1
Malam semakin membentang. Suasana begitu sunyi
mencekam. Rembulan di angkasa tak mampu meng-
halangi timbunan awan hitam yang seperti enggan
Sementara sebuah bangunan di bawah sinar
rembulan yang tipis, kelihatan sunyi senyap. Bau anyir
darah tercium. Suara burung gagak yang mengerikan
berkaok-kaok, memecah keheningan malam.
Bangunan itu adalah Keraton Kerajaan Pakuan
yang kini semakin porak poranda saja. Sementara
mayat-mayat yang bergelimpangan di halaman
keraton, bertumpuk tanpa dipedulikan. Rata-rata
mereka berpakaian prajurit. Namun dilihat dari
seragamnya, mereka memang para prajurit Kerajaan
Labuan yang membantu Kerajaan Pakuan, yang saat
ini dikuasai Tidar alias Raia Akherat.
Kekejaman Tidar memang sangat mengerikan,
ilmunya pun sangat dahsyat. Di antara yang mati
terlihat tiga sosok tubuh berpakaian putih, dan dua
sosok tubuh berpakaian warna hitam. Kelimanya
adalah prajurit-prajurit Kerajaan Labuan yang men¬
coba menyerang Raja Akherat. Namun, akhirnya
harus menerima ajal secara mengenaskan. (Baca
serial Pendekar Slebor dalam episode: "Raja
Akherat").
Sementara saat ini, Sari yang ikut dalam
penyerbuan ke Keraton Pakuan masih dalam
keadaan pingsan setelah bertarung melawan Raja
Akherat. Gadis ini kini terbaring di kamar Prabu
Adiwarman.
Pendekar Slebor yang bermaksud menyusup ke
keraton itu, terpaksa harus menyusuri lorong bawah
tanah dalam keadaan merangkak. Namun semakin
jauh merangkak mulai disadari, kalau saat ini ia ter¬
sesat. Setiap Andika mencari jalan tembus, tak
pernah ketemu. Bahkan Andika merasakan kalau
sudah terlalu lama berada di dalam lorong rahasia ini.
Itu sebabnya, waktu Senapati Monoseta menunggu-
nunggu, Pendekar Slebor tak muncul-muncul.
"Kutu kupret! Mengapa lorong ini jadi panjang
sekali?" gerutu Pendekar Slebor. "Padahal menurut
Prabu Adiwarman..., jaraknya tidak terlalu jauh.
Tetapi, mengapa jadi begini?"
Andika menghentikan merangkaknya. Dan kini
pinggangnya terasa pegal-pegal.
"Lebih baik aku kembali ke tempat semula.
Barangkali saja aku memang tersesat...."
Lalu dengan susah payah sambil menekuk tubuh¬
nya ke dinding tanah yang pengap, Andika berbalik ke
jalan yang dilaluinya tadi. Dan kembali dia harus
merangkak.
Tetapi lagi-lagi kening Pendekar Slebor harus
berkerut. Karena justru dia merangkak bukan melalui
jalan semula yang dilalui.
"Kambing congek! Kenapa jadi begini?! Apa
dikiranya aku ular tanah?!" rutuk Pendekar Slebor.
"Apakah Prabu Adiwarman membohongiku? Kalau
benar membohongiku, aku bersumpah akan kusunat
lagi dia!"
Dengan tekad bulat, Andika meneruskan
rangkakannya. Tetapi sekian lama merangkak, tidak
juga menemukan tempatnya tadi. Tubuhnya sudah
pegal bukan main. Rasanya linu sekali. Sebentar ia
menghentikan rangkakannya, lalu duduk dengan cara
menekuk kedua kakinya.
"Ke mana lagi jalan yang harus kutempuh?"
gumam Pendekar Slebor, "Aku tidak ingin mati konyol
di sini...."
Belum lagi Andika memutuskan untuk berbuat
sesuatu, tiba-tiba saja matanya melihat sinar dari
ujung sana. Maka cepat dia merangkak mendekati
sinar itu.
"Heran?! Mengapa sejak tadi aku tidak melihat
sinar ini, ya?" kata Andika sambil memperhatikan
sinar itu yang menerobos dari sebuah lubang kecil.
Begitu sampai Andika cepat menggaruk lubang
sebesar kepingan uang logam tempat sinar masuk.
Beberapa tanah berguguran. Dan semakin lama
menggaruk tanah, terlihatlah sebuah lubang yang
cukup besar.
Udara segar langsung menyergap indera
pernapasan Pendekar Slebor. Andika bisa bernapas
lega sekarang. Tidak dipedulikan lagi di mana harus
keluar. Yang penting pindah dari tempat ini.
Perlahan demi perlahan Andika menyusupkan
kepalanya ke lubang yang telah dibuat. Matanya
langsung beredar ke sekelilingnya. Alangkah ter¬
kejutnya Pendekar Slebor ketika mendapati dirinya
berada di sebuah dataran tinggi, penuh pepohonan
dan bukit-bukit!
Cepat Andika menarik kepala sambil menepuk-
nepuk dadanya.
"Amit-amit! Kenapa aku berada di sini?" gumam
Pendekar Slebor.
Lalu perlahan-lahan Andika kembali menongolkan
kepalanya. Tetap suasana yang sama yang
terpampang di matanya.
"Gila, berada di manakah aku ini?" tanya Pendekar
Slebor dalam hati.
Lalu dengan sekali menghentakkan tubuhnya,
Pendekar Slebor sudah keluar dari lorong rahasia
yang pengap dan gelap!
Begitu bangkit berdiri, Andika celingukan. Matanya
memperhatikan sekitarnya dengan kening berkerut.
Menurut perkiraan, seharusnya Pendekar Slebor
berada di belakang keraton, tepat di istal kuda seperti
yang dikatakan Prabu Adiwarman. Tetapi, mengapa
berada di sini?
Suasana sekelilingnya sunyi sekali. Bahkan Andika
tidak mendengar suara binatang malam seperti
biasanya yang banyak hidup di tempat seperti ini.
Rembulan di atas sana tak nampak, mungkin tertutup
awan tebal.
Perlahan-lahan Andika melangkah menyusuri
tempat itu. Gila! Semuanya semakin asing saja
dirasakannya. Dan ini semakin membuat jantungnya
berdebar-debar.
"Oh, Gusti.... Tempat apakah ini?" tanya Andika
dalam hati dengan sikap bingung.
Tiba-tiba Pendekar Slebor teringat pada para
prajurit Kerajaan Labuan yang tengah menyerang
Raja Akherat. Apakah mereka berhasil mengalahkan¬
nya? Ataukah malah tewas semuanya? Andika pun
teringat pada Sari, gadis penunggang harimau yang
jelita berpakaian dari kulit harimau. Bagaimana
keadaannya? Dan Andika tetap tidak mengerti,
mengapa akhir dari lorong rahasia yang dikatakan
Prabu Adiwarman berakhir di sini?
Belum lagi Andika memutuskan untuk berbuat
apa....
"Anak muda..., selamat datang di Alam Sunyi...."
Tiba-tiba terdengar suara bernada nyaring dan
keras.
Andika celingukan memandang sekitarnya. Mata¬
nya tidak melihat siapa-siapa berada di sini, kecuali
dirinya. Lalu, siapakah yang bersuara barusan?
"Hei, kau yang bersuara tadi!" teriak Andika
lantang. Suaranya menggema ke lima penjuru. "Kalau
memang wajahmu tampan sepertiku, keluarlah!
Kalau cuma pas-pasan, lebih baik sembunyi saja!"
Tak ada sahutan apa-apa. Andika menunggu
sesaat. Namun tetap tak ada suara apa-apa. Hatinya
pun menjadi penasaran.
"Apakah kau budek, hah?! Ataukah sebangsa
siluman penghuni tempat ini yang kerjanya meng¬
ganggu orang saja?" teriak Pendekar Slebor.
"Ha... ha... ha...!"
Kali ini terdengar tawa yang berat, bernada geli.
"Kau memang telah lama ditunggu, Anak Muda.
Seratus tahun aku menunggu kedatanganmu. Dan
tak kusangka..., kau telah hadir di sini...," sahut suara
tanpa wujud itu.
"Menungguku seratus tahun lamanya?" seru
Andika kaget. "Kasihan sekali.... Apa tak punya
pekerjaan lain, kecuali menungguku? He he he...
Kalau begitu berapa tahun usiamu?"
"Kalau kau ingin tahu usiaku, kukatakan dengan
jujur. Usiaku sekitar seratus tiga puluh tahun. Seratus
tahun lamanya aku mendiami Alam Sunyi ini, tanpa
tahu harus berbuat apa. Dan aku selalu berharap ada
orang lain yang akan membawaku keluar dari sini...."
Andika sebenarnya jengkel, karena sejak tadi
sosok yang bersuara itu tidak muncul juga. Kakinya
melangkah, hendak pergi.
"Kalau kau tidak mau muncul juga, aku pergi saja
dari sini! Lagi pula, aku toh tidak ada urusannya
denganmu!" kata Pendekar Slebor, sok ketus.
"Ha ha ha...! Silakan, Anak Muda. Silakan. Seratus
tahun lamanya aku mencari jalan keluar dari Alam
Sunyi ini. Tetapi hingga kau datang, aku belum juga
menemukan jalannya...," balas suara itu.
Andika tersentak kaget, dan langsung meng¬
hentikan langkahnya. Tangannya langsung meng¬
garuk-garuk kepalanya yang tak gatal.
"Makanya, keluarlah!" teriak Pendekar Slebor.
"Jawab dulu pertanyaanku, maukah kau membawa
ku keluar dari Alam Sunyi ini?"
"Enaknya! Aku sendiri belum mengenalmu!"
"Kau pasti akan mengenalku, bila mau berjanji
akan membawaku keluar dari sini!"
"Aku saja bingung mengapa jalan rahasia yang...,
Oh! Aku tahu sekarang!" seru Andika tiba-tiba. "Rupa¬
nya kau keturunan manusia yang sengaja menjebak
dan membuatku bingung dengan lorong rahasia itu!"
""Ha... ha... ha...!"
Suara tanpa wujud itu terbahak-bahak lagi.
"Karena aku membutuhkan pertolonganmu."
"Siapa sudi menolong orang jahat sepertimu!
Kalau kau tidak iseng, aku kan tidak berada di sini!"
kata Andika sewot.
Apalagi bila Pendekar Slebor teringat akan nasib
orang-orang segolongan dengannya yang menyerang
Raja Akherat. Terutama, Sari. Semakin sewot saja
dirinya.
"Cepat kau keluar dari sini! Biar aku bisa melihat
tampang pas-pasanmu!" teriak Pendekar Slebor,
lantang.
Tak ada suara apa-apa. Andika makin jengkel.
"Hei, Manusia Keturunan Lelembut! Cepat keluar!"
teriak Andika.
"Ha... ha... ha...! Sebelum kau berjanji untuk mem¬
bawaku keluar dari Alam Sunyi ini, aku tak akan
memperlihatkan diriku! Ingat, Anak Muda.... Kau akan
tersesat dan terpendam di Alam Sunyi ini beratus-
ratus tahun lamanya!" sahut suara itu, bernada
mengancam.
"Iya, iya! Aku akan membawamu keluar dari sini,
meskipun aku tidak tahu harus lewat mana!" kata
Andika, meskipun penasaran bercampur kesal.
"Bagus!"
"Kalau begitu, keluarlah!"
"Aku akan keluar. Tetapi jangan kau injak kakiku!"
Mendengar kata-kata itu, Andika terperanjat. Cepat
kedua kakinya terangkat dengan melompat dua
tindak. Ketika matanya melihat apa yang diinjaknya
tadi tak ada tanda-tanda yang aneh. Jelas sekali
kalau kakinya hanya menginjak tanah berumput yang
basah belaka.
"Kau ini mau main-main denganku, ya?" kata
Andika mendongkol.
"Tidak, akan kuperlihatkan wujudku!" sahut suara
itu.
Mendadak saja tanah yang diinjak Andika tadi
bergerak. Lalu, terlihatlah sebuah kepala yang
perlahan-lahan bergerak naik. Kemudian terlihat
badannya, lalu kakinya.... Dan kini sosok itu telah
berdiri tegak. Sekujur tubuhnya ditutupi tanah. Andika
sendiri sedikit terkejut melihatnya.
"Kau..., kau ini sebangsa siluman tanah rupa¬
nya...," kata Pendekar Slebor sambil memperhatikan
sosok itu.
"Goblok! Namaku Eyang Sasongko Murti!" bentak
sosok itu sambil mengusap wajahnya dengan kedua
tangan.
Perlahan-lahan nampaklah di mata Andika satu
sosok tubuh yang sudah penuh keriput. Wajahnya
sukar dipastikan, apakah tampan atau buruk. Jenggot
putih yang banyak tumbuh di sekitar wajahnya,
semakin sulit memastikan keadaan wajahnya. Yang
terlihat hanyalah segaris cahaya yang keluar dari
matanya yang menyipit
Lalu tangan itu kembali mengusap seluruh tanah
yang membaluri tubuhnya. Kini, terlihat kalau sosok
aneh di depannya berpakaian hitam yang sudah
compang-camping. Keriput di seluruh tubuhnya
terutama di badannya, nampak sekali. Dan seperti
sosok itu tak lebih dari mayat hidup belaka!
"Nah! Apakah kau sekarang yakin, kalau wajahku
tampan?" kata orang aneh yang mengaku bernama
Eyang Sasongko Murti, bernada menyombong.
"Ha... ha... ha...!"
Andika terbahak-bahak mendengar kata-katanya.
"Lucu, lucu sekali! Mana bisa wajah seperti mayat
begitu dibilang tampan!" ejek Andika, ceplas-ceplos.
"Jangan sembarangan omong, Anak Muda!" desis
Eyang Sasongko Murti.
"Heran! Orang bicara jujur, kok masih disalahkan?"
sahut Andika tanpa merasa bersalah. "Apakah kau
senang kalau aku tidak bicara jujur? Baiklah
wajahmu...."
Eyang Sasongko Murti mengulapkan tangannya.
"Sudahlah.... Kini kau ikut aku!"
"Hei? Katanya kau hendak kukeluarkan dari
tempat ini?" seru Andika yang ikut-ikutan menjadi
sedikit gila. Karena., ia sendiri saja tidak tahu., jalan
mana yang harus ditempuh agar keluar dari tempat
sunyi ini.
"Itu nanti! Kita harus menyusun rencana lebih
dulu!" seru tokoh aneh dari dalam tanah sambil
melangkah.
Andika menggerutu panjang pendek. Heran!
Mengapa tahu-tahu ia bisa berjumpa manusia aneh
seperti itu? Tetapi mau tidak mau Andika pun meng¬
ikuti langkah Eyang Sasongko Murti.
Yang dituju tokoh aneh itu adalah sebuah gua yang
berada sekitar sepuluh tombak dari tempat mereka
semula. Gua itu sangat besar. Banyak batu besar
yang tinggi berada di dalamnya. Keadaannya gelap
tak ada penerangan apa-apa.
Andika mendengus sebal.
"Tempat apa ini?" tanya Pendekar Slebor.
"Inilah istanaku...," sahut Eyang Sasongko Murti
sambil duduk di sebuah batu besar. Gerakannya
sangat ringan, malah terlihat tidak seperti melompat.
"Ha... ha... ha...!"
Andika terbahak-bahak mendengarnya.
"Apa pendengaranku sudah kurang sejak bertemu
denganmu?" kata Andika, enteng.
"Pendengaranmu tidak berkurang. Kau jelas
mendengar kata-kataku tadi," sahut Eyang Sasongko
Murti kalem.
Mendapat jawaban yang bernada tak acuh itu,
Andika mendengus.
"Tempat begini kau sebut istana?!" cibir Andika.
"Karena, tempat inilah satu-satunya yang paling
aman di Alam Sunyi ini!" sahut Eyang Sasongko Murti,
mantap.
Andika duduk di batu besar, tepat di depan orang
tua aneh itu. Gerakannya pun tak kalah ringan.
Keduanya membisu. Tak ada suara apa-apa yang
terdengar. Bahkan angin pun tak terdengar suaranya.
"Eyang..., saat ini aku sedang mengemban sebuah
tugas yang sangat besar. Kalau di alamku sana...."
"Hei! Di sana pun alamku!" potong Eyang Sasongko
Murti jengkel.
"Iya, ya!" sahut Andika jengkel pula. "Jangan main
potong dulu! Pokoknya, saat ini ada sebuah kerajaan
yang dikuasai tokoh sesat yang berjuluk Raja Akherat.
Kejahatannya tidak bisa dibendung lagi! Dan
sekarang, kawan-kawanku tengah menyerang
Kerajaan Pakuan!"
"Aku tahu."
Andika terbelalak. "Kau tahu?"
"Ya."
"Lalu kalau tahu, mengapa kau sesatkan aku
hingga ke sini, heh?!" dengus Andika. Jengkel juga dia
mendapat jawaban Eyang Sasongko Murti yang
enteng-enteng saja.
"Karena aku juga membutuhkan pertolonganmu!"
sahut Eyang Sasongko Murti kalem.
"Manusia culas!" rungut Andika sambil melompat.
Kakinya lantas melangkah meninggalkan Eyang
Sasongko Murti yangtersenyum-senyum.
"Heh?!"
Dan mendadak, Andika merasa susah sekali
mengangkat kedua kakinya untuk melangkah. Tenaga
sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan langsung
dikerahkan. Namun, hasilnya tidak ada.
"Suittt!"
"Suittt.J"
Dan terdengar siulan Eyang Sasongko Murti yang
aneh, bernada mengejek.
Tahulah Andika. Jelas ini ulah Eyang Sasongko
Murti.
"Hei! Lepaskan aku!"
Eyang Sasongko Murti hanya bersiul-siul saja.
"Hei! Lepaskan, manusia tanah. Kau pasti
sebangsa tikus tanah yang suka mengganggu orang!"
teriak Andika.
"Kalau kau berjanji tidak akan pergi dari sini, maka
akan kujelaskan!" sahut Eyang Sasongko Murti kalem.
Tidak ada lagi yang bisa diperbuat Andika kecuali
menyetujui permintaan itu. Namun lagi-lagi terbayang
di benaknya, bagaimana susah payahnya orang-orang
yang sedang menghadapi Raja Akherat. Karena
Andika tahu, kesaktian Raja Akherat tinggi sekali.
"Iya, ya! Lepaskan sekarang juga!" seru Andika
ngotot sambil mengerahkan tenaga sakti. Dan men¬
dadak saja.
"Heh?!" Andika terkejut setengah mati ketika
tubuhnya terpental ke depan. Rupanya, Eyang
Sasongko Murti sudah membebaskannya. Karena
dorongan tenaga saktinya, maka tubuhnya jadi ter¬
pental.
"Sialan!" maki Pendekar Slebor bersungut-sungut.
"Duduklah kembali ke tempatmu tadi! Aku akan
memperlihatkan sesuatu kepadamu!" ujar Eyang
Sasongko Murti.
Andika yang berotak cerdas yakin, kalau tokoh
aneh yang berada di sisinya adalah seorang yang
sangat sakti. Makanya diturutinya permintaan itu.
"Apa yang ingin kau perlihatkan kepadaku?" tanya
Pendekar Slebor.
"Pejamkan matamu!"
"Apa lagi yang sedang kau mainkan ini? Aku
hendak menolong... empph!"
Mulut Andika mendadak terkatup rapat. Lalu
perlahan-lahan matanya merapat pula. Andika
berusaha membebaskan diri. Namun semakin
meronta semakin kuat dua alat inderanya mengatup.
Perlahan-lahan Eyang Sasongko Murti pun meng-
asupkan kedua tangannya di dada. Lalu dengan
hembusan lembut, mulutnya meniup ke arah Andika.
Dan mendadak saja, mata Pendekar Slebor seperti
terbuka. Padahal dalam keadaan terpejam!
Di depan Pendekar Slebor terbayang suasana di
Kerajaan Pakuan yang dalam keadaan porak-
poranda. Bahkan Andika melihat mayat-mayat prajurit
Kerajaan Labuan yang bergelimpangan. Termasuk
juga, mayat dua prajurit pilihan kerajaan itu yang
mengenakan pakaian hitam.
Hati Andika kian tercekat.
Lalu Pendekar Slebor melihat keadaan Sari yang
masih pingsan. Sementara, tampak pula empat orang
gadis cantik berpakaian menerawang, sedang meng¬
ganti baju Sari.
Tanpa sadar Andika memalingkan wajahnya.
Tetapi pemandangan selanjutnya tetap terpampang
di mata. Tampak bagaimana pakaian Sari yang dalam
keadaan pingsan dibuka satu persatu. Lalu empat
gadis berpakaian menerawang mengenakan pakaian
pada tubuh Sari. Sebuah pakaian berwarna putih
keemasan yang indah berkilau.
Tatapan Andika mengedar kembali. Tampak Raja
Akherat sedang terbahak-bahak sambil menuangkan
air. Sejenak rasa amarahnya muncul. Andika kontan
bergerak seperti hendak menyerang Raja Akherat.
Tetapi lagi-lagi keanehan terjadi. Karena seolah
tubuhnya tidak bisa digerakkan. Bahkan matanya
hanya memandangi penuh kegeraman pada Raja
Akherat yang sedang terbahak-bahak.
Lalu tahu-tahu di depan Andika sudah terpampang
suasana di Jurang Setan. Tampak sepuluh prajurit
Kerajaan Labuan yang dipimpin Tiroseta telah tiba di
dasar Jurang Setan. Rupanya si Belang, harimau
besar peliharaan Sari, berhasil menunjukkan jalan
menuju ke dasar Jurang Setan.
Andika ingin memanggil, untuk menceritakan
dimana dirinya berada. Namun lagi-lagi mulutnya tak
sanggup untuk bersuara.
Andika juga melihat Danji yang sedang duduk
termenung. Begitu pula Putri Permata Delima yang
sedang mengelus-elus si Belang, yang sesekali
mengaum pelan. Rupanya harimau itu merindukan
tuannya.
Lalu mendadak saja semuanya lenyap. Dan
bersamaan dengan itu, sepasang mata dan mulut
Andika pun membuka. Matanya langsung me¬
mandang ke sekeliling, kini yang nampak hanyalah
dataran tinggi penuh perbukitan yang memanjang,
hanya diterangi sedikit sinar rembulan.
Serentak Andika menoleh pada Eyang Sasongko
Murti yang tersenyum-senyum. Semakin sadarlah
Andika, kalau laki-laki yang mengaku sudah seratus
tahun berada di Alam Sunyi ini adalah seorang tokoh
sakti.
2
"Eyang...!" panggil Pendekar Slebor.
"Kau sudah melihat bagaimana keadaan teman-
temanmu itu, bukan?" tanya Eyang Sasongko Murti.
"Termasuk gadis berpakaian dari kulit harimau,
bukan? Bagaimana? Enak juga melihat tubuhnya?"
Andika tertawa dalam hati, namun wajahnya
terlihat tegang.
"Sari membutuhkan pertolongan, Eyang. Kita harus
menolongnya...," gumam Pendekar Slebor.
"Kau betul," sahut Eyang Sasongko Murti, pendek.
"Keluarkan aku dari sini!"
Eyang Sasongko Murti melotot.
"Enaknya kau ngomong! Aku saja bingung untuk
keluar dari sini! Tetapi..., Andika...."
"Eyang tahu namaku?" tanya Andika heran.
Eyang Sasongko Murti terbahak-bahak lebar.
Suaranya menggema keras.
"Aku tahu siapa kau, Anak Muda. Namamu Andika,
kau berjuluk Pendekar Slebor. Kau banyak disanjung
orang-orang dari golongan putih. Dan kau dibenci
orang-orang golongan hitam. Kau juga memiliki
kemampuan tinggi, karena kau adalah buyut dari
Pendekar Lembuh Kutukan. Cuma, sayang. Kau
terkadang bego!" sahut Eyang Sasongko Murti
seenaknya.
Andika memaki-maki dalam hati. Kalau tak ingat
kesaktian orang tua di depannya, ingin rasanya
Andika mencabuti jenggotnya satu persatu. Kata
terakhir yang diucapkan Eyang Sasongko Murti
memang membuatnya kesal bukan main.
"Sudahlah, Eyang.... Bagaimana kita harus keluar
sekarang?" potong Andika jemu.
"Pertama, kita akan menyelamatkan gadis. Yang
bernama Sari," jelas Eyang Sasongko Murti.
"Bagaimana caranya?" kejar Andika.
"Itu urusanku!" sahut Eyang Sasongko Murti,
memotong. "Kedua, aku meminta bantuanmu,
Andika."
"Dalam soal apa?" tanya Pendekar Slebor.
"Aku membutuhkan darahmu."
Andika serentak berdiri dengan mata mendelik.
"Enak saja! Nyamuk yang menghisap darahku saja, ku
pencet sampai gepeng! Dan kau mau minta darahku!"
sentak Pendekar Slebor.
"Apakah kau tidak ingin keluar dari sini?" balas
Eyang Sasongko Murti, galak.
"Kalau pakai darah, tidak usah saja. Biar kita
berdua berada di sini sampai mampus!" rutuk Andika.
"Bagaimana dengan Sari? Bagaimana dengan
Prabu Adiwarman yang sedang bersembunyi di Jurang
Setan? Dan, apakah kau akan membiarkan Raja
Akherat menguasai dunia persilatan dengan mem¬
bunuhi para tokoh!" sergah Eyang Sasongko Murti
keras.
Agaknya kata-kata itu menyadarkan Pendekar
Slebor. Memang, masih banyaknya tanggung jawab
yang harus diembannya dan belum dituntaskan.
Sebagai pewaris terakhir Pendekar Lembah Kutukan,
pemuda berpakaian hijau-hijau dengan kain bercorak
catur tersampir di bahu, memang telah mengemban
tugas sangat berat. Yang terkadang juga meng-
haruskannya bertaruh nyawa!
Kini Pendekar Slebor pun memahami kata-kata
Eyang Sasongko Murti, meskipun hatinya masih
mendongkol.
"Baik! Kalau tidak banyak darahku yang diperlukan
aku akan memberinya!" sahut Pendekar Slebor,
mengalah.
"Bagus!" sambut Eyang Sasongko Murti,
kegirangan.
"Tetapi, mengapa harus memakai darahku, sih!
Mengapa bukan darahmu saja?"
Kali ini Eyang Sasongko Murti mendelik. "Bodoh!
Setelah seratus tahun hidup seorang diri di Alam
Sunyi ini, dengan hanya memakan dedaunan saja,
seluruh darahku sudah beku begitu saja."
"Membeku?"
Andika mengerutkan keningnya.
"Ya! Membeku!"
"Bagaimana kau bisa hidup dengan darah yang
sudah membeku begitu?" ejek Andika sinis.
"Mana aku tahu?! Itu kan urusan Yang Maha
Kuasa!"
"Ha... ha... ha...!"
Andika mendadak terbahak-bahak.
"Kenapa tertawa, hah?!" bentak Eyang Sasongko
Murti.
"Jangan-jangan itu hanya alasanmu saja, sehingga
kau menolak darahmu dikorbankan?"
Eyang Sasongko Murti menggeram marah. Lalu
tangan kirinya diangkat, dan digigit hingga
menimbulkan luka cukup besar.
"Lihat sendiri, Anak Bego! Apakah ada darah yang
menetes?" ujar Eyang Sasongko Murti, jengkel.
Kening Andika berkerut. Apa yang dikatakan
manusia aneh itu memang benar. Karena Andika
tidak melihat ada setetes darah pun yang keluar. Kini
hatinya yakin, kalau darah laki-laki tua itu memang
sudah membeku. Tetapi lagi-lagi yang membuatnya
heran, bagaimana Eyang Sasongko Murti masih bisa
hidup tanpa darah yang mengalir pada tubuhnya?
"Kau percaya sekarang, hah?! Puas?!" cecar Eyang
Sasongko Murti mangkel. "Kalaupun darahku belum
membeku, tak dapat pula kugunakan sebagai
'penerang' untuk keluar dari sini. Nah, kau puas
hah?!"
Andika nyengit-nyengir kuda. Baru tahu rasa dia.
Malu juga hatinya melihat kenyataan ini.
"Jangan cepat marah. Nanti kau cepat tua. Eh!
Bukankah kau sudah tua, ya. He he he.... Aku lupa!"
Andika malah mengajak berseloroh.
Eyang Sasongko Murti mendengus jengkel melihat
tingkah Pendekar Slebor.
"Sekarang, dengarkan penjelasanku. Dulu, aku
adalah seorang pemuda yang banyak belajar ilmu.
Baik ilmu silat, maupun ilmu batin. Karena terlalu
banyak yang kupelajari, aku tidak tahu kalau telah
menganut ilmu sesat yang mengerikan," papar Eyang
Sasongko Murti.
"Ilmu apakah itu, Eyang?" tanya Pendekar Slebor.
Kali ini Pendekar Slebor kelihatan lebih sungguh-
sungguh.
"Diam dulu! Aku tidak suka dipotong begitu!"
dengus Eyang Sasongko Murti. "Semula..., aku tidak
tahu kalau ilmu yang kupelajari dari Hutan Waringin
adalah ilmu sesat, ilmu pemuja setan. Hingga tanpa
sadar, aku pun terjerat dalam lingkaran bangsa
siluman yang kejam dan mengerikan. Aku baru
tersadar, ketika suatu pagi hendak menolong seorang
wanita yang hendak melahirkan, tetapi tak seorang
pun yang berada di dekatnya. Dalam hatiku, aku
berniat menolongnya. Namun, alangkah terkejutnya
aku, ketika tanpa sadar tanganku mengepruk kepala
wanita itu hingga tewas. Dengan ganas perutnya
kucabik-cabik, lalu bayi merah yang masih hidup
kukeluarkan. Bayi merah yang masih berlumur darah
itu kubawa ke Hutan Waringin. Dan tanpa sadar
jantungnya kuambil dan kutelan."
Eyang Sasongko Murti terdiam. Pandangannya
melayang ke masa seratus tahun yang silam.
"Saat itulah aku menyadari, kalau ilmu yang
kuanut ternyata ilmu sesat. Baru pula kusadari, kalau
guruku selama ini ternyata bangsa siluman. Aku pun
memberontak dari mereka. Namun, siluman-siluman
itu sangat kuat dan sakti. Aku pun dapat tertangkap.
Akan tetapi, suatu malam, aku berhasil melarikan diri
melalui penjara yang kugali. Hanya saja yang
mengherankan,, aku tiba-tiba muncul di Alam Sunyi
ini, setelah melalui jalan yang sangat panjang sekali.
Saat itulah aku menyadari sesuatu, kalau sebenarnya
mereka mengetahui rencanaku melarikan diri, namun
membiarkan saja," lanjut Eyang Sasongko Murti.
"Jadi..., Alam Sunyi ini adalah penjara milik bangsa
siluman?" tanya Andika terkejut.
"Kau benar, Andika," sahut Eyang Sasongko Murti
lirih.
"Tetapi, mengapa hanya kau saja yang masih
hidup di sini?" tanya Andika dengan kening berkerut.
Eyang Sasongko Murti tersenyum.
"Karena, memang akulah satu-satunya penghuni
penjara ini! Akulah satu-satunya yang menganut ilmu
dari Hutan Waringin yang memberontak dari para
siluman itu!" papar laki-laki tua aneh itu.
Andika manggut-manggut mengerti.
"Lalu apa hubungannya denganku? Dan, mengapa
teganya kau membawaku ke sini?" cecar Pendekar
Slebor.
"Selama bertahun-tahun kulewati hidupku di sini,
dngan memakan dedaunan belaka. Dan bertahun-
tahun aku menanti seseorang yang datang ke sini,
hingga kulihat kau sedang merangkak melalui lorong
rahasia yang terletak tak jauh dari Kerajaan Pakuan.
Saat itu pula kulihat sebuah sinar keemasan yang
sangat aneh sekali di kepalamu. Seolah sinar itu
sebagai isyarat bagiku, bahwa kaulah yang akan bisa
membebaskanku dari sini. Lalu dengan bantuan
tenaga dan pandangan batinku, kugiring kau ke sini.
Bahkan kau tidak akan pernah menemukan jalan
tembus menuju istal kuda di belakang Keraton
Pakuan," jelas Eyang Sasongko Murti.
"Jahat!"
"Kau lihat pohon besar itu, Andika?"
Eyang Sasongko Murti tidak menghiraukan
gerutuan Andika.
"Sejak seratus tahun yang lalu, aku berada di sini.
Dan pohon itu tetap tumbuh rindang hingga
sekarang," lanjut laki-laki tua aneh itu.
Andika mendesah panjang. Kini bisa disadari
betapa tersiksanya orang tua yang berusia ratusan
tahun ini disini. Yah! Sedikit banyak, Andika akan
membantunya. Juga, berharap dapat keluar dari Alam
Sunyi yang mengerikan ini!
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Eyang?" tanya
Pendekar Slebor.
Eyang Sasongko Murti tak segera menjawab.
Sementara itu di Keraton Pakuan, Sari yang masih
dalam keadaan pingsan, sudah disalinkan baju oleh
empat gadis manis yang diculik Raja Akherat. Gadis-
gadis yang dulu diculik Raja Akherat memang sudah
seperti terbuang, setelah puas dan bosan digumuli
tokoh sesat itu. Karena, kini Raja Akherat men¬
dapatkan banyak gadis cantik yang berhasil diculik
dan dapat digaulinya kapan saja mau. Apalagi
sekarang, memang cukup lama juga Raja Akherat
menghendaki Sari. Dan malam ini, segalanya yang
telah lama terpendam akan dituntaskan!
Keempat gadis manis itu mengangkat kepala
begitu mendengar suara tawa Raja Akherat yang
sangat keras. Mereka segera minggir, duduk ber¬
simpuh sambil tetap menundukkan kepala.
Raja Akherat mendekati Sari. Tatapannya berkilat-
kilat penuh birahi.
"Ha ha ha.... Kini akhirnya kau menjadi milikku,
Manis.... Kau tak akan bisa menolak lagi...."
Lalu dengan buasnya, Raja Akherat menciumi
wajah dan sekujur tubuh Sari.
Keempat gadis yang bersimpuh tadi bermaksud
hendak menyingkir. Mereka muak melihat perbuatan
Raja Akherat, sekaligus kasihan melihat nasib Sari.
Tetapi Raja Akherat yang melihat tindakan mereka
segera mengangkat wajah.
"Kalian jangan pergi! Tontonlah pemandangan
yang mengasyikkan ini! Bila melanggar, berarti kalian
ingin mati!" ujar Raja Akherat sambil membuka baju¬
nya. Tubuhnya yang penuh bulu tampak terpampang
sekarang.
Lalu dengan buasnya, Raja Akherat kembali men¬
ciumi sekujur tubuh Sari. Dan perlahan-lahan namun
pasti, tangannya merobek pakaian di bagian dada.
Breeet!
Seketika terlihat bagian dada Sari. Keempat gadis
itu yang terpaksa mengangkat kepala karena takut
Raja Akherat marah, hanya bisa menghela napas
dalam-dalam.
"Ha ha ha.... Montok, bagus, indah! Tidak sia-sia
aku mengincarmu, Manis!"
Lalu dengan gerakan kasar dan tatapan berkilat-
kilat, laki-laki ini bersiap menerkam dada yang
montok. Tetapi, mendadak saja gerakannya terhenti.
Sudah tentu hal ini mengejutkan keempat gadis
yang sejak tadi sudah tegang. Mengapa Raja Akherat
menghentikan perbuatannya? Namun diam-diam,
mereka merasa bersyukur karena kehancuran tidak
jadi menerpa diri gadis itu.
Raja Akherat mendadak saja berdiri. Ada sesuatu
yang merasuki otaknya. Dan tiba-tiba saja, nafsunya
tak berselera pada gadis itu. Segera pakaiannya
dikenakan dengan wajah geram, namun penuh
keheranan.
"Rapikan pakaian gadis itu! Tunggu sampai sadar
dari pingsannya!" ujar Raja Akherat sambil melangkah
keluar.
Keempat gadis itu pun segera merapikan pakaian
Sari. Meskipun telah menjadi budak nafsu Raja
Akherat, mereka tidak iri dengan keberuntungan
gadis itu. Bahkan mereka gembira, karena gadis yang
pingsan ini tidak mengalami hal yang amat
menggi riskan.
Begitu tiba di luar, Raja Akherat menuang tuaknya
ke mulut. Terdengar bunyi tegukan yang keras. Dalam
hati, laki-laki ini merasa aneh. Karena, keinginannya
untuk menggumuli tubuh gadis itu mendadak saja
surut. Padahal, birahinya sudah begitu bergolak.
Bahkan hatinya yakin, saat itu seluruh gairahnya akan
dituntaskannya. Tetapi, mengapa mendadak saja
nafsunya surut?
Karena kesalnya tidak jadi menyalurkan birahi,
Raja Akherat mengangkat kedua tangan ke depan,
lalu menyentaknya kuat-kuat.
Werrr...!
Seketika keluar angin dahsyat bergulung-gulung
menyambar dan menerbangkan mayat-mayat yang
bergeletakkan di sana. Jauh terpental dari keraton ini.
"Bajingan! Mengapa aku jadi tidak menginginkan
gadis itu, hah?!" maki Raja Akherat tidak mengerti.
•k-k -k
"Secepatnya kita harus keluar dari sini. Karena..,
tepat seratus tahun ini, bangsa siluman akan datang
ke sini untuk mencabut nyawaku! Apalagi, bila
mereka mengetahui kalau aku telah mendapat
seseorang berdarah suci yang dapat mengeluarkanku
dari sini," ujar Eyang Sasongko Murti panjang lebar,
setelah cukup lama terdiam.
"Gusti! Kalau begitu, kita harus cepat, Eyang!"
sentak Andika.
"Bersabarlah, Andika.... Bahaya apa pun, kau tetap
akan kujaga. Sekarang yang terpenting adalah,
menolong gadis berbaju dari kulit harimau itu lebih
dulu," ujar Eyang Sasongko Murti, bijaksana.
Kali ini kening Andika berkerut lagi. Edan ini orang!
Bagaimana caranya menolong Sari kalau kini mereka
terperangkap di sini? Tetapi Andika kemudian sadar,
kalau tokoh aneh ini memiliki ilmu batin yang hebat.
Apalagi tadi diperlihatkan padanya, bagaimana
keadaan Kerajaan Pakuan. Dan juga, Sari.
Andika menggaruk-garuk kepalanya.
"Kalau begitu, lakukanlah, Eyang."
"Sudah," sahut Eyang Sasongko Murti, singkat.
"Sudah?" ulang Andika dengan mata melotot.
"Ya, sudah kulakukan. Gadis itu aman-aman saja.
Raja Akherat sudah kubuat tak berselera menyentuh¬
nya!" papar Eyang Sasongko Murti.
"Kapan kau melakukannya, Eyang?" cecar
Pendekar Slebor.
"Edan! Mengapa di dunia luar kau disegani orang-
orang rimba persilatan, tapi di sini ternyata begitu
dungu?" gerutu Eyang Sasongko Murti.
Andika nyengir saja. Sungguh, begitu banyak
kejadian yang tak pernah diketahuinya. Seperti yang
dialaminya sekarang ini. Pendekar Slebor yakin,
Eyang Sasongko Murti tidak berbohong. Paling tidak,
sudah menjaga Sari dari nafsu birahi Raja Akherat
yang mengerikan. Entah bagaimana caranya, yang
pasti hati Pendekar Slebor sedikit tenang.
"Sekarang, kita akan bersiap-siap melarikan diri
dari Alam Sunyi ini. Yah..., dengan darahmu yang
belum pernah berhubungan badan dengan seorang
wanita, akan menjadi penerang jalan untuk kita
keluar dari tempat ini. Andika, ulurkan tangan
kirimu...," ujar Eyang Sasonmgko Murti.
Dengan keberanian dan keikhlasan yang dalam,
Andika perlahan-lahan mengangsurkan tangan
kirinya. Sementara Eyang Sasongko Murti merobek
pakaiannya yang telah compang-camping, sehingga
lebih menampakkan bagian tubuhnya yang penuh
keriput.
Dengan cepat, laki-laki tua aneh ini menotok urat
di bawah lengan Pendekar Slebor, agar darah yang
mengalir nanti terhenti. Lalu dengan ujung kukunya
yang kumal, digoresnya lengan Andika perlahan-
lahan.
Andika tak merasakan perih. Bahkan merasa kalau
kuku itu hanya berada di atas kulitnya saja. Meskipun
halinya bergidik melihat betapa kotornya ujung kuku
itu.
Lalu dengan cepat Eyang Sasongko Murti
menadahi darah yang keluar dengan kain kumal tadi.
Setelah dua belas tetes, seperti gerakan pertama
tadi, laki-laki tua ini menggores lagi lengan kiri Andika.
Anehnya, luka yang menganga tadi itu terkatup
kembali!
Dengan gerakan cepat Eyang Sasongko Murti
membuka totokan pada Andika. Untuk selanjutnya,
Andika hanya memperhatikan saja, ketika Eyang
Sasongko Murti membuntal darah dengan kain kumal
tadi. Lalu digenggamnya kuat-kuat kain itu,
sementara mulutnya komat-kamit. Matanya yang
hanya segaris semakin menyipit saja. Rambutnya
yang acak-acakan kelihatan semakin menambah
keseraman sosok wajahnya.
Andika yang memperhatikan jadi mengerutkan
keningnya.
"Kau sebenarnya tidur atau baca mantera, ya?"
usik Pendekar Slebor.
"Diam!" tiba-tiba Eyang Sasongko Murti membetak.
"Eh, copot!" desis Pendekar Slebor sambil tertawa.
"Bagaimana, Eyang? Apakah kita bisa segera keluar
dari sini?"
Eyang Sasongko Murti menatap ke langit yang
gelap. Tiba-tiba kepalanya menggeleng-geleng.
"Andika..., bersiap-siaplah.... Tamu tak diundang
sudah datang sekarang?" ujar Eyang Sasongko Murti
dengan suara tegang.
"Hei, apa maksudmu?" seru Andika yang ikut-
ikutan menjadi tegang.
k k k
3
Di Alam Sunyi, keadaan semakin mengerikan saja.
Suasana yang dingin kini semakin menggigit. Andika
melihat Eyang Sasongko Murti menegak. Sementara
darahnya yang tadi ditampung di kain compang-
camping kini diikat di pinggangnya. Lalu perlahan-
lahan tubuh Eyang Sasongko Murti berdiri.
"Andika..., bersiaplah.... Kita kedatangan tamu
yang tak diundang...," ujar Eyang Sasongko Murti lagi
dengan suara tenang. Ketenangannya pun terpancar
dari wajahnya yang sukar dilukiskan.
Andika pun ikut-ikutan berdiri. Matanya
memandang ke sekeliling dengan mata kecut. Tak
ada yang berubah, kecuali cuaca yang mendadak
bertambah dingin, dan menimbulkan rasa ngeri yang
menjadi-jadi. Kalau tadi hatinya sudah ngeri berada di
tempat yang sepi dan seperti mati ini, kini lebih ngeri
lagi melihat perubahan yang terjadi begitu tiba-tiba!
"Eyang..., apakah siluman-siluman itu sudah
datang?" tanya Pendekar Slebor sambil masih mem¬
perhatikan sekelilingnya.
"Bersiaplah, Andika...."
Wesss.J
Mendadak saja angin berhembus keras, dengan
suara menderu-deru. Beberapa pohon yang tumbuh
di sana pun tumbang. Daun-daunnya berguguran
beterbangan. Andika cepat mengerahkan tenaga
sakti warisan Pendekar Slebor yang dialirkan pada
kaki dan kekuatan tubuhnya. Dia berusaha bertahan
untuk menjaga agar tidak terhempas angin keras.
Sementara itu Pendekar Slebor pun memandang
heran pada Eyang Sasongko Murti yang kelihatan
tetap tenang. Bahkan tidak bergeming sedikit pun.
Padahal angin tampak bergulung-gulung keras!
Rambutnya yang acak-acakan semakin tak karuan.
Pakaiannya yang compang-camping pun berkibaran
seperti ingin tanggal satu persatu.
"Andika..., ikuti setiap gerakanku...," ujar Eyang
Sasongko Murti tiba-tiba. Sementara matanya
menatap kejauhan, ke arah bukit-bukit yang tinggi itu.
"Apa maksudmu, Eyang?!" tanya Andika setengah
berteriak untuk mengalahkan suara deru angin yang
keras menderu-deru.
Mata Pendekar Slebor ikut-ikutan menatap ke arah
perbukitan. Tidak ada yang aneh menurutnya. Bukit-
bukit itu tetap berdiri tegar, bagai menyimpan teka-
teki yang dalam.
"Setiap kali aku bergerak, kau harus mengikutinya.
Usahakan, agar kau bisa melakukannya sama dengan
gerakanku...!" sahut Eyang Sasongko Murti, juga
setengah berteriak.
"Bagaimana kalau tidak sama, Eyang?" tanya
Andika lagi.
"Kau akan merasakan sendiri akibatnya...."
"Eyang..., aku semakin tidak mengerti. Kau tidak
bisa menyuruhku begitu saja? Memangnya aku
muridmu yang sudah tahu siap langkahmu?" gerutu
Andika.
"Tidak ada lagi waktu untuk berdebat! Seperti kata
ku tadi, kau harus berusaha untuk menyamakan
gerakanmu dengan gerakanku, Andika!"
"Bagaimana...?"
"Ikuti langkahku, Andika!" ujar Eyang Sasongko
Murti tiba-tiba, memotong kata-kata Andika.
Lalu tubuh laki-laki tua itu bergerak ke kiri dua
tindak. Kemudian tubuhnya membungkuk dengan
kaki kanan di tekuk, dan kedua tangan berada di
dalam.
Serentak Andika berbuat yang sama meskipun
tidak mengerti mengapa harus berbuat seperti itu.
"Jangan bicara!" ujar Eyang Sasongko Murti lagi.
Andika hanya mendengus. Namun mendadak
saja....
Blarrr...!
Telinga Andika menangkap ledakan keras. Tampak
kedua batu besar yang tadi mereka duduki meledak.
Tidak terlihat suatu serangan apa pun di mata Andika.
Hatinya heran, apa yang telah menerpa kedua batu
besar itu?
Tetapi kemudian, mata Pendekar Slebor pun
melihat sesuatu yang aneh. Tampak sebuah angin
bergulung keras, lalu berhenti di depan mereka yang
masih dalam keadaan membungkuk dengan kedua
tangan di depan dada.
Wing...! Wing...!
Terdengar suara desingan yang memekakkan
telinga. Andika bermaksud menutup kedua telinganya
dengan tangan, tetapi teringat akan perintah Eyang
Sasangko Murti agar selalu mengikuti setiap
gerakannya.
"Seratus tahun lamanya kau kubiarkan hidup di
sini, Sasongko! Tak kusangka, kau masih mampu
bertahan hidup!"
Tiba-tiba terdengar suara dari balik gulungan angin
yang berdesir-desir di hadapan mereka.
"Kini, setelah seratus tahun..., aku datang untuk
menjemput nyawamu! Dan akan kujadikan kau salah
seorang siluman penjaga Hutan Waringin!" lanjut
suara di balik angin.
Sebelum Eyang Sasongko Murti menyahuti,
mendadak....
"Hei, Siluman Kudis!"
Andika sudah mendahului. Hatinya benar-benar
jengkel karena jadi terlibat dalam masalah yang tidak
di mengertinya. Yang dibayangkan saat ini adalah
keadaan Sari dan Prabu Adiwarman yang menunggu
di Jurang Setan.
"Lebih baik kau pergi sebelum kuhancurkan
sampai tunggang langgang!" dengus Pendekar Slebor.
"Ha... ha... ha...!"
Terdengar suara terbahak-bahak dari desingan
putaran angin yang keras itu.
"Sasongko! Rupanya kau sudah mendapatkan
jalan keluar dari Alam Sunyi ini. Hanya sayang,
tumbalmu justru akan mampus hari ini juga!" kata
suara itu.
Eyang Sasongko Murti mendesah panjang, di
samping jengkel karena Andika tidak menuruti kata-
katanya.
"Siluman Hutan Waringin!" Urusan ini adalah
urusan kau dan aku! Jangan libatkan pemuda itu!"
sahut Eyang Sasongko Murti, mantap.
"Dia akan menjadi jalan keluar untukmu,
Sasongko. Berarti dia pun harus mampus!"
Mendadak saja pusaran angin yang menggulung-
gulung menerjang ke arah mereka. Suaranya
memekakkan telinga. Bahkan gulungan angin itu
mampu menerbang kan bukit-bukit yang banyak
berdiri tegar di Alam Sunyi.
"Andika! Ikuti langkahku!" ujar Eyang Sasongko
Murti berteriak.
Laki-laki tua itu cepat melompat lima tindak
samping kanan. Kalau tadi kedua tangannya berada
depan dada, kini mengibas ke arah pusaran angin.
"Pusatkan tenaga dalammu di pusar. Lontarkan
dengan hembusan napas! Mulai!" ujar Eyang
Sasongko Murti.
Bersamaan dengan itu, Andika pun menuruti
perintah Eyang Sasongko Murti, walaupun tidak
dimengerti sama sekali. Namun karena kecerdikan
otaknya, Pendekar Slebor mampu mengikuti dan
menyamakan gerakan Eyang Sasongko Murti.
Werrr...! Werrr...!
Dua rangkum tenaga dalam yang kuat keluar dari
tangan Eyang Sasongko Murti dan Andika.
Akan tetapi pusaran angin itu terus saja
menggulung, tanpa berhenti. Bahkan terasa semakin
dahsyat, dengan suara bertambah keras.
"Tahan napasmu sekuat tenaga! Jangan bergeser
dari tempatmu! Maka, kau akan selamat!" terdengar
lagi perintah Eyang Sasongko Murti.
Lagi-lagi Andika melakukan perintah. Pusaran
angin yang kuat itu memasuki tubuh mereka,
mencoba mengangkat dan menerbangkan. Tetapi
keduanya tetap tak bergeming. Hanya saja, Andika
merasakan wajahnya sakit, bagai ditampar tangan
raksasa yang besar. Namun semua itu ditahannya
sekuat tenaga. Karena dia juga tidak ingin melanggar
kata-kata Eyang Sasongko Murti.
Pusaran angin terus berusaha menumbangkan.
Dan sekuat tenaga, keduanya bertahan. Terutama
yang dilakukan Andika.
"Kita akan keluar dari pusaran angin ini!" teriak
Eyang Sasongko Murti di antara suara pusaran angin
yang keras. "Kali ini, pusatkan tenaga dalammu di
dada. Tarik napas tiga kali ke perut. Lalu, melompat.
Ingat! Pada hitungan ketiga. Satu! Dua! Tigaaa!"
Serentak tubuh mereka melompat keluar dari
pusaran angin dalam keadaan merunduk, dengan
sebelah tangan kanan menyentuh tanah.
"Ha... ha... ha...!"
Suara dalam pusaran angin itu terbahak-bahak
lagi.
"Kau memang pandai menjaga 'jalan keluar'mu,
Sasongko! Hanya sayang, kau tak akan bisa
melindunginya terus menerus!" kata suara itu lagi.
"Seperti sudah kukatakan tadi, ini adalah
urusanmu denganku! Jangan bawa-bawa dia!" sahut
Eyang Sasongko Murti.
"Ha... ha... ha...! Dengan begitu, kau akan
mempunyai kesempatan untuk melarikan diri, bukan?
'Jalan keluar'mu pun harus mampus, Sasongko!"
balas suara itu.
"Kalau kau berjanji untuk membiarkannya hidup
kita akan bertarung habis-habisan!"
"Ha... ha... ha...! Kau terlalu bermimpi untuk dapat
mengalahkan bangsa siluman, Sasongko! Meskipun
kau banyak mendapatkan ajian sakti dari bangsa
siluman namun tak akan bisa menghancurkan aku!
Gurumu sendiri!"
"Berjanjilah!"
"Berkhianat adalah kerja bangsa siluman!
Menghancurkan dunia adalah kegemaran bangsa
siluman. Dan memusnahkan orang-orang seperti itu,
adalah tujuan bangsa siluman! Tak akan kubiarkan
kau dan 'jalan keluar'mu berhasil meloloskan diri!"
Dan mendadak saja pusaran angin berhenti. Lalu
perlahan-lahan, keluar asap putih tebal. Dan asap itu
terus membubung, setinggi pohon kelapa. Ketika
asap putih itu menghilang, terlihatlah sosok raksasa
mengerikan. Wajahnya bulat lonjong, dengan kedua
telinga lebar berbentuk kerucut. Di bibirnya yang
panjang, terdapat dua buah caling mengkilat. Sekujur
tubuhnya ditumbuhi bulu yang mengerikan. Raksasa
itu mengenakan sebuah cawat. Yang lebih
mengerikan lagi, matanya yang hanya sebuah dan
terletak tepat di kening, di atas hidung yang panjang
seperti badi!
Andika tercekat melihatnya.
"Gila! Inikah bangsa siluman yang menjadi guru
dari Eyang Sasongko Murti?" tanya Pendekar Slebor
dalam hati.
Lalu di depan mata Pendekar Slebor, terjadilah
pertarungan dua raksasa yang sangat aneh. Setiap
kali mereka bergerak, terdengar goncangan sangat
hebat. Dan akibatnya, membuat perut Pendekar
Slebor menjadi mual.
Andika berusaha menahan agar tubuhnya tidak
berpindah tempat. Dan dia juga berusaha agar
kepalanya tidak terangkat, seperti yang diperintahkan
Eyang Sasongko Murti.
Biar bagaimanapun juga, yang ada di hadapan
Pendekar Slebor ini adalah dua makhluk dari alam
berbeda, namun merupakan murid dan guru yang
sedang bertarung.
Pertarungan berlangsung sengit. Kedua raksasa itu
selain bertukar jurus, juga mengeluarkan suara
memekakkan telinga. Bukan hanya pepohonan yang
tumbang, tetapi perbukitan yang ada di sana pun
menggugurkan tanahnya, hingga beterbangan.
Diam-diam sambil menundukkan kepala, Andika
mempergunakan tenaga batin untuk menghitung
jurus yang telah berlalu. Namun sungguh tidak bisa
dimengerti. Karena ilmu yang diperlihatkan kedua
raksasa mengerikan itu adalah ilmu bangsa siluman.
Sehingga, sangat sulit bagi Andika untuk menghitung
jumlah jurus yang telah digelar.
Untuk mengetahui aba-aba yang akan dilakukan
Eyang Sasongko Murti, Andika membuka kedua
telinganya lebar-lebar. Tetapi seketika pendengaran¬
nya ditutup dengan tenaga batinnya, karena gendang
telinganya bagai hendak pecah mendengar seruan
dan serangan yang ganas.
Tiba-tiba Pendekar Slebor melihat tubuh Eyang
Sasongko Murti yang menjelma menjadi raksasa
terhuyung ke belakang, karena terkena hantaman tak
terlihat yang dilakukan Siluman Hutan Waringin.
Suaranya begitu keras sekali ketika jatuh ke tanah,
menabrak sebuah pohon yang langsung tercabut,
karena tak kuat menahan berat tubuh Eyang
Sasongko Murti.
Andika perlahan-lahan mengangkat kepalanya
juga. Toh pikirnya, yang penting jangan sampai
melihat mata satu dari Siluman Hutan Waringin.
Tampak kini Siluman Hutan Waringin sedang
mengejar tubuh Eyang Sasongko Murti dengan ganas.
Sebelah kakinya siap menginjak remuk kepala tokoh
aneh yang menjelma menjadi raksasa itu.
Melihat hal itu, Andika bermaksud membantunya.
Namun sekali lagi, dia teringat kata-kata Eyang
Sasongko Murti, kalau tidak boleh berpindah tempat.
Akan tetapi, hati kecilnya tidak menginginkan melihat
Eyang Sasongko Murti harus mampus diinjak siluman
mengerikan itu!
"Hiaaa.J"
Dengan mengerahkan tenaga sakti, mendadak
saja Andika melesat ke atas, siap menghantam perut
Siluman Hutan Waringin. Namun....
Wesss.J
Desss.J
"Aaakh...!"
Mendadak saja tubuh Pendekar Slebor bagai
seringan kapas, terhempas hingga ambruk ke tanah
disertai keluhan tertahan. Andika merasakan
dadanya bagai jebol. Dan dari mulutnya termuntah
darah berkali-kali, sebelum pingsan.
"Bodoh! Sudah kubilang jangan bergerak dari
tempatmu!" dengus Eyang Sasongko Murti dengan
suara keras menggelegar.
Pada saat yang sama Eyang Sasongko Murti harus
menangkis injakan kaki Siluman Hutan Waringin yang
siap menghancurkan kepala dengan tangan. Lalu
dicobanya untuk mendorong. Namun tenaga bangsa
siluman sudah tentu sangat sulit ditandingi, meskipun
Eyang Sasongko Murti menguasai pula ajian-ajian
aneh bangsa siluman.
Dan mendadak saja, Eyang Sasongko Murti
menyambar kain yang berisikan tetesan darah
Andika. Cepat dilemparkannya buntalan kain kecil itu
ke arah Siluman Hutan Waringin.
Wuuut!
Plak!
"Aduhhh.J"
Mendadak saja, Siluman Hutan Waringin menjerit-
jerit kesakitan. Rupanya, dia tidak tahan mencium
bau darah pemuda suci yang memang milik Pendekar
Slebor.
Ketika Siluman Hutan Waringin termundur
beberapa langkah, kesempatan itu dipergunakan
Eyang Sasongko Murti untuk menendang. Duk!
Laki-laki aneh ini memang dapat menendang
siluman itu. Karena, sedikit banyak Eyang Sasongko
Murti bisa menguasai ajian bangsa siluman. Dan
dengan gerakan cepat, disambarnya buntalan kecil
berisi tetesan darah Pendekar Slebor, yang herannya
tidak menjadi kering.
Ketika Siluman Hutan Waringin terjajar, dengan
cepat Eyang Sasongko Murti menyambar tangan
Pendekar Slebor. Tepat ketika tangan itu dipegang
tubuh raksasanya menciut kembali, menjelma pada
ukuran semula.
Eyang Sasongko Murti langsung memanggul tubuh
Pendekar Slebor yang masih dalam keadaan pingsan
lalu melompat ke atas. Seketika tubuhnya meluncur
keras ke tanah, menembus masuk ke dalamnya.
Laki-laki tua itu terus berlari di dalam lorong yang
dengan mudah ditemukannya. Diangkatnya kain
berisi tetesan darah Andika. Dan seketika, matanya
melihat sebuah sinar bagaikan cahaya penolong yang
menunjukkan jalan.
Sekuat tenaga, Eyang Sasongko Murti melarikan
diri. Hatinya yakin, Siluman Hutan Waringin tidak
akan berani mengejarnya, karena tetesan darah milik
Andika lah yang menjadi penghalang. Namun dia juga
yakin Siluman Hutan Waringin tidak akan pernah
melepaskannya.
Apa yang diduga memang benar. Siluman Hutan
Waringin yang menjelma menjadi raksasa tampak
mengamuk dengan sengit. Tangannya menampar
pepohonan yang tumbuh di sana, hingga tercabut
sampai ke akar-akarnya. Lalu kakinya menendang
perbukitan yang langsung ambrol dan menimbulkan
suara keras.
"Sasongko!" seru Siluman Hutan Waringin
bergemuruh. "Kau tidak akan bisa melarikan diri dari
Alam Sunyi ini! Tempatmu di sini. Dan kau harus
mampus sini, sebagai peringatan bahwa inilah akhir
dari hidup orang yang berani mengkhianati bangsa
siluman!"
Lalu mendadak saja, tubuh yang besar itu
menjelma menjadi pusaran angin kuat. Seperti
datangnya yang tidak ketahuan tadi, menghilangnya
pun tidak ketahuan pula. Entah, ke mana perginya!
4
Di Jurang Setan, Prabu Adiwarman tengah menerima
kedatangan Tiroseta dan sepuluh prajurit Kerajaan
Labuan. Banyak sekali yang mereka telah bicarakan.
Sambil berbincang-bincang, mereka juga menunggu
kedatangan yang lainnya. Meskipun, di hati mereka
sedikit cemas. Karena, sudah dua hari ini belum juga
ada kabar berita.
"Prabu..., izinkanlah hamba untuk melihat keadaan
Keraton Pakuan. Menurut hemat hamba, telah terjadi
sesuatu pada saudara-saudara hamba...," kata Tirose
senapati dari Kerajaan Labuan.
Prabu Adiwarman mendesah pendek. Sebenarnya
ia pun memikirkan soal itu. Mengapa Pendekar Slebor
belum datang juga? Padahal, Prabu Adiwarman
sangat yakin akan kemampuan Pendekar Slebor.
"Aku pun sebenarnya merisaukan soal itu. Tetapi
biarlah kita tunggu sampai matahari tepat di atas
kepala," sahut Prabu Adiwarman.
Tiroseta tidak berani membantah. Rasa hormatnya
pada Prabu Adiwarman penguasa Kerajaan Pakuan,
sama besarnya dengan rasa hormatnya pada Prabu
Srigiwarman, penguasa Kerajaan Labuan. Maka
kepalanya pun hanya mengangguk.
Sementara itu di atas Jurang Setan, Danji yang
sejak tadi pagi menunggu kedatangan Pendekar
Slebor bersama dua orang prajurit Kerajaan Labuan,
diam-diam menghela napas panjang. Hatinya yakin,
kalau telah terjadi sesuatu terhadap prajurit Kerajaan
Labuan. Bahkan mungkin, pada Pendekar Slebor
sendiri!
"Tunggal! Bagaimana bila kita secara sembunyi-
sembunyi melihat keadaan keraton Kerajaan
Pakuan?" tanya Danji pada salah seorang prajurit
Kerajaan Labuan yang bernama Tunggal.
"Saudara Danji, keinginan itu ada di hatiku, dan
Riaka. Tetapi kami tidak berani melakukannya,
sebelum mendapat perintah dari Kakang Tiroseta.
Juga, dari sang Mulia Prabu Adiwarman," sahut
Tunggal, seorang laki-laki berwajah keras dengan
tatapan tajam. Dari riak suaranya, Danji bisa melihat
kalau prajurit itu pun berkeinginan untuk menyusul
yang lain ke Keraton Kerajaan Pakuan.
Tetapi, Danji pun mengerti. Sebagai seorang
prajurit, Tunggal harus taat pada pimpinannya.
"Kalau begitu, biarlah aku yang pergi ke sana,"
cetus Danji.
"Saudara Danji, itu terlalu berbahaya," tukasnya.
Danji menatap tajam pada Tunggal.
"Tunggal, meskipun tidak menguasai ilmu olah
kanugaran tinggi, tetapi aku tidak enak berpangku
tangan saja di sini. Aku akan pergi secara diam-diam.
Dan kau tidak perlu mengatakannya pada Prabu
Adiwarman. Juga yang lainnya," tandas Danji, mantap.
"Tetapi, Saudara Danji...."
"Tidak apa-apa," potong Danji, disertai senyum
manis. "Aku akan baik-baik saja. Setelah melihat
keadaan Keraton, aku akan cepat kembali ke sini.
Seperti kataku tadi, bila aku belum kembali, jangan
beritahukan pada siapa pun juga...."
Tunggal tidak bisa menghalangi niat Danji, meski¬
pun sebenarnya ingin sekali ikut.
"Baiklah kalau begitu," desah Tunggal.
"Bila lewat tengah hari aku belum kembali, barulah
ceritakan soal kepergianku pada Prabu Adiwarman."
tambah Danji.
Tunggal mengangguk lagi. Sementara pengawal
yang bernama Riaka, hanya memandang saja.
Sebenarnya Riaka pun ingin ikut serta. Tetapi lagi-lagi,
sebelum perintah ada, dia tidak berani melaku¬
kannya.
Mendadak saja sebelum Danji berlari meninggal¬
kan tempat itu....
"Hauuum.J"
Terdengar auman yang cukup keras yang disertai
dengan munculnya si Belang dari jalan rahasia
menuju dasar Jurang Setan. Dan binatang itu berjalan
perlahan mendekati Danji.
Danji yang semula takut pada harimau besar
peliharaan Sari, kini telah bersikap biasa. Dia tahu,
naluri hewan besar itu mengatakan bahwa dia adalah
temannya. Lalu perlahan-lahan Danji membelai wajah
si Belang yang menyeramkan.
"Ada apa, Belang?" tanya Danji, lembut.
Si Belang mengelus-eluskan wajahnya ke tubuh
Danji.
"Oh! Tidak, Belang. Kau tidak boleh ikut," kata
Danji, yang seolah mengerti keinginan si Belang.
Dan pemuda itu bisa melihat tatapan si Belang
yang mendadak saja meredup. Hati Danji tercekat.
Sungguh hewan ini sangat pandai bersikap. Entahlah,
bagaimana pemiliknya mengajarkan binatang buas
itu sedemikian rupa.
"Belang..., aku mengerti betapa rindunya kau pada
majikanmu. Tetapi, kedatanganku ke keraton sangat
berbahaya. Dan aku tidak ingin ketahuan gara-gara
kau," ujar Danji.
Si Belang kini menjilat-jilat tangan Danji. Sikapnya
merajuk. Tubuhnya lantas direbahkan di sisi Danji.
Danji mendesah pendek.
"Belang..., kau berjagalah di sini. Dengan
kehadiranmu, kekuatan kita akan bertambah, bila
ada musuh yang menyerang. Ayolah, Belang....
Mengertilah...," bujuk Danji.
Tetapi si Belang tetap menjilat-jilat tangan Danji.
"Baiklah, kau boleh ikut. Tetapi, jangan sekali-
sekali menampakkan diri," kata Danji akhirnya.
Kembali si Belang menjilat-jilat sebagai jawaban
tetapi, kali ini dengan sinar mata cerah. Danji
mendesah sekali lagi.
"Heran, bagaimana pemilikmu bisa mengajarkan-
mu seperti itu, Belang?" tanya Danji, seraya berdiri.
"Ayo, kita pergi sekarang!"
Si Belang menegakkan tubuhnya, seolah
menyuruh Danji menaiki punggungnya. Danji hanya
tersenyum, lalu perlahan-perlahan dinaikinya
punggung harimau besar itu. Dan....
Wuttt!
Si Belang pun melesat dengan cepatnya,
meninggalkan Tunggal dan Riaka yang hanya saling
berpandangan.
"Sebenarnya, aku ingin ikut dengan pemuda yang
pemberani itu, Riaka...," kata Tunggal.
"Begitu pula aku, Tunggal. Hanya saja, kita tidak
bias melakukannya sebelum mendapatkan perintah
dari Kakang Tiroseta," sahut Riaka.
Lalu mereka pun melangkah ke rimbunnya semak
untuk melihat-lihat keadaan.
Di dasar Jurang Setan, kali ini tak ada yang suara.
Putri Permata Delima yang baru saja memasak ayam
hutan yang diburu Danji tadi, kini menghidangkannya
untuk ayahandanya.
"Ayahanda..., makanlah dulu.... Sejak semalam
ayahanda tidak makan...," ujar gadis cantik ini dengan
bibir tersenyum.
Prabu Adiwarman pun tersenyum. Hatinya bangga
melihat ketabahan putrinya yang dulu selalu di¬
kelilingi kebahagiaan, kemewahan, dan kemudahan.
Tetapi sekarang, di saat yang genting dan mencekam
ini, bibirnya masih bisa mengulas senyum.
Namun hal itu sebenarnya tidak terlalu meng¬
herankan untuk Prabu Adiwarman. Karena putrinya;
walaupun tumbuh dalam lingkungan keraton, tetapi
sifatnya sangat merakyat. Dan hatinya bangga
melihat Permata Delima yang tetap bersikap tabah,
meskipun kini keadaan sangat memprihatinkan.
Tiba-tiba saja Prabu Adiwarman merasakan lapar
yang luar biasa.
"Terima kasih, Permata...," kata Prabu Adiwarman
sambil menyantap ayam hutan panggang itu.
Putri Permata Delima pun menyediakan ayam
panggang itu pada Tiroseta yang sedang mengangkat
kepala, menatap sesuatu yang menarik perhatiannya
di dinding Jurang Setan.
"Kakang Tiroseta..., makanlah dulu...," ujar
Permata Delima.
"Oh! Terima kasih, Tuan Putri. Tidak perlu repot.
Aku biasa tidak makan bila sedang dalam tugas...,"
sahut Tiroseta dengan wajah memerah. Senapati ini
sebenarnya malu karena justru seorang putri seperti
Permata Delima yang melayaninya.
"Tetapi, ayam panggang ini sangat lezat sekali,
Kakang," bujuk Putri Permata Delima, membuat hati
Tiroseta terenyuh.
Memang, betapa bahagianya rakyat Kerajaan
Pakuan memiliki seorang putri yang bisa dijadikan
panutan.
"Oh, ya... ya..., terima kasih, Putri."
Tiroseta kembali menatap sesuatu yang menarik
perhatiannya. Hingga kemudian, Putri Permata
Delima pun mengikuti arah pandangan Tiroseta.
Di dinding Jurang Setan, Putri Permata Delima
melihat seekor burung hantu berwarna abu-abu
dengan sepasang mata memerah menyalang.
"Kenapa dengan burung hantu itu, Kakang?" tanya
gadis itu kemudian, ingin mengetahui mengapa
Tiroseta memandangi burung hantu itu dengan sikap
penuh perhatian.
"Tidak, tidak apa-apa," desah Tiroseta.
"Kalau tidak apa-apa, mengapa begitu tertarik
memperhatikannya?" cecar Putri Permata Delima.
Tiroseta menyadari kesalahannya. Senapati ini
memang telah mendengar tentang kecantikan Putri
Permata Delima yang sangat jelita dan meng¬
hanyutkan. Tetapi, ia kurang tahu kalau Putri Permata
Delima mempunyai naluri ingin tahu yang tinggi.
"Tuan Putri..., selama dua hari hamba berada di
sini, hanya..., baru pagi ini melihat burung hantu itu.
Tuan Putri sendiri bagaimana?" tanya Tiroseta.
Putri Permata Delima terdiam, la mengingat-ingat.
Yah, rasanya ia pun baru melihatnya.
"Aku juga, Kakang. Sepertinya, aku memang baru
melihat burung hantu itu. Memangnya kenapa?" kata
Putri Permata Delima, balik bertanya.
Putri Permata Delima melihat wajah Tiroseta
terperanjat.
"Oh, Gusti Pangeran!" sentak Tiroseta.
"Kenapa, Kakang?" tanya Putri Permata Delima
dengan kening berkerut.
"Tuan Putri..., sebelum lewat tengah hari, kita
sudah harus pindah dari sini!" kata Tiroseta, sedikit
waswas. Matanya tak lepas dari burung hantu itu.
"Mengapa, Kakang? Bukankah ini tempat
persembunyian yang aman bagi kita?" tanya Putri
Permata Delima, tidak mengerti. "Lagi pula, bukankah
rencana Kakang tadi, nanti siang hendak melihat
keadaan keraton?"
"Tuan Putri, burung hantu itu..., oh! Pasti itu burung
hantu mata-mata...," kata Tiroseta dengan wajah
tegang.
"Maksudmu, dia memata-matai kita?" tanya Putri
Permata Delima.
"Kau benar,. Tuan Putri. Jarang sekali hamba
menjumpai burung hantu yang keluar bila ada sinar
matahari. Biasanya, burung hantu selalu hanya keluar
bila rembulan bersinar. Bukan matahari. Lagi pula,
hanya baru kali ini melihat burung hantu di Jurang
Setan," jelas senapati ini.
"Apakah itu tidak kebetulan saja, Kakang?" tanya
Putri Permata Delima, memberi dugaan lain.
"Tuan Putri..., hamba telah banyak memakan asam
garam di rimba persilatan. Hamba bisa membedakan
mana burung hantu liar, burung hantu peliharaan,
burung hantu yang dijadikan sebagai mata-mata.
Hewan sejenis itu sangat kejam, Tuan Putri. Seperti
burung hantu itu. Pasti, dia sedang memata-matai
kita," sergap Tiroseta, memberi penjelasan.
Sementara itu, burung hantu berwarna abu-abu itu
sudah terbang sambil mengeluarkan suara
menyeramkan.
Putri Permata Delima pun mengerti maksud dari
Tiroseta. Tetapi, ia tidak ingin merisaukan
ayahandanya.
"Kakang..., setelah ayahanda selesai makan,
barulah kita mengatakan padanya. Dan bila ayahanda
setuju, kita pergi dari sini...."
Tiroseta mengangguk. Lagi-lagi hatinya sangat
kagum atas kebijaksanaan Putri Permata Delima.
Lalu dilihatnya gadis itu tengah membagi-bagikan
ayam panggang pada prajurit yang berada di sana.
Dan mata senapati ini lantas menerawang. Kalau
dugaannya tentang burung hantu itu memang benar,
keadaan benar-benar gawat!
•k-k -k
Di Hutan Ringgis yang lebat, satu sosok tubuh
kurus dengan pakaian compang-camping dan rambut
acak-acakan menutupi wajahnya, berhenti berlari. Di
punggungnya terdapat satu sosok tubuh yang terkulai
pingsan. Sebentar matanya berkeliling memperhati¬
kan. Sepi.
"Hhh! Dasar pendekar bandel! Sudah kukatakan
jangan bergerak, justru menyerang! Keterlaluan!"
omel sosok yang tak lain Eyang Sasongko Murti.
Memang setelah berhasil meloloskan diri dari
tangan Siluman Hutan Waringin, Eyang Sasongko
Murti itu berhasil keluar dari Alam Sunyi sambil
membawa tubuh Pendekar Slebor yang pingsan.
Sejenak tadi, bagaikan seorang anak kecil yang
telah lama menginginkan sebutir gula-gula, Eyang
Sasongko Murti melonjak-lonjak kegirangan begitu
meyakinkan dirinya berada di alam luas yang indah.
Cuping hidungnya sejak tadi tidak henti-hentinya
mencium udara yang segar di sini. Udara yang sangat
berbeda dengan udara di Alam Sunyi, yang telah
didiami selama seratus tahun!
Eyang Sasongko Murti merasa beruntung bisa
pergi dari Alam Sunyi, alam gaib yang sulit sekali
diterima akal. Juga, beruntung bisa meloloskan diri
dari tangan Siluman Hutan Waringin yang kejam,
meskipun terpaksa mengorbankan waktu Andika.
Itulah sebabnya, untuk membalas budi dari Andika
yang telah menolongnya keluar dari Alam Sunyi, laki-
laki itu bersedia membantu Andika.
Lalu perlahan-lahan Eyang Sasongko Murti
menurunkan tubuh Andika yang dibopongnya.
Direbahkannya pemuda itu di atas rerumputan yang
masih basah. Matahari tak mampu memasuki dasar
Hutan Ringgis, karena terhalang tingginya pepohonan
dan rimbunnya dedaunan.
Kini laki-laki tua itu memeriksa sekujur tubuh
Andika. Lalu, dibukanya pakaian pemuda itu yang
berwarna hijau. Dan betapa terkejut Eyang Sasongko
Murti ketika melihat sebuah garis silang di dada
Pendekar Slebor yang masih pingsan!
"Gila! Andika terkena aji siluman yang bernama
'Ikatan Mambang Kahyangan'! Gawat kalau begini! Di
dalam sepenanakan nasi bila tidak tertolong, ia akan
menjadi pengikut Siluman Hutan Waringin," sentak
Eyang Sasongko Murti dengan suara bergetar.
Dengan cepat laki-laki tua ini menempelkan
telapak tangan di kening Andika. Lalu dengan
mengerahkan mantera pengusir siluman, mulutnya
merapal sambil mengerahkan tenaga dalam. Namun
sekian lama bertindak demikian, tidak ada tanda-
tanda Andika siuman. Tetap tergolek lemah tak
berdaya. Bahkan Eyang Sasongko Murti melihat tanda
silang di dada Andika berubah menjadi merah!
"Kacau! Kacau! Kalau tanda silang itu berubah
menjadi hitam, berantakan semuanya!" dengus laki-
laki tua ini sambil melepaskan kembali telapak
tangannya pada kening Andika.
Tiba-tiba saja Eyang Sasongko Murti memutar
kedua tangannya di depan dada, lalu mengangkatnya
di atas kepala sambil menengadah. Dihirupnya udara
banyak-banyak. Tiba-tiba....
"Pukulan Dewa Matahari! Heaaa.J"
Eyang Sasongko Murti menjerit keras sambil
menyentak hawa murninya. Plashh.J
Dan mendadak saja seberkas sinar berwarna
keemasan meluncur dari atas, dan singgah di telapak
tangan kanan Eyang Sasongko Murti. Setelah itu,
tangan kirinya dikibaskan ke depan, dan kembali
diangkat ke atas sambil mengembalikan hawa murni
pada titik kekosongan. Titik mengosongkan diri.
Pukulan Dewa Angin!" teriak Eyang Sasongko Murti
lagi.
Kembali seberkas sinar yang kali ini berwarna
putih, jatuh ke telapak tangan kiri Eyang Sasongko
Murti.
Dan perlahan-lahan laki-laki tua ini membawanya
ke dada Andika, lalu menempelkannya. Terlihat
kemudian tubuh Andika mengejang hebat dan
mengeluarkan keringat banyak!
Luar biasa! Dalam keadaan pingsan, Andika
mengeluarkan keringat. Karena, tenaga dua pukulan
maut Eyang Sasongko Murti telah ditempelkan ke
dadanya.
Sementara itu, sekujur tubuh Eyang Sasongko
Murti pun telah bersimbah keringat. Dan tubuhnya
pun bergetar hebat!
"Andika..., kalau kau memang pendekar warisan
Pendekar Lembah Kutukan, sadarlah! Sadarlah kalau
bahaya sudah mendekatimu...," ujar Eyang Sasongko
Murti dengan suara bergetar.
Tetapi sosok Andika tidak juga siuman. Bahkan
justru kelojotannya semakin keras.
Eyang Sasongko Murti berusaha menahan dengan
dua pukulan mautnya. Seluruh tenaga dalamnya di
kerahkan untuk menyelamatkan Andika. Karena ia
tahu bila gagal menyelamatkan Andika, berarti
pemuda akan menjadi pengikut Siluman Hutan
Waringin.
Eyang Sasongko Murti adalah murid Siluman
Hutan Waringin seratus tahun yang lalu. Maka tak
heran bila dia sangat mengenal bahayanya pukulan
'Ikatan Mambang Kahyangan'. Dan tak heran pula,
dia juga memiliki ilmu itu. Hanya saja, tidak
mempelajari cara memunahkannya!
Kini Eyang Sasongko Murti telah pula menyalurkan
hawa murninya.
"Ayolah, Andika.... Kau kuat. Kau kuat...," desis laki-
laki tua ini dengan mulut bergetar hebat. Begitu pula
sekujur tubuhnya yang bagaikan diguncang gempa
sangat kuat. "Kau mampu, Andika.... Kau mampu
mengalahkan ajian Siluman Hutan Waringin!"
Eyang Sasongko Murti berusaha keras
menyelamatkan Andika. Hatinya benar-benar
khawatir. Bila gagal, maka pemuda tangguh dan
gagah ini akan menjadi pengikut dari Siluman Hutan
Waringin! Bukan hanya berbahaya. Eyang Sasongko
Murti merasakan, kalau semua itu terjadi gara-gara
dirinya. Dan sebelum kekhawatiran laki-laki itu
lenyap...
Tiba-tiba saja dari mulut Andika keluar teriakan
sangat keras, membedah seluruh Hutan Ringgis.
Seketika wajah Eyang Sasongko Murti justru
gembira.
"Ayo, terus Andika! Terus, bangkitkan kesadaran-
mu! Kalahkan pukulan 'Ikatan Mambang
Kahyangan'!" seru Eyang Sasongko Murti sambil
menambah seluruh tenaga dalamnya.
"Aaa.J"
Jeritan demi jeritan pun terdengar dari mulut
Andika. Sangat keras, bersamaan dengan tubuhnya
yang bergejolak hebat.
Sementara tubuh Eyang Sasongko Murti kelihatan
tegang sekali. Kedua tangannya pun bergetar,
mengikuti semua perubahan getar tubuh Andika yang
semakin kuat.
Lalu mendadak saja Eyang Sasongko Murti
mengangkat kedua tangannya dari dada Andika. Dan
tiba-tiba dipukulnya kening Andika dengan keras.
Plak!
Seketika jeritan Andika berhenti. Juga getaran
tubuhnya yang kelojotan tadi.
"Maafkan aku, Andika.... Kau baru sadar bila
matahari sudah turun nanti...," ucap Eyang Sasongko
Murti mendesah lega.
Kini Eyang Sasongko Murti melihat tanda silang
memerah di dada Andika berangsur-angsur memutih,
lalu perlahan-lahan menghilang.
Eyang Sasongko Murti jatuh terduduk. Tubuhnya
lemas, setelah seluruh tenaganya terkuras.
"Kau hebat, Andika.... Kau hebat...," puji laki-laki
tua ini.
Sebentar kemudian Eyang Sasongko Murti ber¬
semadi untuk memulihkan kembali seluruh tenaga¬
nya.
5
Kekejaman Raja Akherat yang telah menguasai
Kerajaan Pakuan membangkitkan kemarahan para
tokoh persilatan golongan putih. Hati mereka teriris
bila mendengar betapa gadis-gadis jelita dari
berbagai desa diculik, demi memuaskan nafsu birahi
Raja Akherat. Juga, penindasan dan pembunuhan
yang dilakukan sewenang-wenang oleh Raja Lalim itu.
Para tokoh dari golongan putih itu pun mendengar
kabar kalau Raja Akherat berniat menguasai rimba
persilatan. Sudah tentu tidak menghendaki. Karena
mereka tahu, bila Raja Akherat berhasil mewujudkan
keinginannya, keadaan rimba persilatan pasti berada
di ambang kehancuran.
Saat ini, di tepi Danau Abadi, telah berkumpul
empat orang tokoh dunia persilatan golongan putih.
Mereka sedang merencanakan untuk menghancur¬
kan Raja Akherat.
Mereka duduk bersila berbentuk lingkaran di tepi
danau yang berudara sejuk, meskipun matahari
sudah tepat di puncak kepala.
"Kita tidak bisa membiarkan kekejaman Raja
Akherat terus menerus. Karena, seluruh rimba
persilatan termasuk Kerajaan Pakuan, akan hancur di
tangannya!" kata tokoh persilatan yang berpakaian
putih dengan sorban putih pula. Sementara tangan¬
nya tak henti-hentinya mengelus-elus jenggotnya yang
putih.
Wajah lelaki bersorban ini begitu arif. Suaranya
pun lembut. Orang-orang persilatan mengenalnya
sebagai Ki Pangsawada yang berjuluk, Imam Arif
Penguasa Gunung Bontang.
"Kau benar, Pangsawada!" Suara sahutan itu
meluncur dari mulut seorang laki-laki yang usianya
kira-kira enam puluh tahun. Pakaiannya terbuat dari
kulit harimau dan bersenjatakan sebuah tongkat
berukir kepala harimau pada ujungnya.
"Kita tidak bisa berpangku tangan saja. Kita pun
tidak akan membiarkan kesewenang-wenangan Raja
Akherat!" tambah laki-laki yang tak lain Ki Wirayuda,
Penguasa Harimau. Dialah ayah Sari.
Sebenarnya saat ini, kemunculan Ki Wirayuda
adalah untuk mencari Sari. Biasanya, gadis itu
meninggalkan rumah hanya dalam waktu tiga hari.
Tetapi sudah dua minggu lebih, Sari tidak muncul
juga. Dan tidak disangka, Ki Wirayuda justru bertemu
Ki Pangsawa yang segera menceritakan tentang Raja
Akherat, yang saat ini menguasai Kerajaan Pakuan
dan berkeinginan menguasai rimba persilatan.
"Ya! Apa yang kalian omongkan memang benar."
timpal seorang wanita berpakaian berwarna merah
tua.
Rambut perempuan tua itu digelung ke atas, dan
diberi tusuk konde terbuat dari tulang. Usianya kira-
kira tak jauh berbeda dengan Ki Pangsawada dan Ki
Wirayuda. Namanya, Nyai Selastri yang berjuluk Naga
Gunung.
"Tetapi, kita tidak tahu di mana saat ini Prabu
Adiwarman berada. Karena menurutku, justru Prabu
Adiwarman-lah yang harus diselamatkan lebih dulu,"
tambah si Naga Gunung.
"Tetapi aku yakin, dia telah selamat, Nyai....
Meskipun, kita tidak tahu di mana Prabu Adiwarman
berada saat ini," tegas seorang laki-laki berusia dua
puluh tahun.
Tokoh ini satu-satunya yang termuda di antara
kelompok itu. Namanya, Permadi. Dia memang belum
mendapatkan julukan apa-apa dari orang persilatan.
Bahkan, pemuda itu sendiri belum pula menjuluki diri.
"Tetapi menurutku yang terpenting, aku harus
membalas kematian guru yang tewas di tangan Raja
Akherat!" tegas Permadi, mendesis.
Ki Pangsawada melihat wajah Permadi memerah
garang dengan suara menggeram, la tahu, betapa
dendamnya pemuda itu pada Raja Akherat. Karena,
Ki Kelana, guru Permadi telah tewas di tangan tokoh
bejat itu. (Baca serial Pendekar Slebor dalam episode
"Raja Akherat").
"Tetapi yang pasti sekarang ini, kita harus segera
bergerak untuk menghancurkan Raja Akherat.
Sebelum ia semakin bertindak sewenang-wenang."
Tak ada yang bersuara lagi. Ketika Ki Pangsawada
bangkit, yang lain pun bangkit. Lalu mereka berjalan
beriringan menuju Kerajaan Pakuan.
•k'k -k
Saat ini, Raja Akherat yang mempunyai cita-cita
menguasai rimba persilatan telah memanggil
kerabatnya yang lain pula. Dan sudah tentu mereka
bersedia membantu. Mereka adalah, Nyai Pamunti
yang berwajah mengerikan. Hidungnya bengkok.
Matanya sipit memerah. Julukannya, Wanita Burung
Hantu.
Orang kedua yang diajak bergabung Raja Akherat
adalah seorang laki-laki berwajah pedok, alias masuk
ke dalam. Begitu pula hidungnya. Wajahnya
mengerikan sekali, tak ubahnya hantu di siang
bolong. Namanya, Kokorongko, yang berjuluk Dewa
Muka Iblis. Senjata andalannya, sepasang gada
besar.
Sementara orang ketiga adalah laki-laki bermata
picek. Rambutnya kemerah-merahan acak-acakan.
Tubuh bertelanjang dada. Celananya berwarna hitam.
Namanya, Anomdoro. Di kalangan tokoh hitam, dia di
kenal sebagai Manusia Mata Picek, yang terkenal
dengan permainan ilmu racunnya.
Ketiga orang itu tadi pagi datang secara
bersamaan. Padahal tempat tinggal masing-masing di
daerah sepi dan berjauhan. Mereka telah dikirimi
undangan melalui mimpi, dengan kekuatan ilmu milik
Raja Akherat.
Raja Akherat pun menyambut mereka dengan
tangan lebar. Di atas meja, telah disediakan arak
yang banyak dan makanan melimpah ruah. Bahkan
enam orang gadis telah dipaksa menemani
Kokorongko dan Anomdoro. Masing-masing, men¬
dapatkan tiga orang. Sementara Nyai Pamunti hanya
mendengus saja.
Sebelumnya, Raja Akherat telah menyuruh Nyai
Pamunti yang selalu membawa burung hantu untuk
melacakjejak Prabu Adiwarman.
Dan kini, burung hantu peliharaan perempuan tua
itu telah datang. Nyai Pamunti pun bangkit sambil
bersiul, burung hantu berwarna abu-abu dengan mata
merah itu pun hinggap di lengannya yang terulur.
"Bagaimana, Manis? Apakah kau menemukan
jejak mereka?" tanya Wanita Burung Hantu.
Burung itu berkaok-kaok dengan suara mengeri¬
kan.
"Bagus, bagus sekali," puji Nyai Pamunti, yang
mengerti maksud peliharaannya itu. "Hm..., siapa saja
yang berada di sana?"
Burung hantu itu berkaok-kaok lagi.
"Bagus, bagus.... Hanya segitu saja? Hmmm...,
apakah kau melihat seorang pemuda berpakaian
berwarna hijau, Manis?"
Burung hantu itu kembali bersuara.
"Tidak? Bagus! Sekarang..., kau boleh beristirahat!
Nah, kau buru makananmu sendiri!"
Burung hantu itu pun terbang entah ke mana. Yang
pasti, akan segera datang pada majikannya.
Wanita Burung Hantu duduk kembali. Sementara
Raja Akherat tidak sabar ingin mengetahui, apa
maksud bunyi burung hantu itu.
"Apa yang didapat burung hantumu itu, Pamunti?"
tanya Raja Akherat.
Nyai Pamunti menenggak araknya, sebelum men¬
jawab,
"Raja Akherat..., apakah di sekitar daerah timur
dari Keraton ini, ada sebuah jurang?" Nyai Pamunti
justru balik bertanya.
"Maksudmu?"
"Menurut laporan si Manis..., dia menemukan
Prabu Adiwarman, bersama dua puluh orang prajurit
dan seorang dara jelita. Hmmm..., pasti dara itu tak
lain dari Putri Permata Delima," papar Wanita Burung
Hantu.
Raja Akherat terdiam.
"Jurang? Jurang..., hm.... Aku tidak tahu kalau di
daerah sebelah timur sana ada jurang. Kalau begitu,
kau dan Kokorongko, nanti malam menyatroni jurang
itu dengan petunjuk burung hantu peliharaanmu,"
ujar Raja Akherat.
"Ha... ha... ha..., jangan khawatir."
"Bunuh Prabu Adiwarman!" tandas laki-laki bengis
itu.
"Tugas mudah. Tugas mudah. Tetapi, Raja Akherat,
menurut laporan si Manis..., ia tidak melihat seorang
pemuda berpakaian hijau-hijau yang menurutmu
Pendekar Slebor,"jelas Nyai Pamunti.
"Tidak ada?"
"Ya."
"Bangsat! Ke mana pendekar usil itu berada? Hhh!
Tak sabar aku untuk melihat kematiannya!" geram
Raja Akherat.
Anomdoro tertawa dengan suara nyaring. "Aku
belum mendapat tugas apa-apa darimu. Akan kucari
pendekar keparat itu! Tak lama lagi, orang-orang
rimba persilatan dari golongan putih akan menangisi
kematiannya! Sementara, orang-orang rimba
persilatan dari golongan hitam akan terbahak-bahak
penuh kemenangan...," timpal laki-laki bermata picek
itu.
Mereka pun terbahak. Pesta itu dilanjutkan
kembali. Lalu, Kokorongko dan Anomdoro meng¬
gandeng tiga gadis yang hanya pasrah saja.
Gadis-gadis itu ingin menangis dengan luka yang
dalam. Mereka merasa, selama hidupnya hanya
menjadi pemuas nafsu orang-orang biadab ini.
Akankah pertolongan akan tiba? Tak ada yang tahu.
Sedangkan Nyai Pamunti hanya mendengus saja.
Mulutnya menenggak arak lagi, tidak bisa mengikuti
pesta cabul yang sedang dilakukan teman-temannya.
Sementara itu, Raja Akherat sendiri melangkah
menuju kamar tempat Sari disekap.
Sari menggeram begitu melihat sosok Raja Akherat
muncul.
"Manusia bejad! Lepaskan ikatanku ini! Kita
bertarung sampai mati!" teriak Sari dengan muak.
Sari berusaha mengerahkan tenaga dalam untuk
melepaskan tali yang mengikat kedua kaki dan
tangannya. Namun sejak tadi ia gagal. Karena ikatan
itu begitu kuat, karena tali itu telah dialiri tenaga
dalam Raja Akherat yang sulit ditembus!
Raja Akherat terbahak-bahak. "Aku suka sekali
denganmu, Cah Ayu...," kata Raja Akherat sambil
menyeringai.
Laki-laki itu melangkah mendekat, dan duduk di
sisi Sari yang telentang di ranjang lembut milik Prabu
Adiwarman. Lalu tangannya dengan jahil mencolek
pipi lembut gadis itu.
Sari menolehkan kepala, menghindari rabaan
tangan Raja Akherat.
"Cih! Tangan busuk ini akan membuat kulitku
menjadi busuk!" dengus Sari.
"Tenanglah, Manis...," desis Raja Akherat yang
mendadak saja kembali merasakan kehilangan
birahi.
Sungguh, laki-laki ini tidak mengerti sama sekali,
Mengapa terjadi hal seperti itu. Padahal, keinginan
untuk menggumuli gadis ini begitu menggebu-gebu.
Memang Raja Akherat tidak tahu kalau di sekujur
tubuh Sari telah ditamengi semacam sinar yang kasat
mata.
Tameng itu diciptakan Eyang Sasongko Murti lewat
tenaga batin dengan ilmu yang dipelajari dari Siluman
Hutan Waringin. Dan hanya Siluman Hutan Waringin
lah yang mampu melihat sinar itu. Bahkan
menyingkirkannya.
"Lepaskan aku! Kita bertarung sampai mati!" seru
Sari kalap. Sementara sampai saat ini, gadis itu tidak
mengerti, mengapa Andika belum muncul juga?
Apakah pemuda itu termasuk pemuda pengecut?
Yang hanya banyak bicara saja? Padahal, sesungguh¬
nya melarikan diri melalui jalan rahasia itu?
"Bertarung? Ha... ha... ha...! Apakah kau tidak
sayang bila kulitmu yang mulus terluka, Cah Ayu?"
ejek Raja Akherat.
"Manusia keparat! Dosa-dosamu tak bisa diampuni
lagi!" teriak Sari keras.
Dan justru kata-kata Sari kembali membuat Raja
Akherat terbahak-bahak.
"Aku tak ingin dosa-dosaku diampuni, Cah Ayu....
Bahkan aku ingin membunuh semua pendekar dari
golongan putih. Ketahuilah.... Tak lama lagi, aku akan
menjadi penguasa rimba persilatan, menjadi orang
nomor satu di rimba persilatan ini! Ha... ha... ha...!
Dan kau akan menjadi permaisuriku, yang akan
melahirkan seluruh keturunanku...," lanjut Raja
Akherat.
Sari mengkeret mendengar kata-kata Raja Akherat.
Hatinya ngeri membayangkan bila Raja Akherat
benar-benar melakukannya. Meskipun tidak meng¬
harapkan manusia kejam itu melakukan perbuatan
terkutuk padanya, tetapi Sari merasa heran. Karena
selama dua hari ini, tubuhnya seperti dibiarkan saja.
"Lebih baik aku bunuh diri daripada harus menjadi
penerus keturunanmu!" dengus gadis itu sengit.
"Ha... ha... ha...! Mengapa kau tidak lakukan,
hati?!' sahut Raja Akherat enteng. Wajah Sari
memerah.
"Baik! Lihatlah!" kata Sari, dengan suara tegar.
Gadis itu kemudian bermaksud menggigit lidahnya
sendiri. Tetapi tangan Raja Akherat bergerak lebih
cepat. Dan....
Tuk! Tuk!
Raja Akherat menotok urat di bagian leher Sari,
sehingga mulutnya sukar dikatupkan.
"Sebelum melahirkan seluruh penerusku, kau
takkan bisa mati, Manis.... Ha... ha... ha...," tegas Raja
Akherat.
Kini manusia bengis yang bertubuh tinggi besar
menyeramkan itu pun bangkit meninggalkan Sari
yang hanya bisa menatap dengan mata garang.
Sementara, mulutnya sulit dikatupkan kembali.
"Oh! Mengapa Andika belum muncul juga?" kata
Sari, lirih.
Gadis ini merasa lebih baik mati daripada menjadi
ibu dari keturunan Raja Akherat.
k k k
Dari sebuah pohon tinggi besar berdaun rimbun,
sepasang mata memperhatikan suasana di Keraton
Pakuan. Meskipun telinganya mendengar suara
terbahak-bahak keras, tetapi sosok yang tak lain
Danji tidak melihat siapa-siapa di sana. Berarti, orang-
orang itu berada di dalam keraton.
Danji sendiri yakin, Raja Akherat kini mengundang
sahabatnya kembali. Kalau begitu, keadaan semakin
genting saja. Dan hal ini harus dilaporkan Prabu
Adiwarman.
Dan diam-diam Danji pun merasa yakin pula, kalau
para prajurit Kerajaan Labuan telah berhasil
dilumpuhkan Raja Akherat. Mungkin pula telah tewas.
Mendadak saja Danji menundukkan kepala. Kalau
begitu, apakah Andika telah tewas? Hati Danji
terenyuh memikirkan soal itu. Bila memang benar,
ah...! Kasihan sekali nasib pemuda konyol itu.
"Andika.... Kalau kau memang sudah mati, aku
bersumpah! Aku akan mencari mayatmu sampai
ketemu...," desah Danji, lirih.
Danji pun bermaksud turun, untuk menyampaikan
berita itu pada Prabu Adiwarman. Hanya, mendadak
saja matanya tertumbuk pada satu sosok kecil yang
menatapnya dengan mata memerah di salah satu
cabang pohon.
"Heran? Sejak tadi aku tidak melihat burung hantu
itu!" gumam Danji. Lalu tanpa mempedulikan burung
hantu itu, pemuda ini pun mulai menuruni pohon.
Namun mendadak saja....
Siuuut!
"Heh?!"
Danji tersentak. Tiba-tiba saja burung hantu
meluncur, dan menyerangnya dengan ganas. Dengan
sebisanya, Danji menggerakkan tangan untuk
menangkis.
Crab! Tok!!
Cakar dan patukan yang tajam dari burung hantu
itu mampir di lengan Danji. Dan burung itu semakin
gila menyerang. Danji menjadi kalang kabut, sambil
berusaha turun dengan cepat. Dan dia juga harus
berusaha untuk tidak terjatuh dari pohon tinggi itu.
Burung hantu yang ternyata peliharaan dari Nyai
Pamunti terus menyerang ganas. Rupanya, setelah
selesai mencari makan, burung hantu itu kembali ke
keraton tempat majikannya berada. Tetapi, burung
hantu yang memang telah dilatih Nyai Pamunti untuk
selalu berbuat jahat, melihat satu sosok tubuh yang
menurutnya orang tak dikenal.
Danji tidak mempedulikan serangan ganas dari
burung hantu itu. Dia terus saja turun dengan mem¬
biarkan tubuhnya dicakar dan digigit.
"Gila! Akan kubunuh kau nanti!" bentak Danji
sambil terus menuruni pohon yang tinggi.
Dan gerakan pemuda itu tidak bisa selincah ketika
naik tadi, karena mendapatkan serangan ganas dari
burung hantu itu.
Danji pun melompat ke tanah ketika diperkirakan
jaraknya sudah pendek dari tanah. Namun tubuhnya
terus jatuh terguling, sementara burung hantu itu
kembali menyerangnya.
"Bangsat! Burung hantu setan rupanya!"
Tangan Danji menyambar sebatang dahan pohon
kering yang ada di dekatnya. Cepat diayun-ayunkan
dahan itu pada burung hantu yang sedang terbang
sambil menatap dengan mata memerah.
"Ayo, ayo sini! Biar mampus kau kulumat kayu ini!"
tantang Danji.
Siuuttt...!
Dan mendadak saja burung hantu itu menyerang¬
nya kembali. Sementara Danji segera mengibaskan
kayunya.
Wuuut!
Luput! Karena, burung hantu itu mampu meng¬
hindari serangan dengan lincah. Hal ini membuat
Danji makin marah dan penasaran. Kembali dahan
kayu itu di ayunkan dengan kuat. Pikirnya, sekali ayun
pasti burung hantu itu akan mampus.
Wuuut...!
Tetapi lagi-lagi serangan Danji gagal. Karena,
burung hantu itu dengan lincah berkelit menghindar.
Bahkan kini menyerangnya kembali dengan kedua
cakarnya yang terbuka. Meskipun kuku-kukunya kecil,
namunruncing luar biasa.
"Ayo, sini! Sini, Bangsat!" tantang Danji kalap.
Ketika burung hantu itu menyerang lagi, Danji pun
langsung mengayunkan dahan kayunya. Namun lagi-
lagi burung hantu itu mampu menghindar.
"Suiiittt...!"
Mendadak terdengar siulan keras sekali. Seketika
burung hantu yang diperkirakan Danji akan
menyerang kembali, terbang dan hinggap di pohon
yang tadi dinaiki Danji.
Sedikit banyak, kening Danji pun berkerut. Karena
dahan kayunya sudah siap untuk diayunkan kembali.
Dan belum lagi kening Danji yang berkerut tadi
membalik kembali, tampak satu sosok tubuh ber¬
kelebat ke arahnya. Begitu tiba, sosok itu menyeringai
mengerikan dengan tatapan nyalang.
"He... he... he.... Rupanya ada anak nakal yang
nyasar kemari," kata sosok yang tak lain Nyai
Pamunti.
Danji sadar, kalau kini terjebak. Rupanya siulan
tadi isyarat bagi burung hantu. Dan dirinya yang
sedang sibuk melayani serangan-serangan menjadi
tidak sadar kalau berada di sarang lawan.
Tetapi Danji bukanlah orang yang pengecut.
Meskipun tidak memiliki ilmu olah kanuragan, dia
tetap tak hengkang dari tempat ini.
"Hhh! Manusia busuk! Rupanya kau antek-antek
dari Raja Akherat itu!" bentak Danji.
Nyai Pamunti terkekeh-kekeh. "Dan kau akan
mampus hari ini juga, Anak Muda."
"Mati ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Bukan
oleh tanganmu. Bila Yang Kuasa belum mengizinkan
mati, maka aku tidak akan mati!" sahut Danji gagah.
Nyai Pamunti sebenarnya adalah tokoh kejam.
Makanya, tanpa banyak bicara lagi tubuhnya segera
melayang menyerang Danji.
Danji yang menyadari hal itu, segera mengibaskan
dahan kayunya.
Wuuut!
Prak!
Dahan kayu itu kontan patah terhantam kerasnya
tangan Nyai Pamunti yang berjuluk si Wanita Burung
Hantu.
"He... he... he.... Sudah kukatakan, kau akan
mampus hari ini, Anak Muda!" ejek si Wanita Burung
Hantu.
Kembali Nyai Pamunti berkelebat menyerang lagi.
Kali ini dengan satu keyakinan, ia akan menghabisi
pemuda itu.
Danji berusaha menghindar ke samping. Namun
tanpa diduga, si Wanita Burung Hantu melenting ke
atas, seraya melepaskan hantaman ke punggung.
Desss...!
"Aaakh.J"
Danji terhuyung ke depan, dan seketika muntah
darah. Pada saat yang sama Nyai Pamunti telah
mendarat. Dan dia memang berniat menghabisi Danji.
Maka seketika dia bergerak lagi dengan tangan telah
tersalur tenaga dalam. Namun baru beberapa
langkah....
"Hauuum.J"
"Heh?!"
Mendadak saja si Wanita Burung Hantu melompat
ke belakang. Diiringi raungan keras, sebuah sosok
tubuh berkaki empat tampak meluruk ke arahnya
dengan ganas.
"Bangsat!" bentak Nyai Pamunti.
Mata perempuan itu kontan terbelalak melihat
seekor harimau besar berdiri tegak di dekat Danji
dengan tatapan berkilat-kilat.
Danji merasa bersyukur, karena si Belang muncul
pada saat yang tepat. Memang sejak tadi harimau itu
disuruh menunggu di balik rimbunnya semak, tanpa
boleh bersuara. Dan Belang memang menuruti. Tetapi
rupanya, penciumannya sangat tajam, la merasa,
Danji adalah sahabat majikannya. Makanya binatang
itu pun langsung keluar dan menyerang Nyai Pamunti
yang sedang melayang untuk menghabisi nyawa
Danji.
Nyai Pamunti terkekeh-kekeh.
"Kalau tidak salah lihat, kau adalah peliharaan
Wirayuda si Penguasa Harimau. Bagus! Di mana dia
sekarang?!" bentak Wanita Burung Hantu.
Si Belang ingin menyerang kembali. Tetapi Danji
segera mendekatkan wajah ke telinga si Belang.
"Tak ada gunanya melawan manusia terkutuk itu
Belang! Lebih baik melarikan diri saja!" ujar Danji.
Belang pun urung menyerang. Lalu tubuhnya
merunduk dengan cepat. Dengan menahan rasa sakit
di dada, Danji pun segera melompat ke atas
punggung si Belang yang langsung berlari cepat.
"Bangsat! Mau ke mana kau!" bentak Nyai Pamunti
sambil mengibaskan tangannya, mengirimkan
pukulan jarak jauh berkekuatan dahsyat.
Wesss.J
Tetapi si Belang memang hewan peliharaan
tangguh dan mengerti. Serangan itu bisa dihindarinya
dengan berlari secara melompat-lompat ke kanan
dan kiri.
Pukulan jarak jauh Nyai Pamunti pun luput, meng¬
hantam sebuah pohon besar.
Blarrr.J
Krak!
Pohon itu langsung tumbang.
"Manis! Ikuti mereka! Cari tahu, di mana mereka
berada!" perintah Nyai Pamunti pada burung hantu
peliharaannya.
6
Malam kembali merebak. Begitulah hukum alam.
Saat ini Eyang Sasongko Murti masih duduk terpekur.
Sejak tadi, tubuhnya tidak beranjak dari tempatnya.
Matanya yang sipit dan tertutup rambut yang acak-
acakan, memandang pada sosok Pendekar Slebor
yang masih dalam keadaan pingsan.
Meskipun Andika belum juga siuman, tetapi Eyang
Sasongko Murti sudah merasa sedikit tenang.
Karena, tanda silang di dada Andika sudah meng¬
hilang. Berarti, pengaruh dari pukulan 'Ikatan
Mambang Kahyangan' telah berhasil dilumpuhkan.
Meskipun, Eyang Sasongko Murti harus menguras
tenaga dalam dan hawa murninya. Namun sekarang
semua itu sudah berangsur-angsur kembali seperti
semula berkat semadinya.
Dan yang diam-diam dipikirkan laki-laki tua ini,
jelas Siluman Hutan Waringin tidak akan mem¬
biarkannya bebas begitu saja. Pasti siluman itu akan
mencarinya.
Kini malam telah datang. Suasana di Hutan
Ringgis tetap menyeramkan. Dan ketika Eyang
Sasongko Murti tengah mengantuk, tiba-tiba telinga¬
nya menangkap erangan Andika. Pelan.
"Oh! Kau sudah sembuh? Hei, bangun! Bangun!
Jangan manja seperti itu!" ujar Eyang Sasongko Murti
sambil mengguncang-guncang tubuh Andika. "Nakal!
Bangun!"
Perlahan-lahan erangan yang tadi terdengarnya
pelan, kini semakin jelas. Disusul, goyangan kepala
Andika yang lembut. Pemuda itu kini sudah
merasakan rasa sakit kembali. Kepalanya pusing tak
karuan. Sekujur tubuhnya bagaikan kehilangan
tenaga.
"Ayo, jangan manja! Keterlaluan sekali kau ini!"
dengus Eyang Sasongko Murti lagi sambil meng¬
goyang-goyangkan tubuh Andika agak keras.
Perlahan-lahan mata Pendekar Slebor membuka.
Kesadarannya memang telah pulih.
"Pelan-pelan! Sakit!" bentak Andika agak kesal.
"Ha... ha... ha...!"
Eyang Sasongko Murti hanya terbahak-bahak.
Hatinya senang melihat pemuda yang gagah ini telah
kembali sedia kala.
"Bagus, bagus! Daya tahan tubuhmu memang
hebat! Tidak perlu disangsikan lagi!" puji Eyang
Sasongko Murti.
Andika perlahan-lahan mengangkat tubuhnya.
Sementara kakinya masih berselonjor. Sekujur tubuh¬
nya masih terasa sangat lemah. Tetapi untuk mem¬
balas selorohan Eyang Sasongko Murti, ia masih
sanggup melakukannya.
"Hebat ya, hebat! Tetapi di mana raksasa mata
satu yang jelek itu?!" kata Andika sambil memandang
ke sekelilingnya.
"Hei? Tidak tahukah kau, kita berada di mana? Ini
di alam bebas, Andika! Alam bebas merdeka! Bukan
Alam Sunyi yang mengerikan!" seru Eyang Sasongko
Murti sambil bersorak-sorak tak ubahnya anak kecil.
Kegembiraan Eyang Sasongko Murti pertama,
karena sudah melihat Andika terbebas dari pukulan
Siluman Hutan Waringin. Kegembiraan kedua, karena
kembali menyadari telah berada di alam yang
dirindukan selama seratus tahun.
"Hmmm..., apakah kau tidak membedakan udara
yang segar ini dengan udara dingin yang terdapat di
Alam Sunyi?" tanya laki-laki tua aneh ini.
Andika memonyongkan mulutnya.
"Jangan sembarangan mengejek! Kau lihat sendiri
hidungmu yang penyok kayak gitu! Pasti kau yang
tidak bisa membedakan udara yang segar itu!"
seloroh Andika sambil mendengus. "Kau iri ya,
melihat hidungku yang mancung seperti ini?"
"Ha... ha... ha...!"
Eyang Sasongko Murti justru terbahak-bahak. "Aku
menyukaimu, Andika," ujar Eyang Sasongko Murti.
"Aku malah tidak! Gara-gara kau, aku terdampar di
Alam Sunyi! Juga harus meninggalkan kewajibanku
membela Kerajaan Pakuan Barat!" gerutu Andika.
Dan kini Pendekar Slebor yakin kalau sudah tidak
berada lagi di Alam Sunyi. Entah bagaimana Eyang
Sasongko Murti membawanya keluar dari sana.
"Jangan takut! Kita akan menyerang ke sana
bersama-sama!" ujar Eyang Sasongko Murti masih
terbahak-bahak.
"Enaknya kau ngomong! Kesaktian Raja Akherat
sulit ditandingi!"
"Jangan meremehkan aku!" bentak Eyang
Sasongko Murti, tiba-tiba. "Manusia setinggi apa pun
ilmunya, tidak akan ada yang mampu menandingi
kesaktianku!"
"Sombong!" cibir Andika.
"Kau akan melihat buktinya nanti! Akan kulumat
orang yang berjuluk Raja Akherat itu!" tandas laki-laki
tua aneh ini.
"Jangan bisanya cuma ngomong!" sengat Andika
lagi.
Wajah Eyang Sasongko Murti mengkerut jengkel.
"Lihat saja nanti!"
"Aku lapar!" seru Andika tiba-tiba.
"Nah! Mengapa kau tidak mencari?"
"Enaknya.... Tubuhku masih lemah begini!"
Eyang Sasongko Murti menggaruk-garuk rambut¬
nya yang semakin bertambah acak-acakan.
"Kalau begitu, bersemadilah dulu. Aku akan segera
mencari makanan!"
Andika nyengir. "Itu lebih baik."
"Hei! Kau mengakali aku yang lebih tua, ya?"
"Sekali-sekali tidak apa-apa. Hitung-hitung kau
sudah kubebaskan dari Alam Sunyi!" sahut Andika
kalem.
"Slompret!" Eyang Sasongko Murti bersungut-
sungut.
"He... he... he.... Orang yang sudah bau tanah
memang suka ngomel!" seloroh Andika.
k k k
Seperti yang diperkirakan Tiroseta, akhirnya
mereka pun meninggalkan Jurang Setan. Senapati ini
menerangkan alasan, mengapa mereka harus pindah
pada Prabu Adiwarman. Dan akhirnya penguasa
Kerajaan Pakuan itu mau mengerti. Mungkin saja
memang benar dugaan Tiroseta, kalau burung hantu
itu adalah burung'mata-mata'. Entah milik siapa.
Kini berbondong-bondong mereka keluar dari
dasar Jurang Setan. Menurut Putri Permata Delima,
barangkali saja Danji masih mengetahui tempat
rahasia yang tersembunyi. Tetapi, alangkah terkejut¬
nya mereka ketika tidak melihat Danji. Juga si Belang.
Sementara itu, Tunggal bergegas menghampiri
bersama Riaka, begitu melihat rombongan itu muncul
dari jalan rahasia Jurang Setan.
"Tunggal! Ke mana pemuda yang bernama Danji?"
tanya Tiroseta.
"Maafkan aku, Kakang.... Dia bersikeras untuk
melihat keadaan keraton," sahut Tunggal, penuh
hormat.
"Gusti.... Kau mengizinkannya?" desah Tiroseta,
terkejut.
"Sangat sulit menghalangi keinginannya, Kakang."
Tiroseta menggeram jengkel. Seharusnya, dia
memikirkan kemungkinan itu tadi.
"Bersama siapa perginya?" tanya Tiroseta lagi.
"Dengan harimau besar itu, Kakang."
Tiroseta mendesah lagi.
"Aku tidak tahu harus berkata apa," kata senapati
ini. Dalam hati dia hanya berharap, Danji dan si
Belang mampu menjaga diri. "Kalau begitu..., kau dan
Riaka... berjalan semakin ke timur. Kita harus pindah
dari Jurang Setan ini. Karena menurut perkiraanku,
akan lebih berbahaya bila masih berada di sini...."
Tanpa banyak tanya lagi, Tunggal segera men¬
dahului bersama Riaka. Tetapi ada satu masalah lagi
yang mendadak saja terjadi.
"Aku ingin menunggu Kang Danji di sini!" kata Putri
Permata Delima dengan suara cemas.
"Tuan Putri..., keadaan sangat genting. Hamba
yakin, burung hantu itu milik salah seorang kawan
Raja Akherat. Kita bisa mati konyol bila terus menerus
bertahan di sini," sergah Tiroseta.
Tetapi Putri Permata Delima tetap menolak.
Hatinya mendadak menjadi cemas akan nasib
kekasihnya.
Saat itulah diam-diam Prabu Adiwarman
mengetahui, kalau putrinya mencintai Danji. Mungkin
pula tanpa sepengetahuannya, mereka telah lama
memadu kasih.
Sedikit banyaknya Prabu Adiwarman menyesal,
karena telah mengadakan sayembara 'Mungut Mantu'
yang akhirnya berakibat munculnya Raja Akherat,
sekaligus menguasai keraton. Yang lebih membuat¬
nya sedih, karena Putri Permata Delima tidak pernah
ditanyakan pendapatnya tentang keputusan meng¬
adakan sayembara.
Putri Permata Delima telah menunjukkan sikap
tegar. Bila Danji selamat, Prabu Adiwarman akan
menanyakan kebenaran dugaannya. Tetapi yang
terpenting sekarang ini, putrinya harus dibujuk untuk
pindah dari Jurang Setan.
"Permata Delima..., keadaan kita semakin gawat.
Ancaman demi ancaman tanpa disadari telah ber¬
kembang. Kita tidak bisa berdiam di sini terus
menerus, Permata...," bujuk Prabu Adiwarman lembut
sambil menatap putrinya.
Putri Permata Delima menundukkan kepala. Gadis
ini tak kuasa menatap mata ayahandanya. Dia
khawatir hubungannya dengan Danji diketahui
ayahnya, yang sudah tentu dapat melihat riak-riak
kecemasan di matanya.
Menurut perkiraan Putri Permata Delima, ayahnya
akan marah besar bila mengetahui hubungannya
dengan Danji. Terbukti, dengan diadakannya
sayembara 'Mungut Mantu'.
"Baiklah, Ayahanda.... Kita segera pindah dari
sini...," desah Putri Permata Delima, perlahan.
Prabu Adiwarman mendesah. Justru perasaannya
terpukul mendengar kata-kata putrinya.
"Permata.... Pasti Danji akan kembali kepadamu."
hibur Prabu Adiwarman.
Seketika Putri Permata Delima mengangkat
kepala. Hatinya tersentak mendengar kata-kata
ayahandanya.
"Ayah...."
"Percayalah.... Karena ia seorang pemuda yang
gagah dan berani...," tegas Prabu Adiwarman,
meyakinkan.
Putri Permata Delima tidak berani memperbesar
keyakinannya, kalau sedikit banyak ayahnya
mengetahui hubungannya dengan Danji. Dari kata-
katanya, dapat ditangkap kalau ayahnya merestui
hubungannya dengan Danji. Tetapi, Putri Permata
Delima tidak berani berharap banyak.
"Baiklah, Ayahanda.... Aku menurut...," desah Putri
Permata Delima.
Kemudian rombongan itu pun melangkah
meninggalkan Jurang Setan. Tiroseta melangkah
sambil memperhatikan sekelilingnya dengan tatapan
waspada. Matanya mencari-cari burung hantu yang
menurutnya 'mata-mata' Raja Akherat. Dan diam-diam
keyakinannya terhadap saudara-saudaranya yang
telah tewas semakin membesar saja.
Sementara, Putri Permata Delima melangkah
dengan kepala tertunduk. Hatinya sangat merisaukan
nasib Danji. Ah! Bila saja rencana kekasihnya itu
diketahui, sudah tentu ia tidak akan pernah
mengizinkannya.
k k k
Memang, apa yang diduga Tiroseta sangat benar.
Karena keesokah harinya, Nyai Pamunti dan
Kokorongko berhasil menemukan Jurang Setan.
"Hhh! Pasti Prabu Adiwarman berada di sini,"
desah Kokorongko sambil memandang ke bawah. Tak
terlihat apa-apa, karena jurang itu sangat dalam.
"Kau benar, si Manis tidak pernah salah. Tetapi,
dari manakah mereka masuk dan keluar?" tanya Nyai
Pamunti.
"Tentunya ada jalan rahasia. Kita tidak usah
mencarinya! Akan kita timbun dasar Jurang Setan ini
dengan batu-batu besar... ha ha ha! Biar Prabu
Adiwarman mampus di sana, beserta para pengikut
setianya!" kata Kokorongko.
Lalu mereka pun mulai sibuk menggeser batu-batu
besar yang ada di sana, dan digulingkan ke dasar
Jurang Setan. Sehingga menimbulkan suara cukup
keras. Bahkan tanah yang dipijak terasa bergoncang.
Sambil terbahak-bahak dan membayangkan
betapa orang-orang yang berada di dasar Jurang
Setan itu kalang kabut, mereka terus secara
membabibuta mendorong batu-batu besar.
Tiga puluh batu besar sudah masuk ke perut
Jurang Setan. Kini, mereka menghentikan tindakan¬
nya.
"Cukup! Aku yakin, mereka sudah menjadi daging
cacah di sana!" ujar Kokorongko dengan suara puas.
"Hhh! Apakah Pendekar Slebor juga berada
disana?" tanya Nyai Pamunti.
"Aku tidak tahu. Tetapi kalau memang berada di
sana, namanya pun sudah tenggelam di antara
puluhan batu yang kita lemparkan tadi."
Nyai Pamunti terdiam sejenak. Kalau memang
Pendekar Slebor yang namanya menghebohkan dunia
persilatan memang berada di sana, alangkah
mudahnya membunuh pendekar itu. Tetapi, apakah
pendekar itu berada di sana? Nyai Pamunti masih
meragukannya.
"Pamunti, kenapa kau terdiam?" tegur Kokorongko.
"Alangkah mudahnya membunuh pendekar itu.
Padahal, aku ingin sekali menjajaki kesaktiannya!"
sahut Nyai Pamunti.
"Ha... ha... ha.... Dan kini niatmu terkubur sudah.
Tetapi, kau harus bangga. Karena di tanganmu
jugalah Pendekar Slebor mampus! Kita kembali ke
keraton," ajak Kokorongko, akhirnya.
"Yah! Aku sendiri ingin tahu laporan dari si Manis
tentang pemuda yang menunggang harimau itu!"
7
Rombongan Prabu Adiwarman yang dipimpin Tiroseta
telah tiba di sebuah hutan yang sangat lebat.
Memang, tak ada tempat lain lagi yang bisa dijadikan
tempat hunian. Menurut Tiroseta sendiri, tempat itu
sudah cukup aman. Paling tidak, bisa jauh dari orang-
orang Raja Akherat.
Mereka pun segera mendirikan tenda. Sementara
persiapan darurat dilakukan secara mendadak dan
cepat. Tiroseta mempersilakan Prabu Adiwarman dan
Putri Permata Delima untuk beristirahat. Sementara
dia sendiri berjaga-jaga.
Sungguh, saat ini Tiroseta lebih ingin menyerang
saja ke Keraton Pakuan. Bila menunggu yang lainnya
saat ini belum kembali juga, Tiroseta yakin mereka
sudah mati. Begitu pula dengan pasukan yang
dipimpin Karnapati (Untuk mengetahui pasukan
pertama Kerajaan Labuan yang dipimpin Karnapati,
baca serial Pendekar Slebor dalam episode : "Raja
Akherat").
Lagi-lagi yang dipikirkan Tiroseta adalah Monoseta
dan Ardiseta. Mereka adalah dua orang saudaranya
yang menyerang ke Keraton Pakuan. Apakah mereka
selamat, berhasil menaklukkan Raja Akherat. Atau,
malah hari itu menjadi kiamat untuk mereka?
Tiroseta menggeleng-gelengkan kepala. Hatinya
juga merasa bingung dengan Pendekar Slebor. Telah
lama dia mendengar nama Pendekar Slebor ramai
dibicarakan orang banyak. Baik dari rimba persilatan,
maupun orang awam. Tetapi sekarang, mengapa
tidakjuga datang untuk memberi laporan?
Sungguh, Tiroseta sangat sulit memperkirakan
seala sesuatunya dalam keadaan seperti ini. Yang
pasti sekarang, nyawa dan keselamatan Prabu
Adiwarman dan Putri Permata Delima berada di
tangannya.
Dan malam pun semakin merayap perlahan-lahan.
Suara nyanyian binatang malam mulai terdengar.
Kesiagaan diperketat. Tiroseta berkali-kali memberi
peringatan, agar seluruhnya bersiaga dalam
kewaspadaan penuh. Karena besok pagi, mereka
akan segera melanjutkan perjalanan kembali. Bahkan
mungkin, dalam pikiran Tiroseta, akan membawa
Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima ke
Kerajaan Labuan. Jelas bila keduanya berada di sana,
keamanan dan keselamatan terjamin. Dan sebelum
lamunan Tiroseta lenyap....
"Hi... hi... hi...!"
"Ha... ha... ha...!"
Mendadak saja terdengar suara tawa yang keras
sekali. Menilik suaranya, jelas tawa laki-laki dan
perempuan.
Serentak Tiroseta dan sepuluh prajurit Kerajaan
Labuan bersiaga. Sementara prajurit Kerajaan
Pakuan, berusaha melindungi Prabu Adiwarman dan
Putri Permata Delima yang berada di tenda dengan
tombak di tangan.
Belum habis keterkejutan mereka, mendadak
berkelebat dua sosok tubuh lalu hinggap di hadapan
mereka. Keduanya adalah sepasang manusia ber¬
tampang mengerikan dengan tatapan mata licik yang
kejam.
"Hi... hi... hi...! Kau lihat sendiri, Kokorongko.... Aku
tidak yakin kalau mereka masih berada di Jurang
Setan yang telah kita timbun batu itu? Nah, buktinya
kau lihat sendiri, bukan?" kata sosok wanita yang
ternyata Nyai Pamunti.
Rupanya Wanita Burung Hantu itu mempunyai otak
cerdik. Meskipun mempercayai laporan dari burung
hantu peliharaannya, namun tidak bisa percaya bila
belum melihat buktinya. Memang, Jurang Setan telah
ditemukan. Dan mereka telah menggulingkan batu-
batu besar dalam jumlah yang sangat banyak. Tetapi
Nyai Pamunti tidak puas.
Ketika mereka hendak kembali ke Keraton
Pakuan. Nyai Pamunti justru hendak kembali ke
Jurang Setan. Meskipun bersungut-sungut,
Kokorongko yang berjuluk Dewa Muka Iblis menuruti
saja. Dan mereka menemukan sebuah lubang yang
tertindih batu besar.
Dari sanalah mereka menuruni dasar Jurang
Setan, melihat-lihat dan mengibaskan batu-batu
besar yang digulingkan tadi. Namun tak satu mayat
pun yang di temukan di sana. Berarti, dugaan Nyai
Pamunti benar. Jelas, orang-orang itu sudah keluar
dari sana. Berarti pula, apa yang dilakukan dengan
mendorong batu-batu ke dasar Jurang Setan, adalah
suatu kesia-siaan.
Lalu, Nyai Pamunti pun mengajak Kokorongko
untuk segera mencari saja rombongan. Hingga
akhirnya mereka menemukan di sini.
"Ha... ha... ha...!"
"Tak kusangka kau mempunyai otak encer,
Pamunti...," puji Dewa Muka Iblis sambil mem¬
perhatikan Tiroseta dan sepuluh prajurit Kerajaan
Labuan yang bersiaga. "Kalian manusia-manusia
dungu! Cepat serahkan Prabu Adiwarman kepada
kami!"
Tiroseta menggeram gagah. Dugaannya tentang
burung hantu benar. Dan mereka sudah sebisanya
untuk meninggalkan tempat itu, meskipun akhirnya
dapat di temukan juga.
"Hhh! Semudah itukah kalian memintanya, hah?!"
balas Tiroseta membentak.
"Jangan menantang!" dengus Kokorongko.
"Justru kami ingin mengatakan, langkahi dulu
mayat kami. Baru kalian boleh melakukan
sekehendak hatimu!" seru Tiroseta dengan suara
yang semakin gagah. Dadanya dibusungkan. Golok
besar yang tersampir di pinggang telah dicabutnya.
"Orang bodoh! Mau cari mampus rupanya!" seru
Kokorongko.
Mendadak saja Dewa Muka Iblis menerjang
Tiroseta dengan tangan siap mencekik leher.,
Tiroseta yang sudah bersiaga penuh, sudah tentu
tidak menginginkan lehernya menjadi sasaran. Maka
segera goloknya dikibaskan untuk menghalau
serangan Kokorongko.
Namun di luar dugaan, tangan Kokorongko mampu
bergerak lebih cepat lagi. Dengan bantuan gerak
tubuhnya, tangannya memutar bagai membentuk
segitiga. Lalu disentaknya sedikit tangan Tiroseta
dengan jari telunjuk.
Plak!
Kembali tangan Dewa Muka Iblis mengarah pada
leher Tiroseta.
Tetapi Tiroseta pun sudah memperhitungkannya.
Dengan lincah kepalanya diputar dengan tubuh
sedikit condong keluar. Lalu goloknya ditusukkan dari
bagianbawah ke atas.
Gerakan yang dilakukan dengan cepat dan tak
disangka, membuat Kokorongko harus mendengus.
"Pantas kau berani bertingkah begitu, hah?!"
"Karena aku akan membunuhmu, Manusia Busuk!"
desis Tiroseta sambil mendahului menyerang.
Kali ini senapati itu ingin menyerang lebih dulu.
Dicobanya menekan dengan beberapa gebrakan yang
mampu membuat lawannya menjadi keder. Tetapi
yang dihadapi bukanlah anak bawang, melainkan
seorang tokoh yang cukup disegani karena
kekejamannya.
Sementara itu, sepuluh prajurit Kerajaan Labuan
segera menyerang Nyai Pamunti yang hanya
terkekeh-kekeh saja, menyambut serbuan tombak-
tombak tajam dari berbagai penjuru.
"Bagus, bagus! Kini kalian harus mampus
semuanya!"
Mendadak saja tubuh Wanita Burung Hantu ber¬
gerak bagaikan terbang. Kedua tangannya mengibas,
bagaikan seekor burung hantu yang sedang marah.
Dan....
Prak! Brak! Crrott!
"Aaa.J"
Tiga prajurit Kerajaan Labuan menjerit menyayat
dengan tubuh terhuyung. Kepala mereka pecah,
menyemburkan darah.
Sedangkan Tiroseta terus berusaha mendesak
Kokorongko dengan gencar. Serangan-serangan
goloknya sangat berbahaya.
Kokorongko untuk sesaat memang kehilangan
kendali. Namun lewat lima jurus berikut, ganti dia
yang menguasai serangan-serangan.
"Cukup sudah pertunjukan yang kau perlihatkan."
desis Kokorongko.
Tiba-tiba tubuh laki-laki berjuluk Dewa Muka Iblis
itu merunduk. Kakinya bergeser ke belakang dengan
tangan membuka bagaikan melentur. Itu jurus, 'Pukul
Kupu-kupu' miliknya. Gerakannya bisa nampak pelan
namun sangat berbahaya hasil pukulannya.
Tiroseta pun dapat membaca kehebatan jurus itu.
Hanya saja yang membuatnya sulit, gerakan
Kokorongko benar-benar melentur. Sehingga susah
dipastikan ke arah mana yang akan diserang.
Maka dengan sebisanya Tiroseta menggerak-
gerakan goloknya bila serangan Kokorongko dilepas¬
kan. Hanya saja, tenaganya menjadi lebih banyak
yang terbuang percuma. Karena, senapati ini harus
mengikuti arah gerak tangan Dewa Muka Iblis yang
belum tentu menyerang.
"Keparat! Jurus apa yang kau pakai itu, hah?!"
bentak Tiroseta sengit.
Kokorongko terkekeh-kekeh.
"Kau akan mengetahuinya kalau sudah.mampus!"
Saat ini, Tiroseta mendesah pendek. Dia berpikir,
bila saja di sini ada Monoseta dan Ardiseta, maka
sudah tentu akan bisa membentuk gabungan jurus
'Tiga Mata Golok Menguasai Angin'! Sayangnya,
keduanya tidak berada di sana. Sehingga bila jurus itu
dikeluarkan hanya merupakan satu gerak yang
sangat mudah untuk dilumpuhkan.
Sedangkan Nyai Pamunti sudah memukul roboh
sepuluh prajurit Kerajaan Labuan yang menghalangi
niatnya untuk membawa Prabu Adiwarman.
Lalu perempuan tua itu pun melangkah ke arah
sebuah tenda yang dijaga enam orang prajurit
Kerajaan Pakuan. Matanya sempat melirik per¬
tarungan antara Kokorongko dengan prajurit berbaju
hitam yang menggunakan golok besar.
Dengan sigap keenam orang prajurit Kerajaan
Pakuan, mengelilinginya sambil menjaga pintu masuk
ke tenda. Nyai Pamunti melihat dua sosok tubuh
berada di sana dalam keadaan berpelukan. Dia yakin,
mereka adalah Prabu Adiwarman dan Putri Permata
Delima.
"Kalian manusia-manusia tengik! Minggir! Atau
kalian akan mampus, heh?!"
"Wanita tua busuk! Kau seharusnya sadar, kalau
nyawamu sudah di ambang pintu!"
"Bangsat!"
Mendadak saja Nyai Pamunti berkelebat begitu
cepatnya sambil mengibaskan tangannya.
Prak! Prak!
"Aaa.J"
"Aaakh.J"
Dan seketika itu pula, tiga sosok tubuh berpental
dengan kepala pecah.
Tetapi tiga orang sisa prajurit bukanlah bertambah
jeri. Malah mereka semakin bernafsu untuk mem¬
bunuh Nyai Pamunti. Sayang, mereka pun tak kuasa
menahan kekejaman Wanita Burung Hantu. Karena
hanya sekali gebrak saja, ketiganya pun segera
menyusul yang lain akherat.
Nyai Pamunti terkekeh-kekeh. "Prabu Adiwarman
dan Putri Permata Delima..., ayo keluar! Kita akan
kembali ke keraton!" ujar perempuan tua itu dengan
suara merayu.
Tak ada sahutan.
Nyai Pamunti atau si Wanita Burung Hantu masih
terus membujuk. Tetapi lagi-lagi tetap tidak ada
sahutan. Sehingga, membuatnya menjadi geram.
"Kalau tidak keluar juga, akan kuseret kalian!"
desis perempuan tua ini garang.
Tetapi, tetap tak ada sahutan.
Dengan kasar dan penuh amarah Nyai Pamunti
melesat seraya menyingkap pintu tenda.
"Uts!"
Dan mendadak saja tubuh perempuan tua itu
melompat ke belakang, ketika dua buah tombak siap
menghujam perutnya. Lalu, muncullah dua prajurit
Kerajaan Pakuan yang membuat Nyai Pamunti makin
geram. Karena, yang berada di dalam tenda sejak
tadi bukan Prabu Adiwarman dan Putri Permata
Delima. Tapi, kedua prajurit itu.
Amarah Nyai Pamunti semakin membludak,
karena merasa dipermainkan. Tentunya Prabu
Adiwarman dan Putri Permata Delima sudah
melarikan diri entah ke mana.
Sebagai sasaran amarahnya, Wanita Burung Hantu
ini segera berkelebat, langsung menghajar. Walau
kedua prajurit itu melawan, namun lagi-lagi bukanlah
lawan Nyai Pamunti.
Prak! Prak!
"AaaJ Aaakh.J"
Dengan sekali gebrak saja, tombak di tangan
kedua prajurit itu patah. Dan ketika tangan Wanita
Burung Hantu mengibas, kepala mereka kontan
pecah. Kedua prajurit itu ambruk di tanah bersimbah
darah. Mati.
Setelah menatap mayat-mayat prajurit itu, Nyai
Pamunti kembali pada Kokorongko yang sedang
mendesak Tiroseta. Perempuan tua itu khawatir kalau
Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima semakin
jauh larikan diri.
Mendadak saja Wanita Burung Hantu
mengibaskan tangan kanan ke arah Tiroseta.
Weeebbb!
Meskipun sedang menghadapi serangan dari
Kokorongko, Tiroseta dapat merasakan hawa panas
dan kencang menderu ke arahnya. Dengan sigap
tubuhnya melenting ke samping. Sehingga serangan
Nyai Pamunti pun luput.
"Monyet!" maki Nyai Pamunti marah. Kali ini
perempuan tua itu mengempos tubuhnya ke arah
Tiroseta. Bersamaan dengan itu, Kokorongko pun
menyerang dari arah yang berlawanan.
Bukan main gugupnya Tiroseta. Sebisanya tubuh¬
nya berguling ke sana kemari menghindari kedua
serangan yang sama-sama dahsyat! Namun
kelincahannya pun tak bisa dipertahankan lebih lama.
Begitu dia bangkit berdiri, Nyai Pamunti sudah
meluruk deras dengan sambaran kakinya. Dan....
Des!
"Aaakh.J"
Tubuh Tiroseta terpelanting ke belakang dan
terguling-guling. Bersamaan dengan itu, Kokorongko
telah meluncur melepaskan satu injakan. Demikian
pula Nyai Pamunti.
Ketika Tiroseta sudah merasa pasrah, dengan
gerak bawah sadar tangannya menjumput tanah
berpasir. Begitu kedua tokoh sesat itu dekat, Tiroseta
melempar tangan berpasir.
Pyurrr.J
"Heh?!"
Nyai Pamunti dan Kokorongko terkejut setengah
mati. Dengan kelabakan mereka mengibaskan kedua
tangan sambil melenting ke belakang.
Mendapat kesempatan, Tiroseta segera mem¬
pergunakannya. Sambil menahan rasa sakit laki-laki
ini segera melarikan diri.
"Bangsat!" geram Nyai Pamunti, setelah berhasil
membebaskan diri dari tanah yang dilemparkan
Tiroseta. Hatinya semakin geram tidak melihat
Tiroseta!
Tetapi Kokorongko tidak lagi tertarik dengan
Tiroseta.
"Di mana Prabu Adiwarman dan Putri Permata
Delima?" tanya Dewa Muka Iblis.
"Aku ditipu permainan anak kecil yang dilakukan
para prajurit itu! Keduanya sudah melarikan diri."
desis Nyai Pamunti.
"Bodoh! Ke mana larinya?" bentak Kokorongko.
"Aku tidak tahu!"
"Cepat cari mereka, sebelum menjauh!"
Mereka lantas berkelebat cepat.
8
Pagi kembali menjelang. Tidak seperti pagi-pagi yang
lalu, kali ini suasana begitu kelabu. Sinar mentari
menyapu lembut, menerpa empat sosok di halaman
Keraton Pakuan.
Keempat orang yang berdiri gagah itu tak lain dari
Ki Wirayuda, Ki Pangsawada, Nyai Selastri, dan
Permadi. Sikap keempat tokoh persilatan ini tampak
waspada dengan sinar mata menahan kebencian.
Terutama, yang diperlihatkan Permadi, karena guru¬
nya menjadi korban keganasan Raja Akherat.
"Raja Akherat! Keluar kau! Hadapi kami. Dan
nyawamu akan melayang hari ini juga!" teriak Permadi
yang sudah tidak sanggup menahan dendamnya lagi.
Angin berhembus, menebarkan hawa kematian.
Sejauh ini tak ada sahutan apa-apa.
"Manusia keparat! Kau harus membayar nyawa
guruku dengan nyawa setanmu itu!" teriak Permadi
lagi.
Baru saja gema suara Permadi hilang...
"Ha... ha... ha...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa yang keras sekali.
"Kiranya ada tamu yang tak diundang?! Tetapi
sebagai tuan rumah, sudah selayaknyalah aku
menyambut kedatangan kalian...," lanjut suara itu,
yang disusul berkelebatnya satu sosok bayangan.
Kini tahu-tahu di hadapan mereka kira-kira tiga
tombak jaraknya, telah berdiri sosok tinggi besar,
dengan wajah sedikit menyeramkan. Siapa lagi kalau
bukan Raja Akherat.
Mata tokoh sesat ini menyapu keempat tamu yang
sejenak tertegun menyaksikan kemunculannya yang
luar biasa itu.
"Kiranya..., para tokoh persilatan sudah datang
kesini. Ah! Sayang sekali..., kalian datang terlalu
cepat. Padahal, aku baru saja hendak mengumum¬
kan, kalau aku akan menjadi nomor satu di rimba
persilatan ini.... Ha... ha... ha.... Kalian terlalu baik.
Yah..., dengan bantuan kalianlah aku akan menjulang
tinggi di antara barisan puncak!" kata Raja Akherat,
sombong.
Wajah keempat tokoh persilatan golongan putih ini
seketika merah padam mendengar kata-kata Raja
Akherat itu. Namun Ki Pangsawada lebih bisa
mengendalikan amarahnya.
"Hmmm..., Tidar! Lebih baik tinggalkan Keraton
Pakuan. Kembalilah ke asalmu. Jangan sampai kau
luluh lantak dihajar para tokoh dunia persilatan...,"
desis Ki Pangsawada, alias Imam Arif Penguasa
Gunung Bontang.
Raja Akherat terbahak-bahak. Padahal hatinya
geram bukan main. Pertama, namanya sendiri sudah
berusaha dilupakan. Tetapi barusan kembali disebut
Ki Pangsawada. Kedua, alangkah enaknya menyuruh¬
nya pergi dari sini.
"Ha... ha... ha...!"
Raja Akherat tertawa terbahak-bahak, sampai-
sampai perutnya berguncang.
"Ki Pangsawada...! Namamu sebagai Imam Arif
Penguasa Gunung Bontang telah lama sekali
kudengar. Sehingga, telingaku pun menjadi gatal. Kini
kau telah menghadap ke sini. Dan..., kalangan sudah
terbuka. Mengapa tidak segera dimulai saja?" tantang
Raja Akherat dengan suara merendahkan.
Justru Permadi yang tidak bisa menahan diri. Sejak
pertama melihat Raja Akherat, dendamnya sudah
sampai di ubun-ubun. Kematian gurunya harus
dibalas. Akan dicabik-cabiknya Raja Akherat dengan
keris pusaka pemberian Ki Kelana. Maka seketika
kedua tangannya menghentak.
"Hih.J"
Wesss.J
Angin yang meluruk kencang mudah sekali ditepis
Raja Akherat dengan mengebutkan tangannya. Lalu
tubuh tokoh sesat ini bergeser, ketika Permadi
meluruk disertai sambaran tangan kiri yang cepat.
"Ha... ha... ha.... Anak Muda! Aku menyukaimu...
Cuma sayang, nyawamu hanya bertahan sampai hari
ini saja...."
Mendadak saja Raja Akherat mengembangkan ke
dua tangannya, lalu membukanya bagai seekor
burung merentangkan sayap.
Werrr.J
Serangkum angin kencang meluruk dari tangan
Raja Akherat. Dada Permadi bergetar, begitu tiba
terasa angin dingin menyusup hingga ke tulangnya.
Dan hal itu pun membuatnya sadar, kalau lawan
tengah menggunakan ilmu dahsyat. Tetapi sebagai
murid tunggal Ki Kelana, Permadi sudah tentu tidak
akan ciut nyalinya.
Dengan membulatkan tekad, Permadi meng-
emposkan semangatnya. Lalu tubuhnya meluruk
deras sambil mencabut keris yang terselip di
pinggang bagian belakang.
"Kau harus mampus, Raja Keparat!" bentak
Permadi.
Seketika pemuda itu mengibaskan kerisnya
dengan gerakan cepat dan mengarah pada bagian-
bagian berbahaya.
Tetapi Raja Akherat yang memang ilmunya jauh
lebih tinggi, dengan mudahnya menghindari seluruh
serangan. Bahkan tiba-tiba tangan kanannya diangkat
ke atas. Lalu....
Wesss.J
Mendadak saja melesat serangkum angin kencang
yang tak dapat dielakkan Permadi.
Des!
"Aaakh.J"
Permadi terpekik ketika serangkum angin
menghamtam dadanya. Tubuhnya kontan terpental
sejauh beberapa tombak.
Ki Pangsawada melompat dengan sigap, menahan
tubuh Permadi yang hendak mencium tanah. Lalu
dibimbingnya pemuda itu dan didudukkannya.
"Anak Permadi..., beristirahatlah...," ujar si Imam
Arif Penguasa Gunung Bontang.
Sementara itu Raja Akherat terbahak-bahak.
"Rupanya, anak muda itu hanya hendak dijadikan
tumbal belaka? Mengapa kalian tidak segera angkat
senjata untuk menghadapiku, hah?!" ejek Raja
Akherat.
Sedangkan si Naga Gunung sudah membuka
jurusnya. Wajahnya geram sekali melihat perbuatan
Raja Akherat pada Permadi.
"Jangan berpikir kau akan lebih lama menikmati
hidup ini, Raja Bongsor! Kini kau akan merasakan
kehebatan Nyai Selastri, si Naga Gunung!" desis
perempuan tua itu.
"Ha... ha... ha...! Silakan, silakan...," tantang Raja
Akherat.
Begitu mendengar kata-kata Raja Akherat itu, Nyai
Selastri yang berjuluk si Naga Gunung segera meluruk
tangan kosong yang dashyat. Setiap kali tangannya
bergerak, menimbulkan getaran hebat.
Wrrr! Zheb!
Sejenak Raja Akherat terkejut juga melihatnya.
Namun perasaan itu cepat ditekannya.
"Hebat! Hanya sayang, kau tak akan lama lagi
dapat hidup di muka bumi ini!" leceh Raja Akherat.
"Takabur!" bentak si Naga Gunung.
"Akan kubuktikan!"
Begitu habis kata-katanya, mendadak Raja Akherat
menyerang ganas, mengandung kekuatan tenaga
dalam sangat tinggi. Bahkan udara mendadak
berubah jadi berbau amis.
Sadarlah Nyai Selastri, kalau pukulan Raja Akherat
mengandung racun berbahaya. Namun si Naga
Gunung yang sudah malang melintang di dunia
persilatan ini, bukanlah anak kemarin sore. Serangan-
serangan keji Raja Akherat dapat dihindarinya dengan
membuat gerakan-gerakan berputar pada tubuhnya.
Bahkan begitu mendapat kesempatan diimbanginya
serangan itu dengan tak kalah hebat.
Zebbb! Weeeiit!
Pertarungan dua tokoh itu terus berlangsung
sengit. Si Naga Gunung sudah mempergunakan jurus
andalannya, 'Naga Membalikkan Gunung'. Sebuah
jurus serangan yang sangat dahsyat, mengandalkan
kecepatan tangan dan kaki.
Bila tangan si Naga Gunung bergerak, maka
tenaga yang luar biasa akan keluar bagaikan
terjangan badai dahsyat. Sementara kedua kakinya,
seolah-olah berubah menjadi ekor naga besar yang
sedang mengamuk dengan kekuatan penuh dan
tinggi.
Raja Akherat lagi-lagi terkejut melihat serangan
Nyai Selastri.
"Tidak sia-sia kau berjuluk si Naga Gunung! Tetapi,
sayang! Hari ini nama besar si Naga Gunung akan
terpuruk ketindih gunungnya sendiri! Hiaaa.J"
Mendadak saja Raja Akherat membuka kedua
tangannya yang berisi tenaga dalam tinggi. Kemudian
kedua tangan itu menggebrak dari bawah ke atas.
Sementara si Naga Gunung yang tidak pernah
mengenal takut terus menyerang dengan cepat.
Wuuutt! Zeebbb!
Pada saat demikian, mendadak saja Raja Akherat
mengibaskan tangan, untuk memapaki. Plak! Plak!
Dua kali benturan berisi tenaga dalam tinggi
terjadi. Tampak si Naga Gunung terhuyung ke
belakang. Kedua tangannya terasa seakan mau
patah. Dengan cepat tenaga dalamnya dialirkan
untuk memulihkan rasa sakitnya.
Sementara Raja Akherat hanya terbahak-bahak.
Kelihatannya dia tak kurang suatu apa.
"Ha... ha... ha...! Sudah kukatakan tadi, nama si
Naga Gunung akan tersungkur hari ini!" ejek Raja
Akherat.
"Keparat sombong!"
Dengan gagahnya si Naga Gunung kembali
menerjang. Maka pertarungan sengit pun terjadi
kembali. Keduanya mencoba mencari kelemahan
satu sama lain dan mencoba memasukkan serangan
yang mematikan. Sementara Ki Pangsawada dan Ki
Wirayuda hanya memperhatikan saja. Diam-diam Ki
Pangsawada dapat melihat, jurus-jurus yang
dipergunakan Raja Akherat jelas sangat berbahaya.
Dan ia pun menebak, dalam lima jurus berikutnya, si
Naga Gunung tidak akan mampu bertahan.
"Hiaaat...!"
Ki Pangsawada pun segera menerjunkan diri
dalam kancah pertarungan.
"Bukan aku tidak jantan. Tetapi..., orang seperti mu
memang sudah selayaknya untuk mampus!" teriak Ki
Pangsawada.
"Ha... ha... ha...! Mengapa tidak sekalian saja
dengan si Penguasa Harimau?!" ejek Raja Akherat
pada Ki Wirayuda yang tegak berdiri. "Ayo, masuk
dalam pertarungan ini. Biar kalian cepat mampus!"
Wajah Ki Wirayuda memerah mendengar kata-kata
sombong Raja Akherat. Maka laki-laki tua ini segera
mengempos tubuhnya ke arah Raja Akherat. Namun
baru beberapa tindak bergerak....
Wesss.J
Mendadak terdengar desir angin kencang ke arah
Ki Wirayuda. Bergegas, laki-laki tua ini menghindar
dengan membuang tubuhnya.
"Anomdoro!" serunya ketika sudah melenting
bangkit.
Sementara si penyerang yang tak lain Anomdoro
tampak terbahak-bahak. Sejak tadi, laki-laki ini
memang tidak diizinkan Raja Akherat untuk
membantu. Dan hanya memperhatikannya saja.
Hanya saja keningnya pun berkerut. Matanya berkilat-
kilat ketika melihat Wirayuda.
Memang, antara Anomdoro dan Ki Wirayuda
merupakan musuh bebuyutan. Dulu, mereka terus
menerus bertarung, untuk memperebutkan seorang
wanita bernama Nimas Sutari. Dan kemenangan
berpihak pada Wirayuda, hingga dapat mem-
persunting Nimas Sutari. Sementara tinggallah
Anomdoro dengan dendam yang sampai sekarang
masih sangat sulit dihapuskan!
Maka ketika melihat Ki Wirayuda hendak
menyerang Raja Akherat, dendam Anomdoro bangkit
kembali. Seketika itu pula tubuhnya melesat seraya
mengirimkan serangan.
"Tak kusangka..., delapan belas tahun kita tidak
pernah bertemu. Akhirnya bertemu di sini." kata
Anomdoro dengan tatapan ganas. "Wirayuda..., kini
kau akan mampus!"
Ki Wirayuda yang sebenarnya sangat yakin kalau
Anomdoro mendendam padanya. Maka segera
dilayaninya serangan-serangan ganas yang mengan¬
dung racun milik Anomdoro.
k k k
"Yang benar kau, Eyang?" kata Andika terbelalak
kaget ketika Eyang Sasongko Murti menuturkan
sesuatu yang membuatnya terkejut.
Mereka kini sedang berada di tepi sungai dalam
perjalanan menuju Keraton Pakuan. Suara gemuruh
air sungai itu menderu-deru. Mereka baru saja selesai
mencuci muka, ketika Eyang Sasongko Murti
mengemukakan pikirannya.
Eyang Sasongko Murti menganggukkan kepala.
Matanya menatap air sungai yang mengalir cepat.
"Firasatku mengatakan demikian, Andika. Siluman
Hutan Waringin kini telah berada di alam nyata ini.
Dan yang mengkhawatirkan..., bila dia akan menitis
pada Raja Akherat. Berarti, akan sulit sekali bagi kita
untuk memusnahkannya," papar laki-laki tua aneh ini
dengan mata menerawang memikirkan kemungkinan
itu.
"Bukannya bagi kau?" kata Andika, membetulkan
sambil nyengir.
"Maksudmu?" tanya Eyang Sasongko Murti,
dengan kening berkerut.
Andika tertawa. "Bukankah kau mengatakan
sanggup untuk menundukkannya? Nah, mengapa kau
katakan tadi itu untuk kita? He... he... he.... Tidak, ya!!
Itu urusanmu, Eyang."
"Iya! Tetapi saat itu, ilmu batin yang diajarkan
negeri siluman belum bergetar di dadaku. Hingga aku
belum tahu kalau Siluman Hutan Waringin akan
menitis. Sekarang, ilmu batin negeri siluman itu
sudah bergetar memberikan tanda akan kemunculan
Siluman Hutan Waringin," tegas Eyang Sasongko
Murti.
"Mengapa kau begitu yakin kalau ia akan menitis
pada Raja Akherat, Eyang?" tanya Andika yang tidak
ingin meneruskan candanya lagi.
"Karena ia tahu, saat ini Raja Akherat-lah yang
menjadi lawanmu," jawab Eyang Sasongko Murti,
sungguh-sungguh.
"Gila! Kenapa aku yang jadi kena getahnya?"
rungut Andika terbelalak dan mangkel.
"Karena kaulah yang menjadi 'penerang' bagiku
untuk melarikan diri dari Alam Sunyi."
Andika bersungut-sungut. "Ini salahmu! Seharus¬
nya kau yang bertanggungjawab! Bukan aku! Kenapa
sih, kau justru menyesatkan aku dulu? Padahal
begitu banyak tugasku yang harus diselesaikan? Kau
tahu, Eyang. Aku merasa berdosa pada orang-orang
Kerajaan Pakuan. Aku tidak tahu apa yang harus
kuperbuat nanti, bila kuketahui semuanya sudah
menjadi mayat!"
"Jangan menyalahkan aku!' bentak Eyang
Sasongko Murti.
"Lalu, siapa lagi yang harus disalahkan, hah?!
Siapa lagi?" seru Andika jengkel.
"Tetapi sekarang kita berdua yang harus
memusnahkan Raja Akherat! Aku melawan Siluman
Hutan Waringin, kau menghadapi Raja Akherat!"
"Enaknya ngomong! Makanya, jangan dulu
sesumbar seperti yang kau lakukan di Hutan Ringgis!
Toh buktinya, kali malah kebingungan sekarang ini,
kan?" cecar Andika. Dan....
Plak!
Kening Pendekar Slebor digaplok Eyang Sasongko
Murti yang kelihatannya gemas sekali.
"Kupikir kau ini cerdik. Tidak tahunya bodoh!
Pokoknya sekarang, kita harus cepat sampai di
Keraton Pakuan, lalu membunuh manusia kejam itu
sebelum sempat dititisi Siluman Hutan Waringin!" ujar
Eyang Sasongko Murti.
"Begitu juga boleh! Tetapi, aku tidak tahu jalan
mana lagi yang harus kutempuh menuju Keraton
Kerajaan Pakuan Barat," kata Andika akhirnya.
Pendekar Slebor hanya berharap, agar tidak terjadi
sesuatu yang mengerikan pada Prabu Adiwarman dan
Putri Permata Delima.
"Begitu pula denganku! Ala..., sudahlah! Kita
merobos jalan mana saja!"
"Kau juga sih, Eyang! Mengapa kau harus mencari
jalan yangjauh sekali, ketika melarikan diri dari Alam
Sunyi! Seharusnya ketika kita nongol di alam nyata ini
aku telah berada di samping Keraton Pakuan!"
"Enaknya ngomong! Kalau tidak tergesa-gesa
untuk membawamu yang pingsan itu, mungkin aku
masih bisa berpikir! Masihuntung kita selamat,
daripada menjadi sasaran empuk Siluman Hutan
Waringin! Kau juga memang bodoh! Sudah kubilang
jangan bergerak, malah nekat! Bukan hanya ber¬
gerak, malah justru menyerang Siluman Hutan
Waringin! Dasar otak udang!"
"Habisnya, kulihat kau akan mampus diinjaknya."
kilah Andika.
"Itu siasat! Menghadapi siluman itu bukan
menggunakan tenaga kasar! Tak ada hasilnya! Malah
tenagamu yang akan terkuras perlahan-lahan
diperasnya."
"Jadi ketika kau roboh dan kedua kaki Siluman
Setan Waringin siap menginjakmu, kau berpura-pura
kalah?" tanya Pendekar Slebor.
"Tolol! Aku sedang menghimpun tenaga halusku!"
Tak ada yang bersuara lagi. Masing-masing
terdiam dicekam pikiran yang datang membabi-buta.
"Kita lari sekarang, Eyang!" kata Andika.
"Baik! Aku juga ingin melihat ilmu lari Pendekar
Lembah Kutukan yang kini dijuluki Pendekar Slebor.
Ha... ha... ha... ha! Bor, Bor! Kau bisa apa melawan
aku, hah?!"
Andika menjadi ngotot. Saat itu juga, mereka lari
n yang terjadi di halaman Keraton Keraton
Pakuan Barat semakin seru dan menegangkan. Ki
Pangsawada bersama Nyai Selastri berusaha sekuat
tenaga memukul mundur Raja Akherat. Namun laki-
laki yang codet di pipi kirinya itu benar-benar memiliki
kesaktian tinggi. Buktinya desakan yang dilakukan
Imam Arif Penguasa Gunung Bontang dan si Naga
Gunung dianggap sepi saja.
Malah kemudian, Raja Akherat yang menguasai
jaannya pertarungan sambil tertawa terbahak-bahak.
"Mengapa kalian tidak memilih mampus saja
dengan jalan bunuh diri?" leceh Raja Akherat.
Ki Pangsawada menggeram dalam hati, meskipun
diakui kesaktian laki-laki itu begitu tinggi. Namun hal
itu semakin membuat Ki Pangsawada hendak
bertekad untuk mengadu jiwa. Karena bila sampai
Raja Akherat menguasai dunia persilatan, sudah bisa
dipastikan segala sesuatunya akan hancur perlahan-
lahan di bawah kekuasaannya.
Mendadak saja Ki Pangsawada memutar tubuhnya
ke belakang, hingga jubahnya berkibar.
"Raja Akherat...! Kuakui kau memiliki kepandaian
sangat tinggi! Hanya saja, aku tidak akan pernah
mundur sebelum melihatmu berkalang tanah!" desis
laki-laki berjuluk Imam Arif Penguasa Gunung
Bontang.
Raja Akherat terbahak-bahak. Sementara si Naga
Gunung sedang mengatur napasnya. Dua kali
tubuhnya terkena hantaman keras Raja Akherat.
"Aku suka sekali mendengar kata-katamu itu, Ki!
Hanya sayang, kau terlalu memandang rendah!"
Ki Pangsawada menghela napas pendek. Lalu
diam-diam mulutnya merapal ajian 'Tempur Nyawa',
yang sangat dahsyat dan jarang sekali dipergunakan
bila tidak terdesak. Namun sekarang, laki-laki tua itu
berpikir kalau keadaan sudah benar-benar men¬
desak.
Memang tidak ada jalan lain. Ajian 'Tempur Nyawa'
akan segera dipergunakan Ki Pangsawada. Men¬
dadak saja kedua tangannya bergerak ke muka,
membuat putaran dua kali dengan tubuh condong
keluar. Dan seketika tangannya mengibas ke depan
bersamaan hembusan napas perlahan-lahan.
Si Naga Gunung tahu kalau Ki Pangsawada sedang
mengerahkan ajian Tempur Nyawa'. Dan diam-diam
pun dia merapal ajian 'Kemarau Tiga Musim'. Sebuah
ajian yang sangat dahsyat sekali, sehingga mampu
membuat lawan akan menderita kepanasan yang
teramat sangat.
Dan begitu melihat Ki Pangsawada sudah
mengeluarkan jurus pamungkasnya, si Naga Gunung
pun berbuat sama.
Sedangkan Raja Akherat hanya terbahak-bahak
saja.
"Ha... ha... ha...! Mengapa kalian berdiam diri
seperti itu, hah?!" ejek laki-laki kekar ini. "Apakah kini
kalian menyadari kalau lebih baik bunuh diri saja, dan
mengakui kalau si Raja Akherat adalah orang nomor
satu di rimba persilatan?!"
Ki Pangsawada merandek pendek.
"Kau terlalu banyak sesumbar, Raja Akherat!
Sejengkal pun aku tidak akan mundur. Bahkan tak
pernah merelakan kau menjadi orang nomor satu di
rimba persilatan ini."
Mendengar kata-kata itu, Raja Akherat hanya
terhahak-bahak saja seolah merasa lucu men¬
dengarnya. Dan mendadak saja jurusnya yang
terdahsyat dibuka. Jurus 'Himpunan Surya-Bayu-
Tanah'! Sebuah jurus yang mengambil tenaga
matahari, angin, dan tanah.
Perlahan-lahan terlihat kedua tangan Raja Akherat
berubah menjadi memerah. Dan semakin lama,
berubah menjadi hitam legam.
Ki Pangsawada dan si Naga Gunung pun sadar,
kalau lawan telah mengeluarkan ajian terhebatnya
pula. Tetapi tekad mereka sudah bulat untuk
mengadu nyawa dengan manusia keji itu!
"Hiaaa.J"
Tiba-tiba, disertai bentakan keras secara
bersamaan, Ki Pangsawada dan Nyai Selastri
menyerang. Kedua tangan mereka menghentak ke
arah Raja Akherat.
Werrr...!
Wesss.J
Dua rangkum angin kencang meluruk, mengancam
keselamatan Raja Akherat. Namun, laki-laki ini hanya
terbahak-bahak saja.
"Hiaaa.J"
Mendadak, Raja Akherat mengempos tubuhnya
sambil menghentakkan kedua tangannya.
Sementara Permadi yang masih dalam keadaan
terluka, hanya menghela napas panjang.
k k k
Pertarungan Ki Wirayuda melawan Anomdoro terus
berlangsung sengit. Racun-racun di kuku Anomdoro
terus berkelebatan, mendesak si Penguasa Harimau
yang selalu berhasil menghalau dengan tongkat kayu¬
nya yang berukir kepala harimau pada ujungnya.
Serangan-serangan gagal semakin membuat
Anomdoro bertambah penasaran. Maka segera
kelincahannya diperlihatkan dalam menghindari
setiap serangan Ki Wirayuda. Bahkan juga mem¬
perlihatkan kehebatannya dalam memainkan ilmu
racun.
Dan ketika tongkat Ki Wirayuda menyambar kepala
dengan cepat Anomdoro melompat ke kiri.
Wuuuttt!
Ki Wirayuda tidak berhenti sampai di situ saja.
Kembali tongkatnya digerakkan dengan jurus
'Pusaran Dewa Angin', yang membuat tongkatnya
berubah menjadi seribu.
Namun Anomdoro yang telah menambah
kesaktian dan ilmu meringankan tubuhnya, berhasil
menghindar darinya. Bahkan sekali-sekali kedua
kukunya dijentikkan sehingga langsung terlontar
racun-racun yang mematikan. Namun dalam keadaan
saat ini, jentikan racun-racun itu sudah tidak berguna.
Karena, angin yang keluar dari pusaran tongkat Ki
Wirayuda dapat cepat menyingkirkannya.
"Hebat! Permainan tongkatmu semakin hebat,
Penguasa Harimau!" puji Anomdoro sambil mengubah
jurus berikutnya. Tubuhnya dimiringkan ke kiri. Kaki
kanannya ke depan dan kaki kiri condong ke samping
kiri, agak mendekati tanah.
Dalam sekali lihat, Ki Wirayuda bisa menebak
kalau jurus itu adalah jurus tipuan. Karena menurut¬
nya, tidak mungkin Anomdoro membuka jurus dengan
kaki yang nampak lemah sekali. Mencondongkan kaki
lebih ke bawah mendekati tanah, sangat menyulitkan
gerak kaki kanannya.
"Hiaaah.J"
Ki Wirayuda tidak menyerang bagian kaki kiri
Anomdoro. Justru yang diserangnya bagian kaki
kanannya!
"Uts.J"
Apa yang diperkirakan memang benar. Dengan
cepat, Anomdoro merubah bentuk kuda-kudanya.
Namun kali ini Ki Wirayuda harus kecele. Karena
gerakan itu memang suatu pancingan belaka. Dan
mendadak saja, Anomdoro yang kini mengubah kuda-
kudanya, menendang dengan keras ke arah wajah.
Dengan sebisanya, Ki Wirayuda langsung menangkis
dengan putaran tongkatnya!
Plak!
Begitu habis menangkis dengan gerakan aneh
sekali, Anomdoro menelusup dengan satu tinju keras
ke dada. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Des!
"Aaakh.J"
Tubuh Ki Wirayuda terhuyung ke belakang disertai
keluhan tertahan. Saat itulah Anomdoro menderu
maju dengan seluruh tangan telah dialiri racun
mematikan.
Ki Wirayuda tercekat melihat serangan yang tiba-
tiba. Dalam hati dia mendengus karena begitu
mudahnya tertipu oleh gerakan Anomdoro. Maka
sebisanya tongkatnya diputar tetap dengan jurus
'Pusaran Angin Dewa 1 .
Namun kali ini rupanya Anomdoro tidak mem-
pedulikan lagi. Serangannya tetap diteruskan!
Menyadari kalau lawan merasa yakin akan mampu
menanggulangi jurusnya, Ki Wirayuda pun akhirnya
melompat untuk menghindari serangan mematikan
itu.
"Hup!"
"Ha... ha... ha...! Jangan bisanya menjadi topeng
monyet saja kau, Wirayuda! Melompat-lompat seperti
monyet. Lihat! Ini adalah pembalasanku yang kau
lakukan beberapa tahun lalu!" kata Anomdoro, penuh
semangat.
Ki Wirayuda menggeram. Benar apa yang diduga.
Manusia bermata picak itu memang masih
menyimpan dendam. Bahkan kini telah menjadi
pengikut Raja Akherat. Ki Wirayuda pun cukup
terkejut melihat kemajuan kesaktian Anomdoro yang
begitu pesat!
Tetapi saat menghindari serangan, Ki Wirayuda
kembali memutar tongkatnya. Rasanya hatinya masih
penasaran karena ingin melihat kekuatan Anomdoro
ketika kelihatan seperti hendak memapaki serangan¬
nya.
"Aku ingin lihat, apakah kau mampu menahan
'Pusaran Dewa Angin'ku ini Anomdoro!"
Lalu dengan menambah tenaga dalamnya, Ki
Wirayuda mengejar Anomdoro.
Seperti yang diduga tadi, ternyata Anomdoro
hanyalah memancing dan menggertak belaka.
Terbukti sekarang, laki-laki bermata satu itu
menghindari serangan 'Pusaran Dewa Angin'nya.
Ki Wirayuda menjadi jengkel dengan keputusannya
tadi. Karena mau tak mau tadi sempat terdesak.
Maka kini dia pun menyerang dengan ganas pula!
k k k
Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima terus
melarikan diri dengan langkah tersaruk-saruk. Ketika
Wanita Burung Hantu dan Dewa Muka Iblis muncul
sebenarnya Prabu Adiwarman tenang saja. Sebagai
seorang raja, dia memang memiliki ketenangan luar
biasa. Bahkan kesabarannya pun terlihat. Hanya saja,
hatinya suka merasa sedih bila melihat putrinya harus
menderita.
Bagi Prabu Adiwarman, tidak akan menyerah
begitu saja. Bahkan akan melawan sekuat tenaga
terhadap dua manusia busuk itu. Namun di saat
Wanita Burung Hantu dan Dewa Muka Iblis sedang
dihadang Tiroseta dan sepuluh prajurit Kerajaan
Pakuan, Mureksa, salah seorang prajurit Kerajaan
Labuan membuat rencana menakjubkan.
Prajurit itu menyuruh Prabu Adiwarman dan Putri
Permata Delima melarikan diri, sementara di tenda
itu segera diisi dua prajurit Kerajaan Pakuan. Hal ini
dilakukan untuk mencegah dua manusia jahat itu
mengejar Prabu Adiwarman dan Putri Permata
Delima. Itu sebabnya, ayah dan anak itu kini
terbebas, dan turut melarikan diri.
Sudah cukup jauh mereka berlari. Kelelahan pun
sudah sangat dirasakan. Prabu Adiwarman sekali lagi
merasa sedih melihat nasib putrinya. Namun sikap
Putri Permata Delima tetap tegar dan bersahaja.
Bahkan selalu tersenyum.
"Ayolah, Ayahanda.... Kita harus segera lari lebih
jauh dari sini... r " ujar Putri Permata Delima memberi
semangat.
Prabu Adiwarman tersenyum.
"Kau benar, Permata. Ayo...."
Tetapi sebelum mereka melangkah kembali....
"Hauuummm...!"
Terdengar auman seekor harimau yang cukup
keras, disusul melompatnya seekor hewan kaki
empat yang besar itu. Di punggungnya tampak
seorang pemuda berwajah tampan sedang
menungganginya.
"Kang Danji!" seru Putri Permata Delima, begitu
mengenali siapa yang menunggangi harimau. Gadis
ini pun yakin kalau harimau itu adalah si Belang,
hewan peliharaan Sari.
Danji segera melompat dengan sigap. Sementara
Belang yang telah mengenal ayah dan anak itu,
menghampiri Prabu Adiwarman. Kepalanya langsung
dielus-elus ke kaki laki-laki setengah baya itu,
membuat Prabu Adiwarman tersenyum senang.
Sementara Putri Permata Delima yang hatinya
telah cemas dan merindukan kekasihnya, langsung
merangkul. Begitu pula yang dilakukan Danji.
Sebenarnya, sejak bertarung dengan burung hantu
dan Nyai Pamunti, Danji segera melarikan diri
bersama harimau itu. Si Belang memang sangat
cerdik. Penciumannya sangat tajam. Setiap kali
binatang ini kelihatan merasa aneh, dan memaksa
Danji untuk segera menaiki punggungnya.
Semula Danji kebingungan melihat sikapnya yang
terkadang sulit dimengerti. Tetapi ketika si Belang
menggeram ke sebuah dahan pohon, barulah Danji
mengerti kalau burung hantu itu tengah mengikuti
mereka. Lalu Danji pun segera menaiki punggung si
Belang, dan meninggalkan tempat itu.
Namun burung hantu tetap mengikutinya. Danji
yang sudah khawatir kalau burung hantu itu tiba-tiba
akan menyerang, harus bersabar menunggu. Karena,
burung itu tidak berbuat apa-apa. Bahkan hanya
memperhatikan dirinya dan si Belang.
Hingga kemudian, sadarlah Danji. Ternyata burung
hantu itu hanya memata-matainya saja. Makanya,
ketika si Belang mengajaknya meninggalkan tempat
itu, Danji menolak. Bahkan tubuhnya dan tubuh si
Belang dibiarkan saja nampak di mata burung hantu
itu.
Yang diduga Danji benar. Ternyata burung hantu
itu akhirnya merasa yakin kalau di sinilah tempat
tinggal Danji dan si Belang. Lalu ia pun segera
terbang kembali untuk mengabarkan pada
majikannya.
Danji pun segera menaiki punggung si Belang lagi
yang langsung melesat dan sesekali melihat-lihat
sekelilingnya, karena khawatir burung hantu itu
mendadak muncul kembali. Namun ternyata burung
itu tidak muncul juga.
Hingga akhirnya, Danji pun memutuskan untuk
kembali ke Jurang Setan. Alangkah terkejutnya Danji
ketika sampai di dasar jurang, tak seorang pun yang
ditemui. Justru begitu banyak batu besar yang saling
tumpuk berada di sana. Bila melihat keadaannya dan
kemunculannya yang tiba-tiba, Danji yakin batu-batu
itu pasti dijatuhkan dari atas.
Tetapi melihat tak satu mayat pun yang ditemukan
di sana, Danji yakin kalau Prabu Adiwarman dan yang
lain sudah pindah dari sini.
Segera Danji mengajak si Belang. Meskipun tidak
tahu ke mana arah yang harus ditempuh, Danji
meminta si Belang untuk mempercepat larinya.
Danji lantas menemukan mayat-mayat yang ber-
eletakan yang dikenali di sebelah timur sana. Mayat
para prajurit Kerajaan Labuan dan Kerajaan Pakuan.
Tetapi, Kalau memang Prabu Adiwarman dan Putri
Permata Delima telah tewas, di manakah mayatnya?
Danji lantas mencari-cari mayat kedua junjungannya,
dan dia juga tidak melihat mayat Tiroseta.
Danji lantas menyuruh si Belang berlari ke arah
utara. Rupanya itu adalah jalan pintas. Dan apa yang
diperkirakan Danji ternyata benar. Karena akhirnya,
pemuda itu bertemu kedua junjungannya. Juga,
melihat Tiroseta di antara mereka dalam keadaan
penuh luka. Namun Senapati ini masih memper¬
lihatkan kegagahannya.
Rupanya, setelah melarikan diri dari serangan Nyai
Pamunti dan Kokorongko, seperti yang telah di¬
rencanakan, Prabu Adiwarman dan Putri Permata
Delima akan menunggu Tiroseta di balik sebuah
pohon trembesi yang besar.
•k-k -k
Prabu Adiwarman yang melihat kalau putrinya
masih merangkul Danji dan begitu pula sebaliknya,
hanya tersenyum saja. Hatinya terharu dan semakin
yakin kalau keduanya secara diam-diam memang
telah memadu kasih. Yah, sudah seharusnya laki-laki
setengah baya ini mulai mengerti keadaan mereka
yang sebenarnya.
Meskipun Prabu Adiwarman tidak berbuat apa-apa
untuk mengusik kedua remaja itu, tetapi akhirnya
keduanya sadar. Mereka sama-sama melepaskan diri
dan sama-sama menundukkan kepala. Kikuk.
Prabu Adiwarman hanya tersenyum saja.
"Dari mana saja kau, Danji?" tanya Prabu
Adiwarman kemudian.
"Maaf, Gusti Prabu.... Hamba..., hamba...."
Danji tidak bisa meneruskan kata-katanya, karena
merasa malu akan sikapnya barusan terhadap Putri
Permata Delima,
"Sudahlah.... Kau bisa menceritakannya nanti.
Danji, akhirnya setelah kupikir, lebih baik kita kembali
keraton...," kata Prabu Adiwarman tiba-tiba.
"Ayahanda!" seru Putri Permata Delima terkejut.
"Tidak ada jalan lain. Aku sudah bosan bermain
kucing-kucingan seperti ini! Ah, Danji.... Untuk
sementara kita bersembunyi lebih dulu. Kau tahu
bukan, tempat persembunyian di daerah ini?"
Danji hanya mengangguk.
Sementara Tiroseta, memperhatikan sekeliling
dengan mata waspada.
10
Meskipun Ki Pangsawada dan Nyai Selastri alias
Naga Gunung telah mempergunakan ajian
pamungkas namun tetap saja Raja Akherat masih
mampu bertahan. Ajian 'Tempur Nyawa' yang
dilepaskan Ki Pangsawada sangat dahsyat. Suaranya
bagaikan ledakan begitu tangannya bergerak. Begitu
pula ajian 'Kemarau Tiga Musim' yang dilepaskan si
Naga Gunung. Setiap kali tangannya berkelebat,
terasa hawa panas menerpa ke arah Raja Akherat.
Namun dengan ajian 'Himpunan Surya-Bayu-
Tanah', Raja Akherat membuat serangan kedua
lawannya hampir-hampir tidak banyak membawa arti.
Hal itu membuat Ki Pangsawada menjadi geram.
Apalagi mengingat kalau Raja Akherat bermaksud
menguasai rimba persilatan ini!
Tiba-tiba saja Ki Pangsawada berputar bersalto ke
belakang. Dan saat melayang, kedua pergelangan
tangannya diadukan menjadi satu.
Blarr!
Mendadak saja terdengar suara yang begitu keras
sekali, bagai petir menggelegar.
"Ajian Tempur Nyawa' tingkat pertama!" seru Ki
Pangsawada langsung meluruk ke arah Raja Akherat.
Pada saat yang sama, tokoh sesat itu berusaha
menahan. Sementara si Naga Gunung pun tengah
menghimpun kekuatannya.
Plak! Plak!
Dua bentrokan antara Ki Pangsawada dengan Raja
Akherat pun terjadi. Tampak Raja Akherat tersuruk ke
belakang dengan mulut berdarah.
"Bangsat!" maki Raja Akherat murka.
Seketika Raja Akherat merapal ajian 'Melayang
Dua'nya yang sangat dahsyat. Maka saat itu juga
tubuhnya pun bagai terpisah begitu saja, menjelma
menjadi dua.
"Ha... ha... ha...!"
Dan kedua Raja Akherat terbahak-bahak.
"Gila! Ilmu siluman rupanya!" desis Ki Pangsawada
sambil bersiap. Begitu pula si Naga Gunung.
Kini mereka akan menghadapi satu lawan satu,
meskipun yang dilawan tetaplah Raja Akherat.
"Hiaaa.J"
Disertai bentakan keras, satu sama lain meluruk
saling menyerang.
Pertempuran sengit pun terjadi kembali.
Dengan ajian 'Tempur Nyawa' tingkat pertama, Ki
Pangsawada mencoba mendesak Raja Akherat
dengan gencar. Serangan-serangannya sangat ber¬
bahaya membuat Raja Akherat kelimpungan meng¬
hadapinya.
Sementara si Naga Gunung yang menghadapi Raja
Akherat yang satunya lagi, justru terdesak hebat.
Ajian 'Kemarau Tiga Musim'nya belum menjadi
patokan untuk dapat melumpuhkan lawan ganasnya.
Suatu keadaan mendadak saja terjadi. Saat itu, Ki
Pangsawada sedang mencecar gencar Raja Akherat.
Sementara, Raja Akherat yang satunya lagi sedang
mendesak si Naga Gunung. Namun tiba-tiba saja, dua
tubuh Raja Akherat kembali menjadi satu. Dan Raja
Akherat pun jatuh terduduk bersila dengan kedua
tangan bersatu di dada,
Ki Pangsawada dan si Naga Gunung memper¬
hatikan dengan kening berkerut. Mereka yakin, kalau
lawan pasti tengah merapal ajian yang lebih tangguh
lagi. Namun sebelum keduanya menyerang kembali,
terlihat sebuah cahaya berwarna hitam berkelebat
langsung menyusup ke tubuh Raja Akherat melalui
ubun-ubun.
Mendadak saja kedua mata Raja Akherat terbuka,
memperlihatkan sinar amarah yang nyalang ber-
kilatan. Lalu dia berdiri tegak dengan gerakan kaku.
"Ha... ha... ha...! Kalian akan sia-sia saja untuk
mengalahkan aku, hah?! Akui aku sebagai orang
nomor satu di rimba persilatan, maka kalian akan
kubebaskan." kata Raja Akherat yang kelihatan aneh
ini, jumawa.
Ki Pangsawada dan si Naga Gunung memper¬
hatikan dengan kening berkerut. Semula mereka
melihat betapa Raja Akherat dalam keadaan
kelelahan karena tenaganya terkuras. Namun kini, dia
tegak berdiri segar tak kurang suatu apa!
Belum lagi mereka memikirkan apa yang tengah
terjadi, tubuh Raja Akherat sudah meluruk deras de
ngan pukulan beruntun.
Zeb! Zeb! Zeb!
Tiga buah serangan ganas mengandung tenaga
tinggi dilepaskan dengan cepat. Ki Pangsawada dan
Nyai Selastri kaget bukan main. Mereka merasa
yakin, Raji Akherat sedang mengeluarkan ajian
pamungkasnya. Maka dengan sebisanya mereka ber¬
kelit ke samping kanan dan kiri, menghindari.
Begitu pula Permadi yang masih memperhatikan.
Namun mendadak pemuda itu menerjunkan diri
dalam pertarungan. Kerisnya cepat berkelebat
dengan ganas.
"Ha... ha... ha...! Kalian akan mampus hari ini juga!"
seru Raja Akherat sambil mengibaskan tangannya
menangkis keris Permadi.
"Heh?!"
Permadi terkejut setengah mati, melihat kerisnya
patah! Sejenak pemuda itu tertegun. Namun keter-
tekunannya jelaslah suatu petaka. Tiba-tiba sebuah
pukulan keras menerpa dadanya.
Desss...!
"Aaakh!"
Permadi langsung terhuyung ke belakang disertai
pekik kesakitan. Lalu tubuhnya ambruk setelah
muntah darah berkali-kali.
Melihat hal ini Ki Pangsawada dan si Naga Gunung
terkejut setengah mati. Namun mereka pun harus
kembali tunggang langgang menghindari serangan
ganas Raja Akherat dengan teriakan-teriakan keji.
Sementara itu, Ki Wirayuda akhirnya berhasil men¬
desak Anomdoro, setelah tongkatnya berhasil
menyabet kaki lawannya dua kali. Tepat ketika
Anomdoro terpincang-pincang, tubuh si Penguasa
Harimau berkelebat cepat dengan kaki lurus melepas
tendangan.
Anomdoro cepat mengegoskan tubuhnya ke kiri,
sambil memapak. Namun di luar dugaan, Ki Wirayuda
menarik pulang serangannya. Bahkan seketika
tubuhnya berputar sambil mengebutkan tongkat
kayunya. Dan....
Prakkk!
"Aaakh...!"
Dengan satu gerakan tipu yang manis sekali, Ki
Wirayuda berhasil menggetok kepala Anomdoro.
Setika itu juga kepala tokoh sesat ini pecah
mengucurkan darah. Begitu ambruk, nyawanya pun
melayang.
Ki Wirayuda mendesah panjang sambil
memandangi mayat lawannya. Lega sudah, bisa
menamatkan riwayat Anomdoro. Ketika kepalanya
berpaling, tampak Ki Pangsawada dan Nyai Selastri
terdesak hebat sekali, Keduanya bagai tersudut oleh
serangan-serangan ganas yang dilakukan Raja
Akherat.
Saat itu juga Ki Wirayuda pun melesat membantu.
Namun....
"Tolooong! Tolooong...!"
Niat si Penguasa Harimau urung ketika telinganya
mendengar jeritan keras.
"Sari!" desis Ki Wirayuda. Saat itu juga laki-laki tua
ini langsung melesat ke dalam.
•k-k -k
Raja Akherat terbahak-bahak melihat Ki
Pangsawada dan Nyai Selastri kalang kabut seperti
itu. Baginya kedua manusia itu harus mampus,
karena tak mau mengakuinya sebagai orang nomor
satu di rimba persilatan
"Hiaaa.J"
Dengan teriakan keras, Raja Akherat meluruk
menerjang dengan sambaran-sambaran tangan yang
bertenaga dalam penuh.
Deb! Deb!
Gemuruh suara pukulan Raja Akherat sangat keras
terdengar, mampu menciutkan jantung yang diserang.
Begitu pula yang dialami Ki Pangsawada dan Nyai
Sulastri sekarang ini. Ajian 'Tempur Nyawa' tingkat
pertama yang dilepaskan Ki Pangsawada tidak lagi
membawa arti banyak. Demikian pula pukulan
'Kemarau Tiga Musim' milik si Naga Gunung.
Kedua tokoh golongan putih ini sangat heran,
mengapa tiba-tiba saja Raja Akherat menjadi begitu
perkasa dan bertambah sakti? Apakah pengaruh dari
cahaya hitam yang masuk ke tubuhnya tadi?
Gempuran-gempuran Raja Akherat sangat
mematikan, membuat Ki Pangsawada dan si Naga
Gunung sudah yakin kalau saat inilah ajal menjemput
mereka.
Tepat ketika sambaran tangan Raja Akherat
menemui sasaran, mendadak saja si Naga Gunung
merasakan sesuatu menyambar dengan cepat.
Sehingga, gempuran Raja Akherat pun luput.
Sementara Ki Pangsawada pun merasa terkejut,
ketika tidak merasakan sesuatu yang menghantam
tubuhnya. Justru laki-laki tua ini melihat satu sosok
tubuh berpakaian compang-camping berwajah tak
karuan, sedang memapaki serangan Raja Akherat.
"Andika! Bantulah aku untuk mengeluarkan
Siluman Hutan Waringin dari tubuh Raja Akherat!"
seru sosok berpakaian compang-camping yang tak
lain Eyang Sasongko Murti sambil menghindari
gempuran Raja Akherat.
Dalam sekali lihat saja, Eyang Sasongko Murti
sudah tahu kalau Siluman Hutan Waringin sudah
menitis ke tubuh Raja Akherat.
Memang, apa yang dikhawatirkan Eyang Sasongko
Murti sudah terjadi. Cahaya hitam yang masuk ke
ubun-ubun Raja Akherat adalah jelmaan dari Siluman
Hutan Waringin. Siluman itu akhirnya menitis di tubuh
Raja Akherat! Sudah tentu kesaktian Raja Akherat
mendadak saja berlipat ganda, lebih hebat dari
sebelumnya. Karna kini, ia dikendalikan tenaga
Siluman Hutan Waringin!
"Kalau Siluman Hutan Waringin tetap menyatu
pada tubuh Raja Akherat, akan semakin sulit bagi kita
kiri. Sementara Eyang Sasongko
Murti menyerang dari bagian kanan.
Ki Pangsawada dan si Naga Gunung menghela
napas panjang menyadari kalau umur mereka masih
ada hingga saat ini. Mereka pun diam-diam merasa
beruntung. Entah, siapa dua orang penolongnya itu?
Yang satu kelihatan tua sekali dengan wajah sukar
dilukiskan. Sementara kawannya adalah pemuda
berwajah tampan dengan sepasang alis hitam seperti
mata elang, mengenakan pakaian hijau.
Ketika mendengar seruan dari yang tua itu
sadarlah Ki Pangsawada dan si Naga Gunung, siapa
sebenarnya pemuda itu.
"Hei, Andika! Percuma kau dijuluki Pendekar
Slebor kalau tak bisa membantuku mengeluarkan
Siluman Hutan Waringin itu!" seru Eyang Sasongko
Murti, seperti menanas-manasi.
"Enaknya ngomong! Yang kuhadapi ini siluman."
hardik Andika sambil melompat menghindari
gempuran Raja Akherat yang kini dititisi Siluman
Hutan Waringin.
"Kau tinggal menggempur bagian ubun-ubun.
Kalau dapat, ketok tiga kali dengan keras! Aku akan
menghajar siluman itu, bila keluar dari tubuh Raja
Akherat!" ujar Eyang Sasongko Murti.
Andika segera menjalankan perintah. Namun,
bukanlah pekerjaan mudah. Karena, Raja Akherat
yang dikendalikan dan disatukan ilmunya oleh
Siluman Hutan Waringin, justru kini menyerang
dengan ganas.
Pendekar Slebor pun segera menggunakan tenaga
petir warisan Pendekar Lembah Kutukan. Sementara
Eyang Sasongko Murti mengangkat kedua tangannya
sehingga menimbulkan angin menderu-deru.
Akan tetapi, kekuatan Siluman Hutan Waringin
yang telah menggunakan tubuh Raja Akherat justru
semakin bertambah saja. Selain ilmu siluman yang
diperlihatkan, ia juga menggunakan kesaktian Raja
Akherat yang tinggi. Sehingga, Andika dan Eyang
Sasongko Murti harus tunggang langgang dibuatnya.
"Ha... ha... ha...!"
Raja Akherat terbahak-bahak.
"Pendekar Slebor! Kalau waktu itu aku gagal mem¬
bunuhmu, kini kau akan mampus di tanganku!"
geram Raja Akherat.
Begitu habis kata-katanya, Raja Akherat kembali
menyerang. Sambaran tangannya bagaikan angin
yang menderu keras.
Pendekar Slebor dengan kelincahan yang didapat
dari Lembah Kutukan, menghindari serangan. Lalu
kain pusakanya yang bercorak catur di punggungnya
disambarnya. Dan saat itu juga, kain pusaka warisan
Ki Saptacakra dikebutkannya dengan kuat,
menyambut sambaran tangan Raja Akherat.
Wuuut!
Braaat!
Suara keras terdengar, begitu kain bercorak catur
menyambar dan melilit tangan Raja Akherat. Sejenak
terjadi dua kekuatan yang masing-masing dialiri
tenaga dalam tinggi.
"Heh!"
Mendadak saja Andika melepaskan kainnya yang
melilit di tangan Raja Akherat. Saat itu tangannya
terasa panas yang luar biasa menyehgat.
Eyang Sasongko Murti menggeram. Segera
diserangnya Raja Akherat dengan jurus-jurus siluman
yang pernah dipelajarinya!
"Sasongko! Kau memang bandel sekali! Dan tak
akan kubiarkan kau untuk bertahan hidup lebih
lama!" ancam Raja Akherat alias Siluman Hutan
Waringin.
"Siluman busuk! Keluarlah kau dari tubuh manusia
laknat itu! Kita bertarung sampai mati! Dan, biarkan
manusia busuk itu bertarung melawan Andika!"
dengus Eyang Sasongko Murti.
Laki-laki tua ini berusaha memanas-manasi
Siluman Hutan Waringin. Karena menurutnya, akan
lebih mudah menjatuhkan siluman itu daripada bila
menitis pada tubuh seseorang.
Namun tak ada sahutan. Yang ada hanyalah
sambaran tenaga yang kuat sekali.
Wesss.J
"Ikatan Mambang Kahyangan!" seru Eyang
Sasongko Murti. Segera kepalanya berpaling pada
Andika. "Jangan gegabah! Bila kau terkena pukulan
itu bisa mampus!"
Andika mendengus. Diam-diam kini tenaga 'inti
petir'nya disalurkan kembali pada kedua tangannya.
Lalu diambilnya napas dalam-dalam dan ditahannya
di perut. Sejenak dalam perutnya terasa ada sesuatu
yang bergejolak dahsyat.
Dan mendadak saja Pendekar Slebor memotong
serangan Raja Akherat pada Eyang Sasongko Murti.
"Guntur Selaksa tingkat satu!" teriak Pendekar
Slebor, lantang.
Seketika meluncurlah tubuh Andika yang telah
dipenuhi kekuatan tenaga petir sangat dahsyat.
Raja Akherat yang dititisi Siluman Hutan Waringin
telah merangkum tenaga 'Guntur
Selaksa' lebih cepat mampir tubuhnya. Hingga....
Des!
Blarrr!
Terdengar ledakan keras bagai sambaran petir
yang memekakkan telinga, menyambar tubuh Raja
Akherat. Sementara Andika langsung bersalto ke
belakang, la hanya melihat tubuh Raja Akherat
menjadi agak hangus dengan rambut rontok. Namun
keadaannya masih tetap tegar. Bahkan lebih garang
lagi.
"Bangsat! Mampuslah kau, Pendekar Slebor! Grrr!"
Seketika tubuh Raja Akherat melesat kembali dan
menyerbu dengan ganas.
Pada saat yang sama, Eyang Sasongko Murti
menerjang ke depan. Dengan ilmu dari negeri
siluman, cepat ditangkap kedua tangan Raja Akherat.
Tap!
"Cepat pukul ubun-ubunnya tiga kali! Cepat, Bor!"
ujar Eyang Sasongko Murti, tegang.
Andika langsung melesat dan berputar dua kali di
angkasa. Dan tiba-tiba tangannya cepat memukul
ubun-bun Raja Akherat.
Prak! Prak!
Tepat ketika Pendekar Slebor memukul yang
terakhir, Eyang Sasongko Murti melepaskan
pegangannya.
"Ghrrhh...!"
Kini terdengar suara bagai raungan yang sangat
kuat sekali. Sementara tubuh Raja Akherat berputar
tak karuan.
"He... he... he...! Kau memang perjaka murni, Bor,"
ujar Eyang Sasongko Murti sambil terkekeh-kekeh.
"Namaku Andika! Enaknya main panggil, 'Bor'
saja!" rutuk Pendekar Slebor gemas sambil memper¬
hatikan tubuh Raja Akherat yang kelojotan.
"Kalau kau sudah bukan perjaka lagi, sulit untuk
menyuruh keluar Siluman Hutan Waringin dari jasad
Raja Akherat! Nah! Sebentar lagi, tubuh keduanya
akan memisah! Kau hadapi Raja Akherat, sementara
aku akan menghadapi Siluman Hutan Waringin!" ujar
Eyai Sasongko Murti dengan wajah tegang.
Andika dapat membaca ketegangan Eyang
Sasongko Murti.
"Eyang..., sanggupkah kau menghadapi siluman
itu?"
"Aku tidak tahu. Tetapi, satu-satunya yang mampu
mengimbanginya adalah aku. Karena sedikit banyak¬
nya aku menguasai ilmu negeri siluman. Jelek-jelek
begini, aku pernah belajar sama siluman, kan?" sahut
Eyang Sasongko Murti enteng.
"Ya, lalu terdampar di Alam Sunyi selama seratus
tahun!" balas Andika sambil terbahak-bahak.
Eyang Sasongko Murti pun terbahak-bahak.
Sedangkan Ki Pangsawada dan si Naga Gunung
sedikit bingung memperhatikan. Bukannya Pendekar
Slebor dan Eyang Sasongko Murti sungguh-sungguh
menghadapi tokoh sesat itu, tapi malah tertawa
terbahak-bahak.
Dan mendadak saja mata Ki Pangsawada dan Nyai
Selastri terbelalak, ketika melihat cahaya hitam
keluar dari ubun-ubun Raja Akherat, lalu berubah
menjadi sosok mengerikan bermata satu di
keningnya. Kedua tangan dan kakinya agak bengkok
bersirip. Kupingnya tinggi dengan lidah terjulur keluar
uk!
Inikah yang disebut Siluman Hutan Waringin yang
menitis di tubuh Raja Akherat? Desis mereka.
Dan kedua tokoh itu melihat Eyang Sasongko Murti
nampak bersiaga dengan kedua tangan membuka.
"Heaaa.J"
Dan mendadak saja Siluman Hutan Waringin
menyerang Eyang Sasongko Murti yang memang
sudah mempersiapkan diri dengan ilmu dari negeri
siluman.
Sementara Raja Akherat menggeram marah.
Ketika dititisi Siluman Hutan Waringin, ingatannya
sebenarnya sadar. Makanya, dia menggeram pada
Pendekar Slebor.
"Ha... ha... ha...! Bagus, bagus kau datang ke sini,
Pendekar Slebor! Ayo, bersujudlah. Dan, beri
kesaksian kalau aku adalah Raja Nomor Satu di
rimba persilatan ini!"
"Jidatmu busuk!" balas Andika, sambil mem¬
perhatikan sekujur tubuh Raja Akherat yang sudah
menghitam akibat sambaran pukulan 'Guntur
Selaksa' yang dilepaskannya tadi. "Kalau kau
meminta padaku untuk mengakuimu sebagai raja
monyet nomor satu, jelas saja aku setuju! Sejak tadi,
sebenarnya aku ragu. Yang kuhadapi ini raja monyet,
atau raja orang utan?"
Wajah Raja Akherat merah padam. Maka
mendadak saja mulutnya memekik keras. Lalu kedua
tangannya merentang, menggelar jurus 'Himpunan
Surya-Bayu-Tanah'. Dan seketika tubuhnya meluruk
menderu dengan seruan sangat keras. Begitu tubuh
Raja Akherat melesat ke arah Pendekar Slebor, Ki
Pangsawada dan si Naga Gunung pun bersiap
mengeroyok.
Namun keinginan mereka segera diurungkan,
setelah melihat Nyai Pamunti alias Wanita Burung
Hantu dan Kokorongko yang berjuluk Dewa Muka Iblis
muncul dengan tergesa-gesa.
Dalam sekali pandang, mereka yakin kalau Nyai
Pamunti dan Kokorongko telah bersekutu dengan
Raja Akherat.
Maka pertarungan pun segera terjadi dengan
sengit.
11
Di dalam Keraton Kerajaan Pakuan, tanpa kesulitan
Ki Wirayuda menemukan sumber jeritan minta tolong
tadi. Seperti yang diduga jeritan berasal dari mulut
Sari.
"Sari!" seru si Penguasa Harimau sambil bergegas
mendekatinya.
"Oh, Ayah.... Untung kau datang, Ayah...," desah
Sari dengan suara tegar. Hatinya sudah tidak sabar
untuk membalas perbuatan Raja Akherat.
Ki Wirayuda bermaksud membuka ikatan Sari,
namun....
"Oh! Gila! Rupanya tadi tali ini dialiri tenaga dalam
yang langsung terkunci," pekik Ki Wirayuda.
"Bisakah Ayah membebaskannya?" tanya Sari
dengan suara tenang.
Sari berteriak tadi, memang menginginkan agar
yang berada di luar sana mengetahui dan mem¬
bebaskannya agar bisa dengan segera membalas
perbuatan Raja Akherat yang telah lama
mengurungnya di sini. Sejak tadi Sari memang men¬
dengar teriakan dan suara orang bertarung di luar.
Dan sungguh tak disangka, justru ayahnya sendiri
yang muncul. Sudah tentu ketenangan Sari semakin
nampak.
Ki Wirayuda terdiam sejenak, lalu kedua matanya
terpejam. Cukup lama juga dia melakukan hal itu,
karena memang harus memulihkan tenaga dalam
dan hawa murni setelah bertarung dengan Anomdoro.
Lalu perlahan-lahan mata si Penguasa Harimau
membuka.
"Sari..., bantulah aku dengan tenaga dalammu juga
untuk membuka ikatan itu," ujar Ki Wirayuda.
"Baik, Ayah...."
Lalu mulailah Ki Wirayuda menempelkan telapak
tangan pada ikatan tali yang mengikat tangan Sari.
Dan gadis itu pun segera mengalirkan tenaga
dalamnya pula.
Kini Sari sedikit tenang atas kehadiran bapaknya.
Tetapi si Belang. Di manakah si Belang?
k k k
Empat pertarungan di halaman Keraton Pakuan
pun terjadi dengan sengit. Bahkan sangat
mengerikan. Terutama pertarungan antara Eyang
Sasongko Murti dengan Siluman Hutan Waringin.
Juga tak kalah dahsyatnya pertarungan Andika
melawan Raja Akherat.
Gempuran-gempuran yang berbahaya terjadi di
antara mereka. Ki Pangsawada sendiri menghadapi
serangan-serangan gencar Kokorongko. Sementara si
Naga Gunung harus mengimbangi kecepatan Wanita
Burung Hantu.
Setelah gagal menangkap Prabu Adiwarman dan
Putri Permata Delima, Nyai Pamunti dan Kokorongko
memang terus, mencari. Namun sebelum kedua
buruannya diketemukan, mendadak saja burung
hantu peliharaan Nyai Pamunti datang, mengabarkan
kalau telah mengetahui keberadaan Danji dan si
Belang. Namun ada sesuatu yang lebih menarik lagi
yang dapat diketahui Nyai Pamunti.
Rupanya, burung hantu itu mencarinya di Kerajaan
Pakuan. Tetapi, tidak ditemukan. Si Manis pun
mlaporkan hal itu pada majikannya, yang segera
mengurungkan niat untuk mencari Prabu Adiwarman
dan Putri Permata Delima. Bersama Kokorongko,
mereka berlari kencang, sementara si Manis terbang
mengikutinya.
Raja Akherat terus menggempur Andika dengan
serangan maha dahsyat dan mengerikan. Namun
Andika dengan mengandalkan kelincahan, dapat
menghindarinya. Bahkan membuat Raja Akherat
menggeram marah.
Pertarungan yang sudah berlangsung puluhan
jurus, semakin seru saja. Masing-masing ingin
menguasai dan menjatuhkan. Andika sendiri merasa,
lawan sangat tangguh. Berkali-kali ia harus meng¬
hindar, bila tidak ingin terkena pukulan keras Raja
Akherat.
"Aku tidak suka bermain kucing-kucingan seperti
ini! Lebih baik akui, aku ini orang nomor satu di rimba
persilatan!" seru Raja Akherat.
Sementara itu, Ki Pangsawada kini mencecar
Kokorongko dengan cepat. Ajian 'Tempur Nyawa'
tingkat pertama sudah dipergunakan. Sehingga,
menyulitkan Kokorongko. Dan mendadak saja
mereka bersalto ke belakang. Dan seketika mereka
sama-sama menderu maju kencang dan sama-sama
mengeluarkan tenaga dalam tinggi serta ajian maut.
"Heaaattt!"
"Teaaa!"
Dua seruan keras itu pun terdengar bersama
tubuh mereka yang saling menyongsong. Lalu....
Duaaarrr!
Dua tenaga dahsyat itu menimbulkan ledakan
keras menggelegar. Seketika di tempat mereka
bertemu tenaga tadi, mengepul asap putih yang
cukup tebal. Sementara dedaunan semakin banyak
yang gugur. Lalu terlihatlah dua sosok tubuh
terhuyung ke belakang sambil sama-sama memegang
dada.
Ki Pangsawada berusaha menekan rasa sakit di
dadanya, namun tak kuasa juga. Kepalanya
mendadak menjadi pusing. Tenaganya banyak yang
keluar. Akhirnya laki-laki itu pun ambruk jatuh
pingsan.
Sementara Kokorongko begitu jatuh ke tanah,
berkelojotan hebat. Rupanya, dia terkena telak ajian
'Tempur Nyawa'. Setelah sempoyongan beberapa
saat, tubuhnya pun ambruk dan tak bernyawa lagi.
Sementara itu si Naga Gunung terus melabrak Nyai
Pamunti dengan hebatnya. Kini tampak Wanita
Burung Hantu harus terdesak.
"Suiiittt...!"
Namun wanita sesat ini tak kehilangan akal.
Dan mendadak saja terdengar siulan keras Nyai
Pamunti, memanggil burung hantunya. Seketika
burung peliharaan itu menyerang si Naga Gunung
dengan ganasnya.
Dan justru hal itulah yang membuat si Naga
Gunung menjadi semakin marah. Tiba-tiba saja
dengan gerakan cepat, kakinya berputar. Pada saat
yang sama burung hantu tengah meluruk
menyerangnya. Sehingga....
Prakkk!
"Krieekhh!"
Burung hantu itu hancur berantakan, terkena
tendangan berisi tenaga dalam penuh. Serpihan-
serpihan dagingnya berjatuhan di atas tanah.
"Manisss...!" jerit Nyai Pamunti keras.
Dengan kemarahan membludak, Wanita Burung
Hantu meluruk menyerang.
Pada saat yang sama, Nyai Selastri juga meluruk
dengan ajian pamungkas. Begitu kedua serangan itu
bertemu....
Desss...! Desss.J
"Aaakh.J"
Wanita Burung Hantu termakan pukulan si Naga
Gunung berkali-kali. Tubuhnya seketika terpental, dan
ambruk di tanah tak bangun-bangun lagi. Sementara
si Naga Gunung sendiri harus terjajar ke belakang.
Dada terasakan sesak. Agaknya, dengan matinya
binatang ke-sayangannya, kekuatan Nyai Pamunti
seolah sirna.
Sementara itu Raja Akherat terus mendesak
Andika dengan ganasnya. Kemarahannya semakin
bertambah, setelah menyadari Andika sangat sulit
ditaklukkan. Bahkan sekarang dia yang justru
terdesak.
"Keparat!" maki Raja Akherat.
"Orang yang ingin menjadi nomor satu di rimba
persilatan, mestinya bertampang ganteng. Tidak
sepertimu!" ejek Andika. Serangan demi serangan
yang semakin dahsyat dilancarkan Pendekar Slebor.
Bahkan tenaga 'inti petir' tingkat kelima warisan
Pendekar Lembah Kutukan sudah digunakannya
dengan gencar, membuat Raja Akherat kocar-kacir.
Dan mendadak saja laki-laki sesat itu. merangsek
dengan gempuran sangat kuat.
"Andika! Kita harus mampus bersama-sama!" seru
Raja Akherat sambil menerjang deras.
Andika terkejut melihat serangan yang nekat.
Cepat Pendekar Slebor melompat ke atas seraya
berputaran beberapa kali. Dan tiba-tiba tubuhnya
meluruk dengan kedua kakinya menjejak kepala Raja
Akherat.
Diegkh!
Orang kejam itu kontan harus tersungkur di tanah.
Sementara Andika yang merasa kesempatan sudah
ada di depan matanya pun segera menghimpun
kekuatan dahsyat. Begitu menjejak tanah, tubuhnya
meluncur sambil menghujamkan tangan ke tubuh
Raja Akherat yang tak berdaya.
Desss!
"Aaakh.J"
Tubuh Raja Akherat pun perlahan-lahan melemah
dengan tubuh terhuyung-huyung. Dia benar-benar
sudah tidak mampu menahan dan melawan
serangan-serangan Pendekar Slebor.
Dan begitu sekali lagi Pendekar Slebor
menghantam, tubuh Raja Akherat ambruk di tanah.
Seketika Andika menginjak-injak jasad Raja Akherat
yang telah menjadi mayat.
Eyang Sasongko Murti sedang menggempur
Siluman Hutan Waringin dengan dahsyat. Tampak
berkali-kali tubuh laki-laki tua aneh itu harus terkena
pukulan hebat dari Siluman Hutan Waringin.
Seperti yang terjadi di Alam Sunyi, pertarungan
nampak lebih mengerikan lagi. Bumi yang dipijak
seakan bergoyang menerima getaran keduanya. Dan
mendadak saja Eyang Sasongko Murti mengambil
sesuatu dari balik bajunya yang compang-camping.
Gumpalan kain berisi tetesan darah Andika!
Seketika, Eyang Sasongko Murti melemparkan
kain itu ke arah Siluman Hutan Waringin yang tak bisa
menghindar lagi.
"Aaagrrh...!"
Mendadak saja Siluman Hutan Waringin menjerit-
jerit keras. Namun Eyang Sasongko Murti tidak ingin
membuang kesempatan lagi. Dan memang, siluman
itu harus dimusnahkan. Dicecarnya siluman itu
dengan gumpalan kain berisi tetesan darah Andika.
Rupanya darah seorang perjaka suci membuat
seluruh tubuh siluman itu kepanasan!
Karena tak kuasa menahan derita, Siluman Hutan
Waringin pun menghilang, berubah menjadi asap.
"Sasongko! Aku akan datang lagi untuk
mencarimu!" ancam suara dari balik asap, terdengar
menggema.
Eyang Sasongko Murti mendesah lega begitu asap
itu sirna. Demikian pula Pendekar Slebor. Namun
mereka yang berada di sana, termasuk Ki
Pangsawada dan si Naga Gunung kontan terkejut
ketika....
"Pendekar Slebor! Kali ini aku gagal
membunuhmu. Juga, menguasai dunia persilatan.
Tetapi, yakinlah. Kita pasti akan bertemu lagi!"
terdengar suara dari atap Keraton Pakuan.
Andika tercekat!
"Raja Akherat!"
Andika cepat berpaling untuk melihat mayat Raja
Akherat yang tadi diinjak-injaknya dan telah menjadi
mayat. Ternyata jasad tokoh sesat itu sudah tidak ada
lagi. Sadarlah Andika, kalau manusia bangsat itu
telah mempergunakan ilmu 'Melayang Dua'nya.
Belum habis keterkejutan mereka, muncul dua
sosok tubuh dari dalam keraton. Ki Wirayuda dan
Sari. Rupanya, Ki Wirayuda berhasil membebaskan
putrinya. Begitu melihat Andika, Sari melotot.
"Pendekar Bego! Ke mana saja kau, hah?! Kau
biarkan aku dan yang lain menanggung petaka!" caci
Sari.
Andika terdiam. Tidak berkata-kata. Pendekar
Slebor tidak tahu, siapa yang salah. Justru Eyang
Sasongko Murti yang kemudian menjelaskan
semuanya, sehingga membuat Sari tersipu malu.
Suasana semakin bertambah lega, ketika muncul
Prabu Adiwarman, Putri Permata Delima, Danji, dan si
Belang yang langsung mendekati Sari, begitu
melihatnya.
Mulai hari ini, mulailah Prabu Adiwarman
membangun kembali Kerajaan Pakuan dengan
bantuan orang-orang perkasa yang telah
menolongnya. Termasuk, Pendekar Slebor.
SELESAI
Serial Pendekar Slebor selanjutnya :
MANUSIA PEMUJA BULAN
Emoticon