SATU
Tok! Tok! Tok! "Ki...! Buka
pintunya, Ki...!"
Seorang pemuda berusia sekitar
dua puluh lima tahun tengah menggedor-gedor pintu sebuah rumah yang tampak
temaram. Ini karena beranda rumah itu hanya diterangi satu pelita yang
menggantung di langit-langitnya. Dia memanggil-manggil dengan suara parau dan agak
bergetar. Baju yang dikenakannya kotor penuh lumpur. Keringat meleleh membasahi
wajah dan tubuhnya. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang, dan terus mengetuk
pintu sambil berteriak-teriak memanggil pemilik rumah.
"Ki..! Ki Basra! Buka
pintunya, Ki...!"
Pintu dari kayu yang semula
tertutup rapat, perlahan-lahan terbuka. Dan sebelum pintu terbuka penuh, pemuda
itu bergegas menerobos masuk. Akibatnya seorang laki-laki tua berusia lebih
dari tujuh puluh tahun jadi hampir terpental jatuh.
"He! Kunyuk...! Apa-apaan
kau, Ganta...?" sentak laki-laki tua itu, marah.
"Maaf..., maaf, Ki,"
ucap pemuda yang dipanggil dengan nama Ganta.
Laki-laki tua yang bernama Ki
Basra itu memandangi Ganta dalam-dalam. Keningnya jadi berkerut melihat keadaan
Ganta yang seperti baru saja tercebur dalam kubangan sawah berlumpur. Sedangkan
yang dipandangi langsung menghempaskan din, duduk melonjor di lantai tanah yang
hanya beralaskan tikar lusuh. Napasnya masih terlihat tersengal. Disekanya
keringat yang membasahi leher.
"Ada apa dengan dirimu,
Ganta? Kau seperti...," pertanyaan Ki Basra terputus.
"Celaka...! Dia
datang...!" sentak Ganta seraya bangkit berdiri.
Bergegas pemuda itu melompat
untuk menutup pintu. Lalu menguncinya rapat rapat. Wajah pemuda itu semakin
terlihat pucat. Ki Basra jadi tercenung memandangi pemuda ini. Dia tidak tahu,
apa yang membuat Ganta jadi begitu ketakutan. Dia berdiri bersandar di pintu,
seakan-akan ada orang yang hendak menerobos pintu itu.
"Ada apa, Ganta? Kenapa
kelihatan ketakutan begitu...?" tanya Ki Basra keheranan.
"Mereka ingin membunuhku,
Ki," sahut Ganta, gemetar.
"Membunuhmu... ? Siapa yang
ingin membunuhmu?" tanya Ki Basra lagi.
Ganta tidak menjawab. Pada saat
itu, terdengar derap langkah kaki kuda di luar. Wajah Ganta semakin bertambah
pucat. Bahkan tubuhnya juga menggigil gemetar, seperti terserang demam.
Sedangkan Ki Basra jadi bertambah heran saja. Sementara suara langkah kaki kuda
berhenti.
“Tolong aku, Ki. Sembunyikan
aku...," pinta Ganta memohon.
Saat itu terdengar ketukan di
pintu. Ganta langsung terlompat, menyembunyikan diri di balik punggung Ki
Basra. Sedangkan ketukan dipintu kembali terdengar beberapa kali.
"Kalau mereka menanyakan
aku, bilang tidak ada di sini," kata Ganta berbisik.
Pemuda itu menoleh ke belakang
sebentar, kemudian bergegas melangkah masuk kedalam kamar. Perlahan pintunya
ditutup, seakan derit pintu membuat jantungnya semakin bertambah berdetak.
Sementara Ki Basra yang tidak mengerti, jadi kebingungan sendiri. Dan kini ketukan
dipintu kembali terdengar.
"Sebentar...!" seru Ki
Basra. "Siapa diluar...?"
"Aku! Buka pintunya,
Ki!" terdengar sahutan dari luar.
Ki Basra bergegas membuka pintu.
Tampak di depan pintu, berdiri dua orang laki-laki bertampang kasar. Sinar
matanya tajam, memancarkan kebengisan. Sementara di halaman rumah Ki Basra,
terlihat beberapa orang duduk di punggung kuda.
"Ada yang bisa kubantu,
Kisanak...?" tanya Ki Basra ramah.
"Kau lihat anak muda lewat
sini, Ki?" salah seorang yang berbaju kuning, malah balik bertanya.
"Anak muda...? Tidak. Sejak
tadi aku ada di dalam," sahut Ki Basra.
Kedua orang laki-laki bertubuh
tegap itu saling berpandangan, kemudian tanpa berkata apa-apa lagi langsung
berbalik dan melangkah pergi. Mereka berlompatan naik ke punggung kuda
masing-masing dengan gerakan indah dan ringan sekali. Tak berapa lama kemudian,
sepuluh orang penunggang kuda itu cepat bergerak pergi. Sementara Ki Basra
masih berdiri di ambang pintu, memandangi orang-orang yang tidak dikenalnya.
Setelah orang-orang penunggang
kuda itu tidak terlihat lagi, baru Ki Basra menutup pintu kembali. Tubuhnya
diputar seraya menghembuskan napas panjang. Pada saat itu Ganta keluar dari
kamar. Ki Basra memandangi pemuda itu, lalu menghempaskan tubuhnya di kursi
rotan yang sudah reyot
"Siapa mereka tadi,
Ganta?" tanya Ki Basra.
Ganta tidak langsung menjawab,
tapi malah membuka bajunya yang kotor penuh lumpur. Kemudian dia duduk di
lantai yang beralaskan anyaman tikar daun pandan. Pemuda itu membersihkan
kotoran yang melekat di tubuhnya. Wajah dan sinar matanya mulai kelihatan
tenang. Sedangkan Ki Basra masih menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi.
Ganta bangkit berdiri seraya
mengenakan pakaian kembali. Dia kemudian melangkah ke pintu. Baru saja dia
hendak membukanya, tapi sudah keburu dicegah Ki Basra. Terpaksa Ganta tidak
jadi membuka pintu rumah laki-laki tua itu.
"Kau belum menjawab
pertanyaanku, Ganta. Siapa mereka tadi?" Ki Basra mengulangi
pertanyaannya. "Kenapa mereka mencarimu?"
"Aku tidak kenal mereka, Ki.
Tidak ada apa-apa antara aku dengan mereka," sahut Ganta seenaknya.
"Kau jangan membohongi ku,
Ganta. Tidak mungkin mereka mencarimu tanpa sebab," dengus Ki Basra.
"Kau mencuri barang mereka, Ganta...?"
Ganta terdiam tidak menjawab
pertanyaan orang tua itu. Dia kembali duduk, menghempaskan diri di balai-balai
bambu yang ada di pojok ruangan depan ini. Sementara Ki Basra menatap tajam
pemuda cukup tampan ini. Sedangkan yang ditatap malah seperti tidak peduli.
Ki Basra kenal betul, siapa Ganta
ini. Pemuda desa ini pekerjaannya memang mencuri dan menipu. Sudah sering Ganta
dicari-cari orang, setiap kali terjadi pencurian. Antara Ki Basra dengan Ganta,
sebenarnya masih ada hubungan darah. Ganta terhitung masih keponakan Ki Basra sendiri.
Dan setiap kali terjadi sesuatu, pemuda itu pasti datang ke sini. Kalau keadaan
sudah tenang, sikapnya tidak lagi ketakutan. Bahkan begitu masa bodoh,
seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu pada dirinya.
Hal itu seringkali membuat Ki
Basra jadi geram, namun tidak bisa marah. Laki-laki tua itu begitu mencintai
Ganta yang sudah tidak memiliki orang tua lagi. Seberat apa pun persoalan yang
dihadapi Ganta, selalu dilindunginya.
"Apa yang kau curi dari
mereka, Ganta?" tanya Ki Basra langsung bisa menebak.
"Aku tidak mencuri, Ki.
Sungguh...!" sahut Ganta mencoba meyakinkan.
"Kalau tidak mencuri, lalu
kenapa mereka mencarimu?" desak Ki Basra.
"Oaaah....! Aku ngantuk, Ki.
Mau tidur," Ganta tidak peduli dengan pertanyaan Ki Basra. Pemuda itu
langsung melingkarkan diri di atas balai-balai bambu. Matanya terpejam, dan
sebentar kemudian dengkurnya sudah terdengar halus. Ki Basra hanya bisa
mendengus jengkel melihat tingkah keponakannya ini. Sudah seringkali Ganta
membuatnya jengkel, tapi entah kenapa, Ki Basra tidak mampu bertindak apa-apa
kalau sudah begini. Dan biasanya, besok pagi semua kejadian malam ini sudah
terlupakan.
"Hhh...! Kapan kau bisa
berubah, Ganta...?" keluh Ki Basra lirih.
Laki-laki tua itu menuju pintu,
lalu melangkah masuk ke dalam kamarnya. Namun tak lama kemudian dia keluar
lagi. Di tangannya kini tergenggam sebuah pelita kecil yang menyala redup.
Dengan langkah terseret, Ki Basra menuju ke belakang, kemudian keluar melalui
pintu belakang. Namun baru beberapa langkah berada di belakang rumahnya,
mendadak saja...
Slap...!
“Heh.?"
Ki Basra tersentak begitu
tiba-tiba saja sebuah bayangan berkelebat cepat di depannya. Dan sebelum orang
tua itu sempat menyadari, tahu-tahu sesuatu yang terasa dingin menempel
dilehernya. Seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berwajah garang,
tahu-tahu sudah berdiri didepannya. Goloknya ditempelkan ke leher Ki Basra
hingga tak mampu lagi berkutik.
"Bergerak sedikit saja,
golok ini akan menebas lehermu, Orang Tua," ancam laki-laki bertubuh kekar
itu.
Ki Basra hanya dapat diam
mematung. Dikenalinya betul wajah laki-laki di depannya ini. Dialah yang tadi
menanyakan Ganta. Orang tua itu semakin tak berdaya saat melihat beberapa orang
bergerak perlahan dan ringan sekali mendekati rumahnya. Mereka semua menghunus
golok yang berkilatan tertimpa cahaya bulan. Sedangkan sebilah golok lain juga
masih menempel di leher orang tua itu.
"Apa yang kalian
inginkan?" tanya Ki Basra.
“Keponakanmu, Orang Tua,"
sahut laki-laki kekar itu dingin.
“Keponakanku...? Kenapa kalian
menginginkannya" tanya Ki Basra lagi.
“Sebaiknya kau tutup mulut, kalau
ingin selamat!" dengus laki- laki kekar itu mengancam.
Ki Basra langsung diam. Sementara
dua orang sudah melangkah masuk ke dalam rumah, melalui pintu belakang.
Perasaan khawatir mulai menyelinap ke dalam hati Ki Basra. Melihat
tampang-tampang kasar dan bengis seperti ini, Ki Basra sudah bisa membayangkan
akan terjadi sesuatu yang buruk pada Ganta. Dan tampaknya mereka menginginkan
kematian pemuda itu.
Namun dengan golok menempel di
leher, Ki Basra tak mungkin bisa berbuat sesuatu. Tidak berapa lama setelah dua
orang kasar tadi masuk ke dalam rumah, mendadak saja terjadi sesuatu yang
sangat mengejutkan. Dua orang itu tiba-tiba terpental menjebol dinding rumah.
Tubuh mereka jatuh bergulingan di tanah, seperti dilempar oleh kekuatan dahsyat
dari dalam rumah itu. Tak beberapa lama kemudian....
Brak!
Tiba-tiba atap rumah jebol,
bersamaan dengan melesatnya sebuah bayangan yang menjebol atap rumah. Bayangan
itu berkelebat cepat membuat semua orang yang berada di sekitarnya jadi
terpana.
"Kejar anak itu! Bunuh
dia...!" teriak laki-laki.kekar berbaju kuning yang menempelkan golok ke
leher Ki Basra.
Seketika itu juga, orang-orang
yang mengepung rumah Ki Basra berlompatan mengejar bayangan tadi. Dua orang
yang terlempar menjebol dinding tadi, bergegas mengikuti yang lain. Tinggal Ki
Basra, dan dua orang lagi yang masih tetap berada di tempatnya.
"Keparat..! Hih!"
Cras!
"Aaa...!"
Ki Basra menjerit melengking
tinggi, begitu golok yang menempel di lehernya bergerak cepat menebas. Hanya
sebentar laki-laki tua itu masih mampu berdiri, kemudian ambruk menggelepar di
tanah. Darah langsung muncrat dari lehernya yang terbabat hampir buntung. Tak
lama kemudian, orang tua malang itu diam tak bergerak-gerak lagi. Darah terus
merembes membasahi tanah.
"Huh!" laki-laki kekar
berbaju kuning itu mendengus seraya memasukkan golok ke dalam sarungnya di
pinggang.
Malam yang semula hening dan
dingin, kini berubah hangat oleh cahaya api yang membakar rumah Ki Basra.
Sepuluh orang laki-laki berkuda, memandangi rumah yang semakin habis dimakan
api. Tampak paling depan adalah laki-laki bertubuh kekar berbaju kuning. Tak
jauh dari rumah yang terbakar itu, tergeletak Ki Basra yang sudah tak bernyawa
lagi.
"Ayo, kita cari anak keparat
itu sampai dapat!" ajak laki-laki kekar itu.
Sepuluh orang berkuda itu cepat
menggebah kudanya. Mereka bergerak cepat bagai setan, menembus pekatnya malam.
Sementara tanpa diketahui seorang pun, dari balik sebatang pohon yang cukup
besar sepasang mata mengawasi tak berkedip. Dia baru keluar setelah orang-orang
berkuda itu tidak terlihat lagi. Bergegas dihampirinya tubuh Ki Basra yang
tergeletak tak bernyawa lagi.
"Ki...." Pemuda yang
tak lain adalah Ganta itu berlutut di samping tubuh Ki Basra. Bibirnya
bergetar, namun tak ada kata-kata yang terucapkan. Sebentar kemudian,
dipandanginya rumah yang semakin habis dimakan api. Seluruh tubuhnya
menggeletar dan pandangannya jadi nanar.
"Maafkan aku, Ki. Tidak
kusangka kalau akan begini jadinya. Akan kubalas mereka, Ki. Akan kubalas
kematianmu," desis Ganta.
Perlahan pemuda itu bangkit
berdiri sambil mengangkat tubuh Ki Basra. Dia berdiri tegak sambil memondong
laki-laki tua itu. Pandangannya semakin nanar, ke arah rumah yang sudah ambruk,
hangus terbakar. Perlahan kemudian pemuda itu melangkah gontai sambil terus
memondong tubuh Ki Basra yang sudah tidak bernyawa lagi.
Sementara api terus menyala
menghanguskan rumah yang sudah roboh itu. Ganta terus berjalan gontai menjauhi
tempat itu. Tanpa sadar, air matanya berlinang. Ganta menangis! Tapi dia tidak
tahu, untuk apa air matanya itu. Pemuda itu baru berhenti melangkah setelah
sampai di tepi sungai yang tidak begitu besar, namun sangat deras arusnya.
Sebentar dipandanginya sungai itu, kemudian tubuh Ki Basra diletakkan di atas
sebongkah batu yang cukup besar.
"Kau pernah mengatakan,
kalau tidak ada umur ingin dihanyutkan di sungai. Aku akan membantumu menemui
istrimu, Ki. Akan kubuatkan sebuah sampan, agar kau mudah membawa istrimu
mengarungi sungai ini," ujar Ganta perlahan.
Pemuda itu jadi teringat istri Ki
Basra yang tewas tenggelam di sungai ini. Dia juga teringat sumpah Ki Basra
yang ingin mati di sungai ini juga. Dan sekarang, Ki Basra sudah tak ada. Ganta
bertekad hendak mewujudkan keinginan orang tua itu. Bergegas dihampirinya
sebatang pohon yang cukup besar.
Dipandanginya pohon itu beberapa
saat, kemudian tangannya menarik golok yang terselip di pinggang. Pemuda itu
memandangi golok yang berkilatan, tergenggam di tangan kanannya. Kembali
dipandangi pohon di depannya, kemudian beralih sejenak pada Ki Basra yang
tergolek di atas batu. Darah masih mengucur dari lehernya yang tertebas golok
hampir buntung.
"Hsss...! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak nyaring, Ganta
menebaskan goloknya ke pohon yang cukup besar itu. Beberapa kali tebas saja,
pohon itu sudah tumbang. Suaranya menggemuruh, membuat bumi bergetar. Ganta
memandangi pohon yang sudah roboh di depannya, kemudian bergerak cepat membabat
cabang-cabang yang tidak berguna. Lalu, diambilnya bagian tengah batang pohon
itu.
Tanpa mengenal lelah, Ganta
membuat sebuah sampan untuk Ki Basra. Orang tua yang selama ini selalu
melindunginya dari segala macam bahaya, kini telah pergi. Sepanjang malam,
Ganta membuat sampan. Dan begitu matahari menampakkan diri di ufuk timur,
sebuah sampan yang cukup indah telah terbentuk. Ganta menyeka keringat yang
membanjiri wajah dan lehernya. Ada kepuasan melihat hasil kerjanya. Dia sendiri
hampir tidak percaya, kenapa tiba-tiba bisa membuat. sebuah sampan yang begitu
indah dan kuat?
"Sampanmu sudah selesai,
Ki," ujar Ganta seraya menghampiri mayat Ki Basra.
Perlahan dan hati-hati sekali
Ganta mengangkat tubuh Ki Basra, lalu membawanya ke tepi sungai. Kemudian tubuh
orang tua itu diletakkan di dalam sampan. Jerami kering menjadi alasnya.
Sebentar Ganta memandangi, kemudian mendorong sampan itu ke tengah sungai.
Perlahan sampan itu bergerak mengikuti arus sungai. Ganta memandanginya dari
tepi sungai. Sampan itu bergerak semakin jauh, mengikuti arus sungai.
"Selamat jalan, Ki,"
ucap Ganta lirih. Kedua bola mata pemuda itu merembang, namun tak ada setitik
air pun yang menitik. Pemuda itu masih tetap berdiri di tepi sungai, meskipun
sampan yang membawa Ki Basra sudah tidak terlihat lagi.
"Aku bersumpah, mereka harus
membayar hutang nyawamu, Ki," desis Ganta. "Sayang, aku belum sempat
memperlihatkan apa yang sudah kupelajari selama ini. Tapi aku yakin, kau akan
bangga padaku nanti, Ki."
***
DUA
Dua hari setelah kematian Ki
Basra, Ganta semakin giat berlatih menyempurnakan jurus-jurus dan ilmu-ilmu
kesaktian yang dimiliki. Tekadnya, kematian Ki Basra harus dibalas. Namun
pemuda itu menyadari kalau kemampuannya masih belum cukup untuk menghadapi
orang-orang yang telah mempercepat kematian Ki Basra, didepan hidungnya
sendiri.
Dan selama dua hari ini, Ganta
menyepi dipuncak Gunung Garangan. Tempat itu sangat sunyi, dan tak seorang pun
yang suka menjejakinya. Suasana yang begitu sunyi, membuat Ganta bisa
memusatkan perhatian pada latihan-latihannya. Namun hari ini, ketika baru saja
menyelesaikan latihan terakhirnya, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan
kuning yang hampir menyambar tubuhnya.
Wusss!
"Heh...?! Uts!"
Cepat sekali Ganta menarik
tubuhnya ke belakang, sehingga kelebatan bayangan kuning itu hanya lewat
sedikit di depan tubuhnya. Ganta bergegas melentingkan tubuhnya, lalu
berputaran dua kali ke belakang. Manis sekali gerakannya, sehingga pada saat
kakinya menjejak tanah, sedikit pun tak ada suara yang ditimbulkan.
"Siapa kau...?!" bentak
Ganta begitu di depannya tahu-tahu sudah berdiri seorang laki-laki muda.
Bajunya kuning panjang, bagai
seorang pendeta. Pemuda berwajah sangat tampan itu hanya tersenyum saja.
Jari-jari tangannya bergerak lincah meniti butir-butir kalung tasbih berwarna
kuning keemasan. Dia melangkah ringan dan perlahan, memperpendek jarak.
Sedangkan Ganta sudah bersiap menggeser goloknya yang terselip di pinggang.
Kewaspadaannya langsung timbul melihat kedatangan pemuda tampan berjubah kuning
bagai pendeta yang belum dikenalnya ini.
"Kau yang bernama
Ganta?" tanya pemuda tampan berjubah kuning itu, tanpa menjawab pertanyaan
Ganta sebelumnya.
"Dari mana kau tahu
namaku?" Ganta jadi keheranan.
"Sulit sekali mencarimu,
Ganta. Tapi untunglah, aku bisa menemukanmu di sini. Semula aku ragu. Tapi
setelah melihat kau mempraktekkan aji 'Sungsang Merah', kini baru aku yakin
kalau kau adalah Ganta," jelas pemuda itu, lembut sekali nada suaranya.
"Heh...?! Kau tahu aji
'Sungsang Merah’...?" Ganta semakin terkejut keheranan.
Setahunya, ilmu-ilmu yang
dimilikinya sekarang ini tidak ada seorang pun yang tahu. Bahkan mendiang Ki
Basra, orang yang terdekat dengannya saja tidak tahu. Tapi mengapa pemuda yang
tidak dikenalnya ini malah mengetahui ilmu terakhirnya? Ganta memandangi pemuda
tampan. kuning itu dalam-dalam. Pandangannya penuh selidik dan penuh
kecurigaan.
"Aku tahu semua jurus dan
ajian yang kau miliki, Ganta. Tapi sayang, kau belum begitu menguasainya. Masih
banyak kekurangan dan kesalahan yang harus diperbaiki. Dan tentunya, kau tidak
bisa terjun ke dalam ganasnya rimba persilatan dengan pengetahuan dan
kepandaian yang tanggung," masih tetap lembut nada suara pemuda berjubah
kuning itu.
"Siapa kau sebenarnya?"
tanya Ganta terus diliputi perasaan penasaran.
"Dulu, orang tuaku memberi
nama Nada Prakasa. Tapi orang-orang lebih mengenalku sebagai Pendekar Kalung
Sakti," pemuda itu memperkenalkan diri.
"Kau..., Pendekar Kalung
Sakti...?" Ganta semakin terkejut begitu pemuda tampan berbaju kuning itu
memperkenalkan diri. Kedua bola mata Ganta berputaran memandangi sekujur tubuh
Nada Prakasa yang juga berjuluk Pendekar Kalung Sakti.
Seakan-akan dia ingin meyakinkan
diri, kalau pemuda yang berdiri di depannya ini benar-benar seorang pendekar
yang namanya sering terdengar, dan selalu menggemparkan rimba persilatan di
setiap kemunculannya
"Bagaimana aku bisa percaya
kalau kau benar-benar Pendekar Kalung Sakti?" Ganta seperti bertanya pada
dirinya sendiri.
"Lihatlah tasbih emasku ini,
Ganta.... Lihatlah...! Yeaaah...!"
Cepat sekali gerakan Nada
Prakasa. Tasbih berwarna kuning keemasan itu seketika melesat cepat dari tangan
kanannya, dan berputaran mengitari sebatang pohon yang cukup besar beberapa
kali. Lalu dengan kecepatan bagaikan kilat, tasbih emas itu kembali meluncur
berbalik ke arah pemiliknya. Tangkas sekali pemuda berbaju kuning itu menangkap
kalung emasnya. Maka suatu keajaiban pun terjadi. Pohon yang begitu besar tadi,
mendadak saja ambruk ke tanah.
Ganta terlongong menyaksikan
kesaktian yang begitu mengagumkan. Hampir-hampir penglihatannya sendiri tidak
dapat dipercayainya. Pohon yang begitu besar dapat ambruk hanya karena diputari
oleh sebuah kalung emas yang bergerak sendiri melingkarinya. Pandangan Ganta
berpindah-pindah, dari pohon yang ambruk kemudian beralih ke Pendekar Kalung
Sakti.
"Bagaimana, Ganta? Kau
percaya padaku...?" ujar Nada Prakasa, lembut suaranya.
"Aku sering mendengar
kehebatan dan kesaktian Pendekar Kalung Sakti. Tapi aku belum pernah
menyaksikan sendiri kehebatannya. Hm.... Apakah tadi itu salah satu ilmu dari
aji 'Lingkaran Kalung Sakti'?" agak bergumam nada suara Ganta.
"Pengamatanmu cukup tajam,
Ganta. Aku benar-benar kagum padamu," sahut Pendekar Kalung Sakti, memuji tulus.
"Terima kasih. Aku tadi
hanya menebak saja. Aku memang pernah mendengar ajian itu. Dan ternyata
hasilnya sangat dahsyat dan mengagumkan. Terima kasih, kau sudi
memperlihatkannya padaku," kata Ganta merendah.
Ganta kemudian menjura memberi
hormat. Baru kini hatinya yakin, kalau pemuda seusianya yang berada di depannya
ini benar-benar Pendekar Kalung Sakti. Dia sangat mengagumi pendekar itu.
Meskipun baru pertama kali bertemu muka, tapi nama dan kedigdayaan Pendekar
Kalung Sakti sudah sering didengarnya.
"Terimalah salam hormatku,
Pendekar Kalung Sakti," ucap Ganta, penuh rasa hormat.
"Ah, sudahlah. Tidak perlu
bersikap sungkan begini, Ganta," sambut Pendekar Kalung Sakti seraya
menyentuh pundak pemuda berbaju putih di depannya.
Ganta kembali berdiri tegak.
Sebentar mereka saling berpandangan, kemudian sama-sama duduk bersila
beralaskan rerumputan yang cukup tebal dan nyaman bagai permadani alam
terhampar indah di puncak Gunung Garangan ini. Untuk beberapa saat, mereka
hanya berdiam diri saja, seakan-akan sedang mengumpulkan untaian kata-kata yang
hendak diobrolkan.
"Oh, ya. Kau tadi mengatakan
sengaja mencariku. Ada keperluan apa, sehingga bersusah payah mencariku,
Pendekar Kalung Sakti?" tanya Ganta memulai lebih dahulu.
Pendekar Kalung Sakti tidak
langsung menjawab. Bibirnya tersenyum seraya menarik napas dalam-dalam dan
menghembuskannya perlahan-lahan. Beberapa kali hal itu dilakukan, lalu
kepalanya bergerak terangguk-angguk. Tadi dia memang berkata kalau memang
sengaja mencari pemuda berbaju putih yang dikenal sebagai pencuri kecil ini.
Tapi, apakah memang begitu...?
"Ganta. Boleh aku tanya
sedikit padamu?" pinta Pendekar Kalung Sakti tanpa menjawab pertanyaan
Ganta tadi.
"Apa yang hendak kau
tanyakan padaku?" tanya Ganta.
"Kuharap kau jangan
tersinggung atas pertanyaanku nanti, Ganta," ucap Pendekar Kalung Sakti,
lembut dan hati-hati sekali.
Kening Ganta jadi berkernyit
mendengar ucapan Pendekar digdaya itu. Namun kepalanya tergeleng juga, meskipun
perlahan sekali. Pendekar Kalung Sakti tersenyum melihat gelengan kepala Ganta,
tapi masih belum juga melontarkan pertanyaan.
"Aku senang jika kau tidak
tersinggung atas pertanyaanku nanti, Ganta. Masalahnya ini menyangkut pribadimu
juga," jelas Pendekar Kalung Sakti, tetap lembut dan hati-hati nada
suaranya.
"Sebenarnya apa yang ingin
kau tanyakan padaku, Pendekar Kalung Sakti?" desak Ganta jadi penasaran.
Lagi-lagi Pendekar Kalung Sakti
tersenyum. Sedangkan Ganta semakin penasaran saja. Hatinya bertanya-tanya,
tentang pertanyaan yang akan dilontarkan Pendekar Kalung Sakti padanya.
"Ganta, kau dikenal sebagai
pemuda pencuri. Dan lagi hanya sedikit memiliki ilmu olah kanuragan. Tapi dalam
dua tahun belakangan ini, kau sudah memiliki ilmu olah kanuragan dan kesaktian
yang cukup tinggi tingkatannya, meskipun belum dikuasai sempurna," kata
Pendekar Kalung Sakti membuka suara.
Kening Ganta semakin dalam
berkerut. Di benarkannya semua ucapan Pendekar Kalung Sakti barusan. Selama
ini, dia memang dikenal sebagai pencuri yang tidak memiliki ilmu olah kanuragan
ataupun ilmu-ilmu kesaktian yang tinggi. Memang tidak ada yang tahu. Bahkan Ki
Basra sendiri, orang yang terdekat dengannya tidak tahu tentang itu. Tapi
sekarang, pemuda tampan berjubah kuning di depannya, yang juga tidak dikenal
sebelumnya, sudah mengetahui banyak tentang dirinya. Hal ini membuat berbagai
macam pertanyaan yang bergelut di kepalanya semakin besar.
"Boleh aku tahu, dari mana
semua ilmu olah kanuragan dan kesaktian itu kau peroleh, Ganta?" tanya
Pendekar Kalung Sakti meminta.
"Maaf, untuk apa kau ingin
tahu?" Ganta malah balik bertanya.
Dari nada suaranya, jelas kalau
pemuda itu tidak senang atas pertanyaan Pendekar Kalung Sakti barusan. Dan
sinar matanya pun begitu tajam menusuk langsung bola mata Pendekar Kalung
Sakti. Namun yang dipandangi hanya tersenyum saja, seakan-akan tidak mengetahui
ketidaksenangan pemuda di depannya ini.
"Aku sedikit kenal
jurus-jurus dan ilmu-ilmu yang kau miliki, Ganta. Itu sebabnya aku ingin tahu,
dari mana kau memperolehnya," jelas Pendekar Kalung Sakti, tetap lembut
nada suaranya.
"Kalau kau mengenal
jurus-jurusku, tentu juga sudah tahu siapa yang mengajariku, Pendekar Kalung
Sakti," ujar Ganta, agak ketus nada suaranya.
"Aku kenal pemilik ilmu olah
kanuragan yang kau miliki, Ganta. Dan aku tahu, kalau orang itu sudah tak ada
lagi di dunia ini. Jadi, tidak mungkin kalau dia bisa mengajarkannya padamu.
Apalagi dia sudah lebih dari tiga puluh tahun meninggal. Sedangkan usiamu
sendiri, belum mencapai tiga puluh tahun," tukas Pendekar Kalung Sakti.
"Terus terang, aku tidak
suka bertele-tele. Apa sebenarnya yang kau Inginkan, Pendekar Kalung
Sakti?!" dengus Ganta mulai menampakkan ketidaksenangannya.
"Aku hanya ingin tahu, dari
mana kau peroleh semua ilmu itu, Ganta," ujar Pendekar Kalung Sakti.
"Maaf, aku tidak bisa
mengatakannya. Itu urusanku sendiri, dari mana pun aku mendapatkannya,"
sahut Ganta ketus.
Pemuda itu langsung bangkit
berdiri. Sebentar matanya menatap tajam Pendekar Kalung Sakti, kemudian memutar
tubuhnya dan melangkah pergi. Namun baru saja kakinya terayun beberapa tindak,
mendadak saja berdesir angin dingin dari arah belakang. Dan tahu-tahu
berkelebat bayangan kuning. Ganta terhenyak begitu tiba-tiba di depannya sudah
menghadang Pendekar Kalung Sakti.
"Ganta, kedatanganku
sebenarnya ingin menolongmu. Kau dalam kesulitan besar. Aku tidak bisa
menolongmu, kalau kau berlaku begitu, dan tutup mulut padaku," jelas
Pendekar Kalung Sakti bersungguh-sungguh.
"Aku selalu dapat mengatasi
segala kesulitanku sendiri, Pendekar Kalung Sakti. Terima kasih, kau telah
memperhatikanku. Tapi maaf, aku tidak bisa menerima pertolongan seseorang yang
tidak kukenal," sahut Ganta tegas.
Setelah berkata demikian, Ganta
langsung cepat melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejapan saja
bayangan tubuh pemuda itu sudah lenyap dari pandangan.
"Benar-benar keras hatinya.
Tapi aku yakin, dia tidak tahu bahaya yang akan dihadapinya nanti," gumam
Pendekar Kalung Sakti dalam hati.
Sebentar Pendekar Kalung Sakti
memandangi arah kepergian pemuda berbaju putih itu, kemudian cepat melesat
menuju ke arah kepergian Ganta. Begitu cepatnya, sehingga yang terlihat hanya
bayangan kuning berkelebat. Lalu, bayangan itu lenyap ditelan lebatnya hutan di
puncak Gunung Garangan ini. Sebentar kemudian, keadaan di puncak gunung ini
kembali sunyi. Hanya desir angin yang bertiup agak kencang yang terdengar
mempermainkan dedaunan.
Sementara siang terus merayap
semakin senja, dan kabut pun terus menggumpal bertambah tebal. Udara di puncak
gunung ini kian bertambah dingin. Dan dua pemuda tadi tidak terlihat lagi
bayangannya.
***
Ganta terus berlari cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh, menuruni lereng Gunung Garangan. Dia
terus menembus lebatnya hutan di sepanjang lereng gunung itu. Sedikit pun
kecepatan larinya tidak dikendorkan. Namun begitu melompati sebuah sungai kecil
yang mengalir jernih melingkari lereng gunung ini, mendadak saja....
Slap!
"Heh...! Uts!" Ganta
tersentak ketika tiba-tiba sebatang anak panah meluncur deras ke arahnya. Cepat
larinya dihentikan dan tubuhnya dimiringkan, maka anak panah itu melewati atas
pundaknya. Ganta berpaling sedikit, menatap anak panah berwarna merah, yang
bagian ekornya berbentuk seekor ular.
Belum lagi hilang rasa
terkejutnya, mendadak saja beberapa orang berbaju merah berlompatan dari atas
pohon. Ada sekitar sepuluh orang yang langsung bergerak mengepung pemuda
berbaju putih ketat itu. Di tangan masing-masing tergenggam sebilah golok yang
berkilatan tertimpa cahaya matahari senja.
"Kalian akan kecewa jika
ingin merampok. Aku tidak punya apa-apa yang bisa dirampas," kata Ganta
dingin.
"Sesuatu yang istimewa telah
kau miliki, Ganta. Dan aku menginginkan yang istimewa itu," terdengar
sahutan keras menggema.
Ganta jadi terkejut. Karena,
sahutan itu demikian jelas terdengar, tapi tak terlihat wujudnya. Pemuda itu
mengedarkan pandangan ke sekeliling, namun tidak menemukan orang yang
mengeluarkan suara tadi. Sedangkan sepuluh orang yang mengepungnya hanya diam
saja tak bersuara. Mereka semua melintangkan golok di depan dada. Baju merah
yang mereka kenakan agak longgar tertiup angin.
"Siapa kau...? Jangan main
sembunyi seperti tikus!" bentak Ganta lantang.
Wusss!
Begitu bentakan Ganta menghilang,
mendadak saja berkelebat sebuah bayangan merah. Dan tahu-tahu di depan pemuda
itu sudah berdiri seorang laki-laki tua berjubah merah. Di tangan kanannya
tergenggam tongkat berkepala tengkorak. Tatapan matanya begitu tajam, menusuk
langsung ke bola mata Ganta. Seakan-akan dia hendak melumat pemuda itu
bulat-bulat. Sedangkan Ganta sendiri membalas tatapan itu tidak kalah tajamnya.
"Serahkan yang kau curi dari
puriku, Ganta," terdengar dingin nada suara laki-laki tua berjubah merah
itu.
"Hhh! Aku mengenalmu saja,
tidak. Bagaimana aku bisa dituduh mencuri di purimu?" dengus Ganta ketus.
"Aku tidak ada waktu untuk
bermain-main, Bocah!" bentak orang tua berjubah merah itu berang.
"Siapa yang main-main...?
Kau yang menghadang jalanku. Bahkan menuduhku mencuri. Kau sendiri yang
main-main denganku," balas Ganta tetap sinis.
"Cukup!" bentak orang
tua berjubah merah itu. "Aku tidak punya waktu lagi. Serahkan saja semua
yang kau curi dari puriku. Cepat!"
"Enak saja memerintah.
Memangnya apa yang aku curi darimu...?"
"Jangan memaksaku kehilangan
kesabaran, Bocah! Mudah saja aku membunuhmu, semudah membalikkan telapak
tangan," ancam orang tua berjubah merah itu dingin.
"Kau pikir, aku takut...?
Biar kau bawa monyet-monyet lebih banyak, aku tidak takut!" balas Ganta
lantang.
"Kurang ajar...! Beri bocah
edan ini pelajaran!" geram orang tua itu sengit.
Saat itu juga, empat orang yang
mengepung berlompatan maju. Seorang yang berada tepat didepan Ganta, langsung
menyerang seraya membabatkan golok ke arah dada pemuda itu.
Bet!
"Hait..!"
Manis sekali Ganta menarik
tubuhnya ke belakang, sehingga tebasan golok orang itu hanya lewat di depan
dadanya. Namun sebelum Ganta bisa menegakkan kembali tubuhnya, kembali datang
satu serangan dari arah kanan. Sebilah golok yang berkilatan, berkelebatan
cepat menyambar ke arah kepala.
Wusss...!
"Uts!"
Ganta terpaksa merundukkan
kepala, membuat tebasan golok itu tak sampai mengenai sasaran di kepalanya.
Pada saat itu, kaki Ganta cepat bergeser ke kanan. Dan secepat itu pula,
tangannya dikebutkan, menyodok ke arah lambung. Begitu cepatnya sodokan tangan
Ganta, membuat orang yang berada di sebelah kanannya tak sempat lagi
menghindar.
Des!
"Ugkh...!"
Orang itu mengeluh pendek agak
tertahan. Tubuhnya terbungkuk menahan nyeri pada bagian lambungnya. Dan sebelum
disadari apa yang terjadi barusan, Ganta sudah melayangkan satu pukulan keras
disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi. Tak pelak lagi, pukulan Ganta
tepat bersarang pada rahang orang itu.
Diegkh!
"Aaakh...!" terdengar
pekikan keras. Kepala orang itu terdongak ke atas. Darah seketika muncrat keluar
dari mulutnya. Ganta tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Segera tubuhnya diputar
ke kanan, lalu cepat sekali kakinya menghentak melayang menghantam dada,
sebelum orang itu bisa berbuat sesuatu.
"Yeaaah...!"
Begkh!
"Aaakh...!"
"Phuih! Mampus kau...!"
Satu orang seketika tergeletak
tak berkutik lagi. Dadanya melesak terkena tendangan keras bertenaga dalam
cukup tinggi yang dilepaskan Ganta. Tewasnya satu orang dalam beberapa gebrak
saja, membuat yang lain terpana. Tiga orang berbaju merah ketat yang tadi
berlompatan menyerang Ganta, dalam waktu bersamaan jadi terlongong. Mereka
seakan akan tidak percaya dengan semua yang telah terjadi.
"Bunuh bocah keparat
itu...!" teriak laki-laki tua berjubah merah.
"Hiya!"
"Yeaaah...!"
Bagaikan dikejutkan ledakan halilintar,
sembilan orang berbaju ketat berwarna merah yang semuanya bersenjatakan golok,
seketika berlompatan menyerang Ganta dari segala penjuru. Beberapa golok
berkelebatan di sekitar tubuh pemuda itu. Namun Ganta yang sekarang, bukanlah
Ganta yang dulu ketika masih sering mencuri dan tidak memiliki kepandaian apa
pun untuk membela diri.
Ganta sekarang sudah dapat
bergerak cepat dengan kelincahan yang mengagumkan. Meskipun dikeroyok sembilan
orang bersenjata golok, sedikit pun tak ada rasa gentar di hatinya. Bahkan
serangan-serangan itu dihadapi dengan garang. Setiap kali mendapatkan
kesempatan, langsung Ganta balas menyerang dengan dahsyat dan mematikan. Hal
ini membuat sembilan orang pengeroyoknya jadi kelabakan juga.
Pertarungan baru berjalan beberapa
jurus, tapi sudah lima orang tergeletak tak bernyawa lagi. Sedangkan dalam
pertarungan ini, Ganta belum menggunakan senjata apa pun. Melihat
orang-orangnya bergelimpangan tak sanggup menandingi kehebatan jurus-jurus
Ganta, maka orang berjubah merah itu jadi berang setengah mati. Terlebih lagi
sekarang tinggal empat orang lagi yang masih mampu bertahan.
"Mundur...!" bentak
orang berjubah merah itu lantang.
TIGA
Tanpa menunggu perintah dua kali,
empat orang berbaju merah yang bersenjata golok bergegas berlompatan mundur.
Menjauhi arena pertarungan. Mereka segera menempatkan diri di belakang orang
tua berjubah merah. Sedangkan Ganta tetap berdiri tegak sambil menyunggingkan
senyuman tipis. Ada rasa kebanggaan di dalam hati Ganta, karena mampu
merobohkan enam orang lawan.
Sesuatu kebanggaan yang tidak
pernah dirasakan sebelumnya. Dan ini merupakan orang-orang pertama yang
bertarung dengannya secara sungguh-sungguh. Selama ini, lawan tandingnya hanya
boneka jerami, batu, dan pepohonan. Dan sekarang, ternyata hasilnya nyata! Dia
mampu merobohkan enam orang dalam beberapa jurus saja.
"Kalian semua bisa kukirim
ke neraka, jika tidak segera angkat kaki dari sini," ancam Ganta.
Terdengar dingin nada suaranya.
"Jangan besar kepala dulu,
Bocah. Mereka memang bukan lawanmu," balas orang tua berjubah merah itu
tidak kalah dinginnya.
Setelah berkata demikian, ujung
tongkatnya dihentakkan ke tanah tiga kali. Saat itu juga, dari balik pepohonan
bermunculan sepuluh orang lagi. Mereka bertampang kasar dengan gagang golok
terselip di pinggang. Ganta agak terkejut juga melihat kemunculan orang-orang
itu. Mereka adalah orang-orang yang mengejarnya, dan telah membunuh Ki Basra di
depan hidungnya sendiri.
"Kalian...," desis
Ganta dingin menggetarkan.
"Kau tidak bisa lolos lagi
dari kami, Ganta," tegas laki-laki bertampang bengis yang mengenakan baju
kuning.
Orang bertubuh tinggi tegap dan
berwajah kasar inilah yang telah menewaskan Ki Basra. Ganta menatapnya dengan
tajam, dengan sinar mata penuh kebencian dan dendam membara. Begitu bencinya,
sampai-sampai gerahamnya bergemeletuk, dan otot-ototnya meregang kaku.
Terdengar bunyi bergemeletak saat pemuda berbaju putih ketat itu mengepalkan
tangannya.
"Kau berhutang nyawa padaku,
Tikus Keparat..!" geram Ganta mendesis, menahan kemarahan yang melanda
hatinya.
"Ha ha ha...! Sayang sekali,
kau tidak punya kesempatan menagih hutang, Ganta," ejek laki-laki tegap
berbaju kuning itu.
"Langkas...!" panggil
orang tua berjubah merah itu lantang.
Laki-laki tinggi tegap berwajah
kasar yang memakai baju kuning ketat itu berpaling menatap orang tua berjubah
merah yang memanggilnya. Tubuhnya sedikit dibungkukkan, seakan-akan memberi
hormat pada orang tua berjubah merah itu.
"Bereskan dia, aku tunggu di
puri," perintah orang tua berjubah merah itu.
"Baik...."
Tanpa menunggu selesainya
jawaban, orang tua berjubah merah itu cepat melesat pergi. Begitu sempurna ilmu
meringankan tubuh yang dimilikinya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap
dari pandangan mata. Empat orang berbaju merah yang mendampinginya juga bergegas
mengikuti, berlompatan pergi dari tempat itu.
"Pengecut..," desis
Ganta.
Tapi pemuda itu tidak mungkin
bisa mencegah kepergian orang tua berjubah merah tadi. Karena, sepuluh orang
yang dipimpin laki-laki tegap berbaju kuning bernama Langkas itu sudah bergerak
membuat lingkaran mengepung Ganta. Hampir bersamaan mereka mencabut senjata
masing-masing. Sebentar pandangan Ganta beredar ke sekeliling, mengamati
sepuluh orang pengepungnya. Tatapan matanya kemudian tertanam pada Langkas.
"Sudah berapa kali
kukatakan, kalian tidak akan memperoleh apa-apa dariku!" kata Ganta agak
membentak.
"Bicaralah sepuasmu, Ganta.
Sebentar lagi kau harus mengucapkan selamat tinggal pada dunia. Ha ha
ha...!" keras dan menggelegar sekali nada suara Langkas.
"Aku khawatir malah
sebaliknya," desis Ganta dingin.
Trek! Langkas menjentikkan ujung
jarinya. Maka saat itu juga, dua orang berlompatan maju ke depan Ganta. Mereka
memainkan golok di depan dada. Cahaya matahari yang hampir tenggelam dibalik
belahan Barat, membuat golok-golok itu berkilatan, seakan-akan hendak
menggetarkan jantung pemuda berbaju putih ketat itu.
"Beri dia pelajaran, biar
terbuka matanya. Berani benar berurusan dengan Kelompok Golok Setan!"
lantang suara Langkas.
Bet! Bet!
"Yeaaah...!"
"Hup! Hyaaa...!"
Dua orang bersenjata golok itu
cepat berlompatan ke kanan dan kiri Ganta. Lalu hampir bersamaan, mereka
mengebutkan golok ke arah kepala dan kaki pemuda itu. Sejenak Ganta terperangah
menghadapi serangan cepat yang datang dari dua arah ini. Namun begitu dua
batang golok hampir menebas kaki dan kepala, sebelah kakinya cepat mengangkat
sambil merunduk agak membungkuk.
Maka dua senjata golok berdesir
diatas kepala dan kakinya. Begitu golok-golok itu lewat, Ganta cepat
melentingkan tubuh ke udara. Lalu bagaikan kilat tubuhnya meluruk ke bawah
dengan tubuh terbalik. Secepat itu pula, dilepaskannya dua pukulan dengan
tangan kanan dan kiri yang telah merentang lebar bagai sayap seekor burung
hendak melumpuhkan mangsa.
"Hiyaaa...!"
Diegkh!
Des!
Kedua pukulan yang dilepaskan
secara bersamaan itu tepat menghantam kedua orang yang tidak sempat lagi
menghindar. Mereka menjerit keras saling susul. Pukulan Ganta ternyata membuat
kepala mereka pecah, hingga menimbulkan suara berderak keras. Sebentar kedua
orang itu masih mampu berdiri tegak, kemudian limbung dan akhirnya ambruk
menggelepar di tanah. Darah langsung mengucur deras dari kepala yang pecah
terkena pukulan menggeledek bertenaga dalam tinggi. Tidak berapa lama kedua
orang itu menggelepar dan mengerang, kemudian diam tak bernyawa lagi. Darah
terus bercucuran keluar dari kepala yang pecah. Ganta berdiri tegak dengan
bibir menyunggingkan senyum mengejek.
"Kelompok Golok Setan....
Ternyata hanya sampai di situ saja kemampuannya," ejek Ganta memanasi
dengan sinis.
"Phuih!" Langkas
menyemburkan ludahnya, geram.
Betapa geramnya Langkas. Ternyata
dua orang anak buahnya tewas hanya dalam beberapa gebrakan saja. Dia juga
terkejut! Sebab, tidak disangka anak muda yang pekerjaannya mencuri itu,
ternyata memiliki tingkat kepandaian yang cukup mengagumkan juga. Selama ini
Ganta kelihatan seperti orang bodoh yang tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi
sekarang, sepak terjang pemuda itu membuat pemimpin Kelompok Golok Setan harus
menelan pil pahit yang menyakitkan. Dua orang anak buahnya tewas hanya beberapa
gebrak saja. Dia seakan-akan baru disadarkan oleh adanya beberapa mayat berbaju
merah yang bergelimpangan.
"Jangan besar kepala dulu,
hanya karena bisa menjatuhkan dua orang anak buahku, Ganta," desis
Langkas, dingin dan menggetarkan.
"Kau ingin maju...? Silakan.
Jangan menyesal kalau kepalamu terpisah dari leher," tantang Ganta
memanasi.
"Bocah setan...! Bunuh
dia...!" perintah Langkas, sengit.
Seketika itu juga, delapan orang
sisa anak buah Langkas berlompatan menyerang pemuda berbaju putih ketat itu.
Mereka langsung mencabut golok. Menghadapi keroyokan orang-orang yang sudah
berpengalaman dalam pertarungan, Ganta tidak mungkin menganggap remeh. Terlebih
lagi, mereka telah menghilangkan nyawa Ki Basra, orang satu-satunya yang
terdekat dengannya. Sambil berteriak nyaring melengking tinggi, Ganta
melentingkan tubuh ke udara, dan melakukan putaran beberapa kali.
"Hiyaaat...!"
Sret! Begitu Ganta mencabut
golok, tubuhnya langsung meluruk deras ke arah dua orang penyerang yang
terdekat. Cepat sekali Ganta mengibaskan goloknya, sehingga membuat dua orang
itu hanya bisa terperangah.
Bret! Bet!
Dua jeritan panjang melengking
tinggi terdengar saling susul dan menyayat. Kemudian, terlihat dua orang ambruk
menggelepar dengan leher terkoyak terbabat golok pemuda berbaju putih ketat
itu. Baru saja kakinya menjejak tanah, tiba-tiba saja datang satu serangan
cepat bagaikan kilat dari arah samping kanan. Bergegas Ganta menarik tubuhnya
ke kiri, menghindari tebasan golok yang begitu cepat.
Golok itu hanya lewat sedikit
saja di samping bahunya. Dan belum juga tubuhnya ditarik kembali, datang lagi
satu serangan cepat dari arah belakang. Tak ada lagi kesempatan bagi Ganta
untuk menghindar. Maka goloknya cepat dikebutkan ke belakang, melindungi
punggungnya dari tebasan golok yang yang dari arah belakang.
Trang!
Begitu dua golok beradu, bergegas
Ganta memutar tubuh seraya mengebutkan goloknya lurus-lurus. Tubuhnya sedikit
merunduk, dan kakinya menghentak ke belakang, tepat ketika seorang
pengeroyoknya mencoba mencari kesempatan.
"Hih!"
Diegkh!
Cras!
Sekali melakukan gerakan saja,
Ganta telah berhasil menyarangkan satu tendangan keras bertenaga dalam penuh ke
dada salah seorang penyerangnya. Dan goloknya pun kembali beraksi, membabat
perut orang yang tadi membokong dari belakang.
"Aaa...!"
Satu jeritan panjang terdengar
melengking dan menyayat, berpadu keluhan pendek dari orang yang terkena
tendangan pada dadanya. Ganta cepat memutar tubuh, dan goloknya kembali
berkelebat cepat ke samping kanan.
Trang!
"Hait!"
Cepat-cepat Ganta melompat ke
belakang begitu goloknya terasa beradu keras dengan sebuah senjata. Matanya
sempat melirik pada pemilik senjata itu. Ternyata, Langkas sudah terjun dalam
arena pertarungan, tepat ketika golok Ganta hampir menewaskan satu orang lagi
anggota Kelompok Golok Setan.
"Bagus! Jangan hanya bisa
membunuh orang tua tak berdaya," dengus Ganta mengejek.
"Setan...! Kubunuh kau,
Keparat! Hiyaaat...!" Langkas benar-benar geram. Laki-laki kasar ini sudah
kehilangan empat orang anak buahnya. Dan sekarang tinggal lima orang lagi yang
tersisa. Apalagi, tampaknya mereka terlihat mulai gentar menghadapi pemuda
berusia sekitar dua puluh tahun ini. Akan tetapi terjunnya Langkas ke dalam
pertarungan, membuat semangat mereka kembali bangkit.
Kali ini Ganta bukan hanya
menghadapi para kroco, tapi juga harus menghadapi Langkas yang dikenal
berkepandaian cukup tinggi. Ganta yang sudah sering mendengar sepak terjang
Kelompok Golok Setan, harus berhati-hati menghadapi pemimpinnya. Laki-laki
kekar berwajah bengis itu terkenal licik dan punya segudang akal busuk untuk
bisa melumpuhkan lawannya.
Pertempuran kali ini berjalan
sengit. Lima orang anak buah Langkas seringkali tidak kebagian dalam
penyerangan. Mereka seakan-akan begitu tersisih. Terlebih lagi, setelah
pertarungan berjalan lebih dari lima jurus. Mereka benar-benar tidak punya
kesempatan. Dan akhirnya, lima orang itu hanya jadi penonton saja. Sementara
pertarungan kini tinggal satu lawan satu.
"Awas kepala...!"
teriak Langkas tiba-tiba.
Bet!
"Uts!" Hampir saja
golok di tangan Langkas memenggal leher Ganta. Untungnya, pemuda itu segera
menarik kepala ke belakang. Namun tanpa disadari lebih dahulu, tiba-tiba saja
Langkas menghentakkan kakinya ke arah dada pemuda berbaju putih ketat itu.
"Yeaaah...!"
Begitu cepatnya tendangan
pemimpin Kelompok Golok Setan itu, sehingga Ganta tak punya kesempatan
menghindar lagi. Tendangan yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu
tepat menghantam dada.
Des!
"Akh...!" Ganta
terpekik agak tertahan. Pemuda itu terpental keras sekali ke belakang. Dia
jatuh bergulingan di tanah. Pada saat itu, Langkas melompat memburu. Goloknya
langsung dibabatkan beberapa kali ke arah tubuh pemuda itu. Namun Ganta tangkas
sekali berhasil menghindarinya, dengan bergulingan di tanah. Dan ketika ada
sedikit kesempatan, bergegas tubuhnya melenting, bangkit dari tanah. Sungguh
ringan sekali gerakannya. Ganta kini kembali berdiri dengan kedua kakinya yang
mantap.
Namun belum juga Ganta dapat
menarik napas lega, kembali datang satu serangan golok yang mengarah ke dada.
Tak ada lagi kesempatan baginya untuk menghindar. Cepat-cepat goloknya ditarik
untuk melindungi dada. Satu benturan dua senjata golok tak dapat dihindari
lagi.
Trang! "Akh...!"
lagi-lagi Ganta terpekik. Pemuda berbaju putih ketat itu terhuyung-huyung ke
belakang sambil meringis. Tulang-tulang jari tangan kanannya terasa nyeri
sekali. Langsung disadari kalau kekuatan tenaga dalamnya masih kalah satu
tingkat dibanding Langkas.
"Mampus kau!
Hiyaaat...!" teriak Langkas keras menggelegar. Bagaikan kilat, pemimpin
Kelompok Golok Setan itu melompat sambil mengebutkan goloknya ke arah leher.
Sejenak Ganta terbeliak menghadapi serangan yang begitu cepat. Maka bergegas
dia menjatuhkan diri ke tanah. Namun belum juga tubuhnya menyentuh tanah
berdebu, mendadak saja Langkas cepat menarik tebasan goloknya. Langsung
dilepaskannya satu tendangan keras menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam
penuh.
"Yeaaah...!"
Diegkh!
"Aaakh....!" lagi-lagi
Ganta memekik keras agak tertahan. Pemuda berbaju putih itu tersungkur mencium
tanah. Namun Ganta cepat bangkit berdiri, meskipun agak limbung. Dan sebelum
keseimbangan tubuhnya sempat dikendalikan, bagaikan kilat Langkas sudah kembali
melompat menyerang. Goloknya dikebutkan ke arah leher pemuda itu. Kali ini
Ganta benar-benar tidak mungkin bisa menghindari diri lagi.
"Modar kau! Hiyaaat..!"
"Mati aku...," desah
Ganta terbeliak. Namun tiba-tiba saja....
Slap!
Bet!
"Heh...?!"
Golok yang sudah bergerak
mengibas begitu cepat, tak dapat ditarik kembali. Namun Langkas jadi terkejut
setengah mati! Karena begitu goloknya hampir saja membabat leher Ganta,
mendadak saja berkelebat sebuah bayangan yang begitu cepat menyambar tubuh pemuda
pencuri itu. Sebelum ada yang menyadari, tubuh Ganta sudah lenyap bagai
tertelan bumi. Dan Langkas hanya mampu membabat angin. Laki-laki tegap berwajah
kasar dan bengis itu jadi kelabakan. Sebab, lawan yang sudah berada di ambang
maut, mendadak saja lenyap begitu saja.
"Setan keparat...!"
dengus Langkas menggeram berang. Dia, celingukan mencari-cari, tapi Ganta
benar-benar lenyap tidak ketahuan rimbanya lagi. Langkas hanya bisa mendengus
dan menggerutu kesal. Sungguh dia tidak tahu, ke mana perginya pemuda pencuri
itu. Dengan bola mata berapi-api, dipandanginya lima orang anak buahnya yang
juga kebingungan atas kejadian yang begitu cepat ini.
"Kalian lihat, ke mana anak
keparat itu pergi?" tanya Langkas lantang.
Kelima orang itu hanya
menggelengkan kepala saja, Mereka juga tidak tahu, ke mana lenyapnya Ganta.
Langkas jadi bertambah geram. Goloknya segera dikibaskan sambil berteriak keras
menggelegar. Sebatang pohon yang cukup besar, seketika tumbang terkena babatan
golok. Suara menggemuruh menggetarkan jantung terdengar begitu pohon itu ambruk
menghantam tanah.
"Ayo, tinggalkan tempat ini.
Cepat...!" ajak Langkas belum hilang berangnya.
Tanpa menunggu perintah dua kali,
kelima orang itu bergegas berlompatan mengikuti pemimpinnya yang tengah dilanda
kemarahan yang amat sangat. Tak berapa lama kemudian, tempat itu kini jadi
sunyi. Tak lagi sedap untuk dinikmati pemandangannya. Pepohonan bertumbangan
saling tumpang tindih. Banyak tanah berlubang, serta bebatuan berhamburan
menambah tidak sedapnya pemandangan di tempat bekas pertarungan. Belum lagi
mayat-mayat yang bergelimpangan tak terurus, dan siap menjadi santapan binatang
liar di hutan ini.
***
Di mana sebenarnya Ganta berada?
Tidak jauh dari kaki Gunung Garangan sebelah Utara, terdapat sebuah pondok tua
yang sudah reyot dan hampir roboh. Dinding dindingnya berlubang di sana-sini,
atapnya juga berantakan tak beraturan lagi. Di dalam pondok yang kecil itu
Ganta duduk bersila dengan sikap bersemadi. Entah sudah berapa lama pemuda itu
melakukan semadi.
Pakaiannya yang kotor berdebu,
teronggok di sampingnya. Golok dan sebuah bungkusan kain berisi sebuah benda
berbentuk kotak seperti tempat perhiasan para putri bangsawan juga teronggok di
situ. Kedua mata pemuda itu terpejam rapat namun tarikan napasnya begitu
teratur. Ada beberapa luka memar pada dadanya yang memerah. Juga dari sudut
bibirnya masih terlihat bekas darah yang sudah mengering.
Keadaan di dalam pondok kecil ini
juga begitu kumuh. Tak ada yang bisa dilihat, kecuali hanya sebuah dipan reyot
dari bambu yang beralaskan anyaman tikar pandan, yang kini diduduki Ganta.
Perabotan di situ pun hanya kuali dan berbagai peralatan dapur dari tanah liat.
Lantai tanah dalam pondok itu terlihat lembab dan berlumut. Udaranya begitu
pengap berbau tidak sedap.
Kriiiet...!
Pintu pondok yang semula tertutup
rapat, perlahan terbuka. Dari luar, tampak muncul seorang laki-laki muda
berjubah kuning gading bagai pendeta. Jari-jari tangan kanannya terus meniti
butiran batu kuning keemasan yang teruntai membentuk kalung. Pemuda itu
melangkah masuk dan tersenyum melihat Ganta masih duduk bersemadi dengan tekun
sekali.
"Bagaimana keadaanmu,
Ganta?" tanya pemuda berjubah kuning yang ternyata adalah Nada Prakasa,
yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Kalung Sakti.
Perlahan Ganta membuka matanya,
lalu menarik napas lambat-lambat, dan menghembuskannya dengan nikmat sekali.
Tubuhnya digeliatkan sedikit. Lalu dia melakukan beberapa gerakan tangan, dan
kembali meletakkan kedua telapak tangannya di atas lutut. Pandangannya langsung
tertuju pada Pendekar Kalung Sakti.
"Bagaimana keadaanmu,
Ganta?" tanya Pendekar Kalung Sakti seraya duduk bersila didepan Ganta.
"Sudah membaik," sahut
Ganta. "Aku tidak tahu, bagaimana harus mengucapkan terima kasih
padamu."
"Apa yang kulakukan hanya
sebagian kecil dari tugas seorang pendekar, Ganta. Kau memerlukan bantuan, dan
aku tidak bisa menonton begitu saja tanpa melakukan sesuatu," jelas
Pendekar Kalung Sakti, merendah.
"Bagaimana kau bisa begitu
cepat menyelamatkan nyawaku?" tanya Ganta.
"Kebetulan aku lewat dekat
tempat pertarunganmu. Semula aku tidak ingin ikut campur. Tapi melihat
keadaanmu begitu terdesak, aku tidak bisa diam. Maaf kalau aku mencampuri
urusanmu dengan Kelompok Golok Setan," Pendekar Kalung Sakti menguraikan
dengan nada merendah.
"Langkas memang tangguh. Aku
benar-benar tidak sanggup menghadapinya," Ganta agak mengeluh.
"Sebenarnya kau mampu
menghadapi Langkas, Ganta. Hanya sayangnya kau masih terbawa nafsu amarah
sehingga tidak dapat mengendalikan diri. Juga, kau tidak dapat membedakan gerak
tipu maupun gerak sebenarnya. Jika lebih cermat dan dapat mengendalikan
perasaan hati, aku yakin kau pasti dapat mengalahkannya."
"Kau hanya menghiburku saja,
Pendekar Kalung Sakti."
"Aku berkata yang sebenarnya.
Walaupun pemilik ilmu 'Ular Merah' telah meninggal tiga puluh tahun yang lalu,
tapi ilmu-ilmu yang kau pelajari dari Kitab Ular Merah sudah mencapai tingkatan
yang cukup tinggi. Dengan kepandaian yang kau miliki sekarang ini, sebenarnya
sudah sukar bagi orang seperti Langkas untuk mengalahkanmu. Apalagi jika kau
sudah berhasil memperdalam dan menyempurnakannya lagi. Pasti kau akan
diperhitungkan dalam rimba persilatan."
"Dari mana kau tahu kalau
aku memperoleh semua ini dari Kitab Ular Merah?" tanya Ganta agak
terperanjat.
"Bukan hanya aku saja yang
tahu, tapi hampir seluruh tokoh persilatan sudah mengetahuinya. Kau telah
menyimpan Kitab Ular Merah yang dicuri dari si Siluman Ular Merah di Puri
Sangga Mayit," sahut Pendekar Kalung Sakti, tetap lembut dan tenang nada
suaranya.
Ganta terdiam. Pandangannya
begitu dalam, merayapi wajah tampan di depannya. Sungguh tidak pernah disangka
kalau Kitab Ular Merah yang dicurinya dari Puri Sangga Mayit sudah begitu cepat
menyebar. Dan memang, dalam dua tahun setelah menguasai Kitab itu, sudah
beberapa kali dia harus bertarung mempertahankan nyawa. Seperti halnya dengan
Kelompok Golok Setan, dan orang-orang berbaju merah yang dipimpin oleh seorang
laki-laki tua berjubah merah. Ganta tidak tahu, siapa laki-laki tua berjubah
merah itu. Tapi, jelas ada hubungannya dengan Kelompok Golok Setan. Terbukti,
sikap Langkas kelihatan begitu hormat terhadap orang tua berjubah merah itu.
"Sekarang ini, kau
benar-benar dalam kesulitan besar, Ganta. Kau membutuhkan seseorang yang dapat
melindungimu dari kejaran orang-orang Siluman Ular Merah. Sudah pasti dia tidak
akan melepaskanmu begitu saja, selama kitab yang kau curi darinya masih di
tanganmu," jelas Pendekar Kalung Sakti lagi.
Ganta masih tetap terdiam
membisu.
"Terlebih lagi sekarang ini.
Sudah banyak tokoh rimba persilatan, baik dari golongan hitam maupun putih yang
berkeliaran mencarimu. Mereka juga ingin mendapatkan kitab itu. Karena kitab
yang kau curi kebetulan kitab intisari ilmu-ilmu Siluman Ular Merah. Jika kau berhasil
menguasainya secara sempurna, si Siluman Ular Merah sendiri pun akan kesulitan
menghadapimu," sambung Pendekar Kalung Sakti.
"Kau tahu banyak tentang
kitab itu, Pendekar Kalung Sakti. Apakah kau juga berminat untuk
menguasainya?" ada nada kecurigaan di dalam suara Ganta.
Pendekar Kalung Sakti tersenyum
seraya menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian tangannya merogoh ke balik lipatan
jubahnya, dan mengeluarkan sesuatu yang terbungkus selembar kain sutra berwarna
putih halus dengan lipatan rapi. Diletakkannya bungkusan kain sutra berbentuk
kotak itu, tepat di depan Ganta.
"Aku diminta untuk mencarimu
oleh seseorang yang memiliki benda ini. Dia berpesan, agar aku membawamu kepada
seorang pendekar yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Katanya, kau pasti
kenal jika sudah melihat benda itu, Ganta," jelas Pendekar Kalung Sakti.
Sejenak Ganta terdiam memandangi
bungkusan kain sutra putih di depannya. Kemudian ditatapnya Pendekar Kalung
Sakti beberapa saat. Perlahan tangannya terulur mengambil bungkusan kain sutra
putih itu, lalu membukanya dengan hati-hati sekali. Di dalam bungkusan kain
sutra putih itu terdapat sebuah kotak kayu kecil berukir yang halus. Kembali
dipandangnya Pendekar Kalung Sakti. Pendekar muda yang tampan dan berjubah
bagai pendeta itu hanya tersenyum seraya menganggukkan kepala. Ganta kemudian
membuka tutup kotak itu.
"Oh...?!" Kedua mata
Ganta terbeliak begitu melihat isi kotak kecil itu. Seakan-akan dia hampir
tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Pandangannya berpindah-pindah,
dari kotak kayu kecil berukir itu kepada Pendekar Kalung Sakti. Untuk beberapa
saat Ganta hanya terdiam membisu. Wajahnya agak memerah dan tubuhnya bersimbah
keringat, sedikit bergetar. Pendekar Kalung Sakti jadi menyipit matanya melihat
perubahan yang begitu mendadak.
EMPAT
"Siapa yang memberimu
ini?" tanya Ganta setelah dapat menguasai diri.
"Seorang gadis di Karang
Setra," sahut Pendekar Kalung Sakti.
"Kau tahu, siapa
namanya?" tanya Ganta lagi.
"Sayang sekali, namanya
tidak disebutkan. Dia hanya memberikan benda itu, dan memintaku untuk
memberikannya padamu. Setelah itu, aku diminta mengantarmu untuk menemui
Pendekar Rajawali Sakti di Istana Karang Setra," Pendekar Kalung Sakti
menjelaskan singkat.
Ganta kembali terdiam.
Dipandanginya sebuah batu hitam berbingkai emas, berbentuk sekuntum bunga yang
ada di dalam kotak kayu berukir. Ditutupnya kembali kotak kayu itu.
Pandangannya menerawang jauh ke depan dan begitu kosong tanpa arti. Ingatannya
kembali berputar pada dua tahun yang lalu, ketika masih tinggal disebuah desa
yang berada di wilayah Kerajaan Karang Setra. Tepatnya di Desa Batu Ceper.
"Widarti...," desis
Ganta tanpa sadar.
"Mungkinkah dia masih hidup,
dan masih berada di Karang Setra...?"
Baru saja Ganta akan turun dari
dipan bambu, mendadak saja....
"Ganta keluar kau...!"
"Heh...?! Siapa
itu...?" Ganta tersentak kaget.
Bukan hanya Ganta yang terkejut,
tapi juga Pendekar Kalung Sakti sampai terlompat turun dari dipan bambu.
Sejenak mereka saling berpandangan, kemudian Ganta hendak melangkah keluar.
Namun, Pendekar Kalung Sakti keburu mencegahnya.
"Kenakan dulu pakaianmu,
Ganta," ujar Pendekar Kalung Sakti berbisik.
Ganta seakan-akan baru sadar,
kalau saat ini tidak berpakaian. Bergegas diambilnya pakaian yang teronggok di
atas dipan, kemudian bergegas dikenakannya. Goloknya diselipkan ke pinggang.
Kotak kayu kecil itu kembali dibungkus dengan kain sutra putih, lalu disimpan
di balik sabuknya yang terbuat dari kulit.
"Siapa orang yang di luar
itu, Pendekar Kalung Sakti?" tanya Ganta, seperti untuk dirinya sendiri.
"Mungkin orang-orangnya
Siluman Ular Merah, atau Kelompok Golok Setan. Mungkin juga orang-orang dari
rimba persilatan yang juga ingin menguasai kitab yang kau curi dari Puri Sangga
Mayit," sahut Pendekar Kalung Sakti.
"Kenapa orang-orang rimba
persilatan selalu membuang nyawa percuma hanya untuk sebuah kitab...?"
kembali Ganta menggumam seolah-olah bertanya pada dirinya sendiri.
"Sudah menjadi hukum rimba
yang tidak bisa ditawar lagi, Ganta. Sesuatu yang berharga dan dapat memperkuat
diri, selalu menjadi incaran orang. Tidak ubahnya orang-orang yang bisa mencari
harta kekayaan dan kesenangan dengan segala cara. Baik yang terpuji, maupun
yang dikutuk Sang Hyang Widi. Dan sekarang, kau memiliki sebuah kitab yang
sangat berharga. Tidak heran jika berita itu cepat tersebar, dan kini kau harus
menghadapi mereka," jelas Pendekar Kalung Sakti.
Ganta mendengus berat, kemudian
melangkah tegap keluar dari pondok kecil ini. Pendekar Kalung Sakti mengikuti
dari belakang. Di depan pondok tampak sudah berkumpul orang-orang berbaju
merah. Di antara mereka, terlihat Langkas dan lima orang anak buahnya. Mereka
semua menggenggam golok terhunus. Ganta memandangi mereka dengan sinar mata
tajam. Ada sekitar tiga puluhan banyaknya, atau mungkin lebih. Seakan-akan
tempat yang kecil ini tidak dapat lagi menampung orang-orang yang memadati
halaman pondok itu.
"Firasatku mengatakan, ada
beberapa orang berkepandaian tinggi yang hadir di sekitar tempat ini,
Ganta," bisik Pendekar Kalung Sakti memperingatkan.
"Merekakah orang-orang
persilatan...?" Tanya Ganta juga berbisik.
"Aku kira begitu, Ganta.
Hati-hatilah. Kalau ada kesempatan, lebih baik cepat pergi dari sini."
Ganta jadi tercenung. Menghadapi
Langkas saja, hampir mati. Apalagi untuk menghadapi begini banyak orang,
ditambah orang-orang rimba persilatan yang masih tersembunyi dan tidak jauh
dari sekitar pondok kecil ini. Meskipun di sampingnya ada Pendekar Kalung
Sakti, tapi rasanya memang sukar untuk dapat lolos. Terlebih lagi menyelamatkan
diri.
"Walaupun harus mati, tidak
bakalan aku sudi menyerahkan kitab itu, Pendekar Kalung Sakti," desis
Ganta bertekad.
Pendekar Kalung Sakti menepuk
pundak pemuda itu. Hatinya kagum terhadap kekerasan hati Ganta. Meskipun
mendapat sebuah kitab dengan cara mencuri, namun benda yang diperolehnya
berharga sekali. Bahkan menjadi incaran tokoh-tokoh rimba persilatan. Pendekar
Kalung Sakti harus membela Ganta. Karena jika kitab itu berhasil dikuasai
kembali Siluman Ular Merah, tidak dapat dibayangkan, bagaimana jadinya dunia
persilatan ini. Tokoh sesat itu bisa semakin merajalela dan sukar dicari tandingannya.
Siluman Ular Merah memang belum sempat seluruhnya mempelajari intisari 'Ilmu
Siluman Merah', karena kitab itu telah keburu dicuri Ganta.
"Langkas! Kau ingin
mendapatkan kitab itu? Langkahi dulu mayatku, baru kau bisa
mendapatkannya!" tantang Ganta lantang.
"Bedebah! Kau memang harus
mampus, Bocah Setan!" geram Langkas berang.
Sret! Ganta mencabut goloknya,
dan ditempatkan melintang di depan dada. Tatapan matanya begitu tajam, merayapi
orang-orang yang berada di sekitarnya. Mereka semua tinggal menunggu perintah
saja. Dan sebentar kemudian....
"Serang dan bunuh bocah
keparat itu...!" perintah Langkas, lantang menggelegar.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Bagaikan batu-batu yang longsor
dari atas bukit, orang-orang berbaju merah itu meluruk deras sambil
berteriak-teriak membakar semangat pertempuran. Golok mereka teracung di atas
kepala. Dan mereka yang berada di depan, langsung berlompatan seraya
mengibaskan golok ke arah Ganta. Tak ada seorang pun yang mempedulikan Pendekar
Kalung Sakti.
Bagaikan kesetanan, Ganta
mengamuk mengibaskan goloknya dengan cepat dan bertubi-tubi. Jerit dan erangan
kesakitan menggema, bercampur baur dengan teriakan dan pekikan pertempuran yang
membahana. Tubuh-tubuh bersimbah darah bergelimpangan satu persatu. Dalam waktu
sebentar saja, sudah lebih sepuluh orang yang tewas. Bau anyir darah mulai
tercium menyemaraki udara sekitarnya.
"Ganta benar-benar berbakat.
Kalau dia mendapat gemblengan dan mampu menyempurnakan ilmu Ular Merah', aku
yakin, dunia persilatan akan dibuat gempar," gumam Pendekar Kalung Sakti.
Dalam beberapa jurus, Ganta
memang masih terlihat tangguh menghadapi lawan-lawannya. Tapi menghadapi begitu
banyak lawan yang seakan-akan tidak pernah habis, tenaganya jadi terkuras juga.
Gerakan-gerakannya mulai menurun, dan mulai tampak kewalahan. Beberapa kali
pukulan dan tendangan lawan bersarang di tubuhnya. Namun Ganta benar-benar tak
mengenal gentar. Meskipun di tubuhnya sudah terdapat luka dari dua bacokan
golok, dia tetap gigih bagaikan banteng liar.
"Dia bisa mati kalau
terus-menerus begini," desis Pendekar Kalung Sakti jadi cemas.
Keadaan Ganta memang sudah begitu
mengkhawatirkan. Darah terus mengucur deras dari tubuhnya.. Dan kelihatannya
dia bertambah lemah saja. Serangan-serangannya sudah tidak lagi menggigit. Hal
ini membuat Pendekar Kalung Sakti semakin cemas.
"Aku harus cepat
bertindak," desisnya. "Hiyat..!"
Pendekar Kalung Sakti langsung
melompat cepat bagai kilat, masuk dalam kancah pertempuran. Kalung emasnya
berkelebat cepat menghajar orang-orang yang mengeroyok Ganta. Jeritan-jeritan
panjang melengking tinggi terdengar saling sambut disusul bergelimpangannya
tubuh-tubuh berlumuran darah.
"Ganta! Cepat pergi dari
sini!" seas Pendekar Kalung Sakti keras menggelegar.
"Tidak...! Aku harus
membunuh mereka semua, atau aku yang mati di sini!" sahut Ganta lantang.
"Kau jangan bertindak nekat
Ganta!"
"Mereka atau aku yang harus
mati...! Hiyaaat..!"
"Gila! Dia benar-benar sudah
nekat," dengus Pendekar Kalung Sakti.
Tak ada pilihan lain bagi pemuda
bernama Nada Prakasa ini. Dia terpaksa bertarung mengurangi kekuatan
lawan-lawan pemuda itu. Dengan kalung emas saktinya, pendekar yang selalu
mengenakan jubah bagai seorang pendeta itu memang sukar ditandingi. Apalagi
bagi orang-orang yang berkepandaian jauh lebih rendah darinya. Sehingga dalam
beberapa gebrakan saja, sudah tidak terhitung lagi orang yang jatuh
bergelimpangan tak bernyawa.
Namun orang-orang berbaju merah
itu seakan-akan tidak ada habis-habisnya. Entah dari mana datangnya, mereka
selalu muncul dan cepat masuk dalam pertempuran. Pendekar Kalung Sakti pun
hampir tidak percaya kalau orang-orang berbaju merah yang dikenalnya sebagai
anak buah Siluman Ular Merah begitu besar jumlahnya. Dan dia cepat menyadari
kalau sekitar tempat ini tentu sudah terkepung rapat Tak ada lagi celah untuk
dapat meloloskan diri. Pada saat yang begitu gawat, tiba-tiba sebuah bayangan
besar menggantung di angkasa. Dan....
"Khraaagkh...!"
Bagaikan kilat, bayangan besar
keperakan itu menukik ke arah pertarungan, langsung menyambar Pendekar Kalung
Sakti. Gerakannya begitu cepat bagaikan kilat, sehingga Pendekar Kalung Sakti
tak sempat lagi berbuat sesuatu. Tahu-tahu tubuhnya sudah membumbung tinggi
keangkasa. Namun begitu dia berpaling ke atas....
"Itu Ganta, yang baju putih.
Dia sudah cukup parah...!" teriak Pendekar Kalung Sakti.
"Khraaagkh...!"
"Bertahanlah sedikit,
Pendekar Kalung Sakti!" terdengar sahutan menggema yang sangat berwibawa
sekali.
Seketika itu juga, kembali
bayangan besar itu menukik. Mereka yang mengeroyok pemuda berbaju putih ketat
itu jadi terpana, ketika melihat sesosok bayangan besar itu tiba-tiba melesat
ke arena pertempuran. Lalu sebelum mereka menyadari kejadian selanjutnya,
bayangan besar itu telah melesat ke angkasa lagi sambil menyambar tubuh Ganta
yang sudah berlumuran darah. Tak ada seorang pun yang berbuat sesuatu. Mereka
hanya saling pandang, seakan-akan terkesima oleh kejadian yang sangat cepat
itu. Terlebih lagi Langkas yang pada saat itu hampir saja menebas leher Ganta.
"Setan alas...!" geram
Langkas memaki.
Dua kali dia kehilangan Ganta
pada saat-saat yang teramat gawat, dan dengan cara yang sukar diterima akal
sehat. Langkas hanya bisa memaki, karena Ganta dan Pendekar Kalung Sakti
benar-benar lenyap ditolong sesosok bayangan besar yang diduganya seekor burung
raksasa!
"Hal ini tidak bisa
didiamkan lagi. Aku harus melaporkan pada Siluman Ular Merah!" dengus
Langkas menahan geram.
***
Langkas duduk bersimpuh di lantai
yang keras dan berkilat sambil tertunduk dalam. Lima orang anak buahnya duduk
di belakang laki-laki kekar bertampang bengis itu. Di depan mereka, berdiri
seorang laki-laki tua berjubah merah. Di tangan kanannya tergenggam sebatang
tongkat berkepala tengkorak yang ujungnya runcing. Wajah laki-laki tua itu
kelihatan memerah, seolah-olah menahan kemarahan yang hampir memuncak.
Sepasang bola matanya berkilatan
tajam merayapi orang-orang yang duduk bersimpuh di lantai. Di dalam ruangan
yang sangat besar dan tampak megah ini, hampir penuh sesak oleh orang berbaju
merah. Tak ada seorang pun yang berani mengangkat kepalanya. Begitu sunyinya,
sampai-sampai desiran angin yang begitu lemah pun terdengar jelas sekali.
"Kalian benar-benar tidak
berguna! Menghadapi bocah ingusan saja tidak becus!" dengus laki-laki tua
berjubah merah itu, dingin menggetarkan.
"Anak itu dibantu seorang
pendekar, Siluman Ular Merah," ujar Langkas tanpa mengangkat kepalanya.
"Hanya satu orang yang
membantu, dan aku harus kehilangan begitu banyak orang, heh...?!" bentak
laki-laki tua yang ternyata adalah Siluman Ular Merah, berang.
Tak ada seorang pun yang berani
membuka suara lagi Mereka semakin dalam tertunduk. Siluman Ular Merah
menghempaskan dirinya di kursi yang memiliki sandaran tinggi. Ujung tongkatnya
dihentak-hentakkan ke lantai, sehingga bunyinya seakan-akan seperti detak-detak
penentu kematian. Membuat semua yang berada di dalam ruangan itu semakin
bergetar, tak mampu lagi mengangkat kepala.
"Siapa pendekar itu,
Langkas?" tanya Siluman Ular Merah, agak rendah nada suaranya.
"Pendekar Kalung
Sakti," sahut Langkas seraya mengangkat kepalanya perlahan.
"Pendekar Kalung
Sakti...," gumam Siluman Ular Merah perlahan, hampir tidak terdengar
suaranya. "Kau tahu, mengapa dia membantu bocah itu?"
"Aku sempat mendengar
beberapa pembicaraan mereka di dalam pondok, Siluman Ular Merah. Dia sengaja
menemui Ganta untuk dibawa ke Karang Setra. Kelihatannya pendekar itu tidak
peduli dengan Kitab Ular Merah yang dicuri Ganta dari sini," jelas
Langkas.
"Karang Setra...? Bukankah
itu sebuah kerajaan di daerah Kulon?"
"Benar! Dan rajanya bernama
Prabu Rangga Pati Permadi. Dia juga seorang pendekar yang berjuluk Pendekar
Rajawali Sakti," sahut Langkas memberi penjelasan.
"Mau apa dia ke sana?"
Siluman Ular Merah seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Mereka hendak menemui
Pendekar Rajawali Sakti di Istana Karang Setra," Langkas menyahuti tanpa
diminta lagi.
Brak!
Siluman Ular Merah menggebrak
meja yang ada di sampingnya. Meja dari kayu jati tebal dan bertatakan batu
pualam putih itu seketika hancur berkeping-keping terkena pukulan laki-laki tua
berjubah merah ini. Wajahnya semakin bertambah memerah. Gerahamnya bergemeletuk
menahan kemarahan yang kembali memuncak.
"Setan! Ini tidak boleh
terjadi...! Wanita keparat itu pasti telah menyerahkan 'Bunga Hitam' pada
Pendekar Kalung Sakti untuk diserahkan pada Pendekar Rajawali Sakti. Kau tahu,
Langkas. Benda itu dapat meningkatkan kesaktianku! Jangan sampai benda itu
jatuh ke tangan Pendekar Rajawali Sakti!" desis Siluman Ular Merah.
Dipandanginya Langkas dan semua
orang yang berada di ruangan besar ini. Sedangkan Langkas sudah kembali
tertunduk. Untuk beberapa saat, tak ada suara sedikit pun yang terdengar.
Semuanya membisu, menunggu keputusan yang akan diambil Siluman Ular Merah.
"Langkas...," panggil
Siluman Ular Merah.
Langkas kembali mengangkat
kepala, memandang pada laki-laki tua berjubah merah itu. Agak bergetar juga
hatinya melihat sinar mata Siluman Ular Merah yang menusuk, bagai sepasang bola
api yang siap membakar apa saja di depannya.
"Bawa semua kekuatan yang
ada. Aku yakin, mereka pasti menempuh jalan Utara. Cegat mereka di sana. Jangan
pedulikan prajurit-prajurit Karang Setra. Kekuatan mereka tidak ada artinya.
Kau mengerti, Langkas...?" perintah Siluman Ular Merah.
"Mengerti," sahut
Langkas seraya mengangguk.
"Bersiaplah sekarang juga.
Aku sendiri yang akan memimpin kalian semua."
"Baik, Siluman Ular
Merah."
Langkas bangkit berdiri dan
membungkukkan badannya sedikit, kemudian membalikkan tubuhnya dan melangkah
meninggalkan ruangan besar itu. Semua orang yang ada di ruangan itu ikut
berdiri. Serentak mereka membungkuk memberi hormat, lalu berjalan ke luar
dengan teratur sekali.
Tidak berapa lama, ruangan jadi
sepi. Tak ada seorang pun di sana, kecuali Siluman Ular Merah yang masih duduk
di kursi megah bagai sebuah singgasana para raja. Beberapa saat dia masih duduk
di sana, kemudian bangkit berdiri. Ayunan kakinya begitu mantap menuju sebuah
pintu yang berada tidak seberapa jauh dari kursi megah itu. Didorongnya pintu
itu dengan ujung tongkatnya. Kemudian, kakinya melangkah masuk. Ternyata di
balik pintu itu terdapat sebuah lorong yang tidak begitu panjang.
Siluman Ular Merah terus
melangkah menyusuri lorong yang hanya diterangi cahaya api obor. Laki-laki tua
itu berbelok pada sebuah tikungan yang memiliki pintu dari besi baja tebal dan
kokoh. Suara berderit terdengar mengiris hari saat Siluman Ular Merah membuka
pintu besi itu. Cahaya lampu pelita dari buah jarak menerangi sebuah ruangan
berdinding batu. Hanya ada satu pelita yang menerangi ruangan berukuran tidak
begitu besar itu.
Siluman Ular Merah melangkah
masuk, lalu kembali menutup pintu. Tidak ada barang-barang di dalam ruangan
ini, kecuali sebuah dipan kayu yang terletak di sudut ruangan ini. Di atas
dipan kayu itu duduk seorang wanita yang wajahnya lesu tanpa gairah hidup. Sinar
matanya begitu redup kala menatap Siluman Ular Merah. Namun dari keredupan
cahaya matanya, tercermin kebencian yang amat sangat
"Kau berhasil. Tapi sayang,
bukan ke sini tujuannya," kata Siluman Ular Merah perlahan.
"Phuih! Kau tidak akan bisa
memperoleh apa-apa dariku, iblis!" dengus wanita itu ketus.
"He he he.... Asal tahu
saja, tidak ada seorang pun yang dapat mengeluarkanmu dari sini. Dan sebentar
lagi, dia akan mampus. He he he...," Siluman Ular Merah tertawa terkekeh.
"Huh! Sampai mati pun, aku
tidak akan mengatakan apa-apa padamu, iblis!"
Sambil tertawa terkekeh
menyeringai, Siluman Ular Merah menghampiri wanita itu. Sepasang bola matanya
berkilatan, memancarkan cahaya penuh gairah membara. Wanita berkulit kuning
langsat itu jadi bergidik. Tubuhnya langsung bergeser, hingga merapat ke
dinding. Bagaikan seekor serigala lapar melihat kelinci gemuk, laki-laki tua
itu melompat menerkam wanita itu. Gerakannya begitu cepat, sehingga wanita
berpakaian koyak itu tidak dapat lagi menghindar.
"Auw...!" Wanita itu
menjerit dan meronta, mencoba melepaskan diri. Namun pelukan Siluman Ular Merah
begitu kuat. Sia-sia saja dia berontak, meskipun sudah berusaha keras. Mereka
bergulingan di balai-balai bambu yang reyot. Wanita itu mencoba menghindari hunjaman
ciuman Siluman Ular Merah yang begitu gencar menjelajahi seluruh wajah dan
lehernya.
"Kurang ajar!
Lepaskan...!" jerit wanita itu terus meronta.
Namun jeritan dan rontaan wanita
itu tidak dihiraukan. Bahkan malah membuat Siluman Ular Merah semakin bergairah.
Kasar sekali dia merenggut baju yang sudah hampir tidak berbentuk lagi.
Sepasang bukit kembar yang putih dan indah mencuat keluar, membuat bola mata
Siluman Ular Merah berkilatan penuh gairah.
"Setan...! Iblis! Kubunuh
kau, Keparat...!" maki wanita itu menjerit-jerit.
Baru saja Siluman Ular Merah
berhasil merampas baju wanita yang bernama Widarti itu, tiba-tiba saja
terdengar ketukan di pintu. Laki-laki tua itu mendengus sambil berpaling
menatap pintu.
"Setan....!" maki
Siluman Ular Merah berang. Cepat dia melompat turun dari balai-balai, langsung
bergegas ke pintu. Dengan kasar dibukakannya pintu kamar ini. Di sana Langkas
tampak berdiri sambil membungkuk sedikit.
"Mau apa kau?" bentak
Siluman Ular Merah.
"Semua sudah siap. Tinggal
menunggu...."
Langkas tidak melanjutkan.
Matanya melirik ke dalam kamar. Kepalanya langsung tertunduk begitu melihat
Widarti tergolek tanpa pakaian. Siluman Ular Merah berpaling sebentar menatap
Widarti, lalu bergegas melangkah keluar. Pintu terbanting keras menutup kembali.
Sementara Widarti hanya dapat menyesali nasib buruknya. Pakaiannya yang
teronggok disampingnya diraih, lalu dikenakan kembali meskipun sudah tidak
sempurna lagi untuk menutupi tubuhnya. Beberapa bagian tubuhnya menyembul
keluar, menampakkan kulit yang putih halus.
"Dewata Yang Agung...,
tuntunlah Kakang Ganta ke sini. Rohku tidak akan tenang sebelum melihat iblis
tua keparat itu mampus. Aku bersumpah, akan kupenggal batang lehernya.
Oh...," rintih Widarti lirih.
***
LIMA
Sementara itu, tidak jauh dari
sebelah Utara perbatasan Kerajaan Karang Setra, tampak dua orang laki-laki muda
tengah duduk bersila berdampingan di bawah sebatang pohon yang cukup rindang.
Mereka tidak berkedip memperhatikan seorang pemuda tanpa mengenakan baju tengah
bersemadi di atas sebongkah batu yang cukup besar dan pipih. Tidak jauh dari
tempat itu, terlihat seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan.
Binatang itu mendekam diam sambil memperhatikan pemuda yang tengah melakukan
semadi di bawah teriknya sinar matahari.
"Untung kau cepat datang,
Pendekar Rajawali Sakti," desah pemuda tampan berjubah kuning bagai
pendeta.
Sedangkan pemuda yang duduk
disampingnya berpaling sedikit, lalu memberi senyuman tipis. Bajunya rompi
putih dengan sebilah pedang bergagang kepala burung tersampir di punggungnya.
"Aku menerima suratmu, dan
langsung berangkat," jelas pemuda berbaju rompi putih yang tak lain adalah
Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti.
"Dia sudah bersamamu,
Pendekar Rajawali Sakti. Maka, sekarang aku harus pergi," kata pemuda
berbaju kuning gading bagai pendeta. Dia adalah Nada Prakasa, yang lebih
dikenal dengan gelar Pendekar Kalung Sakti.
"Kenapa harus tergesa-gesa,
Pendekar Kalung Sakti?" Rangga ingin mencegah.
"Tugasku sudah selesai, Pendekar
Rajawali Sakti."
"Lalu, bagaimana dengan
Widarti?" tanya Rangga.
Pendekar Kalung Sakti tidak
segera menjawab. Ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat.
Pandangannya kembali tertuju pada pemuda yang tengah bersemadi. Sebentar kemudian
beralih pada Pendekar Rajawali Sakti yang duduk di sampingnya. Dalam surat yang
dikirimkan untuk Pendekar Rajawali Sakti, semuanya memang sudah diceritakannya.
Jadi tidak perlu lagi harus dijelaskan lagi secara terperinci. Pendekar Kalung
Sakti yakin kalau pemuda berbaju rompi putih ini sudah tanggap terhadap keadaan
yang terjadi.
Waktu itu, Pendekar Kalung Sakti
telah menyelamatkan Widarti dari keroyokan Kelompok Golok Setan yang telah
bergabung dengan Siluman Ular Merah. Namun sebelumnya, Widarti secara diam-diam
telah menyerahkan Bunga Hitam pada Pendekar Kalung Sakti untuk diserahkan pada
Ganta. Dan Ganta harus mengantarkannya pada Pendekar Rajawali Sakti.
Bunga Hitam sebenarnya memang
warisan keluarga Ganta. Benda itu memang tengah dicari-cari oleh tokoh-tokoh
rimba persilatan, karena keampuhannya dalam meningkatkan kesaktian. Dan karena
menjadi rebutan, maka hanya Pendekar Rajawali Saktilah yang mampu
mengamankannya.
Setelah Widarti dapat
diselamatkan, ternyata Pendekar Kalung Sakti harus berhadapan dengan Siluman
Ular Merah. Laki-laki tua itu sebenarnya hanya ingin menyandera Widarti, adik
Ganta. Hal ini dilakukan karena Ganta telah mencuri Kitab Ular Merah dari Puri
Sangga Mayit. Dan pada akhirnya Pendekar Kalung Sakti dapat dikalahkan oleh Siluman
Ular Merah sedangkan Widarti berhasil diculik oleh laki-laki tua itu.
Sebelum berhadapan dengan Siluman
Ular Merah, Pendekar Kalung Sakti telah mengirimkan sepucuk surat pada Pendekar
Rajawali Sakti lewat seorang pedagang dari Karang Setra. Dan pada kenyataannya,
surat itu telah dibaca oleh Pendekar Rajawali Sakti hingga dia datang ke sini.
"Aku hanya berharap, dia
tidak mengalami sesuatu yang buruk," desah Pendekar Kalung Sakti perlahan,
seakan-akan bicara untuk dirinya sendiri.
"Aku tidak pernah bertemu
muka dengan si Siluman Ular Merah. Dan juga, aku tidak tahu kalau dia berada di
wilayah kerajaanku ini. Tapi aku tidak akan menolak siapa pun yang meminta
bantuanku," jelas Rangga seperti ingin meyakinkan.
"Aku percaya padamu,
Pendekar Rajawali Sakti. Sudah sering dirimu kudengar di Selatan. Aku bangga
bisa berkenalan denganmu, meskipun dalam suasana yang tidak menyenangkan
ini," sambut Pendekar Kalung Sakti.
"Terima kasih. Mudah-mudahan
perkenalan ini akan berlanjut menjadi persahabatan."
"Aku pun berharap
begitu."
Mereka kemudian saling berjabatan
tangan hangat dan penuh persahabatan. Untuk beberapa saat mereka terdiam.
Mungkin sibuk dengan pikiran masing-masing. Dan hampir bersamaan mereka
mengarahkan pandangan kembali pada pemuda yang tengah tekun bersemadi.
"Apa Ganta bisa pulih
seperti semula kembali, Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Pendekar Kalung
Sakti.
"Aku harap begitu. Lukanya
tidak terlalu parah," sahut Rangga.
"Aku kagum. Ternyata kau
pandai juga mengobati orang," puji Pendekar Kalung Sakti.
Rangga hanya tersenyum saja.
"Berapa lama dia harus
bersemadi?"
"Sampai senja nanti. Dia
terlalu banyak menguras tenaga dan mengeluarkan darah. Perlu dua hari lagi
untuk memulihkan tenaganya," jelas Rangga.
"Kasihan dia...," desah
Pendekar Kalung Sakti bergumam.
"Segala sesuatu mengandung
akibat, Pendekar Kalung Sakti,"
"Benar. Tapi, dia tidak tahu
akibat dari perbuatannya."
"Aku tidak yakin, dia
mencuri kitab itu karena tidak sengaja," agak menggumam nada suara Rangga.
"Maksudmu?"
"Di dalam suratmu, kau mengatakan
Widarti sekarang ini berada di tangan Siluman Ular Merah. Dan gadis itu adalah
adik Ganta...."
"Memang benar," sahut
Pendekar Kalung Sakti.
"Lalu, bagaimana kau bisa
bertemu Widarti?"
"Aku pernah bermaksud
menolongnya dari keroyokan Kelompok Golok Setan tanpa disengaja. Dia sempat
menitipkan sebuah benda padaku, dan berpesan agar aku mencari Ganta agar benda
itu diberikan padanya. Kemudian Widarti juga minta tolong agar benda ini
diserahkan padamu...," dengan singkat Pendekar Kalung Sakti menceritakan
pertemuannya dengan Widarti.
Dia juga menceritakan
pertarungannya melawan Siluman Ular Merah. Tanpa malu-malu dia mengakui kalau
hampir mati di tangan laki-laki tua berjubah merah itu. Sampai di situ Rangga
sudah tahu kelanjutannya. Pendekar Rajawali Sakti itu menemukan Pendekar Kalung
Sakti dalam keadaan terluka parah. Itu awal pertemuan mereka. Tapi Pendekar
Kalung Sakti waktu itu tidak tahu kalau orang yang menolongnya justru Pendekar
Rajawali Sakti yang sekarang berada disampingnya.
"Seharusnya aku tahu kalau
waktu itu adalah kau, Pendekar Rajawali Sakti. Maafkan atas ketidaktahuan
ku," ucap Pendekar Kalung Sakti.
"Lupakanlah. Saat itu kita
sama-sama dikejar waktu," sambut Rangga diiringi senyuman.
"Boleh aku pergi
sekarang?" pinta Pendekar Kalung Sakti berpamitan.
"Sebenarnya aku tidak ingin
menahanmu, Pendekar Kalung Sakti. Tapi, siapa lagi yang tahu tempat
persembunyian Siluman Ular Merah...?" agak berat nada suara Rangga.
"Ha ha ha...! Tampaknya
kehadiranku didaerah Kulon ini belum tuntas," ujar Pendekar Kalung Sakti.
"Tampaknya begitu."
"Baiklah. Kau akan
kuantarkan ke sana. Kapan?"
"Tunggu sampai Ganta selesai
bersemadi"
Pendekar Kalung Sakti mengangkat
bahunya.
***
Sampai hari berganti malam,
ternyata Ganta belum juga bangun dari semadinya. Dan baru tengah malam pemuda
itu bangkit dari semadi. Kemudian, kakinya melangkah menghampiri Pendekar
Rajawali Sakti dan Pendekar Kalung Sakti yang duduk menunggui di depan api unggun.
"Bagaimana perasaanmu,
Ganta?" tanya Pendekar Kalung Sakti mendahului, begitu Ganta baru duduk di
sampingnya.
"Aku tidak tahu, harus
bagaimana mengucapkan terima kasih," ujar Ganta.
"Kau tidak perlu sungkan
begitu, Ganta. Apa yang kami lakukan merupakan tugas sebagai pendekar,"
Rangga menyahuti.
Untuk beberapa saat mereka
terdiam, dan sama-sama memandang ke api dengan pikiran masing-masing. Ganta
merogoh kantung sabuknya. Dikeluarkannya kotak kayu kecil, lalu dibuka
penutupnya. Dipandanginya isi kotak kayu kecil itu lekat-lekat. Seketika
terbayang wajah seorang gadis yang dulu pernah dekat dengannya. Gadis
satu-satunya yang sedarah dengannya, dan kini entah berada di mana.
"Kata adikku, isi kotak ini
telah menjadi rebutan kaum rimba persilatan. Dia juga berpesan agar aku
menyerahkan benda ini padamu untuk diselamatkan. Terimalah," ujar Ganta.
Pendekar Rajawali Sakti
memandangi kotak kayu berukir itu, lalu menyodorkan tangannya. Diterimanya
kotak kayu itu, lalu dibuka penutupnya. Mata Rangga agak menyipit,
memperhatikan benda yang ternyata Bunga Hitam yang akhir-akhir ini jadi rebutan
tokoh rimba persilatan.
"Baiklah. Benda ini akan
kusimpan baik-baik. Dan siapa saja yang berniat merebutnya, harus berhadapan
denganku," tegas Pendekar Rajawali Sakti.
Sejenak suasana di tempat itu
jadi hening kembali. Masing-masing sibuk dengan pikirannya.
"Kami akan membantu
membebaskan adikmu, Ganta," tegas Rangga perlahan, namun cukup untuk
memecah keheningan.
Ganta menarik napas panjang dan
menghembuskannya kuat-kuat Wajahnya berpaling menatap Pendekar Rajawali Sakti.
"Apa dia masih
hidup...?" terdengar ragu-ragu nada suara Ganta.
"Kuharap demikian,"
sahut Rangga.
"Ganta! Kau tahu di mana
adikmu, bukan...?" tanya Pendekar Kalung Sakti.
Ganta terdiam tidak langsung
menjawab. Kepalanya bergerak tertunduk. Beberapa kali napasnya di tarik
dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat. Seakan-akan dia hendak melonggarkan
rongga dadanya yang terasa begitu sesak menghimpit seluruh dadanya.
"Ceritakan seluruhnya pada
kami, Ganta," pinta Rangga. "Kudengar, kau telah mencuri sebuah
kitab. Tapi aku yakin, kau mencuri kitab itu bukan karena sengaja. Kau pasti
punya maksud tersendiri."
"Sebenarnya ini persoalan
lama. Antara keluargaku dengan Siluman Ular Merah...," tutur Ganta setelah
menarik napas dalam-dalam. Seakan dia begitu berat untuk menceritakan hal yang
sebenarnya pada kedua pendekar muda ini.
"Teruskan, Ganta,"
pinta Rangga lagi.
"Aku sebenarnya tidak
mencuri, tapi mengambil milikku sendiri. Milik keluargaku yang diambil Siluman
Ular Merah. Kitab itu sebenarnya bukan berisi jurus-jurus Siluman Ular Merah
saja. Dan memang rupanya orang tua itu sudah merubah dan menyisipkan beberapa
jurus yang dimiliki. Bahkan telah menggabungkan beberapa jurus warisan
keluargaku dengan miliknya. Itu sebabnya kitab ini berharga sekali, karena
memiliki jurus-jurus yang langka dan sangat ampuh."
Rangga dan Pendekar Kalung Sakti
saling berpandangan. Mereka tidak menyangka kalau kitab yang diributkan itu
sebenarnya kepunyaan keluarga Ganta. Jadi Siluman Ular Merah sendiri yang
sebenarnya mencuri kitab itu dari keluarga pemuda ini. Mereka kembali memandang
Ganta yang sudah melanjutkan ceritanya lagi.
"Cukup lama juga aku
mengamati kebiasaan Siluman Ular Merah di Puri Sangga Mayit. Lalu aku pura-pura
jadi muridnya. Dua bulan aku disana, sehingga bisa keluar masuk puri dengan
leluasa. Waktu Siluman Ular Merah bersemadi, kesempatan itu kumanfaatkan. Aku
tahu kalau dia menyimpan kitab itu di ruang penyimpanan senjata dan kitab-kitab
lain. Dan ternyata aku berhasil mengambil dan lari dari sana."
"Kapan itu terjadi?"
tanya Rangga.
"Lebih dua tahun lalu,"
sahut Ganta.
"Dan selama dua tahun ini
kau mempelajarinya?" tanya Pendekar Kalung Sakti.
"Benar. Tapi aku terpaksa
pindah-pindah tempat, karena Siluman Ular Merah terus mencariku."
"Lalu, di mana kau simpan
kitab itu?" tanya Rangga.
"Ikut terbakar bersama rumah
Ki Basra," sahut Ganta.
"Kau sudah mempelajari
semuanya?" selak Pendekar Kalung Sakti, mau tahu lagi. Sebab dia sudah
melihat Ganta memperagakan jurus-jurus dari kitab itu.
Ganta menggeleng. "Baru
sebagian saja."
"Baru sebagian saja, tapi
kau sudah cukup tangguh, Ganta," puji Pendekar Kalung Sakti, yang telah
beberapa kali melihat pertarungan pemuda itu.
"Tapi belum cukup untuk
membalas dendam keluargaku terhadap Siluman Ular Merah," Ganta agak
mengeluh.
"Dendam bukan satu-satunya
cara menyelesaikan persoalan, Ganta," sergah Rangga lembut.
"Aku sudah bersumpah untuk
membalas sakit hati keluargaku. Tapi sekarang semuanya pupus. Aku menyesal
tidak bisa melindungi Widarti. Dia pasti begitu menderita berada di tangan
keparat itu."
"Kami akan membantu sebatas
kemampuan untuk membebaskan adikmu, Ganta. Percayalah. Widarti sudah meminta
Pendekar Kalung Sakti untuk meminta bantuanku," ujar Rangga meyakinkan.
"Terima kasih," ucap
Ganta. "Widarti sebenarnya bukan wanita lemah. Dia sering mengembara
menjelajahi rimba persilatan. Jadi aku tidak heran jika dia mengenalmu."
"Sebenarnya aku belum pernah
bertemu dengannya," Rangga mengakui dengan jujur.
"Tapi julukanmu sudah sering
terdengar. Bahkan aku sering mendengar cerita tentang dirimu, Pendekar Rajawali
Sakti."
Rangga hanya tersenyum saja.
Memang tidak mungkin dihindari kalau julukannya sudah begitu dikenal banyak
orang, meskipun belum banyak yang pernah bertemu langsung.
"Sudah terlalu malam.
Sebaiknya kau beristirahat, Ganta. Besok pagi-pagi sekali kita berangkat untuk
membebaskan adikmu," jelas Rangga.
Ganta tidak membantah. Dia memang
lemah sekali. Seluruh tubuhnya terasa nyeri dan begitu penat. Setelah
berbasa-basi sebentar, kemudian tubuhnya direbahkan tidak jauh dari api unggun.
Sedangkan Rangga dan Pendekar Kalung Sakti berjaga-jaga malam ini.
"Aku tidak yakin, apa kita
mampu menghadapi orang-orang Siluman Ular Merah yang begitu besar
jumlahnya,'" desah Pendekar Kalung Sakti, seakan-akan bicara pada dirinya
sendiri.
Rangga hanya tersenyum saja. Bisa
dimaklumi, seseorang yang pernah kalah dalam pertarungan, tentu harus berpikir
dua kali untuk menghadapi kembali. Kecuali bila sudah mempersiapkan diri
terlebih dahulu. Sedangkan Pendekar Kalung Sakti tidak punya kesempatan untuk
mempersiapkan diri dan mematangkan jurus-jurusnya. Rasa kurang percaya diri
sudah barang tentu menyelimuti hatinya.
***
Pagi-pagi sekali, di saat
matahari belum menampakkan diri, ketiga pemuda itu sudah beranjak pergi menuju
Puri Sangga Mayit, tempat bersemayamnya Siluman Ular Merah, Pendekar Kalung
Sakti dan Ganta berjalan kaki menembus kelebatan hutan, sedangkan Rangga
menunggang Rajawali Putih. Seekor burung rajawali raksasa yang berbulu putih
keperakan.
Perjalanan melalui angkasa memang
lebih cepat, sehingga Pendekar Rajawali Sakti lebih cepat sampai ke tempat
tujuan. Namun Rajawali Putih belum diperintahkan turun, meskipun sudah berada
di atas bangunan sebuah puri yang cukup besar dan megah.
"Putih, kau melihat ada
orang di bawah sana?" tanya Rangga, agak keras suaranya.
"Khraaaghk...!" sahut
Rajawali Putih seraya menganggukkan kepala.
"Berapa orang?"
Rajawali Putih menggerakkan
kepala ke kiri satu kali. Rangga tahu kalau di dalam puri itu hanya ada satu
orang saja. Dan ini membuatnya bertanya-tanya sendiri. Menurut keterangan
Pendekar Kalung Sakti dan Ganta, Siluman Ular Merah memiliki anak buah yang
banyak jumlahnya. Tapi sekarang, Rajawali Putih hanya melihat satu orang saja
di dalam puri.
"Turunkan aku di bagian
depan, Putih," pinta Rangga.
"Khraaagkh...!"
Bagaikan sebongkah batu yang
dilemparkan ke dalam jurang, Rajawali Putih menukik deras ke bawah. Sebentar
saja binatang raksasa itu sudah mendarat tepat di bagian depan Puri Sangga
Mayit. Dengan gerakan ringan sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat turun
dari punggung binatang tunggangannya. Sebentar dia berdiri tegak mengamati
sekitarnya. Begitu sunyi, tak terlihat seorang pun di tempat ini. Rangga
menajamkan pendengarannya. Memang benar, tak terdengar tarikan napas
sedikitpun. Puri Ini benar-benar telah dikosongkan. Sedikit pun tidak terdengar
suara di sekitarnya.
"Tunggu di sini, Putih.
Kalau ada apa-apa, kau bisa menghadapinya sendiri," kata Rangga berpesan.
"Khrrrk...!" Rajawali
Putih mengkirik perlahan seraya menganggukkan kepala.
Slap!
Hanya sekali lesatan saja, Rangga
sudah mencapai pintu depan Puri Sangga Mayit itu. Punggungnya cepat dirapatkan
ke dinding, disamping pintu yang tidak memiliki penutup. Perlahan Pendekar
Rajawali Sakti menjulurkan kepala, melongok ke dalam. Namun mendadak saja....
Wus!
"Uts!" Kalau saja
Rangga tidak cepat menarik kepalanya, mungkin sudah terpisah dari leher. Betapa
tidak...? Begitu kepalanya dijulurkan melewati ambang pintu, sebatang golok
yang sangat besar ukurannya mendadak saja jatuh dari atas, tepat mengarah ke
lehernya. Rangga memandangi golok berukuran besar yang menggantung tepat di
tengah-tengah pintu. Kepalanya menggeleng-geleng. Tak sanggup membayangkan bila
golok itu sampai menebas lehernya tadi.
"Jebakan yang hebat..,"
desis Rangga menggumam.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti
mengayunkan kakinya memasuki bangunan puri yang megah dan terbuat dari batu.
Dia langsung mengagumi keindahan puri ini begitu berada di dalam. Namun juga
disadarinya kalau di balik keindahan ini, tersimpan segudang bahaya yang
mengincar jiwanya. Rangga terus melangkah menyeberangi ruangan yang luas.
Dan begitu berada tepat
ditengah-tengah ruangan ini, mendadak saja dari segala arah berdesiran puluhan
anak panah. Senjata-senjata yang dapat menembus kulit setebal apa pun itu,
meluncur deras ke arah Rangga. Benda-benda itu seakan-akan muncul begitu saja
dari dalam dinding yang mengelilingi ruangan ini.
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Rangga melentingkan
tubuhnya ke udara. Kedua tangannya langsung merentang lebar, bergerak cepat seperti
sepasang sayap burung yang mengepak. Pemuda berbaju rompi putih itu mengerahkan
jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Puluhan anak panah yang meluruk
deras kearahnya, terbabat rontok sebelum mencapai sasaran. Namun panah-panah
itu seperti tidak ada habisnya, berdesingan di sekitar tubuh Rangga. Hal ini
membuat pemuda itu jadi berpikir. Rasanya memang tidak mungkin terus
berlompatan menghindari hujan anak panah ini, kalau tidak ada habisnya.
"Hup! Yeaaah...!"
Sambil mengerahkan ilmu
meringankan tubuh yang dipadu jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', Pendekar
Rajawali Sakti melenting tinggi ke atas. Dia melakukan putaran beberapa kali
seraya cepat mengerahkan tangannya, menghalau hujan anak panah yang masih terus
memburunya. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti terus melambung tinggi hingga
mencapai bagian langit-langit ruangan dalam puri yang tinggi ini. Dan begitu
mencapai langit-langit yang juga terbuat dari batu....
Tap!
Tangkas sekali Pendekar Rajawali
Sakti meraih sebuah batu di langit-langit yang agak menonjol. Lalu tubuhnya
cepat melenting ke arah sebuah pintu yang berwarna merah. Ada tiga pintu di
ruangan ini yang berbeda-beda warnanya. Dan pintu berwarna merah itu yang
terdekat dengannya. Setelah melakukan putaran beberapa kali, dengan manis sekali
kakinya mendarat tepat di depan pintu berwarna merah itu.
Pada saat kaki Pendekar Rajawali
Sakti menjejak lantai, panah-panah yang keluar dari lubang-lubang kecil di
dinding, seketika itu juga berhenti. Sebentar Rangga menarik napas, untuk
melonggarkan rongga dadanya. Dipandanginya dinding-dinding yang mengelilingi
ruangan ini. Seluruh dinding, dari bawah sampai atas memiliki lubang-lubang
kecil. Dari lubang-lubang itulah panah-panah tadi keluar.
"Aku yakin, di balik pintu
ini pasti ada jebakan lain," gumam Rangga dalam hati.
ENAM
Krieeet...! Bunyi berderit
terdengar mengiris hati saat Rangga membuka pintu berwarna merah itu.
Perlahan-lahan pintu itu didorongnya hingga terbuka lebar. Tak ada sambutan
dari jebakan yang semula diduganya tadi. Di balik pintu berwarna merah ini
hanya terdapat sebuah lorong yang tampaknya tidak begitu panjang. Dan di ujung
lorong ini terdapat sebuah pintu lagi yang tampaknya terbuat dari besi baja
yang kokoh.
"Hm.... Tarikan napas itu
berasal dari balik pintu di ujung lorong sana," gumam Rangga perlahan.
Hati-hati sekali Pendekar
Rajawali Sakti mengayunkan kakinya memasuki lorong yang tidak begitu besar ini.
Kedua matanya dipentang lebar, mengamati setiap dinding di kiri kanannya. Namun
baru beberapa langkah berjalan, mendadak saja ayunan kakinya terhenti.
"Hhh...! Apa ini...?"
Rangga melirik ujung kaki
kanannya. Dia menelan ludah begitu melihat lantai yang dipijaknya sedikit
amblas. Pendekar Rajawali Sakti langsung menyadari kalau telah menginjak sebuah
jebakan lain. Dan dia tidak tahu, apa jadinya jika mengangkat kaki.
"Masih enam tombak lagi.
Harus kucapai dengan sekali lompatan saja," desis Rangga seraya menatap ke
arah pintu di ujung lorong ini.
Sebentar pandangannya beredar ke
sekeliling. Tak ada sesuatu pun yang dapat dilihat, selalu dinding batu yang
hitam dan berlumut. Keadaan di lorong ini cukup terang, karena ada beberapa
obor yang menempel di dinding.
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat sekali Pendekar Rajawali
Sakti melentingkan tubuhnya sejauh enam tombak. Dan pada saat itu, terdengarlah
ledakan dahsyat menggelegar, yang disusul runtuhnya atap lorong, tempat Rangga
berada di bawahnya tadi!
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat sekali Pendekar Rajawali
Sakti melentingkan tubuhnya. Dan pada saat itu, terdengar ledakan dahsyat
menggelegar, yang kemudian disusul runtuhnya atap lorong, tempat Rangga berada
di bawahnya tadi. Dua kali Pendekar Rajawali Sakti melakukan putaran indah,
kemudian mendarat manis sekali, tepat di depan pintu besi.
Ledakan tadi membuat seluruh
dinding lorong ini bergetar, seakan-akan hendak runtuh. Debu mengepul membuat
udara di dalam lorong ini jadi terasa sesak. Begitu debu memudar, Rangga jadi
berkerut keningnya. Tidak ada jalan lagi untuk keluar. Reruntuhan batu telah
menyumbat mulut lorong ini.
"Benar-benar pandai dia
membuat jebakan," gumam Rangga. Pendekar Rajawali Sakti bergegas memeriksa
pintu besi di depannya.
Diraihnya rantai yang mengunci
pintu ini. Dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalam, pemuda berbaju rompi putih
itu menarik rantai hingga putus. Kemudian didorongnya pintu besi ini. Berat
sekali, sehingga Rangga terpaksa mengerahkan tenaga dalam untuk mendorongnya.
Perlahan pintu besi itu terdorong membuka.
"Oh...?!" Hampir Rangga
tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Pintu besi ini ternyata sebuah
pintu ruangan yang tidak begitu besar. Dan di dalam ruangan ini terdapat
seorang wanita muda. Pakaiannya tampak sudah tidak karuan lagi bentuknya.
Wanita itu terikat, berdiri merapat di dinding. Kepalanya terangkat begitu
pintu terbuka.
Sinar matanya begitu lemah,
seakan-akan tidak punya gairah hidup lagi. Perlahan Rangga melangkah masuk.
Sikapnya begitu hati-hati. Tiga kali jebakan telah ditemui, dan ini membuatnya
harus lebih waspada lagi. Tapi sampai berada didekat wanita itu, tidak ada satu
jebakan pun ditemui.
"Kau Widarti...?" tanya
Rangga seakan ingin memastikan.
Wanita itu tidak langsung
menjawab, tapi malah memandangi Rangga dalam-dalam. Seakan-akan dia tengah
menyelidiki pemuda tampan di depannya ini. Sedangkan Rangga segera mengedarkan
pandangannya, memeriksa seluruh ruangan yang tidak begitu besar ukurannya ini.
Dia khawatir kalau-kalau masih ada jebakan lain di dalam ruangan ini.
"Siapa kau?" wanita itu
malah balik bertanya dengan suara lemah sekali.
"Aku Rangga," sahut
Rangga memperkenalkan diri. "Kalau kau benar Widarti, aku datang hendak
membebaskanmu keluar dari sini."
"Benar, aku Widarti. Oh...,
kaukah Pendekar Rajawali Sakti...?" sinar mata wanita itu langsung
berbinar.
Rangga hanya tersenyum saja.
"Cepat, bebaskan aku. Lama
sekali aku menunggumu, Pendekar Rajawali Sakti," pinta wanita itu yang
mengaku sebagai Widarti.
Namun Rangga tidak segera
melepaskan rantai yang membelenggu kedua tangan dan kaki wanita ini. Dia hanya
memandangi saja, seakan-akan tidak yakin kalau wanita ini adalah Widarti.
"Kenapa diam saja? Si tua
keparat itu tidak menaruh jebakan di kamar ini," desak Widarti.
"Jebakan...? Kau tahu
tentang jebakan?" Rangga jadi tercenung. Cepat Pendekar Rajawali Sakti itu
melompat mundur.
"Hei! Kenapa kau tidak cepat
membebaskan aku...?" seru Widarti.
"Kau bukan Widarti! Siapa
kau...?" berubah dingin nada suara Rangga.
"Aku Widarti. Apa kau tidak
melihat aku dibelenggu begini...? Cepat bebaskan aku, Pendekar Rajawali
Sakti."
"Tidak! Kau bukan
Widarti." Rangga cepat membalikkan tubuhnya.
Namun belum juga melangkah,
mendadak saja dari arah belakang berdesir hembusan angin dingin. Cepat Pendekar
Rajawali Sakti melentingkan tubuhnya ke atas, dan berputaran dua kali. Dia
langsung berbalik begitu menjejak lantai dari batu ini.
"Hm.... Kau tidak bisa
menipuku, Ni sanak," desis Rangga dingin. "Siapa kau
sebenarnya...?"
Pengamatan Rangga memang tidak
meleset. Pendekar Rajawali Sakti langsung menaruh curiga ketika wanita itu
mengatakan tentang jebakan. Dan ternyata, rantai yang membelenggu tangan dan
kakinya hanya tipuan saja. Wanita itu kini sudah bebas, tak terbelenggu lagi.
"Kau memang cerdik, Pendekar
Rajawali Sakti. Tapi kau tidak akan bisa keluar dari sini," dingin nada
suara wanita itu.
"Siapa kau sebenarnya, Ni
sanak?" tanya Rangga.
"Aku Tilaweni, putri Siluman
Ular Merah," sahut wanita itu mengenalkan diri. "Kedatanganmu memang
sudah kutunggu, Pendekar Rajawali Sakti."
Setelah berkata demikian, gadis
yang mengaku bernama Tilaweni itu langsung melompat menerjang Rangga. Rantai
yang tadi dijadikan alat untuk mengelabui pemuda berbaju rompi putih itu,
sekarang dijadikan senjata yang cukup berbahaya.
Wuk!
"Uts!" Rangga cepat
merundukkan kepalanya, ketika Tilaweni mengebutkan rantai besi ke arah kepala.
Rantai besi itu lewat sedikit saja di atas kepala Rangga. Dan sebelum Pendekar
Rajawali Sakti bisa menarik tubuhnya kembali tegak, Tilaweni sudah memberi satu
tendangan keras menyamping, mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
"Hait!"
Cepat Rangga mengegoskan
tubuhnya, sehingga tendangan gadis itu manis sekali dapat dielakkan. Rangga
bergegas melompat ke belakang dua tindak, membuat jarak agar lebih renggang.
Tapi begitu kakinya dijejakkan, Tilaweni sudah mengebutkan rantainya kembali ke
arah dada pemuda tampan itu.
Bet!
"Hap!"
Tap!
Tangkas sekali Rangga menangkap
ujung rantai itu. Lalu dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalam, disentakkannya
rantai itu kuat-kuat.
Rrrt!
"Ikh...!" Tilaweni
terpekik kaget. Namun sebelum hilang keterkejutannya, tubuh gadis itu sudah
melayang deras ke arah Rangga. Dan pada saat itu, Rangga melompat keatas sambil
mengirimkan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
Tanpa diduga sama sekali,
ternyata Tilaweni dapat mengelakkan pukulan Rangga dengan memutar tubuh ke
belakang. Bahkan gadis itu masih mampu mengirimkan satu tendangan keras kearah
dada Pendekar Rajawali Sakti. Akibatnya pemuda tampan itu agak terperangah
juga. Sungguh tidak disangka kalau Tilaweni akan berbuat senekat ini.
"Hait!"
Bergegas Rangga menarik pulang
pukulannya, lalu memutar tubuhnya ke belakang. Hampir bersamaan mereka
menjejakkan kakinya di lantai. Tilaweni langsung melepaskan beberapa kali
serangan secara beruntun. Akibatnya Rangga jadi agak kerepotan menghindarinya.
Tapi Pendekar Rajawali Sakti cepat menguasai keadaan. Dan ketika mendapat satu
kesempatan baik, cepat-cepat dilepaskannya satu pukulan lurus ke arah dada.
Serangan balik yang dilancarkan
Rangga, tidak diduga sama sekali. Tentu saja hal ini membuat Tilaweni jadi
terperangah. Bergegas tubuhnya dimiringkan ke kanan. Tapi gerakannya terlambat
sedikit saja, dan pukulan Rangga menghantam bahunya.
Des!
"Aaakh...!" Tilaweni
memekik keras agak tertahan.
Gadis itu terpental ke belakang
sejauh satu batang tombak. Mulutnya meringis, dan mencoba bangkit. Dan sebelum
Tilaweni bisa bangkit berdiri, Rangga sudah melompat menerjangnya. Terpaksa
gadis itu membanting tubuhnya kembali, lalu bergulingan beberapa kali hingga
merapat kedinding batu yang dingin dan berlumut. Tilaweni cepat meraih sebongkah
batu yang berada di dekatnya. Batu itu langsung diputarnya.
Mendadak saja dinding yang berada
di belakangnya bergerak terbuka. Gadis itu bergegas melompat bangkit, lalu
masuk ke dalam dinding yang bergerak membuka. Rangga sedikit terkejut, Tampak
dinding itu kembali bergerak menutup.
"Hiyaaa...!"
Tanpa berpikir panjang lagi,
Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat, dan menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Dia
bergulingan melewati bawah dinding yang terus bergerak menutup. Tepat ketika
tubuh Rangga melewatinya, dinding batu itu merapat tertutup kembali. Rangga
cepat bangkit berdiri. Hatinya jadi tertegun, karena kini berada di sebuah
ruangan depan puri kembali.
"Aaa...!" tiba-tiba
saja terdengar jeritan panjang melengking.
Jeritan itu datang dari luar.
Rangga cepat melompat keluar dari puri ini. Dia jadi terlongong begitu kakinya
menjejak tanah didepan pintu puri. Apa yang disaksikannya, sungguh tidak pernah
dipikirkan sejak tadi. Rangga jadi menggeleng-gelengkan kepala ketika melihat
Tilaweni menjerit-jerit dan meronta-ronta, mencoba melepaskan diri. Ujung
bajunya di punggung ternyata terjepit paruh Rajawali Putih. Dan burung raksasa
itu mengangkat Tilaweni cukup tinggi dari tanah. Akibatnya gadis itu jadi
ketakutan setengah mati. Sambil tersenyum-senyum, Rangga menghampiri Rajawali
Putih yang kelihatan kesenangan dengan 'permainannya' ini.
"Cukup, Putih. Turunkan
dia," pinta Rangga.
"Khrrr...!"
Rajawali Putih menurunkan
Tilaweni, lalu melepaskannya begitu saja sebelum mencapai tanah. Gadis itu
memekik saat tubuhnya terbanting cukup keras di tanah. Dia menggeliat bangkit,
dan mendelik melihat Rangga berdiri di depannya. Wajah gadis itu langsung
memucat begitu melihat Rajawali Putih berada tepat di belakangnya.
"Sekarang aku bisa melakukan
apa saja padamu, Tilaweni," kata Rangga bernada agak mengancam.
"Lakukan saja. Kau pikir,
aku takut dengan ancamanmu!" dengus Tilaweni.
"Aku percaya, kau memang
tidak pernah takut. Tapi aku yakin, kau akan berpikir dua kali jika harus
meluncur dari ketinggian diatas awan, sampai tubuhmu remuk terbanting di
batu," lagi-lagi Rangga mengancam.
Rupanya ancaman Rangga kali ini
membuat tubuh Tilaweni jadi bergidik juga. Diliriknya sedikit Rajawali Putih.
Burung ini begitu mengerikan! Dan ancaman Rangga bisa saja terjadi. Tidak
terlalu sulit bagi Rajawali Putih untuk mengangkat gadis ini ke angkasa dan
menjatuhkannya dari ketinggian yang cukup untuk membuat tubuh ramping ini
hancur berkeping-keping.
"Aku hanya meminta kau
menjawab jujur pertanyaanku. Setelah itu, kau boleh pergi kemana saja kau
suka," kata Rangga.
"Huh! Siapa yang percaya dengan
kata-katamu...?" dengus Tilaweni.
"Mungkin kau terbiasa dengan
kebohongan dan kepalsuan. Tapi aku selalu memegang janjiku."
Tilaweni terdiam. Mungkin
kata-kata Pendekar Rajawali Sakti tengah dipertimbangkannya. Kembali diliriknya
Rajawali Putih. Dia mengeluh di dalam hati. Keadaannya memang tidak
menguntungkan sekali saat ini. Benar-benar terpojok, dan tidak punya pilihan
lain lagi.
"Baik! Apa yang ingin kau
tanyakan padaku?" Tilaweni akhirnya menyerah juga.
"Di mana Widarti
berada?" tanya Rangga langsung.
"Aku tidak tahu," sahut
Tilaweni ketus.
"Kau jangan berdusta,
Tilaweni," gertak Rangga.
Saat itu Rajawali Putih menjulurkan
kepalanya, menyentuh punggung Tilaweni Akibatnya, gadis itu langsung tersentak
kaget. Wajahnya kembali memucat.
"Baik..., baik. Suruh dulu
burung jelek ini menyingkir!" seru Tilaweni ngeri.
Rangga memberi isyarat pada
Rajawali Putih dengan kepalanya. Maka burung raksasa itu segera bergerak
menjauh. Tapi masih cukup untuk menjangkau Tilaweni dengan menjulurkan kepala
saja. Tilaweni sedikit lega melihat burung raksasa itu sudah agak jauh darinya.
"Nah...! Sekarang katakan,
di mana Widarti?" desak Rangga.
"Dia ada di ruangan yang
berpintu biru," sahut Tilaweni.
"Kau tidak berdusta?"
"Untuk apa berdusta...?
Kalau tidak percaya, lihat saja sendiri. Dia ada di sana."
"Baik. Tapi, kau harus
tunjukkan padaku."
Rangga langsung mencekal tangan
gadis itu dan menyeretnya ke Puri Sangga Mayit kembali. Tilaweni menyentakkan
tangannya, hendak melepaskan cekalan Pendekar Rajawali Sakti. Namun cekalan
Rangga begitu kuat.
"Kau saja yang ke sana
sendiri!" bentak Tilaweni.
"Kenapa...? Kau takut
terkena jebakan ayahmu sendiri?"
Tilaweni terdiam. Terpaksa
diikutinya langkah Rangga melewati pintu, Tilaweni menghentikan langkahnya.
Wajah gadis itu jadi berubah-ubah. Sebentar memerah, dan sebentar kemudian
terlihat pucat.
"Ayo terus! Kau di
depan...!" sentak Rangga seraya mendorong punggung gadis itu.
"Tidak!" bentak
Tilaweni, tetap tidak mau melangkah.
Rangga mendorong punggung gadis
itu, sehingga Tilaweni terpaksa melangkah. Namun baru saja kakinya bergerak
satu tindak, mendadak saja dari seluruh dinding meluncur puluhan anak panah.
"Yeah...!"
Rangga cepat melompat ke belakang
sambil menyambar tangan Tilaweni, sehingga gadis itu terpekik. Mereka jatuh
bergulingan di luar puri. Rangga cepat bangkit kembali, lalu menarik tangan
Tilaweni agar cepat berdiri.
"Kau bisa mati kalau ke
sana!" dengus Tilaweni.
"Tilaweni! Kau tahu
seluk-beluk puri ini. Tunjukkan jalan yang teraman," desak Rangga.
Sebentar Tilaweni memandang wajah
tampan Pendekar Rajawali Sakti itu, kemudian melangkah menuju bagian samping
dari puri ini. Memang tidak ada pilihan lain lagi bagi Tilaweni. Mengikuti
jalan biasa, bisa-bisa mati terkena jebakan ayahnya sendiri. Dia tahu betul,
letak-letak jebakan di dalam puri ini. Rangga mengikuti gadis itu dari belakang.
Mereka kemudian berhenti di depan sebuah pintu samping yang tertutup. Tilaweni
berdiri saja didepan pintu, seakan ragu-ragu untuk membukanya.
"Ada jebakan lagi di balik
pintu ini?" tanya Rangga.
"Ya, ada," sahut
Tilaweni lesu.
"Apa...?"
"Sepuluh tombak akan
meluncur jika kau membuka pintu," sahut Tilaweni memberi tahu.
"Kau tidak
mendustaiku...?"
"Aku tidak ingin mati
percuma!" dengus Tilaweni.
"Bagus. Sekarang kau
mundur."
Tanpa diminta dua kali, Tilaweni
melangkah mundur menjauh. Sedangkan Rangga berdiri tegak di depan pintu yang
tertutup rapat ini. Sebentar perhatiannya dipusatkan pada pintu itu, kemudian
diliriknya sedikit Tilaweni.
"Jangan coba-coba melarikan
diri! Rajawali Putih akan membawamu ke angkasa dan menjatuhkanmu dari
atas," Rangga memperingatkan.
Setelah memperingatkan gadis itu,
Rangga segera mengatupkan kedua tangannya di depan dada. Ditariknya napas
dalam-dalam, dan ditahannya di dalam perut. Kemudian tangannya bergerak
terbuka, menyamping sejajar dada. Lalu....
"Aji 'Bayu Bajra'!
Yeaaah...!"
Cepat sekali Rangga menghentakkan
tangannya ke depan. Seketika itu juga terjadi hembusan keras dari kedua telapak
tangannya. Pintu yang terbuat dari kayu jati tebal itu seketika hancur
berkeping-keping. Dan pada saat itu, dari dalam meluncur sepuluh batang tombak
seperti yang dikatakan Tilaweni.
"Huy! Yeaaah...!"
Rangga bergegas berlompatan
menghindari hujan tombak itu. Semua tombak lewat di bawah tubuhnya. Manis sekali
Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya di tanah. Ditatapnya Tilaweni yang
masih berada di tempatnya. Gadis itu menghampiri tanpa diminta lagi. Rupanya
dia benar-benar takut dengan ancaman yang diberikan Rangga tadi.
"Kau jalan didepan,"
kata Rangga.
"Tidak ada apa-apa lagi.
Lorong ini langsung menuju ke bagian belakang pintu biru," jelas Tilaweni.
"Jalan...!" perintah
Rangga.
Tilaweni terpaksa mengayunkan
kakinya. Sedangkan Rangga mengikuti dari belakang. Mereka menyusuri sebuah
lorong yang tidak begitu panjang, namun terdapat dua belokan yang cukup tajam.
Memang tidak ada satu jebakan pun yang dijumpai lagi. Dan mereka sampai pada
sebuah pintu berwarna biru.
"Buka!" perintah
Rangga.
Tilaweni membuka pintu itu.
Ternyata pintu ini merupakan sebuah pintu ruangan berukuran tidak terlalu besar
tidak ada apa-apa di dalam ruangan berdinding batu ini. Hanya ada sebuah
balai-balai bambu, dan di atasnya tergolek sesosok tubuh ramping berpakaian
tidak karuan. Beberapa bagian tubuhnya terlihat menyembul keluar, menampakkan
kemulusan kulit tubuhnya yang putih halus.
Rangga bergegas melangkah masuk.
Dihampirinya wanita yang terbaring dengan mata tertutup di atas balai-balai
bambu ini. Kemudian diperiksanya urat nadi wanita itu di pergelangan tangan.
Lalu diletakkannya ujung jari di bagian leher. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti
mengangkat tubuh wanita ini, dan melangkah ke luar.
Dia sempat menatap Tilaweni yang
masih berdiri didepan pintu. Gadis itu menyingkir memberi jalan. Dengan langkah
lebar dan cepat, Rangga bergegas keluar menyusuri lorong ini. Sedangkan
Tilaweni mengikuti dari belakang. Tak ada yang bicara sedikit pun. Mereka tidak
lagi menemui satu jebakan pun sampai berada di luar kembali.
***
TUJUH
Tidak lama Rangga menunggu sampai
gadis yang ditemuinya didalam kamar berpintu biru mulai siuman. Pendekar
Rajawali Sakti bergegas menghampiri begitu gadis itu menggerak-gerakkan kepala
seraya merintih lirih. Sedangkan tidak jauh dari tempat itu terlihat Tilaweni
tengah duduk memandangi dengan raut wajah dan sinar mata sukar diartikan. Gadis
itu tidak berkedip memperhatikan Rangga yang membantu mempercepat menyadarkan
gadis yang tergolek di bawah pohon rindang ini
"Ohhh...," gadis itu
kembali merintih lirih.
"Diamlah sebentar. Jangan
membuka mata dulu," ujar Rangga lembut agak berbisik.
Namun gadis berwajah cukup cantik
itu malah membuka matanya, kemudian mengerjapkan beberapa kali. Dia tampak agak
terkejut melihat di dekatnya ada seorang pemuda tampan. Tubuhnya dicoba
digerakkan hendak bangkit, tapi Rangga cepat mencegah.
"Di mana aku...? Siapa
kau?" tanya gadis itu, lemah suaranya.
"Kau sudah berada di luar
puri, Widarti," sahut Rangga memberi tahu.
"Kau..., kau tahu namaku...?
Siapa kau, Kisanak..?"
"Aku Rangga, orang yang
diutus Ganta untuk membawamu keluar dari puri," sahut Rangga menjelaskan.
"Kau.... Kau Pendekar
Rajawali Sakti...?"
Rangga mengangguk dan tersenyum
manis. Widarti mendesah panjang, seakan-akan begitu lega setelah mengetahui
dirinya sudah tidak lagi berada di dalam kamar pengap sebuah puri. Dan lebih
lega lagi, karena orang yang membebaskannya adalah Pendekar Rajawali Sakti.
Orang yang selama ini ditunggu-tunggu.
"Bagaimana Ganta sekarang?
Di mana dia...?" tanya Widarti seraya menggeser tubuhnya dan bangkit
duduk.
Kali ini Rangga tidak mencegah
lagi, dan malah membantu gadis itu menyandarkan punggungnya ke batang pohon.
Tapi ketika Widarti melihat Tilaweni, dada Rangga langsung didorongnya.
Akibatnya Pendekar Rajawali Sakti itu jatuh terduduk.
"Keparat...! Kubunuh kau,
Setan Jalang...!" geram Widarti.
"Widarti...!" sentak
Rangga seraya mencekal tangan gadis itu.
Hampir saja Widarti melompat
hendak menerjang Tilaweni kalau saja Rangga tidak cepat-cepat mencekal
tangannya. Terpaksa Widarti duduk kembali. Sinar matanya berapi-api penuh
dendam menatap pada Tilaweni. Sedangkan gadis, putri Siluman Ular Merah itu
beranjak bangkit berdiri.
"Aku menagih janjimu,
Pendekar Rajawali Sakti," kata Tilaweni dengan nada suaranya yang tetap
dingin dan ketus.
"Aku selalu menepati
janjiku," sahut Rangga.
"Sebaiknya aku pergi
sekarang, daripada tanganku harus berlumur darah."
Setelah berkata demikian,
Tilaweni bergegas beranjak pergi. Sementara Widarti hanya mendesis geram
memandangi kepergian putri Siluman Ular Merah itu. Api dendamnya begitu
membara, bergolak di dalam dada. Begitu besarnya bara dendam di dalam dada,
sehingga wajahnya jadi memerah bagai besi terbakar.
"Kenapa kau biarkan setan
jalang itu pergi, Pendekar Rajawali Sakti...?" tanya Widarti, tidak puas.
"Aku sudah berjanji akan
membiarkannya pergi," sahut Rangga.
Tanpa diminta lagi, Pendekar
Rajawali Sakti kemudian menceritakan dengan singkat. Tanpa bantuan Tilaweni,
tidak mungkin gadis ini dapat ditemukan, walau dengan cara memaksa dan sedikit
ancaman. Meski sudah dijelaskan, tampaknya Widarti masih belum puas juga. Bara
api dendam masih membara di dalam dadanya, namun dia tidak dapat berbuat
apa-apa. Keadaan tubuhnya masih begitu lemah. Perlu waktu berhari-hari untuk
memulihkannya kembali seperti semula.
"Sebentar lagi Ganta datang.
Kita tunggu saja di sini," jelas Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti mencoba
mengalihkan perhatian gadis ini dari Tilaweni. Begitu mendengar nama Ganta akan
datang ke sini, Widarti benar-benar melupakan tentang putri Siluman Ular Merah
itu. Wajahnya kembali berubah cerah. Rangga jadi senang juga melihat gadis ini
cepat melupakan Tilaweni.
"Kapan dia datang?"
tanya Widarti penuh harap.
"Tidak lama lagi. Dia
bersama Pendekar Kalung Sakti," sahut Rangga.
"Dewata Yang Agung....
Rupanya kau kabulkan juga semua permohonanku," desah Widarti.
"Kau cukup kuat buat ukuran
wanita, Widarti," puji Rangga tulus.
"Terima kasih."
"Oh, ya. Bagaimana kau bisa
pingsan tadi? Sampai-sampai aku hampir tidak merasakan denyut nadimu. Sahabatku
saja sampai tidak bisa melacak keberadaanmu di dalam puri," kata Rangga
ingin tahu.
"Setan jalang itu memberi
ramuan yang membuatku seperti mati," sahut Widarti. "Kau membawa
sahabat, mana...?"
"Itu," sahut Rangga
seraya menunjuk pada Rajawali Putih.
"Oh...!"
Hampir saja Widarti jatuh pingsan
begitu melihat seekor rajawali raksasa berada tidak jauh dari tempat ini. Rangga
segera memperkenalkan Rajawali Putih. Sedangkan Widarti hanya memandangi saja,
seakan-akan ingin meyakinkan kalau apa yang terlihat berada di alam mimpi.
Seumur hidup, belum pernah dilihatnya seekor burung yang begitu besar.
Pada saat itu muncul Ganta dan
Pendekar Kalung Sakti. Begitu melihat Ganta, Widarti bergegas bangkit dan
menghambur kedalam pelukan pemuda itu. Sedangkan Pendekar Kalung Sakti
menghampiri Rangga yang sudah berdiri. Mereka tersenyum menyaksikan pertemuan
kakak beradik itu.
"Bagaimana kau bisa
mendapatkannya, Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Pendekar Kalung Sakti
ingin tahu.
"Mereka sudah meninggalkan
puri ini," sahut Rangga.
"Meninggalkan puri ini...?
Ke mana?" Pendekar Kalung Sakti tampak terkejut.
"Aku tidak tahu, ke mana
mereka pergi. Begitu aku datang, tempat ini sudah kosong."
"Mereka ke Karang Setra....
Aku telah mencuri dengar pembicaraan mereka ketika berada dalam tahanan,"
selak Widarti memberi tahu.
"Ke Karang Setra...? Untuk
apa?" Rangga jadi terkejut.
"Mereka tahu kalau Kakang
Ganta dan Pendekar Kalung Sakti hendak ke Karang Setra. Untuk menyerahkan Bunga
Hitam padamu. Maka mereka hendak mendahului, dan menunggu diperbatasan
Utara," jelas Widarti.
"Celaka...!" sentak
Rangga.
"Ada apa, Pendekar Rajawali
Sakti?" tanya Pendekar Kalung Sakti.
"Adik-adikku akan melewati
daerah perbatasan Utara. Mereka memang kutugaskan untuk membantuku mencari
kalian dan Widarti. Tapi rupanya, aku dulu yang berjumpa kalian."
"Benarkah...? Kalau
begitu...."
Belum lagi kata-kata Pendekar
Kalung Sakti selesai, Rangga sudah cepat melompat ke punggung Rajawali Putih.
Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti.
Sehingga tahu-tahu, dia sudah berada dipunggung Rajawali Putih.
"Cepat ke perbatasan Utara,
Putih," pinta Rangga.
"Khraaaghk...!"
Beberapa kali mengepakkan sayap
saja, Rajawali Putih sudah melesat. Hingga dalam waktu sekejapan mata saja,
sudah tinggi menebus awan. Sementara Pendekar Kalung Sakti, Ganta dan Widarti
hanya bisa bengong memandangi kepergian Pendekar Rajawali Sakti itu, yang
melambung tinggi bersama burung raksasa tunggangannya.
"Sebaiknya kita segera ke
sana, Pendekar Kalung Sakti. Kita harus membantu Pendekar Rajawali Sakti
menghadapi gerombolan Siluman Ular Merah," usul Ganta.
"Ayolah. Tapi...,"
Pendekar Kalung Sakti menatap Widarti.
"Jangan pikirkan aku.
Cepatlah kalian pergi. Aku menyusul dengan kemampuanku sendiri," ujar
Widarti, menangkap arti tatapan itu.
"Ganta! Kau bersama Widarti.
Biar aku lebih dulu menyusul Pendekar Rajawali Sakti."
"Baiklah. Kami akan usahakan
secepatnya sampai," sahut Ganta.
"Jangan memaksakan
diri."
Setelah berpesan, Pendekar Kalung
Sakti bergegas berlari cepat menyusul Pendekar Rajawali Sakti yang sudah lebih
dahulu pergi. Pendekar muda berpakaian seperti pendeta itu terus berlari cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Hingga dalam waktu sebentar saja, dia
sudah begitu jauh, lalu lenyap tertelan lebatnya hutan.
"Ayo, Widarti...," ajak
Ganta.
"Bagaimana dengan pakaianku,
Kakang?"
"Nanti kita singgah di desa
terdekat."
"Kau punya uang?"
"Aku tidak pernah kehabisan
bekal, Widarti."
"Aku percaya, Kakang.
Ayolah, kita segera berangkat."
Mereka bergegas pergi. Widarti
yang dalam keadaan lemah, tak mampu mengerahkan ilmu meringankan tubuh secara
sempurna. Terpaksa Ganta harus mengimbanginya agar tidak tertinggal. Namun
Widarti terus memaksakan diri. Apalagi merasa berhutang budi pada Pendekar
Rajawali Sakti. Gadis itu bertekad tidak ingin tertinggal untuk membantu
pendekar muda itu dalam menumpas gerombolan Siluman Ular Merah. Terlebih lagi,
dia mempunyai dendam pribadi yang harus dibalas.
Perlakuan Siluman Ular Merah
padanya selama di Puri Sangga Mayit, tidak mungkin dapat dilupakan begitu saja.
Namun Widarti tidak bisa menceritakan apa yang terjadi pada dirinya kepada
Ganta. Dia ingin merahasiakan semua yang telah terjadi. Peristiwa memalukan,
yang hampir membuat dirinya ternoda. Dan tidak perlu seorang pun mengetahui.
Cukup dia sendiri yang tahu. Dan Widarti sudah bertekad untuk menyimpan semua
itu untuk dirinya sendiri.
"Aku akan mencari kuda dulu
nanti, Widarti. Kau masih terlalu lemah," kata Ganta tanpa menghentikan
ayunan kakinya.
"Terima kasih," ucap
Widarti.
***
Sementara itu di perbatasan Utara
Kerajaan Karang Setra, Siluman Ular Merah dan para pengikutnya sudah berada di
sana. Mereka seperti sebuah pasukan yang siap hendak menggempur kerajaan itu.
Tampak di gerbang perbatasan, empat orang prajurit penjaga pintu gerbang
perbatasan telah menggeletak tak bernyawa lagi. Sedangkan di angkasa, terlihat
Rangga tengah melayang-layang mengamati keadaan dari udara.
Sungguh tidak disangka kalau
pengikut Siluman Ular Merah begitu besar. Dan untuk menandinginya, diperlukan satu
pasukan prajurit terlatih. Rasanya tidak mungkin dia bisa menghadapi seorang
diri saja. Namun Rangga tidak ingin mengorbankan prajurit-prajuritnya.
Perhatian Pendekar Rajawali Sakti tertuju pada tiga ekor kuda yang bergerak
menuju keperbatasan Utara dari dalam kota. Dia tahu kalau ketiga penunggang
kuda itu adik tirinya dan Pandan Wangi.
"Aku harus mencegah mereka
ke perbatasan," gumam Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti menepuk
leher Rajawali Putih dan menunjuk ke arah tiga penunggang kuda. Tanpa
diperintah dengan kata-kata lagi, Rajawali Putih meluruk deras ke arah ketiga
penunggang kuda itu. Cepat sekali gerakannya. Dalam waktu sebentar saja, dia
sudah mendarat tepat di depan ketiga penunggang kuda itu.
"Kakang Rangga...,"
desis Pandan Wangi langsung mengenali.
Rangga bergegas melompat turun
dari punggung burung rajawali raksasa tunggangannya. Pandan Wangi, Danupaksi,
dan Cempaka juga cepat melompat turun, setelah berhasil menenangkan kudanya
yang terkejut atas kemunculan Rajawali Putih. Mereka bergegas menghampiri
Rangga.
"Kakang, ke mana
saja...?" serobot Cempaka lebih dahulu.
"Sebaiknya kalian kembali ke
istana," kata Rangga.
"Ada apa, Kakang?
Kelihatannya begitu sungguh-sungguh," tanya Pandan Wangi.
"Sukar dijelaskan. Tapi ini
penting," sahut Rangga.
"Kakang bisa menjelaskan
sedikit, bukan?" desak Danupaksi.
"Akan kujelaskan, tapi
setelah itu kalian harus segera kembali ke istana," kata Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian
menjelaskan semua yang telah terjadi. Dia juga memberi tahu keberadaan
gerombolan Siluman Ular Merah yang kini berada di daerah perbatasan Utara kota.
Danupaksi, Cempaka, dan Pandan Wangi saling berpandangan. Mereka benar-benar
terkejut dan sama sekali tidak tahu kalau selama ini Pendekar Rajawali Sakti
itu terlibat suatu persoalan penting. Meskipun Rangga menjelaskan dengan
singkat, namun ketiga anak muda itu bisa cepat memahami.
"Akan kukerahkan para
prajurit pilihan untuk mengusir mereka, Kakang," tegas Danupaksi setelah
Rangga menyelesaikan ceritanya.
"Itu yang tidak kuinginkan,
Danupaksi," tolak Rangga.
"Tapi jumlah mereka cukup
besar!"
"Dengan bantuan Rajawali
Putih, rasanya aku masih bisa mengatasi mereka, Danupaksi. Aku tidak ingin
mengorbankan prajurit, kecuali untuk persoalan kerajaan. Ini bukan persoalan
kerajaan, dan tidak ada sangkut pautnya dengan Karang Setra," jelas
Rangga.
"Kalau begitu, biarkan kami
ikut membantumu menumpas gerombolan itu, Kakang," selak Cempaka.
"Terima kasih. Aku tidak
ingin menyusahkan kalian."
"Jangan berkata seperti itu,
Kakang. Kesulitanmu adalah kesulitan kami juga," ujar Danupaksi.
"Baiklah. Tapi, aku tidak
ingin melibatkan seorang prajurit pun," Rangga tidak bisa lagi menolak.
"Aku akan datang begitu kau
sudah bertarung, Kakang," ujar Danupaksi lagi.
"Benar! Agar mereka terpecah
perhatiannya," sambung Cempaka.
"Sebaiknya kita datang dari
tiga arah. Itu akan membuat mereka semakin terpecah perhatiannya," usul
Pandan Wangi.
"Kalian atur saja. Aku harus
kembali sebelum mereka mendapatkan Ganta dan yang lainnya," ujar Rangga,
langsung cepat melompat kepunggung Rajawali Putih.
Rangga menepuk leher burung
rajawali raksasa itu tiga kali. Bagaikan kilat, binatang itu melesat ke
angkasa. Sebentar saja dia sudah begitu tinggi dan menuju ke gerbang perbatasan
Utara kota Karang Setra. Sementara Rangga berada kembali di angkasa, Danupaksi
meminta Cempaka bergerak dari arah kiri. Sedangkan Pandan Wangi dari arah
kanan. Dan dia sendiri akan datang dari gerbang Utara. Kedua gadis itu tidak
banyak bicara lagi.
Mereka bergegas berlompatan naik
ke punggung kuda masing-masing, lalu menggebah cepat menuju arah yang sudah
ditentukan. Danupaksi sendiri segera naik ke punggung kudanya. Dia sempat
melihat ke angkasa. Masih terlihat burung rajawali raksasa melayang-layang
berputar-putar di angkasa.
Saat itu Rangga terus mengawasi
kedua adik tirinya dan Pandan Wangi yang sudah bergerak dari tempatnya
masing-masing. Sebenarnya Rangga tidak ingin melibatkan mereka, tapi hal itu
juga tidak bisa dicegah. Dari angkasa seperti ini memang sangat leluasa untuk
mempelajari keadaan dibawah. Saat itu Pendekar Rajawali Sakti melihat sebuah
bayangan kuning berkelebat didalam hutan menuju gerbang perbatasan Utara ini.
Rangga langsung tahu kalau bayangan kuning itu pastilah Pendekar Kalung Sakti.
"Hm..., Pendekar Kalung
Sakti datang sendiri. Ke mana Ganta dan Widarti...?" gumam Rangga dalam
hati.
Pertanyaan Pendekar Rajawali
Sakti cepat bisa terjawab. Begitu bayangan kuning gading berhenti tidak jauh
dari tempat gerombolan Siluman Ular Merah, terlihat dua ekor kuda berpacu agak
cepat dari arah yang sama dengan Pendekar Kalung Sakti. Rangga langsung dapat
melihat kalau kedua penunggang kuda itu adalah Ganta dan Widarti. Gadis itu
kini sudah berganti baju. Tampak begitu pas baju warna hijau daun dengan
kulitnya yang putih.
"Aku harus menunggu dulu
sampai mereka terlihat oleh Siluman Ular Merah," ujar Rangga bergumam.
DELAPAN
Tidak lama Rangga menunggu,
kemudian terlihat Ganta dan Widarti sudah dihadang orang-orang Siluman Ular
Merah yang semuanya mengenakan baju warna merah, bersenjatakan golok terhunus.
Siluman Ular Merah terkejut melihat Widarti sudah bersama Ganta.
"Kenapa kita duluan yang
sampai, Kakang?" bisik Widarti bertanya keheranan.
Sepanjang jalan tadi, mereka
memang tidak bertemu Pendekar Rajawali Sakti maupun Pendekar Kalung Sakti.
Padahal mereka sempat singgah dulu di sebuah desa untuk membeli pakaian. Tapi,
kenapa malah mereka yang sampai lebih dulu? Pertanyaan Widarti tak bisa dijawab
Ganta. Dia sendiri tidak mengerti, kenapa kedua pendekar itu belum kelihatan.
"Akhirnya kau muncul juga,
Ganta. He he he...," Siluman Ular Merah terkekeh.
"Kedatanganku justru hendak
menagih hutang nyawa padamu, Siluman Ular Merah!" dengus Ganta dingin.
"Ha ha ha...! Untuk
menghadapimu, semudah membalikkan telapak tangan, Ganta. Sebaiknya serahkan
saja Kitab Ular Naga Merah dan Bunga Hitam padaku. Dan aku akan membiarkan kau
pergi," sikap Siluman Ular Merah begitu meremehkan.
"Kitab itu sudah hangus
terbakar dan Bunga Hitam telah kuserahkan pada Pendekar Rajawali Sakti"
"Apa...?!"
Keparat..!" geram Siluman Ular Merah berang. "Kau harus membayar
mahal, Ganta...!"
"Belum sebanding dengan
hutangmu, Siluman Ular Merah," balas Ganta tidak kalah dinginnya.
"Keparat..! Bunuh bocah
itu!"
Tanpa diperintah dua kali,
orang-orang berbaju merah yang berdiri menghadang di depan Ganta langsung
berlompatan sambil berteriak-teriak mengacungkan goloknya di atas kepala.
Sebentar Ganta masih berada di punggung kudanya, kemudian cepat melentingkan
tubuhnya ketika sebatang golok berkelebat menyambar.
Kuda tunggangan pemuda itu
meringkik keras, terkena sambaran golok yang tidak mengenai sasaran. Kuda
coklat itu jatuh menggelepar, lalu tak berkutik lagi. Pada saat yang bersamaan,
Widarti melesat turun dari punggung kuda. Gadis itu cepat melayangkan satu
pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Seorang yang berada di
depannya meraung keras begitu pukulan Widarti bersarang dikepalanya.
Pertarungan memang tidak dapat
dihindari lagi. Dua orang dikeroyok puluhan orang bersenjata golok. Suatu
pertarungan yang tidak seimbang. Keadaan Ganta dan Widarti sebentar saja sudah
begitu mengkhawatirkan. Mereka benar-benar kewalahan. Terlebih lagi Widarti
yang masih lemah keadaannya. Keadaan tubuhnya cepat sekali menurun. Beberapa
kali sudah tubuhnya harus menerima pukulan dan tendangan dari lawan-lawannya.
"Khraaagkh...!"
Pada saat keadaan kakak beradik
itu benar-benar gawat, mendadak saja dari angkasa meluncur Rajawali Putih.
Begitu dekat terbangnya diatas kepala orang-orang Siluman Ular Merah. Dari
punggung Rajawali Putih tampak melesat seorang pemuda berbaju rompi putih.
Pemuda yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu langsung masuk ke dalam kancah
pertempuran.
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Pendekar Rajawali
Sakti itu bergerak. Dan dalam beberapa gebrakan saja, beberapa orang sudah
tergeletak tak bernyawa lagi. Kemunculan Pendekar Rajawali Sakti membuat
semangat Ganta dan Widarti timbul kembali. Dan pada saat itu pun muncul
Pendekar Kalung Sakti. Pendekar muda berpakaian seperti pendeta itu langsung
mengamuk. Kalung emas saktinya berkelebatan menghajar orang-orang Siluman Ular
Merah.
Keadaan pertarungan cepat sekali
berbalik. Orang-orang berbaju merah itu jadi kelabakan menghadapi gempuran dua
orang pendekar digdaya yang berkemampuan jauh di atas mereka. Tak seorang pun
berhasil mendekati kedua pendekar muda itu. Jerit dan pekik melengking
terdengar saling susul menjadi satu dengan denting senjata beradu.
Melihat orang-orangnya
berantakan, Siluman Ular Merah jadi berang. Dia kemudian langsung melompat
terjun dalam kancah pertempuran. Namun sebelum sempat melakukan tindakan,
Pendekar Kalung Sakti sudah lebih dahulu menghadang.
"Kau lawanku, Siluman Ular
Merah...!" dengus Pendekar Kalung Sakti.
"Pendekar Kalung Sakti....
Phuih!" desis Siluman Ular Merah seraya menyemburkan ludahnya.
Siluman Ular Merah memutar-mutar
tongkatnya. Sedangkan Pendekar Kalung Sakti menggeser kakinya ke kiri. Tatapan
matanya begitu tajam mengamati gerak tongkat laki-laki tua berjubah merah itu.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras
menggelegar, Siluman Ular Merah melesat menerjang Pendekar Kalung Sakti. Cepat
sekali tongkatnya dikibaskan ke arah kepala pemuda berjubah kuning gading itu.
Begitu dahsyatnya serangan yang dilakukan Siluman Ular Merah, sehingga desingan
tongkat berkepala tengkorak itu menimbulkan deru angin yang keras bagaikan
badai.
"Hait! Yeaaah...!"
Bergegas Pendekar Kalung Sakti
merundukkan kepala. Bersamaan dengan itu, kalung emas saktinya dikibaskan ke
arah dada Siluman Ular Merah. Namun laki-laki tua itu cepat menarik tongkatnya
pulang. Langsung saja tongkatnya dikibaskan, menyampok untaian kalung berwarna
kuning keemasan itu.
Trang!
Satu benturan senjata beradu
keras. Bunga api seketika memercik dari kedua senjata itu. Pendekar Kalung
Sakti cepat melentingkan tubuhnya ke belakang. Jari-jari tangan kanannya terasa
bergetar ketika kalung emasnya beradu dengan tongkat Siluman Ular Merah.
Langsung disadari kalau tenaga dalamnya masih berada dibawah laki-laki tua
berjubah merah itu.
"Yeaaah...!"
Siluman Ular Merah tidak memberi
kesempatan sedikit pun pada Pendekar Kalung Sakti untuk menarik napas, sehingga
langsung cepat menyerang kembali. Tongkatnya berkelebatan cepat mengincar
bagian-bagian tubuh pendekar muda berjubah kuning gading itu. Beberapa kali
ujung tongkat Siluman Ular Merah hampir bersarang di tubuh Pendekar Kalung
Sakti.
Namun pemuda berjubah kuning
gading itu masih mampu menghindarinya. Jurus demi jurus pun berlalu cepat.
Tanpa terasa, mereka bertarung sudah memakan lebih dari sepuluh jurus.
Sementara pertarungan di tempat lain masih terus berlangsung. Orang-orang
Siluman Ular Merah semakin kedodoran saja karena munculnya Danupaksi, Cempaka,
dan Pandan Wangi dari tiga arah. Perhatian mereka benar-benar terpecah, karena
mendapat perlawanan dari segala jurusan. Sementara di lain tempat, terlihat
Ganta tengah bertarung sengit melawan Langkas dan lima orang anak buahnya.
"Ganta, awas...!"
teriak Rangga tiba-tiba.
Pada saat itu, seorang anak buah
Langkas mengibaskan goloknya dari arah belakang. Peringatan Rangga membuat
Ganta tersentak kaget. Maka kepalanya cepat dirundukkan, mencoba menghindari
bokongan itu. Tapi gerakannya terlambat. Dan begitu golok itu sampai di kepala
Ganta, mendadak saja sebuah bayangan putih berkelebat.
Trak!
Dieghk!
"Aaakh...!"
Cepat sekali gerakan Pendekar
Rajawali Sakti. Seketika disentilnya golok yang hampir bersarang di kepala
Ganta sambil memberikan satu sodokan bertenaga dalam penuh pada pembokong itu.
Akibatnya orang itu terpental jauh ke belakang, lalu ambruk ke tanah tak
bergerak-gerak lagi.
"Terima kasih," ucap
Ganta.
"Sebaiknya kau bantu adikmu.
Biar mereka aku yang bereskan," kata Rangga.
Ganta melirik Widarti. Gadis itu
tampak semakin kewalahan saja menghadapi lawan-lawannya. Tanpa berpikir panjang
lagi, Ganta cepat melesat ke arah adiknya. Sementara Pendekar Rajawali Sakti
sudah harus berhadapan dengan Langkas dan anak buahnya yang kini tinggal empat
orang.
Langkas dan empat orang anak
buahnya memang bukan tandingan Pendekar Rajawali Sakti. Dalam waktu tidak
berapa lama saja, mereka sudah dibuat bergelimpangan. Sehingga tak mampu
melanjutkan pertarungan lagi. Sedangkan Langkas yang merasa tidak ada gunanya
lagi meneruskan pertarungan, mengambil langkah seribu meninggalkan tempat itu.
Namun tindakannya itu cepat diketahui Ganta.
"Jangan lari kau, Pengecut!
Hiyaaat..!" teriak Ganta lantang.
Bagaikan kilat, pemuda itu
melesat mengejar Langkas yang mencoba kabur. Secepat kilat goloknya dibabatkan
ke punggung laki-laki tegap berwajah bengis itu. Langkas yang tak sempat
menyadari, tidak mampu menghindar lagi. Dan...
Cras!
"Aaakh...!" Darah seketika
muncrat keluar dari punggung Langkas yang tertebas golok Ganta. Namun pemuda
itu masih belum puas, maka kembali goloknya dikibaskan ke arah leher, tepat di
saat Langkas membalikkan tubuhnya. Tak pelak lagi, golok yang tajam berkilat
itu membabat leher Langkas.
"Mampus kau...!"
Cras!
"Aaa...!" Satu jeritan
panjang melengking tinggi mengantar kematian Langkas. Darah semakin banyak
mengucur dari leher laki-laki berwajah bengis itu.
Ganta menyemburkan ludahnya
dengan perasaan benci yang amat sangat. Hanya sebentar saja Langkas mampu
menggeliat, kemudian diam tak bernyawa lagi. Darah terus mengucur dari punggung
dan lehernya.
"Kakang, awas...!"
tiba-tiba terdengar Widarti memperingatkan.
"Yeaaah...!"
Ganta cepat memutar tubuhnya
sambil membabatkan goloknya. Seorang berbaju merah ternyata mencoba mengambil
kesempatan untuk membokong. Namun gerakan Ganta memang lebih cepat, sehingga
golok pemuda itulah yang lebih dulu beraksi.
Sementara Ganta kembali terjun ke
dalam pertarungan, di tempat lain tampak Pendekar Kalung Sakti mulai terdesak
menghadapi Siluman Ular Merah. Entah sudah berapa kali pendekar muda berjubah
bagai pendeta itu menerima pukulan maupun tendangan keras bertenaga dalam
tinggi. Darah sudah terlihat keluar dari sudut bibirnya.
"Yeaaah...!"
Diegkh!
Tubuh Pendekar Kalung Sakti
terpental tinggi ke udara ketika satu pukulan menggeledek mengandung pengerahan
tenaga dalam penuh kembali dilepaskan Siluman Ular Merah. Pukulan itu tepat
menghantam dada pendekar muda berjubah kuning gading bagai pendeta itu. Pada
saat tubuh Pendekar Kalung Sakti berada diudara, terlihat Rajawali Putih
menukik deras. Langsung disambarnya pendekar muda itu, dan segera dibawanya
keluar dari kancah pertempuran.
"Heh...?! Apa itu...?"
Siluman Ular Merah yang melihat
Pendekar Kalung Sakti disambar seekor burung rajawali raksasa, jadi terlongong
hampir tidak percaya. Namun dia tidak sempat lagi berpikir lebih jauh, karena
pada saat itu berkelebat sebuah bayangan putih di depannya. Dan tahu-tahu di
depan laki-laki berjubah merah itu sudah berdiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Pendekar Rajawali
Sakti...," desis Siluman Ular Merah langsung mengenali pemuda berbaju
rompi putih Itu.
"Di antara kita memang belum
pernah punya persoalan. Tapi aku tidak suka kau mengotori wilayah
kerajaanku," ujar Rangga, dingin nada suaranya.
"Seharusnya kau
bersenang-senang bersama gundikmu, Pendekar Rajawali Sakti. Bukannya malah
mencampuri urusanku!" bentak Siluman Ular Merah mengejek.
"Siapa saja yang mengotori
wilayah Karang Setra, harus berhadapan denganku."
"Bagus...! Aku memang ingin
menjajal kepandaianmu, Pendekar Rajawali Sakti. Orang lain boleh gentar
mendengar namamu, tapi kau akan tunduk di tanganku!"
"Bersiaplah, Siluman Ular
Merah. Hih...!"
"Hap...!
Mereka langsung bersiap membuka
jurus masing-masing. Sebentar mereka saling bertatapan tajam, seakan-akan
sedang mengukur tingkat kepandaian masing-masing. Mereka sama-sama bergerak
berputar perlahan-lahan. Lalu...
"Tahan seranganku, Pendekar
Rajawali Sakti! Hiyaaat...!"
Siluman Ular Merah melakukan
serangan lebih dahulu. Cepat sekali tubuhnya melompat sambil mengibaskan
tongkat ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti. Namun hanya sedikit menarik
tubuhnya kebelakang, Rangga berhasil mengelakkan serangan laki-laki tua
berjubah merah itu. Dan begitu tongkat berkepala tengkorak itu lewat, secepat
kilat Rangga memberi serangan balasan dengan menyodokkan tangan kiri ke arah
muka.
"Yeaaah...!"
"Uts!"
Siluman Ular Merah cepat menarik
kepala ke samping. Dan sodokan Rangga hanya lewat sedikit saja di samping wajah
laki-laki tua itu. Mereka terus bertarung saling menyerang dan menghindar,
menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi, Serangan-serangan yang dilakukan begitu
cepat dan dahsyat. Sedikit kelengahan saja bisa berakibat parah. Jurus demi
jurus cepat berlalu. Dan pertarungan pun semakin meningkat. Namun sampai sejauh
ini, Rangga belum menggunakan senjatanya yang terkenal dahsyat luar biasa.
"Awas kepala...!" seru
Siluman Ular Merah tiba-tiba.
"Hait..!"
Rangga cepat merunduk ketika
tiba-tiba Siluman Ular Merah mengibaskan tongkat ke arah kepala. Namun tanpa
diduga sama sekali, kaki laki-laki tua itu menghentak ke depan sambil
memiringkan tubuhnya. Rangga terkesiap, dan tidak sempat lagi menghindar dalam
keadaan sulit seperti ini.
Des!
"Ugkh...!" Rangga
mengeluh begitu tendangan Siluman Ular Merah mendarat telak di dadanya.
Pendekar Rajawali Sakti
terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang mendadak saja jadi
terasa sesak. Bergegas tangannya digerak-gerakkan di depan dada, kemudian
gagang pedangnya yang masih tersampir dipunggung dijamahnya.
"Bagus! Keluarkan senjatamu,
Pendekar Rajawali Sakti. Kau akan menyesal jika mati tanpa memegang
senjata," ejek Siluman Ular Merah.
"Bersiaplah, Siluman Ular
Merah. Hadapi Pedang Rajawali Sakti ku!" desis Rangga.
Sret! Cring...!
Begitu Pedang Rajawali Sakti
keluar dari warangka, seketika itu juga menyemburat cahaya biru terang
menyilaukan. Siluman Ular Merah agak terbeliak melihat pamor pedang yang begitu
dahsyat.
"Tahan seranganku, Siluman
Ular Merah...! Hiyaaat..!" seru Rangga lantang menggelegar.
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali
Sakti menyerang Siluman Ular Merah. Pedangnya berkelebat cepat membabat ke arah
dada laki-laki itu. Cepat-cepat Siluman Ular Merah menghentakkan tongkatnya,
menangkis tebasan pedang bersinar biru menyilaukan itu.
Trang!
"Heh...!"
Bukan main terkejutnya Siluman
Ular Merah ketika merasakan seluruh persendian tangannya bergetar nyeri saat
tongkatnya beradu dengan Pedang Rajawali Sakti. Cepat-cepat dia melompat mundur
mencari jarak. Namun begitu kakinya menjejak tanah, Rangga sudah kembali cepat
menyerang. Pedangnya berkelebat mengurung laki-laki tua berjubah merah itu.
Saat itu Rangga sudah
mengeluarkan satu jurusnya yang dahsyat. Jurus 'Pedang Pemecah Sukma'.
Menghadapi jurus itu, Siluman Ular Merah tampak agak kewalahan juga. Beberapa
kali pedang itu terpaksa harus ditangkis. Dan setiap kali terjadi benturan
senjata, tulang-tulangnya terasa bagai dilorot keluar dari tubuhnya.
"Hiya! Hiya!
Hiyaaa...!"
Rangga semakin memperhebat
serangannya. Dan pada satu serangan, dia berhasil menipu lawannya dengan
gerakan tubuh yang lentur bagai karet Siluman Ular Merah jadi terkecoh.
Dikiranya Pendekar Rajawali Sakti hendak melontarkan satu pukulan tangan kiri
ke arah dada, namun yang terjadi malah sebaliknya.
Rangga membabatkan pedangnya ke
arah kaki laki-laki tua itu. Begitu cepat serangannya, sehingga Siluman Ular
Merah tidak sempat lagi menghindar. Maka tongkatnya cepat dikibaskan untuk
melindungi kakinya.
Trang!
Begitu pedangnya berhasil
ditangkis lawan, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuhnya ke
udara. Lalu bagaikan kilat, pedangnya dikibaskan ke arah kepala Siluman Ular
Merah.
"Hiyaaat...!"
Serangan yang dilakukan Rangga
begitu cepat luar biasa. Dan Siluman Ular Merah, tidak punya kesempatan lagi
untuk menghindar. Sehingga....
Cras!
"Aaa...!" Siluman Ular
Merah menjerit keras melengking tinggi.
Tebasan pedang Rangga tepat
menghantam batok kepala laki-laki tua berjubah merah itu. Darah seketika
muncrat keluar dari kepala yang hampir terbelah menjadi dua. Hampir saja Rangga
melepaskan satu pukulan ke arah dada, tapi niatnya segera dibatalkan. Karena,
Siluman Ular Merah sudah keburu ambruk dan menggelepar ditanah. Beberapa saat
Siluman Ular Merah mengerang dan menggelepar meregang nyawa, kemudian diam tak
bergerak-gerak lagi. Darah terus bercucuran keluar dari kepalanya.
Cring!
Rangga memasukkan kembali pedang
pusakanya ke dalam warangka di punggung. Seketika cahaya biru lenyap dari
pandangan mata. Tewasnya Siluman Ular Merah rupanya membuat semangat bertempur
orang-orangnya langsung menghilang. Mereka yang punya kesempatan melarikan
diri, bergegas kabur dari tempat itu. Sedangkan yang tidak sempat, harus rela
melepaskan nyawa.
Sementara Rangga bergegas
menghampiri Pendekar Kalung Sakti yang duduk bersila di tempat aman, ditunggui
Rajawali Putih. Pendekar muda berjubah bagai pendeta itu membuka kelopak
matanya saat menyadari ada orang di depannya.
"Kau terluka, Pendekar
Kalung Sakti?" tanya Rangga.
"Ya, luka dalam," sahut
Pendekar Kalung Sakti tanpa malu-malu lagi.
"Parah...?" tanya
Rangga lagi seraya menempelkan telapak tangannya di dada Pendekar Kalung Sakti.
Pendekar muda berjubah kuning
gading itu tidak perlu menjawab. Rangga tahu kalau Pendekar Kalung Sakti
mengalami luka dalam yang cukup parah. Sementara pertarungan benar-benar sudah
berhenti. Dan mereka yang bertarung sudah berkumpul di belakang Rangga. Tak ada
lagi orang-orang Siluman Ular Merah yang hidup, kecuali mereka yang berhasil
kabur.
"Sebaiknya kau ke istana,
Pendekar Kalung Sakti. Di sana kau bisa tenang menyembuhkan luka dalammu,"
kata Rangga menawarkan.
"Terima kasih, kau tidak
perlu merepotkan diri," ucap Pendekar Kalung Sakti.
"Sama sekali tidak. Kau
perlu tempat dan waktu untuk menyembuhkan lukamu."
"Biar aku ke istana, Kakang.
Akan kusiapkan tempat bersemadi," selak Danupaksi.
Sebenarnya Pendekar Kalung Sakti
ingin menolak, tapi Danupaksi sudah cepat berlari. Maka kini dia tidak bisa
menolak lagi. Rangga membantu pendekar muda berjubah kuning gading itu berdiri.
Ganta bergegas menghampiri dan memapah pendekar muda itu.
"Kalian juga sebaiknya
beristirahat di tempatku. Kalian bisa memulihkan kesehatan disana," kata
Rangga menawarkan pada Ganta dan Widarti.
"Terima kasih," hanya
itu yang dapat diucapkan Ganta dan Widarti bersamaan.
"Aku ambil kuda dulu,
Kakang. Biar Pendekar Kalung Sakti menunggang kudaku," tambah Cempaka.
Tanpa menunggu jawaban lagi,
Cempaka bergegas pergi untuk mengambil kudanya. Sementara Rangga mendekati
Pandan Wangi yang telah berdiri di dekat Rajawali Putih. Pemuda berbaju rompi
putih itu segera mengambil tangan si Kipas Maut dan meremasnya dengan mesra.
"Aku rindu padamu,
Pandan," ucap Rangga perlahan dengan sinar mata penuh kasih sayang.
Pandan Wangi hanya tersipu malu.
Dia tidak mampu menjawab pernyataan Rangga. Hanya tangannya saja yang semakin
erat menggenggam tangan Rangga.
"Kirk...!" Rajawali
Putih mengkirik lirih, seakan-akan tahu kalau Rangga ingin berduaan dengan
kekasihnya.
"Oh, ya. Kau boleh kembali,
Rajawali Putih," ujar Rangga sambil menghampiri burung raksasa itu.
Kemudian ditepuk-tepuknya leher burung itu.
"Khrrrk...!"
Setelah mendapat pelukan dari
Rangga, Rajawali Putih melesat ke angkasa. Burung raksasa itu berputar-putar
tiga kali, seakan-akan ingin mengucapkan selamat tinggal. Kemudian binatang itu
cepat melesat pergi menembus awan. Sementara Rangga dan Pandan Wangi telah
berjalan meninggalkan keramaian di belakangnya. Kedua pendekar muda itu kembali
melanjutkan petualangannya membela keadilan.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA
PEMBUNUH MISTERIUS
Emoticon