mengulur-ulur waktu dengan berlompatan dan meliukkan
tubuhnya, mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
Sementara Karmapati dan Legawa
saling berpandangan. Dan sebelum mereka ikut menyerang Pendekar Rajawali Sakti,
tiba-tiba saja muncul Pendekar Tongkat Baja, Pendekar Sabit Emas, Widura, serta
murid-murid pilihan Padepokan Tongkat Baja dan Padepokan Bulan Sabit. Mereka
berlari cepat ke arah dua orang anak buah si Iblis Seribu Nyawa itu.
Kemunculan mereka membuat
Karmapati dan Legawa jadi kelabakan. Terlebih lagi, kedua pendekar kosen itu
bersama Widura dan murid-murid dari dua padepokan, langsung menyerang.
Karmapati dan Legawa adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Tapi
menghadapi dua orang pendekar dan keroyokan murid-murid dari Padepokan Tongkat
Baja dan Padepokan Bulan Sabit, mereka jadi kewalahan.
"Kakang Tongkat Baja,
pisahkan mereka...!" seru Pendekar Sabit Emas.
"Baik! Hiyaaat...!"
Pendekar Tongkat Baja langsung
merangsek Karmapati, dan memaksa agar terpisah dari Legawa. Sedangkan Pendekar
Sabit Emas terus mendesak Legawa. Kedua pendekar itu memerintahkan murid-murid
mereka untuk menyingkir. Bahkan Widura sendiri jadi tidak kebagian lawan. Maka
terpaksa dia hanya menjadi penonton saja bersama yang lain.
"Mampus kau!
Hiyaaa...!" teriak Pendekar Tongkat baja. Bagaikan kilat, laki-laki
setengah baya bertubuh tegap itu melentingkan tubuh ke udara. Lalu cepat sekali
tongkat baja hitamnya dikebutkan ke arah kepala Karmapati. Begitu cepatnya serangan
yang dilakukan Pendekar Tongkat Baja, sehingga membuat Karmapati jadi
terperangah.
"Hait...!"
Cepat-cepat Karmapati mengegoskan
kepalanya, menghindari sabetan tongkat baja hitam. Namun sebelum dia sempat
melakukan sesuatu, mendadak saja Pendekar Tongkat Baja melakukan putaran cepat
ke belakang. Bagaikan kilat, langsung dilepaskan satu tendangan keras disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
Des!
"Akh...!"
Karmapati terjungkal begitu
punggungnya terhantam tendangan menggeledek yang dilepaskan Pendekar Tongkat
Baja. Selagi pemuda itu terkapar di tanah, Widura cepat melompat Langsung
pedangnya dibabatkan ke arah dada Karmapati.
"Hiyaaat..!"
Bet!
Karmapati hanya dapat terbeliak.
Dan....
Cras!
"Aaakh...!" untuk kedua
kalinya Karmapati menjerit keras melengking tinggi.
Widura yang sudah teramat benci
pada pemuda itu, apalagi hatinya juga terselimut dendam, tak dapat lagi
mengendalikan diri. Cepat sekali pedangnya diangkat dan ditusukkan ke dada
Karmapati. Sekali lagi anak buah Iblis Seribu Nyawa itu menjerit keras
melengking tinggi. Sebentar dia masih mampu menggeliat, kemudian diam tak
bernyawa lagi.
huih!" Widura menyemburkan
ludah sambil menarik keluar pedangnya dari dada Karmapati.
Sementara itu di lain tempat,
Legawa jadi kehilangan kendali begitu melihat Karmapati tewas. Dan ini
dimanfaatkan Pendekar Sabit Emas. Sehingga ketika pendekar berkepala gundul itu
melepaskan satu pukulan keras ke arah dada, Legawa tidak dapat lagi menghindar.
Pukulan itu cepat dan telak menghantam dadanya.
Des!
"Akh...!" Legawa
memekik agak tertahan. Pemuda berbaju merah itu terpental sejauh satu batang
tombak kebelakang. Tubuhnya terhuyung-huyung, mencoba menguasai keseimbangan.
Tapi sebelum bisa dikuasai secara sempurna, Pendekar Sabit Emas sudah
melancarkan satu serangan kilat.
"Hiyaaat..!"
Wuk!
Cepat sekali pendekar gendut itu
mengebutkan senjata tongkat yang ujungnya berbentuk bulan sabit ke arah dada
Legawa. Begitu cepatnya serangan itu, sehingga Legawa tak sempat lagi
menghindar.
Cras!
"Akh...!" lagi-lagi
Legawa memekik keras. Darah langsung menyembur keluar dari dadanya yang sobek
tersabet ujung tongkat Pendekar Sabit Emas. Kembali tubuhnya terhuyung-huyung
ke belakang sambil mendekap dadanya yang mengucurkan darah segar.
"Kau tidak pantas hidup,
Iblis Busuk! Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat Pendekar Sabit
Emas melompat menerjang Legawa. Ujung tongkatnya yang berbentuk bulan sabit
berwarna keemasan, mengancam lurus ke dada pemuda berbaju merah itu.
Bres!
"Aaakh...!"
Satu jeritan panjang melengking
tinggi terdengar membelah angkasa! Legawa langsung jatuh terguling begitu
Pendekar Sabit Emas mencabut senjatanya. Seketika darah muncrat membasahi bumi.
Pendekar Sabit Emas melompat mundur sejauh beberapa tindak. Sebentar Legawa
masih bisa menggelepar, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Pendekar Tongkat
Baja dan Widura bergegas menghampiri Pendekar Sabit Emas. Mereka berdiri
berjajar, dan langsung mengarahkan pandangan pada pertarungan antara Rangga
melawan Iblis Seribu Nyawa.
"Bagaimana...?" tanya
Pendekar Sabit Emas.
"Sebaiknya kita tidak perlu
turun tangan. Tunggu saja perkembangannya," ujar Pendekar Tongkat Baja.
"Aku yakin, Kakang Rangga
bisa mengalahkan Iblis Seribu Nyawa," desis Widura.
ampaknya Pendekar Rajawali Sakti
memang sudah bisa menguasai pertarungan," sambung Pendekar Tongkat baja.
"Tapi tubuh si Iblis Seribu
Nyawa sangat kebal. Dia tidak mempan senjata," sergah Pendekar Sabit Emas.
Laki-laki setengah baya itu
teringat dengan pengalamannya sendiri. Meskipun senjatanya sudah menembus dada
laki-laki tua berambut merah itu, namun tidak mengakibatkan kematian. Bahkan
hampir saja dia yang tewas. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti cepat bertindak
menyelamatkannya.
"Kita lihat saja, Pendekar
Rajawali Sakti memiliki senjata dahsyat yang tidak ada tandingannya di dunia
ini," jelas Pendekar Tongkat Baja lagi.
Memang pada saat itu, Rangga
sudah mencabut pedang pusakanya yang memancarkan cahaya biru berkilauan
menyilaukan mata. Dengan pedang pusaka berada di tangan, serangan-serangan yang
dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti semakin dahsyat dan berbahaya. Akibatnya
Iblis Seribu Nyawa terus terdesak dan kewalahan.
"Hup!"
Tiba-tiba saja Rangga melompat
mundur sejauh lima langkah. Pedangnya cepat disilangkan di depan dada. Lalu
dengan tangan kiri, mata pedang itu digosok-gosok. Cahaya biru langsung
menggumpal membentuk bulatan sebesar kepala di ujung pedang. Dan mendadak....
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!
Yeaaah...!"
Cepat sekali Rangga mengebutkan
pedangnya ke depan. Seketika cahaya biru yang menggumpal di ujung pedangnya
melesat ke arah Iblis Seribu Nyawa. Begitu cepatnya melesat, sehingga Iblis
Seribu Nyawa tak sempat lagi menghindar.
"Ikh...!" Iblis Seribu
Nyawa bergetar tubuhnya terselimut sinar biru yang memancar dari ujung pedang
Pendekar Rajawali Sakti. Dia menggeliat-geliat, mencoba melepaskan diri dari
lingkaran sinar biru itu. Saat itu juga, Iblis Seribu Nyawa merasakan
kekuatannya mengalir keluar deras sekali. Semakin mencoba bertahan, kekuatannya
semakin mengalir ke luar. Bahkan tak terkendali lagi.
"Ufs...!" Sedikit demi
sedikit, Iblis Seribu Nyawa tersedot mendekati Rangga. Tubuhnya terus
menggeliat-geliat, mencoba melepaskan diri. Tapi tenaganya semakin tersedot
keluar. Dan begitu dekat, Pendekar Rajawali Sakti segera menghentakkan tangan
kirinya, dan langsung menempal didada laki-laki tua berambut merah itu.
Trek! Cring!
Rangga memasukkan kembali
pedangnya ke dalam warangka di punggung, lalu cepat menghentakkan tangan
kanannya. Maka tangan kanannya kini menempel di dada si Iblis Seribu Nyawa.
Seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu menggeletar, pertanda seluruh
kemampuannya dikerahkan, dalam pengerahan aji 'Cakra Buana Sukma'.
Sementara Iblis Seribu Nyawa
semakin mengendor perlawanannya. Darah sudah mengucur dari lubang hidung, mata,
telinga, dan mulutnya. Hingga akhirnya tubuh laki-laki berambut merah itu hanya
bisa mengelepar, dengan tubuh terbungkus sinar biru yang terus memancar dari
kedua telapak tangan Rangga.
"Hiyaaa...!" Tiba-tiba
saja Rangga berteriak keras menggelegar. Lalu, kedua tangannya dihentakkan
kuat-kuat.
Seketika itu juga tubuh Iblis
Seribu Nyawa terpental kebelakang, lalu meledak. Dan kini tubuh laki-laki tua
berambut merah itu hancur berkeping-keping. Memang sungguh dahsyat aji 'Cakra
Buana Sukma' tingkat terakhir.
"Ufh...!" Rangga
langsung jatuh terduduk lemas. Seluruh tubuhnya bersimbah keringat.
Pandangannya begitu nanar menatap serpihan tubuh Iblis Seribu Nyawa. Sinar biru
sudah lenyap dari pandangan mata. Saat itu, Widura, Pendekar Tongkat Baja, dan
Pendekar Sabit Emas berlari-lari menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Kakang Rangga...,"
panggil Widura perlahan.
Rangga mengangkat kepalanya
perlahan-lahan. Ditatapnya Widura, lalu bergantian menatap Pendekar Tongkat
Baja dan Pendekar Sabit Emas. Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti bangkit
berdiri. Widura hendak membantu, tapi Rangga mencegahnya lebih dahulu.
"Aku tidak apa-apa,"
elak Rangga perlahan.
"Kau terluka, Pendekar
Rajawali Sakti?" tanya Pendekar Tongkat baja.
idak. Hanya perlu waktu sedikit
untuk memulihkan tenaga," sahut Rangga.
Saat itu, dari arah Hutan Alas
Waru berdatangan penduduk Desa Jati Wengker. Di antara mereka terlihat Ki
Jumpana dan putrinya serta Ki Ampal. Mereka langsung mengerumuni para pendekar
itu.
"Maaf, kami datang
terlambat," ucap Ki Jumpana tergesa-gesa begitu berada didepan para
pendekar itu.
"Semua sudah berakhir,
Ki," jelas Pendekar Tongkat baja.
"Kakang Rangga yang
menewaskan si Iblis Seribu Nyawa," sambung Widura memberi tahu.
"Oh, syukurlah kalau
begitu," desah Ki Jumpana lega.
"Rasanya, tidak ada lagi
yang harus kulakukan. Maka, sekarang aku mohon diri dulu," ujar Pendekar
Tongkat baja.
"Kenapa tidak singgah dulu
di desa kami...?" Ki Jumpana menawarkan.
"Masih banyak yang harus
kukerjakan, Ki. Maaf, aku tidak bisa meninggalkan murid-muridku yang sedang
membangun padepokan kembali," dengan halus Pendekar Tongkat Baja menolak
permintaan Kepala Desa Jati Wengker itu.
Ki Jumpana tidak bisa memaksa.
Pendekar Tongkat Baja bergegas meninggalkan tempat itu diikuti murid-muridnya.
Tak berapa lama kemudian, Pendekar Sabit Emas juga meninggalkan tempat itu
bersama murid-murid pilihannya.
"Kenapa mereka begitu
tergesa-gesa...?" Ki Jumpana seperti bertanya pada diri sendiri.
"Mereka harus membangun
kembali padepokannya yang hancur, Ki," jelas Rangga.
"Heh...?! Memangnya
kenapa?" tanya Ki Jumpana terkejut.
"Sukar dijelaskan, Ki,"
sahut Rangga.
"Nanti aku yang akan
menjelaskannya, Ki," selak Widura.
"Terima kasih jika kau sudi
menjelaskan semuanya padaku, Widura," ucap Ki Jumpana.
"Nanti akan kujelaskan di
desa, karena aku sekarang butuh tempat tinggal," kata Widura agak sendu.
"Kenapa kau bicara begitu,
Widura?" Ki Jumpana jadi bertambah kebingungan.
"Sebaiknya aku mohon
diri," selak Rangga berpamitan.
Dan sebelum Ki Jumpana membuka
mulutnya untuk mencegah, Rangga sudah cepat melesat pergi. Begitu sempurnanya
ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti itu, sehingga
dalam waktu singkat sudah tidak terlihat lagi bayangan tubuhnya.
"Ceritakan seluruhnya, apa
yang terjadi sebenarnya, Widura," pinta Ki Jumpana.
Widura hanya menarik napas saja,
kemudian mengayunkan langkahnya perlahan-lahan. Kinanti mensejajarkan
langkahnya disamping pemuda itu. Sedangkan Ki Jumpana hanya memandangi saja.
Sudah bisa ditebak kalau telah terjadi sesuatu di Padepokan Awan Perak. Kepala
desa itu kemudian memerintahkan warga desanya untuk kembali.
Sedangkan secara perlahan-lahan.
Widura menceritakan keadaan dirinya sekarang. Terutama setelah padepokannya
hancur, dan gurunya tewas di tangan anak buah Iblis Seribu Nyawa. Semua itu
diceritakan pada Kinanti yang setia mendengarkan. Gadis itu ikut merasakan
penderitaan pemuda ini. Dia tahu kalau Eyang Wasista, bagi Widura bukan hanya
sekadar guru. Tapi juga sebagai pengganti orang tuanya.
"Kau tidak perlu memikirkan
tempat tinggal, Kakang. Aku yakin, Ayah pasti akan memberimu tempat tinggal.
Tetaplah kau di Desa Jati Wengker. Seluruh warga desa pasti akan menerimamu
sebagai pahlawan," ajak Kinanti lembut.
Widura hanya tersenyum tipis
saja. Dipandanginya wajah gadis itu lamat-lamat. Dan tentu saja hal ini membuat
Kinanti tertunduk degan wajah bersemu merah dadu. Widura menggamit lengan gadis
itu dan digenggamnya erat-erat
"Kau bersedia mendampingiku,
Kinanti?"
"Sebaiknya bicarakan saja
dengan ayah," sahut Kinanti tanpa sanggup menatap mata pemuda itu.
Suaranya juga terdengar pelan sekali.
"Tentu, setelah semuanya
kembali tenang," janji Widura.
Mereka terus berjalan. Dan tanpa
disadari, mereka kini berjalan paling belakang. Sedangkan Ki Jumpana tampaknya
memang memberi kesempatan pada mereka berdua untuk bisa berbicara lebih banyak
lagi. Dan kesempatan ini memang dimanfaatkan Widura untuk mengikat janji
bersama gadis ini. Ternyata dari peristiwa berdarah, juga melahirkan
benih-benih cinta di antara dua hati anak muda ini.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
DEWI GOA ULAR
Emoticon