Pertama: Sunnah
dalam Penetapan Waktu Hari Raya........................ 3
Dua Cara
Penetapan Waktu Hari Raya............................................ 3
Kedua: Berhari
Raya Bersama Pemerintah.......................................... 5
Ketiga:
Memperbanyak Takbir............................................................ 6
Beberapa
Ketentuan dalam Bertakbir............................................. 6
Keempat:
Mengeluarkan Zakat Fitri.................................................. 10
Kelima: Melakukan
Sholat ‘Ied.......................................................... 11
Keenam: Sholat
Hari Raya di Lapangan Kecuali Ada Udzur............... 12
Hukum Sholat ‘Ied
di Rumah bagi yang Memiliki Udzur............... 13
Kedelapan:
Disunnahkan Mandi Sebelum Sholat ‘Ied....................... 14
Kesembilan:
Mengenakan Parfum bagi Laki-laki dan Bersiwak........ 15
Kesebelas: Sunnah
Terkait Makan Pagi di Hari Raya......................... 16
Keduabelas:
Keluar Menuju Sholat Idul Fitri dengan Berjalan Kaki.. 18
Keempatbelas:
Tidak Membawa Senjata Kecuali Darurat................ 18
Kelimabelas:
Menampakkan Kegembiraan....................................... 19
Nyanyian dan
Musik yang Dibolehkan di Hari Raya...................... 20
Ketujuhbelas:
Anjuran Mengajak Anak-anak Menuju Sholat ‘Ied..... 22
Kedelapanbelas:
Apa Hukum Ucapan Selamat Idul Fitri?................. 23
Kesembilanbelas:
Apabila Bertemu Hari Raya dan Hari Jum’at........ 24
Keduapuluh: Jauhi
Maksiat................................................................ 25
Berhati-hatilah
Wahai Ayah yang Masih Memiliki Kecemburuan. 27
Apa Setelah
Ramadhan?...................................................................... 28
Pertama:
Bersyukur........................................................................... 28
Kedua: Harap dan
Cemas................................................................... 29
Ketiga:
Senantiasa Bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla................. 29
Hari Raya Ketupat
Bukan Ajaran Islam................................................ 32
ب سْ م ا ه للَّ الهرحْْ ن الهر حي مِ ِ
Fikih Sunnah Hari Raya
20
Permasalahan Fikih dan Adab Hari Raya
Pertama: Sunnah dalam
Penetapan Waktu Hari Raya
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,صُوموا ل رؤْيت ه وَأف طروا ل
رؤِْيت ه ف إنِْ غ بَِّ عَليكُمْ فأكْ
ملوا ع هدةَ شَعْبانَ ثَلاث يَِ
“Berpuasalah karena kalian telah melihat
bulan dan berbukalah (berhari raya idul fitri) karena kalian telah
melihatnya, apabila kalian terhalangi melihatnya maka sempurnakanlah bilangan
Sya’ban menjadi 30 hari.” [HR.
Al-Bukhari dan Muslim dari Abu
Hurairah
radhiyallahu’anhu]
Dua Cara Penetapan Waktu Hari Raya
Hadits yang mulia ini menunjukkan dua cara menetapkan waktu
Hari Raya:
1.
Melihat hilal, yaitu bulan yang muncul setelah
terbenam matahari pada tanggal 29 Ramadhan.
2.
Menyempurnakan bulan Ramadhan menjadi 30 hari
apabila hilal tidak terlihat.
Pemerintah Dapat Menetapkan Idul Fitri dengan Persaksian
Melihat Hilal Oleh Minimal Dua Orang Saksi
Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
صُِوموا ل رؤْيت ه، وَأف طِروا ل
رؤْيت ه، وَانسُكُوا لََا ف إنْ غ هم
عَليكُمْ فأكْ ملواِ
ثَلَاث يَ، ف إنْ شَ هدَ شَا هدَا نِ فصُوموا، وَأف طروا
“Berpuasalah
karena telah melihat bulan, berbukalah (berhari raya idul fitri) karena
telah melihatnya, dan menyembelihlah (berhari raya idul adha) karena telah
melihatnya, apabila mendung menghalangi kalian maka sempurnakanlah bulan
menjadi 30 hari, dan apabila telah bersaksi dua orang saksi maka berpuasalah
dan berbukalah (berhari raya idul fitri).” [HR.
An-Nasaai dari Abdur Rahman bin Zaid bin Al-
Khottab dari Para
Sahabat radhiyallahu’anhum, Shahihul
Jaami’: 3811]
Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa penetapan Ramadhan
dan hari raya haruslah dengan kesaksian dua orang saksi, namun untuk Ramadhan
maka terdapat hadits yang mengkhususkan cukup dengan satu orang saksi.
Sahabat yang
Mulia Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma berkata,تَ راءَىِ النهاسُ الَْ لَالَ، فأخْبََتُ رسُولَ ا ه للَّ صَلهى اللهُ عَلي
ه وَسَلهمَ أ نِّ رأيْ تُهُ، فصَامَِ
وَأَمَِرَ النهاسَ بِل صِيا مِ
“Manusia berusaha
melihat hilal, maka aku mengabarkan kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam bahwa aku telah melihatnya, beliau pun berpuasa dan memerintahkan
manusia untuk berpuasa.” [HR. Abu Daud dan
At-Tirmidzi, Shahih
Abi Daud: 2028]
Asy-Syaikh
Al-‘Allaamah Ibnu Baz rahimahullah berkata,والمقصود أن شهادة العدلي لا بد منها في الخروج وفي جميعِالشهور،
أماِأماِرمضان في الدخول فيكتفى فيه بشهادة واحدِ عدلِللحديثيِالسابقي
“Maksudnya adalah
bahwa persaksian dua orang yang adil
(terpercaya) harus ada untuk
menetapkan akhir bulan Ramadhan dan seluruh bulan, adapun awal bulan Ramadhan
maka cukup dengan satu orang saksi yang adil (terpercaya) berdasarkan dua hadits sebelumnya.” [Majmu Fatawa Ibni Baz
rahimahullah,
15/62]
Kedua: Berhari Raya Bersama
Pemerintah
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,ال هصوْمُ ي وْمَ تصومونَ وَال فطرُ ي وْمَ تُ فْ طرونَ وَالأضْحَى يَ
وْمَ تضَحُّونَِ
“Berpuasa adalah hari kalian berpuasa, berbuka
(berhari raya idul fitri) adalah hari kalian berbuka dan berkurban
(berhari raya idul adha) adalah hari kalian berkurban.”
[HR. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu,
Ash-Shahihah:
224]
Makna hadits yang mulia ini adalah perintah berpuasa
Ramadhan dan
berhari raya Idul Fitri dan Idul Adha bersama Pemerintah, dan bahwa Pemerintah
yang berhak menentukan waktu dimulainya puasa dan hari raya.
Al-‘Allaamah As-Sindi
rahimahullah berkata,
وَالظها هر أ هن
مَعْناهُ أَ هن هَ ذ هالْأُمور ليْسَ ل لْْحَا د ف يهَا دَخْل وَليْسَ لََمْ الته
فَردِف يهَا بلْ الْأَمْر ف يهَا إ لََ ا لْْمَام وَالْْمَاعَة وَ يََب عَلَى
الْْحَاد ا تِ باعهمْ ل لْْمَا
مِوَالْْمَاعَةِ
“Dan nampak jelas bahwa makna
hadits ini adalah, perkaraperkara ini (menentukan waktu puasa dan hari raya)
tidak boleh ada campur tangan individu-individu dan tidak boleh bagi mereka
untuk menetapkan keputusan sendiri, akan tetapi keputusannya diserahkan kepada
pemimpin dan pemerintah, dan wajib bagi individu-individu untuk mengikuti
keputusan pemimpin dan pemerintah.” [Haasyiatus Sindi ‘ala Ibni Majah, 1/509]
Hikmahnya agar kaum muslimin di satu negeri bersatu dalam
berpuasa dan berhari raya.
Ketiga: Memperbanyak Takbir
Allah ta’ala berfirman,وَل تكْ ملواْ ال ع هدةَ وَل تكَ بَُِواْ الله عَلى مَا هَدَاكُمْ
وَلعَلهكُمْ تشْكُرون
“Dan hendaklah
kamu mencukupkan bilangan (bulan
Ramadhan) dan hendaklah kamu bertakbir (mengagungkan) Allah
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.” [Al-Baqoroh: 185]
Beberapa Ketentuan dalam
Bertakbir
1. Waktu mulai bertakbir adalah sejak terbenam matahari di
akhir Ramadhan sampai selesai khutbah Idul Fitri.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وَالتهكْب يرُ فِ ي ه: أَهولهُ منْ رؤْي ة الَْ لَا ل وَآ خرهُ ان قضَاءُ
ال عي د وَهُوَ فَِ رَاغُ ا لْْمَا م منِْ
الْخطْب ة عَلى ال هص حي حِ
“Takbir di hari Idul fitri dimulai sejak melihat
hilal (malam 1 Syawwal) dan berakhir
setelah selesainya ‘ied, yaitu selesainya imam dari
khutbah, menurut pendapat yang paling shahih.”
[Majmu’ Al-Fatawa, 24/221]
Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah berkata,وإكمال العدة يكون عند غروب الشمس آخر يوم منِرمضان، إماِبإكمالثلاثي،
وإما برؤيةِالَلال، فإذا غابت الشمس آخر يوم منِرمضان سنِِالتكبير المطلق من
الغروب إلَ أن تفرغِالخطبة، لكن إذا جاءتِالصلاةفسيصلي الْنسان ويستمعِالخطبة
بعدِِذلك. ولَذا قال بعضِالعلماء:ِمن
الغروب إلَ أن يكبَِ الْمام للصلاة
“Menyempurnakan bulan Ramadhan terjadi
ketika terbenam matahari di hari terakhir Ramadhan, apakah dengan menyempurnakan
30 hari atau melihat hilal (di hari ke-29), maka apabila telah terbenam
matahari di hari terakhir Ramadhan, disunnahkan untuk bertakbir secara muthlaq
(umum, tidak terkait waktu sholat), mulai dari terbenam matahari sampai selesai
khutbah Idul fitri, akan tetapi apabila masuk waktu sholat Idul fitri hendaklah
sholat dan mendengar khutbah setelah sholat, oleh karena itu sebagian ulama
berkata: Waktu bertakbir mulai dari terbenam matahari di akhir Ramadhan sampai
imam bertakbir untuk sholat Idul fitri.” [Asy-Syarhul Mumti’, 5/157]
2. Takbir hari raya Idul Adha ada dua bentuk, yaitu muthlaq
dan muqoyyad,
adapun takbir Idul Fitri hanya muthlaq saja.
Muthlaq artinya umum tanpa
terkait waktu, hendaklah memperbanyak takbir kapan dan di mana saja, kecuali di
tempat-tempat yang terlarang melafazkan dzikir, yaitu di WC dan yang
semisalnya. Takbir muthlaq Idul Adha dimulai sejak awal
Dzulhijjah sampai akhir hari Tasyriq. Adapun Idul Fitri dimulai sejak terbenam
matahari di akhir Ramadhan sampai selesai khutbah Idul Fitri.
Muqoyyad
artinya terkait dengan sholat lima waktu, yaitu bertakbir setiap
selesai sholat lima waktu, dimulai sejak ba’da Shubuh hari Arafah sampai ba’da
Ashar di akhir hari Tasyriq. Adapun takbir Idul Fitri tidak disyari’atkan takbir muqoyyad setiap selesai
sholat lima waktu.
Asy-Syaikh Ibnul
‘utsaimin rahimahullah berkata,
الفرق بي المطلق
والمقيد أن المطلق فيكلِوقت، والمقيدِ خلفِالصلواتالخمس في عيدِ الضحىِفقط
“Perbedaan antara muthlaq dan muqoyyad, bahwa muthlaq dilakukan di setiap
waktu, sedang muqoyyad
dilakukan setelah sholat lima waktu pada Idul Adha saja.”
[Majmu’ Fatawa wa
Rosaail Ibnil
‘Utsaimin, 16/265]
3.
Disunnahkan mengeraskan takbir bagi laki-laki
dan dipelankan bagi wanita, dan disunnahkan bertakbir di perjalanan ketika menuju sholat ‘Ied, sebagaimana
dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma,
أنههُكَِانَ إ ذَِِا
غدَا يَ وْمَِ الْأضْحَى وََي وْمَ
ال فط ر يََهَرُ بلتهكْب ير حَ هتَّ يََ
تَِ المُصَلهى ثُهِيكَ بَُِ حَ هتَّ يََ تَِ ا لْْمَامُ
“Bahwa Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma
apabila berangkat di pagi hari Idul Adha dan Idul Fitri, beliau
mengeraskan takbir sampai tiba di tempat sholat, kemudian beliau terus
bertakbir sampai imam datang.” [HR. Ad-Daruquthni,
Al-Irwa: 650]
4.
Takbir berjama’ah
dengan cara dipimpin oleh seseorang dan diikuti oleh jama’ah secara serentak
satu suara tidak disyari’atkan, maka termasuk kategori mengada-ada dalam
agama, dan seluruh dalil yang digunakan untuk mendukungnya adalah pendalilan
yang bukan pada tempatnya.
Dalam
fatwa Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa,لكن التكبير الْماعي بصوت واحد ليس بمشروع بل ذلك بدعة؛ لماِثبتِعنالنبّ
صلى الله عليه وسلم أنهِقال: «من أحدث في أمِرِنا هذا ما ليس منه فهوناِهذاِماِليسِمنهِفهوِرد»
ولم يفعله السلفِالصالح، لا مِنِالصحابة، ولا من التابعي ولاِتابعيهم،وهمِالقدوة،
والواجبِالاتباع، وعدم الابتداع فيِالدين
“Akan tetapi takbir berjama’ah dengan satu suara
tidak disyari’atkan, bahkan itu adalah bid’ah, karena telah shahih dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, ‘Barangsiapa mengadaada dalam agama kami ini
yang tidak berasal darinya maka itu tertolak’. Dan tidak pernah
dilakukan oleh As-Salafus
Shaalih, tidak diriwayatkan dari sahabat, tidak
pula tabi’in dan tabi’ut tabi’in, padahal mereka adalah teladan dalam beragama,
maka yang wajib adalah meneladani Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
dan tidak berbuat bid’ah dalam agama.” [Fatawa Al-
Lajnah Ad-Daimah, 8/311 no. 9887]
Asy-Syaikh Ibnul
‘utsaimin rahimahullah berkata,
هذه الصفة التي
ذكرها السائل لم ترد عن النبّ صَلهى ا هللَُّ عَلي ه وَسَلهمَ وأصحابه،ِوالسنة أن
يكبَكل إنسان وحدِهِ
“Cara bertakbir
yang disebutkan penanya (yaitu takbir secara berjama’ah) tidak ada dalilnya
dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan sahabat beliau, yang sunnah
adalah setiap orang bertakbir sendiri.” [Majmu’ Fatawa wa
Rosaail Ibnil ‘Utsaimin, 16/267]
Apalagi sampai mengadakan konvoi di jalanan yang dapat
mengganggu ketertiban umum, kemacetan dan berbagai macam kemaksiatan seperti ikhtilat
(campur baur antara lakilaki dan wanita), meneriakkan takbir diiringi alat-alat
musik (padahal musik itu sendiri diharamkan dalam Islam) dan berbagai
kemungkaran lainnya yang biasa dilakukan oleh sebagian orang pada malam dan
siang hari raya, semoga Allah ‘azza wa
jalla memberikan hidayah kepada semuanya.
5. Adapun lafaz takbir diantaranya adalah yang diriwayatkan
dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu,
اللهِأكبَ، اللهِأكبَ، لا إله إلاِالله، واللهِأكبَ، اللهِأكبَ، ولله
الحمِدِ
“Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaaha
illallah, wallahu Akbar, Allahu Akbar, wa lillahil hamd: “Allah Maha Besar, Allah Maha
Besar, tidak ada yang berhak disembah selain Allah, dan
Allah
Maha Besar, Allah Maha Besar, dan segala puji hanya bagi
Allah.” [HR. Ibnu Abi Syaibah, Mushonnaf:
5697, Al-Irwa: 654]
Dan beberapa lafaz lain yang diriwayatkan
dari para sahabat dan tabi’in, namun tidak ada dalil adanya
lafaz khusus dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam sehingga dalam perkara ini terdapat
keluasan.[1]
Keempat: Mengeluarkan Zakat
Fitri
Diwajibkan bagi kaum muslimin untuk berzakat fitri apabila
telah terbenam matahari di hari terakhir Ramadhan sampai sebelum sholat Idul
fitri, hendaklah dikeluarkan untuk setiap jiwa kaum muslimin sebanyak 1 sho’ (senilai
kurang lebih 3 kg) bahan makanan pokok di suatu negeri dan diberikan kepada
fakir miskin.
Sahabat yang
Mulia Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma berkata,
أ هن رسُولَ الله صَلهى اللهُ عَلي ه وَسَلهمَ فَ رَضَ
زكَاةَ ال فط ر منْ رمَضَانَ عَلىكُ لِنَ فْسٍ منَِ المُسْ ل ميَ حُرٍِ، أوْ
عَبْدٍ، أوْ رجُلٍ، أ و امْرأةٍ، صَ غيرٍ أوْكَب يرٍ صَاعًا منِْتََْرٍ، أوْ
صَاعًا منْ شَ عيرٍِ
“Bahwa Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri karena telah
berakhir Ramadhan, atas setiap jiwa kaum muslimin, orang merdeka atau budak,
laki-laki atau wanita, kecil atau besar, sebanyak satu
sho’ kurma atau satu sho’ gandum.”
[HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Sahabat yang
Mulia Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma juga berkata,
فَ رَضَ رسُولُ ا ه للَّ صَلهى اللهُ عَِلي ه وَسَلهمَ زكَاةَ ال فط ر
طهْرَةً ل ل هصائ م منَ اللهغ ووَالهرفَ
ث، وَطعْمَةً ل لْمَسَاك ي، مَنْ أهداهَا
قَ بلَ ال هصلَاة ، ف هيَ زكَاةٌ مَقْبولةٌ، وَمَنِْأهداهَا بَ عْدَ ال هصلَاة ، ف
هيَ صَِدَقةٌ منَ ال هصدَقا تِ
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mewajibkan zakat
fitri sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang
sia-sia dan yang haram, serta makanan bagi orang-orang miskin, barangsiapa
mengeluarkannya sebelum sholat Idul fitri maka itu adalah zakat yang diterima,
dan barangsiapa mengeluarkannya setelah sholat Idul fitri maka itu adalah sedekah biasa.” [HR. Abu Daud, Shahih Abi
Daud: 1427]
Kelima: Melakukan Sholat ‘Ied
Allah ta’ala berfirman, فصَ لِ ل رَب كَ وَانَِْرِْ
“Maka sholatlah hanya untuk Rabb-mu
dan berqurbanlah hanya untuk-Nya.” [Al-Kautsar:
2]
Banyak ulama ahli tafsir menjelaskan bahwa maksud sholat dalam ayat ini adalah sholat ‘Ied.[2]
Ulama sepakat
bahwa sholat ‘Ied disyari’atkan, akan tetapi ulama berbeda pendapat
tentang hukumnya.
Pendapat Pertama:
Sunnah, ini adalah pendapat Al-Imam Malik dan
kebanyakan ulama Syafi’iyyah.
Pendapat Kedua: Fardhu
kifayah, ini adalah pendapat AlImam Ahmad.
Pendapat Ketiga: Fardhu ‘Ain, ini adalah pendapat Abu Hanifah
dan satu riwayat dari Al-Imam Ahmad.
Pendapat yang kuat insya Allah adalah fardhu
‘ain. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Al-‘Allamah
Ibnul Qoyyim, Asy-Syaikh As-Sa’di, Asy-Syaikh
Ibnu Baz, Asy-
Syaikh Al-Albani dan Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahumullah.[3]
Karena Allah ‘azza wa
jalla memerintahkannya, Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam pun tidak pernah meninggalkannya, dan beliau memerintahkan
untuk melakukannya, hingga para wanita pun diperintahkan hadir, sebagaimana
akan kita sebutkan haditsnya insya Allah di poin keenambelas.
Keenam: Sholat Hari Raya di Lapangan Kecuali Ada Udzur
Sebagaimana
hadits Abu Sa’id Al-Khudri
radhiyallahu’anhu,
كَانَ رسُولُ ا ه للَّ صَلهى اللهُ عَلي ه وَسَلهمَ يََرجُ يَ وْمَ ال فط
ر وَالأضْحَى إ لََ المصَلهى،فأهولُ شَيْءٍ يَ بْدَأُ ب ه ال هصلاةُ، ثُه يَ نْصَ رفُ، فَ يَ قُومُ
مقَاب لَ النها س، وَالنهاسُِ جُلوسٌِعَلى صُفُوف
همْ فَ ي عظهُمْ، وَُيوِ صي همْ، وَيََمرهُمْ ف إنْكَانَ ي ريدُ أَنْ يَ
قْطعَ بَ عْثا قطعَهُ،ِأوْ يََمرَ ب شَيْءٍ أمَرَ ب ه، ثُه يَ نْصَ رفُِ
“Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam keluar di hari Idul Fitri dan Idul Adha
menuju lapangan tempat sholat, maka yang pertama beliau lakukan adalah sholat,
kemudian beliau bangkit lalu menghadap manusia dan mereka dalam keadaan duduk
di shaf-shaf mereka, maka beliau menasihati, memberi wasiat dan memerintahkan
mereka. Apabila beliau ingin memutuskan pengutusan sekelompok sahabat maka
beliau memutuskannya, atau apabila beliau ingin memerintahkan sesuatu maka
beliau memerintahkannya, kemudian beliau pergi.”
[HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Al-Imam
An-Nawawi rahimahullah berkata,هذاِدليل
لمن قال بستحباب الخروج لصلاة العيد إلَ المصلى وأنه أفضلِمنفعلها فيِالمسجد، وعلى
هذا عمل الناس في معظمِالأمصار، وأما أهلِمكةفلا يصلونها إلا في المسجدِ من
الزمنِالأول
“Ini adalah dalil bagi ulama yang
berpendapat disunnahkan keluar untuk sholat hari raya di lapangan, dan
bahwa itu lebih afdhal dilakukan daripada di masjid, dan inilah yang diamalkan
manusia di kebanyakan negeri, adapun penduduk Makkah tidaklah mereka sholat
kecuali di masjid sejak zaman yang pertama.” [Syarhu
Muslim, 6/177]
Hukum Sholat ‘Ied di Rumah bagi yang Memiliki
Udzur
Mayoritas ulama
dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan
Hanabilah berpendapat dianjurkan sholat di rumah bagi yang memiliki udzur.
Pendapat ini juga dikuatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah,
sebagaimana dalam Shahih beliau,
بَبٌ: إ ذا فاتهُ ال عيدُ يصَ لي ركْعَت يْ، وكَذَل كَ الن سَاءُ،
وَمَنْكَانَ في البُ يو تِ
وَالقُرَىِل قَوْ ل
النه بِّ صَلهى اللهُ عَلَي ه وَسَلهمَ:
«هَذَا عيدُنَا أهْلَ ا لْسْلا م» وَأمَرَ أنسُ بنُِمَال كٍ مَوْلاهُِمْ ابنَ أ بِ
عتْ بةَ بلهِزا وي ة فجَمَعَ أهْلهُ وَبن ي ه، وَصَلهىكَصَلاَة أهْ لِالم صْ ر
وَتكْب ير همْ وَقالَ عكْ رمَةُ: «أهْلُ
ال هسوَا د يََِْت معونَ في ال عي د، يصَلونَ ركْعَت يِْكَمَا يَصْنعُ ا لْمَامُ»
وَقالَ عَطاءٌ: «إ ذَا فَاتهُ ال عيدُ صَلهى ركْعَت يْ»
Bab Apabila
Seseorang Luput dari Sholat ‘Ied Hendaklah Sholat Dua Raka’at, Demikian Pula
Wanita dan Orangorang yang di Rumah dan di Kampung-kampung
Berdasarkan sabda Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam, هَذَا عيدُنَِا أهْ لَ ا لِْسْلا مِ
“Ini adalah hari raya kita kaum
muslimin”.
Dan Anas bin Malik radhiyallahu’anhu
memerintahkan pembantu mereka Ibnu Abi ‘Utbah
Ketika di daerah Zaawiyah (sebuah kampung) untuk menjadi imam sholat ‘Ied, maka Anas mengumpulkan keluarga dan
anak-anaknya, dan imam sholat seperti sholat kaum muslimin di kota dan
bertakbir seperti mereka.
Dan ‘Ikrimah
rahimahullah berkata: Penduduk kampung hendaklah berkumpul di Hari Raya,
kemudian sholat sebagaimana yang dilakukan oleh pemimpin.
Dan Atho’
rahimahullah berkata: Apabila seseorang luput sholat ‘ied
hendaklah ia sholat dua raka’at.
[Shahih Al-Bukhari]
Ketujuh: Bersegera Menuju
Tempat Sholat bagi Makmum Sebelum Datangnya Imam
Disunnahkan bagi imam Ketika datang ke tempat sholat, langsung
memulai sholat, oleh karena itu disunnahkan pula bagi makmum untuk bersegera ke
tempat sholat sebelum datangnya imam.
Sahabat yang Mulia Abu Sa’id
Al-Khudri radhiyallahu’anhu meriwayatkan,
كَانَ رسُولُ ا ه
للَّ صَلهى اللهُ عَلي ه وَسَلهمَ يََرجُ يَ وْمَ ال فط رِ وَالأضْحَى إ لََ
المصَلهى،ِفأهولُ شَيْءٍ يَ بْدَأُ ب ه ال
هصلاَةُِ
“Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam keluar di hari Idul Fitri dan Idul Adha
menuju lapangan tempat sholat, maka yang pertama beliau
lakukan adalah sholat.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Kedelapan: Disunnahkan
Mandi Sebelum Sholat ‘Ied
Sebagaimana
riwayat dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu,
سَألَ رَجُلٌ عَ ليا
ر ضيَ ا هللَُّ عَنهُ عَ ن الغسْ ل فَ قَالَ: اغْت سلْكُ هل يَ وْم إ نْ شئتَ،ِفَ
قَالَ: الغسْلُ اله ذِي هُوَ الغسِْلُ؟ قالَ: ي وْمُ الْْمُعَ ة، وَيَ وْمُ
عَرَفةَ، وَي وْمُ النهحْ ر،ِوَيَ وْمُ ال فط رِ
“Seseorang
bertanya kepada Ali radhiyallahu’anhu tentang mandi. Maka beliau
berkata: Mandilah setiap hari kalau mau. Maka orang itu berkata: Maksudku mandi
yang dianjurkan? Beliau berkata: Mandi di hari Jum’at,
hari Arafah, Idul Adha dan Idul Fitri.” [HR. Al-Baihaqi, lihat Irwaaul
Ghalil, 1/177]
Kesembilan: Mengenakan
Parfum bagi Laki-laki dan Bersiwak
Sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tentang hari
Jum’at yang juga merupakan hari raya kaum muslimin,
إ هن هَذَا يَ وْمُ
عيدٍ، جَعَلهُ ا هللَُّ ل لْمُسْ ل ميَ، فمَنْ جَاءَ إ لََ الْْمُعَ ة فَ لْيَ غت
سلْ، وَإ نِْكَانَ طيبٌ فَ لْيمَ هس منهُ، وَعَليكُمْ بل سِوَا كِ
“Sesungguhnya ini
adalah hari raya yang Allah jadikan untuk kaum muslimin, barangsiapa yang menghadiri sholat Jum’at hendaklah
mandi, apabila ia memiliki minyak wangi pakailah, dan
hendaklah kalian bersiwak.” [HR. Ibnu Majah dari Ibnu Abbas
radhiyallahu’anhuma, Shahihut Targhib: 707]
Kesepuluh: Berhias bagi Laki-laki dan Mengenakan Pakaian yang
Paling bagus
Sebagaimana
hadits Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, beliau berkata,
أخَذَ عمَرُ جُبهةً
منْ إ سْتبَْقٍ تُ باعُ في السُّو ق، فأَخَذَهَا، فأتى بِا رسُولَ ا ه للَّ
صَلهىِِاللهُ عَلي ه وَسَلهمَ، فَ قَالَ: يََ رسُولَ ا ه للَّ، ابِْ تعْ هَ ذه
تََهمِلْ بِا ل ل عي د وَالوُفو د، فَ قَالَلهُ رسُولُ ا ه للَّ صَلهى اللهُ عَلي
ه وَسَلهمَ: إ هنَّا هَ ذه ل باسُ مَنْ لاَ خَلاَقَِ لهُِ
“Umar mengambil jubah dari sutera yang
dijual di pasar, beliau mengambilnya lalu mendatangi Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam seraya berkata:
Wahai Rasulullah belilah pakaian ini agar engkau berhias dengannya untuk hari
raya dan menerima utusan, maka Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda kepadanya: Sesungguhnya pakaian
sutera ini hanyalah pakaian orang (kafir) yang
tidak memiliki bagian (di akhirat).” [HR. AlBukhari]
Hadits ini menunjukkan haramnya
laki-laki menggunakan sutera. Dalam hadits ini juga terdapat
pelajaran bahwa berhias di Hari Raya adalah kebiasaan
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, sehingga Umar
radhiyallahu’anhu memberi saran kepada beliau
untuk membeli pakaian yang beliau pandang bagus, hanya saja Ketika itu beliau
belum mengetahui kalua itu sutera yang terlarang.
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah menyebut hadits ini dalam,
بَبٌ في ال عيدَيْ ن وَالتهجَمُّ ل ف ي هِ
“Bab Tentang Dua Hari Raya dan
Berhias Padanya.”
Al-‘Allamah As-Sindi
rahimahullah berkata,
منهُ علم أن التجمل ي وْم
ال عيدكَانَ عَادَة متقررة بينهم وَلم ينكرها النه بّ صلىِ
الله تَ عَالََ عَلي ه وَسلم فعلم بَ قَاؤُهَا
“Dari hadits ini diketahui bahwa
berhias di hari raya adalah kebiasaan yang sudah tetap di antara para sahabat
dan tidak diingkari oleh Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam, maka diketahui tetapnya kebiasaan ini.” [Haasyiah As-Sindi ‘ala Sunan AnNasaai, 3/181]
Kesebelas: Sunnah Terkait
Makan Pagi di Hari Raya
Disunnahkan makan kurma dalam jumlah ganjil minimal 3
butir, sebelum keluar menuju sholat Idul Fitri.
Adapun Idul Adha disunnahkan untuk tidak makan sampai
sholat, dan disunnahkan untuk makan dari hewan sembelihan yang kita sembelih,
apabila kita menyembelih.
Sahabat yang Mulia
Anas bin Malik radhiyallahu’anhu berkata,
كَانَ رسُولُ ا ه للَّ صَلهى اللهُ عَلي ه وَسَلهمَ لاَ يَ غْدُو يَ وْمَ
ال فط ر حَ هتَّ يََْكُلَ تَََِراتٍ،ِ
وَيََْكُلهُ هن وتْ را
“Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam tidak berangkat pagi hari Idul Fitri
sebelum memakan beberapa butir kurma, dan beliau memakannya
dalam jumlah ganjil.” [HR. Al-Bukhari]
Dalam lafaz yang lain dari Sahabat yang Mulia Anas bin
Malik radhiyallahu’anhu,
مَا خَرجَ رسُولُ ا ه للَّ صَلهى ا هللَُّ عَلي ه وَسَلهمَ يَ وِْمَ فِ
طْرٍ حَ هتَّ يََكُلَ تََراتٍ ثلَاثًِ أَوِْ
خََسًا أَوْ سبعا
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak keluar di Hari
Idul Fitri sampai beliau memakan beberapa butir kurma, yaitu 3, 5 atau 7 butir.” [HR. Ibnu Hibban, At-Ta’liqootul Hisan: 2803]
Sahabat yang
Mulia Buraidah radhiyallahu’anhu berkata,
كَانَ النه بُّّ
صَلهى ا هللَُّ عَلي ه وَسَلهمَ لاَ يََرجُ يَ وْمَ ال فط ر حَ هتَّ يطعَمَ، وَلاَ
يطعَمُ يَ وْمَِالأضْحَى حَ هتَّ يصَ ليَِ
“Dahulu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
tidak keluar pada hari Idul Fitri sampai beliau makan, dan beliau tidak
makan pada hari Idul Adha sampai beliau sholat.”
[HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, Shahih At-Tirmidzi, 1/302, Al-Misykah:
1440]
Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata,
وَالْأضْحَى لَا
يََكُلُ ف ي ه حَِ هتَّ يَ ر جعَ إذاكَانَ لهُ ذبحٌ؛ لأ هن النه هبّ - صَلهى ا هللَُِّعَلي
ه وَسَلهمَ - أكَلَ منْ ذب يحَت ه، وَإ ذا
لَمْ يكُنْ لهُ ذبحٌ لَمْ ي با ل أنِْ يََكُلَِ
“Dan di Hari Idul Adha, Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam tidak makan
sampai beliau kembali. Apabila beliau memiliki sembelihan maka beliau makan
dari sembelihan beliau, dan apabila beliau tidak memiliki sembelihan maka
beliau makan makanan yang lain.”
[Al-Mughni, 2/275]
Keduabelas: Keluar Menuju Sholat Idul Fitri dengan Berjalan
Kaki
Sahabat yang
Mulia Abu Sa’id Al-Khudri
radhiyallahu’anhu ,meriwayatkanأ هن النه هبّ صَلهى اللهُ عَلي ه وَسَلهمَكَانَ يََرجُ إ لََ ال عي دِ
مَا شِيًا، وَيَ ر جعُ مَا شيًا
“Bahwa Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam keluar menuju sholat
‘Ied dengan
berjalan kaki dan kembali dengan berjalan kaki.” [HR. Ibnu Majah, Shahih
Ibni Majah, 1/388]
Ketigabelas: Sunnah Terkait Rute Perjalanan Menuju Sholat
Hari Raya
Disunnahkan mengambil
jalan yang berbeda saat pergi dan kembali, diantara hikmahnya adalah untuk
menampakkan syiar Islam di hari raya.
Sahabat yang
Mulia Jabir bin Abdillah
radhiyallahu’anhuma ,meriwayatkanكَانَ النه بُّّ صَلهى اللهُ عَلي ه وَسَلهمَ إ ذاكَانَ يَ وْمُ عيدٍ
خَالفَ الطه ريقَِ
“Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam apabila di hari raya, beliau mengambil jalan yang
berbeda.” [HR. Al-Bukhari]
Keempatbelas: Tidak Membawa Senjata Kecuali
Darurat
Berdasarkan hadits
Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma ketika beliau berkata kepada Al-Hajjaj,
حَْلتَ ال سِلاحَ في يَ وْم لَمْ يكُنْ يُُْمَلُ ف ي ه، وَأدْخَلتَ ال
سِلاحَ الحرَمَ وَلَمْ يكُ نِ
ال سِلاحُ يدْخَلُ الحرَمَِ
“Engkau membawa senjata di hari
(raya) yang tidak boleh padanya membawa senjata, dan engkau telah memasukkan
senjata di Al-Harom padahal tidak boleh memasukkan senjata ke Al-Harom.” [HR. Al-Bukhari]
Kelimabelas: Menampakkan Kegembiraan
Ummul Mukminin
Aisyah radhiyallahu’anha berkata,
دَخَلَ أبو بكْرٍ وَ
عنْ دي جَا ريَ تَا ن منْ جَوَا ري الأنصَا ر تُ غن يَا ن بمَا تَ قَاوَل ت
الأنصَارُِيَ وْمَ ب عَاثَ قَِالتْ وَليسَتا بمغن يَ ت يْ فَِ قَالَ أبو بكْرٍ
أمَزا ميرُ ال هشيْطا ن في بَ ي ترَسُو ل
الله وَذل كَ في يَ وْ مِ عيدٍِ فَ قَالَ رسُولُ
الله صلى الله عليه وسلم يََ أبَ بكْرٍِإ هن ل كُ لِ قَ وْم عيدًا وَهَذَا
عيدُنَِا
“Abu Bakr masuk dan ketika itu
bersamaku ada dua orang anak kecil perempuan dari kalangan Anshar sedang
bersenandung syair kaum Anshor pada peperangan Bu’ats, dan kedua
anak itu bukanlah penyanyi. Maka Abu Bakar berkata, ‘Apakah
seruling-seruling setan di rumah Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam!?’ Dan ketika itu hari raya, maka Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: Wahai Abu Bakar, biarkan mereka
karena sesungguhnya setiap kaum memiliki hari
raya, dan ini adalah hari raya kita.” [HR. AlBukhari dan Muslim]
Dalam
riwayat Muslim,جَا ريَ تا ن تَ لعَبا ن ب دُفٍِِ
“Dua orang anak
kecil perempuan bermain rebana.”
Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
وَ في هَذَا الحْ دي
ث منَ الفَوَائ د مَشْرو عيهةُ الته وْ
سعَ ة عَلى ال عيا ل في أهيَ م الِْأَِعْيا دِ بِنْ وَا ع مَا يَُِْصُلُ لََُِمْ
بسْطُ النه فْ س وَتَ رْ ويحُ البدَ ن منْكَل ف ال عبادَة وَأ هنا لْْعْراضَ عَنْ ذل
كَ أوْلََ وَف ي ه أ هن إ ظهَارَ السُّرو ر في الْأعْيا د منْ شعَا ر ال دِي نِ
“Diantara faidah
hadits ini adalah disyari’atkan untuk memberi kelapangan kepada keluarga
di hari-hari raya, dengan berbagai macam hiburan yang menyenangkan jiwa dan
menyamankan tubuh dari beban ibadah, dan bahwa berpaling dari hal itu lebih
baik. Dalam hadits ini juga ada faidah bahwa menampakkan kegembiraan di
hari-hari raya termasuk syiar agama.” [Fathul
Bari, 2/443]
Peringatan: Sebagian orang
berdalil dengan hadits ini untuk membolehkan nyanyian dan musik, padahal justru
hadits ini adalah dalil tegas yang menunjukkan bahwa nyanyian dan alat musik
adalah haram karena seruling setan, karena Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam tidak mengingkari ucapan Abu Bakr radhiyallahu’anhu, maka nyanyian
dan musik diharamkan dalam Islam.
Nyanyian dan Musik yang
Dibolehkan di Hari Raya
Hadits yang mulia ini juga menjelaskan enam syarat nyanyian
dan musik yang diperkecualikan, yaitu:
Syarat Pertama:
Dinyanyikan anak kecil perempuan yang belum baligh dan tidak memunculkan fitnah
(godaan bagi lakilaki), oleh karena itu sebagian ulama menghukumi laki-laki
yang menyanyi dan bermain musik sebagai banci, menyerupai wanita.
Syarat Kedua: Syair yang
dinyanyikan tidak bertentangan dengan syari’at,
tidak seperti syair-syair nyanyian syahwat anak muda yang memabukkan
hati dan melalaikan dari berdzikir kepada
Allah subhanahu wa ta’ala, dan menurut AlQurthubi
rahimahullah bahwa ucapan Aisyah radhiyallahu’anha, “Dan kedua anak itu
bukanlah penyanyi”, menunjukkan bahwa mereka tidak mengetahui nyanyian,
maka nyanyian yang dimaksudkan di sini tidak seperti nyanyian-nyanyian kotor
tersebut.
Syarat Ketiga: Hanya
dinyanyikan pada momen-momen tertentu saja, seperti di hari raya dan resepsi
pernikahan, bukan kebiasaan atau hobi tiap hari, apalagi dijadikan profesi.
Syarat Keempat: Tidak
diiringi alat musik kecuali rebana murni, yaitu rebana yang tidak disertai
tambahan alat-alat lain yang biasa ditempelkan atau dikaitkan di sampingnya,
dan AlHafizh Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan bahwa pembolehan rebana tidak
melazimkan pembolehan alat musik lainnya. Maka dipahami pembolehan rebana
hanyalah pengecualian.
Syarat Kelima: Yang
menyanyikannya tidak berprofesi sebagai penyanyi, dan itu adalah profesi yang
haram, dahulu yang menekuni profesi ini hanyalah budak-budak, bahkan harga mereka menjadi murah apabila diketahui
sebagai ‘artis’, namun anehnya pekerjaan haram ini sangat diminiati hari
ini dan diberi bayaran yang tinggi sekali manggung untuk merusak bangsa,
sementara para guru yang mendidik bangsa digaji kecil per bulan. Bahkan para
pemain seruling setan tersebut menjadi idola-idola manusia, laa hawla wa laa
quwwata illa billah.
Keenambelas: Anjuran bagi Wanita untuk Keluar Menuju Sholat
‘Ied dengan Syarat Tidak Tabarruj
Dianjurkan bagi kaum wanita untuk keluar menuju sholat dan khutbah ‘Ied dengan tanpa tabarruj (menampakkan
kecantikan dan perhiasan) dan tanpa mengenakan wewangian.
Sahabat yang Mulia Ummu ‘Athiyyah
radhiyallahu’anha meriwayatkan,
أمَرَنَا رسُولُ اللِه صَلهى اللهُ عَلي ه وَسَلهمَ، أنْ
نُُ رجَهُ هن في ال فط ر وَالْأضْحَى،العَوَات قَ، وَالحْيهضَ، وَذَوَا ت الِْخدُو
ر، فأهما الحْيهضُ فَ يَ عْت زلنَ ال هصلَاةَ، وَيشْهَدْنَِِالْخيْرَ، وَدَعْوَةَ
المُسْ ل ميَ، قُ لْتُ: يََ رسُولَ اللِه إ
حْدَانَا لَا يكُونُ لََا جلْبابٌ،
قالَ: ل تُ لْب سْهَا أُخْتُ هَا منْ جلْبا بِا
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan para wanita di hari Idul Fitri dan
Idul Adha, yaitu wanita-wanita yang masih perawan, yang haid dan yang dipingit.
Adapun wanita haid hendaklah menjauhi tempat sholat dan hendaklah tetap
menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Aku berkata: Wahai Rasulullah,
salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab. Beliau bersabda: Hendaklah saudaranya memakaikan jilbab kepadanya.” [HR. Al-Bukhari
dan Muslim]
Ketujuhbelas: Anjuran Mengajak Anak-anak Menuju Sholat ‘Ied
Dianjurkan juga bagi anak-anak untuk ikut
keluar menuju tempat sholat dan khutbah ‘Ied, sebagaimana
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma ketika beliau masih
kecil, beliau ikut keluar bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Sahabat yang Mulia Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu berkata,
خَرجْتُ مَعَ
النه بِّ صَِلهى اللهُ عَلي ه وَسَلهمَ يَ
وْمَ فطرٍ أوِْ أضْحَى فصَلهى، ثُه
خَطَبَ،ِثُه أتى الن سَاءَ، فَ وَعَظهُ هن، وَذَهكرَهُ هن، وَأمَرَهُ هن بل هصدَق
ةِ
“Aku pernah
keluar bersama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pada hari Idul Fitri
atau Idul Adha, maka beliau sholat, kemudian berkhutbah, kemudian mendatangi
kaum wanita, lalu menasihati dan mengingatkan mereka, dan
memerintahkan
mereka bersedekah.” [HR. Al-Bukhari]
Al-Imam Al-Bukhari menyebutkan hadits ini dalam, بَبُِ خُرُو ج ال صِبْ يا ن إ لََ المصَلهىِ
“Bab Keluarnya Anak-anak Menuju
Lapangan Tempat Sholat ‘Ied.” [Shahih Al-Bukhari]
Kedelapanbelas: Apa Hukum
Ucapan Selamat Idul Fitri?
Asy-Syaikh
Ibnu Baz rahimahullah berkata,لا حرج أن يقول
المسلم لأخيه في يوم العيدِ أو غيرهِتقبل الله مناِومنكأعمالناِالصالحة، ولا أعلم
في هذا شيئاِمنصوصا،ِوإنَّا يدعو المؤمنِلأخيهبلدعوات الطيبة؛ لأدلةِكثيرة وردت في
ذلِكِ
“Tidak mengapa seorang muslim berkata kepada
saudaranya di hari raya atau selainnya, تقبل الله منا ومنك أعمالناِالصالحة
‘Semoga Allah menerima amal-amal
shalih dari kami dan darimu’.
Dan aku tidak mengetahui ucapan khusus yang berdasar dalil,
akan tetapi boleh bagi seorang mukmin mendoakan saudaranya dengan doa-doa yang
baik, berdasarkan banyak dalil umum
tentang itu.” [Majmu Fatawa Ibni Baz, 13/25]
Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah berkata,التهنئة بلعيدِِجائزة، وليس لَاِتهنئة مخصوصة، بل ما اعتاده الناس
فهوِجائزما لم يكن إثمِاً
“Mengucapkan
selamat hari raya dibolehkan, dan tidak ada lafaz khusus yang disyari’atkan,
maka ucapan selamat yang sudah biasa dilakukan manusia adalah boleh
selama tidak mengandung dosa.” [Majmu’ Fatawa wa
Rosaail Ibnil ‘Utsaimin, 16/210]
Dan apabila seseorang mendapatkan
ucapan selamat hendaklah ia membalas, berdasarkan keumuman dalil perintah
membalas salam penghormatan dan menyenangkan kaum muslimin.
Kesembilanbelas: Apabila Bertemu Hari Raya dan Hari Jum’at
Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,ق د
اجْتمَعَ في يَ وْ مكُمْ هَذَا عيدَا نِ، فمَنْ شَاءَ أجْزأهُ منَِ الْْمُعَ ة،
وَإ هنا مُُ مِعونَِ
“Sungguh telah berkumpul di hari
kalian ini dua hari raya, barangsiapa yang mau (sholat ‘ied)
itu mencukupinya dari sholat Jum’at.” [HR. Abu Daud dari Abu Hurairah
radhiyallahu’anhu, Shahih Abi Daud: 984]
Tabi’in yang Mulia ‘Iyas bin Abi Ramlah
Asy-Syaami rahimahullah berkata,شَ هدْتُ معَا ويةَ بنَ أ بِِ سُفْيانَ، وَهُوَ يسْألُ زيدَ بنَ أرقمَ،
قالَ: أشَ هدْتَ مَعَ رسُو لِا ه للَِّ صَلهى اللهُ عَلي ه وَسَلهمَ عيدَي ن
اجْتمَعَا في يَ وْم؟ قالَ: نَ عَمِْ، قالَ: فكَيفَ صَنعَِ؟ِقالَ: صَلهى ال عيدَ،
ثُه رهخصَ في الْْمُعَ ة، فَ قَالَِ: «مَنْ شَاءَ أنْ يصَ ليَ، فَ لْيصَ لِِ»
“Aku menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan bertanya kepada
Zaid bin Arqom radhiyallahu’anhuma:
Apakah engkau hadir bersama Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam ketika dua hari raya bersamaan dalam satu hari? Zaid bin Arqom
menjawab: Ya. Mu’awiyah bertanya lagi: Apa yang
beliau lakukan? Zaid bin Arqom menjawab: Nabi shallallahu’alaihi wa sallam sholat ‘ied, kemudian beliau memberi keringanan
dalam sholat Jum’at, beliau bersabda: Barangsiapa
yang mau sholat Jum’at silakan sholat.” [HR. Abu Daud, Shahih Abi Daud: 981]
Disebutkan
dalam fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah,من صلى
العيدِ يوم الْمعة رخص له في ترك الحضور لصلاة الْمعة ذلكِاليومِ
إلاِالْمام، فيجب
عليه إقامتها بمن يُضر لصلاتها ممن قدِ صلى العيد وبمن لميكن صلىِالعيد،ِفإن لم
يُضر إليه أحدِ سقطِوجوبِا عنه وصلىِظهرا
“Barangsiapa sholat ‘ied di hari Jum’at,
maka ia mendapat keringanan untuk tidak ikut sholat Jum’at
di hari itu.
Kecuali imam, wajib atas imam untuk mengadakan sholat
Jum’at
bersama dengan jama’ah yang mau melakukan sholat Jum’at, baik yang telah ikut sholat ‘ied maupun yang tidak ikut sholat ‘ied.
Apabila seseorang tidak ikut sholat Jum’at, maka tidak wajib baginya dan ia tetap
sholat Zhuhur.” [Fatawa Al-Lajnah AdDaimah,
8/182 no. 2358]
Keduapuluh: Jauhi Maksiat
Al-Hafizh
Ibnu Rajab rahimahullah berkata,ليس العيد
لمن لبسِالْديد، إنَّا العيد لمن طاعاتهِتزيد،ِليس العيد لمنِتَمل
بللباس والركوِبِ، إنَّا العيدِ لمن غفرت لهِالذنوب، في ليلة العيدِ تفرق
خلق
العتق والمغفرة على
العبيد؛ فمن ناله منها شيء فلهِعيد، وإلا فهوِمطرود بعِيد
"Bukanlah hari raya itu bagi yang mengenakan pakaian
baru, hanyalah hari raya itu bagi yang ketaatannya bertambah.
Bukanlah hari raya itu bagi yang berhias dengan pakaian dan
kendaraan, hanyalah hari raya itu bagi yang telah diampuni dosa-dosanya.
Di malam hari raya dibagi-bagi pembebasan dari api neraka
dan pengampunan untuk hamba-hamba, barangsiapa yang menggapainya maka
baginyalah hari raya, jika tidak maka ia orang yang tertolak lagi dijauhkan
dari rahmat Allah." [Lathooiful
Ma’aarif: 277]
Asy-Syaikh
Al-'Allaamah Prof. DR. Shalih Al-Fauzan ,hafizhahullah
berkataاحذر أخي المسلم الوقوع في المخالفات
الشرعية ؛ والتي يقع فيها
بعضاحذرِأخيِالمسلمِالوقوعِفيِالمخالفاتِالشرعيةِ؛ِوالتيِيقعِفيهاِبعضِالناس:
- من أخذ الزينة المحرمةِكالْسبال.
- وحلقِاللحية.
- والاحتفال المحرم من سماع الغناِءِ.
- والنظرِالمحرم.
- وتبَج النساء.
- واختلاطهنِبلرجال.
واحذرِأيها
الأبِالغيور من الذهاب بِسرتك إلَ الملاهيِالمختلطة،ِوالشواطئوالمنتزهات التي تظهر
فيهاِالمنكرات.
"Berhati-hatilah wahai saudara muslimku, janganlah
melakukan pelanggaran-pelanggaran syari'at, sebagaimana yang dilakukan oleh
sebagian orang. Diantaranya:
- Berhias
dengan mode pakaian yang haram, seperti isbal (lakilaki memanjangkan pakaian
sampai menutup mata kaki).
- Mencukur
jenggot.
- Merayakan
dengan cara yang haram, seperti dengan mendengarkan nyanyian yang haram.
- Memandang
yang haram (memandang lawan jenis yang bukan mahramnya).
- Wanita
ber-tabarruj
(berhias dan tampil cantik di depan lakilaki yang bukan mahram).
- Campur
baur antara laki-laki dan wanita.
Berhati-hatilah Wahai Ayah
yang Masih Memiliki Kecemburuan…
Janganlah membawa keluargamu ke tempat-tempat hiburan yang
bercampur baur antara laki-laki dan wanita, juga pantai dan tempat wisata yang
nampak jelas padanya kemungkarankemungkaran." [Mauqi' Al-Fauzan
hafizhahullah]
Asy-Syaikh Dr. Sa’id bin
Ali bin Wahf Al-Qohthoni hafizhahullah juga mengingatkan tiga belas keumgkaran
yang dilakukan sebagian orang di Hari Raya:
1.
Syirik
2.
Isbal
3.
Sombong
4.
Nyanyian dan Musik
5.
Memotong Jenggot
6.
Berjabat Tangan dengan Lawan Jenis
7.
Menyerupai Orang-orang Kafir
8.
Menyerupai Lawan Jenis
9.
Campur Baur Laki-laki dan Wanita
10. Wanita
yang Tabarruj
11. Pemborosan
Harta dan Berlebihan-lebihan
12. Tidak
Perhatian kepada Fakir Miskin
13. Tidak
Menyambung Hubungan Keluarga
[Lihat Kitab Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 654-671]
Apa Setelah Ramadhan?
Diantara kiat agar tetap istiqomah dalam ketaatan dan
menjauhi kemaksiatan, paling tidak ada tiga hal yang harus kita lakukan pasca
Ramadhan:
Pertama: Bersyukur
Selama Ramadhan, bahkan sepanjang hidup kita, banyak sekali
limpahan kenikmatan dari Allah tabaraka wa ta’ala,
baik nikmat duniawi maupun nikmat agama, yaitu nikmat beribadah
kepada-Nya, khususnya di bulan Ramadhan yang penuh berkah.
Maka untuk semua kenikmatan tersebut wajib kita syukuri,
walau untuk bersyukur secara hakiki tidaklah mampu kita lakukan.
,Al-Hafizh
Ibnu Rajab rahimahullah berkataعلىكل نعمة
على العبد من الله في دين أو دنيا يُتاج إلَ شكر عليها ثُللتوفيق للشكر عليها نعمة
أخرى تحتاج إلَ شكر ثن ثُ التوفيق للشكرِالثانّنعمة أخرى يُتاج إلَ شكر أخرِوهكذا
أبدا فلا يقدر العبدِ على القيام بشكرأبداِفلاِيقدرِالعبدِعلىِالقيامِبشكرِ
النعم وحقيقة الشكر الاعتراف بلعجز عنِالشكر
“Atas setiap
nikmat dari Allah untuk seorang hamba, baik nikmat agama maupun dunia
wajib disyukuri, kemudian ketika ia dimampukan bersyukur maka itu adalah
kenikmatan lain yang wajib disyukuri yang kedua, kemudian ketika ia dimampukan
bersyukur yang kedua maka itu juga kenikmatan yang wajib disyukuri berikutnya,
demikian seterusnya, seorang hamba tidak akan mampu mensyukuri semua
kenikmatan, oleh
karena itu
hakikat syukur adalah pengakuan atas ketidakmampuan
hamba dalam bersyukur.” [Lathooiful
Ma’aarif: 244]
Kedua: Harap dan Cemas
Sedikit ibadah yang kita lakukan selama Ramadhan dan di
sepanjang hidup kita, hendaklah kita senantiasa berharap kepada Allah ta’ala agar diterima, dan
takut kepada-Nya, jangan sampai ibadah kita tidak diterima.
Maka tidaklah patut kemudian kita menyombongkan diri dengan
ibadah-ibadah yang belum tentu diterima tersebut, apalagi merasa sudah kembali
kepada fitrah, bersih dari dosa, dan menjadi pembenaran untuk berbuat dosa
lagi.
Ummul Mukminin
Aisyah radhiyallahu’anha berkata,
يَ رسول
الله،ِ}ِوَاله ذينَِ ي ؤْتونَِ مَاِ آتَ وْاِ وَقُ لوبُِمِْوَ جلةٌِ {ِ،ِهوِ الذي
يسرق ويزنّ ويشربِهوِالذيِيسرقِويزنِّويشربِالخمرِالخمر، وهوِ يَافِ الله عز
وجل؟ِوهوِيَافِاللهِعزِوجل؟ِ
قال:ِ“لاِ يَِ بنتِ أبِِِبكر، يَِ
بنتِِالصديق، ولكنهِ الذيِِيصليِ ويصومِِويتصدق، وهوِ يَاف الله عزِوجل
“Wahai Rasulullah, (tentang firman Allah
ta’ala), ‘Dan orangorang yang telah
melakukan perbuatan mereka, dan hati-hati mereka dalam keadaan takut’ (Al-Mukminun: 60), apakah yang
dimaksud adalah orang yang mencuri, berzina dan minum khamar,
sehingga ia takut kepada Allah ‘azza wa jalla? Beliau bersabda: Tidak
wahai anaknya Abu Bakr, wahai anaknya AshShiddiq, akan tetapi ia adalah orang
yang sholat, berpuasa dan bersedekah, maka ia takut kepada
Allah ‘azza wa jalla (akan tidak diterimanya
ibadah yang ia kerjakan).” [HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, Ash-Shahihah: 162]
Ketiga: Senantiasa Bertakwa
kepada Allah ‘azza wa jalla
Inilah diantara hikmah puasa Ramadhan dan seluruh ibadah, agar kita makin bertakwa kepada Allah ta’ala.
Dan dengan bekal
ketakwaan inilah kita dapat menghadapi makar setan serta dorongan hawa nafsu
untuk berbuat maksiat.
Oleh karena itu setelah berpuasa bulan Ramadhan kita
disunnahkan untuk berpuasa sunnah di bulan Syawwal.
Asy-Syaikh Ibnul
‘Utsaimin rahimahullah berkata,
بعد شهر رمضان وبعدِ
أن أدى المسلمون ما أدوا فيه من عبادة الله قد
يلحقبعدِشهرِرمضانِوبعدِأنِأدىِالمسلمونِماِأدواِفيهِمنِعبادةِاللهِقدِيلحقِ
بعض الناس الفتور عن
الأعمال الصالحة؛ لأن الشيطان يتربص بعبادِاللهالدوائر ويقعدِ لَم بكل صِِراط،
وقدِ أقسم أن يَتِ بني آدم من بي أيديهمِومن
خلفهم وعن أيمانهم
وعن شمائلهمِوقال: }لَأقْ عُدَ هن لََُمْ صراطكَ المُسْت قيمَ{ِ]الأعراف:16[ ولكن العاقل إذا تبصر واعتبَ علم أنه لا انقطاعِللعمل
الصالح إلا بلموت، لقول الله تعالَ:ِ}وَاعْبدْ ربهكَ حَ هتَِّ يََت يكَ
الي قيُ{ِ
]الحجر:99[
“Setelah bulan Ramadhan dan setelah kaum muslimin
mengerjakan sejumlah ibadah kepada Allah di bulan itu, bisa jadi sebagian
manusia melemah semangatnya untuk beramal shalih.
Karena setan selalu
menunggu kesempatan untuk dapat menjerumuskan hamba-hamba Allah dan menghalangi
mereka dari jalan yang lurus dengan segala cara.
Dan sungguh ia telah bersumpah untuk mendatangi anak Adam
dari arah depan, belakang, kanan dan kiri seraya berkata, لَأَقْ عدَ هن لََمْ صراطكَ المُسِْتَ قيمَِ
“Sungguh aku benar-benar akan
menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus.” (Al-A’raf: 16)
Akan tetapi orang yang berakal, apabila ia melihat dengan
ilmu dan mengambil pelajaran maka ia pun mengetahui bahwa tidak boleh putus
amal shalih kecuali dengan kematian, berdasarkan firman Allah
ta’ala,
وَاعْبدْ ربهكَ حَ هتَّ يََت يكَِ الي قيُِ
“Dan beribadahlah
kepada Rabbmu sampai datang kepadamu kematian.”
(Al-Hijr: 99).” [Liqo’Al-Baabil
Maftuh no. 86]
Dan dengan kembali beribadah serta beramal shalih pasca
Ramadhan, khususnya puasa sunnah 6 hari di bulan Syawwal, semoga menjadi tanda
diterimanya amal ibadah kita selama Ramadhan.
Al-Hafizh
Ibnu Rajab rahimahullah menerangkan diantara hikmah
puasa sunnah Syawwal,أن معاودة الصيام
بعد صيام رمضان علامة على قبول صومِِرمضان فإنِاللهإذا تقبل عمل عبدِ وفقه لعمل
صالح بعدهكما قال بعضهم : ثِوِابالحسنة الحسنة بعدها فمن عمل حسنة ثُ اتبعها بعد
بحسنةكان ذلك علامةالحسنةِبعدهاِفمنِعملِحسنةِثُِاتبعهاِبعدِبحسنةِكانِذلكِعلامةِ
علىِقبول الحسنة
الأولَكما أن من عمل حسنة ثُ اتبعها بسيئةكانِذلكعلامة رد الحسنة و عدمِقبولَا
“Bahwa membiasakan puasa setelah puasa
Ramadhan adalah tanda diterimanya puasa Ramadhan, karena sesungguhnya
Allah apabila menerima amalan seorang hamba, maka Allah memberikan kemampuan
kepadanya untuk beramal shalih lagi setelahnya, sebagaimana kata sebagian
ulama: Ganjaran kebaikan adalah kebaikan
setelahnya, barangsiapa melakukan suatu kebaikan kemudian ia
ikutkan dengan kebaikan yang lain maka itu adalah tanda diterimanya amal
kebaikannya yang sebelumnya, sebagaimana orang yang melakukan kebaikan kemudian
ia ikutkan dengan kejelekan maka itu adalah tanda ditolaknya kebaikan yang
telah ia kerjakan dan tidak diterima.” [Lathooiful Ma’aarif: 244]
Hari Raya Ketupat Bukan Ajaran
Islam
Hari raya dalam Islam telah ditentukan
oleh syari’at, tidak boleh ditambah dan dikurangi, bahkan semua tradisi
hari raya sebelum Islam tidak boleh dilestarikan.
Barangsiapa menambah-nambah atau mengada-adakan hari raya atau hari peringatan selain yang ditentukan
oleh syari’at maka ia telah melampaui batas dalam agama.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda, إ هنِ ل كُ لِ قَِ وْم عيدًا وَهَذَا عيدُنَِا
“Sesungguhnya
setiap kaum memiliki hari raya, dan ini adalah hari raya kita.”
[HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha]
Sahabat yang Mulia Anas bin Malik radhiyallahu’anhu
berkata,
ق دمَ رسُولُِ ا ه
للَّ -صلى الله عليهِوسلم- المَِ دينَةَِ وَلََمْ ي وْمَا ن يَ لعَبونَف ي همَا فَ
قَالَ مَا هَذَا ن اليَ وْمَا ن قالواكُنها نَ لعَبُ ف ي همَا فِ الْْا ه ليه ة فَ
قَالَِ رسُولُا ه للَّ -صلى الله عليهِوسلم- إ هن ا هللََّ قدْ أبدَلكُمْ بِ مَا
خَِيْرا منْ هُمَا يَ وْمَ الأضْحَىِ
وََِي وْمَ ال فط رِ
“Ketika
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mendatangi kota Madinah, para
sahabat memiliki dua hari raya yang padanya mereka bersenang-senang. Maka
beliau bersabda: Dua hari apa ini? Mereka menjawab: Dua hari yang sudah biasa
kami bersenang-senang padanya di masa Jahiliyah. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
Sesungguhnya Allah telah mengganti kedua hari tersebut dengan dua hari
yang
lebih baik, yaitu
idul adha dan idul fitri.” [HR. Abu
Daud, Shahih
Abi Daud: 1039]
Dua hadits di atas
menununjukkan bahwa penentuan hari raya harus berdasarkan dalil, hari raya apa
pun yang tidak berdasarkan dalil maka termasuk bid’ah,
mengada-ada dalam agama.
Dan diantara hari raya bid’ah tersebut
adalah hari raya orangorang baik (Al-Abror), yang dikenal di negeri kita
dengan istilah “Hari
Raya Ketupat”.
Hari raya ini awalnya dikhususkan bagi mereka yang berpuasa
sunnah 6 hari di bulan Syawwal, walau di hari-hari ini, puasa sunnah tersebut
sudah hampir dilupakan dan tidak diamalkan, namun hari
raya bid’ahnya tetap dirayakan, bahkan disertai dengan berbagai
kemungkaran, seperti nyanyian dan musik, bercampur baur dan bersalam-salaman
antara laki-laki dan wanita, dan lain-lain. Demikianlah,
apabila bid’ah diadaadakan, maka sunnah akan hilang.
Al-Imam Hasan bin
‘Athiyyah rahimahullah berkata,
ما ابتدع قوم بدعة في دينهم إلا نزع الله عنهم من سنتهم مثلها ثُ لا
يعيدهاماِابتدعِقومِبدعةِفيِدينهمِإلاِنزعِاللهِعنهمِمنِسنتهمِمثلهاِثُِلاِيعيدهاِ
إليهم إلَ يومِالقيامة
“Tidaklah suatu
kaum berbuat bid’ah dalam agama, kecuali Allah akan mengangkat sunnah
yang semisalnya dari mereka, dan tidak
mengembalikannya sampai hari kiamat.” [Al-Hilyah, 6/73]
Asy-Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz At-Tuwaijiri
hafizhahullah berkata,
ومن الأمور المحدثِة المبتدعة في شهرِشوال: بدعة عيدِِالأبرار، وهوِاليوم
الثامنِمن شوالِ.
فبعدِ أن يتم الناس صومِ شهرِرمضان، ويفطروا اليومِالأولِمن شهرِشوال -وهو يوم
عيدِِالفطر- يبدأون في صيام الستة أيَم الأول منشهر شوال، وفي اليوم الثمن يعلونه
عيداً يسمونه عيدِ الأبرارِ
“Termasuk perkara baru yang diada-adakan
(dalam agama) di bulan Syawwal adalah bid’ah
Idul Abrar (Hari Raya Ketupat), yaitu pada hari kedelapan bulan Syawwal.
Setelah orang-orang menyelesaikan puasa Ramadhan, mereka
berhari raya idul fitri pada tanggal 1 Syawwal, hari berikutnya mereka mulai
berpuasa Syawwal, dan pada hari kedelapan mereka membuat hari raya yang mereka
namakan Idul Abrar (Hari Raya Ketupat).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وأما اتخاذ موسم غير
المواسم الشرعيةكبعض ليالي شهر ربيع الأول التيِيقال:إنها ليلةِالمولد، أو بعض
لياليِرجب، أو ثمنِعشر ذيِالحجة، أو أول جمعةِأوِأولِجمعةِمنِرجب، أوِثمن شوال
الذي يسميه الْهال عيدِالأبرار: فإنها منِالبدعالتي لم يستحبهاِالسلف،
ولمِيفعلوها. والله سبحانه وتعالَِأعلم
‘Adapun membuat
musim tertentu (untuk ibadah dan hari raya) selain musim-musim yang
ditetapkan oleh syari’at seperti menjadikan sebagian
malam bulan Rabi’ul Awwal yang dinamakan malam
“Maulid”, atau sebagian malam di bulan Rajab, atau hari kedelapan Dzulhijjah,
atau Jum’at pertama di bulan Rajab, atau hari kedelapan bulan Syawwal
yang dinamakan oleh orang-orang bodoh dengan Idul Abrar (Hari Raya Ketupat), maka semua itu termasuk bid’ah yang
tidak disunnahkan oleh Salaf (Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan
sahabat) dan mereka tidak mengamalkannya. Wallaahu subhaanahu wa ta’ala a’lam’.[4]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata,وأما ثمن شوال: فليس عيداً لا للأبرار ولا للفجار، ولا يَوز لأحدِ أن
يعتقدهِ
عيداً، ولا يُدث فيه شيئاً من شعائر الأعياد
‘Adapun hari kedelapan Syawwal, maka
bukan termasuk hari raya, bukan bagi orang-orang baik (al-abror)
bukan pula bagi orang-orang jelek (al-fujjar), maka tidak boleh bagi
seorang pun untuk meyakininya sebagai hari raya, dan tidak boleh mengada-adakan satu pun syi’ar-syi’ar hari raya di hari tersebut’.[5]
ويكون الاحتفال بِذا
العيد فيِأحد المساجد المشهور فيختلط النساءبلرجال، ويتصافحونِويتلفظون عند
المصافحة بلألفاظِالْاهلية، ثُِيِذهبونبعدِ ذلك إلَ صنع بعض الأطعمة الخاصة
بِذهِالمناسبة
‘Hari raya ini biasa dirayakan di salah
satu masjid terkenal, maka para wanita pun bercampur baur dengan kaum
lelaki, saling berjabat tangan dan mengucapkan lafaz-lafaz Jahiliyah ketika
berjabat tangan, kemudian mereka pergi untuk menyediakan berbagai macam makanan
khusus demi perayaan ini’.”[6] [Al-Bida’
Al-Hauliyah karya Asy-Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz At-Tuwaijiri
hafizhahullah, hal. 347-348]
وبلله التوفيقِوصلى الله على نبينا محمدِ وآله وصحبهِوسلم.
[1]
Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 5/169-171.
[2] Lihat Ash-Shiyaamu
fil Islam, hal. 619.
[3]
Lihat Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 620.
[4]
Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 25/298.
[5] Lihat
Al-Ikhtiyaraat
Al-Fiqhiyyah, hal. 199.
[6]
Lihat As-Sunan wal Mubtada’at lisy Syuqairi, hal. 166.
Emoticon