BAYANG-BAYANG GAIB
oleh Pijar El
Seorang gadis cantik jelita terlihat berjalan di sebuah
dataran berumput kering. Pakaiannya merah, menantang
hari yang sebenarnya sudah cukup panas. Rambutnya yang
sebatas pinggang. Jika angin bertiup kecil, anak rambutnya
meliuk-liuk menggemaskan. Kalau melihat busur di
punggungnya, bisa diduga kalau gadis itu seorang
pendekar. Apalagi bila mengamati cara berjalannya yang
cukup gagah, meski kegemulaiannya sebagai wanita tak
hilang. Di bagian pinggang ramping gadis itu, terbelit
seutas cemeti. Sehingga penampilannya terlihat begitu
angker.
Banyak tokoh dunia persilatan mengenal, siapa
pemilik cemeti itu dulu. Memang, pemilik cemeti adalah
seorang tokoh kelas atas kaum sesat. Begal Ireng! (Untuk
mengetahui tentang tokoh ini, silakan baca episode:
"Lembah Kutukan" dan "Dendam dan Asmara").
Lalu, siapakah gadis ini? Dialah anak satu-satunya.
Sifatnya sangat bertolak belakang dengan ayahnya. Begal
Ireng adalah manusia berdarah dingin yang cukup tega
menghirup darah manusia lain. Sedang gadis ini adalah
wanita yang memiliki kelembutan hati. Meskipun sifatnya
judes dan ketus dalam berbicara (Untuk mengetahui lebih
jelas tentang diri gadis ini, baca episode : "Pendekar
Wanita Tanah Buangan").
Anggraini, namanya. Seorang gadis berilmu tinggi yang
namanya mulai merambah dunia persilatan belakangan ini,
dengan julukan Pendekar Wanita Tanah Buangan.
Mata Anggraini tampak kehilangan cahaya. Akhir-akhir
ini pikirannya memang sedang terganggu sesuatu masalah.
Khususnya, tentang seorang pendekar muda sakti nan
tampan berkepribadian menarik, yang membuat hatinya
terpesona. Pendekar itu tak lain adalah.... Pendekar Slebor.
Di samping itu, Anggraini menjadi banyak tahu,
tentang pemuda yang telah mencuri sekeping hati dari
dasar lubuk hatinya. Seolah gadis ini makin dekat dengan
bayangan Pendekar Slebor. Malah makin tak berdaya
diombang-ambingkan cinta. Namun, ada sebongkah
dendam bagai karat yang sulit dihilangkan. Bagaimanapun
juga, Pendekar Sleborlah yang telah membuatnya tak bisa
berjumpa dengan ayahnya, Begal Ireng.
Pertentangan dalam diri inilah yang membuat mata
Anggraini tampak kehilangan cahaya selama ini. Gadis ini
bagai disiksa dari dalam. Satu siksaan yang tak
kunjungpadam. Disatu sisi dirinya terus menuntut untuk
melaksanakan hasrat dendam. Sedang di sisi lain, dia kian
dilenakan oleh bayangan jejaka sakti itu.
"Berhenti kau! Aku ingin tanya padamu!"
Segala kemelut batin Anggraini pupus seketika, begitu
tiba-tiba dari arah belakang terdengar bentakan keras,
kasar, dan tak sopan. Kepalanya cepat menoleh. Tampak
seorang wanita telah berdiri angkuh tak begitu jauh di
belaka ngnya.
Untuk dikatakan tua, wanita itu tidak begitu pantas.
Baik dari perawakan ataupun wajahnya. Dilihat dari
usianya sebenarnya wanita ini masih muda. Cuma,
penampilannya saja yang tak sesuai. Rambutnya dikonde
kecil dengan amel perak, seperti kebanyakan perempuan
tua. Begitu juga pakaiannya. Amat tak sedap dipandang
mata. Karena, biasa dikenakan wanita berusia lanjut.
Kebayanya berwarna muram dengan paduan kain wiron
berwarna suram. Namun kalau menilik wajahnya, setiap
lelaki pasti akan terpana tanpa kedip. Kematangan usia
yang sekitar tiga puluhan, membawa kematangan pula
pada wajahnya.
"Siapa kau?!" tanya Anggraini setengah membentak.
Dia tak suka pada orang yang tak bersikap ramah pada
orang lain.
"Ah! Pakai tanya siapa aku segala! Cepat kasih tahu,
ke mana arah kotapraja?!" balas wanita berkebaya ini.
Lagi-lagi suaranya tak sedap masuk ke telinga Anggraini.
Diperlakukan demikian, terang saja Anggraini makin
panas. Bukannya lebih dulu minta maaf karena telah
lancang mengusik lamunannya, eee..., kini berani pula dia
berbicara kasar!
Tanpa ingin menanggapi pertanyaan wanita asing di
belakangnya, Anggraini melanjutkan langkahnya.
"Hey, apa kau tuli?!" hardik perempuan berkebaya ini
berang, merasa diacuhkan Anggraini.
Anggraini tetap saja melangkah acuh. Hardikan tadi
tak dianggapnya sama sekali.
Diperlakukan semacam itu, tak ayal lagi kegusaran
wanita berkebaya ini bertambah dua kali lipat. Seraya
mendengus, urat-urat lehernya mengejang. Dan....
"Berhenti kau!"
Terdengar mengguntur teriakan wanita cantik
berkebaya itu, saat terlepas dari kerongkongannya. Bumi
bagai digebah gempa. Rerumputan kering berterbangan,
seperti dibabat topan. Tak cuma itu. Batu-batu sebesar
kepala manusia terangkat bersamaan ke udara. Beberapa
saat seluruh batu itu melayang. Dan setelah kekuatan
teriakan tadi menyusut, barulah semuanya berjatuhan
kembali.
Suatu pamer kesaktian yang cukup mengagumkan.
Tapi kejadian ini sedikit pun tidak membuat nyali gadis
berselempang busur di punggung ini menjadi tergetar.
Tanpa menoleh, Anggraini melecehkan perbuatan
wanita berkebaya tadi.
"Permainanmu sudah cukup hebat. Tapi, belum benar-
benar hebat kalau hanya batu-batu itu yang dibuat
melayang di udara...."
Selesai berkata, sebelah kaki dara cantik berpa-kaian
merah itu menghentak keras ke bumi.
Dukh!
Seketika, batu-batu sebesar kepala manusia yang
telah berjatuhan, kini terangkat kembali. Bahkan lebih
tinggi dari semula dan lebih lama melayang di udara. Itu
pun masih tambah gerakan berputar setiap batu, sehingga
terlihat seperti puluhan gasing ajaib.
Sebelum batu-batu itu berjatuhan, sebelah kaki
Anggraini yang lain cepat dihentakkan lagi ke bumi.
Dukh!
Tak ada sekedi p mata berselang dari suara hantaman
kaki Anggraini ke bumi, tubuh wanita berkebaya turut
terangkat ke udara, menyusul bebatuan yang masih
berputar tak karuan.
"Genderuwo perempuan keparat!" maki wanita
berkebaya ini. Sementara tubuhnya masih terapung.
"Jangan kau pikir aku kagum dengan permainan tengikmu
ini!"
Selesai melepaskan makian, tangan wanita
be-,kebaya ini bertepuk.
Plok!
Pada tepukan pertama, seluruh batu mendadak
berhenti berputar. Semuanya diam di udara, tak beda
barisan area tanpa bentuk.
Plok!
Tepukan kedua terdengar, kini, tubuh wanita
berkebaya perlahan turun ke permukaan bumi dalam gerak
berkesan wibawa.
Dua jengkal lagi, kaki wanita berkebaya ini akan
menyentuh tanah. Namun tiba-tiba, kaki Anggraini untuk
yang kesekian kali dihentakkan lagi ke tanah.
Dugkh! Wesh!
Begitu bunyi hentakan kaki terdengar, tubuh wanita
berkebaya itu mencelat kembali ke atas. Bahkan lebih
deras dan lebih cepat.
"Genderuwo perempuan siaaal!" maki wanita
berkebaya dengan geram. Seluruh wajah cantiknya saat itu
juga menjadi merah matang. Malah, lebih matang dari
panggangan kambing guling! Bibirnya yang berlekuk
menantang, berkelok-kelok kian kemari. Agaknya dia
berusaha menahan kejengkelannya pada Anggraini.
Mata berbulu hitam dan lebat milik wanita berkebaya
itu terbelalak, tepat ketika tangannya bertepuk yang sarat
kegeraman memuncak.
"Hih!"
Tampaknya, wanita berkebaya ini tak sudi lagi
setengah-setengah dalam adu kesaktian. Seketika tiga
tepukan sekaligus dibuatnya.
Plok! Plok! Plok!
Berturut-turut bebatuan sebesar kepala yang terpaku
di udara, menjadi hancur seperti diledakkan suatu
kekuatan dari dalam. Butiran-butirannya berhamburan ke
segenap penjuru. Begitu halus, sampai-sampai desah
angin lembut pun dapat melibasnya.
Dan saat itu pula tubuh wanita berkebaya ini me¬
luncur turun dengan deras, menentang kekuatan Anggraini
yang tetap mencoba mengungkitnya dari bawah.
Dua tombak bisa dilalui. Selanjutnya, luncuran tubuh
sintal wanita berkebaya itu tersendat.
Anggraini tampaknya tak mau mengalah begitu saja.
Tanpa kentara, tenaga dalamnya yang disalurkan ke bumi
melalui kaki ditambahkan.
Kalau Anggraini tak mau kalah, wanita berkebaya itu
pun semakin kalap. Maka tekanan tenaga dalamnya
ditambah pula. Akibatnya, pengerahan yang mulai
berlebihan membuat wajahnya makin berkerut.
"Ekh.... Ekh.... Ekh...."
Wanita berkebaya ini terpejam-pejam, menekan
tenaga dalamnya agar bisa tiba kembali di tanah. Dahinya
sudah dibanjiri butiran peluh. Rona wajahnya pun lebih
matang dari semula. Bahkan mulai tampak membiru.
Kasihan dia. Sepertinya, wanita itu lebih tersiksa
daripada orang yang sulit buang air besar! "Ekh... ekh...
ngekh...."
Di tengah seru-serunya wanita berkebaya itu mejan di
udara tanpa peduli lagi pada sekitarnya, tiba-tiba saja
tenaga dorongan dari bawah lenyap bagai ditelan dedemit
rakus.
Wajah wanita berkebaya ini terkesiap. Matanya
terbuka lebar-lebar. Sayang, kebodohannya terlambat
disadari.... Gedubrak!
Anggraini rupanya telah meninggalkan begitu saja
wanita itu tanpa pamit lagi...."
2
Panas mentari siang ini memanggang bulat-bulat
kotapraja Kerajaan Alengka. Debu jalan amat ringan.
Tatkala angin bertiup menyapu jalan, debu menjengkelkan
itu berterbangan. Biar pun suasana dikatakan tak nyaman,
kotapraja tetap ramai.
Kotapraja ibarat 'lumbung gula yang mengandung
semut'. Tempat yang memiliki daya pikat berkumpulnya
banyak manusia. Bagi hampir setiap orang di tempat ini,
kotapraja adalah pusat kegiatan mencari penghidupan.
Berdenyut terus dengan ber-bagai usaha memburu nafsu
para penghuninya. Seorang pemuda berpakaian hijau
pupus tiba di sana. Rambutnya sepanjang bahu tak teratur.
Wajahnya tampan menawan. Alisnya melengkung tajam
bagai kepak sayap elang. Di bawah alis, terpancar kesan
tegar perkasa dari sorot matanya yang tajam. Begitu juga
garis rahangnya. Sementara di bahunya tersampir kain
bercorak catur.
Pemuda itu memasuki pusat kotapraja dengan
lenggangan santai. Matanya terlempar kian kemari,
menikmati segala denyut kehidupan kotapraja. Sesekali
bibir tipisnya mengembang. Namun sedang enak-enaknya
mengagumi pemandangan disana, tiba-tiba....
"Cooopeeettt...!"
Tak jauh di depan jalan tempat si pemuda berdiri,
terdengar teriakan keras yang menyeruak di antara
kebisingan lain. Menyusul dua orang berlari seperti dikejar
setan, menyeruak keramaian tanpa peduli.
Orang yang mengejar, adalah lelaki setengah baya
berpakaian perlente. Dilihat dari bahan bajunya yang
terbuat dari sutera halus, serta kancing-kancing emas
berukir menandakan bahwa dia termasuk orang kaya.
Namun, wajahnya demikian berang tak tertolong. Sambil
mengejar, tangannya berusaha menggapai orang yang
sedang diburunya.
Sedangkan yang dikejar, adalah bocah berusia sekitar
dua belas tahun. Pakaiannya lusuh dan rombeng.
Tubuhnya kurus, pertanda kehidupannya dalam
keprihatinan yang berlebihan. Rambutnya pun kelihatan
tak terawat. Kemerahan dan panjang. Juga kotor, karena
jarang dicuci. Di tangan bocah itu tergenggam erat
sekantung uang milik lelaki perlente yang mungkin telah
dicuri nya.
"Copeeeth! Copeeeth...! Tangkap bocah itu! Hoi, Anak
Dedemit! Berhenti kau...!"
Kejar-kejaran makin dekat ke arah pemuda ber-baju
hijau pupus yang masih saja berjalan santai dengan arah
berlawanan.
Selain kedua orang yang sedang berkejaran tadi,
tentu banyak orang lain di sana. Tapi, tak ada satu pun
yang peduli pada kejadian itu. Sebagian besar sibuk
dengan urusan masing-masing. Bagi mereka, urusan perut
sendiri lebih diutamakan meskipun ada yang teraniaya
sampai kehilangan nyawa.
Sebagian dari warga kotapraja memang tahu,
keadilan di kotapraja tidak bisa diharapkan. Untuk me¬
nyambung hidup sehari-hari, seorang bocah lemah
mungkin harus berebut bungkusan nasi bekas dengan
seekor anjing di tempat sampah. Jadi kalau suatu saat
ketidak adilan harus menerima ganjarannya, bukanlah hal
aneh. Maka tak heran, banyak bocah disalahkan, karena
hanya butuh makan untuk hari ini. Tapi, yang sering
diterima hanyalah caci maki dari para hartawan kotapraja.
Rupanya, para hartawan lebih suka memberi makan anjing
peliharaan, daripada....
Pada saatnya, si bocah pencopet dengan wajah
ketakutan tiba tepat di depan pemuda ganteng berpakaian
hijau pupus tadi. Dengan sigap, pemuda ini menahan laju
tubuh kurusnya dengan tangan.
"Kenapa terburu-buru, Adik kecil?" tanya pemuda
berbaju hijau pupus ini, pura-pura tak tahu.
"Lepaskan aku, Bang! Lelaki lintah darat itu akan
menginjak-injakku kalau sampai tertangkap!" teriak si
bocah ketakutan. Kepalanya menoleh ke belakang,
mewaspadai lelaki yang memburunya.
"Kena kau!" sergah lelaki setengah baya berpakaian
perlente, ketika tiba di dekat pemuda berbaju hijau pupus.
Tangan kirinya cepat meraih belakang baju anak kurus itu.
Tanpa peduli pada siapa pun. tangannya yang lain
terangkat tinggi-tinggi. "Biar mampus kau!"
Laki-laki perlente ini hendak mengirim bogem mentah
ke arah bocah pencopet.
Tindakan itu membuat bocah pencopet ini merengket
dalam rangkulan pemuda berpakaian hijau pupus.
Matanya dipejamkan rapat-rapat, pasrah.
"Ampun...!"
Sekejap lagi tangan kasar lelaki setengah baya itu
tentu akan telak menimpa sasarannya. Namun.... Tap!
Sebuah tangan menghadang tindakan laki-laki
perlente. Memang, pemuda berbaju hijau pupus itu yang
melakukannya. Gerakannya sungguh menga-gumkan.
Begitu cepat, sehingga nyaris tak terlihat. Sementara,
tangan yang lain membuat bocah pencopet kini telah
berada di belakang si pemuda.
"Kenapa kau bengis sekali terhadap bocah lemah?"
tanya pemuda tampan ini dengan tatapan dingin.
Karena tangannya ditahan secara begitu
menakjubkan, lelaki setengah baya berpakaian perlente
agak tergetar hatinya. Apalagi ketika matanya ber¬
tumbukan dengan tatapan dingin pemuda bermata
setajam sembilu itu.
"Sss... siapa..., siapa kau?" tanya lelaki setengah baya
gelagapan, tergebah pengaruh mata pemuda ini.
"Aku hanya seorang pengembara," jawab pemuda itu
singkat dan datar. "Sekarang, jelaskan padaku. Mengapa
kau hendak menghajar anak kecil ini?"
"Ddd... dia mencopet kantong uangku.... Tolong aku,
Tuan Muda. Lepaskan tanganku. Biar kuhabisi anak tak
berguna ini," pinta lelaki setengah baya, memelas.
Pemuda yang menjadi tempat berlindung si bocah
pencopet tak sudi meluluskan begitu saja permintaan laki-
laki perlente. Matanya terus saja menyelidik, bagai hendak
menerobos langsung ke dalam jantung lelaki yang masih
dicekal nya.
Memang terlihat kesan kebusukan pada sinar mata si
lelaki setengah baya. Mungkin benar, bahwa bocah kecil ini
sebagai pencopet. Namun lelaki ini justru terbiasa hidup
dengan menghisap darah sesama. Kini, seenaknya saja
bocah kecil ini dituding sebagai anak tak berguna. Padahal,
dirinya sendiri bukan saja tak berguna. Lebih dari itu,
malah bersenang-senang di atas kesengsaraan orang lain!
Seraya melepas senyum sinis, pemuda itu menoleh ke
arah bocah pencopet di belakang tubuhnya.
"Benar kau telah mencopet kantong uang orang ini,
Adik Kecil?" tanya pemuda ini setenang telaga.
"Ya, aku memang mencopetnya. Tapi itu hasil kerjanya
memerah uang rakyat! Bunga dari hutang yang diberikan
pada rakyat, terlalu tinggi dan mencekik leher!" tukas si
bocah, lugu dan jujur.
"Tutup bacotmu!" hardik lelaki perlente dengan mata
membesar penuh. Tangannya telah dilepas oleh si
pemuda. Itu yang membuatnya jadi mulai berani berkoar
lagi.
"Asal Abang tahu, keluarga yang baru saja diperasnya
baru saja mengalami kesusahan. Anaknya meninggal.
Mereka butuh uang untuk menguburkannya. Tapi orang
busuk ini malah merampas uang keperluan pemakaman!""
Tanpa segan-segan ataupun takut-takut, semua
kebejatan yang baru saja dilakukan lelaki lintah darat ini
diutarakan si bocah.
"Tutup bacotmu! Tutup bacoootmu!" hardik si lelaki
perlente makin kalap. Namun, dia tak berani bertindak
lebih dari itu di bawah ancaman mata si pemuda.
"Kalau begitu, ayo cepat kau kembalikan!" perintah si
pemuda tanpa mau banyak urusan lagi. "Tapi, Bang...."
"Jangan pakai tapi-tapian segala! Apa susahnya
mengembalikan kantong uang orang ini?" desak si
pemuda.
Dengan setengah menggerutu serta wajah tertekuk,
bocah pencopet ini mau juga mengeluarkan kantong uang
hasil jarahan dari balik baju rombeng-nya.
"Nih. makan biar perutmu menggelembung!" umpat
bocah itu seraya melempar kasar kantong uang tadi ke
tanah.
Si lelaki perlente mengambilnya. Matanya menusuk
tajam, mengancam pada si bocah. Rupanya hatinya masih
penasaran karena belum menghajar. Dan baru saja dia
hendak maju, pemuda berbaju hijau pupus itu
mengangsurkan badannya.
"Heee... he... he! Cuma bercanda kok, Tuan Mu-da!"
celoteh laki-laki perlente ini memuakkan.
Tanpa permisi lagi, apalagi berterima kasih, lelaki
perlente itu melewati si pemuda dan bocah pencopet tanpa
permisi. Tangannya asyik menimang-nimang kantong uang
hasil perasan dengan hati puas.
"Abang keterlaluan!" bentak si bocah pada pemuda di
dekatnya, sepeninggalan lelaki perlente tadi.
"Keterlaluan bagaimana?" tanya si pemuda, acuh tak
acuh.
Pemuda itu lantas melangkah perlahan. Sementara si
bocah pencopet mengikutinya di belakang. Terkadang dia
pindah ke sisi kiri si pemuda, terkadang pula ke kanan.
Anak tanggung itu tampak tak puas atas tindakan pemuda
yang sebenarnya telah menolongnya.
"Jangan Abang pikir sudah menolong! Aku sungguh
tidak merasa baru ditolong. Biar mampus, aku tidak akan
berterima kasih!" cecar si bocah bersungut-sungut.
Kepalanya mendongak-dongak ke wajah pemuda yang
diikutinya.
"Hush! Kau ini kenapa jadi seperti nenek-nenek saja!"
sergah si pemuda.
"Aku tidak peduli, Abang mau bilang apa! Pokoknya
aku tidak terima perlakuanmu! Apa Abang tahu, keluarga
yang sedang berkabung itu tidak bisa mencari uang lagi
dalam waktu yang begitu mendesak! Eee, Abang tega-
teganya menyuruhku mengembalikan uang itu! Huh....
Huh!" dengus si bocah, kesal.
"Sudah, tidak usah merajuk seperti itu," ujar si
pemuda tenang. Lalu dikeluarkannya segenggam uang
perak dari balik pakaian. "Ini ambil! Pakai untuk keperluan
anak keluarga yang tertimpa kemalangan itu!"
Mulut si bocah mendadak terkatup. Kicauannya yang
bising terhenti seketika.
"Ayo, ambil! Kenapa diam?" kata si pemuda, mencoba
meyakinkan bocah itu kalau benar-benar hendak
memberikan uang di tangannya. "Ayo, buka tanganmu!"
Meski agak ragu, si bocah membuka tangan juga.
Lantas pemuda berambut gondrong itu menuang
segenggam uang perak ke tangan kurusnya.
"Terima kasih, Bang.... Kukira, Abang juga berhati
busuk seperti lelaki tadi." tutur si bocah, malu-malu.
"Tidak usah berterima kasih padaku...," kata pemuda
ini.
"Pada Tuhan?" selak bocah pencopet.
Si pemuda mengangguk.
"Lagi pula, itu bukan uangku, kok!" tambahnya.
Si anak tanggung ini tentu saja jadi bingung.
"Aku tak mengerti maksud Abang? Uang ini jelas-jelas
dikeluarkan dari pakaian Abang. Tapi, kenapa dibilang ini
bukan uang Abang?" tanya bocah tanggung itu sambil
mengangsur-angsurkan tangan yang berisi uang ke muka.
"Uang itu, ya hasil copetanmu. Aku mengambilnya dari
balik bajumu. Dari kantong uang itu, kukeluarkan semua
isinya. Lalu kukembalikan lagi ke balik bajumu, sebelum
kau kembalikan kantong uang itu ke pemiliknya...."
Si bocah terbengong dengan mulut melompong.
Si pemuda tak begitu mengacuhkannya. Dia berjalan
kembali dengan langkah tetap santai.
"Bang!" panggil si bocah dari belakang. "Kenapa
Abang menyuruhku mengembalikan kantong uang itu
tadi?"
"Ada salahnya? Bukankah pemiliknya tadi hanya
meminta kantong uang?" sahut si pemuda tampan
menoleh.
"Jadi, apa isi kantong tadi itu, Bang?" tanya si bocah,
penasaran.
Si pemuda tak menyahut. Hanya, tangannya me¬
nunjuk ke bagian belakang seekor kambing yang ke¬
betulan hendak dijual di sisi jalan.
Kontan saja si bocah terbahak-bahak, sampai-sampai
air matanya keluar.
k k k
Bocah pencopet yang ditolong si pemuda tadi,
sepertinya tak punya nama. Sebagai anak terlantar di
kotapraja, orang-orang biasa memanggil dengan sebutan
Tompel. Julukan itu tercipta, karena tanda hitam sebesar
uang logam yang menghias pelipisnya sejak lahir.
Tampang yang dekil selalu mengakrabi diri si Tompel.
Tak hanya pakaian. Tubuh, rambut, dan wajahnya pun
begitu. Meski begitu, paras Tompel bisa dibilang menarik.
Matanya dalam, dengan kelopak bergaris tegas. Alis di atas
matanya hitam, tumbuh rata dan teratur. Hidungnya bangir
dan bibirnya tipis. Dia lebih mendekati keturunan priyayi
dengan kulitnya yang putih, andai saja tak berpenampilan
mengenaskan.
Sejak kejadian siang tadi, Tompel terus saja diba¬
yang-bayangi wajah pemuda yang menolongnya. Jauh di
dasar benaknya yang sudah ditimbun oleh ingatan-ingatan
masa lalu, raut wajah pemuda itu serasa pernah
dikenalnya.
Siapa dia, ya? Begitu yang terus terpikir dalam benak
Tompel. Terkadang pikiran itu digumamkan keluar. Setiap
kali teringat, setiap kali pula seraut bayangan masa silam
mengambang dalam ingatannya.
Lama Tompel duduk terdiam, berusaha menggali
seluruh ingatannya. Sampai akhirnya, dia bangkit tersentak
dari duduk bertopang dagu.
"Aku ingat! Sekarang aku ingat! Dia itu kan. Bang
Andika, yang dulu menjadi pencopet ulung di sini!" seru
Tompel seperti kesetanan. Sambil berseru, tubuhnya
melompat-lompat tak karuan.
Bagaimana bocah itu tidak gembira? Pemuda yang
menolongnya adalah kakang angkatnya dulu, ketika sama-
sama menjadi gelandangan kotapraja. Waktu itu, Tompel
masih berumur delapan tahun. Sedangkan Andika yang kini
tersohor dengan juluk-an Pendekar Slebor, berusia empat
belas tahun.
Dengan wajah dirasuki kegembiraan meluap, Tompel
berlari riang menuju pusat kotapraja. Hendak dicarinya
pemuda yang telah menolongnya. Tompel yakin,
ingatannya tidak keliru. Pemuda itu memang kakak
angkatnya yang pernah bersama-sama mengarungi hidup
di kotapraja beberapa tahun yang lalu.
Setibanya di pusat kotapraja, bocah kecil itu mulai
bertanya pada setiap orang yang dijumpai.
"Bang, lihat orang berpakaian hijau pupus dengan
kain bercorak catur tersampir di bahu?" tanya bocah
tanggung itu pada beberapa orang.
Kembali bocah itu mencari-cari.
"Pak.... Mak.... Euceu.... Abah.... Mas.... Lihat anak
muda yang memakai pakaian hijau muda dengan kain
catur di bahu?" tanya Tompel pula pada beberapa orang
lain.
Namun, tak ada satu orang pun tahu. Kebanyakan
dari mereka hanya menjawab dengan gelengan kepala.
Memang, siapa yang mau peduli dengan pertanyaan
seorang anak kecil gelandangan? Meski begitu, ada juga
yang mau menjawabnya sungguh-sungguh. Biasanya,
mereka sudah mengenal Tompel cukup baik. Tapi
sayangnya, mereka pun tak tahu. Sampai akhirnya, Tompel
berjumpa orang asing yang tak dikenal.
"Bang, apa pernah lihat orang asing seperti Abang,
mengenakan pakaian hijau dan bersampir kain catur di
bahu?" tanya Tompel, pada lelaki muda berpakaian serba
putih. Dari penampilannya, terlihat kalau pemuda itu
seorang pertapa.
Sambil tersenyum, pemuda berkepala gundul namun
memiliki wajah teduh ini, memandang Tompel.
"Rasanya tidak, Adik Kecil," kata pemuda itu
berbareng gelengan kepala yang perlahan.
Tompel melekuk bibir. Agak kecewa juga hatinya.
Setelah lama mencari dan bertanya, tapi belum sedikit pun
dapat keterangan yang berarti.
Tompel lalu ngeloyor begitu saja, dibayangi kekesalan
di wajah. Hingga dia lupa mengucapkan terima kasih pada
pemuda berkepala gundul itu.
"Hei, Adik Kecil!" tahan si pemuda gundul. "Kenapa
kau jadi begitu tergesa-gesa?"
Bocah pencopet itu menahan langkah. Sementara
pemuda pertapa ini menghampiri.
"Rasanya, aku pernah kenal denganmu...," lanjut si
pemuda pertapa. Sebentar saja mengingat-ingat. "Gusti...!
Bukankah kau Tompel?!"
Siapa pula Abang muda ini? Tompel terheran-heran.
Anak ini tercenung. Setelah menatap lamat-lamat wajah
pemuda di depannya, timbul bayangan masa lalu yang lain,
seperti ketika mengingat wajah pemuda berpakaian hijau-
hijau.
"Bang Suta? Kau..., Bang Sutawijaya?" tanya Tompel
ragu.
Tya, ini aku. Apa kau pangling? Aku juga pangling
padamu," balas pemuda yang dipanggil Sutawijaya.
Matanya langsung berbinar-binar. Terlihat baris bening di
bawah kelopaknya.
Tanpa sungkan-sungkan lagi, Sutawijaya dan Tompel
yang lama tak berjumpa berpelukan. Tak dipedulikan lagi
keramaian orang di sekitarnya. Padahal, sekian puluh mata
sedang menatap keduanya.
Memang Sutawijaya dan Tompel dulu pernah
bersama-sama sebagai gelandangan di kotapraja. Seperti
Andika, lelaki muda itu pun sudah dianggap sebagai abang
oleh Tompel.
Sutawijaya, Andika dan Tompel dulu pernah bersama.
Dan Sutawijaya paling tua di antara ke-tiganya. Meski
begitu, Andika ternyata sanggup bersikap sebagai
pemimpin. Ini karena Andika memiliki keberanian luar
biasa daripada yang lain. Dia juga memiliki sikap tegas,
sebagai cermin dari keteguhan hatinya dalam menghadapi
kerasnya kehidupan kotapraja. Tak hanya itu, Andika pula
yang mula-mula mengusulkan membagikan hasil jarahan
kepada orang-orang yang hidupnya kembang-kempis di
bawah telapak kaki para penguasa dan lintah darat.
Menurut Andika, uang hasil copetan dari para orang
kaya yang culas semata-mata adalah amanat yang harus
disampaikan kembali kepada pemiliknya. Dengan sedikit
kelakar, Sutawijaya dan si Tompel kecil yang waktu itu
berusia delapan tahun, menjuluki Andika "Sang Penyampai
Amanat'.
Maka suka tak suka, diterima atau tidak, ketiga bocah
itu pun menjadi tiga dedemit kecil yang paling ditakuti para
hartawan culas berkantong tebal.
"Bang! Mimpi apa, ya aku semalam...," kata Tompel,
memulai kembali.
"Memang kenapa?' tanya Sutawijaya, seraya
mengajak Tompel berjalan beriringan.
"Ya, bisa bertemu kembali dengan Abang. Kukira
Abang sudah jadi makanan cacing...," kata Tompel,
berseloroh.
"Hush!"
"Eee, siapa tahu Abang ditangkap seorang saudagar
culas yang menjadi mangsa kita dulu! Habis, Abang
menghilang begitu saja tanpa kabar berita...," tutur Tompel,
bebas lepas.
Sutawijaya tertawa renyah.
"Tunggu, Bang!" sergah Tompel tiba-tiba. "Kenapa aku
jadi lupa sama Bang Andika...?"
"Apa kau bilang?" tanya Sutawijaya, begitu mendengar
ucapan si bocah tanggung.
Kepala Tompel mendongak ke wajah Sutawijaya.
Matanya berbinar-binar, seperti hendak mengungkapkan
suatu yang menggembirakan.
"Apa Abang tahu...?" tanya si bocah tanggung,
memulai.
"Apa?" timpal Sutawijaya.
"Bang Andika tadi siang sudah tiba di sini juga!"
"Sungguh?" tanggap Sutawijaya. ikut berbinar-binar.
"Maka itu aku tadi bertanya, mimpi apa semalam...."
"Di mana dia sekarang, Pel?" tanya Sutawijaya,
bergegas. Rasanya Sutawijaya ingin secepatnya bertemu
kawan lama yang begitu lama dirindukan.
"Justru itu, tadi aku juga sedang berusaha mencari-
cari. Susahnya sungguh mampus! Setiap orang yang
kutanya, jawabnya selalu gelengan kepala. Bang Andika
seperti setan yang telat buang hajal. Tahu-tahu, hilang....
Posss!"
Mendengar penuturan Tompel, Sutawijaya tak bisa
menahan geli. Kembali dia tertawa renyah, namun tak
sampai memperlihatkan barisan giginya yang putih teratur.
Mungkin karena kini, Sutawijaya adalah seorang pertapa
yang semua tindak-tanduknya memiliki aturan dan tata-
krama sendiri.
"Jadi bagaimana tindakan kita selanjutnya. Bang?"
tanya Tompel.
"Untuk sementara, biar kita lupakan dulu soal kawan
lama kita itu. Kalau Tuhan menghendaki, menjelang senja
nanti pun kita sudah bakal bertemu. Sekarang, aku berniat
mengajakmu makan di kedai...," kata Sutawijaya.
"Hanya berniat?" gurau Tompel.
"Segalanya, kan harus diawali niat."
"Makannya?"
"Ya! Tahun kodok nanti," kelakar Sutawijaya. masih
bisa bergurau meski sudah menjalani hidup sebagai orang
suci.
Keduanya pun kembali berjalan beriringan akrab.
3
Senja tiba. Matahari jatuh lelah di tepi buana sebelah
barat. Sinarnya menguning matang, bagai terpanggang
panasnya sendiri.
Sutawijaya dan Tompel baru saja keluar dari kedai
makan murah. Tompel mengusap-usap perutnya yang agak
membuncit karena disesaki makanan. Selama di kedai
tadi, anak itu begitu rakus. Tiga piring nasi penuh
dilahapnya tanpa kesulitan. Belum lagi lauk-pauk dan dua
buah pisang ambon besar. Makanya tak heran setibanya di
pintu keluar kedai, Tompel terus saja berdahak
berkepanjangan.
"Kalau sering-sering begini, bisa 'bengkak' aku, Bang,"
ujar Tompel dengan mata terkatup-katup. Karena
kekenyangan, matanya jadi mengantuk. "Ngomong-
ngomong, Abang dapat uang dari mana? Apa masih
menjarah kantong-kantong orang-orang kaya yang
brengsek?"
Setelah itu Tompel berdahak seperti suara anak
kerbau.
"Jangan bicara sembarangan," tukas Sutawijaya.
"Uang itu kudapat dari hasil keringatku sendiri. Kau belum
tahu ya, kalau kini aku berdagang kain. Berkeliling dari satu
kota ke kota lain. Sambil berjualan, aku banyak
mempelajari sifat-sifat manusia...."
"Tapi aku kok, tidak melihat barang dagangan Abang?"
Mata Sutawijaya melirik ke satu bangunan di pinggir
jalan yang tak begitu jauh dari kedai.
"Aku menginap di penginapan itu. Jadi untuk se¬
mentara, barang daganganku kutaruh di sana...," papar
Sutawijaya.
"Ooo...," mulut Tompel pun membulat.
"Aku bukan seperti dulu lagi. Pel," kata Sutawijaya
tanpa ditanya. "Aku berusaha untuk menjauhi kekotoran
dunia...."
"Tapi tujuan kita mencopet kan, untuk menegakkan
keadilan yang tidak bisa diperjuangkan dengan cara lain.
Mana mungkin anak tanggung seperti aku, bisa mencegah
orang-orang yang berkuasa mengisap darah rakyat. Bisa-
bisa, malah kehilangan kepala...."
"Ya! Aku tidak bisa menyalahkan ataupun mem¬
benarkan. Kebenaran bagi setiap orang bisa berbeda.
Kebenaran sejati hanya datang dari Tuhan Semesta Alam.
Tapi apa pun alasannya, perbuatan itu tetap tidak baik,
bukan?" kata Sutawijaya, mengungkap pendapatnya.
Tompel cuma mengangkat bahu, tanda tak punya
pendapat.
"Sekarang, bagaimana kalau kita mencari Bang
Andika?" tanya Tompel.
Belum sempat Sutawijaya menjawab pertanyaan
bocah yang pernah dianggap sebagai adik angkatnya,
keduanya telah diusik kerumunan orang di alun-alun.
Beberapa orang berlari-lari kecil, menambah kerumunan
menjadi kian membengkak.
Dari kejauhan, lamat-lamat terdengar gumaman
serempak dari kerumunan orang yang berkumpul. Sesekali
terdengar gemuruh sorak yang ramai. Jelas, hal itu
memancing keingintahuan Sutawijaya dan Tompel.
Sutawijaya segera mengajak Tompel untuk
melihatnya.
"Ada apa ya. Bang?" tanya bocah kota praja itu. saat
mereka berjalan tergesa menuju alun-alun.
"Aku tak tahu. Mestinya, aku yang bertanya be-,gitu
padamu. Kau kan selama ini tinggal di sini...," sa-hut
Sutawijaya, sambil melangkah dengan gerakan kaki lebar-
lebar.
Sutawijaya dan Tompel akhirnya tiba di dekat
kerumunan. Alun-alun makin dipadati orang-orang yang
ingin tahu, apa yang terjadi di sana. Bahkan sudah hampir
sepertiga luas alun-alun menjadi tempat kerumunan.
Tepat di tengah-tengah kerumunan, terbentuk
semacam arena yang cukup luas. Di sana, seorang bocah
berusia lebih tua dua tahun di atas Tompel sedang
memainkan satu pertunjukan. Semacam pagelaran
hiburan rakyat sederhana. Biarpun sederhana, daya pikat
permainan si bocah benar-benar bisa membuat penonton
terperangah kagum.
Dari penampilannya, anak lelaki itu tak ada
istimewanya. Pakaiannya terlihat seperti gembel, compang-
camping dan dekil. Rambutnya ikal tak teratur. Wajahnya
menggemaskan, dengan mata bulat seperti pipi tembem.
Anak itu mengenakan celana pendek. Dan di ikat
pinggangnya terselip sebuah suling bam-bu.
Pada satu babak permainan, anak berwajah lucu itu
melepas suling bambu dari ikatan pinggangnya.
"Para penonton yang kuhormati...." kata bocah itu
lantang seraya mengangkat tangan tinggi-tinggi. "Aku akan
menghibur kalian semua dengan satu permainan lagi."
Si bocah mengacungkan seruling miliknya ke muka.
"Suling ini bukanlah suling sakti atau pun suling ajaib.
Bukan pula suling pengamen! Namun, benda tak berguna
ini memiliki keistimewaan. Jika dimainkan."
Bocah itu lalu mulai berkeliling pinggiran kerumunan.
Satu persatu penonton yang berada paling depan
diperlihatkan seruling di tangannya.
"Perhatikan..., perhatikan seruling ini baik-baik!
Bukankah di dalamnya tidak ada satu pun yang istimewa?!"
sambung si bocah dekil, tak kalah lantang dari
sebelumnya.
Semua penonton di pinggir arena puas melihat
keadaan suling. Seperti kata pemiliknya, seruling itu
memang tidak terdapat apa-apa di dalamnya. Karena itu,
mereka banyak mengangguk percaya atas perkataan si
bocah.
Bocah penghibur itu kembali ke tengah arena.
"Apakah saudara-saudara semua sudah siap melihat
pertunjukan terakhir ini?!" tanya si bocah mencoba
memancing semangat penonton.
Penonton terpancing, gemuruh pun tercipta.
"Siaaap...!" sambut sebagian besar dari mereka.
"Baik," mulai si bocah lagi. "Kini perhatikan baik-
baik...."
Bocah yang memiliki lagak dan gaya macam orang tua
itu pun memulai permainannya. Lambat tapi pasti, seruling
ditempelkan ke bibirnya. Mulailah terdengar lantunan
irama yang merdu mendayu, mengayun-ayun sukma siapa
pun pendengarnya.
Sampai sebegitu jauh, belum tercipta hal-hal
mengherankan, kecuali kemerduan tiupan seruling. Para
hadirin mulai tak sabar menanti. Mereka memang cukup
terhibur oleh permainan seruling. Tapi yang dijanjikan si
bocah penghibur toh, bukan hanya itu. Jelas saja mereka
menuntut janji tadi.
"Tong...! Mana yang kau katakan kalau seruling itu
bisa mengeluarkan sesuatu yang mengherankan?! Jeee...!
Kalau cuma gitu, aku juga.... bisa!" tuntut salah seorang
penonton.
Tya! Mana?!" timpal yang lain. "Iya, mana! Eh! Mana
apanya, ya?" tanya seseorang yang baru saja datang
tergopoh-gopoh.
"Mana... mana! Mana jidatmu! Kalau tak tahu, jangan
ngomong!"
"Wong aku punya mulut sendiri, kok!" "Kalau begitu,
ngomong sana sama bedug!" Meski banyak yang berteriak-
teriak, si bocah penghibur tampaknya masih tetap tenang
memainkan jemarinya di atas lubang-lubang seruling.
Matanya terpejam, menikmati alunan irama dari suling.
Orang-orang makin mangkel, karena teriakan-teriakan
tadi hanya dianggap pepesan kosong oleh si bocah.
Dengan mulut terungkit-ungkit, salah seorang penonton
mengambil sandal dari kakinya. Biarpun pertunjukannya
belum memungut bayaran, namun kalau urusan tak
memuaskan, maka bolehlah memberi sedikit pelajaran.
Kira-kira, begitu pikir orang ini tanpa mempertimbangkan
akibatnya. Wuk!
Seketika sebelah sandal kayu yang kelewat kotor dan
bau pun melayang ke udara. Sasarannya, tepat kepala si
bocah yang masih terpejam-pejam ke-asyikan.
Begitu sandal kayu nyaris tiba, dari lubang ujung
seruling muncul bergumpal-gumpal asap jingga de-,ngan
cepat mengejar benda yang sengaja dilempar oleh salah
seorang penonton tadi. Sekejap saja, gulungan asap telah
menelan sandal kayu.
Pias!
Setelah itu, seluruh penonton dibuat terpana. Sandal
tadi mestinya menimpa kepala si bocah. Setelah melewati
gumpalan asap jingga. Ditunggu-tunggu, ternyata sandal itu
tak juga muncul dari gulungan asap. Bahkan ketika asap
jingga menipis dan akhirnya menghilang, sandal itu tetap
tak terlihat lagi.
"E-eh! Kok, gitu ya ...?' 1 seru beberapa orang.
"Iya, ya.... Hebat juga. Sandal kok bisa hilang. Tapi,
gimana nanti aku mengatakannya pada istriku? Sandal itu
kan warisan mbah-nya..." gumam si pelempar sandal. Baru
menyesal dia sekarang!
Plok, plok, plok.J
Orang-orang bertepuk tangan meriah. Janji telah
terbukti. Mereka puas. Namun begitu, ketika si bocah
mengeluarkan topi pandan yang dikira untuk meminta
saweran, hampir sebagian besar bubar.
"Lho..., lho? Jangan bubar dulu!" cegah si bocah. "Aku
tidak mau minta saweran."
Bocah itu berusaha meralat kesalahpahaman para
penonton. Sambil mengenakan topi pandan ke kepala,
anak itu memanggul buntalannya.
"Aku hanya ingin minta sedikit keterangan sebagai
bayaran dari hiburan yang kupersembahkan barusan...,"
kata bocah itu lagi.
"Tak perlu!" sergah seseorang tiba-tiba dari
kerumunan.
Tak lama, muncul seorang pemuda berpakaian hijau
muda ke tengah arena. Bibirnya mengembang-kan senyum
menyapa.
"Bang Andika.... Apa kabar?!" sambut si bocah.
Dihampirinya pemuda yang ternyata Andika atau di dunia
persilatan dikenal sebagai Pendekar Slebor.
Diangsurkannya tangan, mengajak berjabatan.
Si bocah dan Andika pun berjabatan hangat, layaknya
dua sahabat yang lama tak jumpa. Padahal, usia mereka
terpaut cukup jauh.
"Apa kabar juga, 'Pangeran' Walet," balas Andika
dengan sebuah embel-embel baru yang disepuhkan di
depan nama bocah itu.
Bocah penghibur itu memang Walet. Bocah kecil yang
memiliki kehebatan batin. Dengan kehebatannya, banyak
orang menjulukinya Bocah Ajaib (Untuk mengetahui
tentang Walet lebih jelas, baca episode: "Mustika Putri
Terkutuk" dan "Cermin Alam Gaib").
Kedua kawan lama itu lalu terlibat pembicaraan. Tidak
dipedulikan lagi penonton yang menggerutu.
"Kau harus hati-hati, Kang Andika...," papar Walet.
"Aku mendapat bayangan beberapa hari ini, kalau kau
akan berhadapan kembali dengan salah satu musuh
lamamu yang paling berat."
"Bayangan? Bayangan apa maksudmu?" tanya Andika
heran.
"Seperti mimpi yang kualami, saat aku dalam ke¬
adaan sadar...."
"Aku tak paham. Setahuku, semua mimpi terjadi
sewaktu seseorang tak sadar. Maksudku, saat seseorang
sedang tertidur...."
"Kakang tak perlu paham, bagaimana aku men¬
dapatkan 'bayangan' itu. Yang mesti diperhatikan adalah,
isi 'bayangan' itu...,"tukas Walet.
"Apa itu?"
"Dalam 'bayangan' itu, aku melihat satu cahaya amat
menyilaukan menembus langit malam kelam. Cahaya itu
jatuh ke salah satu bagian kotapraja ini...."
"Apa kira-kira kau tahu, cahaya apa itu? Apa mungkin
itu hanya benda angkasa yang masuk ke bumi?" tanya
Andika.
Walet menggeleng mantap.
"Batinku mengatakan, kalau cahaya itu bukanlah
benda langit biasa. Ada satu kekuatan gaib luar biasa yang
dibawanya. Kekuatan mata batinku sendiri sulit menembus
ke dalam cahaya itu," papar Walet dengan mata menyipit.
Sejurus Andika terdiam memikirkan kata-kata Walet.
"Ada hal lain yang kulihat dalam 'bayangan'ku," Walet
mulai lagi.
Pendekar muda dari Lembah Kutukan di dekat-nya
menunggu.
"Aku melihat seorang gadis cantik berpakaian merah-
merah ditelan cahaya menyilaukan itu, di suatu tempat
yang dibatasi air sejauh mata memandang. Dan saat itu,
purnama membulat penuh," lanjut Walet.
Sementara, para penonton satu persatu kembali pada
urusan masing-masing. Malam sudah sempurna. Lampu-
lampu minyak di pinggiran jalan kota praja sudah menyala.
Para pedagang malam pun sudah siap dengan
dagangannya di beberapa tempat.
Dua orang masih tersisa. Mereka adalah Sutawi-,jaya
dan Tompel.
"Bukankah itu Bang Andika, Kang?" ungkap Tompel
berbisik pada Sutawijaya di sampingnya.
Sutawijaya mengangguk tanda membenarkan Tompel.
Sepasang bola matanya tak lekang, menatap wajah dan
sosok Andika. Rasanya memang sulit dipercaya kalau bisa
bertemu kawan akrab kembali yang sudah seperti saudara
kandung sendiri dalam keganasan kehidupan kota praja
dulu.
"Andika...!"sapa Sutawijaya.
Andika pun menoleh. Begitu juga Walet. Namun saat
itu juga bocah penjelmaan seorang pangeran yang mati
ratusan tahun lalu ini segera mohon diri pada Pendekar
Slebor.
"Kenapa kau terburu-buru, Walet?" tanya Pendekar
Slebor.
"Masih banyak yang harus kulakukan, Kang! Selamat
tinggal...."
Andika tak bisa mencegah lagi, ketika Walet
melangkah pergi. Sementara, Sutawijaya dan Tompel
sudah tiba di depan Pendekar Slebor.
4
"Jadi, Pendekar Slebor itu ternyata kau, Andika?!" kata
Sutawijaya dengan mata membesar.
Saat ini, Sutawijaya, Andika, dan si pencopet kecil
Tompel sedang duduk berleha-leha di kedai pinggir jalan
kotapraja.
"Ini benar-benar menggelikan," ungkap Sutawijaya
lagi. "Sudah begitu lama aku mendengar kabar tentang
Pendekar Slebor dari berbagai penjuru dan dari mulut ke
mulut. Eee, tak tahunya orang yang bikin geger orang yang
sudah kukenal sejak masih ingusan! Bagaimana tidak
lucu?!"
Sutawijaya berbicara cukup menggebu-gebu.
"Jangan melebih-lebihkan seperti itu, Suta," sergah
Andika malu hati. Diseruputinya teh kental pahit khas
kotapraja.
"Kang Andika tidak berubah dari dulu," tukas Tompel
ambil bagian. "Biarpun urakannya setengah modar, tapi
sifat rendah hatinya tak kalah modar. Eh..., maksudku tak
kalah... ya, begitulah...."
"Kalau lak bisa ngomong dengan jelas, lebih baik tidak
usah bicara. Pel!" gurau Andika.
"Nah, tuh! Bang Andika mulai mengalihkan
pembicaraan, kan? Coba kalau tadi tidak ada yang
berbisik-bisik kalau Bang Andika adalah Pendekar Slebor
yang 'wah' itu, tentu kita tak akan pernah tahu. Ya, Bang
Suta?"
Sutawijaya mengangguki ucapan Tompel.
"Ah, sudahlah! Kalian pikir, akan berbeda seorang
yang namanya tersohor dengan orang yang tidak tersohor?
Jangan suka menilai seseorang hanya dari satu sudut
saja.... Manusia kan harus dinilai dari pribadinya. Bukan
'embel-embernya!" tukas Andika seraya tangannya menepis
udara.
Plok, plok, plok...!
Tompel bertepuk tangan.
"Ini juga salah satu sifat yang kusuka dari Bang
Andika. Dari dulu, sok pintarnya tidak hilang-hilang juga!"
gurau si bocah pencopet dengan raut wajah meledek.
"Bocah sialan, kau!" umpat Andika.
Tompel tertawa. Begitu juga Sutawijaya.
"O, iya. Andika, kau belum beritahu kami, siapa bocah
kecil ajaib yang menggelar pertunjukan itu? Dia tampaknya
sudah begitu mengenalmu. Tapi, kenapa cepat-cepat pergi
lagi?" tanya Sutawijaya.
"Anak itu sahabat lamaku. Dia punya sedikit ke¬
perluan denganku. Setelah itu, ingin melanjutkan
perjalanannya kembali," jawab Andika, tanpa mau
memaparkan hal sebenarnya tentang diri Walet.
Selagi mereka meneruskan obrolan ngalor-ngidul, di
jalan utama kotapraja terlihat debu menga-pung pekat ke
udara. Ada dua penunggang kuda berperawakan gagah
mengawal satu kereta kencana mewah. Kereta itu ditarik
empat ekor kuda putih jantan bertubuh menawan.
Semuanya dikendalikan seorang kusir kuda yang tak kalah
gagah dibanding dua penunggang kudanya. Dari jendela
kereta kencana terlihat seorang pangeran gagah
melayangkan pan-dangan ke arah luar.
Baik wajah dua pengawal, kusir, atau pangeran dalam
kereta kuda, sedikit pun tak mencerminkan kalau mereka
adalah penduduk asli. Mereka memiliki hidung lebih
mancung daripada penduduk setempat. Kulit mereka pun
lebih hitam, kecuali sang pangeran yang berkulit putih.
Bagi mata penduduk kotapraja, wajah mereka begitu
asing. Belum ada yang bisa memastikan, dari mana asal
mereka. Namun menilik raut wajah dan pakaiannya,
banyak yang menduga mereka adalah pendatang dari
negeri seberang.
Keempat lelaki asing itu semuanya mengenakan
semacam sorban, dengan warna berbeda. Dua pe¬
nunggang kuda bersorban warna merah jingga. Sang kusir
berwarna hitam. Sedangkan si pangeran warna ungu. Dua
penunggang kuda serta kusir memakai baju berbentuk
rompi kain yang warnanya sama dengan sorban mereka.
Celana mereka lebar dan longgar serta mengetat pada
bagian mata kaki. Yang terlihat agak lucu bagi mata para
penduduk kotapraja adalah, sepatu mereka. Ujung sepatu
keempat lelaki asing itu memanjang dan meruncing, lantas
membengkok seperti tanduk.
Salah seorang penunggang kuda maju ke dekat
kerumunan. Di tangannya tergenggam gulungan kain yang
tampaknya berisi sebuah maklumat yang akan
disampaikan kepada orang-orang di kotapraja.
"Saudara-saudara yang terhormat...," si penunggang
kuda tadi mulai dengan ucapan terpatah-patah dan kaku.
"Kami datang dari negeri seberang lautan. Tujuan kami ke
sini adalah, hendak melaksanakan kehendak junjungan
kami, Pangeran Yang Perkasa, untuk mencari seorang istri.
Beliau telah membuat suatu pengumunan. Bunyi
pengumumannya adalah sebagai berikut:
“Kepada seluruh wanita di negeri ini Diumumkan
bahwa aku hendak mencari seorang pendamping hidup.
Sesuai dengan wangsit yang kudapat dalam mimpi, wanita
yang akan ditakdirkan menjadi istriku berasal dari negeri
ini. Wanita itu memiliki tanda lahir di bagian punggung
kanannya berupa kembang Wijayakusuma....”
Sampai batas itu, Andika jadi terperanjat bukan main.
Tiba-tiba saja tubuhnya tersentak bangkit dari bangku
kedai. Wajahnya sulit digambarkan.
Melihat sikap Andika, Sutawijaya dan Tompel tentu
saja menjadi heran.
"Kenapa Bang Andika? Kok seperti orang yang baru
diserobol tuyul?" usik Tompel.
"Tanda lahir berbentuk bunga Wijayakusuma di
punggungnya?" desis Andika, tanpa menjawab pertanyaan
ngawur Tompel.
"Kau bilang apa, Andika?" tanya Sutawijaya tak jelas
mendengar gumaman sahabatnya.
Andika baru tersadar, ketika Tompel meninju perutnya
cukup keras.
Dugkh!
"Bang Suta tanya, Abang barusan ngomong apa?!"
teriak Tompel, di dekat telinga Andika.
"Ah, tak apa-apa...," kilah Andika, berusaha menutupi.
Kembali pikiran Andika menerawang jauh, menembus
awang-awang. Bahkan sepertinya kedua sahabatnya tak
dipedulikan.
"Siapakah sesungguhnya orang yang memiliki tanda
bunga Wijayakusuma di punggung kanannya?" bisik hati
Andika bertanya-tanya. "Apa pula hubungannya 'bayangan'
yang dilihat Walet dengan pangeran asing itu?"
Lagi-lagi si pemuda sakti buyut Pendekar Lembah
Kutukan itu tercenung sendiri. Tanpa sadar, Andika hendak
menggaruk kepala karena tak mengerti teka-teki yang
harus dihadapinya. Padahal, tangannya masih memegang
cangkir teh.
"Aufh...!"
Si pemuda bertampang ningrat namun berpe¬
nampilan gelandangan itu menjadi megap-megap sendiri
begitu cairan hitam pekat mengguyur wajahnya.
"Wah... minum teh tubruk saja bisa mabuk, ya Bang?!"
ledek Tompel.
Andika hanya bisa mendelik dongkol.
5
Di buritan sebuah kapal layar indah, seorang laki-laki
tinggi tegap berhidung mancung tengah berjalan mondar-
mandir seperti menanti sesuatu. Dia adalah Pangeran
Husein yang berasal dari negeri Parsi. Pangeran inilah yang
baru-baru ini membuat pengumuman yang isinya ingin
mencari calon istri. Di negerinya, dia mendapat gelar
kehormatan Pangeran Yang Perkasa. Gelarnya, memang
tak hanya sebatas sebutan. Melainkan, benar-benar
tampak pada kepribadian sesungguhnya. Dengan
kegagahan dan keberanian menyelesaikan permasalahan-
permasalahan dalam negeri yang merongrong kedaulatan
ayahnya, memang tak berlebihan jika sang pangeran
mendapat gelar itu. Dalam perang, dia lebih berani dan
tangguh daripada panglima istana.
Beberapa waktu lalu, Pangeran Husein bermimpi
didatangi sebentuk bayangan yang menyerahkan seorang
gadis cantik rupawan ke dalam pelukannya. Si gadis
memiliki tanda bergambar bunga Wijayakusuma di
punggung kanan.
Tanpa hendak meminta saran dari penasihat istana,
Pangeran Husein merasa yakin kalau mimpi itu semacam
wangsit dari Yang Maha Tunggal. Dengan keyakinan penuh
dia menafsirkan, bahwa wanita yang hadir dalam mimpinya
adalah calon istrinya.
Kalaupun Pangeran Husein kemudian
memaklumatkan sebuah pengumuman di tanah
Jawadwipa, penyebabnya karena akhirnya mimpi terlihat
hamparan padi yang menguning sepanjang pandangan.
Untuk hal ini, sang pangeran meminta pendapat para
cendikiawan istana. Dan seorang cendikiawan
menyarankan, agar dia berlayar membelah lautan Cina
sampai tiba di sebuah pulau subur makmur bernama Jawa
Dwipa.
Setelah beberapa hari mengarungi lautan dengan
kapal layar kerajaan yang besar, sang pangeran yang juga
tampan itu segera turun ke darat. Dibawanya seorang kusir
dan dua pengawal untuk menyebarkan pengumuman yang
telah dibuatnya.
Kini, tiga hari telah berlalu dari saat pengumuman
dibacakan di kota praja.
Sampai saat ini, tak ada seorang wanita pun yang
mendatangi kapal layar kerajaan milik Pangcan Husein.
Dan ini membuat calon pewaris tahta Kerajaan Persia itu
menjadi gelisah. Menunggu dan menunggu baginya seperti
siksaan berat. Keinginan untuk segera bertemu wanita
yang pernah hadir dalam mimpinya itu, begitu menggebu-
gebu, bagai letupan-letupan kawah gunung berapi.
Sebulan berperang, barangkali akan lebih disukai
ketimbang tiga hari menanti. Itulah yang mendera
perasaan Pangeran Husein belakangan ini.
Kini, Pangeran Husein berdiri menatap angkasa luas.
Angin yang sepoi-sepoi basah tak bisa menghiburnya. Tidak
juga bayangan bulan yang mengapung di permukaan laut,
atau kerlap-kerlip berjuta bintang di angkasa raya. Hatinya
benar-benar gelisah.
Tak jauh di sebelahnya, seorang perwira berdiri
mematung. Raut wajahnya sudah dipenuhi kerutan.
Rambutnya memutih. Biarpun tampak demikian tua, tak
ada kesan rapuh pada perawakannya. Dengan kumis
berwarna putih yang lebat serta mata yang agak cekung
berwarna kelabu, perwira ini justru ke-lihatan berwibawa.
"Sudah berapa lama kita berlabuh di pesisir pulau ini,
Paman Thariq?" cetus Pangeran Husein lamat, di antara
bisikan lembut angin laut. Matanya tak kunjung lepas
menatap gerak gemulai bayangan bulan yang
dipermainkan gelombang kecil.
Perwira tua di sisinya menoleh.
"Sudah menjelang hari keempat, Pangeran," jawab
sang perwira bernama Thariq, penuh rasa hormat.
Kepala pemuda gagah berpakaian kebesaran itu
menggeleng perlahan.
"Sepertinya, aku sudah menunggu berabad-abad...,"
desis Pangeran Husein nyaris bergumam.
"Kalau boleh tahu, ada keperluan apa sebenarnya
Pangeran mendatangi negeri yang begitu jauh ini?" tanya
Perwira Thariq.
Selama ini, perwira itu memang belum diberitahu
tujuan Pangeran Husein sebenarnya.
Pangeran Husein tertawa kecil. Ditariknya napas
dalam-dalam. Sementara, pandangannya beralih sejenak
pada lelaki berwibawa di sebelahnya.
"Rasanya lucu jika aku memberitahukannya pada
Paman, kenapa aku begitu menggebu-gebu hendak ke
negeri ini...?" tutur Pangeran Husein.
"Apakah aku telah lancang menanyakannya?"
"Oh! Bukan itu, Paman," kilah Pangeran Husein cepat.
"Sebenarnya aku sendiri ingin memberitahukannya pada
Paman, sebelum kita berangkat dahulu. Tapi, aku
sungkan...."
Pangeran Husein menurunkan kedua tangannya ke
tepian kapal.
"Kenapa jadi sungkan? Bukankah Pangeran
menganggap kami, para perwira tua, sebagai orang-tua
Pangeran juga? Dulu, Pangeran berkata begitu, bukan?"
"Ya! Tentu saja aku ingat, Paman." Pangeran muda
dari negeri Parsi itu menganggukkan kepala.
"Kalau begitu, silakan ceritakan.... Percayalah, Paman
akan mendengarkan."
"Asal Paman tidak menertawai ceritaku...," ujar
Pangeran Husein, mengajukan syarat.
"Asal Pangeran tidak bermaksud melucu...," balas
Perwira Thariq, sedikit bergurau.
Kembali tawa kecil si pangeran muda tersembul.
"Begini, Paman...."
Belum lagi kalimat Pangeran Husein berlanjut,
mendadak saja selantun suara seorang wanita ber¬
senandung merayapi sekitar dermaga.
Pangeran Husein menegakkan kepala. Begitu juga
Perwira Thari q.
"Apa Paman mendengar senandung seorang wanita?"
tanya Pangeran Husein, bimbang pada pende-ngarannya
sendiri.
"Aku rasa begitu, Pangeran," sahut sang perwira.
Merasa yakin kalau memang ada wanita
bersenandung, Pangeran Husein berseru.
"Hei! Adakah seorang wanita di sana? Kalau benar,
sudikah kiranya memperlihatkan diri?!"
Seruan pangeran ini tak mendapat sambutan. Bahkan
tiba-tiba saja berdesir serangkum angin pukulan deras tak
tampak mata dari arah timur dermaga
Wush!
"Pangeran awas!" Perwira Thariq memperingatkan.
Selang sekejap dari peringatan lelaki tua bersor-ban
dan berpakaian merah dengan rompi kain putih itu,
Pangeran Husein melenting ke udara.
Blash!
Pukulan jarak jauh tadi langsung memangsa layar
yang kebetulan tersibak sebagian. Seketika itu pula, kain
tebal berwarna abu-abu tersebut koyak bagai dicabik-cabik
cakar seekor beruang.
"Beruang Betina Kutub Utara...," desis Pangeran
Husein, begitu kakinya menjejak lantai buritan.
Pangeran Husein dan Perwira Thariq saling
berpandangan tak mengerti. Sudah lama mereka menge¬
nal wanita berjuluk Beruang Betina Kutub Utara. Seorang
wanita berilmu tinggi yang tidak hanya sulit dimengerti, tapi
juga sulit diduga kesaktiannya.
k k k
Dulu, Beruang Betina Kutub Utara memang pernah
muncul membuat kegemparan di negeri Parsi bersama
seekor beruang kutub berwarna putih salju. Kehebatannya
hanya bisa ditandingi Pangeran Husein. Biar begitu,
Pangeran Husein sendiri pernah menjadi bulan-bulanan
pukulan 'Cakar Beruang Salju' milik wanita aneh itu.
Kala itu, kerajaan digemparkan kabar burung yang
menyebar seperti wabah menular. Rakyat sampai petinggi
istana banyak membicarakan tentang kemunculan seorang
wanita berparas cantik bagai bidadari, namun sepucat
mayat. Rambutnya panjang. Dan tak seperti orang
kebanyakan, rambutnya berwarna putih bagai warna
binatang peliharaannya.
Desas-desus yang kian santer, membuat Pangeran
Husein tertarik. Dari seorang petinggi istana, pemuda calon
pewaris tahta kerajaan itu mengorek keterangan tentang
Beruang Betina Kutub Utara. Selang sekian waktu, setelah
si petinggi menceritakan segala hal yang diketahuinya,
Beruang Betina Kutub Utara mendatangi istana.
Di depan istana, wanita bermantel dari bulu beruang
itu tanpa tedeng aling-aling mengungkapkan niatnya.
Melamar Pangeran Husein.
Kemarahan timbul dalam diri para prajurit istana.
Sebagai abdi setia kerajaan, mereka beranggapan bahwa
wanita asing yang dikawal beruang salju itu bermaksud
menghina keluarga istana.
Mereka berang. Diusirnya Beruang Betina Kutub Utara
dari pelataran istana. Tapi bukannya pergi, wanita yang
memiliki mata menantang ini malah melangkah menuju
serambi istana tempat Pangeran Husein berdiri.
Tanpa diperintah, empat prajurit andalan istana
menghadang. Belum lagi mereka siap berdiri menghalangi,
serangkum sampokan bertenaga dalam dahsyat terlepas
dari punggung tangan wanita bermuka pucat berjuluk
Beruang Betina Kutub Utara.
Dalam segebrakan, empat nyawa prajurit andalan itu
melaya ng.
Kekejian Beruang Betina Kutub Utara memancing
kegusaran para perwira istana. Malah, menyusul
ambruknya empat prajurit tadi ke bumi, dua perwira
berusia muda langsung turun menghadapi kebengisannya.
Kedua perwira itu pun harus menelan bulat-bulat
akibatnya. Mereka berguguran seperti daun kering, tak
beda dengan empat prajurit sebelumnya. Hanya karena
kepandaian tempur mereka terbilang cukup tinggi, maka
akibat yang diderita pun tak separah keempat prajurit.
Mereka hanya terluka dalam.
Sampai di situ, Pangeran Husein tak bisa lagi
mendiamkan tindakan semena-mena Beruang Betina
Kutub Utara. Setelah menoleh sebentar pada ayahanda
yang berada di sisinya, pangeran muda perkasa itu
melompat. Dan dia mendarat tepat dua tombak di depan
wanita yang tak hanya telah lancang melamarnya, tapi juga
telah berbuat semena-mena di wilayah kekuasaannya.
"Siapa kau sebenarnya, Wanita Asing?" tanya
Pangeran Husein, tenang.
"Aku?"
Beruang Betina Kutub Utara melirik Pangeran Husein.
Tak ada kesan nakal dalam lirikannya. Namun, binar yang
lahir dari setiap gerak bola matanya mengandung kekuatan
memikat yang sungguh luar biasa. Kalau saja, Pangeran
Husein tak memiliki kekokohan jiwa, bisa jadi langsung
terpengaruh.
"Aku datang dari jauh. Dari tepi dunia ini. Aku tak
punya nama. Tapi, aku lebih suka disebut Beruang Betina
Kutub Utara," sambung wanita itu, menjelaskan.
"Apakah kau tahu, kalau telah berbuat kemungkaran
di tempat ayahku?" sambung Pangeran Husein, datar tapi
mantap.
"Aku tahu...," jawab Beruang Betina Kutub Utara
singkat sambil menyingkap anak rambut berwarna putih
yang jatuh menutupi mata.
"Apa kau tahu pula, bahwa seorang yang telah
berbuat kemungkaran akan mendapat hukuman sesuai
perbuatan yang dilakukannya?"
"Aku tahu...," jawab Beruang Betina Kutub Utara,
dengan singkat pula.
"Kalau begitu, aku tak perlu lagi memaksamu untuk
menyerahkan diri pada hukum yang berlaku di kerajaan
kami. Kau harus diadili, karena telah membuang nyawa
empat prajurit dan melukai dua perwira...."
"Aku juga tahu itu...," jawab Beruang Betina Kutub
Utara sekali lagi. "Tapi aku tak mau...."
Setelah itu, tak ada lagi jalan yang harus ditempuh
Pangeran Husein, selain menggempur wanita cantik yang
berkulit wajah pucat di depannya.
Pertempuran sengit terjadi. Para perwira serta raja
yang pernah melihat Pangeran berlaga di medan perang
baru kali ini, melihat pertempuran paling hebat yang
pernah dialami sang pangeran.
Sebagian tembok istana menjadi hancur tak karuan.
Pelataran istana sudah tak ketahuan lagi bentuknya.
Mereka bertukar jurus dalam adu keunggulan yang
mencengangkan, bahkan bagi seorang panglima berilmu
tinggi sekali pun.
Seluruh istana seakan terkurung bunyi pedang sang
pangeran. Belum lagi hantaman-hantaman dari setiap
kibasan tangan Beruang Betina Kutub Utara.
Sampai akhirnya....
"Pangeran Husein! Aku menyusulmu untuk
melamarmu kembali!"
Satu seruan seorang wanita memberangus bayangan
kejadian silam dalam benak Pangeran Hu-.sein.
Di sebelah timur dermaga, di antara puluhan perahu
nelayan kecil yang tertambat bisu, tampak seso-sok
bayangan muncul di bawah siraman cahaya temaran
rembu lan.
Tepat seperti dugaan Pangeran Husein dan Perwira
Thariq.... Wanita yang baru muncul itu memang Beruang
Betina Kutub Utara. Dan itu makin nyata dari bayangan
mantel bulu beruangnya.
"Untuk apa kau mengikutiku ke sini, Beruang Betina?"
tanya Pangeran Husein.
"Bukankah sudah kukatakan, aku hendak melamarmu
kembali...,"jawab wanita itu di kejauhan.
"Apa kau belum tahu kalau aku justru ingin
meringkusmu kembali, karena kau telah berhasil
meloloskan diri dari hukum kerajaan atas perbuatan
kejimu waktu itu?!" balas sang pangeran muda penuh
tekanan, biarpun diucapkan dalam ketenangan.
"Apakah itu berarti kau menolak lamaranku?"
Pangeran Husein diam sesaat. Matanya yang dinaungi
alis hitam lebal yang merentang jantan, menusuk
kegelapan tempat Beruang Betina Kutub Utara berdiri.
"Kalau waktu itu kau datang dengan cara baik-baik,
mungkin aku bisa tertarik denganmu. Tapi, kini, di mataku
kau bagaikan buronan yang mesti menjalani hukuman!"
tandas Pangeran Husein dengan rahang agak mengejang.
"Mmm...," Beruang Betina Kutub Utara bergumam
lepas. "Apa karena kau sudah merasa memiliki pilihan hati,
seorang wanita jelita yang memiliki tanda bunga
Wijayakusuma di punggung kanannya, seperti yang
diumumkan beberapa hari lalu?" cemooh Beruang Betina
Kutub Utara.
"Itu bukan urusanmu, Nona!" bentak Pangeran
Husein. Gagang pedang di pinggangnya diremas kuat-kuat.
Lelaki muda itu tampaknya berusaha menahan diri dari
pancingan Beruang Betina Kutub Utara.
"Tentu saja itu jadi urusanku...," balas Beruang Betina
Kutub Utara.
Perempuan berwajah jelita namun pucat itu me¬
langkah tiga tindak, hingga lampu badai besar di atas
geladak kapal menyapu wajah dan sebagian tubuhnya.
"Kau ingin tahu, kenapa?" lanjut Beruang Betina
Kutub Utara dingin dan datar. "Karena wanita yang kau cari
itu akan menjadi sainganku untuk mendapatkanmu.
Pangeran...."
Kalau sang pangeran masih bisa menahan
kemarahan, lain halnya Perwira Thariq. Tampaknya
kewibawaan dalam diri lelaki tua itu bukanlah jaminan
bahwa dia lebih bisa menahan kegusaran.
"Perempuan tak tahu adat!" hardik Perwira Thariq
mengguntur. Dilompatinya pinggir buritan setinggi dada.
Tanpa kesulitan, lelaki tua itu telah tiba sekitar enam-tujuh
depa dari tempat Beruang Betina Kutub Utara.
"Kali ini, aku bersumpah akan menangkapmu hidup
atau mati!" dengus Perwira Thariq geram.
Beruang Betina Kutub Utara hanya tersenyum tipis
mencemooh.
"Kau tak akan mampu melakukannya, Perwira Tua!"
Srang!
Bunyi pedang berbentuk melengkung menghentak
kesenyapan dermaga. Perwira Thariq sudah melepas
senjata dari sarangnya.
"Hiaaa...!"
Tanpa sempat meminta persetujuan Pangeran Husein
lagi, laki-laki bagai singa tua itu segera melabrak beruang
wanita dengan sabetan pedang menggetarkan.
Sing...!
Tebasan pertama ditujukan ke arah paha kiri Beruang
Betina Kutub Utara. Dilihat dari sasaran te-basannya,
tampak Perwira Thariq hanya bermaksud melumpuhkan.
Sebagai kstaria sejati, Perwira Thariq menjunjung tinggi
aturan-aturan yang berlaku dikerajaan. Salah satunya
adalah, memberi kesempatan pada lawan untuk menyerah,
dengan melumpuhkannya saja. Di samping itu, ada
ketentuan untuk tidak bertempur dengan wanita.
Namun untuk perkara Beruang Betina Kutub Utara,
ketentuan terakhir ini tidak harus berlaku. Sebab pada
kenyataannya, Beruang Betina Kutub Utara justru lebih
berbahaya daripada tiga atau empat lelaki jago tempur
sekalipun.
Itu pula yang menyebabkan Pangeran Husein tak
segan-segan lagi bertarung menghadapi Beruang Betina
Kutub Utara.
Babatan pedang Perwira Thariq tanpa banyak
kesulitan dapat dimentahkan Beruang Betina Kutub Utara.
Tangan kiri wanita itu menyibak mantel bulu beruangnya
dari dalam. Maka sekerdip mata saja, sisi tajam pedang
bertumbukan dengan kibasan mantel. Drang!
Satu kenyataan memaksa mata Perwira Thariq
terbelalak. Bagian pedang yang bertemu mantel lawan
telah sompal!
Manakala lelaki tua itu tertegun, kebutan susulan
mantel Beruang Betina Kutub Utara kembali menyibak
udara. Drang!
Bunyi keras terdengar merobek telinga. Dan akibatnya
sungguh mengejutkan. Bagaimana bisa mantel bulu yang
terlihat lembut itu mampu mematahkan pedang Perwira
Thariq menjadi tiga bagian sama rata?!
Sekali lagi, mata si lelaki tua dari negeri Parsi
terpaksa terbelalak lebar. Perwira Thariq yakin, kalau
wanita itu tadi hanya mengebutkan sisi mantelnya sekali
saja. Tapi, hasil yang terjadi sebenarnya harus dilakukan
dengan tiga gerakan.
Dalam hati, Perwira Thariq mengutuk sekaligus
memuji kehebatan gerak Beruang Betina Kutub Utara. Di
negerinya, jago pedang yang paling hebat pun, belum bisa
melakukannya. Bahkan kelihaian permainan pedang
Pangeran Husein yang amat ditakuti di negerinya, belum
tentu mampu.
"Aku tak ingin mengotori tangan dengan mem¬
bunuhmu, Perwira Tua. Lebih baik, menyingkirlah dari
jalanku!" gebah Beruang Betina Kutub Utara dengan
tatapan menghujam.
"Kalaupun kau memiliki ilmu yang dapat membelah
gunung, aku tak akan mundur," balas Perwira Thariq,
sedikit pun tak kehilangan nyali, biarpun sempat
terperanjat dengan kenyataan yang disaksikannya tadi.
Beruang Betina Kutub Utara mendengus nyaris tak
kentara.
"Itu artinya, kau minta aku membunuhmu...."
"Cukup, Beruang Betina!" terabas Pangeran Husein
melihat gelagat tak baik bakal dialami salah seorang
perwira terbaiknya kalau tak segera mengambil tindakan.
Pemuda bersorban ungu itu menyusul perwiranya.
Dengan gerakan ringan, dilewatinya tepian buritan kapal.
Setelah itu, kakinya berdiri persis di tengah-tengah antara
Perwira Thariq dan Beruang Betina Kutub Utara.
"Kau telah terlalu jauh, Nona...," ucap Pangeran
Husein satu-satu, dipadati gelegak kegeraman.
Tatapan tajam mata sang pangeran mencorong tepat
ke manik mata Beruang Betina Kutub Utara yang selalu
menebar pengaruh rayu.
"Sebenarnya kedatangan ke negeri ini tidak untuk
menumpahkan darah pada siapa pun. Tapi karena aku
memiliki kewajiban untuk mengirimmu ke pengadilan
kerajaan, terpaksa aku harus berhadapan denganmu...,"
jabar Pangeran Husein, seperti memberi peringatan pada
wanita calon lawannya agar segera bersiap.
Sring!
Pedang panjang milik pemuda gagah dari negeri Parsi,
itu pun memperdengarkan suara menggiriskan manakala
lepas dari sarungnya. Pantulan cahaya rembulan kontan
bersatu dengan pantulan lampu badai di atas kapal,
menjilati mata pedang sepanjang satu kaki yang
membengkok.
Wut!
Pedang Pangeran Husein membuat tebasan pembuka
di udara malam, sebagai aba-aba kalau pertarungan hebat
yang pernah terjadi beberapa waktu lalu di negerinya akan
segera terulang kembali. Tapi sebelum masing-masing
bergerak lebih lanjut....
"Hi hi hi...! Jangan digubris perempuan jalang seperti
dia, Pangeian Gagah...," selak seseorang, menjegal
pertarungan yang baru saja hendak tersulut.
Seorang wanita lain telah hadir di dermaga itu.
Siapa dia?
Ternyata, dia adalah wanita berkebaya yang pernah
berurusan dengan Anggraini. Perempuan yang tak kalah
cantik dibanding Beruang Betina Kutub Utara itu rupanya
telah ikut campur. Dari sebelah utara dermaga, dia muncul
dengan lenggak-lenggok gemulai menggoda.
Sinar mata Beruang Betina Kutub Utara berubah
beringas begitu mendengar dirinya dikatakan wanita
jalang.
"Perempuan bosan hidup dari mana yang berani
menyebutku selancang itu?" geram Beruang Betina Kutub
Utara.
"Heee..., bosan hidup?" wanita berkebaya melengak.
Bibirnya mencibir. "Bagaimana bisa dikatakan kalau aku
bosan hidup, bila aku datang ke sini malah hendak
memenuhi pengumuman Pangeran Yang Perkasa...."
Suara wanita berkebaya itu mendayu-dayu seraya
mengerling nakal ke arah Pangeran Husein.
Sekarang giliran pemuda dari Parsi itu yang menatap
teliti wanita berkebaya.
"Wanita ini berkata kalau hendak memenuhi pe¬
ngumumanku?" bisik sang pangeran membatin. "Kalau
benar begitu, mungkinkah wanita berkebaya ini yang
muncul dalam mimpiku? Dia memang cantik. Tak kalah
cantik dengan Beruang Betina Kutub Utara. Tapi wajahnya
sama Sekali tidak mirip gambaran wanita dalam
mimpiku...."
"Heee.... Tak usah begitu terpana melihat kecantikan
hamba Pangeran yang ‘ehm..ehm’ kalau aku nanti sudah
resmi menjadi istrimu, tentu kau akan puas menikmatinya.
Bahkan lebih dari itu... hi....hi” kicau wanita berkebaya.
6
Sementara itu jauh di lain tempat, seorang kakek
bertudung lebar melenting ringan di antara lekuk-lekuk
tebing terjal. Licin maupun kecuramannya seakan tak
menjadi penghalang. Pakaiannya yang sudah tinggal
koyakan-koyakan saja, menari-nari ditepis angin.
Lelaki tua renta itu mengenakan celana pendek,
memperlihatkan kakinya yang melengkung keluar dengan
tempurung dengkul menonjol. Sesekali gigi tebingnya
runcing dijadikan tempat menjejak. Padahal, kakinya tak
beralas apa-apa.
Saat yang sama, Anggraini tengah berjalan di
bawahnya pada jalan di antara himpitan dua tebing. Cara
aneh si kakek melakukan perjalanan, membuat dara jelita
berkesan ketus itu menjadi tertarik.
"Ada pangeran dari negeri yang jauh mencari jodoh...,"
senandung si kakek lamat-lamat.
Tanpa mempedulikan keberadaan Anggraini, kakek ini
melewati gadis itu di atas tebing.
"Seorang gadis bertanda bunga Wijayakusuma di
punggung kanannya...," sambung si kakek bertudung.
merangkai senandungnya.
Mendengar link lagu terakhir, sepasang alis Anggraini
segera bertautan satu sama lain. Bagaimana tidak?
Ternyata, lirik lagu yang didengarnya amat mirip sekali
dengan keadaan dirinya. Pada punggung kanan Anggraini
pun terdapal tanda berbentuk bunga Wijayakusuma.
"Pak Tua, tunggu!" tahan Anggraini dari bawah.
Seperti tuli, kakek tua itu terus saja asyik berse¬
nandung sambil mencelat-celat di antara tonjolan tebing
menuju matahari terbenam.
Anggraini mengumpat dalam hati. Dibantingnya napas
kesal.
"Pak Tua! Kenapa kau menyanyikan lagu yang buruk
itu?! Telingaku pekak mendengarnya!" pancing Anggraini,
agar si kakek mau berhenti.
Memang, pendekar muda dari Tanah Buangan itu
yakin kalau telinga orang tua itu belum rusak.
Umpan cerdik Anggraini mengena. Rupanya untuk
orang tua itu dengan dihina lebih dulu baru membuatnya
berhenti ketimbang panggilan santun.
"Bocah perempuan gendengl" hardik orang tua itu
dongkol.
Di atas tonjolan batu seruncing mata pisau, si kakek
berhenti. Hanya saja, kepalanya belum menoleh sedikit
pun. Apalagi berbalik.
"Maaf. PakTua. Bukan maksudku menghinamu. Aku
hanya ingin agar kau berhenti sejenak," hatur Anggraini
dengan susunan kata demi kata yang sopan. Paling tidak,
bisa membayar ke kurang ajaran yang dilakukan karena
terpaksa tadi.
"Kalau kau hanya ingin aku berhenti sejenak, itu
artinya mau mempermainkanku. Itu lebih mendongkolkan
daripada sekadar hinaan tadi!" ketus si kakek, tetap tak
berbalik.
"Oh! Maksudku..., aku ingin bertanya padamu, Pak
Tua," ralat Anggraini bergegas.
"Huh! Kau pikir aku perlu pertanyaanmu?" Menerima
gerutuan janggal si kakek, perut Anggraini seperti digelitik
sekawanan tuyul. Bibirnya tersenyum-senyum menahan
tawa.
"Jangan menertawakanku!" bentak si orang tua.
Anggraini sempat dibuat terkesiap. Dia sama sekali tidak
mengeluarkan suara tawa. Namun, si kakek tahu kalau
gadis itu diam-diam menertawainya. Bagaimana dia tahu
tanpa perlu menoleh? Anggraini jadi terkagum-kagum.
"Jus..., jus...."
Anggraini jadi dibuat tergagap mengetahui kalau lelaki
tua itu bukan orang sembarangan. Mungkin saja
kesaktiannya yang sudah bisa dibanggakan hanya sekuku
hitam dibanding ilmu si kakek.
"Bicara yang jelas! Masih muda sudah seperti nenek
peyot dan pikun! Pakai 'jus... jus' segala lagi!"
"Maksudku, justru aku yang perlu bertanya pada Pak
Tua tentang lirik yang kau nyanyikan Pak Tua," lagi-lagi
Anggraini merasa harus meralat ucapannya.
"Tanya!"
"Bagaimana, Pak Tua?" tanya Anggraini karena tidak
jelas menangkap ucapan singkat si kakek yang sampai
saat itu tak sudi menoleh padanya.
"Kubilang, tanya! Kau taruh otakmu di mana?!"
dengus si kakek.
"Oh... eh, iya. Soal lirik lagumu tadi, Pak Tua.
Apakah...."
"Ya! Memang ada pangeran dari seberang lautan
hendak mencari istri!" terabas si lelaki tua, sebelum
Anggraini sempat menyelesaikan pertanyaannya.
"Jadi itu tadi bukan sekadar karanganmu, Pak Tua?"
tanya Anggraini lagi, merasa ingin lebih jelas.
"Huh, karanganku...," gerutu lelaki tua ini. "Sana kau
datangi pesisir! Biar kau bisa lebih jelas duduk perkaranya!
Jangan hanya bertanya melulu!"
Selesai itu, orang tua bertudung lebar melanjutkan
perjalanan dengan cara aneh. Sejurus tubuhnya melenting
tinggi, menjejak satu tonjolan tebing, lalu melenting lagi.
Begitu seterusnya sampai sosoknya menghilang di
kejauhan.
"Kalau benar kata orang tua itu, berarti memang ada
seorang pangeran yang mengharapkan wanita yang
bertanda bunga Wijayakusuma di punggung kanannya,"
bisik Anggraini sepeninggalan lelaki tua tadi.
"Bukankah di punggung kananku juga ada tanda lahir
berbentuk bunga Wijayakusuma.... Aneh! Apa ini kebetulan
semata? Atau...."
Sehimpun rasa ingin tahu menyelinap cepat ke dasar
benak dara cantik berkesan ketus itu.
"Benar kata pak tua tadi. Aku harus mencari tahu.
Rasanya ada sesuatu yang tersembunyi di balik semua
itu...," putus Anggraini akhirnya. Dia pun menggenjot tubuh.
Di luar sepengetahuan Anggraini, kakek aneh itu
berhenti di sebuah tonjolan bukit batu. Berdiri diam seperti
tonggak menanti cahaya rembulan di te-ngah malam.
Begitu gerombolan awan pekat lamat-lamat membuka
tabirnya, terlempar tawa dari mulut kakek aneh tadi. Tawa
yang bising, melengking serta menggidikkan. "Ha ha ha...!"
Kejadian tak kalah menggidikkan mengekor di ujung
tawanya. Seluruh kulit lelaki tua itu mengelupas. Saat yang
sama dari kuakan kulitnya menggeliat-geliat puluhan ulat-
ulat kecil!
Tak lama berselang, tubuh lelaki itu ambruk dalam
wujud kerangka busuk. Jasad halus manusia terkutuk telah
merasuki lelaki tua yang sebenarnya adalah mayat dari
liang lahat.
k k k
Dermaga di pesisir pantai tempat kapal layar
Pangeran Husein tertambat.
Wanita berkebaya dan berkain wiron yang pernah
berurusan dengan Anggraini si Pendekar Wanita Tanah
Buangan, memperkenalkan namanya pada Pangeran
Husein.
"Nama hamba Kuntum Mawar, Pangeran Ganteng,"
kata wanita itu manja seraya meliuk-liukkan pinggul. "Tak
perlu lagi pangeran mengurusi wanita pucat ini. Nanti
hanya membuang waktu. Bukankah pangeran hendak
mencari seorang istri? Inilah aku, calon istrimu. Datang
memenuhi panggilanmu.... Hi hi hi...!"
"Aku mencari seorang yang memiliki tanda bunga
Wijayakusuma di punggung kanannya," kata Pangeran
Husein.
"Ya, aku orangnya! Mau lihat buktinya? Boleh...."
Tanpa malu-malu, Kuntum Mawar melorotkan
kebayanya sebagian. Untung saja, tubuhnya masih
tertutupi pakaian dalam. Kalau tidak, Pangeran Husein
bisa-bisa membuang pandangannya jauh-jauh ke tengah
laut!
Dengan membelakangi Pangeran Husein, Kuntum
Mawar memperlihatkan gambar bunga Wijayakusuma di
punggung kanannya.
"Nih, lihat! Benar, bukan?" tukas wanita seronokan itu.
Pangeran Husein menggeleng-gelengkan kepala.
Memang di punggung kanan wanita itu terlihat gambar
bunga Wijayakusuma. Tapi matanya tidak bisa ditipu. Itu
bukan sekadar tanda sejak lahir, melainkan tatto yang
sengaja dibuat dan tampaknya masih baru.
"Dasar perempuan murahan!" caci Beruang Betina
Kutub Utara gusar melihat si pangeran hendak dirayu
wanita saingannya.
"Eee, berani-beraninya kau menghina calon istri
Pangeran Yang Perkasa!" bentak Kuntum Mawar. Matanya
berkedip-kedip cepat karena marah.
Beruang Betina Kutub Utara mencibir.
"Jangan bodoh! Pangeran tak pernah mencari wanita
seperti kau.... Juga, jangan menganggap Pangeran bodoh.
Apa kau pikir dia tak tahu kalau tanda di punggungmu
hanya buatan tangan?" cemooh Beruang Betina Kutub
Utara dengan kalimat-kalimat datar dan dingin seperti
biasa.
"Eee, kurang asem! Mau kujambak rambut 'kain
kafan'mu itu, ya?!"
Dengan bibir terangkat seperti moncong serigala
betina, Kuntum Mawar menerjang Beruang Betina Kutub
Utara. Kedua tangannya membentuk cakar ke depan, siap
menjambak rambut lawan.
Wuk!
Begitu sepasang tangan Kuntum Mawar mencoba
menyambar rambut putihnya, Beruang Betina menyambut
dengan pukulan 'Cakar Beruang'nya pula.
Bret!
Ada sesuatu yang terkoyak. Begitu Beruang Betina
Kutub Utara tersadar, jubah bulu beruang salju kesayangan
telah menganga lebar. Rupanya, kecepatan cakaran
Kuntum Mawar Lebih dahulu menge-nai sasaran.
Sedangkan, pukulan 'Cakar Beruang' Beruang Betina Kutub
Utara bagai hilang lertelan angin.
Beruang betina cepat menyadari pula kalau telah
berbuat kesalahan. Dia terlalu menganggap remeh lawan
yang tampaknya selemah penari itu.
Sepasang bola mata Beruang Betina Kutub Utara
mencorong ke atas penuh dendam pada Kuntum Mawar.
Bagi Beruang Betina Kutub Utara terkoyaknya jubah
bulunya seperti melukai bagian tubuh-nya sendiri.
"Tangan lancangmu harus membayarnya!" ancam
Beruang Betina Kutub Utara, nyaris terdengar seperti
geraman seekor beruang betina.
"Maaf, aku tak punya persediaan tangan lain. Hanya
ini yang aku punya," ledek Kuntum Mawar seraya
mengangkat sepasang tangannya.
"Kutung tanganmu!" Sekarang, giliran Beruang Betina
Kutub Utara memulai serangan. Pertarungan dua wanita
yang memiliki pesona wajah menarik itu pun tak bisa
dihindari lagi.
k k k
Pada saat yang sama, Anggraini tiba pula di sekitar
dermaga. Dari kejauhan, dara berpakaian merah-merah itu
sudah bisa menduga ada pertarungan seru berlangsung.
Telinganya bisa menangkap angin pukulan yang berderu
kencang sampai ke lempatnya. Demikian pula teriakan-
teriakan penuh gejolak nafsu membunuh dari kedua
wanita yang terlihat pertarungan.
Anggraini mempercepat langkahnya. Tak begitu lama
kemudian, matanya sudah bisa menyaksikan medan laga
di sisi dermaga timur.
Bibirnya mengembangkan senyum tipis melihat salah
seorang wanita yang sedang bertarung. Si wanita
berkebaya beberapa waktu lalu, sempat dipermainkan
Anggraini karena sikap pongahnya. Kalau sekarang dia
sudah mendapat musuh kembali, Anggraini tidak begitu
heran.
"Dasar perempuan usil,"bisik Anggraini mencela
wanita berkebaya.
Medan laga rupanya tak begitu menguras perhatian
Anggraini. Karena, ada hal lain yang membuatnya lebih
tertarik. Yakni seorang pemuda perkasa bersorban dan
beraut wajah tampan, namun asing.
"Itukah pangeran yang dimaksud orang tua yang
kutemui?" tanya Anggraini, membatin. Tak bisa
dibayangkan, kalau dirinya yang sedang dicari sang
pangeran untuk dijadikan istri. Mungkin itu bukan lagi
sekadar kejutan, namun lebih dari itu.
Apa iya, ya? Anggraini berbisik tak yakin. Seorang
anak raja dari negeri di seberang lautan, tampan, perkasa,
dan dari sinar matanya tampak memiliki kelembutan,
mencari wanita bertanda tubuh berbentuk kembang
Wijayakusuma di punggung kanannya?"
Ketika dua bola mata lentik menawan milik Anggraini
memperhatikan lekat-lekat Pangeran Husein, mendadak
saja membersit sinar amat menyilaukan dari dalam tanah,
tepat di tempat pangeran itu ber-,diri.
S las!
Sinar itu bagai bunga raksasa aneh yang meman-car
ke segenap penjuru, merangsek kegelapan malam. Begitu
menyilaukannya sinar itu, sampai-sampai tubuh pangeran
tak tampak lagi.
Anggraini kontan mengangkat tangan ke depan wajah.
Matanya tak sanggup lagi menerima terjangan sinar tadi.
Bahkan, Beruang Betina Kutub Utara dan Kuntum Mawar
yang sedang berbaku jurus pun tak luput melakukan hal
yang sama. Seperti juga Perwira Thariq serta beberapa
awak kapal kerajaan negeri Parsi.
Kemudian, menyusul ledakan amat gempita menerpa
seluruh kawasan dermaga....
7
Malam ini Pendekar Slebor bermimpi amat
menakutkan. Dalam mimpi, Anggraini yang sudah amat
dikenalnya ditelan sekawanan mambang bersosok
menyeramkan yang keluar dari seberkas cahaya amat
menyilaukan. Andika sendiri saat itu seperti berusaha
menggapai-gapaikan tangannya untuk menolong Anggraini.
Seluruh tenaganya terkuras untuk meraih tangan
Anggraini. Tapi, si gadis tetap tak tergapai. Wajah jelita
Anggraini memucat dan dirasuki ketakutan teramat sangat.
Mulutnya menjerit pada Andika, tanpa suara. Anggraini
menggapai-gapai dalam jarak yang semakin jauh dari
Andika. Sampai akhirnya, tubuhnya hilang tertelan oleh
rongga mulut para mambang.
"Bang! Bang, bangun! Bang Andika!"
Andika terjaga. Sekujur tubuhnya dibanjiri peluh.
Napasnya turun naik tak teratur, seakan baru saja
menempuh perjalanan panjang melelahkan tanpa batas.
"Di mana aku?" tanya Andika, dengan tatapan nanar.
"Memang, Kakang kira ada di mana? Di sorga?
Aduh.... Sudah jadi pendekar kesohor, kok masih bisa
linglung! Kita kan masih di penginapan!" jawab Tompel
yang baru saja membangunkan Andika.
Andika membuang napas lega.
"Fhuiiih.... Kukira, aku benar-benar mengalaminya...,"
ucap Andika terseret. Dia bangkit dari tempat tidur, lalu
duduk di tepinya.
"Mengalami apa. Bang?!’’
"Mimpi itu," singkat Andika.
"Mimpi, ya mimpi.... Bukan kenyataan!" sergah
Tompel, sok tahu.
Andika menautkan alis. Matanya menerawang.
"Tapi mimpi yang baru saja kualami seperti
kenyataan. Pel...," kata Pendekar Slebor sungguh-sung-guh.
"Ah, sudahlah Bang! Ini tengah malam. Tidur saja lagi!"
Kemudian bocah tanggung yang belum lagi akil balig
itu ngeloyor keluar kamar.
"Mau ke mana, kau?" tanya Andika.
"Ada pagelaran wayang semalam suntuk di alun-alun,
mau ikut?" sahut Tompel acuh.
Sepeninggalan Tompel, pendekar muda dari Lembah
Kutukan itu berdiri termenung di sisi jendela kamar
penginapan sederhana yang berada di sisi jalan kotapraja.
Pikiran Pendekar Slebor kembali merayapi mimpi yang
baru saja dialaminya. Cahaya? Bisik hatinya. Sepertinya,
dia juga pernah menyaksikan cahaya dalam mimpi.... Tapi,
di mana? Dan para mambang itu, mengingatkannya pada
satu hal.
Rahang Andika bergemeletuk. "Kutu buduk.... Monyel
gundul! Kenapa otakku jadi buntu seperti ini!" Andika
menyumpah-nyumpah sambil menyapu udara dengan
tangannya.
Mulailah Andika mondar-mandir seperti mandor
kehilangan pekerjaan.
"Aku harus dapat mengingatnya," desis pemuda itu
berketad. "Akuyakin ini bukan sekadar mimpi kosong tak
berarti. Mimpi itu pasti berhubungan erat dengan
'bayangan' yang didapat Walet!"
Langkah Andika terhenti sejenak.
"Aku yakin, Anggraini dalam bahaya. Tapi... sialan!
Bahaya apa yang sebenarnya mengancam gadis itu?! Dan
siapa pula dalang semuanya?"
Merasa yakin pengaruh mimpi itu masih membekas di
alam bawah sadarnya, hingga sulit untuk memusatkan
pikirannya, Andika segera memusatkan untuk melakukan
semadi.
Kini Pendekar Slebor mengambil sikap semadi. Dan
dia melakukannya di atas tempat tidur.
Tak begitu lama, Andika sudah membuka mata
kembali. Dia bangkit dari silanya dengan wajah lebih segar.
"Ya! Sekarang aku bisa ingat.... Kapan dan di mana
aku pernah melihat cahaya semacam itu. Yang ketika aku
berhasil menumpas Manusia Dari Pusat Bumi beberapa
waktu silam! Dan mambang yang ada dalam cahaya tentu
perlambang kekuatan alam kegelapan yang dimiliki
Manusia Dari Pusat Bumi! Kalau begitu, manusia laknat
jelmaan siluman itu telah muncul kembali!"
(Untuk mengetahui lebih jelas tentang Manusia Dari
Pusat Bumi, bacalah tiga episode berikut ini: "Manusia Dari
Pusat Bumi, Pangadilan Perut Bumi, dan Cermin Alam
Gaib").
Untuk beberapa lama Andika memutar-mutar
pikirannya. Setahu Andika, tubuh Manusia Dari Pusat Bumi
telah hancur lebur terhajar kekuatan petir yang tersalur
melalui tubuh Andika. Kalau begitu, tentu manusia jelmaan
siluman ini tak muncul dengan jasad aslinya. Rohnya yang
menyatu dengan Cermin Alam Gaib, tentu telah melanglang
buana mencari wadah untuk ditempati.
"Ya, Tuhan...," desis Pendekar Slebor tiba-tiba.
Andika teringat pada pangeran yang mencari seorang
gadis bertanda bunga Wijayakusuma di punggung
kanannya. Pada saat yang hampir bersamaan, dia pun
teringat cerita Walet. Menurut 'bayangan' yang dilihat
bocah ajaib itu, ada seorang wanita cantik berpakaian
merah yang bertanda sama tengah berada dalam keadaan
bahaya.
"Kalau mimpiku benar, berarti gadis yang berada
dalam 'bayangan' Walet dan gadis yang dicari pangeran itu
adalah Anggraini! Dan..., astaga! Tentu pangeran asing itu
telah dirasuki roh Manusia Dari Pusat Bumi!" simpul
Pendekar Slebor nyaris tercekat.
Tanpa banyak mengumbar waktu lebih lama, Andika
segera mengempos seluruh kemampuan ilmu
meringankan tubuhnya. Tujuannya sudah pasti ke pesisir
pantai! Bukankah dalam bayangannya Walet melihat
tempat yang dibatasi air sejauh mata memandang, dan di
atasnyapurnama membulatpenuh? Andika yakin, tempat
yang digambarkan Walet adalah pesisir pantai. Sedangkan
purnama membulat penuh, jatuh tepat pada malam ini!
Dermaga di pesisir pantai ditelan kebisuan men¬
cengkam. Tak ada suara. Bahkan sekadar desir angin atau
kecipak gelombang kecil sekali pun. Laut begitu tenang.
Andika yang telah tiba di sana, merasakan ketenangan laut
seperti gambaran sebuah kematian.
Di sebelah tenggara dermaga, terlihat kapal layar
kerajaan dari negeri Parsi tertambat, sebisu suasana.
"Aku merasakan hal yang aneh," bisik Andika.
Seketika bulu di sekujur tengkuknya meremang hebat. "Tak
seperti biasanya, alam semati ini...."
Dengan langka b satu-satu, pemuda sakti yang
tersohor sebagai Pendekar Slebor mendekati lam-bung
kapal. Begitu sampai ditempat yang dituju, matanya
tertumbuk pada beberapa sosok mayat yang
bergelimpangan, nyaris tersamar karena tertutup pasir
pantai.
Begitu mega gelap membiarkan cahaya purnama
jatuh pada bibir pantai, tubuh-tubuh mayat itu terlihat jelas.
Dua lelaki berpakaian khas negeri Parsi tertelungkup tanpa
gemik. Begitu juga dua wanita di sisi lain sudah tidak
bernapas lagi. Wanita yang satu mengenakan mantel bulu
beruang salju. Sementara yang satu lagi berkebaya ketat
dengan kain wiron ketat pula. Dari kedua wanita itu, tak
seorang pun yang dikenal Andika.
Sewaktu anak muda sakti itu sedang berjongkok di
sisi tubuh perempuan bermantel bulu beruang, tanpa
disadari dua pasang mata memendarkan sinar
menatapnya di kegelapan. Mata itu demikian liar,
memendam dendam. Dalam kesunyian tempat per¬
sembunyiannya, tersembul suara geraman berat.
Rupanya, sesosok makhluk besar berbulu itu adalah
beruang kutub milik Beruang Betina Kutub Utara. Tepat
pada saat Andika di dekat tuannya, beruang itu pun
melihat Andika. Entah bagaimana, naluri binatang itu
menganggap Andika lah yang telah membunuh
majikannya.
Dengan menggeram di kejauhan, beruang itu
menjauhi dermaga.
Sementara itu, Andika mencoba meneliti dua lelaki
yang tela h meninggal di sisi lain. Udara di sekeliling tercium
bau anyir dari darah yang mengering.
Mayat lelaki yang satu berbadan gempal, tapi bagian
dada dan perutnya sobek. Seperti habis di cabik-cabik
binatang buas. Mayat itu adalah Thariq, Perwi-,ra Kerajaan
Parsi.
Mayat yang lain memiliki luka yang sama. Begitu
mengenaskan keadaannya. Andika mau tak mau harus
mengerutkan dahi dalam-dalam. Lelaki itu Pangeran
Husein, seorang yang dicurigainya sebagai Manusia Dari
Pusat Bumi.
"Kalau begitu, aku telah salah duga. Rupanya,
pangeran dari seberang lautan ini tampaknya tidak
bersalah. Tapi, kenapa dia mendapat wangsit dalam
mimpinya untuk mencari Anggraini sebagai calon istri?"
Andika kembali berbisik, bertanya pada diri sendiri. Tiba-
tiba....
"Dia telah diperalat, Kang," ucap seseorang di
belaka ng Andika.
Andika menoleh. Ternyata di belakangnya berdiri, si
bocah ajaib titisan seorang pangeran sakti yang mati
ratusan tahun lalu. Walet!
"Apa yang telah kau ketahui lagi, Walet?" tanya
Andika, tanpa mau banyak basa-basi.
"Selama beberapa hari belakangan, aku berusaha
menembus medan kekuatan gaib dari alam kegelapan
yang datang berupa cahaya dalam 'bayangan'ku. Meski
susah payah, akhirnya aku dapat sedikit menguaknya,"
lapor si bocah ajaib seraya melangkah menuju Pendekar
Slebor. "Pangeran ini rupanya telah diperalat roh jahat...."
"Manusia Dari Pusat Bumi?" duga Andika cepat. "Ya!
Roh manusia siluman itu telah mengirim wangsit palsu
dalam mimpi sang pangeran. Dengan begitu, pangeran
akan berusaha mencari Anggraini, gadis yang memiliki
tanda tubuh di punggung kanannya. Setelah pengumuman
dibuat sang pangeran, tentu Anggraini akan tertarik. Lalu,
dia pun mendatangi tempat ini, tempat di mana kapal layar
pangeran tertambat sekaligus sebagai satu-satunya tempat
bagi Manusia Dari Pusat Bumi untuk bisa melaksanakan
niatnya menculik Anggraini."
"Aku masih belum paham dengan tujuan roh laknat itu
dalam menculik Anggraini?" ujar Andika, masih diliputi rasa
penasaran.
"Untuk dijadikan tumbal, Kang," sahut Walel. Saat
berucap, kelopak matanya menyipit. "Gadis itu memiliki
tanda khusus di tubuhnya. Hanya dialah yang bisa menjadi
syarat kembalinya Manusia Dari Pusat Bumi ke dunia
kasar."
Andika bergidik mendengar penuturan si bocah ajaib
di depannya.
"Kalau begitu, aku harus segera menyelamatkan
Anggraini sebelum semuanya teriambal. Tapi, aku tak tahu
ke mana harus pergi...," kata Pendekar Slebor, seperti
mengeluh.
"Rasanya aku sudah bisa menemukan tempat
Manusia Dari Pusat Bumi yang kini sedang menggunakan
wadah seseorang untuk melaksanakan niatnya...," kata
Walet lagi, dengan gaya berkesan orang tua.
"Cepat katakan, di mana?" desak Andika. Walet pun
memberitahukan Pendekar Slebor tempat yang dimaksud.
Selelah itu, segera Pendekar Slebor berlari bagai
mengeja r waktu ke arah yang dituju.
8
Sebuah pohon besar berusia ratusan tahun yang
menjulang seperti hendak meraih langit, menjadi tempat
untuk melaksanakan rencana Manusia Dari Pusat Bumi.
Dia memang bermaksud menyempurnakan dirinya kembali
agar dapat muncul di alam kasar. Tempat ini sangat tepat,
karena sama sekali tidak mengundang minat orang untuk
mendatanginya. Letaknya memang persis di pusat hutan
yang terkenal paling angker. Rimba Selaksa Mambang!
Untuk yang kedua kalinya, Andika tiba di sana.
Pertama ketika berusaha mengambil Cermin Alam Gaib
(Untuk mengetahui lebih jelas, bacalah episode:
"Pengadilan Perut Bumi"). Kini untuk yang kedua kalinya,
bertujuan untuk menyelamatkan Anggraini.
Saal ini, hari makin ditelan malam. Dini hari kian
suntuk. Kabut merayap-rayap di segenap penjuru hutan,
bagai segerombolan dedemit mencari mangsa. Pandangan
yang terhalang kabut pekat, tak bisa menahan Pendekar
Slebor untuk terus menembus hutan menuju jantung
Rimba Slaksa Mambang. Bahkan udara dingin yang serasa
hendak meretakkan tulang-tulang di sekujur tubuhnya tak
mampu menahan langkah pemuda itu.
Sambil berjalan, Andika mengerahkan seluruh panca
indranya, juga hawa murni dalam tubuhnya diatur agar
dapat mengenyahkan rasa dingin. Kalau tidak begitu, dia
bisa kehilangan kesadaran akibat siksaan dingin.
Menurut kabar angin, banyak orang persilatan
menjadi hilang ingatan, manakala terjebak dalam hutan itu
pada saat malam. Beruntung kalau kebetulan mereka
memiliki kepandaian cukup tinggi. Kalau tidak, biasanya
esok hari mereka akan ditemukan mati dalam keadaan
membiru.
Sementara Andika terus berjalan tersuruk-suruk, para
satwa malam memperdengarkan rintihan. Suasana jadi
kian menggidikkan.
Pada saatnya, Andika tiba di pohon tua yang
batangnya lebih besar dari tubuh tiga ekor kerbau de-wasa.
"Kita bertemu kembali, sarang siluman bau pesing!"
maki Andika berdesis.
Memang Pendekar Slebor menjadi begitu benci pada
tempat itu. Di samping di sana bermukim para siluman
yang pernah menipunya mentah-mentah untuk mengambil
Cermin Alam Gaib, di sana pula bersarang musuh lamanya.
Manusia Dari Pusat Bumi!
Andika tepekur sejenak. Ditatapnya lamat-lamat
bentuk pohon tua itu dalam kegelapan yang pekat. Nyaris
pohon tua itu tak terlihat kalau saja tak ada sinar purnama
yang sedikit menyusupi celah daun-daun pepohonan hutan
yang demikian lebat.
Menurut Walet, Andika bisa menembus masuk ke
dalam alam halus yang berada di dalam pohon tua itu.
Namun, caranya amat mengundang bahaya. Dan tak hanya
bisa terluka, bahkan mungkin Andika akan kehilangan
nyawa!
Pertama-tama, Andika harus melakukan semadi.
Paling tidak agar batinnya benar-benar siap menghadapi
alam kegelapan para makhluk durjana. Pendekar muda itu
memang mesti membersihkan jiwanya dalam satu
penyerahan sepenuhnya pada Sang Khalik.
Andika baru hendak menyatukan sepasang telapak
tangannya, ketika tiba-tiba sesuatu yang dingin menyentuh
erat pangkal lengannya.
Andika tercekat. Dengan sigap dipasangnya kuda-
kuda.
"Tompel?!" ucap Andika hampir-hampir berseru begitu
melihat seseorang yang baru saja menyentuh tangannya.
Berikutnya, Andika justru merasa ragu. Benarkah
anak ini Tompel? Padahal, Andika harus mengatur hawa
murni sedemikian rupa agar bisa bertahan dari hawa
dingin yang seperti hendak membekukan. Tapi Tompel...?
Kaki Pendekar Slebor tersurut beberapa tindak ke
belakang. Ditatapnya hati-hati serta teliti bocah tanggung di
depannya. Dulu, dia pernah tertipu oleh siluman yang
menyamar sebagai Raja Penyamar. Karena itu, Andika tak
ingin tertipu untuk kedua kalinya. Dia tak boleh 'terpuruk
dalam lobang yang sama! (Baca serial Pendekar Slebor
dalam episode : "Pengadilan Perut Bumi").
"Bang Andika.... Yeee.... Kenapa jadi seperti orang
kurang waras?!" sungut si bocah tanggung.
Alis mata Andika dipaksa mengkerut. Gaya bicaranya
memang khas Tompel. Acuh dan asal bunyi. Tapi, tetap
saja Andika ragu.
"Hmh.. Jangan kau pikir aku akan tertipu lagi, siluman
berpusar jengkol!" maki Andika tersenyum sinis.
Bocah di depan Pendekar Slebor langsung
memperlihatkan muka asam.
"Abang Andika ini bagaimana?! Aku ini Tompel! Benar-
benar Tompel tulen! Masa' dibilang siluman berpusar
jengkol segala!" rutuk Tompel.
"Tompel yang kukenal tak akan sanggup menghadapi
hawa dingin hutan ini!" sergah Andika.
"Terang saja Abang baru bertemu kembali denganku.
Selama ini Abang tidak tahu, kalau aku sudah menjadi
murid Pendekar Dungu?" Mata Pendekar Slebor menyipit.
"Kau...? Murid Pendekar Dungu?" tanya Pendekar Slebor
tak percaya.
"Kalau Abang tak kenal dia, aku bisa jelaskan ciri-
cirinya. Orangnya sudah tua. Giginya tinggal tiga. Bertopi
pandan dan berpakaian kacau-kacau. Dan satu lagi...,
bodohnya minta tobat!" papar si bocah tanggung lancar!
"Aku sudah kenal dia." kata Andika lagi. "Tapi, tetap
saja aku tak percaya kalau kau adalah Tompel."
"Aaah, Abang ini! Kenapa jadi memusingkan aku ini
Tompel atau bukan?! Yang penting, Abang harus tahu! Ada
sesuatu yang lebih gawat dari itu!" Andika tak berucap apa-
apa. Ditunggunya perkataan bocah tanggung itu lebih jauh
dengan keadaan tetap siap siaga.
"Bang Suta! Dia bertingkah ganjil. Sewaktu hendak ke
alun-alun untuk menonton pertunjukan wayang, aku
berpapasan dengan Bang Suta. Anehnya, dia sama sekali
tidak mengenaliku. Padahal, aku lewat persis di
depannya...," cerocos si bocah tanggung, lancar seperti
mercon kembang api. "Karena aku yakin ada yang tak
beres telah terjadi pada diri Bang Suta, lalu kuurungkan
niat ke alun-alun. Kemudian dia kuikuti dan sampai ke
tempat ini. Kalau saja aku belum dibekali ilmu tenaga
dalam oleh Guru Rengga...."
"Guru Rengga?"
"Pendekar Dungu. Si tua berotak bebal itu bernama
Renggaswara!" ujar Tompel, kurangajar. "Kalau aku tidak
berbekal ilmu tenaga dalam, aku tentu sudah mampus
dalam keadaan kaku di tempat ini."
Andika mulai mempercayai keterangan bocah
tanggung itu. Dia tahu benar, bagaimana sifat Tompel
sesungguhnya. Anak ini tampak kurang ajar pada siapa
saja. Tapi, sebenarnya berhati baik.
"Dan ada yang lebih membingungkan, Bang Andika!"
cetus Tompel, setengah berbisik. "Bang Suta, entah
bagaimana bisa menembus masuk ke dalam pohon besar
itu."
Tompel menunjuk pohon tua raksasa di belakang
Andika.
"Aku sendiri bingung, bagaimana dia bisa mela¬
kukannya...," lanjut Tompel tetap berbisik.
"Suta?" desis Andika bergidik. Jadi, orang yang telah
dirasuki roh Manusia Dari Pusat Bumi adalah sahabatnya
sendiri? Orang yang sudah seperti saudara kandungnya....
"Ah! Rasanya aku tak bisa mempercayainya," kata
Andika, lirih.
"Semula aku juga begitu, Bang. Tapi kenyataan
seringkah bertolak belakang dari harapan kita," tukas
Tompel. Sebagai gelandangan kotapraja, ucapannya
tergolong bijak. "Sekarang, apa yang harus kita lakukan,
Bang?"
"Aku harus menyelamatkan seorang perempuan
dalam alam siluman di balik pohon ini," sahut Andika. "Kita
masuk, Bang?" ralat Tompel. "Apa maksudmu?" tanya
Andika.
"Lho? Biar bagaimanapun, aku harus ikut ke dalam
sana. Bang Suta kan, sudah seperti kakak kan-dungku
juga!" sambung Tompel beralasan.
"Bukan itu masalahnya...."
"Apakah Abang kira aku takut dengan ‘genderuwo’,
setan belang, siluman cacingan, dan segala macam?"
serobot Tompel penuh semangat berkobar-kobar.
"Aku tahu, kau bukan pengecut. Tapi...."
"Tak ada tapi, Bang!" Tompel bersikeras. Bibirnya
mencibir, seolah hendak menganggap masuk ke alam
kegelapan para siluman hanya sekadar buang kentut
baginya.
"Kau...," Andika kehabisan kata. "Baiklah, hitung-
hitung buat berjaga-jaga."
"Berjaga-jaga bagaimana, maksud Abang?"
"Siapa tahu para siluman di dalam Sana langsung
ngacir melihat wajahmu. Wajahmu kan. lebih jelek
daripada mereka.... He he he...."
"Sialan benar!"
Andika lalu memulai kembali niatnya untuk ber¬
semadi. "Aku hendak bersemadi. Kalau nanti pintu alam
gaib terbuka, kau harus segera masuk. Setelah itu, aku
menyusul," pesan Andika, seraya menyatukan kedua
tangannya.
"Kenapa bukan Abang lebih dahulu?" tanya Tompel,
tak suka.
"Katanya kau bukan pengecut...," ledek Andika.
Tompel lagi-lagi mencibir.
"Ooo, pasti! Perkenalkan, pendekar sakti kota praja
yang belum sempat tersohor!" "Sudah diam kau!" bentak
Andika. Andika memulai semadinya. Dan sekali lagi, dia
harus memenggal niatnya. Karena tiba-tiba, terdengar
suara berat dan serak merambah seisi hutan. Andika
tersentak. Lebih-lebih Tompel.
"Nah, lo...! Rasanya aku belum pernah mendengar
suara siluman seperti itu, Bang," bisik Tompel seraya
mendekati Andika.
"Itu memang bukan suara siluman," kata Andika. "Aku
yakin, itu suara binatang buas. Tapi, aku belum pernah
mendengarnya di tanah Jawadwipa ini...." "Jadi binatang
buas apa, Bang?"
"Mana aku tahu."
"Khoaarrrkhhh!"
Suara geraman memecah suasana hutan angker
kembali, disusul terkuaknya semak-semak tinggi. Dan,
muncullah sosok makhluk yang tak pernah ada di tanah
Jawadwipa. Seekor beruang berwarna putih kapas berbulu
indah. Namun di balik itu, tersimpan kebuasan hewan
pemangsa berdarah dingin.
"Apa itu, Bang?" tanya Tompel, tersentak.
Seumur hidup, baru kali ini bocah itu melihat wujud
yang begitu perkasa sekaligus menggetarkan hati!
"Kalau tak salah, binatang itu disebut beruang kutub,
Pel," jawab Andika tenang.
Bukan pertama kali bagi Pendekar Slebor meng¬
hadapi bahaya yang jauh lebih mengancara jiwanya.
Jangankan beruang. Sepuluh ekor banteng ketaton pun
dapat ditumpasnya dalam sekali kepruk.
Tapi yang dipermasalahkan bukan hal itu. Melainkan,
Anggraini harus segera diselamatkan. Sebentar lagi, dini
hari akan habis. Saat itulah Manusia Dari Pusat Bumi
melaksanakan niatnya untuk menumbalkan Anggraini agar
dirinya dapat kembali ke alam kasar.
"Seberapa jauh Pendekar Dungu telah menurunkan
ilmu tenaga dalamnya padamu?" tanya Andika cepat.
"Cukup," jawab Tompel dengan mata tak berkedip
memandang makhluk yang mempesona sekaligus
membuat nyalinya mengkerut.
"Kau sudah bisa menghancurkan batu karang?" tanya
Andika.
"Ya..., kira-kira begitu."
"Mmm.... Kalau begitu, kau sanggup menghadapi
binatang ini. Sementara itu, aku akan masuk sendiri ke
alam siluman."
Tompel melotot, namun tak bisa menolak. Biar
bagaimanapun, Andika harus secepatnya masuk tanpa
terhalang kedatangan makhluk buas yang menyeramkan
itu.
"Cepat maju!" hardik Andika. "Jangan biarkan hewan
itu mengusik semadiku," pesan Andika.
Pendekar Slebor melangkah beberapa tindak
mendekati pohon besar, sarang para siluman untuk
memulai semadi kembali.
9
"Chiaaat...!"
Selantang pendekar jajaran kelas atas dari dunia
persilatan, Tompel merangsak beruang kutub yang telah
kehilangan tuannya. Mulutnya terbuka lebar-lebar,
sehingga sulit dibedakan apakah anak itu sedang berteriak
atau justru menguap.
Meski baru kali ini melihat sosok makhluk yang akan
dihadapinya, anak tanggung yang ternyata murid si
Pendekar Dungu membuat tendangan terbang ke dada
beruang kutub.
Menyambut serangan pembuka Tompel, beruang
kutub yang besarnya dua kali lebih orang dewasa itu berdiri
di atas kedua kaki belakangnya. Sementara sepasang kaki
depannya mencakar-cakar udara ke muka, siap
menyambut kedatangan tendangan Tompel.
Telanjur meluncur deras di udara, Tompel tak bisa lagi
menghinaari dari sambaran kuku-kuku tajam beruang
salju. Namun dengan bekal ilmu yang didapat dari gurunya
yang tergolong pelit dalam menurunkan ilmu, di udara
tubuhnya menggulung demikian rupa seperti bola karet.
Dengan begitu, sambaran cakaran kuku binatang yang
hendak merobek kaki kurusnya dapat dihindarinya.
Begitu luput dari cakar ganas beruang kutub, Tompel
dengan cerdik segera melenturkan tubuh kembali sepenuh
tenaga.
Dugkh!
Tak ayal lagi, dada gempal si beruang salju menjadi
mangsa empuk kaki kurus Tompel. Meskipun kakinya
langsing, namun tendangan anak tanggung itu sanggup
mendorong tubuh besar beruang sejati tiga tombak ke
belaka ng.
Pada masa jayanya, Pendekar Dungu amat disegani.
Terutama dalam hal ilmu tenaga dalam. Maka, tak heran
kalau sekarang kehebatan tenaga dalam itu terlihat pada
murid tunggalnya yang masih bau kencur dan baru
mendapat sebagian dari kesaktian tokoh bangkotan itu.
"Wihhh! Aku bisa membuat binatang kutu kupret ini
terjengkang ke belakang, lho!" seru Tompel kegirangan
sendiri melihat hasil tendangannya.
Wajah bocah itu tampak berbinar-binar bangga
sewaktu menoleh pada Andika. Sayang, pemuda sakti itu
telah menyatu dalam semadinya.
"Khoa rrkh!"
Si binatang berbadan bongsor ini tentu saja jadi
makin murka menerima perlakuan dari si bocah. Seraya
mengumandangkan geraman menggetarkan udara, tubuh
beruang itu merunduk perlahan. Ditusuknya Tompel
dengan tatapan sepasang bola mata yang tajam
mengancam.
Perlahan binatang itu bergerak mengintai.
"Khoaargkh...!"
Lalu mendadak beruang kutub ini meluruk menuju
Tompel.
Bocah murid Pendekar Dungu itu terperanjat bukan
main. Tak diduga kalau lawan besarnya akan melakukan
serangan tiba-tiba. Padahal, dikira binatang itu justru akan
melarikan diri.
"Mampus juga aku!" teriak Tompel kelimpungan
seraya bergegas membuang diri ke sisi kiri.
Tubuh kurus bocah itu lantas bergulingan di tanah
yang penuh akar-akar merangas.
"Bang! Apa aku tidak bisa sedikit menawar, nih?!" seru
Tompel pada Andika. Bibirnya meringis sambil berusaha
untuk bangkit kembali. Sejulur akar tua rupanya telah
menghantam dengkulnya yang terlalu mancung.
Pendekar Slebor tak bisa lagi memperhatikan te¬
riakan Tompel. Sebab pada saatyang sama, dia telah tiba
di titik puncak kekhusuan semadinya. Dan pada saat itu
niat Pendekar Slebor ditentukan, apakah berhasil
membuka pintu alam gaib menuju alam siluman atau
tidak.
Beberapa saat berselang, di sekujur tubuh Pen-,dekar
Slebor muncul semacam pendaran cahaya halus yang
hanya bisa ditangkap mata seseorang yang memiliki
kekuatan batin. Cahaya halus itu merambat dan
mengembang keluar dari tubuh Andika. Sedangkan tubuh
pendekar muda ini sendiri tampak berge-tar. Kian lama,
getaran tubuhnya kian kentara. Sampai akhirnya....
Seperti datang dari pusat bumi, angin tiba-tiba bertiup
amat kencang. Anehnya, hanya di daerah se-kitar pohon
tua itu. Seketika, angin tadi membentuk pusaran yang
menyerupai angin puting beliung yang menerbangkan
daun-daun, ranting-ranting kering, rerumputan dan apa-apa
yang bisa disapu. Bahkan, pepohonan besar yang tidak
bisa bertahan dengan akarnya lagi! Semuanya
diterbangkan ke pusat pusaran, tepat di tengah-tengah
batang besar pohon tua.
Begitu angin reda, terbukalah lingkaran selubung
cahaya yang amat menyilaukan. Kian lama lingkaran itu
kian membesar membentuk celah bundar pada batang
pohon.
Begitu lingkaran cahaya itu berhenti mengembang,
sekerdip mata saja Pendekar Slebor telah melompat ke
sana.
Plash!
Tubuh pendekar muda kesohor itu langsung tertelan
pintu alam gaib yang berhasil dibukanya.
Tompel yang kebetulan berdiri tak jauh dari pintu
alam gaib, tanpa pikir panjang segera menyusul Pendekar
Slebor. Dia meloncat sekuat tenaga, bahkan sampai harus
buang 'gas' dari pantatnya segala. Sekejap Tompel
terlambat, maka tak akan bisa menyusul Andika. Karena
begitu tubuhnya menyentuh lingkaran cahaya, pintu alam
gaib tersebut cepat menutup kembali.
k k k
Alam lain benar-benar berbeda dari alam nyata
tempat manusia hidup di dalamnya. Alam itu seperti kebun
dengan beragam cahaya warna-warni di sekelilingnya.
Sebagian cahaya berkelebat dan berseliweran di sekitar
Pendekar Slebor dan Tompel. Seluruh warna begitu
menyilaukan. Namun sungguh aneh, mata Andika maupun
Tompel sama sekali tidak terpengaruh.
Kulit mereka merasakan himpitan hawa panas di
mana-mana. Tapi, mereka sama sekali tidak tersiksa.
Telinga keduanya dikerubungi suara-suara yang
bersimpang siur tak karuan. Begitu bising, tapi tak
menjadikan pekak.
Semua serba ganjil. Serba sulit dimengerti. Untuk
pertama kali dalam hidup Andika dan Tompel memasuki
alam para makhluk durjana.
"Akan ke mana kita. Bang?" tanya Tompel.
"Mana aku tahu. Semuanya begitu membingungkan,"
jawab Pendekar Slebor.
"Tanpa arah pasti dan alam yang begitu asing seperti
ini, apa tidak mungkin kita akan tersesat?" cetus Tompel.
Hatinya cemas, meski di sampingnya berjalan seorang
pendekar sakti yang amat disegani di dunia persilatan.
"Serahkan semuanya pada Sang Khalik. Kita ini
milikNya. Percayalah, bahwa Sang Khalik tetap memelihara
kita dari kejahatan para makhluk durjana," tutur Andika
mantap.
Andika dan Tompel terus melangkah. Setiap langkah
mereka merasa menjejak gumpalan-gumpalan awan tebal
yang lunak dan berlendir menjijikkan. Sampai sebentang
sinar merah menyala bagaikan pantulan dari dasar neraka
membentang di depan, maka Tompel dan Andika berhenti.
"Kau lihat hamparan sinar merah menyala itu. Bang?
Apa tak mungkin kita benar-benar tersesat?" desis Tompel,
ngeri membayangkan dirinya mati menyusuri bentangan
sinar membara tanpa tepi.
Mulut Pendekar Slebor terkatup rapat, tak bisa bicara
apa-apa. Tidak juga untuk menjawab pertanyaan bocah
tanggung di sisinya yang terdengar amat sumbang.
Andika menarik napas dalam-dalam. Hati nuraninya
mengingatkan untuk meminta kekuatan dari Sang Khalik.
Belum lagi tuntas Pendekar Slebor memasrahkan dirinya
pada Tuhan, tiba-tiba dari bawah kaki muncul tangan-
tangan segelap lumpur. Tanpa diketahui Andika dan
Tompel, tangan-tangan menjijikkan telah mencengkeram
pergelangan tangan kaki mereka.
Srap! Srap!
Sebagai pendekar yang sudah begitu terlatih
kesigapannya, Andika cepat membuat gerakan
menghentak ke atas dengan mengerahkan kekuatan
tenaga dalam tingkat sembilan belasnya. "Khiaaa!"
Dua pasang tangan yang sempat menjepit
pergelangan kaki Pendekar Slebor tak ayal lagi tercabut
putus dari gumpalan-gumpalan seperti asap di bawahnya.
Seketika, cairan berwarna kuning kental menjijikkan
bercucuran dari setiap potongan tangan tersebut.
Bibir Andika meringis jijik. Kalau saja tak bisa
menguasai diri, saat itu juga Pendekar Slebor akan
muntah.
Sementara itu, Tompel berusaha melakukan tindakan
yang sama. Sayang, kesigapannya jauh berada di bawah
Pendekar Slebor. Dia terlambat, karena sudah terlalu
banyak tangan-tangan berlendir mencengkeram
pergelangan kaki kurusnya hingga ke betis.
Namun sebagai gelandangan kotapraja, dia terdidik
untuk hidup pantang menyerah. Tompel tak putus harapan.
Seluruh ilmu tenaga dalam yang ter-golong tanggung,
langsung dikerahkan ke bagian kaki. Pada saatnya, dia
menghentak keras.
"Hiaaah!"
Tras! Tras!
Hanya dua-tiga tangan yang terputus. Selebihnya,
malah menjepit Tompel lebih kuat, lalu mulai menariknya
ke dasar gumpalan.
Melihat hal itu, Pendekar Slebor tak mau kalah cepat
dengan betotan-betotan liar. Segera selendang pusaka
bercorak catur diloloskan dari bahunya. Sejurus, diputarnya
bagai baling-baling. Kemudian disabetkannya beberapa
kali. Kain yang semula lembut itu berubah tegang bagai
lempengan baja. Dalam beberapa kelebatan, tangan-
tangan yang berusaha membetot tubuh Tompel langsung
nenjadi mangsa empuk.
Ctas! Ctas! Ctas!
"Cepat menyingkir dari tempat ini, Tompel!" seru
Andika.
"Ke mana. Bang?! Bukankah di hadapan kita hanya
ada bentangan cahaya membara?!"
"Jangan banyak tanya!" bentak Pendekar Slebor.
Terpaksa, Tompel pun menggenjot kakinya memasuki
hamparan cahaya merah yang panasnya menyengat
sekujur badan.
Kini, di atas hamparan cahaya merah menyiksa,
kedua lelaki berbeda usia itu berlari bagai pecundang.
Biarpun Andika sudah banyak makan asam-garam dunia
persilatan, namun sebagai manusia biasa rasa takut tetap
ada di benaknya. Hal yang sama pun berlaku pada Tompel.
Maka jangan tanya bagaimana takutnya si bocah badung
yang semula menganggap semua itu sekadar buang
kentut.
Tak beda orang kesetanan, keduanya berlari. Andika
yang memiliki ilmu meringankan tubuh lebih tinggi
daripada Tompel, terpaksa harus menyeret tubuh bocah
tanggung itu agar bisa tetap bersamanya.
Tanpa diketahui Andika dan Tompel yang terdampar
di alam halus itu, para makhluk penghuninya tengah
menertawakan mereka dari tempat tersembunyi.
Suara makhluk halus memadati segenap penjuru. Di
mana pun Pendekar Slebor dan Tompel menjejakkan kaki,
di situ terdengar tawa mengejek yang hingar bingar
mendirikan bulu kuduk.
Lama kelamaan, terbakar kegeraman Pendekar
Slebor. Ketegaran hatinya memaksanya berontak dari
kungkungan rasa takut yang mendera bertubi-tubi. Andika
jadi murka, karena merasa telah dipermainkan mentah-
mentah oleh para makhluk durjana.
Seketika Andika menghentikan larinya, napasnya
memburu bersama kepulan hawa panas dari hidungnya.
"Aku makhluk yang lebih mulia! Terlalu bodoh jika aku
menjadi bulan-bulanan kalian!" teriak Pendekar Slebor
mengguntur.
Teriakan itu mencabik-cabik hingar-bingar tawa
mengejek para siluman. Lalu alam pun sunyi. Sunyi....
Menyusul, perubahan berangsur-angsur di
sekelilingnya. Dan lamat-lamat, semuanya mengabur dari
pandangan Andika dan Tompel.
Ketika pandangan kembali terang, Andika dan Tompel
sama-sama tertegun. Hati masing-masing berujar kalau
mereka sangat kenal tempat itu.
"Bang! Bukankah ini kamar penginapan Bang Suta?"
tanya Tompel hati-hati sekali.
Tidak ada tanggapan dari pemuda di sebelahnya.
Pendekar Slebor tampak sedang terdiam tegang, karena
mendengar suara mencurigakan merambat menuju tempat
mereka. Makin lama terdengar makin dekat.
Wuk, wuk, wuk!
Deru santer bagai kepakan sayap rajawali raksasa
terdengar, disusul hancurnya dinding kamar penginapan
yang selama ini dipakai Sutawijaya.
Biar!
Dari lobang besar yang tercipta, mencuat sebuah
benda kecil berbentuk bulat lonjong melayang-layang liar.
Pendekar Slebor langsung mengenali benda itu, begitu
melihatnya!
"Cermin Alam Gaib...," desis Pendekar Slebor.
Memang, cermin itu adalah senjata andalan musuh
terberatnya. Manusia Dari Pusat Bumi!
Jika benda warisan siluman itu sudah muncul, itu
berati pemiliknya pun tak lama lagi akan muncul pula.
Begitu duga Andika.
Tak lama berselang, Sutawijaya yang dirinya dikuasai
roh halus Manusia Dari Pusat Bumi pun tampak memasuki
lobang menganga di dinding pengi-,napan. Lelaki muda
sahabat Andika itu terlihat ber-beda dari sebelumnya. Sinar
matanya tampak menusuk bagai hendak mencabik
langsung kejantung. Wajahnya kaku, dingin, dan pucat.
Lebih pucat daripada mayat!
Saat itu, hanya satu hal yang amat dikhawatirkan
Andika, terhadap diri sahabatnya. Dia takut, roh Manusia
Dari Pusat Bumi telah benar-benar menguasai garba batin
Sutawijaya. Namun menurut Walet, Manusia Dari Pusat
Bumi baru benar-benar akan menguasai penuh jasad
Sutawijaya jika sudah berhasil mengorbankan Anggraini
sebagai tumbalnya.
Lalu ke mana Anggraini?
"Hua ha ha haaahhh!" satu tawa menyeramkan
melompat dari tenggorokan Sutawijaya. "Kita bertemu
kembali, Pendekar Slebor. Seperti pernah kuancamkan
padamu, aku akan kembali menghancurkanmu seperti kau
menghancurkan jasadku...."
"Manusia siluman bau!" maki Pendekar Slebor.
"Kujamin niatmu tak akan tersampaikan untuk hadir
kembali ke alam kasar dengan menguasai diri sahabatku!"
Manusia Dari Pusat Bumi tertawa lagi. Kali ini lebih
nyaring melengking,
"Buktikanlah, Pendekar Slebor! Buktikan...," tantang
Manusia Dari Pusat Bumi, memancing kemarahan Andika.
"Kalau itu yang kau ingikan, akan kulayani," tegas
Andika seraya memasang jurus terampuhnya, 'Mengubak
Hujanan Petir Membabi buta'.
Bibir Manusia Dari Pusat Bumi menyeringai mengejek.
"Kau masih saja mempergunakan jurus jelekmu itu,
Pendekar Slebor? Ha ha ha...!"
"Banyak cincong!"
Pendekar Slebor yang sudah sepenuhnya siap
menghadapi lawan, segera menerjang ke depan. Se¬
rangka i langkah-langkah teramat cepat dilakukannya.
Seluruh geraknya tampak ngawur tak karuan, namun amat
bertenaga dan mantap. Itulah ciri khas jurus-jurus yang
diciptakannya di Lembah Kutukan ketika menjalani
penyempurnaan kesaktian dulu! (Baca episode : "Dendam
dan Asmara").
"Hiaaa!"
Deb! Wes!
Sampokan tangan kanan Pendekar Slebor membabat
lurus ke bagian leher Manusia Dari Pusat Bumi. Ketika
nyaris tiba di sasaran, gerakan tangannya tiba-tiba
menyempong ke sasaran lain. Dari gerak menyampo k,
tangannya berubah mengacungkan jari untuk menotok
jalan darah di bagian dada. Pendekar Slebor memang tak
berniat sungguh-sungguh menghajar. Dia bukan pemuda
bodoh yang baru saja turun gunung. Kalau seandainya
berhasil menghantam leher lawan, itu sama artinya
sengaja membunuh Sutawijaya sahabatnya.
Sementara Manusia Dari Pusat Bumi tampaknya tak
mudah dikelabui dengan perubahan gerak secara tiba-tiba
yang bisa mengecohkan tokoh persilatan berilmu tinggi
sekalipun. Dengan amat lincah, Manusia Dari Pusat Bumi
menjepit jari jemari Pendekar Slebor dengan sepasang
telapak tangannya. Tep!
Pada saat yang nyaris tak berlainan, mata bengis
Manusia Dari Pusat Bumi melirik tajam ke arah Cermin
Alam Gaib. Seketika benda terkutuk yang masih melayang-
layang di udara itu bagai mengerti bahasa isyarat mata
tuannya. Langsung dibokongnya Pendekar Slebor dari
belaka ng.
"Bang Andika, awas di belakangmu!" teriak Tompel
keras.
Tanpa diperingatkan Tompel pun, Pendekar Slebor
sebenarnya sudah menyadari bahaya. Dengan sigap,
kakinya disentakkan ke atas. Masih dengan tangan terjepit
telapak tangan Manusia Dari Pusat Bumi, dengan cerdik
Andika melenting ke atas.
Maka tanpa bisa dicegah lagi, Cermin Alam Gaib
langsung menghajar tubuh tuannya sendiri.
Dakh!
Tubuh Manusia Dari Pusat Bumi kontan terhempas ke
belakang amat deras. Dinding penginapan kembali jebol,
menciptakan lobang besar tambahan.
"Sinting kau. Bang! Bang Suta bisa terluka!" bentak
Tompel gusar menyaksikan siasat bertarung Pendekar
Slebor yang sengaja mengumpankan tubuh lawan pada
senjatanya sendiri.
"Tenang, Pel. Tentu saja aku sudah memperhi¬
tungkan. Senjata itu seperti anjing penurut bagi Manusia
Dari Pusat Bumi. Mungkin bisa menghajar tuannya, tapi tak
akan sampai terluka parah," kata Andika yakin.
Perkataan Pendekar Slebor terbukti. Dari lobang di
dinding tadi, Manusia Dari Pusat Bumi meluncur masuk
kembali dengan satu terkaman ganas dan berkekuatan
penuh. Kesepuluh jari tangannya mengejang kaku, seolah-
olah siap mencabik baja terkeras sekalipun.
"Nah, kau lihat sendiri, bukan?" ujar Pendekar Slebor
seraya berkelit gesit.
Masih sempat-sempatnya Andika berkelakar dengan
Tompel, pada saat yang bagi orang lain tak bisa
menggerakkan lidah sekalipun, karena diliputi rasa tegang.
Sewaktu dua cakar Manusia Dari Pusat Bumi hendak
merobek tenggorokannya, Pendekar Slebor bergerak sigap
satu tindak ke samping.
Wuk!
Maka sambaran itu pun lewat begitu saja, hanya
setengah jengkal dari tenggorokan Andika. Sebuah cara
menghindar yang terlalu mengandung bahaya
besar. Seakan-akan, pendekar muda itu hendak
mengejek lawan.
"Sayang tak kena. Kau kurang cepat, Manusia
Siluman Bau! Coba sedikit lagi kau percepat gerakanmu.
Ayo... ayo...," ledek Andika, menganggap lawan seperti
bocah kecil yang baru bisa merangkak.
"Khaaah! Jebol igamu!"
Dalam segebrak, Manusia Dari Pusat Bumi sudah
membuat serangan susulan menggunakan siku kirinya.
Sementara dada bidang Pendekar Slebor hendak dijadikan
sasaran.
Pendekar Slebor tak mau terus menghindar. Dia sadar
kalau terus seperti itu lama-kelamaan akan terhantam juga
oleh serangan gencar Manusia Dari Pusat Bumi. Maka
dengan satu gerakan pontang-panting tapi secepat kedipan
mata, tangannya menekuk di depan dada.
Dakh!
Siku Manusia Dari Pusat Bumi berhasil ditahan
Pendekar Slebor. Kemudian tangan Pendekar Slebor yang
lain meruntunkan serangkai totokan yang bisa
menjatuhkan empat puluh ekor kuda jantan sekaligus.
Wuk, wuk, wuk.J
Gencar bagai siraman hujan dari langit rangkaian
totokan Pendekar Slebor. Tapi tak satu pun bisa
melumpuhkan Manusia Dari Pusat Bumi. Karena setiap
kali mengenai sasaran, tubuh Manusia Dari Pusat Bumi
berubah menjadi selembut asap. Meski setiap totokannya
tepat mengenai sasaran, ujung jari Andika tak merasa
menyentuh apa-apa.
Menyadari hal itu, Andika melenting ringan untuk
menjauhi Manusia Dari Pusat Bumi. Pengalamannya di
waktu lalu saat menghadapi lawannya untuk pertama kali,
langsung terngiang di benaknya.
"Monyet iler, anjing bengek, kutu mencret!" sumpah
serapah panjang pendek keluar dari mulut Pendekar
Slebor. "Rupanya dia mulai bermain sihir!"
Sambil memaki, mata Andika mencari-cari ke mana
Cermin Alam Gaib. Di seluruh ruangan, tak ditemukannya
lagi benda laknat itu, setelah sebelumnya melayang-layang.
Barulah Andika sadar. Semenjak menghantam
tuannya sendiri, cermin itu telah berada pada Manusia Dari
Pusat Bumi kembali. Hanya dengan benda itu tokoh iblis itu
bisa mengerahkan seluruh kekuatan saktinya.
Untuk menghadapi kekuatan sihir Manusia Dari Pusat
Bumi, jalan satu-satunya bagi Pendekar Slebor adalah
memusatkan segertap jiwanya pada satu titik terdalam di
dasar diri lawannya. Sementara itu, dia menyerahkan
dirinya pada kekuasaan Tuhan Semes-ta Alam.
Pengalaman ini didapat atas saran pangeran yang
menitis pada diri Walet. Dan terbukti, Pendekar Slebor dulu
bisa menaklukkan Manusia Dari Pusat Bumi.
Kini Pendekar Slebor berusaha menyatukan dirinya
dengan kekuatan Tuhan Alam Semesta. Dugaan Andika tak
meleset. Begitu memasuki taraf pengosongan diri, sebuah
semburan api raksasa tercipta dari sepasang telapak
tangan Manusia Dari Pusat Bumi. Seolah ada naga ganjil
yang hendak menelan bulat-bulat tubuh Andika. Api
raksasa itu menderu menuju dirinya tanpa bisa dielakkan
lagi.
Seketika seluruh tubuh Andika menghilang di balik
kobaran api. Namun beberapa saat berikutnya, api
mendadak tersurut mundur. Karena dari seluruh pori-pori
Pendekar Slebor membersit cahaya bening. Cahaya bening
seperti air tanpa wujud ini mendesak dan terus mendesak
api besar milik Manusia Dari Pusat Bumi.
Menyadari usahanya tak berhasil, Manusia Dari Pusat
Bumi menambah pengerahan kekuatan sihirnya. Kini,
bukan hanya api yang muncul dari telapak langan manusia
jelmaan siluman itu. Sesosok makhluk yang bentuknya
berubah-ubah melayang deras meluruk ke arah Pendekar
Slebor.
Makhluk yang berubah-ubah wujud itu ternyata
sanggup menelan sejengkal demi sejengkal cahaya bening
dari tubuh Pendekar Slebor. Pada akhirnya, sebentuk
tangan mencuat dari perut makhluk itu. Dan, langsung
mencengkeram Pendekar Slebor.
Krep!
Saat itu, Andika merasa dirinya seperti dipaksa
tenggelam ke dasar danau dalam amat gelap. Napasnya
sesak. Jangankan menarik napas, mengembangkan
dadanya pun sudah begitu sulit. Tubuh kekar pemuda itu
bergeliat-geliat.
Apakah Pendekar Slebor akan terus bergeliat hingga
meregang nyawa?
k k k
Tanpa bisa dipahami, tiba-tiba saja cengkeraman
tangan ganjil di leher Pendekar Slebor sirna. Andika heran.
Secepat itu pula kelopak matanya membuka. Lalu apa
yang dilihatnya? Sungguh suatu hal yang membuatnya
nyaris tertawa geli, meski dirinya hampir mati sebelumnya.
Tompel, si bocah tanggung yang selama ini hanya jadi
penonton, ternyata telah mencopet Cermin Alam Gaib dari
balik pakaian Manusia Dari Pusat Bumi. Bocah itu yang
berhati masih bersih dari kotoran dunia, membuatnya
sama sekali tak terpengaruh kekuatan jahat benda laknat
milik Manusia Dari Pusat Bumi.
Dengan mata kepala sendiri Andika melihat anak itu
menimang-nimang Cermin Alam Gaib. Sedangkan bibirnya
yang terlalu kecil, bersiul-siul tanpa bunyi.
"Abang boleh bangga padaku.... Biar begini-begLii, aku
tidak bodoh untuk mengetahui kelemahan lawan," Tompel
sesumbar dengan cuping hidung kembang-kempis bangga.
Sementara itu, mata Manusia Dari Pusat Bumi
mendelik sejadi-jadinya. Sulit diduga kalau bocah kecil
yang tak pernah dipandang sebelah mata itu berhasil
menjarah benda dari balik pakaiannya saat sedang
memusatkan perhatian mengerahkan kekuatan sihir dari
cermin. Sama sekali dia tak merasakan apa-apa. Sampai
akhirnya, baru tahu ketika kekuatan sihirnya tiba-tiba
pupus.
"Kembalikan benda itu!" hardik Manusia Dari Pusat
Bumi dengan sehimpun keganasan terpancar di sepasang
matanya.
Tompel melirik acuh.
"Kembalikan dulu Kang Suta yang kini kau pakai
jasadnya!" balas si bocah pencopet acuh tak acuh.
Dengan garang, Manusia Dari Pusat Bumi menerkam
bocah kecil itu. Dia tidak ingin benda andalannya direbut
Pendekar Slebor.
"Tompel cepat lempar benda itu!" seru Andika.
Tompel pun tak ingin menjadi korban cabikan tangan
Manusia Dari Pusat Bumi. Karena dirinya bukan dendeng
yang bisa disobek-sobek. Maka segera dilemparkannya
Cermin Alam Gaib pada Andika.
"Nih Bang!"
Benda sakti itu berputar di udara. Bersamaan dengan
itu, Andika melepas pukulan bertenaga dalam tingkat tinggi
warisan Pendekar Lembah Kutukan.
Wush!
Blash!
Bagai bara masuk ke dalam air, terdengar bunyi
desisan panjang ketika pukulan jarak jauh Andika
menghantam Cermin Alam Gaib. Tepat pada saat itu, mulut
Manusia Dari Pusat Bumi melepas lengkingan tinggi.
"Aaa...!"
Saat itu pula seberkas cahaya amat menyilaukan
membersit keluar dari tubuh Sutawijaya yang menjadi
tumpangan roh halus Manusia Dari Pusat Bumi.
Keanehan tercipta. Tubuh Sutawijaya seperti
membelah dua. Salah satu tubuh yang keluar dari diri
Sutawijaya adalah, Anggraini....
Andika tergugu. Tompel pun begitu. Seperti dua
manusia yang baru saja mengalami prahara yang teramat
menggonca ngkan jiwa.
Seumur hidup, memang baru kali ini Andika dan
Tompel melihat kejadian yang amat ganjil. Sesosok tubuh
yang tiba-tiba muncul dari dalam diri orang lain?
Sementara Pendekar Slebor dan Tompel mematung,
Sutawijaya dan Anggraini tampak menggeliat kecil. Dua
manusia berbeda jenis yang tergeletak di lantai
penginapan ini mulai siuman.
"Huhhh...." keluhan Sutawijaya terdengar.
Hampir berbarengan, Anggraini pun melepas erangan.
"Di mana aku?" tanya Sutawijaya mendesis, begitu
membuka kelopak matanya.
Berbeda dengan Sutawijaya, Anggraini membuka
mata beriring garis-garis ketakutan pada wajahnya.
Sepasang bola matanya yang indah bergerak nyalang kian
kemari, seolah di sekelilingnya berkumpul segerombolan
makhluk menakutkan dari dasar neraka.
Manakala matanya menemukan Andika, gadis itu
kontan bangkit dan memburu ke arah pemuda itu.
Disergapnya Pendekar Slebor erat-erat. Sikapnya tak beda
seorang gadis kecil yang meminta perlindungan. Di dada
bidang Pendekar Slebor, Anggraini benar-benar
menumpahkan semua ketakutannya dalam tangis.
"Semuanya telah berakhir, Anggraini.... Telah
berakhir," ucap Andika lembut. Tangannya mencoba
memberi rasa perlindungan dengan memeluk tubuh
gadis itu erat-erat.
Namun jauh di dasar batin, Andika tetap bertanya
gelisah....
"Mungkinkah dendammu akan hilang padaku.
Anggrai ni?"
SELESAI
PENDEKAR SLEBOR
Serial Pendekar Slebor selanjutnya:
Serial Pendekar Slebor selanjutnya:
PERMAINAN TIGA DEWA
Emoticon