SATU
SEHARIAN lebih berada di punggung kuda, memang
bukan hal yang menyenangkan. Pinggang terasa akan patah. Wajah dan seluruh
tubuh terasa tebal oleh debu yang melekat bercampur keringat. Terlebih lagi
saat berada di daerah yang gersang dan tandus seperti Ini. Tak ada pemandangan
yang bisa dinikmati. Sejauh mata memandang. hanyalah kegersangan dengan
pepohonan mengering tanpa daun. Rerumputan meranggas kekurangan air.
Parit-parit tampak kering kerontang dan tanahnya sudah terbelah pecah.
Namun keadaan alam yang menyiksa dan tidak ramah
ini tidak menghalangi perjalanan dua orang penunggang kuda. Padahal kuda yang
ditunggangi tidak kuat lagi diajak berlari kencang, dan kelelahan sekali.
Binatang itu terseok-seok dengan liur menetes dari mulutnya yang terbuka. Dua
penunggang kuda itu ternyata gadis-gadis muda. Wajah mereka sudah memerah
terpanggang matahari yang bersinar terik sekali.
“Sepertinya seluruh alam sudah mati semua, Kak
Nila...,” keluh salah seorang gadis yang mengenakan baju kuning gading.
“Lelah...?” gadis satunya lagi yang mengenakan baju
warna putih mencoba tersenyum. “Kalau lelah, jangan salahkan alam segala.”
Gadis berbaju putih yang dipanggil Nila itu
tampaknya lebih dewasa daripada yang seorang lagi. Hal ini terlihat jelas dari
raut wajah maupun sorot matanya yang memancarkan kematangan jiwa. Sedangkan
gadis yang berbaju kuning masih kelihatan remaja sekali. Mungkin usianya baru
beranjak tujuh belas atau delapan belas tahun
“Istirahat dului, Kak Nila. Kasihan nih,
kuda-kudanya,” rengek gadis berbaju kuning gading itu.
“Mau istirahat di mana, Mutiara...?” lembut sekaii
nada suara Nila. Gadis ini bernama lengkap Nila Komala.
Gadis berbaju kuning gading yang bernama Mutiara,
tidak langsung menjawab. Memang percuma saja mereka beristirahat. karena tidak
ada satu tempat pun yang cocok dijadikan tempat beristirahat. Keadaan di
sekitar daerah ini semuanya sama. Hanya kegersangan saja yang ada.
“Hhh...! Mau apa sih kita ke sini, Kak?” lagi-lagi
Mutiara mengeluh seraya menyeka keringat yang hampir mengering di leher.
“Atas perintah Eyang Jatibaya,” sahut Nila Komala,
tetap lembut dan kalem suaranya.
“lya... aku tahu. Tapi untuk apa...?” desak
Mutiara.
“Aku sendiri tidak tahu, Mutiara. Eyang Jatibaya
hanya memerintahkan kita untuk ke tempat ini”
Mutiara kembali terdiam, langsung mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Kemudian kembali ditatapnya gadis yang berkuda
perlahan di sampingnya. Beberapa saat lamanya mereka tidak lagi membuka suara.
Sementara mereka semakin jauh menembus daerah gersang yang panas ini. Mutiara
mengambil kantung kulit tempat airnya. kemudian mendekatkan ke bibirnya dengan
kepala agak menengadah.
“Sial..!” gerutu Mutiara sambil mengguncang-guncang
tempat airnya.
“Kenapa?” tanya Nila Komala seraya berpaling
menatap gadis di sebelahnya.
“Airku habis,” rungut Mutiara. “Kau masih punya,
Kak?”
“Sama. Habis juga,” sahut Nila Komala seraya mengguncang
kantung airnya.
“Hhh...! Kita bisa mati kehausan kalau begini
terus,” keluh Mutiara.
Lagi-lagi Nila Komala hanya menggelengkan kepala
saja. Sejak kemarin mereka berada di tempat gersang ini, Mutiara selalu saja
mengeluh tidak henti-hentinya. Sedangkan Nila Komala hanya tersenyum saja
men-dengar keluhan gadis itu, dan sama sekali tidak menanggapi.
Namun demikian, Mutiara tidak pernah merepotkan
dengan minta pulang segala macam. Meskipun terus mengeluh, Mutiara tetap saja
mengikuti Nila Komala. Memang kasihan juga melihatnya. Bukan hanya wajahnya
yang memerah. tapi juga bibirnya sudah mengering pecah-pecah. Persediaan air
sudah habis. Sedangkan mereka tidak tahu, sampai kapan perjalanan menyiksa ini
akan berakhir. Dan sepertinya kegersangan memang sudah melanda seluruh
permukaan bumi ini
“Berapa hari lagi kita berada di tempat ini, Kak?”
tanya Mutiara lagi
“Aku tidak tahu,” sahut Nila Komala. “Yang aku
tahu, kita harus terus berjalan ke arah Timur. Hanya itu saja,” jelas Nila
Komala.
“Hhh.... Mampus deh, sekarang...!” keluh Mutiara
singkat.
Lagi-lagi Nila Komala hanya tersenyum kecil. Sedangkan
Mutiara terus menggerutu, menyesali dirinya yang mau saja ikut ke tempat
seperti ini. Kalau saja dia bisa menolak.... Tapi tidak mungkin perintah
gurunya ditolak. Bisa-bisa, akan mendapat hukuman yang lebih berat daripada
ini. Lagi-lagi Mutiara mendengus kesal.
“Kak, lihat..!” seru Mutiara sambil menunjuk ke
depan.
Tampak sebuah perkampungan dengan pepohonan yang
tumbuh subur terbentang di depan mereka. Kedua gadis Itu baru saja melewati
daerah gersang dan tandus, tanpa kehidupan sama sekali. Kini, setelah menempuh
perjaianan panjang dan melelahkan, mereka baru bisa menemukan sebuah
perkampungan yang tampak menghijau, menyejukkan mata.
Mutiara bergegas menggebah cepat kudanya. Sedangkan
Nila Komala tetap menjalankan kudanya perlahan-lahan. Perkampungan itu memang
tidak seberapa jauh lagi, sehingga Mutiara cepat sampai ke sana. Dia langsung
melompat turun dari punggung kudanya. Namun, begitu kakinya menjejak tanah
seketika itu juga dia jadi tertegun.
Pada saat Mutiara memutar tubuhnya, Nila Komala sudah
berada di dekatnya. Dia turun dari kuda dengan gerakan manis sekali. Kemudian
dihampirinya Mutiara, dan berdiri di sampingnya. Beberapa saat mereka terdiam
dengan bola mata berputar, memandang ke sekeliling.
“Sepi. Tidak ada seorang pun di sini...” gumam Nila
Komala seperti bicara pada dirinya sendiri.
Belum juga Mutiara sempat menjawab, tiba-tiba
terdengar suara genta yang berdentang nyaring sehingga memekakkan telinga.
Kedua gadis itu tersentak kaget Suara genta itu bagai hendak memecahkan seluruh
pembuluh darah. Begitu keras, membuat jantung kedua gadis itu berdegup kencang.
“Mutiara, awas...!” seru Nila Komala tiba-tiba.
Begitu suara genta tadi berhenti berdentang,
mendadak saja, secercah sinar merah kebiru-biruan meluncur deras ke arah
mereka. Cepat sekali Nila Komala bertindak. Dia melompat bagai kilat, menerjang
Mutiara yang malah terkesiap kaku. Mutiara jatuh berguling begitu terterjang
dorongan keras Nila Komala. Namun....
“Aaakh...!” terdengar jeritan keras melengking
tinggi
“Kak...!” Jerit Mutiara.
Tampak Nila Komala keras sekali terjerembab ke
tanah. Gadis itu menyelamatkan jiwa Mutiara, tapi terlambat untuk menghindarkan
dirinya sendiri dari cahaya merah kebiruan. Cahaya itu tepat menghantam
dadanya.
Nila Komala menggelepar sambil menggerung-gerung
dengan dada hangus terbakar. Sementara Mutiara tidak tahu, apa yang harus
dilakukan. Dia hanya bisa memandangi Nila Komala yang meregang menahan sakit
yang amat sangat pada dadanya.
“Kak...,” parau suara Mutiara.
Namun Nila Komala sudah tidak bergerak-gerak lagi.
Seluruh dadanya hangus menghitam. Perlahan Mutiara merayap mendekati Nila
Komala. Namun sebelum mencapai tubuh gadis berbaju putih itu, mendadak sebuah
bayangan keperakan berkelebat cepat menyambar ke arahnya.
“Ikh...! Uts...!” Cepat cepat Mutiara membanting
tubuhnya ke tanah, lalu berguling beberapa kali. Maka bayangan itu lewat di
atas tubuhnya. Dan sebelum Mutiara bisa menyadari apa yang terjadi, mendadak
saja bayangan Itu sudah kembali melesat cepat ke arahnya.
Sret!
“Yeaah...!” Mutiara langsung mencabut pedangnya,
dan seketika itu juga dikibaskan ke arah bayangan keperakan itu. Namun tanpa
diduga sama sekali, bayangan itu melesat cepat ke udara. Dan seketika itu juga,
meluruk deras ke arah kepala, sehingga membuat Mutiara terperangah kaget.
Bet! Cepat sekali pedang Mutiara dikebutkan ke
atas. Dan kembali dia terkejut, karena bayangan keperakan itu lagi-lagi melesat
cepat sebelum ujung pedangnya mencapai sasaran. Kali ini bayangan keperakan itu
menyambar tubuh Nila Komala yang sudah tak berdaya, lalu bagai kilat melesat
meninggalkan Mutiara. Sekejap mata saja dia tidak terlihat lagi.
“Kak Nila...!” sentak Mutiara begitu tidak lagi
melihat Nila Komala di tempatnya.
Mutiara jadi celingukan, sambil mengedarkan
pandangannya berkeliling. Tapi sekitarnya begitu sunyi. Tak terdengar suara
sedikit pun juga, kecuali desir angin yang mengusik gendang telinga.
“Kak Nila...,” desis Mutiara parau.
Tanpa disadari, setitik air bening menggulir dari
sudut mata gadis itu. Pandangannya tertuju lurus ke tempat bekas terbaringnya
Nila Komala yang dadanya hangus menghitam setelah terkena terjangan cahaya
merah kebiruan tadi.
Mutiara terduduk lemas di bawah sebatang pohon yang
cukup rindang. Matanya tidak lepas memandangi tanah, tempat Nila Komala tadi
tergeletak. Gadis itu menyeka air mata dengan punggung tangannya. Terdengar
isak tertahan. Seluruh tubuhnya lemas tak bertenaga lagi melihat Nila Komala
menghilang disambar bayangan keperakan tadi. Dia tidak tahu, apakah Nila Komala
sudah mati atau masih hidup.
“Kak Nila…” semakin lemah suara Mutiara. Tubuh
gadis itu semakin melemah. Pandangannya mulai kabur dan berkunang-kunang.
Bersamaan dengan terdengarnya rintihan lirih, Mutiara jatuh terkulai. Gadis itu
langsung tidak sadarkan diri. Bukan hanya tubuhnya yang lelah, tapi jiwanya
juga teramat lelah.
***
Mutiara tidak tahu. sudah berapa lama tidak
sadarkan diri setelah berjalan tanpa sedikit pun beristirahat. Perjalanan yang
panjang dan menyiksa seketika di daerah gersang, tanpa ada air setetes pun. Itu
pun masih ditambah hilangnya Nila Komala. kakak seperguruannya. Gadis itu mulai
siuman saat merasakan sesuatu yang dingin menempel di keningnya.
“Ohhh ...” lirih sekali suara Mutiara.
Perlahan-lahan kepala gadis itu bergerak menggeleng ke kanan dan ke kiri.
Kemudian perlahan-lahan kelopak matanya terbuka. Terasa berat sekali.
Seakan-akan kelopak matanya tidak mau dibuka. Namun akhirnya mata Mutiara
terbuka juga. Meskipun pandangannya mengabur, berkunang-kunang. Kembali matanya
dipejamkan beberapa saat, kemudian membuka kembali.
Yang pertama kali dilihat Mutiara adalah seraut
wajah tua dengan mata bening. Kemudian pandangannya beredar ke sekeliling.
Mutiara mengenali ruangan ini. Sebuah kamar yang ukurannya tidak terlalu besar,
dan setiap hari dilihat dan ditempatinya. Di dalam kamar ini ada juga seorang
pemuda dan seorang gadis cantlk yang mengenakan baju biru muda.
“Kau sudah sadar, Mutiara...?” terdengar suara
lembut
Mutiara kembali memandang wajah laki-laki tua yang
berada dekat pembaringan yang ditidurinya ini. Wajah tua yang sangat
dikenalnya.
“Apakah….Apakah aku sudah mati...?” lirih sekali
suara Mutiara. Hampir tidak terdengar di telinga.
“Kau masih hidup, Mutiara. Dan sekarang berada di
kamarmu sendiri. Di Padepokan Gunung Gading,” Kembali terdengar suara lembut di
telinga Mutiara.
“Eyang.., kaukah Eyang Jatibaya...?” Mutiara
seperti tidak percaya dengan apa yang disaksikannya.
Laki-laki tua berjubah putih yang rambut, jenggot,
dan kumisnya juga sudah memutih itu memberi senyuman lebar yang lembut.
Sedangkan Mutiara terus merayapi wajah laki-laki tua yang mungkin usianya sudah
mencapai sembilan puluh tahun itu. Gadis ini seperti ingin memastikan kalau
dirinya belum mati, dan yang berada di sampingnya. Ini benar-benar Eyang
Jatibaya.
“Bagaimana aku bisa sampai ke sini...?” tanya
Mutiara seperti pada dirinya sendiri
“Mereka yang membawamu ke sini. Mutiara,” Eyang
Jatibaya memberi tahu.
Laki-laki tua berjubah putih itu menunjuk dua orang
yang berdiri dekat jendela. Seorang pemuda berwajah tampan dan seorang gadis
yang cantik sekali. Mutiara memandangi kedua orang yang ditunjuk Eyang Jatibaya
tadi, yang membawanya kembali ke Padepokan Gunung Gading ini.
“Terima kasih,” ucap Mutiara seraya memberi senyum,
meskipun lemah sekali
“Kau istirahat dulu, Mutiara. Aku ada perlu,” ujar
Eyang Jatibaya seraya menepuk lembut pipi gadis itu
Mutiara hanya mengangguk saja. Eyang Jatibaya
kemudian melangkah keluar, seraya mengerdipkan matanya pada dua orang yang
berdiri membelakangi jendela. Kedua anak muda itu mengikuti. Gadis yang
mengenakan baju biru muda, memberi senyum manis pada Mutiara sebelum keluar
dari kamar ini. Bahkan sempat menepuk punggung tangan Mutiara yang terbaring
lemah di ranjangnya.
Eyang Jatibaya terus berjalan menuju sebuah ruangan
yang sangat besar. Tampak senjata berbagai bentuk berjajar rapi di sekeliling
ruangan itu. Kemudian laki-laki tua Itu duduk di tengah-tengah ruangan,
beralaskan selembar tikar. Sementara kedua anak muda yang mengikutinya juga
ikut duduk bersama di depannya.
“Aku berterima kasih sekali, karena kalian telah
menyelamatkan cucuku,” ucap Eyang Jatibaya.
“Hanya kebetulan lewat saja. Eyang,” sahut pemuda
tampan yang duduk tepat di depan Eyang Jatibaya,
“Hm, ya…. Sejak tadi aku belum tahu nama kalian
berdua,” ujar Eyang Jatibaya baru teringat kalau belum mengetahui dua orang
anak muda yang telah menyelamatkan Mutiara.
“Aku Rangga, dan ini Pandan Wangi,” pemuda yang
mengenakan baju rompi putih itu memperkenalkan diri, juga memperkenalkan gadis
yang duduk di sebelahnya.
Mereka memang Rangga yang lebih dikenal dengan
julukan Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi. Gadis berbaju biru muda itu
juga berjuluk si Kipas Maut, karena senjata yang sering digunakan berbentuk
kipas yang terbuat dari logam berwarna keperakan yang sangat kuat.
“Sebenarnya kami tidak tahu akan dibawa ke mana
gadis itu, untung ada seseorang yang lewat dan mengenalinya,” jelas Rangga.
“Ya. Anak muda itu salah satu muridku,” sahut Eyang
Jatibaya. Kebetulan, dia memang akan kembali ke sini setelah menemui orang
tuanya.”
“Maaf, Eyang. Kenapa Mutiara sampai bisa begitu?”
selak Pandan Wangi, bertanya.
Eyang Jatibaya tidak langsung menjawab. Ditariknya
napas dalam-dalam dan dlhembuskannya kuat-kuat Sepertinya laki-laki tua yang
mengenakan jubah putih itu, terasa berat untuk mengatakannya.
“Sebenarnya Mutiara tidak sendirian. Dia berdua dengan
kakaknya. Mereka sedang menjalankan tugas khusus dariku...,” jelas Eyang
Jatibaya setelah cukup lama terdiam merenung.
“Boleh kami tahu, Eyang?” pinta Rangga, sopan.
“Sebenarnya...”
“Jika ini rahasia, sebaiknya tidak perlu
diceritakan. Eyang,” potong Rangga cepat.
Pendekar Rajawali Sakti bisa merasakan adanya nada
keberatan untuk mengatakan hal yang sebenarnya pada laki-laki tua ini. Dan
lagi, Rangga memang tidak ingin tahu benar. Bahkan langsung memendam
keingintahuannya. Tapi tidak demikian dengan Pandan Wangi. Si Kipas Maut itu
malah jadi penasaran melihat sikap Eyang Jatibaya yang kelihatannya menyimpan
sesuatu yang sangat berat untuk dikatakan.
“Katakan, Eyang. Kalau ada kesulitan, mungkin kami
bisa membantu menyelesaikannya,” ujar Pandan Wangi agak mendesak.
“Maaf. Bukannya aku tidak percaya dan akan
melupakan begitu saja jasa baik kalian. Tapi.... rasanya aku belum siap
menceritakannya pada kalian berdua. Sekali lagi, aku mohon maaf.” ujar Eyang
Jatibaya dengan nada suara yang sopan sekali.
“Sama sekali kami tidak mendesak. Mungkin terlalu
pribadi sifatnya. Maaf kalau pertanyaan kami berdua telah membuat beban
pikiranmu, Eyang,” ucap Rangga, lembut dan halus sekali suaranya.
“Terima kasih jika kalian bisa memahami.” ucap
Eyang Jatibaya.
Ada sedikit kelonggaran di dada Eyang Jatibaya
setelah mendengar pernyataan Pendekar Rajawali Sakti. Dan pemuda berbaju rompi
putih itu memang tidak ingin mengetahui lebih banyak lagi, meskipun tahu kalau
Pandan Wangi tidak puas. Rangga yang sudah paham betul pada sifat-sifat Pandan
Wangi, segera berpamitan untuk melanjutkan perjalanannya lagi. Sedangkan Eyang
Jatibaya tidak bisa menahan mereka lebih lama lagi. Pendekar Rajawali Sakti dan
si Kipas Maut diantarkan sampai ke depan pintu bangunan utama Padepokan Gunung
Gading ini.
Bagi Pandan Wangi sendiri, hatinya terus
bertanya-tanya tentang tugas yang diberikan Eyang Jatibaya pada dua orang
muridnya. Memang sebuah tugas berat, dan mengandung bahaya tinggi. Menyelidiki
sebuah gerombolan yang selalu menculik gadis-gadis pendekar. Eyang Jatibaya
sendiri sebenarnya malu mengatakannya pada Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas
Maut, karena muridnya ikut jadi korban. Biar bagaimana pun, Eyang Jatibaya harus
menjaga nama baik padepokannya.
***
DUA
Pandan Wangi menghentikan lari kudanya begitu telah
jauh menlnggalkan Padepokan Gunung Gading. Dan mereka memang masih berada di
sekitar Lereng Gunung Gading. Melihat Pandan Wangi menghentikan kudanya, Rangga
pun mengikuti Pendekar Rajawali Sakti memandangi Pandan Wangi yang memutar
kudanya, kembali menghadap ke Padepokan Gunung Gading
“Ada apa, Pandan?” tanya Rangga.
“Entahlah.... Rasanya ada yang janggal.” sahut
Pandan Wangi agak mendesah.
“Apanya yang janggal?” tanya Rangga lagi.
Pandan Wangi tidak menyahuti, tapi malah melompat
turun dari punggung kudanya. Gadis itu melangkah dua tindak ke depan. Matanya
lurus, menatap langsung ke Puncak Gunung Gading ini. Sementara Rangga masih
berada di punggung kudanya, namun tak lama kemudian, turun juga. Dihampirinya
Pandan Wangi yang berdiri mematung memandang ke Puncak Gunung Gading ini
“Kau melihat kejanggalan pada sikap Eyang Jatibaya.
Pandan...?” tebak Rangga.
Pandan Wangi tetap tidak menyahuti, dan malah
berpaling ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian kembali pandangannya
tertuju ke Puncak Gunung Gading ini. Dugaan Rangga barusan, memang tepat
sekali. Pandan Wangi memang merasakan kalau sikap Eyang Jatibaya sangat
janggal. Jelas sekali kalau ada sesuatu yang ditutupi. Dan ini berhubungan
dengan keadaan Mutiara yang mereka temukan dalam keadaan hampir mati kehausan.
“Aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan,
Kakang,” kata Pandan Wangi pelan.
“Semua yang ada di alam ini punya rahasia tersendiri,
Pandan. Tidak ada yang aneh kalau Eyang Jatibaya mempunyai rahasia yang harus
disimpan rapi.” kilah Rangga.
“Aku tahu, Kakang. Tapi...” suara Pandan Wangi
terputus.
Saat itu terdengar suara genta yang berdentang
keras memekakkan telinga. Suara genta itu demikian jelas, seakan-akan berada
dekat sekali dengan telinga. Saat itu Rangga dan Pandan Wangi merasa aliran
darahnya seperti tersumbat. dan debaran jantungnya lebih keras dari biasanya
Mereka langsung menyadari kalau suara genta itu
mengandung suatu kekuatan dahsyat Rangga dan Pandan Wangi segera mengerahkan
hawa murni untuk menormalkan kembali aliran jalan darah. Kemudian pendengaran
mereka ditutup sedikit. sehingga suara genta itu tidak lagi menyakitkan.
Namun kekuatan suara genta Itu terasa semakin
dahsyat saja, sehingga kedua pendekar muda itu harus mengerahkan tenaga dalam
untuk menangkalnya. Tampak tubuh Pandan Wangi bergetar. Keringat se-besar
butiran jagung, menitik deras di seluruh tubuhnya
“Akh…” Pandan Wangi tiba-tiba saja memekik keras
agak tertahan.
Tampak dari lubang hidung dan sudut bibirnya keluar
darah segar. Sementara itu Rangga belum bisa berbuat sesuatu untuk menolong
Pandan Wangi. Dirinya sendiri sibuk menahan gempuran suara genta yang semakin
dahsyat kekuatannya. Namun melihat kekasihnya semakin kewalahan, Pendekar
Rajawali Sakti tidak mungkin membiarkan begitu saja.
“Hup...!” Cepat Rangga melompat ke depan Pandan
Wangi. Dan seketika itu juga tangannya direntangkan ke samping. Kedua tangan
Pendekar Rajawali Sakti bergetar, bergerak ke atas dan ke bawah. Kemudian
dengan cepat sekali kedua tangannya dikatupkan di depan dada. sehingga sepasang
telapaknya menempel di depan dada yang terbuka bidang.
“Berlindung di belakangku, Pandan...!” seru Rangga
keras.
Pandan Wangi berusaha mendekati tubuh Pendekar
Rajawali Sakti dengan susah payah. Dan begitu sampai di dekat punggungnya,
seketika itu juga pemuda berbaju rompi putih Itu berteriak keras sekali.
Bersamaan dengan teriakannya, Rangga menepukkan kedua telapak tangannya.
Plak! Begitu tangan Rangga beradu di atas
kepalanya. Seketika itu juga keluar secercah cahaya kilat disertai teriakan
dahsyat yang memekakkan telinga. Akibatnya suara genta itu berhenti seketika.
Perlahan-lahan Rangga menurunkan kedua tangannya.
Keadaan seketika berubah sunyi. Tak terdengar sedikit pun suara, kecuali desir
angin saja yang mengganggu gendang telinga. Rangga mengedarkan pandangannya
berkeliling. Namun sama sekali tidak terlihat sesuatu yang mencurigakan. Rangga
memalingkan kepala menatap Pandan Wangi. Tampak si Kipas Maut tengah sibuk
membersihkan darah yang keluar dari mulut dan hidungnya.
“Kau tidak apa-apa, Pandan?” tanya Rangga.
“Dadaku sedikit sesak,” sahut Pandan Wangi.
Memang aneh dan dahsyat sekali suara genta itu.
Bukan telinga yang diincar, tapi justru bagian dalam tubuh yang menjadi
sasarannya. Hal ini sangat dirasakan Pendekar Rajawali Sakti yang saat itu
darahnya jadi tidak beraturan, dan jantungnya berdetak lebih keras lagi.
“Hati-hatilah. Pandan. Barangkali masih ada serang...”
Belum juga habis Rangga berbicara, mendadak saja
dari arah samping kanan mereka meluncur secercah cahaya merah kebiru-biruan.
Sinar merah itu seperti tertuju pada Pandan Wangi.
“Pandan, awasss. .!” teriak Rangga keras.
“Ufts...!”
***
Cepat-cepat Pandan Wangi melompat ke samping, maka
sinar merah kebiruan itu lewat sedikit di samping tubuhnya. Suatu ledakan keras
terdengar ketika sinar merah kebiruan itu menghantam sebatang pohon hingga
hancur berkeping-keping. Pandan Wangi agak terkesiap juga ketika melihat pohon
itu hancur jadi debu. Bisa dibayangkan, jika sinar itu tadi mengenai tubuhnya.
Dan sebelum Pandan Wangi bisa menarik nafas lega,
kembali seberkas sinar merah kebiru-biruan melesat ke arahnya. Tapi kali ini
Rangga sudah cepat bertindak. Dilemparkannya batu sebesar kepalan tangan ke
arah sinar itu. Kembali sebuah ledakan keras terdengar begitu batu yang
dilemparkan Rangga hantam sinar merah kebiruan itu.
“Hap...!” Pandan Wangi segera melompat ke dekat
Pendekar Rajawali Sakti. Mereka mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tapi tak
terlihat seorang pun di sekitar tempat ini. Dan pada saat Rangga memutar
kepalan ke arah kanan, mendadak saja....
Slap!
“Heps!”
Rangga cepat mendorong tubuh Pandan Wangi ke
samping. Dan seketika itu juga tangannya dihentakkan begitu sebuah bayangan
keperakan berkelebat cepat menyambar ke arahnya. Namun Pendekar Rajawali Sakti
jadi terkejut, karena bayangan keperakan itu tiba-tiba saja melenting ke atas.
Maka hentakan tangannya hanya menyambar angin saja.
Belum lagi hilang rasa keterkejutan Pendekar
Rajawali Sakti, mendadak saja bayangan keperakan sudah kembali meluncur cepat.
Bergegas Rangga memutar tubuhnya, talu secepat itu pula melompat ke atas.
Langsung dikirimnya dua pukulan beruntun, disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi.
“Yeaaah...!”
Des!
“Akh...!” mendadak Rangga terpekik begitu merasa
satu pukulannya membentur benda keras.
Dan sebelum Pendekar Rajawali Sakti bisa menyadari
apa yang terjadi, mendadak saja dadanya terasa terhantam sesuatu dengan keras
sekali. Untuk kedua kalinya Rangga memekik keras agak tertahan. Tubuhnya
terlontar deras ke bawah. Dua kali Rangga memutar tubuhnya, dan dengan manis
mendarat di tanah berumput
“Ughk...!” Rangga mengeluh, merasakan sesak pada
rongga dadanya.
Pada saat itu, bayangan keperakan sudah kembali
berkelebat cepat ke arah Pandan Wangi. Sementara Rangga masih berusaha untuk
menghilangkan rasa sesak yang melanda dadanya.
Wus! Degkh!
“Akh...!” Pandan Wangi yang tidak menyangka akan
mendapat serangan begitu cepat dan mendadak sekali itu, tak mampu lagi
menghindar. Sebuah sambaran tangan telah mendarat di bahunya. Tubuhnya
terhuyung-huyung ke depan. Dan sebelum menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu
sebongkah batu yang cukup besar, melanda tubuhnya. Tubuh si Kipas Maut itu
terlempar deras ke belakang. Hanya sedikit Pandan Wangi masih mampu
menggerakkan tubuhnya, karena pada saat berikutnya bayangan keperakan itu sudah
kembali berkelebat menyambarnya dengan kecepatan kilat.
“Kakang...!” Pandan Wangi masih mampu berteriak
keras. Dan sekejap saja sudah lenyap disambar bayangan keperakan. Rangga yang
baru saja bisa menghilangkan rasa sesak di dadanya, terperanjat bukan main.
“Pandan…” sentak Rangga. Namun Pendekar Rajawali
Sakti jadi terbengong. Karena begitu teriakan Pandan Wangi terdengar, saat itu
juga tubuh gadis itu sudah lenyap, bersamaan dengan lenyapnya bayangan
keperakan. Dan Rangga tidak sempat lagi melihat, ke mana arahnya.
Rangga mengedarkan pandangannya ke sekeliling, tapi
tempat ini sudah sunyi sekali. Tak terlihat ada seorang pun. Sepertinya tidak
pernah terjadi sesuatu di Lereng Gunung Gading Ini. Begitu cepatnya peristiwa
itu berlangsung, membuat Rangga masih belum bisa menyadari kalau Pandan Wangi
lenyap bersama bayangan keperakan tadi.
“Oh.... Ke mana Pandan Wangi dibawanya...?” keluh
Rangga dalam hati.
Meskipun tadi Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan
Wangi sudah bersiaga penuh, namun gerakan bayangan keperakan itu tadi sungguh
luar biasa cepatnya. Bahkan Rangga sendiri sampai tidak bisa melihat bentuk
bayangannya. Hingga beberapa kali terpana, mengakibatkan satu pukulan telak di
dada Pendekar Rajawali Sakti.
Untung saja pukulan itu tidak mengandung pengerahan
tenaga dalam tinggi, sehingga Rangga tidak menderita luka yang berarti. Dengan
sedikit pengerahan hawa murni, rasa nyeri dan sesak yang melanda rongga dadanya
bisa dihilangkan. Namun pada saat yang sebentar itu, bayangan keperakan itu
sudah cepat bertindak, dan membawa Pandan Wangi sebelum ada yang sempat
menyadari.
“Hm.... Orang itu pasti memiliki tingkat kepandaian
yang tinggi sekali.” gumam Rangga pelan.
Pendekar Rajawali Sakti menarik napas dalam-dalam
beberapa kali, mencoba menenangkan diri agar bisa melakukan sesuatu tanpa
dipengaruhi hawa amarah. Dihampirinya kuda hitam yang bernama Dewa Bayu di
bawah pohon bersama kuda putih milik Pandan Wangi. Pendekar Rajawali Sakti
menepuk-nepuk leher kuda hitam itu beberapa kali.
“Dewa Bayu. Kau jaga si Putih. Aku akan memanggil
kalian jika sudah bertemu Pandan Wangi,” kata Rangga pada kuda hitam itu.
Seperti bisa mengerti saja, kuda hitam itu
meringkik keras dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Rangga kembali
menepuk-nepuk leher kuda itu.
“Sebaiknya kau kembali saja ke Karang Setra, Dewa
Bayu. Yang penting kau jangan sampai mendapat kesulitan oleh orang-orang yang
menginginkanmu,” kata Rangga lagi.
Kembali kuda itu menyahuti dengan ringkikan keras
dan anggukan kepala beberapa kali. Kemudian dihampirinya kuda putih tunggangan
Pandan Wangi. Tak berapa lama kemudian, kedua ekor kuda itu meringkik keras
sambil mengangkat kedua kaki depannya. Seakan-akan, mereka mengucapkan selamat
tinggal pada Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian kedua kuda itu berlari cepat
menuruni lereng gunung ini.
Rangga memperhatikan dua ekor kuda yang terus
berlari kencang menuruni lereng gunung ini, kemudian berbelok ke arah Selatan
menuju Karang Setra. Pendekar Rajawali Sakti baru mengalihkan perhatian setelah
kedua kuda itu sudah lenyap dari pandangan.
***
Rangga menghempaskan tubuhnya di atas rerumputan
yang dinaungi sebatang pohon rindang. Sudah seharian mencari Pandan Wangi di sekitar
Lereng Gunung Gading ini, tapi tanda-tandanya pun tidak pernah ditemukan.
Sementara senja sudah demikian larut, Matahari hampir tenggelam dalam
peraduannya. Sinarnya tidak lagi terik seperti tadi. Tak berapa lama lagi,
seluruh permukaan Gunung Gading ini akan terselimuti kegelapan.
Sesaat kemudian, Pendekar Rajawali Sakti tertegun
ketika telinganya mendengar alunan suara lembut dan merdu, mendendangkan irama
lagu. Suara merdu itu demikian jelas terdengar, menyelusup terbawa angin di
antara pohon-pohon dan bebatuan. Begitu lembut dan merdunya, membuat hati
Pendekar Rajawali Sakti tergugah untuk mengetahui pemilik suara itu.
“Hm....” Rangga bangkit berdiri. Perlahan-lahan
kakinya terayun setelah dapat memastikan arah sumber suara itu. Semakin dekat
dengan sumber suara itu, semakin terdengar jelas. Ayunan kaki Pendekar Rajawali
Sakti terhenti ketika melihat seorang gadis yang keadaan tubuhnya polos, duduk
di atas batu di tepi sebuah danau kecil.
“Ohhh...” Rangga mendesah kagum. Sungguh tidak
disangka kalau di sekitar Lereng Gunung Gading ini terdapat danau kecil yang
indah. Airnya jernih kebiruan dan berkilatan indah bagai bertaburkan batu-batu
permata. Untuk beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti tertegun menyaksikan
keindahan alam di sekitarnya ini. Rasanya, seperti berada di dalam sebuah taman
yang tertata dan terawat rapi oleh tangan-tangan ahli.
“Hei..!” gadis itu membentak begitu melihat ada
orang di dekat danau ini. Langsung diraihnya kain yang tergolek di sebelahnya.
“Oh!” Rangga tersentak kaget ketika tiba terdengar
bentakan keras, tepat saat alunan merdu itu berhenti. Pandangan Pendekar
Rajawali Sakti langsung beralih pada gadis yang hanya mengenakan selembar kain
penutup tubuhnya. Bukan hanya Rangga yang terkejut. Gadis itu pun terkejut
begitu menyadari ada seorang laki-laki berada di tempat ini. Bergegas dia turun
dari atas batu dan menyembunyikan tubuhnya balik batu yang cukup besar. Hanya
bagian leher kepalanya saja terlihat menyembul. Walaupun sudah menyembunyikan
diri di balik batu, wanita itu masih juga menutupi tubuhnya dengan kain, agar
tak terlihat.
“Siapa kau?! Mau apa datang ke sini..?!” sentak
gadis itu.
“Aku.... aku Rangga. Maaf. Aku tidak bermaksud
membuatmu terkejut. Apalagi mengganggumu,” sahut Rangga sedikit tergagap.
Entah kenapa, Pendekar Rajawali Sakti. Jadi
tergagap. Dan hatinya mendadak saja jadi tidak menentu. Wajahnya memerah
melihat wajah cantik yang menyembul dari balik batu. Dia seperti melihat dewi
yang turun mandi di telaga mayapada.
Gadis itu memang cantik sekali. Kulitnya bersih
tanpa cacat sedikit pun juga. Bibir merahnya yang tipis dan mungil, begitu
indah dipandang mata. Sepasang bola matanya bulat bening bagai bertaburan
jutaan bintang yang berkedip, menambah daya pesona kecantikannya. Rangga
benar-benar terpana menyaksikan sebentuk tubuh berwajah cantik dan indah itu
“Hei...! Kenapa menatapku begitu?” bentak gadis itu
merasa tidak suka dipandangi sedemikian rupa.
“Oh! Maaf..., maaf...,” ucap Rangga tergagap.
Buru-buru mukanya dipalingkan ke arah lain.
“Kenapa kau berada di sini?” terdengar lagi suara
gadis itu.
Kali ini suaranya terdengar lebih lembut, dan tidak
putus seperti tadi. Bahkan terdengar dekat sekali. Rangga kembali berpaling dan
langsung terbeliak manakala gadis itu sudah berada di dekatnya. Kini dia
mengenakan baju warna merah muda yang ketat dan agak tipis, sehingga membentuk
lekuk-lekuk tubuhnya yang ramping dan indah. Untuk beberapa saat, kembali
Pendekar Rajawali Sakti terpana. namun cepat menguasal diri.
“Ditanya malah bengong..!” sentak gadis itu lagi.
“Oh! Eh.... maaf. Aku tidak sengaja berada di sini.
Aku... aku kesasar, dan akan mencari jalan keluar dari hutan ini. Aku mendengar
suara nyanyianmu, sehingga ke sini,” Rangga mencoba menjelaskan. meskipun tidak
seluruhnya benar.
“Hm..., siapa namamu tadi?” tanya gadis itu,
setengah bergumam suaranya.
“Rangga,” sahut Rangga menyebutkan namanya.
“Rangga...,” gumam gadis itu, mengulangi.
Gadis berwajah sangat cantik ini mengamati Rangga
dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Matanya yang bulat dan bening bercahaya
itu tidak berkedip merayapi pemuda berbaju rompi putih di depannya. Hal ini
membuat Pendekar Rajawali Sakti merasa jengah juga. Rupanya memang tidak enak
jika dipandangi dengan sinar mata penuh selidik seperti itu. Atau bahkan
mungkin juga menilai, seperti menilai sebuah arca porselen yang cantik dan
mulus.
“Dari mana asalmu?” tanya gadis itu lagi.
“Desa Pasir Batang.” sahut Rangga seenaknya saja.
Jawabannya memang asal saja, dan apa yang ada di
kepalanya saat itu. Dan tampaknya jawaban Rangga yang seenaknya, dipercayai
gadis itu. Rangga menyebut nama desa itu, karena memang pernah ke sana dan
letaknya sangat jauh dari sini. Bisa makan waktu lebih dari tiga purnama untuk
sampai ke sana dengan berkuda. Dan gadis cantik berbaju merah muda itu tidak
tahu kalau Rangga asal menjawab saja.
“Di mana Desa Pasir Batang itu?” tanya gadis itu
lagi.
“Di wilayah wetan,” sahut Rangga.
“Lalu, apa tujuanmu datang ke sini?”
“Hanya mencari pengalaman saja,” lagi-lagi Rangga
menjawab asal saja yang terlintas dl benaknya.
“Hm..., Jadi kau pengembara?”
Rangga hanya menganggukkan kepalanya saja Dan tanpa
berkata apa-apa lagi, gadis berbaju merah muda Itu membalikkan tubuhnya. Lalu,
kakinya melangkah pergi dengan ayunan kaki gemulai. Sesaat Rangga jadi terpana
menyaksikan ayunan langkah yang begitu halus dan sedap dipandang mata.
“Hei..! Boleh aku tahu namamu?” seru Rangga begitu
tersadar kalau gadis Itu belum memperkenalkan dirinya.
Namun Rangga tidak memperoleh jawaban sama sekali.
Dan gadis itu terus saja berjalan semakin jauh, lalu lenyap ditelan lebatnya
pepohonan di sekitar danau kecil ini. Beberapa saat Rangga masih berdiri
mematung memandangi ke arah kepergian gadis Itu. Sambil mengangkat bahunya
sedikit, Pendekar Rajawali Sakti kembali mengayunkan kakinya berjalan. Dan
tanpa disadari, arah yang dituju justru sama dengan arah yang dilalui gadis itu
tadi.
***
TIGA
Saat itu senja sudah berganti malam. Matahari yang
sepanjang siang hari memancarkan sinarnya yang terik, kini digantikan cahaya
bulan yang lembut. Udara pun mulai terasa dingin menusuk hingga ke tulang.
Namun dinginnya udara disertai hembusan angin kencang, tidak membuat seorang
gadis bergerak dari duduknya di sebuah tangga beranda bangunan besar yang
dikelilingi pagar dari gelondongan kayu yang tinggi. Gadis yang mengenakan baju
warna kuning gading itu adalah Mutiara, yang baru saja bisa bangkit dari
pembaringan.
Pandangan gadis berusia sekitar tujuh belas tahun
itu tidak berkedip ke satu arah. Pikirannya menerawang jauh ke satu tempat Di
situ dia mengalami sesuatu yang mengerikan, dan hampir membuatnya lenyap dari
muka bumi ini.
“Mutiara....”
“Oh...!” Mutiara tersentak kaget ketika tiba-tiba
terdengar teguran yang menyebut namanya dari arah belakang. Gadis itu memutar
kepalanya sedikit, kemudian menggeser duduknya begitu mengetahui yang
menegurnya adalah Eyang Jatibaya. Dan laki-laki tua berjubah putih yang masih
kelihatan gagah itu duduk di samping Mutiara. Sedangkan Mutiara sudah kembali
mengarahkan pandangannya ke depan.
“Kau teringat pada Nila Komala...?” tegur Eyang
Jatibaya lagi, lembut.
“Hhh...,” Mutiara hanya menghembuskan napasnya saja.
“Nila Komala muidku yang terbaik. Aku juga
menyesali nasibnya yang malang,” ujar Eyang Jatibaya perlahan.
Lagi-lagi Mutiara hanya menghembuskan napas saja.
Sepertinya semua kata-kata yang diucapkan laki-laki tua itu tidak
didengarkannya. Pikirannya sedang mengawang jauh, menembus cakrawala yang tak
bertepi
“Eyang..,” ujar Mutiara tiba-tiba setelah lama
terdiam diri, membisu.
“Ada apa, Mutiara?” lembut sekali suara Eyang
Jatibaya.
“Boleh aku meminta sesuatu...?” pelan dan terdengar
ragu-ragu nada suara Mutiara.
“Katakan saja. Mutiara,” sahut Eyang Jatibaya
seraya tersenyum.
Sebentar Mutiara menarik napas dalam-dalam,
kemudian menghembuskannya kuat-kuat. Sesaat, dipandangnya laki-laki tua yang
duduk di sampingnya, kemudian pandangannya kembali tertuju lurus ke depan.
Sementara Eyang Jatibaya masih menunggu dengan benak terus menduga-duga, apa
yang akan diminta gadis ini.
“Kak Nila telah mengorbankan diri untuk
menyelamatkan diriku. Terlalu besar beban yang kutanggung jika dia sampai
meninggal. Eyang,” ujar Mutiara, suaranya pelan dan terasa berat sekali.
Eyang Jatibaya masih terdiam menunggu
kelanjutannya.
“Aku akan merasa menyesal seumur hidup jika terus
berdiam diri di sini, Eyang,” sambung Mutiara.
“Apa maksudmu. Mutiara?” tanya Eyang Jatibaya
semakin keras menduga.
“Jika Eyang mengizinkan, aku akan mencari Kak
Nila.”
Eyang Jatibaya tersentak kaget mendengar
per-mintaan gadis ini. Laki laki tua itu memang sudah menduga demikian. Tapi
sungguh tidak disangka kalau Mutiara akan mengajukannya secepat ini. Baru sore
tadi dia bisa turun dari pembaringannya, dan sekarang minta ijin mencari Nila
Komala yang sudah menyelamatkan jiwanya dengan mengorbankan diri sendiri.
Eyang Jatibaya memandangi gadis dl sampingnya
dalam-dalam, seakan-akan ingin mencari kesungguhan di mata gadis itu. Namun
keningnya semakin berkerut dalam saat menemukan kesungguhan di dalam sinar mata
Mutiara yang redup.
“Eyang akan menyiksaku seumur hidup jika aku tidak
diijinkan mencari Kak Nila,” desak Mutiara
“Ke mana kau akan mencarinya, Mutiara?” tanya Eyang
Jatibaya setelah menghembuskan napas panjang.
“Ke tempat semula,” sahut Mutiara.
“Daerah itu sangat berbahaya. Mutiara. Kau tidak
bisa pergi sendiri ke sana. Aku tidak ingin kehilangan muridku lagi,” pelan
sekali nada suara Eyang Jatibaya.
“Seperti harapanmu, Eyang. Aku Juga berharap Kak
Nila masih hidup. Kalaupun sudah mati, aku ingin melihat jasadnya dan
menguburkannya secara layak,” Mutiara dengan nada memohon.
Untuk kesekian kalinya Eyang Jatibaya menghembuskan
napas panjang. Perlahan dia bangkit berdri dan melangkah. menuruni undakan
beranda depan bangunan utama padepokannya ini. Laki-laki tua itu berhenti
setelah berada dl ujung undakan. Pandangannya lurus ke depan. Terlalu berat
baginya untuk melepaskan Mutiara kembali ke daerah yang sudah mati tanpa
kehidupan lagi itu.
Eyang Jatibaya sudah mencoba mengutus dua muridnya
ke daerah itu. Dan hasilnya, sungguh menyakitkan sekali. Satu murid
kesayangannya kini tak ketahuan bagaimana nasibnya. Beberapa kali Eyang
Jatibaya menghembuskan napas panjang dan berat sekali. Perlahan kemudan
tubuhnya diputar. Langsung ditatapnya Mutiara yang masih duduk memandang tanpa
berkedip ke arah laki-laki tua berjubah putih itu.
“Beri aku kesempatan Eyang. Mudah-mudahan Hyang
Widi selalu melindungiku dan Kak Nila,” ujar Mutiara memohon.
Kembali Eyang Jatibaya menghembuskan napas panjang
dan berat. Kemudian kakinya terayun kembali menaiki undakan beranda depan yang
berjumlah tujuh buah. Sebentar dia berhenti di samping Mutiara, kemudian
kembali melangkah masuk ke dalam bangunan besar itu.
“Eyang...!” panggil Mutiara ingin jawaban laki-laki
tua itu.
Mutiara bangkit berdiri dan mengejar Eyang Jatibaya
yang terus saja melangkah masuk ke dalam. Dan gadis itu terus mengikuti sambil
mendesak agar diizinkan mencari Nila Komala yang sampai saat ini tidak ketahuan
bagaimana nasibnya.
Sementara malam terus merayap semakin larut. Dan
suasana di sekitar Padepokan Gunung Gading itu tampak sunyi senyap, tanpa
terdengar satu suara sedikit pun. Hanya desiran angin saja yang terdengar
ber-hembus mempermainkan dedaunan. Udara malam ini begitu dingin. Maka mereka
yang menghuni padepokan itu lebih senang menghangatkan diri dalam kamar,
kecuali yang malam ini terpaksa harus berjaga.
***
Pagi-pagi sekali, di saat matahari belum
menampakkan diri, terlihat seekor kuda coklat berlari kencang keluar dari
Padepokan Gunung Gading yang berada dl Puncak Gunung Gading. Kuda itu dipacu
cepat oleh penunggangnya yang ternyata seorang gadis berusia sekitar tujuh
belas tahun. Gadis itu mengenakan baju warna kuning Gading dengan sebuah pedang
tersampir di pinggangnya. Sementara itu, tak ada seorang penghuni padepokan pun
yang mengetahui. Mereka masih terlelap dalam buaian mimpi. dalam selimut udara
yang dingin.
“Hiya! Hiyaaa...!”
Gadis itu terus menggebah cepat kudanya, semakin
jauh meninggalkan padepokan. Tubuhnya terguncang-guncang mengikuti irama
langkah kaki kuda yang dipacu cepat. Namun belum juga jauh meninggalkan
padepokan itu, mendadak saja....
“Hooop...!” Gadis itu tiba-tiba sekali menghentikan
kudanya. Sepasang bola matanya sedikit terbeliak, lalu bergegas melompat turun
dari punggung kuda. Langsung dijatuhkan dirinya, begitu merasa pasti kalau
laki-laki tua yang berdiri menghadangnya itu adalah Eyang Jatibaya. Gadis itu
berlutut seperti memohon ampun.
“Bangun, Mutiara,” agak dingin nada suara Eyang Jatibaya.
“Maafkan aku, Eyang. Bukan maksudku untuk
menentangmu,” ucap gadis berbaju kuning Gading yang ternyata memang Mutiara.
Gadis itu bangkit berdiri perlahan. Namun kepalanya
tetap tertunduk, seakan-akan tak sanggup menentang sorot mata laki-laki tua
berjubah putih itu. Sungguh tidak disangka kalau kepergiannya yang diam-diam
ini masih juga diketahui oleh gurunya, bahkan menghadangnya di luar bangunan
padepokan di Puncak Gunung Gading ini.
“Maaf, Eyang,” ucap Mutiara pelan. Begitu lirih
sekali suaranya. Seakan-akan disesali dirinya yang telah pergi diam-diam tanpa
berpamitan lebih.
“Kau pikir aku diam saja karena tidak peduli
terhadap nasib Nila Komala?! Tidak, Mutiara! Aku sedang memikirkan cara yang
terbaik, tanpa harus mengorbankan banyak nyawa. Aku juga menyesal karena telah
mengirim kalian ke sana,” tegas Eyang dengan suara yang dalam.
“Aku tidak berpikir begitu, Eyang,” sahut Mutiara
seraya mengangkat kepalanya.
“Lalu, kenapa pergi diam-diam?”
“Aku.... aku...,” Mutiara tidak sanggup meneruskan.
Kembali gadis itu menundukkan kepalanya. Rasanya benar-benar tidak sanggup lagi
membalas tatap mata Eyang Jatibaya yang begitu tajam. Belum pernah Mutiara
melihat sinar mata gurunya begitu tajam berkilatan bagaikan hendak membakar
seluruh tubuhnya hingga hangus. Terbetik rasa penyesalan di hati gadis itu.
“Kau masih terlalu muda, Mutiara. Kau belum
menyadari betapa berbahayanya bertindak tanpa perhitungan matang. Kau harus
bisa mengendalikan diri sendiri lebih dahulu, sebelum terjun ke dalam dunia
luar.” kata Eyang Jatibaya mulai pelan dan lembut suaranya.
Mutiara hanya bisa diam saja. Kepalanya tetap
tertunduk, tak sanggup membalas tatapan mata gurunya itu. Memang Eyang Jatibaya
jarang sekali meluapkan amarahnya. Kalaupun marah, paling hanya sebentar saja.
Dan itu hanya ditunjukkan dengan sikap. Laki-laki tua ini begitu matang dalam
memahami arti kehidupan, sehingga segala tindakan dan ucapannya tak pernah
meluncur begitu saja.
“Aku bukannya tidak mengijikanmu, Mutiara. Kulihat,
kau belum cukup mampu menghadapi rintangan yang akan dilalui,” kata Eyang Jatibaya
lagi.
“Tapi, Eyang..,” kembali Mutiara mengangkat
kepalanya.
“Bisa kurasakan, apa yang kau rasakan sekarang ini,
Mutiara. Tapi kau harus bisa mengalahkan perasaan hati dengan pikiran tenang
dan penuh pertimbangan matang. Kau harus sadar, Mutiara. Kesalahan lama manusia
adalah karena sering bertindak dengan menuruti kata hati. Bukan dengan
pemlkiran matang.” jelas Eyang Jatibaya lagi.
“Aku sudah memikirkannya, Eyang,” mantap suara
Mutiara.
“Tanpa dorongan kata hati?”
“Tidak,” sahut Mutiara lebih mantap. “Aku tidak
percaya kau bertindak dengan pertimbangan dan pikiran yang matang, Mutiara.”
“Eyang... Izinkan aku mencari Kak Nila. Apa pun
yang akan terjadi, harus kuhadapi. Eyang,” Mutiara memohon dengan sangat
“Kembalilah, Mutiara. Belum saatnya kau berada di
dunia luar. Kau belum siap menghadapi segala macam cobaan yang tidak akan
pernah terbayang sebelumnya.” lembut sekali suara Eyang Jatibaya membujuk gadis
itu agar mengurungkan niatnya.
“Tidak, Eyang Sudah kuputuskan untuk mencari Kak
Nila. Kalau pun harus mendapatkan jasadnya saja aku sudah merasa puas,” sahut
Mutiara mantap.
Eyang Jatibaya menghembuskan napas panjang. Dia
menyadari kalau tekad gadis ini sudah benar-benar bulat dan tidak bisa dirubah
lagi. Mutiara memang keras dalam sikap dan tindakannya. Sekali memutuskan
suatu, tidak akan pernah dicabut kembali. Gadis akan tetap pada pendiriannya
dengan segala yang bakal dihadapi.
Walaupun yang membujuk Eyang Jatibaya tapi tetap
saja Mutiara kokoh pada pendiriannya. Suatu sikap yang sebenarnya harus
mendapatkan pujian. Namun hal ini yang membuat Eyang Jatibaya khawatir Mutiara
masih teralu muda. Dan kata hatinya masih belum bisa dikalahkan oleh pikiran
yang jernih dan matang. Hal ini akan mencelakakan diri sendiri. Itulah
sebabnya, mengapa Eyang Jatibaya tidak pernah melepas Mutiara sendirian jika
berada diluar padepokan.
“Baiklah. Kau kuizinkan pergi, Mutiara,” Eyang
Jatibaya, akhirya menyerah juga.
“Oh! Terima kasih.... Terima kasih. Eyang.” Mutiara
gembira bisa mendapatkan restu dari orang tua itu.
“Tapi kau tidak boleh pergi sendiri.” kata Eyang
Jatibaya lagi.
“Maksud, Eyang?”
“Aku akan meminta Barada untuk menemanimu.”
”Tapi, Eyang,” Mutiara ingin menolak.
“Jika menolak, maka aku tidak akan mengizinkanmu,”
potong Eyang Jatibaya cepat. Nada suaranya terdengar tegas sekali.
Mutiara langsung terdiam. dan tidak mungkin bisa
menolak lagi. Menolak Barada, berarti pupus harapannya untuk mencari Nila
Komala. Padahal dia ingin sekali melakukan pencarian itu seorang diri saja.
Tapi Eyang Jatibaya sudah memutuskan. tidak bisa ditolak lagi. Mutiara akhirnya
menerima juga, daripada gagal melaksanakan kainginannya. Dan yang pasti, tidak
akan mungkin bisa mendapat kesempatan dua kail meninggalkan Padepokan Gunung
Gading ini.
“Sekarang kau kembali dulu, besok pagi baru
berangkat. Kau perlu persiapan yang cukup untuk menempuh perjalananmu,” tegas
Eyang Jatibaya.
“Baik, Eyang,” sahut Mutiara.
Kali ini Mutiara tidak bisa lagi membantah. Restu
Eyang Jatibaya sudah didapatkan, dan tidak ingin tercabut kembali. Baginya
sudah cukup untuk mendapatkan restu daripada harus gagal meninggalkan Gunung
Gadng ini.
***
Saat matahari baru menampakkan diri di balik
cakrawala Timur, Mutiara sudah berangkat meninggalkan Padepokan Gunung Gading.
Kali ini gadis itu didampingi seorang pemuda yang wajahnya tampan. Bentuk
tubuhnya tegap dan berotot. Bajunya berwarna biru tua dengan sebuah pedang
tersandang di punggungnya. Pemuda itulah yang dijanjikan Eyang Jatibaya untuk
mendampingi Mutiara dalam usahanya mencari Nila Komala.
Mereka berkuda dengan cepat sekali, melintasi jalan
berdebu yang di kiri dan kanannya ditumbuhl pepohonan subur. Sebenarnya Mutiara
tidak menyenangi pemuda ini. Padahal sikap pemuda itu lembut dan penyabar
sekali dan merupakan satu-satunya murid Padepokan Gunung Gading yang memiliki
tingkat kepandaian paling tinggi. Tak ada seorang murid-murid Padepokan Gunung
Gading yang menandingi kepandaiannya. Baik dalam ilmu olah kanuragan maupun
ilmu kesaktian. Dia sering dipanggil dengan nama Barada.
“Kenapa kau diam saja. Mutiara?” tanya Barada
membuka suara.
“Hhh...!” Mutiara hanya mendesah saja.
“Terus terang, Mutiara. Kau tidak suka aku
mendampingimu, bukan...?” kata Barada lagi.
“Sudah tahu, kenapa tetap saja ikut?” dengus
Mutiara ketus.
“Aku tidak bisa menolak, Mutiara. Kau kan tahu,
bukan keinginanku untuk mendampingimu. Tapi ini perintah Eyang Jatibaya,”
Barada mencoba menjelaskan dengan sikap sabar menghadapi keketusan gadis ini.
“Huh! Terus terang saja, kau juga senang, kan...?”
terdengar sinis nada suara Mutiara.
“Mungkin,” sahut Barada seraya mengangkat bahunya.
“Huh!” dengus Mutiara.
Terus terang, Barada memang sudah lama menyukai
gadis ini. Padahal sikap Mutiara padanya selalu tidak mengenakkan. Dan setiap
kali bicara, selalu ketus dan siniis. Barada sendiri tidak mengerti. mengapa
gadis ini tidak pernah bersikap manis padanya. Padahal dengan pemuda-pemuda
lain di Padepokan Gunung Gading, sikap Mutiara tidak seperti ini.
Barada memang tidak tahu, kalau sikap Mutiara
selalu ketus padanya. Karena, gadis itu tidak senang dengan sikap Barada yang
menyukainya lebih dari saudara seperguruan. Yang jelas, dia tidak ingin jatuh
cinta pada saudara seperguruan, dan selalu menganggap semuanya adalah saudara.
Dan sikap Mutiara ini tidak pernah disadari Barada, hingga tetap menginginkan
Mutiara menjadi kekasihnya.
Ingin rasanya Barada mendengar suara renyah dan
lembut saat Mutiara tertawa, hanya untuknya. Bukan di depan teman-teman
lainnya. Dan gadis itu tidak akan pernah tertawa riang atau bergurau jika
Barada ikut berkumpul bersama-sama yang lainnya. Mutiara akan menjadi pendiam
bila ada pemuda ini.
Sikap Mutiara yang tidak pernah menunjukkan
persahabatan padanya, memang sudah diketahui semua penghuni Padepokan Gunung
Gading. Bahkan Eyang Jatibaya sendiri mengetahuinya. Tapi laki-laki tua itu
tidak pernah suka ikut campur persoalan pribadi murid-muridnya, kecuali jika
tidak diminta secara khusus.
“Sebaiknya kau kembali saja, Barada.” kata Mutiara.
“Kau senang kalau aku dihukum, ya...?” dengus
Barada sengit juga.
Memang sudah menjadi satu ketentuan yang tidak bisa
dibantah lagi. Siapa saja yang sengaja lari dari tugas, hukumannya adalah
penggal kepala. Eyang Jatibaya menganggap orang macam itu adalah pengkhianat
dan pengecut yang tidak boleh dibiarkan hidup.! Sehingga tak ada seorang pun
dari murid-muridnya yang berani mengkhianatinya. Mereka lebih baik mati dalam
pertarungan daripada mati dipenggal. Mati dalam pertarungan akan sangat
dihargai. Penghargaan itu berupa sebuah arca batu yang bertuliskan nama orang
yang berhak, yang dibuat oleh Eyang Jatibaya bagi murid-muridnya yang binasa
dan mati dalam tugas.
“Kalau takut dipenggal, bunuh diri saja,” Mutiara
ketus.
“Bicaramu sudah melantur. Mutiara,” desis Barada.
Meskipun hatinya mulai sedikit panas, namun Barada masih tetap berusaha
menyabarkan diri. Dia selalu ingat pesan gurunya, agar tidak memancing
persoalan. Apalagi sampai bentrok dengan gadis ini. Memang menghadapi Mutiara,
Barada harus lebih banyak bersabar.
“Tidak senang...?” Mutiara semakin sinis.
Barada diam saja. Dia tahu kalau gadis ini mulai
memancing kemarahannya. Dan ini yang harus dihindari sedapat mungkin. Meskipun
hatinya kesal dan darahnya terus bergolak medidih, namun entah kenapa, Barada
tidak punya kekuatan untuk marah. Sikap sabarnya yang sudah terkenal di
Padepokan Gunung Gading, semakin terlihat sabar di depan Mutiara. Barada memang
mengakui kalau menyukai gadis ini, meskipun perasaannya tidak pernah
ditunjukkan.
“Sudahlah, Mutiara.... Kalau kau tidak suka,
sebaiknya diam saja. Tidak perlu bicara padaku. Anggap saja kau berjalan
sendiri dan aku janji tidak akan nelakukan sesuatu. Hanya mendampingimu saja.”
kata Barada tidak ingin berlarut-larut.
“Bagus! Aku pegang janjimu, Barada.” sambut
Mutiara.
Pernyataan seperti itu memang sudah dinantikan
sejak tadi. Gadis itu tidak ingin Barada ikut campur dalam setiap persoalannya
nanti. Apa pun yang akan terjadi, harus dihadapinya sendiri. Meskipun disadari
kalau tingkat kepandaian yang dimilikinya masih jauh di bawah pemuda itu.
“Aku akan diam saja, meskipun kau mati, Mutiara,”
tegas Barada sengit.
“Itu lebih bagus lagi,” lagi-lagi Mutiara
menyambutnya dengan senyum.
Namun itu hanya sebentar saja. Karena mendadak saja
senyum dl bibir gadis itu lenyap, dan wajahnya agak memucat. Buru-buru Mutiara
membuang mukanya. Untung saja Barada tidak sempat memperhatikan perubahan wajah
gadis itu. Mereka terus berkuda tanpa bicara lagi. Namun kini Mutiara mulai
diliputi suatu perasaan yang sukar dimengerti. Dia sendiri tidak tahu, kenapa
tiba-tiba saja terselip perasaan takut saat Barada memberi pernyataan terakhir
tadi.
“Huh!” dengus Mutiara.
***
Mutiara menghentikan langkah kaki kudanya ketika
melihat daerah gersang dan tandus membentang di depannya. Matahari yang
bersinar terik, begitu menyengat. Membuat kulit terasa terbakar. Gadis itu
menyeka keringat yang membanjiri sekujur wajahnya yang memerah terbakar terik
sang mentari. Sementara Barada yang berada di belakangnya, hanya memandang ke
sekeliling.
Perlahan Mutiara menggebah kudanya agar kembali
berjalan. Kuda coklat ituu melangkahkan kakinya memasuki daerah gersang, dengan
pepohonan meranggas dan rerumputan mengering layu. Sepanjang mata memandang
hanya kegersangan yang tampak. Tanah yang dilalui, membuat debu semakin menebal
terhembus angin
“Apa kau tidak salah jalan, Mutiara?” tanya Barada.
“Tidak,” sahut Mutiara singkat.
Sedkit pun gadis itu tidak berpaling. Memang selama
dalam perjalanan, mereka hanya sesekali saja bicara. Dan biasanya Mutiara baru
membuka mulut kalau ditanya. Itu pun dijawab singkat, tanpa memandang orang
yang bertanya padanya. Tidak pernah sekali pun Mutiara mengeluarkan pertanyaan.
Gadis itu benar-benar jadi pendiam kali ini. Sedangkan Barada, tidak mau
mengusik. Dibiarkan saja sikap Mutiara yang menunjukkan permusuhan padanya.
“Tidak ada satu rumah pun di sini,” kembali Barada
berkata dengan suara setengah bergumam, seperti bicara pada dirinya sendiri.
Sedangkan Mutiara sama sekali tidak menanggapi, dan
tetap diam saja sambil mengendalikan kudanya agar tidak terlalu cepat berlari.
Pengalamannya di tempat ini tidak ingin terulang lagi. Segala sesuatu harus
bisa diperhitungkan dengan matang. Terutama persediaan air. Jangan sampai
kehabisan seperti ketika datang bersama Nila Komala.
“Di mana Nila Komala hilang?” tanya Barada lagi.
“Masih jauh,” sahut Mutiara enggan.
“Seberapa jauh?”
“Setengah hari lagi. Itu juga kalau kau tidak
cerewet bertanya terus,” kali ini jawaban Mutiara ketus sekali.
Mendapat jawaban yang tidak mengenakkan itu, Barada
langsung terdiam. Dia tidak membuka suara lagi. Sementara itu mereka sudah tiba
dl daerah berbatu. Tak ada satu pun tanaman yang hidup di sini. Bahkan seekor
semut pun tidak dijumpai. Daerah ini benar-benar gersang dan mati, tanpa ada
tanda-tanda kehidupan sama sekali.
Mereka terus bergerak meskipun jalan yang dilalui
semakin terasa sulit. Karena jalan berbatu ini setiap saat bisa membuat kuda
mereka tergelincir. Mereka hati-hati sekali mengendalikan kuda.
“Hup!”
Mungkin merasa sukar atau mungkin juga kasihan
dengan kuda tunggangannya, Barada melompat turun. Kemudian kudanya hanya
dituntun saja. Sedangkan Mutiara tetap berada di punggung kudanya sendiri.
Gadis itu tidak pernah berhenti mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mutiara
menghentikan langkah kaki kudanya.
“Ada apa, Mutiara?” tanya Barada yang ikut berhenti
berjalan.
Mutiara tidak menjawab. Pandangannya beredar ke
sekeliling dengan kening agak berkerut. Kemudian gadis itu membelokkan kudanya
ke kanan, dan terus melanjutkan perjalanan lagi. Barada yang sengaja berjalan
kaki, terus mengikuti tanpa sedikit pun mengeluarkan keluhan. Beberapa kali
kerlngat yang membasahi leher disekanya dengan punggung tangan.
Barada merasakan wajahnya jadi tebal dan kaku
sekali. Entah sudah berapa banyak debu yang menempel bercampur keringat.
Perjalanan ini memang melelahkan sekali. Kalau bukan karena perintah langsung
dari Eyang Jatibaya, pasti sudah sejak tadi Barada meninggalkan tempat ini.
Akan dicarinya jalan yang lebih enak lagi, tanpa harus menyiksa diri.
***
EMPAT
Mutiara kembali menghentjkan langkah kudanya,
kemudian melompat turun. Pandangannya lurus tak berkedip ke arah tanah berpasir
di depannya. Perlahan-lahan kakinya melangkah. Tidak jauh di depannya, terlihat
sebuah perkampungan yang tidak berpenghuni lagi. Di perkampungan itu, dia dan
Nila Komala diserang. Dan di sana pula Nila Komala menghilang setelah terkena
serangan.
Kembali Mutiara berhenti melangkah begitu sampai di
perkampungan itu. Semua rumah di sini sudah hancur berantakan. Tak ada lagi
yang masih utuh. Kembali gadis itu mengedarkan pandangannya berkeliling,
kemudian menatap bangkai seekor kuda yang tergeletak dekat batang kayu kering
Seekor kuda milik Nila Komala.
“Awas...!” seru Barada tiba-tiba.
Mendadak saja pemuda itu melompat cepat mendorong
tubuh Mutiara. Tubuhnya langsung melenting berputaran beberapa kali di udara.
Seketika itu juga terdengar ledakan keras menggelegar. Tampak sebuah rumah
hancur berkeping-keping. Dan begitu Barada menjejakkan kakinya, terlihat lagi
seberkas cahaya merah kebiru-biruan kembali meluncur deras ke arah Mutiara.
“Di kananmu, Mutiara...!” seru Barada
memperingatkan.
“Hup!” Mutiara langsung menarik tubuhnya ke
belakang. Maka sinar merah kebiruan itu lewat sedikit di depan dadanya. Sinar
itu menghantam sebatang pohon yang sudah mati, sehingga menimbulkan ledakan
keras kembali. Suaranya keras menggelegar, memekakkan telinga.
“Houp!” Barada melompat, dan langsung mendarat di
samping Mutiara. Hanya sedikit saja Mutiara melirik pemuda itu. Sebenarnya
gadis itu ingin berterima kasih, karena telah diperingatkan sehingga lolos dari
maut. Tapi hal itu tidak ingin ditunjukkannya. Entah kenapa, hanya dia sendiri
yang tahu. Dan Barada juga tidak mengharapkan ucapan terima kasih gadis itu.
Hatinya sudah cukup senang bisa menyelamatkan Mutiara dari serangan tadi.
“Kau melanggar janjimu sendiri, Barada...!” dengus
Mutiara dengan suara agak tertahan.
“Maaf. Aku tidak bisa menahan diri,” sahut Barada.
“Sebaiknya kau menyingkir. Aku tidak ingin kau ikut
campur,” tegas Mutiara.
Sebentar Barada memandangi gadis itu, kemudian
melangkah mundur beberapa tindak. Mutiara mendelik melihat Barada hanya
menyingkir beberapa langkah saja. Kembali Barada melangkah mundur menjauhi
gadis itu, dan baru berhenti setelah jaraknya sudah mencapai sekitar dua batang
tombak
Cukup jauh memang. Tapi tidak terlalu jauh untuk
cepat bisa menolong. jika Mutiara terdesak. Sementara itu Mutiara berdiri
tegak, menunggu datangnya serangan lagi. Dan belum berapa lama menunggu,
tiba-tiba saja sebuah bayangan keperakan melesat cepat dari balik sebuah rumah
yang rusak berantakan.
“Hup! Yeaaah...!”
Mutiara langsung melompat menyongsong begitu
terlihat sebuah bayangan keperakan berkelebat ke arahnya. Gadis itu melontarkan
beberapa pukulan beruntun, disertai pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi.
Namun bayangan keperakan itu bergerak cepat dan indah sekali menghindari
terjangan Mutiara.
Bayangan keperakan itu melesat ke atas, melewati
kepala Mutiara. Kemudian tiba-tiba sekali, dia meluruk deras ke belakang gadis
itu. Satu gerakan cepat dan tidak terduga sama sekali. Mutiara benar-benar
tidak sempat lagi menyadari. Dan....
Deghk!
“Akh...!” Mutiara terpekik. Gadis itu terdorong ke
depan begitu punggungnya terkena satu hantaman keras. Namun Mutiara cepat basa
menguasai diri, dan segera memutar tubuhnya. Tapi sebelum melakukan sesuatu
yang berarti. Mendadak saja bayangan keperakan itu sudah kembali berkelebat
cepat menerjangnya. Kecepatannya luar biasa, membuat Mutiara terperangah. Gadis
Itu tidak sempat lagi berkelit.
Bughk!
“Akh...!” untuk kedua kalinya Mutiara terpekik.
Kali Ini dadanya terasa seperti terkena hantaman keras. Dan tak ampun lagi,
Mutiara terjengkang keras sekali ke belakang. Gadis itu menggeliat, merasakan
saklt di punggung dan dadanya. Begitu nyeri sekali, sampai-sampai sukar untuk
mengatur napas. Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal di dalam rongga dadanya.
Sebelum Mutiara bisa melakukan sesuatu, mendadak
saja bayangan keperakan itu sudah berkelebat lagi ke arahnya. Begitu cepatnya
berkelebat, sehingga tidak ada lagi kesempatan bagi Mutiara untuk menghindar.
Namun sebelum bayangan keperakan itu bisa menjamah tubuh Mutiara, mendadak saja
sebuah bayangan putih melesat cepat bagaikan kilat memotong arus gerakannya.
Plak!
“Ughk!” terdengar keluhan pendek. Tampak bayangan
keperakan itu terpental balik, dan berputaran di udara. Kemudian lewat suatu
gerakan indah dan ringan sekali, kakinya mendarat di tanah berpasir. Tampak
kini satu ujud manusia yang mengenakan baju ketat berwarna keperakan yang
mengkilat.
Tapi anehnya, seluruh tubuhnya terbungkus kain
keperakan. Dari ujung kepala hingga ujung kaki. Bahkan tak ada satu lubang pun
di matanya. Bentuknya memang tidak jauh berbeda dengan manusia. Dan lekuk
tubuhnya begitu ramping dan indah, bagai tubuh seorang wanita.
Dan tidak jauh di samping Mutiara, kini sudah
berdiri seorang pemuda mengenakan baju rompi putih. Sebilah pedang bergagang
kepala burung, bertengger dl punggungnya. Mutiara mengenali pemuda yang pernah
menolongnya itu, ketika dia hampir mati kehausan.
“Rangga,” desis Mutiara.
Pemuda berbaju rompi putih yang berjuluk Pendekar
Rajawali Sakti itu mengulurkan tangannya, yang langsung disambut Mutiara. Gadis
itu bangkit berdiri, namun langsung memegangi dadanya. Napasnya terasa sesak,
dan terasa nyeri sekali. Pukulan orang keperakan itu demikian keras, tapi
rasanya tidak mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Hanya saja cukup
membuat seluruh tulang di tubuhnya seperti remuk.
***
Hanya sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti melirik
Mutiara. Dan pada saat itu, manusia bertubuh keperakan itu sudah melesat
menerjangnya dengan cepat sekali. Kedua tangannya bergerak cepat melontarkan
beberapa pukulan. Seketika itu juga Rangga mendorong tubuh Mutiara. Segera
tubuhnya melenting ketika dari tangan yang terkepal itu meluncur cahaya-cahaya
merah kebiruan.
Cahaya-cahaya merah kebiruan itu menghantam tanah
tempat Rangga dan Mutiara tadi berdiri. Tanah itu langsung terbongkar,
menimbulkan suara keras menggelegar. Tampak Rangga beberapa kali berputaran di
udara, kemudian cepat meluruk ke arah manusia keperakan itu. Langsung
dilontarkan dua pukulan beruntun yang cepat ke arah kepala.
“Yeaaah...!”
Namun dengan sedikit gerakan saja, orang yang
seluruh tubuhnya berwarna keperakan itu berhasil menghindari pukulan yang
dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti. Dan pada saat pemuda berbaju rompi putih
itu menjejakkan kakinya di tanah, orang keperakan itu sudah memutar tubuhnya.
Langsung diberikannya serangan cepat dan beruntun.
Rangga manis sekali meliuk-liukkan tubuhnya yang
diimbangi gerakan kaki lincah dan cepat. Saat itu Rangga mengerahkan Jurus
'Sembilan Langkah Ajaib’ Pendekar Rajawali Sakti ingin melihat dulu, sampai
dimana kemampuan manusia aneh yang seluruh tubuhnya berwarna keperakan itu.
Sepertinya manusia aneh itu tidak mengenakan baju. Karena warna keperakan yang
menyelimuti seluruh tubuhnya, tidak ada kerutan sama sekali.
Beberapa kali manusia aneh berwarna keperakan itu
hampir berhasil menyarangkan pukulannya ke tubuh Rangga. Namun dengan gerakan
indah dan manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti bisa menghindari setiap
serangan itu. Dan Jurus 'Sembilan Langkah Ajalb’ memang tangguh sekali. Sukar untuk
dicari titik kelemahannya, karena jurus itu bisa dikatakan hampir sempurna.
Menyadari setiap serangan selalu berakhir sia-sia,
manusia keperakan itu melompat mundur. Kedua tangannya tersilang di depan dada.
Sedangkan Rangga tetap berdiri tegak tanpa berkedip memandangi makhluk
berbentuk aneh itu. Baru kali ini Pendekar Rajawali Sakti melihat seseorang
yang seluruh tubuhnya berwarna keperakan dan tidak memiliki mata.
“Kau memang tangguh, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi
cobalah ini...!” terdengar dingin dan datar sekali suara orang keperakan itu.
“Hm.... siapa kau? Bagaimana kau bisa tahu namaku?”
tanya Rangga agak terkejut juga.
Namun manusia keperakan itu tidak menjawab. Malah
mendadak saja kedua tangannya dinaikkan ke atas kepala. Lalu dengan cepat sekali
diturunkan hingga sejajar dada. Perlahan tubuhnya digerakkan ke kiri dan ke
kanan. Kemudian....
“Yeaaah...!” Tiba-tiba manusia keperakan itu
menghentakkan tangannya ke depan. Satu dorongan kuat terasa sekali. Dan pada
saat itu, Rangga melentingkan tubuhnya ke udara. Seketika terdengar ledakan
keras menggelegar. Rangga terkejut bukan main. Ternyata serangan orang aneh itu
tidak menimbulkan bentuk, namun hasilnya luar biasa sekali.
Rumah berdinding batu yang berada di belakang
Pendekar Rajawali Sakti tadi, seketika hancur berkeping-keping. Seketika
gumpalan debu mengepul ke angkasa, membentuk jamur raksasa. Dan pada saat
Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya ke tanah, kembali manusia keperakan
itu menghentakkan kedua tangannya.
“Yeaaah...!”
“Hap! Hiyaaa...!” Rangga sengaja tidak menghindar,
namun segera menghimpun kekuatan tenaga dalam pada kedua telapak tangannya.
Kemudian dengan cepat tangannya direntangkan ke samping, lalu seketika itu juga
dihentakkan ke depan.
“Aji 'Bayu Bajra'...! Yeaaah...!”
Glarrr!
***
Satu ledakan keras menggelegar terdengar ketika
satu kilatan cahaya memijar tepat di depan telapak tangan Pendekar Rajawali
Sakti. Tampak pemuda berbaju rompi putih itu terjajar ke belakang sejauh dua
batang tombak. Sedangkan manusia keperakan itu berjumpalitan di udara beberapa
kali. Kemudian tubuhnya jatuh dengan keras di tanah, namun cepat bisa bangkit
berdiri.
Terlihat cairan merah merembes keluar dari daerah
mulutnya yang tidak berbentuk. Sedangkan Rangga hanya meneteskan darah sedikit
di sudut bibirnya. Pendekar Rajawali Sakti cepat menggerakkan tangannya di
depan dada, menyalurkan hawa murni untuk memulihkan kekuatan tubuhnya.
Slap! Mendadak saja manusia keperakan itu melesat
cepat, dan seketika itu juga lenyap. Sedangkan Rangga tidak sempat lagi
memperhatikan. apalagi mengejar. Namun Pendekar Rajawali Sakti sempat melihat
arah yang dituju manusia aneh berwarna keperakan seluruh tubuhnya itu.
“Hm...!” Rangga bergumam perlahan. Pendekar
Rajawali Sakti menarik napasnya dalam-dalam, kemudian menghembuskannya
perlahan-lahan. Beberapa kali hal itu dilakukan, kemudian tubuhnya diputar.
Dipandanginya Mutiara yang berdiri memperhatikan. Di samping agak ke belakang
gadis itu, berdiri seorang pemuda mengenakan baju biru tua. Rangga
mengenalinya, karena dia salah seorang murid Padepokan Gunung Gading. Meskipun
belum pernah berbicara, tapi Pendekar Rajawali Sakti pernah melihatnya ketika
berada di padepokan itu.
“Bagaimana, kau terluka?” tanya Rangga begitu telah
dekat dengan kedua orang itu.
“Tidak,” sahut Mutiara seraya memberi senyum manis.
Rangga memandang pemuda yang berdiri di samping
agak ke belakang dari gadis itu. Sementara pemuda itu menghampiri. Tangannya
disodorkan ke arah Rangga.
“Aku Barada,” pemuda itu memperkenalkan diri.
Rangga menyambut uluran tangan itu sambil
memperkenalkan diri juga. Pendekar Rajawali Sakti sempat melihat Mutiara
mencibirkan bibirnya pada Barada. Hanya sekilas saja, namun sempat membuat
pemuda berbaju rompi putih itu bertanya-tanya juga. Diduganya kalau antara
Barada dan Mutiara ada sesuatu pertentangan. Namun Rangga tidak mau
mempersoalkannya. Baginya, adalah satu hal yang biasa bila saudara seperguruan
ada pertentangan.
“Kenapa kalian berada di sini?” tanya Rangga.
“Ka....”
“Aku yang jawab!” sentak Mutiara memutuskan ucapan
Barada.
Pemuda berbaju biru tua itu langsung terdiam.
Barada sempat jengkel juga, namun hanya disimpan di dalam hati saja. Sedangkan
kening Rangga semakin berkerut dalam. Baru saja dia menduga ada pertentangan di
antara mereka berdua. Dan kini dugaan itu sudah ditunjukkan mereka.
“Ada apa di antara kalian ini?” tanya Rangga.
“Tidak ada apa-apa,” sahut Mutiara.
Rangga menatap Barada, namun yang ditatap hanya
mengangkat bahu sedikit saja. Kepalanya sempat dilegoskan sedikit pada Mutiara.
Dan Rangga kembali memandang Mutiara yang berdiri tepat di depannya.
“Baiklah ... Aku memang tidak perlu tahu tentang
persoalan di antara kalian berdua. Tapi aku ingin tahu, untuk apa kalian berada
di tempat ini?” Rangga mengulangi pertanyaannya yang belum terjawab.
“Aku mencari Kak Nila, sedangkan dia hanya mengekor
saja,” sahut Mutiara seraya melirik sadikit pemuda berbaju biru di sampingnya,
agak ke belakang sedikit.
“Hm ...” Rangga menggumam pelan. Pendekar Rajawali
Sakti memang sudah tahu dari Eyang Jatibaya kalau satu muridnya hilang di
tempat ini. Tempat Mutiara diselamatkan dari kematian akibat kelelahan dan
kehausan. Saat itu, kedua gadis ini tengah mengemban tugas penting dari Eyang
Jatibaya. Suatu tugas rahasia yang tidak diketahui Pendekar Rajawali Sakti. Dan
Rangga sendiri tidak mendesak ingin tahu lebih banyak. Sekarang Mutiara kembali
lagi bersama Barada untuk mencari Nila Komala. Dan Rangga merasa yakin kalau
keikutsertaan Barada juga mengemban tugas tersendiri dari gurunya.
“Kalian kenal, siapa orang itu tadi?” tanya Rangga.
“Dialah yang telah menculik Kak Nila.” sahut
Mutiara.
“Kau tahu di mana tempat orang itu bersembunyi?”
tanya Rangga lagi.
Mutiara hanya menggelengkan kepalanya saja. Gadis
itu sendiri tidak tahu. siapa sebenarnya orang yang seluruh tubuhnya berwarna
keperakan tadi. Apalagi tempat tinggalnya. Sedangkan gadis itu sendiri datang
lagi ke sini dengan maksud mencari Nila Komala yang menghilang, dan kini entah
dimana. Juga tidak diketahui nasibnya lagi.
“Eh! Teman wanitamu ke mana?” tanya Mutiara baru
menyadari kalau Pendekar Rajawali Sakti hanya sendiri.
Sedangkan gadis itu tahu kalau pemuda tampan ini
berdua dengan seorang gadis cantik berbaju biru muda. Tapi sekarang Rangga
hanya sendiri saja. Dan Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa menjawab pertanyaan
Mutiara, karena juga sedang mencari Pandan Wangi yang menghilang disambar
bayangan keperakan.
“Jika kalian hendak melanjutkan perjalanan,
silakan. Aku juga masih ada keperluan lain,” ujar Rangga menghindar.
Pendekar Rajawali Sakti langsung membalikkan
tubuhnya, kemudian berjalan meninggalkan mereka sebelum ada Jawaban. Sedangkan
Mutiara yang hendak mencegah kepergian Rangga, jadi mengurungkan niatnya. Mulut
yang sudah terbuka. kini terkatup kembali. Gadis itu hanya memandangi pemuda
berbaju rompi putih yang semakin jauh, kemudian lenyap di tikungan jalan
berdebu ini.
“Ke mana lagi, Mutiara?” tanya Barada.
Mutiara hanya melirik saja pemuda itu, kemudian
menghampiri kudanya. Tanpa membuka suara sedikit pun, gadis itu melompat naik
ke punggung tunggangannya. Langsung dihentakkannya tali kekang kuda itu. Barada
bergegas melompat naik ke punggung kudanya, kemudian mengikuti gadis itu.
Langkah kaki kudanya disejajarkan di samping kuda yang ditunggangi Mutiara. Tak
ada yang berbicara sedikit pun.
***
Malam sudah jatuh menyelimuti seluruh permukaan
mayapada ini. Kegelapan begitu pekat, tanpa cahaya bintang sedikit pun.
Terlebih lagi cahaya bulan. Langit begitu kelam, membuat suasana malam ini
begitu mencekam. Ditambah lagi hembusan angin yang keras, memperdengarkan suara
menderu.
Di dalam kegelapan malam itu, terlihat seberkas
cahaya api yang menyemburat di antara rumah-rumah yang hancur tak berbentuk
lagi. Tampak Pendekar Rajawali Sakti duduk memeluk lutut. Pandangannya lurus,
menatap api di depannya. Beberapa kali dilemparkannya ranting-ranting kering ke
dalam api itu. Suara bergemeretak dari ranting-ranting yang terbakar
seakan-akan ingin mengalahkan deru angln yang berhembus malam ini.
“Boleh aku ikut menghangatkan badan...?”
Pendekar Rajawali Sakti langsung menoleh. Entah dari
mana datangnya. tahu-tahu di sampingnya sudah berdiri seorang wanita mengenakan
baju merah muda yang ketat dan agak tipis. Mau tak mau tubuhnya yang indah dan
ramping, membentuk di balik bajunya. Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti
memandangi. Sedangkan yang dipandangi hanya tersenyum saja dengan manis sekali.
Sama sekali Rangga tidak terkejut dengan kedatangan perempuan Itu, karena
sebelumnya sudah mendengar suara tarikan napas halus dari belakang.
“Silakan,” ucap Rangga mempersilakan wanita cantik
itu.
“Terima kasih.”
Wanita berbaju merah muda itu duduk di samping
Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Rangga sudah kembali menatap ke arah api
yang masih berkobar, membuat udara yang dingin ini agak berkurang. Namun, tetap
saja tidak mampu mengusir seluruh dinginnya udara malam ini.
“Kita sudah pernah bertemu, bukan?” tanya Rangga
seraya memalingkan wajahnya, kembali menatap wanita itu.
“Memang. Di tepi danau, di Lereng Gunung Gading,”
sahut wanita itu.
Mereka memang pernah bertemu di tepi danau, di Lereng
Gunung Gading. Tapi rasanya Pendekar Rajawali Sakti belum tahu namanya,
meskipun pernah berjumpa sekali. Dia berusaha mengingat-ingat, apakah wanita
cantik ini waktu itu sempat menyebutkan namanya atau tidak.
“Maaf. Waktu itu aku berkata kasar padamu. Soalnya
kau...,” wanita itu tidak melanjutkan.
“Aku tidak sengaja,” ujar Rangga.
“Ya, aku tahu. Tapi... apa kau sempat melihat ..,”
kembali wanita itu tidak meneruskan.
“Tidak,” sahut Rangga cepat. Padahal matanya sempat
melihat bentuk tubuh wanita itu dalam keadaan polos di danau kecil yang berair
indah itu. Tentu saja Rangga tidak akan mengakuinya. Dia tidak ingin ada
permusuhan hanya karena persoalan sepele begini.
Wanita itu tersenyum senang dengan jawaban Rangga
barusan. Manis sekali senyumnya, membuat Rangga sedikit harus menelan ludah.
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti memalingkan muka ke arah lain, karena tidak
ingin tergoda. Dan memang, wanita ini memiliki daya yang begitu kuat untuk
menggoda laki-laki. Bukan hanya bentuk tubuhnya yang indah dan wajahnya yang
cantik, tapi juga senyuman dan tatapan matanya begitu mempesona. Seakan-akan
sengaja mengundang setiap laki-laki untuk menjamahnya.
“Oh, ya... namaku Taria. Dan kau siapa?” wanita itu
memperkenalkan namanya.
“Aku sudah memperkenalkan diri padamu.” sahut
Rangga.
“Lupa.”
“Rangga.”
“Nama yang bagus,” puji wanita itu yang
memperkenalkan dirinya bernama Taria.
“Kau juga,” balas Rangga kaku.
Taria hanya tersenyum saja mendengar jawaban dan
melihat sikap Rangga yang kaku sekali. Memang pada saat itu, Rangga seperti
sedang berperang melawan sesuatu. Dan Pendekar Rajawali Sakti sendiri tidak
mengerti, kenapa mendadak saja punya perasaan yang belum pernah dialami selama
lni. Sesuatu yang sukar dimengerti. Beberapa kali Rangga menghembuskan napas
panjang dan berat sekali. Dan perasaan itu semakin nyata dan kuat sekali
mendesak.
“Ada apa, Kakang?” tanya Taria lembut. Wanita ini
langsung saja memanggil Rangga dengan sebutan kakang, tanpa meminta persetujuan
terlebih dahulu.
“Tidak..., tidak apa-apa,” sahut Rangga agak
tergagap.
Pendekar Rajawali Sakti bergegas bangkit berdiri.
Sebentar ditatapnya Taria yang selalu mengembangkan senyum manis sekali.
Beberapa kali Rangga terpaksa menelan ludahnya, membasahi tenggorokan yang
mendadak mengering
“Aku tinggal dulu sebentar,” kata Rangga.
Dan sebelum Taria bisa menyahuti, Pendekar Rajawali
Sakti sudah bergegas melangkah pergi. Cepat sekali ayunan kakinya, sehingga
dalam waktu sebentar saja sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Sedangkan Taria
masih tetap duduk tenang, memandang ke arah keperglan Pendekar Rajawali Sakti.
“Hm..., kuat sekali daya tahan kesadarannya,” desah
Taria agak menggumam.
Wanita itu mengambil sebatang ranting, dan
melemparkannya ke arah api. Kemudian matanya kembali memandang ke arah
kepergian Rangga tadi. Dia tidak tahu, apa yang dilakukan Pendekar Rajawali
Sakti di dalam kegelapan sana.
“Hm...” lagi-lagi Taria menggumam perlahan tidak
jelas.
***
LIMA
“Aaa...!”
“Heh...?!” Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba
terdengar jeritan panjang melengking tinggi.
Jeritan itu jelas berasal dari tempat saat dia
meninggalkan Taria tadi. Bergegas Rangga melompat cepat bagaikan kilat. Hanya
beberapa kali lesatan saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah sampai di dekat api
unggun. Namun mendadak saja dia tertegun Ternyata wanita cantik yang
ditnggalkannya tadi tidak ada lagi.
Tampak darah menggenang di dekat api Itu. Bergegas
Rangga menghampiri. Ceceran darah terlihat jelas masih baru di tanah berdebu
ini. Ada perasaan cemas terselip di hati Pendekar Rajawali Sakti. Kakinya
segera diayunkan mengikuti tetesan darah yang terlihat jelas di atas permukaan
tanah.
Namun Pendekar Rajawali Sakti jadi tertegun, karena
ceceran darah itu hanya berputar putar saja di sekitarnya. Rangga berhenti
melangkah. Pandangannya beredar ke sekeliling, menatap lekat ke tanah.
“Hm...,” Rangga menggumam perlahan.
Darah yang terlihat memang hanya mengelilingi api
unggun ini, dalam lingkaran yang cukup besar. Dan belum lagi Pendekar Rajawali
Sakti sempat berpikir jauh, mendadak saja terasa adanya desiran halus dari arah
belakang.
“Hap!” Cepat Rangga membungkukkan tubuhnya ke
depan. Secepat Itu pula, tubuhnya berputar dengan bertumpu pada satu kali. Dan
sebelum sempat menarik tubuhnya tegak kembali, mendadak satu kilatan cahaya
keperakan berkelebat ke arahnya.
Wut!
“Uts...!” Rangga bergegas menarik kakinya ke
belakang dua tindak. Ujung kilatan cahaya keperakan itu lewat sedikit di depan
perutnya. Pendekar Rajawali Sakti cepat-cepat menarik tubuhnya agar tegak. Pada
saat itu, kembali kilatan cahaya tadi berkelebat mengibas ke arah leher.
“Hap!” Rangga tak sempat lagi menghindar.
Cepat-cepat dikatupkan telapak tangannya di depan muka. Saat itu terasa ada
sesuatu yang dingin berada di dalam jepitan telapak tangannya. Dan terasa
sekali adanya hentakan keras. Namun dengan pengerahan tenaga dalam yang sudah
mencapai taraf kesempurnaan, sentakan kuat itu berhasil ditahannya
“Hih...!” Saat itu juga, Rangga menghentakkan
tangannya ke depan.
“Akh...!” Terdengar satu pekikan keras agak
tertahan. Dan sebelum pekikan itu menghilang, Rangga sudah melompat sambil
cepat mengirimkan dua pukulan beruntun, dengan sedikit pengerahan tenaga dalam.
Des!
Rangga merasakan tangannya menghantam sesuatu, yang
disusul suara mengaduh. Kemudian terlihat seseorang mengenakan baju warna putih
terjungkal keras ke tanah. Namun dengan cepat sekali, orang itu bisa bangkit
lagi berdiri tegak.
Rangga menyipitkan matanya, mencoba bisa melihat
jelas. Di depannya kini berdiri seorang gadis yang wajahnya cantik sekali.
Bajunya berwarna putih bersih. Sebilah pedang tergenggam menyilang di depan
dadanya. Namun baju pada bagian dada itu teriihat menghitam, seperti hangus
terbakar. Rangga mengamati gadis itu dalam-dalam dari ujung kepala hingga ke
ujung kaki.
“Siapa kau, Nisanak? Kenapa menyerangku?” tanya
Rangga.
Teng! Teng..!
Belum juga wanita itu menjawab, mendadak saja
terdengar genta yang berdentang keras memekakkan telinga. Suara genta yang
terdengar jelas menggema, sehingga menggetarkan jantung. Saat Itu, wanita
berbaju putih mendongakkan kepalanya. Lalu, mulutnya mendesis bagal seekor
ular. Kemudian dengan tiba-tiba dan cepat sekali tubuhnya melesat cepat
meninggalkan tempat itu.
“Hei...!” Rangga tersentak. Pendekar Rajawali Sakti
cepat-cepat melompat mengejar, mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah
mencapai taraf kesempurnaan. Rangga tidak lepas memandangi wanita itu yang
berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh di depannya.
Rangga terus berlari mengejar, tapi tetap menjaga
jarak agar tetap berada di belakang wanita itu. Pendekar Rajawali Sakti merasa
ada sesuatu di dalam genta yang terdengar tadi. Dan dia ingin mengetahui,
kenapa wanita itu mendadak saja berlari kencang begitu mendengar suara genta
tadi.
Di dalam kegelapan malam, dua orang berpakaian
putih berlarian cepat menuju arah Selatan. Mereka melintasi dataran gersang dan
tandus. Angin yang ber-hembus kencang menebarkan debu-debu. Suara-suara
bergemeretak dari batu-batu yang retak, terdengar jelas. Namun keadaan alam
yang tidak ramah ini, tak menghalangi dua orang yang terus berlari kencang
bagai tengah bermain kejar-kejaran.
“Akan kuikuti terus, ke mana perginya,” ujar Rangga
dalam hati.
***
Rangga menghentikan larinya ketika melihat wanita
berbaju putih itu masuk ke dalam sebuah bangunan batu berbentuk puri yang cukup
besar. Bangunan itu kelihatan sudah tua sekali. Seluruh dindingnya yang terbuat
dari batu-batu persegi dan dihiasi berbagai macam ukuran itu ditumbuhi lumut
tebai yang menghitam berkilatan. Pepohonan besar dan kecil merapat di
sekitarnya.
Perlahan Rangga mendekati bangunan itu. Pendekar
Rajawali Sakti mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai
taraf kesempurnaan, sehingga ayunan langkahnya tidak menimbulkan suara sedikit
pun. Bahkan tarikan napasnya tak terdengar sama sekali.
Teng! Teng,..!
Kembali terdengar suara genta yang keras sekali.
Suara genta itu terpantul dinding tebing yang berada di belakang bangunan tua
itu, lalu menyusup di antara pepohonan, kemudian terbawa angin malam yang
dingin membekukan.
Jelas sekali kalau suara itu datang dari bangunan
tua berbentuk puri itu. Begitu memekakkan, membuat Rangga sampai mendekap
telinganya rapat-rapat. Pendekar Rajawali Sakti merasa aliran darahnya seperti
berhenti mengalir, dan jantungnya bagai tak berdetak sesaat
“Hup!” Tiba-tiba Rangga melompat ke alas ketika
melihat seberkas cahaya api memendar dari dalam bangunan berbentuk puri itu.
Cahaya api Itu semakin jelas terlihat, bergerak perlahan-lahan disertai
suara-suara dengungan, bagai sekelompok lebah yang sedang terbang mencari madu.
Saat itu, Rangga sudah hinggap di atas sebatang pohon yang cukup tinggi dan
berdaun lebat sekali.
“Hm....”
***
Hampir saja Rangga melompat turun dari pohon itu,
ketika melihat Pandan Wangi tengah terikat di atas gerobak kayu yang ditarik
seekor kuda hitam. Tampak sekitar tiga puluh gadis cantik mengiringi, mengikuti
dua orang yang seluruh tubuhnya berwarna keperakan. Kepala dan wajahnya juga
berwarna keperakan. Dua manusia keperakan itu berjalan paling depan, membawa
tongkat berwarna keperakan yang bagian ujung atasnya berbentuk genta sebesar
dua kali kepalan tangan orang dewasa.
Mereka terus bergerak keluar dari dalam bangunan
berbentuk puri itu, dan terus memutari puri tiga kali. Kemudian mereka berhenti
di depan pelataran bangunan itu, lalu membentuk lingkaran. Mereka mengelilingi
Pandan Wangi yang terikat dengan tangan terentang di atas gerobak kayu. Tampak
seorang gadis melepaskan kuda dari gerobak itu, dan membawanya keluar dari
lingkaran. Sementara di atas pohon, Rangga terus memperhatikan dengan dada
berdebar keras.
“Hiyaaa…!” Tiba-tiba saja salah satu dari orang
bertubuh keperakan itu, melesat bagaikan kilat. Saat itu, Rangga sempat
terhenyak. Karena, manusia keperakan itu melesat ke arahnya begitu cepat. Dan
sebelum Pendekar Rajawali Sakti bisa menyadari, manusia keperakan itu
menghentakkan tongkatnya ke arah pohon tempat Rangga bersembunyi di sana.
Teng!
“Akh…!” mendadak Rangga memekik keras agak
tertahan.
Suara mendentang, terdengar keras begitu tongkat
keperakan itu dikebutkan. Dan seketika itu juga meluncur seberkas cahaya merah
kebiru-biruan yang langsung meluruk deras ke arah pohon itu. Suara genta itu
membuat telinga Rangga terasa pekak sekali. Dan saat telinganya tengah diliputi
kepekakan, sinar merah kebiru-kebiruan itu meluncur menghantam pohon.
Glarrr!
“Yeaaah...!”
Bersamaan dengan terdengarnya ledakan menggelegar
keras. terdengar pula teriakan keras. Dan begitu pohon itu hancur, terlihat
pula satu bayangan putih berkelebatan di udara. Bayangan putih itu berputaran
beberapa kali. lalu meluruk deras ke bawah. Tahu-tahu di dekat gerobak, tempat
Pandan Wangi terikat di atasnya, berdiri Pendekar Rajawali Sakti. Bersamaan
dengan itu, manusia keperakan yang tadi menyerang pemuda berbaju rompi putih
itu sudah berdiri di samping manusia keperakan lainnya.
Kemunculan Rangga yang tiba-tiba itu sungguh
mengejutkan yang lainnya. Gadis-gadis yang berdiri berkeliling di pelataran
bangunan puri itu langsung menghunus senjata masing-masing. Dan kedua manusia
keperakan itu seperti saling menoleh berpandangan. Kemudian mereka berbalik ke
arah Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tegak sambil mengedarkan pandangan ke
sekeliling dengan sudut ekor matanya.
Wus!
Tiba-tiba salah seorang manusia keperakan itu
melompat, dan tahu-tahu sudah berdiri sekitar lima langkah lagi di depan
Pendekar Rajawali Sakti. Tongkatnya ditekan keras ke tanah, tepat di ujung jari
kakinya. Kalau saja dia memiliki mata, mungkin akan menyorot tajam memandang
pemuda berbaju rompi putih di depannya.
“Kau terlalu gegabah datang ke sini, Pendekar
Rajawali Sakti,” kata manusia keperakan Itu dengan suara yang dingin
menggetarkan, dan terdengar seperti melecehkan.
“Hm...,” Rangga hanya menggumam saja. Pendekar
Rajawali Sakti memandangi dua orang manusia keperakan itu. Yang seorang pernah
sedikit bentrok dengannya. Tepatnya menculik Pandan Wangi di depan hidung
Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan yang seorang lagi, memiliki bentuk tubuh
tegap yang otot-ototnya bersembulan keluar, juga lebih tinggi dari yang
bertubuh ramping.
“Kau sudah berani melanggar daerah kekuasaan kami,
maka harus mati malam ini juga, Pendekar Rajawali Sakti,” ancam manusia
keperakan Itu.
“Siapa kalian sebenarnya?” tanya Rangga, tidak
peduli dengan ancaman itu.
“Kau tidak berhak bertanya, Pendekar Rajawali
Sakti!” bantak manusia keperakan satunya lagi, yang tidak bergerak dari
tempatnya sejak tadi.
Rangga menatap manusia keperakan yang bertubuh
tinggi tegap Itu. Suaranya begitu berat dan kasar. Jelas kalau suara itu milik
seorang laki-laki. Sementara, Pendekar Rajawali Sakti melirik sedikit Pandan
Wangi. Kelihatannya si Kipas Maut itu dalam keadaan tidak sadarkan diri. Pedang
dan kipas baja putih yang menjadi senjata andalan masih melekat di tubuhnya.
Satu keanehan merayapi benak Rangga. Biasanya
seorang tawanan, akan dilucuti seluruh senjatanya. Tapi ini tidak sama sekali!
Pendekar Rajawali Sakti kembali mengedarkan pandangannya berkeliling, merayapi
gadis-gadis cantik yang berkeliling di sekitar pelataran puri sambil membawa
senjata di tangan. Senjata mereka semua berupa pedang yang bentuk dan ukurannya
berbeda.
“Bersiaplah. Pendekar Rajawali Sakti...!” manusia
keperakan di depan pemuda berbaju rompi putih itu.
Dan seketika itu juga, manusia keperakan itu
mengebutkan tongkatnya ke depan. Maka terdengar suara genta berdentang keras
memekakkan telinga. Rangga sempat terlonjak sekitar dua langkah ke belakang.
Telinganya terasa sakit sekali mendengarnya. Namun sebelum Pendekar Rajawali
Sakti hilang dari rasa keterkejutannya manusia keperakan bertubuh ramping itu
sudah memberi serangan cepat dan dahsyat
“Hiyaaa...!”
“Hap!”
***
Rangga cepat-cepat menyilangkan tangannya di depan
dada, ketika manusia keperakan itu melontarkan satu pukulan keras disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi. Bagi Pendekar Rajawali Sakti, tidak ada
kesempatan lagi untuk berkelit. Mau tak mau pukulan itu harus ditangkis, untuk
mengadu kekuatan tenaga dalam.
Plak!
Pukulan manusia keperakan itu tepat menghantam
pergelangan tangan Pendekar Rajawali Sakti yang menyilang di depan dada.
Seketika Itu juga, Rangga terpental ke belakang sejauh dua batang tombak
Sedangkan manusia keperakan itu juga benjumpalitan ke udara. Namun begitu
kakinya menjejak tanah, dengan cepat melesat menerjang kembali bagai kilat.
“Hiyaaat…!”
“Hep!”
Rangga segera bersiap menghadapi serangan itu.
Cepat-cepat tubuhnya mengegos ke kanan sedikit. Dan begitu pukulan manusia
keperakan itu lewat di samping tubuhnya, dengan cepat sekali kakinya
dihentakkan ke depan. Pendekar Rajawali Sakti memberi satu tendangan keras
menggeledek.
“Yeaaah...!”
Namun tanpa diduga sama sekali, manusia keperakan
itu mengebutkan tongkatnya ke arah kaki. Buru buru Pendekar Rajawali Sakti
menarik kembali tendangannya, sebelum sampai mengenai sasaran. Dan pada saat
ttu, tubuhnya melenting ke belakang, dan berputaran satu kali. Padahal saat itu
manusia keperakan tengah memberi satu pukulan keras dengan tangan kirinya.
Teng!
Tiba-tiba saja terdengar suara genta yang begitu
keras memekakkan telinga. Pada saat itu, manusia keperakan yang menyerang
Pendekar Rajawali Sakti sudah melompat mundur beberapa tindak ke belakang.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di samping gerobak, tempat Pandan Wangi
terikat dalam keadaan tidak sadarkan diri, sudah berdiri perempuan tua
mengenakan baju keperakan panjang dan Ionggar.
Perempuan tua itu memegang sebatang tongkat
berwarna perak yang bagian ujung atasnya terdapat tiga buah genta. Juga berwarna
perak. Seluruh rambut yang tergelung ke atas, sudah berwarna putih. Rangga
memperkirakan kalau wanita tua itu mungkin sudah berusia lebih dari delapan
puluh tahun.
“Hm…,” Rangga menggumam perlahan sambil menggeser
kakinya ke kanan tiga langkah.
Pandangan Pendekar Rajawali Sakti tidak berkedip
mengawasi perempuan tua yang datang sambil memperdengarkan suara genta
memekakkan telinga itu. Sedangkan perempuan tua berbaju keperakan itu
mengegoskan kepalanya sedikit. Maka semua orang yang berkeliling di tempat ini
segera menundukkan kepalanya. Bahkan dua manusia keperakan itu juga ikut
menundukkan kepala.
“Ada apa ini?” tanya perempuan tua itu. Suaranya
kering dan agak serak.
“Pemuda ini hendak merusak upacara penerimaan
anggota, Nyai,” sahut salah seorang manusia keperakan yang bertubuh ramping.
“Dia telah melanggar wilayah kekuasaan kita,”
sambung manusia keperakan satunya lagi
Perempuan tua itu menggumam. Ditatapnya Pendekar
Rajawali Sakti dengan sinar mata tajam dan memerah. Sedangkan yang ditatap,
malah membalas tidak kalah tajam juga.
“Siapa kau, Anak Muda?” tanya perempuan tua itu,
dingin.
“Aku Rangga,” sahut Rangga mantap.
“Apa maksudmu mengacau upacara ini?”
“Aku hanya ingin menjemput temanku,” sahut Rangga
lagi seraya melirik Pandan Wangi.
“Itukah temanmu?” perempuan tua itu menunjuk Pandan
Wangi dengan ujung tongkatnya. Terdengar suara bergemerincing dari genta-genta
yang berada di ujung tongkat ittu.
“Benar,” sahut Rangga lagi lebih mantap.
“Kau boleh membawanya, tapi nanti setelah kami
selesai mengadakan upacara, Anak Muda. Temanmu ini sudah berada di sini, dan
upacara tidak bisa tertunda lagi. Dia akan menjadi salah seorang anggota Partai
Genta Perak,” jelas perempuan tua itu.
“Tidak! Dia tidak boleh terikat siapa pun juga.
Kalian semua boleh melarang, tapi aku akan tetap membawanya pergi dari sini…!”
tegas Rangga.
“Nyai! Orang itu bisa membahayakan kita. Kepandaiannya
tinggi sekali,” selak manusia keperakan yang bertubuh ramping.
Pada saat perempuan tua itu berpaling, dengan cepat
sekali Rangga melesat dan langsung mendarat di atas gerobak kayu. Dan sebalum
ada yang menyadari, Pendekar Rajawali Sakti sudah melepaskan ikatan ditangan
dan tubuh Pandan Wangi. Langsung tubuh gads itu dipondongnya di pundak.
“Hei...! Apa yang kau lakukan. ..?” sentak
perempuan tua itu terkejut, begitu menyadari apa yang terjadi.
Namun Pendekar Rajawali Sakti itu sudah lebih cepat
melesat meninggalkan tempat itu sambil membawa Pandan Wangi.
“Keparat..! Kejar dan bunuh dia...!” seru perempuan
tua itu geram.
Tanpa harus diperintah dua kali, seluruh gadis yang
berada di pelataran bangunan puri langsung berlompatan mengejar Pendekar Rajawali
Sakti yang sudah lenyap ditelan kegelapan malam.
“Kalian berdua, dapatkan gadis itu kembali. Dan
bunuh anak muda keparat itu!” perintah perempuan tua itu pada kedua manusia
keperakan yang kini berdiri di depannya.
“Baik, Nyai,” sahut mereka bersamaan. Bagaikan
kilat, kedua manusia keperakan itu melompat cepat mengejar Pendekar Rajawali
Sakti yang membawa Pandan Wangi. Sedangkan perempuan tua itu mendengus dan
memaki kesal. Sambil menghentakkan tongkatnya, kakinya bergegas melangkah masuk
ke dalam bangunan batu berbentuk puri itu.
***
ENAM
Rangga duduk sambil menopang dagu dengan kedua
tangannya. Pandangannya lurus tanpa berkedip pada Pandan Wangi. Gadis itu masih
tetap terbaring di atas pembaringan kayu yang beralaskan kain halus berwarna
merah muda. Sedangkan di samping Pandan Wangi berdiri seorang laki-laki tua
berjubah putih.
Memang tidak ada yang bisa dilakukan Pendekar
Rajawali Sakti selain membawa Pandan Wangi ke Padepokan Gunung Gading ini. Dia
tidak mengerti terhadap keadaan Pandan Wangi yang belum juga sadarkan diri
sejak kemarin. Padahal Rangga sudah memeriksanya. Sedikit pun tidak ada luka di
tubuhnya. Juga tidak ada luka dalam, maupun satu totokan pun di tubuhnya. Detak
jantung dan aliran darahnya tetap seperti biasa. Dan napasnya berjalan teratur
baik sekali. Hal ini yang membuat Rangga jadi tidak mengerti, sehingga membawa
Pandan Wangi ke Padepokan Gunung Gading Ini.
“Kalau memang benar kau menyelamatkannya dari
tangan si Genta Kematian, aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyadarkannya
kembali, Rangga,” tegas laki-laki tua di samping Pendekar Rajawali Sakti Itu
yang tak lain adalah Eyang Jatibaya.
“Siapa itu si Genta Kematian?” tanya Rangga seraya
mengangkat kepala, dan memandang laki-laki tua di sampingnya.
“Penguasa Lembah Maut,” jawab Eyang Jatibaya.
“Apakah yang kau maksudkan perempuan tua bertongkat
genta itu, Eyang?” Rangga menegaskan.
“Benar. Dialah si Genta Kematian.”
“Hm...,” Rangga menggumam perlahan. Kembali
pandangan Pendekar Rajawali Sakti tertuju pada Pandan Wangi yang masih
terbaring tak sadarkan diri. Kemudian dia menarik napas dalam-dalam, dan
menghembuskannya kuat-kuat. Pendekar Rajawali Sakti menatap Eyang Jatibaya
lagi.
“Apa yang harus kulakukan untuk memulihkan keadaan
Pandan Wangi lagi, Eyang?” tanya Rangga.
“Kau tahu tentang kekuatan tenaga batin, Rangga?”
Eyang Jatibaya balik bertanya.
Rangga menganggukkan kepalanya.
“Ilmu kekuatan tenaga batin yang dimiliki si Genta
Kematian sudah demikian tinggi, sehingga tak seorang pun yang sanggup
menandinginya,” Jelas Eyang Jatibaya pelan.
Rangga terdiam saja. Tentang ilmu kekuatan tenaga
batin itu memang sudah didengarnya. Suatu Ilmu yang tidak berbentuk dan sukar
dilawan. Memang ilmu itu tidak menyakiti, dan juga tidak mematikan seseorang.
Tapi paling tidak dapat membuat orang tidak ingat tentang dirinya, sehingga
dapat diperintah untuk melakukan apa saja.
Hanya ada satu cara untuk menghilangkan pengaruh
ilmu itu. Pemilik ilmu itu harus dilenyapkan untuk selamanya. Tapi itu tidak
mudah. Dan biasanya, orang yang bisa memiliki ilmu kekuatan batin,
kepandaiannya sudah tinggi sekali. Sukar diukur dan dicari tandingannya. Rangga
menyadari kalau kali ini akan mendapat satu tantangan yang tidak ringan. Tak
ada cara lain untuk memulihkan Pandan Wangi kembali.
“Aku akan menantangnya bertarung, Eyang,” tegas
Rangga setelah cukup lama berdiam diri.
“Jangan bertindak bodoh, Rangga!” sentak Eyang
Jatibaya terkejut mendengar pernyataan itu.
“Aku sering mendengar ilmu yang menggunakan
kekuatan batin untuk menguasai jiwa dan alam pikiran manusia, Eyang. Dan aku
tahu caranya untuk bisa memusnahkan ilmu itu,” kata Rangga mantap.
Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri, dan
melangkah ke jendela kamar ini. Dia berdiri di depan jendela itu sambil
memandang ke luar. Sedangkan Eyang Jatibaya hanya memandangi pemuda berbaju
rompi putih itu. Dia tahu, apa yang dimaksud Rangga barusan. Memang tidak ada
cara lain untuk memusnahkan ilmu itu, selain bertarung secara langsung.
Ilmu itu hanya bisa digunakan dalam waktu dan
suasana yang khusus. Jadi tidak mungkin bisa digunakan untuk pertarungan. Tapi
jika orang yang menguasainya telah memiliki ilmu olah kanuragan yang telah
mencapai tahap kesempurnaan, bisa juga mempengaruhi jiwa lawan dalam
pertarungan. Caranya, dengan mengajak lawan memandang ke arah matanya. Hal ini
akan membuat perhatian lawan jadi terpecah.
“Pikirkan dulu keinginanmu itu, Rangga. Si Genta
Kematian bukanlah lawan yang enteng. Aku sendiri tidak mampu menandinginya,”
Eyang Jatibaya mencoba untuk membatalkan niat Rangga yang ingin menantang
bertarung si Genta Kematian demi menyelamatkan Pandan Wangi.
“Hanya itu cara satu-satunya, Eyang,” ujar Rangga
seraya membalikkan tubuhnya.
“Aku tidak pernah menyangsikan kemampuan seseorang.
Tapi untuk menantang si Genta Kematian, rasanya kau harus bisa mengukur
kemampuan dirimu sendiri, Rangga. Maaf, bukannya merendahkan kemampuan yang kau
miliki,” kata Eyang Jatibaya tanpa bermaksud merendahkan Pendekar Rajawali
Sakti.
Rangga hanya tersenyum saja. Dia tahu kalau
laki-laki tua itu hanya khawatir terhadap keselamatannya jika menantang si
Genta Kematian. Dan yang pasti. Eyang Jatibaya sudah mengetahui kemampuan si
Genta Kematian, sehingga bisa berkata demikian. Kalaupun tidak pernah
bertarung, mungkin pernah menyaksikan perempuan tua itu bertarung dengan
seseorang. Atau mungkin juga hanya mendengar saja. Dan yang terakhir ini
biasanya tidak sama dengan kenyataan.
“Mudah-mudahan aku bisa menandinginya. Eyang,” kata
Rangga tanpa ada maksud menyombongkan diri.
“Apa keinginanmu itu sudah mantap, Rangga?” tanya
Eyang Jatibaya.
Lagi-lagi Pendekar Rajawali Sakti tersenyum dan
mengangguk. Dan Eyang Jatibaya tidak bisa lagi mencegah. Dia hanya bisa
berharap agar pemuda berbaju rompi putih ini bisa mengatasi si Genta Kematian.
Karena selama ini, belum ada seorang pun yang bisa menandinginya. Mereka yang
mencoba untuk menantang, terpaksa mati di tangan perempuan tua itu.
***
Pagi-pagi sekali Rangga sudah mengayunkan kakinya
melintasi halaman depan bangunan besar Padepokan Gunung Gading. Di sampingnya,
berjalan Eyang Jatibaya. Dan di belakang mereka, mengikuti enam orang murid
Padepokan Gunung Gading. Mereka sudah menyandang sebilah pedang di pinggang.
Semuanya masih muda-muda, dan bertubuh tegap berotot.
Rangga menghentikan ayunan kakinya setelah melewati
pintu gerbang padepokan ini. Pendekar Rajawali Sakti memandang Eyang Jatibaya,
kemudian beralih pada enam orang yang mengikutinya.
“Kau pasti perlu teman dalam perjalanan, Rangga.
Hanya mereka ini yang bisa kuandalkan untuk membantumu,” Eyang Jatibaya
menawarkan bantuan.
“Terima kasih, tapi....”
“Jangan menolak, Rangga. Mereka sudah menyatakan
siap untuk menanggung segala akibatnya. Kau tidak boleh mengecewakan mereka,
Rangga,” potong Eyang Jatibaya cepat, sebelum Rangga menyatakan keberatannya.
Rangga memandangi enam orang yang berdiri di
belakang Eyang Jatibaya. Ingin rasanya menolak, tapi tidak mungkin mengecewakan
orang tua yang telah berbaik hati hendak menjaga Pandan Wangi di padepokannya,
selama Pendekar Rajawali Sakti ke Lembah Maut Dan lagi, enam orang pemuda itu
kelihatannya sudah siap melakukan perjalanan yang sangat berbahaya ini.
“Mereka akan mematuhi dan mengikuti segala yang kau
perintahkan, Rangga,” kata Eyang Jatibaya lagi.
“Baiklah. Mereka boleh ikut, tapi hanya bertugas
menyelamatkan Mutiara dan Barada saja yang kini berada di sana,” kata Rangga
tidak bisa menolak lagi.
“Bukan hanya Mutiara dan Barada, Rangga. Tapi juga
Nila Komala dan gadis-gadis lainnya,” sambung Eyang Jatibaya.
Rangga hanya diam saja, lalu sebentar kemudian
berjalan meninggalkan padepokan ini. Enam orang pemuda murid Eyang Jatibaya
segera mengikuti setelah menjura memberi hormat pada gurunya itu. Sementara
Eyang Jatibaya masih memandangi. Dia berharap dalam hati, agar pemuda itu bisa
memperoleh kemenangan.
Sementara Rangga terus berjalan menuruni Puncak
Gunung Gading ini. Jalannya demikian cepat, membuat enam orang yang
mengikutinya agak kewalahan juga mengimbanginya. Di dalam hati, mereka
mengagumi pemuda yang usianya pasti tidak berbeda jauh dengan mereka sendiri.
Rangga menghentikan ayunan kakinya saat tiba di
tepi hutan yang baru saja dilalui. Kini Pendekar Rajawali Sakti dan enam orang
yang menyertainya, akan memasuki Lembah Maut. Suatu daerah gersang dan tidak
jauh dari Kaki Gunung Gading Ini. Pendekar Rajawali Sakti memandang lurus ke depan.
Dari tempat ini, terlihat jelas lembah yang gersang itu. Dan baru kali ini
disadari kalau daerah gersang itu memang sebuah lembah yang luas, seperti tidak
bertepi.
“Kalian tidak membawa bekal sama sekali?” tanya
Rangga seraya berpaling memandang enam orang itu.
“Untuk apa, Den?” salah seorang yang mengenakan
baju warna biru, malah batik bertanya.
“Jangan panggil dengan sebutan itu. Panggil saja
aku Rangga,” pinta Rangga.
Enam orang anak muda Itu menganggukkan kepalanya.
“Kita akan melalui lembah gersang itu. Paling tidak
kalian harus mempunyai bekal air,” Jelas Rangga.
“Kami sudah terbiasa tidak minum untuk beberapa
waktu,” sahut anak muda yang mengenakan baju biru itu lagi.
“Aku tidak tahu, akan berapa lama kita berada di
sana. Dan aku tidak ingin kalian mati kehausan. Itu merupakan lembah maut, dan
pasti kalian sudah mengetahuinya,” Jelas Rangga lagi
Kembali keenam orang itu saling berpandangan Mereka
sudah dlberi tahu Eyang Jatibaya kalau akan ke Lembah Maut bersama pemuda
berbaju rompi putih Ini. Tapi Eyang Jatibaya sendiri mengatakan kalau tidak
sampai satu hari berada di sana, sehingga tidak perlu membawa bekal.
Mereka juga sudah diberi tahu kalau Rangga akan
menantang si Genta Kematian yang menguasai seluruh lembah itu. Dan Eyang
Jatibaya sangsi kalau Rangga tidak akan mampu menghadapi perempuan tua yang
sudah terkenal tingkat kepandalannya. Sehingga laki-laki tua itu tidak perlu
menganjurkan pada enam orang muridnya ini untuk membawa bekal.
“Kalian tentu orang-orang pilihan Eyang Jatibaya.
Tapi pesanku, jika kalian sudah tidak tahan di sana, sebaiknya cepat tinggalkan
lembah itu,” jelas Rangga
Enam anak muda ttu menganggukkan kepalanya. Rangga
kembali melanjutkan perjalanannya. Dan enam anak muda Itu mengikuti dari
belakang. Sebenarnya. kalau Pendekar Rajawali Sakti tidak diikuti bisa
digunakannya Rajawali Putih untuk membawanya ke tempat saat dia berhasil
membawa Pandan Wangi. Tapi hal itu tidak mungkin dilakukan karena adanya enam
orang murid Padepokan Gunung Gading ini.
Mereka terus berjalan cepat. Tak ada lagi yang
membuka suara. Terlebih lagi enam anak muda yang harus memusatkan perhatian
pada ilmu meringankan tubuh agar tidak tertinggal jauh oleh Pendekar Rajawali
Sakti.
***
Malam sudah jatuh di permukaan bumi ini Kegelapan
menyelimuti sekitar Lembah Maut. Namun kegelapan yang pekat itu, sedikit
terusir oleh api unggun yang berkobar terang. Tampak tujuh orang laki-laki muda
duduk mellngkari api unggun Itu. Mereka adalah enam orang murid Padepokan
Gunung Gading dan Pendekar Rajawali Sakti. Sesudah menempuh perjalanan yang
keras, mereka baru sampai di perkampungan mati yang tak berpenghuni.
Salah seorang bangkit berdiri sambil menggeliatkan
tubuhnya, kemudian melangkah perlahan menlnggalkan tempat itu. Namun belum juga
berjalan jauh, Pendekar Rajawali Sakti sudah menghentikannya. Entah kapan
bergeraknya, tahu-tahu pemuda berbaju rompi putih itu sudah berdiri menghadang
di depan anak muda itu.
“Mau ke mana kau?” tanya Rangga.
“Jalan-Jalan,” sahut anak muda itu masih diliputi
keterkejutan, karena mendapat hadangan Pendekar Rajawali Sakti yang tiba-tiba
sekali.
“Tempat ini bukan untuk berjalan-jalan Terlalu
banyak bahaya mengancam.” kata Rangga memperingatkan.
Dan sebelum anak muda itu membuka mulutnya.
Mendadak saja terdengar suara genta yang berdentang keras mengejutkan. Suara
genta itu membuat mereka semua terperanjat kaget. Lima orang anak muda yang
masih duduk di sekitar api unggun seketika melompat bangkit berdiri.
Suara genta itu demikian jelas dan keras sekali,
membuat telinga terasa pekak, dan seakan ingin pecah. Sementara Rangga masih
berdiri tegak, namun tampak enam orang anak muda dari Padepokan Gunung Gading
itu sudah menutup telinganya rapat-rapat. Suara genta itu terus terdengar
berdentangan semakin keras.
“Gunakan tenaga dalam kalian, kerahkan ke pusat
tubuh!” sentak Rangga memberi tahu.
Seruan keras Rangga tak dapat dilakukan enam orang
anak muda itu. Karena tiba-tiba saja dari balik dinding rumah-rumah yang rusak,
berlompatan gadis-gadis muda dan cantik sambil menghunus senjata barbagai macam
bentuk. Mereka langsung mengurung ketujuh anak muda itu.
Sementara suara genta tadi sudah tidak terdengar
lagi. Enam orang murid Padepokan Gunung Gading langsung terlongong. Karena
tiba-tiba saja. mereka sudah dikepung gadis-gadis cantik yang menghunus
senjata.
“Nila Komala ..” desis pemuda yang berada di dekat
Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti segera mengerahkan
pandangannya ke arah yang dipandang anak muda itu. Pandangan Rangga tertumbuk
pada seorang gadis berbaju putih yang bagian dadanya hitam seperti terbakar.
Gads itu menghunus pedang yang menyilang di depan dada.
“Yang mana Nila Komala?” tanya Rangga ingin
memastikan.
“Itu, yang pakai baju putih,” tunjuk anak muda itu.
Baru saja Rangga hendak membuka mulut ingin
bertanya lagi, mendadak saja kembali terdengar dentang suara genta tiga kail.
Begitu suara itu berhenti, seketika itu juga gadis-gadis yang sudah mengepung
langsung berlompatan menyerang. Hal ini membuat murid-murid Padepokan Gunung
Gading jadi terperanjat kaget. Namun mereka cepat berlompatan berkelit,
menghindari setiap serangan yang datang dari segala arah.
Seketika itu juga, suasana malam yang sunyi sudah
pecah oleh pekik dan teriakan pertempuran ditingkahi suara denting senjata
beradu. Namun anehnya, tak ada seorang pun dari gadis-gadis itu yang menyerang
Rangga. Maka Pendekar Rajawali Sakti itu jadi terpaku saja memperhatikan
pertarungan. Tampak sekali kalau enam orang murid Padepokan Gunung Gading, kewalahan
juga menghadapi gempuran yang gencar dari segala arah itu. Di samping jumlah
gadis itu jauh lebih banyak.
“Aaa...!” Tiba-tiba saja terdengar jeritan panjang
melengking tinggi. Tampak salah seorang anak muda dari Padepokan Gunung Gading,
terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya yang berlumuran darah. Dan sebelum
keseimbangan tubuhnya bisa dikuasai, mendadak dari arah samping kanan
berkelebat sebuah pedang panjang yang tipis.
Cras!
“Aaa...!” anak muda yang mengenakan baju warna
kuning tua itu kembali menjerit keras. Hanya sebentar dia mampu berdiri
limbung, sesaat kemudian sudah menggelepar di tanah dengan dada sobek
mengucurkan darah. Sedangkan lehernya menganga lebar, hampir putus terpenggal
pedang. Pemuda itu kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi, tewas bermandikan
darah.
***
Pertempuran terus berlangsung sengit sekali. Dalam
waktu tidak berapa lama saja, sudah dua orang anak muda Padepokan Gunung Gading
tewas berlumuran darah. Dan empat anak muda lagi, semakin kewalahan saja.
Melihat keadaan yang sangat tidak menguntungkan ini tentu saja Rangga tidak
bisa tinggal diam menyaksikan hal itu.
“Hiyaaat…!”
Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat cepat ke
arah pertarungan itu. Namun sebelum sampai. Mendadak saja sebuah bayangan
keperakan berkelebat cepat memotong arahnya. Cepat sekali Rangga melentingkan
tubuhnya, lalu berputaran ke belakang di udara. Kemudian manis sekali kakinya
menjejak di tanah yang berpasir dan berdebu.
Kini di depan Pendekar Rajawali Sakti ttu sudah
berdiri seorang yang mengenakan pakaian tertutup warna keperakan. Tubuhnya
tinggi dan tegap, dan otot-ototnya bersembulan ke luar. Rangga tahu kalau
manusia keperakan ini sebenarnya ada dua. Dan baru satu ini yang muncul
menghadangnya. Dan yang pasti, seorang lagi tengah menunggu giliran, sebelum si
Genta Kematian sendiri muncul.
“Aku lawanmu, Anak Muda!” dengus manusia keperakan
itu. Suaranya terdengar berat dan dingin.
“Hm... majulah.” sambut Rangga tidak kalah
dinginnya.
Memang tidak ada pilihan lain lagi bagi Pendekar
Rajawali Sakti. Untuk bisa menantang si Genta Maut, memang harus melewati
orang-orangnya dulu. Dan ini sudah dipikirkannya sejak masih berada di
Padepokan Gunung Gading.
Satu rintangan telah muncul. Dan ada beberapa
rintangan lagi yang akan muncul menghadangnya. Namun semua rintangan itu akan
dihadapl dengan segala tekad dan akibatnya. Kedatangannya kembali ke daerah
gersang yang selalu dihindari setiap orang ini bertujuan untuk menantang si Genta
Kematian. Jadi segala rintangan harus dihadapinya.
“Hiyaaat..!”
Bagaikan kilat, orang berpakaian serba tertutup dan
berwarna keperakan itu melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Dua kali
pukulan keras dilontarkan secara beruntun, dan mengandung pengerahan tenaga
dalam tinggi. Namun Rangga yang sudah siap sejak tadi, segera mengegoskan
tubuhnya menghlndari serangan itu.
“Yeaaah...!”
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan
tangan kanannya untuk memberi sodokan keras ke arah perut, begitu berhasil
menghindari serangan orang keperakan itu. Namun sodokan Rangga juga tidak
mengenai sasaran. Manusia keperakan itu berhasil menghindar dengan menarik
tubuh ke kanan.
Pada saat itu, tanpa diduga sama sekali tubuhnya
berputar disertai ayunan kaki yang keras menggeledek. Rangga benar-benar tidak
menyadari kalau lawannya mampu membuat serangan di kala sedang menghindari
serangan. Maka Pendekar Rajawali Sakti tak dapat lagi menghindari libasan kaki
yang datang dengan kecepatan sangat tinggi itu.
Des!
“Akh…!” Rangga memekik pendek agak tertahan.
Pendekar Rajawali Sakti terhuyung ke belakang beberapa langkah begitu dadanya
tersambar kaki manusia keperakan itu. Namun keseimbangan tubuhnya cepat bisa
dikuasai. Dan segera Rangga mengerahkan hawa murni untuk mengusir rasa sesak
yang melanda rongga dadanya.
“Hiyaaa...!”
Balum juga Rangga bersiap, manusia keperakan itu
sudah kembali melompat cepat bagai kilat menerjangnya. Terpaksa Pendekar
Rajawali Sakti membuang dirinya ke tanah. dan bergulingan beberapa kali. Dua
pukulan yang dilancarkan manusia keperakan Itu tidak mengenai sasaran sama
sekali.
“Hup! Yeaaah...!”
Cepat sekali Rangga melompat bangkit berdiri, lalu
segera melesat dengan tangan terentang lebar ke samping Pendekar Rajawali Sakti
kini meluncur deras ke angkasa.
“Jangan lari, kau...!” seru manusia keperakan itu.
“Yeaaah...!”
Seketika itu juga tubuh orang keperakan itu melesat
cepat ke udara, mengejar Pendekar Rajawali Sakti. Dan tindakan ini yang
sebenarnya sedang dinantikan Rangga. Kesempatan baik ini tidak ingin dilewatkan
begitu saja. Sambil mengerahkan Jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega’. Rangga
segera memutar tubuhnya dua kali. Kemudian tubuhnya segera meluruk deras ke
arah manusia keperakan Itu. Kedua tangannya yang terentang ke samping. cepat
sekali berkelebatan menyambar ke beberapa bagian tubuh lawan.
“Hiya! Yeaaah...!”
“Uts!”
***
TUJUH
Beberapa kali serangan Rangga berhasil dihindari
manusia aneh keperakan itu. Namun ketika Pendekar Rajawali Sakti langsung
merubah jurusnya menjadi Jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', manusia keperakan
itu tak mampu lagi menghindari. Dadanya terhantam pukulan Rangga yang keras dan
mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna sekali.
“Yeaaah...!”
Deghk!
“Akh...!”
Orang yang seluruh tubuhnya tertutup kain keperakan
itu, terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya. Dan sebelum sempat
menguasai keseimbangan tubuhnya, Rangga sudah kembali memberi satu pukulan
keras ke kepalanya, begitu mendaratkan kakinya di tanah. Pukulan dari jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tak dapat dibendung lagi.
“Yeaaah...!”
Prak!
“Akh...!”
Untuk kedua kalinya manusia keperakan itu memekik
keras. Tampak darah merembes di sekitar kepalanya. Beberapa saat dia masih
mampu berdiri limbung, kemudian ambruk menggelepar di tanah sambil mengerang,
meregang nyawa. Rangga bergegas melompat menghampiri. Saat itu juga tangannya
bergerak cepat.
Bret!
“Oh...!” Rangga tersentak kaget ketika penutup
kepala manusia keperakan itu direnggut paksa.
Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat mundur.
Sungguh tidak disangka kalau di balik selubung keperakan ini, tersembunyi
seraut wajah rusak yang mengerikan sekali. Hampir seluruh daging diwajahnya
mengelupas, seperti bekas terkena api.
Teng...!
Belum lagi keterkejutan Pendekar Rajawali Sakti itu
hilang, mendadak saja terdengar suara genta berdentang keras. Rangga langsung
mengangkat kepalanya. Pada saat itu, gadis-gadis yang bertarung dengan
murid-murid Padepokan Gunung Gading cepat berlompatan pergi.
Sebentar saja keadaan di sekitar tempat itu sudah
kembali sunyi. Rangga kembali terperanjat karena semua murid Padepokan Gunung
Gading yang menyertainya, kini tak ada lagi yang hidup. Mereka semua tergeletak
tak bernyawa lagi. Darah mengucur deras dari luka-luka di tubuh mereka. Namun,
tak ada satu pun mayat yang menjadi lawan enam orang murid Padepokan Gunung
Gading itu.
“Hm...” Rangga menggumam perlahan. Pendekar
Rajawali Sakti teringat kata-kata Eyang Jatibaya. Si Genta Kematian memang
jarang menampakkan diri. Tapi anak buahnya tendiri dari para pendekar wanlta
yang memiliki kemampuan rata-rata cukup tinggi. Perempuan tua itu mengambil
pendekar-pendekar wanita dengan cara menculiknya, kemudian mengosongkan jiwa
mereka yang akhirnya bisa diperintah tanpa dapat menolak lagi.
Rangga kembali memandang mayat manusia keperakan
yang tergeletak tidak jauh di depannya. Dia tidak tahu apakah orang ini juga
telah dipengaruhi Jiwanya. atau memang pengikut setia si Genta Kematian. Tapi
dari wajahnya yang rusak seperti mayat hidup itu, membuat Rangga jadi bimbang
juga. Dan Pendekar Rajawali Sakti yakin kalau gadis-gadis yang bertarung dengan
enam orang murid Padepokan Gunung Gading tadi, pasti telah terpengaruh jiwanya.
“Aku harus menyelamatkan mereka,” desis Rangga bertekad.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga langsung
melompat cepat meninggalkan tempat itu. Begitu sempurnanya ilmu meringankan
tubuh yang dimiliki Pendekar RajawaH Sakti itu, sehingga dalam sekejap saja
sudah lenyap tertelan kegelapan malam.
Tak ada lagi suara yang terdengar. Tak ada lagi
manusia yang hidup terlihat di sana. Keadaan di perkampungan sunyi itu kembali
seperti semula. Hanya desir angin malam yang dingin dan keras itu saja yang
terdengar mengusik pendengaran.
***
Slap!
“Heh...?!” Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba
sebuah bayangan merah muda berkelebat cepat memotong arah larinya. Seketika itu
juga, Pendekar Rajawali Sakti menghentikan larinya. Dan tahu-tahu didepannya
kini sudah berdiri seorang gadis cantik berbaju merah muda yang bertubuh
ramping. Rangga mengenali gadis ttu, karena pernah beberapa kali bertemu. Gadis
yang masih terselimut kabut misteri.
“Taria....” desis Rangga menghilangkan
keterkejutannya.
Rangga memandangi gadis itu dalam-dalam. Dia
teringat ketika malam itu meninggalkan Taria seorang diri, dan kemudian
terdengar jeritan gadis itu. Tapi Taria kemudian menghilang dengan meninggalkan
ceceran darah. Namun darah itu hanya berputar di sekitar situ saja, seperti
disengaja.
“Kenapa memandangku begitu, Kakang?” tegur Taria
merasa jengah.
“Apa yang terjadi malam itu padamu, Taria?” Rangga
malah bertanya minta penjelasan.
“Maaf, Kakang. Ada orang yang menyerangku. Satu
orang berhasil kulukai, tapi mereka langsung kabur. Jadi aku mengejar mereka.”
sahut Taria.
Rangga melangkah mendekati. Pendekar Rajawali Sakti
memang tidak tahu kejadian yang sebenarnya. Untuk saat ini, dia hanya percaya
saja.
“Kenapa kau kelihatan tergesa-gesa, Kakang?” tanya
Taria begitu Rangga dekat di depannya
“Aku sedang mengejar mereka,” sahut Rangga.
“Mereka? Mereka siapa?” tanya Taria lagi.
“Genta Kematian,” sahut Rangga.
“Oh...?! Jadi kau berada di sini karena berurusan
dengan perempuan tua itu...?” Taria agak terkejut juga.
“Ya! Aku akan menantangnya bertarung,” sahut
Rangga.
“Sia-sia saja, Kakang. Lebih baik urungkan saja
niatmu itu. Si Genta Kematian bukan orang sembarangan. Kemampuannya sangat
tinggi dan sukar ditandingi,” Taria menasihati.
Rangga hanya tersenyum saja. Pendekar Rajawali
Sakti juga mendapat nasihat yang sama dari Eyang Jatibaya. Dan sekarang gadis
ini juga menganjurkan agar tidak perlu menantang si Genta kematian. Namun
nasihat-nasihat itu malah membuat Pendekar Rajawali Sakti semakin ingin
mengetahui, sampai di mana tingkat kepandaian perempuan tua yang ditakuti semua
orang itu. Apakah memang kemampuannya sangat tinggi, atau hanya omong kosong
saja. Pendekar Rajawali Sakti yang sudah kenyang makan asam garam kehidupan
keras di rimba persilatan, tidak akan mudah percaya begitu saja pada kemampuan
seseorang sebelum dibuktikannya sendiri.
“Terima kasih, Taria. Tapi, maaf. Aku datang
jauh-jauh memang untuk menantang Genta Kematian. Jadi tidak mungkin aku
melangkah mundur lagi.” Ujar Rangga mantap.
“Kalau boleh kutahu, kenapa kau ingin menantang si
Genta Kematian, Kakang?” tanya Taria.
“Persoalan pribadi,” sahut Rangga.
“Kalau hanya dendam, sebaiknya dibatalkan saja.
Bukannya aku menyangsikan kemampuanmu, Kakang. Tapi kau harus berpikir seribu
kali untuk bisa menantangnya,” lagi-lagi Taria menasihatkan.
Kembali Rangga hanya tersenyum saja. Pendekar
Rajawali Sakti mengayunkan kakinya melewati gadis itu. Dia tidak ingin tertalu
lama mendengar nasihat-nasihat yang tidak akan mengendurkan tekadnya untuk
menantang si Genta Kematian. Perempuan tua itu harus bisa ditaklukkan, demi
Pandan Wangi yang kini ter-baring tanpa daya di Padepokan Gunung Gading
“Kakang, tunggu...!” Taria bergegas menyusul, dan
mensejajarkan langkahnya di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti. Kini dia
tidak lagi mencoba membatalkan keinginan Rangga yang selama ini tidak ada yang
pernah melakukannya. Gadis itu terus berjalan cepat mengimbang ayunan kaki
Pendekar Rajawali Sakti yang berjalan mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
***
Rangga berdiiri tegak di depan bangunan tua
berbentuk puri. Di tempat ini Pandan Wangi yang sudah dalam keadaan tidak
sadarkan diri telah ditemukan. Di tempat ini Pendekar Rajawali Sakti sempat
bertemu si Genta Kematian, meskipun tidak sempat bentrok. Tapi dua orang
bertubuh keperakan yang menjadi pengikut setianya, cukup tinggi kepandaiannya.
Seorang dari mereka sudah tewas, tinggal seorang lagi yang pasti adalah wanlta.
Walau wajahnya tidak terlihat, karena terselubung kain tipis keperakan yang
sangat ketat, tapi bisa ditebak dari suara dan bentuk tubuhnya.
“Kau yakin d sini tempatnya, Kakang?” tanya Taria
yang masih mengikuti Pendekar Rajawali Sakti
“Mungkin,” sahut Rangga.
Sementara Itu malam sudah hampir berganti pagi.
Walau keadaan masih terselimut gelap, namun kicauan burung sudah sejak tadi
terdengar ramai Kokok ayam jantan juga terus terdengar saling bersahutan,
menambah hidupnya alam ini
“Si Genta Kematian tidak ada kalau siang hari,
Kakang,” jelas Taria.
“Hm.... Tampaknya kau banyak tahu tentang Genta
Kematian, Taria...” suara Rangga agak bergumam. dan bernada menyelidik.
“Hanya sedikit,” sahut Taria seraya tersenyum.
Gadis itu tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti masih
belum mempercayai penuh padanya. Padahal sudah dikatakan kalau dirinya bukan
salah satu gadis pengikut si Genta Kematian. Kecurigaan Rangga disebabkan Taria
tidak mengatakan alasannya, kenapa berada di Lembah Maut ini. Lembah yang
selama ini selalu dihindari semua orang. Sementara Itu Rangga menatap Taria
dalam-dalam.
“Jangan menatapku begitu, Kakang..,” Taria merasa
jengah.
“Siapa kau sebenarnya, Taria?” tanya Rangga tidak
bisa menyembunyikan rasa curiga dan keingin-tahuannya.
“Sudah kujelaskan padamu, Kakang,” sahut Taria
tetap menghindar halus.
“Kau belum mengatakan yang sesungguhnya, Taria.
Kenapa berada di sini?” desak Rangga.
“Aku ada urusan pribadi,” sahut Taria.
“Dengan si Genta Kematian?” Rangga terus mendesak.
Taria diam saja, dan tampak sekali kalau mulai
tidak senang didesak terus begitu. Tapi gadis ini tetap bertahan, dan malah
memberi senyuman yang manis sekali. Sejenak Rangga terpaku dan jantungnya
seketika berdetak kencang. Tapi buru-buru mukanya dipalingkan, menatap ke arah
lain.
Pendekar Rajawali Sakti merasa ada sesuaru kekuatan
aneh yang terpancar pada sinar mata gadis ini. Sesuatu yang membuat Pendekar
Rajawali Sakti bagai terangsang kejantanannya. Hal ini belum pernah terjadi
pada dirinya. Meskipun dengan Pandan Wangi, Pendekar Rajawali Sakti masih mampu
mengendalikan diri. Tapi terhadap gadis ini, sepertinya desakan itu kuat
sekali. Dan Rangga merasakan adanya kesulitan untuk menentangnya. Rangga
benar-benar tidak mengerti, kenapa desakan itu selalu muncul setiap kali
pandangannya bertemu dengan gadis itu.
“Mau ke mana, Kakang?” tegur Taria ketika Rangga
melangkah hendak meninggalkannya.
“Kau punya tujuan sendiri, dan aku pun begitu. Jadi
sebaiknya kita tidak bersama-sama,” Jawab Rangga seraya menghentikan
langkahnya, namun tidak berbalik.
“Kenapa begitu?” tanya Taria seraya mendekati.
Rangga tidak menjawab. Pemuda itu memutar tubuhnya
sedikit dan memandang ke arah lain, saat Taria sudah berada di depannya.
Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak ingin memandang mata Taria yang
disadarinya memiliki pancaran kekuatan aneh yang sangat besar. Bahkan mampu
mengoyak relung hatinya serta membangkitkan kejantanannya.
“Kakang...” lembut sekali suara Taria. Gadis itu
menjulurkan tangannya, lalu meraba dada Rangga dengan lembut sekali. Seketika
itu juga Rangga merasa darahnya seperti berhenti mengalir, dan jantungnya jadi
berdetak lebih kencang lagi. Rangga mencoba menghindar dengan melangkah mundur.
Tapi..., Taria lebih cepat lagi bertindak. Gadis itu sudah melingkarkan kedua
tangannya di leher Pendekar Rajawali Sakti.
Entah kenapa, Rangga seperti sukar menolak Bahkan
pikirannya jadi mengambang jauh. Terlebih lagi saat matanya tak mampu lagi
berpaling, dan terpaksa menatap bola mata Taria yang bening, bulat dan indah
itu. Mata itu sungguh indah, memancarkan suatu kekuatan yang semakin mendesak
kejantanan Pendekar Rajawali Sakti.
“Taria...” desah Rangga masih mencoba mengembalikan
kesadarannya.
Tapi Taria malah merapatkan tubuhnya. Jantung
Rangga semakin keras berdetak saat merasakan sesuatu yang lembut menonjol
menekan dadanya. Rangga semakin sukar mengendalikan diri saat merasakan
hangatnya desah napas Taria yang menerpa lembut wajahnya.
“Cumbulah aku, Kakang. Puaskan seluruh keinginanmu.
Cumbulah aku, Kakang..,” desah Taria lembut sekali.
“Ah...,” Rangga mencoba untuk memalingkan mukanya.
Tapi Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak
sanggup lagi mengendalikan diri. Dan pemuda Itu benar-benar tidak tahu lagi,
apa yang harus dilakukan saat bibir Taria sudah menempel di bibirnya. Seketika
itu juga Rangga merasakan seluruh aliran darahnya jadi terbalik. dan jantungnya
bagai terhenti berdetak. Kecupan Taria yang lembut dan hangat, membuat kepala
Pendekar Rajawali Sakti mendadak Jadi pening.
“Oh....” Rangga mendesah lirih. Pendekar Rajawali
Sakti seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Dia tidak mampu lagi menolak,
ketika Taria mengajaknya turun. Dan mereka kini sudah terduduk dl tanah
berumput tebal. Perlahan-lahan Taria membaringkan tubuhnya, namun tidak
melepaskan rangkulannya dl leher Rangga. Mau tidak mau, Pendekar Rajawali Sakti
ikut turun.
“Ayolah, Kakang. Cumbulah aku sepuasmu,” desah
Taria lembut menggairahkan.
Rangga merasa kepalanya semakin pening saja. Dan
dirinya sudah tidak bisa lagi dikuasai. Apalagi ketika dengan gerakan lembut
dan halus, gadis itu melepaskan pakaiannya satu persatu. Rangga tak kuasa lagi
menahan diri begitu hampir seluruh pakaian yang melekat di tubuh Taria
terlepas. Dengus napasnya sudah tidak terkendali, begitu cepat bagaikan kuda
yang dipacu kencang di jalan mendaki.
“Ohhh...,” Taria mendesah lirih.
Rangga mendekap gadis itu, dan sementara itu Taria
menggeliat-geliatkan tubuhnya yang berada di bawah himpitan Pendekar Rajawali
Sakti. Bibirnya terus memperdengarkan rintihan dan desahan lirih, membuat
Rangga semakin tidak mampu mengendalikan diri.
“Khraghk..!”
“Oh...?!” Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba
terdengar suara keras dan serak yang amat dikenalnya. Suara itu seakan-akan
berada di dekat telinganya. Seketika Pendekar Rajawali Sakti itu terlonjak, dan
melompat bangkit dari tubuh Taria.
“Jagat Dewa Batara.... Apa yang telah
kulakukan...?!” sentak Rangga mendesah. Pendekar Rajawali Sakti segera
melangkah mundur seraya memalingkan mukanya dari tubuh Taria yang sudah hampir
tidak berpakaian lagi. Hanya bagian pinggang saja yang masih tertutup.
“Kenapa kau, Kakang?” tanya Taria seraya bangkit
duduk.
Gadis itu membenahi pakaian seadanya, namun
membiarkan bagian dada dan paha terbuka. Sementara Rangga sempat melirik, namun
cepat memalingkan mukanya. Dia tidak ingin terbelenggu lagi dalam lautan asmara
yang memabukkan.
“Kakang...” lembut sekali suara Taria.
“Pergilah kau, Taria. Jangan ganggu aku!” sentak
Rangga tanpa memandang sedikit pun.
“Kenapa? Apakah aku mengecewakanmu?” masih
terdengar lembut suara Taria,
Rangga hanya menghembuskan napasnya saja. Sama
sekali tidak dijawab pertanyaan itu. Dia hanya tidak ingin diganggu saat ini.
Pendekar Rajawali Sakti menyadari kalau Taria memiliki sesuatu yang bisa
menarik dan membangkitkan gairah seorang laki-laki, tanpa dapat dibendung lagi.
Seperti....
“Oh...!” Rangga mendadak tersentak. Cepat tubuhnya
berputar. Ditatapnya Taria dalam-dalam dan tajam sekali. Rangga seperti baru
setelah dikejutkan teriakan Rajawali Putih. Seekor burung raksasa yang menjadi
guru, sahabat, juga tunggangannya. Dan rupanya meskipun dalam jarak jauh,
Rajawali Putih selalu menjaga Rangga. Burung raksasa itu selalu memperingatkan
jika Pendekar Rajawali Sakti melakukan sesuatu yang dapat mengotori dirinya
sendiri.
“Siapa kau sebenarnya, Taria?” tajam dan dingin
sekali nada suara Rangga.
Taria tidak menjawab, tapi malah tersenyum seraya
bangkit berdiri. Dengan gerakan halus dan gemulai, gadis itu mengenakan kembali
pakaiannya Wajahnya yang cantik itu, tetap ceria dengan bibir menyungging-kan
senyuman. Dan Rangga tetap menatap tajam, namun tidak berani langsung menatap
mata gadis itu. Karena, di sanalah letak kekuatan yang dimiliki gadis itu.
“Tataplah mataku, Kakang. Kau akan menemukan
kenikmatan dan kebahagiaan di sana,” Taria lembut sekali.
“Tidak..!” sentak Rangga begitu merasa adanya
sesuatu daya tarik yang luar biasa membetot relung hatinya.
Sekuat daya, Pendekar Rajawalii Sakti mencoba
bartahan agar tidak menatap mata gadis itu. Namun daya tarik aneh yang
dirasakannya, semakin kuat saja. Tampak titik-titik keringat mulai mengalir di
dahi Rangga.
“Iblis....” desis Rangga.
Slap!
Seketika Itu juga, Rangga melentingkan tubuhnya ke
udara, lalu berputaran beberapa kali. Kemudian dia langsung meluruk deras ke
arah Taria. Kedua kakinya bergerak cepat dan lincah sekali, mengarah ke kepala
gads Itu.
“Yeaaah...!”
“Kakang...! Uts!” Taria terkejut
Buru-buru Taria membanting tubuhnya ke tanah, dan
bergulingan beberapa kali. Maka kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti hanya
menghantam tanah, tempat Taria tadi berdiri. Ledakan keras terdengar
menggelegar bersamaan dengan terbongkarnya tanah itu, hingga menlmbulkan
gumpalan debu yang mengepul tinggi ke udara
“Tahan, Kakang..!” sentak Taria ketika Rangga sudah
kembali melompat menerjangnya.
Tapi Pendekar Rajawali Sakti sudah cepat melompat
sambil memberi dua pukulan beruntun yang disertai pengerahan tenaga dalam
sempurna.
“Hap!" Taria yang baru saja bisa bangkit
berdiri, buru-buru melentingkan tubuhnya ke belakang dan berputaran beberapa
kali. Namun baru saja kakinya menjejak tanah, Pendekar Rajawali Sakti sudah
kembali memberi serangan dahsyat luar biasa. Terpaksa Taria harus berjumpalitan
menghindarinya Gerakan gadis itu memang sungguh cepat luar biasa. Beberapa kali
Rangga memberi serangan cepat dan dahsyat disertai pengerahan tenaga dalam
sempurna, tapi tidak satu pun berhasil mengenai sasaran.
“Hup...!” Tiba-tiba Rangga melompat mundur dan
menghentikan serangannya. Dia berdiri tegak dengan pandangan lurus tak berkedip
pada gadis itu. Sementara Taria hanya berdiri saja. Sikapnya masih terlihat
lembut menggoda, disertai senyuman manls menggairahkan di bibir yang memerah
itu.
“Katakan! Siapa kau sebenarnya?! Atau kau ingin aku
bertindak lebih kejam lagi..?!” sentak Rangga, dingln nada suaranya.
“Kenapa kau mempersoalkan tentang diriku, Kakang?
Apakah aku tidak pantas untukmu?” masih dengan lembut suara Taria.
“Kau jangan mencoba mempengaruhiku dengan ilmu
'Lemah Jiwa..!” sentak Rangga yang baru menyadari kalau Taria tadi
mempergunakan limu 'Ilmu Jiwa’.
Ilmu itu memang tidak berbentuk, tapi sangat luar
biasa akibatnya. Seorang lakl-laki yang sudah berilmu tinggi sekalipun, sangat
sukar menyadari dengan cepat. Karena ilmu itu menyerang bawah sadar seseorang,
dan langsung membangkttkan gairah kejantanan. Dan ilmu itu hanya khusus bisa
dikuasai kaum wanlta. Yang pasti, digunakan untuk menjerat laki-laki.
“Hik hik hik....” tiba-tiba saja Taria tertawa
terkikik.
“Heh..?!” Rangga terkejut. Pendekar Rajawali Sakti
sampai terlonjak ke belakang dua langkah, begitu mendengar tawa Taria yang
mengikik kering. Persis suara seorang perempuan tua. Dan kelembutan pada wajah
serta sorot matanya seketika lenyap. Dan kini berganti seraut wajah tegang dan
kaku, membuat siapa saja yang melihatnya akan bergidik ngeri.
“Siapa kau...?!” bentak Rangga kembali bertanya.
***
DELAPAN
Taria tetap saja tertawa mengikik kering. Pada saat
itu, tiba-tiba saja tangannya dikebutkan ke atas. Maka dari dalam bangunan puri
itu meluncur sebuah benda keperakan. Hanya sedikit saja wanita itu menggenjot
tubuhnya, kemudian meluncur deras ke arah benda keperakan itu.
Tap! Taria kembali turun begitu benda keperakan Itu
tertangkap. Dan Rangga jadi terhenyak ketika wanita cantik itu kini memegang
sebuah tombak berwarna perak yang bagian ujung atasnya terdapat genta-genta
kecil yang bergemerincing
“Genta Kematian...” desis Rangga agak terhenyak.
Pendekar Rajawali Sakti sungguh tidak mengerti.
Pertama kali melihat wanita ini, dia mengenakan jubah putih. Bahkan sosok
tubuhnya telah tua, berusia lebih dari delapan puluh tahun. Dan sekarang,
berujud seorang gadis cantik dan masih muda. Bahkan bentuk tubuhnya
menggairahkan. Namun tongkat yang kini berada di tangan kanannya, sudah
memastikan kalau wanita itu adalah si Genta Kematian.
“Kaukah si Genta Kematian itu...?” tanya Rangga
seperti ingin meyakinkan dirinya.
“Kau pikir aku ini siapa, Rangga?” dingin sekali
suara wanita yang mengaku bernama Taria itu.
Rangga tidak perlu lagi penjelasan. Kini dia tahu
kalau Taria sebenarnya adalah si Genta Kematian. Tapi masih belum bisa
dimengerti dengan perubahan bentuk gads ini. Dia bisa menjadi tua dan juga bisa
menjadi seorang gadis muda belia, cantik, dan menggairahkan. Belum pernah
Pendekar Rajawali Sakti mendengar ada orang yang bisa berubah-ubah dari tua ke
muda dan sebaliknya. Jika hanya perubahan wajah saja, baginya sudah tidak
mengejutkan lagi. Tapi seluruh tubuh dan wajah wanita ini benar-benar berubah
jauh.
“Di mana kau sembunyikan gadis itu?” tanya Taria
atau si Genta Kematian, dingin nada suaranya
“Untuk apa kau menanyakannya?” Rangga malah balik
bertanya.
“Untuk apa...?! Heh..! Kau sudah merampas milikku.
tahu?! Dan sekarang juga, kuminta kau mengembalikan gadis itu padaku!” bentak
Taria kasar
“Hhh! Siapa di antara kita yang merampas? Kau atau
aku..?” dingin sekali suara Rangga.
“Rupanya kau pandai juga bermain kata-kata. Rangga.
Baik. Aku ingin tahu sampai di mana kemampuanmu,” desis Taria dingin.
Rangga hanya menggumam saja
“Ayo, Rangga. Bukankah kau ingin menantangku? Lima
Jurus kuberikan padamu untuk menyerang,” nada suara Taria seperti meremehkan.
“Aku khawatir, tidak sampai tiga jurus kau sudah
balas menyerang.“
Taria tertawa terbahak-bahak. Kemudian tongkatnya
dhentakkan ke tanah. tepat di ujung jari kaki. Seketika itu juga tanah yang
mereka pijak bergetar, bagai dlguncang gempa. Rangga sempat terlonjak kaget
namun sesaat kemudian sudah melesat memberi serangan cepat dan dahsyat luar
biasa.
Rangga yang sudah mengetahui siapa sebenarnya
wanita itu, tidak lagi tanggung-tanggung dalam memberi serangan. Langsung saja
dirangseknya si Genta Kematian itu dengan jurus-jurus maut dari rangkaian lima
Jurus 'Rajawali Sakti' yang semakin sempurna dan dahsyat saja.
“Uts! Setan!” dengus Taria ketika satu pukulan
Pendekar Rajawali Sakti hampir saja mengenai kepalanya.
Rangga baru saja mengerahkan dua jurus, namun si
Genta Kematian sudah kelabakan menghindarinya. Beberapa kali tubuhnya terpaksa
dibanting ke tanah, atau melompat ke belakang menghindari Pendekar Rajawali
Sakti.
Dan dugaan Rangga memang tepat Begitu memasuki
jurus ketiga. si Genta Kematian sudah tidak tahan lagi didesak terus-menerus.
Kesombongannya diingkari sendiri dengan memberi satu serangan kilat, begitu
berhasil mengelakkan satu pukulan Rangga yang mengarah ke dada
“Yeaaah...!”
“Hup!”
Rangga langsung melompat cepat ke belakang ketika
Taria mengebutkan tongkatnya, hingga memper-dengarkan suara berdentang yang
keras menggetarkan jantung. Sambaran tongkat itu demlkian keras dan dahsyat
sekali, sehingga menimbulkan hempasan angin luar biasa, bagai badai. Rangga
sampai terhuyung beberapa langkah ke belakang, menerima gempuran angin sambaran
tongkat aneh itu.
“Kau melanggar janjimu sendiri. Genta Kematian,”
desis Rangga dingin.
“Phuih! Ini daerah kekuasaanku! Aku bisa berbuat
apa saja sesuka hatiku” bentak Taria geram.
“Oh.... Kalau begitu, aku yang akan memberimu
kesempatan lima jurus untuk menyerang. Jika kau tidak sanggup mendesakku, maka
kau harus mengakui kekalahanmu.” kali ini Rangga yang memberi kesempatan.
“Peduli setan! Hiyaaat...!”
Taria berteriak nyaring melengking tlnggi. Bagai
anak panah lepas dari busur, si Genta Kematian melompat menerjang Pendekar
Rajawali Sakti yang sudah slap menerima serangan sejak tadi. Dan begitu ujung
tongkat Taria berkelebat mengancam kepalanya. maka cepat dan manis sekali
Pendekar Rajawali Sakti mengelak dengan menundukkan kepala.
Wus!
Tongkat keperakan itu lewat sedikit di atas kepala
Rangga. Dan sebelum Pendekar Rajawali Sakti bisa menegakkan kepalanya kembali,
si Genta Kematian sudah memberi serangan cepat luar biasa.
Saat itu juga Rangga meliukkan tubuhnya,
mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Satu jurus yang serlngkali
digunakan untuk memancing dan mengamati tingkat kepandaian lawan. Tapi kali inl
Rangga mempergunakan hanya untuk mengulur waktu agar perempuan itu menghabiskan
lima jurus yang dijanjikannya.
“Setan...!” geram Taria yang merasa setiap kali
serangannya dapat dimentahkan Pendekar Rajawali Sakti dengan manis sekali.
Beberapa kali Taria melancarkan gebrakan, namun
beberapa kali itu pula terpaksa harus menelan kepahitan. Rangga selalu saja
bisa mematahkan serangan, walaupun dengan gerakan-gerakan aneh dan tidak
beraturan. Hal ini membuat si Genta Kematian itu jadi semakin berang. Dia
merasa kalau Rangga hanya mempermainkan dirinya saja.
“Keparat kau, Rangga...!” desis Taria gusar.
“Sudah tiga jurus, Taria. Kau masih punya
kesempatan dua jurus lagi,” kata Rangga mengingatkan.
“Persetan..!” geram Taria. Kembali si Genta
Kematian melancarkan lebih dahsyat dari sebelumnya. Dan kali ini tongkatnya
berkelebat cepat, menimbulkan hempasan angln disertai dentangan genta yang
berada di ujung tongkat itu. Suaranya demikian keras, membuat telinga terasa
sakit. Namun Rangga sudah lebih dahulu menutup pendengarannya dengan
mengerahkan hawa murni yang dipusatkan pada telinga.
Maka suara apa pun yang terdengar, tidak membuat
perhatiannya buyar. Namun Pendekar Rajawali Sakti masih juga tidak mau
memandang kedua mata si Genta Kematian. Karena masih dlrasakan kalau wanita itu
tetap mengerahkan ilmu 'Lemah Jiwa'. untuk membuyarkan perhatian dalam
pertarungan ini.
***
Jurus demi Jurus berialu cepat. Tak terasa, si
Genta Kematian justru sudah menghabiskan lebih dari sepuluh jurus. Namun
Pendekar Rajawali Sakti sampai sejauh itu belum bisa terdesak. Hal ini memang
disengaja Rangga, agar wanita itu terpancing amarahnya. Dengan demikian,
perhatian wanita itu akan targanggu.
Bahkan beberapa kali Rangga memberi gerak tipu dan
pancingan yang membuat si Genta Kematian semakin bertambah geram saja jadinya. Wanita
itu kini semakin hebat memberi serangan-serangan, yang mengandung pengerahan
tenaga dalam tinggi. Tempat di sekitar pertarungan itu sudah porak poranda
bagai teramuk ribuan ekor gajah.
Pepohonan bertumbangan, batu-batu pecah berantakan
terkena pukulan-pukulan yang tidak mencapai sasaran. Debu semakin banyak
mengepul di udara, semakin membuat sesak udara di sekitar pertarungan itu.
Sementara matahari mulai menampakkan cahayanya. Namun pertarungan itu terus
berlangsung sengit sekali, seakan-akan tidak akan berhenti. Dan kini Rangga
juga sudah memberi serangan-serangan cepat dan berbahaya sekali.
“Hiyaaat….!”
Tiba-tiba saja si Genta Kematian berteriak keras.
Maka seketika itu juga tubuhnya melesat cepat ke udara sambil mengibaskan
tongkatnya ke arak kepala Pendekar Rajawali Sakti. Wanita itu berjumpalitan di
udara beberapa kali, kemudian cepat sekali menghentakkan tongkatnya kuat-kuat.
“Yeaaah...!”
Teng!
Slap!
Saat itu seberkas cahaya merah kebiru-biruan,
meluncur deras keluar dari ujung tongkat itu. Cahaya itu langsung meluruk ke
arah Pendekar Rajawali Sakti yang masih berada di tanah.
“Hup! Yeaaah..!”
Sama sekali Rangga tidak bergerak menghindar.
Bahkan malah menyambutnya dengan menghentakkan tangannya ke arah bola cahaya
merah kebiru-biruan itu. Tampak kedua kepalan tangan Pendekar Rajawali Sakti
memancarkan sinar merah, yang berarti saat itu sudah mengerahkan 'Pukulan Maut
Paruh Rajawali”.
Glarrr!
Ledakan keras terdengar menggelegar ketika bola
cahaya merah kebiru-biruan itu menghantam tangan Rangga. Bunga api memercik ke
segala arah, disertai kepulan asap hitam yang membumbung tinggi ke angkasa.
Tampak Rangga terdorong ke belakang dua tindak, namun cepat sekali melentingkan
tubuhnya ke angkasa.
“Hiyaaa...!” Taria yang juga dikenal berjuluk Genta
Kematian, terkejut bukan main. Karena serangan yang diandalkannya tadi, mudah
sekali terpatahkan. Bahkan kini Pendekar Rajawali Sakti sudah melesat cepat
bagai kilat.
Sret!
Cring!
Cahaya biru berkilau, seketika memendar begitu
Rangga menarik Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Secepat pedang itu keluar dari
warangkanya, secepat itu pula dikibaskan ke arah dada si Genta Kematian.
“Yeaaah...!”
“Heh?!”
Taria terkejut setengah mati. Dan wanita itu tidak
punya kesempatan lagi untuk berkelit menghindar. Dengan cepat sekali,
tongkatnya dikibaskan ke depan dada. mencoba menangkis tebasan pedang yang
memancarkan sinar biru menyilaukan mata itu.
Trang!
Trak!
“Heh.„?!”
Lagi-lagi Taria tersentak kaget. Mendadak saja
tangannya terasa bergetar hebat ketika tongkatnya beradu keras dengan pedang
Pendekar Rajawali Sakti. Bergegas tubuhnya berputar ke belakang, dan langsung
meluruk turun ke bawah. Pada saat yang sama, Rangga juga cepat meluruk turun.
Hampir bersamaan mereka menjejakkan kakinya di tanah.
“Keparat..!” geram Taria mendelik. Wanita itu
benar-benar marah bukan main, karena tongkatnya terpotong jadi dua bagian.
Namun sebelum kemarahan yang bercampur keterkejutan dan ketidak-percayaan itu
lenyap, mendadak saja Rangga sudah kembali melompat memberi serangan. Pendekar
Rajawali Sakti langsung menggunakan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Suatu jurus
andalan yang terakhir dari ilmu-ilmu 'Rajawali Sakti' yang dikuasainya.
“Uts...!”
Taria cepat-cepat membuang dirinya ke samping, dan
meliukkan tubuhnya menghindari kelebatan pedang yang memancarkan cahaya biru
itu. Saat itu juga disadari kalau dirinya sangat terdesak dan kewalahan sekali
dalam menghadapi serangan Rangga yang demikian gencar dan dahsyat luar biasa.
Pedang Rajawali Sakti berkelebatan cepat,
seakan-akan memiliki mata saja. Selalu memburu kemana saja si Genta Kematian
itu bergerak menghindar. Beberapa gebrakan berlalu. Walaupun belum menampakkan
hasil nyata, namun Rangga sudah bisa tersenyum. Karena si Genta Kematian mulai
kelihatan limbung. Dan gerakan-gerakannya jadi tidak beraturan lagi.
“Setan...!” dengus Taria geram.
Si Genta Kematian langsung bisa merasakan kalau
jiwanya mulai guncang, dan seperti mendapat kesukaran untuk mengatasi setiap
serangan lawan. Beberapa kali dia memaki setiap kali hampir saja terkena
tebasan ujung pedang yang bersinar biru berkilauan itu.
“Yeaaah...!” tiba-tiba Rangga berseru nyaring. Dan
mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan pedangnya cepat ke arah leher
wanita itu. Tebasan Rangga yang cepat dan didahului satu serangan pukulan
tangan kiri. membuat si Genta Kematian jadi kelabakan. Wanita itu sudah
telanjur terpancing oleh pukulan tangan kiri Rangga, sehingga terlambat
menghindari tebasan pedang itu.
Cras
“Aaa...!” Diiringi satu jeritan melengking tinggi,
si Genta Kematian mengejang kaku, kemudian ambruk menggelepar. Seketika itu
juga kepalanya terguling terpisah dari leher. Darah langsung memuncrat keluar
dari leher yang buntung tertebas pedang Pendekar Rajawali Sakti.
Crek!
Rangga memasukkan kembali Pedang Rajawali Sakti ke
dalam warangkanya di punggung, seraya menghembuskan napas panjang dan berat.
Dipandanginya mayat si Genta Kematian yang tergeletak di tanah dengan leher
terpenggal. Belum lagi Pendekar Rajawali Sakti bisa menarik napas lega,
mendadak saja terdengar ribut-ribut dari dalam bangunan puri Itu. Dan sebentar
kemudian, dari dalam puri Itu berhamburan gadis-gadis cantik, mengejar sosok
manusia yang seluruh tubuhnya berwarna keperakan.
“Hiyaaa...!”
Secepat kilat, Pendekar Rajawali Sakti melompat
memotong arus manusia keperakan itu. Langsung saja Rangga melepaskan satu
pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf
kesempurnaan.
Begkh!
“Ukh...!” manusia keperakan itu mengeluh panjang
begitu dadanya mendadak saja terkena satu hantaman keras yang dilepaskan
Pendekar Rajawali Sakti.
Tak pelak lagi, tubuhnya terpental deras ke
belakang. Dan begitu terbanting ke tanah, gadis-gadis yang berhamburan dari
dalam puri langsung menyongsong-nya. Berbagai macam senjata, berkelebatan ke
arah tubuh manusia keperakan itu.
“Hei...!” sentak Rangga mencoba mencegah.
“Aaa...!”
Namun cegahan Pendekar Rajawali Sakti terlambat.
Karena, gadis-gadis itu sudah merajam manusia keperakan tadi. Rangga hanya bisa
menghembuskan napas panjang saja, melihat tubuh manusia keperakan sudah
tercincang tanpa ampun lagi. Pendekar Rajawali Sakti mengarahkan pandangannya
pada dua orang gadis yang hanya berdiri agak jauh, sambil memperhatikan
gadis-gadis lain yang sedang mencincang tubuh manusia keperakan.
Rangga bergegas menghampiri kedua gadis itu yang
dikenalinya adalah Mutiara dan Nila Komala. Mutiara yang sudah kenal Rangga,
bergegas memberi senyum dan langsung memperkenalkan Pendekar Rajawali Sakti
pada Nila Komala.
“Di mana Barada?” tanya Rangga teringat kalau
Mutiara kemarin bersama Barada.
“Tidak tahu,” sahut Mutiara.
Rangga mengerutkan keningnya menatap tajam Mutiara.
“Aku tertangkap, dan tidak tahu lagi di mana
Barada. Mungkin kembali ke padepokan, atau mungkin juga sudah tewas,” Mutiara
menjelaskan sebelum diminta.
“Sebaiknya kalian kembali saja ke padepokan,” ujar
Rangga menganjurkan.
“Bagaimana dengan mereka?” tanya Nila Komala pada
gadis-gadis yang sudah meninggalkan tubuh keperakan.
Tampak tubuh keperakan Itu sudah hancur tak
berbentuk lagi. Rangga sendiri sampai tidak sanggup melihatnya. Belum pernah
Pendekar Rajawali Sakti berbuat seperti itu, mencincang orang hingga hancur tak
berbentuk lagi. Tapi dia memang tidak bisa berbuat apa-apa.
“Kalian boleh kembali ke tempat asal kalian
masing-masing,” kata Rangga pada gadis-gadis itu.
Mereka mengucapkan terima kasih karena telah
terbebas dari pengaruh si Genta Kematian. yang selama ini menguasai jiwa dan
alam pikiran serta kehidupan mereka. Rangga hanya tersenyum saja Dan
gadis-gadis itu kemudian meninggalkan tempat ini dengan tujuan masing-masing.
Rangga kemudian mengajak Mutiara dan Nila Komala
kembali ke Padepokan Gunung Gading. Namun setelah menempuh perjalanan yang
cukup jauh, terlihat Eyang Jatibaya, Barada, dan beberapa orang muridnya
menghampiri. Mereka semua menunggang kuda. Tampak di antara mereka, terdapat
Pandan Wangi yang berkuda di samping Eyang Jatibaya. Rangga segera menyongsong
mereka, lalu membantu Pandan Wangi turun dari punggung kudanya. Kemudian mereka
menghampiri Eyang Jatibaya yang tengah berbicara dengan kedua gadis muridnya
itu.
“Aku benar-benar mengucapkan terima kasih padamu,
Rangga. Ternyata kau mampu membebaskan daerah ini dari cengkeraman perempuan
berhati iblis itu,” ucap Eyang Jatibaya sebelum Rangga membuka suaranya.
Sebenarnya, inilah yang ditugaskan oleh Eyang
Jatibaya kepada dua murid wanitanya, Mutiara dan Nila Komala. Kedua gadis itu
memang ditugaskan untuk menyelidiki keberadaan si Genta Kematian, sekaligus
menyelelidiki kekuatan partainya. Namun apa mau dikata, ternyata Mutiara dan
Nila Komala malah tertangkap.
“Hanya satu yang masih menjadi pertanyaanku,” ujar
Rangga, agak mendesah suaranya.
“Apa itu?” tanya Eyang Jatibaya.
“Si Genta Kematian ternyata bukan perempuan tua,
tapi masih muda dan...” Rangga tidak meneruskan.
“Dia bukan si Genta Kematian,” selak Nila Komala.
Semua orang yang berada di situ memandang Nila
Komala yang sejak tadi hanya diam saja.
“Si Genta Kematian sudah lama meninggal. Sedangkan
orang yang mengaku Genta Kematian adalah Taria, murid si Genta Kematian,” Nila
Komala menjelaskan “Jasad si Genta Kematian ada di dalam puri”
“Masih utuh?” tanya Eyang Jatibaya.
“Sudah jadi tengkorak sebagian.”
“Yaaah.... Setinggi apa pun tingkat kepandaian
seseorang, tidak akan mungkin melawan ketuaan dan kodrat,” desah Eyang
Jatibaya.
Namun mendadak saja laki-laki tua itu tersentak.
karena tanpa diketahui sama sekali. Rangga dan Pandan Wangi sudah tidak ada lagi.
Entah kapan dan bagaimana caranya, kedua pendekar itu sudah tidak terlihat
lagi. Semua orang yang berada di situ tidak sempat memperhatikan.
“Kalian tahu, ke mana Rangga dan Pandan Wangi?”
tanya Eyang Jatibaya pada murid-muridnya.
Semua murid-muridnya menggelengkan kepala saja.
Memang tidak ada yang tahu, ke mana dan kapan Pendekar Rajawali Sakti dan si
Kipas Maut itu pergi Eyang Jatibaya hanya mendesah panjang saja, kemudian
memerintahkan semua muridnya untuk kembali ke padepokan. Tak berapa lama kemudian.
mereka semua bergerak meninggalkan tempat itu.
“Kalian memang pendekar-pendekar sejati..,” gumam
Eyang Jatibaya pelan.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
GELANG NAGA SOKA
Emoticon