SATU
MALAM ini bulan bersinar penuh, tampak indah
menggantung di langit kelam bermandikan taburan bintang gemerlapan. Cahayanya
yang keperakan begitu lembut menyirami permukaan bumi yang seharian tadi
terpanggang sang raja siang. Suasana malam ini benar¬benar sulit untuk
dilukiskan dengan kata-kata.
Namun semua keindahan itu terusik oleh suara-suara
gaduh dari sebuah desa yang terletak di kaki Bukit Parut. Tampak api berkobar,
seakan-akan hendak mengalahkan sinar rembulan yang keemasan. Jeritan-jeritan
melengking tinggi disertai teriakan-teriakan keras terdengar membahana. Itu pun
juga masih diselingi oleh denting senjata beradu.
Memang tidak lama suara-suara gaduh itu mengusik
kesunyian dan keindahan malam ini. Dan kini suasana kembali sunyi tenang, bagai
tak pernah terjadi sesuatu. Tinggal cahaya api yang masih berkobar bersama
kepulan asap tebal membumbung tinggi ke angkasa. Semua ini menandakan kalau
malam ini telah terjadi sesuatu. Tampak mayat-mayat bergelimpangan tak tentu
arah. Angin yang berhembus menebarkan udara dingin, menyebarkan bau anyir
darah, menambah rusaknya keindahan malam ini.
Tak berapa lama kemudian, terdengar derap langkah
kaki kuda. Terlihat seorang pemuda berbaju putih tanpa lengan tengah menunggang
seekor kuda hitam yang dipacu cepat menuju desa itu.
“Hup...!” Dengan gerakan ringan dan indah sekali,
pemuda itu melompat turun dari punggung kudanya. Matanya agak menyipit
memandangi keadaan Desa Gandus yang porak poranda disertai kobaran api
menghanguskan beberapa rumah. Mayat bergelimpangan di mana-mana dalam keadaan
bersimbah darah. Bau anyir darah menyebar menusuk hidung, membuat perut serasa
bergolak hendak muntah. Pemuda berbaju rompi putih itu mengayunkan kakinya
perlahan-lahan, namun matanya tetap beredar berkeliling merayapi tubuh-tubuh
berlumuran darah yang berserakan di sekitarnya.
“Hiyaaat...!” Pemuda itu terkejut ketika tiba-tiba
terdengar teriakan keras melengking tinggi. Dan sebelum keterkejutannya hilang,
tahu-tahu dari arah samping meluncur seseorang sambil mengayunkan golok
berlumuran darah ke arahnya.
“Uts!” Buru-buru pemuda itu memiringkan tubuhnya,
sehingga tebasan golok hanya lewat di samping. Namun sebelum tubuhnya sempat
ditarik kembali, golok berlumuran darah itu berputar cepat mengarah ke perut.
Terpaksa pemuda berbaju rompi putih itu melompat mundur dua langkah ke
belakang.
“Hei, tunggu...!” teriak pemuda itu.
“Mampus kau. Hiyaaat...!”
Namun penyerang gelap itu tidak memberi kesempatan
lagi. Kembali pemuda itu diserang dengan ganas. Serangan-serangannya sungguh
cepat luar biasa, membuat pemuda berbaju rompi putih itu harus berjumpalitan
menghindarinya. Namun pada saat golok berlumuran darah itu hampir menyambar
dadanya, cepat sekali tangannya dikibaskan.
Plak!
“Akh...!” Terdengar pekikan keras agak tertahan. Pekikan
itu jelas sekali kalau datangnya dari seorang wanita. Tampak gadis yang
menyerang dengan golok itu terhuyung-huyung ke belakang saat satu gedoran yang
tidak terlalu keras mendarat di dadanya. Golok berlumuran darah itu langsung
terlepas dari genggaman, setelah pergelangan tangannya juga terkena sampokan
keras mengandung sedikit pengerahan tenaga dalam.
“Hup...!” Pemuda berbaju rompi putih itu melompat
cepat, dan tahu-tahu sudah meringkus penyerangnya. Dipegangnya tangan gadis itu
kuat-kuat ke belakang, lalu ditekan kepunggung.
“Akh...!” gadis itu memekik merasakan sakit pada
tangannya yang dipelintir ke belakang. Dia berusaha memberontak melepaskan
diri, tapi pegangan pemuda itu kuat sekali. Dan semakin berusaha memberontak,
tangannya semakin terasa sakit.
“Lepaskan...!” sentak gadis itu keras.
“Aku akan melepaskan jika kau tidak menyerangku
lagi, Nisanak,” tegas pemuda itu.
“Baik. Aku tidak akan menyerang lagi,” janji gadis
itu.
Pemuda berbaju rompi putih itu melepaskan
ringkusannya. Buru-buru gadis yang pakaiannya serba kuning itu menjauh dan
langsung berbalik. Bibir yang berbentuk indah itu meringis, sedang tangan
kirinya mengurut-urut pergelangan tangan kanan yang terasa nyeri. Sepertinya,
tulang pergelangannya remuk tercengkeram tangan kekar tadi.
“Siapa kau, Nisanak? Mengapa tiba-tiba
menyerangku?” tanya pemuda itu.
“Huh! Kalau kau ingin membunuhku, bunuh saja
sekarang, Iblis!” dengus gadis itu ketus.
“Tidak semudah itu membunuh orang, Nisanak.”
“Hhh! Bicara memang gampang. Tapi kenyataannya, kau
bantai habis orang-orang tidak berdosa!” rungut gadis itu dengan wajah
memberengut dan mata menyorot tajam menusuk.
“Aku baru saja datang ke sini, dan tidak tahu apa
yang terjadi terhadap mereka. Ada apa sebenarnya?” tanya pemuda itu.
“Huh!” gadis itu hanya mendengus saja.
Tubuhnya kemudian berbalik dan terus melangkah
cepat. Sedangkan pemuda berbaju rompi putih itu jadi tertegun tidak mengerti.
Sebentar dipandanginya mayat-mayat yang bergelimpangan tak tentu arah. Kemudian
pandangannya beralih pada gadis berbaju kuning yang sudah cukup jauh
meninggalkan tempat ini.
“Hei, tunggu...!” seru pemuda itu. “Hup...!”
Hanya sekali lesat saja, pemuda berbaju rompi putih
itu sudah berhasil menyusul gadis berbaju kuning, dan langsung memandangnya.
Gadis yang cukup cantik dengan rambut sebahu itu mendengus sambil membuang muka
ke samping. Seketika ayunan langkahnya dihentikan.
“Mengapa kau mengejarku?” dengus gadis itu ketus.
“Kau belum menjawab pertanyaanku, Nisanak,” sahut
pemuda itu
“He...?!” gadis itu mendelik.
“Aku baru saja tiba, sedangkan keadaan di desa ini
sudah begini. Lalu kau tiba-tiba saja muncul, langsung menyerang. Seharusnya
akulah yang menuduhmu melakukan semua ini, bukannya kau yang menuduhku
demikian,” tegas pemuda itu dengan nada suara agak tertekan.
“Siapa kau sebenarnya...?” tanya gadis itu jadi
berkerenyut keningnya.
Dipandanginya pemuda tampan berbaju rompi putih di
depannya, dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Matanya agak menyipit,
seakan-akan ingin menegaskan kalau yang berdiri di depannya ini adalah seorang
pemuda berwajah tampan dan bertubuh tegap berotot.
“Namaku Rangga. Aku seorang pengembara yang
kebetulan lewat di sini,” sahut pemuda itu memperkenalkan diri.
Pemuda berbaju rompi putih itu memang bernama
Rangga yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Terpaksa dirinya
diperkenalkan lebih dahulu, karena tatapan gadis itu demikian tajam penuh
selidik.
“Benar kau bukan salah seorang dari mereka...?”
tanya gadis itu, ragu-ragu nada suaranya.
“Mereka siapa...?” Rangga malah balik bertanya.
Gadis yang memiliki wajah cantik dan berbaju agak
ketat berwarna kuning itu semakin dalam mengamati pemuda tampan di depannya.
Sepertinya, benar-benar ingin meyakinkan dirinya kalau pemuda itu hanya seorang
pengembara yang kebetulan saja lewat di desa ini.
Semalaman Rangga terpaksa harus menguburkan
mayat-mayat yang bergelimpangan. Rasanya memang tidak tega meninggalkan begitu
saja para penduduk yang tewas terbantai, meskipun dia belum tahu, apa yang
menyebabkan mereka mengalami penderitaan seperti ini. Sedangkan gadis cantik
berbaju kuning yang mengaku bernama Paranti itu hanya diam saja. Dia
mencangkung di beranda depan sebuah rumah yang tak sempat terjilat api.
Saat matahari menampakkan dirinya di balik bukit
sebelah timur, Pendekar Rajawali Sakti baru selesai menguburkan semua mayat
penduduk Desa Gandus. Dihampirinya Paranti yang masih duduk mencangkung sambil
memeluk lututnya yang tertekuk.
Sambil menghembuskan napas panjang, Pendekar
Rajawali Sakti itu menghempaskan diri di samping Paranti. Tubuhnya disandarkan
di dinding papan yang sebagian sudah keropos dimakan rayap. Sementara gadis
cantik berbaju kuning itu hanya melirik sedikit saja. Goloknya diayun-ayunkan
ke tepi balai-balai bambu yang diduduki.
“Capek....?” pelan sekali suara Paranti.
Rangga tidak menanggapi, dan hanya melirik saja
sedikit. Terdengar hembusan napas panjang dan terasa berat sekali. Pendekar
Rajawali Sakti bangkit berdiri, lalu mengambil air dari dalam tempayan tanah
liat. Dengan air yang sejuk itu wajah dan tangannya langsung dibasuh, untuk
membersihkan tanah yang melekat bercampur darah kering. Kemudian dia kembali
duduk di balai-balai bambu itu.
“Kenapa kau bersusah payah menguburkan mereka?”
tanya Paranti.
“Mereka bukan binatang,” jawab Rangga singkat.
“Tapi mereka bukan saudaramu.”
“Saudara atau bukan, aku tidak bisa melihat mayat
bergelimpangan begitu saja menjadi santapan anjing-anjing liar.”
“Hebat..! Ada seribu orang sepertimu, pasti dunia
ini akan aman. Tidak ada lagi mayat bergelimpangan, tidak ada lagi pertikaian
yang membawa korban nyawa.”
Rangga memandangi gadis yang duduk agak jauh di
sampingnya. Bicara gadis itu selalu ketus dan bernada sinis. Tapi setiap kata
yang terucapkan, langsung menyentuh perasaan yang mendengarnya. Rangga jadi
ingin tahu lebih banyak lagi tentang gadis ini, juga keberadaannya di tempat
yang semua penduduknya terbantai semalam. Kalau dia penduduk desa ini, mengapa
hanya dirinya sendiri saja yang selamat...? Atau mungkin gadis ini juga sama
seperti dirinya yang sedang mengembara menjelajahi dunia yang ganas ini.
“Kenapa kau memandangiku begitu...?!” dengus
Paranti ketus.
Rupanya, Paranti merasa jengah juga dipandangi
dalam-dalam oleh seorang pemuda tampan yang belum begitu dikenalnya. Langsung
wajahnya dipalingkan, memandang ke arah lain.
“Siapa kau sebenarnya, Nisanak?” Rangga malah
bertanya. Ada kesungguhan di dalam nada suara Pendekar Rajawali Sakti.
“Untuk apa bertanya seperti itu? Lagi pula, namaku
bukan Nisanak. Tapi Paranti!” ketus sekali nada suara Paranti.
“Aku tidak percaya kalau kau penduduk desa ini.
Kalau memang benar kau salah seorang penduduk desa ini, tentu bukan hanya kau
sendiri yang selamat,” pancing Rangga. Nada suaranya jelas mengandung
kecurigaan.
“Apa pedulimu...?” dengus Paranti ketus. Paranti
langsung saja bangkit berdiri, lalu berjalan meninggalkan Pendekar Rajawali
Sakti itu. Ayunan kakinya begitu cepat dan ringan. Jelas kalau ilmu meringankan
tubuh yang dimilikinya cukup tinggi. Sebentar saja gadis itu sudah begitu jauh
meninggalkan tempat ini. Sedangkan Rangga masih diam, duduk di beranda depan
sebuah rumah yang tak sempat tersentuh api. Pandangannya tetap tertuju pada
gadis yang semakin jauh berjalan pergi.
“Masa bodo, ah...!” dengus Rangga. Pendekar
Rajawali Sakti itu bangkit berdiri, lalu berjalan menghampiri kudanya yang
tertambat tidak jauh di samping rumah berdinding papan itu. Seekor kuda hitam
yang tinggi dan tegap berotot kuat, telah menunggu sejak tadi di situ.
“Hup...!” Sekali melompat saja, Rangga sudah berada
di punggung kuda yang bernama Dewa Bayu. Bibirnya memperdengarkan suara
berdecak, dan tangannya menghentakkan tali kekang kuda yang terbuat dari perak.
Dewa Bayu melangkah perlahan dengan kepala terangguk-angguk.
***
Siang ini matahari bersinar begitu terik,
seakan-akan hendak menghanguskan semua yang ada di mayapada ini. Begitu
teriknya, sehingga banyak pepohonan yang daunnya berguguran. Ditambah lagi,
angin bertiup cukup kencang menimbulkan suara menderu-deru.
Di antara kepulan debu dan hempasan dedaunan
kering, tampak seorang gadis berbaju kuning tengah berjalan perlahan-lahan.
Tangannya diangkat untuk melindungi wajahnya dari siraman debu yang beterbangan
terhembus angin kencang. Bajunya berkibar-kibar, dan tampaknya ayunan kakinya
agak tertahan.
Langkahnya seketika berhenti, lalu memandang ke
depan dengan kelopak mata agak menyipit. Terdengar dengusan napas kencang dan
terasa berat sekali. Kembali kakinya terayun perlahan. Namun baru saja berjalan
beberapa tindak, mendadak saja sebatang pohon besar tumbang, tercabut sampai
akar-akarnya.
“Hup! Yeaaah...!” Cepat sekali gadis itu melompat
menghindari pohon yang roboh tepat di atas kepalanya. Suara pohon tumbang itu
demikian menggemuruh, dan langsung menciptakan kepulan debu saat menghantam
tanah dengan kerasnya.
“Sial...!” rutuk gadis itu sengit. Sesaat kemudian
tubuhnya melesat ke atas, dan langsung melewati pohon itu. Dengan manis sekali,
kedua kakinya mendarat di tanah. Namun sebelum sempat berdiri tegak, mendadak
saja sebatang pohon lagi tumbang ke arahnya.
“Edan! Hiyaaa...!” Gerakan gadis itu sungguh cepat
luar biasa. Tubuhnya langsung melompat ke depan, dan bergulingan beberapa kali
di tanah. Kembali bumi berguncang saat batang pohon besar itu keras menghantam tanah.
Suara bergemuruh seketika terjadi, disertai gempa. Gadis berbaju kuning itu
buru-buru melompat bangkit. Matanya kontan terbeliak begitu melihat pohon yang
baru tumbang tadi seluruh batangnya hangus, dan daun-daunnya rontok berguguran.
Sebentar saja pohon itu bagaikan terbakar hangus menjadi arang.
“Ha ha ha....!” tiba-tiba saja terdengar tawa
menggelegar. Seketika itu juga, angin berhenti berhembus. Gadis berbaju kuning
itu menggeser kakinya sedikit ke samping. Suara tawa itu demikian keras,
seakan-akan datang dari segala penjuru mata angin. Kepala gadis itu menoleh ke
kiri dan ke kanan, lalu perlahan-lahan tubuhnya bergerak memutar. Sementara,
wajahnya tampak sedikit menegang. Dicobanya mencari arah sumber suara tawa itu.
“Uh...!” gadis itu mengeluh pendek. Telinganya
mendadak saja terasa jadi sakit. Saat itu juga disadari kalau suara tawa yang
menggelegar itu mengandung pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Dan sebelum
gadis itu mengerahkan tenaga dalam, seketika aliran darahnya terasa berguncang hebat,
dan tubuhnya bergetar.
“Akh...!” gadis berbaju kuning itu memekik keras
sambil menutup kedua telinganya. Buru-buru kekuatan tenaga dalamnya dikerahkan.
Namun semakin berusaha, semakin terasa kalau aliran darahnya seperti tidak
teratur. Tampak, darah mulai merembes keluar dari lubang hidung dan mulutnya.
Tubuhnya semakin keras menggeletar.
“Hih...!” Gadis itu buru-buru mengibaskan tangannya
beberapa kali di depan dada, membuat gerakan-gerakan cepat. Sebentar kemudian
kedua tangannya merapat di depan dada. Perlahan-lahan tangan kanannya diangkat
hingga ibu jarinya sejajar dengan hidung. Sementara, telapak tangan kirinya
terbuka di depan dadanya.
“Ups! Hsss...!”
“Ha ha ha...!”
Seketika adu kekuatan tenaga dalam terjadi. Suatu
pertarungan yang biasa dilakukan tokoh-tokoh persilatan tingkat tinggi yang
sudah menguasai ilmu tenaga dalam secara sempurna. Tampak tubuh gadis itu mulai
tenang. Pikirannya dipusatkan, dan jiwanya dijernihkan untuk menahan gempuran
tenaga dalam yang dikeluarkan lewat pengerahan tawa menggelegar itu.
“Hiyaaa...!” tiba-tiba saja gadis berbaju kuning
itu berteriak keras menggelegar. Bersamaan dengan itu tangannya menghentak ke
depan, lalu cepat merentang ke samping. Namun sesaat kemudian....
“Akh!” gadis itu memekik tertahan. Entah kenapa,
mendadak saja tubuh gadis itu terlontar jauh ke belakang. Tubuhnya baru
berhenti setelah menghantam sebatang pohon yang cukup besar. Tepat saat tubuh
ramping terbalut baju kuning agak ketat itu ambruk, suara tawa menggelegar tadi
langsung berhenti.
“Ugh! Hoeeek...!” gadis itu memuntahkan darah
kental berwarna agak kehitaman.
“He he he....” Bersamaan dengan terdengarnya suara
tawa terkekeh, berkelebat sebuah bayangan kehijauan. Dan tahu-tahu, di depan
gadis itu sudah berdiri seorang laki-laki tua bertubuh bungkuk dan berjubah
panjang warna hijau daun. Sebatang tongkat yang tidak beraturan bentuknya,
tergenggam di tangan kanan untuk menyangga tubuhnya. Sebuah tonjolan berada di
punggungnya membuktikan kalau dia benar-benar bungkuk.
Perlahan-lahan gadis berbaju kuning bangkit
berdiri. Dipandanginya laki-laki tua yang terkekeh berdiri di depannya. Keriput
pada wajah laki-laki tua itu sudah nampak jelas. Sepasang matanya memerah masuk
ke dalam. Giginya yang hanya ada dua itu menyembul keluar saat dia terkekeh
kering.
“Kau terlalu gegabah menggunakan aji ‘Malih Jiwa’,
Paranti,” kering sekali suara laki-laki tua bungkuk itu.
“Terima sembahku, Eyang Congkok,” ucap Paranti
seraya membungkukkan tubuhnya dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan
dada.
“Bangun, jangan bersikap bodoh begitu di depanku!”
sentak laki-laki tua bungkuk yang dipanggil Eyang Congkok.
Paranti menegakkan tubuhnya kembali, namun
kepalanya tetap tertunduk agak dalam. Punggung tangannya menyeka sisa darah
yang masih mengalir di mulut.
“Kau terluka?” tanya Eyang Congkok.
“Sedikit,” sahut Paranti pelan. “Hanya dada saja
yang masih terasa sesak.”
“Tidak apa. Kau bisa pulih kembali dengan
sendirinya nanti. Asal, jangan mengerahkan tenaga dalam dulu sampai sore nanti.
Dan nampaknya kepandaian yang kau miliki ada kemajuan. Itu tadi belum seberapa
bila dibanding lawan-lawan yang akan kau hadapi nanti. Berlatihlah dengan
tekun, Paranti,” kata Eyang Congkok.
“Baik, Eyang,” sahut Paranti.
Eyang Congkok menoleh ke kanan sedikit, kemudian
menghampiri sebongkah batu yang tidak begitu besar di samping kanannya. Kini
laki-laki tua itu duduk di sana. Sedangkan Paranti duduk bersila di depannya,
dan kepalanya masih tetap tertunduk.
“Bagaimana dengan tugas yang diberikan pamanmu?”
tanya Eyang Congkok.
“Sampai sejauh ini masih lancar,” sahut Paranti.
“Hanya saja....”
“Apa?”
“Ada sedikit hambatan. Tapi itu tidak berarti,
Eyang. Aku masih bisa mengatasinya.”
“Bagus. Kau memang harus mampu mengatasi segala
hambatan yang dihadapi. Ingat! Tugas ini masih belum selesai. Kau paham,
Paranti?”
“Paham, Eyang.”
Eyang Congkok memandangi gadis yang duduk bersila
di depannya. Kening yang sudah berkerut, semakin dalam berkerut dengan mata
sedikit menyipit. Terasa ada sesuatu yang sengaja disimpan gadis ini.
“Ada yang menyulitkanmu, Paranti?” tanya Eyang
Congkok.
“Ah, tidak...,” sahut Paranti buru-buru.
“Hm..., mengapa wajahmu murung?”
“Tidak, Eyang. Tidak ada apa-apa,” Jawab Paranti
cepat-cepat.
“Paranti, jika mengalami kesulitan, aku tidak ingin
kau sendiri menghadapinya. Kau tahu caranya memanggilku, bukan? Jadi, jangan
segan-segan memanggilku jika menghadapi halangan yang sulit.”
“Sampai saat ini belum, Eyang,” sahut Paranti.
“Baiklah. Kalau begitu, aku pergi dulu.”
Paranti bangkit berdiri pada saat laki-laki tua itu
bangkit berdiri. Beberapa saat lamanya Eyang Congkok memandangi seraut wajah
yang kelihatan agak murung dan tertunduk. Laki-laki tua itu yakin kalau Paranti
menyembunyikan sesuatu yang tidak mungkin diutarakannya. Tapi dia tidak bisa
mendesak, selagi tugas yang dijalankan gadis itu belum mendapatkan hambatan
yang berarti.
“Kau sungguh tidak ada persoalan, Paranti?” desak
Eyang Congkok.
“Tidak, Eyang,” sahut Paranti.
“Baiklah, aku pergi dulu.”
Paranti hanya menganggukkan kepalanya saja.
Sementara, laki-laki tua bungkuk berjubah hijau itu langsung melesat pergi.
Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap.
“Hhh...!” Paranti menghembuskan napas panjang.
***
DUA
“Sial...!” maki Rangga sambil memandangi kelinci
yang sudah tenggelam masuk ke dalam sarangnya di bawah tanah. Perutnya sudah
berkeruyuk minta diisi, tapi hanya satu kelinci yang ditemui. Dan itu pun sudah
kabur sebelum bisa didekati. Sekarang tak ada lagi yang bisa dimakan untuk
mengganjal perutnya.
Hari ini Rangga merasakan dirinya tertimpa sial
terus. Dengan ayunan langkah lesu, Pendekar Rajawali Sakti berjalan sambil
menuntun kuda hitamnya yang setia mengikuti. Namun belum begitu lama berjalan,
ayunan kakinya mendadak terhenti. Kepalanya sedikit terdongak. Cuping hidungnya
bergerak-gerak mencium bau sesuatu yang membuat perutnya semakin melintir
berkeruyuk.
“Hm..., harum sekali baunya,” gumam Rangga.
Kembali Pendekar Rajawali Sakti itu berjalan menuju
arah bau harum yang tercium. Diterobosnya semak belukar yang berada di sebelah
kanan. Namun begitu keluar dari semak, mendadak saja matanya terbeliak
“Mau...?”
Rangga masih terpaku setengah tidak percaya melihat
seorang gadis cantik mengenakan baju kuning tengah duduk menghadapi daging
kijang bakar yang dipanggang di atas api unggun. Mereka memang sudah pernah
bertemu sekali di Desa Gandus. Tak pernah terpikirkan oleh Rangga kalau akan
kembali bertemu gadis ketus yang mengaku bernama Paranti itu.
“Kalau kau suka kijang panggang, silakan duduk di
sini dan ambil sekerat. Tapi kalau tidak suka, silakan pergi dan jangan ganggu
selera makanku,” ujar Paranti tanpa sedikit pun memalingkan wajah.
Rangga berjalan menghampiri, kemudian duduk di
depan gadis itu. Tanpa dipersilakan lagi, tangannya menjulur dan mengambil
sekerat daging kijang yang sudah masak. Digigitnya daging itu, dan dikunyah
lumat-lumat. Terasa nikmat sekali. Tapi yang penting, perutnya sudah terisi dan
tidak lagi menagih.
“Dari mana kau dapatkan kijang ini?” tanya Rangga
yang tahu betul kalau di sekitar hutan Bukit Parut ini tidak ada seekor-kijang
pun.
Itu sebabnya tidak ada pemburu yang suka datang ke
sini, kecuali pemburu kelinci dan ayam hutan. Atau kalau yang ingin lebih
besar, bisa berburu babi hutan.
“Makan saja, tidak usah banyak tanya!” dengus
Paranti.
“Aku harus tahu setiap makanan yang masuk ke dalam
perutku. Dan kuharap kau mendapatkannya tidak secara memaksa,” sahut Rangga,
enteng.
“Aku bukan pencuri!” sentak Paranti tersinggung.
“Tidak ada yang mengatakan kau pencuri.”
“Huh! Tinggal makan saja cerewet!” dengus Paranti
memberengut.
Paranti membuka ikatan buntalan kain lusuh di
sampingnya. Sedangkan Rangga hanya melirik saja. Namun keningnya jadi berkerut,
karena gadis itu mengeluarkan sebuah guci arak dari dalam buntalan kain itu.
“Mau...?” Paranti menawarkan. “Masih ada satu lagi
kalau mau.”
Rangga tidak menjawab, tapi Paranti sudah
mengeluarkan satu guci arak lagi dan dilemparkan kepadanya. Terpaksa Rangga
menangkapnya. Kembali pemuda berbaju rompi putih itu terkejut saat Paranti
menenggak arak langsung dari mulut gucinya. Dan memang tidak ada tempat untuk
menuang arak.
“Kenapa bengong...? Kau tidak suka minum arak?”
tegur Paranti seraya punggung tangannya menyeka bibirnya yang merah dan basah
oleh arak.
“Kau pasti sudah biasa minum arak,” tebak Rangga.
“Hanya masalah kecil,” jawab Paranti, enak sekali.
Gadis itu kembali menenggak araknya tanpa
mempedulikan Rangga yang terus memperhatikan terheran-heran. Baru kali ini
disaksikannya ada seorang gadis bisa menenggak arak begitu rupa. Tentu sekali
tenggak, tidak sedikit cairan memabukkan itu masuk ke dalam perutnya. Rangga
masih memegangi guci, dan sedikit pun tidak meminum araknya.
“Kalau kau tidak suka, bawa lagi ke sini. Sudah
habis nih...,” pinta Paranti seraya membuang guci araknya.
Rangga semakin terpana. Hanya beberapa kali teguk
saja, seguci arak sudah berpindah ke dalam perut gadis itu. Tapi entah kenapa,
Pendekar Rajawali Sakti itu bangkit berdiri dan menghampiri Paranti.
Diberikannya arak itu, namun Paranti langsung merebut dan menenggaknya.
Sedangkan Rangga hanya memperhatikan saja.
“Glek...!” Rangga menelan ludahnya sendiri.
Betapa dia tidak heran...? Sekali tenggak saja,
arak di dalam guci itu sudah tandas. Dan kini berpindah ke dalam perut yang
ramping itu. Paranti tidak peduli dipandangi sedemikian rupa. Dan kini duduknya
bergeser mendekati pohon. Sambil menyeka mulutnya dengan punggung tangan, gadis
itu menyandarkan punggungnya ke pohon. Sedangkan Rangga hanya duduk dan
memandangi saja di dekat api panggangan kijang. Masih banyak juga sisa daging
kijang panggang itu, tapi Rangga tak berniat menyentuhnya.
“Oaaahhh....!” Paranti menguap membuka mulutnya
lebar-lebar. Sekarang, matanya yang berbulu lentik itu terpejam. Sama sekali
tidak dipedulikan kalau ada seorang pemuda tampan di dekatnya. Tapi sebenarnya
tidak seluruhnya matanya terpejam. Dari sudut ekor mata, pemuda tampan berbaju
rompi putih itu selalu diperhatikannya. Entah apa yang ada di dalam benak
Rangga saat ini, yang jelas dirinya benar-benar heran pada Paranti yang tampak
mulai tertidur.
“Aneh..., juga liar,” desis Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti jadi teringat Pandan Wangi. Waktu pertama bertemu
Pandan Wangi, juga punya pikiran yang sama dengan sekarang ini. Pandan Wangi
dulunya juga seorang gadis liar, nakal, dan keras kepala. Rangga seperti
melihat Pandan Wangi dalam perwujudan lain pada diri gadis ini.
***
Rangga melempar-lemparkan kerikil yang banyak di
sekitarnya ke tengah sungai. Entah, sudah berapa lama Pendekar Rajawali Sakti
duduk di tepi sungai itu, dan sudah berapa banyak kerikil yang dilemparkan ke
dalam sungai. Pandangannya lurus tidak berkedip ke seberang sungai di depannya.
Wajahnya dipalingkan sedikit ketika mendengar langkah kaki halus mendekatinya.
Pemuda berbaju rompi putih itu hanya sedikit saja
melirik seorang gadis cantik mengenakan baju kuning yang ketat. Gadis itu
berjalan melenggang menghampirinya, dan tanpa bicara sedikit pun, duduk di
samping Rangga. Sebuah kerikil dilemparkan ke dalam sungai. Rangga hanya
melirik saja sedikit.
“Kenapa kau tidak pergi, Paranti?” tanya Rangga
tanpa berpaling sedikit pun pada gadis yang berada di sampingnya.
“Kau sendiri, kenapa belum juga pergi?” Paranti
malah balik bertanya.
Rangga memalingkan wajahnya memandangi gadis
berbaju kuning di sampingnya. Paranti memang selalu saja begitu. Kalau ditanya,
dia tidak pernah mau menjawab, tapi malah balik bertanya. Sedangkan yang
dipandangi hanya tenang-tenang saja tidak peduli. Tangannya terus melemparkan
kerikil-kerikil ke dalam sungai.
“Aku yang bertanya padamu, Paranti,” kata Rangga.
“Apa aku tidak berhak untuk bertanya juga?”
“Terserah kaulah,” desah Rangga menyerah.
Pendekar Rajawali Sakti itu memang paling tidak
suka berdebat. Maka, kini dia bangkit berdiri dan melangkah menghampiri kuda
hitamnya yang tinggi tegap, dan otot¬-ototnya bersembulan. Rangga menepuk-nepuk
leher kuda itu. Setelah mengambil tali kekangnya, kemudian Pendekar Rajawali
Sakti melompat naik. Sementara Paranti juga sudah beranjak berdiri, dan
langsung memandangi pemuda yang sudah berada di punggung kudanya.
“Kau cepat sekali tersinggung, Rangga,” ujar
Paranti.
“Tidak. Tapi aku memang harus pergi,” sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti segera menghentakkan tali
kekang kudanya sambil berdecak. Kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu berjalan
perlahan-lahan setelah memutar tubuhnya. Sementara Paranti masih berdiri sambil
memandangi saja. Dia masih tetap berdiri meskipun Rangga sudah jauh bersama
kudanya.
Entah apa yang ada dalam benaknya saat itu. Yang
jelas, Paranti mengangkat pundaknya diiringi desahan napas panjang dan terasa
berat sekali. Kemudian kakinya terayun perlahan-lahan ke arah yang berlawanan
dengan kepergian Rangga. Tapi baru beberapa langkah berjalan, mendadak saja
ayunan kakinya terhenti.
“Bodo, ah...!” dengus Paranti. Gadis itu
membalikkan tubuhnya, kemudian berlari cepat ke arah Pendekar Rajawali Sakti
tadi pergi. Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki gadis itu memang sudah cukup
tinggi, sehingga bisa berlari cepat bagai bergerak di atas angin. Begitu
cepatnya berlari, sehingga yang terlihat hanyalah bayangan kuning yang
berkelebat di antara pepohonan.
Namun setelah tiba di sebuah jalan setapak yang melingkari
Bukit Parut, mendadak saja larinya terhenti. Pendengaran Paranti yang tajam,
langsung dapat mendengar suara orang bercakap-cakap, bercampur suara langkah
kaki kuda yang berjalan perlahan. Tampaknya suara itu datangnya dari sebelah
kanan jalan. Sebentar Paranti menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan,
kemudian ringan sekali melesat ke atas.
“Hup!” Ringan sekali lesatan gadis itu. Tanpa
menimbulkan suara sedikit pun, dia sudah hinggap di atas sebatang dahan pohon
yang cukup lebat daunnya. Tak berapa lama kemudian, dari tikungan jalan setapak
ini, terlihat sekitar enam orang berpakaian serba merah tengah menunggang kuda.
Mereka berbicara sambil tertawa terbahak-bahak. Sesekali arak dari guci yang
dibawa, ditenggak ke mulut.
“Hm..., orang-orang Siluman Kera...,” gumam Paranti
yang berada di atas pohon, dalam hati.
Gadis itu mendengarkan semua pembicaraan
orang-orang berbaju merah itu. Wajahnya seketika berubah ketika mendengar satu
nama disebut-sebut. Namun Paranti mencoba menahan diri. Sayangnya, gadis itu
tidak bisa lagi menahan diri ketika mendengar percakapan salah seorang yang
menyinggung perasaannya.
“Kalau saja bukan karena perempuan liar itu, sudah
kubabat leher si tua bongkok!”
“Benar! Seharusnya kita tidak mengalah. Lebih baik
aku tadi mati bertarung daripada harus mengalah pada si tua bongkok itu.”
“Ah, sudahlah. Yang penting sekarang, si tua
bongkok itu sekarang berada dalam pelukan si Mawar Beracun. Aku yakin, sekarang
dia sudah mampus dalam pelukannya.”
“Ha ha ha...!”
“Keparat...!” geram Paranti tanpa sadar. Geraman
Paranti yang pelan dan tanpa disadari itu, rupanya terdengar juga oleh enam
orang berpakaian merah. Mereka langsung saja menghentikan langkah kudanya, dan
langsung saling berpandangan beberapa saat. Kemudian salah seorang
menghentakkan tangannya ke arah atas pohon, tempat Paranti berada di sana. Guci
yang berada di dalam genggaman tangannya, melesat bagaikan kilat.
Prak!
Bersamaan dengan hancurnya guci itu, dari atas
pohon Paranti meluncur turun. Gerakan tubuhnya ringan dan cepat sekali.
Tahu-tahu gadis berbaju kuning itu sudah berdiri tegak di depan enam orang
berbaju merah yang masih berada di punggung kudanya.
Keenam orang berbaju merah itu langsung saja
melompat turun dari punggung kudanya masing-masing, dan membiarkan kudanya
berjalan menyingkir ke tepi. Bibir mereka menyeringai disertai tatapan mata
liar seperti tidak percaya melihat ada seorang gadis cantik tahu-tahu muncul di
depan.
“He he he.... Hari ini kita benar-benar beruntung,
sobat. Hilang satu gadis, sekarang muncul lagi yang tidak kalah cantiknya. He
he he...,” salah seorang mengumbar tawa yang terkekeh.
“Benar-benar cantik! Bagai bidadari baru turun dari
kahyangan,” sambung yang lain.
“Kalian tentu ingin bersenang-senang, bukan...?
Mari, kalian akan kubuat senang untuk selamanya,” ledek Paranti dengan bibir
menyunggingkan senyuman tipis.
Mendengar kata-kata Paranti, enam orang berbaju
merah itu tertawa terbahak-bahak. Mereka langsung saja berhamburan hendak
menyergap gadis berbaju kuning itu. Namun tiba-tiba saja, Paranti bergerak
cepat bagai kilat. Dan entah kapan mulainya, tahu-tahu pedang gadis itu sudah
tercabut. Langsung pedang itu ditebaskan pada tiga orang yang berada paling
depan.
Tebasan Paranti yang cepat dan tidak terduga itu
tak bisa dihindari lagi. Ketiga orang berbaju merah itu hanya bisa terperangah
dengan mata mendelik lebar.
Cras! Cras! Cras!
Tiga kali jeritan terdengar saling susul, kemudian
tiga orang ambruk ke tanah. Dada mereka terbelah mengucurkan darah segar.
Melihat kejadian yang tidak terduga itu, tiga orang lainnya jadi terbeliak.
Mereka seperti tidak percaya melihat tiga orang temannya kini tergeletak tak
bernyawa lagi dengan dada terbelah cukup lebar.
Sedangkan Paranti hanya berdiri tegak. Pedangnya
yang berlumuran darah kini menyilang di depan dada. Gadis itu menyunggingkan
senyuman tipis, namun sinar matanya begitu tajam menusuk. Sementara tiga orang
berbaju merah lainnya, masih terpaku seperti tidak percaya pada apa yang baru
saja terjadi. Dan sebelum ada yang menyadari, Paranti sudah melompat cepat
sambil mengibaskan pedangnya.
“Hiyaaat..!”
Trang!
“Heh...?!”
Paranti terkejut bukan main ketika pedangnya terasa
membentur sesuatu yang keras. Seketika senjatanya terpental balik. Buru-buru
gadis itu melompat ke belakang, lalu berputaran beberapa kali. Dengan gerakan
manis sekali, kakinya mendarat ringan di tanah. Paranti semakin terbeliak
ketika tiba-tiba saja di depan ketiga orang berbaju merah itu sudah berdiri....
“Oh..., apakah aku bermimpi...?” desis Paranti
tidak percaya pada apa yang dilihatnya.
Memang sukar untuk diungkapkan. Apakah yang berdiri
di depannya itu manusia, atau binatang. Makhluk itu bentuknya memang seperti
manusia biasa. Hanya saja, wajahnya mirip sekali dengan seekor kera. Seluruh
tangan, kaki, serta lehernya berbulu hitam. Bajunya merah, namun bagian
lehernya berwarna kuning keemasan. Sebatang tongkat seperti bambu tergenggam di
tangannya.
Terlalu sukar bagi Paranti untuk menentukan, apakah
yang berdiri di depannya ini manusia atau kera. Mungkin juga setengah manusia
dan setengah kera. Dan sebenarnya, makhluk itu adalah orang biasa yang menganut
ilmu kesaktian ‘Siluman Kera’. Ilmu ini merupakan ilmu hitam yang sulit dicari
tandingannya. Hanya saja, siapa saja yang menganut ilmu ini, jiwanya dipenggal
menjadi dua.
Satu dalam jasadnya, dan satu lagi harus dicarinya
sendiri berdasarkan wangsit. Dan jika jiwa yang satu lagi bisa ditemukan, maka
kekuatan dan kesaktiannya akan berlipat ganda. Namun walaupun demikian, dia
sudah berhak menyandang julukan Siluman Kera. Untuk beberapa saat gadis itu
hanya bisa bengong dengan mulut sedikit terbuka. Pancaran sinar matanya
mengandung ketidakpercayaan dengan apa yang dilihatnya kini.
“Kau yang membunuh ketiga muridku ini...?”
terdengar suara dingin dan berat.
Paranti semakin terpana. Sungguh tidak disangka
kalau manusia kera itu dapat berbicara seperti manusia, meskipun gerakan
mulutnya lebar, tidak begitu jelas. Gadis itu sampai lupa menjawab, karena
masih memperhatikan makhluk setengah manusia dan kera itu dari ujung kepala
hingga ke ujung kaki.
“Perempuan...! Selalu saja bikin gara-gara. Aku
benci perempuan, huh!” dengus Siluman Kera itu dingin.
Tiba-tiba saja, Siluman Kera melompat cepat bagai
kilat menerjang Paranti yang masih terpana. Gadis itu tersentak ketika ujung
tongkat manusia setengah kera itu menyodok ke arah dadanya.
“Uts...!” Buru-buru Paranti memiringkan tubuhnya ke
kanan, sehingga sodokan tongkat kayu itu lewat di depan dadanya. Namun sebelum
gadis itu bisa menyadari penuh apa yang terjadi, si Siluman Kera itu sudah
memberi satu pukulan keras cepat luar biasa.
Des!
“Akh...!” Paranti terpekik. Pukulan manusia kera
itu tepat menghantam bahu kiri Paranti. Akibatnya gadis itu terhuyung-huyung ke
belakang sedikit berputar. Namun dengan cepat sekali, Paranti bisa menguasai
keseimbangan tubuhnya. Segera dia melompat ke samping begitu tongkat kayu si
Siluman Kera kembali berkelebat mengarah ke tubuhnya.
“Hap! Yeaaah...!”
Wut!
Pedang Paranti langsung dikebutkan begitu tongkat
si Siluman Kera itu lewat di depan dadanya. Namun sungguh sukar dipercaya, si
Siluman Kera itu menggerakkan tangan kirinya. Dan tiba-tiba saja, ujung pedang
Paranti sudah terjepit di antara dua jari tangan kiri si Siluman Kera.
“Ihk...!” Sambil mengerahkan seluruh tenaga dalam,
Paranti berusaha menarik pedangnya. Namun sedikit pun pedangnya tidak
bergeming. Dan sebelum gadis itu bisa melepaskan pedangnya, mendadak si Siluman
Kera itu melenting ke atas. Dan....
“Yeaaah...!”
Beghk!
“Akh...!” untuk kedua kalinya, Paranti menjerit
keras agak tertahan.
Sambil melentingkan tubuhnya, si Siluman Kera
melayangkan satu tendangan keras mengandung tenaga dalam tinggi. Paranti tak
bisa lagi menguasai tubuhnya ketika tendangan itu telak menghantam dadanya.
Tubuhnya terpental ke belakang sejauh tiga batang tombak, lalu tersuruk jatuh
ke tanah.
Brak!
“Akh...!” kembali Paranti memekik keras ketika
kepalanya membentur sebatang pohon. Gadis itu menggelepar, menggeliat-geliatkan
tubuhnya sambil mengerang. Dada dan kepalanya terasakan sakit yang amat sangat.
Dia tidak tahu lagi, ke mana pedangnya. Yang jelas, pada saat itu si Siluman
Kera sudah melompat sambil berteriak nyaring. Teriakannya bagaikan suara seekor
monyet.
“Ghraaaghk...!”
Bet!
Wut!
Dua kali si Siluman Kera mengebutkan tongkat
kayunya ke arah kepala Paranti. Namun sebelum tongkat yang tampaknya hanya
terbuat dari sepotong kayu biasa itu hampir mengenai kepala Paranti, mendadak
saja sebuah bayangan putih berkelebat cepat bagai kilat.
Slap!
“Heh...?!”
Betapa terkejutnya si Siluman Kera itu. Ternyata
tiba¬-tiba saja tubuh Paranti sudah lenyap, tepat saat bayangan putih
berkelebat menyambar tubuh gadis itu. Dan tongkat kayunya hanya menghantam
pohon hingga hancur berkeping-keping. Seketika terdengar ledakan yang dahsyat
menggelegar.
“Setan....!” maki si Siluman Kera itu. Pandangan si
Siluman Kera beredar ke sekeliling, tapi tak ada seorang pun yang bisa
dijadikan alasan atas hilangnya Paranti. Sedangkan tiga orang berbaju merah
masih terbengong tidak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi. Mereka juga melihat
adanya bayangan putih berkelebat menyambar tubuh gadis itu. Dan yang kini
mereka ketahui, tiba-tiba saja gadis itu lenyap tak berbekas.
“Huh...!” si Siluman Kera mendengus kesal.
Trang!
Dibuangnya pedang Paranti yang terampas di
tangannya. Kemudian pandangan matanya tajam tertuju pada tiga orang laki-laki
berwajah kasar, mengenakan baju merah menyala. Sepasang bola matanya memerah
tajam, seakan-akan bagaikan sepasang bola api yang hendak melumat hangus ketiga
orang itu.
“Kalian harus kembali secepatnya!” dingin dan datar
sekali suara si Siluman Kera itu.
Setelah berkata demikian, si Siluman Kera langsung
melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap mata saja bayangan
tubuhnya sudah lenyap. Ketiga orang laki-laki berbaju merah itu saling
berpandangan, kemudian merayapi tiga mayat temannya yang tergeletak berlumuran
darah.
Tanpa ada yang berkata sedikit pun, ketiga orang
berbaju merah itu melompat naik ke punggung kuda masing-masing. Kemudian mereka
menggebah cepat kudanya. Meninggalkan tiga mayat temannya yang tergeletak
begitu saja. Debu langsung mengepul begitu tiga ekor kuda berpacu cepat
menyusuri jalan tanah yang berdebu dan berkerikil.
***
TIGA
Pagi ini udara begitu cerah. Langit tampak jernih
dihiasi awan tipis berarak di langit. Sengatan sinar matahari menjadi tak
terasa karena diusir oleh angin yang lembut membuai. Namun keindahan hari ini,
tidak dinikmati oleh satu keluarga yang tinggal di sebuah desa di kaki Gunung Panjakan.
Di dalam rumah yang cukup besar itu, hanya ada
seorang perempuan berusia sekitar empat puluh lima tahun yang tengah duduk di
kursi rotan. Dia ditemani seorang gadis muda mengenakan baju warna merah muda.
Gadis itu juga duduk di kursi rotan di samping kanan perempuan setengah baya
itu. Sedangkan di depan mereka, ada dua orang laki-laki yang duduk bersila di
lantai. Tampak gagang golok menyembul keluar dari balik pinggangnya.
“Aku benar-benar menyesali sikap ayahmu yang keras
kepala. Seharusnya hal ini tidak perlu terjadi jika saja dia bersedia mengalah
sedikit,” terdengar lirih suara perempuan setengah baya itu.
“Sudahlah, Bu. Tidak perlu disesali lagi. Ayah
benar, dan aku bangga,” gadis di sebelahnya menyahuti.
Perempuan setengah baya yang usianya kelihatan
lebih muda dari sebenarnya itu menarik napas dalam-dalam. Anak gadisnya
dipandangi lekat-lekat, sepertinya tidak tampak adanya kesedihan di wajah gadis
itu. Padahal baru dua hari yang lalu mereka ditinggal pergi selama-lamanya oleh
orang yang selama ini dicintai dan selalu melindungi. Ayah gadis itu baru saja
meninggal, tapi gadis itu tidak berduka sama sekali.
“Entah kapan waktunya, mereka pasti datang lagi ke
sini. Mereka belum mendapatkan apa yang diinginkan, Murasi,” tegas perempuan
setengah baya itu lagi.
“Aku akan menghadapinya, Bu,” tekad gadis yang
bernama Murasi mantap.
“Tidak, Anakku. Kau tidak boleh menghadapi mereka,
karena tidak akan mampu. Apa yang akan kau andalkan...?” ada nada kecemasan
pada suaranya.
“Kami semua akan menghadapinya, Nyi Enoh,” celetuk
salah seorang yang duduk di lantai.
Perempuan setengah baya yang masih kelihatan cantik
itu seketika memandang dua orang laki-laki bertubuh tegap yang duduk bersila di
lantai. Kedua orang itu memang sudah lama ikut bersama suaminya, sebelum Murasi
lahir. Mereka begitu setia mengikuti ke mana saja Ki Enoh pergi. Bahkan rela
mempertaruhkan jiwa dan raga bagi keutuhan keluarga ini.
“Mungkin kami memang tidak bisa mengalahkan
orang-orang Siluman Kera itu. Tapi kami yakin bisa menyelamatkan Nyi dan Ni
Murasi dari ancaman mereka,” tegas salah seorang yang memiliki kumis tebal
seperti sapu ijuk.
“Tidak! Kalian tidak boleh mati. Aku tidak ingin
kehilangan lagi. Sudah cukup banyak korban, dan aku tidak ingin jatuh korban
lagi,” sergah Nyi Enoh tegas.
“Lalu apa yang harus kita lakukan, Bu?” tanya Murasi
tidak mengerti atas sikap ibunya.
“Memberikan apa yang mereka inginkan,” sahut Nyi
Enoh.
“Bu...?!” Murasi terkejut. Gadis itu memandangi
ibunya dalam-dalam. Sungguh tidak diduga kalau ibunya akan mengambil keputusan
seperti itu. Selama ini Murasi mengenal ibunya sebagai wanita yang tegar dan
tabah, serta kuat dalam menghadapi segala macam peristiwa. Tapi sekarang
ini..., Murasi seperti kehilangan sosok wanita yang selama ini didambakan dan
dikaguminya. Sosok yang menjadi panutan dan pedoman dalam hidupnya.
“Bu! Kita tidak tahu apa yang mereka inginkan dari
Ayah. Bagaimana ibu bisa mengatakan akan memberikan yang mereka inginkan?”
tanya Murasi, agak lunak suaranya.
“Mereka menginginkan Gelang Naga Soka,” sahut Nyi
Enoh, terdengar pelan suaranya.
“Gelang Naga Soka...?” Murasi mengerutkan
keningnya.
Murasi tahu gelang yang dimaksudkan ibunya. Gelang
itu memang selalu dikenakan ayahnya tanpa pernah lepas, meskipun hanya sebentar
saja. Namun, tentu saja ada pengecualian. Ketika si siluman akan datang menyerbu,
Ki Enoh segera memerintahkan anak istrinya untuk mengungsi. Dan tentu saja
sambil menyelamatkan Gelang Naga Soka.
Hal ini dilakukan agar si Siluman Kera jangan
sampai mendapatkan sebelah jiwanya yang tersimpan dalam gelang itu. Karena
berdasarkan wangsit, sebagian jiwanya berada di situ. Bentuknya cukup indah,
dihiasi oleh ukiran seekor ular yang melingkar berwarna hitam pekat. Pada
bagian ekornya yang melilit kepala, berwarna kuning keemasan.
Gelang itu sekarang memang berhasil diselamatkan
Nyi Enoh setelah suaminya tewas dalam pertarungan melawan Siluman Kera yang
datang bersama muridnya dalam jumlah cukup banyak. Semua murid-murid Ki Enoh
tewas, dan hanya tinggal mereka berempat saja yang masih bisa selamat karena
telah berhasil mengungsi lebih dulu. Dan sampai sekarang, Murasi tidak tahu,
kenapa si Siluman Kera itu menginginkan Gelang Naga Soka. Apakah ada sesuatu
yang tersembunyi di dalam gelang itu? Pertanyaan-pertanyaan itu menggaluti
benak Murasi.
“Mengapa mereka menginginkan gelang itu, Bu?” tanya
Murasi yang tidak bisa menahan rasa keingintahuannya.
“Gelang itu menyimpan sebagian jiwa asli si Siluman
Kera. Dengan gelang itu, dia bisa merubah ujudnya kembali menjadi manusia
biasa. Dan ilmu kesaktiannya akan menjadi berlipat ganda jika gelang itu
dikenakan,” jelas Nyi Enoh.
“Kenapa ayah sampai bisa menyimpannya, Bu?” tanya
Murasi lagi.
“Sebenarnya ayahmu hanya menjalankan amanat saja.
Sepuluh tahun yang lalu, gelang itu milik seorang pertapa yang dicuri orang.
Oleh orang itu, kemudian digunakan untuk melakukan kejahatan. Namun akhirnya,
orang itu sadar dan menitipkannya pada ayahmu untuk diserahkan pada pertapa
tadi. Dan pada kenyataannya, pertapa itu telah meninggal dunia.”
Nyi Enoh berhenti bercerita sebentar. Suasana
kemudian menjadi hening, seperti menunggu perempuan setengah baya itu untuk
melanjutkan ceritanya.
“Pada suatu malam, ayahmu bermimpi didatangi oleh
pertapa yang memiliki gelang itu. Katanya, gelang itu telah dimasuki sebagian
jiwa seseorang yang telah menganut ilmu hitam ‘Siluman Kera’. Maka, tentu saja
orang itu akan merampasnya dari tangan ayahmu.”
Kembali suasana menjadi hening ketika Nyi Enoh
menghentikan ceritanya sebentar.
“Dan sebenarnya, si Siluman Kera itu sudah tewas
tiga puluh tahun yang lalu di tangan kakekmu, Murasi. Tapi rupanya, kematiannya
tidak dalam arti yang sebenarnya. Ternyata sebagian jiwanya sempat dipindahkan
ke dalam tubuh seekor kera, yang kemudian menjelma menjadi manusia kera.
Sedangkan jiwanya yang lain masuk ke Gelang Naga Soka. Selama gelang itu tidak
jatuh ke tangan si Siluman Kera, selamanya dia akan berujud setengah manusia
dan setengah kera. Dia tidak akan bisa menjelma kembali menjadi manusia, selama
sebagian jiwa yang berada di dalam gelang itu tidak menyatu bersama raganya
yang sekarang,” tutur Nyi Enoh.
“Aneh...,” gumam Murasi.
“Di dalam dunia persilatan, tidak ada yang bisa
dikatakan aneh, Murasi. Segalanya bisa terjadi tanpa dapat dimengerti akal
sehat. Memang, hal itu bagimu terasa aneh. Tapi bagi kalangan rimba persilatan,
sudah menjadi sesuatu yang wajar dan sering terjadi. Bahkan tidak jarang
seorang tokoh rimba persilatan meninggalkan raganya yang sudah mati, dan masuk
ke dalam tubuh seseorang, binatang atau ke sebuah benda. Bisa juga mereka
menyusup masuk ke dalam tubuh muridnya. Tapi banyak juga yang menerima
kodratnya sebagai manusia, dan kembali ke swargaloka,” kembali Nyi Enoh
menjelaskan.
Meskipun sukar dimengerti, namun Murasi mencoba
untuk bisa memahami. Dia memang sering mendengar cerita ayahnya tentang dunia
persilatan. Baginya, menggeluti dunia persilatan adalah sesuatu yang unik dan
sukar dimengerti. Tapi, itulah kenyataan salah satu sisi dunia kehidupan yang
nyata. Sesuatu yang dianggap konyol bagi orang biasa, tapi kenyataannya memang
ada dalam kalangan persilatan.
“Ibu yakin kalau si Siluman Kera itu akan kembali
lagi ke sini?” tanya Murasi lagi.
“Pasti, sebelum mereka mendapatkan apa yang
diinginkannya,” sahut Nyi Enoh.
“Dan Ibu akan menyerahkan gelang itu?”
“Ibu tidak punya pilihan lain lagi, anakku.”
“Itu berarti Ibu memberikan kesempatan padanya
untuk merajalela menghancurkan dunia ini!” agak ketus nada suara Murasi.
“Kau tidak mengerti, anakku. Siluman Kera bisa
berbuat apa saja pada kita...,” Nyi Enoh meminta pengertian anaknya.
“Meskipun telah memperoleh gelang itu, dia pasti
akan membunuh kita juga, Bu. Apakah Ibu rela mati sebagai pengecut...?!” dingin
sekali suara Murasi.
“Ibu tidak berpikir ke situ, anakku. Ibu hanya
memikirkan keselamatanmu saja.”
“Dia harus melangkahi mayatku dulu kalau ingin
merebut gelang itu!” tegas Murasi.
“Murasi...?!” sentak Nyi Enoh terkejut. “Kau harus
hati¬hati bicara. Kalau dia tahu, kau akan celaka.”
“Jangan khawatir, Bu. Seandainya tidak mampu
menghadapi mereka, kita bisa meninggalkan desa ini.”
“Kau tidak tahu, siapa si Siluman Kera itu,
anakku.”
“Sudahlah, Bu. Sebaiknya aku saja yang mengenakan
gelang itu, dan aku akan bertanggung jawab,” tegas Murasi, mantap suaranya.
Nyi Enoh begitu terharu sekali atas ketegasan sikap
anaknya. Tapi hatinya juga khawatir. Kekerasan hati Murasi bisa mendatangkan
bencana yang lebih besar lagi. Bukan saja akan mati terbunuh oleh anak buah si
Siluman Kera, tapi desa ini akan hancur. Maka sudah dapat dibayangkan, tak ada
seorang penduduk pun yang bisa hidup.
Nyi Enoh jadi teringat cerita mendiang suaminya
sebelum mereka kedatangan si Siluman Kera. Suaminya itu hendak mengunjungi
sahabatnya di Desa Gandus. Tapi kenyataan yang didapati, desa itu telah hancur.
Saat itu juga Ki Enoh menduga apa yang bakal terjadi, karena tidak menemukan
tongkat kayu putih yang disimpan sahabatnya itu di rumahnya.
Ternyata tongkat kayu putih yang menjadi senjata
maut si Siluman Kera sudah lenyap. Dan Ki Enoh sudah menduga kalau Siluman Kera
sedikit demi sedikit akan menyempurnakan kembali dirinya seperti dulu lagi. Dan
Jika itu terlaksana..., tidak dapat dikatakan lagi, apa jadinya dunia ini.
***
Murasi memandangi gelang hitam berbentuk ular yang
ekornya berwarna keemasan membelit kepala. Gelang itu melingkar di tangan
kanannya. Murasi merasakan adanya sesuatu di dalam dirinya ketika pertama kali
menggunakan gelang ini. Tapi terlalu sulit untuk mengetahuinya. Yang jelas, ada
hawa sejuk yang terasa merasuk menyebar ke seluruh tubuhnya. Dan Murasi juga
merasakan kalau batinnya jadi tenang. Bahkan tidak mudah tersinggung. Sesuatu
yang belum pernah dirasakan selama ini dalam dirinya.
“Murasi....”
“Heh...?!” Murasi terperanjat ketika tiba-tiba ada
yang memanggilnya.
Gadis itu langsung beranjak bangkit dari kursi,
lalu memutar tubuhnya. Kelopak mata gadis itu membelalak begitu melihat seorang
laki-laki tua berjubah hijau tahu¬tahu sudah ada di dalam taman belakang
rumahnya ini. Tubuhnya yang bungkuk, tersangga tongkat yang tak beraturan
bentuknya. Tampak pada punggungnya terdapat tonjolan seperti unta.
“Siapa kau?! Bagaimana bisa masuk ke sini? Apa
maksudmu ke sini? Dari mana kau tahu namaku...?” Murasi langsung memberondong
dengan berbagai macam pertanyaan.
“Ck ck ck.... Kalau pertanyaanmu begitu, bagaimana
menjawabnya...?” laki-laki tua bungkuk berjubah hijau itu menggeleng-gelengkan
kepalanya.
Murasi jadi tercenung. Baru disadari kalau tadi
telah memberondong dengan pertanyaan yang banyak sekali. Gadis itu jadi heran
juga. Padahal, beberapa hari ini hatinya bisa tenang. Namun begitu melihat
kedatangan laki-laki tua bungkuk yang mengejutkan itu, watak aslinya langsung
timbul kembali. Apakah ini juga pengaruh Gelang Naga Soka yang dipakainya...?
“Siapa kau, Orang Tua?” tanya Murasi dengan nada
suara yang lunak.
“He he he.... Kalau pertanyaanmu begitu, aku juga
bisa tenang menjawabnya. Namaku Eyang Congkok,” laki-laki tua bungkuk berjubah
hijau itu menjawab pertanyaan Murasi sambil terkekeh-kekeh.
“Lalu, apa maksudmu datang ke sini?” Murasi
mengulangi pertanyaannya yang pertama tadi.
“He he he..., aku ingin bertemu ayahmu,” sahut
Eyang Congkok.
“Ayahku sudah meninggal,” Murasi memberi tahu.
“Meninggal...?!” Eyang Congkok tampak terkejut.
Kedua mata laki-laki tua bungkuk itu berputar
merayapi wajah gadis cantik di depannya, seakan-akan hendak meminta kepastian
dengan apa yang baru saja didengarnya. Masih belum bisa dipercayai
pendengarannya tadi. Sedangkan Murasi jadi keheranan juga melihat sikap Eyang
Congkok yang tampak begitu terkejut mendengar kematian ayahnya. Hingga beberapa
saat lamanya, mereka hanya berdiam diri saja.
“Kapan meninggalnya?” tanya Eyang Congkok setelah
bisa menguasai dirinya kembali.
“Sekitar enam hari yang lalu,”sahut Murasi.
“Enam hari yang lalu.... Ah...,” Eyang Congkok
menggumam dan mendesah panjang.
“Apakah kau kenal ayahku...?” tanya Murasi bernada
menyelidik.
“Aku kenal ayahmu sebelum kau lahir, Murasi. Aku
dan ayahmu sahabat baik. Ahhh.... Aku tidak mengerti, bencana apa lagi yang
akan menimpa dunia ini?” nada suara Eyang Congkok terdengar mengeluh.
Murasi tertegun. Laki-laki tua ini tidak dikenalnya
sama sekali, tapi mengaku sahabat ayahnya. Memang, Ki Enoh punya banyak sahabat
yang tidak bisa dikenal Murasi seluruhnya. Hanya beberapa saja yang dikenal.
Dan itu juga sahabat-sahabat yang sering datang berkunjung ke sini.
Kembali mereka terdiam membisu. Masing-masing
disibukkan oleh pikirannya sendiri. Beberapa kali Eyang Congkok menarik napas
panjang. Sedangkan Murasi tidak pernah lepas mengawasinya. Meskipun laki-laki
tua bungkuk ini telah mengaku sahabat ayahnya, tapi gadis itu tidak akan
mempercayai begitu saja. Dan dalam keadaan seperti ini, kecurigaan itu sangat
perlu.
“Kau tadi bilang akan terjadi bencana. Apa
maksudnya, Eyang Congkok?” tanya Murasi setelah cukup lama berdiam diri dengan
benak dipenuhi tanda tanya.
“Ah! Aku hanya menduga-duga saja. Tapi...,” Eyang
Congkok berhenti, namun keningnya berkerut dalam.
“Tapi kenapa?” desak Murasi.
“Murasi, apakah ayahmu mengatakan atau meninggalkan
sesuatu sebelum meninggal?” Eyang Congkok malah balik bertanya.
Murasi tidak langsung menjawab. Kembali
dipandanginya laki-laki tua bungkuk yang mengenakan jubah hijau itu. Pertanyaan
Eyang Congkok barusan, membuatnya semakin curiga. Ayahnya memang meninggalkan
sesuatu, tapi tidak pernah mengatakan apa¬-apa sebelum menghembuskan napas
terakhirnya. Yang membuat gadis itu semakin curiga, ayahnya tidak pernah
menyebut-nyebut nama Eyang Congkok sebagai sahabatnya.
“Maaf. Seharusnya aku memang tidak perlu bertanya
seperti itu padamu, Murasi. Memang sebaiknya aku harus bertemu ibumu secara
langsung,” ucap Eyang Congkok melihat Murasi terdiam saja, seperti keberatan
menjawab pertanyaannya tadi.
“Sekarang ini ibu tidak Ingin diganggu,” kata
Murasi.
“Ah, sayang sekali. Kapan aku bisa menemui ibumu?”
ada nada kekecewaan di dalam suara Eyang Congkok.
“Aku tidak tahu. Nanti akan kutanyakan lebih dulu,”
sahut Murasi.
“Terima kasih. Kalau begitu, sebaiknya aku pergi
dulu,” pamit Eyang Congkok.
“Tunggu dulu,” cegah Murasi.
Eyang Congkok memandangi gadis cantik di depannya.
“Di mana aku bisa menemuimu nanti?” tanya Murasi.
“Kau tidak perlu bersusah payah, Murasi. Besok pagi
aku akan datang lagi ke sini menemuimu,” sahut Eyang Congkok.
Setelah berkata demikian, Eyang Congkok langsung
melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga sebelum Murasi bisa membuka mulut,
laki-laki tua bertubuh bungkuk itu sudah lenyap dari pandangan. Murasi bukanlah
seorang gadis manja yang tahunya hanya bersolek saja. Dia sudah sering melihat
tokoh rimba persilatan, terutama sahabat-sahabat ayahnya yang memiliki ilmu
olah kanuragan dan kesaktian tingkat tinggi. Jadi lesatan yang dilakukan Eyang
Congkok barusan, baginya bukanlah sesuatu yang dirasakan aneh.
Murasi mengangkat bahunya. Gadis itu memutar
tubuhnya, lalu berjalan. Namun belum jauh melangkah, terlihat ibunya berjalan
menuju ke arahnya. Perempuan setengah baya yang masih kelihatan cantik itu
tersenyum manis melihat putrinya yang berhenti melangkah menunggunya.
“Tadi kulihat kau berbicara dengan seseorang. Siapa
dia?” tanya Nyi Enoh begitu dekat dengan Murasi.
Murasi tidak langsung menjawab. Agak terkejut juga
hatinya mendengar pertanyaan itu. Sungguh tidak disangka kalau ibunya tadi
memperhatikan. Murasi memandang ke arah kamar ibunya melalui bahu wanita
setengah baya itu. Tampak jendela kamar itu sedikit terbuka. Dari sana memang
dapat melihat ke tempat pembicaraannya tadi dengan laki-laki tua bungkuk yang
mengaku bernama Eyang Congkok. Tapi memang tidak cukup jelas, karena terhalang
rimbunnya pohon kenanga.
“Aku tidak tahu siapa dia, Bu. Tapi, katanya
sahabat ayah,” sahut Murasi.
“Dia menyebutkan namanya?” tanya Nyi Enoh lagi.
“Iya,” sahut Murasi seraya mengangguk pelan.
“Siapa?”
“Eyang Congkok.”
“Siapa...?!” Nyi Enoh seperti tidak jelas mendengar
penuturan anaknya tadi.
“Eyang Congkok,” Murasi mengulangi dengan kening
sedikit berkerut.
Gadis itu heran juga melihat ibunya terkejut ketika
nama Eyang Congkok disebutkan. Dipandanginya wanita setengah baya itu
dalam-dalam. Sedangkan yang dipandangi jadi terdiam disertai pandangan kosong
lurus ke depan. Untuk beberapa saat mereka terdiam membisu dengan pikiran
masing-masing. Entah apa yang ada dalam kepala Nyi Enoh saat ini. Murasi tidak
bisa menduganya. Sedangkan dirinya sendiri jadi tidak mengerti, mengapa ibunya
terkejut seperti itu.
Nyi Enoh mengayunkan kakinya perlahan-lahan, namun
kepalanya sedikit tertunduk. Sedangkan Murasi hanya berdiri saja mengawasi
dengan kepala dipenuhi berbagai macam pertanyaan yang sukar dijawab. Nyi Enoh
menghembuskan napas panjang sambil menghempaskan tubuhnya di kursi bambu yang
ada di bawah sebatang pohon kamboja. Dipandanginya Murasi yang masih berdiri
saja di tempatnya.
“Apakah maksudnya datang ke sini diutarakan juga,
Murasi?” tanya Nyi Enoh setelah cukup lama berdiam diri saja.
“Tidak,” sahut Murasi. “Tapi katanya dia akan
datang lagi besok pagi dan ingin bertemu Ibu.”
“Hm...,” Nyi Enoh bergumam saja sambil mengangguk¬anggukkan
kepala sedikit.
Kembali dipandanginya Murasi. Entah apa yang ada
dalam pikirannya, dan Murasi tidak bisa mengetahui. Sementara sinar mata ibunya
begitu datar, meskipun raut wajahnya mencerminkan adanya sesuatu yang sedang
dipikirkan.
“Lalu, apa jawabanmu, Murasi?” tanya Nyi Enoh.
“Kukatakan, aku harus tanyakan pada Ibu dulu.
Sebab, Ibu tidak mau diganggu saat ini,” sahut Murasi.
Nyi Enoh mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya, sudah. Besok kalau dia datang lagi, langsung
beri tahu Ibu,” pinta Nyi Enoh.
“Baik, Bu.”
“Sekarang, pergilah kau keluar. Bantu kedua
pamanmu. Sudah banyak orang yang datang untuk menghadapi si Siluman Kera.”
“Jadi..., Ibu jadi mengundang orang-orang
persilatan untuk menghadapi si Siluman Kera?” agak terkejut juga Murasi
mendengarnya.
“Tidak ada lagi yang bisa ibu lakukan, Murasi. Toh
mereka akan dibayar mahal untuk ini.”
“Seharusnya Ibu memilih para pendekar tangguh saja.
Kalau Ibu hanya memanggil orang-orang persilatan biasa saja, akan mengorbankan
nyawa sia-sia,” Murasi agak menyesali tindakan ibunya yang mengundang
orang-orang persilatan berkemampuan tanggung untuk menghadapi si Siluman Kera.
“Kau harus bisa mengetahui lebih banyak tentang
orang-orang persilatan, Murasi. Para pendekar, jika tidak secara kebetulan, sulit
mencarinya. Ibu tahu, para pendekar tidak akan minta imbalan apa pun juga.
Sedangkan saat ini kita memerlukan banyak tenaga. Ah..., sudahlah. Kau lihat
saja mereka di luar sana. Tampaknya mereka juga memiliki kepandaian yang cukup
tinggi.”
“Tapi kabarnya si Siluman Kera mempunyai kesaktian
yang sangat tinggi, Bu.”
“Itu urusan mereka, Murasi. Mereka datang sendiri
dan menerima pembayaran tanpa ada paksaan. Kalau mereka tidak mau, aku juga
tidak memaksa. Yang penting, aku sudah mengatakan kalau yang akan dihadapi
adalah si Siluman Kera.”
“Terserah ibulah,” Murasi mengangkat bahunya.
Gadis itu membalikkan tubuhnya, lalu melangkah
pergi meninggalkan perempuan setengah baya itu. Sedangkan Nyi Enoh masih tetap
duduk di bangku bambu. Sebentar dipandanginya anak gadisnya yang lenyap di
balik pintu belakang rumah besar ini. Terdengar hembusan napas panjang dan
terasa berat sekali.
“Kau terlalu lembut, anakku. Kelembutan akan
membawa penderitaan bagi dirimu sendiri. Kau tidak akan bisa menghadapi kehidupan
ganas ini dengan kelembutan,” ujar Nyi Enoh setengah bergumam.
Kembali perempuan tua itu menarik napas. Dia jadi
teringat pada masa gadisnya dulu. Sifat dan tingkah lakunya, sangat jauh
berbeda dengan Murasi. Dia sendiri tidak tahu, sifat siapa yang menurun pada
anaknya itu. Padahal tidak ada seorang pun keluarganya yang memiliki sifat
serta tingkah laku seperti itu. Sedangkan dari keluarga suaminya pun, tidak
jauh berbeda dengan keluarganya yang lahir dan tumbuh dari kalangan persilatan.
Tapi ada satu keistimewaan yang dimiliki Murasi.
Gadis itu berotak cerdas, dan terlalu kuat pendiriannya. Tidak heran jika dalam
usia muda, Murasi sudah memiliki kepandaian tinggi. Terlebih lagi ayahnya
memang menggembleng gadis itu dengan berbagai ilmu olah kanuragan dan kesaktian
tingkat tinggi. Bahkan Nyi Enoh sendiri sekarang ini merasa tidak akan mampu
menandingi anaknya.
“Mudah-mudahan gelang itu bisa dipertahankannya,”
desah Nyi Enoh lagi.
***
EMPAT
“Hup! Hap! Yeaaah...!”Glarrr!
Sebuah ledakan keras terdengar menggelegar memecah
kesunyian malam. Tampak api menyemburat terang bersama hancurnya sebongkah batu
sebesar kerbau yang hitam berkilat tertutup lumut tebal. Di antara kilatan
cahaya api, terlihat seorang gadis mengenakan baju merah muda tengah berdiri
tegak sambil merentangkan kedua tangan lurus ke depan. Kedua telapak tangannya
terbuka lebar dengan jari-jari merapat menjadi satu.
Perlahan-lahan gadis berbaju merah muda itu
menurunkan tangannya hingga menjuntai ke samping. Dipandanginya dalam-dalam batu
yang hancur berkeping-keping. Bibir yang memerah dan agak tipis itu,
menyunggingkan senyuman tipis. Sinar matanya berkilatan penuh kepuasan.
Plok! Plok...!
“He...!” gadis itu terkejut ketika tiba-tiba saja
terdengar tepukan tangan beberapa kali dari belakang. Tubuhnya langsung
berbalik dengan tangan terkepal di sisi pinggang. Lalu dengan cepat, tangan
kanannya bergerak memutar hingga menyilang di depan dada.
“Hei, tunggu...!” terdengar sentakan keras bernada
mencegah.
Sinar mata gadis itu demikian tajam kala melihat
seorang laki-laki muda mengenakan baju rompi putih tahu-tahu kini sudah berada
di depannya. Perlahan gadis itu menurunkan tangan kanannya yang telah menyilang
di depan dada. Dan perlahan pula kakinya dirapatkan kembali. Namun sikapnya
masih tetap waspada, dan ini terpancar jelas dari sinar matanya yang menyorot
tajam.
“Siapa kau...?” tanya gadis itu ketus.
“Kau sendiri siapa? Dan kenapa berbuat gaduh di
sini?” pemuda berbaju rompi putih itu malah balik bertanya.
“He...?! Aku yang bertanya padamu!” bentak gadis
itu keras.
“Maaf, Nisanak!” timpal pemuda berbaju rompi putih
itu. “Terus terang saja, aku hanya ingin mengatakan agar untuk sementara kau
jangan membuat kegaduhan di sini.”
“Kenapa?! Aku bisa bebas melakukan apa saja di
sini. Ini tanah milik ayahku, dan kau tidak berhak melarangku! Tahu?!” ketus
sekali nada suara gadis itu.
“Siapa pun dirimu, dan siapa pemilik daerah ini,
kuminta kau jangan membuat gaduh malam ini,” tegas pemuda berbaju rompi putih
itu.
“He.... Kenapa?” gadis berbaju merah muda itu
mendelik.
“Aku lihat, kepandaianmu cukup tinggi. Jadi kau
pasti tahu, bagaimana suasana yang diinginkan seseorang jika sedang
melaksanakan semadi.”
Gadis itu mengernyitkan keningnya.
“Bukan aku yang bersemadi, tapi temanku,” sambung
pemuda itu memberi tahu.
“Kenapa bersemadi di tempat seperti ini?”
“Tidak ada waktu lagi. Dia terluka cukup parah, dan
harus segera bersemadi untuk menyembuhkan luka dalamnya.”
Gadis itu mengayunkan kakinya mendekati pemuda itu,
dan kini semakin jelas bisa melihat. Agak tertegun juga hatinya begitu
mengetahui kalau pemuda berbaju rompi putih itu ternyata memiliki raut wajah
tampan. Bentuk tubuhnya tegap berotot terbungkus kulit yang kuning langsat
bagai seorang putra bangsawan. Untuk sesaat gadis itu memandangi sosok tampan
di depannya.
“Kau pasti bukan dari Desa Banggal ini,” tebak
gadis itu. Kali ini nada suaranya terdengar lebih lunak dan agak lembut.
“Benar. Aku berasal dari tempat yang jauh,” sahut
pemuda itu.
“Kau tadi mengatakan, temanmu sedang terluka dalam
dan kini bersemadi. Di mana semadinya?”
“Tidak jauh dari sini.”
“Boleh kulihat?”
Pemuda berbaju rompi putih itu tidak langsung
menjawab. Dipandanginya gadis cantik yang mengenakan baju merah muda di depannya
ini. Meskipun gadis itu tidak lagi berkata ketus, namun sorot mata pemuda itu
tetap mengandung kewaspadaan. Dan rupanya gadis itu mengetahui, maka langsung
memberi senyuman manis.
“Maaf atas kekasaranku tadi,” ucap gadis itu
lembut. “Namaku Murasi. Aku tinggal tidak jauh dari sini.”
Sebentar pemuda itu memandangi gadis berbaju merah
muda yang memperkenalkan namanya sambil menyodorkan tangan. Kemudian pemuda
berbaju rompi putih itu menyambut uluran tangan itu. Dan kini mereka berjabatan
tangan beberapa saat.
“Rangga,” pemuda berbaju rompi putih itu juga
memperkenalkan namanya.
Kemudian mereka sama-sama melepaskan jabatan
tangannya. Entah kenapa, tiba-tiba saja mereka sama¬sama tersenyum. Mungkin
teringat kekasaran masing¬masing yang baru saja terjadi. Untung saja satu sama
lain bisa menjaga diri, sehingga tidak terjadi sesuatu yang lebih buruk lagi.
“Kenapa temanmu terluka dalam?” tanya gadis berbaju
merah muda yang mengaku bernama Murasi.
“Bertarung,” sahut Rangga singkat
“Parah sekali?”
“Kelihatannya. Mungkin baru besok pagi dia bisa
bangun dari semadinya. Hanya saja mungkin belum sembuh benar dari luka-luka
dalamnya.”
“Aku punya sedikit kebisaan tentang pengobatan luka
dalam akibat pertarungan. Mungkin dia bisa sedikit diobati,” Murasi menawarkan
jasa.
Sebentar Rangga berpikir menimbang-nimbang tawaran
gadis yang baru dikenalnya ini, kemudian mengangkat bahunya sedikit dan memutar
tubuhnya. Pemuda berbaju rompi putih itu melangkah, sementara Murasi mengikuti.
Langsung ayunan langkahnya disejajarkan di samping pemuda berbaju rompi putih
itu.
Murasi memandangi seorang gadis yang duduk bersila
dengan kedua tangan berada di lututnya. Kedua mata gadis berbaju kuning itu
terpejam rapat. Wajahnya kelihatan memucat, dan bibirnya agak membiru. Perlahan
Murasi menghampiri, sedangkan Rangga hanya berdiri saja mengawasi.
Murasi meletakkan ujung jari tangannya di leher
gadis berbaju kuning, tepat di bawah rahangnya. Kepalanya menggeleng beberapa
kali, lalu berpaling pada Pendekar Rajawali Sakti yang mengawasi saja dari
jarak yang tidak seberapa jauh.
“Sudah berapa lama dia terluka begini?” tanya
Murasi.
“Baru kemarin,” sahut Rangga.
“Kau pasti sudah memberikan hawa murni,” tebak
Murasi.
Rangga agak terkejut juga atas tebakan yang tepat
itu, tapi kepalanya terangguk sedikit. Dibenarkannya dugaan Murasi yang begitu
tepat. Pendekar Rajawali Sakti itu hanya diam saja memperhatikan Murasi yang
mulai memeriksa bagian-bagian tubuh gadis berbaju kuning.
“Siapa namanya?” tanya Murasi tanpa berpaling pada
Rangga.
“Paranti. Itu juga katanya...,” sahut Rangga.
“Katanya...?”
“Aku baru mengenalnya beberapa hari ini. Jadi,
wajar kalau aku tidak begitu jelas mengetahui tentang dirinya,” jelas Rangga.
“Baru kenal beberapa hari sudah mengakui teman...!”
gumam Murasi pelan.
Begitu pelannya, sehingga tidak bisa terdengar oleh
Rangga. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti itu sendiri sudah duduk, dan
menyandarkan punggungnya pada sebatang pohon yang tumbang dan sudah mengering.
Dipungutnya ranting kering dan dilemparkannya ke dalam api unggun. Terlihat
percikan api naik ke atas, saat ranting itu terjilat api yang berkobar tidak
terlalu besar.
Rangga kembali memperhatikan Murasi yang kini sudah
membaringkan tubuh Paranti. Entah apa yang dilakukannya, karena gadis berbaju
merah itu duduk bersila membelakangi. Tapi terlihat kalau tangannya selalu
bergerak-gerak. Dan terdengar beberapa kali napas ditarik dalam-dalam.
Agak lama juga Murasi mencoba mengobati luka dalam
yang diderita Paranti akibat pertarungannya melawan si Siluman Kera. Dan luka
yang dideritanya ini juga akibat pukulan si Siluman Kera. Rangga mengangkat
kepalanya sedikit ketika Murasi bangkit berdiri dan memutar tubuhnya. Kemudian
kakinya melangkah menghampiri, lalu duduk di depan Pendekar Rajawali Sakti.
“Maaf. Aku tidak bisa menyembuhkannya. Terlalu
parah luka dalam yang dideritanya,” kata Murasi memberitahu sebelum ditanya.
Rangga hanya mengangkat bahunya sedikit. Pendekar
Rajawali Sakti memang sudah tahu kalau luka dalam yang diderita Paranti sangat
parah. Dan luka dalam itu hanya bisa disembuhkan oleh orang yang mengetahui
ilmu pengobatan luka dalam. Sedangkan dia sendiri, sama sekali tidak mengetahui
ilmu pengobatan dalam tingkat tinggi. Kalau yang sedang-sedang saja, mungkin
bisa diobatinya. Tapi luka yang diderita Paranti..., tidak sembarang orang bisa
menyembuhkannya.
“Dengan luka seperti itu, kemungkinan dia hanya
mampu bertahan dua atau tiga hari,” jelas Murasi lagi.
“Apa yang bisa kulakukan?” tanya Rangga.
“Hm...,” Murasi menggumam kecil.
Cukup lama juga mereka berdiam diri dengan benak
berpikir keras untuk menyelamatkan Paranti yang kini terbaring, beralaskan
tumpukan rerumputan kering. Sebentar Murasi memandangi gadis berbaju kuning
itu, kemudian kembali menatap Pendekar Rajawali Sakti.
“Dalam keadaan seperti ini, segala kemungkinan
harus dicoba dulu. Mungkin ibuku bisa menyembuhkan,” kata Murasi setelah cukup
lama berdiam diri saja.
“Jauhkah rumahmu dari sini?” tanya Rangga.
“Tidak.”
Rangga segera bangkit berdiri, kemudian menghampiri
Paranti yang masih terbaring tak sadarkan diri. Sebentar dipandanginya wajah
pucat yang bibirnya agak membiru itu. Kemudian tubuh ramping terbungkus baju
kuning itu dipondongnya. Perlahan kakinya terayun melangkah menghampiri Murasi
yang sudah berdiri menanti.
“Kita berangkat sekarang,” ajak Rangga.
“Lebih cepat, lebih baik,” sahut Murasi.
Tanpa banyak bicara lagi, mereka kemudian bergegas
beranjak pergi. Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, mereka akan lebih
cepat sampai di tempat kediaman gadis berbaju merah muda itu.
***
Rangga berjalan mondar-mandir di ruangan depan
rumah Murasi yang cukup besar ini. Sedangkan Murasi hanya duduk di kursi yang
terbuat dari rotan berwarna coklat mahoni. Sementara malam terus merambat
semakin larut. Tak lagi terdengar suara, kecuali hembusan napas berat.
“Apa kau tidak bisa tenang sedikit, Rangga...?”
tegur Murasi.
“Oh, maaf,” ucap Rangga buru-buru.
Pendekar Rajawali Sakti itu menghempaskan tubuhnya
di kursi, tepat di depan Murasi. Hanya sebuah meja bundar yang tidak begitu
besar menghalangi mereka.
“Kalau kau terus gelisah, aku jadi ikut gelisah,”
ungkap Murasi, mengakui.
Rangga hanya tersenyum saja. Diambilnya gelas perak
yang berada di atas meja, kemudian isinya diteguk hingga tandas. Pendekar
Rajawali Sakti itu meletakkan kembali gelas peraknya di atas meja di depannya.
Murasi menuangkan kembali arak ke dalam gelas itu dari guci tanah liat.
“Terima kasih,” ucap Rangga seraya mengambil gelas
yang sudah penuh. Sebentar kemudian arak itu ditenggaknya kembali.
“Kenapa kau begitu gelisah? Apa dia teman
istimewamu?” tanya Murasi dengan sinar mata penuh selidik.
“Bukan,” sahut Rangga.
“Lalu...?” Murasi terus mendesak.
“Aku selalu begini kalau melihat orang yang sedang
menghadap maut,” Rangga menjawab asal saja.
“Ibu mengenalimu, Rangga. Aku tidak percaya
pendekar digdaya sepertimu selalu gelisah menghadapi persoalan sepele seperti
ini,” kata Murasi tidak percaya.
Rangga hanya tersenyum saja untuk menghilangkan
keterkejutannya. Memang, Nyi Enoh langsung mengenalinya ketika baru bertemu tadi.
Dia sendiri tidak tahu, dari mana perempuan setengah baya yang masih kelihatan
cantik itu bisa mengenalinya. Padahal, baru kali ini mereka bertemu. Namun
Rangga sendiri sama sekali tidak mengenal perempuan itu.
“Aku juga sering mendengar tentang namamu, Rangga.
Terus terang, aku kagum terhadap segala tindakanmu yang tidak pernah memandang
orang yang kau tolong. Aku juga ingin seperti itu. Menolong siapa saja yang
membutuhkan,” tekad Murasi.
“Kepandaianmu cukup tinggi. Pasti tidak terlalu
sulit,” Rangga membesarkan hati gadis ini.
“Memang kelihatannya tidak sulit, tapi aku tidak
mungkin bisa melakukannya,” ada sedikit keluhan pada suara Murasi.
“Kenapa?” tanya Rangga.
“Bagaimana mungkin aku bisa mengembara dan menumpas
kejahatan, sedangkan menghadapi kemelut keluarga saja masih belum mampu
mengatasinya...?” kali ini jelas sekali kalau Murasi mengeluh.
“Oh, maaf. Aku menambah repot keluargamu saja,”
ucap Rangga langsung merasakan.
“Kau jangan selalu rendah diri begitu, Rangga. Sama
sekali kau tidak merepotkan. Bahkan tampaknya ibu senang atas kedatanganmu ke
sini. Dan aku sendiri...,” Murasi memutuskan kalimatnya.
“Kenapa denganmu?” desak Rangga.
“Tidak apa-apa. Aku hanya kagum saja padamu,” sahut
Mutasi.
“Tidak ada yang bisa kau kagumi dariku, Murasi.
Masih banyak kekurangan pada diriku,” lagi-lagi Rangga merendah.
“Tidak ada seorang pun yang sempurna di mayapada
ini, Rangga.”
“Memang. Dan itu kusadari penuh. Makanya aku masih
terus belajar dari pengalaman yang kuperoleh selama dalam pengembaraan,” kata
Rangga lagi.
“Hebat...! Kau sudah memiliki hampir segalanya,
tapi masih juga mau belajar,” puji Murasi tulus.
Dan gadis itu semakin kagum saja pada sikap
Pendekar Rajawali Sakti itu. Murasi memang sering mendengar sepak terjang
Pendekar Rajawali Sakti yang selalu menumpas kejahatan dan keangkaramurkaan
dari satu tempat ke tempat lainnya. Meskipun baru kali ini bertemu pendekar
yang dikaguminya itu, tapi rasanya sudah mengenal lama.
Saat itu Nyi Enoh muncul dari dalam sebuah kamar.
Rangga langsung bangkit berdiri diikuti Murasi. Nyi Enoh tersenyum sedikit pada
Pendekar Rajawali Sakti yang kemudian dibalas dengan anggukan kepala sedikit.
Nyi Enoh kini duduk di samping Murasi yang sudah duduk kembali. Rangga juga
ikut duduk di bangkunya semula. Murasi menuangkan arak ke dalam gelas dari
perak, dan diberikan pada ibunya.
“Bagaimana?” tanya Rangga setelah Nyi Enoh
menghabiskan minumannya.
“Belum terlambat. Mudah-mudahan besok pagi dia bisa
sadar. Tapi harus melakukan semadi, paling tidak tiga hari lamanya,” jelas Nyi
Enoh.
Rangga menarik napas lega. Matanya sempat melirik
Murasi yang saat itu juga melirik kepadanya. Tampak ada suatu kilatan di mata
gadis itu, yang sukar diartikan. Hanya sayangnya, Rangga sudah kembali
memandang perempuan setengah baya yang masih kelihatan cantik di samping
Murasi.
“Nak Rangga, apakah kau tahu, dengan siapa dia
bertarung?” tanya Nyi Enoh.
“Aku kurang begitu jelas memperhatikannya,” sahut
Rangga.
“Dari luka-luka yang diderita, dia seperti baru
bertarung melawan si Siluman Kera,” agak pelan suara Nyi Enoh.
“Siluman Kera...?” Murasi terperanjat. Murasi
segera memandangi ibunya dalam-dalam. Sungguh tidak disangka kalau Paranti
bertarung dengan si Siluman Kera. Satu nama yang kini menjadi momok bagi
keluarga ini. Sedangkan Rangga sempat melihat adanya keterkejutan pada raut
wajah gadis itu.
“Siapa itu si Siluman Kera, Nyi?” tanya Rangga.
Nyi Enoh tidak langsung menjawab, dan hanya menarik
napas dalam-dalam. Memang jelas sekali, terasa adanya sesuatu yang mengganjal
dada perempuan itu. Rangga memandangi Nyi Enoh dan Murasi bergantian. Saat itu
juga, benaknya bekerja. Dan memang, terasa ada sesuatu yang tersembunyi, dan
berhubungan langsung dengan nama Siluman Kera yang baru saja disebut namanya
oleh Nyi Enoh tadi.
***
Pagi-pagi sekali, selagi matahari belum menampakkan
wajahnya, Nyi Enoh sudah duduk di bangku taman halaman belakang rumahnya yang
besar. Perempuan tua itu seperti menanti sesuatu di sana. Namun, tak ada
seorang pun yang terlihat di taman itu. Dan hari ini memang masih terlalu pagi.
Sedikit pun Nyi Enoh tidak bergeming, meskipun rona
merah mulai menyemburat di ufuk timur. Pandangannya lurus ke arah barat,
seakan-akan begitu yakin kalau sesuatu akan muncul dari arah sana. Nyi Enoh
bangkit berdiri ketika sebuah bayangan hijau berkelebat dari arah barat.
“He he he....” Sebuah suara tawa terkekeh
terdengar, bersamaan dengan munculnya seorang laki-laki tua bungkuk mengenakan
jubah panjang berwarna hijau. Tubuhnya bungkuk, dan ada tonjolan pada
punggungnya. Sebatang tongkat tergenggam di tangan kanan, menyangga dia
berdiri.
“Kau datang terlalu pagi, Eyang Congkok,” kata Nyi
Enoh menyambut kedatangan laki-laki tua itu.
“He he he.... Rupanya kau belum lupa padaku, Nyi
Enoh,” terdengar serak dan kering suara laki-laki tua bungkuk yang bernama
Eyang Congkok itu.
“Tentu saja aku tidak akan lupa terhadap sahabat
lama, kecuali kematian sudah datang menjemputku,” sahut Nyi Enoh kalem.
“Dan pasti kau juga tidak lupa pada junjunganku
kali ini, bukan?”
“Tentu saja. Tapi sayang sekali, aku tidak
memilikinya sekarang ini,” sahut Nyi Enoh langsung memahami.
“He he he...,” Eyang Congkok terkekeh kering.
“Kenapa kau masih saja mempertahankan, Nyi? Benda itu tidak ada harganya sama
sekali bagimu. Bahkan selalu mendatangkan bencana. Aku hanya ingin menolongmu
keluar dari bencana besar.”
“Terima kasih. Hanya saja aku tidak bisa menolongmu
kali ini, Eyang Congkok. Kedatanganmu terlambat sekali.”
“Terlambat...? Apa maksudmu, Nyi?”
“Gelang itu sudah tidak ada lagi di sini. Ada
seseorang yang mencurinya semalam.”
“Dusta...!” bentak Eyang Congkok, langsung menegang
wajahnya.
“Aku berkata benar, Eyang Congkok. Semalam aku
kedatangan seorang tamu. Dia seorang pemuda berbaju rompi putih. Pada
punggungnya terdapat pedang bergagang kepala burung. Dan dia....”
“Cukup!” bentak Eyang Congkok memutuskan kata¬kata
Nyi Enoh. “Kau jangan coba-coba mengelabuiku, Nyi. Aku tahu siapa yang kau
maksud. Tidak mungkin Pendekar Rajawali Sakti berbuat serendah itu!”
“Tapi yang jelas, Gelang Naga Soka sudah tidak ada
lagi di tanganku.”
“Memang bukan kau yang menyimpan. Tapi gelang itu dipakai
anakmu!” dengus Eyang Congkok. “Sudahlah, Nyi.... Aku tidak suka berdebat
terlalu panjang denganmu. Kau akan terbebas dari bencana bila menyerahkan
gelang itu padaku,” bujuk Eyang Congkok.
“Lalu, kau yang akan menghadapi bencana itu...? Ha
ha ha...! Kelakuanmu belum saja berubah sejak masa muda dulu, Eyang Congkok.
Untuk apa kau selalu bersusah payah mencari benda-benda yang bukan milikmu
sendiri? Apa tidak kau sadari kalau perbuatanmu itu akan mengakibatkan bencana
besar bagi keluarga dan keturunanmu kelak? Benda-benda seperti itu tidak akan
membuat hidup kita tenang, Eyang Congkok.”
“Kedatanganku bukan untuk mendengar ocehanmu, Nyi.
Waktuku hanya sedikit. Berikan saja Gelang Naga Soka padaku!” sentak Eyang
Congkok, agak keras suaranya.
Nyi Enoh menggeleng-gelengkan kepalanya menghadapi
laki-laki tua yang keras kepala ini. Mereka memang sudah saling mengenal sejak
lama. Bahkan sebelum Nyi Enoh menikah dengan suaminya, mereka sudah saling
mengenal dan sudah mengetahui satu sama lain. Jadi, Nyi Enoh merasa maklum atas
sikap Eyang Congkok yang begitu kasar padanya. Mereka memang tidak pernah punya
persoalan secara pribadi. Tapi, semenjak suami perempuan itu memiliki Gelang
Naga Soka yang menyimpan sebagian jiwa si Siluman Kera, Eyang Congkok selalu saja
mencari¬cari persoalan untuk mendapatkan gelang itu. Laki-laki tua itu memang
suka memburu benda apa saja yang dianggap memiliki sesuatu kekuatan. Sama
sekali tidak dipedulikan kalau benda itu ada yang punya.
“Berikan gelang itu padaku, Nyi. Atau terpaksa aku
melupakan persahabatan kita...?” desis Eyang Congkok.
“Otak dan hatimu benar-benar sudah terasuk
keserakahan, Eyang Congkok.”
“Cukup...!” bentak Eyang Congkok kasar.
Bet!
Seketika itu juga, Eyang Congkok mengebutkan
tongkatnya hingga tersilang di depan dada. Sementara kedua tangannya
menggenggam bagian tengahnya.
“Kau akan menyesal, Congkok,” kata Nyi Enoh.
“Kau yang memaksaku, Enoh! Hiyaaat...!”
“Hap!”
***
LIMA
Nyi Enoh tidak bisa lagi membendung keserakahan
Eyang Congkok untuk memiliki benda-benda bertuah yang mempunyai kekuatan.
Laki-laki tua itu memang terkenal gemar mengumpulkan benda-benda bertuah. Apa
saja akan dilakukannya. Bahkan tidak memandang siapa pun untuk mendapatkan
benda yang diinginkannya. Malah kalau mungkin, saudara kandung sekalipun akan
digempur bila mempertahankan benda yang diinginkannya.
Antara Nyi Enoh dan Eyang Congkok, sebenarnya sudah
cukup lama bersahabat. Tapi semua persahabatan itu luntur setelah terdengar
kalau suami Nyi Enoh menyimpan suatu benda yang menyimpan jiwa si Siluman Kera.
Sebagai orang yang sudah puluhan tahun berkecimpung dalam rimba persilatan,
Eyang Congkok tentu tahu siapa itu Siluman Kera. Dan tentu saja jiwa Siluman
Kera yang tersimpan di dalam Gelang Naga Soka ingin dimilikinya. Namun beberapa
kali dia gagal mendapatkannya. Dan, baru sekarang inilah dirinya mulai lagi
gencar memburu benda itu setelah mendengar kabar kalau Ki Enoh sudah tewas di
tangan orang-orang si Siluman Kera.
Pertarungan yang terjadi di halaman belakang rumah
itu rupanya menarik perhatian seluruh penghuni rumah ini. Bukan saja Murasi dan
kedua pamannya yang datang ke halaman belakang rumah itu, tapi juga Pendekar
Rajawali Sakti dan beberapa orang bayaran yang diundang Nyi Enoh untuk
menghadapi anak buah si Siluman Kera.
“Siapa yang bertarung dengan Nyi Enoh?” tanya
Rangga yang berdiri di samping Murasi.
“Eyang Congkok,” sahut Murasi.
“Huh! Orang tua itu memang selalu bikin ulah...!”
dengus Paman Katir sambil memelintir kumisnya yang tebal seperti ijuk.
“Kalau saja dia bukan sahabat Kakang Enoh, sudah
dari dulu kukirim ke neraka!” sambung Paman Julak.
Sementara Rangga hanya mendengarkan saja gerutuan
kedua laki-laki yang selalu dipanggil paman oleh Murasi itu. Sementara, matanya
tidak berkedip memandang jalannya pertarungan itu. Entah sudah berapa jurus
berlalu. Padahal, matahari semakin naik tinggi. Namun, kelihatannya pertarungan
itu masih akan terus berlangsung lama. Rangga bisa menilai kalau kekuatan
mereka seimbang. Hanya saja, ada kemungkinan Nyi Enoh kalah tenaga.
“Awas kepala...!” seru Eyang Congkok tiba-tiba. Dan
seketika itu juga, tongkatnya bergerak cepat mengibas ke arah kepala Nyi Enoh.
Wut!
“Uts...!”
Buru-buru Nyi Enoh merundukkan kepalanya. Namun
pada saat tongkat itu berada di atas kepala, mendadak saja tangan kiri Eyang
Congkok menghentak ke arah dada. Begitu cepatnya sentakan tangan kiri itu,
sehingga Nyi Enoh tidak sempat lagi menghindar.
Deghk!
“Akh...!” Nyi Enoh memekik agak tertahan. Perempuan
yang mengenakan baju putih itu terhuyung¬huyung ke belakang beberapa langkah
sambil mendekap dadanya. Namun sebelum keseimbangan tubuhnya sempat terkuasai,
Eyang Congkok sudah mengibaskan tongkatnya ke arah kaki.
Tak!
“Aaakh...!” lagi-lagi Nyi Enoh menjerit keras.
Perempuan berbaju putih itu langsung jatuh terguling ketika tongkat Eyang
Congkok menghantam kakinya.
“Ibu..!” jerit Murasi.
Pada saat yang sama, Eyang Congkok sudah melompat
menerjang perempuan setengah baya yang masih kelihatan cantik itu. Tongkatnya
diangkat tinggi-tinggi, dan siap dihunjamkan ke tubuh Nyi Enoh yang terjajar di
tanah.
“Hiyaaat...!”
“Hup! Yeaaah...!”
Bagaikan kilat, tahu-tahu Murasi sudah melesat
cepat hendak menyelamatkan nyawa ibunya yang tertawan. Namun....
Crab!
“Aaa...!”
“Hup...!”
“Ibuuu...!”
Bukan main terkejutnya Murasi begitu melihat ujung
tongkat Eyang Congkok sudah terbenam di dada Nyi Enoh. Sedangkan laki-laki tua
berjubah hijau itu cepat mencabut tongkatnya seraya melompat mundur, tepat saat
Murasi menerjang sambil mengirimkan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi.
Maka pukulan gadis itu hanya mengenai angin kosong saja.
Dan kini Murasi tidak melanjutkan serangannya
kembali. Tubuhnya langsung berputar, dan menghambur memeluk ibunya yang
tergeletak di tanah dengan dada berlubang berlumuran darah segar. Murasi
langsung memeluk, lalu mengangkat tubuh ibunya. Gadis itu memang lebih mementingkan
keadaan ibunya daripada harus bertarung. Tapi yang jelas, rasa dendam mulai
menyelimuti hatinya.
“Ibuuu...,” rintih Murasi tak dapat lagi membendung
air matanya.
“Ha ha ha...!” Eyang Congkok tertawa
terbahak-bahak.
“Keparat...!” desis Paman Katir menggeram.
“Iblis...!” geram Paman Julak.
Kedua laki-laki berusia sekitar empat puluh tahunan
itu segera melesat cepat bagaikan kilat menerjang Eyang Congkok. Golok mereka
langsung dicabut, dan dibabatkan ke tubuh laki-laki tua itu. Namun dengan
tangkas sekali, Eyang Congkok berkelit sambil menangkis satu serangan golok
yang cepat datangnya bagaikan kilat itu.
Trang!
“Kubunuh kau, Iblis...!” bentak Paman Julak geram.
“Hiyaaa...!”
“Hup! Yeaaah...!”
***
Rangga mengangkat tubuh Nyi Enoh yang sudah tidak
bernyawa lagi. Dibawanya tubuh yang mulai dingin itu ke sebuah bangku panjang
yang berada di bawah pohon kamboja, lalu dibaringkan di sana. Sementara Murasi
masih sibuk meredam isak tangisnya. Rangga merengkuh gadis itu ke dalam
pelukannya, sehingga membuat Murasi semakin kencang menangis sesenggukan.
Meskipun Murasi sejak kecil selalu dididik dan
ditempa keras dalam berbagai ilmu olah kanuragan dan kesaktian, namun
menghadapi kenyataan pahit ini tidak akan mungkin bisa tegar selamanya. Baru
beberapa hari menyaksikan kematian ayahnya di tangan si Siluman Kera, dan
sekarang dia harus menghadapi kenyataan pahit lagi. Kini ibunya juga tewas di
depan matanya pula.
Sementara itu, Eyang Congkok sibuk menahan gempuran
dua orang adik angkat Ki Enoh. Tampak laki-laki tua bungkuk itu kewalahan juga.
Terlebih lagi, orang-orang yang dibayar Nyi Enoh kini ikut membantu. Maka tak
heran kalau orang tua berjubah hijau itu semakin kewalahan saja.
“Edan...!” dengus Eyang Congkok. Menyadari tidak
akan mungkin bisa menandingi sekitar dua belas orang berkemampuan cukup tinggi,
Eyang Congkok berusaha mencari jalan untuk melarikan diri. Dan jalan yang
dicari itu ternyata datang tidak berapa lama. Tepat ketika golok Paman Julak mengibas
ke arah kakinya, Eyang Congkok melentingkan tubuhnya ke atas.
“Hup! Yeaaah...!”
Namun pada saat itu, seseorang telah lebih cepat
menusukkan tombaknya. Dan ini membuat Eyang Congkok sedikit bergetar hatinya.
Namun tiba-tiba muncul cara terbaik, sehingga membuatnya jadi tersenyum. Dengan
cepat sekali ujung tongkatnya menotok ujung tombak orang itu. Dan dengan
meminjam tenaga, kembali tubuhnya melesat cepat keluar dari arena pertarungan.
“Hiyaaa...!”
“Kejar...! Jangan biarkan dia lolos...!” teriak Paman
Katir keras.
Namun lesatan Eyang Congkok demikian cepat luar
biasa. Sehingga dalam sekejap saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap di balik
tembok halaman belakang rumah ini. Sepuluh orang bayaran bergegas berlompatan
mengejar. Gerakan mereka sungguh cepat dan ringan saat melompati tembok yang
cukup tinggi itu. Kemudian lenyap di balik tembok batu itu.
“Keparat...!” geram Paman Katir.
Sementara itu, Murasi baru saja bisa menguasai
keadaan dirinya yang terguncang. Gadis itu sudah tidak lagi berada di dalam
pelukan Pendekar Rajawali Sakti. Dengan punggung tangan, disekanya air mata
yang membasahi wajahnya. Masih terdengar suara isak yang kecil tertahan.
“Ibuuu...,” lirih sekali suara Murasi. Gadis itu
memandangi mayat ibunya yang terbaring di bangku bambu panjang. Sedangkan
Rangga berada di sampingnya. Saat itu Paman Katir dan Paman Julak sudah
menghampiri, namun langsung dicegah Pendekar Rajawali Sakti. Rangga mengajak
kedua orang itu menjauh.
“Huh! Eyang Congkok benar-benar manusia keparat!
Manusia macam dia tidak lagi memandang sahabat pada Kakang Enoh. Tega sekali
Nyi Enoh dibunuhnya...!” desis Paman Katir dingin.
“Maaf, Paman. Siapa itu Eyang Congkok, dan kenapa
membunuh istri sahabatnya sendiri?” tanya Rangga, sopan.
“Dia manusia gila!” dengus Paman Katir.
“Eyang Congkok menginginkan Gelang Naga Soka yang
berisi sebagian jiwa si Siluman Kera. Manusia iblis itu akan mengejar benda apa
saja yang bertuah, dan tidak akan memandang saudara atau sahabat untuk
memperoleh keinginannya. Dia tega membunuh siapa saja, asal bisa memperoleh
yang diinginkannya,” jelas Paman Julak.
Rangga memandangi kedua laki-laki itu. Masih belum
bisa dipahami keterangan Paman Julak barusan, namun sudah bisa menangkap
sedikit artinya. Rupanya semua peristiwa ini berpangkal pada Siluman Kera.
Pendekar Rajawali Sakti jadi teringat dengan Paranti yang kini tengah bersemadi
di dalam salah satu kamar di rumah besar ini.
Menurut Nyi Enoh, Paranti terkena beberapa pukulan
maut Siluman Kera. Akibatnya dia menderita luka dalam yang sangat parah dan
sukar disembuhkan. Hanya mereka yang mengerti pengobatan luka dalam saja yang
bisa menyembuhkannya. Itu juga tergantung daya tahan si penderita. Kalau memang
dugaan Nyi Enoh benar, tentu Paranti juga mempunyai persoalan dengan si Siluman
Kera itu. Tapi, persoalan apa...? Sedangkan persoalan yang sedang dihadapi
keluarga ini, sedikitnya Rangga sudah bisa memahami.
“Sejak Kakang Enoh menyimpan Gelang Naga Soka,
malapetaka seperti tidak pernah jauh dari rumah ini. Selalu saja ada kejadian
yang meminta korban nyawa,” jelas Paman Julak lagi. Kali ini nada suaranya
seperti mengeluh.
“Kau jangan mengeluh, Julak. Kita harus
mempertahankannya, apa pun yang akan terjadi. Terlebih lagi, gelang itu jangan
sampai jatuh ke tangan si Siluman Kera. Apa jadinya dunia ini kalau manusia
iblis itu bisa menyatukan jiwanya kembali...?” kata Paman Katir.
“Ya..., memang serba salah juga. Kita berikan
gelang itu pada orang lain, berarti sama saja menyebarkan bencana. Yang pasti,
si Siluman Kera akan membunuh siapa saja yang pernah menyimpan sebagian
jiwanya,” kata Paman Julak lagi. Pelan sekali suaranya.
“Paman, sebaiknya kita urus dulu mayat Nyi Enoh.
Nanti kita bicarakan lagi persoalan ini,” sela Rangga.
Kedua laki-laki itu memandang Pendekar Rajawali
Sakti, kemudian bergegas menghampiri mayat Nyi Enoh yang masih ditunggu anak
gadisnya. Sementara Paman Julak dan Paman Katir membawa mayat Nyi Enoh ke dalam
rumah, Rangga membimbing Murasi meninggalkan halaman belakang ini.
***
“Kakang...!”
Teriakan keras terdengar memecah kesunyian di pagi
buta ini. Seluruh penghuni rumah besar itu jadi terbangun. Tampak Murasi
berdiri tegak di depan pintu sebuah kamar yang terbuka lebar. Rangga yang
langsung terbangun dari tidurnya, bergegas menghampiri diikuti Paman Julak dan
Paman Katir serta beberapa orang yang disewa untuk mengamankan rumah ini.
“Ada apa?” tanya Rangga.
“Lihat tuh! Paranti sudah tidak ada lagi,” sahut
Murasi seraya menunjuk ke dalam kamar.
Rangga bergegas menerobos masuk ke dalam kamar.
Memang kamar ini digunakan Paranti untuk bersemadi dalam menyempurnakan kembali
kesehatan tubuhnya yang terluka dalam. Kamar itu memang sudah kosong, tak ada
lagi Paranti di sana.
Pendekar Rajawali Sakti itu mengedarkan
pandangannya, dan langsung tertegun saat melihat ke atas atap yang jebol.
Ternyata Paranti kabur lewat atap, karena pintu kamar ini memang terkunci dari
luar. Sementara kuncinya dipegang Murasi setelah ibunya tewas di tangan Eyang
Congkok
“Kenapa dia kabur, Kakang?” tanya Murasi tidak
mengerti.
“Aku tidak tahu,” sahut Rangga seraya mengangkat
bahunya.
Pendekar Rajawali Sakti itu memang tidak tahu,
mengapa Paranti kabur begitu saja. Padahal menurut Nyi Enoh, Paranti baru bisa
sembuh benar setelah bersemadi selama tiga hari penuh. Dan ini baru semalaman
saja Paranti bersemadi, tapi gadis itu sudah kabur lewat atap yang dijebol.
“Aku akan mencarinya. Mungkin dia belum jauh dari
sini,” tegas Rangga.
“Biarkan saja dia pergi, Kakang. Orang tidak tahu
berterima kasih!” dengus Murasi agak kesal terhadap sikap Paranti yang
ugal-ugalan.
“Maafkan atas kelakuannya, Murasi. Akulah yang
membuatmu jadi bertambah repot,” ucap Rangga menyesali tindakan Paranti.
“Kau tidak perlu meminta maaf, Kakang. Huh...,
sudahlah. Biarkan saja dia pergi,” kata Murasi seraya melangkah keluar dari
kamar ini.
Sementara Paman Katir dan Paman Julak menyuruh yang
lainnya meninggalkan tempat ini. Mereka sendiri juga bergegas pergi. Sedangkan
Rangga masih tetap berada di kamar itu. Kembali pandangannya beredar ke
sekeliling kamar ini. Tak ada yang berubah, selain atap yang jebol.
Rangga semakin tidak mengerti atas sikap Paranti
yang dirasakan sangat aneh itu. Kemarin Pendekar Rajawali Sakti memang sempat
melihat Paranti mengintip keluar dari jendela ini, saat Nyi Enoh bertarung melawan
Eyang Congkok. Apakah karena pertarungan itu, maka dia pergi...? Rangga jadi
menduga-duga. Kalau memang benar, berarti gadis itu kenal Eyang Congkok. Atau
paling tidak, tahu tentang keluarga Nyi Enoh ini. Mustahil dia pergi begitu
saja kalau tidak mengetahui siapa sebenarnya Eyang Congkok dan Nyi Enoh.
Sukar bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk
mengetahui. Memang sampai saat ini dia tidak tahu, apa sebenarnya yang tengah
terjadi di sini. Dan yang membuatnya semakin bertanya-tanya adalah tentang si
Siluman Kera. Dugaan Pendekar Rajawali Sakti jelas, semua kejadian ini
berpangkal dari orang yang berjuluk Siluman Kera itu. Tapi apa hubungannya
dengan Paranti?
Rangga keluar dari kamar itu, dan jadi agak
tertegun melihat Murasi masih berada di depan kamar ini. Gadis itu berdiri saja
dengan pandangan agak sayu mengarah langsung ke bola mata Pendekar Rajawali
Sakti itu.
“Siapa sebenarnya Paranti itu, Kakang?” tanya
Murasi. Nada suaranya seperti menyelidik. Atau mungkin juga curiga.
“Entahlah. Aku baru beberapa hari bertemu, dan
tampaknya dia tertutup sekali,” sahut Rangga perlahan.
“Kemarin kulihat dia mengintip dari jendela,” kata
Murasi lagi.
Rangga agak tertegun juga mendengar kata-kata gadis
itu. Sungguh tidak disangka kalau Murasi juga sempat melihat Paranti mengintip
pertarungan kemarin dari balik jendela. Dan rupanya gadis ini menaruh
kecurigaan pada Paranti yang memang kurang jelas asal-usulnya.
“Ibu mempercayaimu, Kakang. Bahkan kedua pamanku
sering mendengar tentang dirimu. Aku juga percaya padamu. Dulu sebelum tewas,
ayah sering cerita tentang sepak terjangmu. Hanya saja aku tidak mengerti,
kenapa kau begitu mudah tertipu oleh orang yang tidak dikenal sama sekali,”
tegas Murasi.
“Ditipu...? Aku tidak mengerti maksudmu, Murasi?”
Rangga keheranan mendengar kata-kata gadis itu.
“Gelang Naga Soka hilang,” agak dalam nada suara
Murasi.
“Apa...?!” bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali
Sakti kala mendengar ucapan gadis itu.
Untuk beberapa saat mereka terdiam.
“Aku sudah perintahkan mereka untuk mencari. Bahkan
Paman Katir dan Paman Julak juga ikut mencari,” jelas Murasi
“Bagaimana kau bisa kehilangan gelang itu, Murasi?”
tanya Rangga.
“Tanpa disadari, kita semua terkena aji sirep
semalam, Kakang. Dan baru kusadari kalau gelangku hilang. Makanya aku langsung
ke kamar ini, dan ternyata dugaanku tepat. Aku yakin, dia hanya pura-pura saja
terkena pukulan maut si Siluman Kera agar bisa bebas mengambil gelang itu.”
“Tapi kan pintunya terkunci...?”
“Tidak.”
“Tidak...?!”
“Aku lupa menguncinya lagi ketika akan menengok
keadaannya.”
“Jagat Dewa Batara.... Lantas apa yang harus kita
lakukan sekarang, Murasi?”
“Mencegahnya memberikan gelang itu pada si Siluman
Kera,” tegas Murasi.
“Tapi kita tidak tahu, ke mana perginya.”
Murasi tidak menjawab, dan jadi kebingungan
sendiri. Dia tidak tahu, ke mana arah perginya Paranti. Situasi yang dihadapi
sekarang ini semakin terasa sulit saja. Gelang Naga Soka yang seharusnya dijaga
baik, kini telah hilang. Dan mereka tahu siapa yang mencurinya. Tapi apa
hubungannya Paranti dengan Siluman Kera...? Lagi pula, untuk apa gelang itu
dicurinya jika tidak punya hubungan dengan si Siluman Kera...? Terlalu banyak
pertanyaan yang berkecamuk di benak Rangga. Dan belum ada satu pun yang
terjawab.
***
ENAM
“He he he.... Kau berhasil, Paranti?” tanya Eyang
Congkok yang baru saja datang.
Gadis berbaju kuning yang tengah duduk menghadap
api unggun kecil langsung mengangkat kepalanya. Mulut yang sudah terbuka hendak
menggigit daging kelinci panggang, kembali tertutup. Dipandangnya laki-laki tua
bungkuk berjubah hijau yang tahu-tahu sudah duduk di depannya. Eyang Congkok
mengambil sekerat daging, langsung mengunyahnya.
“Tidak percuma bertahun-tahun aku mendidikmu,
ternyata kau punya otak yang cerdas juga,” tegas Eyang Congkok.
“Tapi aku hampir saja gagal, Eyang,” dengus Paranti
dengan wajah tertekuk memberengut.
“He he he..., hanya tantangan kecil. Tidak ada
artinya sama sekali bila dibandingkan dengan keberhasilanmu. Semadimu bisa kau
teruskan di pondokku nanti. Biar nanti lukamu aku yang menyembuhkan,” Eyang
Congkok kembali terkekeh.
Paranti kembali menikmati daging panggangnya.
Sedangkan laki-laki tua bungkuk berjubah hijau itu menggeser duduknya di bawah
sebatang pohon rindang, sambil menikmati daging panggang. Malam memang sudah
demikian larut, dan udara dingin merasuk sampai ke tulang sumsum. Namun,
dinginnya udara malam ini seakan-akan tidak terasakan lagi. Bukan oleh nyalanya
api, tapi oleh kegembiraan karena Paranti berhasil mencuri Gelang Naga Soka.
“Mana gelang itu?” tanya Eyang Congkok. Matanya
berbinar-binar seperti mengandung sesuatu yang sukar diartikan.
“Ada,” sahut Paranti ringan.
“Coba kulihat,” pinta Eyang Congkok.
“Untuk apa? Eyang pasti ingin memiliki kalau sudah
melihat.”
“He he he.... Kau pikir aku berminat pada gelang
itu? Tidak sama sekali, Paranti. Gelang itu tidak ada apa-apanya tanpa jiwa
Siluman Kera.”
“Bukankah Eyang sudah lama ingin memilikinya?
Bahkan sampai membunuh sahabat baik!”
“Kau lupa, Paranti. Ini kulakukan demi pamanmu. Aku
hanya sekadar membantu saja untuk mendapatkannya. “
“Kalau begitu, biar aku saja yang menyerahkannya
pada paman. Toh, tugas ini dibebankan padaku. Buktinya, Eyang telah gagal
selama ini.”
“He he he.... Kau semakin pintar saja, Paranti.
Baik, aku tidak akan memaksa. Aku memang kalah cerdik darimu,” Eyang Congkok
menyerah. Namun di balik itu, ada sesuatu yang harus dilaksanakan. Dan itu
harus berhasil.
“Bukan cerdik, tapi licik.”
Eyang Congkok dan Paranti terkejut ketika tiba-tiba
mendengar suatu suara berat yang terasa dingin. Mereka langsung saja
menggelinjang bangkit, dan saling menggeser kaki mendekat. Tak ada seorang pun
terlihat di sekitar tempat ini, tapi suara itu demikian jelas terdengar. Eyang
Congkok dan Paranti saling berpandangan.
“Siapa itu...?!” seru Eyang Congkok, agak keras
suaranya.
Tidak ada sahutan sama sekali. Keadaan begitu
sunyi. Bahkan suara binatang malam pun tak terdengar, kecuali gemeretak ranting
yang termakan api karena ditimpa hembusan angin yang menyebarkan udara dingin
menggigilkan.
Namun sebelum Eyang Congkok bisa membuka suara
lagi, mendadak saja berlompatan orang-orang berpakaian serba merah. Sebentar
saja tempat itu sudah dikelilingi manusia berbaju merah yang semuanya sudah
menghunus golok. Paranti langsung menggeser kakinya semakin mendekati laki-laki
tua bungkuk berjubah hijau.
“Mereka orang-orang Siluman Kera, Eyang,” kata
Paranti berbisik.
“Aku tahu, hati-hatilah,” sahut Eyang Congkok juga
berbisik pelan.
Eyang Congkok mengedarkan pandangannya ke
sekeliling. Dalam hati dihitungnya jumlah orang berbaju serba merah yang sudah
mengepung tempat ini. Ada sekitar tiga puluh orang jumlahnya. Dan laki-laki tua
bungkuk berjubah hijau itu merasakan kalau masih banyak lagi yang bersembunyi
di sekitarnya.
Laki-laki tua itu melirik Paranti yang berdiri
tidak jauh di sebelah kanannya. Ada perasaan khawatir terhadap diri gadis ini.
Meskipun tahu kalau Paranti tidak bisa dianggap enteng dan sembarangan, namun
gadis ini belum begitu sembuh benar dari luka dalamnya. Dan juga belum
berpengalaman dalam menghadapi berbagai pertarungan dalam rimba persilatan.
Paranti masih begitu polos, meskipun sikapnya bisa dikatakan agak liar. Dia
memang gadis nakal, dan masih suka mempermainkan orang. Berbagai akalnya bisa
membuat orang lain kewalahan.
Dalam hal yang sebenarnya, hati Eyang Congkok
tengah berkecamuk. Dia seperti menyimpan sesuatu yang tidak mungkin
diungkapkan. Batinnya terpecah oleh dua rencananya sendiri. Dan dia harus
memilih salah satu. Membantu Paranti, atau merampas Gelang Naga Soka. Dan
rupanya ada sifat bijaksana juga di dalam hatinya.
“Kau harus lari begitu ada kesempatan, Paranti.
Mereka tidak bisa dilawan begitu saja,” kata Eyang Congkok setengah berbisik.
Memang, niatnya untuk membantu gadis itu timbul seketika.
“Eyang sendiri...?”
“Jangan hiraukan aku!” sentak Eyang Congkok pelan.
“Tapi mereka terlalu banyak, Eyang.”
“Aku bisa mengatasi.”
“Kalau Eyang bisa, aku juga bisa,” bantah Paranti.
Eyang Congkok mendesis geram. Kenakalan Paranti
mulai timbul lagi. Dan inilah yang sebenarnya sangat dikhawatirkannya. Paranti
tidak pernah memandang sedikit pun pada lawan-lawannya. Semua lawannya selalu
dianggap sama. Padahal ilmu olah kanuragan dan ilmu-ilmu kesaktian yang
dimilikinya belum seberapa bila dibandingkan anak buah si Siluman Kera. Dan
tentu saja yang datang kali ini, ilmunya pasti cukup tinggi. Namun hal seperti
itu tidak dihiraukan Paranti sama sekali.
“Kau jangan membantah, Paranti. Aku akan
melemparkan mayatmu ke jurang jika mati di tangan mereka!” ancam Eyang Congkok.
Paranti bergidik juga mendengar ancaman laki-laki
tua bungkuk berjubah hijau itu. Dia tahu kalau Eyang Congkok sudah sampai
mengeluarkan ancaman, itu berarti tidak main-main lagi. Paranti langsung
menyadari kalau situasi yang dihadapi sekarang ini sangatlah gawat, dan tidak
mungkin bisa dibantah lagi.
“Dengar! Begitu ada kesempatan, kau harus lari.
Cepat temui pamanmu. Mengerti...?!” kata Eyang Congkok menekankan.
“Baik, Eyang,” sahut Paranti terpaksa.
***
Sementara itu, orang-orang berbaju merah yang
semuanya memegang senjata golok sudah mulai bergerak. Golok mereka
digerak-gerakkan di depan dada, dengan tatapan mata tajam menusuk. Eyang
Congkok menggeser kakinya sedikit ke depan, seperti ingin melindungi Paranti
yang diharapkan bisa meloloskan diri dari kepungan ini.
“Ikuti aku, Paranti. Hiyaaat..!”
Eyang Congkok seketika itu juga melompat cepat
sambil mengebutkan tongkatnya ke arah orang-orang berbaju merah di depannya.
Begitu cepatnya gerakan laki-laki tua bungkuk berjubah hijau itu, sehingga dua
orang yang di depannya tidak bisa lagi menghindari tebasan tongkat itu.
Des!
Beghk!
Seketika dua jeritan panjang langsung terdengar
saat tongkat Eyang Congkok menghantam dua orang itu. Pada saat yang bersamaan,
orang-orang berbaju merah menyala itu cepat berlompatan menerjang. Eyang
Congkok yang baru saja merobohkan dua orang sekaligus, jadi kelabakan juga
menerima serangan gencar dari segala penjuru. Terlebih lagi Paranti. Gadis itu
terlambat mengikuti gerakan Eyang Congkok, sehingga tidak bisa lagi menghindari
bentrokan langsung. Sayangnya, gadis itu terpisah agak jauh dari laki-laki tua
bungkuk berjubah hijau itu.
“Celaka...,” desis Eyang Congkok saat mengetahui
jaraknya dengan Paranti semakin jauh saja.
Laki-laki tua berjubah hijau itu terus berusaha
mendekati Paranti. Tapi kepungan yang dilakukan orang-orang berbaju merah
demikian ketat. Meskipun tidak sedikit yang bergelimpangan berlumuran darah,
tapi mereka tidak gentar. Bahkan seperti tidak mengenal kata takut. Mereka
terus saja merangsek dan semakin mendesak, merapatkan kepungan. Tentu saja hal
ini membuat ruang gerak Eyang Congkok semakin terasa sempit saja.
Saat melihat sedikit kesempatan, dengan cepat Eyang
Congkok melompat mendekati Paranti. Tongkatnya berkelebat bagai kilat,
menciptakan jeritan-jeritan melengking tinggi yang saling sambut. Hanya sekali
lesatan saja, laki-laki tua bungkuk berjubah hijau itu sudah mencapai tempat
Paranti bertarung.
“Cepat kau tinggalkan tempat ini!” sentak Eyang
Congkok.
“Tidak bisa...!” sahut Paranti agak terengah.
“Cepat..!”
Eyang Congkok mengamuk bagaikan banteng terluka.
Tongkatnya bergerak cepat luar biasa, membuka kepungan orang berbaju merah yang
jumlahnya kian bertambah saja.
Entah sudah berapa orang yang tergeletak tak
bernyawa lagi. Sedangkan udara di sekitar pertarungan itu sudah sesak oleh bau
anyir darah yang mengalir dari tubuh-tubuh bergelimpangan bersimbah darah.
“Sekarang...!” seru Eyang Congkok begitu melihat
ada kesempatan bagi Paranti untuk lari meninggalkan pertarungan.
Paranti tak bisa lagi mengelak. Memang disadari
kalau tak mungkin bertahan lama dalam pertarungan seperti ini. Tingkat
kepandaian orang-orang berbaju merah itu sudah cukup tinggi apalagi dalam
jumlah begini banyak! Jadi, dia tak mungkin bisa bertahan terus.
“Hiyaaat..!”
Sambil berteriak keras melengking tinggi, gadis itu
melompat cepat bagaikan kilat, melewati beberapa kepala. Pedangnya dikebutkan
membabat orang-orang yang berusaha menghalanginya untuk keluar dari pertarungan
ini. Setelah berputaran beberapa kali di udara, kakinya hinggap di salah satu
cabang pohon. Tanpa menunggu waktu lagi, Paranti kembali melesat ke cabang
pohon lainnya. Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki gadis itu memang sudah
mencapai tingkatan yang cukup tinggi. Tak heran kalau dia cepat sekali bisa
meninggalkan arena pertarungan itu.
Sementara Eyang Congkok masih terus sibuk
menghadapi keroyokan orang berbaju merah. Namun bibirnya tersenyum juga saat
melihat Paranti sudah jauh meninggalkan tempat ini.
“Hiyaaa...!”
Tiba-tiba saja, Eyang Congkok berteriak keras
menggelegar. Seketika itu juga, tubuhnya berputar, dan tongkatnya dikebutkan
dengan kecepatan luar biasa. Kembali terdengar jeritan-jeritan panjang
melengking tinggi. Disusul kemudian, terlihat beberapa tubuh berjatuhan dengan
darah mengucur deras.
Trak!
“Heh...?!” Eyang Congkok tersentak kaget ketika
tiba-tiba tongkatnya terasa mendapat hentakan yang kuat hingga terpental balik.
Mata laki-laki tua bungkuk berjubah hijau itu
seketika terbelalak lebar begitu melihat seorang..., atau mungkin seekor kera,
tahu-tahu sudah berdiri di depannya. Makhluk aneh bertubuh manusia, namun
wajahnya menyerupai kera itu mengenakan baju merah menyala. Sedangkan pada
bagian lehernya berwarna kuning keemasan. Sebatang tongkat kayu tergenggam di
tangan yang berbulu, mirip tangan kera.
“Siluman Kera...,” desis Eyang Congkok, agak
bergetar suaranya.
Sementara orang-orang berbaju merah yang memegang
senjata golok, bergerak menyingkir. Namun tetap membentuk lingkaran mengepung
tempat itu. Eyang Congkok menggeser kakinya beberapa langkah ke belakang.
“Kau benar-benar bajingan keparat yang tak bisa
dipercaya, Congkok!” desis manusia kera yang sukar untuk dikatakan manusia
ataupun binatang itu. Suaranya terdengar kering dan dingin sekali.
“Aku..., aku...,” Eyang Congkok jadi tergagap.
“Sudah!” bentak si Siluman Kera keras. “Tidak ada
lagi alasan bagimu, Congkok! Aku paling tidak suka melihat pengkhianat hidup
lebih lama lagi!”
Eyang Congkok menelan ludahnya. Kata-kata si
Siluman Kera demikian tegas, dan sudah bisa ditebak maksudnya. Meskipun
disadari kalau makhluk yang ada di hadapannya ini bukan manusia lagi, tapi
Eyang Congkok tidak ingin mati begitu saja tanpa perlawanan sama sekali. Memang
diakui dirinya telah melakukan kesalahan yang sangat besar. Tapi semua yang
dilakukannya bukan karena tanpa sebab, dan memang disengaja dan sangat disadari
sekali. Itu tak lain untuk membantu Paranti. Inilah sifat bijaksana yang
dimiliki laki-laki tua itu.
“Aku menuntut janjimu sekarang, Congkok. Kau
bersedia mati jika melakukan kesalahan. Terlebih lagi bila gagal menyerahkan
Gelang Naga Soka padaku. Tapi kenyataannya, kau malah membantu pencuri cilik
itu membawa kabur Gelang Naga Soka!” tegas si Siluman Kera, tetap dingin nada
suaranya.
Siluman Kera memang mendapat kabar kalau Gelang
Naga Soka telah hilang dicuri oleh Paranti. Kabar itu didapat dari telik
sandinya yang sangat dipercaya. Itulah sebabnya, mengapa si Siluman Kera
sekarang memburu Eyang Congkok. Dan tentu saja, manusia kera itu tahu
hubungannya antara Eyang Congkok dengan Paranti. Maka pencariannya memang tidak
salah.
“Tap, Siluman Kera.... Dia lebih memerlukannya,”
Eyang Congkok mencoba membela diri.
“Lebih penting mana, aku atau pencuri cilik itu,
heh...?!” bentak si Siluman Kera, berang. “Kau tahu, Congkok. Sebagian jiwa dan
kehidupanku berada dalam gelang itu. Dan aku tidak ingin selamanya begini. Kau
paham, Congkok...?!”
Eyang Congkok hanya diam saja membisu. Semua itu
memang sudah diketahuinya. Tanpa jiwa dan kehidupan yang utuh, si Siluman Kera
tidak akan bisa bertahan hidup lebih lama lagi. Kalaupun dapat, selamanya
dirinya akan berujud kera, dan tak mungkin bisa kembali menjadi manusia lagi. Dia
memang menganut satu ilmu hitam yang berasal dari roh para siluman kera.
Makanya saat di masa hidupnya dulu, dia dikenal berjuluk Manusia Kera. Itu
karena jurus ‘Kera’ yang dimilikinya dahsyat sekali, dan sukar dicari
tandingannya.
Sekarang pun, meskipun ujudnya sudah berubah
menyerupai kera, namun masih sukar untuk ditandingi. Memang sukar sekali
mengukur, sampai di mana tingkat kepandaian yang dimiliki si Siluman Kera ini.
Karena, sepertinya dia bisa menguasai segala jenis ilmu olah kanuragan dan ilmu
kesaktian yang ada di dunia ini.
Eyang Congkok memang seperti makan buah simalakama.
Tidak dimakan, ibu mati. Dimakan, ayah mati. Sungguh dia menyesal terperangkap
dalam jebakan si Siluman Kera. Itu terjadi karena ulah seorang perempuan
berjuluk si Mawar Beracun. Memang, wanita itu telah berhasil membujuk Eyang
Congkok untuk bergabung dengan si Siluman Kera. Tentu saja dengan imbalan,
tubuh wanita itu harus rela dinikmati oleh Eyang Congkok. Sementara, laki-laki
tua itu harus merebut Gelang Naga Soka dari sahabatnya, Nyi Enoh. Memang
diakui, dirinya sendiri sebenarnya juga ingin memiliki gelang itu.
Di lain hal, Paranti sendiri tidak tahu sama sekali
kalau Eyang Congkok telah berada di pihak musuh. Namun untung saja, Eyang
Congkok seketika merubah keputusannya. Biar bagaimanapun, dia lebih sayang pada
muridnya sendiri.
“Nah! Sekarang bersiaplah untuk mati, Congkok...!”
desis Siluman Kera dingin.
Kembali Eyang Congkok menelan ludahnya. Pada saat
itu, si Siluman Kera sudah cepat memutar tongkatnya. Dan sekarang, bentuk
tongkat kayu itu jadi hilang. Yang terlihat kini hanyalah sebuah bayangan
lingkaran putih. Mendadak saja, entah dari mana datangnya, tahu-tahu terdengar
suara menggemuruh bagai badai. Tapi di sekitar tempat ini masih terasa tenang,
dan angin pun bertiup seperti biasanya. Namun mendadak saja....
“Hiyaaa...!”
“Heh...?! Hup!”
Sambil berteriak keras menggelegar, si Siluman Kera
menghentakkan tongkatnya ke tanah. Hal ini membuat Eyang Congkok terkejut
setengah mati. Mata laki-laki tua itu makin terbeliak ketika tanah yang
dipijaknya bergetar, lalu merekah terbelah. Buru-buru tubuhnya melenting,
berlompatan menghindari diri dari perangkap yang bisa mengakibatkan tubuhnya
terjerumus ke dalam tanah yang merekah semakin lebar itu.
Pada saat yang bersamaan, orang-orang berbaju merah
bergegas berlarian menyelamatkan diri. Mereka berkumpul di belakang si Siluman
Kera. Beberapa kali Eyang Congkok berjumpalitan di udara. Namun setiap kali
kakinya berpijak pada tanah, seketika itu juga tanah yang dipijaknya merekah
terbelah dengan cepat.
“Setan...!” geram Eyang Congkok.
Serangan yang dilakukan Siluman Kera memang bisa
membuat lawannya harus menguras tenaga. Bagaimana tidak? Untuk menghindari diri
dari kemungkinan terkubur hidup-hidup, harus memeras tenaga dengan berlompatan
sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Paling tidak harus berusaha untuk
bisa bertahan lama berada di udara.
Saat berada di udara seperti ini tenaga lebih
banyak keluar, karena harus mengimbangi daya tarik bumi. Dan Eyang Congkok menyadari
akan hal itu. Namun tidak mudah baginya untuk bisa terlepas dari
serangan-serangan ini.
Wut! Wut..!
Tiba-tiba saja Eyang Congkok yang masih berada di
udara memutar tongkatnya di atas kepala dengan cepat sekali. Kemudian, ujung
tongkatnya langsung dihentakkan ke arah si Siluman Kera.
“Hiyaaa...!”
Bet!
Rrrt..!
Tiba-tiba saja dari ujung tongkat laki-laki tua
berjubah hijau itu meluncur beberapa benda kecil yang halus berwarna hijau.
Benda-benda yang bentuknya seperti jarum itu meluruk deras menghujani si
Siluman Kera.
“Ghraaaghk...!” si Siluman Kera meraung keras.
Seketika itu juga tubuhnya melenting ke atas sambil
mengebutkan tongkat kayunya. Cepat sekali gerakan yang dilakukan manusia kera
itu, sehingga tiba-tiba saja sudah melesat ke arah Eyang Congkok yang baru saja
mendaratkan kakinya di tanah berumput
“Uts...!”
Buru-buru Eyang Congkok merundukkan kepalanya
ketika tiba-tiba saja tongkat kayu si Siluman Kera meluruk deras mengibas ke
arah kepala. Namun belum juga laki¬laki tua berjubah hijau itu bisa menegakkan
kepala kembali, mendadak si Siluman Kera menghentakkan kakinya. Diberikannya
satu tendangan keras menggeledek yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi
sekali.
“Yeaaah...!”
Deghk!
“Akh...!” Eyang Congkok memekik keras. Tendangan
yang tiba-tiba dan tidak terduga itu tak dapat dihindari lagi, tepat mendarat
di punggung Eyang Congkok. Seketika laki-laki tua bungkuk berbaju hijau itu
tersungkur ke tanah, namun cepat melompat bangkit berdiri. Dan sebelum dia
berdiri dengan tegak, kembali Siluman Kera melancarkan serangan. Kali ini ujung
tongkatnya meluruk deras ke arah dada. Sejenak Eyang Congkok terkesiap, lalu
bergegas memiringkan tubuhnya ke kiri.
Bet!
Sungguh di luar dugaan sama sekali. Begitu
tongkatnya lewat di samping tubuh lawan, mendadak saja Siluman Kera cepat
memutar tongkatnya, dan langsung dikebutkan ke arah pinggang.
Buk!
“Akh...!” lagi-lagi Eyang Congkok terpekik.
Tulang-tulang pinggangnya seperti remuk terhantam tongkat kayu yang
kelihatannya biasa itu. Kembali laki-laki tua bungkuk itu terjajar
terhuyung-huyung beberapa kali.
“Sebut nama leluhurmu, Congkok! Yeaaah...!”
Kembali si Siluman Kera mengibaskan tongkatnya. Dan
kali ini Eyang Congkok benar-benar tidak mampu berkelit lagi. Tebasan tongkat
kayu itu demikian cepat dan deras sekali, karena mengandung pengerahan tenaga
dalam tinggi sekali.
Prak!
“Aaa...!” Seketika jeritan panjang melengking,
terdengar menyayat saat tongkat kayu si Siluman Kera menghantam keras ke kepala
laki-laki tua berjubah hijau itu. Tampak Eyang Congkok meraung-raung sambil
memegangi kepalanya. Tubuh tua dan bungkuk itu terhuyung-huyung limbung.
Dan sebelum Eyang Congkok bisa menyadari apa yang
terjadi, si Siluman Kera sudah kembali menyodokkan tongkatnya. Dan sudah pasti
sodokannya tak terbendung lagi, tepat menghunjam dada laki-laki tua bungkuk
itu.
Crab!
“Aaa...!” Satu jeritan melengking tinggi yang
panjang dan menyayat mengakhiri perlawanan Eyang Congkok untuk selama-lamanya.
Laki-laki tua bungkuk itu hanya sebentar saja masih mampu berdiri limbung,
kemudian ambruk menggelepar di tanah. Dadanya berlubang sebesar tongkat bambu.
Tampak darah mengucur dari dada yang berlubang dan dari kepalanya. Kepala Eyang
Congkok retak terhantam tongkat kayu milik Siluman Kera tadi.
“Ha ha ha...!”
Suara tawa si Siluman Kera yang keras dan lepas
berderai itu mengiringi kematian Eyang Congkok. Tubuh tua itu kini terbujur
kaku. Sementara Siluman Kera bergegas pergi diikuti orang-orangnya. Mereka
tidak mempedulikan lagi mayat-mayat yang bergelimpangan. Bahkan sebagian sudah
terkubur di dalam tanah yang tadi merekah, kemudian tertutup kembali.
***
TUJUH
Jeritan panjang Eyang Congkok yang terakhir,
menyentakkan hati Paranti yang sudah jauh dari tempat pertarungan tadi. Gadis
itu menghentikan larinya seketika, lalu memutar tubuhnya. Kecemasan terpancar
jelas di seputar wajahnya. Jelas sekali kalau jeritan panjang melengking itu
adalah jeritan kematian Eyang Congkok.
Hati Paranti jadi diliputi kebimbangan. Tanpa
disadari, dirabanya gelang hitam berbentuk ular yang ekornya berwarna keemasan
membelit kepala, di pergelangan tangannya. Gelang ini rupanya sudah begitu
banyak meminta korban nyawa. Dan baru saja nyawa Eyang Congkok terbang
melayang.
“Tidak...! Aku harus membawa gelang ini pada
paman,” Paranti berbicara sendiri.
Setelah memantapkan hatinya, tubuhnya kembali
diputar. Namun belum juga kakinya terayun melangkah, mendadak saja matanya
membeliak lebar. Entah kapan dan dari mana datangnya, tahu-tahu di depannya
sudah berdiri seorang pemuda berbaju rompi putih. Tampak gagang pedang yang
berbentuk kepala burung, menyembul dari balik punggungnya.
“Rangga...,” desis Paranti mengenali pemuda berbaju
rompi putih itu.
Pemuda tampan itu memang Rangga yang lebih dikenal
berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Rangga mengayunkan kakinya beberapa langkah
mendekati Paranti. Gadis itu masih berdiri, namun hatinya tersekat rasa
terkejut atas kemunculan Pendekar Rajawali Sakti itu yang amat tiba-tiba.
Sungguh tidak disangka kalau akan secepat ini Rangga bisa mengetahuinya.
“Kenapa kau lari begitu saja, Paranti?” agak dingin
nada suara Rangga.
“Aku tidak ingin menyusahkan orang lain,” sahut
Paranti.
“Kau sudah membuat susah orang lain, Paranti.
Sebaiknya kembalikan saja apa yang kau ambil dari Murasi,” Rangga langsung saja
bicara pada pokok persoalannya.
“He...! Jangan menuduh sembarangan, ya...!” bentak
Paranti, langsung membeliak matanya.
“Aku tidak akan berkata seperti itu kalau kau tidak
memperlihatkan apa yang kau ambil, Paranti.”
Kali ini Paranti benar-benar terkejut. Buru-buru
tangan kanannya disembunyikan di balik tubuhnya. Baru disadari kalau sekarang
telah memakai gelang yang diambilnya dari Murasi. Hanya sebentar saja gadis itu
gelagapan, namun cepat bisa menguasai dirinya kembali.
“Kau akan menambah kesulitan. Bukan saja bagi
dirimu sendiri, tapi juga bagi orang lain, Paranti. Sebaiknya, berikan saja
gelang itu pada pemiliknya. Tidak ada gunanya bagimu,” tegas Rangga lagi.
“Kalau aku tidak mau...?” ketus nada suara Paranti.
Percuma saja Paranti berbohong. Toh, Pendekar Rajawali
Sakti ini sudah mengetahui semuanya. Gadis itu tidak lagi menyembunyikan
tangannya di balik tubuh. Dan kini malah bertolak pinggang dengan sikap
menantang. Wajah yang cantik, semakin terlihat cantik kalau menegang demikian.
“Gelang itu tidak ada gunanya bagimu, Paranti. Akan
membuat kesulitan saja,” bujuk Rangga.
“Heh...! Enak saja kalau bicara. Apa kau kira si
Murasi itu mampu mempertahankan gelang ini dari si Siluman Kera...? Baru
melihat tampangnya saja pasti sudah pingsan,” terdengar sinis kata-kata
Paranti.
“Murasi memang tidak setangguh dirimu, Paranti.
Tapi dia pemiliknya. Bisa atau tidak mempertahankannya, itu terserah dia. Kau
tidak berhak atas gelang itu.”
“Siapa bilang...?! Semua orang berhak atas gelang
ini. Dan sekarang gelang ini sudah berada di tanganku. Itu berarti aku yang
berhak memilikinya. Kalau kau ingin memiliki, maka harus merebut dariku!” tegas
sekali kata¬kata Paranti.
“Kau benar-benar gadis pembawa masalah,” desis
Rangga menggeram. Kesabaran Pendekar Rajawali Sakti sudah hampir habis. Namun,
masih tetap bertahan untuk tidak terpancing atas sikap Paranti yang liar dan
sedikit keras kepala itu.
“Ayo, rebut gelang ini dariku. Gelarmu Pendekar Rajawali
Sakti, maka tentunya bukan pendekar kosong yang hanya bisa bicara dan
menggertak saja, bukan? Ayo, serang dan rebut gelang ini dariku,” tantang
Paranti, pongah.
“Aku tidak ingin bertarung denganmu, Paranti,”
Rangga masih mencoba bersabar.
“Kenapa?! Kau bukan laki-laki pengecut, kan...?”
ejek Paranti memanasi.
Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya. Pendekar
Rajawali Sakti benar-benar tidak ingin bertarung dengan gadis ini, karena tahu
kalau gelang itu diambil bukan untuk dirinya sendiri. Gelang itu untuk
seseorang yang dipanggilnya dengan sebutan paman. Memang Paranti tadi menyebut
tentang pamannya. Dan Rangga sudah sejak tadi mengikuti gadis ini. Bahkan
mengetahui pertarungan gadis itu yang ditemani seorang laki-laki tua berjubah
hijau melawan orang-orang Siluman Kera.
Pendekar Rajawali Sakti juga mendengar semua
percakapan Paranti dengan Eyang Congkok. Bahkan ikut menyaksikan pertarungan
itu. Rangga langsung mengikuti Paranti, saat gadis itu berhasil keluar dan
melarikan diri dari kancah pertarungan. Rangga pun tahu kalau Eyang Congkok
pasti sudah tewas. Hanya saja dia tidak tahu, untuk apa orang yang selalu
dipanggil dengan sebutan paman itu menginginkan Gelang Naga Soka...?
“Baik. Kalau kau tidak ingin menyerang, aku yang
akan menyerangmu,” tegas Paranti dingin.
“Jangan lakukan itu, Paranti. Tidak ada
gunanya...,” Rangga mencoba mencegah.
“Terlambat, Pendekar Rajawali Sakti. Bersiaplah!
Hiyaaat..!”
Paranti langsung saja melompat menerjang pemuda
berbaju rompi putih itu. Serangannya cepat luar biasa, dibarengi pukulan
beberapa kali yang mengandung pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.
“Heps...!”
Cepat-cepat Rangga mengegoskan tubuhnya,
menghindari serangan-serangan Paranti yang gencar sekali. Pendekar Rajawali
Sakti itu langsung saja menggunakan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’. Tapi kali
ini tujuannya lain dari biasanya. Yang jelas, bukannya hendak mengukur
kemampuan ilmu olah kanuragan yang dimiliki gadis itu, tapi memang enggan
bertarung.
***
Meskipun Paranti melontarkan pukulan-pukulan yang
dahsyat dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, namun tak membawa hasil
sedikit pun. Rangga selalu berhasil mengelak dengan mudah. Tampaknya, Pendekar
Rajawali Sakti hanya meliuk-liukkan tubuhnya saja, dan selalu menghindar tanpa
membalas serangan.
“Jangan hanya bisa menghindar saja, Rangga!” bentak
Paranti kesal.
Namun bentakan itu sama sekali tidak digubris
Pendekar Rajawali Sakti. Dan ini membuat Paranti semakin berang saja. Gadis itu
langsung meningkatkan serangan-serangannya. Namun sampai sejauh ini, belum juga
berhasil menyarangkan satu pukulan pun. Gadis itu bukan saja heran, tapi juga
penasaran, geram, dan entah apa lagi yang ada dalam hatinya. Padahal Paranti
sudah menghabiskan lebih dari sepuluh jurus, namun belum juga bisa mendesak
Rangga sedikit pun.
“Hup...!”
Tiba-tiba saja Paranti melompat mundur, dan
seketika menghentikan serangannya. Meskipun gadis itu memiliki kepandaian
tinggi, namun belum cukup untuk menandingi Pendekar Rajawali Sakti. Ilmu yang
dimilikinya masih terlalu jauh di bawah pemuda berbaju rompi putih itu. Tidak
heran, walaupun telah melampaui dua puluh jurus, namun belum juga bisa mendesak
pemuda itu.
“Sudah kukatakan, tidak ada gunanya berkeras
kepala, Paranti,” kata Rangga seraya tersenyum.
“Huh! Aku belum kalah!” dengus Paranti, agak
tersengal napasnya.
Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya menghadapi
kekerasan hati gadis ini. Namun sesaat kemudian, Pendekar Rajawali Sakti itu
menyipitkan matanya kala Paranti meloloskan pedangnya.
Sret! Cring...!
“Kau harus mampus, Pendekar Rajawali Sakti. Kau
adalah penghalangku yang paling utama...!” desis Paranti dingin.
“Sarungkan kembali pedangmu, Paranti. Berbahaya
menggunakan senjata,” bujuk Rangga.
“Aku senang menentang bahaya. Terlebih lagi jika
kau menikmati bahaya itu, Pendekar Rajawali Sakti,” balas Paranti sinis.
“Hm.... Sepertinya aku harus memberimu pelajaran,
Paranti,” gumam Rangga agak dalam.
“Bagus! Sejak tadi aku menunggu pelajaran itu,”
sambut Paranti meledek.
Setelah berkata demikian, Paranti langsung saja
mengebutkan pedangnya sambil melompat. Ujung pedangnya tertuju lurus ke arah
dada pemuda berbaju rompi putih itu. Namun sedikit pun Rangga tidak berusaha
mengelak. Bahkan sama sekali tidak bergeming. Dan ini membuat Paranti jadi
terkejut. Tapi, serangannya tak mungkin ditarik kembali.
“Hap...!”
Tap!
Tepat ketika ujung mata pedang Paranti hampir
menghunjam di dada, Pendekar Rajawali Sakti cepat merapatkan kedua tangannya.
Seketika dijepitnya ujung pedang itu, kemudian dibawanya ke samping sambil
membungkukkan tubuh sedikit. Dan sebelum Paranti menyadari apa yang terjadi,
Rangga sudah memberi satu tendangan keras yang hanya sedikit disertai
pengerahan tenaga dalam.
“Yeaaah...!”
Des!
“Ughk..!” Paranti mengeluh pendek. Tendangan kaki
Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam perut Paranti, sehingga membuatnya
terbungkuk. Tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang. Pegangannya pada
pedang langsung terlepas. Paranti merasakan seketika perutnya jadi mual, dan
ingin muntah rasanya.
Sementara Rangga sudah berdiri tegak sambil
menggenggam pedang Paranti di tangannya. Pedang itu dilemparkan, dan langsung
menancap tepat di ujung kaki Paranti. Gadis itu terbeliak, sehingga kontan
mengangkat kepalanya. Ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam. Paranti
masih merasakan mual pada perutnya.
“Hup! Hesss...!”
Paranti menggerak-gerakkan tangannya di depan dada,
kemudian menarik napas dalam-dalam. Setelah ditahan sebentar, napasnya
dihembuskannya kuat-kuat. Dicobanya untuk mengusir rasa mual pada perutnya
dengan mengerahkan hawa murni.
“Hih!”
Gadis itu kemudian mencabut pedangnya yang tertanam
di tanah, dan digenggamnya erat-erat dengan tangan kanan. Sementara Rangga
hanya berdiri tegak sambil tersenyum.
“Kau harus mampus, Rangga...!” desis Paranti
dingin.
Kemudian pedangnya dikebutkan, lalu disilangkan di
depan dada. Tatapan mata gadis itu demikian tajam menusuk. Bibirnya terkatup
rapat, menahan kemarahan dan rasa malu karena mudah sekali dapat diperdaya oleh
pemuda tampan berbaju rompi putih itu.
“Hiyaaat..!”
Sambil berteriak nyaring, Paranti kemudian melompat
menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Pedangnya dikebutkan beberapa kali ke
bagian-bagian tubuh Rangga. Namun Pendekar Rajawali Sakti itu hanya
meliuk-liukkan tubuhnya saja, sehingga tebasan pedang itu hanya mengenai angin
kosong saja.
Kali ini Rangga dapat merasakan kalau serangan
Paranti yang sekarang, mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Dan
nampaknya, Paranti benar-benar mengeluarkan seluruh kemampuan untuk bisa
merobohkannya.
“Hiya! Hiyaaat...!”
“Uts...!”
Hampir saja mata pedang yang berkilatan itu menebas
leher, kalau saja Rangga tidak cepat-cepat menarik mundur kepalanya. Namun
sebelum Pendekar Rajawali Sakti itu bisa menarik pulang kepalanya, Paranti
sudah memberi satu tendangan cepat menggeledek.
“Hiyaaa...!”
Cepat sekali Rangga melompat ke samping, maka
tendangan Paranti kembali tidak mengenai sasaran. Pada saat itu, Rangga
mengayunkan kakinya setengah melingkar, mengarah ke pinggang. Namun dengan
gerakan manis sekali, Paranti bisa menghindari tendangan itu. Bahkan dengan
cepat sekali pedangnya ditebaskan.
“Heh...?!” Rangga tersentak kaget
Buru-buru kakinya ditarik pulang. Dan pada saat itu
juga Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat ke samping. Dan gadis ini tidak
menduga kalau Rangga bisa memotong arus gerakan pedangnya tanpa sedikit pun
membiarkan pedang itu menyentuh ujung bajunya.
“Yeaaah...!”
Kembali kaki Rangga menghentak sebelum Paranti
menarik pulang pedangnya. Tendangan Rangga yang begitu cepat dan tidak terduga
ini, membuat Paranti jadi gelagapan. Gadis itu berusaha berkelit, namun....
Des...!
“Akh...!” Paranti terpekik. Tendangan Rangga tepat
menghantam perut, dan membuat gadis itu kembali terhuyung-huyung ke belakang
sambil mendekap perutnya yang kembali terasa mual seketika. Namun sebelum
sempat gadis itu menguasai dirinya kembali, Rangga sudah melontarkan satu
pukulan keras disertai pengerahan sedikit tenaga dalam. Memang Pendekar
Rajawali Sakti benar-benar tidak ingin melukai Paranti.
Paranti terjajar jatuh ke tanah dengan keras
sekali. Gadis itu meringis, berusaha menggelinjang bangkit berdiri. Namun
sebelum mampu bangkit berdiri, pedang Paranti sudah menyentuh leher tuannya
sendiri. Paranti benar-benar tidak berdaya sama sekali. Bahkan diam saja saat
Rangga mencopot gelang yang dipakainya. Pendekar Rajawali Sakti membuang pedang
Paranti tidak seberapa jauh, kemudian bergerak mundur beberapa langkah.
Sebentar Rangga memandangi gelang berbentuk seekor
ular itu, kemudian menyimpannya di dalam sabuk yang mengikat pinggangnya.
Sementara Paranti sudah mencoba bangkit berdiri. Tampak dari sudut bibirnya
mengeluarkan darah sedikit.
“Aku akui, kau memang tangguh, Rangga,” kata
Paranti memuji.
“Terima kasih,” ucap Rangga. Pendekar Rajawali
Sakti bergegas memutar tubuhnya, dan langsung saja berjalan cepat. Begitu
cepatnya, sehingga sebentar saja sudah jauh berjalan.
“Hei, tunggu...!” teriak Paranti langsung saja
berlari mengejar sambil mendekap perutnya yang masih terasa mual.
Namun Rangga seperti tidak mendengar teriakan itu.
Dia terus saja berjalan ringan, namun cepat sekali. Meskipun kakinya bergerak
melangkah, namun seolah-olah telapak kakinya tidak menyentuh tanah.
***
Murasi gembira begitu Rangga kembali membawa Gelang
Naga Soka. Namun kegembiraan gadis itu lenyap saat melihat Paranti ikut bersama
pemuda itu. Kehadiran Paranti benar-benar tidak diinginkan sama sekali. Memang,
Murasi sudah telanjur tidak menyukainya.
“Apa maksudmu datang lagi ke sini? Akan mencari
kesempatan lagi ya...?” sinis sekali nada suara Murasi.
“Tidak. Aku hanya ingin membantumu menghadapi si
Siluman Kera dan orang-orangnya,” tegas Paranti.
“Dia sudah berjanji padaku, Murasi,” sergah Rangga
sebelum Murasi sempat membuka suara.
“Kau percaya begitu saja, Kakang..?” Murasi masih
tidak mempercayai sikap Rangga yang begitu mudah telah diperdayai Paranti waktu
itu.
Rangga mengangguk pasti. Pendekar Rajawali Sakti
memang mempercayai Paranti setelah gadis itu menceritakan sebabnya mencuri
Gelang Naga Soka dari tangan Murasi. Gelang itu memang bukan untuk dirinya
sendiri, tapi untuk pamannya yang kini menunggu di sebuah pertapaan yang cukup
jauh dari Desa Banggal ini. Paman Paranti ingin memusnahkan sebagian jiwa si
Siluman Kera yang berada di dalam gelang itu. Dia tahu kalau jiwa si Siluman
Kera masih berada dalam Gelang Naga Soka, maka siluman itu tidak akan mati
sepanjang zaman. Dia akan tetap hidup dalam ujud setengah kera dan setengah
manusia, dan akan terus mengembara mencari sebagian dari jiwanya yang hilang
itu.
Dengan tulus Rangga memuji tujuan mulia itu, tapi
cara yang ditempuh Paranti sungguh tidak disukainya. Dan dia yakin kalau paman
gadis itu tidak memberi perintah untuk mencuri, tapi meminta dengan menjelaskan
semua persoalan dan keinginannya yang murni. Masalahnya cara yang dilakukan
Paranti bisa berakibat buruk pada diri gadis itu sendiri. Bahkan bukannya tidak
mungkin, keinginan suci pamannya akan ternoda.
Tidak ada cara lain bagi Rangga untuk meyakinkan niat
suci Paranti dalam memperoleh Gelang Naga Soka itu, kecuali menceritakan
semuanya pada Murasi. Memang tidak mudah, karena harus meyakinkan gadis yang
sudah telanjur membenci Paranti akibat kesembronoannya. Dan Rangga tidak bisa
menyalahkan sikap Murasi dalam hal ini. Karena gadis itu sendiri mendapat
amanat untuk tetap mempertahankan Gelang Naga Soka, walau apa pun yang terjadi.
“Mungkin kau bisa cepat mempercayainya, Kakang.
Tapi aku belum bisa percaya begitu saja,” tegas Murasi setelah Rangga menceritakan
semua yang telah didengarnya dari Paranti sendiri.
“Itu hakmu. Tapi yang jelas, Paman Kumbara tidak
bermaksud buruk. Paman Kumbara tidak jahat!” celetuk Paranti sengit.
“Bagaimana aku bisa mempercayaimu?” tantang Murasi.
“Terserah. Yang jelas aku harus kembali ke
pertapaan sambil membawa gelang itu. Kau berikan atau tidak, aku tetap akan
berusaha mengambilnya sebelum si Siluman Kera mendapatkannya!” tegas Paranti.
Sejenak Murasi mengerutkan keningnya. Kata-kata
Paranti barusan, jelas bernada tantangan yang tak akan pernah mengenal
menyerah. Kali ini mungkin Paranti menganggapnya gagal. Tapi di lain saat dia
pasti akan mencoba lagi. Dan tentunya, tidak akan berhenti sebelum memperoleh
Gelang Naga Soka.
Satu tantangan terbuka telah digelar Paranti. Dan
Murasi tidak mungkin hanya mendiamkan saja. Hatinya langsung jadi panas.
Matanya menatap tajam, menusuk langsung ke bola mata Paranti. Sementara Paranti
sendiri membalasnya tidak kalah tajam. Untuk beberapa saat kedua gadis itu
saling menatap tajam. Suasana semakin bertambah panas.
“Hih! Yeaaah...!”
Tiba-tiba saja Murasi menghentakkan tangannya ke
depan, memberi satu pukulan lurus disertai pengerahan tenaga dalam cukup
tinggi. Serangan yang dilakukan Murasi demikian cepat dan mendadak sekali.
Namun, Paranti yang memang sudah siap sejak tadi, tidak kalah cepatnya.
Langsung ditangkisnya serangan itu, sehingga tangannya beradu dengan tangan
Murasi.
Plak!
Kedua gadis itu langsung terpental seketika. Mereka
sama-sama berjumpalitan, dan hampir bersamaan pula mendarat manis di lantai.
Juga dalam waktu yang sama, mereka melompat saling memberi serangan keras
bertenaga dalam tinggi.
“Hiyaaat...!”
“Yeaaah...!”
Kembali pukulan-pukulan saling berbenturan di
udara. Namun kali ini mereka tidak terpental. Dan dengan telapak tangan
menempel erat, mereka sama-sama turun dan mendarat manis di lantai. Seketika
itu juga, Paranti melayangkan satu tendangan keras ke arah perut.
“Hih!”
“Ufs...!”
Plak!
Murasi mengebutkan tangannya, menangkis tendangan
Paranti. Kedua gadis itu langsung saja terlibat pertarungan menggunakan
jurus-jurus pendek dan cepat. Jarak mereka begitu dekat, hanya sekitar satu
langkah saja. Sementara Rangga, Paman Katir, dan Paman Julak yang menyaksikan
pertarungan itu tak bisa berbuat apa-apa. Mereka semua tadi mendengar kalau
Paranti yang membuka tantangan.
Rangga menatap kedua laki-laki itu yang kemudian
hanya dibalas dengan bahu yang terangkat saja. Rangga sendiri jadi mengangkat
bahu juga. Memang tak ada yang bisa dilakukan. Mencegah pertarungan, sama saja
menghina kedua gadis yang sedang bertarung. Rangga jadi serba salah sendiri.
Dia tidak menginginkan kedua gadis itu bertarung, tapi juga tidak mungkin
mencegah.
Sementara pertarungan terus berlangsung semakin
sengit. Masing-masing berusaha menjatuhkan lawan. Jurus demi jurus berlalu
cepat. Dan pertarungan kini berpindah ke halaman depan, setelah
memporak¬porandakan seluruh isi ruangan depan yang besar itu.
“Ha ha ha...!”
Tiba-tiba saja terdengar tawa menggelegar yang
mengejutkan. Seketika itu juga, Paranti dan Murasi menghentikan pertarungannya.
Mereka sama-sama berlompatan mundur, tepat pada saat mereka baru saja mencabut
pedangnya. Saat itu juga Rangga melompat cepat dan tahu-tahu sudah berdiri di
antara kedua gadis itu
***
DELAPAN
“Awas...!” teriak Rangga tiba-tiba.
Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti melompat ke
arah Murasi. Tepat ketika sebuah benda bercahaya kemerahan meluncur deras ke
arah gadis itu. Rangga langsung menubruk Murasi, sehingga mereka jatuh
bergulingan di tanah. Namun Pendekar Rajawali Sakti itu cepat melompat bangkit,
dan langsung membantu Murasi berdiri.
Sebentar Rangga melirik ke tanah, tempat Murasi
berdiri tadi. Tanah itu berlubang kecil sebesar lingkaran bambu. Tampak di
dalam lubang itu terdapat sebuah benda bulat berwarna merah. Benda itu
mengepulkan asap tipis, dan terus melesak masuk ke dalam tanah.
Bisa dibayangkan bila benda itu menghunjam tubuh
orang. Jelas, akan terus amblas dan menggerogoti daging! Suatu bentuk kematian
secara perlahan, setelah mengalami siksaan sakit yang amat sangat.
“Kau tunggu di sini,” ujar Rangga.
“Mau ke mana...?”
Tapi pertanyaan Murasi tidak sempat terjawab,
karena Pendekar Rajawali Sakti itu sudah lebih dulu melesat ke atas atap.
Rangga memang sempat melihat kalau benda merah itu datang dari arah atap. Namun
belum juga bisa mencapai tempat yang dimaksud, mendadak saja sebuah bayangan
merah berkelebat cepat menyambarnya.
“Hup...!”
Cepat Rangga memutar tubuhnya, sehingga bayangan
merah itu tidak sampai menyentuh dirinya, dan hanya lewat di bawah tubuhnya.
Pada saat yang sama, Rangga melontarkan satu tebasan tangan dari jurus ‘Sayap
Rajawali Membelah Mega’.
Bet!
Deghk!
“Akh...!” satu pekikan tertahan terdengar.
Saat itu juga, terlihat satu sosok tubuh mengenakan
baju warna merah meluncur ke bawah dengan cepat sekali. Seketika tubuh berbaju
merah itu keras menghantam tanah. Sebentar dia menggeliat, kemudian diam tidak
bergerak-gerak lagi. Darah langsung merembes keluar dari sudut bibirnya.
Pada saat itu, Rangga sudah hinggap di atas atap.
Dan saat kakinya menjejak atap, dua bayangan merah kembali berkelebat cepat
menyambarnya. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuhnya ke atas,
lalu berputaran dua kali di udara. Dan secepat kilat kakinya menghentak,
menyambar dua bayangan merah yang lewat di bawahnya.
Des!
Deghk!
Seketika terdengar dua jeritan melengking saling
susul. Lalu, tampaklah dua sosok tubuh berbaju merah jatuh bergulingan di atap,
dan terus meluncur ke bawah. Begitu tubuh mereka sampai ke tanah, Paman Katir
dan Paman Julak langsung menyambutnya. Golok mereka berkelebat menyambar dua
sosok tubuh berbaju merah itu. Kembali terdengar jeritan-jeritan melengking
tinggi. Dua sosok tubuh itu seketika tewas bersimbah darah, terhajar babatan
golok.
Rangga sudah kembali berdiri tegak di atap rumah
yang besar ini. Pandangannya langsung beredar ke sekeliling. Sedangkan beberapa
orang menunggu di bawah sana. Mereka semua memperhatikan Pendekar Rajawali Sakti
yang berdiri tegak di atas atap rumah. Pada saat itu Murasi melesat cepat, dan
tahu-tahu sudah berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat yang
sama, Paranti juga melompat. Dan kini kedua gadis itu sudah berada di samping
Rangga.
Baru saja Murasi hendak membuka mulut, mendadak
dari segala penjuru bermunculan orang-orang berbaju merah yang langsung
mengepung rumah ini. Paman Julak dan Paman Katir yang berada di bawah bersama
orang-orang bayaran, langsung bersiap. Sementara tiga orang yang berada di atap
jadi bengong, karena tidak menyangka akan mendapat satu serangan yang begitu
mendadak.
“Ha ha ha...!”
Rangga langsung berpaling ke kanan ketika tiba-tiba
terdengar suara tawa terbahak-bahak. Tampak di bawah pohon kamboja, tahu-tahu
sudah berdiri sosok makhluk yang sukar dijelaskan wujudnya. Apakah itu manusia,
atau kera. Bentuk badan dan tingginya, seperti manusia. Tapi seluruh tubuhnya
berbulu, dan wajahnya benar-benar mirip kera. Bajunya warna merah dengan bagian
leher berwarna kuning keemasan. Sebatang tongkat kayu tergenggam di tangan
kanan yang berbulu lebat.
“Itu dia si Siluman Kera,” kata Paranti memberi
tahu.
Pandangannya beredar ke sekeliling. Saat ini
seluruh rumah besar ini sudah terkepung oleh orang-orang berbaju merah yang
semuanya sudah menghunus golok. Jumlah mereka begitu banyak. Yang jelas, tak
seimbang dengan orang-orang yang disewa mendiang Nyi Enoh untuk menjaga
keutuhan rumah ini.
“Paranti, turun kau...!” tiba-tiba si Siluman Kera
berteriak keras menggelegar.
Sebentar Paranti menatap Rangga, kemudian langsung
melompat turun. Gerakannya begitu ringan, dan dengan manisnya menjejak tanah.
Pada saat yang hampir bersamaan, Rangga dan Murasi juga ikut melompat turun.
Mereka langsung mendarat di samping Paranti yang sudah berdiri di tanah lebih
dahulu.
“Mana gelang itu...?” bentak Siluman Kera. Suaranya
terdengar berat dan kasar sekali.
“Tidak ada padaku,” sahut Paranti ketus.
Siluman Kera langsung menatap Murasi yang berdiri
di samping Rangga. Agak bergidik juga gadis itu mendapatkan sorot mata bulat
memerah yang tajam itu.
“Kau...! Ke sini!” bentak Siluman Kera sambil
menunjuk Murasi dengan ujung tongkatnya.
“Kau saja yang ke sini, Monyet!” balas Murasi tidak
kalah ketusnya.
Si Siluman Kera menggeram marah mendengar penolakan
yang tegas dari Murasi. Tatapannya semakin tajam pada gadis itu. Sedangkan
Murasi kini jadi berani membalas tatapan itu dengan tidak kalah tajamnya.
Bahkan malah bertolak pinggang, seakan-akan sengaja memamerkan Gelang Naga Soka
yang melingkar di pergelangan tangannya.
“Berikan gelang itu padaku, Murasi,” pinta Rangga
setengah berbiak.
“Apa...?!” Murasi terkejut
“Berikan saja gelang itu padaku. Yang diinginkan
hanya
gelang itu. Dan aku akan menantang bertarung agar
tidak menimbulkan banyak korban,” kata Rangga setengah memaksa.
“Tapi....”
“Tidak ada waktu untuk berdebat, Murasi,” Rangga
memutuskan ucapan Murasi.
Entah apa yang ada dalam hati gadis itu, tapi
akhirnya melepaskan Gelang Naga Soka yang berada di pergelangan tangannya.
Rangga langsung merebut gelang itu, lalu mengenakannya di pergelangan tangan
kiri. Kemudian kakinya terayun ke depan beberapa langkah. Pendekar Rajawali
Sakti itu berhenti setelah jaraknya dengan si Siluman Kera tinggal dua batang
tombak lagi.
“Sekarang aku yang memiliki gelang ini. Siapa pun
tidak kuizinkan menyentuhnya,” tegas Rangga dengan suara dingin.
Siluman Kera menggeram agak tertahan mendengar
kata-kata bernada tantangan dari seorang pemuda yang berdiri sekitar dua tombak
di depannya. Ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam. Begitu tajamnya,
seakan-akan sorot matanya akan melumat Rangga hingga hancur jadi tepung.
“Siapa kau, Anak Muda?” dingin sekali nada suara si
Siluman Kera.
“Rangga,” sahut Rangga pendek. Suaranya terdengar
datar, tanpa tekanan sama sekali.
“Kau tahu, dengan siapa kau berhadapan?”
“Monyet iblis yang sudah menggali kuburnya
sendiri,” sahut Rangga, tetap dingin suaranya.
“Ha ha ha...! Rupanya kau punya nyawa rangkap juga,
Anak Muda. Bagus...! Itu berarti akan semakin banyak darah membanjiri tempat
ini.”
“Tidak ada darah yang mengalir, kecuali darahmu,
Monyet Iblis,” desis Rangga datar.
Siluman Kera langsung terhenyak mendengar kata-kata
yang begitu dingin dan menusuk. Dipandanginya wajah Pendekar Rajawali Sakti
dalam-dalam. Meskipun kata-kata itu diucapkan bernada datar, namun Siluman
Iblis bisa menangkap maksudnya. Dan hatinya agak terkejut juga. Karena, selama
ini tidak ada seorang pun yang berani menantangnya bertarung, kecuali mereka
yang terpojok dan nekat melawan.
Tapi pemuda berbaju rompi putih ini terang-terangan
menantangnya, meskipun diucapkan secara halus. Bahkan hampir tidak jelas
maksudnya.
Siluman Kera mendesis kecil seraya memindahkan
tongkat kayunya yang berwarna putih, ke tangan kiri. Pandangannya masih tajam,
mengamati pemuda berbaju rompi putih di depannya.
“Apa yang kau andalkan untuk menantangku, Anak
Muda?” tanya Siluman Kera, bersikap meremehkan.
“Tidak ada,” sahut Rangga singkat
“Phuih! Kau terlalu merendahkan aku, Anak Muda!”
dengus Siluman Kera seraya menyemburkan ludahnya.
“Di mataku, kau memang rendah sekali. Bahkan
terlalu rendah untuk bisa berdiri tegak,” ejek Rangga datar.
“Keparat..!” geram Siluman Kera, langsung memuncak
amarahnya.
Trap!
Siluman Kera kembali memindahkan tongkatnya ke
tangan kanan. Perlahan kakinya bergeser ke kiri beberapa tindak. Tatapan
matanya semakin menusuk langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan pemuda berbaju rompi putih itu hanya berdiri tegak sambil tersenyum
tipis. Dengan sudut ekor matanya, setiap gerak yang dilakukan manusia setengah
kera itu diawasi.
“Kau akan menyesal di neraka, Anak Muda,” desis
Siluman Kera dingin.
“Jangan takabur, Siluman Kera. Kita buktikan, siapa
yang lebih dulu pergi ke neraka,” sambut Rangga.
“Bedebah...! Hiyaaat..!”
Siluman Kera tidak bisa lagi menahan amarahnya.
Sambil berteriak keras menggelegar, dia langsung melompat menerjang sambil
mengayunkan kakinya ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti. Namun manis sekali,
Rangga mengegoskan kepalanya sedikit. Maka ujung tongkat kayu berwarna putih
itu lewat di depan wajahnya.
Namun sebelum Rangga bisa menarik kembali
kepalanya, satu pukulan tangan kiri yang cepat dan mengandung tenaga dalam
tinggi dilontarkan Siluman Kera ke arah dada.
“Uts...!”
Bergegas Pendekar Rajawali Sakti memiringkan
tubuhnya ke kanan, maka pukulan itu lewat di depan dadanya. Seketika itu juga
Rangga menghentakkan kakinya. Diberikannya serangan balasan lewat satu
tendangan memutar sambil melompat sedikit
“Yeaaah...!”
Rangga menduga kalau si Siluman Kera itu akan
berkelit menghindari tendangannya. Namun tanpa diduga sama sekali, manusia
setengah kera itu malah membabatkan tongkatnya untuk menyampok kaki Pendekar
Rajawali Sakti itu.
“Bet!”
“Ufs...!” Buru-buru Rangga menarik pulang
serangannya, langsung memutar tubuhnya. Kembali dilontarkan satu kibasan tangan
yang merentang lurus dengan telapak merapat. Pendekar Rajawali Sakti langsung
mengerahkan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’. Salah satu jurus dahsyat dari
rangkaian lima jurus ‘Rajawali Sakti’.
Kedua tangan Rangga merentang lebar ke samping,
lalu bergerak-gerak cepat disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai
taraf kesempurnaan. Gerakan tangan yang mengibas itu diimbangi gerakan tubuh
dan kaki yang lincah serta lentur bagai karet. Serangan yang dilancarkan
Pendekar Rajawali Sakti sedikitnya membuat repot si Siluman Kera.
“Hiya! Yeaaah...!”
Pendekar Rajawali Sakti seperti tidak lagi memberi
kesempatan pada si Siluman Kera itu untuk balas menyerang. Selesai dengan jurus
‘Sayap Rajawali Membelah Mega’, langsung digantinya dengan jurus lain.
Pertarungan itu memang berjalan cepat dan dahsyat luar biasa. Bahkan kini satu
sama lain saling melancarkan serangan secara bergantian. Jurus demi jurus pun
berlalu cepat sekali. Sehingga tidak terasa, pertarungan sudah melewati lebih
dari lima belas jurus.
Namun tampaknya pertarungan itu masih berjalan cukup
lama, belum ada tanda-tanda kalau akan cepat berakhir. Bahkan tidak ada sedikit
pun tanda-tanda bakal ada yang akan terdesak. Sementara mereka yang menyaksikan
jalannya pertarungan seringkali harus menahan napas.
“Serang...!”
Tiba-tiba saja terdengar teriakan keras. Maka semua
orang yang berada di halaman depan rumah besar itu jadi terkejut bukan main.
Ternyata tiba-tiba saja muncul puluhan orang bersenjata segala macam, berlarian
sambil berteriak-teriak mengacungkan senjata di atas kepala.
“Paman Kumbara...,” desis Paranti ketika matanya
menangkap seorang laki-laki setengah baya yang berlarian cepat di antara
orang-orang yang datang menyerbu itu.
Murasi yang berada di sebelah gadis itu, jadi
tertegun sejenak. Ditatapnya Paranti dalam-dalam. Sedangkan yang ditatap, malah
tersenyum senang. Matanya tidak berkedip memandang laki-laki setengah baya yang
mengenakan jubah putih sambil menghunus pedang.
“Serbuuu...!” tiba-tiba saja Paman Julak berseru
keras memberi perintah.
Sekitar sepuluh orang bayaran yang disewa mendiang
Nyai Enoh, seketika mencabut senjata masing-masing. Mereka langsung menerjang
orang-orang berbaju merah yang kelihatannya jadi kebingungan. Karena, sekarang
giliran mereka yang terkepung.
Pertempuran massal pun tak terhindarkan lagi. Sebentar
saja terdengar jeritan panjang melengking tinggi yang saling sambut, mengiringi
kematian. Tubuh-tubuh mulai bergelimpangan tewas berlumuran darah.
Sementara itu, pertarungan antara Pendekar Rajawali
Sakti dan Siluman Kera sudah mencapai taraf yang tertinggi. Masing-masing kini
menggunakan ilmu-ilmu kesaktian yang dahsyat. Cahaya-cahaya kilat bertebaran
saling menyambar, diselingi ledakan menggelegar yang amat dahsyat dan
memekakkan telinga.
“Kau memang hebat, Anak Muda. Tapi cobalah ilmu
pamungkasku yang terakhir!” dengus Siluman Kera.
Makhluk setengah manusia dan setengah kera itu
menggerakkan tangannya di depan dada. Tampak begitu telapak tangannya merapat
di atas kepala, seluruh tubuhnya memancarkan cahaya kuning keemasan yang
bercampur sinar merah bagai api berkobar membakar tubuhnya.
“Hap...!”
Sret! Cring!
Menyadari kalau ilmu pamungkas yang hendak
dikeluarkan si Siluman Kera memiliki kekuatan dahsyat, Rangga tidak
tanggung-tanggung lagi. Segera diloloskan pedangnya dari warangka di punggung,
kemudian dilintangkan di depan dada. Telapak tangannya menempel pada mata
pedang, dan perlahan-lahan mulai bergerak menggosok mata pedang yang
memancarkan cahaya biru berkilau.
“Hiyaaa...!” sambil berteriak keras menggelegar,
Siluman Kera melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti.
“Aji ‘Cakra Buana Sukma’...! Yeaaah...!” teriak
Rangga seraya melintangkan pedangnya di depan dada. Kemudian dengan kecepatan
tinggi, Pendekar Rajawali Sakti itu memasukkan pedang ke dalam warangkanya
kembali. Dan pada saat itu, cahaya biru telah menggumpal pada kedua tangannya.
Secepat kilat Rangga menghentakkan tangannya ke depan, tepat ketika dua telapak
tangan si Siluman Kera hampir menghajar dadanya.
Glarrr...!
Ledakan keras seketika terdengar bagai ledakan
gunung berapi yang memuntahkan laharnya. Seluruh mayapada ini berguncang
dahsyat. Angin bertiup keras, dan tanah bergetar bagai diguncang gempa.
Sementara itu, dua pasang telapak tangan telah menyatu rapat dalam selimut
cahaya beraneka ragam. Siluman Kera dan Pendekar Rajawali Sakti saling berdiri
berhadapan dengan telapak tangan menyatu rapat. Tampak tubuh mereka bergetar,
berusaha menjatuhkan satu sama lain sesingkat mungkin.
Ini bukan yang pertama kali Pendekar Rajawali Sakti
bertarung mempergunakan aji ‘Cakra Buana Sukma’. Tapi baru kali ini tahapan
yang paling terakhir dikerahkannya. Dan baru kali ini pula mendapat balasan
yang kuat sehingga seluruh kekuatannya harus dikerahkan.
“Yeaaah...!” tiba-tiba Rangga berteriak keras.
Seketika itu juga, seluruh tubuhnya berselimut sinar biru yang terang dan
menyilaukan mata. Pendekar Rajawali Sakti membuka mulutnya lebar-lebar. Maka
dari dalam rongga mulutnya memancarkan cahaya biru yang langsung membelit tubuh
Siluman Kera, bagaikan seekor ular saja.
“Akh...!” Siluman Kera memekik agak tertahan. Tubuh
manusia kera itu menggeliat dan menggeletar. Sepasang bola matanya semakin
memancar memerah. Sebentar kemudian terdengar suara raungan bagai binatang buas
yang liar. Tampak seluruh tubuh Siluman Kera semakin kuat menggeletar.
Dicobanya untuk melepaskan diri dari pertarungan ini, namun kedua telapak
tangannya tak bisa lagi dilepaskan. Manusia setengah kera itu merasakan adanya
tarikan kuat yang menyedot kekuatannya. Dan semakin mencoba bertahan, semakin
terasa kuat tarikan itu.
Sementara cahaya biru semakin tebal menyelimuti
tubuh berbulu dengan wajah seekor kera itu. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti
semakin kuat mengerahkan kekuatan aji ‘Cakra Buana Sukma’. Dari mulutnya yang
terbuka lebar, terus mengeluarkan cahaya biru berkilauan yang menyilaukan mata.
“Hup! Yeaaah...!”
Cring! Bet!
Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti mencabut
pedangnya, dan langsung dibabatkan ke leher si Siluman Kera. Begitu cepatnya,
sehingga Siluman Kera tidak sempat lagi menghindar. Terlebih lagi, dia tengah
berusaha keluar dari pertarungan kekuatan ilmu kesaktian ini. Sehingga....
Cras!
“Aaakh....!” Siluman Kera menjerit melengking
tinggi.
“Hup...!” Rangga langsung melompat mundur sambil
menarik kembali ajiannya. Tampak si Siluman Kera berdiri tegak tak
bergerak-gerak. Mulutnya terbuka lebar, dan matanya mendelik memerah. Pendekar
Rajawali Sakti memasukkan kembali pedang pusaka ke dalam warangka di punggung.
Kemudian sambil berteriak keras menggelegar, Rangga melompat melontarkan satu
tendangan keras menggeledek.
“Hiyaaat..!”
Glarrr! Ledakan keras kembali terdengar bagai
guntur di siang bolong, begitu tendangan Pendekar Rajawali Sakti menghantam
dada si Siluman Kera. Seketika itu juga, tubuh Siluman Kera hancur
berkeping-keping tanpa memperdengarkan suara lagi.
“Hhh...!” Rangga menghembuskan napas panjang.
Dipandanginya tubuh Siluman Kera yang hancur jadi tepung. Sementara itu,
pertarungan di tempat lain juga sudah berakhir. Tidak sedikit anak buah Siluman
Kera yang tewas, dan tidak sedikit pula yang sempat melarikan diri begitu
melihat pemimpinnya tewas. Tampak Murasi dan Paranti berdiri berdampingan di
depan seorang laki¬-laki setengah baya mengenakan jubah panjang berwarna putih.
“Kau percaya padaku, Murasi?” tanya Paranti seraya
melirik gadis di sampingnya.
“Percaya. Tapi, gelang itu ada pada Kakang Rangga,”
sahut Murasi.
“Hei...?! Di mana dia...?” seru Paranti.
Kedua gadis itu saling berpandangan, kemudian
sama-sama mengedarkan pandangan ke sekeliling. Pendekar Rajawali Sakti memang
sudah tidak ada lagi. Entah kapan dan ke mana perginya, tak ada yang
mengetahui. Tapi di beranda depan rumah, tergantung sebuah gelang hitam
berbentuk seekor ular. Murasi cepat-cepat mengambil gelang itu dan membawanya
pada Paman Kumbara yang langsung menerimanya disertai senyuman tersungging di
bibir.
“Tidak ada gunanya lagi. Dia sudah memusnahkan
sebagian jiwa Siluman Kera yang ada dalam gelang ini,” jelas Paman Kumbara.
“He...?! Bagaimana caranya, Paman?” tanya Paranti
terkejut.
“Entahlah. Tapi yang jelas, tingkatan kepandaiannya
lebih tinggi daripada Siluman Kera. Hm..., seandainya aku bisa berbicara
dengannya...,” nada suara Paman Kumbara seperti bergumam.
“Aneh juga, ya.... Kenapa dia pergi begitu
saja...?” gumam Paranti seperti bicara pada dirinya sendiri.
“Begitulah seorang pendekar sejati. Dia tidak
memerlukan ucapan terima kasih ataupun balas jasa atas sumbangsihnya,” jelas
Paman Kumbara.
Ada nada kekaguman pada suara Paman Kumbara. Tapi
di balik itu semua hatinya juga menyesal. Karena, dia tidak sempat bertemu muka
dan berbicara dengan seorang pendekar sejati seperti Pendekar Rajawali Sakti.
“Sudahlah. Sebaiknya kita urus saja mayat-mayat
ini. Mudah-mudahan saja bisa bertemu lagi dengannya,” Paman Kumbara seperti
menghibur dirinya sendiri.
Kedua gadis itu saling melempar pandangan, kemudian
sama-sama duduk di undakan beranda depan. Paman Kumbara memperhatikan sebentar,
kemudian hanya menggeleng-gelengkan kepala saja. Dia memang belum sempat
bertemu pemuda yang bernama Rangga itu. Tapi dari sikap kedua gadis ini, bisa
ditebak kalau mereka begitu kehilangan sekali. Dan yang pasti, pendekar muda itu
telah menarik simpati hati kedua gadis ini.
“Hhh..., anak muda...” desah Paman Kumbara seraya
menggelengkan kepala.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
GERHANA KEMBANG KEDATON
Emoticon