Pendekar Rajawali Sakti 89 - Pedang Halilintar(2)

LIMA
Rangga terus memacu cepat kudanya, menyusuri lereng Bukit Merak yang penuh ditumbuhi pepohonan. Meskipun tumbuh begitu lebat, tapi pepohonan itu tidak menghalangi Pendekar Rajawali Sakti memacu cepat kudanya. Demikian pula Dewa Bayu yang juga tidak merasa kesulitan untuk berlari cepat, walaupun berada di dalam hutan yang sangat lebat

“Hooop...!”

Rangga baru menghentikan lari kudanya setelah tiba di sebuah padang rumput kecil, di lereng bukit ini. Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling, kemudian melompat turun dari punggung kudanya dengan gerakan manis dan indah sekali. Kembali pandangannya beredar, lalu perlahan melangkah. Kudanya ditinggalkan di tepi padang rumput yang ada di lereng Bukit Merak ini.

“Hm...” Rangga menggumam perlahan.

Pendekar Rajawali Sakti berhenti melangkah setelah tiba di tengah-tengah padang rumput yang tidak begitu besar di lereng Bukit Merak ini. Perlahan kepalanya bergerak menengadah ke atas. Tak ada yang dapat dilihat di atas sana, kecuali awan saja yang berarak di langit.

“Hm...,” kembali Rangga menggumam kecil. Dan begitu tubuhnya diputar berbalik, mendadak saja....

Wusss!
“Upts...!”

Cepat Rangga memiringkan tubuhnya ke depan. Bahkan tangan kirinya langsung bergerak mengibas cepat sekali begitu matanya melihat sebuah benda berbentuk anak panah meluncur begitu cepat ke arahnya.

Tap!

Sebatang anak panah manis sekali berhasil ditangkap tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar diamatinya anak panah yang sangat sederhana buatannya itu. Hanya dibuat dari batangan kayu biasa, tanpa sedikit pun terlihat keistimewaannya. Dan anak panah itu biasa digunakan untuk berburu di dalam hutan.

Srek!

Pada saat Rangga tengah memperhatikan anak panah dalam genggaman tangan kirinya, mendadak saja telinganya mendengar suara bergemeresik tidak jauh dari sebelah kanan. Dan begitu tubuhnya berputar....

“Hiyaaat..!” “Uts!”

Begitu cepat dan manis Rangga meliuk, ketika tiba-tiba saja diserang oleh seseorang yang muncul dari dalam semak belukar, dengan sebilah pedang berukuran panjang dan lebar.

Wukkk!

Hanya sedikit saja pedang itu lewat di depan dada Rangga. Dan Pendekar Rajawali Sakti cepat menarik kakinya ke belakang beberapa langkah. Tapi belum juga ayunan kakinya sempat dihentikan, mendadak saja dari arah lain muncul dua orang bersenjata pedang yang ukuran dan bentuknya sama dengan yang pertama muncul tadi. Tapi, salah seorang dari mereka membawa sekantung anak panah yang tersampir di punggung.

“Haiiit..!”

Rangga cepat merunduk begitu sebatang pedang yang berukuran sangat panjang dan lebar berkelebat begitu cepat dari arah kanan. Dan sabetan pedang itu dapat dihindari Rangga dengan kelitan indah dan ringan sekali.

“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”

Hampir bersamaan, ketiga laki-laki yang sudah berusia separuh baya itu bergerak menyerang. Pedang mereka berkelebatan begitu cepat, terarah langsung ke bagian tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

“Hup!”

Dan begitu pedang-pedang hampir menyambar tubuhnya, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melesat ke angkasa. Dengan demikian, ketiga pedang tidak sampai mengenai sasaran. Sementara setelah Rangga berputaran beberapa kah di udara, langsung saja meluruk turun. Seketika kakinya menjejak tanah dengan indah dan sangat ringan, di luar kepungan tiga orang laki-laki separuh baya yang mengeroyoknya secara bersamaan.

“Tunggu...!” sentak Rangga begitu ketiga orang itu hendak menyerang kembali.

Mereka yang sudah bergerak hendak mendekati Pendekar Rajawali Sakti, langsung berhenti begitu mendengar bentakan yang begitu keras menggelegar. Sementara, Rangga berdiri tegak dengan sikap waspada.

“Siapa kalian?! Kenapa menyerangku tanpa alasan...?” tanya Rangga heran.

Tapi ketiga orang yang semuanya memegang pedang itu tidak menjawab. Bahkan dengan cepat sekali berlompatan mengepung dari tiga jurusan, langsung menyerang dengan babatan pedang secara bergantian.

“Haiiit..!”

Cepat Rangga mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' untuk menghindari serangan-serangan yang datang begitu cepat dan beruntun dari tiga jurusan. Tiga batang pedang berkilatan tajam, berkelebatan di sekitar tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

Beberapa kali Rangga meminta ketiga orang itu menghentikan serangannya, tapi sedikit pun tidak dipedulikan. Mereka terus saja menyerang dengan jurus-jurus cepat secara bergantian. Tentu saja hal ini membuat Rangga jadi geram. Namun, Pendekar Rajawali Sakti masih bisa mengendalikan diri. Dan dia tetap berusaha menghindar tanpa memberi serangan balasan sedikit pun juga.

“Ups...!”

Hampir saja babatan pedang salah seorang lawan menyambar Pendekar Rajawali Sakti. Untung saja kepalanya cepat-cepat ditarik ke belakang. Dan belum juga kepalanya bisa ditegakkan kembali, satu serangan susulan dari arah kiri sudah melayang ke arahnya.

“Hup!”

Rangga tidak punya pilihan lain lagi. Maka cepat-cepat dia melompat ke depan. Dan seketika itu juga, tangan kirinya bergerak cepat. Dan tahu-tahu, mata pedang orang itu sudah terjepit di antara dua ujung jari Pendekar Rajawali Sakti. Dan sebelum ada yang sempat menyadari, dengan kecepatan yang sangat luar biasa, Rangga menghentakkan tangan kanannya. Langsung diberikannya satu sodokan yang begitu keras dan cepat, disertai pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna.

“Hih!”
Desss!
“Ugkh...!”

Orang itu kontan mengeluh pendek, dan langsung terhuyung ke belakang. Tapi belum juga keseimbangan tubuhnya bisa dikuasai, Rangga sudah kembali bergerak cepat Sambil berputar, dilayangkannya satu tendangan yang begitu keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat tendangannya, sehingga orang itu tidak sempat lagi menghindar. Dan....

“Yeaaah...!”
Begkh!
“Akh...!”

Satu jeritan panjang melengking tinggi seketika itu juga terdengar menyayat, diiringi terpentalnya tubuh orang itu ke belakang sejauh tiga batang tombak. Pedangnya juga terlepas dari genggaman tangan, namun masih berada dalam jepitan dua jari tangan Pendekar Rajawali Sakti.

“Hih!”

Rangga menjentikkan jari tangan yang menjepit pedang lawan. Maka, seketika pedang itu terpental ke arah pemiliknya. Begitu cepat pedang itu meluncur, hingga sulit sekali diikuti pandangan mata biasa. Dan...

Crab!
“Aaa...!”

Kembali terdengar satu jeritan panjang yang begitu menyayat dan melengking tinggi. Rupanya, pedang yang dilontarkan Rangga menancap tepat di tengah-tengah dada orang itu. Hanya sebentar saja orang itu mampu menggeliat, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Sementara, dua orang lagi yang melihat temannya tewas tertikam pedangnya sendiri, jadi terlongong bengong. Seakan-akan mereka tidak percaya dengan apa yang terlihat.

Begitu gencar mereka menyerang, tapi pemuda yang diserang malah bisa membunuh satu orang dari mereka. Kini, perlahan-lahan Rangga memutar tubuhnya berbalik. Kedua tangannya tempat di depan dada dengan sorot mata begitu tajam menatap dua orang yang berdiri berdampingan di depannya.

“Hm…,” gumam Rangga periahan, begitu melihat dua orang itu bergerak menyebar ke samping.

Pedang mereka melintang di depan dada dengan tatapan mata begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan kaki-kaki mereka bergerak menggeser ke samping, hingga berada tepat di samping kanan dan kiri Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Rangga sendiri tetap berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Dengan ujung ekor matanya, diamatinya setiap gerak yang dilakukan dua orang yang tidak dikenalnya ini.

“Hiyaaat..!”
“Yeaaah...!”

Hampir bersamaan, kedua orang itu berlompatan menyerang sambil cepat sekali mengebutkan pedangnya. Namun, Rangga kelihatan seperti menunggu saja serangan itu datang. Dan begitu kedua orang itu sudah dekat, bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti bergerak berputar dengan kedua tangan terentang ke samping.

“Yeaaah...!”

Saat itu juga, Rangga mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Begitu cepat gerakannya sehingga sulit diikuti mata biasa. Dan tahu-tahu, kedua orang yang menyerangnya itu menjerit keras. Tubuhnya kontan terpental jauh ke belakang. Tepat di saat Rangga berhenti berputar, kedua orang itu sudah tergeletak di tanah dengan dada terbelah seperti terbabat pedang!

Memang sangat dahsyat jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Kedua ujung-ujung jarinya bagaikan mata pedang, yang mampu merobek tubuh lawan hingga tewas seketika itu juga. Dan memang, kedua orang itu tidak mampu bergerak sedikit pun juga. Mereka telah tewas begitu tubuhnya menghantam tanah. Darah tampak mengucur deras dari dadanya yang terbelah, bagai terbabat pedang.

“Huh!”

Rangga menghembuskan napas berat. Dipandanginya tiga tubuh yang tergeletak tak bernyawa lagi. Sebentar kemudian ditatapnya puncak bukit yang masih terselimut kabut. Kemudian, pandangannya beralih ke langit yang membiru, tersaput awan.

“Hup...!”

Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat menggunakan ilmu meringankan tubuh. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan mata. Bahkan bayangan tubuhnya langsung tak terlihat lagi.

***

Kabut yang menyelimuti puncak Bukit Merak memang cukup tebal, walaupun saat ini matahari sudah berada tepat di atas kepala. Sedangkan udara di puncak bukit ini pun terasa dingin sekali, membuat tulang-tulang terasa bagaikan membeku. Namun dengan pengerahan sedikit hawa mumi, udara dingin yang menggigilkan itu tidak dirasakan sama sekali.

Entah sudah berapa lama Rangga berada di puncak Bukit Merak ini, dan sudah berapa kali pandangannya beredar ke sekeliling. Sedikit pun tidak didapatkan adanya tanda-tanda kehidupan di puncak bukit ini. Begitu sunyi suasananya. Bahkan sedikit pun tidak terdengar suara binatang. Hanya desiran angin dan gemerisik dedaunan saja yang terdengar mengusik gendang telinga.

“Aku tidak tahu, apa maksud Rajawali Putih menyuruhku datang ke sini. Tapi aku yakin, pasti ada sesuatu di sini...,” gumam Rangga periahan, bicara pada diri sendiri.

Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya berkeliling. Dan saat ini, pandangan matanya langsung tertumbuk pada semak belukar yang tidak berapa jauh di sebelah kanannya. Kelopak matanya jadi menyipit, begitu melihat sesuatu di balik semak belukar itu. Sesuatu yang tampaknya seperti sebuah mulut gua.

“Hm....”

Perlahan Rangga mengayunkan kakinya, menghampiri semak belukar yang mencurigakan itu. Dan dia baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi. Kembali diamatinya semak belukar yang sudah kering itu. Memang tidak salah dugaannya. Semak belukar itu terlihat jelas, sengaja untuk menutupi sebuah mulut gua batu yang tidak begitu besar ukurannya. Tapi, setidaknya cukup untuk dimasuki satu orang dewasa.

Periahan Rangga melangkah, menghampiri kembali. Lalu, tangannya mulai menjulur. Disibakkannya semak belukar yang sudah kering itu. Dan begitu tersibak...

Wusss...!

“Heh...?! Uts!”

Cepat Rangga menarik tubuhnya ke kanan ketika tiba-tiba saja dari balik semak belukar yang sudah tersibak, melesat suatu benda dengan kecepatan luar biasa. Sedikit Rangga berpaling, melihat sebuah benda berbentuk lingkaran yang sisinya bergerigi, tampak menancap pada batang pohon yang tidak jauh di belakangnya.

Dan belum juga Pendekar Rajawali Sakti sempat berpikir....

Slap!
“Hah...?! Haiiit..!”

Cepat pemuda berbaju rompi putih itu melompat sambil berputaran ke belakang, begitu dari balik semak belukar yang sudah tersibak itu melesat secercah cahaya kilat bagai halilintar. Hampir saja benda itu menghantam tubuh pemuda yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti ini. Dan benda bercahaya kilat itu seketika menghantam pohon di belakangnya tadi.

Glarrr!

Satu ledakan dahsyat seketika terdengar keras menggelegar. Tampak pohon itu hancur berkeping-keping, begitu terhantam cahaya kilat yang melesat keluar dari balik semak yang ternyata sebuah mulut gua.

“Hap!”

Manis sekali Rangga menjejakkan kakinya kembali di tanah, sejauh dua batang tombak dari mulut gua yang kini sudah tidak tertutup semak belukar kering lagi. Pendekar Rajawali Sakti melirik sedikit pada batang pohon yang hancur berkeping-keping akibat tersambar cahaya kilat tadi. Asap juga tampak mengepul dari situ. Kemudian, pandangannya diarahkan ke mulut gua yang masih sedikit tertutup semak belukar kering. Dan memang, belum semua semak belukar itu tersingkir dari sana. Karena, sudah dua kali Rangga mendapatkan serangan yang begitu cepat dan mendadak tadi. Dengan demikian, semak belukar itu tidak sempat lagi dibuka lebih lebar lagi.

Belum juga lama Rangga memperhatikan mulut gua itu, mendadak saja dari mulut gua yang tadi kelihatan menghitam gelap jadi bercahaya. Sinarnya demikian terang, bagai ada puluhan pelita menyala. Dan cahaya terang itu semakin lama semakin menyilaukan mata. Rangga segera menggeser kakinya ke belakang beberapa langkah sambil menghalangi matanya sedikit dengan tangan kanan. Memang, cahaya yang memancar dari dalam gua itu semakin terang dan menyilaukan saja. Dan belum juga Rangga bisa berpikir lebih jauh lagi, mendadak saja....

Slap!
“Heh...!? Hup!”

Cepat Rangga melenting ke udara, begitu tiba-tiba dari dalam mulut gua itu melesat secercah cahaya kilat ke arahnya. Cahaya kilat itu lewat sedikit di bawah kaki Pendekar Rajawali Sakti, dan langsung meluruk deras. Kemudian, cahaya kilat itu menghantam pohon hingga hancur berkeping-keping, disertai ledakan dahsyat menggelegar.

Dua kali Rangga berputaran di udara, lalu manis sekali kembali menjejakkan kakinya di tanah. Tapi baru saja telapak kakinya menyentuh tanah, dari dalam gua itu kembali meluncur secercah cahaya kilat yang begitu cepat, hingga sulit diikuti pandangan mata biasa.

“Hattt..!”

Rangga memiringkan tubuhnya sedikit ke kanan, maka cahaya kilat berwarna keperakan itu lewat di samping tubuhnya. Saat itu, Rangga merasakan adanya semburan hawa yang sangat panas menyengat kulit, tepat di saat cahaya kilat itu lewat di sampingnya. Cepat-cepat kakinya ditarik ke samping beberapa langkah. Dan pada saat itu, kembali serangan cahaya kilat meluruk begitu cepat ke arahnya.

“Hup! Hiyaaa...!”

Rangga terpaksa harus melenting kembali di udara, dan berputaran cepat sekali. Sambaran-sambaran cahaya kilat yang kali ini berhamburan cepat dan sangat beruntun berhasil dihindari. Bahkan saat kakinya menjejak tanah, dia masih mendapat serangan. Maka cepat-cepat tubuhnya meliuk menghindari sambaran cahaya kilat, dan kembali harus berjumpalitan di udara. Serangan-serangan cahaya kilat keperakan itu datang sangat cepat dan beruntun, membuat Pendekar Rajawali Sakti kerepotan menghindarinya.

“Hap! Yeaaah...!”

Begitu memiliki kesempatan sedikit, cepat-cepat Rangga melenting ke arah sebatang pohon yang masih berdiri tegak. Sebentar kakinya bertengger di atas cabang pohon itu, kemudian kembali melesat begitu cepat menjauhi mulut gua. Dan pada saat kakinya menjejak tanah kembali, serangan cahaya kilat keperakan dari dalam mulut gua itu terhenti seketika. Dan kini, jarak antara mulut gua dengan Pendekar Rajawali Sakti sekitar tiga batang tombak jauhnya.

“Hm.... Apakah ada orang di dalam gua itu...?” Rangga jadi bertanya-tanya pada diri sendiri.

Sementara cahaya terang yang tadi memancar dari dalam mulut gua itu kini sudah tidak terlihat lagi. Sedangkan keadaan mulut gua itu kembali menghitam pekat, hingga sulit sekali untuk bisa melihat sampai ke dalam. Dan Rangga masih tetap berdiri tegak memandangi mulut gua yang dirasakan sangat aneh. Entah apa yang sedang dipikirkannya saat ini. Tapi, keningnya terlihat berkerut cukup dalam. Bahkan kelopak matanya jadi menyipit, pertanda tengah memikirkan sesuatu.

Lama juga Rangga terdiam membisu memandangi mulut gua yang kini kelihatan begitu tenang. Dan tubuhnya baru bergerak sedikit ke kanan, saat telinganya mendengar derap langkah kaki kuda menuju ke arahnya. Suara langkah kaki kuda yang tidak dipacu cepat. Dari pendengarannya yang sangat tajam dan sudah terlatih baik, Pendekar Rajawali Sakti sudah bisa menduga kalau yang datang menunggang kuda itu terdiri dari empat orang.

“Hup..!”

Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melesat. Langsung kakinya hinggap di atas sebatang pohon yang sangat tinggi serta rimbun daunnya, hingga sulit sekali dilihat dari bawah. Dan dari ketinggian pohon ini, Rangga bisa melihat empat orang menunggang kuda menuju ke arah gua itu.

“Hm...,” sedikit Rangga menggumam. Pendekar Rajawali Sakti mengenali keempat orang penunggang kuda itu. Mereka memang pernah melewatinya ketika berada di Desa Bangkalan. Saat itu, sama sekali mereka tidak memperdulikannya. Bahkan seperti tidak melihat, dan terus saja memacu kudanya dengan kecepatan tinggi. Dan dugaan Rangga ternyata benar. Mereka memang menuju gua aneh itu. Kini, mereka tampak berhenti setelah sampai di depan gua.

Dengan gerakan indah dan ringan sekali, empat orang penunggang kuda yang ternyata semuanya laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu, berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing. Dari gerakannya, sudah bisa dipastikan kalau mereka memiliki kepandaian yang tidak rendah. Dan tak ada seorang pun yang menimbulkan suara, saat menjejak tanah. Sementara, Rangga terus memperhatikan dari atas pohon yang sangat tinggi dan rimbun daunnya.

“Sepi sekali. Apakah tidak ada orang lain yang datang ke sini...?” Terdengar suara bernada bertanya dari salah seorang. Dia mengenakan baju warna merah ketat, hingga membentuk tubuhnya yang kekar dan berotot

“Tampaknya sudah ada yang datang, Kakang Randanu,” sahut salah seorang, yang mengenakan baju hijau tua.

“Benar, Kakang Randanu. Lihat saja pohon-pohon itu. Tempat ini seperti baru saja dijadikan ajang pertempuran,” sambung seorang yang berbaju biru.

“Tapi...,” laki-laki berbaju merah yang dipanggil Randanu itu tidak melanjutkan ucapannya.

“Ada apa, Kakang?” tanya salah seorang berbaju kuning.

“Tempat ini memang berantakan sekali. Tapi, aku merasakan adanya keanehan. Tidak terlihat adanya satu mayat pun di sini,” kata Randanu lagi.

Ketiga orang lainnya jadi terdiam dan saling berpandangan satu sama lain. Kemudian, mereka sama-sama mengedarkan pandangan ke sekeliling, seakan-akan ada yang tengah dicari. Sementara Rangga langsung memindahkan pernapasannya ke perut, sebelum keempat orang itu bisa mengetahui kehadirannya. Dan terus diperhatikannya gerak-gerik keempat orang itu dari atas pohon.

***
ENAM
Pada saat empat orang laki-laki yang datang menunggang kuda itu tengah meneliti keadaan sekitar depan gua, tiba-tiba saja terdengar siulan sangat nyaring melengking tinggi. Begitu nyaringnya, sehingga membuat pepohonan menggugurkan daunnya. Maka keempat orang itu segera merapatkan kedua tangannya di depan dada. Sementara, Rangga langsung menyalurkan hawa murni ke daerah telinganya, sehingga siulan nyaring melengking dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu tidak sempat mengganggu pendengarannya.

Belum lagi hilang siulan yang menyakitkan telinga itu, muncul seorang laki-laki tua berjubah kuning. Di tangan kanannya tampak untaian kalung batu hitam. Kepalanya gundul, tanpa sehelai rambut pun yang tumbuh. Tubuhnya gemuk, dan perutnya membuncit Sehingga, selalu berguncang bila kakinya terayun melangkah. Raut wajahnya seperti bayi yang baru dilahirkan. Sinar matanya jernih, bagai tak memiliki dosa sedikit pun. Siulan itu berhenti setelah orang tua yang berpenampilan seperti pendeta ini berada dekat dengan empat orang yang datang lebih dulu di depan mulut gua aneh itu.

“Rupanya Empat Iblis dari Utara sudah sampai lebih dulu di sini. He he he...,” terdengar ringan sekali suara orang tua berjubah kuning itu, diiringi tawanya yang terkekeh ringan.

“Sungguh tidak disangka. Ternyata seorang pendeta masih juga tertarik pada hal-hal duniawi. Seharusnya kau tinggal saja di pertapaanmu, Pendeta Gondala. Jangan mencampuri urusan dunia lagi,” sambut salah seorang dari Empat Iblis dari Utara yang mengenakan baju merah.

“Kedatanganku bukan untuk tujuan yang sama seperti kalian. Aku hanya ingin menyaksikan tikus-tikus bodoh memperebutkan benda yang tidak ada harganya sama sekali,” sahut laki-laki gemuk yang ternyata bernama Pendeta Gondala, tetap datar nada suaranya.

“Phuih! Lagakmu seperti manusia paling suci saja...!” dengus seorang lagi dari Empat Iblis dari Utara yang berbaju biru.

“Tidak ada seorang pun di dunia ini yang suci. Ah, sudahlah.... Kalian mulai saja lebih dulu, sebelum yang lain berdatangan. Aku tidak akan mengganggu, dan hanya menyaksikan saja,” ujar Pendeta Gondala seraya melangkah menghampiri pohon yang cukup besar.

Pendeta Gondala kemudian duduk bersila di bawah pohon itu. Dan sepertinya, sama sekali tidak tahu kalau di atasnya ada Pendekar Rajawali Sakti yang sejak tadi terus memperhatikan. Sementara, empat orang yang ternyata berjuluk Empat Iblis dari Utara itu hanya saling berpandangan saja. Mereka seakan-akan tidak percaya kalau laki-laki tua jubah kuning yang dikenal sebagai Pendeta Gondala itu tidak ingin ikut campur.

Tapi memang, tampaknya Pendeta Gondala tidak mempedulikan sikap Empat Iblis dari Utara itu. Dia tetap saja duduk bersila sambil memainkan untaian kalung hitam dengan jari-jari tangan kanannya. Wajahnya yang seperti bayi, semakin terlihat kekanak-kanakan ketika tersenyum.

“Ayo, jangan pedulikan orang tua itu. Kita harus bergerak cepat sebelum ada orang lain lagi yang datang ke sini,” ajak salah seorang dari Empat Iblis dari Utara yang berbaju merah.

Mereka memang tidak lagi mempedulikan Pendeta Gondala yang terus saja memandangi sambil tersenyum, memainkan untaian kalung batu hitamnya. Sementara, Empat Iblis dari Utara sudah melangkah mendekati mulut gua yang tampak hitam pekat dari luar. Sebentar mereka berhenti, dan saling melemparkan pandangan. Kemudian, mereka kembali melangkah perlahan-lahan mendekati gua itu. Tapi begitu berjarak tinggal sekitar satu batang tombak lagi, mendadak saja....

Slap!

“Awas...!”

“Hup!”

“Hiyaaa...!”

“Yeaaah...!”

Empat Iblis dari Utara itu cepat berlompatan, begitu tiba-tiba dari dalam mulut gua itu melesat secercah cahaya kilat keperakan. Dan cahaya kilat keperakan itu hanya lewat di antara empat orang laki-laki yang berlompatan menghindar, berputaran di udara. Dan dengan manis sekali, mereka bersamaan menjejakkan kaki kembali ke tanah, tepat di saat terdengar ledakan dahsyat menggelegar dari cahaya kilat yang menghantam pohon hingga hancur berkeping-keping.

Belum lagi ledakan itu menghilang dari pen-dengaran, kembali terlihat kilatan-kilatan cahaya berhamburan dari dalam gua itu secara beruntun dan sangat cepat bagai kilat Empat Iblis dari Utara jadi terperanjat setengah mati. Seketika mereka langsung berlompatan sambil mencabut senjata dari punggung masing-masing, berupa golok berukuran sangat besar.

“Hiyaaat..!”

“Yeaaah...!”

Kilatan-kilatan cahaya keperakan yang meluncur keluar dari dalam gua terus berhamburan dengan kecepatan luar biasa. Akibatnya, Empat Iblis dari Utara terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Kemudian, salah seorang dari mereka mencoba menangkis kilatan cahaya keperakan itu. Hingga....

Glarrr!
“Akh. .!”

Seketika suara pekikan terdengar, bersamaan terdengarnya ledakan yang begitu dahsyat menggelegar. Tampak salah seorang dari Empat Iblis dari Utara yang berbaju kuning terpental ke belakang, sejauh dua batang tombak. Keras sekali tubuhnya terbanting ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Dan begitu mencoba bangkit berdiri, dari mulutnya menyembur darah kental agak kehitaman. Tampak goloknya yang berukuran besar sudah buntung jadi dua bagian. Entah ke mana potongan golok itu terpental. Begitu telah berdiri, laki-laki berbaju kuning dari Empat Iblis dari Utara itu terlihat terhuyung-huyung.

Dan pada saat itu, terlihat satu kilatan cahaya keperakan meluncur begitu cepat ke arahnya. Begitu cepatnya kilatan cahaya keperakan itu meluncur, sehingga orang berbaju kuning itu tidak sempat lagi berkelit menghindar. Dan....

Blarrr!
“Aaa...!”

Kembali satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar menyayat, memecah alam. Tampak salah seorang dari Empat Iblis dari Utara yang berbaju kuning kembali terpental sejauh dua batang tombak. Kemudian tubuhnya jatuh keras sekali menghantam tanah. Hanya beberapa kali dia bergelimpangan, lalu diam tak bergerak-gerak lagi. Tampak jelas kalau dadanya menghitam hangus, akibat terhantam cahaya kilat yang meluncur dari dalam gua itu.

Sementara, tiga orang lainnya tidak sempat lagi memperhatikan saudaranya yang sudah tergeletak tewas dengan dada menghitam hangus. Mereka benar-benar tidak punya kesempatan sedikit pun juga untuk keluar dari serangan cahaya kilat yang meluncur dari dalam gua itu. Cahaya-cahaya kilat keperakan itu terus berhamburan dengan kecepatan sangat tinggi. Bahkan kini terlihat semakin bertambah banyak saja, membuat Empat Iblis dari Utara yang kini tinggal tiga orang jadi kelabakan setengah mati untuk menghindarinya.

Blarrr!
“Aaa...!”

Kembali terdengar jeritan yang sangat panjang dan melengking tinggi. Tampak salah seorang Empat Iblis dari Utara yang berbaju hijau, terpental jauh ke belakang. Bahkan tubuhnya sampai menghantam pohon hingga hancur berkeping-keping. Satu kilatan cahaya rupanya telah menghantam dadanya, hingga hangus seperti terbakar. Dan tubuhnya langsung menggeletak diam, tidak bergerak-gerak sedikit pun juga. Nyawanya seketika itu juga terbang melayang.

Dan belum juga lama, kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi. Kali ini, dua jeritan terdengar sekaligus. Terlihat sisa dari Empat Iblis dari Utara berpental ke belakang, dan jatuh bergulingan dengan keras di tanah. Tepat di saat itu, cahaya kilat yang berhamburan keluar dari dalam gua itu pun berhenti. Sementara, Empat Iblis dari Utara sudah tidak ada lagi yang bisa bergerak sedikit pun juga. Mereka semua sudah tewas dengan dada hangus menghitam, terkena terjangan kilatan cahaya keperakan yang keluar dari dalam gua aneh itu.

Suasana pun kembali sunyi senyap, tidak lagi terdengar jeritan dan teriakan-teriakan serta ledakan-ledakan yang dahsyat menggelegar. Sebentar saja, keadaan di sekitar mulut gua itu sudah hancur tidak sedap lagi dipandang mata. Tidak sedikit pepohonan yang hancur akibat terhantam kilatan-kilatan cahaya keperakan tadi. Bahkan tidak sedikit batu-batuan yang hancur. Tempat ini bagaikan baru saja diserang oleh amukan puluhan gajah. Benar-benar hancur, dalam waktu tidak berapa lama saja.

Sementara Rangga yang berada di atas pohon, terus memperhatikan keadaan sekelilingnya. Tapi sebentar kemudian, perhatiannya tertumpah pada Pendeta Gondala yang masih tetap duduk bersila di bawah pohon. Bibirnya tampak tidak henti-hentinya menyunggingkan senyuman seperti bayi.

“Kisanak, turunlah.... Pertunjukan sudah berakhir...!”

“Heh...?!”

***

Rangga jadi tersentak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba saja terdengar teguran yang sangat mengejutkan. Sungguh tidak disangka kalau laki-laki tua bertubuh gemuk dan berkepala botak yang berjubah kuning itu bisa mengetahui keberadaannya di atas pohon ini. Tapi hanya sebentar saja keterkejutan Pendekar Rajawali Sakti itu, karena sudah melesat turun dengan cepat dan ringan sekali

“Hup!” Rangga pun segera melompat turun dan mendarat tepat di depan Pendeta Gondala.

“Hup!”

Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga begitu kakinya menjejak tanah, tidak terdengar suara sedikit pun. Dan Rangga mendarat tepat sekitar enam langkah lagi di depan Pendeta Gondala yang masih tetap duduk bersila dengan bibir terus menyunggingkan senyum.

“Terimalah salam hormatku, Paman Pendeta...,” ucap Rangga dengan nada suara terdengar terputus.

Pendekar Rajawali Sakti membungkukkan tubuhnya sedikit, sambil merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung. Melihat sikap hormat pemuda berbaju rompi putih itu, Pendeta Gondala semakin lebar senyumnya. Tapi, dia tetap duduk bersila dengan sikap begitu tenang. Sementara, Rangga masih berdiri dengan sikap menunjukkan penghormatan pada pendeta tua itu.

“Duduklah, Anak Muda,” ujar Pendeta Gondala meminta.

Rangga langsung duduk bersila di depan pendeta itu, setelah memberi hormat sekali lagi. Beberapa saat suasana menjadi sunyi, tak ada yang memulai membuka suara lebih dulu. Dan mereka hanya saling berpandangan saja, seakan tengah menyelidiki isi hati masing-masing.

“Sudah berapa lama kau berada di atas pohon tadi?” tanya Pendeta Gondala.

“Cukup lama juga,” sahut Rangga tenang.

“Berarti kau melihat semua yang terjadi tadi...?” tanya Pendeta Gondala lagi.

Rangga hanya menganggukkan kepala saja.

“Lalu, untuk apa kau berada di sini, Anak Muda?” Pendeta Gondala ingin tahu lagi.

“Hanya kebetulan lewat saja, Paman Pendeta,” sahut Rangga seenaknya.

“Tidak ada maksud tertentu?”

Kali ini Rangga tidak langsung menjawab. Dipandanginya bola mata Pendeta Gondala dengan sinar mata tajam. Entah kenapa, pertanyaan Pendeta Gondala tadi membuat hatinya tidak enak. Jelas sekali kalau pertanyaan itu beranda menyelidik. Sementara Pendeta Gondala hanya tersenyum saja sambil membalas sorotan mata tajam Pendekar Rajawali Sakti. Sinar matanya terlihat begitu lembut sekali, bagaikan sepasang mata bayi yang belum tersentuh dosa.

“Maaf atas pertanyaanku tadi, Anak Muda,” ucap Pendeta Gondala cepat menyadari.

Sedangkan Rangga hanya diam saja. Tatapan matanya masih terus tertuju langsung ke bola mata pendeta tua yang duduk bersila di depannya.

“Entah sudah berapa orang yang datang ke sini. Dan mereka hanya mengantarkan nyawanya sia-sia saja. Sejak semula, aku sudah berada di sini. Selalu saja kusaksikan kematian yang sia-sia. Aku berharap, kau datang ke sini memang hanya sekadar singgah saja, Anak Muda. Bukan dengan tujuan yang sama seperti mereka,” kata Pendeta Gondala, memecah kebisuan yang terjadi beberapa saat.

Rangga melirik sedikit pada mayat-mayat yang berserakan di sekitarnya. Kemudian kembali ditatapnya pendeta tua yang masih tetap duduk bersila di depannya. Pendeta Gondala juga tidak bicara lagi. Pandangannya tampak beredar ke sekeliling. Lalu, ditariknya napas dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat seperti ada sesuatu yang mengganjal rongga dadanya

“Kau masih muda, Anak Muda. Langkahmu masih teramat panjang. Sebaiknya, jangan ikut-ikutan seperti mereka. Aku hanya memperingatkanmu saja, Anak Muda. Hanya kematian saja yang akan kau temui nanti,” kata Pendeta Gondala lagi.

“Maaf, Paman Pendeta. Aku tidak mengerti maksud pembicaraanmu,” ujar Rangga jadi bingung.

“Kau benar-benar tidak tahu, Anak Muda...?”

Nada suara Pendeta Gondala terdengar seperti tidak percaya. Dan Rangga memang benar-benar tidak tahu, serta tidak mengerti apa yang dibicarakannya sejak tadi.

“Tolong jelaskan, Paman. Aku sama sekali tidak mengerti semua yang kau bicarakan sejak tadi,” pinta Rangga.

“Tapi, kenapa kau sampai berada di tempat ini?” tanya Pendeta Gondala lagi, masih dengan nada suara tidak percaya.

“Aku sendiri tidak tahu, Paman. Tiba-tiba saja aku berada di tempat ini,” sahut Rangga. Nada suaranya dibuat bersungguh-sungguh.

Pendeta Gondala terdiam. Sorot matanya kini terlihat tajam, merayapi seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Seakan-akan, dia ingin mencari kepastian kalau pemuda yang duduk di depannya ini benar-benar tidak tahu. Kembali ditariknya napas panjang, dan dihembuskannya kuat-kuat. Terdengar gumaman kecil dari pendeta tua itu, seperti tengah mengatakan sesuatu. Tapi suaranya tidak jelas terdengar di telinga.

“Siapa namamu, Anak Muda?” tanya Pendeta Gondala.

Kali ini nada suaranya terdengar begitu dalam, seperti memberi tekanan. Dan sorot matanya masih tetap tajam tertuju ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.

“Rangga,” sahut Rangga menyebutkan namanya.

“Kau seorang pendekar?” tanya Pendeta Gondala lagi.

Rangga hanya mengangkat bahu saja.

“Apa julukanmu?” tanya Pendeta Gondala lagi.

“Apakah itu penting, Paman...?” Rangga malah balik bertanya.

“Bisa juga dikatakan penting, Anak Muda. Karena aku sudah lama menunggu seseorang. Aku hanya samar-samar mengetahui ciri-cirinya. Tapi..,” kata-kata Pendeta Gondala terdengar terputus. “Hm....”

Kembali Pendeta Gondala mengamati Rangga dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, seakan-akan ada sesuatu yang tengah diselidiki. Sementara, Rangga jadi merasa jengah, terus-menerus dipandangi seperti itu. Pandangannya lalu dialihkan ke arah lain. Dan tanpa disengaja, tatapan matanya justru tertuju ke arah mulut gua yang menghitam pekat. Dan pada saat itu, terlihat satu kilatan cahaya keperakan yang hanya sekejap. Cahaya bagai kilat itu langsung lenyap, sebelum Rangga bisa menyadari.

“Kau memiliki ciri-ciri yang hampir sama dengan apa yang ada dalam mimpiku, Anak Muda,” ujar Pendeta Gondala memecah kesunyian yang terjadi beberapa saat. “Hm.... Apakah kau yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti, Anak Muda...?”

Rangga jadi agak tersentak kaget mendengar tebakan Pendeta Gondala yang begitu tepat. Tapi cepat-cepat keterkejutannya disembunyikan, sebelum Pendeta Gondala bisa mengetahui. Lalu Pendekar Rajawali Sakti kembali bersikap tenang. Namun dalam hatinya, mulai timbul berbagai pertanyaan yang sulit dijawab saat ini. Dan kepalanya hanya mengangguk saja, menjawab pertanyaan pendeta tua itu.

Kembali suasana kembali sunyi, tanpa ada seorang pun yang membuka suara lagi. Namun belum juga Rangga bisa membuka mulutnya, mendadak saja...

“Hih!”
“Heh...?!”

Rangga jadi kaget setengah mati, begitu tiba-tiba Pendeta Gondala mengebutkan tangan kanannya ke depan. Maka untaian kalung batu hitam yang sejak tadi berada di dalam genggaman tangan kanannya, berkelebat begitu cepat ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti.

“Hup!”

Cepat sekali Rangga melenting ke belakang dengan keadaan masih duduk bersila. Sehingga, sabetan kalung batu hitam pendeta tua itu tidak sampai mengenai dadanya. Dua kali Rangga berputaran di udara. Dan begitu menyentuh tanah, keadaannya masih tetap duduk bersila. Tapi pada saat itu juga, Pendeta Gondala sudah melesat begitu cepat bagai kilat ke arahnya, sambil menyabetkan untaian kalung hitamnya.

“Yeaaah...!”
Bettt!
"Haiiit..!”

Kali ini Rangga terpaksa harus melompat bangkit berdiri. Cepat tubuhnya meliuk, menghindari serangan Pendeta Gondala yang begitu cepat luar biasa ini.

“Paman, tunggu...! Kenapa kau menyerangku...?!”

“Hiyaaa...!”

Tapi pertanyaan Rangga justru dijawab serangan-serangan yang beruntun dan cepat sekali. Akibatnya, Pendekar Rajawali Sakti harus berjumpalitan sambil meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari serangan-serangan Pendeta Gondala. Menghadapi serangan seperti itu, Rangga langsung saja mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.

Begitu sempurnanya Rangga menguasai jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', sehingga serangan-serangan yang dilancarkan Pendeta Gondala tidak satu pun yang berhasil mengenai sasaran. Dan ini membuat Pendeta Gondala jadi penasaran, sehingga harus meningkatkan serangan-serangan. Dan kali ini, setiap kebutan kalung batu hitamnya selalu menimbulkan deru angin keras, bagai badai topan.

Kebutan untaian kalung batu hitam itu juga menimbulkan hempasan angin yang begitu kuat disertai hawa panas menyengat kulit. Dan ini tentu saja membuat Rangga harus meningkatkan kewaspadaannya, walaupun tetap belum melancarkan serangan balasan. Dan itu bukan hanya tidak memiliki kesempatan. Tapi pikirnya, itu karena Pendeta Gondala tengah mengujinya. Hanya saja, serangan-serangan yang dilancarkan begitu dahsyat, dan bisa berakibat sangat parah kalau sampai lengah sedikit saja. Tapi belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa melakukan sesuatu, mendadak saja....

“Hup!”

Pendeta Gondala menghentikan serangannya dengan melompat ke belakang sejauh beberapa tindak. Sedangkan Rangga yang sudah siap hendak melakukan serangan balasan, jadi menghentikan gerakannya. Terlihat kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut, karena benar-benar merasa heran melihat sikap Pendeta Gondala. Tanpa sebab langsung menyerangnya, dan sekarang menghentikan pertarungan dengan tiba-tiba.

Pendeta Gondala mengalungkan untaian batu hitam yang tadi digunakan untuk menyerang Pendekar Rajawali Sakti, kemudian melepaskan ikat pinggangnya yang berwarna putih keperakan. Periahan ikat pinggangnya itu direntangkan dengan memegang pada kedua ujungnya. Lalu...

“Hap!”

Wukkk!

Begitu ikat pinggang itu dikebutkan, dari ujungnya seketika memancar percikkan bunga api. Dan mendadak saja, ikat pinggang dari kulit yang tadi begitu lemas, kini berubah menjadi meregang keras dan kaku seperti sebilah pedang.

“Keluarkan senjatamu, Anak Muda,” desis Pendeta Gondala dengan suara terdengar dingin menggetarkan.

“Hm....”

Tapi Rangga hanya menggumam saja perlahan. Kakinya lalu bergeser dua langkah ke kanan. Dan sorot matanya terus tertuju tajam, menatap langsung ke bola mata pendeta tua itu. Sedikit pun tidak dihiraukan permintaan Pendeta Gondala untuk mencabut senjatanya. Bukannya Rangga meremehkan, tapi memang tidak ingin mencabut senjata pusaka Pedang Rajawali Sakti hanya karena permintaan lawannya. Dan memang Pendekar Rajawali Sakti tidak akan mencabut pedang pusaka kalau tidak terpaksa sekali.

“Kau jangan menyesal kalau mati tanpa mencabut senjata, Anak Muda. Aku sudah memperingatkanmu. Dan itu hanya sekali saja terucap,” tegas Pendeta Gondala, masih dengan suara dingin menggetarkan.

Tapi, Rangga masih tetap saja diam. Dipandanginya pendeta tua itu dengan sorot mata tajam sekali. Sementara, Pendeta Gondala sudah menggeser kakinya ke kiri perlahan-lahan sambil menyilangkan sabuk ikat pinggang yang kini sudah berubah menjadi pedang ke depan dada. Dari ujungnya, tampak mengeluarkan bunga api yang disertai asap berwarna kemerahan.

“Tahan seranganku, Anak Muda! Hiyaaat..!”

Wukkk!
“Haiiit..!”

Rangga cepat-cepat menarik tubuhnya ke belakang, begitu Pendeta Gondala mengebutkan senjatanya, tepat mengarah ke dada. Maka ujung senjata yang mengeluarkan percikkan bunga api dan asap kemerahan itu, lewat sedikit saja di depan dada Pendekar Rajawali Sakti.

“Hup! Yeaaah...!”
“Hiyaaa...!” 

***
TUJUH
Pertarungan antara Rangga dan Pendeta Gondala kembali berlangsung sengit. Mereka kali ini langsung mengerahkan jurus-jurus tingkat tinggi yang sangat dahsyat. Entah sudah berapa jurus berlangsung, tapi pertarungan tampaknya masih akan terus berlangsung lama. Belum ada tanda-tanda sedikit pun kalau pertarungan itu bakal berhenti.

Dan setelah pertarungan berlangsung puluhan jurus, Pendeta Gondala kembali menghentikan pertarungan. Dia melompat ke belakang sejauh satu setengah batang tombak. Sementara Rangga juga tidak mau meneruskan pertarungan. Dia berdiri tegak, menanti apa yang akan dilakukan pendeta tua itu.

Pendeta Gondala sendiri juga masih tetap berdiri tegak. Dipandanginya Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata seakan-akan tidak percaya, kalau pemuda yang sangat jauh lebih muda sekali usianya mampu menandinginya sampai puluhan jurus. Bahkan sudah hampir semua kepandaian yang dimilikinya dikerahkan, tapi belum juga mampu mendesak pemuda itu. Malah Rangga juga menghadapinya tanpa mencabut senjata pusaka. Hal ini membuat Pendeta Gondala jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati. Entah apa yang ada dalam kepalanya saat ini. Tapi sorot matanya terlihat begitu tajam, seakan tengah meyakinkan diri sendiri dengan apa yang sedang dihadapinya.

“Anak muda, katakan sejujurnya. Siapa kau sebenarnya...?!” tanya Pendeta Gondala.

Kali ini nada suaranya terdengar sangat lain. Terasa jelas sekali, seakan-akan tidak yakin akan dirinya.

“Rasanya aku tadi sudah mengenalkan diri padamu, Paman Pendeta. Namaku Rangga. Dan aku hanya seorang pengembara yang kebetulan saja lewat di tempat ini,” sahut Rangga kembali memperkenalkan diri.

“Hm.... Melihat dari cara bertarungmu, kau tentu seorang pendekar yang berilmu sangat tinggi. Dan kau pasti punya julukan. Apa nama julukanmu, Anak Muda...?” tanya Pendeta Gondala lagi

Kali ini Rangga tidak langsung menjawab. Dia memang paling enggan menyebutkan julukannya sendiri. Bukannya tidak senang, tapi tidak ingin menyombongkan diri dengan menyebutkan julukannya yang sudah terkenal dan selalu menjadi buah bibir di kalangan rimba persilatan.

“Anak muda! Jurus-jurus yang kau miliki tadi, sepertinya pernah kulihat Tapi...,” suara Pendeta Gondala langsung terputus. Pendeta Gondala menatap Rangga dengan sinar mata penuh selidik. Perlahan kakinya terayun. Dan senjatanya kini sudah kembali melingkar di pinggang, menjadi ikat pinggang yang kelihatannya tidak memiliki keistimewaan sama sekali. Tapi, ikat pinggang itu tadi sangat dahsyat. Bahkan hampir saja Rangga mencabut pedang pusakanya, kalau saja Pendeta Gondala tadi tidak cepat-cepat menghentikan pertarungan.

“Terus terang saja padaku, Anak Muda. Apakah kau yang dijuluki Pendekar Rajawali Sakti...?” tanya Pendeta Gondala, seakan-akan ingin meyakinkan diri sendiri dengan pertanyaan yang terlontar tadi.

“Kenapa kau terus mendesakku dengan pertanyaan seperti itu, Paman?” Rangga malah balik bertanya.

“Kau akan tahu, kalau sudah menyebutkan julukanmu, Anak Muda,” sahut Pendeta Gondala juga masih bermain rahasia.

“Hm...,” Rangga menggumam sedikit. Pendekar Rajawali Sakti terdiam beberapa saat, dan memandangi pendeta tua itu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Seakan-akan ingin ditebaknya, apa maksud dari pendeta tua ini hingga terus-menerus mendesak ingin mengetahui julukannya.

Sedangkan Pendeta Gondala sendiri malah memandangi Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata begitu tajam. Dan dari sorot matanya, jelas terlihat kalau tengah menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi.

Sementara, Rangga masih tetap diam membisu. Sepertinya Pendekar Rajawali Sakti juga merasa keberatan untuk menyebutkan julukannya sendiri. Entah kenapa, dia jadi merasa enggan untuk menyebutkannya.

“Baiklah, Anak Muda. Aku tahu, kau pasti merasa keberatan menyebutkan julukanmu,” kata Pendeta Gondala membuka suara lebih dahulu. “Aku akan mengalah sedikit padamu, Anak Muda.”

Rangga masih tetap membisu, dan terus memandangi pendeta tua itu dengan sinar mata yang sama sekali tidak berubah. Tetap terlihat menyorot tajam, penuh nada menyelidik.

Sementara, Pendeta Gondala mengayunkan kakinya perlahan-lahan mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Langkahnya baru berhenti, setelah jaraknya tinggai sekitar lima langkah lagi. “Begini, Anak Muda. Sebenarnya aku sedang mencari seseorang yang....”

Belum juga kata-kata Pendeta Gondala selesai, tiba-tiba saja dari mulut gua melesat secercah sinar bagai kilat. Begitu cepat sekali sinar itu meluruk ke arah pendeta tua ini. Dan Rangga yang melihat kelebatan sinar kilat itu langsung saja melesat. Gerakannya cepat luar biasa, hingga sukar diikuti mata biasa.

“Hap...!”
Brukkk!

Rangga langsung jatuh bergulingan, begitu berhasil menyambar tubuh Pendeta Gondala. Dan mereka terus bergulingan di tanah beberapa kali, sementara cahaya-cahaya kilat terus berhamburan mencari sasaran. Akibatnya kedua laki-laki yang baru sekali bertemu itu harus bergulingan di tanah menghindarinya.

“Hup! Yeaaah...!”

Bagaikan kilat, Rangga melesat ke atas sambil menyambar tubuh Pendeta Gondala. Dan beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berjumpalitan di udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya, jauh dari mulut gua. Dan cahaya-cahaya kilat tadi langsung berhenti melesat dari mulut gua yang aneh itu.

“Phuuuh...!” Rangga menghembuskan napasnya dengan berat. Pendekar Rajawali Sakti menggeser kakinya beberapa langkah dari Pendeta Gondala. Tampak bibir pendeta tua itu menyunggingkan senyum. Dan begitu Rangga melihatnya, keningnya langsung berkerut. Dia jadi heran melihat senyum terukir di bibir laki-laki tua berpakaian pendeta itu.

“Kenapa kau tersenyum, Paman?” tanya Rangga jadi ingin tahu.

“Walaupun masih ragu-ragu akan dirimu, tapi aku sudah begitu yakin melihat kemampuanmu, Anak Muda. Kau begitu hebat. Mampu bergerak cepat, tanpa sempat kusadari,” kata Pendeta Gondala.

“Aku tidak mengerti maksudmu, Paman...,” ujar Rangga meminta penjelasan.

“Rasanya memang tidak bisa lagi diragukan. Sekarang ini, hanya ada satu orang yang bisa bergerak begitu cepat. Hm.... Katakan, agar aku benar-benar merasa yakin, Anak Muda. Siapa julukanmu sebenarnya...?”

Rangga jadi tertegun mendengar pertanyaan itu. Sedangkan semua pertanyaannya belum juga terjawab, tapi Pendeta Gondala sudah memberi pertanyaan lagi yang bernada mendesak. Dan itu membuat Rangga semakin tidak mengerti. Segala gerak-gerik dan semua yang diucapkannya selalu menyimpan teka-teki yang sulit sekali diterka.

“Benarkah kau Pendekar Rajawali Sakti, Anak Muda?” tanya Pendeta Gondala ingin memastikan, melihat Rangga hanya diam saja memandangi.

“Benar,” sahut Rangga akhirnya mengalah juga.

“Hm.... Boleh kulihat pedangmu yang terkenal itu?” pinta Pendeta Gondala.

“Untuk apa...?” tanya Rangga.

“Hanya ingin memastikan saja, Anak Muda,” sahut Pendeta Gondala seraya tersenyum. “Sebab, penampilan luar saja bisa mengelabui mata seseorang. Tapi, sesuatu yang hanya ada satu di dunia ini, tidak bisa membohongi orang. Dan Pedang Pusaka Rajawali Sakti hanya ada satu-satunya di dunia. Jadi, hatiku baru merasa yakin kalau kau sudi memperlihatkan pedang pusaka yang ampuh itu.”

Rangga terdiam dengan kening berkerut beberapa saat. Kata-kata yang diucapkan Pendeta Gondala barusan memang terasa aneh sekali. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti juga tidak ingin mengecewakan orang tua ini. Terlebih lagi, di dalam kepalanya ada dugaan kalau pendeta tua itu tidak bermaksud buruk padanya. Dan pasti, ada sesuatu yang sangat tersembunyi, sehingga begitu gigih ingin mengetahui tentang diri pemuda yang selalu mengenakan baju rompi putih ini.

Sret!

Perlahan Rangga mencabut pedang pusakanya yang selalu tersimpan dalam warangka di punggung. Dan baru saja tercabut setengah, cahaya biru yang berkilauan menyilaukan mata sudah terlihat membersit keluar. Begitu terangnya, sampai-sampai Pendeta Gondala terlompat ke belakang dua langkah sambil menghalangi kedua matanya dengan tangan kanan.

“Cukup...!” sentak Pendeta Gondala.

Cring!

Rangga kembali memasukkan Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangkanya. Padahal, belum seluruhnya tercabut. Kini Pendeta Gondala menurunkan lagi tangan kanannya. Senyum di bibirnya tampak semakin lebar terkembang. Sedangkan Rangga memandangi wajah pendeta tua itu dengan kelopak mata agak menyipit

“Dewata Yang Agung.... Kau benar-benar Pendekar Rajawali Sakti yang selalu datang dalam mimpiku hampir setiap malam. Ternyata, kaulah pemuda yang selama ini kunanti-nantikan...,” desah Pendeta Gondala disertai hembusan napas panjang sekali.

Sementara, Rangga masih tetap diam memandangi. Sinar matanya tampak memancarkan ketidakmengertian. Saat itu, Pendeta Gondala sudah melangkah menghampiri. Tangan kanannya segera diulurkan, dan ditepuknya pundak Pendekar Rajawali Sakti dengan sikap penuh persahabatan.

“Ayo, duduk di sana. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu. Dan ini sangat penting,” kata Pendeta Gondala mengajak, sambil menunjuk ke arah sebatang pohon besar yang tidak jauh darinya.

Rangga tidak menjawab sedikit pun juga. Sementara, Pendeta Gondala sudah melangkah menghampiri pohon itu, lalu duduk di bawahnya. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri tegak memandangi. Beberapa saat kemudian, Pendekar Rajawali Sakti melangkah menghampiri, lalu duduk bersila tidak jauh di depan pendeta tua ini.

“Maaf, aku tadi menyerangmu, Pendekar Rajawali Sakti. Aku tadi hanya ingin menguji kebenaran dugaanku,” ucap Pendeta Gondala, setelah keadaan kembali menjadi tenang tanpa terselimut ketegangan.

“Katakan saja yang sebenarnya arti semua ini, Paman,” pinta Rangga langsung.

“Aku sedang berada dalam kesulitan, Pendekar Rajawali Sakti....”

“Panggil aku Rangga saja,” selak Rangga meminta.

“Baiklah, Rangga.”

“Katakan, Paman. Apa kesulitanmu?”

“Pusaka dari Persatuan Para Pendeta Selatan telah hilang dicuri orang. Sedangkan saat itu, aku sendiri yang bertugas menjaganya. Dan seluruh anggota meminta agar aku harus mengembalikan pusaka itu, atau harus bunuh diri,” Pendeta Gondala mulai mengutarakan kesulitannya.

“Hm.... Pusaka apa itu, Paman?” tanya Rangga seraya menggumam.

“Sebilah pedang.”

“Hanya sebilah pedang...?”

“Ya! Tapi, itu bukan pedang biasa, Rangga. Namanya, Pedang Halilintar. Pedang itu mempunyai satu kekuatan yang sangat dahsyat. Kau sendiri sudah merasakannya...,” Kata Pendeta Gondala sambil menatap langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.

“Maksud, Paman...?” Rangga masih juga belum mengerti.

“Pedang Halilintar itu kini berada dalam gua bersama pencurinya.”

“Hm...,” Rangga menggumam perlahan.

Sedikit Pendekar Rajawali Sakti melirik ke arah gua yang berada sekitar delapan batang tombak di sebelah kirinya. Tampak mulut gua itu masih kelihatan aneh dan mengerikan. Dan memang, sudah beberapa kali serangan-serangan dari lecutan cahaya kilat yang muncul dari dalam gua itu harus dihadapinya.

Namun sama sekali Rangga tidak menyangka kalau lecutan cahaya kilat itu berasal dari sebilah pedang yang bernama Pedang Halilintar, milik Persatuan Para Pendeta Selatan. Dan yang pasti, pedang itu sangat berharga. Sampai-sampai seluruh anggota Persatuan Para Pendeta Selatan menginginkan pedang itu kembali, atau Pendeta Gondala yang bertanggung jawab harus membunuh dirinya sendiri. Hal itu karena kelalaiannya, tidak bisa menjaga Pedang Halilintar dari tangan pencuri.

“Lalu, apa yang kau harapkan dariku, Paman?” tanya Rangga.

“Hanya kau yang bisa mengembalikan pedang itu ke dalam puri, Rangga. Dan itu kuketahui dari mimpi-mimpi yang selalu hadir dalam setiap tidurku. Mimpi itu terus muncul, sampai kau sekarang datang ke sini,” sahut Pendeta Gondala.

“Paman yakin itu?”

“Ya! Hanya kaulah yang mampu.”

Rangga kembali terdiam. Sedangkan Pendeta Gondala juga tidak bicara lagi. Cukup lama mereka terdiam. Dan tanpa disadari, mereka sama-sama memandang ke arah mulut gua yang kelihatan gelap, sedikit tertutup semak belukar yang sudah luring.

“Siapa pencuri Pedang Halilintar, Paman?” tanya Rangga ingin tahu.

“Jaka Anabrang,” jelas Pendeta Gondala. “Dia bukan orang lain bagi kami para pendeta. Dia adalah murid utama yang selama ini selalu dipercaya.”

“Hm.... Kenapa dia bisa mencuri pedang itu?” tanya Rangga lagi.

“Dia sakit hati.”

“Sakit hati...?”

“Ya! Sakit hati karena kami tidak dapat membela adiknya yang dijatuhi hukuman mati.”

Rangga berpaling menatap Pendeta Gondala.

“Jaka Anabrang meminta kami para pendeta untuk membebaskan adiknya dari hukuman gantung. Namun kami tidak bisa berbuat banyak, karena kesalahannya memang sangat besar. Dia membunuh putra seorang patih, hanya karena perselisihan dalam berjudi. Kau tahu sendiri, Rangga. Tidak ada seorang pun yang bisa membebaskan orang lain dari hukuman karena kesalahan seperti itu. Tapi, Jaka Anabrang tidak peduli, dan tetap menuntut kami para pendeta membebaskan adiknya. Dia minta agar kami bersedia menampungnya, dan memberinya ilmu-ilmu olah kanuragan serta ilmu-llmu kedigdayaan. Tapi, permintaannya kami tolak, dan dia merasa sakit hati,” jelas Pendeta Gondala panjang lebar.

“Hm.... Lalu, dia mencuri Pedang Halilintar...?” suara Rangga terdengar menggumam.

“Benar! Dengan pedang itu, dia sudah berhasil membunuh lima orang anggota kami para pendeta. Bahkan bermaksud menguasai dunia dengan pedang itu. Dan, hanya kau saja yang mampu menghentikannya, Rangga. Karena, kau memiliki pedang pusaka yang bisa menandingi kesaktian Pedang Halilintar.”

Rangga kembali terdiam. Benar benar sulit dimengerti, kenapa Pendeta Gondala begitu yakin kalau dia orang satu-satunya yang bisa menandingi kesaktian Pedang Halilintar. Padahal, Rangga sendiri belum pernah melihat bentuk pedang itu. Tapi melihat yang berkata seorang pendeta, Rangga tidak bisa menolak. Terlebih lagi, Pendeta Gondala sudah terang-terangan meminta bantuannya untuk merebut kembali pedang itu dari tangan Jaka Anabrang.

“Baiklah, Paman. Aku akan mencobanya,” ucap Rangga akhirnya.

“Terima kasih, Rangga. Aku benar-benar mengharapkan kau bisa merebut pedang itu dari tangan Jaka Anabrang. Masalahnya, jika dibiarkan akan semakin banyak orang yang mendengar tentang pedang itu. Dan tentu saja akan semakin banyak pula yang ingin memilikinya. Maka, dunia ini akan semakin kacau, jika semua orang ingin memiliki pedang itu,” sambut Pendeta Gondala gembira, juga khawatir.

Entah kenapa, Rangga jadi tersenyum. Mungkin karena hal seperti itu sudah terlalu sering dihadapi. Sebuah benda yang memiliki kesaktian dan pamor dahsyat menjadi rebutan orang-orang persilatan. Dan kalau mendengar cerita dari Pendeta Gondala dan juga apa yang telah disaksikannya, rasanya Pedang Halilintar memang tidak bisa dipandang ringan kemampuannya.

Perlahan Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri. Pandangannya terus tertuju ke arah mulut gua yang kelihatan gelap menghitam pekat, seperti tidak ada sesuatu yang aneh di sana. Tapi gua itu sangat berbahaya untuk didekati. Dan baru saja kaki Rangga terayun dua langkah, terdengar derap langkah kaki kuda yang dipacu cepat dari kejauhan. Derap kaki kuda itu semakin jelas terdengar. Kemudian, terlihat debu dan dedaunan kering beterbangan ke udara. Rangga berpaling menatap ke arah kepulan debu itu. Dan tak lama kemudian, terlihat seorang gadis cantik berbaju biru muda, memacu cepat kudanya menuju ke arah Pendekar Rajawali Sakti berdiri.

“Hooop. .!”

Gadis cantik yang tak lain Pandan Wangi langsung melompat turun dari punggung kuda putihnya, setelah dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti. Begitu indah dan ringan gerakannya, sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya menjejak tanah. Dia langsung mendarat tepat sekitar tiga langkah lagi di depan Rangga. Sementara itu, Pendeta Gondala sudah berdiri. Tapi dia tidak beranjak sedikit pun dari tempatnya.

“Pandan, kenapa kau ke sini...?” tegur Rangga langsung.

“Aku khawatir padamu, Kakang. Sudah lama kau pergi,” sahut Pandan Wangi.

“Bagaimana Lastri?”

“Dijaga Jalakpati. Kalau sudah sembuh, Jalakpati akan membawanya ke padepokannya yang dulu,” jelas Pandan Wangi, singkat

Rangga hanya menganggukkan kepala saja. Sebentar matanya melirik Pendeta Gondala. “Kau tunggu di sana bersama Paman Pendeta Gondala, Pandan,” ujar Rangga.

Belum juga Pandan Wangi berbicara, Rangga sudah melompat cepat sekali. Dilewatinya atas kepala gadis itu, dan tahu-tahu Rangga sudah berada tidak jauh di depan mulut gua. Pandan Wangi hanya bisa terpaku memandangi. Sementara, Pendeta Gondala sudah melangkah menghampiri gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut ini.

***
DELAPAN
Slap!
“Ups...!”

Belum juga Rangga bisa berbuat sesuatu, dari dalam gua sudah melesat cahaya kilat menuju ke arahnya. Cepat Pendekar Rajawali Sakti memiringkan tubuhnya ke kanan, dan cahaya kilat keperakan itu lewat sedikit di sampingnya. Bergegas Rangga menggeser kakinya ke kiri dua langkah. Lalu tubuhnya kembali cepat merunduk, begitu terlihat cahaya kilat keperakan kembali melesat cepat ke arahnya.

“Hup! Yeaaah...!”

Begitu cahaya kilat itu lewat di atas kepala, cepat Rangga menegakkan tubuhnya. Lalu, kedua tangannya cepat dihentakkan ke depan sambil berteriak keras menggelegar. Seketika itu juga, dari kedua telapak tangannya yang terkembang ke depan keluar cahaya merah bagai api menuju ke mulut gua dengan kecepatan bagai kilat. Bagi Pandan Wangi yang melihat dari jarak yang cukup jauh, sudah tahu kalau saat itu Rangga mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir dari jarak jauh.

Glarrr...!

Satu ledakan keras menggelegar dan dahsyat terjadi, begitu cahaya merah bagai api yang keluar dari kedua telapak tangan Rangga menghantam mulut gua. Seketika getaran pun terjadi bagai sebuah gempa.

Tampak gua itu hancur, menimbulkan kepulan debu yang membubung tinggi ke angkasa. Batu-batu berhamburan, beterbangan ke segala arah. Memang sangat dahsyat jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir yang dilepaskan Rangga tadi. Gua itu benar-benar hancur, hingga batu-batuannya bertebaran ke segala arah.

Rangga masih tetap berdiri tegak, menunggu sampai kepulan debu yang menyelimuti mulut gua yang sudah hancur itu menghilang. Sedikit pun tak terlihat adanya bayangan berkelebat keluar dari dalam gua. Saat itu, kening Rangga terlihat berkerut. Kelopak matanya pun menyipit melihat mulut gua masih terlihat menganga, walaupun sudah hancur berkeping-keping.

“Hm...,” Rangga menggumam kecil perlahan.

Wusss!

Pada saat itu, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan kuning berkelebat begitu cepat keluar dari dalam gua. Dan bayangan itu langsung meluruk deras ke arah Rangga yang masih berdiri sekitar dua batang tombak di depan gua.

“Haiiiit..!”

Cepat Rangga melenting ke belakang sambil berputaran beberapa kali. Lalu dengan manis sekali kakinya menjejak tanah. Tapi betapa terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti, saat melihat bayangan kuning itu langsung meluruk deras ke arah Pendeta Gondala.

“Awaaas...!”
“Hah...?!”

Namun, Pendeta Gondala hanya bisa terbeliak saja melihat bayangan kuning itu meluruk bagai kilat ke arahnya. Dan belum juga bisa bertindak sesuatu, tiba-tiba saja satu kilatan cahaya keperakan berkelebat begitu cepat menyambar ke arah lehernya. Namun pada saat yang bersamaan, Pandan Wangi cepat mencabut kipas mautnya. Langsung dikebutkannya ke arah kilatan cahaya kilat keperakan itu, hingga....

Wukkk!
Trang!
“Akh...!”
Pandan...!”

Rangga jadi tersentak kaget, melihat Pandan Wangi terpental sambil mengeluarkan jeritan tertahan. Gadis itu menghantam sebatang pohon besar hingga tumbang, dan jatuh bergulingan di tanah beberapa kali. Sedangkan kipas mautnya terpental ke udara, lepas dari genggaman.

“Suiiit..!”

Saat itu, tiba-tiba terdengar siulan yang nyaring menyakitkan telinga. Dan tepat di saat Pandan Wangi baru bangkit, muncul dua orang laki-laki bertubuh tinggi tegap berotot, disusul seorang wanita tua berjubah kumal. Pada tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat yang ujungnya berbentuk runcing.

Dua orang laki-laki tegap berotot yang tidak mengenakan baju itu langsung meringkus Pandan Wangi. Sedangkan perempuan tua berjubah kumal sudah menempelkan ujung tongkatnya yang runcing, tepat di tenggorokan si Kipas Maut.

Sementara, Rangga tidak sempat lagi memperhatikan Pandan Wangi, karena perhatiannya tertumpah pada Pendeta Gondala. Pendeta tua itu kini tengah sibuk menghadapi seorang pemuda berbaju kuning yang menggunakan pedang bercahaya keperakan yang mengeluarkan kilat dari ujungnya.

“Apa yang harus kulakukan...?” desis Rangga bertanya sendiri.

Pendekar Rajawali Sakti jadi kebingungan sendiri. Dia tidak tahu, mana yang harus didahulukan. Sementara Pandan Wangi tidak berdaya berada dalam cengkeraman teman-teman Jaka Anabrang, sedangkan Pendeta Gondala harus menghadapi Jaka Anabrang yang menggunakan Pedang Halilintar. Dan Rangga tahu, Pendeta Gondala tidak akan mungkin bisa menandingi kesaktian Pedang Halilintar. Dan di saat Pendekar Rajawali Sakti tengah diliputi kebimbangan, tiba-tiba saja....

Crasss!

Rangga jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba Pendeta Gondala menjerit keras. Dan lebih terkejut lagi, saat pendeta tua itu terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya yang berlumuran darah. Rupanya, Jaka Anabrang sudah berhasil membabatkan Pedang Halilintar ke dada pendeta tua itu. Darah langsung mengucur deras dari dada yang sobek terbabat pedang berkilatan itu.

“Mampus kau, Pendeta Tua! Hiyaaat..!”

“Oh...?!” Rangga tersentak kaget begitu melihat Jaka Anabrang melesat cepat bagai kilat, sambil mengayunkan pedangnya ke leher Pendeta Gondala. Dan tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat sambil mencabut pedang pusakanya.

“Hiyaaa...!”
Sret... Cring!
Bettt!

Dan secepat itu pula, Rangga membabatkan Pedang Rajawali Sakti ke Pedang Halilintar yang melayang deras mengarah ke leher Pendeta Gondala. Hingga....

Trang!
Glarrr...!

Kembali terdengar ledakan yang begitu dahsyat menggetarkan jantung, ketika dua pedang yang memiliki pamor dahsyat beradu tidak jauh dari leher Pendeta Gondala.

“Yeaaah...! Hup!”

Sambil melenting ke belakang, Rangga menghentakkan tangan kirinya. Didorongnya tubuh Pendeta Gondala hingga terpental jauh ke belakang. Sementara, Jaka Anabrang juga melesat ke belakang sejauh dua batang tombak. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, dan manis sekali kedua kakinya kembali menjejak tanah. Pada saat itu kedua kaki Rangga juga sudah menjejak tanah, setelah melakukan beberapa kali putaran di udara.

“Phuuuih...!”

Jaka Anabrang menyemburkan ludahnya dengan sengit. Sorot matanya begitu tajam, menembus langsung ke bola mata Rangga yang berdiri sekitar empat batang tombak di depan. Periahan kakinya bergeser mendekati. Sementara, Rangga tetap berdiri tegak dengan pedang yang memancarkan cahaya biru berkilauan tersilang di depan dada. Sorot matanya juga terlihat tidak kalah tajam.

“Kau hanya bermimpi untuk bisa merebut Pedang Halilintar dari tanganku, Kisanak. Sebaiknya, menyingkir saja, dan bawa pergi gadis ingusanmu itu!” terasa sangat dingin nada suara Jaka Anabrang.

“Hm...,” Rangga hanya menggumam perlahan saja.

Pendekar Rajawali Sakti menggeser kakinya sedikit demi sedikit ke kanan. Namun sorot matanya masih tetap terlihat begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata pemuda yang kini sekitar satu batang tombak lagi jaraknya di depan.

“Serahkan pedang itu, Jaka Anabrang. Kau tidak berhak memilikinya. Pedang itu bukan milikmu!” ujar Rangga. Nada suaranya juga tidak kalah dingin.

“Phuih! Tidak ada seorang pun yang bisa memiliki pedang ini kecuali aku!” dengus Jaka Anabrang sengit.

“Jangan paksa aku bertindak dengan kekerasan, Jaka Anabrang.”

“Ha ha ha...!” Jaka Anabrang malah tertawa terbahak-bahak.

Sedikit pemuda itu melirik Pandan Wangi yang tidak berdaya. Kedua tangan gadis itu tampak dipegangi dua orang laki-laki bertubuh tinggi tegap. Sementara tenggorokannya terancam oleh ujung tongkat runcing perempuan tua berjubah kumal. “Bawa dia!” perintah Jaka Anabrang lantang.

Tanpa diperintah dua kali, kedua laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berotot itu langsung melesat cepat membawa Pandan Wangi, diikuti perempuan tua berjubah kumal yang tadi menempelkan ujung tongkatnya ke tenggorokkan si Kipas Maut itu.

“Keparat! Pengecut..!” desis Rangga menggeram berang, melihat tindakan Jaka Anabrang.

“Ha ha ha...!” tapi Jaka Anabrang malah tertawa terbahak-bahak.

Sementara, seluruh wajah Rangga sudah terlihat memerah. Gerahamnya juga menggeretuk, menahan kemarahan yang meluap melihat kelicikan Jaka Anabrang yang menawan Pandan Wangi. Sementara di tempat agak jauh, terlihat Pendeta Gondala terbaring dengan dada sobek mengucurkan darah.

“Kubunuh kau, Jaka Anabrang! Hiyaaat..!”

Rangga benar-benar tidak dapat mengendalikan kemarahannya. Sambil berteriak keras menggelegar, dia melompat dan langsung membabatkan Pedang Rajawali Sakti ke leher pemuda berbaju kuning itu.

Bettt!
“Hiyaaat..!”
Trang!

Tapi, Jaka Anabrang malah menyambut serangan itu dengan Pedang Halilintar. Akibatnya dua pedang beradu keras sekali, sampai menimbulkan ledakan dahsyat menggetarkan bumi. Rangga langsung melenting ke udara, dan berputaran dua kali. Lalu cepat sekali tubuhnya meluruk deras sambil mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.

“Haiiit..!”

Jaka Anabrang cepat-cepat melompat ke belakang sambil membabatkan pedang ke atas kepala. Dan pada saat itu juga, Rangga memutar tubuhnya, hingga kepalanya berada di bawah. Dan bagaikan kilat, pedangnya langsung dibabatkan ke arah dada lawan.

“Yeaaah...!”
Bet!
“Ups!”

Jaka Anabrang jadi tersentak kaget setengah mati. Cepat-cepat dia melompat ke belakang. Dan dengan cepat pula pedangnya dibabatkan ke depan dada, menangkis sabetan Pedang Rajawali Sakti yang memancarkan cahaya biru berkilauan.

Trang!

Kembali dua pedang berpamor sangat dahsyat itu beradu, tanpa dapat dicegah lagi. Dan lagi-lagi, Rangga melompat ke belakang sambil berputaran beberapa kali. Lalu, manis sekali Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya di tanah.

“Huh!”

Rangga mendengus, merasakan tangan kanannya bergetar. Dan memang, setiap kali pedangnya berbenturan dengan Pedang Halilintar di tangan Jaka Anabrang, tangan kanannya selalu terasa bergetar. Cepat disadari kalau Pedang Halilintar memang memiliki kekuatan dahsyat sekali. Dan itu tidak mungkin bisa ditandingi dengan menggunakan jurus-jurus biasa.

“Hap!”

Rangga segera menyiapkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma' yang jarang sekali digunakan jika tidak terpaksa. Dan dalam menghadapi lawan yang sangat tangguh seperti Jaka Anabrang ini, Rangga terpaksa melakukannya. Cahaya biru yang memancar dari Pedang Rajawali Sakti tertihat semakin menyilaukan mata.

“Hiyaaat..!”

Sambil berteriak keras menggelegar, Rangga melompat dan langsung membabatkan pedangnya disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Tapi....

“Heh...?!”

Pendekar Rajawali Sakti jadi tersentak setengah mati, ketika merasa kan pedangnya hanya membabat angin saja. Dan lebih terkejut lagi, begitu melihat Jaka Anabrang sudah lenyap, tanpa dapat diketahui lagi. Pemuda itu benar-benar menghilang, bagaikan tertelan bumi.

“Setan keparat..!” geram Rangga sambil menghentakkan kakinya, kesal. Dengan sinar mata yang tajam, Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tapi, Jaka Anabrang memang sudah tidak ada lagi. Entah ke mana perginya. Benar-benar tidak diketahui.

“Rangga.”
“Oh...?!”

Rangga bergegas berpaling begitu mendengar suara lirih. Bergegas dihampirinya Pendeta Gondala yang terbaring menelentang dengan darah masih mengucur dari dadanya yang terbelah. Tampak wajah pendeta tua itu sudah kelihatan pucat membiru. Sementara, matanya juga tidak lagi memancarkan cahaya kehidupan. Rangga cepat-cepat mendekatkan telinganya ke bibir Pendeta Gondala yang bergerakgerak seperti hendak mengucapkan sesuatu.

“Rangga.... Kau harus hati-hati menghadapinya. Dia sudah berhasil menyatukan jiwanya dengan Pedang Halilintar. Apa pun yang terjadi, kau harus bisa memisahkannya dari pedang itu. Sangat berbahaya kalau sampai seluruh jiwa Pedang Halilintar bisa dikuasainya...,” terdengar lirih sekali suara Pendeta Gondala.

“Aku akan berusaha, Paman,” janji Rangga.

“Sayang, aku tidak bisa lagi mendampingimu, Rangga....”

“Paman...!”

“Rangga! Kau pasti ingin tahu, kenapa Padepokan Eyang Banaspati hancur....”

Rangga mengangguk.

“Salah seorang muridnya mencoba merampas Pedang Halilintar. Itu membuat Jaka Anabrang marah. Maka padepokan itu dihancurkannya setelah membunuh muridnya. Bahkan penduduk Bangkalan juga dibantai satu persatu.”

“Lalu, bagaimana dengan Eyang Banaspati sendiri?”

“Dia terluka sangat parah. Dan sekarang berada di puri. Butuh waktu lama untuk menyembuhkannya. Rangga.... Kau harus berjuang sendiri. Tidak ada lagi yang membantumu....”

Rangga hanya bisa menarik napas panjang, melihat Pendeta Gondala menghembuskan napasnya yang terakhir. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri. Dan kepalanya tertunduk begitu dalam, menatap tubuh Pendeta Gondala yang terbujur tidak bernyawa lagi.

“Aku akan merebut pedang itu dari tangannya, Paman. Aku janji...,” desis Rangga mantap.

Perlahan Rangga menegakkan kepalanya, memandang ke angkasa beberapa saat Kemudian, kakinya menghampiri sebuah kipas baja putih yang tergeletak tidak seberapa jauh dari mayat Pendeta Gondala. Dipungutnya kipas baja putih itu, dan Dipandanginya beberapa saat. Kemudian, kipas maut itu diselipkan ke balik ikat pinggangnya.

“Pandan.... Seharusnya kau tidak perlu datang ke sini,” desah Rangga menyesalkan kemunculan Pandan Wangi. Dan kini, gadis itu berada di dalam cengkeraman tangan teman-teman Jaka Anabrang.

Kini Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu lagi, bagaimana nasib Pandan Wangi. Ada kepedihan dalam hatinya. Tapi, semua kepedihan itu jadi lenyap, mengingat Jaka Anabrang bisa menahan Pandan Wangi secara licik. Bahkan kegeramannya pun muncul menyelimuti hatinya.

“Kau harus mampus di tanganku, Jaka Anabrang...!” desis Rangga menggeram. 

***

Apakah Pendekar Rajawali Sakti mampu memenuhi janjinya pada Pendeta Gondala? Dan bagaimana nasib Pandan Wangi di tangan Jaka Anabrang? Untuk mengetahui jawabannya, ikuti serial Pendekar Rajawali Sakti selanjutnya dalam kisah Rajawali Murka.