SATU
"Serang...!"
"Bunuh...!"
"Cincang...!"
Macam-macam teriakan keras
terdengar memecah kesunyian dan ketenangan sebuah lembah. Teriakan-teriakan itu
disusul suara gemuruh dari puluhan pasang kaki yang berlarian cepat menuruni
tebing lembah. Lembah yang terdiri dari bebatuan itu seakan-akan hendak runtuh
oleh gemuruh langkah-langkah kaki yang berlari cepat sambil melontarkan caci
maki dan sumpah serapah yang keras.
Entah berapa puluh, atau mungkin
ratusan orang yang berhamburan, berlarian memasuki lembah. Mereka semua
menghunus senjata dari berbagai macam bentuk dan ukuran sambil bertari
sekencang-kencangnya. Tujuan mereka adalah sebuah bangunan berpagar balok kayu
yang cukup tinggi dan kokoh, yang bagian atasnya meruncing tajam.
Tampak kepala kepala menyembul di
atas pagar balok kayu yang cukup tinggi, kemudian disusul pucuk-pucuk anak
panah yang sudah terpasang di busurnya. Tepat di atas pintu gerbang yang
tertutup rapat, berdiri tegak seorang laki-laki tua mengenakan jubah putih
panjang dan longgar. Matanya memandangi orang-orang yang berlarian menuju ke
arah bangunan menyerupai benteng ini. Di samping orang tua berjubah putih itu,
berdiri seorang gadis berparas cukup cantik. Bajunya berwarna merah muda.
Tampak di pinggangnya tergantung sebilah pedang berukuran panjang.
"Jumlah mereka semakin banyak
saja, Ayah," jelas gadis berbaju cukup ketat berwarna merah muda.
"Hm...," orang tua
berjubah putih itu hanya menggumam saja.
Sementara orang-orang yang
berlarian menuju bangunan menyerupai benteng ini sudah semakin dekat saja.
Tampak seorang yang menunggang kuda dan berada paling depan, mengangkat tangan
kanannya yang memegang tombak pendek bermata dua pada ujung-ujungnya. Dan
orang-orang yang berlarian di belakangnya segera berhenti bertari. Mereka sudah
cukup dekat, tapi masih berada di luar jangkauan anak panah.
Ada sekitar lima orang lagi yang
menunggang kuda. Dan mereka berada di belakang laki-laki tua berjubah biru yang
menunggang kuda paling depan dan memegang tombak pendek bermata dua pada
ujung-ujungnya. Di belakang mereka, juga ada sekitar dua puluh orang yang juga
menunggang kuda, selain seratus lebih orang yang berjalan kaki. Mereka semua
menatap ke arah orang tua berjubah putih yang berdiri tegak di atas pagar balok
kayu yang tinggi dan runcing.
"Tampaknya mereka siap,
Eyang," kata salah seorang yang menunggang kuda.
Dia adalah seorang laki-laki
berusia sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya tegap dan wajahnya cukup tampan.
Baju biru tua yang dikenakannya begitu ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang
tegap dan berotot. Sebuah pedang tampak tersampir di punggungnya.
"Tapi jumlah kita lebih
banyak. Sebaiknya, langsung diserang saja, Eyang," sambung seorang lagi
yang mengenakan baju warna kuning agak kemerahan. Dia membawa seutas cambuk
hitam berduri.
Sementara orang tua berjubah biru
tetap diam tanpa berkedip menatap lurus ke depan. Perlahan tangannya yang
memegang tombak pendek bermata dua diangkat.
"Siapkan panah api!"
teriak orang tua berjubah biru itu memberi perintah.
Seketika itu juga, dua puluh
orang anak-anak muda melangkah maju. Mereka membawa busur panah panjang, dan
beberapa anak panah di punggung. Segera disiapkannya panah-panah yang pada
bagian ujungnya berbentuk bulat sebesar kepalan tangan. Ujung panah itu segera
dibakar, sehingga api berkobar dan siap dilepaskan.
"Lepaskan...!" perintah
orang tua berjubah biru, lantang.
Wusss! Singgg...!
Dua puluh batang anak panah
berapi seketika meluncur deras ke arah bangunan bagai benteng itu. Pada saat
yang bersamaan, dari arah bangunan meluncur juga puluhan anak panah menyambut
serangan panah-panah api itu. Panah-panah itu saling beradu di udara. Dan semua
panah api seketika rontok berjatuhan sebelum mencapai sasaran.
"Keparat..!" geram
orang tua berjubah biru melihat panah-panah api berguguran tanpa membawa hasil.
Sementara dua puluh orang yang
membawa busur sudah kembali siap dengan panah apinya. Dan panah-panah api itu
kembali dilepaskan tanpa menunggu perintah lagi. Namun, kembali panah-panah itu
disambut oleh panah-panah, sehingga rontok sebelum mencapai sasaran. Beberapa
kali mereka mencoba, tapi tetap tak membawa hasil yang diinginkan.
"Prabawa! Siapkan
orang-orangmu. Serang mereka!" perintah orang tua berjubah biru, seraya
berpaling menatap pemuda tampan berbaju kuning yang membawa cambuk hitam
berduri.
"Baik, Eyang," sahut
pemuda yang dipanggil Prabawa.
Segera Prabawa menyiapkan
orang-orangnya yang berjumlah sekitar tiga puluh. Kemudian mereka diperintahkan
untuk menyerang. Prabawa sendiri segera menggebah kudanya sambil
berteriak-teriak memberi semangat bertempur pada orang-orangnya yang berlarian
cepat sambil berteriak-teriak dan mengangkat senjata ke atas kepala.
Dan begitu mereka berada dalam
jangkauan panah, seketika itu juga meluncur puluhan panah dari atas bangunan
menyerupai benteng itu. Puluhan panah yang meluncur bagai hujan itu, tentu saja
sukar dibendung lagi. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi seketika
terdengar, disusul bergelimpangannya tubuh-tubuh terpanggang panah.
"Panah api,
seraaang...!" seru orang berjubah biru memberi perintah.
Wusss...!
Panah-panah api seketika itu juga
berhamburan ke arah bangunan benteng. Tentu saja serangan yang dilancarkan
secara cepat dan hampir bersamaan, sama sekali tidak diduga orang-orang yang
berada di dalam benteng. Mereka berusaha menghancurkan panah-panah api. Tapi
beberapa di antaranya lolos dari sergapan, dan langsung masuk ke dalam
lingkungan benteng.
Api langsung berkobar di dalam
benteng, membuat orang-orang yang berada di dalamnya jadi kalut. Sementara
Prabawa dan sisa-sisa anak buahnya, terus merangsek semakin dekat. Sedangkan
laki-laki tua berjubah biru sudah mempersiapkan orang-orangnya untuk menyerang.
Dan begitu Prabawa sampai di depan pintu benteng yang tertutup rapat itu,
tiba-tiba....
"Seraaang...!"
Pekik dan teriakan-teriakan
pembangkit semangat bertempur seketika itu juga terdengar menggemuruh, memecah
kesunyian lembah ini. Entah berapa puluh orang bersenjata terhunus berhamburan
bagai air bah yang jebol tanggulnya, menerjang bangunan bagai benteng itu.
Sementara, panah-panah dari atas benteng tidak lagi segencar tadi. Beberapa
dari mereka juga melepaskan panah-panah, baik yang berapi maupun tidak.
Tampak beberapa tubuh terjatuh
dari atas dengan tubuh terpanggang anak panah. Sementara Prabawa dan sisa-sisa
anak buahnya, berusaha menjebol pintu benteng dengan sebuah gelondongan kayu
berukuran cukup besar.
Dan di atas benteng, laki-laki
berjubah putih yang didampingi anak gadisnya, terus sibuk mengatur
murid-muridnya mempertahankan benteng itu. Sedangkan penghuni benteng yang
rata-rata masih berusia muda, sebagian berusaha memadamkan api, dan sebagian
lagi mencoba membalas serangan-serangan dari luar dengan hujan panah.
Pekik dan teriakan pertempuran
berbaur menjadi satu, membuat lembah yang semula sunyi tenang itu bagai hendak
runtuh. Tubuh-tubuh bersimbah darah tampak bergelimpangan, di antara kaki-kaki
yang terus bergerak cepat mendekati bangunan benteng itu. Mereka seakan-akan
tidak mempedulikan tubuh yang semakin banyak bergelimpangan di sekitarnya. Dan
hujan anak panah masih saja berlangsung, meskipun tidak lagi banyak seperti
tadi. Beberapa pemanah di atas benteng sudah tak bernyawa lagi, tertembus panah
balasan dari luar benteng.
"Mereka sudah kehabisan
panah, Ayah," jelas gadis berbaju merah muda memberi tahu.
"Hm..."
"Api juga semakin
besar," sambungnya lagi.
Orang tua berjubah putih panjang
itu hanya diam saja. Sikapnya juga kelihatan gelisah, terlebih lagi pintu
benteng ini sudah hampir jebol. Hingga akhirnya....
Brak!
Pintu yang terbuat dari kayu
tebal itu akhirnya hancur juga. Maka, orang-orang yang dipimpin Prabawa segera
berhamburan masuk ke dalam benteng. Tapi, mereka langsung disambut
pemuda-pemuda di dalam benteng yang memang sudah siap. Sehingga, pertempuran
pun tak dapat dihindari lagi. Bahkan semakin banyak saja yang masuk ke dalam
benteng itu. Sehingga, mereka yang berada di atas benteng jadi berlompatan
turun.
Jerit dan pekik melengking tinggi
semakin sering terdengar. Tubuh-tubuh tampak sudah mulai bergelimpangan
berlumuran darah. Sementara api semakin besar berkobar di dalam benteng. Jumlah
orang yang menyerang memang lebih banyak, sehingga penghuni benteng yang
rata-rata masih berusia muda tak sanggup lagi membendung serangan.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja orang tua berjubah
biru melompat naik ke atas benteng. Dengan gerakan ringan dan indah sekali, dia
hinggap sekitar tiga langkah di depan orang tua berjubah putih. Langsung tombak
pendeknya yang bermata dua dikebutkan.
Bet! "Uts!"
Laki-laki tua berjubah putih itu
cepat menarik tubuhnya ke belakang, sehingga serangan itu dapat dihindari. Dua
orang tua itu langsung terlibat dalam pertarungan sengit di atas benteng.
Sementara, gadis berbaju merah muda sudah terjun dalam kancah pertempuran.
Gerakan-gerakannya begitu cepat dan gesit. Amukannya bagai banteng betina.
Setiap kebutan pedangnya selalu menimbulkan korban nyawa. Tapi, karena jumlah
lawan banyak, memang sukar ditandingi. Sehingga, penghuni benteng itu semakin
terdesak saja. Dan sudah tidak terhitung lagi yang ambruk tak bernyawa.
"Aaa...!" tiba-tiba
saja terdengar jeritan panjang melengking tinggi dari atas benteng.
"Ayah...!" gadis cantik
berbaju merah muda menjerit keras ketika melihat ayahnya yang berjubah putih
terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya yang berlumuran darah.
Dan saat itu, orang tua berjubah
biru sudah melepaskan satu tendangan keras yang mendarat telak di dada
berlumuran darah itu. Tak pelak lagi, laki-laki tua berjubah putih itu
terpental jatuh dengan keras sekali ke bawah. Tubuhnya menghantam beberapa
gelondong kayu yang bertumpuk hingga hancur berentakan.
"Ayah...! " jerit gadis
berbaju merah muda itu. Cepat gadis itu melompat menghampiri ayahnya yang
tergeletak di antara kepingan kayu. Kepala ayahnya diangkat dan diletakkan ke
pahanya. "Ayah...." agak tercekat suara gadis itu.
"Cepat, selamatkan dirimu.
Kau harus selamat, Swani... Kau harus bisa membalas" ujar orang tua
berjubah putih itu terbata-bata.
"Ayah..."
"Kau tidak boleh mati di
sini, Swani. Cepatlah pergi. Akh!"
"Ayah...!"
Gadis yang dipanggil Swani itu
memeluk ayahnya yang sudah tidak bernyawa lagi. Sementara pertarungan masih terus
berlangsung, walau kelihatannya para penyerang sudah dapat menguasai benteng
secara penuh. Jeritan-jeritan kematian masih saja terdengar saling sambut.
Swani perlahan bangkit berdiri.
Sebentar diperhatikannya pertarungan itu, kemudian melompat cepat ke pintu.
Tapi seorang yang menunggang kuda rupanya melihat gadis itu hendak kabur. Maka
kudanya cepat digebah hendak mengejar.
"Heyaaa...!"
Sayang gerakan kudanya kalah
cepat daripada lompatan Swani. Sehingga, gadis itu berhasil mencapai luar
benteng, dan terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang
sudah mencapai tingkat tinggi. Begitu cepatnya berlari, sehingga dalam waktu
sebentar saja sudah jauh meninggalkan benteng yang semakin habis terbakar.
Sedangkan penunggang kuda yang mengejarnya, hanya bisa mengumpat melihat
buruannya sudah demikian jauh dan tak mungkin lagi dikejar.
"Setan...!"
"Jangan diam saja! Kejar dia, Braga...!" sebuah suara keras
menggelegar, terdengar dari atas benteng.
Penunggang kuda yang dipanggil
Braga itu menoleh ke atas sebentar. Setelah tahu siapa yang mengeluarkan suara
itu, cepat kudanya digebah untuk mengejar Swani yang sudah tidak terlihat lagi
bayangannya. Kudanya dipacu cepat seperti kesetanan, sehingga tubuhnya tampak
terguncang-guncang.
Sementara itu, Swani sudah cukup
jauh meninggalkan benteng di tengah-tengah lembah. Gadis itu berhenti setelah
merasakan tidak ada seorang pun yang mengejar. Napasnya tersengal, dan kedua
matanya dipenuhi linangan air bening. Beberapa kali air matanya disusut dengan
punggung tangan. Dari tempat yang cukup tinggi ini, dia bisa melihat jelas
benteng di tengah-tengah lembah itu yang semakin hancur. Asap hitam membumbung
tinggi, dan api semakin besar berkobar melahap bangunan itu
"Ayah...," desis Swani
lirih, agak tersendat suaranya. "Maafkan aku, Ayah. Aku tidak bisa
membawamu keluar dari sana."
Swani terus memandangi benteng
yang semakin hancur terbakar. Tampak puluhan orang mengelilingi benteng. Kalau
dia dapat mendengar, pasti mereka tengah bersorak-sorai bergembira atas
kemenangan itu. Swani menarik napas dalam-dalam, dan mengeringkan air mata
dengan selembar saputangan dari kain sutra halus berwarna merah muda.
"Aku harus membalas
kematianmu. Ayah. Akan kubunuh mereka satu persatu," tekad Swani.
Tiba-tiba saja berkelebat sebuah
bayangan merah di depan gadis itu. Dan tahu-tahu, sekitar dua tombak di
depannya sudah berdiri seorang laki-laki berusia setengah baya. Sebatang tombak
panjang berwarna merah darah, tergenggam di tangannya. Swani tahu, orang itulah
yang tadi berusaha mencegahnya keluar dari benteng.
"Rupanya tidak sulit
mengejarmu, Bocah Ayu," ujar laki-laki yang bernama Braga.
"Hm..." Swani
menggumam. Sorot matanya tajam, penuh kebencian dan dendam yang membakar di dada.
Perlahan gadis itu menarik keluar pedangnya, dan digenggam erat-erat melintang
di depan dada.
"Kau juga harus mampus
seperti yang lain, Bocah! Hiyaaat..!"
Cepat sekali Braga melompat
menyerang. Tombaknya yang berwarna merah bagai berlumur darah ditusukkan ke
arah dada Swani. Tapi dengan gerakan manis sekali, gadis itu berkelit
menghindar. Bahkan dengan kecepatan luar biasa, pedangnya di kebutkan untuk
membalas serangan itu.
Bet! "Ups!"
Braga cepat-cepat menarik dirinya
ke belakang, sehingga tebasan pedang Swani tidak sampai mengenai tubuhnya. Dan
kembali tombaknya dihentakkan cepat sambil melompat ke atas. Swani membanting
tubuhnya ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Maka ujung tombak Braga hanya
menancap di tanah kosong. Pada saat itu, Swani cepat melompat bangkit. Langsung
diberikannya satu tendangan menyamping yang keras dan menggeledek, disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
Begkh!
"Akh...!" Braga memekik
keras begitu punggungnya terkena tendangan keras gadis itu. Laki-laki itu
terhuyung-huyung ke depan, lalu cepat-cepat mencabut tombaknya yang menancap di
tanah. Tubuhnya kemudian cepat berputar sambil mengebutkan tombaknya. Tapi
Swani lebih cepat lagi melentingkan tubuh ke udara. Bahkan pedangnya kembali
bergerak cepat berkelebat ke arah kepala laki-laki separuh baya itu.
"Hih!"
Tak ada lagi kesempatan bagi
Braga untuk berkelit menghindar. Maka cepat tongkatnya diangkat untuk menangkis
tebasan pedang gadis itu. Dua senjata seketika beradu keras di atas kepala
Braga.
Trak! "Heh...?!"
Lagi-lagi Braga terkejut, begitu
mendapati kenyataan yang tidak diduga sama sekali. Ternyata tombak
kebanggaannya terpenggal jadi dua bagian. Sungguh tidak disangka kalau gadis
ini memiliki kepandaian dan kekuatan luar biasa. Dan sebelum keterkejutannya
menghilang, mendadak saja Swani sudah memberi satu serangan lagi dengan
pedangnya.
"Hiyaaat!"
Wuk!
Cras!
"Akh...!"
Untuk kedua kalinya Braga memekik
keras agak tertahan. Darah seketika muncrat keluar dari bahunya yang terbabat
ujung pedang Swani. Kembali rubuh Braga terhuyung-huyung ke belakang. Tapi
sebelum bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, Swani sudah kembali bergerak
cepat.
"Hiyaaat..!"
Gadis itu melompat cepat bagaikan
kilat. Pedangnya tertuju lurus, dan langsung ditusukkan ke dada lawan.
Sedangkan Braga sama sekali tidak menyangka akan mendapat serangan begitu
gencar dan dahsyat Laki-laki separuh baya itu hanya dapat mendelik, dan....
Crab! "Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking
tinggi mengakhiri perlawanan Braga. Pedang Swani menembus dadanya begitu dalam,
rangga tembus ke punggung. Swani mencabut pedangnya dari tubuh laki-laki
setengah baya itu. Sebentar Braga bisa berdiri dengan sorot mata seakan tidak
percaya, kemudian ambruk menggelepar di tanah. Darah mengucur deras dari dada
yang berlubang akibat tusukan pedang Swani.
"Huh! Kau pikir mudah
menaklukkan aku, Keparat..?!" dengus Swani sengit.
Cring!
Sambil menghembuskan napas
kencang, Swani memasukkan kembali pedangnya ke dalam warangka di punggung.
Sebentar dipandanginya Braga yang masih berkelojotan meregang nyawa. Kemudian
laki-laki setengah baya itu mengejang kaku, lalu diam tak berkutik lagi.
"Teman-temanmu akan segera
menyusul. Keparat..!" desis Swani terselimut dendam di hatinya.
Gadis itu masih memandangi Braga
yang sudah tidak bernyawa lagi, kemudian mengalihkannya ke arah lembah. Tampak
asap hitam dan tebal masih membumbung tinggi ke angkasa dari bangunan benteng
yang terbakar habis. Sementara, orang-orang yang menghancurkan benteng di
lembah itu sudah tidak terlihat lagi di sana. Swani tidak tahu, ke mana mereka
pergi. Tapi dia tidak mau gegabah pergi ke sana. Kembali ditatapnya Braga yang
tergeletak tak bernyawa lagi di dekatnya.
"Mereka pasti akan datang ke
sini. Hm.... Aku harus mencari tempat yang aman dulu," gumam Swani
perlahan.
Bagaikan kilat, gadis itu cepat
melesat pergi masuk ke dalam hutan yang cukup lebat. Begitu tinggi ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki. Sehingga dalam sekejapan saja, Swani sudah
lenyap tak terlihat lagi bayangan tubuhnya.
***
DUA
Entah sudah berapa lama Swani
berlari menembus lebatnya hutan. Sampai hari gelap, gadis itu baru berhenti
berlari. Dan kini punggungnya disandarkan di sebatang pohon yang cukup besar.
Napasnya terengah-engah, dan keringat bercucuran deras membasahi sekujur
tubuhnya. Kemudian Swani mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hanya kegelapan
saja yang ada di sekitarnya. Begitu pekat, sehingga tidak bisa melihat jarak
jauh. Terlebih lagi, disekitarnya kabut begitu tebal. Sehingga, menimbulkan
udara dingin yang menggigilkan tubuh.
"Hhh...!"
Swani sedikit menggigil begitu
angin dingin menerpa. Tubuhnya semakin dirapatkan ke pohon yang cukup besar
itu, untuk melindungi diri dari terpaan angin yang begitu dingin menggigilkan.
Tiba-tiba saja tatapan matanya tertumbuk lurus ketika kepalanya berpaling ke
kanan. Kelopak matanya agak menyipit, agar bisa lebih Jelas lagi melihat di
dalam kegelapan malam yang begitu pekat.
"Goa...?!" desis Swani
begitu bisa memastikan.
Perlahan gadis itu mengayunkan
kakinya, melangkah mendekati mulut goa yang dilihatnya agak samar-samar tadi.
Mata gadis itu semakin menyipit begitu mulut goa yang cukup besar ukurannya
sudah terlihat jelas di depannya. Benar-benar sebuah mulut goa yang berukuran
besar. Malam yang begitu gelap, membuat goa itu kelihatan hitam, bagai
menyimpan sejuta teka-teki dan bahaya yang siap mengancam.
"Jangan ragu-ragu, masuklah.
Cukup hangat didalam sini."
"Heh...?!"
Swani tersentak kaget ketika
tiba-tiba saja ter-dengar suara menggema berat dari dalam goa di depannya.
Gadis itu jadi tertegun, mencoba memastikan kalau suara yang barusan
didengarnya bukan khayalan belaka. Tapi suara yang datang memang dari dalam goa
ini.
"Kau tidak perlu ragu,
Nisanak. Di luar begitu dingin, dan sebentar lagi akan turun hujan. Kau bisa
mati kedinginan kalau terus berada di luar sana," kembali terdengar suara
yang bernada berat dan menggema.
"Oh...?! Siapa itu yang
bicara? Apakah kau manusia...?" agak bergetar suara Swani.
"Hanya manusia yang bicara,
Nisanak. Masuklah. Kau perlu tempat berlindung, bukan...?"
"Eh...?!" lagi-lagi
Swani terkejut.
Dan belum lagi lenyap rasa
keterkejutannya, tiba-tiba saja dari dalam goa itu melesat sebuah bayangan
putih yang begitu cepat bagaikan kilat. Tahu-tahu, di depan Swani sudah berdiri
seorang laki-laki tua berjubah putih. Rambutnya juga sudah memutih semua. Janggutnya
yang panjang, menyatu dengan kumis. Juga sudah berwarna putih bagai kapas.
Bibir yang hampir tertutup kumis, menyunggingkan senyum manis dan ramah. Sinar
matanya begitu bening dan sejuk, bagaikan bola mata seorang bayi yang baru
dilahirkan.
Swani memandangi tanpa berkedip.
Dia seperti tidak percaya dengan pandangan matanya sendiri. Seekor ular belang
yang melilit di tangannya membuat Swani saat itu juga bisa mengenali, siapa
laki-laki tua berjubah putih yang baru keluar dari dalam goa itu. Dan semua
orang dari kalangan persilatan, pasti mengenalnya. Karena, orang tua itu memang
sudah dikenal di kalangan persilatan sebagai Pertapa Goa Ular. Swani hampir
tidak percaya kalau sekarang ini berada di depan Goa Ular.
"Terimalah salam hormatku,
Eyang," ucap Swani seraya membungkukkan tubuh memberi hormat.
"Bocah bagus. Aku terima
salam hormatmu," sambut Pertapa Goa Ular lembut "Kenapa kau tadi
ragu-ragu. Anak Manis?"
"Maafkan aku. Eyang. Aku
harus berhati-hati pada setiap undangan yang tidak kukenal," sahut Swani
memberi alasan.
"Sikap yang bagus,"
puji Pertapa Goa Ular. "Nah! Sekarang, maukah kau menerima undanganku?
Sudah cukup lama aku tidak kedatangan tamu."
"Terima kasih. Eyang. Kalau
tidak merepotkan, dengan senang hati undanganmu kuterima," sahut Swani.
Tentu saja Swani senang mendapat
undangan dari seorang tokoh tua yang sakti dan sangat disegani di kalangan
rimba persilatan ini. Meskipun baru kali ini bertemu, tapi cerita tentang
Pertapa Goa Ular sudah sering didengarnya. Bahkan ayahnya sering
menceritakannya hampir setiap saat.
"Mari, masuklah. Sebentar
lagi hujan akan turun," ajak Pertapa Goa Ular ramah.
"Terima kasih," ucap
Swani.
Mereka kemudian melangkah masuk
ke dalam goa ini. Swani sempat mendongakkan kepala ke atas. Langit malam ini
memang begitu pekat, terselimut awan hitam tebal. Dan begitu mereka berada di
dalam goa, hujan langsung jatuh turun bagai ditumpahkan dari langit. Begitu
derasnya, membuat suara menggemuruh bagai hendak meruntuhkan seluruh jagat
raya.
Swani jadi bergidik saat sudah
berada di dalam goa yang cukup terang dan hangat ini. Tak ada api di dalam goa
ini, tapi keadaannya cukup terang. Hal ini disebabkan batu-batu di sekitar goa
ini mengeluarkan cahaya bagaikan intan. Yang membuat Swani bergidik, bukan
batu-batu yang mengeluarkan cahaya itu. Melainkan, sekitar goa ini dipenuhi
ular dari berbagai jenis. Dan kebanyakan dari jenis ular berbisa!
Binatang-binatang melata itu
mendesis saat melihat Swani, tapi tak ada seekor pun yang bergerak. Mereka
semua diam hanya memandangi gadis itu saja. Bau amis yang memualkan langsung
menyeruak, menyengat hidung. Swani mencoba bertahan, meskipun perutnya mendadak
jadi begitu mual.
"Silakan duduk,
Nisanak," Pertapa Goa Ular mempersilakan dengan ramah.
"Terima kasih," ucap
Swani perlahan, hampir tidak terdengar suaranya.
Mereka kemudian duduk bersila
saling berhadapan. Sebongkah batu pipih berwarna putih dan mengeluarkan cahaya
kemilau, menjadi pembatas di antara mereka. Ular belang yang melingkar di tangan
kanan Pertapa Goa Ular itu berpindah, dan melingkar di atas batu pipih
bercahaya kemilau itu.
Sementara hujan di luar semakin
deras saja. Meskipun angin yang berhembus menerobos masuk ke dalam goa ini
begitu kencang, tapi Swani sama sekali tidak merasakan dingin. Padahal, angin
itu menerpa tubuhnya demikian kuat. Di hatinya, memang masih terselip keanehan.
Di dalam goa ini keadaannya
begitu terang, tapi sama sekali tidak terlihat cahayanya dari luar. Goa ini
kelihatan gelap gulita dari luar sana. Dan Swani juga merasa heran pada dirinya
sendiri, karena tidak lagi merasa mual. Bahkan jadi tidak peduli meskipun di
sekitarnya begitu banyak ular dari berbagai jenis. Padahal, tadinya dia paling
jijik melihat ular.
"Aku melihat ada guratan
kedukaan di matamu...," tebak Pertapa Goa Ular memecah kesunyian yang
terjadi di antara mereka. "Bahkan detak jantungmu, dengus napasmu, aliran
darahmu juga memancarkan suatu gejolak dendam. Kalau boleh kutahu, kenapa kau
bisa berada di depan goa ini tadi?"
"Maaf, Eyang. Mungkin aku
mengganggu istirahatmu. Tapi, aku sama sekali tidak sengaja. Bahkan aku tidak
tahu kalau tadi berada di depan tempat tinggalmu ini," sahut Swani.
"Kau lari dari seseorang,
Nisanak?" tanya Pertapa Goa Ular lagi.
"Benar, Eyang. Bukan hanya
satu orang. Tapi banyak," jawab Swani berterus terang.
"Hm...," gumam Pertapa
Goa Ular perlahan. Sinar mata orang tua itu jadi tajam memperhatikan raut wajah
gadis cantik di depannya. Sedangkan yang dipandangi hanya diam saja, agak
tertunduk. Sungguh Swani tak sanggup menentang sinar mata orang tua itu. Begitu
tajam, dan memancarkan sinar yang sangat kuat. Rasanya memang sulit ditentang.
"Ceritakan, apa yang terjadi
pada dirimu sehingga sampai ke sini," pinta Pertapa Goa Ular.
Tanpa diminta dua kali, Swani menceritakan
semua peristiwa yang terjadi Juga, disebutkannya beberapa nama yang menyerang
tempat tinggalnya. Sampai ayahnya tewas, dan dia terpaksa lari dari lembah itu.
Dia juga tidak tahu, kenapa laki-laki tua berjubah biru menyerang dan
menghancurkan padepokan ayahnya.
Sementara itu Pertapa Goa Ular
mendengarkan semua cerita Swani penuh perhatian. Sedikit pun cerita itu tidak
diselak, sampai Swani selesai. Bahkan orang tua itu masih tetap diam, meskipun
Swani sudah selesai dengan ceritanya.
Sampai beberapa saat lamanya
mereka jadi terdiam. Dan Swani memang tidak punya bahan lagi untuk diceritakan.
Semua yang diketahuinya sudah diceritakannya. Tak ada yang dikurangi, bahkan
sedikit pun tidak ada yang ditambah. Semua yang dikatakan sama persis dengan kejadian
sebenarnya.
"Hm.... Jadi kau putri
tunggal Ki Sanggala, Ketua Padepokan Pedang Perak...?" pelan sekali suara
Pertapa Goa Ular.
"Benar, Eyang," sahut
Swani.
"Sudah lama pertentangan
antara ayahmu dengan Eyang Gorak si Iblis Tombak Baja kudengar. Hhh...! Tidak
kusangka kalau dia bisa mengumpulkan tokoh-tokoh persilatan untuk menghancurkan
padepokan ayahmu," desah Pertapa Goa Ular.
"Aku sendiri tidak tahu,
Eyang. Apa yang diinginkan Eyang Gorak, sampai-sampai begitu tega
membumi-hanguskan padepokan ayahku. Bahkan tak seorang murid pun yang dibiarkan
hidup. Mereka semua dibantai habis, dan Padepokan Pedang Perak juga dibakar
hangus." jelas Swani lagi.
"Pertentangan itu sudah ada
sejak mereka sama-sama masih muda. Dan sebenarnya pula, mereka berasal dari
satu perguruan. Tapi, memang tidak semua orang dalam satu perguruan bisa punya
jalan sama. Jadi tidak heran hal seperti itu sering terjadi. Perselisihan yang
panjang, bahkan tidak jarang diakhiri oleh pertumpahan darah," kembali
Pertapa Goa Ular menggumam perlahan.
"Pertentangan apa,
Eyang?" tanya SwanJ yang memang tidak tahu.
"Perempuan," sahut
Pertapa Goa Ular.
"Perempuan...?!"
"Ya! Guru mereka punya anak
gadis yang cantik. Mereka memperebutkannya. Tapi, ayahmulah yang beruntung
hingga mereka menikah dan kau lahir. Hm..., rupanya Iblis Tombak Baja masih
juga menyimpan dendam pada ayahmu," kata Pertapa Goa Uar menjelaskan
dengan singkat.
"Aku harus membalas, Eyang,"
tegas Swani penuh semangat.
"Kau tidak akan mampu
menandingi iblis Tombak Baja, Anakku. Kepandaian yang kau miliki sekarang ini,
belum ada seujung kukunya. Terlebih lagi, sekarang dia memiliki senjata yang
sangat ampuh dan sulit dicari tandingannya. Hm.... Dia sudah berhasil menumpas
penghalang utamanya. Pasti dia akan semakin merajalela dengan para
begundalnya."
Swani jadi terdiam. Memang
kepandaian yang dimilikinya sekarang ini tidak seberapa bila dibanding Eyang
Gorak yang dikenal di kalangan persilatan berjuluk Iblis Tombak Baja. Bahkan
ayahnya sendiri tidak mampu menandinginya. Si Iblis Tombak Baja jadi begitu
tangguh dan digdaya setelah mendapatkan senjata tombak pendek bercabang dua
pada kedua ujungnya. Senjata itu memang sangat dahsyat, dan sukar dicari
tandingannya saat ini. Terlebih lagi Iblis Tombak Baja sudah menyempurnakan
ilmu olah kanuragan dan kesaktiannya.
Bahkan untuk menandingi kaki
tangan si Iblis Tombak Baja yang berjumlah lima orang saja, mungkin Swani tidak
akan mampu. Gadis itu jadi termenung menyadari keterbatasan yang ada pada
dirinya. Kalaupun harus bertindak nekat, pasti hanya akan mengantarkan nyawa
sia-sia saja. Dan ini pasti tidak diinginkan mendiang ayahnya yang tewas di
tangan si Iblis Tombak Baja.
"Seberapa besar keinginanmu
untuk menumpas mereka, Anakku?" tanya Pertapa Goa Ular memecah kesunyian
lagi.
"Nyawa pun akan
kupertaruhkan, Eyang." sahut Swani mantap.
"Dengan kepandaian yang kau
miliki sekarang, rasanya akan sia-sia saja. Bahkan aku tidak yakin kau bisa bertemu
Iblis Tombak Baja. Dan kau pasti sudah tewas dibantai kaki tangannya yang pasti
berkepandaian lebih tinggi darimu." jelas Pertapa Goa Ular lagi.
"Mereka memang
pesilat-pesilat tangguh. Eyang," pelan sekali suara Swani. "Ada lima
orang yang sulit kutandingi. Sedangkan yang lainnya, mungkin bisa
kuatasi."
"Aku percaya, ayahmu pasti
sudah membekalimu lebih dari cukup. Tapi, itu saja tidak cukup untuk memenuhi
keinginanmu, Anakku. Kau harus membekali dirimu lebih mantap lagi," tegas
Pertapa Goa Ular.
"Maksud, Eyang...?"
tanya Swani tidak mengerti.
"Sebenarnya, aku juga ingin
meninggalkan goa ini. Aku sendiri sudah muak melihat sepak terjang Ibtis Tombak
Baja. Tapi, aku sudah terlalu tua untuk kembali terjun dalam kehidupan yang
keras. Aku bermaksud mengundurkan diri dari kancah persilatan. Hanya saja, aku
tidak ingin pergi begitu saja tanpa berbuat sesuatu yang bisa melanjutkan
harapan dan keinginanku," jelas Pertapa Goa Ular lagi.
Swani terdiam. Dalam hatinya, dia
menduga-duga maksud ucapan pertapa tua ini. Memang sudah lebih dari dua tahun
ini Pertapa Goa Ular tidak lagi terdengar kabar beritanya lagi. Bahkan banyak
orang di kalangan persilatan yang merasa kehilangan dengan ketidakmunculan
pertapa tua ini.
"Selama ini, tak ada seorang
pun yang tahu tempat tinggalku. Bertahun-tahun aku di sini, dan baru seorang
saja yang mengunjungiku. Itu pun sudah lebih tiga purnama yang lalu. Dan orang
kedua yang datang adalah kau, Swani," lanjut Pertapa Goa Ular.
Swani masih tetap diam.
"Sebenarnya, aku ingin
menurunkan ilmu-ilmuku padanya. Tapi ternyata dia lebih tangguh dariku,
meskipun usianya jauh lebih muda dariku." jelas Pertapa Goa Ular lagi.
Sedangkan Swani masih tetap diam.
"Semula aku sudah putus asa.
Tapi, rupanya Dewata mengabulkan juga permohonanku. Kau datang ke sini mungkin
atas petunjuk Dewata, Swani."
"Oh...?!" Swani jadi
terlongong tidak menyangka. Sama sekali tidak diduga kalau pada akhirnya
Pertapa Goa Ular akan berkata demikian. Tidak pernah dibayangkan, apalagi
memimpikan bisa menjadi murid Pertapa Goa Ular ini. Malah memimpikan untuk
bertemu saja, rasanya belum pernah. Tapi saat didengarnya kalau orang tua yang
sudah ternama di kalangan persilatan ini hendak mengangkatnya jadi murid. Swani
seakan-akan tengah bermimpi.
"Aku harap kau bersedia
menerima warisan ilmu-ilmuku, Swani," ujar Pertapa Goa Ular.
"Oh...! Apakah aku pantas
menjadi muridmu. Eyang...?" Swani masih tidak percaya.
"Kau sudah memiliki ilmu
olah kanuragan dari ayahmu. Aku rasa, tidak ada kesulitan bagiku untuk
menurunkan ilmu-ilmuku padamu, Swani. Aku yakin, tidak lebih dari tiga tahun
kau sudah bisa menguasai sebagian ilmu-ilmuku. Paling tidak, kau bisa menguasai
beberapa jurus dan ilmu kesaktian pamungkasku," tegas Pertapa Goa Ular
begitu yakin.
"Oh... Terimalah sembah
hormatku. Eyang " Swani langsung membungkuk, menempelkan keningnya di
lantai goa dari batu yang dingin dan keras ini.
Pertapa Goa Ular tersenyum senang
melihat kesediaan Swani menjadi muridnya. Tangannya kemudian terulur, dan
mengusap kepala gadis itu. Tiba-tiba saja dari telapak tangannya mengepulkan
asap putih agak kebiruan. Saat itu juga, Swani merasakan tubuhnya bagai
tersiram air yang begitu sejuk, merasuk dari ubun-ubun kepalanya.
"Bangunlah, Anakku."
ujar Pertapa Goa Ular.
Perlahan Swani mengangkat
tubuhnya, dan kembali duduk bersila. Namun kepalanya masih tetap tertunduk.
Hati gadis itu begitu bahagia, karena tidak menyangka akan diangkat menjadi
murid seorang tokoh sakti dan digdaya seperti Pertapa Goa Ular ini. Ternyata,
pelariannya ini membawa suatu keberuntungan yang tidak pernah dibayangkan
selama hidupnya.
"Istirahatlah sekarang.
Besok, kau harus sudah mulai berlatih," ujar Pertapa Goa Ular lagi.
"Baik, Eyang," sahut
Swani hormat.
***
Setiap hari, Swani digembleng
dengan latihan-latihan berat dan menguras tenaga. Tapi, gadis itu menjalaninya
penuh semangat, sehingga membuat Pertapa Goa Ular jadi senang melihat
kesungguhannya dalam menerima setiap ilmu yang diturunkan. Bahkan bila malam
hari. Swani tekun mempelajari kitab-kitab yang ada di Goa Ular. Hampir semua
kitab yang ada, sudah dibacanya.
Bahkan Swani bukan hanya menerima
ilmu-ilmu olah kanuragan dan kesaktian saja. Tapi juga mengurus segala
kebutuhan Pertapa Goa Ular itu. Sehingga, orang tua itu semakin bertambah
senang dan sayang. Dia tidak lagi harus bersusah payah mencari makanan dan
segala kebutuhannya, karena semua sudah disediakan Swani. Pagi hari, sebelum
orang tua itu bangkit, Swani sudah menyiapkan makanan untuknya. Gadis itu bukan
saja menganggap Pertapa Goa Ular sebagai gurunya, tapi juga menganggap sebagai
pengganti ayahnya.
Entah sudah berapa lama Swani
tinggal bersama Pertapa Goa Ular. Dia sama sekali tidak menghitung hari. Dan
duka yang diderita atas kematian ayahnya pun sudah terhapus dari hatinya.
Bahkan dendamnya juga seperti terlupakan terhadap Iblis Tombak Baja yang
membunuh ayahnya, membakar hangus padepokan, dan membantai semua murid-murid
Padepokan Pedang Perak.
Swani begitu tekun mempelajari
ilmu-ilmu yang diturunkan Pertapa Goa Ular. Tapi, apa benar Swani melupakan
semuanya...? Tidak! Gadis itu tidak lupa. Ternyata di hatinya tetap tersimpan
api dendam. Dan dia tetap bertekad membalas kematian ayahnya pada saatnya
nanti. Hanya saja dia tidak tahu, kapan saat pembalasan itu datang. Seperti
hari ini, tanpa bimbingan Pertapa Goa Ular pun, Swani tetap berlatih keras.
Tapi tiba-tiba saja latihannya dihentikan ketika mendengar ledakan dahsyat.
"Ledakan apa itu...?"
desah Swani bertanya sendiri.
Tampak asap hitam mengepul di
udara dari pucuk-pucuk pepohonan. Sesaat Swani tertegun. Tampaknya asap hitam
itu datang dari arah goa tempat tinggal Pertapa Goa Ular. Maka, seketika
kecemasan menyelinap ke hatinya.
"Hup!" Tanpa
membuang-buang waktu lagi, Swani langsung melesat cepat bagaikan kilat begitu
teringat kalau Pertapa Goa Ular saat ini sedang bersemadi di dalam goa. Selama
berada dalam bimbingan Pertapa Goa Ular. Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki
Swani memang semakin meningkat pesat. Sehingga, gadis itu bisa berlari secepat
kijang. Bahkan kedua kakinya bergerak cepat bagai tidak menyentuh tanah sama
sekali. Sebentar saja Swani sudah sampai di depan mulut Goa Ular. Gadis itu
jadi tertegun melihat goa itu runtuh, bahkan bongkahan-bongkahan batu menyumbat
mulut goa berukuran besar itu. Api tampak berkobar melahap pepohonan di sekitar
goa.
"Eyang...," desis
Swani.
Bergegas gadis itu berlari
menghampiri goa yang runtuh. Swani berhenti setelah dekat dengan mulut goa yang
hampir tertutup bongkahan batu. Sementara api di sekitarnya semakin besar saja
berkobar menimbulkan asap tebal menghitam pekat, membuat napas gadis itu jadi
sesak.
"Eyang...!" panggil
Swani sekuat kuatnya. Tak ada sahutan sama sekali. Swani bergegas mengangkat
bongkahan batu yang menutupi mulut goa itu. Satu persatu batu-batu sebesar
domba itu dilemparkan-nya. Dengan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam
yang dimiliki, batu-batu yang berat itu dapat diangkatnya dengan mudah. Cepat
sekali gadis itu bekerja, sehingga sebentar saja sudah terbentuk celah yang
cukup besar untuk masuk.
"Hup!"
Swani langsung melompat masuk ke
dalam goa itu. Tapi hatinya jadi tertegun, karena tidak mendapatkan apa-apa di
dalamnya. Gadis itu hanya mendapatkan bangkai-bangkai ular saja yang sudah
hangus seperti terbakar, tersebar hampir memenuhi lorong goa ini. Swani
mengedarkan pandangan dengan tajam. Asap yang memenuhi goa ini agak menghambat
pandangannya.
"Eyang...!" panggil
Swani.
Suara Swani menggema terpantul
dinding goa. Tapi hanya suaranya saja yang terdengar, dan tak ada sahutan sama
sekali. Perlahan Swani mengayunkan kakinya. Dia sudah hafal betul seluk beluk
goa ini. Bahkan tidak sedikit pun merasa gentar kalau di dalam goa ini dipenuhi
ular. Tapi ular-ular itu sudah jadi bangkai, hangus bagai terbakar. Swani
memeriksa setiap lorong goa, namun tetap saja tidak menemukan Perupa Goa Ular.
Swani bergegas kembali keluar
begitu mendengar suara berderak. Dan ketika berada di luar, seluruh atap dan
dinding goa itu runtuh, hingga tanah yang dipijaknya jadi bergetar. Suaranya
begitu bergemuruh, bagai letusan gunung berapi yang mengamuk kelebihan lahar.
Swani melentingkan tubuhnya berputaran beberapa kali ke belakang. Asap semakin
banyak menggumpal di sekitarnya. Dan api juga semakin besar berkobar membakar
hutan di sekitar Goa Ular ini.
"Heh...?!" Swani
tersentak kaget ketika kakinya menjejak tanah kembali. Hampir saja seekor ular
belang terinjak kakinya. Cepat dia melompat sehingga ular belang itu tidak
sampai terinjak kakinya. Swani bergegas membungkuk mengambil ular yang
dikenalinya sebagai peliharaan Pertapa Goa Uar.
"Belang..., kenapa
kau?" tanya Swani. Tentu saja ular itu tidak basa menjawab. Swani
memperhatikan beberapa saat. Sementara ular belang hitam kuning itu
menggeliatkan tubuhnya. Swani kembali menaruh ular belang itu ke tanah.
Sebentar ular belang itu menoleh menatap Swani, kemudian merayap cepat.
"Mau ke mana kau.
Belang...?" tanya Swani. Bergagas Swani mengikuti ular belang itu yang
merayap cukup cepat, tidak seperti ular-ular lainnya. Gadis itu terpaksa agak
berlari-lari kecil mengikutinya. Ular terus merayap cepat menerobos semak
belukar, hingga sampai di tempat yang cukup lapang dan berumput tebal.
"Oh...?!"
***
TIGA
Mata Swani jadi terbeliak begitu
melihat banyak mayat bergelimpangan di sekitarnya. Darah berceceran di
mana-mana, membuat udara yang sudah sesak ini semakin bertambah sesak. Swani
meneliti beberapa mayat yang masih tampak hangat. Dia tahu, orang-orang ini
belum lama mati.
"Hm.... Mereka
orang-orangnya Iblis Tombak Baja," gumam Swani bisa mengenali.
Gadis itu mengedarkan pandang ke
sekeliling. Sementara ular belang peliharaan Pertapa Goa Ular sudah melingkar
di tangan kanan gadis itu. Tapi, tiba-tiba saja ular itu jatuh ke tanah dan
tidak bergerak-gerak lagi Swani jadi terkejut, dan cepat-cepat mengambil ular
itu.
"Mati...?!"
Lagi-lagi Swani terbeliak
mendapati ular belang itu sudah mati. Baru disadarinya kalau ada luka di tubuh
ular ini. Perlahan ular itu diletakkan di tanah berumput, kemudian pandangannya
kembali beredar berkeliling. Perlahan kakinya terayun melangkah, meneliti
setiap mayat yang dijumpai.
"Di mana Eyang
Pertapa...?" Swani jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Begitu banyak mayat
bergelimpangan, tapi tak ada Pertapa Goa Ular di antara mayat-mayat ini. Swani
terus mencari, tapi sampai matahari berada di atas kepala tetap saja tidak bisa
menemukan Pertapa Goa Ular. Gadis itu berlompatan seperti tupai, naik ke atas
bukit batu yang cukup tinggi. Dia baru berhenti setelah sampai di puncak bukit
baru itu. Kembali pandangannya beredar berkeliling. Pandangan gadis itu terpaku
pada Goa Ular yang sudah runtuh. Tampak api masih berkobar semakin meluas
melahap hutan ini.
"Kenapa dia sampai menjarah
ke sini..? Apa sebenarnya yang diinginkan...?" lagi-lagi Swani bertanya
pada diri sendiri.
Swani benar-benar tidak menyangka
kalau Iblis Tombak Baja bisa mengejarnya sampai ke tempat ini. Bahkan sekarang
Pertapa Goa Ular menghilang entah ke mana. Gadis itu kembali seorang diri tanpa
ada yang bisa dijadikan sandaran dan pelindung lagi. Sedangkan Pertapa Goa Ular
belum tuntas menurunkan ilmunya pada gadis ini.
"Apa yang harus kulakukan
sekarang...?"
Perlahan Swani mengayunkan
kakinya menuruni bukit batu itu. Dia terus berjalan perlahan-lahan merambah
hutan yang lebat bagai tak bertepi ini Otaknya terus bekerja, berpikir keras.
"Aku tahu, di mana Iblis
Tombak Baja berada. Hm.... Dia akan kubuat pusing tujuh keiiling. Iblis Tombak
Baja..., tunggulah pembalasanku!" desis Swani agak menggeram. "Aku
harus ke Bukit Menjangan. Di sanalah Iblis Tombak Baja tinggal"
***
Sementara itu jauh dari Hutan Goa
Ular, tampak sebuah bukit menjulang tinggi yang tenang dan damai. Sebuah desa
yang berdiri di kaki Bukit Menjangan itu juga bernama Desa Menjangan. Tidak
terlalu besar, tapi penduduknya cukup padat. Dan suasananya selalu ramai, baik
siang maupun malam. Seakan-akan desa itu tidak pernah tidur.
Seperti malam-malam sebelumnya,
malam ini Desa Menjangan juga tampak ramai dan terang benderang. Tampak
lampu-lampu dan cahaya obor terpasang di setiap sudut dan sepanjang jalan yang
membelah desa itu. Kegembiraan begitu semarak, terlihat di wajah-wajah mereka.
Laki-laki perempuan, tua muda, berbaur menjadi satu. Suara gelak tawa dan canda
kelakar terdengar di mana-mana. Di jalan, di rumah-rumah, kedai, dan
tempat-tempat hiburan atau rumah-rumah penginapan selalu terdengar gelak tawa
dan canda kelakar.
"Belum pernah aku melihat
suasana desa seperti ini, Kakang," ungkap seorang gadis muda berparas
cantik mengenakan baju biru muda yang ketat.
Pemuda tampan berbaju putih tanpa
lengan yang berkuda di sampingnya hanya tersenyum saja. Mereka berkuda
perlahan-lahan sambil menikmati keramaian di desa ini. Tak seorang pun yang
memperhatikan kedua pasangan muda itu. Semuanya tampak sibuk dengan kegiatan
masing-masing. Mereka menghentikan langkah kaki kudanya di depan sebuah kedai
yang cukup besar dan ramai oleh pengunjung.
Orang-orang keluar masuk kedai
itu sambil berbincang dan tertawa-tawa. Kedua pasangan muda itu kemudian turun
dari kudanya masing-masing. Seorang anak berumur sepuluh tahun menghampiri, dan
langsung mengambil tali kekang kedua kuda dan menuntunnya ke tempat penambatan
kuda. Sedangkan kedua pasangan muda itu terus melangkah masuk ke dalam kedai.
Seorang laki-laki tua meng-hampiri mereka sambil terbungkuk-bungkuk hormat dan
senyuman ramah tersungging di bibir.
"Silakan masuk," ucap
orang tua itu ramah.
"Terima kasih," ucap
pemuda berbaju putih tanpa lengan. Juga ramah.
Mereka mengikuti orang tua itu
yang menunjukkan jalan menuju meja kosong agak ke sudut. Orang tua itu
mempersilakan kedua pasangan muda itu duduk, lalu menanyakan keinginan mereka
datang ke sini.
"Tolong siapkan makanan dan
minuman yang terbaik di sini," pinta pemuda berbaju putih tanpa lengan
itu.
"Baik. Silakan menunggu
sebentar," sahut laki-laki tua itu ramah.
Dia bergegas meninggalkan
tamunya. Sedangkan gadis berbaju biru muda mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Cukup padat juga pengunjung kedai ini. Dan suasananya begitu bising, penuh
gelak tawa dan canda kelakar. Pandangannya kemudian berhenti, terpaku pada dua
orang laki-laki yang duduk tidak jauh darinya. Kedua laki-laki yang di punggung
masing-masing menyandang pedang, tidak seperti pengunjung kedai lainnya. Mereka
tampak begitu asyik berbicara dan hampir tak terdengar suaranya. Gadis itu jadi
ingin tahu, apa yang dibicarakan. Maka pendengarannya ditajamkan, dan
dipusatkan pada kedua laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun itu.
"Aku benar-benar tidak
mengerti, kenapa tiba-tiba tua bangka itu lenyap. Padahal, semua anak buahku
sudah rapat mengepungnya," jelas laki-laki yang mengenakan baju warna
hijau daun dengan garis merah pada bagian dadanya.
"Kita terlalu meremehkannya,
Kakang Banapati. Orang tua itu memang bukan orang sembarangan, meskipun sudah
lama tidak lagi kedengaran namanya di dunia persilatan," laki-laki berbaju
hitam menanggapi dengan sungguh-sungguh pula.
"Eyang Gorak pasti marah
jika tahu si tua bangka itu belum mati, Jaran Kadung," kata laki-laki
berbaju hijau yang dipanggil Banapati.
"Ah! Yang penting, dia
tahunya si tua bangka itu sudah mati. Lihat saja tempat tinggalnya sudah rata
dengan tanah. Persis sama dengan Padepokan Pedang Perak. Hm... Aku yakin,
sebentar lagi Partai Tombak Baja akan menjadi partai terkuat di dunia. Kau
lihat saja sendiri, semakin banyak partai-partai kecil yang bergabung,"
kata Jaran Kadung lagi.
"Benar! Dan persaingan di
dalam pun semakin ketat saja. Bisa-bisa kita yang sudah lama, tergeser dari
samping Eyang Gorak."
"Itu tidak mungkin? Kakang
Banapati. Eyang Gorak sudah mengatakan kalau dia tidak akan mengadakan
perubahan di dalam partai. Meskipun kedudukan kita di bawah lima orang pembantunya,
tapi sudah cukup kuat dan memiliki anak buah sedikitnya lima puluh orang. Tak
ada lagi tambahan, meskipun ada yang datang dengan kepandaian lebih tinggi. Dan
orang yang baru datang, tetap saja menjadi bawahan. Aku yakin, Eyang Gorak
selalu menepati ucapannya."
Mereka terdiam beberapa saat, dan
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sepertinya, mereka khawatir ada yang
mendengarkan percakapan ini. Mereka sama-sama memandang pada pasangan muda yang
duduk tidak jauh darinya. Tapi, gadis baju biru yang tadi mendengarkan
percakapan itu sudah berpura-pura sibuk menikmati makanannya, sehingga tidak
membuat kedua orang ini curiga.
"Kau lihat mereka, Kakang
Banapati...?" pelan sekali suara Jaran Kadung.
"Ya! Tampaknya mereka bukan
orang sini," sahut Banapati.
"Akan kutanyakan, apa mereka
akan lama di sini atau hanya sekadar singgah saja," kata Jaran Kadung lagi
seraya bangkit berdiri.
"Jangan gegabah, Jaran
Kadung. Tampaknya mereka bukan orang-orang sembarangan. Lihat saja senjata yang
disandang," Banapati memperingatkan.
"Kalau mereka macam-macam,
mungkin pedangku bisa minum darah lagi," sahut Jaran Kadung.
Banapati hanya tersenyum saja.
Sementara Jaran Kadung sudah melangkah menghampiri pasangan muda itu. Dia
berdiri di samping meja, sedangkan pasangan muda itu sendiri tidak mempedulikan
kehadirannya. Mereka tetap saja menikmati hidangan yang hampir memenuhi
mejanya.
"Maaf, aku mengganggu
sebentar," ucap Jaran Kadung mencoba bersikap ramah.
Pasangan muda itu menghentikan
makannya. Perlahan mereka mengangkat kepala, menatap Jaran Kadung yang sudah
berdiri dekat meja ini. Pemuda berbaju putih tanpa lengan itu menganggukkan
kepala sedikit dan memberikan senyum ramah.
"Kalian baru datang ke Desa
Menjangan ini?" tanya Jaran Kadung.
"Benar," sahut pemuda
berbaju putih tanpa lengan.
"Berapa lama kalian berada
di sini?" tanya Jaran Kadung lagi.
"Tidak tahu. Mungkin dua
hari, tiga hari, atau mungkin juga satu bulan," sahut gadis berbaju biru,
agak tidak peduli sikapnya.
"Kuharap kalian tidak
terlalu lama di sini. Dan sebaiknya, besok pagi sudah tidak ada lagi di desa
ini," tegas sekali suara Jaran Kadung.
"He...?! Kenapa...? Apakah
kau kepala desa ini, dan tidak menginginkan ada pendatang di sini?" gadis berbaju
biru itu jadi mendelik.
"Aku tidak ingin membuat
masalah, Nisanak. Dan sebaiknya, kalian berdua tidak perlu banyak tanya. Desa
ini sebenarnya tertutup bagi para pendatang. Dan jika kalian tidak mengindahkan
peringatanku, maaf.... Kalian akan mendapat kesulitan di sini," nada suara
Jaran Kadung terdengar mengancam.
"Kau tidak bisa mengancam
kami, Kisanak," desis gadis itu.
"Kau terlalu cantik untuk
disakiti, Nisanak. Hati-hatilah. Desa ini tidak akan ramah padamu," dengus
Jaran Kadung dingin.
Setelah berkata demikian, Jaran
Kadung berbalik dan melangkah kembali ke mejanya. Sedangkan gadis berbaju biru
muda yang ketat hanya memandangi saja dengan sinar mata memancarkan
ketidaksenangan. Gadis itu masih tetap memandangi sampai Jaran Kadung dan Banapati
yang beranjak pergi meninggalkan kedai ini. Jaran Kadung sempat memberi
senyuman sinis pada gadis itu.
"Huh! Belum apa-apa sudah
ada yang ingin cari gara-gara," dengus gadis baju biru itu.
"Selesaikan saja makanmu,
Pandan. Kita segera pergi dari sini," kata pemuda berbaju rompi putih.
"Hhh...! Selera makanku
sudah hilang!"
***
Sementara itu, Jaran Kadung dan
Banapati sudah jauh berkuda meninggalkan kedai. Mereka berkuda agak cepat
melalui jalan kecil yang tampak sunyi. Tak ada seorang pun terlihat di
sepanjang jalan ini. Dan ketika mereka hendak berbelok ke kanan, tiba-tiba saja
melesat sebuah bayangan merah muda hampir menyambar Banapati yang berkuda agak
di depan.
"Hup!"
Untung saja Banapati cepat
melentingkan tubuhnya ke belakang, sehingga sergapan bayangan merah muda itu
tidak sampai menyambar tubuhnya. Jaran Kadung juga bergegas melompat turun dari
punggung kudanya. Mereka jadi terkejut begitu tiba-tiba di depan sudah berdiri
seseorang bertubuh ramping mengenakan baju merah muda.
Wajahnya tertutup selembar cadar
agak tipis berwarna merah muda juga. Sebilah pedang tampak tergantung di
pinggangnya yang ramping. Dari bentuk tubuh, sudah dapat dipastikan kalau dia
adalah perempuan. Rambutnya yang panjang agak sedikit tergelung ke atas, dan
sebagian dibiarkan meriap ke belakang.
"Siapa kau...?!" bentak
Banapati lantang.
"Hutang harus dibayar. Dan
aku akan menagih hutang kalian yang belum dibayar," dingin sekali suara
wanita bercadar merah muda itu.
"Aku tanya siapa
kau...?!" bentak Banapati lagi jadi gusar.
"Aku Dewi Goa Ular yang akan
membasmi kalian orang-orang Partai Tombak Baja!" tegas jawaban gadis
bercadar merah muda itu.
"Heh...?!"
Banapati dan Jaran Kadung jadi
terkejut mendengar nama Goa Ular disebut. Mereka memandangi wanita bercadar
merah muda itu tajam-tajam, tapi tidak mudah untuk bisa mengenali wajahnya.
Terlebih lagi, sekitarnya begitu gelap. Karena, malam ini bulan agak tertutup
awan, sehingga cahayanya hampir tidak sampai ke mayapada ini.
"Bersiaplah untuk mati,
Keparat..! Hiyaaat..!"
Gadis bercadar merah muda yang
tadi mengaku bernama Dewi Goa Uar itu langsung saja melompat cepat menerjang
kedua laki-laki pembantu Iblis Tembak Baja itu. Begitu cepatnya serangan yang
diakukan Dewi Goa Uar, sehingga kedua orang itu terpaksa harus berjumpalitan,
menyebar menghindari serangan itu. Tapi, Jaran Kadung tampaknya sedikit
terlambat. Sehingga satu pukulan yang cukup keras sempat mampir di bahu
kanannya.
"Akh...!" Jaran Kadung
terpekik kecil. Dia tidak sempat lagi menguasai keseimbangan tubuhnya, dan
jatuh bergulingan beberapa kali di tanah. Dan sebelum gadis bercadar merah muda
itu bisa menyerang kembali, Jaran Kadung sudah melenting bangkit berdiri. Pada
saat yang sama, Banapati sudah melompat menyerang seraya mencabut pedangnya.
"Hyaaat!"
"Hup?"
Sret!
Tring!
Dewi Goa Ular cepat sekali
mencabut pedangnya. Dan sambil memutar tubuh dengan bertumpu pada satu kaki,
tebasan pedang Banapati ditangkisnya. Begitu kerasnya dua senjata itu beradu,
sehingga menimbulkan percikan bunga api yang menyebar ke segala penjuru.
Banapati agak terkejut juga, ketika merasakan tangannya jadi bergetar dan panas
saat pedangnya beradu dengan pedang gadis bercadar merah muda itu.
Cepat-cepat dia melompat mundur
beberapa tindak. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, gadis bercadar merah muda
yang mengaku bernama Dewi Goa Uar itu sudah memberi satu serangan kilat.
Pedangnya langsung berkelebat cepat luar biasa mengancam tubuh Banapati.
"Hiyaaat!"
"Uts!" Banapati
terpaksa berjumpalitan, meliuk-liukkan tubuhnya menghindari serangan kilat itu.
Sementara, Jaran Kadung yang sudah bisa menguasai diri lagi, segera mencabut
pedangnya. Secepat kilat pula dia melompat sambil membabatkan pedang ke
punggung Dewi Goa Ular.
"Yeaaah..!"
"Curang! Hih...!"
dengus Dewi Goa Ular.
Cepat dia memutar pedangnya ke
belakang, melindungi punggung dari bokongan Jaran Kadung. Suara denting senjata
kembali terdengar. Gadis bercadar merah muda itu cepat-cepat melentingkan tubuh
ke udara, dan melakukan beberapa kali putaran sebelum menjejakkan kaki di
tanah. Sementara Jaran Kadung sudah berdiri di samping Banapati. Mereka
sama-sama melintangkan pedang di depan dada. Sorot mata mereka begitu tajam,
menusuk langsung ke bola mata gadis bercadar merah muda di depannya.
Bet! Wuk!
Dewi Goa Ular melakukan beberapa
gerakan dengan pedangnya. Sementara tangan kirinya tertuju lurus ke depan
dengan pedang berada di atas kepala. Tatapan matanya begitu tajam menusuk,
memancarkan nafsu membunuh yang luar biasa. Akibatnya, kedua laki-laki itu jadi
agak bergetar jantungnya mendapati sorot mata yang begitu tajam, seakan-akan
hendak melumat habis tubuh mereka.
"Hiyaaat!"
Cepat sekali gadis bercadar merah
muda itu meng-gerakkan kakinya bagai berlari. Dan begitu dekat pedangnya
langsung dibabatkan dengan kecepatan luar biasa bagaikan kilat.
"Hup!"
"Yeaaah...!"
Banapati cepat melompat berputar
ke belakang. Sedangkan Jaran Kadung tetap diam, sambil mengebutkan pedang
menangkis tebasan pedang Dewi Goa Ular.
Trang!
"Heh...?!"
Bukan main terkejutnya Jaran
Kadung melihat pedangnya terpenggal jadi dua bagian. Dan belum lagi hilang rasa
terkejutnya, tiba-tiba saja gadis bercadar merah muda itu sudah kembali memberi
serangan cepat, dahsyat luar biasa.
"Hiyaaat...!"
Bet!
Begitu cepat pedang Dewi Goa Ular
dikebutkan. sehingga Jaran Kadung yang masih diliputi ketidak-percayaan dengan
kejadian barusan, tidak sempat lagi menghindari serangan susulan itu.
Bret!
"Aaakh...!" Jaran
Kadung menjerit keras melengking tinggi.
Ujung pedang Dewi Goa Ular tepat
merobek dada laki-laki itu. Sesaat Jaran Kadung masih bisa berdiri, kemudian
jatuh menggelepar di tanah. Darah mengucur deras sekali dari dadanya yang robek
terbelah cukup panjang. Jaran Kadung menggelepar dan mengerang meregang nyawa,
sebentar kemudian mengejang kaku. Lalu, diam tak berkutik lagi.
"Heh...?!" Banapati
Jadi terbeliak melihat temannya tewas begitu cepat. Wajah Banapati jadi pucat
pasi. Tanpa pikir panjang lagi, dia langsung melompat cepat ke punggung kuda,
dan cepat menggebahnya. Kuda itu meringkik keras, lalu melesat cepat bagai anak
panah lepas dari busur.
"Jangan lari kau, Keparat!
Hiyaaat...!"
Dewi Goa Ular cepat mengebutkan
tangan kanannya. Seketika itu juga, dari telapak tangannya meluncur sebuah
benda berwarna hitam berbentuk bintang yang ujung-ujungnya runcing. Benda itu
melesat cepat bagaikan kilat ke arah Banapati.
Wusss!
Crab!
"Aaakh.....!"
Banapati agak terlonjak begitu
punggungnya tertembus bintang hitam yang dilepaskan Dewi Goa Ular. Tapi dia masih
tetap bertahan duduk di punggung kudanya, dan terus saja menggebahnya dengan
cepat.
Sementara, wanita bercadar merah
muda itu jadi mendengus melihat lawannya sudah jauh pergi. Bahkan masih dapat
bertahan, meskipun punggungnya sudah tertembus senjata rahasianya. "Huh!
Kau tidak akan mampu bertahan hidup. Keparat!" dengus Dewi Goa Uar.
Cepat sekali Dewi Goa Ular
melesat pergi dari jalan kecil itu. Dan pada saat yang sama dalam jarak tidak
terlalu jauh, tampak dua orang penunggang kuda menuju tempat itu. Mereka
mengendarai kudanya perlahan-lahan sambil berbicara. Mereka belum tahu, tidak
berapa jauh lagi di depan ada sesosok mayat tergeletak di tengah jalan.
***
EMPAT
"Kakang, lihat...!"
tunjuk gadis berbaju biru sambil menghentikan kudanya.
Dua orang penunggang kuda itu
bergegas berlompatan turun. Gerakan mereka sungguh indah dan ringan. Hanya
sekali lesatan saja, mereka sudah sampai di dekat mayat yang tergeletak di
tengah jalan. Kening mereka jadi berkerut begitu mengenali mayat ini.
"Kakang, bukankah dia yang
menggertak kita di kedai tadi...?" pelan sekali suara gadis itu.
"Hm...," pemuda berbaju
rompi putih hanya menggumam perlahan saja.
"Kenapa dia bisa sampai mati
di sini? Ke mana yang seorang lagi, ya...?" gadis itu seperti bertanya
pada diri sendiri.
"Tampaknya ada yang tidak
beres di sini. Pandan," ujar pemuda berbaju rompi putih itu, agak
menggumam suaranya.
Gadis yang dipanggil Pandan itu
hanya menggumam saja. Dia memang Pandan Wangi, yang lebih dikenal berjuluk si
Kipas Maut. Sedangkan pemuda berbaju rompi putih yang berdiri di sebelah
kanannya adalah Pendekar Rajawali Sakti, yang nama sebenarnya adalah Rangga.
Beberapa saat mereka terdiam membisu.
Rangga menekuk lututnya hingga
berjongkok di samping mayat Jaran Kadung. Sebentar diperiksanya luka yang
membelah dada laki-laki berusia sekitar tiga puluhan ini. Agak berkerut juga
keningnya melihat ada guratan biru kehitaman di sekitar luka yang menganga
cukup lebar di dada itu.
"Ada apa, Kakang?"
tanya Pandan Wangi setelah Rangga bangkit berdiri.
"Sepertinya, aku kenal
dengan tanda luka seperti ini," ujar Rangga agak menggumam.
Pandan Wangi hanya memandangi
saja wajah Pendekar Rajawali Sakti yang keningnya jadi berkerut cukup dalam.
Kemudian, gadis itu ikut berjongkok dan memeriksa luka di dada Jaran Kadung.
Namun sebentar kemudian dia sudah berdiri lagi, dan langsung menatap wajah
Rangga yang masih kelihatan sedang berpikir keras.
"Luka itu dari Jurus 'Seribu
Racun Ular Berbisa', Kakang," kata Pandan Wangi.
"Benar," sahut Rangga.
"Tapi apakah mungkin...?"
"Aku tidak yakin kalau
Pertapa Goa Ular yang melakukan ini, Kakang," tandas Pandan Wangi, seperti
bisa membaca jalan pikiran Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku memang pernah datang ke
tempatnya, Pandan," jelas Rangga, agak perlahan suaranya.
"Ya, aku tahu. Kau sudah
menceritakannya padaku," sahut Pandan Wangi.
"Dia menginginkan aku agar
menjadi muridnya. Tapi kepandaian yang dimilikinya dapat kutandingi dengan
jurus-jurus yang kuperoleh dari Satria Naga Emas. Bahkan orang tua itu langsung
menyatakan takluk setelah kukatakan kalau ilmu-ilmu yang kumiliki sebagian
berasal dari Satria Naga Emas. Dia mengakui kalau semua yang dimilikinya belum
seberapa besar dibanding dengan ilmu-ilmu Satria Naga Emas. Bahkan aku diminta
memberikan beberapa jurus. Dan salah satunya adalah jurus 'Seribu Racun Ular
Berbisa' Ini," Rangga menceritakan pertemuannya dengan Pertapa Goa Ular,
meskipun Pandan Wangi sudah mendengarnya.
"Apa tidak sebaiknya kita
menemuinya, Kakang," saran Pandan Wangi.
Namun belum juga Rangga sempat
menjawab, tiba-tiba saja terdengar derap langkah kaki kuda menuju ke arahnya.
Tak lama kemudian, terlihat sekitar dua puluh orang berkuda mendatangi. Tampak
berkuda paling depan adalah seorang pemuda mengenakan baju warna kuning. Seutas
cambuk hitam berduri tampak tergenggam di tangan kanannya.
"Siapa mereka, Kakang?"
tanya Pandan Wangi seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Rangga tidak menjawab pertanyaan
itu. Sedangkan orang-orang yang berkuda itu sudah demikian dekat, dan langsung
berlompatan turun. Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu jadi tertegun
melihat dua puluh orang ini langsung saja mengepung rapat dengan senjata
terhunus.
"Hati-hati, Pandan.
Tampaknya mereka datang bukan untuk bersahabat," ujar Rangga memperingatkan.
"Besar juga nyali
kalian," desis pemuda berbaju kuning yang memegang cambuk. Pemuda itu
salah seorang pembantu utama Iblis Tombak Baja. Namanya, Prabawa.
"Serang...!"
"Eh! Tunggu...!" sentak
Rangga.
Tapi orang-orang itu tidak
mempedulikan, dan seketika sudah berlompatan menyerang. Rangga dan Pandan Wangi
terpaksa berjumpalitan menghindari serangan-serangan yang datang begitu cepat
dari segala penjuru. Sedangkan Prabawa hanya memperhatikan saja dari punggung
kudanya.
"Lumpuhkan saja mereka, Pandan!"
seru Rangga.
"Baik, Kakang!" sahut
Pandan Wangi. "Hiya.....!"
Seketika itu juga Pandan Wangi
melakukan gerakan-gerakan yang begitu cepat luar biasa. Kedua tangannya
bergerak berkelebatan cepat, menyambar orang-orang yang mengeroyoknya. Rangga
juga melakukan hal yang sama. Tubuhnya berlompatan sambil mengebutkan kedua
tangannya dengan cepat.
Keluhan-keluhan tertahan
terdengar saling sambut, disusul bergelimpangannya tubuh-tubuh yang lemas
tertotok jalan darahnya. Rangga dan Pandan Wangi memang sengaja membuat para
pengeroyoknya lumpuh saja. Dan sebentar saja, dua puluh orang itu sudah
bergelimpangan semua tanpa mampu lagi melakukan serangan.
"Setan...!" desis
Prabawa menggeram sengit. Hampir tidak dipercayainya kalau dua puluh orang anak
buahnya bisa ditaklukkan begitu mudah. Mereka tidak tewas, tapi hanya dibuat
pingsan dengan jalan darah tertotok untuk waktu yang tidak terlalu lama.
Ctar!
Prabawa mengebutkan cambuknya
disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi pemuda berbaju rompi putih itu tidak bergeming sedikit pun. Bahkan ketika
ujung cambuk hitam berduri itu hampir sampai di dada, cepat sekali Rangga
mengebutkan tangan kanannya menangkap ujung cambuk itu.
Rrrt! "Eh...?!"
Bukan main terkejutnya Prabawa
begitu Rangga membetot cambuk yang berhasil ditangkapnya. Dan Prabawa tak kuasa
lagi bertahan, sehingga jatuh bergulingan dari punggung kudanya. Tapi dia cepat
bangkit berdiri dan langsung menyentakkan cambuknya. Pada saat yang sama.
Rangga melepaskan cekalan pada ujung cambuk hitam berduri itu. Begitu kuatnya
Prabawa menyentakkan cambuknya, sehingga tidak bisa lagi menguasai diri.
"Akh.....!" Prabawa
Jadi terpekik. Tubuhnya terpental deras ke belakang akibat dorongan tenaganya
sendiri yang berbalik arah. Begitu kuatnya terpental, sehingga keras sekali
punggungnya menghantam sebatang pohon. Prabawa mengumpat dan memaki sambil
bergegas bangun. Pemuda berbaju kuning itu melompat beberapa tindak ke depan,
dan menyemburkan ludahnya sambil mengumpat geram. Sedangkan Pandan Wangi jadi
tertawa terkikik melihat muka Prabawa memerah geram dipermainkan begitu rupa.
"Setan belang...! Tunggu
pembalasanku!" dengus Prabawa geram setengah mati.
Setelah berkata demikian, dia
langsung saja melompat naik ke punggung kuda, dan cepat menggebahnya. Kuda itu
meringkik keras, lalu berlari kencang secepat angin. Sedangkan Pandan Wangi
jadi tertawa terpingkal-pingkal melihat tingkah Prabawa seperti tikus kecebur
got melihat kucing.
"Ayo, Pandan. Kita
tinggalkan tempat ini," ajak Rangga.
"Kenapa tidak ditunggu saja,
Kakang? Dia pasti datang lagi dengan kekuatan besar," sergah Pandan Wangi.
"Kita belum tahu
permasalahannya. Pandan. Ayo, jangan cari kesulitan dulu," ajak Rangga
seraya menarik tangan gadis itu.
Pandan Wangi tidak berkata lagi,
dituruti saja ajakan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka berlompatan naik ke
punggung kuda masing-masing. Sebentar saja kedua pendekar muda itu sudah melaju
di atas punggung kuda meninggalkan tempat itu. Sementara, dua puluh orang yang
menggeletak pingsan mulai siuman kembali begitu Rangga dan Pandan Wangi sudah
tidak terlihat lagi. Mereka bergegas menghampiri kuda masing-masing, dan cepat-cepat
meninggalkan tempat itu.
***
Sementara itu, di sebelah Timur
Bukit Menjangan, Eyang Gorak yang dikenal berjuluk Iblis Tombak Baja jadi geram
mendengar laporan Prabawa. Belum lama mendapat laporan Banapati yang sekarang
sudah tergeletak jadi mayat di depannya karena tertembus bintang hitam beracun
mematikan di punggungnya, sekarang datang lagi laporan yang membuatnya jadi
semakin bertambah geram.
"Dewi Goa Ular... Huh! Apa
mungkin Pertapa Goa Ular masih hidup...?" desis Eyang Gorak seakan-akan
berbicara pada diri sendiri.
"Rasanya tidak mungkin,
Eyang. Sulit untuk lolos. Sedangkan tempat tinggalnya saja sudah hancur
begitu," tegas Prabawa.
"Lalu, siapa Dewi Goa Ular
itu?" bentak Eyang Gorak berang.
"Mungkin saja muridnya yang
hendak menuntut balas, Eyang," selak seorang laki-laki separuh baya yang
mengenakan baju warna merah menyala. Dia menyandang sebuah gada besar berduri.
Di dalam Partai Tombak Baja ini, dia berjuluk si Gada Maut.
"Tidak mungkin! Aku tahu,
siapa itu Pertapa Goa Ular. Dia tidak punya murid seorang pun," bantah
Eyang Gorak sengit.
"Tapi kenyataannya. Eyang.
Banapati tewas dengan senjata rahasia Pertapa Goa Ular. Tidak ada seorang pun
yang memiliki senjata bintang hitam beracun seperti itu. Hanya Pertapa Goa Ular
saja yang memakainya." kata si Gada Maut sambil menunjuk mayat Banapati.
Eyang Gorak jadi terdiam. Memang
benar apa yang barusan dikatakan si Gada Maut. Tidak ada seorang pun yang
memakai senjata seperti itu, selain si Pertapa Goa Ular. Tapi hatinya masih
belum yakin, kalau pertapa tua itu yang menewaskan Banapati dan Jaran Kadung.
Sedangkan, baru saja Prabawa melaporkan kalau telah menemui dua orang pendekar
muda tangguh di dekat mayat Jaran Kadung. Bahkan dengan beberapa gebrakan saja,
dua puluh anak buahnya berhati dilumpuhkan.
Banapati memang tidak bicara
banyak, dan hanya menyebut nama Dewi Goa Ular sebelum tewas. Hanya nama itu
saja yang sempat diucapkan Banapati sebelum tewas. Dan ini menjadikan si Iblis
Tombak Baja jadi kebingungan.
"Prabawa, dan kalian semua.
Siapkan semua kekuatan yang ada. Sekarang juga kita ke Goa Ular!" perintah
Eyang Gorak.
"Untuk apa ke sana,
Eyang?" tanya Prabawa terkejut mendengar perintah itu.
"Aku ingin lihat sendiri,
bagaimana keadaan di sana," sahut Eyang Gorak tegas.
Tanpa membantah lagi, Prabawa, si
Gada Maut, dan tiga orang lagi segera beranjak pergi. Eyang Gorak kemudian
memerintahkan dua orang pengikutnya yang ada di ruangan itu untuk menyingkirkan
mayat Banapati. Sedangkan dia sendiri bergegas melangkah keluar dari ruangan
berukuran cukup besar ini. Laki-laki tua berjubah biru tua itu berhenti
melangkah setelah tiba di depan beranda rumah berukuran besar yang dikelilingi
pagar tinggi dari batu. Bentuknya kokoh bagai sebuah benteng.
Di halaman depan yang luas itu
tampak sekitar seratus orang sudah siap di atas punggung kuda masing-masing.
Tampak Prabawa, si Gada Maut, dan tiga orang pembantu utama si Iblis Tombak
Baja sudah berada pada barisan paling depan. Eyang Gorak melompat naik ke
punggung kudanya yang dipegangi seorang anak muda bersenjata golok.
"Pisau Terbang! Sebaiknya
kau tinggl di sini. Aku tidak ingin tempat ini kosong sama sekali!"
perintah Iblis Tombak Baja.
"Baik, Eyang," sahut
seorang pemuda yang di seluruh tubuhnya penuh menempel pisau kecil yang tipis.
"Ayo. Jalan!"
***
Sepeninggal Eyang Gorak, Pisau
Terbang mengatur penjagaan di sekitar rumah besar yang dikelilingi pagar tinggi
berbentuk benteng ini. Hanya ada sekitar dua puluh orang saja yang tinggal.
Sedangkan hampir semua pengikut Partai Tombak Baja pergi bersama Eyang Gorak.
Sementara malam terus merambat semakin larut. Udara di sekitar Bukti Menjangan
ini terasa begitu dingin, dihembus angin yang agak kencang malam ini.
Setelah mengatur dua puluh orang
anggota Partai Tombak Baja yang tersisa, Pisau Terbang melangkah hendak masuk
ke dalam bangunan besar yang menjadi pusat pertemuan para anggota Partai Tombak
Baja ini. Tapi belum juga kakinya menginjak lantai beranda depan, tiba-tiba
saja berdesis angin dari arah belakang.
"Hup...!" Tanpa
berpaling lagi, si Pisau Terbang memiringkan tubuhnya ke kanan. Tepat ketika
saat itu, berkelebat sebuah benda hitam berbentuk bintang di samping tubuhnya.
Bintang hitam itu langsung menancap di tiang beranda depan yang berukuran cukup
besar. Cepat-cepat tubuh si Pisau Terbang melenting, berputar ke belakang
beberapa kali. Dengan manis sekali kakinya menjejak tanah berumput agak basah,
tepat di bagian depan halaman yang berukuran cukup luas ini.
Matanya langsung menangkap sebuah
bayangan yang berkelebat cepat meluruk deras ke arahnya dari atas pagar
benteng. Begitu cepatnya, sehingga tahu-tahu di depan si Pisau Terbang sudah
berdiri seorang gadis berbaju merah muda dengan wajah tertutup sehelai cadar
agak tipis, juga berwarna merah muda.
"Siapa kau? Menyelinap
seperti garong!" bentak si Pisau Terbang.
"Aku Dewi Goa Ular!"
sahut gadis bercadar merah muda Itu, dingin nada suaranya.
"Oh...?!" si Pisau
Terbang agak terhenyak begitu mendengar jawaban gadis bercadar merah muda itu.
Sungguh tidak diduga kalau orang yang sempat menghebohkan ini ternyata hanya
seorang gadis bercadar merah muda. Sama sekali lain dari gambaran yang
diberikan Prabawa.
Si Pisau Terbang melirik ke kanan
dan ke kiri. Tampak beberapa anak buahnya berlarian menghampiri, disusul yang
lainnya. Mereka langsung membentuk lingkaran mengepung tempat ini. Sementara,
si Pisau Terbang dan gadis bercadar merah muda yang mengaku bernama Dewi Goa
Ular itu tepat berada di tengah-tengah lingkaran dua puluh orang bersenjata
golok terhunus.
"Kau tentu terkejut melihat
kedatanganku, Pisau Terbang. Tapi sayang, aku tidak bisa membiarkanmu terkejut
begitu lama. Aku harus mencabut nyawamu sekarang juga," terasa begitu
dingin sekali nada suara si Dewi Goa Ular.
"Ha ha ha...! Kau boleh
bangga bisa membunuh Jaran Kadung dan Banapati. Tapi, tidak mudah untuk
membunuhku, Nisanak!" keras suara si Pisau Terbang.
"Tertawalah sepuasmu, Pisau
Terbang. Tapi, ingat sebentar lagi kau akan meringkuk di dalam kubur!"
desis Dewi Goa Ular.
"Tangkap dia! Hidup atau
mati...!" seru si Pisau Terbang keras menggelegar.
Seketika itu juga dua puluh orang
yang sudah siap menerima perintah, langsung berlompatan sambil berteriak-teriak
gegap gempita. Mereka meluruk, menyerang si Dewi Goa Ular. Namun sungguh tidak
diduga sama sekali, gerakan-gerakan yang dilakukan gadis bercadar merah muda
itu sangat luar biasa cepatnya. Kedua tangannya berkelebatan cepat menyambar
orang-orang yang meluruk menyerang-nya. Teriakan-teriakan pertempuran kini
berubah menjadi jerit dan pekik melengking berhawa kematian. Dalam beberapa gebrakan
saja, sudah terlihat enam orang bergelimpangan tak bernyawa lagi.
Sret!
"Yeaaah...!"
Dewi Goa Ular terus bergerak
cepat, bahkan segera mencabut pedangnya yang langsung dikebutkan ke arah
orang-orang yang berada dekat dengannya. Kembali jeritan-jeritan melengking
tinggi terdengar saling sambut, disusul bertumbangannya tubuh-tubuh berlumuran
darah. Gadis bercadar merah muda itu bagaikan banteng betina yang mengamuk tak
terbendung lagi.
Setiap kali pedangnya berkelebat,
satu dua nyawa melayang meninggalkan tubuh yang bergelimpangan berlumuran
darah. Sebentar saja sudah lebih dari separuh jumlah lawan yang bergelimpangan
tak bernyawa lagi. Dan kini, tinggal lima orang lagi yang masih bertahan hidup.
Tapi tampaknya mereka sudah begitu gentar, tak berani lagi mendekat. Dewi Goa
Ular berdiri tegak melintangkan pedang di depan dada. Matanya menatap tajam
pada si Pisau Terbang yang tampak begitu geram melihat anak buahnya tak sanggup
menandingi gadis itu.
"Sekarang giliranmu. Pisau
Terbang. Aku ingin tahu, sampai di mana kehebatan pisau-pisaumu," dengus
Dewi Goa Ular sinis.
"Phuih!" si Pisau
Terbang menyemburkan ludahnya dengan sengit.
Si Pisau Terbang menggeser
kakinya beberapa langkah ke kanan. Tatapan matanya begitu tajam menusuk
langsung ke bola mata gadis bercadar merah muda, sekitar tiga tombak di
depannya. Sesaat dia terdiam, berdiri tegak bagai patung. Kemudian, tiba-tiba
saja....
"Hiyaaa...!"
Tepat saat tubuh si Pisau Terbang
membungkuk agak doyong ke kanan, kedua tangannya bergerak cepat melemparkan
beberapa pisau berukuran kecil yang tipis berkilat keperakan. Begitu cepat
gerakannya sehingga Dewi Goa Ular agak sedikit terperangah. Namun, pedangnya
cepat dikebutkan beberapa kali sambil melentingkan tubuh berputaran di udara.
Trang! Tring!
Tangkas sekali Dewi Goa Ular
menghalau pisau-pisau kecil itu, sehingga berpentalan sebelum sempat menyentuh
tubuhnya. Pisau-pisau itu jadi tak terkendali, dan menyambar sisa orang-orang
yang masih hidup. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi kembali terdengar
saling sambut.
"Keparat..!" geram si
Pisau Terbang gusar.
Kini tak ada lagi yang tersisa hidup.
Si Pisau Terbang cepat menyadari kalau keutuhan Partai Tombak Baja tergantung
dari dirinya dalam menghadapi si Dewi Goa Ular. Jelas, kehadiran wanita itu
telah mengguncangkan Partai Tombak Baja ini.
"Tahan serangan Seribu Pisau
Terbangku...! Hiya. hiya, hiyaaa...!"
Seperti kesetanan, si Pisau
Tertang berlompatan mengelilingi Dewi Goa Ular sambil melontarkan pisau-pisau
kecilnya. Menghadapi serangan yang begitu cepat dan beruntun seperti itu, Dewi
Goa Ular terpaksa harus berjumpalitan. Bahkan tubuhnya harus berputaran di
udara sambil mengebutkan pedang dengan kecepatan penuh. Suara-suara senjata
beradu terdengar secara beruntun dan saling sambut.
Pisau-pisau kecil itu bagaikan
tak ada habisnya, terus berhamburan di sekitar tubuh Dewi Goa Ular. Bahkan
beberapa kali si Pisau Terbang melenting ke udara, dan menyerang dari atas
kepala gadis bercadar merah muda itu. Tapi sampai sejauh ini, tak ada satu
pisau pun yang berhasil menembus tubuh si Dewi Goa Ular. Gerakan-gerakan yang
dilakukan gadis bercadar merah muda itu sungguh cepat dan tangkas luar biasa.
Bahkan sulit diikuti pandangan mata biasa. Sehingga, yang terlihat hanyalah
bayangan merah muda berkelebatan cepat di antara desingan pisau-pisau tipis
yang berhamburan di sekitarnya.
"Setan..!" geram si
Pisau Terbang berang. Belum pernah lawan setangguh ini didapatinya. Sampai
semua senjatanya habis, lawan belum juga mampu didesak. Kini tak ada lagi pisau
yang tersisa melekat di tubuhnya. Dan serangannya pun jadi terhenti. Dia
berdiri tegak, menatap tajam penuh kemarahan ke arah gadis bercadar merah muda
itu.
"Siapa kau sebenarnya,
Nisanak?" tanya si Pisau Terbang jadi penasaran.
Dewi Goa Ular tidak menyahut.
Perlahan tangan kirinya diangkat, kemudian cadar yang menutupi wajahnya dibuka.
Si Pisau Terbang jadi terbeliak begitu melihat seraut wajah cantik tersembunyi
di balik cadar berwarna merah muda itu.
"Kau...?" agak tercekat
suara si Pisau Terbang.
"Ya! Aku datang untuk
membalas perbuatan kalian semua," desis gadis itu dingin.
Wuk!
Seketika itu juga pedangnya
dikebutkan ke depan. Dan bagaikan kilat. Dewi Goa Ular melompat menerjang
sambil mengebutkan pedang beberapa kali.
"Uts! Hup...!"
Si Pisau Terbang terpaksa harus
berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang mengancam dirinya.
Beberapa kali tubuhnya terpaksa harus dibanting ke tanah dan bergulingan
beberapa kali. Tapi, serangan-serangan gadis itu tidak juga berhenti.
Setelah lewat sepuluh jurus, Dewi
Goa Ular menghentikan serangannya. Dia berdiri tegak, sambil melintangkan
pedang di depan dada. Perlahan kemudian, kaki kanannya ditarik ke depan, dan
tangan kirinya direntangkan lurus ke depan. Lalu, pedangnya diangkat hingga
berada di atas kepala. Ujung pedangnya tertuju lurus ke depan, mengarah ke dada
si Pisau Terbang. Gadis itu merendahkan tubuhnya perlahan, lalu...
"Hiyaaat..!"
"Oh...?!"
***
LIMA
Cepat-cepat si Pisau Terbang
menarik tubuhnya ke samping ketika pedang Dewi Goa Ular menusuk cepat ke arah
dada. Dan begitu pedang itu lewat di samping tubuhnya, segera tangannya
dihentakkan menyodok ke arah lambung. Tapi tanpa diduga sama sekali, Dewi Goa
Ular lebih cepat lagi mengebutkan pedangnya tanpa sedikit pun berusaha
menghindari sodokan lawan.
"Yeaaah...!"
Bet!
Cras!
"Aaa...!"
Si Pisau Terbang jadi terbeliak
lebar. Sungguh tidak disangka kalau gadis cantik berbaju merah muda yang
mengaku bernama Dewi Goa Ular itu bisa memutar pedangnya begitu cepat, dan
langsung menebas tangan kirinya yang menjulur hendak melakukan sodokan ke arah
lambung. Tangan kiri si Pisau Terbang seketika itu juga buntung, dan darah
muncrat keluar dari tangan yang terpenggal sebatas siku.
"Mampus kau sekarang,
Keparat..! Hiyaaat..!"
Wuk!
Bagaikan kilat, Dewi Goa Ular
menebaskan pedangnya ke dada si Pisau Terbang. Begitu cepat tebasannya,
sehingga si Pisau Terbang tak mampu lagi menghindar. Terlebih lagi, dia masih
merasakan perih pada tangan kirinya yang buntung terbabat pedang itu. Dan...
Cras!
"Aaa...!" kembali si
Pisau Terbang menjerit keras.
Tubuh si Pisau Terbang
terhuyung-huyung ke belakang. Darah kembali membanjiri dari dadanya yang
terbelah cukup lebar dan panjang. Sebentar dia masih mampu berdiri, kemudian
ambruk terguling dan menggelepar di tanah. Sementara Dewi Goa Ular memandangi
disertai senyuman sinis tersungging di bibir. Kembali cadarnya yang terbuat
dari kain agak tipis berwarna merah muda dikenakan.
Agak lama juga si Pisau Terbang
meregang nyawa, tapi akhirnya diam kaku tak bernyawa lagi. Guratan biru
terlihat dari luka di dada dan tangan kirinya yang buntung. Si Pisau Terbang
tewas dengan mata terbalak lebar dan mulut ternganga.
"Kalian harus merasakan,
bagaimana kehilangan tempat tinggal" desis Dewi Goa Ular dingin.
Sebentar wanita itu menoleh ke
kanan dan ke kiri, lalu cepat melompat menghampiri sebuah obor yang terpancang
di tiang. Tangannya cepat mencabut obor itu, dan melemparkannya ke atas atap
bangunan yang berukuran cukup besar ini. Kembali diambilnya obor, dan
dilemparkannya ke dalam rumah. Lima obor dilemparkannya ke rumah besar yang
megah itu, sehingga membuat api membesar melahap semua yang ada di dalam
bangunan itu.
Dewi Goa Ular berdiri tegak
memandangi api yang semakin besar berkobar, melahap bangunan itu. Kemudian
tubuhnya diputar perlahan. Dan sambil berteriak nyaring melengking tinggi,
beberapa pukulan jarak jauh yang sangat dahsyat dilontarkan ke arah tembok
banteng. Suara-suara ledakan terdengar dahsyat menggelegar, bersamaan hancurnya
banteng itu. Lalu, beberapa pukulan lagi dilontarkan ke arah bangunan di
depannya.
"Tunggulah pembalasanku.
Iblis Tombak Baja...!" desis Dewi Goa Ular dingin menggetarkan.
Setelah puas menghancurkan sarang
Partai Tombak Baja, Dewi Goa Ular cepat melesat pergi. Begitu tinggi ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga dalam waktu sekejap mata saja dia
sudah lenyap tertelan kegelapan malam. Sementara api semakin membesar
menghanguskan sarang Partai Tombak Baja. Malam yang semula dingin, kini jadi
hangat oleh kobaran api yang semakin bertambah besar saja.
Tanpa setahu gadis bercadar merah
muda itu, dari tempat yang cukup tersembunyi mengintai dua pasang mata,
memperhatikan semua kejadian di sarang Partai Tombak Baja. Mereka adalah Rangga
dan Pandan Wangi yang langsung ke tempat ini setelah mengetahui keadaan tempat
tinggal Pertapa Goa Ular yang sudah hancur berentakan.
"Kau mengenalnya.
Kakang?" tanya Pandan Wangi, agak berbisik suaranya.
"Ya! Aku pun tahu, di mana
bisa bertemu dengannya," sahut Rangga, agak menggumam suaranya.
"Sebaiknya kita temui,
Kakang. Kita tanyakan, dari mana jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa' itu
diperolehnya. Kalau didapatkannya dari Pertapa Goa Ular, dia pasti tahu
keberadaan pertapa tua Itu."
"Dia belum sempurna
menguasai jurus itu. Tapi sudah cukup dahsyat. Hm.... Dengan jurus yang
dimilikinya sekarang ini, rasanya dia belum cukup menandingi Iblis Tombak
Baja," gumam Rangga.
"Ayo, Kakang. Sebelum dia
pergi jauh," ajak Pandan Wangi lagi.
"Percuma, Pandan. Sebaiknya
besok siang saja kita menemuinya," kata Rangga.
"Tapi, setidaknya kita
segera meninggalkan tempat ini, Kakang. Iblis Tombak Baja dan
begundal-begundalnya pasti sedang menuju ke sini."
"Baiklah. Ayo..."
Tanpa bicara lagi, mereka
bergegas meninggalkan tempat persembunyian. Mereka lalu melompat naik ke
punggung kuda masing-masing, dan cepat menggebahnya. Pendekar Rajawali Sakti
dan Pandan Wangi tadi memang sempat melihat Iblis Tombak Baja dan para
pengikutnya di sekitar Hutan Goa Ular. Itu sebabnya, kedua pendekar muda itu
langsung ke tempat ini. Dan ternyata, dugaan Rangga memang benar. Orang yang
mengaku bernama Dewi Goa Ular itu sudah memporakporandakan sarang Partai Tombak
Baja. Bahkan membunuh si Pisau Terbang serta dua puluh orang anak buahnya.
***
Siang ini langit tampak cerah,
tanpa awan sedikit pun yang menggantung. Matahari bersinar terik Cahayanya
terasa begitu terik membakar. Di sebuah lembah yang tidak begitu besar, tampak
seorang gadis berparas cantik tengah berdiri tegak di depan sebuah pusara yang
dilingkari bebatuan. Bajunya agak ketat warna merah muda.
Ada lebih dari lima puluh makam
lagi di sekitarnya. Dan tak jauh dari pusara-pusara itu, terlihat puing-puing
bangunan yang sudah hangus akibat terbakar. Itulah puing bangunan Padepokan
Pedang Perak. Dan gadis berbaju merah muda itu adalah Swani, putri tunggal
Ketua Padepokan Pedang Perak.
"Tenanglah kau di sana,
Ayah. Aku bersumpah akan membalas kematianmu, dan kematian semua muridmu,"
desis Swani perlahan.
Swani cepat berpaling ketika
mendengar langkah kaki kuda menghampiri. Kelopak mata gadis itu jadi menyipit
begitu melihat dua orang penunggang kuda. Seorang gadis cantik sebayanya
berbaju biru muda, dan seorang pemuda berbaju rompi putih yang tampan dan
tegap. Perlahan Swani memutar tubuhnya, di saat kedua penunggang kuda yang tak
lain adalah Rangga dan Pandan Wangi turun dari punggung kuda masing-masing.
Mereka kini berjalan menghampiri putri tunggal Ketua Padepokan Pedang Perak
itu.
"Kau masih mengenalku,
Swani..?" lembut sekali suara Rangga.
"Kakang...." desah
Swani.
Gadis itu langsung berlari dan
menjatuhkan diri ke dalam pelukan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Pandan
Wangi jadi bengong menyaksikannya. Dia sungguh tidak tahu kalau Rangga sudah
mengenal gadis ini. Bahkan Swani tidak malu-malu lagi menghambur ke dalam
pelukan Rangga sambil menangis terisak. Lembut sekali Pendekar Rajawai Sakti
menepuk-nepuk punggung Swani, dan melepaskan palukan gadis itu.
"Tenangkan dirimu, Swani.
Ceritakan, apa yang terjadi sebenarnya," ujar Rangga, tetap lembut
suaranya.
Swani menarik napas dalam-dalam,
mencoba menenangkan dri. Baru sekarang gadis ini bisa menangis sejak
menguburkan ayahnya, dan semua murid Padepokan Pedang Perak. Dengan punggung
tangannya, gadis itu menyusut air mata yang membasahi pipi. Sedangkan Pandan
Wangi hanya memperhatikan saja dengan sejuta pertanyaan di dalam benaknya.
"Ceritakan semuanya, Swani.
Mungkin aku bisa membantu menyelesaikan persoalanmu." pinta Rangga lagi
masih tetap lembut suaranya.
"Ceritanya panjang,
Kakang." kata "Swani masih agak tersendat.
"Ayo,. kita cari tempat yang
lebih nyaman," ajak Rangga.
Swani menatap Pandan Wangi yang,
juga tengah memperhatikannya sejak tadi.
"Oha Kalian tentu belum
saling mengenal. Ini Pandan Wangi," Rangga cepat-cepat. Memperkenalkan
kedua gadis itu.
Mereka saling berjabatan tangan
dan sama-sama menyebutkan nama, kemudian melangkah meninggalkan lembah itu.
Swani masih tetap diam berjalan di samping kiri Rangga. Sedangkan Pandan Wangi
berjalan di sebelah kanan Pendekar Rajawali Sakti sambil menuntun kuda mereka.
Sambil berjalan, Rangga meminta
Swani menceritakan semua peristiwa yang terjadi di Padepokan Pedang Perak. Juga
ditanyakannya keadaan ayah gadis itu. Tentu saja Rangga terkejut setelah
mengetahui kalau ayah gadis ini sudah tewas di tangan Iblis Tombak Baja. Dan
Swani memang menceritakan semua yang terjadi. Bahkan juga menceritakan
pertemuannya dengan Pertapa Goa Ular yang kemudian mengangkatnya jadi murid.
Tapi, baru beberapa pekan saja mempelajari beberapa ilmu, orang-orang Iblis
Tombak Baja sudah menghancurkan Goa Ular. Dan sampai saat ini Swani tidak tahu
di mana Pertapa Goa Ular berada.
Bersamaan dengan selesainya
cerita Swani, mereka sampai ditepi sebuah sungai kecil yang berair jernih.
Mereka segera beristirahat di tepi sungai itu. Sementara Pandan Wangi
menyiapkan bekal makanan yang dibawanya. Perjalanan dengan menunggang kuda
begini, memang bisa membawa bekal yang cukup dalam perjalanan. Mereka kemudian
mengisi perut sambil terus berbicara. Dan kebanyakan, Swani yang berbicara
menceritakan keadaan dirinya setelah padepokan ayahnya dihancurkan Partai
Tombak Baja.
"Sudah berapa jurus yang kau
pelajari dari Pertapa Goa Ular?" tanya Rangga sambil mencuci tangannya di
sungai, kemudian kembali duduk di samping Swani.
"Baru tiga, tapi hanya satu
yang bisa diandalkan," sahut Swani. "Dan itu juga rasanya belum cukup
untuk menandingi Iblis Tombak Baja."
"Kau beruntung, Swani. Bisa
mendapatkan ilmu dari Pertapa Goa Ular, meskipun baru tiga jurus. Tidak
sembarang orang bisa mendapatkan ilmu darinya," selak Pandan Wangi.
"Tapi apa yang kudapatkan,
belum cukup untuk membalas kematian ayah," kilah Swani.
"Dendam memang tidak ada
habisnya, Swani," tandas Rangga, tetap lembut nada suaranya.
"Tapi, aku sudah janji. Aku
harus menuntut balas, meskipun harus mati," tegas Swani.
"Aku bisa mengerti
perasaanmu, Swani. Itu sebabnya aku dan Pandan Wangi cepat-cepat ke sini
menemuimu, setelah melihat sarang mereka kau hancurkan," kata Rangga lagi.
"Kakang melihatku...?"
Swani agak terkejut juga.
"Ya," Rangga
mengangguk.
"Kakang tidak mencegah...?
Kenapa tidak menemuiku di sana?"
"Tidak ada gunanya, Swani.
Lagi pula, aku belum tahu permasalahannya. Meskipun dicegah, kau tidak mungkin
bersedia, bukan...? Kau pasti tetap menghancurkan tempat itu." elak
Rangga, selalu lembut suaranya.
Swani terdiam. Memang benar yang
dikatakan Pendekar Rajawali Sakti barusan. Tidak mungkin dia bisa dicegah waktu
itu. Bara api dendam yang menyala di dalam dadanya begitu besar. Dan dia baru
merasa sedikit puas setelah bisa menghancurkan sarang Partai Tombak Baja.
Hatinya baru akan benar-benar puas setelah melihat kematian si Iblis Tombak Baja
itu sendiri. Tapi, apakah mungkin dia bisa menyaksikan Kematian si Iblis Tombak
Baja...? Swani jadi ragu-ragu sendiri. Maka ditatapnya Rangga dengan sinar mata
yang sukar diartikan.
"Ayah pasti akan bahagia
jika Kakang bersedia membantuku menumpas mereka," pinta Swani penuh harap.
"Ayahku dan ayahmu adalah
sahabat dekat. Dan ayahmu sudah mengangkatku sebagai anak. Rasanya, tidak
mungkin kalau aku berdiam diri begitu saja, Swani. Aku juga ingin berbakti pada
ayah angkatku," tegas Rangga diiringi senyumnya.
"Oh.... Terima kasih,
Kakang," ucap Swani.
Malam sudah cukup larut
menyelimuti sebagian permukaan mayapada ini. Di tengah-tengah hutan yang cukup
lebat Rangga, Pandan Wangi, dan Swani terpaksa bermalam. Mereka tentu tidak
mungkin bermalam di Desa Menjangan yang tidak seberapa jauh dari hutan ini,
karena terlalu banyak pengikut Iblis Tombak Baja berkeliaran di sana.
Sementara, Swani sudah melingkar
di dekat api unggun. Sedangkan diam-diam, Pandan Wangi mendekati Rangga yang
duduk bersandar pada sebuah batu cukup besar. Pendekar Rajawali Sakti melirik
sedikit pada saat Pandan Wangi sudah berada di sampingnya. Gadis itu berpindah,
dan duduk di depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kenapa waktu itu kau tidak
mengatakan kalau sudah mengenalnya, Kakang...?" tegur Pandan Wangi
langsung atas sikap Rangga yang tidak berterus terang ketika malam itu mereka
melihat Swani menghancurkan sarang Partai Tombak Baja.
"Terus terang, waktu itu
hatiku belum yakin benar kalau dia Swani, Pandan. Kau kan tahu, dia mengaku
bernama Dewi Goa Ular. Apalagi, jarak kita terlalu jauh untuk bisa melihat
jelas." sahut Rangga beralasan.
"Jangan bohongi aku, Kakang.
Kau menggunakan aji 'Tatar Netra'. Kau pasti bisa melihat jelas walau jarak
jauh sekalipun," agak mendengus nada suara Pandan Wangi.
Rangga hanya tersenyum saja. Dia
tahu, Pandan Wangi cemburu. Tapi, tidak ada alasan bagi gadis itu untuk mencemburui
Swani. Rangga tadi sudah menjelaskan kalau antara dirinya dan Swani hanya ada
hubungan kakak dan adik. Tidak lebih dari itu. Dan lagi ayah Swani sudah
mengangkatnya anak. Jadi, tidak mungkin ada hubungan yang lebih selain antara
kakak dan adik.
"Kau cemburu.
Pandan...?" goda Rangga.
"Tidak!" dengus Pandan
Wangi memasang wajah memberengut.
"Lalu, kenapa kau tanya
begitu?"
"Tidak apa-apa."
"Pertemuanku dengan Swani
waktu itu memang tidak sengaja. Aku menolongnya ketika dia hampir diterkam
harimau. Lalu, aku mengantarkannya pulang, dan tidak bisa menolak permintaan
ayahnya untuk tinggal beberapa hari di padepokannya. Bahkan secara resmi,
beliau mengangkatku menjadi anak, setelah tahu kalau ayahku adalah teman
baiknya. Tentu saja anugerah itu tidak bisa kutolak, Pandan. Dan antara aku dan
Swani, sama sekali tidak ada hubungan yang istimewa selain hubungan antara
kakak dan adik," dengan lembut Rangga menjelaskan hubungannya dengan
Swani.
"Kau menganggapnya begitu,
Kakang. Tapi, tidak demikian dengannya, bukan...? Bisa saja dia mengartikannya
lain," kejar Pandan Wangi, masih terasa jelas kecemburuannya.
"Itu tidak mungkin, Pandan.
Kami sudah mengikat sumpah. Jadi. tak ada hubungan yang lebih, selain kakak
beradik," tegas Rangga
"Kakang Rangga benar, Kak
Pandan," tiba-tiba saja Swani sudah bangun.
Pandan Wangi terkejut juga, dan
cepat berpaling. Swani bangkit berdiri dan melangkah menghampiri, kemudian
duduk di samping Pandan Wangi yang jadi agak memerah wajahnya. Sungguh tidak
disangka kalau Swani mendengarkan percakapan ini. Dan dia jadi malu, karena
kecemburuannya ketahuan.
"Aku sendiri sebenarnya
sudah mempunyai tunangan. Tapi, dia tewas bersama ayah ketika kelompok Iblis
Tombak Baja menyerang padepokan," jelas Swani. "Jadi antara aku dan
Kakang Rangga tidak ada hubungan apa-apa. Kami bersahabat, dan saling
menyayangi seperti kakak dan adik. Tidak lebih dari itu."
"Ah, sudahlah. Aku hanya
ingin tahu saja awal pertemuan kalian berdua." selak Pandan Wangi, tidak
ingin melanjutkan. "Aku tidur dulu. Kakang, Swani..."
Pandan Wangi tidak menunggu
jawaban, dan segera menjauh. Tubuhnya direbahkan di bawah pohon yang cukup besar,
sehingga terlindung dari terpaan angin yang cukup dingin malam ini. Api unggun
yang dibuatnya tidak cukup mengusir dinginnya udara malam ini. Sementara Rangga
dan Swani masih duduk berhadapan. Mereka sama-sama melemparkan senyum melihat
Pandan Wangi jadi kikuk begitu.
"Swani, apa rencanamu
setelah ini?" tanya Rangga ingin tahu.
"Yang jelas, aku akan
menuntaskan urusan dengan Iblis Tombak Baja dulu." sahut Swani.
"Lalu?"
"Mungkin aku akan mencari
Eyang Pertapa Goa Ular. Aku ingin menguasai semua ilmunya. Rasanya, aku cocok
menggunakan ilmu-ilmunya, Kakang," lanjut Swani.
"Mudah-mudahan saja
keinginanmu bisa terlaksana, Swani. Harapanku, kau bisa bertemu lagi dengan
Pertapa Goa Ular," ujar Rangga membesarkan hati gadis ini.
"Tapi, Kakang...."
"Ada apa lagi?"
"Eyang Pertapa selalu saja
menceritakan orang pertama yang datang ke tempatnya. Dan dia seperti menyesal
tidak bisa mewariskan ilmu-ilmunya pada orang itu. Aku tidak ingin ilmu-ilmunya
diturunkan padaku hanya karena terpaksa. Beliau pasti kecewa, karena tidak bisa
tepat menentukan pilihannya sendiri.
"Itu tidak akan terjadi,
Swani. Percayalah, Pertapa Goa Ular pasti senang mempunyai murid
secerdasmu," lagi-lagi Rangga membesarkan hati gadis ini.
Tentu saja Rangga tidak
mengatakan kalau orang pertama yang dimaksudkan tadi adalah dirinya sendiri.
Dia memang pernah datang ke Goa Ular tanpa disengaja. Bahkan sempat bertarung
dengan Pertapa Goa Ular. Tapi, Rangga bisa menandingi ilmu-ilmu yang dimiliki
Pertapa Goa Ular dengan ilmu-ilmu yang diperoleh dari Satria Naga Emas. Dan
Pertapa Goa Ular langsung tunduk, mengaku kalah begitu mengenali salah satu
ilmu yang dikeluarkan Rangga. Terlebih lagi, setelah Pendekar Rajawali Sakti
mengatakan, dari mana ilmunya diperoleh.
Pertapa Goa Ular sendiri mengatakan
kalau ilmu-ilmu yang dimiliki sebagian kecil dari penggalan ilmu-ilmu Satria
Naga Emas. Dan dia selalu menganggap Satria Naga Emas adalah gurunya, meskipun
belum pernah berjumpa. Ilmu pertapa itu didapatkan dari sebuah kitab yang
ditemukannya di Goa Ular. Sehingga, ular-ular yang hidup di bumi ini bisa
dikuasainya.
Kedatangan Pertapa Goa Ular ke
goa itu memang tidak disengaja. Ketika itu, dia menjadi buronan prajurit
kadipaten karena dituduh membunuh putra seorang pembesar kadipaten. Padahal,
itu semua hanya kecelakaan. Tapi pihak kadipaten tidak mau tahu, dan terus
mengejarnya. Akhirnya, laki-laki tua itu sampai di Goa Ular, dan bersembunyi di
sana. Maka, di sanalah ilmu-ilmunya didapatkan.
Dan tentu saja Rangga tidak
menceritakan hal itu pada Swani. Pendekar Rajawali Sakti tetap merahasiakannya.
Hanya Pandan Wangi yang tahu tentang semua itu. Dan Rangga yakin, Pandan Wangi
bisa menutup rahasia ini sampai kapan pun juga.
"Sudah terlalu larut.
Tidurlah. Masih banyak yang harus kau kerjakan. Kau harus siap menghadapi
segala bahaya dan rintangan yang akan dihadapi," ujar Rangga lembut.
"Baik, Kakang." sahut
Swani. Swani beranjak bangkit, lalu melangkah ke tempatnya semula ketika tidur
tadi.
Gadis itu kembali membaringkan
tubuhnya. Sekias ditatapnya Pandan Wangi yang sudah mendengkur halus di bawah
pohon. Di hatinya, terbersit rasa iri melihat Pandan Wangi bisa menjadi gadis
pilihan Pendekar Rajawali Sakti. Pendekar muda yang gagah dan tampan, juga
berkepandaian tinggi yang sukar dicari tandingannya saat ini.
"Berbahagialah kau. Kak
Pandan..." desah Swani seraya memejamkan mata.
***
ENAM
Rangga cepat menggerinjang
bangkit begitu cahaya matahari menghangati raganya. Pandangannya langsung
diarahkan ke tempat Swani tidur semalam. Tapi Pendekar Rajawali Sakti jadi
terkejut, karena tidak mendapati Swani di sana lagi. Bergegas kakinya melangkah
mendekati Pandan Wangi yang masih tidur di bawah pohon.
"Pandan...," Rangga
mengguncang bahu Pandan Wangi.
Sebentar Pandan Wangi menggeliat,
lalu menggerinjang bangun.
"Kau tidak melihat
Swani?" tanya Rangga langsung.
"Swani...?"
Pandan Wangi segera melayangkan
pandangan ke tempat Swani tidur. Tapi putri tunggal Ketua Padepokan Pedang
Perak itu sudah tidak ada lagi di sana. Pandangan Pandan Wangi beralih ke wajah
Rangga.
"Maaf, Kakang. Aku terlalu
lelap...," ucap Pandan Wangi.
"Sudahlah, Pandan. Aku juga
ketiduran," selak Rangga cepat.
"Lalu, ke mana dia pergi,
Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Hhh...! Swani mengalami
guncangan berat. Dia bisa saja berbuat nekat seperti kemarin." desah
Rangga agak mengeluh.
"Apa tidak mungkin kembali
ke tempat Iblis Tombak Baja...?" lagi-lagi Pandan Wangi bertanya seperti
untuk diri sendiri.
"Dia sudah menghancurkannya.
Pandan. Jadi, tidak mungkin ke sana lagi," bantah Rangga.
"Kalau tidak ke sana. lalu
ke mana perginya....?"
"Desa Menjangan."
"Terlalu nekat kalau ke
sana, Kakang."
"Swani bisa berbuat apa saja
untuk melampiaskan dendamnya, Pandan. Bahkan bisa membantai satu persatu orang
yang terlibat dalam menghancurkan padepokan ayahnya."
"Hm... Bisa-bisa dia
dianggap pembunuh tak berperikemanusiaan, dan dimusuhi banyak pendekar,
Kakang."
"Itulah yang tidak
kuinginkan, Pandan. Tidak semua pendekar bisa menelaah dengan benar. Bahkan
bukannya tidak mustahil langsung main tuduh saja, tanpa menyelidiki lagi
sebabnya."
"Lalu, apa yang harus kita
lakukan...?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Kita harus segera
menemuinya, sebelum dia bertindak sesuatu yang dapat merugikan diri
sendiri."
"Ke mana kita mencarinya,
Kakang?"
"Kita lihat dulu ke Goa
Ular. Kalau dia tidak ada di sana, lalu langsung ke Desa Menjangan,"
Rangga cepat memutuskan.
"Ayo, Kakang. Jangan
buang-buang waktu lagi," ajak Pandan Wangi
Mereka bergegas berlompatan naik
ke punggung kuda masing-masing. Tapi belum juga kuda mereka digebah, mendadak
saja dari balik pepohonan bermunculan orang-orang bersenjata panah yang siap
dilepaskan dari busur. Rangga dan Pandan Wangi jadi saling berpandangan.
Sebentar saja, tempat ini sudah terkepung begitu banyak orang bersenjata
terhunus.
Pandangan mereka kemudian
tertumbuk pada seorang laki-laki tua berjubah biru. Dia juga didampingi empat
orang bersenjata yang beraneka macam bentuknya. Sedangkan orang tua berjubah
biru itu menggenggam tombak pendek bermata dua pada kedua ujungnya. Melihat
senjata di tangan laki-laki tua itu, Rangga langsung bisa mengenali. Terlebih
lagi, di antara mereka terlihat Prabawa yang sempat bertarung sebentar dengan
Pendekar Rajawali Sakti.
"Mereka itu orangnya,
Eyang." bisik Prabawa seraya menatap tajam, penuh dendam pada Pendekar
Rajawali Sakti.
"Hm...," laki-laki
berjubah biru itu hanya menggumam saja.
Laki-laki tua itu mengayunkan
kakinya beberapa tindak ke depan. Sinar matanya begitu tajam, menyorot langsung
ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti yang masih tetap duduk di punggung kuda
hitamnya yang tinggi dan tegap berotot. Rangga turun dari punggung kudanya,
diikuti Pandan Wangi. Kakinya melangkah beberapa tindak ke depan. Sedangkan
Pandan Wangi masih tetap berdiri di depan kudanya yang berbulu putih bersih
bagai kapas.
"Tindakanmu sudah melewati
batas, Anak Muda. Untuk apa membunuh orang-orangku, dan membakar habis tempat
tinggalku?!" terasa dingin sekali nada suara Eyang Gorak yang lebih
dikenal dengan sebutan Iblis Tombak Baja.
"Maaf, aku tidak mengerti
maksudmu, Kisanak," sergah Rangga mencoba ramah.
"Jangan berlagak bodoh kau,
Bocah!" sentak Eyang Gorak sengit.
"Aku rasa di antara kita
tidak ada persoalan," elak Rangga masih dengan suara kalem.
"Kau telah membuat persoalan
denganku, Bocah! Sayang, aku tidak bisa lagi memberimu pengampunan. Kau harus
mati karena telah mencampuri urusanku. Dan aku tidak suka pada orang yang
senang mencampuri urusanku! Kau harus mampus, Pendekar Rajawali Sakti...!"
terdengar lantang suara Eyang Gorak.
Setelah berkata demikian. Eyang
Gorak menjentikkan ujung jarinya, dan secepat itu pula melompat ke belakang.
Maka sekitar dua puluh orang yang sudah mementang panah pada busurnya, melepaskan
anak-anak panah ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Pandan, lepaskan
kuda-kuda...! Hup.... Yeah...!"
Rangga langsung berlompatan di
udara menghindari hujan anak panah yang meluruk deras ke arahnya. Sementara
Pandan Wangi menggebah kudanya, agar pergi jauh dari tempat ini. Kedua kuda itu
meringkik keras. Lalu berlari cepat menerjang kepungan beberapa orang. Tampak
kuda hitam tunggangan Pendekar Rajawali Sakti yang bernama Dewa Bayu sempat
menerjang tiga orang sekaligus, hingga berpelantingan dan tak mampu bangun
lagi.
Sementara Rangga terus
berjumpalitan menghindari serbuan panah yang datang bagaikan hujan di sekitar
tubuhnya. Meskipun tidak menggunakan senjata, tapi kedua tangan Pendekar
Rajawali Sakti bagaikan sepasang senjata yang sangat ampuh dan sukar dicari
tandingannya. Dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', Pendekar Rajawali
Sakti berhasil merontokkan panah-panah yang menghujaninya.
Pada saat yang bersamaan, tampak
empat orang bersenjata golok mencoba meringkus Pandan Wangi. Tapi gadis yang
dikenal berjuluk si Kipas Maut itu bukanlah gadis sembarangan yang bisa mudah
diringkus begitu saja. Sebelum empat orang bersenjata golok itu bisa
menyentuhnya, si Kipas Maut sudah bergerak cepat melepaskan beberapa pukulan
beruntun disertai pengerahan tenaga dalam penuh.
Jeritan-jeritan panjang
melengking tinggi terdengar, disusul ambruknya empat orang yang mencoba
meringkus Pandan Wangi. Mereka bergelimpangan dan tak mampu bangkit kembali.
Mendengar jeritan-jeritan itu. Rangga sempat melirik ke arah kekasihnya. Maka
cepat dia melompat ke arah gadis itu, dan langsung menyambar pinggangnya.
"Auwh...!" Pandan Wangi
terpekik kaget
Dan sebelum Pandan Wangi sempat
menyadari apa yang terjadi. Rangga sudah melesat cepat bagaikan kilat melewati
beberapa kepala yang mengepung tempat ini. Begitu sempurnanya ilmu meringankan
tubuh yang dimiliki Rangga, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap
dari pandangan.
"Setan...! Kejar
mereka..!" perintah Eyang Gorak lantang menggelegar.
***
Rangga baru berhenti berlari
setelah dirasakan cukup aman. Kemudian Pandan Wangi yang berada di atas
pundaknya diturunkan. Gadis itu memberengut kesal dengan tindakan Rangga yang
begitu tiba-tiba.
"Maaf, aku terpaksa."
ucap Rangga mendahului sebelum Pandan Wangi membuka mulutnya.
"Kenapa kau menyambarku? Kau
kan bisa saja mengatakannya, Kakang...?" rungut Pandan Wangi.
"Kenapa...? Apa kau tidak
bisa melihat jumlah mereka, Pandan? Setangguh apa pun ilmu yang kumiliki, tidak
akan mungkin bisa melawan mereka semua. Jumlah mereka sama besarnya dengan satu
pasukan prajurit. Dan lagi, mereka orang-orang yang berpengalaman dalam
pertarungan seperti itu. Dan aku tidak sudi mati konyol tanpa menggunakan
otak!"
Pandan Wangi jadi terdiam melihat
Rangga tampak begitu berang. Padahal, Rangga belum pernah terlihat seberang
ini. Sungguh sulit dimengerti, apa yang membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi
berang seperti ini.
"Maafkan, Pandan. Tidak
seharusnya aku berkata kasar padamu," ucap Rangga menyesali kekasarannya
barusan.
"Apa sebenarnya yang terjadi
padamu. Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Ayo kita pergi dari
sini," ajak Rangga menghindari pertanyaan Pandan Wangi.
Pandan Wangi bergegas melangkah
mengikuti Pendekar Rajawali Sakti yang sudah berjalan lebih dahulu. Ayunan
kakinya disejajarkan di samping pemuda itu. Pandan Wangi merasa ada sesuatu
yang terjadi dalam diri Rangga, sehingga jadi begitu berang tampaknya. Tapi,
Rangga sendiri sepertinya tidak ingin membicarakan. Sedangkan Pandan Wangi
tidak mau Rangga berubah tanpa diketahui sebabnya.
"Kakang...," Pandan
Wangi mencoba bicara lagi.
Rangga menghentikan ayunan
kakinya. Dipandanginya Pandan Wangi dalam-dalam. Sedangkan gadis itu jadi diam
dan balas memandang mata Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata kecemasan.
Entah apa yang dicemaskannya.
"Kita harus secepatnya
menemui Swani, Pandan. Sebelum Iblis Tombak Baja berhasil menemukannya, atau
Swani yang mendatanginya," ujar Rangga, agak dalam suaranya.
"Kau mencemaskannya.
Kakang...?" agak tertahan suara Pandan Wangi.
"Ya," sahut Rangga tegas.
"Kenapa...?"
"Karena dia selalu
menggunakan Jurus "Seribu Racun Ular Berbisa' yang belum sempurna. Dan itu
sangat membahayakan dirinya sendiri," Rangga mencoba menjelaskan.
"Aku tidak mengerti
maksudmu, Kakang..."
"Aku tahu. Jurus itu
bersumber dari Satria Naga Emas. Tapi, sangat berbahaya bagi siapa saja yang
menggunakan sebelum bisa menyempurnakannya pada tingkat terakhir. Paling tidak
dibutuhkan kekuatan tenaga dalam yang sangat besar, dan harus sempurna. Dan
bila hal ini tidak dimiliki Swani, sedikit demi sedikit tenaga dalamnya akan
dimakan jurus itu. Bahkan bukan tidak mungkin seluruh kepandaian yang
dimilikinya akan terkuras habis. Lain halnya kalau Swani sudah
menyempurnakannya. Maka jurus itu bisa membuat kekuatan dan kepandaiannya menjadi
berlipat ganda. Itu sebabnya, kenapa Satria Naga Emas tidak mau menurunkannya
padaku. Karena jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa' sangat berbahaya. Bukan saja
untuk lawan, tapi juga untuk diri sendiri. Hanya orang yang memiliki tenaga
dalam tingkat sempurna saja yang bisa menguasainya. Sedangkan Swani, masih
beberapa tingkat lagi untuk mencapai kesempurnaan." panjang lebar Rangga
menjelaskan tentang jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa' yang sekarang ini sering
digunakan Swani, dalam setiap pertarungannya dalam membalas kematian ayahnya.
Pandan Wangi jadi terdiam.
Sungguh tidak disangka kalau hal itu yang menjadi beban pikiran Rangga.
"Kau tadi dengar sendiri.
Pandan, Si Iblis Tombak Baja sudah mengenalku. Dan yang pasti, dia sudah tahu
tentang jurus yang sekarang dimiliki Swani. Dan dia juga tahu kelemahan jurus
itu. Kalau Swani, sampai bertemu dengannya, pasti Swani akan dipaksa untuk
mengerahkan seluruh kemampuan jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa'. Dan itu akan
membahayakan jiwa Swani sendiri. Dia bisa mati tak bertenaga lagi, karena jurus
itu menyedot habis seluruh tenaga dan kepandaiannya," sambung Rangga
menjelaskan lagi.
"Lalu, apa yang harus kita
lakukan sekarang...?" tanya Pandan Wangi sudah bisa mengerti kekhawatiran
yang ada di hati Pendekar Rajawali Sakti.
"Seharusnya, tawaran Pertapa
Goa Ular waktu itu kuterima saja. Kalau ilmu-ilmunya diturunkan padaku, tentu
bisa kusimpan dan tidak kugunakan sama sekali. Atau mungkin bisa kusempurnakan.
Jadi, dia tidak perlu menurunkannya pada orang lain secara tanggung seperti
itu," nada suara Rangga terdengar mengeluh.
"Aku yakin, Pertapa Goa Ular
tidak bermaksud mencelakakan Swani, Kakang. Mungkin karena serangan anak buah
Iblis Tombak Baja saja yang membuatnya terpaksa harus meninggalkan Swani dalam
keadaan tanggung seperti itu," timpal Pandan Wangi, tidak ingin Rangga
menyesali diri.
"Kau benar, Pandan. Setelah
urusan ini selesai, aku akan mengantarkan Swani mencari Pertapa Goa Ular. Jurus
itu harus bisa disempurnakannya, atau ditinggalkan sama sekali," tegas Rangga.
Mereka terdiam untuk beberapa
saat. Pandan Wangi menundukkan kepala, sebentar kemudian mengangkat lagi
kepalanya. Langsung ditatapnya bola mata Pendekar Rajawali Sakti.
"Maafkan aku, Kakang,"
ucap Pandan Wangi pelan. Begitu pelannya sehingga hampir tidak terdengar.
"Kenapa kau minta maaf
padaku. Pandan?" tanya Rangga tidak mengerti.
"Aku tadi sudah berpikir
yang bukan-bukan tentang..."
"Ah, sudahlah...,"
potong Rangga cepat. "Yang penting sekarang, kau bisa mengerti arti dari
persaudaraan."
"Aku paham, Kakang."
"Aku sudah berjanji pada
ayah Swani untuk melindunginya jika terjadi sesuatu padanya. Dan janji itu
harus kulaksanakan sekarang, Pandan. Terlebih lagi, sekarang ini Swani berada
dalam kesulitan. Maka aku tidak bisa berpangku tangan saja menyaksikan semua
ini," kata Rangga lagi meminta pengertian Pandan Wangi.
"Aku mengerti, Kakang.
Maafkan...." ucap Pandan Wangi lagi.
Rangga tersenyum dan merengkuh
gadis itu ke dalam pelukannya. Beberapa saat mereka berpelukan, kemudian
kembali melanjutkan perjalanan mencari Swani yang kini entah berada di mana.
Tapi, arah yang mereka tuju jelas ke Hutan Goa Ular yang tidak seberapa jauh
lagi dari tempat ini.
***
Matahari sudah berada di atas
kepala ketika Rangga dan Pandan Wangi sampai di Goa Ular yang sudah hancur
berantakan. Setiap jengkal daerah itu dijelajahi. Tapi, tetap saja tidak
menemukan seorang pun di sana. Apalagi untuk menemukan Swani. Sama sekali tidak
terlihat tanda-tanda dia berada di sekitar Goa Ular ini.
Setelah yakin kalau Swani tidak
berada di tempat ini, Rangga mengajak Pandan Wangi ke Desa Menjangan. Untuk ke
sana, perlu setengah hari perjalanan kalau tidak menunggang kuda. Tapi dengan
ilmu lari cepat yang dipadu ilmu meringankan tubuh, mereka bisa lebih cepat
sampai di Desa Menjangan. Dan sebelum matahari terbenam, kedua pendekar muda Ku
sudah sampai di desa yang selalu ramai seperti tak ada waktu beristirahat.
"Desa ini terlalu luas dan
ramai, Kakang. Rasanya seperti mencari jarum di dalam tumpukan Jerami,"
desis Pandan Wangi, agak berbisik suaranya.
"Apa pun rintangannya, Swani
harus ditemukan lebih dahulu, Pandan," kata Rangga mantap.
"Aku benar-benar tidak
mengerti, kenapa Swani meninggalkan kita, Kakang...?" tanya Pandan Wangi
seperti untuk diri sendiri.
"Aku rasa, dia tidak suka
bila ada orang yang menghalangi keinginannya dalam membalas dendam," sahut
Rangga.
"Jadi, dia menganggap kita
penghalang...?"
"Mungkin," sahut Rangga
agak mendesah. "Cukup lama aku mengenalnya. Dan Swani juga sudah tahu
watak-watakku."
"Seharusnya, dia tidak perlu
bersikap seperti itu. Toh, kita bukannya ingin menghalangi, tapi malah ingin
membantu menyelesaikan persoalannya."
"Wataknya sangat keras.
Tidak jauh berbeda dengan ayahnya. Apa yang sudah menjadi tekadnya, harus dilaksanakan. Tidak dipedulikan lagi rintangan yang akan dihadapi, walaupun harus nyawa yang jadi taruhannya."
Tidak jauh berbeda dengan ayahnya. Apa yang sudah menjadi tekadnya, harus dilaksanakan. Tidak dipedulikan lagi rintangan yang akan dihadapi, walaupun harus nyawa yang jadi taruhannya."
Mereka terus melangkah menyusuri
jalan tanah berdebu yang membelah Desa Menjangan seperti menjadi dua bagian.
Apa yang dikatakan Pandan Wangi memang benar. Tidak mudah menemukan Swani di
desa yang selalu ramai seperti ini. Bahkan sampai matahari tenggelam, Swani
belum juga bisa ditemukan. Sementara keramaian di Desa Menjangan terus saja
berlangsung. Bahkan terlihat semakin semarak saat matahari tenggelam di belahan
bumi bagian Barat.
Sampai lelah mereka berjalan,
tapi tidak juga bertemu Swani. Kedua pendekar muda itu kembali tiba di tepi
desa yang dekat dengan kaki Gunung Menjangan. Sambil menghembuskan napas
panjang. Pandan Wangi menghempaskan tubuhnya di atas rerumputan yang mulai
dibasahi embun. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri memandang ke arah Desa
Menjangan yang terang benderang tersiram cahaya pelita dan obor.
"Ke mana lagi kita harus
mencari, Kakang?" tanya Pandan Wangi lesu.
Rangga hanya diam saja, seperti
tidak mendengar pertanyaan gadis itu. Pandangannya tertuju lurus ke arah Desa
Menjangan. Dari tempat yang cukup tinggi ini, dapat terlihat jelas setiap sudut
desa itu.
"Pandan.... Kau dengar suara
itu...?" agak berbisik suara Rangga.
"Suara apa...?"
pertanyaan Pandan Wangi terputus.
Gadis itu bergegas bangkit
berdiri begitu mendengar suara yang dimaksudkan Rangga. Sejenak mereka
menajamkan telinga, mencoba mendengarkan suara yang hampir tidak terdengar itu.
Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka cepat melesat mempergunakan ilmu meringankan
tubuh.
Begitu cepatnya mereka berlari,
sehingga sebentar saja sudah sampai di tempat asal suara yang didengar. Kedua
pendekar muda itu berhenti berlari ketika melihat seorang laki-laki tua tengah
bertarung, dikeroyok sekitar tiga puluh orang yang semuanya bersenjatakan
golok. Tampak jelas sekali kalau orang tua itu terdesak hebat.
"Pertapa Goa Ular...,"
desis Rangga mengenali orang tua itu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
Rangga cepat melompat terjun ke dalam pertempuran. Pukulannya langsung melayang
beruntun, menghajar pengeroyok laki-laki tua itu. Jeritan-jeritan panjang
melengking tinggi seketika terdengar, disusul bertumbangannya tubuh-tubuh yang
mengeroyok Pertapa Goa Ular.
"Hiyaaat..!"
Pandan Wangi juga tidak mau
ketinggalan. Gadis itu ikut terjun ke dalam pertempuran ini. Kipas Maut
andalannya berkelebat cepat menghajar orang-orang bersenjata golok itu.
Kedatangan Rangga dan Pandan Wangi, tentu saja membuat mereka jadi kalang
kabut. Terlebih lagi dalam waktu sebentar saja, sudah hampir sebagian dari
mereka bergelimpangan tak bernyawa. Melihat banyak teman yang tewas, para
pengeroyok segera berlarian kabur meninggalkan pertarungan.
Rangga bergegas menghampiri
Pertapa Goa Ular yang tampak kepayahan, berdiri bertopang pada sebatang pohon.
Sinar matanya begitu redup saat menatap Pendekar Rajawali Sakti. Sementara
Pandan Wangi baru menghampiri setelah menyelesaikan pertarungannya.
"Eyang...," ucap
Rangga, terputus suaranya.
"Biarkan aku, Rangga."
sergah Pertapa Goa Ular.
Laki-laki tua itu duduk di bawah
pohon. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti ikut duduk di depannya. Pandan Wangi
juga duduk di samping kekasihnya. Beberapa saat mereka terdiam. Tampak jelas
sekali kalau sorot mata Rangga seperti tidak percaya melihat Pertapa Goa Ular
begitu kepayahan menghadapi begundal-begundalnya Iblis Tombak Baja, yang
rata-rata hanya berkepandaian rendah. Seharusnya, tiga puluh orang pengeroyok
tidak ada artinya bagi seorang tokoh tua seperti Pertapa Goa Ular ini. Tapi apa
yang disaksikan Rangga, membuatnya tidak percaya.
"Eyang terluka...?"
tanya Rangga.
"Tidak," sahut Pertapa
Goa Ular. "Terima kasih atas bantuan kalian "
"Tapi..."
"Kau anak angkat Satria Naga
Emas. Pasti tahu, kenapa aku bisa sampai begini. Bahkan hampir mati oleh para
begundal itu," potong Pertapa Goa Ular cepat
"Aku mengerti, Eyang. Tapi
kenapa kau tetap melakukannya...?" Rangga masih meminta penjelasan keadaan
Pertapa Goa Ular itu.
"Rangga. Kau tentu tahu
keburukan-keburukan jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa'...." kata Pertapa
Goa Ular.
"Ya, aku tahu," sahut
Rangga seraya mengangguk.
"Aku sudah terlalu tua untuk
bisa menyempurnakannya dengan baik. Jurus itu memang sangat dahsyat, dan sulit
dicari tandingannya. Kau ingat ketika kita bertarung, Rangga?"
Rangga hanya mengangguk saja.
"Aku ingin mengangkatmu
menjadi murid, karena kau punya harapan besar bisa menyempurnakan jurus 'Seribu
Racun Ular Berbisa'. Terlebih lagi, kau adalah anak angkat Satria Naga Emas.
Jadi pasti kau sudah mengenal betul akan setiap watak jurus-jurus dan ilmu
kesaktiannya. Tapi, rupanya kita memang tidak berjodoh. Dan aku
terpaksa...," Pertapa Goa Ular memutuskan pembicaraannya.
"Maafkan aku, Eyang.
Bukannya aku tidak ingin diangkat menjadi muridmu. Tapi, aku tidak ingin
mencelakakanmu. Aku sendiri, sebenarnya sudah tidak mau bertarung ketika kau
mengerahkan Jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa'," kata Rangga bisa memahami.
"Kau seorang pendekar arif
dan bijaksana, Rangga," puji Pertapa Goa Ular tulus.
"Aku mohon maaf telah
mengecewakanmu. Eyang," ucap Rangga.
"Tidak, Rangga. Tidak perlu
kau ucapkan itu. Lagi pula, aku tidak kecewa. Aku sudah mempunyai pengganti
yang cukup berbakat."
"Swani....?"
***
TUJUH
"Rupanya kau sudah tahu
tentang gadis itu. Rangga," kata Pertapa Goa Ular.
Rangga hanya menganggukkan kepala
saja.
"Gadis yang malang, tapi
memiliki semangat dan bakat yang besar. Aku benar-benar menyukainya, itu
sebabnya, dia kupilih menjadi muridku. Tapi tidak kusangka akan begini jadinya.
Sementara apa yang kuberikan masih begitu tanggung. Ohhh.... Aku telah
mencelakakannya, tanpa dia sadari," terdengar mengeluh nada suara Pertapa
Goa Ular.
"Belum terlambat untuk
menolongnya. Eyang," ujar Rangga, membesarkan hati orang tua ini.
"Aku khawatir, dia tidak
bisa bertahan lama. Sedangkan aku sendiri sudah begitu lemah. Sampai-sampai,
aku tidak mampu lagi menghadapi begundal-begundal itu. Kau tahu, Rangga. Silat
jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa' tidak jauh berbeda dari belalang. Induknya
langsung mati setelah menitiskan keturunan. Sedangkan sebagian jurus sudah
kuturunkan pada Swani. Hanya tinggal sedikit lagi kekuatanku yang tersisa.
Tapi, itu tidak membantu Swani. Bahkan bisa mencelakakannya kalau jurus itu
tidak segera disempurnakan," kata Pertapa Goa Ular lagi
"Aku sudah tahu semuanya,
Eyang. Aku juga tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk padanya," kata Rangga.
"Kau sudah bertemu
dengannya?" tanya Pertapa Goa Ular.
"Kemarin. Tapi dia pergi
secara diam-diam semalam. Aku tidak tahu, di mana dia kini berada," sahut
Rangga.
"Oh, sayang sekali,"
desah Pertapa Goa Ular sedikit mengeluh.
"Aku berjanji akan terus
mencari dan membawanya padamu, Eyang," tegas Rangga.
"Aku percaya kau akan
melakukan itu, Rangga. Tapi yang lebih penting, Swani harus bisa dijauhkan dari
si Iblis Tombak Baja." pesan Pertapa Goa Ular.
"Oh, ya. Di mana tempat tinggalmu
sekarang?" tanya Pandan Wangi yang sejak tadi diam saja.
"Benar, Eyang. Kami lihat
tempat tinggalmu sudah hancur, dan tak mungkin ditempati lagi," sambung
Rangga.
"Aku sekarang memang tidak
punya tempat tinggal lagi. Anak buah Iblis Tombak Baja telah menghancurkan
tempat tinggalku. Dia memang sudah lama ingin menghancurkanku. Tapi, baru
sekarang bisa terlaksana setelah sebagian kekuatanku lenyap. Bahkan sekarang
ini aku benar-benar tidak punya daya lagi. Kau bisa lihat sendiri, bagaimana
aku kewalahan hanya dalam menghadapi begundalnya saja," pelan sekali suara
Pertapa Goa Ular.
Sebentar Pertapa Goa Ular
terdiam. Dihembuskannya napas panjang, untuk melonggarkan rongga dadanya yang
terasa jadi begitu sesak. Sedangkan Pandan Wangi dan Rangga hanya diam saja
memperhatikan orang tua pertapa itu.
"Saat berhasil lolos dari
kepungan orang-orang Iblis Tombak Baja, aku terus berusaha mencari Swani.
Beberapa kali aku bentrok dengan mereka. Dan itu semakin menguras tenaga dan
kepandaianku. Rasanya, aku tidak sanggup lagi bertarung jika bertemu mereka.
Aku tidak ingin mati sebelum Jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa' yang kuturunkan
pada Swani kutuntaskan. Kau harus bisa menemukan gadis itu sebelum segalanya
terlambat, Rangga. Jika Swani sampai mati lebih dulu, maka aku juga akan mati
tanpa mewariskan ilmu-ilmu yang kumiliki. Dan kalau aku yang mati lebih dulu,
akan berbahaya akibatnya bagi Swani. Seumur hidup, dia akan menjadi orang yang
paling lemah, tanpa daya sedikit pun," kata Pertapa Goa Ular menjelaskan
lagi.
"Seburuk itukah akibatnya,
Eyang...?" tanya Pandan Wangi tidak menyangka.
"Bisa lebih buruk lagi. Dia
bisa lumpuh seumur hidup."
"Oh...?!" Pandan Wangi
terpekik terkejut si Kipas Maut memandang Rangga yang jadi terdiam dengan
kepala tertunduk Pandan Wangi tidak menyangka kalau akan seburuk itu akibat
Jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa' yang dipelajari jika tidak sampai tuntas dan
sempurna. Suatu ilmu dahsyat, tapi sangat buruk akibatnya jika hanya
mempelajari setengah-setengah. Pantas saja Rangga tidak mau mempelajarinya,
karena Pendekar Rajawali Sakti sudah mengetahui segala akibat dan keburukannya.
Bukan saja bagi diri sendiri, tapi juga bagi orang yang menurunkan ilmu itu.
Tapi kalau bisa menguasai secara sempurna, sangat sukar menandingi jurus itu.
"Pandan Wangi! Sebaiknya kau
tetap bersama Eyang Pertapa. Sementara, aku mencari Swani," ujar Rangga
setelah cukup lama terdiam.
"Swani pasti ke sarang si
Iblis Tombak Baja, Rangga," duga Pertapa Goa Ular.
"Dia sudah ke sana dan
menghancurkannya," selak Pandan Wangi memberi tahu.
"Oh! Benarkah...?!"
Pertapa Goa Ular terkejut mendengarnya.
"Benar, Eyang," sahut
Rangga.
"Ah.... Dia benar-benar
dalam bahaya sekarang. Sayang, aku tidak punya daya lagi untuk menolongnya,"
keluh Pertapa Goa Ular.
"Jangan pikirkan itu, Eyang.
Sekarang, yang penting Eyang dan Pandan Wangi ke puncak Bukit Menjangan. Aku
berjanji akan membawa Swani dengan selamat padamu," tegas Rangga.
"Terima kasih, Rangga. Aku
percaya, kau pasti bisa mengatasi kesulitan ini," ujar Pertapa Goa Ular.
"Sebaiknya, Eyang berangkat
sekarang. Aku yakin, tidak lama lagi mereka pasti akan datang ke sini. Akan
buruk akibatnya." ujar Rangga lagi.
"Mari, Eyang...," ajak
Pandan Wangi.
Pandan Wangi membantu Pertapa Goa
Ular berdiri. Sebentar mereka saling berpandangan. Pertapa Goa Ular menepuk
pundak Pendekar Rajawali Sakti dan tersenyum dengan bibir bergetar, kemudian
melangkah diikuti Pandan Wangi. Sementara Rangga masih berdiri memandangi
kepergian mereka. Pendekar Rajawali Sakti baru beranjak pergi setelah Pandan
Wangi dan Pertapa Goa Ular sudah tidak terlihat lagi.
***
Sementara di bagian sebelah Timur
Bukit Menjangan, tampak Eyang Gorak yang lebih dikenal berjuluk Iblis Tombak
Baja, tengah berdiri termangu memandangi tempat tinggalnya yang hancur rata
dengan tanah. Asap masih mengepul di beberapa tempat dari reruntuhan bangunan
yang hangus terbakar itu. Sedangkan empat orang pembantu dan
pengikut-pengikutnya hanya memandangi saja, tak ada yang sanggup mengeluarkan
suara.
Eyang Gorak mencabut sebuah
bintang hitam yang menancap di pohon di dekatnya. Diamatinya benda berbentuk
bintang hitam itu dalam-dalam, lalu digenggamnya kuat-kuat. Tampak otot-otot
tangannya bersembulan keluar, dan gerahamnya bergemeletuk menahan kemarahan.
Asap tipis terlihat mengepul di tangannya yang mengepal kuat.
Perlahan laki-laki tua berjubah
biru itu membuka kepalan tangannya. Tampak benda hitam yang tadi berbentuk
bintang kini sudah hancur lebur menjadi serbuk hitam yang mengepulkan asap.
Serbuk hitam itu menyebar terbawa angin. Eyang Gorak memutar tubuhnya
perlahan-lahan, lalu memandangi pembantu utamanya yang tinggal empat orang
lagi. Pandangannya terus beredar kepada para pengikut-nya yang duduk bersila di
sekitar tempat itu.
"Kalian tahu, berapa tahun
aku membangun Partai Tombak Baja...?" agak lantang dan tertahan suara
Eyang Gorak. "Seluruh sisa hidupku tercurah untuk kebesaran Partai Tombak
Baja. Aku tidak ingin partai yang kubangun bertahun-tahun hancur begitu saja.
Maka kalian harus bisa menangkap si keparat itu hidup atau mati! Aku bersumpah,
siapa saja di antara kalian yang bisa membawa kepalanya ke sini, akan kuangkat
menjadi wakilku!"
Kata-kata Eyang Gorak disambut
gemuruh dan gegap gempita. Mereka semua langsung berdiri sambil mengacungkan
senjata masing-masing ke atas kepala dan berseru nyaring mendukung ucapan si
Iblis Tombak Baja. Eyang Gorak begitu bangga melihat kesetiaan para pengikutnya,
meskipun partai yang dibanggakan dan dibangun susah payah selama bertahun-tahun
kini telah hancur menjadi puing berserakan
"Pergilah kalian sekarang.
Aku tidak peduli dengan semua yang kalian lakukan. Aku hanya ingin si keparat
itu sampai di sini!" kata Eyang Gorak lagi, lebih lantang suaranya.
"Aku sudah di sini, Iblis
Tombak Baja...!"
"Heh...?!" Semua orang
yang ada cli tempat itu terkejut bukan main begitu tiba-tiba terdengar suara
lantang, keras menggema. Dan belum lagi hilang rasa keterkejutan mereka,
tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan merah muda. Dan tahu-tahu, di depan
mereka sudah berdiri seorang gadis berbaju merah muda. Wajahnya tertutup cadar
agak tipis, juga berwarna merah muda. Sebilah pedang tampak tersampir di
punggungnya.
Eyang Gorak langsung menggerakkan
tangan kanannya yang menggenggam tombak pendek bermata dua pada kedua ujungnya
ke atas kepala. Dan seketika itu juga, semua orang pengikutnya bergerak cepat
mengepung gadis berbaju merah muda itu. Kepungan mereka begitu ketat, sehingga
tak ada lagi celah bagi orang itu untuk meloloskan diri.
"Kau terlalu berani muncul
di sini, Bocah Keparat! Tunjukkan, siapa dirimu yang sebenarnya...?!"
desis Eyang Gorak menggeram berang.
"Aku Dewi Goa Ular yang akan
menghentikan semua perbuatanmu, Iblis Tombak Baja!" terdengar lantang
suara gadis bercadar merah muda itu.
"Biar aku yang membekuknya,
Eyang," ujar seorang laki-laki berusia setengah baya yang membawa senjata
berupa rantai baja putih, berbandul tiga buah bola besi berduri.
"Hati-hatilah, Pralaya.
Kalau dia memang benar berasal dari Goa Ular, senjatanya yang beracun harus kau
hindari," kata Eyang Gorak.
"Dia akan menyesal muncul di
sini, Eyang," kata laki-laki yang dipanggil Pralaya itu pongah.
"Hup...!"
Pralaya langsung melompat
menghampiri gadis bercadar merah muda yang mengaku bernama Dewi Goa Ular itu.
Ringan sekali gerakannya, pertanda kepandaiannya cukup tinggi. Kemudian, dia
mendarat sekitar lima langkah di depan Dewi Goa Ular.
"Tunjukkan kepandaianmu,
Bocah!" dengus Pralaya dingin.
"Jangan banyak omong! Serang
saja kalau mau mampus!" dengus Dewi Goa Ular.
"Setan...! Belum pernah aku
ditantang oleh bocah ingusan!" geram Pralaya.
Wut! Cring!
Cepat sekati Pralaya mengebutkan
senjatanya, maka tiga buah bola besi berduri yang dihubungkan dengan rantai
baja itu meluruk deras ke arah Dewi Goa Ular. Tapi, tangkas sekali gadis
bercadar merah muda itu melompat ke samping. Sehingga, tiga bola besi berduri
itu menghunjam tanah kosong. Begitu kerasnya, sehingga tanah itu terbongkar,
menimbul-kan kepulan debu yang membumbung tinggi ke udara.
"Hiyaaa...!"
Pralaya kembali mengebutkan cepat
senjatanya sehingga Dewi Goa Ular terpaksa harus berjumpalitan menghindari
bola-bola besi berduri yang berkelebatan di sekitar tubuhnya. Senjata berduri
itu bagaikan memiliki mata saja, sehingga selalu dapat mengejar ke mana saja si
Dewi Goa Ular menghindar.
"Hap!"
Tiba-tiba saja Dewi Goa Ular
mengatupkan kedua tangannya ke depan dada ketika senjata Pralaya meluruk deras
ke arah dadanya. Sedikit pun dia tidak berusaha menghindar. Dan bersamaan
dengan itu. cepat sekali Dewi Goa Ular menghentakkan tangannya ke depan sambil
berteriak keras menggelegar.
"Yeaaah...!" Wusss...!
Tiga buah benda hitam berbentuk
bintang tiba-tiba melesat cepat dari kedua telapak tangan gadis bercadar merah
muda itu. Senjata rahasia itu langsung menghantam tiga buah bola berduri yang
tengah meluruk deras ke arahnya. Pralaya terkejut setengah mati, dan tak sempat
lagi menarik pulang senjatanya.
Glarrr...! Ledakan keras
terdengar dahsyat menggelegar. Bukan hanya Pralaya yang terbeliak jadinya.
Bahkan juga Eyang Gorak dan semuanya yang ada di tempat itu jadi terlongong
melihat senjata bola besi berduri itu hancur berkeping-keping terkena sambaran
senjata bintang hitam yang dilepaskan Dewi Goa Ular.
"Mampus kau sekarang,
Keparat! Hiyaaat..!"
Sebelum ada yang bisa
menghilangkan keter-kejutannya, bagaikan kilat Dewi Goa Ular melompat menerjang
sambil melepaskan satu pukulan keras menggeledek bertenaga dalam tinggi. Begitu
cepat serangannya sehingga Pralaya tidak sempat lagi berbuat sesuatu.
Des! Prak! "Aaa....!
Begitu dahsyatnya pukulan yang
dilepaskan Dewi Goa Ular, sehingga kepala Pralaya yang terkena pukulan,
seketika pecah berantakan. Darah kontan muncrat berhamburan bersama kepingan
kepala yang hancur bagai batok kelapa terhantam batu. Sebentar Pralaya masih
mampu berdiri, kemudian ambruk menggelepar di tanah meregang nyawa. Hanya
sebentar saja dia menggelepar, kemudian meregang kaku dan diam tak bernyawa
lagi.
"Setan keparat...!"
geram Eyang Gorak berang melihat seorang lagi pembantunya tewas.
"Beri aku kesempatan,
Eyang," pinta seorang laki-laki setengah baya lagi sambil mendengus geram.
Eyang Gorak berpaling menatap
laki-laki separuh baya yang menyandang sebilah golok berukuran sangat besar,
yang salah satu sisinya bergerigi seperti gigi ikan. Tubuhnya tinggi besar,
dengan otot-otot bersembulan kekar dan berkilat oleh keringat. Dia tidak mengenakan
baju, sehingga bentuk tubuhnya yang kekar dan berotot terlihat jelas.
"Buat dia sedikitnya
mengeluarkan lima jurus. Anggora." ujar Eyang Gorak.
"Baik, Eyang," sahut
Anggora mantap.
"Hup! Yeaaah.....!
Anggora tidak banyak bicara.
Langsung diserangnya Dewi Goa Ular dengan jurus-jurus permainan goloknya yang
dahsyat luar biasa. Setiap tebasan menimbulkan suara angin menderu bagai badai
topan. Sama sekali gadis bercadar merah muda itu tidak diberi kesempatan untuk
balas menyerang.
"Anggora, beri dia
kesempatan!" teriak Eyang Gerak tidak puas melihat cara bertarung
pembantunya.
"Hup!"
Anggora cepat melompat mundur
begitu mendengar teriakan Eyang Gorak. Goloknya dilintangkan di depan dada
dengan senyuman sinis tersungging di bibir yang tebal. Sorot matanya begitu
tajam, menatap lurus ke bola mata gadis bercadar merah muda itu.
"Ayo serang aku,
Bocah," desis Anggora menantang.
"Hhh! Kau memancingku. Baik.
Aku tahu, apa yang kalian semua inginkan. Bersiaplah jika ingin menyusul
temanmu ke neraka," desis Dewi Goa Ular dingin.
Sret!
Setelah berkata demikian. Dewi
Goa Ular langsung bersiap mencabut pedangnya. Perlahan pedangnya ditarik dan
disilangkan di depan dada. Tatapan sinar matanya begitu tajam menusuk. Perlahan
sekali kakinya bergerak menggeser ke kanan beberapa langkah. Lalu kaki kanannya
diletakkan di depan, dan tubuhnya sedikit direndahkan dengan lutut tertekuk.
Tangan kirinya segera menjulur lurus ke depan. Sementara, pedangnya sudah
diletakkan di atas kepala. Ujung pedang tampak tertuju ke depan, sejajar dengan
pandangan matanya.
"Jurus 'Seribu Racun Ular
Berbisa'...," desis Eyang Gorak, mengenali gerakan Dewi Goa Ular.
Gadis bercadar merah muda itu
memang tengah mempersiapkan Jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa', yang begitu
terkenal kedahsyatannya. Tentu saja Eyang Gorak sudah bisa mengenali jurus itu,
karena sudah beberapa kali bentrok melawan Pertapa Goa Ular yang memang
menguasai jurus itu sudah bertahun-tahun lamanya. Si Iblis Tombak Baja juga
mengetahui kelemahan jurus yang sangat dahsyat itu. Juga, semua keburukan jurus
maut itu.
"Anggora, mundur
kau...!" seru Eyang Gorak.
"Hiyaaat..!"
Tapi Dewi Goa Ular sudah lebih
dahulu melompat menyerang Anggora. Hal ini membuat Eyang Gorak terkejut. Maka
cepat-cepat tubuhnya melenting dan mengebutkan tombak mautnya ke arah pedang
Dewi Goa Ular yang tertuju lurus ke arah dada Anggora.
Trang!
"Hup!" Dewi Goa Ular
cepat melesat ke udara, dan ber-putaran beberapa kali begitu pedangnya
membentur senjata Iblis Tombak Baja. Sehingga, dia gagal menebas dada Anggora
yang masih terkesiap melihat kedahsyatan Jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa'.
"Menyingkir kau...!"
sentak Eyang Gorak begitu mendarat di depan Anggora.
Tanpa diperintah dua kali,
Anggora bergagas menarik kakinya ke belakang menjauhi tempat pertarungan.
Sementara Dewi Goa Ular sudah menjejakkan kakinya kembali di tanah.
"Curang..!" dengus Dewi
Goa Uar sengit
"Dari mana kau mendapatkan
Jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa' itu?! Dan siapa kau sebenarnya,
Nisanak?!" tanya Eyang Gorak, lantang suaranya.
Kau tidak perlu tahu, siapa aku
dan dari mana aku mendapatkan jurus itu, Iblis Tombak Baja. Kalau kau ingin
mencoba, majulah...!" sahut Dewa Goa Ular
"Aku tahu siapa pemilik
jurus itu, Nisanak. Dan aku tahu kalau kau belum sempurna memilikinya. Hm Kau
akan menyesal, Nisanak," kata Eyang Gorak, agak menggumam suaranya.
Bet!
Eyang Gorak cepat mengebutkan
tombak pendek yang bermata dua pada kedua ujungnya, sehingga melintang di depan
dada. Perlahan kakinya bergeser ke depan beberapa langkah menyusuri tanah.
Sedangkan Dewi Goa Ular sudah kembali bersiap dengan Jurus 'Seribu Racun Ular
Berbisa' Tapi, mendadak saja kepalanya tergeleng-geleng.
Entah kenapa, tiba-tiba saja
kepala Dewi Goa Ular terasa begitu pening, dan pandangannya langsung
berkunang-kunang. Keringat sebesar-besar jagung seketika menitik di keningnya.
"Oh! Kenapa aku jadi
begini...?" keluh Dewi Goa Ular dalam hati
"Hiyaaat...!
Belum juga Dewi Goa Uar menyadari
apa yang terjadi pada carinya yang begitu tiba-tiba. Iblis Tombak Baja sudah
melompat melakukan serangan cepat dan dahsyat. Bagaikan kaat serangan itu
dilakukan, dan satu ujung tombaknya yang bermata dua di kabulkan lurus ke arah
dada gadis bercadar merah muda itu.
"Ikh...!"
Dewi Goa Ular cepat cepat
mengebutkan pedangnya ke depan dada untuk menangkis tebasan tombak bermata dua
itu. Tak petak lagi dua senjata berpamor dahsyat beradu keras di depan dada.
Seketika timbullah ledakan dahsyat menggelegar disertai percikan bunga api ke
segala arah.
"Hup!"
Dewi Goa Ular cepat-cepat
melentingkan tubuh ke belakang. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, tubuhnya
jadi limbung. Beberapa kali kepalanya digeleng-gelengkan, mencoba menghilangkan
rasa pening yang tiba-tiba saja menyerang kepala. Dan pandangannya juga jadi
semakin berkunang-kunang. Sementara, Iblis Tombak Baja sudah kembali bersiap
hendak melakukan serangan kembali.
"Mampus kau sekarang, Bocah!
Hiyaaat!"
"Oh! Apa yang terjadi
padaku...?" keluh Dewi Goa Ular dalam hati
Gadis bercadar merah muda itu
benar-benar tidak berdaya lagi menghadapi serangan Iblis Tombak Baja kali ini.
Dia sendiri tidak mengerti, apa yang terjadi padi dirinya. Bahkan untuk
mengangkat pedang saja, sudah tidak sanggup lagi. Sungguh dia tidak tahu,
tiba-tiba saja tenaganya jadi hilang tanpa disadari terlebih dahulu.
Sedangkan ujung tongkat Ibas
Tombak Baja sudah meluruk deras, lurus ke arah dadanya. Dewi Goa Ular mencoba
mengangkat tangannya yang memegang pedang, tapi jadi terkejut setengah mati.
Ternyata tangannya sama sekali tidak sanggup digerakkan lagi. Dia hanya berdiri
terpaku dengan bola mata terbenak lebar, menatap ujung tombak bermata dua yang
semakin dekat saja mengarah ke dadanya.
"Oh, mati aku...."
desah Dewi Goa Ular pelan. Tapi begitu ujung tombak bermata dua itu sedikit
lagi menghunjam dada, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan putih menyambar
Dewi Goa Ular. Begitu cepatnya bayangan putih itu berkelebat, sehingga membuat
Iblis Tombak Baja terkejut bukan main. Ujung tombaknya hanya mengenai tempat
kosong, karena tiba-tiba saja Dewi Goa Ular telah lenyap tersambar bayangan
putih tadi.
"Setan..!" geram Iblis
Tombak Baja berang. Laki-laki tua itu jadi cehngukan, karena lawan yang sudah
berada di ujung maut tiba-tiba saja lenyap, bagai benang tertiup angin. Bukan
hanya Eyang Gorak yang terkejut tidak mengerti. Tapi semua orang yang ada di
tempat itu juga jadi kebingungan atas lenyapnya gadis bercadar merah muda yang
tiba-tiba saja, bersamaan dengan kelebatan sebuah bayangan putih. Tak ada
seorang pun yang bisa memastikan, bayangan putih apa yang berkelebat begitu
cepat menyambar si Dewi Goa Ular
"Kenapa kalian bengong
semua...? Ayo cepat kejar! Cari sampai dapat..!" teriak Eyang Gorak keras.
***
DELAPAN
Sementara itu jauh dari sarang
Partai Tombak Baja, sebuah bayangan putih berkelebat cepat menyelusup dari
balik pepohonan yang begitu rapat bagai tak ada jarak untuk dilewati. Dan
bayangan itu baru berhenti setelah merasa cukup jauh dari sarang Partai Tombak
Baja. Ternyata, bayangan putih itu adalah seorang pemuda tampan dan gagah.
Tubuhnya tegap berotot mengenakan baju rompi putih. Lengannya mengepit gadis
berbaju merah muda yang sebagian wajahnya tetutup kain cadar agak tipis
berwarna merah muda
Di kalangan rimba persilatan,
pemuda berbaju rompi putih itu tentu saja sudah sangat dikenal. Dialah Rangga,
yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan gadis berbaju merah muda yang
mengenakan cadar itu adalah Dewi Goa Ular. Rupa-nya, Ranggalah yang menyelamatkan
gadis itu dari hunjaman senjata Iblis Tombak Baja yang terkenal sangat dahsyat
"Kau sudah aman sekarang,
Swani.." kata Rangga seraya menurunkan gadis itu.
Gadis bercadar merah muda itu
menyandarkan punggungnya ke pohon. Sinar matanya begitu redup memandang wajah
tampan di depannya. Perlahan dibukanya cadar merah muda yang menutupi wajahnya.
Di balik cadar itu, ternyata tersembunyi seraut wajah cantik yang tak lain
adalah Swani, putri tunggal Ketua Padepokan Pedang Perak yang tewas di tangan
Iblis Tombak Baja.
"Terima kasih, kau telah
menyelamatkan aku," ucap Swani lirih.
"Di mana pedangmu?"
tanya Rangga melihat sarung pedang di punggung gadis itu dalam keadaan kosong.
"Aku tidak tahu. Mungkin
terjatuh waktu kau menyambarku tadi," sahut Swani, tetap lesu suaranya.
"Kenapa kau kelihatan begitu
pasrah tadi, Swani...?" tanya Rangga lagi.
"Aku sendiri tidak tahu.
Tiba-tiba saja, tenagaku hilang. Bahkan tidak kuat lagi untuk mengangkat
senjata," sahut Swani tampak kebingungan sendiri atas semua yang terjadi
pada dirinya.
"Kau tadi menggunakan jurus
'Seribu Racun Ular Berbisa'?"
"Benar. Sudah beberapa kali
jurus itu kugunakan. Tapi setiap kali menggunakan jurus itu, seluruh tubuhku
selalu lemas, seperti tidak bertenaga lagi. Tapi semua itu akan hilang dengan
sendirinya, dan akan pulih kembali seperti sediakala. Hanya saja...,"
Swani. memutuskan ucapannya.
"Hanya apa, Swani.?"
desak Rangga
"Aku..., aku sendiri tidak
tahu, Kakang. Aku merasa seperti ada satu kekuatan aneh yang menggerakkanku
setiap kali bertarung. Bahkan seringkali tidak bisa mengendalikan diri.
Rasanya, aku begitu ingin membunuh semua lawan-lawanku dengan jurus 'Seribu
Racun Ular Berbisa'," sahut Swani, masih bersikap bingung.
"Hhh...!" Rangga
menarik napas dalam-dalam.
Pendekar Rajawali Sakti tahu
kalau Swani, sudah dipengaruhi jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa'. Suatu
pengaruh yang sangat kuat, dan tidak mudah dilawan dengan kekuatan dan tenaga
dalam serta hawa murni yang belum mencapai kesempurnaan. Dan itu bisa berakibat
parah pada diri Swani sendiri. Tanpa disadari, jurus itu akan membunuh Swani,
secara perlahan-lahan. Tidak mudah bagi Rangga untuk menjelaskan yang
sebenarnya pada gadis ini. Hanya Pertapa Goa Ular saja yang bisa menjelaskan
keburukan Jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa' yang dipelajari secara tanggung
seperti ini.
Dan kini akibat keburukan jurus
itu sudah merasuki diri Swani. Sulit untuk dicegah lagi. Hanya ada satu pilihan
bagi Swani. Mempelajari jurus itu sampai tuntas dan menyempurnakannya, atau
merelakan dirinya termakan jurus itu sampai mati tanpa disadari. Tapi kalau
Swani terus mempelajarinya, itu berarti akan kehilangan gurunya, si Pertapa Goa
Ular yang telah memberikan jurus itu padanya. Dan semua itu juga belum berarti,
kalau Swani tidak menyempurnakannya sendiri.
Paling sedikit memerlukan waktu
lima tahun untuk menyempurnakan jurus itu agar Swani bisa menguasainya secara
sempurna. Maka dia tidak akan terpengaruh lagi oleh keburukan-keburukan jurus
'Seribu Racun Ular Berbisa'. Tapi apakah Swani sanggup melakukannya? Sedangkan
dia masih diliputi dendam pada Iblis Tombak Baja yang telah membunuh ayahnya,
dan menghancurkan padepokan milik ayahnya.
"Ayo kita pergi dari sini,
Swani." ajak Rangga.
Swani mencoba melangkah, tapi
kedua kakinya terasa begitu berat untuk digerakkan. Bahkan jadi limbung, dan
hampir saja jatuh kalau Rangga tidak cepat-cepat menangkapnya.
"Kau tidak apa-apa,
Swani...?" tanya Rangga.
"Aku tidak tahu, Kakang. Aku
merasa begitu lemas sekali. Sepertinya aku akan lumpuh," sahut Swani tidak
mengerti.
Tidak ada yang bisa dilakukan
Pendekar Rajawali Sakti selain memondong gadis itu. Tanpa bicara apa-apa lagi,
dia cepat berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh, menembus lebatnya hutan
di lereng Bukit Menjangan ini. Swani melingkarkan tangannya ke leher Rangga.
Dipandanginya wajah tampan pemuda itu. Dia jadi tidak peduli kalau Rangga
berlari secepat angin dengan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai
tingkat kesempurnaan.
"Mau kau bawa ke mana aku,
Kakang?" tanya Swani.
"Menemui gurumu." sahut
Rangga tanpa menghentikan larinya.
"Guruku..?"
"Iya. Pertapa Goa Ular sudah
menunggumu di puncak Bukit Menjangan ini."
"Dia masih hidup?!"
"Keadaannya tidak jauh
berbeda denganmu. Kau harus tabah dengan segala kemungkinan yang bakal terjadi
nanti."
"Memangnya kenapa, Kakang
?"
Rangga berhenti berlari.
Dipandanginya Swani yang masih berada di dalam pondongannya. Gadis itu juga
memandangi wajah tampan yang begitu dekat, sehingga dengus napas satu sama lain
begitu terasa menerpa kulit wajah. Ada sedikit getaran di hari gadis ini. Tapi,
Swani cepat-cepat membuang getaran itu dari hatinya.
"Aku akan menjelaskannya,
tapi kau harus bisa menerima dengan hati lapang." ujar Rangga
sungguhsungguh.
"Aku sudah mengalami hal
yang terburuk, Kakang," tegas Swani, tegar.
Rangga kembali mengayunkan
kakinya. Dia kini berjalan tanpa mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Pendekar
Rajawali Sakti kemudian menjelaskan semua yang terjadi. Terutama tentang jurus
'Seribu Racun Ular Berbisa'. Sedangkan Swani mendengarkan penuh perhatian. Dia
jadi tertegun begitu mengetahui akibat-akibat buruk dari jurus yang
dipelajarinya. Gadis itu masih tetap membisu, meskipun Rangga sudah
menyelesaikan penjelasannya.
"Apa yang harus kulakukan,
Kakang?" tanya Swani. setelah cukup lama berdiam diri.
"Kau harus menerima segala
keputusan yang diambil Pertapa Goa Ular nanti," sahut Rangga.
"Kalau keputusan yang
diambilnya mengakibatkannya mati?"
"Itu sudah merupakan akibat
yang harus ditanggungnya, Swani. Dan kelak juga akan menurun padamu."
Swani kembali terdiam. Rangga
juga tidak bicara lagi. Memang sulit bagi Swani menerima semua ini. Tapi
semuanya sudah terjadi, dan harus menerimanya dengan hati lapang. Apa yang
sudah terjadi adalah kehendak Dewata, dan Swani tak dapat lagi menolak.
Meskipun, di hati kecilnya hal itu tidak diinginkan.
***
Sudah satu pekan ini Swani dan
Pertapa Goa Ular terkurung di dalam kamar pondok kecil yang dibangun Rangga di
puncak Bukit Menjangan Sementara, Pandan Wangi dan Pendekar Rajawali Sakti
tetap menunggu, tanpa dapat mengetahui apa yang terjadi di dalam ruangan
tertutup tanpa sedikit pun cahaya di dalamnya.
"Berapa lama lagi mereka di
dalam sana, Kakang?" tanya Pandan Wangi sambil menatap ke gubuk kecil yang
sangat sederhana itu.
"Entahlah...," sahut
Rangga agak mendesah. "Kita tunggu saja sampai salah satu di antara mereka
ada yang keluar."
"Kakang, apa kau yakin Iblis
Tombak Baja tidak tahu tempat ini?" tanya Pandan Wangi mengalihkan
pembicaraan.
"Mudah-mudahan saja tidak
ada yang tahu sampai mereka selesai." sahut Rangga. "Tapi...."
Belum juga Pandan Wangi selesai
bicara, tiba-tiba saja melesat sebuah anak panah dari arah belakang mereka.
Rangga cepat menangkap desiran halus anak panah itu, dan cepat sekali tubuhnya
berputar sambil mengebutkan tangan kanannya.
Tap!
Tangkas sekali Pendekar Rajawali
Sakti menangkap anak panah yang datang dari arah belakangnya tadi. Pada saat
itu, dari balik pepohonan tiba-tiba bermunculan orang-orang bersenjata golok
terhunus, diikuti seorang laki-laki tua berjubah biru yang didampingi tiga
orang bertampang bengis. Hanya seorang dari mereka yang kelihatan masih muda
dan cukup tampan wajahnya. Pemuda itu memegang cambuk hitam berduri, dan
mengenakan baju warna kuning agak kemerahan
"Iblis Tombak Baja..."
desis Rangga seraya me-natap tajam laki-laki tua berjubah biru yang me-megang
sebatang tombak pendek bermata dua pada kedua ujungnya.
"He he he.... Tidak ada
tempat bersembunyi lagi untuk kalian. Aku pasti bisa menemukan kalian,
Bocah-bocah Edan...!" dengus Iblis Tombak Baja diiringi tawanya yang
terkekeh.
Rangga menggeser kakinya sedikit
mendekati Pandan Wangi. Tatapan matanya tetap tajam tertuju lurus pada orang
tua berjubah biru yang sudah dikenalnya berjuluk Iblis Tombak Baja. Sedangkan
orang tua itu sudah mengangkat tangannya yang menggenggam tombak pendek bermata
dua pada kedua ujungnya. Sekitar seratus orang bersenjata golok, seketika
bergerak membuat lingkaran mengepung kedua pendekar muda itu
"Kalian tidak mungkin bisa
lolos lagi dariku kali ini. Tikus Keparat!" geram Iblis Tombak Baja.
"Apa yang akan kita lakukan,
Kakang?" tanya Pandan Wangi berbisik.
"Tak ada plihan lain lagi,
Pandan. Gunakan seluruh kemampuanmu yang ada," sahut Rangga, Juga
berbisik.
"Baik, Kakang."
"Serang! Bunuh
mereka...!" perintah iblis Tombak Baja.
Bagaikan guntur di siang bolong,
sekitar seratus orang bersenjata golok berhamburan sambil berteriak-teriak
menyerang kedua pendekar muda itu. Pandan Wangi yang sudah diperingatkan Rangga,
cepat mencabut Kipas Maut andalannya. Gadis itu segera melesat, menyambut
mereka dengan kebutan kipasnya yang begitu cepat dan dahsyat luar biasa.
"Hiyaaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti juga
tidak ingin ketinggalan. Segera dikerahkannya Jurus-jurus dari 'Rangkaian Lima
Jurus Rajawali Sakti'. Teriakan-teriakan menggelegar pembangkit semangat
pertempuran seketika itu juga terdengar bercampur pekik dan jeritan melengking
pembawa kematian. Meskipun jumlah mereka begitu banyak dan mengepung rapat dari
segala arah, tapi tidak mudah mendesak kedua pendekar muda yang memiliki
kepandaian sangat tinggi itu
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali
Sakti melentingkan tubuhnya ke udara, dan melakukan putaran di udara beberapa
kali. Pendekar Rajawali Sakti cepat merentangkan kedua tangan ke samping, lalu
kepalanya mendongak ke atas, memandang langit baru yang bening.
"Suiiit...!
Terdengar siulan nyaring
melengking tinggi menyakitkan telinga. Hanya sekali siulan bernada panjang
melengking tinggi itu terdengar. Dan Rangga sudah meluruk kembali sambil
melontarkan pukulan-pukulan maut Jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang
sangat dahsyat luar biasa. Setiap kali pukulannya terlontar, selalu menimbulkan
korban.
Sementara Pandan Wangi yang
mendengar siulan itu tadi, jadi lebih bersemangat bertarung. Bahkan kini
pedangnya telah dicabut, setelah memindahkan Kipas Maut ke tangan kiri. Gadis
itu tahu kalau siulan itu tadi adalah panggilan untuk Rajawali Putih yang
dikeluarkan Rangga. Dan memang, mereka tidak mungkin bisa bertahan melawan
begini banyak orang yang rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi, serta
berpengalaman dalam segala macam pertarungan.
Setelah pertarungan berjalan
cukup lama, tiba-tiba terdengar suara serak yang begitu keras menggelegar di
angkasa. Iblis Tombak Baja yang tengah menyaksikan pertarungan didampingi tiga
orang pembantunya, jadi terkejut mendengar suara keras menggelegar agak serak
dari angkasa itu. Dan belum lagi hilang rasa terkejut mereka, mendadak saja ...
"Khraaagkh...!"
Dari angkasa tiba-tiba saja
meluncur turun seekor burung rajawali berbulu putih. Ukuran burung rajawali itu
sungguh luar biasa. Rajawali raksasa berbulu putih itu langsung menukik turun,
dan menyambar orang-orang yang mengeroyok kedua pendekar muda itu. Kemunculan
Rajawali Putih tentu saja membuat mereka jadi kalang kabut. Pengeroyok yang
masih bisa kabur, cepat-cepat mengambil langkah seribu. Sedangkan yang tidak
sempat lagi, harus rela menerima nasib diserang burung rajawali raksasa itu.
"Hiyaaa...!"
Rangga yang begitu senang atas
kemunculan Rajawali Putih, capai melompat mendekati Iblis Tombak Baja yang
masih didampingi ketiga pembantu utamanya.
"Bunuh dia...!"
perintah Iblis Tombak Baja.
"Hiyaaat!"
"Yeaaah.....!
"Aku bantu. Kakang!
Hiyaaat!"
Kemunculan Rajawali Putih juga
membuat Pandan Wangi jadi bisa meninggalkan para pengeroyoknya. Dan gadis itu
cepat melompat untuk membantu Rangga yang sudah dikeroyok tiga orang pembantu
Iblis Tombak Baja.
"Kau lawanku. Setan
Busuk!" dengus Pandan Wangi langsung mengebutkan pedang ke arah Prabawa.
Bet! "Eh...?! Hup...!"
Prabawa cepat-cepat melompat
mundur begitu Pandan Wangi tiba-tiba menyerangnya. Untung saja dia cepat
bertindak, sehingga kebutan pedang gadis itu tidak sampai merobek tubuhnya.
Tapi Pandan Wangi tidak berhenti sampai di situ saja. Senjata andalannya terus
dikebutkan cepat dan beruntun, membuat Prabawa terpaksa berjumpalitan
menghindarinya. Tak ada kesempatan sedikit pun baginya untuk menggunakan cambuk
kebanggaannya.
Sementara Rangga yang sudah
menggunakan Pedang Rajawali Sakti, sama sekali tidak mendapat kesulitan
menghadapi dua orang lawan yang tingkat kepandaiannya memang berada jauh di
bawahnya. Sehingga tidak sampai lima jurus, mereka sudah tidak mampu lagi
melawan. Pedang yang mengeluarkan cahaya biru berkilau itu membuat mereka
ambruk tak mampu bangkit lagi
"Hup!" Rangga cepat
melompat mendekati Iblis Tombak Baja. Kakinya mendarat manis sekitar lima
langkah lagi di depan laki-laki tua berjubah biru itu. Ada sedikit kegentaran
di hati Iblis Tombak Baja melihat ke-tangguhan Pendekar Rajawali Sakti. Kakinya
melangkah mundur beberapa tindak, sambil menyilangkan senjata di depan dada.
"Aku benar-benar muak
melihat kelakuanmu, Iblis Tombak Baja. Rasanya tidak ada tempat lagi untukmu di
dunia ini," desis Rangga dingin.
"Jangan banyak omong!
Tahanlah seranganku. Hiyaaat...!"
Iblis Tombak Baja langsung saja
melompat menerjang Rangga. Senjatanya dikebutkan dengan kecepatan bagai kilat
ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti. Tapi Rangga tidak menggeser sedikit pun
juga. Dan begitu ujung tombak bermata dua dekat di depan dadanya, pedangnya
cepat dikebutkan membabat tombak bermata dua itu.
"Yeaaah...!"
Trang! Trak!
"Heh...?!"
Bukan main terkejutnya Iblis
Tombak Baja melihat senjata andalannya terbabat buntung oleh pedang yang
memancarkan cahaya biru berkilauan itu. Sambil mendengus kesal, Eyang Gorak
melompat mundur dan membuang senjatanya. Kemudian, dia melakukan beberapa
gerakan tangan, dan merentangkan kakinya lebar-lebar ke samping.
Trek! Rangga memasukkan pedangnya
kembali ke dalam warangka di punggung. Pendekar Rajawali Sakti memang tidak
pernah menggunakan senjata jika lawannya tidak bersenjata. Melihat iblis Tombak
Baja sudah bersiap mengeluarkan suatu ajian. Pendekar Rajawali Sakti cepat
merentangkan kakinya ke samping.
Pendekar Rajawali Sakti
membungkukkan tubuh sedikit, dan agak doyong ke kanan. Lalu, tubuhnya ditarik
ke kiri sambil kedua telapak tangan dirapatkan di depan dada. Kemudian tubuhnya
kembali bergerak meliuk ke depan, lalu berdiri tegak. Dan begitu tangannya
direntangkan, terlihat cahaya biru menggumpal pada kedua telapak tangannya.
Rangga cepat merapatkan kembali kedua telapak tangannya yang sudah berselimut
cahaya biru menyilaukan.
"Hiyaaat....!
Tiba-tiba saja Iblis Tombak Baja
menghentakkan kedua tangannya ke depan sambil berteriak keras menggelegar.
Tampak dari kedua telapak tangan laki-laki tua berjubah biru itu meluncur
cahaya merah menyala bagai api. Pada saat yang sama...
"Aji "Cakra Buana Sukma'...!
Yeaaah...!"
Cepat sekali Pendekar Rajawali
Sakti menghentakkan kedua tangannya mendorong ke depan. Maka, sinar biru yang
menggumpal di kedua telapak tangannya seketika meluncur deras menyambut cahaya
merah yang keluar dari telapak tangan Iblis Tombak Baja. Dua buah sinar
seketika beradu di titik tengah, menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar.
"Akh...!" Jeritan
melengking agak tertahan kontan ter-dengar. Tampak Iblis Tombak Baja terpental
jauh ke belakang. Dua batang pohon hancur seketika terlanda tubuh laki-laki tua
berjubah biru itu. Tapi Eyang Gorak cepat bisa bangkit kembali. Namun sebelum
melakukan sesuatu, cahaya biru yang masih keluar dari kedua tangan Rangga sudah
meng-hantam, dan langsung menyelimuti seluruh tubuh Iblis Tombak Baja.
"Aaakh...!" Iblis
Tombak Baja menggeliat-geliat sambil menjerit-jerit di dalam selubung sinar
biru terang menyilaukan. Perlahan Eyang Gorak bergerak maju, ditarik kekuatan
yang terpancar dari aji 'Cakra Buana Sukma'. Gerakan-gerakan tubuh Iblis Tombak
Baja semakin melemah, dan teriakannya juga sudah lenyap tak terdengar lagi,
tepat saat semakin dekat tubuhnya dengan Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaah...!" tiba-tiba
saja Rangga berteriak keras menggelegar.
Dan seketika itu juga Pendekar
Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya, begitu jaraknya dengan Iblis
Tombak Baja tinggal selangkah lagi. Begitu Rangga melenting berputar ke
belakang, terdengar ledakan keras dan dahsyat. Tampak tubuh Iblis Tombak Baja
hancur berkeping-keping ber-samaan dengan lenyapnya sinar biru yang
menyelubungi seluruh tubuhnya.
Pada saat yang hampir bersamaan.
Pandan Wangi juga sudah menyelesaikan pertarungannya melawan Prabawa. Gadis itu
berhasil menghentikan perlawanan Prabawa dengan menusukkan pedang ke dada
pemuda itu. Pandan Wangi bergegas menghampiri Rangga yang berdiri tegak
memandangi tubuh Iblis Tombak Baja yang sudah menjadi onggokan debu. Memang
sungguh dahsyat aji 'Cakra Buana Sukma' jika dikerahkan pada tingkat terakhir.
Tubuh manusia bisa hancur jadi debu karenanya.
"Kakang...!"
Rangga dan Pandan Wangi cepat
memutar tubuhnya ketika mendengar suara dari arah belakang. Tampak Swani
berdiri di depan pondok kecil yang agak tersembunyi di antara pepohonan dan
semak. Gadis itu tampak segar, tapi sinar matanya memancarkan kedukaan. Kedua
pendekar muda itu bergegas menghampiri. Mereka tahu apa yang terjadi, meskipun
Swani tidak menjelaskan. Dan memang, bila salah satu muncul, yang satunya lagi
pasti meninggal. Dan itu memang sudah menjadi kenyataan yang harus dihadapi
antara Swani dengan Pertapa Goa Ular.
"Aku harus mencari tempat
untuk menyempurnakan jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa'." kata Swani, agak
perlahan suaranya.
"Aku punya tempat yang cocok
untukmu," selak Pandan Wangi buru-buru.
"Di mana, Pandan?"
tanya Rangga.
"Kau lupa ketika aku juga
harus mempelajari isi Kitab Naga Sewu untuk bisa menguasai Pedang Naga Geni
ini, Kakang. Kau memberiku sebuah tempat yang nyaman dan tak ada gangguan
sedikit pun," Jelas Pandan Wangi
"Ha ha ha...!" Rangga
Jadi tertawa terbahak-bahak. Sungguh Pendekar Rajawali Sakti memang sudah lupa
akan hal itu. Dan memang sudah terlalu lama itu berlangsung. Tapi, rupanya
Pandan Wangi masih juga mengingatnya. Dan tempat yang dimaksudkan Pandan Wangi
adalah sebuah pulau karang yang tidak berpenghuni. Memang, sangat jauh letaknya
dari Bukit Menjangan ini. Bisa memakan waktu satu purnama penuh untuk
menempuhnya.
"Aku akan mengantarkanmu ke
sana," kata Pandan Wangi
"Bisa satu bulan penuh jika
hanya kalian berdua yang ke sana," selak Rangga.
"Maksudmu, Kakang?"
tanya Pandan Wangi
Rangga tidak segera menjawab.
Dipandangnya Rajawali Putih yang mendekam di antara mayat-mayat bergelimpangan.
Pandan Wangi langsung bisa mengerti, tapi juga jadi berkerut keningnya ketika
melihat Swani. Juga tengah memandangi burung raksasa itu.
"Jangan khawatir, Kak
Pandan. Aku pernah menunggangnya sekali bersama Kakang Rangga," jelas
Swani, bisa mengerti jalan pikiran Pandan Wangi
"Oh...," desah Pandan
Wangi tidak menyangka.
"Tapi, sebaiknya kita urus
dulu jasad Pertapa Goa Ular," selak Rangga.
Mereka memang segera menguburkan
Pertapa Goa Ular yang meninggal setelah menurunkan semua ilmunya pada Swani.
Terutama, jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa'. Setelah itu, mereka segera berangkat
ke Pulau Karang dengan menunggang Rajawali Putih.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
BADAI DI LEMBAH TANGKAR
Emoticon