SATU
“Auuung...!”
Lolong anjing menggema, menyusup ke setiap telinga
terbawa angin malam. Suara itu terdengar begitu dekat, seakan-akan tidak jauh
di belakang dua orang prajurit yang bertugas jaga malam di depan rumah tahanan,
di belakang Istana Kerajaan Karang Setra. Kedua prajurit berusia muda itu saling
berpandangan, lalu sama-sama bergerak saling mendekat
“Auuung...!”
“Tidak biasanya malam-malam begini ada lolongan
anjing,” bisik salah seorang prajurit, perlahan.
“Iya. Aku jadi merinding,” sambut temannya.
“Kata orang, kalau anjing melolong begini, ada
setan lewat,” jelas prajurit itu lagi, sok tahu.
“Jangan ngaco, ah!” dengus temannya seraya
bergidik.
Mereka tidak bicara lagi. Dan suara itu semakin
sering terdengar, membuat wajah kedua prajurit itu terlihat bertambah pucat.
Beberapa kali mereka saling melemparkan pandang, lalu menghembuskan napas
panjang. Seakan-akan mereka ingin mengusir rasa takut yang tiba-tiba saja
menyelinap ke dalam hati.
“Aku ingin ke belakang dulu,” kata seorang prajurit
lagi.
“Heh...?! Mau ke mana..?” prajurit satunya lagi
tersentak.
“Buang air. Sebentar....”
“Aku ikut”
“Yang jaga di sini nanti siapa? Pasti Gusti Prabu
marah.”
"Masa bodo, ah!”
Mereka hendak melangkah. Namun belum juga kaki
kedua prajurit itu terayun, mendadak saja sebuah bayangan merah berkelebat
cepat. Dan tahu-tahu, di depan kedua prajurit itu sudah berdiri seseorang
berbaju merah menyala. Wajahnya hampir tertutup rambut yang terurai panjang dan
acak-acakan.
“Heh...?!”
“Ah...?!”
Kedua prajurit itu tersentak kaget. Mata mereka
terbeliak lebar, dengan mulut ternganga. Dan sebelum keterkejutan mereka bisa
hilang, mendadak saja orang berbaju serba merah itu cepat menggerakkan kedua
tangannya.
Bet! Des!
Kedua prajurit itu terpaku tak dapat bersuara lagi,
kemudian ambruk ke lantai batu yang dingin dan keras di depan pintu penjara.
Kedua mata mereka terbuka lebar, dan mulut menganga. Dari kening di antara kedua
mata mengucurkan darah. Sebuah lubang sebesar jari terlihat di kening kedua
prajurit itu. Seketika mereka tewas, tanpa bersuara sedikit pun. Orang berbaju
merah menyala itu mengambil seikat kunci dari pinggang salah seorang prajurit,
lalu bergegas menghampiri pintu. Dengan kunci itu dia membuka pintu penjara.
“Hep!”
Cepat orang berbaju merah itu melompat masuk begitu
pintu terbuka. Ayunan kakinya ringan dan tak bersuara sedikit pun. Disusurinya
lorong yang hanya diterangi beberapa obor di dinding. Di kiri kanan lorong batu
ini terdapat pintu-pintu besi yang terdapat sedikit lubang di tengahnya.
Orang berbaju merah itu mengintip di setiap lubang
pintu. Dia terus bergerak cepat dan ringan sambil memeriksa setiap pintu besi
di sepanjang kiri kanan lorong ini. Hingga pada sebuah pintu, kakinya berhenti
melangkah. Sebentar matanya mengintip melalui lubang di pintu. Kemudian
bergegas dibukanya pintu itu dengan kunci yang diambil dari pinggang salah
seorang prajurit di luar tadi.
Kriiiet!
Suara derit pintu terdengar saat didorong membuka.
Orang berbaju merah itu cepat melangkah masuk. Tatapan matanya begitu tajam,
lurus ke seorang pemuda berbaju putih kotor dan berdebu. Pemuda itu tengah
duduk memeluk lutut di sudut ruangan berukuran kecil ini.
“Eh...?!”
Pemuda berwajah cukup tampan itu terkejut, lalu
cepat bangkit berdiri. Namun sebelum sempat melakukan sesuatu, mendadak saja
tangan orang berbaju serba merah itu bergerak ke dadanya. Dan begitu jari
tangannya menotok, seketika pemuda itu langsung ambruk ke lantai disertai
keluhan kecil.
Tanpa berkata apa pun, orang berbaju merah itu
mengangkat tubuh pemuda ini. Lalu, dia cepat melompat ke luar. Orang berbaju
merah itu terus cepat menyusuri lorong menuju ke luar kembali. Dan begitu
berada di luar penjara, cepat melesat ke atas. Sebentar kakinya dijejakkan di
atas atap penjara, lalu kembali melesat cepat. Tubuhnya kemudian menghilang di
belakang tembok bangunan penjara yang terbuat dari batu.
Sementara malam terus merayap semakin larut.
Kesunyian begitu terasa. Tak ada seorang pun yang mengetahui peristiwa di
penjara Karang Setra malam ini. Semua terjadi begitu cepat, tanpa menimbulkan
keributan sedikit pun juga. Tinggal dua prajurit penjaga yang malang tergeletak
tak bernyawa dengan kening berlubang sebesar jari.
***
Dari jendela yang terbuka lebar, Rangga mengawasi
para prajurit yang sibuk di sekitar bangunan penjara. Empat orang prajurit
tengah menggotong dua prajurit yang tewas dengan kening berlubang. Darah sudah
membeku, tak lagi mengucur. Di samping Pendekar Rajawali Sakti, berdiri Pandan
Wangi. Dan di belakang mereka terlihat Cempaka dan Danupaksi.
Perlahan Rangga memutar tubuhnya mem-belakangi
jendela. Ditatapnya Danupaksi dan Cempaka dengan sinar mata redup. Sedangkan
yang ditatap hanya menundukkan kepala saja. Pandan Wangi ikut memutar tubuhnya,
lalu duduk di kursi yang ada di samping jendela itu.
“Peristiwa ini merupakan pukulan besar bagi kita
semua,” kata Rangga perlahan.
“Aku yang salah, Kakang. Di sana hanya kutempatkan
dua penjaga saja,” ujar Danupaksi seraya mengangkat kepala.
“Tidak. Kau tidak perlu merasa bersalah, Danupaksi.
Kesalahan ada pada kita semua, yang tidak mau belajar pada pengalaman. Ini
suatu pelajaran. Dalam keadaan apa pun, kewaspadaan tidak bisa diabaikan begitu
saja,” jelas Rangga bijaksana.
“Kalau saja kutempatkan satu regu penjaga,
peristiwa semalam tidak perlu terjadi, Kakang,” kata Danupaksi, masih merasa
bersalah.
“Semua yang terjadi tidak bisa diduga sebelumnya,
Danupaksi. Meskipun kau menempatkan satu pasukan, kalau memang akan terjadi,
maka tetap terjadi. Bahkan bukannya tidak mungkin akan lebih banyak jatuh
korban lagi.”
Danupaksi terdiam. Kata-kata Rangga barusan memang
tidak bisa dibantah lagi. Tapi, dia tetap merasa bertanggung jawab atas
peristiwa semalam yang teiah meminta korban dua orang prajurit
“Kakang, apa mungkin Sangkala melarikan diri dan
membunuh kedua prajurit itu?” duga Cempaka yang sejak tadi diam saja.
“Sangkala sudah menyadari kesalahannya. Bahkan
telah berjanji akan selalu setia pada Karang Setra setelah masa hukumannya
berakhir,” dengan halus Rangga membantah jalan pikiran adik tirinya ini.
“Tapi, kenyataannya dia kabur dari penjara,
Kakang,” Cempaka berusaha menguatkan dugaannya.
“Hm..., kau lihat luka di kening kedua prajurit
itu?” Rangga kini malah bertanya.
Cempaka hanya mengangguk saja.
“Aku seperti pernah melihat luka seperti itu,
Kakang,” selak Pandan Wangi.
“Kurasa, kau masih ingat peristiwa di Desa
Malimping, Pandan,” ujar Rangga.
“Benar, Kakang...!” sentak Pandan Wangi seraya
bangkit dari duduknya.
“Kau tahu, siapa yang membawa kabur Sangkala, Kak
Pandan?” tanya Danupaksi
“Luka seperti itu tidak ada lagi di dunia ini.
Jelas, itu akibat dari jurus 'Sepuluh Jari Maut'. Aku tahu, siapa yang memiliki
jurus itu,” tandas Pandan Wangi.
“Siapa?” tanya Cempaka.
“Si Jari Maut,” sahut Pandan Wangi.
“Jari Maut..?!” Danupaksi mendesis, seakan-akan
tidak percaya.
Mereka semua jadi terdiam dan saling melemparkan
pandangan. Semua yang ada di situ tahu, siapa si Jari Maut itu. Dia adalah
seorang tokoh persilatan beraliran hitam yang sukar dicari tandingannya. Dan
Pendekar Rajawali Sakti pernah bentrok dengannya di Desa Malimping. Waktu itu,
Rangga memberi kesempatan padanya untuk memperbaiki jalan hidupnya yang salah.
Memang, hanya Pendekar Rajawali Sakti yang mampu mengalahkan si Jari Maut
Tantu saja mereka tidak bisa mempercayai, karena
semua tahu kalau si Jari Maut sudah berjanji tidak akan mengulangi
perbuatannya. Dan dia akan selalu membantu Karang Setra jika dibutuhkan. Tapi,
kelihatannya Cempaka tidak seperti yang lain.
“Aku sudah menduga, si Jari Maut pasti akan mencari
kesempatan untuk membalas dendam padamu, Kakang,” ujar Cempaka, agak mendesis
suaranya.
“Jangan cepat berprasangka buruk, Cempaka,” sergah
Rangga.
“Sudah terbukti, Kakang. Kedua prajurit penjaga itu
tewas oleh jurus 'Sepuluh Jari Maut'. Siapa lagi orangnya kalau bukan si Jari
Maut..?” dengus Cempaka.
“Aku akan menanyakan hal ini padanya,” ujar
Danupaksi agak mendesis.
“Kalau kau menemui si Jari Maut, urusannya akan
bertambah panjang, Danupaksi,” kata Rangga.
“Tapi, Kakang...”
Rangga cepat mengangkat tangannya. Maka Danupaksi
tidak meneruskan ucapannya. Pendekar Rajawali Sakti kembali memutar tubuh,
menghadap ke jendela lagi. Sementara para prajurit masih terlihat sibuk di
sekitar bangunan penjara.
“Danupaksi, siapkan kudaku dan kuda Pandan Wangi.
Dan kau, Cempaka. Bawakan pakaianku serta Pedang Rajawali Sakti ke sini,”
perintah Rangga tegas.
“Kakang akan pergi?” tanya Cempaka.
“Benar,” sahut Rangga singkat
Tanpa membantah lagi, kedua adik tiri Pendekar
Rajawali Sakti bergegas meninggalkan ruangan ini. Pandan Wangi sendiri segera
ke luar. Gadis itu juga harus mempersiapkan diri untuk melakukan perjalanan
bersama Pendekar Rajawali Sakti. Memang dia sudah bisa menangkap arti perintah
itu.
Sementara Rangga masih berdiri terpaku di depan
jendela, memperhatikan para prajurit yang sibuk di sekitar bangunan penjara.
Tak berapa lama, Cempaka masuk kembali ke dalam ruangan itu. Setelah meletakkan
pakaian dan pedang pusaka kepunyaan Pendekar Rajawali Sakti di atas meja, gadis
itu cepat melangkah ke luar dan menutup pintunya kembali.
“Jari Maut... Hm, mungkinkah dia melarikan
Sangkala? Untuk apa hal itu dilakukannya...?” gumam Rangga bertanya pada diri
sendiri.
***
Tepat di saat matahari berada di atas kepala,
Rangga dan Pandan Wangi keluar dari gerbang belakang Istana Karang Setra.
Mereka menunggang kuda masing-masing yang selalu setia menemani setiap kali
pergi mengembara. Mereka memacu kuda tidak terlalu cepat, agar tidak
menimbulkan perhatian seluruh rakyat Karang Setra.
Baru setelah melewati gerbang perbatasan sebelah
Selatan, mereka memacu cepat kudanya. Pandan Wangi menatap Pendekar Rajawali
Sakti yang menunggang kuda hitam Dewa Bayu. Gadis itu tahu kalau mereka menuju
Lembah Kunir, tempat tinggal si Jari Maut.
“Kita ke Lembah Kunir, Kakang...?” agak keras suara
Pandan Wangi untuk mengalahkan suara kaki kuda yang menghentak tanah berdebu.
“Benar,” sahut Rangga juga keras suaranya.
“Untuk apa ke sana?” tanya Pandan Wangi.
Tentu saja Pandan Wangi bertanya demikian, karena
sebelum berangkat tadi Rangga memberi pesan pada Danupaksi dan Cempaka agar
tidak mengusik si Jari Maut. Tapi, kenapa Rangga sendiri yang sekarang menuju
ke sana? Pandan Wangi merasa kalau Pendekar Rajawali Sakti tidak menepati
kata-katanya sendiri.
“Berhenti dulu, Kakang!” seru Pandan Wangi seraya
menghentikan lari kudanya.
Rangga cepat menarik tali kekang kudanya sampai
berhenti. Wajahnya berpaling menatap Pandan Wangi yang masih tetap berada di
punggung kudanya. Rangga memutar kudanya, lalu menghampiri gadis itu.
Ditatapnya Pandan Wangi dalam-dalam. Namun yang ditatap malah membalasnya tidak
kalah tajam.
“Sejak kapan kau tidak mematuhi kata-katamu
sendiri, Kakang?” tanya Pandan Wangi. Nada suaranya terdengar mengandung kekecewaan.
“Kau kecewa karena aku hendak menemui si Jari Maut,
sedangkan aku melarang Cempaka dan Danupaksi ke sana...?” Rangga langsung bisa
menebak.
Pandan Wangi hanya diam saja. Tatapan matanya tetap
tajam, menusuk langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.
“Dengar, Pandan Wangi. Aku ke sana hanya untuk
mencari kebenaran saja. Kalaupun ternyata dia tidak melakukan, aku tidak akan
memperpanjang,” jelas Rangga mencoba memberi pengertian pada gadis ini.
Pandan Wangi masih diam saja.
“Aku tidak ingin terjadi salah paham, Pandan,” kata
Rangga lagi.
“Salah paham apa?” tanya Pandan Wangi tidak
mengerti.
“Kalau tidak ke sana lebih dulu, aku khawatir
Danupaksi atau Cempaka yang ke sana. Dan aku tidak menginginkan terjadi
kesalahpahaman di antara mereka dengan si Jari Maut. Aku akan menjelaskan
keadaan yang sebenarnya nanti. Agar kalau Danupaksi atau Cempaka ke sana, si
Jari Maut tidak tersinggung dan tidak terjadi kesalahpahaman. Kau mengerti,
Pandan?” jelas Rangga panjang lebar.
Pandan Wangi masih tetap diam beberapa saat
Kemudian....
“Aku mengerti, Kakang. Maaf,” ucap Pandan Wangi.
Rangga tersenyum, lalu memutar kudanya kembali.
Mereka kemudian memacu cepat kudanya lagi. Kali ini tidak ada keraguan lagi di
hati Pandan Wangi. Bahkan di dalam hati memuji tindakan Pendekar Rajawali Sakti
yang begitu bijaksana. Dia mampu berpikir jauh, dengan segala akibat yang bisa
terjadi tanpa diduga.
Kedua pendekar muda itu terus memacu kuda, menembus
hutan yang tidak terlalu lebat. Dari Istana Karang Setra ke Lembah Kunir,
memang hanya memerlukan waktu setengah hari perjalanan berkuda. Dan di saat
matahari sudah condong ke arah Barat, mereka baru sampai di tepi lembah yang
memiliki pemandangan indah ini. Sudah tiga kali Pandan Wangi ke lembah ini. Dan
gadis itu selalu berdecak kagum memandangi keindahan alamnya.
Mereka memperlambat laju kudanya saat memasuki
lembah ini. Sebuah pondok kecil terlihat berada di tengah-tengah lembah.
Beberapa pohon besar seakan-akan melindungi pondok itu. Juga, batu-batu besar
berserakan di sekitarnya. Kedua pendekar muda itu berhenti setelah dekat dengan
pondok kecil ini.
“Hup!”
Rangga melompat turun dari punggung kudanya. Pandan
Wangi cepat mengikuti. Kakinya melangkah mendekati Pendekar Rajawali Sakti,
lalu berdiri di sampingnya. Sebentar mereka memandangi pondok kecil yang
kelihatan sunyi, tanpa seorang pun terlihat. Dan baru saja mereka melangkah
beberapa tindak, mendadak saja....
Slap!
“Awas...!” seru Rangga.
Dari atas sebatang pohon, meluncur bayangan merah
begitu cepat ke arah Pandan Wangi. Begitu cepatnya, sehingga gadis itu sempat
terhenyak. Tapi, tubuhnya cepat melenting berputar ke belakang. Bayangan merah
itu lewat sedikit dari tubuh si Kipas Maut
“Hiyaaa...!”
Pandan Wangi bergegas melompat kembali mendekati
Rangga. Pada saat itu, dari balik pepohonan dan bebatuan berlompatan
tubuh-tubuh berbaju merah. Seluruh kepala mereka terselubung kain merah, dan
hanya dua lubang kecil yang membuat bola mata mereka terlihat. Sebentar saja,
sepuluh orang berbaju merah sudah mengepung kedua pendekar muda itu.
“Siapa mereka, Kakang?” tanya Pandan Wangi setengah
berbisik.
“Aku tidak tahu,” sahut Rangga.
“Berhati-hatilah....”
Sepuluh orang berbaju serba merah itu semuanya memegang
tongkat kayu berwarna kecoklatan. Mereka bergerak perlahan-lahan memutari kedua
pendekar muda itu. Tongkat di tangan mereka bergerak berputar perlahan. Dan
secara bersamaan, mereka berhenti bergerak. Lalu, secara bersamaan pula mereka
mengebutkan tongkatnya hingga tertuju lurus ke depan, seperti menuding kedua
pendekar itu.
Seperti ada yang memberi aba-aba, tiba-tiba saja
mereka berlompatan cepat sambil mengebutkan tongkat secara bersamaan ke arah
kedua pendekar muda itu.
“Hiyaaat..!”
“Hup!”
“Yeaaah...!”
Rangga dan Pandan Wangi cepat melesat ke udara,
menghindari hunjaman sepuluh tongkat yang datang bersamaan. Mereka berputaran
beberapa kali di udara, lalu cepat mendarat kembali di tanah. Pada saat itu,
sepuluh orang berbaju merah membagi diri menjadi dua kelompok. Satu kelompok
menyerang Rangga, dan satu kelompok lagi langsung menyerang Pandan Wangi.
“Hait..!”
Rangga cepat menarik tubuh ke belakang, ketika satu
tongkat kayu meluruk deras dari arah samping. Saat tongkat itu tepat di depan
dada, dengan cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti mengebutkan tangan kanan.
Langsung disabetnya tongkat di depan dadanya itu.
Tak!
“Uts!'
Rangga cepat melentingkan tubuh ke belakang,
setelah berhasil menghalau tongkat itu dari depan dada. Tapi baru saja kakinya
menjejak tanah, datang lagi satu serangan dari arah kanan. Terpaksa Pendekar
Rajawali Sakti membanting tubuh ke tanah, dan bergulingan beberapa kali.
Seketika ujung-ujung tongkat berhamburan di sekitar tubuhnya.
“Hup! Yeaaah...!”
Rangga cepat melentingkan tubuh sambil
menghentakkan kedua tangannya ke samping. Lima tongkat yang menghujani
tubuhnya, tersampok tangan Pendekar Rajawali Sakti sehingga berpentalan di
udara. Cepat cepat Rangga melesat ke atas. Seketika dengan cepat disambarnya
tongkat-tongkat itu. Begitu mendarat kembali di tanah, lima batang tongkat kayu
sudah berada di tangan Pendekar Rajawali Sakti.
DUA
Lima orang berbaju merah yang tadi menyerang
Rangga, secara bersamaan berlompatan menjauhi Pendekar Rajawali Sakti. Mereka
berdiri berjajar sambil melipat tangan di depan dada. Rangga jadi tercenung,
karena tak ada seorang pun yang bergerak lagi memberi serangan. Bahkan malah
memperhatikan pertarungan antara Pandan Wangi dan lima orang lain yang juga
mengenakan baju merah dan bersenjatakan tongkat kayu.
Tampaknya Pandan Wangi juga menguasai pertarungan.
Satu persatu lawan-lawannya dibuat jatuh bangun. Seketika tongkat-tongkat
mereka berpentalan, saat gadis itu bergerak cepat sambil mengebutkan cepat
kipas baja putihnya. Begitu senjatanya terlepas dari tangan, cepat sekali
kelima orang berbaju merah itu berlompatan mundur. Lalu mereka bergabung
bersama lima orang lainnya. Sepuluh orang berbaju merah menyala itu kini
berdiri berjajar dengan tangan terlipat di depan dada. Pandan Wangi bergegas
menghampiri Rangga.
Plok, plok, plok...!
Rangga dan Pandan Wangi bersamaan berpaling saat
terdengar tepukan tangan. Di ambang pintu pondok yang kini terbuka lebar,
tahu-tahu sudah berdiri seorang laki-laki berusia setengah baya. Dia mengenakan
baju merah ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot.
“Jari Maut..,” desis Pandan Wangi langsung
mengenali laki-laki setengah baya berbaju merah itu.
Slap!
Ringan sekali si Jari Maut melompat. Dan tanpa
menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat sekitar dua langkah di depan
Rangga. Tubuhnya membungkuk sedikit, sambil merapatkan kedua telapak tangannya
di depan dada. Penghormatan itu dibalas Rangga dengan membungkukkan tubuhnya
juga.
“Maaf. Penyambutanku mungkin kurang berkenan di
hatimu, Pendekar Rajawali Sakti,” ucap si Jari Maut ramah.
“Sambutan yang mengesankan,” sahut Rangga seraya
melirik sepuluh orang berbaju merah.
“Kalian cepat beri hormat pada tamuku!” perintah si
Jari Maut
Sepuluh orang berbaju merah itu cepat merapatkan
telapak tangan di depan dada, lalu membungkuk memberi hormat pada kedua
pendekar muda itu. Rangga dan Pandan Wangi membalas dengan membungkukkan tubuh
juga.
Setelah kembali tegak, sepuluh orang berbaju merah
itu melepaskan penutup kepala. Maka kini tampaklah wajah-wajah yang muda dan
belia. Mereka ternyata gadis-gadis berusia sekitar delapan belas tahun. Tak
satu pun di antara mereka yang laki-laki.
“Mereka murid-muridku, Pendekar Rajawali Sakti,” si
Jari Maut memberi tahu.
“Hebat! Satu pasukan prajurit terlatih pun tidak
akan mampu menghadapi mereka,” puji Rangga.
“Ah! Kau terlalu memuji, Pendekar Rajawali Sakti.
Mereka masih perlu bimbingan lebih lama lagi. Masih banyak kekurangan yang
harus dibenahi. Kau bisa lihat sendiri. Hanya beberapa gebrakan saja, mereka
sudah kau buat tidak berdaya,” Jari Maut merendahkan diri.
“Tapi aku kagum. Mereka benar-benar tangkas dan
sangat berbakat,” lagi-lagi Rangga memuji.
“Terima kasih,” ucap si Jari Maut seraya menjura.
Rangga membalas dengan membungkukkan tubuh sedikit
“Kau datang ke sini, tentu ada maksud tertentu,”
tebak si Jari Maut tidak ingin Rangga meneruskan pujian pada murid-muridnya.
“Benar. Sesuatu yang sangat penting,” sahut Rangga.
“Kalau begitu, sebaiknya bicara di dalam saja.
Mari...,” ajak si Jari Maut
Rangga melangkah mengikuti laki-laki setengah baya
yang sudah berjalan lebih dulu. Sementara Pandan Wangi mengikuti di samping
Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan sepuluh orang murid si Jari Maut, bergegas
meninggalkan tempat itu. Mereka menuju bagian belakang pondok kecil ini.
Sementara Rangga dan Pandan Wangi, serta si Jari
Maut sudah berada di dalam pondok. Mereka duduk di lantai yang beralaskan
selembar permadani ber-corak bunga-bunga.
“Bisa dijelaskan sekarang, keperluan apa yang kau
bawa, Pendekar Rajawali Sakti?” tanya si Jari Maut
“Kuharap kau tidak tersinggung setelah aku
menyampaikannya. Masalahnya ini menyangkut nama baikmu selama ini, yang telah
kau jaga dengan baik,” kata Rangga memulai.
“Nama baikku...? Apakah persoalan yang kau bawa ada
sangkut pautnya dengan diriku?” tanya si Jari Maut, tidak mengerti.
“Aku sendiri tidak yakin. Tapi tampaknya memang
demikian,” sahut Rangga.
Si Jari Maut memandangi Pendekar Rajawali Sakti dan
Pandan Wangi bergantian. Sedangkan yang dipandangi juga balas memandang. Untuk
beberapa saat, mereka hanya terdiam tanpa berkata-kata. Di benak si Jari Maut,
timbul berbagai macam dugaan dan pertanyaan yang belum tentu kebenarannya.
Sedangkan Rangga sendiri tampaknya sulit untuk mengemukakan. Pendekar Rajawali
Sakti harus mengatakannya, tapi tidak ingin menyinggung perasaan laki-laki
setengah baya berbaju merah ini.
“Sebenarnya aku sendiri tidak yakin. Tapi, aku
harus mencari kebenarannya sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Aku
merasa hubungan baik kita selama ini bisa terancam,” kata Rangga setelah cukup
lama terdiam.
“Hm.... Katakan saja, apa masalahnya, Pendekar
Rajawali Sakti...?” pinta si Jari Maut tidak sabaran.
“Semalam, sesuatu telah terjadi di Istana Karang
Setra. Dua orang prajurit yang bertugas di rumah tahanan, ditemukan tewas. Dan
satu orang tahanan yang sedang menjalani masa hukuman telah hilang...,” Rangga
berhenti sebentar, lalu menarik napas panjang.
“Teruskan,” pinta si Jari Maut
“Aku tidak akan ke sini jika kematian dua orang
prajurit itu tidak memberi petunjuk untukku yang menyangkut dirimu, Jari Maut,”
sambung Rangga.
“Petunjuk...? Apa maksudmu dengan petunjuk,
Pendekar Rajawali Sakti?” Jari Maut meminta penjelasan.
“Kedua prajurit itu tewas dengan lubang di kening,
antara kedua matanya. Lubang sebesar jari....”
Brak!
Jari Maut menggebrak meja di depannya hingga
bergetar. Seketika saja wajahnya memerah seperti besi terbakar di dalam tungku
perapian pandai besi. Gerahamnya bergemeletuk, dan bola matanya memerah
berapi-api. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan. Mereka
memang sudah menduga, si Jari Maut pasti marah jika mendengar hal itu.
“Aku sudah berusaha untuk tidak berurusan lagi
denganmu, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi aku juga tidak sudi dituduh menculik
tahanan Karang Setra!” agak tertahan nada suara si Jari Maut
“Jangan salah mengerti, Jari Maut. Aku hanya memberi
tahu dan bukan bermaksud menuduh. Luka yang membuat kedua prajurit itu tewas
memang sangat mirip dengan luka akibat jurus 'Sepuluh Jari Maut'. Tapi aku
tidak langsung menuduhmu,” Rangga mencoba meredakan amarah laki-laki setengah
baya ini.
“Lalu, apa maksudmu datang ke sini?” tanya si Jari
Maut.
“Mencari kebenaran,” sahut Rangga.
“Phuah...! Itu sama saja mencurigaiku, Pendekar
Rajawali Sakti!” sentak si Jari Maut semakin menggeram marah.
“Kebenaran bukan berarti mencurigai atau menuduh.
Aku percaya, bukan kau pelakunya,” Rangga masih mencoba tenang.
Sementara Pandan Wangi sudah mulai waspada.
Meskipun gadis itu masih duduk di tempatnya, namun sudah meraba kipas baja
putih yang terselip di sabuk pinggangnya. Sedangkan Rangga masih kelihatan
tenang, walaupun orang yang dihadapinya seperti sudah tidak lagi bisa menahan
amarah.
“Dengar, Pendekar Rajawali Sakti. Aku sudah
bersumpah untuk tidak lagi terjun dalam dunia persilatan. Bahkan sudah berjanji
untuk membantu Karang Setra jika mendapat kesulitan. Mana mungkin aku bisa
membunuh dua orang prajurit dan melarikan seorang tahanan...? Siapa tahanan
itu?” masih terdengar sengit nada suara si Jari Maut Meskipun dari tekanannya,
kemarahannya sudah dicoba untuk diredakan.
Si Jari Maut menyadari, siapa yang ada di depannya
ini. Seorang pendekar muda dan digdaya yang pernah menaklukkannya di Desa
Malimping. Di samping itu, dia juga seorang raja yang menguasai seluruh wilayah
Karang Setra. Dan Lembah Kunir ini juga termasuk kekuasaan Karang Setra.
“Tahanan itu bernama Sangkala. Dia murid mendiang
Pendeta Pohaji. Kau pasti sudah mendengar peristiwanya, kenapa dia sampai
mendapat hukuman,” sahut Rangga.
Si Jari Maut terdiam. Dia memang tahu, siapa
Sangkala itu. Dan kenapa dia bisa berada di dalam tahanan Karang Setra. Seluruh
peristiwanya memang sudah diketahuinya meskipun dia tidak terlibat langsung di
dalamnya. (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah Jaringan Hitam)
“Phuhhh...!” Jari Maut menghembuskan napas
kuat-kuat
Wajah yang semula memerah, kini perlahan memudar.
Beberapa kali si Jari Maut menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya
kuat-kuat. Sebentar kepalanya didongakkan ke atas, lalu dirayapinya wajah
Rangga dan Pandan Wangi bergantian.
“Maaf, aku...,” ucap Jari Maut terputus.
“Sudahlah.... Aku bisa mengerti, Jari Maut,” desah
Rangga seraya tersenyum.
“Sudah hampir malam. Sebaiknya kalian menginap saja
di sini. Besok, baru kalian bisa melanjutkan perjalanan,” kata Jari Maut
“Terima kasih,” ucap Rangga.
***
Malam sudah cukup larut Tapi Rangga belum juga
dapat memejamkan matanya. Sebentar tubuhnya dimiringkan ke kanan. Lalu,
dimiringkan lagi ke kiri. Pendekar Rajawali Sakti kelihatan gelisah sekali
malam ini. Perlahan dia bangkit turun dari pembaringan.
Pendekar Rajawali Sakti melangkah perlahan
mendekati jendela. Lalu membuka daun jendela lebar-lebar, sehingga angin yang
dingin malam ini menerobos masuk ke dalam kamarnya. Pada saat itu terlihat
sebuah bayangan merah berkelebat cepat, dan menghilang di balik sebatang pohon
yang cukup besar. Tanpa membuang waktu lagi, Rangga cepat melompat ke luar.
“Hup!”
Begitu kakinya menjejak tanah, kembali Pendekar
Rajawali Sakti melesat ke pohon besar tempat bayangan merah tadi lenyap. Manis
sekali Pendekar Rajawali Sakti mendarat di balik pohon, tapi tidak menemukan
sesuatu di sini. Hanya kegelapan saja yang dijumpainya. Sebentar pendengarannya
ditajamkan sambil mengedarkan pandangan berkeliling.
Sing!
“Uts...!”
Hampir saja sebuah benda yang meluncur dari
belakang, menghantam tubuhnya. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti segera
menarik tubuhnya ke kanan. Maka benda berwarna merah itu menghantam batang
pohon yang cukup besar. Sedikit tangan Rangga melirik ke arah benda berbentuk
mata anak panah itu, kemudian cepat memutar tubuhnya. Pada saat itu terlihat
sebuah bayangan merah berkelebat cepat dari dalam sebuah semak yang cukup jauh
dari tempat ini.
“Hup! Yeaaah...!”
Bergegas Rangga melompat mengejar bayangan merah
itu. Lesatannya sungguh ringan dan cepat, karena ilmu meringankan tubuhnya yang
sudah mencapai tahap kesempurnaan dikerahkan. Namun, begitu hampir saja menyusul,
mendadak saja bayangan merah itu berbalik, Dan....
Bet!
Wusss...!
“Uts!”
Rangga cepat mengegoskan tubuh ke kanan, ketika
tiba-tiba saja tangan orang berbaju serba merah itu berkelebat cepat. Seketika
sebuah benda merah berbentuk mata panah meluncur deras, hampir menghantam tubuh
Pendekar Rajawali Sakti. Dan belum lagi Rangga menarik tubuhnya, tahu-tahu
bayangan merah itu sudah melompat cepat menerjang. Satu pukulan keras bertenaga
dalam kuat cepat sekali dilepaskannya.
“Yeaaah...!”
“Hait..!”
Rangga cepat melentingkan tubuhnya, lalu berputar
ke belakang menghindari serangan orang berbaju merah itu. Dan selagi Pendekar
Rajawali Sakti berputaran ke belakang, orang berbaju serba merah itu melesat ke
udara. Lalu, kakinya hinggap di cabang pohon yang cukup tinggi. Kembali
tubuhnya melesat cepat meninggalkan tempat itu. Begitu cepatnya, sehingga dalam
sekejap saja sudah lenyap ditelan kegelapan.
“Sial!” rungut Rangga.
Lagi-lagi Pendekar Rajawali Sakti kehilangan
bayangan merah itu. Maka dia cepat melesat ke atas, dan hinggap di cabang pohon
yang tinggi. Pandangannya beredar tajam, merayapi sekelilingnya yang diselimuti
kegelapan dan kabut cukup tebal.
“Hm.... Siapa dia?” Rangga jadi bertanya-tanya
sendiri dalam hati.
Semalaman Rangga mengelilingi Lembah Kunir, mencari
orang berbaju merah yang membuat dirinya terus bertanya-tanya sendiri. Tapi
hingga matahari timbul, tidak juga ditemukan tanda-tanda orang aneh itu. Rangga
kembali ke pondok kecil, tempat tinggal si Jari Maut. Di depan pintu, laki-laki
setengah baya berbaju serba merah itu seperti sudah menunggu.
“Kau tidak tidur semalam, Pendekar Rajawali Sakti?”
si Jari Maut langsung menegur begitu Rangga berada dekat di depannya.
Rangga tidak segera menjawab. Dipandanginya
laki-laki setengah baya itu sebentar, kemudian tubuhnya dihempaskan di kursi
panjang dari bambu yang berada di samping pintu pondok ini. Orang yang
ditemuinya semalam, mengenakan baju merah juga. Tapi sayangnya, Rangga tidak
bisa mengenali wajah orang itu. Karena, seluruh kepala dan wajahnya tertutup
kain merah. Persis seperti yang dikenakan murid-murid si Jari Maut
“Aku tidak melihat murid-muridmu. Ke mana mereka?”
tanya Rangga, agak memancing nada suaranya.
“Setiap pagi mereka harus melatih tenaga dalam di
tepi sungai,” sahut si Jari Maut. “Baru tengah hari nanti mereka kembali. Ada
apa kau tanyakan mereka?”
“Semalam aku melihat seseorang menyelinap ke sini.
Dia berpakaian persis dengan murid-muridmu,” jelas Rangga seraya menatap agak
tajam pada si Jari Maut.
“Kuharap kau tidak sedang bergurau, Pendekar
Rajawali Sakti,” ujar Jari Maut tidak percaya. “Selama aku tinggal di sini, tak
pernah ada seorang pun yang berani menyelinap. Sepanjang malam murid-muridku
bergiliran berjaga.”
“Kau membekali mereka dengan senjata rahasia, Jari
Maut?” tanya Rangga lagi.
“Aku tidak pernah mengajarkan mereka meng-gunakan
senjata rahasia apa pun juga. Mereka selalu kuajarkan untuk menghadapi segala
sesuatu secara jantan,” tegas Jari Maut
Rangga bangkit berdiri, tepat saat Pandan Wangi
muncul dari dalam pondok ini. Gadis itu menghampiri Rangga, dan memandangi
kedua laki-laki itu dengan kening agak berkerut. Dia merasakan ada sedikit
ketegangan di antara mereka.
“Aku mohon maaf. Mungkin kedatangan kami dalam
suasana yang tidak tepat,” ucap Rangga. “Oh, ya. Berapa jumlah muridmu?”
“Sepuluh. Kenapa hal itu kau tanyakan?”
“Hanya ingin tahu saja.”
“Kuharap kau tidak membuka pertentangan di antara
kita, Pendekar Rajawali Sakti,” sambut Jari Maut, agak dingin nada suaranya.
“Kami mohon diri, dan terima kasih atas semua
layanan yang kau berikan,” ucap Rangga berpamitan.
Sengaja Rangga cepat-cepat berpamitan sebelum darah
di dalam tubuh si Jari Maut kembali mendidih. Kata-kata si Jari Maut yang
terakhir sudah menunjukkan ketidaksenangannya, karena Pendekar Rajawali Sakti
terlalu banyak bertanya. Terlebih lagi jika masalah pribadinya dikorek. Dan
Rangga sendiri tidak ingin hubungan mereka yang sudah berjalan baik, hancur
karena persoalan yang belum jelas ini.
Jari Maut mengantarkan sampai di tempat kuda kedua
pendekar muda itu ditambatkan. Tanpa berbicara lagi, Rangga mengajak Pandan
Wangi pergi dari lembah ini. Jari Maut terus memandangi kedua pendekar muda itu
sampai keluar dari lembah.
Sementara itu Rangga dan Pandan Wangi sudah jauh
meninggalkan Lembah Kunir. Dan pada suatu tempat yang tidak begitu rapat
dirumbuhi pepohonan, Rangga menghentikan kudanya. Pendekar Rajawali Sakti
melompat turun dari punggung kuda dengan gerakan manis sekali. Pandan Wangi
bergegas mengikuti. Gadis itu berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti yang
tengah memandang ke arah lembah. Dari tempat yang cukup tinggi ini, mereka bisa
leluasa memandang ke Lembah Kunir. Seluruh lembah itu bisa terlihat jelas.
“Ada apa, Kakang? Kenapa berhenti?” tanya Pandan
Wangi.
“Aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan si Jari
Maut,” sahut Rangga perlahan setengah bergumam.
“Maksudmu?” Pandan Wangi tidak mengerti, apa yang
sedang dipikirkan Pendekar Rajawali Sakti.
“Sikapnya...,” sahut Rangga terputus.
“Aku tidak melihat ada yang aneh. Dia memang mudah
sekali marah, dan cepat tersinggung. Tapi, kulihat dia tetap menghormati kita,
Kakang. Bahkan juga berjanji akan membantu mencari Sangkala,” sergah Pandan
Wangi mengemukakan penilaiannya pada si Jari Maut.
“Mudah-mudahan penilaianmu benar, Pandan,” desah
Rangga perlahan.
Pandan Wangi memandangi wajah tampan di sampingnya.
Dia tahu kalau saat ini Rangga tengah memikirkan sesuatu. Kata-katanya tadi
hanya dimaksudkan untuk menyenangkan hati gadis ini saja. Dan itu bisa
dirasakan Pandan Wangi. Sedangkan Rangga sendiri masih terus memandang ke arah
lembah di depan sana, seperti ada sesuatu yang menarik dalam penilaiannya.
“Bagaimana tidurmu semalam, Pandan?” tanya Rangga
tiba-tiba seraya berpaling menatap gadis di sebelahnya.
“Nyenyak,” sahut Pandan Wangi.
“Kau tidak merasakan atau mendengar sesuatu?” tanya
Rangga lagi.
Pandan Wangi tidak langsung menjawab, tapi malah
menatap Rangga dalam-dalam. Gadis itu semakin tidak mengerti dengan semua
pembicaraan Pendekar Rajawali Sakti barusan. Apalagi, sikap Rangga seperti
mencurigai si Jari Maut. Sedangkan dia tidak melihat kejanggalan pada diri
laki-laki setengah baya itu.
“Kenapa kau masih mencurigainya, Kakang?” tanya
Pandan Wangi langsung.
“Sikapnya begitu mencurigakan. Dan sepertinya
menyembunyikan sesuatu yang tidak boleh diketahui. Terus terang, aku juga tidak
yakin kalau hanya ada sepuluh orang muridnya saat ini. Dia pasti juga
mengajarkan cara-cara menggunakan senjata rahasia pada murid-muridnya,” nada
suara Rangga terdengar mantap.
“Kenapa kau beranggapan seperti itu, Kakang?” tanya
Pandan Wangi meminta penjelasan.
“Apa kau tidak mendengar pembicaraanku dengan si
Jari Maut?” Rangga malah balik bertanya.
“Dengar,” sahut Pandan Wangi.
“Seharusnya kau sudah bisa memahaminya, Pandan.
Semalam aku melihat seseorang menyelinap. Aku sempat mengejarnya, sehingga
sedikit terjadi pertarungan. Tapi dia berhasil lolos setelah melemparkan
senjata rahasia padaku. Kau lihat ini...,” Rangga memperlihatkan sebuah senjata
rahasia berbentuk mata anak panah berwarna kuning keemasan.
Pandan Wangi mengambil benda itu dari tangan
Rangga. Diamatinya benda itu beberapa saat, lalu ditatapnya Pendekar Rajawali
Sakti dalam-dalam. Diserahkannya benda itu kembali pada Pendekar Rajawali
Sakti.
“Bagaimana menurutmu, Pandan?” tanya Rangga meminta
pendapat si Kipas Maut ini.
“Aku masih tidak yakin kalau si Jari Maut bisa
menggunakan senjata rahasia. Tapi...,” ucapan Pandan Wangi terputus.
“Tapi kenapa, Pandan?”
“Yang kutahu, hanya satu orang saja yang ahli dalam
senjata rahasia di Karang Setra ini, Kakang.”
“Siapa?”
“Nenek Jamping,” sahut Pandan Wangi
“Nenek Jamping..?!” Rangga tertegun.
“Orang yang terdekat dengan Mintarsih”
TIGA
“Mustahil...!” desis Rangga tidak percaya.
Mana mungkin Pendekar Rajawali Sakti bisa percaya
kalau Nenek Jamping bisa melakukan semua ini. Sedangkan semua orang tahu,
perempuan tua itu sudah tewas. Tapi Rangga tidak menyangkal kalau kemungkinan
memang Mintarsih yang melakukan semua ini. Hal ini juga pernah dilontarkan
Danupaksi padanya.
Terlebih lagi, tahanan yang hilang hanya Sangkala.
Seorang pemuda yang mempunyai hubungan dengan Mintarsih, sehingga mengakibatkan
Pendeta Pohaji tewas di tangan wanita itu. Sedangkan Sangkala sendiri mencoba
membunuh Rangga, karena termakan hasutan Mintarsih. Katanya orang tua Sangkala
tewas di tangan Rangga.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, apa mungkin
Mintarsih kini menjalin hubungan dengan si Jari Maut? Pertanyaan seperti ini
tiba-tiba saja muncul di benak Rangga. Memang sukar untuk bisa memastikan,
karena semuanya masih terselimut kegelapan.
“Sebelum aku bertemu denganmu, aku pernah bentrok
melawan Nenek Jamping. Waktu itu aku tidak mengenal Mintarsih. Dalam
pertarungan itu, Nenek Jamping sangat pandai menggunakan senjata rahasia. Aku
berhasil lolos karena ditolong seorang laki-laki tua yang kusebut kakek. Kau
pasti kenal dengannya, Kakang,” jelas Pandan Wangi mengingat masa lalunya.
“Kau tidak pernah cerita tentang hal itu, Pandan,”
sergah Rangga.
Tentu saja Rangga kenal laki-laki tua yang
dimaksudkan Pandan Wangi. Mereka memang bertemu ketika terjadi peristiwa di
Bukit Setan. Tapi, dia tidak pernah tahu kalau Pandan Wangi pernah bentrok
dengan perempuan tua yang bernama Nenek Jamping, sekaligus orang terdekat
dengan Mintarsih. Ketika membatu Mintarsih pun, Rangga tidak melihat kalau
Nenek Jamping menggunakan senjata rahasia. Atau, memang pada waktu itu tidak
sempat menggunakannya? Waktu itu, pertarungan antara Rangga dan Nenek Jamping
memang berlangsung dalam jarak yang begitu dekat. Jadi, rasanya terlalu sulit
untuk melepaskan senjata rahasia.
“Bagaimana bentuk senjatanya, Pandan?” tanya Rangga
ingin tahu.
“Terlalu banyak bentuknya. Dan aku tidak bisa
memastikan satu persatu, Kakang. Dia bisa menggunakan apa saja untuk dijadikan
senjata rahasia. Bahkan sehelai rumput pun bisa dijadikan senjata rahasia yang
mematikan,” sahut Pandan Wangi
“Apa mungkin Mintarsih bisa menggunakan senjata
rahasia?” Rangga seperti bertanya pada diri sendiri
“Kemungkinan itu selalu ada, Kakang,” sahut Pandan
Wangi.
Rangga kembali terdiam. Rasanya memang semakin
sulit mencari hubungan antara peristiwa yang satu dengan lainya. Memang, ada
kemungkinan Mintarsih juga mahir menggunakan senjata rahasia. Tapi apa mungkin
juga menguasai jurus 'Sepuluh Jari Maut'? Sedangkan dua prajurit penjaga tewas
dengan kening berlubang sebesar jari. Dan luka itu sudah jelas akibat jurus
'Sepuluh Jari Maut'. Sementara, yang memiliki jurus itu hanyalah si Jari Maut
“Pandan, apa mungkin si Jari Maut dan Mintarsih
memiliki hubungan?” tanya Rangga, agak ragu-ragu nada suaranya.
“Terlalu dini untuk bisa memastikannya, Kakang,”
sahut Pandan Wangi.
Lagi-lagi Rangga terdiam.
“Kakang, apa tidak sebaiknya kita pergi ke tempat
tinggal Nenek Jamping...?” saran Pandan Wangi.
“Ke puncak Gunung Batur Gamping?”
“Bukan ke sana, Kakang. Nenek itu mempunyai tempat
tinggal yang baru setelah turun dari pertapaannya,” jelas Pandan Wangi.
“Di mana?”
“Tidak jauh dari Desa Wadas Putih.”
“Desa Wadas Putih...? Untuk apa ke sana?” tanya
Rangga.
“Barangkali saja Mintarsih ada di sana, Kakang,”
sahut Pandan Wangi.
“Tapi membutuhkan waktu dua hari perjalanan dari
sini, Pandan,” gumam Rangga.
“Memang, kalau hanya menunggang kuda.”
“Maksudmu...?”
“Kau punya tunggangan yang lebih cepat, bukan?”
Rangga tiba-tiba saja tertawa terbahak-bahak. Dia
tahu betul maksud Pandan Wangi ini. Untuk mencapai Desa Wadas Putih dengan
waktu singkat tidak ada cara lain lagi, kecuali menunggang Rajawali Putih.
“Kau sudah bersumpah untuk tidak lagi menunggang
Rajawali Putih, Pandan. Apa kau sanggup melanggar sumpahmu?” ujar Rangga
mengingatkan akan sumpah Pandan Wangi.
“Sebelumnya pun aku sudah pernah melanggarnya,
Kakang.”
“Kau tidak takut lagi?”
“Kenapa harus takut? Toh, Rajawali Putih tidak
mungkin menjatuhkan aku dari atas awan.”
“Baiklah. Aku akan memanggil Rajawali Putih, dan
kita pergi ke Desa Wadas Putih.”
“Lebih cepat, lebih baik, Kakang. Mumpung belum
terlalu siang.”
Rangga hanya tersenyum saja.
***
Tidak sampai setengah hari, Rangga dan Pandan Wangi
sudah berada di pinggiran Desa Wadas Putih. Mereka diturunkan Rajawali Putih di
tempat sepi, dan cukup jauh dari pemukiman. Setelah berpesan pada Rajawali
Putih untuk menunggu, kemudian Rangga mengajak Pandan Wangi untuk segera ke
tempat tinggal Nenek Jamping yang berjarak tidak jauh lagi.
“Kapan kau terakhir ke tempat ini, Pandan?” tanya
Rangga tetap cepat mengayunkan kakinya.
“Aku lupa. Tapi cukup lama juga tidak pernah ke
sini lagi,” sahut Pandan Wangi.
“Ada perubahan yang kau lihat?”
“Tidak terlalu banyak. Aku masih ingat letak
rumahnya, kok.”
Mereka terus berjalan cepat tanpa bicara lagi.
Sengaja mereka mempergunakan ilmu meringankan tubuh, agar lebih cepat sampai.
Dan jalan yang dipilih Pandan Wangi memang sepi. Tak seorang pun yang dijumpai,
sampai mereka tiba di depan sebuah rumah kecil berdinding bilik dan beratapkan
daun rumbia. Sekitar rumah itu terlihat kotor dan tidak terawat
Sebentar mereka berhenti dan merayapi sekitarnya,
kemudian berjalan perlahan-lahan mendekati rumah kecil itu. Tak terlihat
seorang pun di sekitarnya. Begitu sunyi! Bahkan binatang kecil pun tidak
dijumpai. Begitu tinggal dua batang tombak lagi mereka sampai ke rumah kecil
itu, tiba-tiba saja dari bagian belakang rumah itu berlari seseorang dengan
cepat.
“Hei...!” seru Rangga mencoba memanggil.
Tapi orang itu terus saja berlari seperti
ketakutan. Maka Rangga cepat melompat mengejar. Dua kali dia berlompatan,
sehingga melewati kepala orang itu. Dan kini, tahu-tahu Rangga sudah berdiri di
depannya. Orang itu terkejut, dan langsung menghentikan larinya. Dia cepat
berbalik. Tapi sebelum kakinya bergerak untuk lari, wajahnya langsung memucat
melihat Pandan Wangi sudah berdiri menghadang.
“Oh! Ampuuun..., jangan bunuh aku...,” rintih orang
itu seraya menjatuhkan diri berlutut
“Siapa kau, Kisanak?” tanya Pandan Wangi, dingin
nada suaranya.
“Aku..., aku Koler,” sahut laki-laki muda bertubuh
kurus itu. Suaranya terdengar tergagap ketakutan.
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Dipandanginya
bungkusan kain lusuh yang berada di dalam pelukan laki-laki bertubuh kurus
kering ini. Saat itu Rangga sudah menghampiri dan berdiri di samping Pandan
Wangi. Sebentar mereka saling ber-pandangan. Sedangkan laki-laki kurus yang
tidak mengenakan baju ini, masih tetap berlutut dengan kepala tertunduk dan
tubuh terbungkuk hampir menyentuh tanah.
“Bungkusan apa itu?” tanya Rangga.
“Oh! Ini.., ini..,” suara Koler terputus-putus.
“Aku tanya, bungkusan apa itu?!” Rangga mengulangi
dengan tegas.
“Aku mohon, jangan dirampas. Bungkusan ini hanya
berisi ramuan obat-obatan,” nada suara Koler terdengar bergetar.
“Ramuan obat-obatan? Untuk siapa?” desak Rangga.
“Untuk seseorang, Tuan.”
“Iya, aku tahu untuk seseorang! Masa' untuk
binatang!” dengus Pandan Wangi jadi kesal “Aku tanya, siapa yang membutuhkan
obat-obatan itu...?!”
“Aku..., aku tidak tahu namanya. Aku dibayar untuk
mengambil bungkusan ini dari rumah itu.”
“Laki-laki atau perempuan?” kejar Pandan Wangi.
“Perempuan.”
“Di mana dia menunggumu?” tanya Pandan Wangi terus
mengejar.
“Oh...?!” Koler nampak terkejut mendengar
pertanyaan Pandan Wangi.
Laki-laki berusia muda dan bertubuh kurus tanpa
baju itu terdongak menatap Pandan Wangi, lalu beralih menatap Rangga. Tubuhnya
nampak menggetar seperti menahan takut. Sedangkan tatapan Pandan Wangi begitu
tajam menusuk.
“Kau boleh pergi,” kata Rangga tiba-tiba.
“Oh, terima kasih...,” ucap Koler langsung
berseri-seri wajahnya.
Laki-laki kurus itu bergegas bangkit, lalu berlari
cepat meninggalkan kedua pendekar muda itu. Didekapnya bungkusan kainnya,
seakan-akan takut terjatuh.
“Kenapa kau membiarkannya pergi, Kakang?” dengus
Pandan Wangi tidak mengerti atas sikap Rangga.
“Kau tidak akan bisa mendesaknya, Pandan,” kata
Rangga kalem.
Sedikit pun Pendekar Rajawali Sakti tidak
mengalihkan pandangannya, dan terus memperhatikan Koler yang semakin jauh
berlari. Sedangkan Pandan Wangi masih tidak puas atas tindakan Rangga yang
membiarkan laki-laki kurus tadi pergi begitu saja.
“Ayo kita pergi, Pandan,” ajak Rangga.
“Ke mana?” tanya Pandan Wangi. “Kita belum
memeriksa ke dalam pondok itu.”
“Tidak perlu.”
“Heh...?! Bukankah tujuan kita ke sini untuk..?”
Pandan Wangi tidak sempat lagi meneruskan, karena
Rangga sudah melangkah cepat meninggalkannya. Terpaksa gadis itu bergegas
mengikuti dan mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali Sakti.
“Kau akan tahu, siapa yang menyuruh orang itu
tadi,” kata Rangga tanpa menghentikan langkahnya.
“Jadi..., kau melepaskannya hanya untuk...,” Pandan
Wangi tidak meneruskan.
Rangga tidak menyahuti, dan terus melangkah cepat.
Matanya terus tertuju pada laki-laki kurus yang berjalan cepat, cukup jauh di
depannya. Dan Pandan Wangi sendiri tidak lagi banyak tanya. Gadis itu sudah
bisa mengerti rencana Rangga yang sebenarnya.
***
Sampai di depan sebuah gubuk kecil di tengah-tengah
kebun kelapa, laki-laki bertubuh kurus tanpa baju itu berhenti melangkah.
Wajahnya menoleh ke kanan dan ke kiri sebentar. Lalu, dia bergegas masuk ke
dalam gubuk kecil yang kumuh itu. Ternyata di dalam sudah menunggu seorang
wanita cantik mengenakan baju biru. Dia duduk di dipan bambu yang hanya
beralaskan sehelai tikar lusuh.
“Kau sudah kembali, Koler...?” suara wanita cantik
itu terdengar pelan.
“Sudah, Nini,” sahut Koler seraya menghampiri.
“Tidak ada yang mengikutimu, Koler?” tanya wanita
berbaju biru itu lagi.
“Tidak, tapi....”
“Tapi kenapa?”
“Aku bertemu dua orang yang mencurigakan, Nini.”
“Siapa?”
“Aku tidak tahu. Mereka laki-laki dan perempuan,
dan sepertinya orang-orang persilatan. Mereka menahanku sebentar, lalu
melepaskanku kembali, Nini.”
“Hm, sudahlah. Mana ramuan obat yang kupesan?”
“Ini...”
Laki-laki kurus itu duduk di samping kanan wanita
berbaju biru. Diserahkannya bungkusan kain yang sejak tadi dipeluk erat-erat.
Wanita cantik berbaju biru itu segera menerima. Tapi belum juga sempat membuka
bungkusan kain itu, mendadak saja pintu gubuk ini terbuka sendiri dari luar.
Saat itu Rangga dan Pandan Wangi menerobos masuk
Koler dan wanita cantik berbaju biru itu terkejut
setengah mati. Bahkan Rangga dan Pandan Wangi juga terkejut begitu berada di
dalam gubuk kecil yang kumuh ini. Tidak disangka kalau di dalam gubuk ini ada
seorang wanita cantik yang sudah mereka kenal. Wanita yang tak lain adalah
Mintarsih.
“Akhirnya kutemukan juga kau, Mintarsih,” desis
Pandan Wangi dingin.
“Mau apa kalian ke sini?!” bentak Mintarsih seraya
bangkit berdiri.
Koler bergegas berdiri juga, dan langsung
berlindung di belakang Mintarsih. Sedangkan wanita cantik berbaju biru itu
sudah meraba ujung sabuknya yang berwarna kuning keemasan. Sorot matanya begitu
tajam, penuh kebencian pada Rangga dan Pandan Wangi.
“Di mana kau sembunyikan Sangkala, Mintarsih?”
tanya Pandan Wangi langsung.
“Dia ada di penjara Karang Setra!” dengus Mintarsih
ketus.
“Kau sudah menculiknya dan membunuh dua orang
prajurit penjaga! Sekarang, di mana kau sembunyikan Sangkala...?!” bentak
Pandan Wangi jadi gusar.
“Aku menculik Sangkala...? Ha ha ha...!” Mintarsih
jadi tertawa terbahak-bahak mendengar tuduhan Pandan Wangi yang begitu
langsung, tanpa tedeng aling-aling lagi.
“Aku tidak ada waktu main-main denganmu,
Mintarsih!” sentak Pandan Wangi berang.
“Main-main? Heh...?! Aku malah senang mendengar
Sangkala bisa bebas. Bahkan telah membunuh dua orang prajurit. Hebat..! Dan kau
benar-benar kecolongan, Pendekar Rajawali Sakti,” terasa sinis nada suara
Mintarsih.
“Mintarsih! Aku tahu, kau dalam keadaan terluka.
Dan sebaiknya jangan menyulitkan dirimu sendiri,” tegas Rangga dengan suara
tenang.
“Aku tidak menculik Sangkala. Dan aku tidak ada
hubungan lagi dengannya. Jelas...?!” tegas Mintarsih.
“Bagaimana aku bisa percaya kata-katamu,
Mintarsih?” tanya Rangga meminta kepastian.
“Tanyakan saja pada Koler. Di mana saja aku selama
ini, dan apa pernah pergi ke Karang Setra atau tidak.”
“Be..., benar. Nini Mintarsih tidak pergi ke
mana-mana. Setiap hari bersemadi, untuk menyembuhkan luka-lukanya di sini,”
selak Koler, agak tergagap suaranya.
“Kau dengar itu, Pendekar Rajawali Sakti...?”
Rangga dan Pandan Wangi diam saja. “Aku tahu, kalian tidak akan percaya.
Baik.... Paksa aku...!”
Sret!
Mintarsih segera meloloskan sabuk emasnya.
Bet!
Sekali kebut saja, sabuk berwarna kuning ke emasan
itu jadi menegang kaku. Dan kini sabuk itu telah membentuk sebilah pedang
kuning keemasan. Kemudian kakinya melangkah ke depan satu tindak.
Perlahan-lahan sabuk emas yang sudah berubah menjadi pedang itu diangkat, dan
ditujukan lurus ke arah Pandan Wangi.
“Kau yang maju lebih dulu, Pandan Wangi,” desis
Mintarsih dingin.
“Kau pikir aku takut, huh!” dengus Pandan Wangi.
Set!
Bet!
Begitu mencabut kipasnya, Pandan Wangi langsung
mengebutkannya ke depan, tepat menghantam sabuk emas yang menegang kaku di
tangan Mintarsih.
Trang!
“Tahan...!” sentak Rangga.
Tapi seruan Pendekar Rajawali Sakti tidak digubris
sama sekali. Bagaikan kilat, kedua wanita yang sudah berhadapan itu melesat ke
atas, menjebol atap gubuk dari rumbia ini.
Bres!
Rangga bergegas berlari keluar. Di depan gubuk
kecil ini, tampak Mintarsih dan Pandan Wangi sudah terlibat pertarungan yang
cukup sengit. Masing-masing berusaha saling menjatuhkan. Tidak mudah bagi
Rangga untuk menghentikan, karena pertarungan mereka berlangsung dalam jarak
yang begitu rapat. Kalaupun dipaksakan, bisa berakibat parah bagi kedua wanita
itu. Terpaksa Rangga hanya bisa jadi penonton saja.
Meskipun masih dalam keadaan terluka, Mintarsih
masih cukup tangguh. Tidak mudah bagi Pandan Wangi untuk cepat-cepat mengakhiri
pertarungan ini. Bahkan beberapa kali sabuk emas yang menegang kaku itu hampir
membelah tubuhnya. Walau sudah dua pukulan bersarang di tubuhnya, Mintarsih
seringkali membuat Pandan Wangi kerepotan menghalau serangan-serangannya.
“Mampus kau! Hih...!”
Dengan kecepatan bagai kilat, tiba-tiba saja Pandan
Wangi melenting ke atas. Dilewatinya kepala Mintarsih dengan tubuh berputar.
Lalu cepat sekali gadis itu mengebutkan kipasnya, mengincar kepala Mintarsih.
Bet!
“Hait!”
Mintarsih cepat mengegoskan kepala ke samping.
Langsung sabuk emasnya dikibaskan ke atas kepala. Tak dapat dihindari lagi, dua
senjata maut itu beradu keras. Akibatnya, berpijaranlah bunga api yang memercik
ke segala arah.
Trang!
“Hup! Yeaaah...!”
Cepat sekali Pandan Wangi melenting, berputar
sekali ke belakang Mintarsih. Lalu dengan kecepatan luar biasa, si Kipas Maut
itu memberi satu pukulan dengan tangan kiri ke punggung. Serangan Pandan Wangi
yang begitu cepat, tak dapat dihindari lagi, tepat menghantam punggung
Mintarsih.
Des!
“Akh...!” Mintarsih memekik keras.
Wanita berbaju biru itu terpental ke depan sejauh
dua batang tombak, namun cepat berputar dua kali. Dengan manis kakinya kemudian
menjejak tanah, walaupun agak terhuyung-huyung untuk mencoba menguasai
keseimbangan tubuhnya. Tampak da rah menitik dari sudut bibirnya.
“Saatmu sudah tiba, Mintarsih...!” desis Pandan
Wangi
“Tahan...!” seru Rangga tiba-tiba.
Pandan Wangi yang sudah bersiap hendak menyerang
kembali, seketika berhenti begitu Rangga tahu-tahu melompat cepat dan berdiri
di antara kedua wanita itu. Pandan Wangi mendengus melihat Rangga mencegah
pertarungannya. Sedangkan Mintarsih hanya menatap penuh kebencian.
“Minggir, Kakang. Biar kubereskan perempuan setan
ini!” dengus Pandan Wangi.
“Kendalikan dirimu, Pandan,” ujar Rangga mencoba
meredakan amarah Pandan Wangi
“Dia sudah membuat keonaran di Karang Setra, dan
sekarang menculik Sangkala. Perbuatannya tidak dapat diampuni lagi, Kakang,”
masih bemada ketus suara Pandan Wangi.
“Belum ada bukti kalau dia yang menculik Sangkala,
Pandan. Kau harus ingat tujuan kita ke sini. Hanya untuk mencari bukti dari
kebenaran yang ada.”
“Huh!” dengus Pandan Wangi, kesal.
Memang sulit bagi Pandan Wangi jika harus berdebat
kata-kata dengan Rangga. Selamanya tidak bisa menang! Meskipun diakui kata-kata
yang diucapkan Rangga benar, tetap saja hatinya kesal. Sementara itu Rangga
sudah menghampiri Mintarsih yang masih mencoba menguasai jalan napasnya dengan
baik. Cukup banyak tenaga yang terkuras akibat pertarungannya tadi. Terlebih
lagi, sekarang ini keadaan tubuhnya belum sembuh benar dari cedera akibat
bertempur melawan Pendekar Rajawali Sakti.
“Mintarsih, aku tidak ingin menyulitkan dirimu. Dan
sebaiknya, kau juga jangan membuat kesulitan bagi dirimu sendiri,” kata Rangga.
Suaranya tenang dan lembut.
“Kalau kau menginginkan Sangkala, dia tidak ada di
sini!” dengus Mintarsih langsung memotong cepat
“Benar kau tidak membawa lari Sangkala dari
penjara?” tanya Rangga ingin menegaskan.
"Untuk apa...? Dia tidak ada gunanya bagiku!”
sahut Mintarsih.
Rangga memandangi bola mata wanita di depannya ini
dalam-dalam, seakan-akan ingin mencari kebenaran dari kata-kata yang diucapkan
Mintarsih barusan. Pendekar Rajawali Sakti kemudian mengeluarkan sebuah benda
berbentuk mata anak panah berwarna kuning keemasan. Diperlihatkannya benda itu
pada Mintarsih.
“Kau kenali benda ini, Mintarsih?” tanya Rangga.
“Salah satu dari senjata rahasia milik Nenek
Jamping,” sahut Mintarsih. Dia memang mengenali betul benda di tangan Pendekar
Rajawali Sakti itu.
“Aku tahu, Nenek Jamping mahir menggunakan senjata
rahasia seperti ini. Dan kaulah orang yang terdekat dengannya. Aku tidak ingin
menuduh kalau kau yang menggunakan senjata ini, Mintarsih. Aku hanya ingin kau
memberi tahu, siapa saja orang yang menggunakan senjata seperti ini selain
Nenek Jamping,” desak Rangga, menyelidik
“Aku tidak tahu!” dengus Mintarsih ketus.
“Kedudukanmu saat ini cukup sulit, Mintarsih. Ada
kemungkinan bukan hanya aku yang mencarimu. Tapi juga pendekar-pendekar dari
Karang Setra berusaha mencarimu dan mendapatkan kembali Sangkala yang sampai
saat ini masih menjalani masa hukuman. Jika kau bersedia membantuku, aku akan
menjamin keselamatanmu. Dan kau bisa tenang menyembuhkan luka-lukamu,” bujuk
Rangga.
Mintarsih hanya diam saja.
“Kau tidak akan terus selamanya bersembunyi
Mintarsih. Jangan berharap bisa terlepas dari kejaran pendekar-pendekar Karang
Setra. Kau harus mengingat kesehatan tubuhmu sekarang ini. Jika kau mau
menerima tawaranku, tidak ada seorang pun yang akan mengganggumu lagi,” bujuk
Rangga kembali.
“Apa jaminanmu?” tanya Mintarsih setelah berpikir
dan mempertimbangkan tawaran Rangga cukup lama.
“Aku punya tempat, yang tak seorang pun bisa
menemukanmu. Kecuali, aku dan Pandan Wangi. Dan sahabatku yang terpercaya akan
selalu menjaga keselamatanmu. Kau tidak perlu khawatir. Sahabatku tidak akan
kau ketahui, tapi akan menghalau siapa saja yang mencoba mendekatimu, sebelum
kau ketahui sendiri,” kata Rangga memberi jaminan.
Mintarsih melirik Pandan Wangi. Sedangkan yang
dilirik seperti tidak tahu, dan malah mengalihkan pandangan ke arah lain.
Kembali Mintarsih menatap Rangga yang menunggu jawabannya. Cukup lama juga dia
berpikir, mempertimbangkan tawaran Pendekar Rajawali Sakti.
Memang pada saat ini, dirinya membutuhkan tempat
aman dan terbebas dari gangguan siapa pun untuk menyembuhkan luka-luka yang
dideritanya. Apa yang dikatakan Rangga memang tidak bisa dibantah lagi. Sudah
beberapa kali dia harus berhadapan dengan jago-jago Karang Setra, yang masih
terus memburunya. Sehingga, dia terpaksa harus berpindah-pindah tempat untuk
menghindari mereka itu. Dan beberapa kali pula Mintarsih terpaksa harus
bertempur, sehingga luka-lukanya semakin bertambah parah.
“Bagaimana, Mintarsih...?” tanya Rangga meminta
jawaban yang pasti dari wanita itu.
“Baiklah, aku akan bekerjasama denganmu. Tapi
tunjukkan dulu, di mana tempat yang kau janjikan,” kata Mintarsih menerima juga
tawaran Rangga.
Saat ini Mintarsih memang tidak punya pilihan lain
lagi. Jika tidak menerima, rasanya untuk menghadapi Pandan Wangi saja sudah
tidak mampu lagi. Apalagi jika harus menghadapi Pendekar Rajawali Sakti....
Tidak lebih dari lima jurus saja, pasti sudah tidak mampu bertahan lagi.
“Kau masih bisa berjalan selama dua hari?” tanya
Rangga.
“Aku rasa masih bisa,” sahut Mintarsih.
“Aku bisa mengatakannya dalam perjalanan, atau
setelah sampai di sana nanti,” kata Rangga.
EMPAT
Setelah mengantarkan Mintarsih, Rangga mengajak
Pandan Wangi untuk segera ke Lembah Kunir lagi. Dua hari mereka terpaksa
melupakan persoalan di Lembah Kunir. Sementara itu Mintarsih telah memberikan
nama beberapa orang yang diketahui mahir menggunakan senjata rahasia. Saat nama
si Jari Maut disebut, Rangga dan Pandan Wangi hampir tidak percaya. Tapi
Mintarsih berani bersumpah kalau si Jari Maut pernah belajar mempergunakan
senjata rahasia pada Nenek Jamping.
“Kau percaya apa yang dikatakannya, Kakang?” tanya
Pandan Wangi selagi mereka berada di angkasa bersama Rajawali Putih.
“Kalaupun dia berbohong, paling tidak kita tahu di
mana bisa menemukannya, Pandan,” sahut Rangga kalem.
“Kuharap kau tidak lagi mencegahku untuk memberi
pelajaran padanya,” desis Pandan Wangi, masih kesal dengan wanita bernama
Mintarsih itu.
Rangga hanya tersenyum saja.
“Kraaaghk...!” tiba-tiba Rajawali Putih berseru
nyaring.
“Ada apa, Rajawali Putih?” tanya Rangga.
“Khraghk...!”
Rajawali Putih menjulurkan kepalanya ke bawah.
Seketika Rangga menatap langsung ke bawah. Matanya sedikit disipitkan begitu
melihat titik-titik merah bergerak cepat, berkelebatan di antara rimbunnya
pepohonan di bawah sana. Pandan Wangi juga memperhatikan ke bawah. Tapi,
kepalanya cepat ditarik karena tiba-tiba saja jadi terasa pening.
“Lebih mendekat lagi, Rajawali Putih...!” seru
Rangga memberi perintah.
Rajawali Putih meluruk deras ke bawah, mengikuti
perintah Rangga. Semakin dekat, Rangga bisa jelas melihat Titik-titik merah itu
bergerak cepat, berkelebatan di antara pepohonan di bawahnya.
“Turun di depan sana, Rajawali Putih!” perintah
Rangga lagi sambil menunjuk ke sebuah dataran tinggi yang cukup lapang.
“Khraaaghk...!”
Bagaikan kilat, Rajawali Putih meluruk deras ke
arah yang ditunjuk Rangga. Manis sekali kakinya mendarat di tanah berumput
hijau yang subur dan tebal bagai permaidani terhampar. Rangga dan Pandan Wangi
cepat melompat turun dari punggung burung rajawali raksasa. Mereka bergegas
berlari menuju ke tepi dari dataran yang cukup tinggi ini
“Mereka seperti murid-murid si Jari Maut, Kakang,”
kata Pandan Wangi sambil memperhatikan titik-titik bayangan merah yang
berkelebatan cepat di antara kerimbunan pepohonan.
Empat bayangan merah itu terus bergerak cepat
menuju Selatan. Baik Rangga maupun Pandan Wangi tahu, mereka pasti menuju
Lembah Kunir yang berada tidak seberapa jauh lagi dari tempat ini. Dan dari
tempat yang tinggi ini, mereka bisa melihat Lembah Kunir yang memiliki
pemandangan sangat indah.
Empat bayangan merah itu berhenti bergerak, lalu
lenyap tak terlihat lagi. Pepohonan yang begitu lebat, memang bisa membuat
tempat persembunyian yang cukup aman. Rangga dan Pandan Wangi terus
memperhatikan dan menunggu. Tapi setelah begitu lama ditunggu, bayangan merah
itu tidak juga terlihat lagi.
“Aku akan melihat ke sana. Kau tunggu di sini,
Pandan. Kalau terjadi sesuatu, cepat datang bersama Rajawali Putih,” pesan
Rangga.
“Baik,” sahut Pandan Wangi.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali
Sakti bergegas berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sementara
Pandan Wangi terus memperhatikan dari tempat yang cukup tinggi ini. Saat itu,
Rangga sudah cukup jauh berlari. Pendekar Rajawali Sakti menyelusup, menembus
rapatnya pepohonan. Cepat sekali gerakannya, karena ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki sudah mencapai taraf kesempurnaan.
Hingga dalam waktu tidak berapa lama saja, Pendekar
Rajawali Sakti sudah sampai di tempat empat bayangan merah tadi menghilang.
Pemuda berbaju rompi putih itu berdiri tegak, mengedarkan pandangannya
berkeliling. Tak ada seorang pun yang dijumpainya di tempat ini. Benar-benar
sunyi, sampai-sampai tak sedikit pun terdengar suara.
“Hm..., aku tidak yakin kalau mereka bisa
menghilang seperti hantu,” gumam Rangga agak mendesis.
Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan kakinya
perlahan-lahan. Matanya terus dibuka lebar-lebar, dan telinganya ditajamkan.
Setiap jengkal yang dilalui, diteliti dengan cermat. Diperiksanya setiap pohon
dan semak belukar. Tapi tidak juga ditemukan sesuatu yang bisa dijadikan
petunjuk.
Tanpa mengenal putus asa, Rangga terus mencari.
Hingga ketika tangannya menyibakkan segerumbul semak yang cukup tebal, kening
Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut, karena semak ini menutupi sebuah mulut
gua yang cukup besar. Cukup untuk dilewati dua ekor kuda sekaligus. Sebentar
diamatinya keadaan di dalam gua yang cukup gelap ini. Kemudian kakinya terayun
melangkah masuk. Rangga mempergunakan aji 'Tatar Netra', agar bisa melihat
jelas meskipun dalam kegelapan yang pekat.
Hati-hati sekali Rangga mengayunkan kakinya,
melangkah menyusuri lorong gua yang cukup panjang berliku dan gelap ini.
Seluruh dinding dan atap gua terbuat dari batu hitam yang licin dan berlumut
tebal. Lantainya pun terasa lembab, seolah-olah Rangga berjalan di atas
permukaan lumpur sawah. Sudah tiga belokan dilalui Pendekar Rajawali Sakti,
tapi lorong gua ini belum juga berakhir.
Sampai pada belokan yang ketujuh, Rangga baru
menemui ujung lorong gua ini. Sejenak dia tertegun melihat ujung lorong gua
ternyata tertutup sebuah pintu besi yang tebal dan tampak kokoh. Perlahan
Pendekar Rajawali Sakti menghampiri. Tangannya terulur memeriksa pintu besi
itu.
“Tidak ada kuncinya. Bagaimana aku bisa
mem-bukanya?” gumam Rangga, bertanya pada diri sendiri. Sebenarnya tidak
terlalu sukar bagi Rangga untuk mendobrak pintu besi ini. Tapi, dia tidak ingin
merusak. Pada saat Pendekar Rajawali Sakti tengah berpikir keras, tiba-tiba
saja pintu besi itu bergerak, memperdengarkan suara berderit yang amat berat.
Rangga menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu cepat melompat begitu matanya melihat
sebongkah batu besar yang cukup untuk melindungi dirinya.
Saat itu pintu besi terbuka lebar. Kini terlihat
dua orang keluar dari balik pintu itu, disusul empat orang berpakaian serba
merah. Yang membuat bola mata Pendekar Rajawali Sakti terbeliak, dua orang itu
adalah Jari Maut dan seorang Panglima Perang Kerajaan Karang Setra. Rangga
mengenali panglima itu. Dia biasa dipanggil, Panglima Durangga.
“Aku di sini tinggal menunggu isyarat darimu,
Panglima Durangga,” ujar Jari Maut tanpa menghentikan ayunan kakinya.
Sementara Rangga di tempat persembunyian, terus
mengamati sambil memasang telinga tajam-tajam. Pendekar Rajawali Sakti juga
memindahkan jalan pernapasannya melalui perut, agar tidak terdengar oleh
orang-orang itu.
“Aku sebenarnya cemas waktu mendengar Gusti Prabu
dan Nini Pandan Wangi menemuimu di pondok Lembah Kunir,” kata Panglima
Durangga.
“Tidak perlu khawatir. Semua sudah kuatasi dengan
baik. Aku tidak mungkin dicurigainya. Lihat saja nanti, aku akan membuat dia
bertarung mengadu nyawa melawan sahabatnya sendiri,” si Jari Maut mencoba
meyakinkan.
“Aku percaya. Selama ini semuanya berjalan lancar,”
sahut Panglima Durangga. “Oh, ya. Bagaimana dengan Sangkala? Apa dia sudah bisa
diajak kerjasama?”
“Rasanya sulit, Panglima Durangga. Aku sendiri
tidak yakin kalau dia bisa dipercaya untuk menghancurkan dari dalam. Hm....
Mengapa tidak kau saja yang melaksanakannya, Panglima?”
“Orang-orang di Karang Setra terlalu patuh dan
setia, walaupun ada juga yang bisa kuajak kerjasama. Makanya, aku tidak bisa
bergerak bebas. Sedikit saja melakukan sesuatu yang mencurigakan, bisa-bisa
mereka langsung menutup ruang gerakku. Paling-paling, aku hanya bisa
mengerahkan prajurit-prajuritku, jika saatnya sudah tiba,” jelas Panglima
Durangga.
“Kalau memang begitu, kita terpaksa menggunakan
cara semula, Panglima,” ujar si Jari Maut
“Aku percaya pada kemampuan empat orangmu ini.”
“Mereka sudah terlatih baik, dan tidak pernah gagal
melakukan tugas. Kecuali pada malam itu. Mereka telah gagal membunuh Pendekar
Rajawali Sakti. Bahkan hampir saja aku kehilangan satu orang.”
“Oh, ya. Kau bisa tahu di mana dia sekarang ini?”
tanya Panglima Durangga.
“Yang kudengar, dia mencari Mintarsih. Aku berhasil
mengalihkan perhatiannya pada Mintarsih. Aku yakin, saat ini dia sudah jauh
dari Karang Setra,” sahut si Jari Maut.
“Bagus. Memang itu yang kuharapkan. Dengan begitu,
aku bisa leluasa bergerak. Masalah Danupaksi dan Cempaka, aku tidak terlalu
memikirkannya.”
“Aku akan mengantarkanmu sampai di depan pintu
saja,” kata si Jari Maut
“Baik. Memang seharusnya kau tidak terlalu sering
pergi. Aku rasa kau sudah terlalu kewalahan mengatur waktu untuk gadis-gadis
itu.”
Mereka kemudian tertawa terbahak-bahak, dan semakin
jauh masuk ke dalam lorong gua ini. Rangga baru keluar dari balik batu
persembunyiannya, setelah mereka tidak terlihat lagi. Pendekar Rajawali Sakti
menatap ke pintu besi yang kini terbuka lebar. Bergegas dia melompat, menerobos
melewati pintu itu.
Sejenak Rangga tertegun begitu berada di luar gua.
Ternyata pintu gua ini berada tepat di belakang pondok kecil tempat tinggal si
Jari Maut. Suasananya begitu sepi. Tak ada seorang pun terlihat di sekitarnya.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan kakinya, melangkah mendekati
pondok kecil yang diketahui untuk beristirahat sepuluh orang murid si Jari Maut
Dari pintunya yang terbuka, Rangga dapat melihat ke
dalam. Tak ada seorang pun di dalam pondok itu. Rangga kembali mengayunkan
kakinya, mendekati pondok satunya lagi. Dia tahu kalau pondok itu menjadi
tempat tinggal si Jari Maut
“Hup!”
Tiba-tiba saja Rangga melesat ke atas. Dan manis
sekali kakinya mendarat di atap pondok. Gerakannya sungguh indah dan ringan
sehingga tak menimbulkan suara sedikit pun. Pada saat itu dari dalam pondok
keluar dua orang gadis muda berbaju merah menyala.
“Hup...!”
Cepat sekali Rangga melompat turun dari atap. Tanpa
menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat tepat di belakang kedua gadis
muda itu. Secepat itu pula, tangan Rangga terulur hendak menotok. Namun tanpa
diduga sama sekali, kedua gadis itu cepat berbalik sambil mengebutkan tongkat
kayu yang dibawanya.
Bet!
“Uts...! Hap!”
Rangga bergegas menarik tangannya kembali, lalu
melenting ke belakang. Tubuhnya berputar satu kali sebelum dua ujung tongkat
yang cukup runcing menyobek perutnya. Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti
menjejakkan kakinya kembali di tanah. Pada saat itu, dua orang gadis berbaju
merah menyala sudah melompat cepat sambil mengebutkan tongkat ke arah dada dan
kaki Pendekar Rajawali Sakti.
“Hiyaaat..!”
“Yeaaah...!”
“Hap!”
Rangga segera mengebutkan kedua tangannya,
menangkis dua batang tongkat itu. Dan secepat kilat, tangannya dihentakkan ke
depan. Begitu cepatnya gerakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga kedua gadis
itu tidak sempat lagi menghindari pukulan yang dilepaskan Rangga.
Begkh!
Bugkh!
Kedua gadis muda itu memekik tertahan. Tubuh mereka
terpental sejauh beberapa batang tombak ke belakang. Pada saat itu, Rangga
sudah melompat cepat mengejar. Pendekar Rajawali Sakti siap mem-beri pukulan
yang mengandung pengerahan tenaga dalam penuh.
“Hiyaaat..!”
Plak!
“Akh...!”
Hampir saja pukulan Rangga mendarat di dada kedua
gadis itu. Untung saja cepat datang sebuah bayangan merah berkelebat menghantam
punggung Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda berbaju rompi putih itu terpekik agak
tertahan. Tubuhnya tersungkur mencium tanah, tapi cepat bangkit berdiri. Segera
tubuhnya diputar berbalik.
“Jari Maut..,” desis Rangga begitu melihat seorang
laki-laki setengah baya tahu-tahu sudah berdiri sekitar dua batang tombak di
depannya.
“Tidak sepatutnya kau menyakiti murid-muridku,
Pendekar Rajawali Sakti,” terasa begitu dingin nada suara Jari Maut
“Aku tidak akan menyakiti, jika kau sendiri tidak
memulai menyubit, Jari Maut,” desis Rangga tidak kalah dinginnya.
“Ha ha ha...! Gurauanmu menggelitik sekali,
Pendekar Rajawali Sakti.”
“Cukup untuk membuatmu berpikir seribu kali, jika
merencanakan menggulingkan Karang Setra!”
“Setan...! Sudah dua kali kau menuduhku, Pendekar
Rajawali Sakti!” geram Jari Maut, langsung memerah wajahnya.
“Tuduhan yang beralasan. Dan kau tidak bisa lagi
mungkir dariku!” dingin sekali suara Rangga.
“Keparat..!”
“Siapa kau sebenarnya, sehingga berani ber-lindung
di balik nama Jari Maut..?!” bentak Rangga keras.
“Bedebah! Kau harus mampus lebih dulu, Pendekar
Rajawali Sakti!”
“Hm....”
“Suiiit..!”
Tiba-tiba saja si Jari Maut bersiul nyaring. Dan
belum juga siulannya hilang dari pendengaran, mendadak saja bermunculan
orang-orang berbaju merah menyala. Mereka semua terdiri dari laki-laki muda
berusia sekitar dua puluh tahun.
Rangga jadi berkerut juga keningnya melihat di
sekitarnya sudah mengepung sekitar lima puluh orang. Bahkan tidak sedikit yang
bersembulan dari atas pepohonan, dengan anak panah siap dilepaskan dari busur.
Juga, beberapa orang lagi membawa jaring hitam yang berada di atas pondok.
Rangga langsung bisa menebak, kalau jumlah mereka lebih dari seratus orang. Dan
tidak mungkin mereka semua bisa dikalahkan seorang diri, meskipun memiliki
tingkat kepandaian yang tinggi sekali.
“Ha ha ha...! Kau tidak akan bisa lolos dariku,
Pendekar Rajawali Sakti!” si Jari Maut tertawa terbahak-bahak.
“Kau benar-benar licik, Setan Keparat..!” desis
Rangga menggeram.
“Ha ha ha...!” si Jari Maut terus tertawa terbahak-bahak.
Jari Maut tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti
memiliki tingkat kepandaian yang sukar dicari tandingannya. Tapi setinggi apa
pun tingkat kepandaian seseorang, tak akan mampu menghadapi seratus orang
dengan senjata terhunus. Terlebih lagi dalam keadaan terkepung seperti ini. Tak
ada lagi ruang gerak untuk bisa meloloskan diri. Setiap celah sudah tertutup
rapat. Dan kepungan pun semakin bertambah rapat.
Orang-orang berbaju serba merah ini terus bergerak
perlahan-lahan mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Berbagai macam senjata siap
mengancam, dan siap mencabik-cabik tubuh pemuda berbaju rompi putih ini.
Sedangkan si Jari Maut sudah melompat ke atas atap. Dia siap memberi perintah
pada orang-orangnya yang semakin dekat saja pada Pendekar Rajawali Sakti.
“Serang...!” teriak si Jari Maut tiba-tiba.
“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”
LIMA
Begitu mendapat perintah dari si Jari Maut, lima
puluh orang yang mengepung Rangga langsung berlompatan menyerang. Berbagai
macam bentuk senjata, berkelebatan di sekitar tubuh Rangga. Sehingga, pemuda
berbaju rompi putih itu harus terpaksa berjumpalitan sambil meliuk-liukkan
tubuh menghindari serangan yang datang dari segala penjuru.
Setiap kali memiliki kesempatan, Rangga tidak
menyia-nyiakannya. Cepat dilepaskannya pukulan maupun tendangan yang mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi. Jeritan-jeritan melengking mulai terdengar
saling sambut, disusul bertumbangannya tubuh-tubuh berbaju merah menyala.
Memang tidak mudah menjatuhkan Pendekar Rajawali
Sakti. Bahkan untuk mendekati saja, sulit setengah mati. Pertahanan Rangga
memang kuat. Terlebih lagi, ayunan pukulan dan tendangannya yang mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi. Benar benar sulit untuk dihindari. Hingga dalam
waktu tidak berapa lama saja, sudah hampir separuh pengeroyok yang ambruk
bergelimpangan, tak mampu bangkit lagi.
“Mundur...!” seru Jari Maut tiba-tiba. Seketika itu
juga, orang-orang berbaju merah berlompatan mundur menjauhi Pendekar Rajawali
Sakti. Dan belum juga Rangga sempat menarik napas lega, tiba-tiba saja ratusan
anak panah berhamburan meng-hujaninya.
“Setan...!” rutuk Rangga.
“Hiyaaat..!”
Rangga terpaksa harus berjumpalitan menghindari
serbuan anak panah yang datang bagaikan hujan. Kedua tangannya berkelebat cepat
menghalau anak-anak panah yang berhamburan di sekitar tubuhnya. Serbuan anak
panah itu demikian gencar, membuat Rangga sukar menarik napas.
“Lemparkan jaring...!” teriak si Jari Maut
tiba-tiba.
Bet! Wuk...!
Seketika itu juga, beberapa orang melemparkan
jaring berwarna hitam ke arah Rangga, tepat saat hujan anak panah berhenti.
Pendekar Rajawali Sakti tidak sempat lagi menghindar, sehingga tubuhnya
seketika terbungkus jaring hitam yang kuat dan sangat kenyal. Pemuda berbaju
rompi putih itu jatuh bergulingan di tanah, berusaha keras melepaskan diri dari
belitan jaring hitam yang semakin kuat. Namun usahanya sia-sia belaka. Jaring
itu semakin bertambah kuat, membuat gerakan Rangga jadi menyempit.
“Ha ha ha...!” Jari Maut tertawa terbahak-bahak
melihat Pendekar Rajawali Sakti tak berdaya lagi, terkurung jaring-jaring
hitam.
Rangga yang merasa tidak ada gunanya melawan,
langsung menghentikan usahanya membebaskan diri dari belitan jaring di
tubuhnya. Namun otaknya terus berputar, mencari jalan agar bisa terlepas dari
jaring ini. Tapi dia jadi mendengus. Ternyata beberapa orang lagi bergegas
berlompatan, dan langsung mengikat Pendekar Rajawali Sakti dengan tambang yang
sangat besar dan kuat.
“Huh! Aku harus memberi tahu Rajawali Putih,
sebelum iblis keparat ini mencincang tubuh ku,” dengus Rangga dalam hati.
***
Sementara itu, jauh dari Lembah Kunir. Tepatnya di
atas tebing yang cukup tinggi, Pandan Wangi masih menunggu bersama Rajawali
Putih. Gadis itu terus memperhatikan daerah tempat Rangga menghilang dari
pandangannya tadi. Tapi pepohonan yang sangat lebat, membuat pandangannya jadi
terhalang.
“Ke mana saja Kakang Rangga? Kok lama sekali,
sih...?” Pandan Wangi mulai tidak sabaran menunggu terus.
“Krrrhhh...!”
“Jangan bercanda, Rajawali Putih!” dengus Pandan
Wangi saat merasakan punggungnya didorong-dorong Rajawali Putih.
Tapi burung rajawali raksasa itu terus
mendorong-dorong punggung Pandan Wangi, sambil memper-dengarkan suara
mengkirik. Pandan Wangi jadi berbalik. Ditatapnya burung rajawali raksasa
berbulu putih keperakan itu dalam-dalam. Tapi, keningnya jadi berkerut juga
melihat Rajawali Putih nampak gelisah.
“Ada apa, Rajawali Putih?” tanya Pandan Wangi.
Rajawali Putih menoleh ke belakang lalu mematuki
punggungnya. Pandan Wangi menyipitkan matanya, mencoba untuk mengerti. Dia
mengeluh dalam hati, karena tidak tahu maksud bumng rajawali ini.
“Ada apa dengan punggungmu?” Pandan Wangi malah
bertanya.
“Khrrrk..!”
“Hm.... Kalau tidak salah, Kakang Rangga pernah
mengatakan kalau Rajawali Putih mematuki punggungnya, aku harus naik,” Pandan
Wangi bergumam sendiri dalam hati.
Sebentar dipandanginya bumng rajawali raksasa yang
terus mematuki punggungnya sendiri. Pandan Wangi jadi ragu-ragu untuk naik ke
punggung Rajawali Putih. Bukannya dia tidak mau mengerti. Tapi untuk menunggang
Rajawali Putih sendirian rasanya keberaniannya masih belum cukup.
“Kau memintaku naik, Rajawali Putih?” tanya Pandan
Wangi.
Rajawali Putih mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kenapa?” tanya Pandan Wangi lagi.
Rajawali Putih kelihatan tidak sabaran. Seketika
kepalanya dijulurkan untuk menjepit ujung baju Pandan Wangi dengan paruhnya
yang besar. Lalu, gadis itu ditarik sehingga Pandan Wangi terpekik kaget. Dan
belum juga hilang rasa terkejutnya, mendadak saja Rajawali Putih melontarkan
Pandan Wangi ke udara.
“Hei...?!” Pandan Wangi terpekik kaget. Pada saat
tubuh si Kipas Maut itu berada di udara, dengan cepat Rajawali Putih meluncur
ke angkasa. Disambarnya Pandan Wangi, tepat dengan punggungnya. Pandan Wangi
tersentak, begitu terjatuh di punggung burung rajawali raksasa itu. Cepat-cepat
gadis itu berpegangan pada bulu-bulu burung raksasa ini Tubuhnya tertelungkup,
tak sanggup diperbaiki lagi. Sedangkan Rajawali Putih terus meluncur tinggi ke
angkasa, dan langsung menuju Lembah Kunir.
“Mati aku...,” keluh Pandan Wangi dalam hati.
Pandan Wangi buru-buru memejamkan matanya ketika merasakan Rajawali Putih
menukik cepat laksana kilat. Dan begitu matanya dibuka, gadis itu tersentak
kaget. Ternyata di bawah sana tampak Rangga tak berdaya terkurung jaring yang
membelit tubuhnya. Sedangkan di sekitarnya tampak orang-orang berbaju merah
memegangi ujung tambang yang mengikat tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
“Khraaaghk...!”
Pandan Wangi bergegas memperbaiki letak tubuhnya,
meskipun dengan perasaan masih takut. Angin yang menerpa tubuhnya demikian
kencang, seakan-akan ingin melemparkan dirinya dari punggung burung rajawali
raksasa ini. Sementara binatang raksasa ini, terus meluncur ke bawah.
“Khraaaghk...!”
Pada saat itu, Jari Maut baru saja hendak
memerintahkan murid-muridnya untuk membunuh Pendekar Rajawali Sakti. Tapi belum
juga perintahnya terlontar, mendadak saja terdengar suara serak yang keras dan
parau dari angkasa. Ketika kepalanya mendongak ke atas, matanya langsung terbeliak
melihat seekor burung rajawali raksasa menukik deras ke arahnya.
Demikian pula orang-orang berbaju merah. Sebagian
dari mereka sudah berhamburan berlari. Malah enam orang yang memegangi tambang
yang mengikat tubuh Rangga, cepat-cepat berlari, tak mempedulikan tugasnya lagi
“Khraaaghk...!”
Wusss!
Bagaikan kilat, Rajawali Putih menyambar Rangga
yang tergeletak tak berdaya lagi, dengan seluruh tubuh terbungkus jaring hitam
dan terikat tambang Rajawali Putih menyambar Rangga dengan cakarnya, lalu cepat
membawanya pergi ke angkasa tanpa ada seorang pun yang menyadari.
“Binatang atau dewakah dia...?” desah Jari Maut
tanpa sadar.
Laki-laki setengah baya itu jadi terbengong,
menyaksikan seekor burung rajawali raksasa menyambar Rangga dengan kecepatan
seperti kilat. Sementara Rajawali Putih sudah begitu tinggi, hingga menembus
awan. Lalu burung raksasa itu kembali menukik cepat menuju atas tebing. Begitu
cepatnya, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah mendarat kembali di tanah
berbatu di atas tebing yang cukup tinggi ini.
Rangga bergelimpangan begitu terlepas dari
cengkeraman cakar Rajawali Putih. Sedangkan Pandan Wangi bergegas melompat
turun, dan segera menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Dibukanya ikatan tambang
yang membelenggu Rangga. Juga, dibukanya jaring-jaring hitam yang
berlapis-lapis itu.
“Hhh...!” Rangga menghembuskan napasnya kuat-kuat
begitu terbebas. “Terima kasih....”
“Bagaimana kau bisa berada di sana, Kakang?” tanya
Pandan Wangi langsung.
“Panjang ceritanya. Aku sendiri hampir tidak
percaya,” sahut Rangga, lagi-lagi dibarengi hembusan napas panjang dan kuat.
“Ceritakan, Kakang. Nanti aku akan bertukar cerita
denganmu,” pinta Pandan Wangi sedikit mendesak.
“Kau juga menemukan sesuatu tadi?” tanya Rangga.
“Ya! Dan kau juga tidak akan percaya kalau
kukatakan,” sahut Pandan Wangi.
“Aku tidak percaya.... Jari Maut merencanakan
sesuatu yang besar. Bahkan hendak membunuhku tadi,” agak mendesah suara Rangga.
“Membunuhmu...?! Kurang ajar! Lalu, apa yang
direncanakannya, Kakang?” tanya Pandan Wangi.
Pandan Wangi begitu geram mendengar Pendekai
Rajawali Sakti akan dibunuh si Jari Maut. Memang, dia tadi sempat melihat.
Meskipun tidak begitu jelas, namun keadaan Rangga yang sudah tidak berdaya tadi
sudah menyiratkan nasibnya yang sudah di ujung tanduk. Tadi, Pandan Wangi
melihat si Jari Maut berdiri di atas pondoknya, bersama beberapa orang
muridnya. Mereka tertawa-tawa melihat penderitaan Pendekar Rajawali Sakti.
Makanya Pandan Wangi begitu geram.
“Dia merencanakan hendak meruntuhkan Karang Setra,”
jelas Rangga.
“Apa...?!” Pandan Wangi terkejut setengah mati.
Dipandanginya Pendekar Rajawali Sakti itu, seakan-akan tidak percaya dengan
pendengarannya barusan. Jari Maut hendak menghancurkan Karang Setra...? Mana
mungkin bisa terjadi? Sedangkan sejak si Jari Maut dikalahkan Rangga, tidak ada
satu perselisihan pun yang terjadi. Bahkan laki-laki berusia setengah baya itu
berjanji hendak mengabdikan dirinya pada Karang Setra. Tapi apa itu mungkin...?
Pandan Wangi masih sukar mempercayai.
“Bagaimana mungkin dia bisa punya pikiran seperti
itu...?” Pandan Wangi seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Rangga hanya diam saja. Pandan Wangi juga jadi ikut
terdiam. Entah apa yang sedang dipikirkan, sehingga cukup lama juga mereka
berdiam diri.
“Perasaanku mengatakan kalau dia bukan si Jari
Maut,” ujar Rangga perlahan, seakan-akan bicara pada diri sendiri.
“Maksudmu..., dia si Jari Maut palsu?” tebak Pandan
Wangi langsung.
“Aku tidak tahu pasti, Pandan. Itu hanya perasaanku
saja yang mengatakannya. Perlu dibuktikan lebih dulu,” sahut Rangga, masih
terdengar pelan suaranya.
“Siapa pun orangnya, jika mempunyai rencana
menghancurkan Karang Setra, tidak bisa didiamkan! Kita harus mendahului,
sebelum dia membuat kerugian yang besar,” tegas Pandan Wangi.
“Aku juga sudah berpikir begitu, Pandan. Tapi....”
“Tapi kenapa, Kakang?”
“Sulit..,” desah Rangga seraya menggeleng-gelengkan
kepala. “Sulit untuk menghindari keterlibatan prajurit dalam hal ini, Pandan.
Karena bukan hanya si Jari Maut sendiri. Tapi ada orang dalam yang terlibat.
Dan itu harus didahulukan sebelum si Jari Maut dihancurkan.”
“Aku tahu siapa orang dalam itu, Kakang,” ungkap
Pandan Wangi langsung.
“Kau tahu...?!” Rangga terkejut juga men-dengarnya.
“Itu yang hendak kukatakan, Kakang. Aku melihat
Panglima Durangga di hutan sebelah sana. Tepat, di tempat kau menghilang dan
penglihatanku. Dia pergi bersama empat orang berpakaian merah,” tutur Pandan
Wangi
“Ya! Memang Panglima Durangga dan Jari Maut yang
merencanakan semua ini, Pandan. Bahkan mereka yang menculik Sangkala. Aku belum
tahu pasti, untuk apa Sangkala diculik,” kata Rangga.
“Sebaiknya kita segera kembali ke Karang Setra,
Kakang. Kita bersihkan dulu dari dalam, lalu kembali lagi ke sini untuk
menghadapi si Jari Maut,” usul Pandan Wangi.
Rangga tersenyum dan menepuk punggung gadis itu.
Kemudian, mereka menghampiri Rajawali Putih yang sejak tadi diam dan
mendengarkan saja.
“Antarkan kami ke Karang Setra, Rajawali Putih,”
pinta Rangga.
“Khraghk...!” sahut Rajawali Putih seraya
mengangguk-anggukkan kepala.
“Ayo, Pandan.”
Tak berapa lama kemudian, Rajawali Putih sudah
mengangkasa lagi sambil membawa Rangga dan Pandan Wangi di punggungnya. Jika
bersama Rangga, Pandan Wangi tidak begitu takut. Lain halnya jika harus
menunggang Rajawali Putih sendirian.
“Langsung ke istana, Rajawali Putih...!” seru
Rangga agak meminta.
“Khraaagkh...!”
“Kau akan membawa Rajawali Putih ke istana,
Kakang?” tanya Pandan Wangi.
“Benar! Biar cepat sampai. Aku tidak ingin
persoalan ini berlarut-larut,” sahut Rangga.
“Tapi....”
“Jangan khawatir, Pandan. Rajawali akan menurunkan
kita di belakang tembok istana. Jadi, tak ada yang bisa mengetahui”
Pandan Wangi terdiam. Dia tahu kalau di bagian
belakang tembok istana, tak pernah ada seorang pun yang lewat. Karena, tempat
itu merupakan jurang yang cukup dalam. Dan hanya sedikit saja tepiannya. Itu
pun sangat licin berbatu. Sehingga, tak ada seorang pun yang sudi melintasinya.
Bahkan prajurit pun enggan untuk ke sana.
“Lebih cepat lagi, Rajawali Putih!”
“Khraaaghk...!”
***
Kedatangan Rangga dan Pandan Wangi tentu saja
mengejutkan semua penghuni Istana Karang Setra. Terutama Danupaksi dan Cempaka,
yang tidak menyangka kalau Pendekar Rajawali Sakti akan kembali begitu cepat.
Terlebih lagi kedatangan Rangga yang membawa kabar mengejutkan. Mereka tidak
menyangka kalau Panglima Durangga mempunyai rencana makar.
Rangga menyuruh Danupaksi menjemput Panglima
Durangga di rumahnya, yang tidak seberapa jauh dari istana. Tapi ketika
Danupaksi kembali, panglima itu tidak bersamanya. Rumah Panglima Durangga
ditemukan dalam keadaan kosong. Bahkan prajurit-prajurit yang berada di bawah
pimpinannya juga sudah tidak ada lagi di bangsal keprajuritan. Para prajurit
itu memang sudah dihasut oleh Panglima Durangga.
“Mereka pasti sudah berkumpul di Lembah Kunir,
Kakang,” tebak Pandan Wangi setelah Danupaksi selesai dengan laporannya.
“Aku tidak mengira mereka akan bergerak secepat
ini,” desah Rangga agak bergumam.
“Apa tidak sebaiknya dikerahkan prajurit ke sana,
Kakang?” usul Danupaksi
“Benar, Kakang. Agar mereka tidak memasuki kota.
Dengan begitu, kita bisa mencegah korban yang lebih banyak,” selak Cempaka
membenarkan usul Danupaksi.
Sementara Rangga hanya diam saja, dengan kening
berkerut dalam. Sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin melibatkan
prajurit, karena yang pasti akan menimbulkan korban tidak sedikit. Tapi keadaan
memang memaksa, sehingga harus melibatkan prajurit. Mereka semua tahu kalau
prajurit Panglima Durangga berjumlah besar. Bahkan sepertiga dari jumlah
prajurit yang ada di Karang Setra adalah di bawah pimpinannya. Belum lagi
ditambah orang-orangnya Jari Maut yang juga ber-jumlah cukup besar.
Baik Danupaksi, Cempaka, dan Pandan Wangi tahu
kalau Pendekar Rajawali Sakti masih memikirkan keterlibatan prajurit
Pertempuran memang tidak mungkin bisa dihindari lagi. Terlebih persoalan ini
menyangkut keutuhan Kerajaan Karang Setra. Jika terlalu lama didiamkan, bisa lebih
menyulitkan lagi. Memang hanya ada dua pilihan yang harus dilakukan saat ini
Menunggu, atau bergerak lebih dahulu.
“Danupaksi! Kumpulkan beberapa panglima dan
sebagian besar prajurit pilihan. Kerahkan mereka ke Lembah Kunir sekarang
juga,” perintah Rangga akhirnya, setelah cukup lama merenung.
“Hamba laksanakan segera, Kakang Prabu,” sahut
Danupaksi seraya memberi hormat, dengan merapatkan kedua telapak tangan di
depan hidung.
Tanpa menunggu perintah dua kali, Danupaksi
bergegas meninggalkan Balai Pendopo Agung. Sepeninggal Danupaksi, Rangga
menatap Cempaka yang tampak sedang menunggu perintah.
“Dan kau, Cempaka. Tugasmu adalah menjaga keamanan
di dalam kota. Kerahkan prajuritmu untuk mengatasi setiap gangguan yang ada,”
ujar Rangga memberi perintah.
“Hamba laksanakan, Kakang Prabu,” sahut Cempaka,
juga memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
Cempaka pun bergegas meninggalkan Balai Pendopo
Agung ini. Sementara Rangga masih tetap duduk di singgasana, didampingi Pandan
Wangi. Di depan mereka masih terlihat beberapa patih dan pembesar kerajaan.
Setelah memberi beberapa perintah dan pesan, Pendekar Rajawali Sakti beranjak
pergi. Pandan Wangi selalu setia mengikuti. Mereka terus menuju bagian belakang
dari bangunan istana yang megah ini.
“Kau kelihatan begitu tegang, Kakang,” tebak Pandan
Wangi yang selalu memperhatikan Rangga.
“Entahlah, Pandan. Aku tidak tahu, apakah
tindakanku benar atau tidak kali ini,” sahut Rangga, sedikit mendesah.
“Tindakanmu demi kejayaan Karang Setra, Kakang. Kau
tidak bisa mengabaikan keterlibatan mereka dalam masalah ini. Lagi pula, tidak
mungkin persoalan ini kau hadapi seorang diri,” hibur Pandan Wangi.
“Bukan itu yang membuat hatiku resah, Pandan
Wangi,” sergah Rangga, masih terdengar pelan suaranya.
“Lalu, apa...?”
“Setiap kali aku berada di sini, selalu saja timbul
persoalan yang tidak kecil. Bahkan selalu saja melibatkan prajurit.”
“Kau menyalahkan dirimu, Kakang?”
“Tidak. Tapi mungkin memang sebaiknya aku tidak
berada di istana, Pandan. Keberadaanku di sini selalu saja menimbulkan
persoalan.”
“Jangan menyalahkan dirimu sendiri, Kakang,
Persoalan akan timbul di mana saja. Semua orang tidak bisa terlepas dari
persoalan, Kakang. Baik besar maupun kecil. Tergantung bagaimana kita
menghadapinya. Dan selalu bisa mengatasi walaupun terkadang diperlukan juga
tindakan kekerasan. Tapi buktinya, kau selalu menyelesaikannya dengan baik,
Kakang,” lagi-lagi Pandan Wangi menghibur.
“Kau memang baik, Pandan. Selalu saja bisa
menenangkan keresahan hatiku,” ucap Rangga memuji.
“Itu pujian, atau rayuan?” seloroh Pandan Wangi.
“Terserah apa pandanganmu,” timpal Rangga.
Mereka jadi tersenyum. Untuk sesaat, Rangga bisa
melupakan kegalauan hatinya. Pandan Wangi memang pandai menghibur hati Pendekar
Rajawali Sakti. Walau dalam keadaan sulit bagaimanapun juga, selalu saja
terlontar gurauan yang membuat ketegangan bisa sirna. Meskipun hanya sesaat.
Tanpa terasa mereka sudah sampai di batas tembok
belakang istana. Kedua pendekar muda itu melompat ringan melewati tembok yang
tinggi dan kokoh ini. Ringan sekali gerakan mereka. Dan tak berapa lama
kemudian, terlihat Rajawali Putih membumbung tinggi ke angkasa membawa kedua
pendekar itu.
“Khraaaghk...!”
“Pandan, apa sebaiknya kita cari dulu tempat
Sangkala disembunyikan...?” tanya Rangga meminta pendapat Pandan Wangi.
“Boleh juga, Kakang,” sahut Pandan Wangi. “Tapi...”
“Tapi kenapa, Pandan?”
“Aku masih belum mengerti, untuk apa mereka menculik
Sangkala, Kakang?” tanya Pandan Wangi.
“Mereka ingin menggunakan Sangkala untuk
menghancurkan dan melemahkan kekuatan Karang Setra dari dalam. Dengan menculik
Sangkala, perhatian kita diharapkan akan tertumpah pada Mintarsih. Dan
disangka, kita akan meninggalkan Karang Setra. Itu merupakan taktik mereka
untuk mengurangi kekuatan, Pandan. Mereka tahu, kalau aku dan kau ada di Karang
Setra. Jadi, terlalu sukar untuk menjalankan rencana mereka,” Rangga mencoba
menjelaskan.
“Lantas, apa Sangkala bersedia bekerjasama dengan
mereka, Kakang?” tanya Pandan Wangi lagi.
“Tampaknya tidak. Dan mereka sudah mengalami
kegagalan dalam rencana pertama. Mereka tentu tidak tahu kalau kita bisa cepat
menemukan Mintarsih. Bahkan tidak memusatkan perhatian padanya.”
“Benar, Kakang. Aku juga tidak menyangka kalau
Panglima Durangga dan Jari Maut berkomplot hendak menghancurkan Karang Setra,”
suara Pandan Wangi terdengar agak bergumam.
“Aku masih menyelidiki kebenarannya, Pandan.”
“Maksudmu?”
“Aku merasa ada kejanggalan pada diri Jari Maut.
Naluriku mengatakan, dia bukan Jari Maut. Tapi orang lain yang menyamar menjadi
Jari Maut”
“Bagaimana kau bisa berpendapat demikian, Kakang?”
“Sikapnya.”
“Tapi menurutku, dia memang si Jari Maut, Kakang.
Ingatkah kau tentang cerita Mintarsih? Sebelumnya, Jari Maut sering berhubungan
dengan Nenek Jamping. Bahkan mempelajari penggunaan senjata rahasia.”
“Itu salah satunya, Pandan.”
“Maksudmu...?” Pandan Wangi semakin tidak mengerti.
“Tingkat kepandaian yang dimiliki Jari Maut lebih
tinggi daripada Nenek Jamping. Rasanya, tidak mungkin kalau dia mempelajari
sesuatu dari seseorang yang tingkatannya lebih rendah. Dan lagi, Jari Maut
paling tidak menyukai segala jenis senjata rahasia.”
“Jadi maksudmu..., yang menemui Nenek Jamping bukan
si Jari Maut?”
“Tepat. Dan aku yakin, kalau Jari Maut asli ada di
suatu tempat. Atau...”
“Sudah mati...?” potong Pandan Wangi
Rangga terdiam.
“Maaf, Kakang. Tidak seharusnya dugaan itu
kulontarkan,” ucap Pandan Wangi menyesal.
“Kemungkinan itu memang ada, Pandan. Dan kita harus
mencari kebenarannya, sebelum peperangan meletus,” ucap Rangga.
“Ke mana kita mencarinya, Kakang?” tanya Pandan
Wangi.
“Aku rasa tidak keluar dari Lembah Kunir,” sahut
Rangga.
“Khraaaghk...!”
“Iya, Rajawali Putih. Langsung saja ke Lembah
Kunir!” seru Rangga seperti menjawab pertanyaan Rajawali Putih.
Rajawali Putih meluncur bagaikan kilat menuju
Lembah Kunir. Pandan Wangi yang berada di depan Rangga jadi bergetar juga, saat
burung rajawali raksasa ini terus meluncur cepat semakin tinggi.
***
ENAM
Rangga cepat melompat turun dari punggung Rajawali
Putih, begitu binatang raksasa itu mendarat di tepi Lembah Kunir. Pandan Wangi
bergegas meng-ikuti. Mereka sama-sama mengedarkan pandangan ke sekitarnya,
mengamati keadaan yang tampak sunyi. Lembah ini memang selalu sepi, seperti
tidak pernah disinggahi orang.
“Hati-hati, Pandan. Kesunyian merupakan bahaya
terbesar,” Rangga memperingatkan.
“Kita ke pondok itu, Kakang?” tanya Pandan Wangi
sambil menunjuk ke pondok kecil tidak jauh di depan mereka.
“Aku saja yang ke sana dan kau tunggu di sini,”
ujar Rangga.
“Kenapa tidak sama-sama saja?”
“Sendiri lebih baik daripada celaka berdua,
Pandan,” sahut Rangga.
Pandan Wangi tidak bisa memaksa. Rangga menepuk
pundak gadis itu, kemudian cepat berlari menuju ke pondok kecil tempat tinggal
si Jari Maut. Gerakannya begitu lincah dan ringan, seperti seekor kijang yang
sedang berlari
Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki Pendekar Rajawali Sakti, sehingga sebentar saja sudah berada di depan
pintu pondok. Suasananya tetap sunyi. Tak terlihat seorang pun di sekitar
pondok kecil ini. Perlahan-lahan Rangga mendorong pintu yang ternyata tidak
terkunci. Bunyi berderit terdengar, begitu daun pintu bergerak terbuka.
Rangga mengayunkan kakinya hendak memasuki pondok.
Namun baru saja sebelah kakinya melewati ambang pintu, mendadak saja dari balik
dinding di samping pintu berkelebat sebilah golok berkilatan.
Wuk!
“Uts...!”
Cepat Rangga menarik tubuhnya ke belakang. Pada
saat itu, berlompatan dua orang berbaju merah menyala yang langsung merangsek
Pendekar Rajawali Sakti. Mereka menggunakan golok yang berkelebatan cepat di
sekitar tubuh Rangga. Sehingga, pemuda berbaju rompi putih itu harus
berjumpalitan menghindarinya.
“Hiyaaa...!”
Begitu mendapat sedikit kesempatan Rangga cepat
melepaskan dua pukulan beruntun ke arah dua orang penyerangnya. Begitu cepat
serangan balik yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga dua orang
berbaju merah itu tidak dapat lagi meng-hindar. Dan pukulan yang dilepaskan
Rangga tepat menghantam dada mereka.
Des!
Buk!
Kedua orang itu menjerit keras, dan langsung
terpental jauh ke belakang sampai menghantam dinding papan pondok hingga jebol.
Pada saat itu, beberapa tombak berhamburan ke arah dua orang berbaju merah itu.
Tombak-tombak itu seperti bermunculan dari dinding. Tak pelak lagi, tubuh
mereka terhunjam tombak yang berjumlah puluhan. Jeritan panjang melengking
terdengar saling sambut
“Gila...! Rupanya mereka sudah menyiapkan jebakan
di pondok ini,” desis Rangga dalam hati.
Sebentar Rangga memperhatikan dua orang berbaju
merah yang tergeletak di dalam pondok, dengan tubuh tertembus beberapa tombak.
Pendekar Rajawali Sakti melangkah perlahan menghampiri pondok itu. Sadar kalau
di dalam pondok dipasangi jebakan, Rangga merasa harus lebih berhati-hati lagi.
Dikerahkannya ilmu meringankan tubuh begitu kakinya terayun masuk ke dalam
pondok.
Satu persatu, setiap ruangan yang ada dimasuki.
Tapi, tak juga dijumpai seorang pun di sana. Sampai mencapai bagian belakang,
juga tidak ditemui seorang pun. Rangga terus melangkah mendekati pondok satunya
lagi. Sikapnya semakin berhati-hati. Dugaannya, di dalam pondok itu pasti juga
dipasangi jebakan.
Sebentar Rangga berhenti di depan pintu, lalu
perlahan-lahan mendorong pintu pondok ini. Tak ada seorang pun dijumpai. Pondok
yang tidak memiliki kamar ini pun dalam keadaan kosong. Tak perlu Rangga
melangkah masuk. Kakinya mundur beberapa langkah. Pandangannya beredar ke
sekeliling, dan terhenti begitu melihat Pandan Wangi masih menunggu bersama
Rajawali Putih.
“Pandan, ke sini..!” seru Rangga.
Tanpa diminta dua kali, Pandan Wangi bergegas
berlari cepat menghampiri Sedangkan Rajawali Putih tetap diam menunggu di
tempatnya. Sebentar saja gadis berbaju biru muda itu sudah berada di depan
Rangga.
“Kau periksa sebelah sana, Pandan. Aku ke sini,”
ujar Rangga.
“Baik,” sahut Pandan Wangi
Mereka berpisah lagi Rangga berjalan ke arah kiri,
sedangkan Pandan Wangi ke sebelah kanan. Pendekar Rajawali Sakti mendekati
mulut gua yang tertutup semak belukar. Dia tahu, gua itu menembus langsung ke
hutan di kaki tebing batu, tepat di perbatasan Kota Karang Setra sebelah Selatan.
“Hm..., banyak jejak kaki di sini,” gumam Rangga
begitu mendapatkan jejak-jejak kaki yang memasuki gua.
Pendekar Rajawali Sakti jadi tertegun beberapa
saat, kemudian tersentak. Bergegas dia berlari menghampiri Pandan Wangi yang
berjalan belum seberapa jauh.
“Ada apa?” tanya Pandan Wangi, begitu Rangga berada
di sampingnya.
“Kita ke perbatasan, Pandan,” ajak Rangga seraya
menarik tangan gadis itu.
“Hei?! Kenapa ke sana?” tanya Pandan Wangi. “Mereka
sudah ada di perbatasan,” sahut Rangga sambil terus saja berlari cepat
menghampiri Rajawali Putih.
Pandan Wangi tidak bertanya lagi. Diikutinya
Pendekar Rajawali Sakti. Mereka berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan
tubuh, sehingga sebentar saja sudah berada dekat dengan Rajawali Putih. Tanpa
berkata-kata lagi, Rangga melompat naik ke punggung rajawali raksasa itu.
Pandan Wangi mengikuti, lalu duduk di depan Rangga.
“Cepat ke perbatasan Selatan, Putih!” perintah
Rangga.
“Khraaagkh...!”
***
“Kakang, lihat..!” seru Pandan Wangi sambil
menunjuk ke depan.
Rangga langsung mengarahkan pandangan ke arah yang
ditunjuk Pandan Wangi. Tidak jauh dari gerbang perbatasan Karang Setra,
terlihat suatu pertempuran sengit. Sukar dipercaya! Dua kekuatan yang sama-sama
mengenakan seragam prajurit Karang Setra, saling baku hantam, dan saling bunuh.
Satu sama lain seperti melawan musuh yang mengancam keutuhan Kerajaan Karang
Setra.
“Aku tidak percaya...,” desis Rangga.
Tentu saja sukar dipercaya. Dua kelompok prajurit
saling bertempur. Bahkan mengenakan seragam keprajuritan yang sama. Sedangkan
di angkasa, Rangga dan Pandan Wangi tidak dapat memutuskan untuk berbuat
sesuatu. Tidak mungkin mereka terjun ke dalam kancah pertempuran para prajurit
yang mengenakan seragam sama.
“Mereka harus segera dihentikan, Kakang,” tegas
Pandan Wangi.
“Dengan cara apa...? Kau lihat sendiri, Pandan.
Mereka bertarung seperti orang liar.”
“Suruh Rajawali Putih mendekat, Kakang. Lalu,
perintahkan mereka berhenti. Aku yakin, kalau mereka berhenti pasti akan
memisahkan diri dan menjadi dua kelompok setelah itu, baru bisa diketahui
prajurit yang sesungguhnya,” Pandan Wangi memberi gagasan.
Rangga terdiam sebentar. “Rajawali, mendekat ke
sana...!” perintah Rangga.
“Khraaagkh...!”
Rajawali Putih menukik turun, dan melayang dekat di
atas para prajurit yang sedang bertarung. Kepakan sayap bumng rajawali raksasa
itu membuat debu berhamburan, dan sangat mengejutkan para prajurit yang saling
bertarung. Mereka malah berhamburan, berlarian ketakutan melihat seekor burung
raksasa berada dekat di atas kepala.
“Lihat, Kakang. Mereka berlarian secara
berkelompok,” kata Pandan Wangi berseru keras.
Rangga diam saja, memperhatikan prajurit-prajurit
yang membelah diri menjadi dua bagian yang cukup besar. Sementara di
sekitarnya, terlihat cukup banyak prajurit yang bergelimpangan tak bernyawa
lagi. Benar-benar suatu pemandangan yang tidak sedap dinikmati. Mayat-mayat
berlumuran darah bergelimpangan saling tumpang tindih.
“Kakang! Itu Panglima Durangga...!” seru Pandan
Wangi seraya menunjuk ke arah salah satu kelompok yang memisahkan diri.
“Hiyaaat..!”
Begitu melihat Panglima Durangga berada di antara
satu kelompok prajurit, Rangga langsung melompat turun dari punggung Rajawali
Putih. Manis sekali gerakannya, karena Pendekar Rajawali Sakti menggunakan ilmu
meringankan tubuh yang sudah sangat sempurna.
“Durangga...!” bentak Rangga begitu kakinya
mendarat sekitar satu batang tombak di depan Panglima Durangga.
“Gusti Prabu..,” desis Panglima Durangga terkejut.
Pucat pasi seluruh wajah Panglima Durangga, melihat
kemunculan Rangga. Sedangkan seluruh prajuritnya terus berhamburan berusaha
menyelamatkan diri. Dari angkasa, Pandan Wangi mengendalikan Rajawali Putih
untuk menggiring para prajurit Panglima Durangga agar menjauhi laki-laki
setengah baya itu. Tentu saja hal ini membuat Panglima Durangga semakin memucat
wajahnya.
“Kau harus mempertanggungjawabkan semua
perbuatanmu, Durangga,” desis Rangga, dingin meng-getarkan.
Panglima Durangga tak mampu lagi mengeluarkan
suara. Disadari kalau tidak mungkin menghadapi Pendekar Rajawali Sakti. Tingkat
kepandaian yang dimilikinya, jauh berada di bawah pemuda berbaju rompi putih
ini. Sementara itu Pandan Wangi sudah benar-benar menguasai para prajurit yang
hendak melakukan pemberontakan. Tentu saja dengan bantuan Rajawali Putih. Tak
ada seorang pun yang berani bertindak, melihat burung raksasa berputar-putar di
atas kepala mereka.
Sedangkan prajurit-prajurit yang dipimpin Ki
Lintuk, hanya bisa memandangi. Bahkan Ki Lintuk sendiri dan dua orang panglima
hanya bisa terbengong menyaksikan burung rajawali raksasa yang muncul bersamaan
dengan kedatangan Rangga. Mereka juga sempat melihat kalau Rangga melompat dari
punggung burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu.
“Kenapa kau ingin memberontak, Panglima Durangga?”
tanya Rangga ingin tahu alasan panglimanya yang merencanakan pemberontakan.
“Aku ingin melepaskan Karang Setra dari tanganmu!”
sahut Panglima Durangga begitu memiliki keberanian kembali.
“Kenapa...?” tanya Rangga lagi, ingin tahu
“Karena kau tidak berhak! Kau bukan putra Gusti
Adipati Arya Permadi. Gusti Wira Permadilah yang seharusnya berhak atas tahta
Karang Setra!” agak lantang suara Panglima Durangga.
Rangga tersenyum mendengar alasan panglimanya ini.
Pendekar Rajawali Sakti tahu Panglima Durangga sebelumnya memang mengabdi pada
Wira Permadi, ketika Karang Setra masih dikuasai adik tirinya itu. Dan Rangga
memang mengampuni semua yang mendukung Wira Permadi. Bahkan mereka yang tadinya
mempunyai kedudukan, tetap memiliki kedudukan. Malahan, ada yang dinaikkan
pangkatnya karena telah menunjukkan kesetiaan pada Karang Setra.
Rangga sendiri tidak pernah menganggap kalau Wira
Permadi adalah pemberontak. Hanya saja, jalan yang ditempuh adik tirinya itu
tidak pernah dibenarkan. Pendekar Rajawali Sakti hanya membebaskan rakyat
Karang Setra dari tekanan dan tindasan orang-orang yang berada di belakang Wira
Permadi. Orang-orang serakah yang menjadikan adik tiri Pendekar Rajawali Sakti
seperti boneka, tanpa disadari.
“Aku akan mengembalikan Karang Setra pada orang
yang berhak, yang selama ini hidup sengsara karena perbuatanmu, Pendekar
Rajawali Sakti?” tegas Panglima Durangga lagi.
“Siapa yang lebih berhak daripada aku, Panglima
Durangga?” tanya Rangga kalem.
“Gusti Korapati Permadi! Dia adik kandung Wira
Permadi yang baru pulang dari rantau. Beliaulah yang lebih berhak daripadamu!
Karena, beliau adalah keturunan langsung Gusti Arya Permadi,” kali ini suara
Panglima Durangga terdengar lantang.
“Ooo...?!” Rangga terkejut
Pendekar Rajawali Sakti tidak menyangka kalau masih
memiliki adik tiri lagi, yang merupakan adik kandung Wira Permadi, putra dari
selir ayahnya sendiri. Sekarang, adik tirinya yang namanya disebut oleh
Panglima Durangga adalah Korapati Permadi, menuntut haknya di Karang Setra.
Meskipun begitu, Rangga tetap tidak membenarkan cara-cara yang dilakukan
panglima itu.
“Aku tahu, kau seorang pendekar digdaya yang
berkepandaian tinggi, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi demi junjunganku, kau harus
mati di tanganku!” agak mendesis suara Panglima Durangga.
Sret!
Panglima Durangga langsung mencabut pedang yang
sejak tadi tersimpan saja dalam warangkanya di pinggang. Pedang keperakan itu
berkilatan tertimpa cahaya matahari, tertuju lurus ke arah dada Pendekar Rajawali
Sakti.
“Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti...!” desis
Panglima Durangga lagi. “Hiyaaat..!”
“Hap!”
Cepat sekali Panglima Durangga melompat menyerang
Pendekar Rajawali Sakti. Pedangnya berkelebatan beberapa kali, mengincar
bagian-bagian tubuh Rangga yang memaukan. Namun semua itu dihadapi Pendekar
Rajawali Sakti dengan gerakan-gerakan tubuh indah yang diimbangi gerakan kaki
yang lincah. Meskipun pedang Panglima Durangga berkelebatan di sekitar
tubuhnya, tapi tak seujung rambut pun dapat menyentuh tubuh Pendekar Rajawali
Sakti.
Melihat dari gerakan-gerakannya, jelas sekali kalau
Rangga mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Meskipun terkadang
gerakannya tidak beraturan, tapi sangat sulit bagi Panglima Durangga untuk
mencari sasarannya. Sementara pertarungan itu berlangsung, Pandan Wangi sudah
melompat turun dari punggung Rajawali Putih yang terus saja berputar-putar di
atas kepala para prajurit Panglima Durangga.
Gadis berbaju biru yang dikenal berjuluk si Kipas
Maut itu menghampiri Ki Lintuk dan dua orang panglima yang berdiri di depan
para prajuritnya. Ki Lintuk dan dua orang Panglima itu membungkuk memberi
hormat, kemudian Pandan Wangi mensejajarkan dirinya di samping laki-laki itu.
“Di mana prajurit yang lain?” tanya Pandan Wangi.
“Ditempatkan di setiap gerbang perbatasan,” sahut
Ki Lintuk.
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sedangkan Ki Lintuk memberi perintah pada dua orang panglima yangg mendampingi,
untuk melucuti senjata prajurit Panglima Durangga.
Sementara pertarungan antara Pendekar Rajawali
Sakti dan Panglima Durangga terus berlangsung. Namun sudah jelas sekali kalau
Panglima Durangga sudah tidak mampu bertahan lagi. Beberapa kali dia terpaksa
menerima pukulan maupun tendangan yang dilepaskan Rangga. Meskipun sudah jatuh
bangun, tapi panglima itu masih terus gigih bertahan. Sedangkan darah sudah
mengucur deras dari tubang hidung dan mututnya.
“Lepas...!” tiba-tiba saja Rangga berseru nyaring.
Plak!
Cepat sekali Rangga menampar pergelangan tangan
kanan Panglima Durangga, disertai pengerahan tenaga dalam yang tidak begitu
besar.
“Akh...!” Panglima Durangga terpekik.
Panglima itu tidak dapat lagi mempertahankan
pedangnya, yang seketika itu juga mencelat ke angkasa. Meskipun Rangga hanya
mengerahkan sedikit tenaga dalam, tapi sudah membuat pergelangan tangan
Panglima Durangga jadi kaku kesemutan. Dan sebelum sempat menyadari apa yang
terjadi pada dirinya, kembali Rangga memberikan satu pukulan ke dadanya.
“Yeaaah...!”
Des!
“Akh...!” lagi-lagi Panglima Durangga terpekik.
Laki-laki setengah baya itu terpental cukup jauh ke belakang. Pada saat itu,
Rangga melesat ke udara. Dan dengan tangkas sekali, disambarnya pedang Panglima
Durangga yang melayang di angkasa. Lalu, bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti
meluruk deras ke arah Panglima Durangga, sebelum sempat bangkit berdiri.
“Oh...?!” Panglima Durangga mengeluh begitu ujung
pedang menempel di lehernya.
“Tidak ada gunanya melawan, Panglima Durangga,”
ancam Rangga dingin.
Panglima Durangga benar-benar sudah tidak berdaya
lagi dengan ujung pedang menempel di lehernya. Saat itu, Pandan Wangi dan Ki
Lintuk berlari-lari menghampiri, diikuti sepuluh orang prajurit Rangga
menjauhkan pedang yang ditempelkan ke leher Panglima Durangga, setelah Ki
Lintuk mencekal tangannya. Setelah Ki Lintuk menyerahkan panglima pembangkang
itu pada sepuluh orang prajurit, dia kemudian menerima pedang dari tangan
Pendekar Rajawali Sakti
“Bawa mereka semua ke istana, Ki,” perintah Rangga.
“Hamba, Gusti Prabu,” sahut Ki Lintuk seraya
membungkuk memberi hormat
Ki Lintuk segera melaksanakan perintah itu.
Digiringnya Panglima Durangga dan para prajuritnya yang sudah dilucuti
senjatanya. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi tetap tinggal di tempat. Mereka
memandangi para prajurit yang bergerak kembali ke Kota Karang Setra.
“Ayo kita pergi, Pandan,” ajak Rangga.
“Ke mana lagi?” tanya Pandan Wangi.
“Ke istana,” sahut Rangga.
“Tidak mengejar si Jari Maut?”
“Kita tidak tahu, ke mana harus mencarinya, Pandan.
Aku akan menanyakan dulu pada Panglima Durangga.”
“Kenapa tidak ditanya saja tadi, Kakang?”
“Bukan saat yang tepat. Aku harus memberinya
pengertian. Dan kalau perlu, membuatnya sadar akan kekeliruannya ini”
“Kau terlalu berbaik hati, Kakang. Kalau aku....”
Rangga hanya tersenyum saja, kemudian melangkah
menghampiri Rajawali Putih yang sudah mendekam di bawah pohon yang sangat besar
dan tinggi. Pandan Wangi mengikuti ayunan langkah Pendekar Rajawali Sakti. Tak
berapa lama kemudian kedua pendekar muda itu sudah kembali mengangkasa
menunggang burung rajawali raksasa.
***
TUJUH
Panglima Durangga mengangkat kepalanya ketika pintu
penjara yang mengurungnya terbuka, memperdengarkan suara berderit yang
menggiris hati. Tubuhnya tidak bergeming, meskipun Rangga tampak melangkah
masuk. Di depan pintu, terlihat dua orang prajurit penjaga berdiri membelakangi
pintu penjara yang terbuka cukup lebar. Rangga melangkah masuk, dan berhenti
sekitar empat langkah lagi di depan Panglima Durangga.
“Bagaimana keadaanmu Panglima Durangga?” sapa
Rangga ramah.
“Baik,” sahut Panglima Durangga tak bersemangat
Rangga tersenyum. Bagaimanapun, hidup di dalam
penjara tidak sebaik jika berada di alam bebas. Dan memang, penjara ini
bukanlah tempat untuk orang seperti Panglima Durangga yang sudah berjasa cukup
besar bagi Karang Setra. Tapi bagaimanapun juga, Panglima Durangga sudah
melakukan kesalahan besar. Dia mencoba meruntuhkan Kerajaan Karang Setra,
dengan mencoba merebut tahta dari Pendekar Rajawali Sakti yang menjadi raja di
Karang Setra.
“Sebenarnya aku tidak suka melihatmu berada di
tempat seperti ini, Panglima Durangga. Tapi terpaksa kau kutempatkan di sini,
sampai pengadilan nanti memutuskan,” kata Rangga sambil menghembuskan napas
cukup panjang.
Panglima Durangga hanya diam saja, dan tetap duduk
memeluk lutut, dengan punggung bersandar ke dinding. Sedangkan Rangga duduk di
kursi yang disediakan seorang prajurit untuknya. Pintu ruangan ini masih tetap
terbuka. Dan dua orang prajurit terlihat berjaga di depan pintu.
“Aku yakin, kau tetap mencintai Karang Setra.
Seperti juga aku mencintai negeri ini. Bagaimanapun juga, aku tidak akan
melupakan jasa-jasamu demi kejayaan Karang Setra, hingga seperti sekarang ini,”
tutur Rangga lagi.
Panglima Durangga masih tetap diam membisu. Bahkan
sedikit pun tidak melirik Pendekar Rajawali Sakti. Pandangannya tertuju ke lantai,
di ujung jari kakinya.
“Aku ingin berbuat yang terbaik untuk semuanya.
Untukku, untukmu, dan juga untuk Karang Setra yang sama-sama kita cintai ini,
Panglima Durangga. Aku ingin bicara padamu, bukan karena aku raja di sini.
Tapi, sebagai diriku pribadi. Sebagai seorang pendekar yang berjalan di jalur
kebenaran. Aku berjanji akan membelamu, jika tujuanmu memang benar,” tegas
Rangga lagi. Kali ini nada suaranya terdengar begitu sungguh-sungguh.
“Kau tidak akan bisa melakukannya, Pendekar
Rajawali Sakti,” tukas Panglima Durangga.
Rangga tersenyum, lalu bangkit berdiri dan
menghampiri panglima itu. Panglima Durangga hanya melirik sedikit saja saat
Rangga duduk di sampingnya. Sama-sama duduk di lantai bersama seorang tahanan.
Terlebih lagi di lantai penjara yang lembab dan kotor begini
“Kau menyebutku Pendekar Rajawali Sakti. Aku
senang! Itu berarti kita bisa bicara tanpa kau memandang kedudukanku sebagai
raja di sini,” pancing Rangga disertai senyum tersungging di bibir.
Panglima Durangga menatap dua prajurit yang berjaga
di pintu. Rangga langsung bisa menangkap maksud laki-laki setengah baya ini.
Kemudian, diperintahkannya dua prajurit itu untuk pergi. Tanpa membantah
sedikit pun, kedua prajurit itu meninggalkan tugasnya setelah memberi hormat
“Nah! Sekarang, kita bisa bicara tanpa seorang pun
yang mendengar,” kata Rangga lagi
“Apa yang ingin kau ketahui dariku, Pendekar
Rajawali Sakti?” tanya Panglima Durangga, masih sukar dipahami nada suaranya.
“Aku hanya ingin meluruskan persoalan ini, tanpa
harus merugikan siapa pun juga. Kurasa, kau bisa mengerti maksudku, Panglima
Durangga,” sahut Rangga.
“Kau seorang raja di sini. Tentu kau akan
mempertahankan kedudukanmu,” agak sinis nada suara Panglima Durangga.
“Sebagai seorang raja, hal itu memang sudah menjadi
kepastian, Panglima Durangga. Tapi keberadaanku di sini bukan sebagai raja. Dan
aku akan meluruskan persoalan ini juga bukan sebagai raja. Jika memang ada yang
lebih berhak atas tahta Karang Setra, tentu akan kuserahkan pada yang berhak.
Dan memang aku sebenarnya tidak pantas menduduki tahta itu. Aku seorang
pendekar, yang tidak selamanya bisa berada di atas tahta,” panjang lebar Rangga
menjelaskan tentang dirinya dan kedudukannya di Karang Setra.
“Aku dulu juga pendekar. Aku akan memegang
kata-katamu sebagai seorang pendekar,” ujar Panglima Durangga.
“Bagus! Kita bicara sebagai dua orang pendekar yang
menghadapi satu persoalan,” sahut Rangga.
“Apa yang ingin kau ketahui dariku?” tanya Panglima
Durangga, setelah yakin akan kata-kata Rangga yang berbicara bukan sebagai
raja. Melainkan sebagai seorang pendekar yang berada di jalan kebenaran.
“Tujuanmu melakukan pemberontakan,” sahut Rangga.
“Aku melakukannya demi putra Gusti Arya Permadi,”
jelas Panglima Durangga.
“Boleh aku tahu, siapa orangnya?” tanya Rangga,
meminta.
“Gusti Korapati. Beliau adik Kandung Gusti Wira
Permadi yang merupakan keturunan langsung Gusti Arya Permadi. Gusti Korapatilah
yang lebih berhak atas tahta Karang Setra ini,” tegas Panglima Durangga.
“Danupaksi dan Cempaka juga putra Gusti Arya
Permadi. Tapi mengapa kau tidak menuntut agar salah satu dari mereka yang
menduduki tahta? Dan mengapa orang yang selama ini tidak pernah mempertaruhkan
jabatanmu, Panglima Durangga?” tanya Rangga ingin tahu
“Mereka tidak berhak, karena terlahir dari selir
yang belum disahkan pendeta istana,” sahut Panglima Durangga.
“Lalu, bagaimana dengan putra Gusti Arya Permadi
sendiri?” tanya Rangga lagi
“Gusti Rangga Pati Permadi telah hilang, lebih dari
dua puluh tahun yang lalu. Namanya sama denganmu. Tapi aku tidak yakin kalau
kaulah orangnya.”
“Kau tahu persis kejadiannya?”
“Tidak. Tapi semua orang tahu kalau tak ada seorang
pun yang bisa hidup jika sudah berhadapan dengan gerombolan Iblis Lembah Tengkorak.
Terlebih lagi jika sudah tercebur ke dalam Lembah Bangkai. Dan semua orang
berkeyakinan kalau Gusti Rangga Pari Permadi sudah tercebur ke Lembah Bangkai.
Jadi tak ada harapan untuk bisa hidup kembali.”
Rangga tersenyum saja mendengar penuturan polos
Panglima Durangga barusan. Memang benar apa yang dikatakan Panglima Durangga
tadi. Dan hal itu diakui Rangga kebenarannya. Tapi Pendekar Rajawali Sakti
menyadari kalau tidak mungkin memaksakan keyakinan panglima ini untuk mengakui
kalau yang ada di sampingnya adalah Rangga Pari Permadi. Putra tunggal mendiang
Arya Permadi.
“Kau tahu, di mana sekarang Korapati berada?” tanya
Rangga.
“Untuk apa hal itu kau tanyakan? Kau ingin
membunuhnya?” nada suara Panglima Durangga terdengar mengandung kecurigaan.
“Aku hanya ingin kenal. Dan kalau mungkin,
mengajaknya ke istana,” sahut Rangga.
“Kau tidak akan bisa membawanya ke istana, kecuali
dia ingin datang sendiri. Dan itu pun untuk mengambil tahta yang menjadi
haknya.”
“Baiklah,” Rangga menyerah. “Tapi kau bisa
tunjukkan di mana Sangkala, bukan...?”
Panglima Durangga tidak menjawab.
“Dalam persoalan ini, rasanya Sangkala tidak perlu
dilibatkan. Dia masih menjalankan masa hukumannya. Dan aku tidak ingin orang
yang tidak tahu apa-apa terlibat dalam persoalan ini,” bujuk Rangga.
“Dia sudah bebas, dan hidup damai bersama
kekasihnya,” jelas Panglima Durangga.
“Kekasihnya...?” kening Rangga jadi berkerut
“Maaf, aku tidak bisa bicara lebih banyak lagi. Di
antara kami punya perjanjian. Dan kau tidak bisa mendesakku untuk mengatakan
lebih banyak,” tegas Panglima Durangga buru-buru, agar Rangga tidak lebih
banyak bertanya lagi.
“Baiklah. Kau telah berbuat banyak, Panglima
Durangga. Akan kuusahakan agar hukumanmu tidak terlalu berat,” ujar Rangga
seraya bangkit berdiri.
“Tidak ada yang dapat menghukumku, kecuali Gusti
Korapati,” dengus Panglima Durangga.
Rangga hanya tersenyum saja, kemudian melangkah
keluar dari ruangan pengap dan kotor ini. Dua orang prajurit menghampiri dan
mengunci pintu setelah Rangga ke luar.
***
Dua hari Rangga mencoba membujuk Panglima Durangga,
tapi tetap saja tidak memperoleh hasil memuaskan. Panglima Durangga tidak
pernah sudi menunjukkan keberadaan Sangkala, dan terutama orang yang bernama
Korapati. Orang yang diakuinya sebagai putra Arya Permadi, pewaris sah tahta
Karang Setra. Dan hal ini membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi merasa tidak
tenang.
Meskipun keadaan di seluruh pelosok kerajaan dalam
keadaan damai, tapi di hati Pendekar Rajawali Sakti tidaklah demikian. Rupanya
masih terdapat satu ganjalan di dalam hatinya, sebelum bisa menuntaskan semua
persoalan yang dapat mengguncangkan Karang Setra setiap waktu. Rangga merasakan
suasana seperti ini bagai gunung berapi yang setiap saat siap memuntahkan
laharnya.
Saat itu matahari sudah hampir tenggelam. Rona
merah membias di ufuk Barat. Rangga tampak berdiri tegak, mematung di tepi
sebuah tebing yang cukup tinggi. Tatapan matanya lurus, tak berkedip ke arah
Lembah Kunir. Di tempat itulah semua awal petaka ini terjadi. Lembah yang indah
itu kelihatan sunyi, tak seorang pun terlihat di sana. Di belakang Rangga,
terlihat Rajawali Putih mendekam dengan kepala menjulur ke depan. Seakan-akan
bintang itu ingin turut serta memperhatikan lembah di depan sana.
“Kau melihat sesuatu di sana, Rajawali Putih?”
tanya Rangga, agak bergumam suaranya seakan bertanya pada diri sendiri.
“Khrrr...,” Rajawali Putih hanya mengkirik
perlahan.
Rangga memandangi Rajawali Putih yang semakin jauh
menjulurkan kepala ke depan, melewati bahu kanannya. Burung rajawali raksasa
berbulu putih keperakan itu seakan-akan tengah memperhatikan sesuatu yang
sangat jauh di Lembah Kunir itu. Sedangkan Rangga jadi ikut memperhatikan ke
arah yang tengah menjadi perhatian burung rajawali raksasa berbulu putih
keperakan ini. Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan aji 'Tatar Netra' agar bisa
melihat dalam jarak yang cukup jauh.
“Apa yang kau perhatikan, Rajawali Putih?” tanya
Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti tidak melihat sesuatu di
lembah sana. Tapi keningnya jadi berkerut juga melihat sikap rajawali raksasa
berbulu putih keperakan yang seperti melihat sesuatu di sana.
“Khrrrkh...!”
Rajawali Putih mematuk punggung Rangga. Sebentar
pemuda berbaju rompi putih itu memperhatikan, lalu cepat melompat naik ke
punggungnya. Tak berapa lama kemudian, Rangga sudah mengangkasa bersama
Rajawali Putih. Bagaikan kilat, burung raksasa itu melambung tinggi ke angkasa,
lalu meluncur deras ke arah Lembah Kunir yang disirami cahaya merah jingga.
Saat itu matahari memang hampir tenggelam.
“Khraaaghk...!”
“Aku tidak melihat apa-apa, Rajawali!” seru Rangga
terus memperhatikan ke arah lembah yang ditunjuk Rajawali Putih, dengan
menjulurkan paruhnya.
Burung raksasa itu menukik deras, ke arah hutan
yang berada tidak seberapa jauh dari dua buah pondok kecil di lembah itu Rangga
terpaksa memegangi erat-erat leher Rajawali Putih. Angin yang bertiup kencang
di sekitarnya, membuat telinga Pendekar Rajawali Sakti jadi pekak.
“Hup...!”
Pepohonan lebat, tidak memungkinkan bagi Rajawali
Putih untuk mendarat. Dan begitu berada dekat di atas pohon yang paling tinggi,
Rangga cepat melompat turun dari punggung burung itu. Manis dan ringan sekali
gerakannya. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Rangga mendarat di salah satu
cabang pohon yang cukup tinggi. Sementara Rajawali Putih kembali melambung
tinggi, dan berputar-putar di atas hutan kecil ini. Sebentar Rangga menatap ke
atas, lalu melompat turun dari atas cabang pohon ini
“Hap...!”
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, sepasang kaki
Rangga menjejak tanah yang penuh dedaunan kering. Sebentar pandangannya beredar
berkeliling. Meskipun sudah berada di tengah-tengah hutan kecil ini, tapi
Pendekar Rajawali Sakti belum mengerti maksud Rajawali Putih yang menurunkannya
di tengah hutan kecil ini
“Rajawali Putih seperti menyuruhku memeriksa hutan
ini. Hm.... Aku yakin ada sesuatu di sekitar tempat ini,” gumam Rangga
periahan, bicara pada dirinya sendiri.
Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh, Pendekar
Rajawali Sakti mengayunkan kakinya perlahan-lahan. Kedua matanya dipentang
lebar, mengamati setiap jengkal daerah yang dilaluinya. Suasana yang begitu
sunyi, membuat detak jantungnya sendiri terdengar begitu keras.
Cukup lama juga Rangga memeriksa sekitar tengah
hutan kecil di Lembah Kunir ini, tapi belum menemukan sesuatu yang berarti.
Hingga sampai pada sebatang pohon yang sangat besar, Pendekar Rajawali Sakti
berhenti melangkah. Sesaat hatinya tertegun memandangi pohon yang begitu besar,
dengan sulur-sulurnya yang menjuntai hampir menyentuh tanah. Rangga menaksir,
sepuluh orang berpegangan tangan saja, tidak akan mungkin bisa melingkari pohon
ini.
“Belum pernah kulihat pohon sebesar ini,” gumam
Rangga terkagum-kagum.
Selagi Pendekar Rajawali Sakti memandangi dengan
perasaan kagum, tiba-tiba saja batang pohon di depannya bergerak-gerak. Rangga
terkejut, lalu terlompat mundur beberapa langkah. Batang pohon yang kulitnya
sudah berganti entah berapa kali itu, terus bergerak-gerak. Kemudian, bergeser
ke samping perlahan-lahan.
“Heh...?!”
Bergegas Rangga melompat masuk ke dalam semak
belukar yang cukup lebat. Sukar dipercaya, ternyata batang pohon itu bisa
terbuka seperti pintu. Semakin lama, semakin membesar. Dan pada akhirnya
benar-benar terbuka, membentuk sebuah rongga yang cukup besar. Bahkan mampu
dilalui dua orang sekaligus!
Bola mata Pendekar Rajawali Sakti terbeliak ketika
dari dalam pohon muncul si Jari Maut bersama seorang wanita muda dan cantik,
berbaju biru yang sangat ketat. Rangga mengenali wanita itu. Dan inilah yang
membuatnya hampir tidak percaya pada pandangannya sendiri.
“Mintarsih...,” desis Rangga dalam hati.
Si Jari Maut dan perempuan cantik yang dikenali
Rangga bernama Mintarsih, berjalan cepat melewati semak tempat persembunyian
Pendekar Rajawali Sakti itu. Mereka berjalan tanpa berbicara apa pun juga.
Rangga terus mengamati sampai kedua orang yang telah dikenalinya ini tidak
terlihat lagi. Kemudian, dia kembali menatap pohon besar yang masih tetap
berlubang cukup besar. Kini di depan lubang pohon itu telah berdiri empat orang
gadis-gadis muda berbaju merah menyala. Pedang mereka tampak tersampir di
pinggang.
“Hm.... Mungkin ini yang dimaksud Rajawali Putih,”
gumam Rangga dalam hati.
Rangga menduga kalau pohon besar itu pasti tempat
persembunyian si Jari Maut selama ini. Dan yang pasti, pohon itu merupakan
sebuah pintu rahasia. Rangga berpikir keras agar bisa masuk ke sana. Memang
cukup sulit juga, karena ada empat orang yang menjaga di depang lubang pohon
itu. Jadi, tidak mungkin menghindari bentrokan jika menerobos masuk ke sana.
Jika hal itu terjadi, bisa-bisa malah menimbulkan keributan. Akibatnya semua
orang yang berada di dalam pohon besar itu keluar. Maka, tentu saja hal itu
akan menyulitkan Pendekar Rajawali Sakti sendiri.
“Aku harus mencari cara untuk masuk ke sana tanpa
diketahui,” bisik Rangga dalam hati.
Pada saat itu, si Jari Maut sudah kembali, tapi
hanya seorang diri saja. Dan ini juga menimbulkan beberapa pertanyaan di benak
Rangga. Jari Maut kemudian masuk kembali ke dalam pohon, diikuti empat orang
gadis yang menjaga lubang pohon itu. Setelah mereka berada di dalam, pohon itu
kembali tertutup sendiri.
“Hm..., ke mana Mintarsih...?” Rangga
bertanya-tanya sendiri di dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat ke luar.
Sebentar ditatapnya pohon besar itu, kemudian melesat pergi ke arah si Jari Maut
dan Mintarsih tadi pergi. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki pemuda berbaju rompi putih itu, sehingga dalam sekejap saja sudah
lenyap ditelan lebatnya pepohonan.
DELAPAN
Rangga terus berlari cepat, menembus lebatnya
pepohonan hutan di Lembah Kunir. Hingga sebentar saja, Pendekar Rajawali Sakti
sudah keluar dari hutan, dan kini memasuki padang rumput yang tidak begitu
besar. Terlihat dua pondok kecil di sana. Pendekar Rajawali Sakti berhenti
berlari, ketika melihat dua orang tengah bertarung tidak jauh dari pondok
tempat tinggal si Jari Maut
Dua orang wanita yang sama-sama mengenakan baju
biru. Tapi dari senjata yang digunakan, sudah dapat dipastjkan kalau yang
memegang senjata berbentuk kipas adalah Pandan Wangi. Sedangkan wanita yang
satunya lagi menggunakan pedang. Dia tak lain adalah Mintarsih. Rangga
mendekati pertarungan itu. Dari jurus-jurus yang dikerahkan, sudah dapat
dipastikan kalau mereka menggunakan jurus-jurus andalan yang maut dan
berbahaya.
Entah sudah berapa jurus pertarungan itu
berlangsung. Dan sampai saat ini belum terlihat tanda-tanda akan berhenti.
Rangga melihat kalau Mintarsih begitu bernafsu sekali hendak menjatuhkan Pandan
Wangi. Tapi si Kipas Maut itu tampaknya terlalu alot. Terbukti, beberapa kali
dia berhasil mendaratkan pukulan ke tubuh Mintarsih.
“Hiyaaa...!”
Tiba-tiba saja Pandan Wangi berteriak keras
menggelegar. Dan secepat itu pula, tubuhnya bergerak cepat laksana kilat. Kipas
baja putih yang terkenal itu berkelebat menghajar bagian pinggang Mintarsih.
Begitu cepatnya serangan yang dilancarkan Pandan Wangi, sehingga Mintarsih tak
sempat lagi berkelit menghindar.
Bret!
“Akh...!” Mintarsih terpekik agak tertahan.
Wanita itu terhuyung-huyung ke belakang sambil
mendekap pinggangnya yang tersambar ujung kipas Pandan Wangi yang runcing dan
tajam. Darah merembes keluar dari sela-sela jari tangan Mintarsih. Pada saat
itu Pandan Wangi sudah bersiap hendak mengakhiri pertarungan, dengan
mengeluarkan jurus pamungkasnya.
“Mampus kau sekarang, Setan...! Hiyaaa...!” teriak
Pandan Wangi melengking tinggi
“Tahan...!” seru Rangga tiba-tiba.
Pandan Wangi yang hampir saja melompat menyerang
Mintarsih, jadi mengurungkan serangannya. Wajahnya berpaling. Tampak Rangga
melompat cepat, dan tahu-tahu sudah berada di antara kedua wanita itu.
“Kakang Rangga! Mengapa kau hentikan
pertarunganku?!” sentak Pandan Wangi tidak senang.
“Justru aku ingin bertanya, mengapa kau menyerang
Mintarsih, Pandan? Apa kau tidak ingat kalau dia berada dalam lindungan kita?”
agak mendesis suara Rangga.
“Bukan aku yang menyerang tapi dia!” dengus Pandan
Wangi menuding Mintarsih.
Rangga menatap Mintarsih yang sedang meringis
menahan sakit pada pinggangnya yang berdarah. Keadaan tubuhnya kelihatan lemah,
karena memang belum lagi sembuh benar dari luka-luka akibat bertarung melawan
Pendekar Rajawali Sakti.
“Sudahlah, Kakang. Sebaiknya tanyakan saja, kenapa
dia ada di sini!” kata Pandan Wangi lagi
Rangga kembali menatap Pandan Wangi, lalu beralih
pada Mintarsih. Pendekar Rajawali Sakti memang sudah tahu, Mintarsih berada di
Lembah Kunir ini karena memiliki hubungan dengan Jari Maut. Tapi, hubungan itu
memang belum diketahuinya secara pasti. Sebenarnya Rangga juga ingin tahu,
mengapa wanita itu ada di lembah ini. Bahkan bersama si Jari Maut tadi
“Kau dengar pertanyaan Pandan Wangi tadi,
Mintarsih...? Untuk apa kau berada di sini? Bukankah aku telah memberimu tempat
yang tenang untuk memulihkan kesehatanmu?” ujar Rangga meminta penjelasan.
“Itu urusanku!” dengus Mintarsih.
“Jelas itu urusannya, Kakang. Dia masih dendam
padamu, lalu bergabung dengan si Jari Maut,” selak Pandan Wangi ketus.
Rangga menatap Mintarsih tajam-tajam. Sebetulnya
dia terkejut juga mendengar kata-kata Pandan Wangi barusan. Hanya saja,
keterkejutannya segera ditutupi. Namun demikian di benaknya timbul pertanyaan,
dari mana Pandan Wangi tahu kalau Mintarsih punya hubungan dengan si Jari
Maut..? Dan pertanyaan itu hanya ada dalam benaknya saja.
“Aku tahu, waktu itu kau hanya berpura-pura saja,
Mintarsih. Kau ingin mengadu domba antara aku dengan Jari Maut, dengan
berpura-pura tidak tahu apa-apa tentang penculikan Sangkala. Tapi, ternyata kau
berada di belakang semua ini. Kau memang sekuntum mawar, Mintarsih. Sekuntum
mawar berbisa...!” desis Rangga dingin.
“Ha ha ha...!” Mintarsih jadi tertawa
terbahak-bahak.
Sampai di situ saja, Rangga sudah dapat memahami
arti semua ini. Antara si Jari Maut, Mintarsih, dan Panglima Durangga rupanya
selama ini terjalin suatu hubungan. Dan masing-masing memiliki alasan yang
berbeda. Memang benar apa yang pernah dikatakan Pandan Wangi. Walaupun si Jari
Maut sudah bertobat dan berjanji hendak meninggalkan semua perbuatan buruknya,
tapi tetap saja memiliki dendam atas kekalahannya oleh Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan Mintarsih sendiri sudah jelas. Dia tidak akan puas sebelum berhasil
membunuh Rangga. Wanita itu telah bersumpah untuk melenyapkan Pendekar Rajawali
Sakti beserta keturunannya.
“Tingkat kepandaianmu memang sukar ditandingi,
Pendekar Rajawali Sakti. Tapi kau bodoh...!” dengus Mintarsih dingin.
“Keparat..! Kubunuh kau, Setan Jalang...!
Hiyaaat..!”
Rangga tidak sempat lagi mencegah ketika Pandan
Wangi tiba-tiba sekali melompat menyerang Mintarsih. Gadis itu langsung
mengebutkan kipas mautnya ke arah dada wanita cantik yang dijuluki si Mawar
Berbisa oleh Pendekar Rajawali Sakti.
Bet!
“Uts! Yeaaah...!”
Mintarsih berhasil mengelakkan serangan Pandan
Wangi. Tapi begitu si Kipas maut melepaskan satu tendangan keras bertenaga
dalam kuat, dia tak mampu lagi berkelit Tendangan Pandan Wangi yang begitu
keras dan cepat itu mendarat telak di dadanya.
“Yeaaah...!”
Begkh!
“Akh...!”
Mintarsih terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya
yang terkena tendangan keras Pandan Wangi. Dan sebelum sempat menguasai
keseimbangan tubuhnya, Pandan Wangi sudah melancarkan serangan lagi. Kali ini
kipas baja putih andalannya dikebutkan ke dada Mintarsih. Dan serangan itu
benar-benar cepat, tak mampu dihindari lagi
Bet!
Cras!
“Aaa...!” lagi-lagi Mintarsih menjerit keras
melengking tinggi. Darah kembali menyembur deras dari dadanya yang terkena
sabetan kipas maut berwarna putih keperakan itu. Mintarsih tak mampu lagi
berbuat banyak, dan kembali terjungkal begitu Pandan Wangi memberi satu pukulan
telak di dadanya. Wanita berbaju biru itu menggelepar di tanah sambil mengerang
lirih.
“Cukup, Pandan...!” sentak Rangga ketika Pandan Wangi
hampir saja melancarkan serangan kembali.
Pandan Wangi menurunkan tangannya yang sudah
terangkat naik di atas kepala. Wajahnya berpaling menatap Pendekar Rajawali
Sakti. Kemudian, berpaling lagi menatap tajam Mintarsih penuh kebencian. Pandan
Wangi benar-benar melampiaskan kebenciannya pada wanita itu. Sementara Rangga
bergegas menghampiri Mintarsih yang tampak masih merintih kesakitan.
“Kau pernah bersumpah ingin membunuhku. Sekarang
kau kuberikan kesempatan untuk hidup. Dan kau bisa melaksanakan sumpahmu itu,
Mintarsih. Tapi sebelum itu, aku ingin bertanya. Di mana Sangkala, dan siapa
sebenarnya Korapati itu.”
Mintarsih menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti,
penuh kebencian. Dan karena tawaran Pendekar Rajawali Sakti cukup menarik, mata
wanita itu tampak agak berbinar-binar. Sebab, paling tidak dia akan memiliki
kesempatan lagi untuk melaksanakan sumpahnya.
“Bisa kupegang janjimu, Pendekar Rajawali Sakti?”
Mintarsih ingin kepastian.
“Mengapa tidak?”
“Baik. Sangkala ada di..., akh!”
Rangga tersentak kaget Karena tiba-tiba leher
Mintarsih terhunjam senjata rahasia seperti mata anak panah. Sungguh hal itu
tidak diketahui Pendekar Rajawali Sakti. Wanita itu mengejang sesaat, lalu diam
tak bergerak lagi. Mati.
Sekejap, Rangga melihat semak-semak di dekat pohon
di depannya bergoyang-goyang. Dengan rasa kekesalan yang tinggi akibat
keterangan dari Mintarsih terputus, Pendekar Rajawali Sakti segera mencabut
senjata rahasia itu. Dengan pengerahan tenaga dalam, senjata rahasia itu
dilemparkan ke arah datangnya tadi. Maka....
“Aaakh...!”
Sosok tubuh berbaju merah tiba-tiba keluar dari
semak-semak, dan langsung ambruk ke tanah. Sebentar dia menggelepar, kemudian
mati. Pandan Wangi yang saat itu tidak melihat kejadiannya, karena perhatiannya
tertuju ke arah lain, langsung terkejut. Dan ketika matanya melihat ke arah
Mintarsih, gadis itu baru mengerti, apa yang terjadi. Rupanya orang berbaju
merah itu anak buah si Jari Maut yang tidak ingin rahasia mereka terbongkar.
Hanya saja, mereka tidak tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti telah mengetahui
sarang mereka.
***
Rangga memandangi pohon raksasa di depannya.
Sedangkan Pandan Wangi yang berada di sampingnya juga ikut memandangi pohon
itu. Gadis itu masih belum percaya kalau di dalam pohon itulah tempat
persembunyian si Jari Maut. Padahal, Rangga sudah menceritakan dengan
sungguh-sungguh dan jelas sekali. Tak ada tanda-tanda kalau pohon ini memiliki
lubang yang dapat dilewati. Mereka telah mengelilinginya sampai tiga kali.
Namun, tidak juga ditemukan lubang masuk, seperti yang dikatakan Rangga.
“Apa kau benar-benar yakin di dalam pohon ini
mereka bersembunyi?” tanya Pandan Wangi seraya memandangi pohon raksasa itu
“Belum lama aku di sini, Pandan. Matahari juga
belum sepenuhnya tenggelam,” tegas Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti menunjuk semak belukar. Di
situ dia sempat bersembunyi, dan melihat si Jari Maut keluar dari pohon itu
bersama Mintarsih.
“Di sana aku bersembunyi. Dan melihat mereka keluar
dari pohon itu,” jelas Rangga.
“Maksudmu, si Jari Maut dan....”
“Siapa lagi kalau bukan si Mawar Berbisa itu,”
potong Rangga cepat sebelum Pandan Wangi menyelesaikan kalimatnya.
Pandan Wangi memandangi pemuda tampan di
sampingnya. Belum pernah gadis itu melihat Pendekar Rajawali Sakti ini begitu
menggebu-gebu. Mungkin karena Rangga merasa tertipu atas sikap dan perilaku si
Jari Maut. Sikap yang baik dan ramah, ternyata kini menikam dari belakang.
“Kau mundur, Pandan,” ujar Rangga, agak dingin nada
suaranya.
“Kau mau apa?” tanya Pandan Wangi
“Pohon ini akan kuhancurkan,” sahut Rangga.
Pandan Wangi beringsut ke belakang beberapa
langkah, begitu melihat Rangga sudah bersiap mengerahkan jurus 'Pukulan Maut
Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Periahan-lahan kedua kepalan tangan Rangga
menjulur ke depan. Seketika kedua tangan itu memancarkan warna merah yang
membara, bagai sepotong besi yang terbakar di dalam tungku. Tatapan matanya begitu
tajam, tertuju lurus ke arah pohon raksasa itu.
“Hiyaaa...!”
Sambil berteriak nyaring, Pendekar Rajawali Sakti
melompat cepat ke arah pohon raksasa itu. Pada saat yang sama, kedua tangannya
ditarik sejajar di samping dada. Lalu secepat itu pula, kedua tangannya
dihentakkan ke depan, tepat menghantam batang pohon pada bagian tengah yang
diyakininya sebagai pintu masuk ke dalam pohon itu.
Glarrr...!
Satu ledakan keras terdengar menggelegar begitu
kedua tangan Rangga menghantam pohon raksasa itu. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti
cepat melenting ke belakang, dan melakukan putaran dua kali. Pohon besar itu
seketika hancur berkeping-keping. Sedangkan bagian atasnya ambruk, menimbulkan
suara bergemuruh. Bumi laksana diguncang gempa saat pohon itu menghantam tanah,
tepat saat Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya di tanah.
Tampak sebuah lubang yang cukup besar terdapat di
bagian tengah pohon yang hancur itu. Dan sebelum Rangga menghampiri, dari dalam
lubang berlompatan tubuh-tubuh berbaju merah. Ada sekitar sepuluh orang, yang
langsung meluruk menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Mereka semua memegang
tongkat kayu berwarna kecoklatan.
“Hiyaaa...!”
Cepat sekali Rangga melentingkan tubuhnya ke udara
sambil merentangkan kedua tangan ke samping. Saat itu jurus 'Sayap Rajawali
Membelah Mega' dikerahkan. Gerakannya sungguh cepat luar biasa. Sehingga
sebelum sepuluh orang berbaju merah itu bisa menyerang lebih jauh, Rangga sudah
melakukan serangan cepat bagai kilat
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi terdengar
saling sambut, disusul bergelimpangannya tubuh-tubuh berbaju merah. Dalam
beberapa kali gebrak saja, tak ada lagi yang bisa bangkit kembali. Rangga cepat
melompat mendekati reruntuhan pohon besar itu.
Begitu Rangga menjejakkan kakinya di tanah,
seketika berkelebat sebuah bayangan merah dari dalam lubang pohon yang sudah
hancur itu. Cepat Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuh ke belakang,
menghindari terjangan bayangan merah tadi.
“Huh! Yeaaah...!”
Dua kali Rangga berjumpalitan di udara. Dan begitu
menjejakkan kaki di tanah, di depannya sudah berdiri si Jari Maut dengan sikap
angkuh.
“Aku akui, kau memang sulit ditaklukkan, Pendekar
Rajawali Sakti. Tapi aku tidak akan menyerah, sampai nyawaku hilang dari
badan,” tegas si Jari Maut dingin.
“Aku memang melakukan kesalahan besar dengan
membiarkan kau hidup waktu itu, Jari Maut,” sambut Rangga tidak kalah
dinginnya.
“Sekarang kita sudah berhadapan lagi. Tak ada
gunanya banyak bicara.”
Setelah berkata demikian, Jari Maut langsung
melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Dilepaskannya beberapa pukulan
cepat dan beruntun, disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Rangga terpaksa
berjumpalitan menghindari serangan-serangan itu.
Pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti melawan
si Jari Maut memang tidak dapat dihindari lagi. Mereka langsung menggunakan
jurus-jurus tingkat tinggi yang cepat dan sangat berbahaya. Sementara Pandan
Wangi sudah bergegas menghampiri lubang pohon yang hancur akibat terkena pukulan
jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang dilontarkan Rangga tadi.
Pandan Wangi melompat masuk ke dalam lubang itu,
dan seketika tubuhnya lenyap tak terlihat lagi. Sementara pertarungan Rangga
melawan si Jari Maut berlangsung semakin sengit. Sebentar saja lebih dari lima
jurus sudah dihabiskan. Tapi tampaknya pertarungan masih bakal terus
berlangsung cukup lama.
Hingga setelah menyelesaikan sepuluh jurus dalam
pertarungan, mereka sama-sama berlompatan mundur. Kini terbentang jarak sekitar
dua batang tombak di antara mereka. Jari Maut mencabut pedangnya
perlahan-lahan, lalu menyilangkannya di depan dada. Pedang berwarna merah itu
seperti api yang berkobar-kobar, dan siap menghanguskan tubuh Pendekar Rajawali
Sakti.
Sret!
Rangga yang sudah mengetahui kedahsyatan pedang
itu, tak mungkin bisa menandingi hanya dengan tangan kosong saja. Maka
pedangnya juga segera dicabut. Seketika itu juga cahaya biru berkilau
menyemburat terang menyilaukan mata.
“Saatnya mengadu jiwa, Pendekar Rajawali Sakti,”
desis Jari Maut dingin menggetarkan.
“Majulah...!” sambut Rangga tak kalah dinginnya.
“Hiyaaat..!”
“Yeaaah...!”
Rangga cepat melompat, begitu si Jari Maut melompat
menyerang dengan pedangnya. Secara bersamaan mereka mengayunkan pedang
masing-masing ke depan. Satu benturan keras tak dapat dihindari lagi. Ledakan
dahsyat menggelegar, seketika terdengar begitu dua senjata beradu keras di
udara, hingga menimbulkan percikan bunga api.
Pertarungan kembali berlangsung sengit. Cahaya biru
dan merah berkelebat cepat saling sambar. Beberapa kali terdengar ledakan keras
setiap kali kedua pedang itu beradu. Dan setiap kali itu pula, terbetik pijaran
api yang menyebar ke segala arah. Tempat pertarungan berlangsung sudah tidak
beraturan lagi bentuknya. Entah sudah berapa puluh pohon yang bertumbangan,
akibat terkena serangan-serangan yang luput dari sasaran.
Jurus demi jurus pun berlalu cepat. Tak terasa,
mereka masih menghabiskan lebih dari sepuluh jurus lagi. Tapi sampai saat ini
belum juga ada yang terlihat bakal terdesak. Sementara matahari semakin jatuh
ke dalam pelukan alam. Dan kini keadaan jadi remang-remang. Tapi di sekitar
pertarungan tetap terlihat terang, akibat dua sinar yang berkelebatan saling
sambar.
“Hhh! Dia semakin tangguh dan meningkat pesat. Aku
harus menggunakan jurus 'Pedang Pemecah Sukma',” desis Rangga bergumam dalam
hati.
Saat itu juga, Rangga merubah jurusnya menjadi
jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Suatu jurus simpanan yang sangat dahsyat dan
jarang digunakan jika tidak terdesak.
Setelah beberapa gebrakan berlalu, baru bisa
terasakan akibat jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Perhatian si Jari Maut tampak
mulai terpecah. Gerakan-gerakannya mulai tidak beraturan. Dan per-mainan
pedangnya juga sudah tidak lagi menggigit. Perubahan ini cepat dilihat Rangga.
Dan seketika itu juga serangan-serangannya diperhebat. Dan hal ini tentu saja
membuat si Jari Maut semakin kewalahan saja. Dia sendiri tidak tahu, kenapa
jadi sulit mengendalikan diri
“Lepas...!” seru Rangga tiba-tiba.
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti cepat
mengibaskan pedangnya ke arah pergelangan tangan kanan si Jari Maut yang
memegang pedang. Begitu cepat gerakannya, sehingga si Jari Maut tidak sempat
lagi menghindar. Dan....
Cras!
“Akh...!” Jari Maut terpekik keras begitu
pergelangan tangan kanannya terbabat pedang Pendekar Rajawali Sakti.
Pedang si Jari Maut seketika terpental ke udara,
bersamaan dengan tangannya yang buntung dari pergelangan. Darah langsung
mengucur deras dari tangan yang buntung itu. Di saat si Jari Maut tengah
terpana tidak percaya, Rangga sudah menusukkan pedangnya kembali dengan
kecepatan tinggi.
“Hiyaaa...!”
Crab!
Jari Maut terpaku diam, ketika pedang Rangga
berkelebat cepat menusuk dadanya hingga tembus ke punggung. Tak berapa lama
kemudian, tubuh si Jari Maut ambruk ke tanah. Darah kembali muncrat keluar dari
dada yang menganga lebar akibat terhunjam pedang. Jari Maut tewas seketika,
sebelum tubuhnya menyentuh tanah.
“Hhh...!” Rangga menghembuskan napas panjang
Pada saat itu, Pandan Wangi melompat keluar dari
dalam lubang pohon raksasa itu, disusul seorang pemuda berwajah cukup tampan.
Dia mengenakan baju putih ketat agak kotor dan lusuh. Mereka langsung
menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar Rangga memandangi tubuh si Jari
Maut yang berlumuran darah, kemudian berpaling menatap pemuda yang berdiri di
samping Pandan Wangi. Pemuda itu membungkuk memberi hormat dengan merapatkan
kedua tangan di depan hidung.
“Bagaimana kau bisa menemukan Sangkala, Pandan?”
tanya Rangga.
“Di ruangan bawah tanah. Aku memeriksa setiap kamar
yang ada. Dan salah satu kamar, ternyata berisi Sangkala,” sahut Pandan Wangi.
“Ada orang lain di sana?” tanya Rangga lagi.
“Tidak,” sahut Pandan Wangi.
“Hm.... Lalu, murid-murid si Jari Maut yang lain ke
mana?” Rangga seperti bertanya pada diri sendiri.
“Hanya sepuluh orang itu, kakang. Yang kau hadapi
di pondok si Jari Maut, adalah para prajurit Panglima Durangga. Jadi, bukan
murid-murid si Jari Maut. Aku tahu semua ini karena Sangkala yang cerita tadi,”
jelas Pandan Wangi.
“Benar, Gusti Prabu,” ujar Sangkala membenarkan
ucapan Pandan Wangi
“Ya, sudah. Sebaiknya kita segera kembali ke istana,”
ujar Rangga.
“Bagaimana dengan Sangkala?” tanya Pandan Wangi
Rangga tersenyum dan menghampiri pemuda itu.
Ditepuk-tepuknya Sangkala dan mengajaknya meninggalkan tempat ini. Pandan Wangi
segera mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali Sakti
“Kau hanya jadi korban saja, Sangkala. Sekarang
juga, kau kubebaskan dari hukuman. Temui Danupaksi, dan minta pekerjaan
padanya,” ujar Rangga.
“Terima kasih, Gusti Prabu. Hamba akan selalu setia
pada Gusti Prabu dan Karang Setra,” ucap Sangkala penuh hormat
“Aku percaya padamu, Sangkala.”
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA
SILUMAN ULAR MERAH
Emoticon