Ebook Wiro Sableng : Hancurnya Istana Darah

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Buku ke-16



DEBUR OMBAK memecah di pantai dan memukul lamping batu-batu karang terdengar abadi di udara pagi yang segar cerah. Kira-kira lima ratus tombak dari pantai tampaklah berdiri sebuah bangunan besar dikelilingi tembok tinggi sepuluh tombak. Baik-bangunan maupun temboknya seluruhnya berwarna merah.

https://drive.google.com/file/d/1BYaYjyQaTcAdfbC6T_H0cKjAn0xHdONL/view?usp=sharingDi daerah pantai seperti itu biasanya hampir tak pernah ditumbuhi pohon-pohon lain selain pohon kelapa. Namun adalah satu kenyataan aneh karena di Iuar tembok yang mengelilingi bangunan besar tadi tumbuh berkeliling dua puluh satu pohon beringir raksasa. Bila angin bertiup dari laut, daun-daun pohon beringin bergemerisik keras, akarakar gantungnya bergoyang-goyang deras. Semua ini menimbulkan suasana yang menyeramkan.

Di samping itu, setiap angin bertiup maka menebarlah bau busuk dan anyir dari jurusan bangunan berwarna merah itu. Bila seseorang mendekati tembok dan bangunan di tepi pantai sunyi itu, pastilah dia akan terkejut dan berdiri bulu tengkuknya. Akan goyah lututnya lalu akan lekas-lekas mengambil langkah seribu. Betapakan tidak! Warna merah pada atap, tembok dan setiap sudut bangunan besar bukanlah warna cat atau kapur, tetapi darah! Lapisan darah inilah yang menjadi sumber bau busuk dan amis menjijikkan serta mengerikan, menebar di sekitar situ sampai puluhan bahkan ratusan tombak jauhnya!

Matahari pagi mulai naik. Air laut kelihatan
berkilau-kilau. Darah merah di tembok dan di
bangunan besar di tepi pantai berkilat-kiiat
sedang bau busuk amis semaki menjadi-jadi.
Kira-kira sepenanakan nasi berlalu, dari arah
timur, berpapasan dengan tiupan angin laut,
terdengarlah suara derap kaki-kaki kuda. Tak
selang berapa lama di sebuah liku-liku jalan
kecil yang terletak di antara bukit-bukit
karang tinggi dan runcing tampaklah dua
penunggang kuda memacu binatang
tunggangan masing masing ke jurusan tembok
bangunan merah.Baik bulu kuda maupun
pakaian kedua penunggangnya,
keseluruhannya berwarna merah basah agak
bermninyak-minyak. Sengaja dibasahi …
dengan darah.
Mereka mengenakan topi berkuncir seperti
tarbus, yang juga dibacahi dengan darah. Dan
di bawah topitopi itu paras masing-masing
teramat mengerikan untuk dipandang karena
telah dipupuri dengan darah yang telah
membeku!
Salah seorang dari kedua penunggang kuda
itu membawa sesosok tubuh berpakaian hitam
yang dimelintangkan di punqqung kuda dalam
keadaan pingsan dan siapa pula orang yang
menggeletak tak berdaya berpakaian hitam
ini!
Kuda-kuda merah lewat di antara dua pohon
beringin raksasa dan akhirnya sampai di
hadapan sebuah pintu besar di tembok
bangunan. Pada bagian atas pintu merah ini
terdapat tiga deretan huruf-huruf yang terbuat
dari tulang-tulang manusia yang telah dicat
merah dan berbunyi. "Pintu Gerbang Darah"
Salah seorang dari penunggang kuda yang
berhenti di hadapan pintu gerbang
mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi
lalu dari mulutnya terdengar situ pekik aneh
yang disusul dengan suara lantang, "Atas
nama Raja Darah, bukalah pintu gerbang!"
Untuk beberapa lamanya suara pekik serta
seruan marwsia itu masih mengiang-ngiang
di udara pantai yang mengandung garam
tanda bahwa orang itu telah mengeluarkan
suara dengan disertai tenaga dalam yang
tinggi.
Sesaat kemudian dari belakang "Tembok
Darah" demikian nama tembok merah yang
mengelilingi bangunan besar itu terdengar
suara pekik balasan dan disusul oleh satu
pertanyaan yang membentak keras, "Siapa
yang datang!"
"Hulubalang Keempat dan Kelima!"
"Kalian habis dari mana?"
"Menjalankan tugas Raja!"
Tak lama kemudian terdengar suara
berkereketan. Pintu Gerbang Darah terbuka.
Bersamaan dengan itu dari bagian bawah
pintu menjorok keluar sebuah jambatan kayu
besi yang juga penuh dengan darah dan
bertuliskan "Jembatan Darah."
Ternyata antara Pintu Gerbang Darah dan
bangunan besar di seberangnya dipisahkan
oleh sebuah parit selebar lima belas tombak
dan dalamnya lebih dari sepuluh tombak.
Parit ini dibuat sedemikian rupa mengelilingi
bangunan besar, dialiri dengan air yang telah
menjadi merah karena bercampur darah dan
di dalamnya berenanglah ratusan ular berbisa
dari berbagai jenis yang panjangnya mulai
dari satu jengkal sampai lima meter! Semua
orang di situ mengenal parit itu dengan
sebutan "Parit Kematian."
Kedua orang yang mengaku Hulubalang tadi
melewati Jembatan Darah dengan cepat dan
sampai di tangga bangunan besar. Di
belakang mereka Jembatan Darah masuk
kembali ke tempatnya sedang Pintu Gerbang
Darah menutup dengan sendirinya.
Dengan memanggul tubuh manusia
berpakaian hitam itu, Hulubalang Keempat
diikuti Hulubalang Kelima menaiki anak
tangga bangunan besar yang pada sebelah
atasnya terdapat tulisan, "ISTANA DARAH."
Huruf-huruf tulisan inipun dibuat dari tulang
belulang manusia yang diberi warna merah
dengan darah!
Setelah melewati beberapa ruangan, kedua
Hulubalang sampai di satu ruangan besar
yang pada bagian tengahnya terdapat sebuah
kolam yang airnya berwarna merah dan
busuk. Di tengah-tengah kolam berdirilah
sebuah patung raksesi dalam keadaan
telanjang bulat dan dari bagian di antara
kedua pangkal pahanya senantiasa memancur
cairan warna merah.
Di depan sana terdapat sebuah gordeng besar
yang basah oleh darah. Tetesan-tetesan
darah jelas kelihatan berjatuhan ke lantai
ruangan. Ruangan itu bukan saja busuk luar
biasa hawanya tetapi juga pengap membuat
seseorang yang tak biasa akan sesak
bernafas. Namun anehnya kedua Hulubalang
Darah itu tenang-tenang saja seolah-olah
udara macam begitu tidak mengganggu jalan
pernafasan mereka barang sedikitpun. Di
hadapan "Tirai Darah" mereka berdiri dengan
sikap keren, lalu membuka topi masing-
masing dan menjura.
"Paduka Yang Mulia Raja Darah," kata
Hulubalang Keempat. "Kami berdua
Hulubalang Keempat dan Kelima, datang
menghadap guna melaporkan hasil tugas
yang telah dibebankan kepada kami!" Sunyi
sesaat.
Lalu dari ruangan di belakang Tirai Darah
terdengar satu suara laki-laki yang parau
sember dan perlahan namun hebatnya suara
yang parau serta perlahan ini sanggup
membuat dinding-dinding ruangan berwarna
merah jadi bergetar. Tirai Darah bergoyang-
goyang sedang cairan merah di dalam Kolam
Darah tampak bergelombang-gelombang.
Nyatalah bahwa siapapun adanya manusia di
belakang Tirai Darah itu memiliki tenaga
dalam yang luar biasa hebatnya!
"Beri tahu hasil tugas kalian!" tiba-tiba
terdengar satu suara.
Mendengar ini Hulubalang Darah Keempat
membuka mulut memberi jawaban.
"Kami berdua telah berhasil menangkap
hidup-hidup tokoh silat gotongan hitam
daerah timur yang bergelar Sepuluh Jari Maut!
Sekarang dia berada dalam keadaan pingsan
dan ditotok!"
"Bagus!" memuji orang di balik Tirai Darah
lalu terdengar suara kekehannya. "Jebloskan
dia dalam tahanan. Gantung kaki ke atas
kepala ke bawah dan nyalakan api di bawah
batok kepalanya! Biar dia tahu rasa!" Ucapan
itu ditutup dengan suara tertawa mengekeh
seperti tadi lalu menyusul caci maki kutuk
serapah aneh. "Keparat… sialan! Laknat ….
haram jadah! Terkutuk … ! Mampuslah semua!
Semua…!"
Ucapan kotor itu masih terus terdengar
sampai kira-kira sepeminuman teh. Bila kutuk
serapah itu berhenti maka Hulubalang Darah
Kelima cepat-cepat membuka mulut.
"Perintah Paduka Yang Mulia segera kami
laksanakan!"
Setelah menjura hormat, kedua Hulubalang
tadi beserta tawanannya segera meninggalkan
tempat tersebut! ***
HULUBALANG Darah Keempat dan Kelima
memasuki sebuah lorong menurun. Di kiri
kanan lorong ini banyak sekali cabang cabang
lorong yang kesemuanya diterangi dehgan
lampu minyak. Dimana-mana kelihatan warna
merah darah dan di sini udara jauh lebih
pengap dan lebih busuk dari ruangan ruangan
lain dalam Istana Darah.
Mereka sampai di hadapan sebuah pintu
merah terbuat dari besi dan dijaga oleh dua
orang Hulubalang Darah yang memiliki
tampang seram bengis. Betapapun bengis
gelaknya kedua pengawal pintu besi itu,
namun melihat siapa yang datang keduanya
segera memberi hormat.
"Atas nama Raja Darah harap kalian buka
pintu Penjara Darah!" kata Hutubalang
Kelima.
Kedua Hulubalang pengawal meneliti orang
berbaju hitam yang dipangqil Hulubalang
Keempat. Salah salah seorang dari mereka
bertanya.
"Siapa dia?"
"Sepuluh Jari Maut," jawab Hulubalang
Keempat dan pengawal yang bertanya ladi
lalu memperhatikan sepuluh jari orang yang
dipanggul. Kesepuluh jari itu berkuku panjang
dan berwarna hitam legam. Sementara itu
pengawal yang satu lagi dari dalam sabuknya
mengeluarkan seuntai anak anak kunci.
Dengan salah satu anak kunci dibukanya pintu
besi lalu masuk lebih dulu sedang Hulubalang
Keempat dan Kelima menyusul mengikutinya.
"Dia adalah tahanan yang keempat sampai."
kata pengawal penjara sambil berjalan.
Ruangan yang mereka lewati merupakan
sebuah gang selebar tiga tombak dari batu
karang atos yang dicat dengan darah. Pada
dinding kiri kanan terdapat deretan pintu-
pintu besi merah. Deretan-deretan pintu
sebelah kiri diberi berangka ganjil sedang
deretan sebelah kanan berangka genap. Inilah
ruangan Penjara Darah yang terletak di bawah
tanah dan memiliki enam puluh buah kamar
tahanan.
Di depan pintu yang bertuliskan angka 24
pengawal itu berhenti dan mengeluarkan
untaian anak kunci lalu membuka pintu besi.
Begitu pintu terbuka dari dalam ruangan
menyambarlah hawa dingin lembab yaag
busuk luar biasa. Lantai dan dinding serta
langit-langit ruangan tahanan merah oleh
darah, sebagian masih merupakan cairan
sebagian lagi telah kering membeku.
"Nyalakan lampu!" perintah Hulubalang Darah
Kelima.
Pengawal segera menyalakan lampu minyak
dan kamar tahanan itu kini menjadi cukup
terang. Pada dinding sebelah kiri terdapat
sebuah rak batu. Di atas rak ini terletak
berbagai macam benda penyiksa. Pada langit-
langit ruangan tampak sebuah kerekan
lengkap dengan tali kawat yang besarnya dua
kali ibu jari. Dengan tali kawat ini sepasang
kaki tawanan diikat erat-erat lalu tubuhnya
dikerek hingga kini jadi tergantung kaki ke
atas kepala ke bawah.
Dari rak batu Hulubalang Kelima mengambil
sebuah benda berbentuk pendupaan besi yang
berisi potongan-potongan benda hitam
sebentuk batu bara. Ketika disulut dengan api
benda hitam ini langsung terbakar menyala.
"Kita tunggu sampai dia siuman," berkata
Hulubalang Darah Keempat.
Tak berapa lama kemudian tawanan yang
bergelar Sepuluh Jari Maut itu kelihatan
membuka sepasang matanya perlahan-lahan.
Mata itu terbuka semakin lebar sewaktu
keterkejutan menguasai dirinya. Sepuluh Jari
Maut melihat dunia ini terbalik. Kepalanya
seperti mau karena jalan darahnya
menyungsang sedang di sekelilingnya tampak
tiga orang berpakaian serba merah
bertampang bengis. Rongga hidungnya
sementara itu disambar oleh bau busuk luar
biasa.
"Di mana aku …?" desis Sepuluh Jari Maut.
Dicobanya menggerakkan anggota-anggota
tubuhnya tapi tak bisa. Sekujuar tubuhnya
kaku tegang, sedikitpun tak dapat
digerarkkan. Sadarlah Sepuluh Jari Maut
bahwa dirinya berada di bawah pengaruh
totokan. Dicobanya mengalirkan tenaga dalam
untuk memusnahkan totokan tersebut namun
sia-sisa. Totokan yang menguasai dirinya
bukan totokan sembarangan. Sepuluh Jari
Maut memandang ke atas dilihatnya sebuah
roda kerekan besi yang tergantung di
langitlangit ruangan, diganduli kawat besar.
Ujung kawat itulah yang telah mengikat kedua
kakinya dan sakitnya bukan main. Dia
memandang kembali pada tiga manusia
berpakaian merah basah dan bau itu.
Akhirnya dia ingat. Sebelumnya dia telah
bertempur dengan dua di antara tiga manusia
tersebut. Dalam jurus kedua puluh tiga dia
terpaksa harus menerima satu jotosan keras
dari lawan yang tepat mengenai pelipisnya.
Selagi dia berdiri nanar dengan pandanyan
berbinar-binar, musuhnya yang lain telah
menotoknya hingga dia tidak berdaya. Lalu
kepalanya dipukul hingga akhirnya dalam
keadaan tertotok begitu rupa dia jatuh
pirgsan. Nyatalah bahwa kedua musuh tak
dikenalnya itu telah membawanya ke tempat
tersebut dan menawannya.
Dendam dan marah memuncak dalam diri
Sepuluh Jari Maut. Rahang-rahangnya
menonjol bergemeletukan.
"Tempat celaka apa ini namanya….?!" Sentak
Sepuluh Jeri Maut.
Hulubalang Darah Kelima dan Keempat
datang mendekat. Di tampang masing-masing
menyungging seringai bengis.
"Celaka bagimu, bukan bagi kami!" ujar
Hulubalang Darah Kelima.
"Jahanam! Kalian mau bikin apa terhadapku?
Aku tidak punya permusuhan apa-apa dengan
kalian!"
Plaak!
Satu hantaman tamparan yang keras
mendarat di pipi Sepuluh Jari Maut. Untuk
beberapa lamanya dia terbuai-buai dan
berputar-putar sedang pemandangannya
mulai gelap.
"Tak tahu diri. Sudah hampir mampus masih
berani bicara memaki!" sentak Hulubalang
Darah Keempat.
"Puaah!" Sepuluh Jari Maut meludahi muka
Hulubalang Darah Keempat. "Beraninya
terhadap musuh yang tidak berdaya!"
"Setan alas!" teriak Hulubalang Darah
Keempat. Tinju kiri kanannya menghujani
muka tokah silat berbaju hitam itu. Darah
mengucur dari hidung, mulut dan matanya.
"Seret pendupaan itu kemari!"
Hulubalang pengawal menyeret pendupaan
yang dikobari api lalu melekkannya tepat di
bawah kepala Sepuluh Jari Maut.
"Tadi kau bertanya di mana kau berada," ujar
Hulubalang Darah Kelima, "Ketahuilah bahwa
saat ini kau telah dijebloskan ke dalam
neraka dunia bernama Penjara Darah!"
Sepuluh Jari Maut kertakkan rahang.
Mulutnya dikatupkan rapat-rapat menahan
panasnya kobaran api yang menjilat-jilat di
bawah kepalanya. Hanya seketika saja dia
dapat menahan rasa sakit. Sesaat kemudian
dari mulutnya mulai keluar raungan kesakitan
yang menggidikkan. Di lain pihak tiga orang
Hulubalang yang ada di situ tertawa gelak-
gelak.
"Manusia-manusia bejat!" teriak Sepuluh Jari
Maut. "Jika aku mati di tangan kalian, kelak
aku akan menjelma menjadi setan dan
mencekik kalian semua!"
"Kalau begitu biar kupercepat niatmu untuk
jadi setan itu!" kata Hulubalang Darah
Keempat. Lalu kawat kerekan diulurkannya ke
bawah hingga kepala tawanan itu semakin
dekat dengan kobaran api dalam pendupaan
besi. Rambutnya yang menjulai mulai terbakar
dan menebar bau sangit di ruangan itu. Dari
mulut Sepuluh Jari Maut tiada hentinya
terdengar jeritan yang mengerikan hingga
suaranya menjadi parau. Saat itu
dirasakannya kulit kepala dan tulang
tengkoraknya seperti meleleh! Kemudian nafas
laki-laki ini mulai megap-megap. Darah yang
keluar dari hidung, mulut, mata dan telinganya
menetes-netes di atas api dalam pendupaan
besi, menimbulkan suara "cees" yang tiada
hentinya.
"Sudah tiba seatnya memanggil tukang-
tukang darah itu," kata Hulubalang Darah
Keempat pada kawannya Hulubalang Darah
Kelima.
Hulubalang Darah Kelima mengangguk lalu
melangkah ke pintu. Pada sanding pintu
sebelah atas terdapat sebuah tombol merah.
Tombol ini selalu terdapat dalam setiap
kamar tahanan yang sekaligus merangkap
ruang penyiksaan.
Tak lama setelah Hulubalang Darah Kelima
menekan tombol itu maka masuklah dua laki-
laki yang membawa ember-ember besar,
masing-masing mengenakan jubah merah.
Salah seorang dari mereka, yang barusan
mengeluarkan sebuah pisau kecil tajam
berpaling pada Hulubalang Darah Keempat
dan Kelima.
"Laksanakan tugas kalian cepat!" Kata
Hulubalang Darah Keempat. Lalu bersama
Hulubalang Darah Kelima dia meninggalkan
ruangan tersebut.
Yang tinggal di dalam ruangan tahanan itu
kini adalah Hulubalang pengawal dan kedua
laki-laki berjubah merah. Ember diletakkan di
lantai. Orang berjubah di sisi kiri keluarkan
segulung pipa karat warna merah. Dia
menggoyangkan kepalanya pada kawannya
yang memegang pisau. Si pemegang pisau ini
segera mendekati Sepuluh Jari Maut, lalu
craass …! Dengan pisau kecil itu diputusnya
urat nadi di leher Sepuluh Jari Maut. Darah
menyembur. Pipa karet cepat dihubungkan
dengan nadi yang putus. Darah dari tubuh
Sepuluh Jari Maut mengalir melewati pipa
karet terus masuk ke ember sedang Sepuluh
Jari Maut sendiri saat itu megap-megap dan
akhirnya meregang nyawa dengan cara
mengenaskan.
LAKSANA anak-anak panah yang lepas dari
busurnya, dua ekor kuda coklat itu berlari
kencang membawa penunggangnya masing-
masing. Penunggang kuda yang pertama
adalah seorang pemuda berusia dua puluh
tahunan, berpakaian biru sedang kawannya
seorang dara berkulit hitam manis dan
mengenakan pakaian ringkas kuning muda.
"Bisakah kita sampai sebelum malam ke
tempat guru?" bertanya sang dara tanpa
memalingkan kepalanya.
"Kurasa bisa. Tapi agaknya kita bakal
mendapat kesiangan di tengah jalan, adikku,"
menjawab si pemuda.
"Halangan apa maksudmu?"
"Lihatlah ke langit … "
Gadis itu mendongak ke atas. Seat itu baru
disadarinya bahwa iangit di atas sana telah
gelap oleh gumpalan-gumpaian awan hitam.
Kemendungan meliputi hampir seluruh tempat.
"Kalau hanya hujan itu tidak menjadi
halangan bukan?" ujar sang dara.
"Memang bukan halangan. Tapi jalan yang
bakal kita tempuh, yang mendaki dan berbatu
licin berlumut, serta diapit oleh jurang-jurang
terjal … Itulah halangan yang kumaksudkan."
"Mudah-mudahan saja hujan tidak turun
dalam waktu cepat," kata si gadis lalu
menyentakkan tali kekang kudanya. Binatang
itu mendongakc ke depan dan mempercepat
larinya. Pohon-pohon yang dilalui laksana
terbang ke belakang.
Kira-kira sepenanakan nasi berlalu ternyata
hujan belum juga turun walau angin bertiup
keras menderuderu. Sewaktu si gadis
mendongak lagi ke atas dilihatnya gumpalan-
gumpalan awan hitam mulai pupus
sekelompok demi sekelompok. Udara yang
tadi mendung kini berangsur cerah.
"Nah, apa kataku! Kita beruntung. Hujan tak
jadi turun," kata gadis itu pula.
Si pemuda hanya tersenyum mendengar
ucapan adik seperguruannya itu, lalu berkata,
"Kalau begitu kita memang bisa sampai
sebelum malam turun. Berarti kau bakal
bertemu dengan orang yang kau kasihi lebih
cepat. Bukankah itu yang kau inginkan?"
Sang dara cemberut. Kedua pipinya kelihatan
menjadi merah. Pemuda yang berkuda
disampingnya tersenyum. Namun laksana
direnggutkan setan demikianlah pupusnya
senyuman si pemuda sewaktu di hadapan
mereka tiba-tiba berkelebat dua bayangan
merah dan dua sosok tubuh manusia aneh
sesaat kemudian sudah berdiri menghadang
di tengah jalan.
Kedua saudara seperguruan itu sama-sama
terkejut bukan main dan serta merta
menghentikan kuda masing-masing. Bau
busuk menyambar dari tubuh para
penghadang yang mengenakan pakaian merah
basah sedang wajah masing-masing ditutupi
oleh cairan yang setengah membeku. Salah
seorang penghadang bertolak pinggang dan
maju mendekati.
"Supaya tidak banyak susah, lekas kalian
serahkan diri dan jangan melawan!" katanya.
"Kalian siapa dan punya maksud apa?"
bertanya pemuda baju biru dengan nada
tinggi dan sikap gagah.
"Kami adalah Hulubalany-Hulubalang Istana
Darah!" jaweb orang yang bertolak pinggang.
"Istana Darah?!" mengulang si pemuda
dengan terkejut.
Kedua Hulubalang Darah tertawa mengekeh.
"Kalau sudah tahu kenapa tidak lekas turut
perintah?"
"Turut perintahmu? Siapa yang sudi. Lekas
minggir. Kami mau meneruskan perjalanan!"
membentak gadis berbaju kuning.
"Ohoo … galaknya!" jawab Hulubalang Darah
yang menghadang dengan bertolak pinggang.
"Kami tidak punya waktu banyak untuk bicara
segala pepesan kosong. Beri jalan. Kalau
tidak kalian akan menyesal!" Kini pemuda
baju biru berikan perlingatan.
"Pemuda sombong tekebur! Kau tak akan
kuberi hidup lebih lama!" Hulubalang Darah
yang tegak di sebelah kanan menerjang ke
depan dengan gerakan cepat sekali.
Tak ayal si pemuda segera cabut pedang di
pinggangnya. Sinar putih mencuat memapas
serangan Hulubalang Darah. Tapi percuma. Di
lain kejap terdengar jerit pemuda baju biru itu.
Tubuhnya mencelat mental dari atas
punggung kuda yang ditungganginya, sedang
pedangnya ikut terlepas mental.
"Manusia rendah! Matilah!"
Satu bentakan datang dari samping yang
disusul dangan sembaran pedang ke arah
batang leher Hulubalang Darah. Yang
diserang cukup dibikin kaget namun tidak
menjadi gugup. Di Istana Darah dia adalah
Hulubaiang Darah Ketujuh yang mempunyai
kepandaian tidak rendah. Sekali berkelit dia
berhasil mengelakkan sambaran pedang,
kemudian dengan satu gerakan kilat dia
berhasil memukul mental pedang di tangan
lawan. Si gadis mengeluh kesakitan sambil
pegangi lengannya yang menjadi merah
bengkak. Hulubalang Darah Ketujuh
menyeringai mengejek.
"Gadis manis sepertimu ini tidak seharusnya
berlaku begitu galak terhadapku. Nah
sekarang kalian mau menyerah baik-baik atau
bagaimana?"
"Baik, aku akan menyerah," jawab si gadis,
"tapi…" digerakkannya tangannya.
"Tapi apa?" tanya Hulubalang Darah Ketujuh.
"Makan dulu jarumku ini!" seru sang dara
baju kuning dan sesaat kemudian begitu dia
gerakkan tangan kanan puluhan jarum
berwarna kuning melesat tanpa suara ke arah
dua belas jalan darah di tubuh Hulubalang
Darah Ketujuh!
"Gadis binal!" hardik Hulubalang Darah
Ketujuh marah. Dikebutkannya lengan
pakaiannya. Puluhan jarum yang menyerang
serja merta mental dilanda angin dahsyat
yang keluar dari ujung lengan pakaian itu!
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan
ini, pemuda baju biru berseru. "Mia! Larilah!
Lari lekas! Biar aku yang menghadapi
begundal-begundal jahat ini." Dari
pertempuran yang baru berjalan beberapa
gebrakan itu si pemuda sudah menyadari
bahwa walau bagaimanapun tidak mungkin
bagi mereka untuk menghadapi kedua lawan
yang memiliki kepandaian begitu tinggi.
Karenanya demi keselamatan adik
seperguruannya dia bersedia korbankan
nyawa.
"Tidak kangmas! Mati bersama di tempat ini
adalah lebih baik daripada lari!" jawab Miani
yang membuat kakak seperguruannya menjadi
kaget. Gadis ini rupanya juga sudah
menyadari nasib apa yang bakal dihadangnya
namun sedikitpun tidak merasa gentar.
Dengan sepasang tangan kosong terpentang
Miani maju ke hadapan Hulubalang Darah
Ketujuh,
Yang ditantang ganda tertawa dan berpaling
pada temannya. "Hulubalang Sebelas, kau
bereskan pemuda itu. Aku akan tangkap
hidup-hidup perawan galak ini dan
membawanya ke Istana!"
Hulubalang Darah Kesebelas maju ke hadapan
pemuda baju biru. Pemuda ini berada dalam
keadaan terluka parah di sebelah dalam
akibat jotosan Hulubalang Ketujuh tadi.
Namun demikian dengan sisa kekuatan yang
ada dan penuh keberanian si pemuda
melangkah ke hadapan Hulubalang Kesebelas.
Tangan kirinya tiba-tiba melepaskan dua
puluh jarum biru sedang tangan kanan
diayunkan ke batok kepala lawan. Serangan
ini disertai dengan satu loncatan cepat
sehingga Hulubalang Kesebelas tidak berani
bertindak sembrono.
Dengan berkelit ke samping dan seraya
melepaskan satu pukulan tangan kosong ke
udara, seranganserangan jarum biru berhasil
dilewatkan oleh Hulubalang Darah Kesebelas.
Untuk menghadapi serangan lawan yang
kedua yaitu jotosan keras pada batok
kepalanya, Hulubalang Darah Kesebelas
memukulkan tangannya ke atas dengan
mengandalkan setengah bagian tenaga
dalamnya.
Dalam keadaan terluka begitu rupa bentrokan
lengan adalah sangat berbahaya bagi pemuda
baju biru. Walaupun tenaga dalamnya lebih
tinggi sekalipun belum tentu keselamatan
dirinya akan terjamin. Karenanya begitu lawan
memukulkan lengannya ke atas, pemuda baju
biru menjejak tanah dan melompat satu
tombak. Bersamaan dengan itu kaki kanannya
menderu ke dada lawan!
Hulubalang Darah Kesebelas tidak menyangka
kalau bakal mendapat serangan hebat begitu
rupa. Saat itu dia tengah memusatkan
perhatian dan sebagian tenaga dalamnya
untuk melakukan bentrokan lengan. Tubuhnya
telah mendongak ke atas dan dalam
kedudukan seperti itu cukup sulit untuk
menyelamatkan dadanya dari tendangan si
pemuda. Namun adalah percuma dia
menjabat kedudukan Hulubalang di Istana
Darah kalau serangan begitu saja dia tidak
sanggup menghadapinya.
Dengan berteriak keras dahsyat Hulubalang
Darah Kesebelas berkelebat. Tubuhnya hanya
merupakan bayangan merah dan sebelum
pemuda baju biru dapat memastikan di
sebelah mana lawannya berada, tahutahu satu
pukulan menghantam dadanya, tepat di bekas
jotosan Hulubalang Ketujuh sebelumnya. Tak
ampun lagi pemuda itu muntah darah dan
tersungkur ke tanah!
"Kangmas Widura!" pekik Miani.
"Mia! Lari! Selamatkan dirimu!" seru pemuda
baju biru yang bernama Widura sementara
nafasnya mulai megap-megap.
Bukannya lari sebaliknya Miani malah
menubruk kakak seperguruannya. Namun
sebelum dia sempat berbuat suatu apa, satu
totokan telah bersarang di punggungnya
membuat gadis ini melosoh tak berkutik lagi.
Hanya mulutnya saja yang masih bisa
mengeluarkan suara memaki dan mengutuki
kedua manusia berbaju merah itu.
Hulubalang Darah Ketujuh membungkuk
merangkul tubuh Miani lalu memanggulnya di
bahu kiri. Dia berpaling pada kawannya dan
menggoyangkan kepala. "Lekas selesaikan
pekerjaanmu."
Dari balik pakaiannya Hulubalang Darah
Kesebeias mengeluarkan sebuah kantong
karet yang pada salah satu ujungnya terdapat
pipa sepanjang tiga jengkal. Setelah
mengeluarkan pula sebilah pisau kecil yang
amat tajam dan berkilat-kilat ditimpa sinar
matahari maka diapun melangkah mendekati
tubuh Widura yang saat itu tidak berkutik dan
menggeletak di tanah tengah meregang
nyawa.
Hulubalang Darah Kesebelas membungkuk.
Tangannya yang memegang pisau bergerak ke
pangkal leher Widura.
"Manusia biadab! Laknat terkutuk! Apa yang
kau lakukan itu?!" teriak Miani sewaktu
menyaksikan bagaimana Hulubalang Darah
Kesebelas memutus urat nadi di leher Widura
dengan pisau kecil lalu menghubungkan ujung
pipa karet dengan urat nadi yang
menyemburkan darah. Sesaat kemudian
kantong karet itu kelihatan mulai
menggembung tanda darah korban telah
mengalir masuk. Hulubalang Darah Ketujuh
menepuk-nepuk pinggul Miani sambil tertawa
gelak-gelak.
"Gadis molek. Kau tenang sajalah. Bagusnya
berhenti berteriak agar suaramu yang merdu
tidak menjadi parau!"
"Kalian manusia-manusia terkutuk! Lebih
kejam dan lebih buas dari binatang!" teriak
Miani lalu berulang kali diludahinya muka
Hulubalang Darah Ketujuh.
"Sialan! Kalau kau bukan gadis manis sudah
tadi-tadi kuremas hancur mulutmu!" hardik
Hulubalang Darah Ketujuh marah. Ditdriknya
pakaian kuning si gadis dan disekanya
mukanya yang penuh ludah.
"Seharusnya kau merasa gembira dan bangga
karena darah kawanmu itu mendapat
kehormatan untuk dipakai sebagai cat istana
Darah!"
Tiga perempat kantong karet telah penuh
dengan darah Widura. Ketika tak ada lagi
darah yang mengalir masuk ke dalam kantong
itu Hulubalang Darah Kesebelas mencabut
pipa lalu membuhulnya. Dia berdiri dan
memanggul kantong berisi darah itu.
"Atas semua hasil ini kita pasti mendapat
pahala besar dari Raja," kata Hulubalang
Darah Kesebelas dengan tertawa lebar.
"Yang jelas," menyahuti Hulubalang Darah
Ketujuh. "Gadis manis ini akan dihadiahkan
padaku. Dia menelentang di tempat tidurku
sebelum keputusan Raja datang untuk
mencabut nyawanya!"
Merinding bulu roma Miani mendengar ucapan
;tu. Dia berteriak keras. "Lepaskan aku!
Jangan bawa ke Istana Darah! Kalian
jahanam! Lepaskan aku!"
Hulubalang Darah Ketujuh cuma tersenyum.
Diciumnya tengkuk gadis itu penuh nafsu lalu
bersama kawannya meninggalkan tempat itu
dengan cepat. ***
PAGI ITU udara sejuk nyaman dan cerah.
Sekelompok awan berarak dihembus angin
melewati puncak gunung Raung. Dari kawah
gunung berapi itu mengepul asap putih kelabu
yang kemudian menjadi satu dengan awan
yang bergerak. Di salah satu lereng gunung
itu terdapatlah sebuah pertapaan. Pertapaan
ini merupakan sebuah goa yang bagian
dalamnya dipakai sebagai tempat kediaman.
Saat itu di mulut goa, di atas sebuah batu
besar berwarna hitam legam dan berbentuk
setengah lingkaran, duduklah seorang
Brahmana berselempang kain putih. Kedua
tangannya diletakkan di atas paha sedang
sepasang matanya terpejam.
Nyatalah Brahmana ini tengah mengheningkan
ciptarasa atau tengah bersemedi. Rambutnya
yang putih menyeka bahu melambai-lambai
ditiup angin pagi. Semakin naik matahari,
semakin khusus Brahmana ini bersemedi.
Di lain bagian dari lereng gunung, di bawah
sebuah air terjun kecil kelihatan seorang
pemuda bertubuh tinggi langsing dan hanya
mengenakan sehelai cawat tengah berkelebat
kian kemari. Di tangan kanannya ada
sepotong bambu hijau yang digerakkan
demikian rupa ke berbagai jurusan hingga
menimbulkan suasana menderu-deru.
Demikian cepatnya gerakan itu hingga bentuk
bambu itu hanya merupakan sambaran sinar
hijau belaka.
Sambil melompat gesit di atas batu-batu air
yang licin berlumut pemuda itu bergerak
mendekati air terjun. Bambu hijau di tangan
kanannya disabatkan sejarak setengah
tombak dari air terjun dan brass! Air terjun
muncrat jauh lalu baru mengalir lagi seperti
sebelumnya! Beberapa kaii hal ini dilakukan si
pemuda dan hatinya baru merasa puas.
Kemudian dia berdiri di atas ujung sebuah
batu licin hanya mengandalkan sebelah kaki
kiri yang dijingkatkan. Bambu hijau
disabatkan pulang balik beberapa kali
memapas air terjun. Ketika ditelitinya bambu
itu, tak setetespun air melekat di situ. Si
pemuda tersenyum gembira. Bukan saja
bambu tidak basah tetapi daya dorong tenaga
raksasa air terjun tak sanggup menggoyahkan
kakinya yang berpijak di batu licin!
"Kepandaianku telah maju pesat!" kata
pemuda ini dalam hati.
Dia hendak mencoba kembali. Namun saat itu
tiba-tiba di telinganya mengiang nasehat
gurunya.
"Ketinggian ilmu itu tidak ada batasnya.
Karenanya seseorang tak boleh berlaku lekas
puas, apalagi sombong." Pemuda bercawat itu
kemudian melompat-lompat lagi di atas
bebatuan dan tangannya tiada henti
memainkan bambu hijau itu dalam gerakan-
gerakan ilmu pedang yang mengagumkan.
Kira-kira sepeminuman teh berlatih dia
hentikan semua gerakannya dan duduk
berjuntai di cabang sebuah pohon. Dia berlaku
demikian bukan karena letih tapi karena saat
itu satu pemikiran muncul di kepalanya.
"Heran, seharusnya mereka sudah tiba di
pertapaan selambat-lambatnya siang
kemarin. Kenapa sampai pagi ini masih belum
muncul?"
Selagi dia berpikir-pikir seperti itu tiba-tiba
dari kejauhan terdengar suara memanggil
laksana ditiupkan oleh angin dan bergema di
sekitar tempat itu, apapun adanya yang
bicara nyatalah dia memiliki sejenis ilmu
mengirimkan suara dari jarak jauh yang hebat
sekali.
"Panji kemarilah!"
Seraya melompat enteng dari cabang pohon
pemuda bercawat itu membuka mulutnya dan
berseru menjawab. "Saya datang Eyang!"
Laksana seekor burung terbang Panji Kenanga
berlari melompati lereng berbatu-batu dan
akhirnya sampai di satu jalan kecil yang
menuju ke pertapaan.
Begitu sampai di hadapan Brahmana tua si
pemuda menjura hormat lalu duduk bersila
dan bertanya.
"Ada apa Eyang memanggil saya?"
"Kau habis berlatih … ?"
"Betul sekali Eyang."
"Bagaimana, apakahada kemajuan kau
rasakan?"
"Berkat petunjuk Eyang mudah-mudahan ada,"
jawab Panji Kenanga. La!u dia berdiam diri
menunggu penjelasan dari gurunya mengapa
dia dipanggil.
"Aku barusan selesai bersemedi, muridku,"
kata Brahmana tua tersebut. "Dalam semediku
aku mendapat firasat bahwa sesuatu telah
terjadi atas diri Widura dan Miani. Kalau tidak
mustahil sampai saat ini mereka masih belum
sampai di sini."
itu memang ada terpikir oleh saya, Eyang,"
jawab Panji Kenanga. "Karenanya mohon
petunjuk Eyang lebih lanjut."
"Mereka berdua masih hijau dalam rimba
persilatan, Untuk sekedar mencari pengalaman
mereka ku lepas selama satu bulan. Dan
nyatanya kini telah lebih waktu tersebut dan
mereka belum juga kembali. Cobalah kau
turun gunung dan menyelidiki keadaan
sekitarnya. Kuharap saja tidak terjadi apa-
apa dengan mereka."
"Perintah Eyang akan saya laksanakan," kata
Panji Kenanga. "Izinkan saya bersalin pakaian
dulu."
Pemuda ini hendak berdiri tapi tak jadi karena
gurunya dilihatnya menggerakkan tangan
memberi isyarat.
"Satu hal penting kau ketahui, Panji," kata
sang Brahmana. "Dalam dunia persilatan kini
tengah mengamuk satu angkara murka.
Angkara murka itu didalangi oleh manusia-
rnanusia berkepandaian tinggi yang menyebut
dirinya Hulubalang Istana Darah. Mereka
berjumlah banyak namun tidak diketahui
siapa yang memimpin mereka."
"Kejahatan apakah yang telah mereka lakukan
Eyang?"
"Menculik dan membunuh setiap manusia
berilmu."
"Alasan mereka berbuat begitu?" tanya Panji
Kenanga lebih jauh.
"Sebegitu jauh belum diketahui. Namun dari
apa yang kudengar setiap korban yang mereka
bunuh tidak berdarah lagi dalam tubuhnya.
Aku kawatir kalau-kalau kedua saudaramu
telah menjadi korban manusiamanusia
penghisap darah itu."
"Saya akan selidiki Eyang dan tak kembali
sebelum menemukan keduanya. Mudah-
mudahan tidak terjadi suatu apa dengan
mereka."
Sang guru mengangguk.
Panji Kenanga berdiri dan meninggalkan
tempat itu. Tak lama kemudian dia muncul
kembali sudah berpakaian rapi.
"Bawalah Angin Salju dan juga kau boleh
bawa tenjata ini," kata si Brahmana seraya
mengeluarkan sebilah pedang bergagang
gading.
Terkejutlah Panji Kenanga don buru-buru
berlutut, "Eyang, apakah Eyang
mempercayakan saya membawa pedang Gajah
Biru ini?" tanya Panji Kenanga sewaktu
melihat gurunya mengangsurkan pedang
mustika itu.
"Kalau tidak percaya masakan kuserahkan,"
jawab sang guru kepada muridnya.
"Pergunakan sebaikbaiknya, terutama dalam
keadaan dirimu diancam bahaya."
"Terima kasih atas kepercayaanmu Eyang."
Dengan membungkukkan tubuh Panji kenanga
menerima senjata tersebut lalu
memasukkannya ke balik punggung
pakaiannya.
"Sekarang saya minta diri, Eyang dan mohon
doa restumu," kata Panji Kenanga. Dia
menjura sampai tiga kali lalu membalikkan
tubuh. Seat itu dihadapannya telah berdiri
seekor kuda putih tinggi den tegap. Karena
larinya yang cepat laksana angin den bulunya
yang mulus putih laksana salju, oleh
Brahmana binatang ini diberi nama Angin
Salju. Panji Kenanga melompat ke punggung
Angin Salju. Sebelum berlalu binatang yang
jinak dan cerdik ini enggoyangkan kepalanya
beberapa kali pada sang Brahmana, lalu
meringkik tiga kali seolah-olah mengucapkan
selamat tinggal mohoi diri.
*** Hujan lebat mendera bumi sewaktu Panji
Kenanga bersama angin Salju berada
setengah hari perjalanan dari kaki gunung
Raung.
"Kita harus mencari tempat berteduh
sobatku." kata si pemuda pada kuda
tunggangannya.
Angin Salju bukanlah seekor kuda biasa.
Binatang ini tajam penca inderanya dan cerdik
serta memahami apa-apa kata dan maksud
majikannya. Dengan cepat dia memutar tubuh
dan laksana anak panah melesat menuju
segerombolan pohon-pohon yang berdaun
sangat lebat. Demikian lebatnya dedaunan
pohon-pohon ini hingga tak setetespun air
hujan dapat menembus tanah di bawahnya.
"Matamu tajam den cepat mencari tempat
berteduh yang baik," kata Panji Kenanga
saraya mengelus tengkuk Angin Salju.
Binatang itu menggerak-gerakkan kedua daun
telinganya tanda gembira atas pujian itu.
Sementara itu hujan turun semakin lebat. Di
antara deru air hujan yang laksana
dicurahkan dari langit, tiba-tiba Panji
Kenanga mendengar suara berdering-dering
tiada hentinya. Dia memandang berkeliling.
Tak seorang pun manusia yang kelihatan. Tak
sesuatu benda hiduppun yang tampak. Tapi
anehnya suara berdering-dering itu terdengar
semakin keras.
"Apakah ada iblis atau setan yang menghuni
tempat ini dan hendak menakut-nakutiku?"
pikir Panji Kenanya dalam hati. Lalu turun
dari kudanya.
Sebagai orang yang menguasai ilmu silat
tingkat tinggi serta kesaktian dengan
sendirinya Panji Kenanga memiliki
pendengaran tajam. Namun sekali ini dia
terpaksa berjalan hilir mudik seketika, baru
dapat mengetahui sumber datangnya suara
berdering-dering itu. Dan sewaktu sampai di
tempat tersebut melengaklah Panji Kenanga.
Di bawah sebatang pohon berdaun lebat,
duduk bersandar seorang lelaki berkepala
botak bercelana tipis dan kurus hingga
tulang-tulangnya kelihatan jelas bertonjolan.
Setiap saat orang berkepala botak ini
menggerak-gerakkan kedua tangannya
melemparkan sepuluh mata uang emas ke
udara, lalu menyambutnya kembali,
melemparkannya lagi dan menyambutnya
kembali, demikian terus menerus tiada henti.
Untuk sesaat lamanya Panji Kenanga menjadi
takjub. Sepuluh mata uang emas bukan satu
jumlah yang sedikit. Hanya hartawan kaya
raya yang punya uang sebegitu. Kemudian
sepuluh mata itu dilemparkan ke udara dan
bertebar demikian rupa bukan suatu hal yang
mudah untuk ditangkap kembali
kesepuluhsepuluhnya dengan kedua tangan
tanpa ada satupun yang jatuh. Dan hal ini
dilakukan berulang-ulang oleh si botak itu
dengan sikap acuh tak acuh!
"Siapakah si botak ini?" pikir Panji Kenanga.
Pemuda ini melangkah lebih dekat. Astaga!
Terkejutlah Panji Kenanga. Betapakan tidak.
Ternyata si botak bercelana komprang ini buta
kedua matanya! Bagaimana dia memiliki
kepandaian melempar dan menyambut
sepuluh mata uang seperti itu? Benar-benar
aneh. Panji Kenanga melangkah lebih dekat
***
"BAPAK, siapakah kau?" tanya Panji Kenanga
menegur.
Si botak tak menjawab. Menggerakkan
kepalanyapun tidak. Malah terus asyik
melempar-lemparkan sepuluh mata uang
emas itu ke udara. Panji Kenanga mengulang
kembali pertanyaannya. Si botak tetap tak
menjawab. Terus saja asyik bermain-main
dengan mata uang emasnya. Memikir mungkin
manusia tak dikenal ini tuli maka dia
kemudian menegur lebih keras.
Aneh. Si botak tiba-tiba tertawa mengekeh:
"Hup!" seru si botak tiba-tiba. Sepuluh uang
emas dilemparkannya tinggi-tinggi ke udara.
Seperti daundaun kering yang dihembus angin
uang-uang emas itu melayang turun
perlahan-lahan, kemudian satu demi satu
jatuh menempel di atas kepala botak si orang
aneh, tersusun rapi. Hampir saja Panji
Kenanga berseru kagum melihat hal ini.
Seorang yang tidak memiliki tenaga dalam
tinggi luar biasa pasti tak bakal sanggup
melakukan hal itu. Bahkan dia meragu apakah
gurunya bisa berbuat begitu. Si botak yang
kini "bertopikan" uang emas kembali tertawa
mengekeh. Tawanya tiba-tiba lenyap. Sebagai
gantinya dari mulutnya kini terdengar suara
nyanyian aneh:
Sejak lahir menderita buta
Sekeliling serba gelap gulita
Banyak berjalan banyak didengar
Datang bertanya seorang sahabat
Sungguh sayang belum bisa kujawab Dan
sehabis menyanyi ini, orang itu kembali
tertawa mengekeh sedang sepuluh keping
uang emas masih terus menempel di
kepalanya yang botak!
"Kalau kau tak mau menerangkan nama tak
menjadi apa. Aku tak bakal mengganggu lebih
lama," kata Panji Kenanga. Lalu pemuda ini
memutar tubuh meskipun hatinya penuh
diliputi rasa ingin tahu siapa gerangan
adanya si botak aneh bermata buta ini.
"Hai! Tunggu dulu!" si botak tiba-tiba berseru.
"Sebelum pergi kau dengarlah satu lagi
nyanyianku."
Panji Kenanga hentikan langkah.
Si buta goyangkan kepala botaknya. Sepuluh
keping uang emas yang ada di atas kepalanya
melayang ke atas, disambutnya lalu
dilemparkannya kembali seperti tadi sehingga
mengeluarkan suara berdering. Dan suara
berdering ini dengan teratur menimpali suara
nyanyian yang dibawakannya.
Seorang muda datang menunggang Angin
Salju
Bertanya tapi tak terjawab
Entah ke mana gerangan menuju
Tapi apakah sudi mendengar nasihat?
Berjalan terus ke utara
Akan ditemui kejahatan berdarah
Pembalasan memang sudah wajar
Tapi terlalu banyak musuh harus dihajar
Kalau ditemui keadaan yang mengharukan
Jangan sampai nafsu dendam
memperdayakan
Pembalasan harus memakai akal pikiran
Agar selamat nyawa di badan. Sepuluh keping
uang emas dilemparkan tinggi-tinggi ke udara
lalu seperti tadi melayang turun
perlahanlahan laksana ditarik oleh suatu
kekuatan gaib yang tak kelihatan, mata-mata
uang tersebut mendarat satu demi satu di
kepala botak si orang tua. Di lain pihak Panji
Kenanga heran dan kaget bukan main.
Bagaimana manusia botak buta tak dikenal
ini tahu kalau dia menunggang Angin Salju.
Apa arti kalau ditemui keadaan yang
mengharukan? Mengapa dia disuruh berjalan
ke arah utara? Setelah meragu sejenak Panji
akhirnya bertanya. "Bapak yang pandai,
bagaimana kau tahu nama kudaku dan
sesungguhnya apa maksudmu dengan
nyanyian tadi?"
Si botak mata buta menguap lebar-lebar.
Disandarkannya pungung dan kepalanya ke
batang pohan di belakangnya lalu tidur
dengan mendengkur. Bagaimanapun Panji
Kenanga berseru keras memanggil, tetap saja
dia terus ngorok.
Panji Kenanga geleng-gelengkan kepala.
"Manusia aneh," katanya dalam hati.
Karena saat itu hujan telah berhenti, setelah
memikirkan makna nyanyian si botak tadi
maka akhirnya Panji Kenanga naik ke
punggung kudanya, langsung menuju ke
utara. Setelah merancah jalan yang becek
akibat air hujan, Panji Kenanga menemui
sebuah lereng pendek berbatu-batu. Di
seberang lereng tersebut, diantara pepohonan
yang bertumbuhan di sana sini dilihatnya
sebuah jalan kecil berliku-liku. Apa yang
menarik perhatian pemuda ini adalah
kekeringan yang menyelimuti daerah di
seberang lereng berbatu-batu itu. Rupanya
hujan tidak turun di daerah itu.
Panji Kenanga menyentakkan tali kekang.
Angin Salju kembali menggerakkan keempat
kakinya. Tak lama kemudian kedua makhluk
itu telah menempuh jalan kecil vang
sebelumnya terlihat dari atas lereng. Ada kira
kira setengah peminuman teh melintasi jalan
itu tiba-tiba Angin Salju tanpa diperintahkan
menghentikan larinya, mengangkat kedua kaki
depannya tinggi-tinggi lalu meringkik
dahsyat!
"Kalau bukannya ada bahaya atau sesuatu
yang luar biasa di depan sana, tentu binatang
ini tak akan meringkik begini rupa," membatin
Panji Kenanga, Dia melompat dari punggung
Angin Salju. Diusapnya tengkuk binatang ini
beberapa kali seraya berkata, "Tenang
sobatku, tenang …" Si pemuda kemudian
melangkah mengikuti Angin Salju yang telah
lebih dulu bergerak ke depan.
Belum lagi dua puluh langkah berjalan, Panji
Kenanga mulai melihat bekas-bekas
perkelahian di jalan sempit itu. Semak belukar
banyak yang rambas sedang di tanah ada
noda-noda hitam membeku. Pemuda ini
melangkah terus. Tepat pada langkah yang
keempat puluh, kedua kakinya laksana di
pantek ke tanah. Mukanya berubah. Untuk
seketika dia tidak dapat bergerak seperti
patung.
"Widura!" serunya sesaat kemudian lalu
menghambur ke muka.
Di tepi jalan tergelimpang sesosok tubuh
berpakaian biru. Muka dan bagian tubuhnya
yang tidak tertutup pakaian kelihatan pucat
sekali laksana kain kafan. Di sampingnya,
diatas tanah tampak noda-noda hitam. Ini
adalah darah yang telah membeku. Dan sosok
tubuh itu adalah Widura yang telah jadi
mayat. Panji Kenanga berlutut di samping
jenazah adik seperguruannya. Tubuhnya
bergetar. Rahangnya terkatup rapat-rapat
menahan geram. Dia duduk di tanah
memangku kepala Widura yang pucat tiada
berdarah. Saat itulah dilihatnya urat nadi
yang putus di bagian leher! Ini adaiah aneh.
Luka yang terlihat di leher itu jelas bukan
luka bukan luka akibat perkelahian. Lalu
paras dan sekujur tubuh yang pucat pasi
seperti tidak berdarah itu, apakah yang
menyebabkannya?
Panji Kenanga lantas ingat pada keterangan
gurunya. Yaitu bahwa dunia persilatan tengah
dilanda malapetaka yang disebabkan oleh
orang dari Istana Darah. Bukan mustahil
manusia-manusia terkutuk itulah yang telah
membunuh Widura. Tetapi tubuh yang seolah-
olah kempes tanpa berdarah? Apakah
mungkin disedot? Geraham Panji Kenanga
bergemeletakan. Dia teringat Miani.
Bagaimana dan di mana gadis itu sekarang?
Panji Kenanya memandang berkeliling dengan
hati perih. Hatinya bergetar ketika
pandangannya membentur gurat garet di
tanah yang merupakan tulisan yang hampir
pupus oleh udara. Tulisan itu tidak begitu
jelas namun sedikit demi sedikit, dengan
susah payah berhasil juga disambung-
sambung oleh si pemuda dan ternyata
berbunyi.
Kalau terjadi apa-apa dengan diriku,
yang menyebabkannya adalah
manusiamanusia
terkutuk dari Istana Darah.
Mereka juga bertanggung jawab
atas keselamatan jiwa dan kehormatan Miani.
Widura Panji Kenanga kerenyitkan kening. Dia
berpikir. Bagaimana Widura bisa
meninggalkan pesan begitu? Dan kapan
dibuatnya? Atau mungkin dia sudah menduga
ada bahaya terlebih dahulu hingga siang-
siang telah membuat tulisan begitu rupa?
Tentu saja semua pertanyaan itu tak bisa
dijawab oleh Panji Kenanga. Dia hanya bisa
menduga-duga. Sebenarnya bagaimana dan
kapankah Widura membuat tulisan di tanah
yang berupa pesan itu?
Pada waktu dia pertama kali dihajar oleh
Hulubalang Darah Ketujuh sehingga mental
dari atas kuda dan terguling di tanah, Widura
yang berotak cerdik segera memaklumi bahwa
lawan-lawannya bukanlah orang
sembarangan. Apalagi sesudah diketahuinya
bahwa manusia berpakaian serba merah itu
adalah Hulubalanghulubalang Istana Darah
yang rata-rata berkepandaian sangat tinggi
dan bukan tandingannya. Yakin kalau dirinya
tak bisa lolos dari bahaya maut sedang untuk
menyerah atau lari dia tak mau
melakukannya, di samping itu menyadari pula
bahwa kedua hulubalang Darah itu pasti akan
menangkap Miani hidup-hidup, maka selagi
tertelungkup di tanah dengan cepat diguratnya
tulisan yang merupakan pesan itu dengan
ujung jarinya yang dialiri tenaga dalam.
Apa yang dikerjakan oleh Widura sama sekali
tidak terlihat oleh Hulubalang Darah Ketujuh
karena saat itu Hulubalang Darah Ketujuh
tengah sibuk menghadapi serangan pedang
Miani.
"Tepat seperti apa yang diduga oleh guru,"
kata Panji Kenanga dalam hati. "Walau
bagaimanapun aku tak akan berpangku
tangan. Sekalipun menyabung nyawa ke
lautan api, hutang nyawa ini harus
kubalaskan. Apalagi Miani pasti berada di
tangan keparat-keparat durjana itu!"
Panji Kenanga berdiri. Didukungnya jenazah
adik seperguruannya dan diletakkannya di
bawah satu pohon yang rindang. Di bagian
lain dari pohon dengan sebisa-bisanya dia
mulai menggali sebuah lobang. Lalu jenazah
Widura dikuburkannya ke dalam lobang itu.
Setelah ditimbun dengan tanah, makam itu
ditutupnya dengan batu-batu agar tidak
dikorek oleh binatang buas.
Setelah merenung sejenak di hadapan makam
adik seperguruannya itu, Panji Kenanga lalu
melangkah ke tempat Angin Salju tegak
menunggu. Saat itu juga dia memutuskan
untuk mencari di mana letak Istana Darah.
Namun mendadak dia ingat kembali pada si
botak bermata buta yang sebelumnya telah
ditemuinya. "Manusia itu aneh," kata Panji
dalam hati. "Dia sama sekali tidak mau
mernberi tahu siapa dirinya. Bukan mustahil
dia adalah salah seorang bergundal Istana
Darah. Aku harus meyakinkan dulu siapa dia
sebenarnya." Berpikir sampai di situ Panji
lantas memutar kudanya.
Ketika dia kembali ke tempat dimana
sebelumnya dia bertemu dengan orang aneh
berkepala botak itu, didapatinya manusia ini
masih duduk di bawah pohon dan tidur
mendengkur. Kepingan sepuluh uang emas
masih bertempelan rapi di kepalanya.
"Bapak banguniah!" kata Panji dengan suara
keras. Dia berseru sampai beberapa kali tapi
orang itu masih saja terus tidur lelap. Panji
jadi penasaran. Tapi apa yang harus
dilakukannya? Jika nyata-nyata dia tahu si
botak ini benar-benar kaki tangan Istana
Darah tentu dia tak perlu repot-repot pakai
membangunkan segala, langsung
menghajarnya. Namun karena dia belum
punya bukti-bukti maka dia tak mau
kesalahan turun tangan. Akhirnya dengan
mengkal Panji Kenanga duduk di bawah
sebatang pohon yang berhadap-hadapan
dengan si botak. Ketika matahari sudah jauh
condong ke barat si botak masih juga belum
bangun. Bahkan ketika matahari masuk ke
ufuk tenggelamnya di sebelah barat dan hari
mulai gelap, si botak masih saja terus ngorok.
"Tak mungkin kutunggu lebih lama!" kata
Panji Kenanga. "Dia harus dibangunkan
dengan tangan atau dengan kaki!"
Si Pemuda melangkah mendekati si botak
yang mendengkur di bawah pohon. Tangannya
diulurkan untuk menepuk bahu orang itu.
Namun sebelum tangannya menyentuh tubuh
si botak satu bentakan menggeledek di
seantero tempat itu.
"Ini dia bangsatnya yang kucari-cari!"
Bentakan itu disusul dengan berkelebatnya
satu bayangan tubuh manusia. Panji Kenanga
kaget bukan main dan cepat berpaling. ***
DI HADAPAN Panji Kenanga saat itu berdiri
seorang lelaki berbadan gemuk seperti bola.
Rambut dan wajahnya dicat dengan cairan
berwarna biru. Kedua tangannya sebatas sikut
juga berwaena biru. Manusia ini memandang
buas pada si botak yang saat itu masih asyik
tertidur pulas. Lalu dia memalingkan kepala
pada Panji Kenanga. Dari mulutnya terdengar
suara macam harimau menggereng.
"Kau tentu kambratnya Si Botak Mata Buta
ini!" damprat orang bermuka biru seraya
melangkah mendekati Panji Kenanga dengan
kedua tangan terpentang.
"Aku tidak ada sangkut paut apa-apa dengan
dia. Kenalpun tidak. Kau sendiri siapa?"
bertanya Panji Kenanga.
Si gendut tidak perdulikan pertanyaan Panji
malah menjawa. "Puah, kebenaran ucapanmu
akan kuselidiki kemudian. Jika ternyata kau
masih punya hubungan dengan bangsat
gundul itu, kelak kau juga bakal menerima
bagian. Sekarang minggirlah!"
Panji Kenanga melihat orang berbadan gemuk
bermuka biru itu mengangkat kedua
tangannya setinggi kepala. Sesaat kemudian
lengannya yang berwarna biru itu tampak
mengeluarkan sinar biru gelap menggidikkan.
"Minggir!" teriak si muka biru keras
menggeledek dan marah karena si pemuda
masih menghalang di depannya.
"Eh, kau mau bikin apa?" bertanya Panji.
"Tidak usah tanya! Lihat saja nasib yang
bakal diterima si Botak. Dan kelak kau pun
menerima bagianmu!"
Panji Kenanga tidak mau bergeser dari
tempatnya malah berkacak pinggang.
"Menyerang lawan yang sedang tidur adalah
tindakan pengecut!" katanya. "Kalau mau buat
perhitungan bangunkan dia lebih dulu!"
"Anak setan! Kalau begitu biarlah kau
mampus bersama-sama dia kejap ini juga!"
Selesai berkata begitu si muka biru
memukulkan kedua tangannya. Satu ke arah
kepala si botak yang masih tidur lelap,
satunya lagi ke arah Panji Kenanga.
Dua sinar biru menderu dahsyat.
Mengeluarkan hawa teramat panas. Meskipun
saat itu Panji Kenanga masih merasa si Botak
Mata Buta adalah kaki tangan Istana Darah,
namun melihat orang diserang dengan cara
pengecut begitu rupa adalah bertentangan
dengan jiwa kesatrianya. Pemuda ini berseru
nyaring lalu berkelebat cepat ke arah pohon di
mana Si Botak Mata Buta berada. Maksudnya
hendak menyelamatkan orang ini. Namun dia
hanya menemui tempat kosong karena lebih
cepat dari gerakannya, hampir tidak kelihatan,
si botak itu telah berkelebat lenyap dari pohon
dimana dia tidur!
Sinar pukulan melesat di atas punggung Panji
Kenanga. Pemuda ini jatuhkan diri lalu
bergulingan di tanah. Di belakangnya
terdengar suara braak! Pohan besar tempat si
botak tadi tidur patah dan tumbang dengan
mengeluarkan suara gaduh akibat dihantam
pukulan si gendut bermuka biru. Hebatnya lagi
baik batang pohon yang masih menancap di
tanah maupun yang terlepas tumbang
keseluruhannya kini kelihatan berwarna biru!
Nyatalah manusia bermuka biru itu betul-
betul menginginkan kematian Panji Kenanga
dan Si Botak Mata Buta. Karena begitu
menyerang pertama kali dia sudah lancarkan
pukulan maut yang mengandung racun
mematikan!
Ketika Panji Kenanga berdiri kembali, pemuda
ini melihat Si Botak Mata Buta telah berada di
bawah pohon yang lain, duduk bersandar dan
mengorok persis seperti sebelumnya. Bahkan
sepuluh uang emaspun masih tetap ada di
kepalanya yang botak! Di lain pihak si gendut
muka biru menjadi gemas bukan main melihat
kedua orang itu berhasil mengelakkan pukulan
saktinya yang bernama "kelabang biru".
Lebih-lebih Si Botak Mata Buta dianggapnya
sengaja telah mempermainkannya.
"Kupecahkan kepala kalian!" teriak si muka
biru garang lalu kembali menyerbu dengan
dua kepalan diayunkan. Yang satu menyerang
Si Botak Mats Buta, yang lainnya
menghantam ke arah dada Panji Kenanga.
Murid Brahmana dari gunung Raung itu
menggeser kakinya kesamping, menepis
lengan lawan dengan lengan kirinya. Sewaktu
masing-masing lengan saling beradu, Panji
Kenanga mengigit bibir karena merasakan
lengannya pedas bukan main. Di lain pihak si
muka biru tak kurang kagetnya karena
ternyata tenaga dorong lengan lawan sanggup
menepis demikian rupa hingga bukan saja
serangannya terhadap si pemuda gagal, tapi
serangan yang ditujukan pada Si Botak Mats
Buta pun meleset akibat tubuhnya terhuyung-
huyung ke belakang hampir sejauh dua
langkah!
Semua itu membuat amarah si gendut ini
semakin memuncak. Tiga perempat tenaga
dalamnya kini disalurkan ke tangan kanan.
Lengan kanannya kembali memancarkan sinar
biru. Kali ini lebih biru dan gelap dari yang
tadi. Panji Kenanga maklum kalau lawan kini
siap-siap akan melancarkan pukulan saktinya
disertai tenaga dalam yang jauh lebih besar
dari sebelumnya. Maka diapun tidak
menunggu lebih lama dan segera menyalurkan
tiga perempat tenaga dalamnya ke tangan
kanan. Begitu lawan melancarkan pukulan
"kelabang biru" yang mengandung racun
mematikan itu, Panji Kenanga segera
menyambut dengan satu pukulan yang tak
kalah hebatnya, yang menebar selarik sinar
putih ke abu-abuan.
Dua pukulan sakti saling bentrokan. Karena
masing-masing dialiri tenaga dalam yang
tinggi maka pertemua dua tenaga tersebut
menimbulkan suara seperti letusan. Pohon-
pohon bergoyang, tanah bergetar. Sepasang
kaki si muka biru melesak sampai tiga senti
ke tanah sedang kedua kaki Panji Kenanga
masuk ke dalam tanah hampir setengah
jengkal!
Dari sini nyatalah meski masing-masing pihak
sama-sama mengandalkan tenaga dalam
sebanyak tiga perempat bagian namun tingkat
atau mutu kekuatan tenaga dalam yang
dimiliki si muka biru lebih sempurna dari yang
dikuasai Panji Kenanga. Hai ini adalah wajar
karena Panji Kenanga masih terlalu muda,
kurang pengalaman dan masih banyak harus
berlatih sementara lawannya sudah belasan
tahun malang melintang di dunia persilatan
dan terus menerus melatih diri.
Panji Kenanga yang memaklumi sepenuhnya
hal itu bukannya menjadi takut malah
sebaliknya sudah siap-siap untuk maju
kembali dengan segala keberanian yang ada
meskipun saat itu dadanya terasa berdeenyut-
denyut.
Si gendut muka biru diam-diam dalam
hatinya terheran-heran. Pukulan sakti yang
tadi dilepaskan pemuda itu beberapa tahun
lewat pernah disaksikannya namun dia tak
ingat lagi siapa yang memiliki ilmu pukulan
tersebut. Disamping itu dia jugs tidak
menyangka kalau tingkat tenaga dalam lawan
akan sanggup mengimbangi tenaga dalamnya
yang sudah tinggi itu.
Manusia ini tak sempat untuk berpikir
panjangpanjang karena saat itu si pemuda
dilihatnya sudah menerjang ke hadapannya.
Maka terjadilah perkelahian tangan kosong
yang seru. Si muka biru senantiasa berusaha
mengadakan bentrokan lengan. Sebaliknya
Panji Kenanga yangg maklum kehebatan
sepasang lengan lawan dengan cerdik selalu
menghindarkan terjadinya bentrokan. Dia
bergerak gesit kian kemari melancarkan
serangan-serangan kilat yang selalu berubah-
ubah sehingga membuat si muka biru
kebingungan.
Memang dalam hal meringankan tubuh dan
kegesitan, si muka biru yang gemuk seperti
bola itu agak sulit menandingi lawannya yang
masih muda. Selama bertahun-tahun Panji
Kenanga telah dididik dan melatih diri
melompat-lompat di ujung batu-batu sungai
yang runcing dan licin berlumut. Dan kini di
tanah datar dengan sendirinya bukan satu hal
yang sukar baginya untuk bergerak lebih cepat
dan gesit. Sambil terus bertempur si muka
biru senantiasa memperhatikan gerakan-
gerakan ilmu silat lawannya. Lambat laun dia
mulai dapat menduga-duga. Untuk
meyakinkan dugaannya ini maka diapun
membentak.
"Anak setan! Ada sangkut paut apa kau
dengan si tua bangka Lokapala dari gunung
Raung?!"
Panji Kenanga kaget. Namun cepat-cepat
menyahuti, "Selesaikan dulu pertempuran ini,
baru nanti bertanya jawab sambil minum-
minum kopi!"
"Setan alas!" maki si muka biru geram sekali.
Dia berteriak nyaring dan tubuhnya berkelebat
lebih cepat tapi jaraknya sengaja diperjauh
dari lawan hingga dia dapat melancarkan
pukulan-pukulan "kelabang biru" dengan
leluasa.
Menghadapi ilmu pukulan lawan yang ampuh
ini membuat serangan Panji Kenanga
mengendur dan beberapa jurus kemudian
pemuda ini terpaksa berada di bawah angin.
Si muka biru melipat gandakan kecepatan
gerakannya, begitu juga tenaga dalamnya
sehingga Panji Kenanga semakin terdesak.
Meskipun Panji telah mengeluarkan pula
pukulan-pukulan saktinya seperti yang
bernama "mega putih"
namun tidak ada gunanya. Dirinya tambah
lama tambah kepepet. Dan pemuda ini mulai
berpikir-pikir untuk mengeluarkan pedang
Gajah Biru yang diberikan gurunya. Tapi
karena lawan ma'sih bertempur dengan
tangan kosong, hatinya merasa bimbang
untuk mengeluarkan senjata tersebut. Dalam
pada itu keadaannya semakin kritis juga.
"Muka biru! Keluarkan senjatamu!" seru Panji
Kenanga memancing agar lawan
mengeluarkan senjata dan dengan demikian
dia tidak akan merasa sungkan untuk
mencabut pedangnya. Si muka biro tertawa
mengejek.
"Untuk melenyapkan bocah setan macammu
ini kenapa pakai senjata segala? Lihat ini
jurus kematianmu!"
Ucapan itu ditutup oleh si muka biru dengan
satu kelebatan tubuh yang luar biasa
cepatnya. Tubuhnya lenyap dan tahu-tahu
sudah berada di atas lawannya sambil
mengayunkan tiriju yung laksana palu godam
ke kepala Panji Kenanga, Pemuda ini
menunduk seraya menghantamkan pukulan
"mega putih" ke perut lawan. Tapi dia
terpedaya.
Begitu Panji Kenanga bergerak memukul, si
muka biru bergeser cepat ke samping. Pukulan
"mega putih" mengenai tempat kosong. Di
kejap yang sama si muka biru menyorongkan
satu tendangan kilat ke bawah ketiak kanan
Panji Kenanga.
Dalam keadaan tubuh masih terdorong ke
muka karena dalam kuda-kuda memukul,
Panji Kenanga sulit sekali untuk mengelakkan
serangan berbahaya itu. Masih diusahakannya
untuk mencegah hantaman kaki lawan dengan
coba menekuk sikut memukul tulang kering si
muka biru. Tetapi itupun terlambat karena
saat itu ujung kaki kanan lawan sudah
menyelinap di bawah lengannya!
"Celaka!" keluh Panji Kenanga dalam hati. ***
DI SAAT itu, tiba-tiba terdengar suara
bergelak. Satu gelombang angin yang amat
deras menderu, membuat kedua orang yang
tengah berkelahi terpelanting sejauh setengah
tombak!
"Tapak Biru! Kau memang terlalu banyak
mencari urusan dengan orang lain!"
Panji Kenanga dan si muka biru yang ternyata
bernama Tapak Biru sama-sama memalingkan
kepala ke arah datangnya suara. Yang bicara
ternyata adalah Si Botak Mata Buta yang saat
itu telah bangun dari tidurnya tapi masih
duduk di bawah pohon sambil mengucak-
ucak sepasang matanya yang tidak melihat.
"Botak buta sialan! Memang kalau tidak
kubunuh kau sekarang tidak tenteram rasa
hatiku! Ini mampuslah!" Tapak Biru lalu
memukulkan tangan kirinya ke arah pohon.
Untuk kesekian kalinya pukulan kelabang biru
berkelebat di situ.
"Mentang-mentang memiliki pukulan baru
yang diandalkan sikapmu sombong selangit,"
ejek Si Botak Mata Buta. "Cuhh!" dia meludah
ke tanah dan mengangkat tangan kirinya.
Satu gelombang dingin bersiuran keluar dari
telapak tangan orang ini dan sekaligus
memusnahkan serangan yang amat
diandalkan Tapak Biru! Tapak Biru sampai
menyurut beberapa langkah melihat
bagaimana ilmu pukulannya dibikin musnah
semudah itu.
"Sialan! Tidak kusangka bangsat buta ini
sudah maju kesaktiannya begitu jauh!" maki
Tapak Biru dalam hati. Lalu dia berteriak,
"Botak! Berdirilah. Mari kita bertempur sampai
seribu jurus!"
"Baik orang gendut," jawab Si Botak Mata
Buto seraya berdiri dengan sikap acuh tak
acuh dan sambil tepuk-tepuk pantat celana
komprangnya.
Justru di saat itu Tapak Biru sudah menerjang
menyerangnya dengan satu tendangan kilat.
Si Botak tertawa. "Kelicikanmu masih seperti
dulu saja, gendut!" Lalu dia cepat-cepat
menyingkir dan akibatnya tendangan Tapak
Biru mengenai batang pohon di sampingnya
hingga patah dan tumbang dan menjadi biru
akibat racun kelabang biru.
Penasaran Tapak Biru membalikkan tubuhnya
dan kembali lepaskan pukulan kelabang biru
ke depan. Di belakangnya terdengar gelak
tertawa mengejek.
"Kau toh tidak buta sepertiku, Tapak Biru.
Kenapa menyerang tempat kosong?"
Secepat kilat Tapak Biru memutar tubuh dan
sekali lagi lepaskan pukulan saktinya. Namun
lagi-lagi dia mendengar suara tawa dari arah
belakang. Si Botak Mata Buta ternyata telah
mempermainkannya. Sebenarnya si buta ini
tidak berada di belakangnya. Namun karena
dia memiliki semacam ilmu memindahkan
suara maka suaranya terdengar seperti datang
dari belakang, padahal dia berada di tempat
lain tak jauh dari situ!
Menyaksikan bagaimana si buta
mempermainkan Tapak Biru mau tak mau
Panji Kenanga merasa kagum sekali.
"Botak mata buta mengapa kau hanya berani
berkelahi dengan cara pengecut begitu?!"
damprat Tapak Biru marah sekali. Rahanqnya
bertonjolan dan dari balik pakaiannya dia
mengeluarkan sebuah benda bulat sepanjang
dua jengkal. Ternyata adalah sebuah seruling
yang terbuat dari perak. Sementara itu
keadaan di tempat itu telah berubaah menjadi
gelap. Apalagi di situ penuh ditumbuhi
pohon-pohon berdaun rapat sekali.
"Cara berkelahi bagaimana yang kau inginkan
Tapak Biru?" bertanya si buta.
"Mari kita berhadap-hadapan mengadu
kekuatan batin!"
"Oh, begitu? Mengadu kekuatan batin berarti
tidak mempergunakan senjata bukan heh?!"
Terkejutlah Tapak Biru sedang Panji Kenanga
melengak terpaku di tempatnya. Keduanya tak
habis pikir. Bagaimana orang buta ini
mengetahui kalau lawannya mengeluarkan
dan memegang senjata? Meskipun buta
namun saat itu tidaklah terlalu sulit bagi Si
Botak Mata Buta untuk mengetahui bahwa
Tapak Biru telah mengeluarkan senjata. Sinar
terakhir matahari yang merambas dari barat
telah menimpa seruling yang terbuat dari
perak. Sinarnya memantul dan memijar ke
muka si botak. Sekalipun buta tapi pijaran
sinar itu masih dapat dirasakan oleh urat-
urat syarap di belakang matanya. Cuma tentu
saja dia tidak jelas senjata apa yang ada di
tangan lawan saat itu.
Tanpa perdulikan ejekan lawan Tapak Biru
mementang kedua kakinya, mengalirkari
tenaga dalam ke perut dan mendekatkan
ujung seruling ke bibirnya. Terdengar suara
seruling mengalun. Mula-mula perlahan lalu
makin keras dan makin merdu. Si botak
bergerak-gerak sepasang matanya yang buta.
Baik dia maupun Panji Kenanga sama-sama
tercekat dengan alunan suara seruling itu.
Namun tanpa disadari oleh Panji Kenanga,
lambat laun kepalanya menjadi pusing dan
berat sedang pemandangannya mulai
berbinar-binar. Lututnya goyah dan tubuhnya
perlahan-lahan jatuh duduk di tanah!
Sebaliknya Si Botak Mata Buta masih juga
berdiri tak bergerak di tempatnya. Keningnya
mengerenyit. Ada kelainan dirasakannya pada
denyutan nadinya serta aliran darahnya.
Namun di mulutnya tersungging satu
senyuman. Setelah menutup jalan
pendengarannya diapun membuka mulut,
"Tapak Biru, sejak kapan kau memiliki suling
itu? Pasti itu senjata curian heh? Bagusnya
kau mengamen masuk kampung keluar
kampung, pasti kau bakal mengantongi
banyak uang!"
Tapak Biru tidak perdulikan ejekan lawannya.
Tiupan serulingnya semakin keras dan tambah
merdu.
"Ah, nyanyianmu dari itu ke itu juga Tapak
Biru. Bosan telingaku mendengarnya!" kata Si
Botak Mata Buta. Lalu diputarnya tangannya
di udara tujuh kali berturut-turut. Pada akhir
putaran tangan yang ketujuh maka
terdengarlah suara menderu seperti suara
angin punting beliung. Mula-mula perlahan,
makin lamamakin keras hingga menelan suara
tiupan seruling Tapak Biru.
Betapapun Tapak Biru memperkeras tiupan
serulingnya tetap saja tak terdengar dalam
bisingnya suara angin yang diciptakan Si
Botak Mata Buta. Malah kini kelihatan si
muka biru tubuhnya bergetar dan pakaian
serta rambutnya melambai-lambai sedang
Panji Kenanga yang tadi terduduk di tanah,
begitu suara seruling lenyap baru dia kembali
sadar diri dan cepat bangkit. Namun begitu
berdiri angin punting beliung itu membuatnya
terhuyung-huyung.
Pemuda ini mengerahkan tenaga dalamnya.
Tetap saja tubuhnya bergetar dan lututnya
sampat goyah. Cepat-cepat dia mendekati
sebuah pohon dan bersandar di situ. Putus
asa dan jengkel Tapak Biru hentikan tiupan
seruling peraknya.
"Bangsat botak ini terlalu lihay bagiku. Di lain
hari saja kelak aku bakal menyelesaikan
urusan dengan dia," gerutu Tapak Biru dalam
hati.
"Hai gendut pendek! Kenapa kau berhenti
main suling?" tanya Si Botak Mata Buta.
"Sayang aku tak punya waktu banyak untuk
melayanimu," sahut Tapak Biru berdalih. "Hari
ini masih kuberi kesempatan padamu untuk
bernafas beberapa lama lagi. Kelak walau
bagaimana nyawa anjingmu akan kutagih
untuk melunasi hutang jiwa kematian adikku!"
Si botak tertawa gelak-gelak. Patut diketahui
sampai saat itu sepuluh keping uang emas
masih menempel di atas batok kepalanya
yang plontos.
"Kau memang pandai bersilat lidah. Tak
apalah. Kau boleh pergi. Tapi berikan dulu,
suling curianmu itu padaku!"
"Jangan temahak jadi manusia!" damprat
Tapak Biru. "Suling ini akan kuberikan
padamu jika kau sudah kubunuh. Sebagai
temanmu dalam liang kubur!"
Si botak usap-usap dagunya dan berkata,
"Kalau begitu kau boleh pilih Tapak Biru.
Tinggalkan suling itu atau tinggalkan
nyawamu!"
"Botak, jangan melantur! Hari sudah mau
malam. Tak banyak waktu untuk
mendengarkan celotehanmu!"
"Selesai berkata begitu Tapak Biru cepat-
cepat memutar tubuh hendak berlalu. Di
belakangnya terdengar si botak berseru.
"Suling atau nyawamu, gendut!"
Di kejap itu juga si botak sudah berada di
hadapan Tapak Biru, menghadang larinya.
Tapak Biru berkelebat ke jurusan lain. Namun
lebih cepat dari itu si botak sudah
menghadang pula di depannya. Sekali lagi dia
melesat ke samping, sekali lagi pula si botak
muncul menghadang di hadapannya.
Dihalangi begitu rupa Tapak Biru jadi marah
sekali tapi juga bingung melihat kehebatan
lawan. Dia menerjang dengan menghujamkan
suling perak ke arah kening lawan. Yang
diserang begitu merasakan datangnya angin
serangan ke arah kepalanya, cepat menunduk
lalu menggerakkan kedua tangannya serentak.
Yang kiri memukul dada Tapak Biru sedang
yang kanan menyantakkan seruling perak.
Tapak Biru terpekik kesakitan. Disamping itu
dia juas terkejut karena suling perak di tangan
kanannya tiada lagi sedang di depannya Si
Botak Mata Buta tertawa gelak-gelak.
"Masih inginkan suling ini! Ambillah!" kata si
botak seraya bolang-balingkan suling perak
yang kini berada dalam genggamannya.
Tapak Biru mendengus dan membantingkan
kaki ke tanah lalu meninggalkan tempat itu
diantar suara tertawa mengekeh si botak.
Selagi Panji Kenanga menyaksikan hal itu
dengan menahan tawa tiba-tiba si botak
berkelebat dan tahu-tahu Panji Kenanga
merasakan satu pukulan keras menghantam
belakang kepalanya. Tak ampun lagi murid
Brahmana Lokapala dari gunung Raung ini
roboh dan pingsan! ***
KETIKA Panji Kenanga sadarkan diri
didapatinya hari telah malam. Keadaan
sekitarnya gelap gulita. Tiupan angin dingin
sekali menusuk tulang-tulangnya. Di kejauhan
sesekali terdenger suara burung hantu
mambuat auasana serasa mengerikan.
Perlahan-lahan pemuda ini berdiri. Dirabanya
bagian belakang kepalanya yang terasa
mendenyut sakit. Dia terkejut sewaktu satu
bayangan putih besar bergerak di sampingnya.
Ketika dia berpaling tarnyata adalah kuda
kesayangannya Angin Salju. Panji tersenyum
dan menarik nafas lega. Dijentikkannya
tangannya memberi tanda. Binatang itu
datang mendekat.
Panji Kenanga langsung naik ke punggung
Angin Salju. Sambil mengusap leher kuda ini
dia berkata, "Bawa aku keluar dari tempat
celaka ini, sobat."
Seakan mengerti akan maksud tuannya Angin
Salju melompat dan lari meninggalkan tempat
itu. Tak lama kemudian binatang ini sudah
menempuh sebuah jalan kecil yang menuju ke
sebuah bukit. Dalam kencangnya lari Angin
Salju, Panji Kananga merasakan sesuatu
menggandul di leher serta memukul-mukul
dadanya. Sebenamya hal itu terasa sejak tadi
namun karena pemuda ini hanya memikirkan
peristiwa yang barusan dialami maka hal itu
tak terperhatikan olehnya.
Panji Kenanga menunduk memperhatikan
dadanya. Terkejutlah pemuda ini. Tangan
kanannya menyentak tali kekang kuda hingga
Angin Salju dengan serta merta hentikan
larinya. Pada sehelai benang yang terkalung
dilehernya menggandul sebuah benda putih
panjang yang bukan lain adalah seruling
perak yang telah dirampas Si Botak Mata
Buta dari tangan Tapak Biru.
"Bagaimana benda ini bisa tergantung pada
leherku?" tanya Panji Kenanga pada diri
sendiri.
Digerakkannya tangannya. Sekali renggut
putuslah benang penggantung seruling. Panji
menimang-nimang benda itu beberapa lama
dan berpikir-pikir. Tak dapat disangsikan lagi
tentu Si Botak Mate Buta yang punya kerja.
Mula-mula orang aneh itu memukul
kepalanya hingga pingsan. Dalam keadaan
pingaan lalu dia menggantungkan seruling
perak di lehernya.
"Tapi mengapa hal itu dilakukannya?" muncul
lagi pertanyaan baru dalam hati si pemuda.
Dan pertanyaan ini tak kunjung dapat
dijawabnya.
Panji memandang ke langit. Bintang-bintang
bertaburan berkelap-kelip. Bulan sabit muncul
di balik sekelompok awan. Si pemuda meneliti
suling perak di tangan kanannya itu. Pada
waktu itulah dilihatnya segulung kertas pada
ujung sebelah bawah. Segera gulungan kertas
ini dicabutnya. Ketika dibuka di dalamnya
ternyata ada beberapa baris tulisan yang
berbunyi.:
Pembalasan harus dilakukan
Tapi akal pikiran harus diutamakan
Kutitipkan Suling Perak padamu
Bertemu pemiliknya harap serahkan.
Walaupun di bawah tulisan itu tidak tertera
tanda atau nama pembuat surat namun Panji
Kenanga sudah bisa menduga bahwa surat itu
dibuat oleh orang botak yang lihay itu. Dua
kali orang itu memberi nasihat agar
mempergunakan akal pikiran bila dia hendak
melakukan pembalasan. Pertama dalam
nyanyian pada pertemuan waktu hujan lebat
dan kedua dalam surat tersebut "Kalau begitu
besar kemungkinan dugaanku meleset," kata
Panji dalam hati. "Agaknya dia bukan kaki
tangan atau bergundal Istana Darah." Kembali
Panji menimang-nimang suiing perak itu.
Siapakah gerangan pemilik sebenarnya benda
itu? Mengapa justru Si Botak Mata Buta
menitinpkannya padanya? Akhirnya Panji
menyelipkan suling tersebut di balik pinggang
pakaiannya lalu melanjutkan perjalanan tanpa
memperdulikan lagi kemana Angin Salju
membawanya. Tak selang berapa lama di
kejauhant kelihatan kelap-kelip nyala api.
"Sobatku, larilah ke arah nyala api itu. Di
sana pasti ada sebuah desa atau kampung.
Kita bisa istirahat di sana malam ini," bisik
Panji Kenanga.
Angin Salju mengeluarkan suara reperti
melenguh tanda dia mengerti betul apa yang
dimaksudkan tuannya. Dan binatang ini lebih
mempercepat larinya. *** Kampung Warnasari
sebenarnya tak tepat lagi disebut sebagai
kampung karena jumlah rumah yang ada di
situ banyak sekali. Di samping itu terdapat
pula tiga buah jalan besar serta jalan-jalan
kecil. Lebih tepat kiranya bilamana Warnasari
dikatakan sebagai sebuah kota kecil. Malam
itu Warnasari diliputi kesunyian. Namun
kesunyian sekali ini jauh berbeda denqan
kesunyian seperti biasanya. Kesunyian kali ini
adalah kesunyian yang dipaksakan oleh
keadaan. Dan keadaan itu dibuat oleh
sekelompok orang-orang yang saat itu berada
di kedai paling besar di Warnasari.
Dalam kedai itu suasana biasanya ramai.
Suara orang-orang yang asyik mengobrol
sesekali dipecahkan oleh gelak tawa berderai.
Tiga orang laki-laki berpakaian serba hitam
dan bertampang bengis duduk di tengah
kedai. Mereka inilah yang membuat suasana
tidak seperti biasanya lagi. Tak ada yang
berani bicara keras apalagi tertawa.
Di atas meja di hadapan mereka terhidang
segala macam makanan yang enak-enak
serta minuman yang lezat-lezat. Demikian
banyaknya makanan dan minuman itu hingga
dua buah meja terpaksa digabung menjadi
satu.
Pemilik kedai seorang laki-laki tua bemama Ki
Sepuh Bawean, berdiri di sudut kedai dengan
muka seputih kertas, lutut gemetar. Tiga
orang pelayan berdiri disampingnya. Seperti
pemilik kedai para pelayan inipun berada
dalam ketakutan yang amat sangat.
Sebelumnya kedai itu dipenuhi oleh selusin
tamu. Namun begitu tiga manusia ini masuk,
para tamu yang ada di situ cepat-cepat
membayar makanan dan minuman masing-
masing lalu keluar dari kedai. Bahkan ada di
antara mereka yang belum sempat mencicipi
makanan ataupun minuman namun karena
kawatir cepat-cepat saja berlalu.
Tiga tamu berpakaian serba hitam melahap
makanan di atas meja laksana singa-singa
buas yang telah berhari-hari tidak makan. Di
pintu belakang kedai tiga orang berseragam
hitam lagi tampak berdiri sedang di pintu
depan lima orang dengan pakaian yang sama
tampak berjaga-jaga sambil bertolak
pinggang dan menghisap rokok.
"Hai Bawean!" sentak salah seorang dari tiga
laki-laki yang tengah makan dalam kedai.
"Bawa ke sini satu kendi tuak baru untukku!"
Dengan tergopoh-gopoh pemilik kedai
meninggalkan tempatnya kemudian muncul
kembali membawa sebuah kendi berisi tuak.
Minuman ini di letakkannya dengan sangat
hati-hati di atas meja lalu kembali ke
tempatnya semula di sudut kedai menunggu
perintah selanjutnya.
"Lama juga anak-anak pergi memanggil
kepala kampung itu," kata salah seorang yang
duduk melahap makanan. Namanya
Ronggokarapan. Dia adalah kepala dari
semua orang yang berpakaian serba hitam
itu. Pimpinan gerombolan rampok yang paling
ditakuti di daarah sekitar hulu Kali Bedadung.
Dua orang yang ikut makan bersamanya
adalah orang-orang kepercayaannya alias
tangan kanannya yang masing-masing
bernama Randuwongso dan Taliwongso.
Keduanya kakak beradik.
Dulunya Randuwongso dan Taliwongso
merupakan pimpinan rampok yang malang
melintang sepanjang Kali Bedadung. Dalam
masa yang sama di daratan Ronggokarapan
bersama beberapa anak buahnya melakukan
kejahatan yang serupa. Pada suatu kali
terjadilah pertemuan yang tidak disangka-
sangka antara duao kelompok penjahat itu.
Pertempuran tak dapat dihindarkan. Namun
Ronggokarapan memiliki ilmu silat yang lebih
tinggi dibandingkan dengan dua bersaudara
itu. Taliwongso dan Randuwongso berhasil
dikalahkannya dan sejak itu Ronggokarapan
menjadi pimpinan dari gabungan dua
kelompok penjahat itu. Meskipun dua
bersaudara Wongso itu pada dasarnya
menanam dendam kesumat terhadap
Ronggokarapan namun mereka menyadari
adalah mencari mati jika mereka berani
melakukan sesuatu selagi ilmu kepandaian
mereka jauh di bawah Ronggokarapan.
Di kejauhan terdengar derap kaki kuda.
"Itu pasti anak-anak," kata Randuwongso.
Ronggokarapan menyeringai.
"Kali ini kepala kampung itu harus dihajar
habis-habisan. Biar dia tahu rasa!" kata
pamimpin rampok itu lalu memandang ke
pintu. Saat itu di luar kedai suara rentak kaki
kuda terdengar semakin dekat. Lima anak
buah rampok yang tegak di ambang pintu
memandang ke ujung jalan.
Tak selang berapa lama dari tikungan di ujung
jalan muncullah seekor kuda putih berikut
penunggangnya. Mendekati kedai itu si
penunggang memperlambat lari kudanya. Di
depan kedai dilihatnya hampir seluruh kuda
tertambat sedang di ambang pintu lima orang
berpakaian serba hitam dan rata-rata
bertampang buas tegak berjejer membuat
hatinya kurang enak dan curiga.
Si penunggang kuda yang bukan lain adalah
Panji Kenanga berpikir sejenak. Lalu
menghentikan Angin Salju di depan kedai dan
melompat turun. Perutnya sangat lapar dan
memang dia musti berhenti di situ karena
malam buta begini di mana pula akan
mencari kedai lain yang masih buka. Dia
tengah melangkah ke pintu kedai ketika salah
seorang dari lima manusia yang tegak
menghadang di pintu masuk menegurnya.
"Orang muda, putar langkahmu. Tak satu
orangpun boleh masuk ke dalam!"
Panji Kenanga berpaling don memandang
muka orang itu.
"Memangnya ads apa?" tanya si pemuda.
"Tak usah banyak bacot!" sentak kawan
rampok yang satu lagi. "Masih untung kau
disuruh pergi baikbaik. Kalau cuma roh
busukmu yang disuruh minggat sedang tubuh
anjingmu tinggal di sini, baru kau tahu rasa!"
"Oh, kalau begitu itu lain ceritanya sobat,"
Mata Panji Kenanga seraya tersenyum. Dia
sudah maklum kini dengan manusia-manusia
macam apa sebenarnya dia sedang
berhadapan. Acuh tak acuh dia meneruskan
langkahnya menuju pintu kedai.
"Kurang ajar! Dikiranya kita ini siapa!"
Rampok yang membentak melompat ke
hadapan Panji Kenanga seraya bacokkan
goloknya ke kepala pemuda ini. Si pemuda
cepat manyingkir. Golok yang menderu
menembus udara kosong terus menghantam
dinding kedai! ***
"HAI! Ada apa ribut-ribut di luar sana?!"
terdengar bentakan Ronggokarapan dari
dalam kedai. Kedua pembantunya segera
berdiri dan melangkah ke pintu.
"Ada apa disini?!" tanya Randuwongso.
"Pemuda kurang ajar ini hendak memaksa
masuk ke dalam kedai!" jawab salah seorang
perampok.
"Bah, kukira ada apa. Hanya seekor monyet
kesasar kalian ribut-ribut macam orang
keblinger!" kata Taliwongso lalu kembali
masuk ke dalam. Sementara itu sambil
bertolak pinggang Randuwongso menatap si
pemuda asing dan bertanya dengan kasar.
"Pemuda hina dina, kau siapa?!"
"Namaku Panji Kenanga. Aku tidak mengerti
mengapa aku tidak boleh masuk ke dalam
kedai. Toh kedai ini bukan punya nenek
moyangnya!"
"Hem…" Randuwdngso tersenyum buruk lalu
berkata, "Kau tidak mengerti. Jadi mau
kubikin mengerti?"
Dia berpaling pada lima orang anak buahnya
yang ada di halaman kedai. "Hajar monyet
alas ini sampai dia mengerti!"
Serempak dengan itu kelima orang perampok
tersebut menerjang menyerang Panji Kenanga.
Namun gerakan mereka terhenti karena saat
itu dari dalam kedai terdengar seruan
Ronggokarapan.
"Randu! Biarkan monyet alas kesasar itu
masuk! Aku mau lihat tampangnya!"
Melihat orang-orang disitu tak jadi turunkan
tangan jahat mengeroyoknya karena ada yang
berteriak dari dalam. Panji Kenanga segera
dapat menduga. Siapapun adanya orang yang
barusan berseru dia pastilah pemimpin dari
keseluruhan manusia-manusia jahat yang ada
di tempat itu.
Panji Kenanga tersenyum pada orang-orang
yang ada di sekelilingnya dan berkata, "Nah,
apa kataku. Kedai ini bukan milik nenek
moyang kalian, kan? Buktinya pemimpin
kalian sendiri yang mengundangku masuk!"
Habis berkata begitu dengan lenggang
kangkung Panji Kenanga melangkah masuk ke
dalam kedai. Satu hal yang tak terduga
terjadi sewaktu pemuda ini baru saja masuk
dua langkah ke dalam kedai. Sebuah benda
melayang pesat ke arah kepalanya!
Saking cepatnya benda itu melesat Panji
Kenanga tak sempat mengenali benda apa
adanya namun dengan cekatan dia
menundukkan kepala dan berhasil
mengelakkan hantaman benda tersebut.
Seseat kemudian di belakangnya terdengar
suara benda tadi pecah berantakan. Pemuda
ini melirik. Ternyata sebuah gelas besar yang
telah dilemparkan ke kepalanya. Yang
melempar adalah lelaki yang duduk
mengangkat kaki di belakang meja makan di
tengah kedai, bermata merah buas,
bercambang bawuk dan berbibir tebal. Dialah
Ronggokarapan.
"Bagus, sanggup juga kau mengelak ya?" kata
si kepala rampok sambil menyeringai.
"Sekarang coba elakkan yang ini!" Kedua
tangannya yang bertelapak tebal dan berjari-
jari besar digebrakkan ke atas meja.
Hebatnya, lima buah piring berisi makanan
dan tiga buah gelas di atas meja itu laksana
anak panah lepas dari busurnya, melesat ke
arah delapan bagian tubuh Panji Kenanga!
Kaget murid Brahmana Lokapala itu bukan
main. Tidak disangkanya pemimpin rampok
tergebut memiliki kepandaian begitu hebat.
Dengan gesit Panji Kenanga cabut suling
perak dari balik pinggangnya. Lalu terdengar
suara trang-trang-trang sampai delapan kali
berturut-turut. Lima buah piring dan tiga
gelas berhamburan pecah ke lantai.
Kini Ronggokarapan yang ganti terkejut.
"Sobat mata merah! Ini kukembalikan
seranganmu!" seru Panji Kenanga tiba-tiba. Si
pemuda hantamkan kaki kanannya ke lantai
kedai. Puluhan pecahan piring dan gelas yang
ada di lantai, laksana daun kering dihembus
angin, menderu menyambar ke arah pemimpin
rampok Kali Bedadung itu!
Saking kagetnya melihat kejadian yang
sebelumnya tak pernah disaksikannya itu
Ronggokarapan sampai keluarkan seruan
tertahan. Namun dia tahu kalau bahaya
mengancam. Kedua tangannya turun dengan
cepat ke bawah dan di lain kejap dia telah
mengangkat meja makan besar itu ke atas
untuk melindungi tubuhnya. Puluhan beling
pecahan gelas dan piring menancap pada
papan meja. Belasan lainnya bertebaran lewat
di sampingnya. Dapat dibayangkan
bagaimana kalau puluhan pecahan kaca itu
menancap di kepala dan tubuh
Ronggokarapan!
"Orang muda, terima kasih atas serangan
balasanmu!" kata si kepala rampok keren.
"Kau menang. Dan terimalah hadiah
kemenanganmu ini!" terdengar suara
Ronggokarapan tertawa dari balik meja. Di
lain ketika tiba-tiba meja yang besar yang
terbuat dari kayu jati dan beratnya tidak
kurang dari tujuh puluh kati itu
dilemparkannya ke arah Panji Kenanga. Meja
itu menderu dahsyat laksana dihantam topan.
Panji Kenanga tampak tak bergerak di
tempatnya. Tiga jengkal lagi meja besar itu
akan melabraknya, pemuda ini angkat kedua
tangannya menangkap dua dari empat kaki
meja. Lalu dengan gerakan seperti seorang
main akrobat meja yang berat itu
diletakkannya baik-baik ke lantai tanpa
menimbulkan suara sedikitpun!
Semua mata memandang hampir tak berkedip
pada pemuda itu. Keadaan dalam kedai jadi
sunyi senyap. Di ujung kiri pemilik kedai
berdiri dengan tubuh menggigil. Apa yang
disaksikannya tadi sungguh membuatnya
kagum luar biasa tetapi sekaligus juga
membuatnya ketakutan. Kalau dua orang
berilmu tinggi baku hantam dalam kedainya,
pastilah segala perabotan yang ada di situ
akan porak poranda. Bahkan bukan mustahil
kedainya akan amblas roboh!
Di luar, terdengar derap kaki kuda. Tak lama
kemudian tiga orang berpakaian hitam masuk
ke dalam kedai menggiring seorang lelaki tua
berambut putih, berpipi cekung dan melangkah
terbungkuk-bungkuk. Ronggokarapan tidak
acuhkan orang-orang yang masuk ini. Dia
memandang tak berkedip pada Panji Kenanga.
Otaknya jalan.
"Ilmunya tinggi," membatin Ronggokarapan.
"Kalau tenaganya dapat kupergunakan,
seumur hidup aku bakal enak ongkang-
ongkang kaki …"
Kepala rampok itu tersenyum. "Sobat muda!"
katanya seraya lembaikan tangan kiri. "Antara
kita tak ada saling sengketa apa-apa.
Lupakan cara berkenalanku yang agak kasar
tadi!" Dia lalu berpaling pada pemilik kedai
dan memerintah, "Bawean, siapkan makanan
dan minuman yang paling lezat dan
hidangkan pada pemuda ini. Cepat!"
Tanpa banyak bicara, dengan ketakutan Ki
Sepuh Bawean segera lakukan apa yang
diperintahkan Rondokarpan.
"Sobatku, kau duduklah tenang-tenang di
kursi sana, nanti kita bicara lagi," kata si
kepala rampok.
Sementara itu Randuwongso datang melapor.
"Pemimpin, anak-anak sudah membawa
kepala kampung kemari."
Ronggokarapan berpaling. Dia memandang
pada lelaki tua berambut putih yang berdiri
dengan muka pucat pasi don gemetaran di
hadapannya.
"Lawang Kuning!" kata Ronggokarapan
menyebut nama Kepala kampung Warnasari
itu. "Ingat apa yang kuperintahkan tempo
hari?!"
Kepala kampung itu mengangguk berulang-
ulang. "Jawab! Dengan mulut!" hardik
Taliwongso dan tangannya bergerak
menjambak rambut orang tua itu hingga dia
merintih kesakitan.
"Ak . . . aku ingat Ronggo," Lawang Kuning
akhirnya membuka mulut sambil mengerenyit
kesakitan karena rambutnya masih dijambak
keras oleh Taliwongso.
"Bagus. Kalau ingat mengapa tidak kau
laksanakan!"
"Sulit Ronggo. Sulit! Orang kampung mana
ada yang punya uang dan perhiasan. Kami di
sini miskin semua…"
"Sulit atau tidak aku tidak perduli! Miskin
atau kaya aku tidak mau tahu!" damprat
Ronggokarapan.
Randuwongso ikut menghardik. "Dulu kowe
bilang bersedia melaksanakan.
Mengumpulkan semua harta benda perhiasan
orang-orang di sini. Sekarang banyak dalihmu
tua bangka!"
Penduduk di sini rata-rata punya sawah
ladang. Ternak!" yang bicara kini adalah
Taliwongso. "Rumah mereka bagus-bagus.
Mustahil tidak punya uang dan perhiasan."
Ronggokarapan geleng-geleng kepala dan
tepuk-tepuk pipi kempot Lawang Kuning.
"Kalau tidak ingat persahabatan kita dulu, aku
sudah pisahkan kepala dan badanmu,
Lawang…"
"Justru kalau masih menganggap aku sahabat
nengapa kau lakukan tindakan jahat
terhadapku? Dan terhadap penduduk
Warnasari yang tidak berdosa, tak punya apa-
apa!" Lawang Kuning memberanikan diri
menyahuti.
Kepala rampok itu tertawa gelak-gelak. Tiba-
tiba suara tawanya berhenti. Dan plak! Satu
tamparan mendarat di muka kepala kampung
tua itu. Lawang Kuning jatuh terjelapak di
lantai. Pemandangannya berkunang-kunang.
Pipinya sakit bukan main. Dia merasakan
darah mengalir di sela bibirnya yang pecah.
"Hajar dia sampai konyol!" perintah
Ronggokarapan pada anak-anak buahnya.
Lalu dia duduk ke sebuah kursi.
Yang pertama sekali turun tangan adalah
Randuwongso. Kaki kanannya menendang
punggung kepala kampung yang masih
terduduk nanar di lantai.
Bukk!
Tendangan mendarat di punggung Lawang
Kuning. Orang tua ini menjerit mengenaskan.
Tubuhnya mencelat menghantam dinding
kedai sebelah kamar lalu tergelimpang ke
lantai. Dari mulutnya terdengar suara
erangan. Lalu diam. Entah pingsan entah
mati.
Sesosok tubuh melompat ke hadapan
Randuwongso.
"Bangsat! Kau mau apa?!" sentak
Randuwongso ketika melihat ternyata Panji
Kenanga yang rnenghadangnya.
"Mau mematahkan kakimu yang tadi dipakai
menendang!" jawab Panji Kenanqa geram.
"Sobat, jangan jadi orang tolol," berseru
Ronggokarapan. "Aku sudah punya rencana
bagus untukmu. Biarkan saja tua bangka itu
konyol. Tidak sekarang lusapun dia akan
mampus juga!"
Panji Kenanga menyeringai. "Kalaupun orang
tua ini mati, maka harus ada yang
mengantarkannya ke akheratl" Lalu secepat
kilat Panji Kenanga kirim kan satu jotosan ke
dada Randuwongso. Yang diserang terkejut
tak menyangka. Masih untung dia tidak ayal
dan sempat mengelak. Perkelahian tak dapat
dihindarkan lagi di dalam kedal itu.
Semula Ronggokarapan hendak membentak
menyuruh hentikan perkelahian itu. Namun
selintas pikiran muncul dalam benaknya.
Dengan adanya perkelahian itu dia akan
dapat melihat sampai di mana kehebatan
pemuda asing yang menurut rencananya
hendak dijadikan tangan kanannya itu. Baru
berkelahi lima jurus Randuwongso sudah
terdesak. Ini membuat perampok tersebut
penasaran sekali. Selama ini belum ada orang
lain yang dengan tangan kosong sanggup
mendesaknya begitu rupa kecuali
pemimpinnya.
Didahului satu bentakan garang Randuwongso
berkelebat gesit mengirimkan serangan-
serangan berantai selama tiga jurus berturut-
turut. Tampaknya Randuwongso menjadi
nekat. Panji Kenanga berlaku hati-hati.
Dengan mengandalkan ilmu meringankan
tubuhnya yang sudah mencapai tingkat tinggi
pemuda ini berkelebat kian kemari sehingga
tak satupun serangan lawan mengenai
tubuhnya. Di lain pihak setiap ada
kesempatan Panji Kenanga tidak lupa untuk
melancarkan serangan ba!asan yang cukup
membuat Randu menjadi repot.
Setelah berlalu beberapa jurus Panji mulai
melihat kelemahan-kelemahan ilmu silat
lawan. Pada satu kesempatan yang paling
baik murid Brahmana Lokapala itu keluarkan
jurus yang disebut "sekuntum bunga menebar
harum." Kedua tangannya membuat gerakan
berputar, terpentang ke samping laksana
kitiran. Randuwongso merundukkan kepala
melihat serangan aneh itu lalu susupkan satu
jotosan ke bagian bawah tubuh lawan yang
lowong.
Namun rampok ini kalah cepat. Tepi telapak
tangan kiri Panji Kenanga mendarat lebih dulu
di kuduknya, membuat Randuwongso tersaruk
ke muka hampir jatuh terjerembab di lantai
kedai! Randuwongso menggeram sakit.
Tengkuknya kelihatan gembung merah. Ketika
dia berdiri kembali tampak miring. Sepasang
bola matanya seperti bernyala-nyala. Kedua
tinjunya terkepal.
"Bangsat! Kalau aku tidak dapat memuntir
betang lehermu, biar aku berhenti jadi orang!"
Randuwongso sudah siap untuk menerjang
Panji Kenanga. Namun saat itu dari arah
pintu terdengar suara tawa bergelak. Suara
tawa ini membuat semua orang seperti
disirap, tertegun di tempat masing-masing.
"Yang sudah mampus kalau bisa ingin hidup
kembali! Kenapa yang masih hidup kepingin
berhenti jadi orang?! Kalau tidak sinting pasti
sedeng!" ***
KETIKA semua orang memandang ke pintu,
mereka melihat seorang pemuda berambut
gondrong memasuki kedai dengan langkah
seenaknya dan sambil cengar-cengir.
Hebatnya lagi, di bahu kirinya dia memanggul
sesosok tubuh perempuan muda berpakaian
merah yang robek-robek di beberapa tempat
hingga menyembulkan kulitnya yang putih
mulus.
Si pemuda melangkah ke sebuah meja di
sudut ruangan. Diturunkannya tubuh
perempuan yang dipanggulnya lalu
didudukkannya di atas kursi. Semua orang
jadi terkesiap ketika menyaksikan wajah
perempuan muda itu. Cantik sekali! Tapi
sepasang matanya terpejam, bibirnya
berwarna biru. Sedang tidur, pingsan atau
tertotokkah dia, demikian setiap orang
menduga-duga.
Pemuda itu memandang berkeliling. Meskipun
ketika akan masuk tadi dia mengumbar tawa
dan ucapan lantang namun setelah sampai di
dalam dia seperti acuh tak acuh saja dengan
segala apa yang terjadi di situ. Dia
memandang berkeliling sekali lagi lalu
menghentikan pandangannya pada orang tua
bermuka pucat di seberang sana.
"Bapak, kau pemilik kedai ini?" tanya si
pemuda.
Ki Sepuh Bawean mengangguk. Agak takut-
takut.
"Aku perlu kain untuk menutup tubuh gadis
ini. Di samping itu perutku juga keroncongan
…"
Ki Sepuh Bawean memandang pemuda itu
seketika. Dalam hatinya dia berpikir apakah
manusia yang satu ini orang benar atau
bangsa sedang brengsek pula yang bakal
menambah huru-hara di kedainya. Kemudian
dia memandang pula pada gadis berbaju
merah yang duduk terpejam. Pakaiannya kotor
dan robek-robek. Salah satu robekannya
demikian besar hingga pangkal payu daranya
yang sebelah kiri kelihatan tarsembul dengan
jelas.
"Pak tua, lekaslah. Aku tak punya waktu
banyak makan angin di kedaimu ini.
Pertolonganmu pasti tak akan kulupakan."
Ki Sepuh Bawean hendak beranjak dari
tempatnya. Namun Ronggokarsrpan memberi
isyarat dengan larnbaian tangan agar pemilik
kedai itu tetap di tempat semula.
Sambil rnenimang-nimang sebuah paha ayam
goreng Ronggokarapan bertanya, "Orang
asing, kau siapa?"
"Maaf aku datang ke mari bukan untuk
berbincang-bincang," jawab si pamuda lalu
duduk di samping gadis baju merah yang
pingsan. Tentu taja semua orang jadi
terkesiap mendengar jawaban pemuda tak
dikenal itu. Ronggokarapan sendiri kelihatan
marah tampangnya dan duduk ternganga.
"Tambah lagi satu orang edan di kedai ini!"
Taliwongso membuka mulut.
Si pemuda tak ambil perduli ucapan itu. Dia
berpaling pada pemilik kedai, dan berkata lagi,
"Pak, tolong berikan apa yang kuminta."
Ki Sepuh Bawean jadi serba salah dan tak
tahu apa yang akan dilakukan. Jika dia
memenuhi permintaan pemuda itu maka dia
bakal mendapat hajaran dari Ronggokarapan
dan anak anak huahnya. Sebaliknya jika dia
tidak menolong, hati kecilnya merasa kasihan
terhadap tamu muda tersebut yang
kelihatannya memang letih, apalagi
menyaksikan keadaan garlis yang duduk di
kursi. Akhirnya pemilik kedai itu cuma bisa
angkat bahu.
Pemuda rambut gondrong itu berdiri.
"Aku tak salahkan engkau kalau takut pada
manusia itu," katanya sambil menunding
dengan ibu jari tangan kiri ke arah
Ronggokarapan. "Jangankan engkau,
gorilapun pasti akan kabur melihatnya!"
Selama hidupnya baru kali itu Ronggokarapan
dihina orang demikian rupa, apalagi di depan
orang banyak dan di muka hidung anak
buahnya rendiri!
Tangan kanannya menggebrak meja hingga
kayu meja pecah-pecah. Dia berdiri dengan
tangan kiri diletakkan di pinggang.
"Monyet gondrong! Berani menghina
Ronggokarapan berarti berani menghadapi
kematian!"
Si pemuda menyeringai. "Sudahlah, tak sedap
bicara denganmu. Dari jauh saja bau mulutmu
membuat hidungku seperti mau tanggal!"
"Bangsat rendah!" teriak kepala rampok itu.
"Mampuslah!" Ronggokaraprrn menggembor.
Tangan kanannya bergetar tanda ada tenaga
dalam yang dialirkan ke situ. Tiba-tiba dia
menghantam ke depan kirimkan satu pukulan
tangan kosong. Selarik angin keras
menyambar ke arah dada si pemuda. Meja
dan kursi berpelantingan saking hebatnya.
Bahkan beberarapa orang anak buah
Rongglokarapan cepat menyingkir takut
terserempet angin pukulan itu.
Yang diserang rupanya juga bukan manusia
sembarangan walau masih muda dan
tampangnya kelihatan tolol. Dengan satu
gerakan kilat dia melompat seraya
menyambar tubuh gadis yang didudukkannya
di kursi. Baru saja dia berkelebat dari tempat
itu, kursi kosong itu hancur berantakan kena
hantaman pukulan tangan kosong
Ronggokarapan. Dinding papan di
belakangnya ikut pecah-pecah. Dapat
dibayangkan bagaimana kalau pukulan ganas
tadi mengenai tubuh si gadis yang berada
dalam keadaan tidak sadar diri itu!
Baik Ronggokarapan maupun si pemuda
tampaknya sama-sama terkejut. Si pemuda
tidak menyangka kalau kepala rampok itu
memiliki kepandaian yang begitu tinggi dan
benar-benar inginkan nyawanya. Sebaliknya
gembong rampok Kali Bedadung itupun tidak
mengira kalau si pemuda bakal sanggup
mengelakkan serangannya itu bahkan
sekaligus mampu menyelamatkan gadis di
atas kursi!
Diam-diam Ronggokarapan menyeluh.
Mengapa hari ini dia sampai menemui dua
orang pemuda yang berkepandaian demikian
tinggi. Urusan dengan pemuda pertama tadi
belum selesai. Kini muncul satu lagi. Apakah
kedua orang ini punya hubungan satu sama
lain?
Tanpa mengacuhkan kepala rampok itu,
sambil memanggul tubuh gadis yang tak
sadarkan diri, pemuda berambut gondrong
bergerak cepat menuju bagian belakang kedai.
"Hai! Kau mau kabur ke mana?!" bentak
Ronggokarapan mengejar.
Di bagian belakang kedai si pemuda
menemukan sehelai kain panjang tergantung.
Benda ini segera disambarnya dan
dipergunakan untuk menutupi tubuh gadis
yang dipanggulnya. Kemudian dengan cepat
dia mengumpulkan nasi serta lauk yang dapat
ditemuinya di tempat itu, membungkusnya
dengan daun dan keluar.
Namun di hadapannya Ronggokarapan dan
tiga anak buahnya telah menghadang. Dalam
keadaan seperti itu si pemuda masih saja
bersikap luar biasa. Tanpa rnengacuhkan
orang-orang yang ada di depannya dia
berkata pada Ki Sepuh Bawean. "Terserah kau
mau bilang aku pencuri. Perutku betul-betul
lapar dan aku tak punya uang untuk membeli
nasi serta lauk yang barusan kubungkus ini.
Kain panjang inipun kupinjam dulu. Atas
kebaikanmu aku ucapkan terima kasih. Budi
baikmu pasti akan kuingat."
"Bangsat! Lagak bicaramu seperti pemain
sandiwara keliling!" Yang membentak adalah
Rongaokarapan.
Lalu tanpa banyak menunggu lagi dia
tusukkan dua jari tangannya ke mata si
pemuda. "Sebelum kubunuh biar kubikin cacat
dulu kau!"
"Terima kasih untuk seranganmu. Ini kuberi
dulu hadiah menarik!" menyahuti si pemuda.
Tahu-tahu kaki kanannya sudah menderu ke
perut lawan.
Bagaimanapun juga serangan kaki jauh lebih
panjang dari serangan tangan. Akibatnya
tendangan kaki itu akan lebih dulu mencapai
sasaran dari pada serangan tangan. Hal ini
diketahui benar oleh Ronggokarapan. Dengan
gemas dia mendengus dan cepat mengelak ke
samping kiri. Dari sini dia langsung susul
serangannya yang tadi batal dengan satu
jotosan ke arah pelipis kanan pemuda
berambut gondrong.
Kali ini si pemuda tidak punya kesempatan
untuk mengelak karena kalau itu dilakukannya
dia kawatir pukulan lawan akan mengenai
salah satu bagian tubuh gadis yang berada di
panggulannya. Maka terjadilah satu tontonan
yang menarik. Pemuda rambut gondrong
lemparkan bungkusan nasi yang dipegangnya
ke udara lalu dengan lengan kanan dia
menangkis pukulan Ronggokarapan. Si kepala
rampok lipat gandakan tenaga dalamnya. Dia
yakin sekali tangannya beradu dengan lengan
si pemuda maka pemuda itu akan terjengkang
dengan tangan patah!
Sedetik kemudian dua lengan mereka saling
beradu dengan mengeluarkan suara keras.
Disusul oleh keluhan kesakitan keluar dari
mulut Ranggokarapan. Ketika dia meneliti
ternyata lengan kanannya berwarna merah
dan bengkak sedang tubuhnya sendiri akibat
bentrokan itu terpental sampai empat
langkah! Selagi lawan berdiri terkesima dan
kesakitan pemuda rambut gondrong telah
menangkap kembali bungkusan nasi yang tadi
dilemparkannya ke udara!
"Keroyok dia! Cincang sampai lumat!" teriak
Ronggokarapan tiba-tiba.
Mendengar perintah itu delapan anak buah
Ronggo termasuk dua bersaudara Wongso
menyerbu. Ada yang mengandalkan tangan
kosong tapi kebanyakan merasa lebih aman
dengan senjata di tangan.
"Sialan betul, lama-lama di sini aku bisa
berabe! " si pemuda yang menjadi buian-
bulanan serangan mengomel dalam hati. Dia
berteriak keras dan kelihatan tubuhnya
mencelat ke atas hampir menyundul
langitlangit kedai. Di lain kejap selagi lawan
terkejut bahkan ada yang bingung si pemuda
lancarkan tendangantendangan pada kepala
atau dada lawan-lawannya yang berada di
bawah.
Randuwongso muntah darah akibat kena
tendangan tepat di dada kirinya, langsung
roboh dan tergelimpang tak sadarkan diri di
lantai. Seorang lagi anak buah
Ronggokarapan mencelat sambil menjerit.
Hidungnya melesak menghambur darah,
bibirnya pecah dan giginya amblas akibat
terkena hantaman tumit si pemuda!
"Bunuh! Pateni!" teriak Taliwongao yang jadi
beringas karane melihat saudaranya roboh tak
berkutik dan disangkanya sudah mati. Golok
besarnya menderu membabat pinggul lawen
sementara dua orang anggota rampok lain
kirimkan tusukan dari kiri kanan. Si pemuda
berkelebat ke arah pintu. Dua tusukan dapat
dielakkannya, sambaran golok Talliwongso
menggores bajunya. Ini membuat dia jadi
penasaran dan sebelum lawan memburu dia
pindahkan bungkusan nasi ke tangan kiri.
"Setan alas! Kowe mau lari ke mana?!" teriak
Taliwongso dan mengejar ke pintu karana
menyarngka lawan hendak lari.
"Rampok bau! Siapa bilang aku mau kabur.
Silakan hadiahku ini!" teriak si pemuda lalu
putar tangan kanannya dan menderulah
rangkuman angin ***
KEDAI Kayu yang tak seberapa besar itu
laksana dilanda angin punting beliung.
Benda-benda berpelantingan. Enam anggota
rampok terhuyung-huyung lalu jatuh satu
demi satu. Taliwongso masih sanggup
bertahan dari hempasan angin dan dengan
golok besar di tangan kembali menyerang
lawan. Si pemuda pukulkan tangan kanannya
ke arah Taliwongso. Kali ini Taliwongo terjajar
ke belakang lalu jatuh terjengkang di antara
anggota-anggota rampok lainnya.
Ronggokarapan kelihatan berkerut keningnya.
Dia kerahkan seluruh tenaga yang ada agar
jangan sampai ikut terseret oleh gelombang
angin yang menggebu-gebu itu. Tubuhnya
bergetar. Pakaiannya berkibar-kibar. Kumis
dan cambang bawuknya berjingkrak!
Di sudut lain Panji Kenanga tegak dengan
rangkapkan kedua tangan di depan dada.
Diam-diam murid Brahmana Lokapala ini juga
kerahkan tenaga dalamnya agar jangan
sampai kena tersapu sambaran angin yang
keluar dari tangan si gondrong. "Siapa adanya
pemuda gagah ini!" tanya Panji Kenanga
dalam hati. Jika saja dia tidak memiliki ilmu
yang tinggi pasti sudah sejak tadi terseret
oleh gelombang angin. Ronggokarapan yang
juga memiliki ilmu silat dan tenaga dalam
tinggi kerahkan kekuatannya namun tak urung
lututnya masih terasa goyah. Dia mengambil
keputusan untuk menyerbu saja dari pada
menderita malu karena jatuh dilanda angin
serangan lawan. Maka didahului satu
bentakan keras kepala rampok Kali Bedadung
ini menerjang ke depan. Tangan kanannya
dihantamkan ke arah lawan.
Selarik sinar hitam berkiblat ganas ke jurusan
pemuda yang memanggul gadis. Setengah
depa lagi sinar ha am ini akan menghantam
mati si pemuda, tiba-tiba dia balas
menghantam dengan tangan kanan,
menyongsong datangnya sinar pukulan lawan.
Serangkum angin yang padat dan berbuntal-
buntal bulat menderu. Dan punahlah sinar
hitam Ronggokarapan dengan mengeluarkan
suara mendesis.
Melihat pukulan "wesi hitam" yang amat
diandalkannya dibikin musnah oleh lawan
begitu mudah, Ronggokarapan menjadi kecut
dan lumer nyalinya. Apelagi saat itu ketika
memandang berkeliling dilihatnya anak-anak
buahnya masih pada berjelapakan di lantai
tiada daya sedang di ujung sana musuhnya
yang lain yakni Panji Kenanga tegak
memandang mengejek ke arahnya.
Tengah kepala rampok ini berpikir-pikir untuk
ambil langkah, seribu mendadak dirasakannya
dadanya amat sakit lalu satu bayangan
berkelebat. Ronggo merunduk. Tapi terlambat.
Satu tamparan mendarat di keningnya, laki
laki ini melintir lalu jatuh duduk di lantai
dengan pandangan berkunang-kunang.
"Selamat tinggal Ronggokarapan. Lain kali
kita bertemu lagi!" Terdengar seruan pemuda
rambut gondrong dan di lain kejap dia sudah
lenyap lewat pintu kedai bersama gadis di
atas panggulnya.
"Hebat sekali pemuda itu," kata Panji Kenanga
dalam hati. "Bahkan agaknya dia belum
mengeluarkan seluruh kepandaiannya karena
sikapnya berkelahi tadi seperti main-main
saja." Lalu murid Lokapala ini berpaling pada
Ranggokarapan yang masih menjelapak di
lantal kedai. Dan kagetlah Panji Kenanga
ketika menyaksikan bagaimana di kulit kening
kepala rampok itu kelihatan tertera tiga buah
angka yaitu : 212.
"Dua satu dua …," desis Panji Kenanga sambil
leletkan lidah. "Kalau begitu … Jadi rupanya
dialah yang dijuluki Pendekar 212. Pantas …
Guru pernah menerangkan tentang dia.
Sekarang melihat bagaimana hebatnya dia
benar-benar aku merasa masih jauh
ketinggalan!"
Sementara itu Ronggokarapan dengan
terhuyung-huyung mencoba berdiri diikuti
oleh anakanak buahnya kecuali Randuwongso
yang masih menggeletak pingsan dan seorang
lagi yang tadi sempat ditendang remuk
mukanya. Kepala rampok itu meneguk sisa-
sisa tuak yang masih ada dalam salah satu
kendi sekedar untuk melegakan perasaan
kecut serta sakit pada kepalanya. Kendi tuak
kemudian dibantingnya hingga pecah di lantai
lalu kembali sifat ganasnya keluar.
"Lawang Kuning!" bentak Ronggokarapan.
"Kemari cepat!"
Kepala kampung Warnasari yang masih
ketakutan di sudut kedai tersentak kaget dan
terbungkuk bungkuk melangkah menghampiri
kepala rampok itu Begitu kepala kampung itu
sampai di hadapannya tangan Rongpokarapan
segera hendak melayang menamparnya,
namun gerakannya dihentikan oleh seruan
tiba-tiba dari salah seorang anak buahnya!
"Pemimpin! Keningmu!"
Kepala rampok itu berpaling tak mengerti.
"Keningmu!" kini Taliwongso yang bicara
sambil tepuk keningnya sendiri.
Ronggokarapan usap keningnya lalu
memperhatikan tangannya. Hanya keringat
yang dilihatnya menempel di situ. Tak ada
kotoran apa-apa seperti yang disangkanya.
Taliwongso melangkah mendekati dan dengan
suara bergetar dia berkata,
"Ada tiga angka aneh tertera di keningmu."
"Hah, apa …?!" dan Ronggokarapan kembali
memegang keningnya. Mengusapnya berulang
kali. Namun deretan angka 212 itu tetap saja
tak mau hapus.
"Kau jangan main-main Wongso! Angka
keparat apa yang ada di keningku hah?!"
Ronggokarapan marah karena mengira
dipermainkan.
"Demi setan aku tidak main-main. Di
keningmu benat-benar ada angka dua-satu
dan dua. Kalau tak percaya tanyakan pada
anak-anak!"
Kepala rampok itu berpaling pada anak-anak
buahnya. Dan kesemua mereka sama melongo
ketika menyaksikan bahwa di kening pimpinan
mereka saat itu memang terlihat guratan
angka 212. Ronggokarapan mengambil piring
dan mengisinya dengan air putih. Lalu dia
berkaca pada air di atas piring itu. Dinginlah
tengkuk pernimpin rampok ini ketika melihat
bayangan wajahnya sendiri dengan tiga buah
angka hitam pada keningnya. Dia seperti mau
kencing. Selama malang melintang menjadi
orang jahat ada beberapa tokoh golongan
putih yang paling ditakutinya dan
diusahakannya agar jangan sampai bertemu.
Salah satu diantara mereka adalah yang
berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.
Dan hari ini tiada di sangka dia telah
berhadapan bahkan berkelahi dengan
pendekar tersebut. Serta meninggalkan angka
pengenalnya yang angker!
Kepala rampok Kali Bedadung itu kerahkan
tenaga dalamnya dan coba menghapus
tulisan di keningnya. Namun sia-sia saja.
"Sekalipun kulit kepalamu dikelupas, angka-
angka itu tak bakal hilang!" Yang bicara ini
adalah Panji Kenanga.
Ronggokarapan berpaling. Kini amarahnya
ditumpahkannya pada pemuda yang satu ini.
"Pemuda keparat! Sudah saatnya kau musti
mampus!"
Begitu membentak begitu dia menyerang
dengan lepaskan pukulan "wesi hitam" yang
mengeluarkan sinar hitam dan deru ganas.
Meskipun pukulan saktinya itu tadi tidak
mampu menghadapi Pendekar 212 Wiro
Sableng namun Ranggokarapan beranggapan
Panji Kenanga tidak sedigdaya Wiro Sableng
dan pasti konyol dilanda pukulannya itu.
Namun tidak semudah itu merobohkan Panji
Kenanga. Meski dia masih muda dan belum
banyak pengalaman tetapi Brahmana
Lokapala dari gunung Raung telah
menggemblengnya cukup hebat. Ketika
melihat kepala rampok itu lepaskan pukulan
maut Panji Kenanga cepat menghindarkan diri
ke samping dan dari tempat kedudukannya
yang baru pemuda ini membalas dengan satu
tendangan kilat ke arah tulang-tulang iga
lawan.
"Kurang ajar!" maki Ronggokarapan
penasaran bukan main karena bukan saja
serangannya mengenai tempat kosong tapi
juga tidak menyangka kalau lawan bakal
kirimkan seranqan balasan secepat itu.
Dengan sedikit repot dia meliukkan badan ke
kiri dan di lain kejap selarik sinar putih
memapas ke arah kaki Panji Kenanga.
Murid Lokapala itu kaget dan cepat-cepat
menarik pulang tendangannya. Ternyata
Ronggokarapan telah cabut golok besarnya
dan membabatkan senjata itu ke kaki kanan si
pemuda. Ilmu golok kepala rampok ini
memang hebat hingga Panji Kenanga harus
bertindak hati-hati. Meski dia tahu dengan
kegesitan dalam ilmu meringankan tubuh
senjata lawan tak bakal mencelakainya,
namun Panji tak mau main-main lebih lama
dengan penjahat ini. Segera dia keluarkan
seruling perak dari balik pakaiannya dan
pergunakan benda ini untuk menghadapi
senjata lawan. Gerakan-gerakannya yang
gesit, sambaran dan tusukan-tusukan suling
perak yang gencar membuat serangan
Ronggokarapan jadi terbendung. Setiap saat
dia harus berlaku awas waspada. Beberapa
kali pakaiannya hampir terkait ujung suling
perak.
Beberapa jurus berlalu cepat. Permainan golok
Ronggokarapan mulai mengendor bahkan
kacau. Setiap jurus dirinya diburu bahaya.
Akhirnya ketika dia merasa tak mampu
melayani pemuda itu lebih lama maka dia
berteriak beri perintah agar samua anak
buahnya ikut bantu mengeroyok. Kecuali
anggota rampok yang mukanya melesak kena
tendang Wiro Sableng, tujuh orang lainnya
ditambah Randuwongso yang telah siuman
dari pingsannya kini mengurung Panji
Kenanga lalu dengan senjata di tangan
menyerang pemuda itu. Panji maklum
dikeroyok demikian rupa kalau hanya
mengandalkan seruling pendek akan terlalu
besar bahayanya baginya. Dia tak mau
berlaku takabur. Laksana seekor kucing hutan
pemuda ini berkelebat ke kiri. Satu jeritan
terdengar. Tubuhnya mencelat, goloknya
mental ke udara dan secepat kilat disambar
oleh Panji Kenanga. Dengan golok di tangan
kanan dan seruling perak dipindah ke tangan
kiri, murid Brahmana Lokapala ini mainkan
jurus-jurus ilmu pedang tingkat tinggi yang
sudah dikuasainya.
Dalam satu gebrakari saja pemuda itu
berhasil merobohkan seorang pengeroyok dan
membabat putus tangan kiri seorang lainnya.
Namun demikian dia terpaksa melepaskan
golok di tangan kanannya sewaktu empat
golok lawan secara serentak bentrokan
dengan senjatanya. Tiga dari empat golok itu
adalah yang masing-masing dipegang oleh
Ronggokarapan, Taliwongso, dan
Randuwongso.
"Jangan tunggu lebih lama. Cincang keparat
itu sampai lumat!" teriak Ronggokarapan.
Serempak dengan itu lima golok berkelebat
menyerbu Panji Kenanga. Tiba-tiba selarik
sinar biru menderu dan trang … trang … trang!
Tiga pengeroyok terpekik seraya melompat
keluar dari kalangan pertempuran dalam
keadaan terluka parah. Satu diantararrya
adalah Taliwongso. Pembantu kepercayaan
Ronggokarapan ini berdiri membungkuk
sambil pegangi perutnya yang bobol dihantam
pedang "Gajah Biru"
yang kini berada di tangan Panji Kenanga.
Taliwongso tak berumur lama. Dia roboh ke
lantai. Menggetiat beberapa kali lalu tak
bergerak lagi untuk selama-lamanya. Dua
rampok lainnya mengalami nasib sama. Mati
di situ juga dimakan pedang mustika
pemberian Brahmana Lokapala. Randuwongso
seperti orang kemasukan setan ketika
menyaksikan kematian saudaranya. Didahului
satu pukulan tangan kosong dia kirimkan
bacokan ke arah kepala Panji Kenanga.
Namun dengan pedang Gajah Biru di tangan
pemuda itu kini sulit untuk dihadapi. Sekali
Panji mengiblatkan senjata mustikanya
mentallah golok besar di tangan
Randuwongso bersama-sama sebagian
telapak tanganya!
Dengan menjerit kesakitan dan memegangi
tangannya yang kini buntung mengucurkan
darah, Randuwongso melompat keluar dari
kalangan perkelahian. Sisa-sisa rampok yang
mengeroyok dan sejak tadi sesungguhnya
sudah meleleh nyalinya sama-sama melompat
keluar dari kalangan menjauhi Panji Kenanga.
Dengan demikian kini hanya Ronggokarapan
seorang diri yang bertempur melawan Panji
Kenanga. Dan inipun tidak lama. Sesudah
golok besarnya dibabat putus oleh pedang
Gajah Biru kepala rampok ini lari ke pintu dan
memberi abaaba pada anak buahnya untuk
melarikan diri. Yang masih sanggup kabur
tentu saja tidak sia-siakan kesempatan ini.
Mereka tak perduli lagi akan kawan-kawan
mereka yang tertinggal di dalam kedai dan
melolong minta tolong. Sebelum
Ronggokarapan dan anak-anak buahnya yang
kabur lenyap Panji Kenanga masih sempat
berteriak.
"Kalau kalian berani lagi datang ke desa ini
jangan harap bakal dapat ampunan dariku!"
***
DENGAN mengandalkan ilmu lari tingkat
tinggi yang sudah mencapai
kesempurnaannya, Pendekar 212 Wiro Sableng
lari laksana angin. Hampir-hampir sulit untuk
melihat kapan kedua kakinya menjejak tanah.
Dia cuma punya waktu 3 jam untuk harus
mencapai tujuannya. Dalam gelap dan
dinginnya malam dia lari terus seperti tidak
memperdulikan apapun. Di bahu kirinya
sampai saat itu dia masih memanggul sosok
tubuh gadis baju merah yang berada dalam
keadaan pingsan. Siapakah gerangan adanya
gadis cantik ini? Kenapa berada dalam
keadaan begitu rupa dan lebih lanjut
kemanakah sebenarnya Wiro Sableng saat itu
membawanya?
Untuk menjawab pertanyaan di atas kita
kembali pada suatu tempat kira-kira setengah
hari perjalanan jauhnya di tenggara desa
Warnasari. Saat itu sekitar dua jam setelah
matahari tenggelam.
Sejak setengah bulan yang lalu Pendekar 212
Wiro Sableng telah mendengar terjadinya
penculikanpenculikan serta pembunuhan yang
dilakukan secara kejam oleh manusia-
manusia iblis yang menyebut dirinya
Hulubalang-hulubalang Darah. Sesuai dengan
tujuan hidup serta maksud petualangannya di
dunia persilatan yaitu membela kaum
tertindas, mempertahankan kebenaran serta
menegakkan keadilan dan di lain pihak
membasmi setiap manusia jahat penimbul
malapetaka, maka Pendekar 212 segera
melakukan penyelidikan. Pertama sekali dia
harus mengetahui di mana letaknya Istana
Darah itu. Tekadnya sudah bulat.
Istana Darah serta siapapun begundal-
begundal yang ada di dalamnya musti
dimusnahkan. Jika tidak dunia persilatan
akan mengalami malapetaka besar!
Dalam perjalanan inilah, setelah menyeberangi
sebuah sungai dan menyusuri hutan kecil di
tepi sawah yang terletak 25 kilometer di
tenggara Warnasari, Wiro mendengar derap
kaki kuda di belakangnya. Segera dia
menghindar ke tepi jalan. Satu perasaan
mendorongnya untuk menyelinap bersembunyi
di balik sebatang pohon sebelum derap kaki-
kaki kuda itu datang lebih dekat.
Tak lama kemudian lewatlah seekor kuda
coklat berbelang putih, ditunggangi oleh
seorang dara berpakaian merah. Untuk
beberapa ketika pendekar kita dibikin
terpesona oleh kecantikan paras gadis yang
tak dikenal itu. Namun mata Wiro yang tajam
melihat bahwa di belakang kecantikan wajah
si gadis terdapat bayangan rasa cemas yang
amat sangat. Siapakah gerangan dara berbaju
merah yang menunggangi kuda secepat itu?
Kecemasan apa pula yang mencekam dirinya?
Saat Wiro berpaling cepat-cepat ke jurusan
kiri karena di ujung jalan terdengar derap kaki
kuda. Sepasang bola mata Pendekar 212
menyorotkan sinar aneh ketika melihat kuda
dan penunggang yang muncul dari ujung jalan
itu. Kuda itu berwarna merah, penunggangnya
juga mengenakan pakaian serba merah. Di
bawah topinya yang berbentuk tarbus merah
kelihatan wajahnya yang seperti dicat merah
menyeramkan. Bau amat busuk menebar
waktu penunggang kuda ini melewati pohon di
belakang mana Wiro Sableng mengendap.
"Pasti ini adalah salah seorang Hulubalang
Istana Darah," kata Wiro dalam hati,
"tampaknya dia mengejar gadis tadi." Tidak
menunggu lebih lama Wiro keluar dari balik
pohon dan dengan mempergunakan ilmu
larinya segera mengejar dari belakang. Di satu
pendakian jarak antara gadis berkuda coklat
dan pengejarnya hanya tinggal beberapa
tombak saja. Si muka merah berteriak
memerintah agar orang yang dikejar berhenti.
Sebagai jawaban si gadis melambaikan
tangan kanannya ke belakang. Terdengar
suara desingan halus. Kira-kira dua lusin
senjata rahasia melesat ke arah si muka
merah.
"Kurang ajar!" desis si muka merah seraya
lambaikan ujung lengan pakaiannya.
Serangkum angin menderu dan
berpelantinglah senjata-senjata rahasia yang
menyerangnya. Di lain kejap manusia itu
memukulkan tangan kanannya. Di lain kejap
Wiro Sableng melihat bagaimana kuda coklat
putih yang ditunggangi sang dara roboh di
puncak pendakian dan terguling-guling ke
bawah. Gadis berbaju merah berhasil
selamatkan diri dengan jalan melompat.
"Manusia puntung neraka!" bentak sang dara
begitu pengejarnya sampai di hadapannya.
"Kau kira aku takut padamu?" Lalu dari balik
bajunya dia keluarkan segulung cambuk.
Si muka merah tertawa mengekeh.
"Kalau kau tidak keras kepala kau bakal
mendapat tempat yang bagus di Istana Darah
bersamaku! Kecuali kalau memang sengaja
mencari celaka!"
"Manusia terkutuk! Kaulah yang bakal celaka!"
hardik sang dara. Lalu terdengar suara
laksana petir menyambar ketika dia
hantamkan cambuknya ke arah batang leher
si muka merah.
"Gadis tolol! Adatmu tidak beda dengan kau
punya guru! Kalau hari ini aku belum dapat
membuat perhitungan dengan si keparat tua
itu, biar kau yang jadi muridnya harus
menerima celaka lebih dulu!"
Sekali si muka merah itu gerakkan tangannya
maka dia berhasil menyentak lepas cambuk
yang saat itu menyambar batang lehernya!
Gadis baju merah terkejut bukan main.
Gerakan pukulan cambuk yang tadi
dilepaskannya adalah satu serangan kilat
yang selama ini selalu mengenai sasarannya.
Tapi sekali ini bukan saja gagal malah
senjatanya kena dirampas lawan! Hati sang
dara menjadi cemas bukan main. Sementara
itu si muka merah sudah melompat turun dari
kudanya. Si gadis dengan nekad kirimkan
serangan kedua berupa pukulan tangan
kosong. Namun sebelum dia sempat bergerak
dilihatnya segulung asap biru keluar dari
mulut si muka merah dan menghembus ke
arahnya.
"Akh … "
Hanya itu suara yang bisa dikeluarkan si
gadis lalu tubuhnya melosoh dan terhantar ke
tanah. Dikeluarkannya seluruh kekuatannya
yang ada, berusaha agar jangan jatuh
pingsan. Sementara itu pemandangannya
menjadi gelap, wajahnya mulai pucat dan
bibirnya bergetar, mulai berubah warna
rnenjadi kebiru-biruan. Pakaiannya robek-
robek ketika tersentuh asap biru aneh tadi. Si
muka merah tertawa gelakgelak.
"Gadis! Umurmu hanya tinggal lima jam!
Menjelang kematianmu kau bakal merasakan
siksaan luar biasa. Urat-urat dan saluran
darah dalam tubuhmu laksana digigit oleh
ratusan semut rangrang.
Ha…ha…ha…!"
Suara gelak tawa si muka merah serta merta
terhenti ketika di belakangnya terdengar satu
bentakan.
"Manusia terkutuk! Kejahatanmu lebih
terkutuk dari iblis!"
"Heh! Setan dari mana magrib-magrib begini
berani mendampratku?" ujar si muka merah
seraya memalingkan kepala. Diam-diam dia
merasa terkejut karena adalah aneh baginya
kalau ada seorang berada di tempat itu tanpa
dia sempat mengetahui lebih dulu.
"Kau apakan gadis itu?!"
Si muka merah mengerenyit dan memandang
tajam-tajam pada seorang pemuda berambut
gondrong berpakaian putih yang tegak
delapan langkah di hadapannya. Karena hari
sudah agak gelap dia tidak dapat melihat
jelas wajah si pemuda namun dia yakin belum
pernah mengenal pemuda ini sebelumnya.
Siapakah sebenarnya manusia berpakaian
serba merah dan yang mukanya dicat merah
ini.
Dari ciri-cirinya sudah dapat dipastikan
bahwa dia adalah salah seorang Hulubalang
Istana Darah dan yang satu ini merupakan
Hulubalang Darah Kesatu. Hulubalang Darah
Ketujuh saja sudah kita saksikan kehebatan
ilmunya, apalagi Hulubalang Darah Kesatu ini.
Nyatanya meskipun gadis berbaju merah tadi
adalah murid seorang sakti mandraguna
namun dengan mudah Hulubalang Darah
Kesatu merobohkannya. Di lain pihak siapa
pula adanya pemuda berambut gondrong
yang tegak di depan Hulubalang Darah Kesatu
saat itu? Dia bukan lain adalah Pendekar 212
Wiro Sableng!
"Bedebah! Majulah ke tempat lebih terang
agar aku dapat memastikan apakah kau
manusia atau benarbenar setan kesasar!"
Hulubalang Kesatu membentak.
"Kau apakan gadis itu?" Wiro mengulangi
pertanyaannya.
Hulubalang Darah Kesatu kertakkan rahang.
"Dirimu punya sangkut paut dengan dia?"
Pendekar 212 menyeringai.
"Yang aku tahu…," kata si gondrong dari
Gunung Gede ini, "ialah bahwa aku punya
sangkut paut dengan kejahatan laknatmu!"
Habis berkata begitu Wiro Sableng menerjang
ke muka serta melepaskan pukulan "kunyuk
melempar buah."
Hulubalang Darah Kesatu tak menyana kalau
lawan semuda itu bakal memiliki pukulan
meyakinkan begitu rupa. Kontan dia keluarkan
pekik garang dan tubuhnya lenyap dari
pandangan.
"Keparat! Mau lari ke mana bangsat merah
ini!" maki Wiro dalam hati dan tiba-tiba saja
dia dikejutkan oleh berkelebatnya lima jari
tangan berkuku-kuku panjang. Hampir saja
Pendekar 212 mendapat celaka dalam
gebrakan pertama itu kalau dia tidak lekas-
lekas membuang diri ke samping. Karena hari
sudah mulai gelap Wiro tak sempat melihat
bahwa lawannya memiliki sepuluh jari tangan
berwarna merah yang ditumbuhi kuku-kuku
panjang macam cakar garuda!
Bukan main marahnya Hulubalang Darah
Kesatu ketika melihat bagaimana serangannya
yang bernama "lima cakar sakti meremas
bumi" dapat dielakkan oleh lawannya yang
disangkanya hanya seorang manusia tolol
mau mencari mati.
"Manusia edan! Kau benar-benar terlalu
berani mgncari mati! Terlalu gegabah mencari
urusan denganku! Atau kau belum tahu siapa
aku?!" Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa
mengejek.
"Manusia muka merah! Aku cukup kenal siapa
kau! Dan perlu kau ketahui sejak lama aku
punya niat membasmi Hulubalang-hulubalang
keparat macammu dan memusnahkan Istana
Darah. Kau adalah korbanku yang pertama!"
Mendengar ucapan itu Hulubalang Darah
Kesatu tertawa bekakakan. Sambil menepuk
dada dia berkata, "Dalam Istana Darah, 24
tokoh-tokoh sakti dan terkenal sudah
menemui kematiannya. Hari ini seorang bocah
bau air tetek mimpi hendak menghancurkan
Istana Darah. Sungguh aneh dunia ini. Ha…
ha ha … !"
"Mimpi atau bukan kau terimalah pukulanku
ini!" teriak Wiro lantang. Begitu tangan
kanannya digerakkan menderulah angin
dahsyat laksana topan prahara mengamuk.
Pohon-pohon di sekitar situ berderak patah
dan tumbang dengan mengeluarkan suara
riuh.
Gadis baju merah yang terhampar di tanah
terguling ke dekat pematang sawah. Itulah
pukulan "benteng topan melanda samudera"
yang telah dilepaskan Wiro Sableng dengan
mengandalkan setengah bagian tenaga
dalamnya.
Sebagai tokoh berkepandaian tertinggi di
antara Hulubalang-hulubalang Istana Darah,
Hulubalang Darah Kesatu kaget bukan main
menyaksikan pukulan pemuda tadi. Sepasang
lututnya terasa bergetar dan sebelum
tubuhnya ikut tersapu oleh pukulan lawan
cepat-cepat dia mengerahkan tenaga
dalamnya ke kaki hingga walau
bagaimanapun hebatnya serangan Wiro
namun kedua kaki-nya laksana gunung karang
menancap dalam tanah, tak sanggup
digetarkan sedikitpun!
"Ha … ha .., apa sudah seluruh tenaga
dalammu kau keluarkan?" ejek Hulubalang
Darah Kesatu. Dia sama sekali tidak menduga
kalau Wiro baru kerahkan setengah bagian
saja dari kekuatan tenaga dalam yang
dimilikinya. Murid Sinto Gendeng ini jadi
penasaran. Didahului satu suitan melengking
memecah langit di malam gelap itu, Wiro lipat
gandakan tenaga dalamnya. Hulubalang
Darah Kesatu menjadi kaget ketika
dirasakannya bagaimana kedua kakinya
mendadak menjadi gontai dan tubuhnya
perlahan-lahan bergetar terhuyung-huyung.
Hulubalang Darah keluarkan bentakan
menggeledek. Kedua tangannya dipukulkan ke
depan. Dua larik sinar merah yang bukan lain
merupakan semburan api panas luar biasa,
menderu melabrak ke arah Wiro Sableng.
Pendekar 212 tidak berlaku ayal. Kedua
tangannya segera pula dipukulkan ke depan.
Maka terdengarlah suara berdentum. Bumi
laksana digulung lindu. Pohon-pohon
bertumbangan. Hulubalang Darah Kesatu
terguling-guling di tanah. Dia mencoba
bangun dengan cepat tapi sempoyongan dan
jatuh lagi. Dadanya sebelah dalam mendenyut
sakit. Cepat-cepat dia duduk bersila dan
pejamkan mata "mengatur jalan darah serta
nafas dan mengalirkan tenaga dalam dari
pusar ke dada. ***
SEWAKTU bentrokan dua pukulan sakti itu
terjadi, Pendekar 212 Wiro Sableng merasakan
tanah yang dipijaknya laksana digoncang
gempa. Kedua kakinya melesak sampai lima
senti. Lututnya goyah dan dalam keadaan
tubuh terhuyung-huyung akhirnya dia jatuh
duduk di tanah. Meskipun semburan dua
gelombang api lawan sanggup
dimusnahkannya namun sekujur kulit
tubuhnya terasa perih oleh hawa panas luar
biasa pukulan lawan.
Seperti Hulubalang Darah Kesatu, pendekar
kita inipun cepat-cepat duduk bersila untuk
mengatur jalan nafas dan darah serta
mengalirkan tenaga dalam ke bagian-bagian
tubuh terpenting. Begitu keadaannya pulih
kembali Hulubalang Darah Kesatu cepat
melompat dan berdiri bertolak pinggang.
Sepasang matanya berapi-api memandang
tak berkedip pada Pendekar 212. Wiro sendiri
saat itu sudah berdiri pula dan menunggu
dengan penuh waspada.
"Rambut gondrong!" tegur Hulubalang Darah
Kesatu sambil bertolak pinggang. "Kulihat kau
barusan melepaskan pukulan benteng topan
melanda samudra! Apa hubunganmu dengan
Sinto Gendeng dari Gunung Gede?!"
Wiro Sableng diam-diam terkejut melihat
lawan mengenali ilmu pukulan serta nama
gurunya. Tapi dia tenang-tenang saja dan
tidak memperlihatkan rasa terkejutnya itu. Tak
dapat tidak si muka merah ini pasti orang
tokoh silat terkenal dan berusia lanjut.
Memang sebenarnya Hulubalang Darah Kesatu
sudah berusia harnpir 80 tahun. Namun
karena mukanya dicat dengan darah yang
telah membeku maka keriput-keriput
ketuaannya tidak kelihatan. Demikian pula
rambutnya yang seharusnya berwarna putih
macam saiju selain tertutup tarbus juga telah
dicelup dengan darah.
Puluhan tahun silam Hulubalang Darah
Kesatu dikenal dengan nama Waranawikualit
dan merupakan tokoh silat kelas satu yang
disegani di kawasan Jawa Barat. Namun
karena sikapnya yang culas dan suka
berkhianat terhadap kawan sendiri, tokoh-
tokoh silat golongan putih boleh dikatakan
rata-rata membencinya. Akibat tidak
diterimanya dirinya oleh kaum putih, maka
makin lama Waranawikualit semakih jauh
tersesat ke dalam dunia hitam dan akhirnya
melalui liku-liku pasang surut dunia persilatan
dia sampai di Jawa Timur dan memegang
jabatan Hulubalang Darah Kesatu di Istana
Darah yang menjadi sumber malapetaka sejak
akhir-akhir ini.
Wiro Sableng tertawa bergumam.
"Kau kenal ilmu pukulanku tadi, muka merah?
Bagus … bagus sekali! Dan lebih bagus lagi
kalau kau kenal nama guruku. Tapi apa kau
sudah kenal jalan ke neraka …?"
Paras Hulubalang Darah menjadi tambah
marsh mendengar kata-kata itu. Sebaliknya
Wiro Sableng tertawa gelak-gelak. "Bilang
saja terus terang bahwa kau belum tahu jalan
ke neraka. Tuan besarmu ini pasti akan
menunjukkan padamu!"
"Bedebah!" bentak Hulubalang Darah Kesatu
merah bukan main diejek begitu rupa. Sepuluh
jari tangannya yang berkuku panjang
dipentang. Didahului oleh gelegar lengekingan
yang keluar dari tenggorokannya, manusia ini
menjentikkan ke sepuluh jari tangannya dan
sepuluh jalur asap yang saling bersilangan
menderu. Silangan-silangan itu semakin
banyak karena jalur asap merah itu cepat
sekali memecah menjadi puluhan hingga
dalam tempo sekejap saja jalur-jalur asap
merah itu tak bedanya seperti sebuah jaring
yang menyerbu ke arah Pendekar 212 Wiro
Sableng!
"Ilmu setan apa pula ini!" kata Wiro dalam
hati lalu lepaskan satu pukulan ke arah jaring
asap merah. Hebatnya jaring asap merah itu
bukannya punah melainkan pecah dan
semakin melebar serta semakin cepat
menyambar ke arah Wiro. Pemuda kita
keluarkan siulan nyaring. Melompat ke
belakang sejauh satu tombak dan dari tempat
kedudukan yang baru melepaskan satu
pukulan tangan kosong yakni pukulan "kunyuk
melempar buah". Namun pukulan inipun
percuma saja karena semakin membuat
tambah banyaknya jalurjalur asao merah yang
berarti semakin melebar pula dan siap
menelan Wiro Sableng. Hulubalang Darah
Kesatu tambahkan kekuatan tenaga
dalamnya. Dengan mengeluarkan suara
menderu asap merah bergerak tambah cepat
dan kini hanya tinggal beberapa jengkal saja
lagi.
Wiro cepat angkat kedua telapak tangannya
dan memompa tenaga dalam. Di antara deru
serangan asap merah, terdengar pula deru
dua gelombang angin menyapu ke depan.
Pukulan "dinding angin berhembus tindih
menindih" yang dilepaskan Pendekar 212
untuk sesaat berhasil membendung serangan
yang aneh berbahaya itu. Namun ketika
Hulubalang Darah melipat gandakan tenaga
dalamnya maka runtuhlah benteng
pertahanan lawan dan secepat kilat jaring
asap merah menyambar tubuhnya sebelah
kiri! Pemuda ini terpukul dan terhuyung
sementara dari kanan ujung jaring dengan
cepat datang pula menyambar. Tentu saja
Wiro tak mau mendapat hantaman kedua kali.
Karena hentaman pada tubuh sebelah kiri
telah membuat bagian tubuh di sebelah situ
menjadi kaku tak bisa digerakkan!
Didahului oleh siulan nyaring Wiro hantamkan
tangan kanannya ke arah jaring. Sinar putih
menyilaukan berkelebat. Di belakang sana
Hulubalarg Darah Kesatu terdengar keluarkan
seruan tertahan. Pukulan "sinar matahari"
yang dikeluarkan Wiro bukan saja
menghancurleburkan jaring maut yang amat
diandalkannya, tapi hampir saja menghantam
lengannya jika dia tidak buru-buru
menghindar.
Wiro kirimkan pukulan tangan kiri sebagai
susulan namun saat itu Hulubalang Darah
telah lenyap dari tempatnya, lenyap
bersamaan dengan musnahrrya jaring asap
aneh tadi.
Wiro kertakkan rahang tanda geram. Dia
kemudian ingat pada gadis baju merah yang
tadi tergulingguling akibat angin pukulan.
Cepat-cepat dia menuju pematang sawah.
Namun untuk sesaat langkahnya terhenti
karena saat itu dilihatnya dua sosok benda
hitam terhampar di tengah jalan. Ketika
diteliti ternyata adalah dua ekor kuda. Yang
pertama kuda coklat belang putih milik si
gadis. Satunya berwarna merah milik
Hulubalang Darah. Ternyata sebelum kabur
Hulubalang Darah sempat membunuh kedua
binatang yang tak berdosa itu.
Wiro dapatkan gadis baju merah terhantar di
tepi pematang sawah. Sekelompok akar pohon
mengganjal tubuhnya hingga tak sampai
kecemplung ke dalam lumpur sawah. Wiro
mendukung tubuhnya dan menyandarkan
pada sebatang pohon. Kedua mata si nadis
terpejam. Bibirnya yang membiru sedikit
terbuka. Mukanya pucat pasi. Pakaiannya
robek-robek.
Wiro menarik nafas sesak. Dipegangnya kedua
lengan si gadis. Dia maklum kalau dalam
tubuh gadis itu mengendap racun jahat luar
biasa yang bakal menamatkan riwayatnya jika
tidak lekas rnendapatkan pertolongan.
Aliran tenaga dalam Wiro menghangati tubuh
dara itu. Namun kemudian dirasakan oleh si
pemuda itu bagaimana racun yang
mengendap dalam tubuh si gadis
memusnahkan hawa hangat itu dan walau
bagaimanapun dicoba untuk mengimbanginya
tetap saja gagal. Wiro ingat pada Kapak Maut
Naga Geni 212 yang tidak mempan segala
macam racun. Cepat dikeluarkannya senjata
itu dan hulunya yang berbentuk kepala naga
serta terbuat dari gading digenggamkannya ke
tangan dara berbaju merah. Hawa panas
mengalir ke segenap bagian tubuh sang dara,
namun tak lama kemudian kembali sirna.
"Racun jahat luar biasa!" kata Wiro dan
menjacli bingung bagaimana caranya
menyelamatkan jiwa gadis ini.
Tiba-tiba didengarnya si gadis menggerang.
Di antara erangan itu keluar ucapan terpatah-
patah. "Guru … mu … muridmu mohon maaf
dan direlakan. Mung… mungkin kita … kita tak
bisa bertemu la … lagi…"
Wiro ingat pada beberapa butir obat yang
dibawanya. Cepat-cepat benda ini
dikeluarkannya dan dimasukkannya ke dalam
mulut si gadis. Gadis baju merah terkejut dan
hendak menyemburkan obat itu.
"Jangan buang. Telan…!" kata Wiro. "Mungkin
obatku itu bisa menolong… " Si gadis coba
membuka kedua matanya. Tetapi tak mampu.
"Telanlah cepat. Siapa tahu bisa menolong."
Dengan obat masih dalam mulut si dara
bertanya, "Kau … kau siapa yang hendak
menolongku …?"
"Jangan habiskan waktu dengan segala
pertanyaan tak berguna. Telan obat itu
cepat."
Sang dara agak meragu sesaat lalu gelengkan
kepalanya. "Percuma…" desisnya.
"Percuma atau tidak telan dulu," ujar Wiro.
Akhirnya si gadis menelan obat itu. Sesaat
kemudian dia berkata lagi. "Tak ada guna …
percuma saja. Ra… racun yang mengindap di
tu … buhku adalah racun waja biru. Hanya
dua orang yang bisa menyelamatkanku. Tapi…
tak mungkin… "
"Siapa kedua orang itu?" Wiro mengulangi
pertanyaannya.
"Waranawikualit …," bisik si gadis.
"Siapa dan di mana tempatnya?"
"Orangnya manusia muka merah yang tadi
menyemburkan racun itu padaku …"
Wiro gigit bibir. Tentu saja manusia terkutuk
itu tak bakal mau memberi pertolongan. "Yang
satunya lagi?" tanya Wiro kemudian.
"Gu… ruku sendiri… "
"Di mana beliau sekarang?"
Sang dara tarik nafas sesak. "Tak mungkin …,"
katanya perlahan.
"Apa yang tak mungkin …?"
"Tak mungkin kau bisa menolongku … "
"Kenapa tidak mungkin?" tanya Wiro tak
sabaran.
"Tempatnya jauh dari sini. Sebelum sampai
aku sudah mati di … tengah … jalan … "
"Kita harus mencoba. Katakan di mana
tempat gurumu," Wiro mendesak.
"Danau Jembangan," menerangkan si gadis.
Wajahnya semakin pucat. Tiba-tiba mulutnya
membuka lebar. Sikapnya seperti orang mau
muntah. Tapi yang keluar, dari mulutnya
adalah satu teriakan yang mengerikan.
Tubuhnya kemudian miring ke kanan dan
hampir roboh ke tanah jika tidak lekas
dipegang oleh Wiro. Pemuda ini terkejut.
Menyangka si gadis sudah menemui ajal. Tapi
ketika diperiksa ternyata cuma pingsan.
Danau Jembangan memang jauh dari situ.
Orang biasa dengan menunggang kuda
setengah hari baru akan sampai ke situ.
Namun Wiro tidak kawatir. Dengan
mengandalkan ilmu lari "seribu kaki" dia yakin
bisa sampai ke sana paling lama dalam
tempo empat jam. Karenanya tanpa
membuang waktu lagi murid Sinto Gendeng ini
segera memanggul tubuh si gadis dan
meninggalkan tempat itu menuju ke utara.
Dalam perjalanan menuju Danau Jembangan
itulah Wiro melewati kampung Warnasari.
Dengan perut kosong dan tubuh letih dia
memutuskan untuk mampir ke kedai Ki Sepuh
Bawean yang justru pada saat itu tengah
didatangi oleh gerombolan Ronggokarapan
hingga terjadi pertempuran yang membawa
korban jiwa. ***
DANAU Jembangan terletak di satu dataran
randah yang dikelilingi oleh hutan bakau. Di
bagian timur danau ada sebuah rakit dari
rotan-rotan besar. Di atas rakit ini berdiri
sebuah bangunan ' tinggi macam menara
yang keseluruhannya juga terbuat dari rotan.
Dengan tubuh basah mandi keringat serta
nafas memburu Wiro Sableng datang berlari
dari jurusan barat. Pada saat itu di atasnya
terdengar suara pekik aneh. Ketika dia
mendongak dilihatnya seekor burung elang
merah bertengger di ujung ranting sebatang
pohon. Sepasang matanya yang hijau
menyorot tajam ke arah Wiro dan berkilai-kilai
ditimpa sorotan sinar matahari yang baru
terbit.
"Aneh," kata Wiro dalam hati. "Sejak dinihari
tadi burung itu terbang mengikutiku."
Tiba-tiba elang itu kembali memekik keras
menyakitkan telinga. "Hebat sekali suara
pekiknya," kata Wiro pula. Lalu tanpa
memperdulikan lagi binatang itu dia segera
lari ke jurusan timur danau. Di atasnya
kembali elang merah terbang mengikuti dan
terus-terusan mengeluarkan suara pekikan
bising. "Binatang celaka ini mengganggu
saja," kata Wiro mulai kesal. Sambil itu
digerakkannya tangannya ke atus untuk
memukul namun sesuatu mendadak meluncur
menyambar kedua kakinya, membuatnya
terkejut dan cepat melompat. Ketika diteliti
ternyata serumpun akar bakau hampir saja
menyerandungnya.
Ini adalah satu keanehan. Semula Wiro
menyangka yang meluncur ke arah kakinya itu
tadi adalah ular namun nyatanya akar bakau.
Dapatkah tanaman yang tidak memiliki daya
gerak itu meluncur aneh demikian rupa?
Sementera itu di atas kepalanya elang merah
masih terus terbang berputar-putar sambil
tiada hentinya berkuik-kuik. Lagi kebingungan
begitu tiba-tiba satu sambaran angin
menerpanya dari belakang.
Wiro cepat melompat menghindarkan diri.
Untuk kedua kalinya pula pendekar ini dibuat
terkejut karena sambaran angin keras tadi
ternyata disebabkan oleh batang-batang
pohon bakau yang secara aneh berjatuhan ke
tanah.
"Kalau tidak ada yang mengendalikan
mustahil pohon-pohon ini bisa bergerak," pikir
Wiro. Dia memandang berkeliling namun tak
seorangpun kelihatan. Akhirnya dengan jalan
kaki biasa Wiro lanjutkan perjalanannya
menuju bangunan rotan di tepi timur danau.
Sejarak dua puluh langkah dari bangunan itu
tiba-tiba di sekelilingnya terdengar suara
menderu. Pohonpohon bakau yang berjajaran
di tempat itu bergerak seperti tangan-tangan
gurita, menggelung ke arah tubuh Wiro
Sableng!
"Kurang ajar! Apa-apaan ini?!" seru Wiro lalu
dengan cepat menghantamkan tangan
kanannya melepas pukulan "benteng topan
melanda samudera". Serta merta tanaman
yang hendak menjirat tubuhnya mental pecah-
pecah. "Gila!" maki Wiro sambil garuk-garuk
kepalanya.
Semakin dekat ke bangunan di tepi danau
samekin waspada dia. Tapi nyatanya sampai
jarak lima langkah dari bangunan rotan itu
tidak terjadi apa-apa. Dengan cepat
ditelitinya keadaan. Satu-satunya jalan
masuk adalah sebuah pintu yang terletak di
sebelah
atas bangunan. Jarak pintu dengan tepi
danau hanya tujuh tornbak. Ini bukan satu hal
yang sulit bagi Wiro untuk melompat masuk
ke situ sekalipun dengan memanggul tubuh
gadis yang pingsan di bahu kirinya. Namun
ketika dia hendak melompat sejenak hatinya
menjadi bimbang. Mungkinkah dia telah
datang ke tempat yang salah. Mungkin danau
di hadapannya ini bukan Danau Jembangan.
Lalu apa artinya semua rintangan-rintangan
aneh yang barusan dialaminya?
Setelah menetapkan hati, dengan
mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya,
laksana seekor burung Wiro Sableng
melompat ke udara den melayang ms nuju
pintu di puncak bangunan rotan. Namun
sebelum dia mencapai pintu tersebut, dari
samping berketebat satu bayangan merah
yang langsung menyambar ke arah lehernya!
Dalam terkejut yang amat sangat Wiro
Sableng masih sempat memiringkan tubuh
namun daya lesatnya ke atas sudah agak
berkurang hingga mau tak mau pendekar ini
terpaksa melompat ke sampirg dan
mempergunakan sebuah cabang pohon untuk
menjejakkan kaki lalu melesatkan tubuhnya
kembali ke udara. Rasa penasaran mendapat
serangan yang aneh itu membuat Wiro marah
bukan main. Lebih-lebih ketika diketahuinya
bahwa yang menyerang temyata adalah elang
marah yang rupanya masih terus
mengikutinya.
Dan saat itu dari arah atas dilihatnya
binatang itu menukik tajam. Jari-jarinya yang
berkuku pinjang tajam terpentang lebar
sedang paruh lurus siap untuk mengirimkan
satu patukan keras!
"Binatang celaka ini kalau tidak dilenyapkan
bisa bikin aku susah," kata Wiro geram lalu
memukulkan tangannya ke atas, melancarkan
pukulan "kunyuk melempar buah."
Namun untuk kesekian kalinya pendekar kita
ini melengak. Dengan satu gerakan cekatan
elang merah itu berkelit mengelakkan pukulan,
lalu dengan kecepatan luar biasa berbalik
kembali menyambar ke arah perut Wiro!
"Kurang ajar! Jangan harap kali ini kau bisa
selamat!" kata Wiro dan bersiap lepaskan satu
pukulan lagi. Tiba-tiba dari puncak bangunan
berbentuk menara yang terbuat dari rotan
terdengar seruan nyaring.
"Sultan! Hentikan seranganmu. Dan kau
pemuda asing masuklah kemari!"
Elang merah yang hendak menyerang Wiro
keluarkan suara menguik keras lalu berbalik
cepat dan hinggap di puncak menara
bangunan. Terheran-heran Wino melesat
masuk ke pintu. Ruangan di puncak rnenara
rotan itu tidak seberapa besar dan kalau saja
dia tidak lekas-lekas menahan daya dorongan
tubuhnya hampir saja dia menabrak seorang
lelaki tua yang terbaring di atas sebuah
tempat tidur rendah terbuat dari rotan.
"Pemuda asing, kau siapakah! Apa
kedatanganmu kemari membawa maksud baik
atau buruk? Dari sambaran angin yang tak
seimbang yang keluar dari gerakanmu waktu
masuk ke sini, kau tentu membawa sesuatu di
bahu kirimu!"
Saking terkejutnya Wiro Sableng sampai
berdiri dengan mulut menganga. Betapakan
tidak karena dilihatnya orang tua yang
barusan bicara itu buta kedua belah matanya!
Dan bukan itu saja, orang tua yang berambut
putih bermata buta ini, buntung kedua
kakinya sebatas lutut sedang kedua
tangannya terbelenggu oleh rantai besar
berwarna biru. Dalam keadaan begitu rupa
bagaimana dia bisa berada di bangunan yang
tinggi itu!
"Orang tua, sebelumnya aku ingin tanya dulu.
Apakah danau di luar sana adalah Danau
Jembangan?" Wiro bertanya untuk
mendapatkan kepastian.
"Betul!" jawab si orang tua pendek. Lalu
sambungnya. "Cepat terangkan siapa kau.
Apa yang kau bawa dan apa maksudmu
kemari. Jika membawa niat buruk sebaiknya
lekas-lekas angkat kaki dari sini!"
"Namaku Wiro. Aku … "
"Tunggu dulu!" orang tua buta itu cepat
memotong. "Apakah kau bukannya si Sableng
yang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212?"
Wiro terkesima. "Kira-kira begitulah …,"
katanya menyahuti.
Tiba-tiba orang tua itu berseru girang dan
sekali bergerak tahu-tahu dia sudah duduk di
atas pembaringan rotan.
"Lekas tolong aku! Keluarkan Kapak Naga
Genimu dan potonglah rantai yang
membelenggu kedua tanganku ini. Bertahun-
tahun aku menunggu kedatanganmu. Kini aku
bebas! Bebas! Karena hanya kapak saktimu
itu yang sanggup memotong putus belenggu
celaka ini!"
Wiro berdiri bingung dan si orang tua kembali
menyuruhnya agar segera mengeluarkan
Kapak Naga Geni 212. Dengan hati sedikit
meragu karena kawatir orang tua itu akan
menipunya, akhirnya Wiro keluarkan
senjatanya dari balik pakaian. Sinar putih
menerangi ruangan rotan itu. Dengan air
muka berseri-seri si orang tua mengulurkan
kedua tangannya yang terbelenggu.
"Potonglah cepat!" katanya.
Wiro maju mendekat.
Dalam keadaan lebih dekat begitu si orang
tua dapat merasakan hembusan nafas gadis
berbaju merah yang pingsan di bahu kiri Wiro.
"Hai!" seru orang tua itu. "Kau memanggul
seseorang di bahu kirimu. Siapa dia!"
"Aku sendiri tak tahu namanya. Tapi dia
mengaku muridmu… "
Si orang tua kerenyitkan kening.
"Apakah dia seorang dara berpakaian serta
merah?" tanya si orang tua.
"Apa yang telah terjadi atas dirinya?"
Maka dengan cepat Wiro menuturkan
bagaimana dia bertemu pertama kali dengan
sang dara dan apa yang kemudian terjadi
atas dirinya.
"Racun waja biru!" desis orang tua tersebut.
"Racun waja biru! Kurang ajar si
Waranawikualit! Rupanya dia sudah menjadi
kaki tangan raja Rangrang Srenggi. Memang
sudah sejak lama aku mendengar kedurjanaan
mereka!" Rahang orang tua itu nampak
menggembung tanda dia marah luar biasa.
"Siapa Rangrang Srenggi?" tanya Wiro pula.
"Sudah. Jangan banyak tanya dulu. Lekas
putuskan belenggu besi ini. Yang panting
muridku harus diselamatkan jiwanya!"
Wiro baringkan gadis yang sejak tadi
dipanggulnya di atas pembaringan di samping
si orang tua. Lalu mengayunkan Kapak Naga
Geni 212. Sekali tebas saja dengan
mengeluarkan suara berkerontang maka
putuslah rantai besi beser berwarna biru yang
sebelumnya mengikat sepasang lengan orang
tua itu.
Sambil tertawa gelak-gelak orang tua itu
acungkan kedua tangannya ke atas dan
berkata, "Aku bebas! Aku bebas kini! Rangrang
Srenggi, kau bakal menerima pembalasanku
…!"
Ucapannya itu terputus ketika dia ingat pada
muridnya. Dia beringsut ke tempat muridnya
terbaring. Dengan jari-jari tangannya
disentuhnya bibir gadis itu.
"Racun jahat .., racun jahat," desisnya. "Kau
tunggu pembalasanku Rangrang Srenggi!
Awas kau Waranawikualit!"
Orang tua itu membungkuk dan meraba-raba
ke bawah tempat tidur. Dari bawah tempat
tidur rotan diambilnya sebuah botol yang
amat kecil. Ditimangnya botol itu sebentar
lalu tertawa gelak-gelak.
"Untung … untung dajal-dajal bernama
Waranawikalit dan Rangrang Srenggi itu tidak
mengetahui tempat penyimpanan obat ini.
Untung!"
Orang tua ini kemudian membungkuk dan
menempelkan bibirnya ke bibir muridnya.
Setelah mengerahkan tenaga dalamnya lalu
dia menyedot. Sesaat berselang mulutnya
penuh dengan ludah berbusa biru. Ludah itu
dimuntahkannya lalu kembali dia menyedot
bibir muridnya. Demikian sampai tiga kali
berulang-ulang. Setelah itu dari dalam botol
kecil diambilnya tiga butir obat berwarna biru:
Setelah menotok bagian leher dan perut
muridnya beberapa kali baru obat itu
dimasukkannya ke dalam mulut sang murid.
Wiro kemudian melihat bagaimana orang tua
itu duduk bersila sambil mendekapkan tangan
di depan dada. Sesaat berselang dari ubun-
ubunnya keluar asap putih, bergulung-gulung
yang terus membungkus sekujur tubuh
muridnya yang terbaring di atas tempat tidur.
Tiba-tiba orang tua itu membentak keras.
Bangunan rotan bergoyang keras. Bersamaan
dengan itu dia memukulkan kedua tangannya
ke atas dan berseru,
"Racun jahat! Pergilah!"
Gulungan asap putih yang membungkus tubuh
muridnya berubah menjadi biru. Begitu seruan
lenyap maka asap biru itupun sirna.
"Bangun, muridku! Bangun! Sadarlah Lestari!"
Wiro melihat bagaimana gadis yang tadi
pingsan membuka matanya perlahan-lahan.
Parasnya yang pucat kini kelihatan mulai
berdarah kembali bahkan bibirnya yang
sebelumnya biru kini kelihatan mulai segar
kemerahan. Keseluruhan wajahnya jauh lebih
cantik dari selagi dia pingsan. Mau tak mau
pemuda kita jadi meneguk air liur.
"Bangunlah Lestari. Sadarlah … !"
Lestari demikian nama gadis itu bangun dan
duduk di hadapan gurunya. Sesaat dia
memandang berkeliling dengan pandangan
wajah menyatakan keheranan.
"Pikiranmu masih belum jernih. Pejamkan
matamu, Lestari…"
Si gadis mengikuti ucapan gurunya. Setelah
selang beberapa saat sang guru menyuruh
buka matanya kembali. Dan bersamaan
dengan itu Lestari bertanya,
"Eyang; bagaimana … murid bisa berada di
sini dengan selamat? Semestinya… bukankah
murid telah mati? Atau … "
Si orang tua tertawa gelak-gelak.
"Soal hidup atau mati ada di tangan Tuhan,
muridku… "
"Tapi murid benar-benar tak mengerti eyang…"
"Tanyakan pada pemuda di depanmu … "
berkata sang guru.
Lestari berpaling. Untuk sesaat sepasang
matanya yang bening beradu pandang dengan
mata pendekar 212 Wiro Sableng.
"Kau kenal padanya?" tanya si orang tua.
Lestari menggeleng.
"Tapi kalau tak salah sebelumnya … murid
pernah bertemu dengan dia."
Kembali sang guru tertawa dan berkata,
"Kalau sudah jodoh memang ada-ada saja
jalan dan cara Tuhan mempertemukan kalian
… "
"Apa … apa?!" seru Wiro kaget sedang Lestari
berubah merah wajahnya dan memandang
ternganga pada gurunya.
Kembali orang tua berkaki buntung tertawa
gelak-gelak.
"Aku sudah ketelepasan bicara," katanya
sambil menampar-nampar mulutnya sendiri.
"Tapi kalian mempunyai nasib yang sama
sejak kecil. Si Sinto Gendeng pasti senang
kalau mengetahui pertemuanmu dengan
muridku ini, Wiro… "
"Kau kenal dengan guruku,?" tanya Wiro.
"Lebih dari kenal."
Wiro menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Diam-diam dia melirik Lestari dilihatnya
menundukkan kepala dan parasnya memerah.
"Sudahlah …," si orang tua berkata. "Soal itu
bisa dibicarakan nanti. Kalau sudah jodoh
masa ke mana. Sekarang Lestari tuturkan
padaku bagaimana kau bisa ketemu dengan
bergundal Istana Darah barpangkat
Hulubalang Kesatu dan bernama
Waranawikualit itu!"
Maka Lestari menuturkan riwayatnya lengkap
sampai dia bertemu dengan Wiro Sableng. Si
orang tua yang sampai saat itu masih belum
diketahui Wiro siapa namanya nampak
manggut-manggut berulang kali. Wajahnya
serius.
"Memang sudah saatnya kita harus turun
tangan. Kita bertiga saja dan dibantu Sultan
sudah cukup. Lestari dan kau Wiro, mari kita
atur rencana pemusnahan Istana Darah."
"Memang niat itu sudah sejak lama
terkandung dalam hatiku. Tapi kalau boleh
bertanya, kau ini siapakah orang tua?" tanya
Wiro pula.
"Apakah namaku perlu sekali bagimu?"
"Lebih dari perlu. Karena kalau kau tahu
riwayatku dan kenal Eyang Sinto Gendeng,
adalah kurang enak rasanya jika aku sendiri
tidak kenal padamu …" Orang tua itu
tersenyum.
"Namaku sebenarnya sudah hampir musnah
ditelan zaman dan dilupakan waktu. Namaku
buruk sekali yaitu Karewang. Dan aku adalah
saudara angkat gurumu."
Mendengar itu kontak Wiro Sableng menjura
dalam dan hormat sedang orang tua yang
mengaku bernama Karewang tertawa lagi
gelak-gelak.
"Tapi mengapa guru tak pernah menerangkan
padaku tentangmu?"
"Gurumu itu memang sedeng," sahut
Karewang seenaknya. Lalu diisyaratkannya
agar Wiro duduk di hadapannya. Sebelum
mengatur rencana penyerbuan ke Istana Darah
Karewang menyuruh pemuda itu menelan tiga
butir obat biru dalam botol. Dengan menelan
obat itu Wiro akan kebal terhadap racun "waja
biru" yang teramat jahat itu. Kemudian ketiga
orang itupun berunding.
Sampai saat itu Wiro tidak mengetahui bahwa
Karewang adalah tokoh silat klas satu yang
memegang gelar Si Pemusnah Iblis yang
semasa mudanya pernah menjagoi dunia
persilatan di tanah Jawa selama dua puluh
tahun sebelum diambil alih Eyang Sinto
Gendeng. Dalam masa pengunduran diri dari
pasang surut dunia persilatan, suatu ketika
Karewang didatangi Waranawikualit yang
datang untuk membalaskan sakit hati dendam
kesumat di masa silam. Waranawikualit
datang tidak sendirian melainkan membawa
seorang tokoh aneh berotak miring yang
ternyata amat lihay. Tokoh inilah yang
membuat cacat kedua kaki Karewang,
kemudian membelenggunya dengan rantai
biru. Dan manusia itu bukan lain adalah
RNangrang Srenggi yang kini menobatkan diri
sebagai Raja Istana Darah! *** KUDA PUTIH
bernama Angin Salju itu lari dengan amat
cepat, meninggalkan kepulan debu di
belakangnya. Pemuda yang duduk di atas
punggungnya bukan lain Panji Kenanga, murid
Brahmana Lokapala dari gunung Raung. Tak
selang berapa lama kemudian lapat-lapat di
kejauhan pemuda ini mulai mendengar suara
deburan ombak. Itulah satu pertanda bahwa
dia telah mendekati tempat yang ditujunya.
Di satu tempat Panji Kenanga turun dari
kudanya dan sambil membimbing binatang itu
dia meneruskan perjalanan dengan jalan kaki.
Sikapnya selalu waspada. Mata dibuka lebar-
lebar dan awas, telinga dipasang tajam-
tajam. Bukan mustahil sebelum dia sampai ke
tempat tujuan, kedatangannya telah diketahui
hingga dia mungkin bakal jadi korban
pembokongan.
Dia sampai di satu jalan kecil berliku-liku
yang diapit oleh puing-puing batu karang.
Angin mengandung garam menampar-nampar
mukanya. Dia memutuskan untuk tidak
menempuh jalan kecil itu tetapi mengambil
jalan lain di sela-sela batu karang. Akhirnya
dia sampai di salah satu puing karang datar.
Dari sini dia melayangkan pandangan jauh ke
muka.
Di hadapannya terbentang pantai dan laut
lepas. Kira-kira lima ratus tombak dari tepi
pantai sebelah timur, dikelilingi oleh dua
puluh satu pohon beringin raksasa berdirilah
satu bangunan besar yang keseluruhannya
berwarna merah. Bila angin bertiup maka dari
arah bangunan itu menghamburlah bau busuk
yang amat sangat, laksana mau meruntuhkan
bulu hidung. Mau tak mau Panji Kenanga
terpaksa menutup hidungnya.
"Pasti itulah yang disebut Istana Darah," kata
pemuda itu dalam hoti. "Sumber segala
macam malapetaka."
Dengan menggertakkan rahang karena ingat
akan kematian adik seperguruannya yaitu
Widura serta lenyapnya Miani yang diduganya
berada di Istana Darah, Panji Kenanga
balikkan tubuh. Ditepuknya pinggul kuda
tunggangannya dan berkata, "Angin Salju kau
tunggulah di sini. Bila sampai matahari
terbenam nanti aku tidak kembali, kau
pulanglah ke gunung Raung, ke tempat guru."
Sebagai jawaban bihatang itu menggerak-
gerakkan daun telinga serta ekornya seolah-
olah mengerti maksud ucapan tuannya.
Setelah merangkul leher Angin Salju, Panji
Kenanga dengan gerakan gesit melompat ke
puing batu karang di bawahnya, demikian
terus menerus dilakukannya. Melompat dari
satu batu karang ke lain batu karang hingga
akhirnya dia sampai di bawah salah satu
pohon beringin raksasa yang mengelilingi
bangunan. Berada di tempat itu bau busuk
bukan alang kepalang. Mau tak mau bulu
tengkuk pemuda ini agak merinding sewaktu
mengetahui bahwa warna merah yang
menjadi cat tembok serta dinding seluruh
bangunan itu adalah darah!
"Agaknya aku harus melompati tembok itu
untuk dapat masuk ke dalam … " membathin
Panji Kenanga.
Dia bersiap-siap. Pada saat itulah dia
dikejutkan oleh satu suara di belakangnya.
"Panji Kenanga, kau datang terlambat."
Murid Brahmana Lokapala itu berpaling.
Astaga.
Ternyata yang berkata adalah seorang tua
bertubuh kurus, bercelana komprang,
berkepala botak dan bermata buta. Dan dia
bukan lain adalah si orang aneh yang pernah
ditemui Panji Kenanga sebelumnya, yang
dipanggil sebagai Si Botak Mata Buta.
"Apa maksudmu orang tua." tanya Panji
Kenanga.
Tampaknya kali ini orang tua itu tidak main-
main atau bicara seenaknya seperti dulu.
Wajahnya serius.
Dan dia berkata, "Adik seperguruanmu telah
mereka bunuh!"
"Aku sudah tahu kematian Widura."
"Bukan Widura saja. Mianipun mengalami
nasib yang sama…"
"Hah?!" laksana diambar petir Panji Kenanpa
mendengar keterangan itu. "Kau tahu dari
mana?" kedua tangannya dikepalkan saking
geram.
Si Botak Mata Buta menghela nafaa "Sekali
seorang masuk ke dalam Istana Darah, jangan
harap umurnya lebih dari dua jam."
"Kurang ajar! Dajal-dajal Istana Darah, tunggu
pembalamnku!" seru Panji Kenange. Segera
dia hendak melangkah ke arah tembok merah
tapi satu tangan memegang bahunya dengan
cepat. Betapapun dia mengerahkan tenaga
untuk melepaskan pegangan itu tatap saja
tidak berhasil. Ternyata yang memegang
bahunya adalah si Botak Mata Buta.
"Jangan bertindak ceroboh orang muda.
Pergunakan otakmu kalau hendak balas
dendam! Lain dari itu kudengar ada beberapa
orang yang menuju kemari. Coba kau
memandang ke jurusan barat."
Panji Kenanga memandang ke jurusan yang
dikatakan. Apa yang diucapkan Si Botak Mata
Buta memang benar. Dua orang dilihatnya
berlari amat cepat ke jurusan mereka. Satu
lelaki berpakaian serba putih berambut
gondrong dan satunya lagi seorang
perempuan berpakaian merah. Yang lelaki
kelihatan mendukung seorang tua yang
ternyata buntung kedua kakinya.
"Apa yang kau lihat Panji?" tanya Si Rotak
Mata Buta.
Baru saja selesai pertanyaan itu diucapkan
orang-orang yang datang tahu-tahu sudah
sampai dan berhenti sepuluh langkah di
hadapan mereka, di bawah pohon beringin
yang besar. Panji Kenanga menceritakan ciri-
ciri orang-orang yang dilihatnya itu.
"Aku mendengar sesuatu terbang di udara.
Pasti burung …," kata Si Botak Mata Buta.
"Memang betul ucapanmu orang tua. Seekor
burung elang terbang berputar-putar di atas
kepala orangorang yang baru datang itu."
Si Botak Mata Buta kerenyitkan kening.
"Apakah burung elang itu berbulu merah?"
"Benar."
"Dan orang tua yang didukung oleh pemuda
berambut gondrong itu bermata buta…?" Panji
meneliti sebentar lalu membenarkan.
Si Botak Mata Buta memukul keningnya dan
pada wajahnya terlukis senyum lebar. Maka
dia terdengar berseru, "Karewang! Memang
justru pertemuan inilah yang kuharapkan!"
Karewang alias Si Pemusnah Iblis yang saat
itu masih didukung oleh Wiro Sableng
memutar kepala dan mengeluarkan seruan
tertahan.
"Nanggala!" serunya menyebut nama asli Si
Botak Mata Buta. "Bermimpikah aku bertemu
dengan kau di sini ini?" lalu katanya pada
Wiro. "Bawa aku ke hadapan sahabat lamaku
itu."
Begitu saling berdekatan kedua orang tua
yang sama-sama buta itu saling berangkulan.
"Dua puluh tahun Karewang! Dua puluh tahun
aku tak bertemu kau. Dan nyatanya kau masih
buta-buta juga!"
Kedua orang itu lantas tertawa gelak-gelak
sementara Panji Kenanga, Wiro Sableng dan
Lestari hanya berdiri terlongong-longong.
"Heh, kita ini macam orang edan saja,"
berkata Karewang. "Sampai-sampai lupa
berada di mana dan lupa apa maksud
kedatangan kita kemari!"
"Apa maksudmu datang ke sini sobat?
Agaknya udara busuk di tepi pantai ini
menarik hatimu!"
Karewang tertawa rawan. Lalu dituturkannya
bencana yang menimpa dua orang muridnya
dan rencana untuk menghancurkan Istana
Darah.
"Kau sendiri, angin apa pula yang
membawamu ke mari?" balik bertanya
Karewang.
"Kita bernasib dan punya maksud sama,
sobatku," jawab Nanggala atau Si Botak Mata
Buta. Setelah memperkenalkan Panji Kenanga
pada orang-orang itu maka dituturkannya
kejadian yang menimpa dua orang saudara
seperguruan Panji Kenanga.
Karewang mengusap-usap dagunya.
"Kejahatan dajal-dajal di dalam Istana Darah
itu sudah lewat dari takaran. Sudah waktunya
harus dilenyapkan dari muka bumi ini!"
"Sobatku Karewang, aku mendapat keterangan
dari Panji Kenanga bahwa ada seorang
pemuda gondrong bersamamu. Siapakah dia
… ?"
Karewang hendak menjawab tapi Wiro
menyikut rusuknya dan pemuda ini
mendahului menjawab, "Aku yang muda ini
kebetulan datang bertandang ke tempat Si
Pemusnah Iblis."
Panji Kenanga yang sebelumnya sudah
bertemu dengan Wiro segera membuka mulut.
"Dialah yang telah melabrak gerombolan
Ronggokarapan di kampung Warnasari. Juga
dialah yang menyelamatkan anak murid Si
Pemusnah Iblis dan ternyata usahanya
berhasil."
Wiro cuma bisa senyum-senyum saja
mendengar ucapan itu. "Semuanya serba
kebetulan saja sobat," katanya merendah.
"Dan dia adalah Wiro Sableng Pendekar 212,"
menambahkan Panji Kenanga.
Sepasang mata buta Nanggala membuka
lebar-lebar.
"Pendekar 212?" ulangnya. "Sudah sejak lama
aku mendengar nama itu. Sudah sejak lama
aku mendengar kehebatanmu, Wiro … "
"Saya bukan apa-apa terutama jika
dibandingkan dengan kalian orang-orang
gagah yang ada di sini."
"Tidak selamanya yang tua lebih hebat dan
lihay dari yang muda," kata Si Botak Mata
Buta pula. "Kita yang tua ini tokh kelak bakal
digantikan oleh yang muda-muda macammu.
Sebenarnya jika tidak terpaksa betul kami
yang tua-tua dan pikun ini merasa amat malu
masih mengurusi segala macam urusan
dunia." Si Botak Mata Buta diam sejenak.
"Astaga!" katanya kemudian, "aku sampai
lupa pada muridmu Karewang. Sayang …
sayang mataku buta hingga tidak dapat
melihat kecantikannya."
Orang tua berkepala botak berbadan kurus ini
tertawa gelak-gelak sedang Lestari menjadi
merah parasnya. "Hai, hampir aku lupa."
Membuka mulut lagi Si Botak Mata Buta.
"Panji aku ada menitipkan sebuah benda
padamu tempo hari. Serahkanlah pada Lestari
karena benda itu adalah miliknya."
Panji Kenanga ingat akan seruling perak yang
ada di balik pakaiannya. Cepat-cepat benda
ini dikeluarkannya lalu diserahkannya pada
Lestari. Baik Lestari maupun Karewang
merasa heran bagaimana senjata mustika itu
berada pada Panji Kenanga. Sebelum mereka
bertanya Nanggala membuka mulut memberi
keterangan.
"Kalau aku tidak salah suling itu berhasil
diambil oleh Tapak Biru sewaktu terjadi
kerusuhan di puncak Dieng. Dengan senjata
milik Lestari itu dia malang melintang lebih
berani berbuat kejahatan hingga akhimya aku
berhasil merampasnya dan menyerahkannya
pada Panji Kenanga dengan pesan agar bila
bertemu pada pemiliknya dia harus
menyerahkan suling perak terebut. Tidak
disangka kalau hari ini kita saling bertemu
hingga suling itu bisa dikembalikan pada
pemiliknya. Bukankah itu suatu pertanda …?"
"Pertanda apa gerangan maksudmu, sobatku!"
tanya Karewang.
"Pertanda bahwa ada jalan yang
mempertemukan muridmu dengan murid
Brahmana Lokapala ini! Lebih jelas kalau
kukatakan pertemuan yang membawa jodoh?"
Karewang tertegun sejenak. Wiro melirik pada
Lestari justru pada saat si gadis melirik pula
pada Wiro hingga pandangan mereka saling
bertemu dan membuat si gadis cepat-cepat
menunduk dengan paras merah. Dalam pada
itu Panji Kenanga mencuri pandang pula dan
memang sesungguhnya sejak pertemuan ini,
bahkan sejak mula pertama dia melihat
Lestari di kedai di kampung Warnasari,
hatinya mengakui bahwa Lestari seorang
gadis yang amat menarik. Namun karena
orang yang dicintainya adalah Miani, maka
apapun daya tarik Lestari tidak menjadi
persoalan baginya.
"Sobatku Nanggala," kata Karewang setelah
lebih dulu mendengarkan suara tertawa.
"Urusan jodoh biarlah kita bicarakan
belakangan. Kurasa kurang pantas dilakukan
saat ini dan juga kurang tepat kalau kita
berani menyebut-nyebut urusan itu tanpa
setahu Brahmana Lokapala. Bukankah begitu
Panji Kenanga?"
"Betul … betul sekali orang tua," sahut Panji
Kenanga.
"Nah, sekarang mari kita bicarakan
penyerbuan ke.dalam istana dajal itu," kata
Nanggala.
"Masuk ke dalam terlalu besar bahayanya. Ini
bukan karena aku takut, tapi Rangrang
Srenggi keparat itu memang betul-betul cerdik
dan licik. Kita mesti hati-hati. Panji, coba kau
naik ke pohon beringin itu dan selidiki
keadaan di belakang Tembok Darah."
Mendengar ucapan Karewang, Panji Kenanga
dengan satu gerakan enteng segera melompat
ke atas pohon beringin. Namun baru saja dia
menginjakkan kakinya di salah satu cabang
tiba-tiba laksana tangantangan setan,
puluhan akar gantung pohon beringin itu
bergerak melibat seluruh tubuhnya.
Bagaimanapun diusahakannya untuk
melepaskan diri tetap siasia belaka. Semua
orang terkejut melihat kejadian ini. "Benar-
benar licik dan cerdik si Rangrang Srenggi
itu," kata Nanggala seraya hendak melompat
ke atas untuk memberi pertolongan. Inilah
kehebatannya. Meski buta tapi dapat
merasakan apa yang telah menimpa Panji
Kenanga.
"Biar burungku yang turun tangan, Nanggala.
Mengapa kau mesti susahkan diri." Berkata
begitu Karewang mendongak ke udara dan
berseru, "Sultan lepaskan pemuda itu!"
Elang merah yang sejak tadi berputar-putar di
atas kepala mereka menguik keras lalu
terbang ke arah pohon beringin. Dengan
paruhnya yang tajam laksana gunting baja,
dalam waktu singkat binatang ini berhasil
memutus seluruh akar-akar yang melilit tubuh
Panji Kenanga.
"Terima kasih," kata Panji Kenanga lalu
dengan cepat turun. Meski dirinya terlibat
tidak berdaya tadi namun sepasang matanya
masih bisa meneliti keadaan di belakang
Tembok Darah. Tak seorangpun yang
kelihatan. Seluruh bangunan berbda dalam
keadaan sepi. Demikian Panji Kenanga
menerangkan. Tapi baru saja dia selesai
berikan keterangan, dari arah Istana Darah
menggema suara keras.
"Siapapun yang berada di luar, bersiaplah
untuk mampus!"
"Itu suara Rangrang Srenggi!" kata Karewang.
Lalu pada Wiro dia berbisik, "Lekas lakukan
apa yang kita telah atur!"
Wiro segera menurunkan orang tua itu dan
mendudukkannya di satu puing karang datar.
Dari balik pakaiannya yang menggembung
dikeluarkannya sebuah benda hitam berbentuk
bola sebesar dua kepalan tangan. Dia lalu lari
ke arah Pintu Gerbang Darah.
"Kau mau bikin apa, Karewang?" tanya
Nanggala.
"Lihat saja! Aku akan paksa dajal-dajal itu
keluar dari sarangnya. Jika kita menyerbu ke
dalam mungkin terlalu berbahaya dan … "
Karewang alias Si Pemusnah Iblis tak
meneruskan ucapannya karena saat itu dari
belakang Tembok Darah laksana hujan
menyembur ratusan benda ke arah mereka.
Ternyata benda-benda itu adalah paku-paku
berwarna biru yang merupakan senjata
rahasia yang telah dicelup dengan racun
"waja biru".
"Ini pasti perbuatannya si Waranakualit!"
kertak Karewang. Tangan kanannya
dipukulkan ke depan. Satu gelombang angin
dahsyat menderu memukul runtuh serangan
paku tersebut. Tapi hebatnya begitu sampai di
tanah senjata-senjata rahasia ini kembali
memantul mengirimkan serangan. "HEM …
ada kemajuan rupanya si Waranawikualit itu!"
kata Karewang seraya gerakkan tangan
kanannya.
Dari telapak tangan kanan orang tua itu
menderu angin yang berputar-putar, menikung
beberapa kali, menyapu paku-paku biru
hingga keseluruhannya berkelompok menjadi
satu. Dalam pada itu Panji Kenanga yang
sudah tidak sabar mencabut pedang "Gajah
Biru"-nya. Sekali tangannya bergerak, satu
sinar biru berkelebat menyilaukan dan
runtuhlah ratusan jarum yang tergabung jadi
satu itu dalam keadaan terpotong dua!
"Pedang bagus … pedang bagus!" kata
Nanggala memuji sambil tertawa senang.
Dalam pada itu Wiro telah berada dua puluh
langkah dari hadapan Pintu Gerbang Darah.
Mendadak dari lubang-lubang rahasia yang
tak kelihatan di bagian bawah Tembok Darah
bermunculanlah enam kepala merah bertopi
tarbus merah yarg ujungnya berkuncir. Mereka
ternyata adalah Hulubalang-hulubalang
Istana Darah. Dalam waktu singkat mereka
telah mengurung Wiro Sableng. Mereka adalah
Hulubalang Darah Kelima Belas sampai
Keduapuluh. Wiro tak punya kesempatan lagi
untuk mendekati pintu gerbang lebih dekat
maka serta merta bola hitam di tangan
kanannya dilemparkan. Terdengar satu
ledakan dahsyat. Bumi laksana dilanda lindu.
Lidah api menjulang. Sebagian dari atap
Istana Darah mental beterbangan ke udara,
beberapa tiang besar runtuh bersama-sama
dinding Istana.
"Kurang ajar!" teriak Hulubalang Darah
Kesembilan Belas. "Dia telah merusak Istana!
Mari kita bunuh bangsat itu!"
Maka ke enam Hulubalang Darah serempak
memukulkan tangan kanan mereka. Enam
sinar merah yang bukan kepalang panasnya
menyambar ke arah Wiro Sableng. Yang
diserang maklum kalau lawan-lawannya
adalah rata-rata berkepandaian tinggi.
Karenanya dengan tangan kiri kanan Wiro
lepaskan pukulan "benteng topang melanda
samudera." Begitu pukulan lawan buyar Wiro
menyelinapkan satu jotosan dan satu
tendangan.
Tak ampun lagi Hulubalang Darah
Kejutuhbelas dan Keduapuluh mencelat roboh.
Yang pertama segera meregang nyawa karena
perutnya bobol kena tendangan sedang yang
kedua muntah darah lebih dulu baru lepas
jiwanya. Itulah korban-korban pertama dari
Istana Darah!
Melihat kedua temannya menemui kematian
begitu rupa, Hulubalang-hulubalang lainnya
berteriak marah lalu mengeluarkan senjata
masing-masing dan kembali menyerbu ke
arah Wiro. Namun saat itu serangan mereka
tertahan oleh satu sambaran sinar biru yang
menyilaukan yang membuat mereka serempak
berseru kaget. Dalam pada itu terdengar
teriakan.
"Wiro biar aku menahan mereka!"
Ternyata saat itu dengan pedang Gajah Biru di
tangan Panji Kenanga telah menyerbu ke
tempat pertempuran. Hulubalang Darah
Kedelapanbelas dan Kesembilanbelas dengan
penasaran melompat ke muka seraya
menyapukan senjata masing-masing. Namun
begitu pedang Gajah Biru menyambar dua kali
berturut turut, keduanya kontan menjerit dan
menggeletak mandi darah. Yang satu
tertembus dadanya, yang lain terbacok parah
pangkal lehernya!
Diam-diam Wiro kagum melihat kehebatan
pemuda itu. Karena yakin bahwa Panji
Kenanga bakal dapat menyelesaikan dua
lawan yang masih hidup maka tanpa ragu-
ragu ditinggalkannya tempat itu. Dia lari ke
samping kanan Tembok Darah dan dari sini
melemparkan bola hitam kedua. Untuk kedua
kalinya terdengar suara menggelegar. Bagian
samping kanan Istana Darah runtuh,
kerusakan hebat terjadi. Hulubalang Darah
Keduabelas dan Keempat belas yang
kebetulan ada di bagian situ dan tidak keburu
menyingkir, menjadi korban.
Ketika sekali lagi Wiro melemparkan bola
hitam ke sampirig kiri Istana Darah boleh
dikatakan Istana Darah telah hampir sama
rata dengan tanah. Beberapa Hulubalang
Darah menemui ajalnya. Wiro kembali ke
tempatnya sementara Panji Kenanga telah
berhasil membunuh dua Hulubalang yang tadi
dihadapinya. Orang-orang itu menunggu.
Sampai sepeminuman teh tak ada seorangpun
yang muncul dari belakang tembok.
"Apa mereka sudah pada mampus semua …?"
tanya Nanggala. "Atau bersembunyi?"
"Kita tunggu saja. Pentolan-pentolan dajal itu
pasti keluar sebentar lagi …" kata Karewang.
Dan betul saja. Didahului oleh suara
berkerekatan maka terbukalah Pintu Gerbang
Darah dan laksana bobolnya sebuah
bendungan mencurahlah cairan merah hingga
seantero tempat kini digenangi oleh cairan
tersebut sampai sebatas betis Di samping
cairan itu busuknya bukan main juga di
dalamnya kelihatan bergerak-gerak ratusan
ular berbisa!
Semua orang cepat menyingkir ke atas puing
karang data di atas mana Karewang alias Si
Pemusnah Iblis duduk.
Panji Kenanga membungkuk dan
membabatkan pedang Gajah Biru berulang-
ulang sehingga puluhan ular yang berani
datang mendekat segera terpotongpotong dan
menemui kematiannya. Wiro Sableng lebih
hebat lagi. Dicabutnya Kapak Naga Geni serta
batu hitam 212. Setiap kali batu dan Kapok
diadukannya satu sama lain maka menderulah
lidah api. Cairan darah muncrat dan
menggelegak panas. Ular-ular yang ada di
dalamnya laksana direbus dan hanya dalam
tempo kurang dari sepeminuman teh seluruh
binatang itu telah musnah menemui ajal!
Karewang tertawa mengekeh.
"Bagus Wiro, bagus. Kalau tak salah
pendengaran telingaku, dari Pintu Gerbang
Darah tengah keluar serombongan orang.
Coba kalian perhatikan!"
Memang betul!
Empat belas orang berpakaian serba merah
melangkah keluar dari Pintu Gerbang Darah,
berjalan memecah genangan darah busuk
dengan seenaknya lalu berhenti kira-kira lima
belas langkah di hadapan rombongan
Karewang.
Mereka adalah Hulubalang-hulubalang Istana
Darah yang dipimpin oleh jago nomor satu
yang menduduki jabatan sebagai Hulubalang
Darah Kesatu dan asli bernama
Waranawikualit. Di belakang rombongan
Hulubalang ini menyusul 40 Hulubalang
pengawal. Meski ilmu kepandaian mereka
tidak seberapa tinggi namun jumlah mereka
yang begitu banyak mau tak mau musti
diperhitungkan oleh pihak lawan.
"Mereka berjumlah lebih dari lima puluh
Eyang …" bisik Lestari pada gurunya dan
diam-diam segera keluarkan suling peraknya.
"Tak perlu ditakutkan," sahut Karewang
perlahan. "Bila mereka berani datang lebih
dekat pasti konyol…"
"Di antara mereka tak kelihatan si Rangrang
Srenggi," kembali Lestari berbisik.
"'Hai kenapa raja kalian tidak muncul?! Apa
takut mampus?!" Karewang tiba-tiba berteriak
sementara orang-orang dari Istana Darah
mulai berpencair, mengurung mereka.
"'Untuk menghajar manusia-manusia pikun
macam kamu perlu apa Raja kami mesti
mengotorkan diri turun tangan!" Yang
menjawab adalah Hulubalang Darah Kesatu.
Karewang yang mengenal suara itu kembali
membuka mulut. "Hem, nyalimu sungguh
besar Waranawikualit. Tapi sayang usiamu tak
bakal lama. Apalagi setelah aku tahu apa
yang kau lakukan terhadap dua muridku!"
Waranawikualit atau Hulubaiarg Darah Kesatu
mengeluarkan dengus mengejek.
"'Kalau saja kau ingat nasib celaka yang
menimpa dirimu dulu, pasti kau telah miring
otak masih beraniberanian datang kemari!"
kata Hulubalang Darah Kesatu pula.
Sementara itu dengan ilmu menyusupkan
suara Karewang berkata pada Nanggala, "Kau
hadapi dia sobatku. Walau bagaimanapun
lawan besar yang harus kuhadapi adalah
Rangrang Srenggi."
"Tak usah kawatir. Kau duduk di sini tenang-
tenang. Aku dan lain-lainnya akan
menunjukkan jalan ke liang kubur pada
mereka!"
"Bagus.Tapi kalau tidak turun tangan sama
sekali kurang enak rasanya," kata Karewang
pula. Maka diapun berseru, "Waranawikualit
bedebah! Jika betul nyalimu amat besar
majulah! Bawa semua orangorangmu
sekalian! Hari ini aku akan memberi pelajaran
terakhir padamu sebelum kau jadi makanan
cacingcacing liang kubur!"
"Mulutmu terlalu besar!" teriak Waranawikualit
marah. Dia memberi isyarat pada anak-anak
buahnya.
Beberapa Hulubalang maju sedang
Hulubalang Pengawal memperketat lingkaran
kurungan. Tinggal sepuluh langkah dari
hadapannya tiba-tiba laksana kilat Karewang
yang bergelar Si Pemusnah Iblis itu tertawa
mengekeh dan tangan kanannya melemparkan
sebuah bola hitam.
"Lekas menyingkir!" teriak Hulubalang Darah
Kesatu begitu melihat bola peledak melayang
di udara.
Tangan kanannya dihantamkan ke atas.
Maksudnya hendak memukul hancur senjata
maut itu sebelum meledak diantara orang-
orangnya. Tapi dari angin suara gerakannya,
Karewang cukup tahu apa yang dilakukan
lawan. Segera ia mengirimkan satu pukulan
tangan kanan ke arah dada lawannya dan
memaksa Hulubalang Darah Kesatu melompat
ke samping.
Tangkisannya luput dan sesaat kemudian bola
hitam yang dilemparkan Karewang meledak di
tengahtengah orang-orangnya. Terdengar
suara berpekikan. Sembilan belas Hulubalang
Pengawal roboh ke dalam genangan darah.
Darah mereka bercampur baur dengan darah
busuk itu. Lima Hulubalang Darah terjungkal
dan ikut jadi korban! Dengan demikian yang
tinggal kini cuma 9 orang Hulubalang Darah
dan 21 orang Hulubalang Pengawal!
Bukan alang kepalang marahnya Hulubalang
Darah Kesatu melihat korban-korban yang
berjatuhan di pihaknya.
"Kalau tidak kupecahkan kepalamu detik ini
juga biar aku berhenti jadi manusia!" teriak
Waranawikualit lalu sambil melompat dia
kirimkan dua pukulan hebat sekaligus!
Dua larik sinar merah menyambar dari
pukulannya itu ke arah dada dan kepala
Karewang. Karewang membentak, "Ilmu iblis
musnahlah!" Kedua tangannya diangkat.
Selarik sinar pelangi berkiblat dan serangan
Waranawikualit benar-benar musnah buyar!
Tapi saat itu dari samping terdengar seruan,
"Waranawikualit akulah lawahmu!"
Satu sinar kuning menyambar.
Hulubalang Darah Kesatu membalik gesit dan
membentak beringas ketika melihat siapa
yang menyerangnya. "Anjing botak mata buta!
Kau yang ingin konyol berani datang kemari!"
Kedua tangannya yang berkuku-kuku panjang
bergerak dalam serangan "Sepuluh cakar sakti
meremas bumi" yang amat hebat karena
mengandalkan lebih dari tiga perempat tenaga
dalamnya.
Si Botak Mata Buta yang bukan sembarang
orang dengan gerakan mengagumkan berhasil
mengelakkan serangan itu. Akibatnya sepuluh
jari tangan Waranawikualit melabrak batu
karang di sampingnya dan batu karang itu
hancur lebur!
Bayangkan kalau sepuluh jari tangan berhasil
mengermus kepala botak Si Botak Mata Buta.
Untuk beberapa lamanya semua orang
tertegun di tempat masing-masing
menyaksikan jalannya pertempuran tingkat
tinggi itu. Perkelahian berjalan terus. Ketika
kelihatan Waranawikualit atau Hulubalang
Darah Kesatu mulai terdesak, Hulubalang-
Hulubalang Darah lainnya dan juga
Hulubalang Pengawal segera menyerbu ke
tengah gelanggang pertempuran untuk
mengeroyok Si Botak Mata Buta!
Melihat hal ini maka Wiro Sableng, Panji
Kenanga dan Lestari tidak tinggal diam.
Karena lawan datang mengeroyok dengan
mempergunakan berbagai macam senjata
maka ketiganyapun menyerbu dengan senjata
di tangan. Di atas genangan cairan darah
busuk itu berkecamuklah pertempuran hebat.
Wiro mengamuk dengan Kapak Naga Geni 212
yang mengeluarkan sinar putih menyilaukan
serta suara menggaung seperti ratusan tawon
menggila. Panji Kenanga berkelebat gesit kian
kemari dengan pedang Gajah Birunya yang
terlihat hanya merupakan kelebatan-kelebatan
sinar biru menderu-deru. Di lain pihak laksana
seorang puteri dari kayangan yang sedang
marah, Lestari berubah merupakan bayangan
merah yang berkelebat gesit kian kemari
sambil pergunakah suling peraknya untuk
memukul dan menotok kepala atau dada
lawan!
Meskipun orang-orang dari Istana Darah rata-
rata berkepandaian tinggi namun tiga lawan
yang mereka hadapi, terutama Pendekar 212
Wiro Sableng bukanlah lawan-lawan kelas
rendah yang bisa mereka lakukan dengan
sekehendak hati. Dalam tempo singkat korban
demi korban telah berjatuhan dan
bergeletakan dalam genangan darah busuk.
Muncratan-muncratan cairan busuk itu
mengotori pula pakaian mereka yang
bertempur.
Tiga kali peminuman teh berlalu dan saat itu
kelihatanlah bahwa hanya Hulubalang Darah
Kesatu sajalah yang tinggal sendirian
berhadapan dengan Si Botak Mata Buta.
Keadaan itupun agaknya tidak bakal berjalan
lama karena saat itu tangan kanan
Hulubalang Darah Kesatu telah disentak putus
oleh lawannya hingga dia kini hilang
keseimbangan badan dan bercampur macam
orang celeng!
Si Botak Mata Buta sendiri bertempur seperti
orang main-main dan sambil tertawa-tawa.
Tiba-tiba mulut Hulubalang Darah Kesatu
menggembung. Sesaat kemudian
menyemburlah asap biru pekat ke muka Si
Botak Mata Buta. Orang tua ini sudah
maklum kehebatan racun "waja biru" cepat
menutup jalan nafasnya dan menyembur pula
ke depan! Dari mulutnya menggebu hawa
kuning, membuat Hulubalang Darah Kesatu
terbatuk-batuk dan ketika tubuhnya terlipat ke
depan, sepuluh jari tangan Si Botak Mata
Buta dengan cepat mencengkeram lehernya.
Hulubalang Darah Kesatu megap-megap
kehabisan nafas, meronta dan melejang-
lejang.
"Kreek …!"
Sepuluh jari tangan Si Botak Mata Buta
tenggelam ke dalam leher Hulubalang Darah
Kesatu dan hancurlah tulang leher itu. Nyawa
Hulubalang Darah Kesatu melayang ke
akhirat!
"Pertempuran hebat! Pertempuran hebat!"
teriak Karewang berulang-ulang. "Tapi
dimanakah lawanku? Mengapa si Rangrang
Srenggi masih belum muncul?!"
"Mari kita periksa ke dalam runtuhan
Istananya!" mengusulkan Panji Kenanga.
Karewang berpikir sejenak. Akhirnya
menyetujui dan meminta Wiro Sableng untuk
mendukungnya kembali. Kelima orang itu
dengan merancah genangan darah busuk,
melangkahi mayat-mayat yang
bergelimpangan, dengan hati-hati bergerak
menuju reruntuhan Istana Darah. Di mana-
mana terdapat sisa-sisa korban api dan dari
setiap jurusan menyambar bau busuk yang
memengapkan jalan pernafasan.
"Aneh, di manakah si gila Rangrang Srenggi
itu?" ujar Si Botak Mata Buta.
Di ujung sana, dekat sisa reruntuhan dinding
tembok sebelah dalam bekas Istana Darah,
Pendekar 212 Wiro Sableng tiba-tiba
menghentikan langkahnya. Ketika dia
menjenguk ke balik reruntuhan tembok, depan
sebuah kolam yang kini dipenuhi puingpuing
reruntuhan serta pecahan patung Rakseksi
telanjang, di atas sebuah kursi goyang besar
yang terbuat dari kayu jati bercat merah,
duduklah seorang laki-laki katai berpakaian
merah, berambut gondrong awut-awutan
berwarna merah dan bermuka bercelomot
darah! Baik kening, maupun hidung serta
mulut orang katai ini amat rata sekali hingga
sepintas lalu mukanya licin tak ubahnya
seperti sebuah bola! Kursi yang didudukinya
terlalu besar bagi tubuhnya yang kecil itu.
Bahkan kedua kakinya tidak sampai menjejak
lantai! Tapi di atas kursi goyang itu dia duduk
bergoyang-goyang seenaknya. Di tangan kiri
kanannya terdapat sebuah seloki cairan
merah. Dalam duduk sendirian seenaknya itu
dia tertawa-tawa macam orang kurang
ingatan. Wiro memberi isyarat pada yang
lain-lainnya untuk mendekat. Ketika semua
orang sudah berkumpul di dekatnya tiba-tiba
si katai di atas kursi goyang menghamburkan
tawa gelak berderai hingga kedua matarrya
basah oleh air mata!
"Selamat datang tuan-tuan … Selamat datang
di Istanaku yang telah hancur ini …!" kata
orang katai itu pula.
Tapi tiba-tiba mukanya berubah warna dan
dari mulutnya keluar makian. "Keparat …
sialan! Laknat …!
Haram jadah! Terkutuk! Mampuslah semua!
Mampusl Semuaaa …!"
Mengenali suara yang mengutuk menyerapah
itu Karewang segera membuka mulut.
"Paduka Yang Mulia Raja Gila, setelah
istanamu hancur, setelah begundal-
brgundalmu konyol, apakah kau masih
menganggap dirimu masih sebagai raja?"
"Kalau asalku raja tetap raja. Hari ini aku
telah menjadi raja akhirat untuk mengirim kau
dan yang lainlainnya ke akhirat!" Selesai
berkata begitu manusia yang menganggap
dirinya sebagai raja itu tertawa gelakgelak.
"Rangrang Srenggi. Otakmu yang miring
rupanya sudah tidak bisa dibikin lempang!
Hari ini kau harus mempertanggungjawabkan
segala kejahatan yang telah kau perbuat!"
Rangrang Srenggi mendengus. Digoyang-
goyangkannya badannya di atas kursi goyang
lalu sambil mengacungkan dua buah seloki
yang dipegangnya dia berkata,
"Sebelum kita meneruskan pembicaraan mari
kujamu kau dengan arak darah ini! Datanglah
ke hadapanku. Eh… apakah kedua kakimu
yang kubikin buntung tempo hari sudah
disambung dengan kaki palsut!"
Paras Karewang merah padam namun dia
ganda tertawa mendengar ucapan itu dan
menjawab, "Justru aku datang kemari untuk
minta tolong dibuatkan sepasang kaki palsu."
Karewang lantas balas tertawa.
Rangrang Srenggi memencongkan mulutnya.
"Aku akan buatkan cuma-cuma untukmu.
Namun terlebih dulu teguklah arak darah ini!"
Habis berkata begitu Rangrang Srenggi
membuka tangan kanannya dan seloki arak di
tangan kanan itu melayang perlahanlahan ke
arah Karewang.
"Wiro dudukkan aku di runtuhan tembok agar
aku bisa menyambuti suguhan tuan rumah!"
kata Karewang. Maka Wiropun mendudukkan
orang tua itu di atas runtuhan tembok.
Sementara itu seloki yang berisi arak darah
melayang menuju ke tempat Karewang. Kira-
kira satu meter lagi dari hadapannya.
Karewang menguiurkan tangan seperti hendak
menyambuti. Tapi dari tangan kanannya
justru keluar selarik angin yang membuat
seloki tertahan di udara. Dan bukan sampai di
situ saja. Malah kini seloki itu kelihatan
mundur. Betapapun Rangrang Srenggi
mengerahkan tenaga dalamnya tetap saja dia
tak sanggup mendorong seloki tersebut ke
arah lawannya! *** "HA…HA…HA…! Rupanya
seloki itu malu-malu datang ke hadapanku!
Biarlah bagianku itu kau ambil saja!" kata
Karewang seraya mendorongkan tangan
kanannya lebih keras.
Dengan muka merah karena malu Rangrang
Srenggi menyambut seloki arak itu. Sadarlah
dia bahwa tenaga dalam lawan jauh lebih
tinggi darinya. Perlahan-lahan dengan tenang
dia meneguk habis darah busuk yang ada
dalam seloki satu demi satu. Lalu seenaknya
kedua seloki kosong itu dilemparkannya
hingga pecah bertaburan. Dia kemudian
tertawa bekakakan lalu kembali memaki kata-
kata kotor. Tiba-tiba dia memejamkan kedua
matanya. Dalam memejamkan mata itu dia
kemudian mengajukan pertanyaan.
"Karewang, sudah siapkah kau untuk pergi ke
akhirat!"
"Sudah sejak dari dulu-dulu, Srenggi," sahut
Karewang.
"Bagus!"
Bersamaan dengan ucapan "bagus" itu
Rangrang Srenggi menendangkan kaki
kanannya yang kecil.
Sesiur angin yang amat dingin meluncur ke
arah Karewang. Yang diserang menggerakkan
tubuhnya dan tahu-tahu tubuh itu melesat
setengah tombak ke atas. Serangan lawan
lewat di bawahnya, menghantam runtuhan
tembok di mana tadi Karewang duduk hingga
hancur lebur. Karena temtok itu kini sudah
jadi sama rata dengar tanah orang
menyangka Karewang akan jatuh terbanting
ke tanah. Tapi hebatnya orang tua berkaki
buntung ini dengan senyum-senyum melayang
turun dan duduk bersila di tanah tanpa
menimbulkan sedikit suarapun!
"Kini giliranku, Srenggi!" seru Karewang.
Kedua tangannya ditepukkan ke depan. Kursi
goyang yang diduduki Rangrang Srenggi
hancur berantakan. Tapi si katai itu sendiri
sudah melompat ke lain tempat dan di lain
kejap laksana topan prahara menyerbu ke
arah Karewang.
Orang tua bermata buta dan berkaki buntung
itu tetap duduk dengan tenang di tempatnya.
Telinganya dipasang benar-benar untuk
mengetahui serangan apa dan dari mana
datangnya. Tiba-tiba dia mengangkat kedua
tangannya, menangkis! Empat lengan mereka
saling beradu! Rangrang Srenggi terpekik.
Tubuhnya terbanting ke tanah sedang
Karewang yang hilang keseimbangannya jatuh
terguling-guling tapi cepat bangun dan duduk
bersila kembali!
Si katai Rangrang Srenggi dengan amarah
meluap mencabut sebilah pedang tipis
berwarna merah darah dan melompat ke
hadapan Karewang.
"Licik!" teriak Lestari seraya melompat dan
menyerang Rangrang Srenggi dengan suling
peraknya.
"Guruku tidak pakai senjata, mengapa kau
menyerang dengan pedang!"
"Bocah jelita. Kau minggirlah!" bentak
Rangrang Srenggi. Pedangnya dibabatkan.
Angin yang menderu keluar dari senjata itu
hebat sekali hingga Lestari yang terkena
terpaannya terjajar enam langkah ke
belakang!
"Biarkan saja Lestari! Biarkan dia menyerang
dengan pedang!" terdengar suara Karewang,
"Dia tolol kalau menganggap gurumu yang
pikun ini adalah Karewang beberapa tahun
lalu, buta dan buntung!"
Lalu orang tua ini dengan sikap acuh tak
acuh menyilangkan kedua tangan di muka
dada sedang sepasang matanya yang buta
terpejam. Sesaat kemudian dari ubun-
ubunnya tampak keluar asap warna ungu.
Asap ini dengan cepat menutupi sekujur
tubuhnya. Sesaat Rangrang Srenggi tertegun.
Namun kemudian dia teruskan serangan
pedangnya. Senjata ini bergaung mencari
sasaran di arah leher Karewang. Tapi aneh!
Begitu pedang membentur lapisan asap ungu,
maka senjata itu terpental kembali laksana
menghantam satu dinding yang luar biasa
atosnya. Rangrang Srenggi jadi penasaran.
Dia mengumpulkan seluruh tenaga dan
menghujani tubuh lawan dengan bacokan
terus menerus. Namun bagaimanapun
dicobanya untuk membacok, menusuk,
membabat, tetap saja pedangnya tidak
mampu menerobos lapisan asap ungu yang
aneh itu!
"Gila! Gila … gila!" teriak Rangrang Srenggi
kalap.
Tiba-tiba cepat sekali Karewang mengulurkan
tangan kanannya. Dan entah dalam gerakan
bagaimana tahu-tahu dia sudah berhasil
merampas pedang merah di tangan Rangrang
Srenggi. Selagi lawan berada dalam keadaan
tertegun kaget, senjata itu sudah menyambar
datar di bawah pinggangnya dan cras!
Putuslah tubuh Rangrarig Srenggi sebatas
pinggul!
Darah menyembur dari dua bagian tubuh yang
terpotong itu. Rangrang Srenggi berteriak-
teriak, memaki dan mengutuk menyerapah.
Namun detik demi detik suaranya semakin
kecil melemah. Pada saat tubuhnya tak
berkutik lagi suaranyapun lenyap dan
nyawanya lepas!
"Seorang iblis telah musnah! Bukankah
pantas aku diberi gelar Si Pemusnah Iblis?!"
Karewang lalu tertawa gelak-gelak.

                          TAMAT