1
Tanah Buangan. Sebuah daerah terpencil, jauh dari
kehidupan manusia. Sulit dicapai, karena dibentengi
pegunungan karang terjal di sebelah utara yang
membentang hingga ke barat. Juga dikurung oleh hutan
belantara berlumpur pasir yang dalam, dari selatan hingga
Sulitnya mendapatkan makanan dan banyaknya
binatang buas, membuat daerah itu tak begitu diminati
untuk dijadikan tempat tinggal. Meski begitu, tetap saja
ada satu gubuk kecil di sana, yang dibangun sejak dua
puluh satu tahun lalu ketika dua orang wanita penghuninya
menempati. Semenjak mulai membangun kehidupan di
sana, mereka pun menyebutnya sebagai Tanah Buangan.
Di satu ketinggian bukit karang, kedua wanita itu kini
tampak sedang berlatih ilmu olah kanuragan. Matahari
telah sepenggalan naik, mengintip dari lebatnya dedaunan
hutan. Sinarnya menerobos ubun-ubun setiap pohon besar,
dan menerangi semacam karang datar cukup luas tempat
mereka berlatih.
Yang muda bernama Anggraini. Wajahnya cerah dan
cantik mempesona. Rambutnya panjang hingga sebatas
lutut. Tubuhnya yang sintal kuning langsat, terbungkus
pakaian merah-merah yang menebarkan wangi harum
semerbak. Matanya agak sayu menantang, serta berhidung
bangir. Di atas bibirnya yang merah merekah, terdapat tahi
lalat kecil. Maka semakin manislah wajahnya. Kendati
demikian, tahi lalat kecil tadi juga memberi kesan sedikit
judes.
Sementara Anggraini memainkan jurus-jurus silat
penuh gelora di bawah siraman sinar mentari hangat,
seorang perempuan tua memperhatikan dari jarak tak
begitu jauh. Walaupun asianya sudah tujuh puluhan, tapi
wajahnya masih tergolong muda. Kalau diperhatikan,
mungkin orang akan menyangka wanita itu berumur tiga
puluhan. Wajahnya tak jauh beda dengan Anggraini. Sama-
sama cantik dan sama-sama mempesona. Bedanya, hanya
pada sinar mata. Wanitayang lebih tua tampak lebih
tenang dan berwibawa. Tubuhnya pun masih tetap ramping
mengagumkan, terbalut pakaian ungu berbentuk jubah
dengan sabuk kain pada bagian pinggang. Rambut yang
hitam digelung tanggung di bawah leher. "Hiaaa!"
Pekikan lantang Anggraini menerabas dinding karang.
Begitu menggebu seakan siap merobek langit. Di bawah
pengawasan wanita tua sekaligus guru tunggalnya yang
duduk tenang, gadis dua puluh empat tahun itu menusuk
udara dengan senjata di tangan kanan. Sekejap itu pula
tercipta desis keras membahana, pertanda kalau tenaga
dalam gadis ini sudah mencapai tingkat tinggi. Angin
pukulannya kemudian meluncur lurus ke arah dinding
cadas. Berikutnya, dinding cadas itu sudah berantakan.
membentuk lobang besar yang dalam.
Siapa pun bisa berdecak kagum bila mengetahui hasil
angin pukulan perempuan muda yang tampak lemah
gemulai itu. Terlebih jika memperhatikan senjatanya, yang
hanya berupa busur kayu. Tampak rapuh, namun bisa
begitu berbahaya di tangannya.
"Cukup, Anakku!" seru wanita tua itu. yang ter-nyata
ibu dari Anggraini. Dan di dalam rimba persilatan dia
dikenal sebagai Kupu-kupu Merah. "Kulihat pukulan
'Kekuatan Kembar'-mu sudah cukup sempurna. Kini tinggal
mencari tahu, apakah inti pukulanmu sudah sempurna
pula."
Kupu-kupu Merah segera bangkit dari bersilanya. Lalu
dihampirinya karang berlobang tadi. Dari jarak dekat
wanita awet muda itu meneliti beberapa saat. Dengan hati-
hati, tangan kanannya dijulurkan ke bagian dalam lobang.
Dan tiba-tiba ditariknya kembali tangan cepat-cepat.
Sepertinya dia baru saja merasakan sengatan halilinlar.
Dengan wajah terpana, ditatapnya Anggraini, "Anggraini!
Kau telah berhasil mencapai tingkatan puncak ilmu
pukulan itu, Anakku!" seru perempuan tua itu, girang.
Anggraini melenggak. Sesaat dia terpaku, seakan
tidak percaya dengan ucapan ibunya sendiri.
"Apa kau tak mendengarku? Kau berhasil, Anakku!
Berhasil!"
Kupu-kupu Merah Jangsung menghambur ke arah
Anggraini. Dipeluknya anak gadis satu-satunya yang masih
terpana dengan rangkulan kelewat hangat. Sehingga
menyebabkan tubuh Anggraini sedikit terguncang-guncang.
"Ibu tak sedang menghiburku, bukan?" tanya
Anggraini masih tak bisa mempercayai kata ibunya
barusan.
Tingkat puncak ilmu pukulan 'Kekuatan Kem-bar’
memang begitu sulit. Bahkan hampir tidak mungkin
didapatkan oleh seorang wanita seperti Anggraini. Bahkan
ibunya sendiri sebagai guru tung-galnya tak bisa mencapai
taraf itu. Lantas bagaimana gadis ini bisa cepat percaya
kalau kini ibunya tiba-tiba berkata kalau tingkatan itu telah
berhasil diraihnya?
"Aku tahu kau tak mempercayainya, Anakku. Tapi itu
memang terjadi. Selama beberapa keturunan, tak pernah
ada orang yang berhasil mencapai tingkatan itu. Baik
diriku, kakekmu, atau guru kakekmu. Kecuali, buyut guru
yang menciptakan ilmu pukulan itu...," papar Kupu-kupu
Merah bangga tanpa melepaskan rangkulan.
"Tapi, Bu...," Anggraini coba membantah.
"Tak ada lapi-tapian! Kau telah berhasil, Anakku! Aku
patut bangga padamu. Juga kakekmu, ya juga buyut guru,"
sergah si ibu menggebu. Segera digandengnya Anggraini,
untuk meninggalkan tempat ini. "Kita harus merayakan
keberhasilan ini!" tambahnya sambil mencubit pipi Angraini
yang bersem u merah.
Sepeninggalan ibu dan anak itu, dinding karang yang
menjadi korban pukulan pamungkas Anggraini tadi
mendadak bergetar seperti dilabrak gempa. Bongkahan-
bongkahan batu mulai berhamburan ja-iuh. Lalu retakan-
retakan besar tercipta, menyusul sebuah suara desisan
amat keras bagai suara jutaan ular yang tergabung
menjadi satu, mengiringi merekahnya bagian datar bukit
karang di dekat lobang pukulan Anggraini
•k -k -k
"Ada yang perlu kau ketahui mengenai ilmu pukulan
'Kekuatan Kembar'. Anggraini," kata Kupu-kupu Merah
membuka percakapan ketika mereka sudah berada dalam
gubuk.
"Apa, Bu?" tanya Anggraini meminta jawaban.
Wanita tua tapi masih kelihatan muda itu terdiam,
seperti mengingat-ingat sesuatu yang terkubur begitu lama
dalam benaknya.
"Sewaktu ilmu itu diwariskan padaku, kakekmu
pernah menyebutkan satu pesan yang datang secara
turun-temurun dari buyut guru. Katanya, ilmu pukulan itu
memiliki suatu 'kelebihan yang tak pernah terbayangkan
oleh pemiliknya' jika sudah mencapai taraf puncak. Karena
kau telah mencapai taraf itu, kupikir sudah sepantasnya
kau mengetahui," papar Kupu-kupu Merah.
"Kelebihan apa kira-kira, Bu?"
Kupu-kupu Merah menggeleng.
"Aku tak tahu. Dan aku juga tidak bisa menduga,"
jawab sang ibu, sedikit pun tak memuaskan anaknya. "Tapi
kau akan segera mengetahuinya nanti. Bersabarlah...."
Wanita tua yang awet muda itu lalu bangkit. Di-
hampirinya satu sudut ruangan. Di sana, diambilnya
sebuah peti kecil yang terkunci rapat.
"Sekarang pula waktunya aku menceritakan padamu
tentang suatu hal," ujar wanita tua ini seraya membawa
peti tadi ke dekat Anggraini.
Peti itu diletakkan di lantai gubuk, tepat di depan
Anggraini yang tetap duduk bersimpuh. Lalu dengan
sebuah kunci, dibukanya kotak berwarna hitam kusam itu.
Peti terbuka. Maka terlihatlah seutas cemeti di
dalamnya. Juga sebuah kalung bermata kepingan perak
berbentuk kepala rajawali. Kupu-kupu Merah
mengeluarkan kedua benda kuno, dan meletakkannya di
pangkuan Anggraini.
"Apa maksud Ibu dengan semua ini?" tanya Anggraini
agak terdengar lirih.
Tampaknya gadis itu mulai bisa menduga maksud
ibunya dengan semua itu. Kalaupun dia bertanya, sekadar
mengungkap ketidak setujuannya.
"Aku telah menurunkan semua ilmu-ilmuku padamu,
Anakku...."
"Karena itu Ibu memberikan padaku benda-benda
ini?" selak Anggraini, menyampaikan dugaan kuatnya.
Kupu-kupu Merah mengangguk lamat. Sebenarnya
bukan hanya Anggraini yang tak setuju atas semua hal itu.
Dia pun begitu. Tapi, perpisahan bukanlah waktu yang bisa
dihindari setiap orang. Sudah waktunya bagi Anggraini
untuk merambah dunia persilatan, mengamalkan seluruh
kepandaian yang telah dimilikinya untuk kepentingan orang
banyak. Dan Kupu-kupu Merah yakin, itu adalah jalan
terba-ik bagi anak tunggalnya.
"Aku tak mau berpisah dari Ibu," gumam Anggraini
berat.
"Aku tahu, Anakku. Siapa manusia yang sudi berpisah
dari orang-orang yang dicintai? Aku pun sesungguhnya
berat berpisah denganmu, darah dagingku. Tapi kau harus
menjalani sesuatu yang lebih baik daripada hanya di
tempat terpencil ini. Banyak hal menunggumu di luar sana.
Banyak orang menanti uluran tanganmu. Juga, banyak
pengalaman yang akan memperkaya dirimu agar kau bisa
memahami apa arti hidup ini."
Anggraini mulai terseguk kecil. Sang ibu menjadi
trenyuh. Dengan penuh kasih, dirangkulnya gadis ini erat-
erat.
"Hidupmu tetap akan berlanjut tanpa aku, Anakku.
Jadi, janganlah menjadi takut menghadapinya hanya
karena aku tak ada...," tutur wanita tua itu arif.
"Aku bukan takut menjalani hidup, Bu. Aku hanya
takut tidak akan bertemu lagi denganmu...," keluh
Anggraini, di antara isak yang menyentak kecil.
"Sudahlah.... Aku tak mau anakku menjadi gadis
rapuh. Kau tak mau mengecewakan ibumu, bukan?"
Anggraini menggeleng dalam pelukan Kupu-kupu
Merah.
"Nah! Kalau begitu, tegakkan kepala dan man-tapkan
tekad. Kau harus jadi gadis berjiwa karang!" ujar sang ibu
memberi kekuatan seraya melepas pelukan.
Sementara Anggraini menyeka air mata yang
melembapi kedua sisi pipi halusnya, sang ibu diam
menunggu. Setelah itu, dia mulai berbicara kembali.
"Dua benda ini ada hubungannya dengan ayahmu.
Selama ini, kau selalu menanyakan tentang beliau, bukan?
Aku tak bisa menceritakan tentangnya. Dengan benda-
benda ini, carilah keterangan tentang ayahmu di luar sana.
Apa pun yang kau dapat tentang diri ayahmu, terimalah
dengan hati lapang...."
"Kenapa bukan Ibu saja yang menceritakan tentang
ayah padaku?" cetus Anggraini.
"Tidak. Itu terlalu sulit bagiku. Kau nanti akan lahu,
kenapa aku berkata seperti itu. Hanya, aku hanya bisa
mengatakan kalau ayahmu sangat sayang padamu...,"
lanjut Kupu-kupu Merah dengan suara melemah.
Dijemputnya cemeti dan kalung perak dari pangkuan
Anggraini. "Bawalah benda ini. Sekali lagi kukatakan,
dengan benda ini carilah segala hal tentang ayahmu."
Anggraini menerima dua benda pemberian ibunya
dengan garis-garis bening di mata.
k k k
Dua hari kemudian, gadis yang beranjak matang itu
telah berdiri mematung di bukit karang, tempatnya biasa
latihan bersama sang ibu. Untuk yang terakhir kalinya,
dinikmatinya tempat yang menyimpan kenangan bertahun-
tahun ini. Sebuah tempat di mana dirinya dibesarkan.
Tempat yang penuh tantangan hidup, namun sudah
menjadi bagian dari dirinya sendiri.
Tak berapa lama kemudian, gadis ini menghampiri
dataran cadas yang membentang di balik bongkahan
karang raksasa. Ketika tiba di pelataran latihan alam itu,
Anggraini menjadi terkejut. Tampak tempat tersebut dalam
keadaan porak poranda. Ba-tu-batu besar berserakan tak
menentu. Dinding cadas dilantak retakan-retakan besar.
"Mungkinkah ada gempa?" bisik gadis itu.
Tapi, tak mungkin gempa. Gempa tak mungkin
menciptakan lobang seperti galian sumur dengan ga-ris
lingkaran yang begitu bulat, seperti dilihatnya pada
pelataran latihan, tepat di bawah bagian dinding cadas
yang terkena pukulannya beberapa hari lalu.
"Ada apa ini sebenarnya?" gumam Anggraini kembali.
Saat selanjutnya, naluri gadis ini memperingati.
Bahaya besar akan dalang! Sekilas dari peringatan
nalurinya, terdengar sebentuk desisan mengerikan yang
demikian santer....
"Zzz...!"
Anggraini tercekat. Dengan serta merta, tubuhnya
berbalik ke arah suara tadi. Matanya tiba-tiba membesar,
bibirnya ternganga dan wajahnya berubah memucat
manakala menyaksikan sesuatu di belakangnya. Sesuatu
yang 'tak pernah terbayangkan!.
•k -k -k
Siapa pun akan terperangah menyaksikan dengan
mata kepala sendiri suatu yang tak pernah terlintas dalam
benak. Persis keadaan Anggraini saat ini.
Apa yang disaksikan gadis itu adalah seekor ular
raksasa! Besar tubuhnya dua kali ukuran kerbau dewasa.
Dan panjangnya, lebih dari dua puluh tombak! Sisiknya
kasar bagai serpihan karang, berwarna hitam keperakan
serta berlendir. Hanya pada bagian kepalanya saja bebas
dari cairan kental menjijikkan itu. Jika dilihat sekilas,
kepala ular raksasa itu mirip kepala seekor naga. Pada
bagian telinganya terdapat sebentuk sirip tajam. Mulutnya
pun besar bertaring. Sedangkan matanya berwarna merah
tua.
Tepat sekali pesan dari Kupu-kupu Merah pada saat
hendak melepas anaknya dua hari lalu, bahwa pencapaian
tingkat pamungkas ilmu pukulan 'Kekuatan Kembar' yang
dicapai Anggraini akan membuahkan sesuatu yang tak
pernah terbayangkan! Ular raksasa itu memang muncul,
karena pengaruh kekuatan pamungkas ilmu pukulan milik
Anggraini.
Binatang raksasa ini adalah makhluk tua berusia
ratusan tahun. Kekuatan pukukan Anggraini, telah
mengusik tidurnya dalam perut bumi setelah seratus lima
puluh tahun. Dulu, manakala buyut guru Anggraini
menciptakan ilmu pukulan 'Kekuatan Kembar 1 , si ular
raksasa pun tiba-tiba muncul di luar perhitungannya.
Entah karena tak ingin dimangsa atau karena begitu
terkejut, buyut Anggraini melepas pukulan ciptaannya ke
tubuh binatang langka itu. Tak ayal lagi, terjadilah
pertarungan amat dahsyat antara dua makhluk berbeda.
Berhari-hari mereka bernafsu hendak saling menjatuhkan.
Sampai akhirnya si ular raksasa dapat ditundukkan lelaki
sakti buyut Anggraini.
Sepeninggalan lelaki itu, si ular raksasa menghilang
kembali ke dalam perut bumi. Bersemadi kembali seperti
seorang pertapa tua. Kalau ada seorang yang sanggup
mengusiknya kini, itu karena pengaruh ilmu pukulan
'Kekuatan Kembar' yang sampai padanya jauh di bawah
bumi.
Jika begitu, mungkin si ular raksasa akan segera jinak
pada Anggraini karena sama-sama memiliki ilmu pukulan
'Kekuatan Kembar' seperti buyut gurunya. Kemungkinan
lain pun bisa saja terjadi. Biar bagaimanapun, hewan
tetaplah hewan. Memiliki naluri yang begitu peka, sehingga
mampu membedakan sang tuan atau bukan.
Dengan amat mengerikan, binatang raksasa itu mulai
merayap menuju Anggraini. Gesekan kulitnya yang tebal
dengan dataran karang, menimbulkan bunyi keras. Mulut
bertaringnya tak henti-henti mendesis. Sesekali lidahnya
terjulur keluar seperti hendak langsung menyambar tubuh
Anggraini, lalu menyeretnya masuk ke dalam mulut
sebesar goa itu.
"Zzz! Zzz...!"
"Ya, Tuhan.... Makhluk apa ini?" gumam Anggraini
nyaris mendesis karena begitu bergidik.
Namun kengerian gadis ini tak bisa dibiarkan berlarut-
larut, kalau tidak ingin menjadi sasaran empuk si ular
raksasa. Karena, saat itu juga ular ini menyerang dengan
ganas.
Kepala ular raksasa itu membuat gerakan mematuk.
Bersamaan dengan itu, mulutnya menganga lebar,
memperlihatkan rongganya yang berlendir.
Disertai seruan kaget, Anggraini melenting gesit ke
udara. Tindakan itu cukup mampu menyelamatkan dirinya.
Nyatanya, kepala ular raksasa ini hanya lewat sekian
jengkal di bawah kakinya.
Luputnya serangan pertama, kembali datang se¬
rangan susulan. Tubuh lentur hewan ini meliuk. Dan
ekornya pun menyabel deras kedepan. menyerbu tubuh
Anggraini di udara.
Wuk!
"Aaaih!"
Penggodokan selama bertahun-tahun di bawah
lumbingan ibunya, tak sia-sia. Tanpa banyak berpikir lagi,
Anggraini membuat putaran darurat dengan menggulung
tubuhnya.
Sekali lagi, terjangan ganas binatang mengerikan ini
dapat dilumpuhkan. Untuk kali ini, Anggraini tak puas
hanya mementahkan serangan. Dia pun merasa harus
membalas. Itu jalan terbaik baginya. Karena pada saat itu,
hanya ada dua pilihan bagi gadis itu. Membunuh atau
dibunuh!
"Hiaaa!"
Srat-wut!
Satu gerakan gesit dibuat Anggraini. Busur yang sejak
tadi hanya menggelantung di bahu, langsung diloloskan.
Secepatnya pula senjata itu dihantamkan ke belakang
kepala si ular raksasa.
P rak!
Besarnya tubuh hewan itu membuat Anggraini bisa
telak mendaratkan hantaman busurnya. Tapi walau
tindakan itu dilakukan dengan satu pengerahan tenaga
dalam, nyatanya si ular raksasa tak mengalami akibat yang
berarti.
Ular besar itu hanya menggeliat sekali, lalu mem¬
balikkan kepalanya ke arah Anggraini. Seolah-olah pukulan
tadi hanya berupa gigitan seekor nyamuk baginya.
Kenyataan itu benar-benar sempat mengecutkan nyali
gadis dari Tanah Buangan.
"Tuhan.... Apakah aku benar-benar mampu
menghadapi binatang mengerikan ini?" keluh Anggraini,
setelah mencoba membuat jarak yang cukup aman dari
lawan anehnya.
Belum lagi puas mengambil napas, ular raksasa itu
mulai lagi mematuk deras. Karena begitu besar,
patukannya menimbulkan angin kuat. Untuk kesekian
kalinya, Anggraini berkelit jauh-jauh.
Tak seperti sebelumnya, patukan kali ini rupanya
dilandasi kemarahan ular raksasa atas tindakan Anggraini
yang menghajar bagian belakang kepalanya. Dengan
begitu, kekuatan serangan pun makin berlipat ganda.
Akibatnya, angin deras yangtercipta pun kian besar.
Meski Anggraini berhasil luput dari terjangan kepala,
tak urung angin hasil gerakan buas si ular raksasa
menerpanya. Keseimbangannya jadi hilang. Pada saat
kakinya berusaha mencari pijakan yang kuat, ekor hewan
itu melepas lecutan secepat kilat.
Wuk! Des!
Tak ayal lagi tubuh Anggraini terlontar ke belakang,
seperti sebongkah batu yang dilemparkan sepenuh tenaga!
Kalau saja tak memiliki ketahanan luar biasa, saat itu juga
tubuhnya akan remuk-redam. Atau, paling tidak akan
kehilangan kesadarannya.
Untunglah hal itu tidak terjadi. Meski dengan dada
terasa dihantam godam ratusan kali, gadis putri lunggal
Kupu-kupu Merah itu masih mampu membuat putaran
tubuh di udara, agar kepalanya tak hancur dilantak dinding
karang. Setelah menahan luncuran tubuh dengan kakinya,
Anggraini mendarat agak payah. Sebelah tangannya
memegangi dada. Sementara dari kedua sudut bibirnya,
mengalir cairan merah.
Dari jarak tujuh belas tombak yang memisahkan
dirinya dengan lawan, Anggraini menatap nanar binatang
langka itu. Pandangannya mengabur. Namun di balik itu,
seberkas pijar kegusaran mulai terbetik.
"Jangan senang dulu, Binatang Laknat! Kau pikir aku
akan mudah dilumat!" geram Anggraini bersama rahang
yang mengejang.
Di lain sisi, si ular raksasa mulai merayap menuju diri
gadis itu kembali. Lidahnya menjulur-julur bagaikan
mengejek. Mata merahnya mencorong penuh ancaman.
Sambil mendesis mengguntur, taring besar-nya
dipe rlihatkan.
"Kau rasakan ini!" rutuk Anggraini.
Begitu selesai kata-katanya bergegas gadis ini
meloloskan sebatang anak panah dari sarangnya.
Busur yang masih tergenggam erat di tangan kanan,
segera diacungkan ke muka. Senjata itu pun meregang,
siap melepas anak panah yang dibidikkan tepat ke kepala
si ular raksasa. Srat!
Anak panah bermata baja merangsek udara. Begitu
deras meluncur ke arah sasaran.... Tak!
Mata Anggraini dipaksa mengerjap-ngerjap tak
percaya dengan apa yang terlihat. Anak panah bermata
baja itu ternyata seperti terhadang tembok kuku tak
tertembus. Bahkan malah patah menjadi dua! Entah
terbuat dari apa kulit kepala binatang itu....
Disertai rasa penasaran membludak, Anggraini
meloloskan lagi anak panah. Kali ini tak tanggung-
tanggung, tiga anak panah akan langsung ditujukan pada
beberapa bagian tubuh si hewan raksasa. Mungkin ada
bagian-bagian tertentu tubuh hewan itu yang berkulit
rapuh.
Srat! Siiing_Tak-tak-tak!
"Astaga! Betul-betul gila!" seru Anggraini, begitu
mengetahui kalau tiga batang anak panahnya mengalami
nasib sama dengan anak panah sebelumnya. Padahal dia
sudah mencoba mendaratkannya di bagian tubuh yang
diperkirakan lemah!
Tinggal tersisa satu kesempatan lagi bagi gadis itu
untuk melepas anak panah selanjutnya, sebelum ular
raksasa benar-benar tiba di dekatnya. Maka kini dua anak
panah pun diloloskan. Kali ini Anggraini yakin benar
sasarannya akan membawa hasil. Yang akan ditujunya
sepasang mata merah darah milik si ular raksasa.
Srat! Siiing...!
Ketika dua batang anak panah Anggraini yang melesat
cepat nyaris mencapai biji matanya, si ular raksasa tiba-
tiba membuat satu sabetan dengan lidahnya. Sungguh
sebuah kemampuan tempur yang sulit dipercaya, bisa
dilakukan oleh semacam hewan seperti itu. Seakan-akan
makhluk mengerikan ini memiliki kecerdasan seorang
pendekar tangguh.
Bet!
Dengan lidahnya, hewan berdarah dingin ini menjerat
dua batang anak panah bermata perak itu. Secepat kilat,
lidah lenturnya menghempas balik ke arah Anggraini.
Hasilnya, kini senjata itu mengancam tuannya sendiri.
Kalau saja Anggraini tak cepat menghindar, ten-tu
sepasang anak panahnya akan menyantap tubuh sendiri.
Meski bisa melepaskan diri dari maut, Anggraini tetap tak
bisa melepaskan diri dari keterkejutan atas tindakan ular
aneh ini tak biasanya.
"Benar-benar sulit dipercaya," gumam gadis itu
dengan wajah sedikit terlipat.
Baru saja gumamannya selesai Anggraini harus
sungsal-sumbel menghindari terjangan liar si ular raksasa
yang semakin kerasukan. Kepalanya mematuk-matuk
hebat, sedangkan ekornya menyabet-nyabet menggiris
nyali. Karena berkali-kali gadis itu bisa menyelamatkan diri,
maka bukit karang di sekitar pertempuran yang menjadi
sasaran.
Bongkahan-bongkahan batu terus berguguran.
Sehingga, tempat itu lebih berantakan daripada sebelum
terjadi pertarungan. Butiran-butiran yang lebih kecil
berhamburan ke segala arah. Tempat itu kian porak-
poranda.
Sampai saatnya, Anggraini merasa harus melakukan
bela diri. Tubuhnya tentu akan cepat kelelahan, jika terus
diburu seperti itu. Makanya, kini mulai dikerahkannya ilmu
pukulan 'Kekuatan Kembar' pada kedua tangannya. Suatu
ketika, tangan kanan-nya mendapat kesempatan untuk
mendaratkan pukulan tingkat kelima, setengah dari
kemampuan ilmu pukulan 'Kekuatan Kembar'. Yang
menjadi sasaran adalah moncong hewan langka ini.
Dugh!
Kontan saja kepala besar sang ular tersurut mundur.
Tubuhnya tampak menggelepar sesaat, sebagai tanda
mengalami siksaan rasa sakit. Ketika tubuhnya
menggelepar, kepala ular raksasa itu menggeleng-geleng
liar dengan cepat.
Anggraini yakin, pukulannya akan segera
membinasakan ular raksasa itu. Atau paling tidak, binatang
itu akan terluka dalam dengan tulang moncong remuk
redam. Menurutnya, tulang tengkorak ular itu pasti tidak
sekeras cadas. Pada tingkat pukulan ketiga saja, cadas
sekeras apa pun bisa dibuat hancur oleh pukulannya.
Apalagi pada tingkat kelima seperti diterima si ular
raksasa.
Tapi jauh di luar perkiraan, si ular raksasa ternyata
tidak mengalami luka berarti. Dengan amat gusar,
kepalanya ditegakkan ke arah Anggraini. Tubuhnya terlihat
mengejang, pertanda siap melabrak lawannya yang kecil
dengan kemarahan berkobar.
"Astaga.... Tingkat kelima pukulan mautku tidak
membuatnya terkapar!" desis Anggraini takjub, sekaligus
bingung. Bagaimana tidak bingung kalau ilmu andalannya
yang sudah dikerahkan setengah bagian, tak juga sanggup
melumpuhkan lawan?
Sadar kalau binatang raksasa itu akan menerjangnya
habis-habisan, Anggraini tak punya pilihan lain. Satu-
satunya jalan terbaik adalah mengerahkan seluruh ilmu
pukulan andalannya. Maka dengan sigap, pukulan
pamungkas yang baru berhasil dicapai dua hari lalu
dikerahkan. Sebuah pukulan yang mengandung dua
kekuatan hebat, seperti sebutannya. Tenaga luar akan
sanggup melantakkan karang men-,jadi debu, sedangkan
kekuatan dalamnya akan mampu meluluhkan baja karena
panas yang demikian tinggi. Tidak hanya itu. Panasnya pun
memiliki kekuatan untuk menyebar sampai jarak tertentu,
seperti kobaran api yang menyambar ke mana-mana, me¬
mangsa apa saja.
"Zzz! Zzz!"
"Haaah... hsssh!"
Berbareng desisan menggelegar si ular raksasa,
Anggraini mulai menghempos tenaga pada kedua ta¬
ngannya yang terentang ke depan dengan telapak terbuka.
Sementara si ular raksasa menerjang dengan mulut
menganga, tepat ketika gadis dari Tanah Buangan itu
melepas tenaga sakti melalui sepasang telapak tangannya.
Weeesss! Das!
"Bgrrrzzz!"
Terjangan si ular raksasa langsung terhadang di
tengah jalan. Kepalanya memantul ke belakang, diterjang
pukulan pamungkas jarak jauh lawan kecil-nya. Sehimpun
rasa panas bagai terjangan puluhan lidah petir kontan
mendera hebat dari dalam. Sementara rasa sakit luar
biasa akibat hantaman di pelipis-nya, seakan membelah
tengkoraknya dari dalam.
Bagai gempa, gelepar ular itu menggetarkan bukit
karang. Keadaan tempat ini semakin parah. Batu-batu
sebesar kerbau melayang ke segala arah tersampok gerak
tubuhnya. Kepalanya mengeruk-ngeruk dataran karang
seakan hendak membuat lobang raksasa.
Di suatu celah bukit cadas yang cukup terlindung,
Anggraini memperhatikan amukan sang hewan raksasa
dengan mata menyipit-nyipit ngeri. Lama hal itu
berlangsung, sampai akhirnya si ular raksasa tak bergerak
lagi. Getaran hebat pun lenyap ditelan bumi. Batu besar tak
lagi terlempar. Dan suasana pun senyap.
Anggraini lega. Didekatinya badan binatang yang
tergolek lemah itu. Pikirnya, binatang itu pasti sudah mati.
Namun tatkala sampai di dekatnya, nyatanya si ular
raksasa masih hidup. Denyut di satu bagian tubuhnya jelas
terlihat, walaupun sudah lemah.
Anggraini siaga kembali. Apalagi, ketika si ular
raksasa mulai beringsut perlahan. Kepalanya merambat
setapak demi setapak menuju Anggraini. Tepat satu
tombak di depan gadis itu, ular raksasa ini menjatuhkan
kepala, diam dengan mata menatap pasrah. Sinar mata
yang merah darah, tak lagi buas mengan-cam. Malah kini
memperlihatkan bias kekalahan. Lama Anggraini menatap
tegang. Sampai akhirnya, kakinya melangkah mendekat ke
kepala si ular karena rasa iba yang mengusik nurani
kewanitaannya.
3
Debu meraksasa ke angkasa, ketika sebuah kereta
kuda meluncur dengan kecepatan gila di jalan berbatu.
Sepasang kuda penariknya meringkik-ringkik bagai
kerasukan. Kaki kokoh binatang-binatang perkasa itu
meninju permukaan jalan serta bebatuan yang berserakan.
Dengan napas berdengus memburu, mereka terus
melarikan kereta dalam kecepatan tinggi.
Dari bentuk serta hiasannya, menunjukkan kalau
kereta tersebut milik seorang priyayi. Atau paling tidak,
seorang saudagar kaya. Kayunya dari jati berukir indah.
Memiliki dua pintu berlapis ukiran perak. Dua lentera
terpancang di kedua sisi kursi kusir. Itu pun berlapis ukiran
perak. Anehnya, di kursi itu tak terlihat kusir seorang pun.
Di bagian lain jalan, seorang wanita tampak berjalan
tenang, meski suara liar yang diciptakan kereta kuda
terdengar di kejauhan. Sikapnya tetap tanpa terusik ketika
kereta kuda kian dekat dan dekat.
Pada saatnya, kereta kuda tinggal melabrak wanita
itu. Dua kuda liar pembawa kereta seperti tidak peduli
kalau ada orang di depan. Seakan binatang itu akan
menerjang tanpa ampun, walau di depannya adalah
sebuah bukit karang.
"Ngiiingiii!"
Sepasang binatang perkasa berwarna hitam berkilat
itu meringkik keras. Tepat beberapa tombak lagi kereta
kuda melabrak tubuh si wanita, tali kekangnya ditarik tiba-
tiba oleh seseorang.
Si wanita berpakaian merah-merah menoleh acuh ke
belakang, melihat sekilas kendaraan yang hendak
melabraknya barusan. Setelah itu, kakinya melanjutkan
langkah bagai tak pernah terjadi apa-apa. Wanita itu
tenyata Anggraini.
Sementara dari jendela kereta kuda, muncullah
kepala seorang pemuda tampan menawan, berkesan
perkasa. Garis rahangnya begitu keras. Matanya berbinar
menggetarkan. Rambutnya ditata rapi, serta ditutupi kain
sutera kuning bersulam benang emas. Rupanya, dialah
yang telah menarik tali kekang. Yang patut dikagumi,
bukan hanya ketampanannya, tapi juga kepandaiannya.
Tanpa menyentuh tali kekang yang terikat di luar, pemuda
itu sanggup menariknya dari dalam.
"Aku bersedia memberi tumpangan padamu,
Nisanak!" sapa pemuda itu pada Anggraini, ramah.
"Terimakasih. Aku rasa, aku lebih suka berjalan kaki
seperti ini, ketimbang harus duduk bersama seorang yang
suka pamer kekuatan dan kekayaan sepertimu," jawab
Anggraini datar tanpa menoleh.
Sementara Anggraini melangkah, pemuda itu
mengikutinya dengan kereta di belakang.
"Hey! Mestinya kau berterimakasih, karena aku baru
saja menyelamatkanmu. Kalau tali kekangnya tidak
kutarik, kau tentu akan hancur," ujar si pemuda, masih dari
jendela keretanya.
"Aku tak melihat ada yang menarik tali kekang,"
sergah Anggraini, berpura-pura tak tahu kalau si pemuda
melakukannya dengan tenaga dalam yang bisa dibilang
tingkat tinggi. Si pemuda tertawa.
"Dengan busur di punggungmu dan cemeti melingkar
di pinggang, kupikir kau orang persilatan yang tak begitu
asing dengan permainan tenaga dalam," kata pemuda itu
setengah meledek.
"Justru itu, aku menyebutmu telah pamer kekuatan!"
selak Anggraini mendadak. Tetap tak menoleh. Dan
langkahnya dipancung saat itu juga.
"O, jadi kau tadi hanya pura-pura tak tahu, rupanya?"
kata pemuda itu seperti bertanya.
Si pemuda keluar dari keretanya. Kini terlihatlah
penampilan keseluruhan pemuda tampan itu. Tubuhnya
yang tinggi tegap, terbungkus pakaian hitam-hitam dengan
kain batik terikat di pinggang hingga ke lutut. Pakaiannya
seperti para ningrat kalangan istana. Lengkap dengan
kancing-kancing dan rantai emas.
"Kalau begitu, aku akan meminta maaf dengan penuh
rasa hormat. Itu kalau perbuatanku dianggap lancang,
Nisanak," sambung si pemuda seraya menghampiri
Anggrai ni.
Anggraini hanya melirik dingin. "Kini kau mulai pamer
kekayaan padaku dengan pakaian mewahmu. Apa dipikir
aku akan silau dengan pakaian itu, lalu menghormati
karena kau seorang ningrat?"
Si pemuda tersenyum lepas.
"Kalau begitu, untuk yang kedua kalinya aku me¬
mohon maaf. Bagaimana? Kalau perlu, aku akan
mengganti pakaianku ini, j'ika kau tak suka...."
"Tak perlu," sahut Anggraini seraya melanjutkan
langkahnya. "Kau akan kehilangan harga dirimu, kalau
melepas pakaianmu. Bukankah pakaianmu itu adalah
lambang, siapa dirimu sesungguhnya?"
"Nisanak..., Nisanak. Kau menyindirku," desah si
pemuda disertai hembusan napas seraya mengedikkan
bahu. "Baiklah. Kalau kau tak mau menerima tawaran
baikku, sudikah kau sedikit memberi jalan agar kereta
kudaku dapat lewat?"
Pemuda itu lantas membuka pintu kereta, lalu masuk
ke dalam.
"Kenapa kau tak mencoba menyingkirkanku dari jalan
ini? Terus terang, aku tak menepi hanya karena kau
seorang bangsawan," tandas Anggraini, sinis.
"Baik, kalau itu maumu, Nisanak...,"sahut pemuda itu.
Lalu, si pemuda bersiul keras, memberi aba-aba pada
sepasang kuda agar segera berlari lagi. Tapi meski sudah
mengulangi siulan, binalang-binatang itu tetap tak
bergerak. Hanya kepalanya saja yang melengos dan
mengangguk-angguk seperti meronta dari sebuah ikatan.
Barulah si pemuda sadar kalau wanita yang
ditemuinya telah melepas totokan pada kaki kedua
binatang itu. Dalam hati, mau tak mau si pemuda memuji.
Tanpa tertangkap oleh mata tajamnya sendiri, ternyata
wanita ini sudah menotok kuda-kudanya. Mungkin pula
lebih dulu dibanding tindakannya saat menarik tali kekang
dengan tenaga dalam.
"Sekarang, tampaknya justru kau yang hendak pamer
kekuatan, Nisanak...," ujar si pemuda tanpa terlihat gusar.
"Itu hanya untuk membalas tanlangan pamer
kekuatanmu!"
"Karena kau sudah membalasnya, kurasa persoalan
kita sudah selesai bukan?"
"Apa kau yakin begitu?"
Anggraini melanjutkan langkahnya dengan amat
tenang. Dari caranya berjalan, tampaknya dia amat yakin
kalau si pemuda akan menahannya kembali. Setelah
melangkah cukup jauh, ternyata pemuda bangsawan itu
memang benar menahannya.
"Nisanak, tunggu!"
Anggraini tersenyum menyambut kemenangannya.
Totokan pada kaki kuda tadi memang tergolong sulit
dibebaskan. Sudah puluhan tahun jenis totokan itu tak
muncul, semenjak buyut gurunya meninggal. Sebagai ahli
warisnya, kini Anggraini bisa memanfaatkannya kembali.
"Nisanak, bukankah persoalan kita sudah selesai?
Maukah kau melepaskan totokan pada kuda-kudaku ini?!"
pinta si pemuda.
"Kalau aku tak mau, apakah kau akan memaksa?!"
"Aku rasa tidak. Aku terpaksa akan menempuh
perjalanan jauhku dengan jalan kaki. Tapi, apa kau tak
kasihan dengan kuda-kuda ini? Tentu mereka akan mati
perlahan, karena kelaparan dan kehausan....
"Apa peduliku?!" dengus Anggraini ketus. Kembali
langkahnya dilanjutkan.
Si pemuda bergegas mengejarnya dari belakang.
Sampai di depan Anggraini, dia berusaha menahan dengan
mencoba memegang bahu wanita berpakaian merah-
merah itu. Tapi tindakannya malah di salah artikan oleh
Anggraini. Dengan gerakan cepat, ditangkisnya tangan si
pemuda, lalu melancarkan tusukan dua jari ke leher.
Jep!
Tentu saja pemuda tampan ini terkesiap bukan main.
Sama sekali tak diduga kalau wanita mempesona yang
sifatnya dianggap ketus itu melancarkan serangan hanya
karena ditahan langkahnya. Malah bisa cepat diduga kalau
wanita itu tentu salah paham. Sebab itu si pemuda
bangsawan ini berusaha menghindar tanpa membalas
serangan.
Tapi serangan pertama yang luput, membuat
Anggraini jadi penasaran. Segera serangannya dilanjutkan
dengan sodokan dengkul ke perut.
Suka tak suka, si pemuda melayani serangan
Anggraini. Setelah menangkis sodokan kaki, jari
telunjuknya ditusukkan ke satu bagian tubuh Anggraini. Dia
tak bermaksud membalas Anggraini, hanya untuk
melumpuhkannya.
Tapi terlalu cepat jika Anggraini bisa dilumpuhkan
hanya dalam segebrakan. Sewaktu jari pemuda itu
meluncur lurus, Anggraini malah melayaninya dengan
tusukan jari pula.
Si pemuda mengumpat dalam hati. Dia seperti diajak
untuk menguji kecepatan. Kalau jarinya lebih cepat,
Anggraini akan segera dilumpuhkan. Tapi kalau wanita itu
lebih cepat, tak bisa dibayangkan. Sebab, dari geraknya si
pemuda tahu, jari Anggraini tidak dimaksudkan untuk
sekadar menotok.
Deb!
Dengan gerak blingsatan si pemuda berusaha
membatalkan totokannya, sekaligus membuang diri agar
jari Anggraini tak mendarat di tenggorokan. Sayang, dia
membuang diri ke tempat yang tak tepat. Sehingga,
gerakannya tertahan lereng bukit. Akibatnya, keadaannya
kini terjepit. Sementara jari Anggraini kian dekat ke
sasaran.
"Tunggu!" teriak si pemuda, kalap.
Pada saat yang sama, sebutir batu kecil melayang
cepat membelah udara. Asalnya dari sisi kanan mereka.
Tak!
"Aaah!" Anggraini mengerang, begitu batu kecil tadi
tepat mengenai jari telunjuknya dan langsung pula
menyem pongkan laju jari itu ke arah lain.
Bles!
Lereng bukit di belakang kepala si pemuda termakan
tusukan jari Anggraini, hingga seluruh jari telunjuk gadis
dari Tanah Buangan itu melesak. Hanya berjarak setengah
jengkal dari tenggorokan lawan!
"Apa perlu kau menurunkan tangan kejam untuk
sebuah urusan sepele, Nisanak Cantik?!"
Sebuah suara terdengar, tujuh tombak dari tempat
mereka berdua. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di
situ telah berdiri seorang pemuda sambil, bersidekap.
Kemunculannya, seperti hantu.
"Siapa kau?!" bentak Anggraini ketus, seraya
mengangkat tangannya dari lereng bukit. Ditempatkannya
kedua tangan di pinggang, lalu tubuhnya dihadapkan pada
si pendatang baru. Sikapnya begitu galak. Lebih galak
daripada macan betina.
Si pemuda ikut menoleh pada orang yang baru
datang. Tampak seorang pemuda yang sebaya dengannya.
Rambutnya panjang masai. Berpakaian hijau-hijau, dengan
selembar kain bercorak catur ter-sampir bebas di bahunya.
Melihat wajahnya, si pemuda harus merasa mendapat
saingan. Kalau ada seorang gadis yang diminta untuk
memilih salah satu di antara mereka, tentu gadis itu akan
kebingungan. Mereka benar-benar memiliki ketampanan
memikat dan sama-sama memiliki kelebihan pula dalam
ketampanan itu.
"0, jadi hari ini aku bertemu pemuda-pemuda tampan
mata keranjang?" sindir Anggraini, pada pemuda yang baru
datang. Padahal, dia belum lagi mendapat jawaban dari
pertanyaannya yang pertama.
"Terimakasih atas pujiannya, Nisanak yang can-tik....
Tapi, apa kau lupa dengan pertanyaanmu yang pertama?"
kata si pemuda berpakaian hijau-hijau.
"Jangan banyak basa-basi! Kenapa kau tak langsung
menyebutkan namamu, lalu segera enyah dari sini!"
"Aku Andika," sahut pemuda berpakaian hijau yang
memang Andika atau lebih terkenal sebagai Pendekar
Slebor. "Tapi kalau perkara enyah dari sini, aku tak mau
meluluskan permintaanmu. Apa kau membiarkan
seseorang begitu saja, yang telah membuat jari halusmu
itu nyeri?"
"Itu artinya kau menantangku! Dasar tak tahu diri!
Mestinya, kau berterimakasih karena aku telah
mengampunimu!"
Pendekar muda urakan itu tak menggubris semprotan
Anggraini. Santai saja, didekatinya kereta kuda. Diamatinya
kaki-kaki kuda yang masih kaku. "Totokan yang bagus.
Agak sulit membebaskannya, karena ditempatkan
demikian rapi di satu urat saraf tersembunyi...," kata
Pendekar Slebor sambil berjongkok dan mengorek-ngorek
telinga.
Andika mengalihkan pandangan pada Anggraini.
"Tapi itu bukan perkara yang terlalu sulit bagiku." ujar
Pendekar Slebor menyombong.
Sambil berkata, alis mata sayap elang Pendekar
Slebor terungkit-ungkit Benar-benar memancing kegusaran
Anggraini.
"E-e! Sebelum kau marah, biaraku bertanya dulu. Kau
menotok kuda ini tidak dengan jari, bukan?" lahan Andika
saat wajah jelita Anggraini memerah mangkel.
"Bagaimana kau tahu?!" tanya Anggraini. Kelopak
matanya agak membesar, karena terkejut.
"Seperti kubilang tadi, totokanmu terlalu tersembunyi
pada satu bagian urat saraf. Jika menggunakan jari, pasti
akan menyebabkan luka di bagian luar kulit kuda ini. Jadi
menurut perkiraanku...," Andika menjentikkan jarinya
dengan mengaliri tenaga dalam.
Tik!
Saat itulah kaki sepasang kuda hitam itu dapat
bergerak kembali seperti semula.
"Kau telah menotok kuda-kuda ini dengan suaramu
yang dialiri tenaga dalam pada batas gelombang tertentu.
Seperti juga aku membebaskannya," sambung Andika.
"Bukan begitu?"
4
Kereta kuda yang mirip kereta kencana milik pemuda
bangsawan itu melintasi jalan kembali. Seperti
sebelumnya, kereta ini berlari dengan keriuhannya,
meninggalkan kepulan debu serta ringkikan kuda yang
tinggi mengoyak langit.
Dalam melanjutkan perjalanan kali ini, si pemuda
tampan tidak sendiri dalam kendaraannya. Ada dua orang
lain yang ikut bersama, yakni Andika dan Anggraini
Gadis jelita berkesan judes itu sempat mengamuk
karena ilmu totokan warisan buyut guru yang
dibanggakannya ditelanjangi mentah-mentah oleh
Pendekar Slebor. Mereka pun sempat bertukar be-berapa
jurus. Namun rhanakala melihat cemeti yang melilit
pinggang Anggraini, Andika langsung meminta gadis itu
menghentikan serangan. Semula, memang agak sulit
karena kemarahannya pada Pendekar Slebor sudah begitu
meluap. Akhirnya, sewaktu Andika mengatakan kalau
mengenal pemilik cemeti itu, barulah gadis ini
menghentikan serangan.
Tahu apa kau dengan cemetiku ini?!" tanya Anggraini
waktu itu.
Andika tak cepat menjawab. Dia sedang mengingat-
ingat.
"Cepat jawab! Atau, kau hanya tak ingin melanjutkan
pertarungan denganku? Kau takut dipecundangi
perempuan, bukan?" desak Anggraini, sekaligus mengejek.
"Kenapa mulutmu tak bisa diam sebentar saja?! Aku
sedang mengingat-ingat, tahu! Kalau kau tak, berhenti
berkoar, kau tak akan mendapat keterangan lentang
cemeti itu!" ancam Andika.
Tak lama kemudian, barulah Pendekar Slebor ingat.
Cemeti itu adalah cemeti musuh pertamanya, Begal Ireng
(Untuk mengetahui kisah tokoh ini, bacalah episode:
"Lembah Kutukan" berikut "Dendam Dan Asmara").
Saat itu Anggraini ingin meminta keterangan lebih
rinci dari Pendekar Slebor tentang Begal Ireng. Andika
bersedia meluluskan permintaan itu, asal mereka mau
berdamai. Dengan wajah berlipat, Anggraini terpaksa
menyetujui syarat yang diajukan.
Mereka kini telah bersama-sama di dalam kereta
kuda milik si pemuda bangsawan. Kebetulan arah
perjalanan yang ditempuh sama. Lagi pula, untuk
menceritakan banyak hal tentang Begal Ireng pada
Anggraini, Andika membutuhkan waktu banyak.
Maka gadis itu pun terpaksa menyetujui. Toh tujuan
utamanya turun ke dunia persilatan adalah mencari tahu
tentang ayahnya yang berhubungan erat dengan cemeti
serta kalung pemberian Kupu-kupu Merah, ibunya.
Sementara pemuda bangsawan di dalam kereta
memperkenalkan diri sebagai Agung Cakra. Seorang
bangsawan muda dari wilayah selatan.
"Apa aku perlu memanggilmu 'Raden'? Raden Agung
cakra?" goda Andika.
'Tak perlu. Aku tak begitu suka dengan sebutan itu,"
tolak Agungcakra, merendah.
Anggraini yang sejak tadi hanya memasang wajah
asam, tiba-tiba menyelak.
"Munafik! Itu kata mulutmu. Aku yakin, dalam hati kau
ingin sekali menerima sebutan itu! Raden.... Hm,
membanggakan bukan? Tak setiap orang bisa memakai
gelar itu, bukan?"
Andika melirik gadis ketus itu, lalu beralih pada
pemuda di sisinya yang sedang menyentak-nyentak tali
kekang. Tak terlihat ada perubahan di wajahnya
mendengar cemoohan pedang Anggraini. Bahkan
ditanggapinya dengan senyum tipis.
"Hey? Apa tujuanmu ke barat?" cetus Andika,
menghanguskan suasana tak nyaman tadi.
"Aku mencari bibiku," jawab Agungcakra singkat,
sementara tangannya sibuk menyentak tali kekang kuda.
"Kenapa dengan dia sebenarnya? Apakah kau .ada
keperluan dengannya atau bagaimana?" susul Andika.
Tapi setelah itu, Pendekar Slebor jadi tak enak sendiri
dengan kelancangan mulutnya.
"Ah, maafkan aku, Saudara Agung. Kenapa aku jadi
usil pada urusan orang lain...."
"Tak apa-apa. Lagi pula, aku memang membutuhkan
bantuan orang lain dalam perkara ini," kata Agungcakra.
"Begitukah? Kau bisa cerita tentang bibimu?"
"Tentu...."
Lalu, pemuda bangsawan itu pun memulai ceritanya.
k k k
Tak ada seorang pun berani melewati daerah yang
bernama Pintu Sorga dan Neraka Dunia sejak tiga tahun
lalu. Sesungguhnya, tak ada yang perlu di-takuti dengan
keadaannya. Bahkan bisa dibilang suasana dan
pemandangannya begitu memikat. Jalan setapak yang
membelah padang bunga matahari, bukit di kejauhan yang
mengelilingi, sekumpulan kupu-kupu warna-warni yang
berkejaran di pucuk-pucuk bunga mekar, serta sebuah
kolam alam kecil penuh teratai jingga, adalah keindahan
yang bisa ditemui setiap hari.
Namun memang bukan itu yang menjadi penyebab,
kenapa tempat itu dihindari banyak orang, khususnya yang
memiliki ilmu olah kanuragan tanggung. Sejak tiga tahun
lalu, tempat itu kerap kali menjadi ladang pembantaian
keji. Beberapa orang di antaranya malah menjadi mayat
tanpa kepala.
Maka sejak tiga tahun lalu pula, orang-orang dunia
persilatan menyebutnya Pintu Sorga dan Neraka Dunia.
Sebutan angker yang kemudian menyebar cepat, ditiup
desas-desus ke segenap penjuru dunia persilatan.
Kalau ada orang yang masih juga mendatangi tempat
itu, maka ada tiga kemungkinan baginya. Orang itu sudah
kurang waras, orang itu pendekar tangguh yang mau
menjajal ilmunya, atau seorang yang sudah jemu hidup di
dunia.
Yang jelas, hari itu ada dua lelaki mengatur langkah di
jalan setapak Pintu Sorga dan Neraka Dunia. Keduanya
mengenakan pakaian seperti biksu berwarna putih. Kepala
mereka gundul klimis, memantulkan cahaya matahari. Dari
mata yang sipit serta kulit yang berwarna pucat, mudah
diduga kalau mereka adalah orang-orang Tiongkok.
Si Kembar Dari Tiongkok, adalah julukan mereka di
dunia persilatan. Beberapa waktu lalu, mereka menjadi
kaki tangan pemberontak besar Kerajaan Alengka, Begal
Ireng. Setelah Pendekar Slebor mampu menggagalkan
rencana jahat Begal Ireng, keduanya melarikan diri, tanpa
bermaksud untuk kembali ke negeri mereka sedikit pun
(Untuk mengetahui lebih jelas, bacalah serial Pendekar
Slebor dalam rpisode : "Lembah Kutukan" berikut "Dendam
dan Asmara").
Karena bersembunyi sekian lama dari kejaran hamba
hukum kerajaan Alengka, mereka jadi tak begitu mengikuti
perkembangan dunia persilatan. Termasuk, tak
mengetahui desas-desus tentang tempat yang dilewati kini.
"Apa kau yakin orang-orang Kerajaan Alengka lak
memburu kita lagi?" tanya salah seorang dalam bahasa
Tiongkok kental.
"Aku yakin begitu," sahut lelaki yang lain. "Mereka
mungkin berpikir kita sudah kembali ke Tiongkok."
"Bagaimana kalau suatu saat nanti kita dipergoki?"
"Kau mulai jadi pengecut?" sindir lelaki yang memiliki
tahi lalat besar di bawah telinga kiri. Namanya, Chia Jui.
"Bukan begitu. Aku hanya khawatir kita bertemu
pemuda itu lagi," sergah kembarannya, Chia Kuo.
"Pendekar Slebor?"
"Ya."
"Apa kau tak yakin pada latihan keras kita selama
hampir tiga tahun ini?"
"Entahlah. Anak muda keparat itu menurutku memiliki
kesaktian yang begitu hebat."
"Sudahlah! Kalau kau nanti tak mau menghadapinya,
lebih baik lari saja seperti perempuan!" putus Chia Jui agak
kesal.
"Jadi kau berani menghadapi dia sendiri, Chia Jui?"
tanya Chia Kuo agak terkejut.
"Aku tak bilang begitu, Bodoh!"
Chia Kuo mengangkat bahu.
"Kalau begitu, tak ada bedanya aku denganmu, Chia
Jui! Sama-sama gentar. Bedanya, aku lebih jujur ketimbang
kau!" gerutu Chia Kuo.
Keduanya terus melanjutkan langkah menyusuri jalan
setapak. Tiba di suatu tikungan yang berbatasan dengan
kolam alam kecil, sesosok tubuh mendadak menghadang
di depan.
"Siapa kau?!" bentak Chia Jui gusar, melihat seorang
wanita cantik berpakaian merah-merah mengganggu
perjalanan mereka.
Wanita itu berambut panjang tergerai. Meski cantik
menggoda, matanya tampak menyiratkan kekejaman.
Bibirnya merah dan tipis. Wanita itu sepertinya tak kalah
tajam dengan dua tokoh sesat dari Tiongkok yang
dihadangnya.
"Apa kau orang Kerajaan Alengka?!" timpal Chia Kuo,
tak kalah berang.
Orang yang ditanya tidak menjawab. Bahkan sekadar
mengangguk atau menggeleng. Hanya matanya yang terus
menghujam bengis pada Kembar Dari Tiongkok, seolah
memendam dendam. Padahal, baru kali itu mereka
bertem u.
"Kalian telah mengusik istanaku!" hardik si
perempuan, tiba-tiba.
Chia Jui maupun Chia Kuo tak mengerti. Istana?
Istana apa, pikir mereka. Selama memasuki wilayah itu,
mereka tak pernah menjumpai sebuah bangunan pun.
Lebih-lebih, sebuah istana.
"Kau keluarga Istana Alengka?" tanya Chia Kuo
menebak-nebak.
Biar bagaimanapun, Chia Kuo maupun saudara
kembarnya masih tetap menyimpan rasa was-was pada
pihak musuh lama. Mungkin saja, mereka masih memburu.
Satu hal yang paling dikhawatirkan adalah jika berurusan
kembali dengan Pendekar Slebor selaku seorang yang
memiliki pertalian darah dengan ke-,luarga istana.
"Ini istana! Apa kalian buta?! Aku tak punya nama
untuk istana ini. Tapi, orang-orang dungu di luar sana
menyebutnya Pintu Sorga dan Neraka Dunia. Nama yang
buruk, tapi aku cukup menyukainya...," ujar si perempuan
berpakaian merah meledak-ledak.
Chia Jui mulai melangkah lagi.
"Peduli setan dengan istanamu! Kami akan lewat!
Kalau kau ingin selamat, menyingkirlah!" bentak Chia Jui.
"Biar kalian mampus!" terabas si perempuan sambil
mengirim satu sambaran cakar ke wajah Chia Jui.
Bet!
"Perempuan keparat!" maki Chia Jui dengan logat
Tiongkok.
Sebelumnya, dia pun bersusah payah menghindari
lehernya dari kuku-kuku panjang lawan yang berwarna
keunguan. Dibalasnya salam perkenalan lawan dengan
sebuah layangan tinju geledek.
Deb!
Pukulan Chia Jui begitu bertenaga, mengarah ke dada
si wanita yang memiliki dua bukit padat. Tapi dengan
enteng wanita itu menggeser badan sedikit ke samping
Begitu tangan wanita itu lewat sejengkal, dua tangannya
terangkat. Lalu, disergapkan ke lengan lelaki Tiongkok itu.
Chia Kuo baru hendak memperingati, tapi terlambat.
Tangan si perempuan sudah tiba di tangan kembarnya.
Chia Kuo yakin, sedikit saja si perempuan cantik memutar
kuku-kuku tangannya seperti gerakan memeras, maka
tangan Chia Jui akan langsung terkoyak. Atau, lebih parah
dari itu... terputus!
Siapa yang mau mempunyai saudara kembar
bertangan kutung? Maka, tak mau berpikir lebih lama, Chia
Kuo cepat melepas hantaman jarak jauh, sekejap sebelum
tangan si perempuan bergerak.
Wush!
Hasilnya lumayan untuk menyelamatkan tangan Chia
Jui. Walau begitu, tak luput tangan Chia Jui tercabik
sewaktu si perempuan mendadak menarik kuku-kukunya.
Mulutnya tampak meringis-ringis menahan pedih tak
terkirakan, sambil melompat menjauhi lawan.
Sadarlah tokoh sesat kembar itu, dengan siapa
mereka berhadapan. Lawan ternyata bukan sembarang
orang. Kalau mereka yang sudah masuk dalam jajaran atas
golongan sesat saja bisa kebobolan dalam segebrakan,
bagaimana dengan kepandaian wanita ini.
5
Terbukanya matamilik Kembar Dari Tiongkok terha¬
dap kemampuan berbahaya wanita itu, membuat mereka
memutuskan untuk menghadapinya dengan
menggabungkan jurus. Sebagai dua orang kembar tak
terpisahkan, mereka memang tak bisa bertarung sendiri-
sendiri. Kehebatan mereka terbangun kalau keduanya
menggabungkan kesaktian.
Dalam waktu singkat, dua lelaki gundul bermata sipit
itu membentuk sebuah gerak bersama. Sekejap, tangan
mereka bersatu pada telapak tangan masing-masing,
untuk mengempos kekuatan gabungan. Telapak tangan
mereka yang masih bebas mulai memerah, lalu diarahkan
lurus-lurus ke arah wanita itu.
Wuuush!
Bunyi angin pukulan jarak jauh berbau maut,
memburu cepat berbentuk dua bentangan angin kembar
ke arah wanita itu.
Mestinya, si wanita asing terkejut menerima serangan
ganas tersebut. Entah karena ilmu kedigdayaannya begitu
melangit, dia justru melepas tawa kaku. Bahkan tenang
saja terjangan angin kemerahan milik kembar dari tiongkok
dihadapi.
Dengan maksud untuk memamerkan kehe-,batan,
tiba-tiba wanita itu menahan angin pukulan berpendar
kemerahan dengan membuat hirupan udara dari mulut.
"Hfff...."
Bentangan panjang angin pukulan Kembar Dari
Tiongkok langsung berhenti meluncur. Saat si perempuan
menyedot lebih kuat, angin pukulan itu dipaksa masuk ke
dalam mulutnya.
Sesungguhnya, angin pukulan Kembar Dari Tiongkok
adalah himpunan gelombang petir yang kuat luar biasa. Di
tanah Tiongkok, ilmu itu sudah dikembangkan oleh para
pendeta berabad-abad yang lalu dengan memusatkan
seluruh tenaga petir dalam tubuh manusia, hingga
mencapai kekuatan dahsyat. Dengan begitu, tentu tenaga
pukulan itu akan membawa akibat merusak, sewaktu terus
tersedot masuk ke dalam rongga paru-paru si perempuan.
Mulanya, Kembar Dari Tiongkok menyeringai,
menertawai kesombongan lawan. Mereka menduga,
sebentar lagi perempuan itu akan terguncang hebat, lalu
mengejang dan mati.
Namun selanjutnya mulut mereka ternganga. Dengan
mata kepala sendiri, keduanya melihat lawan tersentak
sekejap. Usai menelan kekuatan petir raksasa itu, dengan
tenang seluruh sengatan petir disa-lurkan ke bumi sampai
hila ng tertelan.
"Sinting!" sergah Chia Jui, tak mempercayai
penglihatannya. "Dia itu manusia atau...."
"Kita tak akan menang melawan dia, Chia Jui. Harus
segera menyingkir!" peringat Chia Kuo, kalang kabut.
Tak beda dengan kembarannya, Chia Kuo pun tampak
memucat. Bagaimana tidak, kalau kemampuan gabungan
mereka hanya dibuat santapan siang oleh perempuan
cantik tapi bengis itu?
"Heeeh...," si perempuan menggeram. "Jangan
berharap kalian bisa meninggalkan tempat ini dalam
keadaan hidup! Sudah menjadi sumpahku, kalau istana ini
adalah milikku. Siapa pun yang masuk ke istanaku, berarti
telah mengotorinya. Dengan begitu, harus dibunuh!"
Untuk kedua kalinya, si perempuan cantik dan bengis
ini menyeringai. Sebaris gigi putih menawan tersembul.
Sayang, bibirnya sendiri melekuk menggiriskan.
Tiba-tiba saja, perempuan yang hingga saat ini tak
memperkenalkan namanya, meludah ke sebuah
bongkahan batu sebesar kuda.
"Chuih!"
Pias!
Bagai menembus bayangan, air ludah itu langsung
melesak masuk hingga keluar di sisi yang lain.
"Aku tak ingin mengotori tangan! Akan kubunuh kalian
dengan ludahku. Ya! Dengan ludahku. Hanya ludah yang
pantas untuk kalian," geram wanita itu menggidikkan.
Sepasang matanya mencorong di bawah kelopak,
memperlihatkn setengah warna hitamnya.
"Kau sudah gila, Perempuan!" maki Chia Jui, was-was.
"Sudah terlalu banyak orang gila di dunia ini. Jadi
bagiku, tidak ada soal apakah aku gila atau tidak!"
"Tapi kami tak ada urusan sama sekali denganmu!"
lontar Chia Kuo, membela diri.
"Sudah kubilang, kalian telah lancang memasuki
istanaku!"
"Tapi itu alasan yang terlalu dibuat-buat!" sengit Chia
Jui.
"Aaah! Toh, bukan aku saja yang berbuat sewenang-
wenang dengan alasan dibuat-buat. Berjuta orang telah
melakukannya di dunia sampah ini! Asal kalian tahu itu!
Kini, bersiaplah untuk mampus!"
Si perempuan mulai menggerakkan mulut. Sebentar
lagi, akan melesat semburan-semburan ludah kejinya,
andai saja sebuah seruan lantang tak menahannya.
"Tunggu!"
Si perempuan menoleh ke asal suara. Dilihatnya
seseorang yang sudah amat dikenal, lelaki berjenggot
seperti seekor kambing gunung. Menilik kerutan wajah,
bisa diduga usianya sekitar delapan puluhan. Alisnya
hitam, tebal dan lebat menaungi sepasang mata setajam
sembilu. Meski tua, masih tampak sisa ketampanannya.
Keningnya melebar. Rambutnya hanya tumbuh di pinggiran
kepala, memanjang lepas menutupi bokongnya.
Perawakan lelaki itu tinggi be-,sar dan kekar berotot.
Yang menggidikkan dari penampilannya adalah, cacat
kulit pada seluruh badan dari bagian leher ke bawah.
Kulitnya itu berkerut-kerut, seperti karet lu-suh dengan
warna merah kehitam-hitaman. Sepertinya, dia pernah
mengalami luka bakar yang demi-kian hebat.
" Pengeran Neraka," sebut si perempuan.
Wajah wanita itu seketika berseri. Dan matanya pun
berbinar. "Kekasihku, pangeran istanaku...," tambah wanita
ini, mendayu.
Lelaki yang dipanggil Pangeran Neraka maju.
Sepasang tangannya menimang-nimang dua bola besi
baja, sebesar kepalan tangan.
"Kenapa kau menahanku, Sang Pangeran?" tanya si
wanita cantik berpakaian merah-merah manja.
Didekatinya Pangeran Neraka lalu bergayut di bahu
kekarnya.
Pangeran Neraka tak cepat menjawab. Matanya
melirik dua lelaki Tiongkok yang wajahnya begitu sulit
dibedakan.
"Kalian tentu pernah mendengar satu pepatah," kata
laki-laki berjuluk Pangeran Neraka pada Kembar Dari
Tiongkok. '"Jika Giam Lo Ong*) memerintahkan kau mati
tengah hari, tak seorang pun berani membiarkanmu hidup
sampai petang'."
Chia Jui dan Chia Kuo balas menatap. Mereka
meneliti lelaki yang baru muncul dengan mata masing-
masing.
"Tentu saja kami tahu pepatah itu, karena memang
berasal dari negeri kami sendiri. Tapi, apa mak-sudmu
dengan menyebutkan pepatah itu pada kami?" tanya Chia
Kuo, mengungkap keheranannya.
"Hu... hu... hu! Tak kukira kalian ini tergolong bebal,
Kembar Dari Tiongkok," ejek Pangeran Neraka, didahului
tawa yang terdengar aneh.
Mendengar julukan mereka disebutkan, sekali lagi
Kembar Dari Tiongkok meneliti tegas-tegas Pangeran
Neraka. Sebelumnya, mereka sudah cukup heran. Karena,
lelaki itu tahu tentang pepatah dari negeri mereka yang
jauh. Sekarang, tiba-tiba saja dia menyebut julukan
Kembar Dari Tiongkok.
Padahal jelas, si lelaki berkulit cacat ini bukan dari
Tiongkok. Chia Jui maupun Chia Kuo yakin, sebab
Pangeran Neraka sama sekali tak seperti orang dari negeri
tirai bambu itu. Dengan begitu, dia bukan-lah utusan dari
Tiongkok yang hendak menjemput mereka pulang. Tapi,
siapa?
"Kau bukan utusan Tiongkok yang hendak memaksa
kami pulang untuk menerima hukuman, bukan?" aju Chia
Kuo tak yakin dengan pikirannya sendiri.
"Hu... hu... hu! Ya, jelas bukan!" "Kalau begitu,
jelaskan saja, apa maksudmu dengan pepatah tadi?"
sergah Chia Jui tak sabar. "Maksudku...."
Baru saja Pangeran Neraka hendak menjelaskan
"Kenapa mereka tidak dibunuh saja kekasihku? Bukankah
dua orang lancang ini telah mengotori Istana kita?" potong
si perempuan di sisinya.
Pangeran Neraka ganti melirik si perempuan.
"Bagaimana kalau mereka kita manfaatkan, Putri
Mayang seruni?"
"Mana mungkin sampah bisa dimanfaatkan, Sayang?"
"Hu hu.... Tak selamanya sampah tidak berguna.
Mereka bisa membantuku untuk mencari orang yang telah
membunuh saudara kandungku, Putri...."
"Kita bisa mencarinya sendiri, bukan?" perempuan
yang ternyata bernama Putri Mayangseruni balik bertanya.
"Itu terlalu memakan waktu, Putri. Aku ingin se¬
cepatnya mengunyah jantung si pembunuh saudara
kandungku. Hu hu h u, betapa nikmatnya...."
Pangeran Neraka lantas mengangkat kedua alis
rimbunnya.
"Kita lihat saja nanti...."
Setelah itu Pangeran Neraka menatap Kembar Dari
Tiongkok.
"Kupikir sekarang kalian tentu mengerti maksudku
melontarkan pepatah tadi. Artinya, kalau memang
waktunya kalian mampus, ya biar bagaimana pun akan
mampus. Sebaliknya, kalau belum waktu-.nya, biar kalian
jatuh dari gunung, tetap tidak mampus." Pangeran Neraka
tertawa dengan gaya yang khas. "Kalian bingung, ya? Jadi,
singkatnya kalian belum waktunya mampus hari ini...."
Malam turun merambah maya pada. Ribuan bintang
gemerlap memunculkan diri, menemani rembulan penuh
yang muncul tak ragu-ragu. Temaram cahayanya benda-
benda langit, menjadi bagian dari malam itu. Karena saat
itu angkasa tak diusik awan kelabu.
Api unggun besar telah dibuat Pendekar Slebor. Di
atasnya, terpanggang.daging tiga ekor kelinci gemuk hasil
panahan Anggraini menjelang sore tadi. Tiga anak muda itu
kini sedang duduk mengelilingi api unggun, mengenyahkan
dingin malam yang meng-gelitik kulit.
Satu sisi diri manusia
adalah malam gulita
istana para durjana semesta
b'rsemayam dan berencana
untuk sehimpun dusta
untuk sehimpun nista...!
Agungcakra menyudahi sajaknya. Selaku orang dari
kalangan bangsawan, keindahan susastra sudah menjadi
bagian hidupnya. Bagi para bangsawan, susastra adalah
seni terhormat, karena lahir dari daya cipta agung dalam
diri manusia.
Andika bertepuk-tepuk.
"Kata-kata yang indah. Lahir tanpa kepalsuan," puji
Andika, terhadap sajak si kawan baru.
Pendekar muda itu rebah bersandar batang pohon
tumbang. Diliriknya Anggraini yang memutar-mutar kayu
panggangan.
"Bagaimana menurutmu, Anggraini?" tanya Andika,
ingin tahu penilaian gadis itu tentang karya sastra
Agungcakra.
"Menurutku, lebih baik kau cepat-cepat menceritakan
padaku perihal cemeti ini...," sahut Anggraini, tanpa melirik
sedikit pun.
Lalu gadis itu melepas cemeti dari pinggang dan
melemparkannya ke pangkuan Andika acuh tak acuh.
Si Pendekar Slebor menarik napas agak mangkel.
Kalau sudah berurusan dengan wanita, pemuda ini sering
kali dibuat serba salah. Menurutnya, wanita itu sejenis
makhl uk inda h yang sulit d ipa hami.
"Kau begitu ngotot mengetahui asal-usul cemeti ini,"
kata Andika seraya menaikkan cemeti dengan tangannya
ke atas. "Tapi, kau sendiri tidak pernah memberitahu
padaku, apa alasanmu sampai ingin tahu tentang benda
ini?"
"Itu bukan urusanmu!" tandas Anggraini judes, seraya
melemparkan sepotong daging kelinci yang sudah matang
pada Agungcakra, tindakannya benar-benar tidak sopan.
Tapi pemuda itu cepat menangkapnya, dan mulai
menya ntap.
"Kalau begitu, kenapa kau tak urus saja sendiri
urusanmu! Jadi, kau tak perlu keterangan dariku," sindir
Andika.
Pendekar Slebor lantas menatap daging kelinci di atas
api unggun. Baunya sedap, mengundang selera Andika. Si
pemuda urakan itu tak sabar lagi. Apalagi, perutnya sudah
mulai buat keributan. Andika mendekati api unggun. Baru
saja tangannya terjulur ke daging kelinci panggang....
Plak!
"Apa kau tak bisa sabar sedikit menunggu giliran!"
bentak Anggraini, setelah menampar tangan Andika.
Andika meringis. Dalam hati dia mengumpat-umpat
tak henti. Dengan wajah terlipat lebih jelek daripada
gombal, Andika akhirnya kembali ke tempatnya. Sementara
Agungcakra hanya tersenyum kecil;
"Baik. Kalau memang bisa membuatmu cepat
membuka mulut, akan kuceritakan kenapa aku begitu
ngotot hendak mencaritahu tentang cemeti itu...," kata
Anggraini mulai lagi.
"Sesukamulah," jawab Andika, agak merajuk.
"Kau mau dengar apa tidak?!" mata Anggraini jadi
begitu galak.
"Ya ya ya, mau," jawab Andika cepat, daripada tak
dapat jatah daging kelinci panggang.
Anggraini mulai bercerita. Tentang dirinya, tentang
asalnya, juga tentang benda-benda pemberian ibunya.
Semuanya dituturkan secara singkat dan lugas.
"Menurut ibuku, cemeti dan kalung itu adalah benda
yang berhubungan dengan ayahku...," tutur Anggraini
mengakhiri.
"Maksud ibumu, dengan benda itu kau bisa me¬
nelusuri jejak ayahmu?" tanya Andika, menduga.
Pertanyaan itu disambut Anggraini dengan anggukan.
"Jadi, ibumu tak jelas-jelas mengatakan kalau benda
itu milik ayahmu, bukan?" susul Andika hati-hati.
Karena Andika tahu, jika benda-benda itu milik ayah si
gadis, berarti dia telah berhutang nyawa pada Anggraini.
Bukankah cemeti itu milik Begal Ireng, musuh utamanya
sewaktu Pendekar Slebor baru turun dari Lembah
Kutukan? Kini, Begal Ireng telah mati di tangannya.
"Apa maksudmu?" tanya Anggraini.
Andika kehabisan kata, begitu disodok langsung
dengan pertanyaan macam itu.
"Mmm, anu.... Maksudku, ngg begini lho...," kata
Pendekar Slebor tergagap dan kelimpungan sendiri.
Melihat tingkah tokoh yang diperlihatkan Andika,
Agungcakra jadi tak bisa menahan geli. Pemuda
bangsawan itu terbahak mendadak.
"Kenapa tertawa?" Andika agak tersinggung.
Sambil menyapu bibirnya dari lemak daging kelinci.
Agungcakra menggeleng.
"Tidak apa-apa," jawab pemuda itu.
Di saat rikuh bagi Andika itulah, sebuah suara asing
menyentak ketiganya....
"Ngiiingngng...!"
6
Anggraini yang berada paling dekat dengan api
unggun, dengan sigap menghembuskan angin tenaga
dalam untuk memadamkannya. Menyusul padamnya api,
Andika, Agungcakra, dan Anggraini menelusup cepat ke
balik semak-semak lebat.
Dalam kegelapan yang hanya diterangi cahaya
purnama, ketiganya mengamati keadaan dengan pe¬
rasaan tegang.
Sebentar kemudian, dari arah utara terlihat pe¬
mandangan menakjubkan. Dalam siraman sinar temaran
benda langit angkasa, tampak seorang wanita cantik
berpakaian merah sedang melayang di udara dalam
keadaan bersila. Dia tidak terbang dengan sendirinya. Ada
sekitar ratusan lebah mengangkatnya dengan benang-
benang halus yang terangkai menjadi semacam permadani
tembus pandang! Dengung lebah itulah yang terdengar
sebagai bunyi asing.
Wanita itu memang Putri Mayangseruni. Memang,
secara kebetulan, ketiga muda-mudi itu beris-tirahat di
dekat wilayah Pintu Sorga dan Neraka Dunia. Kebetulan
pula, Putri Mayangseruni berniat mencari angin di sekitar
wilayah kekuasaannya.
"Ratu lebah...," bisik Agungcakra, nyaris tak terdengar.
Andika di sisinya menoleh.
"Kau kenal perempuan itu?" tanya Pendekar Slebor
perlahan, serta hati-hati.
"Tentu saja aku kenal. Dia...."
Belum selesai kalimat yang hendak dibeberkan
Agungcakra, tiba-tiba saja Putri Mayangseruni atau
menurut Agungcakra adalah Ratu Lebah, menghentikan
laju kendaraan anehnya. Di kejauhan matanya mengedar
ke sekitarnya. Tajam dan waspada, seolah pandangan rase
betina.
Andika bisa menduga, tentu wanita berjuluk Ratu
Lebah itu mendengar bisikan mereka. Mau tak mau.
Andika memuji dalam hati ketajaman indera
pendengarannya. Padahal, bisikan Agungcakra maupun
dirinya sudah begitu halus. Belum lagi, suara bising para
lebah yang sudah pasti bisa menelan bisikan halus
mereka.
Tahu kalau keberadaan mereka sudah tercium,
Agungcakra hendak bangkit dari semak. Tapi, Andika
segera menahannya. Menurut Pendekar Slebor, terlalu dini
mereka berurusan dengan tokoh wanita yang
kepandaiannya sulit terukur itu.
Tindakan Andika tidak disukai Agungcakra.
"Aku hendak menemuinya, Andika! Lagi pula dia
sudah tahu persembunyian kita," bisik Agungcakra lagi
dengan mata memperlihatkan bias ketidaksenangan.
"Kau ceroboh!" sentak Andika, tetap berbisik.
Jauh di sana, Ratu Lebah makin jelas saja me¬
nangkap kasak-kusuk mereka. Urat lehernya yang jenjang
halus, tampak mengejang. Bibir ranumnya yang tipis
bergerak.
"Chuih!"
S rak!
Bagai dibabat pedang bermata amat tajam, semak-
semak tempat para pengintai bersembunyi, terpapas rata
bagian atasnya. Kalau saja Andika, Anggraini, dan
Agungcakra tak lebih cepat merunduk, tentu kepala
mereka ikut terbabat.
Secara berbarengan, kepala ketiga anak muda-mudi
itu muncul perlahan dari semak-semak yang terpangkas.
Anggraini dan Agungcakra begitu hati-hati. Itu terlihat sekali
dari raut wajah mereka yang agak menegang. Lain lagi
Andika. Pendekar muda itu muncul dengan senyum serba-
salahnya.
"Selamat malam, Nisanak," sapa Andika berbasa-basi
disertai cengiran konyol. "Sungguh, kita bertiga tak sedang
memata-mataimu, he h e he. Bukan begitu, Kawan?"
Pendekar Slebor minta pendapat pada Anggraini dan
Agungcakra di sisinya.
Wanita dingin yang disapa tak membayar basa-basi
Andika dengan keramahan, tapi dengan satu semburan
ludah maut kembali.
"Chuih!"
"Sial! maki Andika.
Seketika itu pula, Pendekar Slebor mengebutkan kain
pusaka ke arah ludah Ratu Lebah. Menghadapi kealotan
kain itu, ternyata ludah sakti Ratu Le-,bah tak bisa
berkutik. Sambaran maut bertenaganya langsung terserak
begitu saja oleh kekuatan yang disalurkan Pendekar Slebor
pada kai n pusaka.
"Nisanak! Mestinya kau bisa bersikap ramah pada
orang ramah seperti aku ini!" semprot Pendekar Slebor.
Pendekar muda itu berdiri bertolak pinggang. Hatinya
mulai panas atas perlakuan Ratu Lebah tadi. Sebentar lagi,
sifat urakannya tentu akan meledak.
"Andika...," tahan Agungcakra. Pemuda itu ikut
bangkit. Dipegangnya bahu Pendekar Slebor.
"Apa?! Ini semua gara-gara ulahmu, tahu! Coba kalau
kau bisa sedikit tutup mulut!" omel Pendekar Slebor pada
Agungcakra.
Rupanya, darah si pemuda dari Lembah Kutuk-an itu
makin melonjak naik ke ubun-ubun. Alis mata sayap
elangnya bertaut rapat, cuping hidungnya kembang-
kempis. Ditunjuknya Ratu Lebah dengan tudingan
menantang.
"Aku tak suka orang seperti kau, Nisanak! Kau terlalu
sombong untuk menghargai orang lain!" sembur Pendekar
Slebor lagi.
Anggraini di sebelahnya mendelik. Rasanya, kalimat
Andika tadi sengaja hendak menyinggungnya sekaligus.
Sekali tepuk dua lalat!
"Ayo, ludahi aku lagi! Biar kusumpal mulut usilmu
dengan kainku yang tak pernah kucuci ini!" tantang Andika
kembali, lebih keterlaluan.
Ratu Lebah yang sesungguhnya memiliki kecantikan
luar biasa mengumbar senyum tipis.
"Hey! Aku tahu, kau lebih cantik dari kawanku ini," ujar
Andika seraya menunjuk semena-mena ke depan wajah
Anggraini. "Tapi, jangan dikira aku akan tergoda dengan
senyummu itu! Huh! Tak usah, ya!"
Sekali lagi Anggraini mendelik dongkol. Kalau urusan
sudah selesai dengan Ratu Lebah, wanita ini berjanji akan
menyumpal mulut Andika dengan tinjunya!
Di lain sisi, Ratu Lebah memerintah lebah-lebahnya
mendekat ke arah mereka.
Andika waspada. Apalagi, ketika wanita cantik
berkesan bengis itu kian dekat. Saat Ratu Lebah me¬
lompat turun dari kendaraan anehnya, Pendekar Slebor
langsung pasang kuda-kuda. Dikiranya, wanita
menjengkelkan itu akan segera mengirim serangan maut.
Tak dinyana tak diduga, Ratu Lebah malah mendekati
Agungcakra. Langsung dipeluknya pemuda itu.
"Cakra...."
"Bibi...," balas Agungcakra setengah lirih. Andika
hanya melongo.
•k -k -k
"Ke mana saja kau selama ini, Bibi Mayang?" tanya
Agungcakra saat keduanya berjalan beriringan, jauh dari
tempat semula. Ratu Lebah telah memaksa Agungcakra
untuk meninggalkan Andika dan Anggraini. Walau
perasaannya tak enak, akhirnya Agungcakra ikut juga. Lagi
pula, Andika maupun Anggraini sudah mempersilakannya
dengan senang hati.
"Aku...."
Mayang terdiam. Matanya menerawang kosong.
"Aku berkelana di dunia lain," jawab wanita itu
kemudian dengan sebaris senyum yang sulit dipa-hami.
"Aku tak paham maksudmu, Bi?"
Tiba-tiba sang bibi tertawa lepas. Suara tawanya
ganjil, membuat bulu roma di tubuh Agungcakra
meremang. Mayangseruni atau Ratu Lebah adalah adik
bungsu ayah Agungcakra. Sejak orangtuanya meninggal
dalam tugas kerajaan, Mayangseruni yang waktu itu baru
berusia tiga tahun tinggal bersama Dwigeni, kakak
lelakinya itu.
Tak lama Mayangseruni tinggal, kandungan istri
Dwigeni kian besar. Maka lahirlah anak lelaki yang diberi
nama Agungcakra. Mayangseruni dan Agungcakra lalu
tumbuh besar bersama. Keakraban mewarnai masa kanak-
kanak keduanya. Mereka tak lagi seperti antara bibi
dengan keponakan. Lebih dari itu, mereka sudah seperti
kakak beradik.
Waktu berlalu. Tahun-tahun indah tercecer di
belakang. Mayangseruni beranjak sembilan tahun.
Sedangkan Agungcakra menginjak usia enam tahun.
Suatu saat seorang pertapa melihat Mayangseruni
sedang bermain dengan Agungcakra. Pertapa itu adalah
seorang wanita sakti yang sudah dianggap makhluk halus
oleh masyarakat sekitarnya.
Karena tertarik pada diri Mayangseruni yang bertubuh
dan bertulang-tulang bagus, serta mempunyai keyakinan
diri yang mantap, tanpa sepengetahuan Dwigeni pertapa
wanita itu menculiknya.
Agungcakra yang menjadi saksi saat itu, dipesan oleh
si pertapa wanita agar merahasiakan tentang kejadian ini.
Si kecil Agungcakra diberitahu, kalau bibi mungilnya akan
dibawa ke suatu tempat yang menyenangkan. Jika nanti
ditanya oleh orang tuanya, Agungcakra disuruh
mengatakan kalau Mayangseruni diasuh oleh seseorang
tak dikenal. Dan suatu saat nanti, Mayangseruni akan
dikembalikan.
Dengan hilangnya Mayangseruni, adik tersayang
Dwigeni yang menjadi adipati, maka kegemparan pun tak
bisa dihindari. Para prajurit kadipaten dikerahkan untuk
mencarinya. Pencarian sia-sia, Mayangseruni tak pernah
ditemukan. Bahkan sekadar jejak sekalipun.
Sampai akhirnya, Agungcakra ditanya oleh si ayah
tentang hilangnya Mayangseruni. Maka, Agungcakra pun
mengatakan apa-apa yang dipesan si pertapa wanita
padanya. Sewaktu Dwigeni menanyakan ciri-ciri si pertapa,
Agungcakra yang memang cerdas, menceritakan dengan
tepat.
Mendengar seluruh cerita anaknya, barulah Adipati
Dwigeni tahu, siapa yang telah membawa adik
kesayangannya. Maka hatinya pun jadi sedikit lega.
Karena, si pertapa wanita sepanjang pengetahuannya,
adalah tokoh sakti sulit tertandingi dari aliran lurus.
Bahkan hatinya cukup bergembira ketika tahu pertapa
wanita itu akan mengangkat adiknya menjadi murid.
Sepuluh tahun berlalu. Waktu memang cepat tertelan
zaman. Mayangseruni akhirnya pulang, seperti janji si
pertapa wanita pada si kecil Agungcakra. Dia kini bukan
lagi seorang gadis kecil lugu nan lucu. Mayangseruni telah
berubah menjadi gadis cantik, yang mekar merekah bagai
bunga mempesona. Selain itu, kemunculannya pun
sebagai pendekar wanita yang langsung sering ikut andil
dalam menegakkan kebenaran. Namanya pun kian harum
semerbak, dalam percaturan dunia persilatan, selaku
tokoh wanita berkharisma pengendara ratusan lebah.
Karena itu, lahirjulukan untuknya Ratu Lebah!
Suatu hari, Ratu Lebah berurusan dengan seorang
bajingan berilmu tinggi yang usianya jauh lebih tua darinya.
Lelaki itu terkenal sebagai Pangeran Neraka. Menurut
kabar burung, julukannya didapat di negeri Tiongkok,
tempatnya berburu ilmu kedigdayaan. Dalam suatu usaha
menuntut ilmu hitam, Pangeran Neraka harus
menceburkan diri dalam kawah gunung berapi. Ilmu
didapatnya, tapi sayang seluruh kulit tubuhnya melepuh.
Kecuali, wajahnya.
Karena tak ingin melihat kebatilan, Mayangseruni saat
itu berusaha menggagalkan segala sepak terjang Pangeran
Neraka. Lelaki laknat itu bisa dikalahkan. Namun begitu,
Mayangseruni terkena racun tanpa pemunah milik
lawannya. Racun itu terus merasuk hingga ke jaringan
saraf di otaknya. Sampai akhirnya, gadis itu kehilangan
akal waras. Bahkan pikirannya berada di bawah pengaruh
Pangeran Neraka. Mengetahui lawan telah berada di
bawah pengaruhnya, Pangeran Neraka memanfaatkan
kecantikan dan kemolekan Mayangseruni. Sekaligus,
memanfaatkan kesaktiannya. Ratu Lebah pun dijadikan
pasangan si lelaki laknat.
Selanjutnya, Mayangseruni menghilang kembali
seperti beberapa tahun lalu.
Sementara Agungcakra memang sudah telanjur
sayang pada sang bibi yang dianggapnya sebagai kakak
perempuan. Maka dia segera melakukan pencarian,
setelah sebelumnya berguru selama beberapa tahun pada
tokoh kerajaan. Tiga tahun dia terus mencari tanpa basil.
Sampai akhirnya, bisa bertemu kembali ketika Andika dan
Anggraini bersamanya.
k k k
"Bibi Mayang, apa yang sesungguhnya terjadi padamu
selama ini?" tanya Agungcakra sungguh-sungguh. Ada yang
tidak beres pada adik ayahnya, menurut penilaian anak
muda itu.
Ratu Lebah berhenti tertawa. Ditatapnya mata
Agungcakra dengan cahaya mata liar. Lalu tawanya
meledak lagi, lebih tinggi daripada sebelumnya.
Agungcakra makin yakin ada sebuatu yang telah
terjadi pada diri Mayangseruni. Sepanjang
pengetahuannya, Mayangseruni adalah gadis yang penuh
kendali diri. Dia tidak akan tertawa seenaknya, seperti
perempuan jalanan. Kalau Mayangseruni yang dulu amat
kentara sinar keceriaan di wajahnya, Mayangseruni yang
ditemuinya kini memiliki sinar mata kejam.
Memang, Agungcakra hanya tahu kalau adik ayahnya
itu pergi untuk sebuah urusan tiga tahun lalu. Ketika itu,
Agungcakra menawarkan diri untuk mengawalnya. Namun,
Mayangseruni menolak. Menurut wanita itu, urusannya
harus diselesaikan sendiri.
Sejak kepergian itu, Agungcakra tak pernah lagi jumpa
dengan bibinya. Dan sewaktu mencoba mencari
keterangan dari beberapa orang persilatan, yang didapat
hanya sedikit keterangan. Menurut mereka yang sempat
tahu, Ratu Lebah sering terlihat bersama seorang tokoh
sesat bernama Pangeran Neraka.
"Lama aku berkelana, Cakra," tutur Mayangseruni lagi
sambil memainkan anak rambutnya seperti wanita jalang
penggoda. "Berkelana di batas sorga dan neraka. Kau tahu,
bagaimana rasanya berjalan disana? Seperti siksaan yang
melenakan. Saat itu merasa tersiksa, aku menjadi
demikian takut... takut!"
Wajah Mayangseruni berubah mencekam. Sudut
matanya yang indah, memperlihatkan lipatan ketakutan.
Dan secepat itu pula berubah penuh kebengisan.
"Tapi bagai ada selaksa makhluk menjijikkan
menitahku untuk menikmatinya. Dan..., aku pun bisa
menikmati. Menikmati darah, menikmati warna merah,
menikmati...."
"Cukup, Bibi Mayang! Kau bukan bibiku yang dulu lagi!
Rupanya kehidupan dunia yang memikat telah
membuatmu lupa diri!" tuduh Agungcakra. "Kau telah
terjerumus dalam dunia laknat kaum sesat yang
menganggap dunia ini hutan rimba penuh kesenangan dan
darah! Sadarlah, Bibi.... Jangan sampai Tuhan
memurkaimu...."
Kata-kata Agungcakra padat dengan getaran. Betapa
terpukulnya dia mendapati orang yang disayangi sudah
berubah demikian rupa. Mata anak muda itu berkaca-kaca,
menembus lekat-lekat pandangan Ratu Lebah.
"Terlambat, Anak Muda! Semuanya sudah terlambat!"
Tiba-tiba terdengar suara di belakang. Suaranya
begitu berat berdebam. Ketika Agungcakra menoleh,
tampak Pangeran Neraka telah berada di sana, lelaki itu
berdiri dengan melipat tangan di dada. Jari-jarinya yang
tersembunyi tampak memainkan dua bola besi baja. Sorot
matanya menyampaikan ancaman berbau maut....
7
"Siapa kau?!" bentak Agungcakra penuh selidik. Tanpa
berkedip, diawasinya Pangeran Neraka lekat-lekat.
Pangeran Neraka beringsut ke arah Agungcakra lebih
dekat. Mulutnya mengumbar senyum mengejek.
"Aku? Hu hu hu! Pertanyaanmu terlalu menyedihkan.
Itu pertanda, kau tak banyak tahu tentang dunia persilatan
yang keras ini. Kau terlalu hijau, Anak Muda...."
Pangeran Neraka memenggal kalimat, seiring
terangkatnya dagu. "Akulah Pangeran Neraka. Dunia
persilatan sudah kenal baik dengan namaku," lanjut laki-
laki tua itu, menyombong.
"Apa hubunganmu dengan bibiku?!" tanya Agungcakra
penuh menyelidik.
Pemuda itu yakin, segala sesuatu yang terjadi tentu
ada penyebabnya. Jika bibinya jadi tampak ganjil di
matanya, tentu pula tak luput dari penyebabnya.
Agungcakra pun yakin, lelaki yang baru kali ini dilihatnya
tentu tersangkut dalam perkara yang membuat bibinya
menjadi begitu tak dimengerti seperti sekarang.
"Aku tak suka cara kau menatapku, Anak Muda."
Bukannya menjawab, Pangeran Neraka malah melempar
kalimat lain.
"Jawab pertanyaanku!" sentak Agungcakra, diburu
kegusaran.
"Nyalimu cukup besar. Atau, kau memang terlalu
bodoh sehingga tidak tahu dengan siapa berbicara."
"Aku tak peduli, dengan siapa aku bicara. Dengan
tokoh sakti atau iblis durjana sekali pun! Aku hanya ingin
kau menjawab pertanyaanku," tandas Agungcakra,
setengah mengancam.
"Hu hu hu! Ternyata nyalimujauh lebih besar daripada
dugaanku," cemooh Pangeran Neraka.
"Keparat! Tentu kau ikut andil dalam perkara bibiku!"
tuding Agungcakra tak bisa lagi membendung
kecurigaannya.
"Kalau kujawab, ya, kau mau berbuat apa?" tantang
Pangeran Neraka melecehkan. Sengaja dia memancing
terus kegusaran anak muda di depannya.
"Bajingan busuk!" maki Agungcakra berat terseret.
"Akan kuhabisi nyawamu sebagai bayaran atas kesalahan
yang telah kau perbuat terhadap bibi kesayanganku!"
Pangeran Neraka memperdengarkan tawa khasnya.
"Kenapa tak segera kau lakukan? Apa mungkin kau
hanya berani mengancam, dan tak mau menerima akibat
jika mengancam orang seperti aku?"
Lagi-lagi Pangeran Neraka melecehkan Agungcakra.
"Pergilah kau ke dasar neraka, Manusia Keparat!"
Sampai di situ, Agungcakra tak bisa lagi menahan
kemurkaan yang meledak-ledak di dalam dada. Kalau saja
persoalannya lain, tentu dia tak akan seberingas itu. Tapi,
ini menyangkut diri orang yang begitu disayanginya. Orang
yang terdekat setelah kedua orangtuanya. Itu tentu saja
perasaannya bagai diluluh-lantakkan.
Sarat kemurkaan pada wajahnya, Agungcakra
melepas satu serangan dahsyat. Kelima jari kirinya yang
tajam, mengancam leher Pangeran Neraka se-penuh
kekuatan. Tampaknya, Agungcakra tak peduli lagi,
bagaimana harus melabrak lawan. Hanya satu yang
dikehendakinya saat itu. Lelaki di depannya harus mati
secepatnya!
Bet!
"Putus lehermu, Keparat!"
Lelaki yang diserang masih sempat mengejek dengan
sebaris senyum memuakkan. Sekejap kemudian, tubuhnya
berkelit enteng. Maka, luputlah terjangan Agungcakra.
Dorongan kemarahan yang sudah mendaki hingga ke
puncak kepala, mendorong Agungcakra untuk melakukan
serangan susulan. Sikunya yang cukup dekat dengan
Pangeran Neraka, segera menghujam ke ulu hati.
Deb!
Pangeran Neraka tak mau ambil bahaya. Apalagi
tingkat kepandaian lawan bisa diukurnya. Maka segera
ditangkisnya tohokah siku Agungcakra dengan satu tangan
terangkat ke atas dalam gerakan menyapu keluar.
Tak!
Lalu disusul satu serangan balasan. Tinju Pangeran
Neraka yang terkenal selalu mengandung racun amat kuat,
langsung melayang lurus ke rahang pemuda tampan yang
sedang kalap itu.
Wus!
"Hiah!"
Berbarengan hentakan suara, Agungcakra berusaha
menghindar sejauh-jauhnya. Meski tergolong hijau,
pemuda itu bisa merasakan hawa maut yang disebar oleh
angin pukulan Pangeran Neraka.
"Hu hu hu! Terbukti ucapanku tadi, bukan? Kau
memang terlalu hijau, terlalu bau kencur. Lebih baik,
kembalilah ke ibumu dan minta diteteki!" sembur Pangeran
Neraka.
"Kau boleh memiliki ilmu tinggi. Tapi, aku tak akan
surut dari pertarungan ini. Kau harus mati di tanganku,
walaupun aku harus membayarnya dengan nyawa!"
"Lalu, kenapa kau harus menghindar sejauh itu? Ayo,
ke sini kau! Biar tinjuku ini sedikit memanjakanmu!"
"Hiaaa!"
Agungcakra memulai pertarungan kembali. Tubuhnya
mencelat tinggi. Satu kakinya membentang lurus ke depan,
sedang yang lain terlipat. Tendangan terbangnya kini
mengancam dada kekar Pangeran Neraka!
Seperti sebelumnya, meski serangan Agungcakra
sudah hampir tiba, Pangeran Neraka kembali
memperlihatkan senyum yang lebih mirip seringai. Tingkat
kepandaian Pangeran Neraka memang terlalu tinggi,
meskipun Agungcakra di dunia persilatan cukup bisa
mengandalkan kemampuannya. Itulah sebabnya, Pangeran
Neraka seperti tak terancam oleh serangan-serangannya.
Sesaat sebelum kaki Agungcakra benar-benar tiba,
Pangeran Neraka membuat satu gerakan tangan. Telunjuk
kanannya teracung lurus pada arah tendangan terbang
pemuda itu.
Tas!
Entah bagaimana caranya, hanya dengan jari telunjuk
tadi. Pangeran Neraka ternyata sanggup menahan
tendangan terbang berkekuatan milik Agungcakra.
Tubuhnya tak terlihat bergoyang, bahkan sekadar getaran
pada pakaiannya.
Sementara di lain pihak, Agungcakra malah ter-pental
balik. Anak muda berwajah tampan dan ber-kesan jantan
itu seperti baru saja menerjang bukit ka-ret yang kenyal!
Tak hanya itu. Ketika kakinya menjejak bumi, Agungcakra
merasakan nyeri yang luar biasa pada bagian kaki yang
bertumbukan dengan jari telunjuk Pangeran Neraka. Rasa
nyeri terus merangsek ke dalam serat-serat tubuhnya bagai
terikut dalam aliran darah.
Urat-urat wajah Agungcakra menampakkan ke¬
sakitan.
"Kenapa, Anak 'Menak'? Apa di tempat tinggalmu yang
nyaman kau tak pernah merasakan sakit? Kau tentu terlalu
dimanja para inangmu.... Hu hu hu!"
Agungcakra diam dengan rahang mengatup ra-pat-
rapat, hingga otot-otot sekitarnya terlihat menonjol keluar.
Ejekan-ejekan lawan telah keterla-luan. Bahkan untuk
ukuran orang yang paling sabar sekali pun.
Tekat Agungcakra untuk memberangus nyawa
Pangeran Neraka kian meledak-ledak Maka, tanpa
menimbang lebih lama, Agungcakra segera memper¬
siapkan ilmu pamungkasnya. Hanya cara itulah dia bisa
punya kesempatan untuk menghabisi Pangeran Neraka.
Sebelum serangan si pemuda kalap terlepas kembali,
Pangeran Neraka telah lebih dulu melepas satu isyarat
mata pada Ratu Lebah alias Mayang-seruni. Gerak kecil
matanya, seakan hendak memerintah si wanita cantik yang
bernasib malang itu dengan satu kalimat pendek. Habisi
dia!
Begitu Mayangseruni mengeluarkan suara ganjil yang
tertangkap telinga Agungcakra, pemuda itu cepat menoleh.
Hatinya jadi terkesiap melihat bibinya siap melesatkan
ludah berkekuatan dahsyat, seperti pernah disaksikannya
dulu sewaktu bersama Andika dan Anggraini.
"Bibi jangan!" tahan Agungcakra.
Sayang, usaha Agungcakra untuk menahan ke¬
bengisan yang kini menguasai seluruh pikiran bibinya, tak
berarti apa-apa di telinga Mayangseruni.
"Chuih!"
Wesss!
Sebisa-bisanya, Agungcakra menghindar. "Heaaa...!"
Sentakan suara terlempar keluar, untuk mengimbangi
pangerahan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuh
pemuda itu. Selagi tubuhnya masih di udara, Ratu Lebah
sudah melepas lagi semburan ludahnya. Kali ini, tak cukup
sekali.
"Chuih! Chuih! Chuih!"
Wess... ssss... sss!
Tiga kelebatan serangan ganjil Ratu Lebah melesat ke
arah tiga kedudukan yang amat menyulitkan Agungcakra.
Satu menyergap bagian atas, sedang yang lain melesat ke
bagian kiri dan kanan.
Untuk menyelamatkan kepala agar tak tertembus,
Agungcakra harus membuang tubuhnya ke sam-ping di
udara. Namun begitu, dia harus berjudi dengan ludah maut
yang lain. Jika bergerak lebih cepat, tentu selamat. Namun
kalau terlambat sedikit saja, maka ludah yang meluruk di
sisi-sisinya akan merencah tubuhnya.
Karena keadaan sudah begitu mendesak, Agungcakra
tak bisa lagi berpikir lama-lama. Langsung saja dia
melempar tubuh ke sisi kanan sekuat tenaga.
Sayang....- Srat!
Seketika itu juga, bagian pinggang Agungcakra
tersayat dalam oleh ludah Ratu Lebah. Tubuhnya
kontan jatuh tersungkur tanpa sempat berpijak.
Sambil memegangi pinggang yang mengucurkan
darah, Agungcakra menatap nanar wajah dingin dan kejam
Mayangseruni yang dulu dikenalnya sebagai seorang bibi
yang lembut dan welas asih.
"Bibi! Kenapa kau tega melakukan ini padaku?" lirih si
pemuda tampan dalam kalimat putus asa.
Saat berkata, sehimpun kepedihan lain yang berasal
dari dasar hatinya mengusik benteng kelelakian si pemuda.
Matanya mulai berkaca-kaca. Tali kasih sayang tulus telah
terputus oleh kepedihan yang tak terperi di antara semua
kepedihan. Sebuah kekecewaan yang terlalu berat untuk
ditanggung.
"Apakah..., apakah kau memang sudah melupakan
sama sekali cerita kita waktu kecil dulu?" lanjut
Agungcakra tertahan-tahan. "Tentang cerita kita di taman
bunga kadipaten? Tentang bibi yang berlari riang mengejar
kupu-kupu kecil, lalu aku mengikutimu karena takut kau
celaka? Apa Bibi lupa dengan semua itu?"
Dingin! Hanya dingin yang bisa ditemukan Agungcakra
di wajah Mayangseruni. Semenjak Pangeran Neraka ada di
dekatnya, sisa-sisa rasa kasih sayang di kalbunya bagai
terbelenggu pengaruh jahat.
Hati Agungcakra kian tercabik-cabik. Kalau saja dia
bukan lelaki, tentu akan menangisi semua itu dengan dada
sesak.
"Kau tak tahu, Bibi! Bagaimana sulitnya aku
mencarimu berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-
tahun. Hujan dan terik tak kupedulikan. Badai pun tak bisa
menahan tekadku untuk mene-mukan orang yang
kucintai," ucap Agungcakra lamat, seperti berkata pada diri
sendiri. "Tapi, tak kuduga sama sekali. Ternyata aku telah
kehilangan Bibi untuk selama-lamanya. Bibi telah binasa
dalam kemungkaran...."
Agungcakra senyap. Entah putus asa entah sudah
kehilangan kata.
"Kalau kau mau butuh aku, bunuhlah! Sudah terlanjur
kusia-siakan hidup, untuk mencari Bibi yang sebenarnya
tak mungkin kutemui lagi...," bisik pemuda itu lemah
dengan kepala terjatuh.
Detak-detak degup jantungnya melangkah pasrah.
"Chuih! Chuih! Chuih!"
Seruntun kelebatan ludah berkekuatan dahsyat
menuju tubuh kuyu si pemuda. Dalam sekejap, tubuhnya
dikoyak-koyak bagai sehelai daun kering tak berarti.
" Tangan-tangan maut sepertinya adalah jalan terbaik
menuntas hidup Agungcakra yang diberangus kecewa.
Bersama darah yang membasahi sekujur tubuhnya, seiring
keluh panjang atas kekecewaan, Agungcakra mengatupkan
mata perlahan. Sebentang garis bening mengalir lembut di
antara warna merah yang membasahi pipinya.
8
"Urusan Cakra sudah beres. Dia sudah bertemu
bibinya kembali," cetus Anggraini pada Andika setelah
kepergian Agungcakra dan Ratu Lebah. "Kini tinggal
urusanku denganmu...."
Seperti tak berniat menggubris, Pendekar Slebor
melangkah acuh menghampiri sisa api unggun yang masih
melepas lenggokan asap putih tipis diusik angin malam.
Dijemputnya panggangan daging kelinci. Hampir dingin,
tapi tak dipedulikan. Perut yang begitu lapar membuatnya
begitu lahap menyantap.
"Kau jangan berpura-pura bodoh! Sudah sejak tadi
kau menjengkelkanku. Kalau tak sabar-sabar, sudah
kuhajar kau. Sekarang, cepat ceritakan padaku tentang
cemeti itu!" desak Anggraini. Si dara ketus itu berdiri
bertolak pinggang. Raut wajahnya sudah matang.
Andika melirik enggan pada Anggraini. Dita-riknya
napas dalam-dalam. Agak berat baginya menceritakan hal
sebenarnya tentang cemeti itu. Bukannya tak mau berterus
terang. Dalam hal ini, dia berada dalam keadaan selaku
pembunuh pemilik cemeti tersebut. Bisa jadi, si pemilik
cemeti, Begal Ireng, adalah ayah Anggraini. Kalau benar,
tentu akan menjadi perkara hutang nyawa. Dan Anggraini
bisa-bisa memusuhinya habis-habisan.
"Padahal, aku tak mau bermusuhan dengannya. Aku
tahu, dia bukan gadis sesat. Meski, sifatnya agak ketus,"
gumam Andika tak sadar, terbawa arus pikiran sendiri.
"Hey, apa katamu tadi?" sergah Anggraini.
"Ah, tidak.... Tidak apa-apa," elak Andika.
"Nah! Kalau begitu, tunggu apa lagi? Aku ingin cepat-
cepat membereskan urusanku...."
"Begini saja," putus Andika akhirnya. "Sebaiknya, kau
mencari dua orang dari Tiongkok. Karena mereka kembar,
keduanya dijuluki Kembar Dari Tiongkok."
"Apa hubungannya dengan aku?"
"Pokoknya, cari mereka. Dan, korek keterangan dari
keduanya!" tandas anak muda dari Lembah Kutukan itu.
"Apa hubungannya denganku?!" Si dara berpakaian
merah mengotot.
"Sial!" maki Andika jengkel. Pendekar Slebor memang
tidak suka dipojokkan seperti itu. Apalagi oleh perempuan
pula.
"Yah.... Mereka itu amat kenal pada pemilik cemeti
yang kau bawa!" jelas Andika, menyerah. "Mungkin kau
bisa mengorek keterangan dari mereka, tentang kakak
kandung si pemilik cemeti. Se-bab menurut kabar burung,
pemilik cemeti itu mempunyai seorang kakak lelaki...."
"Kalau begitu, terimakasih!" ucap Anggraini ketus.
Dijumputnya cemeti yang terjatuh di sisi sisa api unggun,
lalu beranjak meninggalkan tempat itu.
"Kau mau ke mana?" tanya Andika.
"Ke neraka!"
Andika menggeleng-gelengkan kepala.
"Bagaimana dengan jatah panggangan kelincimu ini?!"
seru Pendekar Slebor lagi.
"Makan saja sendiri. Bukankah kau memang ra-kus?"
cemooh Anggraini di kejauhan.
"Perempuan slompret!"
k k k
Tiga hari telah berlaku, Anggraini sudah terlihat di satu
sudut kotapraja. Malam sudah tiba. Lampu-lampu minyak
bertebaran semarak di daerah itu.
Tempat yang paling sering dan paling banyak menjadi
sumber berita adalah kedai. Di sana, desas-desus marak di
antara bau arak dan panganan. Dan Anggraini kini
memasuki salah satu kedai. Dia berharap bisa mencuri-curi
keterangan dari obrolan par pengunjung tentang Kembar
Dari Tiongkok.
Gadis itu mengambil tempat, tepat di tengah tengah
ruangan. Tempat yang bagus untuk bisa mendengar ke
segenap penjuru kedai. Sambil terus memasang kuping,
dipesannya makanan. Ketika makanan datang, gadis itu
pun menyantapnya.
Harapan Anggraini terkabul sebelum sempat
menghabiskan santapan malam. Dua lelaki yang tam¬
paknya dari dunia persilatan, sedangsantai membica-rakan
sesuatu sambil menikmati tuak keras. Mereka rupanya
sudah cukup mabuk, sehingga lancar saja mengobral
ucapan.
"Kau tahu, dua lelaki dari Tiongkok yang pernah
membual kegemparan tiga tahun lalu bersama Begal
Ireng?" tanya laki-laki bertopeng kasar, dengan bauk
memenuhi wajahnya.
"Ya, tentu saja aku tahu. Bukankah mereka sudah
mati sewaktu Pendekar Slebor mengamuk, mem-bumi
hanguskan mereka?" tanggap lelaki yang diajak berbicara.
Wajah laki-laki ini kelimis, tanpa kumis maupun jenggot.
"Mati? Siapa yang bilang mereka mati? Begal Ireng
memang mampus di tangan pendekar muda itu. Tapi
mereka tidak"
"Ah! Dari mana kau tahu begitu?"
"Percaya atau tidak, aku dua hari yang lalu bertemu
mereka. Dengan kalimat-kalimat mereka yang kaku, aku
ditanya tentang Pendekar Slebor...."
"Maksudku mereka mencari anak muda sakti itu?
Sinting! Apa mereka belum kapok?!"
"Tapi, siapa tahu selama tiga tahun menghilang dari
dunia persilatan, Kembar Dari Tiongkok mempersiapkan
diri untuk menghadapi Pendekar Slebor. Mereka mungkin
punya ilmu baru!"
"Ah! Aku tak yakin, mereka bisa menandingi anak
muda sakti itu meski tiga tahun menambah ilmu. Kata
banyak orang, kesaktian anak muda itu seperti setan.
Kalau dia bergerak..., bet! Bet! Tahu-tahu, apa yang ada di
depan hancur. Belum lagi, kabarnya dia bisa menyerap
tenaga petir!" tutur lelaki klimis menggebu-gebu. Saking
semangatnya, gelas tuak di meja jatuh bergulingan ke
lantai.
"Yaaa.... Tuak kita. Kau sih! Cerita pakai mencak-
mencak segala!" gerutu lelaki bauk. "Mana uangku sudah
habis...."
"Tuan-tuan, kalian ingin lebih banyak tuak?" sapa
Anggraini yang kebetulan tak jauh dari tempat mereka.
Dua lelaki tadi menoleh dengan mata sayu, karena
pengaruh tuak.
"Wah, rejeki nomplok! Nisanak haik sekali...." sambut
lelaki klimis.
"Kalian akan kubelikan empat guci penuh, kalau mau
memberitahu aku, ke mana Kembar Dari Tiong-,kok pergi,"
lanjut Anggraini.
Lelaki bauk yang pernah ditanyai Kembar Dari
Tiongkok penuh semangat berdiri, lalu menghampiri si dara
berpakaian merah.
"Aku tahu, Nisanak," kata si bauk. "Setelah bertanya
padaku, mereka pergi ke arah utara, eh....! Tunggu dulu."
Lelaki bauk itu diam sebentar seperti mengingat-ingat.
"Matahari tenggelam di sebelah mana, ya?" tanya laki-
laki itu pada kawannya.
"Barat maksudmu?" sela Anggraini.
"Ya, barat! Tepat, Nisanak!"
"Kira-kira, apa daerah yang istimewa di daerah barat?"
Lagi-lagi si lelaki tadi mengingat-ingat. Sesaat
kemudian wajahnya meringis ngeri.
"Di barat itu, yang santer sekarang-sekarang ini, ya
Pintu Sorga dan Neraka Dunia. Jaraknya tak begitu jauh
dari sini. Kira-kira setengah harian berkuda...."
"Cukup, terimakasih," putus Anggraini, seraya
mengeluarkan beberapa keping uang perak. Diberikannya
uang itu pada si lelaki pemabuk.
"Mabuk sampai pagi!" teriak lelaki itu girang bukan
main. Setelah itu tubuhnya ambruk, tak kuat lagi menahan
pengaruh tuak dalam tubuhnya.
Beres membayar makanan, Anggraini bergegas keluar
kedai. Malam itu juga, gadis ini mencari seekor kuda jantan
dan membelinya. Dia bermaksud langsung menuju ke arah
yang ditunjuk dua lelaki pemabuk tadi.
•k -k -k
Anggraini tiba menjelang pagi di Pintu Sorga dan
Neraka Dunia. Matahari mengintip malu-malu di sudut
timur cakrawala. Cahaya jingganya menyapu samar wilayah
itu. Panorama indahnya pun seolah bangun dari tidur.
"Pantas saja tempat ini disebut 'Pintu Sorga'. Ke¬
indahannya benar-benar menakjubkan," puji Anggraini
perlahan.
Gadis itu memandangi pucuk-pucuk bunga matahari
jangkung yang masih tertunduk-tunduk, seakan
sekumpulan serdadu mengantuk. Warna kuningnya
menyatu dengan jingga sang matahari.
"Tapi, kenapa tempat itu disebut juga 'Pintu Neraka 1 ?
Aku belum menangkap maksudnya. Menurutku, tak ada
tanda-tanda kalau tempat ini seperti neraka...," gumam
gadis itu kembali seraya menghirup dalam-dalam hawa
sejuk yang berhembus dari sela-sela bukit pembenteng
daerah itu.
Cahaya kekuningan matahari mulai memudar. Dan
Anggraini puas menikmati maha karya Yang Maha Esa. Kini
dia pun mulai mengendalikan kuda tunggangan yang telah
dibelinya, berjalan perlahan menyusuri jalan setapak
berkerikil warna-warni.
Sepanjang jalan setapak, sesekali dia menemu-kan
serumpun bambu kuning setinggi dua kali manusia.
Gemerisik daun-daunnya menyapa ramah, ketika angin
mengusik. Di dekat serumpun bambu kuning lain, telinga
Anggraini menangkap suara mencurigakan. Bukan sekadar
gemerisik daun atau derit bambu yang bergesekan. Maka
seketika pen-dengarannya ditajamkan. Tak lama
kemudian, mulai bisa dipastikan kalau suara itu adalah
rintihan seseorang.
Dengan cekatan dara cantik itu melompat turun dari
punggung kudanya. Dia langsung berlari ke balik
kerimbunan rumpun bambu. Mata indahnya kontan
terbelalak menyaksikan sesuatu yang terlihat. Sebuah
tiang kayu besar terpancang angkuh dan dingin. Di
atasnya, tergantung seseorang yang sudah dikenalnya....
Agungcakra.
"Cakra! Apa yang terjadi?" tanya Anggraini, khawatir
melihat keadaan Agungcakra yang mengenaskan.
Tubuh pemuda itu menderita koyakan di sana-sini.
Darah terus menetes ke tanah, tepat di bawah tempatnya
tergantung. Sudah begitu banyak darah tergenang disana.
Anak muda tampan itu nyaris pingsan dengan wajah pucat
pasi. Matanya terkatup, redup.
Anggraini cepat mengambil selembar daun bambu.
Dan tangannya pun bergerak sekelebat. Wes... tes!
Tali besar pengikat kaki Agungcakra terputus tanpa
kesulitan, seakan baru saja ditebas sebilah kelewang amat
tajam. Tubuh lunglai si anak muda malang, pun meluncur
jatuh. Tapi, Anggraini menyergapnya sigap.
"Nisanak, apakah kau pernah mendengar cerita anak
manusia....," kata Agungcakra lirih. Tubuhnya telah
terbaring di tanah, sementara kepalanya senga-ja dipangku
Anggraini. "Tentang seorang yang begitu menyayangi adik
kandung ayahnya. Dia mencari sang bibi yang menghilang
bertahun-tahun, tanpa kenal lelah dan tanpa kenal
menyerah.... Lalu ketika bibi yang disayangi ditemukan,
tiba-tiba dia harus menerima kenyataan pahit. Harapannya
untuk menerima kasih sayang yang dulu pernah hilang,
lebur dalam sekejap. Sang bibi ternyata tak lagi seperti
dulu. Sang bibi yang disayanginya kini tiada. Yang ada
hanyalah perempuan keji yang sudi mencabik-cabik atas
perintah orang lain, yang sama sekali tidak mempunyai
hubungan darah.... Ugh-ugh!"
Hati lembut Anggraini tersentuh. Nurani
kewanitaannya trenyuh. Tak kuasa melihat kekecewaan
Agungcakra menjelang ajal yang kian dekat.
"Bertahanlah, Cakra. Kau pasti selamat...," hibur
Anggraini bergetar lemah.
Seakan gadis itu bisa merasakan rasa sakit di ke¬
dalaman jiwa goyah Agungcakra. Tak terasa garis-garis
bening mulai menggantung di matanya.
"Aku letih mencari, Nisanak. Amat letih...."
Agungcakra memperlihatkan tawa rapuh yang
demikian pahit, seolah menertawai keburukan nasib-nya.
"Jangan salahkan bibiku, Nisanak. Biar bagaimana
pun, aku tetap menyayanginya. Hanya 'sisi gulita' dalam
dirinya yang membuatnya begitu," desah Agungcakra,
mengutip sajak yang pernah dibacakan di depan Andika
dan Anggraini.
Setelah itu, tak ada lagi kata. Tak ada lagi. Bahkan
sekadar desah napasnya. Agungcakra telah mati akibat
tangan orang yang disayanginya.
Dunia menjadi bisu tiba-tiba bagi Anggraini. Tubuhnya
terpaku diam, memandangi jasad Agungcakra di
pangkuannya. Dua bulir bening merambah turun dari
kehalusan pipi gadis itu. jatuh tepat di sisi bibir Agungcakra
yang masih memperlihatkan senyum kekalahan atas
nasibnya.
Belum puas gadis itu melepas keharuan, mendadak
sebuah jemari kekar menyentuh bahunya dari belakang.
Begitu lembut dan hangat, seolah menyadarkan dirinya
dari kebisuan panjang mengiringi jiwa Agungcakra yang
pergi.
"Dia telah mati, Nisanak," ucap seorang di belakang
Anggrai ni.
Begitu menoleh, Anggraini jadi terhibur setelah tahu
siapa yang ada di belakangnya. Ternyata, orang itu adalah
Andika, yang mengikutinya sejak gadis itu meninggalkan
kotapraja. Pendekar Slebor terus mengikuti Anggraini
sampai tiba di tempat ini.
"Apakah kau percaya?" kata Anggraini, "Kemarin
malam, dia masih tertawa dengan kita. Masih membaca
sajak indah untuk kita...."
Andika tak mampu berkata-kata.
Beberapa saat lalu, Andika dan Anggraini telah
menguburkan jenazah Agungcakra dengan hidmat di
tempat itu juga. Kini, mereka sudah berada di punggung
kuda masing-masing. Anggraini masih menatap gundukan
tanah basah di depan.
"Kasihan dia...," bisik Andika seolah pada diri sendiri.
Gadis itu kemudian membalikkan arah kudanya. Lalu
binatang itu berjalan perlahan. Andika menyusulnya di
belaka ng.
"Kenapa kau terus mengikutiku?" tanya Anggraini
pada Andika beberapa waktu kemudian.
"Aku hanya khawatir padamu," kata Andika.
Anggraini menatap Andika lekat-lekat.
"Kenapa? Apa kau anggap aku lemah, sehingga perlu
dikhawatirkan?" ujar gadis itu agak tersinggung.
Andika tersenyum.
"Soal kepandaianmu, aku tak begitu ragu. Dari
caramu menotok kuda almarhum Agungcakra waktu itu,
aku bisa menilai kalau ilmumu cukup bisa diandalkan
untuk menjaga diri. Aku hanya khawatir, karena kau orang
baru di dunia persilatan busuk ini...."
"Dari mana kau tahu?"
"Dari caramu waktu memperlakukan aku dan
Agungcakra dulu. Kau begitu curiga pada kami dan begitu
hati-hati. Bahkan kau sempat hendak menurunkan tangan
kejam pada Agungcakra waktu itu...."
"Ya.... Aku memang menyesal...," sela Anggraini,
leringat sikap kasarnya pada pemuda yang ternyata
berusia singkat itu.
"Nah! Menurut pengalamanku, hanya orang-orang
yang baru turun ke dunia persilatan yang bersikap seperti
itu," papar Andika enteng. Kembali bibirnya
memperlihatkan senyum menawan, membuat Anggraini
agak rikuh.
"Dugaanku terhadap kalian ternyata keliru. Mulanya,
aku mengira kalian sejenis pemuda hidung belang. Tapi,
nyatanya kalian berhati mulia...," kata Anggraini dengan
kepala terjatuh. Matanya memandangi jalan berkerikil,
seolah merasa bersalah.
"Aku? Aku kau sebut berhati mulia?" tukas Andika,
memperlihatkan wajah mencemooh diri sendiri. "Kau
belum tahu saja."
"Di samping itu, aku mendapat hikmah dengan
bertemu Cakra," kata Anggraini, tak mem pedulikan
gurauan Andika. "Ternyata, kita sering tertipu oleh banyak
hal. Mulanya kita yakin, Agungcakra telah merasa gembira
telah bertemu bibinya yang telah dicari sekian lama...."
"Ternyata dia mengalami nasib mengenaskan.
Makanya kau pun harus berhali-hati. Di dunia ini banyak
'bungkusan bagus, tapi isinya bangkai 1 ...," potong Pendekar
Slebor.
Anggraini diam-diam menatap terus pemuda tampan
yang berkuda di sisinya. Tak dinyana kalau pemuda ini
mempunyai perhatian besar. Tadi, Andika mengatakan
kalau mencemaskan Anggraini. Kini dari mulutnya
meluncur nasihat-nasihat yang begi-,tu bijak.
Diam-diam pula senyum tipis tersembul di sudut bibir
Anggraini. Keketusannya saat itu seperti terbang entah ke
mana.
"Jangan suka mencuri-curi pandang padaku, Nisanak.
Nanti kau bisa jatuh cinta!" cetus Andika tak terduga.
Padahal, sedikit pun Andika tak menojeh pada Anggraini.
Anggraini di sisinya saat itu juga memperlihatkan
semu merah yang merebak di kedua belah pipinya.
Belum sempat Anggraini menyembunyikan wajahnya
yang merah karena malu, mendadak.
"Siapa pun yang menjejakkan kakinya di tanah ini,
harus mati!"
"Heh?!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar,
membuat Andika dan Anggraini terkejut. Belum sempat
keterkejutan mereka hilang, menyusul berkelebatnya
sesosok bayangan merah....
9
Andika dan Anggraini tahu, kalau yang berdiri tegak
menghadang jalan mereka adalah Ratu Lebah. Tampak
masih membekas darah di kuku-kukunya yang berwarna
keunguan. Tak terlintas kesan penyesalan di wajahnya atas
kematian Agungcakra.
Seperti ucapan Agungcakra menjelang kematian,
memang bibinya itu yang telah menurunkan tangan keji.
Semula, Mayangseruni sendiri tak pernah terbetik niat
untuk menghabisi Agungcakra. Meski bagaimanapun,
ingatan tentang masa kecilnya bersama Agungcakra masih
tetap tersisa.
Sewaktu Pangeran Neraka memerintahnya
membunuh Agungcakra, bahkan masih sempat terjadi
pertentangan batin dalam dirinya antara pengaruh jahat
Pangeran Neraka dengan benih kasih sayang yang tersisa.
Sayang, pengaruh lelaki sesat itu lebih kuat menguasai
pikirannya. Dengan telengas, Ratu Lebah menyerang
keponakannya sendiri yang sangat disayangi.
Perbedaan kesaktian yang jauh terpaut antara
Mayangseruni dengan Agungcakra, membuat wanita itu
tanpa kesulitan berarti mengoyak-ngoyak kulit tubuh
Agungcakra. Saat pemuda tersebut melemah, Pangeran
Neraka menjerat kakinya dengan tambang besar.
Agungcakra digantung di sebuah tiang.
"Rupanya sang bibi bertangan dingin itu," kata
Anggraini, menyambut penghadangan Ratu Lebah dengan
riuh. Matanya berkilat-kilat gusar. "Tak kusangka, kau
ternyata hanya seekor hewan betina buas, yang tega
menghabisi nyawa keponakan sendiri!"
"Apa maumu Ratu Lebah?" tanya Andika datar.
Pemuda itu berusaha tetap menjaga ketenangan.
Hatinya juga terbakar. Terlebih kalau ingat keadaan
terakhir Agungcakra. Tapi menurut pengalaman-
pengalaman yang lalu, akan sangat berbahaya bila
menghadapi tokoh sesat yang sulit terukur kepandaiannya
dengan gegabah.
Wajah dingin Ratu Lebah tampak berubah. Mulutnya
menyeringai seraya melempar sorot mata keji pada Andika.
"Perjaka tampan! Kau tentu belum pernah melayang-
layang dalam tungku tanpa batas...," desis Ratu Lebah
dingin. Sulit dipahami Andika dan Anggraini.
"Aku tak paham maksudmu," kata Andika. 'Tak perlu
lagi berbasa-basi dengan wanita busuk ini, Andika! Dia
harus menerima hukuman!"
Anggraini tak bisa menahan kegeraman. Betapa muak
hatinya melihat seringai Ratu Lebah. Matanya jelas sekali
menemukan pandangan telengas wanita itu.
Dara dari Tanah Buangan itu lantas mengangkat satu
tangannya ke depan tubuh perlahan dan pasti. Wajahnya
berubah menegang.
"Kau rasakan ini!" seru Anggraini berbareng gerakan
tangan, membuat pukulan jarak jauh ke bumi.
Wesss!
Serangkum angin pukulan menebar hawa panas kuat
terlepas, lalu menghujam bumi. Tempat yang terkena
langsung membara selebar roda pedati. Asap hitam
mengepul di sekitarnya. Beberapa saat kemu-,dian....
Grrr!
Bumi bagai digoncang, menciptakan gemuruh
dahsyat. Dua kuda tunggangan Andika dan Ang-,graini
mulai kalang kabut. Mereka meringkik-ringkik liar dengan
kaki depan melonjak-lonjak. Seolah ada sesuatu yang amat
menakutkan mereka.
Saat berikutnya, retakan tanah tercipta. Berpusat dari
tempat Anggraini melepas pukulan 'Kekuatan Kembar'nya,
retakan meluas dan Irian meluas. Kuda tunggangan anak
muda itu pun tersentak mundur ketakutan sewaktu
retakan lebar membelah tanah di depan. Seketika kuakan
besar tercipta, memunculkan wujud mengerikan. Besar,
bersisik serta keperakan.
Andika terpukau. Seumur hidup, baru kali ini matanya
melihat makhluk raksasa itu. Bahkan benaknya pun tak
pernah sekali pun membayangkan-nya.
"Kadal linglung-kecoa bunting!" desis Pendekar Slebor
dengan rrtata terbelalak besar-besar, seakan siap
melompat keluar. "Nenek moyang ular dari mana ini?"
Sekilas Pendekar Slebor menatap Anggraini tanpa
sempat berkedip. Hampir tak bisa dipercaya kalau gadis di
sebelahnya itu yang telah mengundang si ular raksasa
muncul.
"Nisanak! Apa kau sejenis siluman ular? Atau kau
mahaguru para pawang ular? Atau..., atau aku yang
memang sudah tidak waras?" tanya Andika padanya.
Anggraini seperti tak pernah mendengar gumam
takjup Andika lagi. Tangan kanannya diacungkan lurus-
lurus ke arah Ratu Lebah. Seolah dia berkata dengan
isyarat pada sang ular raksasa, bunuh perempuan itu!
Waktu itu si ular raksasa setelah takluk pada
Anggraini, diberi nama Naga Bumi. Binatang itulah
sesungguhnya yang dimaksud buyut guru Anggraini sebagai
'kehebatan lain' dari ilmu 'Kekuatan Kembar’. Sesuatu yang
dikata ibunya sebagai 'yang tak pernah terpikirkan'. Panas
hebat dari pukulan 'Kekuatan Kembar' selalu akan
mengundangnya untuk muncul dari perut bumi,
meninggalkan pertapaannya jauh di bawah sana, untuk
menerima titah sang tuan.
Naga Bumi kini sudah menampakkan seluruh
tubuhnya yang menggetarkan. Mulutnya mendesis-desis
dengan suara bagai guruh. Mulutnya menganga,
mengancam Ratu Lebah yang berdiri dua puluh tombak
darinya. "Ssszzz!"
"Lumatkan dia!" teriak Anggraini, penuh gejolak
kemurkaan.
Hilanglah kesan gadis nakal yang sering tampak pada
dirinya. Kini sitatnya telah ganti menjadi seorang perwira
perang wanita berwibawa.
Sementara itu Naga Bumi meliuk kasar, mem-
porakkan kumpulan pohon bunga matahari di sisi jalan
setapak. Kerikil berhamburan. Bumi terus digebah getaran.
Sasarannya hanya satu. Ratu Lebah!
Wuk!
Ekornya membuat serangan pembuka. Deras
menyabet, menimbulkan angin yang bergulung
disekitarnya.
Ratu Lebah cepat melenting lincah. Caranya
menghadapi binatang dari perut bumi itu begitu pasti.
Sedikit pun tak kentara kegugupan dalam dirinya. Wajah
cantiknya tetap sedingin es. Gerakannya tetap mantap.
Selagi melayang di udara, tubuh Ratu Lebah di-terjang
kepala binatang raksasa yang mematuk dengan mulut
menganga.
Satu gaya menyelamatkan diri dari lahapan mulut
sebesar goa kini dibuat Ratu Lebah. Dengan lentur,
tubuhnya yang semula tergulung, merentang lurus ke
depan. Kedua tangannya terbentang ke muka, siap
menyambut kepala lawan. Ketika hampir tertelan, dua
tangan wanita itu menyentak kuat taring besar di mulut si
ular raksasa.
Das!
Ratu Lebah berhasil menjauhi lawannya dengan
memanfaatkan tenaga dorongannya sendiri. Tubuhnya pun
jatuh dengan kuda-kuda matang, siap menanti terjangan
selanj utnya.
Sementara si ular raksasa bagai tak pernah
merasakan sakit pada taringnya. Dia terus saja merangsek.
Jaraknya dengan lawan kecilnya yang tak begitu jauh,
segera dicapai dengan patukan panjang.
Wuuukh!
Pada saat yang sama, Ratu Lebah sedang memu¬
satkan seluruh kemampuan tenaga dalamnya, untuk
menahan patukan kepala besar itu.
"Chiaaa!"
Dark!
Beriring teriakan melengking tinggi, pukulan tenaga
dalam Ratu Lebah terlepas, lantas menghajar telak
moncong si ular raksasa. Luncuran kepalanya langsung
terhenti di tempat, seakan baru saja terhadang benteng
kokoh kasatmata.
"Ayo! Serang aku lagi, Binatang Keparat! Biar kukirim
kau ke suatu tempat yang menyenangkan, tempat kita
berpesta dengan siksaan!" tantang Ratu Lebah sulit
dipahami.
Seperti mengerti ucapan lawan, si ular raksasa
memacu kembali tubuhnya dengan kemurkaan maha
besar. Hantaman Ratu Lebah telah membuat darahnya
mendidih. Sepasang mata merah darahnya kian memerah
pekat. Di sisi-sisinya mulai berpijaran.
Anehnya, si ular raksasa tak segera menuju lawannya.
Tubuhnya meliuk ke atas. Lalu tiba-tiba, kepalanya
menyeruduk bumi, menciptakan lobang besar. Kemudian
dia menelusup dan menghilang.
Permukaan tanah di sekitar arena pertarungan
bergetar hebat seperti semula. Tak ada yang tahu, apa
yang hendak dilakukan binatang langka mengerikan itu.
Yang pasti, kini dia sudah mengaduk aduk isi bumi.
Ratu Lebah berdiri waspada. Diperhatikannya
permukaan tanah tanpa berkedip sekejap pun. Mata-nya
liar bergerak kian kemari, menjaga kemunculan sang
lawan yang bisa saja muncul tiba-tiba.
Kewaspadaan Ratu Lebah tak sia-sia. Si ular raksasa,
seperti dugaannya, memang muncul mendadak dari dalam
bumi tepat di atas tempatnya berpijak.
Gruak!
"Haiiit!"
Ratu Lebah berhasil menggenjot tubuh ke atas,
dengan segenap kemampuan ilmu meringankan tubuhnya.
Sayangnya, kemunculan kepala si ular raksasa lebih cepat
dari dugaannya. Kepala besar itu cepat menyusul beringas
ke atas dengan mulut menguak lebar-lebar.Plap!
Sekejap saja, tubuh Ratu Lebah masuk ke dalam
rongga mulutnya.
Andika di kejauhan ternganga amat takjup. Wanita itu
pasti telah ditelan mentah-mentah oleh si ular raksasa itu.
Tapi kenyataan berikutnya membuat dia lebih ternganga
takjup. Di dalam rongga mulut Naga Bumi, tampak Ratu
Lebah sedang merentang-kan tangan tubuh dan kakinya
lurus-lurus dan tegang.
Tangannya terganjal di rongga atas mulut Naga
Bu-iini, sedangkan kakinya bertahan di atas lidah.
Naga Bumi menghempas-hempas kepala ber-kali-kali.
Tubuh calon korban yang mengganjal rahangnya hendak
dilontarkannya. Berkali-kali dicoba, berkali-kali gagal.
Terkadang dicobanya mcngatup-kan rahang untuk
meremukkan sekaligus tubuh Ratu Lebah. Namun usaha
itu pun menemui kegagalan.
"Ck, ck, ck...," Andika berdecak-decak sendiri. Bibirnya
sampai maju-mundur seperti moncong kelinci.
Anggraini di sisinya menatap terus tajam-tajam Sikap
tubuhnya terlihat amat siaga. Tampaknya, dia sedang
menanti satu kesempatan. Entah untuk apa.
Seesaat kemudian, baru jelas apa yang hendak
dilakukan gadis berwajah ketus itu. Kala mulut ular
taklukannya menghadap ke arahnya, secepat kilat
tubuhnya melompat turun dari kuda yang tak henti gelisah.
Dan secepat kilat pula, dua tangannya memben tang lurus
ke depan, melepas pukulan jarak jauh 'Kekuatan Kembar'
tingkat pembuka dibidikkan amat teliti ke tubuh Ratu
Lebah.
Wusss!
. Kekuatan panas terlepas cepat, menembus udara
dan memanggangnya dalam sekejap. Asap putih
membekas, sepanjang lintasan tenaga pukulan tadi.
Arahnya demikian tajam, ke tubuh Ratu Lebah di
rongga mulut ular raksasa. Das!
Ratu Lebah kontan terhantam telak. Untung saja,
hanya bagian paha padatnya yang terhajar. Jika sedikit
lebih ke atas, bisa dipastikan nasibnya akan naas.
Kalaupun bisa bertahan menerima rangsekan pukulan
yang sanggup meremukkan karang, tentu tubuhnya akan
terdorong masuk ke tenggorokan Naga Bumi. Dia akan
menjadi isi perut ular raksasa itiu.
Beruntung pula, pada saat bersamaan ketika
tubuhnya kehilangan pertahanan, Naga Bumi meng¬
goyangkan keras kepalanya. Akibatnya, Ratu Lebah pun
jadi terlempar keluar dari rongga mulut Naga Bumi. Setelah
meluncur cukup jauh, tubuhnya jatuh meninju bumi di atas
hamparan pohon bunga matahari.
Srak!
Sekujur paha Ratu Lebah yang terkena pukulan jarak
jauh Anggraini tak bisa lagi digerakkan. Panas luar biasa
begitu terasa, bagai ada panggangan besi membara! Ratu
Lebah tak kuasa lagi berdiri di atas kuda-kudanya.
Sementara, Naga Bumi tak membiarkan wanita
telengas itu sempat bernapas lega. Binatang beringas itu
merangsek lagi dengan seluruh gambaran keganasan serta
kemurkaannya.
Menyadari tak ada lagi yang bisa diperbuatnya, si
wanita cantik yang kehilangan kewarasan ini memutar jari
telunjuknya di udara, dalam satu pengerahan tenaga
dalam. Maka sekelika suara tinggi melengking pun tercipta.
Swing, swing, swing!
Apa yang sesungguhnya dilakukan wanita itu? Jelas,
dia tidak sedang bermain-main dalam keadaan genting
seperti ini.
Mendadak, dari balik bukit sebelah tenggara, keluar
sebentuk hamparan di angkasa yang berubah-ubah
bentuk. Dari kejauhan, bunyinya bisa ditangkap.
Berdengung hingga ke balik bukit seberang. Berjuta-juta
makhluk sebesar kelingking berwarna hitam, rupanya telah
merambah angkasa. Jutaan lebah yang terkenal memiliki
sengatan paling berbisa di seantero jaga d. Bisanya,
beberapa kali kuat daripada bisa seekor ular sendok.
Lebah-lebah itu memang sengaja dibiakkan Ratu Lebah
dengan ramuan khusus yang menyebabkan mereka
memiliki bisa amat kuat.
Dan hari ini, si Pendekar Slebor sedang mendapat
jatah 'ternganga-nganga' yang melimpah. Sudah beberapa
kali dia terbengong-bengong, kini pun mesti terbengong
lagi. Siapa yang tak takjup mendapati pemandangan
seperti itu? Lebah-lebah yang terbang membentuk raksasa
ganjil di angkasa?
"Mak! Aku memang benar-benar sudah tak waras
barangkali, ya?" rutuk Pendekar Slebor pada diri sendiri.
Dipukul-pukulnya kepala seperti orang hilang ingatan.
Tak lama, jutaan lebah itu mendapat aba-aba suara
siutan dari Ratu Lebah, untuk segera menyerang Naga
Bumi.
Ngungngng!
Naga Bumi kontan diserbu makhluk-makhluk kecil
dari berbagai penjuru. Mereka menyengat seluruh kulit
Naga Bumi dengan rakus. Namun, sengatan yang bisa
menewaskan manusia dalam sekian kedip mata itu,
ternyata hanya jadi semacam cubitan kecil bagi si ular
raksasa.
Naga Bumi mengamuk. Ekornya dikibas-kibas-kan
sambil meliuk-liukkan badan. Ratusan lebah ma-lah
ditelannya begitu saja. Dan ketika sepasukan le-.bah itu
tak juga mau berhenti mengerubungi, Naga Bumi tak ambil
peduli lagi. A
Tubuh besar terus merayap menuju Ratu Lebah.
Sesaat lagi, wanita itu siap dihantamkan moncong-nya.
Wusss! Set!
Tepat ketika tinggal setengah tombak lagi mon-cong
Naga Bumi menimpa tubuh Ratu Lebah, sekelebat
bayangan menyambarnya amat cepat. Tubuh sintal Ratu
Lebah langsung dibopong di bahu seperti bungkusan
kapas.
"Hey, siapa kau?!" teriak Andika.
Seketika itu juga tubuh Pendekar Slebor berkelebat
cepat, mengejar.
10
Di dunia persilatan, ilmu kecepatan gerak dan
meringankan tubuh Pendekar Slebor tergolong berada
dalam urutan puncak. Bahkan bisa dibilang sulit dicari
tandingan. Tak jarang orang menyebut kecepatannya
sebagai sambaran petir, atau kecepatan setan.
Andai ada seseorang yang mampu mengecoh Andika
dengan kecepatannya, maka jangan ragukan lagi,
bagaimana tingkat kesaktian orang itu. Hari ini, Andika
bertemu orang semacam itu.
Sewaktu mencoba mengejar orang yang berkelebat
menyambar tubuh Ratu Lebah, Pendekar Slebor terkecoh.
Ternyata orang itu berlari lebih cepat darinya. Padahal,
sedang membopong tubuh orang lain. Dengan cepat,
Andika kehilangan jejak.
Yang menjengkelkan, orang itu muncul lagi di
kejauhan selagi Pendekar Slebor celingukan seperti kera
bodoh. Dia berdiri menanti, memperdengarkan tawanya
yang buruk. Pendekar Slebor jadi merasa diejek. Maka
dengan sepenuh kemampuan, dikerah-kannya ilmu
peringan tubuh. Dikejarnya lagi orang itu. Dan tiba-tiba
pula, orang itu menghilang seperti ditelan bumi.
"Kenapa aku hari ini dibuat kebingungan terus,"
gerutu Andika sambil menggaruk-garuk kepala. "Ada gadis
cantik yang judes tahu-tahu punya peliharaan yang
besarnya minta tobat. Ada wanita jelita setengah gila punya
peliharaan jutaan binatang 'tukang sundut 1 . Eh, bisa-
bisanya sekarang aku dijadikan bulan-bulanan orang yang
larinya cepat seperti setan...."
Di akhir gerutuan Pendekar Slebor, terdengar lagi
tawa seseorang di kejauhan. Jelek dan serak seperti tadi.
Andika mendengus kesal. Dia merasa dipecundangi hari
ini.
Kalau diperhatikan lebih teliti, Pendekar Slebor
berkesimpulan kalau suara itu keluar dari pita suara
seorang tua renta. Jika lelaki, suara itu terlalu cempreng.
Kalau begitu, pasti suara perempuan bangkotan. Tapi,
siapa?
"Ah, peduli setan!" maki Andika. "Aku tidak mau cepat-
cepat jadi gila memikirkan perempuan bangkotan itu!"
Andika lalu berlari kembali ke tempat semula. Hendak
ditemuinya Anggraini. Biar sudah tahu gadis itu punya
peliharaan yang bisa diandalkan, Andika tetap saja
khawatir dengan keselamatannya. Seperti pernah
diungkapkan pada Anggraini, rimba persilatan terlalu licik
bagi seorang yang baru menceburkan diri ke dalamnya.
Seperti juga Anggraini.
Tak banyak memakan waktu, Pendekar Slebor sudah
tiba kembali. Tapi di Sana, tak ditemukan seorang pun.
Tidak juga Anggraini. Ular raksasa dan se-kumpulan lebah
itu pun sudah tak tampak. Yang tersisa hanya suasana
yang porak poranda, akibat pertempuran dahsyat.
"Eih! Ke mana pula gadis ketus itu?" gumam Andika.
Kepala Pendekar Slebor celingukan ke sana ke-mari.
Tapi, tak ada tanda-tanda arah kepergian Anggraini.
"Anggraini! Anggraini! Anggraini!" panggil Andika.
Tak ada sahutan. Suara Andika kembali lagi, akibat
pantulan bukit yang mengepung tempat itu....
k k k
Jauh, amat jauh dari Pintu Sorga dan Neraka Dunia,
seseorang tampak berlari cepat. Bahunya membopong
tubuh seorang wanita sintal. Orang yang dibopong
berukuran lebih besar. Tapi, bukan karena itu tubuhnya
membu ngkuk.
Orang itu adalah nenek tua peot. Rambutnya putih
digelung, dihiasi tusuk konde dari trisula. Seluruh wajahnya
dipenuhi keriput. Di mulutnya tersembul satu gigi besar
yang tersisa. Dia mengenakan pakaian seronokan. Bagian
atas tubuhnya ditutup rompi kulit kayu yang terbuka ke
mana-mana, sehingga buah dadanya yang kendor
bergelayut kian kemari. Bagian bawah tubuhnya ditutup
dedaunan yang diikat menjadi satu ke pinggang.
Nenek peot itu memasuki wilayah pekuburan tua, di
atas kaki gunung. Di tengah kuburan, tumbuh sebuah
pohon beringin besar. Dihampiri pohon itu. Di sisi pohon, si
nenek terbatuk-batuk sesaat. Dan, terbukalah satu sisi
pohon membentuk pintu masuk. Rupanya, saat batuk tadi
dia melepas satu tenaga dalam yang menggerakkan roda-
roda di bawah pintu yang beratnya mungkin lebih berat tiga
kerbau jantan dewasa!
Si nenek masuk. Dan pintu pun tertutup kembali.
Di dalam, ternyata ada tangga menuju ke bawah,
terbuat dari susunan batu besar dari sungai yang dipapas
oleh tangan membentuk persegi panjang.
Setelah menuruni sekitar sepuluh tangga ber-warna
merah, lima anak tangga kuning serta seratus dua puluh
tangga hijau, si nenek tiba di depan pintu kedua. Begitu
pintu batu dibuka, terlihatlah ruangan besar lengkap
dengan perabotannya. Ada meja dan bangku yang
semuanya dari batu. Ada rak tempat piring dan gelas tanah
liat. Ada juga semacam tempat tidur dari tumpukan jerami.
Di tumpukan jerami itu, Ratu Lebah direbahkan.
"Duh, Nduk.J. Nduk. Kasihan sekali nasibmu!" kata si
nenek. Wajah keriputnya terlihat prihatin. "Bodohnya, aku
terlambat mengetahui keadaanmu. Aku terlalu yakin pada
ilmu-ilmu yang telah kuberikan padamu. Untung saja, aku
iseng-iseng keluar dari tempat pertapaan bau pesing ini,
Nduk."
Di lain sisi, si sosok yang diajak bicara hanya diam
tanpa gerak. Matanya terpejam tenang, seperti tak pernah
terjadi apa-apa pada dirinya. Sebelum disambar si nenek
peot, Ratu Lebah alias Mayangseruni rupanya sudah
ditotok lebih dahulu.
"Sebentar, Ndukl" pamit si nenek. "Akan kuambilkan
dulu Baki Penerawangku."
Beberapa lama, perempuan tua itu tampak mencari-
cari sesuatu di sudut ruangan. Bunyi barang-barang
berantakan terdengar kacau dan bising. Mungkin akan
lebih tepat kalau dikatakan sedang mengaduk-aduk
perabotan.
Prak! Gedubrang! Gedubreng!
"Nah hek hek hek! Akhirnya ketemu juga Baki
Penerawang sial ini," cetus si nenek gembira didahului
tawa jelek menyakitkan telinga.
Dengan tertatih-tatih, nenek ini menaruh baki usang
dari sejenis bata laut ke meja batu.
"Sekarang aku perlu air. Air.... hm.... Air di tempayan
sudah kering kupakai untuk berkumur. Mau ambil di luar
malas. Ah! Masa bodoh!" kata si nenek. Segera dibawanya
baki kembali ke satu sudut ruangan. Di sana dia
berjongkok di depan baki.
Srrr!
Tak lama kemudian, si nenek tertawa-tawa puas. Satu
gigi besar berwarna kuning pekat di mulut keriputnya
tersembul.
"Biar pesing sedikit, yang penting air, hek hek hek!"
Kemudian si nenek meletakkan baki di meja batu, lalu
duduk bersila di atas meja batu tersebut. Dengan mata
terpejam, dia bersemadi. Kalau orang lain bersila, nenek
tua renta itu malah berjongkok seperti sedang buang hajat.
Kedua tangannya ditempelkan ke kening. Mulutnya komat-
kamit.
"Ningnangneng... gong, anak bagongmakan sing-kong,
kodok bangkok di dalam centong.... Ning nang neng... pret,
ada lontong disangka kampret! Phuah! ' Phuah! Khoaek
chuih!
Mantera dari dunia antah berantah telah dibacakan si
nenek. Matanya pun terbuka perlahan. Masih tetap dengan
tangan di kening, diperhatikannya permukaan 'air' di dalam
baki.
"Mmm, ya ya. Begitu rupanya," gumam si nenek
seraya mengangguk-anggukkan kepala. "Jadi, kau ini
terkena pukulan beracun Perusak Saraf dari negeri
Tiongkok, Nduk."
Si nenek mengangkat kepalanya sesaat.
"Weleh, weleh... weleh.... Bisa-bisanya pukulan dari
negeri jauh itu menjahili anak gadisku...."
Si nenek mengembalikan pandangan ke baki. Air
kekuningan di sana kembali mengabarkan berita padanya.
"Jadi, manusia berjenggot kambing gunung itu biang
keladinya. Eee, Manusia Jelek Sial!"
Berita-berita gaib dari Baki Penerawang pun dilihat
terus oleh si nenek, yang sesungguhnya adalah guru Ratu
Lebah. Dialah pertapa wanita yang dulu menculik
Mayangseruni, untuk dijadikan murid. Setelah semua
keterangan dari baki dianggap cukup, acuh tak acuh
dilemparnya baki tersebut ke tempat semula.
Gedubnang!
Dan bau menusuk hidung pun menebar ke segenap
ruangan!
"Sayang sekali, racun itu tak ada pemunahnya, Nduk.
Pengetahuanku tentang racun pun tak bisa menolongmu.
Jadi bagaimana, ya? Tapi menurut Baki Penerawang sial
tadi, kau bisa sembuh oleh pertolongan seseorang yang
telah memakan buah 'inti petir'. Dengan buah itu, orang
tersebut akan menyalurkan kekuatan petir yang bisa
menghancurkan pengaruh racun di otakmu.... Weleh..
weleh... we-leh.... Menyusahkan juga ya, Nduk!
Si pertapa keriput menatap wajah Mayangseruni.
Mata gadis itu masih terkatup tenang. Bibirnya
memperlihatkan lekukan manis, seperti senyum
kebebasan. Perlahan dadanya yang padat turun naik
teratu r.
"Pokoknya, aku janji. Siapa saja perjaka yang makan
buah 'inti petir' dan bisa menolongmu, maka dia harus
mengawinimu. Kalau tidak mau, tahu sendiri dia! Akan
kusunat dia! Eh! Tapi, mana ada jejaka yang menolak gadis
seayu dirimu ya, Nduk!."
Si nenek tertawa cekikikan.
"Dan buat si jenggot kambing yang mencelakakanmu.
tunggu saja! Akan kubuat lelaki sial itu terkencing-kencing
di celana! Hek hek hek... khoek chuih!"
Sebenarnya, ke manakah Anggraini? Saat Andika
pergi mengejar nenek pertapa yang menyambar tubuh
Mayangseruni, seseorang mendatanginya dari belakang.
Ketajaman telinga yang ter-latih selama di Tanah Buangan,
membuat Anggraini dengan sigap menoleh.
Tampaklah seorang lelaki berusia delapan puluhan
sedang berdiri memandangi dirinya.
"Siapa kau?" tanya Anggraini, mengungkapkan
keingintahuannya.
"Kau sendiri siapa?" kata lelaki berwajah seram itu
balik bertanya penuh selidik.
"Hey?! Pertanyaanku belum lagi kau jawab!" ser-gah
Anggraini agak gusar.
Lelaki itu kembali menatap Anggraini, tajam dan teliti.
Matanya menyusuri setiap jengkal tubuh gadis itu dari
kepala hingga ujung kaki.
"Kau lelaki bangkotan mata keranjang!"' sodok
Anggraini kasar, menyadari dirinya sedang dilalap mentah-
mentah oleh mata lelaki di depannya.
"Baik. Aku biasa dipanggil Pangeran Neraka," sahut
lelaki tua itu.
Ditunggunya tanggapan Anggraini. Gadis itu tak
tampak terkejut mendengar nama angkernya. Padahal,
banyak tokoh persilatan langsung kecut nyalinya
mendengar julukan itu.
"Kau tidak terkejut mendengar julukanku?" tanya
Pangeran Neraka.
"Kenapa harus terkejut? Apa kau kira namamu
membuat aku takut dengan embel-embel 'neraka'?"
cemooh Anggraini ketus sekali.
"Artinya, kau adalah orang yang baru turun ke dunia
persilatan...," simpul Pangeran Neraka, tak menggubris
cemooh tadi.
"Apa pedulimu!"
Sekali ini, mata berbinar menusuk milik Pangeran
Neraka tertumbuk pada cemeti yang melingkar di pinggang
si dara.
"Sejak tadi aku penasaran dengan cemeti itu, Gadis
Muda. Siapa kau sebenarnya? Apa hubunganmu dengan
Begal Ireng?" desak Pangeran Neraka penuh selidik.
"Justru hal itulah yang ingin kutahu. Kemarin, aku
dengar pula nama Begal Ireng disebutkan seseorang di
kedai. Kata mereka, dia berhubungan dengan Kembar Dari
Tiongkok!"
"Ada urusan apa kau dengan dua lelaki kembar itu?"
"Bukan urusanmu!"
"Jangan bertele-tele, Anak Gadis! Aku bisa
membawamu langsung pada Kembar Dari Tiongkok, asal
kau katakan apa urusanmu dengan mereka!" te-gas
Pangeran Neraka datar, namun menusuk.
Mata memikat Anggraini menatap Pangeran Neraka.
Kali ini, dia ganti menyelidik, dengan pandangan. Dengan
sedikit menimbang-nimbang, akhirnya Anggraini mau terus
terang juga. Dia memang hanya ingin secepatnya
mengorek keterangan dari Kembar Dari Tiongkok.
"Menurut kawanku, aku bisa mendapat keterangan
tentang cemeti ini dari dua orang itu," kata gadis dari
Tanah Buangan ini.
"Nama kawanmu?" tanya Pangeran Neraka, se-,perti
menyudutkan Anggraini.
"Kau terlalu banyak menuntut, Orang Tua! Kau bilang
tadi hendak membawa aku langsung pada Kembar Dari
Tiongkok!"
"Baik! Kalau kau tak mau menjawab pertanyaan. Tapi
jawab pertanyaanku yang satu ini, dari siapa kau dapatkan
cemeti itu?"
Anggraini menggeleng-gelengkan kepala jengkel.
"Cepat jawab, Anak Gadis. Kalau tidak, aku tak akan
mengantarmu ke Kembar Dari Tiongkok. Dan, silakan kau
bersusah payah mencari mereka," ancam Pangeran
Neraka.
"Ini dari ibuku! Puas? Lagi pula, apa kepentinganmu
menanyakan hal itu...."
"Kupu-kupu Merah?"
Belum juga selesai kalimat Anggraini, Pangeran
Neraka memenggalnya dengan satu kata yang membuat
gadis itu tersentak.
"Hey? Dari mana kau tahu nama ibuku?"
Seperti sebelumnya, Pangeran Neraka tak me¬
nanggapi pertanyaan Anggraini. Dia juga tak peduli
kebingungan yang terpancar di wajah gadis belia itu.
Dengan langkah pasti dan mantap, didekatinya Anggraini.
Didekati oleh orang yang baru pertama kali di¬
kenalnya, Anggraini jadi curiga.
"Apa maumu?!" bentak Anggraini, mempersiap-kan
kuda-kuda. Siaga.
Pangeran Neraka kian dekat. Jarak antara mereka
tinggal sedepa lagi. Tiba-tiba saja, lelaki berjenggot itu
menyambar kasar kancing baju di bagian dada Anggraini.
Sret!
Begitu cepat tangan itu bergerak. Meski Anggraini
sesigap mungkin berusaha berkelit, tetap saja bajunya
tersobek di bagian dada. Maka seketika buah dada gempal
nan lembut gadis itu pun tersembul sebagian. Tapi, bukan
itu yang menjadi sasaran perha-tian Pangeran Neraka.
Melainkan, seuntai kalung bermatakan ukiran kepala
rajawal i.
"Kurangajar!"
Plak!
Betapa murkanya Anggraini. Perbuatan lelaki di
depannya ini tak hanya mempermalukan dirinya. Harga
dirinya merasa ditelanjangi. Tangannya langsung
menampar keras pipi Pangeran Neraka yang tak mengelak
sedikit pun.
"Kau Anggraini?" tanya Pangeran Neraka pelan.
Anggraini terpaku. Masih tetap memegangi bagian
bajunya yang terkoyak, ditangkapnya sinar mata Pangeran
Neraka yang berubah lembut.
"Siapa sesungguhnya orang ini?" bisik hati Anggraini
bertanya-tanya bimbang. Semula, orang ini tahu nama
ibunya. Lalu, namanya pun disebutkan.
"Aku Lodaya. Kakak ayahmu, Begal Ireng...," tutur
Pangeran Neraka....
k k k
Ratu Lebah telah ditemukan kembali oleh gurunya
yang berperangai ganjil. Nenek peot itu adalah salah
seorang sesepuh golongan putih yang sulit dimengerti.
Dengan begitu, apakah Ratu Lebah berhasil diselamatkan?
Bisakah dia kembali memperkuat jajaran tokoh pembela
kebenaran? Atau dia tetap akan menjadi wanita bengis tak
kenal ampun?
Siapa pula pemuda yang telah memakan buah ‘inti
petir’ seperti disebutkan si nenek?
Sementara itu, Anggraini telah bertemu pamannya
langsung. Si paman sudah pasti akan menceritakan
kejadian sebenarnya, tentang pembunuh Begal Ireng, ayah
Anggraini yang dilakukan Andika.
Apakah dengan begitu rasa sukanya yang mulai
berkecambah di kedalaman hati Anggraini akan diberangus
kebencian? Bisakah gadis itu jatuh hati pada Andika yang
dibencinya?
Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode :
SEPASANG BIDADARI MERAH
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert: Abu Keisel
Editor: Arya Winata
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kanqzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kanqzusi.info/ http://cerita silat.cc/
Emoticon