Penduduk Makah memberinya gelar Jagoan Quraisy. Umair bin Wahab al-Jamhi termasuk salah seorang pemimpin orang kafir Quraisy yang menghunus pedangnya untuk menumpas
kaum Muslimin.
Namun di perang Badar, ia mendapat pukulan
yang hebat, karena menderita kekalahan. Orang-orang kafir Quraisy kembali ke Makah dengan kekuatan yang telah
hancur berantakan. Umair bin Wahab meninggalkan anaknya yang tertawan kaum Muslimin.
Pada suatu hari
Umair bercakap-cakap dengan Shafwan bin Umaiyah, pamannya. Shafwan sejak lama memendam rasa
dendam dan benci kepada kaum Muslimin, karena ayahnya, yaitu Umaiyah bin Khalaf telah
menemui ajalnya dalam perang Badar, sedang tulang belulangnya
masih mendekam di sumur tua.
Shafwan dan Umair
berbincang-bincang sama-sama
melampiaskan kebenciannya.
“Demi Tuhan, tak ada gunanya lagi hidup kita setelah peristiwa itu, ” kata Shafwan.
“Paman benar. Dan
demi Tuhan, kalau karena hutang yang belum sempat kubayar, dan keluarga yang kukhawatirkan
akan tersia-sia sepeninggalku, niscaya aku
akan berangkat mencari Muhammad untuk membunuhnya!
Aku mempunyai alasan kuat untuk berbicara dengannya, akan kukatakan, bahwa aku
datang untuk membicarakan anakku yang
tertawan, ujar Umair.
“Biarlah aku yang melunasi hutangmu, akan kutanggung semua keluargamu dan hidup bersama keluargaku. Akan kujaga
mereka seperti keluargaku,” kata Shafwan.
“Nah, kalau begitu
marilah kita simpan rahasia ini untuk kita berdua!” Umair kemudian
mengambil pedangnya, dan berangkatlah dia menuju Madinah.
Sementara itu di Madinah,
Umar bin Khathab sedang bercakap- cakap dengan
sekelompok kaum Muslimin mengenai perang Badar. Mereka
menyebut-nyebut pertolongan Allah kepada mereka.
Tiba-tiba
mereka dikejutkan oleh kedatangan Umair bin Wahab yang menambatkan
kudanya di muka
masjid dengan pedananya yang terhunus.
“Itu
musuh Allah, si Umair bin Wahab. Demi Allah, kedatangannya pasti mempunyai
maksud jahat. Dialah yang menghasut orang banyak dan mengerahkan mereka untuk
memerangi kita di perang
Badar!” kata Umar bin Khathab, yang kemudian bergegas menghadap
Rasulullah.
“Ya
Rasulullah, si Umair musuh Allah datang kemari dengan menghunus pedangnya, “ katanya.
“Suruhlah
dia masuk menghadapku,” sabda Rasulullah.
Umar
pun pergi mengambil pedangnya dan menguhunusnya. Dia menyuruh
orang-orang yang berada di tempat itu agar masuk dan duduk di dekat
Rasulullah untuk memperhatikan gerak-gerik Umair nanti.
Kemudian
Umar bin Khathab membawa Umair masuk
menghadap Rasulullah, namun kini pedangnya teláh tersandang di pundaknya.
“Biarkan
dia, wahai Umar. Dan Anda, wahai Umair.....
mendekatlah kemari.” sabda Rasulullah.
Umair
pun mendekat seraya berkata : “Selamat pagi!” suatu ucapan yang
biasa dilakukan Jahiliyah.
“Sesungguhnya
Allah telah memuliakan kami dengan
suatu ucapan
kehormatan yang lebih baik dari ucapanmu, wahai Umair. Yaitu salam...'
penghormatan ahli surga!” jawab Rasulullah.
“Demi
Tuhan, aku masih hijau tentang hal itu,” ujar Umair.
“Apa
maksud kedatangan Anda kemari?” tanya Rasulullah.
“Kedatanganku.
kemari sehubungan dengan tawanan yang berada di tangan Anda, jawab Umair.
“Lalu
apa maksud pedangmu yang tersandang itu?” tukas Rasulullah.
“Menurut
Anda apakah ada faedah dan manfaatnva pedan\g ini bagi kami?” jawab Umair.
“Berkatalah
terus terang, hai Umair. Apa maksud kedatanaanmu yang sebenarnya?”
“Tak
ada maksud lain, hanya seperti yang telah kukatakan tadi.”
“Bukankah
kamu telah berbincang-bincang dengan Shafwan bin Umaiyah tentang orang-orang
Quraisy yang tewas di sumur Badar, kemudian katamu ; ‘Kalau bukan karena hutang dan
keluargaku, niscaya aku akan pergi membunuh Muhammad’. Kemudian Shafwan
menjamin akan membayar hutangmu dan menanggung keluargamu, asal kamu
membunuhku. Padahal Allah telah menjadi penghalang bagi maksudmu itu.”
“Asyhadu alla
ilaha illallah wa asyhadu annaka Rasulullah,” seru Umiar seketika.
“Perbincanganku dengan Shafwan tidak ada yang tahu. Demi Tuhan, juga tak ada yang memberitahu Anda selain Allah! Maka puji syukur kepada Allah yang
telah membuka jalan bagi diriku kepada Islam.”
“Ajarilah
saudaramu ini soal agama, bacakan
kepadanya Al- Qur’an dan bebaskanlah
tawanan itu serta serahkan kepadanya,” sabda Rasulullah kepada para
sahabat.
Demikianlah,
maka Umair bin Wahab masuk Islam, ia telah diliputi oleh Nur Rasul
dan nur Islam. Ketika ia duduk seorang diri, merenungkan dengan dalam tentang
sifat pema’af agama yang baru dipeluknya ini serta kebesaran
Rasulnya.
Umair
teringat masa-masa silamnya, yang selalu
merencanakan tipu muslihat busuk dan memerangi Islam, yaitu
sebelum Rasulullah dan para sahabat-sahabatnya hijrah ke Madinah. Kemudian
teringat pula usaha dan perjuangannya di perang Badar membela kaum musyrik Quraisy.
Dan
sekarang, ia datang dengan pedang di tangan hendak
membunuh Rasulullah. Namun semua itu hanya dengan sekejap mata habis
terkikis oleh ucapannya : “Lailaha
illallah, Muhammadur-Rasulullah”. Alangkah pema’af dan sucinya, serta teguhnya kepercayaan diri ajaran yang dibawa oleh agama besar ini.
Sementara itu, sejak Umair
meninggalkan kota Makah menuju Madinah, Shäfwan yang telah menghasut
Umair untuk pergi membunuh Rasulullah, sering mondar-mandir di jalanan
kota Makah dengan sombongnya. la selalu menumpahkan kegembiraannya
yang meluap di tempat-tempat pertemuan kaum
kafir Quraisy.
Dan setiap ditanyai oleh kaum dan sanak keluarganya sebab-sebab kegembiraannya itu, ia
selalu menepuk-nepukkan kedua tangannya dengan bangga.
“Bersenang hatilah kalian, karena bakal ada satu kejadian yang akan datang beritanya
akan datang beberapa hari lagi. Dan semua itu akan menghapus rasa malu kita di
perang Badar,” ucapnya.
Setiap pagi Shafwan
kè luar ke pinggiran kota Makah, menanyai kafilah-kafilah dan para mushafir yang datang d’ari Madinah, kalau-kalau ada
peristiwa penting yang terjadi di Madinah.
Tapi jawaban mereka
tak ada yang dapat menggembirakan hàtinya, karena tak seorangpun yang mendengar
atau melihat suatu kejadian penting di Madinah.
Shafwan tidak putus
asa, ia tetap bersabar menanyai rombongan demi rombongan, hingga akhirnya.....
“Benar telah
terjadi suatu peristiwa besar! jawab seorang mushafir ketika ditanyai Shafwan.
Air muka Shafwan
seketika berseri-seri, kegembiraannya meluap dan berbunga-bunga.
“Apa sebenarnya
yang telah terjadi?” tanya Shafwan dengan cepat, karena dorongan ingin tahu.
“Tolong ceritakan padaku.
“Umair bin Wahab telah memeluk IsIam. Sekarang ia di sana sedang memperdalam
agama dan mempelajari Al-Qur’an!”
iawab mushafir itu.
Shafwan
merasakan bumi tiba-tiba berputar, ia seakan tidak percaya dengan apa yang barn
saja didengarnya. Peristiwa yang diharap-harapkan akan dapat
menghapus kekecewaan kaumnya, dan selalu dinantikan untuk melupakan peristiwa perang Badar,
namun berita yang diterimanya hari itu bagaikan petir yang menyambar dan melumatkan
seluruh tubuhnya.
Emoticon