Pendekar Rajawali Sakti 90 - Rajawali Murka(1)

SATU
"Yeaaah... !"
Glarrr!

Ledakan keras menggelegar tiba-tiba terdengar menggetarkan bumi. Rasanya saat ini bagai terjadi gempa dahsyat saja. Seluruh pepohonan berguncang disertai guguran daun-daunnya. Batu-batuan bergetar. Bahkan tidak sedikit yang retak, akibat teriakan keras disertai ledakan dahsyat menggelegar tadi. Ternyata, suara yang membuat alam seakan-akan jadi murka itu berasal dari seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Kedua tangannya tampak masih terentang, menjulur lurus ke depan.

Bahkan kedua telapak tangannya sudah terlihat menjadi merah membara, bagai besi terbakar. Asap tipis kemerahan tampak masih terlihat mengepul dari kedua telapak tangan terbuka yang menjulur ke depan itu. Perlahan-lahan tangan itu bergerak ke depan, lalu lunglai di samping tubuhnya. Kelihatannya, dia bagai tak bertenaga lagi, namun tetap berdiri dengan tubuh bersimbah keringat.

"Jaka Anabrang.... Kalau kau sampai menyentuh Pandan Wangi, tidak ada ampun lagi bagimu...!" desis pemuda itu, terdengar menggeram.

Pemuda tampan berbaju rompi putih yang tak lain Rangga, tampak mengepalkan telapak tangannya kuat-kuat. Hingga, otot-ototnya kelihatan bersembulan ke luar. Keringat yang membanjiri sekujur tubuhnya, membuat otot-ototnya jadi berkilatan terjilat cahaya matahari pagi. Sorot matanya masih terlihat begitu tajam memandang ke satu arah tanpa berkedip sedikit pun.

"Hm.... Mereka pergi ke arah utara. Aku tidak boleh membuang-buang waktu, agar jangan sampai terjadi sesuatu pada Pandan Wangi," gumam Rangga perlahan.

Kepala Rangga langsung terdongak ke atas. Sebentar kemudian napasnya mulai ditarik dalam-dalam, lalu ditahannya beberapa saat. Dan....

"Suiiit...!"

Terdengar siulan nyaring yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti. Siulan panjang bernada aneh itu menggema menyelusup dan menembus hutan yang lebat ini. Dua kali Rangga mengeluarkan siulan panjang dan nyaring itu. Dan bibirnya kemudian tersenyum, begitu di angkasa terlihat sebuah titik hitam bercahaya putih keperakan tengah melayang-layang.

"Rajawali! Cepat ke sini...!" panggil Rangga, sambil melambaikan tangannya.

"Khraaagkh...!"

Terdengar suara serak menggelegar, bagai hendak membelah angkasa. Dan tak lama kemudian, terlihat seekor burung rajawali berbulu putih tengah meluncur. Kecepatannya bagai kilat, menuju ke arah Rangga. Semakin dekat rajawali putih ini, semakin terlihat jelas bentuknya kalau itu adalah rajawali raksasa.

"Khraaagkh...!"

Walaupun tubuhnya hampir sebesar bukit, tapi tidak sedikit pun terdengar suara saat kedua cakarnya menyentuh tanah. Rangga bergegas menghampiri, dan menepuk leher Rajawali Putih beberapa kali. Dan kepala burung itu jadi terangguk-angguk.

"Ayo, Rajawali. Bantu aku mencari Pandan Wangi," ajak Rangga.

Khrrr...!

"Iya, nanti semuanya kuceritakan," kata Rangga lagi, seakan mengerti apa yang baru saja disuarakan burung rajawali raksasa itu. Kembali Rangga menepuk leher Rajawali Putih beberapa kali, kemudian melangkah mundur beberapa tindak. Dan....

"Hup!" Dengan gerakan ringan sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung rajawali putih raksasa ini. Dan Rangga langsung duduk di punggung tunggangannya.

"Ayo, Rajawali. Ke arah utara dulu...!" pinta Rangga.

"Khraaagkh...!"

Wusss...!

Hanya beberapa kali kepak saja, Rajawali Putih sudah melambung tinggi ke angkasa dengan Rangga di punggungnya. Memang luar biasa sekali kecepatan terbang burung tunggangan Pendekar Rajawali Sakti ini. Dalam waktu sekejap mata saja, sudah berada di atas awan!

"Khraaagkh...!"

***

Seharian penuh, Rangga mencoba mencari jejak Pandan Wangi dari udara. Tapi, sedikit pun tidak didapat adanya tanda-tanda, ke mana Pandan Wangi dibawa pergi Jaka Anabrang. Hatinya benar-benar geram melihat kepengecutan Jaka Anabrang yang menahan Pandan Wangi, dan dijadikan sandera untuk melemahkan dirinya.

Walaupun baru sekali bertarung, tapi Rangga sudah bisa membaca tingkat kepandaian Jaka Anabrang yang memang sudah sangat tinggi. Jadi, mustahil jika Pandan Wangi bisa menghadapinya seorang diri. Bahkan Rangga sendiri saja hampir tidak dapat mengimbanginya, walaupun sudah menggunakan Pedang Rajawali Sakti. Pedang Halilintar yang dimiliki Jaka Anabrang memang sangat dahsyat, sehingga sanggup menandingi kesaktian Pedang Rajawali Sakti. Hal inilah yang membuat hati Pendekar Rajawali Sakti cemas. Dan, bukan hanya itu saja. Masih banyak kecemasan yang saat ini bergelayut di dalam hatinya.

Sampai matahari hampir tenggelam di kaki sebelah barat, Rangga belum juga bisa menemukan jejak-jejak Jaka Anabrang yang membawa kabur Pandan Wangi. Padahal, seluruh sudut hutan ini sudah dijelajahinya dari udara. Tapi, tanda-tanda tempat persembunyian Jaka Anabrang kali ini belum juga terlihat. Kecemasan di dalam hatinya tidak dapat lagi tertahankan. Maka Rangga meminta Rajawali Putih turun, begitu terlihat sebuah padang rumput yang tidak begitu luas.

"Khraaagkh...!"

Sambil mengeluarkan suara yang menggeledek, Rajawali Putih menukik turun dengan kecepatan kilat dari angkasa. Dan sebentar saja, burung Rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu sudah mendarat di tengah-tengah padang berumput tebal bagai permadani terhampar ini.

"Hup!"

Begitu ringan dan sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Rangga. Sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat melompat turun, dan menjejak tanah berumput.

"Hmm." Rangga mengedarkan pandangan berkeliling. Sedikit pun tidak terlihat adanya tanda-tanda kehidupan di sekitarnya. Bahkan suara binatang atau serangga juga tidak terdengar. Suasana yang begitu lengang, membuat Pendekar Rajawali Sakti langsung meningkatkan kewaspadaannya.

"Kau pergi dulu, Rajawali. Tapi jangan jauh-jauh," kata Rangga. Suaranya terdengar setengah berbisik.

"Khragkh...!"

Hanya beberapa kali mengepakkan sayap, Rajawali Putih sudah melambung begitu tinggi di angkasa. Dalam sekejap saja, burung raksasa itu sudah terlihat begitu kecil di antara awan.

Sedikit Rangga mendongakkan kepala ke atas, memastikan kalau Rajawali Putih tidak meninggalkan sendirian di padang rumput yang tidak dikenalnya. Dan pada saat Pendekar Rajawali Sakti baru mengalihkan perhatian dari Rajawali Putih, mendadak saja telinganya yang setajam telinga rajawali, mendengar suara mendesir halus dari arah sebelah kanan.

"Hap!"

Cepat Rangga menarik kakinya ke belakang satu langkah, sambil menarik tubuhnya sedikit. Dan saat itu juga, terlihat sebuah benda bercahaya keperakan melesat begitu cepat bagai kilat, lewat sedikit di depan dadanya.

"Hup!" Rangga cepat-cepat melompat sambil berputar ke belakang, begitu merasakan adanya aliran hawa panas saat benda yang memancarkan cahaya keperakan itu lewat di depan dadanya. Tiga kali Pendekar Rajawali Sakti berputaran ke belakang, lalu manis sekali kembali menjejak tanah berumput tebal ini. Sorot matanya yang tajam, langsung tertuju ke arah datangnya benda bercahaya keperakan tadi.

"Hm...." Namun belum juga pikiran Pendekar Rajawali Sakti bisa berjalan, mendadak saja....

"Heh...?!"

Bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti, ketika tiba-tiba saja merasakan ada sesuatu yang membelit kakinya. Dan lebih terkejut lagi, ketika kedua kakinya terlihat sudah tercengkeram oleh sepasang tangan yang kotor berlumpur dan sudah rusak.

"Hih!" Rangga menyentakkan kakinya, berusaha membebaskan cengkeraman sepasang tangan kotor berlumpur yang sudah membusuk itu. Tapi, cengkeraman itu sangat kuat, sehingga Pendekar Rajawali Sakti mulai merasakan pedih pada kulit kakinya yang mulai tersayat

"Hih! Yeaaah...!"

Sambil menghentakkan kakinya dengan kekuatan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna, Rangga melesat begitu cepat setinggi dua batang tombak ke udara. Tubuhnya kemudian berputaran beberapa kali, sebelum meluruk turun dengan gerakan indah sekali. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sedikit pun tidak bersuara saat menjejak tanah berumput ini.

"Hm.... Mana dia...?" Rangga jadi celingukan sendiri. Ternyata sepasang tangan kotor yang tadi mencengkeram kedua kakinya sudah tidak terlihat lagi. Malah sedikit pun tidak ada bekas, kalau tadi ada tangan berlumpur yang sudah busuk menyembul keluar dari dalam tanah. Dan di saat Pendekar Rajawali Sakti tengah kebingungan, tiba-tiba saja...

Brull!

"Uts! Hap...! Cepat Rangga melenting ke atas, ketika tiba-tiba saja dari dalam tanah menyembul sesosok tubuh yang bentuknya sudah tidak beraturan. Sosok makhluk yang bisa dikatakan sebagai mayat hidup! Rangga sampai bergidik melihat bentuk tubuh dan raut wajah yang mengerikan, dipenuhi lumpur dan ulat-ulat kecil. Bahkan tingginya dua kali di banding manusia biasa. Benar-benar makhluk mengerikan!

"Ghrrr...!"

Sambil menggereng bagai lebah, makhluk yang lebih layak mayat hidup itu bergerak lamban mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Kedua tangannya menjulur ke depan, dengan jari-jari rusak dan penuh lumpur serta ulat-ulat kecil. Sementara, Rangga tetap berdiri tegak menanti sambil terus memperhatikan dengan sorot mata begitu tajam. Sedikit pun kelopak matanya tidak berkedip, memperhatikan makhluk mayat hidup yang terus bergerak semakin mendekati.

"Siapa pun dia, pasti tidak akan bisa diajak damai. Hm.... Aku, atau dia yang harus berkalang tanah," gumam Rangga pelan.

Memang melihat dari bentuk makhluk mayat hidup itu, Rangga tidak mungkin lagi bisa mendapat dua pilihan. Maka langsung saja kakinya direnggangkan dengan kedua lutut tertekuk ke depan. Kedua telapak tangannya sudah menyatu di depan dada. Semen-tara, sorot matanya masih tetap tajam, menatap makhluk mayat hidup yang terus melangkah perlahan menghampiri.

"Haaap...!"

Sambil menahan napas dalam-dalam, Rangga merenggangkan kedua telapak tangan yang terus bergerak sampai sejajar pinggang. Tampak kedua tangannya yang kini terkepal, memancarkan sinar merah bagaikan terbakar. Rupanya, saat itu juga Rangga sudah mempersiapkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir.

"Ghraaagkh...!" Begitu keras makhluk mayat hidup itu menggerung. Dan tiba-tiba saja, kedua tangannya yang menjulur ke depan bergerak begitu cepat mengibas ke arah leher Rangga.

"Hiyaaa...!"

Namun, Rangga yang sudah siap sejak tadi cepat meliuk setengah berputar. Dan dengan kecepatan bagai kilat, langsung diberikannya pukulan dahsyat sekali, disertai pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna.

"Yeaaah...!" Begitu cepat pukulan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga makhluk mayat hidup ini tidak dapat lagi berkelit. Dan....

Glarr...!

Satu ledakan yang sangat dahsyat seketika terdengar, begitu satu kepalan tangan kanan Rangga tepat menghantam dada makhluk mayat hidup itu. Dan kesunyian padang rumput itu seketika jadi pecah.

"Aaargh...!" Makhluk mayat hidup itu meraung keras sekali, hingga menggetarkan seluruh padang aimput di tengah hutan yang sangat lebat dan mengerikan. Begitu kerasnya pukulan yang dilepaskan Rangga tadi, sehingga membuat tubuh mayat hidup itu terpental ke belakang sejauh lima batang tombak. Luncurannya baru berhenti, setelah menghantam sebatang pohon yang sangat besar, hingga hancur berkeping-keping.

"Hup!" Rangga cepat-cepat melompat mengejar. Tapi begitu baru saja akan melepaskan satu pukulan dahsyat, mendadak saja mayat hidup itu sudah cepat melesak masuk ke dalam tanah kembali.

"Uhhh...!"

Rangga kembali melompat ke belakang sejauh lima langkah. Pandangannya langsung beredar ke sekeliling, merayapi tanah berumput tebal di sekitarnya. Tapi, sedikit pun tidak ada tanda-tanda kalau mayat hidup tadi bakal muncul kembali. Entah berapa lama Pendekar Rajawali Sakti merayapi tanah berumput di sekitarnya dengan sorot mata tajam sekali. Dan sampai sejauh ini, tetap saja makhluk mayat hidup itu tidak menampakkan wujudnya. Namun di saat Rangga tengah bergelut dengan pikirannya sendiri, mendadak saja dari belakang terasakan adanya desiran angin yang sangat halus.

"Hap!" Cepat-cepat Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan. Dan saat itu juga, dari belakangnya melesat cepat sebuah benda berbentuk bulat pipih, melewati bahunya. Rangga cepat menghindar dengan menarik kakinya, sehingga benda bulat pipih bercahaya keperakan dan mengandung hembusan hawa panas itu, menancap begitu dalam, pada batang pohon tidak jauh darinya.

Pendekar Rajawali Sakti bergegas memutar tubuhnya berbalik Dan pada saat itu, terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat dari balik pepohonan yang begitu rapat. Bayangan berwarna keperakan itu langsung meluruk, hendak menerjang Pendekar Rajawali Sakti.

"Hup! Yeaaah...!"

Begitu cepat Rangga melenting ke samping, menghindari terjangan bayangan keperakan itu. Dan dengan sengaja, dirinya dilempar ke atas tanah berumput, lalu bergulingan beberapa kali. Kemudian tubuhnya melesat bangkit berdiri. Gerakannya indah sekali saat kedua kakinya kembali menjejak tanah dengan kokoh.

"Hih! Yeaaah...!"

Tepat di saat bayangan keperakan itu kembali meluruk hendak menerjang ke arahnya, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya yang terkepal. Saat ini jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' memang siap dikerahkan, hingga kedua kepalan tangannya jadi merah membara, bagai besi baru dikeluarkan dari dalam tungku. Begitu cepat dan tidak terduga tindakannya, sehingga membuat bayangan keperakan itu jadi tersentak. Tapi, terjangannya sudah tidak mungkin lagi dihentikan. Hingga....

Glarr...!

Kembali ledakan dahsyat terdengar keras menggelegar, sampai menggetarkan seluruh tanah di padang rumput ini. Dan saat itu, tubuh Rangga terdorong sampai lima langkah jauhnya ke belakang. Sedangkan bayangan keperakan itu terpental sejauh dua batang tombak, lalu bergulingan di tanah berumput tebal.

"Hap!" Rangga cepat-cepat membuat beberapa gerakan dengan kedua tangan untuk menguasai keseim-bangan tubuh dan pernapasannya. Sementara, sekitar dua batang tombak lebih di depannya terlihat seorang laki-laki berusia lanjut. Tubuhnya tengah terbungkuk dengan kedua lutut menyentuh tanah. Pakaiannya panjang bagai jubah, berwarna putih keperakan dan berkilatan. Seluruh rambutnya yang panjang tampak sudah berwarna keperakan.

Perlahan orang tua itu bangkit berdiri, langsung menatap Rangga dengan sorot mata merah dan tajam. Tampak pada bagian sabuk perak yang membelit pinggangnya, berjajar benda bulat pipih berwarna putih keperakan. Di tangan kanannya, tergenggam sebatang tombak pendek berwarna putih keperakan bermata pada kedua ujungnya.

"Setan Perak Lembah Mayat..," desis Rangga.

***
DUA
"Tidak percuma kau mendapat gelar Pendekar Rajawali Sakti dan disegani hampir seluruh tokoh rimba persilatan. Tapi bagaimanapun digdayanya, tidak sepantasnya kau menjarah wilayah kekuasaan orang lain seenaknya sendiri," kata Setan Perak Lembah Mayat, terasa begitu dingin suaranya.

Tiba-tiba saja, Rangga jadi tersentak. Benar-benar tidak disangka kalau saat ini sudah berada di Lembah Mayat. Dan memang, baru kali ini Pendekar Rajawali Sakti datang ke daerah yang sudah sangat terkenal keangkerannya. Hingga, tak ada seorang pun yang berani datang, walaupun hanya sekadar lewat saja.

Sudah seringkali Rangga mendengar tentang keangkeran Lembah Mayat ini. Konon, siapa saja yang datang, tidak akan pernah kembali lagi. Tak seorang pun bisa keluar dari dalam lembah ini dalam keadaan hidup. Tapi, sebenarnya bukan lembah itu yang membuat semua orang harus berpikir seribu kali jika hendak melewatinya, melainkan penghuninya yang sudah teramat dikenal.

Orang itu adalah Setan Perak Lembah Mayat yang terkenal tidak pernah memberi ampun pada siapa saja yang berani memasuki Lembah Mayat. Dan lembah itu memang diakui sebagai daerah kekuasaannya. Sementara, Rangga benar-benar baru menyadari. Padahal dia tahu, Setan Perak Lembah Mayat memiliki ilmu kedigdayaan yang sangat tinggi tingkatannya. Hingga sampai saat ini, belum ada seorang pun yang bisa menandingi kesaktiannya.

"Maafkan atas kelancanganku memasuki daerahmu, Setan Perak. Aku benar-benar tidak tahu kalau padang rumput ini masih termasuk wilayah Lembah Mayat, daerah kekuasaanmu. Benar-benar tidak kusengaja. Masalahnya, aku sedang mencari temanku yang dibawa kabur," Rangga mencoba menjelaskan, dan tidak ingin melanjutkan keributan.

Bukannya Pendekar Rajawali Sakti gentar menghadapi Setan Perak Lembah Mayat, tapi memang tidak ingin berurusan dengan tokoh tua yang kesaktiannya sudah teramat terkenal ini. Apalagi, dia sedang menghadapi satu persoalan berat yang tidak ingin terus berlarut-larut

"Huh! Semua orang yang datang ke sini, selalu berkata begitu. Padahal aku tahu, mereka ingin membunuhku! Termasuk juga kau, Pendekar Rajawali Sakti...!" ketus sekali nada suara Setan Perak Lembah Mayat

"Tidak...! Aku berkata yang sesungguhnya, Setan Perak," bantah Rangga tegas.

"Phuih! Kau pikir aku bisa percaya begitu saja, heh...? Kedatanganmu ke sini pasti karena dikirim pendeta-pendeta busuk yang sok suci itu!" sentak Setan Perak Lembah Mayat lantang.

Rangga jadi terdiam. Bukannya karena tidak memiliki kata-kata bantahan lagi, tapi baginya memang tidak ada gunanya meyakinkan laki-laki tua penguasa Lembah Mayat ini. Sudah begitu banyak didengarnya tentang Setan Perak Lembah Mayat. Dan dia tahu, laki-laki tua ini tidak bisa menerima penjelasan apa pun juga.

"Kau tahu, Pendekar Rajawali Sakti. Sebenarnya aku tidak ingin berurusan dengan para pendeta itu. Tapi mereka selalu saja mencari persoalan. Dan sekarang, mereka mengirimmu untuk membunuhku. Huh...! Kau datang ke sini hanya untuk mengantarkan nyawa saja," kata Setan Perak Lembah Mayat, masih tidak sedap terdengar di telinga.

"Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan, Setan Perak. Aku benar-benar tidak tahu, dan..."

"Cukup...!" bentak Setan Perak Lembah Mayat, memutuskan kalimat Rangga.

"Hm.... "

"Bersiaplah menerima kematianmu, Pendekar Rajawali Sakti," desis Setan Perak Lembah Mayat dingin menggetarkan. "Tahan ini! Hiyaaat..!"

Begitu cepat tangan kanan Setan Perak Lembah Mayat mengibas ke depan. Sehingga, membuat Rangga jadi terhenyak sesaat. Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti menarik tubuhnya ke kanan, ketika dari telapak tangan kanan Setan Perak Lembah Mayat yang terbuka melesat cepat cahaya keperakan ke arahnya.

"Hup!"

Rangga langsung melompat ke samping, begitu cahaya keperakan itu lewat di kiri tubuhnya. Tapi belum juga keseimbangan tubuhnya bisa terkuasai, kembali Setan Perak Lembah Mayat menyerang. Langsung dilontarkannya benda-benda bulat pipih secara beruntun dan cepat sekali ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

"Hup! Yeaaah..!"

Terpaksa Rangga harus melenting ke udara, dan berjumpalitan menghindari serangan senjata-senjata maut Setan Perak Lembah Mayat Entah sudah berapa puluh benda-benda bulat pipih berwarna putih keperakan itu berhamburan di sekitar tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, tak satu pun yang berhasil menyentuh tubuhnya. Namun demikian, Rangga harus berjumpalitan di udara menghindari senjata-senjata itu dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.

Tuk!
Trak!

Beberapa kali senjata-senjata maut itu berhasil disampok kedua tangan Rangga yang terkembang lebar, hingga berpentalan sebelum dapat menyentuh tubuhnya. Dan melihat tidak satu serangan pun yang berhasil bersarang di tubuh Pendekar Rajawali Sakti, Setan Perak Lembah Mayat langsung menghentikan serangan. Sementara, Rangga manis sekali menjejakkan kakinya kembali di tanah berumput tebal.

"Hm.... Kau memang benar-benar tangguh, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, itu baru seujung kuku yang kumiliki," ejek Setan Perak Lembah Mayat datar. "Nah! Sekarang, terimalah seranganku yang lain. Yeaaah...!"

Bagaikan kilat, Setan Perak Lembah Mayat melompat menyerang dengan satu tangan kiri menjulur ke depan. Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak menanti datangnya serangan. Dan begitu dekat, tiba-tiba saja tangan kanan Setan Perak Lembah Mayat menghentak, langsung mengarah ke dada Pendekar Rajawali Sakti.

"Ups! Haiiit..!"

Cepat Rangga memiringkan tubuhnya ke kiri. Langsung tangan kanannya dihentakkan ke depan dada untuk menangkis pukulan menggeledek yang dilepaskan Setan Perak Lembah Mayat. Begitu cepat serangan dan tangkisan itu terjadi, sehingga benturan dua tangan yang mengandung kekuatan tenaga dalam tinggi tidak dapat dihindari lagi. Dan....

Plak!
"Uts!"
"Hap...!"

Mereka sama-sama berlompatan ke belakang, dan berputaran beberapa kali di udara. Dan hampir bersamaan, mereka kembali menjejak tanah yang berumput tebal bagai permadani ini. Tampak mereka sama-sama mengurut pergelangan tangan masing-masing dengan bibir meringis menahan nyeri.

"Hap!"
"Hih...!"

Dan secara bersamaan pula, mereka kembali siap-siap melakukan pertarungan tingkat tinggi. Kali ini, satu sama lain telah menyadari tingginya tingkat kepandaian masing-masing. Maka sudah barang tentu, mereka tidak ingin bertindak ceroboh, yang bisa mengakibatkan celaka yang teramat parah

"Kita tentukan sekarang. Siapa di antara kita yang paling tangguh di jagat raya ini, Pendekar Rajawali Sakti," desis Setan Perak Lembah Mayat dingin.

"Hm...," Rangga hanya menggumam perlahan saja.

"Hiyaaat...!"
"Yeaaah..!"

Begitu cepat Setan Perak Lembah Mayat melompat sambil melepaskan satu pukulan keras dan dahsyat, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. Sementara, Rangga juga sudah siap menerima serangan. Cepat-cepat kedua tangannya dihentakkan ke depan, disertai pengerahan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Akibatnya, dua jurus pukulan tingkat tinggi itu pun bertemu tepat pada satu titik. Dan...

Glarr...!

Kembali terjadi ledakan sangat dahsyat menggelegar. Begitu dahsyatnya jurus yang dikerahkan hingga dari benturan dua pasang tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi itu sampai mengeluarkan percikan bunga api yang menyebar ke segala arah.

Tampak Rangga terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Sementara, Setan Perak Lembah Mayat terjungkal, dan bergulingan di tanah beberapa kali. Entah berapa kali pula Rangga berjumpalitan di udara. Dan dengan satu gerakan manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti kembali menjejakkan kakinya di tanah. Namun tubuhnya sempat terhuyung-huyung, sebelum bisa menguasai keseimbangannya. Tampak dari sudut bibirnya mengalir darah.

Sedangkan Setan Perak Lembah Mayat memuntahkan darah kental berwarna kehitaman. Tubuhnya jadi limbung, begitu melompat bangkit berdiri. Kepalanya menggeleng beberapa kali mengusir rasa pening dan pandangannya yang berkunang-kunang. Dari lubang hidungnya pun terlihat darah kental agak kehitaman mengalir keluar.

Sementara itu, Rangga sudah duduk bersila dengan kedua telapak tangan merapat di depan dada. Melihat Pendekar Rajawali Sakti tengah mengembalikan kekuatan tenaga dalamnya, Setan Perak Lembah Mayat merasakan kalau ini adalah saat yang tepat untuk menghabisinya.

"Huh! Mampus kau, Bocah Keparat! Hiyaaat...!" Sambil memaki dan berteriak lantang meng-gelegar, Setan Perak Lembah Mayat melompat.

Kecepatannya bagai kilat, saat menyerang Rangga yang masih tetap duduk bersila dengan sikap semadi. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti tetap duduk bersila, seperti tidak peduli oleh datangnya serangan maut yang mengancam. Dan begitu pukulan menggeledek yang dilepaskan Setan Perak Lembah Mayat hampir menghantam tubuh Pendekar Rajawali Sakti, mendadak saja....

"Khraaagkh...!"
Wusss...!
"Heh...?!"
Plak!
"Akh...!"

Setan Perak Lembah Mayat tidak sempat menyadari lagi, begitu tahu-tahu tubuhnya sudah terpental balik ke belakang sambil menjerit keras agak tertahan. Beberapa kali tubuhnya bergulingan di tanah, namun dengan gerakan gesit sudah cepat bangkit berdiri. Dan saat itu juga, kedua bola matanya jadi terbeliak lebar. Mulutnya pun ternganga, seakan-akan tidak percaya dengan pandangan matanya sendiri.

Memang sulit dipercaya. Di belakang Rangga yang masih tetap bersila dengan sikap bersemadi, tahu-tahu sudah ada seekor rajawali raksasa berbulu putih keperakan. Kedua bola matanya yang besar, terlihat memerah menatap tajam bagai hendak membakar seluruh tubuh Setan Perak Lembah Mayat

Sementara itu, Rangga mulai membuka kelopak matanya perlahan-lahan. Sebentar ditariknya napas dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat. Dan sebelum kedua bola matanya bisa terpentang lebar lagi, Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri dengan gerakan ringan sekali. Kini pemuda tampan itu berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada, tepat berada di depan Rajawali Putih yang tadi menggagalkan serangan Setan Perak Lembah Mayat.

"Kekuatanku sudah pulih kembali, Rajawali. Kau boleh pergi sekarang. Tapi, jangan jauh-jauh," ujar Rangga seraya berpaling sedikit, menatap wajah Rajawali Putih yang berada di atas kepalanya.

"Khrrrk...!"

"Tidak perlu khawatir, Rajawali. Aku bisa mengatasinya sendiri sekarang," kata Rangga, seakan bisa mengerti kekhawatiran Rajawali Putih.

"Khragkh...!"

Setelah merasa yakin kalau Rangga bisa ditinggalkan, Rajawali Putih kembali mengangkasa dengan hanya beberapa kali mengepakkan sayapnya saja. Begitu cepat terbangnya, sehingga dalam sekejap mata saja sudah jauh tinggi di antara awan. Sementara, Rangga tetap berdiri tegak sekitar tiga batang tombak jauhnya dari Setan Perak Lembah Mayat

"Bagaimana, Setan Perak? Kau masih ingin melanjutkan perselisihan yang tidak ada gunanya ini...?" terdengar tenang sekali nada suara Rangga.

Setan Perak Lembah Mayat tidak langsung menjawab. Malah dipandanginya pemuda tampan berbaju rompi putih itu dalam-dalam. Kemudian, kepalanya sedikit mendongak, lalu kembali menatap Rangga. Sinar matanya tampaknya kini sangat sulit diartikan. Kemunculan Rajawali Putih yang melindungi Rangga dari serangan mautnya tadi, membuat Setan Perak Lembah Mayat sedikit bergetar. Seumur hidupnya, baru kali ini dia melihat seekor burung yang begitu besar bagai sebuah bukit. Dan serangan mautnya tadi, begitu mudah dipatahkan burung rajawali raksasa itu. Sungguh tidak diketahuinya kalau pemuda tampan yang julukannya sudah sering terdengar itu memiliki pelindung seekor burung rajawali raksasa yang sangat mengerikan.

"Sejak semula, aku enggan berurusan denganmu, Setan Perak. Aku sendiri masih ada persoalan yang lebih penting, daripada harus melayanimu," kata Rangga lagi. Kali ini, nada suaranya terdengar agak ditekan.

"Lain kali kita akan bertemu lagi, Pendekar Rajawali Sakti. Dan aku ingin kepastian, siapa di antara kita yang lebih tangguh," desis Setan Perak Lembah Mayat dingin menggetarkan.

"Hm...," Rangga hanya menggumam saja mendengar kata-kata bernada tantangan itu.

"Hap!" Bagaikan kilat, tiba-tiba saja Setan Perak Lembah Mayat melesat begitu cepat Hingga, dalam sekejap mata saja sudah lenyap dari pandangan mata. Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak. Ditatapnya arah kepergian laki-laki tua yang dikenal berjuluk Setan Perak Lembah Mayat itu.

"Hm... Sempurna sekali ilmu meringankan tubuhnya. Hhh...! Hampir saja aku tadi tidak mampu meng-hadapinya," desah Rangga berbicara sendiri. Suaranya perlahan sekali, dan hampir tidak terdengar oleh telinganya sendiri.

Perlahan Rangga kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling. Perhatiannya kini kembali terpusat pada Jaka Anabrang yang membawa lari Pandan Wangi dalam keadaan tidak berdaya.

"Hm.... Ke mana lagi aku harus mencarinya...?" gumam Rangga bertanya-tanya sendiri dalam hati.

Hingga senja datang menyelimuti bumi, Rangga belum juga bisa menemukan jejak Jaka Anabrang yang membawa kabur Pandan Wangi. Sudah seluruh pelosok hutan di sekitar Lembah Mayat dijelajahinya, tapi tetap saja tidak bisa menemukan. Walaupun begitu, tidak sedikit pun terlihat adanya keputusasaan tergambar di wajahnya.

Semakin sulit menemukan jejak Jaka Anabrang, semakin besar pula tekadnya untuk terus mencari. Terlebih lagi, hatinya sangat mengkhawatirkan keselamatan Pandan Wangi di tangan laki-laki itu. Bayangan-bayangan buruk pun begitu cepat muncul dalam benak, tapi cepat pula Rangga menyingkirkannya jauh-jauh. Pemuda itu tidak ingin membayangkan hal-hal buruk pada diri Pandan Wangi. Dan sekarang ini, Rangga hanya bisa berharap tidak terjadi sesuatu pada diri gadis itu.

"Hm.... Tampaknya di depan sana ada per-kampungan," gumam Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti terus mengayunkan kakinya dengan mantap. Pandangannya tidak berkedip, lurus ke depan. Rangga memang sudah berada di luar hutan sekitar Lembah Mayat. Dan tidak jauh lagi di depannya, terlihat sebuah perkampungan kecil yang kelihatannya sangat kumuh. Maka, Rangga kini semakin mempercepat ayunan kakinya. Saat ini, matahari sudah hampir tenggelam di ufuk barat Cahayanya yang kemerahan, begitu indah dinikmati. Namun Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa menikmatinya, karena pikirannya terus terpusat pada Pandan Wangi.

Rangga menghentikan ayunan kakinya, ketika melihat seorang laki-laki tua berjalan ke arahnya dari depan. Semakin dekat, semakin jelas orang tua itu terlihat. Laki-laki berusia sekitar tujuh puluh tahun itu tidak mengenakan baju. Hanya celana hitam lusuh sebetas lutut saja yang melekat. Tubuhnya yang kurus, memperiihatkan baris-baris tulang yang seperti hanya terbalut kulit saja.

"Maaf, Ki. Boleh aku bertanya...?" Rangga mencegat langkah kaki orang tua itu.

"Hm...," gumam laki-laki tua itu perlahan. Orang tua itu menghentikan ayunan kakinya, dan mengangkat kepalanya sedikit. Sorot matanya terlihat begitu tajam, memandangi Rangga dari kepala hingga ke ujung kaki. Seakan-akan, pemuda tampan yang menghentikan jalannya ini tengah dinilainya. Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti terus dipandangi dengan sinar mata memancarkan kecurigaan.

"Maaf kalau aku mengganggu perjalananmu, Ki. Aku hanya ingin tahu, desa apa ini...?" ujar Rangga dengan sikap sangat sopan.

"Desa Singkep," sahut orang tua itu singkat. Nada suaranya terdengar sangat datar, seakan enggan menjawab.

"Terima kasih, Ki. Silakan jika ingin meneruskan," ucap Rangga tetap sopan.

"Hm...," kembali orang tua itu hanya menggumam saja.

Tapi orang tua itu tidak melanjutkan perjalanannya. Malah kembali dipandanginya Rangga dengan sinar mata seperti sedang menyelidiki. Mendapat pandangan yang demikian menyelidik, Rangga jadi jengah juga. Tapi, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Maka dibiarkannya saja dirinya dipandangi begitu.

"Apakah ada yang aneh pada diriku, Ki...?" tanya Rangga, tidak tahan juga dipandangi terus-menerus begitu.

"Kau datang dari mana, Anak Muda?" orang tua itu malah balik bertanya.

Suara laki-laki tua itu masih tetap terdengar datar dan kering sekali. Walaupun sudah berusia lanjut, tapi sedikit pun tidak ditemukan adanya getaran pada nada suaranya. Hanya saja hal itu benar-benar di luar perhatian Rangga. Apalagi semua perhatiannya kini masih terpusat pada nasib Pandan Wangi yang sampai saat ini belum juga jelas.

"Dari Karang Setra," sahut Rangga.
"Di mana itu Karang Setra?"
"Di daerah selatan."

"Hm.... Lalu, apa maksudmu datang ke sini?"

"Aku sedang mencari adikku yang hilang diculik orang," sahut Rangga.

Laki-laki tua itu mengangguk-anggukkan kepala. Kembali dipandanginya Rangga dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Lalu, tatapan matanya tertumbuk pada bola mata Pendekar Rajawali Sakti ini. Sinar matanya begitu dalam, menembus bola mata Rangga. Seakan, dia ingin mencari kejujuran dari jawaban yang diberikan tadi.

"Kelihatannya kau sangat lelah, Anak Muda. Kau tentu membutuhkan tempat bermalam," kata orang tua itu memecah kebisuan yang terjadi beberapa saat.

"Benar, Ki," sahut Rangga.

"Kau tidak akan mendapatkan penginapan di desa ini. Tapi kalau suka, kau boleh tinggal di rumahku malam ini," kata orang tua itu menawarkan,

"Terima kasih," ucap Rangga seraya membungkuk sedikit, memberi hormat.

"Ayo," ajak orang tua itu.

Tanpa menunggu jawaban lagi, orang tua itu langsung saja melangkah melewati pemuda ini. Sementara, Rangga segera mengikutinya dari belakang. Mereka terus berjalan beriringan tanpa bicara sedikit pun, dan semakin jauh dari Desa Singkep. Jalan yang ditempuh kini justru menyusuri tepian hutan Lembah Mayat. Sementara, matahari semakin jauh tenggelam di ufuk barat. Dan suasana pun semakin meremang. Suara binatang malam mulai terdengar saling bersahutan.

"Jauhkah rumahmu, Ki?" tanya Rangga. Pertanyaan itu terlontar karena Pendekar Rajawali Sakti merasakan sudah cukup jauh berjalan, tapi belum juga sampai.

"Tidak seberapa jauh lagi," sahut orang tua itu. Rangga diam. "Siapa namamu, Anak Muda?" tanya orang tua itu mengisi kebisuan.

"Rangga"
"Aku Ki Andak."

Sementara mereka mulai memasuki jalan setapak yang sangat kecil. Mau tak mau, Rangga terpaksa harus berjalan di belakang orang tua yang mengenalkan dirinya sebagai Ki Andak. Dan dari jalan setapak ini, sudah terlihat sebuah rumah kecil berdinding bilik bambu, dan beratapkan rumbia. Tampak dari wuwungan atap rumah itu mengepul asap. Dan sepertinya, tidak terlihat ada rumah lain di sekitarnya. Kini mereka terus berjalan menuju rumah yang kelihatannya tidak begitu besar itu.

"Itu rumahmu, Ki?" tanya Rangga.
"Benar," sahut Ki Andak.

"Sepertinya, kau tidak seorang diri tinggal di sana, Ki."

"Aku ditemani cucuku."
"Apakah aku tidak mengganggumu nanti, Ki..?"

"Rumah itu memiliki satu kamar kosong yang bisa kau gunakan selama berada di sini mencari adikmu."

"Terima kasih, Ki."

***
TIGA
Rangga benar-benar tidak menyangka, kalau cucu yang dikatakan Ki Andak ternyata seorang gadis berusia sekitar delapan belas tahun. Wajahnya sangat cantik, bagaikan seorang putri bangsawan. Sikapnya pun teramat lembut. Sungguh sulit dipercaya kalau di tempat terpencil yang sangat jauh dari pemukiman penduduk, tinggal seorang gadis yang sangat cantik bagai bidadari.

Ki Andak mengenalkan cucunya pada Pendekar Rajawali Sakti. Saat menyebutkan namanya, suara gadis itu terdengar sangat halus dan lembut. Begitu halusnya, sampai-sampai Rangga hampir tidak bisa menyebutkan namanya sendiri. Rara Ayu Ningrum.... Nama yang sangat cocok untuk seorang gadis cantik seperti cucu Ki Andak ini.

Sementara itu, senja sudah berganti. Dan malam pun sudah datang menyelimuti sebagian permukaan bumi. Malam yang begitu pekat, sedikit pun tak terlihat cahaya bulan maupun bintang di langit. Seluruh angkasa terselimut awan tebal menghitam. Dan angin pun bertiup sangat kencang, sebuah pertanda kalau malam ini akan diwarnai guyuran air hujan.

Saat itu, Rangga masih duduk di beranda depan rumah Ki Andak. Hanya sebuah pebta kecil saja yang menemani. Nyala apinya pun redup, dan seringkali hampir padam tertiup angin malam yang cukup kencang. Rangga memalingkan kepala sedikit, saat telinganya mendengar suara langkah kaki keluar dari dalam. Agak terkejut juga hatinya, begitu melihat Rara Ayu Ningrum datang menghampiri membawa sebuah baki berisi gelas bambu yang mengepulkan uap hangat. Gadis itu duduk tidak jauh di samping Pendekar Rajawali Sakti. Lalu disodorkannya baki kayu itu ke depan Rangga.

"Untukku...?" tanya Rangga memastikan.

Rara Ayu Ningrum hanya mengangguk saja sambil tersenyum kecil.

"Terima kasih," ucap Rangga seraya mengambil gelas bambu itu. Dihirupnya sedikit minuman hangat itu. Dengan sudut matanya, diliriknya wajah yang cantik dan selalu tertunduk ini.

Sementara, angin malam yang kencang mempermainkan rambut Rara Ayu Ningrum yang tergerai. Bau harum langsung menyeruak menusuk lubang hidung Pendekar Rajawali Sakti.

"Sudah cukup malam. Kau belum tidur...?" tanya Rangga seraya mengarahkan pandangan lurus ke depan.

"Aku sudah biasa tidur sampai larut malam," sahut Rara Ayu Ningrum.

"Ki Andak sudah tidur?" tanya Rangga.

"Sudah. Kakek selalu masuk kamar setiap kali pulang dari bepergian. Baru besok pagi keluar dari kamarnya."

"Kakekmuu pergi setiap hari?"

Rara Ayu Ningrum hanya menganggukkan kepala saja sedikit. Dan Rangga pun hanya melihat dengan lirikan matanya saja. Kembali mereka terdiam membisu, menikmati hembusan angin yang menyebarkan udara cukup dingin ini. Saat itu, terlihat percikan kilat menyambar bagai hendak membelah langit yang kelam. Dan titik-titik air pun mulai jatuh menyiram bumi.

"Sebaiknya kau masuk saja, Rara Ayu Ningrum. Udara di depan sini terialu dingin untukmu," ujar Rangga.

"Aku sudah terbiasa keadaan di sini," tolak Rara Ayu Ningrum. "Sebaiknya, jangan panggil aku dengan nama lengkap begitu. Panggil saja Ningrum." Rangga hanya tersenyum saja. "Dan aku akan memanggilmu kakang. Bagaimana...?"

"Boleh," sahut Rangga diiringi senyum.

Dan kembali mereka terdiam untuk beberapa saat. Sementara di luar beranda, hujan sudah turun lebat sekali. Kilat pun semakin sering berkelebat membelah angkasa, diiringi ledakan guntur yang memekakkan telinga.

"Kakang.... Tadi kakek mengatakan kalau kau sedang mencari adikmu. Benar...?" tanya Rara Ayu Ningrum sambil menatap wajah Rangga dalam-dalam.

"Ya...," sahut Rangga agak mendesah, sambil menghembuskan napas panjang.

"Adikmu perempuan?"

Rangga menjawab dengan anggukan kepala.

"Sudah berapa lama?"
"Baru siang tadi."
"Kau tahu, siapa yang menculiknya?"

Lagi-lagi Rangga menganggukkan kepala, menjawab pertanyaan gadis itu. Dan pandangannya pun terus tertuju ke depan, seakan hendak menembus tirai curah hujan yang turun lebat sekali.

"Siapa orang yang menculik adikmu, Kakang?"

"Jaka Anabrang," sahut Rangga berterus terang.

"Jaka Anabrang...," desah Rara Ayu Ningrum mengulangi nama yang disebutkan Rangga.

Dan kembali mereka terdiam. Entah kenapa, Rangga suka sekali memperhatikan wajah cantik yang berada di sebelahnya dengan sudut matanya. Saat itu, Rara Ayu Ningrum tengah mengarahkan pandangannya lurus ke depan, sehingga tidak menyadari kalau Rangga tengah menjilati wajahnya dengan ekor matanya.

"Jaka Anabrang...," kembali Rara Ayu Ningrum menggumamkan nama orang yang membawa kabur Pandan Wangi.

"Kau kenal dengannya, Ningrum?" tanya Rangga.

"Entahlah, Kakang. Aku seperti pernah mendengar nama itu," sahut Rara Ayu Ningrum, agak mendesah suaranya.

Sepertinya gadis itu ragu-ragu atas jawabannya sendiri. Sedangkan Rangga sudah tidak lagi melirik, tapi menatap dalam-dalam wajah cantik gadis itu. Tapi yang dipandangi tetap memandang lurus ke depan, bagai memperhatikan curahan air hujan yang semakin deras turun menghantam bumi.

"Mungkin kakek tahu nama itu, Kakang," duga Rara Ayu Ningrum, seraya berpaling.

Saat itu juga, pandangan mata mereka bertemu. Tapi mereka sama-sama cepat mengalihkan ke arah lain.

"Seharusnya persoalanmu kau ceritakan pada kakek, Kakang. Barangkali saja kakek dapat membantu," kata Rara Ayu Ningrum lagi.

"Sudah," sahut Rangga singkat.

"Tapi kau belum jelas menceritakannya, bukan...? Kau hanya mengatakan kalau sedang mencari adikmu yang diculik orang. Hanya itu yang kakek katakan padaku," kata Rara Ayu Ningrum.

Rangga hanya diam saja. Memang semua yang terjadi belum diceritakan pada Ki Andak. Bahkan juga belum mengatakan yang sebenarnya pada gadis ini. Dia hanya mengatakan sedikit dari semua yang telah terjadi, sampai terpisah dengan Pandan Wangi sekarang ini.

"Aku sudah cukup merepotkan kalian berdua, Ningrum. Aku tidak ingin menambah repot lagi," tolak Rangga, halus.

"Sama sekali tidak, Kakang. Kakek memang sering menolong orang yang sedang mengalami kesulitan. Aku yakin, kakek pasti bisa menolongmu," tegas Rara Ayu Ningrum. Rangga hanya diam saja. "Kakek bukan hanya seorang tabib, tapi dulu juga seorang pendekar. Ilmu-ilmu yang dimilikinya sangat tinggi. Bahkan di sekitar Lembah Mayat ini, tidak ada yang bisa menandinginya. Kecuali...," Rara Ayu Ningrum tidak melanjutkan.

"Kecuali apa, Ningrum?" tanya Rangga ingin tahu.

"Kecuali si Setan Perak Lembah Mayat, yang menguasai seluruh daerah Lembah Mayat yang ada di tengah-tengah hutan sana," sahut Rara Ayu Ningrum seraya menunjuk ke depan.

"Ki Andak pernah bertarung dengannya?" tanya Rangga.

"Pernah. Hanya kakek saja orang satu-satunya yang bisa keluar dari Lembah Mayat dalam keadaan hidup. Entah sudah berapa puluh orang yang mencoba menantangnya, namun tidak pernah terdengar lagi namanya. Termasuk...," kembali Rara Ayu Ningrum memutuskan kata-katanya.

"Termasuk siapa, Ningrum...?" desak Rangga ingin tahu.

"Ah...!"
Plak!

Rara Ayu Ningrum menepak keningnya sendiri, seakan baru teringat sesuatu. Sedangkan Rangga memandangi wajah cantik gadis itu dalam-dalam.

"Aku baru ingat sekarang, Kakang. Pantas sejak tadi nama orang yang menculik adikmu pernah kudengar. Huh...! Aku ingat sekarang, Kakang. Aku tahu. Tapi..., apa benar Jaka Anabrang yang menculik adikmu, Kakang...?"

"Aku tidak pernah menuduh orang sembarangan, Ningrum. Bahkan aku sempat bertarung dengannya," tegas Rangga.

"Mustahil...," desis Rara Ayu Ningrum seraya menggelengkan kepala beberapa kali.

"Kenapa mustahil...?" tanya Rangga jadi heran.

"Itu bisa saja terjadi, Ningrum..."
"Heh...?!"
"Oh...!"

Rangga dan Rara Ayu Ningrum jadi tersentak kaget, ketika tiba-tiba saja terdengar suara dari belakang. Bersamaan mereka berpaling ke belakang. Ternyata, tahu-tahu Ki Andak sudah berdiri di ambang pintu. Laki-laki yang sudah lanjut usia itu melangkah menghampiri, duduk bersila di antara Rangga dan Rara Ayu Ningrum.

"Aku sudah mendengar semua pembicaraan kalian berdua sejak tadi," kata Ki Andak

"Maaf, Ki. Kalau pembicaraan kami mengusik tidurmu," ucap Rangga sopan.

"Tidak, Rangga. Aku memang tidak tidur, dan mendengar semua yang dibicarakan. Dan aku begitu tertarik setelah kau menyebutkan nama Jaka Anabrang," sahut Ki Andak.

Rangga terdiam. Dan Rara Ayu Ningrum juga tidak bicara lagi. Gadis itu lalu bangkit, dan masuk ke dalam. Tapi, tidak lama kemudian dia keluar lagi sambil membawa dua gelas bambu dan sebuah kendi dari tanah liat yang mengepulkan uap hangat dari lubang yang terdapat di atasnya. Dituangnya minuman hangat dari dalam kendi tanah liat itu ke dalam dua gelas bambu yang dibawanya dari dalam. Satu gelas disorongkan ke depan Ki Andak, kemudian diisinya kembali gelas Rangga yang telah kosong

"Sebenarnya, aku sendiri sedang mencari anak itu, Rangga. Sudah sejak lama aku curiga padanya. Dan semua kecurigaanku ternyata menjadi kenyataan. Sayang..., mereka tidak pernah mau mendengar kata-kataku. Dan setelah semuanya terjad, kesalahannya dilimpahkan pada Pendeta Gondala," kata Ki Andak dengan suara terdengar pelan.

Hampir sulit ditangkap telinga suara Ki Andak, karena hampir hilang ditelan suara air hujan yang turun bagaikan dituang dari langit. Dan, Rangga bisa mengerti semua yang diucapkan Ki Andak (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah Pedang Halilintar).

Tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu, ada persolan apa sebenarnya antara Ki Andak dengan Jaka Anabrang. Hanya saja, pertanyaan itu tidak terlalu lama bersemayam di benak Rangga. Buktinya tanpa diminta, Ki Andak menceritakan kejadiannya, hingga juga terlibat dalam urusan Jaka Anabrang

"Aku dan para pendeta benar-benar menyesal telah mendidik Jaka Anabrang. Walaupun aku sendiri sebenarnya sudah menentang dan memperingatkan para pendeta. Dan aku terpaksa mengikuti mereka, untuk mendidik Jaka Anabrang. Hampir semua ilmu yang kumiliki sudah kuwariskan padanya. Dan sudah semua ilmu para pendeta diserapnya. Tapi, ternyata harapan kami semua hanya sia-sia belaka. Anak itu bukannya menjadi benar, tapi malah berputar balik. Bahkan sekarang menjadi musuh kami nomor satu," jelas Ki Andak bernada menyesalkan.

"Jadi, Jaka Anabrang juga termasuk muridmu, Ki...?" tanya Rangga ingin meyakinkan.

"Jaka Anabrang bagaikan sembilan orang berada dalam satu tubuh manusia, Rangga. Sembilan aliran ilmu sudah terserap ke dalam aliran darahnya. Jadi sangat sulit menaklukkannya. Bahkan aku sendiri, tidak mungkin bisa menandinginya. Terlebih lagi, sekarang Pedang Halilintar dipegangnya. Senjata yang teramat dahsyat, dan sukar sekali dicari tandingannya," kata Ki Andak menjelaskan.

"Lalu, kenapa dia sampai berbalik seperti itu, Ki? Bukankah para pendeta tidak hanya membekali ilmu-ilmu kedigdayaan saja...? Paling tidak, jiwa dan pikirannya sudah terisi. Jadi, bagaimana mungkin bisa beralih aliran begitu jauh, Ki?" tanya Rangga masih belum juga mengerti.

"Mungkin inilah kesalahan kami semua, Rangga. Jaka Anabrang memang dipersiapkan untuk menandingi Setan Perak Lembah Mayat. Bertahun-tahun kami menggemblengnya dengan berbagai ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan. Begitu inginnya aku dan para pendeta melenyapkan Setan Perak Lembah Mayat, sehingga lupa membekali Jaka Anabrang dengan pelajaran yang sangat penting. Dan jiwanya ternyata benar-benar tak terkendali. Kosong, seperti tempayan yang belum tersentuh air," jelas Ki Andak dengan suara pelan bemada menyesal.

Sementara, Rangga dan Rara Ayu Ningrum mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Hingga pada hari yang dianggap cukup baik, Jaka Anabrang kami bawa ke Lembah Mayat Tapi, perhitungan kami ternyata meleset jauh. Setan Perak Lembah Mayat masih terlalu tangguh, dan sukar ditaklukkan. Jaka Anabrang terluka parah. Dan untungnya, dia masih bisa diselamatkan keluar dari Lembah Mayat..."

Ki Andak berhenti sebentar, mengatur jalan napasnya yang terdengar mulai memburu. Sementara, Rangga dan Rara Ayu Ningrum masih diam, belum bersuara. Mereka begitu seksama mendengarkan cerita laki-laki tua itu.

"Setelah pertarungan itu, Jaka Anabrang jadi berubah. Sikapnya jadi pendiam, dan tidak banyak bicara. Bahkan seringkali menyendiri dan tidak mau berteman. Tiga purnama Jaka Anabrang selalu menyendiri. Dan suatu ketika, peristiwa yang menggemparkan pun terjadi. Jaka Anabrang telah mencuri Pedang Halilintar dari tempat penyimpanan senjata pusaka di puri. Bahkan telah membunuh lebih dari sepuluh orang murid dan tujuh orang pendeta. Dia berhasil membawa lari pedang itu," sambung Ki Andak.

"Apa tidak ada yang mengejar, Ki?" tanya Rangga.

"Sudah. Tapi, dia malah masuk ke dalam Lembah Mayat. Dan sejak itu, kabarnya tidak lagi terdengar sampai sekarang ini. Aku benar-benar tidak tahu kalau Jaka Anabrang sudah mulai bertindak. Semula, kukira dia sudah mati di Lembah Mayat," sahut Ki Andak terus menjelaskan.

Dan suasana pun menjadi sunyi, saat Ki Andak tidak membuka suara lagi. Sementara, hujan yang tadi turun begitu deras sudah berhenti sama sekali. Hanya titik-titik air dari dedaunan saja yang masih terlihat jatuh menghantam bumi. Langit pun kelihatan mulai cerah. Kerlip cahaya bintang mulai terlihat menghias. Angin berhembus semakin dingin, tapi sama sekali tidak dirasakan oleh mereka yang duduk di beranda depan rumah Ki Andak ini

"Ki! Apa mungkin Jaka Anabrang bergabung dengan Setan Perak Lembah Mayat..?" tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri.

"Kemungkinan itu memang ada, Rangga. Mengingat Jaka Anabrang masih tergolong muda. Dan lagi, dia haus akan ilmu kedigdayaan," sahut Ki Andak.

"Mungkin karena kekalahannya, hingga ingin menimba ilmu si Setan Perak, Kek," selak Rara Ayu Ningrum.

"Segala kemungkinan bisa saja terjadi, Ningrum. Yang jelas, dunia pasti kiamat kalau mereka berdua sampai bergabung. Tidak ada lagi pendekar yang bisa menandingi kesaktiannya. Walaupun hanya berdua, tapi mereka sanggup menghadapi dua puluh pendekar berkepandaian tinggi sekaligus.

"Gila ..!" desis Rara Ayu Ningrum.

"Jaka Anabrang sudah muncul. Hm... Pasti tidak lama lagi, Setan Perak Lembah Mayat juga akan muncul. Dan setiap kemunculannya, selalu menimbulkan bencana yang tidak kecil," kata Ki Andak, dengan suara mendesis.

Sementara Rangga jadi terdiam. Sama sekali tidak disangka kalau Ki Andak dan Rara Ayu Ningrum sudah mengetahui tentang Jaka Anabrang dan Setan Perak Lembah Mayat. Tapi walaupun begitu, Rangga tidak juga menceritakan peristiwa yang terjadi seluruhnya. Juga, tentang pertarungannya dengan Setan Perak Lembah Mayat.

Sementara, malam terus merambat semakin larut Hujan pun sudah berhenti sama sekali. Dan, udara malam ini masih terasa begitu dingin menggigilkan sampai menusuk tulang. Tapi semua itu seperti tidak dirasakan sama sekali. Mereka begitu asyik membicarakan Jaka Anabrang dan Setan Perak Lembah Mayat. Namun, kali ini Rangga lebih banyak diam mendengarkan. Dan dari cerita Ki Andak yang selalu diseling Rara Ayu Ningrum, Rangga jadi bisa mengetahui lebih banyak lagi tentang Jaka Anabrang.

"Ssst..!"

Tiba-tiba saja Ki Andak mendesis sambil meletakkan jari telunjuk di bibirnya sendiri, pertanda memberi isyarat agar semuanya diam. Saat itu juga, Rara Ayu Ningrum yang tengah bicara langsung diam. Sedang-kan Rangga langsung mengerahkan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara'.

"Hm...," gumam Rangga perlahan.

Dengan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara', Pendekar Rajawali Sakti langsung bisa menangkap adanya langkah-Iangkah kaki yang begitu halus dan ringan. Jelas, itu adalah langkah kaki seseorang yang memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi sekali. Begitu tingginya, sampai-sampai langkah itu hampir tidak terdengar sama sekali.

"Tampaknya malam ini kita kedatangan tamu, Rangga," kata Ki Andak pelan, seperti untuk diri sendiri

Pandangan Ki Andak tertuju lurus pada Pendekar Rajawali Sakti yang tetap diam, duduk bersila tepat di depannya. Sedikit Rangga memiringkan kepala ke kanan, dan suara langkah kaki yang sangat ringan itu semakin jelas terdengar.

"Ningrum, masuklah ke dalam," kata Ki Andak memerintah, seraya menatap gadis cantik yang duduk di sebelahnya.

Tanpa diperintah dua kali, Rara Ayu Ningrum segera bangkit berdiri. Tapi baru saja berdiri, mendadak saja....

Wusss!
"Awasss...!" seru Rangga.
"Hup!"

Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil mengibaskan tangan kanannya dengan kecepatan tinggi. Memang, saat itu terlihat seleret cahaya keperakan tengah meluncur begitu cepat bagai kilat ke arah Rara Ayu Ningrum.

Tapi, kilatan cahaya keperakan itu langsung lenyap begitu tangan kanan Rangga mengibas. Sementara, dua kali Rangga melenting berputaran di udara. Lalu, manis sekali kakinya kembali menjejak lantai beranda depan rumah Ki Andak yang terbuat dari belahan papan yang diseiut halus.

"Apa itu, Rangga?" tanya Ki Andak yang juga cepat bangkit berdiri.

Rangga membuka telapak tangan, dan menyorongkannya ke depan pada Ki Andak. Tampak di atas telapak tangan pemuda itu terdapat sebuah benda bulat pipih berwarna keperakan yang kecil bentuknya.

"Setan Perak Lembah Mayat.," desis Ki Andak langsung mengenali pemilik benda itu.

Ki Andak segera menatap cucunya. Melihat sorot mata laki-laki tua itu, Rara Ayu Ningrum sudah bisa mengartikannya. Segera gadis itu masuk ke dalam rumah, dan menutup pintunya. Sementara, Rangga dan Ki Andak tetap berdiri di beranda, memandang lurus ke dalam kegelapan malam. Sedikit pun mereka tidak membuka suara, tapi segera memasang pendengaran tajam-tajam.

"Hm...," Rangga menggumam pelan.

Meskipun Pendekar Rajawali Sakti masih mengerahkan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara', tapi suara langkah kaki yang tadi terdengar begitu ringan, sudah tidak lagi terdengar sedikit pun juga. Bahkan Rangga juga tidak bisa mengetahui keberadaan orang itu.

Perlahan Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan kakinya hendak keluar dari beranda depan ini. Tapi belum juga sampai di luar, tiba-tiba saja kembali sebuah benda bulat pipih yang memancarkan cahaya keperakan melesat begitu deras. Arahnya adalah menuju pemuda berbaju rompi putih ini

"Hup! Yeaaah...!"

Cepat sekali Rangga melenting ke udara, sambil berputaran beberapa kali. Tampak benda bercahaya keperakan itu melesat begitu cepat, dan menancap pada tiang penyangga beranda yang terbuat dari kayu jati.

"Hap! Hiyaaa. .!" 

***
EMPAT
Begitu cepat Pendekar Rajawali Sakti melesat, sehingga dalam sekejap saja sudah berdiri tegak di tengah-tengah halaman depan rumah yang tidak begitu luas ini. Sementara, Ki Andak sudah berdiri di tepian beranda. Pandangannya pun begitu tajam beredar berkeliling.

Kesunyian begitu mencekam di malam yang sangat gelap ini. Begitu sunyinya sehingga desir angin begitu jelas mengusap daun telinga. Bahkan sisa-sisa titik air di dedaunan yang jatuh pun begitu jelas terdengar suaranya. Cukup lama juga kesunyian yang menegangkan ini berlangsung. Sementara, Rangga mengarahkan pandangan pada Ki Andak yang masih berdiri di tepian beranda depan rumahnya.

"Kau lihat ada orang, Rangga?" tanya Ki Andak dengan suara agak keras.

Rangga hanya menggelengkan kepala saja. Memang, tidak terlihat seorang pun di sekitarnya. Keadaan begitu gelap, dan berkabut. Sulit untuk melihat jarak jauh. Bahkan juga tidak terdengar suara yang mencurigakan. Benar-benar sulit Tapi Pendekar Rajawali Sakti kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling, dan tetap memasang telinganya tajam-tajam. Dan ketika pandangannya tertuju ke atap rumah....

"Heh...?!"
Wusss!
"Haits...!"

Cepat sekali Rangga melentingkan tubuh, begitu tiba-tiba dari atap rumah melesat secercah cahaya keperakan bagai kilat ke arahnya. Begitu cepat cahaya kilat keperakan itu meluruk, sehingga hanya sedikit saja lewat di antara putaran tubuh Rangga di udara.

"Hup!"

Cepat Pendekar Rajawali Sakti melesat ke atas atap, begitu berhasil menghindari serangan cahaya kilat keperakan. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya sehingga dalam waktu sekejap saja sudah mendarat di atas atap rumah Ki Andak. Sedikit pun tidak terdengar suara, saat kedua kakinya menjejak atap.

Belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa menarik napas, dari bawah melesat sebuah bayangan begitu cepat ke arahnya. Dan tahu-tahu, di samping pemuda berbaju rompi putih itu sudah berdiri Ki Andak. Dan pada saat itu, mereka melihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat di belakang rumah, lalu langsung lenyap ditelan lebatnya pepohonan.

"Tidak perlu dikejar," kata Ki Andak cepat-cepat

Rangga yang akan mengejar bayangan itu, jadi mengurungkan niatnya. Ditatapnya laki-laki tua yang baru sore tadi ini dikenalnya. Dan tanpa bicara sedikit pun juga, Ki Andak melompat turun dari atap nimahnya, diikuti Rangga. Hampir bersamaan mereka kembali menjejakkan kaki di tanah, dan kembali masuk ke dalam beranda. Mereka duduk lagi di beranda itu tanpa bicara sedikit juga. Namun, terdengar beberapa kali tarikan napas dan hembusan napas yang agak memburu. Jelas sekali kalau malam ini mereka didatangi dua orang yang tidak jelas maksudnya. Begitu tiba-tiba menyerang, dan begitu cepat pula menghilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun.

"Aku tahu orang kedua yang muncul tadi, Ki," kata Rangga baru membuka suara, setelah cukup lama terdiam.

"Jaka Anabrang...," desah Ki Andak, langsung menebak tepat

"Ya! Dialah yang selama ini kucari," sahut Rangga, juga dengan suara pelan, agak mendesah.

Ki Andak terdiam. Tatapan matanya langsung menembus bola mata Pendekar Rajawali Sakti yang memancar kosong dan lurus ke depan. Saat itu, dari dalam rumah keluar Rara Ayu Ningrum. Gadis itu duduk di sebelah kanan Ki Andak. Sementara Rangga hanya melirik sedikit saja. Sedangkan gadis itu memandanginya dengan sinar mata sukar sekali diartikan.

Entah berapa lama mereka terdiam membisu, sibuk dengan jalan pikiran masing-masing. Sementara, malam terus merambat naik semakin larut Dan udara pun semakin terasa dingin menggigit kulit. Hanya suara-suara serangga malam saja yang terus mengisi kekosongan dan kesunyian malam ini. 

***

Semalaman penuh Rangga tidak bisa memicingkan matanya sekejap pun juga. Badan dan pikirannya terasa lelah sekali, tapi sedikit pun tidak bisa mengstirahatkannya. Hatinya masih merasa belum bisa tenang, sebelum bisa mengetahui keadaan Pandan Wangi yang sampai saat ini masih berada di dalam cengkeraman Jaka Anabrang.

Pagi-pagi sekali, di saat matahari belum juga menampakkan dirinya, Pendekar Rajawali Sakti sudah keluar dari rumah Ki Andak. Di depan, tampak Rara Ayu Ningrum tengah membereskan beranda. Gadis itu hanya melirik saja saat Rangga melewatinya tanpa menegur sedikit pun. Seketika pekerjaannya dihentikan begitu melihat Pendekar Rajawali Sakti terus berjalan keluar tanpa menoleh sedikit pun padanya.

"Kakang...," panggil Rara Ayu Ningrum.

Rangga menghentikan langkahnya tanpa sedikit pun berpaling. Dan dia tetap berdiri tegak, tanpa memutar tubuhnya. Sementara, Rara Ayu Ningrum terus memandangi dari beranda sambil melangkah perlahan-lahan menghampiri pemuda tampan berbaju rompi putih yang pada punggungnya bertengger sebilah pedang bergagang kepala burung. Rara Ayu Ningrum sengaja melewatinya sedikit, kemudian berdiri sekitar tiga langkah di depan Pendekar Rajawali Sakti.

"Kau akan ke mana?" tanya Rara Ayu Ningrum.

"Pergi," sahut Rangga datar

"Pergi? Ke mana?" tanya Rara Ayu Ningrum lagi.

Kedua bola mata indah milik gadis itu terusmenerus memandangi sepasang bola mata Pendekar Rajawali Sakti yang memandang lurus ke depan. Sinar matanya kelihatan kosong, seperti tidak memiliki arti sama sekali. Entah kenapa, pagi ini sikap Pendekar Rajawali Sakti jadi berubah. Dan tentu saja membuat Rara Ayu Ningrum jadi bertanya-tanya dalam hati.

"Kau ingin meninggalkan kami begitu saja, Kakang? Apa sudah tidak ingat lagi pesan kakek...?" terdengar agak ditahan nada suara Rara Ayu Ningrum.

Rangga hanya diam saja. Dihembuskannya napas panjang, yang terasa begitu berat. Sama sekali kata-kata Ki Andak semalam tidak dilupakannya. Laki-laki tua itu menginginkannya untuk bersatu, menghadapi Jaka Anabrang dan Setan Perak Lembah Mayat. Dan malam itu, Rangga memang tidak berkata apa-apa sedikit pun juga. Keinginan Ki Andak tidak disetujuinya, juga tidak ditolaknya. Tapi entah kenapa, dia merasakan kalau urusannya dengan Jaka Anabrang adalah urusan pribadinya sendiri. Dan Pendekar Rajawali Sakti tidak memerlukan siapa pun juga untuk menemaninya. Yang jelas, Jaka Anabrang ingin dihadapinya seorang diri.

Walaupun disadari kalau tidak mudah menghadapi pemuda yang bersenjatakan Pedang Halilintar yang dahsyat itu, tapi tetap saja dalam hati Rangga hanya ingin sendirian saja menghadapinya. Terutama, membebaskan Pandan Wangi dari cengkeramannya. Walau maksud dan tujuannya sangat baik, tapi yang jelas tujuan Ki Andak berbeda jauh sekali dengan Pendekar Rajawali Sakti. Walaupun, sama-sama bersifat pribadi.

"Aku akan mencari Jaka Anabrang, di manapun kini berada," kata Rangga pelan, seperti bicara pada diri sendiri.

"Aku tahu, Kakang. Tapi kakek bilang, kita harus menghadapinya bersama-sama. Jaka Anabrang terlalu tangguh bila Pedang Halilintar bersamanya. Terlebih lagi sekarang ini, dia sudah mempunyai pengikut yang tidak sedikit jumlahnya. Kau harus pikirkan itu, Kakang," kata Rara Ayu Ningrum mengingatkan.

"Semuanya sudah kupikirkan, Ningrum. Terima kasih atas perhatianmu," ucap Rangga seraya menatap gadis itu dan memberikan senyuman manis.

Dan ternyata, jelas sekali terlihat garakan di bibir Pendekar Rajawali Sakti saat memberikan senyuman. Dan Rara Ayu Ningrum tahu, senyuman itu teramat dipaksakan. Bisa dirasakan juga kepedihan hati pemuda tampan ini, walaupun tidak tahu tentang Pandan Wangi yang sesungguhnya. Dan yang diketahuinya, Pandan Wangi adalah adik Pendekar Rajawali Sakti ini.

Di sisi lain, Rara Ayu Ningrum juga tidak tahu kalau pemuda tampan yang kini berdiri di depannya adalah seorang pendekar muda digdaya yang sudah begitu kondang sekali julukannya di dalam rimba persilatan. Gadis itu tidak tahu, Rangga adalah Pendekar Rajawali Sakti. Dan Rangga sendiri memang tidak pernah menceritakan tentang dirinya yang sebenarnya, baik pada Ki Andak sekalipun.

"Aku pergi dulu, Ningrum," pamit Rangga.

"Kakang..."

Rara Ayu Ningrum cepat mencegah langkah Rangga, dengan mencekal pergelangan tangan kanan. Seketika, Rangga jadi menghentikan langkahnya yang baru dua tindak. Ditatapnya wajah cantik itu dalam-dalam. Kemudian dipandanginya pergelangan tangannya yang dipegang gadis itu kuat-kuat. Halus sekali Pendekar Rajawali Sakti melepaskan cekalan tangan gadis itu. Sementara bibirnya terlihat me-lepaskan senyuman.

"Kau hanya akan mengantarkan nyawa saja bila pergi sendiri, Kakang," kata Rara Ayu Ningrum masih mencoba mencegah.

Tapi kekhawatiran Rara Ayu Ningrum hanya dibalas senyuman saja. Pendekar Rajawali Sakti menarik kakinya sejauh tiga langkah dari gadis ini, setelah pergelangan tangannya tidak dipegangi lagi.

"Aku tahu kau cemas, Ningrum. Tapi, percayalah. Aku bisa menjaga diri," kata Rangga mencoba menenangkan.

"Tapi, Kakang..."

Belum selesai kata-kata Rara Ayu Ningrum, tiba-tiba saja terlihat sebatang anak panah meluncur cepat bagai kilat ke arahnya. Rangga yang melihat lebih dulu, segera cepat melesat dan mengibaskan tangannya.

Tappp!

Anak panah itu berhasil ditangkap, tepat di saat ujungnya hampir saja menyentuh dada Rara Ayu Ningrum yang membusung indah. Cepat Pendekar Rajawali Sakti menarik tangan gadis itu, dan membawa ke belakangnya. Sedikit matanya melirik anak panah yang kini berada dalam genggaman tangan kanannya. Kemudian...

"Hih! Yeaaah...!"

Sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya yang sudah mencapai tingkat sempurna, Rangga melemparkan anak panah itu ke arah datangnya tadi. Begitu sempurna pengerahan tenaga dalamnya, sehingga anak panah yang dilemparkan kembali meluncur deras bagai kilat. Anak panah itu terus meluncur, dan langsung menembus segerumbul semak belukar di antara pepohonan. Maka seketika itu juga...

Srak!
Crab!
"Aaakh...!"

Satu jeritan panjang dan melengking tiba-tiba terdengar begitu menyengat, disusul munculnya seorang laki-laki dari dalam semak. Tampak sebatang anak panah tertancap tepat di tenggorokannya. Orang itu kemudian jatuh terguling, menyemburkan darah dari lehernya yang tertembus anak panah. Rangga dan Rara Ayu Ningrum bergegas menghampiri, tapi ternyata orang itu sudah tidak bernyawa lagi.

"Kau kenal dia, Kakang?" tanya Rara Ayu Ningrum.

Rangga tidak langsung menjawab. Dipandanginya wajah laki-laki yang masih muda itu. Dan memang, sama sekali tidak dikenalnya. Apalagi melihatnya. Pendekar Rajawali Sakti memeriksa mayat laki-laki itu, tapi tak ada yang bisa ditemukan. Perlahan kemudian kepalanya berpaling, dan memandang Rara Ayu Ningrum yang ternyata juga tengah memandangnya. Saat itu, terlihat Ki Andak keluar dari dalam rumah dengan langkah lebar-lebar menghampiri. Mungkin jeritan orang ini telah didengarnya tadi, sehingga cepat-cepat keluar dari dalam rumahnya.

"Ada apa...?!" tanya Ki Andak langsung, begitu dekat

"Orang ini menyerangku dengan panah, Kek. Dan Kakang Rangga yang mengembalikan panahnya," sahut Rara Ayu Ningrum, seraya menunjuk mayat pemuda yang tergeletak dengan leher tertancap anak panah.

"Kau kenal dia, Rangga?" tanya Ki Andak, seraya merayapi wajah mayat pemuda itu.

Rangga hanya menggelengkan kepala saja.

"Hm...," Ki Andak menggumam pelan.

Laki-laki tua itu membungkuk sedikit, dan memeriksa beberapa bagian tubuh mayat ini. Tak lama, tubuhnya kembali tegak. Langsung ditatapnya Rangga, kemudian beralih pada Rara Ayu Ningrum. Satu tarikan napas panjang terdengar, disertai hembusan napas yang begitu be rat

"Dia salah seorang pengikut Jaka Anabrang," jelas Ki Andak.

"Kau mengenalinya, Ki?" tanya Rangga.

"Aku tidak kenal orangnya. Tapi tanda pada dada kiri itu menyatakan kalau dia pengikut Jaka Anabrang," sahut Ki Andak, seraya menunjuk sebuah tanda hitam bergambar seekor kelelawar pada dada kiri mayat itu.

"Hm...," Rangga menggumam pelan, seraya melirik tanda bergambar kelelawar itu.

Kemudian Pendekar Rajawali Sakti kembali menatap Ki Andak yang masih terus memperhatikan mayat pemuda ini. Sedangkan Rara Ayu Ningrum diam saja, tidak membuka suara sedikit pun juga. Pandangannya selalu berpindah dari Ki Andak ke Pendekar Rajawali Sakti. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat itu. Dan untuk beberapa saat, tidak ada seorang pun yang membuka suara.

"Ayo ke dalam," ajak Ki Andak.

Tanpa menunggu jawaban sedikit pun, laki-laki tua itu melangkah kembali ke rumahnya. Sementara, Rangga dan Rara Ayu Ningrum mengikuti dari belakang, meninggalkan begitu saja mayat pemuda pengikut Jaka Anabrang. Sementara dalam benak Rangga terus bertanya-tanya, kenapa Jaka Anabrang malah mengejarnya? Bukankah justru dirinya sendiri yang telah mengejar pemuda penculik Pandan Wangi itu....? Begitu banyak pertanyaan bergayut di dalam benak Pendekar Rajawali Sakti, tapi semuanya tidak ada yang terjawab. Dan semua pertanyaan itu hanya tersimpan dalam kepalanya.

Sementara, mereka sudah berada di depan, duduk di lantai yang hanya beralaskan selembar tikar pandan. Rara Ayu Ningrum masuk ke dalam. Tapi tidak lama kemudian, sudah keluar lagi sambil membawa sebuah baki kayu berisi beberapa buah gelas bambu dan makanan-makanan kecil. Gadis itu mengambil tempat, duduk di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti.

"Kau masih akan pergi juga setelah kejadian tadi, Rangga?" tanya Ki Andak, langsung menatap mata Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata begitu tajam.

Rangga tidak langsung menjawab. Malah dibalasnya tatapan orang tua itu dengan sinar mata yang begitu sulit diartikan. Dan untuk beberapa saat, tidak ada yang membuka suara. Sementara, Ki Andak tampaknya terus menunggu jawaban Pendekar Rajawali Sakti.

"Entahlah, Ki. Tapi, secepatnya aku harus membebaskan Pandan Wangi," kata Rangga, menjawab pertanyaan Ki Andak tadi.

"Kau tahu, di mana Jaka Anabrang menyembunyikan adikmu itu?" tanya Ki Andak lagi.

Rangga hanya menggelengkan kepala saja.

"Tapi aku yakin tidak jauh dari sini, Kek," selak Rara Ayu Ningrum.

"Hm.... Bagaimana kau bisa menduga demikian, Ningrum?" tanya Ki Andak.

"Sudah dua kali terjadi, Kek. Dan aku yakin, bukan hanya Kakang Rangga saja yang menjadi incaran. Tapi juga kita," sahut Rara Ayu Ningrum. "Bukankah Kakek juga salah satu dari gurunya...?"

"Kau benar, Ningrum. Aku memang sempat mengajarkan jurus-jurus ilmu kedigdayaan tingkat tinggi yang bisa dikuasainya dengan sempurna. Bahkan lebih sempurna dari yang kumiliki," kata Ki Andak.

"Dari semua gurunya, sudah ada tujuh orang yang tewas, Kek. Dan aku merasa pasti semua gurunya hendak dilenyapkannya," kata Rara Ayu Ningrum mengemukakan pendapatnya.

"Aneh...," desis Rangga tanpa sadar, seperti hanya dirinya sendiri saja yang ada di beranda depan ini.

"Apanya yang aneh, Kakang?" tanya Rara Ayu Ningrum.

"Ya... Rasanya sangat aneh kalau seorang murid hendak melenyapkan gurunya," sahut Rangga. "Bukankah seharusnya murid harus berbakti pada gurunya? Bukan malah melenyapkannya...! Tapi, Jaka Anabrang justru sebaliknya. Semua gurunya didatanginya, setelah berhasil menguasai Pedang Halilintar untuk dibunuhnya dengan pedang itu. Apa ini tidak aneh...?"

"Kau benar, Rangga. Memang tindakan Jaka Anabrang sangat aneh, dan sukar diterima akal. Hm... Apa kau ada pemikiran lain, Rangga?" ujar Ki Andak.

Rangga tidak langsung menjawab. Malah ditatapnya Rara Ayu Ningrum. Sedangkan gadis itu malah menundukkan kepalanya. Seakan, dia tidak ingin bertatapan dengan Pendekar Rajawali Sakti. Dan, pandangan Rangga pun kembali beralih pada Ki Andak.

"Aku merasa ada sesuatu yang aneh pada dirinya, Ki. Tapi..., entahlah," ujar Rangga, seakan-akan ragu mengucapkannya.

"Kek, apa mungkin jiwa dan pikiran Jaka Anabrang sudah dikendalikan orang lain?" selak Rara Ayu Ningrum, juga terdengar ragu-ragu nada suaranya.

"Kalau memang benar, siapa yang bisa mengubah dan menguasai jiwa serta pikiran seseorang...?" Ki Andak malah balik bertanya. Tapi, nada suaranya seperti bertanya pada diri sendiri.

Tentu saja tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan Ki Andak. Kini mereka semua terdiam, memikirkan jawabannya. Sebuah pertanyaan yang sangat sulit dijawab, karena saat ini mereka semua masih meraba-raba. Tapi yang jelas, semua pertanyaan itu akan terjawab kalau mereka sudah bertemu Jaka Anabrang. Dan ini yang menjadi persoalannya, tidak ada seorang pun yang tahu keberadaan Jaka Anabrang kini.

Jaka Anabrang sudah bagaikan siluman saja. Kemunculannya tidak pemah diketahui. Bahkan kepergiannya pun sangat sulit dicari jejaknya. Dan di saat mereka tengah terdiam, tiba-tiba saja....

Wusss...!
Jleb!

Mereka jadi terkejut. Serentak mereka berlompatan bangun, begitu-tiba-tiba sebatang anak panah melesat cepat, dan menancap tepat di tempat Ki Andak duduk tadi. Untung saja, orang tua itu cepat melompat. Sehingga, anak panah itu hanya menancap di lantai beranda yang tadi didudukinya. Ki Andak bergegas menghampiri anak panah dari besi baja itu, dan mencabutnya dengan sedikit pengerahan tenaga.

"Ada suratnya...," gumam Ki Andak sambil memperhatikan anak panah itu.

Ki Andak segera membuka gulungan daun lontar yang terikat pada bagian tengah batang anak panah itu. Sementara, Rangga dan Rara Ayu Ningrum sudah menghampiri. Hati-hati sekali Ki Andak membuka. Keningnya langsung berkerut, begitu melihat baris-baris tulisan yang tertera pada lembaran daun lontar ini.

"Apa isinya, Ki?" tanya Rangga.

"Peringatan..., atau mungkin tantangan untukku," sahut Ki Andak, seraya menyerahkan lembaran daun lontar kering itu pada Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti mengambil, dan langsung membaca tulisan yang tertera pada lembaran daun lontar ini. Sebentar kemudian ditatapnya Ki Andak. Sementara Rara Ayu Ningrum cepat merebut daun lontar itu, dan membaca tulisannya dengan kening berkerut. Juga, ditatapnya Ki Andak setelah membaca tulisan pada daun lontar itu. Kemudian tatapannya beralih pada Rangga yang berdiri di sebelahnya.

"Kau ingin membalasnya, Ki?" tanya Rangga setelah beberapa saat semuanya diam.

Ki Andak tidak menjawab, tapi hanya tersenyum saja penuh arti. Hanya saja, senyumnya terlalu sulit diartikan. Bahkan untuk membaca jalan pikirannya pun tidak mudah. Laki-laki berusia lanjut itu kembali duduk bersila di beranda depan ini. Hanya selembar tikar anyaman daun pandan saja yang menjadi alasnya. Sementara, Rangga dan Rara Ayu Ningrum masih tetap berdiri memandanginya.

***