TAK ADA YANG LEBIH HINA DARI KEMUNAFIKAN

Penduduk  Madain  berduyun-duyun  keluar  untuk menyambut kedatangan wali negeri mereka yang baru dipilih dan diangkat oleh Khalifah Umar bin Khathab.
Mereka menyambutnya, karena telah lama  mereka telah rindu untuk bertemu muka        dengan  sahabat  Rasulullah yang mulia itu, yang banyak mereka dengar mengenai keshalihan dan ketaqwaannya. Begitu pula tentang  jasa-jasanya dalam membebaskan negeri Irak
Ketika penduduk Madain itu sedang menunggu rombongan yang hendak datang. tiba-tiba muncul seorang laki-laki dengan wajah berseri-seri.
Laki-laki  itu  mengendarai seekor keledai  yang  beralaskan  kain  usang,  sedang kedua kakinya  terjuntai  ke bawah,  kedua tangannya memegang roti serta garam, sedang mulutnya sedang mengunyah.
Setelah  dekat,  tahulah  semua  orang  bahwa  laki-laki  yang  datang  itu adalah Hudzaifah ibnul  Yaman. Mereka  jadi   bingung,  dan  hampir-hampir  tak  percaya. Mereka tak menduga sama sekali, bahwa  wali  negeri  yang mereka tunggu-tunggu itu ternyata seorang laki-laki yang berpenampilan di luar dugaan, dekil dan tidak mencerminkan seorang pemimpin.
Tetapi apa yang diherankan?
Seorana pemimoin vana bagaimanakah pilihan Khalifah Umar bin Khathab ini?              
Hudzaifah  meneruskan perjalanannya, sementara orang-orang berkerumun mengelilinginya. Dan Hudzaifah melihat bahwa  mereka menatap yang seolah-olah  menunggu  amanat.
“Jauhilah oleh kalian tempat-tempat fitnah,” kata Hudzaifah kemudian.
“Di manakah tempat-tempat fitnah itu, wahai Abu Abdillah?” tanya mereka.
“Di pintu-pintu  rumah  para  pembesar!” jawab Hudzaifah. “Se­orang  di antara  kalian masuk  menemui  mereka  dan  mengiyakan  ucapan  palsu,  serta  memuji-muji  perbuatan baik  yang tak pernah mereka lakukan.
Suatu  pernyataan  yang  luar  biasa  dari  ucapan  seorang  wali  negeri yang baru. Orang-orang  memperoleh  kesimpulan  bahwa  tak  ada  yang  lebih  dibencinya dan tak ada yang lebih hina dari kemu­nafikan. Dan pernyataan itu sekaligus merupakan ungkapan yang paling tepat terhadap kepribadian Hudzaifah.
Hudzaifah  mengarungi  kehidupannya  dengan  bekal  tabiat  istimewa, diantaranya ia sangat  membenci  kemunafikan.  la  seorang  yang  dikaruniai  pikiran  jernih, yang memiliki kesimpulan bahwa dalam kehidupan ini sesuatu yang baik itu harus jelas dan gamblang. Oleh karena itu orang yang bijaksana hendaknya mempelajari sumber-sum berkejahatan dan kemungkinannya.
Demikianlah  Hudzaifah  terus  mempelajari  kejahatan  dan  or­ang-orang  jahat, kemunafikan dan orang-orang munafik.
Orang-orang  bertanya  kepada  Rasulullah  tentang  kebaikan, tetapi Hudzaifah menanyakan tentang kejahatan, kaçena ia takut terlibat di dalamnya.
“Wahai Rasulullah, dulu  kita  berada  kejahiliyahan  dan  diliputi  kejahatan,  kemudian     Allah mendatangkan kepada kita kebaikan. Apakah di balik kebaikan ini ada kejahatan?” tanya Hudzaifah
kepada  Rasulullah.
“Ada’jawab Rasulullah.
“Kemudian  apakah  setelah  kejahatan masih ada lagi kebaikan?’tanya Hudzaifah lagi.
“Memang, tapi kabur dan bahaya.”
“Bahaya apa itu?”
“Yaitu  golongan  umat  yang mengikuti  sunnah, tapi bukan sunnahku. Dan  mengikuti  petunjuk, tapi bukan petunjukku. Kenalilah mereka olehmu dan laranglah!”
“Kemudian setelah kebaikan tersebut masihkah ada lagi kejahatan?”
“Masih,” ujar Rasulullah. “Yaitu para tukang  seru  di  pintu  neraka.   Barang siapa  menyambut seruan  mereka, akan mereka lemparkan ke dalam  neraka!
“Ya  Rasulullah,  apa yang harus saya perbuat, bila saya menghadapi  hal  demikian? tanya Hudzaifah.
“Senantiasa mengikuti  jama’ah kaum Muslimin dan pemimpin mereka,” sabda Rasulullah.
“Baaaimana kalau mereka tidak punya jama’ah dan iuga pemimpin?”
“Lebih baik kau tinggalkan golongan itu, meskipun kamu harus tinggal di rumpun kayu hingga menemui ajal di tempat itu.”
Pengalaman Hudzaifah yang luas tentang kejahatan dan kegigihannya untuk melawan dan menentangnya, menyebabkan lidah dan kata-katanya menjadi tajam dan pedas, hal itu diakuinya secara kesatria.
“Wahai Rasulullah, lidahku  agak  tajam  terhadap  keluargaku,  dan  saya  khawatir  kalau-kalau   hal itu akan menyebabkan saya masuk neraka,” katanya kepada Rasulullah.
“Kenapa engkau tidak beristighfar?
“Sungguh, saya telah beristighfar kepada Allah tiap hari seratus kali.”jawab Hudzaifah