Pendekar Mabuk 67 - Tapak Siluman

1
DENGAN gerakan yang lincah, gadis kecil itu
melambung di udara dan bersalto dua kali. Wut, wuut...!
Gerakan itu membuat seorang lelaki tua berusia sekitar
delapan puluh tahun menjadi kebingungan sesaat. Tahu-
tahu kepala si tua yang tergolong gundul itu merasa

tersentuh sesuatu. Plak...! Weess...! Ternyata kaki bocah
cilik itu telah menggunakan kepala si tua sebagai alas
jejakan untuk melambung lebih tinggi lagi. Tahu-tahu
gadis kecil itu sudah hinggap di sebuah dahan pohon.
Sementara si tua gundul hanya mengusap-usap
kepalanya sambil memandang bengong, seakan
memamerkan giginya yang sudah ompong.
Seorang pemuda yang bersembunyi di balik
gundukan tanah berilalang rimbun itu tertawa dengan
mulut ditutup tangan. Pemuda itu bercelana putih kusam
dan bajunya yang tanpa lengan itu berwarna coklat.
Dilihat dari ketampanan dan bumbung tuak yang
menyilang di punggungnya, tak salah lagi jika pemuda
itu dipanggil dengan julukan kondangnya: Pendekar
Mabuk. Pemuda itu adalah Suto Sinting, si murid
tunggal Gila Tuak, termasuk juga murid dari tokoh
perempuan sakti yang dikenal dengan nama Bidadari
Jalang.
"Bocah bodong!" umpat Pak Tua yang memakai
jubah hijau kusam. "Kepala orang tua dianggap batu
terapung! Uuuh...! Kau belum tahu siapa aku, Bocah
Bodong!"
"Hik, hik, hik...," gadis kecil itu tertawa sambil
nangkring di atas dahan. "Habis, kau jahat padaku.
Kalau kau tidak jahat padaku, aku tidak akan berlaku tak
sopan seperti tadi!"
"Siapa yang jahat padamu?!" bentak Pak Tua itu.
"Aku hanya ingin membunuhmu, itu kan tidak jahat!
Kecuali kalau aku mau menyiksamu, itu berarti aku
jahat."
"Enak saja. Mau membunuh kok dikatakan tidak
jahat? Lebih baik kau bunuh diri saja, Kek. Mumpung
usiamu sudah medok, sudah waktunya bobo' santai di
dalam kuburan."
"Turun kau, Bocah Bodong!"
"Naik kau, Kakek Ompong!"
"Keparat! Turun kau, Bodong!"
"Naik kau, Ompong!"
Pendekar Mabuk cekikikan menahan tawa di balik
kerimbunan ilalang. Geli sekali mendengar pertengkaran
mulut antara gadis kecil berusia sekitar tujuh tahun
dengan seorang kakek setua itu.
Bagi Suto Sinting, gadis kecil berambut cepak
berwarna pirang seperti rambut jagung itu bukanlah
sosok bocah yang mengherankan lagi. Suto kenal betul
dengan gadis kecil bergiwang merah sebesar kacang
hijau, mengenakan rompi bulu warna hitam-putih seperti
kulit kuda zebra, celana pendeknya berwarna coklat rusa
dan mengenakan kalung tali hitam berbatu merah delima
lebih besar dari giwangnya itu. Gadis kecil itu tak lain
adalah Dewi Menik, yang akrab dipanggil Menik, ia
adalah keturunan terakhir dari tiga bersaudara; Dewi
Hening dan Dewi Kejora, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Utusan Raja Iblis").
Tetapi siapa kakek berjubah hijau dan berambut tipis
di bagian pinggirnya hingga berkesan gundul itu? Suto
Sinting merasa belum pernah bertemu dengan tokoh tua
yang menggenggam tongkat dari kayu hitam itu.
Agaknya tokoh tua berbadan kurus dengan alis dan
jenggot sudah memutih itu bukan tokoh sembarangan,
walaupun penampilannya mirip bocah ingusan. Terbukti
ketika ia ditantang oleh Menik untuk naik ke atas pohon,
ia hanya menggerakkan tangan kirinya ke bawah bagai
membuang sesuatu dengan gemulai, lalu tubuhnya
melesat ke atas bagai angin berhembus. Weess...!
Tahu-tahu kakek berjubah hijau sudah ada di pohon
itu, lain dahan dengan Menik. Hanya saja, gadis kecil
yang tengil dan selalu tampil sok tua itu sudah lebih dulu
melesat ke bawah dengan bersalto lincah dua kali. Wuk,
wuk, jleeg...!
"Dasar bocah raja bodong! Katanya aku disuruh naik,
eeh... dia malah turun!" omel sang kakek. "Ayo, naik
lagi kau, Bodong!"
"Ayo, turun lagi kau, Ompong!" balas Menik bagai
tak punya rasa takut sedikit pun. Kedua tangannya
bertolak pinggang, kedua kakinya berdiri tegak sedikit
merenggang seakan siap menantang pertarungan.
"Kucabut nyawamu sekarang juga, Bocah Bodong!"
"Kucabut gigimu kalau berani turun, Kakek
Ompong!"
"Kurang ajar!" geram sang kakek.
"Kurang tua!" balas Menik menirukan gerakan si
kakek.
"Kau sangka aku takut dengan tantangan cilikmu itu,
hah?!"
Menik membalas, "Kau sangka aku juga takut
mendengar gertakanmu itu, hah?! Panggil bapak
moyangmu, suruh hadapi aku sekarang juga, sedikit pun
aku tak akan mundur dan...." Menik diam. Tiba-tiba
sekali ia diam, karena tiba-tiba pula kakek berjubah hijau
itu lenyap dari pandangan matanya. Gadis kecil merasa
heran dan bingung sendiri, ia sempat menajamkan
penglihatannya ke arah atas pohon, tapi sang kakek tidak
kelihatan sama sekali. Gusinya saja tidak tertinggal di
pohon itu.
"Ke mana perginya?" gumam Menik yang
kebingungan.
"Ke belakangmu, Bodong!" jawab suara tua yang
mengejutkan Menik.
"O, oh...?!" Menik diam tak bergerak, karena ia tahu
sang kakek ada di belakangnya dalam jarak cukup dekat.
Kepala Menik tak berani berpaling, tapi bola matanya
yang bundar itu bergerak melirik ke samping, seakan
ingin menengok ke belakang.
"Benarkah kau tak akan mundur jika melawanku,
Gadis Bodong?!" gertak sang kakek.
"Iiy... iya... soalnya, kau ada di belakangku,
bagaimana aku bisa mundur, Kakek Ompong!"
"Keparat! Hiih...!"
Sang kakek menyentakkan tangan kirinya ke depan
bagai membuang selembar daun. Wees...! Ternyata
gerakan itu mengeluarkan tenaga dalam cukup besar
yang menghantam punggung Menik dengan telak.
Buuhk...!
"Uuhk...!" Menik tersentak dan tubuhnya terhempas
ke depan, melayang cepat bagai dilemparkan oleh tenaga
yang amat besar.
Brruss...!
"Aaauww..!" Menik mengaduh di semak-semak.
Untung ia jatuh di semak-semak, seandainya tubuhnya
yang kecil itu menghantam pohon besar di samping
semak-semak itu, mungkin kepalanya akan remuk dan
tulang-tulangnya akan berantakan.
Weees...! Kakek berjubah hijau lenyap, tapi
sebenarnya bergerak sangat cepat, melebihi gerakan
angin, sehingga dalam waktu kurang dari sekejap sudah
berada di semak-semak. Ia mencekal rompi bulu yang
dipakai Menik, kemudian melemparkan gadis kecil itu
bagai melempar mangga busuk saja. Wees...!
"Aaa...!" Menik menjerit panjang, tubuhnya
melayang tinggi dan tanpa keseimbangan tubuh. Kepala
Menik pun menukik ke bawah saat tubuhnya melayang
turun. Sedangkan di tanah yang akan menjadi sasaran
jatuhnya Menik itu terdapat gugusan batu sebesar kepala
kerbau. Menik tak bisa mengendalikan gerakan
tubuhnya, maka dapat dibayangkan kepala Menik akan
pecah begitu menyentuh batu besar itu.
Zlaaap...! Sekelebat bayangan melintas di depan
kakek berjubah hijau. Bayangan itu menyambar tubuh
Menik, dan gadis kecil itu semakin berteriak keras
karena merasa kaget dapat melesat ke arah lain.
"Woooaaw...! Tolooong...!"
Deeb! Tiba-tiba Menik merasa gerakan terbangnya
terhenti seketika. Rupanya orang yang telah
menyambarnya tadi berhenti secara mendadak dan
kakinya menapak di tanah dengan tegak. Menik belum
berani membuka mata, namun ia sudah mulai sadar
bahwa saat itu ia berada dalam gendongan seseorang.
"Oh, di mana aku ini? Jatuh di tumpukan sampah apa
aku ini?" sambil Menik meraba-raba wajah Suto Sinting,
"Bukalah matamu, Menik. Aku bukan tumpukan
sampah!"
Menik pun membuka mata. "Oh.. kau?! Kenapa kau
berani menjamahku, hah?'"
"Tengil!" sentak Suto Sinting dengan dongkol, lalu
tubuh Menik dibuang begitu saja. Brruk...!
"Aduh...! Kejam nian kau, Suto!" ujar Menik sambil
menyeringai kesakitan, ia memegangi lututnya yang
membentur kayu saat dibuang dari gendongan Suio
Sinting. Bocah yang suka berlagak tua itu akhirnya
bangkit sendiri dan menggerak-gerakkan kakinya agar
uratnya tak menjadi kaku.
Sementara itu, pandangan mata Suto Sinting menatap
ke arah pertarungan Menik dengan kakek tua tadi. Sang
kakek tak kelihatan ujung hidungnya, mungkin ia tak
mengejar Menik, atau menganggap Menik lenyap begitu
saja karena gerakan Suto saat menyambar Menik seperti
gerakan anak panah lepas dari busurnya. Ia
menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang terkenal tak
ada tandingannya dalam hal kecepatan geraknya itu.
Menik bersungut-sungut dan menendang tulang
kering kaki Suto. Duuhk...!
"Aduh...!" pekik Suto kaget.
"Rasakan akibatnya!" kata Menik dengan cemberut.
"Kau kira aku ulat bulu, dibuang seenaknya saja! Dasar
buaya kaleng!"
Suto jadi tertawa mendengar makian Menik yang
mengatakan dirinya buaya kaleng.
"Apa maksudmu mengatakan aku buaya kaleng?"
"Manis di luar di dalamnya busuk!" jawab Menik.
"Kelihatannya mau menolong, tak tahunya mau
mencelakakan diriku!" Menik melirik sinis dengan
bibirnya meruncing seperti ikan cucut. Pendekar Mabuk
semakin geli melihatnya.
Kemudian bumbung tuak yang ada di punggung
diraih. Suto Sinting menenggak tuaknya beberapa teguk.
Menik memandangi dengan sinis, masih cemberut,
sambil membersihkan badannya dari debu tanah.
"Lututku sakit gara-gara kau buang!"
"Hmmm... lantas kau mau apa?" tanya Suto dengan
sabar.
"Beri aku minum tuakmu, biar sakitku hilang."
Suto Sinting tertawa tanpa suara sambil geleng-
geleng kepala. Kemudian ia membantu menuangkan
tuak ke mulut Menik.
"Jangan banyak-banyak, nanti kau mabuk!" kata Suto
Sinting.
"Mabuk itu biasa...," ucap Menik sok tua sekali
membuat kelucuan yang konyol, namun digemari oleh
Suto Sinting.
"Siapa kakek tua itu tadi, Menik?"
"Entah," Menik melengos dengan angkuh. "Aku tidak
kenal dengannya. Aku juga tidak naksir lelaki macam
dia!"
Kalau tak terbiasa menghadapi Menik, siapa pun akan
dibuat kaku hati, jengkel, akhirnya main tabok. Untung
Suto Sinting sudah terbiasa menanggapi ketengikan
Menik, sehingga walau hati memendam dongkol namun
bibir menyunggingkan senyum geli.
"Kudengar kakek tadi mau membunuhmu. Apa benar
dia bersungguh-sungguh ingin membunuhmu, Menik?"
"Entah, ya!" jawab Menik dengan tengil. Ia sengaja
memunggungi Suto dan bermain pucuk-pucuk bunga
yang tumbuh di semak belukar.
"Kalau begitu, tak ada salahnya jika aku terpaksa
meninggalkanmu sendirian di sini," pancing Suto Sinting
sambil berpura-pura ingin melangkah pergi. Menik buru-
buru palingkan wajah dan menyapa ketus.
"Suto...!"
Langkah Suto Sinting terhenti, tapi ia sengaja tak
mau berpaling memandang Menik. Gadis kecil itu
berjalan cepat menuju depan Suto. Ia berhenti
berhadapan dengan Pendekar Mabuk, memandang
dengan lagak angkuhnya.
"Begitukah seorang pendekar bersikap terhadap gadis
kecil? Apakah gurumu mengajarkan agar segera pergi
jika melihat gadis kecil dalam bahaya? Hmmm...
pendekar cap apa kau ini, Suto?" Menik mencibir, Suto
sengaja buang muka walau dalam hati ia ingin tertawa
terbahak-bahak.
"Kalau tahu kau pengecut begitu, tak akan
kukenalkan kau kepada kakak sulungku waktu itu,"
celoteh Menik.
"Kau tidak bersungguh-sungguh menjawab
pertanyaanku, Menik. Aku tak punya waktu banyak
untuk kau buat mainan seperti tadi." ,
"O, jadi kau tersinggung? Hmmm...! Terlalu perasa
kau ini, Suto. Seandainya aku...."
Weess...! Suto Sinting berkelebat menyambar Menik.
Kata-kata gadis kecil itu terhenti seketika. Dalam
sekejap mereka sudah berpindah tempat agak jauh dari
tempat semula.
"Mengapa kau menyambarku seenaknya saja begitu?
Kau pikir aku ini jemuran nganggur? Main sambar saja!"
omel Menik dengan mulut runcingnya.
"Lihatlah ke sana...," kata Suto Sinting sambil
menuding tempat mereka berada tadi.
Menik kerutkan dahi, mempertajam penglihatannya.
Ternyata di sana telah berdiri kakek berjubah hijau yang
tadi ingin membunuhnya. Menik terperangah kaget.
"Sejak kapan dia ada di sana, Suto?"
"Sejak aku menganggapmu jemuran," jawab Suto
Sinting seenaknya. "Kalau tidak kusambar, nyawamu
pasti sudah melayang. Karena dia tadi menerjangmu
dengan sangat cepat dan kulihat tongkatnya dihantamkan
ke kepalamu."
Menik memegangi kepalanya. "Ah, apa iya? Buktinya
kepalaku masih utuh?!"
Suto Sinting tidak melayani kata-kata Menik, karena
ia segera bersiap menghadapi kedatangan kakek
berjubah hijau yang menggenggam tongkat kayu hitam.
Kaii ini sang kakek bergerak tak secepat tadi. Satu
lompatan saja sudah bisa menerbangkan tubuhnya untuk
mendekati Pendekar Mabuk dan Menik.
Mata kecil sang kakek menatap tajam kepada Suto
Sinting. Badannya masih tampak tegak, walau sikap
berdirinya berkesan kalem. Senyum sang kakek mekar
ketika pandangan matanya berubah tak setajam tadi.
"Rupanya kau kakak si bocah bodong itu, Anak
Muda?!" ujar sang kakek sambil menuding Menik
dengan tongkatnya.
"Anggap saja begitu," kata Suto.
"Dan rupanya kau ingin ikut campur urusanku ini,
Nak?"
"Aku tak rela Menik mati di tanganmu. Dia masih
kecil dan tak mampu melawanmu, Eyang," kata Suto
dengan sikap tetap sopan.
Menik cemberut. "Siapa bilang aku tak mampu
melawannya? Hmmm...! Baru satu orang seperti dia,
seratus orang seperti dia pun aku tak akan lari selangkah
pun."
"Kenapa kau tak lari?"
"Aku pasti langsung pingsan!" jawab Menik sambil
bersungut-sungut. Sang kakek tertawa terkekeh-kekeh,
demikian pula Suto Sinting. Tapi ketika sang kakek
hentikan tawanya dalam seketika, Suto Sinting pun
menyurutkan tawa dan memandanginya kembali.
"Eyang, kalau boleh kutahu siapa namamu?"
"Heh, heh, heh, heh... rupanya kau orang baru di
rimba persilatan, sehingga kau belum mengenali ciri-
ciriku," ujarnya dengan sedikit sombong. "Ketahuilah,
Nak... jika kelak kau mendengar nama Dewa Semprong
dari mulut para tokoh rimba persilatan, itulah nama
julukanku yang kesohor di seantero jagat"
"Pantas wajahnya seperti semprong!" gerutu Menik.
Sang kakek berkata, "Untung aku tak mendengar
gerutuanmu, Bocah Bodong. Seandainya aku mendengar
gerutuanmu tadi, kutambal mulutmu dengan tanah
kuburan!"
"Sabarlah, Eyang...," Suto menenangkan si Dewa
Semprong.
"Anak muda, melihat gerakanmu yang cukup
lumayan dalam melarikan bocah bodong itu, agaknya
kau mempunyai ilmu yang pas-pasan, Nak. Kalau boleh
kutahu, siapa namamu, Anak Muda?"
Menik yang menyahut, "Hemm, mengaku orang lama
di persilatan tapi tidak kenali ciri-ciri Pendekar Mabuk!"
Dewa Semprong terperangah memandangi Suto.
"Oo... jadi kaulah orangnya yang dikenal dengan
nama Pendekar Mabuk itu? Kau murid si Gila Tuak?!"
"Apakah kau mengenal guruku, Eyang Dewa
Semprong?!"
"Celaka!" Dewa Semprong menggumam dan menjadi
nanar karena memendam kegelisahan. Menik
menggerutu sambil bersungut-sungut di samping Suto
Sinting.
"Ditanya kenal sama si Gila Tuak kok malah celaka?
Dasar dewa pikun, susah diajak bicara!"
Gerutuan Menik tak dihiraukan oleh Dewa Semprong
maupun Suto. Karena pada saat itu, Suto Sinting segera
ajukan tanya kepada Dewa Semprong dengan nada tegas
dan bersungguh-sungguh.
"Eyang, mengapa Eyang setua ini ingin membunuh
bocah sekecil Menik?!"
"Aku butuh otaknya."
Suto Sinting berkerut dahi, demikian pula Menik.
Pandangan matanya menjadi tajam dan raut wajahnya
tampak heran bercampur tegang.
"Apa maksud, Eyang?" tanya Suto Sinting.
"Tolong beri tahukan kepada gurumu; si Gila Tuak,
agar ia juga memakan otak bocah berusia sepuluh tahun
ke bawah tapi bukan bayi."
"Mengapa begitu, Eyang?!" Suto Sinting lebih
mendekat.
"Karena darah manusia yang sudah bercampur
dengan otak bocah di bawah usia sepuluh tahun akan
dapat menolak kekuatan ilmu 'Bajang Rampak'. Darah
yang tidak bercampur dengan otak bocah akan mampu
diserang ilmu 'Bajang Rampak', dan ilmu itu tak ada
tandingannya kecuali dengan cara yang kesebutkan."
"Aneh sekali ilmu itu. Siapa pemilik ilmu 'Bajang
Rampak' itu, Eyang?"
"Pemiliknya adalah si Tapak Siluman!"
"Tapak Siluman?!" gumam Suto Sinting. "Apakah
Tapak Siluman itu sama dengan Siluman Tujuh
Nyawa?"
"O, bukan! Siluman Tujuh Nyawa pun akan menjadi
santapannya Tapak Siluman jika mereka saling
berpapasan."
Suto Sinting diam membisu. Bayangan wajah dingin
Siluman Tujuh Nyawa muncul kembali dalam benaknya.
Tokoh paling sesat itu adalah musuh utama Suto Sinting,
yang harus dipenggal kepalanya sebagai maskawin
dalam melamar Dyah Sariningrum, penguasa Puri
Gerbang Surgawi itu. Jika Siluman Tujuh Nyawa saja
dikatakan akan menjadi santapan si Tapak Siluman,
berarti ilmu yang dimiliki si Tapak Siluman lebih tinggi
dari ilmu yang dimiliki Durmala Sanca alias Siluman
Tujuh Nyawa itu.
"Pendekar Mabuk," kata Dewa Semprong. "Demi
menyelamatkan jiwaku dari keganasan ilmu 'Bajang
Rampak', aku terpaksa harus membunuh bocahmu itu.
Kuharap kau menyingkir dan jangan menentangku."
Suto Sinting geleng-geleng kepala. "Tak kuizinkan
siapa pun merampas otak bocah ini!" sambil Suto berdiri
menghalangi Menik.
"Kusarankan sekali lagi, jangan halangi niatku. Kau
akan binasa jika melawanku, Pendekar Mabuk. Bahkan
bila perlu cepatlah mencari bocah yang usianya di bawah
sepuluh tahun dan makanlah otaknya, supaya kau pun
kebal dari serangan ilmu 'Bajang Rampak'. Sebab
sekarang ini, si Tapak Siluman sedang merajalela dan
ingin menumbangkan semua tokoh di rimba persilatan.
Dia ingin menjadi orang tertinggi di dunia persilatan."
"Apa pun alasanmu, aku tetap akan menjadi perisai
bagi gadis kecil ini."
"Oh, kalau begitu jangan salahkan aku jika kau
sampai celaka di tanganku, Pendekar Mabuk."
Weeess...! Tiba-tiba tangan kiri Dewa Semprong
menyentak ke depan dengan telapak tangan terbuka.
Tangan itu berubah merah bening seperti beling. Dan
sinar yang keluar dari telapak tangannya berwarna merah
bening juga, seperti semprong lampu teplok.
Slluuub...! Sinar itu begitu cepatnya menerjang Suto
Sinting, sehingga tak dapat dihindari dan ditangkis
dengan bumbung tuaknya. Padahal kala itu Menik
sedang ingin mengatakan sesuatu kepada Suto. Ia
mendekati Suto tepat sinar merah itu berkelebat dengan
kecepatan melebihi petir. Prraaaang...!
Sinar itu menghantam Suto Sinting dan Menik.
Cahaya merahnya pecah, menyebar ke mana-mana,
menimbulkan suara seperti beling pecah. Suto Sinting
sempat menyambar tubuh Menik. Tapi sentakan sinar itu
amat kuat sehingga mereka berdua terpental ke belakang
bagaikan terbang.
Weeerrss...!
"Aaauh...! Sutoooo...!"
Brrruss...! Mereka jatuh di semak-semak sekitar lima
belas tombak jauhnya dari tempat Dewa Semprong
berdiri.
"Menik...?! Menik, di mana kau...?!" Suto Sinting
meraba-raba sekelilingnya. Ia menjadi tegang, karena
pandangan matanya menjadi gelap pekat, tak bisa
melihat setitik sinar pun.
"Meniiik.,.!" seru Suto Sinting dengan panik.
"Sutoo... aku tak bisa melihat apa-apa!" suara Menik
ada di samping kanan Suto Sinting.
"Celaka! Sinar itu membuat aku dan Menik menjadi
buta. Oh, aku harus menyelamatkan Menik sebelum
Dewa Semprong memakan otaknya!" kata Suto dalam
hati.
Zlaaap..! Dengan nalurinya Suto bergerak
menyambar Menik. Wuuus...! Teeb...! Dalam sekejap
Menik sudah berhasil dipeluk Suto Sinting. Kemudian
tanpa banyak bicara lagi, Suto melarikan diri demi
menyelamatkan Menik.
Zlaab, zlaab, zlaab...!
Gerakan cepatnya yang melebihi angin itu membuat
Dewa Semprong kehilangan jejak. Namun kakek tua itu
masih tetap mengejarnya dengan menggunakan indera
keenamnya sebagai penunjuk jalan mengikuti Pendekar
Mabuk dan Menik.
*
* *
2
PENDEKAR Mabuk tak tahu arah yang dituju. Yang
ia tahu hanyalah menjauhkan diri dari Dewa Semprong
agar Menik tak menjadi korban. Setelah dirasakan
pelariannya cukup jauh dari Dewa Semprong, Suto pun
menghentikan langkahnya. Menik diturunkan dari
gendongannya.
"Kita sampai di mana ini, Suto?"
"Mana kutahu? Aku juga buta!" jawab Suto Sinting
lalu meraih bumbung bambu berisi tuak saktinya itu.
"Minumlah tuakmu biar kau tak ikut-ikutan buta,"
kata Menik seenaknya saja sambil kucal-kucal mata.
"Tanpa kau suruh aku sudah membuka tutup
bumbung tuakku."
"Minumlah, tapi jangan dihabiskan. Sisakan untukku,
biar aku juga bisa melek kembali, Suto."
"Cerewet!" sentak Suto agak jengkel karena merasa
digurui anak kecil.
Tuak sakti yang mampu menyembuhkan segala
macam penyakit dan mampu melenyapkan luka apa pun
dalam waktu singkat itu segera ditenggak oleh Pendekar
Mabuk. Glek, glek, glek...! Beberapa saat kemudian
Suto menunggu pulihnya pandangan mata. Tetapi
ternyata pandangan mata tetap gelap. Hanya ada warna
hitam yang terpampang di depannya. Tuak pun diteguk
kembali.
Glek, glek, glek...!
"Hei, sudah kubilang jangan banyak-banyak, kok
malah minum terus?!" sentak Menik berlagak tua sambil
menepak pantat Suto. Akibat tepakan itu, tubuh Suto
terguncang dan tuak menyiram wajahnya. Byuur ..!
"Sial kau ini, Menik!" bentak Suto sambil tangannya
ingin meraba Menik.
"Kenapa ngomel?"
"Kau mendorong tubuhku, akibatnya tuak mengguyur
wajahku."
"Mungkin tuakmu tahu kalau mulutmu selebar
wajah," kata Menik seenaknya saja. "Sini, ganti aku
yang minum."
Menik pun meraba-raba ingin mendapatkan bumbung
tuak. Suto Sinting akhirnya membantu menuangkan tuak
ke mulut Menik. Tapi karena tak bisa melihat apa-apa,
akibatnya tuangan itu terlalu banyak dan tuak meluber
ke wajah Menik.
"Haalp, haalp, haalp...! Sudah, sudah... halp!" Menik
seperti orang tenggelam. Gelagapan sendiri, ia segera
terengah-engah begitu tuak sudah tak mengguyur
wajahnya lagi.
"Eh, mulutku kecil, Suto. Jangan kau anggap mulut
gentong. Menuang tuak seenaknya saja!" gadis kecil itu
mengomel dalam gerutu. Suto sempat tertawa pelan
sebentar, kemudian diam dan mengerjap-ngerjapkan
matanya.
"Kok masih buta?" pikir Suto Sinting dengan hati
berdebar-debar. "Wah, celaka! Kebutaan ini rupanya tak
bisa disembuhkan dengan tuak saktiku?!"
"Suto...," seru Menik sambil meraba-raba ingin
meraih tangan Pendekar Mabuk.
"Suto, apakah kita berada di sebuah gua?"
"Kenapa kau bertanya begitu?"
"Aku tak menemukan pintu gua ada di mana."
"Kita bukan berada di dalam gua."
"Mengapa gelap?"
"Karena kita masih buta!" sentak Pendekar Mabuk
agak jengkel.
"Lho, biasanya orang sakit apa pun kalau minum
tuakmu langsung bisa sembuh."
"Itu biasanya. Kali ini agak luar biasa, jadi tidak bisa
langsung sembuh. Kita harus menunggu beberapa waktu
agar tuakku bekerja memerangi racun kebutaan yang
menyerang kita ini, Menik."
Mereka menunggu saat-saat kebutaan hilang. Tetapi
sampai beberapa saat mereka menunggu, ternyata mata
mereka masih tetap buta, tak bisa melihat apa-apa. Suto
Sinting menjadi cemas, ia mengerahkan hawa murni
untuk menghancurkan lapisan hitam yang sepertinya
melekat di kedua bola matanya itu. Tetapi usaha tersebut
juga gagal.
"Celaka, kita tak bisa melihat apa-apa lagi, Menik,"
kata Suto Sinting yang bersandar pada sebuah pohon.
Menik duduk di sampingnya tak jauh dari jangkauan
Suto. Ia memang diperintahkan agar jangan jauh-jauh
dari Suto, karena jika terjadi sesuatu bisa cepat
diselamatkan oleh jangkauan tangan Suto.
"Mimpi apa aku semalam?" gumam Menik bernada
sedih. Ia tidak menangis, ia menampakkan ketenangan
dan ketabahannya.
"Kenapa kau sampai bertemu dengan Dewa
Semprong, Menik?"
"Aku tidak bermaksud menemuinya. Aku bermaksud
mencari kakakku: Kejora. Dia pergi dan udah beberapa
hari tak pulang ke rumah. Kakakku, Dewi Hening,
mencemaskan dirinya. Lalu kami berpencar mencari
Kejora. Sebab saat itu Kejora sedang patah hati karena
ditinggal pergi kekasihnya."
"Siapa kekasih Kejora?"
"Wicaksara, pemuda tampan sepertimu yang masih
keturunan darah biru."
"Hmmm...," Suto manggut-manggut, tapi Menik tak
melihat gerakan kepala Suto, sehingga ia menyangka
Suto hanya menggumam.
"Dalam mencari Kejora, tiba-tiba aku dihadang oleh
kakek tua ompong itu. Dengan ramah ia meminta agar
aku bersedia menyerahkan otakku untuk dimakannya.
Tentu saja aku tak mau. Aku segera melindungi lututku
dan...."
"Mengapa yang kau lindungi lututmu?"
"Sebab Kejora sering mengatakan otakku ada di
dengkul. Dengkul itu lutut, jadi ketika kudengar Dewa
Semprong mau memakan otakku, maka aku segera
melindungi lututku. Akhirnya aku melarikan diri dan dia
mengejarnya sampai... yah, bertemu denganmu dan buta
bersamamu begini."
Weess...! Angin berhembus cepat, dan berhenti di
depan Pendekar Mabuk. Firasat Suto mengatakan ada
yang datang menemui mereka. Ia segera bersiap menarik
lengan Menik dan menyembunyikan Menik di
belakangnya.
"Ada yang datang menghampiri kita, Menik. Siapa
dia?"
"Mana kutahu, kau kan yang ada di depan? Apa kau
tak kenal dia?"
"Oh, ya... aku lupa. Kita sama-sama buta!"
Dengan mempertajam pendengaran dan firasatnya,
Suto Sinting mulai mempelajari tokoh yang datang dan
kini sedang berdiri di depannya itu. Kepalanya sebentar-
sebentar miring ke kanan atau ke kiri untuk
mendengarkan suara langkah kaki. Ilmu 'Lacak Jantung'
pun segera digunakan untuk mendengar detak jantung
seseorang.
"Hmmm... kalau mendengar detakan jantungnya yang
agak lembut, seperti orang yang datang di depanku ini
adalah seorang perempuan," kata Suto Sinting dalam
hatinya. "Bau wangi yang kuhirup ini juga menunjukkan
wewangian seorang perempuan. Tak salah lagi, pasti
orang yang berdiri di depanku adalah seorang
perempuan."
Pendekar Mabuk segera menyapa dengan ramah
namun bernada tegas.
"Siapa kau sebenarnya. Nona? Sebutkanlah namamu
jika kau bermaksud baik padaku."
"Hik, hik. hik.... Baru sekarang ada pemuda ganteng
memanggilku Nona," kata orang yang ada di depan Suto.
Pendekar Mabuk terperanjat. Suara yang didengarnya
adalah suara perempuan tua yang usianya sekitar delapan
puluh tahun. Suto menjadi malu ketika mendengar
Menik terkikik geli di belakangnya.
"Apakah tak boleh aku memanggilmu Nona?" kata
Suto menutupi rasa malunya akibat salah terka.
"Yah, terserah apa maumu, Pemuda Tampan. Tapi
ketahuilah dalam kebutaanmu itu, bahwa aku adalah
Nyai Serampang Wilis. Umurku sudah mencapai
delapan puluh tahun, sudah peot, keriput, tapi... yah,
mungkin memang masih kelihatan cantik, seperti
seorang nona. Hik, hik, hik...."
Suto tak melihat bahwa perempuan yang berdiri di
depannya itu memang sudah tua, seperti yang dituturkan
orang itu. Ia bernama Nyai Serampang Wilis.
Mengenakan jubah hitam dan berambut abu-abu
disanggul asal-asalan, ia selalu memainkan kipasnya
dalam bicara.
"Apa maksudmu menemui kami di sini, Nyai
Serampang Wilis?!"
"Kebetulan saja aku melihat kalian di sini. Aku
mempunyai kecurigaan yang kubutuhkan."
"Apa maksudmu, Nyai?"
"Kau pasti telah bertemu dengan seorang lelaki tua
berjubah hijau yang bernama Dewa Semprong itu."
"Iya, memang benar. Dari mana kau tahu kalau kami
bertemu dengan Dewa Semprong?"
"Kulihat kebutaan di mata kalian bukan dari sejak
lahir. Kalian pasti terkena jurus 'Gelap Sayuta'-nya si
Dewa Semprong. Jurus itu bisa membuat lawan buta
seumur hidup dan tak ada obat penyembuhnya!"
Pendekar Mabuk diam menahan kecemasan dalam
hatinya. Namun di batin sang Pendekar Mabuk sempat
bertanya-tanya, "Benarkah aku akan buta selamanya?
Benarkah tak ada obat yang dapat menyembuhkan
kebutaanku ini?!"
Suara Nyai Serampang Wilis terdengar lagi.
"Dewa Semprong memang patut dipenggal
kepalanya. Sebagai tokoh sakti ia sangat gegabah dalam
bertindak. Itulah sebabnya ia selalu dijauhi oleh para
tokoh seangkatannya."
"Apa yang harus kami lakukan jika sudah buta begini,
Nyai Serampang Wilis?"
"Hmmm... ya sudah, nikmati saja kebutaan kalian.
Karena ke mana pun kalian mencari obat penyembuh
kebutaan itu, kalian akan gagal. Kebutaan itu tak akan
mampu dipulihkan oleh kesaktian apa pun.".
"Jangan percaya sepenuhnya, Suto," bisik Menik.
"Di mana sekarang si Dewa Semprong itu. Aku
sedang memburunya untuk menyelesaikan perkara
dengannya."
"Nyai, kami memang tadi bertemu dengan Dewa
Semprong. Tapi setelah kami dibuat buta, kami
melarikan diri ke sembarang arah. Jadi kami tak tahu di
mana si Dewa Semprong berada sekarang ini. Mungkin
di arah belakangku, mungkin di sebelah kiriku, atau
mungkin di arah sebelah kananku. Aku tadi sempat
berlari ke berbagai penjuru untuk menghilangkan jejak."
Nyai Serampang Wilis ingin bicara lagi. Tetapi tiba-
tiba Suto Sinting berkelebat menerjangnya dengan
kecepatan tinggi. Zlaaap...! Brrrus...! Tubuh Nyai
Serampang Wilis terlempar ke samping. Nenek tua itu
terkejut dan nyaris murka. Namun tiba-tiba
kemarahannya segera menjadi reda setelah melihat Suto
Sinting menangkap sesuatu dengan jari-jari tangan
kirinya.
Tiga pisau kecli terselip di jari-jari Pendekar Mabuk.
Tiga pisau berbulu merah pada bagian gagangnya itu
nyaris merenggut nyawa Nyai Serampang Wilis, karena
ketiga pisau terbang itu memang ditujukan ke arah leher
Nyai Serampang Wilis.
Ketajaman indera pendengaran dan indera perasa
membuat Suto Sinting mengetahui ada hembusan angin
aneh yang menuju ke tubuh Nyai Serampang Wilis.
Nalurinya pun segera menggerakkan kaki untuk
menyentak kecil ke tanah dan tubuh pun melesat cepat
melebihi hembusan angin. Karenanya, tiga pisau dari
penyerang yang masih bersembunyi itu berhasil
ditangkap oleh Suto Sinting, sehingga Nyai Serampang
Wilis hanya menderita nyeri di pinggulnya akibat jatuh
terbanting oleh terjangan Suto tadi.
"Monyet kurap!" geram Nyai Serampang Wilis
sambil memperhatikan tiga pisau berjambul merah di
jari-jemari Suto
"Seseorang ingin membunuhmu, Nyai."
"Memang," jawab Nyai Serampang Wilis bernada
tegas karena memendam kemarahan. "Tapi aku kenal
dengan pemliik pisau berjambul merah itu."
"Hmmm... siapa pemiliknya, Nyai?"
"Tapak Siluman!"
"Hahh...?!" Menik terdengar memekik. Lalu tubuhnya
melesat dalam satu lompatan ke atas. Wuuut...!
Duuuhk...!
"Aaow...!" Menik memekik lagi lebih keras, karena
kepalanya membentur dahan pohon dengan keras. Gadis
kecil itu hampir saja jatuh terbanting dari ketinggian.
Untung tangannya berhasil mendapatkan dahan kecil
sebagai pegangan. Akhirnya gadis itu bergelayutan di
atas pohon. Dalam keadaan mata tak dapat melihat,
Menik berusaha untuk bersembunyi di atas pohon begitu
mendengar pisau itu milik si Tapak Siluman.
"Menik, kau baik-baik saja?!" seru Suto Sinting.
"Ya, lumayan...," jawab Menik yang sudah berhasil
mendapatkan dahan yang aman.
"Mengapa adikmu itu terkejut begitu nama Tapak
Siluman kusebutkan? Apakah kalian sedang dicari-cari
oleh Tapak Siluman?!"
"Kami mendengar tentang Tapak Siluman dari mulut
si Dewa Semprong. Hmmm... sebaiknya carilah dulu
orang yang akan membunuhmu dengan tiga pisau itu,
Nyai."
"Percuma!" kata Nyai Serampang Wilis "Tapak
Siluman tak pernah diketahui jejaknya, ia dapat
melakukan serangan sambil berlalu begitu saja. Sekarang
pun kalau kau ingin mencarinya, tak akan dapat
menemukan si Tapak Siluman. Aku yakin ia tidak
berada di sini, tapi mungkin di seberang barat sana."
"Dari mana kau dapat menduga bahwa ia ke barat?"
"Kulihat daun-daun ilalang di sebelah barat
bergoyang, arahnya ke timur. Padahal saat ini angin
bergerak ke barat. Berarti daun-daun ilalang itu
terhembus oleh gerakan si Tapak Siluman yang sedang
melintasi daerah itu!"
"Apakah kau bermusuhan dengan si Tapak Siluman,
Nyai?"
"Tidak. Tapi dia selalu ingin membunuh siapa pun
yang dianggapnya berilmu tinggi. Tapak Siluman ingin
menguasai dunia persilatan dengan membantai habis
para tokoh sakti di dalamnya."
"Gawat...!" gumam Pendekar Mabuk.
"Aku akan mengejarnya. Sementara urusanku dengan
si Dewa Semprong akan kutangguhkan dulu."
"Nyai, apakah itu tidak berbahaya bagi keselamatan
jiwamu?"
"Kalau aku bisa membunuh si Tapak Siluman, berarti
ilmuku lebih tinggi dari si Gila Tuak."
Suto Sinting terkejut mendengar nama gurunya
disebut-sebut oleh Nyai Serampang Wilis. Setidaknya
nenek yang selalu menyebarkan aroma wangi itu
mengenal si Gila Tuak. Tapi Suto belum jelas, di aliran
mana Nyai Serampang Wilis berada. Apakah termasuk
tokoh hitam atau tokoh putih.
Weeeers...! Nyai Serampang Wilis melesat tinggalkan
tempat. Gerakan kepergiannya dirasakan oleh Suto
seperti hembusan angin pagi yang menyebarkan udara
dingin. Suto Sinting penasaran, ingin mengetahui apa
yang terjadi jika Nyai Serampang Wilis bertemu dengan
si Tapak Siluman. Maka ia pun segera berlari mengikuti
udara dingin yang ditimbulkan oleh gerakan lari Nyai
Serampang Wilis itu.
"Suto, mau ke mana kau?!" seru Menik dari atas
pohon.
'Aku ingin mengikuti Nyai Serampang Wilis. Siapa
tahu bisa bertemu dengan si Tapak Siluman!"
"Aku ikut!"
"Jangan...!"
Weeeess...! Menik nekat melompat turun dan dengan
lincahnya melesat mengikuti suara langkah Suto Sinting.
Duuhk, brrus...!
"Aaauh...!" Menik memekik kesakitan karena dalam
kebutaan matanya ia sempat menabrak sebatang pohon.
Suto tak tega, akhirnya berhenti dan mendekati Menik
sambil kedua tangannya meraba-raba tempat sekitarnya.
"Menik...?! Menik...?! Menangislah lagi biar aku tahu
di mana kau berada!"
"Uugf...! Uuffh...!"
Suto Sinting hentikan langkah begitu mendengar
suara Menik bagai disekap oleh tangan kekar.
"Celaka! Menik dalam bahaya. Pasti ada orang yang
menyekap mulutnya hingga tak dapat berteriak!" pikir
Suto Sinting, ia mulai tegang dan menggunakan ilmu
'Lacak Jantung' untuk mengetahui kebenaran dugaannya.
"Oh, ada suara degub jantung agak cepat. Hmmm...
siapa pemiliknya?!"
Pendekar Mabuk bergerak pelan ke arah datangnya
suara Menik tadi. Tapi dalam hatinya ia yakin pasti
bukan si Dewa Semprong, sebab irama detak jantungnya
berbeda. Kali ini irama detak jantung yang didengarnya
lebih cepat dan lebih menyentak-nyentak. Suto hanya
bisa memastikan, pemilik jantung itu adalah seorang
lelaki. Tapi ia belum bisa menduga siapa orang tersebut.
*
* *
3
SUARA langkah kaki bergegas pergi membuat
Pendekar Mabuk segera lakukan pengejaran. Dalam
firasatnya mengatakan, bahwa Menik ingin dibawa lari
oleh seseorang yang membungkam mulut bocah itu.
Maka sambil melakukan pengejaran ke arah
datangnya suara langkah menjauh itu, Pendekar Mabuk
lepaskan jurus 'Jari Guntur' yang berupa sentilan
bertenaga dalam. Tess...! Plook...!
Ada suara seperti kaki ditabok keras. Disusul suara
pekik orang kesakitan yang tertahan. Setelah itu baru
suara orang jatuh tersungkur. Brruus...!
"Aauh!" Menik memekik. Agaknya bocah itu
terpental dari gendongan orang yang jatuh tersungkur
akibat pahanya terkena pukulan 'Jari Guntur'. Pukulan
itu membekas biru di paha, namun sayang tertutup
celana merah sehingga tak kelihatan. Yang jelas orang
bercelana merah dan berbaju hitam itu jatuh tersungkur
dan meluncur menerabas semak belukar. Brrruuus...!
"Aaaow...!" ia memekik kesakitan, merasa mendapat
pukulan sebesar tendangan seekor kuda jantan, ia
menjadi berang dan cepat keluar dari semak belukar.
"Sutooo..., Sutooo...?!' Menik memanggil-manggil
dengan kebingungan. Suto segera berkelebat ke arah
suara Menik tadi. Zlaap...! Wuuut...! Menik pun berhasil
disambar Pendekar Mabuk dan menjauhi tempat itu.
Namun tiba-tiba Suto merasa ada yang menghadangnya.
Jleeg...!
Suara orang menapakkan kakinya ke tanah setelah
lakukan suatu lompatan. Ditilik dari suara hentakan
tanah yang cukup berat, Suto dapat membayangkan
orang yang ada di depannya bertubuh tinggi dan besar.
Kenyataannya memang begitu, orang bercelana
merah dan berbaju hitam itu mempunyai tubuh yang
tinggi dan besar. Kumisnya lebar, matanya lebar, ia
mengenakan ikat kepala dari kain batik warna biru.
Kedua lengannya mengenakan gelang akar bahar warna
hitam. Pada sabuk hitamnya yang lebar itu terselip
sebiiah golok besar bersarung dari kayu besi.
Orang itu menggeram menampakkan kemarahannya.
"Bangsat tengik! Rupanya kau ingin cari mampus di
tangan si Kebo Gadung, hah?!"
"Maaf, Kang," kata Suto dengan kalem sambil
menggendong Menik. Ia menyebut orang itu 'Kang',
karena ditilik dari suaranya yang besar, usia orang itu
pasti lebih tua dari usia Pendekar Mabuk. Mungkin
berusia sekitar empat puluh tahun. Dugaan Suto memang
benar, orang itu berusia sekitar empat puluh tahun dan
berperangai galak. Seakan tak pernah pandang bulu jika
membantai lawan.
"Sekali lagi, aku mohon maaf padamu, Kang. Bukan
aku mencari mampus, sebab ilmu apa pun memang ingin
kucari sebanyak mungkin, kecuali ilmu mampus, aku tak
ingin mencarinya. Aku bertindak demi menyelamatkan
adikku ini!"
"Serahkan bocah itu atau kau mati di tanganku, Tikus
Got!" bentak Kebo Gadung.
"Mengapa kau menginginkan anak ini, Kang?"
"Waktuku hampir habis. Sebelum matahari tenggelam
aku harus sudah mendapatkan seorang bocah yang harus
kuserahkan kepada guruku. Karena jika aku gagal, maka
nyawakulah yang akan menjadi gantinya!"
"Untuk apa gurumu membutuhkan bocah sekecil ini,
Kang?!"
"Jangan banyak bacot! Serahkan bocah itu!"
"Maaf, aku tak berani menyerahkan padamu, sebab
aku bukan bapaknya, juga bukan ibu bocah ini!"
"Bangsat! Kutumbuk mulutmu yang asal cuap itu!
Heeeeaah...!"
Bed, zlaap...!
Lompatan cepat si Kebo Gadung menemukan tempat
kosong. Suto Sinting telah melesat dan hinggap di atas
pohon. Gerakan lompatnya memutar cepat seperti
baling-baling, sehingga daun dan bunga pohon
berguguran bagai terhempas oleh angin kencang.
"Menik, diamlah di sini. Biar kuhadapi dulu orang
itu!"
"Baik. Lumpuhkan dia secepatnya, Suto. Aku tak
mau berada dalam gendongannya lagi. Keringatnya bau
sekali! Hampir saja gigiku rontok sendiri karena
mencium bau ketiaknya itu...."
Entah apa lagi yang dikatakan Menik, yang jelas Suto
Sinting segera meninggalkannya sebelum Menik selesai
bicara. Gerakan Suto melompat turun bagaikan kapas
melayang dihempas angin. Tanpa suara dan getaran
sedikit pun, sebagai tanda ilmu peringan tubuhnya cukup
tinggi. Menik tak tahu Suto telah turun dari pohon, maka
ia berceloteh sendirian tanpa ada yang mendengarnya.
"Heeeaat...!" Kebo Gadung menyongsong gerakan
Suto Sinting yang melayang turun. Orang bertubuh
kekar itu lakukan lompatan naik, sehingga sebelum Suto
mendaratkan kakinya ke tanah sudah harus beradu
pukulan dengan Kebo Gadung.
Bed, bed...! Prrok...!
Kedua tinju itu beradu dengan keras. Masing-masing
kepalan mempunyai kekuatan tenaga dalam. Tetapi
agaknya tenaga dalam yang dimiliki Pendekar Mabuk
lebih besar ketimbang yang dimiliki Kebo Gadung.
Akibatnya, tubuh Kebo Gadung terpental ke belakang
dan jatuh berguling-guling. Guzraak...! Wuk, wuk, wuk!
"Monyet panggang!" maki Kebo Gadung dengan
suara menggeram berat. Kepalanya membentur akar
pohon berbentuk pipih seperti dinding sehingga merasa
pusing tujuh keliling, ia mengerang dengan suara pelan.
Sementara itu Pendekar Mabuk berdiri dengan satu
kaki. Bumbung tuaknya masih ada di punggungnya, ia
bergerak limbung seperti orang mau jatuh. Tapi gerakan
itu terhenti dan berpindah limbung ke arah lain dengan
pergelangan tangan ditekuk. Wut, wut, wees...!
Kebo Gadung tercengang melihat jurus sempoyongan
lawannya, ia cepat menyimpulkan jurus tersebut.
"Jurus mabuk...?! Oh, apakah dia yang dikenal
dengan nama Pendekar Mabuk?!"
Wuk, wuuk...!
Suto Sinting hentikan permainan jurusnya dalam
keadaan kaki kanan tegak lurus, dan kaki kiri dilipat
hingga telapak kaki kiri itu merapat dengan betis
kanannya. Kedua tangan Suto mengembang ke samping
dengan badan sedikit miring dan kepala tertunduk lemas
seakan sedang mabuk.
"Siapa pun dirimu aku tak peduli! Tetap saja
kuhancurkan kepalamu, Tikus Dapur! Hiiah...!"
Kebo Gadung melompat melepaskan tendangan
beruntun ke wajah Pendekar Mabuk. Namun tendangan
itu berhasil ditangkis berkali-kali oleh Pendekar Mabuk
walaupun dalam keadaan buta matanya.
Plak, plak, plak, plak, plak...!
Wuuuut, buuuhk...!
Suto Sinting putar tubuh dengan cepat, tahu-tahu
kakinya melayang menendang telak kepala Kebo
Gadung. Tendangan itu cukup keras dan mempunyai
kekuatan tenaga dalam besar, sehingga tubuh kekar
berkumis lebat itu terpental ke samping kanan dan jatuh
berguling-guling. Bleduk, brrus...!
"Oouh...!" Kebo Gadung mengerang kesakitan, ia
segera memegangi hidungnya, ternyata dari lubang itu
keluar darah kental yang membasah hingga melewati
mulutnya.
"Kusarankan agar kau segera pulang dan jangan
coba-coba ingin menculik gadis kecilku lagi, Kebo
Gadung!" kata Suto Sinting dengan tegas dan bernada
penuh wibawa.
"Keparat sangit!" geram Kebo Gadung sambil
bangkit kembali. "Daripada aku dibunuh Guru karena
gagal membawa pulang seorang bocah, lebih baik kita
beradu nyawa di sini, Tikus Pasar!"
Sreek! Golok besar dicabut dari sarung kayunya.
Golok itu berkilauan dan ditebas-tebaskan ke sana-sini.
Kebo Gadung memamerkan jurus goloknya. Ia tak sadar
bahwa lawannya buta, tak bisa melihat kehebatan jurus
itu.
Suto Sinting hanya menelengkan kepala
memperhatikan suara yang mendekatinya. Dengung
golok menebas angin terdengar makin mendekat dari sisi
kanannya. Pendekar Mabuk berdiri dengan badan
limbung ke kiri bagai mau jatuh. Kepalanya terkulai
lemas, sesekali tersentak mirip orang cegukan. Kebo
Gadung memutar tubuh dengan cepat dan tahu-tahu
golok menyabet pinggang Suto Sinting. Wuuss..!
Suto jatuh, tangannya menapak di tanah, lalu
menyentak cepat, tahu-tahu tubuhnya melenting ke atas.
Golok itu mengenai tempat kosong. Tetapi si pemilik
golok segera lakukan satu lompatan ke atas pula, dan
kakinya berkelebat menendang dari samping kanan ke
kiri. Wuuut, buuhk...!
"Uuhg...!" Pendekar Mabuk terpental ketika
tendangan keras itu mengenai lambungnya.
Brrruk...! Ia jatuh terpuruk dengan wajah
menyeringai. Bumbung tuaknya nyaris terlepas dari
punggung. Untung talinya yang menyilang di dada
cukup kuat, sehingga bumbung itu hanya mengganjal
tubuh Suto yang jatuh meringkuk.
"Modar kau sekarang! Heeah...!"
Kebo Gadung tak mau memberi kesempatan
lawannya untuk bangkit, ia segera menerjang dengan
golok ditebaskan ke depan. Wuuut...!
Traaang, traak...!
Golok itu tiba-tiba patah menjadi dua bagian. Sebutir
batu melayang cepat dan menghantam pertengahan
golok yang membuat golok itu patah. Kebo Gadung
terbengong melihat goloknya patah karena dihantam
batu kerikil sebesar melinjo. Jika bukan berisi tenaga
dalam cukup tinggi, tak mungkin batu kecil itu dapat
mematahkan golok baja tersebut.
Pada saat Kebo Gadung terbengong pandangi
goloknya, tiba-tiba sekelebat bayangan melintas cepat
dari balik semak. Bayangan itu berwarna abu-abu yang
segera menerjang dada Kebo Gadung. Buuhk...!
"Heegh...!" Kebo Gadung nyaris tak bisa bernapas.
Dadanya bagaikan mau jebol, pernapasannya
tersumbat sesaat. Tubuh besar itu melayang ke belakang
dan membentur sebatang pohon dengan keras. Duuurr ..!
Daun-daun berguguran karena benturan tubuh besar
bertenaga dalam itu.
"Ada orang yang ikut campur dalam pertarungan ini,"
pikir Suto Sinting. "Hmmm... siapa orang yang
memihakku itu?!"
Pendekar Mabuk bangkit berdiri dan ketika
tangannya meraba-raba mencari pegangan atau
keseimbangan tubuh. Ketika itu ia mendengar Kebo
Gadung berseru kepada bayangan yang tadi
menerjangnya itu.
"Babi kurap! Rupanya kau mau ikut campur
urusanku, hah?! Hiaaah...!"
Kebo Gadung melompat lakukan serangan bagai
singa menerkam mangsanya. Tapi orang yang diserang
segera menyambutnya dengan pukulan bertubi-tubi
menggunakan kedua telapak tangannya.
Wut, wut, wut, wut...!
Plak, plak, duhg, duhg, duhg, duhg, duhg..!
Pukulan beruntun itu terdengar jelas di telinga Suto
Sinting. Kecepatan pukulan itu menandakan orang
berpakaian biksu warna abu-abu itu mempunyai ilmu
yang lumayan tinggi. Suara pukulannya seperti beduk
ditabuh dengan dua batang kayu sebesar lengan.
"Huuoeek...!" Kebo Gadung memuntahkan darah
segar dari mulutnya. Di sela suara 'hoek-hoek'-nya Kebo
Gadung, Suto Sinting mendengar suara tawa yang
terkekeh-kekeh. Suara tawa itu sepertinya pernah
didengar, hanya sayang ia lupa siapa pemiliknya.
"Bangsat kau!" geram Kebo Gadung dengan menahan
sakit di dada. "Aku akan datang lagi untuk membalas
perbuatanmu ini! Aku akan datang untukmu, Bangsat
Tua!"
Weess...! Suto Sinting mendengar suara langkah kaki
menjauh. Hatinya segera menggumam, "Hmm.... Kebo
Gadung melarikan diri. Siapa orang yang membuatnya
lari itu?!"
Pendengaran Suto segera menangkap langkah kaki
mendekatinya. Kira-kira dalam jarak satu tombak,
langkah kaki itu berhenti. Tapi dari belakang Suto
muncul pula langkah kaki yang seakan baru keluar dari
persembunyian.
Suto Sinting segera menyapa orang yang
menolongnya itu.
"Maaf, Kawan... sebelum kuucapkan terima kasih
atas pertolonganmu, terlebih dulu aku ingin mengenal
namamu, Kawan."
Kemudian orang itu pun terkekeh pelan dan mulai
perdengarkan suaranya.
"Perawan juling berhulu hidung lentik
Mencari kutu sambil jungkir balik
Pandanglah wajah tampanku baik-baik
Inilah aku si penakluk gadis cantik."
"Eyang Resi Pakar Pantun...?!" Suto Sinting langsung
yakin bahwa orang itu adalah Resi Pakar Pantun yang
sudah dianggap seperti orangtuanya sendiri. Suto pun
yakin bahwa yang muncul dari balik semak di
belakangnya pasti si Kadal Ginting, pelayan setia sang
Resi.
"Eyang, tampaknya Suto dalam keadaan buta!" ujar
Kadal Ginting, lelaki agak pendek berpakaian hijau tua
dengan ikat kepala putih.
Resi Pakar Pantun mendekati Suto, melambaikan
tangan di depan mata. Suto diam saja dan tampak
kebingungan. Kadal Ginting segera berkata,
"Eyang ini bagaimana?! Mata buta malah diberi
lambaian tangan. Mana mungkin mendapat balasan?!"
"Aku hanya mencoba apakah benar matanya buta!"
hardik sang Resi.
"Kalau tak percaya, silakan dicolok dulu, Eyang!"
"Matamu saja yang dicolok!" sahut Suto Sinting
dengan bersungut-sungut.
"Astaga! Jadi kau benar-benar buta, Suto?!" wajah
sang Resi tampak tegang. Lalu ia mulai meluncurkan
pantunnya lagi.
"Perawan juling ketiban papan
Tubuh mulus panunya sebesar kendi
Buat apa punya wajah tampan
Kalau tak bisa mengintip gadis mandi."
Menik yang menyimak keadaan di bawah segera tahu
bahwa Kebo Gadung telah pergi, ia segera lakukan
lompatan bersalto karena ingin bergabung dengan Suto.
Ia lupa bahwa matanya masih buta. Karenanya ketika ia
melompat turun, kakinya mendarat di pundak Resi Pakar
Pantun. Jleeg...!
"Aduh, kotoran apa yang kuinjak ini, Suto?" tanya
Menik dengan tegang. "Kok empuk?!"
"Bocah gendeng!" maki sang Resi sambil menabok
kaki Menik. "Ayo, turun...! Kau menginjak pundakku,
bukan kotoran apa-apa!"
Wuuut, jleeg...!
Menik melompat turun dari atas pundak sementara
Kadal Ginting dan Suto menertawakan omelan sang
Resi.
"Kalau tak salah dengar, seperti ada suara Eyang Resi
Pakar Pantun, Suto," ujar Menik dengan tangan meraba-
raba mencari lengan Suto. Kadal Ginting dan Resi Pakar
Pantun semakin terbengong dengan hati iba melihat
Menik pun ternyata dalam keadaan buta.
"Ya, ampun...! Jadi si Menik juga ikut buta?" ujar
sang Resi.
"Oh, Menik...," Kadal Ginting bernada sedih, ia
langsung berlutut dan memeluk Menik. "Adikku sayang,
mengapa kau punya penyakit latah sehingga ikut-ikutan
buta seperti Suto, Adikku?!"
Menik memegang kepala Kadal Ginting.
"Suto, aku mendapatkan kentang cukup besar."
Kadal Ginting menyahut dengan suara dibuat
mendayu-dayu.
"Ini bukan kentang, Adikku. Ini kepala yang belum
pernah ditanam!"
Kadal Ginting segera menepiskan tangan Menik
ketika gadis itu tertawa cekikikan.
"Kurang ajar! Kepala orang tua disangka kentang!"
gerutu Kadal Ginting yang membuat Pendekar Mabuk
sunggingkan senyum geli.
"Suto, ceritakan bagaimana awalnya kau dan Menik
bisa menjadi buta begini? Apakah kau tak bisa
sembuhkan kebutaanmu dengan tuakmu itu?!"
Pendekar Mabuk segera meraih bumbung tuak dan
bersiap untuk meneguknya.
"Dewa Semprong yang membuat kami menjadi
seperti ini, Eyang Resi...," kemudian Suto pun
menceritakan pertemuannya dengan Dewa Semprong.
"Kalau begitu kau dan Menik harus mencuci muka
dengan air Sendang Ketuban," kata Resi Pakar Pantun.
*
* *
4
SENDANG Ketuban merupakan sebuah kolam berair
jernih, warnanya hijau bening. Kolam itu terletak di
dalam Istana Jerami milik Ratu Cumbutari. Benda apa
pun yang jatuh di atas permukaan air kolam tersebut
akan lenyap secara gaib, sehingga air kolam itu tetap
bening dan bersih.
Istana Jerami terdapat di negeri Wilwatikta, tepatnya
di Gunung Purwa. Negeri itu kekuasaan Ratu Cumbutari
yang pernah dibantu Pendekar Mabuk dalam
mengalahkan si anak raksasa bernama Barakoak.
Sedangkan Ratu Cumbutari sendiri adalah adik dari
ayahnya Menik, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Pembantai Raksasa").
Adapun kesaktian air Sendang Ketuban memang
melebihi kesaktian tuaknya Suto. Air itu mampu
sembuhkan seluruh penyakit dan luka apa pun. Sudah
beberapa kali Pendekar Mabuk terpaksa menggunakan
air Sendang Ketuban untuk menolong luka seorang
sahabat yang tak bisa disembuhkan dengan tuak
saktinya. Beberapa luka yang pernah disembuhkan
dengan menggunakan air Sendang Ketuban antara lain:
luka terkena racun 'Tapak Ungu' yang kala itu didera
oleh Darah Prabu, murid dari Resi Badranaya, juga luka
terkena kesaktian Tongkat Guntur Bisu yang membuat
Kabut Merana menjadi patung batu, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Dendam Selir
Malam").
Kali ini, kebutaan Suto dan Menik yang
membutuhkan air Sendang Ketuban. Resi Pakar Pantun
serta Kadal Ginting ikut mendampingi Pendekar Mabuk
dan Menik menuju Gunung Purwa. Hal itu terpaksa
diakukan oleh Resi Pakar Pantun, karena dengan begitu
ia mempunyai kesempatan menjelaskan tentang si Tapak
Siluman.
"Memang para tokoh tua kalangan atas sedang ramai
membicarakan tentang kemunculan si Tapak Siluman,"
kata Resi Pakar Pantun sambil menuntun Suto
melangkah, sedangkan Dewi Menik digendong oleh
Kadal Ginting.
"Siapa sebenarnya si Tapak Siluman itu. Eyang
Resi?"
"Dia sebenarnya tokoh tua yang pernah merajai dunia
hitam sebelum gurumu: si Gila Tuak, tampil sebagai
tokoh sakti teratas di jajaran para tokoh di rimba
persilatan ini. Sebelum Gila Tuak dinobatkan sebagai
tokoh tersakti, Tapak Siluman sudah meninggal."
"Lalu, kenapa sekarang dia bisa bangkit lagi?"
"Mayatnya memang bisa bangkit lagi jika tersiram
darah perawan. Walau hanya setetes darah perawan
mengenai mayat si Tapak Siluman, maka ia dapat hidup
kembali karena ilmu 'Sukma Perawan'-nya bekerja
kembali. Menurut kabar yang diterima oleh para sesepuh
dunia persilatan, termasuk keterangan dari gurumu
sendiri, bahwa kuburan si Tapak Siluman yang terletak
di lereng Bukit Segara itu telah mengalami bencana
tanah longsor beberapa waktu yang lalu...."
"Ya, aku juga mendengar kabar itu sekitar dua
purnama yang lalu, ketika hujan turun dengan deras
selama tujuh hari tujuh malam," timpal Menik dari
gendongan Kadal Ginting.
"Benar," sahut Resi Pakar Pantun lagi. "Bencana
tanah longsor itu menimpa sebuah desa yang bernama
Desa Pare Kembang. Kabar yang kuterima, bencana
tanah longsor itu menewaskan hampir separo lebih
penduduk Desa Pare Kembang. Dugaan para sesepuh
dunia persilatan, rangka dari mayat Tapak Siluman itu
terkena darah seorang gadis yang masih suci tanpa
disengaja. Darah itulah yang membangkitkan si Tapak
Siluman dan menuntut balas terhadap bekas lawan-
lawannya yang dulu belum sempat ditumbangkan.
Bahkan kudengar ia juga masih melanjutkan cita-citanya
yang dulu, yaitu ingin menguasai dunia persilatan
dengan membantai habis semua orang berilmu tinggi."
"Lalu, dulu yang mengalahkan Tapak Siluman siapa,
Eyang Resi?"
"Dulu si Tapak Siluman dikalahkan oleh Kangmas
Purbapati, atau gurunya si Gila Tuak."
"Ooh...?!" Suto Sinting terkejut, lalu menggumam
bernada masygul.
"Jadi sasaran dendam Tapak Siluman sekarang ini
adalah murid dari Purbapati, yang tak lain adalah si Gila
Tuak. Jika Gila Tuak mempunyai murid lagi, maka
Tapak Siluman pun akan membantai habis muridnya si
Gila Tuak."
"Berarti aku pun terancam oleh dendamnya?"
"Begitulah kira-kira. Sebab itu dalam pembicaraan
para sesepuh dunia persilatan, aku diminta bantuannya
oleh si Gila Tuak untuk menemuimu dan membawamu
pulang ke Jurang Lindu. Gila Tuak akan memberi tugas
padamu untuk mengalahkan Tapak Siluman. Sebab, para
sesepuh dunia persilatan mendapat kabar bahwa Tapak
Siluman telah menguasai ilmu 'Bajang Rampak' yang
amat berbahaya."
"Seperti yang diceritakan Dewa Semprong itukah?"
"Ya, memang apa yang dikatakan Dewa Semprong
itu betul, Suto. Kesaktian ilmu 'Bajang Rampak' hanya
bisa dilawan jika darah kita bercampur dengan otak
bocah di bawah usia sepuluh tahun. Karena itu
belakangan ini aku sering mendapat kabar tentang
penculikan bocah kecil di beberapa tempat, itu lantaran
para tokoh yang tahu rahasia ilmu 'Bajang Rampak'
ingin mendapat penangkal ilmu tersebut dengan
memakan otak bocah di bawah usia sepuluh tahun. Jika
dibiarkan terus begitu, maka berapa ribu bocah yang
akan mati sebagai korban siap siaga datangnya ilmu
'Bajang Rampak'."
"Mengerikan sekali," gumam Kadal Ginting.
"Ah, begitu saja mengerikan! Dasar pengecut kau!"
kecam Menik yang digendong belakang oleh Kadal
Ginting.
"Satu-satunya jalan untuk mengurangi pembantaian
terhadap bocah di bawah usia sepuluh tahun adalah
dengan melawan dan menghancurkan raga si Tapak
Siluman," sambung Resi Pakar Pantun. "Dalam hal ini,
menurut para sesepuh dunia persilatan, hanya kaulah
orangnya yang bisa menandingi si Tapak Siluman
dengan ilmu 'Bajang Rampak'-nya. Karena gurumu
sendiri tahu bahwa kau mempunyai jurus 'Manggala'
yang dapat membuat lawanmu menjadi debu dalam
sekejap."
Menik menyahut, "Tapi dalam keadaan buta begini
mana bisa Suto mengarahkan jurus 'Manggala'-nya ke
tubuh Tapak Siluman? Bisa-bisa malah nyasar ke
tubuhmu, dan kau sendiri yang menjadi debu buat cuci
piring, Eyang Resi."
"Anak kecil ikut nimbrung terus kalau ada orang tua
bicara!" hardik Resi Pakar Pantun. Menik malahan
bersungut-sungut.
"Salahnya sendiri, orang tua kok bicaranya dekat
anak kecil!"
"Dasar tengil, konyol, bandel, sok tua...."
"Tapi cantik, bukan?" sahut Menik dengan lagak
genitnya. Resi Pakar Pantun mendengus kesal dan buang
muka, sementara Suto dan Kadal Ginting tertawa geli
mendengar lagak bicara si gadis kecil itu sambil tetap
melangkah menuju ke Gunung Purwa.
Tiba-tiba langkah mereka terhenti oleh datangnya
sekelebat bayangan yang melintas di atas kepala Suto.
Weesss...! Gerak naluri Soto Sinting membuatnya
segera merendahkan kepala dengan badan limbung ke
samping seperti orang mabuk. Tangannya berkelebat
dengan pergelangan terlipat dan jari-jari membentuk
kuncup.
Craaas...!
"Aaauh...!" Suto Sinting memekik, pundaknya
terkena tebasan pedang si bayangan yang melintas itu.
Darah pun mulai membanjiri pundak Suto dengan luka
panjang dari punggung kiri ke pundak kiri.
Kadal Ginting segera lakukan lompatan ke balik
pohon besar. Menik masih ada dalam gendongannya.
Sementara itu, Resi Pakar Pantun segera melompat ke
samping dan melepaskan pukulan tenaga dalam dengan
sentakkan tangan kanan dalam keadaan telapak terbuka.
Wuuut...!
Bayangan itu melesat bagai kilatan cahaya. Dari
pohon yang satu ke pohon yang lain bayangan itu
bergerak cepat. Wes, wes, wes, wes! Lalu mendaratkan
kakinya ke tanah. Jleeg...!
Pada saat itu Suto Sinting jatuh berlutut sambil
memegangi pundaknya yang terluka. Matanya yang buta
seperti memandang ke sana-sini, padahal yang
digunakan untuk mengetahui keadaan sekeliling adalah
pendengarannya. Jurus 'Lacak Jantung' segera
digunakan.
"Hmmm... detak jantungnya lemah, pasti ia seorang
perempuan," pikir Suto Sinting sambil menahan rasa
sakitnya.
Dugaan Pendekar Mabuk itu benar. Bayangan putih
yang menyerangnya dengan pedang itu adalah seorang
perempuan cantik berusia sekitar tiga puluh tahun.
Rambutnya disanggul rapi, mengenakan hiasan kepala
dari rantai emas permata. Jubah putihnya tipis dan
sangat membayang, sehingga bentuk tubuhnya dapat
dilihat secara samar-samar.
Perempuan itu mempunyai mata jalang dan bibir
menggemaskan. Pinggulnya begitu indah, sekal, sangat
menggairahkan. Bahkan dadanya tampak montok dan
kencang, seakan selalu siap menantang lawan jenisnya.
Di tangan perempuan yang bergelang butiran permata
itu menggenggam sebuah pedang runcing. Gagang
pedangnya dibungkus dengan kain bludru warna hitam,
berhias ronce-ronce benang kuning emas.
Perempuan itu tidak mengeluarkan suara apa pun,
sehingga Pendekar Mabuk sempat berkerut dahi dan
wajah terheran-heran. Melihat gelagatnya, perempuan itu
akan menyerang Suto lagi dengan pedangnya. Maka
Resi Pakar Pantun buru-buru tampil menghadang
langkah perempuan cantik beralis tebal itu. Resi Pakar
Pantun sengaja berdiri membelakangi Suto, karena ia
tahu Suto Sinting pasti ingin buru-buru meminum tuak
saktinya untuk mengatasi luka tebasan pedang tadi.
"Perawan juling datang bertamu
Burung satu bandel melulu
Memang cantik paras wajahmu
Tapi sayang sirik hatimu."
"Hemmm...!" perempuan itu hanya mencibir sinis,
sikapnya sangat bermusuhan.
"Siapa dirimu, Nona Cantik? Mengapa kau
menyerang pemuda tampan itu?!" ujar Resi Pakar
Pantun.
"Minggir kau, Tua Kejemur!"
"Eit, ditanya belum menjawab malah mengusir
orang? Kau sangka aku pedagang kaki lima yang bisa
diusir sewaktu-waktu?!"
Pendekar Mabuk memang segera menenggak
tuaknya. Begitu tuak masuk ke dalam kerongkongannya,
luka sabetan pedang yang memanjang itu mulai berasap
tipis. Makin lama warna merahnya makin berubah
menjadi kehitam-hitaman. Rasa sakit pun mulai hilang.
Lama-kelamaan luka itu pun menutup kembali dan
menjadi rapat seperti semula tanpa darah setetes pun
yang tersisa di tubuh Suto.
"Sebutkan siapa namamu dan mengapa menyerang
sahabatku?!" desak Resi Pakar Pantun yang rupanya
juga baru kali itu berhadapan dengan si perempuan
cantik.
"Buka matamu, Tua Peot... akulah yang dikenal
dengan nama Mahkota Dewi."
"Hmmm... nama yang masih asing di telingaku,"
gumam Suto Sinting yang sudah bisa berdiri tegak
kembali.
Resi Pakar Pantun ajukan tanya kepada perempuan
cantik itu.
"Mahkota Dewi....
"Perawan juling mancung giginya
Perawan bunting bodong pusarnya
Kalau marah apa sebabnya
Kalau cinta berapa anaknya?"
Sebelum Mahkota Dewi menjawab pertanyaan
berpantun dari sang Resi, Pendekar Mabuk lebih dulu
perdengarkan suaranya kepada Mahkota Dewi.
"Rasa-rasanya kita tak punya persoalan apa-apa,
Mahkota Dewi."
Hati perempuan itu sempat menggumam kagum,
"Gila. Lukanya lenyap begitu saja? Padahal pedangku ini
beracun ganas, tapi tak membuatnya mati sedikit pun."
Hati berkata demikian, tapi mulut menanggapi
ucapan Pendekar Mabuk tadi.
"Menurut otak jahanammu memang begitu. Tapi
menurutku kau adalah orang yang wajib kutuntut balas."
"Apa yang ingin kau tuntut dariku?"
"Nyawamu!" jawab Mahkota Dewi dengan tegas dan
semakin menampakkan permusuhannya. Pandangan
matanya yang galak itu menatap Suto Sinting tak
berkedip. Tangannya masih menggenggam pedang yang
terangkat ke atas, siap untuk lakukan serangan mautnya
kembali.
"Mengapa kau ingin menuntut nyawaku, Mahkota
Dewi?" Suto ajukan tanya dengan kalem.
"Kau telah membunuh guruku, dan aku harus
membalas kematiannya kepadamu. Kau harus menebus
nyawa Guru, Manusia sesat!"
Resi Pakar Pantun berkerut dahi memandang Suto
Sinting dengan heran. Dahi sang Pendekar Mabuk pun
tampak berkerut tajam, ia ajukan tanya kepada Mahkota
Dewi sebelum Resi Pakar Pantun buka suara.
"Siapa gurumu itu, Mahkota Dewi?!"
"Jangan berpura-pura bodoh, Manusia Laknat! Dari
puncak bukit tadi kulihat kau berhadapan dengan Guru.
Tapi ketika kuhampiri, ternyata Guru sudah tidak ada di
tempat dan kau pun menghilang. Tak jauh dari tempat
pertemuanmu dengan Guru kutemukan jenazah Guru
dalam keadaan yang sungguh menyedihkan! Kau
memang manusia laknat yang amat keji. Kau layak
mendapatkan upah seperti ini, hiaaah...!"
Tiba-tiba sekali Mahkota Dewi tebaskan pedangnya
di udara dari atas ke bawah. Wees...! Angin tebasan itu
memercikkan sinar merah yang melesat ke dada Suto
Sinting.
Pandangan mata Pendekar Mabuk yang gelap tak bisa
melihat datangnya sinar merah itu. Tetapi Resi Pakar
Pantun segera sentakkan tangannya dan keluarkan sinar
biru dari ujung jari telunjuknya. Claap...! Kedua sinar itu
akhirnya bertabrakan.
Blaaaarr...!
Gelombang hentakan dari ledakan tersebut membuat
tubuh Resi Pakar Pantun terlempar sejauh delapan
langkah. Pendekar Mabuk sendiri terpental ke belakang
dan berguling-guling sambil memeluk bumbung
tuaknya.
"Hiaaaah...!" Mahkota Dewi memanfaatkan keadaan
Pendekar Mabuk yang terdesak itu. Ia lakukan satu
lompatan cepat dengan pedang menebas kuat. Weet,
traaang...!
Suto Sinting menangkap datangnya angin kencang
dari arah atas kepalanya. Dengan cepat digenggamnya
bambu bumbung tuak itu memakai kedua tangan lalu
disilangkan di atas kepala, sehingga bambu tuak itu
menjadi sasaran tebasan pedang si Mahkota Dewi.
Wuuut... brrruk...!
Mahkota Dewi justru terpental dan jatuh terpelanting
setelah melayang sesaat di udara.
"Edan! Bumbung tuaknya bisa mengembalikan
tenaga dalamku yang kusalurkan melalui pedang ini?!
Bahkan sepertinya tenaga dalam itu lebih besar dari yang
kusalurkan tadi. Pantas kalau Guru tewas di tangannya!"
Mahkota Dewi diam berdiri sambil membatin
demikian. Sebelum perempuan itu bicara, Pendekar
Mabuk lebih dulu perdengarkan suaranya kembali yang
masih bernada kalem itu.
"Mahkota Dewi, aku tak merasa membunuh gurumu
dan aku tak tahu siapa gurumu sebenarnya."
"Nyai Serampang Wilis!" jawab Mahkota Dewi
dengan suara geram penuh kebencian serta dendam.
Pendekar Mabuk terkejut mendengar keterangan itu.
Seingatnya, Nyai Serampang Wilis tadi mengejar si
Tapak Siluman. Jika ternyata Mahkota Dewi
menemukan Nyai Serampang Wilis sudah tak bernyawa
lagi, berarti si Tapak Siluman itulah pembunuhnya.
Begitu kesimpulan batin Suto.
"Kurasa kau salah paham, Mahkota Dewi," ujar Suto
sambil memainkan tali penggantung bumbung tuaknya.
"Aku tidak membunuh Nyai Serampang Wilis, tapi...."
"Jangan banyak bicara kau, Laknat! Hiaaah...!"
*
* *
5
RESI Pakar Pantun akhirnya melepaskan pukulan
jarak jauhnya dari belakang Mahkota Dewi. Seberkas
sinar kuning melesat dari tangan Resi Pakar Pantun dan
menghantam punggung Mahkota Dewi. Claap, des...!
Mahkota Dewi tersentak dan mengejang. Kepalanya
terdongak ke atas dengan mulut ternganga tanpa bisa
keluarkan suara. Pedangnya segera terlepas dari
genggaman, dan tubuh itu pun akhirnya limbung karena
urat-uratnya seperti putus semua dan tulangnya bagaikan
menjadi lunak. Brruk...!
Suto Sinting pertajam pendengaran, ia segera
mengetahui bahwa lawannya telah jatuh terkulai tanpa
daya lagi. Selang beberapa saat kemudian terdengar
suara sang Resi bernada kesal.
"Maaf, Suto... terpaksa aku berbuat curang sedikit.
Hanya sedikit kok."
'Kau apakan dia, Eyang?"
"Kuhantam dari belakang dengan pukulan 'Setan
Presto' yang jarang kugunakan itu."
Suto Sinting geleng-gelengkan kepala pertanda
kurang setuju dengan tindakan itu.
"Aku memang lakukan kecurangan sedikit, tapi ini
demi menghindari korban nyawa terhadap
kesalahpahaman ini," ujar sang Resi yang tadi juga
mendengar cerita tentang Nyai Serampang Wilis dari
Suto sendiri.
Mahkota Dewi merintih kecil, suaranya mengharukan
hati. Suto Sinting tak tega, kemudian mendekati dengan
pelan-pelan.
"Kau bisa memulihkannya dengan tuakmu, Suto,"
ujar sang Resi setelah memandang kemunculan Kadal
Ginting yang menggendong Menik itu.
Kaki Pendekar Mabuk menyentuh kaki Mahkota
Dewi, lalu ia jongkok dan meraba-raba kaki perempuan
itu.
"Di mana letak mulutnya?" gumam Suto yang
didengar oleh sang Resi.
"Kurasa letak mulutnya ada di kepala, Suto."
"Aku sedang mencari kepalanya," kata Suto sambil
tangan yang kiri mulai mempersiapkan bumbung tuak. Ia
ingin meminumkan tuak ke mulut Mahkota Dewi.
"Bunuhlah aku...," ratap Mahkota Dewi dengan lirih.
"Bunuhlah saja aku, agar menyatu dengan aman
guruku...."
"Itu soal gampang," ujar Suto seenaknya sambil
mencari kepala Mahkota Dewi. Tangan Suto Sinting
merayapi tubuh Mahkota Dewi untuk mendapatkan
kepala perempuan itu. Tapi ketika tangan tersebut
sampai di dada montok Mahkota Dewi, Suto Sinting
sempat berkata kepada sang Resi yang ada di
belakangnya,
"Kepalanya ada dua, Eyang."
"Husy...! Itu bukan kepala!"
"O, maaf. Kusangka kepala," kata Suto sambil
nyengir nakal.
Mafkota Dewi semakin berang, tapi ia tak bisa
berbuat apa-apa. Tangannya sangat lemas, tak bisa untuk
menabok wajah Pendekar Mabuk. Seandainya Mahkota
Dewi tidak dalam keadaan lumpuh akibat pukulan 'Setan
Presto' tadi, maka tangannya sudah berkelebat cepat
menghantam wajah pemuda yang dianggap menggagahi
tubuhnya itu.
"Maaf, Mahkota Dewi..„ aku hanya ingin
menuangkan tuak ke dalam mulutmu biar kau sehat
kembali. Aku tak ingin kesalahpahaman ini memakan
korban jiwa di antara kita."
"Bunuh saja aku, Keparat!" Mahkota Dewi
bermaksud membentak, tapi suaranya yang keluar sangat
pelan hingga mirip sebuah rayuan.
Begitu tangan Suto menyentuh mulut Mahkota Dewi,
ia justru meraba-raba bibir perempuan itu dengan hati
berdesir desir. Suara decak kekaguman terdengar samar-
samar dari mulut Suto.
"Ck, ck, ck... bibir kok legit amat begini? Hmm,
hmm... pria mana yang bakalan beruntung mencicipi
bibir sepulen ini, ya?"
Resi Pakar Pantun menendang pinggul Suto secara
seloroh. Plok...!
"Tuang saja tuakmu! Jangan sembrono begitu. Mulut
orang diobok-obok seenaknya saja...!"
"Aku sedang buta, Eyang. Maklum, namanya saja
orang buta, jadi kerjanya ya meraba-raba begini."
Tuak pun segera dituangkan dengan hati-hati ke
mulut Mahkota Dewi dengan bantuan Resi Pakar
Pantun. Di sisi lain, Kadal Ginting berdiri memandangi
adegan itu sambil berkata agak keras.
"Enak juga kalau jadi orang buta, ya? Pegang-pegang
tubuh perempuan dianggap sah-sah saja."
Menik menyahut dari gendongan, "Kudoakan
perempuan itu jadi buaya, jadi kalau Suto mengobok-
obok mulutnya bisa langsung ditelan oleh buaya itu!"
"Hei, nada bicaramu kedengarannya jengkel sekali.
Kenapa begitu, Menik?" tanya Kadal Ginting.
"Aku tidak suka pemuda bertangan nakal," jawab
Menik dengan ketus. "Sayang saja aku kepepet buta
begini. Kalau tidak aku tak mau berada dalam
gendonganmu."
"Kenapa begitu?"
"Tanganmu pun dari tadi juga nakal."
"Oh. aku tak sengaja nakal. Tanganku memang
semutan, jadi sebentar-sebentar kugerak-gerakkan biar
semutnya hilang."
Percakapan itu terhenti, karena Kadal Ginting segera
menjelaskan kepada Menik bahwa Mahkota Dewi telah
bisa bangkit dan duduk di tempat. Perempuan itu
pegangi kepalanya yang terasa agak pusing. Rupanya ia
tak biasa minum tuak. Tapi tuak itu telah membuatnya
sehat kembali, urat-urat dan tulangnya bisa bekerja
sebagaimana mestinya. Bahkan Mahkota Dewi merasa
lebih segar sekarang dibanding sebelum lakukan
pertarungan tadi. Duka atas kematian sang Guru pun
bagaikan terkikis habis oleh pengaruh tuak yang
diminumnya.
"Dia agak mabuk karena kebanyakan minum tuak,"
kata Kadal Ginting, menjelaskan penglihatannya kepada
Menik.
"Hmm..., dasar perempuan udik! Aku saja sejak tadi
banyak minum tuaknya Suto tidak merasa mabuk."
"Apakah kau sudah sering minum tuak?"
"Jarang. Tapi kalau minum arak sering."
"Gila. Kecil-kecil minumannya sudah arak."
"Buat melatih diri dari tidak kaget jika bertemu
dengan para tokoh yang gemar mabuk-mabukan," kata
Menik. "Coba lebih mendekat lagi pada mereka, Kadal
Ginding. Aku mau bicara dengan Suto."
Saat itu Pendekar Mabuk bicara kepada Mahkota
Dewi, "Ingat, Mahkota Dewi... bagiku sangat mudah
membunuhmu pada saat tadi. Tapi karena aku bukan
berjiwa pembunuh keji seperti anggapanmu, maka hal
itu tak kulakukan. Kumohon kau mau membuang
tuduhanmu terhadap diriku. Aku bukan pembunuh
gurumu, walau aku tadi memang sangat kenal dengan
Nyai Serampang Wilis."
Mahkota Dewi akhirnya mengakui
kesalahpahamannya dalam hati. Ia menarik napas setelah
memasukkan pedangnya ke sarung pedang yang ada di
pinggang.
"Kalau benar bukan kau, lantas siapa yang
membunuh Guru?"
"Mungkin si Tapak Siluman, karena tadi gurumu
mengejar Tapak Siluman setelah gagal diserang dengan
tiga pisau. Ketiga pisau terbangnya berhasil kutangkap
sebelum mengenai tubuh gurumu."
"Tapak Siluman...?!" gumam Mahkota Dewi. "Guru
memang belum lama ini bercerita tentang kebangkitan si
Tapak Siluman. Tapi beliau tidak ceritakan adanya
permusuhan dengan si Tapak Siluman."
Sang Resi ajukan tanya, "Di mana jenazah gurumu
sekarang?"
"Di sebelah barat sana!" jawab Mahkota Dewi masih
bernada sedikit kaku. "Keadaan jenazah Guru sangat
menyedihkan. Seluruh dagingnya hancur, tapi bagian
jantung dan yang lainnya masih utuh. Kepala pun masih
utuh. Jenazah Guru bagai kehilangan raga, tinggal kepala
dan isi perutnya yang tersisa."
"Ilmu 'Bajang Rampak'!" sentak Resi Pakar Pantun
dengan tegang.
"Ilmu apa itu?" tanya Mahkota Dewi.
"Itu ilmu andalan si Tapak Siluman. Tak ada tokoh
lain yang memiliki ilmu itu!"
Sang Resi ingin bicara lagi, tapi tiba-tiba-mulutnya
tak jadi bergerak. Dahi sang Resi berkerut makin lama
makin tajam. Pada saat itu, ia merasakan hembusan
angin yang berbeda dari biasanya.
Mahkota Dewi sempat merasa curiga dengan
perubahan wajah sang Resi. Tapi ia ingin tidak
mempedulikan hal itu dan bermaksud segera tinggalkan
tempat tersebut.
"Aku akan mengurus jenazah Guru!"
"Tunggu sebentar...!" cegah sang Resi. "Ada sesuatu
yang aneh telah terjadi di sekitar kita. Jangan jauh-jauh
dari kami dulu Mahkota Dewi."
Suto Sinting mendengar nada bicara sang Resi, ia
mulai merasakan kejanggalannya sehingga bertanya
dengan suara pelan.
"Ada apa, Eyang Resi?"
"Rasakan hembusan angin saat ini," jawab sang Resi
dengan mata mulai melirik tegang ke sana-sini.
Hembusan angin semakin kencang. Pendekar Mabuk
mulai rasakan hawa panas yang berhembus ke arah
depannya. Mahkota Dewi pun mulai kelihatan tegang, ia
memandang ke arah atas ternyata dedaunan mulai
menguning dan sebentar lagi menjadi layu. Kadal
Ginting buru-buru merapatkan diri ke celah pohon besar
sambil masih menggendong Menik.
"Angin ini bukan sembarang angin," ujar sang Resi
bagal bicara sendiri.
Hembusan angin bertambah kencang. Daun-daun
yang mulai layu itu menjadi beterbangan. Hawa panas
kian terasa di kulit tubuh mereka. Mahkota Dewi
memegangi gagang pedang, seakan siap mencabut
senjata sewaktu-waktu.
Sampah dan dedaunan kering yang ada di tanah pun
kini beterbangan. Namun gerakan terbang daun-daun
kering itu tidak menuju ke satu arah. Kini daun-daun
kering dan yang berguguran dari pohon itu bergerak
memutari tempat itu. Seperti ada angin beliung yang
datang secara perlahan-lahan. Semakin lama semakin
keras, semakin menimbulkan suara gemuruh yang
berputar-putar.
"Suto, bersiaplah! Ada yang menyerang kita!" ujar
sang Resi dengan nada tegang.
Suto Sinting sempat berseru, "Menik...! Menik, di
mana kau?!"
Kadal Ginting menyahut, "Dia di sini bersamaku,
Suto!"
"Cari tempat berlindung, Kadal Ginting!"
"Sudah! Kami aman di sini!"
Deru angin semakin menyeramkan. Dahan-dahan
meliuk bagal ingin dijebol dari langit. Gerakan angin
yang memutar itu bertambah kencang, membuat
Mahkota Dewi memperkuat kuda-kudanya. Pedang pun
segera dicabut dari sarungnya begitu ia yakin angin yang
berhembus adalah angin kiriman dari seseorang.
"Cari pegangan!" seru Suto Sinting. "Angin ini bukan
saja panas, tapi juga akan menerbangkan kita ke atas!"
Mahkota Dewi bergegas mendekati Suto Sinting yang
sudah berada di bawah sebuah pohon. Sikap berdiri Suto
agak merendah untuk menahan hembusan angin yang
dapat menerbangkan dirinya. Mahkota Dewi pun
bersikap serupa, demikian pula Resi Pakar Pantun yang
memperkuat kuda-kudanya dengan merendahkan badan
dan kedua tangannya merapat di dada. Ia biarkan
jubahnya beterbangan mengikuti arah angin yang
memutar.
"Apakah ini kiriman dari si Tapak Siluman?!" tanya
Mahkota Dewi kepada Suto Sinting.
"Aku tak tahu, Dewi. Sebaiknya peganglah tanganku
supaya kau tidak terbawa angin beliung ini."
Sang Resi berseru, "Bertahanlah kalian, aku akan
melawan gangguan ini!"
"Kadal Ginting...!," seru Suto.
"Aman...!" jawab Kadal Ginting dari celah pohon
besar. Pohon itu sendiri bagian puncaknya meliuk
berputar-putar, namun masih tampak kokoh dan tak
mengkhawatirkan akan terjebol oleh angin misterius.
"Aaauh...!" pekik Resi Pakar Pantun sambil
menggerak-gerakkan tangannya dengan kekuatan penuh.
"Kenapa, Eyang Resi?!"
"Angin ini mengandung serbuk beling panas!"
"Celaka!" gumam Suto Sinting sambil sempoyongan
karena badannya terasa ingin terangkat ke atas oleh
putaran angin itu.
Mahkota Dewi segera berseru, "Jurus 'Ladang
Prahara'...! Kurasa tak jauh dari sekitar sini ada si Dewa
Semprong!"
"Dari mana kau tahu?!"
"Aku mengenali jurus-jurusnya, karena Dewa
Semprong saudara seperguruan dengan Nyai Serampang
Wilis, guruku!"
"Aaauh...!" Resi Pakar Pantun yang ada di tempat
terbuka memekik lagi. Mahkota Dewi terkejut.
"Ooh...?!"
Nada suara kejutan itu tak bisa dipahami Suto Sinting
yang tak melihat keadaan Resi Pakar Pantun.
"Ada apa dengan Resi Pakar Pantun, Dewi...?"
"Tubuhnya mulai berdarah, ia tak kuat menahan
angin yang mengandung serbuk beling panas ini!"
"Celaka betul kalau begini!" geram Suto Sinting, ia
pun berseru, "Eyang Resi, lekas mundur kemari.
Berlindung di bawah pohon ini, Eyang!"
Tapi sang Resi justru menggerakkan kedua tangannya
ke atas samping dalam keadaan bergetar, ia kerahkan
tenaga dalamnya untuk lawan-angin 'Ladang Prahara'
itu. Suaranya pun terlontar memanjang sebagai tanda
pengerahan tenaga sepenuhnya.
"Heeeeeaaaahhh...!!"
Daun-daun kering yang berputar-putar itu menjadi
menyebar ke berbagai penjuru. Rupanya sang Resi
berhasil keluarkan tenaga perlawanan. Gelombang badai
keluar dari kedua tangan sang Resi dibarengi dengan
asap biru samar-samar. Asap itu pun bergerak
berkeliling namun berlawanan arah dengan gerakan
putar angin 'Ladang Prahara' itu.
"Aku akan membantu Resi!" kata Mahkota Dewi
yang segera melepaskan genggaman tangannya dari
lengan Suto Sinting. Kemudian ia maju beberapa
langkah dan segera memainkan jurus pedangnya dengan
cepat hingga keluarkan desing berkali-kali. .
Wuiz, wuiz, wuiz, ziing, zing, zing...!
Bledar, glaaar, bluuung...!
Pedang itu keluarkan cahaya biru petir serabutan.
Cahaya biru petir itu bagaikan membentur kekuatan
dahsyat yang menimbulkan ledakan cukup keras. Tanah
berguncang bagai dilanda gempa. Cahaya matahari
menjadi redup bagai tertutup kabut.
Mahkota Dewi masih terus lakukan gerakan
mengibas pedang ke sana-sini, dan dari pedangnya
masih keluarkan cahaya petir yang melesat ke berbagai
penjuru. Kulit tubuhnya mulai merah, seperti
terpanggang hawa panas cukup tinggi.
Angin yang datang semakin kencang dan udara
panasnya kian terasa jelas. Kulit-kulit pohon mulai
terkelupas dan mengerut karena panas. Suto Sinting
sempat menjadi tegang karena merasakan tubuhnya
bagai tersiram air mendidih.
"Bahaya sekali kalau aku tidak segera ikut campur
mengatasi angin celaka ini!" pikirnya sambil membuka
tutup bumbung tuak. Ia pun menenggak tuaknya,
sebagian ditelan sebagian dibuat kumur-kumur di
mulutnya. Lalu dengan tubuh mengeras, tenaga
dikerahkan, tuak di mulut itu segera disemburkan ke
udara atas.
Bruuuwwrs...!
Blegaaarr...!
Ledakan sangat kuat terjadi begitu mengerikan.
Guncangan tanah bagai ingin menjungkir balikkan apa
saja yang ada di atasnya. Ledakan itu membuat tubuh
Resi Pakar Pantun terlempar dan jatuh berguling-guling,
sedangkan tubuh Mahkota Dewi terhempas menghantam
batang pohon yang dipakai berlindung Kadal Ginting
dan Menik.
Semburan tuak Suto tadi bukan sembarang semburan
tanpa arti. Air tuak yang tersembur berubah menjadi
percikan api ke mana-mana. Percikan api itu bagaikan
beradu kekuatan dengan hembusan angin 'Ladang
Prahara', hingga timbul ledakan cukup dahsyat. Itulah
yang dinamakan jurus 'Sembur Bromo Wiwaha', sebuah
jurus maut yang jarang digunakan oleh Pendekar Mabuk.
Beberapa pohon tumbang secara mengerikan akibat
ledakan dahsyat itu. Tumbangnya pohon-pohon
membuat sesosok bayangan berkelebat dan muncul di
depan mereka. Wuuus...! Jleeg...!
"Heh, heh, heh, heh...!" suara tawa terkekeh membuat
Dewi Menik ingat tentang si Dewa Semprong.
"Pasti dia kakek ompong itu!" katanya kepada Kadal
Ginting yang ketakutan dan merapatkan punggung ke
batang pohon itu. Ia tak sadar bahwa di belakangnya ada
Menik, sehingga Menik menjadi tergencet batang pohon.
Gadis kecil itu jengkel, maka tanpa basa-basi lagi kepala
Kadal Ginting dikeplaknya. Plook...!
"Auh...!" Kadal Ginting memekik, lalu segera maju
setengah langkah. Menik segera membentak.
"Kau pikir kau menggendong karung beras!
Seenaknya saja dipepetkan ke pohon! Aku hampir mati
tak bernapas, tahu?!"
"Iya, tapi jangan main keplak kepala orang tua
begini!" sentak Kadal Ginting.
"Aku tidak tahu kalau kau tua. Aku kan buta?!" debat
Menik makin menjengkelkan dengan ketengilannya.
Tapi Kadal Ginting tak melayani karena perhatiannya
segera tertuju kepada tokoh berjubah hijau dan berkepala
nyaris gundul plontos itu.
"Keparat kau, Dewa Semprong!" sentak Resi Pakar
Pantun yang sudah mengenal tokoh tersebut. "Apa-apaan
kau, hah?! Mengapa kau serang kami begini?!"
"Aku menghendaki bocah kecil itu!" sambil ia
menuding Kadal Ginting memakai kepala tongkatnya.
Kadal Ginting menjadi cemas dan mundur selangkah
lagi. Tapi tahu-tahu kepalanya dikeplak lagi oleh Menik.
Plook...!
"Jangan gencet aku, Tolol!" bentak Menik dengan
sok tua.
*
* *
6
PENDEKAR Mabuk rasakan ada gerakan cepat
menuju ke arah sampingnya, ia tahu di sampingnya ada
pohon yang dipakai untuk bersembunyi Kadal Ginting.
Ia yakin gerakan aneh yang datang dengan cepat adalah
gerakan si Dewa Semprong.
Zlaaap. .! Pendekar Mabuk pun gunakan jurus 'Gerak
Siluman' untuk mematahkan gerakan si Dewa
Semprong. Akibatnya, kedua tubuh yang bergerak sama-
sama cepat melebihi angin itu saling bertabrakan di
udara.
Brruuss...!
"Huuaahhg...!"
Brrruk...! Keduanya sama-sama terpental jatuh. Tapi
Suto Sinting mengerang dan memuntahkan darah kental
dari mulutnya, ia tersodok kepala tongkat si Dewa
Semprong yang mengandung kekuatan tenaga dalam
cukup berbahaya itu.
Sedangkan Dewa Semprong sendiri juga
memuntahkan darah segar dari mulutnya. Wajah tuanya
menjadi biru legam. Rupanya dadanya sempat
membentur bumbung tuaknya Suto yang juga
mempunyai kekuatan sakti itu.
"Hooek...! Hoooeek...!" Dewa Semprong muntahkan
darah cukup banyak. "Hooeek...! Hoooek...!"
"Siapa yang sedang ngidam itu, Paman Kadal?!"
tanya Menik.
"Si Dewa Semprong," jawab Kadal Ginting. "Ia
bertabrakan dengan Suto, langsung ngidam dan muntah-
muntah."
Dewa Semprong sibuk menahan luka dalamnya, ia
berdiri dengan satu lutut, tundukkan kepala beberapa
saat. Kesempatan itu dipergunakan oleh Suto Sinting
untuk membagi tuaknya kepada Resi Pakar Pantun dan
Mahkota Dewi yang terluka karena angin panas tadi.
Dengan meneguk tuak Suto, maka keadaan mereka pun
cepat menjadi sehat seperti sediakala. Tak lupa Suto
sendiri juga buru-buru menenggak tuaknya untuk
hilangkan luka akibat tabrakan dengan Dewa Semprong
tadi.
"Kakang Andhigama...," sapa Resi Pakar Pantun
kepada Dewa Semprong, ia menyebutkan nama asli si
Dewa Semprong.
"Hentikan kepicikanmu itu, Kakang Andhigama. Aku
tahu kau memburu otak bocah itu, tapi langkahmu tidak
mencerminkan jiwamu yang dulu kukenal sebagai orang
bijak. Kakang Andhigama!"
"Aku sudah bosan jadi orang bijak," jawab Dewa
Semprong. "Yang penting aku tak mau mati di tangan si
Tapak Siluman!"
"Kau tampaknya sangat ketakutan sekali, Eyang,"
ujar Mahkota Dewi.
"Ya, aku memang ketakutan. Sebab dulu aku pernah
kencing di kuburannya Tapak Siluman!"
"Ha, ha, ha, ha...!" Kadal Ginting dan yang lain
tertawa. "Mengapa kau kencingi kuburan si Tapak
Siluman?"
"Biar tidak bisa bangkit lagi. Eeeh... sekarang malah
bangkit. Pasti dia tahu kalau aku dulu mengencingi
kuburannya dan pasti aku akan dijadikan sasaran
keganasannya. Sebab itu aku harus segera melapisi
darahku dengan otak bocah."
Pendekar Mabuk angkat bicara, "Apakah kau tak
berani melawan Tapak Siluman, Eyang?"
"Aku akan kalah!" jawab si Dewa Semprong dengan
jujurnya. "Ilmunya lebih tinggi dari ilmuku. Bahkan
gurumu, si Gila Tuak, juga akan binasa jika
melawannya, seperti nasib adik seperguruanku yang
sering cekcok denganku itu; Nyai Serampang Wilis."
"Eyang," sahut Mahkota Dewi sambil maju
selangkah. "Apakah Eyang sudah melihat nasib Nyai
Guru Serampang Wilis?!"
"Kutemukan jenazahnya tergeletak di sebelah barat
sana."
"Eyang yakin bahwa itu perbuatan si Tapak
Siluman?!" tanya Mahkota Dewi dengan nada sedih.
"Ya. Pasti si Tapak Siluman yang membunuhnya
dengan ilmu 'Bajang Rampak'-nya! Dan aku takut kalau
nantinya mati seperti Serampang Wilis; hanya tinggal
kepala dan jeroannya! Iih... aku tak mau mati begitu.
Ngeri. Nanti mayatku tak bisa dimandikan jika tinggal
jeroan saja."
Dewa Semprong bergidik, namun segera menyeringai
menahan sakit di dadanya. Pendekar Mabuk terpaksa
memberikan tuaknya untuk pengobat luka dalamnya si
Dewa Semprong. Sikap itu menunjukkan bahwa
Pendekar Mabuk tidak ingin bermusuhan dengan Dewa
Semprong. Maka, sang Dewa Semprong pun mulai
mengurangi niatnya untuk merebut Menik.
"Dengar, Kakang Andhigama...," kata Resi Pakar
Pantun. "Para tokoh rimba persilatan memang sedang
dibuat cemas oleh kemunculan si Tapak Siluman. Tapi
mereka mencari jalan keluar untuk menghadapi Tapak
Siluman tanpa harus mengorbankan otak bocah-bocah
cilik, Kakang. Kuharap kau pun tidak memburu otak
anak-anak. Kasihan, mereka tak punya daya apa-apa jika
kita buru dan kita ambil otaknya."
"Lalu, dengan cara apa aku harus menghadapi Tapak
Siluman?!"
"Kami sudah sepakat untuk menjagokan Pendekar
Mabuk dalam menghadapi Tapak Siluman."
"Alaaa... bisa apa murid si Gila Tuak itu," ejek Dewa
Semprong. "Melawanku saja sudah keteter begitu,
apalagi mau melawan Tapak Siluman, bisa-bisa
dijadikan lontong isi kumis!"
Suto Sinting tersinggung dengan ucapan itu. Tapi ia
segera menenangkan hatinya dan memaklumi ucapan
orang tua yang asal ceplas-ceplos itu.
"Eyang Dewa Semprong, kalau aku benar-benar mau
membunuhmu, maka sejak tadi kau sudah kehilangan
nyawa, Eyang."
"Kenapa kau tidak lakukan?"
"Karena aku tidak ingin membunuh orang yang
sedang panik menghadapi kemunculan si Tapak
Siluman. Eyang gugup dan tak bisa berpikir bijak lagi.
Aku perlu menyadarkan Eyang dengan cara tidak
mengorbankan nyawa Eyang."
"Hmmm...," Dewa Semprong manggut-manggut
walau dengan sikap mencibir.
"Jadi kau berani menghadapi si Tapak Siluman?!"
tanyanya dengan nada kurang yakin.
"Berani, Eyang!" jawab Pendekar Mabuk. "Tapi
dengan syarat, kembalikan mataku!"
"Lho, kau sangka aku mencuri matamu? Jangan
menuduh begitu, Nak. Aku tak mencuri biji matamu.
Kalau tak percaya, silakan geledah tubuhku...." Dewa
Semprong mengangkat kedua tangannya seakan siap
untuk digeledah.
"Maksudku, kembalikan penglihatanku! Sembuhkan
aku dan Menik dari kebutaan ini."
"Apa kau pikir aku tabib?!" ujarnya sambil
bersungut-sungut menjauh dua langkah.
Mahkota Dewi ikut bicara. "Eyang, kalau Eyang tak
mau sembuhkan Suto dan Menik, maka Tapak Siluman
akan memburu Eyang, karena Eyang telah mengencingi
kuburannya!"
"Jangan menakut-nakuti aku begitu, Dewi!" bentak
kakek tua yang konyol itu.
"Aku tidak menakut-nakuti, Eyang. Tapi apa yang
kukatakan ini bisa menjadi kenyataan, mungkin tak lama
lagi!"
"Aaah...!" Dewa Semprong cemberut seperti anak
kecil. Resi Pakar Pantun mendekati dan menepuk
pundak Dewa Semprong.
"Kakang Andhigama... kau bisa membuat mereka
buta, tentunya kau bisa menyembuhkannya. Aku yakin
kau punya obat penyembuh kebutaan itu. Kalau kau tak
mau lakukan, maka Pendekar Mabuk tak akan
memihakmu jika si Tapak Siluman menyerangmu!"
"Biar saja!" ucapnya sambil masih bersungut-sungut.
Kadal Ginting segera berseru, "Hei, siapa itu yang
melintas dari pohon ke pohon?!"
Semua menjadi tegang.
"Mana, mana...?!" Dewa Semprong lebih tegang lagi.
"Itu di antara dedaunan rimbun itu! Ada yang
mengintai kita dari sana! Oh, sepertinya dia si Tapak
Siluman!" kata Kadal Ginting.
"Hahh...?! Celaka...!" Dewa Semprong bergegas
mundur mendekati Suto Sinting.
"Kalau begitu, berlututlah, Nak. Kusembuhkan
kebutaanmu itu!" kata Dewa Semprong dengan rasa
waswas, takut diserang Tapak Siluman.
"Aku mau disembuhkan asalkan Menik juga ikut
disembuhkan."
"Iya, iya...! Cerewet kau ini, Nak! Cepat kalian
berlutut, nanti Tapak Siluman keburu menyerangku!"
kata Dewa Semprong dengan tegang.
Suto berlutut di depan Dewa Semprong, sedangkan
Menik hanya berdiri di samping Suto menghadap Dewa
Semprong. Gadis kecil itu berdiri dengan bertolak
pinggang menampakkan keberaniannya walau matanya
buta.
Dewa Semprong sempat membatin, "Bocah ini mau
disembuhkan apa mau dilukis, kok lagak berdirinya
begitu?!"
Tapi hal itu segera dilupakan oleh Dewa Semprong.
Kini kedua tangan Dewa Semprong mengeraskan dua
jarinya. Kemudian, masing-masing kedua jari itu
mengeluarkan sinar putih. Dua sinar putih perak
menembus sepasang mata Menik, dan dua sinar putih
lagi menembus sepasang mata Pendekar Mabuk.
Clappp...!
Wwees...! Suto dan Menik terpental, namun tak
keras. Hanya saja sempat membuat mereka terpelanting
jatuh.
"Tua ompong licik!" maki Menik sambil bergegas
bangun, ia ingin marah kepada Dewa Semprong, namun
gerakannya tertahan sendiri oleh kesadarannya. Matanya
mengerjap-ngerjap dan ia mulai dapat melihat kembali.
Demikian pula halnya dengan Pendekar Mabuk yang
sudah dapat melihat walau masih buram. Tapi dalam
beberapa kejap kemudian penglihatannya menjadi pulih
seperti sediakala.
Menik berpaling memandang Suto, mereka beradu
pandang. Menik tersenyum dan menyapa sok tua,
"Hei... bagaimana kabarmu?"
"Aku melihat kodok berdiri di depanku," ejek Suto.
"Ya, aku juga melihat kambing berdiri di depanku,"
balas Menik, lalu keduanya sama-sama tertawa. Menik
melebarkan telapak tangannya, lalu diayunkan ke depan,
bertemu dengan ayunan telapak tangan Suto.
Plaak...!
"Kita kibuli dia," kata Menik sambil cekikikan.
"Kibuli bagaimana?"
"Aku tadi berbisik kepada Kadal Ginting agar
berpura-pura melihat Tapak Siluman di pohon. Padahal
Kadal Ginting tidak melihat apa-apa, aku pun juga tidak
melihat apa-apa. Hik, hik, hik, hik...!"
"Dasar otak bulus!" ujar Suto dengan tersenyum geli.
"Terima kasih atas pengobatanmu, Eyang," kata Suto
kepada Dewa Semprong. Si kakek cemberut setengah
menyesal telah mengobati lawannya.
"Terima kasih itu tidak penting, yang penting hadapi
si Tapak Siluman itu," ujarnya dengan mulut mirip cucur
bantat.
"Kalau sekarang dia ada di sini, aku akan segera
menyerangnya, Eyang."
"Lho, katanya tadi dia ada di pohon itu?!"
Kadal Ginting menyahut sambil nyengir, "He, he,
he... ternyata yang kulihat tadi seekor monyet, Eyang."
"Hah...?!" Dewa Semprong terbelalak. "Seekor
monyet...?! Sial! Aku tertipu kalau begitu."
"Aku sendiri tertipu, Eyang," kata Kadal Ginting.
"Kusangka si Tapak Siluman, tak tahunya seekor
monyet!"
"Itu pasti bapakmu yang kebingungan mencari
anaknya yang hilang," kata Dewa Semprong dengan hati
dongkol, semakin merasa dongkol setelah yang lain
menertawakannya.
"Tidak lucu! Tidak lucu!" ujarnya bersungut-sungut
cemberut.
Resi Pakar Pantun segera melontarkan pantunnya.
"Perawan juling naik perahu tanpa celana
Terkena angin keluar bunyi berdenging
Biar gundul kepalamu bagai semangka
Tapi manis jika dipandang sambil nungging."
Dewa Semprong tak mau kalah, ia lontarkan
pantunnya sambil cemberut.
"Janda montok hamil menelan batu
Keringat perawan diseduh jadikan jamu
Biar aku tertipu oleh si pawang kutu
Tapi aku tetap lebih tampan dari congormu."
Tawa mereka berderai sebentar, tapi Mahkota Dewi
hanya sunggingkan senyum, ia masih menyimpan duka
atas kematian gurunya. Karena itu, ia segera memotong
tawa ria mereka.
"Maaf, Eyang Dewa Semprong... aku harus segera
pergi menguburkan jenazah Guru."
"Oh, iya...!" Dewa Semprong mendadak berubah
sedih. "Jenazah si Serampang Wilis belum ada yang
menguburkan. Sebaiknya, mari kita kuburkan jenazah
gurumu, Dewi. Biar aku sering bentrok dengannya, tapi
dulu ia pernah memberiku sebuah ciuman manis. Kurasa
sekaranglah saatnya aku membalas ciuman manis itu
dengan cara menguburkan jenazahnya."
"Aku akan ikut memakamkan Nyai Serampang Wilis,
sebagai penghormatan terakhir dariku," kata Resi Pakar
Pantun. "Sebab dulu dia pernah menghormatiku, ketika
aku terkena racun dia rela memanjat pohon kelapa untuk
mencarikan air kelapa untuk penawar racunku. Walau
akhirnya aku pun ikut naik ke pohon itu."
"Kenapa kau ikut naik?"
"Sebab dia tak bisa turun dari pohon."
Pendekar Mabuk tersenyum geli. Lalu ia berkata
kepada Resi Pakar Pantun yang bersebelahan dengan
Dewa Semprong.
"Eyang, mohon doa restu, aku akan memburu si
Tapak Siluman!"
"Kulihat ia bergerak ke arah barat," kata Dewa
Semprong. "Kejar dia dan hancurkan kekuatannya!"
"Baik, Eyang!"
"Aku ikut!" tiba-tiba Menik nyeletuk keras.
"Anak kecil tak, boleh ikut tawuran!" kata Dewa
Semprong.
"Hei, aku bukan penakut sepertimu, Kakek Ompong!
Aku berani melawan Tapak Siluman!"
"Kalau didengar Tapak Siluman, mulutmu bisa
dirobek menjadi tujuh bendera, Bocah Bodong!" geram
Dewa Semprong.
Suto berkata kepada Menik, "Sebaiknya memang kau
tak usah ikut aku, Menik. Ikutlah memakamkan Nyai
Serampang Wilis bersama Eyang Resi Pakar Pantun."
"Enak saja! Perutku mual kalau harus ikut sama
kakek ompong itu!"
"Aku tetap tidak izinkan kau mengikutiku, Menik!"
tegas Suto. Kemudian kepada yang lain ia berpamit,
"Aku berangkat sekarang juga, Eyang. Maaf, aku tak
bisa ikut memakamkan gurumu, Dewi."
"Aku bisa memaklumi," kata Mahkota Dewi.
Blaaas...! Suto segera pergi tinggalkan tempat. Menik
segera melompat dengan gerakan lincah dan cepat, ia
tahu-tahu sudah berada di atas pohon.
Plak, plak, plak, wuut, wuuut...!
"Sutooo... tunggu, ada yang ingin kukatakan padamu.
Penting sekali!" seru Menik sambil mengejar Suto
Sinting. Seruan itu sempat didengar Suto dan membuat
pemuda tampan itu hentikan langkah.
"Ada apa?" tanya Suto setelah Menik mendekat.
"Aku lupa katakan sesuatu padamu. Ada pesan
untukmu dari kakakku; Dewi Hening."
"Pesan apa?"
"Tentang isi hatinya."
"Jelaskan isi hatinya itu."
"Akan kujelaskan kalau kau mengizinkan aku ikut
denganmu."
"Ayolah, Menik... jangan menggangguku begitu!"
"Kalau kau tak mau dengar pesan isi hatinya, akan
kukembalikan kepada Hening. Dan aku akan bilang
kepada Hening bahwa Pendekar Mabuk tak sudi
menerima pesannya!"
"Hei, jangan begitu? Itu namanya melukai hati
kakakmu?"
"Maukah kau mendengar pesan isi hatinya Hening?"
Pendekar Mabuk diam sebentar, mempertimbangkan
langkahnya sambil membayangkan kecantikan si Dewi
Hening yang menggiurkan hati itu. Akhirnya, Suto
menyerah kepada Menik.
"Baiklah, kau boleh ikut. Tapi tidak boleh nakal!"
"Aku hanya akan nakal jika bertemu lelaki tampan,
hik, hik, hik...!"
"Husy! Kecil-kecil sudah ganjen."
"Melatih diri biar besok kalau besar tidak seperti
Kejora; kuper alias kurang pergaulan!"
Pendekar Mabuk tertawa pelan. "Kita berangkat
sekarang, Menik!"
"Aku siap, Suto!" jawab Menik dengan tersenyum
bangga, wajahnya tampak ceria sekali.
Menik mendahului gerakan Suto. Ia melompat seperti
anak kijang. Slaap, slaap...! Pendekar Mabuk
mengikutinya tanpa menggunakan jurus 'Gerak Silu-
man'-nya.
*
* *
7
SEBUAH kedai menjadi sasaran perhentian Suto dan
Menik, karena saat itu malam telah mulai
menggerayangi seluruh permukaan bumi. Begitu mereka
masuk ke kedai di sebuah desa, beberapa mata mulai
memperhatikan Suto dan Menik. Pandangan mereka
mencurigakan hati Pendekar Mabuk, sehingga
kewaspadaan pun ditingkatkan.
"Suto, mereka memperhatikan kita terus," bisik
Menik. "Jangan-jangan mereka naksir aku, ya?"
"Naksir?! Hmmm... wajahmu tak punya kecantikan
kok ditaksir," Suto Sinting sengaja mengajak Menik
bercanda supaya hati Menik tidak diliputi kecemassn.
Padahal dalam hati Suto sendiri telah timbul kecemasan
akibat kecurigaan yang tersembunyi.
"Tenang saja, Menik. Kau tak perlu punya penafsiran
yang bukan-bukan. Biarkan mereka memandangi kita,
karena mereka mempunyai mata."
"Iya. Kalau mereka tidak punya mata mana mungkin
mereka memandangi kita? Apa mereka mau memandang
pakai mata kaki?!" ujar Menik bernada gerutu, ia
langsung duduk di bangku samping Suto.
"Perutku lapar sekali," bisiknya kepada Suto.
"Kuharap kau mengajakku ke sini bukan sekadar untuk
mengisi bumbung tuakmu dan meminum wedang Jahe.
Setidaknya kau akan mengizinkan aku untuk memesan
pengisi perut."
Suto Sinting tersenyum geli. "Pesanlah sendiri kepada
Pak Tua pemilik kedai itu. Aku akan menyuruh
pelayannya untuk mengisi bumbung tuakku."
Ketika mereka sedang menikmati makanan
malamnya, tiba-tiba muncul seorang pemuda berparas
cukup tampan dengan bercelana ungu dan memakai baju
tanpa lengan warna ungu juga. Pemuda itu berusia
sekitar dua puluh tahun. Rambutnya lurus dan panjang,
diikat menjadi satu ke belakang, ia menenteng pedang
perak bergagang ronce-ronce benang ungu. Pergelangan
tangannya mengenakan gelang kulit warna loreng hitam-
hitam.
Pemuda itu segera duduk di samping Pendekar
Mabuk begitu ia melihat sang Pendekar Mabuk ada di
kedai tersebut. Pedangnya diletakkan di atas meja,
seakan dipamerkan di depan Suto.
Brak...!
Suara pedang dihentakkan di meja membuat Suto
Sinting dan Menik berpaling memandang pemuda
berkulit bersih itu. Mata Suto segera memandang
punggung telapak tangan si pemuda yang bertato gambar
seekor elang biru mengepakkan sayapnya. Tato itulah
yang membuat Suto Sinting sunggingkan senyum,
karena ia mengenali siapa pemilik tato elang biru.
"Hei Elang Samudera!"
Plok...! Suto segera menepuk punggung pemuda
tersebut. Si pemuda pun langsung berlagak memukul
pinggang Suto sambil tertawa. Tapi tangan Suto segera
menangkis pukulan itu. Teeb...! Genggaman pemuda itu
ditangkap oleh Suto, maka tawa mereka sama-sama
pecah berderai penuh keriangan.
"Kusangka kau telah lupa padaku, Suto!"
"Tak mungkin aku melupakan seorang sahabat
sepertimu, Elang Samudera. O, ya... mau ikut makan
bersama? Silakan pesan sendiri."
"Kau yang akan membayarnya?"
"O, tentu saja kau harus bayar sendiri, jika perlu
bayar pula makanan dan minuman kami berdua ini!"
jawab Suto Sinting dalam kelakarnya. Elang Samudera
hanya tertawa sambil memukul kecil lengan Suto
Sinting.
Elang Samudera adalah murid dari Pendeta Darah
Api dari Teluk Merah, ia bertemu dengan Pendekar
Mabuk dan mulai bersahabat sejak peristiwa hilangnya
Tongkat Guntur Bisu milik Ratu Remaslega. Elang
Samudera mempunyai kakak perempuan yang menjadi
Perwira Pulau Sangon, yaitu Dewi Cintani, sahabat Suto
juga, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Dendam Selir Malam").
"Mengapa kau ada di desa ini, Elang?"
"Aku diminta bantuannya oleh Ki Lurah Penawu,
kepala desa ini, untuk menjaga keamanan desa yang
sedang diganggu oleh orang-orang Perguruan Macan
Iblis."
Suto Sinting berkerut dahi karena baru mendengar
nama Perguruan Macan Iblis. Tetapi Menik yang sudah
dikenalkan oleh Suto kepada Elang Samudera itu segera
menyahut percakapan mereka.
"Apakah maksudmu Perguruan Macan Iblis yang
diketuai oleh Warok Suro Bangsat itu, Kang?"
"Benar, Menik. Rupanya kau lebih tahu tentang
perguruan tersebut ketimbang si Pendekar Mabuk ini."
Suto Sinting hanya tersenyum bernada malu.
Ternyata pengetahuannya tentang perguruan itu masih
tertinggal dibanding si kecil Menik. Tapi Suto maklum
akan hal itu, karena Menik mungkin lebih sering
mencuri percakapan orang tua, sehingga ia mengetahui
tentang Perguruan Macan Iblis itu.
"Gangguan apa yang membuat Ki Lurah Penawu itu
meminta bantuanmu, Elang Samudera?"
"Apakah kau tak mendengar bahwa beberapa hari
belakangan ini banyak anak kecil yang menjadi korban
penculikan? Dan pada umumnya anak yang diculik
ditemukan dalam keadaan sudah tak bernyawa dengan
tengkorak kepala rusak dan otaknya hilang?"
"Hmmm...," Suto Sinting manggut-manggut. "Kurasa
ada hubungannya dengan kemunculan tokoh hitam yang
bernama Tapak Siluman itu, ya?"
"Benar! Ternyata kau sudah mendengar tentang hal
itu, Suto," ujar Elang Samudera setelah memesan
minuman dan makanan untuknya.
"Aku hampir menjadi korban, Kang!" kata Menik
seakan ingin ikut dilibatkan dalam pembicaraan tersebut.
"Masuk akal sekali kalau kau nyaris menjadi korban,
Menik. Karena yang dicari adalah anak-anak seusia
kau," kata Elang Samudera, lalu ia bicara kepada Suto
Sinting.
"Karenanya, anak-anak kecil di desa ini sejak
sebelum senja sudah disembunyikan dalam satu ruangan
bawah tanah di pendopo kelurahan. Tak ada anak kecil
yang berani berkeliaran selewat senja."
"Pantas ketika aku memasuki kedai ini, banyak orang
yang memperhatikan aku, Kang."
"Itu lantaran mereka heran dan kagum melihat
keberanianmu berada di luar rumah di waktu malam."
Ki Lurah Penawu ternyata punya hubungan
persahabatan dengan Dewi Cintani. Ketika utusan Ki
Lurah Penawu datang kepada Dewi Cintani dan meminta
bantuan tenaga untuk melindungi desanya, Dewi Cintani
menyuruh adiknya: Elang Samudera untuk memperkuat
keamanan di Desa Badaran itu.
Sebenarnya gangguan yang menyerang Desa Badaran
bukan dari orang-orang Perguruan Macan Iblis saja. Tapi
dari beberapa pihak lain yang ingin mendapatkan otak
anak-anak juga ikut berkeliaran di Desa Badaran. Tetapi
kebanyakan mereka datang dari Perguruan Macan Iblis,
karena letak perguruan itu lebih dekat dengan Desa
Badaran.
Sudah tiga malam ini, Elang Samudera selalu berhasil
melumpuhkan para pencari otak anak-anak itu. Dan
malam kemarin ia berhasil membunuh seorang murid
Perguruan Macan iblis. Dalam perhitungan otaknya,
malam itu akan datang sejumlah murid Perguruan
Macan Iblis ke desa tersebut dengan alasan ingin
menuntut balas atas kematian rekan mereka.
"Karena itu, sangat kebetulan sekali kau singgah di
desa ini, Suto. Setidaknya jika aku sampai terpojok oleh
kekuatan mereka, kau bisa membantuku."
"Dengan senang hati aku akan bertindak sebelum kau
perintah, Elang Samudera."
"Kusarankan lebih baik kau bermalam di rumah Ki
Lurah Penawu saja, sekaligus memberi tempat
perlindungan bagi Menik yang jika terlihat mereka pasti
akan dijadikan sasaran penculikan juga."
"Bagaimana, Menik?" tanya Suto.
"Terserah...." Menik sentakkan pundak. "Tapi kalian
harus percaya bahwa aku sebenarnya tidak merasa takut
menghadapi orang-orang Perguruan Macan Iblis, atau
dari mana saja!"
Pendekar Mabuk dan Elang Samudera manggut-
manggut sambil tertawa. Agaknya gadis kecil itu tidak
mau diremehkan oleh yang tua, dia selalu ingin dinilai
bukan sebagai seorang bocah, tapi sebagai sang
pemberani yang tidak mempertimbangkan batas usia.
Elang Samudera merasa kagum melihat kepandaian
bicara Menik dan keberaniannya, terlebih setelah
mendapat cerita dari Suto Sinting tentang pertemuannya
dengan Dewa Semprong yang membuat mereka menjadi
buta beberapa saat itu.
Ketika mereka dalam perjalanan menuju rumah Ki
Lurah Penawu dalam siraman cahaya rembulan, tiba-tiba
Menik menahan tangan Pendekar Mabuk yang membuat
mereka bertiga terpaksa hentikan langkah.
"Ada apa, Menik?" tanya Suto dalam nada bisik.
"Aku melihat dua sosok manusia di atas atap rumah-
rumah sebelah kiri kita, Suto."
Elang Samudera terkejut tipis, ia dan Suto sama-sama
pandangi atap rumah yang dimaksud Menik. Beberapa
saat kemudian mereka baru melihat dua bayangan yang
dimaksud Menik.
"Kau melihatnya, Suto?" tanya Elang Samudera.
"Ya, aku melihatnya."
"Aku pun demikian. Pasti mereka punya maksud tak
baik."
"Kita ikuti dengan sembunyi-sembunyi saja supaya
tidak menggegerkan penduduk," bisik Suto sambil
menggantungkan bumbung tuaknya di pundak, supaya
sewaktu-waktu terjadi sesuatu dapat segera digunakan
sebagai senjata.
Dua sosok bayangan hitam itu melompat dari atap
rumah yang satu ke atap rumah yang lainnya. Sepertinya
ada yang mereka incar di dalam rumah melalui atapnya.
Firasat Suto mengatakan, bahwa kedua sosok bayangan
itu pasti sedang mencari seorang bocah. Karenanya Suto
segera mengingatkan Menik agar hati-hati dan jangan
sampai menjadi sasaran dua sosok bayangan itu.
"Apakah mereka orang Perguruan Macan iblis?"
tanya Pendekar Mabuk kepada Elang Samudera.
"Belum tentu. Tak ada tanda-tanda yang bisa
dijadikan ciri khas orang Perguruan Macan Iblis. Kita
tak bisa mengetahui sebelum kita menangkapnya dan
memaksanya mengaku dari pihak mana."
Suto Sinting menggumam lirih sekali sambil
manggut-manggut. Suasana desa dicekam sepi, seakan
para penduduknya berada dalam pengawasan mata iblis
yang menyeramkan. Tak satu pun penghuni rumah yang
keluar atau jalan-jalan menikmati malam terang bulan.
Bahkan orang-orang di kedai tadi sudah pergi lebih dulu
sebelum Pendekar Mabuk tinggalkan kedai tersebut.
Semakin lama kedua bayangan itu semakin bergerak
mendekati pendopo rumah Ki Lurah Penawu. Elang
Samudera tampak mulai cemas, karena takut jika kedua
sosok bayangan itu menemukan tempat penampungan
anak-anak yang disembunyikan. Sebab itulah Elang
Samudera akhirnya segera bertindak tanpa bicara apa-
apa kepada Suto.
Elang Samudera lakukan lompatan ringan yang
membuat tubuhnya melenting tinggi dan hinggap di
salah satu atap rumah tanpa timbulkan suara. Sama
halnya dengan kedua bayangan itu, Elang Samudera
bergerak melintasi atap demi atap tanpa bersuara. Ini
menandakan ilmu tenaga peringan tubuh mereka cukup
tinggi dan mampu menapak di atas atap tanpa
menimbulkan kegaduhan apa pun.
Wuuut...! Tab, tab, tab...!
Pendekar Mabuk dan Menik mengawasi gerakan
Elang Samudera dari bawah pohon rindang. Sesekali
mereka pindah ke tempat yang tersembunyi, mendekati
gerakan Elang Samudera sebagai tindakan berjaga-jaga.
"Ssssstt...," desis Menik memberi isyarat kepada
Suto. Ia menyentakkan tangan Suto, sehingga pemuda
tampan berbadan kekar itu berpaling memandangnya.
"Di sebelah timur juga ada dua bayangan, Suto.
Mereka juga berkeliaran di atas atap!"
Pendekar Mabuk buru-buru memandang ke arah
timur. Tak lama ia menemukan dua sosok bayangan
hitam yang sedang melintas dari atap ke atap tanpa
timbulkan suara. Gerakan mereka juga makin lama
semakin mendekati ke arah pendopo rumah Ki Lurah
Penawu.
"Menik, bersembunyilah di atas pohon rimbun itu.
Tetaplah di sana sebelum aku dan Elang Samudera
selesai melumpuhkan mereka."
"Kenapa harus bersembunyi?"
"Nanti kau yang dijadikan sasaran penculikan mereka
jika kau tidak bersembunyi."
"Justru aku sedang berpikir bagaimana menculik
salah satu dari mereka."
"Ah, konyol kau ini!" sergah Suto. "Sudah sana, naik
ke atas pohon. Aku akan menghadapi dua bayangan
yang di timur itu!"
"Kita hadapi berdua saja!"
"Dasar bandel...!" gerutu Suto sambil mencekal
lengan Menik, kemudian melemparkan tubuh kecil itu ke
ates pohon. Wuuut...! Gusraak...!
Teeb...! Menik berhasil meraih sebuah dahan dipakai
bergelayutan. Kemudian ia mengangkat tubuhnya hingga
bisa duduk di dahan tersebut.
"Kambing congek betul si Suto itu!" gerutunya
dengan jengkel. "Enak saja melemparkan tubuhku ke
sini, sementara dia menghilang dalam waktu singkat.
Awas, nanti kalau sudah selesai dia akan ganti
kulemparkan bukan di atas pohon, tapi di jamban salah
satu rumah!"
Menik terpaksa diam di pohon tersebut. Tapi matanya
dapat untuk memandang ke arah timur dan barat, ia
melihat Elang Samudera sedang menyergap dua
bayangan yang berkeliaran di atap rumah sebelah barat.
Gerakan Elang Samudera cukup cepat dan lincah.
Tanpa banyak tanya lagi ia berkelebat menerjang kedua
bayangan itu dengan tendangan serentak.
Wuuus ..! Prok, buhk...!
Kedua bayangan terjengkang karena tendangan Elang
Samudera. Mereka jatuh ke tanah dalam keadaan
sungguh mengenaskan.
Elang Samudera menyusul turun pada saat salah satu
dari bayangan hitam itu bangkit mencabut goloknya.
Kehadiran Elang Samudera segera disambut dengan
tebasan golok lebar ke arah leher. Wuuuss...!
Elang Samudera segera merundukkan kepala
dilangsungkan dengan gerakan berguling di tanah.
Wuuut...! Dalam sekejap ia sudah berlutut di depan
lawannya. Sebelum sang lawan menyadari
keberadaannya, Elang Samudera sudah lebih dulu
menghantamkan pukulan bertenaga dalam ke arah perut
orang tersebut.
Buuuhk...!
"Uuhg...?!!" orang itu mendelik, langsung
menyemburkan darah dari mulutnya setelah Elang
Samudera bangkit dan lakukan lompatan ke arah
samping.
Weess...!
Pada saat itu, lawan yang satunya lagi sedang
mengerahkan tenaga untuk melepaskan pukulan jarak
jauh bertenaga dalam tinggi. Tapi kaki Elang Samudera
lebih dulu menendang tangan orang tersebut, lalu tubuh
Elang Samudera berputar cepat sehingga tendangan kaki
lainnya mengenai pelipis lawannya.
Plak, praak...!
Tendangan pada pelipis menimbulkan bunyi
berderak, menandakan tulang tengkorak orang tersebut
menjadi retak seketika itu pula. Darah keluar dari hidung
dan telinga, lalu orang itu tumbang tak mampu menjerit
sedikit pun.
Melihat temannya ditumbangkan Elang Samudera,
orang yang tadi menyemburkan darah dari mulutnya
segera menyambar temannya itu. Weess...! Rupanya ia
masih punya sisa kekuatan untuk melarikan diri,
sehingga dalam waktu cepat ia sudah memanggul
temannya dan melesat pergi melalui lorong di antara dua
rumah.
Sementara itu, di sebelah timur Menik melihat
Pendekar Mabuk juga melompat ke atas atap tanpa
timbulkan suara. Kedua bayangan itu sengaja dibuat
kaget atas kemunculan Suto.
Kedua bayangan tersebut segera menyerang Suto
lebih dulu. Tapi dengan cekatan Suto Sinting ambil
bumbung tuaknya dan disabetkan ke depan dari kanan ke
kiri. Wuut...!
Weeess...! Brrruuk...!
Angin sabetan bumbung tuak itu membuat dua sosok
bayangan tersebut terpental bagai terkena tendangan
keras. Mereka jatuh ke tanah tanpa berguling-guling di
atas pohon, sehingga tidak menimbulkan kegaduhan
sedikit pun.
Pendekar Mabuk segera mengejar kedua bayangan
yang jatuh ke tanah. Sampai di depan mereka, Pendekar
Mabuk tak mau beri kesempatan bagi lawannya untuk
coba-coba menyerang lagi. Kaki Suto Sinting melangkah
dengan limbung, badannya menggeloyor bagai orang
mabuk mau jatuh. Tapi tangan kirinya segera
menghantam ke arah dagu lawan dengan kuat. Pruuk...!
"Uuhfff...!" orang itu mengaduh kesakitan karena
giginya rontok setelah terkena sodokan kuat si Pendekar
Mabuk.
Belum sempat orang itu jatuh, Suto Sinting sudah
putar tubuh secara cepat dan kakinya melayang ke arah
lawan yang satunya lagi. Wees...! Plaaak...! Kaki itu
bagaikan melakukan tamparan sangat keras ke wajah
lawan.
"Oouh..!" orang itu memekik tertahan sambil
terpelanting dan jatuh kembali di tanah.
Pada saat itu, orang yang tadi disodok dagunya
menjadi sangat penasaran. Maka dengan menggeram
diiringi mata yang mendelik, ia mencabut kapaknya dan
ingin menghantam kepala Suto dari belakang dengan
kapak itu.
Namun Pendekar Mabuk cukup sigap. Melihat
kelebatan angin aneh di belakangnya, ia langsung
mengayunkan bumbung tuaknya ke belakang. Wuuut...!
Praaak...! Kapak itu beradu dengan bumbung tuak dan
kapak itu akhirnya pecah menjadi tiga bagian. Orang itu
tak tahu bahwa bambu yang dipakai bumbung tuak Suto
itu bukan sembarang bambu, melainkan mempunyai
kekuatan sakti tersendiri, sehingga mampu
menghancurkan kapak baja tersebut.
"Keparat kau!" geram orang yang ditendang
wajahnya tadi. Ia segera lakukan lompatan dengan tubuh
berputar cepat seperti baling-baling. Suto Sinting
sentakkan kaki ke tanah dan tubuhnya segera melesat ke
atas melebihi ketinggian lompat lawannya.
Wuuut...!
Terjangan lawan akhirnya tidak mendapatkan apa-
apa. Ketika Suto Sinting mendaratkan kakinya kembali,
kedua lawan sempat dalam keadaan berjejer dan sama-
sama memunggungi Suto. Sebelum mereka
membalikkan tubuh, Pendekar Mabuk lakukan satu
lompatan kecil dan kedua kakinya menendang punggung
kedua lawan secara bersamaan. Wees...! Duuhk,
duuhk...!
"Oohk...!" salah seorang terpekik dengan suara
tertahan. Ia memuntahkan darah segar dari mulutnya,
karena tendangan Suto tadi mengandung kekuatan
tenaga dalam yang cukup berbahaya. Sedangkan lawan
yang satu juga begitu, bahkan lebih parah lagi; tubuhnya
tersungkur dan wajahnya membentur sebongkah batu
dengan keras. Selain ia memuntahkan darah segar juga
mencucurkan darah dari hidung karena bertabrakan
dengan sebongkah batu tadi.
"Lari...! Cepat lari...!" suara lawan yang satu bagai
ditekan, mirip orang berbisik, ia menarik tangan
temannya yang wajahnya hancur itu. Kemudian, mereka
akhirnya lari secara serempak menerabas semak dan
menghilang di kegelapan kebun kopi yang menjadi batas
wilayah desa.
Sebenarnya Suto Sinting tak ingin lakukan
pengejaran. Tetapi tiba-tiba ia melihat Menik berlari
memburu kedua orang tersebut. Gadis kecil itu ternyata
nekat turun dari pohon dan memperhatikan pertarungan
Suto dari jarak dekat. Begitu melihat kedua lawan
kehabisan tenaga dan terluka cukup berbahaya, Menik
segera mengejarnya dengan membawa dua batu di
tangannya. Mau tak mau Suto Sinting bergerak cepat
untuk menahan pengejaran si gadis kecil itu. Zlaaap...!
*
* *
8
ESOKNYA mereka mendengar kabar bahwa Ketua
Perguruan Macan Iblis marah kepada penduduk Desa
Badaran karena keempat muridnya dilukai. Seorang
pencari kayu datang kepada Ki Lurah Penawu dan
mengabarkan bahwa rombongan dari Perguruan Macan
Iblis sedang bergerak menuju desa tersebut.
"Sekarang mereka sedang mendaki Bukit Liar untuk
menuju kemari, Ki Lurah," kata orang itu dengan wajah
tegang penuh rasa ketakutan.
Pendekar Mabuk yang ikut mendengarkan laporan
tersebut segera berbisik kepada Elang Samudera.
"Dugaanku tak salah, keempat orang semalam adalah
orang-orang Perguruan Macan Iblis. Karena jurus-
jurusnya kulihat mirip dengan gerakan seekor harimau."
"Ya, dan sekarang agaknya Warok Suro Bangsat
ingin mengamuk di desa ini. Aku harus segera menahan
gerakan mereka di Bukit Liar."
"Akan kudampingi!" ujar Suto Sinting sambil
menepuk pundak Elang Samudera, bagai memberi
semangat yang menguatkan jiwa murid Pendeta Darah
Api itu.
"Aku ikut, ya?" ujar Menik kepada Suto.
"Tidak. Kali ini kau harus tetap tinggal bersama Ki
Lurah."
"Aku bisa menjaga diri, Suto!"
"Tidak boleh!" gertak Suto, dan Menik akhirnya
menunduk dengan bibir dimonyongkan, entah hatinya
menggerutu apa, tak ada yang tahu.
Pendekar Mabuk dan Elang Samudera segera
berangkat menghadang gerakan orang Perguruan Macan
Iblis. Dengan menggunakan gerakan cepat yang
mengandung ilmu peringan tubuh, mereka sudah sampai
di lereng Bukit Liar dalam waktu yang terhitung singkat.
Langkah mereka terhenti karena mendengar suara
pertarungan di puncak Bukit Liar.
"Agaknya mereka terhambat oleh sesuatu," gumam
Elang Samudera.
"Kurasa memang begitu. Mungkin mereka
menemukan musuh lama dan melumpuhkannya lebih
dulu, setelah itu baru bergerak ke desa."
"Aku akan melihat lebih dekat melalui atas pohon,
siapa yang bertarung melawan mereka di puncak sana."
Wees...! Elang Samudera melambung tinggi dan
hinggap di dahan sebuah pohon. Dari pohon itu ia
melompat dengan cepat ke pohon yang lainnya hingga
menuju ke puncak bukit.
Pendekar Mabuk menyelinap dari balik semak dan
batang pohon. Gerakannya begitu cepat hingga sulit
diperhatikan oleh siapa pun. Tapi ketika ingin mencapai
puncak bukit, Pendekar Mabuk segera melenting ke
udara dan kakinya menapak pada dedaunan pohon.
Orang biasa akan jatuh menapak di dedaunan pohon itu,
tapi Suto Sinting yang mempunyai ilmu peringan tubuh
mendekati sempurna bahkan mampu berdiri di atas daun
yang paling muda sekalipun.
Wuuut...! Elang Samudera mendekatinya. Tapi tak
bisa berdiri di atas daun. Ia berdiri di dahan tak jauh dari
Pendekar Mabuk. Mereka menyaksikan pertarungan dari
atas pohon rindang itu.
Sekitar lima belas orang mengurung tanah kosong
yang dipakai untuk arena pertarungan. Saat itu, seorang
anak buah Warok Suro Bangsat sedang berhadapan
dengan seseorang yang memakai pakaian hitam
compang-camping. Sekujur tubuhnya penuh lumpur
kering, termasuk rambutnya yang panjang sepunggung
juga bercampur dengan lumpur. Wajah orang itu cukup
dingin, berkesan menyeramkan. Matanya kecil,
memancarkan kebengisan, dagunya menjorok ke depan
dengan kumis tipis namun panjang hingga melewati
dagu.
"Elang Samudera, siapa orang berkuku panjang
seperti leak itu?!" bisik Suto Sinting.
"Kalau tak salah, dia itulah yang bernama Tapak
Siluman. Ki Lurah Penawu pernah melihatnya belum
lama ini dan menceritakan ciri-cirinya kepadaku."
"Ooo...," Suto Sinting manggut-manggut,
perhatiannya semakin dipusatkan ke pertarungan.
"Lalu, orang yang memakai pakaian merah dengan
kepala dibungkus kain batik biru itu siapa?"
"O, kalau itu aku tahu. Dia yang bernama Warok
Suro Bangsat, Ketua Perguruan Macan iblis."
Pendekar Mabuk menggumam sambil manggut-
manggut memandangi orang bertubuh tinggi-besar,
berkumis lebat melintang, mengenakan gelang binggel
emas di kedua kakinya, dan memakai subang di telinga
kirinya. Ia tampak menyeramkan dan berwibawa dengan
cambuk terselip di pinggangnya.
Ketika seorang anak buahnya yang maju melawan
Tapak Siluman itu dalam keadaan terdesak serangan
lawan, Warok Suro Bangsat segera mencabut
cambuknya. Cambuk itu dilecutkan ke leher muridnya
sendiri.
Ctaaarrr...!
"Aaaahg...!" sang murid mengejang dengan leher
robek, kejap kemudian tumbang tak bernyawa lagi.
"Daripada muridku menjadi korbanmu, lebih baik dia
kubunuh sendiri!" ucap Warok Suro Bangsat dengan
suaranya yang besar dan menyeramkan.
"Kebo Gadung, maju kau!" perintah Warok Suro
Bangsat.
Pendekar Mabuk terperanjat sedikit melihat
kemunculan seorang lelaki berbaju hitam dan bercelana
merah, karena ia kenal dengan wajah angker orang
tersebut yang tak lain adalah Kebo Gadung.
"O, rupanya Kebo Gadung murid Warok Suro
Bangsat?! Pantas dia bernafsu sekali ingin menculik
Menik kala itu," ucap Suto pelan kepada Elang
Samudera.
"Setahuku, biasanya siapa pun yang diberi tugas oleh
Ki Warok Suro Bangsat, jika gagal akan dihukum mati.
Tapi mengapa orang bernama Kebo Gadung itu tidak
dibunuhnya, ya?"
"Mungkin Ki Warok masih ingin memanfaatkan
tenaga Kebo Gadung, sehingga orang itu tidak dijatuhi
hukuman mati. Tetapi aku yakin, jika kali ini Kebo
Gadung gagal melawan Tapak Siluman, maka ia akan
dibunuh seperti temannya yang tadi."
"Kita lihat saja pertarungan itu...."
Kebo Gadung mengeluarkan jurus tendangan
beruntun. Dari kakinya keluar sinar hijau patah-patah
seperti lempengan bundar. Wut, wut, wut, wut...!
Clap, clap, clap clap...!
Wuub...! Sosok Tapak Siluman hilang seketika.
Tetapi bekas telapak kakinya masih kelihatan di tanah.
Bekas telapak kaki itu bertambah dan bertambah terus
mengelilingi Kebo Gadung.
"Dia mengelilingimu, Kebo Gadung!" seru salah
seorang murid Warok Suro Bangsat.
Kebo Gadung segera mencabut goloknya dan
menebaskan ke sekelilingnya. Gerakan cepat itu
menimbulkan bunyi dengung yang mengganggu
pendengaran.
Tapi tak satu pun tebasan golok kenai sasaran. Kebo
Gadung seperti menebas angin dengan tenaga penuh.
Kejap berikut, sosok Tapak Siluman menampakkan
diri lagi. Bluub...! Kemunculannya membuat Kebo
Gadung terkejut. Dan pada saat terkejut itulah tiba-tiba
Kebo Gadung dihantam sinar merah berbentuk bola api.
Weess...!
Sinar merah berbentuk bola api itu keluar dari telapak
tangan Tapak Siluman. Gerakan sinar begitu cepat,
hingga tak memungkinkan dihindari atau ditangkis oleh
Kebo Gadung.
Blesss...! Sinar itu menghantam dada Kebo Gadung,
lalu tembus ke belakang dan menghantam tubuh
rekannya yang ada di belakang Kebo Gadung. Blees...!
Di belakang orang itu ada lagi seorang murid Ki Warok
Suro Bangsat yang juga terkena tembusan sinar merah.
Bleess...!
Dalam satu gebrakan, tiga nyawa pun melayang.
Tubuh mereka bagaikan lenyap seketika menjadi uap.
Yang tersisa hanya bagian dalam tubuh; usus, jantung,
paru-paru, limpa, dan sebagainya serta bagian kepala
mereka masih utuh. Namun jelas sudah tak mungkin bisa
dipakai bernapas lagi.
Melihat tiga orang tumbang dalam keadaan
mengerikan, murid-murid Ki Warok menjadi tegang dan
dicekam kecemasan. Tetapi sang Ketua perguruan
menjadi berang. Matanya lebar memandang lawannya
dengan bengis.
Elang Samudera yang terpaku melihat kematian Kebo
Gadung dan dua temannya itu, segera sadar setelah
ditepuk punggungnya oleh Pendekar Mabuk, ia
menggeragap dan hampir jatuh dari tempat pijakannya.
"Itukah yang dimaksud jurus 'Bajang Rampak'?!"
tanya Suto lirih.
"Kurasa... kurasa memang Tapak Siluman tadi
menggunakan ilmu 'Bajang Rampak'-nya. Aku pernah
mendengar ciri-ciri korban ilmu 'Bajang Rampak', yang
meninggalkan kepala serta bagian dalam tubuh
korbannya."
"Kenapa wajahmu pucat, Elang Samudera? Kau takut
atau memang belum sarapan?!" ledek Pendekar Mabuk.
Elang Samudera segera nyengir malu.
"Kubayangkan seandainya dia menyerangku dengan
ilmu 'Bajang Rampak', rasa-rasanya aku sukar
menghindari atau menangkis kecepatan sinar merahnya
tadi, Suto."
"Kalau begitu, biar aku saja yang menghadapinya.
Kau tetap saja di sini menjadi penonton yang baik.
Hanya saja, kalau nanti aku mati melawannya, tolong
sampaikan salam rinduku kepada Dyah Sariningrum,
calon istriku di Pulau Serindu itu. Dan sampaikan juga
pesanku kepada Menik, agar ia menyampaikan salam
kangenku kepada kedua kakaknya; Dewi Hening dan
Dewi Kejora."
"Mana mungkin aku bisa menyampaikan salammu
kepada mereka?"
"Kenapa tidak?"
"Karena kalau kau mati di tangan si Tapak Siluman,
aku pun tak mau pulang membawa nyawa. Aku harus
melawannya walau pada akhirnya nanti aku pun mati
sepertimu. Hanya saja... sebaiknya kita memang tak
perlu melawan dia, Suto. Dia bukan tandingan kita.
ingat, kita belum punya istri, dan belum pernah
merasakan nikmatnya dikerok sang istri saat kita masuk
angin."
"Sudah, sudah... jangan melantur," kata Suto sambil
mengulum senyum. "Kita lihat saja, agaknya kali ini
Warok Suro Bangsat maju sendiri. Apakah dia dapat
unggul melawan Tapak Siluman?"
"Kurasa ini hanya pemborosan nyawa, Suto!" ujar
Elang Samudera sambil matanya memandang ke arah
pertarungan lagi.
Warok Suro Bangsat memainkan cambuknya, ia
sempat berseru menuding Tapak Siluman dengan
suaranya yang kasar.
"Tapak Siluman...! Aku tahu kau punya ilmu
unggulan yang bernama 'Bajang Rampak', tapi jangan
anggap aku dapat kau lumpuhkan seperti murid-muridku
tadi! Ilmu 'Bajang Rampak' tak akan bisa menembus
tubuhku, karena aku telah memakan otak anak-anak."
"Aku tahu kau hanya menggertakku, Suro Bangsat!"
ujar Tapak Siluman dengan suara seraknya. "Aku yakin
kau belum memakan otak anak-anak. Kini memang
saatnya nyawamu kucabut kecuali jika kau mau tunduk
dan berlutut di depanku; mengakui bahwa akulah tokoh
paling sakti dan berhak menjadi penguasa rimba
persilatan!"
"Cuih...!" Warok Suro Bangsat meludahi wajah
Tapak Siluman. Tentu saja hal itu membuat Tapak
Siluman menjadi murka. Penghinaan itu benar-benar
membakar amarah si Tapak Siluman dan tak bisa
bersabar lagi.
Maka ketika Warok Suro Bangsat melecutkan
cambuknya ke arah Tapak Siluman, ctaarr...! Tapi
cambuk itu segera disambut oleh tangan kiri Tapak
Siluman. Wuuurt...! Tali itu digenggam dengan tenaga
penuh hingga sukar ditarik lagi. Kemudian tangan
kanannya yang berkuku panjang itu menyentak ke depan
dan keluarlah bola api sebesar genggaman dari telapak
tangan itu. Weeess...!
Sinar bola api merah itu bergerak sangat cepat, dan
tak bisa dihindari lagi oleh Warok Suro Bangsat.
Akibatnya dalam sekali gebrak saja Warok Suto Bangsat
yang menyandang gelar sebagai guru di Perguruan
Macan Iblis itu, mengejang seketika saat sinar merah
kenai perutnya. Bleess...!
Bles, bless, bless, bleess...!
Sinar itu menembus ke belakang Warok Suro
Bangsat, kenai empat orang yang berdiri sejajar dengan
guru mereka. Dalam satu gebrakan saja sudah lima orang
menjadi korban ilmu "Bajang Rampak', dan jenazah
mereka mengalami nasib yang sama dengan jenazah
Kebo Gadung.
Warok Suto Bangsat terkapar di tanah dalam keadaan
tinggal kepala dan bagian dalam perutnya. Melihat sang
Guru tewas, para murid menjadi lebih ketakutan lagi.
Mereka segera melarikan diri agar tidak menjadi korban
keganasan ilmu 'Bajang Rampak' itu.
Tapi agaknya kemarahan Tapak Siluman tak dapat
ditahan lagi. Kini ia lepaskan kembali jurus 'Bajang
Rampak' ke arah para murid Perguruan Macan Iblis.
104 TAPAK SILUMAN
Claap, bless, bless, bless...!
Weeeut, claaap...! Bleess, bleess... bleess...!
"Aaaaa...!" beberapa orang yang masih selamat
menjerit keras-keras melihat teman-temannya tumbang
tanpa raga lagi. Sekitar empat atau lima orang murid
Warok Suro Bangsat masih punya keberuntungan untuk
melarikan diri. Tapi si Tapak Siluman segera memburu
mereka dengan melepaskan ilmu 'Bajang Ram-pak'-nya
beberapa kali.
Zlaaap...! Sekelebat bayangan datang. Bayangan itu
tak lain adalah Pendekar Mabuk yang meninggalkan
tempat persembunyiannya tanpa pamit kepada Elang
Samudera. Karenanya, murid Pendeta Darah Api itu
sempat terperangah kaget melihat Suto ternyata sudah
ada di puncak bukit, di belakang si Tapak Siluman.
"Jangan umbar murkamu kepada mereka, Tapak
Siluman!" seru Suto Sinting yang membuat Tapak
Siluman balikkan badan. Matanya yang kecil
memandang tajam kepada Suto Sinting. Rambutnya
yang panjang dan lengket karena lumpur itu tak bisa
meriap walau diterpa angin, ia hanya menggeram dengan
langkah pelan dekati Suto. Kedua tangannya bergerak-
gerak mekar, seakan melemaskan jari-jari untuk
mencengkeram lawan memakai kuku-kukunya itu.
"Siapa kau, Bocah Dungu?!"
"Aku Suto Sinting yang bergelar Pendekar Mabuk.
Akulah murid tunggal si Gila Tuak dan Bidadari
Jalang!"
Tapak Siluman menggeram setelah terperanjat
sekejap.
"Kebetulan, pucuk dicinta ulam pun tiba. Aku
memang sedang mencari si Gila Tuak dan ingin
membantainya. Semua murid si Gila Tuak akan kuhabisi
riwayatnya, biar tak ada orang yang lebih sakti lagi
dariku!"
"Kalau begitu, akulah lawanmu, Tapak Siluman!"
ujar Suto dengan tegas tapi tetap kelihatan kaiem.
"Keparat busuk! Masih ingusan berani buka mulut di
depanku, hah?! Heeeah..!"
Lima kuku dari tangan kiri Tapak Siluman
mengeluarkan lima baris sinar hijau lurus, sasarannya ke
arah dada Suto Sinting. Dengan cekatan Suto
melawannya sambil melompat mundur selangkah.
Seberkas sinar lebar warna biru besar melesat dari
telapak tangan Suto. Itulah jurus 'Tangan Guntur' yang
cukup berbahaya. Sinar biru lebar itu seakan menjadi
perisai atas datangnya lima sinar hijau dari kuku-kuku
runcing tersebut. Kedua sinar itu pun akhirnya
bertabrakan di pertengahan jarak.
Weeesst...! Blub, blegaaarr...!
Dentuman dahsyat terjadi bagai ingin membelah
bukit tersebut. Seluruh pepohonan berguncang, bahkan
ada yang tumbang berserakan.
Gelombang ledakan itu begitu kuatnya sehingga
dapat melemparkan tubuh Suto Sinting ke bawah pohon.
Weess...! Brrukk...!
"Auuhk...!" Suto Sinting menyeringai kesakitan.
Tubuhnya tercabik-cabik mengenaskan sekali.
Pendekar Mabuk cepat-cepat membuka bumbu
tuaknya dan mendongak untuk menenggak tuak tersebut.
Namun baru saja tuak tertelan beberapa teguk, tiba-tiba
Tapak Siluman lepaskan pukulan jarak jauhnya dan
mengenai bumbung tuak itu. Wees...! Baaang...!
Bumbung tuak terpental karena terlepas dari
pegangan Suto. Sebagian tuaknya tumpah berhamburan
ke mana-mana. Pendekar Mabuk sempat terperanjat
kaget dan menjadi tegang.
Tapak Siluman segera menyerangnya dengan satu
lompatan secepat kilat. Weess...! Pendekar Mabuk
bergerak limbung ke samping memainkan jurus
mabuknya. Tapi ternyata terjangan kaki Tapak Siluman
berbelok arah, akibatnya kepala Suto Sinting tertendang
keras-keras oleh lawannya. Duuhk...!
"Aaauow...!" pekik Suto Sinting karena merasa
kepalanya nyaris pecah. Tendangan itu mengandung
kekuatan tenaga dalam cukup besar. Untung Suto
Sinting sempat menyalurkan hawa murninya ke kepala
pada saat sebelum terkena tendangan, sehingga tulang
kepalanya masih utuh. Hanya saja, selain ia terlempar
delapan langkah jauhnya, ia juga mengalami luka dalam.
Darah kental mengucur dari hidung dan telinga Suto
Sinting. Pandangan matanya sempat menjadi gelap
sesaat.
Tapi saat ia bangkit berlutut, ia melihat sekelebat
sinar kuning menerjangnya. Sinar kuning itu berasal dari
kedua kuku Tapak Siluman yang dikibaskan bagai
mencakar. Wees...! Claap...!
Dengan satu kaki menyentak ke tanah, tubuh Suto
Sinting melambung ke depan dan berjungkir balik di
udara. Wuk, wuk... ! Kemudian ia mendaratkan kakinya
dengan sigap, sedikit merendah ke bawah. Jleeg ..!
Tapak Siluman berada di arah sampingnya. Kepala
Pendekar Mabuk berpaling ke arah kiri dengan kibasan
cepat. Darah yang keluar dari hidungnya memercik
tanpa dipedulikan lagi. Sementara itu, bunyi ledakan
terdengar akibat sinar kuning tadi menghantam sebuah
pohon, dan pohon itu langsung pecah menjadi serpihan
kecil dari akar sampai puncaknya.
"Gila! Kalau tubuh Suto yang kena sinar kuning itu,
pasti dia hancur menjadi serpihan yang tak bisa
dipunguti lagi!" pikir Elang Samudera dengan tegang, ia
segera mencabut pedangnya untuk lakukan serangan
sewaktu-waktu, ia tak ingin tinggal diam jika Suto
Sinting sampai terdesak dan sangat berbahaya.
Bluub...! Tapak Siluman menghilang dari pandangan
Suto Sinting. Tetapi bekas telapak kakinya tampak
berjalan mendekati Suto.
"Hiah...!" Suto lakukan plik-plak ke belakang
beberapa kali untuk mengatur jarak dengan lawan. Plak,
plak, plak, plak...! Ketika ia berhenti berjungkir baiik
secara plik-plak, tangan kanannya segera mengusap
kening. Di kening Pendekar Mabuk terdapat noda merah
yang tak bisa dilihat oleh sembarang orang kecuali yang
berilmu tinggi. Dengan mengusap tanda merah itu, maka
tubuh Suto menjadi lenyap karena masuk ke alam gaib.
Elang Samudera semakin terperanjat tegang melihat
Suto lenyap, ia tak bisa melihat bahwa Suto dan Tapak
Siluman sama-sama beradu kekuatan di alam gaib.
"Edan! Benar-benar sinting ilmunya Suto itu. Tak
kusangka ia bisa lenyap begitu saja. Dan... oh, aku
seperti mendengar suara letupan-letupan kecil. Apa yang
dilakukan Suto dengan si Tapak Siluman itu?!"
Tiba-tiba letupan kecil yang didengar Elang
Samudera itu berubah menjadi ledakan besar.
Jegaarrr...!
Bukit berguncang, tanah lereng menjadi longsor
sebagian. Pepohonan pun nyaris dibuat tumbang
semuanya. Elang Samudera sendiri hampir saja
terpelanting jatuh dari atas pohon kalau tidak segera
menyambar dahan di atasnya.
Kejap berikutnya, Elang Samudera melihat sesosok
tubuh terlempar bagai dibuang dari langit.
Brrruk...!
"Oh...?! Tapak Siluman berdarah?!" Elang Samudera
memandang dengan mata lebar. Ia melihat dengan jelas
mulut si Tapak Siluman keluarkan darah kental, wajah
angkernya menjadi biru samar-samar.
"Pasti ia terkena pukulan Suto!" pikir Elang
Samudera. "Tapi... di mana Suto? Kenapa masih tidak
kelihatan? Apakah ia juga semakin terluka parah?!"
Beberapa saat kemudian, wujud sosok Pendekar
Mabuk muncul begitu saja bagaikan tersingkap dari
lapisan mega putih. Suto dalam keadaan segar. Luka
yang tercabik-cabik itu sudah lenyap, karena ia tadi
sempat meneguk tuak dari bumbung bambu sakti itu.
Tapak Siluman menggeram menyeramkan dengan
mata berubah menjadi merah. Kedua tangan terangkat ke
atas dengan kuku-kuku runcing siap mencakar. Dari
kuku ke kuku yang lainnya tampak mengeluarkan
cahaya kecil semacam aliran petir yang berlompatan siap
dilemparkan.
Pada saat itu, Pendekar Mabuk segera sentakkan
tangannya ke depan dalam keadaan telapak tangan
miring. Sentakan itu mengeluarkan pisau-pisau kecil
bercahaya emas.
Zlap, zlap, zlap, zlap, zlap, zlap...!
Tapak Siluman berkelit menghindari pisau-pisau
kecil bercahaya emas yang kecepatannya melebihi
kecepatan gerak dari jurus 'Bajang Rampak'-nya. Tapi
baru saja ia berjingkat ingin lakukan lompatan, tiba-tiba
ulu hatinya telah terserang pisau-pisau bercahaya emas
itu.
Zrrruuubb...! Seluruh pisau kecil yang jumlahnya
puluhan biji itu menancap di ulu hati Tapak Siluman.
Akibatnya, gerakan Tapak Siluman terhenti sampai di
situ seperti patung hidup.
Jurus 'Manggala' pemberian Gusti Kartika Wangi,
calon mertua Suto, telah digunakan untuk mengakhiri
riwayat Tapak Siluman. Karena sejak saat itu, Tapak
Siluman tak bisa bergerak sedikit pun. Bahkan ketika
angin berhembus agak kencang, tubuh Tapak Siluman
menjadi berhamburan dan akhirnya hancur tak berbentuk
lagi.
Ternyata ketika pisau-pisau warna emas itu menancap
di ulu hati Tapak Siluman, tokoh tua itu seketika telah
menjadi abu, namun masih menggumpal dalam bentuk
raga aslinya. Dan setelah tertiup angin, abu itu
berhamburan lalu hancur tak berbentuk lagi.
"Luar biasa kehebatan jurusmu, Suto!" ucap Elang
Samudera dengan kekaguman yang tulus.
Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum, tak
tampak membanggakan diri. Ia segera melangkah
mencari bumbung tuaknya. Setelah didapatkan, ia pun
segera menenggak tuak yang masih tersisa di dalam
bumbung.
"Sial, hanya tersisa lima teguk lagi!" gerutunya.
Elang Samudera tertawa. Tenang, nanti kusuruh Ki
Lurah Penawu memenuhi bumbung tuakmu. Dia akan
sangat kegirangan jika mendapat kabar bahwa Tapak
Siluman telah berhasil dilenyapkan oleh Pendekar
Mabuk."
"Pendekar Mabuknya tak perlu disebutkan, yang
penting sebutkan kemurnian tuak yang harus diisikan ke
bumbung ini."
"O, tentu, tentu...! Mari kita kembali ke Desa
Badaran!"
"Baik. Karena aku harus membantu Menik mencari
Kejora, kakaknya. O, ya... katakan kepada warga desa
bahwa anak-anak mereka sekarang aman dari gangguan
siapa pun. Tapi... anak gadis mereka harus hati-hati,"
bisik Suto.
"Kenapa?"
"Sebab kau pasti akan mengganggu mereka!"
"Ha, ha, ha, ha...!" Elang Samudera tertawa terbahak-
bahak penuh kegembiraan. Mereka melangkahi mayat-
mayat orang Perguruan Macan Iblis, lalu berkelebat
pulang ke Desa Badaran.
SELESAI

Pendekar mabuk
Segera terbit:
GAIRAH SANG RATU
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewikz.byethost22.com
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com