Ebook Wiro Sableng : Hidung Belang Berkipas Sakti



WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karya : BASTIAN TITO
EPISODE : HIDUNG BELANG BERKIPAS SAKTI
                    
https://drive.google.com/file/d/1KcVqpmKESLotUEnaBMeBGQ01plRDZH9F/view?usp=sharingMatahari bersinar terik
membakar jagat. Pemuda berpakaian
sederhana itu melangkah menyusuri jalan
berdebu. Di hadapan sebuah pintu gerbang
yang dikawal oleh dua orang prajurit
bersenjatakan tombak dia berhenti. Sesaat
dengan sepasang matanya yang disipitkan
diperhatikannya bangunan pintu gerbang yang
kokoh itu. Lalu dia berpaling pada salah
seorang pengawal yang berdiri di situ.
 "Apakah ini gedung kediaman Adipati Kebo
Panaran?" bertanya si pemuda.

Pengawal yang ditanya tidak segera
menjawab. Dia memandang penuh curiga,
meneliti pemuda itu dari kepala sampai ke
kaki. Segera dia tahu kalau Si pemuda adalah
seorang desa yang baru saja turun ke kota.
Dengan sikap meremehkan pengawal itu
menjawab.
"Betul. Kau ada keperluan apa orang desa?!"
"Aku ingin bertemu Adipati," jawab si pemuda.
"Ingin bertemu dengan Adipati Kebo Panaran?
Heh…." Pengawal yang satu ini berpaling
pada kawannya. Lalu tertawa bergelak.
"Sobat," katanya pada kawannya. "Kau
dengar ucapan pemuda ini?"
Prajurit yang satu ikut-ikutan tertawa dan
berkata. "Sebelum kami muak melihatmu,
sebaiknya lekas pergi dari sini!"
"Tapi… aku ingin bertemu Adipati," sahut Si
pemuda pula.
"Heh, memaksa rupanya. Apa maumu
sebenarnya?!" prajurit pertama maju
selangkah sambil menggenggam tombaknya.
"Mau cari pekerjaan," jawab si pemuda tanpa
ragu-ragu.
"Buset! Tak ada pekerjaan untuk manusia
macammu di sini. Adipati sudah punya tukang
kebun. Sudah punya penjaga kuda…."
"Bukan pekerjaan macam begitu yang aku
inginkan," memotong pemuda desa tadi.
"Ahai! Lalu pekerjaan macam apa yang kau
inginkan? Jadi juru masak barangkali?!"
Sepasang mata pemuda itu semakin menyipit.
Tiba-tiba dia tersenyum.
"Prajurit pengawal pintu!" kata pemuda itu
dengan suara tandas. "Kau dengar baik-baik.
Namaku Dipasingara. Katakan pada
Adipatimu bahwa aku datang untuk mencari
pekerjaan!"
"Sekalipun namamu Bapak Moyang Setan aku
tidak perduli. Menyingkir dari sini atau batang
tombak ini akan membuat kepalamu jadi
benjol besar!"
Si pemuda masih saja tersenyum mendengar
ancaman itu. Malah dia menyambuti dengan
ucapan: "Rupanya suasana di kota benar-
benar harus memakai segala macam
kekerasan. Sobat, aku minta tolong padamu
agar memberi tahu Adipati, kalau tidak.."
"Kalau tidak kau mau apa?" Si prajurit jadi
berang.
"Aku terpaksa nyelonong sendiri masuk ke
dalam gedung!"
"Pemuda desa kurang ajar! Kau betul-betul
minta digebuk!"
Tombak besi di tangan pengawal pintu
gerbang menyambar ke arah pemuda yang
mengaku bernama Dipasingara itu. Sesaat lagi
pastilah remuk atau paling tidak benjol besar
kepalanya. Tapi apa yang terjadi kemudian
membuat terkejut kawan prajurit yang satu
ini.
Hampir sama sekali tidak kelihatan bergerak,
tahu-tahu pengawal yang mengemplangkan
tombak telah terpental ke atas untuk
kemudian jatuh bergedebuk di tanah tanpa
sadarkan diri lagi. Tombak yang tadi
dipakainya untuk memukul kini berpindah
tangan digenggam Dipasingara!
"Bangsat rendah! Berani kau mencelakai
kawanku!" teriak pengawal yang seorang lagi
marah sekali. Dia melompat dan tusukkan
mata tombaknya ke dada pemuda desa itu.
Dipasingara ulurkan tangan kirinya. Tahu-
tahu bagian belakang mata tombak berhasil
dicekalnya lalu disentakkan kuat-kuat. Tak
ampun lagi pengawal yang menyerang
terbetot kencang ke depan, terguling di tanah
dengan muka berkelukuran! Meski dia tidak
jatuh pingsan namun luka-luka yang
mengeluarkan darah memenuhi tubuhnya,
sakitnya bukan kepalang. Dia terduduk di
tanah tanpa bisa berbuat apa-apa selain
mengerang kesakitan.
Dipasingara menimang-nimang dua batang
tombak yang barusan dirampasnya. Satu
demi satu tombak itu kemudian
ditancapkannya di tanah tepat diantara kedua
kaki prajurit Kadipaten itu. Kemudian dia
melangkah ke pintu gerbang. Baru saja dia
menggerakkan tangan untuk membuka pintu,
Sebuah kereta yang dikawal oleh
serombongan penunggang kuda yang rata-
rata berbadan kekar herbenti di situ.
Penunggang kuda paling depan yang
berkumis melintang membentak dari
punggung kuda tunggangannya.
"Apa yang terjadi di sini?!"
Bola matanya yang besar menyorot si
pemuda. Kembali dia membentak: "Siapa
kowe?!"
Dengan tenang pemuda itu menjawab.
"Namaku Dipasingara. Aku ingin bertemu
dengan Adipati Kebo Panaran. Untuk maksud
baik. Mau cari pekerjaan. Aku sudah minta
izin dan tolong kedua pengawal ini. Tapi
tanpa alasan mereka malah menurunkan
tangan kasar terhadapku. Cuma sayang
mereka terlalu kesusu!"
"Pemuda edan! Anak-anak tangkap pemuda
ini!" teriak si kumis melintang. Rupanya dia
yang jadi pimpinan.
Empat lelaki berpakaian seragam, bertubuh
besar tegap melompat turun dari punggung
kuda lalu serempak menyerbu Dipasingara
untuk meringkusnya hidup-hidup.
Namun mereka cuma bisa menangkap angin.
Karena pada detik itu Si pemuda telah lenyap
dan tahu-tahu sudah berdiri di samping
kereta.
Justru saat itu pula tirai kereta disingkapkan
orang dari dalam. Sebuah kepala laki-laki
kemudian muncul. Di sampingnya tampak
kepala seorang perempuan muda berparas
cantik luar biasa.
"Sura… ada apa ribut-ribut?" tanya lelaki
dalam kereta. Suaranya besar parau, tak
sedap didengar.
Suramanik, demikian nama lelaki berkumis
melintang yang tadi berikan perintah untuk
menangkap Dipasingara cepat menjawab:
"Tidak ada apa-apa Adipati. Tak perlu
khawatir. Cuma seekor kecoak sinting kesasar
kemari dan berbuat sedikit kerusuhan. Mohon
maafmu. Kami akan segera mengenyahkannya
dari sini!"
Dipasingara memalingkan kepalanya ke
jendela kereta. Dilihatnya seorang lelaki
berpakaian bagus, berkopiah tinggi, bermuka
putih. Menurut taksirannya paling tidak orang
ini berusia setengah abad. Di sebelahnya
duduk seorang perempuan berparas rupawan
yang membuat Dipasingara sejenak tertegun.
Namun menyadari bahwa orang di dalam
kereta itu pastilah Adipati Kebo Panaran dan
istrinya maka cepat-cepat Dipasingara
membuka mulut.
"Adipati Kebo Panaran. Mohon dimaafkan
segala tindakanku. Semuanya terjadi karena
terpaksa. Aku harus mempertahankan diri dari
orang-orangmu yang menyerang secara
sewenang-wenang. Aku datang dari jauh.
Sengaja hendak menemuimu untuk minta
pekejaan. Bolehkah aku tolong membukakan
pintu gerbang agar keretamu bisa lewat…?"
Sesaat Kebo Panaran menatap tampang
pemuda itu. Wajahnya cakap. Sikapnya
sederhana tetapi hormat tanda dia bukan
seorang pemuda gelandangan tak karuan,
"Orang muda, kau siapa?" bertanya sang
Adipati.
Sepasang mata Dipasingara mengerling
sekilas pada perempuan yang duduk dalam
kereta di samping Adipati. Cuma sekilas,
tetapi pandangan mata tajam pemuda ini
membuat bergetar hati serta dada Galuh
Resmi, istri Kebo Panaran.
"Namaku Dipasingara" menjawab si pemuda.
"Sengaja datang dari jauh untuk cari
pekerjaan."
"Hemmm.. begitu?" ujar Kebo Panaran. Dia
mengerling pada dua pengawal pintu gerbang
yang terkapar di tanah.
"Apakah menghantam dua prajurit Kadipaten
itu salah satu pekerjaan yang kau
inginkan…?!"
"Mohon maaf Adipati. Bukan maksudku untuk
berbuat kurang ajar. Tapi mana mungkin aku
berdiam diri jika yang satu dari mereka
hendak mengemplang kepalaku, yang satu lagi
hendak menembus dadaku dengan tombak?!"
Kebo Panaran terdiam.
Sebaliknya Suramanik yang sejak tadi
menahan amarah kini membentak: "Adipati,
biar kuhajar pemuda hina dina ini!"
Tapi sang Adipati melambaikan tangannya.
Mencegah kepala pengawalnya untuk
melaksanakan maksudnya.
"Aku akan bukakan pintu gerbang untukmu,"
kata Dipasingara tanpa mengacuhkan
Suramanik. Lalu didorongnya daun pintu
gerbang lebar-lebar.
Kusir kereta memandang pada pemuda itu
dengan air muka tidak senang. Tetapi Adipati
Kebo Panaran memberi isyarat agar kereta
segera dimasukkan ke dalam.
Ketika Dipasingara ikut-ikutan hendak masuk
ke dalam Suramanik mengusirnya dengan
beringas.
"Biarkan dia masuk Sura," terdengar suara
Adipati dari dalam kereta.
Dengan amat penasaran Suramanik terpaksa
membiarkan Dipasingara memasuki halaman
Kadipaten.
Adipati dan istrinya turun dari kereta.
Dipasingara berdiri dekat tangga Kadipaten.
Sepasang matanya yang sipit menatap paras
perempuan itu. Ketika itu Galuh Resmi
mengerling pula, sesaat pandangan mata
mereka saling bertemu. Galuh Resmi
palingkan wajahnya dan cepat-cepat menaiki
tangga lalu masuk ke dalam gedung.
Bentrokan pandangan ini sama sekali tidak
diketahui Adipati Kebo Panaran. Sebaliknya
Suramanik sempat melihatnya sehingga
semakin besar kegusarannya terhadap
Dipasingara.
Kusir membawa kereta ke halaman samping.
Kebo Panaran memberi isyarat pada
Dipasingara untuk mengikutinya ke langkan
Kadipaten, sementara Suramanik dan anak
buahnya tetap berdiri di anak tangga sebelah
bawah. Dua orang prajurit sebelumnya sudah
disuruhnya untuk menggotong dua pengawal
pintu gerbang yang cidera.
"Nah sekarang katakan pekerjaan apa yang
kau inginkan," kata Adipati. Tapi dia tak
menunggu jawaban malah menambahkan:
"Untuk mengurus kandang kuda aku sudah
punya orang. Tukang kebun juga sudah ada.
Pengawal banyak. Kau mau kujadikan sebagal
perawat kuda-kuda kesayanganku?"
"Terima kasih Adipati. Terima kasih atas
kepercayaanmu. Namun bukan pekerjaan
macam itu yang aku inginkan."
Di bawah langkan gedung Suramanik
menggertakkan rahangnya tanda marah.
Sudah diberi pekerjaan menolak pula. Dasar
manusia kampung tidak tahu diri. Demikian
kepala pengawal Kadipaten itu mengumpat
dalam hati.
"Lantas pekerjaan yang bagaimana yang kau
inginkan?" tanya Adipati pula.
"Aku ingin menjadi kepala pengawal di
Kadipaten ini, Adipati!"
Kebo Panaran tersentak kaget mendengar
ucapan Dipasingara. Dia mulai berpikir
apakah pemuda ini sehat otaknya atau
bagaimana. Suramanik sendiri sampai melotot
kedua matanya. Saat itu dia adalah kepala
pengawal Kadipaten. Dan justru pekerjaan
itulah yang diinginkan Si pemuda sialan itu!
Benar-benar membuat Suramanik menjadi
panas dingin menahan amarah. Kalau saja
Adipati Kebo Panaran tidak ada di situ sudah
sejak tadi dilabraknya pemuda lancang mulut
itu!
Kebo Panaran batuk-batuk beberapa kali.
"Tentunya kau tidak bicara bertele-tele atau
ngaco, orang muda. Aku sudah memiliki
kepala pengawal. Tak mungkin jabatan itu
kuberikan padamu."
"Rasanya tak ada yang tak mungkin di dunia
ini, Adipati," jawab Dipasingara.
"Disamping itu untuk jadi kepala pengawal
tidak sembarangan. Ada syarat-syaratnya."
"Apakah syarat-syarat itu Adipati?"
Kebo Panaran merasa didesak dan jadi
jengkel.
"Sudahlah orang muda. Aku tak punya waktu
lama untuk bicara denganmu. Juga tak ada
pekerjaan lowong di sini untukmu. Kecuali jika
kau mau bekerja sebagai perawat kuda-
kudaku. Kalau tidak silahkan pergi dan cari
pekerjaan di tempat lain!"
Dipasingara terdiam sejenak. Lalu angkat
bahu. Dia menjura "Jika begitu katamu
baiklah Adipati. Aku minta diri…."
Pemuda itu membalikkan tubuh dan siap
untuk pergi. Tapi di belakangnya terdengar
Kebo Panaran berkata:
"Tunggu dulu!"
"Ada apa Adipati?" tanya Dipasingara.
Saat itu sang Adipati teringat akan dua
pangawal pintu gerbang yang telah dipreteli
Dipasingara. Tak dapat tidak tentu pemuda ini
memiliki kepandaian silat yang diandalkan.
Kalau tidak mana dia mampu dan punya
keberanian untuk berbuat begitu. Dan jika dia
menginginkan jabatan kepala pengawal
Kadipaten pasti dia tidak main-main.
"Dengar orang muda," kata Kebo Pananan.
"Aku akan memberikan jabatan yang cukup
layak untukmu. Asal saja kau mau
menerangkan kepandaian apa saja yang kau
miliki!"
"Maaf Adipati. Rahasia diriku tak mungkin
kuberitahu. Aku hanya menginginkan jabatan
kepala pengawal. Lain tidak…."
Suramanik yang sejak tadi sudah
kelangsangan dilanda amarah, serasa
terbakar tubuhnya. Dia merasa dihina oleh
pemuda desa itu. Suramanik melompat ke
langkan Kadipaten dan berkata lantang:
"Adipati, aku bersedia menyerahkan jabatanku
pada pemuda kurang ajar ini jika dia sanggup
menerima pukulanku satu kali saja pada
dadanya!"
Suramanik memang bukan sembarang orang.
Jika tidak memiliki kepandaian tinggi tentu
dia tak akan menjabat kepala pengawal
Kadipaten.
Kebo Panaran terkesiap mendengar ucapan
kepala pengawalnya itu. Urusan jadi ruwet jika
pemuda desa itu sampai kena dihantam tinju
Suramanik apa jadinya? Sebaliknya dengan
tenang Dipasingara menyahuti:
"Kalau aku sanggup menahan pukulanmu, kau
akan kehilangan jabatanmu, kepala
pengawal!"
"Mari kita buktikan!" bentak Suramanik
dengan mata melotot dan amarah meluap.
Dalam hatinya dia berkata: "Sekali jotosanku
mendarat di dadamu kau akan terbang ke
neraka!"
Dipasingara berpaling pada Adipati Kebo
Panaran.
"Adipati, apakah kau izinkan kami
menjalankan pertaruhan ini?"
"Itu urusan kalian. Tapi kunasihatkan agar
kau jangan menantang Suramanik. Lebih
bagus kau mencari selamat dan tinggalkan
tempat ini!" Begitu jawaban Kebo Panaran
karena dia tahu kehebatan kepala
pengawalnya.
"Karena aku tetap menginginkan jabatan
kepala pengawal Kadipaten, mohon maafmu
Adipati kalau aku terpaksa melayani
tantangannya."
Dipasingara turun ke halaman. Di belakangnya
menyusul Suramanik. Kebo Panaran yang
juga ingin menyaksikan adu tanding itu ikut
turun sementara beberapa prajurit berdiri
membentuk lingkaran besar. Ditengah-tengah
lingkaran Suramanik dan Dipasingara saling
berhadap-hadapan.
Di belakang tirai jendela depan gedung
Kadipaten sepasang mata mengintai dengan
hati berdebar. Yang mengintip ini adalah
Galuh Resmi, istri Kebo Panaran. Diam-diam
dia telah mendengar percakapan orang-orang
itu dan kini ingin melihat apa yang bakal
terjadi.
Entah mengapa dia sangat menyesalkan
ketololan pemuda bertampang gagah itu yang
mau saja melayani tantangan Suramanik. Dia
tahu Suramanik berilmu tinggi dan kabarnya
memiliki pukulan sakti.
"Dia pasti mati begitu pukulan Suramanik
menghantam dadanya!" membathin Galuh
Resmi. Aneh. Perempuan ini merasa kawatir.
Mengkawatirkan keselamatan pemuda yang
tidak dikenalnya itu.
"Sudah siapkah kau menerima pukulanku?!"
terdengar suara Suramanik. Rahangrahangnya
tampak menonjol.
"Sebentar sobat," jawab Dipasingara. "Biar
kubuka dulu bajuku agar kau bisa mencari
bagian yang empuk untuk kau pukul!"
"Manusia takabur! Sebentar lagi akan kau
rasakan akibat tingkahmu yang sembrono!"
tukas Suramanik.
Dengan tenang Dipasingara membuka
bajunya. Kini dia berdiri bertelanjang dada.
Tubuhnya kelihatan bersih ramping.
"Nah kau carilah sasaran yang empuk!" kata
pemuda itu pada Suramanik disertai senyum
sinis.
Seorang prajurit Kadipaten memaki dalam
hatinya:
"Pemuda gendeng! Sudah mau mati masih
saja bicara sombong!"
Dengan menyeringai geram Suramanik
mengepalkan jari-jari tangan kanannya.
Seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke situ. Dia
sengaja mengerahkan keseluruhan
kekuatannya karena ingin melihat pemuda
kurang ajar itu meregang nyawa dalam sekali
pukul!
Sebagai kepala pengawal Kadipaten
Suramanik memiliki beberapa pukulan sakti.
Yang paling hebat adalah pukulan "Wesi
Ireng". Selama lima tahun dia telah melatih
diri untuk menguasai ilmu pukulan dahsyat
tersebut. Dan kini pukulan itulah yang akan
dihadiahkannya pada Dipasingara.
Perlahan-lahan tangan kanan Suramanik
sampai sebatas pergelangannya berubah
menjadi kehitaman. Semua orang termasuk
Dipasingara melihat perubahan yang
mengerikan itu. Adipati Kebo Panaran
maklum kalau kepala pengawalnya benar-
benar ingin menghabiskan riwayat pemuda
desa itu dengan pukulan Wesi Ireng. Dia tahu,
jangankan dada manusia, tembok tebal sekali
pun akan hancur luluh dihantam pukulan itu.
Dan yang mencengangkan sang Adipati ialah
bahwa si pemuda itu masih saja tenang-
tenang bahkan selalu menyunggingkan
senyum mengejek terhadap Suramanik.
"Kasihan…" kata Kebo Panaran dalam hati.
"Dia tak sadar kalau sebentar lagi akan
menemui kematian!"
Suramanik mundur selangkah. Tangan
kanannya diangkat sebatas kepala.
"Kau sudah siap untuk mampus orang muda?"
ujar Suramanik.
"Cepatlah, aku sudah siap sejak tadi!"
"Kalau begitu kau terimalah detik
kematianmu!"
Didahului satu bentakan garang Suramanik
menghantamkan tinju kanannya ke dada
Dipasingara.
"Buk!"
Tinju keras tepat menghantam dada
Dipasingara di bagian jantung. Dan
terdengarlah satu pekikan dahsyat!
Tubuh Dipasingara sedikit pun tidak bergerak
dari tempatnya berdiri. Didepannya Suramanik
terbungkuk-bungkuk memegangi tangan
kanannya dengan tangan kiri. Belasan kerut
kesakitan muncul di kulit mukanya yang
beringas. Semua orang kini menyaksikan
bagaimana tangan kanan Suramanik yang
tadi sebatas pergelangan berwarna hitam, kini
menjadi gembung lecet. Dari mulut kepala
pengawal ini tiada hentinya terdengar suara
rintihan.
Terkejutlah Adipati Kebo Panaran. Juga
semua orang. Termasuk Galuh Resmi yang
mengintip di balik tirai jendela. Semula semua
orang sudah sama memastikan bagaimana
pemuda itu akan terjengkang dilanda jotosan
sakti Wesi Ireng, menggeletak di tanah tanpa
nyawa. Apa yang kemudian terjadi hampir tak
dapat mereka percaya.
Suramanik masih mengerang. Lututnya terasa
goyah. Dia coba bertahan tapi tak mampu.
Dia jatuh berlutut. Tangan kanannya tampak
semakin merah. Dari bagian-bagian yang
lecet darah mulai membersit. Kebo Panaran
geleng-gelengkan kepala. Setelah menarik
nafas dalam dia berkata:
"Suramanik, ternyata pemuda itu sanggup
menahan pukulanmu…."
Rahang Suramanik menggembung. "Aku tahu
maksud ucapanmu Adipati. Tak usah kawatir.
Aku bukan bangsa manusia yang tidak
memegang janji. Kau terimalah pemuda hina
dina itu menjadi kepala pengawal Kadipaten!"
Habis berkata begitu Suramanik memutar
tubuh untuk berlalu.
"Tunggu!" seru Dipasingara. Dari balik
pakaiannya dikeluarkannya satu kantong
kertas kecil. Di dalam kantong ini terdapat
sejenis obat mujarab.
"Taburkan obat ini di tanganmu. Lukamu
pasti akan sembuh dalam waktu cepat!"
Suramanik mendengus dan menampik kantong
kertas yang dilemparkan padanya.
"Aku tak butuh obatmu! Apa yang kau
lakukan hari ini kelak akan kubalas berikut
bunganya! Bersiaplah dari sekarang. Karena
aku pasti datang menemuimu!"
Suramanik membalikkan tubuh dan berlalu
cepat. Ketika dia lenyap dikejauhan semua
mata kini ditujukan pada Dipasingara. Pada
dasarnya prajurit-prajurit Kadipaten itu diam-
diam mengagumi kehebatan si pemuda.
Namun masing-masing mereka juga merasa
kurang senang terhadap sikap dan tindak
tanduk Dipasingara yang mereka anggap
ombong.
Setelah beberapa lama kesunyian
menggantung, akhirnya Kebo Panaran
membuka mulut:
"Orang muda, sesuai perjanjianmu dengan
Suramanik dan dengan kepergiannya dari sini
maka mulai saat ini jabatan kepala pengawal
menjadi hakmu. Namun sebelum jabatan itu
kuberikan padamu, satu ujian lagi harus kau
lewati…."
"Adipati, apa maksudmu?" tanya Dipasingara,
Sebagai jawaban Kebo Panaran melemparkan
sebilah golok pada Dipasingara. Lalu pada
enam orang prajurit Kadipaten dia berseru:
"Cabutlah golok kalian dan serang dia!" Pada
Dipasingara Kebo Panaran menambahkan
"Kau harus sanggup merobohkan mereka
dalam waktu tiga jurus. Tapi ingat, tak satu
pun harus terluka!"
Dipasingara menyambut golok yang
dilemparkan sambil tersenyum sementara
enam prajurit dengan golok terhunus
menyebar berkeliling, mengurungnya!
Di belakang jendela Galuh Resmi yang masih
mengintip kembali merasa cemas. Dikeroyok
oleh enam prajurit-prajurit kelas satu apakah
pemuda itu sanggup bertahan?
Enam golok serentak berkelebat menyerang.
Dipasingara menekuk kedua lututnya. Golok di
tangan kanannya dibabatkan ke atas dalam
bentuk lingkaran. "Trang… trang… trang…."
Terdengar suara beradunya senjata sampai
enam kali berturut-turut. Lalu suara
bergedebukan dan pekik kesakitan susul
menyusul.
Dengan mata kepalanya sendiri Adipati Kebo
Panaran menyaksikan bagaimana setelah
menangkis serangan enam golok si pemuda
lantas pergunakan kaki dan tangan kirinya
serta gagang golok untuk menghajar ke enam
pengeroyoknya hingga tiga orang terpelanting
roboh, dua kena di totok dan satu berdiri
sambil pegangi hidungnya yang mengucurkan
darah.
Di belakang jendela Galuh Resmi sampai
ternganga takjub melihat kejadian itu.
Kebo Panaran memegang bahu Dipasingara.
"Kau ternyata tidak mengecewakan. Kau
memang pantas menjadi kepala pengawal
Kadipaten. Mulai hari ini kau menjalankan
tugas di Kadipaten Gombong!"
Dipasingara tersenyum dan menjura dalam-
dalam.
"Terima kasih Adipati. Terima kasih." Katanya
seraya mengembalikan golok yang tadi
diberikan Kebo Panaran.
Ketika Adipati itu berlalu Dipasingara
memalingkan kepalanya ke arah jendela.
Meski cuma sekilas tapi masih sempat
dilihatnya wajah Galuh Resmi. Galuh Resmi
merasakan wajahnya bersemu merah dan
bergegas masuk ke dalam kamar. Sesaat dia
tegak di depan kaca menatap wajahnya
sendiri. Pemuda itu tahu kalau dia mengintip.
Betapa malunya. Tetapi kenapa dia begitu
merasa tertarik padanya?
Kebo Panaran, Adipati yang berusia setengah
abad itu menaruh kepercayaan penuh pada
kepala pengawalnya yang baru. Namun dia
tidak menduga sama sekali kalau justru
Dipasingara sebenarnya adalah manusia biang
racun yang bakal merusak rumah tangganya.
Tanpa setahu siapa pun di gedung Kadipaten
itu, diam-diam Dipasingara mulai main api
dengan Galuh Resmi. Banyak hal yang
membuat istri Adipati Gombong itu melayani
kedipan mata, lirikan nakal dan senyum
berbisa Dipasingara. Pertama Dipasingara
seorang pemuda bertampang gagah.
Pertemuan pertama dulu dengan ketinggian
ilmunya telah mendatangkan rasa kagum
dalam diri Galuh Resmi. Kedua, karena
kehidupan rumah tangga perempuan itu
dengan Kebo Panaran tidak berbahagia.
Sebagai seorang lelaki berusia 50 tahun Kebo
Panaran tidak mungkin mempunyai
kesanggupan untuk menjalankan kewajiban
badaniah terhadap istri yang cantik jelita dan
baru berusia delapan belas tahun itu. Ketidak
sanggupan ini ditambah pula dengan
seringnya sang Adipati melakukan kunjungan
kerja ke desa-desa. Lalu pergi menghadap
pembesar-pembesar di Kotaraja untuk
memberi laporan. Semua ini membuat Galuh
Resmi seperti terasing jauh dalam kesunyian.
Ketika Dipasingara muncul dengan
keberaniannya yang nakal berbisa Galuh
Resmi tak kuasa untuk mengelak bahkan
tanpa disadari dia sendiri senantiasa
membalas setiap senyuman kepala
pengawalnya yang gagah itu.
Meskipun tidak merupakan kebiasaan tapi
pada umumnya setiap pembesar di masa itu
mempunyai dua buah kamar tidur. Satu untuk
dirinya sendiri dan satu lagi untuk istrinya.
Demikian pula dengan Kebo Panaran. Setiap
malam dia selalu tidur di kamar besar di
sebelah depan gedung Kadipaten sedang
istrinya di kamar lain yang bersebelahan.
Antara kedua kamar itu dihubungkan dengan
sebuah pintu. Dengan adanya dua kamar
inilah Dipasingara mempunyal kesempatan
untuk berbuat lebih berani.
Suatu malam, ketika seluruh gedung
Kadipaten diselimuti kesunyisenyapan
Dipasingara ke luar dari kamarnya di bagian
belakang gedung Kadipaten. Malam itu dia
telah menyusun rencana untuk melaksanakan
niat terkutuk yang selama ini masih ditahan-
tahannya. Dia yakin Galuh Resmi tidak akan
menolak. Kalau pun ternyata nanti perempuan
cantik itu tidak bersedia melayaninya akan
dipaksanya dengan kekerasan, lalu menyingkir
dari Gombong. Habis perkara! Bukankah
maksudnya meminta jabatan kepala pengawal
Kadipaten itu sebenarnya hanyalah kedok
belaka? Karena yang diintainya bukan lain
adalah istri Adipati Gombong yang muda belia
dan cantik rupawan itu!
Di hadapan pintu kamar yang diketahuinya
adalah kamar tidur Galuh Resmi, kepala
pengawal itu berhenti, tegak sejenak
memasang telinga. Semuanya serba sunyi. Dia
melangkah mendekati pintu satu lagi. Di sini
didengarnya suara dengkur Adipati Kebo
Panaran.
Dipasingara kembali ke pintu pertama dan
mulai mengetuk daun pintu perlahan-lahan.
Tak selang beberapa lama didengarnya suara
orang turun dari ranjang, disusul suara
langkahlangkah kaki. Lalu pintu di depannya
terbuka sedikit. Wajah Galuh Resmi
menyeruak di celah pintu. Perempuan ini
tampak agak kaget melihat Dipasingara.
"Ada apakah…?" tanya Galuh Resmi.
"Adipati telah tidur?"
"Ya, kenapa?"
"Boleh aku masuk?" tanya Dipasingara.
Matanya memandang tajam. Lalu tanpa
menunggu jawaban dia mendorong daun pintu
dan menyelinap masuk ke dalam. Sampai di
dalam daun pintu ditutupnya dengan cepat.
"Kepala pengawal, tindakanmu masuk ke
dalam kamar dan malam-malam begini
sangat diluar kesopanan!" Suara Galuh Resmi
bergetar.
Dipasingara tersenyum.
"Kau tau mengapa aku datang kemari,
Galuh?" ujar Dipasingara pula. Suaranya
setengah berbisik dan senyum masih terus
menyungging di bibirnya.
Galub Resmi merasakan dadanya berdebar.
Pemuda yang selama ini selalu memanggilnya
dengan sebutan "jeng" kini langsung
menyebut namanya.
"Kau ingin bertemu dengan Adipati?"
Dipasingara menggeleng.
"Aku hanya ingin menemuimu. Bukankah
pertemuan ini sudah sejak lama sama kita
nantikan?"
"Kepala pengawal. Jaga mulutmu.."
"Namaku Dipasingara."
"Jika Adipati tahu kau masuk malam-malam
ke sini, kau bisa celaka!"
"Dan agar suamimu tidak tahu boleh kukunci
pintu yang menghubungkan kamar ini dengan
kamar sebelah?"
"Tidak! Kau harus ke luar dan sini
Dipasingara. Saat ini juga!"
Kembali si pemuda tersenyum. Dia melangkah
ke arah pintu penghubung lalu menguncinya.
"Kau…! Apa-apaan ini? Apa maksudmu
Dipasingara?"
Kepala pengawal itu melangkah ke hadapan
Galuh Resmi, membuat perempuan ini tersurut
mundur.
"Kalau kau berani melakukan sesuatu
terhadap ku, aku akan menjerit!" Galuh
mengancam.
"Galuh, jangan tipu dirimu sendiri," bisik
Dipasingara. "Jangan tipu perasaan hati
sanubarimu. Apakah layangan senyum dan
lirikan mata mesramu selama ini hendak kau
musnahkan dengat satu teriakan yang akan
membangunkan seluruh isi gedung Kadipaten
ini?"
"Tapi…."
"Aku menyukaimu. Dan kau menyukaiku. Kita
sama-sama tau hal itu. Atau masihkah kau
hendak berpura-pura?" "Kalau semua itu
terjadi tidak kuinginkan sampai sejauh ini.
Kau berani masuk ke kamarku!"
"Lagi-lagi kau menipu dirimu Galuh. Aku
yakin bahwa kau sepenuhnya menyadari
bahwa satu saat pertemuan seperti ini pasti
akan terjadi. Aku telah masuk ke mari
menemuimu, orang yang kukagumi
kecantikannya, yang ku… yang kukasihi.
Apakah semua itu hendak kau hancurkan…?"
Gauh Resmi tundukkan kepala. Dadanya yang
kencang bergoyang turun naik.
"Masih banyak kesempatan untuk bertemu
Dipa. Jika memang kau inginkan. Bukan
malammalam begini. bukan di kamar…."
"Jadi kau inginkan aku keluar dari kamar ini?"
tanya Dipasingara.
Galuh Resmi tak menjawab. Disadarinya
bahwa diam-diam dia memang menyukai
Dipasingara pada saat pertama kali melihat
pemuda ini. Tetapi tindakan Dipasingara
masuk ke dalam kamar seperti itu sangat
berbahaya. Namun untuk menyuruh si pemuda
ke luar dari kamarnya hatinya terasa sangat
berat. Sesaat dia hanya bisa berdiam diri.
Kemudian dirasakannya nafas pemuda itu
menghembus hangat di wajahnya. Lalu terasa
pegangan jarijari tangan Dipasingara pada
kedua bahunya.
"Kau izinkan aku bersamamu malam ini di sini
Galuh?"
Pemuda itu mengusap dagu Galuh Resmi.
Perlahan-lahan diangkatnya hingga
perempuan itu menengadah. Sepasang mata
mereka saling bertatapan.
"Dipa, kau terlalu berani Dipa. Terlalu berani."
desis Galuh Resmi.
"Semuanya karena kau. Demi kau Galuh…"
balas berbisik Dipasingara.
Perempuan itu menggeliat sewaktu lehernya
disentuh ciuman Dipasingara. Ah, betapa
tubuhnya menjadi menggigil panas dingin
tetapi nikmat. Betapa darahnya menyentak-
nyentak. Betapa lainnya terasa peluk dan
ciuman pemuda itu dibanding dengan
rangkulan suaminya yang berusia setengah
abad itu!
"Jangan di sini Dipa. Jangan di sini…" kata
Galuh Resmi waktu pemuda itu
membimbingnya ke tempat tidur.
Tapi Dipasingara menghujaninya dengan
ciuman bertubi-tubi pada pangkal lehernya.
Membuat perempuan itu bergelinjang,
menggeliat dan mengeluarkan suara lirih.
Nafasnya memburu tetapi tersendat-sendat.
"Tidak di sini Dipa. Aku khawatir suamiku
bangun…."
"Semua pintu telah kukunci. Tak ada yang
harus kau takutkan," kata Dipasingara. Dia
membungkuk, membenamkan hidungnya di
celah antara kedua buah dada Galuh Resmi,
membuat perempuan itu mencengkeramkan
kuku-kuku jarinya ke punggung Dipasingara.
Ketika tubuhnya diangkat, Galuh
menggelungkan tangannya ke leher si
pemuda.
Kini dia terbaring di atas tempat tidur. Dipa
yang membaringkannya. Galuh memejamkan
matanya. Tak berani menatap wajah
Dipasingara. Sesaat kemudian dirasakannya
jari-jari tangan Dipasingara menyelinap di
balik pakaiannya. Galuh Resmi tersentak,
menggeliat kelangsangan. Selama ini hanya
jari-jari tangan lelaki tua bernama Kebo
Panaran yang menggerayangi tubuhnya.
Betapa lainnya dengan rabaan seorang
pemuda.
Galuh Resmi menggeliat lagi, lagi dan lagi
sampai akhirnya tiba-tiba dia membalikkan
tubuh dan menggigit dada Dipasingara.
Pemuda itu mengeluh kesakitan tapi sekaligus
menimbulkan gelegak rangsangan. Tangan
Dipasingara menggerayang lebih berani. Galuh
Resmi merasa seperti pembuluh-pembuluh
darahnya meletus sewaktu pemuda itu mulai
membuka pakaiannya. Tidak berani dia
membuka matanya. Tak berani dia membuka
mulut. Desau nafasnya membara.
Dirasakannya tubuh Dipasingara meneduhi
tubuhnya. Tubuh kukuh itu dipeluk Galuh
Resmi kuat-kuat.
Demikianlah malam itu telah terjadi hubungan
gelap dan mesum antara Dipasingara dengan
Galuh Resmi. Antara seorang kepala pengawal
dengan perempuan yang menjadi istri Adipati
atasannya sendiri! Apa yang terjadi malam itu
baru merupakan permulaan saja dari
serangkaian panjang perbuatan mesum
terkutuk diantara mereka berdua.
Betapa pun suatu kejahatan tidak akan
berlangsung selama-lamanya tanpa diketahui
orang. Bagaimana pun sesuatu yang berbau
busuk itu tak mungkin dibungkus
disembunyikan. Lama kelamaan akan tercium
dan ketahuan juga. Demikian pula dengan
segala perbuatan mesum yang dilakukan
Dipasingara dan Galuh Resmi.
Hanya dalam waktu dua bulan, entah
bagaimana sebabnya, seisi gedung Kadipaten
telah mengetahui hubungan gelap dan kotor
kedua orang itu. Hanya karena takut terhadap
Galuh Resmi, terlebih lagi ngeri akan tindakan
yang bakal dilakukan Dipasingara yang
berilmu tinggi itu, maka tak ada seorang pun
yang berani menyampaikan atau mengadukan
kebusukan itu pada Adipati Kebo Panaran.
Namun pada akhirnya diam-diam Kebo
Panaran merasakan adanya kelainan pada
tindak tanduk istrinya.
Kemudian diperhatikannya pula tingkah laku
Dipasingara. Sikap Galuh Resmi jika berada di
dekat kepala pengawalnya itu, Pastilah ada
hubungan tertentu antara kedua orang ini.
Dan hubungan antara lelaki muda dengan
seorang perempuan jelita apalagi kalau bukan
menjurus pada hubungan hati dan badaniah?
Sudah sampai sebegitu jauhkah hal itu
terjadi?
Kebo Panaran berusaha mencari bukti-bukti.
Tetapi gagal. Dicobanya memancing kedua
orang itu dengan pura-pura pergi
menjalankan tugas ke kota atau ke desa-
desa. Lalu diamdiam bersama beberapa
pengawal dia melakukan pengintaian. Tapi
semuanya tetap tidak membawa hasil.
Suatu ketika Kebo Panaran mendapat akal.
Sengaja dicarinya satu kesempatan baik.
Selagi berdua-dua dengan Galuh Resmi
berkatalah Adipati ini:
"Istriku Galuh, seingatku telah lebih dari tiga
bulan dinda tak pernah menyambangi ibu
mertuamu di Karangtretes…."
"Memang betul kanda. Sudah tiga bulan kita
tak pernah ke sana." Menyahuti Galuh Resmi.
"Aku kawatir kalau-kalau nanti mereka kecewa
dalam berharap-harap. Dan menganggapmu
sebagai seorang menantu yang tak punya
perhatian…"
Galuh Resmi terdiam. Kebo Panaran melirik
dan meneruskan:
"Bagaimana kalau besok kau berangkat ke
Karangtretes?"
"Jika begitu kehendak kanda, saya akan
berangkat besok. Kanda tentu akan ikut serta
pula bukan?"
"Ada urusan yang perlu kuselesaikan di
Kotaraja. Penting sekali. Aku tak mungkin
menemanimu. Sampaikan saja salam
hormatku pada orang tuaku…."
"Ah, mana enak pergi tanpa kanda. Kanda
yang menyuruh saya pergi tapi kanda sendiri
tidak ikut," mengajuk Galuh Resmi membuat
Kebo Panaran agak bimbang apa benar
sedemikian besar perhatian serta kasih
sayang istrinya.
"Lagi pula saat ini daerah yang bakal dilalui
kabar-kabarnya kurang aman," kata Galuh
Resmi lebih lanjut.
"Hal itu tak usah dinda kawatirkan.
Dipasingara akan mengawalmu pulang pergi
bersama beberapa prajurit."
"Meskipun demikian, jika urusan kakanda di
Kotaraja cepat selesai, saya harap kanda mau
menjemput ke Karangtretes dan pulang
bersama-sama."
Kebo Panaran menganggukkan kepalanya.
Tak lama kemudian suami istri itu pun masuk
ke kamar mereka. Di atas ranjang malam itu
Galuh Resmi sangat bergairah. Ini agak
mengherankan Kebo Panaran. Sebenarnya
perempuan itu bergairah karena ingat saat
berduadua dengan Dipasingara yang bakal
dialaminya dalam perjalanan ke Karangtretes
pulang pergi.
Karangtretes sebuah desa subur di tepi
lembah yang jaraknya kira-kira satu setengah
hari perjalanan dari Gombong. Jika seseorang
berangkat pagi hari dengan mengendarai
kuda, pada malamnya dia akan sampai di
sebuah kampung pusat perdagangan yang
terletak setengah hari perjalanan dari
Karangtretes.
Biasanya orang akan berhenti dan menginap
di sana. Keesokan hari baru melanjutkan
perjalanan lagi.
Demikian pula dengan rombongan Galuh
Resmi. Mereka sampai di kampung itu
sewaktu siang telah berganti malam.
Dipasingara yang memimpin rombongan
langsung membawa rombongan ke sebuah
penginapan. Di situ disewanya tiga buah
kamar.
Kamar yang paling besar dan bagus serta
bersih untuk Galuh Resmi. Kamar kedua yang
bersebelahan dengan kamar pertama
ditempati oleh kusir kereta dan prajurit-
prajurit yang berjumlah tiga orang. Kamar
terakhir yang terletak di sebelah kiri kamar
Galuh Resmi ditempati oleh Dipasingara
seorang diri.
Mengetahui bahwa yang menginap adalah
rombongan istri Adipati Gombong maka
pemilik dan pembantu-pembantunya
memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya.
Karena perjalanan seharian penuh itu, sehabis
makan para prajurit dan kusir kereta yang
keletihan langsung masuk kamar dan tertidur
pulas. Sebelumnya kepada mereka Dipasingara
berkata bahwa malam itu dia sendiri yang
akan berjaga-jaga. Tetapi semua orang sudah
maklum kalau pimpinan mereka itu akan
mempergunakan kesempatan untuk bersenang­
senang berbuat mesum dengan istri Adipati.
Karena mereka tidak perduli dan sudah muak
maka langsung saja ke tempatnya tertidur.
Di dalam kamarnya Galuh Resmi berdiri di
depan kaca, memupuri wajahnya yang halus
dengan bedak harum. Di antara heningnya
malam Galuh Resmi kemudian mendengar
suara ketukan halus di pintu kamar. Dia
tersenyum. Diletakkannya kotak bedak di atas
meja lalu cepat-cepat membuka pintu.
"Aku masih belum selesai berhias, engkau
sudab datang kemari," kata Galuh Resmi
dengan senyum lebar memanaskan birahi
Dipasingara.
Tanpa menunggu lebih lama Dipasingara
masuk dan sekaligus mengunci pintu.
"Orang secantikmu tak perlu berdandan lagi
Galuh," ujar Dipasingara.
"Seorang permaisuri raja pun tetap
memerlukan berhias. Apalagi aku…" sahut
Galuh Resmi.
"Soalnya mungkin permaisuri itu jelek. Dan
kau secantik bidadari. Tidak pernah
membosankan,…"
Tak sabar lagi Dipasingara langsung
mengulurkan kedua tangannya dan memeluk
Galuh Resmi kencang-kencang.
Sebelumnya mereka telah biasa berbuat
kemesuman di gedung Kadipaten. Kini karena
merasa lebih bebas serta aman maka masing-
masing lebih terangsang oleh kobaran nafsu,
lebih hebat dari yang sudah-sudah. Dalam
keadaan setengah telanjang keduanya
bergulingguling di atas tempat tidur. Tempat
tidur besar itu kini berubah menjadi sebuah
arena pertandingan. Pertandingan mesum.
"Dipa…" bisik Galuh Resmi suaranya lirih.
Matanya setengah terpejam. Jari-jarinya
mencengkam punggung si pemuda.
Dipasingara tahu betul apa arti bisikan itu.
Satu demi satu segera ditanggalkannya
pakaian yang melekat di tubuh Galuh Resmi.
Ketika lelaki ini hendak melepaskan pakaian
terakhir yang melekat di aurat Galuh, tiba-tiba
pintu kamar ditendang dari luar hingga
terpentang lebar dan hancur berantakan!
Menyusul terdengar suara bentakan
menggeledek.
"Manusia-manusia dajal! Malam ini kalian
berdua akan mampus dalam kemesuman!"
Galuh Resmi memekik. Dia mengenali suara
itu. Juga Dipasingara.
"Wuutt!"
Satu sambaran angin keras menderu dekat
kepala Dipasingara.
Pemuda ini cepat jatuhkan diri dan berpaling
menghadapi. Adipati Kebo Panaran! Dia
berhadap-hadapan dengan Adipati itu! Di
tangan kanan Kebo Panaran tergenggam
sebilah pedanq panjang. Parasnya kelam
membesi, seram menggidikkan!
"Pemuda haram jadah! Jadi inilah balas
jasamu terhadapku! Mampuslah!"
Untuk kedua kalinya Kebo Panaran
membabatkan pedangnya ke arah kepala
Dipasingara. Untuk kedua kalinya pula kepala
pengawal Kadipaten ini berhasil mengelak.
Dengan kalap karena diamuk amarah Kebo
Panaran memburu dan hantamkan pedangnya
bertubi-tubi.
"Kanda! Kanda Kebo Panaran! Hentikan…
Hentikan…!" Galuh Resmi menjerit panjang
sambil menjangkau kain untuk menutupi
auratnya yang polos.
"Perempuan laknat! Kau mampus duluan!"
Kebo Panaran tusukkan pedangnya ke dada
telanjang istrinya.
Galuh Resmi menjerit.
Sebelum ujung pedang menembus dada yang
putih telanjang itu, satu deru angin dahsyat
datang memapas dari samping. Kebo Penaran
terhuyung-huyung, bahkan hampir
terpelanting jika dia tidak lekas-lekas
memperkuat kuda-kuda kakinya. Tusukan
pedangnya meleset jauh.
Ternyata Dipasingara telah lepaskan satu
pukulan tangan kosong yang dahsyat. Hal ini
membuat Adipati Gombong itu menjadi
penasaran.
Sambil berbalik tangan kirinya dipukulkan ke
depan.
Serangkum cahaya putih yang luar biasa
panasnya berkiblat. lnilah pukulan sakti
bernama "Perak Mendidih" yang merupakan
pukulan paling hebat yang dimiliki oleh
Adipati Gombong itu. Dia sengaja
mengeluarkan pukulan sakti itu siang-siang
karena ingin menamatkan riwayat Dipasingara
detik itu juga.
Dipasingara kaget bukan kepalang. Tidak
disangkanya Adipati tua yang kelihatannya
mulai pikun itu ternyata memiliki ilmu
pukulan tangan kosong yang demikian
hebatnya. Buru-buru dia melompat ke
samping selamatkan diri. Tak urung hawa
panas masih sempat menyambar pundak
kirinya hingga kelihatan menjadi merah dan
perih.
Pukulan "Perak Mendidih" lewat, terus
melanda dinding kamar hingga hancur hangus
berkeping-keping dengan suara gaduh, ini
membuat terbangunnya seluruh isi
penginapan.
"Bangsat!" bentak Adipati Kebo Panaran
geram ketika melihat pukulannya tidak
mengenai sasaran. Dia pukulkan tangan
kirinya sekali lagi untuk melancarkan
serangan yang sama.
Namun saat itu Dipasingara sudah bersiap
sedia. Dia tak ingin berada di tempat itu lebih
lama dalam keadaan hampir telanjang begitu
rupa. Dari balik pakaiannya yang terletak di
tepi ranjang dikeluarkan sebuah benda hitam.
"Sreett!"
Benda hitam itu terbuka. Ternyata adalah
sebuah kipas hitam legam. Sekali Dipasingara
menggoyangkan tangannya, bersiurlah larikan
sinar hitam yang sangat menggidikkan.
Pukulan "Perak Mendidih" yang siap
dilancarkan Kebo Panaran musnah tertindih.
Sinar hitam terus melabrak.
Kebo Panaran menjerit keras. Tubuhnya
mental dan bergulingan di lantai, hangus
hitam tanpa nyawa. Laksana sepotong kayu
dimakan api!
Galuh Resmi memekik tiada henti.
Di luar kamar yang porak poranda itu
penghuni penginapan datang berlarian
Dipasingara menggigit bibir. Cepat dia
mengambil pakaiannya dan mengenakannya.
Kipas hitam diselipkannya dibalik pinggang.
Lalu seperti tidak terjadi apa-apa di situ
pemuda ini balikan tubuh siap untuk berlalu.
"Dipa, kau mau ke mana…?" seru Galuh Resmi.
Dipasingara tersenyum. Senyum aneh yang
lebih merupakan seringai sadis di mata Galuh
Resmi.
"Ke mana aku mau pergi itu bukan
urusanmu!" Kata-kata itu terluncur dari mulut
Dipasingara. Ini sangat mengejutkan Galuh
Resmi.
"Jadi… jadi kau mau pergi begitu saja?!"
"Antara kita tak ada hubungan apa-apa sejak
semula. Biar semua berakhir seperti itu!"
"Kau… jangan pergi Dipa! Bawa aku bersama
mu!"
Kembali Dipasingara menyeringai buruk. Tiba-
tiba dia tertawa mengekeh.
"Aku tidak butuh kau lagi Galuh. Aku telah
mendapatkan segalanya darimu!'
"Mulutmu keji. Hatimu ternyata jahat! Kau
manusia jahat!"
Dipasingara tertawa bergelak. Sekali dia
berkelebat tubuhnya lenyap dari tempat itu.
Hanya suara tawanya saja yang sesaat masih
terdengar menggema di kejauhan di malam
yang dingin.
Galuh Resmi merasakan dadanya sesak. Dia
menjerit keras lalu terkulai dan jatuh pingsan
di lantai kamar.
Tiga prajurit Kadipaten menghambur masuk
ke dalam kamar diikuti oleh pemilik kedai dan
pembantu-pembantunya. Kesemuanya
langsung terpaku di lantai begitu menyaksikan
sosok tubuh Adipati Kebo Panaran yang
hangus hitam hampir tak dikenal menggeletak
di lantai. Tak jauh dan situ terkapar istrinya
dalam keadaan tanpa sehelai benangpun
menutupi auratnya. Seseorang mengambil
kain dan menutupi tubuh ini.
Untuk beberapa lamanya tak seorangpun
melakukan sesuatu. Semuanya masih terpaku
oleh rasa tak percaya tetapi juga ngeri. Tiba-
tiba tubuh Galuh Resmi kelihatan bergerak.
Dua prajurit segera mendekat untuk
menolong. Tetapi perempuan muda ini tiba-
tiba menjerit.
"Pergi! Jangan dekati aku! Jangan pegang!"
Perempuan itu melompat tegak. Dia seperti
tidak menyadari kalau saat itu dia tidak
berpakaian sama sekali dan tegak di hadapan
banyak orang. Tiba-tiba dia menjerit keras.
"Istri Adipati ini pasti sudah jadi gila…" kata
pemilik penginapan dalam hati.
Didahului oleh satu raungan panjang, tiba-
tiba Galuh Resmi lari ke tempat suaminya
terbujur. Tanpa ada satu orangpun yang
dapat mencegah, perempuan ini mengambil
pedang milik Kebo Panaran lalu berteriak:
"Kanda Kebo Panaran! Ampuni istrimu! Aku
menyusulmu kanda!"
Apa yang terjadi kemudan sangat cepat.
Semua orang tertegun terkesiap. Tak
seorangpun sempat atau mampu mencegah
tindakan Galuh Resmi. Mereka seolah-olah
baru tersadar ketika Galuh Resmi sudah
terkapar mandi darah di lantai. Pedang Kebo
Panaran menancap di dadanya. Sungguh
malang perempuan muda ini. Sisa hidupnya
sejak beberapa bulan lalu penuh kekotoran
bergelimang dosa mesum. Dan kini
kematiannyapun dalam jalan yang sesat pula.
Semua gara-gara Dipasingara. Pemuda
terkutuk yang telah melarikan diri entah
kemana!
Jika seseorang berdiri di puncak gunung
Slamet, maka dia akan dapat melihat
pemandangan indah terbentang di bawahnya.
Di mana-mana hutan menghijau segar, di
seling oleh sawah luas yang menghampar
kuning laksana permadani emas. Beberapa
sungai kecil yang mengalir berkilau-kilau
airnya ditimpa sinar matahari, tak ubah
seperti ular yang tengah melenggang lenggok.
Kita menuju ke lereng timur gunung Slamet
yang menjulang tinggi itu.
Di hadapan sebuah pondok papan tampak
berdiri seorang lelaki tua yang menurut
taksiran paling tidak usianya telah mencapai
tuluhpuluhan. Di depan orang tua ini tegak
seorang pemuda bersama seorang gadis
manis ayu, berkulit kuning langsat.
Setelah memandang pada pemuda yang
berdiri di hadapannya itu beberapa lama
maka berkatalah si orang tua:
"Walau bagaimanapun kita tidak dapat
menolak kenyataan, bahwa di antara seribu
satu peristiwa dalam kehidupan manusia,
sepasang di antaranya adalah pertemuan dan
perpisahan. Setiap ada pertemuan tentu ada
pula perpisahan. Pertemuan tidak kekal
karena selalu adanya perpisahan. Demikianlah
sifat segala apa yang ada di alam ini.
Semuanya tidak kekal. Tak ada yang abadi.
Hanya satu yaitu Yang Esa sajalah yang akan
tetap kekal selama-lamanya.
Hari ini kalau aku tidak salah hitung tepat
sewindu lamanya kau tinggal bersamaku dan
mengenyam segala macam ilmu pelajaran.
Justru di hari ini pula kepadamu akan
kuberikan satu tugas. Tugas ini membuat kau
harus berpisah denganku. Dan lebih dari itu
terpaksa berpisah dengan orang yang kau
kasihi.
Tetapi aku yakin Sanjaya, perpisahan ini tentu
sudah kau sadari sebelumnya. Karenanya
sebagai seorang lelaki kau tentu akan
menunjukkan ketabahan hati dan kebesaran
jiwa. Bila nanti tugasmu telah selesai kau
akan kembali kemari. Pertemuan kita nanti
sekaligus akan merupakan hari paling
bahagia dalam hidupmu. Yakni perkawinanmu
dengan Wulandari…"
Sampai di situ orang tua itu hentikan kata-
katanya.
Dilihatnya Sanjaya menunduk agak tersipu
maka sedang Wulandari juga menunduk
dengan wajah kemerahan.
"Sebagai seorang berilmu tinggi," melanjutkan
orang tua itu, "Harus kau sadari bahwa setiap
tugas adalah mahal. Dan memang adalah
menjadi satu kewajiban bagi seseorang yang
telah berilmu untuk mengamalkan ilmunya itu.
Ilmu yang tidak diamalkan tak ada gunanya.
Tak ada manfaatnya.
Nah Sanjaya, tak banyak nasihat atau petuah
yang akan kuberikan pada saat ini. Segala
sesuatunya nanti akan terletak di tanganmu
sendiri. Pergilah ke Kotaraja dan kembalilah
bila tugasmu sudah selesai. Berikan
pengabdianmu yang tulus pada kerajaan. Aku
gurumu dan kekasihmu Wulandari akan
menunggumu di sini"
Selesai berkata begitu si orang tua lantas
mengundurkan diri masuk ke dalam pondok
guna memberikan kesempatan pada sepasang
muda mudi yang merupakan murid-murid
kesayangannya.
Di bagian belakang pondok terdapat sebuah
kebun kecil. Di ujung kebun terletak telaga
buatan berair jernih karena berasal dari
pancuran air gunung yang segar. Wulandari
melangkah ke tepi telaga diikuti oleh Sanjaya.
Lama keduanya berdiri di tempat itu tanpa
satu orangpun membuka mulut. Detik-detik
perpisahan yang menggugah hati itu
membuat seolah-olah lidah mereka menjadi
kelu, membuat mulut masing-masing seperti
terkunci, tak sanggup melafatkan kata-kata.
Namun setelah beberapa lama akhirnya
Sanjaya memecah kesunyian walau suaranya
agak bergetar.
"Wulan, perpisahan ini merupakan satu ujian
bagi kita…."
"Aku kawatir kak," sahut Wulandari sambil
memperhatikan air pancuran yang jatuh
memercik di atas batu hitam, baru mengalir ke
dalam telaga.
"Apa yang kau kawatirkan?" tanya Sanjaya.
"Kotaraja ribuan lebih bagus segala-galanya
dari pada di sini. Gadis-gadisnya cantik-
cantik, tidak seperti gadis buruk di puncak
gunung Slamet ini. Akan sanggupkah kau
menghadapi ujian seperti itu?"
Sanjaya kontan tersenyum lebar. Dia maju
mendekati gadis itu. Sambil memegang jari-
jari Wulandari dia berkata:
"Selama rimba masih hijau dan selama air
sungai masih mengalir ke lautan lepas,
selama itu pulalah cintaku terhadapmu tak
akan luntur. Selama itu pula aku setia pada
cinta kita."
Sunyi beberapa lamanya. Di kejauhan
terdengar kicau burung-burung. Jari-jari
tangan mereka saling beremasan. Wulandari
kemudian melihat paras pemuda itu
mendekati wajahnya. Dipejamkannya kedua
matanya. Lalu dirasakannya satu ciuman
lembut dan mesra pada keningnya. Dan
terdengar bisikan Sanjaya:
"Wulan, aku pergi sekarang. Jaga dirimu
baik-baik…"
"Hati-hati. Dan lekas kembali." bisik
Wulandari. Lalu dicabutnya tusuk kundai
perak di rambutnya dan menyerahkannya
pada Sanjaya seraya berkata:
"Bawalah ini, simpan baik-baik. Jika kau
ingat aku ambil dia dan pandanglah. Mudah­
mudahan rindumu akan terobat."
"Terima kasih Wulan," kata Sanjaya dengan
terharu sambil menerima tusuk kundai perak
itu. Dia berpikir-pikir benda apa yang akan
diberikannya pada Wulandari sebagai
balasan. Tibatiba dia teringat pada cincin
berbatu biduri bulan di tangan kirinya.
Ditanggalkannya benda itu lalu berkata:
"Pakai cincin ini sebagai pengganti diriku…."
Sanjaya kemudian memasukkan cincin
tersebut ke jari manis tangan kanan
Wulandari. Setelah menyiapkan barang-
barang yang perlu dibawa dan
memasukkannya dalam sebuah buntalan,
Sanjaya lalu berpamitan pada gurunya.
Selesai pamit pemuda itu segera menuruni
gunung Slamet. Wulandari mengantarkannya
sampai di sebuah tikungan dan baru kembali
ke pondok bilamana pemuda yang dicintainya
itu lenyap dari pandangan di kejauhan.
"Ya Tuhan, selamatkanlah dia dalam
perjalanan. Lindungi dia dalam tugas
mengabdi Kerajaan. Selamatkan pula dia
dalam perjalanan kembali…" demikian
Wulandari berdo'a dalam hati untuk
kekasihnya.
Hari itu adalah hari kedua sejak Sanjaya
meninggalkan pondok gurunya di gunung
Slamet. Wulandari mempersibuk diri dengan
berbagai pekerjaan. Sehabis mengambil
sayuran segar di ladang, ditampungnya air
pancuran dalam sebuah kendi besar. Sewaktu
dia membawa kendi serta sayuran itu kembali
ke pondok, gadis ini dikejutkan oleh
kemunculan seorang yang tak dikenal di
hadapannya.
Orang ini masih muda belia, mungkin seusia
Sanjaya. Pakaiannya putih sederhana.
Rambutnya hitam tebal menyela bahu.
Wajahnya yang cakap tampan itu memiliki
sepasang mata sipit yang mempunyai
pandangan tajam.
Sebagaimana terkejutnya Wulandari demikian
pula tampaknya pemuda asing itu. Dalam
keterkejutan untuk beberapa saat lamanya
kedua orang ini saling berpandangan.
"Maaf saudari…" si pemuda akhirnya
membuka mulut. Suaranya halus dan sikapnya
sopan. "Kalau aku boleh bertanya, apakah di
sini tempat kediaman Eyang Wulur
Pamenang?"
Wulandari tak segera menjawab. Dia meneliti
pemuda itu sesaat baru menganggukkan
kepala.
"Apakah saat ini beliau ada di dalam?"
Wulandari mengangguk lagi. "Dapatkah aku
bertemu dengan beliau?" Sebelum Wulandari
menjawab dari dalam pondok terdengar suara
gurunya.
"Tamu yang datang, silahkan masuk ke dalam
pondokku yang buruk."
Wulandari memberi jalan. Si pemuda lalu
masuk ke dalam pondok. Di bagian depan
pondok pemuda itu melihat seorang tua
duduk bersila di atas sehelai kulit kambing
putih. Dipangkuannya ada seuntai tasbih
warna kuning yang memancarkan sinar
terang.
Begitu sampai di hadapan si orang tua,
pemuda tadi jatuhkan diri berlutut. Eyang
Wulur Pamenang adalah seorang yang paling
tidak senang dihormati secara berlebihan,
apalagi pakai berlutut segala. Buru-buru dia
berkata:
"Duduklah di tikar. Katakan siapa kau, datang
dari mana dan ada keperluan apa mencariku."
Si pemuda duduk bersila di hadapan Eyang
Wulur Pamenang. Dia tidak segera membuka
mulut memberikan jawaban. Tampaknya ada
sesuatu yang mengganjalnya.
"Anak muda, kau belum menjawab
pertanyaanku," menegur Wulur Pamenang.
"Eyang, saya bernama Handaka. Datang dari
desa Kembiring, dua minggu perjalanan dari
sini. Saya…."
Si pemuda tak bisa meneruskan kata-katanya.
"Anak muda, tenanglah hatimu. Bicaralah
biasa. Tak usah ragu-ragu. Tak ada yang
dikawatirkan di sini."
"Saya, saya mencari Eyang karena
malapetaka besar telah menimpa kampung
saya termasuk orang tua serta saudara-
saudara saya."
"Malapetaka apakah yang telah menimpa
desa serta keluargamu?"
Si pemuda lantas menerangkan. "Sehari
sebelum terjadinya malapetaka itu seorang
anggota gerombolan rampok yang dipimpin
oleh Warok Grimbil telah kedapatan mati
dalam cara amat mengerikan. Mayatnya
ditemukan dalam desa kami. Sekujur
tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki
hancur lumat bekas dicincang. Tak
seorangpun tahu siapa yang membunuhnya
dan bagaimana bisa berada di desa kami.
Kemudian datanglah malapetaka itu.
Warok Grimbil dan orang-orangnya
menyangka bahwa penduduk Kembiringlah
yang telah membunuh anak buah dan teman
mereka itu. Malam hari, ketika penduduk
sedang tidur Warok Grimbil dan anak buahnya
datang menyerbu. Setiap bangunan di desa
dibakar. Semua orang dibunuh. Tak perduli
orang tua, perempuan ataupun anak-anak
yang tidak berdosa. Setelah melakukan
perbuatan biadab itu gerombolan rampok
membawa harta benda dan ternak penduduk
lalu melarikan diri…"
Eyang Wulur Pamenang termenung. Memang
sudah sejak lama mendengar kejahatan yang
dilakukan oleh gerombolan rampok pimpinan
Warok Grimbil seorang jahat yang
berkepandaian tinggi.
"Kau sendiri bagaimana bisa menyelamatkan
diri?" bertanya Wulur pamenang.
"Sewaktu bencana itu terjadi, saya berada di
desa tetangga. Melihat kepulan asap dan
langit merah tanda ada kebakaran, saya
cepat-cepat kembali ke Kembiring. Yang saya
temui hanya kemusnahan yang memilukan
dan mengerikan. Di mana-mana mayat
berkaparan, Warok Grimbil dan anak buahnya
telah melarikan diri di hadapan reruntuhan
rumah saya, saya temui kedua orang tua saya
dan semua saudara-saudara menemui ajal
dengan cara yang mengerikan. Ketika saya
menangis seperti orang gila, lapat-lapat saya
dengar suara orang menggerang sambil
memanggil nama saya. Orang itu ternyata
adalah sahabat dan tetangga saya. Tubuhnya
penuh luka bekas tusukan senjata tajam.
Dalam keadaan sekarat Ia masih bisa
menerangkan bahwa Warok Grimbil bersama
anak-anak buahnyalah yang telah melakukan
kebiadaban itu…."
Ketika Handaka mengakhiri ceritanya suasana
dalam pondok ini menjadi sunyi sampai
akhirnya Eyang Wulur Pamenang membuka
mulut:
"Setelah kejadian itu, kau langsung menuju
kemari?"
"Betul Eyang."
"Tentunya dengan mengandung sesuatu
maksud."
"Benar. Tentang maksud itu saya rasa Eyang
tentu sudah maklum."
"Ah, aku yang sudah tua ini terlalu pikun
untuk meraba maksud seseorang."
"Eyang… apa yang telah terjadi dengan orang
tua dan saudara-saudara saya, telah
menimbulkan satu dendam kesumat yang
berurat berakar dalam dada saya. Walau
bagaimanapun, dan sampai di manapun saya
harus membalaskan sakit hati kematian
orang-orang yang saya kasihi itu. Namun
saya menyadari, seorang diri tak mungkin
untuk melakukan pembalasan. Apalagi
mengingat saya tidak memiliki kepandaian
apapun. Karena itulah saya datang kemari
untuk meminta bantuan Eyang. Sudilah
kiranya Eyang mengambil saya jadi murid.
Perkenankan saya menerima sejurus dua jurus
ilmu silat dari Eyang…."
Lama Wukir Pamenang termenung. Ada
beberapa hal yang membuat dia tidak bisa
memberikan jawaban dengan segera.
Kejahatan orang-orang macam Warok Grimbil
sudah semestinya ditumpas. Namun
menerima pemuda bernama Handaka itu
untuk jadi muridnya terasa agak berat bagi
orang tua ini. Dia telah mempunyai dua orang
murid yaitu Sanjaya dan Wulandari. Di
samping itu usianya telah terlalu tua untuk
memberikan pelajaran-pelalaran dasar pada
seorang murid baru. Kemudian ada satu hal
yang membuat dia merasa keberatan untuk
mengambil Handaka jadi muridnya. Dia
melihat satu bayangan pada wajah pemuda
ini.
Sepasang mata Wulur Pamenang yang tajam
penuh pengalaman disertai perasaan hati
yang arif melihat bahwa ada sifat-sifat buruk
tertentu mengendap dalam diri pemuda itu.
Namun untuk tidak mengecewakan Handaka,
Wulur Pamenang tidak mau menyatakan
penolakannya secara terang-terangan.
SebaliknYa dia berkata:
"Handaka, ketahuilah dari sekian banyak
sifat-sifat buruk di dalam dunia ini satu di
antaranya adalah dendam dan balas dendam.
Dendam yang selalu dilampiaskan tak akan
habis-habisnya sampai turun temurun. Warok
Grimbil dan anak-anak buahnya telah
membunuh orang tuamu, saudara-saudaramu
serta sahabat-sahabatmu sedesa. Layak
kalau rasa sakit hati dan dendam berurat
berakar dalam tubuhmu. Satu-satunya tekad
yang ada dalam hatimu saat ini adalah balas
dendam!
Katakanlah pembalasan berhasil kau lakukan.
Warok Grimbil dan anak-anak buahnya
berhasil kau bunuh. Namun tanpa setahumu
Warok Grimbil mungkin memiliki seorang
putera yang kelak kemudian hari akan
menuntut balas pula atas kematian ayahnya.
Demikian seterusnya tiada henti.
Semua ini terjadi lain tidak karena manusia-
manusia tidak dapat menahan nafsu untuk
balas dendam melampiaskan sakit hati dan
pembalasan. Lalu bagaimanakah jadinya jika
hal itu berlangsung demikian rupa terus
menerus? Dapat kau bayangkan sendiri
Handaka.
Orang-orang yang tidak ada sangkut paut dan
dosa apa-apa harus menemui kematian
dengan cara mengenaskan. Kemanusiaan dan
kebenaran sudah tidak dipikirkan lagi oleh
manusia-manusia yang katanya beradab.
Mereka berubah menjadi binatang. Malah
lebih jahat dari binatang. Karenanya kuharap
kau bisa menahan diri. Bersabar menghadapi
musibah atau cobaan besar ini. Tidak
terpengaruh untuk menempuh jalan sesaat
yang akan merugikan dirimu sendiri, bahkan
banyak orang!"
Setelah berdiam diri beberapa lamanya baru
Handaka membuka mulut memberikan
jawaban:
"Semua yang Eyang katakan itu memang
benar. Tapi jika boleh saya menjawab, saya
ingin mengajukan satu pertanyaan. Apakah
akan dibiarkan saja manusia-manusia macam
Warok Grimbil itu hidup terus malang
melintang berbuat kejahatan, membunuh,
merampok, memperkosa?"
Wulur Pamenang tersenyum dan menjawab:
"Betul Handaka. Betul sekali kalau kau
mengajukan pertanyaan seperti itu. Sebagai
jawabannya ingin kukatakan padamu bahwa
di dunia ini bukan hanya manusia-manusia
saja yang bisa mengambil tindakan. Lebih
dari itu kekuasaan Tuhan berada di mana-
mana. Kelak manusia macam Warok Grimbil
dan anak-anak buahnya akan mendapat
hukuman dan pembalasan dari-Nya!"
Kini Handaka yang ganti tersenyum.
"Seorang manusia yang cuma berlepas tangan
menunggu pembalasan Tuhan tanpa
mengadakan usaha sama sekali, sama saja
dia mati dalam hidupnya. Dan apakah arti
serta gunanya hidup semacam itu?"
"Kepala sama berambut Handaka, rambut
sama hitam. Tapi jalan pikiran orang berbeda
satu dengan lainnya…" kata Eyang Wulur
Pamenang pula. Ucapan pemuda itu tadi telah
membuat wajahnya yang tua jadi berubah
kemerahan,
"Betul Eyang, tetapi setiap manusia yang
bijaksana akan berusaha mengambil jalan ke
arah yang benar. Mungkin Eyang kurang atau
tidak dapat merasakan sakit hati seseorang
yang mengalami musibah matapetaka seperti
saya ini. Karena Eyang tidak terlibat. Karena
Eyang tidak menyaksikan dengan mata kepala
sendiri bagaimana lusinan mayat manusia tak
berdosa berhamburan dalam keadaan
mengerikan. Mayat perempuan-perempuan
tua, perempuan hamil, anak-anak bahkan bayi
yang masih merahi"
Wulur Pamenang memandangi tasbih hijau di
pangkuannya lalu berkata:
"Baiklah Handaka. Aku mengerti perasaan
serta tekadmu. Semuanya kufahami. Namun
bila kau menghendaki aku mengambilmu jadi
munid, sesungguhnya kau telah datang ke
tempat yang salah…."
"Salah bagaimana Eyang?" tanya Handaka tak
mengerti.
"Orang tua pikun yang hampir masuk liang
kubur macamku ini, ilmu kepandaian apakah
yang kumiliki dan bisa kuajarkan padamu?"
"Ah, Eyang terlampau merendahkan diri.
Delapan penjuru angin dunia persilatan boleh
dikatakan sudah mengenal nama besar
Eyang."
"Akan lebih baik jika kau mencari guru lain
yang lebih segala-galanya dariku. Hingga
kelak kau benar-benar menjadi seorang
pemuda yang berilmu tinggi"
"Eyang," sahut Handaka. "Saya telah datang
kemari karena tekad saya sudah bulat hanya
akan berguru kepada Eyang, tidak kepada
orang lain. Akan Eyang kecewakankah
manusia bernasib buruk ini?"
"Aku telah mempunyai dua orang murid. Tak
mungkin aku harus menerimamu pula…."
"Tak mungkin? Mengapa tidak mungkin
Eyang?" tanya Handaka.
Tapi orang tua itu tidak menjawab. Setelah
menunggu dan tidak kunjung ada sahutan,
Handaka berkata:
"Baiklah Eyang, memaksa orang yang tidak
mau adalah tidak baik. Seperti saya katakan,
saya tidak berniat mencari guru lain. Jika
saya turun dari puncak gunung Slamet ini,
dengan ilmu yang bernama ketabahan hati
dan kesabaran serta senjata sepasang tangan
ini saya akan mencari Warok Grimbil. Apakah
saya bakal dapat membunuhnya atau kepala
saya yang bakal menggelinding lebih dulu,
entahlah…"
Handaka menjura di hadapan Eyang Wulur
Pamenang lalu berdiri.
"Sebelum saya pergi Eyang, pernah saya
mendengar ucapan seorang tua di desa.
Katanya Seorang yang berilmu tetapi tidak
mau mengamalkan dan mengajarkan ilmunya
kepada orang lain, sama artinya dengan
seorang paling tolol di dunia ini. Dan kelak
orang itu akan mati dalam ketololannya.
Apakah ucapan orang tua itu benar atau tidak
harap Eyang sudi merenungkannya…"
Sekali lagi pemuda itu menjura lalu
membalikkan tubuh. Pada saat Handaka
mencapai ambang pintu dan siap untuk
melangkah keluar pondok tiba-tiba
didengarnya Eyang Wulur Pamenang
memanggil :
"Handaka, kembalilah! Aku akan
mengambilmu jadi murid!"
Enam bulan telah berlalu sejak kedatangan
Handaka dan sejak pemuda itu diambil
menjadi murid Eyang Wulur Pamenang di
puncak gunung Slamet. Orang tua itu memang
merasa heran melihat Handaka dapat
mengikuti setiap pelajaran silat yang
diberikan dengan cepat hingga hanya dalam
waktu enam bulan dia benar-benar telah
menguasai ilmu silat yang diturunkan
kepadanya.
Pemuda ini luar biasa, demikian Wulur
Pamenang berpendapat. Dia merasa tidak
kecewa mendapatkan murid seperti Handaka.
Sebagai dua orang saudara seperguruan tentu
saja hubungan Wulandari dengan Handaka
rapat sekali. Mereka sering berlatih berdua,
sering bercakap-cakap. Sedikit demi sedikit
rasa sepi yang ada di hati Wulandari karena
ditinggal Sanjaya menjadi berkurang bahkan
akhirnya pupus sama sekali. Harus diakui
bahwa Handaka bukan saja lebih gagah
parasnya dari Sanjaya tetapi juga pandai
bicara, suka bercerita dan sering melucu.
Pada mulanya hubungan mereka tidak lebih
dari apa yang telah dilukiskan di atas. Namun
lambat laun Wulandari menyadari bahwa dari
pihak Handaka hubungan itu telah dipandang
secara lain. Sampai pada suatu hari ketika
mereka sedang berdua-dua di tepi telaga
Handaka mengatakan bahwa dia mencintal
gadis itu.
Wulandari bukan seorang gadis yang mudah
berubah haluan. Sekali dia mencintai
seseorang dia akan mencintai selama-
lamanya. Akan tetapi sudah lumrah seorang
gadis yang kesepian kadangkala tidak
sanggup menghadapi godaan dari pemuda
lain. Apalagi dari seorang pemuda setampan
Handaka yang pandai bicara lihay merayu.
Hubungan mereka sehari-hari yang selalu
berdekatan itu lambat laun membuat
Wulandari menjadi mulai tertarik pada
Handaka,
Gadis ini mulai membanding-banding antara
Handaka dengan Sanjaya yang jauh di
Kotaraja. Dan cinta, bilamana sudah sampai
pada tingkat banding membandingkan tanda
umurnya tak akan lama lagi!
Demikianlah kalau dulu hampir setiap saat
Wulandari tak pernah melupakan Sanjaya
setiap malam hampir tak pernah dia lupa
berdoa untuk keselamatan kekasihnya itu,
maka kini mulai dilupakan Wulandari.
Sebagai seorang tua lanjut usia yang dalam
waktu tidak lama lagi kelak bakal menutup
mata, sekali seminggu Wulur Pamenang pergi
ke puncak Slamet paling tinggi dan sunyi
untuk bersemedi, bertafakur dalam sebuah
goa.
Kesempatan-kesempatan seperti inilah yang
memberikan peluang-peluang baik pada
Handaka dan Wulandari. Mula-mula hanya
saling pandang memandang. Kemudian
meningkat saling beremesan tangan. Lalu
lebih berani lagi, lebih berani lagi hingga
keadaan keduanya tidak beda dengan
hubungan suami istri.
Bagaimanapun juga lambat laun Wulur
Pamenang akhirnya mengetahui jalinan
hubungan antara kedua muridnya itu. Namun
tak pernah diduganya sama sekali kalau
hubungan mereka sudah demikian rapatnya,
melewati batas-batas hubungan adik dengan
kakak, hubungan saudara seperguruan, Wulur
Pamenang memutuskan untuk menjauhkan
kedua orang itu secara halus. Handaka akan
disuruhnya mendirikan sebuah pondok di
lereng barat gunung Slamet.
Namun sebelum hal itu dilakukannya, Wulur
Pamenang keburu mengetahui bahwa satu hal
luar biasa telah terjadi atas diri murid
perempuannya itu. Rasa marah dan kecewa
bertumpuk di hati si orang tua. Menyesal
mengapa dia dulu mengambil Handaka jadi
murid. Kesemuanya itu menumpuk menjadi
kemarahan yang meluap.
Ketika Handaka sedang berlatih silat di tepi
telaga Wulur Pamenang membawa Wulandari
ke ruang dalam pondok.
"Mungkin kau sudah bisa menduga kenapa
aku memanggilmu, Wulan?"
Sang murid memandang wajah gurunya
sejenak. Hatinya berdebar. Ada kelainan pada
wajah itu kini, juga kelainan pada nada
suaranya.
"Mana mungkin saya menduganya Eyang,"
kata Wulandari pula.
"Sejak beberapa lama ini aku merasa curiga
melihat hubunganmu dengan Handaka."
Bicara sampai di situ Wulur Pamenang dapat
melihat perubahan pada wajah muridnya. Lalu
dia melanjutkan:
"Hari ini kupanggil kau karena jelas kulihat
ada perubahan pada dirimu. Pada tubuh
jasmanimu."
"Pe… perubahan apa maksud Eyang…."
Wulandari gugup. "Saya merasa tidak ada
perubahan apa-apa…."
"Kau gugup Wulan…."
"Karena… karena saya terkejut mendengar
ucapan Eyang tadi."
Wulur Pamenang tersenyum rawan.
"Kau pandai bicara sekarang Wulan. Dan
pandai serta berani pula berdusta kepadaku.
Lebih dari itu kau telah menipu dirimu sendiri.
Selama bertahun-tahun kau di sini tak pernah
kuajarkan padamu ilmu berdusta dan menipu
diri. Kenapa tahu-tahu sekarang kau bisa
berbuat begitu? Apakah Handaka yang telah
mengajarkannya padamu?"
Sampai di situ mulut Wulan terkancing rapat.
Kepalanya ditundukkan. Sepasang matanya
tidak dapat lagi menatap ke arah sang guru
sedang wajahnya merah sampai ke telinga.
"Kau sudah ditunangkan dengan Sanjaya. Apa
kau lupa hal itu?"
Kepala Wulandari semakin tertunduk.
"Jawab, kau lupa?"
"Tidak Eyang, saya tidak lupa…."
"Bagus. Kalau kau betul-betul tidak lupa.
Lalu mengapa kau bermain api dengan
pemuda lain? Mengapa kau menjalin cinta
dengan Handaka?"
"Eyang, saya… saya tidak…." Wulandari tak
dapat meneruskan kata-katanya. Sebagai
gantinya dari mulutnya mulai terdengar isak
tangis. Kedua tangannya ditutupkan ke wajah.
"Diam!" bentak Wulur Pamenang. "Aku paling
benci melihat orang menangis. Terutama yang
menangis karena kesalahannya sendiri!"
Wulandari menyusut air matanya. Ditahannya
tangis yang hendak meledak sedapat­
dapatnya.
"Sejak akhir-akhir ini kau tidak senang lagi
dengan nasi dan sayuran. Kau jarang makan.
Lebih banyak makan asam-asaman dan
buah-buahan. Pembawaan seperti itu hanya
ada pada diri perempuan yang sedang hamil!
Apa kau juga hamil Wulan? Jawab
pertanyaanku?"
"Eyang… saya… saya."
"Katakan saja. Kau hamil atau tidak?!" hardik
sang guru.
"Tidak Eyang… saya tidak hamil.. Hanya…
hanya kurang enak badan sejak beberapa hari
ini…."
"Murid penipu!" bentak Wulur Pamenang
seraya berdiri dari tikar kulit kambing yang
didudukinya. Dia menunjuk ke pintu. "Tidak
kusangka akan sekotor itu hatimu. Tidak
kusangka kau berani bicara dusta terhadap
gurumu! Pondok yang kudirikan ini kau nodai
dengan perbuatan mesum! Kau betul-betul
terkutuk. Mulai hari ini kau tidak kusukai
sebagai murid lagi! Kau kuusir dan sini!
Pergi!"
"Eyang…!" Wulandari jatuhkan diri. "Ampuni
muridmu ini!"
"Jangan bersujud dihadapanku. Aku bukan
Tuhanmu! Jangan minta ampun padaku!
Karena dosamu bukan padaku. Tapi pada
Sanjaya, pada Tuhan! Aku tidak sudi
melihatmu lagi! Aku tidak sudi dalam pondok
kelak lahir seorang anak haram!"
Wulandari yang tidak tahan lagi mendengar
kata-kata gurunya itu menggerung dan lari ke
luar pondok.
Wulur Pamenang katupkan rahangnya rapat-
rapat. Pelipisnya bergerak-gerak. Lalu dia
melangkah ke pintu dan cepat-cepat menuju
ke telaga.
Di situ Handaka tengah melatih ilmu silatnya
seorang diri.
"Pemuda keparat hidung belang! Hentikan
latihanmu! Mulai detik ini kau tidak kuizinkan
mempergunakan ilmu silat yang kuajarkan
padamu!"
Handaka tampak terkejut mendengar bentakan
itu. Dihentikannya gerakannya dan berpaling
dengan cepat. Dilihatnya Eyang Wulur
Pamenang berdiri tolak pinggang. Mukanya
merah laksana bara dan matanya berapi-api.
"Eyang, dengan siapakah Eyang bicara?"
bertanya pemuda itu.
Justru pertanyaan ini membuat Wulur
Pamenang tambah menggelegak amarahnya.
"Bangsat! Dengan siapa lagi kalau bukan
dengan manusia dajal sepertimu!"
Sepasang mata Handaka yang sipit menjadi
tambah sipit.
"Ada apakah hingga Eyang sampai marah
begini rupa…?"
Wulur Pamenang mendengus.
"Kau masih bisa berpura-pura bertanya!"
"Saya tidak mengerti. Agaknya telah terjadi
sesuatu…?"
"Memang telah terjadi sesuatu! Dan sesuatu
itu kau yang menjadi biang keladinya! lngat
sewaktu kau dulu mengemis minta aku
mengambilmu jadi murid! Setelah aku
berbelas kasihan mau menerimamu di sini,
semua itu kini kau balas dengan noda besar!
Kau main gila dengan Wulandari. Padahal kau
tahu gadis itu sudah ditunangkan dengan
Sanjaya! Kau rayu dia! Kau bujuk dan kau
rusak kehormatannya. Kini gadis itu hamil!
Kau benar-benar manusia bejat!"
"Eyang, sebaiknya kita panggil Wulandari ke
sini agar kita…."
"Tak usah banyak bicara! Gadis itu sudah
kuusir. Dan kaupun musti angkat kaki dari
sini. Tapi sebelumnya hukuman yang setimpal
akan kujatuhkan atas dirimu. Ulurkan kedua
tanganmu!"
"Eyang, kau mau bikin apa…?" tanya Handaka.
"Ulurkan kedua tanganmu manusia murtad.
Jangan banyak tanya!" hardik Wulur
Pamenang.
Karena Handaka tidak mau mengulurkan
tangannya maka naik pitamlah si orang tua.
Dari hidungnya ke luar suara mendengus.
Rahangnya bergemeletak. Dia melompat.
Tangannya kiri kanan dalam gerakan yang
luar biasa cepatnya menyambar ke arah kedua
tangan Handaka. Wulur Pamenang yang telah
banyak pengalaman dan memiliki ilmu tinggi
yakin sekali bahwa sekali bergerak dia bakal
dapat meringkus murid terkutuk itu.
Namun betapa terkejutnya ketika Handaka
berhasil mengelakkan serangannya. Jika saja
Handaka mengandalkan kecepatan bergerak
untuk mengelakkan serangan tersebut, si
orang tua tak akan demikian terkejutnya. Tapi
disaksikannya sendiri si pemuda mengelakkan
serangannya tadi dalam gerakan ilmu silat
aneh yang sama sekali tak pernah
diajarkannya pada Handaka!
Heran bercampur marah Wulur Pamenang
kembali menyerang si pemuda. Dan sekali
inipun Handaka berhasil berkelit dengan
mempergunakan gerakan ilmu silat lain!
"Murid mesum! Jadi ternyata kau memiliki
ilmu silat lain?! Bagus! Akan kuberi hajaran
padamu dalam dua jurus!"
Habis berkata begitu Wulur Pamenang
berkelebat lenyap. Di lain detik dua buah
angin pukulan tangan kosong yang dahsyat
menderu ke arah dada dan perut Handaka.
Si pemuda keluarkan bentakan nyaring.
Tubuhnyapun lenyap. Sesaat kemudian
terdengar seruan tertahan ke luar dari mulut
Eyang Wulur Pamenang.
Betapakan tidak!
Serangan yang dilancarkan tadi merupakan
salah satu dari beberapa buah serangan
terhebat yang dimilikinya, bernama "Dua Naga
Sakti Berebut Mangsa." Tak pernah seorang
musuhpun sebelumnya sanggup mengelakkan
dua jotosan itu sekaligus. Karena
kedahsyatannya jarang dia mengeluarkan
pukulan maut itu. Namun kini serangannya itu
tidak membawa hasil apa-apa. Bahkan dia
merasakan kedua tangannya bergetar sewaktu
dipapasi serangan balasan yang dilancarkan
Handaka! Bertambah terkejutlah orang tua ini.
Mungkinkah Handaka telah memiliki ilmu silat
tinggi sebelum dia mengambilnya jadi murid?
Lalu apa maksud pemuda ini sesungguhnya
datang kepadanya? Siapakah dia sebenarnya?
Melihat Wulur Pamenang tertegun di
hadapannya, Handaka lalu keluarkan suara
tertawa.
"Wulur Pamenang!" kata pemuda ini
seenaknya memanggil tanpa sebutan Eyang,
seolaholah dia bicara dengan orang yang
seusia dengan dirinya. "Kenapa kau tertegun?
Bukankah kau sendiri yang memerintahkan
agar aku tidak boleh mempergunakan ilmu
silat yang kupelajari darimu? Mengapa heran
kalau aku terpaksa mengeluarkan ilmu silat
yang lebih hebat dan lebih berguna dari ilmu
silat jenis picisan yang kau ajarkan padaku?!"
Muka Wulur Pamenang merah sampai ke
telinga. Seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke
kedua telapak tangan. Tubuhnya bergetar,
pelipisnya bergerak-gerak dan sepasang
matanya seperti mau melompat dari
rongganya.
"Dajal bermuka manusia!" desis Wulur
Pamenang. "Aku sudah berpantang dan
bertobat untuk tidak membunuh! Namun hari
ini biarlah aku menanggung dosa asal aku
dapat mengirimmu ke dasar neraka!"
Wulur Pamenang tutup ucapannya dengan
pukul kedua tangannya ke depan. Terdengar
suara menderu. Bumi laksana dilanda topan.
Tanah bergetar. Debu dan pasir beterbangan.
Semak belukar rambas berhamburan. Daun-
daun berguguran dan beberapa pohon rambas
tumbang.
Dikejap itu dua larik sinar hijau berkiblat
mengerikan. Apapun yang ada di depan kedua
sinar itu pasti musnah!
Wulur Pamenang turunkan kedua tangannya
dan memandang ke depan. Handaka tak
tampak lagi dihadapannya. Tak dapat tidak
pemuda itu pasti sudah menemui kematian
dengan keadaan tubuh mengerikan.
Tapi laksana mendengar petir di liang
telinganya, begitulah kagetnya Wulur
Pamenang ketika didengarnya suara tertawa
bergalak. Orang tua ini memutar tubuhnya
dengan cepat. Handaka berdiri di depannya.
Tangan kiri bertolak pinggang sedang tangan
kanan memegang sebuah kipas hitam yang
dikibas-kibaskan di depan mukanya sambil
tersenyum mengejek?
Kontan air muka Wulur Pamenang berubah
total ketika melihat kipas hitam di tangan
Handaka itu.
"Kipas Pemusnah Raga…!" seru orang tua itu
setengah tercekik. "Pemuda dajal dari mana
kau dapat kipas sakti itu?!"
Handaka tertawa gelak-gelak.
"Mukamu pucat melihat kipas ini? Ha… ha….
Dari mana aku mendapatkan itu bukan
urusanmu?!"
"Sret!"
Handaka menggoyangkan tangannya. Kipas
hitam itu terkembang lebih lebar.
"Wulur Pamenang, karena kau benar-benar
inginkan jiwaku, kalau tidak kuhabisi kau
sekarang di lain hari tentu kau hanya akan
membikin repotku saja! Nah, selamat jalan ke
alam baka!"
Habis berkata begitu Handaka mengibaskan
kipasnya ke arah Wulur Pamenang. Si orang
tua yang telah maklum akan kehebatan
senjata sakti di tangan lawan secepat kilat
mengeluarkan senjata andalan nya yakni
sebuah tasbih hijau. Ketika sinar hitam pekat
yang keluar dari Kipas Pemusnah Raga
berkelebat deras kearahnya, orang tua ini
cepat memapaskan tasbih hijaunya dengan
sebat. Sinar hijau berkelibat menangkis
datangnya sambaran sinar hitam.
Sesaat kemudian terdengarkan suara
menggelegar!
Tasbih di tangan Wulur Pamenang hancur
bertaburan. Orang tua ini sendiri terpelanting
jauh dan menyangsang di semak-semak.
Sekujur tubuhnya hitam hangus seperti
terpanggang.
Handaka memandang sebentar pada kedua
kakinya yang amblas ke tanah sampai
seperempat jengkal,
"Hebat juga tenaga dalam monyet tua itu…"
katanya dalam hati. Lalu sambil kipas-
kipasan senjatanya ditinggalkannya tempat
itu. Dari mulutnya tiada henti keluar suara
tertawa mengakak.
Serombongan pasukan bekuda kerajaan yang
berjumlah tigapuluh orang dibawah pimpinan
seorang perwira muda, kelihatan ke luar dari
pintu gerbang tenggara, bergerak cepat
menuju ke selatan. Perwira muda itu bukan
lain adalah Sanjaya yang telah mengabdikan
diri pada Kerajaan. Dia membawa pasukannya
ke arah kaki gunung Slamet menuju hutan
Walu dimana menurut keterangan disitulah
bersarangnya gerombolan perampok jahat
yang dipimpin oleh Warok Grimbil.
Karena Sanjaya mengetahui seluk-beluk
daerah sekitar kaki gunung itu, maka Sri
Baginda telah mempercayakannya untuk
memimpin pasukan Kerajaan guna menumpas
gerombolan Warok Grimbil.
Akhir-akhir ini memang kejahatan yang
dilakukan oleh Warok Grimbil dan anak-anak
buahnya sudah sangat di luar batas. Hampir
setiap hari ada saja kampung atau desa yang
menjadi korban keganasannya. Berkali-kali
pasukan kerajaan mencoba melakukan
penyergapan dan pengejaran, namun sampai
sebegitu jauh semua usaha yang dilakukan
untuk membasmi geromboan itu tak kunjung
berhasil.
Kini dibawah pimpinan Sanjaya, murid Wulur
Pamenang dari gunung Slamet kembali
prajurit-prajurit Kerajaan turun tangan.
Apakah akan berhasil atau tidak,
kenyataanlah nanti yang akan menentukan.
Pada malam hari mereka berhasil mencapai
tepi timur hutan Walu, Sanjaya
memerintahkan pasukannya untuk berhenti
dan berkemah di situ. Mereka berkemah tanpa
menyalakan api unggun dan sengaja dicari
tempat yang gelap pekat serta perlindungan
oleh semak-belukar lebat. Karena jika mereka
sampai terlihat oleh gerombolan Warok
Grimbil pasti akan sia-sialah rencana
pembasmian itu.
Malam itu, sebelum masuk ke dalam
tendanya, lama sekali Sanjaya berdiri
memandang ke sebelah utara, di mana dalam
kegelapan malam, jauh di sana kelihatan
menghitam lereng gunung Slamet. Telah
sepuluh purnama dia meninggalkan gurunya
dan tak pernah melihat kekasihnya Wulandari.
Telah sekian lama dia membendung
kerinduan. Dia yakin gadis itu tetap
menantinya di puncak Slamet.
Masih terngiang ucapan perpisahan Wulandari
sewaktu dia akan pergi dulu: "Hati-hati. Dan
lekas kembali…"
Dari balik pakaiannya Sanjaya mengeluarkan
tusuk kundai perak yang tempo hari diberikan
oleh Wulandari. Setiap dia merindukan gadis
itu, benda itu selalu dikeluarkannya,
dipandang dan ditimangnya, dibelai serta
diciumnya. Namun perasaan rindu tak bisa
dilenyapkannya seluruhnya.
"Dua purnama lagi, bila Sri Baginda memberi
izin aku akan menjengukmu Wulan…" bisik
Sanjaya. Lalu perwira muda ini masuk ke
dalam tendanya.
Ketika malam yang gelap sampai pada saat
sedingin dan sesunyi-sunyinya, mendadak
terdengar teriakan beberapa prajurit yang
bertugas mengawal.
"Semua bangun Kita diserang!"
Suasana yang tadi sunyi-senyap kini menjadi
hiruk pikuk kacau-balau. Beberapa buah
tenda tampak terbakar. Kira-kira dua lusin
manusia berseragam hitam muncul dari
tempattempat gelap, langsung menyerbu
dengan berbagai senjata tajam.
Sanjaya melompat bangun, menyambar
pedang dan keluar dari tenda. Prajurit-prajurit
dilihatnya tengah bertempur melawan para
penyerang. Dari pakaian serta tampang-
tampang mereka yang kotor tak terurus
Sanjaya segera maklum bahwa penyerang
adalah gerombolan jahat. Dari gerombolan
mana lagi yang berada di sekitar tempat ini
kalau bukan gerombolannya Warok Grimbil?
Sebuah benda melesat ke arah Sanjaya.
Perwira muda itu cepat putar pedangnya.
Anak panah yang hendak menghantam
dadanya jatuh patah dua ke tanah. Sanjaya
tak menunggu lebih lama, segera terjun ke
tengah-tengah kancah pertempuran.
Pertempuran dalam gelap-gulita itu berjalan
Seru. Suara beradunya senjata berselangseling
dengan suara mereka yang terpekik karena
luka. Korban mulai berjatuhan di kedua belah
pihak. Sanjaya mengamuk hebat. Ini membuat
penyerang menjadi kacau dan mulai mundur.
"Mana pemimpin kalian?!" teriak Sanjaya.
Sebagai jawaban terdengar satu suitan keras.
Para penyerang serta-merta melompat
mundur dan melarikan diri ke dalam rimba
belantara yang gelap.
"Jangan kejar!" seru Sanjaya ketika dilihatnya
beberapa anak buahnya hendak melakukan
pengejaran.
Kerugian yang diderita pihak Sanjaya cukup
besar. Enam tenda musnah dimakan api.
Tujuh prajurit menemui ajal. Di pihak
penyerang delapan orang tewas, seorang
tertangkap hiduphidup, Namun sebelum
sempat ditanyai orang ini keburu meninggal
karena luka-luka parah yang dideritanya.
Pagi harinya setelah prajurit-prajurit yang
gugur dikuburkan di tepi hutan Walu, Sanjaya
kembali memimpin pasukannya memasuki
rimba belantara itu. Mereka bergerak dengan
sangat hati-hati. Meskipun hutan itu liar dan
rapat namun jelas kelihatan bekas-bekas yang
dilalui manusia.
Sanjaya menunggangi kudanya di depan
sekali. Dengan adanya penyerbuan malam tadi
jelaslah bahwa kedatangan rombongannya
telah diketahui oleh Warok Grimbil. Di satu
tempat Sanjaya membagi dua pasukannya.
Yang pertama terdiri dari sepuluh orang
langsung dibawah pimpinannya. Sisanya
sebanyak dua belas orang dibawah pimpinan
seorang perwira. Kelompok pertama bergerak
di sebelah depan, kelompok kedua menyusul
di belakang dalam jarak dua ratus langkah.
Di satu tempat kelompok terdepan membelok
ke kiri sedang kelompok kedua bergerak ke
jurusan kanan. Sesuai dengan rencana yang
telah diatur Sanjaya dan orang-orangnya
akan lebih dulu menyerbu ke sarang Warok
Grimbil. Jika pertempuran sudah berkecamuk
baru kelompok kedua menyerbu memberikan
bantuan.
Sanjaya menghentikan kudanya dan memberi
pada anak buahnva. Lima belas meter di
hadapan mereka kelihatan sebuah rumah.
Rumah pertama dan terdekat dari
perkampungan perampok. Perwira muda ini
meneliti suasana. Menurut taksirannya di
perkampungan di tengah hutan itu paling
tidak terdapat sekitar tujuh sampai delapan
rumah. Ditambah dengan sebuah bangunan
yang agak besar. Dapat dipastikan bangunan
besar ini adalah tempat kediaman Warok
Grimbil selaku pimpinan gerombolan.
Perkampungan itu tampak sunyi, tenang.
Seorang perempuan tengah menjemur pakaian
di samping sebuah rumah. Dua orang lainnya
menumbuk padi di halaman. Tak seorang
anggota rampokpun kelihatan. Mungkinkah
Warok Grimbil dan orang-orangnya tengah
pergi melakukan perampokan? Ini sama sekali
tak masuk akal. Karena dengan tewasnya
banyak anggotanya malam tadi serta bahaya
akan diserang pagi hari tentunya Warok
Grimbil tidak akan melakukan hal itu. Sanjaya
menduga keras Warok Grimbil telah menyusun
satu rencana jebakan. Seorang prajunit
dikirim untuk menyelidiki sekeliling kampung.
Tak berapa lama kemudian prajurit ini
kembali.
"Tak ada tanda-tanda bahwa Warok Grimbil
dan orang-orangnya sembunyi di sekitar
kampung." prajurit itu melapor.
"Aneh," kata Sanjaya. "Kita tunggu sampai
sepeminuman teh…." Sepeminuman teh lewat.
Sanjaya memberi isyarat pada anak buahnya.
Mereka bergerak dengan cepat ke tengah
perkampungan. Orang-orang perempuan yang
ada di luar tampak terkejut melihat
kedatangan prajurit-prajurit kerajaan.
Ketakutan dan terbirit-birit mereka masuk ke
dalam rumah masing-masing.
"Kalian orang-orang perempuan tak usah
takut!" seru Sanjaya dari atas kudanya. Dia
memandang tajam berkeliling. Masih belum
kelihatan seorang rampok pun.
"Mana orang laki-laki? Apakah mereka dan
Warok Grimbil bersembunyi dalan rumah?!"
berseru Sanjaya.
Tak ada yang menjawab. Setiap pintu rumah
kelihatan tertutup. Sanjaya menunggu. Dia
jadi kesal. Didekatinya sebuah rumah dan
digedor pintunya. Pintu terbuka. Dan keluarlah
perempuan yang tadi tampak menjemur
pakalan.
"Lekas katakan di mana rampok-rampok yang
tinggal di sini?!"
Perempuan itu menggelengkan kepalanya.
"Kau tidak tahu atau gagu?!" sentak Sanjaya.
"Warok Grimbil membawa mereka pagi-pagi
tadi.." perempuan itu menerangkan.
"Semuanya?"
"Mereka menuju ke mana?" tanya Sanjaya
lagi.
"Tidak tahu. Tak seorang pun diberitahu…"
Sanjaya menunjuk ke rumah paling besar di
tengah kampung
"Itu rumahnya Warok Grimbil?"
"Benar."
"Siapa yang ada di dalamnya…"
"Empat perempuan muda peliharaan Warok…."
Sanjaya memberi isyarat pada anak-anak
buahnya lalu bergerak ke arah rumah besar.
Suasana di dalam rumah besar itu kelihatan
sunyi. Sanjaya mendorong daun pintu.
Ternyata tidak dikunci. Dari atas kudanya dia
dapat melihat empat orang perempuan duduk
berjejer di ruangan dalam. Keempatnya masih
muda dan memiliki paras cantik. Yang
membuat perwira muda ini jadi menahan
napas ialah karena empat perempuan tersebut
duduk di tempat masing-masing tanpa
mengenakan pakaian! Malah ketika melihat
Sanjaya dan prajurit-prajurit itu di pintu,
mereka tersenyum, menggeser duduk masing-
masing hingga sikap mereka benar-benar
menantang dan mengundang! Prajuritprajurit
Kerajaan jadi melotot tak berkesip dan teguk
air liur!
Salah seorang dari empat perempuan
bertelanjang itu melambaikan tangannya dan
berkata:
"Kalian petugas-petugas Kerajaan silakan
masuk! Warok berpesan bahwa tamu mana
saja yang datang harus disambut dengan
hormat dan hangat!"
Sepasang mata Sanjaya menyipit. Dari
suasana yang dihadapinya sekarang ini
semakin yakin dia bahwa Warok Grimbil
betul-betul tengah memasang satu jebakan
berbahaya. Dia memberi tanda pada orang—
orangnya agar berlaku waspada.
"Mana Warok Grimbil dan anak buahnya?"
tanya Sanjaya pada perempuan di dalam
rumah.
"Masuklah. Mari kita bicara di dalam sini.."
menjawab perempuan di ujung kiri.
Perempuan yang di sampingnya menyambung
"Jauh-jauh dari Kotaraja kau tentu haus
perwira muda. Haus dan letih. Mari masuk
minum anggur dan melemaskan otot-
ototmu…."
Perempuan berikutnya menimpali:
"Masuklah, minum anggur dan bersenang-
senang lalu tidur…."
Muka Sanjaya menjadi merah. Dia berkata
"Kalian dengar baik-baik. Siapa saja yang
ada di sini bisa kami tangkap. Kami berjanji
akan membebaskan kalian jika kalian mau
mengatakan di mana Warok Grimbil dan anak
buahnya."
Keempat perempuan itu tiba-tiba serentak
berdiri. Tubuhnya yang telanjang bulat itu
kelihatan jelas dari ujung rambut sampai
ujung kaki.
"Masukah perwira, tak pantas bicara dari luar
saja…" kata salah seorang dari mereka sambil
membusungkan dadanya yang padat.
"Geledah rumah ini!" perintah Sanjaya.
Lima orang prajurit serentak hendak turun
dari kudanya.
Justru pada saat itu entah dari mana
datangnya, melayanglah sebuah anak panah
dan menancap tepat di samping pintu sebelah
kanan. Pada ekor anak panah terikat sehelai
kertas yang ternyata sepucuk surat dan
ditujukan pada pasukan Kerajaan.
Sanjaya merenggutkan surat tersebut lalu
membaca isinya. Di situ hanya tertulis satu
baris kalimat dengan huruf-hurufnya berbunyi:
"SELAMAT DATANG DAN SELAMAT MAMPUS!"
Pada detik Sanjaya selesai membaca sebaris
kalimat itu, pada saat itu pula di sekitarnya
terdengar suara pekik riuh rendah. Empat
perempuan telanjang di dalam rumah lenyap
masuk ke dalam sebuah kamar. Seorang
prajurit di samping Sanjaya mengeluarkan
seruan tertahan. Sebatang anak panah
menancap di dadanya. Tak ampun lagi prajurit
ini meliuk dan jatuh dari punggung kuda.
Tiba batang anak panah dalam pada itu
melesat ke arah Sanjaya. Murid Wulur
Pamenang ini dengan cekatan pergunakan
ujung tali les kudanya untuk menghantam
mental ketiga anak panah itu! Ketika dia
memandang berkeliling kelihatanlah sekitar
dua lusin manusia berseragam hitam
bertampang ganas bersenjata pedang dan
golok, bahkan ada yang membawa kapak,
menyerbu ke arah mereka.
Di belakang sana seorang lelaki bertubuh
pendek katai berjalan lenggang kangkung
seenaknya. Di tangan kirinya dia memegang
sebuah bumbung berisi puluhan anak panah.
Tanpa mempergunakan busur, tapi dengan
jalan melemparkan anak-anak panah itu
dengan tangannya, dia melakukan serangan
panah tiada henti, terutama sekali ke arah
Sanjaya. Hebat sekali daya lempar manusia
ini. Meskipun belum pernah bertemu muka
sebelumnya namun Sanjaya telah menduga
bahwa manusia katai bermata liar dan
bercambang bawuk ini pastilah si pemimpin
rampok Warok Grimbil. Tanpa tunggu lebih
lama Sanjaya segera cabut pedangnya.
Sembilan pajurit terpilih di bawah pimpinan
murid Wulur Pamenang itu dengan gagah
berani baku hantam menghadapi dua puluh
empat rampok ganas. Hebat sekali jalannya
pertempuran. Menghadapi lawan yang lebih
banyak di atas kuda kurang memberikan
keleluasaan, malah amat membahayakan bagi
yang punya diri. Menyadari hal ini setelah
bertempur dua jurus Sanjaya berteriak
memberi aba-aba agar semua anak buahnya
melompat turun dari kuda masing-masing.
Seorang prajurit yang kurang hati-hati waktu
melompat turun kena disambar perutnya oleh
ujung golok lawan hingga bobol dan ususnya
membusai. Dengan demikian jumlah orang-
orang Kerajaan hanya tinggal delapan orang
kini, sembilan dengan Sanjaya.
Walau hati geram tetapi mereka tetap
memakai perhitungan sambil menunggu
datangnya bala bantuan kelompok kedua.
Sanjaya mengamuk dengan pedangnya. Dua
orang rampok tergelimpang roboh. Satu lagi
kemudian menjenit dengan leher hampir
putus. Melihat ini para perampok yang
mengurung memperciut kurungannya hingga
Sanjaya dan anak buahnya terjepit di tengah
kalangan pertempuran. Namun mereka terus
menghadapi lawan dengan semangat tinggi
penuh ketabahan.
Dua prajunit Kerajaan roboh, dan ini harus
diimbangi oleh empat nyawa anggota rampok.
Warok Grimbil yang sejak tadi hanya tegak
menyaksikan jalannya pertempuran sambil
sekalisekali melemparkan panah, kini
melompat ke muka. Lima batang anak panah
terakhir yang dipegangnya sekaligus
dilemparkannya ke arah Sanjaya. Anak-anak
panah ini melesat ke arah lima bagian tubuh
Sanjaya. Empat anak panah berhasil
dihantam runtuh dengan putaran pedang.
Anak panah ke lima masih sempat
menyerempet bahu kiri pemuda itu.
"Perwira keparat! Mari sini! Aku lawanmu!"
teriak Warok Grimbil. Orangnya katai kecil.
Tapi suaranya besar luar biasa. Apalagi
teriakannya tadi disertai dengan tenaga dalam
hingga terdengar hebat menggetarkan dada.
"Manusia kerdi!, jadi kau ini biang durjana
yang bernama Warok Grimbi!?" tanya Sanjaya
sambil melintangkan pedang di muka dada.
"Anjing Kerajaan! Kurobek mulutmu!" bentak
Warok Grimbil marah sekali. Tangan kanannya
bergerak dan tahu-tahu selusin senjata
rahasia berbentuk paku rebana telah melesat
ke arah Sanjaya!
Murid Wulur Pamenang itu kaget bukan
kepalang. Tak disangkanya kepala rampok itu
memiliki kecepatan luar biasa dalam
melancarkan serangan mendadak. Untung saja
saat itu dia dalam sikap melintangkan pedang
di depan dada. Hingga dengan sigap dia bisa
pergunakan senjata itu untuk melindungi diri.
Delapan paku rebana berhasil dihantam
mental, tiga buah dapat dikelit tapi yang satu
lainnya menancap di bahu kiri, dekat luka
bekas serempetan anak panah.
Sanjaya menggigit bibir menahan sakit dan
cabut senjata rahasa itu dari bahunya. Di
hadapannya Warok Grimbil melompat, lima
jari tangan kirinya bergerak ke mulut Sanjaya
siap untuk merobek tapi dapat dikelit.
Warok Grimbil ketawa mengekeh.
"Anjing Kerajaan, nyatanya tak seberapa
kehebatanmu. Kau datang hanya untuk
mengantar nyawa!"
"Warok Grimbil manusia biadab! Jika kau
masih ingin hidup menyerahlah. Niscaya
Kerajaan akan mengurangi hukumanmu!"
bentak Sanjaya.
"Hukum?" Sepasang ails mata Warok Grimbil
mencuat naik. Lalu dia tertawa gelak-gelak.
"Seumur hidupku aku tak pernah kenal hukum!
Persetan dengan segala hukum!"
"Jika begitu kematian memang pantas
untukmu. Neraka sudah lama menantimu!"
Kembali Warok Grimbil tertawa gelak-gelak.
"Justru di sinilah bangkaimu akan
menggeletak dan membusuk!" tukas pemimpin
rampok hutan Walu itu.
"Perlawananmu akan sia-sia! Kau dan anak
buahmu sudah terkurung. Perhatikan
sekelilingmu!"
Bola mata Warok Grimbil berputar liar,
memandang berkeliling. Saat itu memang
dilihatnya kira-kira selusin prajurit Kerajaan
yang menunggang kuda dan bersenjata
lengkap menyeruak dari semak belukar,
bergerak dalam posisi mengurung.
Warok Grimbil tertawa mengejek.
"Siapa takut pada kacoak-kacoak Kerajaan?"
katanya. Lalu mendengus dan gerakan kedua
tangannya sekaligus!
Tangan pertama melepaskan satu pukulan ke
arah Sanjaya, yang satu lagi ke jurusan
prajurit-prajurit yang baru datang.
Sanjaya yang memang sudah bersiap-siap
denqan cepat melompat selamatkan diri.
Sebaliknya dua orang prajurit di muka sana,
yang tidak menduga kalau bakal mendapat
serangan, terjungkal dari kuda masing-
masing, menggelepar-gelepar beberapa kali di
tanah, lalu diam tak bergerak lagi.
"Warok Grimbil! Lihat pedang!" terdengar
seruan Sanjaya. Dan sinar pedang berkiblat ke
arah kepala rampok itu.
Warok Grimbil menyingkir sebat dan serentak
membalas dengan pukulan tangan kosong
lagi. Tapi Sanjaya tak mau memberi
kesempatan, mengirimkan satu tebasan ganas
ke arah tangan lawan hingga pemimpin
rampok ini sambil memaki terpaksa tarik
pulang tangannya.
Dalam jumlah kedua belah pihak kini tampak
berimbang sehingga kecamuk pertempuran
semakin menggila. Korban-korban berjatuhan
hampir setiap dua jurus.
Beberapa bulan yang lalu Warok Grimbil dan
anak buahnya pernah disergap pasukan
Kerajaan dibawah pimpinan dua orang
perwira. Bukan saja para penjahat itu berhasil
menghadapi pasukan Kerajaan tapi bahkan
tak seorangpun yang mereka biarkan hidup.
Semula Warok Grimbil menyangka bahwa
pasukan yang datang kali ini juga bakal dapat
dibereskannya dalam waktu singkat. Namun
hatinya jadi tergetar ketika melihat kenyataan
bahwa perwira muda yang memimpin pasukan
Kerajaan itu bukan orang sembarangan.
Kepandaiannya jauh lebih tinggi dari dua
perwira yang dulu pernah dibunuhnya!
karenanya sebelum mendapat celaka kepala
rampok ini segera keluarkan senjata yang
amat diandalkan yakni sebuah keris berwarna
ungu yang ujungnya bercabang dua dan agak
melengkung sedang gagangnya berukir kepala
kelabang. Keris ini bernama "Kelabang Ungu".
Dari sinar yang memancari di tubuh senjata
itu Sanjaya segera maklum kalau keris lawan
adalah sejenis senjata yang tidak boleh
dianggap remeh. Cepat-cepat Sanjaya
lancarkan serangan berantai. Warok Grimbil
berkelit gesit. Tubuhnya yang katai itu lenyap
dari pemandangan. Kini hanya sinar ungu
kerisnya saja yang tampak bergulung-gulung,
menyambar ganas kian kemari! Anginnya
bersiur dan memerihkan kulit.
Meskipun keris di tangan Warok Grimbil
merupakan senjata sakti berbahaya, namun
menghadapi sebatang pedang d tangan
Sanjaya, kepala rampok ini tidak bisa berbuat
banyak. Beberapa kali sudah senjatanya
bentrokan dengan pedang lawan. Kepala
rampok ini diam-diam mengeluh karena
setiap bentrokan yang terjadi dia segera
mengetahui bahwa tenaga dalam lawannya
masih muda itu berada dua atau tiga tingkat
di atasnya!
Tiba-tiba dari mulut Warok Grimbil keluar
satu teriakan dahsyat. Permainan silatnya
mendadak sontak berubah. Senjatanya
bertabur laksana curahan hujan dan membuat
Sanjaya menjadi bingung.
Sebelum perwira muda ini bisa mengimbangi
jurus-jurus aneh yang dimainkan lawannya
itu tiba tiba dirasakannya badan pedangnya
telah terjepit di atas kedua ujung bercabang
keris "Kelabang Ungu"
Cepat-cepat Sanjaya hendak menarik
pedangnya. Namun jepitan itu ketat luar
biasa. Sekali Warok Grimbil memutar
lengannya maka patahlah pedang Sanjaya.
Warok Grimbil tertawa panjang.
"Ajalmu sudah di depan mata, perwira!" seru
Warok Grimbil.
Tapi kepala rampok ini terlalu cepat
bergembira.
Sanjaya yang sudah memaklumi bahaya apa
yang dihadapinya, begitu pedangnya patah,
pada kejap itu pula dia mengirimkan satu
tendangan kilat ke depan!
Warok Grimbil kaget bukan main, tapi juga
penasaran. Kelabang Ungu dibabatkannya ke
bawah, ke arah kaki Sanjaya. Namun apa
yang dilakukannya sudah tenlambat. Kaki
kanan lawan datang lebih cepat. Sedapat-
dapatnya Warok Grimbil jatuhkan diri ke
samping secara nekat. Kenekatannya tidak
membawa hasil yang diharapkan karena kaki
kanan Sanjaya masih sempat menghantam
siku tangan kanannya hingga siku itu bukan
saja tanggal dari persendiannya tetapi juga
hancur tulangnya.
Jeritan kepala rampok itu setinggi langit. Dia
tak peduli lagi ke mana mental dan jatuhnya
keris Kelabang Ungu. Dia melompat dua
tombak menjauhi Sanjaya. Tak mungkin lagi
baginya untuk meneruskan perkelahian. Anak-
anak buahnya yang melihat keadaan
pemimpin mereka jadi ciut nyalinya. Hendak
lari merasa takut karena belum mendapatkan
perintah.
"Ringkus dia!" penintah Sanjaya.
Lima orang prajurit segera bergerak. Untuk
meringkus pemimpin rampok yang tak
berdaya dan kesakitan setengah mati itu.
Tapi dalam detik itu terjadilah hal yang
sangat mengejutkan laksana adanya geledek
di siang bolong.
"Adikku Grimbil! Siapa yang berani kurang
ajar menyakitimu?!"
Satu bentakan nyaring terdengar disusul oleh
jeritan-jeritan mengerikan. Lima prajurit yang
tadi hendak meringkus Warok Grimbil menjerit.
Kelimanya berdiri terhuyung-huyung sambil
pegangi leher masing-masing. Dari leher itu
menyembur darah. Ketika Sanjaya
memperhatikan dengan mata membelalak
ternyata leher ke lima prajurit telah ditancapi
sebuah pisau kecil! Satu demi satu prajurit-
prajurit yang malang ini roboh ke tanah dan
tak bergerak lagi selamalamanya.
Apakah yang telah terjadi? Siapakah yang
punya perbuatan membunuh lima prajurit itu
hanya dalam sekejapan mata saja?
Suasana sehening di pekuburan. Semua yang
bertempur laksana dipukau oleh satu
kekuatan gaib. Semua sama memutar kepala,
berpaling ke jurusan munculnya seorang
nenek-nenek aneh bertubuh kurus kering,
bermuka perot. Seperti Warok Grimbil, nenek­
nenek ini pun memiliki tubuh pendek katai.
Dia mengenakan jubah yang amat dalam
hingga menjela sampai ke tanah. Setiap
langkah yang dibuatnya menyebabkan debu
mengepul ke udara.
Jubah yang dikenakannya bukan jubah
sembarangan jubah. Pakaian ini mulai dari
atas sampai ke bawah digantungi dengan
puluhan bahkan mungkin ratusan pisau-pisau
kecil. Pisaupisau seperti inilah yang telah
mengakhiri nyawa lima prajurit Kerajaan tadi!
"Muning Kwengi!" seru Warok Grimbil. Suara
dan wajahnya menunjukkan kegembiraan luar
biasa. Semangat dan nyalinya tampak
berkobar kembali ketika melihat siapa yang
datang. Demikian pula anggota-anggota
rampok lainnya yang sebenarnya sudah siap-
siap untuk ambil langkah seribu.
"Muning! Syukur kau datang! Lekas bunuh
kerak-kerak Kerajaan itu! Perwira keparat ini
lebih dulu!"
Muning Kwengi, demikian nama si nenek katai
ternyata adalah kakak kandung Warok Grimbil.
Dia bertempat tinggal di sebuah pulau di
pantai utara. Dalam dunia persilatan karena
kehebatannya memainkan pisau kecil nenek
ini diberi julukan "Iblis Pisau Terbang."
Seperti juga adiknya Muning Kwengi pun
bukanlah manusia baik-baik. Ilmu
kepandaiannya dipergunakan untuk malang-
melintang berbuat kejahatan sekehendak
hatinya. Di samping itu nenek tua yang hanya
tinggal beberapa meter dari liang kubur ini
juga ternyata masih genit, suka daun muda
alias senang pada laki-laki yang jauh lebih
muda apalagi tampan. Memandang kepada
adiknya dan melirik pada Sanjaya si nenek
muka perot cengar-cengir lalu berkata:
"Hanya seekor kucing dapur begini kau sudah
tidak mampu menghadapinya Grimbil? Huh,
betul-betul membuat aku tidak punya muka
menjadi kakakmu!"
Muning Kwengi memandang berkeliling. Lalu
membentak pada anggota-anggota rampok
yang memandang angker padanya.
"Kalian kenapa melongo?! Ayo musnahkan
prajurit-prajurit Kerajaan itu! Itu urusan
kalian!"
Anak-anak buah Warok Grimbil yang sudah
tahu siapa adanya nenek tua tersebut, timbul
kembali keberaniannya. Mereka serempak
menyerbu prajurit-prajurit Kerajaan.
Muning Kwengi maju dua langkah, kedip-
kedipkan mata kirinya lalu menuding dengan
jari telunjuk tangan kirinya tepat-tepat ke
arah Sanjaya yang tegak delapan langkah di
hadapannya.
"Perwira, membunuhmu sama mudahnya
dengan membalikkan telapak tanganku…."
"Begitu?!" tukas Sanjaya. Sejak tadi dia sudah
berwaspada. Cara muncul dan gerak-gerik
nenek ini cukup menyatakan bahwa dia bukan
sembarangan.
Tingkat ilmunya jauh lebih hebat dari Warok
Grimbil, mungkin mendekati kepandaian
gurunya Eyang Wulur Pamenang.
Si nenek tertawa dan kedipkan lagi mata
kirinya.
"Sangat mudah!" kata Muning Kwengi pula.
"Tapi orang segagahmu terlalu sayang kalau
harus mati muda mati percuma. Jika kau
bersedia ikut denganku dan jadi peliharaanku
selama lima tahun, akan kuampuni kau punya
jiwa!"
Air muka Sanjaya menjadi gelap merah.
Muning Kwengi tertawa gelak-gelak.
"Tua bangka peot! Tak tahu diburuk diri! Tak
ingat liang kubur sudah menganga masih saja
punya otak kotor cabul!"
"Ahai! Orang muda, jangan bicara keliwat
menghina!" sahut Muning Kwengi seraya usap­
usap kedua pipinya yang kempot berkerut.
"Aku memang sudah tua… sudah peot! Tapi
bukan tua sembarang tua. Bukan peot
sembarang peot! Sekali kau merasakan
kehangatan pelukanku, sekali kau tidur
bersamaku, seumur hidup kau akan mengekor
ke mana aku pergi! Hik… hik… hik… hik!"
Warok Grimbil yang tidak sabar melihat
tingkah laku kakaknya itu berteriak "Muning!
Kau tunggu apa lagi? Bunuh bangsat itu!"
"Sabar… sabar adikku! Kalau aku bisa
mendapatkan keuntungan dari daun muda ini
bukankah lebih baik dia dibiarkan hidup untuk
sementara?!"
Warok Grimbil mengomel panjang pendek. Dia
maklum tak bakal dapat memaksa kakaknya
yang beradat aneh itu. Saking kesal akhirnya
dia duduk menjelepok di tanah sambil coba
mengobati cedera di sikunya.
"Perwira," kembali Muning Kwengi membuka
mulut sambil kedipkan mata kiri dan
sunggingkan senyum di mulut yang perot.
"Coba kau pikir baik-baik. Inginkan hidup
berarti kau bakal mendapat banyak
kenikmatan dariku. Inginkan mati maka kau
bakal menemul ajal secara mengenaskan detik
ini juga! Nah, pilih mana?"
"Aku lebih suka mati berkalang tanah
daripada menjadi budak peliharaan manusia
mesum macammu!" jawab Sanjaya.
Si nenek geleng-geleng kepala.
"Apakah musti kubuktikan sekali lagi bahwa
kematianmu itu nantinya benar-benar amat
mengerikan? Nah kau saksikanlah!"
Hampir tak terlihat kapan dia menggerakkan
kedua tangannya tiba-tiba terdengar suara
bergemerincingan. Sedetik kemudian diikuti
oleh pekik susul menyusul. Sanjaya memutar
tubuh ke belakang. Delapan prajurit Kerajaan
yang tengah bertempur melawan anggota
rampok roboh menggeletak. Di kepala masing-
masing menancap pisau kecil yang telah
dilemparkan Muning Kwengi!
Ketegangan yang menggantung di udara
dirobek oleh suara tawa cekikikan Muning
Kwengi!
"Indah atau sangat mengerikan kematian itu
hai perwira muda?"
"Memang mengerikan perempuan iblis!" sahut
Sanjaya dengan kertakkan rahang. "Tapi tidak
lebih mengerikan dari kematian yang bakal
kau terima. Lihat!"
Sanjaya pukulkan tangan kanannya ke depan.
Selarik sinar yang memiliki tiga warna yaitu
merah, biru dan kuning menderu ke arah
Muning Kwengi.
"Pukulan Tiga Racun!" seru si nenek dan
cepat-cepat menyingkir. "Ladalah! Apakah
kau muridnya si Wulur Pamenang?! Jadi si tua
bangka perot itu masih juga belum mampus
hah?!"
"Hatimu jahat dan mulutmu kotor!" teriak
Sanjaya. Pemuda itu marah sekali karena
gurunya dihina dengan sebutan demikian
rupa. Kali ini dia lancarkan lagi Pukulan Tiga
Racun dengan tangan kiri kanan.
Muning Kwengi jatuhkan diri sama rata
dengan tanah. Serentak dengan itu dia cabut
lima buah pisau kecil dan melemparkannya ke
arah Sanjaya. Karena saat itu dia tidak
bersenjata terpaksa pemuda ini jatuhkan diri
ke tanah. Namun dari belakang sana Muning
Kwengi kembali melemparkan lima buah
pisau. Sanjaya bergulingan di tanah. Tapi tak
urung salah satu pisau itu masih sempat
menghantam tubuhnya, menancap di dada
sebelah kanan!
Perwira muda itu mengeluh. Dengan menahan
sakit dia cabut pisau tersebut langsung
menyerbu ke arah si nenek. Muning Kwengi
alias Iblis Pisau Terbang menyambut dengan
tawa mengejek. Tubuhnya berkelebat lenyap.
Dia sama sekali tidak melancarkan serangan.
Agaknya sengaja memamerkan ilmu
meringankan tubuhnya yang tinggi. Dengan
berkelebat kian kemari laksana bayang-
bayang semua serangan Sanjaya dielakkannya
dengan gampang.
Di saat itu Sanjaya merasakan dadanya yang
bekas ditancapi pisau lawan sakit sekali.
Nafasnya menyesak dan kerongkongannya
panas seperti tersekat. Serangannya menjadi
kendor bahkan ketika pandangannya menjadi
gelap pemuda ini hanya bisa berdiri terhuyung­
huyung. Bumi ini laksana terbalik di matanya.
Muning Kwengi tersenyum. "Racun pisau telah
bekerja… racun pisau telah bekerja," katanya
dalam hati lalu hentikan gerakannya. Dia
maju beberapa langkah menghampiri Sanjaya
dan berkata:
"Orang muda, sekarang maut ada di depan
hidungmu. Jika kau bersedia ikut denganku,
akan kuberikan obat penawar racun. Tapi jika
kau tetap membandel, satu jam dimuka
nyawamu tak akan tertolong lagi…!"
"Lebih baik mati. Seribu kali lebih baik mati
daripada menyerahkan diri ikut dengan iblis
macammu!" sahut Sanjaya. Suaranya
demikian perlahan seperti berbisik. Kedua
kakinya tertekuk. Tubuhnya terkulai dan jatuh
ke tanah. Dari mulutnya ke luar ludah
membusah. Dalam keadaan seperti itu
dilihatnya Warok Grimbil memungut sebatang
golok dan lari ke arahnya seraya berteriak:
"Muning Kwengi! Jika kau tidak mau
membunuhnya, biar aku yang bikin mampus
bangsat ini!"
Sesaat kemudian golok di tangan kiri kepala
rampok itu diayunkan ke arah batok kepala
Sanjaya. Si perwira muda ini tak mampu
berbuat apapun selain diam menunggu
kematian. Sekujur tubuhnya panas dingin
akibat racun pisau. Di saat kematian datang
itu terbayang olehnya wajah gurunya, wajah
Wulandari. Terakhir sekali dia berseru
menyebut nama Tuhan!
Selama seorang manusia tidak melupakan
Tuhannya maka selama itu pula Tuhan ingat
kepadanya. Begitulah yang terjadi dengan
Sanjaya.
Pada detik golok di tangan Warok Grimbil
akan membelah batok kepala perwira muda
itu, entah dari mana datangnya, melayanglah
sebuah batu sebesar kepalan. Terdengar pekik
kepala rampok itu. Sikut kirinya hancur. Golok
terlepas dari tangannya. Dengan demikian
kedua sikut kiri kanan kepala rampok ini
mengalami cedera parah.
Sebelum Sanjaya jatuh pingsan masih sempat
dilihatnya kemunculan seorang pemuda
berambut gondrong, berpakaian serba putih,
berdiri di bawah cucuran atap sebuah rumah
sambil bertolak pinggang dan cengar-cengir
seenaknya seperti orang kurang waras!
Anjing kurap! Setan alas! Siapa kau?!" bentak
Muning Kwengi menggeledek dan marah
sementara adiknya Warok Grimbil terkapar di
tanah mengerang kesakitan. Pemuda di
bawah cucuran atap kembali menyeringai dan
keluarkan suara bersiul.
"Haram jadah!" maki Muning Kwengi.
Sekali tangannya bergerak lima pisau kecil
terbang ke arah si pemuda. Di seberang sana
pemuda berambut gondrong itu kembali
keluarkan suara bersiul. Dia telah lama
mendengar kehebatan nenek-nenek bertubuh
katai itu. Karenanya begitu diserang segera
dia pukulkan tangan kirinya. Satu gelombang
angin bersiur menerpa lima pisau terbang.
Senjata-senjata maut beracun itu mental dan
hebatnya kini membalik menggempur
pemiliknya sendiri!
Kagetnya Muning Kwengi bukan alang
kepalang. Cepat dia menyingkir. Selama
malang melintang memegang gelar lblis Pisau
Terbang hanya ada satu tokoh silat yang
pernah membendung bahkan mengembalikan
serangan pisaunya. Tokoh silat itu adalah
Dewi Siluman Dari Bukit Tunggul yang kini
sudah mati yaitu ketika terjadi perselisihan
antara sesama tokohtokoh golongan hitam.
Dengan mata membeliak hatinya bertanya-
tanya siapa gerangan adanya pemuda
berambut gondrong yang memiliki kepandaian
bukan sembarangan ini!
"Muning Kwengi!" Tiba-tiba si pemuda
berseru, membuat kaget si nenek.
"Ladalah! Kowe kenal namaku!" tukas lblis
Pisau Terbang.
Tanpa acuhkan keterkejutan orang si rambut
gondrong kembali berkata: "Seminggu lalu
secara biadab kau menghancurkan seluruh
pesantren Bintang Hijau di lembah Beringin
…."
"Oh, jadi kau anak murid pesantren Bintang
Hijau yang datang untuk menuntut balas?!"
sentak Muning Kwengi.
"Siapa aku, kau tak perlu tahu! Setiap orang
yang berada di jalan kebenaran berhak
meminta pertanggungan jawabmu atas semua
kejahatan yang telah kau lakukan!"
"Hebat sekali!" sahut Muning Kwengi lalu
tertawa panjang. "Enam tokoh silat kelas satu
pernah mengeroyokku satu bulan lalu. Mereka
juga bicara tentang segala macam kebenaran
dan tanggung jawab! Dan mereka semua
mampus di tanganku!"
"Memang betul! Ada kalanya kejahatan itu
dapat menghancurkan kebenaran, tapi tidak
selamanya…."
"Ah ucapanmu tinggi dan sombong. Melihat
tampangmu yang tolol kau tentu bukan
seorang terpelajar, apalagi sastrawan!
Disamping itu aku tidak terlalu suka
mendengar obrolan panjang lebar. Lekas
terangkan siapa kau dan ilmu kepandaian apa
yang hendak kau andalkan hingga berani
datang untuk jual tampang di hadapanku si
lblis Pisau Terbang?"
"Aku utusan kematian! Mewakili malaikat
maut untuk minta roh busukmu!" sahut
pemuda berambut gondrong.
Menggelegaklah kemarahan Muning Kwengi.
Rahangnya bertonjolan dan matanya
membeliak. Didahului oleh pekikan keras
nenek-nenek ini melompat ke muka seraya
lancarkan satu tendangan dan dua pukulan
tangan kosong yang hebat!
"Ciat!"
Pemuda rambut gondrong membentak nyaring
dan berkelebat ke samping. Tangannya yang
mengepal dipukulkan ke depan. Terdengar
angin bersiur. Muning Kwengi tersentak kaget
ketika merasakan tubuhnya terapung di udara
tak bisa maju lagi laksana ditahan oleh
selapis dinding yang amat atos!
"Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih!"
seru nenek katai itu begitu dia mengenali
pukulan pertahanan yang dilepaskan lawan.
Melihat kenyataan ini tergetarlah hatinya.
Mukanya menjadi pucat. Kini dia sudah dapat
memastikan siapa adanya pemuda gondrong
itu!
Sebagai tokoh silat golongan yang sudah
terkenal di delapan penjuru angin tentu saja
Muning Kwengi tidak mau memperlihatkan
kegentarannya. Setelah melompat ke samping
guna menghindarkan terpaan angin pukulan
lawan, secepat kilat dia lemparkan setengah
lusin pisau beracun. Serangan ini masih
disusul lagi dengan satu pukulan tangan
kosong yang mengeluarkan sinar biru
menggidikkan!
Baik pisau terbang maupun pukulan tangan
kosong keduanya sama mengandung racun
yang amat jahat.
Pemuda rambut gondrong melompat, dua
tombak ke udara. Dari atas dia lalu
melepaskan satu pukulan dahsyat yang
selama ini merupakan pukulan yang telah
menggetarkan dunia persilatan.
lblis Pisau Terbang berseru tegang ketika
melihat sinar putih menyilaukan laksana kilat
dari langit menyambar panas ke arahnya!
"Pukulan Sinar Matahari!"
Nenek-nenek itu membuang diri ke samping
kiri, bergulingan di tanah untuk kemudian
berdiri dengan kedua tangan dipentangkan di
depan dada, menjaga segala kemungkinan
sementara wajahnya yang keriput kelihatan
bertambah pucat.
Pukulan Sinar Matahari yang dilepaskan si
pemuda yang dengan demikian menyatakan
bahwa dia adalah bukan lain Wiro Sableng
yang bergelar Pendekar Kapak Maut Geni 212,
murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede!
Seruan Muning Kwengi yang menyebut nama
pukulan yang barusan dilepas lawan lenyap
ditelan gelegar suara beradunya sinar pukulan
itu dengan sinar biru yang dilepaskan Muning
Kwengi untuk mempertahankan diri.
Dua pukulan itu laksana raksasa, berkecamuk,
bergelungan, lalu memecah ke kiri untuk
kemudian menyerempet sisa-sisa prajurit-
prajurit dan anggota-anggota rampok yang
masih bertempur. Terdengar pekik-pekik
kematian. Semuanya berkaparan di tanah
dengan tubuh hangus laksana dipanggang!
Muning Kwengi merasakan dadanya
berdenyut-denyut. Menggempur pemuda itu
sampai lima puluh atau seratus jurus
sekalipun belum tentu dirinya akan sanggup
mengalahkannya. Karenanya daripada
membuang-buang waktu dan bukan mustahil
dia bisa celaka maka neneknenek ini segera
menyambar dan mendukung tubuh adiknya.
Untuk tidak kehilangan muka dia berkata:
"Pendekar 212! Sayang aku tak punya waktu
banyak. Jika nyalimu benar-benar besar aku
tunggu kau! Malam bulan purnama besar di
pekuburan Blumbung!"
"Nenek-nenek keriput! Kau mau ke mana?!"
sentak Wiro Sableng. "Apa yang telah kau
mulai hari ini, harus diselesaikan hari ini
juga!"
lblis Pisau Terbang pencongkan mulut.
Uengan tangan kanannya dilemparkannya tiga
buah pisau ke arah Wiro Sableng. Pendekar
ini cepat menghantam serangan lawan dengan
pukulan tangan kosong. Namun pisau-pisau
yang dilemparkan si nenek kali ini bukan
sembarangan pisau. Karena begitu angin
pukulan Wiro membentur badan pisau, ketiga
pisau itu yang bagian dalamnya mempunyai
rongga, meledak dan tiga gulungan asap
hitam menggebubu menutupi pemandangan!
"Kurang ajar!" maki Wiro dan sadar kalau
sudah tertipu. Tak menunggu lebih lama dia
segera lepaskan dua pukulan Sinar Matahari
ke jurusan di mana Muning Kwengi
sebelumnya tadi berdiri. Tapi si nenek katai
tidak roboh. Begitu asap bertabur dia
melompat tiga tombak ke samping kiri untuk
kemudian lenyap di dalam rimba belantara
bersama adiknya.
Wiro Sableng garuk-garuk kepala dan
memandang berkeliling. Mayat bertaburan
dimanamana. Perkampungan di tengah hutan
itu sesunyi di pekuburan. Wiro melangkah
mendekati sosok tubuh Sanjaya. Ditotoknya
tubuh perwira yang malang itu di beberapa
bagian kemudian dipanggulnya meninggalkan
tempat itu.
Di barat langit telah kuning kemerahan.
Sebentar lagi sang surya akan segera
tenggelam. Pendekar 212 Wiro Sableng
tinggalkan hutan Walu dengan berlari cepat ke
jurusan selatan.
Telaga itu terletak di antara dua kaki bukit.
Bulan sabit tampak menggantung tinggi di
langit, sebentar-sebentar tertutup angin
kelabu yang berarak ke arah timur. Sebuah
api unggun menyala di salah satu tepian
telaga. Tak berapa jauh dari api unggun
kelihatan dua orang lelaki duduk berhadap-
hadapan.
"Sebaiknya kau berbaring saja perwira. Agar
kau bisa istirahat dan jalan darahmu teratur
…."
"Ah, lagi-lagi kau memanggilku dengan
sebutan perwira itu Wiro. Namaku Sanjaya …."
Wiro cuma menyengir. "Berbaringlah…"
katanya lagi.
Sanjaya gelengkan kepala. Dia memandang
pada balutan di dadanya.
"Bubuk obat yang kau berikan ternyata
mujarab sekali. Aku telah berhutang nyawa
terhadapmu…."
"Jangan kau sebut-sebut lagi hal itu …."
"Menyebutnya atau tidak namun itu adalah
kenyataan."
Sanjaya diam seketika. Lalu: "Bagaimana kau
bisa muncul di perkampungan rampok itu?"
tanyanya kemudian.
"Aku memang sudah sejak lama memburu
bangsat tua berjuluk lblis Pisau Terbang itu.
Kejahatannya benar-benar telah lewat
takaran. Terakhir sekali dia memusnahkan
secara kejam pesantren Bintang Hijau di
lembah Beringin. Jejaknya kuikuti sampai ke
dalam rimba belantara Walu. Justru kuketahui
di situ juga bersarang gerombolan rampok
ganas pimpinan Warok Grimbil. Menurut
keterangan yang kudapat Warok Grimbil
masih bersaudara kandung dengan lblis Pisau
Terbang. Kujelajahi rimba belantara dan
akhirnya betul-betul bertemu dua manusia
jahat itu. Tapi sayang, keduanya berhasil
meloloskan diri!" Lalu Wiro menerangkan
bagaimana dia telah tertipu oleh tiga pisau
terbang Muning Kwengi.
Karena sudah merasa sangat dekat dengan
Wiro maka tanpa ditanya Sanjaya menuturkan
pula tugas yang dijalankannya atas perintah
Sri Baginda yakni untuk membasmi komplotan
rampok jahat Warok Grimbil, menangkap
pemimpinnya hidup atau mati.
"Semua prajuritku menemui kematian," keluh
Sanjaya. "Bagaimana aku bisa kembali ke
Kotaraja begini rupa?!"
"Tak usah kawatir, cepat atau lambat tentu
ada orang lain yang akan membekuk kedua
manusia jahat itu."
"Betul, tapi aku yang ditugaskan untuk
membasminya justru aku sendiri yang
selamat. Tidak mustahil orang akan
berprasangka buruk padaku …."
"Kalah atau menang dalam satu pertempuran
adalah satu hal yang lumrah sobat,"
menghibur Wiro.
"Yah, kekalahan yang terlalu pahit untuk
ditelan," desis Sanjaya. Dia teringat pada
gurunya dan menyambung dengan suara
perlahan: "Yang akan mengalami kekecewaan
besar adalah Eyang Wulur Pamenang, guruku.
Dia tentu malu mempunyai seorang murid
yang tidak berguna macamku ini. Aku sendiri
tak punya muka untuk bertemu dengan dia …."
Wiro Sableng garuk-garuk kepala dan tertawa.
"Jangan putus asa Sanjaya. Kita harus ingat,
betapapun tingginya ilmu seseorang kelak ada
lain orang yang lebih tinggi kepandaiannya.
Di luar langit ada langit lagi. Begitu orang
memberi perumpamaan …."
Sanjaya menghela nafas dalam dan
memandang ke utara di mana dalam gelapnya
malam sepasang matanya masih mampu
melihat puncak gunung Slamet menghitam di
kejauhan. Berada di situ pemuda ini sama
sekali tidak mengetahui malapetaka yang
telah menimpa gurunya serta tunangannya
dua bulan yang lewat.
Kedai Pak Tanu terletak di tengah pasar di
pusat kota Bumiayu, merupakan kedai yang
buka siang malam di kota kecil itu. Karena
Bumiayu menjadi pusat persimpangan lalu­
lintas dari lima jurusan maka meskipun kecil
tapi sepanjang hari sampai malam kota ini
senantiasa ramai.
Kedai pak Tanu terkenal sampai ke mana-
mana dan selalu ramai pengunjungnya.
Sebenarnya makanan yang dimasak bu Tanu
tidak terlalu luar biasa. Namun orang selalu
datang ke sana untuk makan atau minum
karena harganya murah. Dan ada hal lain lagi
yang membuat orang mengalir sepanjang hari
masuk ke kedai tersebut.
Pak Tanu mempunyai dua orang anak. Satu
lelaki seusia sepuluh tahun sedang satu lagi
perempuan yang sudah remaja puteri, berkulit
hitam manis dan berparas cantik. Hidung
mancung, bibir kecil, dagu laksana lebih
bergantung. Leher jenjang, alis laksana bulan
sabit dan bulu mata panjang melentik.
Ditambah pula dengan lenggang lenggoknya
ketika berjalan serta sikapnya yang genit
manja, semua itulah yang sebenarnya menjadi
penyebab mengapa kedai pak Tanu terkenal
dan banyak dikunjungi orang.
Selaku pemilik kedai pak Tanu agaknya
memang sengaja menyuruh anak gadisnya itu
duduk di kedai untuk melayani para tetamu.
Colak colek dan cubitan tangan lelaki-lelaki
bagi Sri Wening -begitu nama puteri pak Tanu
– sudah merupakan hal-hal yang biasa,
malah tak jarang banyaklah yang tergila-gila
padanya. Makin banyak yang tergila berarti
tambah banyak tamu yang datang dan
tambah penuh kocek pak Tanu.
Sedemikian banyak para pemuda dan para
pedagang yang terpikat namun sebegitu jauh
tak seorang pun yang bisa mendekatinya.
Banyak yang melamar malah. Semua ditolak.
Jinakjinak merpati. Begitulah julukan yang
diberikan orang pada Sri Wening.
Suatu malam hujan lebat sekali. Di kedai pak
Tanu terdapat sekitar selusin tamu.
Kebanyakan di antara mereka minum teh atau
kopi hangat sambil merokok dan tentunya tak
lupa melirik puteri pemilik kedai yang hitam
manis itu. Kadang-kadang seseorang sengaja
menghabiskan minumannya cepat-cepat agar
bisa minta minuman baru dan dengan
demikian berkesempatan untuk mengganggu,
meraba atau mencolek Sri Wening yang
datang melayani.
Pada saat hujan lebat berganti rintik-rintik,
masuklah seorang tamu muda berpakaian
sederhana. Dia memandang dulu seputar
kedai, lalu memilih tempat duduk di sudut
yang agak terpencil. Diusapnya wajahnya
yang basah oleh air hujan. Sri Wening
mendatangi dengan lenggang-lenggok dan
genit.
"Hai, kau datang lagi sahabat muda," sapa Sri
Wening dan tak lupa melontarkan senyum
memikat.
"Ya … ya …" sahut si pemuda sambil garuk-
garuk belakang kepalanya.
"Nah, kau pasti lupa apa yang kupesankan
malam kemarin ketika kau datang ke mari …."
"Apa … ? Pesan apa ya?" balik bertanya sang
tamu sambil coba mengingat-ingat dengan
tampang yang tolol.
Sri Wening tertawa berderai hingga semua
orang memandang ke jurusannya. Diam-diam
banyak yang merasa iri pada tamu muda
bertampang bodoh itu.
"Ah, kau seorang pelupa rupanya! Malam
kemarin kupesankan padamu agar kau
memotong rambutmu yang gondrong tak
karuan itu! Kau ingat?!"
"Ya … ya, aku ingat sekarang. Tapi … ngg ….
Aku lebih suka gondrong begini!"
"Perempuan akan jijik melihatmu!" ujar Sri
Wening.
"Biar, biar semua perempuan. Asal kau sendiri
tidak," sahut si pemuda.
Kembali Sri Wening tertawa panjang.
"Kau ceriwis!" Sri Wening mencubit belakang
tangan sang tamu. Si pemuda tersenyum dan
kedipkan matanya. "Kau genit. Ih!" Gadis itu
menjauh.
"Katakan sekarang, kau mau pesan makanan
apa?"
"Seperti yang semalam."
"Yang semalam?"
Sang tamu mengangguk. Sri Wening masuk ke
bagian belakang kedai. Tak lama kemudian
dia ke luar kembali membawa makanan dan
minuman yang dipesan.
Saat itu dua orang tamu lagi datang.
"Nah, habiskan makananmu ya!" kata gadis
itu lalu siap melayani dua tamu yang barusan
masuk. Selesai makan pemuda berambut
gondrong itu duduk mengulurkan kedua kaki
seenaknya. Tangannya mengusap-usap
perutnya yang kenyak gembul sedang kedua
matanya setengah terpejam. Dia kelihatan
agak terganggu ketika seorang yang sejak
tadi duduk di dekatnya mendekati dan
bertanya:
"Mengantuk?" Suara bertanya ini sember dan
tak sedap didengar.
Si pemuda palingkan kepala. Yang
menegurnya ternyata seorang kakek-kakek
berhidung besar tapi pesek sekali. Demikian
peseknya hingga hampir sama dengan pipinya
yang cekung keriput. Rambut serta sepasang
alis matanya berwarna putih oleh kelanjutan
usia.
"Hemm …" pemuda yang ditanya menjawab
dengan gumam segan-segan.
"Kau datang dari mana, rambut gondrong?"
tanya si kakek.
"Desa …."
"Desa mana?"
Yang ditanya membetulkan duduknya
memperhatikan si kakek dengan pandangan
meneliti. Si kakek justru tertawa lebar. Waktu
tertawa jelas kelihatan tak ada sepotong gigi
pun yang masih tumbuh di gusi atas mau pun
bawah.
"Heh, aku bukan menyelidik …" kata si kakek.
"Hanya orang-orang dengan maksud tertentu
yang suka menyelidiki orang lain …."
"Betul, kau betul sekali anak muda." Kakek
hidung pesek angguk-anggukkan kepalanya.
Lalu dikeluarkannya sebuah dompet tikar
pandan. "Kau merokok?"
Si pemuda menggeleng.
Orang tua itu mencabut sebatang rokok
kawung, menyalakannya lalu duduk
menyandarkan punggung ke dinding kedai,
memandang ke arah pintu.
"Kau sendiri siapa, kek?" kini pemuda rambut
gondrong ganti bertanya.
"Sama sepertimu. Tamu di kedai ini. Hanya
aku sudah kakek keriput dan kau masih muda
…."
"Tua bangka konyol …" maki si gondrong
dalam hati. Sementara si kakek
menghembuskan asap rokoknya tinggi-tinggi
ke udara. Sesaat kemudian dia membuka
mulut kembali. "Kuperhatikan sudah empat
malam ini kau datang ke mari. Apa kecantikan
dan kegenitan anak gadis pemilik kedai ini
telah membuatmu tergila-gila? Kulihat kau
tadi bercanda dengannya. Bahkan kedipkan
mata segala!"
"Ah, matamu yang tua itu ternyata belum
lamur. Malah tajam sekali kek. Sudah kodrat
alam jika pemuda tertarik dengan gadis
cantik. Tak dapat disalahkan. Tapi kau yang
sudah begini, apakah ikut tertarik dengan
gadis itu kek? Kalau tak salah kaupun sudah
empat malam datang kemari!"
Si kakek tertawa mengekeh hingga hidungnya
yang lebar itu jadi tambah lebar dan tambah
pesek.
"Sekalipun aku tergila padanya, mana
mungkin dia suka padaku. Bisa aku keblinger
sendiri!" Habis berkata begitu si kakek
kembali tertawa lalu menyambung: "Anak
muda, aku tak akan mengganggumu lagi. Aku
juga mengantuk dan ingin tidur sebentar."
Lalu dia kembali ke tempat duduknya semula.
Hanya sebentar sudah terdengar dengkurnya
yang tidak sedap.
Wiro Sableng, si pemuda berambut gondrong
tadi kembali melunjurkan kakinya dan kedua
matanya ditutupkan setengah terpejam.
Hampir satu kaili peminuman teh berlalu
ketika kedua mata murid Eyang Sinto Gendeng
dari Gunung Gede itu tampak membesar dan
memandang ke arah pintu kedai.
Seorang pemuda bertampang keren masuk
dengan langkah tegap. Dia langsung duduk di
belakang meja. Sepasang matanya yang sipit
tidak berkesip dan selalu tertuju pada Sri
Wening. Si gadis yang merasa diperhatikan
balas memandang dan tersenyum genit lalu
mendekati pemuda itu.
"Orang gagah, kau datang dari mana?" sapa
Sri Wening.
Cuping hidung tamu yang ditegur tampak
bergerak-gerak, kedua matanya membesar
sedikit.
"Datang dari jauh adik. Bukankah namamu Sri
Wening?"
"Ah, kau sudah tahu namaku. Rupanya
namaku diterbangkan angin sampai jauh …."
Anak gadis pak Tanu itu kembali
melayangkan senyum memikat.
"Tentu parasmu yang cantik jelita laksana
harumnya bunga yang diterbangkan angin ke
mana-mana!"
"Kau pandai merayu. Siapa namamu sahabat
muda?" tanya Sri Wening.
"Prana."
"HanyaPrana? Tak ada sambungannya?"
Si pemuda menggeleng.
"Pendek amat namamu. Tapi bagus, sebagus
orangnya. Nah sekarang katakan kau mau
makan apa, mau minum apa."
Tamu itu menyebutkan makanan yang
diinginkannya dan juga memesan tuak haruna
satu buli-buli penuh. Sambil menunggu
pesanannya dia memandang berkeliling. Tak
banyak yang menarik perhatiannya dalam
kedai itu. Juga terhadap Pendekar 212 yang
tidur-tidur ayam serta orang tua berhidung
pesek yang mendengkur tak berapa jauh dari
Wiro.
"Boleh aku menemanimu makan?" tanya Sri
Wening manja begitu selesai meletakkan
hidangan di atas meja.
"Tentu, tentu saja," jawab Prana gembira.
Diambilnya sebuah kursi dan diletakkannya
dekat-dekat ke kursinya lalu dipersilahkannya
Sri Wening duduk di situ. Tangan kanan
menyuap makanan sedang tangan kiri
memegangi pinggul gadis pemilik kedai itu.
Bagi Sri Wening yang genit hal ini belum
pernah dilakukan lelaki lain sebelumnya.
Memang banyak yang suka mencubit
tangannya, tapi memeluk begitu benarbenar
satu keberanian luar biasa. Bagi pak Tanu
dan istrinya yang memang sengaja
memancing para tamu dengan kecantikan
anaknya, hal sejauh itu tidak diharapkannya.
Tamutamu lain di kedai itu juga
memperhatikan dengan mata melotot. Ada
yang dongkol, ada yang menganggap
tindakan Prana kurang ajar tapi ada juga
yang iri. Hanya dua orang tamu yang
sepertinya tidak perduli. Yakni Wiro Sableng
dan si kakek hidung pesek.
Selesai makan Prana meneguk tuak dalam
buli-buli sampai setengahnya. Wajahnya yang
putih kelihatan menjadi merah.
"Masakannya enak apa tidak?" tanya Sri
Wening.
Dia juga merasa risih dan hendak berdiri. Tapi
pelukan tangan Prana di pinggulnya kencang
sekali, membuat dia hampir tak bisa bergerak.
"Enak sekali. Pasti kau yang memasaknya
bukan?"
Sri Wening mengangguk meski semua
makanan yang dijual di kedai itu ibunyalah
yang memasak. Dia hanya tahu bersolek dan
menunggu tamu. Prana menuang lagi
tuaknya. Mukanya makin merah. Tiba-tiba
ditariknya kepala Sri Wening lalu diciumnya
wajah gadis itu bertubi-tubi. Si gadis
menggeliat dan meronta serta berseru tegang
setengah marah setengah takut. Semua orang
dalam kedai tampak terkejut. Pak Tanu dan
istrinya terkesima saling pandang.
Tiba-tiba pak Tanu berdiri dan melangkah
cepat ke meja Prana dan membentak keras:
"Manusia kurang ajar! Lekas bayar makanan
dan tuak itu. Lalu angkat kakimu dari
kedaiku!"
Dibentak begitu si pemuda tenang-tenang saja
seperti tak mendengar. Malah tangannya
merayap lebih berani. Yang satu masih
melingkar di pinggang Sri Wening, satunya
lagi bergerak ke dada. Pak Tanu cepat
menarik anaknya dari pelukan Prana, tapi tak
berhasil.
"Lepaskan anakku!" teriak pak Tanu.
Prana mengekeh.
"Bukankah kau sendiri yang sengaja
menyuruh anakmu melayani tetamu,
mengandalkan kecantikan dan kegenitannya
supaya dapat banyak uang. Sekarang dia
tengah melayaniku, kenapa kau justru jadi
marah? Jangan takut aku tak akan lupa
membayar harga makanan dan tuak itu.
Malah akan kutambah dengan harga
kehangatan tubuh anakmu!"
Marah pak Tanu tak terbendung lagi.
Diambilnya buli-buli arak dari atas meja lalu
mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Jika tak kau lepaskan anakku dan segera
membayar, kupecahkan kepalamu!" ancam
pak Tanu.
Prana ganda tertawa. Dia sama sekali tidak
perdulikan ancaman pemilik kedai malah kini
dengan kurang ajar tangan kanannya
menyelinap di balik dada pakaian Sri Wening.
"Manusia bejat haram jadah!" maki pak Tanu.
Tangan kanannya bergerak menghantam buli-
buli tuak ke kepala Prana. Tetapi pemilik
kedai ini jadi kaget ketika mendapatkan
dirinya tahu-tahu sama sekali tidak dapat
bergerak. Tangan dan sekujur badannya kaku.
"Hai, kenapa diam saja?" tanya Prana.
"Bukankah kau hendak menghancurkan
kepalaku?"
"Setan alas! Aku tak bisa menggerakkan
tanganku. Aku tak bisa bergerak!" seru pak
Tanu dengan mata melotot. Rasa takut lebih
banyak dari pada rasa heran.
Semua orang yang menyaksikan dan
mendengar ucapan pemilik kedai itu jadi
melengak kaget. Pada saat itu pula Sri
Wening merasakan sesuatu tusukan pada
punggungnya. Setelah itu dia juga tak dapat
bergerak. Dia hendak berteriak tapi mulutnya
pun tak mau membuka. Lidahnya seperti kelu!
Dia sama sekali tak dapat mengeluarkan
suara! Dari balik pakaiannya Prana
mengeluarkan beberapa keping uang dan
dilemparkannya di atas meja.
"Uang ini cukup banyak untuk membayar
makanan, tuak serta anak gadismu ini.
Karenanya aku berhak untuk membawanya
sekarang …."
Selesai berkata begitu Prana langsung berdiri
dan memanggul Sri Wening di bahu kirinya.
"Kau mau bawa ke mana anakku?!" teriak bu
Tanu seraya berlari mendatangi.
"Oh, kau ibunya?" ujar Prana. "Tak usah
khawatir, aku akan membawa anakmu
sebentar saja dan tenang sajalah!" Prana
lambaikan tangannya pada ibu Sri Wening
yang tengah berlari mendatangi langsung
tertegun mematung tanpa bisa bergerak lagi
di samping suaminya. Kedua suami istri ini
berteriak-teriak minta tolong. Kedai itu jadi
hingar bingar.
Beberapa orang tamu muda segera
menghadang di pintu depan.
"Eh, kalian mau menghalangiku?" tegur Prana
dengan pandangan angker.
"Penculik! Lepaskan gadis itu kalau mau
selamat!" teriak seorang pemuda bertubuh
tinggi besar.
Prana menyeringai.
"Aku muak melihat tampangmu. Pergilah!"
hardik Prana seraya mendorongkan telapak
tangan kanannya ke depan. Pemuda itu
kontan menjerit dan tubuhnya terlempar ke
luar kedai, jatuh di jalanan yang becek.
Beberapa orang segera menghunus senjata
dan mengurung Prana.
"Aku peringatkan pada kalian. Lebih baik
menyingkir!" bentak Prana.
"Bangsat penculik! Makan pisauku ini!" Dari
samping seorang menghujamkan pisau
panjang ke arah lambung Prana. Yang
diserang menggeser tubuhnya dengan cepat.
Di lain kejap tempelengannya sudah
menghantam kening penyerang. Pemegang
pisau melintir dan jatuh di lantai tanpa bisa
bangun lagi. Beberapa tamu lain yang juga
berusaha menyerbu mengalami nasib sama,
dihantam pingsan satu demi satu. Gerakan
Prana cepat sekali tanda dia memiliki
kepandaian silat yang tidak sembarangan.
Sampai saat itu baik Pendekar 212 Wiro
Sableng maupun si kakek hidung pesek tetap
saja duduk tenang-tenang di tempat masing-
masing. Yang satu tidur-tidur ayam, yang lain
mengorok terus. Namun ketika Prana
melangkah ke arah pintu, dengkur si kakek
tiba-tiba berhenti dan terdengar satu
bentakan:
"Manusia bernama Prana, tunggu dulu!
Jangan cepat-cepat pergi!"
Langkah si pemuda tertahan. Dia rasa-rasa
sudah pernah mendengar suara mirip-mirip
seperti orang yang membentak itu. Dia
berpaling. Dilihatnya orang tua pesek yang
tadi mendengkur berdiri dari kursi dan
melangkah kehadapannya. Prana bertindak
waspada. Jika si kakek mengetahui apa yang
terjadi berarti tadi dia tidak sesungguhnya
tertidur pulas dan mendengkur!
"Prana, kau kenal aku … ?" tanya si kakek.
"Ada untung apa aku kenal dengan kakek-
kakek perot macammu! Aku tak punya banyak
waktu untuk bicara!"
Prana memutar tubuh hendak berlalu. Tapi si
kakek pesek memegang bahu kanannya.
Pegangan ini laksana tindihan batu besar.
Terkejutlah si pemuda penculik.
"Orang tua, siapa kau sebenarnya … ?" desis
Prana. Sepasang matanya menyipit kejam.
"Pandanglah parasku yang buruk ini Prana.
Pandang baik-baik …" berkata si kakek.
Prana menatap wajah tua itu dalam-dalam.
"Aku tidak kenal kau dan jangan ikut campur
urusanku!" kata Prana akhirnya dan siap
hendak berlalu.
Tiba-tiba orang tua itu menggerakkan tangan
kanannya ke wajahnya. Sehelai kulit tipis
yang selama ini menutupi mukanya dan
merupakan topeng tipis terbuka, kini kelihatan
wajahnya yang asli. Ternyata wajahnya putih
bersih meskipun penuh dengan keriput
ketuaan.
"Guru!" seru Prana tersentak kaget begitu dia
melihat wajah asli orang dihadapannya.
Demikian kagetnya pemuda itu hingga sampai
mundur beberapa langkah.
Hemmm …" si orang tua bergumam. "Betul.
Aku memang gurumu yang bernama Jagat
Kawung. Rupanya kau masih bisa mengenali
guru yang telah kau nodai dengan segala
perbuatan-perbuatan terkutukmu selama ini.
Warangas! Aku menyesal seumur-umur telah
mengambilmu jadi murid. Lepaskan gadis itu
dan bersiaplah untuk menerima hukuman!"
"Guru, aku tak mengerti maksud ucapanmu!"
tukas Prana yang oleh si kakek tadi disebut
dengan nama aslinya yaitu Warangas.
"Turunkan gadis itu!" bentak Jagat Kawung.
"Aku telah memutuskan untuk membawanya!"
jawab Prana alias Warangas.
Sepasang mata si kakek berkilat-kilat karena
kemarahan luar biasa. "Di situ jelas terlihat
kebejatanmu! Dan kau masih hendak berpura-
pura di hadapanku. Kepandaian yang
kuberikan padamu kau pergunakan untuk
berbuat kejahatan. Merusak rumah tangga
orang. Mempermainkan isteri orang, menodai
gadis-gadis. Kau muncul dengan berbagai
nama. Sebagai Dipasingara. Sebagai
Handaka. Sebagai Prana. Namun kau tetap
Warangas, manusia busuk terkutuk, pemuda
hidung belang bejat di atas jagat ini!
Turunkan gadis itu Warangas!"
"Tidak!"
"Kau membangkang perintah gurumu?"
"Jika kau berani menghukumku, mulai detik
ini aku tidak menganggapmu sebagai guru
lagi!" jawab Prana alias Handaka alias
Dipasingara alias Warangas.
"Kalau begitu bersiaplah untuk mampus!"
Jagat Kawung mencengkeramkan tangan
kirinya ke muka muridnya yang aslinya
bernama Warangas itu. Tangannya yang satu
lagi mencengkeram ke perut. lnilah yang
disebut gerakan maut "Sepasang
Cengkeraman Garuda Sakti."
Warangas cepat menyingkir. Dia tahu
kehebatan gurunya. Karena begitu berhasil
mengelakkan serangan tadi cepat-cepat dia
menurunkan Sri Wening. Terlalu besar
resikonya menghadapi sang guru dengan
masih memanggul gadis itu.
"Guru, kuharap kau mau membendung
kemarahan dan tidak menurunkan tangan
kasar!"
"Manusia laknat. Jangan panggil aku guru!
Dan tak perlu mulut busukmu banyak bicara!"
Kembali Jagat Kawung berkelebat. Tapi
kembali pula Warangas berhasil mengelakkan
diri.
Di samping luapan amarah, Jagat Kawung
juga jadi heran melihat ilmu yang dimiliki
Warangas jauh lebih maju dari kepandaiannya
yang pernah diturunkannya dulu. Maka tanpa
membuang waktu Jagat Kawung segera
keluarkan jurus-jurus serangan ampuhnya.
Serangannya datang bertubi-tubi laksana
hujan mencurah. Kedai itu bergetar oleh
sambaransambaran angin kedua orang yang
baku hantam.
Dalam kelebatan tubuh hanya merupakan
bayang-bayang saja, tiba-tiba terdengar
teriakan Jagat Kawung. Teriakan ini disertai
dengan berkiblatnya sinar merah menyala
laksana lidah api, menyambar ke arah tubuh
Warangas. lnilah pukulan paling hebat yang
dimiliki Jagat Kawung. Selama lima belas
tahun meyakini ilmu kesaktian tersebut tak
satu kekuatan lawanpun yang sanggup
menghadapinya. Sudah dapat dibayangkan
oleh orang tua itu bagaimana tubuh muridnya
yang terkutuk itu akan meleleh matang
dihantam pukulan sakti bernama "Pukulan
Baja Merah" itu.
Namun sesaat kemudian jadi melengak
sewaktu menyaksikan bagaimana dari dua
telapak tangan muridnya menderu ke luar
larikan-larikan sinar putih yang sanggup
menahan dan menangkis pukulan Baja Merah!
Tidak dapat tidak pastilah Warangas telah
berguru pada seorang sakti lainnya, pikir
Jagat Kawung.
Di lain pihak meskipun Warangas kelihatan
sanggup menghadapi pukulan sakti gurunya
namun saat itu kedua telapak tangannya
terasa panas laksana terpanggang dan
berwarna merah sedang dari mulutnya ke luar
darah membuih.
Warangas cepat keluarkan beberapa butir
obat dan menelannya lalu kerahkan tenaga
dalamnya ke bagian dada yang dirasakannya
berdenyut sekali. Kedua matanya yang sipit
tampak merah. Pandangan buas beringas!
"Tua renta keparat! Kau rasakan
pembalasanku!" kertak Warangas. Tangannya
bergerak ke balik pakaian.
"Sret!"
Sebuah benda hitam bertebar membentuk
setengah lingkaran.
Paras Jagat Kawung kontan berubah melihat
benda di tangan murid murtad itu. Jadi
benarlah kabar yang didengarnya selama ini
bahwa Warangas memiliki senjata luar biasa,
sebuah kipas sakti berwarna hitam.
"Kipas Pemusnah Raga!" desis Jagat Kawung.
"Murid keparat darimana kau dapatkan benda
itu?!"
"Ha … ha … nada pertanyaanmu jelas bahwa
nyalimu menjadi ciut! Dari mana aku
dapatkan benda ini bukan urusanmu. Kalau
kau tidak puas dengan jawabanku, silahkan
tanya nanti pada iblis-iblis di neraka!"
Warangas lalu gerakan tangan kanannya yang
memegang kipas.
"Wut!"
Selarik sinar hitam pekat menggidikkan ke
luar menyambar dari Kipas Pemusnah Raga.
Jagat Kawung berseru keras dan angkat kedua
tangannya ke atas. Dua larik pukulan Baja
Merah menyembur. Orang tua ini tidak yakin
bahwa ilmu kesaktiannya itu bakal dapat
melindungi dirinya dari serangan kipas sakti
lawan. Tapi daripada tidak berbuat apa-apa
sama sekali lebih baik melepaskan pukulan
itu.
Ketidak yakinan Jagat Kawung memang
beralasan. Terlihat dengan nyata bagaimana
sinar hitam pekat memukul dua larik sinar
merah. Selanjutnya sinar hitam Kipas
Pemusnah Raga terus menggempur ke arah si
orang tua.
"Celaka! Matilah aku sekarang!" keluh Jagat
Kawung dalam hati. Dia berusaha membuang
diri ke samping namun kasip.
Di saat yang sangat kritis dari samping tiba-
tiba terdengar suara menderu laksana bumi
dilanda air bah. Sinar hitam tampak
bergoyang-goyang lalu terdorong keras ke
samping dan musnah tak berbekas.
Jagat Kawung yang merasa dirinya
diselamatkan oleh gelambang angin yang
datang dari samping tadi menjadi amat
terkejut. Lebih-lebih Warangas yang berdiri di
seberang sana. Guru dan murid serentak
sama-sama berpaling. Di sudut sana
Pendekar 212 Wiro Sableng perlahanlahan
bangkit berdiri dari kursinya seraya garuk-
garuk kepala.
"Guru dan murid hendak saling berbunuhan!
Sayang … sayang sekali. Apalagi kalau sang
guru sampai celaka di tangan muridnya yang
murtad. Orang tua, serahkan Warangas
padaku. Aku memang sudah lama
mencarinya. Dosanya sudah lewat dari
takaran!"
Sebelum Jagat Kawung sempat bicara,
Warangas sudah membuka mulut: "Pemuda
rambut gondrong! Apa perlumu ikut campur
urusan orang lain?!"
"Untuk membasmi manusia bejat macammu
orang tak perlu mencari segala macam
alasan," sahut Wiro.
"Kalau begitu kau mencari mati!"
Lalu Warangas alias Handaka alias
Dipasingara alias Prana mengebutkan Kipas
Pemusnah Raga. Sinar hitam pekat kembali
berkiblat. Murid Eyang Sinto Gendeng tak
tinggal diam. Untuk kedua kalinya dia
lepaskan pukulan sakti "Dewa Topan
Menggusur Gunung."
Ketika kedua kekuatan sakti itu saling
bentrokan, kedai pak Tanu tak sanggup lagi
menahan hebatnya getaran. Meja dan kursi
berpelantingan. Dua buah tiang kedai patah,
salah satu dinding bobol. Orang-orang yang
pingsan dan bergeletak di lantai mencelat.
Beberapa diantaranya putus nyawanya. Sri
Wening dan kedua orangtuanya dalam
keadaan tertotok juga ikut mental ke luar
kedai.
Warangas merasakan sekujur tubuhnya
bergetar. Kipas saktinya hampir terlepas.
Ketika dia memandang ke bawah, ternyata
kedua kakinya telah amblas sedalam
sepertiga jengkal ke lantai tanah kedai. Jagat
Kawung sendiri terhuyung-huyung hampir
jatuh.
"Kurang ajar! Siapa bangsat gondrong ini
sebenarnya?!" maki Warangas dalam hati.
Diamdiam hatinya jadi tergetar. Belum yakin
kalau serangannya benar-benar bisa ditahan
lawan maka dengan mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya kembali dia kebutkan kipas
sakti. Sinar hitam menggidikkan kembali
menderu dan melabrak ke arah Pendekar 212
Wiro Sableng.
Wiro melepaskan lagi pukulan Dewa Topan
Menggusur Gunung. Keadaan kedai pak Tanu
semakin porak poranda. Warangas yang
menyadari bahwa sinar hitamnya tak mampu
menandingi pukulan lawan yang
menggemuruh cepat melompat jauh-jauh Wiro
merasakan dadanya berdenyut. Dia cepat
memburu ketika di depan sana dilihatnya
Warangas menangkap tubuh Sri Wening.
Jagat Kawung ikut mengejar. Tubuh
Warangas lenyap di luar kedai, menyelinap
dalam kegelapan malam. Tapi baik mata Wiro
maupun Jagat Kawung tak bisa ditipu oleh
kegelapan. Dalam waktu singkat keduanya
berhasil mengejar dan berada di belakang
pemuda penculik itu.
"Keparat hidung belang! Tempat larimu satu-
satunya adalah kematian!" tariak Wiro.
"Anjing kurap! Nyawa anjingmulah yang bakal
minggat ke neraka malam ini!" Satu bentakan
garang menimpali.
Wiro terkejut.
Yang membentak bukanlah Warangas tapi
orang lain. Tiga sosok tubuh berkelebat di
kegelapan. Pendekar 212 terpaksa hentikan
pengejarannya. Demikian pula Jagat Kawung.
Gerakannya tertahan oleh hadangan tiga
orang tak dikenal. Ini membuat Warangas
lolos dan lenyap bersama gadis boyongannya.
"Sialan! Kalian siapa?!" bentak Wiro pada tiga
orang yang menghadang di hadapannya.
Kegelapan malam membuatnya tak dapat
mengenali wajah mereka. Sewaktu ketiga
orang ini melangkah mendekati guru murid
Eyang Sinto Gendeng ini mengenal mereka.
"Kerak-kerak neraka! Malam yang kalian
janjikan masih dua hari dimuka! Apakah
kalian datang sebelurn waktunya karena
sudah tak sabar lagi untuk mampus?!"
Dua orang di depan Wiro mendengus. Yang
satu lagi rangkapkan tangan di muka dada.
"Malam terang bulan terlalu indah bagi
kematian Pendekar 212! Kami memutuskan
untuk mengambil nyawamu pada malam
mendung gelap ini. Apa kau sudah siap untuk
mampus?"
"Warok Grimbil! Rupanya nyalimu telah
dipompa hingga menggembung besar! Apakah
kedua sikutmu sudah sembuh? Dan kau nenek
kontet Muning Kwengi yang dulu melarikan
diri, apakah datang kemari karena
mengandalkan kambratmu yang berkepala
botak itu? Apa si botak ini sobat atau
gendakmu?!" Wiro menuding pada laki-laki
berkepala botak yang tegak di samping
Muning Kwengi hingga manusia ini kertakkan
rahang menahan marah. Dia mengerling pada
orang tua di samping Wiro. Si botak ini telah
mendengar kehebatan Wiro dari Muning
Kwengi. Tapi justru saat itu dia memandang
rendah terhadap Wiro sebaliknya menganggap
kakek itulah yang harus diperhatikan.
Kemelesetan dugaannya inilah yang justru
bakal membuat dirinya celaka.
"Jadi kalian bertiga datang kemari untuk
melanjutkan perhitungan tempo hari? Bagus!
Kalian maju bertiga atau sendiri-sendiri?!"
"Bedebah!" maki Warok Grimbil bekas kepala
rampok hutan Walu. Dicabutnya dua golok
besar dari pinggang lalu memberi isyarat pada
Muning Kwengi alias lblis Pisau Terbang.
Nenek katai ini ganti memberi tanda pada si
botak di sampingnya. Ketiga orang ini
kemudian dengan serentak menerjang ke arah
Wiro.
Jagat Kawung yang merasa berhutang nyawa
lantas ikut terjun dalam pertempuran seraya
berkata:
"Orang muda, aku bantu kau!"
"Grimbil! Kau berdua kakakmu hadapi kakek-
kakek busuk ini. Aku biar melayani pemuda
sampah ini yang katamu tinggi ilmunya!"
Sebenarnya si botak merasa gentar
menghadapi Jagat Kawung. Karena itu
sengaja disuruhnya kedua kakak beradik itu
mengeroyok si kakek. Wiro yang diduganya
tidak memiliki kepandaian apa-apa akan
dilayaninya seorang diri. Warok Grimbil dan
Muning Kwengi yang telah pernah dihajar
Pendekar 212 tentu saja merasa gembira
karena dengan demikian mereka akan
terhindar dari malapetaka!
"Monyet botak!" ejek Wiro. "Sebutkan dulu
namamu supaya aku tidak sungkan-sungkan
menghadapimu!"
"Bocah ingusan! Mulutnya sombong. Tapi
biarlah nanti akan kurobek!" Sambil menuding
dadanya si botak ini meneruskan: "Jika ingin
tahu aku inilah manusianya yang bernama
Lembu Surah bergelar Maut Tangan Delapan!"
Wiro tertawa gelak-telak.
"Bangsat kenapa kau tertawa?" bentak si
botak.
"Namamu seperti nama binatang. Gelarmu
tangan delapan. Tapi mengapa kulihat
tanganmu Cuma dua? Kalau namamu Lembu
sepantasnya gelarmu Maut Kaki Ernpat!"
Marahlah Lembu Surah diejek demikian.
Seumur hidup baru sekali ini dia menerima
penghinaan seperti itu. Dia menerjang ke
muka. Kedua tangannya bergerak cepat dan
tampaknya betul-betul seperti berubah jadi
sebanyak delapan buah dan kesemuanya
menyerbu ke arah Wiro Sableng. Karena tidak
tahu lengan mana yang asli dan mana yang
hanya bayangan belaka, Wiro tak mau
bertindak gegabah.
Serangan lawan disambutnya dengan jurus
"Kipas Sakti Terbuka". Kedua lengannya
dipentang ke atas. Sesaat kemudian terdengar
pekik si Maut Tangan Delapan. Kedua
tangannya beradu keras dengan tangan Wiro.
Salah satu tulang lengannya patah sedang
lengan yang lain menggembung merah
kulitnya. Wiro sendiri merasakan kedua
lengannya panas dan perih.
Sekalipun memiliki ilmu kepandaian yang
tidak rendah tetapi pada dasarnya si botak
berjuluk Maut Tangan Delapan ini adalah jenis
manusia berhati pengecut. Mendapat celaka
pada jurus pertama telah membuat nyalinya
lumer.
"Grimbil! Kwengi! Maaf saja! Aku masih ada
urusan lain yang lebih penting untuk
diselesaikan. Aku betul-betul menyesal ikut
kalian kemari!"
Selesai berkata begitu Lembu Surah cepat-
cepat putar tubuh dan larikan diri dari tempat
itu. Wiro tak berniat mengejar karena antara
dia dengan si botak itu sebenarnya tak ada
silang sengketa apa-apa. Kini dia hanya
berdiri memperhatikan Jagat Kawung yang
dikeroyok oleh Warok Grimbil dan Muning
Kwengi.
Pada saat Lembu Surah melarikan diri Warok
Grimbil masih sempat melemparkan caci maki
pada si botak itu. Tiga jurus pertama
meskipun mengandalkan tangan kosong Jagat
Kawung masih sanggup mengimbangi kedua
lawan. Namun ketika Muning Kwengi mulai
melancarkan serangan-serangan pisau
terbang sedang Warok Grimbil menggempur
dengan sepasang golok besarnya, mau tak
mau orang tua itu jadi tertekan juga. Ini
mernbuat Jagat Kawung jadi jengkel.
"Manusia-manusia sialan! Kalau tidak karena
kalian tentu murid keparat itu tidak akan
lolos!"
Warok Grimbil dan Muning Kwengi balas
menjawab dengan tawa mengejek.
"Memakilah sepuasmu sebelum roh busukmu
meninggalkan tubuh peotmu!" teriak Warok
Grimbil.
"Sombong! Kau yang lebih dulu pergi ke
neraka!" sahut Jagat Kawung lalu dari salah
satu tangannya menyambar selarik sinar
menyala merah.
"Grimbil awas!" teriak Muning Kwengi
memperingatkan. Tapi sang adik berada
dalam keadaan yang sulit untuk mengelak.
Kemudian terdengar pekik Warok Grimbil.
Tubuhnya yang katai terguling hangus
laksana dipanggang. Tentu saja nyawanya
tidak tertolong lagi!
"Bangsat! Rasakan pembalasanku!" bentak
Muning Kwengi marah meluap melihat
kematian adiknya mengenaskan begitu rupa.
Selusin pisau terbang dilemparkan ke arah
Jagat Kawung, tetapi sekali lagi sinar merah
berkiblat. Selusin pisau terbang runtuh ke
tanah. Ketika orang tua itu hendak susul
dengan pukulan kedua Wiro Sableng cepat
berseru: "Kakek, yang satu ini adalah
bagianku!"
"Tahan! Jurus kematiannya harus di
tanganku!" tiba-tiba terdengar suara lantang.
Sesosok tubuh melompat dari kegelapan.
Terdengar deru sesiuran angin. Si katai
Muning Kwengi yang bingung karena berturut-
turut ada tiga manusia yang inginkan jiwanya
menjadi gugup waktu mengelak. Sebilah
pedang tajam berkelebat menyambar lehernya.
Terdengar suara seperti kambing disembelih
dari tenggorokan perempuan bergelar lblis
Pisau Terbang itu. Darah menyembur dari
lehernya yang hampir putus. Nenek katai ini
bersungkur ke tanah, mati di situ juga tanpa
mengetahui siapa manusia yang telah
membunuhnya.
Seorang lelaki muda berwajah liar tetapi lusuh
berdiri termangu memandangi mayat Muning
Kwengi.
"Siapa dia … ?" tanya Jagat Kawung pada
Wiro Sableng.
"Sanjaya, perwira muda Kerajaan. Antara
mereka memang ada dendam kesumat lama.
Memang pantas nenek rongsokan itu mati di
tangannya. tengah menjalankan tugas
Kerajaan."
Sanjaya melangkah ke arah Wiro seraya
menyarungkan pedangnya.
"Kita jumpa lagi sobatku," kata perwira muda
itu.
"Aku senang bertemu denganmu lagi Sanjaya."
Wiro lalu memperkenalkan Sanjaya pada
Jagat Kawung.
"Wajahmu kulihat mendung. Tubuhmu lebih
kurus. Agaknya ada sesuatu ganjalan dalam
dirimu Sanjaya?" tanya Wiro pula.
Sanjaya menghela napas panjang. Lalu
mengangguk. "Kesulitan besar Wiro. Rasanya
tak sanggup kupikui lebih lama …."
"Kami adalah sahabatmu," kata Jagat
Kawung. "Jika kau mau mengatakan
kesulitanmu itu, mungkin kami bisa
membantu."
Lama Sanjaya berdiam diri, baru menjawab:
"Dua minggu lalu aku kembali ke gunung
Slamet. Apa yang kutemui disana benar-benar
mengejutkan. Mayat guruku yang tinggal
tengkorak utuh hanya digumpali daging rusak
di sana-sini kutemui menggeletak di semak
belukar. Tulang-tulangnya hangus hitam. Apa
yang terjadi tidak kuketahui. Wulandari adik
seperguruanku juga merupakan tunanganku
tak ada disitu. Seluruh puncak gunung Slamet
kuselidiki. Wulandari tetap tak kujumpai.
Akhirnya aku turun gunung. Di satu tempat
kudengar suara tangis perempuan memilukan
hati. Ketika kudatangi ternyata Wulandari.
Aku terkejut sekali melihat keadaannya.
Pakaiannya kotor dan robek-robek. Matanya
merah bengkak karena terlalu banyak
menangis. Dia menjerit pada detik melihatku.
Dia seperti orang yang ketakutan lalu
melarikan diri. Di satu tempat aku berhasil
mengejarnya dan pada saat itulah baru
kulihat dengan jelas perutnya. Menggembung
besar, mengandung! Tapi yang paling
menyedihkan ialah ketika kuketahui bahwa
Wulandari tidak lagi sehat otaknya. Kadang-
kadang dia menangis. Kadang-kadang
tertawa. Sulit sekali. Dia menyebut-nyebut
pembunuhan atas diri Eyang Wulur
Parmenang. Menyebut seseorang tak kukenal
bernama Handaka. Lalu soal pengusiran dan
anak haram yang dikandungnya. Aku coba
mempelajari semua keterangan dari keadaan
dirinya itu namun tetap sulit mengetahui apa
sebenarnya yang telah terjadi. Kemudian
Wulan berteriakteriak dan lari. Kali ini aku tak
dapat mengejarnya. Menurutku satu-satunya
orang yang bisa memberi keterangan adalah
yang bernama Handaka yang disebut-sebut
Wulan itu. Aku berusaha melakukan
penyelidikan tapi sia-sia belaka. Mau pecah
rasanya kepalaku dan mau gila rasanya otak
ini!"
Lama kesunyian mencekam di tempat itu
setelah Sanjaya mengakhiri kisahnya. Ketika
Jagat Kawung mengangkat kepala dilihatnya
sepasang mata Pendekar 212 Wiro Sableng
memandang lekat-lekat kepadanya. Orang tua
ini segera maklum apa arti pandangan ini.
"Wiro, kau jelaskan semuanya pada Sanjaya
…" kata Jagat Kawung perlahan.
Wiro berpaling pada Sanjaya. "Ketahuilah,
orang bernama Handaka itu adalah orang
yang juga tengah kami kejar. Barusan saja
dia berada di sini, tetapi berhasil meloloskan
diri …."
"Lolos?! Ke mana dia melarikan diri. Aku
harus mengejarnya dan minta keterangan!"
kata Sanjaya.
"Sabar perwira, sabar …."
"Aku sudah meletakkan jabatan. Aku bukan
perwira Kerajaan lagi. Jangan panggil aku
dengan sebutan itu, Wiro."
Wiro manggut-manggut dan meneruskan
keterangannya.
"Handaka adalah salah satu saja dari sekian
banyak nama palsu yang dipakai orang itu.
Nama aslinya ialah Warangas. Dia pernah
memakai nama Dipasingara. Muncul dengan
nama Handaka atau Prana dan sebagainya.
Dia bukan manusia baik-baik. Kejahatan yang
dilakukannya adalah kejahatan paling
terkutuk. Merusak kehormatan setiap
perempuan cantik yang ditemuinya, dengan
berbagai cara dan akal. Tak perduli apakah
perempuan itu istri orang, apalagi masih
gadis …."
"Kalau begitu tunanganku Wulandari telah
dirusak kehormatannya oleh pemuda itu.
Hamil dan rusak jiwa serta pikirannya."
"Mungkin sabatku, mungkin sekali. Mungkin
pula dia jugalah yang telah membunuh
gurumu. Itu masih harus kita selidiki." Wiro
lalu menerangkan peristiwa di kedai pak Tanu.
"Dia memiliki sebuah senjata dahsyat yaitu
sebuah kipas sakti berwarna hitam. Karena itu
dia dijuluki Hidung Belang Berkipas Sakti."
Sesaat Wiro terdiam. Lalu meneruskan:
"Adalah satu kenyataan pahit dan pasti
mengejutkanmu…." Wiro tak meneruskan,
melirik dulu pada Jagat Kawung. Orang tua
ini mengerti dan berkata: "Teruskan kalimatmu
Wiro. Tak ada yang perlu dirahasiakan."
"Satu kenyataan pahit bahwa Handaka itu
bukan lain adalah murid orang tua ini
sendiri."
"Apa?!" Suara Sanjaya seperti geledek. Tanpa
pikir panjang lagi dia segera cabut
pedangnya. "Jadi dia muridmu?! Kalau begitu
kau pantas kucincang lebih dulu!"
Tangan Sanjaya yang memegang pedang
bergerak. Jagat Kawung hanya tundukkan
kepala seolah-olah menyerah pasrah untuk
dibunuh saat itu juga. Tetapi Wiro Sableng
cepat memegang lengan bekas perwira
Kerajaan itu dan berkata:
"Sabar sobatku. Sabar. Jangan kalap
membabi buta. Jika kau punya dendam
terhadap muridnya adalah tolol membalaskan
sakit hati pada gurunya yang juga pernah
mencari-carinya untuk menjatuhkan
hukuman!"
Kata-kata Wiro itu mengendurkan kemarahan
Sanjaya. Dengan tangan bergetar dan muka
keringatan disarungkannya pedangnya
kembali. Kemudian didengarnya Jagat
Kawung berkata: "Biarkan dulu aku terus
hidup untuk dapat menjatuhkan hukuman
terhadap murid murtad itu. Kelak jika dia
sudah kusingkirkan dari dunia ini aku pasrah
menerima kematian di tanganmu! Memang
terlalu memalukan untuk hidup lebih lama …."
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
tanya Sanjaya kemudian.
Sunyi sejenak.
"Apa lagi selain mencari keparat bernama
Warangas itu!" sahut Jagat Kawung. Di
malam yang gelap ketiga orang itu segera
meninggalkan tempat itu.
Kuda coklat itu dipacunya secepat-cepatnya
menuju pantai selatan. Tiba-tiba si
penunggang mendadak sontak tarik tali
kekang dan berhenti memasang teiinga. Lapat­
lapat dikejauhan terdengar suara orang
menangis. Suara tangis perempuan. Demikian
memilukan suara tangis itu hingga
penunggang kuda ini turun dari kudanya dan
melangkah ke jurusan datangnya suara tangis
tersebut.
Tak berapa lama kemudian, dari balik semak
belukar dilihatnya seorang perempuan duduk
menyelepok di tanah. Pakaiannya rombeng
dan kotor. Rambutnya yang panjang tergerai
awutawutan. Dia tak dapat melihat jelas
wajah perempuan ini karena ditutupi dengan
kedua telapak tangannya. Yang lebih menarik
perhatian lelaki ini ialah kenyataan bahwa
perempuan yang menangis itu berperut besar
alias sedang hamil. Paling tidak hamil enam
bulan.
Tiba-tiba suara tangisan itu berhenti.
Perempuan itu berdiri dan mencabut sebilah
pedang. Kini lelaki itu dapat melihat wajah
perempuan itu. Cantik. Debu kotor tidak dapat
menyembunyikan kecantikannya. Sepasang
matanya tampak merah dan beringas berputar­
putar. Mendadak dia menjerit keras. Pedang di
tangannya disabatkan kian kemari merambas
pohon-pohon dan semak belukar
disekelilingnya.
"Mampus! Mampuslah kau Handaka! Mampus!
Kau musti mampus!"
"Perempuan gila …" desis lelaki itu mengintip.
"Bunting dan gila. Kasihan, kenapa dia jadi
Begitu … ?" Sesaat kemudian dilihatnya
perempuan itu lari ke arah pantai sambil
terus berteriak-teriak dan menyabatkan
pedangnya kian kemari. Mula-mula dikiranya
perempuan itu hendak menceburkan diri ke
dalam laut Tapi ternyata terus lari sepanjang
tepi pasir ke arah timur. Karena jurusan
larinya perempuan itu kebetulan sama dengan
arah yang hendak ditujunya cepat-cepat dia
kembali ke kudanya dan membuntuti dari
kejauhan.
Siapakah adanya penunggang kuda yang
bertubuh kekar dan berkumis melintang ini?
Dia bukan lain adalah Suramanik, bekas
kepala pengawal Kadipaten Gombong yang
terpaksa melepaskan jabatannya secara
menyakitkan hati gara-gara Dipasingara yaitu
sebagaimana yang telah dituturkan pada
permulaan kisah.
Sejak meninggalkan Gombong sejak itu pula
tertanam dendam kesumat terhadap
Dipasingara. Melakukan pembalasan berarti
harus memiliki ilmu yang lebih tangguh. Ini
disadari sepenuhnya oleh bekas kepala
pengawal itu. Maka setelah hampir satu
setengah bulan berkelana kian kemari
akhirnya dia dapat juga berguru pada seorang
tokoh silat tak terkenal di timur. Meski tak
terkenal dalam dunia persilatan namun ilmu
yang dipelajari Suramanik dari orang tersebut
cukup tinggi.
Setahun lebih menuntut kepandaian maka
Suramanik merasa sudah cukup dan minta diri
pada gurunya guna mencari Dipasingara.
Ternyata pemuda itu tidak ada lagi di
Kadipaten Gombong. Peristiwa yang menimpa
Adipati Kebo Panaran, yang diceritakan orang
padanya benar-benar mengejutkan Suramanik.
Ternyata Dipasingara adalah pendekar bejat
terkutuk yang bergelar Hidung Belang
Berkipas Sakti.
Dari keterangan-keterangan yang dapat
dikumpulkan oleh Suramanik akhirnya dia
mengetahui bahwa musuhnya itu tidak
mempunyai tempat kediaman tertentu tetapi
sering berada di sebuah goa di teluk yang
tenang di pantai selatan. Maka Suramanik
segera menuju ke tempat itu. Dalam
perjalanan ke selatan inilah dia bertemu
dengan perempuan gila yang sedang hamil
dan bukan lain adalah Wulandari.
Selagi membuntuti Wulandari dari belakang,
Suramanik melihat tiga buah titik hitam
bergerak cepat di samping bukit tandus
sebelah kirinya. Makin lama tiga titik itu
makin besar tanda makin dekat dan menuju ke
jurusannya. Ternyata tiga titik tadi adalah tiga
orang yang tengah berlari cepat. Kira-kira dua
puluh tombak dari Suramanik ketiga orang itu
berpencar. Jelas bahwa ketiga orang tak
dikenal itu sengaja mengurungnya.
"Berhenti!" satu bentakan mengumandang.
Suramanik tarik tali kekang kuda. Dia tahu
kalau tiga orang itu memiliki ilmu lari cepat
berarti mereka bukan orang sembarangan.
Dari atas punggung kudanya diperhatikan
ketiganya. Yang pertama seorang pemuda
berpakaian putih berambut gondrong. Yang
kedua seorang kakek-kakek dan yang terakhir
seorang lelaki muda berwajah gagah tapi
pucat. Di atas punggung kudanya Suramanik
menunggu dengan sikap waspada.
"Bukan dia …" kata pemuda berambut
gondrong.
"Ya, memang bukan dia," menyahuti si kakek.
"Kalian bertiga siapa dan ada keperluan apa
menyuruhku berhenti?" bertanya Suramanik.
"Harap maafkan," menjawab pemuda bermuka
agak pucat. Dia adalah Sanjaya. "Kami kira
kau adalah orang yang tengah kami cari.
Dapatkah kau menerangkan apakah Teluk
Segara Anakan masih jauh dari sini?"
Suramanik memandang ke tiga orang itu ganti
berganti baru menjawab. "Kira-kira
sepenanakan nasi lagi. Akupun tengah menuju
ke sana …."
Sanjaya berpaling pada dua kawannya yaitu
Wiro Sableng dan Jagat Kawung. Lalu
bertanya pada Suramanik: "Apakah kau
tinggal di sana?"
Suramanik menggeleng.
"Seperti kalian akupun tengah mencari
seseorang."
"Mencari seseorang? Boleh aku tanya siapa
nama orang yang kau cari itu?" Yang bertanya
adalah Jagat Kawung.
Sesaat Suramanik merasa bimbang. Namun
akhirnya menjawab juga. "Orang itu memiliki
beberapa nama. Tak tahu mana yang asli.
Diantaranya yang kuketahui ialah Dipasingara
dan Handaka…."
"Kalau begitu kita mencari orang yang sama!"
kata Sanjaya.
"Urusan apa sampai kau mencari orang itu?"
kembali Jagat Kawung ajukan pertanyaan.
"Bangsat itulah yang menyebabkan aku
kehilangan jabatan sebagai kepala pengawal
di kadipaten Gombong sekitar satu tahun
silam. Kudapat keterangan dia melarikan istri
Adipati Kebo Panaran dan membunuh Adipati
itu."
Jagat Kawung menghela nafas panjang. Dia
memandang ke laut dan berkata: "Mari kita
cepat-cepat meneruskan perjalanan."
"Tunggu dulu," kini Suramanik yang menahan.
"Ada satu kejadian yang perlu kuterangkan
pada kalian. Mungkin ada gunanya. Ketika
kalian hadang aku, sebenarnya aku tengah
membuntuti seorang perempuan muda berotak
miring yang lari ke jurusan sana …."
Dada Sanjaya sesak. Parasnya berubah.
"Apakah… apakah perempuan itu sedang
hamil…?" tanya Sanjaya.
"Ya. Bagaimana kau bisa tahu?" Suramanik
agak heran.
"Pasti Wulandari, pasti!" desis Sanjaya. Tanpa
tunggu lebih lama dia segera berkelebat
meninggalkan tempat itu disusul oleh Jagat
Kawung dan Wiro Sableng serta Suramanik
yang menunggangi kuda.
Berlari selama kira-kira sepenanakan nasi
sampailah ke empat orang itu ke tempat yang
dituju yaitu Teluk Segara Anakan. Suasana
tampak tenang. Ombak bergulung-gulung dari
tengah lautan menuju pantai dan memecah
teratur di pasir, di antara batu-batu karang
yang banyak bertebaran di sana-sini.
"Inilah Teluk Segara Anakan. Dipasingara
sering datang ke sebuah goa yang terdapat di
sekitar sini …." Suramanik berkata.
"Kita cari goa itu sekarang juga," kala Sanjaya
tidak sabaran.
"Tunggu dulu sobat-sobatku…" ujar Wiro
sambil mengangkat tangan kanannya. "Aku
mendengar suara lelaki tertawa mengekeh
diseling suara jeritan-jeritan perempuan …"
Semua orang memandang pada Wiro. Tak
satu pun di antara mereka mendengar suara­
suara yang dikatakan Pendekar 212 itu. Ini
merupakan satu pertanda bagaimana jauh
lebih tajamnya pendengaran murid Eyang
Sinto Gendeng itu.
Semua orang memasang telinga. Sesaat
kemudian Jagat Kawung berkata. "Betul …
suara itu. Aku kenal benar. Yang tertawa
adalah si keparat murtad. Datangnya dari
balik gundukan batu karang besar di sebelah
sana! Mari!"
Keempat orang itu dengan cepat segera
menuju ke jurusan batu karang yang
menjulang di sebelah barat Teluk. Semakin
dekat ke sana semakin jelas terdengar suara
tawa mengekeh serta jeritan perempuan.
"Mampus! Mampuslah kau Handaka!"
Begitu sampai di balik batu karang, keempat
manusia itu disambut oleh satu pemandangan
luar biasa. Seorang perempuan berambut
panjang tergerai acak-acakan dan berperut
besar hamil dengan pedang di tangan
menempur membabi buta seorang lelaki
muda. Yang perempuan ternyata adalah
Wulandari, tunangan Sanjaya, sedang yang
lelaki bukan lain Warangas alias Dipasingara
alias Handaka alias Prana dan banyak alias-
alias lainnya.
Perkelahian terjadi di depan sebuah goa. Di
mulut goa tegak seorang gadis berkulit hitam
manis dalam keadaan tubuh setengah
telanjang, ikut menyaksikan jalannya
pertempuran dengan tegang. Perempuan
hitam manis ini adalah Sri Wening, anak gadis
pak Tanu yang telah diculik dan disekap
Warangas di goa itu sejak seminggu lalu.
Ketika Wulandari sampai ke goa itu Warangas
tengah menggeluti tubuh Sri Wening.
Meskipun otaknya miring namun serangan
pedang Wulandari bukan serangan
sembarangan dan amat berbahaya. Akan
tetapi Warangas menyambuti dengan ganda
tertawa dan andalkan tangan kosong.
Sebentar-sebentar tangannya merobek
pakaian lusuh dan kotor yang melekat di
tubuh Wulandari hingga lambat laun
perempuan muda yang malang ini hampir
berada dalam keadaan telanjang. Perutnya
yang buncit dan urat-urat membiru jelas
kelihatan.
Sanjaya tidak dapat menahan luapan
amarahnya lagi. Dihunusnya pedangnya lalu
menghambur memasuki kalangan
pertempuran.
"Manusia dajal terkutuk! Hari ini jangan harap
kau bakal bisa lolos dari kematian!"
Warangas terkesiap kaget melihat kemunculan
Sanjaya yang tidak dikenalnya itu. Lebih
kaget lagi ketika di seberang sana dilihatnya
pula Suramanik, Jagat Kawung dan Wiro
Sableng.
Wulandari yang tengah mengamuk dengan
pedang di tangan ketika melihat Sanjaya
menjerit keras dan lari ke balik gundukan batu
karang rendah. Di situ dia menangis dan
berteriak-teriak tak karuan.
Karena tidak merasa punya silang sengketa
dengan Sanjaya heranlah Warangas ketika
Sanjaya menyerbunya dengan serangan-
serangan gencar.
Dia tak punya kesempatan untuk tanya ini itu
dan terpaksa harus kerahkan kepandaian
untuk menghindari sambaran-sambaran
pedang lawan. Dalam pada itu dilihatnya
Suramanik telah turun dari kudanya dan
langsung masuk ke kalangan pertempuran
dengan sebilah golok besar di tangan.
"Suramanik! Biar aku sendiri yang akan
mencincang rnanusia terkutuk ini!" teriak
Sanjaya. Dia ingin melampiaskan dendam
kesumatnya seorang diri.
"Aku juga punya hak untuk membelah batok
kepalanya, Sanjaya!" tukas Suramanik.
"Akulah yang paling berhak untuk
mematahkan batang lehernya!" yang berteriak
kali ini adalah si kakek Jagat Kawung dan
serentak dengan itu dia menyerbu dengan
tangan kosong, menghantamkan pukulan Baja
Merah!
Mendapat tiga serangan yang hebat luar
biasa ini Warangas menyingkir satu tombak
ke samping lalu melompat tinggi ke udara.
Ketika masih mengapung di atas, pemuda
hidung belang ini cepat keluarkan senjatanya
yang amat diandalkan yakni Kipas Pemusnah
Raga.
"Lekas menyingkir!" seru Wiro Sableng ketika
dilihatnya kipas hitam di tangan Warangas
terkembang. Wiro yang berada sekitar enam
belas langkah dari kalangan pertempuran
segera lepaskan pukulan Dewa Topan
Menggusur Gunung untuk menangkis sinar
hitam kipas sakti dan guna memberi
kesempatan pada Jagat Kawung, Suramanik
serta Sanjaya menyingkir.
"Jika kalian bertiga bertengkar untuk saling
dapat membantai manusia bejat ini, biar aku
saja yang mewakili kalian semua!
Bagaimanapun mengeroyok adalah tindakan
yang tidak terpuji!" kata Wiro sarnbil bersiap
dengan pukulan berikutnya.
"Bagi manusia puntung neraka macam dia tak
perlu memakai segala tata cara persilatan.
Yang penting dia musti mampus!" teriak
Sanjaya. Lalu pemuda ini melornpat ke udara
seraya kiblatkan pedangnya.
Sinar hitarn menggebu-gebu mernaksa
Sanjaya menyingkir jauh-jauh. Dari samping
kiri kembali Jagat Kawung mengirimkan
pukulan Baja Merah sedang Suramanik begitu
dilihatnya lawan menjejakkan kaki di tanah
cepat-cepat menyerbu dengan golok besarnya.
"Bangsat pengeroyok! Mampuslah semua!"
teriak Warangas marah dan kalap melihat
serangan yang datang tiada henti. Kipasnya
dikembangkan lebih lebar lalu diputar dalam
bentuk lingkaran. Sinar hitam menderu ke
seluruh penjuru, menyapu dahsyat laksana
topan prahara.
Di mulut goa terdengar jeritan Sri Wening
ketika sinar hitam itu menyambarnya,
membantingkan tubuhnya yang hangus tak
bernyawa lagi ke dinding goa!
Wiro leletkan lidah. Ketika sinar hitarn itu
berkelebat ke arahnya murid Sinto Gendeng ini
menangkis dengan pukulan Dewa Topan
Menggusur Gunung sedang tangan kanannya
melancarkan pukulan Sinar Matahari.
Warangas merasakan tubuhnya laksana
disambar angin puting beliung. Sinar hitam
yang menggebu dari kipas saktinya musnah.
Sebelum dia sempat mengimbangi diri dan
membetulkan kuda-kuda kedua kakinya,
pukulan Sinar Matahari telah menyambar
kipas saktinya hingga senjata itu hancur
berantakan!
Paras Warangas sepucat kain kafan.
Tengkuknya sedingin salju. Tanpa senjata di
tangan menghadapi empat lawan
berkepandaian tinggi seperti itu membuat
nyalinya meleleh. Maut telah di ambang pintu!
Tanpa tunggu lebih lama Warangas melompat
tidak menduga kalau di balik batukarang itu
justru ada Wulandari. Sebelum dia sempat
bergerak untuk terus melarikan diri mendadak
dirasakannya sambaran angin. Seolah-olah
bumi yang dipijaknya roboh begitulah tubuh
Warangas terbanting ke pasir ketika kedua
kakinya sebatas betis buntung disambar
pedang Wulandari.
Pemuda hidung belang itu menjerit setinggi
langit. Tubuhnya terguling ke bawah. Dia
rnenjerit lagi ketika dari kiri kanan Suramanik
dan Sanjaya bersirebut cepat menghantarnkan
golok dan pedang masing-masing ke
tubuhnya! Pedang di tangan Sanjaya
membabat robek dada Warangas sedang
golok di tangan Suramanik membabat putus
lengan kirinya sampai ke bahu!
"Cukup! Sekarang giliranku orang-orang
muda!" Terdengar suara Jagat Kawung.
Tubuhnya berkelebat cepat. Tangannya
menjambak rambut Warangas. Namun
sebelum dia sempat memuntir kepala
muridnya yang murtad itu, satu sinar putih
menderu dari samping dan cras! Kepala
Warangas terpisah dari badannya. Lehernya
putus dibabat pedang Wulandari. Darah
rnenyernbur. Wulandari menjerit histeris dan
lari ke arah laut.
"Aku terlambat … aku terlambat …" desis Jagat
Kawung menyesali diri. Sekali dia meremas
maka hancurlah kepala Warangas!
Ketika melihat Wulandari lari ke arah laut,
Sanjaya cepat mengejar. Dia tahu apa yang
bakal dilakukan, bekas tunangannya itu dan
segera menyergapnya.
"Lepaskan aku! Lepaskan! Biar aku terjun ke
dalam laut!" teriak Wulandari.
"Tenang Wulan. Sadarlah! Kenapa kau mau
mati dengan cara sesat bunuh diri?"
"Aku memang sudah sesat! Lepaskan!" teriak
Wulandari. Dia coba meronta melepaskan diri
tapi tak bisa. Tiba-tiba dia ingat pada pedang
berdarah yang masih tergenggam di
tangannya. Secepat kilat senjata itu
ditusukkan ke dadanya.
"Wulan! Jangan!" jerit Sanjaya. Tapi
terlambat. Pedang masuk jauh ke dada
Wulandari. Tubuh perempuan itu terkulai
dalam pelukan Sanjaya.
"Wulan, kenapa kau lakukan ini. Aku … aku
masih mencintaimu. Kenapa kau tinggalkan
aku Wulan…?" Suara Sanjaya serak menahan
tangis. Air matanya membersit dan dadanya
sesak.
Di saat kematian mendatang itu jalan pikiran
Wulandari tampaknya kembali normal.
"Semuanya telah kasip kakak. Diriku terlalu
kotor untuk terus hidup di dunia ini. Ampuni
dosaku kakak. Aku telah mengkhianati janji
walau sebenarnya akupun tetap mencintaimu
…."
"Wulan adikku … !"
Kepala Wulandari terkulai. Wulandari hanya
tinggal jasad kasar belaka kini. Jasad kasar
yang ditancapi pedang dan dilumuri darah.
Angin dari luar bertiup lembut dan sejuk.
Ombak putih bergulung teratur dan memecah
di depan kaki Sanjaya. Butir-butir air mata
berlelehan di pipi pemuda ini. Dia berlutut
membaringkan tubuh Wulandari di pasir
pantai, memeluk dan menangisinya. Dia tak
tahu entah berapa lama dia berada dalam
keadaan seperti itu sampai akhirnya satu
tangan memegang bahunya.
"Sobatku Sanjaya, Tuhan menghendaki segala
sesuatunya berakhir sampai di sini, dalam
cara begini rupa. Tabahkan hatimu, kuatkan
iman. Akan lebih baik jika kita mulai menggali
tempat peristirahatan terakhir baik Wulandari
…."
Sanjaya hanya menjawab dengan anggukan.
Diangkatnya jenazah tunangannya itu. Diikuti
oleh Wiro, Suramanik dan Jagat Kawung dia
mendukung tubuh Wulandari ke bagian yang
landai di bawah naungan batu karang. Di situ
mereka mulai menggali kubur.
Bila sang surya menggelincir ke barat maka di
pantai Teluk Segara Anakan kelihatan sebuah
kubur. Empat orang lelaki berdiri di sekeliling
kuburan itu. Tapi tanpa diketahui oleh tiga
orang lainnya, salah seorang dari mereka
yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng tahu-tahu
sudah berkelebat lenyap dari tempat itu. 
TAMAT