Ebook Wiro Sableng : Pendekar Dari Gunung Naga

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Buku ke-19

LEMBAH
MERAK HIJAU yang terletak di propinsi Ciat-
kang merupakan sebuah lembah subur dengan
pemandangan yang indah. Lebih-lebih karena
di sebelah timur lembah ini terdapat daerah
persawahan yang luas dan pada saat itu padi
yang ditanam telah masak menguning hingga
kemanapun mata memandang, seolah-olah
hamparan permadani emaslah yang kelihatan.
Bila angin bertiup, padi-padi masak
menguning itu bergoyang melambai-lambai
mengalun lemah gemulai.
https://drive.google.com/file/d/1oUuR7ySdZUwORBk6jYx3FOS3t9Lr9B9M/view?usp=sharingDipagi yang cerah ini diantara desau tiupan
angin lembah yang segar terdengarlah suara
tiupan seruling yang merdu sekali. Barang
siapa yang mendengarnya, pastilah akan
tertegun dan memasang telinga baik-baik
menikmati suara seruling itu. Siapakah
gerangan yang meniup seruling tersebut?

Tentunya seorang seniman pandai yang dapat
menggambarkan keindahan pemandangan
alam sekitarnya lewat hembusan napas yang
disalurkannya ke dalam lobang seruling.
Tetapi adalah diiuar dugaan karena
kenyataannya si peniup seruling bukanlah
seorang seniman, bukan pula seorang
dewasa. Melainkan seorang anak gembala
yang baru berusia tujuh tahun dan duduk di
atas punggung seekor kerbau besar tegap
berbulu bersih dan berkilat.
Perlahan-lahan kerbau besar itu melangkah
menyusur tepi sawah, memasuki lembah
Merak Hijau, kemudian mendaki bibir lembah
di sebelah selatan. Di atas punggungnya
bocah berusia tujuh tahun itu demikian
asyiknya meniup seruling hingga dia tidak
perduli lagi ke mana pun kerbaunya
membawanya.
Akan tetapi ketika binatang itu sampai di atas
lembah sebelah selatan serta rnerta si bocah
menghentikan permainan serulingnya.
Mulutnya ternganga dan sepasang matanya
yang bening melotot begitu dia menyaksikan
pemandangan di hadapannya. Dua sosok
tubuh yang hanya merupakan bayang-bayang
hitam dan putih dilihatnya berkelebat hebat,
terlibat dalam suatu perkelahian yang gencar
dan seru.
Adalah aneh… memikir anak itu… di tempat
yang begini indah dan segar, ada orang
berkelahi. Memperhatikan dengan mata tak
berkesip lama-lama membuat si bocah
menjadi pusing sendiri. Beberapa kali dia
memejamkan matanya, dibuka kembali,
dipejamkan lagi, dibuka lagi. Ketika dia
membuka sepasang matanya untuk yang
kesekian kalinya, dilihatnya bayangan hitam
mendesak bayangan putih dan tahu-tahu satu
tendangan dahsyat dilancarkan oleh sosok
tubuh bayangan hitam. Tapi bayangan putih
dapat mengelak. Tendangan maut itu tak
sengaja terus melabrak kepala kerbau yang
ditunggangi anak tadi.
Terdengar lenguhan keras. Kerbau besar itu
mencelat sampai beberapa tombak, angsrok di
tanah, mati dengan kepala pecah. Anak lelaki
tadi terpelanting dan nyangsrang dalam
semak-semak. Pakaiannya habis koyak-koyak
dan kulitnya baret luka-luka. Tapi suling
Kesayangannya masih tergenggam di tangan
kanannya. Dengan susah payah dia keluar
dari semak-semak itu sambil mengomel
marah ketika mengetahui apa yang terjadi
dengan kerbau tunggangannya.
Di depan sana akibat kejadian yang tak
disangka-sangka itu, dua orang yang tadi
berkelahi mati-matian sama melompat
mundur. Perkelahian terhenti dan keduanya
memandang ke arah si bocah dan kerbaunya.
Kini barulah anak lelaki itu dapat melihat
dengan jelas sosok tubuh dan tampak kedua
bayangan hitam dan putih tadi.
Di depan sebelah kanan tegak seorang
kakekkakek berjubah hitam berkepala botak
plontos yang kilat-kilat ditimpa sinar
matahari. Sepasang alisnya tebal, kumisnya
jarang tapi tebal-tebal dan panjang.
Tampangnya persis seperti anjing air!
Di sebelah kiri berdiri pula seorang kakek-
kakek berpakaian putih. Rambutnya panjang
putih meriap bahu. Dia memelihara kumis
serta janggut lebat yang juga berwana putih.
Sepasang matanya memandang tajam pada
bocah yang memegang suling sedang kulit
keningnya berkerut seolah-olah dia tengah
memikirkan sesuatu.
Meskipun tadi hanya melihat bayangannya
saja. namun bocah pengembara itu yakin
kakek berjubah hitam itulah yang telah
melepaskan tendangan hingga mematikan
kerbaunya. Bocah ini memang mempunyai
dasar watak yang berani. Dengan mata
melotot dan air muka menunjukkan
kemarahan dia membentak pada kakek jubah
hitam :
"Tua bangka botak! Kau telah membunuh
kerbauku! Aku pasti akan dirajam oleh
majikanku! Kau harus menggantinya kalau
tidak…."
Seumur hidupnya baru kali itu kakek berjubah
hitam dimaki begitu rupa oleh seorang lain.
apalagi anak-anak yang masih ingusan pula!
Tentu saja darahnya naik ke kepala
"Pergi kau dari sini. kalau tidak kepalamu
akan kupecahkan seperti binatang itu!"
"Tidak! Kau harus ganti dulu kerbau yang
mati itu!'
"Bocah sundal! Kau mampuslah!' teriak kakek
jubah hitam marah sekali. Tangan kanannya
dipukulkan ke depan. Serangkum angin
menderu dahsyat. Jangankan seorang anak
kecil seperti pengembala itu, batu karang atos
sekalipun kalau sampai dilabrak pukulan jarak
jauh yang berkekuatan tenaga dalam Suar
biasa itu pasti akan hancur lebur.
Tapi sebelum pukulan tangan kosong itu
menghantam anak gembala, dari samping
menderu angin pukulan lain, menggempur
angin pukulan yang pertama hingga
berantakan dan punah!
Ternyata kakek berpakaian putihlah yang
telah menolong bocah itu!
Si anak yang tidak sadar kalau dirinya baru
saja terlepas dari bahaya maut. dengan
marah mengangkat sulingnya tinggi-tinggi
dan lari ke arah kakek berjubah hitam.
"Tua bangka botak! Kugebuk kau dengan
sulingku kalau kau tak mau ganti kerbau yang
mati!"
Anak yang berani ini tidak menyadari sama
sekali kalau perbuatannya itu bakal merenggut
nyawa sendiri karena dalam kemarahannya
kakek jubah hitam memang sudah berniat
membunuh anak itu. Tapi lagi-lagi orang tua
berpakaian putih menyelamatkannya Sekali
bergerak, kakek yang satu ini tahu-tahu sudah
telah mencengkram kerah pakaian bocah itu
dan menariknya ke tempat yang aman!
"Budak! Keberanianmu luar biasa dan
mengagumkanku! Tapi si kepala botak itu
bukan lawanmu! Biar aku yang mewakilimu
untuk menggebuknya!"
Sesaat anak gembala itu terdiam. Kemudian
dengan merengut dia berkata : "Kalian tua-
tua bangka tak tahu diri.-Berkelahi macam
anak-anak!"
Kakek berjanggut putih tertawa gelak gelak.
Tapi sebaliknya si jubah hitam kepala botak
membentak garang dan menyerbu. Kembali
kedua orang ini bertempur hebat Kembali
tubuh mereka menjadi bayangbayang hitam
putih dan kembali pula si bocah menjadi sakit
mata dan pening kepalanya menyaksikan.
Namun dia memaksakan untuk
memperhatikan kejadian hebat itu sambi!
tiada hentinya berteriak : Janggut putih, ayo
kau hajar kepala botak pembunuh kerbauku
itu! Sikat! Pecahkan kepalanya seperti dia
memecahkan kepala binatang gembalaanku!"
Teriakan-teriakan anak ini seolah-olah
memberi semangat pada kakek berpakaian
pulih, sebaliknya membuat si botak jadi
penasaran setengah mati!
Dari batik jubah hitamnya si botak ini
keluarkan senjatanya berupa tongkat kayu
berwarna hitam legam dan memancarkan
sinar menggidikkan. Setelah bertempur hampir
dua ratus jurus ternyata dia tak dapat
merubuhkan lawan dengan iangan kosong
maka kini dengan senjata itu dia berharap
bakai dapat mengalihkan kakek janggut putih.
Diiain pihak lawannya begitu melihat musuh
pegang senjata tidak pula menunggu lebih
lama, segera keluarkan senjatanya yakni
sebatang tombak pendek terbuat dari baja
putih yang kedua ujungnya bercagak.
Sesaat kemudian keduanya sudah bertempur
kembali dengan hebatnya. Kini bayangan
pakaian mereka yang putih dan hitam
dibuntali oleh sinar dari senjata masing-
masing dan menderu-deru dengan
dahsyatnya.
Bocah gembala yang berdiri jauh dari tempat
itu merasakan bagaimana sambaran kedua
senjata tersebut membuat lututnya guyah dan
tubuhnya bergetar menggigil Terpaksa dia
menjauh sampai satu tombak dari kalangan
pertempuran sementara mata dan kepalanya
semakin sakit menyaksikan.
Dalam satu gebrakan hebat kakek janggut
putih berhasil mendesak lawan dan setelah
mengirimkan tusukan-tusukan gencar ke arah
tawan tiba-tiba robah gerakan tongkatnya
dengan satu kemplangan yang tidak terduga.
Kakek botak berseru kaget. Buru-buru dia
melintangkan senjatanya di atas kepala.
Tombak baja dan tongkat kayu mustika
beradu dengan keras, me ngeluarkan suara
nyaring. Tongkat kayu mental patah dua
sedang tombak baja terlepas dari tangan
kakek janggut putih! Nyatalah kedua kakek-
kakek itu sama tangguh meskipun si janggut
putih unggul sedikit dari lawannya.
Selagi kakek janggut putih melompat
mengambil tongkatnya, si kepala botak
rangkapkan dua tangan di depan dada, kaki
terkembang dan kedua matanya dipejamkan.
Mulutnya komat-kamit. Dari ubun-ubun
kepalanya mengepul asap hitam. Kemudian
terdengar kekehannya.
"Manusia keparat! Jangan harap kali ini kau
bisa bernapas lebih lama!"
Kepulan-kepulan asap hitam itu sedetik
kemudian berobah menjadi delapan buah
tangan yang amat besar, berbulu dan
berkuku-kuku panjang laksana cakar burung
garuda dan mulai menggapaigapai ke arah
kakek janggut putih.
"Ilmu hoatsut!" teriak si janggut putih dengan
wajah berobah. (Hoatsut ilmu sihir hitam).
Hatinya tercekat. Segala macam senjata sakti
dan ilmu silat hebat bagaimana pun dia tidak
gentar. Tapi menghadapi ilmu siluman mau
tak mau hatinya berdebar juga. Dia
mengambil keputusan nekad. Menghajar si
kepala botak itu lebih dulu sebelum ilmu
hitamnya melancarkan serangan. Dengan
memutar tombak bajanya sekeliling tubuh, dia
menyusup diantara kepulan asap hitam! 2
AKAN TETAPI SEBELUM tongkat baja
berkepala dua itu mampu mendekati kakek
jubah hitam sampai jarak tiga jengkal, tiba-
tiba delapan buah tangan mengerikan telah
berserabutan menyerang kakek janggut putih!
Si kakek tersentak dan buru-buru
menghindarkan diri. Tapi empat tangan
berkuku panjang itu masih memburunya
dengan ganas. Si kakek kiblatkan tombak
bajanya, sekaligus melabrak empat buah
tangan yang menyerang. Aneh, meskipun jelas
dia berhasil menghantam empat tangan
mengerikan itu namun tombaknya lewat
begitu saja seolah-olah menghantam udara
kosong! Dan dalam pada itu salah satu
tangan tersebut telah berkelebat dengan cepat
dan bret!
Pakaian dibagian dada si kakek robek besar.
Kuku-kuku yang panjang masih sempat
membuat baret daging dadanya dan kontan
orang tua ini merasakan tubuhnya panas
dingin. Buru-buru dia salurkan tenaga
dalamnya kebagian dada yang cedera dan
rasa sakit panas dingin berangsur-angsur
berkurang.
Dalam pada itu di depan sana kakek jubah
hitam kembali keluarkan suara tawa
mengekeh dan delapan tangan siluman
kembali menyerbu!
Kakek janggut putih maklum bahwa segala
pukulan sakti dan tombaknya tak akan
mampu meng hadapi ilmu sihir yang ganas
itu. Dia hanya sanggup bertahan dengan
mengandalkan ginkangnya yang sudah amat
tinggi. Tapi sampai berapa lama dia bisa
berbuat begitu? Seratus, dua ratus atau
katakanlah sampai tiga ratus jurus di muka?
Dalam umurnya yang sudah demikian lanjut,
apakah dia mampu melaksanakannya? Cepat
atau lambat dia bakal celaka juga! Hal ini
membuat dia nekad dan mengamuk dengan
hebat. Tapi ilmu siluman musuh betulbetul
luar biasa. Dalam tempo beberapa jurus saja
dia sudah didesak habis-habisan!
Bocah penggembala yang mengharapkan agar
kakek janggut putih bisa menghajar si botak
yang telah membunuh kerbaunya itu, jadi
kecewa dan penasaran ketika menyaksikan
bagaimana justru kakek janggut putih itu
terdesak hebat bahkan terancam jiwanya
karena saat itu beberapa kali tangantangan
iblis berkuku panjang telah memukul dan
mencakar tubuhnya hingga dalam tempo
singkat kakek ini mandi darah akibat luka-
luka yang dideritanya!
Dengan marah anak laki-laki itu mulai
mengumpulkan batu-batu sebesar kepalan
dan melempari kakek jubah hitam dari
belakang. Tapi semua batubatu yang
dilemparkan jangankan mengenai, mendekati
tubuhnya saja pun tidak karena batu-batu itu
mental kembali akibat hawa sakti yang keluar
dari tubuh si jubah hitam kepala botak!
Hebatnya kakek janggut putih itu meskipun
sadar bahwa dirinya bakal celaka dan
kematiannya sudah ditentukan saat itu,
namun dia masih saja bertahan dan melawan
mati-matian, sama sekali tidak mau menyerah
apalagi lari selamatkan dirinya!
Melihat keadaan kakek berjanggut putih itu
dan khawatir kalau tangan-tangan siluman itu
bakal menyerangnya pula, timbullah rasa
takut dalam diri anak penggembala. Tetapi
anehnya dia sama sekali tidak pula melarikan
diri dari tempat ini. Malah untuk
menghilangkan rasa takut itu, anak ini ambil
serulingnya dan mulai meniup. Lagu yang
dimainkannya sama sekali tak menentu. Rasa
takut dan khawatir melihat keselamatan si
kakek janggut putih terancam membuat tiupan
serulingnya melengkinglengking tak karuan.
Tetapi justru tiupan seruling inilah yang
mendadak sontak merubah keadaan di dalam
kalangan perkelahian hidup mati itu!
Delapan tangan iblis yang mengerikan kini
kelihatan berserabutan dalam gerakan-
gerakan kacau. semakin lama semakin
mengecil akhirnya berubah menjadi asap
hitam. Kakek jubah hitam tersentak kaget. Dia
berkeras memusatkan pikirannya guna
mengumpulkan kekuatan bathin yang tercerai
berai namun tak berhasil bahkan tangan-
tangan siluman itu telah berubah jadi kepulan
asap hitam dan lenyap.
"Celaka!" seru kakek botak ini. Dia buka kedua
matanya justru disaat itu musuhnya yang
telah luka parah laksana banteng terluka
mengamuk melihat perubahan yang mendadak
dan adanya kesempatan untuk menyerang,
tanpa tunggu lebih lama lancarkan gerakan
mematikan yang bernama "Joan hun-kigwat"
atau "menyusup awan mengambil rembulan."
Tongkat baja bermata dua itu menusuk
laksana kilat ke dada si jubah hitam dan
tanpa dapat dielakkan lagi tepat menembus
jantungnya hingga tanpa suara sedikit pun
kakek berkepala botak itu minggat nyawanya
ketika itu juga!
Melihat si pembunuh kerbaunya mati, anak
gembala tadi bersorak gembira dan jingkrak-
jingkrakan.
"Syukur! Mampuslah pembunuh kerbau! Baru
aku puas sekarang!" Tapi bila ingat apa yang
akan dikatakannya nanti pada majikannya
akan ini lantas jadi termenung murung.
Sementara itu si janggut putih yang tubuhnya
penuh luka-luka, dalam keadaan megap-
megap segera bersila di tanah. Atur jalan
darah dan napas serta salurkan hawa sakti
tenaga dalam keseluruh bagian tubuhnya.
Beberapa saat kemudian dia keluarkan dua
macam obat yakni beberapa butir pel dan
sebungkus obat bubuk. Pel itu ditelannya
sampai habis sedang obat bubuk
dituangkannya pada luka-luka sekujur
tubuhnya. Kemudian kembali dia bersila.
Sekitar seperminuman teh berlalu.
Perlahanlahan orang tua ini membuka kedua
matanya dan berdiri. Meski kini dia telah
selamat dari kematian namun kesehatannya
belum pulih keseluruhannya. ternyata cakar
dari jari-jari tangan siluman yang telah
membuat dia cedera itu mengandung racun
yang berbahaya. Untung saja dia membawa
persediaan obat, kalau tidak meskipun dia
berhasil membunuh musuh namun racun,
yang mengendap bukan mustahil bakal
membuat dia menemui ajalnya pula dalam
satu dua hari dimuka.
Orang tua ini kemudian ingat pada anak
gembala itu yang kini tengah duduk
termangu-mangu di bawah sebatang pohon.
Meskipun kerbau gembalaannya mati bukan
karena kesalahannya dan si pembunuh sudah
pula menemui ajal namun majikannya pasti
tak mau perduli. Masih mending kalau dia
diberhentikan dari pekerjaan, kalau disuruh
ganti?
Selagi dia termenung sudah begitu rupa tiba-
tiba satu bayangan putih berkelebat. Dia
merasakan tengkuk pakaiannya dicekal orang
dan kemudian dirasakannya tubuhnya laksana
terbang. Memandang ke samping ternyata dia
telah dipanggul oleh kakek berjanggut putih
dan membawa lari dengan kecepatan yang
luar biasa, membuat dia gamang dan ngeri.
"Orang tua kau mau bawa aku ke mana?!"
seru si bocah dengan suara gemetar.
"Budak… kau diam sajalah. Tak usah banyak
tanya!"
"Tapi aku harus kembali pada majikanku.
Memberi tahu tentang kerbau yang mati itu…."
Si kakek tertawa.
Kau anak baik yang tahu apa artinya
tanggung jawab. Tapi lupakan saja
majikanmu dan kerbaumu itu! Persetan!
Potongan tubuh dan ruas tulangmu kulihat
bagus sekali! Sayang… sayang kalau
disiasiakan! Aku akan bawa kau ke puncak
Liongsan! Kau dengar? Puncak Liongsan!"
"Aku… aku…."
Si kakek mempercepat larinya dan kerena
ngeri si bocah tak berani lagi banyak bicara,
malah kini dia pejamkan kedua matanya.
Tanpa sadar akhirnya dia tertidur di atas
pundak kakek yang membawanya "terbang"
itu!
Siapakah adanya kakek berambut putih ini?
Siapa pula musuh berjubah hitam itu dan apa
tujuannya sampai anak gembala tersebut
hendak dibawanya ke puncak Gunung Naga
yang selama ini dianggap angker dan jarang
didatangi oleh manusia?
Kakek-kakek jubah hitam yang menemui
ajalnya itu dalam dunia persilatan di daratan
Tongkok dikenal dengan julukan angker Raja
Setan Gunung Utara atau Pak-san Kwi-ong.
Pada masa itu diantara tokohtokoh silat
golongan hitam yang sesat Pak-san Kwi-ong
dianggap tokoh terlihay dan secara tidak
resmi dijadikan sebagai pimpinan. Dengan
sendirinya dia menjadi musuh nomor wahid
dari orang persilatan golongan putih.
Sekitar tiga tahun yang lalu antara Pak-san
Kwi-ong dengan kakek-kakek janggut putih
yang membawa lari anak gembala tadi, telah
terjadi bentrokan. Dalam perkelahian satu
lawan satu yang seru dan berlangsung seratus
jurus, kakek janggut putih berhasil
mengalahkan Pak-san Kwi-ong. Kekalahan
bibit pangkal dendam kesumat sakit hati.
Selama tlya tahun Pak-san Kwi-ong melatih
diri memperdalam ilmu silat, tenaga dalam
dan gingkangnya. Disamping itu dia meyakini
pula satu ilmu baru yakni ilmu hitam atau
sihir. Setelah dia merasa cukup sanggup
untuk melakukan penuntutan balas, maka
dicarinyalah kakek janggut putih tadi.
Ternyata Paksa n Kwi-ong memang berhasil
menghadapi musuh besarnya itu, bahkan ilmu
hitamnya dia hampir saja dapat membunuh
lawan. Namun tiada disangkasangka, ilmu
sihirnya musnah berantakan hanya karena
tiupan seruling bocah penggembala kerbau.
Dan akhirnya secara penasaran dia terpaksa
serahkan jiwanya pada musuh!
Lalu siapa pulakah kakek janggut putih itu? 3
KALAU SEBELUMNYA telah dijelaskan bahwa
Paksan Kwi-ong merupakan tokoh silat
golongan hitam yang paling tinggi ilmu silat
dan kesetiaannya pada masa itu, maka dari
golongan putih boleh dikatakan kakek janggut
putih itulah yang menjadi tokoh kelas
wahidnya. Dia dikena! dengan nama Kiat Bo
Hosiang, berusia 70 tahun dan bergelar Sin-
jiu Thung ong atau Raja Tongkat Tangan
Sakti.
Meskipun Kiat Bo Hosiang teiah dianggap
sebagai jago nomor satu pada masa itu,
namun tokohtokoh persilatan bukan tidak
mengetahui bahwa sesungguhnya masih ada
seorang tokoh yang luar biasa kesaktiannya,
yang sukar bahkan tak ada tandingnya
diseluruh Tiongkok. Namun sudah sejak lama
orang ini mengundurkan diri dari urusan
duniawi dan di mana beradanya sekarang tak
seorang pun yang mengetahui. Cuma
diketahui bahwa tokoh luar biasa itu adalah
Suheng atau kakak seperguruan dari Kiat Bo
Hosiang. Namanya Ik Bo Hosiang dan sudah
berusia lebih dari 80 tahun, bergelar Kim-
Bong-Kiam-Khek atau Pendekar Pedang
Pelangi Emas. Diduga hanya Kiat Bo Hosiang
sendirilah yang mengetahui di mana
suhengnya itu berada.
Sementara itu diketahui pula bahwa Ik Bo
Hosiang mempunyai dua orang pembantu
rnasingmasing berusia 60 tahun yang
kepandaiannya hanya satu tingkat saja di
bawah kepandaian Kiat Bo Hosiang. Jika baru
pembantunya saja sudah memiliki kepandaian
tinggi demikian rupa, maka dapat
dibayangkan betapa luar biasanya Ik Bo
Hosiang sendiri.
Sebagaimana lazimnya yang terjadi
dikalangan kangouw, tokoh silat
berkepandaian tinggi itu biasa mempunyai
sifat sifat yang aneh. Sifat ini tidak pula
terlepas dari diri Ik Bo Hosiang. Namun
keanehannya ini sudah melampaui batas-
batas yang dianggapnya wajar hingga banyak
orang yang berpendapat bahwa kakek sakti
itu tidak sehat pikirannya alias berotak miring
atau setengah gila! Cuma untuk menyatakan
pendapat atau anggapan itu secara terang-
terangan tentu saja tak satu pun yang berani
karena kalau sampai terdengar oleh Ik Bo
Hosiang, maka itu sama saja dengan
mengundang "penyakit".
Setelah lari hampir seratus iie dan siang telah
berganti dengan malam, Kiat Bo Hosiang baru
berhenti. Anak kecil yang didukungnya
ternyata telah tertidur. Perlahan-lahan bocah
ini dibaringkannya di tanah. Dia sendiri
kemudian menelan beberapa pil obat lalu
duduk bersila di tanah. Mengatur jalan nafas
dan peredaran darah serta mengalirkan
tenaga dalam ke bagian tubuh yang baru saja
sembuh dari pada racun jahat ilmu siluman
Pak-san Kwi-ong. Beberapa saat kemudian
kembali dia melanjutkan perjalanan, lari
dalam gelapnya malam persis seperti setan
yang berkelebat gentanyangan.
Menjelang pagi Kiat Bo Hosiang istirahat dan
tidur sebentar dan bila matahari terbit dia
meneruskan perjalanan kembali.'
Seringai gembira tersungging di mulutnya
ketika di hadapannya terlihat Gunung Naga
(Liongsan) yang menjulang tinggi. Penduduk
disekitar tempat itu menganggap gunung itu
angker, tak satu orang pun berani mendekati
kaki gunung. Tapi Kiat Bo Hosiang seperti
orang tak perduli, dan terus mendaki gunung
yang menjulang ini. Sampai pertengahan
lereng jalan yang menuju puncak gunung
masih mu-dah ditempuh dan tidak berbahaya.
Tapi selewatnya pertengahan lereng,
pepohonan dan semak belukar mulai rapat.
Ular-ular pohon kelihatan membelit dan
bergelantungan di mana-mana. Sekali
seseorang kena dipatuk, pasti dalam waktu
dua atau tiga menit nkan mati akibat bisanya
yang jahat!
Kiat Bo Hosiang nampaknya tidak perduli
akan binatang-binatang itu. Bahkan ular-ular
itu sendirilah yang menjauh ketakutan karena
dengan kesaktiannya yang tinggi tubuh kakek
ini mengeluarkan hawa panas yang membuat
takut ular-ular dalam hutan, sama sekali tidak
mengganggu bocah penggembala yang
sampai saat ini masih tertidur nyenyak di atas
pundak kirinya!
Selewatnya pertengahan lereng, perjalanan
betul betul sulit dan berbahaya. Di mana-
mana menghilang batu-batu karang raksasa
runcing menjulang langit, licin berlumut
lembab. Disela batu-batu karang Ini
membentang jurang-jurang terjal yang gelap
sedang kabut bertebar menutupi
pemandangan!
Akan tetapi hebatnya, seolah-olah dia berlari
di jalan yang rata dan seperti sepasang
matanya dapat menembus tebalnya kabut,
kakek sakti Kiat Bo Hosiang terus saja lari
seenaknya. Melompat dari atas batu karang
yang satu ke batu karang yang lainnya;
melayang di atas jurang-jurang maut hingga
akhirnya sampai di puncak Uongsan!
Saat itu di salah satu puncak Liongsan yang
dingin, dua orang tua berpakaian putih-putih
asyik bermain tioki (catur). Yang pertama
berambut putih berbadan pendek. Usianya
sekitar 60 tahun dan dikenal dengan nama
Toa Sin Hosiang. Yang se-orang lagi kurus
tinggi, bermuka hitam juga berusia sekitar 60
tahun. Keduanya bukan lain adalah
pembantu-pembantu Ik Bo Hosiaig yang
berkepandaian tinggi itu.
Sementara orang menyebut mereka sebagai
pembantu Ik Bo Hosiang karena memang
sebegitu jauh tokoh berkepandaian luar biasa
itu tak pernah mengangkat mereka sebagai
murid, sekalipun se gala kepandaian silat
yang diperdapat dari Ik Bo Hosiang sendiri.
Disamping itu mereka dari sejak dulu memang
bertugas melayani dan memenuhi apa apa
keperluan Ik Bo Hosiang.
Seperti telah diterangkan sebelumnya Ik Bo
Hosiang mempunyai sifat-sifat aneh yang
boleh diKatakan seperti kurang sehat pikiran.
Keanehan ini dengan sendirinya menular pula
pada kedua pembantunya, meskipun tidak
segawat Ik Bo Hosiang sendiri.
Demikianlah, selagi asyik main tioki dan
ketika Toa Sin Hosiang baru saja hendak
membunuh salah satu bidak lawan, tiba-tiba
Lo Sam Hosiang menggoyangkan kepalanya
dan berkata : "Heh ada orang datang!"
Toa Sin Hosiang juga sudah mendengar.
Sesaat keduanya saling memandang heran.
Memang sudah sejak lama sekali tak pernah
ada orang luar yang naik ke puncak Liongsan.
Jika hari itu ada orang yang datang ini
merupakan suatu yang luar biasa.
Baru saja Lo Sam Hosiang bicara maka
berkelebat satu bayangan putih dan tahu-tahu
di depan mereka sudah tegak seorang kakek-
kakek berpakaian, janggut, kumis dan rambut
serba putih. Di pundaknya kirinya tidur
nyenyak seorang bocah lelaki berusia 7 tahun.
Begitu melihat siapa adanya kakek ini,
secepat kilat kedua pembantu Ik Bo Hosiang
jatuhkan diri dan berlutut hormat.
"Ah sungguh tak dinyana kalau puncak
Liongsan hari ini akan kedatangan tetamu
yang bukan lain adalah susiok kami
sendiri!" (Susiok – paman guru). Yang berkata
ini adalah Lo Sam Hosiang.
Sang tetamu yang tentu saja sudah dapat
diduga yakni Kiat Bo Hosiang adanya
menyeringai.
Apakah saudaraku Ik Bo Hosiang ada?'
"Tentu saja ada. Sudah sejak 20 tahun beliau
tak pernah meninggalkan puncak Liongsan ini
" menjawab Lo Sam Hosiang.
Sementara itu Toa Sin Hosiang bertanya
dengan hormat: "Apakah susiok baik-baik
saja selama ini?"
"Tentu… tentu saja."
Eh. susiok. Siapakah bocah yang kau bawa
ini?" kembali Toa Sin Hosia-ig bertanya. Lo
Sarn Hosiang pun kepingin pula mengetahui.
"Siapa namanya pun aku tidak tahu, aku cuma
kenal dia adalah anak gembala!
Selama belasan tahun Kiat Bo Hosiang tak
pernah datang dan sekali muncul membawa
seorang anak lelaki tentu saja ini
mengherankan kedua pembantu Ik Bo Hosiang
itu.
"Sekarang lekas kalian beri tahu pada
suhengku itu bahwa aku ingin bertemu
dengan dia untuk utusan penting!
Sekilas dua pembantu \k Bo Hosiang saling
lirik. Lalu memperhatikan bocah di atas bahu
susiok mereka dan memperhatikan pula
pakaian Kiat Bo Hosiang yang robek-robek
serta guratan-guratan panjang pada kulit
dadanya.
"Hai kalian berdua tunggu apa lagi? Cepat
beri tahu!" Saat itu dua pembantu Ik Bo
Hosiang sudah bangkit dan berdiri kembali.
"Maaf susiok," Toa Sin memberikan jawaban.
Sebelumnya suhu telah berpesan untuk tidak
di ganggu. Jelasnya siapapun yang datang
beliau sekaii-kali tak boleh diganggu karena
saat ini sedang bersemedi."
"Sekalipun yang datang aku, sute-nya?!"
"Sekalipun susiok harap dimaafkan," sahut
Toa Sin.
Kiat Bo Hosiang mendungak ke langit lalu
tertawa gelak-gelak. Karena memiliki tenaga
dalam yang luar biasa, dengan sendirinya
suara tawanya dahsyat sekali!
Dua pembantu Ik Bo Hosiang terheran-heran.
Keduanya saling pandang. Dan karena mereka
memang kurang beres jalan pikirannya maka
lantas saja keduanya ikut tertawa gelak-gelak.
Puncak Gunung Naga itu seolah-olah bergetar
dilanda gelombang suara tertawa tiga
manusia sakti ini!
Tiba-tiba Kiat Bo Hosiang hentikan tawanya.
Parasnya berobah kelam membesi. Sepasang
matanya membeiiak dan dari mulutnya keluar
bentakan garang.
"Kalian berdua kacung-kacung rendah berani
melarang aku Sin-jiu Thung-ong untuk
menemui suheng-ku sendiri?!"
Serta meria dua pembantu ini hentikan pula
tawa mereka. Toa Sin menyahut: "Bukan kami
melarang, susiok. Tapi suhu sendiri yang
berpesan begitu. Kami pembantu-pembantu
yang rendah cuma menuruti perintan."
Persetan dengan segala pesan dan perintah!
Aku tidak rnengenal segala aturan yang
dibuat oleh suhumu yang berotak miring itu!"
"Ah, susiok keliwat menghina. Suhu sama
sekali tidak miring otaknya. Cuma sedikit
kurang sehat pikirannya," kata Lo Sam
Hosiang.
"Otak miring dan tidak sehat pikiran adalah
sama saja, goblok! Dasar gurunya gila,
muridnya sinting. Sekarang menyingkirlah
kalian. Aku mau lewat."
"Mau lewat ke mana, susiok?" bertanya Toa
Sin macam orang tolol.
"Pendek! Jangan bikin aku marah. Lekas
menyingkir atau kau bakal menerima gebukan
dariku!" Kiat Bo Hosiang sudah tak dapat lag!
menahan marahnya.
"Ah, susiok. Kau tentu tahu kami ini bukan
anak-anak yang harus digebuk. Kami sudah
tua bangka dan menjalankan perintah dengan
segala tanggung jawab dan akibatnya."
Kiat Bo Hosiang menyeringai.
"Jadi kalian kacung-kacung geblek berani
kurang ajar pada paman guru sendiri ya!
Bagus, mari kuberi sedikit pelajaran!"
Habis berkata begitu Kiat Bo Hosiang
kebutkan ujung lengan bajunya yang lebar.
Satu gelombang angin menggebu dengari
dahsyatnya. Toa Sin dan Lo Sam bagusnya
sudah berlaku waspada dan buruburu
menghindar ke samping. Namun tak urung
sambaran angin pukulan itu masih membuat
mereka terhuyung-huyung ke belakang.
"Susiok, kau pun nyatanya sinting! Hendak
menurunkan tangan jahat terhadap pembantu-
pembantu suhengmu. Tapi jangan kira kami
takut! Demi tugas, setan kepala seratus pun
kami bakal hadapi! Dan kau nyatanya cuma
punya satu kepala!" Yang bicara begitu
adalah si pendek Toa Sin Hosiang yang
memang lebih keblinger dari pada rekannya.
Bahkan kemudian dia tertawa-tawa
seenaknya.
Kutuk serapah menyembur dari mulut Kiat Bo
Hosiang dan langsung saja menerjang ke arah
Toa Sin! 4 MESKIPUN cuma pembantu-
pembantu dari Ik Bo Hosiang namun dua
orang tua dari Liongsan itu memiliki ilmu
kepandaian yang sudah amat tinggi. Jika
diukur maka kepandaian mereka rata-rata
hanya satu tingkat saja dibawah kepandaian
Kiat Bo Hosiang. Kalau saat itu mereka maju
berbarengan dengan sendirinya Kiat Bo
Hosiang akan terdesak dan kalah. Namun ada
beberapa hal yang membuat Kiat Bo lebih
unggul dari kedua lawannya.
Pertama sebagai pembantu-pembantu Ik Bo
Hosiang kedua kakek itu boleh dikatakan
jarang sekali turun gunung hingga tidak
banyak pengalaman dalam pertempuran.
Sekalipun memiliki kepandaian tinggi namun
kurang pengalaman merupakan hal yang ikut
menentukan. Kedua, sepasang kakek-kakek
dari Liongsan itu dikarenakan otaknya yang
miring menganggap bahwa mustahil sute dan
suhu mereka sendiri akan mau menurunkan
tangan jahat terhadap mereka. Karenanya
mereka bertempur seperti main-main saja dan
sambil tertawatawa haha-hihi! Ketiga, sampai
saat itu Kiat Bo Hosiang masih memanggul
tubuh anak gembala di atas pundak kirinya
hingga dua kakek dari Liongsan tidak mau
menyerang dengan terlalu buas karena
khawatir akan mencelakai bocah itu.
Pertempuran dua lawan satu itu berlangsung
sampai seratus jurus. Pembantu-pembantu
Kiat Bo Hosiang mulai terdesak. Tiba-tiba
salah seorang dari mereka keluarkan satu
teriakan keras dan serta merta permainan
silat dua kakek ini menjadi berobah. Kiat Bo
Hosiang menjadi kaget. Sebagai sute dari Ik
Bo Hosiang dia tahu betul setiap jurus ilmu
silat dari kakak seperguruannya. Namun
permainan silat yang dikeluarkan oleh dua
lawannya saat itu aneh dan tidak pernah
dilihatnya sebelumnya. Apakah si Ik Bo Itu
sudah menciptakan ilmu baru tanpa setahuku,
demikian Kiat Bo Hosiang membathin. Dan
lebih terkejut lagi begitu merasakan
bagaimana permainan silat dua lawannya itu
kini menekan setiap gerakan yang dibuatnya!
"Tua bangka-tua bangka Liongsan, jadi kalian
hendak pamer dan andalkan ilmu silat kalian
yang baru? Bagus! Aku mau lihat sampai di
mana kehebatan kalian!" berseru Kiat Bo
Hosiang dengan penasaran. Dari balik
pinggang pakaiannya dia segera keluarkan
senjatanya yang ampuh yakni tongkat baja
yang ujung-ujungnya bercabang dua. Dengan
tong-kat di tangan kanan dan bahu kiri masih
mendukung bocah penggembala Kiat Bo
Hosiang yang bergelar Hln jiu Tlmng-ong
atau Raja Tongkat Tangan Sakti Itu
mengamuk hebat. Tubuhnya lenyap
terbungkus muai senjatanya dalam tempo
singkat dia sudah mendesak lawannya dengan
hebat!
Haik Toa Sin maupun Lo Sam Hosiang sama-
sama kaget melihat serangan-serangan ganas
yang mematikan oleh susiok mereka itu.
Permainan silat mereka mulai kacau.
"Susiok, kami ini kau anggap
musuhmusuhmukah?!" berseru keras Lo Sam
Hosiang.
"Tutup mulutmu manusia muka pantat
dandang!" tukas Kiat Bo dan tongkatnya
dengan ganas menderu ke arah kakek muka
hitam dari gunung Naga itu. Dan krak!
Lo Sam Hosiang menjerit. Dia melompat
keluar dari kalangan pertempuran sambil
pegangi lengan kiri yang kuntal-kantil kerena
tulangnya telah patah!
"Susiok, kau sudah gilakah," teriak Toa Sin
namun kakek yang satu ini pun segera pula
mendapat bagiannya. Kalau kawannya patah
tulang lengan maka dia sendiri remuk tulang
kakinya sebelah kanan dan berguling di tanah
sambil merintih. Tapi dasar gila, sekali dia
masih bisa juga tertawa hahahihi!
"Tua bangka-tua bangka tak tahu untung!
Masih bagus tidak kepala kalian yang
kuremukkan! Lain kali suhu kalian harus
memberi pelajaran sopan santun pada kalian!
Bagaimana menghormat se-orang paman
guru!"
"Paman guru sableng macammu mana patut
dihormati!" teriak Toa Sin lalu menunggingkan
pantatnya dan kemudian kentut! Untung saja
Kiat Bo Hosiang sudah tidak lagi ada di
tempat itu. Kalau tidak kakek ini pastilah
akan marah setengah mati dihina begitu rupa!
Dengan beberapa kali lompatan kilat Kiat Bo
Hosiang telah sampai ke puncak Liongsan.
Anak pengembara yang ada di bahu kirinya
masih tertidur nyenyak tanpa sadar apa yang
telah terjadi sebelumnya!
Kiat Bo melangkah menuju ke sebuah pondok
kayu Dia tak perlu susah-susah masuk ke
dalam pondok mencari suhengnya karena Ik
Bo Hosiang ditemuinya di halaman samping
tengah bersemedi dengan cara yang luar
biasa!
Ik Bo Hosiang bersemedi di atas sebuah batu
hitam, kaki lurus ke atas sedang kepala di
sebelah bawah, pada batu hitam itu.
Tubuhnya tak sedikit pun bergerak sedang dua
tangannya dirangkapkan dldepan dada.
Janggut dan kumis putihnya yang panjang,
menjulai menutup wajah dan sepasang
matanya.
Diam-diam Kiat Bo menjadi kagum juga
melihat nira bersemedi suhengnya ini. Dia
yakin betul di antara tokoh tokoh silat
terkemuka di Tiongkok saat itu hanya kakak
seperguruannyalah yang sanggup melakukan
hal itu.
Kalau tadi Kiat Bo ingin buru-buru menemui
suhengnya, kini setelah bertemu dia jadi serba
salah bagaimana harus membangunkannya.
Tiba-tiba anak yang didukungnya menggeliat
dan terbangun. membuka matanya bocah ini
terheran-heran melihat di mana dia berada.
Dan lebih heran lagi ketika menyaksikan Ik Bo
Hosiang yang bersemedi kaki ke utas kepala
ke bawah.
"Hai. patung atau manusiakah ini?!" si bocah
berseru lantas turun dari pundak Kiat Bo
Hosiang. "Aku sendiri tidak tahu, budak. Coba
kau tarik
keras-keras janggutnya. Jika dia manusia
tentu dia akan menjerit kesakitan. Tapi kalau
patung pasti diam saja!" Berkata Kiat Bo
yang nyatanya telah mendapat akal
bagaimana harus membangunkan suhengnya.
Bocah penggembala mendekati Ik Bo Hosiang
yang disangkanya patung. Tangan kanannya
diulur kan untuk menarik janggut orang tua
itu. Tapi mendadak terjadi hal yang
mengejutkan si bocah, termasuk pula Kiat Bo
Hosiang. Ketika tangan itu hampir hendak
menjenggut jenggot, tiba-tiba jang gut
panjang putih itu bergerak dan sesaat
kemudian tahu-tahu lengan anak itu terlibat
erat!
"Hai!" si anak kaget. Dia gerakkan tangan
kirinya, namun tangan yang satu ini pun
kemudian kena dilibat. Bagaimana pun
kerasnya dia berusaha berontak untuk
melepaskan kedua tangannya tetapi sia-sia
saja!
"Suheng! Kau bangunlah!" Kiat Bo Hosiang
berseru. Jika janggut-janggutnya bisa
bergerak pasti Ik Bo Hosiang sudah jaga dari
samadinya, demikian Kiat Bo berpikir.
Tiba-tiba si anak menjerit karena kedua
lengannya terasa sakit dan dilain kejap tahu-
tahu tubuhnya telah terpental ke arah Kiat Bo
Hosiang. Kakek ini melenggak kaget, untung
masih sempat dia menangkap tubuh si bocah,
kalau tidak pasti akan jatuh dengan keras di
atas sebuah batu besar. Untuk sesaat Kiat Bo
Hosiang tertegun bengong. Membuat mental
seseorang dengan menggerakkan janggut
yang tentunya dialiri tenaga dalam betul-
betul merupakan satu hal yang amat luar
biasa. Dan itulah yang telah dilakukan oleh
suhengnya!
"Kiat Bo! Belasan tahun kau tak muncul,
begitu unjuk tampang kau hanya mengganggu
ketenteraman puncak Liongsan ini saja!"
terdengar suara halus yang bukan lain adalah
suara Ik Bo Hosiang. Memandang ke depan
Kiat Bo melihat suhengnya itu sudah duduk
tenang-tenang di atas batu hitam di atas
mana sebelumnya dia bersemedi.-Sepasang
mata Ik Bo memandang tajam pada adik
seperguruannya. Pandangan ini terasa
seolah-olah menembus dada dan jantung Kiat
Bo.
"Ah suheng," menyahut Kiat Bo setelah
terlebih dahulu menjura. "Bukan maksudku
untuk mengganggu ketenteraman di puncak
Liongsan ini. Tapi aturan yang dibuat oleh
kacung-kacungmulah yang telah memaksaku
berlaku keras…."
"Kekerasan itu memang harus ada. Tapi pada
waktu-waktu tertentu dan pada orang-orang
tertentu. Kekerasan yang dilakukan secara
sembarangan adalah satu kejahatan. Lo Sam
dan Toa Sin memang kacung-kacung tak
berharga. Tapi betapa pun di puncak Liongsan
ini mereka adalah tuan rumah yang harus
dihormati oleh setiap tamu, siapa pun dia
adanya. Di sini, di puncak Liongsan ini tuan
rumah yang membuat aturan, bukan orang
luar!"
Paras Kiat Bo kelihatan bersemu merah
mendengar kata-kata keras suhengnya itu.
"Sekarang katakan apa keperluanmu datang
ke mari."
"Budak itu, suheng…."
"Aku tidak tanya budak itu! Aku tanya
keperluanmu!" menukas Ik Bo Hosiang tanpa
menoleh atau melirik pada penggembala yang
tegak di samping sutenya.
"Begini suheng…" lalu Kiat Bo menerangkan
peristiwa perkelahiannya dengan Pak-san
Kwi-ong (Raja Setan Gunung Utara). "Jelas
sekali, jika tidak ada bocah penggembala
yang pandai meniup suling ini niscaya bukan
saja aku kalah, malah jiwaku akan melayang
di tangan Pak-san Kwi-ong. Aku berhutang
nyawa pada budak ini dan wajib
membalasnya!"
Memang betul apa yang dikatakan oleh Kiat
Bo Hosiang. Ketika berkelahi melawan Pak-
san Kwi-ong yang mengeluarkan ilmu hoatsut
(sihir), Kiat Bo Hosiang hampir-hampir saja
menemui ajal jika saat itu di tempat tersebut
tidak ada anak penggembala yang
memainkan sulingnya. Padahal suara tiupan
seruling itu mengganggu pemusatan pikiran
dan bathin yang menjadi dasar dari kehebatan
ilmu sihir Pak-san Kwi-ong.
"Aku tidak tertarik pada ceritamu." Tidak
tertarik padamu ataupun budak tukang angon
kerbau itu! Nah sekarang silahkan angkat kaki
dari puncak Liongsan ini!"
"Suheng…!"
Tapi Ik Bo Hosiang tidak perdulikan lagi
sutenya itu, malah seenaknya dia membuka
mulut dan menyanyi: Puncak Liongsan tinggi
sekali
Tapi lebih tinggi akal dan budi
Laut Selatan hijau dan dalam sekali
Namun lebih dalam perasaan hati sanubari
Yang tinggi gampang jatuh
Yang dalam sukar diselam
Akal dan budi terkadang tak berguna
Jika perasaan lebih menggelora. Ik Bo
Hosiang mengulang sekali lagi lagu itu. Dilain
pihak, bocah penggembala yang mendengar
merasa nyanyian itu cukup merdu dan terus
saja keluarkan sulingnya, meniup benda itu
mengiringi nyanyian si kakek. Mengetahui
nyanyiannya ada yang mengiringi Ik Bo
Hosiang lantas saja mengulang-ulang
nyanyian sampai empat kali berturutturutl
Tiba-tiba tokoh aneh dari Liongsan ini
hentikan nyanyiannya, mendongak ke langit
dan tertawa gelak-gelak. Si bocah yang
sedang asyik-asyiknya meniup suling
merasakan lututnya goyah oleh suara tertawa
itu dan sesaat kemudian dia pun terhuyung
jatuh ke tanah. Kiat Bo Hosiang sendiri pun
jika tidak lekas-lekas mengerahkan tenaga
dalamnya pasti akan menggeletar sekujur
tubuhnya oleh kehebatan suara tertawa
suhengnya itu!
"Budak, siapakah namamu dan apa she-mu?!"
Ik Bo Hosiang tiba-tiba ajukan pertanyaan.
"kakek nyanyianmu bagus sekali. Kenapa
berhenti?!"
"Budak kurang ajar! Ditanyai malah menyuruh
orang menyanyi. Apa kau kira kau ini biduan
sandiwara keliling?!" Ik Bo Hosiang
membentak. Tiba-tiba berkelebat jungkir-
balik. Sedetik kemudian kepalanya sudah
terletak di atas batu di mana dia tadi
bersemedi dan kaki lurus-lurus ke atas! "Hai
budak! Kenapa kau menghentikan tiupan
sulingmu! Ayo lekas mainkan lagi!"
"Apa kau kira aku ini tukang tiup suling
sandiwara keliling?!" si bocah ngambek dan
balik menyindir Ik Bo Hosiang. Kiat Bo Sang
khawatir kalaukalau suhengnya bakai kumat
otak miringnya marah mendengar kata-kata si
bocah itu, buru-buru saja membuka mulut.
Suheng, kau tahu aku telah berhutang nyawa
padanya! Hutang dalam bentuk apa pun harus
dibayar. Kau saksikan sendiri keadaan budak
ini. Potongan tubuh dan susunan ruas-ruas
tulangnya amat baik. Rasanya sulit mencari
bocah seperti dia di delapan penjuru angin
Tiongkok. Sebetulnya aku berniat untuk
mengambilnya jadi murid. Tapi kau tahu
sendiri. Sejak aku mengambil Li Bwe Hun jadi
murid tunggalku, aku sudah bersumpah untuk
tidak akan mengambil murid lain lagi dalam
keadaan atau alasan apapun juga. Memikir
sampai saat ini kau sendiri tidak pernah
mempunyai murid yarig sebenarnya bisa
disebut murid, dan sekaligus untuk membalas
hutang nyawaku padanya, maka kuharap kau
sudi mengambil bocah ini menjadi muridmu!'
"Enak betul bicaramu. Kiat Bo!" tukas Ik Bo
Hosiang. "Anak penggembala yang tidak tahu
asalusulnya, tak dikenal bapak moyangnya,
tak tahu juntrungannya, eh tahu-tahu kau
minta aku mengambilnya jadi murid! Kau
sudah gila atau otakmu memang sudah
rengat?"
"Suheng, kau bisa lihat sendiri. Anak ini lain
dari yang lain…."
"Apanya yang lain? Dia bertangan, berkaki,
punya mata dua, hidung satu, mulut satu,
telinga dua…. Itu kau bilang lain. Ah sute! Kau
rupanya betul-betul sudah gila! Kasihan…!"
"Suheng, aku memohon padamu…!"
"Kau keblinger, Kiat Bo. Bagaimana kalau
kemudian hari bocah itu mengecewakan
aku?!"
"Kau boleh bunuh aku, suheng!"
"Buset! Dua tiga bulan di muka mungkin kau
sudah lebih dulu mampus! Apakah aku harus
menggali kuburmu lalu membunuhmu? Gila
kau sute!"
Lama-lama berdebat begitu rupa Kiat Bo
Hosiang yang memang punya watak lekas
jengkel jadi penasaran juga. Dia berkata:
"Sudahlah suheng, jika kau tak sudi aku pun
tak memaksa!"
"Dan aku pun tidak mengemis untuk jadi
murid-mu!" menimpali si bocah.
"Bocah kurang ajar! Aku tidak bicara
denganmu!" hardik Ik Bo Hosiang. "Hai, kau
masih belum menerangkan nama dan she-
mu!"
"Namaku Thian Ong, she Song. Dan sekarang
aku akan angkat kaki dari sini!" Anak
penggembala itu berpaling pada Kiat Bo
Hosiang dan berkata: "Kakek, kau punya
tanggung jawab membawaku ke mari.
Sekarang kau punya kewajiban membawaku
turun dari tempat memuakkan ini!"
"Budak edan! Orang hendak membalas budi
malah bersikap konyol!" bentak Kiat Bo
Hosiang.
"Aku tak perlu segala balas budi. Kalaupun…."
"Thian Ong anak kurang ajar, kau mendekatlah
ke mari," tiba-tiba Ik Bo Hosiang memanggil.
Tapi si bocah tak mau datang. Namun satu
hawa aneh yang keluar dari tubuh si kakek
menyedotnya hingga tubuhnya terseret sampai
ke hadapan orang itu. Aku sudah lihat
susunan tubuhmu dari luar, tapi belum pada
bagian-bagian yang tertutup. Sekarang
tanggalkan seluruh pakaianmu. Telanjang!"
Kiat Bo Hosiang diam-diam merasa gembira
mendengar kata-kata suhengnya itu. Tapi
sebaliknya bocah yang bernama Song Thian
Ong berkata marah: "Kakek, kau betul-betul
sudah gila, menyuruh orang telanjang! Kau
saja telanjang sendiri!"
"Anak kurang ajar! Kualat kau!" teriak Ik Bo
Hosiang. Dia mengulurkan kedua tangannya.
Bret…. Bret…. Bret! Maka robeklah seluruh
pakaian Thian Ong hingga dia kini telanjang
bulat. "Hem bagus…. Kau memang boleh!" Dan
habis berkata begitu Ik Bo Hosiang mencekal
tengkuk Thian Ong, melemparkannya ke udara,
menyambutnya dengan kedua kakinya, lalu
dengan kaki-kaki itu tubuh Thian Ong
dipentalkan kembali ke atas, disambut lagi,
dipentalkan lagi demikian seterusnya.
Anehnya Thian Ong tidak merasa sakit barang
sedikit pun. Tapi rasa gamang membuat dia
ngeri. Dan anak ini tak hentihentinya menjerit.
Selagi Ik Bo Hosiang mempermainkan Thian
Ong seperti itu seolah-olah anak ini adalah
sebuah bola, tiba-tiba datanglah Lo Sam
Hosiang dan Toa Sin Hosiang. Masing-
masing mereka telah membalut lengan dan
kaki yang cidera serta mengganjalnya dengan
potongan kayu. Menyaksikan guru mereka
"bermain-main" begitu rupa keduanya tertawa
gelakgelak.
"Suhu," seru Toa Sin, "apakah kami berdua
boleh Ikut main bersamamu?"
Sebagai jawaban Ik Bo Hosiang berseru:
"Pendek, kau sambutlah!" Dan tahu-tahu
tubuh Thian Ong sudah melesat ke arah Toa
Sin Hosiang. Dan kakekkakek ini dengan
gembira menyambut tubuh yang terlempar itu
dengan kaki kirinya. Tubuh Thian Ong
melayang ke arah Lo Sam Hosiang. Dengan
gembira kakek yang seorang ini menyambut
pula dengan tendangan. Tubuh Thian Ong
kembali lagi melayang ko arah Ik Bo Hosiang.
Begitulah seterusnya. Tiga kakek-kakek
keblinger dari gunung Naga itu telah asyik
dengan permainan "bolanya". Tidak perduli
lagi akan jerit ketakutan si bocah. Apalagi
terhadap Kiat Bo Hosiang.
Kiat Bo Hosiang yang menyaksikan hal itu
cuma bisa geleng-geleng kepala. "Gila dasar
manusia manusia gila!" katanya dalam hati.
Namun diam-diam dia gembira sekalipun
suhengnya tidak mengatakan apakah dia mau
mengambil Song Thian Ong menjadi muridnya,
namun secara tidak langsung. Dengan cara
main bola" seperti itu, Ik Bo Hosiang telah
menyatakan bahwa dia berkenan dengan
bocah itu.
Dengan senyum puas Kiat Bo Hosiang
berkelebat pergi meninggalkan puncak
Liongsan. 5 DUA BELAS TAHUN kemudian….
Pada permulaan abad ke XV daratan Tiongkok
sebelah utara jatuh ke dalam cengkeraman
bangsa mongol. Penjajahan oleh bangsa
manapun juga atas bangsa lain pastilah
mendatangkan penderitaan. Dan yang paling
sengsara seperti biasanya ialah rakyat jelata.
Di mana-mana kaum penjajah yang berkuasa
melakukan pemerasan, perkosaan, penindasan
dan seribu satu macam tindakan sewenang-
wenang lainnya.
Pemerintah Tiongkok di selatan yang pada
masa itu beribu kota di Nanking tidak bisa
berbuat apa-apa menghadapi kaum penjajah.
Selain selatan memang memiliki balatentara
dan persenjataan lemah, roda pemerintahan
pun sudah kacau-balau centangperentang.
Mulai dari kaisar sampai pada pejabatpejabat
yang terendah di desa-desa sibuk memupuk
kekayaan, harta dan uang, tanah dan sawah.
Dalam pada itu mereka terlena pula dalam
bujuk rayu perempuan-perempuan cantik
hingga mana pula akan terpikir untuk
membebaskan negeri di utara dari tangan
penjajah Mongol.
Pedih sakitnya penderitaan yang melanda,
lambat laun merupakan cambuk bagi rakyat
jelata untuk bersatu dan secara diam-diam
menyusun kekuatan.
Kekuatan tersebut dibagi dua. Yang pertama
untuk menghantam kaum penjajah di utara
dan kedua untuk menyingkirkan pejabat-
pejabat pemerintahan yang korup, keji
sewenang-wenang dan sebagainya. Pada
masa itu bukan rahasia lagi kalau gerakan
rakyat yang menderita ini secara diam-diam
dibantu oleh orang-orang kangouw sehingga
akibat yang ditimbulkannya makin hari makin
hebat dan membuat kaum penjajah merasa
terancam.
Namun tidak jarang pula rakyat yang
berjuang itu menemui nasib malang. Yaitu
bilamana mereka dihantam oleh pasukan
Mongol berjumlah besar atau diserang dan
ditangkap oleh balatentara Kaisar dari
selatan. Pemimpin-Pemimpin mereka
digantung di tempat terbuka, prajurit-prajurit
yang tak lain adalah rakyat jelata biasa
dibunuh secara massal!
Gerakan rakyat yang ingin membebaskan
negeri mereka dari penindasan bangsa Mongol
serta sekaligus mengikis para pejabat
Pemerintah yang korup dan memeras, dengan
sendirinya menghadapi dua lawan berat.
Korban dan kerugian lebih banyak jatuh
dikalangan mereka, namun demikian
semangat perjuangan mereka tak kunjung
padam. Jangankan orang lelaki yang sudah
dewasa, bahkan anak-anak belasan tahun dan
kaum wanita pun ikut turun ke dalam kancah
peperangan tanpa rasa takut sama sekali!
Pada suatu hari di bulan kelima, malapetaka
telah pula menimpa serombongan pasukan
rakyat yang berjumlah 50 orang yang pada
saat itu berada di sebuah kaki bukit. Tanpa
setahu pemimpin pasu kan, salah seorang
diantara anggotanya adalah mata-mata.
Pemerintah selatan yang berhasil menyusup.
Selagi pasukan itu tengah beristirahat di' kaki
bukit, diam-diam mata-mata tadi
meninggalkan tempat tersebut, langsung
menuju tempat rahasia di mana telah
menunggu satu kelompok pasukan Pemerintah
yang terdiri dari lebih seratus orang
Dalam waktu singkat pasukan rakyat yang
tengah istirahat itu telah terkurung. Dan
ketika mereka diserbu dengan sendirinya
mereka tidak berdaya. Sedapat-dapatnya
mereka mempertahankan diri dan berjuang
mati-matian. Namun jumlah lawan dua kali
lipat disamping itu serangan datangnya
mendadak sekali.
Dalam waktu sebentar saja dua puluh orang
anggota pasukan rakyat gugur. Komandan
pasukan seorang lelaki separuh baya bernama
Pouw Keng In berteriak kepada anak buahnya
untuk lari menyelamatkan diri dan
membiarkan dia sendiri menghadapi pasukan
Pemerintah. Tekadnya biar dia mati asal sisa-
sisa anak buahnya masih bisa diselamatkan.
Akan tetapi mana ada diantara mereka yang
mau mengikuti perintah Pouw Keng In. Malah
pasukan rakyat itu bertempur makin hebat
hingga 10 orang lagi diantara mereka menjadi
korban.
"Bunuh semua anjing-anjing pemberontak ini.
Tangkap komandannya hidup-hidup!" teriak
komandan pasukan Pemerintah. Dia
menyeringai puas melihat bagaimana musuh
porak-poranda dan berguguran satu demi
satu dalam waktu yang cepat. Dan pandangan
matanya rakyat yang berjuang itu tak lebih
dari pada anjing, yang dapat dibunuh secara
sewenang-wenang,
Pada saat yang gawat bagi pasukan rakyat
itu. dimana Pauw Keng In sendiri sudah luka
parah dan mandi darah, tiba-tiba
berkelebatah satu bayangan hijau disertai
gulungan sinar coklat. Terdengar pekik susul-
menyusui. Dalam waktu amat cepat enam
anggota pasukan Pemerintah telah menjadi
korban, ada yang pecah kepalanya, remuk
dada. bobol perut dan sebagainya.
Tentu saja pasukan Pemerintah terkejut sekali
terutama Komandannya. PasuKan rakyat pun
tak kurang kagetnya. Namun karena menduga
ada orang kangouw yang telah turun tangan
membantu mereka meskipun mereka beium
melihat jelas siapa adanya orang itu karena
saking cepatnya gerakannya maka kembali
mereka jadi bersemangat dan menempur
iawan berjumlah besar itu dengan hebatnya.
"Iblis dari mana yang berani mencari mati di
sini?!" berteriak Komandan prajurit
Pemerintan. Namanya Cu Lay Seng. Berbadan
tinggi tegap bermata sedikit juling dan punya
tampang garang, lengkap dengan kumis
melintang serta cambang bawuk.
Bayangan hijau yang mengamuk tidak
menyahuti malah berkelebat makin cepat.
Delapan orang lagi pasukan Pemerintah
berjungkalan mati! Kawan-Kawannya yang
lain jadi gentar dan tak berani
didekati bayangan hijau itu. Sebaliknya
kelengahan mereka itu merupakan sasaran
baik bagi prajuritprajurit rakyat hingga banyak
diantara mereka berhasil ditewaskan
"Setan alas." maki Cu La i Seng marah sekali.
Saat itu dia masih duduk di atas punggung
kudanya. Dengan tangan kanan dirampasnya
pedang anak buahnya yang terdekat. Perlu
diketahui Cu Lay Seng ini seorang yang amat
lihay dalam ilmu menyambitkan berbagai
macam senjata. Sekali tangannya mencari
sasaran pastilah tak akan melesat! Begitu
tangan kanannya memegang pedang segera
senjata ini dilemparkan dan melesat deras ke
arah bayangan hijau yang tengah memporak-
porandakan pasukan Pemerintah.
Cu Lay Seng sudah dapat membayangkan
bagaimana tubuh bayangan hijau itu akan
tertembus oleh pedang yang dilemparkannya.
Namun alangkah kagetnya Komandan
pasukan ini sewaktu menyaksikan senjata
yang dilemparkannya itu malah ditangkap
oleh lawan dengan tangan kirinya. Dan
dengan memegang senjata ini di tangan
kirinya si bayangan hijau mempergunakannya
untuk membabat musuh kian kemari hingga
dalam waktu singkat makin banyaklah
anggota pasukan Pemerintah yang tewas.
Cu Lay Seng maklum kini bahwa dia
berhadapan dengan seorang lawan yang
berkepandaian amat tinggi dan memiliki
gingkang luar biasa hingga dia sendiri sampai
saat itu tidak dapat jelas melihat siapa
adanya bayangan hijau itu.
"Mundur semua", teriak Cu Lay Seng.
Prajurit-Prajurit Pemerintah yang memang
sudah sejak tadi-tadi merasa ngeri, tanpa
disuruh dua kali terus saja melompat mundur.
Di pihak pasukan rakyat Pouw Keng ln
memberi isyarat agar anak buahnya tidak
terus memburu musuh. Dia sendiri yang saat
itu terluka parah, amat kagum melihat
kehebatan bayangan hijau. Dengan dipapah
oleh seorang anak buahnya dia menyaksikan
apa yang terjadi selanjutnya.
Saat itu Cu La y Seng telah melompat turun
dari kudanya dengan satu gerakan enteng
tahu-tahu sudah berada lima langkah di
hadapan bayangan hijau. Dan ketika
bayangan hijau ini menghentikan gerakannya
yang luar biasa cepatnya itu, Cu Lay Seng dan
semua orang yang ada di situ jadi melotot
dan ternganga. Mereka semua melengak
kaget! Be-tapa tidak! Si bayangan hijau yang
kini tegak tak bergerak di tengah kalangan
pertempuran itu nyatanya adalah seorang
gadis berparas elok jelita. Rambutnya hitam
panjang dan digelung di atas kepala dengan
sepasang cambang halus meliuk dikedua
pipinya! Menurut perkiraan paling banyak
gadis ini baru berusia sekitar 17 tahun.
Secantik dan semuda itu sudah memiliki
kepandaian yang hebat, siapa orang yang
menyaksikan tak akan melengak kaget?
"Nona, kau telah menurunkan tangan ganas
terhadap prajurit-prajurit Kaisar. Terpaksa aku
harus menangkapmu dan membawamu ke
Kotaraja!" berkata Cu Lay Seng dengan nada
keren dan keras.
"Aku?! Kau mau menangkap aku…?" si gadis
menjawab lalu tertawa merdu sekali.
"Kuharap kau tidak mengadakan perlawanan
dan menyerah dengan suka rela," berkata lagi
Cu Lay Seng.
"Begundal penjilat pantat kaisar!" tiba-tiba
gadis hijau membentak marah. Wajahnya
merah dan justru dalam keadaan marah ini
dia kelihatan tambah cantik. Jika kau bilang
aku menurunkan tangan jahat terhadap
prajurit-prajurit Kaisar, lantas kau yang telah
membunuhi rakyat jelata pantas disebut
apakah?! Dosamu besar sekali Komandan!
Sebaiknya kaulah yang lekas menyerah dan
cepat berlutut minta ampun di hadapan Thian.
Karena kalau kau terlalu banyak mulut, aku
tak segan-segan mengirimmu ke akhirat!"
Cu Lay Seng tertawa sinis. Dia telah
menyaksikan kehebatan gadis itu, tapi jangan
kira dia merasa takut. Selain memiliki ilmu
tinggi dia sudah berpengalaman luas. Kalau
baru gadis binal begini saja kenapa musti
jerih? Demikian dia menganggap enteng.
"Jika kau tak mau menyerah secara baik-baik,
jangan salahkan kalau aku menurunkan
tangan kasar," Cu Lay Seng mengeluarkan
ancaman yang disambut oleh sang nona
dengan tertawa mengejek.
"Majulah! Aku mau lihat sampai dimana
kehebatan segala manusia pepesan macam
kau!"
Dimaki "pepesan kosong" begitu rupa di
hadapan sekian banyak orang dan anak
buahnya sendiri betul-betul merupakan
penghinaan luar biasa bagi Cu Lay Seng.
Dengan didahului bentakan dahsyat.
Komandan pasukan ini meloncat sebat ke
arah nona berbaju hijau dan saat itu juga
berkiblatlah sinar putih menyilaukan. Inilah
sinai senjata di tangan Cu Lay Seng yaitu
sebuah ruyung perak.
"Nona baju hijau!" Pouw Keng In Komandan
pasukan rakyat berseru. Kau hati-hatilah dia
lihay sekali!"
Memang Pouw Keng In mengetahui betul
kalau Cu Lay Seng berkepandaian tinggi.
Dibandingkan dengan dirinya masih
ketinggalan jauh. Meskipun tadi dia sudah
menyaksikan kehebatan si nona namun tetap
saja dia khawatir. Karena kalau sampai Cu
Lay Seng menang bukan saja dia dan seluruh
anggota pasukannya akan dibunuh, tetapi
nasib si nona pun akan jauh lebih buruk.
Pouw Keng In cukup mengenal kebejatan para
anggota pasukan Kaisar pada masa itu,
apalagi Komandan-komandan mereka.
Tapi nona baju hijau justru malah tertawa
mendengar peringatan itu. Dia menjura pada
Pouw Keng in dan berkata: "Terima kasih atas
peringatanmu. Kau lihat sajalah bagaimana
aku menghajar manusia kecoak yang tidak
berguna ini."
Sambil menjura tadi dengan tak acuh nona itu
gerakkan tongkat kayu di tangan kanannya ke
atas Cu Lay Seng yang saat itu tengah
melancarkan serangan hebat menjadi amat
terkejut ketika tiba-tiba dirasakannya ada
sambaran angin dingin menderu ke arah
lengannya. Komandan yang berpengalaman
ini segera maklum kalau lawannya memiliki
tenaga dalam yang jauh lebih lihay dari dia
Karenanya secepat kilat Cu Lay Seng robah
gerakannya, batalkan serangan pertama dan
menyusul dengan serangan ruyung ke arah
kaki sang nona.
Tapi lawan ternyata sudah mengetahui lebih
dulu gerakannya. Karena begitu ruyung perak
menyamber ke bawah si nona segera
melintangkan tongkat kayunya ke arah yang
sama
Selain tak menyangka kalau lawan akan
menolong gerakannya seperti itu. Cu Lay Seng
pun kelewat yakin bahwa ruyung peraknya
lebih ampuh. Karenanya dia tidak berusaha
menghindarkan bentrokan senjatanya dengan
tongkat lawan yang hanya terbuat dari kayu
coklat.
Tapi apa yang terjadi kemudian membuat Cu
Lay Seng berseru tegang dengan muka pucat.
Pada saat bentrokan senjata terjadi ruyung
perak di tangan Komandan itu patah dua dan
mencelat mental! Sedang tongkat kayu yang
dianggap remeh oleh Cu Lay Seng ternyata
tidak cacat barang sedikit pun.
Dalam keadaan sang Komandan masih kaget
begitu rupa nona baju hijau yang sampai saat
itu di tangan kirinya masih memegang pedang
yang tadi dilemparkan oleh Cu Lay Seng
sudah memburu ke depan kirimkan satu
tebasan kilat. Dan cras ! Cu Lay Seng menjerit
keras. Darah mancur dari tangan kanannya
yang kini sudah terbabat putus!
"Sekarang lekaslah kau menghadap Tuhan
untuk mempertanggung jawabkan dosa-
dosamu." berseru si nona seraya tusukkan
pedang di tangan kirinya tepat ke jantung si
Komandan.
Hanya satu senti saja lagi ujung pedang akan
menembus dada Cu Lay Seng tiba-tiba
terdengar bentakan marah:
"Bwe Hun! Lagi-lagi kau! Lagi -lagi kau!"
Satu bayangan putih berkelebat dan tahu-
tahu pedang di tangan kiri sang dara
terdorong ke samping selamatlah Cu Lay Seng
dari kematian! 6 NONA BERBAJU HIJAU
palingkan muka dan berubahlah parasnya.
Lalu gadis ini cepat jatuhkan diri, berlutut
pada seorang kakek-kakek berpakaian putih
yang tegak dihadapannya.
"Suhu…!"
"Bwe Hun. Berapa kali aku sudah bilang
jangan melakukan pengacauan! Jangan berani
menentang alat-alat kerajaan!" si kakek
berkata dengan nada keras.
"Suhu, murid sama sekali tidak mengacau,
tidak menentang siapapun. Murid hanya ingin
mengikis kejahatan, kekejaman dan ketidak
adilan dari muka bumi ini!"
"Dengan jalan membunuh seenakmu?!"
"Orang-orang jahat dan se-wenang-wenang
macam mereka layak dibunuh. Dan
perjuangan rakyat untuk membebaskan tanah
air dari kaum penjajah dan penindasan
bangsa sendiri wajib dibantu!"
"Bwe Hun! Kau masih hijau dan tidak tahu
banyak artinya perjuangan. Sekarang lekas
angkat kaki dari sini. Lain kali jika aku
memergoki kau melakukan perbuatan begini,
aku akan jatuhkan hukuman berat padamu!
Kau dengar?!"
Si nona yang bernama Li Bwe Hun gelengkan
kepalanya dan sikapnya gagah ketika
menjawab: "Suhu hukuman berat bagiku
bukan apa-apa. Tapi yang aneh adalah
perbuatan Suhu sendiri. Kau menetap si utara,
ditengah-tengah bangsa Mongol dalam
kemewahan luar biasa. Tapi tanpa menyadari
bahwa Suhu sebenarnya telah diperalat oleh
kaum penjajah untuk menindas bangsa
sendiri! Sebagai murid aku…."
Belum sempat Li Bwe Hun meneruskan
katakatanya itu satu tamparan telah
mendarat di pipinya, membuat gadis itu
terhuyung ke belakang satu langkah.
Keseluruhan wajahnya menjadi merah
mengetam. Bukan karena sakit tapi karena
tak percaya kalau suhunya sendiri-yang telah
mendidik dan merawati selama belasan tahun
-tega-menamparnya seperti itu dihadapan
sekian banyak mata! Betul suhunya telah
berubah sejak masuk ke dalam bujuk rayu
bangsa Mongol!
"Sekali lagi kau berani bicara lancang seperti
itu kubunuh kau Bwe Hun!"
"Suhu, aku tidak takut mati di tanganmu! Aku
lebih rela mati dari pada menjadi murid Kiat
Bo Hosiang yang kenyataannya adalah
seorang pengkhianat bangsa dan negara!"
Cu Lay Seng, Pouw Keng In dan semua orang
yang ada di situ sama-sama kaget mendengar
siapa adanya nama kakek di hadapan mereka
saat itu. Ternyata Kiat Bo Hosiang, tokoh silat
utama yang boleh dikatakan tak ada
tandingnya untuk masa itu diseluruh penjuru
Tiongkok!
Baik Komandan pasukan Kaisar maupun
Komandan pasukan rakyat masing-masing
merasa gelisah dan berdebar. Karena kini di
hadapan mereka berdiri tokoh silat
berkepandaian tinggi yang sejak beberapa
waktu belakangan ini telah membantu kaum
penjajah Mongol. Jadi sekaligus merupakan
musuh besar pasukan rakyat dan juga
Pemerintah!
Sepasang bola mata Kiat Bo Hosiang
berkilatkilat dan laksana dikobari api
mendengar kata-kata muridnya itu. Dia
menggerung dahsyat dan berteriak: "Li Bwe
Huni Mulai hari ini aku bukan gurumu lagi!
Kau murid kualat! Murtad! Kau harus
serahkan seluruh ilmu yang kau dapat dariku!"
Habis berteriak demikian Kiat Bo Hosiang
lantas kirimkan satu serangan berupa totokan
ke arah jalan darah kian le hiat di dada dan
jalan darah gi hay hiat di punggung muridnya.
Dua totokan ini bukan merupakan totokan
maut akan tetapi amat berbahaya. Jika
totokan-totokan itu sampai menemui
sasarannya, pembuluh-pembuluh darah di
tubuh Li Bwe Hun akan menjadi rusak. Dan
yang paling hebat akibatnya ialah bahwa dia
akan kehilangan seluruh ilmu kepandaiannya
bahkan akan menderita gagu seumur hidup!
Bwe Hun kaget sekali melihat bagaimana
suhunya melancarkan totokan yang jahat itu.
Kini nyata kalau gurunya memang sudah
gelap mata dan tidak tedeng aling-aling
untuk menurunkan tangan jahat. Bagusnya
dia berlaku waspada hingga cepat menghindar
selamatkan diri.
Melihat serangan dapat dikelit, Kiat Bo
Hosiang jadi penasaran. Kembali dia
menyerbu dengan serangan-serangan kilat
secara berantai. Dan setiap serangan
senantiasa diserta totokan-totokan jahat tadi.
Sampai belasan jurus dimuka kakek-kakek
sakti ini walaupun membuat sibuk muridnya
namun masih belum sanggup merobohkan, ini
membuat kemarahannya semakin meluap!
"Perempuan sialan! Menyesal aku
mengambilmu jadi murid! Menyesal aku
mewarisi segala macam ilmu kepandaian
padamu!" teriak Kiat Bo Hosiang berulang
kali.
"Aku malah seribu kali lebih menyesal dan
malu karena memiliki suhu jahat dan
pengkhianat macammu! Dan jangan lupa, aku
tak pernah meminta untuk dijadikan murid!
Kau yang menculik aku dari tangan orang
tuaku!"
"Murtad! Laknat! Kubunuh kau sekalian biar
puas hatiku!" Maka Kiat Bo Hosiang lantas
mempergencar serangannya. Tubuhnya hanya
tinggal bayangan putih saja lagi, mengurung
Bwe Hun dari segala penjuru. Untuk
menghadapi kehebatan suhunya terpaksa
gadis ini kerahkan pula seluruh
kepandaiannya. Karena masing-masing pihak
mengetahui betul jurus-jurus silat yang
dimainkan, termasuk tipu-tipu dan
kelemahan-kelemahannya maka dengan
sendirinya pertempuran itu penuh ketegangan
dan seru sekali. Dalam hal Lweekang memang
Bwe Hun masih berada di bawah suhunya.
Namun dalam memainkan ilmu silat tangan
kosong dan kegesitan dia tidak kalah! Sampai
seratus jurus dimuka Kiat Bo Hosiang masih
belum bisa berbuat apa-apa!
Bagaimanakah asal mulanya sampai Kiat Bo
Hosiang bentrokan dan hendak membunuh
murid nya sendiri! Dan apakah betul tokoh
silat golongan putih itu menjadi kaki tangan
penjajah Mongol?
Seperti sudah sama dimaklumi jarang sekali
manusia yang betul-betul dapat
membebaskan diri dari daya tarik keindahan
hidup di dunia yang seribu satu macam
ragamnya itu. Salah seorang diantaranya
adalah Kiat Bo Hosiang. Selagi dia masih
memberi pelajaran silat pada Li Bwe Hun. Kiat
Bo yang memang mempunyai dasar watak
suka akan hidup mewah di dunia dan
disamping itu lemah iman dalam menghadapi
perempuan cantik, telah terjebak dalam bujuk
rayu orang-orang Mongol.
Kepadanya diberikan sebuah gedung besar
bak istana layaknya di Undur Khan. Harta
benda dan uang berlimpah ruah. Disamping
itu tak lupa pula perempuan-perempuan
cantik yang dia tinggal pilih saja berganti-
ganti setiap hari. Semua ini membuat Kiat Bo
Hosiang lupa segala-galanya. Dan diam-diam
orang Mongol mulai memperalatnya. Memang
banyak gunanya tokoh lihay ini oleh kaum
penjajah. Pertama, jika Kiat Bo berada dalam
genggaman mereka berarti tak akan ada
bahaya dari pihak Pemerintah Tiongkok
ataupun dari pergerakan rakyat karena
memang masa itu Kiat Bo seorang tokoh sakti
yang ditakuti oleh pihak Mongol. Kedua Kiat
Bo bisa dipergunakan untuk menghadapi
orang-orang Pemerintah dan rakyat. Dan
kenyataannya memang Kiat Bo Hosiang telah
berhasil mematahkan perlawanan-perlawanan
yang dibangkitkan oleh bangsanya sendiri.
Disatu pihak Kiat Bo mendapat imbal
kehidupan yang mewah penuh kesenangan
namun dilain pihak dia menjadi momok
kebencian rakyat dan juga Pemerintah
Tiongkok. Salah satu dari orang yang
membencinya ialah muridnya sendiri Li Bwe
Hun yang telah digemblengnya selama lebih
dari sepuluh tahun.
Gadis yang baru meningkat usia 17 ini begitu
memulai pengelanaannya di dunia kangouw
telah dihadapkan dengan kenyataan pahit
yaitu gurunya ternyata adalah seorang
pengkhianat yang menjada kaki tangan
penjajah Mongol dan diperalat untuk
menghancurkan rakyat serta Pemerintahnya
sendiri! Sedangkan dia sendiri yang walaupun
masih muda tapi dapat membedakan mana
yang betul dan mana yang salah, telah
memilih untuk berpihak perjuangan rakyat
tertindas. Karenanya dalam petualangannya,
gadis ini berulang kali membantu pasukan
rakaat dan disamping itu setiap dia
mendengar ada pejabatpejabat Pemerintah di
daerah-daerah yang berlaku keji serta
semena-mena, pastilah dia turun tangan
untuk menghukum pejabat itu. Sekali dua
diberi peringatan, tapi bila masih tidak mau
insyaf, Bwe Hun tak segansegan untuk
menebas batang lehernya.
Dalam melakukan hai yang dianggapnya
sebagai tugas kewajiban itu tentu saja Bwe
Hun mendapat tantangan dan menghadapi
lawan-lawan berat. Dan salah satu
diantaranya adalah gurunya sendiri yakni Kiat
Bo Hosiang. Sebelumnya Kiat Bo Hosiang
telah memberi peringatan keras pada
muridnya itu untuk tidak ikut campur dalam
kekalutan yang berkecamuk akhir-akhir ini.
Namun Bwe Hun tak mau perduli karena dia
yakin apa yang dilakukannya adalah benar.
Dia sadar ilmu kepandaian yang dimilikinya
bukanlah untuk membuat dia menjadi beo
atau berlepas tangan ataupun melakukan
perbuatanperbuatan yang salah, tapi justru
guna menolong orang-orang yang tertindas,
untuk kebaikan dan membela keadilan serta
kebenaran. Dan nyatanya hari ini kembali dia
dipergoki oleh subangnya ketika membela
pasukan rakyat yang hendak dimusnahkan
oleh pasukan Pemerintah Tiongkok dibawah
Komandannya yang bernama Cu Lay Seng!
Sekali ini Kiat Bo Hosiang sudah jauh tersesat
hingga dia mempunyai tekad keji untuk
mencelakakan muridnya sendiri, membuat Bwe
Hun menjadi cacat seumur hidupnya. Akan
tetapi karena sampai begitu jauh dia masih
belum sanggup menyerangkan dua totokan
ganas itu ke tubuh muridnya yang
dianggapnya murtad laknat, disamping itu
ucapanucapan Bwe Hun betul-betul membuat
dia gelap mata, maka dalam sesatnya Kiat Bo
memutuskan untuk membunuh saja gadis itu!
Li Bwe Hun tersirap darahnya ketika melihat
tiba-tiba suhunya mengeluarkan senjatanya
yang hebat yakni tongkat baja yang kedua
ujungnya bercagak.
"Suhu…! Orang-orang Mongol betul-betul
telah membuat kau jadi buta mata dan hati
serta pikiran! Insyaflah Suhu!" berseru Bwe
Hun.
Tapi seruan itu justru membuat Kiat Bo
Hosiang jadi semakin naik pitam. Tongkat
bajanya berkiblat. Sinar putih menderu-deru
menyilaukan. Bwe Hun terpaksa keluarkan
tongkat kayu coklatnya yang tadi telah
diselipkannya di pinggang.
Namun dalam ilmu permainan tongkat, Bwe
Hun yang di mata Cu Lay Seng serta Pouw
Keng In sudah amat luar biasa, dihadapan
Kiat Bo Hosiang dia hanya sanggup bertahan
sampai 5 jurus. Selewatnya 5 jurus, setelah
tongkatnya dibabat patah oleh suhunya, dia
segera terdesak hebat. Kegesitannya tiada
berarti untuk menyelamatkan diri dari dua
ujung tongkat yang terus-menerus
menyambar. Beberapa bagian pakaiannya
telah robek disambar senjata sang suhu dan
agaknya dalam dua jurus dimuka gadis ini
akan menemui kematian secara mengenaskan.
Menyaksikan ini semua orang jadi gelisah.
Lebih~lebih ketika satu-satu sodokan ujung
tongkat bersarang di dada Bwe Hun, membuat
gadis ini terpekik dan roboh terguling di
tanah. Darah kental mengalir disela bibirnya.
"Sekarang kau mampuslah, murid celaka!"
teriak Kiat Bo Hosiang seraya melompat dan
tusukkan ujung tongkatnya ke leher Bwe Hun.
"Tua bangka keji!" tiba-tiba terdengar
bentakan. "Kau yang lebih dulu layak
mampus!" Dua orang berkelebat ke depan.
Ternyata adalah Cu Lay Seng dan Pouw Keng
In!" 7 BAGAIMANA pula sampai kedua
Komandan pasukan yang tadinya saling
bermusuhan dan bertempur itu kini bersatu
menyerbu Kiat Bo Hosiang? Ada beberapa hal
yang membuat mereka tiba-tiba saja turun
tangan dalam keadaan yang kritis itu tanpa
memperduiikan keadaan dan tingkat
kepandaian mereka sendiri. Pertama
bagaimana pun juga Li Bwe Hun merupakan
nona penolong bagi Pouw Keng In sewaktu
tadi dia luka parah menghadapi pasukan
Pemerintah di bawah pimpinan Cu Lay Seng.
Kedua, baik Cu Lay Seng maupun Pouw Keng
In tahu, yaitu jika Bwe Hun sampai kalah,
maka Kiat Bo Hosiang pasti akan membasmi
mereka pula. Karena itu sebelum si nona
celaka lebih baik mereka lekas-lekas turun
tangan menolong. Ketiga Cu Lay Seng seolah-
olah sadar bahwa apa yang terjadi di
negerinya selama ini memang membawa
penderitaan bagi rakyat jelata. Dan dia
merasa berdosa telah melakukan pembasmian
ganas terhadap rakyat yang selama ini
berjuang.
Akan tetapi, meski dibantu oleh dua orang
Komandan pasukan yang gagah berani Itu,
keadaan Bwe Hun tidak lebih baik Malah
setelah membantu dua jurus, Cu Lay Seng dan
Pouw Keng In mulai terdesak. Melihat ini Cu
Lay Seng segera berteriak, memerintah pada
anak buahnya untuk mengeroyok. Demikian
pula Pouw Keng In. Kini Kiat Bo Hosiang
dikurung oleh lebih dari tujuh orang dengan
Bwe Hun, Lay Seng dan Keng ln sebagai
pelopornya. Namun keadaan bukannya lebih
menguntungkan Bwe Hun dan kawan-kawan,
malah jalannya pertempuran jadi
sembrawutan
Tongkat baja di tangan Kiat Bo Hosiang mulai
minta korban. Jerit sakit dan erang kematian
terdengar setiap tongkatnya berkiblat.
Kemudian Cu Lay Seng menenun ajalnya pula
dengan kepala pecah. Satu jurus kemudian
menyusul Pouw Keng In. Sesudah kedua orang
ini roboh anggota-anggota pasukan yang
mengeroyok menjadi kecut. Kebanyakan
diantara mereka segera melarikan diri hingga
pada akhirnya Li Bwe Hun yang hanya
mengandalkan tangan kosong, tinggal
sendirian menghadapi suhunya. Dan boleh
dikatakan ajalnya di depan mata kini!
Disaat tongkat baja Kiat Bo Hosiang
menderuderu untuk menamatkan riwayat
muridnya sendiri tiba-tiba terdengarlah tiupan
seruling yang keras tapi merdu Li Bwe Hun
yang tahu ajalnya sudah di depan matanya
sama sekali tidak perduli dengan suara itu,
lain halnya dengan Kiat Bo Hosiang, Serta
merta kakek ini melompat dari kalangan
pertempuran dan berpaling ke arah datangnya
suara suling itu
Dan kelihatanlah satu pemandangan aneh tapi
juga luar biasa. Seorang pemuda berpakaian
gombrang mengaitkan kaki kirinya pada
cabang sebuah pohon yang tinggi hingga dia
tergantung-gantung dengan kaki ke atas
kepala ke bawah. Sambil ber gantung dia
meniup seruling dan ayun-ayunkan tubuhnya
mengikuti irama seruling itu. Lagu yang
dimainkannya adalah lagu ketika 12 tahun
yang lalu Kiat Bo Hosiang hampir menerima
kematian waktu bertempur melawan Pak-san
Kwi-ong! Meskipun kini telah berlalu demikian
lama namun Kiai Bo Hosiang tak bisa
pangling. Pasti inilah bocah penggembala
yang tempo hari telah menolongnya dan yang
telah dibawanya ke puncak Liongsan untuk
diserahkan pada suhengnya. Ternyata kini dia
telah dewasa. Tapi tingkahnya yang muncul
secara aneh itu diamdiam membuat Kiat Bo
Hosiang merasa kurang enak. Ah, pastilah dia
telah pula mewariskan sifat gila suhengku!
Demikian Kiat Bo Hosiang membathin lalu dia
berseru :
"Thian Ong Kau! Ayo lekas turun!'
Pemuda berpakaian gornbrong yang
berayunayun di cabang pohon sambil meniup
suling itu memang adalah Song Thian Ong,
bocah penggembala yang 12 tahun yang lalu
dibawa oleh Kiat Bo kepada suhengnya di
puncak Liongsan! Selama bertahun-tahun
menerima pelajaran ilmu silat dari seorang
sinting seperti Ik Bo Hosiang dan berada
diantara pembantu-pembantunya yang
berotak miring pula yakni Toa Si Hosiang dan
Lo Sam Hosiang, maka selain telah memiliki
ilmu kepandaian yang hebat luar biasa,
ternyata pemuda itu juga mewarisi sifat-sifat
keblinger suhu serta dua pembantu suhunya
itu!
"Hai Thlan Ong. Turunlah! Apa kau tak kenal
aku lagi? Aku Kiat Bo Hosiang yang dulu
membawamu ke puncak Liongsan. Kau boleh
panggil aku susiok!'
Tapi anehnya Thian Ong bukannya turun
malah terus saja mainkan serulingnya.
Seolah-olah dia tidak mendengar suruan
susioknya itu. Sementara Itu Li Bwe Hun yang
begitu mendengar bahwa pemuda aneh di
atas pohon yang tentunya berkepandaian
tinggi adalah murid keponakan dari Kiat Bo
Hosiang, menyadari betapa makin sulit
kedudukannya. Barusan dia hampir menemui
kematian menghadapi Kiat Bo Hosiang
seorang diri. Kini ditambah munculnya murid
keponakan suhunya, pastilah tak ada harapan
baginya untuk selamatkan diri. Karenanya
selagi kakek itu lengah berseru seru
memanggil Thian Ong. tanpa tunggu lebih
lama lagi Li Bwe Hun segera berkelebat kabur.
Tapi dari atas pohon tiba-tiba terdengar
seruan:
"Nona baju hijau kau mau ke mana? Kenapa
buruburu? Aku belurn puas melihat kecantikan
wajahmu!' hampir tak kelihatan Thian Ong
jentikkan jari telunjuk tangan kirinya secara
acuh tak acuh. Inilah satu ilmu menotok jarak
jauh yang amat lihay dan jarang terlihat
dalam dunia persilatan di Tiongkok selama 40
tahun belakangan ini! Dan di bawah sana
tahu-tahu Li Bwe Hun merasakan kedua
kakinya Kaku tak sanggup untuk dibawa lari.
Sekujur tubuhnya menjadi kaku tak bisa
digerakkan barang sedikit pun. Malah
bersuara pun dia tak sanggup!
Kiat Bo Hosiang yang menyaksikan ha! itu
diamdiam merasa terkejut. Dia sudah
mengetahui kelihay an suhengnya. Tetapi
adalah hampir tak dapat dipercaya kaiau
murid suhengnya sehebat ini; karena dia
sendiri pun telah meyakini ilmu menotok jarak
jauh itu selama 10 tahun dan tak kunjung
berhasil mencapai kesempurnaannya.
"Thian Ong!" Kenapa kau masih belum mau
memberi hormat padaku?!"
Sebagai jawaban tiba-tiba terdengarlah
nyanyian dari atas pohon : Menghormati
memang satu kewajiban,
Dari vang muda kepada yang tua.
Kehormatan adalah satu yang berharga.
Terkadang lebih berharga dari nyawa,
Tetapi menghormat harus melihat orang dan
tempat,
Karena terkadang si penghormat bisa jadi
penjilat,
Apakah wajib menghormat seorang
pengkhianat,
Apakah wajib menghormat seorang sesat,
Apakah wajib menghormat penindas dan
pembunuh rakyat?
Ataukah penghormatan itu satu hal yang bisa
dipaksakan?
Siapakah orangnya yang bisa membendung
arus sungai Yangtse menuju laut?
Siapakah orangnya yang bisa memindahkah
puncak gunung Thaysan?
Sekalipun, seorang Kaisar yang gila hormat?
Mendengar nyanyian itu berubahlah paras
Kiat Bo Hosiang. Jelas semua syair dalam
nyanyian yang dibawakan oleh Thian Onq tadi
merupakan sindiran langsung atas dirinya.
Tetapi dengan berpura-pura tidak tahu, Kiat
Bo Hosiang tertawa geiak-gelak lalu berkata;
"Bagua sekali nyanyianmu itu, Thian Ong!
Rupanya kau betul-betul telah mewarisi
kepandaian suhumu, lahir dan bathin!"
Baru saja Kiat Bo Hosiang habis berkata
demikian, kembali terdengar Song Thian Ong
bernyanyi: Lahir dan bathin dua hal yang
berbeda,
Karenanya sering tidak sama dan serupa,
Malah kerap bertolak belakang,
Yang satu memalsukan yang lainnya,
lahir bagus belum tentu batinnya baik,
Bathin baik belum tentu lahirnya bagus,
Di luar kebijaksanaan di dalam mungkin culas,
Di luar culas di dalam mungkin bijaksana.
Menipu diri sendiri berarti tolol,
Menipu orang lain berarti jahat,
Menghormat orang lain adalah wajib,
Minta keliwat dihormat adalah otak rengat!
Kalau tadi Kiat 3o Hosiang masih bisa
menahan rasa dongkolnya maka kini sesudah
sindiran Thian Ong berterang-terangan begitu
rupa, marahlah kakek-kakek ini. Langsung dia
membentak:
"Thian Ong! Apakah kau begitu berani bicara
lancang dan menghina terhadap susiokmu
sendiri?!"
Dan jawaban Thian Ong lagi lagi berupa
nyanyian yang membuat hati Kiat Bo Hosiang
laksana bara panas. Lancang adalah
perbuatan salah,
Tetapi masih bisa diperbaiki.
Tak ada yang terhina kalau semua bersih,
Kekotoran itulah yang perlu diperbaiki,
Hinanya si miskin hal yang lumrah.
Tapi hinanya mereka yang tersesat harus
cepat diperbaiki,
Sudah tiba saatnya bertobat,
Sudah tiba saatnya mengambil pikiran sehat,
Atau apakah mau menunggu hari kiamat?
Tiba-tiba Kiat Bo Hosiang lepaskan satu
pukulan tangan kosong ke arah batang pohon
di mana Thian bergelantungan seenaknya
Brak! Batang pohon besar itu patah, lalu
tumbang dengan suara gemuruh. Suara
gemuruh ini disertai gelak tertawanya Thian
Ong. Tubuhnya sesaat terlihat membuat
beberapa kali putaran mengelilingi cabang
pohon, lalu lenyap dan tahu-tahu sudah
berada di hadapan Kiai Bo Hosiang. Di depan
susioknya ini, Thian Ong memandang dengan
kening berkernyit dan salah satu tangan
diletakkan di atas alis, seolah-olah dia tengah
memperhatikan sesuatu yang jauh dikesilauan
sinar matahari. Ditambah dencan bajunya
serta celananya yang gombrang sekali, maka
sikap pemuda ini betul menggelikan.
Anggota-anggota pasukan kerajaan dan
pasukan rakyat yang masih ada di situ
meskipun tercekat tegang namun tak dapat
menahan suara tertawa masing-masing. Bwe
Hun sendiri pun kalau saja tidak dalam
keadaan tertotok pastilah akan tertawa pula
cekikikan.
"Ah, Susiok! Kau rupanya! Kukira siapa!"
tibatiba Thian Ong berkata begitu, seolah-
olah baru tahu kalau orang di depannya
adalah susioknya! Tentu saja Kiat Bo Hosiang
jengkel setengah mati diperlakukan seperti itu.
"Anak setan! Kalau kau tidak berlutut minta
ampun atas semua kekurang ajaranmu ini,
niscaya aku akan menjatuhkan hukuman berat
padamu!"
Air muka Song Thian Ong mendadak berubah
pucat dan sikapnya seolah-olah orang yang
ketakutan setengah mati mendengar ancaman
susioknya itu. Tiba-tiba dia jatuhkan diri
berlutut.
Anehnya begitu kedua lututnya menyentuh
tanah itu jadi melesak dan merupakan lubang
besar. Dan tubuh Thian Ong lantas roboh
jatuh. Tapi dia bangun kembali, melangkah ke
bagian tanah yang rata lalu jatuhkan berlutut
lagi. Namun begitu kedua lututnya mencium
tanah hal seperti tadi terjadi lagi. Tanah itu
melesak dalam, tubuhnya kembali jatuh. Hal
ini berkali-kali dilakukan Thian Ong dan pada
akhirnya dia berdiri terbungkuk-bungkuk di
hadapan susioknya seraya berkata:
"Mohon maafmu, Susiok. Semua tanah di sini
tak ada yang rata. Hingga setiap aku berlutut
terus jatuh. Aku tak dapat menghormatimu
secara sempurna!"
Paras Kiat Bo Hosiang berubah mengejam.
Dia tahu betul semua yang dilakukan Thian
Ong itu bukanlah penghormatan melainkan
kesengajaan untuk mengejek
mempermainkannya. Dan sekaligus hendak
menyombongkan kehebatan tenaga dalamnya
karena saat itu semua tanah di tempat itu
telah penuh dengan lobang-lobang dalam
bekas hantaman lutut Thian Ong! Tadipun
Kiat Bo Hosiang merasakan betapa setiap
kedua lutut pemuda itu menyentuh tanah,
tanah jadi bergetar keras!
"Thian Ong keparat! Yang tak tahu membalas
budi! Kalau bukan aku yang membawamu
pada Ik Bo Hosiang mana mungkin kau
berkepandaian sakti mandraguna dan berilmu
silat tinggi! Dan sekarang ilmu itu yang
hendak kau obral di depanku!"
"Ah, Susiok, budi yang bagaimanakah yang
kau bicarakan ini? Apakah orang menanam
budi untuk mengharap suatu pamrih
dikemudian hari seperti yang kau lakukan
saat ini dalam kesempatanmu?" Thian Ong
tertawa gelak dan sampai saat itu masih saja
tegak terbungkuk-bungkuk. Susiok sekarang
ini zaman edan, banyak orang-orang sinting
macam aku ini, tapi tidak berbahaya. Yang
berbahaya ialah orang-orang pandai tapi
yang mempergunakan kepandaiannya untuk
berbuat segala kesesatan yang gila!
Karenanya jika kau tidak buru-buru keluar
dari kesesatan itu, kau pasti akan dicap gila!
Ketahuilah, aku diminta oleh suhu untuk
membawamu ke jalan yang benar!"
"Bangsat rendah! Kau rupanya sudah lupa
asal. Anak gembala jembel hina dina hendak
memberi nasihat pelajaran kepadaku!
Ingusmupun kau belum mampu menyekanya!"
"Ah, kau salah susiok! Apakah kau lihat saat
ini aku sedang ingusan? Celaka, matamu
rupanya sudah mulai buram!"
Saat itu Kiat Bo Hosiang sudah tak dapat lagi
membendung kemarahannya. Dia berteriak
dahsyat dan gerakan tangan kanannya ke
pinggang. Dilain kejap berkiblatlah sinar putih
menyilaukan ke arah Thian Ong. 8 TERNYATA
Kiat Bo Hosiang telah menyerang murid
suhengnya itu dengan senjatanya yang paling
dahsyat yakni tongkat baja yang ujung-
ujungnya bercagak dua.
Sebelumnya 12 tahun yang lewat Thian Ong
telah menyaksikan kehebatan tongkat
tersebut, bahkan tadi pun Kiat Bo Hosiang
telah mempergunakannya melawan musuh-
musuh tangguh serta hendak dipakai
membunuh muridnya sendiri. Dan kini senjata
yang sama dipergunakan pula untuk
menghadapi Thian Ong. Dalam waktu singkat
pemuda itu telah terkurung sinar tongkat
namun dasar gendeng dia masih saja
tertawa-tawa.
Penasaran Kiat Bo Hosiang segera robah
permainan tongkatnya. Kini senjata itu
bergerak lebih cepat dan suaranya menderu
dahsyat. Selama 10 jurus dimuka Thian Ong
masih melayani seranganserangan susioknya
dengan tangan kosong dan melancarkan
serangan balasan dengan mengandalkan
kebutan-kebutan ujung lengan pakaiannya
yang gombrangi Karena tenaga dalamnya
yang luar biasa angin yang keluar dari ujung-
ujung lengan pakaiannya itu sanggup
membuat mental tongkat di tangan Kiat Bo
setiap senjata itu mendekati Thian Ong.
Namun selewatnya 10 jurus pemuda itu mulai
kerepotan. Saat ini Kiat Bo Hosiang telah
keluarkan ilmu tongkatnya yang terhebat dan
bernama "sin eng-thunghoat" atau ilmu
tongkat garuda sakti.
Serangan tongkat datang bertubi-tubi dan
tidak beda seperti burung garuda yang
menyambar-nyambar keseluruh bagian tubuh
Thian Ong. Kadangkadang menukik seperti
hendak mematuk kepalanya, kadang-kadang
pula menusuk tajam ke perut atau dada dan
tak jarang berkelebat menggempur tubuhnya
sebelah bawah!
Diam-diam dalam marah dan penasarannya
Kiat Bo Hosiang mengagumi pemuda ganteng
itu. Se-lama ini jarang sekali dia
mengeluarkan ilmu tongkatnya dalam jurus-
jurus yang lihay itu, bahkan ketika
menghadapi dua pembantu-pembantu
suhengnya di puncak Liongsan 12 tahun silam
dia sama. sekali tidak mengeluarkannya. Kini
menghadapi murid dari suhengnya ternyata
dia terpaksa harus keluarkan kepandaiannya
yang paling diandalkan itu! Meskipun Thian
Ong kelihatan terdesak tapi nyatanya si
pemuda masih sanggup melayani sin-eng
thonghoat sampai sepuluh jurus. Padahal
tokoh-tokoh silat ternama yang pernah
dihadapinya, paling bantar dua jurus sudah
pasti konyol di tangannya!
Mendapati kenyataan bahwa susioknya kini
berhasil mendesaknya dengan ilmu
tongkatnya yang amat lihay, Song Thian Ong
anehnya malah perdengarkan suara tertawa
gelak-gelak.
"Bret!" ujung tongkat menyambar robek dada
pakaian Thian Ong. Sedikit saja tongkat itu
lebih ke depan dengan pasti dada pemuda ini
akan kena dilabrak hancur!
"Tertawalah terus pemuda sedeng!" teriak Kiat
Bo Hosiang. "Sebentar jagi perutmu yang
akan kurobek!"
"Enak betul! Kamu musti ganti dulu bajuku
yang robek Tua bangka sesat!" balas berteriak
Thian Ong. Lalu sambil tertawa gelak-gelak
dia jungkir balik di udara tiga kali berturut-
turut. Bagi orang yang tidak berpengalaman,
saat lawan berjungkir balik seperti itu amat
empuk untuk dijadikan sasaran serangan
mematikan. Tapi Kiat Bo Hosiang yang sudah
berilmu amat tinggi dan berpengalaman luas,
serta mengetahui pula sedikit seluk beluk ilmu
suhengnya, mengerti betul adalah bahaya
besar jika dia melancarkan serangan saat itu.
Setelah jungkir balik Thian Ong melayang
turun dengan kemudian kedua tangan menuju
tanah lebih dahulu. Sedetik kemudian dia
sudah tegak lurus dengan kepala menempel
tanah sedang kedua kaki dikeataskan. Kakinya
yang di ke ataskan ini membuat gerakan aneh
dan mendatangkan siuran angin keras.
Kadang-kadang turun naik seperti orang
mengayuh. Sesekali menendang-nendang
dengan dahsyatnya, lalu berganti pula
berputar-putar. Dan lebih keblingernya lagi,
sambil membuat gerakan aneh dengan kedua
kakinya itu, Thian Ong keluarkan serulingnya
lalu mulai meniup lagu-lagu yang tak karuan.
Terkadang merdu lembut, terkadang
melengking-lengking menyakitkan telinga.
Melihat bagaimana tingkah Thian Ong dalam
pertempuran itu yang seolah-olah mengejek
mem permainkannya, semakin mendidihlah
amarah Kiat Bo Hosiang. Dia teringat pada
masa 12 tahun yang lalu ketika dia membawa
Thian Ong ke puncak Liongsan lalu suhengnya
dan dua orang pembantupembantunya
membuat Thian Ong seperti bola, ditendang
kian kemari dari satu kaki ke kaki lain sedang
main-main mereka tegak dengan kepala di
bawah kaki ke atas!
"Pemuda keparat! Asalmu jembel tukang
angon kerbau! Kenapa kini keliwat sombong?!"
teriak Kiat Bo Hosiang. Lalu menyerbu dengan
tongkatnya. Tapi serta merta saja dia tersurut
kembali. Ternyata gerakan-gerakan kedua kaki
Thian Ong yang aneh itu merupakan benteng
pertahanan yang kokoh dan sekaligus dapat
menjalankan serangan berbahaya!
Tapi Kiat Bo Hosiang masih jauh dari rasa
gentar. Meski dia tak dapat menyerang lawan
dari sebelah atas namun matanya yang tajam
segera melihat bahwa ilmu silat aneh Thian
Ong itu memiliki kelemahan di sebelah bawah.
Jika dia melancarkan serangan yang hebat
antara pinggang sampai ke bagian kepala
lawan yang saat itu menempel di tanah
pastilah dia akan berhasil merobohkan Thian
Ong, sekurang-kurangnya membuat cidera
pemuda itu!
Maka setelah menunggu kesempatan yang
baik, tiba-tiba Kiat Bo Hosiang membuat
gerakan yang bernama "sin-eng-tian-ci" atau
garuda sakti pentang sayap. Kaki kirinya
melesat menghantam ke arah selangkangan
Thian Ong sedang dalam detik yang sama
tongkat bajanya menunjuk deras ke arah
tenggorokan si pemuda. Memang dua
serangan yang dilancarkan oleh Kiat Bo
Hosiang sekali ini betul-betul luar biasa. Dua-
duanya sulit dikelit saking cepatnya dan
disamping itu merupakan serangan maut
total! Kiat Bo Hosiang yakin salah satu dari
serangan itu pasti akan mengenai
sasarannya, ter utama tusukan tongkat ke
arah leher.
Tetapi adalah kecele kalau Kiat Bo berpikir
demikian. Didahului oleh lengkingan seruling
yang ditiup gila-gilaan kerasnya tiba-tiba
tubuh Thian Ong sebatas pinggang ke kaki
melejit ke samping. Ini membuat serangan
kaki kiri Kiat Bo hanya mengenai tempat
kosong.
Disaat yang sama suling di tangan Thian Ong
tiba-tiba membeset laksana kilat dan bret!
Robeklah pakaian putih kakek-kakek itu di
sebelah dada.
Kiat Bo Hosiang kaget sekali. Dia cepat
membuat gerakan untuk menjatuhkan
tubuhnya yang setengah melayang itu dari
lawan. Namun masih kurang lekas karena
saat itu tubuh Thian Ong sudah melejit lurus
kembali dan tahu-tahu satu tendangan sudah
mendepak pantat si kekek! Tak ampun Kiat Bo
Hosiang mencelat mental sampai satu
tombak. Untung saja meskipun otaknya agak
keblinger Song Thian Ong tidak bermaksud
jahat terhadap paman gurunya itu, kalau tidak
pastilah tendangan tadi akan membuat Kiat
Bo Hosiang celaka, sekurang-kurangnya cacat
seumur hidup.
Dilain pihak sambil tertawa haha hihi, Thian
Ong bergerak jungkir balik dan berdiri di atas
kedua kakinya kembali.
"Susiok! Harap maafkan aku. Kalau saja aku
tahu pantatmu itu sudah tak ada lagi
dagingnya alias tulang melulu, pastilah aku
tak akan menendang pantatmu itu!"
"Anjing jadah!" maki Kiat Bo Hosiang
menggeledek. "Aku mengadu jiwa denganmu!"
Lalu kakek ini secara menerjang ke depan.
Namun gerakannya terhenti karena saat itu
mendadak terdengar suara tawa bergelak :
"Kiat Bo Hosiangl Ada berapa nyawakah kau
punya hingga hendak mengadu jiwa dengan
pemuda itu?! Apa kau tak malu sudah
dipermainkan begitu rupa?!"
Kiat Bo Hosiang mengeram macam harimau
menggerang. Di sekitarnya tiba-tiba saja sisa-
sisa pasukan Kaisar dan pasukan rakyat yang
tadi asyik menonton pertempuran hebat luar
biasa yang tak pernah mereka saksikan
sebelumnya, pada lari berserabutan,
ketakutan seolah-olah melihat setan kepala
sebelas!
Li Bwe Hun dan Thian Ong jadi terheran-heran
sementara Kiat Bo Hosiang cepat memutar
kepala ke arah datangnya seruan dan suara
tertawa bergelak tadi. Memandang ke jurusan
itu mendadak wajahnya yang beringas gemas
kelihatan gembira dan dia tertawa lebar.
Kakek ini lalu menjura.
"Ah, kiranya Pengho lo-enghiong. Kukira
siapa? Bagus sekali kau datang dan dapat
membantu aku meringkus pemuda pengacau
ini!"
"Cuma meringkusnya?"
"Eh… tidak! Membunuh!" sahut Kiat Bo
Hosiang pula. "Aku tidak malu-malu meminta
bantuanmu untuk mengirimnya ke akhirat!"
Terdengar suara tertawa kembali. "Ahoi! Se-
orang tokoh ternama yang katanya paling
lihay di seluruh Tionggoan hari ini tidak
mampu untuk menghadapi seorang pemuda
otak miring! Percuma saja kami orang-orang
Mongol memeliharamu, memberikan uang dan
harta berlimpah, gedung mewah serta
perempuan cantik. Nyatanya kau sama sekali
tidak berguna bagi kami!"
Merahlah paras Kiat Bo Hosiang mendengar
kata-kata itu. Namun kali ini kenyataannya
dia mati kutu! 9 SAAT itu di hadapannya Kiat
Bo Hosiang berdiri seorang kakek kakek
berambut pirang dan bermuka merah macam
kepiting rebus. Tubuhnya kurus tinggi dan dia
mengenakan jubah biru gelap. Dialah tokoh
kelas wahid dari Mongol yang dikenal dengan
nama Pengho. Dibandingkan dengan Kiat Bo
Hosiang ilmunya memang jauh lebih tinggi.
Di samping Pengho tegak pula seorang
berpakaian rombeng dekil, kurus kering dan
bungkuk. Dia memegang sebuah tongkat di
tangan kiri untuk menopang tubuhnya yang
bungkuk tak seimbang itu. Orang kedua ini
adalah kawan kental Pengho, bernama
Wanglie dan bergelar Pengemis Sakti Tangan
Kidal, dan merupakan salah seorang
tokohtokoh ternama berasal dari Tibet.
Orang ketiga yang datang bersama dua tokoh
terdahulu itu ialah seorang pendek bermata
juling yang mukanya tembam selalu
berkeringat. Yang hebat dari menusia ini ialah
sepasang lengannya yang panjang sekali,
hampir menyentuh ke tanah. Dia juga seorang
tokoh lihay dari Mongol, yang kepandaiannya
masih satu tingkat di atas Kiat Bo Hosiang.
Nama aslinya tak ada yang tahu. Dia dikenal
dengan gelar Sepasang Tangan Perenggut
Jiwa!
Dengan hadirnya gembong-gembong besar
pihak Mongol ini, tak heranlah kenapa sisa
pasukan Pemerintah dan rakyat kontan ambil
langkah seribu begitu melihat dan mengenali
mereka!
Li Bwe Hun yang saat itu masih tertegak
mematung dan tak bisa bersuara karena
masih tertotok, yang juga mengenali siapa
adanya ketiga manusia itu, diam-diam
terkejut dan mengeluh. Dia sudah dapat
menduga walau betapapun lihaynya pemuda
berpakaian gombrong itu pastilah akan kalah
jika menghadapi Pengho, apalagi jika
dikeroyok bersama-sama!
Sambil rangkapkan tangan di muka dada,
Pengho berpaling pada Thian Ong dan
gelenggeleng kepala.
Hanya seorang pemuda gendeng begini kau
tak sanggup menghadapinya? Betul?
Memalukan, Kiat Bo!"
"Dia memang sedeng, Pengho Loenghiong,"
sahut Kiat Bo Hosiang dengan muka merah.
"Tapi kunasihatkan jangan terlalu dianggap
remeh. Dia adalah murid suhengku Ik Bo
Hosiang dari Liongsan!"
"Cuma muridnya saja? Itu toh lebih
memalukan, Kiat Bo! Bagaimana lagi kalau
suhunya yang jadi pengacau. Tentu kau sudah
modar!" ejek Pengho pula. Memang pada
masa itu bukan rahasia lagi kalau orang-
orang asli Mongol kurang menyenangi bangsa
Han yang dipelihara oleh Kaisar Mongol
secara mewah berlebih-lebihan untuk
mengharapkan imbal kepandaiannya dalam
mencengkeram Tiongkok. Seolah-olah pada
kalangan orang-orang Mongol sendiri tidak
ada tokoh-tokohnya yang lihay. Dalam pada
Itu perlakuan Kaisar Mongol terhadap orang-
orang Han (Tiongkok) kelihatan menyolok
berlebih-lebihan.
Ejekan Pengho tadi membuat dada Kiat Bo
Hosiang panas dingin bergetar. Tapi dia tak
bisa berbuat lain dari pada berdiam diri.
Pengho berpaling pada Sepasang Tangan
Perenggut Jiwa. Diantara mereka bertiga
memang yang satu ini paling rendah ilmunya
tapi dibandingkan dengan Kiat Bo Hosiang
masih lebih tinggi satu tingkat.
"Sobatku Perenggut Jiwa, apakah kau
bersedia mengotorkan tanganmu membunuh
monyet baju gombrang yang katanya adalah
murid dari Ik Bo Hosiang?!"
Si muka tembam Sepasang Tangan Parenggut
Jiwa menyeringai dan basahkan bibir dengan
ujung lidah. Dia melirik dengan matanya yang
juling ke arah Li Bwe Hun, kemudian berpaling
pada Kiat Bo Hosiang.
"Kiat Bo-Lo Jianpwe, apakah aku ingin aku
membunuh murid suhengmu ini?" bertanya si
Perenggut Jiwa.
"Betul, lakukanlah cepat!" sahut Kiat Bo
Hosiang.
Si Perenggut Jiwa goyangkan kepalanya ke
arah Kiat Bo Hosiang dan berkata lagi: "Nona
cantik ini kalau aku tak salah adalah
muridmu, bukan?"
Kiat Bo Hosiang mengangguk.
"Ada satu syarat, Lotjianpwe. Jika aku ingin
aku turun tangan, upahnya kau harus
hadiahkan nona muridmu itu padaku!"
Sepasang Tangan Perenggut Jiwa memang
seorang tokoh silat Mongol yang terkenal
hidung belang. Habis berkata demikian dia
melirik pada Bwe Hun, leletkan lidah lalu
tertawa mengekeh.
Tiba-tiba suara tawanya itu ditimpali lebih
hebat oleh suara seorang lainnya ternyata
adalah Song Thian Ong! Dan mendengar suara
pemuda itu, Pengho kernyitkan kening,
Pengemis Sakti Tangan Kidal mendongak ke
langit sedang si Perenggut Jiwa tertegun!
Mereka sama terkesiap mendapatkan
bagaimana suara tertawa Thian Ong itu
mereka rasakan membuat tanah bergetar.
Masing-masing saling pandang sesaat,
kemudian Pengho berbisik: "Hanya pemuda
edan macam dia apa pula artinya tak perlu
ditakutkan!"
Sepasang Tangan Perenggut Jiwa menggaruk
lalu berpaling pada Kiat Bo Hosiang.
"Bagaimana Lotjianpwe?"
Kiat Bo Hosiang memang sudah miring jalan
pikirannya, ditambah pula saat itu dia
disungkup amarah serta malu luar biasa.
Karenanya menceplos saja jawabannya:
"Terserah padamu kau mau buat apa atas diri
gadis laknat itu! Tadipun aku hendak
membunuhnya!"
Mendengar jawaban ini si Perenggut Jiwa
ternyata puas.
"Ah rejekimu besar nian hari ini, Sobat,"
berkata Pengho seraya menepuk bahu
hambratnya itu.
Si Perenggut Jiwa basahi bibirnya dengan
ujung lidah. Sambil mengedipkan matanya
yang juling pada Li Bwe Hun dia berkata :
"Nonaku, kau tunggulah sebentar. Saksikanlah
bagaimana aku menghajar pemuda gila itu.
Kemudian kita berdua tinggalkan tempat ini,
pergi bersenang-senang di atas ranjang."
Li Bwe Hun benar-benar tak menyangka kalau
hati gurunya demikian bejatnya. Tapi apakah
dayanya? Harapannya satu-satunya kini
terletak pada Song Thian Ong. Dapatkah
pemuda berotak miring ini mengalahkan si
Perenggut Jiwa? Kalaupun dapat lantas
apakah dia mampu pula melawan Pengemis
Sakti Tangan Kidal serta Pengho? Bagaimana
kalau orang-orang itu kemudian
mengeroyoknya? Betapapun lihaynya pemuda
murid Ik Bo Hosiang itu namun adalah
mustahil dia akan sanggup menghadapi
musuh-musuh tangguh demikian rupa. Dan
ini berarti celakalah dirinya sendiri!
"Ah, mengapa Tuhan tidak mencabut saja
nyawaku saat ini!" keluh Li Bwe Hun dalam
hati dan air mata mulai menggenangi
pelupuk-pelupuk matanya.
Dalam pada itu dengan mengumbar suara
tertawa mengekeh si Perenggut Jiwa
melangkah mendekati Thian Ong. Sebaliknya
Thian Ong tampak acuh tak acuh, malah
membelakangi musuh yang datang mendekat
itu, berpaling menghadap Kiat Bo Hosiang
dan dengan jari telunjuk tangan kirinya
diacungkannya tepat ke hidung orang tua ini.
"Tua bangka sedengl Kau betul lebih sinting
dari manusia edan manapun di dunia ini.
Hatimu bejat dan keji. Bukannya memberi
hajaran malah menyerahkan bulat-bulat tubuh
dan kehormatan murid sendiri pada si pendek
juling ini!"
Paras Kiat Bo Hosiang jadi merah saga. Dia
membentak: "Tutup mulutmu Bwe Hun bukan
muridku lagi! Kau hadapi saja musuh si
Pendekar Perenggut Jiwa untuk menerima
mampusmu!"
"Kaulah yang lebih dulu layak mampus!"
teriak Thian Ong, lalu menggebrak tanah
dengan kaki kirinya hingga tanah itu
tenggelam sampai satu jengkal. Tubuhnya
berkelebat ke depan melancarkan hantaman
satu pukulan tangan kosong yang hebat
namun saat itu belakangnya terdengar deru
yang deras. Ternyata Sepasang Tangan
Perenggut Jiwa telah ulurkan kedua
tangannya dan dalam gerakan kilat siap untuk
menangkap batang leher Thian Ong yang
telah lengah membelakangi. Sekali leher itu
kena tertangkap nyawa murid Ik Bo Hosiang
yang agak berotak miring itu pastilah tak
akan tertolong!
Memang sesuai dengan gelarnya yaitu
Sepasang Tangan Perenggut Jiwa maka tokoh
silat Mongol bermata juling itu memang
memiliki sepasang tangan yang luar biasa
hebatnya. Selain cepat dalam gerakan juga
memiliki kekuatan atos dan ampuh.
Baik Kiat Bo Hosiang maupun Wanglie
(Pengemis Sakti Tangan Kidal) serta Pengho
sudah dapat memastikan bahwa dengan
sekali gerakan kilat saja dan saat lawan
dalam keadaan lengah, si Perenggut Jiwa
betul-betul akan dapat merenggut lepas
nyawa Thian Ong.
Pada saat itu, ketika merasakan sambaran
angin di belakangnya, Song Thian Ong
maklum kalau dirinya tengah diserang orang
secara pengecut. Dia menggerendeng dan
rundukkan tubuh sedikit sambil memutar dan
serentak dengan itu tangan kirinya yang tadi
dipergunakan untuk menuding hidung Kiat Bo
Hosiang kini dipakainya sebagai kemplangan
menebas ke arah datangnya serangan!
Buk!
Terdengar suara bergedebukan yang keras
ketika lengan kiri Thian Ong beradu dengan
lengan kanan si Perenggut Jiwa.
Tokoh lihay dari Mongol ini merasakan
tubuhnya terbanting ke kiri sampai empat
langkah tapi lengannya sama sekali tidak
cedera bahkan terasa sakit pun tidak! Inilah
kehebatan ilmu kebal sepasang tangan yang
dimilikinya. Padahal jangankan manusia,
batang pohon pun kalau sampai kena digebuk
lengan Thian Ong yang berisi kekuatan
tanaga-dalam luar biasa itu, pastilah akan
remuk berantakan!
Kini Pengho dan Pengemis Sakti Tangan
Kidal, lebih-lebih si Perenggut Jiwa sendiri
baru terbuka matanya. Meskipun jago silat
dari Mongol ini tidak cidera namun tubuhnya
yang terlempar sampai sejauh empat langkah
itu cukup membuktikan bahwa Thian Ong
meskipun gendeng tapi betul-betul tak bisa
dibuat main. Padahal sesungguhnya murid Ik
Bo Hosiang dari Gunung Naga itu hanya
membuat gerakan acuh tak acuh dan tidak
pula disertai kekuatan tenaga dalam yang
berarti)
Walau dia tidak apa-apa, namun Perenggut
Jiwa merasa malu sekali karena lawan gila
yang dianggapnya remeh dan gila itu ternyata
tak dapat dibereskannya dalam satu gebrakan
saja.
Didahului dengan bentakan galak dia sengaja
keluarkan jurus silatnya yang terlihay untuk
menebus rasa malunya yakni jurus yang
bernama siang-lui-guisan' atau sepasang
petir membelah gunung!
Kehebatan jurus ini memang luar biasa.
Sepasang tangan si Perenggut Jiwa kini
hanya merupakan bayangan sinar putih dan
mengeluarkan suara keras setiap serangan
dilancarkan. Tampaknya Thian Ong kerepotan
dibuatnya meskipun dia sudah lancarkan
serangan balasan dengan kebutan ujung
lengan pakaiannya yang gombrong. Semakin
lama pertempuran semakin seru. Tiba-tiba
Thian Ong membentak nyaring dan tahu-tahu
tubuhnya melayang ke atas, turun lagi dengan
kaki ke atas kepala ke bawah.
Pemuda ini agaknya merobah permainan
silatnya dan mengeluarkan ilmu yang tadi
telah dipergunakannya dalam menghadapi
Kiat Bo. Namun setiap tendangan yang
dilancarkannya selalu dapat dikelit atau
ditangkis oleh tangan si Perenggut Jiwa.
Thian Ong jadi penasaran. Dia jungkir balik
kembali dan kini mainkan jurus silat baru.
Memang, si Siperenggut Jiwa jadi terdesak
hebat namun sekalipun tubuhnya terbanting
atau tercelat mental selama dia masih
sanggup mempergunakan sepasang
tangannya yang benar-benar ampuh untuk
menangkis maka dia sama sekali tak
mengalami cidera. Lama-lama Thian Ong jadi
beringas.
Murid Ik Bo Hosiang ini mencak-mencak
macam orang kemasukan setan. Tapi setiap
tangannya digerakkan, menghamburlah
pukulan-pukulan ganas yang dialiri tenaga
dalam tinggi. Berkali-kali si Perenggut Jiwa
jatuh bangun dihantam pukulan tangan
kosong itu. Akan tetapi karena dia selalu
mempergunakan kedua lengannya untuk
menangkap maka setiap jatuh dia cepat
bangun kembali dan balas menyerang!
20 jurus berlalu. Si Perenggut Jiwa kelihatan
mandi keringat, pakaian kusut masai dan
muka celemongan karena berulang kali jatuh
atau terguling-guling di tanah. Sebaliknya
Thian Ong masih biasa saja, hanya suara
menggerendeng tak hentinya keluar dari
mulutnya. Selagi dia berpikir-pikir bagaimana
dapat merobohkan lawan yang memiliki
sepasang tangan laksana benteng baja itu,
tibat-tiba terdengarlah siulan nyaring
menusuk telinga yang disusul dengan suara
orang menyanyi. 20 jurus berlalu percuma
Hanya karena serangan membabi buta
Dua tangan memang laksana benteng baja
Untuk apa diserang menghabiskan tenaga?
Semua orang yang ada di situ terkejut,
termasuk Thian Ong. Pemuda ini melompat
mundur dan mendongak ke atas pohon, dari
arah mana suara orang menyanyi itu datang.
Pada cabang sebuah pohon tampak duduk
seorang pemuda asing tak dikenal, rambutnya
gondrong dan mulutnya penuh berisi buah
apel yang digerogotinya.
Melihat pemuda di atas pohon, Thian Ong
tibatiba tertawa bergelak.
"Gondrong! Tampangmu tolol dan lagakmu
juga edan seperti aku! Jika kau merasa
berkawan dengan aku, silahkan turun beri
petunjuk!"
Tapi orang di atas pohon tidak mau turun,
malah kembali bersiul-siul lalu menyanyi lagi:
Segala sesuatunya tidak sempurna
Otakmu tidak seluruhnya gila
Pergunakan bagian yang tidak gila
Untuk menduga dan menerka
Bahwa tidak seluruhnya sekeras baja
Diantara yang keras ada yang lemah
Pada kelemahan terdapat kelembutan
Dan kelembutan pangkal celaka. Orang di atas
pohon kunyah terus buah apel dalam
mulutnya lalu garuk-garuk kepala. Thian Ong
ikut-ikutan garuk-garuk kepalanya. Dia
memandang lagi pada si gondrong di atas
pohon, lalu tertawa.
"Aku mengerti… aku mengerti sekarang cihuy
terima kasih! Kau memang kawanku, memang
sobat ku! Cihuyl" Thian Ong kelihatan girang
sekali dan sampai-sampai dia membuat
gebrakan jungkir balik di udara beberapa kali.
Begitu kakinya menginjak tanah kembali,
langsung dia menuding si pendek Perenggut
Jiwa dan berkata keras.
"Mata juling, ayo kita bertempur lagi." Lalu
dia berpaling pada Pengho, Pengemis Sakti
Tangan Kidal dan Kiat Bo Hosiang. "Manusia-
manusia penjajah, sekarang kalian lihat
bagaimana aku akan merobohkan jagomu ini
dalam satu jurus!'
Thian Ong tertawa lagi gelak-geiak. Selagi dia
tertawa begini si Perenggut Jiwa menyerbunya
dengan hebat. Serangannya datang bertubi-
tubi selama lima jurus. Di jurus keenam, Thian
Ong melakukan pembalasan. Dia lancarkan
serangan ganas dengan tangan kiri ke arah
batok kepala Thian Ong demikian rupa hingga
tak bisa dikelit dan mau tak mau si Perenggut
Jiwa harus pergunakan lengannya untuk
menangkis. "Buk!"
Lagi-lagi sepasang lengan mereka beradu.
Namun disaat yang sama Thian Ong kirimkan
jotosan selusupan ke arah perut lawan. Dan
perut si Perenggut Jiwa tidaklah mempunyai
ilmu kebal seperti yang dimiliki kedua
lengannya. Manusia ini menjerit setinggi
langit ketika tubuhnya terlempar empat meter,
menggeletak tak berkutik lagi, mati dengan
perut bobol!
"Terima kasih! Terima kasih! Terima kasih
sahabatku?" teriak Thian Ong berulang kali
sambil jingkrak-jingkrakan lalu melesat ke
cabang pohon di mana pemuda gondrong
yang makan buah apel itu nongkrong.
"Eh, apakah kau doyan apel, Sahabatku!"
berkata si gondrong.
"Thian Ong manggut-manggut, lantas saja di
keruk saku pakaian si gondrong dan sambar
dua buah apel. Keduanya sambil tertawa-
tawa kemudian asyik mengunyah buah-buah
apel itu seolah-oleh tidak perduli di mana
mereka berada, seolah-oleh tidak ada terjadi
apa-apa di situ!"
"Manusia-manusia sinting! Gila!" maki Pengho
dengan mata mendelik dan meludah ke tanah.
"Kalau tidak karena diberi tahu oleh si
gondrong itu kambrat kita si Perenggut Jiwa
tak bakal mati di tangannya 'Pengho Lo
enghiong, apakah kau kenal siapa bangsat
gila yang berambut gondrong itu?"
"Tak pernah kuketahui siapa dia adanya.
Mung-kin sute atau suheng dari keparat
bernama Thian Ong itu?"
Kiat Bo Hosiang gelengkan kepala. Ik Bo
Hosiang tak pernah mengambil murid lain dari
pada Thian Ong bocah penggembala hina
dina itu. Pemuda yang gondrong ini jelas
bukan orang Han!"
Sementara itu di atas pohon saking girangnya
Thian Ong begitu tenggak habis dua buah
apel lantas keluarkan serulingnya dan tiup
benda itu keras membawakan lagu gembira.
"Ah Sobat! Kau ternyata pandai sekali main
suling. Boleh aku ikut menimpali?!" bertanya
si gondrong.
"Tentu, tentu saja!" sahut Thian Ong gembira
sambil ongkang-ongkang kaki. "Silahkan!
Silahkan!"
Si gondrong merogoh pinggang pakaiannya
sesaat kemudian terlihatlah sinar
menyilaukan. Ternyata pemuda ini keluarkan
sebuah senjata berbentuk kapak bermata dua
yang pada mata-matanya yang menyilaukan
itu tertera angka 212. Kapak aneh ini
gagangnya terbuat dari gading dengan ukiran
kepala naga pada sebelah bawahnya,
sedangkan pada batang gagang terdapat
lobang-lobang. Dan ketika pemuda ini
tempelkan bibirnya ke bibir naganagaan
lantas meniup, maka membersitlah suara
lengkingan seperti tiupan seruling, dahsyat
luar biasa.
Kiat Bo Hosiang, Pengho dan Pengemis Sakti
Tangan Kidal merasakan telinga masing-
masing bergetar sakit. Buru-buru mereka
tutup indera pendengaran. Tapi dada masing-
masing masih saja terasa bergetar. Hebat
sekali. Sungguh belum pernah mereka
menyaksikan dan mendengar tiupan-tiupan
suling yang demikian luar biasa hingga.
Menggetarkan tanah yang mereka pijak dan
mempengaruhi mereka. Pengho, sebagai orang
yang paling tinggi ilmunya tahu betul kalau
saja dia dan kawan-kawannya masih
merupakan jago silat kelas rendah pastilah
telinga masing-masing telah rusak berdarah
mendengar tiupan suling yang luar biasa
karena disertai aliran tenaga dalam dahsyat
itu!
"Merdu sekali! Merdu sekali!" teriak Thian
Ong. Lalu tiup sulingnya lebih keras.
Pengho tokoh silat kelas wahid dari Mongol
tak dapat lagi menahan kejengkelannya.
Amarahnya meluap karena dia merasa seolah
dipermainkan . Di samping itu Thian Ong
harus mati untuk menebus nyawa si
Perenggut Jiwa yang telah dibunuhnya!
"Thian Ong pemuda keparat! Turunlah untuk
menerima kematian!" teriak Pengho
menggelegar diantara hiruk-pikuknya tiupan-
tiupan suling.
Tapi Thian Ong dan juga si gondrong tidak
ambil perduli malah kini ongkang-ongkang
kaki dan terus meniup suling masing-masing
dalam lagu tanpa nada tak karuan!
Mendidihlah amarah Pengho tokoh dari
Mongol ini angkat tangan kanannya dan
menghantam ke atas pohon! 10 SATU
gelombang sinar hitam menggebu ke arah
cabang pohon di mana Thian Ong dan
pemuda gondrong yang bukan lain adalah
Wiro Sableng si Pendekar 212 tengah duduk
ongkang-ongkang kaki enak-enakan sambil
tiup suling.
Terdengar suara keras hancurnya cabang
pohon serta rontoknya dedaunan yang
kemudian disusul oleh tumbangnya pohon
besar itu.
Tapi suara tiupan dua suling sama sekali
tidak berhenti dan baik Wiro maupun Thian
Ong tidaklah menemui celaka dihantam
pukulan sakti tadi karena sebagai orang-
orang berkepandaian tinggi tentu saja mereka
tahu bahaya dan siang-siang sudah
berkelebat turun ke tanah. Begitu sampai di
tanah enak saja mereka duduk menjelepok
dan terus memainkan suling!
Kiat Bo Hosiang melengak, Pengemis Sakti
Tangan Kidal naik turun tenggorokannya
sedang Pengho Lio Bwe Hun yang saat itu
masih berada dalam keadaan tertotok
meskipun hatinya cemas setengah mati
namun melihat tingkah dua pemuda yang
agaknya sama-sama keblinger itu dalam hati
jadi tertawa geli. Menghadapi tiga tokoh silat
begitu lihay keduanya masih saja gila-gilaan,
padahal maut sudah di depan mata!
"Thian Ong manusia keparat. Lekas ke sini
untuk menerima kematian!" teriak Pengho.
"Ah, di sini banyak pengganggu. Bagaimana
kalau kita main suling di tempat lain saja?"
ujar Thian Ong seraya hentikan permainannya
dan masukkan sulingnya ke balik pinggang
pakaiannya yang gom brong. Wiro pun
hentikan permainannya, masukkan Kapak
Naga Geni 212 ke balik pakaiannya.
"Mari!" kata Wiro pula seraya berdiri
mengikuti Thian Ong.
"Bangsa!, kau mau pergi ke mana?'" teriak
Pengho lalu berpaling pada Pengemis Sakti
Tangan kidal dan memerintah : "Bunuh dia!"
Pengemis Sakti Tangan Kidal mendongak ke
langit lalu tertawa melengking? Terima kasih
Pengho – twako, memang aku sudah lama tak
membunuh orang. Hari ini tanganku yang
sudah gatai akan dapat bagian!"
Sambil melintangkan tongkat kayu yang
dipegangnya di tangan kiri, Pengemis Sakti
Tangan Kidal maju mendekati Thian Ong.
"Thian Ong, kaum ditakdirkan mampus di
tanganku. Nah, bersiaplah untuk mati!"
"Eh, Sobat," ujar Thian Ong sambil menepuk
bahu Wiro. "Lagak kakek-kakek bungkuk itu
seperti malaikat maut saja. Apakah begini
tampangnya malaikat maut!"
Wiro garuk-garuk kepala.
"Entahlah, aku pun belum pernah melihat.
Tapi aku yakin malaikat maut tampangnya
lebih cakepan dari tua bangka keriputan ini'
sahut Wiro pula sambil cengar-cengir.
Kedua anak geblek itu lantas tertawa
terpingkalpingkal.
Wut!
Entah kapan dia bergerak tahu-tahu tongkat
di tangan kiri Pengemis Sakti Tangan Kidal
sudah membabat ganas ke batok kepala Thian
Ong. Meskipun tadi kelihatannya acuh tak
acuh namun begitu diserang murid Kiat Bo
Hosiang ini ternyata waspada sekali. Secepat
kilat dia jatuhkan diri, kedua tangan lebih
dulu mencapai tanah. Sesaat kemudian kedua
kakinya telah melancarkan serangan balasan.
Satu mendepak ke arah perut sedang lainnya
menendang ke tenggorokan lawan. Namun
tingkat kepandaian si kakek bungkuk ini lebih
tinggi dari si Perenggut Jiwa. Ilmu tongkatnya
lebih lihay dari Kiat Bo Hosiang. Dua
serangan itu dikelitkannya dengan mudah,
bahkan kini tongkat di tangan kirinya
menyapu-nyapu dahsyat sekali.
Song Thian Ong dalam tingkahnya yang
gilagilaan itu beberapa kali hampir kena
dihantam senjata lawan. Dan masih saja dia
bertingkah aneh yang bukan-bukan sambil
tak lupa mengejek dan mencaci maki
lawannya sehingga Wanglie alias Pengemis
Sakti Tangan Kidal penasaran setengah mati.
Dengan matanya yang tajam dan pengalaman
luas, Pengho si tokoh utama di Mongol segera
melihat bahwa sesungguhnya Thian Ong
memiliki dasar ilmu silat yang iebih hebat
dari Pengemis Sakti Tangan Kidal. Buktinya
sampai 20 jurus di muka pemuda ini masih
melayani tokoh lihay yang berasal dari Tibet
itu dengan tangan kosong! Cuma karena
tingkahnya yang aneh dan gila-gilaan itulah
yang membuat dia seolan-olah tak mau
menurunkan tangan jahat dan hanya ingin
mempermainkan musuh.
"Kiat Bo Hosiang! Kau bantulah Pengemis
Sakti!' berseru Pengho setelah 20 jurus lagi
berlalu tanpa kambratnya itu bisa melakukan
sesuatu terhadap Thian Ong.
Kiat Bo Hosiang cabut tongkat bajanya dan
menyerbu ke dalam kalangan pertempuran.
"Curang!" teriak Wiro marah.
"Orang asingi Tutup mulutmu!' sentak
Pengho. "Kau tak ada hak mencampuri urusan
orang lain! Lekas angkat kaki dari sini kaiau
tidak ingin kugebuk!"
"Eit enak betui memerintah orang. Kau kira
aku ini kacungmukah?! Makan ini!" teriak Wiro
sambil keluarkan sisa satu buah apel dari
dalam sakunya. buah ini dilemparkannya
dengan sebat. Pengho bergerak cepat tapi dia
kecele karena Wiro sama sekali tidak
menyerangnya, melainkan melemparkan buah
apel itu ke arah Li Bwe Hun yang masih tegak
tak berdaya karena ditotok.
"Buk!"
Buah apel itu mencerai tepat di tengkuk Li
Bwe Hun. Totokan yang sejak tadi menguasai
si gadis serta merta buyar karena memang
disitulah sebelumnya Thian Ong teiah
menotok Bwe Hun yakni sewaktu gadis ini
hendak melarikan diri dari Kiat Bo Hosiang
yang hendak membunuhnya.
"Nona, tadi kau telah diselamatkan oleh
pemuda itu. Sekarang bantulah dia!" seru
Wiro.
Li Bwe Hun katupkan bibirnya rapat-rapat.
Kemudian seolah-olah patuh, dia memungut
sebilah golok milik bekas seorang prajurit
Kerajaan dan tanpa banyak bicara terus ke
kalangan pertempuran!
Sebenarnya Wiro merasa yakin kalau Thian
Ong tak akan mudah dikalahkan sekalipun
dikeroyok dua orang oleh Pengemis Sakti
Tangan Kidal dan susioknya sendiri. Namun
Pendekar 212 ini yang sudah gatal tangan
ingin ikut bertempur, diam diam mendapat
akal Maka dilepaskannya totokan Bwe Hun
lalu disuruhnya gadis ini membantu Thian
Ong. Mendapat bantuan ini dengan sendirinya
Thian Ong semakin sulit untuk dirobohkan
malah kebalikannya dua lawannyalah kini
yang berada dalam kedudukan sulit!
Dan hal ini diketahui oleh Pengho si tokoh
lihay dari Mongol. Sebenarnya dia tidak perlu
mengkhawatirkan keselamatan Kiat Bo
Hosiang. bahkan dia ingin sekali kakek-kakek
bangsa Han yang sejak lama dibencinya itu
mampus saat itu juga. Namun dia sama
sekali tak ingin kalau kambratnya dari Tibet
yakni Pengemis Sakti Tangan Kidal sampai
celaka. Maka tak menunggu lebih lama lagi,
Pengho segera menyerbu pula ke dalam
kancah pertempuran. Justru inilah yang
dikehendaki Wiro!
"Tua bangka bermuka kepiting rebus!" teriak
Wiro memaki Pengho yang memang memiliki
tam-pang merah seperti kepiting rebus. "Aku
lawanmu, jangan main keroyok!
Mendengar makian itu dan melihat Wiro
berkelebat ke arahnya serta merta Pengho
lepaskan pukulan saktinya yang tadi telah
dikeluarkannya waktu menyerang Wiro dan
Thian Ong di atas pohon.
Sinar hitam menderu ganas ke arah Pendekar
212. Wiro kaget juga karena tak menyangka
begitu mulai berkelahi lawan sudah lancarkan
serangan pukulan sakti itu. Memang Pengho
tak mau kepalang tanggung menghadapi
lawan yang sudah diduganya tidak
berkepandaian rendah itu. Apalagi karena
petunjuk Wirolah sampai Thian Ong berhasil
membunuh si Perenggut Jiwa. Dengan
sendirinya den-dam serta kebencian
bertumpuk jadi kemarahan yang bukan alang
kepalang.
Wiro keluarkan siulan melengking lalu
lepaskan pukulan sinar matahari ke depan.
Sedangkan sinar putih panas dan menyilaukan
bergemuruh memapas sinar hitam serangan
Pengho.
Bumi terasa bergetar ketika dua pukulan sakti
itu bentrokan di udara dengan mengeluarkan
suara yang hebat! Tubuh Pengho terhuyung
sampai lima langkah ke belakang sedang
tangan kanannya sampai sebatas pangkal
bahu terasa sakit berdenyut denyut. Diiain
pihak sepasang kaki Pendekar 212 Wiro
Sableng melesak sampai setengah jengkal dan
tubuhnya bergetar.
Paras Pengho berubah pucat. Sebagai tokoh
kelas satu di seluruh Mongol baru kali ini dia
mengalami bentrokan pukulan sakti yang
hebat. Jelas sudah bahwa pemuda rambut
gondrong itu memiliki kepandaian luar biasa
dan agaknya tidak berada di sebelah bawah
sobatnva si orang Han yaitu Song Thian Ong.
"Celaka! Naga-naganya aku bakal mendapat
kesulitan!" membathin Pengho dengan hati
tidak enak. Dan dia semakin tak enak lagi
ketika melihat bagaimana kambratnya
Pengemis Sakti lengan Kidal yang membantu
Kiat Bo Hosiang berada dalam keadaan
terdesak, bahkan sesaat kemudian Thian Ong
yang mempergunakan serulingnya sebagai
senjata dan mainkan jurus-jurus silat aneh
berhasil memukul mental tongkat kayu
Pengemis Sakti!
"Tahan, seru Pengho tiba-tiba seraya
melompat menjauhi Wiro. "Sobatku Pengemis
Sakti, kurasa cukup sudah kita main-main
dengan orang-orang ini. Kita masih ada
urusan lain yang lebih penting harus
diselesaikan. Iain hari saja kita layani mereka
kembali. Mari!"
Pengemis Sakti Tangar» Kidal yang maklum
apa arti kata-kata Pengho itu dsn menyadari
pula keadaan mereka yang sulit bahkan bakal
celaka jika bicara lagi segera meninggalkan
tempat itu menyusu! Pengho yang telah
berkelahi pergi lebih dulu tanpa
memperdulikan Kiat Bo Hosiang.
Kiat Bo Hosiang yang ditinggal sendirian,
sesaat jadi tertegun. Hendak menyusul kabur
keadaannya terjepit antara Thian Ong dan Bwe
Hun. Dan saat itu sambil menyeringai Thian
Ong datang mendekati.
Kasihan kau tak mempunyai kesempatan
kabur, susiok ku yang sesat. Dan lebih
kasihan lagi karena suhu telah berpesan
bahwa jika seseorang sesat tak mau insaf dan
tobat adalah layak untuk dibunuh'"
Sebagai penutup kata-katanya Thian Ong
lantas kirimkan tusukan dengan serulingnya
ke arah dada Kiat Bo Hosiang. Orang tua ini
agak gugup. Meskipun dia sempat berkelit
tapi tak urung bahunya masih kena
keserempet hingga dagingnya terkelupas.
Dengan menggembor marah Kiat Bo Hosiang
mengirimkan serangan balasan. Tongkat
bajanya bersuit suit mengeluarkan sinar putih.
Tapi bagaimana pun juga tingkat kepandaian
Kiat Bo Hosiang tidak mampu menghadapi
murid keponakannya itu. Kalau dalam
pertempuran sebelumnya Thian Ong banyak
mengejek dan main-main, maka kini jurus
silat yang dikeluarkannya betul-betu! aneh
dan tidak main-main lagi. Setelah perkelahian
berlangsung empat jurus tiba-tiba pendekar
aneh berbaju gombiong dari Gunung Naga ini
berteriak: "Awas tongkat!"
Baru saja kata-katanya itu berakhir, tahu-
tahu tongkat baja di tangan Kiat Bo Hosiang
sudah terlepas kena dirampas.
"Lihat suling/' terdengar lagi seruan Thian
Ong. Dan detik Itu pula suling di tangannya
telah menyambar ke arah leher si kakek tanpa
sempat berkelit lagi. Kiat Bo Hcsfanu hanya
bisa mendelik kaget melihat datangnya maut.
Sedetik lagi suling itu akan menusuk amblas
leher Kiat Bo Hosieng tiba-tiba terdengar
teriakan Bwe Hun :
"Tahan! Jangan bunuh dia!"
Thian Ong tersentak heran. Masih untung dia
sempat ubah arah tusukan sulingnya hingga
benda ini hanya menyambar robek bahu
pakaian Kiat Bo Hosiang.
"Eh, apa-apaan kau Nona Li?!" bertanya Thian
Ong. Sedang Wiro juga heran sambil garuk-
garuk kepala.
Yang paling heran tentu saja Kiat Bo Hosiang.
Seharusnya dia sudah menemui ajal saat itu.
"Nona, tadi kau hendak dibunuhnya dan
malah mencoba pula untuk menamatkan
riwayatnya. Sekarang kenapa kau mencegah
aku membuat dia konyol?!" bertanya kembali
Thian Ong. "Ingat, manusia sesat pengkhianat
semacam ini amat berbahaya. Ular berkepala
dua seperti dia harus dibunuh!"
"Betapa pun sesat dan jahatnya, dia tetap
adalah suhuku," jawab Bwe Hun dengan suara
bergetar.
Kiat Bo Hosiang terkesiap. Dadanya berdebar
dan wajahnya pucat. Apakah sebenarnya
kehendak Bwe Hun bekas muridnya itu?
Hendak membalasnya atau hendak turun
tangan sendiri membunuhnya?
"Suhu!" tiba-tiba Bwe Hun melangkah ke
depan gurunya. "Kurasa kau masih bisa
diperbaiki. Kurasa kau masih bisa keluar dari
segala macam comberan busuk yang kau
renangi selama ini. Jika kau sadar dan
berjanji untuk kembali ke jalan yang benar,
kurasa murid suhengmu ini pasti akan
mengampunimu. Bagaimana…."
Semakin pucat wajah Kiat Bo Hosiang. Tiba-
tiba saja sepasang matanya berkaca-kaca.
"Tak mung-kin," desisnya. "Aku telah terlalu
jauh dalam kesesatan. Aku pengkhianat
paling terkutuk. Kau bunuhlah aku sekarang.
Aku.tak akan melawan. Thian Ongl Bwe Hun!
Bunuh aku sekarang juga!" Si kakek lalu
jatuhkan diri dan buang tongkat bajanya,
menangis tersedu-sedu.
"Suhu, tak ada dosa yang tak berampun.
Kalaupun kau merasa telah berbuat dosa dan
kesalahan besar kurasa masih ada jalan
untuk menebusnya. Yaitu bersama-sama kami
memusnahkan kaum penjajah Mongol yang
selama ini mendatangkan malapetaka."
"Itu betul!" seru Thian Ong yang tiba-tiba saja
kasihan melihat susioknya itu.
"Tapi syaratnya satu," menyelinap Wiro. "Asal
jangan dia menipu kita. Kalau tidak bisa
berabe seumur-umur!"
"Kalau… kalau kalian memang bersedia
memberikan pengampunan dan ingin berjuang
bersama, aku rasa memang inilah kesempatan
bagiku untuk menebus dosa…."
"Berdirilah suhu, mari kita atur rencana," kata
Bwe Hun pula seraya memegang bahu Kiat Bo
Hosiang dan memungut senjata kakek ini.
Menurut Kiat Bo Hosiang yang paling tahu
seluk beluk kekuatan pasukan Mongol, adalah
sulit untuk menumpas habis pasukan-
pasukan Mongol yang kuat dan banyak
disekitar perbatasan. Sebenarnya bala tentara
Mongol bukanlah apa-apa jika saja mereka
bisa memusnahkan pusat dan orang-orang
yang mengatur semua kekuatan itu, yang
sekaligus menjadi pengatur dari segala
kegiatan penjajahan. Pusat kekuatan dan
pengaturan ini terletak di kota Ansi, tak
berapa jauh dari perbatasan. Di sini terdapat
sebuah gedung besar yang merupakan markas
dari pada tokoh-tokoh Mongol, terdiri dari
"arsitek" dan "pelaksana" pejajahan. Mereka
adalah orang-orang yang berkepandaian silat
tinggi, diantaranya Pengho sebagai kepala
dan wakil Raja Mongol, lalu seorang jenderal
bernama Karfi Khan, kemudian Penghu, sute
dari Pengho, ditambah dengan Pengemis Sakti
Tangan Kidal dan kira-kira selusin perwira-
perwira tinggi yang lihay.
"Terus terang saja, sebelumnya aku pun
menjadi salah seorang diantara mereka di
sana. Namun syukur kalian telah membuka
kedua mataku. Jika kita sanggup mengobrak-
abrik markas mereka itu dan membunuh
semua tokoh yang ada di situ kukira
hancurlah induk kekuatan kaum penjajah
Mongol. Balatentara Mongol yang banyak tak
ada artinya. Tak lebih dari serombongan anak
ayam yang kehilangan induk. Dalam pada itu
aku tahu betul bahwa prajuritprajurit Mongol
telah muak dengan peperangan apalagi
kekejaman-kekejaman yang lewat batas
kemanusiaan yang selama ini diperlihatkan
oleh pimpinan mereka. Cuma satu hal yang
diperhatikan, markas tokoh-tokoh Mongol
banyak alat rahasianya!"
Sesaat semua orang terdiam setelah
mendengar keterangan Kiat Bo Hosjang itu.
"Bagaimana…?" Bwe Hun bertanya.
"Kita menyerbu ke sana!" Thian Ong
menyahut.
"Betul, kita menyerbu ke sana! ujar Wiro pula.
'Bagus! Sebaiknya kita berangkat sekarang
juga!" kata Kiat Bo Hosiang dan disetujui oleh
semua orang. Maka keempat menusia
berkepandaian tinggi itu pun berkelebat
meninggalkan tempat itu. Kalau tadi di tempat
itu suasananya hiruk-pikuk maka kini jadi
sunyi tapi tetap saja mengerikan karena di
sana sini bertebaran puluhan mayat. 11
SETELAH melakukan perjalanan yang cukup
sulit hampir selama dua minggu akhirnya
mereka sampai juga diluar kota Ansi. Kota ini
adalah kota Kerajaan Tiongkok pertama yang
direbut oleh bangsa Mongol sewaktu pecah
perang. Karena terletak di daerah yang kini
dikuasai bangsa Mongol maka suasananya
tenang dan aman, tak banyak prajurit-prajurit
yang kelihatan berkeliaran. Namun adalah
berbahaya bagi Thian Ong, Wiro dan Bwe Hun
untuk memperlihatkan diri dan memasuki kota
pada siang hari sekalipun mereka bersama
Kiat Bo Hosiang yang oleh penduduk
setempat dianggap sebagai salah satu tokoh
pimpinan bangsa Mongol. Maka mereka
mengatur rencana dan baru pada malam hari
rencana itu akan dijalankan.
Bila senja berganti dengan malam, gedung
besar yang menjadi markas para tokoh
Mongol kelihatan terang dan tenang. Di pintu
depan lima orang pengawal asyik bercakap-
cakap sedang lainnya melakukan perondaan
sekeliling tembok halaman. Tadi sudah
dikatakan bahwa keadaan kota Ansi aman,
namun untuk gedung penting seperti markas
itu tentu saja harus mendapat pengawal yang
cukup terjamin.
Di dalam gedung, pada sebuah ruangan besar
empat belas orang kelihatan duduk
mengelilingi meja. Mereka adalah Pengho di
kepala meja, Jenderal Karfi Khan di kepala
meja yang lain, lalu Penghu
sutenya Pengho, Wanglie alias Pengemis Sakti
Tangan Kidal ditambah 10 orang perwira
tinggi bangsa Mongol.
Satu jam yang lalu Pengho dan Pengemis
Sakti baru saja kembali dan langsung
mengumpulkan orang-orang itu untuk
mengadakan pembicaraan. Yang jelas tentu
saja Pengho menuturkan apa yang telah
terjadi dua minggu lalu antara dia dan murid
Ik Bo Hosiang.
"Pemuda itu lihay sekali dan yang lebih
bahaya adalah konconya, seorang pemuda
asing berambut gondrong," berkata Pengho.
"Bagaimana dengan Kiat Bo Hosiang?"
bertanya Jenderal Karfl Khan.
"Entahlah, kami tinggalkan saja dia sendirian.
Mungkin sudah mampus di tangan muridnya
sendiri atau si keparat Thian Ong itu,"
menyahuti Pengemis Sakti.
"Bagiku lebih baik dia mampus. Aku tak
begitu senang padanya," kata Pengho pula
blak-blakan.
Setelah membicarakan susunan dan keadaan
pasukan Mongol di beberapa tempat di
selatan, Pengho kemudian berkata: "Dengan
adanya pengacau-pengacau seperti Thian Ong
dan pemuda asing serta gadis murid Kiat Bo
Hosiang itu pasti akan banyak mempengaruhi
keadaan kita. Dalam perjalanan kemari aku
dan Pengemis Sakti telah membicarakan
rencana untuk mendatangkan beberapa tokoh
utama Tibet guna membantu kita. Kalau
sampai Ik Bo Hosiang sendiri turun tangan
keadaan kita akan semakin sulit. Kita basmi
dulu tiga kurcaci itu, soal Ik Bo baru kita urus
kemudian. Dengan ratusan pasukan dan
dipimpin oieh tokoh-tokoh lihay seperti kita
masakan Ik Bo Hosiang tak dapat kita gusur
dan puncak Longsan?! AKU hanya menunggu
persetujuan dari para hohan di sini
saja.' (Hohan = orang gagah).
Kurasa semua kita di sini dengan menyetujui
rencana Pengho lo enghiong dan Wanglie
loenghiong." menjawab Jenderal Karfi Khan.
"Terima kasih kalau begitu aku dan Pengemis
Sakti akan berangkat bes….
Pengho tak meneruskan kata-katanya karena
saat itu matanya melihat alat rahasia yang
terletak di dinding bergerak-gerak.
Ada orang di atas genteng! Semua siap!" seru
Pengho.
Orang-orang yang ada dalam ruangan
pertemuan itu serta merta melompat dari
kursi masingmasing dan hunus senjata Pada
saat itu pintu ruangan tiba-tiba terbuka dan
muncullah Kiat Bo Hosiang.
"Eh, bukankah kau sudah mampus di tangan
murid keponakanmu!" Pengho berseru kaget.
"Belum, masih belum Pengho lo enghiong,"
sahut Kiat Bo Hosiang.
"Jadi kau berhasil lolos dari kepungan tiga
orang muda lihay itu?!" Pengemis Sakti kini
yang ajukan pertanyaan. Sebelum Kiat Bo
Hosiang sempat menjawab Pengho kembali
buka mulut: "Apakah kau masih punya muka
untuk kembali kemari?!"
"Ah soal muka tak perlu kita bicarakan.
Mukamu atau muka siapapun di ruangan ini
tidak lebih baik dari mukaku!"
"Wah kau bicara keren amat Kiat Bo Hosiang!"
tukas Jenderal Karfi Khan. Sementara Pengho
melirik pada alat rahasia di dinding yang
sampai saat itu masih kelihatan bergerak
sedikit.
"Ketahuilah aku datang bukan sebagai Kiat Bo
Hosiang yang dulu. Selama ini kalian orang-
orang Mongol telah memperdayaiku,
membujuk dan merayu hingga aku lupa
daratan dan menindas, memusnahkan bangsa
sendiri!"
"Kiat Bo Hosiang! Kau bicara apakah! Dan
apa maumu sebenarnya," membentak Pengho.
"Kalian kaum penjajah terkutuk hari ini harus
bertanggung jawab atas kejahatan dan
kekejian apa yang telah kalian lakukan
terhadap tanah air dan bangsaku!" Habis
berkata begitu Kiat bo Hosiang lantas cabut
tongkat bajanya lalu berseru: "Kawan kawan
silahkan turun!"
Serentak dengan itu terdengar suara ribut di
atas atap. Loteng ruangan tiba-tiba bobol
dan tiga sosok tubuh melayang turun dalam
gerakan yang sebat luar biasa!
"Kurang ajar!' teriak Pengho. Dia sudah
maklum siapa-siapa adanya tiga manusia
yang masuk menerobos itu karenanya segera
saja dia hantamkan kedua tangannya ke atas.
Dua larik sinar hitam menderu memapaki
Thian Ong, Bwe Hun dan Wiro Sableng yang
tengah melayang di udara.
Terdengar suara tertawa Thian Ong disusul
dengan berjumpalitannya tubuh pemuda Ini ke
kiri dan laksana seekor naga dia menukik ke
arah Pengho sambil lancarkan satu jotosan.
Tokoh dari Mongol ini cepat membuang diri ke
samping hingga serangan lawan mengenai
tempat kosong.
Di atas sana pukulan sinar hitam Pengho
telah menghancur leburkan atap ruangan
sementara Pendekar 212 Wiro Sableng yang
membalas dengan pukulan sinar matahari
telah membuat lantai ruangan hangus retak-
retak, ubinnya pecah bermentalan!
"Bangsat!" memaki Pengho. "Penghu! Kau dan
Jenderal Karfi Khan hadapi murid gila Ik Bo
Hosiang itu. Wanglie locianpwe kau pimpin
lima perwira tinggi menghadapi bangsat
berambut gondrong. Aku sendiri akan
mencincang bangsat pengkhianat ular kepala
dua Kiat Bo Hosiang. Yang lain-lainnya lekas
kepung gadis binal baju hijau itu!"
Pengho sengaja mencari lawan dan
menghadapi Kiat Bo Hosiang karena dia
merasa jerih terhadap Thian Ong apalagi Wiro
Sableng.
Di dalam ruangan besar yang sudah porak
poranda itu maka terjadilah pertempuran yang
amat seru!
Dengan sebilah pedang berwarna ungu,
Pengho mengamuk yang dilayani oleh Kiat Bo
Hosiang dengan tongkat bajanya. Namun
hanya lima jurus saja Kiat Bo Hosiang segera
terdesak hebat!
Li Bwe Hun yang menghadapi lima
pengeroyok tidak mendapat kesulitan. Meski
pengeroyok-pengeroyoknya terdiri dari
perwira-perwira berkepandaian tinggi namun
dengan mainkan jurus-jurus ilmu tong-kat
yang dikuasainya dengan sempurna dalam
tempo enam jurus saja sudah membuat lima
pengeroyok bergeletakan mandi darah.
Pada saat gadis ini hendak menolong
suhunya yang tengah didesak hebat oleh
Pengho, tiba-tiba dari pintu menyerbulah
selusin pengawal dipimpin oleh seorang
perwira tinggi. Terpaksa Bwe Hun menghadapi
mereka lebih dahulu. Setelah mengamuk
hampir sepuluh jurus dan membuat lawan
roboh satu demi satu, sisa yang masih hidup
ambil langkah seribu, maka Bwe Hun
menerjang ke depan membantu suhunya.
Dalam keadaan terdesak tadi, Kiat Bo
Hosiang telah keluarkan ilmu tongkat yang
paling hebat yaitu ilmu tongkat garuda sakti
atau "sin-eng thunghoat". Namun Pengho
yang jauh lebih tinggi tingkat kepandaiannya
hanya dua tiga jurus saja dibikin repot oleh
ilmu tongkat itu. Dilain saat pedangnya sudah
menggebu-gebu kembali melabrak ke arah
lawan dan di satu kesempatan berhasil
membabat bahu kiri Kiat Bo Hosiang hingga
putus buntung dan darah menyerbu!
"Suhu!" seru Bwe Hun. Dengan kalap gadis ini
menyerbu ke arah Pengho sementara Kiat Bo
Hosiang menotok bahunya di beberapa tempat
hingga darah berhenti memancur kemudian
dengan gagah berani kembali dia menghadapi
Pengho, bahu membahu dengan muridnya.
"Bagus! Kalian datang berdua! Hingga aku tak
susah-susah membunuh guru dan murid
sekaligus!" seru Pengho dengan seringai maut
lalu kiblatkan pedang ungunya menghadapi
dua lawan yang dia yakin dapat dirobohkan
dalam waktu singkat.
Thian Ong yang dikeroyok oleh jago-jago
lihay yakni Penghu (adik dari Pengho) dan
Jenderal Kaili Khan untuk beberapa lamanya
dibikin repot. Hal ini terutama karena dia
sesekali masih saja kejangkitan penyakit
keblingernya hingga menghadapi lawan lebih
banyak mempermainkan dan mengejek. Tetapi
ketika satu hantaman dari Penghu mendarat
di dadanya dan membuat dia kesakitan,
pemuda sinting aneh ini baru sadar. Serta
merta dia cabut sulingnya dan keluarkan
jurus-jurus ilmu silat aneh dari Liongsan
yang dipelajarinya selama 12 tahun dari Ik Bo
Hosiang!
Menghadapi ilmu silat yang tak pernah
dilihatnya sebelumnya, dengan sendirinya
Penghu serta Jenderal Karfi Khan
kebingungan. Betapapun lihaynya mereka
namun jurus demi jurus keduanya mulai
terdesak. Dalam hebatnya kecamuk
pertempuran itu tiba-tiba Thian Ong keluarkan
pekik nyaring. Serentak dengan itu tubuhnya
berkelebat lenyap dan tahu-tahu terdengarlah
pekik Penghu.
Tubuhnya mencelat lima langkah. Keningnya
kelihatan berlubang dan mengucurkan darah.
Sekali lagi adik dari Pengho ini berteriak
mengerikan lalu roboh. Thian Ong telah
menghantam keningnya dengan suling hingga
berlobang dan membuat nyawanya lepas.
Melihat adiknya mati Pengho menggembor
marah. Tubuhnya berkelebat dalam amukan
yang hebat dan sesaat kemudian dia berhasil
merobohkan Kiat Bo Hosiang. Kakek ini
terjungkal dihantam tendangannya dan selagi
sempoyongan pedang Pengho cepat menebas
lehernya hingga Kiat Bo mati dengan kepala
menggelinding!
Li Bwe Hun terpekik ngeri melihat kematian
suhunya itu. Dengan kalap tanpa
mempertimbangkan lagi kemampuan sendiri
dia menyerbu Pengho seorang diri. Tapi sekali
Pengho gerakkan pedangnya maka patah
mentallah pedang di tangan si nona. Dilain
saat senjata Pengho membacok ganas ke
kepala si nona tanpa dapat dikelit lagi
ataupun ditangkis oleh Bwe Hun.
Disaat yang kritis itu tahu-tahu melesat
sesosok tubuh antara kepala Bwe Hun dan
pedang Pengho yang tengah turun dengan
deras. Pengho melengak kaget. Dia tidak tahu
tubuh siapa yang dilemparkan karena saking
cepatnya lemparan dan di samping itu dia tak
dapat pula menahan turunnya pedangnya.
"Cras!"
Pedang Pengho membacok tepat di
pertengahan tubuh yang terlempar. Terdengar
jeritan, tubuh itu terhampar ke lantai tak
berkutik lagi dengan pinggang terbabat putus.
Ketika diperhatikan ternyata dia bukan lain
adalah Wanglie alias Pengemis Sakti Tangan
Kidal! Bwe Hun sendiri selamat dan tertegun
sedang Pengho dengan muka pucat berpaling
ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng yang saat
itu asyik "menggebuki" perwira-perwira
Mongol yang tengah mengeroyoknya!
Apakah sebenarnya yang telah terjadi?
Seperti diketahui sebelumnya Pengemis Sakti
Tangan Kidal bersama dengan lima perwira
tinggi Mongol telah mengeroyok Wiro.
Kenyataannya lima perwira ini adalah lebih
lihay dari lima perwira lain yang mengeroyok
Bwe Hun hingga dipimpin oleh Pengemis Sakti
mereka sempat membuat Wiro kalang kabut.
Namun setelah keluarkan jurus-jurus silat
yang dipelajarinya dari Pendekar Pedang
Akhirat Long-sam-kun maka dalam satu
gebrakan saja dia berhasil merobohkan dua
perwira tinggi. Ketika dia menendang mental
perwira yang ketiga matanya yang tajam
menyaksikan bagaimana Pengho tengah
melancarkan satu bacokan ganas ke arah
kepala Bwe Hun tanpa si gadis bisa berkata
apa-apa.
Di saat yang sama Pengemis Sakti Tangan
Kidal kirimkan satu sodokan dengan tongkat
kayunya ke arah ulu hati Wiro. Dengan
mainkan jurus bernama "lo-han-ciang-yau"
atau malaikat menundukkan siluman, Wiro
sambar lengan kiri Pengemis Sakti dan tarik
demikian rupa hingga tubuh kakek itu
berputar di atas kepalanya lalu dilempar ke
arah Pengho. Seperti yang diperhitungkan
oleh Wiro dan malang bagi Pengemis Sakti,
tubuh kakek-kakek itu terlempar tepat antara
kepala dan bacokan pedang hingga tak
ampun lagi pedang di tangan Pengho
menghantamnya tepat di pinggang I
Wiro tertawa gelak-gelak. "Pengho! Apakah
kau sudah gila membacok mati kawan
sendiri?!" ejek pendekar sableng ini lalu
tertawa gelak-gelak. Sementara Thian Ong
mendengar suara tertawa kambratnya itu ikut-
ikutan pula tertawa dan membuat gerakan
yang bernama "koay-liong-hoan-in" atau
naga aneh berjumpalitan. Tubuhnya seperti
terjungkal kaki ke atas kepala ke bawah. Kaki
menendang ke muka lawan dan begitu lawan
mengelak tahu-tahu suling di tangan kanan
memburu dengan cepat. Terdengarlah jerit
kematian Jenderal Karfi Khan sewaktu
perutnya kena dikoyak oleh Suling Thian Ong
hingga ususnya berbusaian keluar!
Dengan matinya Jenderal Karfi Khan maka
kini Pengho jadi tinggal sendirian. Dan mau
tak mau ini membuat nyalinya lumer. Tanpa
tunggu lebih lama dia segera melompat ke
pintu.
Wiro memburu disusul oleh Thian Ong.
"Biang racun anjing penjajah kau mau kabur
ke mana!" teriak Thian Ong.
Saat itu, sebelum keluar ruangan
menghambur lari, Pengho masih sempat
pergunakan tangannya untuk memutar sebuah
tapel (ukiran kayu) kepala manusia di dinding
dekat pintu. Serta merta terdengarlah suara
mendesir di Seantero ruangan.
"Awas senjata rahasia!" teriak Wiro
memperingatkan.
"Lekas tiarap!" seru Thian Ong.
Wiro, Thian Ong dan Bwe Hun segera jatuhkan
diri di lantai ruangan. Detik itu pula dari
empat tembok ruangan yang dilapisi kayu
melesatlah seratus pisau terbang berwarna
hijau gelap. Bagaimanapun lihaynya
seseorang, jika berdiri di tengah ruangan
pastilah tak bakal dapat menyelamatkan
jiwanya! Begitu serangan pisau terbang
berhenti, Wiro cepat melompat ke atas atap
yang bobol. Dia sampai di sana dalam waktu
yang tepat karena masih sempat melihat
bayangan Pengho berkelebat di balik atap
gedung sebelah kiri. Wiro segera memburu
dan dalam waktu singkat berhasil menyusul
pentolan kelas wahid gembong penjahat itu.
Pengho sadar dia tak akan bisa menang
menghadapi Pendekar 212, tapi lari pun tak
mungkin. Apalagi waktu itu berkelebat pula
dua bayangan di atas genteng yakni Thian
Ong dan Bwe Hun. Dan si nona belum apa-
apa lantas saja sudah menyerangnya dengan
sebuah golok besar yang diketahuinya adalah
milik Jenderal Karfi Khan.
Tak ada hal lain yang bisa dilakukan Pengho
daripada melawan mati-matian. Sebenarnya
dalam tingkat ilmu kepandaian jelas sekali
Bwe Hun jauh tertinggal dari tokoh kelas satu
Mongol itu. Namun saat itu Pengho bertempur
dalam pikiran kacau balau takut dan gugup.
Pikirannya tak terpusat karena dia senantiasa
mengintai kelengahan lawan untuk melarikan
diri. Dalam pada itu Thian Ong dan Wiro
meskipun tidak langsung turut pula ambil
bagian dalam pertempuran.
Setiap Pengho mendesak Bwe Hun atau
lancarkan serangan berbahaya maka tahu-
tahu pantatnya ditendang oleh Thian Ong dari
belakang. Terkadang Wiro menjambak
rambutnya atau menarik turun celananya.
Sambil berbuat begitu kedua pemuda sableng
itu tertawa-tawa tiada henti.
Akhirnya dalam keadaan penasaran, Pengho
pergunakan pedangnya untuk tusuk dadanya
sendiri! Tokoh utama dari Mongol ini roboh,
terguling dari atas genteng, jatuh ke tanah
dengan pedang masih menancap di dadanya!
Penyerbuan Thian Ong, Wiro Sableng, Li Bwe
Hun serta Kiat Bo Hosiang ke markas besar
pentolanpentolan tertinggi penjajah di Ansi itu
betul-betul menggemparkan baik empat
kalangan Pemerintah Mongol maupun
Pemerintah Tiongkok.
Kalau orang Mongol merasa sangat terpukul
maka pihak Tiongkok jadi mendapat
semangat. Ribuan tentara Tiongkok dua
minggu kemudian menyerbu ke perbatasan.
Dan betullah seperti kata-kata mendiang Kiat
Bo Hosiang. Jika markas sumber kekuatan
penjajah itu dihancurkan maka balatentara
Mongol meskipun berjumlah besar namun tak
lebih dari anak-anak ayam yang kehilangan
induknya. Seluruh kekuatan Mongol disapu
bersih dan bumi Tiongkok bebas lepas dari
kaum penjajah yang selama ini telah
mendatangkan 1001 macam kesengsaraan di
kalangan rakyat. Namun agaknya tugas Song
Thian Ong dan Li Bwee Hun masih belum
selesai karena di selatan masih banyak
pemimpinpemimpin yang tak tahu diri yang
perlu disingkirkan. Sementara Pendekar 212
Wiro Sableng terus pula melakukan
petualangannya.

                           SELESAI