1
Purnama sejak tadi sudah membedah alam ditemani
bintang-bintang yang bertaburan di langit cerah. Bulan
penuh saat ini tak ubahnya seorang ratu jelita yang
Di lereng Gunung Pengging, malam yang biasanya
sepi kini nampak ramai sekali. Penduduk yang hidup di
sekitar gunung itu berbondong-bondong mengunjungi
lereng. Mereka duduk bersila, membentuk lingkaran yang
di tengahnya terdapat sebuah api unggun.
Suasana nampak sepi, meskipun banyak sekali
penduduk yang baru saja hadir. Mereka pun tak bersuara,
bagaikan ada sesuatu pantangan yang melarang untuk
mengeluarkan suara. Semuanya menunduk, sementara api
unggun di tengah-tengah terus menyala.
Sekitar enam orang berpakaian merah yang
mengenakan topeng berwarna merah juga, tampak mulai
bergerak ke dekat api unggun. Kemudian mereka
menyebar, dan berlutut mengelilingi.
Baru saja berlutut, mendadak keenam orang itu
bertingkah seperti kesurupan. Dengan tubuh mengejang-
ngejang mereka menyembah ke arah rembulan.
Tak lama, muncul seorang laki-laki berjubah serba
hitam dari kegelapan. Kemunculannya memang tidak
terlihat. Tahu-tahu dia sudah menyisih jalan, dan berada di
dekat api yang menyala di kelilingi enam orang berpakaian
dan bertopeng merah yang masih bertingkah seperti orang
kesumpan.
Mata laki-laki berjubah hitam yang baru datang itu
tajam memandang ke sekitarnya, memperhatikan orang-
orang yang duduk bersila tetap dengan kepala tertunduk.
"Terima kasih atas kedatangan kalian, wahai para
pengikutku," ucap laki-laki berjubah hitam tiba-tiba dengan
suara berat.
Begitu laki-laki itu terkena jilatan cahaya api unggun
tampak jelas bentuk wajahnya yang berbentuk tirus.
Bibirnya tipis berlekuk ke atas, menampakkan keculasan.
Hidungnya agak panjang dan sedikit bengkok. Kedua
matanya tak ubahnya mata harimau yang mencorong
tajam. Begitu pula alisnya yang naik ke atas. Rambutnya
yang panjang tergerai, dipermainkan angin.
Kini, angkatlah wajah kalian. Lihatlah sesembahan
kita yang telah berdiri tegak di mata langit...," lanjut laki-laki
ini.
Perlahan-lahan orang-orang yang berada di tempat
ini mengangkat kepala, menatap rembulan yang tetap
bersinar.
"Hmmm.... Kalian adalah pengikut-pengikutku yang
setia.... Bagus! Karena Dewa Bulan akan marah bila kalian
tidak ikut dalam upacara ini...."
Laki-laki berjubah hitam yang oleh orang-orang itu
dikenal dengan nama Wedokmurko itu tersenyum puas.
"Upacara akan kita segerakan, mengingat korban
sudah didapatkan... Kini, mulailah kalian menyanyikan lagu
pujaan untuk Dewa Bulan," ujar Ki Wedokmurko.
Semua orang yang ada di situ tetap menatap
rembulan. Sementara kali ini mulut mereka komat-kamit
melantunkan senandung pelan yang telah diajarkan Ki
Wedokmurko. Dan suasana pun terasa menggiriskan, oleh
teriakan keras dan gerak limbung enam orang berpakaian
dan bertopeng merah.
Lalu entah dari mana datangnya tiba-tiba saja satu
sosok tubuh melayang dan jatuh di tengah-tengah
lingkaran. Sosok itu dalam keadaan pingsan, dibalut
pakaian berwarna hitam.
"Lihatlah.... Dewa Bulan telah merestui kita, karena
telah mengambil sesembahan itu...," kata Ki Wedokmurko
dengan suara mengeras.
Suara senandung itu semakin lama semakin keras
terdengar.
"Wahai, Dewa Bulan.... Kami berada di sini untuk
memujamu. Dalam hembusan angin dingin, dalam kabut
menebal yang perlahan-lahan membasahi sekujur tubuh
kami.... Namun, kami tidak mengenal diam, tidak me¬
ngenal lupa. Kini, kami persembahkan seorang gadis yang
masih suci, agar menjadi temanmu di atas sana. Dewa
Bulan yang perkasa. terimalah sesembahan kami ini....
Dengan harapan, agar kaujauhkan kami dari penderitaan
yang berkepanjangan. Dan, makmurkanlah hidup kami
ini...."
Lalu orang-orang itu menghentikan senandung. Dan
mereka melihat laki-laki berjubah hitam itu tengah
mengangkat kedua tangannya ke atas dengan kepala
menengadah. Dari mulutnya meluncur kata-kata seperti
mantera. Semakin lama semakin mengeras. Dan tiba-tiba
saja gadis yang terkulai di atas tanah lenyap!
Sementara tubuh Ki Wedokmurko pun ambruk
dengan kedua tangan menyentuh tanah. Keringat
membanjir di seluruh tubuhnya, seperti orang habis
melakukan perjalanan sangat melelahkan.
Dan perlahan Ki Wedokmurko bangkit dan berdiri
tegak. Matanya memandang angker ke sekelilingnya.
"Dewa Bulan telah menerima sesembahan kita....
Dan percayalah, dia tak akan membiarkan kita hidup
dalam kesusahan. Wahai, pengikutku yang setia.... Setiap
malam Jumat kit a akan tetap melaksanakan upacara me¬
muja Dewa Bulan. Sekarang, katakanlah.... Apa keluhan
kalian...."
Serentak terlihat banyak orang-orang yang
mengacungkan tangan. Ki Wedokmurko menunjuk seorang
laki-laki tua kira-kira berusia tujuh puluh tahun yang segera
bangkit dituntun seorang gadis cantik jelita.
"Hmm.... Kenapa denganmu, Ki?" tanya Ki
Wedokmurko.
Sementara yang lain memperhatikan dengan rasa
tegang, juga tidak sabar menunggu giliran.
"Ketua Wedokmurko. Hamba bernama Mayang, se¬
dang kakek hamba bernama Seta. Sudah lima tahun ini
kakek hamba menderita batuk yang berkepanjangan.
Kalau batuknya kambuh, sampai muntah darah...," jelas
gadis cantik berkain kemben batik yang mengaku bernama
Mayang.
"Itu soal mudah. Sangat mudah."
Seperti layaknya seorang tabib, Ki Wedokmurko
memeriksa tubuh Ki Seta yang sudah terbatuk-batuk.
Batuknya terdengar sangat keras dan memilukan.
"Hmm... rupanya, Dewa Bulan marah padanya,
N ini.lanjut laki-laki berjubah hitam itu dengan suara
berat.
Wajah Mayang terperanjat
"Mengapa, Ketua?" tanya Mayang.
"Karena..., dia menyimpan banyak harta yang tidak
pernah dipersembahkan kepada Dewa Bulan..." Kali
ini Mayang menoleh pada kakeknya.
"Aki, benarkah yang dikatakan ketua?" tanya gadis
itu dengan kening berkerut.
Rasanya, Mayang tidak pernah mendengar tentang
harta milik kakeknya. Bagaimana mungkin kakeknya yang
diketahuinya miskin itu memiliki harta banyak? Harta apa?
Hidup mereka sudah pas-pasan. Masih untung kakeknya
memiliki sebidang tanah yang bisa ditanami umbi-umbian
dan dedaunan. Sehingga, cukuplah untuk makan sehari-
hari. Tetapi soal harta?
Ki Seta menganggukkan kepala sambil terbatuk.
Laki-laki tua ini kelihatan sangat menderita dengan
batuknya.
"Oh, harta apakah itu, Aki?" tanya Mayang semakin
tidak sabar.
Ki Seta menarik napas panjang. Kelihatannya, dia
enggan menceritakan soal harta yang telah lama
dirahasiakannya. Namun melihat wajah Mayang yang
begitu penasaran, apalagi Ketua Wedokmurko sudah
menekannya, maka mau tak mau dia harus
menceritakannya.
"Mayang... aku memang merahasiakan soal itu.
Karena tak baik bagimu untuk mengetahuinya.... Huk...
huk... huk..," kata Ki Seta dengan susah payah.
"Kenapa, Aki? Lebih baik Aki mengatakannya saja
daripada sakit batuk terus menerus...," ujar Mayang yang
kali ini kelihatan cemas bila memikirkan sakit batuk
kakeknya.
"Huk huk huk.... Ketua...," kata Ki Seta susah payah.
"Aku akan menyerahkan seluruh hartaku itu kepada Dewa
Bulan.... Tapi, sembuhkanlah penyakitku ini...."
"Ha... ha... ha...!"
Ki Wedokmurko terbahak-bahak. "Apakah kau tidak
percaya dengan ku, K i? Hhh! Aku adalah utusan Dewa
Bulan, yang sudah tentu tidak akan menyelewengkan
amanat siapa pun untuknya...," lanjut Ki Wedokmurko.
"Bukan.... Bukan itu maksud Aki, Ketua...," sergah
Mayang dengan takut-takut, la ngeri melihat pancaran
mata Ketua Wedokmurko yang menakutkan. "Maksud
Aki..., dia akan segera menyerahkannya nanti...."
"Dengan kata lain, kakekmu tidak percaya?" tukas
Wedokmurko dengan suara keras.
Kali ini bukan hanya Mayang yang mendadak pias.
Tetapi, juga yang hadir di sana. Mereka tahu, apa akibat¬
nya bila Ki Wedokmurko sudah marah. Dan itu berarti
sama saja dengan membangkitkan kemarahan Dewa
Bulan.
"Aki..., katakanlah...," ujar Mayang.
Tetapi wajah Ki Seta tetap tegar. Bibirnya hanya
mengulas senyum meskipun kelihatan sangat tersiksa
dengan batuknya.
"Ketua..., aku akan mengatakannya bila batukku
sudah di obat i..., "tegas laki-laki tua ini sekali lagi.
Memerahlah wajah Ki Wedokmurko mendengar
kata-kata Ki Seta. Sementara, Mayang makin kelihatan
ketakutan.
"Aki...."
"Grrr! Rupanya laki-laki tua ini tidak mempercayaiku
sebagai Manusia Pemuja Bulan. Dengan kata lain, dia juga
tidak percaya pada kalian ssmua yang telah memasrahkan
diri pada Dewa Bulan. Mungkin saat ini aku.... Grrr!
Akkgghhh! Grrr!"
Tiba-tiba tubuh Ki Wedokmurko limbung ke kanan
dan ke kiri. Wajahnya kelihatan semakin mengerikan.
Tangannya mengacung pada Ki Seta.
"KiSeta...," panggil Ki Wedokmurko. Suaranya
bergetar. "Dewa Bulan telah marah kepadamu.... Aku tidak
sanggup menahannya.... Cepat, katakan. Di mana harta itu
berada.... Kalau kau mengatakannya, niscaya Dewa Bulan
akan mengampuni semua kelancanganmu...."
Tetapi sikap Ki Seta tetap tegar. "Aku akan
mengatakannya, bila kau bisa menyembuhkan sakit
batukku ini...." Aki!"sentak Mayang.
"Kau diam, Mayang.... Huk... huk... huk.... Ini urus-
mku, biar aku yang menyelesaikannya.... Wedokmurko,
ketahuilah.... Akulah satu-satunya orang yang mungkin tak
percaya pada pemujaan terhadap Dewa Bulan ini. Kita
sejak lama diharuskan menyembah kepada Gusti Allah.
Tetapi mengapa kau.... Huk... huk... huk... menyuruh kami
menyembah Dewa Bulan?"
Sebentar Ki Seta menghentikan kata-katanya untuk
menarik napas dengan susah payah.
"Dulu, sebelum kedatanganmu:.., kami yang
menghuni lereng Gunung Pengging selalu hidup aman
penuh keakraban. Tetapi sejak kau datang, semuanya
menjadi sirna. Justru ketakutan yang diam-diam merayapi
hati kami...," lanjut Ki Seta.
"Aki!" sentak Mayang kaget sambil melirik wajah Ki
Wedokmurko yang semakih geram dengan tubuh masih
limbung ke kanan dan ke kiri
"Mayang..., ketahuilah.... Aku tidak percaya pada
manusia seperti ini. Sebelum kedatangannya, kita tidak
pernah mengorbankan nyawa dara perawan yang
mendadak saja lenyap begitu dia mengatakan kalau Dewa
Bulan menerima sesajen kita. Sudah berapa kali? Sudah
lima perawan dikorbankan. Apakah kita masih
mengorbankan yang lainnya, hah?! Mengapa harus
sesembahan seperti itu? Mengapa tidak dengan yang
lainnya saja, hah?! Mengapa?" sergah Ki Seta dengan
suara semakin mengeras.
Kali ini laki-laki tua itu memandang ke sekeliling
kearah para penduduk yang berada di sana.
"Di samping itu..., kita juga harus..., aaakkhhh!"
Mendadak saja tubuh Ki Seta terhuyung ke belakang
dan ambruk. Dadanya sudah bolong. Tampak asap
mengepul keluar dari sana. Seketika Mayang menubruk
tubuh kakeknya.
"Akiii.jerit gadis itu menangis.
Namun tubuh laki-laki tua itu sudah tak bergerak,
karena nyawanya sudah meninggalkan jasadnya. Dengan
mata basah oleh airmata, Mayang berbalik ke arah
Wedokmurko yang sudah tegak kembali. Sementara, enam
laki-laki berpakaian dan bertopeng merah itu tetap
bergerak dengan suara-suara mencekam, seakan
membuat suasana tambah mengerikan.
"Ketua..., apakah Aki tidak bisa diampuni? Ampuni
dia, Ketua! Kembalikan lagi nyawanya!" pinta Mayang,
menje rit.
"Nini... Akimu telah berbuat kesalahan. Sehingga
Dewa Bulan menjadi murka.... Aku tidak dapat
mencegahnya...," kata Ki Wedokmurko dingin, sedingin
tatapannya.
"Mengapa kakekku tidak bisa diampuni? Mengapa?"
seru Mayang masih menangis.
"Karena..., dia telah berani melanggar perintah Dewa
Bulan...." Mayang menangis sambil merangkul kembali
tubuh kakeknya yang telah menjadi mayat. Sementara
yang hadir tak bisa berbuat apa-apa. Mereka pun diam-
diam menyalahi Ki Seta yang telah berani lancang
membantah perintah Dewa Bulan. Dan diam-diam pula,
mereka pun bertanya-tanya, harta apa yang dimaksudkan
Ketua Wedokmurko?
Wedokmurko lantas mengedarkan matanya
berkeliling.
"Ini adalah contoh orang yang berani membantah
perintah dari Dewa Bulan.... Orang yang tidak mempercayai
akan kesaktian dan kehebatannya. Hhh! Siapapun yang
membantahnya, maka akan mati. Kalian mengerti?!" jelas
Ki Wedokm urko, tajam.
"Mengert iii...
Terdengar sahutan secara serempak dari orang-
orang di sekeliling api unggun.
"Dan kalian akan tetap patuh padanya?" "Patuuuh...!"
Kembali sahutan terdengar.
"Bagus! Sekarang, kuburkan mayat itu! N ini...,
apakah kau mau agar Akimu diampuni?" tanya
Wedokm urko menatap tajam. Membuat siapa pun yang
melihatnya akan langsung mengkeret.
Mayang mengangguk tanpa menoleh. Matanya yang
berair menatap lekat pada kakeknya yang terbujur kaku.
Kepiluan sangat terasa di hatinya.
"Kalau begitu, malam Jumat yang akan datang..., kau
menjadi sesembahan dari Dewa Bulan! Upacara selesai!"
lanjut Ki Wedokmurko, seraya mengibaskan jubahnya. Dan
mendadak saja, sosoknya lenyap seperti ketika datang
tadi.
Setelah Ki Wedokmurko menghilang, enam orang
berpakaian dan bertopeng merah pun perlahan-lahan
melangkah dari lingkaran orang-orang itu. Nyala api unggun
semakin tipis. Sebagian lenyap karena kayu-kayu yang
membakarnya sudah habis. Juga karena terkena angin
yang berhembus semakin dingin.
Gerakan enam orang itu tak ubahnya bagaikan robot
belaka, lalu perlahan-lahan lenyap dari pandangan.
Tepat ketika mereka semua tak terlihat lagi, barulah
orang-orang itu berlarian mendekati Mayang yang masih
menangisi mayat kakeknya.
Mereka melihat jasad Ki Seta dengan dada bolong.
Tak seorang pun yang melihat tenaga atau serangan apa
yang mengenai Ki Seta. Karena tahu-tahu, dia sudah
ambruk.
"Sudahlah, Mayang.... Akimu memang salah. Dia
telah berani membantah perintah Dewa Bulan...." hibur
salah seorang yang berkumis tebal.
Mayang hanya mengangguk-angguk. Beberapa
pemuda gagah segera mengangkat mayat Ki Seta, lalu
beramai-ramai membawanya turun dari lereng Gunung
Pengging.
Selebihnya sepi. Hanya angin yang berhembus
semilir.
k k k
Sebenarnya, sebagian penduduk yang mendatangi
lereng Gunung Pengging, ada juga yang membenarkan
kata-kata Ki Seta. Yah! Sebelum kedatangan Manusia
Pemuja Bulan, segala sesuatunya di desa dekat lereng
Gunung Pengging aman dan semuanya berjalan lancar.
Tetapi setelah kedatangan Manusia Pemuja Bulan
yang meminta dirinya disebut sebagai Ketua, keadaan
mulai berubah. Laki-laki yang selalu berjubah berwarna
hitam itu selalu mendatangi desa mereka, dan
mengatakan hukuman Dewa Bulan akan datang bila tidak
menyediakan sesajen.
Memang, pertama kalinya para penduduk di sana
tidak mau mengindahkan kata-kata laki-laki berjubah
hitam itu. Mereka tak acuh saja. Karena selama ini yang
ada di hati mereka, hanya Gusti Allah yang patut disembah.
Namun, malam-malam berikutnya, terjadilah sesuatu
yang mengerikan. Karena mendadak saja, api bagai
gulungan panjang, bergulung-gulung dari atap rumah satu
ke atap lainnya. Membakar apa saja. Hingga mereka
menjadi kalang kabut. Di sela-sela keributan dan
kesibukan memadamkan api, terdengar suara keras Ki
Wedokmurko yang mengatakan kalau itu adalah hukuman
dari Dewa Bulan karena para penduduk tidak
mengindahkan kata-katanya sebagai utusannya!
Lambat laun ketakutan mulai merayapi hati setiap
penduduk. Karena, bukan hanya bencana kebakaran saja
yang melanda. Bahkan angin topan pun datang bergulung-
gulung, menimpa mereka. Juga ditemukan pula beberapa
ekor ternak mati secara aneh.
Sejak itu, satu persatu para penduduk di sana pun
mulai mengikuti Ki Wedokmurko yang selalu mengadakan
upacara di lereng Gunung Pengging. Yang ikut itu selalu
aman, tanpa gangguan. Yang belum mengikuti jejaknya,
selalu saja mendapat gangguan yang dikatakan Ki
Wedokmurko sebagai hukuman Dewa Bulan.
Hingga kemudian, seluruh penduduk di desa itu pun
mengikuti jejak Manusia Pemuja Bulan karena tidak ingin
mendapatkan hukuman.
Tak seorang pun yang berani membantah ketika Ki
Wedokmurko meminta harta benda, makanan enak, juga
pakaian yang bagus. Bahkan setiap malam Jumat, para
penduduk yang mempunyai anak gadis harus
mengorbankannya kepada Dewa Bulan.
Ada rasa sedih yang tak terhingga sebenarnya di hati
mereka, mengorbankan anak gadis untuk Dewa Bulan
Seperti yang sudah-sudah, anak gadis mereka dalam
keadaan pingsan dalam upacara itu. Lalu kemudian, tahu-
tahu lenyap dari pandangan. Entah ke mana. Apa yang
terjadi terhadap mereka? Apa yang dialaminya?
Semua berjalan lancar selama tiga bulan. Dan
kejadian barusan di lereng Gunung Pengging itu,
sebenarnya membuka mata mereka pula, kalau yang
dikatakan Ki Seta memang benar. Tetapi, apakah mereka
berani melawan perintah Manusia Pemuja Bulan? Apakah
mereka akan membiarkan diri dan keluarga mendapatkan
hukuman dari Dewa Bulan?
2
Mayat Ki Seta dikuburkan keesokan harinya. Pelayat
yang datang sangat menyesali tindakan bodoh Ki Seta yang
berani menentang kehendak dan perintah Dewa Bulan.
Hingga akhirnya, dia menerima ajal yang mengerikan.
Dan hari-hati berikutnya yang justru sedih dan
merasa sepi adalah Mayang. Gadis ini tak mengerti,
mengapa Ketua Wedokmurko tidak memintakan ampunan
pada Dewa Bulan? Mengapa dia tidak menolong Aki?
Sungguh! Hati gadis itu sangat sedih.
Kini Mayang sebatang kara di dunia ini. Kedua orang
tuanya telah lama meninggal dunia. Sejak itu dia tinggal
bersama kakeknya yang telah menduda. Namun meskipun
begitu, masih ada sesuatu yang menjadi perta-nyaannya.
Harta apakah yang disembunyikan Ki Seta? Di mana harta
itu disembunyikan? Mengapa kakeknya selama ini tidak
pernah memberitahukan soal harta itu. Harta apa?
Namun, kesedihan karena ditinggal mati kakeknya,
Mayang pun tak memikirkan soal harta itu lagi. Yang
dipikirkannya sekarang, malam Jumat yang akan datang,
dia menjadi giliran sesembahan kepada Dewa Bulan.
Mayang bersedia saja melakukannya, karena itu
adalah jalan satu-satunyabagi kakeknya untuk diampuni
Dewa Bulan.
Mayang kini mulai merasakan sepi dalam
kesendiriannya. Dia masak seperti biasanya. Namun kali ini
untuk makan sendiri saja. Sungguh, jelas sekali
perbedaannya.
k k k
"Sampurasuuunnn!" Tiba-tiba terdengar suara orang
bersalam di depan pintu.
Mayang yang masih sibuk memasak air bergegas ke
depan setelah merapikan pakaiannya. Meskipun masih
sedih karena ditinggal kakeknya, namun sifatnya yang!
memang rajin tidak pernah ditinggalkannya.
"Rampeeesss!" sambut Mayang, sambil melangkah
menuju pintu.
Gadis berusia delapan belas tahun itu membuka
pintu untuk tamunya.
"Oh, Kang Medi," desah Mayang begitu pintu tetM
kuak. Dan gadis ini langsung mengenali tamunya.
"Silahkan masuk, Kang...."
Seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima
tahun masuk. Dia duduk di kursi yang sudah agak rusak,
namun masih layak diduduki. Laki-laki ini cukup tampan,
dengan rahang kukuh dan sepasang mata memancarkan
sinar membara. Dari pakaiannya yang cukup bagus,
agaknya laki-laki bernama Medi ini cukup kaya.
Mayang pun sudah tahu tentang tabiat laki-laki ini
yang memang mata keranjang. Namun gadis ini bersikap
tenang saja. Karena toh pikirnya, Medi hanya bertamu
Mungkin pula sekali lagi menyampaikan bela sungkawa
atas kematian kakeknva.
"Bagaimana, Mayang. Apakah kau kesepian
sepeninggal kakekmu?" tanya Medi, begitu duduk di kursi
ruang tamu.
Begitulah, Kang.... Biasanya aku selalu ditemani
kakek, kini tinggal sendiri," sahut Mayang, juga duduk
menghadapi tamunya.
Bibir Medi tersenyum-senyum. Matanya semakin liar
memperhatikan sekujur tubuh Mayang bagaikan hendak
menelannya bulat-bulat.
"Mayang.... Sebenarnya, kakekmu itu memang telah
melakukan kesalahan. Seharusnya, kehendak Ketua
Wedokmurko yang menjadi Utusan Dewa Bulan tidak boleh
ditentang. Kedatangannya mengabarkan sesuatu yang
menggembirakan, kalau Dewa Bulanlah yang paling kuasa
di dunia ini," kata Medi. Mayang menundukkan kepalanya.
Bila teringat tentang kakeknya, hatinya sedih sekali.
"Kau benar, Kang... Aku sendiri tidak mengerti,
mengapa Aki berbuat seperti itu. Bahkan menentang.
kehendak Dewa Bulan," desah Mayang.
"Itulah yang kusesali. Sehingga.... kau akhirnya yang
akan menjadi korban...."
"Maksud Kang Medi?" tanya Mayang mengangkat
kepalanya, menatap Medi yang tersenyum-senyum.
"Bukankah malam Jumat depan adalah giliranmu
untuk dipersembahkan pada Dewa Bulan?"
"Ya! Karena menurut Ketua Wedokmurko.bila aku
tidak berkenan atau bersedia, maka dosa-dosa kakekku
tidak akan diampuni Dewa Bulan...."
Medi mengusap-usap dagunya yang klimis. Matanya
yang liar semakin jelalatan. Menurut kata hatinya, sangat
sayang sekali gadis-gadis manis dan cantik itu dikorbankan
kepada Dewa Bulan. Gadis-gadis yang begitu dikorbankan,
mendadak lenyap entah ke mana. Menurut Medi, mungkin
mereka mati.
Dan sekarang, Mayang..., yang diam-diam dicintainya
itu akan dikorbankan. Hhh! Sayang sekali. Bukan kah lebih
baik dinikmati dulu baru dikorbankan?
Berpikir seperti itu, Medi pun memulai memasang
perangkapnya.
"Mayang..., apakah kau tidak sayang dengan wajah
dan tubuhmu?" tanya laki-laki ini sambil tersenyum.
Kening Mayang berkerut, merasa aneh dengan
pertanyaan Kang Medi. Karena, sepertinya, laki-laki ini pun
menentang Dewa Bulan. Padahal, Mayang sedang bersiap-
siap untuk menunggu malam Jumat depan untuk
mengorbankan diri kepada Dewa Bulan sebagai penebus
dosa-dosa kakeknya. Dan gadis ini merasa yakin kalau
Medi sudah memasang perangkapnya.
"Mengapa Kang Medi berkata begitu?" tanya
Mayang.
Medi tersenyum lagi. Matanya mengedip.
"Kau cantik, Mayang.... Kau ayu. Sayang bila untuk
dikorbankan kepada Dewa Bulan...."
"Aku tidak berani membantah perintah Manusia
Pemuja Bulan alias Ketua Wedokmurko," tukas Mayang.
"Apakah Kang Medi tidak tahu, bagaimana akibatnya kalau
berani menentang kehendaknya?"
"Kau benar, Mayang. Akan tetapi, mengapa kau
begitu merelakan tubuhmu dijadikan sesajen Dewa
Bulan?" tanya Medi.
"Karena..., aku menghendaki seluruh dosa-dosa Aki
dihapuskan Dewa Bulan.... Itulah sebabnya, aku bersedia
dijadikan sesajen, Kang Medi...."
Sepasang mata Medi yang liar semakin jelalatan.
Sayang sekali, sayang sekali. Lalu mendadak saja Medi
bangkit, pindah duduk di samping gadis itu. Sementara
Mayang hanya diam saja.
"Mayang...,"
Medi memulai niat busuknya. Kedatangannya ke kini
selain ingin melihat keadaan Mayang, juga ingin
mengambil kesempatan. Sudah lama dia menginginkan
Mayang.
"Tahukah kau..., kalau sesajen yang akan
dipersembahkan kepada Dewa Bulan tak akan pernah
kembali lagi?" lanjut Medi.
"Aku tahu, Kang."
"Tidak sayangkah kau dengan tubuh dan wajahmu
vangjelita ini?"
"Maksud Kang Medi?"
"Maksudku..., apakah tidak dimanfaatkan dulu
tubuhmu ini, Mayang?"
Mayang mengerutkan keningnya.
"Aku tidak mengerti, Kang..."
Medi mengembangkan senyumnya. Duduknya pun
semakin merapat.
"Kau paham akan maksudku, Mayang. Kau tahu,
karena kau sudah dewasa, bukan?"
Mayang terdiam seraya menundukkan kepala.
Sikapnya mencerminkan kepasrahan belaka.
Tiba-tiba Medi menyergap Mayang. Dan mereka
sama-sama terjerembab ke lantai. Lalu dengan buas laki
laki ini menciumi sekujur wajah dan meraba sekujur tubuh
gadis itu. Herannya, Mayang diam saja. Tidak berbuat apa-
apa. Meladeni tidak, berontak pun tidak.
Medi yang merasa mendapat angin, perlahan-lahan
melucuti pakaian Mayang satu persatu. Inilah kesempatan
yang sangat langka sekali. Sebuah kesempatan yang telah
lama ditunggu-tunggunya. Dan yang tak pernah
disangkanya, gadis itu hanya mandah saja. Diam-diam
Medi merasa sangat beruntung dengan datangnya I
Manusia Pemuja Bulan, sehingga ia mendapatkan apa
yang telah lama dicarinya.
"Kau cantik, Mayang.... Kau cantik...."
Napas laki-laki mala keranjang ini memburu dengan
suara bergetar. Tangannya meraba sekujur tubuh Mayang
dengan buas.
Namun sebelum sempat Medi membuka celananya
sendiri untuk merenggut milik Mayang yang paling
berharga, mendadak saja....
Brrr...!
Serangkum angin yang kuat menderu ke arah Medi
Dan.... Prakkk! "Aaa.J"
Medi kontan terlontar dengan kencangnya,
menabrak pintu rumah. Tubuhnya terbanting ke tanah
dengan keras, lalu menemui ajalnya setelah kelojotan
sejenak.
Sementara itu, seolah tidak mengalami suatu
kejadian yang mengerikan, Mayang mengenakan lagi
pakaiannya- Dia berdiri tegak, melihat sosok Medi yang
sudati menjadi mayat. Pandangannya dingin dan kaku,
ketika melihat satu sosok berpakaian dan bertopeng
merah muncul dan mengangkat mayat Medi. Sebentar
kemudian sosok itu berkelebat entah ke mana.
k k k
"Seorang pemuda berpakaian hijau pupus dengan
selembar kain bercorak catur, melanglah di jalan setapak.
Sikapnya riang sekali. Sepertinya dia sangat menikmati
udara pagi yang cerah.
Wajah pemuda ini tampan, meskipun rambutnya
gondrong takberaturan. Di atas matanya yang kelihatan
cerdik itu bertengger dua buah alis hitam legam laksana
seekor elang sedang mengarungi samudera luas.
Pemuda yang kelihatan gembira itu tiba-tiba
menghentikan langkahnya, ketika....
"Berhenti kau, Pemuda Busuk!"
Terdengar suara yang membuat pemuda ini menoleh
"Jangan kabur kau!"
"Bunuh saja dia!"
"Bikin mampus saja!"
Kening pemuda ini jadi berkerut melihat puluhan
laki-laki berduyun-duyun berlari mendekatinya. Di tangan
mereka terdapat bermacam senjata dengan wajah
beringas dan marah. Dan pemuda ini jadi semakin tak
mengerti.
"Tenang, Saudara-saudara.... Ada apa ini?" tanya
pemuda ini dengan suara tenang dan pandangan mata
jernih.
"Jangan banyak omong!" bentak salah seorang
pemuda yang berkumis tebal dengan rambut diikat. "Kau
harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu itu, heh?!"
Pemuda berbaju hijau pupus itu makin mengerutkan
keningnya lagi.
"Mempertanggung jawabkan perbuatanku? Aku
berbuat apa? Lihat, di tanganku tidak ada jemuranyang
kubawa. Tapi, ah tanggung kalau hanya jemuran!" tukas
pemuda ini, bukannya takut malah mengajak bercanda
"Bangsat! Rupanya kau pintar omong juga, hah?
bentak pemuda berkumis itu lagi sambil mendekatkatkan
lagi wajahnya ke muka pemuda ini. Kau harus
mempertanggung jawabkan perbuatanmu yang telah
membunuh Medi.
Kali ini pemuda berbaju hijau pupus dengan kain
bercorak catur di bahu itu terjingkat. Bukan karena
tuduhan tadi, tapi karena bau mulut lelaki di depannya.
"Membunuh Medi? Siapa Medi? Kambing congek
peliharaanmu? Bagaimana mungkin? Aku baru saja tiba di
desa ini. Lalu, mengapa tiba-tiba kau menuduhku telah
membunuh kambing yang bernama Medi?"
"Guoblok! Medi itu adalah warga kami. Dan kami
menemukan mayatnya di tepi kali sebelah utara sana Dan
kau sendiri sebelumnya dilihat salah seorang dari kami
sedang mandi di sana juga, bukan?!" bentak laki-laki
berkumis itu, merasa kesal bukan main.
Pemuda itu terdiam, lalu mengangukkan kepalany!
"Temanmu benar. Aku memang mandi di sana.
Tetapi bukan berarti telah membunuh orang yang bernama
Medi. Kalian salah sangka...."
"Ala..., sudah Kang Sawedo. Jangan banyak
bercakap lagi! Dia harus mampus!" seru salah seorang
yang memegang parang tidak sabar.
"Ya, bunuh saja!" sambut yang lain.
"Bunuh!"
"Bunuh! 1
Pemuda berpakaian hijau pupus yang tak lain Andika alias
Pendekar Slebor itu melihat gelagat tidak menguntungkan.
Dia tadi memang mandi di kali sebelah utara sana, tetapi
tidak melihat ada mayat di sana. Jangankan
membunuhnya, melihatnya saja tidak. Pasti Orang-orang ini
salah sangka.
Sebelum orang orang itu bertindak, mendadak....
"Tahan semuanya! Jangan gegabah!"
Terdengar sebuah suara mencegah.!"
3
Dari balik kerumunan para penduduk, menyeruaj
seorang laki-laki berpakaian ringkas berwarna biru,
wajahnya kukuh dengan kumis tipis. Matanya
memancarkan sinar kesejukan. Rambutnya diikat secarik
kain keningnya.
"Hmmm.... Jangan bertindak sembarangan. Jangan
menuduh terlalu cepat!" ujar laki-laki ini di hadapan orang-
orang itu, langsung membelakangi Andika.
"Kakang Menggol o! Jangan halangi kami untuk
membunuhnya! Pemuda itu jelmaan setan! Dia harus
hadapkan pada Manusia Pemuja Bulan!" teriak laki-laki
berkumis tebal yang dipanggil Sawedo.
"Ya, benar! Dia harus dihukum oleh Dewa Bulan
"Kakang Menggolo.... Jangan memaksa kami untuk
berbuat yang tidak-tidak terhadap Kakang! Minggir! biarkan
pemuda itu mempertanggung jawab kan seluruh
perbuatannya!"
Seruan-seruan keras bernada menentang itu
terdengar, namun laki-laki berpakaian biru berusia kira-kira
tiga puluh dua tahun yang dipanggil Menggolo tetap tegar
berdiri. Wajahnya tetap tenang.
Sementara di belakangnya, kening Andika berkerut.
Siapakah Manusia Pemuja Bulan itu? Siapa pula Dewa
Bulan? Andika yang berotak encer itu pun diam-diam yakin,
kalau telah terjadi sesuatu yang aneh desa ini. Matanya
tanpa sadar melirik Gunung Penggingyang tertutup kabut.
"Saudara-saudaraku! Kita jangan main hakim
sendiri. Kita memang menemukan mayat Medi di tepi
sungai sebelah utara sana. Dan kebetulan, Maruko melihat
pemuda ini mandi di sana. Tetapi bukan berarti dia yang
telah membunuhnya. Karena menurut Maruko sendiri,
mayat Medi ditemukan di dekat sebatang pohon kelapa.
Sementara, dia melihat pemuda itu ketika hendak
melaporkan berita kematian Medi kepada kita. Apakah
tidak mungkin kita melakukan kesalahan?"
"Kakang, jangan menghalangi niat kami!" ujar
Sawedo.
"Sawedoi' bentak Menggolo dengan suara
menggelegar. "Jangan main hakim sendiri! Lebih baik tanya
dulu pada pemuda berbaju hijau pupus itu?!"
"Sudah bisa dipastikan, dia akan membantahnya.
Mana ada maling yang mau mengakui dirinya sebagai
maling, hah?!" seru Sawedo yang diiringi teriakan keras
yang lai nnya.
Perlahan-lahan wajah Menggolo kelihatan memerah.
"Aku tidak ingin kita melakukan kesalahan...," kata
Menggolo datar.
"Baik!" kata Sawedo kemudian. "Kita akan menanyai
pemuda itu! Kakang Menggolo...! Bila dia mengatakan
tidak membunuh Medi. maka, harus mencari
pembunuhnya!"
Andika diam-diam menghela napas panjang.
Sementara Menggolo berbalik, menatap Pendekar Slebor
dalam-dalam.
"Apa yang kau ketahui, temang pembunuhan itu.
Anak Muda?" tanya Menggolo.
"Aku tidak tahu menahu soal itu. Bahkan, aku tidak
melihat mayatnya," kilah Andika.
"Anak muda..., siapakah namamu?" tanya Menggolo
yang diam-diam meyakini kata-kata pemuda itu.
Sejak tadi pun Menggolo sudah yakin kalau pemuda
itu tidak bersalah. Dia bisa melihat ketenangan dan sinar
kejujuran di mata Pendekar Slebor.
"Namaku Andika."
"Hmmm..., Andika.... Kau dengar sendiri, bukan?
Nyawamu saat ini dimaafkan..., tetapi kau harus mencari
siapa pembunuh Medi sebenarnya?" kata Menggolo,
tersenyum ramah.
Kalau mau menuruti kata hatinya, Andika ingin
mendengus keras-keras. Nyawanya saat ini dimaafkan?
Enak saja! Bukannya sombong, dengan sekali samber saja,
dia bisa memusnahkan mereka. Pendekar Slebor berpikir
demikian, karena merasa dikecilkan.
Tetapi Andika tidak menampakkan kesombongannya
saat ini, karena ingin mengetahui apa yang telah terjadi di
desa ini. Terutama, siapakah Manusia Pemuja Bulan itu?
"Baiklah, Kakang Menggolo.... Aku menuruti perintah
itu...," desah Pendekar Slebor memanggil Menggolo dengan
sebutan kakang, sambil menatap Sawedo yang tersenyum
puas. Sial! Ingin rasanya Andika menabok bibir yang
tersenyum melecehkan itu.
Menggolo berpaling pada yang lainnya lagi.
"Nah, kalian mendengar kata-katanya itu?"
Sawedo lagi-lagi mengambil alih pembicaraan.
"Bagus! Dan kami ingin membuktikan kebenaran
kata-katanya itu! Teman-teman, kita kembali untuk
menguburkan mayat Medi!"
Lalu orang-orang itu pun segera meninggalkan
tempat ini. Tinggal Menggolo yang hanya menghela napas
tanjang. Diam-diam, di hatinya mulai terusik sesuatu.
Sesuatu yang membangkitkan kesadarannya.
Terutama, kata-kata Ki Seta sebelum ajalnya.
k k k
"Kakang Menggolo.... Mengapa kau tidak berbuat
seperti mereka tadi?" tanya Pendekar Slebor kemudian.
Saat ini angin berhembus. Sinar matahari semakin panas,
menembus melalui rimbunnya pepohonan.
Menggolo berbalik. Matanya tepat menatap mata
Andika, lalu bibirnya tersenyum. "Tidak."
"Kena pa?"
"Karena, aku yakin..., bukan kaulah yang telah
melakukan perbuatan itu, Andika...," jelas Menggolo.
Andika tersenyum. "Terima kasih, Kakang." Menggolo
mengangkat kepalanya. "Sebenarnya, hendak ke manakah
kau ini?" tanya Menggolo.
"Aku? He h e he.... Tidak ke mana-mana. Pekerjaanku
hanya mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Dari
satu negeri ke negeri lain," jelas Pendekar Slebor enteng.
"Ya! Tetapi..., aku yakin..., ah! Sudahlah. Kau tinggal
di mana di daerah ini, Andika?" tanya Menggolo. Dan
mendadak saja wajahnya kelihatan memucat.
Perubahan wajah Menggolo tidak luput dari
pandangan Andika yang diam-diam perasaannya semakin
yakin mengatakan, kalau telah terjadi sesuatu di daerah ini
Tetapi Pendekar Slebor berlagak tidak melihatnya.
"Aku? Wah! Hanya bumilah yang menjadi tempat
tinggalku," seloroh Andika.
Menggolo tidak menghiraukan selorohan. Tangannya
mendadak saja menarik tangan Andika.
"Kita pergi dari sini! Tinggal di rumahku saja!" ajak
Menggolo.
k k k
Di rumah Menggolo, Andika dijamu makan
sekedarnya. Istrinya yang berwajah cukup ayu itu yang
menyediakan. Andika yang memang sudah dari semalam
tidak makan, bagai menemukan harta karun. Memaka
lahap meskipun masih berusaha kelihatan sopan.
Lalu setelah kenyang, Pendekar Slebor bersama
menggolo duduk di beranda belakang, menghadap sepetak
ladang pisang. Segelas kopi pahit dan sepiring ubi rebus
telah dihidangkan oleh istri Menggolo yang bernama Narti.
Andika yang memang menunggu kesempatan untuk
bertanya tentang Manusia Pemuja Bulan, segera
menanyakannya. Namun bukannya menjawab, Menggalo
malah menghela napas berkali kali
"Andika..., lebih baik kau tidak usah menanyakan
soal itu," kata Menggolo kemudian.
"Kenapa? Takut kalau aku mengadu, ya?" canda
Andika.
"Bukan, bukan soal itu. Tetapi, keadaan akan
berbahaya bila kau banyak bertanya tentang Manusia
Pemuja Bulan," sergah Menggolo, kali ini suaranya agak
takut-takut.
"Kenapa? Apakah dia suka makan orang? Kalau soal
itu sih, tidak usah takut. Aku biasa menaklukkan binatangg
buas," seloroh Andika diiringi tawanya. Padahal hatinya
sangat penasaran ingin mengetahui tentang Manusia
Pemuja Bulan.
Diam-diam Andika pun memperhatikan lagi wajah
Menggolo, yang semakin tegang. Hmmm.... Kalau begitu...,
memang ada sesuatu yang telah terjadi di desa ini. Dan
Pendekar Slebor akan menyelidikinya.
Andika tidak lagi meneruskan pertanyaannya, karena
melihat wajah Mengolo semakin bertambah tegang saja.
Tetapi kemudian...
"Dia adalah manusia yang dipuja oleh orang-orang di
daerah ini. Termasuk aku dan istriku...," jelas Menggolo,
mengejutkan Andika.
"Siapa?" tanya Andika berlagak tidak mendengarnya.
Padahal dia ingin melihat perubahan wajah Menggolo.
Setelah dilihatnya Menggolo mengangkat kepalanya ia
berkata, "Jadi... Menusia Pemuja Bulan itu sangat dipuja?"
Menggolo menganggukkan kepala.
"Yah...,juga sangat ditakuti," desah Menggolo.
"Kenapa?" cecar Andika.
"Karena..., dia adalah utusan Dewa Bulan."
"Dewa Bulan? Siapa pula itu?"
"Andika..., jangan bertanya begitu enteng. Kau bisa
dikutuknya! Kau akan mendapat hukuman! Kesaktian
Dewa Bulan sangat tinggi. Dia bahkan bisa mengetahui
sesuatu yang belum terjadi. Dia juga akan mendengar kata-
katamu itu. Cepatlah minta amun, Andika.... Cepat!" seru
Menggolo dengan wajah bingung.
" Ampunkan aku, Dewa Bulan...," ucap Andika,
meskipun tidak mengerti. Dan itu hanya untuk
menenangkan Menggolo yang nampak ketakutan.
Kini Pendekar Slebor melihat Menggolo mendesah
lega.
"Ah! Kalau saja kau tidak minta ampun padanya
niscaya...."
Menggolo terdiam. Kata-katanya terputus. Lalu
mendadak dia mendengus sambil menggeleng-gelengkan
kepala.
"Tidak, tidak! Aku tidak percaya Manusia Pemuja
Bulan! Aku tidak percaya pada Dewa Bulan! Hhh! Apa yang
dikatakan Ki Seta benar! Semenjak kedatangan Manusia
Pemuja Bulan, keadaan desa ini menjadi kacau balau.
Tidak ada lagi kedamaian dan persaudaraan seperti itu....
Hhh! K i Seta memang benar. Dia benar! Dan karena itulah
dia dibunuh! Tetapi siapa yang membunuhnya? Kalau
Manusia Pemuja Bulan yang bernama Wedokmurko itu
tidak mungkin. Karena, aku tidak melihat gerakannya kalau
dia membunuh Ki Seta. Ah! Pasti Dewa Bulan. Ya, Dewa
Bulan... Oh, ampunkan hamba, Dewa Bulan., ampunkan
hamba...."
Pendekar Slebor yang sejak tadi memperhatikan
laki-laki yang duduk di hadapannya mengerutkan
keningnya, melihat perubahan sikap Menggolo. Kalau tadi
begitu ketakutan dan menyuruhnya meminta ampun pada
Dewa Bulan, kemudian sikapnya seperti seorang
penantang. Seseorang yang berani karena merasa yang
dilakukannya benar. Namun pada sikap yang terakhir,
justru berubah kembali menjadi ketakutan. Bahkan harus
menyembah seolah-olah yang ditakuti ada di hadapannya.
Perasaan Andika semakin kuat mengatakan, kalau
ada seseuatuyang terjadi di sini. Sesuatu yang
membuatnya ingin mengorek lebih dalam lagi.
"Kakang Menggolo...! Kenapa, Kakang?" tanya
Pendekar Slebor berlagak pilon.
Menggolo menggeleng-gelengkan kepala. Wajahnya
berkeringat.
"Ah! Aku tidak tahu, Andika.... Aku tidak tahu...."
"Kenapa, Kakang? Apakah kau lupa namamu sendiri?"
tanya Andika sambil nyengir. Menggolo tersenyum tipis.
"Aku tidak mengerti pada diriku sendiri, Andika."
"Kalau begitu, kau boleh bertanya pada istrimu. Dia
pasti tahu. Soalnya kan..., hanya dia yang bisa melihat
dirimu. Iya kan, Kang? Ayo, jangan bohong! Aku melihat
kok, kalian berdua saling tatap di atas ranjang kalau
malam. Nah! Kalau lupa bentuknya, tentunya istrimu ingat,
Kang. Kau bisa bertanya pada istrimu kalau memang kau
lupa...."
Gurauan Andika membuat Menggolo tersenyum.
Hatinya merasa senang pada pemuda tampan berpakaian
hijau pupus itu.
"Ah! Kau memang pandai menghibur, Andika. Kau
berusaha membuat orang lain senang," puji Menggolo.
"Karena, aku menyukai kegembiraan, Kang," sahut
Andika.
"Demikian pula aku. Juga orang-orng di daerah ini.
Juga, alam di sekitar sini. Tetapi, itu dulu. Dulu sekali,
sebelum kedatangan Manusia Pemuja Bulan. Yah!
Semuanya menjadi berantakan. Apa yang dikatakan Ki
Seta memang benar...," tutur Menggolo.
"Kang Menggolo..., sebenarnya apakah yang telah
terjadi di daerah ini?" tanya Andika, menggunakan
kesempatan.
Andika melihat Menggolo menghela napas panjang.
Ditunggunya sesaat, tidak ingin memotong pembicaraan.
Karena, sepertinya Menggolo sudah bisa menguasai
diri nya.
"Andika..., sungguh! Aku benar-benar tidak mengerti
dengan perasaanku sendiri. Di satu segi, aku takut. Takut
sekali. Di segi lain, sejak Ki Seta berani menentang
keputusan Manusia Pemuja Bulan, kesadaranku seolah
bangkit. Yah! Kuakui..., daerah ini sekarang sudah berada
di ambang kehancuran," tutur Menggolo lagi.
"Apakah sebabnya, Kang...?" cecar Andika.
"Manusia Pemuja Bulan. Yah.... Dialah penyebab
semua ini."
"Bagaimana sebenarnya, Kang?"
Lalu menggolo menceritakan tentang kejadian-
kejadian yang dialami daerah itu, hingga kejadian yang
menimpa Ki Seta.
"Jadi.... malam Jumat nanti, giliran Mayang cucu Ki
Seta yang akan menjadi korban?" tanya Andika kemudian.
"Kau benar, Andika. Sudah sepuluh perawan tak
berdosa yang dikorbankan untuk Dewa Bulan. Karena,
kalau kami tidak mau melaksanakan, akibatnya
kehancuran akan menimpa daerah ini seperti beberapa
waktu lalu...."
Andika terdiam. Otaknya yang cerdik dapat
menduga, kalau seseorang yang memiliki kesaktian telah
memanfaatkan orang-orang di daerah ini, yang begitu
ketakutan. Tetapi, seperti yang dikatakan Menggolo tadi,
ke manakah perginya gadis-gadis yang dijadikan tumbal?
Katanya, muncul begitu saja dalam keadaan
pingsan, lalu lenyap begitu saja. Menurut Manusia Pemuja
Bulan, gadis-gadis itu sudah berada di sisi Dewa Bulan.
Berarti, sesajen yang diberikan diterima.
"Kang Menggolo.... Di mana biasanya upacara itu
diadakan?" tanya Andika.
"Di lereng Gunung Pengging."
"Di manakah Manusia Pemuja Bulan itu tinggal?"
"Tak seorang pun yang tahu, Andika. Dia datang dan
muncul begitu saja."
"Kang Menggolo.... Kalau begitu, malam Jumat
depan, ajaklah aku bergabung dengan yang lain untuk
mengikuti upacara itu," pinta Andika.
Menggolo hanya menganggukkan kepala.
Nampaknya hatinya lega setelah berhasil menguasai diri
dan mengatakan seluruh kejadian demi kejadian kepada
Andika.
"Satu lagi pintaku. Di manakah rumah Mayang?"
Menggolo menyebutkan di mana letak rumah Mayang.
Tiba-tiba saja kepalanya mendongak, menatap
Andika.
"Andika.... Bila melihat pakaianmu, sudah jelas kau
orang dari dunia persilatan. Benarkah dugaanku itu.
Andika?" tanya Menggolo.
Andika mengangguk.
"Ya."
"Oh, Tuhan.... Terima kasih. Hei!" Menggolo terkejut
sendiri. Andika memperhatikannya.
"Mengapa, Kang Menggolo?"
Menggolo memegang tangan Andika. Wajahnya
gembira.
"Andika.... Tidakkah kau tadi mendengar kalau aku
menyebutkan kata Tuhan?"
"Ya," sahut Andika, pendek.
"Oh! Kalau begitu..., aku masih mempercayaiNya.
Yah! Aku memang tidak mempercayai Dewa Bulan yang
dijadikan sesembahan," tegas Menggolo.
Andika tersenyum.
"Kang Menggolo.... Karena sebenarnya, di dasar
hatimu yang paling dalam, kau mengingkari kehendak
Manusia Pemuja Bulan untuk menyembah Dewa Bulan.
Karena sesungguhnya, nuranimu telah mengatakan yang
sebenarnya, kalau yang patut disembah hanyalah Gusti
Allah...," ujar Pendekar Slebor, sok memberi nasihat.
"Ya, ya.... Kau benar, Andika. Hmm.... Kalau kau
memang orang dunia persilatan, aku pernah mendengar
soerang pendekar muda yang arif bijaksana dan selalu
menolong orang lemah," kata Menggolo.
"Siapakah dia, Kang Menggolo?"
Menggolo terdiam, seperti berpikir.
"Kalau tidak salah dengar, pendekar itu berjuluk
Pendekar Slebor. Andika..., tahukah kau di mana dia?"
"Maksud Kang Menggolo, Pendekar Slebor?"
"Ya! Aku ingin meminta bantuan pendekar perkasa
itu. Kau tahu, di mana dia, Andika?"
Andika tersenyum.
"Kang Menggolo tidak perlu mencarinya jauh-jauh. Karena
sekarang ini dia berada di hadapan Kakang."
'Apa...?!
k k k
4
Seperti yang diberitahukan Menggol o, keesokan
paginya Andika mendatangi rumah Mayang. Rumah yang
terletak menyendiri di ujung desa hanya kecil saja, namun
berkesan apik dan rapi. Andika yakin, yang menghuni
adalah orang yang rajin menjaga kebersihan.
Tetapi yang membuat kening Andika berkerut, ketika
melihat kenyataan kalau di depan rumah itu berdiri tiga
orang lelaki berbadan tegap. Mereka mengenakan pakaian
dan topeng berwarna merah, menutupi seluruh kepala dan
wajah. Hanya matanya saja yang terlihat dan tampak
bersinar dingin.
"Ada perlu apa kau, Anak Muda?" tanya salah
seorang sambil bersedekap. Sikapnya seperti seorang
jagoan. Nada suaranya menyentak. Dengan sekali bentak,
dia mungkin ingin menggertak Andika.
Tetapi yang dihadapi adalah pendekar urakan yang
sudah tentu hanya tersenyum-senyum saja. Meskipun,
otaknya berputar memikirkan siapa ketiga manusia itu.
"Hei, Orang Pakaian Merah! Aku ingin menemui
kekasihku! Nah! Sekarang katakan, apakah dia ada?!"
sahut Andika dengan suara menyentak pula. Bahkan sudah
memasang sikap tengil, dengan dagu terangkat dan bibir
mencibi r.
Andika melihat sepasang mata itu bersinar merah.
"Apa yang kau katakan, hah?!" kata laki-laki itu
dengan suara ditekan. "Tidak ada kekasihmu di sini! Lebih
baik pergi saja dari sini, sebelum kemarahan kami naik!"
"Nah, nah.,.. Kok aneh? Jelas-jelas ini rumah
kekasihku. Nama kekasihku Mayang," kilah Andika, jengkel
melihat sikap ketiga orang itu. "O ya, kalau kau sendiri mau
apa? Oho! Aku tahu sekarang. Kalian bertiga ini pasti
orang-orang yang datang untuk menjaga kekasihku,
bukan? Bagus! Kalau begitu, minggirlah. Tuanmu berkenan
ke rumah itu."
Dari sikap bersedekapnya, orang yang bertanya tadi
menurunkan tangannya. Kakinya melangkah, menahan
langkah Andika. Sementara yang dua lagi, tetap dengan
kedua kaki terbuka dan tangan bersedekap di dada.
"Lho, lho...? Kenapa ini? Minggir! Kalau tidak, nanti
aku tidak gaji, ya?" ejek Andika.
Sebenarnya, Pendekar Slebor paling tidak suka
melihat orang yang suka meremehkan orang lain seperti
ini. Apalagi sikapnya begitu memuakkan. Hanya yang
membuatnya merasa heran, apakah sebenarnya ketiganya
memang penjaga Mayang? Wah! Kalau begitu, tentunya
Mayang bukan gadis sembarangan.
Tetapi kata Menggolo, gadis itu kini sebatang kara.
Hidup dalam kemiskinan, meskipun mempunyai harta yang
dikatakan Ki Seta sebelum ajalnya. Tetapi, tak ada yang
mengetahui di mana harta itu berada.
Berpikir seperti itu, Andika yakin kalau ada sesuatu
yang semakin aneh saja di sini. Pertama, siapa ketiga
orang berpakaian dan bertopeng merah ini? Kedua, harta
apakah yang diributkan, sehingga Ki Seta
mempertahankannya dan menemui ajal secara
mengenaskan. Mata di balik topeng itu memancarkan sinar
amarah.
"Anak muda! Sudah kukatakan, lebih baik pergi dari
sini!"
Andika menggaruk-garuk kepala yang tak gatal.
"Wah! Ini bagaimana, sih? Aku hendak menemui
kekasihku, kok dilarang? Memangnya kamu bapaknya, ya?
Kalau bapaknya, mengapa mukamu ditutup seperti itu?
Aha! Aku tahu, aku tahu. Pasti ada bopengnya, kan?" ledek
Andika sambil nyengir.
Sebagai jawaban, orang bertopeng merah itu
melepas sebuah pukulan lurus ke wajah Andika. Wuttt!
"Uts.J"
Dalam sikap mengejek, Andika hanya memiringkan
kepala sedikit saja. Maka, pukulan itu meleset.
Melihat pukulannya meleset, orang bertopeng merah
itu semakin ganas. Kembali diserangnya Andika dengan
cepat.
"Heiiittt!" seru Andika, sambil melompat. "Kalem
saja. Bung! Aku tidak lari!"
Orang itu terus memburu Andika dengan serangan-
serangan berbahaya. Tangan dan kakinya berkelebat cepat
ke arah bagian tubuh Andika yang mematikan. Namun
pemuda yang mewarisi ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu
dengan mudah menghindarinya. Sepintas saja sudah
terlihat, kalau, kesaktian orang bertopeng merah itu kalah
jauh dibanding Pendekar Slebor.
"Bangsat! Pantas kau berani bertingkah, Anak
Muda!" seru laki-laki itu geram sambil menyerang lagi.
Wuuuttt!
"Heaaa! Sabar, Bung.... Sabar! Kiamat masih jauh!"
ejek Andika sambil terus menghindari serangan. Namun
mendadak Pendekar Slebor menghentikan gerakannya.
Saat lawannya menyerang, dengan manis ditangkapnya
tangan itu, lalu dipuntirnya. Seketika Andika memukul
punggung laki-laki ini. Desss.J "Aaakh...!"
Laki-laki bertopeng merah tersungkur disertai jerit
kesakitan.
"He he he., lumayan juga kulitmu!" ejek Andika
sambil terkekeh.
Begitu bangkit, orang itu berbalik. Kedua tangannya
cepat dikibaskan dengan kegeraman menjadi-jadi. Lalu
dengan suara keras, tubuhnya meluruk menerjang.
"Heaaa! Mampuslah kau!"
"Uts.J"
Andika cukup memiringkan tubuhnya, menghindar.
Sehingga serangan yang penuh tenaga itu pun luput dari
sasaran
Sementara itu, dua orang berpakaian dan bertopeng
merah yangsejak tadi hanya tegak bersedekap, kini saling
berpandang. Mereka marah melihat kawan mereka
dipermainkan pemuda beralis seperti kepakan sayap elang
itu. Maka seperti mendapat aba-aba, keduanya maju ikut
menyerang Andika.
"Wah, ini kacau!" seru Andika berlagak kebingungan.
"Hei, Monyet-monyet Bertopeng! Aku Tuanmu, yang ingin
bertemu kekasihku!"
Tetapi ketiga orang bertopeng terus menyerang. Dan
yang paling ganas adalah orang yang pertama tadi, yang
sudah jengkel dipermainkan Andika.
Andika yang semakin yakin kalau ada sesuatu yang
terjadi, kali ini pun bertindak. Dia merasa sudah cukup
dipermainkan. Maka dengan kecepatan mengagumkan,
tubuhnya berkelebat sambil melepas pukulan dahsyat.
Des! Des! Des!
"Aaakh...!"
Dalam sekali gebrak saja, ketiga orang bertopeng itu
sudah ambruk dalam keadaan pingsan.
Andika mengangkat alisnya. Nyengir.
"Hanya begitu saja sudah sombong!" kata Andika
sambil menepuk-nepuk kedua tangannya. Lalu dia
menepuk-nepuk pakaiannya, seolah menyingkirkan debu.
Kini Pendekar Slebor melangkah ringan memasuki
rumah itu. Tepat pada saat itu pintu rumah Mayang
terbuka.
Andika melihat seraut wajah jelita, namun penuh
kedukaan berdiri di hadapannya. Tubuhnya nampak layu
dengan mata memancarkan kesedihan.
"Inikah Mayang?" desis Pendekar Slebor di hati.
"Kakang.... Aku tidak mengenalmu. Tetapi
kusarankan, agar meninggalkan rumah ini..." kata gadis
cantik yang memang Mayang.
Kening Andika berkerut. Sungguh tak pernah
disangka kalau sambutan Mayang seperti ini.
"Mayang..., aku atang untuk menolongmu...," jelas
Andika setelah berpikir.
"Untuk menolongku?"
Mayang mencibir, meskipun jelas sekali dalam
kedukaan.
"Ya."
Hanya itu yang bisa dikatakan Andika, karena tidak
tahu harus berkata apa. Gadis itu menggeleng.
"Kakang..., tidak ada yang perlu ditolong.... Aku baik-
baik saja...," tegas Mayang.
"Tetapi...."
"Pergilah dari sini, Kakang...," potong Mayang.
Menghadapi gadis yang kaku tak ubahnya mayat
seperti ini, Andika yang biasanya lincah, kini mati kutu. Dia
tidak tahu harus berbuat apa. Tetapi keingin tahuannya
tentang kesediaan Mayang yang hendak dijadikan lumbal
oleh Manusia Pemuja Bulan, semakin mendesaknya.
"Mayang..., aku datang ingin menolongmu," tegas
Pendekar Slebor sekali lagi. "Maaf, jangan dipotong dulu.
Apakah kau bersedia dijadikan tumbal oleh Manusia
Pemuja Bulan?"
"Kalau itu yang Kakang ingin ketahui..., yah! Aku
bersedia...."
"Namaku Andika...."
"Sekarang, tinggalkanlah tempal ini, Kang Andika...,"
ujar gadis ini.
"Mayang, mengapa kau bersedia melakukannya?
Apakah kau tidak tahu kalau Manusia Pemuja Bulan
hanyalah orang sesat yang memanfaatkan keluguan kalian
dengan kesaktiannya?"
Gadis itu tersenyum hambar.
"Jangan menghina Ketua Wedokmurko, Kang Andika.
Kau akan mengalami hal yang mengerikan sekali. Seperti
Aki," ujar Mayang.
"Kakekmu meninggal bukan karena amarah Dewa
Bulan, tetapi dibunuh Manusia Pemuja Bulan," tukas
Andika.
"Kang Andika salah. Dewa Bulan marah pada Aki,
karena tidak memberitahukan harta apa yang disembu¬
nyikannya. Bukan Ketua Wedokmurko yang membunuh
Aki! Tetapi, Dewa Bulan yang marah pada Aki,"sergah
Mayang, mantap.
Kali ini Andika benar-benar mati kutu, tidak tahu
cara menghadapi gadis ini.
"Mayang..., seharusnya kau mengerti, bahwa aku"
Brakkk!
Kata-kata Andika terpotong, karena Mayang sudah
menutup pintu.
"Monyong!" sungut Pendekar Slebor. "Aku jadi
penasaran ingin mengetahui kayak apa sih Manusia
Pemuja Bulan itu?"
k k k
Andika kembali lagi ke rumah Menggolo, hendak
menanyakan tentang ketiga orang berpakaian dan
bertopeng merah di rumah Mayang tadi. Juga
memberitahukan sikap bulat Mayang yang tetap bersedia
menjadi korban Dewa Bulan.
Yang mengherankannya wajah Mayang begitu kaku,
tak ubahnya mayat hidup. Setiap kali berkata-kata tadi, tak
ada perubahan wajah sesuai kata-katanya. Tak lebih bila
dikatakan, Mayang seperti tengah menghafal kalimat-
kalimat saja sebagai jawaban.
Andika pun semakin bergegas ke rumah Menggolo.
Namun alangkah terkejutnya Andika, ketika dari
kejauhan terlihai kerumunan orang di rumah Menggolo.
Batinnya bergetar. Apakah sesuatu telah terjadi?
Bergegas Pendekar Slebor melangkahkan kakinya,
datang ke sana. Namun belum lagi ia berbuat apa-apa.
"Itu dia orangnya!"
Orang-orang itu kontan berbalik, menatap Andika
dengan wajah garang dan tatapan marah.
"Hhh! Sudah kukatakan kemarin, kalau pemuda
inilah yang membunuh Medi! Dan sekarang, dia
membunuh Kang Menggolo dan istrinya!"
Andika masih ingat, kalau yang membentak itu laki-
laki berkumis tebal yang dikenal bernama Sawedo.
"Saudara Sawedo..., sabar dulu. Ada apakah ini?
Apakah yang dialami Kang Menggolo dan istrinya?" tanya
Andika tanpa bisa menyembunyikan ketegangannya.
"Jangan banyak omong! Kau harus
mempertanggungjawabkan perbuatanmu yang telah
membunuh Kang Menggol o dan istrinya!" dengus Sawedo.
Tanpa menunggu jawaban lagi, Sawedo sudah maju
dengan golok besar di tangannya. Cepat dibabatkannya
golok itu.
"Hih!"
Bet...!
Andika berkelit. Kini Pendekar Slebor tahu, kalau ajal
telah menjemput Kang Menggolo dan istrinya. Oh, Tuhan...!
Siapakah yang telah membunuhnya? Apakah ini petaka
yang dikatakan Menggolo ketika bercerita tentang Manusia
Pemuja Bulan?
Namun Pendekar Slebor sudah tidak bisa berpikir
lagi. Karena sekarang bukan hanya Sawedo yang me¬
nyerangnya. Berpuluh-puluh laki-laki dengan senjata di
tangan telah memburunya.
"Sabar! Sabar! Kita semakin salah paham!" ujar
Pendekar Slebor, sambil terus berkelit menghindari
serangan.
"Manusia hina!" maki Sawedo geram sambil
mengayunkan kembali golok besarnya. "Kau balas
pertolongan Kang Menggolo dengan mencabut nyawanya!"
"Kalian salah paham!" seru Andika. "Aku tidak
membunuh siapa-siapa!"
Namun tak seorang pun percaya akan kata-kata
Andika. Terutama, Sawedo. Dia sejak pertama memang
tidak mempercayai Andika. Namun karena merasa Kang
Menggolo yang bertanggung jawab, sesuai janji Andika
untuk menangkap pembunuh Medi, makanya Sawedo
membiarkan Andika dibebaskan. Tetapi sekarang, semua
kecurigaannya terbukti.
Andika sendiri mendengus melihat orang-orang itu
menyerang dengan ganas. Tak ada jalan lain kecuali
melarikan diri dari tempat itu. Dan Andika tahu, ini
hanyalah kesalah pahaman telah terjadi. Kalau dirinya
masih berada di sini, tidak mustahil orang-orang itu akan
bertambah kalap.
Maka begitu mendapat kesempatan, Pendekar
Slebor melenting tinggi ke udara, melewati kepala orang-
orang yang mengepungnya. Begitu menjejak tanah,
tubuhnya langsung berkelebat meninggalkan tempat ini.
Orang-orang itu pun langsung memburu Andika
dengan seruan-seruan keras. Namun sudah tentu mereka
lidak mampu mengejar Andika yang memiliki ilmu lari
secepat angin.
5
Tak seorang pun yang tahu kalau di bagian kanan
Gunung Pengging terdapat sebuah gua. Tempatnya gelap
dan sepi, terhalang tetumbuhan merambat. Letaknya
memang sulit dicapai, berada di sisi sebuah jurang.
Bahkan terhalang rimbunnya semak belukar.
Hanya Manusia Pemuja Bulan dan orang-orang
berpakaian dan bertopeng merah saja yang tahu kalau di
sana ada sebuah gua. Di sanalah tempat persembunyian
Wedokmurko, bersama pengikut-pengikutnya yang
berpakaian dan bertopeng merah.
Malam ini, suasana di sekitar gua itu tetap sunyi,
gelap, sekaligus menyeramkan. Di luar gua,berkeliaran
beberapa orang yang berpakaian dan bertopeng merah.
Sementara di salah satu bagian gua, teriihat sebuah api
unggun menyala, menerangi sekitarnya.
Di antara jilatan cahaya api unggun, laki-laki
berjubah hitam dan berwajah tirus sedang duduk berlutut,
di hadapan sebuah pilar batu. Di atas pilar terdapat satu
sosok tubuh yang tergolek lemah dalam keadaan telan¬
jang bulat.
Mulut laki-laki yang tak lain Ki Wedokmurko alias
Manusia Pemuja Bulan komat-kamit, membaca mantc-ra.
Lalu diambilnya dupa yang mengepulkan asap di antara
kedua kaki gadis itu.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba Ki Wedokmurko terbahak-bahak, suara-nya
menggema keras.
"Aku hanya membutuhkan empat orang perawan lagi
untuk menyempurnakan ajian 'Unggulan Dewa' yang
sedang kupelajari! Bila sudah selesai, dengan ajian
'Unggulan Dewa' ini aku akan menguasai dunia persilatan!
Ha ha ha...," lanjut laki-laki berwajah tirus ini.
Mata Ki Wedokmurko menatap tubuh gadis yang
terbujur tanpa busana itu. Lalu perlahan-lahan, dia bangkit
berdiri sambil melepas jubahnya. Kemudian kedua
tangannya dimasukkan ke dalam sebuah cawanyang berisi
cairan berwarna kuning. Seketika terlihat kedua tangannya
berwarna kuning pula.
Mulut laki-laki ini berkomat-kamit sambil meniup
kedua telapak tangannya berkali-kali. Lalu diusapnya wajah
dan sekujur tubuh gadis yang pingsan itu. Gerakannya
begitu perlahan. Sementara tubuhnya bergerak bagai
orang mabuk.
Bertepatan dengan itu, mulut Ki Wedokmurko
komat-kamit kembali. Suasana yang menggetarkan
sekaligus mengerikan, berubah menjadi suasana dalam
pengaruh sihir.
Mendadak saja teriihat sekujur tubuh Ki
Wedokmurko memerah dan bergetar hebat. Semakin lama
getarannya semakin mengencang.
Sementara gadis itu tetap dalam keadaan pingsan.
Setelah beberapa saat, getaran tubuhnya pun melemah,
seiring pudarnya warna merah yang menyelimuti tubuhnya.
"Ha ha ha.... Tak seorang pun yang akan mampu
menandingi kesaktianku ini!" kata Manusia Pemuja Bulan
pongah.
Lalu Ki Wedokmurko membuka kedua telapak
tangan, dan mengusapkannya satu sama lain. Mendadak
terlihat asap hitam mengepul dari sana. Semakin lama
semakin banyak.
Wedokmurko meniup-niup asap hitam itu, lalu
menariknya melalui napas. Berbondong-bondong asap itu
masuk ke mulutnya dalam satu tarikan napas.
Tiba-tiba Ki Wedokmurko mengibaskan kedua
tangannya ke muka, ke arah sebuah batu besar yang ada
di situ. Gerakannya teriihat sangat lambat. Bahkan seolah
tidak ada tenaga yang dihempaskan. Namun....
Duaaarrr!
Mendadak saja terdengar suara menggelegar keras.
Batu besar itu hancur seketika. "Ha ha ha...!"
Kembali Ki Wedokmurko terbahak-bahak penua
kepuasan. Wajahnya semringah dengan kedua mata teri
buka lebar.
"Ajian 'Unggulan Dewa’ sebentar lagi akan ku kuasai
dengan sempurna! Ha ha ha.... Begitu mudah kudapatkan
tumbal untuk penyempurnaan ilmuku. Darah perawan
itulah yang akan menyempurnakan ajian 'Unggulan Dewa'!
Ha ha ha...."
Tawa Ki Wedokmurko semakin menggema.
Ya! Hanya tinggal beberapa kali saja Manusia Pe-j
muja Bulan menyempurnakan ajian 'Unggulan DewaJ
Hanya tinggal empat kali lagi mengorbankan dara perawan.
Sementara itu, tubuh gadis malang yang telah
dikorbankan Ki Wedokmurko sebagai tumbal ilmunya
mendadak saja menyusut bagai nenek-nenek kurus kering.
Darahnya bagai kering tiba-tiba. Lalu, teriihat asap
mengepul dari sekujur tubuhnya. Dan perlahan-lahan
bagaikan ada sebuah aliran aneh, sekujur tubuhnya me
pelupas. Yang ada hanya tinggal tulang-belulang saja!
Ki Wedokmurko menggerakkan tangannya. Wuuuttt!
Mendadak saja tulang-belulang gadis itu lenyap dari
pandangan. Dan sinar kepuasan semakin membayang di
wajahnya yang menyeramkan.
"Hhh...!"
Tiba-tiba saja Manusia Pemuja Bulan mendengus.
"Mengapa manusia gembel itu belum datang juga
hingga saat ini? Apakah dia hendak mempermainkan aku?"
k k k
Seorang laki-laki tengah melangkah di jalan setapak.
Usianya kira-kira delapan puluh lima tahun. Tubuhnya
kurus, namun masih nampak gagah. Cara berpakaiannya
pun seperti seorang pendekar. Hanya mengenakan celana
pangsi berwarna hitam dengan rambut terurai panjang tak
beraturan. Kumis putihnya cukup le-hat. Dia tidak
mengenakan baju, sehingga memperlihatkan tubuhnya
yang kurus dan menampakkan tulang-tulang di tubuhnya.
Wajahnya yang kukuh dan keras, mencerminkan wataknya
sebagai seorang yang keras. Tetapi, juga patuh.
Tiba-tiba saja laki-laki tua itu menghentikan lang¬
kahnya. Telinganya seperti menegak, mendengar sesuatu
yang menarik perhatiannya. Dan mendadak saja, dia
melompat ke sebuah dahan pohon tinggi tak jauh dari
tempat nya.
Wuuuttt!
Dari atas sana laki-laki tua ini melihat seorang
pemuda berpakaian hijau pupus dengan kain bercorak
catur tersampir di bahu, sedang berlari. Tak lama, pemuda
itu berhenti tepat di bawah pohon yang diduduki laki-laki
tua itu.
Kening laki-laki tua ini berkerut, melihat dari mana
pemuda itu datang. Tak ada yang mengejarnya, tak ada
siapa-siapa di sana. Kenapa anak muda itu berlari seperti
dikejar setan?
Lalu tiba-tiba saja laki-laki tua ini melompat turun
tepat di depan pemuda berpakaian hijau pupus.
"Ops! Copot, copot!" Pemuda itu tersentak kaget.
Sementara laki-laki tua ini langsung menatap tajam
Biji matanya yang kelabu lekat ke bola mata pemuda itu
yang masih mengusap-ngusap dadanya seolah untuk
mengusir kekagetannya.
"Siapakah kau, Anak Muda?" tanya laki-laki tua itu
dengan suara sedikit angker.
"Aku? Namaku Andika. Kau sendiri?" kata pemuda
itu yang tak lain Andika, alias Pendekar Slebor.
Laki-laki tua itu mengerutkan keningnya. Belum
pernah seorang pun berani bertanya kepadanya seentang
itu.
"Anak muda! Kau punya nyali juga rupanya, hah?!'
kata laki-laki tua ini. Suaranya terdengar dingin.
Kening Andika berkerut. Dia agak heran kenapa laki-
laki tua di depannya seperti marah padanya? Andika pun
menyadari kesalahannya, karena terlalu enteng bertanya.
"Maatkan aku, Ki... Hmmm, siapakah namamu?"
ucap Pendekar Slebor.
"Ha ha ha...!"
Kali ini laki-laki tua itu terbahak-bahak. Dan Andika
pun membelalakkan matanya, mendengar suara tawa itu.
"Hei?! Apa kau sedang latihan nyanyi, Ki?" dengus
Andika kesal sambil mengalirkan tenaga dalam ke gendang
telinganya. "Kalau memang iya, suaramu hanya pantas
diadu dengan burung gagak!"
Laki-laki tua itu masih terbahak-bahak. Sampai urat-
urat di lehernya menegang. Dan mendadak saja,
tangannya melesat ke wajah Andika.
Wuuuttt! Brrr!
"Uts.J"
Angin dingin menerpa wajah. Namun Andika cepat
menarik kepalanya ke belakang. Lalu dengan gerakan
ringan tubuhnya melenting ke atas, sambil menangkis
serangan berikut yang datang dengan cepat dengan
kakinya.
"Hei?! Aku belum tahu siapa kau, Orang Tua Keriput!
Kenapa tahu-tahu menyerangku, hah?!" seru Andika, begitu
mendarat di tanah.
Namun laki-laki bertelanjang ada itu kembali
menyerang Andika dengan gencarnya. Serangan-
serangannya sangat berbahaya. Bahkan teriihat kalau
bukan ingin menguji Andika, namun ingin membunuhnya!
Gerakan laki-laki tua ini demikian cepat, penuh
gerak tipu yang mematikan dan daya gempur yang dahsyat.
Kalau bukan Andika alias Pendekar Slebor, sudah bisa
dipastikan akan mapus dalam sekali gebrak saja. Tetapi
karena diserang terus menerus seperti itu, Andika
kerepotan juga akhirnya.
"Gila! Lama kelamaan aku bisa mampus juga, nih!"
dengus Andika dalam hatinya,
Lalu Pendekar Slebor bersalto dengan lincahnya
Namun Andika harus langsung melenting kembali, karena
serangan berikutnya datang. Kali ini Pendekar Slebor tidak
mau menghindar terus menerus, seperti monyet yang
dikejar buaya.
Begitu serangan berikut datang, mendadak saja
tubuh Pendekar Slebor meluncur deras ke arah laki-laki tua
itu yang tengah menyerang.
"Heaaah...!"
P lak! Duk!
Benturan tangan terjadi. Andika terjajar beberapa
tindak. Tangannya langsung terasa bergetar. Bisa
dirasakan, betapa kuatnya tenaga dalam laki-laki
bertelanjang dada itu.
Sementara, laki-laki itu pun mundur beberapa
tindak. Wajahnya tidak menggambarkan apa-apa,
walaupun sebenarnya tangannya sangat nyeri. Justru
matanya terbelalak kaget.
"Hei! Kau?" seru laki-laki tua ini terperangah.
"Kenapa, hah?! Kau tahu tidak, benturan ini sangat
sakit! Enaknya saja main serang! Siapa sih, sebenarnyaj
kau ini? Sebangsa manusia yang iri karena kau jelek,,,
ataukah setan yang lagi menyamar?!" dengus Andika
mendongkol.
Tetapi lagi-lagi orang tua itu tidak menghiraukan
kata-kata Andika. Justru kembali diserangnya Andika
dengan ganas.
"Kutu busuk! Kadal buntet! Monyet pitak!"
Sumpah serapah Andika pun keluar karena harus
kembali melayani serangan-serangan yang aneh dan cepat
itu.
Setiap kali tangan laki-laki itu bergerak, maka hawa
dingin yang sangat kuat langsung menyergap. Untunglah
Andika sudah mengalirkan tenaga 'inti petir’ tingkat ke tiga
puluh, sehingga tubihnya tidak menjadi kaku kedinginan.
Lalu dengan gerakan dan ilmu yang didapat dari
lembah Kutukan, Pendekar Slebor tidak lagi hanya
menghindar. Bukan pula hanya mengimbangi Bahkan
mulai membalas.
"Bagus! Aku memang ingin melihat jurus-jurusmu!"
seru laki-laki tua itu sambil menyilangkan kedua tangan di
dada dan menyerang kembali.
Andika yang memang kali ini harus melawan pun
mengeluarkan jurus yang didapat dari Pendekar Lembah
Kutukan. Tenaganya yang mengandung petir pun
mengimbangi pukulan dingin dari laki-laki tua itu.
Ketika Andika hendak mengeluarkan ajian 'Guntur
Selaksa', tiba-tiba saja laki-laki tua itu bersalto ke
belaka ng.
"Tahan!" seru laki-laki tua ini. Andika mendengus.
"Enaknya! kau sudah menyerangku! Sekarang,
giliranku! Ayo, bersiap!" seru Pendekar Slebor tak ubahnya
anak kecil yang sedang bermain sesuatu dan sekarang
mendapat giliran.
Tetapi laki-laki tua itu hanya menggelengkan kepala
saja. Andika melihat biji matanya yang kelabu yang Kcjak
tadi memancarkan sinar angker, kini nampak cerah.
"Aku tahu, aku tahu sekarang.... Anak Muda, kau kah
yang digembar-gemborkan orang rimba persilatan sebagai
pendekar pewaris ilmu Lembah Kutukan?" tanya laki-laki
tua ini tiba-tiba dengan tatapan cerah meminta jawaban.
Kening Andika berkerut. Kenapa lagi laki-laki ini?
Tadi menyerang begitu saja, kini justru bersikap baik.
"Kenapa memangnya?" tanya Andika yang sua
telanjur kesal.
"Jawab saja, Anak Muda. Apakah kau pewaris ilmu
Lembah Kutukan?"
"Kalau iya, kenapa? Kalau tidak, kenapa?. Aku tidak
punya urusan denganmu, Aki-aki Peot!" semprot Andika.
"Aku bertanya!" seru laki-laki tua itu keras.
"Kalau aku tidak mau jawab, kenapa?" balas Andika,
tidak kalah kerasnya.
Mata kelabu laki-laki itu kembali nyalang. Tetapi
kemudian meredup kembali.
"Baik! Kita tidak usah bertengkar. Jawablah
pertanyaanku tadi...," desah laki-laki tua ini kemudian.
Andika memalingkan wajahnya. Hatinya masih
jengkel melihat sikap laki-laki bertelanjang dada itu. I
"Kau benar. Aku memang pewaris ilmu Lembah
Kutukan. Buyutku Pendekar Lembah Kutukan."
"Oh, Tuhan! Gusti Allah.... Kau..., kau...."
Wajah laki-laki tua itu terperanjat. Dan tiba-tiba saja
dia menjatuhkan tubuhnya dan bersujud di kaki Andika.
"Maafkan hamba...," ucap laki-laki tua ini.
"Hei"
Andika berjingkat kaget. Kenapa laki-laki ini? Gila?
Benar-benar tidak bisa dimengerti. Kalau tadi marah marah
bertanya, kini menyembah. Busyet! Mimpi apa pendekar
muda ini semalam kalau ada orang yang menyembah
kakinya yang baunya cukup lumayan.
"Orang tua..., bangunlah! Apa-apaan kau ini...," ujar
PendekarSlebor.
"Tuanku..., maafkan hamba...," ucap orang tua ini.
"Kenapa sih?" tanya Andika sambil menggaruk-ga-nik
kepala yang tidak gatal.
"Hamba bernama Tridarma, Tuanku. Hamba dulu
Pelayan di Lembah Kutukan, abdi setia Ki Saptacakra .,"
jelas laki-laki tua itu, tanpa mengangkat kepala yang
bersujud.
Andika mengerutkan keningnya. Abdi setia Ki
Saptacakra?
"Ki Tridarma..., bangunlah...."
"Ampunkan hamba, Tuanku.... Karena hamba telah
menyerang Tuanku.... Itu hamba lakukan, semata ingin
membuktikan dugaan hamba tadi, kalau yang hamba lihat
adalah jurus-jurus dari Lembah Kutukan...," ucap laki laki
tua yang mengaku bernama Tridarma.
Andika menggaruk-garuk kepala tidak mengerti. Mau
apa lagi ini?
"Sudahlah.... Kau kumaafkan. Bangunlah...."
"Begitulah, Tuanku.... Setelah Ki Saptacakra
melakukan tapa suci, hamba pun keluar meninggalkan
Lembah Kutukan," tutur Tridarma bercerita pada Andika.
Keduanya duduk di bawah rindangnya pohon. "Tetapi,
setelah keluar dari sana..., hamba justru ragu untuk
kembali ke Lembah Kutukan. Karena hamba tahu, Ki
Saptacakra sangat marah bila ada yang keluar dari
Lembah Kutukan tanpa izin. Apalagi, hamba sudah keluar
terlalu lama. Karena..., terus terang, dunia luar sangat
indah dan mengasyikkan. Sehingga hamba melupa untuk
kembali ke Lembah Kutukan. Setelah ingat har kembali,
justru ketakutan itulah yang mendera ham Karena rasa
takut itulah, akhirnya hamba memutus" untuk tidak
kembali ke sana. Dan sungguh, hamba ti tahu..., apakah
yang sekarang terjadi dengan Ki S tacakra..."
Andika mendesah pendek. Matanya lekat mena
Tridarma yang berkata-kata sambil menunduk" kepala.
"Ki Tridarma...."
"Jangan panggil hamba seperti itu, Tuanku. J-jungan
KiSaptacakra memanggil hamba dengan sell an nama
saja," tolak Tridarma, lagi-lagi tanpa me angkat kepala.
"Apa bedanya?"
"Jelas ada, Tuanku, tuanku adalah majikan ham Dan
hamba pelayan Tuanku.... Sehingga, Tuaku n mangil
hamba dengan sebutan apa pun, hamba me rimanya."
Andika tersenyum.
"Bagaimana kalau kau kusebut, Kebo Kurus?" ge
Andika.
"Hamba, Tuanku."
Andika mengulapkan tangannya. Ini orang kok gitu
patuhnya, ya?
"Sudahlah.... Kau akan kupanggil dengan nama saja.
Tridarma, ketahuilah.... Sampai saat ini, Ki Saptacakra
mungkin masih melakukan tapa suci. Aku tidak tahu
secara pasti. Tetapi ketika pertama kali aku berjumpa
dengannya, dia memang sedang melakukan tapa suci jelas
Andika. (Untuk mengetahui tentang Ki Saptacakra silakan
baca episode: "Dendam dan Asmara").
"Apakah.... Junjungan Ki Saptacakra menanyakan
hamba, Tuanku?" tanya Tridarma takut-takut.
"Tidak. Dia tidak bertanya apa-apa...." sahut Andika.
"Oh! Apakab dia marah kepada hamba?"
"Aku tidak tahu. Tetapi, sudahlah. Sekarang ini...,
kau hendak ke mana?"
"Ke mana?"
Tridarma mengangkat kepalanya. "Sudah tentu
hamba akan mengikuti Tuanku," tegas Tridarma
Kali ini ganti Andika yang membelalakkan matanya.
"Ikut denganku? Oh! Lebih baik jangan. Aku lebih suka
menyendiri...," tolak Andika.
"Tetapi, Tuanku. Hamba ingin menebus segala dosa
yang telah hamba perbuat pada Ki Saptacakra. Maka,
perkenankanlah hamba melakukannya pada Tuanku, vang
merupakan turunan terakhir dari Pendekar Lembah
Kutukan...," tegas Tridarma.
Andika menggeleng-geleng. "Ah! Aku tidak tahu,
apakah aku mengizinkan atau tidak," keluh Pendekar
Slebor.
"Tetapi untuk sekarang mi, bila kau memang ingin
mengikutiku..., silakan...-" Andika bangkit.
"Ke manakah Tuanku akan pergi?"
"Aku hendak kembali ke desa di lereng Gunung
Pengging"
"Apakah ada persoalan, Tuanku?" "Kuceritakan
sambil berjalan "
6
Malam Jumat.
Kembali orang-orang yang tinggal di sekitar gunung
Pengging mendatangi lerengnya, untuk mengikuti upacara
pemujaan Dewa Bulan dan penyerahan korban.
Seperti biasanya, sebelum malam Jumat, gadis yang
hendak dikorbankan sebagai tumbal mendadak saja
lenyap dari rumahnya. Orang-orang yang mengalami seperti
itu sudah tidak terkejut lagi, meskipun sedih bukan main.
Dan mereka hanya pasrah saja, sehingga rel
mengorbankan anak gadisnya. Apalagi menurut Ketua
Wedokmurko, justru dia telah memilih anak gadis mereka
untuk dijadikan teman di alam sana.
Kini mereka pun yakin, kalau Mayang sudah lenyap
dari rumahnya. Karena, biasanya memang begitu.
Seperti biasanya pula, orang-orang itu membentuk
sebuah lingkaran besar yang di tengah-tengahnya terdapat
sebuah api unggun besar. Lalu, muncullah enam orang
laki-laki berpakaian dan bertopeng merah. Mereka
bergerak bagaikan orang mabuk, menari mengelilingi api
unggun diiringi senandung para penduduk. Suasana sangat
mencekam, bagai di alam gaib. Susasana yang mencekam
itu dapat dirasakan pemuda berpakaian hijau pupus yang
bersembunyi di balik rimbunnya dedaunan pohon besar,
tak jauh dari tempat upacara dilaksanakan.
"Tuanku..., upacara apakah ini?" tanya seorang laki
laki tua bertelanjang dada, di sebelah pemuda yang tak
lain Pendekar Slebor.
"Mungkin, inilah upacara memuja Dewa Bulan yang
sebentar lagi akan dilaksanakan...," jawab Andika berbisik
di telinga laki-laki tua yang tak lain Tridarma.
Mereka melihat suasana mencekam dari tempat
ynng tak jauh. Suatu suasana yang penuh kekuatan sihir
kuat sekali. Lalu, mendadak muncul satu sosok tubuh
berjubah hitam.
"Inikah Manusia Pemuja Bulan? Manusia laknat yang
mempergunakan kesaktian dan ilmu sihirnya untuk
mempengaruhi para penduduk...," desis Andika perlahan.
Sekali lagi, Andika melihat satu sosok tubuh bagai
melayang tiba di dekat api unggun itu.
"Gila! Tenaga dalam yang sangat kuat!" sentak
Andika tetap berbisik.
Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu
sudah banyak makan asam garam dalam dunia persilatan.
Sehingga dengan sekali lihat saja bisa tahu, kalau tubuh
yang melayang itu dikendalikan tenaga dalam yang luar
biasa tingginya.
"Saudara-saudaraku semua.... Kini sesajen akan kita
serahkan pada sesembahan kita, Yang Muha Dewa Bulan!"
Terdengar suara dari mulut laki-laki berjubah hitam.
"Gila! Itu pasti Mayang, gadis yang memasrahkan
dirinya dijadikan sesajen. Rupanya, ajaran menyembah
bulan yang diajarkan Manusia Pemuja Bulan sudah
meresap di hati mereka. Hingga pengorbanan nyawa pun
dilakukan dengan suka rela...," kata Andika lagi, jengkel.
Andika memperhatikan apa yang terjadi kemudian.
Tampak kedua tangan Manusia Pemuja Bulan
terangkat ke atas. Dari mulutnya keluar kata-kata bagaikan
mantera. Lalu tubuhnya naik turun. Sementara senandung
dari mulut para penduduk terus terdengar, perlahan-lahan
dan menggema di sekitar lereng Gunui Pengging.
"Dewa Bulan yang kami cintai..., terimalah sesajen
yang kami berikan ini!" Wuuuttt!
Mendadak saja sosok tubuh yang berada di
hadapannya tadi itu lenyap dari pandangan"Hei, ke mana
gadis itu?" desis Tridarma kaget.
Manusia Pemuja Bulan tersenyum puas, lalu
meminta orang-orang itu yang mempunyai keluhan untuk
datang kepadanya. Dan nyatanya satu persatu yang sakit
berhasil disembuhkan.
Setelah upacara selesai, Manusia Pemuja Bulan
langsung menuju gua persembunyiannya.
"Ha ha ha..., orang-orang bodoh yang memang
sangat mudah dibodohi! Sebentar lagi ilmuku akan
sempurna!" seru Wedokmurko sambil tertawa keras.
Lalu Manusia Pemuja Bulan berkelebat menuju ke
satu tempat yang berada di sisi sebelah kiri gua dengan
mempergunakan tenaga dalamnya, Wedokmurko menarik
keluar dan mengirimkan lagi korbannya ke tempat itu.
Sambil terbahak-bahak, Ki Wedokmurko membuka
sebuah pintu yang terbuat dari batu. Begitu masuk,
tawanya semakin menggema keras.
"Ha ha ha.... Manis.... Kau tidak akan kukorbankan
dulu untuk penyempurnaan ilmuku. Tetapi..., kau harus
memberitahukan di mana kakekmu menyimpan hartanya...
ha ha ha.... Harta itu kuperlukan untuk membangun
istanaku kelak, sebelum mengukuhkan diri menjadi orang
nomorsatu di rimba persilatan ini...," kata Manusia Pemuja
Bulan.
Dengan kasar, Manusia Pemuja Bulan menyibakkan
sebuah tirai berwarna hitam yang memagari tempat itu
dengan tempat gadis korbannya. Sinar matanya sudah
tidak sabar untuk melihat gadis itu kembali. Karena,
malam ini juga, dia akan mengorek keterangan dari mulut
Mayang tentang harta yang disembunyikan kakeknya.
Setelah itu, barulah darah perawannya dimanfaatkan
sebagai tumbal penyempurnaan ajian 'Unggulan Dewa'
"Heh?!"
Alangkah terkejutnya Ki Wedokmurko ketika tidak
melihat sosok Mayang di sana.
"Manusia Pemuja Bulan celingukan, lalu memeriksa
sekelilingnya dengan cepat. Tetapi sosok Mayang tidak
berada di sana.
"Hm.... Apakah aku salah melemparkan tubuh
Mayang dengan menggunakan ajian ’Silap Mata’ sehingga
tidak jatuh pada tempat yang biasanya?" tanya laki-laki
berwajah tirus ini dalam hati.
Tetapi, tidak mungkin. Tidak mungkin Manusia
Pemuja Bulan salah melakukan gerakan ajian 'Silap Mata’
yang sudah sangat tinggi kesempurnaannya.
Tiba-tiba Ki Wedokmurko menggeram keras.
Murkalah Manusia Pemuja Bulan setelah menyadari pasti
ada seseorang yang sakti telah menantangnya.
"Keparat busuk!" geram Manusia Pemuja Bulan
dengan kedua tangan terkepal.
"Siapa pun kau adanya aku tidak akan membiarkan
mu hidup lebih lama lagi!" dengus Ki Wedokmurko.
Manusia Pemuja Bulan lantas berkelebat, kembali
ke tempatnya semula. Sebentar saja, Ki Wedokmurko telah
sampai di tempat itu. Dia langsung duduk di sebuah batu
besar setelah mengambil cawan yang berisi cairan
berwarna kuning. Perlahan-lahan kedua tangannya
dijadikan menjadi satu, dan diusap-usapnya hingga
mengeluarkan asap berwarna hitam.
"Di mana pun kau berada, kau harus mampus!" desa
Manusia Pemuja Bulan.
"Gila! Ini kacau, Tuanku. Oh! Tuanku? Tuanku
Andika.... di manakah kau?" Tridarma jadi celingukan
ketika menoleh, Andika sudah tidak ada. Sementara
rombongan orang-orang itu semakin lama
semakinmenjauh dengan bersuara berbisik, seolah
pantang bagi mereka berbicara keras kalau masih berada
di lingkungan tempat pemujaan.
Laki-laki ini sama sekali tidak memperhatikan kalau
Andika mendadak saja lenyap. Tridarma menggeleng-
gelengkan kepala, mengagumi kesaktian pemuda yang
telah mewarisi ilmu Pendekar Lembah Kutukan. Ilmu yang
sangat sulit dicarikan tandingannya, kecuali memang para
tokoh yang teramat sakli.
Tridarma melompat bersalto dengan ringan ke
bawah. Kepalanya kembali celingukan. Tak ada siapa-siapa
di Sana. Rembulan mulai tersaput awan hitam, tidak lagi
sebulat tadi.
"Tuanku Andika.... Di mana kau? Di mana?" bisik laki
laki tua ini sambil menajamkan pandangan dan
pendengarannya.
Tetapi sosok Andika tidak muncul juga, membuat
Tridarma kebingungan. Dia mencari-cari lagi di sekitarnya
sambil memanggil-manggil. Tetapi, Andika tetap tidak ada.
"Oh! Ke manakah dia?" gumam Tridarma sambil
mengingat-ingat kejadian tadi.
Laki-laki tua ini memang terlalu asyik
memperhatikan upacara pemujaan bulan tadi. Tetapi,
diam-diam dia pun yakin akan kesaktian pemuda berbaju
hijau pupus yang di bahunya selalu terdapat kain bercorak
catur. Pasti Andika telah menggunakan ilmu meringankan
tubuh yang paling tinggi, sehingga Tridarma tidak
menyadari sama sekali.
Tridarma memutuskan untuk segera mencarinya.
k k k
Sebenarnya, apa yang dilakukan Andika tadi? Dari
mata yang terlatih dan pendengarannya yang tajam, Andika
merasa yakin kalau sosok Mayang tadi didatangkan
dengan menggunakan tenaga dalam tinggi.
Pendekar Slebor pun teringat cerita Menggolo
sebelum ajalnya, kalau sesajen yang akan diberikan
kepada Dewa Bulan akan lenyap mendadak. Katanya,
Dewa Bulan berkenan menerima sesajen yang diberikan.
Teringat itu, semakin yakin di benak Andika, kalau
sosok Mayang akan kembali dilenyapkan menggunakan
tenaga dalam
Andika pun menunggu dengan hati berdebar. Dia
harus berlomba dengan waktu sebelum terlambat. Maka
begitu yakin Ki Wedokmurko akan kembali melenyapkan
Mayang, dengan cepat tubuhnya melesat menangkap
tubuh gadis itu. Gerakannya sangat ringan dan cepat.
Namun sejenak tadi dia hampir saja terbawa lemparan
tenaga dalam tinggi. Untung saja, Andika sudah
mempersiapkan diri dengan tenaga dalam pula. Sehingga,
dia bisa menghentikan laju sosok gadis itu yang hendak
lenyap ke satu tempat.
Pendekar Slebor segera membawanya tubuh
Mayang yang terselimuti kain hitam ke sebuah tempat yang
cukup jauh. Di tepi sungai yang terdapat di hutan kecil kaki
Gunung Pengging, Pendekar Slebor berhenti.
Andika membaringkan tubuh gadis itu. Lalu dengan
cepat dialirkannya tenaga dalam dan hawa murni untuk
menyadarkan Mayang dari pingsan.
Sesaat Andika terkejut. Baru disadari kalau gadis itu
bukanlah pingsan akibat sesuatu yang wajar, melainkan
seperti terkena pengaruh sihir.
Andika segera membuka kain bercorak catur yang
tersampir di bahunya. Lalu kain pusaka itu direndam
dengan air sungai, dan diusapkan ke wajah gadis itu. Pada
saat yang sama kembali dialirkannya tenaga dalam.
Perlahan-lahan Pendekar Slebor membuka kain
hitam yang menyelimuti tubuh gadis itu, tetapi terburu-buru
segera membalutnya lagi. Karena di balik kain hitam itu,
Mayang tidak mengenakan pakaian penutup secarik pun!
Wajah Andika memerah.
"Bangsat kau. Manusia Pemuja Bulan! Perbuatanmu
sudah tidak bisa dimaafkan lagi!" rutuk Pendekar Slebor.
Tetapi kemudian Andika tersenyum, seperti geli
menyadari kalau dirinya telah melihat tubuh gadis itu.
"Untung tidak ada orang lain di sini. Kalau ada..., he
he he !Aku jadi malu juga, kan?"
Kembali Andika merendam kain pusakanya. Dan
dengan kain itu kembali di basuhnya wajah Mayang. Lalu
disusurinya tubuh gadis itu. Dibiarkannya saja kain hitam
yang menyelimuti tubuh Mayang sampai basah.
Selanjutnya, Pendekar Slebor menekan kedua
jempol kaki gadis itu sambil mengalirkan hawa murninya.
Perbuatan itu dilakukan cukup lama juga, sampai
kemudian....
"Okh..., di mana aku ini?"
Terdengar suara dari mulut Mayang.
Andika mendesah panjang. Dia bersyukur karena
berhasil melepaskan pengaruh Manusia Pemuja Bulan
pada gadis itu.
"Mayang...," panggil Andika sambil memperhatikan
sepasang mata yang bergerak-gerak. "Tenanglah.... Kau
sudah aman sekarang...."
"Apakah aku berada di sorga? Ataukah di neraka?"
tanya gadis itu bingung. Dia merasakan kepalanya berat
sekali.
Andika mengangkat tangan kanan gadis itu, lalu
mencubitnya. Pelan.
"Sakitkah?" tanya Pendekar Slebor.
Gadis itu mengangguk-angguk.
"Kau tidak berada di sorga atau di neraka. Kau
masih memiliki rasa sakit. Berarti kau belum mati...," jelas
Andika.
"Tetapi aku di mana?" tanya Mayang sambil
mengangkat tubuhnya perlahan-lahan. Sementara kedua
kakinya masih dalam keadaan berselonjor.
Untungnya, tadi Andika mengikat kembali lipatan
kain itu ke dada Mayang. Sehingga ketika gadis iti
mengangkat tubuhnya, kain itu tidak melorot Dan Andika
pun terkekeh membayangkannya.
"Kau berada di satu tempat yang sungguh, aku
sendiri tidak tahu namanya," jawab Andika. "Tetapi, kau
aman. Kau jauh dari tangan Manusia Pemuja Bulan," jelas
Andika lagi.
Mata gadis itu membuka.
"Manusia Pemuja Bulan?" tanya Mayang.
"Ya. Kau ingat dia?"
Gadis itu terdiam.
"Ya, ya...," kata Mayang seperti masih merenung.
"Aku ingat. Tetapi, mengapa aku berada di sini? Bukankah
seharusnya malam Jumat aku akan dikorbankan untuk
Dewa Bulan?"
"Sekarang malam Jumat, Mayang."
"Malam Jumat? Oh! Seingatku masih satu hari lagi.
Bukan! Sekarang bukan malam Jumat. Aku harus kembali
ke rumah. Aku harus bersiap-siap untuk dijadikan sesajen.
Kasihan Aki. Kalau aku tidak melakukannya, maka dosa-
dosanya tidak akan diampuni.... Dia akan disiksa
sepanjang masa," keluh Mayang.
Andika mendesah panjang. Rupanya pengaruh
Manusia Pemuja Bulan itu sudah sangat kuat.
"Mayang! Dengarkan kata-kataku. Ini sudah malam
Jumat.... Dan kau baru saja akan dikorbankan oleh
Manusia Pemuja Bulan...," ujar Pendekar Slebor. Mayang
terdiam. Matanya terpekur.
"Bukankah masih ada waktu satu hari lagi?" gumam
Mayang masih bingung.
Andika menangkap sesuatu yang asing pada gadis
ilu.
"Ceritakanlah, Mayang.... Apa yang kau alami?" pinta
Andika.
Mayang terdiam beberapa saat.
"Senja itu..., aku baru saja ingin mandi. Ya, kau
ingat.Aku ingin mandi. Tetapi mendadak saja kurasakan
kepalaku sangat pusing. Rasanya begitu menyengat. Aku
ingin sekali berteriak, namun tak kuasa. Suaraku seolah
hilang. Lalu tubuhku terasa bagai melayang. Ingatanku
hilang. Dan aku tidak tahu, dibawa ke mana. Karena..., aku
tidak ingat sama sekali.... Yah! Hanya itu yang aku tahu.
Selebihnya tidak." tutur Mayang.
Kini Andika yakin, kalau Manusia Pemuja Bulan
dengan kekuatan sihirnya, telah lebih dulu menculik
Mayang. Kini gilirannya untuk mengatakan kepada
Mayang, kalau Manusia Pemuja Bulan adalah tokoh sesat.
"Mayang..., kau telah kuselamatkan darmya...," jelas
Pendekar Slebor.
"Kau selamatkan? Oh, hei? Aku ingat...! Bukankah
kau pemuda yang datang ke rumahku tempo hari?"
"Benar.... Namaku Andika." "Aku pun ingat nama itu. Kang
Andika..., apa maksud dengan mengatakan kau telah
menyelamatkan aku?" tanya Mayang.
Andika mendesah pendek.
"Mayang..., ketahuilah... Manusia Pemuja Bulan itu
bukanlah orang baik-baik. Dia adalah orang sesat yang
menggunakan kesaktiannya untuk menipu kalian.
Termasuk, mengorbankan perawan sebagai sesajen untuk
Dewa Bulan," jelas Andika.
"Tetapi...."
"Mayang!" potong Andika. "Seluruh warga di sekitar
Gunung Pengging ini percaya dengan Manusia Pemuja
Bulan. Tetapi masih ingatkah kau, kalau kakekmu tidak
mempercayainya?"
Mayang mengangguk-angguk.
"Ya.... Aki menentangnya...," desah gadis itu.
"Kakekmu benar, Mayang. Dialah satu-satunya orang
yang tidak terpengaruh Manusia Pemuja Bulan. Entahlah,
bagaimana sebenarnya perasaannya. Yang jelas, meskipun
pernah terpengaruh, namun pada akhirnya dia sadar kalau
yang diajarkan Manusia Pemuja Bulan...."
"Tetapi Dewa Bulan murka, sehingga kakek harus
menerima hukuman.,.,"tukas Mayang.
"Ya! Tetapi bukan Dewa Bulan yang melakukannya,
karena tak ada Dewa Bulan yang patut disembah. Apalagi
orang yang datang bulan, he he he...!" kata Pendekar
Slebor, berseloroh.
"Oh! Siapa yang melakukannya?" tanya Mayang.
Andika jadi malu sendiri, karena selorohannya tak
ditanggapi. Namun dia segera mendesah pelan
"Seperti yang pernah kukatakan padamu tempo hari,
yang melakukannya adalah Manusia Pemuja Bulan," jelas
Andika, kembali sungguh-sungguh. Sebenarnya Pendekar
Slebor paling benci kalau berbincang-bincang tidak pakai
canda. Namun karena gadis itu tak bisa diajak bercanda,
akhirnya Andika jadi mengalah saja.
"Ketua Wedokmurko? Oh, tidak...! Kau salah, Kang
Andika. Dia adalah seorang laki-laki baik hati. Dialah yang
mampu menghadapi malapetaka yang seringkali datang
menimpa desa kami. Dia juga yangmemberi jalan keluar
bagi kami untuk menanggulangi bahaya-bahaya alam,
sehingga tidak pernah lagi terjadi bencana seperti itu,"
papar Mayang.
"Ya! Karena dia sendiri yang melakukannya!" desis
Andika dalam hati.
Memang sulit untuk menerangkan persoalan ini
pada Mayang. Tetapi, Andika tetap bertekad untuk me¬
mulihkan kesadaran Mayang kembali.
"Percayalah kepadaku, Mayang.... Manusia Pemuja
Huian yang kalian sebut sebagai ketua itu, adalah manusia
sesat yang memantaatkan kesaktiannya. Ah, sudahlah.
Mayang..., aku ingin bertanya kepadamu.... Harta apakah
yang dimaksudkan kakekmu?"
Mayang menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu,
Kang Andika...," sahut Mayang, lirih.
"Kakekmu tidak pernah menceritakannya?"
"Tidak."
"Mayang, sekarang dengarkan aku. Manusia Pemuja
Bulan bukanlah orang baik-baik. Buanglah segala pikiran
kalau dia adalah laki-laki yang telah berbuat baik dengan
memberitahukan cara menanggulangi segala macam
bencana. Hu salah besar, Mayang... Karena, justru dia
sendirilah yang telah membuat bencana-bencana itu.
Mayang, sayangkah kau kepada kakekmu?" ujar Pendekar
Slebor.
Mayang mengangguk sambil menggigit bibirnya.
"Kalau begitu, taatilah dia. Kakekmu telah
menentang ajaran yang diberikan Manusia Pemuja Bulan.
Dan sudah seharusnya kau pun berbuat yang sama,
Mayang."
"Tetapi."
"Hilangkanlah segala keyakinanmu tentang ajaran
sesat Manusia Pemuja Bulan yang mengorbankan perawan
untuk kepentingannya sendiri. Mayang! Mulai aat ini,
taatilah kata-kata terakhir kakekmu...," ujar Andika
menyudutkan gadis itu.
Mayang terdiam. Angin menghembus rambutnya.
Dingin begitu menusuk. Fajar hampir segera tiba di ufuk
timur. Tiba-tiba air mata gadis jelita itu menitik.
"Aki...," desis Mayang pelan.
Pendekar Slebor mendesah pendek. Sedikit
banyaknya, kata-katanya sudah meresap di hati Maya Lalu
dirangkulnya gadis itu erat-erat.
Mayang sendiri yang sudah cukp lama tidak
merasakan kasih sayang kecuali dari kakeknya, meresapi
rangkulan hangat Bahkan kepalanya disusupkan, membuat
kening Andika sejenak berkerut. Tetapi kemudian Andika
tak acuh saja. Toh tak ada maksud lain kecuali untuk
menenangkan gadis itu.
"Mayang..., lebih baik kita beristirahat saja dulu."
k k k
Andika datang membawa buah-buahan yang dipetik
dari pohon di sekitar kaki Gunung Pengging ini. Sejenak
Pendekar Slebor terkejut ketika tidak melihat Mayang di
tempat semula.
"Hei? Apa lagi yang terjadi?" desis Andika.
Diletakkannya buah-buahan itu, lalu mencari ke sekeliling.
Namun tak ada Mayang di sana. "Busyet! Kenapa jadi
begini sih?"
Tiba-tiba Pendekar Slebor menangkap suara air
berkecipak. Bergegas dia melompat mencari sumber suara
itu. Alangkah terkejutnya Andika ketika melihat Mayang
sedang mandi dalam keadaan tanpa busana.
Andika cepat memalingkan kepala. Wajahnya
bersemu merah.
"Ya, ampuuunnn.... Tapi, he he he... menyenang-
Karena merasa Mayang dalam keadaan aman, Andika
kembali ke tempat semula. Ditunggunya gadis itu nampai
muncul kembali.
"Makanlah buah-buahan ini dulu, Mayang," ujar
Pendekar Slebor.
"Kang Andika tidak mandi?" tanya gadis itu sambil
mengibaskan rambutnya yang bsah.
Andika menggelengkan kepala. Dia teringat lagi,
kalau telah dua kali melihat tubuh Mayang tanpa busana.
Pertama, ketika tak disengaja melihatnya saat hendak
mengobati gadis itu. Kedua, barusan tadi!
"Kenapa, Kang Andika?" tanya Mayang, yang melihat
Andika jadi geli sendirian.
"Ah, tidak.... Makanlah dulu," kilah Pendekar Slebor.
Andika kini memperhatikan Mayang yang tengah
memakan buah-buahan yang tadi dipetiknya. Cantik.
Sayang sekali kalau sempat menjadi korban dari Manusia
Pemuja Bulan.
Mayang yang diam-diam sadar kalau diperhatikan
Andika, tersenyum senang. Dalam pertemuannya yang
kedua kalinya, entah mengapa di hatinya sudah tertanam
sesuatu yang sangat sulit ditebak.
Diperhatikan begitu rupa, lama kelamaan Mayang
tidak tahan juga. Tiba-tiba saja wajahnya diangkat,
memergoki Andika yang kontan gelagapan.
"Kenapa, Kang Andika? Apakah ada sesuatu yang
aneh?" tanya Mayang.
Andika makin blingsatan.
"Oh, tidak. Tidak...," kilah Pendekar Slebor. Sungguh
mati, baru kali ini Andika tersipu-sipu seperti itu.
"Kalau tidak apa-apa, mengapa Kang Andika tida
memakan buah-buahan ini?"
"Oh, ya, ya..."
Andika mengambil sebuah jambu segar dan
langsung menggigitnya. Tetapi seketika itu juga
disemprotnya keluar.
"Kenapa, Kang?" tanya Mayang dengan wajah ter
kejut.
"Semut!" sahut Andika.
Mayang terkikik melihatnya.
"Makanya, jangan terburu nafsu!"
Andika tersenyum. Hatinya senang melihat Mayan
sudah tidak tegang seperti tadi.
Setelah yakin Mayang sudah benar-benar tenang,
Pendekar Slebor pun mengajaknya untuk meninggalkan
tempat itu. Namun, sebelum menggandeng tangan
Mayang....
"Heh?!"
Betapa terkejutnya Pendekar Slebor ketika tiba-tiba
telah berlompatan enam orang berpakaian dan bertopeng
merah. Dan tahu-tahu mereka sudah berdiri di hadapan
Pendekar Slebor dengan tatapan nyalang!
7
Andika mendengus. Dia yakin, mereka adalah para
pengawal dari Manusia Pemuja Bulan. Buktinya, Andika
memang melihat mereka tadi saat upacara penyembahan
sesajen pada Dewa Bulan.
"Kang Andika...," desis Mayang ketakutan,
bersemnunyi di balik tubuh Andika
Melihat sikap Mayang ketakutan seperti itu, Andika
hanya nyengir. Sikapnya benar-benar tenang sekali,
meskipun tatapan matanya begitu membenci orang-orang
bertopeng merah yang mengurungnya.
"He he h e..., tenang saja, Mayang. Enteng
menghadapi para topeng monyet ini...," ujar Andika.
"Mereka orang yang kejam, Kakang...," tukas
Mayang.
"Aku tahu, mereka juga yang telah menjaga
rumahmu waktu itu...."
"Ya, Kakang.... Mereka utusan Manusia Pemuja
Bulan yang menjagaku dengan ketat. Karena, dia khawatir
aku melarikan diri saat penyembahan sesajen untuk Dewa
Bulan...," jelas gadis itu.
Andika mendesah lega. Dari ucapan gadis itu, dia
yakin kalau sekarang Mayang sudah sadar akan
kesalahannya. Kalau tidak, mengapa berkata seperti itu?
"Tenanglah, Mayang.... Menghadapi yang beginian
sih, kecil. Kecil sekali!" ujar Andika sambil menjentikkan
ibu jarinya dengan jari kelingking. Lalu dia bertolak
pinggang, mengangkat dagunya. "Hei, orang bertopeng
yang mukanya bopeng! Mau apa sih, kalian?!"
Sementara Mayang makin menyembunyikan
tubuhnya di balik tubuh Andika.
"Kalau hanya mau berkenalan denganku yang
ganteng ini, tidak usah pakai tolak pinggang seperti itu!"
lanjut Andika.
"Serahkan gadis itu kepada kami!' bentak salah
seorang dengan suara ditekan. Tatapannya nyalang, geram
melihat tingkah Andika yang menjengkelkannya itu.
"Serahkan? Wooo..., aku mendapatkannya saja
susah, kok enaknya meminta begitu? Tidak usah, ya?"
Andika menggoyang-goyangkan tangannya dengan
bibir mencibir.
"Anak muda...! Kau sudah membuat kami pusing...!
Jadi, jangan banyak tingkah sekarang!"
"He he he.... Kalau pusing, mengapa tidak membeli
jamu godok saja? Jangan diminum, tetapi pupurkan di
matamu yang belo dan jelek itu!" ejek Andika. "He he he.
Kontan bopeng-bopeng di wajahmu itu akan hilang!
Eh? Apa hubungannya, ya? Kok mata yang dikasi pupur,
bopengnya yang hilang? Wah, wah... salah! Maksudku...,
hidung kalian yang akan hilang!"
Andika semakin ngoceh tak karuan. Sedang Mayang
yang ketakutan dan bersembunyi di belakang tubuh
Andika, mau tak mau tersenyum juga melihat tingkah
Andika yang konyol. Namun gadis itu tetap saja ketakutan
melihat keenam orang bertopeng yang bermata sengit itu.
Sementara wajah di balik topeng merah itu
menggeram.
"Anak muda..., sayangilah nyawamu yang hanya
selembar itu...."
"Lho? Apa kau punya nyawa dua lembar?" balas
Andika. "Enak juga ya, kalau mampus digigit ular masih
bisa hidup lagi!"
"Jangan memancing kemarahan kami!" bentak orang
bertopeng itu.
Andika hanya nyengir.
"Habisnya, menyuruh kalian tertawa juga percuma
Karena, gigi kalian tidak kelihatan! Jadinya, aku tidak tahu
apakah kalian bergigi ompong atau rata!"
Bukannya menjawab, keenam orang itu secara
serempak menyerang dengan hantaman telapak tangan.
Wuuuttt!
Srattt!
"Heeiiittt!"
Andika melenting sambil mendorong tubuh Mayang
ke samping. Sehingga, gadis itu jatuh terduduk. Namun
tidak terhempas, karena Andika sudah menggunakan
tenaga dalam pengendali beban yang memang jarang
sekali digunakan.
"Kalem saja! Aku akan melayani serangan kalian
yang kayak banci itu, kok!" kata Andika, mengejek.
Keenam orang bertopeng merah itu terus merangsek
dengan ganas. Serangan-serangan mereka sangat
berbahaya. Orang bertopeng yang melakukan gebrakan
pertama tadi, semakin marah saja melihat tingkah Andika
yang menjengkelkan.
"Bikin mampus manusia iseng ini!" bentak orang
bertopeng itu sambil mengirimkan pukulan kuat ke wajah
Andika, disusul yang lainnya. Wuuuttt!
"Heaaa!"
Andika cepat berkelit ke sana kemari. Namun
menghadapi serangan secara serempak yang bertujuan
untuk mematikan ruang geraknya, membuat Andika harus
mengeluarkan kecepatannya dalam menghindar. Gerakan
Pendekar Slebor pun semakin gencar saat menghindari
setiap serangan beruntun yang datang. Di samping itu
ketika tangannya berkelebat, terdengar bagai menyalak.
Memang pelan. Namun hasilnya sungguh mantap. Rupanya
Pendekar Slebor sudah mengalirkan tenaga 'inti petir’
tingkat ketiga puluh dua di tangannya Dengan tenaga dan
kecepatan itulah dicobanya untuk menghadapi setiap
serangan yang datang. "Heerri! Sabar, sabar! Ntar juga
kebagian!" seru Pendekar Slebor sambil berkelit dengan
menarik kepala.
Lalu Pendekar Slebor mengangkat sebelah kakinya
sambil berjumpalitan ke depan. Dan tiba-tiba kedua
tangannya dikibaskan ke samping, lalu meluruk ke salah
seorang lawan yang tengah bersiap menyerang.
Duuuk!
"Aaakh...!"
Pukulan itu tepat menghantam dada orang
bertopeng merah yang bersiap menyerang. Tubuh orang itu
terhempas ke belakang disertai pekik kesakitan. Setelah
muntah darah, dia meregang nyawa.
Melihat salah seorang kawannya mati, lima orang
yang lain semakin mempergencar serangan. Dan ini
membuat Andika semakin berhati-hati saat menghindar
dan membalas.
"Bentuk rangkaian 'Lima Iblis Membunuh Naga'l"
teriak salah seorang, keras.
Mendadaksaja kelima orang bertopeng itu membuat
gerakan melingkar, lalu saling mendekat. Satu orang
berada didepan, dua orang berada di tengah, dan dua
orang lainnya berada paling belakang. Masing-masing
membuat gerakan berlainan. Yang berdiri di depan
membuka kedua tangannya. Kaki kanannya membujur ke
bawah dan tubuh berlutut, bertopang pada kekuatan kaki
kiri. Sedangkan yang di tengah salah seorang melebarkan
kaki kirinya ke samping. Kaki kakannya di tekuk.
Sementara seorang lagi melebarkan kaki kanan ke
samping dengan kaki kiri ditekuk pula. Tangan mereka me¬
ngembang bagaikan kepakan sayap rajawali. Yang berada
paling belakang berdiri tegap dengan kedua tangan
mengepal ke depan.
"Itulah jurus 'Lima Iblis Membunuh Naga'. Sebuah
jurus yang sangat ampuh dan hebat!
Andika yang tadi menganggap ringan lawannya, kini
harus mengerutkan keningnya. Dia yakin, jurus yang
diperlihatkan lawan-lawannya bukanlah jurus kosong
belaka. Suatu jurus yang tangguh dan sudah pasti sangat
hebat.
Tetapi bukan Andika yang berjuluk Pendekar Slebor
kalau dalam suasana seperti itu tidak mengejek.
"He he he..., apakah kalian ingin bermain dolanan
bocah yang kalau tak salah namanya dolanan ular tangga?
Wah, wah...! yang depan menjadi dadu, yang di belakang
menjadi ularnya, dan yang paling belakang menjadi tangga.
Aku peserta yang paling tangguh, pasti! Pialanya, sudah
tentu Mayang, bukan?" leceh Andika.
"Pemuda sinting! Serahkan gadis itu kepada kami.
Maka kau akan selamat!" bentak yang berada di depan.
"Lho, enak saja ngomong! Memangnya tape yang
bisa diserahkan begitu saja. Bilang saja, kalian iri kan?"
Lima wajah di balik topeng itu merah padam. "Sekali
lagi kuperingatkan, serahkan gadis itu!" desak salah
seorang.
"Baik! Aku akan menyerahkannya. Tetapi..., sudah
tentu kalau kalian sudah terkapar di tanah. Bagajmana?
Usul yang menarik, bukan?" balas Andika, enteng.
Kali ini tak ada yang bersuara lagi. Karena orang
bertopeng yang berdiri paling depan sudah menyerbu
dengan gerakan berguling. ,
Andika terkejut menerima serangan semacam itu!
Karena tak mungkin dalam keadaan seperti itu, seseorang
bisa menggerakkan tubuhnya secara bergulingan. Lebih
terkejut lagi, ketika dua orang yang berada di tengah
menerjang bagaikan meluncur! Kemudian disusul
serangan dari arah samping yang berlawanan oleh dua
orang paling belakang
Andika harus menghindar ke sana kemari sambil
memapak setiap serangan. Rupanya, di balik serangan
aneh yang dilakukan secara serempak itu. tenaga mereka
bisa terangkum menjadi satu.
Buktinya begitu Andika memapak salah satu
pukul-.n yang melesat ke arahnya, tidak lagi merasakan
tenaga | lembek dibandingkan tenaga miliknya. Tetapi,
suatu tenaga yang berlipat ganda!
"Kutu busuk! Hebat juga jurus kalian itu!"semprot
Andika sambil melenting.
"Sejak tadi kukatakan, jangan banyak tingkah!
Sekarang sudah terlambat, Anak Muda!"
"Terlambat, terlambat! Kok lucu, ya? Apanya yang
terlambat? O iya, aku ingat. Kalian bangun kesiangan, sih!
Makanya jangan jadi pemalas, dasar kebluk!" ejek
Pendekar Sleborsambil membalas serangan yang datang
beruntun itu. Tubuhnya berkelebat ke sana kemari dengan
cepatnya.
Namun seperti yang dialami tadi, setiap benturan
yang terjadi, bukannya membuat kelima lawannya mun¬
dur, malah semakin ganas menyerang. Kini justru Andika
yang harus kalang kabut menghindari serangan-serangan
yang mematikan itu.
Sementara itu, Mayang hanya bisa menekuk kedua
lututnya ke dada sambil mendekap wajah. Gadis ini ngeri
melihat pertarungan yang mendebarkan itu. Kini, lambat
laun di hatinya timbul kesadaran, kalau yang dikatakan
Andika ternyata benar.' Manusia-manusia ini adalah
makhluk jahat!
"Oh, Aki.... Kau menjadi korban kejahatan mereka
pula!" desah gadis itu.
Sementara itu, Andika terus menerus menghindari
tanpa diberi kesempatan membalas. Karena setiap kali
hendak menyerang, kelima lawannya sudah menutup
ruang geraknya dengan cara mengirimkan serangan secara
serempak.
"Ini sih tidak boleh dibiarkan!" dengus Pendekar
Slebor.
Tiba-tiba Andika melenting ke belakang dua kali. Dan
ketika hinggap di tanah dengan ringan, Pendekar Slebor
sudah merangkum jurus 'Guntur Selaksa 1 , salah satu jurus
dahsyat yang didapat dari Pendekar Lembah Kutukan.
"Ayo! Sampai di mana kehebatan jurus 'Monyet Bu¬
duk Membunuh Nyamuk 1 !" tantang Pendekar Slebor.
Dan mendadak saja, Andika mengempos tubuhnya.
Pada saat yang sama, kelima lawannya menyerang secara
bersamaan dengan jurus berbeda, namun berada dalam
satu mata rantai jurus 'Lima Iblis Membunuh Naga’.
P lak! Des! Duk!
Tiga benturan keras terjadi. Namun kelima lawannya
hanya mundur selangkah, dan kembali menyerang dengan
ganas.
Andika mendengus lagi dalam hati. Dia tidak percaya
kalau jurus 'Guntur Selaksa' bisa lumpuh hanya sekali
gebrak. Maka kali ini tenaga dalamnya ditambah hingga
tingkat kedua puluh.
Dengan satu gerakan manis sekali, setelah
melenting ke kiri dan meluruk dengan satu gerak tipuan,
Aiw dika kembali memapak serangan lawannya.
Buk! Des! Plak!
Kalau tadi Andika merasa seimbang dalam soal
tenaga dalam dibanding kelima lawannya yang terangkai
menjadi satu, kini akibatnya menjadi lain. Karena, tiga dari
lima lawannya bukan hanya mundur satu tindak, tapi
segera terpelanting deras ke belakang tak bangun-bangun
lagi.
Andika yang melihat kesempatan untukmenghabisij
lawan-lawannya, segera bergerak laksana kilat. Des! Duk!
"Aaakh...! Aaakh...!"
Dua pukulan Pendekar Slebor mampir di dua dada
yang tertutup pakaian berwarna merah. Seperti yang
dialami ketiga lawannya tadi, tubuh mereka pun terlon-tar
deras ke belakang. Yang satu menabrak pohon, yang satu
lagi tercebur ke sungai dan segera digulung arus yang
cukup deras.
k k k
Andika mendengus. Matanya melirik Mayang yang
masih menutup kedua mata dengan tangannya.
"Hhh! Masih cetek ilmu kalian!"
Sambil mengejek, Andika melangkah memeriksa
lawan-lawannya yang terkapar. Tiga orang telah menjadi
mayat. Namun yang seorang lagi masih bernapas dalam
rasa sakit yang luar biasa. Andika berjongkok di depan
sosok itu.
"Hei, Kutu Koreng! Katakan, di mana Manusia
Pemuja Bulan itu berada?" bentak Pendekar Slebor.
Bukannya jawaban yang didapatkan Andika, justru
pelototan marah.
"Wah, masih nekat! Padahal, kau sudah mau
mampus! Katakan di mana Manusia Pemuja Bulan?!" ulang
l'endekar Slebor.
Mata orang itu semakin memerah.
"Carilah dia di neraka!"
"Tempatnya memang pantas di neraka. Hei, hati-hati
kalau ngomong. Nanti didengar manusia bau tau itu, bisa
mampus kau dibuatnya!" desis Andika, memasang wajah
ketakutan. "Hiii! Memang, kalau yang sudah mau mampus
suka ngelantur!"
"Kau tak akan bisa menemuinya...."
Seperti kesalahan bicara, orang yang tengah
menahan rasa sakit itu berkata lagi.
"Eh! Nekat, ya?"
Mendadak saja Andika menunggingi laki-laki itu.
Dan.... Dut!
"He he he.... Makanlah uap beracun yang mematikan
itu!"
Orang itu nampak gelagapan. Dan gerakannya itu
justru menyakitkan napasnya yang sudah Senin-Kemis 1
"Ayo, katakan di mana dia ?!' 1 desah Andika. Orang itu hanya
melotot dengan pancaran sinar kemarahan yang tinggi.
"Kau tak akan mampu mengalahkannya!" kau !
orang itu dengan suara ditekan meskipun
dikeluarkan susah payah.
"Eh! Kau menantang, ya? Sayangnya kau akan
mampus! Tetapi..., he he he.... Tunggu, kau pasti akan mau
mengatakan di mana manusia monyet itu berada," ujar
Andika yang mendapat akal paling mengasyikkan.
Andika berdiri dan menghampiri tanah yang
ditumbuhi rumput. Diambilnya sehelai, lalu dia melangkah
kembali lagi ke tempat orang yang sekarat itu berada
Namun ketika sampai, telah berdiri satu sosok tua tanpa
baju dengan wajah bengis menatap sosok berbaju
merahyang telah meregang nyawa.
"Hei! Apa yang kau lakukan itu, Tridarma?" seru
Andika terkejut.
Sosok yang berwajah bengis itu tiba-tiba menjunr
pada Andika.
"Maafkan hamba, Tuanku.... Manusia seperti itu
sudah selayaknya mampus," ucap Tridarma.
"Tetapi, aku membutuhkannya untuk mengetahui di
mana Manusia Pemuja Bulan berada!" sahut Andika
gemas.
"Maafkan hamba, Tuanku...," ucap Tridarma lagi.
Andika yang nampak jengkel kembali mendengus.
"Tridarma...! Lain kali, jangan sembarangan bertin| dak
sebelum kuperintahkan!"
"Hamba, Tuanku!"
Andika berbalik, menghampiri Mayang yang nampak
begitu ketakutan. Dirangkulnya gadis itu perlahan-lahan.
"Sudahlah, Mayang.... Kau sudah aman...," ujar Pen¬
dekar Slebor, lembut.
"Kang Andika.... Kini aku sadar, mereka memang
manusia-manusia jahat...," kata Mayang sambil menangis
pelan di rangkulan Andika.
"Ya, kita akan membasmi Manusia Pemuja Bulan itu
hingga ke akar-akarnya."
"Oh! Aku menyesal mengapa aku mau saja dijadikan
sebagai korban untuk Dewa Bulan.... Kang Andika, bila saja
kau tidak berada di sini..., entah apa yang akan kualami...,"
desah gadis itu.
Andika membelai-belai rambut Mayang. Tiba-tiba
matanya melotot pada Tridarma yang sedang tersenyum-
senyum.
"Kenapa kau senyam-senyum begitu, hah?!" bentak
Andika yang membuat laki-laki tua tanpa baju itu tersentak.
"Oh, maaf, Tuanku...," ucap Tridarma. "Jangan
berpikir yang jorok, ya? Aku hanya menenangkan gadis ini
saja!" ujar Pendekar Slebor.
"Hamba, Tuanku...," sahut Tridama sambil menahan
geli.
"Masih nyengir kau?" bentak Andika lagi.
"Maaf, Tuanku...."
'Maaf, maaf! Cepat kuburkan mayat-mayat itu!
•k -k -k
Ki Wedokmurko yang melihat kejadian itu dari
pandangan batinnya melalui cawan yang berisi cairan
warna kuning, menggeram marah.
"Bangsat! Rupanya pemuda itu adalah Pendekar
Slebor! Pemuda pembuat onar yang telah banyak
menghancurkan orang-orang golonganku! Hhh! Kali ini kau
akan mendapat batunya, dan merasakan akibatnya dan
kelancanganmu itu !! 1
Tangan Manusia Pemuja Bulan terangkat. Seketika
serangkum sinar berwarna putih melesat, menghantam
dinding gua.
Blarrr...!
Terdengar suara bagai ledakan yang cukup keras
Dan seketika dinding gua itu pun berantakan.
"Kau akan mampus, Pendekar Slebor! Kau akan
mampus!" desis Ki Wedokmurko.
Tiba-tiba Manusia Pemuja Bulan bangkit. Dengan
gerakan ringan kakinya melangkah menuju ke satu tempat
yang berada di sudut gua. Tiba di hadapan sebuah
keranjang yang bersusun dua. Dari dalam keranjang
terdengar suara mendengung yang ramai dan panjang.
"Ayo, Manis-manisku.... Kini tibalah saatnya bag!
kalian untuk bekerja...," kata Manusia Pemuja Bulan sambil
membuka pintu keranjang.
Lalu berkeluaranlah makhluk-makhluk kecil yan
ganas. Rupanya, ribuan tawon yang telah dipelihara
Manusia Pemuja Bulan.
"Datanglah kalian ke desa-desa. Buat onar di sana
Biar semua orang merasakan kepedihan kembali. Biar
Pendekar Slebor kelabakan, karena akan mendapatka
amukan dari mereka. Dan dia akan dituduh sebagai biang
keladi malapetaka ini! Ha ha ha..," ujar Manusia P muja
Bulan, tertawa girang.
Lalu tawon-tawon itu bergerak cepat, menimbulkan
suara mendengus yang sengau memekakkan telinga.
Suara yang mengandung kemarahan!
8
Mata Sawedo terbelalak begitu mendengar
penuturan seorang pemuda tanggung di depannya. Dia
sampai berdiri dari duduknya, dan memegang bahu
pemuda berusia sekitar enam belas tahun ini. Saat ini
senja baru saja datang. Angin berhembus sejuk.
"Benarkah yang kau katakan itu, Sawung?!" sentak
Sawedo.
"Beb..., benar, Kang.... Aku melihat Kak Mayang
tengah berjalan bersama seorang pemuda berpakaian
warna hijau," tegas pemuda tanggung bernama Sawung,
takut-takut. Dia ngeri melihat mata Sawedo yang
menatapnya nyalang begitu. "Juga..., seorang..., seorang
laki laki tua... yang tidak mengenakan baju...."
"Gila!" desis Sawedo. "Rupanya pemuda sialan itu
belum pergi dari sini! Bagus! Ini kesempatan kita untuk
membalas kematian Medi, Kang Menggolo, dan istrinya!"
"Tetapi, justru yang mengherankan tentang Mayang,"
kata pemuda lain yang bertubuh gempal dengan kening
berkerut.
Saat ini beberapa pemuda memang sedang
berkumpul di halaman depan rumah Sawedo,
membicarakan tentang Mayang yang di jadian korban
kepada Dewa Bulan.
"Mengapa Mayang bersamanya? Bukankah dia
sudah dikorbankan kepada Dewa Bulan?" lanjut pemuda
bertubuh gempal itu, seperti bertanya pada diri sendiri.
Kali ini bukan hanya para pemuda itu yang merasa
keheranan. Bahkan Sawedo sendiri harus terdiam
beberapa saat, mendengarkan penuturan pemuda
bertubuh gempal yang dikenal bernama Barojo.
Yah! Bukankah Mayang sudah dipersembahkan kepada
Dewa Bulan?
Ketika Sawedo hendak menanyakan lagi kebenaran
berita yang dibawa Sawung, anak tanggung itu sudah tidak
ada di tempatnya. Diam-diam dia telah minggat
meninggalkan pembicaraan tadi. Katanya, lebih baik pergi
dari pada harus dibentak-bentak begitu.
Mayang. Mayang bersama pemuda sialan itu?
Bagaimana mungkin? Jelas sekali diketahui kalau malam
Jumat kemarin Mayang dijadikan sebagai tumbal untuk
Dewa Bulan? Pertama, untuk keselamatan daerah ini.
Kedua, untuk menebus dosa-dosa Ki Seta. Tetapi yang
dikatakan Sawung tadi? Hm.... Apakah anak tanggung itu
hanya mengada-ada saja?
Tetapi kemudian, Sawedo mempunyai pikiran lain.
"Hmm.... Kini aku tahu. Aku tahu...," kata Sawedo
sambil berjalan mondar-mandir.
"Apa yang kau ketahui?" tanya seorang pemuda
bertubuh kurus sambil memperhatikannya.
Sawedo menghentikan langkahnya.
"Seperti yang kita ketahui, Mareko! Pemuda itu telah
membuat keonaran di daerah ini. Dia bukan hanya telah
membunuh saudara-saudara kita yang lain, tetapi juga
mengacaukan upacara sesembahan."
"Maksudmu?" tanya pemuda bertubuh kurus yang
dipanggil Mareko. Kali ini dia agak tegang.
"Pemuda itu memang harus diajar adat!"
"Mengapa?"
"Karena telah mengacaukan jalannya upacara,
Mungkin, dia mengambil tubuh Mayang selagi Ketua
Wedokmurko lengah."
"Tetapi bagaimana mungkin dia melakukannya!
Bukankah kita semua melihat, tubuh Mayang mendadak
saja lenyap dari hadapan Ketua Wedokmurko?" tukan
Mareko.
Kali ini Sawedo tidak tahu apa yang harus
dikatakannya. Pikirannya benar-benar bingung dengan
somua ini. Yah! Bagaimana mungin Mayang yang siap
dikorbankan kepada Dewa Bulan, ternyata masih segar
bugar seperti yang diberitahukan Sawung.
"Untuk meyakinkan kebenaran berita yang dibawa
Sawung, kita harus membuktikannya!" ujar Sawedo
"Maksudmu?" tanya Barojo.
"Kita harus melihat, apakah memang Mayang yang
bersama pemuda sialan itu," jelas Sawedo.
"Kalau ternyata bukan?"
"Pemuda itu tetap harus membayar nyawa saudara
saudara kita dengan nyawanya."
"Kalau ternyata iya?"
Sawedo merenung pelan.
"Berarti..., kita akan menghadapi bencana....
Tak ada yang bersuara Para pemuda itu kelihatan
sangat tegang. Mengacaukan jalannya upacara korban
untuk Dewa Bulan, sama saja menantang maut. Ya! Seperti
yang sudah-sudah, kalau belum ada korban yang dijadikan
sesajen untuk Dewa Bulan, maka desa ini selalu dicekam
ketakutan dan malapetaka.
Apa yang dikatakan oleh Sawedo kemungkinannya
memang bisa jadi kenyataan. Oh! Akankah bencana-
bencana lalu itu sekarang ini terjadi lagi?
Terlalu lancang pemuda itu. Tetapi, bagaimana
caranya Mayang sampai bisa diculik? Mengapa tahu-lahu
Mayang berada bersamanya? Seperti biasanya, mereka
akan melihat tumbal yang dipersembahkan kepada Dewa
Bulan akan lenyap begitu saja. Entah ke mana. Sampai
saat ini, belum ada yang tahu pasti. Tetapi cukup puas bila
Ketua Wedokmurko mengatakan kalau gadis yang
dijadikan sesajen sudah diterima Dewa Bulan.
Lalu, bagaimana tiba-tiba Mayang bersama pemuda
gondrong berpakaian hijau pupus dengan kain bercorak
catur di bahunya? Apakah telah menculiknya dari Dewa
Bulan? Lho? Mengapa dia bisa melakukannya? Lalu,
siapakah sebenarnya yang membunuh Medi, Kang
Menggolo, dan istrinya? Pertanyaan-pertanyaan yang tak
terjawab itu singgah di benak mereka.
"Pemuda itu memang biang keladi dari semua ini!
Dia justru membuat desa ini kembali tidak aman! Kalau
waktu itu membunuh Medi, Kang Menggolo, dan istrinya,
kini dia berani-beraninya menculik Mayang! Hhh! Ini bahaya
yang sangat besar untuk kita! Kita harus mengembalikan
Mayang pada Ketua Wedokmurko! Aku khawatir, bencana
akan datang lagi kepada kita! Pemuda itu memang harus
mampus! Ayo, Kawan-kawan.... Kita bersiap untuk mencari
mereka, dan membunuh pemuda keparat itu!" seru
Sawedo lantang, penuh kegeraman.
Namun sebelum mereka melangkah....
"Tolooong...! Ada ribuan tawon ganas menyerang
desa kita!"
Terdengar suara minta tolong, membuat mereka
tersentak kaget.
Tridarma menghentikan langkahnya. Kepalan
menegak, seolah ada sesuatu yang mengusik
pendengarannya. Andika sendiri juga sudah menghentikan
langkahnya. Melihat Tridarma berbuat seolah-olah ada
sesuatu yang mencurigakan, Pendekar Slebor ikut-ikut
menajamkan telinganya. Namun, tak mendengar sesuatu
yang menarik perhatiannya.
"Kenapa, Tridarma?" tanya Pendekar Slebor.
Sementara Mayang tampak sudah duduk di atas
batu.
"Tuan, nampaknya akan sangat berbahaya sekali
kalau kita mendatangi desa tempat tinggal gadis ini
sekarang," ujar Tridarma letap dengan sikap seperti
sedangmendengarkan sesuatu yang semakin menarik
perhatiannya.
Andika menajamkan telinganya. Namun lagi-lagi
tidak menangkap suara yang mencurigakan. Dia tahu, dari
jarak mereka berada sekarang ini dengan desa itu masih
sangat jauh. Paling tidak masih membutuhkan waktu
empat kali menanak nasi.
Namun bila melihat kemampuan pendengarannyal
Tridarma yang tajam seperti itu, sungguh Andika menjadi
kagum pula. Padahal, Pendekar Slebor sudah
mengerahkan pendengarannya yang paling tajam!
"Apa yang menyebabkan kau berkata begitu?" tanya
Pendekar Slebor karena memang jadi penasaran.
Tuan..., hamba mendengar suara berdengung yang
sangat keras dan banyak sekali," lapor Tridarma. Kening
Andika berkerut
"Berdengung?" tanya Andika.
"Ya. Seperti..., ada ribuan lebah yang sedang
menyerang desa itu," jelas Tridarma.
"Oh.Tuhan! Tridarma! Benarkah yang kau katakan
itu?" seru Andika terperanjat.
"Kalau pendengaran hamba masih bekerja baik,
tentunya tidak salah, Tuanku...," kata Tridarma merendah.
"Dan agaknya, yang hamba dengar itu berasal dari ribuan
tawon yang tengah menyerang! Mereka berada dalam
puncak kemarahan! Bahkan siap membunuh siapa saja
yang berada di dekat mereka."
Andika menghela napas panjang. Apalagi yang
terjadi ini? Rasanya, terlalu banyak peristiwa mengerikan
yang dialaminya. Namun mendengar ribuan tawon
menyerang desa itu, lebih mengerikan lagi. Saat itu juga
bulu romanya berdiri karena membayangkan kengerian.
"Tridarma.... Dan kau juga, Mayang. Aku harus ke
sana. Ingat, Tridarma! Keselamatan Mayang menjadi
tanggung jawabmu. Aku tidak ingin ada sesuatu yang
mencelakakannya," ujar Pendekar Slebor.
"Baik, Tuanku," sahut Tridarma. Andika merasa kalau
harus mengusir tawon tawon yang menurut pendengaran
Tridarma sedang mengamuk di desa tempat Mayang
tinggal. Dari manakah sebenarnya datangnya binatang
kecil yang memiliki sengat yang mematikan itu?
Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Slebor segera
berkelebat meninggalkan mereka. Dengan ilmu lari
cepatnya, sebentar saja Andika sudah tak tampak lagi
"Jangan tinggalkan aku, Kang Andika!" teriak Mayang,
namun sudah tak terdengar oleh Andika lagi.
Ribuan tawon menyerang ganas salah satu desa di
lereng Gunung Pengging. Sengatnya kecil, namun
mematikan. Saat itu juga terjadi kegemparan yang disertai
jerit kesakitan. Bukan hanya manusia yang menjadi
sasaran, tetapi hewan-hewan ternak pun tak luput dari
sengatan mematikan, ribuan tawon ganas itu.
Suasana tak ubahnya terjadi wabah penyakit yang
menyakitkan. Kali ini lebih mengerikan. Tawon-tawon itu
menyengat bagian-bagian yang mematikan. Tak terhitung
korban yang langsung jatuh dengan wajah memar. Bahkan
ada yang lebih mengerikan lagi. Mata beberapa korban ada
yang bolong!
Sawedo bersama beberapa oraug yang lain
mengibaskan pedangnya ke sana kemari dengan geram,
sambil berusaha menutupi wajahnya dengan tangannya.
"Pergi kau, Bangsat-bangsat! Pergi dari sini! Heaaa!
Heaaa...!"
Namun tawon-tawon itu dengan ganas memburu ke
arah Sawedo yang menjadi kelabakan. Dari sudut matanya
dia sempat melihat Mareko sudah menjadi mayat dengan
tubuh penuh luka mengerikan. Begitu pula yang lainnya.
Meskipun mereka berusaha mengusir hewan-hewan
ganas itu, namun nampaknya sia-sia belaka.
Suasana sungguh menggiriskan, tak ubahnya bagai
datangnya kiamat. Dan tanpa sepengetahuan mereka, tiga
orang perawan telah lenyap dari tempatnya.
Jerit tangis dan orang yang berlarian bagai dikejar
maut menjadi pemandangan mengerikan pagi itu. Pagi
berdarah yang tak akan pernah terlupakan.
Ini gara-gara pemuda keparat itu yang telah
mencampuri urusan Ketua Wedokmurko! la harus dicari! la
harus merasakan penderitaan yang teramat pedih! Aaakh!"
teriak Sawedo, di sela-sela kesibukannya mengenyahkan
tawon-tawon ganas. Namun tak urung tangannya tersengat
pula.
Pemandangan mengerikan semakin nampak di
mata. Mayat-mayat bergelimpangan tak berdaya, dengan
sekujur tubuh penuh darah. Juga hewan-hewan ternak
yang berkeliaran, berlarian mengamuk menahan sakit, lalu
ambruk menimbulkan suara memilukan. Werrr...!
Di tengah-tengah kematian itu mendadak saja
serangkum angin keras menyerbu ke sana. Rupanya
Pendekar Slebor telah muncul dengan mengibaskan kain
pusakanya yang bercorak catur.
Melihat pemandangan yang menyedihkan dengan
jerit tangis yang keras dan tubuh yang perlahan-lahan
ambruk, hati Andika pun teriris. Dengan kegeraman luar
biasa, kain pusakanya dikibaskan ke sana kemari.
Wrrrttt!
Breeettt!
Setiap kali kain pusaka Andika mengibas,
menimbulkan suara cukup keras. Kemudian menyusul
sekelompok tawon tersambar dan mati. Terus menerus
Andika berbuat seperti itu sambil mempergunakan
kecepatannya, sekaligus harus menghindari serangan-
serangan sengat tawon yang mematikan.
"Pergilah kalian dari sini! Mampus semuanya!"
bentak Andika kerasnya.
Pendekar Slebor kini berusaha menolong orang-
orang yang tengah diserang tawon-tawon itu.
"Cepat kalian masuk! Masuk! Jangan ada yang
keluar! Tutup semua pintu dan jendela!" ujar Andika ke-ras.
Namun orang-orang itu bukannya masuk, malah
berlarian keluar. Karena bagi mereka, berada di dalam
rumah justru sulit keluar. Lebih baik berada di luar. Namun
akibatnya, nyawa mereka pun terbuang percuma.
Hal ini membuat Andika semakin kalap.
"Masuk kalian! Masuk! Jangan membuang nyawa
percuma!
Brett! Werrtt!"
Kain pusaka Pendekar Slebor kembali mengibas ke
sana kemari dengan cepatnya, mengandung tenaga
semakin kuat. Namun jumlah tawon-tawon itu sangat
ba-,nyak.
"Masuk kalian ke rumah! Selamatkan nyawa anak
istri kalian! Cepat! Tawon-tawon ini sangat berbahaya!"
teriak Pendekar Slebor.
Sebisanya orang-orang itu berusaha masuk,
menyambar siapa saja yang berada di dekatnya untuk
menghindari sengatan tawon-tawon ganas.
Wuttt!
Brettt!
Andika terus mengibaskan kain pusakanya ke arah
tawon-tawon itu yang men dengung-dengung
mengancamnya. Dan mendadak saja tubuhnya berputar
setelah menyampirkan kain pusakanya. Dan ketika
putarannya berhenti, Andika berdiri tegak seperti
menantang.
"Ayo, kalian hewan-hewan bersengat! Sengat aku!
Kerubungi aku! Bunuh aku!" lantang Pendekar Slebor.
Seperti melihat kalau ada sasaran yang berani
menanlang maut, tawon-tawon itu menyerbu ke arah
Andika. Perlahan-lahan kini kedua kaki Pendekar Slebor
ludah dikerubungi ribuan tawon. Lalu, kedua tangannya
dan berlanjut ke sekujur tubuhnya. Bahkan kini wajahnya.
Hingga akhirnya, terlihatlah sebuah pemandangan
hagaikan sebuah patung yang dibuat dari ribuan tawon.
Hanya satu dua saja yang masih beterbangan, selebihnya
hinggap di tubuh Andika.
Orang-orang yang terluka dan masih bisa bergerak,
berusaha masuk ke rumah. Kali ini mereka menuruti kata-
kata Andika, setelah melihat tubuh pemuda itu kini
tertutupi ribuan tawon yang ganas.
Dari jendela mereka, para penduduk memperhatikan
pemuda yang masih dirubungi ribuan tawon. Mereka yakin,
dalam waktu beberapa hitungan saja, pemuda itu sudah
tewas seketika.
Sawedo yang semula geram begitu melihat
kedatangan Andika, kini harus menahan diri. Karena sejak
tadi, dia melihat kalau pemuda itu berusaha
menyelamatkan mereka dari serbuan tawon yang ganas.
Apalagi sekarang, pemuda itu seperti menyediakan
tubuhnya untuk dijadikan sasaran tawon-tawon itu, sebagai
pengalih perhatian dari sasaran yang lain.
"Gila! Siapakah dia sebenarnya?" desis Sawedo,
diam-diam kagum melihat pemuda itu yang seperti rela
berkorban." Dia pasti akan mampus dalam sekejap."
Namun tak seorang pun yang tahu, kalau Andika
sudah mengalirkan tenaga 'inti petir' tingkat kesepuluh
untuk melindungi diri dari sengalan-sengatan tawon itu.
Tentu saja, Pendekar Slebor belum begitu tolol mau
mengorbankan diri. Padahal, pentolan dari semua
peristiwa ini belum dihancurkan.
Lagi pula, Andika masih suka makan nasi kebuli!
Setelah hampir seluruh tawon-tawon hinggap di
tubuhnya dan berusaha menusukkan sengatnya yang
paling berbahaya, diam-diam Andika memperkuat tenaga
'inti petir'nya. Sehingga yang dirasakan hanyalah sebuah
tusukan-tusukan pelan yang tak berarti.
Lalu mendadak saja tubuh Pendekar Slebor bergetar
cukup kuat. Dan seketika terlihat pula beberapa ekor
tawon yang menempel di tubuhnya jatuh dan hancur.
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan itu, tawon-
tawon itu berusaha melepaskan diri dari tubuh Andika.
Namun Andika tidak akan membiarkannya begitu saja.
Pendekar Slebor akan menghancurkan seluruhnya!
Pendekar Slebor mengendalikan tenaga dalamnya yang
berpusat dari pusar ke seluruh tubuh, dan memainkannya
bagaikan berada dalam suatu gelombang. Lalu....tenaga
dalam itu dibawanya ke depan. "Phuih...!"
Bersamaan dengan itu Andika menghembuskan napasnya
perlahan-lahan. Sehingga tenaga dalam yang keluar
bagaikan sebuah perekat, yang membuat tawon-tawon itu
tidak bisa melepaskan diri.
Tubuh Andika semakin bergetar. Dan tawon itu
perlahan-lahan meluncur jatuh dan mati. Hingga kemudian,
seluruh tawon pun berjatuhan mati. Di bawah kaki Andika,
hewan-hewan pembunuh itu bergeletakan.
Orang-orang yang melihat kehebatan itu merasa
aneh sekali, menyaksikan seorang pemuda yang nampak
segar bugar. Padahal, habis dikerubungi tawon pembunuh
kejam, yang sudah tentu pasti telah menyengat salah satu
bagian tubuhnya.
Hal yang serupa pun singgah di benak Sawedo yang
diam-diam juga menaruh kagum pada pemuda itu. Kini dia
yakin, pemuda itu bukanlah orang sembarangan. Namun
masih ada pertanyaan yang mengganjal di benaknya.
Mengapa pemuda itu membunuh Medi. Kang Menggolo,
dan istrinya?
Andika yang tengah mengibas-ngibaskan tangannya
ke seluruh pakaian, mengangkat wajahnya. Dan
tatapannya membentur pada tatapan Sawedo yang masih
berdiri tegak di sana. Tampak kedua tangan Sawedo penuh
sengatan. Juga pakaian dan celana yang dikenakannya
telah koyak moyak.
Dalam sekali lihat saja, Andika bisa mengetahui
kalau Sawedo dalam keadaan luka parah.
"Saudara Sawedo.... Anda membutuhkan perto¬
longan...," kata Pendekar Slebor, hati-hati. Sawedo
mengibaskan tangannya. "Tidak... Aku tidak apa-apa...,"
tolak laki-laki ini. Padahal Sawedo merasa sekujur
tubuhnya sangat panas. Tatapannya berkunang-kunang
dengan tubuh terasa limbung.
"Saudara.... Kalau Saudara tidak segera ditolong,
maka... okhhh!"
Andika cepat bergerak, menangkap tubuh Sawedo
yang hendak ambruk.
"Keterlaluan! Sudah dibilang teriuka, masih berlagak
jago! Begini akibatnya!" dengus Andika. "Aku tidak apa-
apa," kata Sawedo lemah. "Lebih baik kau tidak usah
berkata-kata, karena hanya membuang tenaga saja. Saat
ini, tenagamu sangat diperlukan sekali untuk
mempertahankan hidupmu” ujar Pendekar Slebor.
Sementara orang-orang yang merasa sudah aman
itu pun segera keluar dari rumah.
"Tolong orang-orang yang masih hidup itu. Rawat
mereka!" seru Andika.
Tetapi Andika salah duga. Karena, orang-orang itu
justru mendekatinya. Wajah mereka..., begitu garang.
Penuh amarah dan siap membunuhnya!
9
Kening Andika berkerut ketika orang-orang itu
mengelilinginya. Matanya langsung melirik Sawedo yang
terkulai lemah dalam rangkulannya. Pemuda itu benar-
benar tak berdaya, merasakan hawa panas yang mengalir
di tubuhnya semakin kuat mengikat. Andika mendengus
dalam hati. Kalau Sawedo tidak segera diselamatkan,
maka nyawanya akan lepas percuma.
Pendekar Slebor kembali memperhatikan orang-
orang yang mengelilinginya dengan pandangan geram.
Sekali lihat saja Andika yakin, kemarahan orang -orang itu
ditujukan kepadanya.
"Pemuda setan! Gara-gara kaulah desa kami yang
damai ini diserang petaka!" dengus salah seorang laki-laki
yang tangannya nampak penuh sengatan tawon ganas tadi.
Bahkan beberapa diantara luka itu mengeluarkan darah.
"Tahan! Jangan salah pabam... ini semua...."
"Diaaamm!!" bentak laki-laki itu, membuat kata-kata
Pendekar Slebor terpenggal. Di tangannya terdapat sebuah
parang besar. "Kau telah mengacaukan upacara tumbal
untuk Dewa Bulan! Akibatnya, justru kamilah yang terkena
petaka akibat kemarahan Dewa Bulan!!"
Kini sadarlah Andika, kalau dirinya dituduh sebagai
biang keladi dari serangan tawon-tawon yang kini sudah
bergeletakan dengan jumlah sangat banyak.
"Sadarlah kalian," ujar Andika masih berusaha
menyadarkan mereka dari kekeliruannya. "Kalau selama ini
kalian telah diperalat dan dibodohi Manusia Pemuja Bulan.
Tidak ada Dewa Bulan. Manusia Pemuja Bulan hanya ingin
memanfaatkan kalian. Tentunya untuk tujuan kotor."
"Jangan banyak omong! Yang kini teriihat hanyalah
saudara-saudara kami yang telah menjadi mayat! Kalau
saja kau tidak mengacaukan upacara dengan menculik
Mayang, kami tidak akan mengalami hal yang mengerikan
seperti ini!"
Semakin sadar Andika, kalau mereka sudah tahu
tentang Mayang yang diculik ketika hendak dilenyapkan
Manusia Pemuja Bulan.
"Kalian seharusnya sadar, kalau selama ini dibodohi
Manusia Pemuja Bulan. Kalian telah dimanfaatkan untuk
kepentingannya. Ingatkah kalian akan kata-kata Ki Seta
sebelum ajalnya? Selama ini, kita hanya mempunyai satu
keyakinan. Hanya Gusti Allah yang patut disembah. Bukan
Dewa Bulan. Dan karena berani membantah itulah, maka
Ki Seta harus mati! Karena, Manusia Pemuja Bulan
tentunya akan takut bila kalian tidak lagi menjadi
pengikutnya!" papar Pendekar Slebor.
"Ki Seta memang patut mati, karena berani
membantah permintaan Manusia Pemuja Bulan. Ki
Wedokmurko adalah utusan dari Dewa Bulan yang harus
dihormati! Tetapi..., kedamaian yang selama ini kami
dapatkan harus kandas karena perbuatanmu!"
"Kedamaian?" balas Andika pula. Dia tahu,
kesalahpahaman nampaknya sudah di ambang mata.
"Apakah kalian menamakan semuanya ini kedamaian?
Kalian harus menyerahkan anak gadis kalian setiap malam
Jumat untuk dipersembahkan kepada Dewa Bulan? Kalian
harus menyediakan harta kalian untuk Dewa Bulan? Inikah
yang kalian namakan kedamaian? Justru kalian telah
melakukan suatu kebodohan. Kalian telah mengorbankan
nyawa gadis-gadis yang tak berdosa! Bukan untuk Dewa
Bulan, tapi untuk Manusia Pemuja Bulan yang tentunya
berbuat keji!"
"Kau memang pandai bicara!" dengus laki-laki ber¬
senjata itu lagi.
Diam-diam laki-laki ini merasakan sekujur tubuhnya
menjadi panas. Sangat panasnya, sehingga justru harus
menahan getaran tubuhnya.
"Kau sakit, Saudara...," kata Andika yang dapat
melihat keadaan Sunjoyo.
"Tidak! Kau harus mati!" dengus laki-laki itu sambil
menyerang Andika dengan parangnya.
"Jangan lakukan itu, Sunjoyo...."
Terdengar seruan pelan dari mulut Sawedo yang
semakin melemah.
Tetapi laki-laki bernama Sunjoyo sudah menyerang.
Namun hanya selangkah saja mampu bergerak, selebihnya
sudah ambruk ke bumi. Dan nyawanya pun me-regang.
Kejadian ini membuat yang lainya menjadi
bertambah marah. Mereka siap menyerang Andika. Tetapi
baru saja mereka bergerak....
"Jangan..., jangan lakukan itu. Pemuda ini benar...
Kita memang sudah dibodohi Manusia Pemuja Bulan...."
Sawedo yang semakin lemah keadaannya mencegah
dengan suara pelan.
"Sawedo! Kau akan dikutuk Dewa Bulan!" bentak
seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun dengan
geram. Wajahnya bulat dengan kumis baplang. Di lengan
kirinya pun terdapat tiga buah bekas sengatan tawon-
tawon kejam.
"Tidak.... Tidak ada Dewa Bulan seperti yang dika
takan Ketua Wedokmurko. Dia..., dia membohongi kita...,"
kata Sawedo.
"Sawedo! Mengapa kau mendadak saja berbalik
padanya? Apakah matamu mendadak menjadi buta, tidak
melihat betapa banyaknya mayat yang bergelimpangan
gara-gara ulah pemuda gondrong itu? Juga kau lihat sen¬
diri, nasib Sunjoyo yang mencoba membela kebenaran
harus tewas di depan mata kita! Dan kau sendiri, seben-tar
lagi pun akan mati...," sergah laki-laki berkumis ini Sawedo
mengangkat kepalanya. Sementara tubuhnya masih
dipega ng Andika.
"Tidak! Itu tidak benar. Sunjoyo mati bukan karena
membela kebenaran, tetapi bodoh. Sama seperti kita.
Hanya Ki Seta yang patut disebut sebagai pembela
kebenaran...,"tandas Sawedo.
"Sawedo!"
"Paman Longgom.... Kini aku baru sadar, kalau kita
selama ini keliru.... Aku yakin, kalau yang mendatangkan
bencana ini adalah Manusia Pemuja Bulan..., yang telah
memaksa kita untuk menjadi pengikutnya...."
"Kau?" laki-laki berkumis yang bernama Longgom
menggeram marah.
"Paman Longgom! Selama ini kita telah
mengorbankan gadis-gadis tak berdosa sebagai tumbal
untuk Dewa Bulan. Yah! Aku yakin sekarang..., tentunya
Manusia Pemuja Bulan memiliki ilmu tinggi. Dengan
ilmunya itulah dia mendatangkan dan melenyapkan gadis-
gadis yang dikatakan dipilih dan telah diterima Dewa
Uulan...," tutur Sawedo.
"Mengapa kau berpikiran begitu, Sawedo? Rupanya
kau sudah gila berani menentang Dewa Bulan!" desis
Longgom.
"Paman Longgom...! Ada alasan yang sangat masuk
akal. Bila memang Dewa Bulan adalah sesuatu yang patut
disembah, yang mampu mendatangkan dan mengambil
gadis-gadis yang dipilihnya, mengapa pemuda ini..., mampu
mengambil Mayang kembali? Mengapa? Di mana kekuatan
terdahsyat yang dimiliki Dewa Bulan bila memang patut
dijadikan sesembahan? Pikirkanlah itu, Paman
Longgom...," ungkap Sawedo.
Longgom kelihatan serba salah sekarang. Hati
kecilnya yang terdalam pun membenarkan alasan itu.
Begitu pula yang lainnya. Tetapi Longgom belum puas
"Sawedo...! Bagaimana dengan Medi, Kang Meng-
golo dan istrinya yang mati dibunuh pemuda itu?"
Sawedo menggeleng-geleng lemah.
"Kini aku yakin, bukan pemuda itulah yang
membunuh mereka," jelas Sawedo semakin pelan.
"Lalu siapa?"
"Manusia Pemuja Bulan."
"Hhh! Mustahil. Dia justru datang memberi
perlindungan dari musibah-musibah yang mengerikan pada
wanita. Lantas bagaimana mungkin telah melakukan
pembunuhan itu?" sergah Longgom.
la juga telah membunuh Ki Seta, Paman Longgom...,"
tambah Sawedo.
Kali ini Longgom terdiam. Orang-orang yang marah
pada Andika pun menurunkan tangan yang memegang
berbagai senja la lajam.
Andika diam-diam mendesah lega. Dia sendiri tidak
menyangka kalau Sawedo akan membelanya. Bahkan
Sawedo berpihak kepadanya. Tetapi kini dia yakin, kalau
manusia-manusia ini masih memiliki kepercaya yang tulus
dan hati nurani yang dalam.
Mendadak saja Pendekar Slebor melihat orang-orang
itu menjerit-jerit kesakitan. Rupanya sengatan yang dialami
tadi, kini sudah mulai bekerja. Mereka memang tidak
segera mati, karena hanya menderita beberapa sengatan
saja. Namun, hawa panas itu mulai menjalari tubuh!
Termasuk Longgom!
Di tempat persembunyiannya, Wedokmurko alias
Manusia Pemuja Bulan tengah menyempurnakan ajian
'Unggulan Dewa'nya dengan mempergunakan darah tiga
perawan yang diculik. Sebenarnya dia sangat geram
terhadap Pendekar Slebor yang telah mengacaukan
seluruh rencananya.
Kalau tidak ingat pantangan ajian 'Unggulan Dewa'
yang sedang disempurnakannya, sudah tentu Pendekar
Slebor sudah diserangnya. Namun, selama berada dalam
tahap penyempurnaan ajian 'Unggulan Dewa' tenaga
dalamnya pantang dikeluarkan terlalu banyak Karena,
tanpa tenaga dalam kuat, maka ajian 'Unggulan Dewa’
tidak akan pernah berhasil disempurnakan.
Tetapi kelak, bila Manusia Pemuja Bulan berhasil
menguasai ajian 'Unggulan Dewa', tak seorang pun yang
akan bisa mengalahkannya. Tak seorang pun!
Ki Wedokmurko tersenyum puas membayangkan
sesuatu yang tak sabar dinantinya. Kini dengan kejamnya,
Manusia Pemuja Bulan menekan perut gadis-gadis itu kuat-
kuat, sehingga darah perawan mereka muncrat.
Setelah tiga pertanakan nasi Ki Wedokmurko
melakukan hal itu. namun bukan wajahnya menjadi gem¬
bira, justru menggeram marah.
"Bangsat! Tinggal satu dara perawan lagi yang harus
kudapatkan. Maka, ilmuku akan sempurna! Hhh! Bila aku
terus menerus seperti ini, maka tenagaku untuk menculik
mereka akan hilang percuma. Lain bila orang-orang bodoh
itu menyediakan gadis-gadis itu untukku! Sialnya, aku tak
menemukan lagi dara perawan di sana! Rata-rata masih
berusia di bawah dua belas tahun!" dengus Manusia
Pemuja Bulan. Dan tiba-tiba, matanya berbinar. "Hmm...,
Mayang. Ya..., tinggal dia saja perawan di desa itu! Ini
semua gara-gara Pendekar Slebor! Hhh! Pendekar Slebor....
Tunggu balasanku!"
Kali ini Andika sangat sibuk, bekerja mati-matian
untuk menyelamatkan tubuh-tubuh yang tengah menahan
sakit. Rasa letihnya tak dihiraukan lagi. Bahkan tenaganya
pun harus terkuras, karena hanya seorang diri bekerja.
Namun semuanya tak dipedulikannya lagi. Yang ada
dibenaknya, hanyalah menyelamatkan tubuh-tubuh itu.
Dengan mempergunakan kain pusaka yang bercorak
catur, Andika mengalirkan tenaga dalam dan
mengusapkannya pada dada si sakit. Hasilnya, hawa panas
yang mengaliri tubuh-tubuh itu mulai berkurang. Dan lama
kelamaan, menghilang. Namun karena begitu banyaknya
yang harus ditolong, beberapa orang tak sempat diberikan
bantuan. Sehingga, mereka pun mati
Pagi pun berjalan. Matahari sudah sepenggalah.
Sinarnya yang sejuk seharusnya membuat orang mampu
menikmati, dan mempergunakan untuk menjemur pakaian,
dan makanan. Bahkan sebagai tanda sudah waktunya
bekerja di sawah dan ladang.
Tetapi pagi ini, tak seorang pun yang mampu
menikmati pagi dan matahari. Tak seorang pun yang pergi
menuju sawah dan ladang. Karena, mereka harus berjuang
melawan maut. Sementara Pendekar Slebor terus
berusaha menyelamatkan mereka.
Ketika pekerjaannya selesai, barulah Andika
merasakan tenaganya sangat letih. Dia segera duduk
bersemadi untuk memulihkan tenaga dalam dan hawa
murni yang benar-benar terkuras.
Selama satu penanakan nasi Pendekar Slebor duduk
memejamkan matanya. Bila saja ada orang yang ingin
membunuhnya, maka akan sangat mudah dilakukan.
Karena Andika benar-benar sudah melepas semua
kesadarannya, membiarkan seluruh tubuhnya kosong dan
mengisinya dengan kesegaran.
Lalu Andika mendesah panjang dan berdiri kembali.
Dilihatnya sudah ada beberapa orang yang bisa bangun
dan merasakan hawa panas yang menyiksa tadi
menghilang. Namun tubuh mereka masih terasa lemah.
Sawedo yang tadi membujur di sisi Andika pun
sudah duduk. Ditatapnya Andika.
"Sobat..., lerima kasih atas pertolonganmu...," ucap
Sawedo tulus.
Andika tersenyum.
"Aku pun berterima kasih kepadamu, karena kau
akhirnya mau mengerti segala peristiwa ini. Kalau kau
tidak membantah kata-kata mereka tadi, sudah tentu aku
tidak bisa berbuat apa-apa selain pergi dari sini. Dan
akibatnya, akan banyak nyawa yang melayang percuma...."
Sawedo mengangguk-angguk.
"Sobat, siapakah namamu?" tanya Sawedo.
"Andika."
"Sekali lagi, kuucapkan terima kasih kepadamu,
Andika...," kata Sawedo lagi. Andika mengangguk.
"Untungnya, petaka itu bisa diselesaikan, meskipun
memakan korban yang sangat banyak. Hmm, Sawedo....
Kini kita tinggal menghadapi otak licik Manusia Pemuja
Bulan yang telah menimbulkan seluruh petaka ini," kata
Pendekar Slebor.
"Kau benar, Andika. Yah..., aku memang bodoh,"
kata Sawedo jujur. "Sebenarnya, aku tidak percaya pada
Manusia Pemuja Bulan. Hanya saja..., ah! Sudahlah....
Tidak baik mengingat kebodohan itu...."
"Kau benar. Tetapi, Sawedo. Tahukah kau, di mana
Manusia Pemuja Bulan tinggal?"
Sawedo menggeleng.
"Aku tidak tahu. Dia datang dan pergi begitusaja...."
Inilah yang sulit. Kalau dibiarkan saja, maka petaka demi
petaka akan menimpa masyarakat di sini.
Orang-orang pun sudah mulai bisa berdiri dan ber¬
cakap-cakap. Juga terdengar tangis yang memilukan dari
beberapa orang ibu yang melihat anak dan suami mereka
telah menjadi korban sengatan tawon-tawon ganas. Saat
itulah Andika teringat Mayang.
"Sawedo...! Bila tenagamu sudah pulih kembali,
ajaklah penduduk di sekitar sini untuk membangun desa
ini kembali. Sadarkanlah mereka, kalau selama ini telah
dibodohi Manusia Pemuja Bulan...," ujar Pendekar Sic bor.
"Baik, Andika. Kau sendiri hendak ke mana?" Andika
nyengi r.
"Apakah kau tidak ingin melihat Mayang?" Andika
malah balik bertanya.
"Oh! Ya, ya.... Aku sendiri ingin tahu, bagaimana
keadaannya dan apa yang dirasakannya...."
"Tunggulah di sini. Saat ini dia aman di satu tempal
bersama kawanku yang bisa dipercaya."
Sawedo mengangguk.
Andika pun berkelebat cepat. Dan diam-diam
Sawedo menghela napas panjang.
"Ah! Siapakah sebenarnya Andika itu? Bila melihat
gerakan dan sikapnya, jelas sekali dia seorang pendekar
yang meskipun agak urakan tetap memiliki kebijaksanaan.
Kalau saja tidak ada Andika, sudah pasti kehidupan di
desa ini akan hancur. Karena tidak mustahil, akan selalu
berada di bawah pengaruh Manusia Pemuja Bulan!" kata
Sawedo dalam hati.
Sawedo semula merasa yakin kalau Andikalah yan
membunuh Medi, Kang Menggolo, dan istrinya. Namun
perlahan-lahan keyakinannya mulai sirna. Dia menangkap
sesuatu yang sangat sulit dilacak Namun hati kecilnya
mengatakan, Manusia Pemuja Bulan-lahyang telah
melakukannya. Entah mengapa, sampai saat ini dia belum
menem ukan jawa ban nya.
Tetapi kayakinan yang lebih pasti, Ki Seta jelas
dibunuh Manusia Pemuja Bulan. Seharusnya, mendengar
kata Ki Seta yang menentang Manusia Pemuja Bulan,
mereka segera sadar. Segera mengerti bahwa yang
dilakukan selama ini adalah suatu kesalahan.
Namun, saat itu pikiran mereka telah menghitam,
penuh ajaran-ajaran yang diberikan Manusia Pemuja
Bulan. Hingga saat itu mereka mempunyai satu keyakinan,
kalau Ki Seta yang memang patut mati karena berani
menentang kehendak Dewa Bulan.
Diam-diam Sawedo mendesah panjang. "Hmm,
sebenarnya harta apa yang disembunyikan Ki Seta?
Kecuali Manusia Pemuja Bulan sampai saat ini tak seorang
pun yang tahu kalau Ki Seta menyimpan harta yang
tentunya sangat banyak.
Karena harta itulah Ki Seta harus mati! Lalu
perlahan-lahan Sawedo bangkit, berusaha menyadarkan
teman-temannya yang lain dari pengaruh Manusia Pemuja
Bulan.
"Pemuda berbaju hijau itulah yang patut kita sebut
dewa penolong! Dialah yang mencoba menyadarkan ke¬
bodohan kita, meskipun semula harus dimusuhi karena
telah kita tuduh sebagai biang onar!"
k k k
Hari sudah siang. Matahari tepat di pusat kepala,
ketika Andika kembali ke tempat sebelumnya dia
meninggalkan Mayang dan Tridarma. Namun ternyata
Pendekar Slebor tidak menemukan mereka di sana.
"Hei? Ke mana mereka, ya?" tanya Pendekar Slebor
sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Seluruh tenaga dan hawa murni Pendekar Slebor
kini sudah kembali berjalan seperti biasa, Andika
mencari-cari di sekitar sana, tetapi tak ada tanda-tanda
keduanya berada.
"Edan! Berani-beraninya Tridarma melanggar
perintahku! Dibawa ke mana Mayang sebenarnya?" rutuk
Pendekar Slebor.
Andika menempelkan kedua tangannya di mulut
membentuk corong. Lalu....
"Tridarma! Mayaaang! Di mana kalian?!" teriak
Pendekar Slebor.
Tak ada sahutan. Angin semilir berhembus,
menggoyang dedaunan. Andika berteriak sekali lagi, tetapi
hasilnya sama.
"Brengsek Tridarma! Hhh! Tak heran aku kalau dia
berani meninggalkan Ki Saptacakra, ketika sedang
bersemadi!" dengus Andika.
Tetapi mendadak saja Pendekar Slebor terdiam. Ada
sesuatu yang dipikirkannya. Sesuatu yang seperti baru
menyadarkannya. Lalu dihelanya napas panjang, dan
berkelebat kembali ke desa tempat tinggal Sawedo.
10
Sebenarnya Andika cukup malu juga ketika kembali
ke desa tempat tinggal Sawedo tanpa Mayang. Apalagi tadi
Sawedo nampak menunggu kedatangannya.
"Maaf, Sawedo.... Mayang dan Tridarma tidak berada
di sana.... Mungkin, mereka meninggalkan tempat itu,"
ucap Pendekar Slebor, mau tak mau harus mengatakan
juga.
"Sudahlah, Andika. Lebih baik, beristirahat saja dulu.
Kulihat beberapa orang ibu sudah pulih dari kekagetan
mereka. Mereka nampak sudah bersedia menanak nasi,"
ujar Sawedo, sangat ramah.
Andika mendesah panjang. Dia menyesali, mengapa
hal itu harus terjadi? Berkali-kali Pendekar Slebor menotol-
notol kepala dengan telunjuknya. Dan sekarang, dia masih
menunggu kemunculan Tridarma dan Mayang.
Sawedo mendekati.
"Andika.... Nampaknya malam ini akan kita lewati
dengan aman...," desah Sawedo.
"Itu lebih baik. Apakah kau ingin kerusuhan terjadi
lagi?" tanya Andika sambil nyengir.
"Ya, tidak. Malah aku berkeinginan agar Manusia
Pemuja Bulan segera pergi dari sini."
"Ya, sayangnya tak seorang pun yang tahu di mana
manusia itu berada. Bahkan tadi pagi, aku sudah menda¬
tangi dan mengelilingi Gunung Pengging. Namun tak satu
tempat pun yang bisa dijadikan tanda-tanda sebagai
tempat persembunyian Manusia Pemuja Bulan dan para
anak buahnya. Tetapi.., he he he.... Sudah tentu Manusia
Pemuja Bulan telah memagari persembunyiannya dengan
ajian yang tak bisa ditembus mata."
"Itu sudah pasti. Hhh! Kalau saja selama ini aku
tidak bodoh, tidak akan pernah ada korban perawan
berikutnya!" geram Sawedo. sekali lagi menyesali
kebodohannya.
"Sudahlah.... Tidak sudah dipermasalahkan lagi Yang
terpenting... hei!"
Andika tiba-tiba berdiri disertai rasa kaget. Segera"
dia melesat ke satu tempat.
Sawedo dan teman-temannya segera berlari ke
tempat Andika dengan senjata terhunus. Sementara
sebagian berjaga-jaga di tempat semula.
Begitu tiba, mereka melihat Andika sedang berlutut
memeriksa dua sosok tubuh yang telah menjadi mayat
dengan leher hampir putus.
"Rupanya manusia itu telah menebarkan petaka
kembali!" desis Andika.
Sawedo menghela napas panjang. Hatinya teriris
melihat luka yang diderita dua pemuda yang ditugasi untuk
meronda. Luka yang teramat mengerikan.
"Andika..., siapakah yang telah melakukannya?"
tanya Sawedo geram.
"Hanya satu dugaanku, Manusia Pemuja Bulanlah
yang melakukannya. Rupanya, kini dia sendiri yang datang
menyerang. Bila melihat kelebatannya yang sangat cepat,
dugaanku jelas-jelas Manusia Pemuja Bulan. Karena,
berkali-kali aku bentrok dengan anak buahnya yang
berpakaian dan bertopeng merah. Namun tak seorang pun
yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi seperti
itu. Kita harus..., oh, Tuhan! Sawedo! Cepat kita kembali ke
desa!" sentak Pendekar Slebor.
Andika kembali berkelebat lebih dulu. Dia harus
berpacu dengan waktu. Dadanya bergetar cemas.
Begitu tiba di tengah desa yang ditakutkannya
Pendekar Slebor pun terjadi Tampak lima belas tubuh telah
meregang nyawa dengan leher hampir putus.
"Bangsat! Manusia busuk, keluar kauuu! Kita ber¬
tarung sampai mampus!" semprot Andika keras dengan
kedua tangan mengepal keras.
Sawedo dan yang lainnya pun tiba di sana. Mereka
kontan terkejut melihat mayat-mayat itu.
"Andika!" serunya pada Andika yang tengah
menumpahkan kekesalannya.
"Sawedol Suruh semuanya masuk ke rumah! Jangan
ada yang keluar! Manusia Pemuja Bulan telah muncul di
sini!" ujar Andika berteriak.
"Andika..., mereka bisa menjaga diri. Aku lebih ingin
mengorbankan nyawaku untuk membantumu! Untuk
menghancurkan Manusia Pemuja Bulan yang telah
membodohiku selama ini! Lagi pula, Paman Longgom dan
beberapa orang yang lain kurasa sudah cukup untuk
menjaga keselamatan mereka."
Andika mengangkat bahu.
"Terserah kaulah. Tetapi kuperingat kan, hati-hati!"
Begitu mendengar Andika berkata hati-hati, Sawedo
dan temannya pun segera bersiaga. Mereka melihat
Pendekar Slebor nampak seperti terdiam. Namun mereka
yakin kalau Andika dalam siaga penuh.
Tiba-tiba saja, dari tempat yang gelap berloncatan
beberapa sosok tubuh berpakaian dan bertopeng merah
berjumlah sekitar sepuluh orang. Kalau biasanya mereka
tidak membawa senjata, kini di tangan masing-masing
tergenggam sebilah golok besar. Andika mendengus.
"Mana manusia kodok itu, hah?!" bentak Pendekai
Slebor. "Suruh dia keluar! Hadapi aku, Pendekar Slebor
yang menghancurkannya!
Sawedo menegakkan telinganya.
Pendekar Slebor? Oh, Tuhan...! Andika kah yang
berjuluk Pendekar Slebor?" gumam Sawedo, dalam hati
Selama ini sayup-sayup Sawedo memang pernah
mendengar tentang seorang pendekar bijaksana, namun
sedikit urakan. Dia dijuluki Pendekar Slebor. Lalu yang
dikatakan Andika tadi? Sungguh Sawedo tak pernah
menyangka kalau Pendekar Slebor yang begitu harum
namanya berada di dekatnya. Bahkan, sudah selama dua
minggu berada di dekatnya. Namun saat itu, kemarahan
dan kebencian masih membalut tubuhnya. Sehingga, dia
tidak tahu siapakah orang yang dibencinya.
Orang-orang di balik topeng merah itu menggeram,
Salah seorang mengangkat goloknya.
"Hhh! Pendekar Slebor...! Kau terlalu banyak
mencampuri urusan kami! Tetapi kini, kau akan membayar
semua perbuatanmu itu dengan nyawamu!"
Dalam keadaan sesulit dan setegang apa pun, naluri
urakan Andika tetap saja muncul.
"Wah, wah...! Bagaimana kalau kuganti dengan uang
dua ketip? Lalu, kubeli nyawa kalian seharga satu ketip?
Lumayan, kalian bisa membeli pecel di ujung pasar sana!"
kata Pendekar Slebor, seenak udelnya.
"Bangsat!"
Orang itu segera melesat dengan cepat ke arah
Andika.
"Lihat serangan! YeaaaF" Wuuuttt! "Uts...!"
Andika melenting ke atas dengan ringan. Dan secara
serempak, Sawedo dan kawan-kawannya segera
menyerang pula yang segera disambut sembilan orang
bertopeng merah yang lain.
Pertempuran sengit pun berlangsung seru. Sawedo
begitu geram. Dia bergerak dengan gesiL Rupanya pemuda
itu memiliki kepandaian yang cukup lumayan. Ge-rakannya
gesit dan ringan. Serangan parangnya mantap.
Trang! Trang! Trang!
Suara senjata beradu semakin ramai terdengar,
seolah menyemarakkan malam yang semakin berjalan.
Orang-orang yang berada di dalam rumah tak ada yang
berani melihat pertempuran. Mereka saling dekap dengan
anak, istri, atau suami.
Andika berkelebat ke sana kemari. Dan dia tidak
mau bertindak tanggung lagi. Tenaga 'inti petir'nya sudah
dipergunakan sampai tingkat kedua puluh lima. Blarrr!
Glarrr!
Terdengarlah suara bagai petir menyalak setiap kali
langan Andika berkelebat. Hasilnya, lima orang pun
terpental dengan tubuh muntah darah dan meregang
nyawa. Sisa lima orang lagi pun menjadi sasaran
kemarahan Sawedo dan teman-temannya yang tinggal
enam orang. Karena, dua orang sudah tewas.
Kalau saja Andika tidak membantu, maka akan sia-
sia saja perlawanan Sawedo dan teman-temannya, karena,
lawan mereka amat tangguh. Andika sudah kembali
berkelebat ke sana kemari dengan pukulan 'inti petir'nya.
Sementara itu, Longgom dan dua belas orang yang
menjaga keselamatan para penduduk harus menghadapi
pula serangan yang datang mendadak. Untungnya sejak
tadi mereka sigap, sehingga tidak sampai kecolongan.
Sebenarnya tadi mereka sudah ingin membantu
Andika, Sawedo dan yang lainnya. Namun, Longgom
menahan. Karena dia berpikir, barangkali saja nanti ada
lawan yang melakukan pembokongan. Lagi pula, tadi pun
telah didengar siapa Andika sebenarnya. Pendekar Slebor
yang kesohor!
Dan mereka pun perlahan-lahan melihat orang-orang
berpakaian dan bertopeng merah itu mulai terdesak, lalu
ambruk satu persatu.
Memang, perhitungan Longgom sangat mantap
Karena mendadak saja delapan orang berpakaian dan
bertopeng merah muncul dari balik semak dengan cara
melompat sambil mengayunkan golok besar di tangan.
"Ayo, Kawan-kawan! Kita musnahkan manusia-
manusia bangsat ini!" teriak Longgom yang kini sudah
sadar, kalau selama ini hanya diperalat Manusia Pemuja
Bulan. Pedang di tangannya pun terayun cepat ke sana
kemari.
Trang! Wuuuttt!
"Aaakkkhhh!"
Salah satu orang bertopeng menjerit sambil
mendekap tangan kirinya yang buntung akibat sabetan
pedang Longgom. Namun meskipun lebih sedikit, mereka
lebih tangguh dari kelompok Longgom. Karena, hanya
Longgom saja yang memiliki kepandaian. Sementara, yang
lainnya hanya mengandalkan semangat. Mereka harus
melampiaskan kemarahan, karena selama ini dibodohi.
Maka sebentar saja teriihat Longgom dan sisa
teman-temannya mulai terdesak, menghadapi gempuran-
gempuran yang hebat dari lawannya.
Trang! Trang! Wuuuttt! "Aaakh!"
Satu orang teman Longgom ambruk meregang
nyawa. Namun Longgom terus memberi semangat pada ka¬
wan-kawannya.
"Ayo, jangan mundur! Kita harus maju terus!
Hancurkan mereka! Hancurkan!" teriak Longgom.
Lalu dengan penuh kegeraman dan keberanian,
Longgom menyerang sekuat tenaga. Namun, dia pun harus
menghadapi tiga orang lawannya yang rata-rata memiliki
kepandaian tangguh.
Kali ini Longgom harus terdesak. Begitu pula teman-
temannya. Namun di saat yang gawat, melesat satu
bayangan hijau sambil mengibaskan tangan ke sana
kemari.
Desss.J Desss!
"Aaakh...!"
Orang-orang itu pun berpentalan disertai muntah
darah. Melihat sosok bayangan yang tak lain Andika, nyali
Longgom yang mulai menciut, kini mekar kembali. Maka
langsung diterjangnya lawan- lawannya.
Andika sendiri merasa harus menyelesaikan semua
ini dengan segera. Karena menurut perkiraannya, Manusia
Pemuja Bulan akan muncul sekarang juga.
Pendekar Slebor pun bergerak cepat sambil
mengibaskan pukulannya yang mengandung tenaga 'inti
petir I
"Mampuslah kalian semua!" bentak Andika.
"Sawedo! Kang Longgom, cepat tinggalkan tempat itu!
Kembali kalian ke rumah masing-masing! Karena menurut
perkiraanku, Manusia Pemuja Bulan akan muncul! Sekali
ini, turuti kata-kataku!"
Setelah berkata demikian, Andika bersalto ke depan.
Namun belum lagi hinggap di tanah....
Blarrr...!
"Aaa...!"
Terdengar ledakan dahsyat yang disertai jeritan
menyayat.
"Edan...!"
Andika merutuk melihat Longgom dan tiga orang
temannya telah tewas dengan tubuh pecah berantakan.
"Sawedo! Cepat tinggalkan tempat ini!" seru
Pendekar Slebor sambil berbalik ke belakang. Matanya
bersiaga penuh, dengan kewaspadaan sangat tinggi.
Di atas sebuah pohon, Andika melihat satu sosok
berjubah hitam menatap nyalang kepadanya. Inikah
Manusia Pemuja Bulan? Serangan pertama yang
diperlihatkan tadi sungguh sangat hebat!
"Hei, Jubah Hitam Dekil! Turun sini, biar kulihat
mukamu itu! Apakah lebih dekil daripada jubahmu?!" seru
Pendekar Slebor sambil mengulapkan tangannya.
Sosok yang tak lain Ki Wedokmurko menunjuk ke
wajah Andika.
"Kau terlalu banyak ikut campur, Pendekar Slebor!"
Werrr...!
Andika tertawa. Tetapi Pendekar Slebor segera
mengibaskan tangannya pula, ketika merasakan
serangkum angin menyambarnya. Rupanya, Manusia
Pemuja Bulan mencoba membokongnya, atau menjajaki
kekuatan tenaga dalamnya? Saat itu juga Andika mengalir¬
kan kekuatan 'inti petir' ke sekujur tubuhnya.
Wusss...!
Ganti Ki Wedokmurko yang harus berjumpalitan
ketika merasakan sebuah dorongan angin besar yang
menderu ke arahnya.
"Luar biasa! Nama besar Pendekar Slebor memang
bukan omong kosong belaka!" sentak Manusia Pemuja
Bulan, begitu mendarat di tanah.
"He he he...! Siapa dulu dong orangnya?" seloroh
Andika.
"Hanya sayang, nama besar Pendekar Slebor hari ini
akan musnah bersama angin lalu!"
"He he he.;.! Boleh saja, boleh saja ngomong begitu.
Ngomong memang mudah, kok," sahut Andika, mengejek.
"Akan kubuktikan omonganmu!" desis Ki Wedok*.
murko sambil membuka jurusnya.
Kedua tangan Manusia Pemuja Bulan mengembang
ke muka. Kaki kirinya berada sedikit menyerong ke arah
kanan, sementara kaki kanan berada di belakang, sejajar
pinggul.
"He he he.... Jurus kedok buntet kau perlihatkan,
ya?"
Ejek Andika disambut gerakan menyusur tanah
sangat cepat sekali. Satu serbuan Manusia Pemuja Bulan
yang mampu membuat Andika menjadi kalang kabut tak
karuan. Karena, gerakan itu mengandung kekuatan penuh
dari satu jurus pembuka yang mematikan.
"Edan! Hebat juga jurusmu itu, Orang Jelek!" leceh
Pendekar Slebor sambil melenting dan berputar dua kali di
atas, dengan gerakan ringan manis sekali.
Mendadak saja Pendekar Slebor meluruk ke arah
Manusia Pemuja Bulan, dengan satu gerak tipu.
Namun gerakan Pendekar Slebor rupanya berhasil
digagalkan Ki Wedokmurko hanya dengan satu sontekan
kaki ke depan. Sehingga mau tak mau, Andika harus
mengubah jurusnya lagi. Bahkan menarik pulang dengan
satu hembusan napas.
"Gila!"
"Ha ha ha.... Kau akan merasakan, betapa bodohnya
malam ini, karena berani menantang dan mengusik
Manusia Pemuja Bulan!" seru Ki Wedokmurko sambil terus
menyerang gencar.
Wuuuttt!
Deb! Deb!
"Heiiittt! Boleh, boleh! Boleh saja kau ngomong
begitu! Tetapi sekarang kukatakan. Kalau kau merasa bo¬
doh, ya jangan mengajak orang lain ikut bodoh, dong!" ejek
Andika.
Sambil berkata demikian, Pendekar Slebor memulai
tubuhnya berkali-kali, bagai berlari menghindari serangan
Manusia Pemuja Bulan. Padahal, gerak yang dilakukannya
salah satu gerak tipuan yang telah dikembangkannya dari
jurus 'Memapak Petir Membabibuta 1 .
Bila lawan terbawa arus gerakannya, maka Pendekar
Slebor secara mendadak akan menghentikan langkahnya.
Tubuhnya cepat merunduk. Lalu dengan pencalan satu
kaki, dia melenting ke atas. Sementara tangannya siap
menghantam kepala.
Namun lagi-lagi gerak tipu itu tidak membawa arti.
Karena bukannya mengikuti gerakan Pendekar Slebor,
Manusia Pemuja Bulan justru memotong geraknya dalam
satu gerak lurus membentuk serangan berputar.
'Mampuslah kau!"
Deb!
"Heiiittt!"
Andika mengubah gerakannya dengan melompat
kekiri.
"Kutukupret! Kodok bantet!"omel Andika jengkel.
"Ha ha ha...! Kau sudah merasakan ketangguhan
jurusku itu, bukan? Kini, bersiaplah menerima
kembangannya dari jurus 'Dewa Bulan Menebar Cahaya',"
ejek Ki Wedokm urko.
Andika tahu kalau jurus yang akan diperlihatkan
Manusia Pemuja Bulan merupakan jurus tangguh.
"Kasih lihat deh! Dan kau juga akan melihat jurusku
'Dewa Bulan Menebar Kentut'!"
Dalam keadaan demikian, masih sempat-sempatnya
Andika mengejek, membuat wajah Manusia Pemuja Bulan
memerah.
Tiba-tiba saja Ki Wedokmurko bergerak cepat, bagai
gerakan terjun ke sungai. Jubah hitamnya mengembang.
Kedua tangannya yang tadi mengatup menjadi satu, kini
membuka. Seolah dia sedang menebarkan sesuatu ke
bawah.
Benar saja! Pendekar Slebor merasakan getaran
cukup kuat, yang seolah mengalir dari kedua tangan
Manusia Pemuja Bulan. Dengan cepat tubuhnya berguling
ke kanan. Namun, Manusia Pemuja Bulan terus
mengeja rnya.
"Edan! Aku bisa mampus kalau begini!" dengus
Andika.
Lalu mendadak saja Pendekar Slebor melompat ke
atas, setelah sebelumnya bergulingan sekali lagi
menghindari serangan. Begitu berdiri tegak, tatapannya
menyipit dengan wajah dingin. Tetapi tetap saja tidak
mengurangi kekonyolannya.
"Kalau begitu, baiklah.... Kini kau akan mendapat¬
kan perlawanan yang hebat dariku! Tetapi..., he he he....
Asalkan kau tidak membalas, aku pasti menang,"
kata Pendekar Slebor sambil tertawa, karena merasa lucu
dengan ucapannya sendiri.
Dan mendadak saja, Andika memutar kedua
tangannya di atas. Kemudian perlahan-lahan dikerahkan¬
nya ajian "Guntur Selaksa' yang diciptakannya sendiri di
Lembah Kutukan, dan secara tidak langsung adalah salah
satu jurus warisan dari Pendekar Lembah Kutukan. Terlihat
kalau sekujur tubuh Pendekar Slebor kini bagai dikelilingi
sinar berwarna putih keperakan.
"Manusia Pemuja Bulan! Kita lihat, siapa yang
digdaya!" bentak Pendekar Slebor, garang.
"Hhhh! Kau akan menyesali kenekatanmu ini,
Pendekar Slebor!"
Lalu dengan kecepatan penuh, Manusia Pemuja
Bulan menyerang. Begitu pula dengan Andika yang
mempergunakan ajian 'Guntur Selaksa'. Tubuhnya cepat
bergerak memapak i.
Orang-orang yang memperhatikan pertarungan itu
bergetar hatinya. Terutama, Sawedo yang kini sudah
merasa dekat dengan Andika yang dikenal sebagai
Pendekar Slebor.
Des! Des! Des!
"Aaakh...!"
"Aaakh...!"
Dua kali benturan terjadi, menyusui dua buah tubuh
yang terlontar deras ke belakang disertai jerit kesakitan.
Tubuh Pendekar Slebor tampak menabrak sebuah po-on.
Begitu pula Ki Wedokmurko atau Manusia Pemuja Bulan.
Keduanya sama-sama merasakan rasa sakit di dada
masing-masing.
Namun seketika mereka sudah tegak kembali.
Masing-masing membuka jurusnya. Ki Wedokmurko diam-
diam menggeram dalam hati. Nama besar Pendekar Slebor
memang cukup lama dikenalnya, sebagai pendekar muda
yang memiliki kesaktian tinggi.
Akan tetapi, tokoh itu telah bertekad untuk
memusnahkan pemuda berpakaian hijau pupus ini. Dan
mendadak saja Manusia Pemuja Bulan duduk bersila,
dengan kedua tangan terkatup menjadi satu di dada.
Andika pun berbuat yang sama, sekaligus untuk
memulihkan rasa sakit yang diderita.
Pendekar Slebor melihat tubuh Manusia Pemuja
Bulan mengeluarkan asap. Dan mendadak saja, perlahan-
lahan sekujur wajah Ki Wedokmurko teriihat memerah.
Namun yang membuat kening Pendekar Slebor berkerut,
karena bagian bahu di lengan kanan Manusia Pemuja
Bulan tidak terlihat warna merah.
Rupanya' Manusia Pemuja Bulan telah
mengeluarkan ajian pamungkas yang belum sempurna
betul. Ajian 'Unggulan Dewa’ memang masih membutuhkan
satu darah perawan lagi agar menjadi sempurna. Namun
Manusia Pemuja Bulan berpikir, menghadapi Pendekar
Slebor bukanlah pekerjaan mudah. Bahkan bisa-bisa
nyawanya sendiri akan terancam.
Kesempatan itu pun dipergunakan Ki Wedokmurko
untuk memulihkan tenaga dalamnya. Karena dalam taraf
kurang sempurna, ajian ’Ungulan Dewa’ akan kurang
kedahsyatannya. Meskipun, kepakan tangannya mampu
menumbangkan sebuah pohon. Lantas, bagaimana bila
sudah sangat sempurna? Cita-citanya untuk menjadi orang
nomor satu di dunia persilatan pasti akan tercapai!
Lalu masih dalam keadaan bersila, Manusia Pemuja
Bulan mengibaskan kedua tangannya ke muka.
Wesss...!
Andika merasakan hawa panas menderu kepada¬
nya. Dengan cepat tubuhnya melenting ke atas. Brak!
Dan angin keras itu menghantam sebuah pohon
hingga langsung tumbang.
"Gila!" seru Andika terkejut.
Pendekar Slebor lebih terkejut lagi ketika bagian
tubuhnya bergerak, menimbulkan angin cukup keras.
Andika merasa kelabakan juga. Sudah dua kali
tubuhnya terdorong tenaga angin yang kuat, membuat
dadanya terasa sakit. Bisa dibayangkan, bagaimana bila
terkena pukulan atau tendangan itu secara langsung!
Namun mendadak saja Pendekar Slebor melayang
dengan jurus 'Guntur Selaksa' tingkat tinggi. Bertepatan
dengan itu, Ki Wedokmurko pun berbuat yang sama.
Dua tubuh tampak melenting ke depan, lalu beradu
dengan tenaga sakti penuh. Des! Duk! "Aaakh...!"
Dua benturan barusan menimbulkan sinar cukup
menyilaukan, meskipun sesaat.
Satu sosok tubuh terlontar cepat ke belakang.
Sedangkan satu lagi hanya mundur tiga tindak. Yang
terlontar ternyata Pendekar Slebor.
Sementara Manusia Pemuja Bulan hanya
menggeram kecil. Dia memang hanya berani memapak
dengan satu tangan saja. Karena, ajian 'Unggulan Dewa'
belum menyerap ke lengan kanan bagian atas. Namun,
hasilnya sungguh luar biasa! Tubuh Pendekar Slebor
meluncur cukup jauh. Bisa dibayangkan kalau saja
Manusia Pemuja Bulan telah menyempurnakan ajian
’Ungulan Dewa’ ini, niscaya tubuh Pendekar Slebor akan
hancur seketika.
Pendekar Slebor berusaha bangkit sambil menahan
rasa sakit yang luar bisa di dada. Tubuhnya sedikit
limbung. Ternyata ajian 'Guntur Selaksa' tak banyak
gunanya!
Namun Pendekar Slebor melihat Manusia Pemuja
Bulan memegang lengan kanan bagian atas. Nampaknya
laki-laki berjubah hitam itu tengah menahan sakit yang luar
biasa pula. Andika ingat. Sebelum terlontar tadi, kakinya
masih sempat menendang bahu itu.
Manusia Pemuja Bulan mendengus. Rupanya baru
kini dia merasakan sakit yang menyengat bahu kanannya.
Diam-diam Pendekar Slebor terus memperhatikan,
hingga tiba pada satu kesimpulan. Jelas bagian bahu
kanan atas Manusia Pemuja Bulan yang tak berwarna
merah seperti sekujur tubuhnya yang lain adalah titik ke¬
lemahan dari ilmunya yang sangat dahsyal.
Andika pun menghimpun lagi tenaga saktinya. Kini
dia siap memburu dan menggedor bahu bagian kanan
Manusia Pemuja Bulan. Dan....
"Heaaa! Kini mampuslah kau, Manusia Pemuja
Bulan!"
Disertai teriakan keras, Pendekar Slebor menerjang
cepat ke depan. Namun sebelum sempat menyarangkan
pukulan sebuah bayangan berkelebat cepat
mengha ntamnya.
Des! Brak!
"Heigkhhh!"
Bukannya Manusia Pemuja Bulan yang menjerit,
justru Andika yang ambruk sebelum serangannya me¬
ngenai sasaran. Pendekar Slebor kontan pingsan karena
mendapat bokongan keras.
"Ha ha ha...!"
Manusia Pemuja Bulan terbahak-bahak.
"Kukira kau tidak akan muncul, Gembel Tua!"
Sosok bayangan yang baru datang itu mendengus.
"Lebih baik dia kita bunuh saja, sebelum seluruh
rencana yang telah tersusun berantakan! Kau sudah
menemukan harta Ki Seta?" kata sosok itu.
"Belum.... Tetapi, tak lama lagi."
Para penduduk di sana terkejut melihat Pendekar
Slebor ambruk dan pingsan. Mereka pun berlarian keluar,
ketika tubuh Pendekar Slebor dibawa Manusia Pemuja
Bulan, diikuti temannya yang barusan membokong.
Siapa sebenarnya orang yang membokong Pendekar
Slebor? Harta apa yang disimpan Ki Seta? Di mana Mayang
dan Tridarma berada saat ini? Kali ini, nasib Pendekar
Slebor berada di ujung tanduk. Karena, kedua manusia keji
itu sudah merencanakan untuk membunuhnya!
Bagaimana nasib Pendekar Slebor akhirnya? Ikuti
kelanjutan kisah ini dalam episode:
CINCIN BERLUMUR DARAH
Emoticon