Pendekar Mabuk 74 - Gerbang Siluman




1
LEMBAH tandus tanpa tanaman sebatang pun itu
diselimuti oleh kabut yang membayang. Kabut tipis
bergerak berarak-arak dengan lamban. Wilayah yang
dilapisi kabut itu cukup luas dan tinggi.

Sepasang bukit kembar tampak membayang jauh di
belakang wilayah berkabut itu. Dengan lain perkataan,
lembah tandus itu adalah lembah yang sepi, kosong,
tanpa makhluk yang menghuninya. Bahkan Pendekar
Mabuk cenderung mengatakan lembah itu sebagai
padang kabut berhawa sejuk.
Tapi anehnya Sang Tiara mengatakan, "Kita sudah
sampai di depan Gerbang Siluman. Berjalanlah lebih
dulu karena kau yang punya kepentingan temui Eyang
Putri Batari!"
Pemuda tampan berperawakan tinggi, gagah, dan
kekar itu memandangi gadis berpakaian serba merah
yang bernama Sang Tiara itu. Tentu saja pandangan
mata si murid sinting Gila Tuak terhadap gadis itu bukan
pandangan nakal atau berbau mesum, melainkan bernada
penuh keheranan terhadap ucapan si gadis tersebut.
Pendekar Mabuk yang akrab pula dipanggil dengan
nama Suto Sinting itu mengakui bahwa ia memang
punya keperluan dengan Eyang Putri Batari sehubungan
dengan obat yang dibutuhkan untuk menyembuhkan
penyakit sang Guru; si Gila Tuak. Obat itu adalah 'Tuak
Dewata', sesuai dengan perkataan roh sejati si Gila Tuak
yang bicara tentang 'Tuak Dewata' sebagai penyembuh
sakitnya nanti.
Pendekar Mabuk juga membenarkan Sang Tiara
tentang keperluan menemui Eyang Putri Batari adalah
keperluan pribadinya atas saran Ratu Kartika Wangi,
calon mertuanya itu. Menurut sang Ratu, kemungkinan
besar Eyang Putri Betari yang sebagai ibunya sang Ratu
itu mengetahui tentang 'Tuak Dewata', sehingga ada
baiknya jika Suto Sinting mencoba menanyakan hal itu
kepada Eyang Putri Batari di Gerbang Siluman.
Untuk menunjukkan kesungguhannya, Pendekar
Mabuk yang sebagai panglima atau Manggala Yudha
Kinasihnya Ratu Kartika Wangi itu diperintahkan untuk
melawan raja jin yang bernama Raja Barong. Raja
Barong ingin membebaskan para siluman yang ditawan
di Gerbang Siluman atas bujukan Durmala Sanca alias
Siluman Tujuh Nyawa, musuh utama sang Pendekar
Mabuk. Dan ternyata dalam usahanya menggagalkan
penyerangan Raja Barong, Pendekar Mabuk bukan
hanya berhasil menundukkan saja, namun juga berhasil
membunuh si raja para jin itu, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Misteri Tuak Dewata").
Sang Tiara yang ditunjuk oleh Ratu Kartika Wangi
untuk menjadi pemandu Suto dalam perjalanan ke
Gerbang Siluman, ternyata telah keluarkan ucapan yang
janggal di hati Suto. Dari semua perkataan Sang Tiara
tadi, hanya satu hal yang membuat Suto Sinting merasa
janggal serta heran.
"Kita sudah tiba di depan Gerbang Siluman?!"
Pendekar Mabuk mempertegas ucapan itu dengan nada
tak percaya.
"Di depan kita itulah Gerbang Siluman," ujar Sang
Tiara sambil memandang daerah yang dinamakan oleh
Suto sebagai padang kabut.
"Candamu lucu juga, Tiara. Padang kabut kau
katakan Gerbang Siluman. He, he, he...! Aku merasa
seperti orang buta mendadak jika kau bilang begitu."
"Rupanya kau belum diberi tahu oleh Gusti Kartika
Wangi."
"Diberi tahu tentang apa?!"
"Cara memandang Gerbang Siluman."
Suto membetulkan letak bumbung tuak yang
digantungkan di pundak kanannya.
"Caranya bagaimana, maksudmu?"
"Tarik napas dalam-dalam, tahan di dada, pejamkan
mata sebentar, lalu buka mata bersama hembusan napas
memanjang," Sang Tiara menjelaskan, dan Pendekar
Mabuk semakin memandang aneh, karena merasa baru
kali itu mendengar aturan tersebut.
Tetapi rasa penasaran Suto membuatnya ingin
mencoba apa yang diajarkan Sang Tiara itu. Ia menarik
napas panjang, ditahan di rongga dada, matanya
dipejamkan sebentar, kemudian mata dibuka lagi
bersama napas dihembuskan lewat mulut.
"Huuuufh...!"
Deg! Suto Sinting kaget. Matanya kian melebar.
Pandangannya tertuju ke arah depan, tempat yang
dikatakan sebagai ladang kabut itu ternyata berubah
dalam sekejap. Kabut memang masih ada, tapi kabut itu
kini membungkus bangunan bertembok tinggi bagaikan
benteng batu yang kekar dan besar. Tapi anehnya lagi,
bangunan itu tidak mempunyai pintu. Temboknya rata
bagai tak berlubang seujung jarum pun. Hanya saja,
tepat di depan Suto Sinting dan Sang Tiara itu terdapat
sebuah gapura dari batu hitam bersusun-susun
sedemikian rupa membentuk tiang gawang, seperti
gapura-gapura model Jepang.
Letak gapura batu itu dengan dinding tinggi-hitam
sekitar dua puluh tombak. Jadi masih jauh dari dinding
tersebut. Seolah-olah gapura batu hitam itu hanya
sebagai tanda bahwa seseorang yang berada di depan
gapura tersebut sama saja sudah berada di wilayah
Gerbang Siluman.
"Aneh...," Suto Sinting menggumam dengan mata
memandang bangunan di depannya, dahi berkerut dan
mulut masih sedikit ternganga. Sementara itu, Sang
Tiara masih belum mau melangkah mendahului Suto. Ia
hanya berdiri di samping Suto, menyelipkan kedua
jempol tangannya ke dalam sabuk dan sikap berdirinya
tampak tegar, penuh keberanian, namun juga berkesan
cuek dengan kebingungan Suto Sinting.
"Benarkah bangunan batu hitam itu adalah Gerbang
Siluman?" tanya Suto Sinting masih kurang yakin
dengan penglihatannya sendiri. Maklum, kali ini ia
berada di alam gaib, bukan di alam nyata, jadi cukup
banyak keanehan-keanehan yang sering membuatnya
tercengang atau bingung sendiri.
Sang Tiara menanggapi kesangsian Suto tadi dengan
dagu sedikit diangkat, sehingga kecantikannya tampak
mengandung kadar keangkuhan, walau hanya sekilas dua
kilas.
"Kau pikir yang di depan kita itu kandang kebo?"
Suto tersenyum geli-geli malu.
"Masuklah, aku tak berani mendahuluimu masuk ke
Gerbang Siluman," tambah Sang Tiara yang berambut
cepak dan kepalanya dililit logam emas berukuran kecil.
"Apakah... apakah kita berada di bagian belakang
Gerbang Siluman?" tanya Suto sambil melayangkan
pandangannya ke tembok batu besar itu.
"Tidak. Kita berada di depan Gerbang Siluman. Kita
tinggal masuk saja."
"Mana pintunya? Aku tidak melihat ada pintu pada
tembok batu yang mirip benteng raksasa itu."
"Namanya saja Gerbang Siluman, tentu saja pintunya
juga pintu siluman yang tak mudah dilihat oleh
sembarang mata," ujar Sang Tiara sambil membetulkan
letak pedangnya di punggung.
"Jadi, bagaimana caranya masuk ke Gerbang Siluman
dan menemui Eyang Putri Batari?!"
"Usaplah wajahmu tiga kali dengan tangan kiri, maka
kau akan melihat pintu masuk ke bangunan tersebut!"
Walau hati merasa heran, tapi Pendekar Mabuk
mencoba saran Sang Tiara, ia mengusap wajahnya tiga
kali memakai tangan kiri. Dan begitu selesai mengusap
wajah tiga kali, matanya segera menemukan pintu masuk
ke bangunan besar itu.
"Oh, benar apa katamu, Tiara," gumam Suto Sinting.
Pintu tersebut berbentuk lengkung bagian atasnya.
Daun pintunya terbuat dari lempengan batu besar yang
tidak sembarang orang mampu menggeser atau
membuka pintu tersebut. Di depan pintu ada jembatan
kayu, karena bangunan itu bagai berada di tengah danau
tak berair, namun berkabut tebal.
Langkah Pendekar Mabuk tampak tegap. Tetapi
langkah itu segera terhenti karena Sang Tiara mencekal
lengan pemuda tampan berambut panjang lurus
sepundak itu.
"Ada apa lagi?" tanya Suto sambil memandang Sang
Tiara.
"Lewatlah tengah gapura ini!"
"Apa bedanya jika kita melangkah melalui samping
gapura, toh tidak ada pagar dan batasan lainnya?"
"Kau tidak akan sampai ke pintu gerbang itu jika
tidak melalui jalan tengah gapura ini, Suto! Siapa pun
yang tidak melalui jalan gapura akan tersesat dan tak
akan dapat temukan jalan keluarnya. Kau akan hilang
lenyap tak berbekas!"
Pendekar Mabuk menggumam dan manggut-
manggut. "Gadis ini benar-benar menjadi pemandu yang
baik," pikirnya, "Ia bukan saja menunjukkan jalan yang
benar, tapi juga menjelaskan akibat-akibatnya. Tak salah
Ibu Ratu membekaliku pemandu secantik Tiara ini."
Tanpa panduan dari Sang Tiara, mungkin Suto akan
sampai di tempat lain dan menemukan masalah yang
lebih banyak lagi. Sang Tiara bukan saja sebagai
pemandu, namun juga termasuk sebagai kunci masuk ke
Gerbang Siluman. Karena dua penjaga Gerbang Siluman
yang terdiri dari dua pemuda tampan berpakaian serba
putih dan masing-masing memegang tombak berujung
trisula itu, tak jadi banyak tanya kepada Suto begitu
melihat Sang Tiara ada bersama Pendekar Mabuk. Sebab
wajah dan nama Sang Tiara sudah bukan asing lagi bagi
para penjaga Gerbang Siluman. Bahkan tegur sapa
mereka menampakkan sikap persahabatan yang tinggi
antara orang-orang Gerbang Siluman dengan pihak Puri
Gerbang Surgawi.
Namun biar bagaimanapun juga, Sang Tiara dan
Pendekar Mabuk tetap harus mengisi buku tamu, dan
masing-masing mendapat lempengan logam merah
tembaga berbentuk segi tiga. Logam merah tembaga
yang ketiga sisinya berukuran setengah kelingking itu
disematkan di dada kiri sebagai lencana pengganti kartu
nama.
"Lencana ini dapat dipakai untuk bicara dengan
Eyang Putri Batari," ujar Sang Tiara kepada Suto
Sinting.
"O, ya? Caranya bagaimana?"
"Tempelkan tangan kanan kita menutup segi tiga ini,
lalu bicaralah apa saja kepada Eyang Putri maka kau
akan mendengar jawabannya."
Hati pemuda tampan berbaju tanpa lengan warna
coklat serta celana putih lusuh itu mulai digelitik rasa
penasaran. Maka ia pun mencoba apa kata Sang Tiara
itu. Ia menempelkan telapak tangan kanannya sambil
memandang ke arah kedua penjaga yang tetap
memberikan senyum keramahan.
"Hallo, di sini Suto Sinting, di situ siapa? Ganti."
Tiba-tiba telinga Suto bagaikan menangkap suara
orang yang bicara dalam jarak satu langkah dari
sampingnya.
"Manggala Yudha utusan putriku, cepat temui aku
dan jangan bercanda dulu."
"Tiara... aku mendengar suara merdu seorang
perempuan," ucap Suto dalam bisikan.
"Itulah suara Eyang Putri!" Sang Tiara balas berbisik
dengan nada sedikit tegang. "Kau jangan ngomong
sembarangan lho!"
Suto pun menjadi takut, ia segera berkata sambil tetap
memegang lencana merah tembaga itu.
"Maaf, Eyang... saya tidak tahu kalau tanda tamu ini
benar-benar bisa dipakai bicara kepada Eyang Putri."
"Masuklah dan segera temui aku, Manggala perkasa!"
"Eh, Tiara... sekarang julukanku di sini diganti.
Bukan Manggala Yudha tapi Manggala Perkasa."
"Perkasa itu kata sanjungan, Tolol!" Sang Tiara
mengulum senyum geli.
Di dalam tembok hitam yang tinggi dan panjang itu,
ternyata terdapat sebuah istana kecil dengan bangunan-
bangunan beratap candi. Keadaan di dalam Gerbang
Siluman sangat berbeda dengan di luar. Di situ tanah
tampak subur dan tanaman jenis rumput serta pepohonan
tumbuh menghijau tertata rapi. Rumput menghampar
bagaikan bentangan permadani yang amat luas.
Ternyata di situ pun ada petugas khusus penyambut
tamu. Dua petugas itu terdiri dari dua gadis berambut
panjang dan hanya mengenakan pinjung penutup dada
serta kain pembungkus pinggul yang meliuk indah.
Para petugas itu membawa gulungan kain seperti
angkin warna merah. Gulungan kain itu dibentangkan,
ternyata gulungan itu bergerak sendiri dari tempat Suto
berdiri sampai ke ruang pertemuan di dalam istana kecil
itu. Pendekar Mabuk dipersilakan melangkah mengikuti
jalur merah itu, sementara Sang Tiara mengikutinya dari
belakang.
Pendekar Mabuk sangat terkejut ketika mengetahui
bahwa ternyata Eyang Putri Batari bukan sosok
perempuan tua bungkuk dan berkulit keriput serta
berpipi kempot. Eyang Putri Batari mempunyai wajah
cantik, muda, seperti berusia dua puluh lima tahun.
Bahkan sangat tak pantas jika dikatakan sebagai ibu dari
Ratu Kartika Wangi. Karena kecantikan Ratu Kartika
Wangi itu sendiri seperti berusia dua puluh delapan
tahun, padahal usia sebenarnya lebih dari delapan puluh
dua tahun.
Pendekar Mabuk nyaris tak mau percaya bahwa
perempuan muda dan cantik itu adalah nenek dari Dyah
Sariningrum, calon istrinya kelak. Jika Suto Sinting
sudah menikah dengan Dyah Sariningrum, penguasa
Puri Gerbang Surgawi di alam nyata yang berkedudukan
di Pulau Serindu itu, maka berarti perempuan cantik
yang kini ada di depannya itu adalah neneknya pula.
Janggal dan lucu sekali kedengarannya jika Suto
memanggilnya nenek atau eyang.
Tetapi agaknya Eyang Putri Batari dapat membaca
pikiran Suto Sinting, sehingga dengan sunggingkan
senyum manis yang anggun, perempuan berambut putih
rata bagaikan bulu kelinci itu berkata dengan mata
indahnya yang bundar memandang tak berkedip ke
wajah Suto Sinting.
"Seharusnya kau merasa beruntung bertemu
denganku dalam keadaan seperti ini, Suto. Kalau kau
bertemu denganku dalam keadaan sesuai dengan usiaku
yang melebihi usia Gila Tuak, maka kau akan lari
terbirit-birit dan merasa jijik melihat tulangku
terbungkus kulit yang keriput."
"Maaf, Eyang Putri...," Suto jadi malu sendiri dan
untuk sesaat tak berani memandang Eyang Putri Batari.
Perempuan yang menurut Suto wajahnya lebih mirip
Betari Ayu, kakak Dyah Sariningrum yang kini
mengasingkan diri di Gunung Kundalini itu, mempunyai
bentuk dada yang sangat bagus. Tidak terlalu montok,
namun penuh daya pikat tersendiri. Padat dan berisi.
Kulitnya yang putih mulus itu dibungkus dengan jubah
sutera warna hijau muda bertabur butiran intan. Rambut
putihnya dibiarkan lepas tergerai sepanjang punggung,
tapi bagian atasnya bersanggul kecil dengan sanggul
dililiti logam emas berbatuan mirah delima.
Perempuan itu mempunyai mata bundar berbulu
lentik yang jika beradu pandang menghadirkan hawa
sejuk di hati, membuat jiwa yang resah menjadi tenteram
dan membuat hati selalu merasa damai. Anehnya,
sekalipun seluruh kecantikan dan keelokan tubuhnya
sempat membayang di benak Suto, tetapi sedikit pun tak
ada debar-debar kemesraan yang tumbuh di hati
Pendekar Mabuk. Pemuda yang biasanya sering
berkhayal ngeres itu kali ini hanya merasa sangat kagum
terhadap kecantikan dan keelokan tubuh Eyang Putri
Batari, tak ada hasrat untuk menciumnya. Bahkan
khayalan untuk menggenggam tangan perempuan itu
sama sekali tidak ada di benak Suto.
Tetapi agaknya sang nenek cantik itu merasa kagum
dengan ketampanan Suto yang berpenampilan
sederhana, ia sempat berkata di depan dua pengawalnya
dan di depan Sang Tiara juga.
"Pemuda segagah dirimu sangat serasi bila
perjodohan dengan cucuku; Dyah Sariningrum. Tak
kusangka aku akan mendapatkan seorang cucu menantu
yang begitu tampan, kekar, dan perkasa. Ilmunya gila-
gilaan, tak ada duanya di permukaan bumi maupun di
alam gaib ini."
Pendekar Mabuk hanya tertunduk dengan tersipu
malu.
"Ketangkasanmu dalam bertarung melawan Raja
Barong, kulihat dari sini dengan jelas melalui mata
batinku. Kukenali gerakan jurus-jurusmu sebagai
gerakan jurus-jurus milik seseorang yang sangat dekat
dengan hatiku."
Sebenarnya Suto ingin ajukan tanya tentang siapa
orang yang sangat dekat dengan hati Eyang Putri Batari
itu. Tetapi ia tak punya keberanian memotong
pembicaraan perempuan cantik yang anggun dan tampak
sangat berkharisma itu. Maka, Suto pun hanya
bungkamkan mulut dalam keadaan tetap duduk bersila di
depan Eyang Putri Batari.
"Hanya saja, sangat disayangkan sekarang darahmu
telah tercemar oleh darah siluman tulen."
Kata-kata ini membuat Pendekar Mabuk menjadi
deg-degan dan segera teringat tentang ilmu 'Dewatakara'
pemberian Payung Serambi, sang prajurit unggulan dari
Istana Laut Kidul itu, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Geger Selat Bantai"). Suto tidak tahu
bahwa masuknya ilmu 'Dewatakara' dalam dirinya
membuat ia menjadi berdarah siluman dan hanya bisa
kawin dengan rakyat Laut Kidul.
Eyang Putri Batari berkata lagi, "Tetapi aku maklum,
keterbatasan manusia kadang tak bisa disalahkan begitu
saja. Barangkali memang sudah menjadi takdir bahwa
kau menjadi pemuda berdarah siluman."
"Maaf, Eyang Putri....," kini Suto berani menyela kata
karena Eyang Putri Batari diam beberapa saat lamanya.
"Apakah selamanya saya akan menjadi manusia
berdarah siluman?"
Dengan senyum wibawa yang memancarkan
kecantikan lebih tinggi lagi itu, Eyang Putri Batari
geleng-gelengkan kepala sangat pelan.
"Semua ini adalah perjalanan hidupmu, Suto Sinting.
Perjalanan hidup yang sudah digariskan harus begitu tak
bisa dihindari oleh siapa pun. Seseorang yang berusaha
menghindari garis hidupnya maka ia akan menemukan
penderitaan, sakit, dan kecewa. Tetapi orang pandai akan
mengikuti alur kehidupannya sesuai dengan garis,
sehingga tidak terasakan sakit, kecewa, dan duka."
"Jadi... saya masih punya harapan untuk tetap
berjodohan dengan Dyah Sariningrum, Eyang?!"
"Lihat saja nanti. Tergantung bagaimana keadaan
gurumu; si Gila Tuak itu."
Pendekar Mabuk termenung sebentar. Hatinya
membatin, "Sepertinya Kakek Guru punya peranan
penting dalam memulihkan keadaanku yang berdarah
siluman ini. Tetapi bagaimana mungkin Kakek Guru itu
bisa menyempurnakan kembali darahku, jika beliau sakit
dan aku tak berhasil dapatkan 'Tuak Dewata' itu?
Bukankah jika 'Tuak Dewata' tak berhasil kudapatkan,
berarti Guru kehilangan nyawanya?"
"O, kau bicara tentang 'Tuak Dewata' rupanya?" tegur
Eyang Putri Batari yang membaca pikiran Suto dan
mendengar kata batin sang pendekar tampan itu.
"Benar, Eyang Putri.... Ibu Kartika Wangi mengutus
saya untuk menemui Eyang Putri dan menanyakan
tentang Tuak Dewata' itu."
"Putri ragilku memang selalu melimpahkan kesulitan
kepadaku," kata Eyang Putri Batari sambil mengenang
wajah putri ragilnya: Sang Ratu Kartika Wangi.
"Apa yang kau cari itu sebenarnya tidak ada, Suto."
Deeeg. .! Jantung Suto bagai disentakkan dari dalam.
Harapan untuk dapatkan 'Tuak Dewata' agaknya semakin
jauh. Walau ia sudah memburu ke alam gaib dan
bertanya pada tokoh sakti kelas tinggi di alam tersebut.
Pendekar Mabuk menjadi resah. Tapi begitu
memandang sorot mata Eyang Putri Batari,
keresahannya lenyap seketika dan kedamaian muncul
bersama ketenangannya.
"Lebih tepatnya, aku tidak tahu tentang 'Tuak
Dewata' itu," sambung Eyang Putri Batari. "Penyakit
yang diderita gurumu adalah penyakit hukuman.
Gurumu mempunyai satu ilmu yang belum diturunkan
kepada muridnya. Padahal dalam batas usianya yang
sekarang, seharusnya ilmu itu sudah diturunkan atau
dibuang. Gurumu lupa menurunkannya padamu,
sehingga ia termakan hukuman dari kelalaiannya itu."
"O, begitu ya. Eyang?!" Suto Sinting jadi tampak
serius, karena baru sekarang ia mengetahui bahwa
gurunya masih punya satu ilmu yang belum diturunkan
padanya.
"Bagaimana kalau Guru menurunkan ilmu itu
sekarang juga pada saya, apakah bisa menyembuhkan
sakitnya. Eyang Putri?"
Calon nenek mertua itu menggelengkan kepala.
"Tak mungkin Gila Tuak dapat turunkan ilmu itu
kepadamu sekarang, sebab ia dalam keadaan sakit parah.
Satu-satunya cara harus sembuhkan dulu si Gila Tuak
dan ingatkan padanya bahwa ia punya satu ilmu yang
harus diturunkan atau dibuang."
"Tapi menurut roh sejati Kakek Guru, kesembuhan
itu akan datang jika saya sudah dapatkan 'Tuak Dewata'.
Sedangkan Ibu Ratu dan Eyang Putri mengatakan 'Tuak
Dewata' itu tidak ada. Lalu, saya harus berbuat apa jika
begini, Eyang Putri?!"
"Ada cara yang mungkin bisa kau tempuh untuk
mengetahui rahasia 'Tuak Dewata' itu. Kusarankan agar
kau bertapa dan meminta petunjuk Hyang Maha Dewa
tentang tuak tersebut."
Pendekar Mabuk manggut-manggut renungi kata-kata
Eyang Putri Batari.
"Sucikan dirimu, bersihkan batinmu, lakukanlah
semadi yang dinamakan 'Tapa Layang' selama empat
puluh hari," tambah Eyang Putri Batari dengan
menampakkan sikap ingin membantu kesulitan Suto
Sinting.
"Tapa Layang itu bagaimana, Eyang?"
"Jika duduk atau berdiri jangan menyentuh tanah, jika
menggantung jangan berpegangan pada benda apa pun,"
jawab Eyang Putri Batari. "Syukur kurang dari empat
puluh hari kau sudah mendapat wangsit dari Hyang
Maha Dewa tentang 'Tuak Dewata' itu. Seandainya
tidak, aku yakin pada hari keempat puluh dari bertapamu
itu kau akan mendapatkan petunjuk dari Hyang Maha
Dewa tentang kesulitanmu itu. Apakah kau sanggup,
calon mantu cucuku?"
"Sanggup sekali, Eyang Putri."
"Tapi ingat, kau bertapa di alam gaib, maka
godaanmu akan sangat besar dibanding bertapa di alam
nyata. Para siluman yang masih berkeliaran dan tidak
terperangkap dalam tawananku, pasti akan datang
mengganggumu. Untuk itu, akan kuutus Sang Tiara
mendampingi tapamu di Gua Pedupan, tak jauh dari
tempat ini."
Kemudian Eyang Putri Batari bicara kepada Sang
Tiara.
"Tiara, sanggupkah kau mendampingi Manggala
Yudha-mu dalam lakukan Tapa Layang nanti?"
"Dengan senang hati, saya tak akan tinggalkan Gusti
Manggala Yudha, Eyang Putri," jawab Sang Tiara
dengan tegas sambil memberi hormat.
"Aku percaya padamu. Kartika tak pernah salah
memilih prajurit unggulan sepertimu. Aku senang sekali
mendengar kesanggupanmu. Tiara. Bantulah calon
suami cucuku ini, maka akan kusiapkan penghargaan
khusus untukmu."
"Terima kasih, Eyang Putri!" sambil Sang Tiara
tundukkan kepala penuh hormat.
"Berangkatlah kalian ke Gua Pedupan sekarang juga.
Karena kurasakan sakitnya si Gila Tuak semakan parah.
Lewat dari empat puluh hari lagi nyawanya tak akan
dapat tertolong."
Pendekar Mabuk tersentak kaget dan menjadi tegang.
*
* *
2
ALAM gaib itu sepertinya tak pernah ada siang dan
tak pernah ada malam. Suasananya seperti menjelang
sore pada saat langit mendung. Agaknya suasana seperti
itu akan abadi sepanjang masa.
Pendekar Mabuk tak tahu apakah ia berangkat ke Gua
Pedupan menjelang sore hari atau tengah malam. Dalam
perjalanannya yang didampingi Sang Tiara itu, Suto
tidak mempersoalkan tentang siang atau malam. Hal itu
hanya terlontar dalam gumam lirihnya saja. Tetapi yang
menjadi persoalan yang perlu dibicarakan oleh Suto
adalah tentang keadaannya yang telah tercemar oleh
darah siluman itu.
"Mengapa Eyang Putri dan Ibu Ratu, termasuk dirimu
juga agaknya, selalu mempersoalkan tentang diriku yang
telah berdarah siluman?! Bukankah kalian juga termasuk
siluman?!"
"O, jangan salah! Kami bukan siluman. Kami
manusia sepertimu, tapi punya keabadian dan kesaktian
melebihi manusia sepertimu."
"Melebihi...?!" kata-kata itu sengaja ditekankan oleh
Suto membuat Sang Tiara segera sadar dan tak enak hati.
"Maksudku, punya banyak kelebihan dibanding
manusia yang hidup di alam nyata. Di sini kami tinggal
bersama keabadian, termasuk keabadian usia, keabadian
raga, keabadian kecantikan, keabadian batin dan
sebagainya. Orang-orang yang mati moksa atau lenyap
tanpa bekas, sebenarnya punya kehidupan sendiri di
alam kami ini, Suto. Mungkin suatu saat kau akan
bertemu dengan mereka yang moksa dari alam nyata."
"O, jadi kalian sebenarnya bukan roh yang
bergentayangan?"
"Bukan," tegas Sang Tiara. "Roh yang
bergentayangan atau dzat orang yang telah mati, dia
menjelma dan hidup kembali di alam kelanggengan.
Hampir sama dengan alam keabadian ini. Bedanya, alam
kelanggengan dihuni oleh para roh yang menunggu saat
penghakiman di hari akhir tiba. Alam kelanggengan itu
ada di sebelah sana," sambil Sang Tiara menunjuk ke
arah kirinya.
"Di sana mereka bercampur baur dengan jin, siluman,
hantu atau hal-hal lain yang bersifat gelap. Karena itu
alam kelanggengan mereka sering kita beri sebutan alam
kegelapan."
"Apakah dengan begitu maka alam kita sekarang ini
adalah alam surga?"
"Bukan juga alam surga. Kehidupan surgawi masih
ada di atas kita, seakan tingggal satu jangkauan lagi.
Sebab itulah, maka negeriku dinamakan Puri Gerbang
Surgawi. Artinya, sebentar lagi memasuki gerbang
surgawi jika kami benar-benar telah mencapai
kesempurnaan dalam hidup. Tetapi untuk mencapai
kesempurnaan itu ternyata bukan hal yang mudah. Tidak
semua orang mampu mencapainya ke sana."
Pendekar Mabuk manggut-manggut dan merasa
tertarik sekali dengan penjelasan tersebut. Sayang
percakapan mereka harus dihentikan, pengupasan
tentang kedua alam itu harus ditangguhkan, karena
mereka sudah mencapai sebuah lembah bertebing tinggi.
Di sana tampak sebuah mulut gua yang menganga lebar
dengan bebatuan menyerupai bambu-bambu berdiri
sebagai pagar mulut gua tersebut.
"Tunggu sebentar," cegah Sang Tiara sambil
mencekal lengan Pendekar Mabuk.
"Ada apa, Tiara? Kau selalu mengejutkan hatiku."
"Kita salah alamat," ujar Sang Tiara dengan suara
berbisik. "Yang di depan kita pasti bukan Gua Pedupan
asli. Tempat itu pasti jebakan maut yang akan
mencelakakan diri kita, Suto."
"Dari mana kau tahu?"
"Biasanya sebelum mencapai lembah ini, kita akan
berhadapan dengan Kalabolong."
Pendekar Mabuk kerutkan dahinya. "Siapa itu
Kalabolong?"
"Penjaga Lembah Pedupan. Hanya orang yang
mampu kalahkan Kalabolong boleh bertapa di Gua
Pedupan. Sebab Gua Pedupan bukan gua sembarangan,
melainkan gua yang sering digunakan untuk bertapa para
tokoh tingkat tinggi. Untuk membuktikan bahwa tokoh
yang mau bertapa itu berilmu tinggi, maka Kalabolong
selalu hadir untuk merintanginya. Tak jarang orang yang
mau bertapa terpaksa lari pulang karena tak sanggup
hadapi kekuatan Kalabolong."
"Hmmm...," Pendekar Mabuk manggut-manggut.
Sementara gadis cantik berbibir ranum itu memandang
sekeliling dengan jeli, Suto sempatkan diri untuk
meneguk tuaknya dari bumbung bambu yang ke mana-
mana selalu dibawanya itu.
"Gila!" suara Sang Tiara terdengar menggumam. "Di
sebelah kanan kita juga ada gua yang serupa dengan gua
depan kita!"
Suto memandang arah kanan. "Hmmm... benar juga.
Susunan batu dan bentuk mulut gua itu sama persis
dengan...."
"Di belakang kita juga ada gua serupa."
Pendekar Mabuk berpaling ke belakang. "Benar-
benar gila ini!" gumamnya setelah mengetahui di
belakangnya juga ada gua yang serupa dengan gua di
depannya.
"Hmmm... lihat, di sebelah kiri kita juga ada gua yang
sama!"
Dua orang itu dibuat bingung oleh persamaan dari
keempat gua tersebut. Bahkan bukan saja bentuk dan
susunan bebatuannya yang sama, melainkan suasana
sekelilingnya juga sama, sehingga mereka merasa
berhadapan dengan cermin empat sisi.
"Pasti ini ulah si Kalabolong yang ingin
menjerumuskan kita!" geram Sang Tiara dengan mata
melirik tajam penuh waspada.
"Bagaimana cara membedakan gua yang asli dan
yang jebakan?" tanya Suto Sinting yang agaknya
menjadi bingung sendiri itu.
Setelah diam sesaat, Sang Tiara perdengarkan suara.
"Seingatku, Gua Pedupan yang asli berlapis udara
baja."
"Maksudnya udara baja?"
"Tidak mudah dihancurkan karena udaranya
mengandung kekuatan baja gaib."
"Kalau begitu, akan kucoba menghantamnya dengan
pukulan jarak jauh bertenaga tinggi!" kata Suto, lalu
tangannya segera menyentak ke depan dan seberkas
sinar biru melesat dari tangan itu. Claaap...!
Jegaaarrr...!
Jurus 'Tangan Guntur' menghantam gua yang ada di
depan mereka. Gua itu langsung hancur dengan bunyi
gemuruh yang menggetarkan tempat mereka berdiri.
Sang Tiara tak mau kalah, ia pun lepaskan jurus aneh
dari telunjuknya. Hanya dengan satu jari menuding dan
menyodok ke depan maka sinar merah lurus melesat dari
ujung jari dan menghantam gua sebelah kiri mereka.
Claaap...!
"Jegaaarrr...!
Gua sebelah kiri hancur. Pada saat itu, Suto Sinting
lepaskan kembali jurus 'Tangan Guntur'-nya. Claaap...!
Sinar biru menghantam gua sebelah kanan.
Jegaaarrr...!
Kini tiga dari empat gua kembar sudah dihancurkan
oleh mereka. Tinggal gua yang ada di belakang mereka
dalam jarak sekitar tiga puluh tombak.
"Berarti gua di belakang kita itu yang asli. Tiara!"
ujar Suto Sinting.
"Aku masih sangsi juga."
Claaap...! Tiba-tiba sinar merah dari telunjuk Sang
Tiara melesat lagi dan menghantam dinding mulut gua
tersebut.
Jegaaarrr...!
Ternyata gua belakang mereka itu juga hancur.
Pendekar Mabuk menjadi terbengong dan clingak-
clinguk kebingungan.
"Kau bilang Gua Pedupan yang asli mempunyai
udara berlapis baja. Tapi kenapa sekarang gua itu juga
hancur?"
"Berarti gua itu juga gua palsu ciptaan Kalabolong."
"Lalu mana gua yang asli?!"
Tiba-tiba ada suara yang menjawab dari belakang
mereka,
"Gua yang asli ada di tanganku! Huah, hah, hah,
hah...!"
Mereka berpaling cepat dan segera temukan sesosok
tubuh berkepala empat.
"Itu dia Kalabolong!" bisik Sang Tiara kepada Suto.
Suto memandang dengan mata sedikit mengecil, tapi
ia tampak tenang dan tali bumbung tuaknya mulai melilit
pada genggamannya.
Kalabolong memang mempunyai empat kepala yang
menghadap ke empat arah; depan, belakang, dan
samping kanan-kiri. Tapi ia mempunyai satu badan,
bagian depan dan belakang. Perut itu mempunyai pusar
yang bolong, berlubang sebesar kelereng dan tembus
sampai belakang. Seseorang bisa saja mengintip dari
lubang tersebut jika iseng dan diizinkan oleh si
Kalabolong.
Makhluk aneh tanpa rambut selembar pun itu
mempunyai empat tangan dan empat kaki; sepasang
menghadap ke depan, sepasang lagi menghadap ke
belakang.
Tubuh kelingnya yang besar walau tak sebesar Raja
Barong, hanya mengenakan cawat dari bahan semacam
kulit binatang berwarna merah kecoklatan. Kulitnya itu
tampak berminyak dan menyebarkan bau langu tak
sedap.
Dari keempat kepala, masing-masing mempunyai
sepasang mata yang lebar tanpa bulu mata maupun alis.
Hidungnya bundar tapi pipi mirip telur ceplok. Mulutnya
berbibir tebal, warna bibirnya putih bintik-bintik hitam.
Mulut itu lebar, namun tak cukup untuk memakan
manusia. Masing-masing kepala mempunyai gigi
bertaring tak panjang namun kelihatan runcing dan
menyeramkan. Warnanya kuning kehijauan.
"Tak pernah gosok gigi anak ini," gumam Suto dalam
hatinya. "Yang kubingungkan, bagaimana jongkoknya
jika kakinya ada empat begitu? Orangbisa dibuat
bingung melihat dia berjalan; maju atau mundur.
Hmmm... kurasa inilah yang dinamakan maju kena
mundur kena. Agaknya aku harus hati-hati melawan dia.
Sebaiknya yang kuserang pusat kelemahannya saja."
Sang Tiara serukan kata kepada makhluk aneh itu.
"Kalabolong, kali ini kau akan celaka jika halangi
niat kami. Keluarkan Gua Pedupan dari genggamanmu,
karena Manggala Yudha-ku akan bertapa di gua itu!"
"Huah, hah, hah, hah, hah, haaaaaah... capek!"
Kalabolong melangkah mengitari Pendekar Mabuk
sambil tubuhnya sendiri berputar pelan supaya semua
mata pada kepalanya bisa memandang jelas ke arah
Pendekar Mabuk.
"Aku tak percaya kalau bocah ingusan ini adalah
Manggala Yudha-mu, Tiara! Terlalu ingusan dia. Buang
ingus saja belum bisa sudah mau berlagak bertapa
segala!"
"Kalabolong, kuingatkan sekali lagi, jangan halangi
niat Manggala Yudha-ku kalau kau tak ingin celaka!"
Salah satu tangan yang menggenggam diacungkan ke
atas. Kalabolong berseru dengan suaranya yang serak
itu.
"Kalau bocah ingusan ini bisa tumbangkan diriku,
akan kuserahkan Gua Pedupan kepadanya!"
Dalam hati Suto hanya menggumam, "Gila! Gua bisa
berada dalam genggamannya. Sakti juga makhluk
berkepala empat ini?!"
Saat itu, Sang Tiara segera berbisik kepada Suto.
"Gua itu ada dalam genggamannya. Paksa dia agar
keluarkan gua tersebut. Tapi hati-hati, ludahnya
mengandung racun yang amat ganas. Hindari ludahnya
dan kuku-kuku di tangannya itu."
"Bagaimana kalau kutinggal lari saja?"
"Ah, masa' seorang Manggala Yudha tak berani
hadapi makhluk macam dia?!" kecam Sang Tiara. Suto
hanya sunggingkan senyum kecil.
"Maksudku, akan kuajak adu kecepatan berlari. Jika
dia kalah harus serahkan gua itu dan jika aku kalah aku
tak jadi pakai gua itu."
"Cobalah bicara padanya!"
"Kalabolong!" suara Suto terdengar lantang dan
tegas.
"Apa maumu. Bocah umbelan?!"
"Daripada kita adu jotos, bagaimana jika lebih baik
kita adu kecepatan berlari. Siapa menang berhak
menggunakan gua itu untuk keperluannya apa saja, yang
kalah harus rela meninggalkan gua tersebut."
"Huah, hah, hah, hah, hah...! Kau pikir aku anak kecil
yang masih suka adu lari?"
"Kau mempunyai empat kaki sedangkan aku hanya
dua. Masa' kau kalah cepat dariku?!" pancing Suto.
"Kalau memang kau tak mampu lari dengan empat kaki,
potonglah keempatnya dan larilah pakai keempat
tanganmu. Kalau keempat tanganmu masih kalah juga
adu lari denganku, potonglah keempat tanganmu itu...."
"Lalu aku lari pakai apa?!"
"Larilah pakai lidahmu," jawab Pendekar Mabuk
bernada seenaknya, tanpa ada rasa takut sedikit pun.
Merasa mempunyai empat kaki, Kalabolong malu
jika dikatakan kalah adu cepat dengan Pendekar Mabuk.
Maka ia pun menyanggupi perlombaan adu lari itu.
"Baik. Kuturuti tantanganmu. Tapi dengan satu
syarat, kau harus kuludahi dulu! Cuuuih...!"
Tiba-tiba Kalabolong meludah menggunakan mulut
bagian depannya. Ludah itu berwarna biru kental dan
melayang cepat ke wajah Suto.
Zlaaap...! Suto Sinting bagaikan lenyap seketika dan
ludah itu tidak mengenai sasaran. Padahal Suto tadi
bergerak cepat dengan gunakan jurus 'Gerak Siluman'
yang kecepatannya menyamai kecepatan cahaya,
melebihi kecepatan anak panah lepas dari busurnya.
Ludah itu jatuh ke tanah dan tanah tersebut segera
mengepulkan asap, lalu menjadi hangus dalam sekejap.
Untung pada waktu itu Sang Tiara sudah menjauh lebih
dulu, karena ia khawatir terkena ludah salah sasaran.
Pendekar Mabuk kini berdiri di belakang Kalabolong,
tapi tetap saja berhadapan dengan kepala bermulut lebar
yang segera meludah seperti tadi. Cuiiih...!
Zlaaap...! Pendekar Mabuk menghindar kembali.
Ludah kenai sebongkah batu dan batu itu mengepulkan
asap. Bagian yang terkena ludah biru bukan menjadi
hangus saja, melainkan juga segera menjadi serbuk
hitam.
"Rupanya kau tak bisa diajak damai, Kalabolong!
Aku terpaksa merampas gua ini dengan kasar, Sobat!
Hiaaah...!"
Pendekar Mabuk sentakkan kaki dan tubuhnya
melesat di udara, ia bersalto maju satu kali melintasi
keempat kepala Kalabolong. Kemudian bumbung
tuaknya disodokkan ke bawah mengarah kepada
pertengahan keempat kepala dempet itu.
Wuuut...!
Plaaak...! Sodokan bumbung tuak ditahan dengan
kedua telapak tangan Kalabolong dalam keadaan
keempat kakinya merendah. Sementara kedua tangan
menahan bumbung tuak, tangan yang satunya lagi, yang
tidak menggenggam, segera berkelebat ke atas. Wuuut,
breeet...!
"Aaaauh...!" Suto Sinting memekik kesakitan karena
terkena cakaran kuku setajam pisau itu. Betis pemuda
tampan itu menjadi koyak dan berdarah. Dalam waktu
singkat, luka koyak itu melebar sampai ke lutut.
"Cepat minum tuakmu!" seru Sang Tiara dengan
cemas ketika melihat betis Suto Sinting koyak.
"Aaauh...! Aku tak bisa gerakkan uratku lagi.
Uuuh...!" Pendekar Mabuk merintih sambil pandangi
lukanya yang bergerak bagaikan kerupuk mekar di
penggorengan. Luka beracun itu membuat kedua tangan
Suto terasa sulit dipakai untuk mengangkat bumbung
tuak. Padahal waktu itu, Kalabolong sedang
mendekatinya dengan terburu-buru.
"Kubuat modar saja kau, hah?! Hiaaaaah...!"
Kalabolong lakukan lompatan seperti terbang.
Weeess...! Tiga dari keempat tangannya siap lakukan
cakaran ke tubuh Suto.
Melihat bahaya datang dalam keadaan dirinya
terdesak begitu, Pendekar Mabuk akhirnya gunakan
kekuatan jurus 'Pranasukma' pemberian dari si Setan
Merakyat, sahabat Gila Tuak.
Dengan kekuatan pandangan mata, kepala Pendekar
Mabuk sedikit mengibas ke samping, seeet...!
Weesss...! Tubuh besar Kalabolong terlempar ke
samping dan membentur batu sebesar kerbau bunting.
Bruuuk, kraaak...!
"Aaaaooww...!" keempat kepala itu berteriak
bersamaan. Kalabolong terpuruk di bawah batu besar
yang kini retak akibat benturan dengan tubuh
Kalabolong.
Kini jurus 'Pranasukma' telah digunakan Suto satu
kali lagi. Berarti kekutan jurus itu hanya bisa dipakai
untuk tujuh puluh tujuh kali lagi. Sebab sisa kekuatan
jurus itu semula tinggal tujuh puluh delapan kali lagi,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pemburu
Darah Satria").
Kalabolong mengerang kesakitan. Kesempatan itu
digunakan Sang Tiara untuk bantu Suto meminum
tuaknya. Beberapa teguk tuak telah berhasil percepat
sembuhkan lukanya. Suto menjadi segar kembali.
Kalabolong bangkit dengan menggeram. Tiga
tangannya mulai bergerak-gerak membentuk cakar,
seperti tangan-tangan binatang gurita. Tetapi Pendekar
Mabuk sudah siap hadapi serangan lawan kembali.
Makhluk berpusar bolong itu segera melesat bagai
daun terbang terhembus badai. Weesss...! Keempat kaki
dan keempat tangannya berserabutan sukar ditangkis,
sehingga Suto memilih lompat ke samping dalam
gerakan cepat ketimbang menghadapi terjangan lawan.
Zlaaaap...!
Sambil lakukan lompatan, Suto lepaskan jurus 'Jari
Guntur'-nya berupa sentilan bertubi-tubi ke arah
Kalabolong. Tes, tes, tes, tes...!
Buuukh, buuukh, buukh, buukh...!
Sentilan yang bertenaga dalam yang mirip tendangan
kuda jantan mengamuk itu kenai tubuh Kalabolong
berkali-kali. Tubuh besar itu terlempar berguling-guling
sambil lepaskan suara kesakitan yang memanjang.
Tubuh berkulit keling itu akhirnya menghantam
sebongkah batu sebesar gajah. Bruuuk...! Batu itu
bergetar, bagian ujung tepiannya rompal. Kalabolong
jatuh terpuruk sambil serukan suara mengerang yang
memekakkan gendang telinga.
"Aaaaahhhrr...!"
Sang Tiara menutup kedua telinganya, ia tetap
menjadi penonton yang baik dengan sesekali ikut
melompat ke sana-sini untuk hindari serangan nyasar.
Tetapi begitu Kalabolong keluarkan suara serak yang
mirip tombak mengorek-ngorek lubang telinga, Sang
Tiara segera sembunyikan diri di balik gundukan batu
sambil mendekap kedua telinganya kuat-kuat.
Suto Sinting sempat tersentak ke belakang dan
membentur batu besar. Suara erangan Kalabolong
ternyata mempunyai tenaga dalam yang memancar ke
mana-mana. karena suara erangan itu keluar dari
keempat mulut Kalabolong.
"Aaaaahhhrrr...!"
Kalabolong masih lepaskan erangan berbahaya
sambil bangkit berdiri dengan keempat kakinya. Getaran
gelombang suara yang bertenaga dalam itu telah
membuat beberapa bongkahan batu menjadi pecah
ataupun retak. Tanah di sekitar tempat itu bergetar,
sehingga tempat itu bagaikan ingin dilanda gempa yang
akan menenggelamkan mereka ke dasar bumi.
Pendekar Mabuk ikut menutup telinganya dengan
kedua tangan, di mana salah satu tangan masih
menggenggam tali bumbung tuak. Suara itu menusuk-
nusuk gendang telinga, hingga Suto akhirnya berlutut
sambil gemetar menahan rasa sakit di bagian kepala,
terutama pada telinganya.
Melihat Suto Sinting lemah dan kesakitan,
Kalabolong segera lepaskan pukulan jarak jauhnya
berupa sinar-sinar merah dari ketiga tangannya.
Claaap...!
Sinar-sinar merah itu bergerak serabutan ke sana-sini,
sukar untuk diketahui secara pasti ke mana arahnya.
Gerakan sinar yang zigzag tak beraturan itu membuat
Suto Sinting merasa sedang diincar kelengangannya.
Maka dengan cepat dan mengerahkan tenaga di sela rasa
sakit, ia lakukan lompatan ke sana-sini dalam gerakan
cepat.
Zlaap, zlaap, zlaap, weeees...!
Bruuuuss...!
Pendekar Mabuk menabrak batu besar, ia jatuh
bersama pecahnya batu tersebut. Pecahan batu
menimbun tubuhnya tepat ketika tiga ujung sinar merah
melesat menghantam tempatnya berkelebat tadi.
Seandainya ia tidak menabrak batu dan jatuh tertimbun
pecahan batu tersebut, maka tubuhnya akan menjadi
sasaran telak bagi ketiga sinar merah liar tersebut.
Karena sinar itu tak menemukan sasarannya, akhirnya
mereka menghantam tiga gugusan batu tinggi yang
membuat ketiga batu tersebut menjadi hitam bagaikan
arang keropos yang masih tegak di tempatnya.
"Jahanaaaamm...!"
Kalabolong berteriak murka karena tiga sinarnya tak
mengenai Suto Sinting. Namun ia segera lakukan
lompatan menyerang dengan lebih ganas lagi begitu
menyadari Suto Sinting sedang tertimbun pecahan batu.
Ia lakukan lompatan tinggi yang akan jatuh di atas
timbunan batu tersebut.
Namun mata Pendekar Mabuk masih sempat
mengintai dari balik bongkahan batu yang menimbuni
wajahnya, ia melihat tubuh Kalabolong melambung
tinggi di atasnya.
"Celaka! Habislah riwayatku kalau tubuh itu jatuh
menindihku dalam keadaan seperti ini!" pikir Suto
Sinting.
Maka dengan mengerahkan tenaganya dan
menyentakkan kaki berkekuatan 'Gerak Siluman', batu-
batu itu terbang serentak bersama melesatnya tubuh sang
pendekar. Braaakkk...! Wuuurss...!
Batu-batu itu terbang ke atas secara bersamaan dan
menerjang tubuh besar Kalabolong yang masih
melambung turun di udara. Prrookk...!
Tubuh itu tak jadi bergerak turun karena diserang
batu-batu itu dengan kuat, akhirnya melambung lagi naik
dan bergulir ke arah lain. Sementara itu Suto Sinting
melesat ke samping, lalu dengan bambu tuaknya yang
disentakkan ke bumi, tubuhnya melambung lebih tinggi
lagi, bersalto satu kali dan hinggap di atas gugusan batu
setinggi rumah. Wuuut...! Jleeeg...!
"Ooh...?!" Sang Tiara terkejut melihat Suto Sinting
berlumuran darah pada bagian kepalanya. Tetapi
pendekar gagah perkasa itu segera menenggak tuaknya
untuk lenyapkan luka dan rasa sakit yang diderita.
Sementara itu, Kalabolong jatuh terhempas dengan tetap
hujani batu-batu sebesar genggaman orang dewasa itu.
Blaaam...! Brrooook...!
"Aaaaahhhrrr...!"
Suaranya semakin keras di bawah tumpukan batu-
batu tersebut. Dalam sekejap saja ia sentakkan keempat
kaki dan tangannya, dan batu-batu itu buyar beterbangan
ke sana-sini, tubuh besar itu pun bangkit kembali bagai
tak mau menyerah. Zrraaak...! Weerrs...!
Jleeg...! Kalabolong berdiri dengan tegak dengan
setiap wajah pancarkan seringai keganasan yang
menyeramkan.
Tapi kebangkitan Kalabolong itu segera disambut
dengan jurus 'Bangau Mabuk'-nya Suto, yaitu sodokan
bumbung tuak yang membuat bumbung tuak itu terbang
dengan cepat dan tubuh Suto yang memegangi talinya
ikut terbawa terbang pula. Wuut, weeesss...!
"Keparat kaaauuu...!" geram Kalabolong, namun
suaranya terhenti seketika karena pusarnya yang bolong
tersodok bumbung tuak.
"Huaaaakkrr...!"
Empat mulut dari empat kepala gencet itu memekik
keras bersamaan. Tubuh Kalabolong terlempar cukup
jauh, dan jatuh berdebam di seberang sana. Bluumm...!
Hempasan tubuh ke tanah tak berumput itu membuat
gugusan batu besar di sampingnya bergetar, kemudian
batu itu patah di pertengahannya. Krraakss...!
Brruuukk...!
"Uuuahhk...!" Kalabolong memekik lagi. Tubuhnya
tergencet bongkahan batu besar sebesar kuda nil.
"Hiaaahh...!" Suto Sinting segera menendang batu
besar yang berdiri menjulang di samping Kalabolong.
Daaakh, brruuuk...!
"Aaaakkhhrr...!" Kalabolong semakin berteriak
dengan suara berat, karena kini tubuhnya dijatuhi batu
besar lagi, hingga menumpuk bagaikan bukit.
"Heeeaaah...!"
Zlaaaap...! Brrruuuk...!
Batu sebesar kerbau ditendang oleh Suto dengan
kekuatan tenaga dalamnya. Batu itu melayang dan jatuh
menimpa bagian keempat kaki Kalabolong. Praaak...!
"Huaaahhrr...!"
"Gila! Suto kalau sudah mengamuk, tak kira-kira
menghajar lawannya," ujar Sang Tiara dalam hatinya.
"Kalabolong dibuat tak berkutik seperti itu. Yang
kelihatan hanya keempat kepalanya, itu pun kepala yang
belakang mencium tanah dan tak bisa bergerak lagi."
Namun agaknya Kalabolong masih tidak mau
menyerah sampai di situ saja. Ia berusaha mendorong
batu-batuan besar yang menimbuni tubuhnya.
"Hiiiaaahhrr...!"
Saat itu Pendekar Mabuk melesat dan hinggap di atas
sebongkah batu setinggi kepalanya, ia sempatkan diri
meneguk tuaknya kembali untuk hilangkan rasa sakit
dan beberapa luka akibat amukannya tadi.
Batu-batu penimbun tubuh Kalabolong mulai
bergetar pertanda sebentar lagi akan pecah karena
sentakan tenaga orang yang ditimbuninya itu. Hanya
saja, Pendekar Mabuk dan Sang Tiara sama-sama
terperanjat melihat seberkas sinar merah seperti bintang
jatuh melayang di udara. Sinar merah itu melesat dan
jatuh di atas batu-batu penimbun tubuh Kalabolong.
Slaaap...! Duuubs...!
Buuull...!
Asap mengepul tebal dari sinar merah tersebut. Asap
itu segera sirna dan sesosok tubuh tinggi-besar berkulit
putih bagai mengenakan bedak itu tahu-tahu telah duduk
di atas batu penimbun tubuh Kalabolong.
Makhluk berperut besar itu tingginya tiga kali tinggi
tubuh Pendekar Mabuk. Kulitnya retak-retak, berbulu
mirip tanaman rambat. Kakinya sebesar pilar, kedua
tangannya juga sebesar tiang penyangga atap pendopo.
Makhluk berkepala gundul tapi mempunyai daun
telinga lebar, mulut besar, dan sepasang lubang hidung
mirip gorong-gorong itu sangat dikenali oleh Pendekar
Mabuk, sehingga pemuda tampan itu pun segera berseru
kepada makhluk pendatang baru itu.
"Jin Koplo...?!"
"Hai, Kawan...! Kau dapat kesulitan rupanya?! Huah,
hah, hah, hah...!"
"Koplooo...!" geram salah satu mulut Kalabolong.
"Minggir kau! Jangan menambah beban di atasku!
Minggiirr...!"
"Huah, hah, hah, hah...! Kau tak akan bisa keluar dari
himpitan bebatuan ini, Kalabolong! Huaaah...!"
Jin Koplo berdiri seketika, kedua tangannya
menyentak ke bawah, memancarkan sinar merah bara.
Sinar itu merayap dan membungkus batu-batu penimbun
tubuh Kalabolong, hingga batu-batu tersebut seakan
menyatu dengan tanah dan sukar diangkat lagi.
"Keparat kaauuu...!" geram Kalabolong kepada Jin
Koplo. "Dasar jin bodoh! Mengapa kau semakin
membuatku tak bisa bergerak?!"
"Karena kau mengganggu kawanku, Kalabolong!
Pendekar muda itu adalah kawanku, dan kuingatkan
padamu bahwa kau tak akan bisa mengalahkannya,
karena ilmunya lebih tinggi dari ilmu yang kau miliki,
Kalabolong. Kepalamu bisa pecah menjadi enam belas
bagian jika masih tetap melawan kawanku itu!"
Sang Tiara segera dekati Pendekar Mabuk dan
berbisik, "Apa benar dia kawanmu?"
"Jin Koplo itu? Oh, ya... benar. Kami bersahabat
setelah Jin Koplo kukalahkan saat ia menghadangku di
perbatasan menuju Jalur Hijau," jawab Suto Sinting
sambil membayangkan saat pertarungan dengan Jin
Koplo, si Penjaga Perbatasan Alam Gaib itu, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Misteri Tuak
Dewata").
"Kawan Suto...!" seru Jin Koplo dengan suaranya
yang besar, ia berdiri di atas bebatuan penimbun tubuh
Kalabolong. "Apa yang kau inginkan darinya, Kawan
Suto?!"
"Aku mau bertapa di Gua Pedupan, tapi gua itu tak
ada!"
"Berada dalam genggaman salah satu tangannya,"
seru Sang Tiara menimpali ucapan Suto.
"Jangan takut. Kawan Suto.... Gua itu pasti akan
diberikan padamu!"
Kemudian Jin Koplo berkata kepada Kalabolong.
"Hei, Gusi Kerbau...! Serahkan gua itu atau
kuperberat tekanan batu ini biar menguburkan tubuhmu
selama-lamanya?!"
"Persetan dengan ancamanmu. Koplo! Kalau kau
memang merasa sakti, mari kita adu kekuatan ilmu
secara jantan!"
"Ogah...!" Jin Koplo melengos. "Aku tak mau
bertarung denganmu, karena kau selalu main ludah kalau
sedang bertarung, seperti anak kecil! Kalau kau tetap tak
mau serahkan gua itu kepada sahabatku Suto Sinting,
baiklah... akan kuhamili istrimu: si Kiprat Kiprit itu!"
"Jangaaaan...!" sergah Kalabolong dengan ketiga
wajahnya tampak tegang dan ketakutan sekali.
"Kiprat Kiprit sudah bilang padaku bahwa kau tidak
bisa bertugas lagi sebagai seorang suami, disamping itu
kau memang tidak bisa memberinya keturunan. Kiprat
Kiprit memohon padaku agar aku mau menghamilinya
demi mendapatkan keturunan di masa depannya...."
Suto berbisik geli, "Ternyata bangsa jin juga
memikirkan masa depan segala, ya?"
Sang Tiara hanya tersenyum, seakan sembunyikan
kecantikannya yang bertambah di dalam senyuman itu.
Pendekar Mabuk segera memperhatikan Jin Koplo lagi
yang sedang mengancam Kalabolong. Agaknya ancaman
itu membuat Kalabolong sedih dan menjadi lemah.
Akhirnya ia menyerah dan mengaku kalah.
"Bocah muda, kalau Jin Koplo saja bisa kau
kalahkan, maka aku terpaksa menyerah kalah.
Bebaskanlah aku dari himpitan ini. Bocah Muda!"
"Koplo... bebaskan dia!"
"Dengan senang hati, Kawan! Huah, hah, hah,
hah...!"
Jlegaaar...!
Jin Koplo menendang bebatuan itu, dan bebatuan pun
pecah menjadi serbuk halus seperti butiran pasir pantai.
Kalabolong akhirnya bebas dan menepati janjinya.
Tangan yang sejak tadi menggenggam itu kini bagai
melemparkan sesuatu ke arah depan mereka. Weeess...!
Claaap...! Sinar putih perak menyilaukan memancar
dalam sekejap. Kemudian sinar itu lenyap dan Gua
Pedupan muncul di depan mereka dalam jarak sekitar
lima belas tombak.
Buuussss...!
"Satu hal kuminta padamu, Bocah Muda!" kata
Kalabolong.
"Tidak. Aku tidak setuju," sahut Jin Koplo. "Sejak
kapan kau jadi jin pengemis yang kerjanya minta-
minta?!"
"Aku meminta syarat, bukan meminta makanan!"
bentak Kalabolong.
"Ooo... kalau syarat, boleh-boleh saja," gumam Jin
Koplo sambil manggut-manggut.
"Syarat apa yang kau minta dariku?!"
"Jika kau berada di dalam gua harap jagalah
kebersihan dan patuhi peraturan yang sudah tertera pada
dinding gua itu!"
"Baik. Kusanggupi!" kata Suto Sinting dengan tegas.
"Kau mau bertapa sendirian atau berdua dengan Sang
Tiara?!" tanya Kalabolong.
"Berdua!" jawab Suto pendek.
"Jangan-jangan kalian hanya mau mojok berdua,
bukan bertapa?!" ujar Jin Koplo.
"Jaga mulutmu! Kau sangka perempuan macam apa
aku ini!" gertak Sang Tiara. Jin Koplo takut dan berbisik
kepada Kalabolong.
"Galak juga babon satu ini, ya?!"
"Tutup mulutmu!" bentak Kalabolong. "Babon itu
nama bibiku! Jangan dibawa-bawa!"
Jin Koplo dan Suto tertawa, Sang Tiara sembunyikan
rasa gelinya dengan bergegas melangkah lebih dulu
menuju Gua Pedupan. Suto Sinting pun akhirnya
mengikuti langkah Sang Tiara setelah mendapat ucapan,
'Selamat bertapa, semoga berhasil cita-cita,' dari kedua
jin yang sebenarnya saling bersahabat itu.
*
* *
3
TERNYATA Gua Pedupan merupakan sebuah
ruangan besar berlangit-langit kristal. Batuan kristal
bening itu menggantung tak beraturan bentuknya namun
membuat keindahan yang menakjubkan bagi siapa pun
yang baru saja masuk ke gua tersebut.
Lantai gua bergelembung-gelembung tak rata, namun
seperti terbuat dari batuan marmer warna putih kusam.
Demikian pula dinding gua tersebut, bentuknya memang
bertonjolan tak rata, tapi batuannya tampak seperti
batuan jenis marmer kusam.
"Mengapa Eyang Putri menyuruhku bertapa di sini,
Tiara?"
"Karena Gua Pedupan adalah tempat persinggahan
para Dewa-Dewi jika ingin berkunjung ke alam gaib
ini."
"Ooo..., kalau begitu Eyang Putri Batari menyuruhku
menghadang lewatnya para Dewa-Dewi, begitu?"
"Mungkin begitu," jawab Sang Tiara sambil
mendekati salah satu dinding gua. Suto Sinting pun
segera ikut dekati dinding tersebut, karena di sana
terdapat lempengan batu yang diberdirikan bersandar
dinding.
Lempengan batu pualam itu memuat tata tertib yang
dikatakan Kalabolong tadi. Di situ tertera dengan jelas
beberapa peraturan yang harus ditaati oleh para pertapa
yang ingin gunakan gua tersebut.
Bertapalah dengan baik dan benar.
Tidak dibenarkan membawa makanan di dalam gua.
Sesama pertapa dilarang saling meludahi.
Yang tidak berkepentingan dilarang ikut bertapa.
Barang hilang, rusak, tanggung jawab pertapa
sendiri.
Selama bertapa dilarang mengeluarkan anggota
badan.
Selesai bertapa harap mengisi kotak sumbangan
seikhlasnya.
Sang Tiara mendengus kesal, lalu kakinya menjejak
lempengan batu itu dengan tendangan menyamping. Bet,
praak...! Lempengan batu itu patah menjadi tiga bagian.
"Mengapa kau hancurkan tata tertib itu?"
"Itu bukan tata tertib, hanya keusilan tangan si
Kalabolong saja! Jangan hiraukan tulisan tadi.
Sebaiknya lekaslah ambil tempat untuk lakukan semadi.
Aku akan ada di belakangmu!"
Gua Pedupan juga mempunyai keunikan lain. Gua itu
menyebarkan aroma wangi dupa walau tak ada tempat
pembakaran dupa atau setanggi. Gua itu benar-benar
bersih, sehingga tak mungkin seseorang membakar dupa
atau setanggi di tempat tersebut. Tetapi bebatuan kristal
yang menggantung di langit-langit itu bagaikan
menyebarkan wewangian dupa yang harum dan lembut,
menimbulkan suasana mistik cukup kuat.
Sementara sang Pendekar Mabuk lakukan Tapa
Layang, yaitu duduk bersila tanpa menyentuh lantai
karena gunakan ilmu peringan tubuh, di Gerbang
Siluman kedatangan tamu yang menghadap Eyang Putri
Batari.
Tamu yang datang ke Gerbang Siluman adalah
seorang gadis cantik berjubah tanpa lengan warna biru
tua. Ia mengenakan kutang dan celana ketat warna
kuning dilapisi kain merah. Gadis cantik berusia sekitar
dua puluh tiga itu menyandang pedang di punggungnya.
Rambutnya yang panjang sepundak lewat mengenakan
ikat kepala warna merah lebar bersimpul membentuk
bunga mawar.
Dengan giwang putih berlian kecil dan kalung emas
berbatu merah sebesar kacang, gadis itu tampak sangat
menawan. Tubuhnya sekal, tak terlalu montok, namun
punya bentuk dada yang indah. Hidungnya bangir, bulu
matanya lentik, bibirnya ranum mungil menggemaskan.
Gadis cantik bergaya tengil itu tak lain adalah Payung
Serambi yang punya nama asli Ratih Kumala. Ia adalah
salah satu dari tiga duta pilihan, termasuk prajurit
unggulan dari Istana Laut Kidul di bawah pemerintahan
Nyai Kandita. Payung Serambi bisa sampai ke Gerbang
Siluman, karena ia memang berdarah siluman, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Misteri
Malaikat Palsu").
Menghadapi tamu yang berlagak tengil itu, Eyang
Putri Batari memberi sambutan dengan kalem dan penuh
wibawa. Payung Serambi diterima secara baik, karena
Eyang Putri Batari tidak punya maksud bermusuhan
dengan pihak Istana Laut Kidul. Teguran dan bicaranya
bernada ramah walau Payung Serambi membalas dengan
sedikit ketus dan agak angkuh.
"Bagaimana kabar Ratumu: Nyai Kandita?"
"Baik-baik saja," jawab Payung Serambi tak mau
tampak lemah di depan penguasa lain.
"Syukurlah jika Kandita baik-baik saja. Lalu, ada
perlu apa dia mengutusmu kemari, Ratih Kumala?"
"Kami mendengar Suto Sinting mencari 'Tuak
Dewata'."
"Memang benar. Dia mencari 'Tuak Dewata' untuk
sembuhkan penyakit gurunya; si Gila Tuak itu."
"Sehubungan dengan itulah Nyai Gusti Kandita
mengutusku kemari, karena kami tahu Suto mencari
'Tuak Dewata' sampai ke Gerbang Siluman ini."
"Selanjutnya...?" pancing Eyang Putri Batari.
"Aku diutus membawa Suto Sinting pulang ke Istana
Laut Kidul dan menghadap Nyai Gusti Kandita."
"Mengapa Kandita ingin campuri urusan Pendekar
Mabuk itu?"
"Hanya sekadar ingin membantu mencarikan 'Tuak
Dewata' dan menyembuhkan si Gila Tuak."
"Hanya itulah tujuannya?" tanya Eyang Putri Batari
bernada menyindir, karena penguasa Gerbang Siluman
itu yakin di balik niat itu tersembunyi maksud lain bagi
pihak Istana Laut Kidul.
"Apakah kau keberatan jika Suto Sinting kubawa ke
Istana Laut Kidul?" Payung Serambi justru ganti
bertanya.
"Jika aku keberatan apa yang akan dilakukan oleh
pihakmu?"
Payung Serambi tersenyum sinis.
"Jangan salahkan diriku jika aku sampai
menggunakan kekerasan untuk membawa Suto Sinting
ke Istana Laut Kidul."
"Kau mulai membuka pintu pertempuran dengan
pihakku jika begitu caranya, Payung Serambi."
"Salahkah jika hal itu kulakukan demi tugasku
membawa pulang Pendekar Mabuk?"
Eyang Putri Batari tersenyum manis. Namun
pandangan matanya mulai memancarkan permusuhan
yang samar-samar.
"Tahukah kau bahwa Suto Sinting sudah digariskan
oleh nasib hidupnya harus berjodohan dengan cucuku;
Dyah Sariningrum?!"
"Pembicaraan ini mulai melantur, Putri Batari!" kata
Ratih Kumala yang tampaknya tak mau terlalu banyak
bicara. "Sebaiknya sekarang biarkan aku pulang bersama
Pendekar Mabuk. Kumohon kau tidak menghalangi
niatku membawa Suto ke Istana Laut Kidul!"
"Suto tidak ada di sini!" tegas Eyang Putri Batari.
"Dia sedang mencari 'Tuak Dewata' di tempat lain."
"Omong kosong, Batari! Pasti kau tahu di mana Suto
berada."
Senyum tipis Eyang Putri Batari mekar kembali di
wajah cantiknya.
"Nada bicaramu mulai mengarah ke permusuhan,
Ratih Kumala."
"Tergantung bagaimana sikapmu terhadapku. Jika
kau tetap sembunyikan Suto Sinting, maka berarti kau
membuka permusuhan denganku, Putri Batari."
"Oh, sepertinya aku enggan bermusuhan dengan anak
kemarin sore, Ratih Kumala. Sebaiknya kita tak perlu
saling berselisih hanya karena seorang lelaki muda
bernama Suto Sinting itu."
"Jika begitu, keluarkan Suto dari tempat
persembunyianmu, Putri Batari!"
"Kalau kau menyangka aku sembunyikan Suto,
cobalah ambil sendiri dengan kekuatan ilmu yang ada
pada dirimu! Kurasa kau bisa meneropong dengan
kekuatan batinmu apakah Suto kusembunyikan atau
tidak."
"Kau licik!" geram Payung Serambi. "Sebelum aku
melewati gapura depan, kau telah melumpuhkan ilmu
'Tembus Batin'-ku lebih dulu, sehingga aku tak bisa
menggunakannya!"
"Aku hanya menjaga kewaspadaan saja. Tak ingin
orang lain mengetahui isi hatiku. Jika kau bermaksud
baik datang kemari, maka kau harus melepaskan ilmu
'Tembus Batin-mu itu."
"Sekarang kuminta kembali ilmu 'Tembus Batin'-ku
itu!" tegas Payung Serambi.
"Tinggalkan dulu tempat ini dan kau akan
memperoleh ilmu itu di perjalanan nanti."
"Serahkan dulu Pendekar Mabuk, baru akan
kutinggalkan tempat ini!"
"Tak ada yang bisa kuserahkan padamu, Ratih
Kumala! Jangan memaksaku untuk bersikap kasar
kepadamu."
"Sudah kepersiapkan diriku untuk menerima
perlakuan kasar darimu, Batari! Karena aku pun sudah
mempersiapkan kekasaran tersendiri untukmu!"
"Bicaramu terlalu besar bagiku. Sebaiknya kurangilah
agar kau tak menjadi gagu di depanku!"
Payung Serambi sunggingkan senyum sinis. "Kau
pikil ak... ak... uuh, ahh... uah, uah...!"
Payung Serambi menjadi tegang setelah tahu ternyata
suaranya pun dikacaukan oleh kekuatan batin Eyang
Putri Batari. Ia telah menjadi gagu sejak Eyang Putri
Batari mengatakan 'gagu' di depannya tadi.
"Uuh, eeha... eha... uuah, uuh..,!" Payung Serambi
mulai tampak berang, tangannya menuding-nuding
Eyang Putri Batari. Gerakan tangannya itu menandakan
kemarahan yang dalam, bahkan kini bergerak-gerak
sebagai isyarat menantang pertarungan kepada Eyang
Putri Batari di luar gerbang.
Senyum penguasa Gerbang Siluman itu semakin lebar
dan tetap berpenampilan kalem.
"Jangan menantangku. Kumohon jangan
menantangku. Sebaiknya tinggalkan tempat ini dan
diantara kita jangan ada saling mengganggu."
"Uuaah, ah, ah, uuuuh... ueeh. Aaah, uh, ua, ua...!"
"Ah, kau ini memang gadis yang suka penasaran,"
ujar Eyang Putri Batari sambil geleng-geleng kepala
tanda menyimpan kekesalan hati.
"Baiklah. Sekarang kita sudah ada di luar Gerbang
Siluman, apakah kau tetap ingin menantang pertarungan
denganku?"
Payung Serambi sedikit terperanjat setelah menyadari
bahwa diri mereka sudah tidak berada di dalam istana
kecil tadi. Tahu-tahu saja mereka sudah berada di tanah
tandus datar di depan gapura yang menjadi jalan utama
masuk ke Gerbang Siluman. Tapi rasa heran dan terkejut
itu disembunyikan Payung Serambi rapat-rapat. Kini
yang dipikirkan adalah menghadapi Eyang Putri Batari
dan memaksa perempuan itu tunjukkan di mana Suto
berada.
Sreet...! Payung Serambi segera cabut pedangnya
tanpa tanggung-tanggung lagi. Pedang itu menyala
merah bagai terpanggang api.
Eyang Putri Batari masih tetap tenang, kedua tangan
bersedekap di dada dan pandangi Payung Serambi
bersama senyum tipisnya. Payung Serambi sudah
membuka kuda-kuda dan mulai bersuara. Tapi agaknya
kali ini suaranya sudah normal kembali, hingga ia dapat
mengungkapkan maksud hatinya.
"Kau sudah keterlaluan, Batari! Jangan sangka aku
mundur dari hadapanmu, walau kau telah gunakan
kesaktianmu yang bisa mencuri serta mengembalikan
suaraku itu. Bersiaplah untuk hadapi seranganku,
Batari!"
Wuuus...! Brrukkk...!
Payung Serambi merasa disambar kegelapan sekejap.
Hanya sekejap saja, dan ia telah dapatkan dirinya
terkapar di tanah dalam keadaan sekujur tubuhnya terasa
perih. Sementara itu, dilihatnya Eyang Putri Batari sudah
pindah tempat, namun tetap berdiri dengan kalem dan
kedua tangannya bersedekap di dada.
"Kurang ajar! Diam-diam kau telah menerjangku tadi,
hah?!" gertak Payung Serambi sambil bangkit kembali
dan melupakan rasa perih di sekujur tubuhnya.
"Kuingatkan lagi padamu, jangan menantangku
bertarung, Ratih Kumala. Sayangilah jiwa dan ragamu."
"Persetan! Kubalas seranganmu tadi, Batari!"
Pedang menyala merah bara itu segera dikibaskan ke
samping kanan-kiri sambil memainkan jurus berkaki
rendah.
Blaaab...! Alam menjadi gelap seketika. Untung
hanya sekejap, setelah itu menjadi terang lagi, walau tak
berarti seterang siang tadi.
Tetapi lagi-lagi Payung Serambi dibuat heran oleh
keadaannya yang sudah terkapar di tanah dalam keadaan
sekujur tubuhnya memar biru-biru bagai habis dicubiti
puluhan kali.
"Edan! Tak kulihat dia bergerak, tahu-tahu aku sudah
tumbang kembali!" gumam hati Payung Serambi dengan
napas tertahan untuk menahan rasa sakitnya.
Tiba-tiba ada suara yang berkata, "Tinggalkan dia,
Eyang Putri! Biar saya yang hadapi!"
"Oh, kau sudah sampai di sini, Sang Duli?!" ujar
Eyang Putri Batari tak menampakkan rasa kagetnya
begitu melihat kemunculan Sang Duli, anak buah Ratu
Kartika Wangi itu.
"Gusti Ratu Kartika Wangi mengutus saya untuk
memulangkan gadis itu ke Laut Kidul, agar tak membuat
onar di Gerbang Siluman!"
"Kalau begitu, hadapilah dia dan jangan ragu-ragu
untuk bertindak!" ujar Eyang Putri Batari, lalu tiba-tiba
saja tempat itu menjadi kosong. Sang Duli ingin
mengatakan sesuatu tak jadi, sebab Eyang Putri Batari
telah tiada tanpa tinggalkan angin dan suara. Kini yang
ada hanyalah Payung Serambi yang sedang menarik
napas murni untuk obati luka dalamnya akibat terjangan
Eyang Putri Batari yang mirip datangnya kegelapan tadi.
Sang Duli adalah prajurit unggulan dari Puri Gerbang
Surgawi, pengawal tangguh Ratu Kartika Wangi.
Pakaiannya serupa dengan Sang Tiara; serba merah,
rambut cepak, pedang di punggung. Sang Duli memang
satu kelompok dengan Sang Tiara yang selalu tampil
sendirian dalam menghadapi musuh dari mana pun.
Perbedaan Sang Duli dengan Sang Tiara hanya pada
wajahnya. Wajah Sang Duli sedikit lonjong dan tampak
lebih matang dalam hidupnya dibanding Sang Tiara. Di
sudut dagu kirinya terdapat tahi lalat kecil seperti sebutir
pasir, sedangkan Sang Tiara tanpa tahi lalat di wajahnya.
Sang Duli memandang dingin kepada Payung
Serambi, sedangkan yang dipandang pun membalas
dengan sorot tatapan mata lebih dingin lagi. Pedang
membara merah masih di tangan Payung Serambi,
sementara Sang Duli masih belum mau mencabut
pedangnya dari punggung.
"Perlukah kita mengadu pedang hanya untuk
memperebutkan orang yang tidak ada?" ujar Sang Duli
dengan tenang.
"Cabut pedangmu, akan kucoba setinggi apa kau
memiliki ilmu pedang!" tantang Payung Serambi.
"Baik kalau itu maumu!"
Sreeet...! Sang Duli mencabut pedangnya. Pedang itu
memancarkan cahaya hijau bening bagai lumut-lumut di
dalam gua menuju istana Puri Gerbang Surgawi itu.
Bahkan ujung gagang pedangnya yang berbentuk bunga
sedang mekar itu juga memancarkan cahaya hijau bagai
mengandung fosfor.
"Hiaaah...!" Payung Serambi melemparkan
pedangnya.
Wuuuut...!
Sang Duli juga melemparkan pedangnya. Weees...!
Lalu, kedua pedang itu bertarung sendiri di udara tanpa
dipegangi oleh para pemiliknya.
Trang, trang, trang, duaaar...!
Wut, wut...! Kedua pedang terpental setelah terjadi
ledakan kecil yang ditimbulkan dari kekuatan adu tenaga
dalam dari kedua pedang tersebut.
Wut, taab...! Wuuus, taaab...!
Payung Serambi melompat dan menyambar pedang.
Dalam sekejap pedang sudah berada di genggamannya.
Demikian pula Sang Duli: segera melompat menyambar
pedang. Pedang itu kini sudah berada di genggamannya.
"Ooh...?!"
Kedua wanita cantik itu sama-sama terkejut, karena
ternyata mereka salah menyambar pedang. Pedang si
Payung Serambi di tangan Sang Duli, sedangkan pedang
Sang Duli di tangan Payung Serambi. Keduanya pun
sama-sama menggeram gemas.
Wuuut, wuuus...!
Keduanya sama-sama melemparkan pedang. Pedang
itu dilemparkan ke arah lawan, bergerak lurus bagaikan
tombak. Dan di pertengahan jarak, kedua ujung pedang
itu saling berbenturan dan timbulkan daya ledak cukup
besar.
Blaaarrr...!
Cahaya merah kehijauannya membias terang, melebar
menutupi pandangan mata mereka. Namun kejap
berikutnya, mereka sama-sama melihat pedang masing-
masing telah tak memancarkan sinar lagi dan kembali
kepada pemiliknya.
Teb, teeeb...! Mereka sama-sama cekatan dalam
menangkap pedang masing-masing dengan satu
lompatan ke atas. Weees...!
"Aaaouh...!" tiba-tiba Payung Serambi terpekik dan
segera melepaskan pedangnya. Ternyata telapak tangan
Payung Serambi menjadi melepuh dan kemerah-merahan
bagai habis menggenggam besi membara. Sedangkan
Sang Duli tampak tenang-tenang saja setelah menangkap
pedangnya dan memasukkan ke dalam sarung pedang di
punggung.
Tetapi dalam hati Sang Duli segera menggerutu,
"Sial! Darahku terasa mau membeku setelah menyambar
pedang sendiri. Rupanya Payung Serambi telah salurkan
hawa saljunya saat melemparkan pedangku kemari!"
Payung Serambi pun membatin hal serupa, tapi ia
tambahkan dalam ucapan batinnya,
"Ini hanya buang-buang waktu saja. Lawanku masih
kuanggap kelas rendah. Sebaiknya aku segera
melaporkan hal ini kepada Gusti Ratu Kandita agar
Gerbang Siluman diserang habis jika Putri Batari masih
tetap sembunyikan Suto Sinting!"
Gagang pedang sudah dingin kembali. Payung
Serambi mengambilnya dari tanah. Kemudian ia berkata
kepada Sang Duli.
"Tunggu saatnya tiba! Gerbang Siluman akan
kuhancurkan bersama segenap kekuatan dari Istana Laut
Kidul!"
Setelah berkata begitu. Payung Serambi pun pergi
bagai menghilang dari pandangan Sang Duli. Laaaab...!
*
* *
4
PEMUDA berambut lurus tanpa ikat kepala itu masih
duduk bersila tanpa menyentuh tanah. Sudah beberapa
hari ini Suto Sinting duduk melayang setinggi dua
jengkal. Sebenarnya bisa saja lebih tinggi, karena Suto
mempunyai ilmu 'Layang Raga', tetapi yang diperlukan
hanya duduk tanpa menyentuh bumi, tak perlu tinggi-
tinggi.
"Untuk apa tinggi-tinggi, nanti malah kesamber
petir!" ujarnya dalam hati saat ingin mengawali
semadinya.
"Jangan menengok ke belakang selama bertapa,"
Sang Tiara mengingatkan. Gadis itu ikut lakukan duduk
bersila tak menyentuh bumi. Rupanya ia juga
mempunyai ilmu peringan tubuh yang cukup lumayan.
Tugasnya duduk mengambang di belakang Suto
Sinting adalah membantu kekuatan batin sang pendekar
tampan itu agar segera sampai pada tujuan, bertemu
dengan Hyang Maha Dewa untuk meminta petunjuk
tentang 'Tuak Dewata' itu. Tentu saja selama bertapa,
mereka tak saling bertegur sapa. Bahkan mereka juga
tidak bicara dalam batin, hingga suasana sepi dan hening
selalu menyertai mereka berdua.
Dalam selimut keheningan selama beberapa hari,
tiba-tiba Pendekar Mabuk mendengar seseorang bicara
di depannya dengan suara lirih.
"Bukalah matamu, hentikan semadimu, Suto."
"Suara perempuan?!" batin Suto tergugah. "Suara
siapa itu, ya?"
Suara tersebut terdengar lagi, "Bukalah matamu dan
pandanglah siapa yang datang padamu kali ini. Aku
ingin bicara tentang 'Tuak Dewata', Suto."
Mendengar 'Tuak Dewata' disebut-sebut, Pendekar
Mabuk segera membuka matanya dan nyaris terpekik
kaget, karena yang ada di depannya ternyata adalah
seorang perempuan awet muda yang kecantikannya
seperti gadis berusia dua puluh lima tahun. Perempuan
itu berpakaian ketat ungu muda dengan jubah ungu tua.
Rambutnya disanggul sebagian sisanya diriap sampai
pundak.
Perempuan itu bukan saja cantik, tapi juga bertubuh
sekal, padat berisi, dan dadanya tampak montok serta
kencang. Matanya indah, namun memancarkan
kegalakan dalam bercumbu,
"Sumbaruni...?!" ucap Suto Sinting dalam nada
berbisik heran.
"Ya, aku memang Sumbaruni, orang yang selama ini
mencintaimu tapi tak pernah kau balas."
Pendekar Mabuk merasa hatinya digores oleh
keharuan, ia ingat, bahwa Sumbaruni alias Pelangi
Sutera selama ini memang sangat mencintainya. Janda
bekas istri Jin Kazmat itu sering menunjukkan
pembelaannya dalam membantu Suto menghadapi maut.
Rasa cintanya membuat Sumbaruni rela mengorbankan
nyawanya demi keselamatan Suto Sinting. Sekalipun ia
tahu Suto sudah punya calon istri Dyah Sariningrum,
tapi Sumbaruni tetap nekat mencintai Pendekar Mabuk,
dan bila perlu siap bertarung melawan Dyah
Sariningrum, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Ratu Tanpa Tapak").
Sekalipun sekarang Suto merasa berhadapan dengan
Sumbaruni yang berilmu tinggi itu, tapi ia tetap duduk
bersila di udara dalam posisi kedua tangannya berada di
pangkuan. Suto memandang haru melihat Sumbaruni
tampak memendam duka akibat cintanya yang tak
pernah terbahas itu.
"Mengapa kau datang ke tempat ini, Sumbaruni?"
"Aku rindu padamu, Suto," ucap Sumbaruni lirih
sekali dengan mata jalangnya menjadi sayu.
"Kudengar kau mencari 'Tuak Dewata' untuk obati
gurumu; si Gila Tuak itu."
"Memang benar, Sumbaruni. Apakah kau tahu di
mana 'Tuak Dewata' itu bisa kudapatkan?!"
"Ya, aku memang tahu. Tapi... tapi aku tak mau
memberitahukan padamu begitu saja."
"Mengapa begitu, Sumbaruni?"
"Karena... karena kau membiarkan hatiku merana
selama ini. Kau membiarkan aku menderita batin,
sementara kau tahu betapa aku sangat mencintaimu,
Suto."
"Maafkan aku, Sumbaruni," ucapan Suto semakin
pelan. Ia tetap duduk bersila di udara.
"Kau pun tahu bahwa aku seorang janda yang tak
mau menerima kehangatan dari pria mana pun kecuali
dari dirimu, Suto. Aku selama ini kesepian dan kau pergi
tak pernah mau menengokku."
"Aku akan bersamamu jika 'Tuak Dewata' sudah
kudapatkan dan Guru sudah bisa sembuh seperti
sediakala. Untuk itu, katakanlah di mana aku bisa
dapatkan 'Tuak Dewata' itu, Sumbaruni?"
Perempuan yang masih tampak muda itu gelengkan
kepala. Pandangan matanya semakin sayu, bahkan kini
ia mendekati Suto dan berhenti dalam jarak dua langkah
di depan Suto. "Aku mau mengatakannya setelah kau
mau mengisi kesepian hatiku dengan kehangatan
asmaramu, Suto."
"Sumbaruni, ini bukan pada tempatnya...."
"Aku tak peduli lagi, karena selama ini aku sudah
menunggu dan aku lelah menunggu sambil menderita
batin, Suto. Sekarang aku tak bisa menahan gairahku
lagi. Karenanya kucari kau dan aku inginkan
cumbuanmu, Suto."
"Oh, Sumbaruri... kuharap kau bisa memahami
kesulitanku saat ini."
"Tidak, Suto!" ucap Sumbaruni sambil melepas jubah
ungu tuanya. Jubah itu dilepas dengan pelan-pelan
dengan pandangan mata lembut sayu memancing gairah
Pendekar Mabuk.
"Aku tak bisa mengerti lagi tentang dirimu, karena
dirimu tak pernah mau mengerti kebutuhan batinku,
Suto. Ooh... hentikan dulu semadimu itu dan
bercumbulah denganku walau sekejap saja, Suto."
Sumbaruni kian mendekat. Kini ia berada dalam satu
jangkauan tangan Suto. Wajahnya tampak dibungkus
oleh hasrat bercumbu yang meletup-letup dalam hati.
Bibirnya sesekali dijilat sendiri, namun kini digigit
sendiri sambil tangannya melepas pengait penutup
dadanya. Begitu penutup dada terlepas, tampak jelas di
depan mata Suto dua gumpalan daging yang berkulit
mulus dan membengkak kenyal bagai menantang untuk
dipagut.
"Lihatlah, selama ini dadaku menunggu sentuhan
bibirmu, Suto. Ooh... tak ada buruknya jika kau hentikan
semadimu sebentar dan sentuhlah ujung-ujung dadaku
ini. Sebentar saja, Suto...," pinta Sumbaruni sambil
tangannya merayapi tubuhnya sendiri, pinggulnya
meliuk-liuk dan pandangan matanya kian sayu.
Jantung Suto dibuat berdebar-debar karena mulai
terbakar gairah begitu melihat dada yang terlepas bebas
tanpa penghalang itu. Bahkan kini Sumbaruni juga
melepaskan celana ketatnya pelan-pelan dengan suara
mendesah-desah penuh ajakan bercumbu.
"Suto, dekaplah aku sebentar saja agar aku dapat
hidup tenang kembali, Suto...! Oouh... ambillah ini!
Ambillah, Sayangku...."
Pendekar Mabuk hanya bisa menelan ludah sendiri
dan tetap duduk bersila tanpa menyentuh tanah ketika
Sumbaruni mulai berani menyodorkan dadanya
mendekati mulut Suto Sinting. Tantangan itu makin
lama semakin membuat keringat dingin Suto mencucur
di sekujur tubuhnya.
Apalagi sekarang Sumbaruni meliuk-liuk dengan
gemulainya sambil matanya terbeliak dan tangannya
meraba bagian terpeka bagi seorang wanita, Suto Sinting
menjadi semakin sesak napas dan sulit dilontarkan kata
apa pun. Napasnya pun mulai terdengar memburu, walau
ia masih bertahan untuk duduk bersila tanpa menyentuh
bumi.
"Suto, ayolah... peluklah aku. Aku sudah siap
menerima amukan asmaramu, Sayang. Cumbulah aku
sekarang juga, Suto...," sambil Sumbaruni duduk
bersandar pada dinding, ia meliuk-liuk dengan gerakan
pinggul yang membuat lelaki mana pun akan panas
dingin jika melihatnya.
Gua itu dipenuhi oleh suara desah dan erangan
Sumbaruni yang menyerupai tangis pengharapan. Hati
Pendekar Mabuk bukan saja tergugah untuk memberikan
cumbuan ala kadarnya, namun juga merasa kasihan
melihat Sumbaruni menggelepar-gelepar seperti cacing
kepanasan itu.
Namun tiba-tiba ia mendengar suara berbisik lembut
di telinga kirinya,
"Pejamkan mata. Dia hanya iblis penggoda!"
Suara itu dikenali Suto sebagai suara Sang Tiara.
Tetapi bagi Suto, memejamkan mata dalam keadaan
seperti itu adalah hal yang paling sulit dilakukan. Sebab
Sumbaruni kini semakin menjadi-jadi. Ia bagaikan
bercumbu dengan tangannya sendiri. Suaranya
memanggil-manggil Suto Sinting penuh daya tarik yang
semakin membakar gairah Suto.
"Kedipkan matamu sekarang juga, Suto! Kedipkan
matamu!" bujuk suara Sang Tiara yang rupanya telah
mengirimkan bisikannya melalui kekuatan batin.
"Sutooo... lekaslah datang kemari, Sayang...," rengek
Sumbaruni bagai tak tahu malu lagi.
Pada saat itu, Suto segera memejamkan mata sekejap,
ia bagaikan berkedip satu kali, dan ketika mata itu
terbuka kembali, ternyata Sumbaruni tak ada. Jubah dan
pakaian gadis itu yang tadi berserakan di depan Suto
juga telah hilang tanpa bekas. Suasana gua menjadi
hening, tak ada suara Sumbaruni yang merengek-rengek
minta dicumbu.
"Ternyata tadi benar-benar hanya godaan." pikir Suto
Sinting, kemudian ia memejamkan mata kembali sambil
menenangkan jantungnya yang tadi sudah nyaris pecah
karena dibakar tuntutan gairah.
Hari berikutnya, keheningan bertapa sang Pendekar
Mabuk diganggu lagi oleh kedatangan suara yang
menyuruh Suto menghentikan bertapanya.
"Hentikan bertapamu dan katakan apa yang kau
inginkan sebenarnya Suto."
Mata sang pendekar muda segera dibuka. Byaaak...!
Ia terkejut melihat seorang pemuda berusia sekitar
sembilan belas tahun berdiri di depan pintu gua. Pemuda
yang mengenakan pakaian rompi dan celana hijau muda
itu telah berada di dalam gua dan sedang berdiri
memperhatikan Suto dengan sikap meremehkan apa
yang dilakukan Suto saat itu.
Pemuda tersebut mempunyai rambut panjang
digulung di tengah kepalanya sisanya meriap sepundak,
ia berkulit kuning dan berwajah tampan. Dengan pedang
sarung perak di pinggangnya, pemuda itu tampak gagah
dan perkasa.
"Darah Prabu...?!" ucap Suto pelan sekali.
"Syukur kau masih mengingatku, Suto," kata Darah
Prabu sambil dekati Suto.
"Kusarankan hentikan saja usahamu mencari 'Tuak
Dewata' itu."
"Mengapa kau memberiku saran begitu, Darah
Prabu?"
"Karena 'Tuak Dewata' sudah diminum habis oleh
guruku: Resi Badranaya!"
Deeeg...! Jantung Suto seperti ditendang keras saat
mendengar ucapan tersebut.
"Ternyata kau masih bodoh dan tidak secerdas diriku,
Suto. Guruku juga sakit, sama seperti Eyang Gila Tuak.
Tetapi aku segera bisa dapatkan 'Tuak Dewata' dari
seorang pendeta di pegunungan Tibet. Tuak itu segera
diminum habis oleh guruku, lalu dalam waktu sangat
singkat, guruku menjadi sehat dan sekarang justru
sedang mempersiapkan liang kubur untuk Gila Tuak.
Sebab gurumu saat ini dalam keadaan tinggal menunggu
lepasnya nyawa saja."
Pendekar Mabuk gemetar walau masih tetap bersila
tanpa menyentuh bumi. Darahnya mulai seperti dibakar,
panas sekali dan menggetarkan seluruh urat dan
persendiannya. Hatinya diserang oleh rasa malu, kecewa,
sedih, dan cemas. Pandangan matanya mulai
memancarkan kebencian kepada Darah Prabu.
"Dengar, aku datang bukan sebagai penggoda, tapi
benar-benar sosok yang nyata. Kau bisa menyentuhku!"
ujar Darah Prabu sambil sodorkan tangannya.
"Peganglah tanganku."
Tapi Pendekar Mabuk hanya diam saja dan tak mau
menyentuh tangan itu. Darah Prabu tersenyum sinis dan
berkata dengan wajah didekatkan, sekitar dua jengkal
dari depan Suto.
"Pulanglah! Gurumu ingin bertemu denganmu yang
terakhir kalinya. Aku disuruh menyusulmu!"
Gigi Suto menggeletuk. Ingin rasanya segera
menghantam wajah Darah Prabu tanpa peduli mereka
sebenarnya bersahabat. Tetapi tiba-tiba Sang Tiara
kirimkan suara bisikannya lagi melalui kekuatan
batinnya.
"Pejamkan mata, dan jangan lagi layani godaan itu!"
Pendekar Mabuk memejamkan mata sebentar. Hanya
satu helaan napas, ia segera membuka mata kembali.
Ternyata Darah Prabu sudah tak ada. Tempat itu tetap
sepi, seperti tak pernah dimasuki orang lain kecuali
mereka berdua.
"Berarti yang hadir tadi benar-benar godaan. Bukan
sosok Darah Prabu yang sebenarnya. Ooh... hampir saja
murkaku terlepas dan 'Napas Tuak Setan'-ku keluar
memporak-porandakan tempat ini!" pikir Suto Sinting.
Lalu, ia memejamkan matanya kembali.
Namun baru saja ia memejamkan mata, tiba-tiba ia
mendengar suara langkah kaki masuk ke gua itu dan
seseorang berseru memanggilnya dengan nada gugup.
"Suto, Sutooo... oh, tolong aku, Suto...!"
Mata pemuda itu terbuka kembali. Hatinya tersentak
melihat seorang perempuan muda yang cantik dan
menjadi buah khayalannya selama ini. Perempuan itu
mengenakan jubah kuning sutera dengan pakaian dalam
biru lembut. Rambutnya yang disanggul itu bermahkota
indah. Mengenakan kalung 'sangsangan susun' sebagai
tanda masih gadis suci.
Perempuan cantik itu tak lain adalah orang yang
bergelar Gusti Mahkota Sejati dengan nama asli Dyah
Sariningrum.
"Dyah...?!" Suto bersuara sedikit menyentak.
"Suto, hentikan dulu semadimu. Aku dikejar-kejar
oleh seseorang dan...," belum selesai Dyah Sariningrum
bicara, tiba-tiba muncul si pengejar yang berkerudung
hitam dari atas kepala sampai kaki.
Lelaki berkerudung hitam memegang tombak pusaka
yang dinamakan pusaka El Maut. Wajah dingin di balik
kerudung hitam itu sangat dikenali oleh Suto sebagai
wajah manusia sesat yang menjadi musuh utamanya,
yaitu Siluman Tujuh Nyawa alias Durmala Sanca.
Gemetar seluruh tubuh Suto Sinting ketika melihat
Siluman Tujuh Nyawa masuk ke gua tersebut dan segera
mendekati Dyah Sariningrum. Suto Sinting masih diam
bersila tanpa menyentuh bumi dengan hati mulai
diguncang kebimbangan untuk hentikan bertapanya atau
melanjutkannya. Sementara itu, Dyah Sariningrum
berusaha menghindari kejaran Siluman Tujuh Nyawa,
namun ia terpelanting dan hampir jatuh kalau tidak
segera disambar oleh tangan Siluman Tujuh Nyawa itu.
"Sutooo... Sutooo...! Oh, tolong aku, Sutooo...!"
Dyah Sariningrum meronta keras, tapi Siluman Tujuh
Nyawa berhasil mendekapnya. Wajah perempuan itu
segera diciuminya dengan kasar dan liar. Kain kerudung
hitam terlepas dari kepala, sehingga rambut Siluman
Tujuh Nyawa yang panjang itu meriap ke sana-sini
diamuk tangan Dyah Sariningrum.
Perempuan itu terdesak di dinding dan tangan
Siluman Tujuh Nyawa dengan kasar menarik kain
penutup dada. Breeet...! Tees...!
"Aaauw...!" jerit Dyah Sariningrum sambil meronta,
namun agaknya tenaganya tak mampu mengungguli
kekuatan Siluman Tujuh Nyawa, sehingga wajah
Durmala Sanca itu segera berhasil mendusal di dada
Dyah Sariningrum. Dua gumpalan lembut yang tampak
sekal dan kencang itu menjadi santapan lezat bagi
Durmala Sanca.
Dada Suto Sinting terasa mau jebol melihat
kekasihnya diperkosa oleh Siluman Tujuh Nyawa.
Napasnya mulai terasa menggetarkan seluruh dinding
gua, karena napas kemarahan Suto adalah 'Napas Tuak
Setan' yang dapat hadirkan bencana besar bagi alam
yang ada di depannya, ia sudah pejamkan mata dua kali,
namun pemandangan itu masih terlihat jelas di depan
matanya.
"Pejamkan sekali lagi, itu hanya godaan!" bisik suara
Sang Tiara. Namun hati Suto ragu dengan bisikan
tersebut.
*
* *
5
SANG TIARA benar-benar sangat membantu
kelangsungan semadi Pendekar Mabuk. Tanpa bisikan
batin Sang Tiara, Suto sudah mengalami kegagalan
berulang kali karena tak tahan menghadapi godaan.
Untung ia mengikuti saran Sang Tiara untuk
mengedipkan mata yang ketiga kalinya, sehingga
pemandangan yang mendidihkan darah dan menjebolkan
dada itu sirna tanpa bekas. Ternyata pemandangan Dyah
Sariningrum diperkosa oleh Siluman Tujuh Nyawa itu
hanya godaan iblis belaka. Bayangan semu yang sangat
menyiksa jiwa, telah lenyap tanpa bekas apa pun, kecuali
bekas luka memar di hati Suto membayangkan
seandainya Dyah Sariningrum benar-benar diperkosa
oleh Siluman Tujuh Nyawa.
Tujuh hari lamanya Suto menghadapi gangguan yang
beraneka ragam. Selama ia mengikuti bisikan Sang
Tiara, maka ia tetap selamat dalam semadinya itu.
Sampai akhirnya, sebuah suara datang dan bicara
kepadanya dengan jelas dan lantang.
"Edan! Sekarang gangguannya datang dalam bentuk
suara tanpa rupa!" Suto membatin dalam
kebungkamannya,
"Suto, tetaplah di tempatmu dan dengarkan saja
suaraku ini," ujar suara tersebut yang masih dianggap
sebagai godaan bagi Suto.
"Setelah aku selesai bicara nanti, cepatlah pergi ke
Gerbang Siluman. Atasi keributan di sana dan jangan
biarkan Gerbang Siluman dihancurkan oleh orang-orang
Istana Laut Kidul."
Mendengar ucapan itu, Suto Sinting mulai sangsi
dengan anggapannya tadi. Bahkan hatinya pun berkata,
"Sepertinya kali ini aku tidak sedang berhadapan dengan
godaan seperti hari-hari kemarin. Suara itu agaknya
bicara padaku dengan sungguh-sungguh."
Suara Sang Tiara pun terdengar berbisik melalui
batinnya,
"Ini memang suara asli, bukan godaan! Bicaralah
padanya dan haturkan sembah serta hormat kepada
pemilik suara itu, Suto."
Hati Suto pun tergugah untuk segera mengakui
bahwa ia sedang bicara dengan tokoh tingkat tinggi yang
tak mau menampakkan wajahnya. Suto juga merasakan
hadirnya suasana hormat yang berkharisma pada saat itu.
Angin yang selama ini tak dirasakan berhembus, kali
ini terasa menerpa tubuh Suto, hingga helai-helai
rambutnya tersingkap ke belakang. Angin sejuk itu
mengawali datangnya suara tanpa rupa yang segera
disambut oleh Suto dengan kepala menunduk dan tubuh
yang mengambang turun ke bumi. Kini ia duduk bersila
dengan menyentuh bumi.
"Kumohon penjelasan sejujurnya, siapa yang sedang
bicara denganku ini?!" ujar Suto Sinting dengan nada
tegas dan bersungguh-sungguh.
"Aku adalah yang selama ini berada dalam bumbung
tuakmu, Suto!"
Pendekar Mabuk kerutkan dahinya kuat-kuat, karena
ia tak paham maksud kata-kata itu. Walaupun ia
akhirnya mempunyai kesimpulan tentang suara tersebut,
tapi ia sangsi dengan kesimpulannya sendiri. Tak heran
jika Suto pun mendesak suara tersebut untuk mengaku
dengan jelas siapa dirinya.
"Jika kau tak mau menyebutkan siapa dirimu, aku tak
mau mendengarkan kata-katamu!"
"Kurasa kau telah menyimpulkan dalam hatimu siapa
diriku sebenarnya," ujar suara itu bernada tegas dan
berwibawa. "Jangan kau bantah sendiri kesimpulan
batinmu itu, Suto. Memang akulah yang bicara padamu
saat ini. Aku adalah yang selalu menyertaimu ke mana
pun kau pergi, karena aku selalu kau bawa-bawa dalam
keadaan senang maupun susah."
"Apakah... apakah kau adalah jelmaan dari bumbung
tuakku?"
"Benar! Kau tak perlu sangsikan diriku."
"Ooh...? Jadi... jadi kau adalah Eyang Buyut Guru...."
"Jangan kau sebut namaku jika kau tak ingin Gua
Pedupan ini hancur karena badai!"
"Ampun. Eyang Buyut Guru...!" Suto Sinting
langsung bersujud menyembah hingga wajahnya
mencium tanah. Sang Tiara pun ikut-ikutan bersujud
memberi hormat tinggi-tinggi.
Suto segera mengetahui bahwa suara itu adalah milik
seorang tokoh lama yang menjadi gurunya Eyang
Purbapati dan Nini Galih. Sedangkan Nini Galih dan
Purbapati adalah guru dari Gila Tuak dan Bidadari
Jalang.
Suto tahu, siapa yang menjelma menjadi bumbung
tuaknya. Suto juga tahu, siapa yang namanya tak boleh
disebut, sebab jika disebutkan akan datang badai petir
mengerikan. Tokoh sakti itu tak lain adalah Wijayasura
yang dalam silsilahnya sebagai Eyang Buyut Guru dari
Suto Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Pedang Guntur Biru").
"Suto, kusarankan padamu, hentikanlah semadimu
ini, Nak. Kau sudah menjadi seorang pemuda yang sarat
dengan kesaktian, ilmu yang kau miliki sudah termasuk
ilmu gila-gilaan, sampai-sampai kau dijuluki Suto
Sinting. Kurasa sudah tak perlu harus lakukan semadi.
Apakah kau masih merasa kekurangan ilmu?"
"Tidak, Eyang Buyut Guru!"
"Ya, kurasa kau memang tidak kekurangan ilmu.
Apalagi kau sudah memiliki 'Dewatakara' yang sangat
ampuh dan sakti itu! Kau sudah menjadi orang yang
hebat, Cucu buyutku! Hebat sekali. Sampai-sampai
karena terlalu hebat, kau tak bisa membedakan mana
ilmu yang termasuk aliran silatmu dan mana yang
bukan. Buktinya, kau merasa bangga dan gembira
menerima ilmu 'Dewatakara' dari pengikutnya Ratu Laut
Kidul itu!"
Pendekar Mabuk diam sesaat, ia merasa disindir dan
menjadi semakin tak enak hati menerima sindiran itu.
Rasa sesal semakin membengkak dalam jiwa Pendekar
Mabuk, ia mengakui telah lakukan kecerobohan pada
saat bertemu dengan Payung Serambi dan menerima
titisan ilmu 'Dewatakara' itu.
"Maaf, Eyang Buyut Guru. Saya mengakui telah
lakukan kesalahan yang tidak patut dilakukan, oleh
seorang murid aliran si Gila Tuak," ujar Suto akhirnya
mengakui kebodohannya. "Tetapi semua itu sangat di
luar dugaan saya, Eyang. Saya tidak tahu kalau ilmu itu
tidak boleh saya miliki karena berbeda aliran. Terus
terang, saya terlalu silau dengan kecantikan Payung
Serambi, sehingga apa pun yang dilakukan dan
dimilikinya membuat hati saya terkagum-kagum,
kemudian timbul rasa ingin menjadi seperti dirinya."
"Itulah sifat manusia yang harus dikendalikan dengan
pikiran bersih. Cucu buyutku. Setiap manusia
mempunyai keinginan. Tetapi keinginan itu bukan
merupakan jaminan dari kebenaran langkahnya. Kau
harus bisa membedakan, mana keinginan yang dapat
membuat langkahmu menjadi benar. Nak!"
"Sekali lagi, saya mohon ampun. Eyang! Saya
berjanji tidak akan sembarangan menerima ilmu dari
orang lain, tanpa seizin Kakek Guru; si Gila Tuak atau
Bibi Guru; Bidadari Jalang."
Hening sejurus, Pendekar Mabuk mempertajam
pendengarannya, termasuk pendengaran batinnya. Tapi
agaknya suara Eyang Wijayasura masih menunggu
ucapan berikut dari sang cucu buyut. Maka Suto Sinting
pun perdengarkan kembali suaranya dengan penuh
hormat dan kesopanan yang tinggi.
"Apakah kesalahan saya ini tidak bisa diampuni lagi,
Eyang Buyut Guru?"
"Tentu saja bisa," jawab suara sakti itu. "Karena
sebetulnya letak kesalahan ini bukan hanya padamu.
Gila Tuak juga ikut bersalah. Mengapa sampai tak
mengetahui bahwa muridnya tersusupi ilmu aliran lain?"
"Saya mohon. Eyang Buyut Guru jangan
menyalahkan Kakek Gila Tuak. Beliau sama sekali tidak
tahu menahu tentang Ilmu 'Dewatakara' yang telah saya
miliki ini. Saya sendiri belum pernah menceritakan
kepada Kakek Gila Tuak, Eyang!"
"Sekalipun begitu, mestinya Sabawana mengetahui
keberadaan ilmu asing di dalam diri muridnya! Untuk
apa namanya ada di deretan teratas dari daftar orang-
orang sakti itu jika persoalan begini saja tidak
mengetahuinya?"
Pendekar Mabuk merasa tak patut melibatkan si Gila
Tuak. Ia ingin menanggung kesalahan itu tanpa
melibatkan siapa pun. Karenanya, ia segera ajukan
alasan demi membela si Gila Tuak.
"Eyang Buyut Guru. saya rasa Kakek Guru Gila Tuak
adalah manusia. Selama beliau menjadi manusia,
tentunya tidak akan bebas dari kesalahan sekecil apa
pun. Apalagi dalam usianya yang telah cukup banyak
ini. Jadi, wajar jika Kakek Guru lakukan kesalahan
karena khilaf dan sebagainya. Tetapi pada dasarnya,
sayalah yang bersalah dan siap menerima hukuman,
Eyang."
Lalu terdengar suara orang menggerutu, "Kau ini
selalu saja membela si Gila Tuak. Ya, sudah!
Kumaafkan kalian, tapi segera buang ilmu itu."
"Baik, Eyang!"
"Hentikan bertapamu itu. Kau melakukan sesuatu
yang sia-sia. Lebih baik kau segera pergi ke Gerbang
Siluman dan mengatasi keributan di sana. Istana Laut
Kidul menyerang istriku karena mereka ingin
membawamu pulang ke Istana Laut Kidul!"
"Saya tidak akan pergi ke mana-mana sebelum
mendapatkan 'Tuak Dewata', Eyang Buyut Guru! Kakek
Gila Tuak sedang sakit dan butuh obat 'Tuak Dewata'."
"Tuak yang kau cari itu tidak ada!"
"Harus ada, Eyang!"
"Tidak ada! Biar sampai seratus turunan kau
mencarinya, tidak akan berhasil kau temukan. 'Tuak
Dewata' tidak ada yang punya."
"Lalu bagaimana harus mengobati sakitnya Kakek
Guru; si Gila Tuak itu, jika 'Tuak Dewata' tidak saya
temukan, Eyang Buyut Guru?!"
"Biarkan si Gila Tuak menjalani garis hidupnya
sendiri. Kau tak bisa mencegah kematian seseorang yang
sudah menjadi garis kehidupan terakhirnya itu!"
"Tidak! Firasat saya mengatakan, Kakek Guru Gila
Tuak belum tiba pada akhir kehidupannya. Kakek Guru
masih bisa tertolong dengan kesaktian 'Tuak Dewata'
itu!"
"Jangan membangkang di depanku, Suto! Pergi dan
tinggalkan tempat ini. Kembalilah pada si Gila Tuak dan
terimalah kenyataan yang ada. Sebelumnya, redakan
dulu geger di depan Gerbang Siluman itu, karena hanya
kaulah yang bisa membendung amukan dari Istana Laut
Kidul."
Dalam keadaan duduk bersimpuh tegak, Suto Sinting
tetap tundukkan kepala dan bicara dengan suara tegar.
"Firasat saya tetap mengatakan bahwa 'Tuak Dewata'
itu memang ada. Jika Eyang Buyut Guru tidak mau
sebutkan di mana 'Tuak Dewata' itu berada, saya tidak
akan ikut campur dalam keributan di Gerbang Siluman
itu!"
Suasana menjadi hening beberapa saat. Suara Eyang
Wijayasura tidak terdengar sampai beberapa helaan
napas. Pendekar Mabuk sempat berdebar-debar karena
cemas. Namun setelah Pendekar Mabuk menarik napas
panjang, suara Eyang Wijayasura terdengar kembali,
cukup melegakan hati sang cucu buyut.
"Rupanya kau benar-benar ingin berbakti kepada
gurumu itu, Suto."
"Tidak ada kebahagiaan lain bagi saya tanpa
kesembuhan Kakek Guru, Eyang Buyut!" tegas Suto.
"Kau memang murid yang patut dibanggakan. Aku
tadi hanya menguji kesungguhanmu dalam
mengupayakan kesembuhan si Gila Tuak. Ternyata
kemauanmu begitu keras dan benar-benar murni tanpa
maksud-maksud tertentu!"
"Saya merasa satu napas dengan Kakek Guru Gila
Tuak, Eyang Buyut!"
"Ya, ya, ya.... Aku tahu maksudmu," ujar suara Eyang
Wijayasura. Dapat dibayangkan saat itu sang Eyang
sedang manggut-manggut dan tersenyum bangga sambil
pandangi Suto Sinting.
"Baiklah, akan kutunjukkan padamu di mana kau bisa
dapatkan 'Tuak Dewata' itu. Tapi berjanjilah bahwa kau
akan mengusir mereka yang ingin menghancurkan
Gerbang Siluman itu!"
"Saya berjanji, Eyang!"
"Bagus." Suara itu kini bergerak menjadi tepat di
samping telinga Suto Sinting.
"Sebenarnya, 'Tuak Dewata' itu adalah sebuah kata
kiasan, Tuak adalah pengganti kata air, Dewata mewakili
kata hidup, karena hidup kita adalah milik Hyang Maha
Dewa. Jadi 'Tuak Dewata' adalah air kehidupan. Kau
bisa mencari air kehidupan itu jika kau menemui Guru
Sejati."
"Di mana saya bisa menemui Guru Sejati itu,
Eyang?!"
"Di dalam sepanjang kehidupanmu sendiri. Cepat
atau lambat, kau akan dapat bertemu dengan Guru Sejati.
Mintalah padanya, karena dialah pemilik air kehidupan
itu."
Suto Sinting diam berpikir, ia mencoba memahami
kata-kata tersebut. Tapi hanya sebagian kecil saja yang
diketahuinya.
"Eyang Buyut Guru, sekali lagi saya mohon diberi
pandangan ke mana langkah yang harus saya tempuh
untuk bertemu dengan seseorang yang berjuluk Guru
Sejati itu?"
Ternyata pertanyaan tersebut tidak mendapat jawaban
dari suara Eyang Wijayasura. Bahkan ketika Suto
mengulangi pertanyaan itu sampai tiga kali, jawaban
yang diharapkan hadir ternyata tetap tidak ada.
"Eyang Buyut Guru...?!" Suto sengaja berseru. Tapi
yang didengar adalah suara si pemandu cantik; Sang
Tiara.
"Beliau telah pergi, Suto."
"Oh, tidak! Dia harus menjawab pertanyaanku!" ucap
Suto dengan nada penuh kecewa, ia semakin tampak
resah, sehingga Sang Tiara mencoba untuk
menenangkannya.
"Minumlah tuakmu agar kau tenang kembali, Suto,"
sambil Sang Tiara mengambil bumbung tuak dan
menyodorkannya.
Pendekar Mabuk terperanjat melihat bumbung tuak
itu ternyata sudah menampakkan diri lagi. Berarti suara
Eyang Wijayasura benar-benar telah tiada dan berubah
menjadi wujud bambu tempat tuak.
Setelah menenggak tuaknya dan sebagai tanda
berakhirnya masa semadi, Pendekar Mabuk hempaskan
napas sambil berdiri. Sang Tiara yang juga telah berdiri
segera perdengarkan suaranya.
"Agaknya kita harus segera ke Gerbang Siluman."
"Tapi aku harus mencari tahu di mana tokoh yang
menamakan dirinya Guru Sejati itu berada?!"
"Kurasa bisa ditanyakan kepada istri Eyang Buyut
Gurumu itu, Suto."
Maka ingatan Suto pun kembali ke percakapan gaib
tadi. Ia ingat bahwa suara Eyang Wijayasura tadi
menyebut-nyebut tentang 'istriku'. Suto harus membantu
istrinya Eyang Wijayasura.
"Siapa yang dimaksud sebagai istri Eyang Buyut
Guru tadi?!"
"Siapa lagi kalau bukan Eyang Putri Batari?!"
"Hahh...?!" Suto Sinting terkejut. "Ja... jadi... jadi
Eyang Putri Batari itu istrinya Eyang Buyut Guru?!"
"Kudengar Gusti Kartika Wangi pernah menceritakan
silsilah itu di depan kedua putrinya; Dyah Sariningrum
dan Betari Ayu."
"Gila!" gumam Suto Sinting menegang, bulu
kuduknya menjadi merinding. "Tak kusangka aku juga
berjumpa dengan Istri Eyang Buyut Guru. Tak kusangka
masih semuda itu istri Eyang Buyut Guru?!"
"Alam keabadian yang membuat kami tetap awet
muda, usia kami tak pernah bertambah, wajah kami tak
pernah berubah. Seperti kau ketahui sendiri, di sini tak
ada siang tak ada malam. Tak ada terang tak ada gelap.
Semuanya serba abadi. Demikian pula halnya dengan
kecantikan dan usia kami."
Pendekar Mabuk manggut-manggut dengan
pandangan mata terbengong-bengong, ia tak pernah
mendengar cerita tentang istri Eyang Wijayasura dari si
Gila Tuak. Karenanya, peristiwa yang dialami saat itu
dianggapnya sebagai peristiwa yang sangat penting dan
tak akan bisa dilupakan sepanjang hidupnya.
"Suto, bertindaklah sekarang sebelum segalanya
terlambat," ujar Sang Tiara mengingatkan Suto pada
janjinya tadi. Pendekar Mabuk segera sadar dari
lamunannya, kemudian bergegas keluar dari Gua
Pedupan.
*
* *
6
DENGAN menggunakan ilmu 'Pusar Badai' milik
Sang Tiara, mereka berdua tiba-tiba sudah berada di
tengah pertempuran yang cukup seru. Pertempuran itu
terjadi di depan gapura batu yang menjadi jalan utama
menuju Gerbang Siluman.
Denting suara pedang beradu terjadi di sekeliling
Suto Sinting dan Sang Tiara. Suara pekik kematian pun
menggema silih berganti. Ledakan demi ledakan
membuat tanah tempat mereka berpijak tiada hentinya
dari guncangan.
"Mengapa bisa jadi begini, Tiara?!"
"Entahlah! Yang jelas aku tak mungkin tinggal diam
melihat rekan-rekanku bertempur begini!"
Sreet...! Sang Tiara pun segera mencabut pedangnya,
lalu menghambur ke dalam pertarungan yang sedang
terjadi di depan matanya.
Pendekar Mabuk menjadi kebingungan sendiri.
Pertempuran itu terjadi antara prajurit berseragam merah
seperti Sang Tiara dengan orang-orang berseragam hijau
muda. Baik yang berseragam hijau maupun yang
berseragam merah terdiri dari perempuan semua. Tak
saju pun ada lelaki di antara mereka, kecuali Suto
Sinting sendiri.
Melihat seragam merah seperti yang dikenakan Sang
Tiara, Suto segera tahu bahwa mereka adalah prajurit
dari Puri Gerbang Surgawi, pasukan tempurnya Ratu
Kartika Wangi. Sedangkan mereka yang berseragam
hijau adalah prajurit dari Istana Laut Kidul, terlihat dari
jurus-jurus yang mereka gunakan banyak kemiripan
dengan jurus-jurusnya Payung Serambi.
"Celaka kalau begini. Bagaimana aku harus
mengambil sikap? Aku seorang Manggala Yudha dari
Puri Gerbang Surgawi, seharusnya aku segera turun
tangan membereskan tentara perangnya Istana Laut
Kidul. Tetapi di sisi lain, aku punya ikatan moral dengan
pihak Istana Laut Kidul, terutama terhadap Payung
Serambi yang telah banyak menolongku,
menyelamatkan nyawaku dan memberiku ilmu
'Dewataraka' itu."
Pendekar Mabuk melesat jauhi pertempuran untuk
sementara. Di atas gundukan batu yang membukit,
Pendekar Mabuk merenung sambil pandangi
pertempuran yang membuat debu-debu beterbangan.
Mayat bergelimpangan di sana-sini, sementara sang
Manggala Yudha masih belum bisa mengambil
kepastian harus memihak mana dirinya saat itu.
Tiba-tiba seberkas sinar merah melesat melintasi
kepala mereka yang sedang bertempur. Sinar merah
besar itu terbang dengan cepat menuju ke satu arah. Tapi
dari arah yang dituju sinar itu muncul pula seberkas
sinar biru besar yang juga melambung melintasi kepala
prajurit yang sedang bertempur itu. Kedua sinar itu
saling bertabrakan di udara, dan terjadilah ledakan yang
sungguh dahsyat pada saat itu juga.
Blegaaaarrrrr....!
Gwwwuuurrr...!
Ledakan itu menyebarkan sinar ungu, membuat langit
menjadi bercahaya ungu dalam sekejap. Cahaya ungu itu
mempunyai gelombang hentakan yang sungguh dahsyat.
Para prajurit yang bertarung terpisah menjadi dua bagian
dengan sendirinya. Yang berseragam merah terpental ke
sisi kiri, yang berseragam hijau terpental di sisi kanan.
Selain alam sekitar menjadi guncang hebat, batu-batu
beterbangan atau pecah menjadi bongkahan-bongkahan
kecil, langit pun mulai turunkan kabut ungu samar-samar
yang menyelimuti alam sekiling Gerbang Siluman.
Pendekar Mabuk terpental jatuh dari berdirinya, tapi tak
sampai turun dari atas bongkahan batu. Walau demikian,
batu yang dipijaknya sempat mengalami keretakan di
beberapa tempat, namun masih bisa berdiri kokoh.
"Luar biasa! Kekuatan tenaga dalam siapa tadi yang
saling beradu di udara itu?!" ucap Suto Sinting dengan
suara lirih, menyerupai sebuah gumam keheranan.
Rupanya ledakan dahsyat yang memisahkan kedua
pihak yang sedang bertarung itu telah membentuk jalur
khusus di antara prajuritnya Ratu Kartika Wangi dan
prajuritnya Ratu Nyai Kandita alias Ratu Nyai Roro
Kidul.
Jalur itu menjadi lega, dan sekarang dipakai untuk
melesatnya sesosok bayangan berwarna biru-kuning.
Bayangan biru-kuning itu datang dari arah munculnya
sinar merah tadi. Sedangkan dari arah munculnya sinar
biru tampak sekelebat bayangan melesat pula berwarna
kuning emas. Kedua bayangan itu saling menerjang
dalam keadaan melayang di udara. Lalu seberkas cahaya
hijau kemerah-merahan pecah membias dalam sekejap
bersama ledakan menggelegar kembali.
Jegaaaarr...!
Kedua bayangan saling terpental mundur, tapi
agaknya keduanya sama-sama sigap sehingga dapat
menapakkan kaki ke tanah dengan tegak. Jleeg, jleeg...!
"Oh, si Payung Serambi...?!" tanpa sadar Suto Sinting
menyebutkan nama dari bayangan yang tadi tampak
berkelebat warna biru-kuning itu. Lalu, pandangan mata
Suto beralih kepada lawan Payung Serambi yang tadi
tampak sebagai bayangan berwarna kuning emas itu.
"Ooh... Cendana Wilis?!" nada suara ini terdengar
lebih ditekankan lagi, menandakan Suto Sinting merasa
lebih heran dan terkejut melihat kemunculan Cendana
Wilis, orang kepercayaan pertama Dyah Sariningrum.
Cendana Wilis adalah pengawal pribadi Dyah
Sariningrum yang berpakaian ketat warna kuning emas
dengan rompi putih melapisi bagian dada dan punggung.
Rambutnya diponi depan, matanya bulat indah, dadanya
cukup montok. Cendana Wilis gadis berusia dua puluh
empat tahun yang cantik dan mempunyai bentuk tubuh
sama eloknya dengan Payung Serambi. Suto Sinting
kenal betul dengan gadis yang mempunyai pusaka
'Pedang Cendana' itu, sebab selain Suto pernah
meminjam pedang tersebut untuk kalahkan seorang
lawan, juga sering bertemu dengan si pengawal pribadi
kekasihnya itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Prahara Pulau Mayat").
"Apa yang membuat Dyah mengirimkan pengawal
pribadinya dalam pertarungan ini?!" pikir Suto sambil
matanya memperhatikan ke arah pertemuan kedua
perempuan cantik dan sama-sama mempunyai
keberanian tinggi itu.
Pendekar Mabuk segera gunakan jurus 'Sadap Suara'
yang dapat mendengarkan pembicaraan dari jarak jauh.
Tak heran jika ia dapat mendengar perdebatan antara
Payung Serambi dengan Cendana Wilis yang sama-sama
ketus itu.
"Panggil ratumu dan suruh ia berhadapan denganku!"
ujar Payung Serambi alias Ratih Kumala.
Cendana Wilis tak mau kalah ketus. "Ratuku; Gusti
Mahkota Sejati, tak mau kotori tangannya dengan
melawan cecunguk macam kau! Cukup aku saja yang
harus membuang bangkaimu ke wajah penguasa Laut
Kidul itu!"
"Biadab kau!" geram Payung Serambi. "Kulumat
habis seluruh tubuhmu hingga tak tersisa setetes darah
pun! Hiaaah...!"
Payung Serambi segera sentakkan kedua tangan yang
saling merapat itu. Tangan tersebut disentakkan ke
samping, dan dalam sentakan itu melesatlah sinar besar
warna merah api menerjang Cendana Wilis.
Weeees...!
Blegaaar...!
Ledakan terjadi dengan dahsyat lagi karena Cendana
Wilis sentakkan kedua tangannya ke depan dengan
kedua kaki merendah. Sentakan kedua tangan Cendana
Wilis itu keluarkan cahaya biru bintik-bintik yang segera
menghantam cahaya merahnya Payung Serambi.
Akibatnya, kedua gadis itu saling terpental dan jatuh
terbanting ke tanah.
"Dahsyat sekali! Ck, ck, ck...!" Suto menggumam
kagum melihat adu tenaga dalam itu.
Sementara itu, para prajurit dari kedua belah pihak
tidak ada yang berani ikut campur dalam pertarungan
tersebut. Mereka justru bertindak sebagai penonton yang
selalu siap siaga hadapi bahaya sewaktu-waktu.
Rupanya adu tenaga dalam itu membuat Cendana
Wilis mengalami luka dalam. Dari mulutnya keluar
darah kental walau tak seberapa banyak. Tetapi di pihak
Payung Serambi juga keluarkan darah dari hidungnya
yang tidak begitu banyak pula. Sekalipun demikian,
keduanya masih sama-sama belum mau menyerah,
sehingga dalam waktu singkat mereka sudah berhadapan
kembali dan siap lakukan serangan berikutnya.
Sreeet...! Payung Serambi mencabut pedangnya yang
menyala merah membara. Cendana Wilis pun mencabut
senjata dengan garang. Sreeet...!
Pedang cendana itu tidak memancarkan cahaya merah
seperti milik Payung Serambi, tapi memercikkan bunga
api di bagian sekeliling tepiannya.
"Hiaaah...!" pekik Payung Serambi yang segera
terbang menyerang lawannya.
Cendana Wiiis tidak banyak suara, namun
menyambut serangan Payung Serambi dengan lakukan
lompatan cepat menyerupai kilatan cahaya yang ingin
membelah pinggang Payung Serambi.
Wuuut, weesss...!
Traaang, blaaar...!
Bet, bet, bet, traaaang...! Blaaar, blaar...! Pertarungan
kedua pedang itu selalu membiaskan cahaya merah
kekuning-kuningan bersama bunyi ledakan yang
memekakkan gendang telinga.
Kedua perempuan itu segera daratkan kakinya dalam
posisi bertukar tempat. Payung Serambi jatuh berlutut
dengan kedua tangan menggenggam gagang pedang,
memunggungi Cendana Wilis. Sementara itu, Cendana
Wilis masih tetap berdiri dengan kedua kaki sedikit
ditekuk dan memunggungi Payung Serambi.
Ketika Cendana Wilis berbalik arah, ternyata
mulutnya semakin keluarkan darah lebih banyak lagi.
Tetapi Payung Serambi mengalami luka pada pundak
kirinya. Luka sabetan pedang Cendana Wilis
membuatnya gemetar dan berlumuran darah.
Sekalipun terluka, Payung Serambi masih sanggup
hadapi Cendana Wilis. Bahkan ia sempat berseru dengan
matanya yang menjadi nanar dan liar.
"Kau tak mungkin bisa kalahkan diriku, Cendana
Wilis! Ilmumu masih belum ada sekuku hitam dibanding
dengan ilmuku! Tekadku mati untuk mendapatkan
Pendekar Mabuk telah mendarah daging dalam diriku.
Aku merasa bangga jika bisa mati karena
memperebutkan pemuda itu! Kebanggaan apa yang kau
miliki jika sampai mati di tanganku? Menang atau kalah,
kau tidak akan mendapatkan Suto Sinting, dan dia akan
menjadi milik ratumu yang pengecut itu!"
Kata-kata 'pengecut' yang ditujukan kepada Dyah
Sariningrum membuat hati Suto Sinting tak bisa
menerima begitu saja. Pendekar Mabuk menggeram,
namun tetap tak tega melepaskan kemarahannya kepada
Payung Serambi karena teringat jasa-jasa gadis itu.
Rupanya hinaan yang dilontarkan Payung Serambi
berhasil memancing kemunculan seorang wanita cantik
berjubah kuning sutera dengan pakaian dalamnya biru
muda. Wanita itu mengenakan mahkota pada sanggulnya
dan memakai kalung susun tiga sebagai tanda bahwa
keperawanannya masih tetap suci. Wanita cantik
berpenampilan kalem itu tak lain adalah Dyah
Sariningrum.
"Hahh...?! Dia muncul...?!" Suto Sinting terbelalak
tegang. "Dari mana dia muncul? Tak kulihat
kemunculannya, tahu-tahu sudah ada di depan Cendana
Wilis?!"
Jantung Suto Sinting berdetak-detak melihat calon
istrinya tampil di pertempuran. Darah mulai mengalir
deras, dan napasnya pun mulai memberat karena
memendam murka. Jika Payung Serambi sampai
melukai Dyah Sariningrum, maka Suto tak akan dapat
tertahan lagi.
Sebelum Suto lakukan sesuatu, Dyah Sariningrum
sudah lebih dulu perdengarkan suaranya yang lembut
dan merdu, namun punya nada-nada ketegasan yang
berwibawa.
"Cendana Wilis, mundurlah! Biar kuhadapi sendiri
dia."
"Bagus! Akhirnya kau muncul juga dari
persembunyianmu, Mahkota Sejati!" ujar Payung
Serambi ketika Cendana Wilis undurkan sambil
sembuhkan luka dengan hawa murninya.
"Apa yang kau kehendaki sebenarnya, sehingga kau
menyerang Gerbang Siluman dan mengusik ketenangan
nenekku, Ratih Kumala?!"
"Jangan berlagak bodoh! Kau sudah tahu kalau aku
mencintai Suto Sinting, bukan?! Dia sekarang dalam
kesulitan mencari 'Tuak Dewata', dan aku akan
membawanya ke Istana Laut Kidul, karena Gusti Ratu
Nyai Kandita mempunyai 'Tuak Dewata'. Tetapi tuak itu
harus diserahkan langsung kepada orang yang
mencarinya, tak boleh melalui tanganku. Dan agaknya
nenekmu; si Putri Batari itu, tetap bersikeras
sembunyikan Suto Sinting serta tak rela jika aku
membawa pemuda itu ke Istana Laut Kidul! Kuanggap
tindakan nenekmu itu sengaja ingin menyusahkan Suto
dan membuat gurunya Suto tewas karena penyakitnya!"
"Kau tak berhak ikut campur dalam kehidupan Suto
Sinting," ujar Dyah Sariningrum dengan tetap kalem.
"Pihakku yang punya urusan dengan pemuda itu,
sehingga kami merasa layak jika tak rela Suto kau bawa
ke Istana Laut Kidul!"
"Aku merasa berhak ikut campur, karena darah Suto
sudah sejenis dengan darahku! Sejak kutanamkan ilmu
'Dewatakara', Suto telah menjadi pendekar berdarah
siluman. Jangan bermimpi lagi menjadi istrinya.
Mahkota Sejati! Dia tak akan bisa menikah denganmu,
atau dengan siapa saja, kecuali dengan perempuan yang
juga berdarah siluman, seperti diriku!"
"Aku tidak keberatan jika memang harus terjadi
begitu. Semua kuserahkan kepada Hyang Maha Dewa,
pengatur kehidupan manusia. Tetapi aku jelas akan
bertindak jika kau mengusik ketenangan nenekku: Eyang
Putri Batari di Gerbang Siluman ini!"
"Selama dia belum serahkan Suto kepadaku, akan
kuhancurkan Gerbang Siluman ini! Kanjeng Ratu Kidul
telah izinkan padaku untuk hancurkan Gerbang Siluman
jika tak mendapatkan Suto Sinting!"
Dyah Sariningrum diam sebentar, kemudian
terdengar suaranya berkata dengan tegas.
"Baiklah kalau memang begitu keinginanmu. Demi
mempertahankan Pendekar Mabuk dan demi membela
ketenangan eyang putriku, kulayani apa pun
kemauanmu, Ratih Kumala!"
"Bersiaplah untuk mati jika begitu, Sariningrum!"
Weeesss...!
Tiba-tiba sekali Payung Serambi memutar tubuhnya
bersama pedang diputar di atas kepala menyerupai
payung, lalu tubuh itu melesat tak terlihat lagi.
Sedangkan Dyah Sariningrum sendiri tahu-tahu lenyap
dari penglihatan siapa pun.
Kedua perempuan itu lenyap dalam satu helaan
napas. Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan menggelegar
menggetarkan alam sekitar mereka.
Blaaarrr...!
Dyah Sariningrum tahu-tahu sudah berada di samping
Cendana Wilis. Mata para prajurit dari kedua belah
pihak sama-sama terperanjat, karena mereka tiba-tiba
melihat Payung Serambi terkapar dalam keadaan
separuh tubuhnya menjadi hitam hangus. Rupanya
mereka bertempur dengan kecepatan tinggi hingga
gerakan mereka tak dapat dilihat lagi. Dan dalam
pertarungan maha kilat itu, Dyah Sariningrum berhasil
melukai Payung Serambi dengan tapak tangannya dan
membuat Payung Serambi hangus separuh tubuhnya.
Namun dalam keadaan bagian kirinya hangus dari
kepala sampai kaki, Payung Serambi masih belum mau
menyerah. Luka pedang Cendana Wilis semakin
merambah menjadi lebar. Luka itu pun tidak dihiraukan
oleh Payung Serambi, ia segera bangkit dengan suara
menggeram dan pandangan mata penuh kebencian.
"Sudah waktunya menentukan siapa yang hidup dan
siapa yang mati!" geram Payung Serambi. "Bagi yang
hidup ia berhak mendapatkan Suto Sinting dengan
menunjukkan cinta kasih dan kesetiaannya melalui 'Tuak
Dewata' itu!"
"Tuak Dewata' tidak ada!" ucap Dyah Sariningrum
dengan tegas.
"Kau perempuan bodoh, sehingga kau beranggapan
seperti itu! Yang dinamakan 'Tuak Dewata' hanya ada di
tangan Gusti Ratuku; Nyai Kandita!"
Pendekar Mabuk sempat bergumam dalam hati,
"Benarkah 'Tuak Dewata' ada di tangan Nyai Kandita?!
Bukankah suara Eyang Buyut Guru mengatakan bahwa
'Tuak Dewata' ada di tangan Guru Sejati? Hmmm... tapi
siapa Guru Sejati sebenarnya? Apakah Dyah
Sariningrum itulah si Guru Sejati, karena dia bergelar
Gusti Mahkota Sejati?!"
Kecamuk batin Suto tiba-tiba terhenti karena ia
melihat tubuh Payung Serambi mulai memancarkan
cahaya merah samar-samar. Cahaya merah itu dibarengi
oleh kepulan asap tipis yang menyelimuti seluruh
tubuhnya dari kaki sampai kepala.
Bluuubb...!
Asap itu meletup cepat dan menjadi tebal
membungkus tubuh Payung Serambi. Ketika asap tebal
itu sirna, tampaklah sesosok tubuh tinggi, besar dan
bersisik tebal seperti baja. Warna kulit dan sisiknya
seperti warna tembaga.
"Celaka! Dia menggunakan ilmu 'Dewatakara' untuk
menyerang Dyah Sariningrum?!" Suto Sinting menjadi
tegang sekali begitu melihat Payung Serambi berubah
menjadi makhluk bertanduk dengan wajah mirip wajah
naga. Baik wajah maupun tubuhnya sangat
menyeramkan, membuat para prajurit dari kedua belah
pihak saling berdesak mundur.
Tetapi Dyah Sariningrum dan Cendana Wilis masih
tetap berdiri di tempatnya. Mereka pandangi perubahan
wujud Payung Serambi yang menjadi makhluk berekor
panjang. Ekor itu berduri menyerupai mata pisau. Tinggi
makhluk itu sekitar empat kali lipat tinggi Suto Sinting.
Dengan kedua tangan berkuku tajam bak mata
pedang, makhluk itu mulai melangkah dekati Dyah
Sariningrum, kedua tangannya diangkat ke atas seakan
siap menerkam tubuh halus mulus di depannya.
"Menjauhlah, ini bukan bagianmu juga, Cendana
Wilis," bisik Dyah Sariningrum. Sang pengawal pribadi
itu menurut, ia segera mundur menjauh. Tinggal Dyah
Sariningrum yang berhadapan langsung dengan makhluk
menyeramkan itu.
"Grrraaoww...!"
Makhluk itu keluarkan suara menyeramkan juga,
seakan setiap jantung pendengarnya diguncang dan
diremas oleh suara tersebut. Tapi Dyah Sariningrum
masih tampak tenang, tanpa ada rasa takut sedikit pun.
Zlaaap...!
Suto Sinting tak bisa tinggal diam hadapi kekasihnya
dalam ancaman bahaya menyeramkan itu. Ia segera
gunakan jurus 'Gerak Siluman' dan tahu-tahu sudah
berada di samping Dyah Sariningrum.
"Biar kuhadapi dia!" kata Suto Sinting sambil
menatap Dyah Sariningrum yang tidak terkejut sedikit
pun melihat kemunculan Suto Sinting itu. Rupanya sejak
tadi ia sudah mengetahui Suto ada di kejauhan jarak,
memandangi pertempuran tersebut. Namun Dyah
Sariningrum berlagak tidak tahu-menahu tentang Suto,
sehingga kemunculan pemuda itu tidak membuatnya
heran dan kaget.
"Akhirnya kau mau turun membelaku juga, Suto,"
ujar Dyah Sariningrum dengan pelan. "Kusangka kau
akan memihak Payung Serambi."
"Aku mencintaimu, Dyah," bisik Suto Sinting, lalu
sempatkan diri mencium pipi Dyah Sariningrum dengan
lembut.
"Grrrraaooww...!"
Makhluk mengerikan itu semakin berang melihat
Suto Sinting mencium pipi Dyah Sariningrum. Ekornya
berkelebat menghantam tubuh Suto. Weess...! Tetapi
Suto Sinting segera memeluk Dyah Sariningrum dan
melesat dengan gerakan yang tak dapat dilihat mata
telanjang itu.
Zlaaap...!
Pendekar Mabuk membawa pindah calon istrinya ke
tempat yang lebih aman. Sementara itu, kibasan ekor
makhluk berkaki lebar telah kenai tiga prajurit dari
Istana Laut Kidul. Brruusss...!
"Aaaa...!" mereka menjerit keras-keras dalam
keadaan tubuh koyak dan mengucurkan darah segar. Dua
dari ketiga prajurit yang menjadi salah sasaran itu tewas
seketika, yang satu masih sempat kelojotan dalam
keadaan sekarat.
Zlaaaap...!
Suto Sinting kembali hadapi makhluk ganas itu
setelah menempatkan Dyah Sariningrum di tempat yang
aman. Kini ia berdiri menantang makhluk itu dengan
bumbung tuak di tangan kanan.
"Hentikan tindakanmu, Ratih Kumala!" seru Suto
Sinting kepada makhluk ganas itu.
"Grraaaooww...! Ggrrraaooww...!" sambil makhluk
itu geleng-gelengkan kepala. Matanya yang merah
sebesar jeruk peras itu memandang ke arah Dyah
Sariningrum. Agaknya makhluk jelmaan Payung
Serambi masih mengancam nyawa Dyah Sariningrum.
Tetapi sebelum makhluk itu bergerak ke arah putri
bungsunya Ratu Kartika Wangi itu, Pendekar Mabuk
segera serukan kata sebagai pengalih perhatian Payung
Serambi.
"Ratih Kumala..., jika kau tetap ingin mencelakai
Dyah Sariningrum, aku akan tega melawanmu sekarang
juga!"
"Ggrraaaooww...!" Makhluk itu angguk-anggukkan
kepala. Rupanya gertakan Suto disambut dengan berani.
Payung Serambi tidak keberatan jika harus menghadapi
Suto Sinting.
Maka dalam kejap berikutnya, tubuh Suto Sinting pun
kepulkan asap tebal. Buuuss...! Asap itu membubung
tinggi dan tubuh Suto tidak kelihatan lagi.
Namun ketika asap itu mulai lenyap, ternyata yang
muncul dari gumpalan asap tersebut adalah sesosok
makhluk berkepala dua yang wajahnya mirip wajah leak,
berambut kuning memanjang ke samping. Tubuh
makhluk jelmaan Suto Sinting itu berlendir dan berduri-
duri. Makhluk itu juga berekor panjang dan mempunyai
dua ekor yang setiap ujung ekornya mempunyai duri
runcing bagaikan mata tombak. Tinggi makhluk jelmaan
Suto itu melebihi tinggi makhluk jelmaan Payung
Serambi.
Rupanya Suto Sinting ingin menaklukkan makhluk
jelmaan Payung Serambi dengan menggunakan ilmu
'Dewatakara' pemberian Payung Serambi sendiri. Ilmu
itu membuat tubuh Suto berubah menjadi makhluk
menyeramkan yang mempunyai sepasang taring tajam
dan panjang.
"Hoookkrr...! Hoookkrr...!"
Makhluk jelmaan Suto Sinting itu maju, demikian
pula makhluk jelmaan Payung Serambi. Di pertengahan
jarak mereka saling bertemu dan saling bergulat dengan
serunya. Suara-suara erangan mereka menggelegar dan
berkumandang ke mana-mana. Hentakan-hentakan kaki
mereka membuat alam sekitarnya menjadi bergetar
beberapa kali. Suara pertarungan itu memancing orang-
orang Gerbang Siluman muncul untuk menyaksikannya.
Tetapi Eyang Putri Batari tidak tampak di antara mereka.
Kedua makhluk itu berusaha saling gigit dan saling
menggulingkan. Suaranya gaduh sekali. Tampaknya
keduanya sama-sama kuat. Sekalipun makhluk jelmaan
Suto Sinting berkepala dua, tetapi ternyata tidak mudah
menggigit makhluk jelmaan Payung Serambi.
Tiba-tiba seberkas sinar hijau melayang dengan
ekornya yang panjang. Weess...! Sinar hijau itu
menghantam kedua makhluk itu.
Zeebs...! Blaaarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi begitu kuat dan
mengguncangkan Gerbang Siluman. Beberapa prajurit
saling jatuh bertindihan karena guncangan yang hebat
itu.
Ledakan sinar hijau tadi ternyata membuat kedua
makhluk itu lenyap dan berubah menjadi sosok Pendekar
Mabuk dan Payung Serambi.
Dari arah datangnya sinar hijau tadi terdengar suara
gemuruh seperti datangnya banjir besar. Suara gemuruh
itu makin lama semakin jelas dan bayang-bayang
kehadiran sebuah kereta berkuda enam tampak samar-
samar. Rupanya suara gemuruh itu adalah suara derap
kaki kuda yang menarik sebuah kereta berlapiskan emas
permata.
Di atas kereta itu, tampak seorang perempuan berdiri
dengan rambut terurai meriap-riap yang dihiasi mahkota
pada bagian depannya. Perempuan cantik yang
menunggang kereta berkuda enam berbulu hitam itu
mengenakan jubah lengan panjang warna hijau muda
seperti daun baru bersemi. Jubah hijau itu dibuka bagian
depannya dan tampaklah pakaian dalam penutup dada
warna hitam berhias benang emas yang membungkus
separuh gumpalan dada montok menyegarkan itu.
Melihat sosok penampilan perempuan berkuda enam
itu, Pendekar Mabuk segera kerutkan dahi dan bersiap
siaga untuk hadapi serangan, karena ia belum mengenal
perempuan cantik berambut panjang itu. Melihat
langkah kudanya yang ternyata tidak menapak tanah dan
setiap derapnya mengepulkan asap putih membungkus
sebagian roda kereta, Pendekar Mabuk dapat
memastikan bahwa perempuan itu mempunyai ilmu
lebih tinggi dari Payung Serambi. Sinar hijau tadi bisa
dipastikan datang dari perempuan berjubah hijau muda
tersebut. Dan rupanya di belakang kereta itu tampak
beberapa kuda berbulu coklat mengiringinya dengan
para penunggangnya berseragam warna Jingga.
Pendekar Mabuk sempat menyangka munculnya pihak
ketiga dalam perkara di Gerbang Siluman itu.
Tetapi secara tiba-tiba, Dyah Sariningrum muncul di
samping Suto Sinting tanpa suara dan langkah yang
diketahui oleh siapa pun. Suto sempat terkejut ketika
Dyah Sariningrum berbisik pelan padanya.
"Nyai Kandita datang! Bersiaplah untuk hadapi dia."
"Oh...?! Jadi yang berada di atas kereta berkuda enam
itu adalah Nyai Kandita, si Ratu Laut Kidul itu?!"
"Benar! Agaknya dia merasa perlu turun tangan
dalam upaya membawamu ke Istana Laut Kidul! Hati-
hati dengan bujukannya. Tuak yang kau cari tidak ada di
tangannya!"
Pendekar Mabuk diam sambil tetap memandangi
kedatangan Ratu Laut Kidul itu yang tampak semakin
dekat, semakin pelan pula langkah kudanya. Sebenarnya
Suto ingin berbisik kepada Dyah Sariningrum, tetapi
niatnya urung dikarenakan munculnya suara gemuruh
lagi dari arah yang berlawanan.
Mereka memandang ke arah datangnya suara
gemuruh dan seruan ringkikan kuda secara bersahutan.
Rupanya dari arah itu muncul seorang perempuan
menunggang kereta terbuka seperti yang dikendarai Nyai
Kandita itu. Kereta tersebut juga dilapisi emas murni dan
batuan permata. Kereta itu ditarik oleh empat ekor kuda
putih berjambul lebat. Dan perempuan yang ada di
atasnya mengenakan jubah ungu dengan rambut
disanggul sebagian sisanya meriap lepas. Di sanggulnya
itu terdapat mahkota yang memancarkan cahaya kemilau
batuan intan berlian.
"Ibu Ratu datang...?!" sentak Suto Sinting dengan
mata terbelalak tegang.
Dyah Sariningrum berkata setelah menghempaskan
napas panjangnya.
"Pasti Ibu tahu kalau Nyai Kandita akan ikut campur
urusan ini, sehingga beliau sempatkan diri datang ke sini
untuk hadapi Nyai Kandita!"
Kini kedua kereta berhenti, dan para penunggangnya
masih belum turun dari atas kereta yang tanpa atap itu.
Kuda-kuda mereka saling melonjak dengan ringkik
bersahutan. Seakan kuda-kuda mereka juga saling
melontarkan tantangan permusuhan.
Sementara itu, sorot pandangan mata Nyai Ratu Laut
Kidul tertuju tajam ke arah Ratu Kartika Wangi. Sang
Ratu Kartika Wangi menampakkan sikap tenang dan
berwibawa, namun penuh keberanian.
Kedua tokoh ratu berilmu tinggi itu saling pandang
dalam kebisuan beberapa saat. Tak satu pun dari mereka
yang ada di sekitar tempat itu bersuara sekecil apa pun.
Suasana menjadi hening, senyap, dan kuda-kuda pun
ikut terbungkam tanpa ringkik maupun dengan napas
hewaninya.
*
* *
7
KEDUA ratu itu masih berdiri di atas keretanya. Nyai
Kandita lontarkan kata lebih dulu kepada Ratu Kartika
Wangi, sementara yang lain tetap membisu bagai tak
terbungkam ilmu yang membisukan mereka.
"Apa maksudmu menghalangi pihakku membantu
Suto Sinting, Kartika Wangi?!"
"Karena kami tahu kau licik dan tak punya 'Tuak
Dewata'," jawab Ratu Kartika Wangi dengan tegas.
"Kalau aku licik, berarti kau bodoh, Kartika! Karena
kau tak pernah mengerti apa sebenarnya 'Tuak Dewata'
dan siapa pemiliknya!"
"Kau pun sebenarnya tak tahu siapa pemilik tuak itu.
Jika kau memang memilikinya, tunjukkan pada kami
sekarang juga!"
Nyai Ratu Kandita diam, tapi sorot matanya masih
tertuju ke wajah Ratu Kartika Wangi.
"Aku bukan orang yang gemar pujian. Untuk apa
tunjukkan tuak itu di depan kalian? Pendekar Mabuk
yang membutuhkannya, jadi selayaknya tuak itu
kutunjukkan di depan Pendekar Mabuk! Sekarang juga
aku akan membawa Pendekar Mabuk ke Istana Laut
Kidul!"
"Aku melarangnya!"
"Apa hakmu melarang pemuda itu kubawa pergi?!"
"Dia calon menantuku!"
"Itu hanya impian semata. Suto Sinting sudah
berdarah siluman dan tak bisa kawin dengan putrimu
itu!"
"Aku akan berusaha melenyapkan ilmu 'Dewatakara'
dari tubuhnya, dan akan mencuci bersih darahnya agar
tidak tercemar oleh darah siluman dari-mu!"
"Apakah kau mampu melakukannya?!"
"Gila Tuak lebih mampu dari diriku dalam hal ini!"
"Hmmm...!" Ratu Laut Kidul mencibir sinis. "Gila
Tuak sebentar lagi akan mati jika tak segera ditolong
dengan 'Tuak Dewata'. Dengan begitu, tak ada lagi orang
yang bisa membersihkan darah Suto Sinting dari
kekuatan gaib silumanku!"
"Kita buktikan saja nanti!" ujar sang Ratu Kartika
Wangi dengan tetap tenang.
Kemudian, Nyai Ratu Kandita berkata kepada
Pendekar Mabuk.
"Suto Sinting, maukah kau mendapatkan 'Tuak
Dewata' itu untuk sembuhkan sakit gurumu?!"
"Tentu saja aku mau, Nyai!" jawab Suto dengan suara
tegas dan berwibawa.
"Jika kau ingin dapatkan tuak itu, ikutlah kami ke
Istana Laut Kidul.
"Aku tak akan mengikutimu sebelum kau tunjukkan
wujud 'Tuak Dewata' itu!" kata Suto sebagai bukti
keragu-raguannya terhadap pengakuan Nyai Ratu Laut
Kidul itu.
"Aku tak bisa tunjukkan padamu sekarang. Tapi akan
kutunjukkan padamu jika kau sudah berada di istanaku!"
"Aku tak mau tertipu, Nyai!"
Perempuan berjubah hijau itu menggeram lirih
pertanda menahan kejengkelan atas ucapan Suto Sinting.
Namun sikapnya masih tetap dibuat tenang, dan sorot
pandangan matanya tertuju tajam kepada Suto Sinting.
Beberapa kejap kemudian, Nyai Ratu Laut Kidul
berkata lagi kepada Suto.
"Baiklah, agaknya kau tidak percaya pada maksud
baikku! Jangan menyesal jika gurumu tewas karena
terlambat meminum 'Tuak Dewata' itu! Satu kali kau
menyangsikan kebaikanku, selamanya aku tak akan
berikan 'Tuak Dewata' itu padamu!"
Pendekar Mabuk menjadi gundah, pertimbangan
otaknya menjadi semakin kacau. Di satu sisi ia sangat
membutuhkan 'Tuak Dewata', di sisi lain ia sadar akan
mengecewakan Dyah Sariningrum jika ia ikut ke Istana
Laut Kidul.
"Pendekar Mabuk, kuberi kesempatan terakhir
padamu, mau ikut aku untuk mengambil 'Tuak Dewata'
atau tetap setia pada calon istrimu yang berarti harus
mengorbankan nyawa gurumu. Sedangkan kau sendiri
kelak juga akan mengorbankan istrimu itu, karena
darahmu tak bisa bercampur dengan darahnya calon
istrimu itu!"
Pendekar Mabuk masih diam dalam kebimbangan.
Tapi tiba-tiba Dyah Sariningrum berbisik menggunakan
bisikan batin yang hanya didengar oleh Suto Sinting
seorang.
"Jangan tinggalkan aku, Suto. Apa pun yang terjadi
aku siap mati demi kasih kita berdua...."
Bisikan itu menggugah semangat Pendekar Mabuk
untuk segera lontarkan jawaban kepada Ratu Laut Kidul.
"Aku tidak mau ikut denganmu. Nyai Ratu! Aku tahu
kau akan mengawinkan diriku dengan Payung Serambi!"
"Karena dia sangat mencintaimu. Suto!" sahut Nyai
Ratu Kandita.
"Tapi aku tidak bisa menerima cintanya, Nyai! Aku
akan tetap menikah dengan Dyah Sariningrum, apa pun
yang terjadi dari sekarang sampai kelak di kemudian
hari!"
Ucapan tegas itu menyentakkan hati Payung Serambi
yang sudah berada tak jauh dari keretanya Nyai Ratu
Kandita. Pancaran mata Payung Serambi berubah
menjadi tajam dan penuh permusuhan terhadap Suto
Sinting. Bahkan kini ia berseru dengan suara lantangnya.
"Manusia keji kau! Kembalikan ilmu 'Dewatakara'-ku
itu!"
"Ambillah!" jawab Suto Sinting tegas sekali. "Aku
tak merasa rugi kehilangan ilmu 'Dewatakara'-mu ini,
Ratih Kumala. Tapi aku akan merasa rugi besar jika
kehilangan Dyah Sariningrum!"
"Keparat! Hiaaaah...!" Payung Serambi segera
ulurkan tangannya dengan telapak tangan mengembang,
ia berusaha menarik kekuatan gaib dari ilmu
'Dewatakara' hingga tubuhnya mulai bergetar. Tetapi
tiba-tiba sang Nyai berseru kepadanya.
"Hentikan Ratih!"
"Dia akan melawan kita dengan ilmu 'Dewatakara'
jika tak diambil, Nyai Gusti!"
"Biarkan ilmu itu ada padanya. Tak akan ada yang
bisa mencabutnya. Dia akan tetap berdarah siluman dan
hanya akan bisa menikah denganmu! Suatu saat dia akan
datang merangkak-rangkak menciumi kakimu dan
meminta kesediaanmu menikah dengannya. Sekarang,
kita pulang! Semuanya pulaaaang...!"
Seruan Nyai Ratu Kandita itu tak pernah diabaikan
oleh para pengikutnya. Maka kereta berkuda enam itu
segera tinggalkan tempat tersebut dengan langkah kaki
kudanya yang tidak menyentuh tanah. Para prajurit dan
Payung Serambi pun segera pergi tinggalkan tempat itu.
Pendekar Mabuk tertegun bengong setelah mengetahui
bahwa dirinya sengaja diikat dengan darah siluman agar
mau dikawinkan dengan Payung Serambi.
Ratu Kartika Wangi segera berseru kepada para
prajuritnya.
"Kembali ke istana!"
"Ibu... bagaimana dengan Suto?!" seru Dyah
Sariningrum sambil hampiri ibunya di atas kereta yang
sudah berbalik arah itu. Wajah sang putri bungsu itu
tampak cemas, membuat sang ibu tarik napas panjang-
panjang.
Tiba-tiba seraut wajah cantik berambut putih panjang
itu muncul tanpa suara dan tanpa angin. Eyang Putri
Batari tahu-tahu sudah berada di samping Suto Sinting
dan berseru kepada Ratu Kartika Wangi serta Dyah
Sariningrum.
"Pulanglah kalian dan biarkan Suto bersamaku
sejenak!"
"Tapi, Eyang... saya tidak ingin kehilangan dia!"
rengek sang cucu, membuat dada Suto terasa
membengkak seketika karena dihujani rasa bangga dan
bahagia mendengar pernyataan Dyah Sariningrum itu.
"Cucuku, percayalah padaku, kau tak akan kehilangan
pemuda nakal ini! Nenek akan turun tangan sendiri ikut
membantu sembuhkan si Gila Tuak. Karena hanya Gila
Tuak yang bisa lenyapkan ilmu 'Dewatakara' dan
membersihkan darah Suto dari darah siluman!"
Ratu Kartika Wangi berkata kepada putri bungsunya.
"Serahkan perkara ini kepada nenekmu, Ningrum.
Karena bagaimanapun juga, kakekmu adalah Eyang
Buyut Guru bagi Suto Sinting. Tentunya kakekmu tidak
akan tinggal diam dalam hal ini, Ningrum!"
Dyah Sariningrum akhirnya pasrah kepada janji para
sesepuhnya. Namun ia tetap dekati Suto Sinting dan
berkata penuh kelembutan.
"Jangan menyerah! Cari terus 'Tuak Dewata' itu dan
sembuhkan gurumu. Aku menunggumu di Pulau
Serindu, Suto!"
"Aku akan selalu hadir dalam mimpimu. Sayang."
Sang nenek cantik menggoda dengan menembangkan
sebuah kidung masa kecilnya.
"Selamat jalan, duhai kekasih...."
"Ah, Eyang...!" Dyah Sariningrum tersipu malu,
lesung pipitnya tampak menggoda hati Suto. Namun
pemuda itu hanya tundukkan kepala dan ikut tersipu-
sipu juga.
Tetapi ketika Suto Sinting mengangkat wajah
kembali, ia menjadi terkejut bukan kepalang, karena ia
tidak menemukan siapa-siapa di depannya. Dyah
Sariningrum tidak ada, para prajurit berseragam merah,
termasuk Sang Tiara, juga tidak ada. Bahkan Ratu
Kartika Wangi pun lenyap begitu saja tanpa terdengar
derap kaki kudanya. Sedangkan Eyang Putri Batari yang
tadi ada di sampingnya, kini hilang entah ke mana.
Tempat itu menjadi sunyi, bagaikan tanpa kehidupan
sama sekali. Yang ada hanya gapura batu hitam yang
masih berdiri kokoh sebagai jalan masuk menuju
Gerbang Siluman.
"Aneh. Tanah di sekitar sini juga tak ada bekas tapak
kaki satu pun. Padahal tadi sewaktu kupakai bertarung
melawan makhluk besar jelmaan Payung Serambi,
tanahnya sampai gompal dan acak-acakan. Kenapa
sekarang menjadi bersih, rapi, dan lengang sekali?!"
Pandangan mata Suto Sinting menyapu alam
sekitarnya. Tembok yang besar menjadi benteng istana
Gerbang Siluman masih tampak jelas tanpa harus
mengusap wajahnya. Tetapi di sana pun tidak ada satu
orang pun yang tampak berdiri sebagai penjaga gerbang.
Sementara itu, alam tetap teduh, tanpa siang dan tanpa
malam.
"Aku akan masuk ke Gerbang Siluman dan
menanyakan hal ini kepada Eyang Putri Batari! Siapa
tahu Eyang Putri juga bisa tunjukkan padaku ke mana
aku harus pergi menemui orang yang bergelar Guru
Sejati itu," pikirnya, kemudian ia bergegas melangkah
melalui jalan di tengah gapura batu hitam itu.
Belum sampai dekati pintu gerbang, langkah Suto
Sinting terhenti karena kemunculan wajah Eyang Putri
Batari. Wajah itu muncul dalam bayang-bayang di udara
dan hanya separuh bagian. Namun suaranya yang masih
merdu itu terdengar jelas di telinga sang Pendekar
Mabuk.
"Ada apa lagi, Bocah Ganteng?!"
"Oh, hmmm...," Suto agak gugup sedikit karena kaget
melihat bayangan itu muncul di depannya.
"Ada yang ingin saya tanyakan, Eyang Putri. Kemana
orang-orang yang tadi ada di sekitar saya itu?!"
"Mereka pulang ke tempatnya masing-masing. Dan
memang begitulah cara mereka pergi, tidak perlu harus
berjalan kaki."
"Ooo...," Suto menggumam lirih.
"Sepertinya ada yang mengganjal di hatimu, Bocah
Tampan?!" pancing Eyang Putri Batari yang agaknya
sudah mengetahui maksud hati Suto.
"Benar, Eyang," Suto tersenyum malu namun tetap
penuh hormat. "Saya ingin menanyakan sesuatu yang
saya peroleh dari hasil semadi saya di Gua Pedupan,
Eyang. Hmmm... anu, saya disuruh mencari orang yang
berjuluk Guru Sejati jika ingin dapatkan 'Tuak Dewata'.
Tetapi saya tidak tahu, di mana saya bisa temukan si
Guru Sejati itu, Eyang Putri."
"Di sini," jawab Eyang Putri Batari pendek saja, tapi
sempat bikin Suto kebingungan dan terheran-heran.
"Maksudnya... di sini bagaimana, Eyang? Maaf, saya
kurang paham."
"Sebab itulah, jangan terlalu banyak berpikir tentang
perempuan, nanti otakmu menjadi tumpul. Pendekar
gagah!" goda Eyang Putri Batari yang membuat Suto
makin tersipu.
Sambungnya lagi, "Jika kau mau mencari Guru
Sejati, temuilah dirimu sendiri, Suto. Di dalam dirimu
itulah letak persinggahan sang Guru Sejati. Karena
setiap manusia mempunyai Guru Sejati sendiri-sendiri
yang wajahnya serupa dengan wajahmu."
Pendekar Mabuk melongo menerima penjelasan itu.
Dahinya berkerut, matanya tak berkedip pandangi
bayangan sang Eyang Putri yang tampak ramah dan
ceria.
"Tiap manusia begitu lahir mempunyai empat saudara
pribadi yang tak bisa dilihat dengan mata telanjang.
Empat saudara pribadi itu mempunyai sifat sendiri-
sendiri, dan sifat itu adalah sifatmu juga. Lalu satu lagi
yang tak bisa ditinggalkan oleh manusia adalah Guru
Sejati, yaitu kehakikian dari jati dirimu sendiri."
"Apa hubungannya dengan 'Tuak Dewata' itu,
Eyang?"
"'Tuak Dewata' adalah air kehidupan. Jati dirimu
sendiri yang mempunyai air kehidupan tersebut, Suto.
Tuakmu tidak bisa menjadi penyembuh luka dan sakit
apa pun jika jati dirimu tidak ikut serta
menyembuhkannya!"
"Apakah... apakah yang dimaksud jati diri itu hampir
sama dengan keyakinan atau kepercayaan, Eyang?!"
"Benar! Seseorang yang kurang percaya diri, tidak
yakin dengan kemampuannya, maka ia akan gagal
melakukan apa pun! Sebaliknya, orang itu akan berhasil
dalam melakukan pekerjaan sesulit apa pun, jika ia yakin
dan percaya bahwa dirinya mampu!"
Suto Sinting termenung beberapa kejap. Lalu ia
memandang bayangan Eyang Putri Batari lagi.
"Jadi, pada waktu Kakek Guru Gila Tuak kuberi
minum tuak dan ternyata sakitnya tidak sembuh, itu
lantaran pada waktu itu saya ragu-ragu alias kurang
percaya diri. Eyang?!"
"Tepat sekali! Sebenarnya kau tak perlu mencari
'Tuak Dewata' ke mana-mana. Tuak itu ada pada dirimu,
yaitu sebentuk keyakinan atau kepercayaan dari sang jati
diri alias sang Guru Sejati. Karena itu, aku berpesan
padamu, Bocah Ganteng... minumkan tuakmu kepada si
Gila Tuak dengan rasa percaya diri bahwa tuak itu akan
menyembuhkannya, maka ia pun benar-benar akan
sembuh! Tapi jika kau ragu-ragu alias tak yakin akan
dapat menyembuhkan si Gila Tuak, jangan kau
minumkan tuak itu, karena itu akan sia-sia belaka!"
Pendekar Mabuk semakin tertegun mendengar
penjelasan tersebut, bahwa ternyata 'Tuak Dewata' sejak
dulu sudah ada pada dirinya. Yang hilang dari dirinya
saat menyembuhkan si Gila Tuak adalah keyakinan dan
kepercayaan dari sang Guru Sejati.
"Pulanglah, sembuhkan Kakek Gurumu itu dengan
tuakmu. Tuak itulah yang disebut 'Tuak Dewata'!"
Slaaap...! Bayangan Eyang Putri Batari hilang begitu
saja, membuat Suto Sinting tercengang dan masih
terpaku di tempat hingga beberapa saat.
"Rupanya saat aku meminumkan tuak kepada Kakek
Guru, hatiku diliputi rasa kurang percaya diri. Maklum
saja, karena beberapa tokoh sakti tidak berhasil
mengobati Guru, maka aku merasa diriku lebih tidak
berhasil lagi. Sebenarnya aku tak boleh merasa seperti
itu, dan harus tetap percaya pada kemampuanku sendiri,"
pikir Suto Sinting dalam mencerna kata-kata Eyang Putri
Batari tadi.
Ia pun segera pulang ke alam nyata, dan
meminumkan tuak itu kepada sang Guru. Rasa percaya
diri yang tumbuh membara dalam hati dan sanubari Suto
ternyata benar-benar mampu sembuhkan penyakit si Gila
Tuak. Tokoh tertinggi di rimba persilatan alam nyata itu
pun akhirnya berkata kepada murid tunggalnya.
"Aku sendiri tak sadar kalau aku bicara tentang 'Tuak
Dewata' itu. Tetapi semua ini mempunyai arti yang besar
bagi kehidupan kita bersama, Suto. Perjalananmu ke
Gerbang Siluman ternyata adalah perjalanan mencari jati
dirimu yang sempat hilang sebentar itu."
"Benar, Kakek Guru! Aku pun tak menyangka akan
mendapat pelajaran tentang saudara pribadiku dan Guru
Sejatiku."
"Catat dalam ingatanmu semua hikmah dari peristiwa
ini. Dan yang perlu kita lakukan lagi adalah
menyirnakan ilmu 'Dewatakara' agar darahmu bukan
darah siluman lagi. Kau sudah siap, Muridku?!"
"Aku sudah siap, Guru!" jawab Pendekar Mabuk
dengan tegas dan penuh rasa percaya diri.
SELESAI


Segera terbit!!!
BENCANA SELAPUT IBLIS
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewikz.byethost22.com
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com