SATU
“Khraaaghk...!”
Suara serak, namun cukup menggelegar terdengar
memecah angkasa. Tampak di antara gumpalan mega yang berarak, seekor burung
rajawali putih keperakan tengah melayang cepat bagai kilat. Burung raksasa itu
meluncur deras ke bawah. Begitu cepatnya, sehingga yang terlihat hanya kilatan
cahaya keperakan yang meluncur dari angkasa.
Begitu mendarat di sebuah padang rumput yang cukup
luas, tampaklah sosok tubuhnya yang tinggi besar. Rajawali raksasa berbulu
keperakan itu berkaokan keras, membuat seluruh alam bergetar hebat bagai
dilanda gempa. Dari punggungnya, tampak meluncur turun seorang pemuda berwajah
tampan, mengenakan baju rompi putih. Sebilah pedang bergagang kepala burung,
tampak tersampir di punggungnya.
Pemuda itu adalah Rangga, yang dikenal berjuluk
Pendekar Rajawali Sakti. Dia berdiri di depan burung raksasa tunggangannya.
Pandangannya beredar ke sekitarnya. Mata Pendekar Rajawali Sakti merayapi bukit
memanjang yang mengelilingi lembah padang rumput luas itu.
“Tampaknya kita harus menunggu, Rajawali Putih,”
ujar Rangga seraya berputar menghadap burung rajawali raksasa itu.
“Khrrr...!” Rajawali Putih hanya mengkirik saja.
“Kau yakin mereka akan datang hari ini?” tanya
Rangga.
Kembali Rajawali Putih mengkirik kecil sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Rangga mengedarkan pandangan kembali ke
sekeliling. Kemudian kepalanya mendongak, menatap angkasa luas tak bertepi.
Saat ini senja sudah mulai merayap turun. Matahari tampak kemerahan, bergulir
ke belahan Barat. Sinarnya tidak lagi terasa terik menyengat. Dan angin yang
berhembus di lembah berumput ini juga terasa begitu dingin.
“Khraaaghk...!”
Tiba-tiba saja terdengar suara keras dan serak dari
angkasa. Rangga memutar tubuhnya, namun kepalanya masih mendongak ke atas.
Tampak di sebelah Selatan, terlihat sebuah titik hitam yang bergerak cepat
menuju ke lembah ini.
Semakin lama, titik hitam itu semakin jelas
bentuknya. Rangga hanya berdiri tegak menunggu. Titik hitam itu ternyata seekor
rajawali raksasa berbulu hitam pekat berkilat. Di punggungnya duduk seorang
gadis berbaju serba hitam. Tampak pedangnya yang bergagang kepala burung,
menyembul dari punggungnya.
Begitu burung rajawali hitam raksasa itu mendarat,
gadis berbaju hitam di punggungnya, segera melompat turun. Dia berjalan
beberapa langkah menghampiri Pendekar Rajawali Sakti yang memang sudah
menunggunya.
“Lama menungguku, Kakang?” terdengar lembut suara
gadis berbaju hitam itu.
“Aku juga baru saja sampai,” sahut Rangga. “Malah
seharusnya kau yang sudah lebih dulu sampai, Intan Kemuning.”
“Maaf, ada urusan sedikit,” kilah gadis yang
dipanggil Intan Kemuning itu.
Gadis berbaju hitam itu memang Intan Kemuning, yang
berjuluk Putri Rajawali Hitam. Seorang gadis yang dulu lemah lembut dan tidak
mengenal ilmu olah kanuragan, kini telah menjadi seorang pendekar wanita yang
patut diperhitungkan di dalam kancah rimba persilatan (Jika ingin tahu lebih
jelas tentang Putri Rajawali Hitam, ikuti serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah
“Sepasang Rajawali” dan “Sabuk Penawar Racun”).
“Kau tetap tinggal di Kerajaan Galung?” tanya
Rangga.
“Tidak lagi,” sahut Intan Kemuning.
“Kenapa? Kau tidak suka mengembara, bukan?”
“Itulah sebabnya, kenapa Rajawali Hitam kuminta
untuk menemui Rajawali Putih. Aku tidak tahu, di mana harus menemuimu, Kakang,”
pelan dan agak lirih suara Intan Kemuning.
“Tampaknya kau memiliki persoalan yang cukup berat,
Intan,” Rangga menduga-duga.
“Bisa dikatakan begitu. Yang pasti, aku kewalahan
menghadapinya.”
“Oh, ya...?” Rangga tidak percaya.
“Kau jangan mengolokku, Kakang.”
“Aku tidak percaya jika kau kewalahan menyelesaikan
suatu persoalan. Aku tahu siapa dirimu, dan sampai di mana tingkat
kepandaianmu.”
“Manusia ada batasnya, Kakang.”
Rangga meringis kecil. Kata-kata itu memang pernah
diucapkannya pada gadis ini. Dan sekarang kata-katanya sendiri harus ditelannya
kembali.
“Teruskan saja, Intan. Apa persoalanmu, sehingga
harus memanggilku ke sini?” pinta Rangga tidak ingin melanjutkan olok-oloknya.
Intan Kemuning tidak langsung bicara. Tubuhnya
berputar lalu berjalan menghampiri sebatang pohon yang cukup besar. Sambil
menghembuskan napas panjang, gadis itu menjatuhkan tubuhnya, duduk bersandar
pada pohon itu. Rangga juga duduk bersila di depannya. Sementara dua burung
rajawali raksasa, mendekat berdampingan menunggui.
***
Agak lama juga Intan Kemuning terdiam, tidak
memenuhi permintaan Pendekar Rajawali Sakti untuk mengutarakan persoalannya.
Sementara senja semakin merayap turun. Suasana di lembah berumput ini sudah
begitu temaram. Cahaya merah menyemburat di ufuk Barat. Sedangkan sang surya
sudah tidak lagi kelihatan wajahnya. Rangga mengumpulkan ranting kering yang
banyak berserakan di sekitarnya, lalu membuat api unggun. Pendekar Rajawali
Sakti itu merasa kalau malam ini harus berada di tengah-tengah lembah yang
sunyi dan dingin.
“Kenapa kau tidak membawa Pandan Wangi, Kakang?”
tanya Intan Kemuning.
“Dia sedang ada urusan,” sahut Rangga.
“Kau tidak membantunya?”
“Pandan Wangi ingin menyelesaikannya sendiri. Kalau
masalahnya berat dan tidak bisa ditanggulangi, dia pasti menemuiku,” sahut
Rangga lagi.
Intan Kemuning mengangguk-anggukkan kepalanya.
Gadis itu sudah dikenalkan Pendekar Rajawali Sakti kepada Pandan Wangi.
Sebenarnya dia iri melihat Pandan Wangi yang begitu beruntung, sehingga
mendapat cinta pendekar muda yang tampan dan berkepandaian tinggi itu. Tapi dia
harus berjiwa besar, dan harus puas bersahabat saja.
“Tampaknya kita harus bermalam di sini, Intan,”
kata Rangga seraya mendesah.
“Tidak mengapa,” sahut Intan Kemuning. “Aku sudah
terbiasa tidur di alam terbuka.”
“Tidak mengeluh banyak nyamuk lagi?” seloroh
Rangga.
Intan Kemuning mencibirkan bibirnya. Dan Rangga
tertawa saja, sehingga gadis itu juga jadi ikut tertawa. Intan Kemuning masih
teringat pengalamannya pertama kali bermalam di alam terbuka, dan tidak mungkin
terlupakan seumur hidup. Betapa tidak...?
Untuk pertama kalinya gadis itu harus tidur, namun
hanya beralaskan rerumputan saja. Belum lagi nyamuk-nyamuk yang selalu merubungi,
membuatnya tidak bisa memejamkan mata sepanjang malam. Sedangkan Pendekar
Rajawali Sakti hanya menertawakan saja.
“Aku heran waktu itu, Kakang. Kenapa tidak ada
seekor nyamuk pun yang mendekatimu?” tanya Intan Kemuning, mengenang masa
lalunya bersama pemuda berbaju rompi putih itu.
“Aku tidak pernah mengusik dan menyakiti mereka.
Makanya mereka juga tidak pernah mengusikku,” sahut Rangga seenaknya.
“Huh! Badanmu saja yang bau. Tidak pernah mandi!”
cibir Intan Kemuning, mengolok lagi.
“Sembarangan...!”
Intan Kemuning tertawa lepas. Namun Rangga bisa
merasakan kalau tawa gadis itu terdengar agak sumbang, meskipun masih terdengar
merdu dan lepas berderai. Pendekar Rajawali Sakti memandangi Intan Kemuning
dalam-dalam.
“Jangan memandangku begitu, Kakang,” tegur Intan
Kemuning jengah.
“Intan, persoalan apa sebenarnya yang kau bawa?”
tanya Rangga, membawa kembali pada pokok tujuan mereka datang ke lembah sunyi
ini.
Saat itu juga wajah Intan Kemuning berubah mendung.
Kepalanya tertunduk menekuri tanah berumput di depannya. Rangga semakin dalam
memandangi gadis yang duduk di depannya ini. Hatinya semakin yakin kalau ada
suatu persoalan berat yang dialami si Putri Rajawali Hitam ini. Biasanya Intan
Kemuning begitu ceria dan manja. Tapi sekarang, mudah sekali terselimut
mendung.
“Kau memintaku ke sini untuk masalahmu itu,
bukan...?” desah Rangga.
“Maaf, aku telah menyusahkanmu,” ucap Intan
Kemuning pelan.
Perlahan-lahan pula wajahnya terangkat. Seketika
pandangan mereka bertemu pada satu titik. Agak lama juga mereka saling
berpandangan. Dan perlahan-lahan Intan Kemuning memalingkan muka, memandang ke
arah lain. Gadis itu selalu saja tidak sanggup membalas pandangan mata Pendekar
Rajawali Sakti. Hatinya selalu bergetar setiap kali menatap mata yang
mengundang sejuta pesona itu.
“Kau bukan lagi orang lain bagiku, Intan. Apa yang
menjadi persoalanmu, juga menjadi persoalanku. Susah senang kita rasakan
bersama, Intan. Apa gunanya sahabat jika tidak peduli kesulitan sahabatnya...?”
lembut sekali suara Rangga.
“Aku selalu saja merepotkanmu.”
“Jangan berkata seperti itu, Intan. Satu saat
kelak, aku pasti akan meminta bantuan padamu.”
“Kau selalu saja bisa menghiburku, Kakang.”
“Roda tidak pernah berhenti berputar, Intan.
Ingatlah itu. Mungkin sekarang ini aku berada di atas. Tapi entah besok, atau
lusa, mungkin juga aku akan berada paling bawah. Tidak selamanya manusia itu
menikmati kesenangan. Suatu saat, pasti akan mengalami kesulitan juga. Sekarang
tinggal tergantung kita sendiri, apakah mampu mengatasi segala persoalan, atau
tidak.”
“Kau benar, Kakang. Kita memang saling bergantung
satu sama lainnya. Tidak mungkin bisa hidup sendiri.”
“Nah! Sekarang, ceritakan. Apa kesulitanmu?” pinta
Rangga.
Sebentar Intan Kemuning menarik napas panjang,
seakan-akan sedang mengumpulkan kekuatan untuk mengatakan persoalan yang sedang
dihadapinya saat ini. Sementara Rangga masih sabar menunggu.
“Persoalan ini menyangkut keutuhan keluarga istana,
Kakang,” pelan sekali suara Intan Kemuning.
“Maksudmu..., keluarga Prabu Galung...?” tanya
Rangga ingin memastikan.
“Bukan hanya itu saja. Ini juga menyangkut mati
hidupnya Kerajaan Galung,” sambung Intan Kemuning.
“Hei...! Sampai sejauh itukah...?” Rangga terkejut.
“Apa sebenarnya yang terjadi, Intan? Ceritakanlah dengan jelas.”
“Mereka sekarang menguasai istana dan menawan
seluruh anggota keluarga Prabu Galung. Bahkan hampir semua pembesar mengungsi.
Sedangkan yang mencoba bertahan, mati dibunuh atau dimasukkan ke dalam penjara.
Aku sudah coba membebaskan Prabu Galung dan keluarganya. Tapi mereka memang
tangguh. Bahkan aku sempat terluka dalam suatu pertarungan. Untungnya Rajawali
Hitam cepat membawaku pergi, sehingga tidak sampai terlalu parah.”
“Mereka? Mereka siapa, Intan?” tanya Rangga.
“Inilah yang membuatku tidak habis mengerti,
Kakang. Mereka berjumlah empat orang, dan menjuluki dirinya Empat Dewa Keadilan
dari Selatan. Dan satu lagi...,” suara Intan Kemuning terputus, seraya
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Gadis itu tidak yakin pada dirinya sendiri.
Sedangkan Rangga jadi berkerut keningnya. Dirasa-kan ada sesuatu yang berat dan
tidak diyakini gadis ini. Sesuatu yang sukar dipercaya.
“Hik hik hik...!”
Tiba-tiba saja terdengar suara tawa terkikik.
Rangga dan Intan Kemuning, langsung melompat bangkit berdiri. Mereka berdiri
saling bersisian. Tawa mengikik itu demikian jelas dan mengejutkan. Bahkan
menggema, seakan-akan datang dari delapan penjuru mata angin.
“Siapa pun kau, keluarlah...!” teriak Rangga
lantang. Suara Pendekar Rajawali Sakti itu menggema ke seluruh lembah berumput
ini, karena disalurkan lewat pengerahan tenaga dalam yang sempurna. Meskipun
Rangga sudah menutup mulutnya, namun suaranya masih juga menggaung terbawa
angin yang berhembus kencang malam ini.
Namun tidak ada sahutan sama sekali. Suasana di
lembah ini begitu sunyi. Bahkan sedikit pun tak terdengar suara binatang malam,
kecuali deru angin yang mengusik telinga.
“Kau mengenali suaranya, Intan...?” tanya Rangga
berbisik perlahan.
“Tidak,” sahut Intan Kemuning juga berbisik.
“Apa kau sudah memeriksa lembah ini sebelum
memilihnya?” tanya Rangga lagi, tetap pelan suaranya.
“Sudah,” sahut Intan Kemuning. “Lembah ini berada
di tengah-tengah Hutan Krambang, dan jarang sekali didatangi siapa pun. Bahkan
desa terdekat saja, jauhnya dua hari perjalanan berkuda.”
“Lalu, siapa pemilik suara tawa itu...?” Rangga
bertanya-tanya sendiri di dalam hati.
Dan pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti itu terjawab
ketika sebuah bayangan biru berkelebat cepat, menuruni sebuah tebing tidak jauh
di depan mereka. Bayangan biru itu bergerak cepat bagaikan kilat, seakan-akan
melayang bagaikan seekor burung yang menembus kegelapan malam. Saat ini senja
memang sudah berganti malam. Seluruh lembah terbalut oleh kegelapan. Hanya
bulan saja yang menyorot lembut dengan cahayanya yang temaram, ditambah cahaya
api unggun yang berada di belakang Rangga dan Intan Kemuning.
Bayangan biru itu berhenti tepat sekitar tiga
batang tombak di depan kedua pendekar muda itu. Dalam siraman cahaya bulan,
tampak kalau bayangan itu adalah seorang perempuan tua bertubuh bungkuk. Dia
mengenakan baju warna biru panjang dan longgar. Di tangannya, tergenggam
sebatang tongkat lurus berwarna coklat tua. Tampak pada bagian tengah tongkat
itu terdapat sebuah cincin keemasan.
“Nisanak. Siapa kau, sehingga bersedia mengunjungi
kami malam-malam begini?” tanya Rangga sopan.
“Seharusnya aku yang bertanya begitu pada kalian!”
bentak perempuan itu, ketus.
Suaranya terdengar kering dan serak menggetarkan.
Rangga sempat terkesiap mendengarnya. Namun Pendekar Rajawali Sakti tetap
bersikap tenang dan sopan. Sedangkan Intan Kemuning mulai mendesis. Gadis itu
tidak senang mendengarnya. Karena jawaban perempuan tua itu demikian ketus.
Sedangkan Rangga tadi sopan sekali bertanya.
“Maaf. Apakah kedatangan kami ke sini mengganggumu,
Nisanak?” ucap Rangga tetap sopan.
“Mau apa kalian ke sini?” perempuan tua itu malah
balik bertanya.
“Kami hanya mengadakan pertemuan. Sudah lama kami
tidak berjumpa. Dan ini semacam pertemuan untuk....”
“Berbuat cabul di sini!” bentak perempuan tua itu,
memutuskan kata-kata Rangga.
“Sama sekali tidak, Nisanak,” bantah Rangga, masih
tetap sopan dan lembut suaranya.
Bahkan Pendekar Rajawali Sakti menyunggingkan
senyuman. Entah apa artinya. Mungkin hatinya geli mendengar tuduhan yang begitu
gamblang dan langsung, tanpa berpikir panjang lebih dahulu.
“Sebaiknya kalian cepat pergi dari sini, atau
terpaksa aku harus menggunakan kekerasan!” usir perempuan tua berjubah biru itu
tegas.
“Nisanak. Kuminta kau menahan sedikit mulutmu!”
sentak Intan Kemuning, mulai panas telinganya mendengar tuduhan yang tidak
berdasar itu.
“Sabar, Intan,” bujuk Rangga, meminta gadis itu
menahan diri.
“Huh! Dia sudah keterlaluan, Kakang,” rungut Intan
Kemuning.
Meskipun Intan Kemuning kini seorang pendekar
berkepandaian tinggi, tapi sikap manjanya belum juga hilang. Terlebih lagi,
gadis itu terbiasa hidup di lingkungan kerajaan yang berlatar belakang tata
krama tinggi. Bicara pun harus teratur baik. Terlebih lagi sikap dan tingkah
lakunya yang selalu diatur oleh berbagai macam peraturan ketat.
Intan Kemuning memang tidak terbiasa hidup di dalam
kaum rimba persilatan, yang pola hidupnya tidak pernah mengenal tata krama.
Gadis itu masih bisa dikatakan seumur jagung di dalam rimba persilatan yang
keras dan penuh segala macam persoalan. Bahkan cara-cara kotor seringkali
digunakan. Dan terus terang kehidupan seperti ini masih asing bagi Intan
Kemuning. Tidak heran kalau hatinya cepat tersinggung mendengar kata-kata
perempuan tua berjubah biru itu.
“Sebaiknya kalian cepat pergi. Aku tidak suka
daerah kekuasaanku dijadikan tempat mesum!” bentak perempuan tua berjubah biru
itu ketus.
“Keparat..,” geram Intan Kemuning, memerah
wajahnya.
Tap!
Rangga cepat menangkap tangan gadis itu, yang sudah
terangkat hendak melakukan serangan. Intan Kemuning menatap tajam Pendekar
Rajawali Sakti. Tapi mendapat tatapan balasan yang begitu tegas dan memancarkan
suatu kekuatan yang sukar dilawan, gadis itu menurunkan tangannya kembali. Kini
ditatapnya perempuan berjubah biru itu tajam-tajam.
“Kami berjanji akan segera pergi setelah selesai,
Nisanak,” kata Rangga, tetap bersikap sopan.
“Tidak! Kalian harus pergi segera...!” bentak
perempuan tua itu tegas.
“Baiklah...,” Rangga mengangkat bahunya, menyerah.
Pendekar Rajawali Sakti cepat menarik tangan Intan
Kemuning. Sebenarnya gadis itu masih geram atas perlakuan perempuan tua itu,
tapi akhirnya menuruti saja. Mereka mendekati burung rajawali raksasa
runggangan mereka berdua. Dengan gerakan yang indah, kedua pendekar muda itu
melompat naik, dan hinggap di punggung tunggangannya masing-masing.
“Kita pergi dari sini, Rajawali Putih,” ujar Rangga
seraya menepuk leher burung raksasa itu. “Ayo, Intan...!”
“Khraghk...!”
Sekali mengepakkan sayapnya saja, dua burung
rajawali raksasa itu melambung tinggi ke angkasa. Sementara perempuan tua
berjubah biru itu memandangi dengan bibir menyunggingkan senyuman tipis.
Perempuan tua itu tidak merasa aneh melihat dua anak muda itu pergi dengan
menunggang burung rajawali raksasa. Karena, dia memang pernah mendengar tentang
dua orang pendekar yang memiliki burung rajawali raksasa. Namun secara jujur,
hatinya tercekat juga melihat begitu besarnya dua ekor rajawali milik Pendekar
Rajawali Sakti dan Putri Rajawali Hitam.
“Intan Kemuning.... Rupanya kau adalah Putri
Rajawali Hitam. Bagus...! Kau mengundang Pendekar Rajawali Sakti. Ha ha ha...!”
Perempuan tua itu tertawa keras terbahak-bahak,
seraya duduk bersila di dekat api unggun yang dibuat Rangga. Sebentar dia
melakukan sikap bersemadi, kemudian matanya dipejamkan.
“Ke sini kalian. Sudah aman...,” kata perempuan tua
itu, pelan.
Namun suara yang dikeluarkan lewat kekuatan tenaga
dalam dan batin yang tinggi, terdengar sampai ke seluruh lembah ini. Bahkan
sampai ke puncak bukit yang mengelilingi lembah berpadang rumput ini. Tak
berapa lama kemudian, terlihat empat buah bayangan berkelebatan cepat tengah
meluncur menuruni bukit.
Perempuan tua itu tersenyum seraya membuka matanya.
Dipandanginya empat bayangan yang bergerak cepat menuju ke arahnya. “
He he he....”
***
DUA
Sementara itu di angkasa, dua burung rajawali
raksasa masih melayang-layang di atas lembah padang rumput itu. Dua pendekar
muda yang menungganginya, selalu memperhatikan ke bawah. Di situ, terlihat lima
orang duduk melingkari api unggun kecil, di bawah pohon yang cukup besar dan
rimbun. Rangga yang duduk di punggung Rajawali Putih, mengalihkan perhatian
pada Intan Kemuning. Pada saat yang sama, gadis itu juga memandang ke arah
Pendekar Rajawali Sakti.
“Kau bisa mendengar pembicaraan mereka, Kakang?”
tanya Intan Kemuning.
“Tidak. Jaraknya terlalu tinggi,” sahut Rangga.
“Tapi kau sudah menguasai aji 'Pembeda Gerak dan
Suara', kan?”
“Ajian itu bukan untuk mendengar dari atas, Intan.
Tidak akan berarti apa-apa, meskipun telah kusempurnakan.”
“Apa itu salah satu kelemahannya, Kakang?”
“Benar. Aji 'Pembeda Gerak dan Suara' hanya bisa
digunakan kalau kaki menyentuh tanah. Karena, dari tanahlah sumber segala yang
ada di alam ini, sehingga dapat mengirimkan getaran-getaran sehalus apa pun
juga,” jelas Rangga.
“Kau tidak bisa menggunakan udara, Kakang?” tanya
Intan Kemuning.
Rangga menggeleng.
“Kenapa?”
“Setiap orang punya kelemahan, Intan. Dan aku bukan
dewa yang bisa segalanya. Aku tidak tahu, apakah nantinya bisa mempergunakan
udara sebagai penghubung, atau tidak,” sahut Rangga merendah.
“Kau sudah pernah mencobanya, Kakang?”
“Sudah, tapi belum bisa memecah suara yang datang.”
“Kalau begitu, kau pasti mampu mempergunakan udara
sebagai penghubung. Aku yakin, Kakang.”
“Terima kasih.”
Mereka memang tetap berada di udara, dan terus
memperhatikan lima orang yang duduk melingkari api unggun kecil di lembah bawah
sana. Sayang sekali, Pendekar Rajawali Sakti belum mampu mempergunakan udara
sebagai penghubung lewat aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Jadi, pembicaraan lima
orang itu tidak dapat didengarkannya.
“Tampaknya mereka akan pergi, Kakang,” kata Intan
Kemuning.
Lima orang itu memang bergerak memencar
meninggalkan lembah ini, menuju lima arah mata angin. Gerakan mereka begitu
cepat dan ringan. Sehingga dalam waktu sebentar saja, sudah lenyap tak terlihat
lagi. Hilang ditelan kerimbunan pepohonan lebat di sekitar bukit yang
mengelilingi lembah ini.
“Ayo kita turun, Intan,” ajak Rangga.
“Untuk apa?” tanya Intan Kemuning.
“Dari sana kita bisa langsung ke Kerajaan Galung
dengan jalan kaki.”
Intan Kemuning tidak membantah. Lembah ini memang
masih termasuk wilayah Kerajaan Galung. Dan memang tidak mungkin bila masuk ke
kotaraja menunggang rajawali. Hal ini akan menarik perhatian orang banyak. Dan
tentu saja bisa menyulitkan ruang gerak mereka nantinya.
Putri Rajawali Hitam menyuruh rajawali
tunggangannya untuk mengikuti Rangga yang sudah meluncur turun bersama Rajawali
Putih tunggangannya. Kedua burung rajawali raksasa itu meluncur cepat bagaikan
kilat seperti ingin saling susul. Sehingga dalam waktu sekejap saja, kedua
pendekar muda itu sudah melompat turun dari punggung rajawali tunggangan
masing-masing.
“Kau boleh pergi, Rajawali Putih,” ujar Rangga
seraya menepuk leher Rajawali Putih.
“Khrrr...!”
“Tidak perlu khawatir. Kalau kau kuperlukan, pasti
aku akan memanggilmu,” kata Rangga, seakan-akan bisa mengerti arti suara burung
raksasa itu.
“Khraghk...!”
Rajawali Putih langsung membumbung tinggi ke
angkasa. Dan pada saat yang bersamaan, Rajawali Hitam juga melesat naik
menyusul. Rangga dan Intan Kemuning memandangi kedua burung raksasa itu sampai
lenyap di batik awan.
“Sampai di mana kita tadi, Intan?” tanya Rangga
ingin menyambung pembicaraan mereka yang terputus tadi.
Intan Kemuning tidak langsung menjawab. Mungkin
sudah lupa dengan pembicaraan yang terputus tadi, karena kemunculan perempuan
tua berjubah biru yang tidak dikenal sama sekali.
“Kakang.., sepertinya empat orang yang tadi
berkumpul di sini kukenali,” kata Intan Kemuning dengan nada suara terdengar
ragu-ragu.
“Kau benar-benar mengenali mereka, Intan?” desak
Rangga ingin memastikan.
“Dari pakaiannya, mereka seperti Empat Dewa
Keadilan dari Selatan,” pelan sekali suara Intan Kemuning.
Gadis itu masih belum yakin, karena jarak dari
tempat ini tadi begitu jauh sekali. Dan lagi, malam begitu pekat. Sehingga,
sulit untuk melihat dengan jelas.
“Kalau memang benar, lalu siapa yang seorang lagi?”
tanya Rangga.
“Entahlah.... Aku baru melihatnya tadi,” sahut
Intan Kemuning, tidak yakin dengan dirinya sendiri.
“Sebaiknya kita ke kotaraja sekarang saja, Intan,”
usul Rangga.
“Tidak menunggu sampai pagi nanti, Kakang?”
“Kalau berangkat sekarang, pagi-pagi nanti sudah
sampai di kotaraja.”
“Lalu?”
“Ya..., kita langsung saja ke istana.”
“Itu sama saja bunuh diri, Kakang.”
“Kenapa? Bukankah mereka ada di dalam istana
semua?”
“Memang benar, Kakang. Tapi, kau harus ingat.
Mereka rata-rata memiliki kemampuan tinggi. Sebaiknya cari jalan yang terbaik
dulu, lalu kita bebaskan mereka yang menjadi tawanan. Kalau Gusti Prabu dan
keluarganya sudah selamat, baru kita hadapi iblis-iblis keparat itu, Kakang,”
saran Intan Kemuning.
“Baiklah,” Rangga menyerah.
Dan memang, saran dan rencana yang diajukan Intan
Kemuning lebih kecil risikonya. Dan lagi mereka memang harus memikirkan lebih
dahulu keselamatan. Tanpa banyak bicara lagi, kedua pendekar muda itu melangkah
meninggalkan tempat ini.
Mereka mendaki bukit dengan menggunakan ilmu
meringankan tubuh. Begitu cepat dan indah sekali, sehingga dalam sebentar saja
mereka sudah berada di tepi puncak bukit. Mereka terus bergerak, berlari cepat
menembus lebatnya hutan.
***
Seperti yang diperkirakan Rangga, tepat di saat
matahari terbit dari Timur, mereka sampai di Kota Kerajaan Galung. Begitu
menginjakkan kaki di wilayah kekuasaan sahabatnya ini, Pendekar Rajawali Sakti
sudah mulai merasakan adanya ketidakberesan. Suasana pagi di pusat pemerintahan
Kerajaan Galung ini begitu sunyi. Hanya ada beberapa orang yang sudah lanjut
usia saja, yang sudah bangun. Mereka hanya duduk saja mencangkung di beranda
depan.
Masih setengah hari lagi mereka berjalan kaki untuk
mencapai Istana Galung. Kota Kerajaan Galung ini memang luas. Bahkan luasnya
tiga kali Kota Kerajaan Karang Setra. Kesunyian di pagi ini, mendadak saja
pecan oleh teriakan-teriakan orang berkuda dari arah depan.
Tampak serombongan orang berkuda berpacu cepat
membelah jalan. Debu mengepul membumbung tinggi ke angkasa. Beberapa orang tua
yang berada di depan rumah, bergegas masuk ke dalam rumah masing-masing. Rangga
dan Intan Kemuning saling berpandangan sejenak. Intan Kemuning menarik tangan Pendekar
Rajawali Sakti, dan membawanya ke tepi. Mereka masuk ke dalam beranda depan
sebuah rumah yang dekat di pinggir jalan. Intan Kemuning kemudian mengambil
sebuah caping bambu, dan mengenakannya.
“Untuk apa kau menyembunyikan diri, Intan?” tegur
Rangga.
“Aku tidak ingin mereka mengenaliku,” sahut Intan
Kemuning.
Pada saat itu rombongan berkuda sudah dekat. Ada
sekitar lima belas orang. Darah di tubuh Rangga agak berdesir tatkala melihat
orang yang berkuda paling depan. Tampak seorang perempuan tua mengenakan jubah
warna biru, dengan tongkat tergenggam di tangan kanan.
“Intan..., kau lihat perempuan tua itu?” tanya
Rangga agak berbisik.
“Lihat,” sahut Intan Kemuning.
“Kau mengenalnya, bukan?”
Intan Kemuning tidak menyahut. Saat itu rombongan
berkuda itu melewati jalan di depan rumah, tempat Rangga dan Intan Kemuning
duduk di beranda depan rumah itu. Rangga terus memperhatikan sampai rombongan
berkuda itu jauh melewati. Intan Kemuning baru melepaskan caping yang menutupi
wajahnya, ketika suara gemuruh derap kaki kuda sudah tidak terdengar lagi.
Diletakkannya caping itu pada tempatnya kembali.
“Kenapa kau tidak mengakui kalau mengenalnya
semalam, Intan?” tanya Rangga mendesak.
Intan Kemuning tidak menjawab. Gadis yang dikenal
berjuluk Putri Rajawali Hitam itu bergegas melangkah ke luar. Dia terus
berjalan cepat menuju ke pusat kota. Rangga mengikuti, dan mensejajarkan
langkah di sampingnya.
“Intan, kau mendengar pertanyaanku, bukan? Kenapa
kau berpura-pura tidak mengenalnya?” Rangga terus mendesak meminta penjelasan.
“Kalau aku beritahukan kau semalam, akan jadi rumit
permasalahannya,” sahut Intan Kemuning.
“Itu bukan alasan yang tepat, Intan,” Rangga tidak
menerima alasan yang diberikan gadis ini.
“Dia bernama Nyai Walungkar,” Intan Kemuning
memberi tahu.
“Dan prajurit berkuda tadi?”
“Bukan prajurit. Mereka hanya mengenakan seragam
prajurit saja.”
Rangga mengerutkan keningnya. Sungguh tidak
disangka kalau Kerajaan Galung yang begitu besar dan kuat, kini telah jatuh dan
dikuasai oleh orang-orang berkepandaian tinggi. Itu bisa dipastikan Pendekar
Rajawali Sakti, karena Intan Kemuning tidak mungkin meminta bantuannya kalau
masih bisa mengatasi sendiri. Rangga jadi bertanya-tanya di dalam hati, setelah
melihat sikap Intan Kemuning yang tampaknya enggan untuk membicarakan perempuan
tua yang bernama Nyai Walungkar itu.
“Kau punya persoalan dengannya, Intan?” tanya
Rangga bernada menyelidik.
“Aku pernah bentrok dengannya,” pelan sekali suara
Intan Kemuning.
Mereka terus saja berjalan cepat melintasi jalan
berdebu. Sepanjang jalan ini, tidak seorang pun yang mereka temui lagi. Dan
rumah-rumah di sepanjang jalan ini begitu sepi, dengan pintu dan jendela
tertutup rapat. Tempat ini seperti tidak berpenghuni. Tapi Rangga bisa
merasakan adanya kehidupan di balik pintu yang tertutup rapat
“Dan...?” desak Rangga ingin tahu.
“Aku kalah,” sahut Intan Kemuning singkat
“Itu sebabnya, kenapa kau tidak memberitahuku
semalam...?”
Intan Kemuning tidak menyahut. Gadis itu hanya diam
saja, dan terus mengayunkan kakinya. Pandangan matanya lurus ke depan.
Sementara Rangga yang berjalan di sampingnya, terus memperhatikan. Pendekar
Rajawali Sakti semakin yakin kalau ada sesuatu di balik semua peristiwa yang
menimpa Kerajaan Galung Sesuatu yang pasti menyangkut diri gadis ini
“Intan, apa sebenarnya yang terjadi?” tanya Rangga
“Nanti saja kau tanyakan pada ayah, Kakang,” sahut
Intan Kemuning mengelak.
“Kenapa harus ayahmu?”
Lagi-lagi Intan Kemuning diam saja.
“Baiklah.... Aku tidak akan bertanya lagi sampai
bertemu ayahmu. Mudah-mudahan saja semua ini bukan karena kau yang membuatnya,”
ujar Rangga menyerah.
Rangga teringat peristiwa ketika Intan Kemuning
membuat ulah dengan menantang jago-jago rimba persilatan, yang akhirnya merembet
sampai ke istana. Dan kata-kata Pendekar Rajawali Sakti barusan, rupanya juga
membuat kenangan gadis itu kembali pada peristiwa saat dirinya baru pertama
kali merasakan pertarungan. Dan ternyata pertarungan itu menimbulkan suatu
kesalahan besar dan menyulitkan semua orang. Tapi semua itu memang ada
hikmahnya juga. Dengan begitu, Intan Kemuning bisa bertemu Rajawali Hitam,
hingga sekarang dia dikenal berjuluk Putri Rajawali Hitam.
“Jangan khawatir, Kakang. Aku bukan gadis manja
lagi,” tegas Intan Kemuning.
Rangga hanya tersenyum getir.
“Intan, sepertinya ini bukan menuju ke istana,”
Rangga baru menyadari kalau jalan yang dilalui bukan menuju istana.
“Memang bukan,” sahut Intan Kemuning.
“Bukankah ini menuju Puri Kencana...?”
Intan Kemuning hanya tersenyum saja. Rangga memang
mengenal betul seluk beluk jalan di wilayah Kerajaan Galung ini. Dan dia yakin
kalau jalan yang dilaluinya bukan menuju istana, melainkan ke sebuah bangunan
batu yang dianggap suci oleh seluruh rakyat Galung. Setiap bulan purnama Prabu
Galung selalu memberikan puji-pujian pada Dewata di dalam puri itu. Dan kini
puri itu dijadikan tempat persembunyian Patih Giling Wesi.
Kedua pendekar muda itu terus berjalan menyusuri
jalan setapak yang berumput agak tebal. Dari jejak-jejak yang tertera di
sepanjang jalan ini, terlihat jelas banyak jejak kaki kuda yang tampaknya masih
baru. Setelah melewati tikungan di depan sana, mereka akan sampai di depan
halaman puri.
“Cepat ke sini, Kakang...!” bisik Intan Kemuning.
Belum lagi Rangga bisa membuka mulut, Intan
Kemuning dengan cepat menarik tangannya, dan membawanya masuk ke dalam sebuah
semak tidak jauh dari tikungan jalan. Rangga agak terkejut, tapi cepat
mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Sehingga Intan Kemuning mudah menarik
Pendekar Rajawali Sakti masuk ke dalam semak.
“Intan, ada ap....”
“Ssst..!”
Rangga langsung terdiam. Saat itu terdengar suara
langkah kaki dari tikungan jalan. Tak lama kemudian, muncul dua orang laki-laki
berseragam prajurit. Dan begitu mereka melewati semak tempat Rangga dan Intan
Kemuning bersembunyi, mendadak saja Putri Rajawali Hitam melompat ke luar.
“Hup...!”
Kedua prajurit itu terkejut Tapi sebelum mereka
sempat melakukan sesuatu, Intan Kemuning sudah lebih dahulu menyarangkan
pukulan telak ke dada.
Des!
Deghk!
Tak ada keluhan sedikit pun juga. Kedua prajurit
itu langsung jatuh tersungkur begitu dadanya terkena pukulan telak dari Intan
Kemuning. Cepat gadis itu menyeret kedua prajurit masuk ke dalam semak.
Sementara Rangga sudah keluar dari semak yang lain. Intan Kemuning kemudian
menutupi tubuh dua prajurit itu dengan daun-daun kering, kemudian menghampiri
Rangga.
“Kau tidak membunuhnya ’kan, Intan?” tanya Rangga
seraya melirik ke dalam semak.
“Tidak. Aku hanya membuatnya pingsan,” sahut Intan
Kemuning.
“Kenapa kau lakukan itu?”
“Mengurangi beban,” ringan sekali jawaban Intan
Kemuning. “Ayo....”
“Apa maksudmu, Intan...?”
Rangga semakin kebingungan saja. Tidak biasanya
Intan Kemuning membuat teka-teki seperti ini. Penuh rahasia dan tidak mau
berterus terang. Keheranan Pendekar Rajawali Sakti semakin menjadi ketika
melihat raut wajah Intan Kemuning nampak menegang. Dan ayunan kakinya bertambah
pelan. Tatapan matanya pun begitu tajam, lurus ke depan.
Srek! Srek!
“Berhenti...!”
Intan Kemuning begitu terkejut ketika tiba-tiba
saja terdengar bentakan keras, disusul bermunculannya orang-orang berpakaian
prajurit. Rangga langsung menghentikan langkahnya. Di sekeliling mereka sudah
mengepung sekitar dua puluh orang berpakaian prajurit yang bersenjatakan tombak
dan pedang terhunus.
Dari balik sebatang pohon yang berada tepat di
depan kedua pendekar muda itu, muncul seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap.
Dia mengenakan baju warna merah menyala. Di pinggangnya, tampak tergantung
sebilah pedang, yang gagangnya dihiasi batu permata. Wajahnya cukup tampan.
Tapi sorot matanya begitu liar, melahap wajah Intan Kemuning yang cantik bagai
bidadari.
“Kau datang lagi, Intan,” kata laki-laki berusia
sekitar tiga puluh tahun itu. Dia tersenyum menyeringai pada Intan Kemuning.
“Siapa dia, Intan?” tanya Rangga.
“Raden Manggala,” sahut Intan Kemuning.
“Raden Manggala...?” gumam Rangga seraya menatap
laki-laki berbaju merah di depannya.
“Aku sudah lama menunggumu, Intan. Semua sudah
dipersiapkan untuk perkawinanku. Di mana kau sembunyikan Putri Ratna Kumala?”
dingin sekali suara Manggala, tanpa mempedulikan Rangga.
Mendengar kata-kata itu, Rangga menatap Intan
Kemuning dalam-dalam. Pendekar Rajawali Sakti sungguh terkejut. Tidak disangka
kalau pemuda berbaju merah itu menuduh Intan Kemuning menyembunyikan Putri
Ratna Kumala. Bahkan sudah mempersiapkan perkawinannya segala.
Belum juga Pendekar Rajawali Sakti meminta
penjelasan, Manggala sudah melompat menerkam Intan Kemuning. Tangannya menjulur
ke arah dada gadis berbaju hitam itu. Namun manis sekali, Intan Kemuning
meliukkan tubuhnya. Sehingga, terkaman Manggala dapat dihindari.
“Hei, tunggu...!” sentak Rangga ketika Manggala
sudah siap hendak menerjang lagi.
“Hm, siapa kau?!” dengus Manggala seraya menatap
Pendekar Rajawali Sakti lekat-lekat “Minggir! Ini bukan urusanmu...!”
Manggala tidak mempedulikan bentakan Pendekar Rajawali
Sakti, dan langsung melompat menerjang Intan Kemuning kembali. Jari tangan
telunjuknya menegang kaku, mengarah ke pusat jalan darah di tubuh Putri
Rajawali Hitam. Dari serangan yang dilakukan, jelas kalau Manggala berusaha
melumpuhkan Intan Kemuning, tanpa melukainya. Sepertinya, dia hendak menotok
pusat jalan darah. Dan memang, itu adalah jurus 'Jari Maut' yang merupakan
jurus andalan Manggala. Jurus itu sangat dahsyat. Selama ini, belum ada lawan
yang dapat bertahan lama jika Manggala sudah mengeluarkan jurus mautnya. Dan
memang, tampaknya Intan Kemuning sangat hati-hati menghadapinya.
Tapi Intan Kemuning bukanlah gadis manja lagi.
Dengan gerakan lincah dan manis sekali, setiap serangan yang dilakukan pemuda
berbaju merah itu dapat dihindarinya. Sedangkan Rangga hanya bisa memperhatikan
saja. Pendekar Rajawali Sakti memang belum tahu persis permasalahannya,
sehingga tidak ingin turut campur sebelum mengetahui persoalan yang terjadi di
antara Intan Kemuning dan Manggala. Namun benaknya terus berpikir keras. Apa
yang tengah terjadi antara mereka berdua?
TIGA
Pertarungan antara Intan Kemuning dan Manggala,
terus berlangsung sengit. Beberapa kali serangan pemuda berbaju merah itu
hampir mengenai sasaran. Namun sampai sejauh ini, gadis yang berjuluk Putri
Rajawali Hitam itu masih dapat mematahkan setiap serangan yang datang.
Sedangkan Rangga sudah tidak dapat lagi berbuat apa-apa. Dia sudah mencoba
mencegah, tapi Manggala malah terus menyerang Putri Rajawali Hitam. Dan
Pendekar Rajawali Sakti tidak mungkin terjun dalam pertarungan, karena bukan
sifat satria jika mengeroyok lawan.
“Kalian semua, serang anak muda itu...!” perintah
Manggala di dalam pertarungannya.
Rangga terkejut mendengar perintah itu. Dan belum
lagi keterkejutannya lenyap, dua puluh orang prajurit yang mengepung tempat itu
sudah berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Dan Rangga tidak dapat
berbuat apa-apa lagi, selain melentingkan tubuhnya ke udara, sebelum para
prajurit dekat dengannya.
Namun selagi tubuh pemuda berbaju rompi putih itu
berputaran di udara, beberapa batang tombak berhamburan ke arahnya. Sejenak
Rangga terperangah, tapi cepat mengibaskan tangannya. Disampoknya tombak-tombak
yang meluruk ke arahnya. Beberapa tombak berhasil dihalau, dan Pendekar
Rajawali Sakti menangkap sebatang tombak. Dengan tombak itu, tombak-tombak
lainnya yang masih meluncur dirontokkan olehnya.
Rangga cepat meluruk turun. Dibuangnya tombak yang
tadi sempat ditangkapnya. Pada saat itu, dua orang berpakaian prajurit sudah
melompat cepat sambil mengibaskan pedang. Cepat Rangga memiringkan tubuhnya ke
kanan, menghindari satu sabetan pedang yang datang lebih dahulu. Dan pada saat
yang tepat, ditangkapnya tangan prajurit itu. Lalu, diputarnya untuk menangkis
tebasan pedang yang datang menyusul dengan cepat.
Trang!
Dua pedang beradu di depan Pendekar Rajawali Sakti.
Pemuda berbaju rompi putih itu cepat memutar tubuhnya. Seketika satu tendangan
keras dilepaskan, disusul satu pukulan tanpa disertai pengerahan tenaga dalam
sedikit pun juga. Dua prajurit yang menyerangnya, meraung keras. Dan tubuh
mereka seketika terpental sekitar dua batang tombak ke belakang.
Belum juga Rangga bisa menarik napas lega, prajurit
lainnya segera meluruk menyerangnya. Kembali Pendekar Rajawali Sakti
berpelantingan di udara, menghindari serangan yang datang dari segala arah.
Bahkan Pendekar Rajawali Sakti terpaksa memberi pukulan-pukulan telak yang
keras, meskipun tidak disertai pengerahan tenaga dalam. Namun demikian, mereka
yang terkena pukulan itu, merasakan seperti terhantam sebuah palu godam yang
terbuat dari baja. Mereka meraung, dan berpentalan begitu terkena pukulan yang
dilepaskan Rangga.
“Huh! Mereka benar-benar kuat. Aku harus
melumpuhkannya untuk sementara,” dengus Rangga dalam hati.
Memang para prajurit itu langsung bangkit begitu
terjengkang setelah terkena pukulan, dan langsung menyerang membantu yang lain.
Rangga terpaksa menggunakan sedikit tenaga dalam. Tapi kali ini pukulannya
diarahkan pada pusat jalan darah. Dan mereka yang terkena, tidak sanggup
bangkit lagi. Langsung jatuh tergeletak di tanah. Tubuh mereka lemas tak
bertenaga, dan hanya dapat merintih, tak mampu lagi bergerak sedikit pun juga.
Gerakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti
demikian cepat. Sehingga, sukar bagi para prajurit itu untuk cepat menghindar.
Dan dalam waktu yang tidak berapa lama saja, dua puluh prajurit sudah
bergelimpangan tak mampu bergerak lagi. Hanya kepala saja yang masih bisa
bergerak, dengan bibir meringis memperdengarkan rintihan. Lumpuhnya dua puluh
prajurit, rupanya membuat Manggala jadi berang.
“Hup! Yeaaah...!”
Manggala melompat mundur sambil memberi satu
pukulan keras bertenaga dalam tinggi pada Intan Kemuning. Tapi Putri Rajawali
Hitam itu manis sekali mampu mengelakkannya. Begitu ringan kedua kaki Manggala
mendarat di tanah, tepat sekitar dua batang tombak di depan Intan Kemuning.
“Kenapa berhenti, Manggala?” sinis sekali suara
Intan Kemuning.
“Huh! Kali ini kau boleh merasa menang, Intan. Tapi
lain kali, kau akan memohon ampun di bawah kakiku!” dengus Manggala.
Setelah berkata demikian, Manggala melesat pergi.
Gerakannya begitu ringan dan cepat sekali. Dalam sekejap mata saja, bayangan
tubuhnya sudah lenyap ditelan lebatnya pepohonan. Intan Kemuning menghampiri
Rangga. Bibirnya tersenyum melihat dua puluh prajurit menggeletak, mengerang
lirih.
“Kau apakan mereka, Kakang?” tanya Intan Kemuning.
“Jelaskan, Intan. Apa yang sedang terjadi
sebenarnya?” Rangga tidak mempedulikan pertanyaan Intan Kemuning yang bernada
pujian itu.
“Persoalan rumit,” sahut Intan Kemuning seraya
mengayunkan kakinya meninggalkan tempat itu. “Kau tidak membuat mereka mati
perlahan-lahan, kan?”
“Sebentar juga pulih,” sahut Rangga yang berjalan
di samping gadis itu. “Intan! Kau bisa jelaskan padaku, bukan?” desak Rangga.
“Kau pasti kenal Putri Ratna Kumala,” kata Intan
Kemuning.
“Putri bungsu Prabu Galung,” sahut Rangga.
Tentu saja Rangga mengenalnya. Pasti gadis itu
sudah berusia sekitar tujuh belas tahun. Putri Ratna Kumala memang cantik.
Begitu cantiknya, sehingga membuat iri gadis-gadis lain yang berada di istana.
Tidak heran kalau Putri Ratna Kumala diberi gelar
Kembang Kedaton, karena tidak ada seorang gadis pun yang menyamai
kecantikannya. Bahkan kedua kakak perempuannya pun, tidak bisa menandingi
kecantikan gadis itu.
Kecantikan memang membuat orang yang memilikinya
merasa bangga. Tapi kecantikan dapat juga menimbulkan masalah besar. Tidak
ubahnya seperti bunga yang indah dan sarat madu. Pasti akan banyak mengundang
kumbang untuk menikmati sari madunya. Rangga mulai bisa menebak, apa yang
sedang terjadi pada keluarga Prabu Galung.
“Berapa banyak laki-laki yang tertarik padanya,
Intan?” tanya Rangga.
“Empat. Salah satunya, Manggala,” sahut Intan
Kemuning.
“Kau tadi menyebutnya dengan gelar raden. Apakah
dia keturunan bangsawan?” tanya Rangga lagi.
“Mungkin,” sahut Intan Kemuning mendesah.
“Mungkin...?” Rangga jadi heran mendengar jawaban
gadis ini.
“Aku tidak tahu pasti siapa dirinya yang
sebenarnya, Kakang. Dia sendiri yang menyebutkan namanya sebagai Raden
Manggala, ketika datang melamar Putri Ratna Kumala. Tapi lamaran itu ditolak.
Dan rupanya hatinya tidak puas dengan penolakan Prabu Galung yang halus,” jelas
Intan Kemuning.
“Lalu, siapa lagi selain Manggala?” tanya Rangga
ingin tahu.
“Jaka Keling.”
“Siapa dia?”
“Orang dari kalangan persilatan. Ilmunya sangat
tinggi. Dia sempat menewaskan lima puluh prajurit ketika lamarannya ditolak.”
“Lalu, siapa lagi?”
“Si Kembar dari Utara.”
“Hm....”
“Kau kenal, Kakang?”
“Tidak,” sahut Rangga. “Teruskan, Intan.”
“Si Kembar dari Utara sudah cukup berumur. Mungkin
sebaya ayahku. Hanya mereka yang sempat mengancam akan menculik Putri Ratna
Kumala jika lamarannya ditolak.”
“Edan...! Sudah tua seperti itu masih mau dengan
gadis muda...?” Rangga keheranan.
“Bukan untuknya, tapi untuk muridnya,” Intan
Kemuning meluruskan.
“Siapa muridnya?” tanya Rangga.
“Mandraka. Orangnya cukup tampan, tapi sikapnya
sangat urakan dan tidak tahu tata krama. Dia malah sempat membunuh dua orang
panglima.”
“Lantas, siapa sebenarnya yang kini menguasai
istana?” tanya Rangga ingin tahu lebih jelas.
“Empat Dewa Keadilan dari Selatan,” sahut Intan
Kemuning.
“Lain orang lagi?”
“Benar.”
“Ada kaitannya dengan Putri Ratna Kumala juga?”
“Kalau itu aku tidak tahu, Kakang. Sebaiknya nanti
tanyakan saja pada ayahku.”
“Intan, untuk apa kita ke Puri Kencana?” tanya
Rangga seraya memandang bangunan puri dari batu yang sudah terlihat puncaknya,
menyembul di atas pucuk dedaunan.
“Menemui ayah,” sahut Intan Kemuning.
“Ayahmu berada di puri? Lalu mereka tadi...?”
lagi-lagi Rangga dibuat bingung.
“Sudah dua pekan ayah terkurung di sana. Seluruh
pelataran puri sudah terkepung orang-orang liar yang mengenakan seragam
prajurit.”
“Sepertinya kau menuduh mereka bukan prajurit,
Intan.”
“Mereka memang bukan prajurit. Hanya seragamnya
saja yang prajurit. Lagi pula, mereka orang-orangnya Manggala, dan bukan
prajurit Galung.”
“Prajurit-prajurit berkuda yang bersama Nyai
Walungkar tadi?” Rangga seketika teringat prajurit yang berkuda bersama
perempuan tua berjubah biru.
“Sekarang ini, sukar membedakan mana prajurit asli
dan yang palsu, Kakang. Aku sendiri tidak tahu. Sepertinya mereka memiliki
prajurit masing-masing dengan seragam sama. Tapi aku tidak pernah melihat
mereka saling berhubungan satu sama lain. Aku juga tidak menemukan adanya
persekongkolan di antara mereka, Kakang,” kembali Intan Kemuning menjelaskan.
Putri Rajawali Hitam menghentikan langkahnya.
Rangga juga ikut berhenti. Mereka memandangi bangunan puri yang tampak tidak
terawat dan sunyi. Pandangan mereka beredar berkeliling. Intan Kemuning tampak
keheranan dengan keadaan yang sunyi begitu. Ketika gadis itu hendak menghampiri
puri, tapi Rangga keburu mencegah.
“Aku mendengar tarikan napas di sekeliling kita,
Intan. Hati-hatilah,” bisik Rangga perlahan.
Belum lagi Intan Kemuning menyahuti, mendadak saja
dari balik pohon, batu, dan dari atas puri, berhamburan ratusan anak panah yang
menghujani dua pendekar muda itu.
“Menyebar, Intan...!” seru Rangga. “Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”
Kedua pendekar itu berjumpalitan menghindari setiap
serangan yang datang dari segala arah. Ratusan anak panah berhamburan bagai
hujan yang tiada hentinya. Namun sampai sejauh ini, belum ada satu batang anak
panah pun yang mampu mengenai kedua pendekar muda itu. Padahal, Pendekar
Rajawali Sakti dan Putri Rajawali Hitam hanya mempunyai sedikit kesempatan
untuk menjejakkan kakinya di tanah. Sebab begitu mendarat, mereka harus segera
melenting kembali, dan berputaran menghindari setiap anak panah yang datang.
“Hap!”
Tap! Tap...!
Rangga mengibaskan tangannya, menangkap beberapa
anak panah yang meluncur ke arahnya. Lalu lengan mengerahkan tenaga dalam yang
sudah mencapai taraf kesempurnaan, anak panah itu dilemparkan ke arah datangnya
tadi.
“Hiyaaa...!”
Dua puluh batang anak panah meluncur balik, cepat
bagai kilat. Tak berapa lama kemudian, terdengar jeritan panjang melengking
tinggi yang saling susul. Kemudian, bermunculan tubuh-tubuh dari dalam semak
dan atas pohon. Mereka bergelimpangan karena tertancap anak panah di tubuhnya.
Ada sekitar lima belas orang. Dan itu berarti lima anak panah, yang dilemparkan
Pendekar Rajawali Sakti tidak mengenai sasaran.
Mendadak saja hujan anak panah berhenti begitu
terdengar genta berdentang satu kali. Di atas Puri Kencana ini memang
disediakan genta yang cukup besar, sehingga suaranya menggema sampai ke seluruh
pelosok Kota Kerajaan Galung. Selagi Rangga merenung diam, dari balik pepohonan
dan semak, bermunculan orang-orang berpakaian prajurit yang seperti siap
berperang.
Jumlah mereka begitu banyak, sehingga seluruh
pelataran puri ini tertutup rapat. Pandangan Rangga beredar ke sekeliling. Dia
sedikit mengeluh, karena tidak melihat ada jalan keluar sedikit pun juga.
Sedangkan Intan Kemuning tampak geram. Wajahnya seketika memerah bagai biji
saga.
“Kali ini aku tidak akan memberi ampun jika ayahku
celaka di dalam puri,” desis Intan Kemuning.
“Tahan sedikit amarahmu, Intan. Kau akan termakan
sendiri olehnya,” Rangga memperingatkan lewat suaranya yang berbisik pelan.
“Kalau ini perbuatan Manggala, aku harus
membunuhnya sekarang juga,” begitu dingin nada suara Intan Kemuning.
“Intan, tampaknya mereka memberi jalan kita untuk
masuk ke dalam puri,” bisik Rangga lagi.
Intan Kemuning mengarahkan pandangan ke bangunan
baru di depannya. Memang benar. Tidak ada seorang pun dari prajurit itu yang
berada di dekat pintu masuk ke dalam puri. Perlahan Intan Kemuning melangkah
menghampiri. Namun pandangan matanya begitu tajam. Sementara Rangga tetap
menunggu. Pendekar Rajawali Sakti juga sudah bersiap siaga jika terjadi
serangan terhadap Putri Rajawali Hitam. Atau mungkin dirinya sendiri yang
menjadi sasaran.
Gadis itu terus berjalan perlahan, semakin
mendekati pintu masuk puri. Kakinya berhenti melangkah setelah berada di ambang
pintu yang tidak berdaun pintu. Sebentar wajahnya berpaling pada Rangga, yang
kemudian hanya dibalas dengan anggukan kepala saja. Jelas maksudnya, Pendekar
Rajawali Sakti menyuruh Intan Kemuning terus masuk ke dalam puri itu. Gadis itu
kemudian melangkah masuk. Tubuhnya yang ramping terbungkus baju warna hitam,
seketika lenyap begitu berbelok ke kanan setelah melewati pintu masuk.
Glarrr...!
Tiba-tiba saja terdengar ledakan dahsyat. Rangga
tersentak kaget setengah mati, karena ledakan itu datang dari dalam puri. Namun
sebelum Pendekar Kajawali Sakti bergerak, mendadak saja dari dalam puri melesat
bayangan hitam. Tahu-tahu di depan Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri Intan
Kemuning. Wajah gadis itu semakin terlihat merah. Bahkan matanya begitu liar,
bagai bukan mata seorang gadis berdarah biru.
“Manggala...! Keluar kau, Iblis...!” seru Intan
Kemuning lantang.
“Ha ha ha...!”
Suara tawa keras menggelegar, terdengar dari puncak
puri itu. Rangga dan Intan kemuning mendongak, menatap ke arah suara tawa tadi.
Tampak di puncak puri, berdiri seorang pemuda berbaju merah menyala. Begitu
melihat Manggala berdiri di puncak bangunan Puri Kencana, Intan Kemuning
langsung melesat cepat ke puncak puri itu.
Bagai kilat, Intan Kemuning melontarkan beberapa
pukulan jarak jauh, disertai aji kesaktian. Seketika dari kedua telapak
tangannya keluar cahaya merah yang meluruk deras ke arah Manggala. Namun cepat
sekali Manggala melentingkan tubuhnya ke udara, sehingga pukulan jarak jauh
Intan Kemuning menghantam puri yang terbuat dari batu itu.
Glarrr...!
Ledakan keras terdengar menggelegar, bersamaan
dengan hancurnya puncak Puri Kencana. Bangunan terbuat dari batu itu bergetar.
Tampak bagian puncak puri terpenggal akibat pukulan Intan Kemuning yang begitu
dahsyat. Manggala tampak terkejut melihat hasil dari serangan Intan Kemuning.
Kaki pemuda itu mendarat manis di tanah. Namun sebelum sempat melakukan
sesuatu, Intan Kemuning sudah meluruk mengejarnya.
“Hiya! Hiyaaa...!”
Dua kali Putri Rajawali Hitam melontarkan pukulan
dahsyat ke arah kepala Manggala. Tapi pemuda berbaju merah itu mengegoskan
kepalanya, sehingga pukulan Intan Kemuning tidak mengenai sasaran. Bergegas
Manggala melompat mundur beberapa langkah.
“Mampus kau, Iblis Keparat..! Hiyaaat..!”
Sambil berteriak nyaring, Intan Kemuning kembali
menyerang Manggala. Kali ini pedangnya yang tersampir di punggung telah
tercabut. Bukan hanya Manggala yang terbeliak kaget. Rangga juga tersentak
melihat Intan Kemuning mengeluarkan pedangnya, yang memiliki pamor sangat
dahsyat.
“Intan, tunggu...!” seru Rangga cepat, sambil
melompat menghadang.
Begitu cepatnya lesatan Pendekar Rajawali Sakti
itu, tahu-tahu sudah berdiri di antara Manggala dan Intan Kemuning.
“Minggir, Kakang. Dia telah membunuh ayah!” sentak
Intan Kemuning geram.
“Heh...?! Apa...?!” Rangga terkejut bukan main
mendengar ucapan gadis berbaju hitam itu.
Rangga langsung melompat kembali, masuk ke dalam
Puri Kencana. Begitu cepat dan sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki
Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga dalam sekejapan mata saja, bayangan tubuhnya
sudah lenyap di dalam Puri Kencana.
“Kau harus menebus nyawa ayahku, Iblis Keparat..!”
geram Intan berang.
“Bukan aku yang membunuhnya, Intan,” bantah
Manggala.
Pada saat itu, Rangga melesat keluar dari dalam
puri sambil memondong sesosok tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi. Pendekar
Rajawali Sakti meletak-kan tubuh seorang laki-laki berusia setengah baya di
bawah pohon, tidak jauh dari pintu masuk Puri Kencana.
“Kau tidak perlu mungkir, Manggala! Lihat..! Itu
buktinya!” bentak Intan Kemuning.
“Kau bisa tanyakan mereka, bahwa aku tidak membunuh
ayahmu,” Manggala tetap membantah.
“Keparat kau! Hiyaaat...!”
Intan Kemuning tidak dapat lagi menahan amarahnya.
Hatinya benar-benar kalap mendapatkan ayahnya sudah menjadi mayat di dalam
puri. Bukan itu saja. Di dalam puri juga masih ada mayat-mayat lain, yang
terdiri dari para pengawal dan beberapa pembesar kerajaan lain beserta
keluarga. Hal ini yang membuat Intan Kemuning tidak dapat lagi menahan luapan
amarah yang seperti telah merobek dadanya.
Plak!
Tapi mendadak saja sebuah bayangan putih menghadang
Intan Kemuning. Akibatnya, Putri Rajawali Hitam itu terpekik kaget begitu
tangannya tersambar satu tamparan tanpa pengerahan tenaga dalam.
“Kakang, kenapa kau menghalangiku...?!” sentak
Intan Kemuning begitu melihat Rangga sudah berdiri menghadang di depannya.
“Kendalikan amarahmu, Intan,” pinta Rangga tegas.
“Tapi, dia membunuh ayahku!”
“Itu harus dibuktikan dulu,” ujar Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti berbalik menghadap pada
Manggala. Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling, tatapannya terarah pada
pemuda berbaju merah di depannya.
“Benar kau yang membunuh mereka yang ada di dalam
puri?” tanya Rangga, agak tajam suaranya.
“Sudah kukatakan, bukan aku. Begitu aku datang,
mereka sudah tewas semua,” sahut Manggala juga tegas.
“Kau punya senjata seperti ini?” Rangga menunjukkan
sebuah senjata berbentuk bintang yang tipis berlumur darah.
Darah itu masih segar. Juga darah yang mengalir
dari leher Patih Giling Wesi, masih tampak segar dan terus mengucur keluar.
Jelas kalau ayah Intan Kemuning, belum begitu lama tewas. Melihat senjata
bintang berwarna kuning keemasan di tangan Rangga, Intan Kemuning langsung
merebutnya.
“Jaka Keling...,” desis Intan Kemuning mengenali
pemilik senjata berbentuk bintang itu.
Intan Kemuning langsung menatap Manggala. Sebentar
kemudian, tubuhnya melesat meninggalkan pelataran Puri Kencana ini. Lesatannya
begitu cepat dan tinggi sekali, sehingga melewati kepala para prajurit yang
mengepungnya.
“Hiyaaa...!”
Rangga juga cepat melompat mengejar Putri Rajawali
Hitam itu. Sedangkan Manggala hanya terpaku saja. Meskipun juga memiliki
kepandaian tinggi, tapi tetap saja pemuda berbaju merah itu merasa kagum bila
melihat ada orang lain yang ilmu meringankan tubuhnya begitu sempurna. Dalam
sekejap saja, bayangan tubuh kedua pendekar muda itu sudah lenyap dari
pandangan.
“Cepat kita ikuti mereka!” seru Manggala.
Setelah berkata demikian, Manggala bergegas berlari
ke arah dua pendekar muda tadi pergi. Orang-orang yang mengenakan seragam
prajurit, bergegas mengikuti. Mereka berlari cepat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh. Sebentar saja, di halaman depan puri itu sudah sepi. Tidak
lagi terlihat seorang pun di sana.
Namun tak berapa lama kemudian, dari balik
sebongkah batu yang cukup besar, muncul seorang laki-laki tua mengenakan baju
yang sangat indah dari bahan sutra halus bersulamkan benang emas. Kemunculannya
disusul beberapa orang yang mengenakan baju warna putih bersih.
“Patih Giling Wesi...,” desis laki-laki tua itu,
bergegas menghampiri mayat Patih Giling Wesi yang tergeletak tidak jauh dari
pintu puri.
Laki-laki tua itu mengangkat tubuh Patih Giling
Wesi, lalu memangkunya. Tidak dipedulikan lagi darah yang mengotori pakaiannya.
Tampak raut wajahnya begitu mendung, merayapi wajah yang sudah memucat kaku.
“Kalian periksa ke dalam,” perintah laki-laki tua
itu pada orang-orang berbaju putih yang berdiri saja di belakangnya.
Tanpa menunggu perintah dua kali, mereka yang
berjumlah sekitar dua puluh orang bergegas masuk ke dalam puri. Tapi tak berapa
lama kemudian, salah seorang muncul lagi. Dia langsung berlutut, dan merapatkan
tangannya di depan hidung.
“Mereka semua sudah tewas, Gusti,” lapor laki-laki
muda berusia sekitar dua puluh lima tahun itu.
“Oh, Dewata Yang Agung.... Kenapa cobaan yang kau
timpakan padaku begitu berat...?” desah laki-laki tua itu mengeluh lirih.
“Kami menunggu titah selanjutnya, Gusti.”
“Makamkan mereka semua.”
“Hamba laksanakan, Gusti.”
Laki-laki tua itu bangkit berdiri, seraya
mengarahkan pandangannya ke Timur. Kedua bola matanya merembang. Sementara dua
puluh orang berpakaian serba putih ketat mengeluarkan mayat-mayat dari dalam
puri. Sedangkan enam orang lagi memisahkan diri, untuk membuat lubang kubur
bagi tubuh-tubuh tak bernyawa itu.
“Sudah saatnya aku bertindak. Ini tidak bisa
didiamkan terus...!” desis laki-laki tua itu tajam. “Mereka harus membayar
mahal atas semua ini.”
***
EMPAT
Sementara itu, Intan Kemuning terus berlari cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Tidak jauh di belakangnya, tampak
Pendekar Rajawali Sakti. Jarak satu sama lain semakin dekat saja. Begitu
tinggal berjarak beberapa depa lagi, Rangga melentingkan tubuhnya ke udara, dan
berputaran beberapa kali. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun juga, Pendekar
Rajawali Sakti mendarat tepat di depan Intan Kemuning. Gadis berbaju hitam itu
langsung menghentikan larinya.
“Berhenti dulu, Intan...!” agak tertahan suara
Rangga.
“Aku harus membalas kematian ayah, Kakang,” tegas
Intan Kemuning dengan napas memburu.
“Aku tahu, tapi tidak dengan amarah yang meluap.
Kau harus kendalikan diri, Intan. Berpikirlah secara jernih. Carilah
bukti-bukti nyata dulu, baru melakukan tindakan,” ujar Rangga lembut.
“Ini buktinya, Kakang!” sentak Intan Kemuning
seraya menunjukkan bintang emas berlumuran darah.
“Sebuah senjata bukan jaminan untuk suatu bukti,
Intan. Mungkin itu senjata Jaka Keling. Tapi, bisa juga digunakan orang lain
untuk menutupi perbuatannya,” terdengar lembut suara Rangga.
Intan Kemuning terdiam. Kata-kata Rangga yang
begitu lembut, rupanya merasuk juga ke dalam hatinya. Dan memang, kata-kata itu
tidak dapat disangkal kebenarannya. Di dalam dunia persilatan, cara-cara
seperti ini sudah sering terjadi. Cara licik yang sering dilakukan tokoh
beraliran sesat untuk mengelabui orang lain.
“Percayalah padaku, Intan. Aku juga tidak akan
tinggal diam begitu saja. Patih Giling Wesi sudah kuanggap sebagai ayahku
sendiri,” tegas Rangga.
“Lalu, apa yang harus kulakukan, Kakang?” tanya
Intan Kemuning, mulai melemah suaranya.
“Banyak. Tapi yang paling utama adalah membebaskan
Prabu Galung dan keluarganya terlebih dahulu,” sahut Rangga.
“Berarti kita harus ke istana dulu?”
“Itu kalau Prabu Galung dan keluarganya ditawan di
sana,” sahut Rangga lagi.
“Kalau begitu, kita harus cepat, Kakang.”
Rangga tersenyum melihat gadis ini begitu
bersemangat. Dan kini hawa amarah yang tadi meluap-luap, mulai kelihatan
mereda. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan kembali. Tapi baru beberapa
langkah berjalan, Rangga menghentikan ayunan kakinya.
“Ada yang mengikuti kita, Intan,” bisik Rangga
pelan.
Selesai berkata demikian, Pendekar Rajawali Sakti
langsung melentingkan tubuhnya ke belakang, tanpa membalikkan tubuhnya lagi.
Begitu cepatnya gerakan pemuda berbaju rompi putih itu, sampai-sampai Intan
Kemuning tidak sempat lagi bersuara sedikit pun. Dan kini Rangga sudah lenyap
di balik pepohonan yang menyemak rimbun. Tak berapa lama kemudian...
“Akh...!”
Terdengar pekikan keras yang disusul terpentalnya
sesosok tubuh merah ke udara. Tubuh berbaju merah itu berputaran beberapa kali,
lalu mendarat lunak di tanah. Bersamaan dengan itu, Rangga melesat cepat bagai
kilat, lalu manis sekali menjejakkan kakinya sekitar lima langkah di depan
orang berbaju merah itu.
“Manggala.... Apa maksudmu mengikuti kami?!” sentak
Rangga begitu mengenali orang yang mengikutinya.
“Aku hanya ingin tahu orang yang telah
memfitnahku,” sahut Manggala kalem.
“Ini bukan urusanmu, Manggala. Dan kau jangan ikut
campur!” sentak Intan Kemuning yang sudah berada di samping Pendekar Rajawali
Sakti.
“Siapa bilang...?! Kau masih punya urusan denganku,
Intan. Sebelum Putri Ratna Kumala diserahkan, kau tetap berurusan denganku,”
kali ini suara Manggala terdengar tajam.
“Sudah kukatakan, aku tidak tahu di mana Putri
Ratna Kumala berada!” dengus Intan Kemuning mulai berang.
“Ha ha ha...! Semua orang sudah tahu, Intan. Prabu
Galung dan keluarganya berhasil membebaskan diri, dan orang yang membebaskan
mereka pasti kau!”
Intan Kemuning menatap Rangga yang saat itu juga
sama memandang pada gadis di sampingnya ini. Mereka sama-sama terkejut
mendengarnya. Ternyata Prabu Galung dan keluarganya berhasil bebas dari tawanan
Empat Dewa Keadilan dari Selatan.
“Banyak yang lihat kalau orang yang membebaskan
Prabu Galung adalah wanita. Dan itu pasti kau, karena tidak ada lagi orang yang
mengetahui seluk beluk tempat tawanan mereka,” sambung Manggala.
“Kau jangan coba-coba mengelabuiku, Manggala,”
desis Intan Kemuning tidak percaya.
“Kalau tidak percaya, pergi saja ke istana. Paling
juga kau akan mampus dirajang Empat Dewa Keadilan dari Selatan,” dingin sekali
suara Manggala.
“Dengar, Manggala. Aku akan ke sana. Dan jika kau
mengada-ada, maka urusanmu padaku menjadi lebih berat!” geram Intan Kemuning.
Selesai berkata demikian, Intan Kemuning langsung
cepat melesat pergi. Rangga bergegas mengikuti. Sementara Manggala malah
tertawa terbahak-bahak.
“Ha ha ha...! Kau akan mati di sana, Intan...! Ha
ha ha...!”
***
Di saat matahari hampir tenggelam ke dalam
peraduannya, Intan Kemuning dan Rangga sampai di depan pintu gerbang benteng
Istana Galung. Keadaan sekitar istana begitu sepi. Bahkan pintu gerbang yang
tinggi dan besar terbuat dari kayu jati tebal, juga terbuka lebar. Tidak ada seorang
prajurit pun yang terlihat. Sebentar kedua pendekar muda itu saling
berpandangan. Perlahan kemudian melangkah masuk melewati pintu gerbang benteng
yang terbuka lebar.
Suasana di dalam benteng istana ini juga sunyi
senyap. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Bau anyir darah dan sedikit bau busuk,
menyeruak menyengat hidung. Rangga agak terpaku melihat beberapa sosok tubuh
tergeletak di tangga istana. Tubuh-tubuh yang mulai membusuk, berlumur darah
kering.
“Sudah berapa lama keadaan seperti ini berlangsung,
Intan?” tanya Rangga seraya mengayunkan kakinya.
“Hampir dua pekan,” sahut Intan Kemuning.
“Pantas, mayat-mayat itu sudah mulai berbau busuk,”
desis Rangga menggumam.
Mereka terus berjalan melewati undakan tangga
istana. Bau busuk semakin terasa menyengat ber-campur bau anyir darah kering.
Mereka berjalan melewati mayat-mayat yang bergelimpangan saling tumpang tindih.
Rangga menghentikan langkahnya di depan pintu masuk utama istana yang megah
ini. Sebentar diamatinya bagian dalam yang luas. Di sana juga terdapat
mayat-mayat bergelimpangan dalam keadaan membusuk.
“Di mana letak penjara, Intan?” tanya Rangga.
“Di belakang,” sahut Intan Kemuning.
“Bisa melalui jalan memutar?”
“Tidak. Harus melalui Balai Pendopo Agung dulu. Di
sana ada pintu yang menghubungkan langsung ke penjara.”
Rangga tidak ingin membuang waktu. Lagi pula,
hidungnya sudah tidak tahan dengan bau busuk yang semakin menyengat, sehingga
membuat seluruh isi perutnya memberontak. Pendekar Rajawali Sakti berlompatan
mempergunakan ilmu meringankan tubuh, melintasi Balai Pendopo Agung yang luas.
Intan Kemuning mengikuti, sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang hampir
mencapai kesempurnaan.
Sebentar saja mereka sudah melewati Balai Pendopo
Agung, dan terus menerobos masuk ke sebuah lorong yang pintunya telah hancur
berantakan. Lorong yang agak gelap ini tidak terlalu panjang, dan langsung
tembus ke halaman belakang istana. Kedua pendekar muda itu, berhenti setelah
keluar dari lorong.
Di sini juga tidak sedikit ditemukan mayat-mayat
bergelimpangan. Kebanyakan dari mayat yang bergelimpangan mengenakan seragam
prajurit Tapi tidak sedikit pula yang sama sekali tidak mengenakan pakaian.
Tanpa dijelaskan pun, Rangga sudah bisa menduga. Jelas pakaian mereka telah
dilucuti, dan.... Ya! Para prajurit yang berkeliaran di luar, pasti bukan
prajurit asli, seperti yang dikatakan Intan Kemuning.
“Kau tunggu di sini dulu, Intan. Biar aku yang
melihat ke dalam,” ujar Rangga setelah mereka berada di depan pintu penjara
yang tertutup rapat.
Dari sekian banyak pintu, hanya pintu penjara saja
yang masih utuh dan tertutup rapat. Sedangkan pintu-pintu lain sudah hancur
tidak karuan lagi bentuknya. Sebelum Intan Kemuning menjawab, Rangga sudah
membuka pintu penjara itu, lalu cepat melompat masuk Intan Kemuning terpaksa
menunggu di luar. Hatinya begitu tergiris melihat mayat-mayat yang
bergelimpangan saling tumpang tindih. Sungguh tidak pernah terpikirkan kalau
kerajaan yang begini besar, bisa hancur dalam waktu singkat saja.
Memang bagi sebuah kerajaan, lebih baik bertempur
dengan kerajaan lain daripada harus menghadapi sedikit tokoh rimba persilatan
yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Lima puluh prajurit, bukan tandingan
satu orang tokoh persilatan. Terlebih lagi, jika kemampuan tokoh itu sudah
mencapai tingkatan yang tinggi sekali. Jelas ini sangat sukar bagi para
prajurit terlatih sekalipun untuk menandinginya. Sebuah kerajaan besar seperti
Kerajaan Galung ini dapat hancur dalam waktu singkat, meskipun oleh empat atau
lima orang tokoh persilatan saja. Selagi Intan Kemuning memandangi mayat-mayat
yang bergelimpangan dengan hati tergiris pedih, mendadak saja....
Slap...!
“Heh...?! Uts!”
Intan Kemuning terkejut bukan main begitu tiba-tiba
secercah cahaya keemasan meluncur cepat bagaikan kilat ke arahnya. Namun dengan
gerakan cepat dan manis sekali, Putri Rajawali Hitam menarik tubuhnya ke kanan.
Maka cahaya kuning keemasan itu melesat, lewat sedikit di samping tubuh gadis
itu.
“Bintang Emas...,” desis Intan Kemuning begitu
dapat melihat bentuk cahaya keemasan yang hampir menyambar tubuhnya itu.
Dan sebelum Putri Rajawali Hitam bisa berpikir
lebih jauh lagi, mendadak saja melesat sebuah bayangan putih agak kehitaman.
Begitu cepatnya berkelebat, tahu-tahu di depan Intan Kemuning sudah berdiri
seorang pemuda berwajah hitam, mengenakan baju putih ketat. Di pinggangnya
terselip sebuah seruling berwarna keemasan.
“Jaka Keling...,” desis Intan Kemuning mengenali
pemuda berkulit hitam itu.
“Hhh! Kau datang sudah terlambat, Intan. Tidak ada
lagi yang bisa kau dapatkan di sini,” dingin sekali suara pemuda berkulit hitam
yang dikenali Intan Kemuning bernama Jaka Keling.
“Aku datang justru mencarimu, Jaka Keling!” dengus
Intan Kemuning tidak kalah dinginnya.
“Ha ha ha...! Belum pernah aku dicari seorang gadis
cantik berdarah biru,” Jaka Keling seperti kesenangan. “Kau mencariku untuk
menggantikan kedudukan Putri Ratna Kumala, Intan?”
“Ih! Siapa sudi berdampingan denganmu...?” Intan
Kemuning bergidik.
“Aku memang buruk, Intan. Tapi aku bisa mendapatkan
sepuluh gadis yang kecantikannya melebihimu.”
“Kenapa tidak kau dapatkan saja gadis-gadis buta
itu?” terasa sinis nada suara Intan Kemuning.
“Kata-katamu terlalu menyakitkan, Intan.”
“Kau sendiri telah menyakitkan aku! Kau telah
membunuh ayahku...!” bentak Intan Kemuning.
“Heh...?! Jangan bicara sembarangan, Perempuan
Liar...!” bentak Jaka Keling gusar. “Aku tidak tahu di mana ayahmu
bersembunyi!”
“Ini buktinya!” Intan Kemuning melemparkan senjata
berbentuk bintang berwarna keemasan.
Senjata itu menancap di tanah, tepat di ujung jari
kaki Jaka Keling. Pemuda berkulit hitam itu terbeliak melihat senjata yang
dilemparkan Intan Kemuning. Memang tidak dapat dipungkiri kalau itu merupakan
senjata miliknya.
“Senjata itu kutemukan di tubuh ayahku. Kau tidak
bisa mungkir lagi, Jaka Keling!” desis Intan Kemuning dingin.
“Keparat..! Ini pasti perbuatan Nyai Walungkar!”
desis Jaka Keling menggeram.
“Jangan bawa-bawa orang lain, Jaka Keling! Akui
saja perbuatanmu! Bukti sudah ada, dan kau harus menebus nyawa ayahku!” tegas
Intan Kemuning dingin.
Wajah yang berkulit hitam itu, kelihatan memerah.
“Bersiaplah, Jaka Keling. Hiyaaat..!”
Intan Kemuning langsung melompat menyerang sambil
memberi dua pukulan beruntun yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Sejenak Jaka Keling tersentak. Namun tubuhnya melenting ke belakang, lalu
berputaran beberapa kali. Maka serangan cepat Intan Kemuning tidak sampai
mengenai sasaran.
Namun Intan Kemuning terus mengejar, dan menyerang
lewat jurus-jurusnya yang mantap dan sangat berbahaya. Jaka Keling agak
kerepotan juga menghindari setiap serangan yang datang, tapi cepat dapat
menguasai diri. Dan serangan-serangan yang dilancarkan Putri Rajawali Hitam
mulai dibalasnya.
Sementara Rangga yang berada di dalam penjara,
mendengar suara perkelahian itu. Pendekar Rajawali Sakti langsung keluar cepat,
dan agak terkejut melihat Intan Kemuning bertarung melawan seorang pemuda
berkulit hitam mengenakan baju warna putih ketat
Dari jalannya pertarungan itu, Rangga sudah dapat
melihat kalau Intan Kemuning begitu bernafsu hendak merobohkan lawannya.
Jurus-jurus yang dikerahkannya demikian dahsyat. Malah setiap pukulannya
mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi, Jaka Keling rupanya juga
memiliki kepandaian yang tidak rendah. Dia mampu meredam semua serangan yang
dilakukan Putri Rajawali hitam. Bahkan masih mampu membalas dengan dahsyat
pula.
***
Pertarungan antara Intan Kemuning dengan Jaka
Keling terus berlangsung sengit. Entah, sudah berapa puluh jurus pertarungan
itu berlangsung. Tapi sampai saat ini belum ada tanda-tanda akan berhenti. Dan
masing-masing sudah merasakan pedasnya pukulan lawan. Namun, mereka masih tetap
bertarung menggunakan jurus-jurus andalan yang dahsyat
“Lepas kepalamu! Hiyaaa...!” tiba-tiba Intan
Kemuning berseru nyaring.
Sret! Bet!
Mendadak saja pedangnya dicabut dan langsung
ditebaskan ke arah leher Jaka Keling. Tapi pemuda berkulit hitam itu cepat
melompat ke belakang sambil mencabut senjatanya berupa seruling emas. Tebasan
pedang Putri Rajawali Hitam ditangkis dengan seruling emasnya.
Trang!
Bunga api memercik begitu dua senjata beradu keras
di udara. Masing-masing berlompatan mundur sambil berputaran di udara beberapa
kali. Dan begitu menjejakkan kaki, kembali mereka melompat menerjang secara
bersamaan.
“Hiyaaat..!”
“Yeaaah...!”
Bet!
Swing!
Trang...!
Untuk kedua kalinya senjata mereka beradu keras,
hingga menimbulkan percikan bunga api yang menyebar ke seluruh penjuru. Dan
pada saat dua senjata itu beradu di udara, bagaikan kilat Jaka Keling meliukkan
tubuhnya ke kiri. Lalu, tangan kirinya cepat dihentakkan ke arah dada Intan
Kemuning. Begitu cepatnya gerakan yang dilakukan Jaka Keling, membuat Intan
Kemuning tidak dapat lagi menghindar.
Plak!
“Akh...!” Intan Kemuning menjerit agak tertahan.
Tubuhnya terpental jatuh bergulingan di tanah. Jaka Keling cepat memburu,
langsung menghantamkan serulingnya ke arah kepala Putri Rajawali Hitam. Tapi
gadis itu cepat mengegoskan kepalanya, meskipun masih menelentang di tanah.
Pukulan seruling emas itu meleset sedikit saja, dan hanya menghantam bahu Intan
Kemuning.
“Akh...!” lagi-lagi Intan Kemuning memekik keras
agak tertahan. Gadis itu kembali menggulirkan tubuhnya menjauh. Jaka Keling
terus memburu sambil memukul-mukulkan serulingnya, meskipun hanya mengenai
tanah.
Melihat keadaan Intan Kemuning begitu gawat dan
cukup membahayakan, Rangga tidak bisa lagi tinggal diam begitu saja. Cepat
Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil memberikan pukulan menghadang.
“Uts!” Jaka Keling melompat mundur menghindari
pukulan Pendekar Rajawali Sakti. Seketika Rangga juga cepat menarik pukulannya,
lalu menghampiri Intan Kemuning yang mencoba bangkit berdiri. Tangan kiri gadis
itu tidak bisa digerakkan, sehingga bibirnya meringis menahan sakit.
“Kau terluka, Intan. Maaf,” ucap Rangga. Cepat
sekali Pendekar Rajawali Sakti memondong Intan Kemuning. Lalu bagaikan kilat,
dua tubuh itu melesat pergi. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki Rangga, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan
mata.
“Hei...!” sentak Jaka Keling terkejut. Tapi pemuda
berkulit hitam itu tidak dapat lagi berbuat apa-apa. Kalau mengejar pun, tidak
ada gunanya lagi. Sambil mendengus, pemuda berkulit hitam itu melangkah pergi
meninggalkan tempat yang berbau busuk ini.
***
Hati-hati sekali Rangga meletakkan tubuh Intan
Kemuning di atas rerumputan yang tebal bagai permadani. Gadis itu merintih
lirih sambil meringis menahan sakit. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti memeriksa
luka-luka di tubuh Intan Kemuning. Keningnya berkerut begitu memeriksa bahu
kiri gadis itu.
“Tulang bahumu patah, Intan,” kata Rangga memberi
tahu.
“Oh! Apakah masih bisa sembuh?” tanya Intan
Kemuning.
“Bisa. Tapi, memerlukan waktu beberapa hari untuk
memulihkan kembali,” sahut Rangga.
“Dia tangguh sekali, Kakang,” kata Intan Kemuning
pelan. “Baru satu orang saja aku tidak mampu menghadapi. Apalagi sampai dua,
tiga orang.”
“Sebenarnya kau bisa, Intan. Tapi kau terlalu
didorong oleh amarah. Kau tidak dapat mengendalikan dirimu dengan baik,” Rangga
menghibur.
“Aku memang ingin membunuhnya. Habis, dia tidak mau
mengaku telah membunuh ayah,” desis Intan Kemuning.
“Aku sudah mendengar semua. Dan tampaknya, memang
bukan dia yang membunuh ayahmu, Intan.”
“Lalu, siapa...?! Senjata yang ada di tubuh ayah
adalah senjata miliknya, Kakang.”
“Kau masih saja terpancing oleh sebuah senjata.
Seharusnya kau jangan terpengaruh bentuk senjata. Siapa saja bisa menggunakan
senjata, Intan. Kau harus menyadari itu. Orang yang membunuh ayahmu, pasti
menginginkan agar kau bentrok dengan Jaka Keling. Dan bukannya tidak mungkin
kalau orang itu juga akan menggunakan senjata lain untuk memecah belah. Dengar,
Intan.... Jika senjata yang menewaskan ayahmu itu milik Prabu Galung, apa kau
juga akan menuduh Prabu Galung sebagai pembunuhnya? Atau mungkin senjataku,
misalnya. Kau juga akan menuduhku begitu?”
Intan Kemuning terdiam. Kata-kata Rangga tecerna
dalam lubuk hatinya. Dipandanginya wajah Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam.
Ada rasa kekaguman di hatinya mendengar kata-kata yang begitu arif dan
bijaksana. Kata-kata yang meluncur bagaikan dari seorang brahmana saja.
“Maaf. Bukannya aku mengguruimu, Intan. Tapi aku
ingin agar kau bisa menggunakan pikiran jernih dalam menyelesaikan kemelut ini.
Aku yakin, ada sesuatu yang tersembunyi di balik semua peristiwa ini,” kata
Rangga, tetap lembut suaranya.
“Maafkan aku, Kakang,” ucap Intan Kemuning
menyesal.
“Sudahlah, lupakan saja. Yang penting sekarang, kau
harus sembuh dulu. Lalu, kita cari di mana Prabu Galung dan keluarganya kini
berada. Mungkin dari Prabu Galung bisa diperoleh banyak keterangan,” kata
Rangga seraya tersenyum.
Intan Kemuning mencoba tersenyum, tapi malah
meringis. Bahu kirinya begitu sakit, dan tak dapat digerakkan lagi. Rangga
kembali memeriksa luka di tubuh gadis itu. Diberikannya beberapa totokan
lembut, untuk menghilangkan rasa sakit. Dan itu juga hanya untuk sementara
waktu saja.
“Kau bisa berdiri, Intan?”
“Akan kucoba,” sahut Intan Kemuning.
Rangga membantu gadis itu berdiri. Meskipun sudah
diberikannya totokan untuk menghilangkan rasa sakit, tapi Intan Kemuning masih
juga meringis. Bahu kirinya begitu nyeri bila bergerak sedikit saja. Perlahan
Intan Kemuning mampu berdiri. Sementara Rangga memasukkan pedang gadis itu ke
dalam warangkanya.
“Aku kenal seorang tabib tidak jauh dari sini,”
kata Rangga memberi tahu.
“Berapa jauh?” tanya Intan Kemuning.
“Di balik bukit itu,” Rangga menunjuk sebuah bukit
yang tidak seberapa jauh dari tempat ini.
“Ohhh...,” Intan Kemuning mengeluh lirih.
“Kenapa?” tanya Rangga.
“Mungkin aku tidak kuat sampai ke sana, Kakang”
Rangga tersenyum. Pendekar Rajawali Sakti tahu
kalau Intan Kemuning masih sanggup berjalan ke bukit itu, namun kemanjaannya
timbul lagi. Kemanjaan seorang putri berdarah biru. Tanpa berkata apa-apa lagi,
Pendekar Rajawali Sakti mengangkat tubuh Intan Kemuning, lalu memondongnya.
Gadis itu melingkarkan tangannya di leher Rangga.
“Kau baik sekali, Kakang,” ucap Intan Kemuning
lembut.
“Simpan saja dulu pujianmu. Kau masih sakit,” balas
Rangga tersenyum.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian berlari cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Intan Kemuning merebahkan kepalanya di
dada pemuda berbaju rompi putih itu. Gadis itu selalu merasa damai bila berada
di dekat Rangga. Rasanya dia ingin terus sakit, dan berada di dalam pondongan
seperti ini.
***
LIMA
Rangga memandangi perempuan tua berbaju lusuh yang
tengah membalut luka di bahu kiri Intan Kemuning. Perempuan ini bernama Nyai
Paringgih. Jarang yang tahu kalau perempuan tua itu adalah seorang tabib yang
sangat ahli dalam pengobatan berbagai macam penyakit. Bahkan Intan Kemuning
yang hidup di Kerajaan Galung pun tidak tahu.
“Kau harus beristirahat di sini, paling tidak tujuh
hari,” kata Nyai Paringgih setelah selesai membalut luka di bahu kiri Intan
Kemuning.
Putri Rajawali Hitam itu melirik Rangga. “Jadi aku
tidak boleh pergi sekarang, Nyai?” tanya Intan Kemuning lebih jelas lagi.
“Kau bukan anak kecil lagi, bukan...?”
Intan Kemuning terdiam. Dia tahu, kalau selama
tujuh hari tidak mungkin bisa meninggalkan pondok kecil tabib ini. Kembali
matanya melirik Rangga yang berdiri di dekat pintu. Sementara Nyai Paringgih
membenahi peralatannya, lalu memasukkannya ke dalam sebuah kotak kayu.
“Bagaimana, Kakang?” Intan Kemuning meminta
pendapat pada Rangga.
“Turuti saja, demi kesembuhanmu,” sahut Rangga
“Tapi..?”
“Aku akan mencari Prabu Galung. Kalau sudah
bertemu, aku pasti cepat ke sini memberi kabar padamu, Intan,” janji Rangga.
“Hhh... Jaka Keling keparat..!” keluh Intan
Kemuning kesal.
“Jangan salahkan orang lain, Intan. Kau sendiri
yang menyerang lebih dulu, bukan?”
Intan Kemuning terdiam. Entah kenapa, di hadapan
Pendekar Rajawali Sakti, dia tidak pernah bisa menang dalam berbicara. Setiap
kata yang diucapkan Rangga, selalu saja sukar dibantah lagi. Intan Kemuning
merasakan kalau Rangga tidak pernah salah. Sikap dan tutur kata Pendekar
Rajawali Sakti melebihi seorang brahmana. Begitu lembut, dan selalu berpikiran
panjang.
“Aku pergi dulu, dan jangan membuat repot Nyai
Paringgih,” pamit Rangga seraya berpesan.
“Ke mana kau akan pergi?” tanya Intan Kemuning.
“Yang pasti tidak keluar dari Kerajaan Galung,”
sahut Rangga.
“Baiklah. Kalau aku sehat lebih cepat, pasti aku menyusul.
Kau tidak perlu ke sini lagi, Kakang”
“Asal jangan memaksakan diri. Kalau Nyai Paringgih
belum mengizinkan, kau tidak boleh memaksa,” kembali Rangga berpesan.
“Baik, Ayah...,” seloroh Intan.
“Dasar, setan kecil!” balas Rangga.
“Heh! Apa...?”
Intan Kemuning ingin bangkit, tapi malah meringis
kesakitan. Sedangkan Rangga sudah lebih dahulu kabur. Intan Kemuning jadi
tersenyum sendiri. Jarang gadis itu mempunyai kesempatan indah seperti ini.
Tapi tak berapa lama, senyum di bibir gadis itu menghilang. Wajahnya langsung
berubah mendung. Dia teringat ayahnya yang telah tewas. Intan Kemuning
menyesal, karena tidak sempat mengubur jasad ayahnya. Amarahnya begitu
bergolak, sehingga harus mengejar si pembunuh secepatnya.
“Maafkan aku, Ayah. Bukannya aku tidak
menghormatimu,” desah Intan Kemuning lirih.
Tanpa terasa, setitik air bening menggulir jatuh
dari sudut matanya. Intan Kemuning buru-buru menyeka air matanya saat mendengar
suara batuk kecil. Wajahnya berpaling menatap Nyai Paringgih yang duduk di dekat
jendela. Sungguh tidak disadari kalau perempuan tua itu masih ada di ruangan
ini.
“Apa yang kau tangisi, Intan?” tanya Nyai Paringgih
dengan suara serak dan agak kering.
“Aku ingat ayah,” sahut Intan Kemuning pelan.
“Aku kenal, siapa ayahmu. Dia sering datang ke
sini, hanya untuk melemaskan ototnya saja. Tidak banyak seorang patih seperti
ayahmu, Intan. Sayang sekali kalau nasibnya begitu buruk,” kata Nyai Paringgih
juga pelan suaranya.
“Dari mana Nyai tahu?” tanya Intan Kemuning.
“Rangga yang menceritakan padaku, ketika kau tidak
sadar diri tadi.”
Intan Kemuning terdiam. Gadis itu memang sempat
tidak sadar sebentar. Luka-luka di dalam tubuhnya memang cukup parah. Lebih
parah lagi, luka di bahu kiri. Tulang bahunya patah, sehingga membuat sebelah
tangan kirinya seperti lumpuh, tidak dapat digerakkan. Kalaupun bisa, sakitnya
tidak tertahankan.
“Belum lama ini, juga ada seorang gadis yang datang
bersama seorang laki-laki tua yang terluka. Tapi hanya luka luar saja.
Kelihatannya seperti terkena senjata tajam,” jelas Nyai Paringgih.
“Siapa, Nyai?” tanya Intan Kemuning.
“Sayang, aku tidak menanyakan namanya. Tapi gadis
itu seperti seorang pendekar. Dia membawa pedang dan...,” Nyai Paringgih
berhenti.
“Dan apa, Nyai?” desak Intan Kemuning.
“Seperti sebuah kipas dari perak,” tambah Nyai
Paringgih, agak ragu-ragu suaranya.
“Kipas...?” Intan Kemuning tercenung. “Apakah dia
memakai baju biru, Nyai?”
“Benar.”
“Pandan Wangi...,” desis Intan Kemuning, bisa
mengenali. Dia yakin kalau gadis itu adalah Pandan Wangi. ”Lalu, siapa
laki-laki tua yang dibawanya ke sini...?” Intan Kemuning menanyakan langsung
pada perempuan tua itu.
“Prabu Galung.”
“Siapa...?!” Intan Kemuning terkejut setengah mati.
Dipandanginya raut wajah tua itu seperti tidak
percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Pandan Wangi membawa Prabu
Galung ke sini..? Bukankah Rangga mengatakan kalau Pandan Wangi punya urusan
sendiri? Tapi... Intan Kemuning jadi tidak mengerti. Dia mencoba bangkit, tapi
seluruh tubuhnya begitu nyeri. Gadis itu kembali terbaring. Terdengar keluhan
panjang yang terdengar begitu berat.
“Nyai, apakah hanya mereka berdua saja yang ke
sini?” tanya Intan Kemuning lagi.
“Benar, hanya mereka berdua saja,” sahut Nyai
Paringgih.
Intan Kemuning tidak bertanya lagi. Gadis itu
sungguh menyesal, karena Rangga tidak tahu tentang ini semua. Kalau saja tahu,
tentu tidak begitu sulit bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk mencari di mana
kini Prabu Galung berada. Tapi yang menjadi pemikirannya saat ini, benarkah
yang membebaskan Prabu Galung itu Pandan Wangi?
***
Sementara itu, Rangga sudah jauh meninggalkan
pondok Nyai Paringgih. Pendekar Rajawali Sakti berjalan perlahan-lahan sambil
menikmati segarnya udara di lereng bukit ini. Dari lereng ini, tampak jelas
Kotaraja Galung yang besar dan nampak cantik, teratur rapi. Namun kota itu
kelihatan sunyi, seperti tidak berpenghuni. Hanya beberapa orang saja yang
terlihat melintas di jalan.
Rangga menghentikan ayunan kakinya ketika tiba-tiba
mendengar denting senjata beradu, ditingkahi teriakan-teriakan pertempuran. Dan
nampaknya suara itu datang dari sebelah kanan. Pendekar Rajawali Sakti tahu
kalau tidak jauh di kanannya ada sebuah jurang yang cukup dalam. Namun suara
pertempuran itu demikian jelas terdengar. Tanpa menunggu waktu lagi, Rangga
segera melesat cepat ke arah suara pertarungan itu.
“Hiyaaa...!”
Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki, sehingga Pendekar Rajawali Sakti bisa berlompatan ringan dan cepat
bagaikan kilat. Seringan kapas tertiup angin saja layaknya. Hanya dalam waktu
sebentar saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah tiba di tepi jurang yang menganga
dalam.
“Pandan...,” desis Rangga tidak percaya dengan apa
yang dilihatnya.
Tidak jauh dari tepi jurang itu, terlihat seorang
gadis berbaju biru tengah bertarung melawan empat orang tua. Gadis itu
menggunakan senjata berbentuk kipas baja putih yang ujung-ujungnya runcing
seperti mata anak panah. Dan tampaknya gadis berbaju biru yang dikenali Rangga
sebagai Pandan Wangi, sudah terdesak sekali. Beberapa kali tubuhnya harus
terjajar terkena pukulan dan tendangan keras dari empat orang tua yang
mengeroyoknya.
“Berhenti...!” tiba-tiba Rangga berteriak lantang
menggelegar.
Begitu kerasnya bentakan Pendekar Rajawali Sakti,
membuat pertarungan itu seketika berhenti. Begitu melihat siapa yang
mengeluarkan suara bentakan menggelegar tadi, Pandan Wangi langsung melompat
menghampirinya. Tampak darah menetes keluar dari sudut bibirnya yang ranum.
“Mereka Empat Dewa Keadilan dari Selatan, Kakang,”
Pandan Wangi langsung memberi tahu. Napasnya tersengal, sehingga suaranya juga
ikut tersendat
“Anak muda, siapa kau?!” bentak laki-laki tua yang
mengenakan baju warna hitam pekat. Tangannya menggenggam sebatang tongkat yang
juga berwarna hitam.
“Sebaiknya kau pergi dari sini, dan jangan ikut
campur urusan kami!” sambung perempuan tua berbaju kuning. Dia memegang senjata
tombak pendek bermata tiga.
“Hm.... Kalian orang-orang tua yang mengaku
berjuluk Empat Dewa Keadilan dari Selatan. Tapi kenapa mengeroyok seorang gadis
yang jauh lebih muda?” terdengar tenang suara Rangga.
“Itu bukan urusanmu!” bentak perempuan tua berbaju
hijau. Di tangannya tergenggam senjata berupa pecut buntut kuda yang hitam
pekat
“Aku sering mendengar nama kalian. Rasanya memang
tidak pantas dengan julukan kalian, sebagai Dewa Keadilan. Seharusnya kalian
membela kebenaran. Tapi, kenapa justru malah menghancurkan sebuah negeri? Apa
maksudmu, menyengsarakan banyak orang? Apa itu yang disebut keadilan...?” tetap
tenang suara Rangga.
“Monyet..! Kau menghina Empat Dewa Keadilan dari
Selatan! Seharusnya hal ini kau tanyakan langsung pada si keparat Galung!
Anaknyalah yang membuat kami harus meruntuhkan Kerajaan Galung! Dia terlalu
menghina tokoh-tokoh persilatan golongan hitam! Camkan itu!” geram laki-laki
tua berbaju merah. Pedangnya langsung disilangkan di depan dada.
“Tapi bukankah ada cara lain untuk
menyelesaikannya? Dan kini, julukan itu tidak cocok dengan sikap dan tingkah
laku kalian sendiri. Kalian terlalu main hakim sendiri.”
“Keparat..! Kau terlalu banyak ikut campur!
Hih...!”
Laki-laki tua berbaju hitam, mengebutkan tongkatnya
sambil melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti.
“Uts!”
Namun hanya sedikit saja Rangga menarik tubuh-nya
ke belakang, maka sabetan tongkat hitam itu hanya lewat di depan dadanya. Dan
sebelum Pendekar Rajawali Sakti bisa menegakkan tubuhnya kembali, dari arah
lain datang serangan yang cepat dari sebatang pedang keperakan.
Bet!
“Hup...!”
Cepat-cepat Rangga melompat ke samping, menghindari
sabetan pedang. Dan Pendekar Rajawali Sakti segera bersiap untuk menerima
serangan lagi. Begitu siap, datang lagi serangan yang kali ini dari dua arah
sekaligus. Dan selagi Rangga sibuk menghindari serangan-serangan itu, dua
perempuan tua yang masih berdiam diri segera berlompatan menyerang Pandan
Wangi. Tentu saja si Kipas Maut itu tidak mau tinggal diam. Pedangnya cepat
dicabut begitu memindahkan kipas mautnya ke tangan kiri.
“Hiyaaat..!”
Trang!
Pertarungan kini berlangsung dalam dua kelompok.
Pandan Wangi yang sudah bangkit kembali semangatnya, tidak tanggung-tanggung
lagi. Jurus-jurus 'Naga Geni' yang dahsyat dan sudah disempurnakan segera
dikerahkannya. Pedangnya yang memancarkan cahaya merah bagai api, berkelebat
cepat membuat dua perempuan tua itu jadi kelabakan menghindarinya. Terlebih
lagi, pedang si Kipas Maut itu juga mengeluarkan hawa panas menyengat, sehingga
membuat sesak pemapasan.
Sementara pertarungan antara Rangga melawan dua
orang laki-laki tua, juga tidak kalah dahsyatnya. Beberapa kali Pendekar
Rajawali Sakti harus ber-gulingan di tanah, menghindari tebasan pedang dan
sabetan tongkat lawannya. Namun tampaknya, pemuda berbaju rompi putih itu tidak
memberi perlawanan berarti. Hal itu memang sudah menjadi wataknya yang tidak
ingin melakukan tindak kekerasan, sebelum diyakini benar-benar kesalahan lawannya.
Pendekar Rajawali Sakti hanya mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib',
namun itu saja sudah membuat kedua lawannya tidak mampu mendesak. Padahal
mereka sudah mengganti-ganti jurus dan pola serangan.
“Berhenti...!”
Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar.
Seketika itu juga, mereka yang sedang bertarung menghentikan pertarungannya.
Mereka sama-sama berlompatan mundur. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu tidak
jauh dari tempat pertarungan sudah berdiri seorang laki-laki setengah baya, pakaiannya
terbuat dari sutra halus.
“Gusti Prabu...,” desah Pandan Wangi, langsung
cerah wajahnya melihat laki-laki setengah baya itu muncul.
Rangga juga terkejut melihat Prabu Galung dalam
keadaan segar bugar. Di belakang laki-laki setengah baya itu, berdiri berjajar
puluhan prajurit bersenjata lengkap. Mereka terbagi dalam empat kelompok, yang
masing-masing kelompok dipimpin seorang panglima.
“Akhirnya kau muncul juga, Galung,” desis Ki Ganda.
Laki-laki tua yang mengenakan baju hitam bersenjatakan tongkat
“Hentikan semua pertikaian tiada guna ini,” tegas
Prabu Galung.
“Tiada guna...? Phuih! Kau harus bertanggung jawab
atas kematian saudara kami!” bentak Nyai Kunir sengit. Dia adalah perempuan tua
yang mengenakan baju kuning. Senjatanya berupa tombak bermata tiga.
“Saudara kalian bersalah. Dia mencoba melakukan
pemberontakan dan menghasut rakyat. Jadi sudah sepantasnya bila mendapatkan
hukuman setimpal.”
“Kau jangan coba berdalih, Galung! Saudara kami
hanya ingin membebaskan rakyat dari kesengsaraan! Kau telah berlaku
semena-mena, dan memperkaya diri sendiri!” agak lantang suara Nyai Caring.
Perempuan tua ini mengenakan baju hijau, dan bersenjatakan pecut buntut kuda.
“Tidak ada rakyatku yang sengsara. Dan sekarang
mereka memang mengalami kesusahan akibat perbuatan kalian! Aku tidak ingin
jatuh korban lebih banyak lagi. Maka kuminta kalian menyerah untuk mendapatkan
pengadilan,” tetap tegas kata-kata Prabu Galung.
“Ha ha ha...! Bicaramu enak sekali, Galung. Justru
kami datang untuk mengadilimu! Bukan malah kau yang mengadili kami!” selak Ki
Dulang yang sejak tadi diam saja. Laki-laki tua berbaju merah ini langsung
mengarahkan pandangannya ke tiga orang temannya.
“Sudah! Jangan banyak bicara!” sentak Ki Ganda.
“Jika kau mampu menangkap kami, tangkaplah. Tapi aku khawatir sisa prajuritmu
akan habis hari ini!”
Empat Dewa Keadilan dari Selatan tertawa
terbahak-bahak. Sementara Prabu Galung hanya melirik Rangga. Tapi yang dilirik
hanya diam saja. Perlahan laki-laki setengah baya itu mendekati Pendekar
Rajawali Sakti.
“Aku yakin, kau mampu mengalahkan mereka, Rangga,”
bisik Prabu Galung.
“Mereka berkepandaian tinggi. Sebaiknya Gusti Prabu
tidak mengerahkan prajurit. Akan sia-sia saja,” sahut Rangga juga berbisik.
“Aku sudah terlalu banyak merepotkan Pandan Wangi.
Tapi aku harus meminta bantuan kalian sekali lagi,” pinta Prabu Galung.
Rangga hanya tersenyum saja. Diliriknya Pandan
Wangi. Tampak keadaan gadis itu sangat memprihatinkan. Dan tampaknya, sudah
tidak kuat lagi untuk melakukan pertarungan panjang. Apalagi lawan yang akan
dihadapi memiliki kepandaian yang tidak bisa dianggap enteng.
“Sebaiknya Gusti Prabu menyingkir yang jauh, dan
bawa prajurit itu pergi,” ujar Rangga.
“Kau akan menghadapi mereka sendiri, Rangga?” tanya
Prabu Galung.
“Berdua dengan Pandan Wangi,” sahut Rangga.
“Baiklah. Aku percaya pada kalian berdua. Sayang,
sampai saat ini aku belum bertemu Intan Kemuning. Kalau dia ada, pasti tidak
akan separah ini jadinya.”
“Bergegaslah, Gusti Prabu. Jangan sampai mereka
melukai para prajurit.”
“Baiklah, Rangga. Aku akan segera kembali setelah
membawa prajuritku ke tempat yang aman.”
Prabu Galung memerintahkan prajuritnya untuk
mundur. Hal ini membuat empat orang tua itu tertawa terbahak-bahak. Namun Prabu
Galung tidak mempedulikan sama sekali, dan terus pergi meninggalkan tempat ini.
“Hei, Galung...! Kau tidak bisa pergi begitu saja!”
seru Ki Ganda keras menggelegar.
Prabu Galung masih tetap tidak mempedulikan. Dia
sudah begitu percaya pada kemampuan Rangga dan Pandan Wangi. Melihat seruannya
tidak digubris sama sekali, Ki Ganda jadi geram. Seketika tubuhnya melesat
cepat hendak mencegah kepergian Prabu Galung. Tapi pada saat yang tepat, Rangga
sudah melompat mencegah. Satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi, dilepaskan
Pendekar Rajawali Sakti untuk mencegah Ki Ganda yang akan mengejar Prabu Galung
dan prajuritnya.
“Hiyaaa...!”
“Uts! Setan...!” umpat Ki Ganda seraya cepat
melentingkan tubuhnya, menghindari serangan yang dilakukan Pendekar Rajawali
Sakti.
Hampir bersamaan, mereka kembali menjejakkan
kakinya di tanah. Ki Ganda mengumpat kesal. Kakinya segera digeser sedikit ke
kanan. Lalu dengan gerakan cepat bagaikan kilat, laki-laki tua berbaju hitam
itu melompat menerjang Rangga.
“Hiyaaat..!”
“Hup! Yeaaah...!”
Tepat ketika Ki Ganda berada di atas kepala, Rangga
menghentakkan satu pukulan keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Begitu keras dan cepatnya pukulan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti,
sehingga membuat Ki Ganda agak kelabakan juga menghindarinya. Untunglah dia
bisa mengelak dari hantaman tangan yang memerah bagai terbakar itu.
“Hiya! Hiyaaa...!”
Kembali Ki Ganda melakukan serangan cepat dan
dahsyat. Beberapa pukulan keras bertenaga dalam tinggi dilepaskan secara
beruntun, mengurung ruang gerak pemuda berbaju rompi putih itu. Pada saat
Rangga sedang menghindari serangan Ki Ganda, Ki Dulang melompat menyerang pula.
Begitu cepat dan mendadak serangannya sehingga membuat Rangga sedikit
terperangah.
“Hup! Yeaaah...!”
Rangga cepat melentingkan tubuhnya ke udara,
mempergunakan jurus Sayap Rajawali Membelah Mega. Begitu berada di udara, kedua
tangannya yang terkembang dikibaskan cepat bagai kilat. Langsung diserangnya Ki
Dulang yang juga berada di udara.
Dua kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti dapat
dihindari Ki Dulang. Tapi begitu Rangga melakukan kibasan yang ketiga,
laki-laki tua berbaju merah itu tak dapat lagi menghindari. Telapak tangan
pemuda berbaju rompi putih itu tepat menghantam dada Ki Dulang dengan keras
sekali.
Des!
“Aaakh...!” Ki Dulang terpekik.
Ki Dulang terhuyung-huyung ke belakang sambil
mendekap dadanya yang telah bergambar telapak tangan berwarna merah kehitaman,
bekas telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Belum juga keseimbangan tubuhnya sempat dikuasai,
Rangga sudah melompat menerjang mempergunakan jurus 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali'. Satu pukulan menggeledek bertenaga dalam sempurna, dilepaskan pemuda
berbaju rompi putih itu dan ternyata memang tepat mendarat di dada Ki Dulang.
“Hiyaaa...!”
Diegkh!
“Aaa...!” Satu jeritan panjang melengking tinggi
terdengar menyayat, bersamaan terjungkalnya tubuh Ki Dulang. Dari mulut dan hidung
laki-laki tua itu tampak mengeluarkan darah kental kehitaman. Hanya sebentar
saja laki-laki tua berbaju merah itu mampu menggeliat dan merintih, kemudian
diam mengejang kaku tak bernyawa lagi.
“Keparat..!” geram Ki Ganda marah melihat Ki Dulang
tewas.
Rangga memutar tubuhnya, menghadap laki-laki tua
berbaju hitam itu. Matanya sempat melirik Pandan Wangi yang kini sudah
menghadapi dua orang wanita tua yang berkepandaian tinggi. Tampaknya si Kipas
Maut itu mampu mengatasi kedua lawannya. Dengan dua senjata maut di tangan,
memang tidak mudah untuk menaklukkan gadis itu.
Sementara itu Rangga kini kembali mengalihkan
perhatiannya pada Ki Ganda.
“Kau harus mampus, Keparat..! Hiyaaat..!” teriak Ki
Ganda.
Cepat sekali laki-laki tua itu melompat sambil
mengebutkan tongkatnya beberapa kali. Namun Rangga hanya meliuk-liukkan
tubuhnya saja, yang diimbangi gerak kaki yang lincah. Tidak salah lagi,
Pendekar Rajawali Sakti hanya mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Hal
ini membuat Ki Ganda jadi kelabakan, karena serangan yang dilancarkannya tidak
ada yang bisa mengenai sasaran satu pun juga.
“Aku tidak ingin melukaimu, Kisanak. Pergilah,
sebelum pikiranku berubah!” sentak Rangga seraya memiringkan tubuhnya,
menghindari tebasan tongkat laki-laki tua berbaju hitam itu.
“Jangan banyak omong! Hiyaaat..!” geram Ki Ganda
gusar.
Laki-laki tua itu semakin memperhebat serangannya.
Dan Rangga merasa kalau sudah tidak mungkin lagi mempergunakan jurus 'Sembilan
Langkah Ajaib'. Pendekar Rajawali Sakti segera merubah jurusnya, menjadi jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
“Kau yang memaksaku untuk bertindak, Kisanak. Hiya!
Hiya! Hiyaaa...!”
Cepat sekali Rangga melentingkan tubuhnya ke atas,
lalu melewati kepala Ki Ganda. Saat itu juga, Rangga mengubah jurusnya menjadi
'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti
bergerak cepat sambil meluruk deras ke arah kepala Ki Ganda.
Bet! Bet..!
Ki Ganda mengebutkan tongkatnya untuk melindungi
kepalanya dari serangan kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti. Namun tanpa diduga
sama sekali, pemuda berbaju rompi putih itu memutar tubuhnya. Dan kini
kepalanya berada di bawah. Tepat saat berada di depan dada Ki Ganda,
diberikannya satu pukulan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga
dalam tinggi.
“Hiyaaa...!”
Pukulan Rangga yang begitu cepat dan tidak terduga
itu membuat Ki Ganda terperangah. Dan laki-laki tua berbaju hitam itu terlambat
untuk menarik dirinya, menghindari serangan itu. Maka pukulan Rangga tepat
menghantam dadanya.
Diegkh!
“Akh...!”
***
ENAM
Ki Ganda terpental deras ke belakang. Punggungnya
langsung menghantam sebatang pohon, hingga bergoyang bagai dilanda angin topan.
Laki-laki tua berbaju hitam itu menggeliat, mencoba bangkit berdiri. Sedangkan
Rangga hanya menunggu saja, berdiri tegak sambil menatap tajam. Perlahan Ki
Ganda berdiri sambil memegangi dadanya yang terasa sesak. Napasnya begitu
tersengal, seakan-akan ada sebongkah batu besar mengganjal rongga dadanya.
“Aku masih memberimu kesempatan pergi dari sini,
Kisanak,” kata Rangga dingin menggetarkan.
“Phuih! Keparat..!” geram Ki Ganda seraya
menyemburkan ludahnya dengan sengit
Mata laki-laki tua itu menatap tajam Pendekar
Rajawali Sakti. Sinar matanya begitu menusuk. Sebentar dia membuat beberapa
gerakan sambil mengatur pernapasan. Kemudian tongkatnya disilangkan di depan
dada. Perlahan namun pasti, laki-laki tua berbaju hitam itu merentangkan
tongkatnya ke depan.
Dan kini tongkat itu mengepulkan asap berwarna
hitam pekat. Rangga bergegas menarik kakinya ke belakang dua langkah. Dirasakan
asap hitam itu mengandung racun yang sangat kuat dan mematikan. Pendekar
Rajawali Sakti cepat membuat beberapa gerakan dengan tangannya. Disumbatnya
beberapa aliran darah yang peka terhadap racun. Rangga juga memindahkan jalan
pernapasannya ke perut
“Sekarang kau akan mampus, Bocah Setan...!” desis
Ki Ganda dingin.
Perlahan-lahan, Ki Ganda mengayunkan kakinya
mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Asap yang keluar dan ujung tongkatnya
semakin banyak dan menggumpal tebal. Sementara Rangga mulai menggeser kakinya
ke kanan. Nampaknya racun itu semakin menyebar bersama asap, dan semakin
bertambah kuat.
“Aku harus melenyapkan asap beracun ini sebelum
menyebar terbawa angin,” gumam Rangga dalam hati.
Tapi sebelum Pendekar Rajawali Sakti melakukan
tindakan, mendadak saja Ki Ganda sudah melompat menyerangnya dengan cepat
sekali.
“Hiyaaat...!” “Hup! Yeaaah...!”
Bergegas Rangga melompat ke samping sambil
memiringkan tubuhnya, menghindari tebasan tongkat yang terus mengepulkan asap
hitam beracun. Dan begitu tongkat itu lewat, cepat sekali tangannya dikibaskan
ke perut.
Bet!
Tapi Ki Ganda cepat berkelit dengan menarik
perutnya ke belakang. Dan kini malah melompat ke samping sambil mengibaskan
tongkatnya. Rangga segera melentingkan tubuh ke udara. Dan dengan mempergunakan
jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', Pendekar Rajawali Sakti segera
melakukan serangan yang diarahkan ke kepala laki-laki tua berbaju hitam itu.
“Hiya! Yeaaah...!”
“Ih! “
Bet!
Ki Ganda cepat mengibaskan tongkat, melindungi
kepala dari sasaran kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti. Tapi tanpa diduga sama
sekali, pemuda berbaju rompi putih itu melenting dan berputar dua kali. Dan
dengan manis sekali, kakinya mendarat cepat di belakang Ki Ganda. Rangga
langsung memutar tubuhnya sambil memberi satu sodokan sikut, dan tepat
menghantam punggung Ki Ganda.
“Akh...!” Ki Ganda terpekik agak tertahan.
Laki-laki tua berbaju hitam itu kembali terhuyung
ke depan. Dan sebelum sempat menguasai keseimbangan tubuhnya, Rangga sudah
memberi satu tendangan keras menggeledek.
“Hiyaaa...!”
Des!
Tendangan Pendekar Rajawali Sakti membuat Ki Ganda
tersungkur mencium tanah. Dengan gerakan lemah, laki-laki tua berbaju hitam itu
mencoba bangkit berdiri. Sementara Rangga kembali memberi kesempatan untuk
mengumpulkan tenaga dan kekuatan lawannya.
“Aaa...!”
Tiba-tiba saja terdengar suara teriakan melengking
tinggi. Rangga dan Ki Ganda cepat menoleh ke arah yang sama. Tampak Nyai Caring
terhuyung-huyung sambil memegangi perutnya. Tampak darah mengucur deras dari
perutnya. Sebentar kemudian Nyai Caring ambruk ke tanah, dan langsung tak
bergerak lagi Malam ini nasib Nyai Caring benar-benar sial, karena nyawanya
harus terbang ke neraka.
Kematian Nyai Caring membuat hati Ki Ganda dan Nyai
Kunir jadi bergetar. Selama ini mereka berempat adalah tokoh persilatan yang
tidak pernah gagal dan sangat ditakuti lawan maupun kawan. Dengan tewasnya dua
orang, itu sudah merupakan satu pertanda kalau lawan yang dihadapi memiliki
kepandaian yang tidak bisa diukur. Padahal, mereka masih tergolong muda.
“Hup...!”
Ki Ganda melompat menghampiri Nyai Kunir. Sedangkan
bukan Rangga yang menghampiri Pandan Wangi, tapi malah gadis itu yang
mendekatinya dengan kaki terseret ringan. Mereka kini saling berdiri
berhadapan, bertatapan tajam penuh arti tersembunyi.
“Bagaimana, Nyai? Diteruskan, apa tidak?” tanya Ki
Ganda berbisik.
“Sepertinya kita tidak mungkin menghadapi mereka
lagi, Kakang. Sebaiknya kita cari saat yang tepat dulu. Kejadian ini harus
diberitahukan kepada Nyai Walungkar,” sahut Nyai Kunir.
“Ayolah, jangan menunggu waktu lagi.”
Kedua orang tua itu langsung saja cepat melesat
pergi, tanpa berkata apa-apa lagi. Pandan Wangi hendak mengejar, tapi Rangga
cepat mencekal tangan gadis itu. Si Kipas Maut tahu kalau Pendekar Rajawali
Sakti hendak membiarkan saja mereka pergi.
“Mereka pasti kembali lagi, Kakang,” kata Pandan
Wangi
“Itu sudah pasti, Pandan,” sahut Rangga. “Hm...,
aku ada sedikit pertanyaan untukmu.”
“Aku tahu, kau pasti akan menanyakan bagaimana
urusanku? Sudah beres apa belum? Kenapa tiba-tiba ada di sini, dan sampai bentrok
dengan orang-orang tua itu. Dan kapan aku bertemu Prabu Galung, iya kan...?”
Pandan Wangi langsung memberondong dengan tebakannya sendiri.
Rangga jadi terdiam. Pendekar Rajawali Sakti memang
ingin menanyakan itu semua pada Pandan Wangi. Sedangkan, baru saja si Kipas
Maut itu membeberkan semua pertanyaan yang masih berada di dalam benaknya.
Rangga hanya mengangkat bahunya saja, kemudian melangkah perlahan meninggalkan
tempat ini. Pandan Wangi bergegas mengikuti dan mensejajarkan langkahnya di
samping Pendekar Rajawali Sakti.
“Kau bisa jelaskan padaku, Pandan?” pinta Rangga
“Tentu saja bisa. Dan aku memang akan
menjelaskannya padamu, tanpa diminta,” sahut Pandan Wangi enteng.
Rangga diam saja, dan terus mengayunkan kakinya
perlahan-lahan. Sementara Pandan Wangi mengikuti terus di sampingnya. Gadis itu
juga masih tetap diam, seakan sengaja menguji kesabaran pemuda berbaju rompi
putih ini.
“Kapan kau menjelaskannya, Pandan...?”
“Ha ha ha.... Rupanya kau tidak sabar juga,
Kakang,”
“Sial!” rutuk Rangga merasa kena dipecundangi.
Pandan Wangi terus tertawa lepas tergerai. Rangga
hanya diam saja, tapi akhirnya ikut tertawa juga. Pandan Wangi memang nakal,
sering membuat ulah. Dan biasanya Rangga tidak bisa menduga kalau sedang
dipecundangi gadis ini. Rangga benar-benar mengakui takluk, dalam arti kata
lain.
“Aku langsung ke sini setelah urusanku selesai,
Kakang. Kupikir, kau berada di Istana Kerajaan Galung. Makanya aku langsung
saja ke sana,” Pandan Wangi memulai mengisahkan perjalanannya hingga sekarang berada
di Kerajaan Galung ini.
“Lalu...?” Rangga minta diteruskan.
“Kalau sudah ke istana, tentu kau akan terkejut,
Kakang.”
“Aku memang sudah ke sana.”
“Enam orang berpakaian prajurit langsung menyerang
begitu aku sampai di depan pintu gerbang istana. Aku sendiri jadi heran.
Setelah melumpuhkan mereka, aku lalu memeriksa ke dalam. Ternyata yang kutemui
hanya mayat bergelimpangan,” lanjut Pandan Wangi.
“Bagaimana kau bertemu Prabu Galung?” tanya Rangga
ingin tahu.
“Waktu memeriksa sekitar istana, aku mendengar
suara rintihan. Dan suara itu datang dari kamar pribadi Prabu Galung. Di sana,
seorang panglima tergeletak di lantai dalam keadaan terluka sangat parah. Dia
hanya sempat mengatakan kalau Prabu Galung dan seluruh keluarganya berada di
dalam tahanan. Hanya itu saja yang diucapkan, kemudian meninggal,” lanjut
Pandan Wangi.
“Dan kau langsung ke kamar tahanan?”
“Memang tidak ada lagi yang bisa kulakukan di sana,
Kakang. Aku langsung ke kamar tahanan, dan kutemukan Prabu Galung bersama
keluarganya di sana. Juga beberapa puluh prajurit, pembesar-pembesar istana
beserta keluarganya. Semua kamar tahanan terisi penuh. Mereka kubebaskan tanpa
kesulitan sama sekali.”
“Memangnya tidak ada yang menjaga?”
“Ada beberapa, tapi bisa kulumpuhkan.”
“Kau menewaskan mereka?”
“Hanya kulumpuhkan saja, Kakang.”
Rangga menarik napas panjang. Rupanya Pandan Wangi
juga telah mulai tidak bermain tangan besi lagi. Dan ini memang menyenangkan
hati Pendekar Rajawali Sakti. Berarti Pandan Wangi benar-benar sudah berubah.
Tidak lagi bersikap semaunya, dan tidak lagi bertangan besi dalam menghadapi
lawan-lawannya, jika tidak dalam keadaan terpaksa.
“Di mana mereka sekarang berada?” tanya Rangga
setelah cukup lama berdiam diri.
“Di tempat yang cukup aman,” sahut Pandan Wangi.
“Kapan kau datang ke sini?” tanya Rangga lagi.
“Kemarin malam,” sahut Pandan Wangi lagi
“Kemarin malam...?”
Jawaban Pandan Wangi tadi tentu saja membuat Rangga
terperanjat. Sedangkan dia sendiri baru kemarin malam berada di Kerajaan Galung
ini. Dan itu berarti Pandan Wangi membebaskan Prabu Galung dan keluarganya di
saat Empat Dewa Keadilan dari Selatan sedang tidak berada di istana. Karena
Rangga tahu, kalau mereka berada di lembah bersama Nyai Walungkar.
Rangga yakin kalau orang-orang yang berada di
lembah waktu itu adalah Empat Dewa Keadilan dari Selatan dan Nyai Walungkar.
Pendekar Rajawali Sakti, mendesis kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kini baru disadari keadaan yang sedang dihadapinya
sekarang ini. Sudah pasti, antara Empat Dewa Keadilan dari Selatan, Nyai
Walungkar, si Kembar dari Utara, Jaka Keling, dan Raden Manggala pasti memiliki
satu hubungan dan tujuan yang sama. Dan mereka benar-benar membuat sebuah
gerhana di Kerajaan Galung. Hanya saja mereka bersiasat dengan melibatkan si
Kembang Kedaton, Putri Ratna Kumala.
“Aku yakin kalau alasan mereka menghancurkan
kerajaan ini tidak sesepele itu. Pasti ada sesuatu yang tersembunyi di balik
semua peristiwa ini...,” desah Rangga menduga-duga.
“Kau bicara dengan siapa, Kakang?” tegur Pandan
Wangi.
“Oh, tidak.... Aku bicara sendiri,” sahut Rangga.
“Sudah gila, barangkali. Bicara sendiri....”
Rangga hanya tersenyum saja. Pendekar Rajawali
Sakti menghentikan ayunan langkahnya, diikuti Pandan Wangi. Tampak dari arah
depan, beberapa orang berkuda menuju ke arah mereka. Ada enam orang penunggang
kuda berbaju putih. Dan nampaknya yang berkuda paling depan adalah Prabu
Galung.
Prabu Galung bergegas melompat turun dari punggung
kudanya dengan gerakan ringan dan indah sekali. Lima orang yang berkuda di
belakangnya, segera mengikuti. Mereka menghampiri Rangga dan Pandan Wangi yang
menunggu saja tanpa menggerakkan kakinya sedikit pun juga.
“Syukur kalian cepat kembali,” ujar Prabu Galung
dengan napas agak terengah.
“Ada apa, Gusti Prabu?” tanya Pandan Wangi melihat
raut wajah laki-laki setengah baya itu memerah penuh keringat dan debu.
“Aku tadi bermaksud menyusul kalian. Dan mereka
sudah mengetahui tempat kita, Pandan,” jelas Prabu Galung.
“Maksud, Gusti Prabu...?” tanya Pandan Wangi
meminta penjelasan.
“Si Kembar dari Utara. Mereka mengepung mulut gua
dengan orang-orangnya yang berjumlah banyak.”
“Ke mana yang lain?” tanya Rangga, karena tadi
Prabu Galung membawa cukup banyak prajurit yang berganti baju, tidak berseragam
prajurit
“Mereka kutugaskan mengamati keadaan dari tempat
yang tersembunyi,” sahut Prabu Galung.
“Mereka sudah melakukan tindakan?” tanya Pandan
Wangi lagi.
“Belum.”
“Hm..., ini aneh. Dari mana mereka tahu tempat
itu...?” gumam Pandan Wangi pelan.
Gadis berbaju biru itu memandang Rangga. Dan yang
dipandang hanya mendongakkan kepalanya saja seraya menghembuskan napas panjang.
Pendekar Rajawali Sakti jadi berpikir keras. Bisa dibayangkan kalau orang-orang
yang dibawa si Kembar dari Utara pasti berjumlah besar dan memiliki pengalaman
di dalam pertarungan.
Rasanya memang tidak mungkin jika hanya Pendekar
Rajawali Sakti dan si Kipas Maut saja yang harus menghadapi dan menyelesaikan
kemelut ini. Masalahnya, bukan hanya satu dua orang saja yang harus dihadapi.
Tapi banyak. Dan masing-masing orang memiliki perangkat kekuatan sendiri yang
tidak bisa dianggap enteng. Suasana seperti ini memang sangat sulit.
“Apa yang harus kulakukan sekarang? Jumlah
prajuritku tidak cukup untuk menghadapi mereka. Apalagi prajuritku sudah
benar-benar lelah,” keluh Prabu Galung seperti putus asa.
“Aku akan memancing mereka,” sahut Rangga. “Apakah
sudah ada yang keluar dari dalam gua?”
“Sampai saat ini, belum.”
“Bagus. Itu berarti mereka masih menunggu
kebenaran. Aku yakin, begitu ada yang keluar, mereka pasti menyerang.”
“Hanya ada dua puluh orang prajurit dan dua orang
panglima di dalam gua,” lagi-lagi Prabu Galung mengeluh.
“Aku tidak bisa menjamin, Gusti Prabu. Ini baru
usaha untuk memancing mereka meninggalkan gua saja. Tapi prajurit yang ada juga
harus siap,” sergah Rangga.
“Aku percaya pada kalian. Hhh... Seandainya Putri
Rajawali Hitam ada, tentu menambah kekuatan. Dan mereka akan terusir dari
negeri ini,” keluh Prabu Galung lagi.
“Sudahlah, Gusti Prabu. Mudah-mudahan kami bisa
mengusir mereka. Kalaupun terpaksa, mungkin terjadi bentrokan. Tapi aku akan
berusaha melakukan perdamaian tanpa kekerasan,” janji Rangga.
“Terima kasih, Rangga,” ucap Prabu Galung.
“Ayo, Pandan,” ajak Rangga.
Belum juga Pandan Wangi mengangguk, Pendekar
Rajawali Sakti sudah cepat melesat pergi. Pandan Wangi bergegas melesat
mengikutinya. Kalau saja Rangga mengerahkan seluruh tingkatan ilmu meringankan
tubuhnya, pasti Pandan Wangi akan tertinggal jauh. Malah bukannya tidak mungkin
akan kehilangan jejak.
Tapi Rangga seperti menunggu, karena memang tidak
tahu jalan yang harus ditempuh. Pandan Wangi memang belum mengatakan tempat
keluarga Prabu Galung dan yang lainnya bersembunyi dari incaran musuh-musuhnya.
Si Kipas Maut itu berlari di samping Rangga yang tidak juga menghentikan lari
cepatnya.
“Pandan, bukankah ini menuju ke Lembah Neraka...?”
Rangga mengenali jalan yang dituju Pandan Wangi.
“Memang,” sahut Pandan Wangi singkat
“Kau membawa mereka ke sana?”
“Bukan di Lembah Nerakanya, tapi tidak jauh dari
sana,” sahut Pandan Wangi tanpa mengendorkan larinya.
“Maksudmu, di Gua Ular...?”
Pandan Wangi tidak menjawab, dan hanya tersenyum
saja seraya berpaling sedikit. Dan Rangga mendadak menghentikan larinya, maka
seketika Pandan Wangi juga ikut berhenti.
“Kau terlalu nekat membawa mereka ke sana, Pandan,”
tegur Rangga yang kenal betul dengan daerah di sekitar Lembah Neraka.
Sebuah tempat yang sangat berbahaya dan jarang
dimasuki orang. Cerita-cerita mengerikan sering didengungkan, membuat seluruh
rakyat Kerajaan Galung tidak ada yang berani menginjakkan kakinya di sana.
Benar dan tidaknya cerita tentang lembah maut itu, tidak bisa dibuktikan dengan
nyata.
Tapi justru hal itu sudah begitu meresap di hati
semua orang. Rangga sendiri tidak percaya kalau di sekitar Lembah Neraka dihuni
berbagai macam jin, setan, dan segala bentuk makhluk halus lainnya yang tidak
bisa membiarkan siapa saja yang masuk, bisa selamat kembali keluar.
“Aku tidak punya pilihan lain lagi, Kakang. Kupikir
hanya tempat itu saja yang terbaik untuk persembunyian mereka,” Pandan Wangi
mencoba membela diri.
“Bagaimanapun juga, kau telah merusak tempat itu
jika sampai terjadi pertumpahan darah. Kau juga melanggar pantangan yang
diberikan Putri Rajawali Hitam. Ah, Pandan.... Apa kau tidak tahu kalau di sana
begitu banyak rahasia yang tersimpan, dan selalu dijaga rapi oleh Putri
Rajawali Hitam...?” Rangga menyesali tindakan Pandan Wangi yang memilih sekitar
Lembah Neraka sebagai tempat persembunyian.
“Maafkan aku, Kakang...,” rengek Pandan Wangi.
“Sudahlah. Urusan itu nanti aku yang bicara dengan
Putri Rajawali Hitam,” ucap Rangga.
Pandan Wangi tersenyum. Mereka kemudian melanjutkan
perjalanannya, dan kali ini tidak berlari. Mereka hanya berjalan cepat meskipun
masih menggunakan ilmu meringankan tubuh. Walaupun kelihatannya berjalan biasa,
namun kecepatannya melebihi orang yang berlari sekalipun.
“Kita harus cepat, Pandan. Jangan sampai
terlambat.”
“Baik, Kakang.”
TUJUH
Pendekar Rajawali Sakti memperlambat larinya ketika
Pandan Wangi menyentuh tangannya.
“Perlahan sedikit, Kakang,” pinta Pandan Wangi.
“Ssst... Jangan bersuara, Pandan,” Rangga
memperingati gadis itu.
Pandan Wangi segera terdiam. Pandangannya langsung
tertuju ke arah yang ditunjuk Rangga. Sebentar kemudian ditatapnya Pendekar
Rajawali Sakti, lalu kembali beralih ke sebuah mulut gua yang cukup besar
menghitam, agak terlindung oleh semak dan pepohonan.
Di sekitar depan mulut gua itu terlihat puluhan
orang berpakaian seragam prajurit. Tampaknya mereka siap berperang. Senjatanya
sudah terhunus dari sarungnya. Rangga menunjuk ke arah lain. Pandan Wangi
segera mengarahkan pandangannya ke arah yang ditunjuk Pendekar Rajawali Sakti.
Dari tempat yang agak tinggi ini, memang bisa melihat jelas. Di tempat yang
cukup tersembunyi, tampak beberapa orang berpakaian putih. Mereka seperti
menunggu perintah saja, dan selalu mengawasi orang-orang yang berpakaian
prajurit itu.
“Jumlah mereka banyak sekali, Kakang,” ujar Pandan
Wangi setengah berbisik.
Rangga hanya menggumam saja perlahan. “Sisa
prajurit Prabu Galung, pasti tidak akan mampu menandinginya, Kakang,” kata
Pandan Wangi lagi.
Lagi-lagi Rangga hanya menggumam pelan. Namun
pandangannya tidak lepas ke arah orang-orang berpakaian prajurit di depan mulut
gua itu. Sementara tidak jauh dari tempat ini, tampak sebuah lembah yang
berwarna merah menyala bagai terbakar. Itulah yang disebut Lembah Neraka, yang
kini menjadi tempat tinggal Putri Rajawali Hitam.
“Rasanya, kau perlu menggunakan aji 'Bayu Bajra'
untuk mengusir mereka,” kata Pandan Wangi lagi.
“Ajian itu akan menimbulkan banyak korban, Pandan,”
sahut Rangga menolak menggunakan ajiannya untuk mengusir para prajurit gadungan
itu.
“Kenapa harus dipikirkan? Toh mereka orang jahat,
Kakang. Kalau pun tertangkap hidup-hidup, pasti Prabu Galung akan menjatuhkan
hukuman mati. Sama saja, Kakang. Di mana-mana, seorang pemberontak akan dihukum
mati.”
“Tidak semua, Pandan. Ada juga yang dikenakan
hukuman buang, atau penjara seumur hidup. Bahkan ada juga yang diampuni dan
tidak dituntut hukuman. Tergantung dari sejauh mana keterlibatannya,” jelas
Rangga.
“Lantas apa yang akan kau lakukan?” tanya Pandan
Wangi tidak mau mendebat.
Gadis itu memang enggan menyanggah Pendekar
Rajawali Sakti. Karena sudah yakin tidak akan mungkin bisa menang kalau
bersilat lidah. Apalagi menyangkut ketatanegaraan. Tidak bakalan bisa menang.
Rangga lebih tahu soal tatanegara daripada dirinya. Dan itu sangat disadari
Pandan Wangi. Makanya gadis itu langsung membelokkan pembicaraan, dan tidak
ingin banyak bicara lagi.
“Harus menggunakan cara yang lebih halus, dan tidak
sampai jatuh korban. Kalaupun ada, tidak begitu besar. Paling-paling hanya
beberapa orang saja,” sahut Rangga tanpa mengalihkan perhatiannya pada
prajurit-prajurit gadungan di depan mulut gua itu.
“Apa...?” tanya Pandan Wangi ingin tahu.
Rangga tidak langsung menjawab. Memang, Pendekar
Rajawali Sakti sendiri masih memikirkan cara yang tepat untuk menjauhkan para
prajurit gadungan itu dari sana. Dan cara yang diinginkannya adalah tidak
mengandung bahaya tinggi. Apalagi sampai menimbulkan banyak korban. Pandangan
Pendekar Rajawali Sakti tertuju pada dua orang laki-laki tua yang mengenakan
pakaian yang bentuknya sama persis. Bentuk tubuh, wajah, dan potongan rambutnya
juga sama. Bak pinang dibelah dua saja. Sukar membedakannya.
Hanya dari warna pakaian saja yang membedakan kedua
orang tua itu. Yang seorang mengenakan baju warna merah, dan seorang lagi
berwarna kuning gading. Di sebelah yang berbaju merah, berdiri seorang pemuda
berwajah cukup tampan. Dia mengenakan baju warna putih ketat. Pas sekali dengan
kulitnya yang kuning langsat, bagai kulit wanita.
“Hm..., mereka semua memiliki orang-orang yang
mengenakan seragam prajurit,” gumam Rangga seolah-olah bicara pada dirinya
sendiri.
“Hanya beberapa saja yang palsu, Kakang. Kebanyakan
adalah para prajurit yang memberontak,” celetuk Pandan Wangi.
“Jangan asal menuduh, Pandan,” Rangga memperingati.
“Aku tidak menuduh, ini kenyataan. Ada beberapa
pembesar yang terlibat dalam pemberontakan ini. Tapi, otak utamanya sampai
sekarang belum diketahui. Prabu Galung sendiri yang mengatakannya padaku,
Kakang.”
“Oh..., benarkah itu...?” Rangga agak terkejut
juga.
Sama sekali tidak disangka kalau ini merupakan
suatu pemberontakan yang sudah gawat. Bahkan melibatkan beberapa pembesar
kerajaan. Pendekar Rajawali Sakti memandangi Pandan Wangi dalam-dalam, seakan
mencari kepastian dari pernyataan si Kipas Maut itu.
“Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa Intan
Kemuning tidak mengatakan yang sesungguhnya...?” kembali Rangga menggumam,
bicara dengan dirinya sendiri.
“Intan Kemuning...? Kau sudah bertemu dengannya,
Kakang?” kali ini Pandan Wangi yang terkejut
“Sudah,” sahut Rangga.
“Di mana dia sekarang?” tanya Pandan Wangi.
Gadis itu memang sudah tahu kalau keberadaan Rangga
di Kerajaan Galung ini karena mendapat panggilan dari Intan Kemuning melalui
Rajawali Putih. Rangga yang mengatakannya sendiri sebelum berangkat ke sini.
Dan waktu itu, Pandan Wangi memang sedang menghadapi suatu persoalan. Dia hanya
mengatakan akan menyusul setelah persoalan yang dihadapinya selesai. Tapi
kenyataannya, selesai lebih cepat dari yang diduga.
Bahkan si Kipas Maut juga telah berhasil
membebaskan Prabu Galung dan seluruh keluarga serta para pembesar kerajaan yang
ditawan Empat Dewa Keadilan dari Selatan serta konco-konconya.
“Intan Kemuning dalam perawatan,” jelas Rangga.
“Maksudmu...?”
“Dia terluka dalam suatu pertarungan. Aku
membawanya ke tabib...,” Rangga kemudian menceritakan kejadiannya dengan
singkat, namun jelas sekali.
Pandan Wangi mendengarkan penuh perhatian. Bahkan
tidak menyelak sampai Pendekar Rajawali Sakti menyelesaikan ceritanya mengenai
Intan Kemuning yang lebih dikenal berjuluk Putri Rajawali Hitam.
“Oh.... Jadi Intan juga sudah bertemu si Empat Dewa
Keadilan itu...?” nada suara Pandan Wangi seperti ingin ketegasan.
“Benar. Waktu aku dan Intan sedang melayang di
angkasa bersama Rajawali Putih dan Rajawali Hitam,” Rangga membenarkan.
“Sayang sekali, Prabu Galung justru mengharapkan
Putri Rajawali Hitam bisa menumpas para pemberontak itu, dan mengembalikan
keadaan seperti semula,” Pandan Wangi agak mengeluh.
“Itulah gunanya jago-jago berkepandaian tinggi
dimasukkan ke dalam jajaran prajurit, Pandan. Sebuah kerajaan tidak akan bisa
bertahan hanya mengandalkan prajurit saja. Kalau menghadapi orang-orang rimba
persilatan seperti ini..., dalam sekejap saja sudah hancur berantakan.”
“Aku juga tidak tahu, Kakang. Kenapa Prabu Galung
tidak memperkuat prajuritnya dengan jago-jago persilatan berkepandaian
tinggi...?”
“Dia terlalu percaya pada kekuatan prajuritnya yang
besar. Tapi, tidak mempedulikan kelemahan para prajuritnya. Kemampuan para
panglimanya saja masih tergolong rendah. Bisa dihitung dengan jari tangan, yang
memiliki kepandaian tinggi. Salah satunya, Patih Giling Wesi. Tapi orang
terakhir yang terkuat di kerajaan ini juga sudah tiada lagi.”
“Mungkin dengan kejadian ini Prabu Galung bisa
berubah pikiran, Kakang.”
“Mudah-mudahan saja,” Rangga berharap.
“Lantas, apa yang harus kita lakukan sekarang?”
tanya Pandan Wangi.
“Hm.... Aku akan memancing mereka. Sementara, kau
menyelinap ke dalam gua. Bawalah semua orang yang ada di sana keluar,” sahut
Rangga menjelaskan rencananya.
“Ke mana lagi aku harus membawa mereka, Kakang?”
tanya Pandan Wangi
“Ke istana,” sahut Rangga tanpa berpikir lagi.
“Ke istana...?” Pandan Wangi terbeliak.
“Hanya di dalam istana tempat yang aman, dan mudah
untuk melindungi mereka.”
“Baiklah...,” Pandan Wangi kembali menyerah.
“Cepatlah kau ke sana, melalui jalan memutar,
Pandan.”
“Baik.”
Pandan Wangi segera pergi, lalu melesat cepat, ke
atas pohon. Gerakannya begitu ringan dan cepat sekali. Gadis itu berlompatan
dari satu pohon ke pohon lain, mendekati mulut gua dengan jalan memutar.
Sementara Rangga memperhatikan si Kipas Maut beberapa saat, kemudian
perhatiannya kembali tertumpah pada orang-orang yang berada di depan mulut gua.
Tampaknya mereka sudah tidak sabar lagi.
“Hm..., Pandan Wangi sudah dekat. Ini kesempatanku
sekarang,” gumam Rangga.
Selesai berkata demikian, Pendekar Rajawali Sakti
langsung saja melentingkan tubuhnya, mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang
sudah mencapai taraf kesempurnaan. Gerakannya begitu cepat dan ringan sekali,
sehingga tidak menimbulkan suara sedikit pun. Rangga terus meluruk cepat ke
arah mulut gua itu.
***
“Hei...! Siapa itu...?”
Tepat begitu Rangga menjejakkan kakinya tidak jauh
dari mulut gua, terdengar bentakan keras menggelegar. Puluhan orang berseragam
prajurit itu terkejut atas kemunculan Rangga yang begitu tiba-tiba. Bagaikan
siluman saja layaknya. Terlebih lagi dua orang laki-laki tua berwajah kembar
yang dikenal berjuluk si Kembar dari Utara. Mereka tampak mengkelap atas
kehadiran orang yang tak dihendaki itu.
Mereka langsung berlompatan menghampiri Pendekar
Rajawali Sakti. Pemuda berbaju putih yang berada di sampingnya, juga bergegas
ikut melompat. Gerakan mereka sungguh ringan, pertanda juga berkepandaian
tinggi. Mereka mendarat lunak sekitar enam langkah lagi di depan Rangga.
“Hm.... Ternyata kau, Pendekar Rajawali Sakti..,”
desis laki-laki tua yang mengenakan baju merah. Namanya Ki Jalak Sulung.
“Kakang, bukankah orang ini yang membunuh dua orang
dari Empat Dewa Keadilan dari Selatan...?” bisik laki-laki tua kembarannya yang
berbaju kuning gading. Namanya, Jalak Ragil.
“Benar, Adi Jalak Ragil,” sahut Ki Jalak Sulung
membenarkan.
“Kalau begitu, kita bisa membalaskan kematian
mereka, Kakang.”
“Kita memang harus membalas.”
Rangga yang mendengarkan semua bisikan perlahan
itu, hanya tersenyum saja. Namun tidak dipungkiri, kalau tadi dia agak terkejut
juga. Tapi setelah mengingat cerita Pandan Wangi tadi, bibirnya langsung
tersenyum. Dugaan kalau mereka semua bersekutu, semakin mendekati kenyataan.
Hanya saja, sampai saat ini belum bisa dipastikan, mereka bekerja sama untuk
siapa...?
“Kau berhasil memperdaya Empat Dewa Keadilan dari
Selatan. Dan sekarang kami, si Kembar dari Utara hendak mencoba beberapa jurus
denganmu, Anak Muda,” tantang Ki Jalak Sulung. Suaranya terdengar begitu dingin
menggetarkan.
“Boleh saja, tapi bukan di sini tempatnya,” sahut
Rangga kalem.
“Di sini atau di mana saja, sama saja!” sentak Ki
Jalak Ragil keras.
“Tempat ini kurang luas. Aku tidak ingin hanya
kalian berdua saja, tapi semua yang ada di sini boleh maju bersamaan,” tantang
Rangga, tetap kalem nada suaranya.
“Setan cilik...! Kau terlalu besar kepala...!”
dengus Ki Jalak Ragil, langsung meluap amarahnya.
“Jangan terpancing, Adi Jalak Ragil,” Ki Jalak
Sulung memperingatkan.
“Huh...! Akan kupenggal batang lehernya!” dengus Ki
Jalak Ragil.
“Anak muda, di mana tempat yang kau pilih?” tanya
Ki Jalak Sulung. Tampaknya dia lebih sabar dari adik kembarannya.
“Ikuti aku,” kata Rangga seraya tersenyum. Selesai
berkata demikian, Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat cepat. Sebentar
Jalak Sulung dan adik kembarannya saling melemparkan pandang. Mereka sama
sekali tidak curiga kalau semua ini hanyalah siasat Rangga untuk menjauhkan
dari tempat ini.
“Ayo, Adi Jalak Ragil,” ajak Ki Jalak Sulung.
Dua orang tua kembar itu bergegas melompat, dan
berlari cepat mengikuti Rangga yang sudah terlihat cukup jauh di depan. Semua
orang berseragam prajurit, bergegas mengikuti. Ada yang menunggang kuda, ada
juga yang berlari sekuat-kuatnya agar tidak tertinggal jauh.
Sebentar saja tempat itu sudah sepi. Pada saat itu,
Pandan Wangi muncul. Gadis cantik berbaju biru muda itu berdiri tegak
memandangi Rangga yang berlari cepat semakin jauh, diikuti si Kembar dari Utara
dan murid tunggalnya beserta anak buahnya yang mengenakan pakaian prajurit Kerajaan
Galung.
“Pandan! Kalau kau sudah membawa mereka ke istana,
cepat susul aku ke tepi sungai di sebelah Timur Hutan Krambang....”
“Kakang...,” desis Pandan Wangi. Gadis itu bisa
mengenali suara Rangga yang terdengar lembut dan jelas di telinganya. Dia tahu
kalau Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan ilmu penyampai suara jarak jauh yang
begitu halus dan sempurna. Sehingga, hanya orang yang dituju saja yang bisa
mendengarnya. Ilmu seperti itu pernah digunakan Rangga pada Pandan Wangi,
sehingga gadis ini tidak terkejut lagi dan langsung mengetahui.
“Secepatnya aku datang, Kakang,” balas Pandan Wangi
berbisik.
Gadis cantik berbaju biru muda itu bergegas berlari
kecil, masuk ke dalam gua. Sebentar saja tubuhnya yang ramping indah itu lenyap
tak terlihat lagi begitu melewati mulut gua. Dan suasana di sekitar gua itu
benar-benar sunyi, tidak terlihat seorang pun. Tapi tak berapa lama kemudian,
dari dalam gua itu keluar orang-orang berpakaian lusuh dan berwajah lesu tanpa
gairah. Pandan Wangi terlihat berada paling depan.
“Ayo, cepat! Jangan sampai mereka mengetahui,” kata
Pandan Wangi.
Tak ada seorang pun yang membantah. Mereka berjalan
cepat dan bergegas sekali mengikuti gadis itu. Meskipun dalam keadaan kumuh,
tapi semangat untuk tetap hidup masih terpancar pada sinar mata mereka. Para
keluarga Kerajaan Galung itu terus bergerak cepat meninggalkan gua, menembus
lebarnya Hutan Krambang. Di antara mereka, juga terdapat Putri Ratna Kumala,
yang menjadi penyebab kemelut di Kerajaan Galung.
Sementara itu, Rangga sudah sampai di sebuah
dataran yang luas dan berumput. Pendekar Rajawali Sakti berdiri di
tengah-tengah padang rumput itu. Dipandanginya si Kembar dari Utara dan
orang-orangnya yang berlari-lari cepat memasuki padang rumput itu. Ki Jalak
Sulung memberi isyarat dengan tangannya.
Maka orang-orang berseragam prajurit yang
mengikuti, langsung menyebar begitu melihat isyarat yang diberikan salah
seorang kembar tua itu. Dua orang laki-laki kembar itu berdiri sekitar lima
langkah lagi di depan Pendekar Rajawali Sakti. Di belakang mereka berdiri
seorang pemuda yang cukup tampan berbaju putih. Dialah murid si Kembar dari
Utara.
“Kau terlalu berani menantang kami, Anak Muda. Apa
yang kau andalkan untuk menantang si Kembar dari Utara, heh...?” dingin sekali
nada suara Ki Jalak Sulung.
“Hanya keyakinan,” sahut Rangga kalem.
“Ha ha ha...! Kau boleh saja berbangga bisa
mengalahkan Empat Dewa Keadilan dari Selatan. Tapi itu tidak berarti sama
sekali di depan kami,” ejek Ki Jalak Ragil pongah.
Rangga hanya tersenyum saja. Diedarkan pandangannya
berkeliling. Puluhan orang berseragam prajurit telah mengepung tempat ini.
Semua sudah menghunus senjata, dan siap menunggu perintah. Diam-diam, Pendekar
Rajawali Sakti mengirimkan suara batin pada Rajawali Putih yang entah berada di
mana saat ini.
“Rajawali Putih, datanglah, dan tunggu perintahku
di udara.”
“Khraaagkh...!”
Tiba-tiba saja terdengar suara serak, keras, dan
menggelegar dari angkasa. Semua yang ada di padang rumput ini, terkejut
setengah mati. Bahkan Rangga sendiri sampai mendongak ke atas. Sungguh tidak
disangka kalau Rajawali Putih berada di angkasa. Tampak di balik awan yang
tinggi, terlihat satu titik keperakan berputar-putar di atas padang rumput ini.
Tidak begitu jelas bentuknya, tapi Rangga sudah tahu kalau itu adalah Rajawali
Putih.
“Apa itu, Kakang Jalak Sulung?” tanya Ki Jalak
Ragil.
“Entahlah,” sahut Ki Jalak Sulung.
Kedua laki-laki kembar itu kembali menatap Rangga.
Pada saat yang sama, Pendekar Rajawali Sakti juga memandang laki-laki tua
kembar itu. Sebentar mereka saling bertatapan tajam. Si Kembar dari Utara itu
sama sekali tidak mempedulikan titik keperakan yang berputar-putar di angkasa.
Mereka mengira itu hanya seekor burung yang kebetulan lewat saja.
“Biar aku yang mencoba bocah sombong ini, Kakang,”
kata Ki Jalak Ragil.
“Aku saja, Paman,” selak Mandraka seraya melangkah
maju ke depan.
Ki Jalak Sulung menganggukkan kepalanya. Maka,
Mandraka langsung melompat mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Lompatannya
ringan sekali. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya menjejak tanah,
satu langkah di depan Rangga. Saat itu juga tangan kanannya bergerak cepat
memberi sebuah pukulan keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi
“Yeaaah....!”
“Hap!”
Rangga hanya memiringkan sedikit tubuhnya ke kanan.
Maka pukulan Mandraka lewat di depan dadanya. Pada saat itu, tangan kanan
Rangga mengibas cepat ke arah perut. Begitu cepat dan tidak terduga sama
sekali, sehingga Mandraka tidak sempat menyadarinya.
Dieghk!
“Hugkh!” Mandraka mengeluh pendek.
Tubuh pemuda itu terbungkuk menerima sodokan tangan
kanan Pendekar Rajawali Sakti. Selagi tubuh pemuda itu terbungkuk, cepat Rangga
melepaskan satu pukulan tangan kiri. Mandraka memekik nyaring begitu mukanya
terkena pukulan keras dari Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya langsung terpental
ke belakang beberapa langkah. Dari mulut dan hidungnya tampak mengucurkan
darah. Pukulan Rangga memang keras, meskipun tidak disertai pengerahan tenaga
dalam.
“Setan keparat..!” geram Mandraka.
Sret!
Mandraka cepat mencabut pedang yang tergantung di
pinggang. Sebentar pedangnya dikibas-kibaskan di depan dada. Lalu sambil
berteriak keras menggelegar, pemuda berbaju putih ketat itu melompat menerjang
Rangga dengan pedang terhunus.
“Hiyaaat...!”
Bet!
“Hap!”
Sambil memberi senyuman, Rangga manis sekali mengegoskan
tubuhnya, menghindari serangan yang dilakukan murid si Kembar dari Utara itu.
Beberapa kali Mandraka membabatkan pedangnya, namun tak satu pun yang mengenai
sasaran. Liukan tubuh Rangga begitu halus dan sempurna, bagai belut yang sukar
ditangkap.
“Setan...!” geram Mandraka berang “Hiya! Hiya!
Hiyaaa...!”
Mandraka semakin meningkatkan serangannya. Tubuhnya
berlompatan mengelilingi Pendekar Rajawali Sakti sambil cepat membabatkan
pedangnya tanpa pernah terputus. Begitu cepat serangan yang dilakukannya
sehingga tubuh Rangga seperti tergulung sinar keperakan yang memancar dari
pedang yang berkelebatan cepat itu.
Slap!
Tiba-tiba Rangga melesat cepat ke udara. Begitu
cepatnya, sehingga membuat Mandraka terperangah kaget. Pada saat itu, Rangga
meluruk deras. Kakinya tampak bergerak cepat mengarah ke kepala pemuda murid si
Kembar dari Utara itu. Mandraka semakin terkesiap. Namun pedangnya cepat
digerakkan, melindungi kepala dari serangan yang dilancarkan pendekar Rajawali
Sakti.
“Yeaaah...!”
Tapi mendadak saja Rangga memutar tubuhnya,
sehingga kepala berada di bawah sambil tetap meluncur turun. Tepat begitu
tubuhnya berbalik di depan Mandraka, satu pukulan keras bertenaga dalam
sempurna dilepaskan cepat bagaikan kilat.
Dieghk!
“Aaakh...!”
Mandraka benar-benar tidak dapat lagi mengelakkan
serangan Pendekar Rajawali Sakti. Dia hanya menjerit keras begitu pukulan
Rangga tepat menghantam dadanya. Pemuda itu terpental keras ke belakang, dan
keras sekali jatuh di tanah. Dari mulutnya, tampak menyembur darah segar. Saat
itu Rangga sudah berdiri tegak. Mandraka menggeliat sambil mengerang, merintih
lirih.
“Keparat..!” geram Jalak Ragil berang, melihat
murid tunggalnya mudah sekali dapat dirobohkan.
DELAPAN
Ki Jalak Ragil tidak dapat lagi menguasai
amarahnya, sehingga langsung melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Pada
saat yang sama, Ki Jalak Sulung juga melesat cepat menyerang dari arah
berlawanan. Gerakan kedua laki-laki tua kembar itu memang cepat sekali. Namun,
Rangga masih dapat mengelakkan terjangan itu dengan menarik tubuhnya ke
belakang beberapa tindak. Bahkan sempat memberi sodokan dengan kedua tangannya
pada dua orang tua kembar itu.
“Hiyaaa...!”
Namun tubuh kedua laki-laki tua kembar itu cepat
melenting, berputar ke belakang. Sehingga sodokan tangan Pendekar Rajawali
Sakti hanya menghajar angin saja. Si Kembar dari Utara kembali menyerang begitu
kakinya menyentuh tanah. Mereka melakukan serangan dari dua penjuru.
Mereka benar-benar tidak menyangka kalau pemuda
berbaju rompi putih yang sebaya dengan muridnya ini, memiliki kepandaian yang
begitu tinggi. Meskipun sudah diserang lewat jurus-jurus maut dari dua penjuru,
masih juga tangguh. Bahkan beberapa kali mereka terpaksa berjumpalitan
menghindari setiap serangan balasan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti.
Setelah kedua laki-laki kembar itu menghabiskan
lima belas jurus, mereka segera berlompatan mundur dan menghentikan serangan.
Mereka memandangi Rangga seperti tidak percaya. Seorang anak muda yang pantas
menjadi muridnya, mampu bertahan sampai lima belas jurus. Bahkan tetap tegar,
tidak kurang suatu apa pun juga.
“Hik hik hik.... Kalian tidak akan mampu
menghadapinya...!”
Tiba-tiba saja terdengar tawa terkikik. Semua orang
yang berada di padang rumput itu jadi terkejut. Dan sebelum keterkejutan mereka
lenyap, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan biru. Tahu-tahu, di depan si
Kembar dari Utara telah berdiri seorang perempuan tua berjubah biru yang
membawa tongkat dengan cincin emas melingkar di tengahnya.
“Syukurlah kau cepat datang, Nyai Walungkar,” desah
Ki Jalak Sulung mengenali perempuan tua itu.
“Mundurlah, dia bukan lawanmu,” dingin sekali suara
Nyai Walungkar.
Si Kembar dari Utara melangkah mundur beberapa
rindak. Sementara Rangga hanya memandangi saja. Hatinya agak heran juga atas
sikap si Kembar dari Utara yang begitu patuh pada perempuan tua berjubah biru
ini. Mereka menuruti perintahnya tanpa membantah sedikit pun juga.
“Sejak semula sudah kuduga, kalau kedatanganmu ke
sini bukan karena hendak bertemu Putri Rajawali Hitam saja, Pendekar Rajawali
Sakti. Aku sengaja memberimu kebebasan, dan ternyata kau memang tangguh. Tidak
percuma kau dijuluki Pendekar Rajawali Sakti,” kata Nyai Walungkar, dingin
menggetarkan suaranya.
Rangga hanya diam saja. Pendekar Rajawali Sakti
memang pernah bertemu perempuan tua ini, ketika kemarin baru datang ke Kerajaan
Galung ini. Di tempat pertemuan yang dijanjikan Intan Kemuning. Rupanya waktu
itu Nyai Walungkar sudah mengenali. Rupanya dia berpura-pura dan ingin tahu
sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti di Kerajaan Galung ini. Sama sekali
Rangga tidak menyadari kalau selama berada di negeri ini, Nyai Walungkar terus
memperhatikan dan mengamatinya.
“Bagaimana kabar pasanganmu, Pendekar Rajawali
Sakti?” tanya Nyai Walungkar, agak sinis nada suaranya.
“Pasangan yang mana maksudmu?” Rangga balik
bertanya.
“Putri Patih Giling Wesi itu.”
“Baik,” sahut Rangga.
“Bagus! Mudah-mudahan saja dia masih hidup. He he
he...”
“Apa maksudmu, Nyai Walungkar...?!” seketika Rangga
merasakan tidak enak di hatinya.
“Dia berhasil lolos, tapi pukulan aji 'Racun
Hitam'ku tidak akan mampu ditahan satu hari.”
“Apa...? Kau...?” Rangga benar-benar terperanjat
kali ini.
“Hik hik hik...! Seharusnya kau tidak membawa gadis
itu ke sana, Pendekar Rajawali Sakti. Kau telah mengorbankan seorang tabib yang
baik. Maka aku terpaksa melenyapkannya. Sayang, gadismu itu berhasil lolos.
Tapi aku yakin, dia sudah tewas sekarang ini. Kau bisa mencari mayatnya di
dalam Hutan Krambang. Hik hik hik...!”
“Iblis...!” desis Rangga, langsung memuncak
amarahnya.
Tapi Nyai Walungkar tertawa terkekeh saja.
Sedangkan seluruh wajah Rangga sudah memerah. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti
seperti bergetar, menahan kemarahan yang memuncak dalam dadanya. Namun
amarahnya dicoba untuk tetap dikendalikan.
“Kau benar-benar keparat, Nyai Walungkar! Apa
maksudmu dari semua ini, heh...?” desis Rangga, agak menggeletar suaranya.
“Aku hanya menolong mereka yang sedang membutuhkan.
Seperti juga kau, Pendekar Rajawali Sakti,” sahut Nyai Walungkar kalem.
“Omong kosong...!”
“Mereka semua mempunyai dendam pribadi pada Prabu
Galung. Terutama pada putrinya, Ratna Kumala yang terlalu angkuh. Dia telah
merasa paling cantik, sehingga menolak lamaran pemuda-pemuda berkepandaian
cukup tinggi. Mereka sakit hati, dan ingin membalas penghinaan yang telah
dilakukan Putri Ratna Kumala. Apa aku harus diam saja, kalau mereka meminta
bantuanku untuk membalaskan sakit hatinya...?”
“Kau menolong orang-orang yang salah, Nyai
Walungkar.”
“Aku tidak peduli! Mereka salah atau tidak, itu urusanku!
Dan karena kau mencoba menghalangi mereka mendapatkan Putri Ratna Kumala, maka
aku terpaksa turun tangan sendiri untuk menghalangimu. Dan ini sudah menjadi
janjiku untuk menghadang mereka yang tangguh sepertimu ini, Pendekar Rajawali
Sakti.”
Bet!
Rangga langsung melompat mundur begitu Nyai
Walungkar mengebutkan tongkatnya ke depan. Dan begitu kaki Pendekar Rajawali
Sakti menjejakkan tanah, Nyai Walungkar melompat menerjang seraya mengebutkan
tongkat beberapa kali.
“Hiyaaa...!”
“Hap! Yeaaah...!”
***
Serangan-serangan yang dilakukan perempuan tua itu
memang sungguh dahsyat dan luar biasa. Untuk beberapa saat, Rangga agak
kewalahan juga meng-hindarinya. Tapi setelah perempuan tua berjubah biru itu
melewati jurus yang kelima, Rangga baru dapat melakukan serangan balasan.
Pertarungan itu berjalan cepat, menggunakan
jurus-jurus tingkat tinggi yang sangat dahsyat. Begitu cepatnya gerakan-gerakan
yang dilakukan, sehingga bentuk tubuh mereka seperti lenyap. Dan yang terlihat
kini hanyalah dua bayangan berkelebatan saling sambar.
Memasuki jurus yang kelima belas, mendadak saja
Rangga melentingkan tubuhnya ke udara. Lalu cepat sekali tubuhnya meluruk
deras, dengan kedua kaki bergerak cepat mengarah ke kepala Nyai Walungkar.
Bet! Bet!
Nyai Walungkar mengebutkan tongkatnya beberapa kali
di atas kepala. Rangga cepat berputaran di udara, lalu segera membalikkan
tubuhnya. Dan kini, kepalanya berada di bawah. Pada saat itu Rangga melepaskan
satu pukulan keras ke arah dada.
“Uts!”
Nyai Walungkar menarik kakinya ke belakang satu
tindak, seraya mengebutkan tongkat untuk menangkis pukulan Pendekar Rajawali
Sakti. Tapi Rangga cepat menarik kembali pukulannya, sehingga tidak terjadi
benturan. Begitu kaki Pendekar Rajawali Sakti menjejak tanah, Nyai Walungkar
sudah memberi serangan lewat sodokan ujung tongkatnya ke arah dada.
Tak ada lagi kesempatan bagi Rangga untuk berkelit.
Tangannya cepat dirapatkan di depan dada, tepat di saat ujung tongkat perempuan
tua itu hampir bersarang di dada.
Tap!
Rangga menjepit ujung tongkat itu kuat-kuat, dan
Nyai Walungkar menariknya. Mendadak saja pada bagian tengah tongkat yang
bercincin emas itu terlepas. Dan dari dalam tongkat itu muncul sebilah pisau
tipis yang berkilatan. Nyai Walungkar langsung menusukkan ke arah perut Sejenak
Rangga terkesiap, namun....
“Hup! Yeaaah...!”
Dengan satu gerakan manis sekali, Pendekar Rajawali
Sakti memutar tubuhnya ke belakang dua kali. Namun Nyai Walungkar terus
mencecar dengan tusukan ujung tongkatnya yang kini berupa pisau tipis.
Akibatnya Rangga terpaksa harus berputaran beberapa kali untuk menghindarinya.
“Yeaaah...!”
Sret!
Sambil melentingkan tubuh di udara, Rangga mencabut
Pedang Pusaka Rajawali Sakti dari warangka di punggung. Cahaya biru berkilau
langsung menyembur keluar begitu pedang bergagang kepala burung itu keluar dari
warangka.
Bet!
Bagaikan kilat, Rangga mengebutkan pedangnya tepat
di saat Nyai Walungkar menusukkan senjata ke arah dada. Satu benturan dua
senjata tak dapat dihindari lagi. Seketika terdengar ledakan dahsyat
menggelegar saat dua senjata beradu keras.
Nyai Walungkar melompat mundur. Kedua matanya langsung
terbeliak melihat senjatanya terpotong jadi dua bagian. Sedangkan pedang di
tangan Pendekar Rajawali Sakti masih tetap utuh.
“Keparat..!” geram Nyai Walungkar.
Perempuan tua berjubah biru itu melemparkan
potongan senjatanya, lalu cepat merapatkan kedua tangannya di depan dada. Kedua
kakinya bergerak perlahan, membuat lingkaran-lingkaran kecil di tanah berumput.
Rangga juga cepat menyilangkan pedangnya di depan dada. Dengan telapak tangan
kiri, mata pedang itu digosoknya.
Sinar biru langsung menggumpal begitu telapak
tangan kiri Rangga berada di ujung tangkai pedang. Pada saat itu, Nyai
Walungkar sudah siap melakukan serangan menggunakan aji pamungkasnya.
Cring!
Rangga memasukkan pedangnya ke dalam warangka di
punggung. Sinar biru kini sudah berpindah di kedua telapak tangan Pendekar
Rajawali Sakti. Sedangkan kedua tangan Nyai Walungkar terlihat memerah bagai
terbakar.
“Hiyaaa...!” Mendadak saja Nyai Walungkar melesat
cepat dengan kedua tangan terpentang lurus ke depan.
“Aji 'Cakra Buana Sukma'...! Yeaaah...!” teriak
Rangga, keras menggelegar.
Glarrr...!
Ledakan keras terdengar menggelegar ketika dua
pasang telapak tangan beradu di udara. Pada saat itu, Nyai Walungkar
terperanjat. Ternyata, telapak tangannya menempel erat pada telapak tangan Pendekar
Rajawali Sakti. Perlahan mereka mendarat di tanah berumput kembali. Dan telapak
tangan mereka masih menempel erat bagai tak dapat dipisahkan lagi.
“Hih...!”
Nyai Walungkar mengerahkan seluruh kekuatan tenaga
dalam untuk melepaskan telapak tangannya dari telapak tangan Pendekar Rajawali
Sakti. Tapi hatinya semakin terkejut, karena tenaga yang dikeluarkan justru
tersedot deras sekali.
“Celaka...!” desis Nyai Walungkar.
Sia-sia saja perempuan tua itu mencoba melepaskan
diri dari belenggu aji 'Cakra Buana Sukma'. Karena semakin kuat mengerahkan
tenaga, semakin bertambah kuat pula tenaga yang tersedot. Hingga akhirnya,
tidak terkendali lagi. Cahaya biru terus merambat menyelimuti tubuh Nyai
Walungkar.
“Akh...!” Nyai Walungkar memekik keras.
Tubuhnya mulai menggeliat, menggelepar sambil
menjerit-jerit. Semua orang yang berada di tempat itu jadi terkejut setengah
mati. Mereka tidak tahu, apa yang harus dilakukan untuk menolong perempuan tua
itu. Dan sebelum ada yang melakukan tindakan, Rangga melompat mundur sambil
mencabut kembali ajiannya. Seketika itu juga, Nyai Walungkar jatuh terjungkal
ke tanah. Sementara sinar biru langsung lenyap begitu Rangga menarik kembali
ajiannya.
“Uh...!” Nyai Walungkar hanya dapat mengeluh. Dia
tidak mampu lagi menggerakkan tubuhnya. Jangankan untuk bangkit berdiri,
menggerakkan jari tangan saja sudah tidak mampu lagi. Aji Cakra Buana Sukma
benar-benar telah membuatnya lumpuh tak bertenaga lagi.
“Keparat kau, Pendekar Rajawali Sakti...!” desis
Nyai Walungkar, berang.
“Kau membutuhkan waktu dua puluh tahun untuk
memulihkan sedikit tenagamu, Nyai Walungkar,” jelas Rangga.
“Setan...! Kubunuh kau!” jerit Nyai Walungkar
bertambah berang.
Perempuan tua itu melirik si Kembar dari Utara.
Seketika itu juga, Ki Jalak Ragil berteriak memerintahkan orang-orangnya untuk
menyerang. Maka mereka yang mengenakan seragam prajurit, langsung berlompatan
menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan si Kembar dari Utara juga tak
ketinggalan menerjang.
“Suiiit..!” Rangga langsung bersiul nyaring sambil
memandang titik keperakan di angkasa.
“Khraaaghk...!”
Tepat pada saat si Kembar dari Utara melakukan
serangan, dari atas meluncur deras seekor burung rajawali raksasa berbulu putih
keperakan. Rajawali raksasa itu langsung menyerang orang-orang berseragam
prajurit. Akibatnya, prajurit-prajurit gadungan itu jadi kelabakan. Dan belum
sempat melakukan sesuatu, dari angkasa datang lagi seekor burung rajawali berbulu
hitam. Tampak di punggung rajawali hitam itu duduk seorang gadis berbaju hitam.
“Aku datang, Kakang...!”
“Intan...,” desis Rangga ketika mendengar suara
wanita.
Pendekar Rajawali Sakti tidak sempat lagi berpikir,
bagaimana Intan Kemuning tahu-tahu sudah berada di tempat ini. Memang, Pendekar
Rajawali Sakti langsung terpana begitu melihat burung rajawali hitam menyambar
si Kembar dari Utara, dan membawanya melambung tinggi ke angkasa. Begitu
mencapai puncak ketinggian, dua manusia kembar itu dilepaskan.
“Aaa...!” Terdengar jeritan panjang yang menyayat.
Dua tubuh tampak melayang deras dari angkasa. Rangga cepat memalingkan mukanya
begitu manusia kembar itu keras sekali menghantam tanah. Mereka tak mampu lagi
berkutik, dan langsung tewas seketika begitu tubuhnya menghantam tanah.
Sementara itu, Rajawali Putih masih mengamuk
menghajar para prajurit gadungan. Sedangkan Rajawali Hitam kembali meluncur
turun, dan langsung membantu Rajawali Putih. Amukan dua burung raksasa itu
membuat Rangga jadi menganggur. Dari punggung Rajawali Hitam meluncur Intan
Kemuning. Gadis yang berjuluk Putri Rajawali Hitam itu langsung mendarat di
depan Rangga.
“Bagaimana kau bisa cepat sembuh, Intan?” tanya
Rangga langsung.
“Aku masih memiliki obat mujarab dari sabuk penawar
racun, Kakang,” sahut Intan Kemuning seraya tersenyum. “Tapi maaf, aku tidak
menyelamatkan nyawa...”
“Sudahlah,” potong Rangga cepat “Kakang sudah
tahu?”
“Dari keparat itu,” sahut Rangga seraya menunjuk
Nyai Walungkar.
“Hei...! Dia masih hidup...!” sentak Intan
Kemuning.
“Jangan!” Cepat Rangga mencekal pergelangan tangan
Putri Rajawali Hitam ketika hendak melontarkan pukulan kepada Nyai Walungkar.
Intan Kemuning menurunkan tangannya. Ditatapnya Rangga yang mencegahnya untuk
melenyapkan perempuan yang telah membuat seluruh rakyat Galung menderita.
“Biar pengadilan yang memberikan hukuman, Intan,”
ujar Rangga.
“Kau benar, Kakang. Biar dirasakannya dulu,
bagaimana kalau menderita,” sahut Intan Kemuning.
“Ayo, Intan. Biarlah sahabat-sahabat kita
membereskan mereka. Kita cari yang lainnya,” ajak Rangga.
“Untuk apa...? Mereka sudah masuk penjara semua,”
sahut Intan Kemuning kalem.
Rangga memandangi gadis itu dalam-dalam.
“Sebelum ke sini, aku sempat bertemu Pandan Wangi
dan rombongan Prabu Galung. Bersama mereka, aku memburu yang lainnya. Dan
berkat bantuan Rajawali Hitam, Jaka Keling dan dua orang dari Empat Dewa
Keadilan yang berhasil diringkus hidup-hidup. Sedangkan Raden Manggala dan yang
lainnya tewas. Aku juga tahu, kau berada di sini dari Pandan Wangi, Kakang,”
Intan Kemuning menjelaskan tanpa diminta. “Dan sekarang mereka menunggumu di
istana.”
“Aku kagum padamu, Intan. Kau mampu bergerak
cepat,” puji Rangga.
“Bukan aku, tapi Pandan Wangi yang mengatur semua
ini. Aku hanya mengikuti saja, Kakang,” Intan Kemuning mengelak dipuji. “Dan
lagi, kebetulan mereka ada di istana. Jadi tidak perlu repot-repot mencarinya,
Kakang. Memang kebetulan. Sekali jalan, sudah menumpas semuanya.”
Rangga tersenyum, karena tahu kalau gadis ini hanya
merendah saja. Pendekar Rajawali Sakti kemudian menyuruh Rajawali Putih
berhenti. Intan Kemuning juga berteriak menyuruh Rajawali Hitam berhenti
membantai para prajurit gadungan. Dua burung rajawali raksasa itu langsung
melambung tinggi ke angkasa, meninggalkan sisa prajurit yang tinggal sedikit
saja. Prajurit-prajurit gadungan itu langsung membuang senjata dan berlutut
menyerah.
“Kita bawa mereka ke istana, Kakang...?” Intan
Kemuning meminta pendapat.
“Ayolah...,” sahut Rangga ringan.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
TUMBAL PENGUASA SAMUDERA
Emoticon