Pendekar Mabuk 73 - Misteri Tuak Dewata


1
WAJAH tua berpakaian serba hijau itu terbaring
dengan lemas. Warna wajah yang pucat menandakan
bahwa tokoh tua berambut putih sepundak itu
sedang menderita sakit. Jubah kuningnya sengaja
dilepas dan digantungkan pada sebatang pilar batu
dalam gua tersebut. Tokoh tua yang biasanya

mengenakan ikat kepala hitam dengan kumis dan
jenggot putih rata dan membawa tongkat hitam
sedada itu tak lain adalah Ki Sabawana, yang dikenal
dengan nama si Gila Tuak.
"Gila Tuak sakit?! Ah, yang benar saja kau
bicara?! Masa' tokoh tertinggi di dunia persilatan itu
bisa sakit?!"
"Buktinya saudara seperguruannya yang dikenal
dengan nama Bidadari Jalang itu sedang
kebingungan mencari murid si Gila Tuak."
"Murid si Gila Tuak itu kan yang dikenal dengan
nama Suto Sinting alias si Pendekar Mabuk?!"
"Iya. Memang benar. Tapi sampai sekarang si
Pendekar Mabuk belum tahu kalau gurunya sedang
sakit parah."
"Apa penyebab sakitnya si Gila Tuak itu." 
"Mana kutahu?! Aku bukan tabib!" 
"Maksudku, siapa tahu kau mendengar kabar
tentang penyebab sakitnya si Gila Tuak."
"Menurut ucapan Bidadari Jalang yang kudengar
secara sembunyi-sembunyi, Gila Tuak sakit karena
 kebanyakan umur."
"Husy! Mana ada orang sakit kok kebanyakan
umur?!"
"Lho, iya... bayangkan saja, usianya sekarang
sudah mencapai dua ratus lima belas tahun, tapi
masih awet hidup dan sering mengadakan pertemuan
dengan para tokoh silat aliran putih membahas ini-itu
yang seharusnya tidak dipikirkan olehnya. Mungkin
akibat boros pikiran, maka kesehatannya yang sudah
tua itu makin merapuh dan jatuh sakitlah dia...."
Tak heran jika sakitnya Gila Tuak menjadi bahan
pembicaraan para tokoh di rimba persilatan. Sebab
guru utama sang Pendekar Mabuk itu adalah tokoh
tertinggi di rimba persilatan yang dulu pernah
melalang buana dan mencapai masa kejayaannya
sebagai tokoh sakti tak terkalahkan.  Namanya
tercantum dalam deretan teratas para tokoh sakti
aliran putih. Setelah itu baru menyusul nama saudara
seperguruannya yang bernama Nawang Tresni.  
Dulu perempuan cantik bermata jalang yang
punya ilmu awet muda itu dikenal sebagai tokoh
aliran hitam dengan nama Bidadari Jalang. Namun
sejak ia ikut mengangkat Suto Sinting sebagai
muridnya, ia berubah sikap dan kini masuk dalam
aliran putih, sejalan dengan saudara seperguruannya;
si Gila Tuak itu.
Tidak semua orang tahu secara pasti, apa
penyebab sakitnya si Gila Tuak itu. Yang jelas, sudah
dua purnama Gila Tuak tak dapat bangun dari
pembaringannya. Bahkan ia tak dapat bicara selancar
biasanya. Sesekali ia memang bicara kepada Bidadari
Jalang, tetapi dengan suara cadel dan lemah sekali.
Bahkan pandangan matanya menjadi rabun, tak bisa
memandang dengan jelas.
 "Ssi... siafa entu...?" Gila Tuak mencoba bicara
saat pandangan matanya yang buram menangkap
bayang-bayang sosok manusia mendekatinya.
"Siia... siafa entu...?" ulangnya lagi, karena tak
mendapat jawaban.
"Aku...!"
"Siafa...?"
"Bidadari Jalang!"
"Oooh... anu ya?"
Bidadari Jalang menjadi iba, hampir menitikkan
air mata melihat Gila Tuak yang dulu dianggap musuh
dan sekarang sudah dianggap kakak kandung sendiri
menderita sakit separah itu. Tetapi agaknya
perempuan berjubah ungu muda yang masih punya
tubuh semok dan dada  montok menggiurkan tiap
lelaki itu tak mau mudah menitikkan air mata.
Sekalipun hatinya teriris pilu melihat keadaan Gila
Tuak, ternyata Bidadari Jalang masih bisa
mengendalikan gejolak dukanya dengan satu tarikan
napas panjang sehingga tetap tenang. 
"Uto ana...? Uto ana, Awang?"
Maksudnya, "Suto mana? Suto maha, Nawang?!"
Bidadari Jalang paham maksud bahasa cadel si
Gila Tuak itu. la segera menjawab dengan mengusap
kepala si Gila Tuak untuk menyingkirkan rambut putih
dari keningnya.    
"Aku belum bisa bertemu dengan Suto,
Sabawana."
"Ooh, ooh... dasal mulit songong...!" Ki Sabawana
menggerutu di sela engahan napasnya yang
memberat. "Kalo dia atang, pukul saza kepalanya,
biar bocol!"
"Sabarlah, Sabawana.... Murid kita memang tak
tahu kalau keadaanmu begini. Tapi sudah kusebar
 kabar kepada para sahabat kita tentang sakitmu, dan
Resi Pakar Pantun serta beberapa sahabat kita
lainnya sedang mencari di mana Suto Sinting berada.
Mereka akan memberi kabar dan menyuruh Suto
pulang ke Jurang Lindu ini secepatnya."
"Uuh, uuh, uuuh... usahakan cemat-cemat Uto
datang..."
"Siapa yang menjadi camat?" 
"Cemat...! Oblok amu! Cemat itu altinya cefat!"
"Ooo, usahakan agar Suto cepat datang?!" 
"Iya, gitu. Oblok...!" maki si Gila Tuak. Wibawanya
sudah hilang, kharismanya  pun lenyap. Penyakit itu
seakan melenyapkan jati diri si Gila Tuak yang
biasanya tampil gagah, wibawa dan berkharisma
sekali itu.
Bidadari Jalang memaklumi keadaan tersebut,
sehingga ia tak merasa tersinggung dikatakan 'goblok'
dan tak mengecam sikap seperti anak kecil yang ada
pada Ki Sabawana. Bidadari Jalang cukup sabar
melayani si Gila Tuak, karena tak ada orang lain yang
bisa melayani dan merawat si Gila Tuak kecuali
dirinya.
Betapapun dulu Bidadari Jalang merasa bersaing
dengan Gila Tuak, namun sekarang ia merasa sedih
jika harus kehilangan Gila Tuak. Memang, mereka
sebenarnya mempunyai guru masing-masing. Gila
Tuak mempunyai guru yang bernama Eyang
Purbapati, dan Bidadari Jalang mempunyai guru Nini
Galih. Tetapi antara Eyang Purbapati dan Eyang Nini
Galih menjalin hubungan cinta hingga mereka hidup
sebagai suami istri.
Sedangkan Eyang Purbapati dan Eyang Nini Galih
itu mempunyai satu guru yang bernama Eyang
Wijayasura, tokoh sakti yang menjelma menjadi
pohon bambu dan bambu itu sekarang menjadi
bumbung tuaknya Suto Sinting. Ada pun Eyang
Wijayasura adalah cucu dari tokoh kuno yang kesohor
sangat sakti dan dikenal dengan nama Eyang Agung
Cipta Mangkurat, dan sekarang menjelma menjadi
sebuah pedang pusaka bernama Pedang Kayu Petir,
(Baca silsilah guru Suto Sinting dalam serial Pendekar
Mabuk, episode: "Pedang Guntur Biru" dan "Pedang
Kayu Petir").
Eyang Agung Cipta Mangkurat menurunkan
seluruh ilmunya kepada sang cucu, Wijayasura.
Sedangkan Wijayasura menurunkan seluruh ilmunya
kepada kedua muridnya, yaitu Purbapati dan Nini
Galih. Suami-istri ini sebenarnya mempunyai tiga
anak: Durgawati, Begawan Sangga Mega dan Raja
Nujum. Tetapi ternyata dari ketiga anak itu tak ada
yang kuat menerima seluruh ilmu Purbapati dan Nini
Galih, sebab ilmu itu sudah  berkembang menjadi
lebih dahsyat lagi. Akhirnya, Purbapati punya murid Ki
Sabawana alias Gila Tuak, yang kuat menerima
seluruh ilmu warisan Purbapati. Sedangkan Nini Galih
mempunyai murid Nawang Tresni alias Bidadari
Jalang, yang ternyata kuat juga menerima seluruh
ilmu Nini Galih itu.
Kini seluruh ilmu  yang ada pada  Gila Tuak dan
Bidadari Jalang diturunkan kepada pemuda tanpa
pusar yang punya wajah ganteng dan menawan hati
setiap  wanita, yaitu Suto Sinting alias Pendekar
Mabuk. Ternyata Suto Sinting mampu menerima dua
warisan ilmu yang sudah dikembangkan sebegitu
dahsyatnya. Kekuatan Suto menerima seluruh ilmu
itu dikarenakan ia terlahir tanpa pusar.
Manusia tanpa pusar ditakdirkan mempunyai
kekuatan yang luar biasa dibanding manusia yang
 punya pusar. Kesempatan menurunkan seluruh
ilmunya itu sangat sulit didapatkan oleh Gila Tuak
maupun Bidadari Jalang. Hanya bocah tanpa pusar
yang sanggup menerima kedahsyatan ilmu mereka.
Lalu, mereka pun berebut bocah tanpa pusar ketika
mereka menemukan Suto Sinting ketika diketahui
bahwa perut Suto ternyata datar tanpa lubang pusar
sedikit pun. Akhirnya mereka sepakat untuk sama-
sama menurunkan ilmu mereka kepada Suto, dan
saat itulah Bidadari Jalang masuk dalam aliran putih,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalami episode: "Bocah
Tanpa Pusar").
Suto Sinting menganggap Gila Tuak bukan saja
sebagai guru, dan Bidadari Jalang bukan saja sebagai
Bibi Guru, tetapi kedua tokoh sakti itu sudah
dianggap sebagai ayah dan ibunya sendiri. Sebab
sejak berusia sekitar tujuh tahun, Suto Sinting sudah
tidak mempunyai ayah-ibu dan keluarga lain. Seluruh
keluarganya dibantai habis oleh si Kombang Hitam,
tokoh sesat yang menjadi Ketua Begal Cinta. Di
tangan si Gila Tuak dan Bidadari Jalang, Suto dirawat
dan diasuh, lalu dibesarkan menjadi seorang pemuda
yang mempunyai kesaktian gila-gilaan. Karena
ilmunya yang gila-gilaan itulah, maka nama asli Suto
Wijaya, diganti dengan nama Suto Sinting. Yang
sinting bukan orangnya, tapi ilmunya.
Kabar sakitnya Gila Tuak diterima Suto Sinting
dari seorang tokoh tua aliran putih yang dikenal
dengan nama Ki Sanupati, atau lebih dikenal dengan
julukan si Tua Bangka.
Waktu itu, Tua Bangka sedang berkunjung ke
rumah adiknya yang bernama si Kusir Hantu. Pondok
kediaman Kusir Hantu ada di Lembah Seram. Kala
itu, Suto Sinting sedang berada di semak-semak
bersama gadis yang telah diselamatkan dari kutukan
Nyai Ronggeng Iblis itu.
Andai saja saat itu Suto gagal merebut Bunga
Kecubung Dadar, tentunya gadis cantik yang bernama
Tenda Biru itu tetap menjadi gadis tanpa raga. la
hanya akan mempunyai suara tanpa dapat dinikmati
kecantikannya. Karenanya, gadis cantik berambut
pendek depan dan belakangnya panjang sepinggang
sangat berterima kasih kepada Pendekar Mabuk.
"Seandainya aku tak bertemu denganmu,
barangkali sampai sekarang aku masih seperti hantu
yang bergentayangan," ujar Tenda Biru yang
mengenakan jubah tanpa lengan warna biru itu.
"Seandainya kau hantu, kau adalah hantu yang
paling cantik di antara para hantu dan setan
gentayangan," puji Pendekar Mabuk membuat si
gadis berdada montok itu mencibir.
"Hmm...! Rupanya kau bukan saja berilmu tinggi
namun juga pandai merayu wanita, Bocah Sinting."
"Aku tidak merayu, Tenda Biru. Dengan setulus
hati kukatakan, kau memang cantik. Matamu
membelalak indah, bibirmu ranum menggemaskan,
hidungmu mancung, dadamu juga mancung...."
"Ih, kau ini!" Tenda Biru tersipu, ia menyenggol
lengan Suto dengan pundaknya. Pendekar Mabuk
tertawa lirih, lalu merangkul si gadis dari samping kiri.
Saat itu mereka masih duduk di bawah pohon
bersemak rapat, menikmati cahaya rembulan yang
menyinari ke bumi bagai menaburkan suasana
romantis.
"Dingin sekali malam ini," ucap Tenda Biru pelan.
"Kau dingin juga?"      
"Ya. Tapi sekarang agak hangat."      
"Kenapa bisa begitu?"
 "Karena tubuhku rapat dengan tubuhmu," sambil
Suto mempererat pelukannya.
"Ya, memang agak hangat. Sayang kehangatan ini
tak bisa kumiliki selamanya. Aku punya firasat, bahwa
keindahan seperti saat ini akan pergi dariku, cepat
atau lambat." 
"Mengapa kau tak menikah saja, Tenda Biru. Kau
akan memiliki kehangatan dan keindahan seperti ini
jika kau menikah."
"Belum ada lelaki yang mampu meluluhkan
kekerasan hatiku, menyinari di bumi bagai
menaburkan suasana romantis kecuali kau, Bocah
Sinting. Pendekar mana pun tak pernah ada yang
mampu membuatku sebahagia ini. Seandainya ada,
mungkin sudah sejak dulu aku menjadi seorang istri." 
"Kau harus berusaha melunakkan hatimu sendiri
agar tidak menjadi kendala dalam perjalanan cintamu
mendatang."
"Tidak bisa, Bocah Sinting. Pria yang kuidam-
idamkan adalah pria sepertimu. Sedangkan di dunia
ini, pria yang sepertimu tidak ada kecuali kau
seorang, Bocah Sinting," ucap Tenda Biru lirih, sambil
matanya memandangi wajah tampan Suto hingga
hembusan napasnya dari hidung terasa menghangat
di sekujur wajah pemuda itu.
Akhirnya pemuda itu pun memandang Tenda Biru
dengan lembut. Tutur katanya pun bernada bisik,
seakan terlontar dari getaran hatinya yang berbunga-
bunga.  
"Kau akan menjadi seorang istri yang membuat
suami betah tinggal di rumah, Tenda Biru." 
"Kenapa begitu?"
"Kau tidak membosankan. Kecantikanmu selalu
segar dan membangkitkan gairah hidup."
"Yang mana yang hidup?" pancing Tenda Biru
dalam candanya. la tersenyum nakal. "Apakah
sekarang pun ada sesuatu yang hidup dalam dirimu,
Bocah Sinting?"
"Entahlah, aku tak memeriksanya."
"Bagaimana jika aku yang memeriksanya?" sambil
tangan gadis itu mulai merayap nakal. Pendekar
Mabuk sengaja membiarkan, sampai akhirnya gadis
itu menemukan apa yang dicari dalam debar-debar
hatinya.
"Oh, benar apa katamu, Bocah Sinting. Hangat
sekali."
"Apanya yang hangat?"
"Genggaman tanganmu di pundakku."
"Ada yang lebih hangat lagi, apakah kau mau?"
"Berikanlah, Bocah Sinting. Berikan yang lebih
hangat lagi," suara Tenda Biru mulai mendesah
dengan tangan meremas sesuatu yang mendebarkan
hati itu.
Suto pun memberikan yang lebih hangat. la
mendekatkan bibirnya ke bibir Tenda Biru, kemudian
bibir itu dikecup pelan-pelan. Bibir itu dipagut dengan
gerakan sangat pelan, dan ditarik lepas dengan
gerakan lebih pelan lagi. Hati  Tenda Biru berdesir.
Rohnya bagai melayang sampai ke ubun-ubun dan
kembali lagi dalam kelegaan yang dalam.
Mereka saling tatap kembali. Suto tersenyum
lembut, tapi mata Tenda Biru mulai sayu. Bibirnya
yang ranum masih merekah, dan akhirnya ia berkata
dalam bisikan.
"Lagi, Bocah Sinting.... Aku suka kecupan
bibirmu...."
Maka pendekar tampan itu pun memagut bibir
ranum itu dengan pagutan sangat pelan. Kali ini
pagutan itu dilakukan berulang-ulang, sehingga
gairah Tenda Biru semakin terbakar. Akibatnya bibir si
gadis melawan, memberikan reaksi balasan. Maka
habislah bibir Suto Sinting dilumatnya. Tangan kiri
Tenda Biru pun semakin meremas, tangan kanannya
menelusup di balik baju Suto, merayapi dada hingga
menelusup ke punggung, mencipta kehangatan yang
semakin menggelora.
Kecupan Suto sempat lepas dari bibir Tenda Biru,
namun kini kecupan itu merayap hingga ke leher si
gadis. Pagutan-pagutan hangat menyerang seluruh
leher Tenda Biru, sehingga kenikmatan yang hadir
membuat Tenda Biru mengerang bersama desah
napas yang memburu.
"Oouh, Bocah Sinting... teruskan ke bawah.
Teruskan ke bawah, Bocah Sinting. Uuuh...."
Kecupan itu pun merayap sampai ke bawah leher.
Tenda Biru menarik penutup dadanya hingga dada itu
menjadi bebas tanpa hambatan. Kecupan Suto
akhirnya memasuki jalur bebas hambatan, membuat
Tenda Biru memekik ditikam kenikmatan sambil
kedua tangannya yang sudah berpindah ke punggung
Suto meremas kuat bagai menahan sebentuk
keindahan yang ingin meledak.
"Oohh... nikmat sekali, Bocah Sinting! Aoow...!
Tanganmu nakal, Bocah Sinting... tapi... ooh, tapi
teruskan kenakalan tanganmu itu. Ooh... ambillah ini,
ambil... oh, yaah... yaah...."
Tenda Biru semakin melebar, memberi
kesempatan untuk tangan Suto agar semakin nakal
dan semakin leluasa dalam kelincahannya. Tenda
Biru kini berlutut supaya tangan Suto mudah
mencapai sasaran keindahannya. Pinggul pun mulai
meliuk-liuk mengikuti irama kemesraan yang ada di
antara jemari Suto. Sementara itu, mulut Suto masih
berkeliaran di jalur bebas hambatan itu, memagut-
magut dengan kehangatan yang membuat jiwa Tenda
Biru bagai terbang ke langit-langit ketujuh.
Kemesraan itu tiba-tiba harus berhenti dan
mereka sembunyikan diri sesaat. Karena mendadak
mereka mendengar suara Panji Klobot yang
memanggil dari kejauhan.
"Tenda Biru..! Sutoo...! Di mana kalian?! Hoii...
Tenda Biru, Suto Sinting...! Menjawablah kalian
sekalipun kalian sibuk! Di mana kalian, sahabatku?!"
"Sial! Panji Klobot menuju kemari!" bisik Tenda
Biru dengan nada dongkol sambil merapikan
pakaiannya.
"Cepat bersikaplah wajar-wajar saja!" 
"Iya, tapi tanganmu lepaskan dulu!" 
"Ooh... maaf, aku sampai lupa melepaskannya..."
"Hi, hi. hi. hi...!" Tenda Biru tertawa geli melihat
kegugupan Suto sampai lupa menarik tangannya.
Ketika Panji Klobot menemukan mereka berdua
keadaan mereka sudah lain. Mereka sama-sama
duduk bersila, berhadapan, pejamkan mata, persis
orang sedang semadi. Panji Klobot tak berani berseru
lagi ketika melihat mereka begitu.
"Ooh... kalian sedang lakukan semadi? Aduh,
maaf... aku tak mengerti." Panji Klobot mundur dua
langkah dengan rasa takut kena marah.
Pendekar Mabuk berlagak hembuskan napas, lalu
membuka mata, demikian pula dengan Tenda Biru.
Mereka sama-sama memandang Panji Klobot.
"Ada apa, Panji?" tanya Suto sambil berdiri. Panji
Klobot agak gugup karena takut kena marah.
"Maaf, aku tak tahu kalau kalian sedang lakukan
semadi. Sumpah mampus tujuh kali, aku tak sengaja
mengganggu semadi kalian."
"Tak apa. Semadi kami sudah selesai." 
"Hmmm.... Pestanya akan dimulai, tapi mereka
menunggu kalian!"
"Baik, kami akan ke sana!" Mereka pun bergegas
ke pondok untuk merayakan pesta kemenangan.
Dalam pesta kemenangan yang dimeriahkan
dengan puluhan jagung bakar itu, hadir pula si Kapas
Mayat dan cucunya; Kelambu Petang.
Kehadiran si Tua Bangka membuat Suto Sinting
terkejut dan menjadi tegang setelah mendengar
kabar sakitnya sang Guru. Tanpa menunggu pesta
kemenangan itu berakhir, Pendekar Mabuk segera
mohon pamit kepada para tokoh tua dan para gadis
cucu-cucu mereka itu.
"Sebaiknya kau berangkat besok pagi saja, Suto.
Malam ini beristirahatlah dulu di sini," ujar Pematang
Hati, cucu dari si Kusir Hantu.
"Aku tidak bisa pejamkan mata jika mendengar
Guru sedang sakit," kata Suto Sinting. "Bagiku tak ada
waktu yang tak bisa ditangguhkan jika kudengar Guru
sedang sakit, sekarang juga aku harus berangkat ke
Jurang Lindu."
Tenda Biru segera menimpali, "Kalau begitu kita
berangkat berdua sekarang juga, Suto. Aku sudah
siap!"
"Tidak, Tenda Biru! Aku tak ingin merepotkan
dirimu. Tetaplah tinggal di sini bersama Kusir Hantu,
Pematang Hati, Mahligai Sukma serta Panji Klobot."
"Tapi aku sudah berjanji ingin mengabdi padamu
karena kau sudah berhasil pulihkan keadaanku,
Suto." Tenda Biru agak ngotot.
"Kau punya janji dengan mengajarkan sejurus dua
jurus ilmu kepada Panji Klobot. Penuhi dulu janjimu
kepada Panji Klobot, setelah itu jadilah abdiku sesuai
keinginanmu!"
Tenda Biru tak bisa memaksa diri. Walau ia
merasa masih berhutang budi kepada Suto atas
keberhasilan Suto membebaskan dirinya dari kutukan
Nyai Ronggeng Iblis itu, tetapi Tenda Biru kali ini
terpaksa harus menangguhkan balas jasanya untuk
sementara waktu.
la harus bisa menganggap dirinya tak pernah
dibebaskan dari kutukan ilmu hitamnya Nyai
Ronggeng Iblis, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Gadis Tanpa Raga").
Zlaap...! Dengan menggunakan jurus  'Gerak
Siluman' yang kecepatannya menyamai kecepatan
cahaya itu, Pendekar Mabuk akhirnya tinggalkan
Lembah Seram dan segera menuju ke Jurang Lindu,
tempat kediaman Gila Tuak dalam mengasingkan diri
dari kancah dunia persilatan itu. Gelap malam
ditembusnya, hutan lebat diterjangnya, gerakan yang
begitu cepat seakan mampu menembus gunung batu
dan menyeberangi jurang selebar dan sedalam apa
pun. Gerakan cepat itu menunjukkan bahwa Suto
Sinting sangat mencemaskan keselamatan jiwa sang
Guru yang sedang sakit.
Tiba di Jurang Lindu, ternyata hari sudah menjadi
pagi, matahari sudah menggeliat bangkit dari
peraduannya. Tetapi dalam diri Suto tak ada rasa
kantuk dan lelah sedikit pun. Pusat perhatian dan
kecemasannya tertuju pada sakitnya sang Guru,
sehingga Suto Sinting langsung saja menerabas
curahan air terjun yang masih membawa uap dingin
bagai gunung es yang mencair.
Zrraab...! Curahan air terjun itu ditembus dengan
cepat, dan di balik curahan air terjun berngarai cukup
tinggi itulah terdapat gua yang digunakan sebagai
tempat kediaman si Gila Tuak dalam pengasingannya.
"Ke mana saja kau?!"
"Bibi Guru...," Suto segera memberi hormat
kepada  Bidadari Jalang. Setelah itu ia melepas
bumbung tuaknya yang ada di punggung.
"Susah payah aku mencarimu, tapi tak pernah
kudengar kabarmu."
"Bibi Guru, aku baru saja menolong melepaskan
kutukan yang menimpa diri seorang gadis, murid
sahabat Guru sendiri..."
"Kau tolong orang lain tapi kau biarkan kakek
gurumu terkapar tanpa daya begitu. Apakah itu murid
yang baik dan berbudi luhur?!"
"Maaf, Bibi Guru...." Suto Sinting agak takut
dimarahi Bidadari Jalang, bahkan memandang wajah
Bidadari Jalang pun tak berani. la menunduk,
bermainkan tali bumbung tuaknya.
"Kakek Guru dalam keadaan koma."
"Apa artinya koma, Bibi Guru?"
"Nyawanya cekak!" jawab Bidadari Jalang tanpa
senyum, tegas dan berkharisma tinggi. "Beliau
menderita sakit sudah lama. Kau selalu ditanyakan,
dan aku selalu gagal mencarimu."
Pendekar Mabuk segera mengangkat wajah,
memandang ke arah pembaringan. Di sana tampak si
Gila Tuak dalam keadaan berbaring berselimut tebal
dari kulit binatang. Wajahnya tampak cekung dan
pucat pasi.
"Kakek...?!" Suto Sinting bergegas hampiri
pembaringan itu. la segera berlutut dan mencium kaki
si Gila Tuak.
"Kakek Guru, ampunilah aku. Aku tidak tahu
kalau kau sakit, Kakek Guru. Kalau aku tahu, tak
mungkin aku mengutamakan keselamatan si Tenda
Biru daripada keselamatanmu, Kakek!"
Sebutan 'Kakek' memang sudah sejak kecil
dilakukan oleh Suto terhadap Gila Tuak. Karena
ketika  itu,  Suto belum tahu bahwa orang yang
menyelamatkan dirinya dan memungutnya itu akan
menjadi guru dalam seluruh hidupnya. Karenanya,
sampai sekarang Suto sering memanggil Gila Tuak
dengan sebutan 'Kakek Guru' atau kadang 'Guru'
saja, atau juga kadang  'Kakek' saja. Sedangkan
kepada Bidadari Jalang yang dulu dianggap sebagai
bibinya sampai sekarang dipanggilnya 'Bibi Guru'.
Tiba-tiba lengan Suto digenggam seseorang.
Ternyata Bidadari Jalang yang menggenggam dan
menariknya agar berdiri jauhi pembaringan.
"Jangan ganggu dulu kakek gurumu itu. Sudah
beberapa malam beberapa hari tak bisa tidur.
Sekarang biarkan beliau tidur dulu."
"Baik, Bibi Guru. Tapi bolehkah aku tahu apa
penyebab sakitnya Kakek Guru ini?"
"Aku tak tahu. Yang jelas sudah kucoba untuk
sembuhkan dia, tapi tak berhasil. Bahkan Tabib Awan
Putih sudah kupanggil, lalu mencoba sembuhkan dia,
tapi juga tak berhasil. Resi Wulung Gading baru
kemarin datang dan mencoba salurkan hawa
saktinya, namun tak membuat kakek gurumu sehat
kembali."
Pendekar Mabuk manggut-manggut sambil
pandangi wajah sang Guru yang sangat menyedihkan
itu. Hati Suto Sinting seakan ingin meratap dalam
tangis melihat Gila Tuak sepucat dan sekurus itu.
Hatinya bagai diiris-iris memakai pedang pemenggal
kepala, jantungnya nyeri bagai dicongkel-congkel
memakai ujung clurit. Dalam wajah dukanya, Suto
pun akhirnya bicara dengan batinnya sendiri.
"Jika para tokoh sakti dan tabib berilmu tinggi tak
mampu sembuhkan sakitnya Kakek Guru, apalagi
aku? Pasti sakitnya Kakek Guru ini bukan sembarang
penyakit, sehingga tidak sembarang obat bisa dipakai
untuk mengusir penyakitnya. Jangankan mengusir
penyakit, menggertak penyakit pun belum tentu bisa
dilakukan oleh sembarang obat. Tuakku sendiri rasa-
rasanya tak akan bisa menolongnya."
Agaknya Bidadari Jalang dapat membaca jalan
pikiran Suto Sinting. Maka ia segera bicara kepada
muridnya yang gagah perkasa itu dengan suara
berbisik pelan.
"Tak ada salahnya jika kau coba sembuhkan
penyakit Kakek Guru dengan tuak saktimu itu."
"Ah, Bibi Guru... mana mungkin tuakku bisa
sembuhkan beliau?! Bukankah Resi Wulung Gading
yang sakti itu pun tak mampu sembuhkan beliau?"
"Coba saja, siapa tahu bisa." 
"Aah...," Suto mendesah dengan hati ciut. 
Waktu itu, Gila Tuak segera terbatuk-batuk. Ia
terbangun dari tidurnya. Batuk-batuknya itu
berkepanjangan sehingga dibantu bangun oleh sang
murid.
"Uhuk, uhuk, uhuk.... hoeek...!" Gila Tuak muntah.
Bidadari Jalang dan Suto Sinting tidak ikut muntah,
namun justru terbelalak kaget melihat darah kental
keluar  dari mulut si Gila Tuak. Darah itu berwarna
merah kehitam-hitaman.
"Celaka! Dia sudah memuntahkan darah
penjemput ajal!" ucap Bidadari Jalang pelan sekali di
samping Suto Sinting. Pemuda berbaju coklat tanpa
lengan dan celana putih kusam itu menjadi semakin
tegang dan diliputi kecemasan sangat kuat.
"Kakek Guru, aku datang, Kek...." 
"Hmmm... masa bodoh," ujar Gila Tuak tanpa
wibawa lagi. "Aku mau bobo saza...." Lalu ia berbaring
kembali, seakan acuh tak acuh kepada muridnya. Hal
itu membuat hati Pendekar Mabuk menjadi sedih dan
wajahnya pun tampak sayu sekali.
"Jangan sakit hati, memang begitulah sikap
kakekmu belakangan ini. Seperti anak kecil," bujuk
Bidadari Jalang. "Berikan tuakmu padanya. Minumkan
tuak ke mulutnya.'"
"Sia-sia saja, Bi...," gumam Suto Sinting, walau
akhirnya ia mencoba meminumkan tuak ke mulut
sang Guru yang melongo itu.
Tetapi ketika tuak tertelan oleh sang Guru,
ternyata tuak itu justru membuat sang Guru terbatuk-
batuk lagi,
"Uhuk, uhuk, uhuuuueeek...!"
Pyoook...!
Darah kental menghitam semakin banyak
dimuntahkan oleh si Gila Tuak. Napas tokoh tua itu
semakin terengah-engah. Pendekar Mabuk dan
Bidadari Jalang bertambah tegang.
"Apa-apaan kau ini, hah?! Olang tua alit malah di
suluh inum uak! Anti aku abuk, Olol!"
Gila Tuak mengomel dengan napas ngos-ngosan.
la menyeringai sambil pegangi dadanya sebagai
tanda bahwa dadanya terasa sakit sekali. Pendekar
Mabuk tak bisa berkata apa pun kecuali meminta
maaf atas tindakannya tadi.
"Maafkan aku, Kakek Guru...."
Lalu ia berbisik  kepada Bidadari Jalang. "Apa
kubilang tadi, Bi? Sia-sia saja pengobatan
menggunakan tuakku ini, bukan?!"
Bidadari Jalang hanya tarik napas pertanda 
sangat prihatin melihat kenyataan itu. Lalu, ia berkata
dengan suara datar dan pelan.
"Setidaknya, sebagai murid kau sudah mencoba
menolong sembuhkan Guru."   
"Oh, Bibi Guru... lihat, Kakek Guru telah tertidur
lagi?! Cepat sekali ia tertidur dengan nyenyak,
sepertinya tak pedulikan kehadiranku di sini. Atau...
mungkin Kakek Guru sudah tidak membutuhkan
kehadiranku lagi?"
"Jangan beranggapan seperti itu. Besarlah
permaklumanmu untuk orang yang sakit dan kembali
menjadi seperti anak kecil begitu, Suto."
Tiba-tiba seberkas bayangan melesat masuk dari
pintu gua yang tertutup curahan air terjun itu.
Slaaab...! Jleeg...! Sosok bayangan itu kini
menampakkan diri. Ternyata ia seorang lelaki tua
berbadan kurus, mengenakan jubah kuning dan
celana biru. la mempunyai rambut putih panjang
sepundak tanpa ikat kepala, seperti potongan rambut
Suto Sinting.
"Uhuk, uhuk, ahak, ahak, ohoooek...!" tokoh yang
baru datang itu langsung batuk dengan berbagai
irama begitu menampakkan diri. Dari irama batuknya,
Suto Sinting dan Bidadari Jalang segera mengenali
bahwa tamu yang berusia sekitar sembilan puluh
tahun itu tak lain adalah tokoh aliran putih yang
bernama Brajamusti alias Batuk Maragam.
"Selamat datang ke Jurang Lindu, Brajamusti!"
sapa Bidadari Jalang dengan tegas dan berwibawa.
"Kudengar si Gila Tuak sakit, uhuk, uhuk, uhuk,
eheeek... cuih!"
Batuk Maragam terengah-engah bagaikan
kecapekan menyentakkan suara batuknya tadi. la
melirik ke arah pembaringan, memandangi si Gila 
Tuak yang tetap tertidur bagai tak merasa terganggu
oleh suara batuk tadi.
"Aku sendiri baru saja datang dan gagal
mengobatinya, Eyang Brajamusti," kata Suto Sinting
yang memang sudah kenal dengan si Batuk Maragam
itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Peri Sendang Keramat").
"Eyang...? Sejak kapan kau panggil aku Eyang.
Biasanya kalau panggil cuma Batuk Maragam, Batuk
Maragam... eh, sekarang pakai Eyang segala," gerutu
Batuk Maragam membuat Suto Sinting hanya bisa
tundukkan kepala, tak berani tersenyum atau
menimpali dengan kata-kata.
"Aku cuma mau coba obati sakitnya si Gila Tuak!"
"Kuharap kau berhasil!" ujar Bidadari Jalang.
Weeess...! Muncul lagi tokoh lain yang datangnya
bagaikan angin, tahu-tahu muncul dalam bentuk
letupan asap, dan ketika asap sirna, tampak sosok
tubuhnya yang gemuk, berpakaian kain kuning pula
dengan corak pakaian seorang biksu. Tamu gemuk itu
berkepala gundul, mengenakan kalung tasbih putih
sebesar kelereng sepanjang perut. Tamu itu
mempunyai jenggot panjang, kumis dan brewok
warna putih uban merata.
"Selamat datang, Badranaya!" sapa Bidadari
Jalang mewakili tuan rumah di situ.
"Selamat datang, Eyang Resi Badranaya!" Suto
pun menyambutnya penuh hormat.
Tokoh itu ternyata adalah Resi Badranaya, yang
mengasingkan diri di puncak Gunung Wakas, gurunya
seorang pemuda sebaya Suto bernama Darah Prabu,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Gadis
Buronan").
"Tabib Awan Putih singgah ke tempatku dan 
mengabarkan sakitnya si Gila Tuak. Jika tak ada yang
mampu sembuhkan, maka aku akan mencoba
menyembuhkannya dengan tasbih pusakaku ini!"
seraya Resi Badranaya melepaskan kalung tasbihnya
itu.
"Nanti dulu...!" cegah Batuk Maragam. "Aku
datang lebih dulu, jadi kau boleh coba sembuhkan
Gila Tuak jika aku gagal sembuhkan dia! Uhuk, uhuk,
ohooeek...!"
"Hmm...! Kau sendiri tak bisa sembuhkan
penyakit bengekmu itu, mana mungkin bisa
sembuhkan sakitnya si Gila Tuak?"
"Jangan menghinaku, Badranaya. Nanti kutampar
mulutmu!"
"Cobalah kalau kau mampu!"
"Hei, hei... kalian ke sini mau numpang bertarung
apa mau coba sembuhkan saudaraku?!" sergah
Bidadari Jalang melerai ketegangan di antara kedua
tamunya itu.
Tiba-tiba terdengar suara Gila Tuak dalam
keadaan tetap tidur.
"Jangan berisik, ada orang sakit!"
Semua memandang kaget ke arah Gila Tuak.
"Dia bisa bicara lancar dan jelas?!" bisik Bidadari
Jalang dengan wajah tegang. Mereka pun mendekat,
tapi saling berkerut dahi setelah tahu bahwa si Gila
Tuak ternyata sedang tertidur nyenyak. Lalu, siapa
yang bicara tadi? Pikir mereka -masing-masing.
"Apakah kau mendengar suaraku, Kakang Gila
Tuak?" Resi Badranaya coba menyapa, tapi tak ada
jawaban. 
Beberapa saat kemudian, ketika semua orang
memandang mulut Gila Tuak yang terkatup rapat,
mereka mendengar suara Gila Tuak bicara tanpa 
gerakan mulutnya. Suara itu bagai suara Gila Tuak
dalam keadaan sehat, seperti biasa.
"Muridku, cepat pergi dan carilah 'Tuak Dewata'
sebagai penyembuh sakitku. Hanya 'Tuak Dewata'
yang bisa menyambung nyawaku nantinya. Tapi jika
kau gagal dapatkan 'Tuak Dewata', maka aku pun
akan kembali ke pangkuan Hyang Maha Suci!"
Bidadari Jalang dan yang lainnya saling pandang
penuh keheranan. Batin mereka saling berkata, "Aneh
Gila Tuak bicara tanpa gerakan  bibirnya dan tanpa
buka mulut sedikit pun?! Ilmu apa yang dimilikinya!
Suaranya bisa terdengar nyata melalui gendang
telinga, bukan melalui batin."       
Tiba-tiba sebuah suara segera terdengar di
belakang mereka. Rupanya ada seorang tamu baru
yang datang tanpa permisi maupun tanpa memberi
perlambang. Tamu itu juga seorang tokoh tua
berpakaian serba putih. Rambutnya putih panjang
acak-acakan. Kulit dan wajahnya berwarna pucat.
Kukunya panjang berwarna putih juga. Usia tamu itu
sebaya dengan Resi Badranaya dan Batuk Maragam,
yaitu sekitar sembilan puluh tahun.       
Suto dan yang lainnya mengenali tamu yang
munculnya tak diketahui itu sebagai tokoh tua yang
berjuluk Setan Merakyat, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Tabib Darah Tuak"). Tokoh
inilah yang memberikan ilmunya kepada Suto Sinting
bernama ilmu atau jurus 'Pranasukma' yang membuat
Suto Sinting dapat memindahkan benda atau
melemparkan musuh, atau pula menghancurkan
sesuatu dengan kekuatan batin, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Setan Rawa
Bangkai"). 
Setan Merakyat tiba-tiba saja berkata, "Roh 
sejatinya si Sabawana telah bicara kepada kita. Jadi
jangan heran jika mulut dan bibir Sabawana tidak
bergerak namun kalian mendengar suara aslinya,
karena yang bicara adalah roh sejati si Sabawana
sendiri!"
"Bapa Guru Murdawira...?!" Suto segera
menyambut dengan sebentuk hormat sederhana
namun cukup menyenangkan hati si Setan Merakyat.
"Kebiasaanmu nyelonong masih saja kau
pelihara, Murdawira!" gerutu Batuk Maragam, setelah
itu terbatuk-batuk sesaat.
"Sebenarnya aku tadi ingin memberi salam
kepada kalian. Tapi berhubung tiba-tiba kudengar
suara roh sejatinya si Sabawana, jadi aku diam dulu
sampai roh sejati itu selesai bicara."
Bidadari Jalang yang merasa tak asing lagi
dengan wajah si Setan Merakyat karena memang
sudah mengenal sejak dulu, kini segera dekati sang
tamu yang baru datang itu. 
"Kau dengar dia menyebutkan nama 'Tuak
Dewata' tadi?"
"Ya, aku dengar!" jawab Setan Merakyat. "Tapi
jangan tanyakan di mana  'Tuak Dewata' itu berada,
aku sungguh tak tahu, Nawang Tresni. Berani dipeluk
seribu janda bahenol, aku tetap tidak tahu-menahu
tentang 'Tuak Dewata' itu."
"Aku sendiri tak tahu," ujar Bidadari Jalang. "Tapi
barangkali Badranaya atau Brajamusti mengetahui
tentang 'Tuak Dewata' itu."
Resi Badranaya menyahut, "Aku juga tidak tahu.
Kalau aku tahu, sudah kubimbing Suto pergi ke
tempat di mana 'Tuak Dewata' itu berada."
Batuk Maragam segera menimpali. "Aku, sendiri
baru sekarang mendengar kata 'Tuak Dewata'. Oh, 
aku jadi malas mau mencoba-coba sembuhkan si Gila
Tuak, karena sepertinya tak ada obat lain yang bisa
sembuhkan sakitnya kecuali 'Tuak Dewata' itu."
"Dan, murid angkatku itulah yang diwajibkan
mencarinya," timpal Setan Merakyat sambil berjalan
tertatih-tatih mendekati Suto Sinting.
"Tapi... tapi ke mana aku harus mencari 'Tuak
Dewata' itu, Bibi Guru?"
Bidadari Jalang tarik napas dalam-dalam,
kemudian mendekati pembaringan dan bertanya
kepada Gila Tuak yang masih tertidur.
"Dapatkah kau sebutkan nama tempat untuk
dapatkan Tuak Dewata' itu, Sabawana?!"
Ternyata pertanyaan itu tak mendapat jawaban
apa pun. Bahkan bunyi dengkurnya Gila Tuak pun tak
ada. Bidadari Jalang menghempaskan napas lagi
sambil kembali dekati Suto Sinting.
"Aku sendiri baru sekarang mendengar dia
sebutkan nama 'Tuak Dewata' itu."
Setan Merakyat menimpali, "Kurasa ini sebuah
tantangan bagi seorang murid sepertimu, Suto. Kalau
kau bisa menolong orang lain dengan kesulitan apa
pun, sekarang kau ditantang, mampukah kau
menolong gurumu dengan kesulitan seperti ini?!"
"Kurasa ini bukan sekadar tantangan," sahut Resi
Badranaya, "Tapi merupakan bencana bagi Pendekar
Mabuk yang akan kehilangan guru utamanya jika tak
dapat mencari 'Tuak Dewata' itu."
"Tenang saja," ujar si Batuk Maragam. "Aku akan
membantumu berpikir memecahkan teka-teki ini,
Suto Sin... uhuk, uhuk, ehek, ehek, uhuuu,
hoaaaiak...!"
"Sssttt...! Berisik!" sentak Resi Badranaya kepada
Batuk Maragam. 
Yang dibentak bersungut-sungut, "Namanya orang
batuk, ya berisik. Kalau yang tidak berisik orang mati!"
Pendekar Mabuk, Bidadari Jalang, dan yang
lainnya akhirnya sama-sama termenung memikirkan
tentang 'Tuak Dewata' itu. Pendekar Mabuk mulai
merasa dihadapkan oleh tantangan yang seakan
melecehkan dirinya. Baru saja dia dibuat pusing
mencari Bunga Kecubung Dadar untuk menolong si
Gadis Tanpa Raga itu, sekarang dia harus mencari
sesuatu yang tak diketahui tempatnya. Bahkan
tanggung jawabnya di dalam perkara ini lebih besar
daripada mencari Bunga Kecubung Dadar.
"Benar kata Bapa Guru Murdawira, ini sebuah
tantangan bagiku. Kalau biasanya aku berhasil
mencarikan sesuatu yang amat keramat untuk
menolong jiwa seseorang, sekarang aku ditantang
untuk mencari sesuatu yang amat keramat untuk
selamatkan jiwa guruku sendiri. Aku yakin,  'Tuak
Dewata' itu sesuatu yang amat keramat, sampai-
sampai beberapa  tokoh sakti di sini tidak
mengetahuinya," kata Suto membatin.
Lalu ia berkata kepada bibi gurunya, "Bibi Guru,
apa pun yang terjadi, di mana pun letaknya, aku tetap
akan mencari 'Tuak Dewata' itu! Akan kuhadapi
tantangan ini, untuk buktikan kepada mereka bahwa
aku bukan saja bisa selamatkan jiwa orang lain, tapi
juga bisa selamatkan jiwa guruku sendiri!" 
"Aku bangga dengan tekadmu!" 
"Kapan-kapan kalau Bibi Guru sakit, aku juga
akan berusaha selamatkan jiwa Bibi Guru."
"Kau  menyumpahiku, Bocah nakal?!" Bidadari
Jalang segera menjewer telinga Suto Sinting.
Suto ketakutan. "Ampun, Bibi... maksudku...
maksudku... aku pun punya rasa bakti dan hormat 
kepadamu, Bibi Guru!"
Tokoh tua yang lain hanya tersenyum-senyum
sambil palingkan wajah, seakan tak mau melihat
pendekar sakti dimarahi gurunya.
"Berangkat dan cari sekarang juga 'Tuak Dewata'
itu," perintah Bidadari Jalang dengan tegas. "Jika kau
berhasil dapatkan 'Tuak Dewata', maka pantaslah jika
kau mendapat gelar  'Murid Maha Sujud' dan jurus
'Candra Geni'-ku patut kuturunkan padamu!"
"Mohon pamit sekarang juga, Bibi Guru!" kata
Suto dengan tegas dan berapi-api. "Mohon doa restu,
Bapa Guru Murdawira, Eyang Brajamusti, Eyang Resi
Badranaya dan... aku pun mohon doa restu juga
kepadamu, Bibi Guru nan cantik jelita pelumpuh hati
semua pria serta...."  
"Cukup!" hardik Bidadari Jalang dengan mata
melebar, membuat Suto Sinting sadar dengan
ucapannya yang telah berlebihan dan melantur itu.
"Kau akan kehilangan kepala jika punya
kebiasaan melantur seperti itu!"
"Ampun, Bibi Guru...!"

*
*  *

2
BARU saja keluar dari gua di balik curahan air
terjun itu, tiba-tiba Pendekar Mabuk terpental oleh
sebuah pukulan tenaga dalam jarak jauh yang cukup
berbahaya. Gerakan Suto Sinting yang sedang
melayang menuju ke daratan itu bagaikan dihempas
angin badai yang padat, punggungnya terasa disodok
dengan sebatang pohon besar. Buuuhk...! Sodokan
itu seperti ingin mematahkan tulang punggung dan
menyumbat jalan pernapasan. 
"Heegh...!" Suto Sinting tak bisa berteriak ataupun
memekik kesakitan. Suaranya tertahan di
tenggorokan bersama napas yang sukar
dihembuskan. Tubuhnya, sendiri melayang cepat dan
membentur pohon kering yang sudah tak berdaun lagi
itu. Brruukk, kraakk...! Pohon itu hampir patah total.
Bagian yang ditabrak tubuh Suto Sinting menjadi
retak separo bagian. Ini menandakan betapa kuatnya
tenaga dalam yang menghempaskan tubuh Suto
Sinting hingga pohon pun nyaris tumbang seketika.
Pendekar Mabuk yang menyandang bumbung
tuaknya di punggung terpaksa jatuh tengkurap
dengan wajah mencium tanah dan tubuh menggeliat
pelan sekali.
"Dadaku... ooh, dadaku bagaikan mau jebol,
padahal yang terkena serangan adalah punggungku!
Ouh, gila...! Tenaganya siapa ini yang membuatku
sukar bernapas begini?! Jurus apa ini yang membuat
jantungku bagai mau pecah rasanya! Uuuhk...!"
Pendekar Mabuk mencoba untuk bangkit dengan hati
menggerutu penuh kemarahan yang terpendam.
Dalam keadaan setengah merangkak, pandangan
matanya berhasil menangkap sesosok tubuh kurus
berjubah hitam. Tepian kain jubah hitam itu dilapisi 
kain kuning emas yang sama dengan warna kain
celananya.
"Ouh...! Siapa orang itu? Aku baru melihatnya kali
ini?!" pikir Suto Sinting sambil tetap mencoba untuk
bangkit.
"Heh, heh, heh, heh...! Kusangka kau si Gila Tuak,
tidak tahunya hanya bocah ingusan! Wah, tekor kalau
begini caranya. Jurus 'Serap Getih'-ku sia-sia kenai
tubuh bocah ingusan begini! Kalau tahu kau masih
ingusan, lebih baik kutendang saja tadi biar terjungkal
ke sungai itu, Nak!"
Orang tua itu tidak menyerang Suto Sinting lagi. la
hanya memandangi sambil geleng-geleng kepala
dengan cengar-cengir bersikap meremehkan Suto.
Sementara itu, Suto Sinting berusaha meraih
bumbung tuaknya, lalu menenggaknya beberapa
teguk dalam keadaan satu kaki berlutut. Orang
berkumis dan berjenggot abu-abu itu membiarkan
Suto Sinting menenggak tuak, sepertinya dia tak tahu
kehebatan tuak dari bumbung bambu itu yang
mampu sembuhkan luka dan hilangkan rasa sakit
dalam waktu sangat singkat.
Setelah menenggak tuaknya, badan Suto menjadi
enteng dan terasa segar. Rasa sakit di dada dan
punggung berangsur-angsur hilang, ia berdiri
memandangi lelaki tua berusia sekitar delapan puluh
tahun. Lelaki itu berambut sepundak warna abu-abu,
tapi kepala bagian depannya botak licin. Tubuhnya
yang kurus itu di sangga dengan tongkat hitam
berkepala kobra kembar. Dilihat dari tampangnya
yang menyeringai, ia tampil sebagai tokoh yang tidak
mementingkan wibawa dan suka meremehkan orang
lain.
"Mengapa kau menyerangku. Pak Tua?! Siapa kau 
sebenarnya?" tegur Pendekar Mabuk dengan mata
menatap penuh waspada.
"Kusangka kau si Gila Tuak, sebab kau membawa
bumbung tuak. Kalau saja kau si Gila Tuak, maka
saat ini juga nyawamu akan kucabut! Untung saja kau
bukan si Gila Tuak."
Hati pemuda tampan berdada kekar dan bidang
itu menjadi panas mendengar ucapan tokoh beralis
tipis itu. Namun rasa panasnya hati masih bisa
disembunyikan, sehingga Suto Sinting kelihatan tetap
tenang menghadapi orang setua itu.
"Yang kutanyakan tadi, siapa dirimu, Pak Tua?!
"Kau pasti orang baru di rimba persilatan,
sehingga tidak mengenali ciri-ciriku ini!" ujar si jubah
hitam. "Ketahuilah, Nak... aku inilah yang bernama
Pendeta Amor alias Anti Modar. Aku berasal dari Selat
Darah, sengaja datang kemari karena mendengar si
sombong Gila Tuak dalam keadaan sakit parah."
"Apa maksudmu datang kemari?"
"O, jelas mau membunuh si Gila Tuak. He, he,
he...! Mumpung dia sakit, aku harus segera
membunuhnya. Bukan saja karena aku menyimpan
dendam kepada si  Gila Tuak, karena dia telah
menewaskan kakakku pada masa empat puluh lima
tahun yang lalu, tapi juga karena menggunakan aji
mumpung! He, he, he, he...." Orang itu tertawa sambil
garuk-garuk kepala. Sikapnya sangat memuakkan
bagi Suto Sinting, namun untuk sementara ini Suto
hanya bisa menahan rasa muak dan membiarkan
Pendeta Amor berceloteh lagi.
"Aji mumpung itu maksudku, mumpung Gila Tuak
sakit parah, berarti kekuatan saktinya berkurang.
Kalau aku berhasil membunuhnya, maka namaku
akan berada di urutan teratas dalam daftar nama-
nama tokoh sakti di rimba persilatan. Berarti aku
menggantikan kedudukan si Gila Tuak. Itu yang
dinamakan siasat jitu dari orang berotak cerdas
sepertiku ini, Anak muda. Heh, heh, heh, hiiieeh...!"
tawanya semakin memerahkan telinga Suto Sinting.
"Pendeta Amor, ketahuilah, biarpun Gila Tuak
dalam keadaan sakit, kau tetap tak mungkin bisa
membunuhnya. Jangankan membunuhnya,
menjamahnya pun tak mungkin bisa!"
"Lho, kenapa begitu?"
"Karena muridnya tak akan izinkan siapa pun
mendekati Gila Tuak dengan maksud jahat seperti
maksudmu!"
"O, jadi Gila Tuak itu punya murid toh? Lha, kok
aku baru tahu sekarang, ya? Heh, heh. heh...!" ia
garuk-garuk kepala lagi. "Kalau begitu selama ini aku
sudah terlalu lama mengasingkan diri mempertinggi
ilmu dan cukup lama juga mempelajari jurus sakti
dari kitab pusaka peninggalan moyangku. Wah, wah,
wah.... Kurang ajar juga si Gila Tuak, sudah berani
punya murid  segala. Hmmm... ngomong-ngomong,
siapa muridnya si Gila Tuak itu, Nak? Kalau perlu
kuhabisi juga nyawa si murid itu!" 
"Kalau kau ingin tahu siapa muridnya si Gila Tuak,
akulah muridnya si Gila Tuak!" sambil Suto menepuk
dada dengan geram sendiri.
Pendeta Amor terkejut. "Lho, jadi kau sendiri yang
diangkat sebagai murid si Gila Tuak?! Ah, mana
mungkin...?!" Pendeta Amor mencibir. "Murid Gila
Tuak tidak akan setangguh itu. Kau tadi telah
menerima jurus 'Serap Getih'-ku. Jika kau muridnya si
Gila Tuak, pasti tubuhmu akan segera menjadi
hangus dan darahmu kering, lalu kau modar! Tapi
karena kau sekarang masih hidup dan bahkan 
tampak segar, maka aku tak yakin bahwa kau adalah
murid si Gila Tuak!"
"Terserah pendapatmu, Pendeta Amor! Tapi
kusarankan padamu, sebaiknya pulanglah ke Selat
Darah dan batalkan niatmu untuk menggantikan
kedudukan si Gila Tuak sebagai tokoh tertinggi di
rimba  persilatan ini! Usahamu akan sia-sia, bahkan
bisa jadi akan membuat nyawamu melayang di
tangan murid si Gila Tuak ini!"
Buukk...! Suto Sinting menepuk dadanya lagi.
Tetapi tepukan dada dan saran itu justru
ditertawakan oleh Pendeta Amor. Tawanya jelas-jelas
tawa yang meremehkan kesaktian Suto Sinting.
"Heh, heh, heh, hiieh...! Bocah kemarin sore kok
mau coba-coba menggertakku. Apakah kau pikir aku
langsung mengkerut dan merasa takut...? Ooo... sama
sekali tidak, Anak muda! Sama sekali tidak! Itu mimpi
namanya."
Pendeta Amor maju dua tindak, kini jaraknya
dengan Pendekar Mabuk hanya lima langkah.
Pandangan mata si Pendeta Amor tampak
menyepelekan sekali orang yang dihadapinya, seakan
sangat melecehkan usia muda yang dimiliki Pendekar
Mabuk itu. Bahkan dengan jumawanya ia berkata
kepada Suto.
"Gila Tuak sebetulnya tidak punya nyali. Ilmunya
tidak seberapa tinggi. Tapi ia punya keberuntungan
besar dalam hidupnya. Keberuntungan itulah yang
membuat Giia Tuak kelihatannya sakti, selalu unggul
dalam pertarungan, dan selalu terhindar bahaya yang
datang.  Padahal jika keberuntungannya itu sudah
tidak ada, maka ilmu yang dimiliki Gila Tuak itu belum
ada sekuku hitamnya dengan ilmu yang kumiliki,
Nak!" 
"Hentikan celotehmu, Pendeta Amor!" sergah
Pendekar Mabuk dengan suara makin tegas,
menandakan  hatinya semakin panas mendengar
ocehan tokoh tua bermata kecil itu.
"Anak muda, kau seorang pemuda yang tampan,
gagah, tubuhmu kekar, gerakanmu tadi kulihat  
sepintas cukup lincah. Kutawarkan jika kau mau
menjadi muridku, aku  tak keberatan menerimamu
dan menurunkan semua ilmuku padamu. Aku senang
punya murid segagah dan sekekar dirimu, Anak
muda!"
Karena dongkolnya mendengar celoteh si
Pendeta Amor akhirnya Pendekar Mabuk sengaja
berkata dengan nada sombong, walau hati kecilnya
menentang kesombongan itu.
"Jika kau bermaksud menjadi guruku, mampukah
kau mengalahkan diriku, Pak Tua?!"
"Wweeeh..., heh, heh, heh, heh! Kecil-kecil kok
nantang orang tua kau ini!"
"Untuk memberi pelajaran mulut tuamu yang
angkuh itu, rasa-rasanya aku  perlu bersikap sedikit
kurang ajar padamu, Pendeta Amor!"
"Jadi...," Pendeta Amor manggut-manggut sambil
berjalan ke samping, lalu kembali lagi ke tempat
semula,  "... jadi kau ingin menguji kemampuan
ilmuku?! Kau ingin tahu seberapa tingginya ilmuku
dan kehebatan jurus-jurusku?!"
"Dengan sangat terpaksa, kutantang kehebatan
mu, Pendeta Amor! Jika kau bisa tumbangkan diriku
kau boleh menjamah guruku yang sedang sakit itu!"
"Weeh..., celaka ini anak! Mau cari mampus apa
cari penyakit kau ini, Nak?!"
Pendeta Amor hentikan langkah menghadap ke
arah Suto, sementara Suto Sinting sendiri sudah siap 
hadapi serangan lawan walau hanya dengan berdiri
tegak, dada membusung, kaki merenggang sedikit
dan bumbung tuak tergenggam di tangan kanannya.
"Kita main-main saja dulu," kata Pendeta Amor.
"Bagaimana kalau kau menerima jurus 'Tongkat
Gempa' ku ini, Nak?!"
Tiba-tiba tongkat yang bagian atasnya berhias dua
kepala ular kobra itu disentakkan ke bumi. Duuhk...!
Sentakan tongkat itu cukup pelan. Tetapi akibatnya
sungguh mengejutkan Pendekar Mabuk.
Duuurr...! Tanah bergetar, lalu dari tempat tongkat
disentakkan ke bumi itu membentuk celah lebar.
Tanah, itu retak ke samping kanan kiri, dan garis
retaknya  melewati pertengahan kaki Suto Sinting.
Makin lama gerakan tanah itu semakin melebar
sehingga Suto Sinting  pun semakin merentangkan
kakinya. 
Zrraakkk...!
Tanah yang retak menjadi dua bagian, kiri dan
kanan. Jaraknya menjadi semakin lebar. Tetapi kaki
Suto Sinting tetap menapak pada kedua bagian tanah
yang retak itu. Makin lama kerenggangan kaki Suto
pun makin lebar, sampai akhirnya ketika gerakan
tanah retak itu berhenti,  keadaan Suto Sinting
menjadi rendah, karena kedua kakinya merentang
lebar hingga pantatnya sejajar dengan permukaan
tanah kanan-kirinya.
Tubuh pemuda itu justru bergerak lamban
menyamping. Kini tangan kirinya mengeras dengan
telunjuk tegak. Tangan itu tiba-tiba menyentak ke
bawah. Suuttt...!
Jurus "Dewatakara' pemberian Payung Serambi
segera digunakan Pendekar Mabuk. Jurus itu
mempunyai kunci pada napas. Dengan menahan


napas, timbulkan daya cipta, maka apa yang
diciptakan dalam batin akan menjadi kenyataan. Dan
pada saat itu, batin Suto menciptakan satu kekuatan
dahsyat mengalir pada kedua kakinya. Kekuatan
dahsyat itu menarik tanah yang retak, sehingga pelan-
pelan tanah yang telah terpisah itu bergerak menyatu
lagi, sampai akhirnya menjadi rapat kembali, dan
kerenggangan kaki Suto Sinting menjadi seperti
semula.
Duurrr...!
Getaran tanah yang merapat kembali dapat
dirasakan sampai ke dalam gua tempat kediaman
Gila Tuak. Getaran itu memancing perhatikan para
tokoh tingkat tinggi yang masih bicara dengan
Bidadari Jalang di dalam gua. Akibatnya, rasa ingin
tahu mereka mendorong  mereka untuk melesat
keluar dari gua tersebut.
Sementara itu, Pendeta Amor menjadi terbengong
dengan mata lebar dan mulut melompong, la tak
menyangka sama sekali kalau anak muda itu ternyata
mampu imbangi kekuatan jurus 'Tongkat Gempa'-nya.
Tanah yang semula retak, kini rapat kembali dan
tidak ada tanda-tanda bekas keretakan sedikit pun.
"Edan kau, Nak!" geram Pendeta Amor masih
dengan mata terbelalak kagum. Tapi hati sang
pendeta masih merasa penasaran dan ingin
membuat anak muda itu menjadi tunduk serta
mengakui kehebatan ilmunya.
"Jangan bangga dulu, Nak!" ujarnya setelah
melihat Pendekar Mabuk sunggingkan senyum tipis,
sebagai senyum kemenangan.
"Kau boleh bangga jika dapat kalahkan jurus
'Kobra Gancet'-ku ini!"
Wuuutt...! Tongkat hitam itu dilemparkan ke arah 
Suto. Mendadak tongkat itu berubah menjadi seekor
ular kobra berkepala dua. Ular tersebut tampak ganas
dan liar. Gerakannya begitu cepat saat ingin mematuk
kepala Suto Sinting.
Wuuttt...! Suto Sinting tiba-tiba sudah berada
diatas pohon hanya dengan satu sentakan napas
perut cukup pelan.
"Dia menggunakan ilmu sihirnya!" pikir Suto saat
itu. Namun sebelum ia bertindak lebih jauh, dengan
terpaksa ia harus gunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya
untuk pindah ke tempat lain, sebab ular kobra
berkepala dua itu ternyata mengejarnya bagaikan
terbang dengan ganas ke atas pohon.
Zlaappp...!
Ular kobra berkepala dua itu menabrak dahan
yang tadi dipakai berpijak kaki Pendekar Mabuk.
Crrook...!
Pohon itu langsung kering karena dipatuk kedua
kepala ular kobra gancet itu. Sedangkan Suto Sinting
sudah ada di tempat lain, di atas sebuah batu tepi
sungai.
Pendeta Amor sempat clingak-clinguk mencari
Suto Sinting. Begitu matanya memandang ke arah
Suto Sinting, ular kobra berkepala dua itu segera
melesat terbang dengan cepat memburu Suto Sinting.
Weeeesss...!
Kali ini Pendekar Mabuk tidak menghindar,
karena ia  punya kesempatan untuk menyerang.
Bumbung tuaknya segera dikibaskan dari bawah ke
atas pada saat dua kepala ular kobra itu
mendekatinya. Weees...! Prrook...!
Pendeta Amor tidak tahu kalau bumbung tuak itu
mempunyai kesaktian tersendiri. Hanya sekali kibas,
dua kepala ular kobra gancet itu hancur tak 
berbentuk lagi. Tinggal bagian badannya yang
bercucuran darah menjijikkan.
"Celaka!" geram Pendeta Amor dengan mata kian
membelalak bagai mau copot dari rongganya. Mata
itu mengikuti jatuhnya badan ular yang terbanting ke
tanah. Ploook...!
Zluub...! Tiba-tiba badan ular itu berubah menjadi
tongkat kembali dengan hiasan dua kepala ular
kobra. Tapi kali ini tongkat itu naik sendiri dan
mengambang diam di udara.
Posisi tongkat yang menghadap ke arah Suto
Sinting, membuat hati Suto mulai menangkap adanya
firasat buruk yang akan ditimbulkan dari tongkat itu.
Ternyata tongkat tersebut tiba-tiba  menyala
memancarkan sinar merah bara. Dari kepala tongkat
itu melesat jarum-jarum merah bara menuju ke dada
Pendekar Mabuk. Srrraap...! 
Pendekar Mabuk sudah tak begitu kaget lagi
menghadapi puluhan jarum yang menyala merah
bagaikan percikan bunga api itu. Namun di sisi lain,
Datuk Maragam yang berdiri menyaksikan pertarungn
itu bersama Bidadari Jalang, Resi Badranaya dan
Setan Merakyat, segera mengangkat tangannya untuk
menghantam tongkat milik Pendeta Amor itu.
"Keparat si Pendeta Selat Darah itu! Dia
pergunakan jurus berbahaya untuk melawan bocah
semuda Suto! Kuhancurkan tongkat itu biar hancur
pula kedua biji matanya!" geram Batuk Maragaram.
Tetapi tiba-tiba tangannya yang terangkat ditahan
oleh Bidadari Jalang. 
"Biarkan muridku menghadapinya!"
"Tapi itu berbahaya bagi Suto! Uhuk, uhuk, ehek,
ihiik...!"
"Muridku pasti bisa mengatasi bahaya itu!" ujar 
Bidadari Jalang penuh percaya diri terhadap
kemampuan Suto Sinting.
Resi Bradanaya menggerutu sambil melirik Batuk
Maragam, "Sudah tua 'mbok ya' yang tenang, jangan
banyak tingkah!"
Batuk Maragam akhirnya tak jadi ikut campur,
karena ia melihat  Suto  Sinting melepaskan jurus
'Pukulan Guntur Perkasa' pemberian Bidadari Jalang.
Pukulan itu mengeluarkan sinar hijau dari tangan kiri
Suto dan sinar itu menerjang jarum-jarum merah bara
hingga akibatnya terjadilah ledakan yang cukup
dahsyat dan mengguncangkan alam sekitarnya.
Claaap....! Blegeeerrr...!
Tongkat merah itu terpental, diikuti oleh
pandangan mata Pendeta Amor. Gerakan tongkat itu
terhenti seketika  sebelum jatuh menyentuh tanah.
Lalu tongkat itu berdiri tegak, makin lama semakin
tinggi, akhirnya mengepulkan asap tebal yang
menyelubungi tongkat tersebut. Buuusss...!
Tiba-tiba wujud tongkat itu sirna dan berganti
sesosok tubuh besar bermulut lebar dengan mata
sebesar tatakan gelas. Tongkat itu berubah menjadi
raksasa yang menyeramkan, dengan taring panjang
dan runcing serta kuku-kuku tangannya seperti mata
pisau yang sangat tajam.
"Ggrrr...!" raksasa berambut gimbal itu
menggeram menggetarkan dedaunan di
sekelilingnya. Tingginya hampir tiga kali lipat tinggi
tubuh Suto Sinting. Badannya gemuk dan berkulit
tebal bagai kulit buaya.
"Heh, heh, heh, heh...! Lawanlah dia dan
tumbangkan dia kalau memang kau murid si Gila
Tuak keparat itu!" seru Pendeta Amor yang membuat
Bidadari Jalang dan lainnya mengerti bahwa Suto 
sedang melawan orang yang memusuhi Gila Tuak.
Tapi Bidadari Jalang dan yang lainnya tetap diam
sebagai penonton yang berdiri agak jauh di belakang
Pendeta Amor.
Suto Sinting sengaja dibiarkan menghadapi
raksasa berwajah mirip segumpal batu cadas itu.
Para tokoh tingkat tinggi merasa kagum melihat
ketenangan Suto dalam menghadapi raksasa jelmaan
tongkat tadi.  Rupanya Suto Sinting tahu, bahwa ia
harus berhadapan dengan kekuatan sihir si Pendeta
Amor dari Selat Darah.
Maka, untuk yang kedua kalinya Pendekar Mabuk
gunakan ilmu 'Dewatakara' dengan menahan napas
dan mencipta dalam batinnya. Bumbung tuaknya
dilemparkan ke depan. Wuuss...! Bumbung itu jatuh
dalam keadaan berdiri. Plek...!
Kekuatan batin dari ilmu 'Dewatakara' membuat
bumbung tuak itu tiba-tiba berubah menjadi tinggi
bagaikan tiang bendera. Tingginya melebihi tinggi
raksasa jelmaan tongkat si Pendeta Amor.
Tiba-tiba raksasa itu menerkam bambu tinggi
tersebut dengan suaranya yang menggeram
menyeramkan.
"Ggrrraaaow...!"
Bambu tinggi tiba-tiba berasap tebal. Raksasa
jelmaan tongkat bergelut dengan asap tebal itu
hingga tubuhnya terbungkus asap dan tak dapat
dilihat. Tetapi suaranya terdengar mengerang-
ngerang dan meraung-raung dengan menimbulkan
getaran pada ranting dan daun di sekitarnya.
Pendeta Amor kebingungan tak bisa melihat
raksasa ciptaannya. Tetapi tahu-tahu terdengar
kraaakk...!
Dan sesuatu keluar dari gumpalan asap tinggi itu


Wuuutt...! Brrruk...!
"Hahh...?!" Pendeta Amor terpekik  dan terlonjak
mundur dengan mata mendelik. Benda yang jatuh
dari keluar dari gumpalan asap itu tak lain adalah
kepala raksasa berwajah mirip batu cadas tadi.
"Celaka! Asap apa itu, sehingga bisa mematahkan
kepala si Brojong Boros?.'" ujarnya dengan suara
menggumam penuh keheranan. 
Wuuut...! Bluukkk...!
Sesuatu terlempar lagi dari gumpalan asap tebal
itu. Ternyata tangan raksasa yang berkuku seperti
mata pisau itu.
Wuuutt...! Bluukk...!
Wees...! Brruukk...! Plook...! Bluuk...! Bluuummm!
Raksasa itu terpotong-potong menjadi beberapa
bagian. Semua bagian tubuh yang mengucurkan
darah hitam itu jatuh di depan Pendeta Amor,
membuat tokoh dari Selat Darah itu terbengong-
bengong tanpa bisa bergerak dan berucap sepatah
kata pun.
Wuuusss...! Angin kencang datang. Asap tebal
yang tinggi itu pun lenyap. Kini tampaklah sosok
tubuh yang tadi terbungkus asap tebal itu.
"Edaaan...!!" Pendeta Amor terpekik keras,
matanya melotot bagai mau copot. Karena sosok
yang terbungkus asap dan mematah-matahkan
raksasanya itu  adalah wujud manusia tinggi-besar
yang menyerupai Pendeta Amor sendiri.
Rupanya cipta batin Suto Sinting tadi telah
membentuk tiruan wajah dan potongan  tubuh
Pendeta Amor dalam bentuk raksasa yang tingginya
melebihi raksasa jelmaan tongkat tadi. Kini raksasa
yang seperti saudara kembarnya Pendeta Amor
memandang dengan mata  lebar ke arah Pendeta 
Amor sendiri. Kakinya diangkat dan menginjak kepala
Pendeta Amor.
"Hahh...?! Haaaah...?!" Pendeta Amor ketakutan.
Ujung jarinya segera keluarkan sinar biru lurus
yang menghantam  telapak kaki raksasa tersebut.
Claaap...!
Blegaarrr...! 
Raksasa yang menyerupai dirinya meledak
bersama munculnya gumpalan asap tebal lagi. Asap
itu hilang dan raksasa itu berubah menjadi bumbung
tuak seperti semula. Pendekar Mabuk segera
menyambut bumbung tuak itu. Wuuutt...! Lalu berdiri
sambil tersenyum pandangi Pendeta Amor.
Sementara potongan anggota tubuh raksasa ciptaan
Pendeta Amor berubah menjadi potongan tongkat
kayu tanpa arti lagi.
"Keparat kau, Nak!" geram Pendeta Amor.,
"Rupanya kau benar-benar tak takut mati demi
membela guru mu, si Gila Tuak itu?!" 
"Sekali lagi kuingatkan padamu, Pendeta Amor...
urungkan niatmu ingin membunuh guruku dan
menggantikan kedudukannya sebagai tokoh tertinggi
di rimba persilatan! Jika kau tak mau segera pulang
ke Selat Darah, kali ini aku tak mau main-main
denganmu, kau akan kehilangan nyawa dalam satu
gebrakan! Karena aku tak punya waktu lebih banyak
lagi. Aku harus segera mencari 'Tuak Dewata' untuk
mengobati sakit guruku!"
"Bocah goblok!" sentak Pendeta Amor. "Yang
namanya 'Tuak Dewata' itu tidak ada! Kau hanya bisa
dapatkan 'Tuak Dewata' kalau kau bisa menembus
alam kayangan dan bertemu dengan para dewa asli!
Tapi untuk mengirimmu ke kayangan, lebih dulu aku
harus mengirimkan nyawamu ke neraka!" 
Pendeta Amor segera memainkan jurusnya
dengan merentangkan kedua tangan dan
mengangkat kaki kirinya hingga lutut kiri hampir
menyentuh perut. Pendekar Mabuk masih diam
dengan sikap siaga. Bumbung tuaknya digenggam
dengan  tangan kanan  yang sewaktu-waktu dapat
dipergunakan sebagai senjata menghadapi lawannya.
Sedangkan  kedua telapak tangan Pendeta Amor
sudah mulai memancarkan warna biru pijar.
Tetapi tiba-tiba Setan Merakyat bergerak bagai
menghilang dari tempatnya. Tahu-tahu dia sudah
berada di samping Pendeta Amor dalam jarak dua
langkah. Setan Merakyat segera perdengarkan
suaranya pada saat Pendeta Amor serukan pekik
pertarungannya.
"Hiaaahh...!"
"Kau ini mau apa, Pendeta edan?! Mau melawan
anak muda itu?! Ooh... seperti si cebol ingin
menghancurkan rembulan saja kau ini!" 
Gerakan dan suara Pendeta Amorterhenti
seketika. Wajahnya berpaling memandang ke arah
Setan Merakyat, matanya terbuka bagaikan terkejut
melihat kemunculan tokoh serba putih itu.
"Kkau... kau ada di sini, Setan Merakyat?!" 
"Kami menengok sahabat yang sakit!" 
"Kami...?! Maksudmu, kami siapa saja?!"
Wuuut...! Buuus...! Jleeeg...!  
Pendeta   Amor semakin  terkejut  begitu  melihat
beberapa wajah muncul di depannya;  Batuk
Maragam, Resi Badranaya dan  Bidadari Jalang.
Kontan kaki yang terangkat tadi diturunkan, tangan
yang terentang pun diturunkan. Nyala pijar  biru di
kedua  telapak tangan itu menjadi padam  seketika.
Pendeta Amor merasa telah dikurung oleh tokoh-
tokoh tua yang usianya lebih tinggi darinya.
"Kau tak akan mampu mengalahkan muridku,
Pendeta Anti Modar!" ujar Bidadari Jalang dengan
nada tegas dan berwibawa.
"Maksudmu... maksudmu anak ingusan itu murid
mu? Lho, dia tadi mengaku muridnya Gila Tuak!"
"Sama saja! Yang mengalir dalam dirinya adalah
iImuku dan ilmunya Gila Tuak! Jika kau dari dulu tak
pernah berhasil mengalahkan diriku dan Gila Tuak,
apalagi sekarang kau ingin mengalahkan Suto, murid
kami itu, hmmm...! Kuanggap kau sedang bermimpi di
siang bolong, Pendeta Amor!"
"Kau punya niat menggantikan kedudukan Gila
Tuak?! Oh, kalau begitu kau patut dihajar, Pendeta
sesat!"
Ploook...!
Sebuah tamparan dari tangan Batuk Maragam
melayang ke wajah Pendeta Amor. Tamparan itu
memercikkan cahaya merah api saat kenai pipi si
Pendeta Amor. Kontan tokoh dari Selat Darah itu
jatuh terpelanting dan wajahnya menjadi hitam
separo bagian.
"Kaa... kalian... kalian mengeroyokku! Kalian tidak
adil! Tidak ada yang berani melawanku secara
ksatria!" ucap Pendeta Amor dengan suara tertahan
karena memendam rasa sakit di bagian wajahnya.
Resi Badranaya berkata, "Jadi kau ingin bertarung
secara ksatria?! Hmmm... demi seorang sahabat yang
sedang sakit dan ingin kau bunuh, baiklah... aku akan
turun sebagai ksatria tandinganmu! Bangun dan
hadapilah aku secara jantan, Amoroso Kumbaya!"
Mendengar nama aslinya disebutkan Resi
Badranaya, Pendeta Amor segera berdiri dan
memicingkah mata sebagai tanda bermusuhan 
dengan Resi Badranaya. Giginya menggeletuk, kedua
tangannya menggenggam kuat-kuat. Lalu, suaranya
terdengar bernada geram.
"Tunggu saatnya tiba, Badranaya!"  
Wuuutt...! Blaaass...!
Tubuh kurus berjubah hitam itu melesat ke atas,
hinggap di dahan pohon, kemudian melesat pergi
dengan cepatnya. Hembusan angin gerakan
kepergiannya itu membuat beberapa daun
berguguran bagai diterjang angin kencang.
Pendekar Mabuk ingin mengejarnya, tapi Bidadari
Jalang segera berseru melarangnya.
"Biarkan pergi...!!"
Pendekar Mabuk tak berani melanggar seruan
bibi gurunya itu. Sementara itu, Setan Merakyat
hanya pandangi kepergian Pendeta Amor dengan
tawa pelan bagai orang menggumam, lalu suaranya
pun terdengar entah bicara kepada siapa.
"Dia pikir kita-kita orang ini sudah pada mati apa?
Kok mau menggantikan kedudukan si Gila Tuak?!
Dasar pendeta kebanyakan ubi!"     
"Kau tadi terlalu berlebihan, Brajamusti!" tegur
Resi Badranaya. "Seharusnya kau tak perlu
pergunakan 'Tamparan Geledek'-mu. Cukup dengan
gertakan kita saja dia akan lagi terbirit-birit!"
"Aku jengkel sekali melihat lagaknya yang selalu
merasa paling sakti dan... uhuk, uhuk, uhiiik, ihik,
ahak, uhuk, ehek... huuaaak...!"
"Sudah, sudah... jangan bicara," ujar Setan
Merakyat, "Nanti tenggorokanmu mengkerut jadi
sebesar lidi!"    _
Ketiga tokoh sakti akhirnya memusatkan
perhatian kepada Pendekar Mabuk, karena mereka
mendengar Bidadari Jalang berkata kepada muridnya, 
"Ilmu apa yang kau pakai tadi, hah?!"
"Hmmm... anu, Bibi Guru... ilmu itu bernama ilmu
'Dewatakara' dan..."
"Siapa yang memberimu ilmu itu?!"
"Hmmm... orang sana, Bibi."
"Orang sana mana?! Siapa namanya?!" hardik
Bidadari Jalang.
"Hmmm... ehh... ilmu itu pemberian dari Payung
Serambi...."
"O, gawat!" gumam Batuk Maragam, wajahnya
pun tampak mulai menegang, demikian pula wajah
kedua tokoh sakti di kanan-kirinya itu. Sedangkan
Bidadari Jalang juga tampak terperanjat ketika Suto
Sinting sebutkan nama Payung Serambi.
"Maksudmu, Payung Serambi yang bernama asli
Ratih Kumala itu?!" tanya Bidadari Jalang.
"Betul, Bibi Guru...!"
"Celaka!" gumam Resi Badranaya. Kalau kakek
gurumu tahu, ia pasti akan marah padamu. "Ratih
Kumala adalah prajurit unggulan dari Istana Laut
Kidul. Dia orangnya Ratu Kandita, sang Penguasa
Laut Kidul, Suto!"
"Betul sekali Eyang Resi!" jawab Suto dengan
wajah girang karena merasa tak perlu menjelaskan
siapa Payung Serambi itu.
Tapi pendekar muda itu menjadi berkerut dahi
dan         mulai terheran-heran begitu melihat wajah-
wajah para tokoh yang dihormati itu tampak murung
dan menyimpan kecemasan. Bidadari Jalang
menjauhkan diri, bahkan berdiri membelakangi
mereka dengan kedua tangan bersidekap di dada.
"Ada apa sebenarnya, Bapa Guru Murdawira?!"
"Semuanya sudah telanjur." 
"Apa yang telanjur, tolong jelaskan, Bapa Guru!" 
pinta Suto dengan rasa penasaran sekali.
"Bagaimana hal ini bisa terjadi, Suto? Mengapa
kau mau saja menerima ilmu itu?"
"Saya disuruh memakan daun sirih pemberian
Payung Serambi, Bapa Guru. Daun sirih itu saya
makan sampai habis, lalu Payung Serambi jelaskan
bahwa ilmu 'Dewatakara' sudah menyatu dalam diri
saya."
Resi Badranaya menyahut, "Itu berarti kau sudah
berdarah siluman!"
"Ber... berdarah siluman?!"
Batuk Maragam menimpali, "Ilmu itu hanya
dimiliki oleh prajurit unggulan Nyai Ratu Kandita. Jika
orang sudah menguasai ilmu itu, maka dia sudah
berdarah siluman, Dan dia hanya bisa kawin dengan
rakyat Istana Laut Kidul." 
"Ooh... bbee... benarkah begitu, Bapa Guru?!"
Pendekar Mabuk menjadi tegang, segera lari
mendekati Bidadari Jalang.
"Benarkah aku hanya bisa kawin dengan rakyat
Istana Laut Kidul, Bibi Guru?!"
"Kau lancang!" geram Bidadari Jalang. Dari sorot
matanya tampak sedang menahan amarahnya yang
besar. Suto Sinting menjadi sangat tegang dan
ketakutan. Dalam ingatannya sempat terbayang saat
ia mendapatkan ilmu 'Dewatakara' itu dari Payung
Serambi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Geger di Selat Bantai").
"Lupakan dulu soal itu! Kita urus belakangan saja!
Cari 'Tuak Dewata' agar kakek gurumu bisa lekas
sembuh dan bisa diajak bicara tentang
kelancanganmu itu!"
"Baik, Bibi Guru...," jawab Suto dengan lemah, lalu
ia pun pergi tinggalkan mereka yang berwajah cemas. 
Sementara batin Suto pun bertanya pada diri sendiri.
"Benarkah untuk dapatkan 'Tuak Dewata' harus
bisa menembus alam kayangan, seperti kata Pendeta
Amor tadi?! Mengapa hanya dia yang tahu,
sedangkan Bibi Guru dan Bapa Guru Murdawira tidak
bicara tentang kayangan?!"

*
*  *

3
SETIAP orang yang dikenal, setiap tokoh yang
dijumpai selalu ditanya tentang 'Tuak Dewata'. Tetapi
sebagian besar dari mereka menjawab, "Tuak
Dewata' tidak ada, dan baru kali ini kudengar ada
obat yang bernama 'Tuak Dewata'." Sedangkan
sebagian lagi menjawab, "Aku tidak tahu. Mungkin
memang ada, tapi aku tidak tahu tempatnya. Atau
mungkin memang tidak akan pernah ada 'Tuak
Dewata', aku juga tidak tahu secara persis."
Pendekar Mabuk sempat termenung di puncak
bukit berpohon jarang. Di atas sebuah batu ia duduk
merenung sambil sesekali meneguk tuaknya yang
baru diisi dari kedai di sebuah desa yang dilaluinya.
"Jika 'Tuak Dewata' tidak ada dan tidak akan
pernah ada, lantas apa maksudnya roh sejati Guru
mengutusku mencari  'Tuak Dewata' itu?" pikir Suto
Sinting dalam renungannya.
"Ke mana lagi aku harus mencari? Ke mana lagi
aku harus bertanya? Rasa-rasanya dari semua orang
yang telah kutanya, tak satu pun yang menyinggung-
nyinggung tentang kayangan. Kalau begitu, Pendeta
Amor itu hanya asal cuap saja?! Hmmm... mengapa
sempat menjadi bahan renunganku juga, ya? Oh,
tololnya aku ini!"
Tiba-tiba renungan Pendekar Mabuk dibuyarkan
oleh suara jerit di kejauhan. "Tolooong...!"
Hati sang Pendekar Mabuk tergugah, tubuhnya
tersentak bangkit.
"Suara anak kecil minta tolong?!"
"Toloooong...!"
"Oh, kedengarannya ada di kaki bukit ini sebelah
barat sana! Sebaiknya kuperiksa siapa yang berteriak
minta tolong itu!" 
Zlaaap...! Pendekar Mabuk berkelebat menuruni
bukit. Dalam waktu sangat singkat ia sudah tiba di
atas sebuah pohon tak jauh dari datangnya suara
minta  tolong itu. Suara itu ternyata datang dari
seorang   bocah berusia sekitar sepuluh tahun.
Bocah lelaki itu berambut tipis kucai,
rnengenakan celana hitam dan rompi merah.
Badannya kurus dan hidungnya pesek dengan kulit
hitam walau bukan berarti hitam keling. Suto sangat
mengenali bocah itu, karena ia pernah diperdaya oleh
bocah tersebut  dan dipanggil sebagai Pangeran
Ranggawita yang membuat Suto nyaris gila betulan.
Bocah itu tak lain adalah Congor, yang menjadi
penasihat Ratu Dewi Kasmaran karena kecerdasan
otaknya dan kepandaiannya bicara melebihi orang
dewasa, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Siasat Dewi Kasmaran").
Tak heran jika Pendekar Mabuk sangat terkejut
melihat Congor dalam keadaan terbenam separo
tubuhnya. Tanah yang menelan tubuhnya sampai
sebatas dada  itu tetap dalam keadaan padat dan
tidak berlumpur. Tubuh Congor  seakan tertanam di
tanah kering berumput tipis itu. Kedua tangannya tak
bisa digunakan karena ikut tertanam sampai batas
atas siku. Congor hanya bisa berteriak dan berpaling
ke kanan-kiri dengan wajah tegang.
"Kenapa anak itu?! Mengapa bisa terbenam di
tanah sekeras itu?!" pikir Pendekar Mabuk. "Hmmm...
pasti ada sesuatu yang telah terjadi dan menimpa
nasib si Congor!"
Baru saja Suto Sinting ingin melesat menghampiri
Congor, tiba-tiba seluruh gerakan uratnya dihentikan,
karena ia melihat sekelebat bayangan hitam
menghampiri Congor. la ingin tahu siapa orang yang 
menghampiri Congor itu.
"Oh, celaka...?!" Pendekar Mabuk tersentak kaget
dalam hatinya.
Orang yang menghampiri Congor itu mengenakan
kerudung kain hitam dari kepala hingga kaki, yang
tampak hanya bagian wajahnya saja. Wajah itu
adalah wajah putih bagai mengenakan bedak, pucat,
dan berkesan sangat dingin. Bibirnya biru bagai
mayat baru bangkit dari kuburnya. Namun
sebenarnya wajah itu masih tampak muda dan
tampan, karena ia mempunyai hidung kecil yang
bangir dan mata bening berbulu lentik untuk ukuran
seorang lelaki. Tetapi bola mata itu tampak datar, tak
berperasaan, tajam bagaikan salju-salju runcing.
Di tangan orang berkerudung hitam itu
tergenggam sebuah senjata berupa tongkat dengan
ujung semacam mata pedang berbentuk paruh
burung. Logam itu sangat tajam dan berkilat. Tongkat
berujung logam paruh burung besar itu dinamakan
senjata pusaka El Maut. Dan siapa lagi tokoh yang
bersenjatakan tongkat El Maut kalau bukan Siluman
Tujuh Nyawa alias di Durmala Sanca.
Melihat kehadiran Siluman Tujuh Nyawa, hati
Suto Sinting bergetar dan jantung pun berdetak-
detak. Darahnya mulai bergolak bukan karena takut,
namun karena dibakar oleh api murka yang makin
lama semakin membesar.
Pengembaraan Pendekar Mabuk selama ini
adalah dalam rangka memburu musuh utamanya itu;
Siluman Tujuh Nyawa. la harus memenggal  tokoh
paling sesat, yang ditakuti oleh para tokoh aliran
hitam.
Siluman Tujuh Nyawa dicap sebagai manusia
paling terkutuk di dunia, karena memang ia dikutuk 
oleh leluhurnya untuk menjadi manusia sesat dan
dibenci orang banyak, sebab ia pernah mencoba
memperkosa neneknya sendiri walau akhirnya
digagalkan oleh sang kakek. Dan neneknya itu tak
lain adalah guru dari Bidadari Jalang yang bernama
Eyang Nini Galih. la adalah anak dari Durmagati, yang
membunuh kakak kembarnya sendiri, juga
membunuh orangtuanya sendiri. Selama tiga ratus
tahun ia dikutuk menjadi manusia paling sesat dan
bejat. Padahal sekarang usianya baru dua ratus lima
belas tahun, sama dengan usia si Gila Tuak. Kutukan
itu membuat tak satu pun ilmu dari kakek atau
neneknya diturunkan kepadanya, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Pedang Guntur Bi-
ru").
Manusia terkutuk itu pernah melamar penguasa
Puri Gerbang Surgawi yang dikenal dengan nama
Dyah Sariningrum dan bergelar Gusti Mahkota Sejati.
Hampir saja ratu cantik yang menjadi calon istrinya
Pendekar Mabuk itu celaka oleh ulah si anak durhaka
itu. Beruntung Suto Sinting segera datang
membebaskan Dyah Sariningrum, namun tak berhasil
tumbangkan Siluman Tujuh Nyawa. Pendekar Mabuk
bersumpah akan memberikan mas kawin kepada
Dyah Sariningrum berupa potongan kepala Siluman
Tujuh Nyawa, sehingga selama ini Suto selalu
mengejar-ngejar tokoh terkutuk itu, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam dalam episode: "Prahara
Pulau Mayat").
Kini si manusia terkutuk itu bikin ulah yang lebih
memuakkan lagi di depan Suto Sinting. la mendekati
Congor dengan wajahnya yang kaku tanpa senyum,
pandangan matanya yang dingin tanpa kesan
bersahabat atau bermusuhan. Namun dilihat dari 
caranya mengangkat dagu Congor dengan
menggunakan ujung tongkat El Maut-nya, Pendekar
Mabuk dapat simpulkan bahwa Siluman Tujuh Nyawa
bersikap keji terhadap bocah sekecil Congor.
"Kau telah membohongiku, Bocah babi!" ucapnya
dengan kasar kepada Congor. "Ratumu tidak ada di
Lembah Kesumban! Kau telah sembunyikan dia
serapi mungkin, lalu menjebakku agar terperangkap
di sarang harimau yang ada di hutan Lembah
Kesumban! Kalau kau tidak kubenamkan di tanah ini,
kau sudah kabur dan sulit kuhukum pancung atas
keberanianmu menipuku, Bocah babi!"
"Lepaskan aku dulu dari tanah ini, baru
kuberitahukan di mana Gusti Ratu Dewi Kasmaran
berada!" seru Congor dengan suara lantang, seakan
tak punya rasa takut terhadap ancaman si Durmala
Sanca itu.
"Kau tidak akan kulepas selama-lamanya dari
tanah ini. Kau akan menjadi bangkai tanpa kepala
ditempat ini. Dan kepala mu akan kubawa ke Pulau
Selintang sebagai bukti bahwa aku tak mau
dipermainkan lagi oleh orang Pulau Selintang. Siapa
yang tak mau tunjukkan di mana Ratu Dewi
Kasmaran berada, maka nasibnya akan seperti
dirimu; kehilangan kepala!"
Ujung senjata El Maut sudah merayap ke leher
Congor. Sekali sentak, pasti kepala bocah cerdas itu
akan terpotong lepas dari badannya.
Pendekar Mabuk tak berani bertindak gegabah.
Jika ia muncul, maka Congor akan dijadikan sandera
oleh Siluman Tujuh Nyawa dan nyawa bocah itu
semakin terancam. Karenanya, dalam waktu singkat
otak Suto telah berputar dan menemukan cara
terbaik untuk selamatkan nyawa Congor. 
Ilmu 'Dewatakara' dipergunakan  lagi oleh
Pendekar Mabuk. Cipta batinnya kali ini ditujukan ke
arah gugusan batu yang ada di belakang Siluman
Tujuh Nyawa. Jarak gugusan batu itu sekitar sepuluh
tombak dari tempat Congor ditanam oleh si tokoh
terkutuk itu. Dengan memejamkan mata menyatukan
batin dan pikiran tiba-tiba gugusan batu meninggi itu
telah berubah dalam sekejap menjadi sesosok wanita
cantik dan berdada montok. Blaab...!
Batu itu telah berubah menjadi Ratu Dewi
Kasmaran yang bertubuh sekal, berhidung mancung
dan bermata membelalak indah. Ratu Dewi
Kasmaran mengenakan jubah merah muda bintik-
bintik emas dari bahan kain sutera tipis. Pinjung
penutup dadanya dan kain bawahnya berwarna hijau
tipis. Rambutnya diriap sebagian, sisanya digulung ke
atas dan mengenakan mahkota kecil.
"Lepaskan anak itu!" terdengar suara Ratu Dewi
Kasmaran yang membuat Siluman Tujuh Nyawa
segera palingkan wajah.      
"O, kau muncul dengan sendirinya. Syukurlah, itu
berarti kau telah selamatkan nyawa bocah ini!" ujar
Siluman Tujuh Nyawa tanpa senyum sedikit pun,
namun juga tidak tampak cemberut atau berkerut
dahi. Wajah pucat berbibir biru itu tampak datar-datar
saja, dingin dan memancarkan kekejian yang amat
dalam.
"Dekatlah padaku dan jangan lakukan tindakan
yang bodoh demi keselamatan nyawa bocahmu ini,
Dewi Kasmaran!"
Dengan langkah tenang, Ratu Dewi Kasmaran
melangkah mendekati Durmala Sanca.
"Tinggalkan saya, Gusti Ratu! Jangan hiraukan
nyawa saya, Gusti!" seru Congor seakan tak rela jika 
gusti ratunya jatuh ke tangan Siluman Tujuh Nyawa.
Tetapi Suto Sinting sengaja membuat seolah-olah
Ratu Dewi Kasmaran membodohkan ucapan Congor
tadi. Sang Ratu terdengar berkata kepada Congor
sambil tetap melangkah pelan dekati Siluman Tujuh
Nyawa.
"Gunakan otakmu yang cerdas itu, Congor!
Pandanglah siapa orang yang kita hadapi. Aku baru
sadar kalau orang yang kita hadapi adalah tokoh sakti
yang sukar dicari tandingannya. Menyerah kepadanya
bukan sesuatu yang merugikan, Congor. Sebab aku
tahu, bahwa kita yang lemah ini memang sudah
selayaknya mengabdi kepadanya, Congor!"        
"Bagus. Pikiranmu sekarang telah terbuka,
rupanya!" sambil Siluman Tujuh Nyawa melepaskan
ancaman tongkat El Maut-nya dari leher Congor. Kini
ia justru melangkah menyambut kedatangan Ratu
Dewi Kasmaran yang menyunggingkan senyum manis
dan manja, dengan sorot pandangan mata berkesan
nakal.
"Sudah begitu lama aku tidak menikmati
keindahan cinta seorang wanita, karena dikejar-kejar
oleh murid sintingnya Gila Tuak itu. Sekarang
gairahku datang dan membakar hasrat kejantananku
begitu aku melihatmu mendarat dari kapalmu di
Pantai Utara kemarin."
"Mengapa kau tidak segera menemuiku pada
saat itu, selagi dekat dengan kapalku, selagi ada
kamar untuk kencan kita berdua."
"Aku masih belum mengetahui siapa dirimu, Dewi
Kasmaran. Setelah kusadap percakapanmu dengan
beberapa anak buahmu, aku baru tahu bahwa kau
adalah Ratu yang kesepian dan mengharapkan
belaian kasih sayang serta cumbuan hangat seorang 
lelaki. Seketika itu pula aku merasa mampu
memenuhi harapanmu, Dewi Kasmaran!"
Mereka semakin dekat. Siluman Tujuh Nyawa
hanya sunggingkan senyum sangat tipis dan
pandangan matanya masih datar berkesan dingin.
Tetapi Ratu Dewi Kasmaran menyambut pandangan
mata itu dengan nyala api berpijar-pijar di permukaan
kedua bola matanya yang indah itu. Bahkan ketika
mereka sama-sama hentikan langkah dan saling
berdekatan, Ratu Dewi Kasmaran membiarkan
rambutnya dibelai oleh Siluman Tujuh Nyawa, pipinya
diusap dengan jemari tangan yang berkuku runcing,
dan usapan itu merayap hingga belahan dada sang
Ratu.
"Benarkah kau mampu memberikan kepuasan
bagi diriku yang kesepian ini, Siluman Tujuh Nyawa?"
"Akan kubuktikan sekarang juga."
"O, jangan! Maksudku, jangan di sini. Aku tak
ingin kemesraan kita dilihat bocah kecil itu. Bawalah
aku pergi ke tempat yang aman dan hangat, Siluman
Tujuh Nyawa," ucap sang Ratu Dewi Kasmaran
dengan suara bernada manja dan penuh tantangan
bercumbu.
"Di balik bukit kecil itu ada gua! Kita ke sana
saja!"
"Ooh... bawalah aku pergi dengan cepat, aku
sudah tak tahan memendam hasratku yang membara
ini!" Ratu Dewi Kasmaran menjatuhkan kepala di
dada Siluman Tujuh Nyawa.
"Gusti Ratu...! Gusti Ratu, sadarlah...!" seru
Congor dalam keadaan masih terbenam separo
bagian.
Tetapi Ratu Dewi Kasmaran tetap melangkah
dalam pelukan Siluman Tujuh Nyawa. Mereka 
meninggalkan Congor dan tak hiraukan sedikit pun
seruan bocah itu.
"Gusti...," tiba-tiba seruan Congor terhenti, karena
ia melihat kehadiran Pendekar Mabuk yang
mendekatinya.
"Suto...?!"        
"Ssstt...!" Pendekar Mabuk beri isyarat dengan
telunjuknya agar Congor diam saja. Pendekar muda
dan tampan itu tersenyum geli memandangi langkah
Siluman Tujuh Nyawa yang tampak mesra
berdampingan dengan Ratu Dewi Kasmaran.
"Tolong bebaskan aku dari penjara bumi ini!" bisik
Congor.
"Tenang saja. Tak perlu kau meminta tolong aku
memang datang untuk selamatkan nyawamu."
"Aku dan kakakku mendampingi Ratu Dewi
Kasmaran. Dia memaksa kami untuk mencarimu."
"Ada apa dia mencariku?"
"Gusti Ratu sangat rindu padamu dan ingin
jumpai denganmu walau hanya sebatas pandangan
mata saja."
"Sial! Itu penyakit yang berbahaya, Congor!"
"Berbahaya memang berbahaya, tapi bagaimana
dengan nasibku ini? Mengapa kau hanya pandangi
kepergian mereka?"
"O, ya... hampir saja aku lupa kalau kau tertanam
kuat-kuat."
"Si manusia terkutuk itulah yang menanamku
dengan jurus aneh, membuatku bagai terpenjara oleh
sang bumi!"
"Bersiaplah...! Jangan banyak buka mulut biar
tanah tak masuk ke tenggorokanmu!" ujar Suto
Sinting, kemudian kakinya menghentak ke tanah satu
kali. Duhkk...! 
Bless...!
"Lho, bagaimana ini?! Kok aku semakin tertanam
ke dalam?!" ujar Congor dengan tegang, karena
sekarang tubuhnya lebih tenggelam ke bumi hampir
mendekati lehernya.
"Ooh, maaf... aku salah pakai jurus. Yang kupakai
baru saja tadi adalah jurus 'Telan Bumi". Sekarang
akan kugunakan jurus imbangannya, jurus 'Jebol
Bumi', Hiaaah. .!"  
Duuhkkk...! 
Bruss...!
Tubuh bocah cilik  itu terlempar naik bagaikan
terbang. Tanah yang menjepitnya ikut tersembur ke
atas dan berhamburan ke mana-mana.
Congor segera berjungkir balik ke udara beberapa
kali. Jika tidak begitu, tubuhnya yang kecil akan
terlempar dan terbanting tanpa keseimbangan badan.
Wuk, wuk, wuk...!
Jlegg...!
Congor mendaratkan kakinya ke tanah dengan
sigap dalam jarak empat langkah di samping kiri Suto
Sinting.
Pada waktu itu, langkah Siluman Tujuh Nyawa
dengan Ratu Dewi Kasmaran melewati tempat
berdirinya gugusan batu yang dicipta dalam batin
Suto sebagai Ratu Dewi Kasmaran. Tetapi sebelum
segalanya berubah, semburan tanah saat tubuh
Congor terlempar ke atas tadi  menimbulkan suara
yang mencurigakan bagi Siluman Tujuh Nyawa. Maka
sang tokoh sesat itu segera berpaling ke belakang.
"Biadab...!" geramnya tiba-tiba sambil berbalik
tubuh secara total. Matanya memandang dingin ke
arah Pendekar Mabuk dan Congor yang tampak telah
bebas dari 'penjara bumi'-nya itu. 
"Kau sudah bosan hidup, rupanya!" ucapnya agak
lirih kepada Suto. Suara itu hampir saja tak terdengar
karena jaraknya cukup jauh untuk suara bernada
serendah itu.
"Dewi Kasmaran, sebaiknya kau...," kata Siluman
Tujuh Nyawa itu terhenti karena mendadak hatinya
tersentak kaget melihat Ratu Dewi Kasmaran yang
ada di sampingnya telah berubah menjadi gugusan
batu hitam menjulang setinggi manusia dewasa.
Siluman Tujuh Nyawa tersentak kaget, namun
raut wajahnya tetap dingin dan tanpa perubahan air
muka sama sekali. Sebagai tanda kemarahannya,
batu itu segera disodok dengan sikunya.
Dess...!
Brrooll...!
Sodokan siku pelan telah membuat gugusan batu
hitam itu hancur menjadi bongkahan-bongkahan
sebesar genggaman bayi. Rupanya Siluman Tujuh
Nyawa tahu bahwa Ratu Dewi Kasmaran yang tadi
mendekatinya adalah jelmaan dari batu tersebut. Dan
ia pun tahu ulah siapa lagi yang seperti itu jika bukan
ulah Pendekar Mabuk yang dibencinya itu.
"Kau mau adu sihir denganku, Suto? Boleh saja!"
ucapnya dengan suara datar bagai tanpa irama.
Pendekar Mabuk berbisik kepada Congor.
"Pergilah, cepat! Bawa Ratu Dewi Kasmaran
pulang. Nanti kalau urusanku sudah selesai aku
sendiri yang akan bertandang ke Pulau Selintang!"
"Baik! Tapi... bagaimana urusanmu dengan tokoh
sesat yang berilmu tinggi itu? Aku harus
membantumu, Suto!" 
"Pergilah dan jangan banyak bicara lagi!" Suto
Sinting setengah menggertak dengan suara ditekan
dan bibir berusaha tak tampak bicara.
Congor segera pergi. Tak berani membantah
perintah sang pendekar yang dikagumi itu. Tetapi
setibanya di balik pohon agak jauh dari tempat itu,
Congor berbalik arah. Kini ia bersembunyi di balik
pohon itu, karena hatinya penasaran ingin melihat
pertarungan Pendekar Mabuk dengan Siluman Tujuh
Nyawa.
Tokoh yang sebenarnya berambut panjang tapi
tak pernah kelihatan karena ditutup kain kerudung
hitam itu, kini menghentakkan tongkatnya ke tanah
dengan pelan. Duhkk...! Tiba-tiba dari tanah yang
terkena sentakan tongkat itu keluar nyala api yang
bergerak memanjang bagaikan lari ke arah Pendekar
Mabuk.
Wuurrsss...!
Gerakan api itu sangat cepat, dan tahu-tahu telah
mengurung Suto Sinting dalam sebuah lingkaran
berkobar-kobar. Lingkaran api yang keluar dari tanah
itu makin lama semakin bergerak menyempit, seakan
ingin menjerat tubuh Suto Sinting.
Dengan cepat bumbung tuak diraihnya, lalu
ditenggak sebagian. Tuak itu segera disemburkan
lewat mulut dengan gerakan tubuh memutar cepat
bagaikan gangsing.
Bruusss...!
Blaabbb...!
Lingkaran api padam seketika. Sisa asapnya
mengepul dan hilang di udara. Tanah yang bekas
dipakai untuk menyemburkan api tadi tampak
menghitam hangus. Tanah itu makin lama semakin
bergerak turun bagai potongan papan bundar.
Wuuttt...! Suto Sinting segera lakukan lompatan
ke atas sebelum tanah yang berbentuk lingkaran itu
meleak lebih ke dalam lagi. Dalam sekejap saja 
Pendekar Mabuk sudah berada di atas pohon. Dari
sana ia bergerak menggunakan jurus 'Gerak Siluman'
ke arah lain. Zlaappp...!
Tahu-tahu sudah berada di samping kanan
Siluman Tujuh Nyawa dalam jarak sekitar tujuh
langkah.
Tokoh berkerudung kain hitam itu cepat-cepat
ikuti dengan pandangan matanya yang tetap dingin
dan datar.
"Sudah waktunya kau mati, Bocah ingusan!"
Claappp...! Tiba-tiba Siluman Tujuh Nyawa
melompat ke arah Suto. Baru saja kakinya terangkat
dari  tanah, tubuhnya telah lenyap dan berubah
menjadi seberkas sinar biru berekor panjang. Clapp...!
Zrrraabbb...!
Sinar biru itu pecah menjadi delapan larik yang
semuanya menyerang Suto Sinting secara serempak
dari delapan penjuru.
Pendekar Mabuk nyaris terjebak dan tak bisa
hindarkan diri. Tetapi ia segera memutar bumbung
tuaknya di atas kepala dalam keadaan tubuhnya
oleng sana-sini bagaikan orang sedang mabuk.
Dengan menggenggam tali bumbung dan
memutarkannya, maka angin besar pun hadir di
sekeliling  Suto Sinting. Angin itu mengandung busa-
busa salju, dan akhirnya membuat delapan sinar dari
delapan penuruA itu pecah dengan timbulkan suara
ledakan yang cukup keras.
Blegaarrr...!
Jurus itu sebenarnya sudah dimiliki Suto sejak
dulu, tapi jarang digunakan karena baru sekarang ia
merasa membutuhkan jurus yang dinamakan 'Kipas
Malaikat' itu.
Pecahnya delapan sinar itu menimbulkan kepulan 
asap putih kehitam-hitaman dalam satu gugusan.
Asap itu segera sirna dan sosok Siluman Tujuh Nyawa
tampak kembali.
Begitu tokoh sesat itu muncul, sebuah lompatan
segera dilakukan ke arah Suto Sinting dengan tongkat
berujung pedang lengkung itu menyambar kepala
Suto Sinting. Wuuttt...! 
Suto Sinting berlutut dan segera berguling ke
tanah hindari tebasan tongkat El Maut. la berguling
maju ke depan, sehingga begitu tubuhnya tegak
dalam posisi berlutut satu kaki, bumbung tuaknya
segera menyambar kaki Siluman Tujuh Nyawa yang
berkelebat ke atas kepalanya.
Wees...! Prraaakk...!
"Oouhk...!" pekik Siluman Tujuh Nyawa, lalu
tubuhnya limbung dan jatuh tersungkur. Brruukkk...!
"Sekarang saat kematianmu tiba, Manusia
terkutuk!" geram Suto Sinting sambil mengangkat
bumbung tuaknya yang ingin dihantam ke punggung
lawan.
Tetapi tiba-tiba tangan kiri Siluman Tujuh Nyawa
menepuk tanah satu kali. Pluukkk...!
Lapp...! Tiba-tiba tubuh berkerudung kain hitam
itu lenyap bagai ditelan bumi. Tak ada bekas sedikit
pun yang tertinggal di tempat jatuhnya Siluman Tujuh
Nyawa itu. 
"Jahanam! Kau pasti lari ke alam gaib, Keparat!
Keluarlah kau, dan hadapi aku secara jantan!" seru
Suto Sinting dengan hati dongkol. Tetapi seruan itu
bagai tidak mendapat tanggapan apa pun dari
lawannya. Hati Suto menjadi semakin marah.
"Kukejar kau ke sana. Pengecut!" Tangan kanan
Suto segera mengusap keningnya. Di kening itu ada
tanda merah kecil sebesar biji jagung, pemberian dari
Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya. Dengan
mengusap tanda merah kecil di kening, maka Suto
Sinting dapat menerabas masuk ke alam gaib dan
segera memburu musuh bebuyutannya. Blaass...!
Congor terperanjat bengong dengan mata
mendelik. "Edan! Lenyap begitu saja?! Benar-benar
sakti si tampan itu! Aku harus segera menemui Gusti
Ratu di tempat persembunyiannya dan menceritakan
hal ini kepada kakakku; Manis Madu, yang menjaga
Gusti Ratul"
Congor pun segera berkelebat pergi dengan
gerakan cepat. Sementara itu, Pendekar Mabuk
berkeliaran di alam gaib memburu lawannya yang
selalu melarikan diri jika dalam keadaan terdesak.
*
* *

4
CUKUP lama Pendekar Mabuk berkeliaran di alam 
gaib. Tekadnya sudah bulat, bahwa saat itu ia harus
berhasil temukan Siluman Tujuh Nyawa dan
menyelesaikan urusan lamanya yang tertunda-tunda.
Tetapi ternyata hingga beberapa waktu lamanya Suto
menjelajahi alam gaib, Siluman Tujuh Nyawa tak
kelihatan batang hidungnya. Yang ditemukannya
hanya sosok makhluk-makhluk aneh penghuni alam
gaib.
"Pada umumnya wajah mereka buruk-buruk!
Kasihan, mana ada gadis cantik di tempat seperti
ini?" ujar Suto membatin dalam hatinya.
"Oh, mengapa aku jadi bernafsu sekali untuk
dapatkan Siluman Tujuh Nyawa?! Bukankah hal yang
lebih penting kukerjakan adalah mencari 'Tuak
Dewata' dan membawanya pulang untuk segera
sembuhkan sakitnya Kakek Guru?! Oh, hampir saja
aku melantur lagi. Aku harus mencari 'Tuak Dewata'
itu dulu. Tak akan kulakukan pekerjaan lain sebelum
'Tuak Dewata' kudapatkan!"
Pendekar Mabuk segera tarik napas, kemudian
menenggak tuaknya tiga teguk. Tuak itu
mempengaruhi keberanian Suto, sehingga tidak
merasa takut dan jijik melihat makhluk-makhluk alam
gaib yang punya bentuk dan ukuran berbeda-beda.
la justru menertawakan sesosok makhluk yang
menghampirinya. "Heh, heh, heh... wajah makhluk ini
kok mirip dengan bakul nasi? Eh, tapi siapa tahu dia
bisa diajak bicara dan bisa menunjukkan di mana
adanya 'Tuak Dewata' itu? Hmmm... sebaiknya
kucoba untuk bertanya kepadanya."
Makhluk yang mirip bakul nasi itu semakin
mendekat. Mulutnya yang lebar mirip dompet penjual 
jamu gendong segera terbuka. Lidahnya terjulur
memanjang dengan wajah didekatkan pada Suto.
Plokk...!
Suto Sinting menabok wajah makhluk itu. Mata
bundar makhluk itu berkedip-kedip seperti kelilipan.
"Kurang ajar! Ditakut-takuti malah nabok!"
gerutunya dengan suara seperti kaset kendor.
"Hei, kau tahu di mana bisa kudapatkan 'Tuak
Dewata'?" sapa Suto Sinting dengan bertolak
pinggang, menampakkan keberaniannya yang
membuat makhluk itu sendiri menjadi ciut nyali.
"Kau tanya apa tadi?" 
"Tuak Dewata!"'
"Tuak Dewata' itu jenis makanan apa minuman?"
"Uuh...! Belum-belum sudah tanya begitu, berarti
kau tidak tahu di mana adanya 'Tuak Dewata'. Dasar
makhluk tolol!"
"Apakah kau mencari Tuak Dewata'?"
"Budek, tuli, congekan!" gerutu Suto Sinting
bersungut-sungut.
"Sebaiknya kau carilah Tuak Dewata', siapa tahu
itu nama pusaka yang ampuh. Kau manusia apa jenis
hantu?!"
"Mau apa tanya-tanya begitu?!"
"Kalau kau hantu, atau sejenis jin seperti aku, kau
akan kubantu. Tapi kalau kau manusia, aku tak mau
membantu."
"Mengapa kau tak mau membantu manusia?!"
"Manusia sering menipuku. Berlagak siapkan
makanan untukku,  darah segar. Begitu kuminum,
tidak tahunya air sepuhan merah! Rasa manis tak
kudapat, rasa pahit telanjur ketelan. Ngepet juga
manusia itu!" mulut lebar itu berkecamuk-kecamuk
dalam bicaranya seperti mengunyah permen karet. 
Suara yang meliuk-liuk bernada besar membuat Suto
Sinting ingin tertawa, namun ditahannya kuat-kuat.
"Carikan aku 'Tuak Dewata' untuk obati guruku!"
"Ooo... jadi 'Tuak Dewata' sejenis obat? Obat
cacing apa obat nyamuk?!"
Plakk...! Suto Sinting menampar wajah lebar mirip
bakpao raksasa itu.
"Kau pikir guruku sejenis cacing atau nyamuk?!"
Makhluk aneh berwarna putih lendir itu
bersungut-sungut sambil pegangi pipinya yang kena
tampar.
"Manusia kok galak! Seharusnya jin lebih galak
dari manusia!"
"Omong kosong! Jin mana yang mau
menggangguku, akan kulawan dia!"
"Tanyakan saja pada mereka satu persatu, siapa
yang mau mengganggumu. Kurasa tak ada yang
berani, karena kau galak sekali. Mirip ibuku kalau
sedang hamil, selalu galak sekali!"
"Sudah, jangan banyak omong! Buang-buang
waktu saja.  Kau tahu tentang 'Tuak Dewata' atau
tidak sebenarnya?"
"Tidak tahu!" sentak makhluk itu. "Tanyakan pada
yang lain saja. Aku tak mau bicara lagi denganmu.
Belum genap sehari wajahku sudah bonyok,
ketampanan ku bisa hilang!"
"Begitu saja tampan, yang jelek  seperti apa?!"
gerutu Suto Sinting sambil melangkah tinggalkan
tempat itu.
"Hei, Manusia... jangan pergi ke sana.  Itu
perbatasan alam gaib yang tak boleh dimasuki
manusia. Nanti kau dihajar oleh penjaga perbatasan
alam gaib!"
Seruan itu tak dihiraukan Suto Sinting, karena di 
dalam benak Suto tiba-tiba terbetik gagasan untuk
menemui calon mertuanya yang menjadi penguasa
negeri Puri Gerbang Surgawi yang ada di alam gaib.
Jalanan di depan sana tampak menyala hijau.
Suto Sinting jadi ingat tentang lumpur menyala hijau
seperti fosfor yang ada di lorong gua menuju istana
Ratu Kartika Wangi. Oleh sebab itu, gagasan untuk
menghadap Ratu Kartika Wangi terbit di benak Suto
dan hatinya berharap agar sang calon mertua
nantinya dapat menjelaskan apa dan bagaimana
sebenarnya 'Tuak Dewata' itu.
Alam di sekeliling tempat itu tampak redup. Tidak
terang dan tidak gelap. Seperti mendung di siang hari.
Tetapi langit yang tampak dari tempat itu dalam
keadaan putih bersih tanpa mega mendung sedikit
pun. Hanya saja, matahari tak kelihatan muncul di
langit sebelah mana pun. Rembulan juga tak ada.
Entah cahaya terang yang redup itu datang dari
mana, yang jelas hawa udara di tempat itu juga tidak
panas dan tidak dingin.
Pendekar Mabuk bulatkan tekad mendekati jalur
yang menyala  hijau pijar-pijar itu. Untuk mencapai
jalur hijau di seberang sana, ia harus melewati
padang pasir tanpa tanaman sedikit pun. Pasir yang
menghampar bukan berwarna putih, melainkan
berwarna merah kecoklatan. Bentuknya halus seperti
tepung, namun mempunyai kepadatan tersendiri
bagai tanah lapangan berdebu merah kecoklatan.
"Inikah yang dimaksud perbatasan alam gaib
itu?!" pikir Suto Sinting sambil melangkah dengan
menenteng bumbung tuaknya di pundak kanan.
Tiba-tiba langkahnya terhenti karena seberkas
cahaya merah mirip bintang berekor terbang
mendekatinya. Wuuttt...! Suto Sinting segera meraih 
tali bumbung tuaknya. Cahaya merah yang
mendekatinya segera dihantam dengan bumbung
tuak tersebut. Wuuutt...!
Blangng...!
Hantaman itu timbulkan ledakan yang
menggema. Seakan langit putih itu mulai menjadi
merah saga akibat percikan cahaya merah dari
ledakan tadi. Gema ledakan masih terdengar sampai
tiga helaan napas, sepertinya gema itu sukar hilang
dari gendang telinga Pendekar Mabuk.
Terjadinya ledakan itu membuat  sinar merah
seperti bintang jatuh lenyap. Lenyapnya sinar merah
mengepulkan asap tipis warna putih. Asap itu pun
lenyap  sedikit demi sedikit, dan sesosok tubuh tinggi
besar keluar dari gumpalan asap yang memudar itu.
"Gila! Makhluk apa lagi ini?!" pikir Suto Sinting
dengan mundur selangkah dan wajahnya mendongak
pandangi wajah makhluk menyeramkan itu.
Kedua kaki makhluk itu besarnya seukuran pilar
istana, panjang dan berbulu mirip tanaman rambat.
Perutnya membusung besar dan hanya mengenakan
cawat dari kain tebal, entah bahan apa yang
digunakan. Makhluk itu tingginya tiga kali tinggi Suto
Sinting dan mempunyai dada berkulit retak-retak.
Sekujur tubuhnya yang berwarna abu-abu itu
berdebu putih sampai di bagian kepala. Makhluk itu
seperti mengenakan bedak yang menyebarkan bau
apek, tak sedap dihirup hidung. la berkepala gundul
polos, daun telinganya lebar melambai-lambai,
mempunyai mata dan mulut besar, hidungnya pun
mirip guci tuak yang sering dijual di kedai-kedai.
"Grrrmmm...!" la menggeram dengan mata
besarnya melotot lebar sekali. "Mau apa kau datang
kemari, Manusia?!"  
"Siapa kau dan mengapa berani menghadang
langkahku?!" Suto Sinting justru balik bertanya. la tak
tampak takut sedikit pun. 
"Aku Jin Koplo, penjaga perbatasan alam gaib ini,
Tolol!"
"Lalu, mengapa kau menghadang langkahku?"
"Tidak setiap makhluk boleh memasuki
perbatasan ini, sebelum mendapat izin dariku! Jadi
aku harus menghentikan langkahmu, dan kalau kau
nekat terpaksa kuinjak kepalamu di sini sampai
pecah. Pyaaah..! Huah, hah, hah, hah, hah...l"
Suara besar itu serukan tawa yang menggema ke
mana-mana. Tawanya itu hadirkan gelombang
getaran yang membuat tubuh Suto Sinting seperti
sedang diguncang gempa. 
"Aku ingin ke Jalur Hijau itu!" kata Suto Sinting
setelah guncangan itu berhenti dengan sendirinya.
"Kau tak boleh mencapai Jalur Hijau itu!" 
"Kenapa tak boleh?!"
"Itu jalur terhormat dan tidak sembarang makhluk
boleh mencapai Jalur Hijau itu."
"Kau belum tahu siapa aku, Jin Koplo!"
"Tentu saja, sebab kalau aku sudah tahu siapa
kau, akan kutanyakan mana oleh-oleh bawaanmu?!
Huah, hah, hah, hah, hah...!"
Wuurss...!
Suto melemparkan segenggam pasir ke mulut Jin
Koplo. Jin itu tersentak kaget dan menyembur-
nyemburkan pasir yang masuk ke mulutnya.
"Brusstt...! Bruusst...! Kurang ajar! Bruusst...!"
Semburan itu hadirkan angin kencang yang
membuat Suto Sinting jadi terlempar ke sana-sini dan
berguling-guling bagai dihempaskan oleh badai
berkekuatan tinggi. 
"Sial! Aku kena getahnya juga!" gerutu Suto
sambit bangkit dan buru-buru menenggak tuak untuk
memulihkan tenaganya yang habis terbanting-banting
tadi.     
"Hoi, Manusia rongsok...! Berani-beraninya kau
berbuat lancang di hadapanku, hah..,?!"
Bentakan suara  'hah' itu membuat dada Suto
bagai terasa dihantam dengan kayu balok besar. Suto
Sinting terpaksa mundur dua langkah dan menahan
napasnya.
"Di sini aku jin terhormat, ditakuti oleh makhluk
alam gaib lainnya! Tapi mengapa kau seenaknya
mendulangku pakai pasir?! Kau pikir makananku
pasir?! Aku bukan undur-undur, tahu?!"
"Apakah kau cukup sakti sehingga merasa patut
dihormati?!" 
"Jin Koplo adalah jin paling sakti di jajaran para
makhluk alam gaib ini! Kalau tidak percaya, silakan
adu kesaktian denganku!"
"Tunjukkan kesaktianmu dengan mengubah
dirimu menjadi seukuran denganku! Kalau kau bisa,
aku baru mau mengakuimu sebagai jin sakti dan
menaruh hormat padamu!"
"Berubah menjadi seukuran denganmu?! Huah,
hah, hah, ha, huaaah...!" tawanya membuat Suto
Sinting terpaksa menutup kedua telinganya kuat-kuat.
Jika tidak, ia khawatir gendang telinganya akan
pecah.
"Berubah seperti dirimu adalah hal yang paling
mudah bagiku!" 
"Coba tunjukkan, jangan hanya besar mulut di
depanku, Jin Koplo!"
"Baik! Akan kutunjukkan kalau aku punya
kesaktian bisa mengubah diri menjadi sebesar 
dirimu!"
Kemudian Jin Koplo pejamkan mata sambil
menggeram dengan kedua tangan bersidekap di
dada.
"Grrrhmmm...!" 
Suuuttt...! Tanpa sinar tanpa asap, Jin Koplo tiba-
tiba telah berubah menjadi kecil, menyusut dengan
cepat menjadi seukuran dengan Pendekar Mabuk.   
"Lihat, aku sudah menjadi seukuran denganmu,
bukan?!" suaranya pun menjadi cempreng, seperti
suara anak-anak. 
Pendekar Mabuk tak banyak bicara, langsung
melepaskan jurus 'Jari Guntur'-nya. Dengan jari
menyentil beberapa kali, tubuh Jin Koplo terlempar ke
sana-sini tanpa bisa memberi balasan apa-apa.
Sentilan jari itu mempunyai kekuatan tenaga dalam
yang kekuatannya seperti tendangan kuda jantan.
Tes, tes, tes, tes, tes, tes...!
"Aaaauww...!" Jin Koplo menjerit panjang sambil
berjungkir balik ke sana-sini, mirip seekor kecoa yang
disentil kian kemari. Jika kedua kakinya di atas dalam
keadaan jatuh telentang, ia seperti sukar
membalikkan tubuhnya. Kesempatan itu digunakan
Suto untuk menghajarnya terus dengan jurus 'Jari
Guntur'-nya.
"Kalau kau merasa sakti dan patut kuhormati,
lawanlah jurusku ini!" seru Suto Sinting sambil tetap
melancarkan sentilan bertubi-tubi. Jin Koplo tak diberi
kesempatan untuk membalas atau menyerang.
Bahkan kesempatan untuk beristirahat dari jungkir
baliknya juga tak ada. 
"Waaooww...! Hentikan!  Hentikaaan...!
Ampuuun...!" teriaknya dengan suara cempreng.
Dalam posisi jatuh tengkurap, tiba-tiba Jin Koplo 
langsung bersikap sujud kepada Suto Sinting,
wajahnya mencium tanah dan kedua tangannya
terangkat-angkat dengan gerakan membungkuk-
bungkuk.
"Ampuuun...! Ampun...! Aku pusing sekali,
Manusia! Kepalaku seperti hilang, dadaku seperti
bolong, oooh... ampuuun... tulang-tulangku sudah kau
buat patah empat bagian. Mohon jangan kau
patahkan lagi. Aku tak mau menjadi jin presto, alias
jin bertulang lunak seperti ikan bandeng yang
dimakan manusia sejenismu itu. Wuodoow...
ampunilah aku, Manusia...!"
Jin Koplo tak tahu kalau Suto Sinting sudah
pindah ke belakangnya agak jauh sambil jaga-jaga
diri. la masih bersujud-sujud memohon ampun di
tempat bekas Suto berdiri tadi.
"Aku di sini, Jin Koplo!"
Jin itu mendongakkan wajah, dan terbengong
melihat tempat di depannya kosong. la menoleh ke
belakang, melihat Suto berdiri dengan jari mau
disentilkan. Jin itu segera merangkak terburu-buru
dengan ketakutan.
"Ampun,  ampuuun...! Jangan sentil lagi aku!
Tubuhku sudah sakit semua! Mohon kita berdamai
saja. Damai saja, Manusia...!" pintanya sambil
memegangi 'jimat kejantanannya' yang tadi sengaja
disentil Suto dari jarak jauh sebanyak tiga kali. Rasa
sakit pada tempat itulah yang membuat Jin Koplo
akhirnya tobat dan tak berani bersikap kasar kepada
Pendekar Mabuk.
"Bangunlah jika kau mau bersahabat denganku!
Tapi ingat, jika kau berubah besar di depanku, aku
akan menyentil  'jimatmu' dengan tenaga dalamku
yang lebih besar juga!"  
"Tii... tidak, tidak...!" tangannya digoyang-
goyangkan. "Aku tidak akan berubah besar lagi di
depanmu. Aku akan berubah besar di belakangmu
saja."
"Juga tidak boleh! Nanti kau membokongku dari
belakang!"     
"O, ya, tidak, tidak...! Aku tidak akan berubah
besar sebelum kau pergi dari hadapanku! Kita... kita
damai saja, ya?"   
Pendekar Mabuk menarik napas sambil
tersenyum bangga. Jin Koplo melangkah dengan kaki
merenggang dan mendekap 'jimat kejantanannya'
yang terasa bengkak bagai bisul mau pecah.
"Dapatkah kau mengobati penyakit turun berokku
ini?" ujarnya sambil menyeringai menyedihkan.
"Minumlah tuakku ini. Buka mulutmu!" 
Jin Koplo menurut saja membuka mulutnya.
Pendekar Mabuk mengucurkan tuaknya ke mulut itu.
Beberapa saat setelah Jin Koplo menelan tuak, rasa
sakit di sekujur tubuhnya pun lenyap.
"Hebat sekali minumanmu itu. Oh, ya... siapa
namamu, Kawan?!"
'"Suto Sinting alias Pendekar Mabuk!"'jawab Suto
dengan senyum ramah karena Jin Koplo lebih dulu
memanggil 'kawan', sehingga Suto merasa perlu
mengimbangi sikap persahabatan itu.
"Sebenarnya apa yang kau cari di sini, Kawanku
Suto?"       
"Aku mencari  obat untuk sembuhkan sakitnya
guruku. Obat itu bernama 'Tuak Dewata'. Apakah kau
tahu di mana ada 'Tuak Dewata' itu, Jin Koplo?!"
Jin Koplo tertegun bengong. Apa maksudnya, Suto
sempat bingung mengartikannya. Tahu atau tidak
tahu, tak jelas tergambar di wajah Jin Koplo.
Jin Koplo hanya berkata, "Orang-orang di Jalur
Hijau mungkin tahu tentang 'Tuak Dewata' yang kau
cari. Rasa-rasanya sangat tepat jika kau pergi ke
wilayah Jalur Hijau itu. Kawan."
"Jadi kau sendiri tidak tahu tentang 'Tuak Dewata'
itu?" Suto penasaran dan ingin ketegasan dari Jin
Koplo.   
"Aku hanya pernah mendengar nama 'Tuak
Dewata' disebutkan oleh salah seorang penghuni
Jalur Hijau itu. Hanya satu kali kudengar dan itu pun
sudah sekitar seribu tahun yang lalu." 
"Seribu tahun yang lalu?" Suto membelalak heran.
"Dan aku tidak tahu apa artinya 'Tuak Dewata' itu.
Mungkin nama seseorang, mungkin nama pusaka,
mungkin nama makanan, mungkin juga nama
penyakit. Aku sungguh-sungguh tak tahu-menahu
tentang arti  'Tuak Dewata' itu, Kawan. Tetapi aku
yakin, satu dari sekian banyak penghuni wilayah Jalur
Hijau pasti ada yang mengetahui tentang arti  'Tuak
Dewata' tersebut."
Pendekar Mabuk menggumam pendek dengan
hati agak lega. Setidaknya ia punya harapan akan
mendapat keterangan tentang 'Tuak Dewata' itu dari
salah satu penghuni wilayah Jalur Hijau tersebut. la
berharap keterangan yang akan diperolehnya nanti
tidak akan membuatnya menjadi lebih pusing dan
lebih menjengkelkan.
"Tetapi hati-hatilah memasuki Jalur Hijau itu,
Kawan Suto," ujar Jin Koplo lagi. "Sebab, jalur itu
adalah wilayah yang tidak bisa dimasuki oleh
sembarang orang. Tidak setiap makhluk dapat
selamat memasuki Jalur Hijau."
"Mengapa begitu?" 
"Karena wilayah itu adalah wilayahnya seorang 
ratu maha sakti yang kabarnya sekarang sudah
mempunyai seorang panglima perang bergelar
Manggala Yudha Kinasih."       
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum.
"Kudengar sang Manggala Yudha  Kinasih itu
mempunyai ilmu sangat tinggi dan sukar
ditumbangkan," tambah Jin Koplo. "Siapa pun yang
memasuki wilayah Jalur Hijau harus berhati bersih
dan jiwa yang suci. Jika tidak kau akan terperosok
dalam jebakan maut yang mereka pasang di
sepanjang jalur menuju istana Puri Gerbang Surgawi."
"Terima kasih atas nasihatmu, Kawan," ujar Suto
ikut-ikutan memanggil 'kawan' kepada Jin Koplo.
"Aku tak berani mengantarmu sampai di sana,
sebab aku takut berhadapan dengan panglima
perangnya Puri Gerbang Surgawi itu. Kubayangkan,
aku tak akan sanggup melawan si panglima yang
bergelar Manggala Yudha Kinasih itu."
Suto Sinting semakin tertawa geli. "Kau telah
berhadapan dengannya, Jin Koplo." 
"Maksudmu berhadapan dengan Manggala Yudha
Kinasih itu?!"  
"Benar. Karena  akulah orang yang mendapat
gelar kehormatan dari sang Ratu negeri Puri Gerbang
Surgawi itu. Akulah yang bergelar Manggala Yudha
Kinasih, panglima terdepan dalam jajaran prajurit Puri
Gerbang Surgawi itu!" 
Jin Koplo diam terbengong pandangi Suto Sinting,
ia menjadi seperti jin linglung yang tidak tahu harus
berbuat apa setelah mendengar pengakuan tersebut.
la memang tidak tahu, bahwa Suto memang telah
diangkat menjadi panglimanya Ratu Kartika Wangi
dan mendapat gelar kehormatan sebagai Manggala
Yudha Kinasih, terutama sejak ia diakui sebagai calon 
suami Dyah Sariningrum, putri kedua dari Ratu
Kartika Wangi yang berkuasa di negeri Puri Gerbang
Surgawi di alam nyata, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Manusia Seribu Wajah").    
Tetapi raut wajah  buruk Jin Koplo yang tampak
dalam keraguan membingungkan itu membuat Suto
Sinting menjadi penasaran, lalu ikut-ikutan bingung
juga. Pendekar Mabuk ajukan tanya dengan dahi
berkerut,
"Mengapa kau tampak menjadi bingung begitu,
Jin Koplo?"
"Karena... karena setahuku yang bergelar
Manggala Yudha Kinasih dan menjadi panglima
perang  sang Ratu bukan orang yang bernama Suto
Sinting, seperti pengakuanmu tadi."
"Lalu, bernama siapa orang yang menjadi
panglima sahg Ratu itu?"      
"Kabar yang kudengar, orang itu bernama
Durmala Sanca."    
"Apa...?!" Pendekar Mabuk terpekik kaget. Seperti
ada petir menyambar alisnya ketika mendengar nama
Durmala Sanca sebagai nama asli orang yang
mendapat gelar Manggala Yudha Kinasih dari Ratu
Kartika Wangi.     
Jantung Suto mulai  berdetak-detak bagai ada
yang menendang dari dalam dada. Durmala Sanca
alias Siluman Tujuh Nyawa dikabarkan sebagai
panglima perang negeri Puri Gerbang Surgawi di alam
gaib. Apakah itu berarti Suto sudah tidak dipakai lagi
oleh sang Ratu Kartika Wangi? Apakah kedudukan
Suto sekarang sudah digantikan oleh Durmala
Sanca? Apakah Suto Sinting juga tidak diakui pula
sebagai calon menantu Gusti Ratu Kartika Wangi?
"Jika benar begitu, apakah berarti Dyah 
Sariningrum akhirnya akan menjadi istri Siluman
Tujuh Nyawa?!" tanya Suto kepada hatinya sendiri
yang berdebar-debar dibakar oleh kecemburuan dan
kekecewaan.
*
* * 

5
JALANAN yang memancarkan cahaya hijau pijar
itu ternyata mengandung lumut halus, dan lumut itu
mengeluarkan cahaya hijau semacam cahaya fosfor.
Jalanan yang mengandung lumut itu menuju ke arah
suatu tempat menyerupai lorong di antara dua tebing.
Dengan mengikuti jalanan bercahaya hijau, Pendekar
Mabuk akhirnya tiba di sebuah lorong gua yang
dindingnya menyala hijau karena ditumbuhi oleh
lumut-lumut aneh itu.
Lumat-lumut pada dinding lorong itu tampak
belum pernah ada yang menjamah dan tumbuh
secara alami. Suto tak mau menyentuhnya sebab ia
tahu lumut itu mengandung racun. Dulu ketika ia
memasuki lorong gua tersebut bersama Dewa Racun,
ia hampir saja menyentuhnya namun segera dicegah
oleh Dewa Racun, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Manusia Seribu Wajah").  
Lorong tersebut bukan saja mempunyai
keindahan pada lumut bercahayanya, melainkan juga
langit-langit  lorong mempunyai keindahan tersendiri.
Lekuk-lekuk bebatuan di langit lorong mirip lukisan
alam. Ada yang bergelembung bagaikan bisul besar
mau pecah, ada yang lonjong mirip hidung raksasa,
ada yang pipih dari berbuku-buku, ada pula yang
menonjol bagaikan bunga sedang menguncup.
Di sela-sela tanaman lumut yang menyala itu
terdapat bebatuan warna-warni. Ada yang
menggerombol berbentuk bulat-bulat warna kuning
terang, ada yang dalam bentuk satu bongkahan
berwarna merah bening, bahkan ada yang berbintik-
bintik kecil mirip butiran biji salak berwarna coklat tua
bening, dapat memantulkan sinar hijau dari tanaman
lumut di sekitarnya. 
Pemandangan di dalam lorong itu memang
sangat indah dan menakjubkan. Namun semua
keindahan itu ternyata mengandung falsafah hidup
yang sangat dalam. Karena keindahan yang ada di
lorong itu adalah keindahan yang mengandung racun
berbahaya dan tak boleh disentuh sedikit pun. Hal itu
mengajarkan kepada manusia tentang banyaknya
keindahan yang menyenangkan hati namun cukup
berbahaya bagi keselamatan jiwa manusia itu sendiri.
Di balik keindahan dan kemegahan terdapat maut
yang selalu mengancam kelengahan kita.
Perjalanan sang Pendekar Mabuk tiba di sebuah
ruangan yang lebarnya sepuluh tombak, mempunyai
pilar-pilar alam yang berwarna-warni dan
memancarkan kebeningan yang indah. Pilar-pilar itu
seperti sesuatu yang kental menetes dari langit-langit
lorong dan mengeras. Letak serta bentuknya tidak
beraturan. Ada yahg berongga, ada yang seperti dua
tangan terjuntai, ada yang mirip buah labu, ada yang
seperti mata tombak raksasa, dan semua itu
sepertinya mengandung seni keindahan yang mahal
dan sukar didapatkan di permukaan bumi, atau di
alam nyata.
Pilar-pilar indah dilewati. Tapi lumut-lumut yang
memancarkan cahaya hijau masih ada, hanya  saja
letaknya tidak lagi di dinding kanan-kiri lorong,
melainkan di langit-langit lorong tersebut. Lumut-
lumut berdaun panjang itu menggantung bagaikan
lampu-lampu hias yang memancarkan cahaya hijau
indah, menerangi lorong tersebut.
Kini keindahan yang ada ditambah lagi dengan
keindahan pada lantai lorong. Lantai itu bukan lagi
terdiri dari tanah atau batuan biasa, melainkan dari
kaca jernih dan bening sekali. Karena beningnya, 
lumut-lumut di atas pun terpantul jelas, hingga lantai
gua itu bagaikan memancarkan cahaya hijau bening
yang sangat terang. Sedangkan pada dinding lorong
masih terdapat bebatuan yang punya warna cerah
dan berkilap.
"Kuingat...," kata Suto dalam hatinya,"... lantai
bening ini mempunyai arti kehidupan yang cukup
dalam. Lantai jernih ini merupakan peringatan bagiku
untuk memperhitungkan setiap langkah yang akan
kulalui. Jika langkahku disertai niat dan hati yang
bersih, bening dan berpikiran jernih, maka setiap
langkahku akan membawa kemenangan tersendiri
dalam hidup."
Pendekar Mabuk sengaja berhenti sejenak untuk
merenungi keindahan di sekelilingnya. la memandang
lumut-lumut bercahaya hijau yang ada di langit-langit
lorong. Lalu, hatinya pun berkata sambil mengenang
masa-masa berada di tempat itu bersama Dewa
Racun.
"Lumut-lumut itu adalah penerang bagi
langkahku. Dalam falsafah, aku tak boleh selalu
merasa rendah dan minder menghadapi kehidupan
ini. Sekalipun diriku nilainya hanya seperti lumut, tapi
jika bisa menjadi penerang bagi sesama, hendaknya
terangku tetap menjadi penuntun kaki mereka agar
tidak terperosok ke dalam  jurang lubang yang
menyesatkan. Sekecil apa pun pengetahuan dan ilmu
manusia, hendaknya dapat berguna bagi kehidupan
mereka yang membutuhkannya."
Langkah Suto pun dilanjutkan kembali menapak
di lantai bening. Anehnya, tak satu pun tampak ada
bekas telapak kaki di lantai jernih tersebut. Lantai itu
tetap tampak jernih, bening dan bersih.
Tetapi anehnya lagi, bayangan Suto yang 
memantul pada lantai jernih itu bukan seperti
bayangan dalam sebuah cermin. Bayangan itu
berwarna hitam, seperti bayangan sebuah benda jika
terkena sinar matahari. Bayangan itu juga tidak
berada dalam satu garis lurus dengan telapak kaki
Suto, melainkan sedikit tertinggal di belakang Suto,
sepertinya Suto mendapat sorotan sinar dari arah
depannya. 
"Sesuatu yang hitam biasanya simbol dari
keburukan. Kuingat, bayangan di lantai ini pun
merupakan ajaran dari sisi kehidupan, bahwa ke
mana pun aku pergi selalu diikuti oleh sifat-sifat
buruk yang selalu berusaha menyatu dengan diriku.
Tergantung sikap diriku, apakah mau memakai
keburukan itu atau meninggalkannya. Tetapi pada
awalnya, kebaikan pasti datang paling depan, setelah
itu baru diikuti oleh keburukan, seperti rencana-
rencana licik, nafsu serakah, dan sebagainya. Lantai
yang menyerupai cermin itu merupakan peringatan
bagi manusia, agar selalu ingat dan waspada bahwa
setiap langkah manusia selalu dibayang-bayangi oleh
keburukan. Jangan sampai aku menjadi lengah dan
dikuasai oleh bayangan hitam diriku sendiri...."
Pendekar Mabuk juga teringat kata-kata gadis
penyambut kedatangannya pada waktu ia berada di
tempat itu bersama Dewa Racun. Gadis yang
menyambutnya adalah Sang Wengi, dan gadis  itu
berkata kepada Suto serta Dewa Racun.
"Bagi orang yang tidak memiliki hati bersih, gua ini
tidak mempunyai keindahan sama sekali. Mereka
tidak akan menemukan istana Puri Gerbang Surgawi."    
Karenanya, Pendekar Mabuk sejak tadi sudah
membersihkan hati dan pikirannya terlebih dulu. la
hanya mempunyai satu niat, yaitu mencari obat untuk 
sembuhkan sakit sang Guru. Adapun kabar tentang
Durmala Sanca sebagai panglima dan bergelar
Manggala Yudha Kinasih, dibuang dulu dari alam
pikiran Suto Sinting. Tak ada iri, tak ada benci, tak
ada kecemburuan. Akibatnya, mata Suto masih bisa
menikmati keindahan yang ada di sepanjang lorong
yang menuju ke sebuah ruangan besar dan ruangan
itu disebutnya: balairung istana.
Ruangan itu sangat indah dan megah. Pilar-
pilarnya terbuat dari susunan batu mirah delima,
safir, zamrut, dan sebagainya. Lantainya bagaikan
bentangan kaca lebar, sangat luas dan bening.
Dindingnya terbuat dari lempengan-lempengan batu
putih kemilau bagai lempengan batu intan. 
Seperti dulu juga, kedatangan Pendekar Mabuk
disambut oleh wajah-wajah cantik yang menawan
hati. Dua dari beberapa wajah cantik sudah dikenali
oleh Suto. Dua wajah cantik yang dikenali Suto itu
adalah Sang Wengi dan Sang Ramu.
Senyum mereka ramah sekali, menciptakan
debaran indah dalam hati yang tak bisa dilukiskan
dengan kata. Sambutan itu agaknya sudah
dipersiapkan sejak sebelum Suto Sinting memasuki
Jalur Hijau. Sepertinya mereka sudah tahu lebih dulu
bahwa akan ada tamu penting yang patut dihormati
dan disambut dengan keramahan tersendiri.
Para wanita cantik yang masih berusia muda itu
menundukkan kepala dengan satu kaki berlutut.
Mereka memberi hormat dengan ucapan Sang Wengi
mewakili sambutan mereka.
"Selamat datang, Gusti Manggala Yudha
Kinasih...."
"Damai hidupmu, panjanglah umurmu semua!"
Itulah ucapan Suto Sinting sebagai salam balasan 
kepada mereka. Sebelum Suto mengucapkan kata-
kata itu, mereka tetap akan tundukkan kepala dan
berlutut dengan satu kaki.
"Gusti Ratu Kartika Wangi sedang bersiap untuk
menemui Gusti Manggala. Sudilah kiranya Gusti
Manggala menunggu sejenak."
"Aku akan bersabar menunggu sampai kapan
pun," ucap Pendekar Mabuk dengan tegas dan
berwibawa.
Sang Wengi dan Sang Ramu membawa Suto
Sinting naik ke lantai bundar di depan singgasana.
Tinggi lantai bundar itu kurang dari setengah jengkal,
tetapi merupakan tempat khusus untuk menghadap
Ratu. Lantai yang menyerupai piringan tebal itu tanpa
tempat duduk, lebarnya seukuran perisai lima
jengkal. Ketika Suto Sinting naik ke atas lantai itu,
muncullah perempuan-perempuan cantik yang punya
tinggi-badan sejajar semua.
Perempuan-perempuan yang tinggi badannya
sejajar itu mengenakan pakaian serba kuning gading.
Mereka muncul dari satu pintu yang ada di lantai
atas, yang mengelilingi bentuk istana bundar itu.
Istana itu mempunyai tiga lantai. Lantai bawah,
tempat Suto dan perempuan-perempuan penyambut
yang mengenakan pakaian serba putih, lantai dua
diisi oleh perempuan-perempuan berpakaian kuning
gading yang berjajar berkeliling dengan rapi.
Sedangkan lantai atasnya lagi, muncul serombongan
perempuan berambut cepak berikat kepala seperti
mahkota emas kecil dan menyandang pedang merah
di punggung. Jumlahnya lebih dari dua puluh lima
orang. Mereka mengenakan celana ketat sebatas
betis warna merah, mengenakan penutup dada
warna merah juga yang dilapisi rompi panjang 
sebatas perut warna merah pula. Mereka adalah
prajurit-prajurit istana pilihan. Mereka juga berjajar
rapi mengelilingi lantai istana bagian atas yang
berbentuk bundar itu.
Tiba-tiba terdengar suara gaung menggema
seperti genta bertalu.
Wuungngng...!
Gema itu panjang, tetapi tidak membuat berisik di
telinga. Bersamaan dengan suara itu, muncul seorang
berpakaian serba ungu, termasuk jubahnya yang
berwarna ungu muda. Rambut perempuan itu
disanggul, mengenakan mahkota besar, kalung susun
tiga berhias batuan putih semacam mutiara dan
intan. Giwang perempuan itu tak seberapa besar tapi
tampak jelas terbuat dari berlian. Perempuan itu
cantik dan masih tampak muda, wajahnya oval,
bibirnya ranum, hidungnya mancung, sepertinya
masih berusia sekitar dua puluh delapan tahun.
Tetapi sebenarnya ia sudah berusia lebih dari
delapan puluh tahun.
Semua orang dari lantai bawah sampai lantas
atas  menundukkan kepala dengan satu kaki berlutut.
Pendekar Mabuk pun ikut bersikap begitu sebagai
tanda hormatnya kepada perempuan berjubah ungu
yang tak lain adalah Gusti Ratu Kartika Wangi, yang
segera duduk di singgasana berhias batuan intan
berlian setelah membalas hormat mereka dengan
ucapan khas. 
"Damai dan sejahtera buat kalian semua!"
Pendekar Mabuk duduk bersila dengan bumbung 
tuak diletakkan di samping kanannya, la tampak
bersikap sangat hormat dan menampakkan
kegagahannya sebagai seorang pendekar berilmu
tinggi dan punya kharisma tersendiri. 
Ratu Kartika Wangi pandangi Suto Sinting dengan
dahi berkerut. Sepertinya ada sesuatu yang
diperhatikan oleh sang Ratu dengan rasa janggal.
Pendekar Mabuk diam saja, tak berani ucapkan kata
sebelum mendapat teguran dari sang Ratu.
Tiba-tiba ibu dari Dyah Sariningrum itu berkata
kepada Sang Ramu.
"Aku ingin bicara empat mata dengan calon
menantuku ini! Siapkan tempat!"
Dengan memberi hormat lebih dulu, Sang Ramu
pun perdengarkan suaranya yang renyah penuh
keramahan itu.
"Taman paseban sudah kami siapkan, Gusti
Ratu!" 
"Kalau begitu aku akan ke sana bersama Suto
Sinting. Tak perlu pengawalan jarak dekat." 
"Baik, Gusti Ratu."
"Suto...," sapa sang Ratu. 
"Daulat, Gusti Ratu." 
"Panggil saja aku 'ibu' tak perlu bersikap seperti
mereka."
"Baik, Ibu," jawab Suto dengan sopan sekali.
"Kita bicara di taman saja!"
"Saya akan menyertainya, Ibu."
Tiba-tiba pandangan Suto Sinting menjadi gelap!
seketika. Blabb...! Suto sempat terkejut dan
menggeragap. Tetapi sebelum ia ajukan tanya kepada
sang Ratu, pandangan matanya sudah menjadi
terang kembali. Namun ia tetap terkejut, karena tahu-
tahu ia berada di sebuah taman yang sangat indah
tanpa ada siapa pun kecuali dirinya dan sang calon
mertua.
"Ajaib sekali!" gumam Suto dalam hati. "Dalam
sekejap saja balairung istana sudah berubah menjadi 
taman seindah ini. Seharusnya aku tak perlu
menggeragap karena kusadari orang yang
berhadapan denganku adalah orang yang berilmu
sangat tinggi, mampu membuat sesuatu yang
mustahil menjadi nyata."
Bunga-bunga indah bermekaran di taman itu.
Tanaman dan bunga yang ada tampak asing bagi
Suto Sinting. Semuanya serba aneh tapi berkesan
sekali di hati sang pendekar tampan itu.
Mereka ternyata berada di dekat kolam berair
bening warna biru muda. Air kolam itu tampak
menyegarkan sekali. Bahkan ketika mata Suto
memandang permukaan air kolam, tiba-tiba
pikirannya menjadi segar, hatinya pun segar, dan
tubuhnya terasa segar pula. 
Kolam itu mempunyai air mancur kecil yang
memancar ke sana-sini dengan kemekaran seperti
bunga. Rupanya air mancur itu menyebarkan aroma
harum yang lembut dan menyejukkan kalbu. Anehnya,
setiap air yang memancar tak pernah turun lagi ke
bawah dan lenyap bagai diserap angin.
Pendekar Mabuk duduk bersila di lantai taman
yang bening seperti kaca itu. Tiba-tiba saja ia sudah
duduk di situ seperti saat ia duduk di depan
singgasana tadi. Sedangkan Ratu Kartika Wangi
berdiri tak jauh darinya, bahkan berjalan  mengitari
sebuah tanaman hias yang mempunyai daun seperti
beludru, dan bunganya mirip mawar merah berbintik-
bintik kuning emas. Indah sekali. Sang Ratu
memetiknya setangkai. Tess...! Tiba-tiba tangkai yang
telah terpetik itu bergerak-gerak dan segera tumbuh
bunga yang baru. Bunga itu menguncup, kemudian
segera mekar dan menyebarkan aroma wangi seperti
wanginya mawar bercampur melati. 
"Manggala...," ujar sang Ratu menyebut Suto
dengan kata 'Manggala', membuat hati Suto sempat
merasa masih diakui sebagai Manggala Yudha
Kinasih di negeri alam gaib itu.
"Kurasakan keresahan begitu kuat di dalam
hatimu saat sebelum kau tiba di tempat ini. Katakan
kepadaku, apa yang membuatmu sangat resah dan
berperasaan campur aduk tak karuan itu, Anakku."
"Ibu, pertama saya resah karena rindu kepada
Dyah Sariningrum dan sudah lama tak mendengar
kabarnya."
"Dyah Sariningrum baik-baik saja. la juga rindu
padamu."
"Oh...." Suto tersenyum bangga. Hatinya berdebar
indah. Lalu ia berkata lagi,
"Selain itu, Ibu, Kakek Guru si Gila Tuak sedang
sakit."
"Ya, aku tahu!" potong sang Ratu sambil masih
pandangi bunga-bunga di sekelilingnya.
Sambungnya lagi, "Tapi yang ingin kuketahui lebih
dulu adalah kegundahan hatimu paling dekat.
Kegundahan itu baru saja kau buang sebelum kau
memasuki jalan bercahaya hijau itu."
Pendekar Mabuk menarik napas pelan,
senyumnya mekar dengan tipis, namun tak berani
memandang ke arah sang Ratu. Setelah senyum itu
hilang, barulah ia mendonggakkan wajah dan
menatap sang Ratu dengan lembut.
"Ibu, saya dengar dari Jin Koplo bahwa Manggala
Yudha Kinasih atau panglima terdepan negeri ini
sudah diganti. Bukan Suto Sinting lagi, melainkan
Durmala Sanca yang menjadi Manggala Yudha
Kinasih di sini. Benarkah begitu, Ibu?"
"Jika benar, bagaimana?" ujar Ratu Kartika Wangi 
sambil dekati Suto Sinting.
"Jika benar, berarti saya bukan lagi menjadi calon
menantu Ibu. Saya akan kehilangan Dyah
Sariningrum, dan itu berarti saya akan kehilangan
hidup saya selama-lamanya."
Ratu Kartika Wangi tersenyum tipis lagi.
"Berdirilah...!"
Karena perintah itulah maka Suto Sinting baru
berani berdiri di hadapan calon mertuanya. Sang Ratu
memperhatikan Suto Sinting dengan dahi sedikit
berkerut. Dagu Suto diangkat sedikit dan wajahnya
dipandangi, terutama pada bagian matanya. Setelah
itu, sang  Ratu perdengarkan suaranya yang masih
bernada wibawa.   
"Kau memang telah kehilangan hidupmu."
Suto Sinting diam dengan batin bertanya-tanya,
"Apa maksud ucapannya itu?" Sedangkan Ratu
Kartika Wangi segera melepaskan dagu Suto dan
melangkah mendekati tanaman bunga yang lain
sambil lanjutkan ucapannya tadi.
"Kau sudah tak bisa menikah dengan putriku;
Dyah Sariningrum, karena kau sudah berdarah
siluman."
Hati sang pendekar tampan tersentak kaget dan
mulai berdebar-debar. la segera teringat kata-kata
bibi gurunya tentang darah siluman yang mengalir
dalam dirinya gara-gara menerima ilmu 'Dewatakara'
dari Ratih Kumala alias si Payung Serambi itu.
Pendekar Mabuk menjadi cemas, wajah tampannya
tampak pucat sekilas.
"Kau telah menjadi bagian dari rakyat Laut Kidul.
Kau hanya bisa mengawini perempuan dari sana, dan
tidak bisa mengawini perempuan dari tempat lain.
Apabila kau nekat mengawini perempuan dari pihak 
lain, maka dalam waktu tujuh hari istrimu pasti akan
tewas. Jika kau menikah lagi dengan perempuan dari
tempat lain, istrimu akan tewas juga dalam waktu
tujuh hari dan begitu seterusnya."
Ratu Kartika Wangi menempelkan setangkai
bunga yang tadi dipetiknya. Tangkai bunga itu
ditempelkan pada dahan kecil tanaman lainnya.
Ternyata tangkai bunga itu dapat menempel dan
menjadi satu bagaikan tumbuh dari tanaman lain itu.
Sang Ratu berkata lagi, "Aku tak ingin kehilangan
anakku, karenanya aku tak ingin mengawinkan Dyah
Sariningrum denganmu."
"Ibu... saya sangat mencintai Dyah Sariningrum,
Bu."
Ratu Kartika Wangi memandang tegas. "Kau bisa
menikah dengan anakku jika tidak berdarah siluman
lagi."
"Ba... bagaimana caranya membersihkan darah
siluman ini, Ibu?" Suto Sinting mulai tampak
menggeragap.
"Ilmu dari Laut Selatan harus kau singkirkan dari
hidupmu. Kau tak boleh memiliki ilmu Dewatakara'
itu, Suto!"
"Ssa... saya bersedia. Saya tidak keberatan
kehilangan ilmu 'Dewatakara', Ibu. Tetapi bagaimana
cara menghilangkannya? Saya benar-benar tidak
tahu."
"Gurumu pasti tahu, dan tanyakan kepada
gurumu; si Gila Tuak."
"liyy... iya, tapi... tapi Kakek Guru sekarang sedang
sakit dan membutuhkan 'Tuak Dewata' sebagai
obatnya. Sedangkan...."
"Aku tak tahu apa itu 'Tuak Dewata'," sahut sang
Ratu sambil mendekati Suto Sinting. Kini ia berdiri  
dalam jarak dua langkah di depan Pendekar Mabuk.
"Jangan tanyakan padaku tentang 'Tuak Dewata'
yang kau cari itu, Suto. Aku benar-benar tidak
mengetahui tentang 'Tuak Dewata' itu." 
Pendekar Mabuk diam beberapa saat. Napasnya
terhempas lepas, tubuhnya menjadi lemas dan
wajahnya pun tampak sayu. la merasa harapan untuk
mengetahui tentang 'Tuak Dewata' menjadi semakin
gelap. Jika Ratu Kartika Wangi saja tidak
mengetahuinya, apa lagi orang lain?"
Sang Ratu perdengarkan suaranya lagi.
 "Kusesalkan tindakanmu yang mau menerima
ilmu dari Istana Laut Kidul itu. Padahal kau bisa
mendapatkan ilmu yang sama dahsyat dan saktinya
dengan ilmu 'Dewatakara' dariku. Mengapa kau justru
memilih ilmu yang datang dari istana Laut Kidul itu?"
"Saa... saya benar-benar tidak tahu, Ibu. Mohon
ampun dan mohon dibersihkan dari ilmu itu, Ibu."
"Aku tidak berhak membersihkan ilmu dalam
dirimu. Yang berwenang adalah kedua gurumu itu;
Gila Tuak atau Bidadari Jalang."
"Tapi... tapi Bibi Guru Bidadari Jalang tidak bisa
membuang ilmu itu, Ibu."
"Jika begitu, hanya Gila Tuak  yang mampu
lakukan."  
"Kakek Guru Gila Tuak sedang sakit."
"Sembuhkan dulu dia!"
"Itulah sebabnya saya kemari mohon bantuan Ibu
untuk dapatkan 'Tuak Dewata' sebagai obat bagi
Kakek Guru Gila Tuak, Ibu."
"Sudah kukatakan, aku tidak tahu tentang 'Tuak
Dewata' itu. Mungkin juga tak akan kau dapatkan
'Tuak Dewata' walau kau mencari di alam nyata dan
alam gaib. Sebab... mungkin 'Tuak Dewata' itu 
memang tidak pernah ada dari dulu hingga
sekarang."
"Lalu... kepada siapa lagi saya minta bantuan
untuk sembuhkan Kakek Guru, Ibu?!"
Ratu Kartika Wangi diam sesaat. Ia pandangi
tanaman bunga lainnya yang ada di belakang Suto,
membuat Suto Sinting terpaksa berbalik arah.
Dua helai daun dari tanaman bunga itu tampak
kering. Ratu Kartika Wangi segera menyentuhkan
telunjuknya ke permukaan daun yang kering. Telunjuk
itu menyala hijau bening, dan tiba-tiba daun kering itu
berubah menjadi segar kembali, bahkan seperti baru
saja tumbuh dari pupusnya.
"Apakah kau masih berkeras kepala untuk
dapatkan 'Tuak Dewata' jika kukatakan 'Tuak Dewata'
itu tidak pernah ada?!" tanya Ratu Kartika Wangi
tanpa memandang Suto Sinting.
"Saya harus mencarinya walau sampai ke ujung 
dunia, Ibu. Sebab... sebab saya harus bisa
selamatkan jiwa Kakek Guru yang terancam maut
dari suatu penyakit."
"Kalau begitu, cobalah pergi ke Gerbang Siluman
dan temui Eyang Putri Batari."
"Mmak... maksud Ibu, Betari Ayu? Kakaknya Dyah
Sariningrum itu?"
"Bukan. Eyang Putri Batari adalah ibuku;
neneknya Dyah Sariningrum dan Betari Ayu."
"Ooo...," Pendekar Mabuk manggut-manggut.
"Temui beliau dan tanyakan kepada beliau
apakah 'Tuak Dewata' itu ada atau tidak. Jika ada
letaknya di mana, jika tidak lantas apa artinya 'Tuak
Dewata' yang harus kau dapatkan itu."
"Baik, saya akan ikuti nasihat Ibu. Hanya saja,
tolong jangan pisahkan saya dengan Dyah 
Sariningrum, Ibu. Saya sangat mencintainya!"
Permohonan yang diucapkan dengan
kesungguhan hati itu membuat Ratu Kartika Wangi
sunggingkan senyum kecil. Senyum itu hanya sekilas,
kemudian lenyap tanpa bekas.
"Akan kupertahankan putriku agar tidak jatuh ke
tangan pemuda lain...."
"Juga jangan sampai jatuh ke tangan Siluman
Tujuh Nyawa, Ibu!"
"Kau takut?!"
"Saya takut kehilangan Dyah, Ibu."
"Hmmm...," senyum sang Ratu sedikit lebar.
"Sebenarnya apa yang kau dengar dan membuat
hatimu gundah itu hanya sebuah siasat licik si
Durmala Sanca."
"Maksudnya bagaimana, Ibu?" sergah Suto
Sinting dengan semangat.
"Belakangan ini, Durmala Sanca sering mengaku
sebagai Manggala Yudha Kinasih dan mengaku
sebagai panglimaku. Pengakuan itu sengaja
disebarkan ke mana-mana sambil ia melakukan
tindakan kejam kepada beberapa pihak agar pihak
yang merasa dirugikan oleh Manggala Yudha Kinasih
palsu itu menuntut pihak kita."
Pendekar Mabuk mulai tampak terbakar oleh
keterangan tersebut. Matanya kelihatan nanar,
napasnya mulai tak teratur.
Sambil melangkah dekati tepian kolam, sang Ratu
menyambung kata-katanya.
"Durmala Sanca memang manusia terkutuk tiga
ratus tahun lamanya. Aku tahu ia sangat mengincar
Dyah Sariningrum, tetapi keberadaanmu membuat
niatnya selalu gagal dan ia tak berani dekati calon
istrimu itu. la pernah datang menemuiku dan 
melamar Dyah Sariningrum, tetapi ditolak mentah-
mentah."
Napas ditarik dan disimpan di dada. Dada kekar
itu tampak mengeras, wajah tampan pun kelihatan
menjadi kaku dan matanya memancarkan
kemarahan. Tetapi diam-diam kobaran api amarah itu
dipertahankan Suto Sinting agar jangan berkobar
berlebihan di depan Ratu yang penuh kharisma itu.
"Durmala Sanca semakin membenci kita. Terlebih
setelah ia gagal mendapatkan kebahagiaan batin dari
Ratu Dewi Kasmaran yang diakibatkan oleh
tindakanmu...."
Pendekar Mabuk sempat berkata dalam hati,
"Kurasa Ibu Kartika Wangi juga mengetahui
pertarunganku dengan Siluman Tujuh Nyawa yang
kulakukan di depan Congor itu. Rupanya seluruh
gerak-gerikku selalu dia pantau oleh mata batin Ibu
Kartika Wangi, sehingga ia tahu segala-galanya,
termasuk tahu tentang ilmu 'Dewatakara' yang telah
meresap dalam ragaku ini!"
Sang Ratu segera berkata, "Jangan bicara sendiri
jika aku sedang menerangkan perkara besar ini!"     
"Maaf, Ibu...," ucap Suto dengan rasa malu karena
kecamuk batinnya dapat didengar oleh sang Ratu,
sebagai tanda betapa tingginya ilmu yang dimiliki
sang Ratu dan betapa tajamnya indera keenam
maupun indera ketujuh Ratu Kartika Wangi itu.
Perempuan cantik itu berkata lagi, "Sekarang
kurasakan si Durmala Sanca ingin menyusun
kekuatan untuk menyerang kita; menyerangku,
menyerang Dyah Sariningrum, juga menyerangmu!
Sekarang kurasakan usaha Durmala Sanca
membujuk Raja Barong telah berhasil." 
"Siapa Raja Barong itu, Ibu?" 
"Raja Para Jin," jawab Ratu Kartika Wangi.
"Kurasakan gerakan Raja Barong sedang menuju ke
Gerbang Siluman."
"Mau apa dia ke sana, Ibu?"
"Membebaskan para siluman yang dipenjara oleh
ibuku: Eyang Putri Batari itu. Jika ia berhasil bebaskan
para siluman, maka mereka akan menyerang pihak
kita di bawah pimpinan Siluman Tujuh Nyawa."
Lagi-lagi Suto Sinting tarik napas menahan luapan
amarahnya.
"Kuperintahkan padamu, lumpuhkan si Raja
Barong sebelum menghancurkan Gerbang Siluman!
Jangan beri kesempatan kepada si Durmala Sanca
untuk mendapatkan kekuatan baru dari mereka!"
"Baik, Ibu! Saya akan kerjakan perintah Ibu
sekarang juga!"
"Tunggu...!" Ratu Kartika Wangi segera pejamkan
mata, wajahnya sedikit menunduk. Tak berapa lama,
muncul seorang gadis berpakaian ketat warna merah
dengan pedang di punggung. Gadis itu berambut
cepak dan tadi saat pertemuan di balairung istana ia
berada di antara para prajurit berseragam merah di
lantai tiga. 
Gadis cantik berhidung kecil dan mancung itu
segera memberi hormat kepada Ratu Kartika Wangi
dan Pendekar Mabuk.
"Hamba dipanggil, Gusti?" ujarnya.
Suto Sinting sempat bingung sebentar. "Tak ada
orang memanggilnya, mengapa ia tahu-tahu
menghadap? Oh, mungkin dengan cara memejamkan
mata seperti tadi itulah gadis itu dipanggil oleh Ibu
Kartika Wangi. Para prajurit di sini sudah terbiasa
menerima panggilan atau bicara melalui batin,
sehingga mereka tampaknya tenang dan diam tapi 
sebenarnya saling berbicara satu dengan yang lain."
"Suto, kau kuberi seorang pemandu untuk menuju
Gerbang Siluman," kata sang Ratu sambil menepuk
pundak gadis yang telah berdiri itu. Suto Sinting
memandangi gadis bertubuh sekal dan berdada
kencang dengan pikiran bersih, tanpa khayalan kotor
sedikit.
"Sang Tiara," kata Ratu Kartika Wangi kepada
gadis itu. "Tugasmu memandu perjalanan Manggala
Yudha  Kinasih ke Gerbang Siluman untuk
menggagalkan serangan Raja Barong."
"Saya siap, Gusti!"
"Berangkatlah kalian sekarang juga sebelum Raja
Barong melewati perbatasan Gerbang Siluman!"
"Mohon doa restu, Ibu!" sambil Pendekar Mabuk
membungkuk memberi hormat kepada sang Ratu.
Kemudian ia melangkah dengan didampingi Sang
Tiara yang tampak lincah dan penuh keberanian itu.

*
*  * 

6
SAMPAI di luar batas wilayah Jalur Hijau, gadis
cantik berbulu mata lentik itu menghentikan
langkahnya. Hal itu membuat Pendekar Mabuk ikut-
ikutan hentikan langkah dengan mata memandang
penuh keheranan.
"Ada apa berhenti, Sang Tiara?" 
"Gerbang  Siluman terlalu jauh jika ditempuh
dengan jalan kaki, Gusti Manggala."
"Panggil namaku saja jika kita berada di luar
istana. Kau tahu namaku, bukan?" 
"Suto Sinting...?!"
"Benar. Rupanya daya ingatmu cukup tinggi,
Tiara."
"Saya selalu mengingat nama panglima saya!"
"Dalam keadaan berdua begini, kita adalah
sahabat. Jangan terlalu kaku dalam bersikap.
Paham?!"
Sang Tiara anggukkan kepala.
"Jelaskan maksud kata-katamu tadi, Tiara."
"Kita akan terlambat jika berjalan kaki ke
Gerbang Siluman."
"Lantas maumu bagaimana?"
"Buka tanganmu, Suto," perintah Sang Tiara yang
cepat menjadi akrab dan lugas dalam bergaul.
Sang Tiara menengadahkan kedua tangannya
didepan perut. la memberi contoh kepada Suto dan
Suto pun segera mengikutinya.
Kedua tangan Suto dibuka dalam keadaan
telapak tangan ke atas. Kemudian kedua tangan
Sang Tiara menelungkup pelan-pelan hingga menyatu
rapat dengan telapak tangan Suto Sinting.
"Pejamkan mata," perintah Sang Tiara pelan. Suto 
pun memejamkan mata.  
"Buka mata," perintahnya lagi, belum ada satu
helaan napas mereka memejamkan mata. 
Tetapi alangkah terkejutnya Pendekar Mabuk
begitu membuka mata, ternyata sudah berada di
tempat yang jauh dari batas Jalur Hijau. Mereka ada
di sebuah lembah tak berpohon. Sebuah bukit
menjulang rendah dalam keadaan tanpa tanaman
kecuali lumut. Bukit itu dipenuhi oleh bebatuan yang
tinggi-tinggi sehingga mirip pohon tanpa daun.
Tempat yang aneh itu membuat Suto Sinting
tercengang dan terbengong-bengong. Bentuk batu-
batu yang menghiasi bukit dan lembah itu beraneka
ragam, sehingga merupakan suatu pemandangan
indah yang berbeda dari bukit-bukit di alam nyata.
"Kita berada di mana ini, Tiara?"
"Di balik bukit itulah letak Gerbang Siluman! Kita
harus segera menghadang Raja Barong yang
sebentar lagi akan melintasi bukit itu."
"Ajaib sekali!" gumam Suto Sinting. "Dengan
kekuatan apa kau membawaku kemari?"
"Ilmu 'Pusar Badai' mempercepat langkah kita
sampai di tujuan."   
"Luar biasa! Hanya dengan pejamkan mata dan
tumpangkan tangan sudah bisa sampai ke tempat
tujuan. Apakah semua prajurit pilihan yang
berseragam merah sepertimu ini mempunyai ilmu
'Pusar Badai'?" 
"Semua prajurit memilikinya, baik yang pilihan
maupun penyambut tamu seperti  Sang Ramu atau
Sang Wengi," jawab Sang Tiara dengan suara jelas.
"Kurasa kita tak punya banyak waktu untuk bicarakan
ilmu itu. Kurasakan getaran langkah si Raja Barong
sudah kian mendekati tempat kita. Kita harus segera
ke puncak bukit!"' 
Pendekar Mabuk mengikuti saran Sang Tiara
sambil membatin, "Tinggi juga ilmunya. Aku tak bisa
rasakan getaran langkah siapa pun, tapi ia mampu
rasakan getaran itu. Tapi, apakah benar Raja Barong
sudah mendekati bukit ini? Jangan-jangan dia hanya
ngawur saja karena dia tahu aku tak mengerti apa-
apa tentang alam dan kehidupan di sini?!"
Ketika mereka berada di puncak bukit, tiba-tiba
Suto Sinting merasakan ada angin berhembus dari
sisi kanannya. Wweee...! Mata pun berkedip karena
takut terkena debu yang beterbangan.     
Namun ketika Suto membuka mata kembali,
ternyata ia sudah dalam keadaan terkapar
memandang langit dengan  sekujur tubuh merasa
sakit  semua. Tulang-tulangnya terasa remuk dan
sukar digerakkan. Sementara itu,  Sang Tiara juga
terbujur di sampingnya dan menggeliat bangkit
dengan suara mengerang. 
"Ooh... kenapa aku ini? Mengapa tiba-tiba aku
berbaring di tanah?"
Sang Tiara menyahut dengan menyeringai
menahan sakit.
"Raja Barong telah menerjang kita."
"Telah menerjang kita?!" Suto Sinting terbelalak
heran. "Aneh sekali. Padahal aku hanya merasa
dihembus angin dari samping."
"itulah gerakan Raja Barong. Kecepatannya
melebihi kecepatan apa pun, sehingga saat
menerjang kita yang terasa hanya hembusan
anginnya."
"Luar biasa!" gumam Suto Sinting sambil bangkit.
la buru-buru menenggak tuaknya untuk hilangkan
rasa sakit dan pulihkan kekuatannya kembali. Sang
Tiara disuruh meminum tuak, tapi gadis itu menolak. 
la punya cara sendiri untuk hilangkan rasa sakit, yaitu
dengan menempelkan satu telapak tangannya ke
dada. Dalam sekejap rasa sakitnya pun lenyap.
"Lalu apa yang harus kita lakukan jika begini?
Kemana arah kepergian si Raja Barong?!"
"Tumpangkan tangan kita kembali. Kita kejar ke
kaki bukit seberang tebing sana!" ujar Sang Tiara.
Suto Sinting membuka kedua tangannya, lalu
tangan Sang Tiara ditumpangkan. Mata mereka
terpejam. Tak sampai satu helaan napas sudah
dibuka kembali. Dan ternyata mereka sudah berada
di seberang tebing, jauh dari bukit berbatu-batu tadi.
Tebing itu adalah tebing tandus, juga tanpa
tanaman apa pun. Tetapi banyak batu yang
bertonjolan bagai pilar-pilar alami. Tebing yang
mempunyai jurang dalam tak terukur kedalamannya
itu mempunyai dinding seperti serat-serat karang
yang cukup menakjubkan. 
"Jangan lengah!" tegur Sang Tiara saat Suto
memandangi dinding tebing. Pendekar Mabuk segera
bersiap diri mempertinggi kewaspadaan dan
mempertajam rasa.
Semilir angin mulai datang menghembus mereka.
Sang Tiara cepat berlindung di balik bebatuan besar.
"Dia datang! Rasakan hembusan angin yang
makin besar ini." seru Sang Tiara.
Pendekar Mabuk sengaja tidak bersembunyi
seperti Sang Tiara. la sengaja merasakan semilir
angin yang menghembus ke arahnya dan makin lama
terasa semakin jelas hembusannya.
Pada saat itu juga Suto Sinting menghantamkan
bumbung tuaknya ke arah depan dengan
menggunakan jurus 'Gerak Siluman'. Wuuusss...!
Tubuh Suto berputar sangat cepat. Dan gerakan 
bumbung tuak itu terasa menyentuh sesuatu yang
keras. Bahkan suara benturan bambu dengan
sesuatu yang keras itu terdengar jelas di telinga Suto
maupun Sang Tiara. 
Prraakkk...! "
Aaaaooorrgg...!" 
Pendekar Mabuk kaget mendengar suara
mengerang yang mirip binatang menyeramkan itu. la
masih mencari-cari sesosok wujud yang
mengeluarkan suara mengerang di depannya.
Sang Tiara muncul dari balik bebatuan, lalu jari
telunjuknya menuding ke depan. Claap...! Seberkas
sinar merah melesat dari ujung jari telunjuk itu.
Besss...! Sinar merah itu bagaikan mengenai
sesuatu dan mengepulkan asap. Asap segera lenyap
terbawa angin alami. Suto Sinting terperanjat melihat
sesosok tubuh gemuk meringkuk di depannya dalam
jarak tujuh langkah. Sosok yang terlihat itu mirip
gugusan  batu, hanya saja warnanya abu-abu dan
berlumut hijau samar-samar.
"Dia terkena pukulan bumbung tuakmu!" ujar
Sang Tiara. "Hati-hati, Suto! Dia pasti akan bangkit
membalasmu! Sekarang ia masih meringkuk
merasakan sakitnya."
"Pergilah berlindung, akan kubereskan sendiri
dia!" bisik Suto Sinting sambil matanya memandang
ke arah benda abu-abu yang meringkuk itu.
"Awas, dia bangkit!" bisik Sang Tiara.
Pendekar Mabuk melompat ke atas dan hinggap
di atas batu yang tingginya melebihi tinggi tubuhnya.
Wuuutt...! Jleeg...! Bumbung tuaknya segera diangkat
ke samping. Pada waktu itu, makhluk berkepala
besar dengan leher pendek dan mempunyai enam
mata mengelilingi kepalanya itu bangkit berdiri. 
Mulutnya yang lebar keluarkan suara mengerang
dengan menampakkan gigi besar dan taringnya yang
tajam-tajam.
Raja Barong merupakan makhluk yang cukup
menyeramkan. Tingginya sejajar dengan Suto pada
saat Suto naik di atas batu itu. Badannya bersisik
warna abu-abu, keras seperti dari lempengan baja.
Sepasang tanduk ada di bagian depan dan belakang
kepala. Raja para jin itu tidak mengenakan pakaian
kecuali cawat dari lempengan seperti perunggu warna
coklat kemerahan.
"Grrraaaoow...!" ia mengerang sambil
mengangkati kedua tangannya yang mempunyai kuku
runcing bagaikan mata pedang.  
Tangan kiri Raja Barong menyambar tubuh
Pendekar Mabuk dengan gerakan sangat cepat.
Wuuutt...! Creeb...!
"Aaakh...!" Suto Sinting memekik keras karena
tiga kuku tajam lawannya menancap di pinggangnya,
la diraih dalam genggaman tangan lebar si Raja
Barong. Mata sang Pendekar Mabuk mendelik
dengan mulut ternganga karena tak bisa bernapas.
"Kau  ingin menggagalkan rencanaku, hah...?!"
geram Raja Barong dengan suara besar dan
menggema. 
Tubuh Suto yang ada dalam genggamannya itu di-
dekatkan ke mulut lebar Raja Barong. Darah mengalir
terus ke pinggang Pendekar Mabuk. Semakin
meronta semakin dalam kuku itu menembus tubuh
Suto, seakan merusak anggota tubuh bagian dalam.
Tetapi pada saat itu bumbung tuak masih
tergenggam di tangan Suto. Ketika Raja Barong
melebarkan mulut untuk menelan  tubuh Pendekar
Mabuk, dengan kekuatan penghabisan Suto Sinting 
mengangkat bumbungnya dan menghantam ke salah
satu mata makhluk besar itu.
Wuuut, croook...! 
"Huaaahhrrr...!"
Teriakan Raja Barong mengguncangkan dinding
tebing. Sebagian batuan runtuh, bahkan ada yang
pecah karena teriakan itu. Telinga Pendekar Mabuk
sendiri jadi berdarah dan rasa sakit kian membuat
Suto mengejangkan tubuhnya. Karena pada saat itu
genggaman tangan Raja Barong semakin kuat,
seakan ingin meremukkan seluruh tulang tubuh
Pendekar Mabuk.
Tanpa diketahui keduanya, Sang Tiara mencabut
pedangnya, dan menghujamkan ke atas telapak kaki
Raja Barong yang bersisik keras itu. Suuutt...!
Jrruuub...!
"Huuuaaahhhrrg...!!"
Teriakan itu mengguncangkan bebatuan dan
dinding tebing lagi. Telinga Suto semakin rusak, darah
menyembur dari kedua lubang telinga. Tetapi pada
saat Sang Tiara menancapkan pedangnya dengan
kedua tangan ke kaki Raja Barong, genggaman
tangan Raja Barong sedikit mengendur.
Kesempatan itu digunakan oleh Suto untuk
kerahkan tenaga yang tersisa dan menyodokkan
bumbung tuaknya ke wajah lebar itu. Wuuut...!
Proookkk...!
"Huaaah...!" teriak Raja Barong sambil
melemparkan Suto ke depan. Tubuh berlumur darah
itu melayang dan jatuh terhimpit celah dua batu
besar. Sreeeb...!
"Aaaouh...!" Suto Sinting sendiri memekik keras,
tapi suaranya tertutup oleh raungan suara Raja
Barong yang menggema ke mana-mana. 
Jurus 'Mabuk Lebur Gunung' telah digunakan Suto
Sinting untuk menyodok wajah raja para jin itu.
Akibatnya, wajah itu pun memar membiru, sisiknya
mulai rontok satu persatu. Sementara itu, ulah Raja
Barong yang sekarat membuat batu-batu
beterbangan, sebagian jatuh ke jurang, sebagian
pecah dan terlempar ke mana-mana.
"Huaaaa...!"
Akhirnya Raja Barong tergelincir jatuh ke jurang
tanpa dasar dengan meninggalkan suara jeritan yang
memanjang dan menggetarkan alam sekitarnya.
Siapa pun yang terkena jurus 'Mabuk Lebur Gunung'
akan mati membusuk tak akan tertolong lagi.
Demikian pula halnya nasib Raja Barong yang lenyap
ditelan jurang tanpa dasar itu.
Sang Tiara segera menolong Pendekar Mabuk
yang terjepit dua batu. Dengan satu sodokan pangkal
telapak tangan, salah satu batu itu hancur, lalu tubuh
Suto dibawa turun dan dibaringkan di tanah berdebu
merah.
"Tuangkan tuak ke... ke mulutku...," pinta Suto
dengan suara berat dan napas tercengap-cengap.
Sang Tiara menuangkan tuak ke mulut, tuak pun
terminum oleh Pendekar Mabuk. Dengan begitu,
maka seluruh luka yang diderita Pendekar Mabuk
terobati oleh kesaktian tuak tersebut.
"Terima kasih. Kalau kau tidak menolongku, aku
hampir mati ditelan raja jin itu!" ujar Suto Sinting
setelah merasa kekuatannya pulih kembali.
"Kita harus segera menghadap Eyang Putri
Batari."
"Mengapa tampaknya kau terburu-buru?" 
"Tidakkah kau mendengar suara gemuruh itu?"
"Ya. Kudengar suara gemuruh dari gema 
reruntuhan tebing, bukan?"
"Bukan. Itu suara gemuruh para siluman dan para
jin yang mendengar suara kematian Raja Barong. Kita
harus beri kepastian kepada mereka, bahwa Raja
Barong telah mati di tanganmu, biar mereka tunduk
kepadamu!"
"Baiklah. Aku menurut saja dengan saranmu,
karena aku di sini cuma sebagai tamu."
Sang Tiara tersenyum. Mereka segera bergegas
ke Gerbang Siluman yang terdengar riuh serta gaduh
itu.
"Benarkah mereka akan tunduk padaku jika
mereka tahu akulah yang membunuh Raja Barong?!
Oh, persetan dengan mereka. Mau tunduk atau tidak,
yang jelas aku harus dapatkan keterangan dari Eyang
Putri Batari tentang 'Tuak Dewata' itu. Mudah-
mudahan Eyang Putri Batari jangan memberi jawaban
'tidak tahu' terhadap Tuak Dewata' yang kucari itu!"
pikir Suto Sinting sebelum menengadahkan kedua
tangannya. Telapak tangan itu segera ditumpangi
telapak tangan Sang Tiara. Mereka memejam mata
dan laaabb...!
Mereka lenyap seketika dan akan muncul di
Gerbang Siluman

SELESAI

Segera terbit!!!
GERBANG SILUMAN
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com