SATU
DERU angin senja di Puncak Gunung Caringin begitu
kencang, seakan-akan hendak meruntuhkan puncak yang terselimut kabut tebal.
Daun-daun kering berguguran terhempas sapuan angin kencang. Beberapa pohon
kecil mulai bertumbangan, dan batu-batu kerikil berhamburan. Semuanya diterjang
kuatnya tiupan angin kencang yang membawa udara dingin menggigilkan tulang.
Juga, membawa awan tebal menghitam, bergulung-gulung menutupi sinar matahari
senja.
Namun segala yang terjadi di Puncak Gunung Caringin
ini, sama sekali tidak mengusik seorang pemuda berwajah cukup tampan yang
berdiri tegak di atas sebongkah batu hitam berlumut tebal. Pandangan pemuda
berbaju putih ketat itu lurus tak berkedip. Sinar matanya begitu kosong dan
jauh, menembus gulungan ombak yang berada di bawah tebing yang dipijaknya.
Ketampanan wajahnya terusik oleh mendung yang
menggantung menyelimuti. Entah apa yang mengganggu pikiran anak muda itu.
Rambutnya yang panjang terikat pita putih, hanya tergerai melambai-melambai
dipermainkan angin. Tubuhnya terlihat tegak, terbungkus baju ketat berwarna
putih. Belahan baju pada bagian dada cukup lebar, menampakkan bentuk dada yang
bidang, tegap dan berotot
Entah sudah berapa lama dia berdiri mematung di
atas batu karang itu, dan sedikit pun tidak bergeming. Perhatiannya begitu
tajam, tertuju langsung pada ombak yang bergulung-gulung tak ada habisnya.
Perhatiannya begitu penuh pada lautan, sampai-sampai tidak menyadari kalau ada
seseorang mendekatinya dari arah belakang.
Orang tua berjubah kuning gading dan berkepala
gundul, berhenti tepat di belakang pemuda tampan berbaju putih ketat ini.
Kepalanya bergerak menggeleng perlahan. Ujung-ujung jarinya terus bergerak
lincah, seperti menghitung butiran tasbih yang terbuat dari batu hitam
berkilat.
“Ehm-ehm...!”
“Oh...?!”
Pemuda berbaju putih ketat itu terkejut ketika
mendengar suara batuk kecil di belakangnya. Dia cepat berbalik, lalu menarik
napas panjang begitu melihat ada seorang laki-laki gundul berjubah kuning di
tempat ini.
“Paman Pendeta Pohaji...,” desah pemuda berbaju
putih ketat itu, mengenali laki-laki tua gundul berjubah kuning di depannya.
Bergegas pemuda itu melompat turun dari batu.
Dia hendak berlutut, tapi laki-laki tua yang
dikenalinya sebagai Pendeta Pohaji itu cepat mencegah. Pemuda berbaju putih itu
tidak jadi berlutut, dan hanya menundukkan kepala saja. Dia seakan-akan tidak
sanggup memandang sorot mata pendeta tua di depannya ini
“Sudah tiga hari ini kau tidak berlatih, Sangkala.
Dan kuperhatikan, kau selalu menyendiri, memandang ke tengah laut. Apa
sebenarnya yang sedang kau pikirkan...?” terasa lembut suara Pendeta Pohaji.
“Tidak ada apa-apa, Paman. Aku hanya senang saja
memandangi burung camar yang begitu bebas bergembira di alam yang indah ini.
Aku suka mendengarkan deburan ombak memecah batu karang. Begitu merdu, bagaikan
nyanyian sang Dewi,” sahut pemuda yang dipanggil Sangkala.
Pendeta Pohaji tersenyum. Laki-laki tua gundul itu
tahu kalau Sangkala menyimpan sesuatu. Dan jawaban tadi, hanya untuk menutupi
hal yang sebenarnya saja. Kemudian digamitnya bahu Sangkala dan diajaknya
melangkah. Mereka berjalan perlahan-lahan menuruni Puncak Gunung Caringin ini.
Untuk beberapa saat lamanya tidak ada yang berbicara.
Hingga sampai di kaki lereng gunung ini, masih juga
belum ada yang membuka suara. Dan ayunan kaki mereka terus bergerak perlahan
menuju pantai yang berada tepat di bawah kaki Gunung Caringin ini. Mereka terus
berjalan ke pantai yang landai berpasir putih, sampai lidah ombak menjilati
kaki. Dan kedua laki-laki itu terus berjalan bersisian.
“Aku tahu, kau pasti menyembunyikan sesuatu,
Sangkala. Mungkin berat bagimu untuk mengatakannya pada orang lain. Tapi segala
persoalan harus terpecahkan. Dan kau pasti membutuhkan seseorang yang dapat
membantu memecahkan persoalan yang sedang kau hadapi,” kata Pendeta Pohaji
lembut, membuka percakapan kembali.
“Aku tidak memiliki persoalan apa-apa, Paman,”
kilah Sangkala agak mendesah perlahan.
“Aku dulu juga pernah muda sepertimu, Sangkala. Kau
tidak bisa menyembunyikan perasaan hatimu padaku,” nada suara Pendeta Pohaji
terdengar mendesak.
Sangkala diam saja. Beberapa kali ditariknya napas panjang
dan dihembuskannya kuat-kuat Seakan-akan begitu berat untuk mengungkapkan semua
ganjalan hatinya. Memang diakui kalau pengamatan Pendeta Pohaji tidak meleset
sedikit pun. Pemuda itu memang memiliki persoalan yang sulit dipecahkan.
Apalagi harus menceritakannya pada orang lain, meskipun yang meminta adalah
gurunya sendiri, yang juga pamannya.
“Baiklah, jika merasa keberatan. Aku tidak akan
menanyakan lagi,” ujar Pendeta Pohaji.
“Maafkan aku, Paman,” ucap Sangkala pelan.
Pendeta Pohaji hanya tersenyum saja. Ditepuknya
lembut pundak pemuda itu, penuh kasih sayang. Kembali mereka terdiam untuk
beberapa saat lamanya.
“Sangkala! Apa kau sudah menamatkan ajian terakhir
yang kuberikan?” tanya Pendeta Pohaji, mengalihkan pembicaraan.
“Sudah, Paman,” sahut Sangkala.
“Bagus Kalau begitu, malam ini aku akan mengujimu.
Aku ingin tahu, sampai di mana kau menguasai aji 'Petak Jiwa'.”
“Nanti malam, Paman...?!” Sangkala tampak terkejut
“Kenapa? Belum siap...?”
“Siap, Paman,” sahut Sangkala, bernada ragu-ragu.
“Aku tunggu kau tepat tengah malam di sini.”
Setelah berkata demikian, Pendeta Pohaji berjalan
cepat mendahului Sangkala. Sedangkan pemuda berbaju putih itu menghentikan
ayunan kakinya. Dipandanginya laki-laki tua gundul yang semakin jauh di
depannya.
“Hhh.... Seharusnya tadi aku menolak. Pendeta
Pohaji pasti kecewa,” desah Sangkala perlahan.
Sangkala baru mengayunkan kaki kembali setelah
Pendeta Pohaji tidak terlihat lagi. Ayunan kakinya begitu perlahan. Sedangkan
kepalanya tertunduk dalam, memandangi ujung jari kaki yang bergerak teratur
menyusuri tepian pantai ini. Tapi baru beberapa depa berjalan, mendadak saja
berkelebat sebuah bayangan biru.
“He...! Sangkala tersentak kaget, dan langsung
berhenti melangkah. Belum lagi hilang rasa keterkejutannya, tahu-tahu di
depannya sudah berdiri seorang perempuan muda yang cantik. Tubuhnya ramping,
dengan lekuk-lekuk indah terbalut baju biru terang yang ketat dan agak tipis.
“Mintarsih...,” desis Sangkala mengenali wanita
cantik di depannya.
Wanita cantik berbaju biru yang dipanggil Mintarsih
itu tersenyum manis. Begitu manis dan memikat senyumnya, membuat Sangkala jadi
menelan ludah. Entah kenapa, mendadak saja tenggorokan pemuda ini jadi kering.
“Sudah tiga hari aku menunggumu, Sangkala. Apa
sudah mengambil keputusan...?” terdengar halus dan lembut suara Mintarsih.
“Aku.., aku tidak bisa memutuskannya,” sahut
Sangkala agak tergagap
“Kenapa...?” tanya Mintarsih agak terkejut
mendengar jawaban itu
“Aku tidak mungkin meninggalkan Pendeta Pohaji. Aku
bukan lagi seperti kemenakannya, tapi Pendeta Pohaji malah sudah menganggapku
seperti anaknya sendiri”
“Kenapa kau begitu berat meninggalkannya hanya
untuk beberapa hari saja, Sangkala? Lagi pula, kalau kau memberi alasan tepat,
Pendeta Pohaji pasti mengizinkanmu keluar dari Karang Setra.”
Sangkala hanya diam saja.
“Alasanmu tidak tepat, Sangkala. Apa sebenarnya
yang membuatmu begitu berat meninggalkan Karang Setra? Ini kesempatan baik,
Sangkala. Aku sudah tahu, di mana Pendekar Rajawali Sakti sekarang berada.
Jadi, tidak pertu repot-repot lagi mencarinya. Setelah semuanya selesai, kau
bisa kembali lagi ke sini,” bujuk Mintarsih.
“Kenapa tidak kau saja, Mintarsih?” tanya Sangkala,
tetap pelan suaranya.
“Aku membutuhkan teman.”
“Tapi, kenapa harus aku?”
“Karena alasan kita sama, Sangkala. Dan kita bisa
bekerja sama. Aku yakin, ilmu-ilmu yang kau dapatkan dari Pendeta Pohaji bisa
diandalkan. Terlebih lagi aji 'Petak Jiwa' yang sudah kau kuasai, Sangkala,”
lagi-lagi Mintarsih membujuk.
“Aku belum sempurna menguasai aji 'Petak Jiwa',
Mintarsih. Masih terlalu banyak kekurangannya,” Sangkala mencoba berkilah.
“Kau hanya merendah saja, Sangkala.”
“Ah! Sudahlah, Mintarsih. Beri aku sedikit waktu
lagi untuk berpikir,” desah Sangkala.
“Waktunya sangat mendesak, Sangkala.”
“Kau datang saja ke sini besok.”
“Kenapa tidak sekarang saja, Sangkala?” desak
Mintarsih.
“Aku tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Sudahlah, Mintarsih. Besok kau baru bisa mendengar
keputusanku.”
“Baiklah kalau begitu,” Mintarsih mengalah.
“Besok siang aku akan datang lagi ke sini.”
Setelah berkata demikian, Mintarsih langsung
melesat pergi. Begitu cepatnya gerakan gadis berbaju biru itu, hingga dalam
sekejap mata saja sudah lenyap tak terlihat lagi. Sangkala menghembuskan napas
panjang, lalu kembali mengayunkan kaki meninggalkan pantai ini.
***
Malam ini udara di sekitar pantai begitu dingin.
Angin berhembus kencang, menciptakan deburan ombak yang semakin keras
menghantam karang. Di bawah siraman cahaya bulan, tampak dua orang laki-laki berdiri
saling berhadapan. Mereka adalah Pendeta Pohaji dan Sangkala. Saat ini, memang
sudah lewat tengah malam. Tak ada orang lain lagi yang terlihat di sekitar
pantai ini, kecuali mereka berdua saja. Mereka seperti tidak mempedulikan
hembusan angin kencang yang menyebarkan udara dingin membekukan tulang.
“Kau sudah siap, Sangkala...?” tanya Pendeta
Pohaji membuka suara lebih dahulu.
“Siap,” sahut Sangkala.
“Bagus...! Yeaaah...!”
Mendadak saja Pendeta Pohaji melompat cepat bagai
kilat menerjang Sangkala. Akibatnya pemuda itu sejenak terperangah. Namun dia
cepat melompat ke samping sambil menarik tubuhnya miring ke kanan. Maka
terjangan Pendeta Pohaji lewat sedikit di depan dada pemuda itu. Pendeta Pohaji
berdiri tegak. Matanya menyorot tajam, dan bibirnya terkatup rapat. Sangkala
cepat merundukkan kepala, tidak sanggup menerima tatapan mata yang begitu tajam
menusuk
“Cara menghindarmu jelek sekali, Sangkala. Lawan
bisa mudah memasukkan pukulan. Dadamu terlalu kosong, sama sekali tidak
terlindungi,” ujar Pendeta Pohaji tajam.
“Maaf, Paman,” ucap Sangkala.
“Kau harus bersungguh-sungguh, Sangkala.”
Belum juga Sangkala menjawab, Pendeta Pohaji sudah
menerjang kembali, mengeluarkan jurus yang cepat luar biasa. Sangkala masih
kelabakan sejenak, tapi cepat bisa menguasai keadaan setelah satu pukulan
mendarat telak di dadanya. Untung saja pukulan itu tidak mengandung tenaga
dalam, sehingga Sangkala tidak merasakan sakit sedikit pun juga.
“Jangan membuatku kecewa, Sangkala...! Hiyaaat..!”
“Hup”
Sangkala cepat melentingkan tubuhnya ke udara, lalu
berputar dua kali sebelum menjejakkan kaki di pasir pantai. Namun baru saja
hendak bersiap, sudah datang lagi serangan cepat. Sangkala cepat memiringkan
tubuh ke kiri, menghindari tendangan Pendeta Pohaji. Namun ketika Pendeta
Pohaji melepaskan tendangan berputar, Sangkala tidak dapat lagi berkelit. Maka
tendangan yang cukup keras itu, tepat menghantam dada pemuda itu.
Des!
“Akh…!” Sangkala terpekik agak tertahan.
Pemuda berbaju putih itu terjengkang jatuh duduk.
Sementara Pendeta Pohaji berdiri tegak. Baru dua jurus, tapi Sangkala sudah dua
kali menerima pukulan pada dadanya. Dan tendangan yang terakhir tadi, membuat
dadanya sedikit terasa sesak.
“Bangun!” bentak Pendeta Pohaji.
Sambil meringis, Sangkala beranjak bangkit
ber-diri. Sebentar dia mengatur jalan napasnya yang agak sedikit tertahan,
akibat tendangan laki-laki tua gundul ini.
“Kau benar-benar membuatku kecewa, Sangkala,” ujar
Pendeta Pohaji.
“Maafkan aku, Paman. Perhatianku sedang terpecah,”
sahut Sangkala beralasan.
“Aku beri kau lima jurus. Namun bila tidak bisa
bertahan, jangan harap aku memberi izin ke kota di akhir pekan ini.”
“Aku akan bersungguh-sungguh, Paman,” janji
Sangkala.
Bet!
Sangkala cepat mengebutkan tangan ke depan, lalu
perlahan ditarik kembali hingga sejajar dada. Dan setelah menghembuskan napas
panjang, mendadak saja pemuda tampan berbaju putih itu melompat menerjang
Pendeta Pohaji sambil melemparkan beberapa pukulan beruntun.
“Hup! Yeaaah....!”
Tapi Pendeta Pohaji bukanlah orang sembarangan.
Dengan mudah sekali, dia bisa menghindari serangan beruntun yang dilancarkan
muridnya yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri. Tanpa terasa, Sangkala
sudah melewati lima jurus yang dijanjikan Pendeta Pohaji. Namun dari semua
jurus andalan yang dikerahkan, tapi tidak ada satu pun yang mengenai sasaran.
Hingga akhirnya....
“Tahan...! Yeaaah...!” seru Pendeta Pohaji
tiba-tiba.
Manis sekali gerakan Pendeta Pohaji saat melenting
ke belakang, keluar dari pertempuran latihannya. Sangkala juga segera
menghentikan serangan. Dia langsung berlutut, memberi sembah dengan merapatkan
kedua telapak tangan di depan hidung. Sementara, kepalanya tertunduk dalam.
Pendeta Pohaji menghampiri dengan ayunan langkah
ringan, bagai tak menyentuh tanah pantai berpasir putih. Tatapan matanya begitu
tajam, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sepertinya, pemuda
yang berlutut di depannya ini bukan Sangkala, murid kesayangannya yang sudah
memiliki jurus-jurus andalan dahsyat dari ilmu tingkat tinggi.
“Aku tidak tahu, apa sebenarnya yang sedang kau
hadapi, Sangkala. Jurus-jurus yang kau mainkan tadi, begitu mentah dan tidak
berbobot sama sekali. Aku yakin, kau pasti belum mempelajari aji 'Petak Jiwa',”
dingin sekali nada suara Pendeta Pohaji.
“Maafkan aku, Paman,” ucap Sangkala perlahan.
“Kenapa belakangan ini kau jadi pemalas? Apa yang
mengganggu pikiranmu, Sangkala?” tanya Pendeta Pohaji. Kali ini nada suaranya
berubah lembut.
Sangkala diam saja. Pemuda itu duduk bersila sambil
tetap menundukkan kepala. Seakan-akan dia tidak berani membalas tatapan Pendeta
Pohaji yang begitu tajam menusuk sampai ke relung hatinya yang paling dalam.
“Sejak kecil kau sudah ikut bersamaku, Sangkala.
Dan selama ini, sekali pun kau belum pernah menyimpan rahasia padaku. Tapi
kenapa sekarang begitu lain? Kau tidak lagi menganggapku pamanmu, Sangkala?”
Pendeta Pohaji terus mendesak.
Sangkala diam saja. Bahkan tetap tertunduk,
menekuri pasir yang putih berkilat tertimpa cahaya bulan. Sementara debur ombak
terus terdengar memecah karang. Untuk beberapa saat lamanya, suasana begitu
sunyi. Pendeta Pohaji menunggu sabar, namun Sangkala tetap diam membisu.
“Ada persoalan apa sebenarnya, Sangkala?” tanya
Pendeta Pohaji tidak sabar.
“Paman...,” pelan sekali suara Sangkala,
seakan-akan begitu berat untuk mengeluarkan suara. Perlahan pemuda itu
mengangkat kepalanya, tapi tidak berani membalas tatapan mata laki-laki tua berjubah
kuning di depannya ini.
“Katakan, apa sebenarnya yang mengganjal hatimu?”
desak Pendeta Pohaji lembut.
“Paman tidak marah kalau aku mengatakan sesuatu?”
Sangkala malah bertanya.
“Kenapa harus marah?” ujar Pendeta Pohaji.
“Paman...,” kembali ucapan Sangkala terputus. Dan
kepala pemuda itu kembali menunduk. Dicobanya untuk mengumpulkan kekuatan agar
segala yang ada di relung hatinya bisa diutarakan. Sesuatu yang selama beberapa
hari ini selalu membuat pikirannya tidak menentu, hingga tidak bisa memusatkan
perhatian pada pelajaran yang diberikan Pendeta Pohaji.
“Sebenarnya aku ingin bertanya pada Paman. Itu pun
kalau Paman tidak marah dan bersedia menjawab pertanyaanku,” ujar Sangkala
perlahan. Nada suaranya terdengar seperti ragu-ragu.
“Apa pun yang kau tanyakan, pasti akan kujawab. Dan
jika ingin mengetahui sesuatu, tentu aku akan memberi tahu sebatas
pengetahuanku sendiri,” jawab Pendeta Pohaji lembut.
“Paman, apakah benar Gusti Prabu Rangga itu
Pendekar Rajawali Sakti?” tanya Sangkala setelah berpikir agak lama.
“Benar,” sahut Pendeta Pohaji. Laki-laki tua
berjubah kuning yang menjadi penasihat Kerajaan Karang Setra itu jadi heran
juga mendengar pertanyaan muridnya ini. Tapi keheranannya tidak ingin
diungkapkan dulu. Dia ingin agar Sangkala mengutarakan lebih dahulu semua yang
menjadi beban pikirannya saat ini.
“Benarkah dia yang membunuh ayahku, Paman?” tanya
Sangkala setelah menguatkan diri.
Pendeta Pohaji tersentak kaget mendengar pertanyaan
pemuda itu, sehingga tidak langsung menjawab. Dan Sangkala kini menatap wajah
laki-laki tua yang berdiri di depannya ini. Tampak jelas dari raut wajah, kalau
Pendeta Pohaji begitu terkejut mendengar pertanyaan Sangkala barusan.
Laki-laki tua berjubah kuning gading itu memutar
tubuhnya, lalu melangkah perlahan menuju tepian pantai. Pandangannya lurus ke
depan. Sementara Sangkala sudah bangkit berdiri. Perlahan kakinya melangkah
mengikuti pendeta tua itu yang kini sudah berhenti di garis pantai. Tampak
lidah ombak menjilati kaki mereka.
“Maafkan atas pertanyaanku tadi, Paman,” ucap
Sangkala.
Pendeta Pohaji tidak berpaling sedikit pun. Dia
terus menatap ke tengah laut yang menghitam pekat. Pantulan sinar rembulan,
membuat permukaan laut yang selalu bergelombang seperti bertaburkan batu
permata yang berkilauan. Tapi di mata Pendeta Pohaji, bagaikan lautan duri yang
harus diseberangi. Beberapa kali napasnya dihembuskan, seakan-akan ingin
melonggarkan rongga dadanya yang mendadak jadi sesak.
DUA
“Dari mana kau punya pikiran seperti itu,
Sangkala?” tanya Pendeta Pohaji tanpa berpaling sedikit pun.
Sangkala tidak menjawab. Pandangannya pun diarahkan
ke tengah lautan. Pertanyaan Pendeta Pohaji barusan terasa begitu berat
dijawab. Tidak mungkin hal itu diutarakan dengan terus terang, karena sudah
berjanji pada Mintarsih untuk tidak memberitahukan pertemuan mereka selama ini
pada siapa pun juga. Termasuk Pendeta Pohaji.
“Aku kenal betul Gusti Prabu Rangga. Meskipun, aku
baru bertemu dengannya lagi setelah dia menjadi dewasa,” jelas Pendeta Pohaji.
Laki-laki itu terkenang kembali saat pertemuannya
dengan Pendekar Rajawati Sakti. Saat itu, Karang Setra belum lagi berbentuk
kerajaan, tapi masih merupakan sebuah kadipaten (Baca serial Pendekar Rajawati
Sakti dalam kisah, Api di Karang Setra). Sebuah pertemuan yang sangat
mengharukan semua orang. Karena selama dua puluh tahun, Rangga Pati Permadi
sudah dianggap tewas di Lembah Bangkai.
Peristiwa itu memang sudah lama sekali, tapi masih
melekat kuat dalam ingatan Pendeta Pohaji. Saat itu dia memang tidak bisa
menentukan, dan tidak ingin berpihak pada siapa saja. Kedudukannya sebagai
pendeta dan penasihat keturunan Adipati Karang Setra, membuat Pendeta Pohaji
harus berdiri di tengah-tengah. Tidak memihak pada Rangga yang ahli waris
tunggal Karang Setra. Juga, tidak memihak pada Wira Permadi, adik tiri Rangga
yang sangat bernafsu ingin menguasai Karang Setra. Terlepas, apakah dia tahu
kalau jalan yang ditempuh Wira Permadi dapat dibenarkan atau tidak.
Namun Pendeta Pohaji sudah berjanji pada Adipati
Karang Setra untuk menjaga dan melindungi keturunannya sampai ajal datang
menjemput. Satu persatu janjinya pada Adipati Karang Setra sudah terpenuhi,
meskipun dia tidak bisa memenuhi janjinya sendiri pada putra adipati itu
sendiri. Dan yang jelas, itu bukan kesalahannya. Tidak ada seorang pun di dunia
ini yang menginginkan musibah datang.
“Paman, benarkah Pendekar Rajawali Sakti yang
membunuh ayahku?” tanya Sangkala lagi, agak mendesah.
“Aku tidak bisa menjawabnya, Sangkala,” sahut
Pendeta Pohaji pelan.
“Kenapa? Bukankah Paman begitu dekat dengan
Pendekar Rajawali Sakti?”
“Rangga, Pendekar Rajawali Sakti, atau Gusti Prabu
Karang Setra adalah sama. Dan aku memang salah seorang pejabat yang dipercaya
menjadi penasihat istana. Tapi aku dan Gusti Prabu jarang sekali bertemu. Jadi,
aku tidak tahu pasti tentang semua itu, Sangkala,” jelas Pendeta Pohaji.
Sangkala tampak kecewa mendengar jawaban laki-laki
tua berjubah kuning gading ini. Sebentar dirayapinya wajah tua yang sudah
banyak berkeriput Kemudian kedua tangannya dirapatkan di depan hidung. Tanpa
berkata-kata lagi, pemuda berbaju putih ketat itu melangkah pergi. Tinggallah
Pendeta Pohaji yang masih berdiri mematung memandangi gulungan ombak. Sampai
langkah kaki Sangkala tidak terdengar lagi, Pendeta Pohaji masih juga berdiri
mematung. Pandangannya lurus tak berkedip menatap lautan bebas, bagai tak
bertepi. Namun mendadak saja....
“Hm...,” Pendeta Pohaji menggumam perlahan.
Pendengarannya yang setajam mata pisau, mendengar
suara lain dari yang didengarnya. Suara halus yang datang dari arah belakang.
“Hup...!”
Mendadak saja Pendeta Pohaji melenting ke atas,
melakukan putaran dua kali. Tepat pada saat itu, berkelebat sebuah bayangan
biru yang lewat di bawah kaki Pendeta Pohaji. Setelah melakukan dua kali
putaran, laki-laki tua berjubah kuning yang seluruh kepalanya gundul itu
mendarat di pasir pantai yang putih dengan manis sekali.
“Siapa kau...?!” bentak Pendeta Pohaji seraya
mengamati seseorang yang berdiri membelakanginya.
“Hik hik hik...!” wanita berbaju biru terang itu
tertawa terkikik.
Pendeta Pohaji melompat mundur dua tindak. Entah
dari mana datangnya, tahu-tahu di depan pendeta tua berkepala gundul itu sudah
berdiri seorang perempuan berwajah cukup cantik. Dia mengenakan baju ketat
warna biru. Begitu ketatnya, sehingga lekuk-lekuk tubuhnya nampak jelas
membayang.
“Kau tidak mengenaliku lagi, Pohaji?” lembut sekali
nada suara wanita berbaju biru itu.
Pendeta Pohaji nampak tersentak. Kembali diamatinya
wajah dan seluruh tubuh wanita cantik di depannya. Kepala yang gundul tanpa
sehelai rambut, terlihat bergerak menggeleng perlahan. Pandangan matanya
seperti tidak percaya terhadap apa yang dilihatnya.
“Mustahil...,” desis Pendeta Pohaji sambil
menggelengkan kepala perlahan beberapa kali.
“Zaman bisa berubah dan waktu pun terus berputar,
Pohaji. Tapi jangan lupa, kalau kepandaian manusia pun semakin meningkat,” kata
wanita berbaju biru itu lagi.
“Bagaimana mungkin kau bisa tetap muda, Mintarsih?”
tanya Pendeta Pohaji, masih tidak percaya dengan apa yang disaksikannya kini.
Wanita cantik yang mengenakan baju biru itu hanya
tertawa saja. Tawanya begitu lembut terdengar di telinga, namun juga mengandung
suatu daya rangsang tersendiri yang sangat menyentuh kejantanan seorang
laki-laki. Dan itu terasa sekali, sehingga Pendeta Pohaji terpaksa harus
mengerahkan kekuatan dengan menutup sebagian aliran darah yang menuju
kejantanannya.
Laki-laki tua berkepala gundul itu seketika
menyadari kalau suara yang dikeluarkan Mintarsih mengandung suatu ilmu langka
yang dapat melemahkan hati siapa saja yang mendengarnya. Dan kalau hati
seseorang sudah melemah, wanita ini dapat dengan mudah memperdayai. Apa pun
yang dikatakan akan dituruti tanpa disadari.
“Aku akui, aji 'Lemah Atma' yang kau miliki
mengalami kemajuan pesat. Tapi belum cukup untuk melemahkan hatiku, Mintarsih,”
kata Pendeta Pohaji dingin.
“Rupanya kau masih juga bisa merasakan ilmuku,
Pohaji. Hebat...! Kau masih juga dapat bertahan, tidak seperti muridmu. Hi hi
hi...!”
“Apa maksudmu, Mintarsih?”
Mintarsih hanya tertawa saja, namun mendadak saja
mengebutkan tangan kanannya ke depan. Seketika itu juga, dari telapak tangan
wanita itu melesat secercah cahaya keemasan yang meluruk deras ke arah Pendeta
Pohaji. Sejenak Pendeta Pohaji terperangah, namun cepat mengegoskan tubuh ke
kanan untuk menghindari serangan mendadak yang dilakukan wanita cantik itu.
Maka cahaya kuning keemasan itu lewat sedikit di
samping tubuh Pendeta Pohaji. Namun sebelum laki-laki tua itu bisa menarik
kembali kedudukan tubuhnya, kembali Mintarsih menyerang lebih cepat dan
dahsyat. Wanita itu melesat cepat bagaikan kilat, disertai lontaran dua pukulan
bertenaga dalam tinggi sekali.
“Hiyaaat..!”
“Uts!”
Pendeta Pohaji terpaksa melentingkan tubuh ke
udara. Dia melakukan putaran dua kali di udara, sebelum menjejak tanah
berpasir, sekitar dua batang tombak jauhnya dari Mintarsih.
“Tunggu...!” sentak Pendeta Pohaji begitu melihat
Mintarsih hendak melakukan serangan kembali.
Mintarsih langsung mengurungkan serangannya.
“Apa maksudmu dengan semua ini, Mintarsih?” tanya
Pendeta Pohaji.
“Kau sudah tahu keinginanku, Pohaji. Dan hanya
kaulah penghalang utamaku! Maka kau harus mampus lebih dahulu...!” sahutan
Mintarsih begitu dingin dan datar suaranya.
“Aku tidak tahu, apa keinginanmu,” sahut Pendeta
Pohaji.
“Keparat...! Sejak dulu kau selalu saja berpura
pura. Dasar penjilat..!” geram Mintarsih.
Wanita cantik berbaju biru itu kembali bersiap
melakukan serangan. Wajahnya tampak memerah bagai saga. Sinar matanya
berkilatan tajam, menusuk langsung bola mata Pendeta Pohaji. Perlahan-lahan kedua
tangannya ditarik hingga sejajar dada. Sedangkan kedua kakinya terpentang lebar
ke samping.
“Hm...,” Pendeta Pohaji bergumam perlahan melihat
Mintarsih sudah bersiap hendak melakukan serangan.
Semua yang dipersiapkan wanita itu sudah tidak
asing lagi bagi Pendeta Pohaji. Hanya saja dia tidak tahu sampai di mana
kemajuan jurus-jurus yang dimiliki wanita cantik ini. Dan laki-laki gundul itu
tidak ingin menganggap remeh. Pendeta Pohaji tahu kalau Mintarsih bukanlah
wanita yang bisa dianggap enteng ilmu-ilmunya. Mereka satu sama lain kenal
sudah lama. Bukan setahun atau dua tahun, tapi puluhan tahun. Dan masing-masing
sudah mengenal watak dan kemampuannya. Hanya saja, Pendeta Pohaji masih belum
mengerti, kenapa Mintarsih masih juga kelihatan muda dan cantik seperti seorang
gadis belia saja.
Sedangkan dia sendiri sudah begitu tua, keriput,
dan tinggal menunggu ajal saja. Padahal kalau diukur usia, tentu hanya terpaut
dua tahun saja. Inilah yang belum bisa dimengerti laki-laki tua berkepala
gundul itu. Sementara Mintarsih sudah bersiap hendak melakukan serangan.
Kakinya sudah digeser ke kanan beberapa tindak.
“Tahan seranganku, Pohaji! Hiyaaat..!”
“Yeaaah...!”
Pendeta Pohaji langsung melentingkan tubuh ke
angkasa, begitu Mintarsih melompat menyerang. Satu benturan keras di udara tak
dapat dihindari lagi. Dua pasang telapak tangan beradu keras, hingga
menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar. Begitu kerasnya dua kekuatan tenaga
dalam itu beradu, sehingga mereka sama-sama terpental jatuh keras sekali.
Namun mereka masih dapat menguasai diri, sehingga
jatuh tepat dengan kedua kaki tegar. Mintarsih langsung bersiap hendak
melakukan serangan kembali. Sedangkan Pendeta Pohaji tampak sedikit bergetar
tubuhnya. Tampak darah menetes keluar dari sudut bibirnya.
“Hhh! Ilmu perempuan ini benar-benar maju pesat!”
desis Pendeta Pohaji dalam hati.
Dengan punggung tangannya, pendeta tua itu menyeka
darah yang menetes di sudut bibir. Hampir sulit dipercaya kalau Mintarsih masih
tetap tegar, tanpa kurang suatu apa pun juga. Terlebih lagi, wanita itu kini
sudah kembali siap hendak menyerang lagi.
“Kau orang pertama yang harus mampus di tanganku,
Pohaji. Bersiaplah...! Hiyaaat...!”
Mintarsih kembali meluruk deras menerjang Pendeta
Pohaji. Kedua tangannya merentang lurus ke depan dengan jari-jari tangan
terkembang lebar agak tertekuk ke depan. Tampak jelas kalau ujung jari tangan
perempuan itu berwarna merah bagai terbakar.
“Hap!”
Pendeta Pohaji cepat melompat ke samping dua
tindak. Seketika tubuhnya ditarik miring ke kanan, hingga doyong seperti pohon
yang hampir tumbang. Maka tangan Mintarsih lewat sedikit di samping tubuh
laki-laki tua berkepala gundul itu. Namun tanpa diduga sama sekali, wanita
cantik berbaju biru itu cepat melepaskan satu pukulan menggeledek, mengarah ke
dada.
“Ih...!” Pendeta Pohaji terkejut bukan main.
Bergegas tubuhnya melompat ke atas sejauh satu batang tombak. Tapi belum juga
siap, Mintarsih sudah kembali menyerang cepat bagai kilat. Terpaksa Pendeta
Pohaji melakukan salto ke udara. Dia berputaran beberapa kali, melewati kepala
wanita itu. Lalu, dengan manis sekali kakinya mendarat di belakang Mintarsih.
“Yeaaah...!”
Begitu kakinya menjejak tanah, Pendeta Pohaji
langsung memberi satu gedoran keras bertenaga dalam penuh ke arah punggung
wanita itu.
“Hait..!”
Hanya sedikit saja Mintarsih memiringkan tubuh ke
kiri, sehingga gedoran Pendeta Pohaji dapat dielak kan. Cepat wanita itu
memutar tubuh seraya memberi satu tendangan berputar, lurus mengarah ke dada.
Cara mengelak yang langsung diikuti serangan berputar begitu cepat, membuat
Pendeta Pohaji terbeliak tidak menyangka.
Laki-laki tua itu tidak dapat berbuat apa-apa,
karena tubuhnya sendiri menjorok ke depan. Dan dia tidak sempat lagi menarik
tangannya yang merentang lurus ke depan. Akibatnya sepakan kaki Mintarsih tepat
menghantam dada pendeta tua itu.
Des!
“Akh...!” Pendeta Pohaji memekik agak tertahan.
Tubuh tua berjubah kuning gading itu terdorong keras
ke belakang sejauh dua batang tombak. Sebentar Pendeta Pohaji terhuyung-huyung
sambil memegangi dadanya yang terhantam tendangan berputar Mintarsih tadi.
Setelah bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, dia cepat melakukan
gerakan-gerakan ringan untuk mengatur pernapasan yang mendadak sesak.
“Huh!” Pendeta Pohaji mendengus keras, membuang
napasnya untuk melonggarkan dada.
“Kau sudah terlalu tua, Pohaji. Gerakanmu lamban
sekali,” ejek Mintarsih sambil tersenyum sinis.
“Hm.... Kau pun sudah tua, Mintarsih,” balas
Pendeta Pohaji tidak kalah dinginnya.
“Ha ha ha...! Apa matamu sudah buta, Pohaji?
Seorang pangeran pun akan terpikat oleh wajahku.”
“Orang lain boleh kau kelabui. Tapi, mata tuaku ini
tidak bisa kau bodohi. Di balik kecantikanmu, kau adalah seorang nenek tua yang
keriput!”
“Setan...! Hanya kau yang tahu siapa aku
sebenarnya, Pohaji. Maka kau harus mampus! Hiyaaat..!”
Kata-kata Pendeta Pohaji yang terakhir, benar-benar
membuat Mintarsih berang setengah mati. Kembali tubuhnya melompat menyerang
Pendeta Pohaji. Namun kali ini, laki-laki tua berjubah kuning itu sudah siap
menghadapinya. Dia tidak sudi lagi bermain-main, karena sudah menyadari kalau
kepandaian Mintarsih kini jauh lebih tinggi dari yang pernah diketahui.
Pertarungan di tepi pantai itu pun kembali
berlangsung sengit sekali. Masing-masing berusaha menjatuhkan. Jurus-jurus maut
tingkat tinggi yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, membuat pasir di
tepi pantai itu bertebaran ke udara. Setiap kali pukulan yang dilontarkan,
selalu mengandung dorongan angin kuat sekali. Bahkan beberapa batu karang yang
terkena pukulan nyasar pun hancur berkeping-keping.
Sementara malam terus merambat semakin larut
mendekati fajar. Namun pertarungan masih terus berlangsung sengit sekali. Dari
jalannya pertarungan, tampak jelas kalau Mintarsih begitu bernafsu hendak
menjatuhkan Pendeta Pohaji. Jurusnya selalu berganti cepat, begitu serangannya
gagal. Kemudian dia langsung membuat serangan baru yang lebih dahsyat. Hal ini
membuat Pendeta Pohaji kelihatan agak kewalahan menghadapi. Beberapa kali
pukulan Mintarsih yang mengandung tenaga dalam tinggi hampir menghantam pendeta
tua itu. Tapi sampai pertarungan lewat dari dua puluh jurus, belum ada yang
terdesak. Hingga pada satu saat, tepat memasuki jurus yang ketiga puluh,
mendadak saja....
“Awas kepala...!”
“Heh...?!”
Pendeta Pohaji tersentak kaget begitu tiba-tiba
Mintarsih berteriak nyaring memperingatinya. Cepat kepalanya dirundukkan, tanpa
melihat lebih dahulu. Namun rupanya seruan Mintarsih tadi hanya tipuan saja.
Tepat ketika Pendeta Pohaji merundukkan kepalanya, mendadak saja Mintarsih
memberi satu pukulan keras ke arah dada laki-laki tua itu.
Serangan yang dilakukan Mintarsih memang sungguh
dahsyat dan tidak terduga. Memang, Pendeta Pohaji tadi menyangka kalau wanita
ini akan menyerang bagian kepala. Dan sama sekali tidak disangka kalau itu
merupakan tipuan untuk membuka daerah kosong.
Diegkh...!
“Akh...!” Pendeta Pohaji menjerit keras.
Pukulan yang dilepaskan Mintarsih tepat menghantam
dada laki-laki tua berjubah kuning gading itu. Begitu kerasnya, sehingga
membuat Pendeta Pohaji terpental ke belakang sejauh dua batang tombak.
Sebongkah batu karang yang cukup besar hancur berkeping-keping begitu terlanda
tubuh tua berjubah kuning gading itu.
“Hoek...!”
Pendeta Pohaji memuntahkan darah kental agak
kehitaman. Dia mencoba bangkit berdiri. Namun belum juga sempurna berdirinya,
mendadak saja satu serangan kembali datang.
“Hiyaaat..!”
Pendeta Pohaji hanya bisa terperangah saja. Tidak
ada lagi kesempatan untuk menghindari serangan itu. Cepat Pendeta Pohaji
menghentakkan kedua tangannya ke depan, menyambut serangan yang dilakukan
Mintarsih. Tak dapat dielakkan lagi. Dua pasang telapak tangan yang terbuka
lebar, seketika beradu keras hingga menimbulkan ledakan dahsyat luar biasa.
Glarrr...!
“Akh...!” lagi-lagi Pendeta Pohaji memekik keras
agak tertahan.
Untuk kedua kalinya tubuh tua berjubah kuning
gading itu terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Beberapa kali dia
bergulingan di atas pasir yang dingin membekukan. Darah semakin banyak keluar
dari mulutnya. Setelah menyemburkan darah agak kehitaman, Pendeta Pohaji
berusaha bangkit berdiri. Dan belum lagi laki-laki tua berjubah kuning itu bisa
berdiri tegak, Mintarsih sudah kembali melompat seraya melontarkan dua pukulan
keras bertenaga dalam tinggi secara beruntun. Begitu cepatnya serangan yang
dilakukan, sehingga Pendeta Pohaji tidak sempat lagi menghindar. Dan…
“Yeaaah....!”
Dieghk!
Prak!
“Aaa...!” Satu jeritan panjang melengking tinggi
terdengar hampir bersamaan dengan terdengarnya suara tulang yang berderak
patah, tepat ketika kedua telapak tangan Mintarsih mengepruk kepala gundul itu.
“Hih!”
Dengan tangan masih berada di kepala Pendeta
Pohaji, Mintarsih menggenjot tubuhnya. Maka, kini kedua kakinya berada di atas,
dan tangannya tetap berada di kepala laki-laki tua berjubah kuning gading itu.
Brest
“Akh...!” lagi-lagi Pendeta Pohaji menjerit
Tubuhnya amblas, masuk ke dalam pasir sampai ke pinggang. Sementara, kepalanya
terus mengucurkan darah segar. Mintarsih melentingkan tubuh ke udara, lalu
berputaran dua kali. Manis sekali kakinya menjejak tepat sekitar tiga langkah
di depan Pendeta Pohaji.
“Ha ha ha...!” Mintarsih tertawa terbahak-bahak
melihat lawannya sudah tidak berdaya lagi.
Dengan setengah tubuh terbenam, Pendeta Pohaji
memang tidak mungkin melakukan sesuatu lagi. Terlebih, kepalanya sudah pecah.
Darah tampak semakin banyak bercucuran dari kepala yang pecah akibat terkena
keprukan tangan halus Mintarsih.
“Mampus kau, Pohaji! Hiyaaat...!”
Bet!
Bagaikan kilat, Mintarsih mengibaskan tangan ke
arah leher Pendeta Pohaji. Begitu cepatnya kibasan tangan wanita itu, sehingga
Pendeta Pohaji tidak mampu lagi menghindar. Dan....
Cras!
Tangan Mintarsih yang tajamnya melebihi mata pedang
begitu dahsyat menebas leher Pendeta Pohaji hingga langsung terpenggal buntung.
Darah seketaka muncrat dari leher yang buntung tanpa kepala lagi. Sedangkan
kepalanya menggelinding di tanah berpasir putih.
“Ha ha ha...!”
***
TIGA
Seluruh penghuni Istana Karang Setra dilanda awan
mendung yang amat tebal. Bahkan seluruh rakyat Kerajaan Karang Setra terselimut
kabut duka atas kematian Pendeta Pohaji yang begitu menyedihkan dan penuh
teka-teki. Beberapa nelayan menemukan tubuh pendeta tua penasihat istana itu
terbenam sepinggang di tepi pantai, dengan kepala buntung.
Hingga tubuh pendeta itu dimakamkan, tidak ada yang
bisa menemukan kepalanya. Malah Raden Danupaksi, orang kedua di Karang Setra
sudah memerintahkan ratusan prajurit untuk mencari kepala Pendeta Pohaji, namun
tidak juga bisa ditemukan.
Sampai saat ini, sudah dua hari jenazah Pendeta
Pohaji dimakamkan tanpa kepala. Namun sampai saat itu, kematiannya belum juga
terungkap. Raden Danupaksi sudah menanyakan pada semua murid Pendeta Pohaji,
tapi tidak ada seorang pun yang mengetahui. Dan semuanya mengatakan, kalau
malam itu Pendeta Pohaji menguji ilmu Sangkala. Raden Danupaksi tahu kalau
Sangkala adalah murid kesayangan Pendeta Pohaji, dan memiliki ilmu yang lebih
tinggi dari yang lain. Sangkala pun tidak luput dari pertanyaan Raden
Danupaksi.
“Semua murid Paman Pendeta Pohaji mengatakan kalau
malam itu kau bersamanya, Sangkala,” kata Raden Danupaksi seraya menatap
dalam-dalam pemuda berbaju putih yang duduk bersimpuh di depannya.
“Ampunkan hamba, Raden. Memang malam itu Paman
Pendeta menguji ilmu yang selama ini sudah hamba dapatkan darinya. Tapi itu
berlangsung tidak lama. Kemudian hamba meninggalkan pantai lebih dahulu,
sehingga tidak tahu apa yang terjadi di sana,” sahut Sangkala, bersikap penuh
rasa hormat.
“Kau tidak kembali ke puri malam itu, hingga
menjelang fajar. Lalu ke mana saja sepanjang malam?” pertanyaan Raden Danupaksi
sudah menjurus ke nada curiga.
“Hamba langsung pergi ke makam,” sahut Sangkala.
“Ke makam..? Makam siapa?” tanya Raden Danupaksi agak
terkejut
Orang kedua di Kerajaan Karang Setra itu kemudian
menatap Cempaka yang sejak tadi diam saja di dalam ruangan khusus ini. Memang
di situ hanya ada Raden Danupaksi, Sangkala, dan Cempaka. Danupaksi memang
tidak mengizinkan seorang pun masuk ke dalam ruangan ini.
“Sangkala! Meskipun tidak mengenalmu sejak kecil,
tapi kami semua tahu tentang dirimu. Paman Pendeta Pohaji tidak pernah
menyembunyikan apa pun tentang murid-muridnya. Jadi, kami tahu kalau kau tidak
memiliki ayah dan ibu sejak kecil. Lalu, makam siapa yang kau kunjungi malam
itu?” Cempaka baru membuka suara setelah mendapatkan isyarat dari Danupaksi.
“Aku tahu, kalau aku tidak memiliki orang tua sejak
kecil. Tapi, aku tahu kalau makam ayah dan ibuku sejajar bersama makam para
pengkhianat dan pemberontak serta penjahat besar kerajaan ini,” sahut Sangkala
kalem.
Danupaksi dan Cempaka tersentak kaget bukan
kepalang mendengar jawaban Sangkala yang begitu tenang dan tegas sekali. Namun
yang lebih mengejutkan lagi, Sangkala sudah mengetahui makam kedua orang
tuanya. Hal ini membuat Danupaksi tidak punya gairah lagi untuk menanyai
Sangkala. Sedangkan Cempaka tidak mengetahui jelas duduk perkara orang tua
Sangkala.
“Kau boleh keluar, Sangkala,” ujar Danupaksi.
Sangkala merapatkan kedua telapak tangannya di
depan hidung, kemudian meninggalkan ruangan itu. Tinggal Danupaksi dan Cempaka
saja yang masih berada di ruangan ini. Beberapa saat mereka terdiam dengan
pikiran menerawang jauh.
“Aku tidak mengerti, dari mana dia bisa tahu
tentang pusara orang tuanya...?” gumam Danupaksi seperti bertanya pada dirinya
sendiri.
“Kau tahu asal-usul Sangkala, Kakang?” tanya
Cempaka.
“Aku tahu asal-usul semua orang yang bebas keluar
masuk di istana ini, Cempaka. Tapi semua itu kurahasiakan, hingga tidak ada seorang
pun yang tahu, kecuali Kakang Rangga sendiri,” sahut Danupaksi.
“Mungkin Pendeta Pohaji sendiri yang
memberitahukannya, Kakang,” duga Cempaka.
“Tidak mungkin, Cempaka. Pendeta Pohaji tidak
pernah membuka rahasia asal-usul murid-muridnya, kecuali padaku dan Kakang
Rangga. Kita memang tidak tahu pasti, tapi Pendeta Pohaji sudah menceritakan
semuanya. Bahkan berani bersumpah kalau semua yang dikatakannya adalah benar.
Tidak seorang pun dari murid-muridnya yang mengetahui asal-usulnya. Mereka
semua diambil sejak masih kecil. Bahkan ada yang masih bayi,” bantah Danupaksi.
“Kalau bukan Pendeta Pohaji sendiri, lalu siapa
lagi?” tanya Cempaka.
“Itu yang tidak kumengerti, Cempaka. Dan aku yakin,
kalau ini ada hubungannya dengan kematian Pendeta Pohaji sendiri,” sahut
Danupaksi.
“Kakang, apa tidak sebaiknya hal ini diberitahukan
pada Kakang Rangga?” usul Cempaka.
“Di mana harus mencari Kakang Rangga, Cempaka...?
Kita semua tidak tahu pasti, di mana Kakang Rangga sekarang berada.”
Cempaka terdiam. Jawaban Danupaksi memang tidak
bisa disangkal lagi. Tidak ada seorang pun yang tahu, di mana Pendekar Rajawali
Sakti itu kini berada.
Memang sukar memiliki raja seorang pendekar yang
gemar berkelana. Dan ini sangat dirasakan Cempaka maupun Danupaksi yang harus
menggantikan kedudukan raja mereka selama kepergian yang tidak bisa ditentukan
kapan kembalinya. Bahkan tidak tahu ke mana perginya.
“Kalau Kakang mengizinkan, aku akan mencari Kakang
Rangga. Mudah-mudahan saja bisa cepat bertemu,” pinta Cempaka berharap.
“Aku tidak bisa melarang atau mengizinkanmu,
Cempaka. Berbuatlah yang menurutmu benar,” sahut Danupaksi.
“Kalau begitu, aku berangkat sekarang, Kakang.”
“Hati-hatilah. Aku merasa kematian Paman Pendeta
Pohaji akan berbuntut panjang.”
Cempaka mengangguk sedikit, kemudian meninggalkan
ruangan itu dengan ayunan kaki tegap dan mantap. Sepeninggal adik tirinya itu,
Danupaksi masih merenung sendiri.
***
Sementara itu dekat perbatasan Kotaraja Karang
Setra, tepatnya di daerah pemakaman para bangsawan dan keluarga istana,
Sangkala tampak berdiri mematung di depan gundukan tanah merah yang kelihatan
belum lama. Sejak keluar dari Istana Karang Setra, pemuda itu langsung ke
pemakaman ini. Sedangkan saat itu matahari sudah begitu tinggi di atas kepala.
Tatapan matanya tertuju rurus ke batu nisan yang
terukir nama Pendeta Pohaji di ujung kanan gundukan tanah merah itu. Tak ada
makna sama sekali di dalam sinar matanya. Begitu kosong dan tak bercahaya.
Sangkala baru mengangkat perlahan kepalanya ketika mendengar suara batuk kecil
yang halus. Sedikit pun tidak ada perubahan pada wajahnya saat pandangannya
tertumbuk pada seorang wanita cantik berbaju biru, yang tahu-tahu sudah berdiri
di depannya.
“Sejak kapan kau berada di sini, Mintarsih?” tanya
Sangkala, suaranya terdengar kosong dan datar.
“Belum lama,” sahut wanita cantik yang dikenali
Sangkala bernama Mintarsih.
“Untuk apa datang ke sini?” tanya Sangkala lagi.
Suaranya masih tetap datar, tanpa tekanan sama sekali.
Mintarsih tidak menjawab, tapi malah tersenyum
tipis. Wanita cantik itu melangkah menghampiri, memutari makam Pendeta Pohaji
dan berdiri di samping pemuda itu. Sedangkan Sangkala seperti tidak
memperhatikan, tetap menatap kosong ke depan. Bau harum yang menyebar dari
tubuh Mintarsih, menyeruak lubang hidung Sangkala. Hal ini membuat pemuda itu
menggerinjang, menggeser sedikit agak menjauh.
“Aku tahu, siapa yang berbuat ini semua, Sangkala,”
kata Mintarsih lembut.
Sangkala tersentak kaget. Langsung tubuhnya
diputar, menatap Mintarsih dalam-dalam. Namun yang ditatap hanya tersenyum
saja, manis sekali.
“Mungkin kau tidak percaya, tapi kebetulan sekali
aku ada di sana malam itu. Aku lihat jelas semua yang terjadi di tepi pantai,”
sambung Mintarsih.
“Katakan, siapa yang membunuh Paman Pendeta?” desak
Sangkala tegas.
“Pandan Wangi,” sahut Mintarsih, diiringi senyum
dikulum.
“Pandan Wangi...?” Sangkala seperti tidak percaya.
Dia tahu, siapa Pandan Wangi itu.
“Kau jangan mengada-ada, Mintarsih,” ujar Sangkala
tidak percaya. “Semua orang tahu kalau Pandan Wangi sekarang bersama Gusti
Prabu Rangga yang kini entah berada di mana. Tidak mungkin dia bisa berada di
sini dan membunuh Paman Pendeta Pohaji.”
“Kan sudah kukatakan, mungkin kau tidak percaya.
Tapi ini kenyataan, Sangkala. Sekarang ini Rangga berada di salah satu desa di
dekat Rimba Tengkorak. Tidak terlalu jauh jaraknya dari sini, bukan...? Bisa
saja Pandan Wangi menyelinap dan datang ke pantai untuk membunuh Pendeta
Pohaji,” Mintarsih mencoba meyakinkan pemuda ini.
“Tidak ada alasan bagi Pandan Wangi untuk membunuh
Paman Pendeta, Mintarsih.”
“Kenapa tidak...? Apa kau sudah lupa, Sangkala?
Karena Pendeta Pohajilah, sehingga mereka tidak bisa meresmikan pernikahan.
Pendeta Pohaji tidak mau meresmikannya, karena asal-usul Pandan Wangi tidak
jelas. Dan merupakan suatu pantangan berat bagi seorang raja bila memiliki
permaisuri yang tidak jelas asal-usulnya. Bagaimanapun juga, Pandan Wangi
adalah manusia biasa. Apalagi telah lama berkecimpung di dalam rimba
persilatan. Apa saja bisa dilakukannya untuk mendapatkan Rangga, Sangkala.
Ingat cara apa pun akan dilakukan bagi seseorang yang sudah lama berkecimpung dalam
rimba persilatan.”
Sangkala terdiam membisu. Kata-kata yang diuraikan
Mintarsih barusan, langsung merasuk ke dalam relung hatinya. Memang tidak dapat
dibantah lagi, setinggi apa pun tingkat kepandaian seseorang, tetap saja
manusia biasa yang terkadang bisa khilaf dan melakukan kesalahan. Terlebih,
semua orang sudah tahu kalau hubungan asmara antara Rangga dengan Pandan Wangi
bukan rahasia umum lagi. Sudah terlalu lama mereka menjalin asmara.
Dan memang mereka tidak bakal bisa bersatu dalam
satu ikatan tali perkawinan, selama asal-usul Pandan Wangi belum jelas
diketahui. Kalaupun nantinya diketahui, dan ternyata Pandan Wangi bukan
keturunan satria, sudah pasti ikatan perkawinan tidak akan bisa disatukan. Hal
ini memang bisa membuat seseorang mempunyai pikiran lain. Bahkan bisa juga
berbuat nekat tanpa memperhitungkan akibatnya. Tapi, mungkinkah itu akan
terjadi pada Pandan Wangi..? Hal ini yang membuat Sangkala jadi bimbang.
“Aku..., aku tidak tahu. Aku tidak bisa....”
“Sangkala...,” potong Mintarsih cepat “Pandanglah
aku, Sangkala. Apakah aku mendustaimu? Atau mengada-ada...?”
Seperti ada suatu daya tarik, Sangkala langsung
menatap bola mata Mintarsih yang indah, penuh bertaburkan bintang gemerlap.
Pemuda itu tidak tahu, dan sama sekali tidak menyadari kalau Mintarsih
menggunakan aji 'Lemah Atma'. Suatu ilmu kesaktian yang tidak berwujud, tapi
pengaruhnya sangat dahsyat bagi orang yang terkena. Apalagi orang itu memiliki
kepandaian tidak begitu tinggi. Maka akibatnya mudah sekali dirasuki ajian itu.
“Pergilah, Sangkala. Cari Pandan Wangi dan Rangga.
Bunuh mereka secara halus. Kau tidak akan dicurigai mereka,” kata Mintarsih,
dalam sekali nada suaranya.
“Apa yang harus kulakukan?” tanya Sangkala.
Pandangan mata pemuda itu sudah demikian kosong,
seperti tidak memiliki semangat hidup lagi. Aji 'Lemah Atma' yang ditebarkan
Mintarsih telah benar-benar merasuk tubuh Sangkala, tanpa disadari lagi. Maka
pemuda ini bagaikan kerbau yang dicucuk hidungnya, sehingga mengikuti saja apa
yang diperintah Mintarsih.
“Aku tahu, kau ahli membuat racun. Buatlah racun
yang tidak berbau, dan tawar rasanya. Racuni mereka! Kau lebih paham tentang
itu dariku, Sangkala.
“Baiklah, akan kulakukan,” sahut Sangkala.
“Bagus. Demi arwah gurumu, semua kata-kataku harus
kau laksanakan.”
Sangkala tidak berkata-kata lagi. Tubuhnya berputar
dan berjalan meninggalkan tempat pemakaman ini. Sementara Mintarsih
memperhatikan dengan bibir menyunggingkan senyuman lebar. Begitu punggung
Sangkala sudah tidak terlihat lagi, bagaikan kilat, Mintarsih melesat pergi.
Begitu cepatnya, hingga dalam sekejap saja sudah lenyap bagai tertelan bumi.
***
Pagi-pagi sekali, di saat matahari baru saja
menampakkan dirinya, Sangkala sudah keluar dari gerbang perbatasan Kotaraja
Karang Setra. Dengan menunggang kuda tegap berwarna putih, pemuda itu menuju
bagian Selatan Rimba Tengkorak. Sebuah hutan yang jarang sekali dimasuki
manusia, kalau tidak mempunyai keperluan yang mendesak sekali.
Hutan itu memang kelihatan angker. Pepohonannya
begitu rapat, seperti tidak ada jarak untuk dapat dilalui. Begitu lebatnya,
sehingga hutan itu kelihatan gelap. Bahkan sinar matahari tak kuasa menembus
lebatnya Rimba Tengkorak. Sementara Sangkala sudah berbelok, menyusuri tepian
Rimba Tengkorak. Dia terus menuju ke arah Selatan, arah yang ditunjukkan oleh
Mintarsih.
“Hiya...! Hiya...! Hiyaaa...!” Sangkala terus
menggebah kudanya semakin kencang. Begitu penuh perhatiannya pada perjalanan
ini, sehingga tidak mengetahui kalau ada yang memperhatikan dari tempat yang
cukup tersembunyi. Mereka adalah seorang gadis berbaju merah muda,
bersenjatakan pedang di punggungnya, dan dua orang laki-laki berusia setengah
baya.
“Gusti Ayu Cempaka! Bukankah itu Sangkala, murid
utama Pendeta Pohaji...?” ujar salah seorang laki-laki setengah baya yang
mengenakan baju hijau yang dipadu warna kuning.
Gadis cantik berbaju merah muda yang memang
Cempaka, hanya menggumam kecil saja. Dia tahu kalau pemuda berbaju putih yang
menunggang kuda seperti dikejar setan itu adalah Sangkala, murid utama Pendeta
Pohaji.
“Aneh...! Untuk apa dia ke Selatan...?” gumam Cempaka,
seperti bicara pada dirinya sendiri.
“Ini memang sangat mencurigakan, Gusti Ayu
Cempaka,” tegas laki-laki setengah baya berbaju hijau itu lagi
“Paman Rakatala, ikuti dia. Jaga jangan sampai
diketahui,” perintah Cempaka.
“Hamba, Gusti Ayu,” sahut laki-laki setengah baya
berbaju hijau itu seraya memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan
di depan hidung.
Tanpa menunggu perintah dua kali, laki-laki berbaju
hijau yang dipanggil Paman Rakatala segera melompat ke punggung kudanya. Lalu
cepat sekali kuda coklat berbelang putih itu digebah untuk menyusul Sangkala
yang sudah jauh, dan hampir tidak terlihat lagi. Sementara Cempaka masih terus
memperhatikan dengan kening agak berkerut dalam. Sementara laki-laki setengah
baya lainnya, yang mengenakan baju warna kuning keemasan tetap setia menunggui
di belakangnya.
“Paman Jarak Legi....” panggil Cempaka, pelan
suaranya.
“Hamba, Gusti Ayu Cempaka,” sahut laki-laki
setengah baya berbaju kuning yang dipanggil Paman Jarak Legi.
“Kalau tidak salah, kau pernah mengatakan bahwa
Kakang Prabu Rangga sekarang ini berada di daerah Selatan. Benar, Paman?”
Cempaka ingin kepastian yang jelas.
“Benar, Gusti Ayu. Bahkan Gusti Prabu Rangga sempat
memberi pesan yang harus disampaikan pada Gusti Raden Danupaksi, melalui telik
sandi hamba, Gusti Ayu.”
“Sudah kau sampaikan pesan itu, Paman?” tanya
Cempaka lagi
“Sudah, Gusti Ayu. Raden Danupaksi sendiri yang
menerimanya kemarin.”
“Hm..., apa isi pesannya?” tanya Cempaka agak
menggumam perlahan seraya mengangguk-anggukkan kepala.
“Hanya memberitahukan kalau Gusti Prabu Rangga
hanya sebentar berada di Selatan, dan tidak sempat singgah ke Karang Setra.
Hanya itu saja, Gusti Ayu,” sahut Paman Jarak Legi.
Gadis itu kembali mengarahkan pandangan ke Selatan.
Tidak terlihat bayangan Paman Rakatala yang mengikuti Sangkala, pemuda murid
utama Pendeta Pohaji itu. Kecurigaannya pada Sangkala semakin menebal. Apalagi
setelah menyangkutpautkan peristiwa pembunuhan itu dengan semua jawaban yang
diberikannya pada Danupaksi di ruangan khusus.
Dan sekarang, Sangkala menuju ke daerah Selatan.
Sedangkan Cempaka mendengar kalau Rangga kini berada di Selatan. Seketika
timbul berbagai macam pertanyaan dan dugaan di kepala gadis itu. Namun,
semuanya masih belum jelas. Dan Cempaka tidak ingin terlalu banyak menduga.
“Ayo, Paman. Kita harus cepat berada di Selatan
sebelum mereka sampai,” ajak Cempaka.
“Tapi mereka melalui jalan pintas yang terdekat,
Gusti Ayu. Tidak ada jalan lain lagi yang terdekat, selain melintasi Rimba
Tengkorak,” jelas Paman Jarak Legi.
“Lalu, jalan mana yang terbaik, Paman?” tanya
Cempaka.
“Melewati pantai di kaki Gunung Caringin, Gusti
Ayu. Tapi hamba tidak yakin bisa sampai lebih dahulu. Karena, itu berarti
melalui jalan memutar,” sahut Paman Jarak Legi.
“Kita pacu kuda tanpa berhenti, Paman.”
Cempaka tidak lagi menunggu jawaban Paman Jarak
Legi yang sebenarnya memiliki pangkat panglima. Tapi dalam keadaan seperti ini,
terlebih lagi mengenakan pakaian biasa, sama sekali tidak terlihat kalau
laki-laki setengah baya itu adalah salah seorang Panglima Karang Setra.
Cempaka segera berjalan cepat menuju kudanya yang
tertambat di bawah pohon. Paman Jarak Legi mengikuti dari belakang. Tak berapa
lama kemudian, terlihat dua ekor kuda berbacu cepat meninggalkan tempat itu,
diikuti tiga penunggang kuda lainnya. Ketiga penunggang kuda yang mengikuti
Cempaka adalah para prajurit pilihan yang sengaja dibawa dengan mengenakan
pakaian biasa.
Arah yang dituju, jelas kaki Gunung Caringin.
Sebuah gunung yang tidak begitu tinggi, dan terletak di tepi pantai. Jaraknya
memang tidak begitu jauh lagi. Sehingga dalam waktu tidak berapa lama saja,
mereka sudah berada di pantai kaki Gunung Caringin. Mereka terus berpacu cepat
menyusuri pantai yang menuju ke arah Selatan.
***
Seharian penuh, Cempaka, Paman Jarak Legi, dan tiga
orang prajurit yang mengenakan pakaian biasa menunggang kuda dengan kecepatan
tinggi. Sekejap pun mereka tidak berhenti untuk beristirahat Begitu matahari
benar-benar tenggelam di belahan Barat, baru mereka menghentikan lari kudanya.
Tiga orang prajurit segera membuat api, tanpa diperintah lagi. Sedangkan
Cempaka memandang ke arah Selatan yang masih harus ditempuh sehari perjalanan
lagi.
“Paman, kau mendengar sesuatu?” tanya Cempaka
seraya berpaling pada Paman Jarak Legi yang berdiri di sampingnya.
“Seperti suara pertempuran, Gusti Ayu,” sahut Paman
Jarak Legi.
“Benar. Dan tampaknya, tidak terlalu jauh,” agak
bergumam suara Cempaka.
“Apa tidak sebaiknya kita lihat, Gusti Ayu?” saran
Paman Jarak Legi.
“Kau suruh mereka tetap tinggal di sini, Paman.”
“Hamba, Gusti Ayu...”
Sebelum Paman Jarak Legi menyelesaikan
kata-katanya, Cempaka sudah melompat cepat mempergunakan ilmu meringankan
tubuh. Paman Jarak Legi segera memerintahkan tiga prajurit yang ikut untuk
tetap tinggal di tempat ini. Kemudian, dia segera melesat cepat mengikuti
Cempaka yang sudah melesat jauh. Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Paman
Jarak Legi memang lebih tinggi dibandingkan Cempaka.
Sehingga, dia tidak mendapatkan kesulitan menyusul
gadis itu. Sementara suara pertarungan yang terdengar semakin jelas dan dekat
sekali. Hingga sampai di sebuah padang rumput yang tidak begitu luas, Cempaka
menghentikan larinya.
Di padang rumput itu, terlihat dua orang tengah
bertarung sengit. Hampir saja Cempaka terpekik begitu mengenali salah seorang
di antaranya.
“Kakang Rangga...,” desis Cempaka.
“Gusti Ayu, bukankah itu...” suara Paman Jarak Legi
terputus.
Mereka tidak bisa berbuat apa apa, dan hanya bisa
menyaksikan pertarungan itu. Jarak mereka tidak terlalu jauh, namun cukup aman
dari kemungkinan terkena pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi.
Sementara pertarungan rupanya sudah hampir
berakhir. Tampak pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga, sudah berada di
atas angin. Beberapa kali pukulan dan tendangannya bersarang di tubuh lawan.
Dia adalah seorang wanita berbaju biru. Rambutnya yang panjang, teriap sehingga
menutupi wajahnya. Sukar bagi Cempaka untuk mengenali lawan Pendekar Rajawali
Sakti, karena pertarungan berjalan cepat. Dan lagi, wajah wanita itu hampir
seluruhnya tertutup rambut hitam yang panjang meriap.
“Hup...!”
Tiba-tiba saja wanita berbaju biru itu melesat ke
belakang, lalu langsung melompat kabur.
“Hei! Jangan lari kau...!”
“'Kakang...!”
Cempaka cepat-cepat berteriak, begitu melihat
Rangga hampir saja melompat mengejar lawannya. Pendekar Rajawali Sakti itu
tidak jadi mengejar. Wajahnya berpaling, dan terkejut bukan main begitu melihat
Cempaka dan Paman Jarak Legi berada di tempat ini. Cempaka bergegas berlari kecil
menghampiri.
“Cempaka..., apa yang kau lakukan di sini?” Rangga
langsung bertanya, begitu Cempaka berada dekat di depannya.
Sementara Paman Jarak Legi tetap menunggu pada
jarak yang cukup jauh juga. Rangga sempat melirik pada panglima itu. Maka Paman
Jarak Legi segera memberi sembah dengan membungkukkan badan sedikit, dan
merapatkan kedua tangan di depan hidung.
“Kenapa kau berada di sini, Cempaka?” tanya Rangga
lagi.
“Aku mencarimu, Kakang,” sahut Cempaka.
“Untuk apa?” tanya Rangga lagi.
“Ada sesuatu yang harus kusampaikan padamu.
Penting....”
Rangga mengajak adik tirinya untuk mendekati Paman
Jarak Legi. Sekali lagi, laki-laki setengah baya itu membungkuk memberi hormat
Rangga menepuk pundak Paman Jarak Legi dengan sikap penuh persaudaraan.
“Ceritakan, kenapa kau sampai berada di tempat
ini?” pinta Rangga mendesak.
“Ceritanya cukup panjang, Kakang.”
“Ceritakan saja.”
“Baiklah. Tapi, sebaiknya jangan di sini.” Mereka
kemudian berjalan meninggalkan padang rumput kecil itu. Sambil berjalan,
Cempaka mulai bercerita. Dari ditemukannya mayat Pendeta Pohaji yang buntung
kepalanya, hingga berada di tempat ini.
***
EMPAT
Sampai lewat tengah malam, Cempaka menceritakan
keadaan di Karang Setra setelah kematian Pendeta Pohaji. Sementara Rangga
mendengarkan penuh perhatian. Sedikit pun Pendekar Rajawali Sakti itu tidak
menyelak, sampai Cempaka menyelesaikan ceritanya. Rangga masih saja diam sambil
menundukkan kepala, meskipun Cempaka telah menyelesaikan ceritanya.
Cukup lama juga Pendekar Rajawali Sakti diam sambil
tertunduk. Sementara Cempaka hanya memperhatikan saja, tanpa berani menegur.
Gadis itu bisa merasakan, apa yang sedang dirasakan pemuda berbaju rompi putih
ini. Memang merupakan satu pukulan berat bagi Rangga, karena Pendeta Pohaji
sudah dianggap seperti orang tua sendiri. Segala permasalahan selalu
diceritakan pada pendeta tua itu, setiap kali Rangga berada di Karang Setra.
Dan memang, Pendeta Pohaji merupakan panutan semua orang di Kerajaan Karang
Setra. Bukan saja sikapnya yang selalu lembut dan bersahaja, tapi segala
tindakannya selalu adil dan bijaksana sekali.
“Hhh...!” Rangga menghembuskan napas
panjang-panjang.
Kepalanya diangkat, menatap bulan yang saat itu
tengah bersinar penuh. Cahayanya yang keemasan, menyinari wajah mendung
Pendekar Rajawali Sakti. Begitu jelas terlihat, sampai-sampai Cempaka sendiri
tidak sanggup memandangi wajah yang terselimut kabut duka itu.
“Apa sudah dicari kepala Pendeta Pohaji di sekitar
pantai itu, Cempaka?” tanya Rangga pelan. Begitu pelannya, hampir tidak
terdengar.
“Sudah,” sahut Cempaka. “Bahkan beberapa nelayan
ikut mencari sampai ke dasar laut, tapi tidak ditemukan juga.”
Kembali Rangga menghembuskan napas panjang,
kemudian bangkit berdiri sambil memandang lurus ke depan. Hutan ini memang
tidak terlalu lebat, sehingga sinar bulan yang memancar dapat menerangi
sekitarnya. Apalagi malam ini tak ada awan sedikit pun mengantung di langit
Namun, udara malam ini terasa panas sekali.
“Tidurlah, Cempaka. Besok, pagi-pagi sekali kita
menjemput Pandan Wangi. Setelah itu baru kembali ke Karang Setra,” kata Rangga
tanpa membalikkan tubuhnya.
“Di mana Pandan Wangi, Kakang?” tanya Cempaka baru
teringat Pandan Wangi.
“Di Desa Batu Ceper. Tidak jauh dari sini,” sahut
Rangga.
Cempaka memandangi kakak tirinya yang berjalan
perlahan-lahan, menjauhi tempat bermalam ini. Sebentar gadis itu melirik Paman
Jarak Legi dan tiga orang prajurit yang duduk melingkari api unggun. Kemudian
kakinya terayun perlahan mengikuti pemuda berbaju rompi putih itu.
Mereka terus berjalan tanpa berkata-kata, dan
semakin jauh meninggalkan tempat bermalam para prajurit yang ikut serta bersama
Cempaka. Mereka baru berhenti setelah tiba di tempat yang cukup tinggi. Dari
sini, mereka bisa memandangi balik punggung gunung kecil yang berhubungan
langsung dengan pantai. Memang kelihatan dekat, tapi membutuhkan waktu satu
hari untuk mencapai tempat itu. Di sanalah Pendeta Pohaji ditemukan tewas
terbunuh dengan kepala buntung.
“Kakang...,” panggil Cempaka.
“Kenapa kau mengikutiku, Cempaka?” tanya Rangga
tanpa berpaling.
Cempaka mendekati kakak tirinya ini, lalu berdiri
di samping kanannya. Gadis itu juga mengarahkan pandangan ke arah yang sama
dengan Rangga. Mata mereka menatap lautan yang tampak menghitam, dipenuhi
pernik cahaya, bagai bertarburkan ribuan mutiara. Namun keindahan itu sama
sekali tak dapat dinikmati karena terasa suram, akibat tewasnya Pendeta Pohaji.
“Aku tahu, kau merasa sangat kehilangan, Kakang.
Aku juga.... Tapi aku mencoba untuk menyadari kenyataan ini,” kata Cempaka
perlahan.
Rangga menolehkan kepalanya, lalu meraih pundak
gadis itu. Sebentar kemudian dibawanya ke dalam pelukan. Cempaka jadi manja, langsung
merebahkan kepalanya di dada bidang pemuda ini. Tangannya dilingkarkan, memeluk
pinggang Rangga. Tidak banyak kesempatan baginya untuk bermanja-manja. Tapi
pada keadaan seperti ini, apakah pantas bermanja-manja...? Tidak...! Cempaka
segera melepaskan pelukannya. Disingkirkannya tangan Rangga dari pundaknya.
Gadis itu kemudian menggeser kakinya agak menjauh.
“Kita akan mencari pembunuh itu bersama-sama,
Kakang. Dan menjatuhkan hukuman seberat-beratnya,” tegas Cempaka lagi.
Lagi-lagi Rangga hanya tersenyum saja, namun terasa
masam sekali. Cempaka tahu, kalau Rangga sedang bergulat dengan batinnya
sendiri. Pendekar Rajawali Sakti seperti mempertahankan kesabaran dan
ketabahan, yang mungkin saja tidak dapat terbendung lagi. Namun pemuda berbaju
rompi putih itu masih mampu bertahan, dan memperlihatkan ketabahannya di depan
gadis ini.
“Ap...”
Baru saja Cempaka akan membuka mulut, mendadak
saja....
“Aaa...!”
“Heh...?!”
Rangga dan Cempaka tersentak kaget begitu tiba-tiba
terdengar jeritan panjang melengking tinggi. Sebentar mereka saling
berpandangan. Jeritan itu demikian jelas, dan datang dari tempat peristirahatan
Paman Jarak Legi dan tiga orang prajurit
“Paman Jarak Legi...,” desis Rangga tertahan.
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melesat
cepat, masuk kembali ke dalam hutan. Cempaka tidak mau ketinggalan. Dengan
mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya, gadis itu berlompatan mengejar
kakak tirinya.
“Keparat..!” desis Rangga menggeram.
Hampir Pendekar Rajawali Sakti tidak percaya dengan
apa yang disaksikannya. Belum lama meninggalkan tempat ini, tiga orang prajurit
tampak telah tergeletak berlumuran darah. Rangga langsung memeriksa tubuh
ketiga prajurit itu. Tak ada seorang pun yang hidup. Mereka semua tewas dengan
dada terbelah lebar. Darah terus mengucur dari dada mereka.
Saat itu Cempaka muncul, dan langsung terpekik
kecil menyaksikan ketiga prajurit yang dibawanya sudah tergeletak tak bernyawa,
disertai lumuran darah. Bergegas gadis itu menghampiri Rangga yang sedang
memandangi tiga mayat di depannya.
“Paman Jarak Legi.... Di mana dia...?!” sentak
Rangga begitu teringat Paman Jarak Legi yang tidak kelihatan di tempat ini.
Pada saat itu, terdengar jeritan panjang melengking
tinggi dari arah Timur. Rangga cepat melesat menuju ke arah jeritan itu.
Cempaka bergegas mengikuti, mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Meskipun
seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya sudah dikerahkan, tapi tetap saja
tidak dapat mengimbangi Pendekar Rajawali Sakti. Gadis itu tertinggal jauh,
sementara Rangga sudah lenyap di balik kerimbunan pepohonan.
“Paman...!” pekik Rangga tertahan Di depan Pendekar
Rajawali Sakti tampak Paman Jarak Legi tergeletak dengan dada terbelah berlumur
darah. Bergegas Rangga menghampiri, lalu mengangkat tubuh laki-laki setengah
baya itu Kemudian diletakkannya kepala Paman Jarak Legi di pangkuannya. Bibir
Paman Jarak Legi bergerak gerak, seakan-akan hendak mengatakan sesuatu.
“Paman.... Siapa yang melakukan ini?” tanya Rangga.
Pada saat itu, Cempaka datang. Gadis itu segera
menghampiri Rangga, dan berlutut di depannya. Paman Jarak Legi melirik Cempaka
sebentar
“Gusti..., Mintarsih... Akh…!”
“Paman...!”
Rangga mengguncang guncang tubuh laki-laki separuh
baya itu. Tapi, laki-laki itu tetap diam dengan kepala terkulai. Darah semakin
banyak mengucur dari dada dan mulutnya. Perlahan-lahan Rangga meletak-kan tubuh
yang sudah tidak bernyawa lagi ke tanah. Dipandanginya mayat itu sebentar, lalu
beralih pada Cempaka.
“Siapa itu Mintarsih, Kakang?” tanya Cempaka.
Rangga tidak segera menjawab. Dihempaskan tubuhnya,
duduk dengan lemas. Sinar matanya begitu kosong, memandangi tubuh setengah baya
yang sudah tidak bernyawa lagi. Tidak lama Pendekar Rajawali Sakti meninggalkan
Paman Jarak Legi dan tiga orang prajurit, namun sekarang mereka sudah tiada.
Hanya dalam waktu sebentar saja!
“Mintarsih...,” desis Rangga agak menggeram.
Pendekar Rajawali Sakti memandangi Cempaka.
Disadari kalau ada seseorang yang selalu membayanginya, sehingga membantai
orang orang yang dekat dengannya. Paman Jarak Legi dan tiga orang prajurit
pilihan tewas begitu cepat, tanpa dapat dicegah lagi. Siapa pun orangnya, tentu
memiliki kepandaian yang sangat tinggi.
“Kakang...,” pelan suara Cempaka.
Gadis itu menghampiri, namun agak takut-takut.
Belum pernah dia melihat Rangga menahan amarah begitu besar, sampai seluruh
wajahnya memerah. Bahkan urat-urat di seluruh tubuhnya bersembulan ke luar.
“Orang itu pasti yang membunuh Pendeta Pohaji...,”
desis Rangga, dingin menggetarkan.
“Siapa dia, Kakang?” tanya Cempaka.
Rangga menatap Cempaka dalam-dalam. Dipegangnya
pundak gadis itu. Agak risih juga Cempaka, mendapatkan tatapan begitu dalam,
menusuk tajam bola matanya.
“Cempaka, pulanglah lebih dahulu sekarang juga. Aku
akan segera menyusul setelah menjemput Pandan Wangi,” ujar Rangga.
“Malam-malam begini...?” Cempaka ingin menolak.
Saat itu malam memang masih begitu larut Rangga
seakan-akan baru menyadari, kalau tidak mungkin melepaskan Cempaka sendirian
kembali ke Karang Setra malam-malam begini. Kepala Pendekar Rajawali Sakti
terdongak, seraya menghembuskan napas panjang.
“Kuda Dewa Bayu akan mengantarkanmu, Cempaka,” kata
Rangga setelah cukup lama berpikir.
“Dewa Bayu...? Oh..., tidak.... Jangan paksa aku
menunggang kudamu, Kakang,” tolak Cempaka.
Tidak pernah Cempaka memimpikan menunggang Dewa
Bayu. Gadis itu tahu kalau kuda hitam milik kakak tirinya ini bukanlah kuda
sembarangan. Kecepatan larinya seperti angin saja. Tidak ada seekor kuda pun di
dunia ini yang bisa menandinginya. Cempaka memang pernah sekali menunggang kuda
itu. Dan gadis itu sudah bersumpah, tidak akan mengulanginya lagi.
“Kau harus kembali ke Karang Setra sekarang juga,
Cempaka,” desak Rangga.
“Tapi tidak dengan Dewa Bayu. Aku tidak ingin mati
di atas punggung kudamu, Kakang,” Cempaka tetap menolak.
“Hanya Dewa Bayu yang bisa mengantarkanmu pulang
dengan selamat.”
“Aku lebih memilih bersamamu, daripada harus
menunggang kuda itu. Aku tidak mau dipaksa, Kakang. Lebih baik pulang sendiri
daripada harus menunggang kuda itu. Sekali kukatakan tidak, tetap tidak...!”
tegas Cempaka.
Rangga tidak bisa lagi mendesak. Kepalanya yang
tidak gatal digaruk-garuk. Memang Cempaka tidak mungkin dipaksa untuk pulang
bersama Dewa Bayu. Jangankan Cempaka, Pandan Wangi yang selalu bersamanya saja,
sampai sekarang tidak pernah sudi menunggang kuda itu lagi. Meskipun Dewa Bayu
sendiri, sebenarnya begitu jinak.
“Baiklah, kau ikut aku ke Desa Batu Ceper. Kita
jemput Pandan Wangi sekarang, lalu terus ke Karang Setra malam ini juga,”
Rangga akhirnya menyerah juga.
“Itu lebih baik, Kakang,” sambut Cempaka senang.
Rangga memandangi mayat Paman Jarak Legi.
“Kita kuburkan dulu, Kakang,” kata Cempaka,
seakan-akan bisa membaca jalan pikiran Pendekar Rajawali Sakti.
“Tentu. Aku tidak ingin mereka jadi santapan
binatang hutan.”
***
Pandan Wangi terkejut bukan main ketika melihat
Rangga datang bersama Cempaka, dan langsung memberondong dengan segudang
pertanyaan. Tentu saja Rangga tidak dapat menjawab semua pertanyaan itu.
Sedangkan Cempaka hanya tersenyum-senyum saja. Di dalam kamar penginapan ini,
hanya mereka bertiga saja yang ada di dalam. Sebuah rumah penginapan yang hanya
ada satu-satunya di Desa Batu Ceper.
“Cempaka, ada persoalan apa di Karang Setra?” tanya
Pandan Wangi mengalihkan perhatian pada Cempaka, karena Rangga tidak menjawab
satu pun pertanyaannya.
“Hanya kesulitan kecil saja,” sahut Cempaka seraya
melirik Rangga.
“Benar begitu, Kakang?” Pandan Wangi meminta
penjelasan pada Rangga.
“Aku tidak tahu, tapi tampaknya cukup gawat juga,”
sahut Rangga.
“Maksudmu?”
“Paman Pendeta Pohaji tewas,” Cempaka yang
menyahuti.
“Maksudmu..., dibunuh...?” Pandan Wangi ingin
ketegasan.
“Benar. Tapi, pembunuhnya belum ketahuan,” sahut
Cempaka lagi.
“Bagaimana mungkin bisa terjadi...?”
Pandan Wangi tidak percaya kalau Pendeta Pohaji
bisa tewas terbunuh. Dia tahu betul, siapa Pendeta Pohaji itu. Dia seorang yang
bijaksana, dan menjadi panutan di Kerajaan Karang Setra. Ilmu-ilmunya juga
tergolong sangat tinggi, dan sukar dicari tandingannya. Rasanya sulit dipercaya
kalau pendeta itu bisa terbunuh. Tapi, itulah kenyataannya. Sehingga, Cempaka
sekarang harus berada di desa yang cukup jauh dari pusat Kerajaan Karang Setra.
“Kakang, coba ceritakan. Bagaimana itu bisa
terjadi?” pinta Pandan Wangi.
“Aku sendiri belum tahu jelas persoalannya, Pandan.
Mungkin kalau kita sudah sampai di kota, semuanya baru bisa diketahui,” sahut
Rangga.
“Semua orang di kota juga tidak ada yang tahu
persis kejadiannya. Bahkan semua murid Paman Pendeta Pohaji tidak ada yang tahu
peristiwanya,” selak Cempaka. “Tapi...”
“Tapi kenapa, Cempaka?” tanya Pandan Wangi yang
masih penasaran.
“Aku sendiri belum pasti, Kak Pandan. Sejak
ke-matian Paman Pendeta Pohaji, tingkah laku dan sikap Sangkala begitu aneh.
Bahkan sekarang ini dia sedang menuju Selatan. Tapi aku sudah meminta Paman
Rakatala untuk terus membuntuti,” jelas Cempaka.
“Mau apa dia ke Selatan?” tanya Rangga seperti
untuk dirinya sendiri.
“Itulah yang sampai saat ini aku tidak tahu,
Kakang,” sahut Cempaka, agak mendesah.
“Ini mencurigakan juga, Kakang,” timpal Pandan
Wangi, juga dengan suara setengah menggumam.
Rangga jadi terdiam merenung. Pendekar Rajawali
Sakti melangkah mendekati jendela, dan berdiri mematung di depan jendela yang
terbuka lebar. Matanya memandangi sang rembulan, yang pada malam ini bersinar
penuh. Sedangkan Pandan Wangi dan Cempaka hanya dapat memandangi saja. Mereka
juga terdiam, dan beberapa kali saling melempar pandang.
Cukup lama juga Rangga berdiam diri mematung di
depan jendela. Entah apa yang ada di dalam benak Pendekar Rajawali Sakti.
Perlahan-lahan tubuhnya diputar sambil menghembuskan napas panjang. Beberapa
saat dipandanginya Cempaka dan Pandan Wangi yang duduk bersisian di tepi
pembaringan. Pendekar Rajawali Sakti kemudian menghempaskan diri di kursi,
dekat jendela.
“Cempaka, apa ada sesuatu yang aneh belakangan ini
pada diri Pendeta Pohaji?” tanya Rangga, setelah cukup lama berdiam diri.
“Rasanya tidak ada yang aneh, Kakang. Sikap Paman
Pendeta Pohaji biasa biasa saja. Tidak ada yang aneh pada dirinya sebelum
meninggal,” sahut Cempaka sambil mengingat-ingat sikap Pendeta Pohaji
belakangan ini, sebelum ditemukan tewas dengan kepala hilang entah ke mana.
“Kakang, apakah Paman Pendeta Pohaji pernah cerita
padamu, kalau punya musuh?” tanya Pandan Wangi.
“Tidak. Dia tidak pernah menceritakan apa pun
tentang dirinya. Aku tidak pernah tahu, apakah dia punya musuh atau tidak.
Bahkan latar belakang kehidupannya saja, aku tidak tahu,” sahut Rangga.
“Sulit... Kita berada di jalan yang buntu,” gumam
Pandan Wangi seraya menggelengkan kepala.
“Aku rasa tidak,” selak Cempaka.
“Maksudmu, Cempaka...?” tanya Rangga.
“Aku yakin, Sangkala tahu semua peristiwa ini,”
tenang sekali nada suara Cempaka, tapi mengandung kesungguhan yang mendalam.
“Jangan terlalu cepat berprasangka, Cempaka,”
Rangga memperingatkan adik tirinya.
“Aku tidak berprasangka buruk sedikit pun pada Sangkala.
Tapi kelakuannya begitu mencurigakan, Kakang. Malah dia langsung menuju Selatan
setelah gurunya meninggal. Untuk apa dia ke sana kalau tidak punya satu tujuan
yang pasti,” Cempaka menguraikan kecurigaannya pada Sangkala, murid tersayang
Pendeta Pohaji.
“Sudahlah, Cempaka. Simpan dulu rasa curiga dan
segala macam dugaanmu pada Sangkala. Mungkin dia punya maksud lain, atau juga
untuk melupakan kepahitannya,” Rangga mencoba menyangkal.
“Aku merasa yakin, Kakang. Sangkala pasti tahu
orang yang membunuh gurunya. Dia pasti mengejar orang itu, Kakang,” Cempaka
tetap pada pendiriannya.
“Kau punya dasar yang tepat, Cempaka?” tanya
Rangga, menguji prasangka adik tirinya ini.
“Dari sikapnya,” sahut Cempaka, singkat
“Sikap belum sepenuhnya menjamin, Cempaka.”
“Naluriku yang mengatakannya, Kakang. Dan biasanya,
naluriku tidak pernah salah. Aku juga merasa kalau dia sumber dari segalanya,
Kakang.”
Rangga tidak ingin berdebat lebih panjang lagi
dengan gadis ini. Dia tahu, Cempaka tidak pernah suka mengalah sedikit pun.
Gadis itu akan tetap kokoh pada pendiriannya, meskipun apa yang diucapkan
seperti tidak memiliki dasar dan bukti yang kuat. Tapi Rangga memang mengakui,
Cempaka seperti memiliki indra keenam. Dan biasanya memang begitu. Kalau
Cempaka sudah mengatakan nalurinya yang berbicara, biasanya selalu menjadi
kenyataan. Apakah mungkin..., Rangga tidak dapat melanjutkan.
Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri dari kursi
yang didudukinya. Setelah memberikan ucapan selamat malam, kakinya melangkah
keluar dari kamar ini. Tinggal Cempaka dan Pandan Wangi saja yang masih duduk
diam di tepi pembaringan.
“Sebaiknya tidur saja, Cempaka. Besok pagi baru
kita ke kota,” ujar Pandan Wangi seraya merebahkan diri.
“Duluan saja, Kak. Aku belum ngantuk.”
***
LIMA
Pagi-pagi sekali Rangga, Pandan Wangi, dan Cempaka
sudah meninggalkan rumah penginapan yang hanya satu-satunya di Desa Batu Ceper.
Mereka menunggang kuda menuju Kotaraja Karang Setra. Dari Desa Batu Ceper ini,
mereka harus merintasi Rimba Tengkorak. Sebuah hutan yang selalu di-anggap
angker oleh penduduk desa-desa sekitar hutan itu.
Walaupun ada jalan lain, tapi itu harus memutar dan
memakan waktu yang cukup panjang. Mereka berkuda demikian cepat setelah keluar
dari Desa Batu Ceper. Dan kini Rimba Tengkorak sudah meng-hadang di depan.
Hutan yang begitu lebat, dan tampak angker sekali. Tapi semua itu tidak membuat
gentar hati ketiga anak muda yang terus memacu kuda dengan kecepatan tinggi.
Namun begitu memasuki hutan itu, mendadak saja....
“Berhenti dulu...!” seru Rangga keras.
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melompat
dari atas punggung kudanya. Begitu indah dan ringan gerakan pemuda berbaju
rompi putih itu. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat manis
sekali di atas tanah berumput. Pandan Wangi dan Cempaka bergegas berlompatan
turun dari punggung kuda masing-masing. Mereka menghampiri Pendekar Rajawali
Sakti yang berjongkok sambil mengamati tanah berumput di depannya.
“Ada apa, Kakang...?” tanya Pandan Wangi.
“Lihat,” Rangga menujuk ke tanah berumput di
depannya.
“Darah...?!” desis Pandan Wangi dan Cempaka hampir
bersamaan.
Darah yang melekat di rerumputan ini memang tidak
begitu jelas terlihat, meskipun tampaknya masih baru. Darah itu menuju ke dalam
hutan. Rangga bangkit berdiri, lalu mengayunkan kakinya perlahan mengikuti
ceceran darah yang melekat di rerumputan. Matanya begitu tajam tidak berkedip,
mengamati ceceran darah itu.
Pluk...!
“Heh...?!”
Rangga tersentak kaget, dan langsung melompat ke
belakang dua tindak ketika tiba-tiba saja dari atas jatuh sebuah benda hitam
bercampur putih. Bukan hanya Rangga, tapi Cempaka dan Pandan Wangi pun
tersentak kaget. Lebih terkejut lagi, ternyata benda hitam bercampur putih itu
adalah seekor kera besar yang tidak lagi memiliki kepala. Tampak darah mengucur
dari lehernya yang buntung.
“Hup! Yeaaah...!”
Cepat sekali Rangga melesat ke angkasa, lalu tangan
kananya bergerak cepat mengibas mempergunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah
Mega'. Tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti membabat batang pohon yang tinggi
itu.
Kraaak...!
Bruk!
Tepat saat potongan pohon itu jatuh, berkelebat
sebuah bayangan dari puncak pohon yang terbabat buntung itu. Tepat ketika
bayangan itu mendarat di tanah berumput, Rangga juga menjejakkan kakinya tanpa
bersuara sedikit pun. Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut ketika di
depannya kini berdiri seseorang yang mengenakan baju warna biru terang.
Dari sosok tubuh yang ramping, sudah dapat
dipastikan kalau orang itu adalah wanita. Tak terlihat sebuah senjata pun
melekat di tubuhnya Seluruh wajahnya tertutup selembar kain biru. Hanya
sepasang bola matanya saja yang terlihat menyorot tajam ke arah Rangga. Dia
berdiri tegak sambil berkacak pinggang. Sikapnya begitu angkuh dan menantang.
“Nisanak, apa maksudmu mencegah langkah kami?”
tanya Rangga, mencoba bersikap ramah.
“Aku ingin membunuhmu, Pendekar Rajawali Sakti!”
sahut wanita berbaju biru itu dingin.
Suaranya terdengar agak parau dan berat sekali,
namun Rangga tahu kalau suara wanita ini dibuat-buat agar terdengar garang.
Wanita yang wajahnya tertutup kain biru itu, melirik Cempaka dan Pandan Wangi
yang berada sekitar lima batang tombak di belakang Rangga. Dan wanita bercadar
itu kembali memusatkan perhatiannya pada Rangga.
“Bersiaplah untuk mati, Pendekar Rajawali Sakti!
Hiyaaat..!”
“Hei...! Tunggu...!” sentak Rangga. Tapi wanita
bercadar biru itu sudah keburu melompat menyerang. Cepat sekali dia melakukan
serangan, sehingga membuat Pendekar Rajawali Sakti terperangah. Namun hanya
sesaat saja, karena tubuhnya cepat dimiringkan ke kanan begitu satu pukulan
yang mengandung seluruh pengerahan tenaga dalam meluncur deras ke arah dada.
Pukulan yang dilepaskan wanita bercadar biru itu
sedikit saja lewat di depan dada Pendekar Rajawali Sakti. Namun sebelum Rangga
sempat menegakkan kembali tubuhnya, wanita itu sudah kembali menyerang. Kaki
kirinya terayun cepat dengan lutut tertekuk. Tendangan itu tertuju lurus ke
arah perut Pendekar Rajawali Sakti.
“Uts! Hup...!”
Bergegas Rangga melompat mundur dua tindak,
menghindari serangan yang begitu cepat luar biasa. Tapi wanita bercadar biru
itu seakan-akan tidak ingin memberikan kesempatan pada Pendekar Rajawali Sakti
untuk melakukan serangan. Kembali diserangnya pemuda berbaju rompi putih itu
dengan dahsyat dan ganas sekali.
Pertarungan baru berjalan sebentar saja, tapi
daerah sekitar pertarungan sudah tidak karuan lagi bentuknya. Karena setiap
pukulan maupun tendangan yang tidak menemui sasaran, membuat pepohonan
bertumbangan dan batu-batu hancur berkeping-keping. Sementara di tempat lain
yang cukup aman Cempaka dan Pandan Wangi hanya dapat menyaksikan saja. Rasanya
memang tidak mungkin melakukan sesuatu untuk mengeroyok wanita bercadar biru.
Dan lagi, Rangga juga tidak akan suka jika pertarungannya dicampuri orang lain.
“Lepas kepalamu. Hih...!” seru wanita bercadar biru
itu tiba-tiba.
Dan seketika itu juga tangan kanannya dikibaskan
cepat ke arah leher Rangga. Namun manis sekali Pendekar Rajawali Sakti menarik
kepala ke belakang sehingga tebasan tangan wanita bercadar biru itu hanya lewat
sedikit di depan tenggorokan.
“Hup...!” Rangga cepat melompat ke belakang sejauh
batang tombak.
“Tunggu...!” sentak Rangga seraya menghentakkan
tangan kanan ke depan.
Wanita bercadar biru itu tak jadi melakukan
serangan, dan hanya berdiri tegak berkacak pinggang. Tatapan matanya begitu
tajam, menyorot langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.
“Kau menggunakan jurus 'Pukulan Tapak Maut'. Apa
hubunganmu dengan Pendeta Gurusinga?” tanya Rangga, mengenali jurus yang tadi
dikerahkan wanita bercadar biru itu.
“Dia kakakku!” dengus wanita bercadar biru itu
ketus.
“Kakakmu...? Lalu, siapa kau sebenarnya?” tanya
Rangga lagi.
“Untuk apa ingin tahu? Aku hanya ingin agar kau
mati, Pendekar Rajawali Sakti!”
Setelah berkata demikian, wanita bercadar biru itu
langsung melompat cepat menyerang kembali. Namun kali ini semakin dahsyat dan
berbahaya sekali. Jurus 'Pukulan Tapak Maut' yang dikenali Rangga ketika
bertarung melawan Pendeta Gurusinga, membuatnya harus berhati-hati
menghadapinya. Kelengahan sedikit saja, akibatnya sangat berbahaya. Dan
Pendekar Rajawali Sakti sudah merasakan ketika bertarung melawan Pendeta
Gurusinga.
Jurus 'Pukulan Tapak Maut' banyak mengandung gerak tipu
yang dapat membuyarkan perhatian lawan dalam bertarung. Apa lagi kedua telapak
tangan pemilik jurus itu berbahaya sekali. Bisa tajam melebihi tajamnya mata
pedang. Juga, pukulannya dapat menghancurkan sebongkah batu cadas sebesar
kerbau. Dan ini sangat disadari Rangga, sehingga harus menghadapinya dengan
hati-hati sekali. Dia selalu memperhatkan setiap gerak yang dilakukan wanita
bercadar biru itu.
“Pandan, Cempaka...! Cepat kalian pergi. Nanti aku
menyusul!” teriak Rangga menyuruh kedua gadis yang bersamanya meninggalkan
tempat ini.
Rangga tahu, jurus 'Pukulan Tapak Maut' sangat
berbahaya. Maka Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin kedua gadis itu menjadi
sasaran dari wanita bercadar biru ini. Dan memang, kalau tidak bisa mengenai
sasaran yang dituju dalam dua puluh gebrakan, wanita itu akan mencari sasaran
lain secara membabi buta. Dan memang itu salah satu sifat jurus 'Pukulan Tapak
Maut'. Sifat yang sangat tidak terpuji, dan sukar ditolak jika sudah merasuk
dalam jiwa pemakainya.
Cempaka yang sudah tahu bahayanya jurus 'Pukulan
Tapak Maut', segera menarik tangan Pandan Wangi. Mereka menjauh, lalu melompat
ke atas punggung kuda masing-masing.
“Ayo kita tinggalkan tempat ini,” ajak Cempaka.
“Bagaimana dengan Kakang Rangga?” tanya Pandan
Wangi.
“Dia pasti bisa mengatasi,” sahut Cempaka.
“Tapi, kenapa Kakang Rangga meminta kita pergi?”
tanya Pandan Wangi tidak mengerti.
“Nanti kujelaskan. Yang penting sekarang kita harus
menjauhi tempat ini dulu.”
Pandan Wangi yang sudah berpengalaman dalam
mengarungi kancah rimba persilatan, tidak dapat membantah lagi. Apalagi, yang
menyuruhnya pergi adalah Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun ada sedikit rasa
khawatir di hatinya, tapi diikutinya juga Cempaka. Sementara pertarungan antara
Rangga melawan wanita bercadar biru itu semakin terlihat sengit. Sudah lebih
dari lima belas gebrakan dari jurus 'Pukulan Tapak Maut', tapi Rangga masih
mampu bertahan.
“Setan kau, Rangga! Hiya! Hiya! Hiyaaa...!” wanita
bercadar biru itu tampak gusar, karena belum juga mampu mendesak lawannya.
Wanita itu semakin sering melontarkan
pukulan-pukulan mautnya, sehingga Rangga terpaksa harus berpelantingan
menghindari. Sementara Pandan Wangi dan Cempaka sudah begitu jauh, bahkan sudah
tidak terlihat lagi. Rangga merasa lega saat mengetahui kalau kedua gadis itu
sudah pergi.
“Maaf, aku tidak ada waktu untuk melayanimu.
Hiyaaa...!”
Setelah berkata demikian, Rangga cepat melentingkan
tubuhnya ke udara. Lalu bagaikan kilat, dia melesat pergi. Begitu sempurna ilmu
meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejap mata saja sudah tidak terlihat
lagi. Bahkan wanita bercadar biru itu sendiri belum sempat menyadari.
“Hei...?!” seru wanita bercadar biru itu terkejut.
Tapi dia tidak mampu lagi melakukan sesuatu, karena Rangga sudah menghilang
entah ke mana. Tampak kedua bola matanya berkilatan menyimpan amarah yang
meledak-ledak. Kedua tangannya terkepal, hingga otot-ototnya bersembulan.
“Keparat..! Hiyaaat..!”
Wanita bercadar biru itu melampiaskan kemarahan
dengan melepaskan pukulan-pukulan maut ke arah batu dan pepohonan. Suara-suara
ledakan terdengar menggelegar saling susul. Entah berapa puluh pohon dan
bebatuan hancur berkeping-keping terhantam pukulan wanita itu. Tingkahnya baru
dihenti setelah sekitarnya rata dengan tanah.
Wanita itu berdiri tegak memandang ke arah
kepergian Pendekar Rajawali Sakti tadi. Sambil mendengus kencang, cadar yang
menutupi wajahnya dilepaskan. Tampak seraut wajah cantik terlihat begitu cadar
tipis berwarna biru terlepas. Namun dari kecantikan wajahnya, tersirat suatu
gambaran kemarahan dari dendam yang bersemayam lekat dalam hatinya.
“Pengecut..! Tapi aku tidak akan berhenti sebelum
kau mampus di tanganku, Rangga! Apa pun akan kulakukan, dan kau akan merasakan
betapa sengsaranya hidup dalam penderitaan,” dengus wanita itu dingin.
Sebentar wanita itu berdiri mematung, lalu
perlahan-lahan mengayunkan kakinya meninggalkan tempat itu. Namun belum begitu
lama melangkah, mendadak saja sebuah bayangan berkelebat menghadang. Wanita
berbaju biru itu cepat menghentikan ayunan langkahnya. Sorot matanya langsung
tajam begitu di depannya tahu-tahu sudah berdiri seorang perempuan tua berjubah
hitam. Dia memegang tongkat berbentuk ular kobra di tangan kanannya.
“Nenek Jamping... Ada apa kau datang ke sini?”
dengus wanita itu, agak ketus nada suaranya.
“Kasihan sekali. Seharusnya kau memberitahuku dulu
bila ingin keluar dari pertapaan,” ujar perempuan tua berjubah hitam yang
dipanggil Nenek Jamping.
“Ini urusanku sendiri, Nek. Sebaiknya Nenek jangan
ikut campur,” ujar wanita cantik berbaju biru itu ketus.
“Kau muridku, Mintarsih. Sudah sepatutnya kau
memberi tahu bila ingin keluar dari pertapaan,” tetap kalem nada suara
perempuan tua ini, mengulangi perkataannya.
“Hhh! Kalau memberitahu dulu, kau pasti tidak akan
mengizinkan.”
“He he he...! Kau belum pernah mencobanya, bukan?
Kapan kau pernah mengatakannya padaku?”
Wanita cantik berbaju biru yang ternyata adalah
Mintarsih, hanya diam saja. Memang diakui, selama puluhan tahun bersama
perempuan tua ini, belum pernah sekali pun keinginannya diutarakan. Bahkan
keinginannya yang terbesar pun, tidak pernah dikatakan. Itu sebabnya, kenapa
wanita itu nekat meninggalkan pertapaan di Puncak Gunung Batur Gamping. Suatu
tempat yang sangat terpencil dan jauh dari pemukiman penduduk.
Di puncak Gunung Batur Gamping itulah dirinya
ditempa puluhan tahun oleh Nenek Jamping. Bahkan meskipun usia sebenarnya
hampir sebaya dengan perempuan tua ini, tapi masih terlihat cantik. Itu semua
berkat ramuan-ramuan yang selalu diminumnya dari Nenek Jamping. Mintarsih
dijadikan kelinci percobaan, dan hasilnya sungguh mengagumkan. Wajah dan bentuk
tubuhnya tetap muda seperti gadis saja. Padahal, usianya sudah di atas kepala
enam.
“Aku tahu, kau menyimpan dendam yang sangat besar,
Mintarsih. Tapi, apakah keinginanmu untuk membalas dendam tidak bisa ditunda?
Aku khawatir pembalasanmu ini tidak mencapai hasil yang diinginkan,” ujar Nenek
Jamping.
“Aku tidak ingin berlarut-larut, Nek. Sampai saat
ini, apa yang kurencanakan harus bisa berjalan lancar,” sahut Mintarsih.
“Dengan memperalat murid Pendeta Pohaji...?' Nenek
Jamping menggeleng-gelengkan kepalanya “Apa kau yakin, anak muda yang masih
hijau begitu mampu mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti? Ilmu yang dimilikinya
masih terlalu jauh, Mintarsih. Bahkan berada jauh di bawahmu. Malah kau sendiri
belum tentu mampu menandingi kesaktian Pendekar Rajawali Sakti. Kusarankan,
sebaiknya tunda dulu pembalasan dendam ini, Mintarsih. Masih banyak yang harus
dipersiapkan. Dan kau belum betul-betul siap untul pekerjaan ini. Percayalah
padaku, Mintarsih. Suatu saat kelak, pembalasanmu akan berjalan lebih baik.”
“Rasanya tidak mungkin dihentikan, Nek. Musuh
bebuyutanku sudah berada di depan mata, dan tidak mungkin kulepaskan kembali,”
Mintarsih tetap menolak.
“Aku yakin, kakakmu, Pendeta Gurusinga tidak
menyetujui semua tindakanmu sekarang ini. Akan sia-sia saja, Mintarsih. Dan kau
sendiri akan mengalami kekecewaan besar. Bahkan kakakmu di alam sana akan
kecewa kalau kau gagal.”
“Kalaupun gagal, aku akan mencobanya terus, Nek,”
ujar Mintarsih mantap.
“Itu kalau kau tidak tewas, Mintarsih. Lalu kalau
kau sampai tewas, siapa yang meneruskan...?”
Mintarsih belum menjawab. “Pokoknya aku tidak akan
berhenti, Nek. Kau sudi membantu atau tidak, itu urusanmu!” agak tinggi nada
suara Mintarsih.
“Kau sama keras kepalanya dengan Pendeta Gurusinga.
Dulu, aku juga sudah memperingatkan padanya agar tidak ikut mencampuri urusan
di Karang Setra. Tapi dia keras kepala, dan akhirnya tewas di tangan pewaris
tunggal Karang Setra. Dan sekarang, kau juga akan berhadapan dengannya.
Hhh...,” pelan sekali suara Nenek Jamping, bernada mengeluh.
“Maaf, Nek. Bukannya ingin membuat kau sakit hati.
Semua yang kulakukan ini demi kau juga, Nek. Demi keluarga kita,” ujar
Mintarsih, melemah suaranya.
Nenek Jamping terdiam. Tubuhnya diputar lalu
melangkah perlahan sambil menundukkan kepala. Mintarsih memperhatikan dengan
mata agak menyipit. Dia tahu kalau perempuan tua itu pasti terkenang pada suami
dan anak-anaknya. Suaminya tewas di tiang gantungan, karena dihukum oleh Adipata
Arya Permadi. Saat itu Karang Setra belum tumbuh menjadi sebuah kerajaan
seperti sekarang ini, dan masih berbentuk sebuah kadipaten. Yang menjadi
adipati waktu itu adalah ayah kandung Rangga si Pendekar Rajawali Sakti, yang
bernama Arya Permadi.
Sementara itu, anak lelaki Nenek Jamping
satu-satunya, juga tewas di tangan adipati itu. Dia telah menantang Adipati
Arya Permadi untuk membalas dendam atas kematian ayahnya, suami Nenek Jamping.
Tapi kepandaian yang dimilikinya masih rendah, sehingga harus tewas dalam
pertempuran yang jujur. Mendapat kenyataan ini, kemudian Nenek Jamping
meninggalkan Karang Setra, dan menyepi di Puncak Gunung Batur Gamping. Di
situlah semua ilmu-ilmu yang dimilikinya diperdalam. Hingga pada suatu saat,
mereka bertemu.
Mintarsih pada waktu terjadi kemelut di Karang
Setra ikut pula membantu kakaknya, Pendeta Gurusinga. Dia ikut bertarung
melawan prajurit-prajurit Karang Setra, sehingga terluka sangat parah. Dalam
keadaan luka parah, Mintarsih pergi ke Puncak Gunung Batur Gamping. Di sana,
dia berjumpa Nenek Jamping yang akhirnya cepat membantunya.
Sebagai ungkapan balas jasa, Mintarsih bersedia
menjadi kelinci percobaan perempuan tua itu. Maka kemudian dia harus tinggal
selama bertahun-tahun di puncak gunung yang sunyi dan terpencil itu. Ketika
mendapat kabar kalau Pendeta Gurusinga tewas, Mintarsih semakin meluap-luap
rasa bencinya terhadap Karang Setra. Untuk itu dia berkewajiban membalas
kematian kakaknya itu kepada Pendekar Rajawali Sakti, penguasa Karang Setra
sekarang ini
Di antara Mintarsih dan Nenek Jamping, memang
terjadi persamaan nasib. Hanya bedanya, Nenek Jamping mempunyai dendam pada
Arya Permadi, ayah Rangga. Sedangkan Mintarsih mempunyai dendam pada Rangga,
atau Pendekar Rajawali Sakti. Hubungan dendam yang saling terkait ini membentuk
jaringan-jaringan yang akan menjerat orang yang terlibat di dalamnya. Sebuah
jaringan hitam yang akan menjerat siapa saja. Bahkan orang yang tak terlibat
sekalipun, akan ikut terjerat. Seperti layaknya Sangkala.
Pemuda itu telah terpedaya oleh Mintarsih, dengan
menciptakan dendam. Kematian Pendeta Pohaji oleh Mintarsih dikatakan oleh
wanita itu atas perbuatan Pandan Wangi. Sedangkan Pandan Wangi adalah kekasih
Rangga. Sebagai murid Pendeta Pohaji, tentu saja Sangkala harus membalas
kematian itu. Apalagi, Mintarsih telah membuka rahasia kalau ayah dan ibu
Sangkala juga telah dihukum mati oleh Pendekar Rajawali Sakti karena mereka
terlibat dalam makar.
Maka semakin lengkaplah dendam-dendam yang jalin
menjadi sebuah jaringan hitam di Kerajaan Kara Setra. Bagi Nenek Jamping dan
Mintarsih, Karang Setra merupakan musuh utama yang harus dihancurkan. Berbagai
macam cara telah ditempuh, tapi tak ada hasil yang memuaskan. Bahkan, mereka
banyak kehilangan anggota keluarga. Apakah sekarang juga harus gagal lagi...?
“Nek...! Mau ke mana kau...?” teriak Mintarsih
seraya berlari mengejar perempuan tua yang sudah berjalan cukup jauh.
“Aku hanya akan menenangkan pikiran,” sahut Nenek
Jamping sambil terus melangkah perlahan.
Mintarsih mensejajarkan langkahnya di samping kanan
perempuan tua itu. “Maafkan atas kekasaranku tadi, Nek,” ucap Mintarsih.
“Tidak mengapa. Malah, seharusnya aku bangga.
Hhh..., sudahlah. Kita berdua memang sudah bertekad untuk menghancurkan Karang
Setra. Hanya tinggal kita berdua, Mintarsih.”
“Jadi Nenek menyetujui apa yang kulakukan?”
“Sebenarnya tidak, bila dilakukan sekarang. Tapi
kau sudah melangkah cukup jauh. Aku tidak ingin mengecewakanmu, Mintarsih.”
“Tapi aku telah mengecewakanmu, Nek.”
“Kekecewaanku terobati dengan tujuanmu.”
“Terima kasih, Nek. Aku janji, tidak akan
mengecewakanmu lagi.”
Nenek Jamping tersenyum. Mereka terus berjalan
menembus lebatnya Rimba Tengkorak. Tanpa disadari, arah yang dituju, justru
Karang Setra.
***
Sementara itu, Rangga yang meninggalkan
per-tarungan sudah sangat jauh berlari. Larinya dihentikan ketika tiba di
sebuah sungai kecil, namun berair sangat jernih. Pendekar Rajawali Sakti
membasuh muka dan angannya. Dibersihkannya kotoran yang melekat akibat pertarungannya
tadi dengan wanita bercadar biru. Dia bangkit berdiri ketika telinganya
mendengar ringkikan kuda.
Perlahan Rangga memutar tubuhnya. Tampak dari
kejauhan terlihat debu mengepul di udara. Kemudian terdengar suara kuda yang
dipacu cepat. Tak berapa lama, terlihat dua ekor kuda dipacu cepat menuju ke
arah sungai kecil itu. Rangga tersenyum begitu mengenali penunggang kuda yang
ternyata Pandan Wangi dan Cempaka.
Kedua gadis itu langsung melompat turun dari
punggung kuda setelah dekat dengan Rangga. Mereka bergegas menghampiri Pendekar
Rajawali Sakti. Sementara kuda-kuda mereka menghilangkan dahaga dengan mereguk
air sungai sebanyak-banyaknya.
“Mana kudamu, Kakang?” tanya Pandan Wai langsung.
“Mungkin tertinggal,” sahut Rangga seenaknya.
Pendekar Rajawali Sakti memang tidak memikirkan
kudanya. Kalau dalam keadaan terpaksa kudanya memang selalu ditinggalkan begitu
saja. Rangga tahu, tidak lama lagi kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu pasti
akan datang menyusul. Dan dugaannya memang tepat. Belum lagi Cempaka atau
Pandan Wangi membuka mulutnya, terdengar ringkikan yang disusul munculnya
seekor kuda hitam dari dalam semak belukar. Kuda hitam itu langsung menghampiri
Rangga.
“Sukar mencari kuda seperti ini, Kakang,” puji
Pandan Wangi, tulus.
Rangga hanya tersenyum saja, seraya menepuk leher
dan bokong kuda hitam itu tiga kali. Maka kuda hitam itu segera melenggang
mendekati kuda-kuda yang kini tengah merumput di pinggir sungai. Tampak sekali
perbedaan ketiga ekor kuda itu. Jelas Dewa Bayu lebih tinggi dan gagah dari
yang lainnya.
“Bagaimana pertarunganmu, Kakang? Apa sudah tahu,
siapa wanita itu?” tanya Pandan Wangi lagi.
“Aku tidak tahu siapa dia. Tapi yang jelas, dia
mempunyai jurus-jurus yang sama dengan Pendeta Gurusinga,” sahut Rangga.
“Pendeta Gurusinga...?” Cempaka terbeliak.
“Kau tahu siapa dia, Cempaka?” tanya Pandan Wangi
yang tidak mengenal orang yang bernama Pendeta Gurusinga.
“Tentu saja aku tahu,” sahut Cempaka. “Kakang! Apa
tidak mungkin dia muridnya, atau barangkali anaknya?” Cempaka menduga-duga.
“Dia mengaku adiknya,” sahut Rangga.
“Adiknya...? Rasanya Pendeta Gurusinga tidak punya
adik, Kakang.”
“Aku yakin Ki Lintuk bisa menjelaskannya, Cempaka.”
“Benar, Kakang. Aku yakin kalau Ki Lintuk
mengetahui semua ini. Dia tidak pernah meninggalkan Karang Setra, semasa masih
sebuah kadipaten. Bahkan selagi masih menjadi sebuah desa, dia sudah tinggal di
sana.”
“Kalau begitu, kenapa tidak segera saja ke Karang
Setra...?” selak Pandan Wangi.
“Istirahat saja dulu di sini, Pandan. Besok saja
kita lanjutkan perjalanan,” ujar Rangga.
“Masih terlalu siang, Kakang. Aku yakin, masih
cukup waktu untuk ke Karang Setra. Senja nanti, pasti sudah sampai di
perbatasan,” serga Pandan Wangi lagi.
“Bagaimana, Cempaka?” Rangga meminta pendapat adiknya.
“Aku rasa, Kak Pandan benar, Kakang,” sahut
Cempaka. “Hanya setengah hari perjalanan, dan ini masih terlalu siang.”
Rangga tersenyum. Sebenarnya tadi Pendekar Rajawali
Sakti hanya menguji saja. Dan ternyata, kedua gadis ini begitu bersemangat dan
tidak ingin berlarut-larut. Tak lama kemudian, mereka bertiga sudah berkuda
lagi menuju Karang Setra yang tinggal setengah hari lagi perjalanan menunggang
kuda.
***
ENAM
Seperti yang telah diperkirakan Pandan Wangi,
mereka tiba di gerbang perbatasan Kotaraja Karang Setra tepat ketika matahari
tenggelam di balik belahan bumi sebelah Barat. Mereka terus memacu kuda
memasuki kota yang selalu ramai dan tidak pernah sepi. Namun mereka
mengendalikan kuda tidak secepat tadi, karena tidak ingin menarik perhatian
penduduk yang memadati jalan.
Pendekar Rajawali Sakti, Pandan Wangi, dan Cempaka
terus mengendalikan kuda menuju Istana Karang Setra. Tak ada seorang pun yang
mengenali, karena mereka berpakaian bak layaknya orang persilatan. Dan memang,
seluruh rakyat Karang Setra hanya mengenali, bila rajanya berpakaian kerajaan.
Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa mengenali Rangga dalam keadaan
seperti ini. Bahkan tidak semua prajurit mengetahuinya.
Malah, dua orang prajurit penjaga pintu gerbang
istana pun tidak mengenalinya. Mereka hanya mengenal Cempaka. Bahkan kedua
prajurit itu memandang curiga terhadap Rangga dan Pandan Wangi. Tapi mereka
tidak bisa bertanya. Mungkin karena Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi
datang bersama Cempaka.
“Mereka tidak mengenalmu, Kakang,” bisik Cempaka
pelan setelah melewati pintu gerbang istana.
“Itu lebih baik,” sahut Rangga sambil tersenyum.
“Soalnya Kakang kalau pergi selalu lewat belakang,
sih.”
Lagi-lagi Rangga hanya tersenyum saja. Matanya
melirik sedikit pada Pandan Wangi yang juga tersenyum saja. Memang, Rangga dan
Pandan Wangi tidak dikenal di lingkungan istana ini. Dan itu memang disengaja,
karena tidak ingin semua orang tahu siapa mereka sebenarnya.
Tiga orang prajurit bergegas menghampiri ketika
Rangga, Cempaka, dan Pandan Wangi tiba di tangga masuk istana. Mereka turun
dari kuda masing-masing. Ketiga prajurit itu membungkuk, memberi hormat pada
Cempaka. Sama sekali, Rangga dan Pandan Wangi tidak dipedulikan. Ketiga
prajurit itu membawa kuda-kuda itu ke tempat penambatan kuda.
“Kau masih ingat seluk-beluk istana ini, Kakang?”
tanya Cempaka.
“Tidak pernah kulupakan, Cempaka. Selama belum ada
perubahan yang mendalam,” sahut Rangga.
“Sedikit pun tidak berubah.”
Mereka terus berjalan menaiki anak-anak tangga, dan
terus masuk ke dalam bangunan istana yang megah ini. Setiap pintu selalu dijaga
prajurit, sedikitnya dua orang. Dan para prajurit itu selalu membungkuk memberi
hormat pada Cempaka. Ketiga orang itu kemudian langsung menuju Balai Sema
Agung.
Danupaksi dan para pembesar istana yang tengah
berada di ruangan itu terkejut melihat kedatangan Cempaka bersama Rangga dan
Pandan Wangi. Danupaksi bergegas menyongsong. Dia kemudian berlutut memberi
hormat dengan merapatkan kedua telapak dengan di depan hidung, tepat di depan
Rangga. Pendekar Rajawali Sakti menepuk pundak adik tirinya ini, dan memintanya
bangun. Semua orang yang berada di ruangan itu memberi hormat. Mereka tahu, kalau
penguasa kerajaan ini sudah hadir.
“Kami semua selalu menunggu di sini, Kanda Prabu,”
ujar Danupaksi.
“Apa sebenarnya yang terjadi, Danupaksi?” tanya
Rangga dengan bibir menyunggingkan senyum.
Pendekar Rajawali Sakti selalu merasa jengah bila
adik-adiknya memanggil dengan sebutan Kanda Prabu. Dan itu memang sudah menjadi
kewajiban Cempaka dan Danupaksi untuk menyebut Rangga dengan sebutan itu. Tapi
Rangga tidak pernah suka disebut begitu jika tidak di depan para pembesar.
Pendekar Rajawali Sakti lebih senang dipanggil kakang saja.
“Sebenarnya tidak ada kegawatan di sini, Kanda
Prabu. Tapi kami semua selalu waspada,” ujar Danupaksi.
Lagi-lagi Rangga hanya tersenyum saja. Pandangannya
beredar ke sekeliling, merayapi para pembesar yang berada di sekitarnya. Sikap
mereka hormat. Semua kepala tertunduk menekuri lantai. Pandangan Rangga
tertumbuk pada Ki Lintuk, laki-laki tua yang mengenakan jubah putih panjang
tongkat kayu berkeluk tergenggam di tangan.
“Kalian semua boleh beristirahat,” ujar Rangga.
Nada suaranya begitu berwibawa.
Semua orang membungkuk dan merapatkan dua tangan di
depan hidung. Tanpa menunggu perintah dua kali, mereka bergerak meninggalkan
ruangan ini.
“Ki Lintuk...,” panggil Rangga ketika melihat Ki
Lintuk beranjak bangun hendak pergi.
“Hamba, Gusti Prabu,” sahut Ki Untuk seraya memberi
hormat.
“Kau tetap di sini.”
“Hamba, Gusti Prabu.”
Dengan sikap agung, Pendekar Rajawali Sakti duduk
di sebuah kursi berukir yang sangat indah. Cempaka, Danupaksi, dan Pandan Wangi
mengambil tempat di samping Raja Karang Setra itu. Sedangkan Ki Lintuk tetap
berdiri di depan mereka.
“Duduklah di sini, Ki Lintuk,” ujar Rangga seraya
menepuk kursi di sebelahnya.
“Maaf, Gusti Prabu. Hamba...”
“Di sini aku memang raja. Tapi aku tidak pernah
melupakan sejarah, Ki Lintuk. Duduklah di sini, dan jangan panggil aku dengan
sebutan itu lagi,” ujar Rangga lembut
Ki Lintuk tersenyum tersipu. Memang di ruangan ini
tidak ada pembesar lain lagi, kecuali Danupaksi dan Cempaka. Bahkan tak ada
prajurit penjaga. Dengan sikap yang masih menujukkan rasa hormat, laki-laki tua
yang sudah berusia lebih dari delapan puluh tahun itu duduk di kursi yang
diminta Rangga.
“Ada yang ingin kutanyakan padamu, Ki,” ujar Rangga
langsung.
“Tentang apa itu...?” tanya Ki Lintuk hampir lupa
dengan permintaan Rangga untuk tidak memanggilnya dengan sebutan Gusti Prabu
lagi.
“Pendeta Pohaji.”
Ki Lintuk memandang Pendekar Rajawali Sakti tidak
mengerti. Semua orang, baik patih, panglima, punggawa dan pembesar lain di
istana ini memang sedang diliputi kewaspadaan atas kematian Pendeta Pohaji yang
masih menjadi teka-teki bagi mereka semua. Dan sekarang Rangga ingin menanyakan
sesuatu yang ada hubungannya dengan peristiwa itu. Ki Lintuk hanya dapat
menduga-duga saja tanpa mendapat jawaban pasti.
“Kakang, boleh aku bicara...?” selak Danupaksi.
“Silakan, Danupaksi,” sahut Rangga.
“Jika Kakang ingin menanyakan tentang kematian
Pendeta Pohaji, terus terang, kami semua masih belum tahu tentang pembunuhnya.
Semuanya masih teka-teki, penuh kabut kegelapan,” ujar Danupaksi mendahului.
“Ya, aku tahu. Cempaka sudah banyak cerita,” sambut
Rangga seraya tersenyum.
“Lalu, apa yang Kakang ingin ketahui lagi?” tanya
Danupaksi.
“Masa lalu Pendeta Pohaji,” sahut Rangga seraya
menatap Ki Lintuk lagi.
“Maksud, Kakang...?” Danupaksi jadi tidak mengerti.
Apa yang sejak tadi menjadi dugaan di kepalanya,
ternyata tidak terbukti sama sekali. Dan selama ini Danupaksi tidak pernah
memikirkan tentang masa lalu Pendeta Pohaji. Tapi masa lalu itulah yang ingin
diketahui Rangga. Danupaksi hanya bisa bertanya dalam hati, apa hubungannya
dengan masa lalu...? Mungkinkah dari masa lalu bisa terungkap, siapa pembunuh Pendeta
Pohaji...?
Bukan hanya Danupaksi yang keheranan atas
pertanyaan Rangga. Bahkan Ki Lintuk, orang yang dianggap tertua merasa heran
mendengar pertanyaan itu. Hingga matanya memandangi Rangga begitu dalam. Entah,
apa yang ada di kepala Ki Lintuk saat ini. Mungkin sedang menduga-duga, apa
sebenarnya yang diinginkan Pendekar Rajawali Sakti hingga menanyakan tentang
masa lalu Pendeta Pohaji.
“Yang aku tahu, Pendeta Pohaji sudah lama mengabdi
di Karang Setra, Anakku. Beliau sudah mengabdi sejak ayahandamu kecil,” jelas
Ki Lintuk membeberkan apa yang diketahui tentang diri Pendeta Pohaji.
“Ki Lintuk juga sudah mengabdi pada ayah sejak
dulu, kan...?” tanya Cempaka yang sejak tadi diam saja.
“Benar. Tapi, lebih lama tiga tahun daripada
Pendeta Pohaji”
“Dan selama itu, apakah Pendeta Pohaji mempunyai
musuh?” tanya Rangga lagi.
“Musuh...?” Ki Lintuk tampak kebingungan.
“Rasanya..., beliau tidak punya musuh seorang pun juga. Bahkan ketika Gusti
Wira Permadi berkuasa di Karang Setra dia memilih tetap berada di istana ini.
Padahal, aku dan yang lainnya mengundurkan diri. Kuakui, pandangannya memang
luas. Dan dia tetap menjaga keutuhan istana ini, meskipun seharusnya
ditinggalkan.”
“Tentang kehidupan pribadinya, Ki. Apakah dia
pernah menikah, atau pernah mencintai seseorang?” desak Rangga lagi.
“Ya, pernah sekali. Tapi rasa cintanya bukan antara
sepasang kekasih. Pendeta Pohaji mencintai seorang wanita yang dianggapnya
adik. Tidak lebih dari itu. Tapi, wanita itu menganggapnya lain. Maka dia jadi
membenci Pendeta Pohaji.”
“Siapa nama wanita itu, Ki?” tanya Pandan Wangi.
Ki Lintuk tidak langsung menjawab. Kening yang
sudah berkerut, semakin dalam kerutannya saat berpikir keras. Ki Lintuk mencoba
mengingat-ingat nama, wanita yang pernah mencintai Pendeta Pohaji. Namun,
cintanya hanya dibalas dengan rasa kasih sayang sebagai saudara.
“Kalau tidak salah, namanya Mintarsih.... Ya benar.
Mintarsih,” jelas Ki Lintuk.
“Mintarsih...,” gumam Rangga.
Sementara Cempaka dan Pandan Wangi saling
berpandangan. Mereka jadi teringat wanita yang bertarung melawan Rangga di
Rimba Tengkorak. Wanita itu mengenakan cadar biru, sehingga sukar dikenali
wajahnya. Apakah wanita itu yang bernama Mintarsih...? Pikiran seperti itulah
yang langsung tersirat di dalam kepala Cempaka dan Pandan Wangi. Namun kedua
gadis itu hanya dapat bertanya, tanpa tahu jawabannya.
“Sebentar, Kakang...!” selak Danupaksi tiba-tiba.
Semua yang ada di ruangan Balai Sema Agung ini
seketika menatap Danupaksi. Sedangkan yang ditatap seakan-akan sedang berpikir,
atau mungkin sedang teringat sesuatu.
“Ada apa, Danupaksi?” tanya Rangga melihat
Danupaksi hanya diam saja.
“Rasanya aku pernah mendengar nama itu, Kakang,”
ujar Danupaksi
“Di mana kau mendengar nama itu, Danupaksi,” tanya
Rangga lagi.
“Sangkala.... Ya...! Sangkala pernah bercerita
kalau punya kekasih yang bernama Mintarsih. Dia ingin menceritakannya pada
Pendeta Pohaji, tapi tidak berani. Dia takut kalau-kalau Pendeta Pohaji tidak
menyetujui hubungannya,” ujar Danupaksi.
“Itu mustahil, Anakku Danupaksi,” bantah Ki Lintuk.
“Apanya yang tidak mungkin, Ki...?” tanya Danupaksi
tidak mengerti.
“Orang yang bernama Mintarsih itu sudah hidup
puluhan tahun yang lalu. Sejak kau masih kecil, dia sudah menjadi gadis remaja.
Dia meninggalkan Karang Setra setelah ayahnya dihukum gantung, karena
keterlibatannya dalam usaha pemberontakan. Sedangkan kakak laki-lakinya yang
bernama Pendeta Gurusinga tewas dalam pertarungan melawan Gusti Rangga. Jadi
kalaupun wanita itu kembali lagi, pasti sudah sangat tua. Setua aku ini.”
“Tapi Sangkala menyebutkan nama itu, Ki Lintuk.”
“Mungkin saja namanya saja,” Ki Lintuk tetap tidak
percaya.
“Aku rasa ada benarnya, Ki,” selak Cempaka. “Saat
ini Sangkala sedang menuju Selatan. Aku menugaskan Patih Rakatala untuk membuntutinya.”
“Eh...! Untuk apa dia pergi ke Selatan...?” sentak
Ki Lintuk terkejut
“Kakang, bukankah kemarin ini kau berada di
selatan?” tanya Danupaksi.
Saat itu, mendadak saja semuanya terdiam. Pikiran
mereka kini jadi terpusat pada Sangkala yang tengah menuju daerah Selatan,
seperti yang baru saja dituturkan Cempaka. Dan memang selama ini, Rangga berada
di daerah Selatan bersama Pandan Wangi. Tapi hanya satu hari saja di sana.
Selama ini Pendekar Rajawali Sakti terus berjalan, dan baru kemarin menginap di
Desa Baru Ceper.
Rangga juga bertanya-tanya, untuk apa Sangkala
pergi ke Selatan? Padahal di sana tidak ada satu pun sanak keluarganya. Dan ini
tentu saja membuat Rangga jadi bertanya-tanya dalam hati. Cukup lama juga tidak
ada yang membuka suara. Semua sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri. Dan
beberapa kali mereka saling melempar pandang. Pada saat semua terdiam, mendadak
saja...
“Hup...!”
Tiba-tiba Rangga melompat cepat bagaikan kilat,
melewati kepala Danupaksi. Semua yang ada di ruangan ini jadi terkejut. Namun
belum lagi keterkejutan mereka hilang, Rangga sudah kembali duduk di kursinya.
Di tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti sudah tergenggam sebuah bungkusan kain
putih yang kotor oleh tanah dan darah kering. Begitu bungkusan kain putih itu dibuka,
semua mata jadi terbeliak lebar dengan mulut temganga.
Rangga sendiri sampai terlonjak kaget. Kursi yang
didudukinya terguling. Kedua matanya terbeliak menatap bungkusan kain yang
sudah terbuka. Bungkusan kain itu ternyata berisi kepala Pendeta Pohaji!
“Biadab...!” desis Pandan Wangi geram.
Rangga bergegas membungkus kembali kain putih
berisi kepala Pendeta Pohaji, lalu meletakkannya di atas meja kecil. Ki Lintuk
membetulkan kembali kursi yang terguling. Untuk beberapa saat, tidak ada yang
bicara.
“Kakang, dari mana kau dapatkan itu?” tanya Pandan
Wangi setengah berbisik.
“Aku mencium bau yang lain, dan berasal dari
langt-langit atap ruangan ini,” sahut Rangga perlahan.
“Siapa pun orangnya, perbuatan ini tidak bisa
didiamkan lagi, Kakang,” celetuk Danupaksi. “Aku akan mengerahkan para prajurit
untuk mencari manusia keparat itu...!”
“Kau gegabah kalau melakukan itu, Danupaksi,” cegah
Rangga.
“Tapi, Kakang... Ini sudah keterlaluan. Seenaknya
saja kepala Pendeta Pohaji diletakkan di sini!” dengus Danupaksi tidak suka.
“Biar aku yang menyelesaikannya, Danupaksi. Dan
kuminta, sebaiknya semua berjalan seperti biasa,” ujar Rangga. “Ki Lintuk.. .”
“Hamba, Gusti Prabu,” sahut Ki Lintuk jadi terlupa,
dan kembali memanggil Rangga dengan sebutan Gusti Prabu lagi.
“Kuburkan kepala ini, tapi jangan sampai ada
seorang pun yang tahu. Ingat, aku ingin semua ini menjadi rahasia kerajaan.
Kalian tahu, kenapa harus dirahasiakan...?”
Semua menggelengkan kepala. Dan memang mereka tidak
tahu, kenapa Rangga meminta hal ini dirahasiakan...? Dan ketidakmengertian
mereka juga diketahui Pendekar Rajawali Sakti.
“Aku hanya tidak ingin kalian kehilangan muka di
mata rakyat. Terutama kau, Danupaksi. Sebuah istana yang bisa dimasuki
seseorang tanpa diketahui, merupakan aib besar. Maka rakyat akan menganggap
kalian tidak mampu menjadi pemimpin. Jadi kuminta, hal ini tetap
dirahasiakan,'' jelas Rangga.
“Maafkan aku, Kakang,” ucap Danupaksi menyesal.
“Tidak ada yang bersalah, Danupaksi. Orang ini
memang berkemampuan tinggi,” sambut Rangga seraya menepuk pundak adik tirinya
ini.
“Aku janji, akan lebih memperhatikan penjagaan.”
“Penjagaan sudah cukup ketat, Danupaksi. Jika kau
langsung merubahnya, akan menimbulkan kecurigaan. Sebaiknya tetap seperti
sekarang ini.”
Danupaksi hanya menganggukkan kepala saja. Memang
diakui, dalam hal tata pemerintahan, dia masih kalah jauh dibandingkan Rangga.
Bahkan dalam segala hal, selalu merasa kalah. Tapi hal itu dianggapnya sebagai
pelajaran berharga yang sulit diperoleh.
“Ki Lintuk, sebaiknya kuburkan sekarang,” kata
Rangga memerintah dengan halus.
“Hamba laksanakan, Gusti Prabu.”
“Dan kalian sebaiknya beristirahat.”
Danupaksi, Cempaka, dan Pandan Wangi tidak
membantah. Setelah Ki Lintuk meninggalkan ruangan ini, mereka juga beranjak
pergi. Hanya Rangga yang masih tetap tinggal di ruangan besar dan megah ini,
sambil duduk bertopang dagu.
***
Sudah lewat tengah malam, tapi Rangga belum juga
dapat memejamkan mata. Begitu banyak yang bersemayam di kepalanya. Sulit untuk
menduga-duga, apa yang sedang terjadi. Keadaan yang tenang seperti ini, biasanya
yang paling berbahaya. Nalurinya mengatakan, kalau ada bahaya yang sedang
mengincar. Tapi sulit diduga-duga, apa yang akan terjadi terhadap dirinya.
Selagi Rangga membuka jendela kamarnya, men-dadak
saja terdengar teriakan keras, lalu disusul memijarnya cahaya terang dari arah
Selatan.
“Kebakaran...! Kebakaran...!”
Teriakan-teriakan itu semakin keras dan ramai.
Belum juga Rangga berbuat sesuatu, tampak dari arah Utara juga terlihat cahaya
api membumbung tinggi ke angkasa. Malam yang semula hening, seketika berubah
hiruk pikuk oleh orang-orang berteriak-teriak.
“Hup! Yeaaah...!”
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melompat ke
luar melalui jendela kamarnya. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang
dimilikinya, sehingga dalam waktu sekejap saja sudah ienyap ditelan kegelapan
malam.
Rangga terus berlompatan keluar dari benteng
istana. Ringan dan indah sekali gerakannya saat melompati tembok benteng yang
tinggi dan kokoh. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun juga, kakinya mendarat
manis di luar tembok benteng yang mengelilingi bangunan istana ini. Rangga
terus berlari menuju arah kobaran api di Selatan.
Tampak orang-orang berlarian sambil
berteriak-teriak ketakutan. Para prajurit terlihat sibuk, berusaha memadamkan
api yang membakar beberapa rumah penduduk yang berdekatan di sekitar istana
Rangga jadi tertegun menyaksikan kobaran api yang begitu besar.
“Kakang...!”
Rangga berpaling begitu merdengar panggilan dari
arah belakang. Tampak Pandan Wangi dan Cempaka berlari-lari menghampiri.
Keringat tampak mengucur deras di seluruh tubuh kedua gadis itu. Napas mereka
juga tersengal, seperti baru saja berlari jauh.
“Dari mana kalian?” tanya Rangga.
“Dari Utara. Di sana lebih gawat lagi,” sahut
Pandan Wangi agak tersengal.
“Banyak penduduk yang mati terbunuh,” sambung
Cempaka.
“Terbunuh...?!” Rangga tersentak kaget
“Benar, Kakang. Menurut beberapa orang penduduk,
ada dua orang perempuan tengah mengamuk membantai penduduk, kemudian membakar
rumah-rumah mereka,” jelas Pandan Wangi lagi.
Baru juga Rangga hendak membuka mulut kembali,
muncul Danupaksi yang menunggang kuda. Pemuda itu cepat melompat turun dari punggung
kuda, begitu berhenti. Bergegas dihampirinya Pendekar Rajawali Sakti.
“Kakang! Di sebelah Barat, beberapa prajurit dan
panglima tengah bertarung melawan dua orang perempuan,” lapor Danupaksi.
Tanpa menunggu Danupaksi selesai memberi laporan,
Rangga langsung melompat cepat ke arah Barat. Begitu cepatnya, sehingga membuat
Danupaksi dan kedua gadis itu sempat terlongong kagum. Cepat sekali lesatan
Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga dalam sekejap saja, bayangan tubuhnya sudah
lenyap tak terlihat lagi.
“Ayo, kita ke sana...!” ajak Danupaksi.
Cepat sekali Danupaksi melompat naik ke punggung
kuda, lalu menggebahnya agar berlari mungkin. Sebentar Cempaka dan Pandan Wangi
pandangan, kemudian bersamaan berlari ke Barat, mempergunakan ilmu meringankan
tubuh. Sementara api terus berkobar besar. Puluhan prajurit dibantu penduduk
sibuk memadamkan api. Sedangkan tidak sedikit yang meratap dan berteriak-teriak
ketakutan.
***
TUJUH
Sementara itu di sebelah Barat, tampak sekitar tiga
puluh prajurit dan dua orang panglima tengah sibuk bertarung menghadapi dua
orang perempuan yang ternyata adalah Mintarsih dan Nenek Jamping. Di sekitar
pertarungan terlihat tidak sedikit mayat bergelimpangan bermandikan darah. Dan
tampaknya, para prajurit Karang Setra tidak sanggup membendung amukan dua orang
wanita yang berkepandaian sangat tinggi.
Jerit dan pekik melengking tinggi terus terdengar
sating susul. Sedangkan tubuh-tubuh bersimbah darah terus bergelimpangan tanpa
henti. Nampaknya, jumlah prajurit semakin berkurang saja. Setiap kali kedua
orang wanita itu bergerak, selalu disusul jeritan panjang menyayat dan
ambruknya dua atau tiga prajurit tanpa nyawa lagi.
“Berhenti...!”
Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras
menggelegar. Begitu kerasnya, sehingga membuat pertarungan itu seketika
terhenti. Para prajurit berlompatan mundur. Saat itu berkelebat sebuah bayangan
putih ke arah mereka. Dan tahu-tahu, di depan kedua wanita itu sudah berdiri
seorang pemuda berpakaian putih tanpa lengan. Tampak pedangnya yang berga
kepala burung tersampir di punggung.
“Pendekar Rajawali Sakti.... Hhh! Akhirnya muncul
juga,” dengus Mintarsih sinis.
“Siapa kalian?! Apa maksudnya mengacau sini?” tanya
Rangga.
“Mereka hendak menuntut balas, Gusti Prabu...,
terdengar suara dari arah kanan.
Rangga berpaling ke kanan. Tampak Ki Lintuk
membungkuk sedikit memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di
depan hidung. Laki-laki tua itu perlahan menghampiri Rangga.
“Hamba kenal perempuan tua itu, Gusti Prabu. Dia
adalah Nenek Jamping. Suaminya pernah menduduki jabatan penting di Kadipatan
Karang Setra, tapi menyalahgunakan jabatannya. Maka Gusti Adipati Arya Permadi
memberikan hukuman mati,” ujar Ki Lintuk memberi tahu. “Tapi yang seorang
lagi... Hamba tidak kenal, Gusti,” kali ini nada suara Ki Untuk terdengar
ragu-ragu.
“Lihat aku baik-baik, Lintuk,” selak Mintarsih,
jumawa.
“Wajahmu mirip Mintarsih. Tapi..,” Ki Lintuk tidak
melanjutkan kata-katanya.
“Aku memang Mintarsih. Kedatanganku seperti yang
telah kujanjikan. Karang Setra harus hancur di tanganku!” keras dan lantang
sekali suara Mintarsih.
“Bagaimana mungkin kau masih tetap muda,
Mintarsih?” tanya Ki Lintuk.
“Ha ha ha...!” Mintarsih hanya tertawa terbahak-bahak
saja.
Dari cerita Ki Lintuk, Rangga sudah tahu kalau
wanita yang bernama Mintarsih seharusnya sudah tua. Dan paling tidak sudah
berumur lebih dari enam puluh tahun. Tapi wanita ini..., masih terlihat muda
dan cantik sekali. Dan bagi Rangga itu suatu hal yang tidak aneh lagi. Dia
pernah menemukan hal seperti ini. Memang ada satu ilmu yang bisa membuat orang
tetap muda. Dan itu merupakan ilmu yang sangat langka. Tidak sembarang orang
bisa memilikinya, karena terlalu berat syarat yang harus dipenuhi. Hanya saja
itu merupakan ilmu sesat karena menentang kodrat
“Jadi kau yang membunuh Pendeta Pohaji?” tanya
Rangga dingin, ingin memastikan.
“Kau cukup tanggap, Pendekar Rajawali Sakti. Sayang
sekali orang secerdas dirimu harus mati malam ini juga,” sambut Mintarsih sinis.
Setelah berkata demikian, Mintarsih cepat melompat
menyerang Rangga lewat jurus dahsyat. Satu pukulan bertenaga dalam tinggi
dilepaskan tepat mengarah ke dada Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan gerakan
manis sekali, Rangga memiringkan tubuhnya. Maka, pukulan Mintarsih lewat di
samping tubuh pemuda berbaju rompi putih itu.
Sebelum Mintarsih bisa menarik pulang tangannya,
Rangga sudah memberi satu sodokan tangan kiri ke arah lambung. Mintarsih
mendelik, lalu tubuhnya melenting berputar ke belakang. Sehingga, sodokan
tangan Rangga tak sempat mengenai sasaran.
“Hiyaaa...!” Mintarsih kembali menyerang Pendekar
Rajawali Sakti, begitu kakinya menjejak tanah.
Sementara, Ki Lintuk menarik kakinya mundur sejauh
tiga batang tombak. Pada saat itu, Danupaksi, Cempaka, dan Pandan Wangi telah
tiba. Mereka hanya dapat menyaksikan pertarungan antara Rangga dan Mintarsih.
Dari pakaian Mintarsih, Pandan Wangi dan Cempaka sudah dapat memastikan kalau
wanita itu adalah yang kemarin bertarung melawan Rangga.
“Apakah itu yang bernama Mintarsih, Ki Lintuk?”
tanya Pandan Wangi.
“Benar,” sahut Ki Lintuk.
“Lalu, yang seorang lagi?” tanya Pandan Wangi lagi
seraya menatap tajam Nenek Jamping.
“Dia Nenek Jamping. Suaminya mendapat hukuman mati
ketika Karang Setra masih berbentuk kadipaten. Dia dan Mintarsih ingin membalas
dendam, dan hendak menghancurkan Karang Setra.”
“Hanya berdua...? Edan...!” desis Cempaka.
“Aku yakin, bukan hanya mereka berdua saja. Pasti
ada yang lainnya. Aku akan memeriksa di sekitar istana,” selak Danupaksi
Belum ada yang membuka suara, Danupaksi sudah cepat
meninggalkan tempat itu. Kudanya dipacu cepat bagaikan dikejar setan. Ki Lintuk
memerintahkan sepuluh orang prajurit untuk mengikuti pemuda itu.
Sementara pertarungan antara Rangga dan Mintarsih
terus berlangsung semakin sengit. Mereka bertarung hanya menggunakan tangan
kosong saja. Namun begitu, angin pukulan yang dilepaskan, terasa sekali. Tentu
saja hal ini membuat para prajurit terus menyingkir menjauh. Pertarungan itu
berjalan dalam tingkatan yang tinggi, membuat debu berhamburan ke udara.
Beberapa kali terdengar ledakan keras disertai ppercikan bunga api, setiap kali
pukulan mereka beradu.
Entah sudah berapa jurus pertarungan itu
berlangsung, tapi belum ada tanda-tanda akan berakhir. Namun suatu ketika....
“Yeaaah...!”
Sambil berteriak nyaring, mendadak saja Rangga
melesat tinggi ke udara. Lalu tubuhnya menukik deras sekali dengan tangan lurus
ke depan mengarah ke kepala Mintarsih. Sejenak wanita cantik berbaju biru itu
terpana, lalu cepat membanting tubuh ke tanah, dan bergulingan beberapa kali.
Serangan Rangga tidak membawa hasil. Dan kini pukulannya malah menghantam
tanah, membuat ledakan dahsyat terdengar menggelegar. Seketika tanah berguncang
bagai terjadi gempa.
Cepat Rangga melentingkan tubuh berdiri, dan
langsung melompat seraya memberi satu tendangan keras menggeledek. Pada saat
itu, Mintarsih baru bisa berdiri.
“Uts!”
Bergegas Mintarsih memiringkan tubuh ke kanan
menghindari tendangan keras yang dilepaskan Rangga. Tapi wanita itu jadi
tersentak. Ternyata pada saat yang sama, Rangga cepat melepaskan satu pukulan
tangan kiri yang keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna.
“Yeaaah...!”
Dieghk!
“Akh...!”
Mintarsih tak dapat lagi berkelit. Tubuhnya
terpental ke belakang sejauh tiga batang tombak dadanya terkena pukulan keras
Pendekar Rajawali Sakti. Selagi wanita itu terjajar menggeletak di tanah,
Rangga melompat memburu. Namun sebelum sampai, Nenek Jamping sudah melesat
cepat menghadang. Seketika wanita tua itu mengibaskan tongkat ke arah perut
Pendekar Rajawali Sakti.
“Hiyaaa...!”
Bet!
“Hup...!”
Cepat Rangga memutar balik tubuhnya ke belakang,
sehingga sabetan tongkat wanita tua itu tidak mengenai tubuhnya. Dua kali
Rangga melakukan putaran di udara, lalu manis sekali kakinya menjejak tanah.
Pada saat itu, Nenek Jamping sudah meluruk deras dengan tongkat berputaran
cepat di depan tubuhnya.
“Hiyaaat..!”
“Hep! Yeaaah...!”
Rangga cepat melompat ke atas sampai melewati
kepala Nenek Jamping. Seketika, cepat sekali kakinya bergerak menyepak punggung
wanita itu. Nenek Jamping yang sudah dikuasai nafsu, sampai tidak lagi
menghiraukan pertahanan diri. Akibatnya....
Buk!
“Akh...!”
Telak sekali kaki kanan Rangga mendupak punggung
Nenek Jamping. Akibatnya wanita tua itu tersungkur mencium tanah, tapi cepat
bangkit kembali dan menggeram marah. Tongkatnya diputar cepat bagai
baling-baling, hingga menimbulkan deru angin yang keras bagai topan.
Rangga menggeser kakinya ke kanan perlahan tiga
tindak. Tatapan matanya begitu tajam memperhatikan perempuan tua itu. Sementara
Nenek Jamping menggeser kakinya perlahan ke depan. Sorot matanya begitu tajam,
menyiratkan amarah dan dendam yang meluap-luap. Perempuan tua itu memang sudah
bersumpah akan membunuh semua keturunan Adipati Arya Permadi. Mati pun rasanya
tidak puas jika belum mengotori tangannya dengan darah keturunan Adipati Arya
Permadi, ayah kandung Pendekar Rajawali Sakti.
“Hiyaaat..!”
Sambil berteriak, Nenek Jamping meluruk deras
dengan kaki menyusur tanah. Tongkatnya dikebutkan beberapa kali, mengincar
tubuh Rangga yang sangat mematikan.
“Hap! Yeaaah...!”
Rangga yang memang sudah siap sejak tadi, segera
melayani serangan perempuan tua ini. Maka pertarungan pun kembali berlangsung
sengit sekali. Masing-masing berusaha saling menjatuhkan lawan. Pertarungan itu
berjalan cepat, dalam tingkatan yang sangat tinggi. Sehingga tubuh mereka
seperti lenyap. Yang terlihat hanya dua bayangan saja yang berkelebat saling
sambar.
Sementara itu Mintarsih sudah bisa bangkit,
meskipun hanya bisa duduk. Tampak darah menetes keluar dari sudut bibirnya.
Dengan punggung tangan, disekanya darah yang mengucur dari sudut bibirnya.
Mulutnya meringis merasakan dadanya begitu sesak dan sukar bemapas. Cepat dia
melakukan semadi, untuk menyalurkan hawa murni ke dadanya.
“Ugkh...!”
Mintarsih memuntahkan darah kental kehitaman.
Seluruh tubuhnya menggigil bagai terserang demam. Sedangkan kepalanya terasa begitu
pening dengan mata berkunang-kunang. Kembali Mintarsih melakukan semadi untuk
memulihkan kekuatannya kembali. Untung saja, Rangga hanya memukul dadanya tanpa
disertai ajian. Maka dengan bersemadi dan penyaluran hawa murni, kekuatan
Mintarsih dapat pulih kembali. Namun demikian, hal itu memerlukan waktu juga.
Dan Mintarsih tidak sempat lagi memperhatikan pertarungan yang berlangsung
antara Rangga melawan Nenek Jamping.
Glarrr...!
Tiba-tiba saja terdengar ledakan keras menggelegar.
Semua orang yang berada di tempat itu jadi tersentak kaget. Tampak Rangga dan
Nenek Jamping terpental ke belakang, dan sama-sama jatuh bergulingan beberapa
kali di tanah. Namun mereka cepat bangkit berdiri dan kembali berhadapan untuk
melakukan pertarungan lagi.
“Kau hebat, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi cobalah
tahan aji pamungkasku ini,” desis Nenek Jamping.
“Hm...,” Rangga hanya menggumam kecil.
Pertarungan memang sudah berjalan sampai
menggunakan aji kesaktian. Dan tadi saja mereka sama-sama melepaskan aji
kesaktian, hingga terpental jatuh bergulingan di tanah. Sekarang Nenek Jamping
sudah mempersiapkan ajian pamungkasnya. Tampak tongkat hitam berbentuk ular
kobra yang digenggam erat dengan kedua tangannya berubah menyala bagai
terbakar. Hebatnya lagi, seluruh tubuh perempuan tua itu juga merah membara
seperti besi panas.
“Terpaksa, aji 'Cakra Buana Sukma' harus
kugunakan,” gumam Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian merentangkan
kakinya melebar ke samping. Sementara, kedua tangannya merapat di depan dada.
Perlahan tubuhnya ditarik ke kanan, lalu dimiringkan ke kiri. Sebentar kemudian
tubuhnya sudah tegak kembali. Saat telapak tangannya dibuka perlahan,
menyemburat cahaya biru terang menyilaukan mata dari kedua telapak tangannya.
Tepat ketika tangan Pendekar Rajawali Sakti sejajar dada, Nenek Jamping
melompat cepat
“Hiyaaat..!”
“Aji 'Cakra Buana Sukma'...! Yeaaah...!”
Glarrr...!
Satu ledakan keras terdengar menggelegar ketika
telapak tangan Rangga menghantam bagian tengah tongkat Nenek Jamping. Seketika
itu juga, cahaya biru yang memancar di kedua telapak tangan Pendekar Rajawali
Sakti melibat seluruh tongkat ular kobra hitam perempuan tua itu.
Nenek Jamping mencoba menarik tongkatnya, namun
sedikit pun tidak bergeming. Saat itu juga terasa ada sesuatu yang bergolak di
dalam tubuhnya. Nenek Jamping tersentak ketika menyadari apa yang telah terjadi
pada dirinya. Cepat tenaga dalamnya dikerahkan untuk melepaskan diri dari
pengaruh ajian yang dikerahkan Rangga.
“Ikh...!”
Namun semakin kuat mengerahkan tenaga, semakin
deras kekuatan yang mengalir keluar. Hingga akhirnya Nenek Jamping tidak dapat
lagi menahan kekuatannya yang terus tersedot keluar. Sementara cahaya biru
mulai menyelimuti tangan Nenek Jamping.
“Akh...!” Nenek Jamping mulai berteriak-teriak
dengan tubuh menggeliat dan menggelepar. Tampak darah kental mengalir dari
sudut bibirnya. Sedangkan sinar biru yang memancar di kedua telapak tangan
Rangga, terus menyelimuti tubuh Nenek Jamping. Perlahan gerakan tubuh Nenek
Jamping mulai melemah. Memang kekuatan perempuan tua itu terus mengalir,
tersedot. Hingga pada akhirnya tubuhnya lemas lunglai tak bertenaga lagi.
Seluruh wajahnya memucat bagai tak pernah teralirkan darah.
“Hih! Yeaaah...!”
Tiba-tiba saja Rangga menghentakkan kedua
tangannya. Seketika tubuh Nenek Jamping terpental ke belakang sejauh dua batang
tombak. Keras sekali tubuh tua renta itu terbanting ke tanah. Tak ada gerakan
sedikit pun. Nenek Jamping ternyata tewas seketika begitu tubuhnya menghantam
tanah.
“Maaf. Seharusnya kau tidak terlalu menguras
tenaga,” ujar Rangga agak bergumam.
DELAPAN
Rangga mengalihkan perhatian pada Mintarsih yang
saat itu sudah selesai bersemadi. Mintarsih terkejut setengah mati begitu
melihat Nenek Jamping sudah tergeletak tak bernyawa lagi. Bergegas diburunya
perempuan tua itu. Dan begitu tangannya menyentuh tubuh tua renta itu, mendadak
tangannya kembali ditarik kembali.
“Ah...!” Mintarsih terpekik kecil.
Tubuh Nenek Jamping langsung hancur begitu
tersentuh tangan Mintarsih. Wanita cantik berbaju biru muda itu hampir tidak
percaya pada penglihatannya sendiri. Tubuh Nenek Jamping seketika hancur jadi
debu!
“Nek..., oh...! Keparat..!” desis Mintarsih
menggeram.
Wanita itu cepat bangkit berdiri dan memutar
tubuhnya, menghadap Pendekar Rajawali Sakti. Sepasang bola matanya merah
berapi-api. Gerahamnya terdengar bergelemetuk menahan amarah yang hampir tidak
tertampung lagi. Perlahan kakinya melangkah mendekati Rangga. Tangan kanannya
meraba pinggang, lalu menarik sabuk yang melilit pinggangnya.
Cring!
Ctar...!”
Begitu sabuk berwarna kuning keemasan itu
dikebutkan, seketika langsung menegang kaku menjadi sebatang pedang. Cahaya
kuning keemasan tampak berkilatan tertimpa sinar rembulan. Mintarsih mendesis
bagai seekor ular. Kedua bola matanya menyorot tajam dan merah. Jika orang lain
yang melihatnya, pasti akan bergidik ngeri. Tapi Rangga malah membalas tatapan
wanita itu tidak kalah tajamnya.
“Kau harus mampus, Pendekar Rajawali Sakti...!”
desis Mintarsih dingin.
Mintarsih menggeser kakinya ke kanan beberapa
langkah. Tatapan matanya begitu tajam, menusuk langsung kedua bola mata
Pendekar Rajawali Sakti. Dendam yang sudah lama terpendam, ditambah lagi
kemarahan akibat tewasnya Nenek Jamping di tangan pemuda berbaju rompi putih
itu, membuat Mintarsih tak dapat lagi menahan kemarahannya.
“Mampus kau! Hiyaaat...!” teriak Mintarsih
melengking tinggi.
Bagaikan kilat, wanita berwajah cantik dan berbaju
biru itu melompat menerjang Rangga. Serangan yang dilakukan Mintarsih begitu
cepat dan dahsyat luar biasa. Namun Rangga yang sudah bersiap sejak tadi,
segera dapat menghindari serangan itu dengan memiringankan tubuh ke kiri hingga
doyong, seolah-olah akan jatuh. Pukulan yang dilepaskan Mintarsih hanya lewat
sedikit saja di samping tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
Namun Rangga terkejut bukan main. Ternyata angin
pukulan itu mengandung hawa yang sangat panas menyengat. Cepat-cepat tubuhnya
melenting ke samping, menjauhi wanita itu. Dua kali Rangga melakukan putaran di
udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya di tanah sejauh dua batang tombak
dari wanita cantik berbaju biru itu.
Baru saja Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan
kakinya di tanah, mendadak saja Mintarsih mengebutkan sabuk yang telah menjadi
pedang. Senjata kuning keemasan itu telah berubah warnanya menjadi merah
membara. Bahkan kini telah mengeluarkan api yang berkobar-kobar.
“Hiyaaat..!”
Bagaikan kilat, Mintarsih melompat menyerang
Pendekar Rajawali Sakti. Sabuk yang sudah berubah menjadi pedang api,
berkelebat mengurung pendekar berbaju rompi putih itu. Sungguh dahsyat ilmu
yang dikerahkan Mintarsih. Seluruh tubuh Rangga bagai terkurung api. Hanya
kelebatan bayangan putih saja yang terlihat di antara pijaran api yang memancar
dari sabuk di tangan Mintarsih.
“Yeaaah...!”
Tiba-tiba saja terdengar teriakan keras
menggelegar. Tak berapa lama kemudian, Mintarsih tampak terpental ke belakang
sambil memekik tinggi. Tampak Rangga merentangkan tangannya lurus ke depan
dengan jari-jari tangan terbuka lebar.
Mintarsih jatuh bergulingan beberapa kali. Dia
mencoba bangkit berdiri, namun darah kental meluncur keluar dari mulutnya.
Tangannya memegangi dada yang terasa begitu sesak. Pandangannya jadi nanar,
namun masih terlihat tajam menatap Rangga yang berdiri tegak sambil terus
menatapnya.
“Kau memang tangguh, Rangga. Tapi kau harus mati di
tanganku...!” desis Mintarsih seraya bangkit berdiri. “Aku bersumpah! Demi
arwah leluhurku, kau dan keturunanmu harus mati di tanganku, Pendekar Rajawali
Sakti!”
Cras...!
Glarrr...!
Begitu Mintarsih mengucapkan sumpah, kilat seketika
menyambar di angkasa. Akibatnya semua orang yang berada di tempat itu tersentak
kaget. Begitu keras suara kilat itu, seakan-akan telinga terasa pekak
mendengung.
“Hiyaaat..!”
Mintarsih bergegas lari meninggalkan tempat itu.
Melihat wanita itu kabur, Pandan Wangi hendak mengejar. Tapi, Rangga keburu
mencegah.
“Jangan dikejar, Pandan!”
Pandan Wangi mengurungkan niatnya hendak mengejar.
“Kau membiarkannya pergi begitu saja, Kakang?” tanya Pandan Wangi, seakan-akan
tidak percaya.
Rangga hanya tersenyum saja, lalu melangkah
menghampiri Pandan Wangi yang kini sudah didampingi Cempaka kembali. Pendekar
Rajawali Sakti memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitarnya.
Suasana malam yang hiruk pikuk dan cahaya api yang semula berkobar bagai hendak
menghanguskan seluruh Kotaraja Karang Setra ini, sekarang mulai mereda. Namun
malam terus merambat semakin larut. Sebentar lagi pagi akan datang menjelang.
“Tidak ada gunanya mengejar, Pandan. Dia sudah
terluka cukup parah. Kupikir dia tidak akan berani mengganggu kita lagi,” kata
Rangga dengan suara lembut.
“Tapi dia bisa menjadi ancaman besar, Kakang,”
sergah Pandan Wangi, tak mau kalah.
Rangga ingin berkata lagi, tapi tidak jadi. Sebab,
Pendekar Rajawali Sakti melihat Danupaksi datang menghampiri membawa Sangkala.
Pemuda murid Pendeta Pohaji itu dalam keadaan tak berdaya, dengan tangan
terikat ke belakang. Danupaksi mendorong pemuda itu dengan kasar, sehingga
jatuh tersuruk di depan Pendekar Rajawali Sakti.
Tampak darah menetes keluar dari sudut bibir dan
hidungnya. Seluruh wajahnya juga biru lebam dan pakaiannya robek di sana-sini.
Sepertinya Sangkala baru saja melakukan pertarungan hebat.
“Aku menemukannya sedang menyelusup di belakang
istana, Kakang. Tepatnya di bawah jendela kamarmu,” jelas Danupaksi memberi
tahu.
Rangga menatap tajam Sangkala. Dia tahu betul,
siapa pemuda ini. Apalagi sekarang ini Sangkala sedang menjadi buah bibir dalam
lingkungan istana, karena sikapnya yang aneh sejak Pendeta Pohaji ditemukan
tewas terbunuh dengan kepala hilang. Agak lama juga Rangga terdiam menatap
tajam Sangkala. Sementara yang ditatap hanya menunduk, seakan-akan tak sanggup
membalas tatapan tajam pemuda berbaju rompi putih ini.
“Kau yang bernama Sangkala?” tanya Rangga dengan
suara berwibawa.
“Benar! Hamba Sangkala,” sahut Sangkala pelan tanpa
mengangkat kepalanya.
“Hm.... Kenapa kau berada di dekat kamarku
malam-malam begini?” tanya Rangga lagi.
“Hamba ingin membunuhmu,” sahut Sangkala, agak
bergetar suaranya.
Baru Sangkala mengangkat kepalanya, dan langsung
menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti. Bukan hanya Rangga yang terkejut
mendengar jawaban Sangkala. Bahkan juga Ki Lintuk, Danupaksi, Cempaka, dan
Pandan Wangi, dan semua orang yang berada di tempat ini. Mereka seakan-akan
tidak percaya kalau Sangkala punya maksud ingin membunuh Pendekar Rajawali
Sakti yang juga penguasa tunggal di kerajaan ini.
“Benar kau ingin membunuhku, Sangkala? Kenapa...?”
tanya Rangga setelah bisa menenangkan kembali.
“Karena kau yang membunuh kedua orang tuaku!” sahut
Sangkala tajam.
Rangga tersenyum. Kini baru jelas, kenapa Sangkala
ingin membunuhnya. Rupanya kepergian Sangkala ke Selatan juga bermaksud mencari
dan membunuh Pendekar Rajawali Sakti. Tapi begitu men-dengar kalau Pendekar
Rajawali Sakti sudah berada di Karang Setra, dia cepat kembali. Dan malam ini,
Sangkala merasa punya kesempatan. Apa lagi dalam keadaan yang kacau seperti
ini.
Namun belum juga maksudnya terlaksana, sudah keburu
dipergoki Danupaksi. Sangkala mencoba melawan, tapi kepandaian yang dimilikinya
masih di bawah Danupaksi. Dan kini pemuda itu dapat diringkus, bahkan tak
berdaya terikat di depan Pendekar Rajawali Sakti.
“Kakang, aku menyuruh seorang patih untuk
mengikutinya ke Selatan. Tapi...,” bisik Cempaka.
“Manusia tolol itu sudah mampus!” selak Sangkala
mendengus.
“Heh...?! Kau telah membunuhnya...?!” Cempaka
terkejut.
Sangkala hanya mencibir saja.
“Keparat...!”
Hampir saja Cempaka melayangkan pukulan kalau tidak
cepat ditangkap Rangga. Padahal, tangan gadis itu sudah melayang ke atas.
Cempaka menatap Pendekar Rajawali Sakti sebentar, kemudian menurunkan tangannya
kembali. Dia mendengus kesal melihat Sangkala menyeringai penuh ejekan.
“Kesalahanmu sudah cukup berat, Sangkala. Kenapa
kau lakukan semua itu?” tanya Rangga masih dengan nada suara lembut
“Karena aku ingin membunuhmu. Dan siapa saja yang
mencoba menghalangiku, harus mati!” sahut Sangkala dingin.
“Ketahuilah, Sangkala. Ayahmu mendapat hukuman mati
karena mencoba melakukan makar. Dan itu sudah menjadi keputusan pengadilan.
Jadi bukan aku yang membunuhnya,” Rangga mencoba menjelaskan.
“Aku tahu! Tapi kalau kau tidak memutuskan hukuman
itu, ayahku tidak akan mati di tiang gantungan!”
“Bukan aku yang memutuskan, tapi sidang pengadilan.
Dan itu cukup adil, Sangkala. Seseorang atau sekelompok orang yang mencoba
melakukan makar, harus dihukum mati. Itu sudah menjadi keputusan yang tidak
bisa dirubah lagi. Dengan tindakanmu seperti ini saja, kau sudah digolongkan
hendak melakukan makar. Dan hukumannya sangat berat, Sangkala. Kecuali bila kau
sudi bekerja sama memberi tahu orang yang menghasutmu,” kata Rangga lagi. Masih
dengan suara lembut.
“Mintarsih. Dan masih banyak lagi orang yang ingin
membalas dendam padamu!” sahut Sangkala ketus.
“Mintarsih...,” desis Cempaka.
“Perempuan keparat itu harus dibunuh, Kakang!”
sambung Pandan Wangi.
Rangga hanya tersenyum saja, seakan-akan tidak
mendengarkan celotehan kedua gadis itu. Kembali ditatapnya Sangkala penuh
wibawa. Sedangkan Sangkala membalasnya dengan tajam, dan masih penuh dendam.
“Dia juga yang membunuh gurumu, Sangkala?” tanya
Rangga.
“Aku tidak peduli!” dengus Sangkala.
“Keparat..! Kubunuh kau, Sangkala,” desis Cempaka
menggeram.
Sret!
“Cempaka...!”
Pedang Cempaka sudah keluar dari warangka, tapi
Rangga cepat bertindak mencegahnya agar tidak main hakim sendiri. Sambil
menggerutu kesal, Cempaka kembali memasukkan pedangnya ke dalam warangka di
pinggang. Rangga mengerdipkan matanya pada Danupaksi. Tanpa diperintah,
Danupaksi sudah bisa menangkap isyarat itu. Cepat dibawanya Cempaka
meninggalkan tempat itu.
“Sangkala! Kau tahu, siapa Mintarsih itu
sesungguhnya?”tanya Rangga.
“Dia adalah seorang gadis cantik berotak cerdas!”
sahut Sangkala seenaknya. Pemuda ini memang tidak tahu tentang diri Mintarsih
sebenarnya.
“Gadis! Kau katakan dia gadis? Ketahuilah,
Sangkala. Mintarsih yang kau sangka gadis itu, usianya hampir sama dengan
gurumu. Pendeta Pohaji!”
“Jangan dikira aku percaya bualanmu, Pendekar
Rajawali Sakti!”
“Kalau kau tak percaya, baiklah.”
Pendekar Rajawali Sakti kemudian melangkah,
memutari Sangkala. Dia berhenti di belakang pemuda itu. Sementara Danupaksi,
Cempaka, Pandan Wangi dan beberapa prajurit hanya memandang tak mengerti atas
sikap Rangga.
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti memejamkan mata,
seperti tengah memusatkan pikirannya. Kemudian, kakinya dipentang lebar-lebar.
Kedua tangannya diangkat ke atas, dengan telapak tangan terbuka lebar. Ketika
kedua mata Rangga terbuka, kedua tangannya cepat bergerak ke bawah. Langsung
dicengkeramnya kepala Sangkala.
“Aaa...!” Sangkala berteriak kesakitan. Tampak dari
kepalanya keluar asap tipis berbau busuk. Sedangkan Ki Lintuk, Danupaksi,
Cempaka dan Pandan Wangi hanya menahan napas, sambil memandang takjub.
Sebentar kemudian, Pendekar Rajawali Sakti
melepaskan cengkeramannya di kepala Sangkala. Baru saja dilepaskan, tubuh
Sangkala langsung terkulai. Asap tipis yang keluar dari kepalanya telah hilang
sama sekali. Tubuh pemuda itu seperti pingsan, namun sebentar kemudian mulai
bergerak-gerak.
“Oooh...!” Sangkala merintih lirih.
“Nah, Sangkala. Bangunlah,” ujar Rangga lembut
“Gusti Prabu, ada apa dengan hamba?”
“Kekuatan batin seseorang telah menguasai jiwamu,
Sangkala. Tanpa disadari, kau telah dikendalikan seseorang. Dan seseorang yang
kau anggap muda itu, ternyata berusia sebaya dengan gurumu. Kau telah terjerat
oleh jaring-jaring hitam yang dilemparkan Mintarsih. Dendam yang ada dalam
dirinya, telah dijalin menjadi sebuah jaring. Kemudian dengan kekuatan batin
dia telah menguasai dirimu,” jelas Rangga.
“Oh! Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Hamba akui, hamba
memang dendam pada Gusti Prabu. Tapi, entah kenapa hamba seperti lupa diri.
Hamba seperti lupa, dengan siapa hamba berhadapan. Keparat Mintarsih itu!
Sekali lagi, ampunkan hamba, Gusti Prabu.”
Rangga hanya tersenyum. Sedangkan Pandan Wangi
segera menghampirinya.
“Kakang, dari mana kau tahu kalau Sangkala telah
dikuasai oleh kekuatan batin?” tanya Pandan Wangi.
“Pandan, orang yang memiliki ilmu awet muda, sudah
pasti memiliki kekuatan batin yang tinggi. Dan dia mampu menguasai orang yang
ilmunya lebih rendah. Apalagi, orang yang dikuasai mempunyai dendam. Jika orang
memiliki dendam, nalarnya akan tertutup. Dengan demikian kekuatan batin
seseorang akan mudah menguasainya,” jelas Rangga.
“Lalu, mengapa kau mampu memusnahkannya?” tanya
Pandan Wangi lagi, kurang puas.
“Untung-untungan,” jawab Rangga seenaknya.
“Untung-untungan?” Pandan Wangi tidak mengerti.
“Aku hanya menyalurkan hawa murni. Yaaah, mungkin
saja usahaku berhasil. Dan ternyata, seperti apa yang kau lihat tadi,” jawab
Rangga lagi.
Kemudian Pandan Wangi menatap Sangkala. Sedangkan
yang ditatap hanya menundukkan kepalanya saja.
“Hukumlah hamba yang seberat-beratnya, Gusti
Prabu,” ujar Sangkala.
“Pengadilan yang akan menentukan, Sangkala,” kata
Rangga. “Danupaksi, bawa Sangkala ke istana.”
Danupaksi segera membungkuk, memberi hormat. Adik
tiri Pendekar Rajawali Sakti itu segera membawa Sangkala seperti yang
diperintah Rangga.
“Kita langsung ke istana, Kakang?” tanya Pandan
Wangi.
Rangga mengangguk. Dan mereka terus berjalan menuju
Istana Karang Setra, mengikuti Danupaksi yang telah berjalan lebih dulu.
Sementara di belakang mereka api masih terus berkobar, meskipun tidak lagi
besar seperti tadi.
Bagaimanakah nasib Sangkala dalam penjara di Karang
Setra? Dan kemana Mintarsih pergi membawa lukanya? Benarkah dia akan
melaksanakan sumpahnya untuk membunuh Pendekar Rajawali Sakti? Siapa saja yang
akan diajak bekerja sama? Untuk lebih jelasnya silakan baca serial Pendekar
Rajawali Sakti dalam episode Pembalasan Mintarsih
Emoticon