1
Tak seorang pun tahu kalau di bawah naungan sebuah
pohon besar yang lebat telah duduk bersila sebuah sosok gaib
selama berhari-hari. Tubuh laki-laki kasat mata yang duduk terpejam
itu sedikil pun tak bergerak. Jenggotnya yang putih lebat,
menguncup di ujungnya. Kepalanya ditutup kain batik seperti
belangkon Sunda. Seluruh tubuhnya diselubungi se- rat-serat cahaya
Dialah si Raja Penyamar. Tokoh golongan atas yang
sudah berupa roh itu mati beberapa puluh tabun lalu. Sejak
kepergian Pendekar Slebor menelusup Pengadilan Perut Bumi, roh
Raja Penyamar berusaha masuk pula ke sana. Namun, niatnya
gagal. Karena Pengadilan Perut bumi ternyata telah dilindungi
benteng gaib yang dibuat Manusia Dari Pusat Bumi. Sebab itu, Raja
Penyamar pun mencoba menjebolnya dengan melakukan tapa batin
(Untuk mengetahui tentang Raja Penyamar, baca serial Pendekar
Slebor dalam episode : “Pengadilan Perut Bumi”)
Sejauh itu, usaha tokoh gaib ini nihil. Hanya karena
tekadnya dalam membantu Andikalah yang membuat dia tetap
bertahan untuk melakukannya. Padahal usahanya menjebol dinding
gaib Pengadilan Perut Bumi, tak beda dengan beratnya seseorang
yang bertarung mati-matian selama berhari-hari.
Semakin keras usaha Raja Penyamar dalam me- nembus
dinding gaib itu, maka semakin terang semburat sinar putih di
sekujur tubuhnya. Padahal hari kesembilan, serat-serat cahaya itu
mulai tampak bergelombang dalam gerak melingkar. Warna di
tepinya mulai berubah kemerahan.
Hari kesebelas, gelombang cahaya itu makin menghebat.
Tubuh halus Raja Penyamar seperti timbul tenggelam dalam
amukannya. Percik-percik kecil pun mulai tercipta, pertanda kalau
usahanya sudah mencapai titik paling berbahaya.
Sraaat!
Pada puncaknya, sehimpun percikan cahaya biru menyatu
membentuk lidah api. Gempuran kekuatan Raja Penyamar pada
benteng gaib Pengadilan Perut Bumi mulai berbalik ke arahnya.
Sedikit demi sedikit, Raja Penyamar tertelan cahaya biru yang
membesar.
Keadaan menjadi genting. Artinya, nyawa Raja Penyamar
seperti telur di ujung tanduk. Dia memang telah mati. Namun jika
gempurannya kalah, bukan tidak mungkin jasad halusnya terlempar
ke alam lain yang sama sekali tidak dikehendaki. Itu artinya,
nyawanya akan terpenjara sampai malaikat menjemput.
Hal itu tak boleh terjadi. Tugasnya di dunia per- silatan
belum lagi selesai. Apalagi, Pendekar Slebor masih amat
membutuhkan bantuannya untuk mengenyahkan angkara murka
yang dibawa Manusia Dari Pusat Bumi.
Dengan segenap kemampuan, Raja Penyamar
mengerahkan kembali perlawanannya. Tubuhnya memang tetap tak
bergeming. Wajahnya memang tetap setenang permukaan telaga.
Sebaliknya, serat-serat cahaya di sekujur tubuhnya kian hebat
bergelombang.
Sampai akhirnya....
Plap!
Tumbukan cahaya putih, merah, dan biru itu pupus
seketika, bagai ditelan kelengangan pagi buta.
“Aneh...," bisik Raja Penyamar. “Semestinya aku harus
mati-matian melakukan gempuran. Dan tak akan semudah ini aku
menghancurkan benteng gaib itu. Hm.... Apa yang sesungguhnya
terjadi di Pengadilan Perut Bumi sana? Kenapa benteng gaibnya
tiba-tiba menghilang?”
Mata lelaki yang hanya berbentuk roh halus itu terbuka.
Bola matanya bergerak-gerak, memperlihatkan rasa keheranan
dalam hati.
Tak ada lagi gempuran balik dirasakan. Semuanya tiba-
tiba terasa begitu lega. Badannya pun kini sudah terlihat
mengenakan baju coklat berkerah pendek dengan celana pangsi
hitam, seperti dikenakan jasadnya yang terkaku bisu di Kampung
Kelelawar nun jauh di sana.
Raja Penyamar bangkit dari bersilanya.
“Aku yakin telah terjadi sesuatu di Pengadilan Perut Bumi
sana,” bisik orang tua itu lagi.
Sementara itu, jauh di bawah perut bumi sana, memang
telah terjadi sesuatu, tepat seperti dugaan Raja Penyamar.
Pertarungan besar telah meletus antara Manusia Dari Pusat Bumi
disatu pihak, melawan Hakim Tanpa Wajah di lain pihak.
Dengan berseterunya antara guru dan murid itu, maka
benteng gaib yang dibangun Manusia Dari Pusat Bumi pun tak
berguna lagi. Setelah mendapat titah langsung dari Siluman Berperut
Buncit melalui Cermin Alam Gaib, Manusia Dari Pusat Bumi
langsung menarik kembali kekuatan miliknya yang membentengi
Pengadilan Perut Bumi.
Di ruang utama Pengadilan Perut Bumi sendiri, saat itu
digetarkan erangan tinggi mendirikan bulu roma. Si manusia jelmaan
siluman ini telah terang-terangan hendak melenyapkan gurunya
sendiri. Bahkan dia telah membuka jurus yang begitu asing di mata
Hakim Tanpa Wajah. Padahal, gerakan itu tak pernah diajarkan
sama sekali.
Tangan Manusia Dari Pusat Bumi tampak ber- kejaran satu
sama lain dalam putaran tak teratur. Ke- cepatannya begitu tinggi,
menyebabkan tangannya
terlihat begitu banyak, seperti belalai gurita laut.
Tak lama berikutnya, tangan manusia jelmaan si luman itu
mulai memendarkan cahaya kemerahan, yang kemudian berubah
menjadi kobaran api melalap sekujur tangannya. Dalam kecepatan
gerak tangan, jilatan api itu kini mengelilingi tubuhnya.
Wrrr! Wrrr!
Menyaksikan semua itu, tak ayal lagi Hakim Tan pa Wajah
mengerahkan ilmu andalan yang sempat disembunyikan. Tenaga
Sakti Pembelah Bumi Pengoyak Langit’! Ilmu olah kanuragan sakti
hasil pengembangan Tenaga Sakti Pembelah Bumi’ itu memang
sengaja tidak diturunkan pada muridnya.
Dan memang sudah menjadi aturan tak tertulis para tokoh
golongan hitam, untuk tidak menurunkan seluruh ilmu pada seorang
murid. Dalam dunia kaum sesat, pengkhianatan setiap saat bisa saja
terjadi. Itu sebabnya, harus ada ilmu simpanan yang tak diwariskan.
Jika suatu saat sang murid berkhianat, maka si guru bisa
mempergunakan ilmu simpanan tersebut untuk menghadapinya.
“Hiaaa...!”
Mulut Hakim Tanpa Wajah mengumandangkan teriakan
mengguncang, seiring jejakan-jejakan kakinya yang jauh lebih
mengguncang. Ruangan besar itu sampai bergetar hebat, seolah
terjadi tumbukan dua kekuatan raksasa. Tangan si tua bangka itu
sudah pula menghentak-hentak ke depan. Kini, kain kafan yang
semula mengikat kakinya, sudah tak karuan lagi bentuknya.
Tak lebih dari dua kerdipan mata, murid murtad Hakim
Tanpa Wajah ini menerjang gurunya sendiri dalam kecepatan penuh.
Diterkamnya laki-laki tua itu seperti seekor macan lapar menerkam
mangsa. Sepasang tangannya yang berselimut jilatan api menegang
ke depan, siap melalap wajah sang guru.
“Arrrgh!”
Karena begitu yakin kehandalan ilmu Tenaga Sakti
Pembelah Bumi Pengoyak Langit’ yang sanggup menahan panas api
di tangan Manusia Dari Pusat Bumi, Hakim Tanpa Wajah tak ragu-
ragu lagi menyambut terkaman itu. Berbareng jejakan kakinya ke
bumi, sepasang tangannya menadah tinggi ke atas. Maka, tangan
keduanya pun berbenturan.
Blammm...!
Seketika tercipta ledakan keras disertai semburat pancaran
api yang menjilati angkasa.
pada saat tubuh pemuda siluman itu masih di udara,
tangan Hakim Tanpa Wajah menyodok dalam-dalam ke dua sisi
dadanya.
Derrr!
Dengan telak, dada Manusia Dari Pusat Bumi terhajar
telapak tangan bekas gurunya. Tubuhnya kontan meluncur balik ke
belakang. Sebelum tiba di dinding ruangan, tubuh manusia siluman
itu jatuh berdebam.
Seandainya tubuh Manusia Dari Pusat Bumi adalah
lempengan baja setebal satu depa, tentu akan jatuh dalam keadaan
ringsek, karena tak sanggup menahan kekuatan dahsyat pukulan
Hakim Tanpa Wajah tadi.
Tapi kenyataannya, terlalu jauh dari gambaran itu. Tubuh
Manusia Dari Pusat Bumi tak mengalami pengaruh apa-apa. Entah
bagaimana, tubuhnya ternyata jauh lebih kuat daripada lempengan
baja setebal satu depa. Sehingga, kedahsyatan ilmu bekas gurunya
pun tak berarti apa-apa!
“Makan kesombonganmu, Tua Bangka Jelek!” ejek Lelaki
Berbulu Hitam yang terus memantau jalannya pertarungan. Betapa
girangnya laki-laki berbulu lebat itu melihat guru dan murid sesat itu
saling baku hantam (Untuk mengetahui tentang Lelaki Berbulu Hitam
baca serial Pendekar Slebor dalam episode : “Pengadilan Perut
Bumi”)
“Hitam! Bukankah mereka mestinya menunggu giliran
untuk bertarung di panggung itu?” tanya Pendekar Dungu, amat
iugu. Sepertinya dia tak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi.
Lelaki Berbulu Hitam mendelik.
“Kau mau pertandingan antara Tuan Penolong dengan
kawan wanitanya itu segera berakhir dengan matinya salah seorang
di antara mereka?!” bentak laki-laki berbulu hitam seraya menunjuk
Andika dan Purwasih yang masih bertarung di panggung batu
kematian (Untuk lebih jelasnya, baca episode: “Pengadilan Perut
Bumi”).
“Kau bicara padaku? Atau masih berbicara dengan si tua
bangka jelek itu?”
“Ah, sudahlah!"
Sementara itu di lain arena, Andika berada di atas angin
dalam pertempuran melawan Purwasih. Jurus-jurus tangguh dari
Lembah Kutukan gencar sekali dalam mendesak wanita itu. Dari
segala arah, gerakan Pendekar Slebor yang sering terlihat ngawur,
mengurung seluruh tubuh pendekar wanita yang terkenal berjuluk
Naga Wanita.
Suatu ketika, kaki Andika oleng ke samping di luar
sasaran. Sedangkan kaki yang lain masih berada di atas. Dan kini
Naga Wanita merasa mendapat peluang besar. Maka, secepatnya,
Andika yang hendak berpijak dengan satu babatan pedang
dihadangnya.
Bet!
Saat itulah terlihat, bagaimana ketangguhan jurus
Pendekar Slebor. Keseimbangannya yang demikian sempurna,
mampu membuat kakinya menjejak di atas pedang lawan. Padahal,
kecepatan babatan pedang Naga Wanita begitu tinggi. Bahkan yang
terlihat hanya bentuk kelebatan bayangan saja!
Tetapi jurus-jurus yang tercipta di Lembah Kutukan
memang begitu mengandalkan pengerahan keseimbangan. Malah
pada waktu diciptakan, Pendekar Slebor harus meniti patok-patok
batu dalam hujanan petir. Sedikit saja keseimbangannya tak terjaga,
maka tubuhnya pasti lantak dipapas puluhan lidah petir.
Maka tak heran bila dalam menguasai keseimbangan
membuat Pendekar Slebor mampu pula mengikuti kecepatan
pedang saat hinggap di atasnya! ketika sekejap saja pedang
Purwasih tiba di sisi tubuhnya sendiri yang kosongdari pertahanan,
Pendekar Slebor langsung mengirim sepakan dengan kaki vang tak
ikut dijejakan di gagang pedang. Dan....
Dug!
Tak ayal lagi, pelipis Naga Wanita menjadi sasaran empuk
punggung kaki Pendekar Slebor.
Purwasih atau si Naga Wanita kontan melintir di udara
seperti gasing raksasa. Kalau beruntung, gadis itu tak akan
mengalami patah leher yang begitu parah. Lalu, apakah
keberuntungan lain mengikuti? Karena di bawah, telah siap
menyambut permukaan panggung yang dipasangi pisau-pisau tajam.
Pada saat tubuh Purwasih nyaris dimangsa permukaan
panggung, Pendekar Slebor yang gelap mata memburunya kembali
penuh nafsu.
“Heaaa!”
Namun, pada saat yang bersamaan, satu pukulan jarak
jauh milik Hakim Tanpa Wajah tersasar kearah Pendekar Slebor.
Des!
Pukulan nyasar itu membentur tinju Pendekar Slebor.
Akibatnya, tinju itu luput dari tubuh Purwasih. Namun karena sudah
telanjur menerjang, tubuh Andika tetap meluncur dan menabrak
Purwasih. Sehingga dua anak muda itu akhirnya terlempar keluar
panggung.
Dengan begitu, selamatlah Purwasih dari hujaman
permukaan panggung yang bergerigi mengerikan tadi.
Tubuh kedua pendekar muda itu jatuh tepat di antara kaki
para tawanan pada barisan kanan. Pendekar Slebor dan Purwasih
langsung kehilangan kesadaran.
“Kalian ini macam-macam! Kalau bertarung, ya bertarung
sajalah. Jangan pakai acara mesra-mesraan segala!” oceh Pendekar
Dungu ketika menyaksikan Pendekar Slebor dan Purwasih terjatuh
saling tindih.
Setelah itu, Pendekar Dungu menguap lebar-le- bar.
Rupanya sejak tadi dia sedang tertidur dalam ke- adaan berdiri.
Andai kata tubuh kedua anak muda itu tak jatuh di dekat kakinya,
tentu kepalanya masih tertunduk-tunduk dengan mata terpejam.
Ketika mata sayu Pendekar Slebor sudah mulai
menguncup kembali, Lelaki Berbulu Hitam menyikutnya dengan
kasar.
“Hey! Jangan tidur saja! Kau yang paling dekat, cepat
bantu dua anak muda itu!” perintah Lelaki Berbulu Hitam.
Dengan bersungut-sungut, tua bangka berotak kerbau itu
berjongkok untuk meneliti keadaan Andika dan Purwasih.
“Bagaimana?” tanya Lelaki Berbulu Hitam. Dia agak
khawatir dengan keadaan Andika dan Purwasih.
“Huaaah! Aku masih ngantuk." jawab Pendekar dungu
ngaco.
Aku tidak menanyakan kau. Dungu! Maksudku, bagaimana
keadaan dua anak muda itu?!” dengus Lelaki Berbulu Hitam.
“Ooo,” Pendekar Dungu memancungkan bibir. “Mereka
hanya pingsan,” sahutnya sambil mengusap- usap mata yang penuh
tahi mata. “Sebentar lagi tentu ikan siuman.”
“Sok tahu! Kalau tak segera disadarkan, bagaimana
mungkin mereka cepat siuman?!” ujar Lelaki Berbulu Hitam keras,
tepat di depan telinga Pendekar Dungu.
Pendekar Dungu hanya menarik napas. Lain halnya si
Lelaki Berbulu Hitam. Wajahnya tiba-tiba menjadi merah malang
kehijau-hijauan. Matanya tak berkedip. Hidungnya bergerak-gerak,
seperti mencium bau sesuatu. Setelah itu, tangannya cepat menutup
lobang hidung.
‘‘Sial! Kau kentut sembarangan, ya!” bentak Lelaki Berbulu
Hitam pada Pendekar Dungu.
Ajaibnya, Andika dan Purwasih langsung siuman setelah
mengisap udara busuk itu. Tubuh mereka bergeming, dan kepala
terangkat.
“Nah, kan! Kubilang juga apa!” seru Pendekar
Dungu, penuh kemenangan.
2
Pertama kali Andika membuka mata, yang dida- patinya
adalah wajah ketolol-tololan Pendekar Dungu. Laki-laki tua bangka
itu memang sedang memperhatikannya.
“Wah! Baru aku tahu kalau penjaga kubur wajah- nya mirip
si tua bangkotan Pendekar Dungu," gumam Andika, nyaris tak
kentara.
“Hey! Aku memang Pendekar Dungu,” sergah tua bangka
bebal itu cepat, tak sudi dianggap penjaga kubur oleh Andika.
“Jadi, aku belum mampus?” tanya Pendekar Slebor seraya
melepas senyum yang mirip ringisan. Ma- tanya beredar.
Tampak Lelaki Berbulu Hitam tengah berdiri menjulang.
Sementara beberapa orang lain, termasuk Lima Gembel Busuk dan
Penggerutu Berkepang, juga tengah memperhatikannya.
Tiba-tiba anak muda itu ingat sesuatu.
“Purwasih..- Mana Purwasih?” cetus Andika cepat
Jangan tanya betapa khawatirnya Andika terhadap keselamatan
wanita berwajah manis itu. Biar bagaimanapun, Pendekar Slebor
masih memiliki pertalian darah dengan wanita yang lebih tua darinya
beberapa tahun itu.
“Dia tak apa-apa.” kata Lelaki Berbulu Hitam. Ditunjuknya
Purwasih yang mulai bergerak pula di sisi Andika.
“Kau tak apa-apa?” tanya Andika, setelah me- noleh ke
arah Purwasih.
Purwasih menggeleng dengan mata mengerjap-ngerjap.
Dan Andika pun menjadi lega mendapat ja- waban Purwasih. Dia
takut telah mencelakakan dara itu selama terkena totokan rahasia
Hakim Tanpa Wajah yang membuatnya gelap mata.
“’Bor’i Kita harus bagaimana lagi ini?!” tukas Penggerutu
Berkepang yang sejak tadi bungkam memperhatikan pertempuran
dua manusia sesat yang makin menggila.
“Coba tengok ke belakang sana! Dua manusia sinting itu
sedang gontok-gontokan. Kekualan mereka bisa menghancurkan
tempat ini Siapa yang sudi terkubur di tempat bau ini,” gerutu lelaki
setengah baya pemimpin para pengemis di wilayah timur.
Andika cukup terkejut sewaktu menoleh ke arah yang
ditunjuk Penggerutu Berkepang. Dari tadi dia memang mendengar
gemuruh bagai gempa. Tapi tak pernah disangka kalau itu akibat
pertarungan Manusia Dari Pusat Bumi dengan gurunya sendiri.
“Sedang apa mereka? Sedang latihan?” tanya Andika, tak
mempercayai penglihatannya sendiri.
Tepat ketika Andika hendak bangkit karena rasa
penasaran, sebongkah batu besar yang runcing runtuh dari langit-
langit ruangan. Arahnya tepat menuju punggung Purwasih yang
masih tengkurap di I.intai.
Grrr.
Gemuruh yang dihasilkan reruntuhan batu, amat
mengejutkan mereka yang berada di dekatnya. Terlebih, pemuda
dari Lembah Kutukan yang memang begitu dekat dengan si Naga
Wanita.
“Purwasih, awas!” seru Andika keras.
Bersaman dengan itu tangan Pendekar Slebor berkelebat
cepat, mengirim tinju geledek ke arah batu sebesar kerbau yang
meluncur tepat di depannya. Gerakan itu dilakukan begitu saja
karena begitu khawatir akan keselamatan Purwasih. Hasilnya....
Blarrr!
Batu besar seruncing mata tombak itu kontan lantak berkeping-
keping. Serpihannya berhamburan ke segala arah bagai pasir disapu
angin ribut.
Lelaki Berbulu Hitam terheran-heran. Pendekar Dungu, Penggerutu
Berkepang, dan lelaki lain yang berada dalam barisan juga ikut
terpana. Siapa yang tak heran? Setahu mereka, Pendekar Slebor
masih dalam pengaruh totokan rahasia milik Hakim Tanpa Wajah
yang menyebabkan seluruh kekuatannya hilang terkunci di dalam.
Pendekar Slebor pun tak kalah heran.
"Aneh! Kenapa aku sudah terbebas dari totokan rahasia si
Hakim Tanpa Wajah?” bisik Andika, bergumam sendiri.
Otak Pendekar Slebor yang terkenal encer, tak memberi
kesempatan terjebak dalam kebingungan seperti orang bodoh.
Otaknya segera bekerja, membuat kesimpulan-kesimpulan cepat.
“Kenapa kau?” usik Purwasih, manakala me- nyaksikan
pemuda idamannya tersenyum-senyum sendiri. Dia pun telah
bangkit di sisi Andika.
“Yak, aku tahu!’’ sentak Andika, mendadak. Satu
tangannya meninju telapak tangan yang lain.
“Hey hey hey! Tahu apa kau?’’
Pendekar Dungu ikut terheran-heran dengan mata mengerjap-
ngerjap menahan kantuk.
“Aku tahu, bagaimana membebaskan kalian dari totokan
rahasia Hakim Tanpa Wajah! Sesungguhnya dia menempatkan
semua totokan rahasianya pada jaringan saraf yang berhubungan
dengan pusat kesadaran dan keseimbangan kita. Dan bila kita
kehilangan kesadaran lalu siuman, maka secara tidak sengaja
totokan itu ikut terbebas seiring kembalinya kesadaran kita,” papar
Pendekar Slebor panjang lebar.
Andika memang cukup banyak tahu tentang jaringan tubuh
manusia, setelah membaca kitab pusaka menyamar yang diwariskan
Raja Penyamar kepadanya.
“Haaah, aku bingung! Jangan harap aku bisa memahami
kalimat membingungkanmu itu!” sergah Pendekar Dungu sambil
mencium bekas liur di tangannya.
“Kalau begitu, kenapa kita tak cepat-cepat membebaskan
mereka?” usul Purwasih cepat.
“Usul bagus! Bagaimana, Pak Tua Bulu Hitam?” aju Andika
pada Lelaki Berbulu Hitam.
“Ya, cepatlah! Aku pada dasarnya sudah tak sabar ingin
meremukkan kepala tua bangka jelek bermuka rata itu!” timpal Lelaki
Berbulu Hitam tegas.
Andika mengangguk.
“Kalau begitu, sebelumnya aku minta maaf ka- rena harus
kurang ajar padamu....”
Lalu...
Dugkh!
Mendadak saja, bogem mentah Andika mendarat telak di
dagu lelaki keturunan serigala itu. Sengaja Andika hanya
menggunakan tenaga luar. Karena bila disertai pengerahan tenaga
dalam, dia takut malah akan mencelakakan lelaki itu. Tapi, apa yang
terjadi?
Lelaki Berbulu Hitam tetap berdiri kekar tanpa bergeming
sedikit pun. Hanya bibirnya saja yang meringis-ringis. Rupanya ada
gigi gerahamnya yang patah akibat tonjokan Andika.
“Kau ini ingin menolongku, apa hendak menyiksaku!”
hardik Lelaki Berbulu Hitam setelah mengeluarkan sebutir giginya
dari mulut.
“E-eh...,” Andika ikut meringis. “Maaf, Pak Tua Bulu Hitam.
Kupikir aku cukup menggunakan tenaga luar saja,” ucap Andika
serba salah.
Dugh!
Sekali lagi Pendekar Slebor melepas hajaran. Kali ini tidak
dengan bogem dan tenaga luar, melainkan dengan tebasan
punggung tangan yang disertai penyaluran tenaga dalam. Maka....
Gedubrak!
Lagi-lagi nasib sial Lelaki Berbulu Hitam bukannya berkurang, malah
bertambah. Tubuhnya kontan terjengkang ke belakang. Matanya
mendelik dengan bola hitam ke atas. Tak begitu lama kemudian,
Andika sudah bisa menyadarkannya kembali.
“Lain kali, lebih baik aku tak kau bebaskan!” maki Lelaki
Berbulu Hitam, tepat di muka Andika.
Pendekar Slebor itu hanya bisa tersenyum-senyum
seadanya.
“Biar aku yang membebaskan si bebal itu!” selak Lelaki
Berbulu Hitam, ketika Andika hendak mendekati Pendekar Dungu.
“Hey, apa-apaan ini?! O-o! Tak usah, ya.... Aku tak mau
dipukul-pukul!” tolak Pendekar Dungu, kelimpungan. Giginya yang
ompong terlihat manakala bibirnya terangkat-angkat karena ngeri.
“Aaah! Banyak mulut kau!” bentak Lelaki Ber-ibulu Hitam.
Das!
Tanpa permisi lagi, tangan besar Lelaki Berbulu Hitam
langsung mendarat di wajah keriput Pendekar Dungu. Wajah
menjengkelkan milik tua bangkotan itu untuk beberapa saat
mengejang. Matanya terjuling-juling. Sesaat kemudian tubuhnya
ambruk.
“Biar tahu rasa kau!” dengus Lelaki Berbulu Hitam.
Sementara itu, Andika mendekati lelaki lain dalam barisan.
‘‘Sekarang giliranmu, Ketua Pengemis!” ujar Pendekar
Slebor pada Penggerutu Berkepang.
‘‘Kutu busuk sial! Siapa yang mau dibebaskan dengan cara
itu. Kau pikir aku ini siapa. Huh, ngngng....”
Penyakit lama Penggerutu Berkepang kambuh. Lelaki
compang-camping itu menggerutu panjang-panjang.
‘‘Kalau itu maumu, ya terserah.... Biar kau tetap tinggal di
sini sampai ruangan besar ini ambruk dan menguburmu hidup-
hidup,” kata Andika santai.
“Yayaya! Baiklah!”seru Penggerutu Berkepang bergegas
melihat Andika hendak meninggalkannya. ‘‘Tapi kau harus ingat,
‘Bor’! Sedikit saja tubuhku memar, akan kusikat kau!"
Andika jadi sedikit jengkel.
Dugh!
Tanpa sungkan-sungkan lagi, Andika menghajar pelipis
lelaki setengah baya yang mendongkolkan itu, dengan tenaga dalam
lebih tinggi dari sebelumnya.
“Wadouuu!” Penggerutu Berkepang sempat berteriak.
Pada saat yang sama, tubuhnya terpuntir ke belakang, dan
terjengkang.
“Biar tahu rasa kau!” serapah Andika, mengikuti kalimat
Lelaki Berbulu Hitam barusan. Setelah itu, bibirnya tersenyum-
senyum sendiri.
Di bagian lain ruang seluas alun-alun itu, Hakim Tanpa
Wajah dan murid murtadnya telah mencapai puncak pertarungan.
Keduanya sedang terlibat adu kesaktian. Di satu sisi, Manusia Dari
Pusat Bumi mengempos seluruh kesaktian siluman dalam dirinya,
hingga tubuhnya berubah menjadi seperti bola api besar. Sementara
di lain sisi. Hakim Tanpa Wajah mati-matian mempertahankan diri
dari terjangan api sepanas bara neraka yang menjulur panjang dari
tubuh berkobar murid murtadnya, dengan ilmu Tenaga Sakti
Pembelah Bumi Pengoyak Langit'.
Waktu terus merangkak dalam erangan dan keringat darah
sepasang manusia terkutuk itu. Dan pada saatnya....
Blarrr!
Ledakan amat dahsyat seketika tercipta. Dinding ruangan
langsung runtuh berbongkah-bongkah. Tubuh Manusia Dari Pusat
Bumi terlempar ke belakang laksana anak panah. Lalu, tubuhnya
melesak di dinding ruang dari batu. Demikian pula yang terjadi
terhadap Hakim Tanpa Wajah. Tapi, tampaknya tua bangka itu
mengalami luka lebih parah.
Kiamat seakan terjadi dalam ruangan besar ke- banggaan
si Hakim Tanpa Wajah. Bongkahan-bongkahan batu dinding kian
deras berguguran. Tiang-tiang besar di sepanjang sisi ruangan mulai
retak. Dan sesaat kemudian, tiang-tiang itu ikut berguguran.
Sebagian malah runtuh begitu saja.
Andika, Purwasih, dan para tawanan lain yang sejak tadi
hanya menjadi penonton jadi kalang-kabut. Berbeda dengan para
tawanan dari golongan putih di barisan kanan ruang, para tawanan
dari golongan sesat di barisan kiri ruang begitu terkesiap setengah
mati. Di samping belum terbebas dari totokan, mereka juga masih
terbelenggu rantai baja satu sama lain.
“Hey! Bebaskan kami! Kami tak ingin cepat-cepat mati!”
teriak salah seorang pada para tokoh golongan putih.
Orang-orang golongan putih yang sudah pula memutuskan
rantai baja pembelenggu kaki dan tangan, bukannya tidak mau
menolong membebaskan golongan sesat. Betapapun jahatnya,
mereka toh ber hak mendapat kesempatan hidup. Siapa tahu,
mereka akan sadar nantinya.
Sayangnya para tokoh golongan putih belum bisa
menolong membebaskan orang-orang itu. Pendekar Slebor dan yang
lain sedang disibuki oleh batu-batu sebesar kerbau yang berguguran
di sekitarnya. Bahkan terkadang harus berkelit ke sana kemari, tak
jarang harus menghantam batu-batu itu dengan tangan jika kepala
tak ingin pecah tertimpa.
Pada saat-saat yang membahayakan jiwanya sendiri,
Andika sama sekali tidak kehilangan rasa kemanusiaannya. Ada
yang harus diperbuat untuk me- nolong para tawanan golongan
sesat.
“Pak Tua Bulu Hitam! Lindungi aku dari hujanan batu! Aku
akan mencoba membebaskan mereka!” seru Andika, sepenuh
tenaga. Suaranya yang sudah dialiri tenaga dalam pun, masih timbul
tenggelam ditengah gemuruhnya ruangan besar yang mulai runtuh.
“Apa kau gila, Anak Muda! Biarkan saja mereka mati!
Dunia pun akan berterimakasih jika aku tak menolong mereka!”
bentak Lelaki Berbulu Hitam.
“Aku tak pernah memilih-milih, siapa orang yang harus
ditolong!” balas Pendekar Slebor tak peduli.
Lalu Andika mulai berkelebat gesit ke sana kemari,
berusaha menembus hujanan batu-batu besar yang menggila.
“Dasar keras kepala!” maki Lelaki Berbulu Hitam jengkel.
Mau tak mau, manusia keturunan serigala itu mengawasi
Pendekar Slebor juga. Sambil tetap berusaha menyelamatkan diri
dari runtuhan ruangan, tangannya sesekali melepas hantaman jarak
jauh ke arah batu yang mencoba menghambat gerakan Andika.
Dengan sungsang-sumbel, Pendekar Slebor akhirnya bisa
tiba di dekat orang-orang golongan hitam. Seketika itu pula hendak
dilepaskannya tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan dari
jarak jauh untuk melebur rantai baja pembelenggu kaki dan tangan
mereka. Namun, niatnya tak kesampaian. Karena tiba-tiba saja,
lengkung kubah ruangan di sayap kiri ambruk.
“Andika menyingkir! Ruangan ini akan segera runtuh!”
teriak Purwasih memperingatkan dari jauh.
Tanpa perlu diperingatkan pun, Pendekar Slebor terpaksa
akan menyingkir dari sana. Reruntuhan sayap kiri kubah terlalu
berbahaya untuk ditembus. Kalaupun mengerahkan seluruh
kekuatannya untuk menghantami reruntuhan itu, tetap akan sia-sia.
Sekejap setelah Andika menyingkir, orang- orang golongan
sesat yang hendak ditolongnya langsung tertelan timbunan bebatuan
ruangan. Suara mereka tak terdengar. Bisa saja karena tak sempat
berteriak, atau mungkin terlalu lemah dibanding kedahsyatan
gemuruh reruntuhan.
Sementara itu, puncak kubah ruangan kian rapuh. Retakan
besar tampak dirembesi air. Lama kelamaan, rembesan itu berubah
menjadi cucuran. Bahkan akhirnya berhamburanlah air bah raksasa
berbareng terkuaknya puncak kubah bagai moncong naga bumi.
Seisi ruangan langsung dilahap air, membuat mereka yang
ada di sana terombang-ambing kian kemari tanpa daya.
Kekuatan dorongan air bah itu sekarang menghantam satu
sisi dinding yang paling rapuh. Maka, terciptalah lobang besar yang
berhubungan dengan lorong aliran sungai bawah tanah.
Bagi setiap orang yang masih hidup di sana, terkuaknya
dinding ruangan adalah awal dari kehilangan kesadaran. Semuanya
liba-tiba gelap. Begitu juga Andika dan Purwasih yang sempat
berpegangan tangan erat-erat.
Andika sendiri, pada saat hampir kehilangan kesadaran,
sempat mendengar sebuah suara yang lamat-lamat berseru
langsung ke relung benaknya....
‘‘Pendekar Slebor! Aku akan datang lain kali untuk
membunuhmu!”
3
Andika siuman, begitu rasa sejuk merambahi wajah hingga
ke bagian lehernya. Kelopak matanya ter- buka. Yang pertama
dilihatnya adalah hamparan langit-langit berbatu-batu menonjol
tajam, seperti susunan gigi tak beraturan. Pada setiap ujung runcing
tonjolan batu, menetes butir-butir air. Sebagian tetesan air itu jatuh di
wajahnya. Itu sebabnya, Andika merasakan kesejukan.
“Di mana aku?” tanya Pendekar Slebor agak mengerang.
Seluruh tubuh pemuda itu serasa luluh lantak. Mungkin
akibat benturan berkali kali dengan dinding lorong sungai bawah
tanah selama diseret arus.
Dari rebahnya, Andika beringsut tegak. Suasana baru,
menitah dia untuk mencari tahu ke sekeliling tempat. Pandangannya
pun beredar sesaat, dan baru berhenti ketika menemukan tubuh
Purwasih tergeletak lunglai tiga tombak dari tempatnya.
“Mana yang lain ?’’ gumam Andika lagi.
Pertanyaan itu wajar saja tersembul dari benak- nya.
Bukankah sewaktu di Pengadilan Perut Bumi mereka bersama-
sama? Tapi, kini yang ditemukan hanya tubuh Purwasih.
Sebelum menghampiri Purwasih, Andika memperhatikan
lagi suasana sekelilingnya. Dia berada di satu sisi lorong. Sepanjang
sisi lorong yang lain, terdapat aliran air jernih selebar dua kaki, dan
sedalam betis. Tempat dirinya dan Purwasih tergeletak, tampaknya
adalah pinggiran sungai bawah tanah yang sudah mengendap
selama ratusan tahun, sehingga mengeras kini.
Cukup memperhatikan semua itu, Andika segera
menghampiri Purwasih. Wanita berjiwa ksatria itu juga hanya
pingsan. Di beberapa bagian tubuhnya, terdapat goresan yang
mengeluarkan darah. Bagian yang paling parah adalah kaki kirinya.
Bengkak dan membiru. Andika yakin, ada tulang yang remuk akibat
benturan hebat dengan sisi lorong.
Tak berpikir lama-lama lagi, segera ditotoknya jalan darah
di bagian kaki kiri Purwasih. Tindakan itu memang perlu dilakukan,
agar Purwasih tak begitu menderita jika siuman nanti.
Setelah itu, pendekar muda dari Lembah Kutukan ini
mengerahkan hawa murni melalui telapak tangan, ke bagian dada
Purwasih. Agak sungkan, memang. Tapi Andika tak punya pilihan
lain. Dengan begitu, Purwasih dapat cepat siuman dan sedikit
menyegarkan tubuhnya yang sudah banyak kehilangan tenaga.
Purwasih tersadar sekian saat kemudian.
“Uuuh."
Dara cantik itu melenguh seraya menggoyang-goyangkan
kepala perlahan.
Di mana kita, Andika?" tanya Purwasih lirih, ketika
mendapati Pendekar Slebor di sisinya.
Purwasih berusaha duduk berselonjor. Kepalanya yang
masih begitu berat, disandarkan di bahu bidang pemuda yang
selama ini begitu menawan perasaannya.
“Tepatnya, aku tak tahu. Tapi aku yakin kita telah berada
jauh dari Pengadilan Perut Bumi," jawab Andika. “Kau tak apa-apa,
Purwasih?"
“Kurasa aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?”
Purwasih balik bertanya, seolah ingin membayar perhatian barusan.
Bibir Andika tersungging. Bahunya mengedik kecil.
“Hanya luka-luka kecil. Seperti kau juga. Aku hanya lecet di
sana-sini,” sahut Andika, sambil memutar tangan kanan untuk
memperlihatkan sikunya yang terkoyak pada Purwasih.
“Aku tak melihat luka di sikumu," kata Purwasih, memaksa
Andika tertegun sejenak.
“Apa maksudmu?” tanya Andika heran, kembali melihat
siku kanannya.
Benar kata Purwasih. Tak ada lagi koyakan kulit di sana.
Hanya warna hitam yang melintang tipis.
“Aneh...,” desis Andika.
“Aneh bagaimana?” tanya Purwasih seraya bangkit seperti
tak terlalu tertarik pada pertanyaan Andika tadi.
“Sumpah mampus, barusan aku menyaksikan sendiri
sikuku ini terkoyak. Kau lihat ini...,” Andika menunjukkan bercak-
hercak darah yang tersisa di bawah sikunya. “Bercak-bercak
darahnya pun masih ada....”
“Mungkin kau salah lihat tadi,” sangkal Purwasih, seraya
mengedarkan pandangan ke sekeliling.
‘‘Kau pikir aku sudah tidak waras? Aku jelas-jelas melihat
dengan mata kepalaku sendiri!” Andika ngotot. -
“Ah, sudahlah. Itu hanya persoalan “kecil, bukan?”
“Tunggu..., tunggu dulu!” sergah Andika. “Sepertinya kita
mendapat persoalan yang tidak kecil. Ini tidak remeh, Purwasih!”
Langsung Pendekar Slebor menatap pinggul me- nantang
Purwasih yang begitu gempal berisi.
“Apa-apaan kau ini! Kenapa matamu jadi tak senonoh
begitu!” omel Purwasih. Wajahnya karuan menjadi merah matang.
“Sial! Aku bukannya sedang memperhatikan pinggulmu.
Meskipun kuakui memang indah, dan...."
“Tutup mulut kotormu!” Purwasih makin ber- tingkah tak
karuan. Lebih-lebih, warna wajahnya.
"Maksudku.... sewaktu kau belum siuman, kulihat ada luka
agak menganga di bagian itu!” tegas Andika.
“Ah, sudahlah! Lelaki memang punya seribu satu alasan
untuk berbuat kurang ajar!” penggal Purwasih, malu bukan main.
Dikira, Andika hanya sedang mengolok-oloknya.
Masalahnya, selama ini gadis itu tahu bagaimana urakannya
Pendekar Slebor. Dalam keadaan apa pun, bahkan dalam
kegentingan, pemuda brengsek itu tetap tak pernah sembuh dari
sitat urakannya.
“Biar kulihat sebentar!” ujar Andika mendadak.
Dan mendadak pula Pendekar Slebor menarik tangan
Purwasih. Cepat dan tak terduga. Tahu-tahu, tubuh Purwasih sudah
merapat ke dadanya. Sedangkan tangannya mendekap pinggang
Purwasih dari belakang.
“Andika! Apa-apaan ini!”
Gadis berkulit kecoklatan nan manis itu meronta-ronta.
Antara risih dan rasa berbunga-bunga. Dadanya berdebar-debar
cepat, bagai ada badai hebat dalam dirinya.
“Nah, betul bukan?!” seru Andika.
Dari belakang tubuh Purwasih, mata jantan pemuda itu
sibuk mengamati bagian pinggul Purwasih. Di bagian itu, pakaian
Purwasih tampak terkoyak. Sehingga, memunculkan kemulusannya.
Purwasih menepak keras-keras tangan pemuda ini yang
hinggap semena-mena di pinggang rampingnya. Dia pun meronta
sampai lepas. Hendak ditinjunya perut pemuda urakan itu.
Tangannya siap melayangkan kepalan.
“Tunggu-tunggu!" tahan Andika mendelik-delik. Tubuhnya
tersurut-surut mundur di bawah ancaman kepalan Purwasih. “Kalau
kau tak percaya mulutku, coba lihat sendiri bagian tubuhmu yang
aduhai i... ugh!”
Pendekar yang begitu slebor ini tak sempat me¬
nyelesaikan kalimatnya, karena tinju Purwasih lebih dulu bersarang
telak di ulu hatinya.
Purwasih berjalan meninggalkan Andika di be- lakangnya.
Sedikit pun kepalanya tak berani menoleh. Takut wajahnya yang kian
tak karuan diketahui Andika.
“Mau ke mana, kau?!” cegah Andika. “Sungguh mati, aku
tak main-main. Tampaknya ada suatu yang luar biasa di tempat ini."
Suara Andika terdengar penuh tekanan, agar Purwasih
tahu kalau dia bersungguh-sungguh.
Purwasih akhirnya mau juga menoleh, setelah terlebih
dahulu berdiri diam sekian lama.
“Baik. Sekarang, jelaskan padaku dengan singkat. Apa
maksudmu sebenarnya?” desak Purwasih.
“Kau perhatikan lagi bagian pinggulmu. Aku tak bohong.
Sebelumnya aku memang melihat luka di situ. Tapi kini, yang tinggal
hanya pakaianmu yang terkoyak di bagian itu, dan bercak-bercak
darah di sekitarnya. Sementara di bagian yang kulihat terluka, hanya
ada bekas yang agak menghitam,” papar Andika.
Tak terlihat kesan bergurau di wajah pemuda itu. Sewaktu
bicara, bahkan matanya agak menyipit-nyipit, tanda benar-benar
menaruh perhatian penuh pada perkara itu.
Purwasih menuruti ucapan Andika. Diperhatikannya bagian
pinggul yang dimaksud pemuda itu. Ternyata, memang benar. Tepat
seperti uraian Andika.
“Lalu?” tanya gadis itu kemudian, ingin tahu pen- dapat
Andika tentang semua ini.
Andika terdiam sesaal. Matanya bergerak-gerak, seperti
mencari-cari sesuatu. Tak lama berikutnya, matanya melirik langit-
langit lorong berbatu runcing yang terus meneteskan air pada tiap
ujung- nya.
“Menurut dugaanku, air ini bukan air biasa.”
“Bukan air biasa bagaimana? Kulihat warna dan rasanya
seperti air pada umumnya....”
Dengan sudut matanya, Andika menatap Purwasih lekat-
lekat.
“Bagaimana kalau kita buktikan dugaanku itu?” tantang
Pendekar Slebor.
“Kau mau bertaruh?” Purwasih balik menantang.
“Kalau kau benar, aku boleh menciummu,” tutur Andika
setengah menggoda, membuat warna air muka Purwasih berubah
lagi. “Dan kalau aku keliru, kau boleh mencium dengkulku. Hua...
ha... ha!"
Tawa pemuda urakan itu meledak. Lalu tanpa
mempedulikan perubahan wajah Purwasih, Andika mengangsurkan
tangannya ke bawah letesan air, tepat pada luka goresannva. Air
dari langit-langit lo- rong itu jatuh setetes demi setetes, sampai luka
itu pun mulai basah.
Keanehan pun mulai terjadi. Perlahan-lahan luka
memanjang di tangan Andika mengering. Kulit yang tersobek,
merapat dan merapat. Darah di sekitarnya menjadi coklat, lalu
terkelupas sendiri. Kini kulit yang semula tergores pun sembuh
seperti tak pernah terjadi apa-apa. Sama seperti pinggul Purwasih.
Hanya ada bekas menghitam.
Bibir Andika tersungging lebar.
“Aku yakin dalam beberapa hari, bekas hitam ini pun akan
menghilang” kata Pendekar Slebor mantap.
Sementara Purwasih masih terpaku, belum sempat
berucap apa-apa.
“Dan.... kita telah menemukan ‘Air Kehidupan’ Purwasih!”
sentaknya tiba-tiba, seraya melompat ke- girangan tak bedanya
bocah kecil diberi hadiah.
Purwasih masih tetap diam saja. Hanya saja, bibir
ranumnya terlihat tersenyum kecil. Rupanya, dia tak tahan melihat
tingkah pemuda idaman di depannya
“Purwasih! Cepat beri sarung pedangmu!” ujar Andika
Andika mengisi sarung pedang milik Purwasih dengan ‘Air
Kehidupan’. Sementara, Purwasih terus memperhatikannya.
‘‘Untuk apa sebenarnya kau bawa air itu, Andika?” tanya
Purwasih, tidak mengerti.
“Aku punya rencana bagus. Kau lihat saja nanti,” sahut
Pendekar Slebor santai.
"Untuk apa?”
“Kita tak mungkin mengambil air ini dengan menyimpannya
di dalam rongga mulut, bukan?”
“Ooe....”
Purwasih mengangguk. Diserahkannya sarung pedang dari
tanduk rusa liar itu.
Andika segera mengisi sarung pedang dengan ‘Air
Kehidupan’. Sementara, Purwasih terus memperhatikannya.
“Untuk apa sebenarnya kau bawa air itu, Andika?” tanya
Purwasih.
Mata Andika mengerling.
“Aku punya rencana bagus. Kau lihat saja nanti,” sahut
Pendekar Slebor, santai.
“Satu pertanyaan lagi boleh?”
Andika mengangguk.
“Dari mana kau tahu kalau nama air itu ‘Air Kehidupan’?”
Andika meringis kebodoh-bodohan.
“Aku tak pernah tahu, apa nama air ini. Ke tempat ini pun,
baru kali ini. Tapi daripada aku sebut ‘Air Anu kan lebih baik
kukarang satu nama..., ‘Air Kehidupan’ Hua... ha... ha!"
Di tepi sebuah sungai, Lelaki Berbulu Hitam duduk
termenung di atas sebatang pohon besar yang lumbang. Di tengah
sungai berair jernih sampai dasar wngai berbatu-batu terlihat,
Pendekar Dungu tengah mandi. Sekujur tubuhnya yang penuh
lumpur, digosok-gosoknya.
Mengapa mereka bisa sampai ada si sini? Rupanya, arus
bah telah menyeret mereka keluar dari aliran sungai bawah tanah, ke
sungai terbuka yang membelah sepasang bukit tempat mereka
berada.
“Hitam! Apa kau tak berniat membersihkan tu- huhmu?!”
sapa Pendekar Dungu seraya menyibak-nyibak arus kecil sungai.
“Kira-kira, apakah Tuan Penolong kita masih hidup,
Dungu?” tanya Lelaki Berbulu Hitam, tak mempedulikan ajakan
Pendekar Dungu. “Kalau dia mati, siapa yang akan membantu
menyelesaikan persoalan kita? Padahal aku begitu mengidam-
idamkan bisa membuang sifat beringasanku. Apa kau tak mau
membuang kebodohanmu, Dungu?”
“Ngomong-ngomong soal membuang, tiba-tiba aku jadi
kepingin ‘membuang’ juga, nih!” cetus si tua bergigi ompong.
Pendekar Dungu segera lari ke balik batu besar. Tak lama
kemudian, tercium bau busuk seperti bau seribu setan belang. Juga
terdengar bunyi kecil nan merdu....
Plung..., piung!
“Hitam! Kira-kira, apa membuang sifat beringasanmu
semudah membuang ‘ampas’ ini, ya?!” oceh Pendekar Dungu.
Lelaki berbulu lebat keturunan serigala tak me- nyahut.
Biasanya, hatinya langsung kalap kalau ada kata-kata ngawur
Pendekar Dungu yang menyinggung perasaannya. Mungkin dia
sudah mulai terbiasa dengan kebodohan bangkotan bebal itu. Atau
mungkin sedang memikirkan nasib Andika yang diyakini sebagai
Tuan Penolongnya.
Sementara kepala Pendekar Dungu muncul dari balik batu
besar.
“Hitam! Hitam!” panggil Pendekar Dungu, makin banyak
mulut. “Hey, kau masih memasang telingamu, bukan?”
Lelaki Berbulu Hitam tetap duduk bertopang dagu. Tak
dipedulikannya segala kicauan Pendekar Dungu.
Lalu, tergopoh-gopoh Pendekar Dungu menghampiri
kawan senasib sepenanggungannya yang selalu jadi lawan dalam
perang mulut.
“Menurutmu apa hakim sial itu masih hidup?” kata
Pendekar Dungu, sambil menaikkan celana.
Lelaki Berbulu Hitam menaikkan kepala. Dile- pasnya
pandangan ke mata kelabu tua bangka di de- pannya.
‘‘Rasanya, aku barusan melihat bayangan hakim sial itu di
permukaan air sungai...!,” sambung Pendekar Dungu, memberitahu.
Tiba-tiba Lelaki Berbulu Hitam tersentak. “Bodoh!” maki
laki-laki keturunan serigala itu. Lalu, Lelaki Berbulu Hitam
mengedarkan pandangan dengan sinar mata liar ke sepasang bukit
ber- hatu-batu di kanan dan kiri sungai.
“Ada apa?!” tanya Pendekar Dungu tak mengerti.
Rahang Lelaki Berbulu Hitam mengeras. “Mungkin tadi kau
tak sengaja melihat bayangan si Hakim Tanpa Wajah mengintai kita!”
bentak Lelaki Berbulu Hitam geiam.
“Jadi, orang jelek itu masih hidup?”
4
Alunan senandung seruling mendayu, menjamah angkasa
bebas. Siraman gencar sinar matahari jadi tampak bersahabat, diapit
nada-nada yang mengusik buluh perindu itu.
Siang yang garang berubah menjadi bersahabat oleh
tiupan seruling seorang anak lelaki berusia sekitar empat belasan
tahun. Rambutnya kusut masai seperti bulu domba sepanjang bahu.
Pakaian yang dikenakan compang-camping berwarna kusam.
Namanya Walet.
Bocah tanggung itu kini berjalan santai meleng gak-lenggok
menembus lembah luas berhias bunga- bunga rumput liar. Beberapa
waktu lalu, bocah kecil berjiwa kukuh ini sempat bekerjasama
dengan Pendekar Slebor dalam membongkar kepalsuan seorang
pejabat. Mereka bahkan sempat pula bersahabat. (Tentang anak ini,
bacalah episode: “Mustika Putri Terkutuk”).
O, bunga rumpul liar
Kalau saja kalian dengar
Sehimpun mata hati basah dalam tangis
Kuluhi dunia bengis
Terkangkangi angkara
Dilindas jejak-jejak murka....
Mulut mungil bocah itu melepas senandung berlirik gelisah.
Seolah, dalam dirinya dibebani mendung alas tabiat buruk manusia
di atas buana.
Tak berapa lama, Walet tiba di dekat pohon besar tempat
Raja Penyamar bersemadi. Saat itu, Raja Penyamar baru saja
memutuskan untuk beranjak pergi. Hendak disatroninya Pengadilan
Perut Bumi, setelah yakin tak ada lagi benteng gaib penyelubung-
nya.
Tanpa menggerakkan kaki, lelaki tua berwujud toh halus itu
melintas cepat di depan Walet. Tak di- pedulikannya si bocah,
mengingat hal genting yang harus dikerjakan.
“Pak Tua! Kenapa begitu tergesa-gesa?! Meski aku hanya
bocah, tak ada salahnya kau bersikap sopan sedikit melintas di
depanku,” tegur Walet, acuh tak acuh. Dimainkannya seruling dari
tangan satu ke tangan yang lain.
Demi mendengar teguran menyindir bocah langguh itu,
Raja Penyamar langsung saja menghentikan laju tubuhnya. Sungguh
sebuah kejutan baginya, menyadari si bocah tahu kalau dirinya
melintas di depannya.
Percaya tak percaya. Raja Penyamar menoleh ke arah
Walet. Diperhatikannya wajah lugu anak gondrong itu teliti sekali.
Seakan, dia hendak meyakinkan diri.
“Anak ini menegurku atau menegur orang lain?” pikir Raja
Penyamar. Tapi selama berada di sana, tidak dilihatnya seorang
pun. Kecuali, dirinya dan si bocah.
“Kenapa kau jadi terlihat lucu seperti itu, Pak Tua?” tegur
Walet lagi.
“Kau..., bisa melihatku?” tanya Raja Penyamar, digelitik
rasa penasaran.
“Apa salahnya aku bisa melihatmu? Apa tindakanku adalah
dosa?” Walet balik bertanya dengan nada lugu.
“Siapa kau sebenarnya, Bocah?” selidik Raja Penyamar.
“Aku, ya aku. Aku bukan dia. Bukan mereka, dan juga
bukan kau, Pak Tua,” jawab Walet berputar-putar.
Dengan langkah berkesan riang, anak muda tanggung itu
menghampiri pohon besar lalu duduk bersandar di bawah
naungannya.
“Silakan kalau ingin melanjutkan perjalananmu, Pak Tua.
Tak mengapa kalau aku menempati tempatmu, bukan? Udara siang
benar-benar membuatku penat...,” lanjut Walet.
Raja Penyamar mengurungkan niatnya. Malah,
dihampirinya Walet bersama gumpalan tanda tanya dalam benak.
Kalau seseorang sudah bisa menembus alam halus dengan
matanya, sudah pasti bukan orang sembarangan. Namun begitu,
Raja Penyamar agak ragu bila menilik usia si bocah. Sepanjang
hidup, tak pernah ditemui tokoh sakti berusia begitu muda.
“Kau masih bau kencur. Tapi, matamu setara dengan
penglihatan tokoh-tokoh sesepuh dunia per- silatan. Kurasa ada
sesuatu yang kau sembunyikan. Maukah menjeiaskan padaku?”
tanya Raja Penyamar.
‘‘Eh! Kenapa kau tahu aku menyembunyikan sesuatu?!”
kata Walet. Matanya membulat penuh. Sambil tertawa-tawa,
dikeluarkannya dua butir telur rebus dari balik baju rombengnya.
“Maksudmu bukan telur-telur itu,” sergah Raja Penyamar.
“Kalau bukan telur ini, aku memang masih
menyembunyikan telur yang lain...," oceh Walet sekena- kenanya.
Raja Penyamar tersenyum lebar. Wajah berwibawa yang
memancarkan pendaran cahaya, tampak memperlihatkan binar
bersahabat.
“Kau mengingatkan aku pada seseoraftg, Bocah," kata
Raja Penyamar. Masih tetap beriring senyum, matanya menerawang
membayangkan seseorang.
“Ah! Kalau dia orangnya, aku sudah kenal...,” te- rabas
Walet, seperti bisa mengamali gambaran seseorang yang
dibayangkan Raja Penyamar.
Sekali lagi Raja Penyamar dipaksa terkejut.
“Dia siapa maksudmu?" pancing orang tua itu, berpura-
pura.
“Kang Andika. Si Pendekar Slebor dari Lembah Kutukan
yang mulutnya bawel seperti perempuan. He he he!”
“Kau...,” desis Raja Penyamar takjub.
Setelah itu, Raja Penyamar tak tahu lagi hendak
mengatakan apa.
“Apa kau sejenis anak siluman golongan putih?” lanjut
orang tua ini selang beberapa lama.
“Ha ha ha!”
Tawa Walet kontan meledak berderai-derai. Sampai-
sampai, dia merasa harus memegangi perutnya sendiri. Mungkin
takut ada yang terlepas dari 'bawah'.
“Kenapa kau tertawa?” sela Raja Penyamar.
tampak kegusaran di wajah tenang Raja Penyamar
mendapat perlakuan seperti itu. Dia sendiri tak tahu, kenapa tak
terbetik ketersinggungan di hatinya. Padahal menurut adat yang
berlaku, sikap bocah ini sudah keterlaluan. Seperti ada semacam
pengaruh batin dari diri si bocah yang membuatnya senang dan
langsung merasa akrab dengan Walet.
“Pak Tua..., Pak Tua. Kau pikir siluman mana yang mau
mengakui aku sebagai anaknya? Ha ha ha! Kurasa, aku ini lebih
jelek daripada anak siluman mana pun!”
Tak lama. Raja Penyamar pun jadi tersadar. Bu-, kankah
dia harus segera pergi ke Pengadilan Perut Bumi?
“Baik, Bocah. Kalau Tuhan mengizinkan, mudah-mudahan
kita bisa berjumpa lagi. Pada saat itu, kau tentu tak keberatan
menjelaskan padaku tentang dirimu, bukan?” pamit Raja Penyamar.
“Hm, Pak Tua! Sebaiknya kau tak pergi ke tempat yang
kau tuju. Pergilah ke sebelah barat dari tempat itu. Di sana ada goa
di kaki bukit...,” kata Walet, sebelum lelaki berwujud roh itu
menghilang.
“Kenapa begitu?”
“Kurasa nanti pun kau akan tahu. Dan, kalau kau berjumpa
Kang Andika, katakan padanya dia mem- butuhkan ‘sesuatu yang
bisa menandingi’ kekuatan sihir senjata lawan!”
Meski digelayuti keheranan, Raja Penyamar beranjak juga
dari tempat itu. Tubuh halusnya melayang cepat, kemudian
menghilang.
“Terimakasih banyak, Pak Tua!” seru Walet.
Di goa kaki bukit seperti ucapan Walet, Raja Penyamar
bertemu Andika dan Purwasih. Goa itu pula yang menjadi
penghubung aliran sungai bawah tanah dengan sungai terbuka
tempat Lelaki Berbulu Hitam serta Pendekar Dungu terdampar waktu
itu.
Sambil bergandengan tangan, Andika dan Purwasih
muncul di mulut goa. Pakaian mereka masih kuyup dengan lumpur
coklat di sana-sini. Sementara Purwasih menenteng pedang
bergagang kepala naganya di satu tangan, Andika justru memegang
warangkanya dengan hati-hati. Andika hanya takut ‘Air Kehidupan’ di
dalamnya tertumpah. Padahal mereka sudah susah payah
membawanya keluar dengan berjalan terseret-seret di sepanjang
sungai bawah tanah. Malah mereka harus tertunduk-tunduk kalau
kebetulan langit-langii lorong begitu pendek. Terkadang pula harus
sungsang-sumbel menghindari gigi langit- langit yang runtuh
menghujam akibat getaran suara. Semua itu harus ditempuh selama
setengah harian yang melelahkan.
“Andika!” sambut Raja Penyamar di permukaan arus
sungai di depan bibir goa. Roh lelaki tua itu mengapung, tanpa dihela
arus.
“Raja Penyamar?” gumam Pendekar Slebor sedikit ragu.
Pengalaman ditipu mentah-mentah oleh siluman yang
menyerupai Raja Penyamar, membuat Pendekar Slebor berhati-hati.
Maka begitu teringat kalau Raja Penyamar asli selalu muncul disertai
wangi bunga sedap malam, hidung Andika segera mengendus-
endus seperti seekor kucing lapar mencari makan. Namun hawa
dingin membuat hidungnya agak tersumbat. Sehingga tampaknya
kurang peka terhadap bebauan. Untung, akhirnya wangi kembar
sedap malam itu bisa tercium juga.
"Ah, syukurlah. Ternyata kau memang Raja Penyamar,”
kata Andika lega.
Suara Pendekar Slebor yang agak keras, kali ini ditangkap
telinga Purwasih. Dara itu terheran-heran melihat tindak-tanduk
pemuda pujaannya yang entah berbicara pada siapa.
“Kau bicara padaku, Andika?” tanya Purwasih.
“Tidak. Aku bicara dengan kawan tuaku,” sahut Andika.
Dengan isyarat mata, ditunjuknya tempat Raja Penyamar berdiri.
“Kau sinting, ya? Aku tak melihat siapa-siapa di sana!”
omel Purwasih. “Sini, kau! Biar matahari siang menghangatkan
otakmu yang mulai beku!"
Purwasih segera menarik Andika ke tepi sungai.
“Hey, jangan menarikku seperti ini! Aku harus berbicara
dengan....”
Andika cepat tersadar.
“Slompret! Aku saja yang tolol! Ya. jelas Purwasih tak
melihat Raja Penyamar...,” gerutu pemuda itu pada diri sendiri yang
seraya menepuk kening keras- keras.
“Nah! Sekarang kau mulai sadar kalau otakmu sudah beku
bukan?” cemooh Purwasih tak tahu rae- menahu.
“Ah, iyalah!”
Andika pasrah ditarik-tarik Purwasih seperti kambing
congek. Harus dicarinya akal, agar bisa berbicara dengan Raja
Penyamar tanpa membuat bi- ngung dara itu.
Raja Penyamar sendiri hanya bisa tersenyum-senyum melihat
tingkah dua anak muda itu.
“Purwasih! Bagaimana kalau kau membuat api unggun di
dekat pohon nyiur itu, sementara aku akan mencari kelinci? Kau
tentu sudah lapar dan mau me- nyantap daging kelinci hangat
bukan?” usul Pendekar Slebor.
Sebenarnya, Pendekar Slebor hanya mencari alasan agar
bisa pergi untuk sementara.
‘‘Usul bagus! Kalau begitu, cepat!”
Andika pergi dengan senyum lebar. Ditemuinya kembali
Raja Penyamar di tempat semula.
“Kebetulan sekali kau datang, Pak Tua! Aku punya sesuatu
untukmu!” ujar pemuda dari Lembah Kutukan itu.
“Sebelum kau lanjutkan, apa yang terjadi dengan
Pengadilan Perut Bumi?”
Andika menaikkan kedua tangannya dengan telapak
tangan membuka lebar-lebar.
“Biar!” seru Pendekar Slebor dengan mimik wa-jah seru
pula. “Tempat itu hancur. Guru dan murid brengsek itu yang menjadi
penyebabnya. Mereka jotos-jotosan.... Nah sekarang, kau mau
dengar berita gembira untukmu?”
“Apa?”
“Tanpa sengaja, aku menemukan air ajaib?” sambung
Andika menggebu-gebu.
'Air ajaib apa?”
“Ah! Aku tak tahu, apa namanya. Maka kukarang satu
nama ‘Air Kehidupan’! Bagus, bukan? Nah! Yang jelas, air itu bisa
membuat tubuh yang luka atau masak menjadi pulih kembali. Ajaib!”
Mata keriput Raja Penyamar menyipit. Keningnya langsung
berkerut.
“Itu ‘Air Sari Buana’...,” desah Raja Penyamar.
“Jadi kau tahu soal air ini?”
Kepala Raja Penyamar menggeleng-geleng.
“Anak Muda.... Anak Muda. Apa kau tahu, kau telah menemukan air
mukjizat yang begitu sulit dicari. Karena, sumbernya selalu
berpindah-pindah tak menentu. Itu pun dalam waktu puluhan tahun
sekali...,” papar Raja Penyamar.
Mulut Andika menganga.
“Jadi, aku tak akan bisa kembali ke dalam lorong untuk
mengambilnya?”
“Pada saat kau kembali nanti, mungkin sumber air itu
sudah berpindah kembali, entah ke mana...," tambah Raja
Penyamar.
“Ah, sayang...,” sesal si pemuda gondrong. Diliriknya
gagang pedang milik Purwasih. “Aku hanya dapat sedikit...."
“Lalu, apa maksudmu dengan ‘Air Sari Buana’ itu?” tanya
Raja Penyamar.
“O, iya! Bukankah dulu kau katakan, kalau kau mati karena
suatu penyakit yang tak bisa disembuhkan? Kau mati. Sementara itu,
jasadmu tak kunjung membusuk di Kampung Kelelawar....” (Untuk
lebih jelasnya, bacalah episode: “Manusia Dari Pusat Bumi”).
“Jadi maksudmu”
“Kuyakin, penyakit itu bukannya tidak bisa di- sembuhkan.
Ini hanya masalah penawarnya. Selama ini, kau belum sekali pun
menemukan obat untuk penyakitmu itu, Pak Tua. Kalau Tuhan
mengizinkan, dengan air ini, kerusakan jaringan dalam jasadmu akan
pulih kembali. Dengan pulihnya jasadmu, maka jiwamu kuyakin bisa
menempatinya kembali...."
Si tua berwajah teduh ini kembali menggeleng- geleng.
“Kurasa memang sudah takdirku untuk mati, Anak Muda...."
“Aaa! Kalau begitu, kenapa jasadmu belum juga kunjung
membusuk? Bukankah itu artinya Tuhan mengizinkan kau kembali
ke jasadmu? Jadi, ini hanya masalah waktu. Kalau suatu saat kau
berhasil menemukan obat untuk jasadmu itu, maka....
Andika tak melanjutkan kalimatnya ketika tiba- tiba sebuah
tangan halus menjewer telinganya hingga merah matang.
“Aku tak peduli dedemit mana yang kau ajak bi- cara!”
omel Purwasih disampingnya. “Yang pasti, kau harus menepati
janjimu untuk mencarikan kelinci!"
"Ya, ya, ya!
Kelinciii! “Yang gemuk!”
“Yang gemuuuk!"
5
Tak pernah mudah untuk menduga, apa yang ba- kal
terjadi nanti. Hidup sepertinya selalu mempunyai tali kendali sendiri,
menggiring manusia ke arah tertentu. Dikehendaki atau tidak
dikehendaki manusia, tetap berjalan seperti itu.
Pertemuan juga sebagai dari arah hidup yang sulit diduga.
Seperti halnya Andika.
Setelah menerima pesan Walet yang disampaikan melalui
Raja Penyamar, Andika segera mencoba menghubunginya melalui
batin. Dia amat tahu, bagaimana kuatnya batin Walet. Dengan
semadi, Pendekar Slebor yakin akan berhasil menghubungi batin
bocah tanggung itu.
Dalam semadi, Andika merasakan tubuhnya me- layang
kehamparan ruang tanpa tepi Tak terang, tak juga gelap. Tubuhnya
terus melayang dan melayang, melanglangi ruang dan waktu yang
tak terbatas. Sepasang tangannya terkembang ke depan, seolah
hendak menggapai sesuatu yang belum terlihat.
“Walet! Walet!” panggil Andika. Suaranya bergema tak
terputus, seolah menelusuri ruang tanpa batas.
Tak begitu lama, Pendekar Slebor melihat titik cahaya
putih di kejauhan yang kemudian berpendar, mekar membesar.
Andika sendiri tak bisa memastikan, dirinya yang mendekati cahaya
itu atau justru sebaliknya.
Ketika cahaya itu kian membesar dan nyaris menelan
tubuhnya, Andika melihat dari pusat cahaya muncul perlahan-lahan
seorang tampan perkasa. Tubuhnya tinggi tegap, terbungkus
pakaian kebesaran seorang pangeran. Wajahnya begitu menawan
tanpa kumis atau cambang penghias. Lelaki pun akan sempat
terpana mendapati ketampanan wajah sosok itu.
“Siapa kau?” sapa Andika. “Aku tak memanggilmu. Yang
kupanggil Walet. Bukan kau, tapi Walet!”
Sang Pangeran tersenyum amat ramah.
“Akulah Walet!” sambut sosok tampan itu, lembut.
“Kau tak bisa membohongiku. Aku kenal Walet. Dia
seorang bocah kecil,” sangkal Andika.
“Ini memang salahku, Andika. Boleh kupanggil kau Andika,
bukan? Selama ini, aku memang merahasiakan jati diriku
sesungguhnya. Kau pernah kuceritakan tentang asal-usul Mustika
Putri Terkutuk. Tentang seorang pangeran dan putri yang saling
mencintai, namun kedua orangtua masing-masing tak menyetujui
hubungan itu. Mereka lari. Dan kedua orangtua mereka pun
mengutuk anak muda itu. Sang putri menjad Mustika Putri Terkutuk
dan Sang Pangeran menghilang bagai ditelan bumi....” (Baca
Pendekar Slebor dalam episode: “Mustika Putri Ter- kutuk”).
“Tunggu! Kau ingin katakan kalau kau adalah pangeran itu,
bukan?” sergah Andika.
“Ya, memang begitu. Aku menitis pada rahim seorang ibu.
Sampai lahirlah Walet, bocah kecil yang kau kenal...." Sang
Pangeran mengakhiri cerita.
Mulut Andika membulat.
“Ooo, pantas saja kalau bocah kecil itu memiliki kekuatan
batin yang luar biasa...,” gumam Pendekar Slebor. “Jadi, apa pesan
yang kau maksudkan untukku?”
“Aku ingin menyampaikan padamu kalau kau harus
memiliki sesuatu yang bisa menandingi kekuatan sihir sebuah
benda....”
“Kekuatan sihir sebuah benda? Benda apa yang kau
maksud?”
“Cermin Alam Gaib...."
“Tuhan.... Jadi benar kata Raja Penyamar tentang bahaya Cermin
Alam Gaib,” desis Andika.
Andika terdiam sesaat. Ditatapnya sepasang bo- la mata Sang
Pangeran dengan sinar mata berharap.
“Jadi, apa yang harus kumiliki?”
“Kalbumu...,” sahut Sang Pangeran, singkat.
Andika dipaksa tertawa dengan pertanyaan tadi.
“Kalau soal itu, dari dulu aku telah memiliki,” kelakar Pendekar
Slebor.
"Kau memang memiliki kalbu. Tapi belum memiliki
kesempurnaannya. Kau harus melakukan pencucian melalui
pengasingan diri secara menyeluruh. Bebaskan dirimu dari
keduniawian untuk sementara. Lalu, menyatulah dengan Sang Maha
Besar yang menduduki kursi semesta...."
Petuah Sang Pangeran itu melembut. Sampai suara
jernihnya menghilang, seiring menguncupnya cahaya putih.
Dan Pendekar Slebor membuka kelopak matanya. Dan di
depannya langsung ditemukan Raja Penyamar.
“Kau mau menjelaskan padaku, siapa sesung- guhnya
anak kecil itu, Andika?” tanya Raja Penyamar.
Sejak berjumpa dengan Walet, rasa ingin tahu Raja
Penyamar tak kunjung redup. Semakin hari, makin penasaran.
Maka secara jelas dan singkat, Andika pun men- ceritakan
jati diri Walet sesungguhnya, yang baru saja diketahuinya sendiri.
“Pantas...," bisik Raja Penyamar, menanggapi seluruh
cerita Andika tentang si bocah ajaib itu.
Dari silanya, pemuda tampan yang disegani da- lam dunia
persilatan itu berdiri. Kini dia berhadapan dengan arwah Raja
Penyamar di dalam sebuah gubuk terbengkalai di Kampung
Kelelawar. Di gubuk itulah, Raja Penyamar mati beberapa puluh
tahun silam.
Jasad Raja Penyamar masih terduduk bisu, di satu sudut
ruangan. Karena terbengkalai begitu saja selama ini, tak heran kalau
sudah banyak sarang laba- laba menggerayangi sekitar jasadnya.
Pakaian coklat berkerah pendek serta penutup kepala seperti
blangkon dari batik pun sudah mulai rapuh. Serat-seratnya melebar
di sana-sini.
Di luar semua itu, jasad Raja Penyamar seperti tak
termakan waktu. Paras wajahnya tetap tak berubah, memperlihatkan
kesejukan dengan sebaris senyum tipis. Kematian seperti tak pernah
terjadi, layaknya seorang yang tertidur pulas saat bersila.
Di sudut yang berseberangan dengan jasad Raja
Penyamar, tergolek tubuh Purwasih. Memang tanpa permisi lagi,
Andika telah menotoknya di tepi sungai. Menurut pertimbangannya,
akan banyak makan waktu jika menjelaskan perihal Raja Penyamar
pada Purwasih. Termasuk menceritakan rencananya untuk
memberikan ‘Air Sari Buana’ pada jasad lelaki tua itu.
“Sebenarnya, aku lebih setuju kalau kau menyim- pan saja
air mukjizat itu, Anak Muda," cetus Raja Penyamar, membuka
percakapan kembali. “Kupikir, suatu saat kau pasti memerlukannya.”
Andika menggeleng tegas, untuk memperlihatkan
kemantapan keputusannya.
“Selama masih bisa, kau harus berikhtiar menuntaskan
masalahmu, Pak Tua. Lagi pula, aku membutuhkan kehadiranmu
selaku manusia. Tak sekadar arwah tanpa jasad.”
“Kenapa begitu?”
“Nanti kau pun segera tahu. Yang jelas, ini ber- kaitan erat
dengan usaha kita memerangi kejahatan Manusia Dari Pusat Bumi.
Dengan air ini, kita punya kesempatan lebih banyak. Itu kalau kau
setuju me- manfaatkan ‘Air Sari Buana’ bagi jasadmu. Kalau me¬
nolak, berarti kau menutup kesempatan untuk memerangi kezaliman
yang bakal disebar manusia siluman itu dengan Cermin Alam Gaib¬
nya...,” jelas Pendekar Slebor.
“Tampaknya aku tak punya pilihan?” ujar Raja Penyamar,
masih saja agak berat dengan keputusan pemuda di hadapannya.
Selaku tokoh yang sudah berkubang lama di du- nia
persilatan, Raja Penyamar sangat tahu bagaimana sulitnya
seseorang mendapatkan Air Sari Buana’. Usaha mencarinya saja,
sama dengan kemustahilan. Hanya orang-orang yang kebetulan
berjodoh saja bisa mendapatkan. Seperti Andika, misalnya.
Kalau ‘Air Sari Buana’ itu kini dimanfaatkan un-ituk dirinya,
berarti sampai mati nanti pun Andika tak akan punya kesempatan
memilikinya kembali. Padahal, sebagai ksatria penegak panji-panji
kebenaran, ‘Air Sari Buana’ amat dibutuhkan dalam perjuangannya.
“Aku tak akan menanyakan kau setuju atau tidak, Pak Tua.
Sebab yang kumau, kau setuju. Jika tidak, air ini akan kucampakkan
begitu saja. Jadi, sama saja bukan? Aku tetap tak akan memiliki air
mukjizat ini, dimanfaatkan untuk kepentinganmu atau tidak,” papar
pemuda dari Lembah Kutukan keras kepala, setengah mengancam.
“Baiklah,” putus Raja Penyamar akhirnya.
Peringatan Walet alias Sang Pangeran tampaknya
beralasan. Demikian juga kekhawatiran Andika Manusia Dari Pusat
Bumi belum mati. Jelmaan siluman itu terlalu tangguh untuk mati,
hanya karena adu tenaga dengan Hakim Tanpa Wajah. Meski, si tua
itu adalah gurunya sendiri.
Suara ancaman yang terakhir kali didengar Andika
sewaktu Pengadilan Perut Bumi hancur pun, adalah suara Manusia
Dari Pusat Bumi
Apa yang sesungguhnya terjadi pada diri manusia jelmaan
siluman itu?
Tak lama setelah melabrak habis ruang besar Pengadilan
Perut Bumi. Manusia Dari Pusat Bumi me- nyeruak di antara
timbunan bebatuan dan sisa genangan air bah. Himpitan hebat
bebatuan raksasa serta genangan yang menenggelamkannya,
seakan hanya bongkahan tepung terigu yang menimbun. Sama
sekali tak berarti apa-apa.
Manusia Dari Pusat Bumi kemudian keluar me- lalui
sebuah pintu rahasia. Timbunan batu penghalangnya dijebol, tanpa
kesulitan berarti untuk bisa mencapai pintu rahasia.
Selang beberapa saat kemudian. Hakim Tanpa Wajah
menyusul keluar melalui jalan yang sama. Ketika muncul di ujung
jalan rahasia, kebetulan sekali ada Lelaki Berbulu Hitam dan
Pendekar Dungu. Waktu itulah Pendekar Dungu sempat melihat
pantulan wajah hakim gila itu melalui permukaan sungai.
Hari berlari seiring garis edar bumi, meningkahi mentari
yang mengapung angkuh di persemayaman angkasa luas.
Tiga hari sejak kejadian tersebut, Manusia Dari Pusat Bumi
tampak berada di kediaman barunya Sebuah goa di puncak Gunung
Kapur.
Selama tiga hari itu, Manusia Dari Pusat Bumi melakukan
tapa pemulih kekuatan setelah tenaganya banyak terkuras dalam
pertarungan hebat dengan gurunya sendiri Hakim Tanpa Wajah.
Pulihnya tenaga serta kembalinya kesegaran, membuat si
manusia jelmaan siluman ini menyudahi tapanya. Dari silanya dia
bangkit. Dilepasnya pandangan jauh-jauh ke depan, melampaui
mulut goa yang menganga lebar. Sinar siang menyapa wajah
hengisnya. Tampak membersit sinar keangkuhan di bola mata lelaki
itu, yang bisa diartikan sedang menantang dunia dan
mengancamnya.
“Saatnya aku kembali, keangkaramurkaan akan bergelora,”
desis Manusia Dari Pusat Bumi memastikan.
Puas melontar ancaman, manusia siluman itu menyatukan
kedua telapak tangannya. Sesaat, digesek-geseknya telapak tangan
itu satu dengan yang lain. Dari sela-selanya, muncul perlahan ujung
tumpul sebuah benda. Makin nampak, sampai akhirnya tergenggam
utuh cermin yang tak lain Cermin Alam Gaib.
“Sudah waktunya aku menguji keampuhan cermin ini," kata
manusia Dari Pusat Bumi.
Bagai sudah kerap kali mempergunakannya, Manusia Dari
Pusat Bumi mengadukan sepasang matanya pada sepasang mata
pantulannya di cermin. Kelopak matanya membesar dan meredup,
melepas sehimpun tenaga hitam hingga warnanya berubah merah.
Lama kelamaan, dari manik mata seperti milik harimau itu
mengalir cairan kemerahan-merahan. Darah hidup yang bergerak-
gerak kecil! Perlahan tapi pasti, cairan itu merambati pipi kasar
Manusia Dari Pusat Bumi. Darah dari bola mata kiri dan kanan pun
bertemu di ujung dagunya.
Tangan Manusia Dari Pusat Bumi lantas mem- bawa
Cermin Alam Gaib ke bawah dagu. Ketika itulah gerak kecil darah
yang menggelantung di ujung dagu terhenti.
Tes!
Hanya dalam sebentuk tetesan, darah itu me- netes ke
permukaan cermin pembawa bencana. Cermin Alam Gaib berpendar
semerah darah yang mem- basahinya, tepat pada saat keduanya
menyatu. Ber- samaan dengan itu, tetesan darah menghilang bagai
terserap cermin.
“Diriku kini telah benar-benar menyatu denganmu, wahai
Cermin Alam Gaib. Kini, kehendakku adalah kehendakmu.
Keinginanku, juga keinginanmu," ucap Manusia Dari Pusat Bumi
seperti jalinan mantera.
Sebentar manusia siluman itu menghentikan ka- la-
katanya. Ditatapnya Cermin Alam Gaib tajam-tajam.
“Kumau, sekarang juga kau perlihatkan keampuhanmu,”
kata Manusia Dari Pusat Bumi lagi. Berat dan pasti.
Perlahan-lahan dia mengacungkan kepala cermin ke atas
bibir goa. Dan....
‘‘Hancur!" seru Manusia Dari Pusat Bumi lantang
membahana.
Blarrr!
Tak ada sekerdipan mata, bagian atas bibir goa bertaburan
menjadi debu yang tak berdaya digiring angin ke segenap penjuru,
seperti hantaman pukulan dahsyat yang kasat mata.
Perlahan-lahan Manusia dari Pusat Bumi meng- acungkan
kepala cermin ke atas bibir goa. Dan....
“Hancur!” serunya lantang membahana.
Blarrr!
Tak ada sekerdipan mata, bagian atas bibir goa bertaburan
menjadi bongkahan-bongkahan batu yang tak berdaya digiring angin
ke segenap penjuru!
Bibir bertaring Manusia Dari Pusat Bumi menyembulkan
seringai. Namun begitu, dia belum lagi puas atas hasil.yang
dilihatnya.
Matanya kemudian menemukan bongkahan batu kapur sebesar
pendopo istana jauh di bawah sana, tepat menghadap mulut goa.
“Kini, angkat batu itu ke arahku!” perintah Manusia Dari
Pusat Bumi pada Cermin Alam Gaib.
Begitu kata-katanya selesai, Manusia Dari Pusat Bumi
mengarahkan kepala cermin pembawa bencana pada benda yang
dituju. Maka batu kapur besar pun melayang, seolah tak memiliki
bobot lebih dari selembar bulu!
Blam! Grrr....
Entah tenaga sesat dari mana, sehingga mampu
menghempas kuat batu raksasa itu sampai menghantam bibir goa.
Debu putih bertaburan memenuhi ruang goa. Butir-butiran kecil
menerpa tubuh Manusia Dari Pusat Bumi, seakan memusuhi dan
mengutukinya.
6
Ada pepatah lama yang berbunyi, ‘Lidi yang rapuh akan
memiliki kekuatan jika dihimpun menjadi satu’. Untuk tujuan-tujuan
tertentu, menyatukan kekuatan memang kadang sangat diperlukan.
Bersatu mencapai tujuan, ternyata tak hanya berlaku untuk
niat-niat terpuji. Para pembangun ke- jahatan pun tampaknya
menyadari pentingnya hal itu. Jadi, tak akan heran bila suatu kali
Manusia Dari Pusat Bumi mengundang tokoh-tokoh jajaran atas
dunia hitam ke sebuah lembah terbuka yang tersembunyi, sebab
dibentengi rapat-rapat oleh jajaran pegunungan.
Lembah itu bernama Lembah Pasir Tungku. Di- namakan
begitu, karena tempatnya hanya berupa hamparan pasir yang begitu
panas menyengat bagaikan tungku. Menilik warna pasir yang putih,
Lembah Pasir Tungku lebih pantas disebut gurun.
Di Lembah Pasir Tungku itulah, Manusia Dari Pusat Bumi
merencanakan akan menghimpun tokoh sesat kelas atas dalam satu
panji angkara murka!
Siang yang memanggang hari ini seperti tak dipedulikan
dua wanita tua cacat. Yang seorang buta, sedang yang lain berkaki
kutung. Perempuan tua berkaki kutung, dibopong si buta di bahunya.
Wajah mereka sama-sama keriput. Pertanda kalau usia mereka tak
jauh berbeda. Layaknya orang tua, rambut mereka pun telah
memutih. Seluruh giginya nyaris tanggal, membuat bibir mereka
cekung ke dalam. Dengan begitu dagu mereka tampak lebih
menjorok keluar.
Tak ada perbedaan wajah keduanya. Karena dua
perempuan tua itu memang kembar. Demikian pula pakaian yang
dikenakan, sama-sama berbebat kain hitam sepanjang dada hingga
lutut.
Dengan usia renta dan pakaian yang begitu tampak ketat,
sepertinya mereka tak bisa bergerak lin- cah. Padahal jika keduanya
sudah berlaga di medan tempur, kecepatan sepasang perempuan
renta itu selincah rase muda betina.
Karena itu pula, menjelang usia uzur, mereka mendapat
julukan Rase Tua Kembar.
Kehebatan yang paling ditakuti setiap lawan ada- lah
rambut mereka. Pada saat-saat tertentu, sanggul rambut mereka
bisa terlepas. Maka saat itulah akan melesat ulat-ulat halus beracun
yang sanggup me- manggang daging siapa pun. Daya tembus
binatang melata kecil pun luar biasa. Sekali melesak ke dada lawan,
maka ulat-ulat kecil itu akan tembus keluar sampai punggung.
“Manusia bernyali sebesar apa yang nekat meng- undang
kita hingga harus menempuh gurun keparat ini,’’ gerutu si buta.
Perkataan itu bukan main-main. Kebiasaan keji mereka
memang membunuh, tanpa pandang bulu setiap kali melihat
manusia. Mereka seperti mendapat kepuasan kala mencium anyir
darah korban.
“Ah! Ini tak seberapa panas dibanding neraka!” sergah si
kutung, melecehkan gerutuan si buta.
“Ya! Kau bisa bilangbegitu! Terang saja, kau hanya mendompleng di
bahuku. Coba kalau kau merasakan panas pasir ini!”
“Kalau aku punya kaki, aku akan jalan!”
“Dan kau baru tahu rasa panas pasir di sini!”
“Tapi, aku toh takbakal punya kaki!”
“Dan, kau tak akan pernah merasakan panas pasir di sini!
Makanya, jangan bicara seenak dengkul!”
“Heeeh! Apa kau lupa aku tak punya dengkul!”
Keduanya ialu tertawa berbarengan. Terkikik- kikik,
mengalahkan deru angin di permukaan pasir. Perdebatan keduanya
seakan tidak pernah terjadi.
“Menurut undangan dalam mimpi, kita harus menunggu di
mana?” tanya si buta.
“Kau lupa?”
“Yaaa Kau tahu sendiri aku sudah tua!” sentak si buta.
“Memang kau sendiri yang tua! Aku juga begitu!” sergah si
kutung tak mau kalah.
“Kau lupa apa tidak?!” tandas si buta.
Tidak."
“Kalau begitu, kau belum tua!”
Kembali mereka terkikik-kikik ramai.
Tak lama kemudian, mereka berhenti di bawah kaki
sebuah pohon kaktus setinggi atap rumah dengan duri-durinya yang
besar.
“Seingatku, kita disuruh menunggu di sini oleh pemuda
dalam mimpi kita,” tandas si kutung.
Tangan keriput si buta mencari-cari. Ketika me- nemukan
duri-duri pohon kaktus raksasa, baru bibirnya tersenyum buruk.
“Ya ya ya. Aku baru ingat sekarang. Memang di sini
tempatnya....”
Mereka menunggu. Sementara itu, tampak lagi pendatang
lain di kejauhan. Semakin dekat, semakin terlihat seorang laki-laki
berperut sebesar tong. Sulit menilai, berapa usianya. Karena wajah
lelaki buncit itu sungguh ganjil. Wajah sebelah kanan tampak begitu
tua dipenuhi keriput. Alis di belahan itu pun memutih, di atas sebelah
matanya yang kelabu. Sebaliknya, bagian wajah sebelah kiri tampak
demikian muda. Pipi di belahan itu terlihat agak kemerahan, bagai
kulit bayi.
Perut yang demikian besar seperti tak menghen- daki baju.
Si lelaki buncit berwajah ganjil malah lebih suka mengenakan ikatan
kain yang hanya menutupi bagian terlarangnya. Bagaimana dia akan
suka berpakaian, kalau tubuhnya saja selalu dibasahi keringat.
Kaum rimba persilatan mengenal lelaki itu se¬
bagai si Perut Gendang. Di samping karena perutnya mirip gendang
besar, juga karena setiap kali berjalan perut itu selalu menimbulkan
bunyi bertabuh-tabuh. Persis bunyi gendang!
dung dung
Si Perut Gendang berjalan kian dekat ke arah pohon
kaktus besar.
Sementara Rase Tua Kembar semakin memperlihatkan
wajah tak bersahabat. Bibir keriput mereka menyeringai-nyeringai
seraya memperdengarkan gemelutuk gigi.
“Si Perut Gendang minta dibunuh!” geram si buta. Meski
tak melihat, telinganya masih bisa mengenali bunyi perut lelaki
pendatang baru tadi.
“Menurutmu, apa dia orangnya yang mengun- dang kita?”
tanya si kutung.
“Mana aku tahu!”
‘‘Kalau dia orangnya yang hendak mempermainkan kita....’’
‘‘Kita pecahkan perut buncitnya itu!” terabas si buta.
Lagi-lagi keduanya terkikik.
‘‘Kalian rupanya, Nenek-nenek Jelek!” tegur si Perut
Gendang begitu telah tiba di hadapan Rase Tua Kembar. Suaranya
sama sekali tak ramah. “Berani-beraninya kalian mengundangku!”
“Heeeh! Berani-beraninya dia membentak-bentak!” balas si
kutung sewot.
“Makan, nih!” sentak si buta. Seketika dijentiknya butiran
pasir di sela-sela jari kaki yang takberalas.
Wes wes!
Butiran pasir putih halus itu berkelebat tanpa terlihat,
mengancam udel si lelaki buncit yang meng- intip malu-malu dari
permukaan perutnya. Kecepatan dan kekuatan kelebatan pasir
demikian hebat. Menurut perhitungan mata tokoh kelas atas,
kelebatan benda-benda kecil itu tak akan menemui kesulitan
menembus kulit perut. Bahkan kulit sepuluh ekor badak sekali pun!
Tapi, jangan sekali-kali mengira perhitungan itu berlaku
bagi perut si Lelaki Buncit. Tahu ada orang yang hendak pamer
kekuatan, si Perut Gendang membiarkan saja pasir-pasir itu meluruk
deras.
Bleng!
Perut si Perut Gendang mendadak meliuk dari bawah ke
atas, seperti permukaan tikar yangdigebah. Hasilnya, berupa tenaga
sedotan luar biasa yang berasal dari bagian pusatnya. Pasir-pasir
berkekuatan hebat itu dipaksa masuk ke dalam lobang pusat, namun
tak begitu lama kemudian perutnya meliuk lagi. Maka, kini pasir-pasir
tadi terhembus keluar. Tak kalah cepat dan berbahaya, benda-benda
halus itu kembali ke arah si buta. Tak hanya itu. Panas tubuh si Perut
Gendang telah membuat pasir menjadi merah membara!
“Permainan anak-anak kalian pamerkan!” maki si kutung
gusar. Langsung diludahinya semburan pasir yang melesat tadi.
“Chuih!”
Psss....
Merah menyala pada butiran pasir kontan meredup,
meninggalkan asap tipis yang terpenggal di uda- ra. Sedangkan
terjangan pasir berkekuatan lima ekor kuda, sampai tak berdaya
menerima beban air ludah si buta. Semuanya jatuh sebelum tiba di
dada si kutung.
“Jawab pertaryaanku, Buncit! Kau yang meng- undang
kami ke tempat ini?!” tanya si kutung, mem- bentak.
“Aku juga punya pertanyaan yang sama untuk kalian!” balik
si Perut Gendang tak mau kalah.
“Kau mengundang kami atau tidak?!” si buta ikut campur.
“Kalian mengundang aku atau tidak?!”
Ketiganya serempak terdiam. Bukan karena menyadari
kekeliruan masing-masing, tapi terusik oleh suara senandung yang
menyakitkan telinga.
Tanpa diberi aba-aba, ketiganya serempak me- noleh ke
asal suara. Jauh di sana pendatang lain rupanya telah sampai pula.
Mereka terpaksa menautkan alis rapat-rapat karena tak
mengenalnya.
Kalau dalam jarak jauh saja senandung meme- kakkan si
pendatang baru sudah begitu menusuk telinga, apalagi kalau telah
tiba di dekat ketiga orang yang sampai lebih dahulu ilu. Ketiganya
meringis-ringis. Ingin rasanya mereka segera menutup telinga
dengan tangan. Nama besar yang tersandang, membuat mereka
malu melakukannya. Jadi, ketiga tokoh sesat itu hanya bisa
menyalurkan hawa murni agar gendang telinga tak pecah.
“Nyanyian gagak buduk apa pula ini?!” gerutu si buta.
Orang yang baru datang tak mempedulikan ge- rutuan itu.
Dia berjalan terus lenggak-lenggok tanpa rasa bersalah.
“Aaa! Sudah ada yang kumpulll!” seru si penda- tang baru
dengan wajah riang bukan main.
Ternyata dia adalah seorang lelaki muda ber- kepala
botak. Kulitnya hitam, wajahnya berkesan khas orang-orang India.
Hidungnya mancung, seperti paruh burung. Matanya bulat dan agak
menonjol keluar. Dengan baju panjang putih serta selendang di
leher, kulit hitamnya jadi tampak makin kelam.
“Aaa, sudah ada yang kumpulll!” sapa orang itu kembali,
sambil menggaruk-garuk kepala. Maka ber- hamburanlah kulit kering
yang mengelupas dari kepalanya.
Kau yang mengundang kami?!” sambut Rase Tua Kembar
bersamaan.
“Kau yang mengundang aku?!”
Saat yang sama pula, si Perut Gendang melepas
pertanyaan serupa.
Pemuda hitam gundul itu tentu saja tertawa ditu duh
demikian rupa. Bagi setiap orang, pasti tak nyaman mendapat
perlakuan kasar begitu tiba di tempat yang menyiksa ini.
Nampaknya, si pemuda berkulit arang berbeda. Dengan riang
semuanya ditanggapi dengan tawa sambil menggoyang-goyangkan
kepala. Sikapnya benar-benar membuat jengkel Rase Tua Kembar
dan si Perut Gendang.
“Chuah! Tingkahmu memuakkan!” semprot si kutung.
“Apa yang diperbuatnya?” Wanita buta di bawah nya ingin
pula tahu.
“Nanti kau jadi ikut muak!"
“Aku dengar suara orang menggaruk, tadi,” kata si buta
penasaran.
“Orang baru ini menggaruk-garuk kepalanya yang gundul
dan beruntusan itu!” si Perut Gendang memberitahu.
Entah dedemit mana yang mengilik si Perut Gen dang
untuk menjawab perkataan si perempuan buta Kalau itu semacam
kebaikan, mungkin itu adalah ke baikan pertamanya sepanjang
hidup.
“Idih! Aku suka kepala gundul. Mengingatkanku pada....”
“Jangan berpikiran kotor!” potong si kutung pada ucapan
saudara kembarnya. Kemudian perhatian nya di arahkan pada
pemuda gundul itu. “Sekarang jawab pertanyaanku pemuda ‘keling’!
Apa keperluanmu datang ke tempat ini?!”
“Aku diundang seseorang,” sahut si pemuda hitam disertai
sebaris senyum.
“Kami diundang, si Perut Gendang diundang. Kalau kau
juga diundang, lantas siapa yang mengundang?!” tanya perempuan
berkaki kutung. Cara ber tanyanya seperti hendak menyalahkan
pemuda ber- kulit hitam ini.
“Apa aku harus mengaku kalau aku yang mengundang?”
ucap si pemuda gundul.
“Sebaiknya begitu!” serobot si buta cepat.
“Kalau misalnya aku yang mengundang, lalu siapa yang
mengundangku?” tanya pemuda berkulit hitam, kebingungan sendiri.
“Hey?! Kenapa kalian jadi seperti orang dungu semua!”
bentak lelaki berperut buncit, tak sabar melihat tingkah mereka.
“Kalau semuanya diundang, artinya, kita harus menunggu orang
yang mengundang kita. Menunggu.... Huh! Menyebalkan!”
Perdebatan mungkin akan berlanjut sampai kia- mat, kalau
saja seseorang tak datang. Orang itu adalah Manusia Dari Pusat
Bumi, yang telah mengundang mereka semua.
“O, jadi manusia jelek ini yang mengundang kita.’” sambut
si perempuan kutung.
“Kau yakin dia orangnya?” tanya saudara kem- barnya.
“Peduli apa? Aku yakin kek, tidak kek! Pokoknya, aku
sudah gatal ingin mengaduk-aduk isi perut orang usil itu!"
Belum lagi dua wanita renta itu memperpanjang
kemarahan, Manusia Dari Pusat Bumi tiba dan langsung
mengacungkan Cermin Alam Gaib di tangan kanan.
“Suka tidak suka, kalian akan diam dan mende- ngarkan
perkataanku!” seru Manusia Dari Pusat Bumi dengan suara berat.
Rase Tua Kembar kontan tak bisa menggerakkan mulut.
Kecerewetan mereka seakan-akan terkunci mendadak. Bukan hanya
itu. Mereka juga tak bisa menggerakkan apa-apa. Demikian pula
yang terjadi pada si Perut Gendang dan pemuda hitam.
“Dengar! Akulah orangyang mengundang kalian untuk
datang ke sini melalui gelombang mimpi yang hanya bisa ditangkap
oleh orang-orang sakti yang bejat! Di tempat ini, kalian harus
bertarung denganku dalam sepeminuman teh. Siapa yang selamat,
harus bergabung di bawah panjiku!”
Inilah ujian yangdiberlakukan Manusia Dari Pusat Bumi
bagi keempat undangannya. Manusia jelmaan siluman itu tak mau
scmbarangan mengambil sekutu sesatnya. Baginya, yang tak
banyak membantu, lebih baik cepat dibunuh!
Yang pertama mendapat giliran diuji adalah si Perut
Gendang. Sementara, Rase Tua Kembar dan si pemuda hitam
masih terdiam di bawah pengaruh sihir Manusia Dari Pusat Bumi.
Kini si Perut Gendang berdiri di tengah-tengah lembar pasir tandus,
menghadapi sang pengundangnya, setelah terlebih dulu dibebaskan
dari pengaruh sihir.
“Apa maumu sebenarnya, Pemuda Jelek?! Baru sekali ini
ada orang yang nekat menghina si Perut Gendang!” mulai si lelaki
buncit.
“Tak perlu kau tahu, siapa aku. Karena belum tentu kau
berusia panjang. Yang perlu kau lakukan hanyalah mengerahkan
seluruh kesaktian yang kau miliki untuk menghadapiku. Jika berhasil
bertahan dalam waktu sepeminuman teh, maka bersenanglah.
Karena, kau akan bergabung dengan ‘Raja Diraja Kejahatari’!”
Si Perut Gendang tertawa mengejek.
“Sombong sekali ucapanmu, Pemuda Jelek! Tampangmu
pun baru sekali ini kulihat. Itu tandanya kau masih terlalu bau kencur
untuk menantangku berkelahi. Apalagi, untuk menguji
kesaktianku....”’
Manusia Dari Pusat Bumi yang pada dasarnya memiliki
sitat tak banyak mulut, tak merasa perlu mengindahkan cemoohan
calon lawan. Tanpa banyak omong lagi, langsung saja dibukanya
sebuah jurus.
"Kau sungguh-sungguh, rupanya? Ya, sungguh- sungguh
mencari mampus!” hardik si Perut Gendang mulai gusar.
Deb! Deb!
Belum sempat lelaki berperut tong itu menarik napas,
Manusia Dari Pusat Bumi sudah melabraknya dengan satu rentetan
patukan tangan secepat kilal. Agak aneh. Karena, tangannya sama
sekali tak mematuk langsung ke tubuh lawan. Di balik itu, hasilnya
sungguh sempat memukau si Perut Gendang. Tangan pemuda
bertaring ini ternyata mengeluarkan bayangan memanjang, yang
langsung menyambar deras ke kening.
“Gila! Ini sihir!” seru si Perut Gendang, setelah menghindar
sebisa-bisanya.
Meski hanya sebentuk bayangan tangan, si Perut Gendang
bisa merasakan angin pukulan maut dari se- rangan yang luput.
Seolah-olah, bayangan itu iebih kuat berlipat ganda dari tangan
sesungguhnya.
Kini si Perut Gendang tidak bisa lagi memandang remeh
lawannya. Masih dengan hati bertanya-tanya, tentang lawan
sesungguhnya, si Perut Gendang terpaksa membuka jurus.
Pertahanan penuh dibentuknya, sekaligus mempersiapkan satu
rencana serangan balasan.
Muncullah gerakan aneh milik si Perut Gendang.
Tangannya tak bergerak di kedua sisi tubuh. Sebaliknya, perut
besarnya meliuk-liuk seperti gelombang. Setiap satu gelombang,
tercipta bunyi yang mememakkan telinga.
Dung! Dung.J
Ketika suara perut laki-laki buncit itu kian me- muncak,
berhembuslah angin amat kuat hasil dari gelombang kulit perutnya.
Angin yang cukup untuk membentengi diri dari lerjangan sepuluh
gajah jantan sekali pun!
Deb, deb, deb,!
Sekali lagi Manusia Dari Pusat Bumi melancarkan patukan
bayangan tangan. Berlapis-lapis bayangan bagai bentuk kepala ular
kini meluruk ganas.
Di udara, gerak bayangan tangan Manusia Dari Pusat
Bumi terhambat oleh benteng angin dari perut si Perut Gendang.
Tapi bukannya tak bisa ditembus. Setelah geraknya melambat,
bayangan tangan itu kembali meluruk dalam kecepatan semula. Dan
memang, benteng angin lawan yang tangguh berhasil ditembus!
Wesss!
“Bangsat!” maki si Perut Gendang, gusar bukan main.
Tubuh laki-laki yang kelebihan beban cepat di- lempar
jauh-jauh dari jarak jangkau bayangan tangan Manusia Dari Pusat
Bumi.
Setelah berhasil berdiri kukuh, si Perut Gendang sadar
kalau harus melepas serangan balasan. Terlalu berbahaya baginya
jika hanya bertahan mengandalkan benteng angin perutnya,
sementara pertahanan itu sudah berhasil diperdaya lawan.
“Kau telan rasa panas ini, Pemuda Jelek!”
Diiringi teriakan mengancam, si Perut Gendang menepuk-
nepuk permukaan perutnya. Mula-mula pergantian tepukan antara
kedua telapak tangannya lambat saja. Kemudian, makin cepat dan
cepat.
Prak, prak, prak...!
Pada puncak tepukan, sepasang telapak tangan si Perut
Gendang jadi membara. Tampaknya ancaman tadi bukan sekadar
pepesan kosong. Perut buncit lelaki itu memang begitu terkenal
didunia persilatan, karena sanggup menghasilkan panas luar biasa.
Panas itulah yang kini diserap sepasang telapak tangan si Perut
Gendang.
“Hiaaa!”
Whuuusss!
Tubuh si Perut Gendang berputar bagai gasing tambun
raksasa. Kedua tangannya yang membara, terbentang lebar-lebar
membentuk kincir tegak lurus. Dengan tetap berputar, diterjangnya
Manusia Dari Pusat Bumi.
Pada setiap pergeseran tubuh si Perut Gendang yang
berputar, mengepul asap putih tebal di udara. Asap putih tebal itu
membentuk angin putingbeliung kecil, akibat putaran tubuhnya.
Manusia Dari Pusat Bumi hanya menatap dingin Tak
tampak rasa ngeri di wajahnya.
Saat tubuh si Perut Gendang kian dekat seperti badai dari
tengah laut hendak menyinggahi pantai, kaki Manusia Dari Pusat
Bumi membentangtinggi ke atas.
Plakk!
Sekejap saja, putaran tubuh laki-laki berperut buncit itu
terjegal. Tangannya yang terbentang dan membara tiba-tiba telah
ditahan oleh patok kuatyang dibentuk bentangan kaki Manusia Dari
Pusat Bumi.
‘Cukup! Kau telah lolos dari ujianku!” seru Manusia Dari
Pusat Bumi.
Si Perut Gendang tak mau begitu saja dihentikan. Harga
dirinya sudah telanjur diinjak-injak pemuda bercaling itu. Dan dia
merasa terhina. Dengan tiba-tiba, arah putaran tangannya berubah.
Siap mengibas kepala lawan di depan.
Plak!
Sekali lagi, Manusia Dari Pusat Bumi menjegal putaran itu
tanpa kesulitan.
‘‘Kalau kubilang cukup, kau harus berhenti!” bentak
Manusia Dari Pusat Bumi menggetarkan nyali.
Pada saat yang sama, tangan Manusia Dari Pusat Bumi
tahu-tahu sudah menggenggam Cermin Alam Gaib. Ketika cermin
petaka itu diarahkan ke sasaran, si lelaki berperut buncit langsung
mengejang.
7
Uji tanding yang diberlakukan Manusia Dari Pusat Bumi
telah selesai. Rase Tua Kembar maupun si Perut Gendang dapat
bertahan dalam sepeminunan teh. Dan itu berarti, mereka
dinyatakan pantas untuk bergabung dengan si manusia jelmaan
siluman.
Meski merasa telah dihina oleh seorang pemuda bau
kencur yang baru dikenal, tiga tokoh sesat kawakan itu tak bisa
menolak rencana Manusia Dari Pusat Bumi. Mereka toh, harus
mengakui hebatnya kepandaian pemuda bertaring itu. Dengan
kenyataan ini, mereka berpikir tentu akan mendapat banyak
keuntungan jika bergabung, walaupun harus berada di bawah
perintahnya.
Satu orang lagi yang tersisa, juga lolos dari uji tanding.
Dialah pemuda hitam berkepala gundul yang sama sekali tidak
dikenal. Namun begitu, suatu kejutan sempat dibuat pemuda berkulit
hitam itu. Sebelum waktu yang ditentukan Manusia Dari Pusat Bumi
habis saat uji tanding, dia sempat memasukkan sebuah hantaman
telak kedada lawan. Padahal, Rase Tua Kembar maupun si Perut
Gendang belum bisa melakukannya.
Hal itu cukup membuat ketiga tokoh sesat itu agak
terperangah. Sekaligus pula, memancing pertanyaan dalam diri
masing-masing. Siapa sesungguhnya pemuda berkulit hilam itu?
Hanya karena kesombongan sebagai tokoh jajaran atas, yang
membuat mereka menyimpan saja rasa penasaran masing- masing.
“Di bawah perintahku, kalian akan menemukan kekuasaan.
Bahkan harta yang melimpah,” kata Manusia Dari Pusat Bumi,
sesuai uji tanding. “Ini bukan sekadar janji. Karena dalam waktu
dekat, semua itu akan kalian peroleh. Mengabdilah padaku!”
Keempat tokoh sesat yang mengelilingi Manusia Dari
Pusat Bumi memperhatikan setiap kata yang di- ucapkannya bagai
tertenung. Ada semacam daya cengkeramyang kuat dalam ucapan
si manusia jelmaan siluman itu. merasuk langsung ke dalam nafsu
masing-masing.
Mata harimau Manusia Dari Pusat Bumi menatap mereka
satu persatu, menusuk dan bengis.
“Aku akan memberi pilihan pada kalian. Kekua-^saan dan
harta melimpah seperti kukatakan tadi, atau kalian mati
mempertahankan harga diri!” tandas Manusia Dari Pusat Bumi
seperti ingin memastikan ke- hendak orang-orang taklukannya. Bisa
jadi, juga hanya, karena ingin menunjukkan kalau dirinya tak bisa
ditentang.
Rase Tua Kembar, si Perut Gendang, dan si pemuda hitam
tak bicara apa-apa. Sudah jelas bagi mereka, apa yang lebih penting
dalam hidup ini. Menurut orang-orang zalim seperti mereka, harga
diri tak lebih berharga dari kekuasaan atau harta. Jika mereka punya
kekuasaan serta harta sekaligus, harga diri orang lain pun akan
mudah di injak-injak.
Manusia Dari Pusat Bumi menyeringai. Dari pita
tenggorokannya tercipta suara tawa tertahan.
“Aku tahu, kalian tak akan memilih harga diri. Sebab. Jika
kalian lebih mementingkan itu, sudah sejak dulu kalian meninggalkan
dunia hitam!”
Lelaki berjiwa iblis itu kemudian mengangkat sebelah
tangannya. Seperti terjadi sebelumnya, dari tangan itu mendadak
muncul Cermin Alam Gaib. Seolah-olah, benda itu telah jadi bagian
dari dirinya.
Cahaya matahari menerjang permukaan cermin, lalu
terpantul tajam ke wajah-wajah empat manusia sesat taklukan
Manusia Dari Pusat Bumi.
“Demi kekuatan alam kegelapan cermin ini, kalian
kuangkat menjadi pengikutku! Kalianlah kaki tangan Sang Angkara!”
teriak Manusia Dari Pusat Bumi mengguntur.
Tepat pada akhir kalimat, petir mendadak me- nyalak di
angkasa, menerobos langit yang sebenarnya tak mengizinkan
hadirnya petir. Mungkin alam sedang mengutuk kejadian itu, atau
para makhluk durjana sedang berseru gembira.
“Jadi, apa yang mula-mula akan kita lakukan...?” tanya si
Perut Gendang.
“Panggil aku Sang Angkara!” hardik Manusia Dari Pusat
Bumi.
‘‘Apa yang akan kita lakukan, Sang Angkara?” ulang si
lelaki berperut buncit, menyadari kesalahan.
Manusia Dari Pusat Bumi mengedarkan pandangan
kembali.
“Selaku kaum sesat, kita selalu memiliki musuh. Mereka
yang mengaku dirinya sebagai abdi Sang Ke- benaran, selalu berdiri
menghadang gerak kita...,” sahut Manusia Dari Pusat Bumi.
Manusia Dari Pusat Bumi terdiam sesaat.
“Di antara mereka, ada satu orang yang benar- benar akan
menjadi penghalang besar!” lanjut tokoh yang ingin dipanggil Sang
Angkara berapi-api. “Seorang pemuda yang memiliki ‘bakat suci’
dalam dirinya, lahir di dunia persilatan lalu membuat kegemparan...."
Ketika memenggal untuk kedua kali ucapannya, keempat
tokoh sesat yang lain sudah bisa menduga siapa yang sedang
dibicarakan manusia jelmaan siluman itu.
“Aku rasa, aku tahu siapa yang kau maksud, Sang
Angkara,” selak si perempuan berkaki kutung.
“Aku tahu, kau tahu. Aku pun tahu, jika kalian tahu siapa
orang yang kumaksud. Dia memang tak asing lagi bagi kaum sesat.
Karena, dialah tombak besar yang menancap tepat di dada kita....
Pendekar Slebor!” sentak Manusia Dari Pusat Bumi, sarat
kegeraman.
Keempat tokoh sesat yang kini telah menjadi pengikut
Manusia Dari Pusat Bumi ikut terdiam sekian lama. Mata masing-
masing seperti langsung disuguhkan semua sepak terjang pendekar
yang menggemparkan selama ini.
“Lalu, apa rencanamu terhadap Pendekar Slebor, Sang
Angkara Murka?” tanya si pemuda hitam, memecah keheningan
mereka.
Manusia Dari Pusat Bumi melepas pandangan ke arah
hamparan pasir panas di sepanjang lembah. Panasnya, membuat
permukaan pasir seperti dilapisi lelehan liiin bening.
“Percayalah... tak akan mudah menaklukkan dia dengan
kesaktian kita. Manusia keparat itu sepertinya memang dilahirkan
untuk menjadi musuh besar kaum sesat...,” urai Manusia Dari Pusat
Bumi kembali. “Untuk itu, kita harus menjalankan semua cara untuk
menghancurkannya!"
“Apa dia memiliki kelemahan, Sang Angkara?” si buta yang
sejak tadi bungkam, ikut berbicara. “Tapi sepanjang pengetahuanku,
dia belum pernah mem- perlihatkan kelemahan....’’
“Tak ada manusia sempurna. Dia pasti memiliki
kelemahan. Dan kalau pun tak bisa mengetahui kele- mahannya,
maka kita bisa memanfaatkan orang- orang yang dekat dengannya.
Bukankah rasa sayang yang besar terhadap orang-orang yang
terdekat bisa dianggap sebagai kelemahan?” tutur si Perut Gendang,
seolah seorang penasihat raja sedang memberi saran.
Bibir bertaring Manusia Dari Pusat Bumi lagi-lagi
menyeringai.
Kau tampaknya mulai cocok denganku, Buncit. Aku pun
mempunyai pemikiran yang sama. Kita harus memanfaatkan orang-
orang yang dekat dengan Pendekar Slebor."
“Aku tahu orang yang dekat dengannya. Dia seorang
wanita,” ujar kutung bersemangat.
“Ya! Aku pun tahu. Namanya Purwasih. Dia ber- juluk
Naga Wanita...,” Manusia Dari Pusat Bumi memutus ucapan.
Dikembangkannya dada sarat keangkuhan. “Rencana pertama kita
adalah....’’
“Andika! Andika...!”
Seseorang memanggil-manggil nama Pendekar Slebor.
Bila ditilik, suaranya jelas milik seorang wanita. Sewaktu orang itu
muncul dari rerimbunan semak di sisi jalan setapak, maka jelaslah
siapa dia. Purwa-isih.
“Dasar pemuda brengsek!” maki sang dara. Wajah
cantiknya yang berhias kulit kecoklatan tampak demikian jengkel.
Apa yang sesungguhnya telah dilakukan Andika, sehingga
wanita yang masih memiliki hubungan darah dengannya itu demikian
kesal?
Sewaktu bertemu Raja Penyamar di mulut goa sebelah
barat Pengadilan Perut Bumi, Andika telah mempunyai rencana.
Purwasih ditotok saat sedang asyik menikmati daging kelinci yang
didapat Andika waktu itu.
Maksud pemuda itu menotok Purwasih, tentu saja karena
tak ingin dianggap gila kalau berbicara dengan Raja Penyamar. Ada
hal penting yang harus dibahas tokoh sakti yang telah lama mati itu.
Tentang air mukjizat yang dibawa dalam sarung pedang Purwasih.
“Kau akan kujotos habis-habisan kalau kutemukan,
Andika,” ancam Purwasih menggerutu.
Bagaimana gadis itu tak jadi jengkel setengah modar?
Selama sehari semalam, dia tak berkutik seperti bangkai karena
totokan Andika. Untuk mencoba membebaskan diri, tokoh si pemuda
slebor itu ternyata terlalu hebat. Suka tak suka, akhirnya ditunggunya
sampai totokan itu terbebas sendiri. Dia tahu, totokan itu hanya untuk
sementara waktu. Karena, sebelum pergi meninggalkannya, Andika
sempat berbisik penuh sopan santun bahwa totokan itu akan
terbebas sendiri, setelah sehari semalam. Dasar pemuda brengsek!
“Kau pikir enak tergolek begitu saja di semak-semak.
Untung saja tak ada binatang lapar yang lewat. Huh! Apa aku mau
dijadikan umpan binatang buas oleh pemuda konyol itu?!” gerutuan
Purwasih tersambung.
Sambil menggerak-gerakkan persendian yang linu karena
tak bergerak-gerak, Purwasih memungut pedang bergagang kepala
naga yang masih tergeletak di tanah.
“Mana sarung pedangku dibawanya lagi! Apa maunya
pemuda itu? Padahal aku tidak begitu berminat pada air di dalam
sarung pedang,” gumam Purwasih.
Setelah itu, gadis ini menepis udara di depan.
“Ah! Kenapa aku harus memikirkan tindak-tanduknya! Bisa
sinting jadinya. Tahu sendiri, pemuda itu memang sulit ditebak,” kata
Purwasih berbicara sendiri.
Purwasih baru hendak beranjak kelika suara lantang
berguruh menahannya.
‘‘Kau pikir, kau mau ke mana, Nisanak?!”
Purwasih menoleh cepat. Dari suara tadi, dapat ditebak
kalau orang yang menahannya punya maksud tak baik. Karena itu,
dengan serta merta pedangnya diacungkan.
“Siapa kau?!’’ tanya Purwasih manakala menyak- sikan
dua nenek peot yang mirip satu sama lain. Yang satu digendong oleh
yang lain di bahu. “Sepertinya aku pernah mendengar tentang
kalian.’’
Sambil berkata, kelopak mata lentik Purwasih menyempit.
Ada rasa berdesir dalam dadanya setelah tahu siapa yang dihadapi.
“Kalian Rase Tua Kembar?” tanya Purwasih. hendak
meyakinkan diri.
“Hee... he he! Anak cantik yang pintar!" sergah si
perempuan buta.
“Dari mana kau tahu dia cantik?” Masih sempat-
sempatnya saudara kembar berkaki kutungnya bertanya.
“Sial! Kenapa kau tak urus gadis itu saja!” bentak si
perempuan tua buta gusar.
“Heee, saudara kembarku benar. Aku harus mengurusmu,
Nisanak yang cantik...,” ujar si nenek berkaki kutung, mengalihkan
ucapan pada Purwasih.
Rasanya aku tak punya urusan dengan kalian,” ucap
Purwasih.
“O, ada! Tentu saja ada. Bukan begitu?” terabas si buta.
“Bagaimana aku punya urusan dengan kalian, sementara
bertemu pun baru kali ini,” sangkal Purwasih.
“Urusan seseorang dengan orang lain, tak selalu harus
tercipta setelah pertemuan, Nisanak,” tutur si kutung, sok berkata
bijak. “Kau tahu, seseorang bisa tiba-tiba bisa membunuh orang lain,
padahal baru pertama kali bertemu. Artinya, urusan tercipta karena
satu alasan, Nisanak....”
“Aku tak paham maksudmu. Ucapanmu terlalu berbelit-
belit.”
Alasan orang yang kuceritakan membunuh hanya sepele,
Nisanak. Dia ingin memiliki pakaian bagus seperti milik orang kedua.
Ketika diminta, orang yang memiliki pakaian bagus tak memberi.
Paksaan pun harus muncul. Maka keributan tak ter elakkan...."
‘‘Aku tak paham. Ucapanmu berbelit-belit!” sergah
Purwasih untuk kedua kali. Tapi, si nenek berkaki kutung tak peduli.
‘‘Lalu, terjadilah pembunuhan. Sementara, mereka sama
sekali tak pernah bertemu sebelumnya....”
“Apa maksudmu sebenarnya!” bentak Purwasih, mulai tak
sabar. Sebagai pendekar wanita, tentu saja dia tak sudi
dipermainkan.
“Maksudnya, kami pun mempunyai satu alasan, sehingga
kau harus berurusan dengan kami."timpal si buta, kembarnya.
“Kenapa kau tak cepat katakan!” sentak Purwasih.
“Kami akan menjadikanmu tameng hidup terhadap
Pendekar Slebor. Jelas?”
Mata Purwasih berubah nyalang. Dugaannya kini terbukti.
Dua tokoh sesat kembar itu memang berniat tak baik.
“Kalian kira akan mudah membuatku bertekuk lutut pada
kalian?” kata Purwasih penuh tekanan.
"Nama besar kalian tak cukup membuatku menge- mis-
ngemis minta dikasihani!"
“Bagus! Kalau begitu, kami bisa sedikit mengen- durkan
urat-urat. He he he! Mari kita serang dia, Kutung!” ujar si tua buta
bersemangat.
“Ya! Tunggu apa lagi?!” timpal saudara kembar di
bahunya.
“Bersiaplah, Nisanak yang cantik!” geram si buta.
“Sejak dulu, aku selalu siap menghadapi manusia busuk
macam kalian!” tantang Purwasih.
Mereka mulai membuka jurus masing-masing. Rase Tua
Kembar bersatu memperlihatkan kembangan jurus yang terlihat
kompak. Tangan si kutung bergerak, membuat persiapan serangan
di bagian atas. Sedangkan si buta membuat persiapan serangan
khusus bagian bawah.
Purwasih tak kalah sigap. Pedang besar berga gang kepala naga di
tangannya terayun kian kemari. Kelebatan sinar pedangnya
berseliweran di sekitar tubuhnya, sehingga bagai terselimuti cahaya.
“Maju empat langkah, Buta!” seru si kutung memberi
perintah.
Si nenek buta bergerak maju empat langkah ke muka,
memperpendek jarak dengan lawan.
“Hiaaa!”
Teriakan amat berisi, tercipta dari kerongkongan keriput si nenek
berkaki kutung. Lazimnya, teriakan itu adalah pertanda awal
serangan. Tapi yang dilakukan Rase Tua Kembar sama sekali tidak
menunjukkan hendak melakukan serangan. Mereka tetap di tempat,
meski Purwasih sudah bersiaga sepenuhnya menanti terjangan.
Rupanya Rase Tua Kembar hendak menyerang dengan
cara pertarungan tak lazim. Dengan memperpendek jarak, mereka
sengaja hendak menyerang dengan kekuatan suara. Terbukti,
Purwasih langsung merasakan seluruh urat di tubuhnya bagai dibetot
secara paksa, saat teriakan lawan berkumandang.
Andai gadis itu terpengaruh dan menutup sepa- sang
telinganya, tentu si Rase Tua Kembar seketika akan merangseknya.
Jarak yang sudah demikian dekat, tentu akan mempermudah
keduanya mengirim terjangan dahsyat.
Purwasih sadar akan hal itu. Karenanya, telinganya tak
segera ditutup. Sepenuh kekuatan, dikerah- kannya hawa murni ke
gendang telinga. Untuk lebih membentengi diri dari serangan tak
berwujud tersebut, disalurkannya tenaga dalam pada ayunan
pe-idang.
Wuk, wuk, wuk!
Kini terciptalah bunyi ayunan pedang yang tak kalah kuat
dibanding teriakan lawan. Dengan begitu, teriakan Rase Tua Kembar
pun dapat sedikit teredam.
Seperti merasa dipancing untuk melakukan adu tenaga
dalam, Rase Tua Kembar serta merta memperkuat teriakan. Kalau
sebelumnya hanya kerongkongan si nenek berkaki kutung yang
mengeluarkan teriakan, kini keduanya bersama-sama
melakukannya. Suara mereka menyatu di udara, memadati tempat
sekitarnya, bagai ribuan gagak yang berteriak serempak.
“Hiaaakkk!"
Tenaga suara mereka menerjang benteng bunyi pedang
Purwasih. Maka, dua kekuatan suara tingkat tinggi berbenturan saat
itu juga.
Purwasih mengejang, sementara tangannya mati-matian
berusaha memutar terus senjatanya. Wajahnya tampak menegang.
Bagian pipi dan keningnya berubah menjadi merah matang.
Sementara peluh sebesar biji jagung mulai bersembulan.
Kekuatan suara Rase Tua Kembar yang tak sempat
tersaring bunyi ayunan pedang, merangsek masuk dari sela-sela
lowong menuju tubuh Purwasih. Pakaian si gadis yang memang
sudah koyak moyak semenjak keluar dari Pengadilan Perut bumi,
makin dibuat berantakan. Seiring koyaknya pakaian, Purwasih
merasakan semacam sayatan sembilu mengge rayangi kulitnya.
“Aaa.!” pekik Purwasih, didera pedih luar biasa.
Yang menjadi korban adu tenaga dalam tingkat tinggi itu
ternyata tak hanya Purwasih. Dedaunan semak dan pohon-pohon
tinggi menjadi berguguran,
seakan dihujam keraarau panjang!
Hujan dedaunan melingkupi arena pertarungan. Dalam
jarak sepuluh tombak di sekitarnya, tak ada lagi tumbuhan berdaun.
Semuanya telah telanjang dalam sekejap!
Dalam hal tingkat tenaga dalam, Purwasih me-imang
tergolong hijau dibanding kedua tokoh bang- kotan itu. Itu sebabnya,
kian lama pertahanannya makin melemah. Kakinya mulai kehilangan
kekukuhan. Dara cantik itu mulai melorot, tapi masih berusaha tegak
pada kedua lututnya.
Usaha untuk bertahan makin tak banyak mem-iberi
harapan, mana kala suara lain muncul memasuki arena pertarungan.
Dung, dung, dung!
Seorang berperut buncit muncul, tanpa terusik oleh
benturan dahsyat suara orang-orang yang sedang terlibat adu
tenaga dalam. Dari perut sebesar tong itulah, suara bertabuh-tabuh
keluar.
Purwasih makin payah. Suara perut yang ganjil itu ternyata
ikut mengeroyoknya, bersama teriakan Rase Tua Kembar. Tak lama
berselang, pertahannya sudah tak mungkin lagi dipertahankan.
Tubuh sintal gadis itu tersentak. Dari hidung dan mulutnya tersembur
darah kental kehitaman.
Sesaat berikutnya, Purwasih ambruk.
8
Sebuah tempat terpencil dikungkung kegelapan malam. Di
sana, ada candi kuno terbengkalai yang berdiri kaku dan bisu.
Bangunannya tak begitu besar, terbuat dari susunan batu yang
seluruhnya nyaris diselimuti lumut. Sebagin batu sudah gompal di
sana sini. Tepat di bawah anak tangga gapura masuk, terdapat dua
patung ‘kala") memanggul ‘gada’*). Karena sudah begitu tua, satu
patung telah kehilangan kepala.
Empat sosok kini tiba di tempat itu.
Mereka adalah Rase Tua Kembar, si Perut Gendang, dan
Purwasih. Gadis itu kini terkulai tidak berdaya di bahu lelaki berperut
buncit. Mereka pun menaiki anak tangga candi satu persatu. Bulan
sepotong di langit menyiram cahayanya, sehingga tercipta bayangan
samar mereka terlekuk di anak tangga.
Kehebatan ilmu meringankan tubuh, membuat para tokoh
sesat itu tidak menghasilkan suara ketika menaiki tangga batu yang
merapuh. Mereka berjalan ringan seperti melangkah di timbunan
awan.
Saat itu, malam hanya dibelah oleh suara satwa. Jangkrik
memainkan tembang tak teratur, ditingkahi nyanyian katak-katak
yang tak mau kalah. Ditambah satu suara yang begitu mengusik
malam, suara perut si lelaki buncit.
Dung, dung, dung!
“Buncit! Apa kau tak bisa sebentar saja meliburkan suara
perutmu yang menjengkelkan itu?” gerutu si buta, satu dari Rase Tua
Kembar.
Dengan kebutaannya, si Buta telah melatih telinganya
menjadi demikian tajam. Suara yang dihasilkan perut si lelaki buncit
tentu saja amat mengganggu telinganya yang memang peka.
“Tentu saja aku bisa membuang suara ini, asal perutku
juga dibuang. Tapi, mana aku sudi membuang perutku, Buta,” sahut
si Perut Gendang.
“Kalau begitu, biar kubantu dengan senang hati membuang
perutmu!” kata si nenek buta gusar.
“Berhentilah kalian bertengkar!” sergah si nenek berkaki
kutung. “Kalian bukan anak kecil yang pantas ribut-ribut!”
Si Perut Gendang terbahak. Sedangkan si nenek buta
emberut.
Tepat di mulut pintu masuk candi, si pemuda hitam
menyambut.
“Kenapa untuk membawa kelinci cantik seperti dia kalian
begitu lama?” sambut si pemuda hitam. Sedikit pun sambutannya tak
menyenangkan ketiga tokoh sesat yang baru tiba. Sambil berkata,
mulutnya tak pernah lepas dari senyum lebar. Barisan gigi putihnya
tampak terjilat siraman bulan.
“Banyak manusia yang hanya bisa bicara, tanpa
melakukan apa-apa,” sindir si nenek berkaki kutung.
Pemuda berkulit hitam hanya menanggapi sindiran itu
dengan senyum lebar khasnya.
“Kalian sudah ditunggu Sang Angkara di dalam,” kata
pemuda gundul berkulit hitam kemudian. Mereka bersama-sama
memasuki candi.
Manusia Dari Pusat Bumi tampak duduk menunggu di atas
undakan batu persegi yang sebenarnya digunakan untuk
meletakkan sesajian, sewaktu candi itu masih dimanfaatkan ratusan
tahun lalu. Di depannya, api unggun besar menjilat langit-langit
ruangan.
Panasnya menggapai ke mana-mana. Dan cahayanya
menyapu dinding ruangan menjadi kemerahan terang.
“Kami sudah berhasil membawa gadis yang kau maksud,
Sang Angkara,” lapor si Perut Gendang. Di kedikkannya bahu tempat
Purwasih terkulai, seolah ingin menunjukkan hasil kerja mereka.
Manusia Dari Pusat Bumi alias Sang Angkara
mengangguk.
“Rantai wanita itu di ruang sayap kiri candi!” perintah Sang
Angkara kemudian.
Si Perut Gendang melirik si pemuda hitam yang mengaku
pada mereka bernama Guliii. Nama yang asing bagi telinga para
tokoh sesat itu. Bagi mereka, nama itu seperti mirip-mirip nama asal
tanah India. Boleh jadi, Gulili memang berasal dari sana.
“Sekarang giliranmu, Gulili,” ucap si Perut Gendang.
“Giliranku apa?” tanya si pemuda hitam, berpura-pura tak
mengerti.
“Kau dengar tadi, Sang Angkara menyuruh merantai gadis
ini di ruang sayap kiri!” tandas lelaki buncit itu, agak membentak.
“Kau yang diperintah, bukan aku,” tolak Gulili tegas,
mengetahui maksud si Perut Gendang di balik kalimatnya.
Si Perut Gendang mendelik pada pemuda berkulit hitam
itu. Dia sungguh tak senang diremehkan Gulili yang jauh lebih muda.
Apalagi, anak muda itu dianggap masih bau kencur karena di dunia
persilatan namanya tak pernah muncul.
Gulili tampaknya tak gentar dengan ancaman mata si Perut
Gendang. Dengan senyum lebarnya, lagi-lagi dia meremehkan tokoh
kelas atas golongan sesat itu.
“Sepertinya kau hendak menantangku, Pemuda Hitam?!”
ucap si Perut Gendang, mulai terusik sikap Gulili.
“Apa pun sebutannya, yang jelas aku tak suka kau perintah
seenaknya!” Gulili pun mulai terang-terangan menantang si Perut
Gendang.
Rase Tua Kembar senang menyaksikan keduanya
bersitegang. Bibir kedua nenek kembar itu mulai memunculkan
senyum tipis. Barangkali, mereka berharap si Perut Gendang dan
Gulili segera terseret dalam pertarungan.
Manusia Dari Pusat Bumi pun tampaknya tidak berniat
cepat-cepat meredam perselisihan itu. Matanya terus mengawasi
kedua lelaki jauh bertaut usia itu.
Tahu kalau Manusia Dari Pusat Bumi tak menggubris, si
Perut Gendang segera menurunkan tubuh Purwasih dari bahunya.
“Kau ingin menjajalku, ya?!” ucap si Perut Gendang padat
tekanan.
“Kalau itu maumu, aku tak akan menghindar,” balas Gulili
mantap.
“Baik,” tandas si Perut Gendang datar. “Akan kita lihat,
apakah kau sudah pantas bersekutu dengan kami, Pemuda Bau
Kencur!
Dengan senyum khasnya, Gulili seolah menyetujui. Dari
balik bajunya, si Perut Gendang mengeluarkan sabuk dari kulit ular
yang selama ini hanya melilit perutnya yang kasar.
“Aku punya sabuk kulit ular. Sabuk ini adalah benda
pusaka yang memiliki kekenyalan luar biasa. Tak akan terputus oleh
tarikan seribu ekor banteng!” papar si Perut Gendang.
“Jelaskan saja, apa maumu dengan sabuk itu?!” selak
Gulili.
“Aku akan mengikat satu ujung sabuk ini ke leherku. Ujung
yang lain diikatkan ke lehermu. Dengan begitu, kita akan menguji
ketangguhan. Kita akan tarik menarik ke depan dengan arah
berlawanan. Siapa yang tak memiliki cukup kekuatan, akan mampus
dengan leher tercekik. Atau..., terputus!” papar si Perut Gendang
melanjutkan.
“Aaa! Permainan yang menarik!" seru Gulili, seolah
kehilangan nyawa bagi dirinya hanya soal sepele. “Ayo kita mulai!”
Tanding kesaktian pun siap berlangsung.
Gulili telah mengikat satu ujung sabuk ke lehernya. Begitu
juga si Perut Gendang. Kini, mereka berdiri saling membelakangi.
Keduanya dihubungkan sabuk sepanjang dua tombak pada leher
masing-masing. Tangan mereka pun sudah diturunkan ke belakang
punggung.
“Kau sudah siap, Pemuda Bau Kencur?” tanya si Perut
Gendang.
“Aku telah lebih siap darimu, Orang Tua Buncit,” sahut
Gulili.
“Satu..., dua..., tiga, mulai!” kata si Perut Gendang,
memberi aba-aba. Srat!
Sabuk pun menegang sekejapan mata Rentangannya
bergetar halus sesaat, kemudian getaran menghilang. Baik Gulili
maupun si Perut Gendang sudah sama-sama mengerahkan tenaga
dalam masing-masing. Leher mereka sebagai daerah yang paling
rawan, menjadi pusat penyaluran tenaga dalam. Dengan cepat
wajah mereka memerah.
Sehebat-hebatnya seseorang, adu kekuatan tenaga dalam
dengan cara itu memang amat sulit dilakukan. Di samping
dipusatkan pada bagian tubuh yang berbahaya, juga karena jeratan
pada leher akan sangat mengganggu dalam memusatkan
pengerahan tenaga dalam.
Dengan begitu, sebenarnya mereka tak sekadar menguji
kekuatan, tapi sekaligus menguji kemampuan dalam memusatkan
perhatian. Sedetik saja perhatian mereka goyah, maka lawan akan
punya kesempatan menarik sabuk. Satu-satunya akibat adalah; mati!
Dengan keadaan tubuh condong ke depan, keduanya terus
berkutat. Seluruh urat di sekujur tubuh mengejang penuh. Sementara
itu, tanpa diketahui Gulili, Rase Tua Kembar diam-diam menyalurkan
tenaga dalam membantu si Perut Gendang. Pada dasarnya, mereka
memang tak suka pada si pemuda hitam. Selaku tokoh seangkatan,
nenek kembar itu merasa dihina oleh sikap Gulili terhadap si Perut
Gendang. Terlebih, sewaktu Rase Tua Kembar teringat pada
keberhasilan Gulili mengirim serangan balasan pada Manusia Dari
Pusat Bumi, saat uji tanding waktu itu.
“Biar kau mampus, Pemuda Besar Kepala!” rutuk si nenek
buta dalam hati.
Pertarungan tak berimbang pun berlangsung. Gulili kini
tidak hanya menghadapi kekuatan si Perut Gendang, tapi juga
menghadapi kekuatan dua nenek yang segolongan dengan si Perut
Gendang. Artinya, dia menghadapi tiga tokoh sesat kelas atas
sekaligus!
Anehnya, tatkala tenaga Rase Tua Kembar mulai tersalur
pada sabuk, pemuda berkulit hitam itu malah melepas senyum lebar-
lebar. Sepertinya, dia tahu ada yang tak beres dengan terlipatnya
tenaga tarikan menjadi beberapa kali lebih kuat.
Di lain sisi, Rase Tua Kembar cukup terperanjat pada hasil
yang terjadi. Mereka mengira, Gulili akan langsung tercekik lalu
terseret ke belakang. Atau lebih parah lagi, kepalanya terputus dari
badan. Kenyataan yang terlihat malah sebaliknya. Perlahan-lahan
sabuk milik si Perut Gendang bergeser sedikit demi sedikit ke arah
Gulili. Kuda-kuda pemuda itu pun sudah bergeser satu tindak ke
depan.
Rase Tua Kembar kian terperanjat. Sedangkan si Perut
Gendang harus mati-matian mempertahankan tenaga yang terpusat
di lehernya agar tak tercekik. Wajahnya sudah demikian matang.
Bahkan otot- otot di wajahnya menonjol keluar.
‘‘Gila! Tak pernah aku mendengar nama pemuda bau
kencur ini. Tapi, kekuatannya ternyata sanggup memperdayai tenaga
dalam kami,” ucap si nenek kutung membatin.
Kemudian dengan penuh rasa penasaran, Rase Tua
Kembar menambah penyaluran tenaga dalamnya. Sabuk memang
sempat berhenti bergeser beberapa saat. Tapi, selanjutnya
pergeseran itu terjadi kembali.
Lebih edan lagi, Gulili malah melontarkan sebaris ejekan
pada saat yang sudah tak mungkin lagi baginya untuk mengeluarkan
sepatah kata pun.
“He he he! Apa kalian sejenis serigala-serigala ompong
yang sudah kehilangan tenaga?!”
Rase Tua Kembar tak bisa lagi menahan keterpanaan.
Mata mereka terbelalak, meski salah satu di antara mereka buta.
Kasihan si Perut Gendang. Matanya terbelalak bukan
karena terperanjat, tapi karena lehernya kini benar-benar tercekik
rapat. Jalan napasnya langsung terhambat. Lidahnya sudah menjulur
keluar.
“Heeek!” jeritnya tertahan.
Pada saat paling berbahaya bagi si lelaki buncit itu, tenaga tarikan
lawan mengendur, mengendur, dan akhirnya, sabuk itu tak lagi
menegang.
Gulili tersenyum lebar. Dengan tenang, dilepasnya ikatan
sabuk di leher, lalu dicampakkannya begitu saja ke lantai candi.
‘‘Kini, biar aku saja yang akan merantai gadis ini ke ruang
sayap kiri," kata Gulili seraya menghampiri tubuh lunglai Purwasih.
“Lagi pula, aku suka pada gadis cantik seperti dia."
Si Perut Gendang hanya bisa menatapnya dengan dada
terengah dan perut turun naik.
Gulili berlalu dari ruang itu, diikuti pandangan Manusia Dari
Pusat Bumi penuh selidik.
Malam semakin larut. Kesunyian meniduri alam.
Kepekatan berkuasa, manakala arakan mega hitam menggumpal
menutupi angkasa.
Purwasih masih dalam keadaan taksadarkan diri. Gadis itu
dirantai dalam keadaan tegak di dinding. Kaki dan tangannya
terbelenggu rantai baja, membuatnya setengah tergelantung lunglai
dengan ke- pala tergolek lemah ke bahu kiri.
Sesaat kemudian, gadis itu siuman.
“Hhh.’’ lenguh Purwasih beriring bergeraknya kepala.
Kelopakmata indahnya mulai membuka perlahan.” Di mana aku?”
Sesaat gadis itu memandang ruangan dengan mata
mengabur. Dan ketika tangannya bergerak tak disengaja, terdengar
bunyi rantai baja. Bunyi itu segera menyadarkannya bahwa suatu
yangburuk telah terjadi pada dirinya. Cepat tangannya dihentak.
Setelah itu, dia makin sadar keadaan dirinya benar-benar tak
menyenangkan.
‘‘Rupanya aku telah ditahan manusia-manusia keparat itu,”
bisik Purwasih manakala ingat kejadian terakhir, saat dikeroyok Rase
Tua Kembar dan si Perut Gendang.
‘‘Apakah kau menikmati mimpimu, Kisanak?” sapa
seseorang dari pintu masuk di sebelah kiri Purwasih. Orang itu
adalah Gulili.
Purwasih menoleh.
“Siapa kau?” tanya gadis itu. Sepanjang pengetahuannya,
orang yang menahannya adalah nenek tua kembar dan seorang
lelaki gemuk.
Gulili tidak menyahut. Didekatinya Purwasih. Seperti biasa,
senyum lebarnya tetap terkembang.
“Kau memang belum pernah melihatku, Nisanak. Aku tidak
turut dalam usaha penculikanmu,” kata Gulili.
“Aku tahu itu. Yang ingin kutahu, apa maumu ke sini?!”
tanya Purwasih kasar.
“Aku?” Gulili tertawa terkekeh.
Sambil tertawa, mata Gulili tak kunjung lepas
memperhatikan lekuk-lekuk tubuh Purwasih. Bajunya yang sudah
koyak-moyak tak karuan memunculkan sebagian kulit halus di
baliknya.
‘‘Kau pikir, apa yang hendak diperbuat seorang pemuda
dengan seorang dara cantik menggoda sepertimu, Nisanak?!” ucap
Gulili, nyaris berdesis seperti ular sanca yang begitu berselera
melihat seekor kelinci tak berdaya.
“Jangan coba berani-berani kurang ajar padaku!” ancam
Purwasih geram.
“Kalau aku berani kurang ajar, apa yang akan kau
lakukan? Bukankah untuk menggerakkan tangan ke bawah saja
sudah sulit?” cemooh Guiili, makin memuakkan Purwasih.
Pemuda berkulit hitam itu kian dekat. Selangkah demi
selangkah, terus dihampirinya Purwasih. Matanya berkilat-kilat
kurang ajar.
“Berhenti kau, Keparat! Jangan coba dekati aku!” hardik
Purwasih, mulai kalap. Tubuhnya meronta-ronta liar. Tapi justru
dengan begitu, dia makin terlihat menggiurkan.
“He he he! Kau rupanya sudah tak sabar untuk
merangkulku, Cah Ayu,” goda Gulili.
“Tutup bacot busukmu itu! Kau pikir aku sudi melayanimu?!
Chuih!”
“Ah! Percayalah, Nisanak. Kau akan segera memelukku
erat-erat setelah tahu aku...." Gulili bertambah dekat. Jaraknya
dengan Purwasih tinggal tiga langkah lagi. Dan tiba-tiba..
Srat!
Di depan Purwasih, pemuda berkulit hitam dan berkepala
gundul itu menguliti kulit kepalanya! Perbuatannya benar-benar
membuat mata Purwasih terbelalak lebar. Nyaris saja, dia menjerit
karena begitu ngeri.
Selanjutnya, keterperangahan gadis itu bertambah. Kali ini
bukan karena ngeri, tapi karena luapan kegembiraan yang
membludak. Setelah kulit kepala dan wajah Gulili terlepas, muncullah
wajah seorang pemuda yang amat dekat di hati Purwasih..., wajah
Andika!
“Kau...,” desis Purwasih.
“Ya, aku. Sekarang, kau benar-benar akan memelukku,
bukan?” goda Andika.
Pemuda dari Lembah Kutukan menghampiri Purwasih
lebih dekat. Sehingga, gadis itu bisa merebahkan kepala di dadanya.
‘‘Sayang tanganmu dirantai, ya? Kalau tidak, tentu aku
akan bisa sedikit menikmati pelukan hangatmu,” oceh Pendekar
Slebor, tepat di sisi telinga Purwasih.
‘‘Kau...,” ucap Purwasih, gemas.
“Adaouw!” teriak Andika tertahan dan tiba-tiba.
Rupanya, Purwasih menggigit keras-keras dada Andika. Gadis itu
gemas mendengar ucapan Andika barusan.
‘‘Cepat bebaskan aku!” hardik Purwasih.
“Baik. Tapi, biasanya untuk perbuatan baik seperti ini,
orang selalu mengharapkan upah....”'
“Sudah tutup mulutmu, Andika!”
“He... he... hel’
Pendekar Slebor pun membebaskan Purwasih tanpa
kesulitan sama sekali. Dengan sekali tebasan tangan, rantai baja
yang membelenggu Purwasih terputus.
“Sekarang, bebaskan totokanku!” perintah Pur-wasih.
“Tentu saja. Aku toh, tak sudi membopong-bopongmu
keluar dari tempat ini.... Adouw!” Andika menjerit tertahan lagi.
Rupanya, Purwasih menjitak kepalanya keras-keras.
Tak berapa lama kemudian, Andika dan Purwasih sudah
terlihat mengendap-endap keluar dari candi tua. Dengan ilmu
meringankan tubuh mereka yang telah tinggi, usaha mereka pergi
dari tempat itu bisa cukup lancar.
Benarkah semuanya lancar? Tanpa diketahui keduanya,
dua orang mengawasi di kejauhan. Di balik sebuah pohon besar,
mereka mengintai sejak tadi. Bahkan sempat tahu penyamaran yang
dilakukan Pendekar Slebor.
9
“Hendak ke mana kita?” tanya Purwasih pada Andika yang
sudah mengenakan topengnya kembali. Kalau memperhatikan wajah
palsu yang demikian sempurna itu, Purwasih jadi ingin meledak
menahan tawa. Sulit dibayangkan kalau Andika, pemuda tampan
dan mempesona, memiliki wajah yang mengge likan.
“Lebih baik kau segera menyingkir jauh-jauh dari candi itu,”
kata Andika.
“Apa maksudmu? Kenapa bukan kita berdua? Kenapa
hanya aku?” seruntun pertanyaan diajukan Purwasih.
“Karena aku masih mempunyai urusan yang belum
terselesaikan,” jawab Andika.
“Lalu, kau pikir aku takut sehingga perlu disuruh
menyingkir?”
“Bukan begitu. Mmm.... Maksudku, kau bisa mengacaukan
penyamaranku.” dalih Andika. Padahal sebenarnya hatinya khawatir
terhadap keselamatan gadis manis itu.
Purwasih baru hendak melontarkan sanggahan, ketika
tiba-tiba saja tangan pemuda di sisinya mendekap mulutnya.
“Ssst,” bisik Andika. “Rasanya kita kedatangan tamu.
“Tepat! Kalian memang kedatangan tamu!” seru seseorang
yang tiba-tiba muncul menyeruak deda- unan pohon besar.
“O! Kau, Perut Gendang!” sambut Andika yang telah
berubah menjadi Guliii kembali.
“Tak usah berbasa-basi lagi, Guliii! Dari semula aku sudah
curiga padamu!” bentak si Perut Gendang.
Purwasih maupun Andika mulai was-was. Kalimat lelaki
buncit itu sepertinya hendak memojokkan Andika. Mungkinkah dia
sudah mengetahui penyamaran Andika?
“Apa maksud kata-katamu, Perut Gendang?” tanya Andika,
pura-pura tak paham.
“Kau pikir aku tak tahu kau berbicara sesuatu dengan
gadis itu? Secara kebetulan, aku melintasi daerah ini. Dan
kutemukan kau bersama gadis itu!” kata si Perut Gendang meledak-
ledak. “Kau pasti orang dari golongan putih! Bisa jadi juga, kau
adalah kawan Pendekar Slebor!”
“O, begitu. Biar kujelaskan....”
“Tak perlu dijelaskan!" terabas seseorang, memenggal
ucapan Andika.
Rase Tua Kembar muncul pula di sana.
“Kau pikir, kami tak memperhatikan segala gerak-gerikmu,
Pendekar Slebor. Sejak semula kami curiga. Kami, terus
memperhatikanmu. Sampai kau mendatangi Purwasih dan
membebaskannya. Kami juga tahu tentang topeng jelekmu itu!”
semprot si nenek berkaki kutung.
“Maksudmu, pemuda gundul ini adalah Pendekar Slebor
yang sedang menyamar?” selak si Perut Gendang.
“Ya! Apa kau meletakkan otakmu di dengkul, Buncit?!
Masa’ kau sama sekali tak curiga sewaktu dia mengalahkan kita,
saat adu tenaga dengan sabuk mu!” si nenek buta ikut ambil bagian.
“Jadi kalian waktu itu membantuku? Dan, kita dikalahkan?”
tanya si Perut Gendang lagi, meminta kejelasan.
“Ah, sudah! Jangan banyak tanya lagi, Buncit! Sekarang
kita harus membabat habis manusia yang menjadi penghalang besar
usaha kita!” putus si kutung.
“Ya! Akan kita habisi riwayat Pendekar Slebor!”
Seseorang ikut pula melontarkan ucapan. Dari kejauhan,
terlihat sosok Manusia Dari Pusat Bumi.
Manusia jelmaan siluman itu berjalan menghampiri dengan
langkah-langkah lambat, namun penuh ancaman. Setibanya di dekat
Rase Tua Kembar, pemuda bertaring itu menghentikan langkah.
Dilemparnya pandangan menusuk ke arah Andika.
“Untuk apa lagi topeng busuk itu?!” sentak Manusia Dari
Pusat Bumi.
Andika tak bisa berbuat lain. Kedoknya sudah terbuka.
Karena itu, sudah tak ada gunanya lagi menggunakan topeng Guiili.
Srat!
Andika melepas topeng, sekaligus melorotkan baju putih
serta selendang di lehernya. Dengan baju itu, Andika kemudian
menyapu tangan dan lehernya yang dihitamkan dengan sejenis
getah. Dan kini, An-idika berdiri dengan penampilan aslinya.
“Sekarang, kalian bisa melihat ketampanan asliku, bukan?”
seloroh Andika. Maksudnya, sekadar memancing kejengkelan para
lawan.
Keempat tokoh sesat itu tidak tampak gusar. Mereka
terlalu banyak makan asam-garam dunia persilatan untuk cepat
terpancing hanya oleh perkataan seperti tadi.
Pada Rase Tua Kembar dan si Perut Gendang, mata
Manusia Dari Pusat Bumi melempar isyarat. Diperintahnya mereka
untuk segera menghabisi Pendekar Slebor.
Untuk menghadapi seorang pendekar yang diyakini
sebagai penghalang utama, Rase Tua Kembar dan si Perut
Gendang tak mau lagi main-main. Mereka langsung saja
mengeluarkan ilmu andalan masing- masing.
Rase Tua Kembar mengerahkan ajian ‘Rambut Liang
Lahat’. Yang akan mampu melepaskan ulat- ulat ganas dan rakus
berukuran sangat halus. Keganasan ulat-ulat kecilnya, sanggup
menembus tubuh seseorang seperti percikan bara api menembus
lilin. Semakin banyak ulat itu mengenai tubuh, maka semakin hancur
tubuh yang terkena. Seperti ulat-ulat di liang kubur yang memakan
jasad mayat dengan amat rakus!
Sedangkan si Perut Gendang mengerahkan ajian ‘Hawa
Neraka’. Disebut begitu, karena ajian ini sanggup menghasilkan
gelombang panas luar biasa yang tercipta dari perut besarnya.
Gelombang panas tersebut mampu membuat tubuh seseorang
kering dalam setarikan napas, seperti keringnya daun di musim ke¬
marau.
“Hiiiaaah!”
Wrrr!
Disertai jeritan berbarengan, Rase Tua Kembar melepas
ikatan rambut masing-masing. Rambut putih mereka tergerai cepat.
Meski tak ada angin cukup kencang, namun rambut putih yang
kenyal dan gempal itu tampak bergerak-gerak. Ratusan binatang
kecil yang menempatinya, tentu menjadi penyebab. Setiap delapan
purnama, ulat-ulat kecil itu berkembang biak menjadi dua kali lipat.
Untuk kelangsungan hidup binatang-binatang kecil ganas itu, Rase
Tua Kembar memberi makan dengan darah bayi yang baru saja
dilahirkan. Itu sebabnya, banyak terdengar dukun tua buta melarikan
bayi dari rahim seorang ibu yang dibunuhnya dengan keji. Pelakunya
tentu saja si nenek buta, saudara kembar nenek berkaki kutung.
Selanjutnya, si nenek berkaki kutung di atas bahu saudara
kembarnya memutar-mutar rambut. Dengan cara itu, dia sedang
menghimpun tenaga. Jika rambutnya nanti dilecutkan, maka tenaga
yang terpusat di bagian kepala akan melontarkan ulat-ulat ganas
yang lebih kuat menembus daripada belati!
Sementara si nenek kutung memutar-mutar rambut,
saudara kembarnya majuselangkah demi selangkah. Telinganya
yang tajam mampu menangkap dengus napas Andika, hingga
mampu menentukan letak lawan berada.
Di bagian lain kancah, si Perut Gendang sudah siap
dengan ‘Hawa Neraka’nya. Setelah mengatur napas, dan dia
menyalurkan udara ke dalam perut, lalu menghemposnya perlahan.
Kedua tangannya menekan kedua sisi perutnya yang besar dengan
jari-jari terkepal kuat. Setelah beberapa kali mengatur napas, kulit
perutnya mulai mengepulkan asap putih tipis. Itulah tanda kalau ajian
sesatnya telah waktunya untuk dihentakkan keluar, membentuk
angin pukulan panas dari lobang pusatnya.
Karena lawan mendekat dari arah berbeda, Andika dan
Purwasih pun menyatukan punggung. Pendekar Slebor siap dengan
kuda-kudanya menghadap Rase Tua Kembar. Sedangkan, Purwasih
menghadap si Perut Gendang.
Jarak antara mereka dengan lawan makin dekat.
Saat tinggal empat tombak lagi jarak mereka, seseorang
tiba-tiba meluncur turun ke tengah-tengah arena. Dan orang itu
langsung berdiri di sisi Andika dan Purwasih.
Purwasih cepat menoleh ke arah orangyang baru datang.
Betapa terkejut gadis ini. Ternyata orang yang datang sulit
dibedakan dengan pemuda yang berdiri membelakanginya. Amat
mirip Andika!
Tak hanya gadis itu yang mengalami keterkejutan. Rase
Tua Kembar, si Perut Gendang dan Manusia Dari Pusat Bumi pun
begitu.
“Aku tak mengerti,” desis Purwasih, terheran- heran.
‘‘Kau tak perlu mengerti sekarang ini, Purwasih," kata
Andika yang baru datang. “Karena, kita harus menghadapi manusia-
manusia busuk ini."
Andika yang kedua lalu tersenyum penuh arti pada Andika
pertama.
Lambat laun, Manusia Dari Pusat Bumi menyadari kalau di
antara dua Pendekar Slebor, salah satunya adalah yang asli.
Persoalannya kini, siapa di antara mereka yang asli?
“Kenapa kau jadi terdiam seperti itu, Manusia Dari Pusat
Bumi?” usik Andika kedua, mengejek.
Manusia Dari Pusat Bumi menggeram. Sebagai seorang
setengah siluman, dia pun sulit membedakan, mana Pendekar
Slebor yang sesungguhnya.
“Baik! Kau akan kuberi kemudahan untuk menentukan,
siapa di antara kami yang asli," kata Andika pertama.
Seraya berkata, tangan Pendekar Slebor menarik rambut
panjangnya ke depan. Lalu terkelupaslah topeng yang dikenakan.
Ternyata, dia adalah Raja Penyamar!
Jadi selama ini, Purwasih telah terpedaya oleh kehebatan
menyamar Raja Penyamar. Juga keempat tokoh sesat yang
ditipunya dengan topeng Gulili. Dengan begitu, Raja Penyamar
memakai dua topeng sekaligus.
Manakala melihat wajah orang di balik topeng, Rase Tua
Kembar dan si Perut Gendang tak bisa lagi menyembunyikan
ketakutan mereka. Raja Penyamar, bagi mereka adalah salah
seorang sesepuh golongan putih yang telah lama menghilang.
Sebelum mereka bisa menempati jajaran atas golongan sesat, Raja
Penyamar sudah lama malang melintang membabati tokoh-tokoh
atas golongan sesat.
Bagi Rase Tua Kembar atau si Perut Gendang, hanya cari
mati jika harus berhadapan dengan lelaki tua sesepuh golongan
putih itu. Bisa selamat dalam pertarungan dengannya saja, sudah
terlalu bagus.
“Ada apa, Kutung? Kenapa kau tampak begitu bergetar?”
tanya si buta pada saudara kembarnya. Dia belum mengetahui
wajah di balik topeng pemuda tampan selama ini.
“Kau tentu tahu seorang yang menjadi malaikat maut bagi
tokoh golongan sesat saat kita masih hijau?” bisik si nenek kutung.
“Ra.... Raja Penyamar?” desis si nenek buta ter- gagap.
“Ya! Dialah orang yang menyamar menjadi Pendekar
Slebor! Pantas saja waktau itu kita dapat mudah dikalahkan saat
membantu si Perut Gendang mengadu kekuatan....”
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya si nenek
buta, bimbang.
“Kau pikir, kita harus menghadapinya?!” hardik si kutung
tertahan. “Itu sama saja cari mampus. Lebih baik, kita cepat
menyingkir!”
“Tapi bagaimana dengan Sang Angkara?”
“Peduli setan dengan dia. Kita pun belum tentu bisa mengandalkan
kehebatannya, agar bisa selamat dari tangan Raja Penyamar!
Bukankah kita belum tahu, apa dia lebih hebat daripada Raja
Penyamar?!”
“Jadi kita lari?”
“Ayo, tunggu apa lagi?!"
Dan tanpa ada perintah dari siapa pun, Rase Tua Kembar
membuat langkah seribu. Tak dipedulikannya lagi Manusia Dari
Pusat Bumi yang telah mengangkat mereka menjadi pengikut.
Mereka lebih gentar pada nama besar Raja Penyamar.
Melihat Rase Tua Kembar melarikan diri, si Perut Gendang
kehilangan keberanian. Tak ada tiga tarikan napas, lelaki berperut
boros itu pun ikut buron.
Seperti juga Rase Tua Kembar, si Perut Gendang amat
tahu kehebatan Raja Penyamar.
“Kalian manusia bodoh!” maki Manusia Dari Pusat Bumi,
amat geram.
Tak dibiarkannya para pengikut berkhianat begitu saja.
Baginya hal itu merupakan penghinaan teramat besar. Maka tanpa
banyak tindak lain, tangan Manusia Dari Pusat Bumi terangkat tinggi-
tinggi lebih cepat dari gerak lari para pengikut pengkhianatnya.
Dalam sekejap, muncul cermin yang begitu diandalkannya.
Slash!
Seberkas cahaya merah bara berkelebat dan langsung
menyelubungi Rase Tua Kembar dan si Perut Gendang. Kekuatan
gaib yang terkandung di dalamnya membuat tokoh-tokoh sesat itu
mematung seketika!
“He he he! Sang Angkara tidak mau ditinggal para
patihnya!” cemooh Andika.
Pendekar Slebor baru tiba, setelah melaksanakan petuah
Sang Pangeran jelmaan Walet beberapa hari belakangan.
Semuanya memang telah diatur Andika. Raja Penyamar
setuju, agar jasadnya disiram air mukjizat yang ditemukan Andika.
Setelah itu, penyakit yang merusak jasad Raja Penyamar cepat
menghilang. Raja Penyamar pun dapat kembali menempati raganya
yang telah pulih. Dengan seizin Sang Penguasa Makhluk, lelaki tua
itu bisa hidup kembali!
Dengan hidupnya Raja Penyamar, Andika memintanya
untuk menyamar agar bisa mengawasi setiap gerak-gerik Manusia
Dari Pusat Bumi. Sementara itu, Andika mencoba menjalani semadi
‘penyempurnaan kalbu’ sesuai petuah Sang Pangeran.
Rencananya memang membawa hasil. Mereka bisa
menggagalkan niat busuk Manusia Dari Pusat Bumi yang hendak
menjadikan Purwasih sandera!
“Kau akan mampus di tanganku, Pendekar Slebor. Jangan
kau harap aku akan lari setelah berhadapan denganmu. Meskipun,
aku belum lagi tahu kelemahanmu!” ancam Manusia Dari Pusat
Bumi.
“Kau jujur rupanya. Mau-maunya mengaku belum
mengetahui kelemahanku,” ledek Andika lagi.
“Tak usah banyak mulut. Hiaaa!"
Seiring satu teriakan tinggi membelah langit, Manusia Dari
Pusat Bumi langsung melancarkan serangan membabi buta ke arah
Pendekar Slebor. Seluruh kekuatan yang dibekali dari alam
kegelapan dikerahkannya saat itu juga.
Deb!
Tubuh Sang Angkara melayang dengan kaki lurus ke
depan, mengancam leher Pendekar Slebor. Tapi, dengan satu gerak
ke samping, Andika berhasil mengelitkan serangan. Satu tinju berisi
kekuatan warisan Pendekar Lembah Kutukan dilancarkan ke
selangkangan Manusia dari Pusat Bumi.
Dengan tubuh masih di udara, Sang Angkara memapak
tinju Pendekar Slebor dengan sepasang telapak tangan.
Tagh!
Saat itulah, Andika merasakan sebagian kekuatannya
terserap. Rupanya Sang Angkara telah memulai sebentuk ilmu hitam
dari alam siluman. Ilmu yang mampu menyedot tenaga tempur
lawan, yang mampu membuat lawan perlahan-lahan terisap habis
tiap kali satu pukulan atau serangan bersentuhan dengan tubuhnya.
Ilmu itu, pernah pula ditumpangi ke dalam goa garba
Andika saat tak sadarkan diri. Lelaki Berbulu Hitam, Pendekar Dungu
serta Purwasih yang berusaha menyadarkan Andika, menjadi
tersedot tenaganya saat itu (Untuk lebih jelasnya, baca episode :
“Pengadilan Perut Bumi”).
Sebelum Andika sempat menyadari apa yang terjadi,
Manusia Dari Pusat Bumi telah menyusul satu keprukan telapak
tangan ke masing-masing telinga.
Mau tak mau, Pendekar Slebor mengangkat tangan ke sisi
telinga.
Prak!
Terjadi kembali benturan tangan. Dan itu justru yang
diharapkan Manusia Dari Pusat Bumi. Dengan bertemunya tangan
mereka kembali, tenaga Andika tersedot pula. Maka, keadaan itu
jelas amat menguntungkan Manusia Dari Pusat Bumi. Di samping
kekuatan lawan melemah, dia justru mendapat tambahan tenaga.
Sadar Sang Angkara mengeluarkan ilmu hitam yang terus
menyedot tenaga setiap kali pertumbukan bagian tubuh, Andika
segera mengubah siasat tarungnya. Tubuhnya segera berputar ke
belakang. Sekitar tujuh tombak dari tempat semula, putaran
tubuhnya dihentikan. Lalu kakinya menjejak kukuh di muka bumi.
Dan....
“Heaaa!”
Serangkai gerakan ganjil dan tampak tak beraturan pun
diperlihatkan Pendekar Slebor. Itulah kekhasan jurus-jurus yang
tercipta di Lembah Kutukan selama menjalani penyempurnaan.
Jurus yang lahir begitu saja karena tuntunan sambaran lidah petir!
Siasat apa yang sesungguhnya akan dijalankan Pendekar
Slebor untuk menghadapi ilmu sesat lawan?
Disiapkannya jurus ‘Mengubak Hujanan Petir’. Sebuah
jurus yang mengandalkan kecepatan gerak. Pada puncak jurus,
kecepatannya bahkan membuat tubuh Pendekar Slebor sudah
seperti bayangan yang berkelebat ngawur.
Dengan jurus itu, Pendekar Slebor akan terus menghindari
pertumbukan dengan tubuh lawan. Sementara itu mengadakan
penyerangan, senjata pusaka yang berbentuk kain bercorak catur
akan dipergunakan.
Cletar! Wush!
Pada saat Manusia Dari Pusat Bumi merangsek ganas,
Pendekar Slebor pun meluncur dengan kecepatan warisan Pendekar
Lembah Kutukan yang amat disegani di seantero dunia persilatan.
Keduanya meluruk pesat dalam arah berlawanan.
“Khiaaah!”
Cletar! Srel!
Bagai dua kelebat bayangan, kedua tubuh itu menyatu di
satu titik. Sekejap dua bayangan itu tampak menyatu dalam pusaran
angin puting beliung yang menerbangkan dedaunan, kerikil, bahkan
batu- batu sebesar kepalan tangan.
Lewat dari kejapan itu, sesosok bayangan tiba- tiba
mencelat keluar berkawal erangan menggiris.
“Wuaaa!"
Siasat Pendekar Slebor membawa hasil. Tenaganya tak
lagi dibiarkan tersedot. Sebaliknya, kain pusaka bercorak catur di
tangannya telah pula membabat dada Manusia Dari Pusat Bumi,
hingga terpaksa harus melompat jauh-jauh ke belakang.
“Ini belum berarti kemenangan, Pendekar Slebor!” desis
Manusia Dari Pusat Bumi dalam jarak delapan tombak dari tempat
Andika.
Usai berkata penuh tekanan, Sang Angkara mengangkat
tangan kanannya tinggi-linggi.
“Andika! Dia hendak mengeluarkan Cermin Alam Gaibnya!”
seru Raja Penyamar, memperingati.
Sesungguhnya, saat seperti itulah yang ditunggu- tunggu
Pendekar Slebor. Dia tak akan bisa memusnahkan tugas
membangun angkara murka yang diemban Manusia Dari Pusat
Bumi, selama senjata andalannya masih utuh. Untuk itu, dia
bertekad menghancurkannya!
Benar saja peringatan Raja Penyamar. Dalam sekejap,
tangan kanan Sang Angkara sudah menggenggam sebuah cermin
bulat yang dikenal sebagai Cermin Alam Gaib.
Kesempatan itu ditangkap mata jeli Andika. Jarakdelapan
tombak, tergolong tak jauh dijangkau jika dikerahkannya seluruh
kecepatan puncak warisan Pendekar Lembah Kutukan. Sebelum
sempat menyadari, Manusia Dari Pusat Bumi tentu akan kehi¬
langan cerminnya. Begitu kira-kira pertimbangan Andika. Dan....
Wusss!
Tanpa perlu berteriak yang dapat mengundang perhatian
lawan, Pendekar Slebor menggenjot puncak kecepatannya.
Tubuhnya melesat lebih cepat dari pada angin, menuju Manusia Dari
Pusat Bumi.
“Andika! Jangan!” seru Raja Penyamar untuk kedua
kalinya. Peringatannya kali ini rupanya terlambat. Kecepatan
Pendekar Slebor mungkin lebih cepat daripada kata-katanya sendiri.
Lalu....
Blarrr!
Sebentuk medan kekuatan berbentuk lingkaran api kontan
menghadang usaha Pendekar Slebor merebut Cermin AJam Gaib.
Dari cermin itu pula medan kekuatan lingkaran api bersumber.
“Waaa!”
Pendekar Slebor kali ini telah salah perhitungan. Begitu
membentur medan kekuatan lawan, lesatan tubuh pemuda itu
langsung berbalik arah. Teriakan menyayatnya tercipta, menyusul
bunyi ledakan.
Pendekar Slebor jatuh meninju bumi di dekat Raja
Penyamar.
“Andika! Kau salah langkah! Cermin itu tak bisa dikalahkan
dengan nafsu! Apa kau lupa petuah...,’’ kata Raja Penyamar
menasihati tanpa mendekat.
“Petuah Sang Pangeran...," desis Pendekar Slebor,
menyambung kalimat Raja Penyamar. Barulah pemuda itu tersadar,
telah melakukan kesalahan.
‘‘Kukira, setelah aku menjalani semadi, aku akan bisa
langsung merebut cermin itu,” kata Andika. ‘Tapi, rupanya aku salah
paham. Semadi itu justru untuk melatihbertahan menghadapi
serangan Manusia Dari Pusat Bumi. Bukan melakukan serangan....”
Dengan cepat Andika memperbaiki sikap tubuhnya.
Pendekar Slebor bangkit dengan darah membanjiri pakaian, yang
keluar dari mulut dan hidungnya. Dengan kaki agak terentang, kedua
telapak tangannya disatukan di depan dada. Matanya terpejam.
Perlahan sinar wajahnya menjadi begitu teduh dan damai.
Pendekar Slebor telah mencapai taraf ‘Menyucikan Kalbu’
dalam semadi singkatnya. Seluruh keinginan telah pupus. Indranya
bahkan tak menangkap isyarat apa-apa, kecuali keheningan yang
maha luas. Dirinya telah menyatu dengan alam.
Saat itulah Manusia Dari Pusat Bumi yang begitu bernafsu
menghabisi Pendekar Slebor, melepas sehimpun kekuatan hitam
dari cerminnya.
Siiing!
Bunyi tinggi berdengung meluruk cepat menuju Andika.
Ketika bunyi itu tiba di sasaran, terbentuklah sebuah lingkaran
cahaya warna-warni menyilaukan. Mata Raja Penyamar dan
Purwasih yang menyaksikan kejadian, tak kuat menahan silaunya
cahaya itu.
Dari serat-serat cahaya warna-warni itu, bermunculanlah
tangan-tangan besar berbulu. Semuanya menghantami Andika dari
berbagai penjuru. Sehingga memaksa tubuh tegap perkasa pemuda
itu terhempas kian kemari.
Pendekar Slebor sendiri seperti tak merasakan seluruh
hantaman bertubi-tubi yang dahsyat itu. Tubuhnya masih tetap
dalam keadaan semula, meski terseret ke mana-mana. Sementara
wajahnya tetap membersitkan keteduhan dan kedamaian.
Manakala hantaman ratusan tangan ganjil itu makin gencar
merejam tubuh Pendekar Slebor, langit di atasnya tiba-tiba ditutup
mega mendung yang pekat. Lalu....
Siat... glar!
Lidah api menyilaukan mendadak menerabas lingkaran
serat warna-warni melebur. Bunga api raksasa seketika membersit.
Lidah api alam itu pun menghujam tubuh Andika.
Mendadak tubuh Pendekar Slebor bergetar hebat, seperti
tak kuasa menerima satu bentuk siksaan amat kejam. Sepasang
tangannya yang semula menyatu, kini menghentak-hentak ke depan.
Dan....
“Aaa...l”
Blasss!
Desis petir tersembul dari sepasang telapak tangan Pendekar
Slebor, menyambar langsung ke arah Cermin Alam Gaib yang
sedang teracung tinggi-tinggi di tangan Sang Angkara.
Ctarrr!
Bumi tiba-tiba hening. Awan gelap bergulung di atas Andika telah
sirna. Ratusan tangan ganjil itu pun menghilang ditelan kelengangan.
Delapan-sembilan tombak di depan Andika yang masih berdiri bisu,
terdapat setumpuk abu hitam yang mengepulkan asap tipis.
Kekuatan petir yang terserap tubuh Pendekar Slebor, telah
memanggang tubuh Manusia Dari Pusat Bumi.
Tapi tak ditemukan bekas-bekas sebuah cermin di sana.
Lantas, ke mana cermin terkutuk itu sebenarnya?
Di langit, seberkas cahaya merah darah mela- yang cepat
bagai bintang jatuh. Sayup-sayup, masih terdengar suara menggema
yang timbul tengg lam di langit bebas, mengancam Pendekar Slebor!
Menyusul hancurnya Manusia Dari Pusat Bumi, Rase Tua
Kembar serta si Perut Gendang kontan tertebas dari belenggu tanpa
wujud. Mereka melanjutkan niat untuk melarikan diri. Bahkan kali ini
jauh lebih terbirit-birit manakala mereka menyaksikan tu-ibuh
pemimpin baru mereka tinggal berwujud setumpuk debu.
SELESAI
Emoticon