Ebook Wiro Sableng : Mawar Merah Menuntut Balas


Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito

ANAK perempuan berumur
delapan tahun itu berlari-lari kecil sambil
tiada hentinya menyanyi. Di tangan kanannya
tergenggam lebih dari selusin tangkai bunga
yang baru dipetiknya di dalam hutan. Saat itu
matahari pagi telah naik tinggi. Si anak
mempercepat larinya. Dia takut kalau kalau
orang tuanya mengetahui bahwa dia telah
pergi ke hutan lagi. Tentu dia akan dilecut
seperti kemarin.

 Baru saja dia memasuki jalan kecil yang akan
menuju keperkampungan, anak perempuan ini
dikejutkan oleh derap kaki kuda yang banyak
dan riuh sekali. Dia tak ingin mendapat
celaka diterjang kaki-kaki kuda. Cepat-cepat
dia menepi dan berlindung di balik sebatang
pohon.

https://drive.google.com/file/d/1JOAsOaXir054e0TdJ6Qu3IydWVYLqKi1/view?usp=sharing
Tak lama kemudian serombongan
penunggang kuda lewat dengan cepat. Si anak
tak tahu berapa jumlah mereka semuanya,
tapi yang jelas amat banyak dan semua
berpakaian serba hitam, rata-rata memelihara
kumis melintang serta cambang bawuk yang
lebat. Tampang-tampang mereka buas
bengis. Dan masing-masing membawa sebilah
golok besar di pinggang. Meski rombongan
penunggang kuda itu telah berlalu jauh
namun debu jalanan masih beterbangan
menutupi pemandangan. Setelah debu itu
sirna barulah si anak keluar dari balik pohon
dan berlari sepanjangjalan menuju ke
kampungnya.
Kampung itu terletak di sebuah lembah subur
yang dialiri sungai kecil berair jernih.
Sekeliling perkampungan terbentang sawah
ladang yang luas. Saat itu padi tengah
menguning hingga kemanapun mata
memandang warna keemasan yang kelihatan.
Anak perempuan itu terus lari. Dia harus
lewat kebun di belakang rumah agar tidak
kelihatan oleh orang tuanya. Kemudian dia
akan masuk ke dalam kamar dan
menyembunyikan bunga-bunga itu dibawah
kolong tempat tidur. Kemudiannya lagi ….
Jalan pikiran si kecil itu terhenti dengan serta
sewaktu dari arah kampungnya terdengar
suara hiruk pikuk. Suara itu bercampur aduk.
Ada suara ringkikan kuda, suara teriakan
orang laki-laki, pekik jerit orang-orang
perempuan dan anak-anak, lalu suara
beradunya senjata yang sekali-kali diseling
oleh suara ringkik kuda yang membuat
kecutnya hati anak perempuan itu.
Ada apakah di kampung? Begitu si anak
berpikir. Hatinya yang kecut membuat larinya
terhenti-henti. Satu perasaan takut
memperingatkannya agar jangan pergi ke
kampung, jangan pulang. Namun kaki-kaki
yang kecil itu terus juga bergerak meskipun
dalam langkah-langkah perlahan. Dilewatinya
kebun di belakang rumah dan sampai di
sebuah gubuk reyot. Gubuk ini adalah tempat
ayahnya menyimpan segala barang-barang
rongsokan.
Justru di sini anak tersebut menghentikan
langkahnya. Sekujur tubuhnya gemetaran,
parasnya yang tadi kemerahan karena berlari
saat itu berubah menjadi pucat pasi karena
ketakutan. Dia ingin berteriak, dia ingin
menangis tapi mulutnya terkancing oleh rasa
takut yang amat sangat. Di samping rumah
dilihatnya ayah serta kakak laki-lakinya
tengah berkelahi melawan dua orang
berpakaian serba hitam. Agaknya kedua orang
berpakaian hitam itu tidak sanggup
menghadapi ayah dan kakaknya karena dalam
waktu yang singkat keduanya roboh mandi
darah, Namun pada saat itu muncullah tiga
orang penunggang kuda bertubuh kekar
bertampang ganas. Salah seorang dari
ketiganya memaki dan melompat dari
punggung kuda, langsung menyerang
ayahnya. Dua kawannya yang lain menyusul
dan saat itu juga terjadilah perkelahian dua
lawan tiga. Tiga manusia bertampang ganas
itu ternyata amat tinggi ilmu silatnya karena
tak berapa lama kemudian si anak mendengar
jeritan ayahnya. Senjata di tangan salah
seorang lawan telah membabat dada ayahnya
hingga laki-laki itu tersungkur dan tak bisa
bergerak lagi, diperhatikannya bagaimana
kakaknya menjadi kalap oleh kematian
ayahnya lalu mengamuk hebat. Tapi nasibnya
juga malang karena dua senjata lawan
berbarengan mampir di perut serta di pundak
kakaknya. Salah seorang dari manusia-
manusia jahat itu lalu membakar rumah orang
tuanya. Pada saat api berkobar hebat, dari
pintu belakang keluar dua orang perempuan.
Mereka lari ke arah kebun. Keduanya adalah
ibu dan kakak perempuan anak kecil yang
berdiri disamping gubuk. Si anak hendak
berteriak memanggil ibunya tapi tak jadi.
Salah seorang dari tiga manusia jahat itu
rupanya berhasil melihat kakak perempuan
dan ibunya, lalu berseru keras dan mengejar.
"Ha-ha! Ternyata ada isinya juga rumah ini!"
Mendengar seruan itu salah seorang
kawannya berpaling. Begitu melihat dua orang
perempuan melarikan diri dia segera ikut
menyusul mengejar.
"Bagianku yang muda, Tunjung!" seru laki-laki
yang paling depan. Sebentar saja dia berhasil
mengejar si gadis, merangkulnya dan
menciuminya dengan penuh nafsu. Gadis itu
menjerit dan meronta. Ibunya coba
memberikan pertolongan namun tubuhnya
sendiri kemudian tenggelam dalam dekapan
tangan-tangan kasar. Seperti anaknya, diapun
diciumi secara buas!
"Bagus sekali perbuatan kalian!" satu
bentakan terdengar. Yang membentak
ternyata adalah laki-laki ketiga yang tadi
telah membunuh ayah anak perempuan kecil
di dekat gubuk reyot. "Aku sudah bilang
setiap perempuan cantik di kampung ini
menjadi milikku dan tak boleh diganggu!"
Kedua laki-laki itu berpaling, seorang
diantaranya membuka mulut. "Bayunata!
Sudah lebih dari selusin perempuan di
kampung ini kau nyatakan milikmu! Masakan
pada sobat sendiri yang dua ini masih hendak
kau ambil?!"
"Heh, sejak kapan kau berani bicara
membangkang terhadapku, Sawier Tunjung?!"
gertak lakilaki yang bernama Bayunata.
Sepasang bola matanya yang merah menyorot
garang. Mau tak mau Sawer Tunjung terpaksa
melepaskan rangkulannya dari tubuh padat si
gadis. Begitu lepas si gadis hendak melarikan
diri tapi Bayunata cepat mencengkeram
bahunya, memutar tubuh gadis itu hingga
paras mereka saling berhadap-hadapan dekat
sekali.
"Sawer Tunjung! Ini adalah gadis yang
tercantik di seluruh kampung! Dan kau hendak
mengambilnya!" ujar Bayunata menyeringai
dan tertawa gelak-gelak. Kawannya yang
bemama Sawer Tunjung memencongkan mulut
lalu meludah ke tanah.
"Kalau tidak dia biar yang ini saja untukku!"
kata Sawer Tunjung seraya menunjuk pada
perempuan berumur sekitar tigapuluh lima
tahun yang tengah didekap oleh kawannya
yang bemama Singgil Murka.
"Tidak bisa!" Singgil Murka memberi reaksi.
"Ini punyaku! Sampai saat ini aku belum
dapat satu perempuanpun!"
"Kalian berdua tak perlu berbantahan!
Perempuan itupun harus menjadi milikku!"
kata Bayunata. Memang Bayunata adalah
seorang laki-laki bernafsu besar yang tak
boleh melihat perempuan berwajah cantik.
Semuanya ingin dimilikinya sekalipun saat itu
lebih selusin dari perempuan-perempuan
kampong telah diambilnya.
Singgil Murka dan Sawer Tunjung menggerutu
habis-habisan. Bayunata sebaliknya malah
tertawa.
"Kelak kalau aku sudah mencicipi mereka,
kalian bakal mendapat bagian yang lumayan.
Jadi tak perlu menggerutu!"
"Kau keterlaluan, Bayunata!" ujar Sawer
Tunjung.
"Diam!" Bayunata membentak marah. "Bawa
perempuan itu ke kuda dan awas kalau kau
berani mengganggunya!" Bayunata kemudian
berpaling pada gadis dalam dekapannya yang
saat itu masih menjerit dan meronta.
"Kau ikut aku, gadis molek. Tak usah menjerit,
apalagi meronta. Kau bakal hidup senang!
Mari …!"
"Tidak, lepaskan aku! Kau menusia jahanam!"
"Jangan bikin aku marah," kata Bayunata.
Tapi si gadis terus meronta dan memaki.
"Kau ingin aku berbuat kasar sebelum
waktunya?! Baik!" Tangan kanan Bayunata
bergerak dan bret! Robeklah baju yang dipakai
si gadis. Dadanya tersingkap lebar.
Memuncaklah birahi Bayunata melihat dada
yang padat putih itu. Dilumatnya dada itu
dengan ciuman bertubi-tubi sedang dari
mulutnya keluar ucapan, "Dada bagus …. dada
bagus … uh … uh!"
"Lepaskan aku! Manusia dajal ….!"
Bayunata tertawa mengekeh dan memanggul
tubuh si gadis lalu melompat ke atas kuda.
Pada saat itulah anak kecil yang berdiri di
samping gubuk berteriak.
"Ibu …. kakak!" Namun suara teriakannya itu
sama sekali tidak keluar karena satu telapak
tangan berwarna amat hitam dan
berkeringatan menutup mulutnya!
"Jangan berteriak anak, jangan berteriak!
Kalau mereka melihatmu, pasti kau dibunuh!
Kau tahu tak satu anak kecilpun yang mereka
biarkan hidup di kampung ini!"
Gadis kecil itu berpaling dan dia hampir jatuh
pingsan sewaktu melihat paras orang yang
menekap mulutnya. Paras itu menyeramkan
sekali. Seperti paras setan-setan yang pernah
diceritakan oleh kakaknya jika dia mau tidur!
Paras itu cuma punya satu mata yaitu di
sebelah kanan sedang mata yang kiri hanya
merupakan lobang hitam yang dalam.
Manusia bermuka hitam itu cekung sekali
kedua pipinya sedang hidungnya melesak
penyet!
"Jangan takut anak, jangan takut!" kata
manusia bermuka seram. Ketika dilihatnya
ketiga penunggang kuda itu sudah berlalu
maka baru dilepaskannya tangannya yang
menekap mulut si gadis cilik.
"Mari ikut aku, anak! Kau anak manis, tulang-
tulangmu bagus. Anak perempuan yang
sepertimu ini yang kucari-cari!"
'Tidak!" si gadis cilik meronta ketakutan dan
melejang-lejangkan kedua kakinya.
"Kalau kulepaskan kau mau lari ke mana,
anak?!"
"Ibu … ibu … aku akan mengejar ibu!" jawab si
anak.
"Ah … akan mengejar ibumu dan melawan
perampok-perampok jahat itu?!"
"Ya!"
Manusia bermuka hitam seram yang temyata
adalah seorang nenek-nenek itu tertawa
mengekeh.
"Sekecil ini kau telah menunjukkan hati
jantan! Bagus! Memang calon muridku harus
bersifat demikian! Dan sampai saat ini kau
tidak menangis! Hebat!"
Si muka hitam lalu mendukung gadis cilik itu
dan berkelebat meninggalkan tempat tersebut.
Tapi satu bayangan putih memapas larinya
dan satu bentakan mengumandang keras!
"Perempuan muka hitam! Anak itu sudah
ditakdirkan menjadi muridku!"
Sang nenek terkejut bukan main dan
menghentikan larinya.
"Bangsat! Setan alas dari mana yang berani
mengumbar mulut seenaknya terhadapku?!" DI
HADAPAN si nenek yang mendukung tubuh
anak kecil itu berdiri seorang kakek-kakek
berpakaian putih. Kumis dan janggutnya
panjang menjulai, melambai-lambai ditiup
angin. Mengenali orang yang berdiri di
depannya si nenek kembali membentak,
"Munding Wirya Kau rupa-rupanya yang
berani-beranian bicara seenak perutmu
terhadapku! Lekas menyingkir sebelum aku
berobah pikiran untuk mencekik batang
lehermu!"
Si kakek tertawa perlahan dan ketuk-ketukan
tongkat bambu kuning yang di tangan
kanannya ke tanah. Meski tombak itu
besarnya tidak lebih dari sebesar jari tangan,
namun hebatnya tanah yang diketuk terasa
bergetar!
"Serahkan bocah itu padaku, Camperenik! Lalu
pergilah dengan aman!" berkata Munding
Wirya.
Si nenek yang ternyata bernama Camperenik
menggembung kedua pipinya yang cekung lalu
menghentakkan kaki kirinya ke tanah. Tanah
itu bergetar dan melesak! Sekaligus si nenek
hendak menunjukkan bahwa tenaga dalamnya
tidak kalah hebat dengan tenaga dalam si
kakek.
"Enak betul bicaramu! Bertahun-tahun aku
berkeliling mencari calon murid yang baik.
Sesudah dapat ada yang mau memintanya!
Puah! Bertempur sampai seribu juruspun aku
bersedia mempertahankannya!"
"Aku tak punya waktu untuk bertempur
dengan manusia macam kau. Serahkan anak
itu secara baik-baik padaku agar kau tidak
menyesal tujuh turunan!"
Camperenik tertawa gelak-gelak.
"Kau mengancam aku, Munding? Ya?! Puah!
Kau andalkan apakah?"
"Kau harus tahu diri Camperenik. Anak itu
tidak sudi ikut dengan kau, kenapa dipaksa?!"
"Lantas apa sangkut pautmu?!" tukas si
nenek. "Sudahlah. Kataku serahkan anak itu.
Dia sudah ditakdirkan untuk jadi muridku!"
"Langkahi dulu mayatku, baru kau boleh ambil
bocah ini!" jawab Camperenik tegas dan
ketus.
Munding Wirya usut-usut janggut putihnya
dan geleng-gelengkan kepala.
"Otak tololmu sekeras batu nenek-nenek
pikun! Anak baik-baik itu tidak pantas jadi
muridmu! Turunan baik-baik tak boleh
dijadikan murid orang golongan hitam
macammu!"
"Menyingkir dari hadapanku kakek-kakek
sialan! Kalau kau masih berani berbacot, hati-
hatilah kepalamu!"
"Begini saja, Camperenik. Kita suruh saja
anak perempuan itu memilih salah seorang
dari kita. Kalau dia mengatakan ikut
denganmu, aku akan mengalah dan kau boleh
bawa dia."
Camperenik yang bermuka buruk seram tentu
saja tidak mau menerima usul itu karena dia
yakin si anak pasti tidak akan memilihnya.
"Dalam urusan ini tak ada segala macam janji
dan usul! Lekas minggat dari hadapanku!"
Munding Wirya mengusut lagi janggutnya.
"Jadi kau tak mau menyerahkan anak itu
secara baik-baik?!"
"Tidak! Dan kau mau apa?!" tantang
Camperenik.
"Kau akan menyesal!" desis Munding Wirya.
Dia maju selangkah demi selangkah. Tiba-
tiba tongkat bambu kuningnya yang kecil itu
disabatkan ke depan ke arah kedua kaki
Camperenik. Si nenek berteriak marah dan
melompat setengah tombak. Selagi melayang
di udara kaki kanannya ditendangkan ke
muka. Tongkat kuning di tangan Munding
Wirya cepat berputar memapas. Si nenek
terkejut. Tak disangkanya gerakan lawan
demikian sebat. Cepat-cepat kakinya ditarik
pulang dan ganti menyerang dengan satu
cengkeraman dahsyat ke muka lawan. Namun
lagi-lagi dia harus membatalkan serangannya
karena saat itu kembali tongkat lawan
menderu memapaki tangannya!
Maklum bahwa sulit baginya untuk menyerang
secara langsung, Camperenik merubah siasat.
Dia mulai melepaskan pukulan-pukulan
tangan kosong yang hebat dari jarak lima
langkah. Kali ini si kakek terpaksa tidak bisa
mengandalkan terus tongkat bambu
kuningnya untuk menangkis serangan lawan.
Dia musti bergerak cepat. Tubuhnya
merupakan bayang-bayang putih kini,
menyambar kian kemari. Tongkatnya lenyap
menjadi gulungan-gulungan kuning yang
menderu kian kemari menyambar ke tabuh
lawan!
Pertempuran antara si kakek dan si nenek
telah berjalan hampir seratus jurus. Keduanya
samasama hebat, lebih-lebih si nenek muka
hitam karena sambil bertempur dia masih
terus mendukung anak perempuan itu di
tangan kirinya. Munding Wirya tiba-tiba
berteriak nyaring dan merobah permainan
silatnya. Si nenek mendadak sontak merasa
tekanan serangan yang hebat dan gencar.
Dalam penasarannya dia berpikir ilmu silat
apakah yang tengah dikeluarkan lawan, yang
demikian asing dan hebat? Ketika dia tak
sanggup membendung lebih lama hujan
serangan Munding Wirya, Camperenik segera
mencabut senjatanya dari balik pinggang.
Senjatanya ini yaitu seekor ular yang telah
dikeringkan menjadi tongkat dan bisa
menyemburkan racun jahat. Di tangan
Camperenik ular yang sudah keras kaku itu
bisa dibuat demikian rupa laksana hidup dan
menyambar kian kemari!
Munding Wirya sekitar dua tahun yang lalu
telah pernah bertempur dengan Camperenik,
karenanya dia sudah tahu kehebatan senjata
lawan dan cepat-cepat menutup jalan
pernafasannya. Betul saja, baru satu jurus
bertempur dengan mempergunakan senjata
ularnya, Camperenik tibatiba menekan badan
ular dan menyemprotlah racun kuning dari
mulut tongkat ular ke muka Munding Wirya.
Si nenek jadi amat penasaran melihat
lawannya tidak roboh oleh semburan racun
tongkat ularnya. Dengan geram dia
merangsak ke depan. Dan terjadilah baku
tongkat yang amat seru. Lima puluh jurus lagi
berlalu. Masing-masing mengeluarkan ilmu
silat simpanan. Serangan di balas serangan.
Tipu daya dibalas tipu daya pula. Masing-
masing mengintai kelengahan lawan.
"Camperenik!" Munding Wirya tiba-tiba
berseru sewaktu pertempuran memasuki jurus
ke tujuh puluh. "Apakah kau tetap tak mau
menyerahkan anak perempuan itu padaku?!"
"Sekali aku bilang tidak, sampai nyawaku
terbang kenerakapun aku tetap bilang tidak!"
jawab si nenek seraya hantamkan tongkat
ularnya ke batok kepala Munding Wirya. Si
kakek miringkan tubuh dan kiblatkan tongkat
bambu kuningnya.
"Trang!"
Kedua senjata itu beradu keras. Masing-
masing tangan tergetar hebat dan itu adalah
peraduan yang keenam puluh dua kalinya!
Masing-masing pihak melompat mundur lalu
sama-sama menyerbu kembali. Dua jurus di
muka Munding Wirya keluar dari kalangan
pertempuran. Tongkat bambu kuningnya
dimelintangkan di depan dada. Sepasang
matanya menatap tajam pada Camperenik.
"Untuk penghabisan kalinya aku tanya. Kau
masih belum mau menyerahkan anak itu?!"
Camperenik meludah ke tanah.
"Jilatlah ludah itu! Baru aku serahkan anak
ini padamu!"
Merahlah wajah Munding Wirya. Tongkat di
tangan kanannya dipindahkan ke tangan kiri.
Tubuhnya dibungkukkan ke depan, sedang
jari-jari tangan kanan dikepalkan. Sesaat
kemudian kepalan itu mengeluarkan sinar biru
pekat.
Paras Camperenik kontan berobah. Dia tahu
pukulan apa yang bakal dilepaskan lawan.
Dan dia tahu pula bahwa dia tak bakal
sanggup menerima pukulan itu!
"Bagaimana, Camperenik?!" tanya Munding
Wirya. "Serahkan anak itu atau kau akan mati
konyol dilabrak pukulan buana biru ini?!"
Mulut Camperenik komat-kamit. Pelipisnya
menggembung. Otaknya bekerja keras. Dia tak
bakal sanggup menerima pukulan buana biru
itu. Laripun percuma. Tiba-tiba dia
membentak keras,
"Kau mau bunuh aku dengan pukulan itu?!
Baik! Lakukanlah cepat!"
Habis berkata begitu Camperenik acungkan
anak perempuan yang didukungnya di depan
tubuhnya! Munding Wirya jadi kaget terkesiap.
Walau bagaimanapun tak mungkin baginya
untuk meneruskan melepaskan pukulan buana
biru. Meski Camperenik bakal menemui
kematian, tetapi anak perempuan itu sendiri
pasti akan ikut mati bersama-sama si nenek!
"Keparat betul si Camperenik ini! Apa yang
harus kulakukan?" maki dan pikir Munding
Wirya geram.
"Ayo Munding! Kau tokh mau bikin mampus
aku?! Silahkan lakukan!" Camperenik berteriak
dengan sunggingkan senyum mengejek,
membuat Munding Wirya tambah geram.
'"Kalau kau tak mampu melakukannya,
sebaiknya lekas angkat kaki dari hadapan
tuanmu!" ejek Camperenik lagi.
Tiba-tiba satu bayangan putih melesat dari
samping. Munding Wirya tersentak kaget.
Camperenik mengeluarkan seruan terkejut.
Dan tahu-tahu anak perempuan yang
diacungkannya terbetot lepas dari pegangan
kedua tangannya! Sesosok tubuh berpakaian
putih sementara itu dengan sebat berlalu
cepat dan lenyap.
"Kurang ajar! Edan!" jerit Camperenik marah
lalu hendak mengejar. Namun dari samping
satu sinar biru menderu laksana topan
prahara. Nenek-nenek ini terkejut. Munding
Wirya temyata telah melepaskan pukulan
"buana biru" begitu si nenek bersikap lengah.
Camperenik menjerit lagi dan membuang diri
ke belakang. Nyawanya selamat tapi angin
serangan masih sempat memapas pinggulnya
membuat nenek-nenek ini roboh dan terguling
pingsan! Munding Wirya tak menunggu lebih
lama, segera dia angkat kaki mengejar orang
yang telah merampas anak perempuan tadi
dari tangan Camperenik!
Di tepi lembah Munding Wirya masih sempat
melihat orang yang dikejarnya lari ke jurusan
timur. Dengan mengandalkan ilmu larinya
yang hebat si kakek terus mengejar. Tapi
bagaimanapun diusahakannya tetap saja dia
hanya bisa memperdekat jarak sampai tiga
puluh langkah. Kalau saja dia tidak kawatir
akan keselamatan anak yang berada di
tangan si penculik, sudah sejak tadi dia
melepaskan pukulan buana biru saking gemas
hatinya. Sekali-kali dilihatnya si penculik
berpaling ke belakang seolah-olah
mengejeknya. Munding Wirya tidak ingat
sudah berapa lama dia mengejar orang itu
sementara matahari sudah condong ke barat
dan hari hampir senja. Dan sampai saat itu
dia masih belum mampu mengejar orang yang
melarikan anak perempuan itu. Si penculik
sendiri agaknya tidak mau melenyapkan diri
dari pemandangan kedua mata Munding Wirya
dan masih terus juga berpaling sekali-kali ke
belakang. Ini menimbulkan tanda tanya besar
di hati si orang tua. Siapakah gerangan
adanya orang itu yang demikian hebat ilmu
larinya?!
Tepat pada saat matahari tenggelam diufuk
barat, tiba-tiba orang yang dikejar Munding
Wirya lenyap dari pemandangan!
Kakek-kakek itu menghentikan larinya dan
memandang berkeliling. Orang itu tak
kelihatan, lenyap laksana di telan bumi di
senja hari itu!
"Benar-benar edan … !" maki Munding Wirya
dalam hati. Sekali lagi diselidikinya tempat
sekitar situ. Tetap dia tak menemukan apa-
apa. "Mungkin belum jodohku anak itu. Tapi
betulbetul aneh dan hebat. Siapakah orang
yang telah melarikannya itu?"
Dengan hati kecewa Munding Wirya
menggerakkan kaki melangkah meninggalkan
tempat tersebut. Namun satu langkah dia
bertindak tiba-tiba terdengar suara
memanggil.
"Orang tua kemarilah!"
Munding Wirya terkesiap. Dia mendongak ke
atas. Dan astaga! Tepat di atasnya, disebuah
cabang pohon besar di bawah mana dia
berdiri, duduk sesosok tubuh berpakaian putih
tengah memangku anak perempuan yang
hendak diambilnya jadi murid! Dengan serta
merta Munding Wirya menjejakkan kedua
kakinya ke tanah. Tubuhnya melesat dan di
lain kejap dia sudah berada di atas cabang
pohon besar di mana orang yang melarikan
anak perempuan itu duduk. Terkejutlah
Munding Wirya ketika dia melihat bahwa
orang yang menculik si anak adalah seorang
perempuan tua berambut putih jarang. Pada
kulit kepalanya tertancap lima buah tusuk
konde. Kulitnya yang hitam kelihatan lebih
hitam karena selempang kain putih yang
dikenakannya, ditambah lagi oleh kegelapan
senja yang datang.
"Pantas … pantas. Engkau rupanya Sinto.
Pantas saja aku tak sanggup mengejarmu!".
Habis berkata begitu Munding Wirya menjura
dalam-dalam.
Perempuan tua di depannya tertawa kecil
sementara si anak dalam pangkuannya saat
itu telah tertidur nyenyak.
"Empat puluh tahun tidak bertemu, sekarang
kau muncul lagi di luaran. Sungguh satu hal
yang menyenangkan," kata Munding Wirya
lagi, lalu dia bertanya. "Kalau aku boleh tahu,
urusan apakah yang membuat kau
meninggalkan puncak gunung Gede? Kudengar
kabar kau sudah bertekad untuk
mengundurkan diri dari dunia yang penuh
kotor ini."
"Betul … itu betul sahabatku Munding Wirya.
Setelah puluhan tahun mendekam di puncak
gunung Gede tubuh tua rongsokan ini masih
belum juga mau mampus! Aku kesal dan
kesepian! Terpaksa iseng-iseng turun gunung
melihat-lihat?"
Munding Wirya tertawa gelak-gelak. Hatinya
ingin menanyakan apa sebabnya perempuan
tua itu melarikan si anak perempuan, apakah
hendak mengambilnya sebagai murid pula,
tetapi si kakek kemudian membatalkan
maksudnya karena dia kawatir perempuan tua
itu akan tersinggung. Siapakah sebenarnya
perempuan tua itu? Dia bukan lain Eyang
Sinto Gendeng, guru pendekar 212 dari puncak
gunung Gede, tokoh silat yang pernah merajai
dunia persilatan selama berpuluh tahun!
Sambil mengusap kepala si anak perempuan,
Sinto Gendeng berkata,
"Anak bagus. Cerdik, berani. Aku tak ingin dia
jadi murid tokoh jahat golongan hitam.
Karenanya kurampas dari tangan Camperenik.
Ini kau ambillah!"
Legalah hati Munding Wirya. Namun demikian
sebagai basa-basi dan peradatan dia berkata,
"Jika kau ingin mengambilnya jadi murid,
silahkan kau bawa ke gunung Gede." Sinto
Gendeng tertawa,
"Aku memang mau kembali ke gunung Gede
dan anak ini mempunyai susunan tubuh serta
bakat bagus. Tapi sayang dalam hidupku aku
sudah berjanji untuk cuma punya satu murid.
Aku tak bisa mengambilnya. Kuharap kau
akan mendidik dan menggemblengnya
menjadi gadis pendekar yang hebat agar
dapat membalaskan sakit hati atas apa yang
telah menimpa orang tua dan saudara-
saudaranya."
"Jadi kau juga tahu apa yang telah terjadi di
kampung itu, Sinto?" Sinto Gendeng
mengangguk perlahan.
"Kekotoran-kekotoran macam itu harus
dilenyapkan. Dan biarlah anak ini kelak yang
bakal menuntut balas!" Sinto Gendeng
mengusap kepala anak perempuan itu sekali
lagi lalu menyerahkannya pada Munding
Wirya. Laki-laki tua ini terkejut sekali karena
baru saja si anak berada dalam dukungannya,
Sinto Gendeng tahu-tahu telah berkelebat
lenyap dari cabang pohon. Munding Wirya
gelengkan kepala dan tarik nafas panjang.
"Tak dapat kuukur betapa tingginya ilmu
kepandaian manusia itu!" Setelah memandang
berkeliling sesaat, kakek-kakek inipun
melompat turun dari cabang pohon dan
lenyap dalam kegelapan malam. HUTAN
Bludak merupakan hutan yang paling lebat di
daerah selatan Jawa Barat. Penduduk yang
diam dibeberapa desa sekitar hutan tersebut
menganggapnya sebuah hutan angker yang
jarang di datangi manusia. Menurut penduduk
disitu, selain penuh dengan bindtang buas
juga dihuni oleh berbagai macam makhluk
halus. Di samping itu hutan Bludak juga
merupakan sarang manusia-manusia jahat.
Di pertengahan hutan yang angker lebat itulah
gerombolan rampok Bayunata mendirikan
markas mereka. Rumah-rumah mereka atau
lebih tepat dikatakan pondok-pondok didirikan
di atas pohonpohon raksasa dalam hutan
yang keseluruhannya berjumlah hampir dua
puluh buah. Bayunata sengaja mendirikan
pondok di atas-atas pepohonan agar jangan
diganggu oleh binatangbinatang buas.
Disamping itu juga untuk menjaya jika
sewaktu-waktu terjadi penggrebekan oleh
pasukan kerajaan Banten atau Pajajaran.
Selama bertualang malang melintang
memimpin gerombolan rampok bersama
Singgil Murka dan Sawer Tunjung, telah dua
kali Bayunata diserang oleh orang-orang
kerajaan. Pertama dari Pajajaran dan yang
terakhir dari Banten. Meski anak buahnya
banyak yang jatuh menjadi korban, namun
Bayunata dan kawan-kawannya berhasil
menghalau prajurit-prajurit penyerang.
Saat itu baru saja memasuki malam. Di dalam
sebuah pondok di atas pohon terdengar sedu
sedan tangis dua orang perempuan. Mereka
adalah Galuh Asih dan Ratih, ibu dan kakak
perempuan anak perempuan kecil yang
dibawa oleh Munding Wirya. Di dalam pondok
itu juga terdapat lima orang perempuan yang
rata-rata berparas cantik. Namun dibalik
paras cantik masing-masing, jelas kelihatan
sikap dengki dan bengis. Salah seorang dari
kelima perempuan itu tiba-tiba berdiri dan
membentak, "Kalian ibu dan anak sama-sama
keblingernya! Kalian harus berterima kasih
tidak dibunuh oleh Bayunata! Kalian harus
bersyukur diambil jadi istri!"
Galuh Asih menyusut air matanya dan
memandang tepat-tepat pada perempuan
yang membentak itu, lalu berkata dengan
suara pelahan tapi menusuk tajam.
"Aku dan anakku menangis karena kami
bukanlah manusia-manusia macam kau dan
lainlainnya! Kalian bersyukur jadi perempuan-
perempuan peliharaan Bayunata itu urusan
kalian. Jangan coba-coba mempengaruhi
kami!"
"Ho-oo! Kau ibu dan anak mau mengandalkan
apakah hendak menolak kehendak Bayunata?
Lebih baik menurut saja! Kalian akan dapat
uang, pakaian dan harta perhiasan!"
"Enyahlah dari tempat ini!" bentak Galuh Asih.
Perempuan yang dibentak cuma tertawa sinis.
Dikeluarkannya sebuah botol berisi cairan
hitam lalu melangkah kehadapan Galuh Asih.
"Perempuan macammu ini biasanya
mempunyai jalan pikiran lebih baik mati
daripada jadi peliharaan seorang kepala
rampok! Inil Minumlah racun ini kalau kau
memang mau mati!"
Tiba-tiba pintu pondok terbuka lebar-lebar
dan sesosok tubuh masuk ke dalam seraya
membentak.
"Perempuan bangsat! Berani kau menyuruh
Galuh Asih minum racun?!"
Perempuan itu menjerit. Tubuhnya terbanting
ke lantai pondok. Di hadapannya berdiri
Bayunata dengan bertolak pinggang dan mata
membeliak.
"Warinah! Sudah sejak lama kudengar kau
berperangai buruk! Menghasut, memfitnah
bahkan main gila dengan beberapa orang
anak buahku! Berdiri!"
Warinah, demikian nama perempuan itu
berdiri dengan perlahan. Parasnya sepucat
kertas.
"'Bawa sini botol itu!" bentak Bayunata lalu
merampas botol racun dari tangan Warinah
dan membuka tutupnya.
"Sekarang kau sendiri yang harus meneguk
racun ini! Ayo, teguk!" perintah Bayunata.
"Ampun … ampun Bayunata. Aku, aku tidak
bermaksud …"
"Minum cepat!" teriak Bayunata sementara
empat orang perempuan lainnya kawan-
kawan Warinah berdiri di satu sudut dengan
ketakutan. Warinah mundur beberapa
langkah.
"Minum kataku!" teriak Bayunata lagi lalu
melompat dan, menjambak rambut Warinah.
Racun dalam botol dituangkannya ke mulut
Warinah tetapi perempuan itu lebih cepat
menutup bibirnya rapat-rapat!
"Oo … kau tak mau mampus cara begini hah?!
Baik! Aku memang sudah bosan padamu,
sudah muak! Lihat, kau akan mampus dengan
cara yang lebih mengerikan!"
Bayunata menangkap pinggang Warinah lalu
melemparkan tubuh perempuan itu keluar
pintu pondok! Pondok itu terletak di atas
pohon raksasa yang hampir duapuluh tombak
tingginya. Di luar terdengar pekik ngeri
Warinah lalu sunyi tanda tubuhnya telah
menemui kematian di bawah sana!
Di dalam pondok Bayunata memandang pada
empat perempuan kawan Warinah lalu
membentak mereka agar meninggalkan
pondok itu! Keempatnya berebutan cepat
keluar dan lari sepanjang jembatan gantung
kecil yang terbuat dari tali yang
menyambungkan pondok itu dengan pondok
lainnya. Kepala rampok Bayunata memutar
tubuh dan memandang ganti berganti pada
Galuh Asih dan Ratih.
"Walau bagaimanapun," katanya, "bunuh diri
adalah perbuatan paling tolol!"
"Kami mernang tak ingin bunuh diri!
Bebaskan kami dari tempat terkutuk ini!"
menyahut Galuh Asih.
"Itu tindakan yang lebih tolol lagi!" kata
Bayunata pula.
"Kau telah memiliki perempuan-perempuan
peliharaan berlusin-lusin. Apakah itu belum
cukup? Masih kurang? Demi Tuhan lepaskan
kami!"
"Jangan sebut-sebut nama Tuhan!" teriak
Bayunata marah. "Setiap ada yang menyebut
Tuhan selalu saja aku ditimpa kesialan!"
"Bebaskan kami!"
"Tidak bisa! Kau harus jadi istriku! Jadi
peliharaanku, tahu?! Memang aku punya
lusinan perempuan di sini. Aku sudah bosan
dengan mereka semua! Kau musti tahu setiap
perempuan berbeda! Punya keistimewaan
sendiri-sendiri!" Dan habis berkata begitu
Bayunata tertawa gelakgelak. Dia melangkah
ke pintu dan berteriak. Seorang anak buahnya
datang dengan cepat.
"Bawa gadis itu ke pondokku! Usir
perempuan-perempuan yang ada di sana dan
jaga dia baikbaik! Awas kalau kau berani
berbuat kurang ajar!"
Dalam keadaan menjerit-jerit Ratih dipanggil
oleh anggota rampok itu. Ketika hendak
dibawa pergi Galuh Asih cepat menghadang.
"Lepaskah dia! Lepaskan anakku!"
"Jangan tolol Galuh Asih!" bentak Bayunata
seraya menarik lengan perempuan itu
kemudian sekaligus dirangkulnya. Galuh Asih
memekik dan menangis keras sewaktu anak
gadisnya lenyap diluar pintu.
Bayunata menutup pintu pondok dan tegak
menunggu sampai tangis Galuh Asih mereda.
Bila perempuan itu tampak agak tenangan
sedikit dia melangkah mendekati.
"Kau tak usah kawatir akan keselamatan diri
anakmu …"
"Pergi! Jangan dekati aku! Jangan jamah
tubuhku!"
"Oh, begitu? Apakah kau mau aku memanggil
sepuluh anak buahku dan menjamah sekujur
tubuhmu sekaligus?!"
"Bangsat! Demi Tuhan matilah kau!" teriak
Galuh Asih lalu melompat dan memukulkan
kedua tinjunya kemuka Bayunata.
Dengan mudah kepala rampok hutan Bludak
itu menangkap kedua lengan Galuh Asih dan
dilain kejapperempuan itu sudah tenggelam
dalam rangkulannya. Ciumannya bertubi-tubi.
Galuh Asih melejang meronta-ronta berusaha
melepaskan diri namun sia-sia saja malah
lambat laun tenaganya semakin mengendur
dan dia tak berdaya apa-apa sewaktu
Bayunata membaringkannya di atas kasur
jerami kering. Kekuatan perempuan ini timbul
kembali sewaktu Bayunata mulai
menanggalkan pakaiannya dengan kasar.
Keduanya bergumul berguling-guling dan
pada akhirnya Galuh Asih kembali menyerah
kehabisan daya! Dia hanya meramkan mata,
tak bisa menolak sewaktu Bayunata meneduhi
tubuhnya. Galuh Asih tiba-tiba menjerit keras
ketika dirasakannya bulu-bulu dada kepala
rampok itu menggeremangi buah dadanya.
Dia menjerit sekali lagi, sekali lagi lalu
pingsan di bawah tindihan tubuh laki-laki
terkutuk itu!
Sepeminuman teh lewat.
Bayunata dengan tubuh keringatan dan
terhuyung-huyung melangkah ke pintu.
Dibukanya pintu itu. Untuk beberapa lamanya
dia berdiri memandangi kegelapan. Disekanya
peluh yang berciciran dikeningnya. Dia
berpaling kebelakang. Galuh Asih terbujur
diatas kasur jerami dalam keadaan tak
berpakaian. Sepasang matanya terpejam.
Dada dan perutnya jelas kelihatan turun naik.
Betapa bagusnya tubuh telanjang itu
dipandang demikian rupa. Dan tentu tubuh
anaknya yang, masih perawan jauh lebih
bagus dari itu, pikir Bayunata..
Kepala rampok hutan Bludak ini memalingkan
kepalanya, kembali memandang keluar
pondok. Dia kemudian berteriak memanggil
dua orang tangan kanannya. Tak lama
muncullah Singgil Murka dan Sawer Tunjung.
Bola-bola mata kedua manusia ini membesar
sewaktu mereka memandang ke dalam pondok
dan melihat tubuh Galuh Asih yang terbaring
telanjang diatas kasur jerami.
"Sobat-sobatku, kau lihat pemandangan di
dalam sana?!" ujar Bayunata sambil
menyeringai dan menunding dengan ibu
jarinya. "Hari ini jangan katakan lagi aku
temahak perempuan! Kalian berdua boleh
perbuat apa saja sekarang terhadapnya! Tapi
… jangan main serobotan. Dia masih letih ….!"
Habis berkata begitu Bayunata tertawa
mengekeh lalu meninggalkan ambang pintu,
meniti jembatan tali yang menuju kepondok
lainnya.
Sawer Tunjung cepat-cepat melangkahkan
kaki masuk ke dalam pondok. Tapi bahunya
dipegang oleh Singgil Murka.
"Mau kemana Sawer? Aku tokh lebih tua
darimu? Aku yang lebih dulu!"
Sawer Tunjung mengeluarkan suara
menggerutu.
"Lagi-lagi soal umur kau gunakan untuk lebih
dulu dapat mencicipi perempuan itu!
Sekalisekali aku tokh boleh saja lebih dulu
dari kau?! Aku tak ingin selalu jadi tukang
cuci mangkok!"
Singgil Murka menyeringai memperlihatkan
barisan gigi-giginya yang besar, hitam kotor
tak pernah digosok.
"Yang sekali ini lain, sobat! Betul-betul lain!"
desis Singgil Murka tanpa melepaskan bahu
kawannya.
Sawer Tunjung jadi penasaran. Ditepiskannya
lengan Singgil Murka dan berkata keras.
"Justru karena yang sekali ini lain maka aku
yang musti lebih dulu!"
Sementara kedua kawanan rampok itu
bertengkar, perlahan-lahan. Galuh Asih
membuka kedua matanya. Dia sadar apa yang
telah terjadi atas diri nya. Mendengar
pertengkaran Singgil Murka dan Sawer
Tunjung dia sadar pula apa yang bakal
menimpa dirinya. Noda kotor baru saja
menimpa dirinya dan kini kembali kekotoran
itu akan jatuh. Galuh Asih se-olah-olah
mendapat kekuatan gaib. Tidak saja
perempuan ini bangkit dan berdiri tanpa
memperdulikan keadaan tubuhnya. Dia
menjerit keras lalu secepat kilat lari ke
ambang pintu.
"Hai!" Singgil Murka dan Sawer Tunjung
berseru hampir bersamaan. Keduanya
melompat ke pintu tapi terlambat. Tubuh
Galuh Asih melayang dalam kegelapan
malam. Jeritannya mengumandang
mengerikan. Dan suara jeritan itu dengan
serta merta berhenti sewaktu tubuh
perempuan tersebut jatuh dengan keras ke
tanah! Kepalanya rengkah, lehernya patah!
BAYUNATA tengah meniti jembatan gantung
yang terbuat dari tali-tali besar, menuju ke
pondok di mana Ratih berada, dijaga oleh dua
orang anak buahnya. Pada saat itulah
didengarnya lengking jerit yang mengejutkan
di malam pekat itu. Dia membalikkan tubuh
dan samar-samar di kegelapan malam
dilihatnya sesosok tubuh berambut panjang
tanpa pakaian melayang jatuh dari pondok di
seberang sana. Lamat-lamat terdengar suara
tubuh itu terhampar di tanah lalu sunyi.
Dipondok seberang sana Singgil Murka dan
Sawer Tunjung berlarian keluar dan
memandang ke bawah. Bayunata berteriak
memanggil kedua orang itu.
"Apa yang terjadi?!" tanya Bayunata meski dia
sudah dapat menduga apa yang barusan
terjadi. "Perempuan itu, Bayu! Dia bunuh diri!"
jawab Singgil Murka.
"Kalian biarkan dia bunuh diri hah?!"
"Kami … kami tengah bertengkar. Dia tiba-tiba
bangkit dari pembaringan dan lari sangat
cepat ke pintu. Kami tidak sempat
mencegahnya!" jawab Sawer Tunjung.
Geraham-geraham Bayunata berkeretakan.
"Kalian memang kerbau-kerbau dogol yang
tidak tahu diri! Berlalu dari hadapanku!"
sentak Bayunata.
Singgil Murka dan Sawer Tunjung segera
meninggalkan tempat itu. Mereka turun ke
tanah untuk menyuruh urus mayat Galuh Asih
dan juga mayat Warinah yang sebelumnya
telah dilemparkan oleh Bayunata. Bila kedua
pembantunya itu telah berlalu, Bayunata
meneruskan meniti jembatan gantung dari tali
menuju ke pondok di hadapannya.
"Kalian boleh pergi," kata kepala rampok ini
pada dua orang anak buahnya yang
mengawal dipintu.
Bila Bayunata membuka pintu pondok maka
kelihatanlah gadis itu berdiri di sudut ruangan
tengah menangis tersedu-sedu. Pondok itu
adalah tempat kediaman Bayunata. Selain
paling besar juga di dalamnya terdapat
perabotan-perabotan yang serba mewah.
"Hentikan tangismu. Sekarang bukan
waktunya lagi untuk menangis terus-terusan."
kata Bayunata seraya menutupkan pintu
pondok.
Dari sebuah rak kayu jati diambilnya dua
seloki besar. Seloki-seloki itu diisinya sampai
setengahnya dengan anggur harum.
"Minumlah, kau tentu haus," kata si kepala
rampok dan mengacungkan seloki yang di
tangan kanannya ke muka Ratih.
Si gadis memandang seloki itu seketika lalu
mengambilnya dan dengan tiba-tiba anggur di
dalam seloki disiramkannya ke muka
Bayunata.
Kepala rampok itu undur beberapa langkah.
Dia mengerenyit. Kedua matanya yang
tersiram anggur terasa perih. Setelah
menggosok-gosok kedua matanya itu
beberapa lama sehingga rasa perihnya hilang,
Bayunata duduk ke sebuah kursi. Untuk
pertama kalinya dia tidak menjadi beringas
marah diperlakukan seperti itu. Dipandangnya
Ratih dengan kedua matanya yang merah dan
perlahan-lahan diteguknya anggur dalam
seloki.
"Gadis galak, kau memang pantas jadi istriku!
Terangkan siapa kau punya nama."
Jawaban dari Ratih adalah bentakan keras.
"Keluarkan aku dari sini! Keluarkan!"
Bayunata tertawa perlahan.
"Setiap perempuan yang kubawa kemari selalu
berteriak minta dikeluarkan, minta
dibebaskan! Mereka harus tahu bahwa sekali
mereka masuk ke sini tak mungkin keluar, tak
mungkin bebas! Kecuali kalau mereka mencari
jalan tolol bunuh diri!" Dan Bayunata hendak
menerangkan tentang kematian Galuh Asih
kepada gadis itu, tetapi maksudnya itu
kemudian dibatalkan.
"Hentikan tangismu. Jangan bikin aku muak
dan marah." Bayunata berkata bilamana Ratih
masih dilihatnya menangis.
Sebagai jawaban Ratih melemparkan seloki di
tangan kananpya. Dengan tangan kirinya
Bayunata menangkap seloki itu. Ditimang-
timangnya benda itu seketika lalu berkata,
"Aku berjanji tidak akan memperlakukan kau
seperti perempuan lain sebelumnya. Aku tidak
akan menyakitimu."
"Persetan dengan ucapanmu!" tukas Ratih.
"Keluarkan aku dari sini. Juga ibuku!"
Kembali Bayunata tertawa perlahan. Seloki
dikedua tangannya diletakkannya di atas
sebuah meja kecil lalu melangkah mendekati
Ratih. Di lain pihak si gadis cepat-cepat
menjauh.
"Seorang penjahat memang tak dapat
dipercaya. Tapi kau sekali ini kau musti
percaya dengan ucapanku," dan Bayunata
mendekat lagi. Ratih mundur lagi sampai
tubuhnya tertahan oleh pondok.
"Aku tak akan menyakitimu. Siapa namamu
gadis… ?"
Ratih memepet ke dinding. Tiba-tiba
disampingnya dilihatnya sebuah jambangan
besar dari kuningan. Tanpa pikir panjang lagi
disambarnya benda itu dan dilemparkannya ke
kepala Bayunata.
Melihat sikap Ratih yang keras demikian rupa
meskipun dia telah menghadapinya dengan
lembut, kini naiklah darah si kepala rampok.
Sekali tinju saja jambangan besar itu hancur
berkeping-keping.
"Tingkahmu tidak ada beda dengan kau punya
ibu yang sudah mampus bunuh diri!" bentak
Bayunata beringas.
Ratih kaget bukan main.
"A … apa?! Ibuku bunuh diri …?!" tanyanya
membeliak.
"Bunuh diri dan mampus!" jawab Bayunata
lalu sekali lompat saja kedua tangannya telah
mencengkeram bahu Ratih. Gadis itu
dilemparkannya ke tempat tidur dan
ditindihnya sekaligus. Ratih berguling-guling,
meronta dan menerjang untuk melepaskan
tubuhnya dari rangkulan kepala penjahat itu.
Namun ini hanya menghabiskan tenaganya
sementara setiap kesempatan yang ada
dipergunakan oleh Bayunata untuk merenggut
dan merobek pakaian yang melekat di tubuh
sang dara hingga dalam waktu yang sihgkat
pakaian yang melekat di tubuh Ratih sudah
tak karuan rupa lagi. Penuh robek dan terbuka
di sana-sini!
Satu kali Bayunata berhasil menindih tubuh
gadis itu. Namun dengan sisa-sisa tenaganya
yang ada Ratih masih sanggup menerjangkan
kaki kanan menghantam perut Bayunata.
Kepala rampok itu mengeluh kesakitan.
Dijambaknya rambut Ratih. Keduanya
terguling dan jatuh di lantai pondok. Benturan
yang keras pada belakang kepalanya dilantai
membuat pemandangan Ratih berkunang-
kunang dan tenaganya semakin lemah sedang
jambakan Bayunata masih lengket
dirambutnya dengan keras.
Ratih tahu dia tak dapat bertahan lebih lama.
Mungkin sudah menjadi takdir bahwa dirinya
akan ditimpa kecemaran terkutuk begitu rupa.
Air mata berderaian meleleh pipinya. Nafas
Bayunata menghembus panas diwajahnya.
Dirasakannya jari-jari tangan laki-laki itu
membuka lilitan kain ditubuhnya.
Dirasakannya tangan yang lain dari Bayunata
menjalar meremas dadanya. Ratih menangis
keras. Usaha terakhir yang bisa dilakukannya
ialah merapatkan kedua kakinya sedapat-
dapatnya. Dan inipun gagal karena Bayunata
dengan mudah sekali menyibakkan kedua
kakinya itu!
"Tuhan! Tolonglah hambamu ini!" Ratih
memohon jauh dilubuk hatinya.
Dan pada saat itu pertolongan Tuhan benar-
benar datang!
Pintu pondok tanpa suara sedikitpun tiba-tiba
terbuka. Juga tanpa suara sesosok tubuh
bergerak cepat masuk ke dalam. Bayunata
merasakan kedua pergelangan kakinya
dicengkeram. Dan sebelum dia tahu apa yang
terjadi, mendadak sontak tubuhnya telah
dibantingkan ke lantai pondok! BAYUNATA
adalah seorang kepala rampok yang berilmu
tinggi. Begitu tubuhnya terbanting keras ke
lantai dia sanggup bangun kembali dengan
gerakan kilat seraya melepaskan satu
tendangan ke arah mana sudut matanya
melihat sosok bayangan putih yang barusan
masuk. Yang diserang nyatanya bukan
seorang yang berkepandaian rendah pula,
karena tendangan kilat Bayunata berhasil
dielakkannya dengan miringkan tubuh ke
samping kiri. Di lain kejap kedua orang itu
telah berdiri berhadap-hadapan.
"Bangsat rendah! Siapa kau?!" bentak
Bayunata.
Di hadapannya berdiri seorang pemuda
berbadan tegap. Baju putihnya tidak
dikancing hingga kelihatan dadanya yang
lebar bidang. Pemuda ini berdiri bertolak
pinggang. Rambutnya yang menjela bahu
bergoyang-goyang ditiup angin yang
berhembus dari pintu.
"Jika saja aku bertindak bukan atas nama
orang lain, sudah kupecahkan kepalamu,
Bayunata!" kata si pemuda.
"Kurang ajar! Kutekuk batang lehermu,
bangsat haram jadah!"
Bayunata menggembor lalu berkelebat dengan
sepuluh jari tangan terpentang. lniiah gerakan
yang dinamakan "sepasang lengan baja
meminta jiwa." Selain cepat serangan ini
menimbulkan angin yang luar biasa derasnya.
Pemuda ditengah ruangan cepat-cepat
menyingkir sewaktu dilihatnya sepuluh jari
lawan dengan amat cepat menyambar ke
batang lehernya. Namun tak terduga begitu
dia berhasil mengelak, sepasang lengan lawan
laksana palu godam tiba-tiba membabat ke
kepala dan pinggang! Si pemuda membuang
diri ke samping. Tangan kiri menekan lantai
sedang kaki kanan berkelebat ke atas
menendang ke arah salah satu lengan
Bayunata! Ini adalah satu gerakan yang sukar
dilakukan. Tetapi si pemuda bersikap seolah-
olah gerakan itu adalah gerakan main-main!
Ini memb'uat Bayunata penasaran setengah
mati. Dia bertekad untuk membuntoh pemuda
tak dikenal itu saat itu juga. Disambarnya
golok besar di kaki tempat tidur. Sesaat
kemudian senjata yang beratnya hampir
duapuluh kati itu sudah lenyap menjadi sinar
putih yang berkiblat ganas ke arah tubuh
pemuda berambut gondrong!
Pemuda yang diserang amat terkejut. Belum
pernah dia melihat permainan golok yang
demikian hebat. Selain golok itu besar dan
berat serta mendatangkan angin deras, sekali
berkiblat senjata ini telah menebar tiga
tabasan dan empat tusukan ke arah tujuh
bagian tubuh si pemuda!
Dalam tempo yang singkat pemuda itu dibikin
sibuk dan terdesak hebat. Golok lawan
menyambar berputar menderu-deru. Beberapa
kali hampir saja membuat dirinya celaka.
Ketika dia mempunyai kesempatan si pemuda
menyambar pakaian Bayunata yang
tercampak di lantai. Pakaian itu diputar-
putarnya dan digunakan untuk menghadapi
lawan. Bayunata merasa dianggap enteng,
apalagi pakaian yang tangan si pemuda
adalah miliknya sendiri. Permainan goloknya
diperhebat namun dia harus berhatihati
karena meskipun cuma sehelai pakaian namun
di tangan si pemuda benda itu berobah
menjadi satu senjata yang berbahaya.
Golok Bayunata membabat ke dada, membalik
memapas ke lambung kiri pemuda berambut
gondrong. Di lain pihak pakaian di tangan si
pemuda meluncur berputar-putar, menyusup
di bawah golok lawan lalu sekali benda itu
disentakkan, seluruh badan golok tahu-tahu
telah terlibat!
Bayunata berseru kaget. Cepat-cepat goloknya
dibetot. Tapi apa yang terjadi ialah
senjatanya itu tahu-tahu sudah terlepas dari
tangannya! Bayunata berteriak marah. Dia
menerjang ke muka dengan melepaskan satu
pukulan sakti. Namun sebelum hal itu sempat
dilaksanakannya si pemuda lebih cepat
menghantamkan telapak tangan kanannya ke
kening kepala penjahat itu. Tak ampun lagi
Bayunata terpelanting dan jatuh punggung di
lantai, tak sadarkan diri! Keningnya yang
bekas dipukul kelihatan berwarna hitam, di
situ tertera pula tiga barisan angka berwarna
putih, angka 212!
"Pergunakanlah seperai tempat tidur untuk
menutup pakaianmu!" kata pemuda berambut
gondrong pada Ratih.
Bila si gadis sudah menutupi tubuhnya yang
hampir keseluruhannya bertelanjang bulat itu
dengan kain seperai maka si pemuda berkata
lagi, "Kita harus meninggalkan tempat ini."
"Kau musti membunuh manusia itu, saudara.
Kau harus membunuhnya!" kata Ratih.
Si pemuda menggeleng.
"Aku dipesan untuk tidak melakukan hal itu.
Kelak hari pembalasan akan tiba."
"Kalau begitu aku sendiri yang akan menabas
batang lehernya!" kata Ratih. Dia
membungkuk mengambil golok besar milik
Bayunata. Ketika tangannya bergerak hendak
melaksanakan niatnya, si pemuda mencekal
lengannya.
"Belum saatnya dia harus dibunuh, saudari!"
"Kau tak berhak melarangku! Lepaskan
tanganku!"
Si pemuda mengambil golok besar dari tangan
Ratih, melemparkannya ke sudut kamar. "Mari
ikut aku!"
"Tidak! Aku tidak percaya padamu! Kau juga
manusia jahat! Pergi!" Ratih mengangkat
tinjunya tinggi-tinggi, hendak memukul si
pemuda.
"Kau terlalu banyak cerewet!" si pemuda
kehilangan kesabarannya. Ditotoknya leher
gadis itu.
Dalam keadaan kaku tegang Ratih kemudian
dipangulnya. Namun begitu dia sampai di
ambang pintu, dua orang rampok muncul
dengan golok di tangan! Dan tanpa banyak
cerita keduanya terus menyerang si pemuda.
"Bagus! Kalian minta mampus, marilah lebih
dekat!"
Rampok yang pertama berteriak keras.
Tendangan melanda perutnya. Tubuhnya
mental keluar pintu. Rampok yang kedua
melengak kaget. Jika begini naga-naganya
lebih baik dia angkat kaki. Namun sebelum
hal itu sempat dilakukannya, rambutnya telah
kena dijambak. Di lain detik terdengar
kepalanya diadu dengan sanding pintu pondok
yang keras. Rampok itu melosoh dijembatan
gantung tanpa nyawa. Si pemuda dan Ratih
sesaat kemudian telah lenyap dari tempat itu.
*** Bukit itu berbentuk bulat. Tepat di
pertengahannya terdapat tanah yang
muncung ke atas, juga berbentuk bulat.
Karena bentuknya yang demikian itulah bukit
tersebut kemudian dinamakan bukit Gong.
Pada tanah yang muncung dipertengahan
puncak bukit Gong berdirilah sebuah
bangunan kayu jati berukir-ukir amat bagus.
Siapakah yang diam di tempat itu?
Sebelum kita mencari tahu siapa pemilik atau
siapa penghuni pondok tersebut marilah kita
ikuti perjalanan Ratih, gadis yang telah
dibawa oleh pemuda berambut gondrong dari
hutan Bludak yang menjadi sarang rampok
Bayunata.
Sewaktu fajar menyingsing di timur, kedua
orang itu berada di sebuah anak sungai berair
jernih. Si pemuda menurunkan gadis yang
dipanggulnya dan menyandarkannya di
sebuah batu besar di tebing sungai. Begitu
totokannya dilepaskan Ratih berkata dengan
keras.
"Aku tidak sudi ikut dengan kau!"
"Oh?" si pemuda menggaruk kepala. "Jadi
kepingin kubawa kembali ke hutan Bludak?!"
"Aku tidak percaya padamu! Kau harus
antarkan aku kembali ke kampungku!" Si
pemuda tertawa perlahan.
"Kalau kau mau kembali, pergilah sendiri. Aku
hanya dipesan untuk menyelamatkanmu, lain
tidak."
"Siapa yang memesan?"
"Seorang kakek-kakek. Adikmu berada di
tempatnya."
"Kau berdusta! Kau hendak menjebakku!" kata
Ratih masih tak percaya.
"Tidak disangka gadis cantik macammu ini
punya hati curiga setengah mati!"
"Aku tidak pernah percaya pada laki-laki.
Apalagi laki-laki dari dunia persilatan!"
"Kelak kau bakal kawin dengan laki-laki,
bukan dengan perempuan!"
Merahlah paras Ratih mendengar ucapan itu.
Si pemuda yang bukan lain adalah Wiro
Sableng si pendekar 212 berdiri.
"Aku akan mandi di tepian sebelah sana,"
katanya pada Ratih. "Jika kau hendak
melarikan diri, silahkan!"
Ratih tetap duduk tak bergerak di tempatnya.
Diperhatikannya Wiro Sableng melangkah
sepanjang tepi sungai dan menghilang di
balik rerumpunan pohon pohon bambu. Walau
bagaimanapun hatinya masih diselimuti
kebimbangan. Pemuda itu telah
menyelamatkannya dari tangan kepala rampok
Bayunata di hutan Bludak. Dia tak kenal siapa
pemuda itu adanya. Seorang kakek-kakek
memesannya untuk menyelamatkan dirinya.
Dan si pemuda menerangkan bahwa adiknya
ada bersama si kakek. Siapa gerangan adanya
si kakek? Dan ke mana dia hendak dibawa?
Dia tak bisa mempercayai pemuda itu begitu
saja. Ratih mendengar suara orang terjun ke
dalam sungai. Dia menghela nafas dalam.
Ketika dia hendak berdiri barulah disadarinya
bahwa saat itu tubuhnya hanya terbungkus
dengan sehelai seperai. Bagaimana mungkin
dia akan melarikan diri dalam keadaan begitu
rupa? Dengan mengomel dalam hati dia
duduk di tempat semula. Tak ada jalan lain
dari pada menunggu kembalinya si pemuda
dan pasrah ke mana dirinya akan dibawa.
Mudah-mudahan saja pemuda berambut
gondrong itu bukan manusia jahat seperti
yang dicurigainya.
Tengah dia melamuni nasib dirinya, Ratih
melihat semak-semak di depannya terseruak.
Di lain saat dari seruakan semak belukar itu
muncullah seorang pemuda. Pemuda ini
bertampang cakap. Tapi gerak-geriknya
menyatakan dia bukan seorang yang berotak
sehat. Baju dan celana yang dipakainya
terbalik. Kaki kanan dibungkus dengan kain
hitam yang berbentuk kasut. Dia berdiri
dengan kedua tangan diletakkan di atas
kepala, memandang pada Ratih, tersenyum
dan mengedip ngedipkan matanya beberapa
kali, lalu tertawa lebar-lebar.
"Inilah! Inilah!" katanya sambil mengusapusap
mukanya, "Inilah gadis yang kucari-cari!
Amboi cantiknya! Aku telah bersumpah hanya
akan kawin dengan gadis yang berpakaian
aneh! Hari ini aku telah menemuinya! Amboi!
Aku akan kawin! Asyiik…!"
Pada mulanya Ratih merasa takut terhadap
pemuda ini. Tapi melihat sikapnya yang aneh
serta edan itu hatinya jadi geli. Dan pura-
pura marah dan membentak.
"Setan gila dari mana ini muncul pagi-pagi
buta?!"
"Amboi! Suaramu merdu amat!" pemuda itu
menyahut. "Tapi dengar dulu dengar dulu
keteranganku. Aku memang gila, otak miring,
sedeng sinting keblinger. Tapi aku bukan
setan, bukan jin, bukan pula dedemit, juga
bukan iblis. Aku manusia, sama dengan kau!
Bedanya kau perempuan dan aku laki-laki.
Bedanya kau berotak sehat, aku gila. Nah, kau
mengerti …. ?"
Mau tak mau Ratih tertawa mendengar
ucapan pemuda itu. "Aku mengerti," katanya.
Dan si pemuda tertawa senang.
"Bagus! Memang calon istri harus mengerti
sifat suaminya! Amboi calon istriiiiiii … !!"
"Pemuda! Kau boleh bicara lucu. Tapi jangan
ngelantur! Siapa bilang aku calon istrimu!
Siapa sudi jadi istri orang gila macammu!"
"Amboi! Aku yang bilang kau adalah calon
istriku! Aku yang bilang. Sudi atau tidak itu
urusan nanti. Kau mengerti?!"
"Tidak! Kali ini aku tak mau mengerti!"
"Kau harus mengerti!"
"Tidak!"
"Harus!"
"Tidak!"
"Kalau begitu kau juga gila sepertiku!" kata
pemuda itu lalu tertawa panjang-panjang.
"Berlalulah dari hadapanku. Lama-lama aku
jadi muak melihatmu!" kata Ratih pura-pura
marah.
"Soal muak atau tidak tak usah
diperbincangkan. Sekarang aku terangkan
satu hal lagi. Tadi kau bilang aku setan gila
yang muncul pagi-pagi butal Dengar dulu …
dengar, aku akan terangkan. Pagi adalah
nama waktu. Pagi ya pagi, bukan siang bukan
malam. Pagi nama waktu, bukan binatang
bukan manusia, bukan makhluk hidup. Jadi
pagi itu tak mungkin punya mata. Apalagi
kalau matanya buta. Pagi buta … lucu sekali!
Memangnya ada pagi yang tidak buta? Pagi
ya pagi. Kau mengerti?"
Kembali Ratih tertawa mendengar kata-kata
pemuda sinting itu.
"Amboi kau tertawa! Kau tambah cantik kalau
tertawa. Kedua pipimu jadi merah! Dan betapa
nikmatnya kalau hidungku kubenamkan di
kedua belah pipimu itu! Amboi!"
Kalau tadi dia tertawa tapi kini mendengar
ucapan si pemuda kembali Ratih menjadi
marah.
"Lancang amat mulutmu! Dasar manusia tidak
berotak, bicaranya kurang ajar!"
"Kalau aku berotak sehat, masakah aku bicara
begitu?" jawab si pemuda. Dia melangkah
maju.
"Jangan mendekat!" sentak Ratih.
"Tidak boleh?"
"Pergilah!"
"Aku akan pergi, tapi kau musti ikut
bersamaku."
"Siapa yang sudi ikut bersama kau. Orang gila
…!"
"Orang gila tidak selamanya jahat. Ayo kau
ikut aku. Kau harus bertemu ayah. Beliau
pasti gembira melihat calon menantunya yang
begini cantik, montok dan … "
"Pergi!" bentak Ratih. "Jangan bikin aku
marah! Kalau kau tidak pergi jangan menyesal
kalau…"
"Kalau … kalau … kalau apa?!" tanya si
pemuda.
"Nanti kutampar mulutmu!"
Si pemuda tertawa lalu setengah berlari dia
datang ke hadapan Ratih dan mengulurkan
kepalanya. "Kau mau tampar aku? Nah
tamparlah!" kata pemuda berotak miring itu.
"Plak!"
Karena kesal hatinya Ratih betul-betul
menampar muka pemuda itu dengan keras.
Demikian kerasnya hingga salah satu sudut
bibirnya menjadi pecah dan berdarah! Melihat
ini Ratih merasa menyesal dan kasihan.
Tetapi sebaliknya si pemuda malah tertawa
dan jingkrak-jingkrakan macam anak kecil.
"Sedap sekali tamparanmu, gadis manis!
Betul-betul sedap! Kelak jika kita dikawinkan
aku akan minta agar ditampari sampai seribu
kali olehmu sebagai mas kawinnya! Amboi
mas kawiiiiinnnn …!"
Lagi-lagi Ratih terpaksa geli melihat tingkah
laku dan ucapan pemuda itu.
"Nah, sekarang kau tertawa lagi. Berarti kau
tidak betul-betul marah terhadapku! Berarti
kau sebetulnya kepingin juga ikut bersamaku
…! Bukan begitu?"
"Cis! Jangan bicara ngelantur!" tukas Ratih
dengan mencibirkan bibir.
Cibiran bibir itu membuat si pemuda tertawa
membahak. "Kau lucu … kau lucu! Tapi
sebelum hari bertambah siang, sebaiknya kau
ikut saat ini juga denganku!"
Habis berkata begitu si pemuda lantas meraih
pinggang Ratih dan memanggul gadis itu
dibahu kirinya. Ratih hendak menjerit
memanggil Wiro, namun satu tekanan halus
pada punggungnya membuat dia mendadak
sontak tak bisa mengeluarkan suara barang
sedikitpun! Si pemuda temyata telah menotok
jalan suaranya dengan cara yang teramat
lihay!
Karena tak dapat berteriak, sebagai gantinya
Ratih mempergunakan kedua tangannya untuk
mendambun punggung pemuda itu bertubi-
tubi sepanjang jalan.
"Pukullah terus! Pukullah! Enak sekali
rasanya, seperti dipijit-pijit!" kata si pemuda
seraya lari dan tertawa-tawa.
Lambat laun Ratih menjadi letih sendiri dan
sakit kedua tangannya. Si pemuda
membawanya berlari laksana angin, dan
sambil tiada hentinya tertawa!
"Kau mau bawa aku ke mana?" tanya Ratih.
"Aku sudah bilang tadi! Kau harus ketemu
dengan ayahku … "
Ratih menggigit bibir. Kalau anaknya gila
begini macam, tentu bapaknya tujuh kali lebih
gila dari dia, begitu si gadis memikir. Dan
nasib apa pula yang bakal menimpa dirinya
kelak? Diamdiam dia teringat pada Wiro
Sableng. Akhirnya gadis ini meramkan mata
dan pasrahkan diri pada ketentuan yang
sudah ditakdirkan Tuhan. KETIKA Ratih
membuka kedua matanya teryata dia sudah
berada dalam hutan. Dan si pemuda masih
terus berlari dengan cepat di selasela pohon-
pohon yang tumbuh rapat bahkan
kadangkadang dia melompati semak belukar
yang tinggi dan beberapa kali pemuda itu
melompat dari satu cabang pohon ke cabang
lainnya membuat Ratih merasa gamang dan
memejamkan matanya kembali.
"Nah kita sampai!" terdengar si pemuda
berkata.
Ratih membuka kedua matanya. Di
hadapannya tampak sebuah gubuk kajang
beratap rumbia.
"Ayah! Lihat apa yang kubawa ini!" si pemuda
berseru lalu pintu gubuk yang tertutup
langsung dilabrak hingga menimbulkan suara
berisik.
Seorang laki-laki berumur setengah abad
yang berada di dalam pondok dan tengah
menimangnimang seuntai tasbih jadi terkejut.
"Ranata! Apa-apaan kau ini?" bertanya laki-
laki itu dengan suara lantang. Matanya
membesar sedang kulit keningnya
mengerenyit.
"Lihat apa yang kubawa ini, ayah!" kata si
pemuda yang ternyata bernama Ranata. Lalu
Ratih diturunkannya dari bahunya dan
didudukkannya di atas tikar di hadapan
ayahnya. Sang ayah bertambah heran begitu
pakaian yang menutupi tubuh Ratih yang
bukan lain hanya sehelai kain sepereil Dia
berpaling pada anaknya dan bertanya.
"Siapa gadis ini?"
"Calon istriku! Calon menantumu!" jawab
Ranata. Lalu dia tertawa gelak-gelak dan
menari memutari Ratih. Sang ayah geleng-
gelengkan kepala.
Sementara itu Ratih memandang berkeliling.
Dari luar, gubuk itu buruk dan kecil serta
kotor. Tapi bila sudah berada di dalam
ternyata besar dan bagus serta amat bersih.
"Kau ada-ada saja, Rana! Kau hanya
membuat susah orang tua. Gadis siapa pula
yang kau culik ini?!"
"Amboi! Aku sama sekali tidak menculiknya.
Pada dasarnya dia sendiri yang mau ikut aku!
Silahkan tanya kalau ayah tidak percaya!"
"Betul?" tanya si ayah seraya memandang
pada Ratih.
Ratih tak menjawab.
"Astaga, aku lupa membuka totokannya!" kata
Ranata. Lalu dijentikkannya satu jarinya.
Setiup angin halus menyambar ke punggung
Ratih dan lenyaplah totokan yang
membuatnya tak bisa bersuara.
"Betul kau sendiri yang bersedia ikut ke sini
bersama anakku?"
"Dia dusta!" jawab Ratih. "Saya dipaksanya!"
Sang ayah menarik nafas dalam dan
mendelikkan matanya pada anaknya.
"Dia yang dusta ayah! Dusta pada dirinya
sendiri!" Ranata berkata. "Buktinya kalau dia
tak sudi di bawa kemari, detik dia masuk di
gubuk kita pasti dia angkat kaki melarikan
diri! Dan itu tidak dilakukannya!"
Merahlah paras Ratih. Ranata tertawa gelak-
gelak sedang ayahnya kembali geleng-
gelengkan kepala.
"Siapa namamu, anak? Bagaimana kau bisa
sampai di bawa kemari dan kenapa kau
berpakaian aneh begini macam?" tanya laki-
laki itu.
Semula Ratih menduga kalau si anak gila
tentu ayahnya tujuh kali lebih gila. Tetapi
nyatanya lakilaki itu amat baik dan bertanya
dengan lemah lembut. Ini membuat Ratih
bersedia membuka mulut memberikan
jawaban.
"Nama saya Ratih, pak. Saya berada di tepi
sungai tengah menunggu kawan yang mandi
sewaktu anak bapak datang." Lalu Ratih
menceritakan sampai dia pada akhirnya
diboyong oleh Ranata ke gubuk itu.
"Kau bikin aku susah Ranata! Kawan gadis ini
pasti akan datang ke mari dan marah
padamu!" kata sang ayah pula.
"Itu memang sudah sewajarnya dia berlaku
begitu," menyahut Ranata dengan nada keren.
"Tapi ayah jangan lupa akan sumpahku tempo
hari. Yaitu bahwa aku hanya akan kawin
dengan gadis yang berpakaian aneh! Dia
kutemui di tepi sungai, tubuhnya terbungkus
alas tempat tidur! Masakan aku akan
melupakan sumpahku begitu saja?!"
Si ayah lagi-lagi menarik nafas panjang.
"Soalnya sekarang ayah harus setuju
menerimanya jadi menantu! Harus setuju
mengawini aku dengan dia!"
Sang ayah tertawa rawan.
"Anak orang kau larikan, lalu meminta aku
mengawinimu dengan dia! Otakmu memang
miring! Tapi jangan suruh aku ikut-ikutan
miring! Soal kawin bukan soal mainan! Aku
harus berkenalan dulu dengan orang tua gadis
ini dan melamarnya secara baik-baik. Ranata,
kau harus tahu diri, nak. Harus ingat manusia
macam apa kau adanya! Jangan bikin malu
orang tuamu yang sudah hampir masuk ke
liang kubur ini … "
Butiran-butiran air mata meleleh jatuh ke pipi
laki-laki itu, membuat Ratih merasa terharu
dan ditundukkannya kepalanya. Ketika dia
coba mengangkat kepala dilihatnya Ranata
duduk diambang pintu, memandang keluar
dengan mata berkaca-kaca. "Jika kita
melamar secara baik-baik, kukira tak
seorangpun yang bakal mau menerima diriku
jadi suami! Tak seorangpun mau mengambil
aku jadi menantu … " Air mata berderaian di
pipi Ranata. Keharuan semakin mendalam di
hati Ratih.
Siapakah ayah dan anak ini sebenarnya?
Ratih memperhatikan lagi paras Ranata.
Pemuda ini berwajah cakap. Cuma sayang
pikirannya kurang sehat. Tak terasa tetesan-
tetesan air matapun jatuh berderai di pipi si
gadis.
"Eh amboi! Kenapa kau menangis?!" Ranata
bertanya tiba-tiba seraya berdiri.
Ratih menangis bukan karena haru terhadap
dua beranak itu tetapi karena ingat akan
kematian ayahnya dan ibunya yang bunuh diri
serta adiknya yang sampai saat ini tak tahu
entah berada di mana.
"Ratih, kau boleh meninggalkan tempat ini.
Berjalanlah ke arah matahari terbit dan kau
akan keluar dari hutan ini tanpa kesukaran.
Harap maafkan segala perbuatan anakku …"
"Tapi ayah!" Ranata maju ke muka.
"Ranata!" desis si ayah dengan memandang
tajam pada anaknya. Pandangan mata itu
penuh wibawa. "Kataku jangan bikin aku
susah. Gadis ini bukan jodohmu. Kelak kau
bakal dapat yang lebih cocok dengan dirimu."
"Kalau begitu … " Ranata sesenggukan, "lebih
baik kau bunuhlah aku ayah!" Ranata lalu lari
ke dalam kamar. Ketika keluar dia membawa
sebilah pedang. Sinar terang berwarna kuning
memancar sewaktu pedang itu dicabutnya dari
sarungnya. Dia bersujud di depan ayahnya
dan berkata, "Bunuh, bunuhlah aku ayah!
Lebih baik mati dari pada kehilangan gadis
itu! Amboi … amboi!"
Dengan air mata berlinangan sang ayah
mengambil pedang dan memasukkannya
kembali ke dalam sarungnya.
"Senjata mustika jangan dibuat main, anakku.
Dan jangan bicara segala hal kematian!"
Ranata menggerung lalu menubruk ayahnya.
Kedua beranak itu menangis saling
berangkulan. Air mata runtuh ke pipi Ratih.
Sepeminuman teh lewat. Suasana sunyi. Ratih
memandang pada kedua beranak yang kini
duduk berhadapan dengan menundukkan
kepala. Ayah Ranata mengangkat kepalanya
sedikit. "Ratih, kau tunggu apa lagi. Pergilah
… " Untuk beberapa lamanya gadis itu masih
duduk berdiam diri di tempatnya.
"Bapak!" Ratih berkata tiba-tiba, "aku sendiri
sebenarnya yatim piatu. Kampung halamanku
musnah dibakar orang-orang jahat. Memang
ada seorang adikku, tapi entah di mana
sekarang. Hidupku tak ubah sebatang kara,
luntang lantung di bawa nasib. Aku hiba
melihat keadaanmu di sini. Jika boleh biarlah
aku tinggal untuk sementara di sini guna
merawatmu sebisanya … "
Berubahlah paras ayah Ranata. Si pemuda
sendiri tiba-tiba melompat, berteriak keras,
berjingkrak-jingkrak dan tertawa gembira.
"Anak, apakah kau tidak akan menyesal
mengambil keputusan begitu rupa?" tanya
ayah Ranata.
Ratih menggeleng dan Ranata tertawa lagi
lebih gembira. Pada saat itu diambang pintu
muncullah sesosuk tubuh.
"Maaf kalau kedatanganku ini mengganggu
kegembiraan orang-orang di sini!" Orang yang
baru datang berkata.
Semua orang berpaling. "WIRO!" seru Ratih
begitu dia melihat dan mengenali orang yang
masuk.
"Siapa dia?!" tanya Ranata dan pada
parasnya jelas kelihatan rasa cemburu. Ayah
pemuda berotak miring ini diam-diam
meneliti Pendekar 212 Wiro Sableng dari
ujung rambut sampai ke ujung kaki.
"Kawanku yang sebelumnya telah
kuceriterakan," sahut Ratih.
Wiro memandang pada orang tua yang duduk
di hadapannya. Untuk seketika pandangan
mereka saling bentrokan. Masing-masing
merasakan getaran-getaran tertentu dan
sama-sama menyadari bahwa orang yang di
hadapan mereka bukan orang sembarangan.
"Orang muda, silahkan duduk!" berkata ayah
Ranata.
"Terima kasih!" sahut Wiro. Dia menjura
memberi hormat tetapi tidak duduk. "Ratih,
bagaimana kau bisa berada di tempat ini … ?"
"Aku yang membawanya, aku!" Ranata yang
menjawab. Wiro mengawasi pemuda ini
sesaat. Agaknya ada yang tidak beres dengan
manusia yang satu ini, Wiro berpikir.
"Aku telah memutuskan untuk tinggal di sini,
Wiro." berkata Ratih.
Pendekar 212 Wiro Sableng terkejut.
"Kau memutuskan untuk tinggal di sini?"
tanya Wiro. "Ini adalah aneh!"
"Amboi, ini tidak aneh! Dia senang padaku,
suka kasihan ayahku dan bersedia tinggal di
sini. Bukan anehl Bukan aneh!"
Wiro tidak perdulikan ucapan Ranata
meskipun hatinya geli melihat tingkah pemuda
sinting itu.
"Bagiku adalah tetap satu keanehan," kata
Wiro sambil memandang pada orang tua di
hadapannya. "Aku sedang mandi di sungai.
Tahutahu gadis ini lenyap dan kutemui berada
di sini. Dan tahu-tahu dia memutuskan untuk
tinggal di sini padahal antara kalian
sebelumnya tak saling kenal. Bukankah itu
aneh kalau tidak ada apaapanya?"
Si orang tua tertawa kecil sedang Ranata
terusterusan membantah bahwa itu tidak
aneh.
"Murigkin aneh, mungkin juga tidak, orang
muda … "
Ranata memotong ucapan ayahnya, "Tuhan
sudah menakdirkan bahwa dia akan tinggal di
sini. Tuhan!"
"Aku sudah katakan, Wiro. Aku tinggal di sini
atas kehendakku sendiri … "
"Dan jangan paksa dia untuk membatalkan
niatnya itul Dia calon istriku! Amboiiii! Calon
istriku! Kau dengar sobat berambut gondrong
… ?" ujar Ranata pula menyambung ucapan
Ratih dan sambil bicara itu wajahnya
didekatkannya ke muka Wiro.
Paras Ratih kelihatan merah jengah. Sedang
Wiro Sableng kerenyitkan kening. Sambil
garukgaruk kepala dia memandang ganti
berganti pada ketiga orang di hadapannya,
dan akhirnya pendekar ini tertawa terbahak-
bahak!
"Orang tua, betulkah kiranya ucapan anakmu
ini?!"
"Jangan perdulikan ucapannya. Kau tentu
maklum keadaan dirinya … "
Wiro tersenyum dan anggukkan kepala.
"Nah, nah! Sekarang kuharap kau tinggalkan
gubuk ini. Calon istriku perlu istirahat!" kata
Ranata. Tangannya ditundingkan ke pintu.
Tapi Wiro tak bergerak dari tempatnya.
"Orang tua, apapun yang terjadi di sini itu
bukan urusanku. Tetapi aku telah mendapat
satu tugas untuk membawa gadis ini ke satu
tempat."
"Begitu …? Siapakah yang memberi tugas dan
ke mana kau akan bawa gadis ini?"
"Itu tak bisa kuterangkan," jawab Wiro.
"Aku yakin manusia gondrong ini bicara
dusta!" Ranata berkata sambil bertolak
pinggang.
Wiro ganda tertawa mendengar ucapan itu.
"Sobat, kuharap kau bisa mengunci mulutmu
sebentar. Aku bicara dengan ayahmu, bukan
dengan kau…"
"Bah … ?!" Ranata tertawa gelak-gelak. "Kau
suruh aku mengunci mulut? Memangnya
mulutku ini pintu? Pintu yang bisa dikunci?
Bisa diselot? Bah… ! Tampangmu cukup keren
sobat. Tapi siapa nyana otakmu tidak lebih
lumayan dariku!" Dan kembali Ranata tertawa
gelak-gelak.
Wiro penasaran dan menggerendeng dalam
hati.
"Ratih, berdirilah. Kau musti ikut dengan aku!"
"Jangan paksa calon istriku!" Ranata
membentak marah, dia melangkah ke hadapan
Wiro dan berkacak pinggang.
Sementara itu ayah Ranata berkata pula, "Kau
tak bisa memaksanya, pemuda. Kau tak
punya hak untuk memaksanya!"
"Aku memang tidak, tetapi tugasku
mempunyai seribu macam hak untuk
melakukan apa saja untuk kebaikan gadis ini."
"Tinggal di sini sudah merupakan satu
kebaikan baginya."
"Begitu? Jadi kau juga telah menganggapnya
sebagai calon menantumu? Kurasa orang tua
semacammu mempunyai pikiran yang jernih
dan memegang tata cara serta peradatanl
Gadis ini bukan seekor burung yang ditangkap
di tengah rimba, lalu dikawinkan dengan
burung yang sudah ada dalam kurungan!"
Merahlah paras si orang tua mendengar
ucapan itu namun di bibirnya tetap
tersungging seulas senyuman. Sebaliknya
Ranata marah bukan main. Tinju kanannya
diayunkan ke muka Wiro.
"Ranata! Tahan!" seru sang ayah.
"Biar kuberi hajaran manusia bermulut
lancang ini, ayah! Agar dia tahu rasa!"
Ranata mundur. Dari mulutnya keluar
ucapanucapan gusar.
"Sekarang begini saja orang muda," berkata si
orang tua. "Kita buat perjanjian. Kau hadapi
anakku dalam tiga jurus. Jika kau berhasil
mengalahkannya, gadis itu boleh kau bawa.
Sebaliknya jika kau yang kalah, Ratih tetap di
sini dan kau musti berlalu dari gubukkul
Bagaimana?"
"Itu perjanjian yang cukup baik. Tapi aku
datang kemari bukan untuk membuat segala
macam perjanjian!"
Ranata tertawa bergelak.
"Nyata sekali kepengecutanmu, manusia
rambut gondrong!" kata Ranata pula.
Wiro pencongkan hidungnya.
"Jika kau hendak main-main, nantilah aku
carikan seorang kawan yang kira-kira cocok
menjadi lawanmu," kata Pendekar 212 pula.
"Jangan sembunyikan kepengecutanmu
dengan ejekan!" kata Ranata tandas disertai
dengan dengusan.
Pendekar 212 Wiro Sableng jadi terbakar
dadanya. Dua kali dikatakan pengecut sudah
sangat keterlaluan. Dia menunding ke pintu.
"Aku tunggu kau di luar!"
Ranata tertawa.
"Kenapa musti di luar? Ruangan ini cukup
besar. Dan amboi …, biarlah calon istriku
menyaksikan sendiri bagaimana
hebatnyarilmu silatku! Di samping itu ayahku
akan menjadi saksi bahwa dalam pertempuran
nanti kau tak akan melakukan kecurangan!
Nah, kau sudah siap rambut gondrong?!"
"Silahkan mulai!" kata Wiro.
"Amboi, tamulah yang lebih dulu!"
sahutRanata pula.
Wiro meneliti sikap pemuda itu. Dia sama
sekali tidak memasang kuda-kuda dan
sikapnya acuh tak acuh.
"Kau sudah siap?"
"Aku sudah siap dari kemarin, sobat!" kata
Ranata dengan senyum sinis.
"Kalau begitu perhatikan kepalamu!" seru
Wiro. Di dahului dengan suitan nyaring
tubuhnya berkelebat. Tangan kanannya
terpentang lurus ke depan lalu cepat kilat
membabat ke arah kepala Ranata. Inilah
gerakan yang dinamakan "pecut sakti
menabas tugu".
"Ha … ha Kalau cuma serangan macam ini
tutup matapun aku sanggup
mengelakkannya!"
teriak Ranata dan sekali dia bergerak
tubuhnya berkelebat lenyap dan tahu-tahu
sesaput angin menderu kepada Wiro Sableng.
Pendekar 212 terkejut sekali melihat cara
mengelak lawan. Tadinya dia hendak susul
dengan satu serangan lain namun lagi-lagi
dia dikejutkan oleh serangan balasan yang
dilancarkan secara aneh bahkan hampir saja
satu jotosan melabrak dadanya!
"Sekarang jurus kedua!" terdengar ayah
Ranata berkata.
Jurus yang kedua ini Wiro membuka serangan
dengan gerakan "membuka jendela memanah
rembulan". Lengan kiri laksana tongkat baja
memukul melintang dari atas ke bawah
sedang tangan kanan mengirimkan satu
jotosan kilat ketenggorokan lawan!
Diserang hebat begitu rupa kembali Ranata
keluarkan suara tertawa mengejek. Tubuhnya
lenyap lagi dari pemandangan. Di lain detik
Wiro melihat satu tendangan sudah meluncur
deras ke arah kepalanya sedang dua
serangannya tadi secara aneh entah
bagaimana bisa dielakkan dengan mudah oleh
si pemuda sinting itu! Sebelum kakinya
menjejak tanah yang berarti berakhirnya jurus
ke dua, Wiro membentak garang. Sekaligus
kedua tangannya dihantamkan ke depan
mengirimkan serangan "kipas sakti terbuka".
Di hadapannya Ranata mengembangkan
kedua tangannya laksana mau terbang. Lalu
dengan sangat tiba-tiba sekali kedua lengan
itu menyusup ke bawah. Wiro sadar meskipun
serangannya bisa menghantam muka lawan
namun serangan selusupan dari Ranata tak
mungkin pula dihindarkannya. Pendekar 212
melompat dalam gerakan "gunung meletus
batu melesat ke luar".
"Sekarang jurus terakhir!" ayah Ranata
memberi tahu.
"Dan ini adalah jurus kekalahanmu, manusia
gondrong!" seru Ranata. Tubuhnya merunduk.
Kepalanya diluruskan demikian rupa seperti
hendak dipakai melabrak perut Wiro. Tentu
saja ini sasaran yang empuk bagi Pendekar
212. Lutut kanannya diangkat sedang dari
atas tangan kirinya menderu. Tidak dapat
tidak salah satu dari dua serangannya itu
pasti akan m ngenai sasaran!
Namun untuk kesekian kalinya Wiro dibikin
terkejut dan kecewa. Lawannya setenga jalan
bergerak ke samping. Dalam satu gerakan
tahu-tahu jari-jari tangan kiri sudah
mencengkeram ujung pakaian Wiro.
"Celaka!" keluh Wiro.
Segera Pendekar 212 keluarkan gerakan
"orang gila melenggang ke awan" untuk
melepaskan diri. Tapi terlambat.
"Bret!"
Pakaiannya robek.
"Buk!"
Satu tempelak menghantam bahurlya sebelah
kanan. Wiro menggigit bibir menahan sakit.
Dengan penasaran dia hendak menggempur
lawan dengan jurus "menepuk gunung
memukul bukit". Tetapi justru pada saat itu si
orang tua berseru memberi tahu bahwa waktu
tiga jurus telah berlalu dan berarti
berakhirnya perkelahian. Mau tak mau
meskipun gelora amarah menyesakkan
dadanya, Pendekar 212 terpaksa
menghentikan gerakannya.
"Amboi … ! Kau kalah rambut gondrong!" kata
Ranata dengan tertawa dan menari-nari.
"Yeah … aku mengaku kalah!" sahut Wiro.
Betapa perihnya mengeluarkan ucapan itu.
Betapa sakitnya menelan kekalahan. Namun
itu adalah satu kenyataan. Kenyataan pahit
yang harus diteguknya!
"Dan dengan demikian … " kata Ranata pula,
"Ratih tetap tinggal di sini, kau silahkan
angkat kaki … "
Mulut Pendekar 212 Wiro Sableng komat-
kamit. Tanpa tunggu lebih lama dia segera
memutar tubuh.
"Tunggu dulu, orang muda," terdengar ayah
Ranata berkata. "Mungkin ada sesuatu yang
bakal kau ucapkan?"
"Ya, memang ada!" sahut Wiro tanpa
berpaling.
"Katakanlah."
"Mudah-mudahan kau lekas dapat cucu!"
Paras si orang tua kontan menjadi merah. Dia
hendak mengatakan sesuatu tetapi Wiro
Sableng sudah lenyap dari pintu sedang
Ranata tertawa gelak-gelak. "Cucu! Amboi
dapat cucuuuuuuuu … !"
Siapakah sesungguhnya orang tua ini?
Mengapa memiliki seorang putera yang
berotak sinting seperti Ranata itu? Kita
kembali pada masa sekitar delapan tahun
yang silam sewaktu kerajaan Pajajaran berada
dalam masa kejayaannya, sewaktu kesultanan
Banten masih belum berdiri. Di antara sekian
banyak para menteri istana yang menjadi
pembantu Prabu Pajajaran, seorang
diantaranya ialah Citrakarsa, ayah Ranata.
Citrakarsa terkenal sebagai menteri yang baik,
penuh tanggung jawab serta jujur. Di samping
itu dia juga memiliki kepandaian silat yang
tinggi. Ketika Mapatih Pajajaran meninggal
dunia, Sang Prabu memutuskan untuk
mengangkat Citrakarsa sebagai penggantinya.
Namun sebelum pengangkatan dilaksanakan,
terjadilah satu peristiwa hebat menimpa calon
Mapatih itu dan keluarganya. Kedudukan
Mapatih Pajajaran sesungguhnya sudah sejak
lama menjadi incaran seorang menteri yang
berhati jahat culas. Sewaktu didengarnya
bahwa Citrakarsa hendak diangkat menjadi
Mapatih Pajajaran maka disiapkannya satu
rencana busuk.
Suatu hari diundangnya Citrakarsa berikut istri
dan anaknya yaitu Ranata ke satu perjamuan.
Makanan dan minuman yang diberikan kepada
ketiga orang itu diam-diam dimasukkannya
racun yang bisa membuat seseorang jatuh
menderita penyakit gila yang hebat. Begitulah,
sesudah pulang dari perjamuan, Citrakarsa
merasakan kepalanya amat pusing. Dunia ini
tampak gelap dan tak karuan. Hal yang sama
juga dialami oleh istri dan anaknya. Satu hari
kemudian ketiga beranak itu telah berubah
ingatannya. Kotaraja Pajajaran menjadi heboh
sewaktu Citrakarsa dan anak istrinya berlari-
lari sepanjang jalan dalam keadaan setengah
telanjang.
Apa yang terjadi atas diri menterinya itu
disampaikan kepada Sang Prabu. Tabib-tabib
pandai di datangkan guna mengobati penyakit
Citrakarsa, tapi tiada gunanya. Malah
seminggu kemudian istri Citrakarsa menemui
kematian. Mati bunuh diri dengan sebilah
keris yang ditusukkannya sendiri ke
tenggorokannya.
Citrakarsa dan Ranata kemudian melarikan
diri ke dalam hutan. Satu tahun kemudian,
penyakit yang diderita Citrakarsa mulai
sembuh. Ini disebabkan karena dia
mempunyai ilmu yang tinggi dan kekuatan
bathin yang besar. Setelah menjalankan
semedi hampir selama tujuhpuluh hari, tanpa
makan dan cuma minum sedikit akhirnya
Citrakarsa sehat seperti semula. Hanya
badannya saja kini yang kurus kering tinggal
kulit pembalut tulang.
Beberapa bulan kemudian meskipun keadaan
kesehatannya sudah pulih seperti sediakala
tetapi Citrakarsa tidak mau kembali ke
Kotaraja. Dia merasa malu untuk kembali dan
berusaha menekan dendam kesumatnya
terhadap Sutawija, yaitu menteri yang telah
mencelakakannya. Di samping itu putera
tunggalnya Ranata sampai saat itu masih
belum berhasil disembuhkan. Berbagai usaha
telah dilakukan oleh Citrakarsa namun tetap
saja Ranata menderita penyakit jiwa. Dalam
keputus-asaan untuk menyembuhkan penyakit
puteranya akhirnya Citrakarsa menciptakan
sebuah ilmu silat aneh yang khusus
diajarkannya kepada Ranata. Meski otaknya
tidak sehat namun pada dasarnya Ranata
adalah seorang yang cerdas. Ilmu silat yang
diajarkan ayahnya berhasil dikuasainya
secara sempurna dalam tempo hanya tiga
tahun. Masa beberapa tahun kemudian
dipergunakannya untuk memperdalam ilmu
bathin, terutama ilmu tenaga dalam di
samping ilmu meringankan tubuh.
Adapun ilmu silat yang diciptakan Citrakarsa
berbeda dan terbalik seratus delapan puluh
derajat dari ilmu silat yang ada di rimba
persilatan pada masa itu. Gerakan-gerakan
dan jurus-jurus yang dimainkan serba aneh
dan terbalik. Itulah yang membuat hebatnya
ilmu silat yang dimiliki Ranata sehingga
Pendekar 212 Wiro Sableng sanggup
dipercundanginya hanya dalam tempo tiga
jurus!
Matahari bersinar panas membakar kulit
sewaktu Wiro keluar dari hutan itu. Dengan
mempergunakan ilmu larinya yang hebat
pemuda ini laksana terbang menuju ke utara.
Pada raut wajahnya jelas kelihatan bayangan
ketegangan dan rasa penasaran yang
mendalam. Dalam berlari sampai saat itu
ingatannya masih tertuju pada pertempuran
yang telah dilakukannya dengan pemuda gila
bernama Ranata. Bertahun-tahun turun
gunung, bertahun-tahun malang melintang di
dunia persilatan, belasan macam musuh dan
permainan silat yang telah dihadapinya.
Namun baru hari ini dia dikalahkan cuma
dalam tiga jurus!
"Tiga jurus! Betul-betul edan!" kata Wiro
dalam hati. "Ilmu silat apakah yang dimiliki
pemuda itu hingga aku demikian tololnya
menerima kekalahankekalahan?! Gila!"
Sambil lari Wiro mengingat terus. Jurus
pertama perkelahian dia telah membuka
dengan gerakan "pecut sakti menabas tugu".
Ranata dilihatnya bergerak cepat sekali dan
tahu-tahu dalam satu gerakan silat yang
aneh dia telah menyusupkan satu jotosan
yang hampir saja menghantam dada Wiro.
Dengan penasaran Wiro menghentikan larinya.
Dia berdiri dan membuat gerakan "pecut sakti
menabas tugu ". Gerakan ini dilakukannya
dengan perlahan. Dicobanya mengingat
gerakan Ranata waktu diserang itu.
Seharusnya si pemuda membuat gerakan
mengelak dari kiri ke samping kanan. Tapi dia
ingat betul Ranata justru membuat gerakan
dari samping kanan ke kiri dan lalu entah
bagaimana tahu-tahu dia telah menyusupkan
satu jotosan ke dada. Di sinilah keanehan
gerakan Ranata.
Dengan gerakan yang juga sengaja
diperlahankan, Wiro membuat gerakan
"menentukan serangan yang dilancarkannya
dalam jurus kedua sewaktu menghadapi
Ranata. Pemuda itu membuat gerakan
setengah terhuyung dan lenyap tetapi tahu-
tahu tendangannya meluncur ke kepala dari
satu jurusan yang sebenarnya tidak bisa
dilakukan dalam ilmu silat yang wajar. Wiro
merenung sejenak. Lalu membuat gerakan
"kipas sakti terbuka". Pada waktu itu Ranata
mengembangkan kedua tangannya laksana
seekor burung besar hendak terbang. Dalam
ilmu silat wajar gerakan seperti ini benar-
benar satu keadaan yang amat empuk untuk
diserang karena bagian dada sampai ke kaki
tiada terjaga. Seharusnya Ranata membuat
kuda-kuda pertahanan dengan menutupkan
kedua lengannya di muka dada. Tapi justru
dengan cara aneh begitu rupa Ranata berhasil
merobek ujung pakaiannya dengan tangan kiri
dan memukul bahunya dengan tangan kanan!
"Betul-betul edan! Ilmu silat apa yang dimiliki
orang sinting itu!" kata Wiro. Digaruknya
kepalanya berkali-kali. Otaknya berpikir terus.
Kembali setahap demi setahap diingat dan
dibayangkanrya gerakan Ranata. Hampir
sepeminuman teh memeras otaknya akhirnya
baru Pendekar 212 berhasil memecahkan
keanehan dan kehebatan ilmu silat yang
dimiliki Ranata. Dan pendekar ini jadi tertawa
gelak-gelak!
Sebenarnya dasar permainan silat yang
dimiliki Ranata tidak ada bedanya sama
sekali dengan ilmu silat manapun. Cuma
dalam gerakan-gerakan yang dipakainya,
semuanya dilakukan secara terbalik hingga
dengan sendirinya aneh dan sukar di duga.
Dan satu-satunya cara untuk dapat
menghadapi ilmu silat seperti itu ialah
dengan jalan membuat gerakan-gerakan silat
secara terbalik pula! *** Bukit Gong. Seperti
telah dituturkan sebelumnya bukit ini
berbentuk bulat. Pada pertengahannya
terdapat bagian tanah yang tinggi
memuncung ke atas yang juga berbentuk
bulat. Bentuknya yang seperti itulah yang
membuat bukit itu dinamakan bukit Gong.
Sebuah bangunan kayu jati berukir-ukir amat
bagus berdiri di puncak bukit Gong. Inilah
tempat kediamannya Munding Wirya, orang
tua sakti yang telah membawa gadis cilik
adik kandung Ratih. Dan ke sini pulalah
Pendekar 212 Wiro Sableng menuju. Wiro
sampai di bukit Gong sewaktu matahari telah
jauh condong ke barat. Dia langsung masuk
ke dalam dan menjura di hadapan Munding
Wirya.
Di samping si orang tua saat itu duduk gadis
kecil yang kelak akan menjadi muridnya.
"Mohon maafmu, orang tua. Pesan dan tugas
yang kau berikan gagal kulaksanakan.
Sesuatu telah terjadi," kata Wiro.
Munding Wirya meneliti paras Wiro Sableng,
memperhatikan ujung pakaiannya yang robek
lalu bertanya.
"Apakah yang telah terjadi?"
Wiro lalu menuturkan peristiwa yang
dialaminya.
Munding Wirya mengangguk-anggukkan
kepalanya.
"Coba terangkan ciri-ciri orang tua itu,"
katanya. Wiro menerangkan.
"Tak salah lagi, pasti dia adalah Citrakarsa,"
kata Munding Wirya. Diwajahnya menyeruak
sebuah senyum kecil.
"Siapakah orang tua yang bernama Citrakarsa
itu sebenarnya, juga anaknya yang berotak
miring tapi berilmu lihay itu?" tanya Wiro
ingin tahu.
Munding Wirya menarik nafas panjang lalu
menjawab,
"Dulu dia adalah seorang menteri kerajaan
Pajajaran. Berilmu tinggi, berotak cerdas,
berbudi luhur, bijaksana serta jujur … " Lalu
Munding Wirya menceritakan asal usul sampai
Citrakarsa bersama anaknya melarikan diri
dan tinggal di dalam hutan. Mau tak mau
Pendekar 212 merasa terharu juga mendengar
kisah yang menyedihkan itu.
"Mungkin sekali, karena hiba terhadap orang
tua itulah Ratih mengambil keputusan untuk
tinggal di situ … " kata Wiro.
"Kurasa demikian …" menyahut Munding
Wirya.
Setelah saling berdiam diri beberapa lamanya
dengan berbisik-bisik Wiro kemudian
menerangkan tentang kematian Ibu Ratih di
hutan Bludak.
Munding Wirya mengatupkan bibirnya
rapatrapat dan membelai kepala gadis kecil di
sampingnya. "Kelak hari pembalasan akan
tiba bagi manusiamanusia terkutuk di hutan
Bludak itu… " desis Munding Wirya.
"Mungkin ada pesan atau tugas lain yang
harus kulaksanakan sehubungan dengan
pertemuanmu dengan guruku …?" bertanya
Wiro.
Munding Wirya menggeleng.
"Jika begitu perkenankan aku minta diri
sekarang. Munding Wirya mengangguk dan
mengucapkan terima kasih. DENGAN
terpincang-pincang Camperenik berlari
menuju ke selatan. Tepat pada waktu
matahari tenggelam, sampailah dia disebuah
sungai dan menyusuri sungai ini ke arah
muara. Waktu itu terang bulan hingga dengan
mudah dia bisa melihat jalan yang
ditempuhnya dan dengan mudah pula bisa lari
secepatnya. Akhirnya perempuan tua renta ini
sampai juga ke muara. Pada tempat
pertemuan air sungai dengan air laut terdapat
sebuah delta subur berbentuk pulau kecil. Di
sini berdirilah sebuah bangunan bambu yang
pada puncak atapnya ditancapi dengan
sehelai bendera hitam bergambar kepala
burung hantu berwarna kuning. Dengan
berenang dan dalam keadaan basah kuyup
Camperenik akhirnya berhasil sampai
kebangunan tersebut. Jauh-jauh dia sudah
berteriak .
"Soka! Soka … ! Adakah kau di dalam?!"
"Buset! Tamu dari manakah yang berkaok-
kaok magrib-magrib begini?!" terdengar suara
menyahut. Lalu pintu bangunan terbuka dan
sesosok tubuh keluar terbungkuk-bungkuk.
"Buset! Kau rupanya Camperenik! Heh, kenapa
larimu pincang?!"
"Camperenik sampai di hadapan laki-laki tua
itu dan langsung menangis tersedu-sedu. Air
mata berderai matanya yang cuma satu dan
membasahi pipinya yang cekung keriputan.
"Buset, begitu muncul tak ada hujan tak ada
angin kau lantas menangis di hadapanku!
Apaapaan kau ini Camperenik?!"
Teguran itu membuat tangis Camperenik
semakin keras dan rawan.
"Kalau tak ada apa-apa, masakan aku
menangis!" katanya.
Damar Soka, demikian hama laki-laki tua
renta berbadan bongkok itu goleng-golengkan
kepala, memegang bahu Camperenik lalu
membimbingnya masuk. Setelah Camperenik
duduk disebuah kursi bambu maka berkatalah
Damar Soka.
"Nah, sekarang kau terangkanlah apa yang
membuatmu sampai menangis. Juga
terangkan kenapa kakimu pincang."
Untuk beberapa lamanya Camperenik tak
menjawab dan masih terus menangis. Damar
Soka menarik ujung pakaiannya lalu dengan
sikap yang lucu seperti dua orang muda mudi
tengah berkasih sayang, disekanya air mata
yang membasahi pipi Camperenik dan dia
berbisik.
"Hentikan tangismu, Camperenik. Hatiku tak
tahan melihat kau menangis. Katakan siapa
yang berbuat hingga kau sampai menangis
begini rupa …" Camperenik hentikan
tangisnya.
"Sebelas tahun aku mencari-cari seorang
calon murid. Ketika aku akan
mendapatkannya, ketika calon murid itu sudah
befada di tanganku, tahu-tahu datanglah
Munding Wirya hendak merebutnya…"
"Dan dia berhasil merebut calon muridmu
itu?" tanya Damar Soka seraya mengusap
mukanya.
Baik muka maupun kedua tangannya
berwarna kuning. Sepasang matanya besar
hitam, alisnya tebal menjulai dan hidungnya
tinggi bengkok. Bibirnya lebar dan tipip.
Keseluruhan parasnya persis seperti burung
hantu. Sudah hampir tujuh tahun Damar Soka
mendekam di muara sungai. Siapa saja yang
keluar masuk muara itu terutama kaum
nelayan, diwajibkannya membayar pajak yang
dibuatnya sendiri. Dan merekamereka yang
tak mau mematuhi hal itu pasti akan
mendapat celaka. Banyak orang yang
mengeluh namun tak seorangpun yang berani
turun tangan. Damar Soka berhati sejahat
iblis. Karena itulah dia cukup pantas
mendapat gelaran "Hantu Kuning".
"Tidak, bangsat tua bangka itu tak berhasil
merampas calon muridku. Tetapi ketika aku
dan dia tengah bertempur, sesosok bayangan
yang aku tidak kenal telah menyambar calon
muridku dan melarikannya. Aku hendak
mengejar, namun Munding Wirya keparat itu
melepaskan pukulan buana biru yang berhasil
menyerempet pinggulku hingga lariku jadi
pincang!" dan Camperenik menangis lagi
macam anak kolokan.
"Sudahlah, nanti aku akan beri hajaran pada
Munding Wirya …" berjanji Damar Soka seraya
membelai rambut Camperenik.
"Tapi calon muridku itu … "
"Kita akan cari sampai dapat … "
"Dan pinggulku yang sakit ini?" mengajuk
Camperenik.
"Ah, aku akan mengobatinya" jawab Damar
Soka. "Coba kau bukalah kainmu … " kata
lakilaki ini dengan tersenyum.
Camperenik dengan sikap malu-malu dan
kegenit-genitan memperlonggar buhul kain
yang melekat di tubuhnya hingga kain itu
merosot sampai ke pangkal pahanya.
"Buset … tubuhmu masih semulus dulu juga,"
kata Damar Soka pula sambil tertawa
mengekeh meskipun sesungguhnya keadaan
tubuh Camperenik telah dibalut dengan kulit-
kulit loyo dan keriput!
Camperenik mencubit lengan Damar Soka.
Damar Soka menangkap lengan nenek-nenek
itu lalu menciuminya.
"Genit kau, Soka! Genit! Obati dulu pinggulku!"
kata Camperenik pula seraya menarik
tangannya dan menjiwir telinga Damar Soka.
Laki-laki tua itu tertawa mengekeh dan
dengan tangan kanannya dibelainya pinggul
Camperenik yang agak kebiru-biruan.
Camperenik menggeliat kegelian. Darah
tuanya hangat. Kulitnya yang lembek
berkeriput menjadi bergetar oleh sentuhan
tangan Damar Soka.
"Bagaimana rasanya sekarang?" bertanya
Damar Soka setelah mengusap-usap beberapa
lamanya.
"Agak mendingan … Usaplah terus, Soka.
Usaplah terus … " bisik si nenek bermata satu
penuh lirih.
Jika saat itu ada orang ketiga di situ pastilah
dia akan merasa amat jijik melihat tingkah
laku kedua manusia tua bangka ini. Dan
Damar Soka terus juga mengusap pinggul
Camperenik. Bahkan tangannya kemudian
bergerak mengelus perut Camperenik hingga
nenek-nenek ini menggeliat kegelian dan
menundukkan kepalanya menggigit tengkuk
Darnar Soka.
Damar Soka memekik kecil. Tangannya lebih
berani lagi menyelusur ke bawah pusat si
nenek. Carrrperenik terpekik dan meloncat dari
kursinya. Kainnya merosot lepas dan jatuh ke
lantai. Tanpa memperdulikan kain itu dalam
keadaan setengah telanjang begitu dia lari ke
dalam kamar. Hidung Damar Soka kembang
kempis. Mulutnya komat kamit dan matanya
yang hitam bersinarsinar. Dengan tubuh
bergetar dia menyusul masuk ke dalam.
Camperehik berbaring menghadap ke dinding
membelakanginya. Nafas Damar Soka
memburu. Dia duduk di tepi tempat tidur.
Diletakkannya tangannya di atas paha tua itu
Camperenik diam saja. Damar Soka mengelus
paha itu. Tiba-tiba Camperenik membalik dan
menggigit ibu jari Damar Soka hingga si tua
ini terpekik kesakitan.
"Soka … soka … ", bisik Camperenik berulang-
ulang sambil menggayuti leher laki-laki tua
itu , dengan kedua tangannya. "Enam bulan
aku tidak bertemu kau … Sudah terlalu lama
Soka … Terlalu lama … "
"Ya, terlatu lama … " berbisik Damar Soka dan
tangannya menjalar lebih berani membuat
Carnperenik kelangsatan dan menggelinjang di
atas tempat tidur. Dari balik pakaiannya
Camperenik kemudian mengeluarkan sebuah
topeng kain. Sewaktu topeng itu dilekatkannya
ke mukanya, wajahnya kini berubah menjadi
wajah seorang gadis yang amat cantik.
Damar Soka tertawa bergumam. Dari balik
pakaiannya dikeluarkannya pula sehelai
topeng kain. Begitu dipakai maka wajahnya
yang kuning buruk itu kini berubah menjadi
wajah seorang pemuda tampan. Kedua
manusia itu saling pandang sejenak.
"Kau cantik, Camperenik!"
"Kau gagah! Gagah sekali!" balas Camperenik.
Kedua kakinya bergerak dan sesaat kemudian
tubuh Damar Soka sudah dikempitnya,
digelung dan dipeluknya penuh nafsu. Kedua
kakek nenek itu berguling-guling di tempat
tidur. Mereka lupa bahwa mereka sudah tua
bangka begitu rupa. Mereka merasa tak beda
dengan sepasang muda-mudi.
Camperenik tertawa kecil sewaktu Damar Suka
membuka pakaian yang melekat di tubuhnya.
Dengan nafsu berkobar-kobar dia sendiri
kemudian menolong membukakan seluruh
pakaian kakek-kakek itu.
"Enam bulan Soka … enam bulan … " bisik
Camperenik.
"Enam bulen! Buset … !" balas Damar Soka.
Dijambaknya rambut si nenek lalu ditindihnya
tubuh perempuan tua itu!
Dalam dunia persilatan di Jawa Barat, nama
Camperenik dan Damar Soka bukan nama-
nama yang asing lagi. Kedua orang ini sejak
masih muda dikenal sebagai manusia kotor
yang setiap bertemu selalu berbuat cabul.
Mereka hidup tiada beda seperti suami istri
tanpa kawin syah. Dan sampai tua bangka
begitu rupa segala perbuatan cabul itu masih
terus juga mereka lakukan setiap mereka
bertemu. Dapat dibayangkan bagaimana
kegilaan mereka melakukan kecabulan itu.
Dalam umur tua begitu mereka sengaja
mempergunakan topeng-topeng kain untuk
merubah paras mereka menjadi muda kembali
hingga menggelegakkan kobaran nafsu birahi
kotor di dalam diri masing-masing!
Sewaktu matahari tetah tinggi ke esokan
paginya baru Damar Soka terbangun.
Disibakkannya lengan Camperenik yang
memeluk pinggangnya. Lalu dengan
terhuyung-huyung dia duduk di tepi tempat
tidur. Perlahan-lahan laki-laki ini berdiri
tetapi dirasakannya satu pegangan mencekal
lengannya.
Dia berpaling. Dilihatnya Camperenik telah
bangun dan tersenyum kepadanya.
"Kau mau ke mana, Soka?"
"Bangunlah! Bukankah kita musti berangkat
untuk mencari Munding Wirya dan calon
rnuridmu yang dilarikan itu?"
"Betul. Tapi sekarang masih pagi," sahut
Camperenik pula.
"Buset! Masih pagi katamul Coba kau lihat
matahari telah hampir ke-ubun-ubun."
Camperenik tertawa. Sampai saat itu
keduanya masih mengenakan topeng-topeng
kain di muka masing-masing.
"Bagiku masih pagi, Soka. Bagi kita masih
pagi saat ini. Persetan dengan matahari.
Munding Wirya bisa menunggu saat
kematiannya. Calon muridku yang hilang tokh
pasti akan kita temukan… " Camperenik
menarik lengan Damar Soka dan memeluk
tubuh laki-laki itu kembali.
Nafsu kotor masih belum lenyap dari tubuh
nenek-nenek ini dan membuat Damar Soka
kembali ketularan rangsangan birahi pula.
"Enam bulan Soka … enam bulan … "
"Tapi bused! Kau mau bikin aku lumpuh?!"
desis Damar Soka. Dan meskipun demikian
untuk kesekian kalinya kembali ditindihnya
tubuh Camperenik! PENDEKAR 212 Wiro
Sableng berhenti di tepi lembah itu. Dia duduk
di sebuah batu dan memandang berkeliling.
Bagus sekali pemandangan yang terhampar di
bawah lembah. Jauh disebelah timur
kelihatan menjulang puncak sebuah gunung.
Di barat menghampar sawah yang tengah
menguning tak ubahnya seperti hamparan
permadani raksasa.
Ketika dia memandang ke bawah lembah
tampaklah sebuah telaga yang dikelilingi oleh
pohonpohon besar berdaun rimbun hingga
suasana di situ kelihatan sejuk sekali. Wiro
berdiri dan memutuskan untuk pergi ke telaga
itu guna mandi agar tubuhnya lebih segar.
Kira-kira dua ratus langkah dari telaga itu,
Wiro tiba-tiba mendengar suara dua orang
tertawa gelak-gelak, lalu suara orang terjun ke
dalam telaga dan bersimbur-simburan air.
"Pasti ada sepasang muda mudi yang tengah
mandi di sana," pikir Wiro. Dia bermaksud
untuk membatalkan niatnya pergi mandi
karena tak ingin mengganggu pasangan yang
tengah bergembira itu. Lalu didengarnya lagi
suara tertawa gelak-gelak. Wiro tak jadi
memutar langkahnya. Suara tertawa itu agak
aneh. Bukan suara tertawa sepasang muda
mudi. Akhirnya dengan hati bertanya-tanya
dan ingin tahu Wiro meneruskan langkahnya
menuju tepi telaga.
Kira-kira dua puluh langkah dari tepi telaga,
Wiro menyeruakkan semak belukar dan
memandang ke depan. Terkejutlah murid
Eyang Sinto Gendeng ini sewaktu menyaksikan
apa yang ada di hadapannya. Matanya
terbuka lebar-lebar, mulutnya menganga. Di
situ, di tepi telaga seorang nenek-nenek tua
goyangkan pinggulnya.
"Gila … betul-betul gila!" kata Wiro dan
cepatcepat dipalingkannya kepalanya.
Hampir sepeminuman teh lewat. Perlahan-
lahan Wiro rnemalingkan kepalanya.
"Setan alas!" Pendekar 212 cepat-cepat
memutar tubuh kembali. Semula disangkanya
adegan kotor itu, telah berakhir. Tetapi
sewaktu barusan dia menoleh ternyata
adegan yang dilihatnya lebih kotor dan lebih
gila lagi. Kalau tadi si kakek yang dilihatnya
berada di sebelah atas kini malah tampak si
nenek yang tengah "memperkuda" laki-laki tua
itu sambil tertawa-tawa, sambil menyeringai-
nyeringai!
"Geblek, biar kulempar mereka dengan umbi
keladi hutan ini!", kata Wiro dalam hati. Lalu
dibetotnya sebatang pohon keladi. Ketika
hendak dilemparkannya ke arah kedua insan
yang tengah lupa daratan itu, terpikir oleh si
pemuda bukan mustahil kedua kakek nenek itu
adalah suami istri. Dan adalah berdosa serta
tidak sopan sekali kalau dia mengganggu
kesenangan mereka. Akhirnya dengan
memandang ke jurusan lain Wiro menunggu.
Tak berapa lama kemudian ketika Wiro
memalingkan kepalanya kembali, dilihatnya
kedua orang itu terbaring berdampingan di
tanah dan bercakap-cakap dengan suara
perlahan. Diam-diam Wiro melangkah
mendekati mereka.
"Kita mandi lagi Soka … " terdengar suara si
nenek.
"Buset! Sebentar lagilah. Tubuhku masih
keringatan … " sahut si kakek dan si nenek
tertawa cekikikan.
"Enam bulan Soka … "
"Sudah, sudah! Jangan sebut lagi masa itu!
Kau mau bikin aku benar-benar lumpuh apa?!"
Si nenek tertawa lagi macam tadi. Lewat
beberapa saat si nenek membuka suara
kembali.
"Kita cari anak itu dulu atau pergi ke tempat
si Munding Wirya lebih dulu?"
Pendekar 212 Wiro Sableng di tempat
persembunyiannya merasa terkejut sewaktu
mendengar nama Munding Wirya disebut-
sebut. Dipertajamnya telinganya lalu
didengarnya laki-laki tua yang dipanggilnya
Soka itu menjawab,
"Tempatnya si Munding sudah jelas.
Bagusnya kita datangi dulu dia … "
"Betul, lebih cepat dia mampus lebih baik.
Kalau tidak gara-gara bangsat tua bangka itu
pasti calon muridku tak akan dilarikan orang!"
Wiro mengerenyitkan kening. Tiba-tiba kedua
orang tua renta itu berdiri dan sambil
bergandengan tangan lari ke telaga, terjun ke
dalam air dan bergelut lagi seperti tadi!
Sewaktu matahari telah jauh condong ke barat
barulah kedua kakek nenek yang bukan lain
Damar Soka dan Camperenik adanya
mengambil pakaian masing-masing,
mengenakannya lalu laksana terbang lari
kejurusan timur. Tanpa menunggu lebih lama
Wiro Sableng segera berkelebat mengikuti
keduanya. Dari pembicaraan kedua tua renta
itu tadi, Wiro tahu bahwa mereka mempunyai
maksud jahat terhadap Munding Wirya.
Tetapi baru saja Pendekar 212 menggerakkan
kakinya, dia dikejutkan oleh satu suara yang
megap-megap .
"Sau … sauda … ra … tol … tolonglah … "
Wiro berpaling. Semak belukar di sampingnya
tiba-tiba tersibak dan seorang laki-laki
melangkah tertatih-tatih sambil memegangi
dadanya yang berlumuran darah. Pada
bahunya ada sebuah kantung kulit.
"Sau … saudara … " Laki-laki itu hampir
terjatuh menyungkur tanah kalau Wiro tidak
memegang bahunya dengan cepat!
Wiro segera hendak memeriksa luka di dada
laki-laki itu sewaktu tiba-tiba sekali lima
orang berpakaian serba hitam bertampang
buas menyeruak dari balik semak belukar.
Salah satu di antaranya mereka memegang
sebatang golok yang basah oleh darah.
Karena tak sempat memberi pertolongan lebih
lanjut, Wiro segera menotok urat besar di
leher laki-laki yang di hadapannya,
membaringkannya di tanah lalu berdiri dengan
cepat.
"Siapa kalian?!"
Manusia buas yang memegang golok
menyeringai.
"Manusia rambut gondrong! Berlalulah dari
sini kalau tak ingin mampus!"
"Hebat sekali bicaramu!" ejek "Wiro. "Kau
menyebut-nyebut soal mampus! Agaknya kau
sendiri yang ingin berpisah nyawa dengan
badan!"
"Setan alas! Tak ada seorang bangsatpun
yang boleh bicara kasar terhadap anak buah
Bayunata!" Laki laki itu memutar goloknya
dengan sebat. WIRO Sableng keluarkan siulan
nyaring. "Jadi kalian adalah monyet-
monyetnya si Bayunata hah? Bagus! Majulah
bersama-sama agar lebih cepat aku bisa
merenggut nyawa kalian!"
Sambil berkata begitu Wiro berkelit
mengelakkan serangan golok yang ganas
berbahaya. Anak buah Bayunata menjadi
penasaran melihat serangannya mengenai
teropat kosong. Secepat kilat dilancarkannya
lagi satu serangan susulan yang lebih
berbahaya. Namun saat itu Wiro telah lenyap
dari hadapannya. Sebelum dia sempat
mengetahui di mana pemuda itu berada, satu
jambakan telah mencengkeram rambutnya
dan di lain kejap tubuhnya terbanting keras ke
tanah!
Perampok itu mengeluh tinggi. Untuk
bebarapa lamanya dia terkapar di tanah tanpa
bisa bergerak. Tulang-tulangnya serasa
remuk, pemandangannya gelap. Goloknya
telah terlepas entah ke mana.
"Sret!"
Suara golok dicabut terdengar susul
menyusul. Empat rampok yang lainnya begitu
melihat kawan mereka dihajar demikian rupa,
serentak mencabut senjata masing-masing
dan tanpa banyak cerita langsung menyerang
Wiro Sableng. Empat golok besar bersiuran,
mencari sasaran di empat bagian tubuh Wiro.
Jika serangan itu berhasil dapat dibayangkan
bagaimana Pendekar 212 akan mati dengan
tubuh terkutung-kutung. Namun serangan-
serangan tersebut tak akan berhasil, tak akan
pernah berhasil. Di dahului dengan bentakan
nyaring, Wiro melompat satu setengah tombak
ke udara. Dua orang penyerang saling
bentrokan senjata satu sama lain. Sementara
itu dari atas Wiro berkelebat turun. Kaki
kanan dan tangan kirinya menablir serangan.
Dua pekik kematian terdengar. Rampok yang
disam ping kanan terbanting ke tanah dengan
kepala rengkah sedang rampok yang di
sebelah kiri melosok dengan dada hancur
melesak!
Rampok-rampok yang masih hidup terkesiap
kaget lalu tanpa tunggu lebih lama segera
memutar tubuh untuk larikan diri. Namun
masing-masing mereka hanya bisa bergerak
sejauh dua langkah, karena sangat cepat Wiro
telah menjambak rambut mereka. Mula-mula
hendak dibenturkannya kepaia kedua rampok
itu satu sama lain. Tetapi setelah berpikir
sejenak, dengan menyeringai Wiro
melemparkan keduanya ke dalam telaga.
Celakanya masing-masing mereka tidak bisa
berenang.
"Tolong!" jerit mereka sambil
menggelepargelepar dalam air. Keduanya
laksana gila, berteriak don menggelepar.
Tubuh mereka sedikit demi sedikit mulai
tenggelam. Semakin keras dan cepat gerakan
yang mereka buat, semakin lekas tubuh
mereka amblas ke dalam air. Beberapa menit
kemudian keduanya lenyap dari permukaan air
telaga.
Wiro memutar tubuh dan melangkah
mendapati laki-laki yang menggeletak luka
parah. Dibukanya totokan pada urat di leher
orang ini. Darah yang tadi berhenti kini
kelihatan kembali mengucur. Dari mulut orang
itu terdengar suara erangan sedang kedua
matanya terpejam. Wiro mengeluarkan bubuk
obat dari dalam saku pakaiannya. Darah yang
mengucur tak lama kemudian segera berhenti
sesudah bubuk obat itu ditaburkannya di atas
luka. Dengan cabikan pakaian Wiro membalut
luka itu kemudian menelankan sebutir obat ke
mulut laki-laki tersebut dan menyandarkannya
di sebuah pohon. Kira-kira sepeminuman teh
berlalu orang itu membuka kedua matanya.
"Bagaimana rasanya, masih sakit?" tanya
Wiro.
"Mendingan … te … terima kasih, Sau … dara."
"Bernafaslah dengan teratur, pasti rasa
sakitmu akan lebih berkurang," menasihatkan
Wiro.
Dan bila orang itu dilihatnya agak segar dia
berkata, "Sekarang terangkanlah siapa kau
dan apa yang terjadi dengan dirimu."
"Aku adalah seorang kurir Adipati Ekalaya dari
Parangsari. Aku ditugaskan ke Kotaraja untuk
menyampaikan uang emas yang ada di dalam
kantong kulit dipunggungku ini. Entah
bagaimana perjalananku bocor ke tangan
penjahat-penjahat di hutan Bludak itu. Aku
dihadang di tengah jaian. Ketika aku menolak
untuk memberikan uang emas yang kubawa,
kelima penjahat itu mengeroyokku. Aku
berusaha melawan. Namun jumlah mereka
terlalu banyak dan rata-rata memiliki ilmu
yang tinggi. Sewaktu salah seorang dari
mereka mencabut golok, aku tak berdaya lagi.
Dadaku luka parah. Dalam keadaan begitu
rupa aku berusaha melarikan diri. Aku sampai
di tempat ini dan berternu dengan kau …"
Laki-laki itu meraba dadanya sebentar ialu
menarik nafas panjang dan berkata lagi.
"Aku berhutang besar padamu, Saudara.
Berhutang nyawa. Sebagai balasan aku tak
bisa memberikan apa-apa. Kuharap kau mau
mengambil sepertiga dari uang emas yang
ada di dalam kantong kulit ini. Bagaimana
nanti dengan Adipati Ekalaya adalah
urusanku." Dan laki-laki itu hendak membuka
ikatan kantong kulit dipunggungnya. Wiro
Sableng tertawa dan digelengkannya
kepalanya.
"Menolong sesama manusia adalah satu hal
yang menyenangkan bagiku. Lebih dari itu,
menolong merupakan satu kewajiban.
Menolong berarti tanpa pamrih, tanpa
mengharapkan balas jasa. Karenanya jangan
sebut-sebut segala hutang nyawa dan segala
pembalasan … "
"Uang ini kuberikan dengan penuh rasa rela.
Dan aku yakin Adipati Ekalaya tidak
keberatan."
"Sudahlah sobat. Sebaiknya kita tinggalkan
tempat ini. Sebentar lagi matahari akan
tenggelam dan malam akan tiba."
Keduanya berdiri.
"Aku akan antarkan kau ke tepi sungai. Kau
bisa melanjutkan perjalanan ke Kotaraja
dengan menumpang perahu." kata Wiro pula.
Laki-laki itu mengangguk.
Ketika malam tiba mereka sampai di satu
tikungan sungai di mana terdapat sebuah
pangkalan perahu tumpangan.
"Kita berpisah di sini, sobat. Selamat jalan!"
kata Wiro sambil menepuk bahu laki-laki di
sampingnya.
"Ya. Terima kasih atas segala bantuanmu.
Sebelum berpisah harap kau sudi
menerangkan nama dan tempat tinggalmu … "
Laki-laki itu berpaling dan astaga! Terkejutlah
dia. Wiro Sableng sudah lenyap dari
sampingnya.
Sekarang marilah kita ikuti perjalanan dua tua
bangka cabul yakni Damar Soka alias Hantu
Kuning dan nenek-nenek bermuka hitam
bermata satu si Camperenik. Dengan
mengandalkan ilmu lari masingmasing,
menjelang tengah malam mereka berhasil
mencapai Bukit Gong tempat kediaman
Munding Wirya. Pada saat itu Munding Wirya
tengah hendak bersemedi. Beberapa kali telah
dicobanya untuk menutup panca inderanya
namun sia-sia belaka. Dia sama sekali tak
dapat memusatkan pikiran sedang entah
karena apa hatinya selalu tidak enak.
Dihelanya nafas panjang, dibukanya kedua
matanya kembali. Di sampingnya tertidur
pulas gadis cilik yang akan menjadi muridnya.
Setelah lewat kira-kira sepeminuman teh,
Munding Wirya coba untuk bersemedi kembali.
Namun lagi-lagi dia tak bisa memusatkan
pikirannya. Selagi dia termenung diombang-
ambing jalan pikiran yang tak menentu,
mendadak telinganya yang tajam mendengar
suara di luar.
"Siapa?!" Munding Wirya bertanya.
Baru saja pertanyaannya itu selesai
diucapkan, pintu pondok tiba-tiba terbuka dan
sesosok tubuh masuk ke dalam.
"Selamat berjumpa kembali, Munding Wirya!"
orang yang baru masuk berkata dengan
seringai bermain di mulut. Matanya yang
cuma satu membuka besar-besar sewaktu
melihat gadis cilik yang tengah tidur pulas di
samping Munding Wirya.
"Ada apa kau ke sini? Apa hajaran yang
kuberikan padamu beberapa waktu yang lewat
masih kurang?"
"Aha! Jangan bicara besar malam ini,
Munding Wirya!" sahut Camperenik. "Aku
datang untuk menenagih hutang berikut
bunganya. Tiada dinyana calon muridku juga
ada di sini! Sekali merangkuh, dua tiga pulau
terlalui. Bukankah keadaan cocok sekali
dengan pepatah itu heh?!" Munding Wirya
mengusap janggutnya yang panjang putih.
"Aku tidak percaya kau punya nyali untuk
datang seorang diri kemari! Siapa orang di
luar yang agaknya menjadi andalanmu?!"
Pada saat itu di luar pondok terdengar suara
batuk-batuk. Menyusul masuknya seorang
lakilaki bermuka kuning dan berbadan
bungkuk.
"Hem … Kau rupanya Damar Soka. Sudah
sejak lama dunia persilatan mengetahui
kekotoran yang kau perbuat bersama nenek-
nenek tua keriput ini! Sekarang kalian berdua
keluarlah dari pondokku. Haram kaki kalian
menginjak tempat ini!"
"Buset … buset … buset!" Damar Soka goleng-
golengkan kepala. "Haram atau halal itu
urusan kemudian. Yang jelas kau harus
berterima kasih lantaran aku ikut kemari
bersama Camperenik!"
Munding Wirya kerenyitkan kening.
"Sangkut paut apa aku musti berterima kasih
padamu, Hantu Kuning?!"
"Camperenik hendak minta kau punya jiwa,
hendak membunuhmu! Tapi dengan adanya
aku di sini pembalasannya yang kejam bisa
diperingan sedikit. Nah, kau lekaslah bunuh
diri!"
Berubahlah paras Munding Wirya.
"Keluar dari sini atau aku terpaksa mengusir
kalian secara kekerasan?!"
"Sebagai tuan rumah kau terlalu kurang ajar,
Wirya!" kata Camperenik. Lalu dikeluarkannya
senjatanya yaitu ular yang telah dikeringkan.
"Bersiaplah untuk mampus!"
Camperenik menerjang ke muka. Senjatanya
berkelebat. Racun kuning menyembur. Namun
Munding Wirya siang-siang sudah berpindah
tempat hingga serangan Camperenik hanya
mengenai tempat kosong.
Dengan sebat nenek-nenek bermata satu
bermuka hitam ini membalikkan tubuh. Pada
saat itu satu gulungan berwarna kuning
datang di hadapannya dengan amat cepat.
Camperenik tidak menduga sama sekali kalau
dikejapan itu Munding Wirya akan
melancarkan serangan balasan dengan
tongkatnya. Dia bersurut mundur namun
serangan tongkat bambu kuning Munding
Wirya telah mengurung sekujur tubuhnya
kemudian dengan sebat menderu ke
kepalanya. Munding Wirya sengaja
mengeluarkan jurus serangan yang amat
hebatnya bernama "naga sakti menggulung
bumi mematuk bulan".
Camperenik berseru tertahan. Tak ada
kesempatan lagi baginya untuk berkelit
ataupun menangkis! Sekejap lagi tongkat
bambu kuning Munding Wirya akan membuat
otak Camperenik bertaburan, tiba-tiba tubuh
orang tua ini menghuyung. Selarik angin
panas menyambar dari samping, satu pukulan
kemudian melanda lengannya, hampir saja
membuat tongkatnya terlepas dari tangan!
"Kurang ajarl Kau mau main keroyokan Damar
Soka?!" sentak Munding Wirya marah.
Damar Soka alias Hantu Kuning menyeringai
buruk. "Tidak seorang manusiapun tega
melihat kekasihnya dihajar orang. Termasuk
aku!"
"Kalau begitu lanjutkanlah hidup cabul kalian
di neraka!" kata Munding Wirya pula seraya
mengiblatkan bambu kuningnya dan
mengirimkan dua serangan kepada kedua
lawannya. Perkelahian dua lawan satupun
berkecamuklah.
Seperti telah diketahui, bertempur satu lawan
satu bukan hal yang mudah bagi Munding
Wirya untuk mengalahkan Camperenik,
apalagi saat itu si nenek muka hitam dibantu
pula oleh Damar Soka, seorang tokoh silat
jahat yang kepandaiannya tiga tingkat lebih
tinggi dari Camperenik!
Sementara itu gadis cilik delapan tahun yang
tadi tidur pulas kini telah terbangun dan
dengan terkejut serta takut menyaksikan
pertempuran itu disudut pondok. Jurus demi
jurus pertempuran semakin hebat. Mereka
yang berkelahi hanya merupakan bayang
bayang saja kini. Taburan serangan yang
dilancarkan Munding Wirya laksana curahan
hujan datangnya. Namun cuma sampai lima
jurus orang tua itu sanggup menunjukkan
kehebatannya. Jurus-jurus selanjutnya dia
mulai mendapat tekanan-tekanan untuk
kemudian dia musti bertahan mati-matian.
Dalam satu gebrakan hebat dijurus ke
sembilan, Munding Wirya terpaksa
membiarkan tongkatnya kena dirampas oleh
Damar Soka demi untuk menyelamatkan
kepalanya dari hantaman tongkat ular
Camperenik. Dan mulai detik inilah Munding
Wirya betul-betul terancam jiwanya.
"Camperenik, hati-hati, bangsat tua ini
hendak mengeluarkan pukulan buana biru!"
Damar Soka berteriak memberi ingat sewaktu
dilihatnya Munding Wirya menggerakkan
tangan kanannya yang saat itu sudah
berwarna biru.
Peringatan Damar Soka percuma saja. Meski
Camperenik berusaha untuk menyingkir namun
terlanlbat. Sebagian sinar pukulan yang
mengandung racun jahat menderu memapas
pinggang Camperenik. Nenek-nenek ini
melolong setinggi langit. Tubuhnya mencelat
bersama-sama dengan dinding pondok yang
hancur berantakan, terhampar di tanah,
berkutik melejang-lejang seketika lalu diam
tak bergerak lagi. Di saat yang sama
terdengar pula pekik Munding Wirya.
Meskipun Munding Wirya berhasil
menewaskan Camperenik dengan pukulan
buana biru namun dia sama sekali tidak
sempat mengelakkan tendangan kaki kanan
Damar Soka yang membabat dari samping.
Tangan kanan Munding Wirya sampai sebatas
pergelangan remuk hancurl Dengan menggigit
bibir menahan sakit orang tua ini melompat
keluar dari kalangan pertempuran.
Munding Wirya menyadari sepenuhnya bahwa
sekalipun dia tidak menderita seperti saat itu,
adalah mustahil baginya untuk dapat
bertahan menghadapi Damar Soka. Karenanya
cepat-cepat dia berpaling pada gadis cilik di
sudut pondok dan berteriak. "Mawar! Larilah!
Tinggalkan tempat ini cepat!" Gadis cilik
berumur delapan tahun itu nampak ragu-
ragu. Munding Wirya berteriak lagi. Si anak
segera hendak lari tapi Damar Soka sudah
mengha dang di pintu menutup jalan. Dengan
penasaran Munding Wirya menerjang dan
melancarkan satu tendangan ke bawah perut
Damar Soka. Manusia bermuka kuning itu
berkelit gesit dan dengan satu gerakan cepat
yang sukar diukur, tinju kanan Damar Soka
bersarang di dada Munding Wirya. Tak ampun
lagi orang tua ini terpelanting dan jatuh
terjengkang di lantai pondok. Dengan
terhuyung-huyung dicobanya berdiri. Sebelum
dia bisa mengimbangi tubuh, Munding Wirya
terbatuk-batuk beberapa kali lalu muntah
darah dan melosoh kembali ke lantai.
Dadanya terasa panas dan sakit bukan main.
Nafasnya tersendat-sendat sedang pandangan
matanya berbinar-binar.
Hantu Kuning tertawa mengekeh. Dia
melanygkah mendekati Munding Wirya.
"Bangsat tua bangka! Hari ini kutamatkan
riwayatmu sampai di sini!"
Hantu Kuning menggerakkan kaki kanannya.
Sesaat sebelum tendangan yang dilancarkan
lakilaki ini sampai dikepala Munding Wirya,
dari arah pintu menderu lima buah benda
berwarna putih perak menyilaukan. Hantu
kuning terpaksa membatalkan tendangannya
kecuali kalau dia inginkan kakinya dilabrak
senjata rahasia itu. Lima senjata rahasia
menancap di dinding pondok. Bendabenda ini
berbentuk bintang yang bertuliskan angka-
angka 212 di tengah-tengahnya! BEGITU
terkejut melihat barisan tiga buah angka itu,
secepatnya Damar Soka memutar tubuh ke
pintu. Rasa terkejutnya kini berubah menjadi
rasa heran. Sekitar duapuluh tahun yang
silam angka 212 itu telah menggetarkan dunia
persilatan. Setiap muncul angka 212 berarti
munculnya seorang nenek-nenek sakti
bernama Sinto Gendeng.
Tetapi hari ini yang dilihat Damar Soka bukan
seorang nenek-nenek, melainkan seorang
pemuda bertubuh kekar, berpakaian putih-
putih dan berambut gondrong, Pemuda ini
menyengir seenaknya kepadanya!
"Buset kau budakl Lekas terangkan siapa
kau!" Si rambut gondrong bersiul lalu
tudingkan ibu jarinya ke belakang.
"Lekas keluar dari sini!"
"Hah?!" Damar Soka beliakkan kedua
matanya. "Kau menyuruh si tua bangka ini
keluar dari sini?!" Dan meledaklah tawa
Damar Soka. Sesaat kemudian dihentikannya
tawanya itu. Dia memandang lekatlekat ke
wajah pemuda di hadapannya dan berkata,
"Kau memiliki angka pengenal 212. Apa
sangkut pautmu dengan Sinto Gendeng dari
gunung Gede?"
"Aku suruh kau keluar, bukan mengajukan
segala macam pertanyaan!" bentak si
pemuda.
Marahlah Damar Soka. Kedua tangannya
dipentang. Begitu sepasang tangan tersebut
diayunkan, dua larik sinar kuning pekat
menggebu-gebu. Terdengar satu siulan. Si
rambut gondrong lenyap dari pemandangan.
Dikejap yang sama serangkum sinar putih
berkiblat dari samping, menyapu ke arah
tubuh Damar Soka.
"Pukulan sinar matahari!" seru Damar Soka
kaget dan buru-buru menjatuhkan diri ke
lantai pondok. Terdengar suara hiruk pikuk
yang hebat. Dinding pondok sebelah kanan
hancur berkepingkeping dan hangus. Tercekat
hati Damar Soka. Satu-satunya manusia yang
memiliki pukulan sakti itu adalah Sinto
Gendeng. Dan kini si pemuda telah
melancarkan ilmu pukulan tersebut secara
hebat! Pasti dia murid Si Sinto Gendeng!
Dengan bola mata berkilat-kilat Damar Soka
berdiri. Kedua tangannya yang berwarna
kuning saling digosok-gosokkan sedang
mulutnya berkomat-kamit.
"Budak, dulu gurumu selama bertahun-tahun
telah menjadi seteru tokoh-tokoh silat
golonganku. Jika aku dan kawan-kawan masa
itu tak dapat menghancurkan batok kepala
Sinto Gendeng, biarlah hari ini aku cukup puas
mengirim muridnya ke liang kubur!"
Wiro Sableng tertawa perlahan.
Munding Wirya yang sejak tadi menyaksikan
baku hantam antara kedua orang itu dalam
keadaan megap-megap hampir kehabisan
nafas, mengumpulkan sisa-sisa tenaganya
dan berseru memberi peringatan.
"Wiro, awas! Tua bangka cabul ini hendak
melepaskan pukulan waja kuning! Lekas
menyingkir dan selamatkan gadis cilik itu!"
Wiro masih tertawa.
"Terima kasih atas peringatanmu, orang tua.
Tapi biarlah aku mau lihat dan mau tahu
kehebatan pukulan yang hendak
dilepaskannya!"
Dan diam-diam Pendekar 212 Wiro Sableng
memusatkan seluruh tenaga dalamnya ke
tangan kiri dan tangan kanan. Perlahan-lahan
Damar Soka meluruskan tubuhnya yang
bungkuk. Tanpa melepaskan pandangannya
dari Damar Soka Wiro berkata pada gadis cilik
di sudut ruangan.
"Anak, kau lekas tinggalkan pondok ini.
Tunggu di luar. Lekas …. "
Mawar si gadis cilik delapan tahun dengan
kaki gemetar lari ke pintu. Sementara itu
Damar Soka mengembangkan kedua
tangannya ke samping laksana burung besar
hendak terbang. Kedua tangan itu
memancarkan sinar kuning yang menyilaukan
dan menggidikkan. Tiba-tiba dari tenggorokan
Damar Soka alias Hantu Kuning keluar jeritan
dahsyat laksana seratus serigala melolong di
malam butal Dan serentak dengan itu kedua
tangannya didorongkan ke muka.
Pondok itu laksana di landa lindu. Dua larik
gelombang sinar kuning menderu dahsyat ke
arah Pendekar 212. Di lain pihak Wiro Sableng
begitu lawan bergerak melancarkan serangan
segera pula memukulkan kedua tangannya ke
depan. Tangan kanan melancarkan ilmu
pukulan "dewa topan menggusur gunung"
yang dipelajarinya dari Tua Gila sedang
tangan kiri melancarkan pukulan "sinar
matahari" yang diwarisinya dari Eyang Sinto
Gendeng.
Terjadilah hal yang hebat. Pondok di mana
pertempuran adu kesaktian itu terjadi hancur
berantakan laksana diledakkan. Atap dan
dinding beterbangan ke udara. Munding Wirya
yang terhampar di lantai, mental terguling-
guling. Demikian juga tubuh tak bernafas dari
Camperenik.
Di dalam kepekatan malam di atas reruntuhan
pondok, Wiro Sableng dan Damar Soka
kembali saling berhadapan. Pendekar 212
saat itu merasakan dadanya sakit berdenyut-
denyut, aliran darahnya tidak teratur dan
kepalanya sedikit pusing. Di lain pihak Hantu
Kuning mengerahkan seluruh tenaganya untuk
bisa berdiri dengan betul. Lututnya bergetar,
sekujur tubuhnya panas dingin. "Tak mungkin
aku sanggup menghadapi budak ini lebih
lama … Dia kelihatan masih segar bugar."
kata Damar Soka dalam hati.
Tiba-tiba si tua renta ini melompat ke
samping dan menyambar tubuh Camperenik
terus hendak melarikan diri! Wiro bersuit
nyaring. Tubuhnya laksana terbang melesat ke
muka. Damar Soka kaget dan penasaran
bukan main sewaktu tahu-tahu si pemuda
telah menghadang larinya. Meskipun sadar
bahwa dalam keadaan terluka di dalam begitu
rupa adalah berbahaya untuk metancarkan
serangan yang mengandalkan tenaga dalam
namun di landa hawa amarah yang amat
sangat maka Damar Soka memukulkan tangan
kanannya. Selarik angin hitam berkiblat. Wiro
membentak nyaring. Di kegelapan malam dia
melompat setinggi tiga tombak dan sambil
melayang turun dia melepaskan pukulan
"sinar matahari" yang terkenal ampuh itu.
Sehabis melancarkan serangan tadi, Damar
Soka merasakan dadanya seperti dipanggang.
Nafasnya menyesak dan tidahnya menjulur
keluar laksana orang dicekik. Sedetik
kemudian bukubuku darah merah kehitaman
menyembur dari mulutnya. Damar Soka
tersungkur. Tangan kirinya masih merangkul
pinggang Camperenik. Sebelum tubuh Damar
Soka mencium tanah, pada saat itulah
pukulan "sinar matahari" yang dilepaskan
Wiro Sableng datang menyapu!
Damar Soka terbanting ke tanah. Camperenik
lepas dari rangkulannya. Tanpa mengeluarkan
suara sedikitpun Damar Soka amblas ke tanah
sedalam beberapa senti. Tubuhnya dan juga
tubuh Camperenik hangus hitam. Nyawanya
lepas meninggalkan badan!
Wiro mengatur jalan darah serta
pernafasannya dengan cepat. Kalau dia
memandang berkeliling. Dilihatnya Munding
Wirya menggeletak di antara puing-puing
pondok, di sampingnya bersimpuh gadis cilik
itu. Wiro cepat mendatangi si orang tua.
Dalam keadaan megap-megap begitu
Munding Wirya masih bisa sunggingkan
senyum dan memuji.
"Kau hebat Wiro, hebat sekali … Tak percuma
kau jadi murid Sinto Gendeng. Hatiku … puas.
Sebelum menutup mata aku … masih sem…
sempat menyaksikan kematian dua man …
manusia cabul itu … "
Wiro Sableng meraba dada Munding Wirya.
Dada itu terasa panas. Sewaktu disibakkannya
pakaian si orang tua kelihatanlah kulit
dadanya kuning pekat sedang tulang dada
melesak ke dalam.
Beberapa iga jelas kelihatan patah. Pendekar
kita segera alirkan tenaga dalam ke dada
Munding Wirya.
"Tak usah Wiro … jangan", kata Munding
Wirya pelahan dengan senyum masih di bibir.
"Aku sudah mendapat firasat bahwa umurku
cukup sampai di sini … "
"Telanlah obat ini", kata Wiro tanpa
perdulikan ucapan Munding Wirya.
Orang tua itu menggeleng. Sepasang matanya
semakin menyipit dan kabur. "Kehendak
Tuhan segera akan berlaku atas diriku. Satu
permintaanku padamu, bawalah Mawar pada
Citrakarsa. Maksudku untuk mengambilnya
jadi murid tidak kesampaian. Biar Citrakarsa
yang melanjutkan. Aku … Wiro kurasa …
kurasa … "
Ucapan Munding Wirya cuma sampai di situ.
Nafasnya meninggalkan jazad. Orang tua ini
menghembuskan nafas penghabisan dengan
senyum masih membayang dibibirnya. Gadis
kecil di sampingnya menangis terisak-isak.
Pendekar 212 Wiro Sableng menghela nafas
panjang. Sampai saat itu telah puluhan kali
dia melihat manusia-manusia meregang
nyawa. Ada yang secara baik-baik, banyak
dalam cara mengerikan. Diam-diam dia
berpikir entah kapan pula malaikat maut akan
mendatanginya, menagih nyawanya dan mati!
*** "Dulu hidup ini sunyi dan sepi,
Kini indah berseri.
Dulu hidup ini penuh duka derita,
Kini semarak bercahaya.
Betapa tak akan indah,
Betapa tak akan berseri.
Apa yang dicita muncul di mata,
Telah datang seorang calon istri.
Dulu hidup ini ……………………….. " Ranata
mendadak menghentikan nyanyiannya. Dia
berdiri dengan cepat. Sepasang telinganya
telah menangkap suara orang berlari
dikejauhan. Semak-semak di depannya
tersibak, sesosok tubuh berpakaian putih
mendukung tubuh seorang anak kecil muncul.
"Amboi! Kau datang lagi, rambut gondrong!
Eh, siapa anak dalam dukunganmu itu?!"
Ranata berseru."Ayahmu ada di dalam?" tanya
orang yang datang yaitu Wiro bersama
Mawar.
"Ngaco! Di tanya malah bertanya!" damprat
Ranata. Mau bikin apa tanya-tanya ayahku
segala?!"
Wiro menahan kegusarannya. Sebelum dia
membuka mulut memberi jawaban dari dalam
gubuk mendadak terdengar seruan
perempuan.
"Mawar! Adikku … !"
Seorang gadis yang bukan lain adalah Ratih
menghambur keluar, merebut Mawar dari
dukungan Wiro, memeluknya dan menangis
tersedu-sedu. Wiro terharu sedang Ranata
berdiri bingung.
"Amboi .., amboi! Mengapa calon istriku
menangis?! Siapa gadis cilik yang ditangisi?
Adikmu…? Ah … wajahnya … wajahnya
memang hampir sama. Adik calon istriku …
ipar … ya iparku kalau begitu! Amboi
iiiipaaaar!"
"Semua yang ada di luar, masuklah ke dalam,"
tiba-tiba terdengar suara Citrakarsa dari
dalam gubuk.
'"Amboi! Semua masuk!" kata Ranata pula
lalu dia yang pertama sekali melompat
masuk, menyusul Ratih yang mendukung
Mawar dan belakangan Wiro. Pendekar ini
menjura di hadapan Citrakarsa.
"Duduklah dan ceritakan apa yang telah
terjadi!" kata Citrakarsa pula.
Semua orang duduk dan memandang pada
Wiro Sableng sementara pemuda ini mulai
menuturkan malapetaka apa yang telah
menimpa Munding Wirya di bukit Gong.
"Begitulah, orang tua … " kata Wiro menutup
keterangannya. "Sebelum menutup mata
Munding Wirya meninggalkan pesan agar
membawa adik Ratih ke sini, meminta agar
kau mengambilnya menjadi murid karena
dialah kelak yang bakal menuntut balas
terhadap kematian orang tuanya."
Setelah berdiam diri sejenak, Citrakarsa baru
membuka mulut berikan jawaban.
"Apa yang dipesankan Munding Wirya adalah
satu kewajiban luhur. Jika saja pesan itu
tidak lekas sampainya ke sini, mungkin aku
sudah lebih dahulu menyuruh Ranata untuk
mengobrakabrik bangsat-bangsat di hutan
Bludak itu."
Tiba-tiba Ranata mendongak ke atas.
Citrakarsa bertanya dengan suara keras.
"Siapa di luar?!"
Dan Pendekar 212 dalam kejap itu telah
melompat ke pintu. Sekelebat dilihatnya
sesosok bayangan hitam tinggi langsing di
atas atap gubuk. Wiro cepat mengejar namun
orang itu lenyap dari pemandangan.
Betapapun dia menyelidik dengan teliti di
sekitar tempat itu tetap tak berhasil mencari
jejak ke mana lenyapnya si bayangan hitam
tadi!
Dengan menduga-duga siapa adanya manusia
tersebut, Wiro masuk kembali ke dalam
gubuk. Saat itu dilihatnya Citrakarsa tengah
memegang sehelai kertas putih, bersama
Ranata dia membaca serentetan tulisan yang
ada di atas kertas itu.
Ketika Wiro menghambur keluar gubuk tadi,
dari atas atap rumbia melesat segulung kertas
yang saat itu tengah dipegang oleh
Citrakarsa. Kertas apakah yang di tangan
orang tua itu, demikian Wiro berpikir sambil
kembali duduk ke tempatnya semula.
Citrakarsa mengangkat kepalanya,
memandang tepat-tepat pada Wiro. Hal yang
sama dilakukan pula oleh Ranata. Tiba-tiba
pemuda itu melompat dan menari berputar-
putar mengelilingi Wiro Sableng.
"Aku akan sembuh! Aku akan sembuh dan …
amboi! Ratih … Ratih! Dengarlah! Aku akan
sembuh dan nanti suamimu bukan orang gila
lagi, bukan orang sedeng, bukan orang sinting,
bukan orang edaaaannn!"
Wiro memandang Ranata dan Citrakarsa
berganti-ganti. Apa-apaan pula ini, tanyanya
dalam hati. Tiba-tiba Citrakarsa mengulurkan
tangannya yang memegang kertas.
"Bacalah!" kata orang tua ini.
Wiro menerima kertas yang diberikan lalu
membaca rangkaian tulisan yang tertera di
atasnya. Ternyata merupakan sebuah surat
yang ditujukan kepadanya dan berbunyi:
Wiro muridku,
Percuma kau menguasai 1001 macam ilmu
pengobatan kalau dihatimu tak ada niat untuk
mengobati Ranata.
Sinto Gendeng. Wiro Sableng tertegun
melengak. Tiada dinyananya akan mendapat
surat seperti itu. Pantas saja dia tadi tak
berhasil mengejar sosok tubuh hitam yang
berkelebat di atas atap gubuk karena ternyata
orang tersebut adalah gurunya sendiri!
"Bisakah kau memberi sedikit keterangan akan
bunyi surat gurumu itu?" bertanya Citrakarsa
sementara saat itu Ranata masih juga
menari-nari seputar Wiro.
"Aku memang pemah membaca dan
mempelajari sebuah kitab tentang berbagai
ilmu pengobatan beberapa waktu yang lalu.
Kitab itu ditulis oleh Kiai Bangkalan…."
"Kiai Bangkalan!", kata Citrakarsa setengah
berseru. "Dalam dunia persilatan memang
dialah satu-satunya ahli pengobatan yang
paling lihay". Dan harapan besar jelas
terbayang di wajah si orang tua.
"Jika betul kau sudah mempelajari ilmu
pengobatan yang ditulisnya, aku yakin Ranata
akan bisa disembuh kan!"
Wiro mengangguk pelahan.
"Menurut keterangan yang kudapat dari
Munding Wirya sebelum orang tua itu
meninggal, anakmu telah delapan tahun
menderita sakit. Ini berarti membutuhkan
waktu yang cukup lama pula untuk
menyembuhkannya. Sekurang-kurangnya
setengah dari masa sakitnya"
"Aku tak perduli berapa tahunpun! Yang
penting anakku bisa disembuhkan!" kata
Citrakarsa pula.
"Ya, yang penting aku sembuh! Sembuh dan
…. kawin! Amboi kaawwwwiiiinnnn!" menimpali
Ranata.
Wiro menarik nafas dalam, lalu pejamkan
mata dan menepekur. Hampir sepeminuman
teh baru dia mengangkat kepalanya kembali
dan memandang pada Citrakarsa lalu berkata
:
"Pertama sekali harus disediakan satu guci
anggur merah. Lalu disiapkan tujuhpuluh
lembar daun sirih, tujuhpuluh serabut akar
cendana dan tujuh ekor katak putih.
Semuanya dimasukkan ke dalam anggur
merah lalu di godok. Minuman itu harus
diminum oleh anakmu sebanyak tujuh sendok
setiap malam selama empat tahun."
Citrakarsa mengangguk-anggukkan kepala.
"Daun sirih dan akar cendana mudah dicari.
Tetapi katak putih, dimanakah binatang-
binatang itu didapat? Seumur hidup baru kali
ini aku mendengar ada katak putih!" kata
Citrakarsa pula.
"Dalam buku yang ditulis Kiai Bangkalan
diterangkan bahwa di dunia ini ada tujuh
tempat dimana terdapat katak-katak putih itu.
Salah satu diantaranya di Pulau Jawa ini. Di
dasar kawah gunung Tangkuban Perahu."
"Dasar kawah Gunung Tangkuban Perahu. Aku
akan ke sana mengambilnya!" kata Citrakarsa.
"Untuk menangkap binatang-binatang itu ada
syaratnya pula. Yaitu pada malam hari
sewaktu muncul bulan tujuh hari atau ketika
bulan dalam keadaan setengah lingkaran."
"Betapa pun sulitnya semua itu akan
kulaksanakan." kata Citrakarsa pula. Lalu
orang tua iri berulang kali mengucapkan
terima kasih atas segala pertolongan dan
petunjuk Wiro. Tak lama kemudian pendekar
tersebut pun minta diri sementara Ranata
saat itu kembali menari-nari kegirangan.
SEWINDU telah berlalu. Banyak hal telah
terjadi. Peristiwa buruk dan peristiwa jahat
silih berganti dalam dunia yang semakin tua
ini. Di suatu pagi hari yang cerah, di depan
sebuah gubuk reyot di hutan belantara yang
jarang di datangi manusia kelihatanlah
seorang kakek-kakek berambut putih tengah
menempur seorang gadis jelita berbaju merah.
Gerakan si kakek sebat cepat dan ranting kayu
di tangan kanannya berkelebat kian ke mari,
menusuk dan memapas, kadang-kadang
menotok ke jalan darah di tubuh lawannya.
Gadis berbaju merah sebaliknya amat gesit
pula gerakannya. Tubuhnya laksana
bayangbayang. Dia juga memegang sebuah
ranting kering di tangan kanan. Benda ini
menderu-deru menangkis serangan si kakek
bahkan kadang-kadang berbalik merupakan
serangan yang mematikan!
Kedua orang itu tengah melatih ilmu silat.
Dan mereka bukan lain adalah Citrakarsa
serta Mawar. Di dekat pintu gubuk berdiri
Ratih mendukung seorang anak laki-laki
berumur dua tahun. Di sampingnya tegak
Ranata. Berkat obat yang ditunjukkan oleh
Pendekar 212 Wiro Sableng, Ranata telah
sembuh dari sakitnya sejak empat tahun yang
silam. Dan sejak empat tahun yang lalu itu
pula Ratih dengan kerelaan dan kasih sayang
yang dimilikinya telah bersedia diambil istri
oleh pemuda tersebut. Dua tahun berumah
tangga mereka dikaruniai seorang anak laki-
laki yang mungil dan lucu.
Betapapun Citrakarsa mengeluarkan segala
kepandaian silatnya, namun sukar sekali
baginya untuk dapat mengalahkan Mawar.
Berkali-kali diusahakannya memukul lepas
ranting kayu di tangan gadis itu, berkali-kali
pula dicobanya untuk mehggoreskan ujung
ranting kepakaian Mawar namun sia-sia
belaka. Hati Citrakarsa gembira bukan main.
Tidak sia-sia dia menghabiskan waktu sekian
lama untuk menggembleng Mawar menjadi
seorang dara berkepandaian tinggi. Bahkan
kalau dibandingkan dengan Ranata, ilmu yang
dimiliki Mawar hampir satu tingkat lebih
tinggi!
"Sudah! Sudah … sudah!" Citrakarsa berseru
seraya melompat keluar dari kalangan
pertempuran. "Hatiku puas, puas dan
gembira! Ternyata kau benar-benar tak
mengecewakan!"
Mawar tersipu-sipu dan berkata, "Walau
bagaimanapun kepandaianku masih jauh di
bawahmu, guru. Aku harus berlatih lebih
rajin."
Citrakarsa tertawa. "Ranata!" katanya sambil
berpaling pada anaknya. "Cobalah kau hadapi
Mawar barang beberapa jurus. Aku yakin kau
bakal dikalahkannya di bawah sepuluh jurus!"
Ranata tersenyum. Disambutnya ranting kayu
yang dilemparkan ayahnya. Maka mulailah
dia menghadapi adik iparnya. Pertandingan
berjalan hebat dan cepat. Betul saja, setelah
baku hantam tujuh jurus, ujung ranting di
tangan Mawar berhasil memukul pundak
Ranata.
"Aku kalah!" seru Ranata dan melompat dari
kalangan.
"Kakak sengaja mengalah." kata Mawar lalu
membuang ranting kayu di tangannya.
"Melihat kehebatanmu, aku tak ragu-ragu lagi
untuk melepasmu guna menuntut balas
terhadap manusia-manusia jahat yang telah
membunuh orang tua dan kakakmu," berkata
Citrakarsa. "Dengar baik-baik Mawar. Mereka
terdiri dari tiga manusia biadab yang
memimpin gerombolan bejat di hutan Bludak.
Yang pertama bernama Bayunata, lalu Singgil
Murka dan yang ke tiga Sawer Tunjung.
Ketiganya bertanggung jawab atas kematian
ayah bundamu. Bertanggung jawab atas
semua nyawa penduduk kampung
kelahiranmu. Mendiang Munding Wirya dan
juga aku serta semua yang ada di sini, dalam
pada itu termasuk pula arwah-arwah mereka
yang telah menemui kematian di tangan tiga
bergundal kejahatan itu, sama mengharapkan
agar kau dapat membalaskan segala sakit
hati dan dendam kesumat. Aku yakin kau
akan berhasil melaksanakannya. Kau boleh
pergi setiap saat bersama doa restuku!"
"Jika diizinkan, murid ingin pergi hari ini
juga!" kata Mawar.
"Bagus, memang lebih cepat lebih baik."
Citrakarsa berpaling pada Ranata dan berkata,
"Kau pergilah bersamanya, anakku!"
"Guru, kenapa murid tak boieh pergi seorang
diri?"
"Bukan tidak boleh, Mawar. Tetapi kau harus
maklum. Dunia luar tidak seperti dunia kita di
dalam hutan ini. Dunia luar penuh dengan
seribu satu macam bahaya, penuh dengan
seribu satu macam tipu daya serta seribu
satu macam manusia berhati culas. Dengan
pergi seorang diri, apalagi kau seorang gadis
tentu banyak manusia-manusia jahat yang
bakal merintangimu di tengah jalan hingga
kau akan mendapat banyak kesukaran
sebelum berhasil melaksanakan pembalasan
terhadap musuh besarmu. Karena itu pergilah
bersama kakak iparmu!"
"Jika demikian, murid menurut saja," kata
Mawar, lalu dia masuk ke dalam untuk
bersalin pakaian. *** Hutan Bludak.
Disarangnya Bayunata saat itu tengah
diadakan pesta besar. Mereka baru saja
berhasil menyikat serombongan pedagang
yang tengah menuju Kotaraja. Delapan orang
pedagang berikut selusin pengawal dibunuh,
seluruh barang dagangan dirampok. Singkat
cerita, dalam suasana pesta pora itulah
Mawar dan Ranata sampai di hutan Bludak.
"Mereka tengah pesta pora lupa daratan,"
desis Ranata dari balik semak-semak.
Mawar mengangguk. Keduanya mengatur
rencana, lalu berpencar. Tak lama kemudian
di salah satu pondok rampok yang terletak
agak terpisah dari lain-lainnya kelihatanlah
api berkobar-kobar. Tiga orang anak buah
Bayunata yang ada di situ dalam keadaan
setengah mabuk akibat terlalu banyak minum
anggur lari keluar pondok dan berteriak-teriak.
Tiga orang perempuan dalam keadaan
setengah telanjang ikut berlarian
menyelamatkan diri. Beberapa kawan merekan
segera datang memberi pertolongan. Untuk
memadamkan api sudah tak mungkin. Dalam
pada itu sebuah pondok lagi di ujung kiri
kelihatan telah dimakan api pula. Rampok-
rampok yang ada di dalamnya yang tengah
pesta minuman dan pesta perempuan
berlarian keluar. Pondok ketiga, keempat dan
kelima kemudian menyusul di kobari api.
Suasana di sarang gerombolan rampok itu
jadi kacau balau kini, lebih sewaktu api mulai
pula menjilat dan membakar jembatan-
jembatan gantung dari tali yang
menghubungkan satu pondok dengan pondok
lainnya.
Dari dalam sebuah pondok Bayunata keluar
terhuyung-huyung. Dia cuma mengenakan
celana dalam. Di tangan kanannya ada
sebuah buli-buli anggur sedang tangan kirinya
menggelung pinggang seorang perempuan
muda yang tak mengenakan sehelai
pakaianpun. Matanya sembab karena
menangis. Perempuan ini diculik oleh
gerombolan Bayunata tiga hari yang lewat di
sebuah desa.
"Lima pondok di makan api dalam waktu
yang hampir bersamaan … " desis Bayunata.
"Pasti ini disengaja. Pasti ada yang berbuat
…!" Pemimpin rampok hutan Bludak ini
mengeluarkan suara suitan nyaring. Sesaat
kemudian muncullah Singgil Murka dan Sawer
Tunjung. Seperti Bayunata, kedua orang
inipun hanya mengenakan celana dalam
karena mereka sebelumnya tengah pesta
anggur dan pesta perempuan.
"Lekas selidiki apa yang terjadi!" perintah
Bayunata.
Singgil Murka dan Sawer Tunjung cepat
berlalu sedang Bayunata kembali masuk ke
dalam pondok dan merebahkan diri di atas
tempat tidur, menggelungi tubuh perempuan
di sampingnya. Di teguknya anggur di dalam
buli-buli lalu buli-buli itu diletakkannya di
lantai.
"Persetan dengan keributan di luar sana.
Persetan … !" kata pemimpin rampok ini.
Tangan kanannya bergerak menjamah setiap
lekuk tubuh perempuan di sampingnya.
Ciumannya bertubitubi di muka, leher dan
dada si perempuan. Keduanya kemudian
tenggelam dalam gelimang kekotoran.
Beberapa buah pondok lagi sementara itu
telah dimakan api pula. Perampok-perampok
banyak yang turun ke tanah melalui tangga-
tangga tali. Maksud mereka untuk
menyelamatkan diri. Namun tak tahunya di
bawah sana seorang gadis jelita berpakaian
merah menyambut ke datangan mereka dan
"menghadiahkan" hadiahkan" tendangan-
tendangan serta pukulan-pukulan maut.
Hampir selusin anak buah Bayunata telah
bergeletakan tanpa nyawa. Ada yang hancur
kepalanya, ringsek dadanya atau bobol
perutnya.
Seorang anggota rampok lagi kelihatan
menuruni tangga tali dengan cepat.
Sesampainya di bawah dia terkejut melihat
apa yang terjadi atas diri kawan-kawannya.
Dan lebih terkejut lagi sewaktu mengetahui
bahwa yang membunuh kawan-kawannya itu
adalah seorang gadis cantik berpakaian
merah. Nafsu kotornya pun timbul.
"Bidadari dari mana yang datang menebar
maut di sini?! Lekaslah serahkan diri padaku.
Dan kau akan selamat dari tangan maut
Bayunata!"
Mawar mendengus.
"Kau inginkan diriku? Ini terima dulu
hadiahku!" kertak si gadis. Secepat kilat
tinjunya di hantamkan kedada laki-laki itu.
Anggota rampok yang satu ini rupanya
memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari
kawan-kawannya sebelumnya. Dia sempat
mengelak lalu menerjang dengan golok yang
sudah berada di tangan!
"Aku akan tebas batang lehermu kalau tidak
mau menyerah! Ayo lekas serahkan diri! Kalau
tidak kau akan menyesal sampai di liang
kubur!"
Sekali lagi Mawar mendengus dan sekali lagi
pula dia menerjang. Golok di tangan lawan
berkelebat. Terdengar satu keluhan. Golok itu
terlepas dari tangan anak buah Bayunata,
dirampas oleh Mawar dan sebelum dia tahu
apa yang terjadi satu tabasan telah memutus
batang lehernya!
"Bangsat betina kurang ajar! Mampuslah!"
terdengar satu bentakan.
Mawar berpaling. Lima orang anggota rampok
ternyata telah mengurungnya. Seorang di
antara mereka mendahului kawan-kawannya
melancarkan satu serangan golok. Mawar
miringkan tubuh. Begitu senjata lawan lewat
di sampingnya, kaki kanannya menderu dan si
penyerang mencelat sejauh dua tombak, jatuh
tak bergerak lagi karena perutnya sudah bobol
dihantam tendangan!
Empat kawan mereka melengak kaget. Tanpa
banyak cerita lagi mereka segera menyerbu.
Satu demi satu mereka dibikin melosoh oleh
Mawar. Rampok yang kelima sengaja tak
dibunuh, hanya dilukai salah satu bahunya.
Mawar menjambak rambut laki-laki ini.
"Naik ke atas sana! Beritahu pimpinanmu
bahwa semua ini aku yang melakukan! Aku
Mawar Merah datang untuk menuntut balas!
Katakan bahwa aku menunggu mereka di
sini!"
Dengan ketakutan rampok itu menaiki tangga
tali kembali, lalu lari sepanjang jembatan. Di
salah satu cabang jembatan dia berpapasan
dengan Singgil Murka dan Sawer Tunjung.
Segera dilaporkannya apa yang telah terjadi!
"Kurang ajar! Siapa gerangan iblis betina itu,
hah?!" gertak Singgil Murka. Dia berpaling
pada Sawer Tunjung dan berkata: "Lekas beri
tahu Bayunata. Aku akan menghajar iblis
betina itu!"
Sawer Tunjung berlalu sedang Singgil Murka
bersama anak buahnya yang memberikan
laporan segera menuju ke tempat di mana
Mawar Merah berada.
"Itu dia manusianya!" kata anggota rampok
sambil menunjuk ke bawah pohon.
Singgil Murka beliakkan matanya lebar-!ebar.
Manusia yang disebutnya "iblis betina" itu
nyatanya memiliki kecantikan yang luar biasa.
Dengan cengar-cengir Singgil Murka
melangkah maju. Berdiri tujuh langkah di
hadapan Mawar Merah dan geleng-gelengkan
kepala.
"Apakah kau bangsatnya yang bernama
Bayunata?!" bentak Mawar Merah. Matanya
menyorot meneliti laki-laki yang hanya
mengenakan celana dalam di hadapannya itu.
"Ha … ha! Aku adalah Singgil Murka. Orang
ketiga yang menjadi pimpinan rampok-
rampok hutan Bludak!" menyahut Singgil
Murka. "Ada apakah kau mencari Bayunata?
Dan kenapa pula kau menabur maut begini
rupa?!"
"Hem … jadi kau bergundalnya yang bernama
Singgil Murka! Sekitar delapan tahun yang
lalu kau pernah memusnahkan kampung Waru,
membunuh semua orang yang ada di sana,
termasuk ayah dan kakak laki-lakiku! Ibuku
bunuh diri karena kebiadaban kalian! Hari ini
aku menagih hutang darah dan nyawa itu!"
Singgil Murka tertawa gelak-gelak.
"Gadis, kau yang begini cantik dan mulus
berani-beranian menantang maut! Aku tidak
ingat lagi peristiwa delapan tahun yang silam.
Yang jelas sekali Bayunata melihatmu pasti
kau akan celaka. Sebaiknya mari ikut aku. Aku
akan sembunyikan kau disatu tempat yang
aman, mengambil seluruh harta kekayaan
yang aku miliki lalu meninggalkan hutan
Bludak ini. Sudah sejak lama aku muak
dengan kehidupan begini macam!" Mawar
Merah sunggingkan seringai tajam.
"Maksudmu memang cukup bagus! Tapi
tempat yang paling bagus bagimu bukan di
dunia ini, melainkan neraka!"
Habis berkata begitu Mawar Merah mencabut
pedang yang tersisip di pinggangnya. Sekejap
kemudian bertaburlah selarik sinar merah!
Singgil Murka kaget bukan main. Cepat-cepat
dia menyurut seraya cabut goloknya. Maka
terjadilah pertempuran yang hebat. Mula-
mula Singgil Murka bertempur hanya setengah
hati, tetapi sewaktu dalam satu jurus pertama
itu dia merasakan kehebatan ilmu pedang
lawan, manusia ini tak mau main-main lagi.
Dia merangsak ke depan berusaha memukul
lepas pedang si gadis!
Tapi sebaliknya si gadis berkelit gesit dan
melancarkan serangan-serangan yang amat
aneh hingga dalam jurus kedua Singgil Murka
terdesak hebat sedang dalam jurus ketiga
terdengar seruan lakilaki ini sewaktu golok di
tangan kanannya dihantam pedang lawan
hingga mental!"
"Celaka!" keluh Singgil Murka. Nyatanya benar
si cantik ini inginkan nyawanya. Tanpa pikir
panjang Singgil Murka putar tubuh dan ambil
langkah seribu. Namun dia cuma sanggup
menyingkirkan diri beberapa langkah saja
karena laksana terbang, Mawar Merah
melesat dan memburu dari samping. Pedang
merahnya berkelebat, dan "cras"! Mengge!
indinglah kepala Singgil Murka! Satu dari tiga
musuh besarnya berhasil dimusnahkan. Mana
yang dua lainnya?!
Mawar Merah memandang berkeliling. Setitik
air mata mengambang di sudut-sudut
matanya yang bening. Dia tak melihat
anggota rampok yang tadi datang bersama
Singgil Murka, mungkin sudah kabur. Tiba-
tiba pada salah satu jalur jembqtan tali
dilihatnya dua orang laki-laki berbadan tegap
berewokan dan hanya mengenakan celana
dalam berlari cepat kejurusannya. SAWER
Tunjung mengetuk pintu pondok dengan keras.
"Siapa?!" tanya Bayunata sementara tubuhnya
menggelepar-gelepar di atas tubuh perempuan
yang tengah ditidurinya.
"Aku, Sawer Tunjung!"
"Tunggu sebentar!" jawab Bayunata.
Di luar pondok Sawer Tunjung tahu apa yang
tengah dilakukan Bayunata dan dia merutuk
habis-habisan. Keterlaluan sekali jika dalam
suasana begitu rupa Bayunata masih
menghabiskan waktu untuk memuaskan
nafsunya!
Di atas tempat tidur Bayunata merasakan
tubuhnya mengejang dan panas. Dari
mulutnya keluar suara erangan geram dan
dari hidungnya menghembus nafas membara.
Di gigitnya leher perempuan di bawahnya
hingga perempuan itu mengeluh kesakitan.
Tubuhnya yang mandi keringat kemudian
terbadai di pembaringan.
"Bayunata! Lekaslah!" terdengar suara Sawer
Tunjung di luar pondok.
Pemimpin rampok itu berdiri terhuyung.
Diteguknya anggur di dalam buli-buli,
dilemparkannya buli-buli itu ke sudut pondok
lalu dikenakannya celananya. Golok besar
yang tergantung dekat pintu disambarnya lalu
dia keluar.
"Apa yang terjadi?!" tanya Bayunata.
"Lebih dari dua lusin anak buah kita kutemui
mati digantung di sebelah timur. Delapan
pondok musnah dimakan api. Seorang laki-
laki yang tak diketahui siapa adanya telah
melakukan hal itu. Kemudian seorang anak
buah melaporkan bahwa di jurusan barat ada
satu gadis cantik berpakaian serba merah.
Belasan anak buah kita menemui kematian di
tangannya. Kepada anak buah yang masih
hidup dia menyuruh menyampaikan pada kita
bahwa namanya Mawar Merah, bahwa dialah
yang melakukan pembunuhan besar-besaran
terhadap anak-anak buah kita!"
"Kurang ajar!" kertak Bayunata. "Aku ingin
melihat di sebelah timur dulu!"
Keduanya berlari-sepanjang jembatan
gantung. Apa yang dikatakan Sawer Tunjung
bukan isapan jempol. Dua puluh delapan
anggota rampok hutan Bludak telah jadi
mayat, mati di gantung dengan tali-tali
jembatan. Beberapa lainnya berhamparan di
atas jembatan dalam keadaan mengerikan.
Pelipis Bayunata bergerak-gerak. Rahangnya
menonjol. Dia memutar tubuh dan segera lari
kejurusan barat diikuti oleh Sawer Tunjung
sementara di belakangnya terdengar suara
robohnya sebuah pondok yang musnah di
makan api. Tak berapa jauh dari situ
segerombolan perempuanperempuan dalam
tubuh yang hampir tak tertutup pakaian
berlarian berebutan menuruni tangga tali.
Dalam waktu yang singkat Bayunata dan
Sawer Tunjung telah sampai di tempat Mawar
Merah berada. Saking geramnya pemimpin
rampok ini turun ke tanah tanpa melalui
tangga tali melainkan langsung melompat ke
tanah. Dari caranya melompat yang tanpa
menimbulkan suara itu Mawar Merah segera
maklum kalau manusia yang satu ini memiliki
ilmu kepandaian yang tinggi. Amarah yang
meluapi sekujur tubuh Bayunata serta merta
jadi mengendur manakala dia menyaksikan
paras dara jelita yang mengaku bernama
Mawar Merah itu. Demi iblis belum pernah dia
melihat perempuan yang secantik ini!
"Sawer, inikah manusianya yang bernama
Mawar Merah?"
"Pasti sekali, Bayu! Pasti!" sahut Sawer
Tunjung dan dia memandang berkeliling
mencari-cari di mana adanya Singgil Murka.
Namun yang dilihatnya adalah seorang laki-
laki berpakaian putih tak dikenal. Mungkin ini
adalah kawan dara berbaju merah yang telah
menggantungi anggotaanggota rampok di
sebelah timur, pikir Sawer Tunjung.
Di lain pihak Mawar Merah melintangkan
pedangnya di depan dada, memandang tajam
pada Bayunata. Kening laki-laki itu kelihatan
hangus hitam dan di bagian tengahnya tertera
angka 212. Tidak bisa tidak tentu itu
perbuatannya Pendekar 212 Wiro Sableng,
kata Mawar dalam hati. Dia pernah
mendengar kisah dari kakaknya bahwa
sewaktu menyelamatkan Ratih, Wiro telah
baku hantam dengan pemimpin rampok itu.
"Cantik, tetapi buas!" kata-kata itu mendesis
dari sela bibir Bayunata.
"Bangsat berjidat hangus, kau pastilah
Bayunata dan kawanmu itu Sawer Tunjung!"
Bayunata tertawa lebar-lebar. Sambil usap-
usap dadanya yang penuh bulu dia berkata:
"Kau kenal aku, dara buas?!"
"Aku juga kenal jalan ke neraka untuk kalian
berdua!" sahut Mawar Merah.
Kembali Bayunata tertawa lebar-lebar.
"Bayu, biar aku yang beri pelajaran pada
gadis ini!" kata Sawer Tunjung.
"Tidak sobatku. Kau bereskan laki-laki di
sebelah sana. Pasti dia kambrat si baju
merah ini.
Aku sendiri akan main-main sejurus dua
dengannya!"
Maka Bayunatapun maju ke hadapan Mawar
Merah. Golok besarnya masih berada dalam
sarung dan dipegangnya di tangan kiri.
"Sebelum nyawamu minggat ke neraka, aku
akan berikan satu hadiah bagus bagimu,
Bayunata keparat!" kata Mawar Merah. Dan
tangan kirinya yang sejak tadi
disembunyikannya di belakang bergerak.
Sebuah benda bulat sebesar kepala melesat ke
arah pemimpin rampok hutan Bludak.
Bayunata cepat mengelak. Benda itu jatuh
dibelakangnya dan terkejutlah Bayunata,
demikian juga Sawer Tunjung. Benda yang
dilemparkan Mawar Merah ternyata adalah
kepala Singgil Murka!
"Betina keparat haram jadah!" bentak
Bayunata marah sengaja mencabut golok
besarnya yang hampir 20 kati beratnya itu,
"lekas serahkan diri atau kucincang detik ini
juga seluruh tubuhmu yang bagus ini!"
Mawah Merah menyeringai.
"Justru hari ini aku harus serahkan jiwamu
sebagai imbalan jiwa orang tua serta kakak
dan seluruh penduduk kampung Waru yang
telah kau musnahkan secara biadab delapan
tahun yang lewat!" jawab Mawar Merah lalu
membuka serangan pertama.
Melihat ini nafsu untuk memiliki tubuh si
gadis yang tadi berkobar di diri Bayunata
menjadi lenyap, berubah dengan kemarahan
yang meluap. Golok besarnya ditebaskan ke
depan untuk menangkis senjata lawan. Namun
dibikin terkejut karena sesaat senjata mereka
saling bentrokan, tahu-tahu pedang si gadis
menyusup turun dan dalam gerakan yang
aneh berkelebat ke pinggangnya!
Tiga jurus bertempur Bayunata mulai
keluarkan keringat dingin. Ilmu pedang yang
dimainkan si gadis aneh dan tidak
dimengertinya. Setiap serangan yang
dilancarkan oleh pemimpin rampok ini
senantiasa menghantam tempat kosong.
Sebaliknya dengan matimatian dia harus
mengelakkan serangan-serangan lawan yang
datang laksana curahan hujan.
"Setan, ilmu silat apakah yang dimainkan
betina jalang ini?!" gertak Bayunata dalam
hati. Cepat dirobahnya permainan goloknya.
Jurus-jurus terhebat yang selama ini
disimpannya sebagai andalan saat itu segera
dikeluarkannya. Golok besarnya menderu-deru
menebar serangan ganas luar biasa. Lima
jurus lamanya Mawar Merah harus bertindak
hati-hati. Jurus berikutnya begitu dia melihat
liku-liku kelemahan ilmu golok lawan, kembali
gadis ini merangsak.
Untuk kesekian kalinya Bayunata mengeluh.
Bagaimanakah mungkin gadis secantik dan
semuda ini memiliki ilmu pedang yang aneh
dan lihay begitu rupa?!
Tiba-tiba Bayunata berseru keras. Goloknya
membabat pulang balik sampai tiga kali.
Serentak dengan itu tangan kirinya dipukulkan
ke depan. Satu gelombang angin yang luar
biasa panasnya menggebu-gebu. Mawar
Merah membabatkan pedangnya ke depan.
Dengan serta merta serangan golok serta
pukulan sakti yang dilepaskan Bayunata
musnah.
"Kalau begini naga-naganya, aku bisa
mampus percuma!" pikir Bayunata dalam hati.
Sementara itu di lain bagian Sawer Tunjung
telah berhadapan pula dengan Ranata.
"Kakang Ranata, jangan bunuh bangsat itu!
Biar aku yang membereskannya!" seru Mawar
Merah.
"Kau tak usah kawatir, Mawar." sahut Ranata.
Di antara tiga pimpinan rampok hutan Bludak,
Sawer Tunjung adalah yang paling rendah
ilmunya. Setelah bertempur tiga jurus, Ranata
berhasil merampas pedang laki-laki itu dan
menotok urat besar di pangkal lehernya
hingga Sawer Tunjung menjadi kaku tegang
laksana patung!
Serangan-serangan pedang Mawar Merah
semakin bertubi-tubi. Bayunata mundur terus.
Hanya kegesitan gerakannyalah yang masih
menolong. Namun batas kemampuan
Bayunata hanya sampai jurus ke empat belas.
Golok besar yang menjadi senjatanya patah
dua dan terlepas mental dari tangannya
sewaktu terjadi satu bentrokan senjata yang
keras!
Bayunata melompat mundur. Mukanya
sepucat mayat, keringat dingin mengucur di
keningnya. Tiba-tiba dia menjatuhkan diri,
bersujud di hadapan Mawar Merah.
"Gadis, ampunilah selembar jiwaku yang tak
berguna ini! Biarkan aku hidup! Segala harta
kekayaan yang aku miliki kupasrahkan
padamu! Ampuni jiwaku … !"
"Kau minta ampunan, Bayunata?! Jangan
minta padaku! Mintalah pada setan-setan di
neraka!"
Pedang merah di tangan Mawar Merah
memapas turun.
"Cras!!"
Bayunata menjerit. Tangan kanannya putus.
Darah menyembur. Pemimpin rampok ini
karena dilanda sakit yang amat sangat
menjadi kalap. Dia melompat ke muka
mengambil patahan goloknya lalu menyerang
Mawar Merah dengan membabi buta. Pedang
di tangan si gadis menderu lagi. Kini bahu kiri
Bayunata yang menjadi sasaran. Untuk kedua
kalinya pemimpin rampok itu menjerit
kesakitan. Tubuhnya tersungkur ke tanah.
"Ampuni selembar nyawaku, ampuni!" dia
masih memohon dengan meratap.
Pedang merah itu diayunkan lagi dua kali
berturut-turut, memapas putus kaki kiri kanan
Bayunata. Tubuhnya yang terkutung-kutung
itu berkolojotan kian kemari. Darah
membanjir. Terakhir sekali Mawar Merah
membacokkan senjatanya ke kening Bayunata
hingga kepala manusia bejat ini hampir
terbelah dua!
Sawer Tunjung tak berani menyaksikan apa
yang terjadi atas diri Bayunata. Terlalu ngeri
untuk disaksikan.
"Lepaskan totokannya kakang Ranata!"
terdengar suara Mawar Merah.
Begitu totokannya dilepaskan begitu Sawer
Tunjung jatuhkan diri dan meratap minta
diampuni jiwanya. Ampunan yang didapatnya
tidak berbeda dengan nasib yang dialami
Bayunata. Tubuhnya menemui kematian
dalam keadaan terkutung-kutung!
Tiba-tiba Mawar Merah membuang
pedangnya ke tanah, berlutut dan menangis
sambil menutupi wajahnya.
"Ibu, ayah, kakak … Hari ini semua sakit hati
dan dendam kesumat telah berbalas! Semoga
kalian bisa tenteram di alam baka … !"
"Sudahlah Mawar," kata Ranata. Dipegangnya
pundak gadis itu. "Berdirilah. Kita harus
kembali."
Perlahan-lahan Mawar Merah berdiri. Di
sekanya air mata yang membasahi pipinya.
Keduanya bergerak meninggalkan tempat itu.
Tapi mendadak sontak dari depan
berkelebatan seorang berpakaian putih.
Rambut dan wajahnya tertutup kerudung
hitam. Hanya sepasang matanya yang
kelihatan, memandang tajam kepada Ranata
dan Mawar Merah.
"Manusia bercadar, siapa kau?!" bentak
Ranata.
"Bangsat! Kalian berdua harus pasrahkan jiwa
padaku sebagai imbalan jiwa Bayunata yang
telah dibunuh! Aku adalah kakak
seperguruannya!"
"Sret!"
Mawar Merah mencabut pedangnya.
"Jika begitu kau harus mampus di tanganku!"
kata Mawar Merah seraya menghunus
pedangnya.
"Aku tahu kaulah yang membunuh Bayunata!
Tapi aku tak bisa bertempur denganmu! Aku
mempunyai pantangan untuk bertempur
dengan perempuan! Harap wakilkan dirimu
pada kau punya kawan!"
"Persetan dengan pantanganmu!" sentak
Mawar Merah seraya maju ke depan.
Ranata memegang bahu gadis itu.
"Kali ini biar aku yang turun tangan, Mawar.
Aku tak bakal punya muka untuk selama-
lamanya jika tak berani menerima tantangan
manusia macam begini!"
Mawar Merah mengalah juga meski hatinya
panas sekali.
"Perkelahian macam mana kau ingini? Pakai
senjata atau tangan kosong?!" bertanya
manusia bercadar hitam.
Ranata tertawa.
"Untuk menghadapi manusia macam kau,
perlu apa pakai senjata! Majulah!"
"Kau yang silahkan maju duluan!" tantang si
cadar h itam.
Ranata membuka serangan. Gerakan yang
dibuatnya aneh dan terbalik seratus
delapanpuluh derajat dari ilmu silat yang
wajar. Sekejap tinjunya akan mencium dada
lawan, si cadar hitam berkelebat, membuat
gerakan yang sama dengan gerakan Ranata
dan tahu-tahu tinju kanannya hampir saja
mendarat di perut Ranata.
Baik Ranata maupun Mawar Merah jadi kaget.
Gerakan yang dimainkan oleh lawan persis
gerakan ilmu silat yang diajarkan kepada
mereka oleh Citrakarsa. Dengan penasaran
Ranata membuka jurus kedua. Setengah jalan
tiba-tiba si cadar hitam tertawa bergelak dan
memapaskan tangan dari kiri ke kanan sedang
kaki membuat kuda-kuda aneh. Ranata
terkejut lagi. Apa yang dilakukan lawan juga
gerakan ilmu silat yang dimilikinya. Dia tak
bisa berpikir lebih jauh. Cepat-cepat dia
mengelak ke kiri. Dan justru saat itu si cadar
hitam membuat gerakan aneh lagi, cepat dan
tak terduga.
"Bukk!"
Ranata terhuyung-huyung. Bahu kanannya
kena dipukul lawan, tapi dia tidak merasa
sakit sama sekali. Ini membuat Ranata jadi
heran. Jika lawan inginkan jiwanya mengapa
dia cuma melancarkan serangan begitu rupa?
Padahal dengan mengerahkan sedikit tenaga
dalam saja pastilah bahunya akan remuk!
Si cadar hitam tertawa gelak-gelak.
Sementara itu Mawar Merah menjadi
penasaran melihat kekalahan kakak iparnya.
Cepat dia maju hendak menyerang. Di depan
sana si cadar hitam tiba-tiba mengerakkan
tangan menarik cadar yang menutupi
wajahnya,
"Wiro!" seru Ranata dan Mawar Merah ketika
mereka mengenali paras yang kini tak tertutup
itu.
Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa gelak-
gelak dan garuk-garuk kepalanya yang
berambut gondrong.
"Apa-apaan kau ini Wiro?" tanya Ranata.
"Eh sobat lamaku! Kau ingat peristiwa dulu
sewaktu kau mengalahkan aku hanya dalam
tiga jurus? Sehari suntuk aku berusaha
memecahkan kelihayan ilmu silatmu dan aku
berhasil! Apa yang kulakukan barusan
hanyalah sekedar membalas penghormatanmu
itu, sobatku!" dan Wiro tertawa lagi lalu
berkelebat lenyap meninggalkan kedua orang
tersebut. Ranata geleng-gelengkan kepala,
berpaling pada Mawar Merah. Lalu
keduanyapun meninggalkan tem pat itu. Kelak
bersama Ratih dan anak serta ayahnya,
Ranata akan berangkat menuju Kotaraja,
darimana dia dan ayahnya dulu berasal dan
ke tempat mana mereka akan kembali.

                            TAMAT