SATU
MALAM ini udara begitu dingin. Angin bertiup
kencang membawa gumpalan kabut tebal. Langit tampak kelam tertutup awan hitam,
membuat suasana terasa begitu mencekam. Keadaan malam seperti ini, membuat
seluruh penduduk Desa Batu Ceper tak ada yang keluar dari rumahnya. Begitu
sunyi, bagai sebuah desa mati tak berpenghuni.
Namun di dalam kegelapan yang dingin ini, tampak
sesosok tubuh berjalan tergopoh-gopoh melintasi pinggiran desa. Sesekali
wajahnya menoleh ke belakang, seakan-akan takut kalau ada yang membuntuti.
Wajahnya sukar dikenali karena ditutupi kerudung hitam yang kelihatannya sudah
lusuh. Dia berjalan di antara bayang-bayang pepohonan yang tumbuh berjajar di
sepanjang tepi jalan tanah berdebu.
Sosok tubuh itu berhenti sebentar setelah sampai di
perempatan jalan. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, kemudian kakinya kembali
melangkah mengikuti jalan setapak yang membelok ke kanan. Jalan itu kecil dan
berbelok-belok, juga menanjak. Namun, orang itu terus melangkah perlahan dengan
kepala tertunduk. Dia kembali berhenti begitu tiba di tempat yang banyak
ditumbuhi pepohonan yang sedang berbunga. Angin yang berhembus kencang,
menyebarkan bau harum bunga kamboja yang putih bagai kapas.
Di antara pohon-pohon kamboja itu terdapat
gundukan-gundukan tanah berbatu nisan. Ternyata, tempat ini sebuah kuburan.
Orang berkerudung kain lusuh itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kemudian
tatapan matanya terpaku pada sebuah makam di bawah sebatang pohon beringin tua
yang besar dan berdaun lebat.
“Hm... Sepi. Saat yang tepat untukku malam ini,”
gumam orang itu, pelan.
Perlahan-lahan kakinya terayun mendekati makam di
bawah pohon beringin itu. Dari balik kerudung kainnya, tampak sorot mata yang
tajam tak berkedip menatapi gundukan tanah yang dilingkari bebatuan berlumut.
Begitu dekat dengan makam tua itu, kerudungnya dibuka. Tampaklah seraut wajah
yang rusak, penuh benjolan.
Rambutnya yang panjang, meriap kusut tak teratur.
Pipi kanannya terkelupas, sehingga menampakkan barisan gigi yang menghitam tak
beraturan letaknya. Maka, paras wajahnya pun semakin bertambah mengerikan.
Beberapa saat dia berdiri mematung di dekat makam tua di bawah pohon beringin
ini.
“Malam ini aku harus berhasil. Harus...!” orang itu
mendesis dingin. Setelah mengucapkan sesuatu yang tidak jelas, perlahan kedua
tangannya diangkat tinggi-tinggi ke di atas kepala. Lalu, dengan tiba-tiba....
“Yeaah...!” Cepat sekali tangannya dihentakkan ke
arah kuburan tua di depannya. Seketika secercah cahaya kilat meluncur keluar
dari kedua telapak tangannya. Begitu cahaya kilat menghantam kuburan tua itu,
terdengar ledakan dahsyat menggelegar.
Glarrr...!
Orang itu melenting ke belakang, melakukan putaran
beberapa kali sebelum mendarat manis di tanah berumput tebal dan basah oleh
embun. Ledakan tadi membuat kuburan tua itu terbongkar. Tanah dan bebatuan
berhamburan ke udara, membuat jamur raksasa yang cepat menghilang tertiup
angin.
“Hik hik hik...!” orang itu tertawa terkikik. Baru
saja kakinya terayun hendak mendekat, mendadak saja dari dalam kuburan itu
berkelebat sebuah bayangan hitam yang langsung meluruk ke arah orang itu.
“Uts!” Untung saja tubuhnya dimiringkan ke kanan,
sehingga terjangan bayangan hitam itu lewat di samping tubuhnya. Namun belum
juga tubuhnya ditarik kembali agar tegak, bayangan hitam itu sudah lebih cepat
berbalik. Bahkan kini kembali meluruk deras menyerangnya.
“Ups! Yeaaah...!” Orang berwajah buruk itu cepat
melentingkan tubuh ke udara, dan secepat kilat pula melontarkan satu pukulan
dahsyat disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Pukulan yang dilepaskan tepat
mengenai bayangan hitam itu. Namun orang berwajah buruk itu jadi terkejut
setengah mati, karena merasa seperti memukul segumpal kapas. Pukulannya
berbalik arah, sehingga dia terpaksa melenting ke udara dan melakukan putaran
beberapa kali. Ringan sekali kakinya mendarat di tanah.
Pada saat itu, bayangan hitam tadi sudah berbalik
dan siap hendak menyerang lagi. Tapi, mendadak saja niatnya diurungkan.
Wajahnya yang hitam, membuatnya sukar dikenali. Pakaiannya juga compang-camping
dan berlumur lumpur. Beberapa bagian kulit tubuh-nya mengelupas. Sosok tubuh
ini seakan-akan tidak berbeda jauh dengan orang berkerudung hitam itu.
“Kau rupanya, Nyai Kunti...,” desis manusia aneh
yang muncul dari dalam kubur itu.
Suaranya terdengar dingin dan datar tanpa tekanan
sama sekali. Sorot matanya yang merah, begitu tajam menusuk. Seakan-akan ingin
menembus dinding hati orang di depannya yang dikenali bernama Nyai Kunti.
“Apa maksudmu merusak tempat peristirahatanku?”
tanya manusia aneh itu, masih dingin dan datar nada suaranya.
“Aku membutuhkan Mustika Batu Hijau, Eyang Duraga,”
sahut Nyai Kunti, tegas.
“Untuk apa batu mustika itu bagimu?” tanya orang
yang dipanggil Eyang Duraga lagi.
Manusia aneh itu kelihatan agak terkejut mendengar
jawaban Nyai Kunti. Namun rasa keterkejutannya cepat dihilangkan, dengan
menatap wanita berwajah buruk itu semakin tajam. Sedangkan Nyai Kunti tidak
menjawab. Bibirnya terkatup rapat, namun sorot matanya tidak kalah tajam
dibanding Eyang Duraga.
Sama sekali hatinya tidak merasa ngeri melihat raut
wajah Eyang Duraga yang berlumpur dan hampir tidak memiliki daging lagi.
Apalagi bau busuk yang tersebar dari tubuh laki-laki itu. Sama sekali tidak
dihiraukan! Seluruh tubuh Eyang Duraga memang sudah membusuk, karena sudah
terkubur puluhan tahun. Ulat-ulat kecil dan cacing-cacing tanah merubung hampir
di seluruh tubuhnya yang membusuk dan mengelupas.
“Sebaiknya lupakan saja benda itu, Nyai Kunti.
Benda itu hanya akan membawa malapetaka saja. Tidak ada manfaatnya sama
sekali,” ujar Eyang Duraga.
“Kau pikir aku bisa terpengaruh oleh ucapanmu,
Eyang Duraga?” sinis kata-kata Nyai Kunti.
“Aku tidak mempengaruhimu. Kau hanya kujelaskan
kalau Mustika Batu Hijau tidak ada artinya bagimu. Hanya akan membawa bencana
saja. Bukan hanya buat dirimu, tapi bagi seluruh dunia. Terutama dunia
persilatan. Aku rasa, kau sudah tahu, kenapa tubuhku sampai terbaring di sini
selama puluhan tahun. Aku tidak ingin kau bernasib sama denganku, Nyai Kunti,”
bujuk Eyang Duraga.
“Tidak perlu menasihatiku, Eyang Duraga!” dengus
Nyai Kunti dingin. “Berikan mustika itu, atau kau ingin merasakan mati dua
kali...!”
“Rupanya iblis sudah begitu dalam merasuk dalam
hatimu,” desah Eyang Duraga perlahan.
“Serahkan mustika itu padaku, Eyang...!” bentak
Nyai Kunti berang.
“Sayang sekali! Benda itu tidak dapat kuberikan
padamu, selama hatimu masih terbalut nafsu iblis,” ujar Eyang Duraga kalem.
“Keparat...! Jangan paksa aku menggunakan
kekerasan, Eyang Duraga!”
“Kau sudah melakukannya, Nyai Kunti! Dan sudah
kutegaskan, mustika itu tidak ada gunanya bagimu. Hanya akan menimbulkan
bencana saja bagi dunia ini.”
“Setan keparat..!”
Sret! Cring...!
Cepat sekali Nyai Kunti menggerakkan tangan
kanannya. Dan tahu-tahu, sebilah pedang berkilatan sudah tergenggam di
tangannya. Pedang itu tersilang di depan dada. Pada bagian ujungnya berwarna
merah bagai bernoda darah. Eyang Duraga melangkah mundur dua tindak. Kedua bola
matanya terbeliak lebar melihat senjata di tangan wanita berwajah buruk itu,
seakan-akan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Kau gentar melihat pedangku ini, Eyang Duraga...?”
desis Nyai Kunti mengejek.
“Dari mana kau dapatkan pusaka itu?” tanya Eyang
Duraga, agak bergetar suaranya.
“Rupanya kau masih mengenali juga senjata ini.
Bagus.... Pedang inilah yang membuat dirimu harus terbaring di dalam kubur. Dan
dengan pedang ini pula dirimu akan terbaring kembali di dalam kuburmu, Eyang
Duraga,” ancam Nyai Kunti, semakin sinis nada suaranya.
“Kau pasti merampas pedang itu dari pemiliknya,”
dengus Eyang Duraga.
“Ha ha ha...!” Nyai Kunti hanya tertawa
terbahak-bahak.
Bet! Bet!
Wanita bermuka buruk itu mengebutkan pedang di
tangannya dua kali. Seketika terlihat kilatan cahaya membias saat pedang itu
bergerak cepat di depan dada Nyai Kunti. Tampak Eyang Duraga terkesiap melihat
kilatan cahaya dari pedang itu. Kakinya langsung bergeser dua langkah ke
belakang.
“Kau pasti ingin tahu, bagaimana aku memperoleh
pedang ini, bukan...?” ujar Nyai Kunti. Dingin dan sinis nada suaranya.
Eyang Duraga diam saja. Namun sorot matanya masih
tetap tajam mengamati setiap gerak perempuan bermuka buruk ini. Hatinya selalu
terkesiap jika Nyai Kunti mengebutkan pedang ke depan. Setiap kali pedang itu
bergerak, selalu menimbulkan kilatan cahaya yang menyilaukan mata. Walaupun
hanya sekejapan saja, namun sudah membuat darah Eyang Duraga mendesir.
“Pendekar Pedang Kilat memang tangguh, dan sulit
dicari tandingannya. Tapi dia terlalu bodoh dan mudah diperdaya. Sehingga,
mudah sekali aku membuatnya tidak berdaya,” ujar Nyai Kunti kalem.
“Kau meracuninya...?” tebak Eyang Duraga langsung.
“Ha ha ha...!” lagi-lagi Nyai Kunti tertawa
terbahak-bahak.
“Kau benar-benar iblis, Nyai Kunti! Kau wanita
berhati iblis...!” desis Eyang Duraga geram.
“Ha ha ha....! Kenapa kau marah, Eyang Duraga?
Seharusnya kau berterima kasih padaku, karena orang yang mengalahkanmu sekarang
telah mati.”
“Kami bertarung secara jujur dan jantan. Aku tidak
mendendam, bahkan bangga bisa kalah oleh seorang pendekar ternama dan
berkepandaian lebih tinggi. Tidak seperti kau...! Licik! Pengecut..!” geram
Eyang Duraga.
“Ha ha ha...!”
Wuk...!
“Uts!”
Belum lagi lenyap suara tawanya, mendadak Nyai
Kunti melompat menerjang Eyang Duraga sambil mengebutkan pedang. Namun cepat
sekali gerakan Eyang Duraga menghindar. Dengan hanya memiringkan tubuh sedikit
saja, tusukan pedang wanita berwajah buruk itu berhasil dielakkan. Eyang Duraga
cepat menggeser kaki ke samping beberapa langkah. Karena angin tusukan pedang
itu terasa panas sekali. Bahkan tubuhnya sempat menggeletar. Disadari, sedikit
saja terkena pedang itu akan berakibat parah.
“Hiyaaat..!” Nyai Kunti kembali menyerang.
Pedangnya disabetkan beberapa kali, mengincar bagian-bagian tubuh Eyang Duraga
yang paling peka dan mematikan. Beberapa kali ujung pedang itu hampir menyentuh
tubuh Eyang Duraga. Namun laki-laki bertubuh busuk yang sudah terkubur puluhan
tahun itu, masih mampu menghindari. Bahkan beberapa kali sempat melakukan
serangan balasan.
Pertarungan terus berjalan semakin sengit. Mereka
bertarung menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi yang dahsyat. Begitu cepatnya
jurus-jurus yang dimainkan, sehingga yang terlihat hanya dua bayangan
berkelebatan saling sambar dan ditingkahi kilatan cahaya dari pedang Nyai
Kunti.
“Cukup, Nyai Kunti...!” seru Eyang Duraga
tiba-tiba, seraya melompat mundur, keluar dari ajang pertempuran. Manis sekali
gerakan Eyang Duraga. Kemudian kakinya mendarat tanpa menimbulkan suara sedikit
pun.
Mereka kini berdiri saling berhadapan, berjarak
sekitar tiga batang tombak. Eyang Duraga meng-edarkan pandangan ke sekeliling
sejenak. Sekitar tempat ini begitu berantakan bagai terlanda badai. Pohon-pohon
bertumbangan. Bahkan beberapa kuburan terbongkar menganga. Tampak di sekitar
mereka tulang-tulang tengkorak manusia berserakan. Eyang Duraga mendesis geram
melihat kuburan ini jadi berantakan tidak karuan. Kembali ditatapnya Nyai Kunti
dengan tajam.
“Kau hancurkan tempat suci ini, Nyai Kunti,” desis
Eyang Duraga bergumam pelan.
“Semua ini tidak akan terjadi bila kau bersedia
menyerahkan mustika itu,” dengus Nyai Kunti, dingin.
“Kau tidak akan memperolehnya, Nyai Kunti.”
“Hhh! Lihat saja...!” Wuk!
Nyai Kunti mengebutkan pedang ke depan. Dari ujung
pedang itu meluncur secercah cahaya kilat dengan deras sekali. Eyang Duraga
tersentak kaget. Cepat-cepat tubuhnya melenting ke udara, melakukan putaran dua
kali. Maka kini dia berhasil menghindari kilat yang meluncur dari ujung pedang
wanita bermuka buruk itu. Dan baru saja Eyang Duraga menjejakkan kakinya di
tanah, cepat sekali Nyai Kunti menyerang sambil membabatkan pedang ke arah
leher. Hampir saja ujung pedang wanita berwajah buruk itu membabat leher, kalau
saja Eyang Duraga tidak cepat menarik kepala ke belakang.
“Yeaaah...!” Begitu serangannya tidak membawa
hasil, Nyai Kunti cepat menyerang kembali. Kaki kanannya bergerak cepat
mengarah ke pinggang lawan. Tendangan yang cepat dan tidak terduga itu tak
dapat lagi dihindari.
Beg!
“Akh...!” Eyang Duraga menjerit agak tertahan.
Laki-laki yang tubuhnya sudah membusuk itu terhuyung-huyung ke samping.
Dan belum juga keseimbangan tubuhnya dapat
dikendalikan, mendadak saja Nyai Kunti kembali menyerang dahsyat. Pedangnya
berkelebat cepat mengincar dada Eyang Duraga.
Bet!
“Uts!” Cepat Eyang Duraga menarik tubuhnya ke
belakang. Namun gerakannya masih kalah cepat. Karena, dia juga harus menahan
tubuhnya agar tetap seimbang, berpijak pada kedua kakinya. Tak pelak lagi,
ujung pedang Nyai Kunti merobek kulit dada laki-laki tua bertubuh busuk itu.
“Akh...!” Eyang Duraga memekik keras agak tertahan.
Kembali Eyang Duraga terhuyung-huyung sambil
mendekap dadanya. Aneh.... Tubuh yang sudah membusuk itu masih juga mengeluarkan
darah! Meskipun, darah itu berwarna hitam dan berbau tidak sedap. Nyai Kunti
cepat melompat mundur, karena tidak tahan mencium bau yang begitu tajam menusuk
hidungnya. Rasanya, seluruh isi perutnya bagai bergolak hendak keluar.
Sementara Eyang Duraga semakin limbung. Darah terus
mengalir keluar dari dadanya yang tergores ujung pedang Nyai Kunti. Tangannya
menunjuk wanita itu. Bibirnya bergetar, namun sedikit pun tak ada suara yang
keluar. Sinar matanya mendadak saja meredup nanar. Tubuhnya semakin
terhuyung-huyung dan limbung bagai pohon tua yang hampir roboh tertiup angin.
“Ke..., keparat kau..., Kunti...,” desis Eyang
Duraga terpatah-patah suaranya.
“Ha ha ha...!” Nyai Kunti tertawa terbahak-bahak.
Bruk!
Belum sempat Eyang Duraga mengeluarkan kata-kata
lagi, tubuhnya sudah ambruk ke tanah. Sebentar tubuhnya menggelepar, kemudian
diam tidak bergerak-gerak lagi. Suara tawa Nyai Kunti semakin keras
terbahak-bahak. Pedangnya segera dimasukkan kembali ke dalam warangka yang
tersembunyi di balik jubahnya yang panjang.
Sebentar tubuh Eyang Duraga yang tergeletak tak
berkutik lagi diamati. Seakan-akan ingin dipastikan kalau laki-laki tua yang
sebenarnya sudah mati puluhan tahun itu benar-benar tidak akan bangkit lagi.
Wanita berwajah buruk bagai mayat hidup itu memeriksa seluruh tubuh Eyang
Duraga. Dia jadi mendengus kesal, karena apa yang dicarinya tidak didapati pada
diri laki-laki tua yang tubuhnya mengelupas membusuk itu.
“Huh!” Sambil mendengus kesal, Nyai Kunti menendang
tubuh Eyang Duraga. Sebentar dirayapi sekitarnya.
Tampak semburat cahaya jingga mulai membayang di
ufuk Timur. Sejak tadi ayam jantan memang sudah terdengar berkokok. Malah
burung-burung pun sudah ramai berkicau. Saat ini pagi memang sudah datang
menjelang, dan sebentar lagi matahari akan datang menerangi belahan bumi ini.
Pandangan mata Nyai Kunti terpaku pada bekas
kuburan tua yang terbongkar di bawah pohon beringin besar. Perlahan-lahan
kakinya melangkah menghampiri kuburan tua itu. Dia berdiri tepat di dekat
lubang kuburan yang menganga lebar.
“Setan...!” dengus Nyai Kunti geram. Tidak ada
sesuatu yang menarik perhatian di dalam kuburan itu, kecuali tanah berlumpur
yang berbau tidak sedap. Nyai Kunti kembali mengalihkan perhatian pada mayat
Eyang Duraga.
Sementara keadaan di sekitarnya mulai tersiram
cahaya matahari pagi. Nyai Kunti kembali menghampiri mayat Eyang Duraga.
Diperhatikannya sosok tubuh yang sudah membusuk itu.
“Kau tidak akan dapat memperoleh mustika itu, Nyai
Kunti....”
“Heh...?!” Nyai Kunti tersentak kaget ketika
tiba-tiba saja terdengar suara berat dan agak serak. Begitu terkejutnya,
sampai-sampai terlompat dua langkah ke belakang. Suara itu jelas sekali
datangnya dari mayat Eyang Duraga. Tatapan mata Nyai Kunti begitu tajam tertuju
pada sosok mayat yang sudah membusuk, tergolek tidak jauh di depannya.
“Kau bisa membunuhku, Nyai Kunti. Tapi jangan harap
dapat membunuh arwahku. Kau tidak akan memiliki mustika itu, dan jangan harap
dapat memperolehnya. Mustika itu sudah kuberikan pada orang yang pantas
memilikinya,” suara Eyang Duraga kembali terdengar.
“Keparat kau, Eyang Duraga...!” dengus Nyai Kunti
menggeram marah.
“Hih...!” Dengan kemarahan meluap, Nyai Kunti
menendang mayat Eyang Duraga hingga masuk kembali ke dalam lubang kuburnya.
Seketika terjadi satu keajaiban. Kuburan yang terbongkar menganga, mendadak
saja bergerak menutup begitu mayat Eyang Duraga masuk ke dalamnya. Nyai Kunti
melompat tiga tindak ke belakang.
“Ha ha ha...!” terdengar tawa keras yang
menggelegar. “Aku tahu, siapa orang yang kau maksud, Eyang Duraga. Huh! Kau
pikir aku bodoh, bisa ditipu begitu saja!” dengus Nyai Kunti.
Setelah berkata demikian, Nyai Kunti melesat cepat
pergi dari situ. Dalam sekejap mata saja, bayangan wanita tua itu sudah lenyap
bagai tertelan bumi. Sementara suara tawa menggelegar masih terus terdengar
mengiringi kepergian wanita berwajah buruk bagai mayat hidup. Dan kini suasana
di kuburan tua itu pun kembali sunyi, bagaikan tak pernah terjadi sesuatu.
Sementara Nyai Kunti sudah jauh meninggalkan
kuburan tua itu. Dia terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh
yang sudah mencapai tingkat tinggi. Begitu cepatnya, sehingga seakan-akan
kakinya tidak menjejak tanah. Wanita berpakaian longgar serba hitam itu terus
berlari menerobos Rimba Tengkorak.
“Aku tahu, di mana kau berada. Huh! Mustika Batu
Hijau itu harus berada di tanganku!”
***
DUA
Siang itu udara di sekitar Kotaraja Karang Setra
terasa sejuk. Angin bertiup sepoi-sepoi membawa kesejukan bagai di pegunungan.
Langit tampak cerah dan jernih, tanpa awan sedikit pun menggantung menghalangi
cahaya matahari. Keadaan alam yang indah ini tidak disia-siakan sepasang anak
manusia yang berada di taman belakang Istana Karang Setra.
Sebuah taman indah yang ditata apik dan sedap
dipandang mata. Bunga-bunga tampak segar, bermekaran menyebarkan keharuman yang
menggelitik kuping hidung. Burung-burung tampak riang bernyanyi di atas dahan.
Sepasang burung merpati putih, tampak isyik memadu kasih di sebatang dahan
pohon yang cukup rendah. Sepasang manusia di dekatnya memandangi, seakan-akan
iri melihat kemesraan dua merpati itu.
“Terkadang, aku suka berpikir. Alangkah senangnya
jadi burung. Begitu bebas, penuh kasih sayang, tanpa memiliki beban tanggung
jawab dan tuntutan besar...,” pemuda berwajah tampan menggumam perlahan,
seakan-akan bicara untuk dirinya sendiri.
“Kau menyesal diciptakan jadi manusia, Kakang?”
lembut sekali nada suara gadis cantik di sampingnya.
Pemuda tampan berbaju putih tanpa lengan itu
berpaling. Seketika bibirnya tersenyum memandang gadis cantik berbaju biru di
sampingnya. Sedangkan gadis itu membalas dengan senyum manis sekali. Mereka
jadi melupakan sepasang merpati putih yang masih asyik bermesraan. Seakan-akan
merpati itu juga tidak peduli dengan dua anak manusia di dekatnya.
“Aku justru bangga karena diciptakan sebagai
makhluk yang paling sempurna di mayapada ini, Pandan,” ujar pemuda berbaju
rompi putih itu.
“Tapi, kenapa kau berkata seperti tadi? Kau seperti
iri melihat kebebasan merpati itu,” tanya gadis cantik berbaju biru yang
dipanggil Pandan.
Gadis itu memang Pandan Wangi sedangkan pemuda yang
berdiri di sampingnya, tak lain adalah Rangga. Dia lebih dikenal dengan julukan
Pendekar Rajawali Sakti. Saat ini mereka memang berada di Istana Karang Setra,
tanah kelahiran pemuda berbaju rompi putih itu.
“Sifat manusia yang paling utama adalah iri,
Pandan. Walaupun hanya sedikit, setiap manusia pasti memilikinya. Entah
terhadap sesama manusia, atau terhadap hewan maupun alam lingkungannya. Aku iri
pada sepasang merpati itu. Karena, mereka bisa bebas bermesraan, tanpa harus
takut pada segala macam peraturan dan tetek bengek lainnya,” ujar Rangga
mencoba berfilsafat.
“Kenapa harus iri...? Apa kau merasa dilarang
bermesraan, Kakang?” tanya Pandan Wangi.
“Entahlah...,” desah Rangga, perlahan.
Pandan Wangi tersenyum. Arah pembicaraan itu sudah
bisa ditangkapnya. Gadis itu tahu kalau Rangga sebenarnya ingin mengungkapkan
isi hatinya. Memang disadari, mereka sudah cukup lama berhubungan. Dan mereka
juga sudah saling memahami akan diri dan watak masing-masing. Tapi ada suatu
jarak yang sangat besar, yang membatasi mereka. Dan rasanya, sukar sekali
menyatukan jarak itu. Mereka sama-sama menyadari, terlalu sulit untuk bisa
bersatu dalam satu ikatan suci. Jurang pemisah yang membentang di antara mereka
begitu besar dan dalam. Dan semua itu sudah sama-sama disadari.
“Kakang, kau percaya terhadap takdir...?” tanya
Pandan Wangi, setelah cukup lama terdiam.
“Takdir...? Tentu saja aku percaya, Pandan. Kenapa
kau tanyakan itu?” Rangga balik bertanya.
“Aku percaya penuh pada takdir. Dan semua yang
terjadi di dunia ini sudah menjadi suratan takdir yang tidak bisa dielakkan
lagi. Termasuk juga jalan hidup kita. Kau menyesali perjalanan hidup kita,
Kakang...?” pelan dan tenang sekali suara Pandan Wangi.
“Aku tidak percaya kita akan selamanya begini,
Pandan. Satu saat nanti, semua ini pasti akan berakhir,” tegas Rangga, langsung
dapat memahami maksud kata-kata Pandan Wangi.
“Seandainya aku bukan keturunan bangsawan atau
brahmana?” tanya Pandan Wangi.
“Paling tidak, kau keturunan seorang ksatria,
Pandan.”
“Jika tidak...?”
“Ah! Sudahlah...,” elak Rangga. Pendekar Rajawali
Sakti tidak ingin lagi membicarakan persoalan ini.
Sampai saat ini, pemuda itu masih tetap mencari
keterangan asal-usul Pandan Wangi yang sebenarnya. Memang sulit, karena
orang-orang yang mengenal Pandan Wangi sejak kecil sudah tidak ada. Dan lagi
orang tua gadis ini masih samar-samar. Belum ada satu kepastian mengenai
asal-usulnya, meskipun ada beberapa keterangan kalau Pandan Wangi sebenarnya
keturunan seorang pendekar besar.
Tapi ada juga yang bilang, kalau gadis itu
keturunan seorang pertapa yang masuk dalam golongan brahmana. Dan sebenarnya,
Rangga selalu mengelak dan tidak ingin membicarakan masalah ini. Pendekar
Rajawali Sakti memang tidak pernah menyetujui segala macam penggolongan.
Dia tidak ingin peduli dengan segala macam
penggolongan dan derajat seseorang. Tapi adat warisan leluhur sudah
meng-gariskan demikian, sehingga tidak bisa ditentangnya. Rangga menyadari
kalau dirinya keturunan bangsawan berdarah biru. Dan sebagai keturunan
bangsawan, dia tidak bisa sembarangan mencari pendamping hidup. Terlebih lagi
di Karang Setra ini, dia seorang raja yang tentu tidak sedikit peraturan harus
ditaati, termasuk dalam hal pendamping hidup.
“Aku akan ke pesanggrahan. Kau mau ikut, Pandan?”
Rangga membelokkan arah pembicaraan.
“Cempaka ikut?” tanya Pandan Wangi.
“Kalau Cempaka mau,” sahut Rangga.
“Kapan berangkat?”
“Sekarang.”
“Akan kupanggil Cempaka dulu, Kakang.”
Tanpa meminta persetujuan lagi, Pandan Wangi
bergegas melangkah meninggalkan taman ini. Rangga memandangi sampai gadis itu
lenyap dari pandangan. Perlahan kemudian, kakinya baru diayunkan meninggalkan
taman ini. Matanya sempat melirik pada sepasang merpati yang masih
bercengkerama di atas dahan. Entah kenapa, dia jadi tersenyum melihat kemesraan
merpati itu.
***
Tiga penunggang kuda keluar dari pintu gerbang
benteng Istana Karang Setra. Ketiga penunggang kuda itu adalah Rangga, Pandan
Wangi, dan Cempaka. Tak seorang prajurit pun yang menyertai mereka. Dalam
keadaan pakaian seperti ini, tak seorang pun rakyat Karang Setra yang mengenali
mereka.
Tak ada seorang pun dari ketiga pendekar muda itu
yang menyadari, kalau kepergian mereka diamati sepasang mata yang tersembunyi
di balik kerudung lusuh berwarna hitam. Sepasang bola mata itu tidak berkedip,
mengikuti ketiga penunggang kuda yang semakin jauh meninggalkan istana megah
ini.
“Hm..., kesempatanku sudah tiba. Tidak terlalu
ketat penjagaan di sini,” terdengar gumaman yang halus dan hampir tidak
terdengar.
Orang berbaju hitam yang longgar itu melilitkan
kerudungnya, hingga menutupi hampir seluruh kepala. Hanya sepasang matanya saja
yang masih terlihat menyorot tajam. Keadaan sekitar yang nampak sepi diamatinya.
Hanya dua orang prajurit saja yang menjaga pintu gerbang benteng istana.
“Hup...!” Begitu cepat dan ringan sekali orang itu
melenting ke udara. Dan tahu-tahu, dia sudah hinggap di atas tembok benteng
yang tinggi dan kokoh. Sebentar diamatinya keadaan di dalam benteng istana ini,
kemudian meluruk turun dengan gerakan indah dan ringan. Begitu ringannya,
sehingga tak terdengar suara sedikit pun saat kakinya menjejak tanah berumput
di dalam benteng istana.
“Sepi.... Apakah ini suatu jebakan...?” kembali orang
itu bergumam perlahan.
Orang itu menyembunyikan diri di balik gerumbul
semak yang banyak tumbuh merapat pada tembok benteng. Sebentar keadaan sekitar
diawasinya. Sorot matanya begitu tajam tak berkedip. Merasa suasana aman, dia
cepat keluar dari tempat persembunyiannya. Hanya sekali lesat saja, orang itu
sudah mencapai pinggir tembok bangunan istana.
Tubuhnya dirapatkan di dinding yang tebal dari
batu. Kembali diamatinya keadaan sekitar. Baru saja kakinya bergerak hendak
melangkah, mendadak saja terdengar bentakan keras yang mengejutkan. Cepat
tubuhnya diputar ke arah datangnya bentakan keras tadi. Tampak dua orang
berseragam prajurit datang menghampiri setengah berlari.
“Huh! Kadal buduk...!” dengus orang itu.
Bet!
Cepat sekali tangan kanannya dikebutkan, sebelum
kedua prajurit itu mendekat. Seketika dari balik lengan bajunya yang longgar,
meluncur dua buah benda kecil berwarna keperakan. Benda itu meluncur deras
bagai kilat tanpa disadari kedua prajurit itu. Sehingga...
Crab!
Bres!
Sedikit pun tak ada suara yang terdengar. Kedua
prajurit itu langsung ambruk tak berkutik lagi, begitu dua benda keperakan
menghantam dadanya. Cepat orang berbaju hitam lusuh itu melesat ke atas, lalu
hinggap di atap. Kemudian tubuhnya kembali melenting labih tinggi lagi, lalu
meluruk turun ke bagian belakang istana. Kakinya mendarat tepat di belakang
seorang prajurit yang sedang berjaga.
“Hih!”
Begkh!
Hanya sekali pukulan saja, prajurit itu ambruk tak
bersuara. Batok kepalanya rengat, sehingga darah mengucur keluar membasahi
lantai. Orang itu menoleh ke kanan dan ke kiri sebentar, lalu melompat cepat
menuju sebuah pintu yang terbuka lebar. Tubuhnya dirapatkan di dinding dekat
pintu. Perlahan-lahan kepalanya dijulurkan untuk melongok ke dalam.
“Kosong.... Di mana dia...?” desisnya perlahan.
Sebentar pandangannya beredar ke sekitarnya, kemudian kembali melesat cepat.
Gerakannya begitu ringan tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Pertanda tingkat
kepandaiannya begitu tinggi. Kembali kakinya mendarat di belakang dua orang
prajurit yang menjaga sebuah pintu yang tertutup rapat.
Dieghk! Bek!
Dua orang prajurit itu langsung ambruk terkena
pukulan keras bertenaga dalam tinggi pada tengkuknya. Cepat orang berbaju hitam
lusuh itu merapatkan punggungnya di dinding dekat pintu. Belum juga melakukan
sesuatu, pintu terkuak terbuka. Dari dalam muncul seorang pemuda tampan
mengenakan baju putih bersih dari bahan sutra halus dan berhiaskan sulaman
benang emas. Dia tampak terkejut begitu melihat dua orang prajurit yang menjaga
di depan pintu ini sudah terkapar dengan darah menggenang di belakang
kepalanya. Dan belum lagi lenyap keterkejutannya, mendadak saja sebuah pukulan
melayang deras ke wajahnya.
“Uts!” Maka cepat-cepat kepalanya ditarik ke
belakang, sehingga pukulan itu hanya lewat sedikit di depan wajahnya. Bergegas
pemuda itu melompat mundur, masuk kembali ke dalam kamar. Namun sebelum bisa
disadari apa yang terjadi, tiba-tiba berkelebat bayangan hitam menerobos masuk,
langsung hendak menerjangnya.
“Hup! Yeaaah...!” Pemuda tampan itu cepat
melentingkan tubuhnya, ambil berputaran dua kali ke belakang. Maka terjangan
bayangan hitam itu pun tidak mengenai sasaran. Manis sekali pemuda itu
menjejakkan kaki di lantai. Keningnya langsung berkerut, dan matanya menyipit
saat melihat seseorang berbaju hitam kumal dan longgar sudah berdiri sekitar
satu batang tombak di depannya. Seluruh kepalanya terbungkus kain hitam. Hanya
sepasang bola matanya saja yang terlihat menyorot tajam.
“Siapa kau...?!” tanya pemuda itu membentak.
“Kau tidak perlu tahu, siapa diriku. Serahkan saja
Mustika Batu Hijau dari Kuburan Tua!” sahut orang itu dingin. Dari nada
suaranya yang datar, dapat dipastikan kalau orang berbaju hitam itu adalah
wanita. Sedangkan dari bentuk tubuhnya, sulit dikenali. Karena, dia mengenakan
pakaian longgar dan lusuh sekali. Baju yang dikenakannya, seakan-akan tidak
pernah terkena air selama satu tahun. Kotor sekali, dan berbau tidak sedap.
“Aku tidak mengerti, apa yang kau bicarakan,
Nisanak?!” kata pemuda tampan itu.
“Phuih! Jangan berpura-pura, Danupaksi! Aku tidak
punya banyak waktu. Serahkan mustika itu, atau mampus!” semakin dingin suara
wanita itu.
“Kau sudah main ancam, Nisanak,” desis pemuda
tampan yang ternyata memang Danupaksi.
“Serahkan mustika itu, cepat...!” bentak wanita
berbaju hitam itu kasar.
“Aku tidak tahu, apa yang kau inginkan, Nisanak.
Tidak ada benda yang kau cari di sini....”
“Setan alas...! Rupanya kau lebih memilih mati!
Yeaaah...!”
“Hei, tunggu...!” Namun wanita berbaju hitam itu
lebih cepat lagi melakukan serangan. Satu pukulan keras disertai pengerahan
tenaga dalam penuh dilontarkan ke arah dada Danupaksi.
“Hap!” Cepat Danupaksi memiringkan tubuh, sambil
menarik sedikit ke kanan. Maka pukulan yang dilontarkan wanita itu tidak sampai
mengenai sasaran. Namun cepat sekali tangannya ditarik kembali, dan cepat
mengibaskan ke arah leher. Danupaksi sempat terperangah, namun cepat menarik
tubuhnya ke belakang dua tindak. Dan tebasan tangan wanita berbaju hitam itu
pun tidak tepat lagi mengenai sasaran.
“Hhh! Rupanya kau memiliki simpanan yang lumayan
juga, Danupaksi. Pantas Eyang Duraga lebih memilihmu daripada aku!” dengus
wanita itu ketus.
“Aku tidak mengerti, apa yang kau bicarakan itu,
Nisanak,” ujar Danupaksi.
“Phuih! Rupanya orang-orang Karang Setra senang
berdusta. Baik... Aku punya cara tersendiri untuk membuka mulutmu, Danupaksi!”
Setelah berkata demikian, wanita berbaju hitam yang
longgar dan lusuh itu kembali melompat menerjang. Namun kali ini Danupaksi
sudah siap. Cepat tubuhnya melesat keluar dengan mengerahkan ilmu meringankan
tubuh. Wanita itu tampak kecolongan dan hanya terbengong-bengong. Namun itu
hanya sebentar saja, karena dia sudah kembali meluncur deras keluar dari kamar
ini.
“Mau lari ke mana kau, Bocah Setan?!
Yeaaah...!”
“Pengawal...!” teriak Danupaksi sekuat-kuatnya.
Cepat-cepat pemuda itu membanting dirinya ke tanah.
Dia bergulingan beberapa kali, menghindari serangan yang dilakukan wanita tak
dikenal itu. Danupaksi cepat melesat bangkit berdiri, dan langsung memiringkan
tubuhnya ke kanan untuk menghindari satu pukulan keras menggeledek, mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi. Saat itu Danupaksi melepaskan satu sodokan ke
arah lambung. Namun serangan balasan pemuda itu mudah sekali dihindari.
Pada saat itu, sekitar sepuluh orang prajurit
berlarian mendatangi. Sementara serangan-serangan yang dilakukan wanita berbaju
hitam itu semakin gencar saja. Hal ini tentu saja membuat Danupaksi jadi
kelabakan menghindarinya. Sedikit pun pemuda itu tidak diberi kesempatan untuk
balas menyerang. Namun, dia sempat melihat kedatangan sekitar sepuluh orang
prajurit.
“Seraaang...!” teriak Danupaksi memberi perintah.
Sepuluh orang prajurit itu langsung berlompatan
menyerang wanita berbaju hitam yang seluruh kepala dan wajahnya tertutup kain
hitam lusuh. Kehadiran para prajurit itu membuat ruang gerak Danupaksi jadi
sedikit longgar. Cepat pemuda itu melompat mundur beberapa tindak.
“Pengecut...! Hih! Yeaaah...!” dengus wanita itu
geram. Seketika itu juga wanita itu cepat berkelebat dengan tubuh berputaran
bagai gasing. Saat itu juga, terdengar jerit dan pekikan melengking tinggi yang
menyayat. Kemudian disusul ambruknya tiga orang prajurit dengan dada terbelah
menyemburkan darah segar. Belum lagi hilang dari pendengaran jeritan tadi,
kembali terdengar jeritan panjang melengking. Kini dua orang prajurit kembali
terjungkal roboh ber-lumuran darah.
“Keparat..!” desis Danupaksi menggeram.
“Hiyaaat....!”
Sret!
Bagaikan kilat Danupaksi melompat menyerang sambil
mencabut pedang yang selalu tergantung di pinggang. Namun baru saja melakukan beberapa
gebrakan yang tidak membawa hasil, kembali dua orang prajurit terjungkal roboh
bermandikan darah. Gerakan wanita berbaju hitam itu sungguh cepat luar biasa,
sehingga membuat Danupaksi dan sisa-sisa prajurit yang ada jadi kebingungan.
Begitu cepatnya gerakan wanita itu, seakan-akan berada di mana-mana. Hal ini
sangat menyulitkan Danupaksi untuk melakukan serangan, karena juga khawatir
serangannya akan memakan para prajuritnya sendiri.
“Hiya! Hiya! Hiyaaa....!”
Begitu cepatnya wanita itu bergerak, sehingga sukar
diikuti pandangan mata biasa. Tahu-tahu sisa prajurit yang ada berpentalan, dan
ambruk tak bernyawa lagi. Darah mengucur deras membasahi lantai yang licin dan
berkilat. Kalau saja Danupaksi tidak cepat melompat mundur, nasibnya pasti akan
sama dengan sepuluh prajuritnya.
“Percuma saja kau kerahkan semua prajurit yang ada,
Danupaksi!” dengus wanita itu dingin. Serangannya juga dihentikan, seraya
menatap tajam pemuda tampan di depannya.
“Siapa kau sebenarnya?!” tanya Danupaksi agak
membentak.
“Sudah kukatakan, kau tidak perlu tahu siapa aku,
Danupaksi,” sahut wanita itu dingin.
“Hm.... Mungkin hari ini belum saatnya. Aku akan
kembali lagi nanti mengambil mustika itu.” Setelah berkata demikian, wanita itu
cepat melesat pergi.
“Hai.... Tunggu!” seru Danupaksi. Namun wanita
berbaju hitam yang tidak kelihatan wajahnya itu sudah cepat menghilang tak
berbekas lagi. Tidak mungkin bagi Danupaksi mengejar. Pemuda itu hanya dapat
menarik napas dalam-dalam.
Pada saat itu terdengar langkah-langkah orang
berlari cepat menuju ke arah ini. Danupaksi berpaling sedikit. Tampak Ki
Lintuk, Patih Jaladara, dan sekitar tiga puluh orang berseragam prajurit datang
menghampiri.
“Raden..., apa yang terjadi?” tanya Ki Lintuk
begitu dekat dengan Danupaksi.
“Panjang ceritanya,” sahut Danupaksi. “Oh, ya....
Di mana Kanda Prabu Rangga?”
“Gusti Prabu sedang ke pesanggrahan bersama Gusti
Ayu Cempaka dan Gusti Ayu Pandan Wangi,” Patih Jaladara yang menyahuti.
“Kapan kembali?”
“Sebelum gelap nanti,” sahut Patih Jaladara lagi.
“Baiklah. Paman Patih, tolong bereskan semua ini.
Ki Lintuk, kau ikut aku.”
Danupaksi bergegas melangkah meninggalkan tempat
itu, diikuti Ki Lintuk. Sedangkan Patih Jaladara memerintahkan para prajurit
untuk menyingkirkan mayat sepuluh prajurit naas yang bergelimpangan bersimbah
darah. Dan sebagian lagi membereskan tempat yang berantakan akibat pertarungan
tadi.
***
TIGA
Danupaksi memacu cepat kudanya melintasi jalan
tanah berdebu. Di belakang Ki Lintuk mengikuti. Kudanya juga cepat dipacu.
Debunya, mengepul membumbung tinggi ke angkasa, tersepak kaki-kaki kuda yang
dipacu bagai dikejar setan. Mereka sudah jauh meninggalkan gerbang perbatasan
Kotaraja Karang Setra. Dari arah yang dituju, jelas mereka hendak ke
pesanggrahan. Mereka terus memacu cepat kudanya, meskipun sudah harus melewati
tepi jurang yang cukup dalam dan lebar. Sedangkan debu tidak lagi mengepul,
karena jalan yang dilalui sekarang ini berbatu dan banyak ditumbuhi rerumputan.
“Awas...!” teriak Ki Lintuk tiba-tiba. Mendadak
saja, dari atas tebing meluncur sebongkah batu yang sangat besar hendak
mengancam mereka. Suaranya menggemuruh, membuat hati jadi bergetar. Danupaksi
dan Ki Lintuk cepat melenting ke udara, maka batu itu lewat di bawah kaki
mereka. Akibatnya, batu itu jadi menghantam kuda yang tak dapat menghindar
lagi. Suara ringkik kuda terdengar menyayat, ditingkahi gemuruh batu-batu yang
berguguran dari atas tebing.
Dua ekor kuda meluncur masuk ke dalam jurang
bersama batu-batu dan pepohonan yang tumbang. Sedangkan Danupaksi dan Ki Lintuk
berlompatan menghindari hujan batu, yang seakan-akan runtuh dari langit. Cukup
lama juga mereka dihujani bebatuan dari atas tebing. Mereka baru bisa menarik
napas lega saat tidak ada lagi batu-batu yang longsor. Danupaksi memandang ke
atas tebing. Sementara Danupaksi dan Ki Lintuk berusaha menghindari hujan batu
yang cukup berbahaya itu!
“Aneh... Bagaimana batu-batu itu bisa longsor?”
gumam Danupaksi seperti bertanya pada diri sendiri.
Belum juga pertanyaan Danupaksi bisa terjawab,
mendadak saja terdengar tawa mengikik yang keras dan menggema. Suara tawa itu
jelas datang dari atas tebing batu. Sejenak Danupaksi dan Ki Lintuk tercenung,
dan saling melemparkan pandang. Sementara suara tawa itu terus terdengar
menggelitik bulu kuduk.
“Hati-hati, Gusti,” ujar Ki Lintuk memperingatkan.
Suaranya terdengar bergumam, dan pelan sekali Begitu suara tawa mengikik
berhenti, disusul meluncurnya sebuah bayangan hitam itu dari atas tebing.
Begitu cepatnya bayangan hitam itu bergerak. Sehingga sebelum Danupaksi dan Ki
Lintuk sempat menyadari lebih jauh, di depan mereka tahu-tahu sudah berdiri
seseorang berpakaian lusuh serba hitam. Seluruh kepalanya terbalut kain hitam.
Hanya kedua matanya saja yang terlihat.
“Kau lagi...,” desis Danupaksi perlahan.
“Mau ke mana kau, Danupaksi...?” tanya orang itu.
Suaranya terdengar dingin dan datar, tanpa tekanan sedikit pun.
“Mau ke mana saja, bukan urusanmu!” dengus
Danupaksi.
“Hik hik hik...! Selama mustika itu belum
diserahkan, kau selalu berurusan denganku, Danupaksi.”
“Berapa kali harus kukatakan padamu. Aku tidak tahu
mustika yang kau cari!” geram Danupaksi sengit.
“Orang lain bisa kau kelabui, Danupaksi. Tapi aku
tahu, kau memegang Mustika Batu Hijau dari kuburan tua Eyang Duraga. Sebaiknya
serahkan saja benda itu padaku. Jangan kau paksa aku bertindak kejam,
Danupaksi...!” kali ini nada suara orang berbaju hitam itu bernada mengancam.
“Kau tidak perlu mengancamku, Nisanak!” dengus
Danupaksi geram.
“Hik hik hik...! Rupanya kau keras kepala juga.
Baik.... Jangan katakan diriku kejam, Danupaksi.”
Bet!
Selesai berkata, orang berbaju hitam yang wajahnya
terbalut kain hitam lusuh itu cepat mengebutkan tangannya. Kelihatannya dia
bersiap hendak menyerang. Danupaksi segera menggeser kakinya sedikit ke kanan.
Sedangkan Ki Lintuk berpindah menjauhi pemuda tampan itu. Laki-laki tua itu
tidak tahu, persoalan apa yang sebenarnya tengah terjadi antara Danupaksi
dengan orang berbaju hitam itu.
Meskipun wajahnya sukar dikenali, namun dari nada
suara dan bentuk tubuh, sudah dapat dipastikan kalau dia adalah wanita. Untuk
beberapa saat, tak ada seorang pun yang membuka suara. Sementara Danupaksi dan
wanita berbaju serba hitam itu sudah saling berhadapan, dan telah sama-sama
membuka kembangan jurus. Namun, belum juga ada yang menyerang lebih dahulu.
Seakan-akan keduanya tengah mengukur tingkat kepandaian masing-masing.
“Kau masih kuberi kesempatan terakhir, Danupaksi,”
ujar wanita itu.
“Kalaupun mustika itu ada padaku, tidak bakalan
kuberikan padamu!” dengus Danupaksi.
“Keras kepala...! Rasakan ini, hiyaaat...!”
Sambil berteriak nyaring, wanita berbaju serba
hitam itu melompat cepat bagaikan kilat menerjang Danupaksi. Dua pukulan beruntun
dilepaskan, disertai pengerahan tenaga dalam penuh. “Hup...!” Danupaksi cepat
memiringkan tubuh ke kanan, lalu menarik kembali ke kiri. Maka dua pukulan yang
dilontarkan wanita itu tidak sampai menemui sasaran. Namun sebelum Danupaksi
bisa bertindak lebih jauh lagi, mendadak saja wanita berbaju serba hitam itu
melepaskan satu tendangan keras menggeledek, sangat cepat luar biasa.
“Yeaaah...!” “Hait...!” Tak ada lagi kesempatan
bagi Danupaksi untuk menghindar. Maka tangannya cepat dihentakkan ke bawah, menangkis
tendangan wanita berbaju hitam itu. Satu benturan keras tak dapat dihindari
lagi.
Tak!
“Hup!”
“Yeaaah...!”
Mereka saling berlompatan mundur sejauh dua batang
tombak. Tampak Danupaksi meringis sambil memegangi pergelangan tangan kanannya
yang memerah akibat benturan tenaga dalam tadi. Sedang-kan wanita itu langsung
melenting hendak menyerang kembali. Padahal, Danupaksi masih merasakan nyeri
pada pergelangan tangannya.
***
“Hiyaaat...!” Tiba-tiba saja Ki Lintuk melesat
cepat memotong arus serangan wanita berbaju serba hitam itu. Cepat sekali
laki-laki tua itu melontarkan satu pukulan menggeledek, disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi.
“Uts!” Wanita berbaju serba hitam itu tersentak.
Cepat tubuhnya diputar ke belakang dua kali, menghindari serangan yang
dilakukan Ki Lintuk. Pukulan yang dilepaskan Ki Lintuk memang tak sampai
mengenai sasaran, namun berhasil menggagalkan serangan wanita itu pada
Danupaksi.
“Keparat...!” dengus wanita berbaju hitam itu
geram.
“Tunggu...! bentak Ki Lintuk begitu wanita berbaju
serba hitam itu hendak menyerang kembali.
“Huh! Mau apa kau, Orang Tua?!” dengus wanita itu
dingin.
“Kau menggunakan jurus 'Kelelawar Hitam'. Siapa kau
sebenarnya?” tanya Ki Lintuk.
“Ha ha ha...!” wanita berbaju serba hitam itu
tertawa terbahak-bahak. “Kau mengenali jurusku, Orang Tua. Tentu kau tahu siapa
diriku.”
“Hm.... Hanya ada satu orang yang menguasai jurus
'Kelelawar Hitam'. Apakah kau Nyai Kunti...?” nada suara Ki Lintuk terdengar
agak bergumam.
Wanita berbaju serba hitam itu tidak menjawab, tapi
hanya tertawa terbahak-bahak saja. Perlahan tangannya diangkat, untuk
melepaskan kain hitam lusuh yang menutupi wajahnya. Bukan hanya Danupaksi yang
terlonjak kaget melihat raut wajah wanita itu. Bahkan Ki Lintuk sampai melompat
mundur dua langkah ke belakang. Wajah wanita berbaju serba hitam itu demikian
buruk, hampir seluruh kulit wajahnya mengelupas. Bahkan daging pipi kanannya
hilang, hingga menampakkan tulang pipi yang putih kemerahan. Wajah wanita itu
bisa dikatakan lebih mirip mayat hidup daripada manusia.
“Kau masih mengenaliku, Ki Lintuk...?” dingin
sekali nada suara wanita itu.
“Siapa kau?” tanya Ki Lintuk dengan kening berkerut
agak dalam.
“Aku tidak heran kalau kau tidak dapat lagi
mengenaliku, Ki Lintuk. Tapi aku masih tetap mengenalimu. Di antara kita tidak
ada satu persoalan pun. Sebaiknya jangan mencampuri persoalanku dengan
Danupaksi,” semakin dingin nada suara wanita itu.
“Suaramu mirip Nyai Kunti. Tapi...., kenapa wajahmu
jadi rusak seperti itu...?” Ki Lintuk seperti bertanya pada diri sendiri.
“Aku tidak akan begini kalau si Tua Bangka Duraga
tidak mengambil Mustika Batu Hijau dari tanganku!” agak tinggi suara wanita
berwajah buruk yang tak lain Nyai Kunti.
“Sekarang mustika itu ada pada Danupaksi. Dan aku
akan meminta kembali dengan cara apa pun juga!”
“Nyai Kunti, kalau boleh aku...”
“Cukup!” bentak Nyai Kunti cepat, memutuskan ucapan
Ki Lintuk. “Kau tidak berurusan denganku, Ki Lintuk. Menyingkirlah dari
sini...!”
Ki Lintuk tampak jadi serba salah. Sebentar
ditatapnya Nyai Kunti, dan sebentar kemudian beralih pada Danupaksi. Dia
mengenai betul, siapa Nyai Kunti yang mempunyai watak sekeras batu karang.
Tingkat kepandaian wanita berwajah buruk ini sangat tinggi. Rasanya, tidak sebanding
dengan kepandaian Danupaksi. Jadi, Ki Lintuk sudah bisa mengukur, kalau
Danupaksi tidak akan mungkin bisa menandingi wanita ini. Malah, dia sendiri
belum tentu mampu bertahan lebih dari dua puluh jurus.
Ki Lintuk langsung berpikir keras agar bisa menghindari
bentrokan antara Nyai Kunti dengan Danupaksi. Disadari kalau yang diinginkan
Nyai Kunti sulit dibendung lagi. Wanita itu akan menggunakan berbagai macam
cara untuk bisa memenuhi segala keinginannya. Bahkan tidak segan-segan
membunuh, asalkan keinginannya terlaksana.
“Nyai Kunti, mengapa kau mengira kalau Danupaksi
yang memegang Mustika Batu Hijau?” tanya Ki Lintuk.
“Hanya dia yang sering datang ke kuburan tua Eyang
Duraga!” sahut Nyai Kunti.
“Kau salah duga, Nyai Kunti. Aku tahu, siapa yang
memegang mustika itu.”
“Heh...?! Kau tahu...? Siapa?” Nyai Kunti agak
terperanjat.
“Pendekar Rajawali Sakti,” sahut Ki Lintuk.
“Pendekar Rajawali Sakti...?” gumam Nyai Kunti agak
terkejut Nyai Kunti menatap tajam Ki Lintuk, seakan-akan tidak percaya dengan
apa yang didengarnya barusan.
Danupaksi yang hendak membuka suara, segera cepat
dicegah Ki Lintuk. Terpaksa Danupaksi diam, meskipun tidak mengerti, maksud
laki-laki tua ini. Tapi dia percaya kalau Ki Lintuk tidak akan men-celakakan
siapa pun. Danupaksi menyadari kalau tidak akan mungkin bisa menandingi
perempuan bermuka buruk ini.
“Dia seorang pendekar kelana yang tempat tinggalnya
tidak tetap,” jelas Ki Lintuk dengan suara dibuat sungguh-sungguh.
“Bagaimana kau bisa tahu?” tanya Nyai Kunti.
“Aku melihatnya sendiri, saat dia mendapatkan
mustika itu. Karena, aku semula juga bermaksud memiliki mustika itu,” sahut Ki
Lintuk.
“Bagaimana aku bisa mempercayaimu, Ki Lintuk?”
“Kau tahu, siapa aku. Seumur hidupku, aku tidak
pernah berdusta.” Nyai Kunti terdiam.
Ditatapnya Ki Lintuk begitu tajam, sekan-akan
menyelidiki kebenaran kata-kata laki-laki tua ini. Kemudian, ditatapnya
Danupaksi.
“Baiklah. Aku percaya padamu, Ki Lintuk. Tapi kalau
kau berdusta, kau berurusan denganku,” ancam Nyai Kunti. “Dan kau Danupaksi....
Kau tidak bisa terlepas dari pengamatanku.”
Setelah berkata demikian, Nyai Kunti melesat cepat
meninggalkan tempat ini. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja bayangan
tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi. Ki Lintuk menarik napas panjang,
melonggarkan rongga dadanya yang tadi terasa begitu sesak.
“Aku tidak mengerti, kenapa Kakang Rangga
dilibatkan dalam persoalan ini, Ki,” ujar Danupaksi perlahan seraya mengayunkan
kakinya meninggalkan tempat itu.
“Demi keselamatanmu, Den,” sahut Ki Lintuk.
“Tapi kenapa harus melibatkan Kakang Rangga?”
“Tidak ada yang dapat menandingi kesaktiannya
selain Gusti Prabu Rangga. Aku tahu betul, siapa Nyai Kunti. Kepandaiannya
sangat tinggi, dan sukar dicari tandingannya. Aku rasa, hanya Gusti Prabu
Rangga yang dapat menandinginya.”
“Aku tidak tahu, siapa dia. Aku juga tidak tahu,
benda yang dicarinya, Ki,” ujar Danupaksi seakan-akan mengeluh.
“Aku percaya, Den tidak tahu apa-apa,” Ki Lintuk
menyahuti.
“Tapi...” “Tapi kenapa, Ki?” tanya Danupaksi.
“Apa benar kau sering datang ke kuburan tua Eyang
Duraga?” tanya Ki Lintuk ragu-ragu.
“Kuburan tua...?” Danupaksi tampak keheranan
mendengar pertanyaan Ki Lintuk. “Kuburan tua yang mana, Ki?”
“Kuburan tua di pinggiran Desa Batu Ceper.”
Danupaksi terdiam merenung. Dicobanya untuk
mencerna semua kata-kata yang diucapkan Ki Lintuk barusan. Pemuda itu memang
tahu, di pinggiran Desa Batu Ceper terdapat sebuah kuburan tua yang letaknya
persis di tepi Rimba Tengkorak. Belakangan ini, dia memang sering datang ke
sana. Tapi tidak ada maksud apa-apa. Sama sekali Danupaksi tidak tahu kalau di
sana terdapat sebuah benda yang kini tampaknya bakal menjadi masalah besar.
“Ya, aku memang sering datang ke sana,” terdengar
pelan suara Danupaksi, seperti bicara untuk diri sendiri.
“Mau apa ke sana?” tanya Ki Lintuk, agak terkejut juga
mendengar pengakuan pemuda itu.
“Aku hanya senang dengan suasananya yang tenang,”
sahut Danupaksi.
“Apa tidak ada peristiwa yang terjadi selama kau di
sana, Den?” tanya Ki Lintuk lagi.
Danupaksi tidak segera menjawab.
“Ingat-ingat dulu, Den,” desak Ki Lintuk.
“Waktu itu memang ada satu peristiwa, tapi tidak
pernah kupedulikan,” kata Danupaksi.
“Peristiwa apa, Den?”
“Dari kuburan tua muncul sebuah benda bersinar
terang. Benda itu lalu melayang-layang di atas kepala ku, Ki. Hanya sebentar
saja, lalu sinar itu hilang,” Danupaksi menceritakan dengan singkat
“Kau merasakan sesuatu waktu itu?”
“Entahlah, Ki.... Ah, aku tidak ingin membicarakan
lagi.”
Ki Lintuk menghentikan ayunan langkahnya. Di
pandanginya Danupaksi dalam-dalam, seakan tidak percaya dengan pendengarannya
barusan. Sedangkan yang dipandangi hanya tertunduk saja. Ki Lintuk merasa yakin
kalau ada sesuatu yang disembunyikan pemuda ini. Hanya saja, sukar untuk bisa
diduga. Sedangkan dia tahu kalau Danupaksi sulit diajak terbuka jika mempunyai
suatu persoalan seberat apa pun. Danupaksi memang paling tidak ingin melibatkan
orang lain ke dalam permasalahannya sendiri.
“Sebaiknya persoalan ini kau bicarakan dengan
kakakmu, Den. Aku merasa kemunculan Nyai Kunti akan membawa bencana besar. Aku
tahu betul wanita itu,” ujar Ki Lintuk lembut.
“Akan kupikirkan dulu, Ki,” sahut Danupaksi.
Mereka kembali melanjutkan perjalanan tanpa bicara
lagi, dan terpaksa berjalan kaki. Kuda-kuda mereka telah terjerumus ke dalam
jurang, ketika Nyai Kunti menjatuhkan batu-batu dari atas tebing di pinggir
jurang. Selama perjalanan menuju ke pesanggrahan, tak ada lagi yang bicara.
Sementara Ki Lintuk terus berpikir. Kemunculan Nyai Kunti yang menyangka
Danupaksi memegang Mustika Batu Hijau, dan pengakuan Danupaksi yang merasa
tidak memiliki benda itu, membuat Ki Lintuk harus terus berpikir keras. Dia
tidak tahu, siapa di antara mereka yang benar.
Mustika Batu Hijau sudah membuat persoalan baru
lagi. Persoalan yang selama puluhan tahun telah tenggelam, sejak Eyang Duraga
tewas di tangan Pendekar Pedang Kilat dan dikubur-kan di Desa Batu Ceper. Sejak
itu tidak ada lagi orang yang meributkan tentang Mustika Batu Hijau. Tapi
sekarang ini.... Nyai Kunti kembali membuka masalah lama yang sudah tenggelam
puluhan tahun lamanya.
***
Matahari sudah hampir tenggelam saat Danupaksi dan
Ki Lintuk tiba di pelataran bangunan pesanggrahan yang terbuat dari susunan
batu. Bangunan itu bentuknya lebih mirip candi. Suasananya begitu sunyi dan
tenang. Hanya desir angin dan kicauan burung yang terdengar. Begitu nyaman dan
terasa damai berada di tempat suci ini.
Perlahan-lahan Danupaksi melangkah mendekati bagian
pintu yang tidak pernah tertutup. Tak ada seorang pun yang terlihat di sekitar
pesanggrahan ini. Sementara Ki Lintuk terus mengikuti dari belakang. Mereka
berhenti melangkah tepat di depan pintu. Tampak jelas kalau Danupaksi ragu-ragu
untuk melangkah masuk ke dalam. Wajahnya kemudian berpaling memandang Ki Lintuk
yang berada di sebelah kanan, agak ke belakang.
“Aku merasa ada kejanggalan, Ki,” ujar Danupaksi
setengah berbisik.
“Hm..., ya. Tidak seperti biasanya,” sahut Ki
Lintuk juga pelan suaranya.
Mereka sama-sama mengedarkan pandangan ke
sekeliling. Keadaan di sekitar pesanggrahan ini benar-benar sepi. Memang tidak
seperti biasanya. Setiap Rangga berada di pesanggrahan ini, paling tidak depan
pintu ini ada dua orang prajurit yang menjaga. Dan sekitar pesanggrahan,
biasanya terlihat beberapa prajurit yang siap menjaga keamanan. Tapi kali ini,
tak seorang pun prajurit yang terlihat.
“Sebaiknya periksa saja ke dalam, Den,” ujar Ki
Lintuk memberi saran.
“Baiklah. Aku periksa keadaan di dalam. Mudah-mudahan
tidak terjadi sesuatu di sini,” sahut Danupaksi.
Pemuda itu bergegas melangkah masuk ke
pesanggrahan. Sementara Ki Lintuk menunggu di luar. Laki-laki tua itu berjalan
mengelilingi bangunan batu berbentuk candi ini. Hatinya juga jadi heran, karena
tidak satu pun terlihat prajurit penjaga. Sampai kembali ke depan pintu masuk,
sama sekali tidak ditemukan seorang pun. Ki Lintuk baru mau masuk ke dalam
ketika Danupaksi keluar dengan langkah tergesa-gesa.
“Ada apa, Den?” tanya Ki Lintuk.
“Aku tidak melihat ada seorang pun di dalam, Ki,
sahut Danupaksi.
“Di ruang semadi?” tanya Ki Lintuk lagi.
“Kosong. Bahkan pintunya terbuka.”
“Aneh...,” gumam Ki Lintuk sambil mengerutkan
keningnya. Mereka jadi terdiam.
“Ki, kalau tidak ke sini, lalu ke mana mereka...?
tanya Danupaksi seperti untuk dirinya sendiri.
“Itulah yang membuatku tidak mengerti, Den. Tidak
biasanya Gusti Prabu membelokkan tujuannya. Lagi pula, belum satu hari. Hm....
Ke mana perginya, ya...?” nada suara Ki Lintuk juga terdengar bergumam pelan.
“Ki....”
Belum juga Danupaksi meneruskan kalimatnya,
tiba-tiba saja terdengar derap langkah kaki kuda yang dipacu cepat. Kedua orang
di depan pesanggrahan itu langsung mengarahkan pandangan ke arah suara langkah
kaki kuda itu. Tampak debu mengepul membumbung tinggi ke angkasa. Dan tak
berapa lama kemudian, muncul seekor kuda coklat yang berlari kencang membawa
sesosok tubuh tertelungkup di punggungnya.
“Hup...!” Danupaksi cepat melompat menghampiri kuda
itu. Sigap sekali dia menyambar tali kekang, dan menghentikan kuda coklat itu.
Ki Lintuk bergegas menghampiri. Mereka menurunkan sosok tubuh yang tertelungkup
di atas punggung kuda, lalu membaringkannya di tanah berumput tebal. Tubuh yang
mengenakan seragam prajurit itu tampak sudah tak berdaya. Dari dada dan
lehernya mengucurkan darah segar.
“Ohhh...,” prajurit itu membuka matanya sambil
merintih lirih.
“Ada apa? Apa yang terjadi...?” tanya Danupaksi
langsung.
“Gusti..., di.... Oh!”
Danupaksi dan Ki Lintuk tak dapat berbuat apa-apa
lagi. Prajurit itu sudah menghembuskan nafas yang terakhir. Terlalu banyak
darah yang keluar dari tubuhnya. Dia hanya menunjuk ke satu arah tanpa
mengucapkan sesuatu yang berarti. Sebentar Danupaksi menatap Ki Lintuk,
kemudian bangkit berdiri. Pemuda itu menatap ke arah yang ditunjuk prajurit
itu.
“Apa maksudnya menunjuk ke arah sana, Ki?” tanya
Danupaksi.
“Mungkin meminta kita ke sana, Den,” sahut Ki
Lintuk.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Danupaksi langsuing
melesat cepat ke arah yang ditunjuk prajurit itu. Ki Lintuk juga cepat melesat
pergj, mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sebentar saja bayangan kedua
laki-laki itu sudah lenyap tak terlihat lagi. Dan suasana di pesanggrahan ini
tetap sunyi.
***
EMPAT
Senja terus merayap semakin jauh. Keremangan mulai
menjalar menyelimuti seluruh permukaan bumi Karang Setra. Sementara Danupaksi
dan Ki Lintuk terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh menuju
arah yang ditunjuk seorang prajurit yang terluka, dan berada di ambang
kematian. Mereka sudah cukup jauh meninggalkan pesanggrahan, tapi tak juga
menemukan sesuatu.
Namun begitu melewati sebuah sungai kecil yang
berair dangkal, mendadak saja Danupaksi menghentikan larinya. Kedua mata orang
itu terbeliak lebar, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang ada di depannya.
Ki Lintuk sendiri sampai terbengong dengan mata terbeliak dan mulut terbuka
lebar. Untuk beberapa saat lamanya, mereka terpaku memandangi mayat-mayat
berseragam prajurit yang bergelimpangan di depannya. Ada sekitar tiga puluh
orang prajurit bergelimpangan tak bernyawa lagi.
“Biadab...!” desis Danupaksi menggeram.
“Iblis mana yang melakukan ini...?” desis Ki Lintuk
bagai bertanya pada dirinya sendiri.
Tak ada seorang pun dari prajurit itu yang masih
hidup. Bau anyir darah menyeruak, menusuk hidung. Beberapa di antaranya ada
yang terbujur masuk ke dalam sungai, sehingga airnya jadi berwarna merah.
Danupaksi serasa ingin muntah melihat mayat-mayat bergelimpangan saling tumpang
tindih. Mereka adalah para prajurit yang bertugas menjaga pesanggrahan.
Srek!
Tiba-tiba saja terdengar suara semak tergeser.
Danupaksi cepat berpaling menatap gerumbul semak yang bergerak-gerak. Cepat
tubuhnya melompat menerobos ke dalam semak itu.
“Cempaka...!” sentak Danupaksi terkejut melihat
seorang gadis berbaju merah muda tengah berusaha keluar dari dalam semak.
Bergegas Danupaksi menggotong tubuh gadis itu, dan
membawanya keluar. Sedangkan Ki Lintuk cepat-cepat menghampiri. Danupaksi
membaringkan Cempaka di bawah pohon yang cukup rindang. Darah tampak mengotori
baju dan wajah gadis itu. Dengan tangan agak bergetar, Danupaksi membersihkan
darah yang mengotori wajah Cempaka.
“Apa yang terjadi di sini, Cempaka?” tanya
Danupaksi.
“Di mana Kakang Rangga dan Pandan Wangi?” Masih
banyak pertanyaan yang meluncur bagai hujan dari bibir Danupaksi, tapi Cempaka
tak mampu menjawab semua pertanyaan itu.
Napasnya tersengal satu-satu. Bibirnya bergetar,
namun tak ada suara sedikit pun yang terucapkan. Danupaksi tampak kebingungan
melihat keadaan adik tirinya ini. Sementara Ki Lintuk juga tak dapat berbuat
sesuatu.
“Ki! Cepatlah kembali ke istana. Bawa beberapa
prajurit dan amankan daerah ini. Bawa juga seorang tabib istana,” perintah
Danupaksi.
“Baik, Den,” sahut Ki Lintuk.
Tanpa menunggu perintah dua kali, Ki Lintuk
bergegas melompat naik ke punggung seekor kuda yang ada di tempat ini.
Cepat-cepat kuda itu digebah. Bagaikan kesetanan, Ki Lintuk menggebah cepat
kuda itu menuju Kotaraja Karang Setra. Sementara Danupaksi menggotong Cempaka,
dan membawanya pergi. Kakinya melangkah cepat menuju pesanggrahan.
“Kau harus pulih kembali, Cempaka. Kau harus
menceritakan apa yang terjadi di sini,” ujar Danupaksi berbisik pelan.
“Kakang..., berhenti dulu...,” ujar Cempaka, lirih
dan agak tersendat suaranya.
“Oh! Kau bisa bicara...?” Danupaksi menghentikan
langkahnya. Cempaka diturunkan dari gendongannya, dan diletakkan menyandar pada
sebongkah batu yang cukup besar. Cempaka menarik napas dalam-dalam dan
menghembuskannya perlahan-lahan. Sebentar jalan napasnya diatur agar bisa
tenang bicara. Sesekali mulutnya meringis sambil memegangi dadanya.
“Apa yang terjadi, Cempaka?” tanya Danupaksi
setelah melihat Cempaka bisa bemapas lebih tenang.
“Jangan kembali ke pesanggrahan, Danupaksi,” ujar
Cempaka pelan. Begitu lirih suaranya, hampir tak terdengar.
“Kenapa?” tanya Danupaksi. “Dia.... Dia... Uhk! Dia
tangguh sekali, Danupaksi. Dia sudah menguasai pesanggrahan. Oh...!”
“Siapa dia, Cempaka?” tanya Danupaksi.
Pikiran Danupaksi langsung tertuju pada wanita
bermuka buruk yang dikenali Ki Lintuk sebagai Nyai Kunti. Wanita yang hampir
saja membuatnya mati di pinggir jurang. Wanita bermuka buruk itu mencari sebuah
benda yang sama sekali tidak diketahuinya. Tapi, Danupaksi belum bisa menduga
lebih jauh. Terlalu singkat jarak waktu antara kejadian di tempat ini dengan
semua yang dialaminya. Memang tidak mungkin satu orang berada pada dua tempat
dalam waktu yang singkat. Bahkan hampir bersamaan.
“Mengerikan sekali, Danupaksi. Dia seperti mayat
yang bangkit dari dalam kubur,” ujar Cempaka agak bergidik.
“Mayat hidup...?” Danupaksi terlongo.
“Mungkinkah...? Ah, tidak! Tidak mungkin...!”
Danupaksi menggeleng-gelengkan kepala, membantah semua yang tiba-tiba saja
timbul di kepalanya. Dia tidak mau percaya kalau Nyai Kunti bisa membantai
begitu banyak prajurit, bahkan melukai Cempaka. Dan herannya, sampai saat ini
tidak diketahui, di mana Rangga dan Pandan Wangi berada. Sedangkan pada saat
itu, Nyai Kunti tengah bertarung melawan pemuda ini. Tapi, wajah Nyai Kunti....
Memang lebih mirip wajah mayat yang sudah lama terkubur di dalam tanah.
“Kapan semua ini terjadi, Cempaka?” tanya
Danupaksi.
“Baru saja.”
“Baru...?”
***
Danupaksi merasakan bumi seakan-akan berputar
terbalik. Peristiwa ini baru saja terjadi. Sedangkan dari tepi jurang ke tempat
pesanggrahan, memerlukan waktu setengah hari berjalan kaki. Tapi bagi seorang
tokoh persilatan yang berkepandaian sangat tinggi, memang bisa dicapai dalam
waktu sebentar saja. Mungkinkah yang melakukan semua ini Nyai Kunti...? Kembali
Danupaksi menggeleng-gelengkan kepalanya berulang-ulang. Danupaksi merasa
kepalanya seperti mau pecah.
Sukar dipercaya, namun memang inilah kenyataannya.
Hanya satu orang saja, namun sudah begitu banyak meminta korban. Seseorang
mencari sebuah benda, yang sama sekali tidak diketahui bentuk dan warnanya.
Namun Danupaksi masih belum yakin kalau semua ini perbuatan Nyai Kunti. Kembali
ditatapnya Cempaka yang kini sudah kelihatan lebih tenang.
“Ceritakan, bagaimana kejadiannya,” pinta
Danupaksi.
“Aku, Kakang Rangga, dan Pandan Wangi sampai di
pesanggrahan tengah hari. Kakang Rangga langsung masuk ke dalam kamar semadi.
Sedangkan aku dan Pandan Wangi melihat-lihat keadaan sekitar pesanggrahan...,”
Cempaka memulai menceritakan awal kejadiannya.
“Hm..., teruskan,” pinta Danupaksi melihat Cempaka
berhenti bercerita.
“Setelah pergantian regu penjaga, musibah itu
datang. Aku tidak tahu, apakah dia pantas disebut manusia atau tidak. Seluruh
tubuhnya membusuk. Kulit serta dagingnya mengelupas. Kemunculannya begitu saja
dan tiba-tiba sekali. Dia ingin masuk ke dalam pesanggrahan. Aku, Pandan Wangi,
dan para prajurit penjaga mencoba mencegah. Seperti memancing, dia malah lari
ke seberang sungai. Kami terus mengejar. Di situ, aku, Pandan Wangi, dan
prajurit-prajurit penjaga tidak sanggup menghadapinya. Aku tidak tahu, bagaimana
kelanjutannya. Satu pukulan keras tiba-tiba bersarang di dada, sehingga membuat
aku pingsan,” Cempaka mengakhiri kisahnya.
“Orang itu tidak mengatakan sesuatu, Cempaka?”
tanya Danupaksi.
“Dia mencari benda yang disebut Mustika Batu
Hijau,” sahut Cempaka.
Danupaksi tercenung mendengar orang yang membantai
para prajurit ternyata mencari sebuah mustika dari kuburan tua. Pemuda itu
langsung tanggap, kalau yang dicari pasti Mustika Batu hijau. Hanya saja
Danupaksi belum dapat memastikan, apakah orang itu Nyai Kunti atau ada orang
lain lagi yang serupa wajah dan tubuhnya dengan perempuan itu. Jarak waktu yang
terjadi di tempat ini dengan yang dialaminya, terlalu singkat. Dan Danupaksi
tidak yakin kalau Nyai Kunti bisa bergerak begitu cepat. Sedangkan waktu pergi,
dia begitu yakin kalau wanita itu tidak menuju ke pesanggrahan ini.
“Hm.... Apakah dia Eyang Duraga sendiri...?” gumam
Danupaksi, bertanya sendiri dalam hati.
Sementara itu kegelapan mulai merambat menyelimuti
sekitarnya. Tak terlihat lagi cahaya matahari di sebelah Barat. Bintang mulai
bertebaran di langit kelam. Tampak bulan mengintip dari balik awan, mencoba
menerangi mayapada ini dengan sinarnya yang lembut dan redup. Udara di sekitar
daerah pesanggrahan ini pun semakin terasa dingin.
Danupaksi mengumpulkan ranting-ranting kering, dan
menumpuknya di dekat Cempaka duduk. Kemudian dia membuat api untuk mengusir
udara yang terasa semakin dingin menggigilkan. Malam ini mereka terpaksa harus
bermalam di alam terbuka seperti ini. Nyala api yang membakar ranting-ranting
kering, membuat udara di sekitar tempat itu jadi terasa hangat.
Baru saja Danupaksi menghenyakkan tubuhnya di
samping Cempaka, telinganya mendengar suara gemerisik dari arah belakang. Cepat
pemuda itu melompat bangkit berdiri seraya memutar tubuhnya. Tampak semak di
dekatnya bergerak-gerak. Sementara Cempaka tetap diam, bersikap waspada. Tangan
kanannya sudah menggenggam gagang pedang yang masih tersimpan di dalam
warangkanya.
“Siapa itu...?” bentak Danupaksi lantang.
Tak ada jawaban. Dan semak itu juga berhenti
bergerak. Danupaksi menajamkan telinganya. Suasana seketika jadi terasa begitu
sunyi dan mencekam. Tak terdengar suara sedikit pun, kecuali desir angin saja
yang terdengar mengusik telinga. Perlahan-lahan Danupaksi melangkah mendekati
semak belukar di depannya. Namun belum juga sampai, mendadak saja...
Srak...!
“Hup! Yeaaah...!
Cepat Danupaksi melentingkan tubuhnya ke belakang
ketika tiba-tiba saja dari dalam semak melesat sebuah bayangan hitam yang
langsung menerjangnya. Pemuda itu menjatuhkan diri dan bergulingan beberapa
kali di tanah. Namun dengan gerakan manis dan cepat, dia kembali bangkit
berdiri.
“Danupaksi, awas...!” seru Cempaka tiba-tiba
memperingatkan pemuda itu.
“Hiyaaa...!” Kembali Danupaksi harus melompat ke udara
begitu tiba-tiba bayangan hitam itu meluruk deras ke arahnya. Bayangan hitam
itu lewat sedikit di bawah kaki pemuda itu. Manis sekali Danupaksi memutar
tubuhnya, dan cepat sekali pedangnya dicabut. Langsung punggung bayangan hitam
itu dibabatnya.
Bet! Crab!
“He...?!” Danupaksi tersentak kaget. Tubuhnya cepat
diputar, lalu mendarat sekitar dua batang tombak dari bayangan hitam itu.
Pemuda itu merasakan pedangnya bagai menghantam segumpal kapas yang begitu
lunak. Sabetan pedangnya mental berbalik, hampir mengenai dirinya sendiri.
Sementara bayangan hitam itu berhenti menyerang, lalu memutar tubuhnya
perlahan.
“Oh...?!” Danupaksi terpana begitu melihat di
depannya kini telah berdiri sesosok makhluk yang begitu mengerikan! Seluruh
tubuh orang itu membusuk dan mengelupas. Wajahnya hampir tidak memiliki daging
lagi. Ulat-ulat kecil dan lumpur menjadi satu melekat di tubuhnya. Danupaksi
melangkah mundur beberapa tindak sambil menahan napas. Bau busuk begitu
meyengat, membuat perutnya terasa bergolak, bagai gunung berapi yang hendak
memuntahkan laharnya.
“Dia orangnya, Danupaksi,” ujar Cempaka memberi
tahu.
Makhluk aneh mengerikan bagai mayat hidup itu
menatap Cempaka. Mulutnya menyeringai, memperlihatkan baris-baris giginya yang
hitam dan kotor berlumpur. Cempaka yang sudah berdiri, jadi bergidik ngeri.
Kakinya cepat bergeser mendekati Danupaksi. Pedang sudah terhunus, tergenggam
di tangan kanannya. Sementara sosok makhluk aneh mengerikan kembali menatap
Danupaksi. Sinar matanya memerah tajam, seakan-akan hendak melumat habis pemuda
depannya.
“Siapa kau...?” tanya Danupaksi begitu mendapat
kekuatan.
“He he he...,” makhluk aneh itu hanya terkekeh
menjawab pertanyaan Danupaksi.
“Kau yang bernama Danupaksi...?” dia malah balik
bertanya.
“Heh ..?! Dari mana kau tahu namaku...?” Danupaksi
jadi terhenyak kaget.
“He he he.... Kebetulan kita bertemu di sini,
Danupaksi. Aku sudah bosan mencarimu ke sana mari. He he he.... Rupanya
kemujuran masih mengikutiku.”
“Apa maksudmu mencariku...?” tanya Danupaksi jadi bergidik
ngeri.
“Ha ha ha...!” orang itu malah tertawa
terbahak-bahak.
Danupaksi menggeser kaki ke belakang dua tindak.
Sementara Cempaka ikut melangkah mundur, dan tetap berada di belakang kakak
tirinya ini. Belum hilang dari ingatannya, bagaimana makhluk aneh bagai mayat
hidup ini membantai para prajurit. Bahkan beberapa kali pedangnya bersarang di
tubuh makhluk itu, tapi sedikit pun tidak melukainya. Apalagi sampai
merobohkannya. Dan sekarang, Danupaksi harus berhadapan lagi dengannya. Cempaka
tidak tahu, apakah kali ini akan selamat jika harus bertarung kembali.
Sementara mayat hidup itu terus tertawa tergelak-gelak, membuat telinga
Danupaksi dan Cempaka bagai bergidik hendak pecah.
“Seharusnya kau bersyukur karena bisa kupercaya,
Danupaksi. Tapi ternyata kau bukan orang yang cocok. Sekarang titipanku akan
kuminta kembali,” kata makhluk aneh mengerikan itu. Suaranya, terdengar dingin
dan datar, tanpa tekanan sedikit pun.
“Kau..., kau Eyang Duraga...?” tebak Danupaksi
langsung.
“Benar! Akulah Eyang Duraga. Aku terpaksa bangkit
lagi dari kubur, karena kau tidak pantas menerima mustika yang kuberikan.
Sekarang, barang titipanku akan kuminta kembali,” ujar makhluk aneh yang
ternyata memang Eyang Duraga.
“Barang titipan...? Aku tidak mengerti maksudmu.
Barang apa yang kau titipkan padaku?” Danupaksi jadi kebingungan sendiri.
“Huh! Ternyata kau benar-benar tidak bisa
dipercaya, Danupaksi! Aku menyesal telah memberi kepercayaan yang penuh
padamu!” dengus Eyang Duraga menggeram.
“Tunggu dulu...! Aku baru kali ini melihatmu. Dan
aku tidak tahu, titipan apa yang kau maksudkan.” sergah Danupaksi.
“Kau tidak bisa mengelabuiku, Danupaksi. Kau datang
padaku, dan mengatakan kalau kau bisa dipercaya. Maka benda itu kuberikan
padamu untuk disimpan dan dirawat. Tapi kenyataannya, kau telantarkan begitu
saja. Bahkan sekarang kau mungkir, berdalih segala macam. Aku tidak suka sifat
itu, Danupaksi. Kau bukan seorang kesatria yang patut dipercaya!” agak tinggi
nada suara Eyang Duraga.
Danupaksi semakin kebingungan. Pemuda ini
benar-benar tidak tahu maksud perkataan Eyang Duraga. Sama sekali dia tidak
merasa diberi sesuatu untuk dititipkan. Melihat wujud manusia yang sudah
terkubur puluhan tahun ini saja, baru kali ini. Jadi mana mungkin kalau sempat
bicara, dan sampai meyakinkan segala. Apalagi, Danupaksi tidak tahu benda yang
dimaksudkan Eyang Duraga. Namun, dia sudah dapat menduga kalau benda itu
pastilah benda yang juga diinginkan Nyai Kunti.
“Aku tidak punya banyak waktu, Danupaksi. Kalau
benda itu sampai musnah, aku akan mati selamanya. Kau harus kembalikan benda
itu sekarang juga. Aku tidak ingin dia terus berkeliaran dengan Pedang Kilat di
tangannya. Bukan hanya membahayakan bagi diriku, tapi juga bagi seluruh rimba
persilatan. Aku harus mencegahnya Danupaksi. Hanya mustika itu yang dapat
menandingi Pedang Kilat,” jelas Eyang Duraga, agak melunak suaranya.
“Sungguh, aku tidak tahu mustika yang kau
maksudkan. Seandainya ada padaku, untuk apa aku memilikinya? Benda itu tidak
ada gunanya bagiku,” tegas Danupaksi, tetap kukuh pada pendiriannya.
“Kuperingatkan sekali lagi padamu, Danupaksi. Ini
memang kesalahanku, sehingga mudah mempercayaimu begitu saja. Baiklah.... Kau
kuberi kesempatan dalam satu atau dua hari ini. Jika mustika itu tidak kau serahkan,
aku tidak segan-segan memenggal kepalamu.”
Setelah berkata seperti itu, Eyang Duraga melesat
pergi. Begitu cepatnya, sehingga bagaikan menghilang begitu saja. Danupaksi
menarik napas panjang, seakan-akan hendak melonggarkan rongga dadanya yang terasa
begitu sesak. Perlahan tubuhnya dihenyakkan ke tanah. Dipandanginya Cempaka
yang sejak tadi diam saja. Gadis itu juga memandangi pemuda ini dengan sinar
mata yang sukar diartikan. Untuk beberapa saat, tak ada yang bicara. Sibuk
dengan beban pikiran masing-masing.
“Apa yang harus kulakukan sekarang...?” keluh
Danupaksi perlahan.
Tentu saja Cempaka tidak dapat menjawab. Gadis itu
memasukkan pedangnya kembali ke dalam warangka yang tergantung di pinggang. Dia
ikut duduk di depan pemuda ini. Ada rasa iba terselip dihatinya melihat wajah
Danupaksi begitu kusut. Dia percaya kalau Danupaksi tidak tahu-menahu semua
yang sedang dihadapinya. Tapi untuk membantu pemuda ini, Cempaka tidak tahu
harus berbuat apa lagi. Sedangkan dia sendiri tidak tahu, persoalan yang
sebenarnya.
“Apa tidak sebaiknya kita temui dulu kakang Rangga,
Danupaksi,” ujar Cempaka memberi saran yang tiba-tiba saja terlintas di
benaknya.
“Ke mana harus mencarinya, Cempaka?” tanya
Danupaksi lesu.
“Kakang Rangga tidak ada di pesanggrahan.”
“Tidak ada...?! Lalu ke mana?” tanya Cempaka
terkejut.
“Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu
Cempaka.”
Cempaka jadi terdiam. Seingatnya, ketika Eyang
Duraga muncul, Rangga sudah masuk ke dalam ruang semadi. Dia dan Pandan Wangi
serta prajurit mengejar mayat hidup itu. Juga di mana Pandan Wangi sekarang...?
Cempaka jadi kebingungan sendiri.
“Kita kembali saja ke istana sekarang, Danupaksi,”
ajak Cempaka.
“Kau kuat berjalan jauh, Cempaka?” tanya Danupaksi.
“Aku tidak apa-apa. Hanya luka dalam sedikit,”
sahut Cempaka.
“Tapi hari sudah terlalu malam, Cempaka. Besok
saja, pagi-pagi sekali kita berangkat”
Cempaka tidak bisa memaksa. Memang tidak baik
melakukan perjalanan di malam hari. Apalagi dalam keadaan terluka dalam begini,
meskipun tidak begitu parah. Paling tidak Cempaka butuh waktu untuk bersemadi
memulihkan tubuhnya. Maka, kini mereka terpaksa harus bermalam di tempat
terbuka ini, melawan dinginnya udara malam yang berselimut kabut tebal.
***
LIMA
Danupaksi dan Cempaka baru saja keluar dari dalam
hutan ketika seekor kuda hitam berlari kencang menuju ke arah mereka. Kedua
adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu menghentikan ayunan langkah, dan
memandang ke arah kuda hitam yang berpacu cepat bagai angin itu. Semakin dekat,
semakin jelas kalau kuda hitam itu mem bawa seorang pemuda berwajah tampan.
Bajunya rompi putih, dan pedangnya yang bergagang kepala burung nampak
bertengger di punggungnya.
“Kakang Rangga...,” desis Cempaka gembira begitu
dapat mengenali penunggang kuda hitam itu.
“Hooop...!” Penunggang kuda hitam yang ternyata
memang Rangga, langsung melompat turun begitu kuda hitam tunggangannya berhenti
tepat di depan Danupaksi dan Cempaka. Kuda hitam itu melenggang mendekati
seonggok rumput hijau yang tumbuh subur di bawah pohon beringin yang sangat
besar. Bergegas Rangga menghampiri kedua adik tirinya.
“Cempaka, ke mana saja kau?” Rangga mendahului
bertanya.
“Seharusnya aku yang bertanya padamu, Kakang,” ujar
Cempaka.
Rangga melirik Danupaksi. Kening Pendekar Rajawali
Sakti sedikit berkerut melihat raut wajah Danupaksi tampak lesu tak bergairah.
Sementara Cempaka tahu kalau Rangga sedang memperhatikan Danupaksi. Maka
dirinya bergeser ke samping.
“Ada apa, Danupaksi? Kau seperti menghadapi
persoalan berat,” tegur Rangga.
“Aku tidak tahu, Kakang. Aku sendiri tidak bisa
mengerti,” sahut Danupaksi lesu.
“Ada apa? Ceritakan padaku, Danupaksi,” desak
Rangga lembut.
Dia bisa menduga kalau Danupaksi menyembunyikan
sesuatu. Danupaksi tidak langsung menjawab. Matanya melirik sebentar pada
Cempaka. Sedangkan yang dilirik hanya menundukkan kepala saja. Semalam,
Danupaksi sudah menceritakan semuanya pada gadis ini. Dan Cempaka sendiri jadi
bingung, tidak tahu harus berbuat apa.
Dia dan Danupaksi begitu yakin kalau ancaman Eyang
Duraga tidak bisa dianggap main-main. Manusia yang bangkit dari kuburnya itu
memang tidak dapat dianggap enteng. Tubuhnya kebal terhadap segala macam
senjata. Hal itu sudah dirasakan oleh mereka berdua. Senjata mereka tak ada
artinya sama sekali bagi Eyang Duraga.
“Ada apa, Danupaksi...? Cempaka...?” tanya Rangga
kembali mendesak.
“Kau saja yang mengatakannya, Cempaka,” Danupaksi
melempar pada adik tirinya.
“Kenapa aku...? Kau yang punya persoalan. Ceritakan
saja apa adanya, Danupaksi,” elak Cempaka.
“Ada apa ini? Apa yang kalian sembunyikan?” Rangga
jadi penasaran.
“Aku tidak tahu, harus memulai dari mana, Kakang.
Tiba-tiba saja semuanya terjadi. Aku sendiri tidak tahu, kenapa mereka
menyangka aku yang menyimpan benda itu,” ujar Danupaksi, bernada mengeluh.
“Benda apa?” tanya Rangga ingin tahu.
“Itulah, Kakang. Aku sendiri tidak tahu, benda apa
yang mereka ributkan,” sahut Danupaksi.
“Siapa mereka itu, Danupaksi?” tanya Rangga.
“Nyai Kunti dan Eyang Duraga.”
“Kau jangan main-main, Danupaksi,” desis Rangga
tidak percaya dengan jawaban adik tirinya barusan.
“Aku sungguh-sungguh, Kakang. Dua kali aku bentrok
dengan Nyai Kunti. Dan semalam, hampir saja bentrok dengan Eyang Duraga. Bahkan
Cempaka sendiri terluka dalam olehnya. Ditambah lagi, semua prajurit penjaga
pesanggrahan juga tewas di tangan Eyang Duraga,” jelas Danupaksi
bersungguh-sungguh.
“Benar begitu, Cempaka?” Rangga masih tidak
percaya.
Cempaka hanya mengangguk saja membenarkan semua
jawaban Danupaksi. Melihat kedua adiknya tirinya begitu sungguh-sungguh, kening
Rangga jadi berkerut. Dipandanginya Danupaksi dan Cempaka bergantian,
seolah-olah ingin memastikan kalau mereka tidak main-main. Rangga tahu, siapa
kedua orang yang baru saja disebutkan namanya oleh Danupaksi.
Nyai Kunti adalah seorang tokoh kosen rimba
persilatan. Tingkat kepandaiannya tinggi sekali, dan sukar dicari tandingannya.
Terutama pengetahuannya mengenai segala racun. Sungguh tak ada bandingannya di
dunia ini. Semua senjata yang dipergunakan wanita tua berwajah buruk itu
mengandung racun yang sangat mematikan. Tapi yang membuat Rangga tidak habis
mengerti, adalah tentang Eyang Duraga.
Semua orang tahu kalau Eyang Duraga sudah terkubur
puluhan tahun. Dia tewas karena bertarung melawan Pendekar Pedang Kilat.
Makamnya ada di pinggiran Desa Batu Ceper. Rasanya memang sukar dipercaya kalau
Eyang Duraga yang sudah meninggal puluhan tahun bisa bangkit kembali. Bahkan
menemui Danupaksi, serta membunuh puluhan prajurit penjaga pesanggrahan.
“Eyang Duraga datang ke pesanggrahan untuk mencari
Kakang Danupaksi. Dia menginginkan kakang Danupaksi agar mengembalikan barang
titipannya, Kakang,” jelas Cempaka yang sejak tadi diam saja.
“Dia datang ke pesanggrahan...?” Rangga jadi
tercenung.
“Ya! Tidak lama setelah Kakang masuk ke dalam bilik
semadi. Aku dan Pandan Wangi serta semua prajurit penjaga pesanggrahan mencoba
menghadangnya untuk masuk. Setelah kami bertarung, dia seperti memancing kami.
Dia kemudian berlari, lalu aku, Pandan Wangi, dan semua prajurit mengejarnya.
Kemudian, kami bertarung kembali. Dan, semua prajurit tewas. Bahkan Pandan
Wangi menghilang begitu saja,” jelas Cempaka memberi tahu.
“Aku waktu itu langsung bersemadi, dan tak
mendengar ada keributan. Tapi...,” Rangga menghentikan ucapannya. Dia kembali
tercenung seperti kebingungan sendiri.
“Tapi kenapa, Kakang?” tanya Cempaka ingin tahu.
“Aneh.... Aku seperti dibangunkan dari semadi. Dan
begitu bangun dari semadi, aku tidak melihat ada seorang pun di pesanggrahan.
Aku sudah mencari ke mana-mana, bahkan sampai kembali ke istana,” pelan sekali
suara Rangga.
Danupaksi dan Cempaka saling berpandangan bingung.
Terutama Danupaksi yang sudah memeriksa semua kamar di pesanggrahan. Pantas
saja dia tidak menemukan Pendekar Rajawali Sakti. Untuk beberapa saat, mereka
jadi kebingungan dan terdiam membisu. Semua peristiwa yang dialami sungguh luar
biasa, dan membuat mereka tidak mengerti.
“Lalu, dimana Pandan Wangi sekarang, Kakang?” tanya
Cempaka, teringat Pandan Wangi.
“Ada di istana,” sahut Rangga.
“Aku menemukannya terluka. Dia tergeletak tidak
jauh dari perbatasan.”
“Di istana...? Apa Pandan Wangi tidak cerita kalau
dia habis bertarung...?” Cempaka jadi terkejut.
Rangga menggeleng. “Keadaannya masih lemah. Belum
bisa ditanya”
“Aneh...,” gumam Cempaka. “Apa sebenarnya yang
sedang terjadi...?” Pertanyaan Cempaka yang bergumam, tidak ada yang bisa
menjawab.
Rangga sendiri jadi kebingungan tidak mengerti.
Mereka hanya bisa saling berpandangan, tanpa dapat menemukan jawaban dari semua
peristiwa yang dialami. Peristiwa aneh yang baru pertama kali ini terjadi.
“Sebaiknya kalian kembali saja ke istana,” ujar
Rangga setelah cukup lama terdiam.
“Kakang mau ke mana?” tanya Danupaksi.
“Aku akan kembali ke pesanggrahan. Aku merasa ada
sesuatu yang tidak beres di sana,” sahut Rangga.
Rangga cepat melompat naik ke punggung kudanya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung menggebah cepat
kudanya menuju pesanggrahan. Sejenak Cempaka dan Danupaksi berpandangan, lalu
sama-sama mengangkat pundak. Kini mereka kembali meneruskan perjalanan menuju
istana, tanpa berkata-kata lagi.
***
Sementara Rangga sudah jauh masuk ke dalam hutan.
Tepat di saat matahari berada di atas kepala, Rangga sudah tiba di depan
bangunan pesanggrahan yang menyerupai candi. Suasana di situ tampak sunyi
lengang. Tak terlihat seorang pun di sekitar tempat suci ini. Bahkan binatang
pun tidak terlihat berkeliaran di sekitarnya. Hanya desir angin yang terdengar
mengusik gendang telinga.
Dengan gerakan ringan sekali, Rangga melompat turun
dari punggung kuda. Kakinya melangkah perlahan-lahan mendekti pintu
pesanggrahan yang terbuka. Pandangan matanya tidak berkedip tertuju ke dalam
pintu. Dia menduga keras kalau ada sesuatu di dalam pesanggrahan itu, yang
belum diketahuinya. Namun perasaannya semakin tajam saja. Dan begitu jaraknya
tinggal sekitar satu batang tombak lagi, mendadak saja...
Sing...!
“Hup! Yeaaah...!” Rangga cepat melentingkan
tubuhnya ketika sebuah benda bulat pipih berwarna keperakan meluncur deras dari
dalam pesanggrahan di depannya. Benda itu lewat di bawah telapak kaki Pendekar
Rajawali Sakti, dan langsung menghantam sebatang pohon yang cukup besar.
Glarrr...! Satu ledakan keras terdengar
menggelegar, begitu benda bulat pipih keperakan menghantam pohon. Sementara
Rangga sudah kembali berdiri di tanah, setelah melakukan putaran dua kali.
Sedikit matanya melirik ke arah batang pohon yang hangus menghitam.
“Siapa di dalam...? Keluar...!” teriak Rangga
lantang.
Teriakan Pendekar Rajawali Sakti itu menggema
keras, karena dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai
taraf kesempurnaan. Namun tak ada sahutan sedikit pun dari dalam pesanggrahan.
Rangga menanti sebentar, kemudian menggeser kakinya sedikit ke kanan. Pandangan
matanya tetap tajam tertuju ke arah pintu pesanggrahan.
“Jika tidak juga keluar, akan kuhancurkan
pesanggrahan ini!” ancam Rangga.
“Hik hik hik...!” Bersamaan dengan terdengarnya
tawa mengikik, berkelebat sebuah bayangan hitam keluar dari pesanggrahan.
Rangga sempat melangkah mundur dua tindak. Kini di
depannya telah berdiri seorang perempuan tua berbaju hitam lusuh yang longgar.
Rangga sempat terpana begitu menatap wajah rusak orang di depannya. Orang itu
bagaikan mayat hidup yang sudah terkubur puluhan tahun lamanya. Hampir seluruh
kulit dan daging di wajahnya mengelupas, sehingga menampakkan tulang wajah yang
putih kemerahan.
“Sungguh berani sekali kau hendak menghancurkan
sebuah pesanggrahan, Anak Muda,” terasa dingin dan datar sekali suara wanita
berwajah buruk itu.
“Siapa kau? Dan apa maksudmu berada di dalam
pesanggrahanku?” Rangga malah balik bertanya.
“Pesanggrahanmu...? Hik hik hik...! Kalau begitu
kau pasti Pendekar Rajawali Sakti. Raja Karang Setra. Benar begitu...?”
“Hm.... Tampaknya kau sudah tahu banyak tentang
diriku,” gumam Rangga agak terperanjat juga.
“Tidak terlalu sukar mengetahui tentang dirimu,
Pendekar Rajawali Sakti. Hampir semua orang di kalangan persilatan mengenalmu.”
“Siapa kau, Nisanak? Apa keperluanmu datang ke
pesanggrahanku?!” tanya Rangga lagi, tidak ingin bertele-tele.
“Hik hik hik.... Aku Nyai Kunti. Kedatanganku ke
sini ingin meminta kembali Mustika Batu Hijau yang kau ambil dari Danupaksi,”
sahut wanita berwajah buruk yang tak lain adalah Nyai Kunti.
“Hm.... Jadi kau yang bernama Nyai Kunti...?” gumam
Rangga seakan-akan ingin memastikan.
“Benar. Dan sebaiknya jangan membuat kesulitan
denganku, seperti adikmu,” nada suara Nyai Kunti terdengar mengancam.
Rangga menatap wanita berwajah buruk itu
dalam-dalam. Hatinya agak tersinggung mendengar kata-kata bernada mengancam
itu. Tapi dirinya masih berusaha untuk dapat bersabar. Setelah mengetahui siapa
wanita yang ada di depannya ini, rasa keingintahuannya mampu mengalahkan
ketersinggungan di hatinya. Meskipun Danupaksi dan Cempaka sudah bercerita
banyak, tapi Pendekar Rajawali Sakti masih belum jelas duduk perkara yang
sebenarnya. Sebuah persoalan yang sampai-sampai melibatkan Danupaksi dengan
seorang tokoh kosen rimba persilatan, seperti Nyai Kunti ini. Terlebih lagi,
menyangkut Eyang Duraga yang sudah puluhan tahun terkubur.
“Apa yang kau inginkan dari adikku, Nyai Kunti?”
tanya Rangga memancing.
“Kau jangan berpura-pura, Pendekar Rajawali Sakti!”
dengus Nyai Kunti. “Aku memang tidak akan memperoleh apa pun dari adikmu,
karena mustika itu kau yang pegang!”
“Mudah sekali kau melemparkan tuduhan, Nyai Kunti,”
terasa dingin nada suara Rangga.
“Sudah kuduga, kau pasti akan mengelak. Baik...,
mungkin aku harus menggunakan cara lain.” Setelah berkata demikian, Nyai Kunti
cepat bersikap hendak melakukan serangan.
“Tunggu...!” sentak Rangga cepat-cepat.
“Aku tidak suka banyak bicara, Pendekar Rajawali
Sakti. Kalau ingin menyerahkan mustika itu, cepat serahkan!” dengus Nyai Kunti.
“Kau tidak akan dapat memperolehnya, Nyai Kunti.
Benda itu tidak ada padaku. Juga pada Danupaksi.”
“Keparat...! Kau dan adikmu sama saja...! Kau akan
menyesal mempermaikan aku, Anak Muda! Hiyaaat..!” Nyai Kunti tidak dapat lagi
menahan kemarahan, sehingga dirinya merasa telah dipermainkan. Bagaikan beruang
kelaparan, wanita berwajah buruk itu melompat menyerang Rangga. Dua pukulan
dahsyat dilepaskan lewat pengerahan tenaga dalam sepenuhnya.
“Uts!” Rangga cepat melompat ke samping sambil
meliukkan tubuhnya, menghindari serangan yang dilakukan Nyai Kunti. Maka, dua
pukulan yang dilepaskan wanita tua bermuka buruk itu meleset dari sasaran.
Namun Nyai Kunti tidak berhenti sampai di situ saja. Kembali diserangnya
Pendekar Rajawali Sakti dengan jurus-jurus cepat dan dahsyat luar biasa. Setiap
serangan yang dilakukan, mengandung pengerahan tenaga dalam yang luar biasa
dahsyatnya.
“Gila...! Pukulannya sungguh luar biasa,” dengus
Rangga di dalam hati. Beberapa kali pukulan Nyai Kunti hampir bersarang di
tubuh Pendekar Rajawali Sakti, namun masih dapat dihindari dengan manis sekali.
Jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang dimainkan Rangga, ternyata ia mampu meredam
semua serangan yang dilancarkan Nyai Kunti.
Namun setelah melewati beberapa jurus, Rangga jadi
kewalahan juga. Cepat-cepat jurusnya dirubah untuk menandingi serangan-serangan
perempuan tua bermuka buruk itu. Rangga segera mengerahkan jurus-jurus dari
rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti' Dengan jurus-jurus itu, dia kini mampu
memberi serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.
“Uts! Setan...!” dengus Nyai Kunti ketika satu
pukulan keras dilancarkan Rangga. Hampir saja pukulan Pendekar Rajawali Sakti
meremukkan batok kepala, kalau saja Nyai Kunti tidak cepat merundukkan
kepalanya. Secepat itu pula Nyai Kunti melompat mundur beberapa tindak. Namun
belum juga melakukan tindakan lebih jauh lagi, Rangga sudah melesat ke udara. Tubuhnya
kemudian menukik deras dengan kaki berada di bawah. Kedua kaki Pendekar
Rajawali Sakti bergerak cepat mengincar kepala Nyai Kunti. Saat itu Rangga
mengeluarkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
“Hiyaaa...!” “Hait..!” Bukan main terkejutnya Nyai
Kunti begitu mendapat serangan cepat luar biasa dari Pendekar Rajawali Sakti.
Sangat sedikit sekali waktu untuk bisa menghindar. Maka cepat-cepat tubuhnya
dibanting ke tanah sambil memiringkan kepala. Beberapa kali dia bergulingan di
tanah, kemudian cepat melompat bangkit kembali.
Namun begitu kakinya menjejak tanah, kembali datang
serangan dahsyat menggeledek dari Pendekar Rajawali Sakti. Satu pukulan keras
bertenaga dalam tinggi dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' dilepaskan
Rangga, sebelum Nyai Kunti bisa berdiri dengan tegak. Serangan ini membuat
perempuan berwajah buruk itu mendengus geram, dan mengumpat dalam hati.
“Setan belang...! Hup! Yeaaah...!” Terpaksa Nyai
Kunti berjumpalitan di udara menghindari pukulan-pukulan yang dilancarkan
Pendekar Rajawali Sakti. Sama sekali dia tidak mempunyai kesempatan untuk
menjejakkan kakinya di tanah. Bahkan beberapa kali pula pukulan Rangga hampir
bersarang di tubuhnya. Namun Nyai Kunti masih saja mengelakkannya, meskipun
agak kewalahan.
“Hiyaaa...!” Sambil berteriak keras menggelegar,
tubuh Nyai Kunti melenting tinggi ke udara. Dua kali dia berputaran di udara.
Pada saat yang sama, Rangga juga melesat, membumbung ke angkasa. Cepat sekali
Pendekar Rajawali Sakti melontarkan satu pukulan keras disertai pengerahan
tenaga dalam sempurna ke arah dada Nyai Kunti.
“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”
Glarrr...! Satu ledakan dahsyat terdengar
menggelegar ketika pukulan Rangga beradu dengan pukulan Nyai Kunti. Percikan
bunga api memendar ke segala arah, disertai kepulan asap hitam dan kilatan
cahaya menyilaukan mata. Tampak kedua orang yang bertarung itu sama-sama
terpental balik ke belakang, dan jatuh bergulingan di tanah. Namun mereka
sama-sama cepat bangkit berdiri. Jelas terlihat kalau Rangga agak limbung.
Tangan kanannya mendekap dada sebelah kiri. Dan dari sudut bibirnya mengalir
darah kental agak kehitaman.
“Phuh...!” Rangga menyemburkan darah yang
menggumpal di dalam mulutnya. Matanya menatap tajam Nyai Kunti yang tersenyum-senyum
menyeringai. Wanita tua berwajah buruk itu kelihatan tetap segar, tak menderita
luka sedikit pun setelah mengadu tenaga dalam tadi.
“Sudah kuperingatkan padamu, Pendekar Rajawali
Sakti. Tidak ada gunanya berkeras kepala. Serahkan saja mustika itu padaku,”
ejek Nyai Kunti langsung terkekeh.
“Walaupun benda itu ada padaku, tidak bakal
kuserahkan padamu, Nyai Kunti!” dengus Rangga dingin.
“Keras kepala...! Kau akan menyesal telah
mempermainkan aku, Bocah!” geram Nyai Kunti.
Sret! Cring...! Nyai Kunti tak dapat lagi menahan
kemarahannya. Maka cepat senjatanya dicabut dari balik bajunya yang hitam lusuh
dan panjang. Kini di tangan kanannya telah tergenggam sebilah pedang yang
berkilatan menyilaukan mata. Wanita berwajah buruk itu menyilangkan pedang di
depan dada dengan satu gerakan indah. Rangga sedikit menggeser kakinya ke
belakang. Hatinya agak terkejut juga melihat pedang di dalam genggaman tangan
wanita tua itu. Sebilah pedang yang hampir mirip dangan Pedang Rajawali Sakti
miliknya. Hanya saja, cahaya pedang itu benar-benar berkilat dan menyilaukan
mata. Tapi, bukan pamor pedang itu yang membuatnya Rangga terkejut. Melainkan,
pedang itu dikenalinya betul.
“Dari mana kau perolah pedang itu, Nyai Kunti?”
tanya Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau pedang di tangan
Nyai Kunti adalah milik Pendekar Pedang Kilat. Seorang tokoh kosen rimba
persilatan yang sangat disegani, baik oleh kaum persilatan golongan hitam
maupun putih. Memang sudah lama nama Pendekar Pedang Kilat tidak terdengar
lagi. Dia seakan-akan menghilang begitu saja, dan tak pernah lagi muncul di
rimba persilatan. Dan sekarang senjatanya yang sangat ditakuti kaum rimba
persilatan golongan hitam, berada di tangan Nyai Kunti. Macam-macam pikiran
buruk mulai mem-bebani benak pemuda berompi putih itu, namun cepat-cepat
dilenyapkan.
“Rupanya kau mengenali senjata ini, Pendekar
Rajawali Sakti. Bagus...! Aku masih memberimu kesempatan sebelum pedang ini
kugunakan,” ancam Nyai Kunti bernada sinis.
“Aku menghormati senjata itu, Nyai Kunti. Sayang
sekali, sekarang berada di tangan yang salah,” sambut Rangga tidak kalah
sinisnya.
“Keparat..! Kau kira aku tidak bisa menggunakan
pedang ini, heh...?!” geram Nyai Kunti, kembali memuncak amarahnya.
“Aku tidak peduli bagaimana kau memperoleh senjata
itu dari Pendekar Pedang Kilat. Rasanya pusaka itu harus kukembalikan pada
pemiliknya,” kata Rangga lagi, kali ini lebih tenang nada suaranya.
“Phuih! Kata-katamu semakin menyakitkan saja,
Pendekar Rajawali Sakti. Rasakan ketajaman pedang ini. Hiyaaat..!”
Bet!
“Hup!” Rangga cepat melompat ke samping sambil
memiringkan tubuh begitu Nyai Kunti membabatkan pedangnya dengan cepat. Ujung
pedang itu hanya lewat sedikit saja di samping tubuh Rangga. Bergegas Pendekar
Rajawali Sakti menarik kakinya ke belakang dua langkah, lalu cepat meraih
gagang pedangnya yang tersampir di punggung.
Sret! Bet! Tring!
ENAM
Rangga langsung membabatkan pedangnya ke depan dada
begitu Nyai Kunti menusukkan Pedang Kilat ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti.
Senjata berpamor dahsyat itu beradu keras. Tampak bunga api memercik menyebar
ke segala arah. Cepat Rangga melompat mundur sejauh lima langkah ke belakang.
Pada saat itu, Nyai Kunti juga melompat mundur dua langkah. Perempuan tua berwajah
buruk itu tampak terkejut ketika pedangnya beradu dengan pedang Pendekar
Rajawali Sakti. Tangan kanannya bagai terserang ribuan lebah berbisa.
Menggeletar dan terasa nyeri sampai ke tulang. Tapi belum lagi lenyap rasa
keterkejutannya, mendadak saja dia sudah disibuki oleh serangan Rangga yang
bertubi-tubi dan luar biasa.
“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”
“Uts! Setan alas...!” umpat Nyai Kunti seraya
berlompatan menghindari serangan-serangan yang dilancarkan Pendekar Rajawali
Sakti.
Trang!
Beberapa kali pedang mereka berbenturan keras
hingga menimbulkan percikan bunga api. Mereka terus bertarung menggunakan
jurus-jurus tingkat tinggi yang dahsyat luar biasa. Sementara tempat terjadinya
pertarungan sudah berantakan, bagai diamuk badai topan yang dahsyat luar biasa.
Jurus demi jurus berlalu cepat, namun pertarungan masih terus berjalan semakin
sengit. Dua kilatan cahaya dari dua senjata pedang berpamor dahsyat,
berkelebatan saling sambar.
Beberapa kali terlihat percikan bunga api, setiap
kali dua senjata pedang dahsyat itu beradu. Suara-suara ledakan pun terdengar
saling susul, ditingkahi pekikan-pekikan pertarungan yang tiada hentinya.
Semakin lama, pertarungan semakin berjalan cepat. Dan kini tubuh mereka lenyap,
tergulung dua sinar berkilatan, berkelebat saling sambar. Rasanya terlalu sukar
diikuti pandangan mata biasa. Hingga tiba-tiba....
“Aaakh...!” Satu jeritan keras terdengar
melengking.
Tampak satu sosok tubuh terpental keluar dari arena
pertarungan. Sosok tubuh tegap berbaju rompi putih itu bergulingan di tanah,
lalu akhirnya berhenti setelah menghantam batang pohon yang cukup besar. Namun
tubuh berbaju rompi putih itu cepat bangkit kembali. meskipun terhuyung-huyung.
Dua kali mulutnya memuntahkan darah kental.
“Hiyaaat...!” Saat itu Nyai Kunti sudah kembali
melompat sambil membabatkan pedang ke arah leher Rangga yang masih belum bisa
menguasai keseimbangan tubuhnya. Namun belum juga mata pedang perempuan tua
bermuka buruk itu menyentuh kulit leher Rangga, mendadak saja...
“Khraghk...!”
Bet!
“Heh...?!” Nyai Kunti tersentak kaget, ketika
tiba-tiba saja dari angkasa meluncur sesuatu yang besar berwarna keperakan.
Nyai Kunti terlonjak mundur beberapa tindak. Dan belum lagi hilang rasa
keterkejutannya, tubuh Rangga sudah lenyap disambar bayangan keperakan yang
bergerak cepat bagai kilat, membumbung tinggi ke angkasa.
“Apa itu...?” desis Nyai Kunti seraya menengadahkan
kepala ke atas. Hanya sekilas saja terlihat, namun itu sempat membuatnya
tercenung. Nyai Kunti seakan-akan tidak percaya dengan apa yang disaksikannya
barusan. Seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan bergerak cepat
menyambar Rangga, di saat Pendekar Rajawali Sakti itu sudah tidak berdaya lagi.
“Oh! Apakah dia itu titisan Dewa Wisnu...?” gumam
Nyai Kunti bertanya-tanya sendiri. Meskipun burung rajawali putih raksasa yang
menyambar Rangga sudah tidak terlihat lagi, namun Nyai Kunti masih tetap
memandang ke atas. Hanya satu titik keperakan yang terlihat di balik awan, dan
kemudian lenyap tak terlihat lagi.
Sementara Nyi Kunti masih berdiri mematung di
tempat itu bagai tersihir. Puluhan tahun dia menggeluti rimba persilatan namun
belum pernah melihat ada seekor burung raksasa begitu besar dan bisa menyambar
seorang manusia bertubuh kekar dan tegap, seperti Pendekar Rajawali Sakti.
Kejadian ini membuatnya jadi ter-menung beberapa saat lamanya.
“Hm.... Pendekar Rajawali Sakti. Dia benar-benar
pendekar yang tangguh. Senjatanya pun sungguh dahsyat luar biasa. Dia masih
mampu berdiri meski-pun terkena pukulan 'Tapak Maut'. Tidak ada seorang pun
yang bisa menahan pukulan 'Tapak Maut', kecuali memiliki Mustika Batu Hijau
dari kuburan tua Eyang Duraga. Hm..., kini aku semakin yakin. Pasti dia
memiliki mustika itu...!” gumam Nyai Kunti, bicara pada dirinya sendiri.
Mendapat pikiran demikian, wanita berwajah buruk
itu cepat berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh menuju arah rajawali
putih raksasa membawa Rangga pergi. Begitu tingginya ilmu meringankan tubuh
yang dimilikinya. Sehingga dalam waktu sekejapan mata saja, bayangan tubuh Nyai
Kunti sudah lenyap tak terlihat lagi.
***
Sementara itu di suatu tempat, tepatnya di sebuah
lembah yang sunyi dan jauh dari pemukiman penduduk, Rangga duduk bersila di
atas sebongkah batu pipih yang putih berkilat bagai memancarkan cahaya yang
menerangi sekitarnya. Tidak seberapa jauh di depannya, mendekam seekor burung
rajawali raksasa berbulu putih keperakan. Entah sudah berapa lama Pendekar
Rajawali Sakti duduk bersila bersikap semadi. Perlahan kemudian, matanya
terbuka, lalu menghembuskan napas kuat-kuat. Burung rajawali raksasa mengangkat
kepalanya, begitu mendengar gumaman Rangga yang perlahan. Pendekar Rajawali
Sakti tersenyum melihat Rajawali Putih ada di dekatnya.
“Terima kasih, Rajawali Putih. Kau bertindak tepat
dan cepat sekali,” ujar Rangga seraya bangun dari tempatnya bersemadi.
“Khrrrk...!” Rajawali Putih hanya mengkirik
perlahan.
Rangga menghampiri Rajawali Putih dan kembali duduk
bersila di depan burung raksasa itu. Sebentar tubuhnya dibungkukkan memberi
hormat. Kembali Rajawali Putih mengkirik lirih. Meskipun hanya seekor burung,
namun Rangga sangat menghormatinya. Karena didikan burung rajawali raksasa
inilah, dia sekarang menjadi seorang pendekar digdaya yang sukar dicari
tandingannya.
Rajawali Putih bangkit berdiri, lalu melangkah
perlahan keluar dari dalam gua. Rangga ikut berdiri dan berjalan mengikuti
burung raksasa itu. Tanpa bicara sedikit pun, mereka berjalan keluar menuju
suatu tempat yang bersih dan terawat apik. Rangga tahu, kalau di Lembah Bangkai
ini terdapat sebuah makam. Pusara Pendekar Rajawali yang sudah ter-kubur lebih
dari seratus tahun. Dan mereka memang menuju ke sana.
Pendekar Rajawali Sakti langsung berlutut di depan
pusara yang bercungkup indah itu. Sedangkan Rajawali Putih kembali mendekam di
belakang pemuda berbaju rompi putih ini. Tak ada yang membuka suara sedikit pun
juga. Rangga sendiri jadi heran dan bertanya-tanya dalam hati, kenapa Rajawali
Putih membawanya ke pusara ini. Namun belum juga pertanyaan di benak Rangga
terjawab, mendadak saja kilat menyambar, membelah angkasa. Suaranya menggelegar
menggetarkan jantung.
Pendekar Rajawali Sakti sedikit terlonjak kaget.
Langsung disadari kalau datangnya kilat itu suatu tanda kalau Pendekar Rajawali
datang, bangkit dari kuburnya. Dugaan Rangga tak meleset sama sekali. Begitu
ujung kilat menyambar tepat di tengah-tengah cungkup pusara Pendekar Rajawali,
gundukan tanah merah yang dikelilingi batu-batuan itu pun merekah terbelah.
Tanah di sekitarnya bergetar bagaikan diguncang gempa. Rangga cepat bersujud
menempelkan keningnya di tanah.
Wus...!
Dari dalam kuburan itu keluar asap putih yang tebal
dan menggumpal. Tak lama kemudian, asap putih itu memudar tertiup angin.
Getaran bumi pun menghilang bersamaan munculnya sesosok tubuh berjubah putih
yang berdiri tepat di tengah-tengah kuburan yang terbelah merekah.
“Bangunlah, Anakku,” ujar laki-laki berjubah putih
dengan wajah memancarkan sinar itu.
Rangga memberi hormat, dengan merapatkan kedua
telapak tangannya di depan hidung. Kemudian, dia duduk bersila. Kepalanya tetap
tertunduk, seakan tak sanggup membalas pandangan Pendekar Rajawali yang bangkit
kembali dari kuburnya.
“Ini bukan yang pertama kali kau menderita
kekalahan, Anakku. Dan sebenarnya, kau tidak perlu mengalami kekalahan jika
saja bisa memusatkan seluruh perhatian di dalam pertarungan. Aku tahu,
pikiranmu masih terpusat pada cerita Danupaksi mengenai benda itu, sehingga kau
kurang memusatkan perhatian pada pertarungan,” kata Pendekar Rajawali. Nada
suaranya terdengar lembut dan sangat berwibawa sekali.
“Benda...?” Rangga tersentak terkejut. “Kau memang
tidak tahu keberadaannya, Anakku. Sama sekali aku tidak menyalahkanmu, karena
kau sendiri tidak tahu kalau di dalam tubuh adik tirimu tersimpan Mustika Batu
Hijau dari kuburan tua Eyang Duraga,” jelas Pendekar Rajawali.
“Oh! Bagaimana mungkin...?” Rangga benar-benar
tidak mengerti.
Pendekar Rajawali tidak menjawab pertanyaan
muridnya. Dia hanya tersenyum saja, dan menggelengkan kepala berulang-ulang.
Sedangkan Rangga kelihatan seperti orang bodoh, terbengong-bengong bagai orang
kehilangan jalan. Dan Pendekar Rajawali tampaknya tidak ingin meneruskan pembicaraannya
mengenai Mustika Batu Hijau.
“Apa yang kau rasakan ketika bertarung melawan Nyai
Kunti, Anakku?” tanya Pendekar Rajawali.
Rangga tidak langsung menjawab, namun tidak merasa
terkejut lagi. Meskipun tanpa menceritakan, Pendekar Rajawali sudah tahu semua
yang terjadi pada dirinya. Rangga mencoba mengingat-ingat pertarungannya dengan
Nyai Kunti. Memang pada jurus-jurus terakhir, terasa ada kelainan pada dirinya.
Tapi dia tidak tahu, kelainan apa. Saat itu Rangga hanya merasakan daya tahan
dan kekuatannya menurun.
Bahkan pamor Pedang Pusaka Rajawali Sakti pun
seakan-akan tidak berdaya menghadapi kesaktian Pedang Kilat. Rangga juga
merasakan seperti tidak dapat mengendalikan pedangnya sendiri, hingga Nyai
Kunti berhasil mendaratkan satu pukulan telak di dadanya. Pukulan keras dan
mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, serta penyaluran aji kesaktian itu
membuat Rangga hampir pingsan. Tapi anehnya, dia tidak pingsan. Bahkan masih
nampu cepat berdiri meski pun tidak bisa sempurna benar.
“Kau tidak perlu mengatakannya padaku, Rangga. Aku
sudah tahu, apa yang kau rasakan dan kau alami dalam pertarunganmu. Itu semua
karena pengaruh Pedang Kilat yang digunakan lawanmu,” jelas Pendekar Rajawali
mendahului, ketika Rangga hendak mengatakan semua yang dirasakan dan
dialaminya.
“Apakah pedang itu akan terus mempengaruhi setiap
lawannya, Guru?” tanya Rangga.
“Selama masih ada di tangan wanita itu, Pedang
Kilat dapat lebih berbahaya, Anakku. Dan dia akan sukar untuk dilawan, meskipun
terkadang Pedang Rajawali dapat menyelamatkan dirimu dari kematian. Kau bisa
merasakannya sendiri saat Nyai Kunti berhasil memasukkan pukulan mautnya ke
dadamu. Pengaruh pukulan maut itu berhasil ditolak kekuatan Pedang Rajawali,
sehingga kau luput dari kematian,” jelas Pendekar Rajawali.
“Itu berarti semua ilmu yang ada padaku tidak ada
manfaatnya, Guru?” tebak Rangga.
“Tidak seluruhnya. Tapi sebaiknya kau harus
meninggalkan Pedang Rajawali. Karena antara Pedang Rajawali dengan Pedang Kilat
sangat bertentangan sifatnya. Dan Rajawali Putih pun tidak dapat lagi
membantumu selama Nyai Kunti masih memiliki Pedang Kilat.”
“Oh...,” Rangga mengeluh lesu. Berat rasanya jika
harus berpisah dengan Rajawali Putih. Bagi Rangga, Rajawali Putih seperti darah
yang mengalir di tubuhnya. Tak dapat dipisahkan lagi. Hanya kematianlah yang
dapat memisahkan mereka berdua.
“Guru, apakah itu harus...?” tanya Rangga.
“Jangan kalah sebelum bertarung, Rangga. Kau pasti
bisa menandinginya tanpa Pedang Rajawali. Kau harus gunakan jurus-jurus luar
yang tidak bisa terpengaruh kekuatan Pedang Kilat.”
“Tapi aku tidak mau berpisah dengan Rajawali Putih,
Guru. Lebih baik mati daripada harus berpisah dengannya.”
Pendekar Rajawali Sakti tersenyum mendengar
pernyataan tulus yang keluar dari lubuk hati pemuda ini. Dihampirinya Rangga
dan ditepuk-tepuknya pun tidak pemuda itu dengan lembut sekali. Rangga
mengangkat kepalanya, menatap wajah gurunya ini.
“Aku bisa merasakan perasaanmu, Rangga. Tapi aku
tidak bisa berbuat banyak. Hanya kau yang dapat mengatasinya sendiri. Tapi kau
harus waspada pada pemilik batu mustika itu,” kata Pendekar Rajawali lembut.
“Eyang Duraga maksud Guru?” tebak Rangga.
“Bukan.”
“Lalu, siapa...?”
“Danupaksi.”
“Danupaksi...?!” Rangga hampir tidak percaya dengan
pendengarannya sendiri.
Rasanya sukar dimengerti kalau Mustika Batu Hijau
kini dimiliki oleh Danupaksi. Sedangkan dia tahu sendiri kalau Danupaksi tidak
merasa memiliki benda yang menjadi rebutan itu. Danupaksi sendiri sudah
bersumpah kalau tidak tahu menahu tentang mustika itu. Melihatnya saja belum
pernah. Tapi gurunya ini mengatakan kalau mustika itu sebenarnya milik
Danupaksi. Bagaimana hal itu bisa terjadi...? Seseorang memiliki sesuatu, tapi
orang yang bersangkutan tidak tahu apa yang dimilikinya. Bahkan melihat saja
belum pernah. Hal ini yang membuat Rangga jadi tidak mengerti.
“Memang terdengarnya begitu aneh. Dan semua ini
sebenarnya kesalahan Eyang Duraga. Dia begitu ceroboh, karena memberikan mustika
tanpa diketahui orang yang bersangkutan,” jelas Pendekar Rajawali seperti
mengetahui kebingungan Rangga.
“Jadi benar, Eyang Duraga memberikan mustika itu
pada Danupaksi?” Rangga ingin meyakinkan dirinya.
“Benar. Itu dilakukan Eyang Duraga, karena tidak
ingin terus diganggu Nyai Kunti, yang berusaha merebut mustika itu.”
“Untuk apa Nyai Kunti menginginkan mustika itu,
Guru? “ tanya Rangga ingin tahu.
“Mustika itu bisa membuat orang jadi kebal terhadap
segala jenis senjata dan ilmu kesaktian yang ada di dunia ini. Tapi mustika itu
hanya bisa digunakan oleh ilmu-ilmu beraliran hitam. Itu sebabnya, kenapa pada
adik tirimu tidak cocok, Rangga. Namun perlu kau ingat. Kian lama mustika itu
pasti juga akan mempengaruhi Danupaksi. Jiwanya akan kosong, walaupun
sebenarnya tidak cocok! Dan jika benda sampai dapat dikuasai Nyai Kunti, tidak
ada seorang pendekar pun yang dapat menandinginya. Terlebih lagi, dia sudah
menguasai Pedang Kilat.”
“Apakah hanya pedang itu yang dapat mengalahkan
Mustika Batu Hijau?” tanya Rangga lagi.
“Sebenarnya tidak,” sahut Pendekar Rajawali.
“Tapi, mengapa Eyang Duraga dapat dikalahkan
Pendekar Pedang Kilat?”
“Waktu itu Eyang Duraga tidak membawa Mustika Batu
Hijau. Dan itu merupakan kesalahan besar. Pendekar Pedang Kilat juga melakukan
kesalahan. Dia menguburkan mayat Eyang Duraga bersama mustika itu. Ini
permintaan Eyang Duraga sebelum meninggal. Dengan mustika itu, roh Eyang Duraga
tetap hidup sepanjang zaman. Dia dapat bangkit kembali kapan saja
sekehendaknya, kecuali bila Mustika Batu Hijau dimusnahkan.”
“Guru, kalau mustika itu ada pada Danupaksi
sebaiknya cepat-cepat dimusnahkan. Bukankah dengan demikian persoalannya jadi
selesai...?” usul Rangga.
“Tidak semudah itu, Rangga. Jika kau ingin
memusnahkan mustika itu, maka adikmu akan mati. Karena, mustika itu sudah
menyatu dengan darah dan nyawanya. Untuk memusnahkannya, harus dikeluarkan
lebih dahulu.”
“Lalu, bagaimana cara yang terbaik, Guru?” tanya
Rangga, bingung.
“Kau harus membunuh dulu Eyang Duraga dengan Pedang
Kilat, seperti yang dilakukan Pendekar Pedang Kilat. Dengan begitu, Mustika
Batu Hijau akan keluar sendiri dari dalam tubuh adikmu. Dan sebelum berpindah
kembali ke Eyang Duraga, kau harus dapat menguasainya. Musnahkanlah mustika
itu. Kalau sampai mustika itu tetap berada di dalam tubuh Danupaksi, maka adik
tirimu itu akan menjadi musuh nomor satu. Pengaruh jahat Mustika Batu Hijau
begitu kuat. Jika tidak segera dikeluarkan dari tubuhnya, maka aku khawatir dia
akan berubah liar.”
“Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi, Guru.
Meskipun nyawa taruhannya,” tekad Rangga.
“Aku percaya padamu, Rangga. Aku juga yakin kau
mampu memusnahkan mustika itu. Tapi, berhati-hatilah pada Nyai Kunti. Dia akan
menggunakan kesempatan apa pun untuk memperoleh mustika itu,” pesan Pendekar
Rajawali.
“Akan kurebut Pedang Kilat dari tangannya, Guru.
Kemungkinan aku tidak bisa mencegah melenyapkannya.”
“Kemungkinan itu selalu ada, Rangga. Hanya saja
pesanku, jangan anggap enteng dia. Nyai Kunti punya seribu cara licik untuk
mengalahkan lawan-lawannya. Kau harus berhati-hati menghadapinya,” kembali
Pendekar Rajawali berpesan.
“Aku akan ingat pesan Guru,” ujar Rangga seraya
memberi hormat dengan merapatkan kedua tangannya di depan hidung.
Hanya sebentar saja Rangga menundukkan kepala. Dan
begitu kepalanya terangkat kembali, Pendekar Rajawali sudah lenyap dari
pandangannya. Dan pusara itu pun kembali tertutup rapat. Rangga kembali memberi
hormat dan bersujud mencium tanah. Perlahan pemuda berbaju rompi putih itu
bangkit berdiri, dan langsung memandang Rajawali Putih.
“Rajawali akan mengantarkan kau ke pusara Eyang
Duraga. Untuk sementara tinggalkan dulu pedangmu,” terdengar suara Pendekar
Rajawali.
Tanpa membantah sedikit pun, Rangga melepaskan
pedangnya. Diletakkannya Pedang Pusaka Rajawali Sakti itu di samping pusara
gurunya. Kemudian dengan satu gerakan ringan sekali, dia melompat naik ke
punggung Rajawali Putih.
“Khraaaghk...!” Sekali mengepakkan sayapnya saja,
Rajawali Putih sudah melambung tinggi meninggalkan Lembah Bangkai bersama
Rangga di punggungnya. Pemuda berbaju rompi putih itu terus memandang ke arah
lembah. Pandangannya baru dialihkan setelah lembah yang sunyi itu tidak
terlihat lagi.
“Khraaaghk...!”
***
TUJUH
Rangga langsung melompat turun, begitu Rajawali
Putih mendarat di tepi Rimba Tengkorak. Seketika burung rajawali raksasa itu
langsung melambung tinggi ke angkasa tanpa diminta lagi. Rangga memandanginya
sampai burung itu menghilang di balik awan. Ada kesedihan di hatinya melihat
Rajawali Putih tidak mau terlalu lama berdekatan dengannya. Tapi Rangga cepat
menyadari kalau semua ini demi kebaikan. Pendekar Rajawali Sakti benar-benar
merasa kosong tanpa pedang pusaka bertengger di punggungnya. Perlahan kakinya
terayun menuju kuburan Eyai Duraga.
“Kakang...!”
“Heh...?!” Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba
saja dengar panggilan dari arah belakang. Pendekar Rajawali Sakti menghentikan
ayunan langkahnya. Tubuhnya diputar berbalik. Rangga mengerutkan keningnya
begitu melihat Pandan Wangi berlari-lari menghampiri.
“Pandan.... Kenapa kau ada di sini...?” tanya
Rangga begitu Pandan Wangi dekat.
“Aku mencarimu, Kakang,” sahut Pandan Wangi agak
terengah.
“Bagaimana lukamu?”
“Sudah pulih.”
“Kau sendirian?”
Pandan Wangi hanya menganggukkan kepala saja.
Rangga kembali memutar tubuhnya dan melangkah perlahan. Pandan Wangi mengikuti,
mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali Sakti.
“Aku mencarimu di pesanggrahan, tidak ada. Ke mana
saja kau, Kakang?” Pandan Wangi membuka percakapan kembali.
Rangga tidak menjawab, dan hanya menghela napas
saja. Terlalu sukar untuk menjelaskan pada Pandan Wangi. Tapi rupanya Pandan
Wangi tidak memerlukan jawaban. Dia memaklumi, kepergian Rangga tentu punya
alasan kuat. Dan yang pasti ada hubungannya dengan peristiwa yang sedang
terjadi belakangan ini.
“Kakang, ada yang ingin kubicarakan denganmu,” kata
Pandan Wangi setelah beberapa saat terdiam.
“Tentang apa?” tanya Rangga tanpa menghentikan
ayunan kakinya.
“Danupaksi.”
“Ada apa dengan Danupaksi?” tanya Rangga seraya menghentikan
ayunan langkahnya.
“Sikap Danupaksi jadi lain belakangan ini, Kakang.
Dia suka menyendiri. Malah terkadang marah-marah tanpa ketahuan sebabnya,”
jelas Pandan Wangi.
Rangga jadi tercenung. Dia teringat kata-kata
gurunya. Sikap dan tingkah laku seseorang bisa berubah akibat pengaruh Mustika
Batu Hijau. Tapi Rangga tidak ingin menduga lebih jauh dulu, dan hanya berharap
mustika itu belum berpengaruh banyak pada Danupaksi. Kalau hal itu sampai
terjadi, tentu sangat sukar memusnahkannya.
“Bahkan dua hari lalu, Danupaksi membunuh sepuluh
orang prajurit tanpa sebab. Dan sekarang dia pergi entah ke mana. Sudah dua
hari ini dicari, tapi tidak juga ketemu. Makanya aku mencarimu, Kakang,”
sambung Pandan Wangi.
“Dua hari...?” lagi-lagi Rangga tercenung.
Sungguh tidak disadari kalau sudah lebih dari dua
hari berada di Lembah Bangkai. Tanpa disadari, Rangga bersemadi memulihkan
keadaan tubuhnya di Lembah Bangkai lebih dari dua hari. Dan selama itu,
Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu perkembangan lebih jauh lagi. Rasa
khawatirnya semakin mendalam, begitu mendengar penuturan Pandan Wangi tadi.
Dikatakan, Danupaksi telah membunuh sepuluh orang prajurit tanpa sebab, dan
sekarang pergi tanpa diketahui jejaknya.
Rangga khawatir kalau sikap Danupaksi diakibatkan
pengaruh dari Mustika Batu Hijau yang memiliki sifat jahat dan liar. Kalau
memang perbuatan Danupaksi dikarenakan pengaruh mustika itu, sudah barang tentu
mustika itu benar-benar sudah menyatu di dalam tubuh adik tirinya itu. Dan ini
tentu sangat berbahaya, karena Danupaksi akan menjadi musuhnya yang paling
berbahaya. Dan yang pasti, semua yang dilakukan Danupaksi tidak disadari.
“Hm.... Kalau mustika itu sudah mempengaruhi jiwanya,
pasti Danupaksi bersembunyi di kuburan tua Eyang Duraga,” gumam Rangga dalam
hati.
Mendapat pikiran demikian, Rangga bergegas
melangkah cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Pandan Wangi cepat-cepat
mengikuti. Gadis itu juga mengerahkan ilmu meringankan tubuh sepenuhnya untuk
mengimbangi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Rangga. Saat berada di
belakang begini, Pandan Wangi baru menyadari kalau di punggung Pendekar
Rajawali Sakti tidak terdapat pedang yang menjadi andalannya.
“Kakang, tunggu...!” seru Pandan Wangi agak keras.
Rangga memperlambat ayunan langkahnya. Wajahnya
berpaling sedikit menatap Pandan Wangi yang terus berusaha memperpendek jarak.
Namun akhirnya gadis itu bisa juga berada di samping Rangga. Napasnya terdengar
memburu, karena memaksakan kemampuannya agar bisa berjalan sejajar dengan
Pendekar Rajawali Sakti.
“Ke mana pedangmu, Kakang?” tanya Pandan Wangi.
“Kusimpan. Sementara aku tidak boleh menggunakan
pedang itu,” sahut Rangga singkat.
“Kenapa...?” Pandan Wangi jadi keheranan. Belum
pernah gadis itu melihat Rangga menanggalkan pedangnya. Tapi sekarang pedang
itu tidak terlihat lagi di punggung pemuda berbaju rompi putih ini. Dan
kejanggalan ini tentu membuat Pandan Wangi jadi bertanya-tanya.
“Nanti akan kuceritakan, Pandan. Sekarang kita
harus cepat ke kuburan tua Eyang Duraga. Aku tidak ingin keadaan Danupaksi
semakin bertambah parah, dan benar-benar sukar dikendalikan lagi,” kata Rangga
kembali seraya mempercepat ayunan kakinya.
Pandan Wangi ingin bertanya lebih banyak lagi.
Malah dia kini sudah sibuk mengimbangi ilmu meringankan tubuh Pendekar Rajawali
Sakti. Dan jaraknya semakin bertambah jauh saja, meskipun sudah mengerahkan
seluruh kemampuannya dalam meringankan tubuh.
“Kau di sini saja, Pandan,” ujar Rangga begitu sampai
di kuburan tua Eyang Duraga.
Suasana kuburan itu begitu sunyi dan mencekam
sekali. Tak terdengar sedikit pun suara. Hanya desir angin saja yang mengusik
gendang telinga. Bahkan suara serangga pun tak terdengar sama sekali. Kesunyian
ini membuat Rangga dan Pandan Wangi memasang telinga lebih tajam. Sementara
Pandan Wangi menunggu, Rangga mendekati kuburan tua Eyang Duraga.
Kuburan itu tampak kotor, ditumbuhi rerumputan liar
yang merambat ke sana kemari. Sama sekali tak terlihat ada perawatan di sini.
Rangga berhenti melangkah saat jaraknya tinggal sekitar dua batang tombak lagi.
Tatapan matanya begitu tajam tak berkedip, ke arah kuburan tua yang tidak
terawat di depannya. Kemudian pandangannya beredar ke sekitarnya sebentar, lalu
kembali menatap kuburan tua tak bercungkup itu.
“Hik hik hik...! Kau terlalu berani datang ke sini,
Pendekar Rajawali Sakti...!”
“Heh...?!” Rangga terkejut bukan main, ketika
terdengar suara dari arah samping kanannya. Dan belum juga hilang
keterkejutannya, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan hitam. Bagaikan
kilat, langsung menyambar tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Begitu cepatnya
sambaran bayangan hitam itu, sehingga membuat Rangga tak sempat lagi bertindak
menghindar.
Bet!
“Akh...!” Rangga terpekik agak tertahan. Pendekar
Rajawali Sakti jatuh terguling di tanah, namun cepat melompat bangkit berdiri.
Bibirnya meringis merasakan nyeri pada punggungnya yang terkena sambaran
bayangan hitam tadi. Dan pada saat itu, Rangga melihat bayangan hitam tadi
kembali berkelebat cepat hendak menyerangnya.
“Hup! Yeaaah...!” Rangga cepat melentingkan
tubuhnya ke udara, dan melakukan putaran dua kali seraya melontarkan dua
pukulan beruntun yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Namun bayangan
hitam itu sungguh cepat gerakannya. Pukulan yang dilepaskan Rangga sama sekali
tak mengenai sasaran. Dengan gerakan ringan dan manis sekali, Pendekar Rajawali
Sakti mendarat kembali di tanah.
“Yeaaah...!” Rangga langsung menghentakkan kedua
tangannya, ketika bayangan hitam itu kembali meluruk deras ke arahnya. Tak
pelak lagi, satu benturan keras pun terjadi. Seketika ledakan dahsyat terdengar
menggelegar memekakkan telinga.
“Hap...!” Rangga cepat melentingkan tubuhnya ke
belakang, dan melakukan putaran tiga kali sebelum mendarat manis di tanah.
Sementara bayangan hitam itu juga terpental balik ke belakang, dan berhasil
mendarat manis sekali. Kini sekitar tiga batang tombak di depan Pendekar
Rajawali Sakti berdiri wanita tua berjubah hitam berwajah buruk bagai sosok
mayat hidup.
“Nyai Kunti...,” desis Rangga langsung mengenali
penyerangnya.
“Hik hik hik...! Tidak sia-sia aku menunggumu dua
hari di sini, Pendekar Rajawali Sakti,” ujar Nyai Kunti seraya tertawa
mengikik. “Sudah kuduga, kau pasti tidak akan mampu memegang mustika itu.
Kedatanganmu ke sini pasti ingin mengembalikan benda itu.”
“Aku justru ingin memusnahkannya, Nyai Kunti,” kata
Rangga dingin.
“Heh...?! Apa...?” Nyai Kunti terkejut setengah
mati.
“Ada apa, Nyai Kunti? Kau tidak tuli mendadak,
bukan...?” terdengar sinis nada suara Rangga.
“Setan belang...! Sekali lagi kau ucapkan kata-kata
itu, kubunuh kau!” geram Nyai Kunti.
“Aku khawatir, justru kau yang akan mendahului.”
“Keparat..! Hiyaaat..!” Nyai Kunti tak dapat lagi
menahan kemarahannya, sehingga langsung melompat menerjang Pendekar Rajawali
Sakti. Dua kali dilepaskannya pukulan disertai pengerahan tenaga dalam tingkat
tinggi. Namun kali ini Rangga sudah bersiap menghadapi wanita tua bermuka buruk
itu.
“Hait..!” Manis sekali Rangga meliukkan tubuhnya,
menghindari serangan yang dilancarkan Nyai Kunti. Bahkan sebelum perempuan tua
bermuka buruk itu bisa menarik pulang serangannya, mendadak saja Rangga memberi
satu sodokan cepat ke arah lambung.
“Uts!” Cepat-cepat Nyai Kunti melompat ke belakang,
menghindari sodokan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti. Lalu, dia cepat
bersiap kembali hendak melakukan serangan. Namun mendadak saja niatnya
diurungkan. Wanita tua berjubah hitam itu berdiri tegak berkacak pinggang.
Perlahan kemudian, tangan kanannya masuk ke dalam belahan jubahnya. Dan....
Sret!
Kilatan cahaya memendar menyilaukan begitu Nyai
Kunti mencabut sebilah pedang yang berpamor sangat dahsyat. Melihat kedahsyatan
pedang itu, Rangga melangkah mundur dua tindak. Kedua tangannya disilangkan di
depan dada. Sebelah mata Pendekar Rajawali Sakti terlihat agak menyipit.
“Kali ini kau harus mampus, Pendekar Rajawali
Sakti,” desis Nyai Kunti menggeram.
Bet!
“Yeaaah...!”
“Hait..!”
Cepat Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan,
menghindari tusukan pedang Nyai Kunti. Lalu, tubuhnya dirundukkan ke depan.
Kemudian diegoskan ke kiri, mengikuti gerakan pedang wanita tua berjubah hitam
yang berkelebat di atas kepala. Seketika Rangga cepat melentingkan tubuh ke
belakang sambil melepaskan satu tendangan dengan kedua kaki merapat ke arah
dada wanita berjubah hitam itu.
“Yeaaah...!”
“Hih!” Tak ada kesempatan menghindar lagi bagi Nyai
Kunti Cepat tangan kirinya dikibaskan untuk menangkis tendangan yang dilepaskan
Pendekar Rajawali Sakti.
Plak!
“Uts...!” Nyai Kunti terdorong beberapa langkah ke
belakang, begitu tangan kirinya beradu dengan telapak kaki Pendekar Rajawali
Sakti. Wanita tua bermuka buruk itu sedikit limbung, tapi bisa cepat menguasai
diri. Sementara Rangga sudah mendarat manis sekali.
“Hm.... Tenagamu jauh lebih hebat, Pendekar
Rajawali Sakti,” gumam Nyai Kunti memuji.
“Ucapkan selamat tinggal pada dunia, Nyai Kunti,”
ujar Rangga kalem.
“Phuih! Kau yang akan mampus di tanganku, Pendekar
Rajawali Sakti!” Setelah berkata demikian, Nyai Kunti cepat melesat menyerang
Rangga. Pedangnya dikebutkan beberapa kali dengan kecepatan luar biasa. Namun
dengan gerakan manis sekali, Rangga mampu mengelakkan setiap serangan yang
datang mengincar. Beberapa kali ujung pedang Nyai Kunti hampir membabat tubuh
Pendekar Rajawali Sakti.
Namun ketika pedang itu nyaris menyentuh tubuhnya,
Rangga cepat berkelit menghindar. Hal ini membuat Nyai Kunti semakin geram saja
dan hanya bisa mengumpat dalam hati. Maka serangan-serangan yang dilancarkannya
semakin dahsyat. Kilatan cahaya pedang di tangan kanannya seakai akan hendak
mengurung tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Namun sampai melewati sepuluh jurus,
Kunti belum juga dapat mendesak Pendekar Rajawali Sakti. Apalagi sampai
menjatuhkannya. Bahkan beberapa kali serangan balik yang dilancarkan Rangga
membuat Nyai Kunti jadi kelabakan menghindarinya. Pendekar Rajawali Sakti terus
menyerang sambil mengganti-ganti jurusnya yang makin dahsyat saja.
Sementara Pandan Wangi yang menyaksikan pertarungan
itu hanya dapat menahan napas saja. Gadis itu khawatir juga, kalau-kalau Rangga
terdesak. Apalagi Pendekar Rajawali Sakti tidak menggunakan senjata satu pun
juga. Sedangkan lawannya memegang senjata pedang yang memiliki pamor dahsyat.
Tiba-tiba Pandan Wangi mencabut Pedang Geni yang selalu bertengger di punggung.
Kemudian pedang berwarna merah itu dilemparkan, menggunakan sedikit tenaga
dalam.
“Kakang, tangkap...!” teriak Pandan Wangi, begitu
melihat Rangga membuka jarak.
Swing!
“Hup!”
Rangga cepat melompat menyambut lemparan pedang
itu. Namun begitu melompat, Nyai Kunti juga ikut melesat ke udara. Dan secepat
itu pula perempuan tua berwajah buruk itu membabatkan pedang ke arah dada
Pendekar Rajawali Sakti.
“Hiyaaat..!”
“Hup! Yeaaah...!” Cepat Rangga memutar tubuhnya dua
kali, menghindari tebasan pedang Nyai Kunti. Dan cepat sekali tangannya terulur
meraih Pedang Naga Geni yang masih melayang di angkasa. Tap! Bet! Begitu Rangga
berhasil menangkap Pedang Naga Geni, langsung dibabatkan ke arah dada Nyai
Kunti. Begitu cepatnya gerakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga
membuat Nyai Kunti terperangah.
“Heh...?!”
Wut! Trang...!
Nyai Kunti cepat menyilangkan pedang di depan dada.
Suatu benturan dua senjata tak dapat dihindarkan lagi. Letupan bunga-bunga api
memercik saat kedua senjata itu beradu keras di depan dada Nyai Kunti.
“Hap!” Bergegas Nyai Kunti meluruk turun. Pada saat
yang sama, Rangga menukik sambil memutar pedang yang diarahkan ke kepala Nyai
Kunti.
“Yeaaah...!”
“Edan! Hih...!” Kembali Nyai Kunti mengumpat geram.
Pedangnya cepat dikebutkan ke atas kepala begitu kakinya menjejak tanah. Untuk
kedua kalinya, dua senjata ber-pamor dahsyat beradu keras sampai menimbulkan
percikan bunga api.
“Mampus kau! Hiyaaa...!” teriak Rangga lantang
Bet!
DELAPAN
Bagaikan kilat, Rangga menebaskan Pedang Naga Geni
ke arah leher Nyai Kunti. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Pendekar
Rajawali Sakti, sehingga Nyai Kunti tak dapat lagi menghindar. Terlebih lagi,
saat itu dia masih berusaha menguasai keseimbangan tubuhnya. Dan...
Cras!
“Aaakh...!” Nyai Kunti menjerit melengking tinggi.
“Yeaaah...!” Cepat Rangga memindahkan Pedang Naga
Geni ke tangan kiri. Lalu dengan tangan kanannya, Pendekar Rajawali Sakti
menggedor dada Nyai Kunti disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai
taraf kesempurnaan. Pukulan Pendekar Rajawali Sakti tepat mengenai bagian
tengah dada perempuan tua berjubah hitam itu.
Bruk!
Nyai Kunti ambruk menghantam tanah dengan keras
sekali. Darah muncrat keluar dari lehernya yang tertebas hampir buntung.
Sebentar tubuhnya menggelepar, kemudian diam tak bernyawa lagi. Rangga menarik
napas panjang. Saat itu Pandan Wangi berlari-lari menghampiri. Sebentar Rangga
memandangi gadis itu, lalu menyerahkkan Pedang Naga Geni padanya. Pandan Wangi
menerima, langsung dimasukkan ke dalam warangka di punggung.
“Terima kasih, kau telah menyelamatkan hidupku,”
ucap Rangga perlahan.
“Aku hanya melihat pertarungan tadi tidak seimbang,
Kakang,” sahut Pandan Wangi.
Rangga tersenyum, kemudian menghampiri mayat Nyai
Kunti dan mengambil Pedang Kilat dari tangan wanita tua berjubah hitam itu.
Sebentar Rangga memandangi pedang itu. Sekilas memang hampir mirip pedangnya
sendiri. Hanya bentuk gagangnya saja yang berbeda. Juga, cahayanya sangat jauh
berbeda.
“Masih ada satu lagi yang harus kukerjakan...,”
gumam Rangga agak mendesis.
“Apa lagi yang akan kau lakukan, Kakang?” tanya
Pandan Wangi.
“Menyempurnakan Eyang Duraga,” sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian berbalik dan melangkah menghampiri kuburan
Eyang Duraga. Sedangkan Pedang Kilat tergenggam erat di tangan kanannya. Dia
berhenti setelah jaraknya dengan kuburan tua itu tinggal beberapa langkah lagi.
“Maaf. Aku terpaksa harus membunuhmu, Eyang
Duraga,” ujar Rangga perlahan. Dan belum juga Pendekar Rajawali Sakti
mengangkat Pedang Kilat, mendadak saja...
Glarrr...!
“Heh...?!” Rangga terkejut setengah mati. Cepat
Pendekar Rajawali Sakti melompat mundur ke belakang tiga langkah, tepat ketika
kuburan tua itu terbongkar.
Terbongkarnya kuburan itu sampai menimbulkan
ledakan dahsyat menggelegar, menggetarkan jantung. Belum lagi hilang rasa
keterkejutan Pendekar Rajawali Sakti, mendadak saja dari dalam kuburan tua yang
terbongkar melesat sebuah bayangan hitam yang langsung menyerang.
“Hait...!” Cepat Rangga memiringkan tubuh ke kanan,
sehingga terjangan bayangan hitam itu lewat di sampingnya. Rangga cepat memutar
tubuhnya sambil menyilangkan Pedang Kilat di depan dada. Kini di depan Pendekar
Rajawali Sakti berdiri seorang laki-laki tua dengan tubuh sudah rusak dan
membusuk.
“Kau benar-benar ingin mampus, berani mengusik
ketenanganku!” bentak laki-laki tua bertubuh rusak membusuk yang tak lain
adalah Eyang Duraga.
Bet! Slap..!
Cepat sekali Eyang Duraga mengebutkan tangan
kanannya ke depan. Pada saat itu, dari telapak tangan kanannya meluncur
secercah cahaya merah bagaikan api yang meluruk deras ke arah Pendekar Rajawali
Sakti.
“Hup! Yeaaah...!” Rangga cepat sekali melentingkan
tubuh ke udara, lalu berputaran beberapa kali. Sinar merah bagaikan api itu
lewat sedikit di bawah tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa kali Eyang
Duraga melepaskan serangan, namun tak satu pun yang berhasil mengenai Pendekar
Rajawali Sakti. Kilatan-kilatan cahaya merah berkelebat, berbaur dengan
ledakan-ledakan dahsyat menggelegar. Sementara Rangga berjumpalitan di udara
menghindari sinar-sinar merah yang mencecar tiada henti.
“Gila! Kalau begini terus, bisa habis napasku...!”
dengus Rangga dalam hati.
“Akan kucoba kehebatan Pedang Kilat ini...”
Tepat ketika secercah cahaya merah meluncur deras
ke arahnya, Rangga cepat meluruk turun. Seketika pedangnya dikibaskan ke arah
sinar merah itu, sambil mengerahkan penuh kekuatan tenaga dalamnya.
“Yeaaah...!”
Glarrr!
“Heh...?!” Bukan hanya Rangga saja yang terkejut.
Bahkan Eyang Duraga pun tersentak kaget begitu sinar merah yang dilepaskan
berbenturan dengan Pedang Kilat yang tergenggam di tangan Pendekar Rajawali
Sakti.
Ledakan dahsyat langsung membuyarkan cahaya merah
itu. Sedangkan Rangga yang cepat menyadari kedahsyatan Pedang Kilat di
tangannya, jadi tersenyum gembira. Kini dia tidak perlu lagi susah-susah
berjumpalitan menghindari setiap serangan yang dilancarkan Eyang Duraga. Sebab,
ternyata Pedang Kilat ini mampu meredam serangan-serangan itu dengan baik
sekali. Menyadari akan keampuhan pedang ini, semangat Rangga kembali bangkit.
“Hiyaaa...!” Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali
Sakti melesat mendahului melakukan penyerangan. Secepat kilat pula pedang di
tangannya dikibaskan beberapa kali ke arah tubuh Eyang Duraga. Serangan Rangga
yang begitu cepat dan tiba-tiba itu, membuat Eyang Duraga jadi terpana sesaat.
“Hait..!” Cepat Eyang Duraga meliukkan tubuhnya,
menghindari setiap tebasan Pedang Kilat yang mengincar bagian-bagian tubuh yang
teramat peka. Beberapa kali ujung pedang itu hampir mengenai tubuhnya. Namun,
Eyang Duraga masih dapat menghindar dengan manis sekali.
“Pedang Kilat ini benar-benar membuatku gerah!
Huh...!” dengus Eyang Duraga dalam hati. Eyang Duraga semakin kewalahan
menghadapi serangan serangan yang dilancarkan Rangga. Hingga akhirnya, dia
terpaksa melompat mundur sejauh tiga batang tombak. Sungguh hampir tidak
dipercaya kalau Pedang Kilat di tangan Rangga jadi lebih dahsyat dan berbahaya
sekali.
“Pedang Kilat memang bukan lagi tandinganku. Tapi
cobalah kau hadapi pemakai Mustika Batu Hijau,” ujar Eyang Duraga. Selesai
berkata demikian, Eyang Duraga bersiul nyaring. Seketika itu juga, dari atas
sebatang pohon yang sangat tinggi, tepatnya dekat kuburan tua yang terbongkar,
meluncur cepat sebuah bayangan putih. Tahu-tahu di depan Rangga sudah berdiri
seorang pemuda tampan. Bajunya putih ketat, hingga membentuk tubuh yang kekar
dan tegap berisi.
“Danupaksi...,” desis Rangga mengenali pemuda itu.
“Maaf, aku terpaksa menghalangimu menyakiti guruku,
Kakang Rangga,” ujar Danupaksi dingin.
“Guru...?!”
“Sekarang Eyang Duraga guruku!” Jiwa Danupaksi
memang telah terpengaruh Mustika Batu Hijau. Karena mustika itu milik Eyang
Duraga maka Danupaksi menganggap guru pada laki-laki bagai mayat hidup itu.
Danupaksi langsung menggeser kakinya dan siap hendak menyerang.
Rangga tahu, seandainya Danupaksi sampai
menyerangnya, akan berakibat parah bagi pemuda itu sendiri. Karena, tingkat
kepandaiannya masih berada di bawah Rangga. Tapi karena pengaruh Mustika Batu
Hijau, hal itu tidak dihiraukan Danupaksi. Bahkan kemungkinan tingkat
kepandaian pemuda itu jadi meningkat jauh.
“Pandan, hadapi dia...!” seru Rangga teringat pada
Pandan Wangi.
“Baik, Kakang...!” sahut Pandan Wangi segera
melompat menghadang Danupaksi.
“Minggir kau, Pandan!” bentak Danupaksi lantang.
“Maaf, aku sudah diperintah untuk menghadangmu,”
ujar Pandan Wangi kalem.
“Perempuan keparat...! Yeaaah...!” Danupaksi
menggeram dahsyat, lalu cepat melesat sambil melepaskan beberapa pukulan secara
beruntun. Namun Pandan Wangi yang sudah siap sejak tadi, manis sekali dapat
menghindari setiap serangan yang dilancarkan pemuda itu.
Sementara Rangga kembali memusatkan perhatian pada Eyang
Duraga. Penghadangan Pandan Wangi pada Danupaksi, membuat Eyang Duraga jadi
geram. Dia juga gelisah, karena Rangga sudah melangkah mendekatinya. Eyang
Duraga menyadari, kalau dalam beberapa gebrakan lagi, dirinya pasti kalah oleh
pemuda berbaju rompi putih ini. Sedangkan benteng yang semula diharapkan, kini
tengah sibuk menghadapi gempuran si Kipas Maut
“Apa maksudmu mengambil Danupaksi sebagai sasaran
bersemayamnya Mustika Batu Hijau, Eyang Duraga?” tanya Rangga.
“Huh! Karena ini memang cita-citaku, sebelum aku
mampus di tangan Pendekar Pedang Kilat. Itulah sebabnya, aku minta pada
pendekar tolol itu agar menguburkan Mutiara Batu Hijau bersama jasadku. Dengan
demikian, aku tidak jadi mati walau jasadku tetap terpendam! Ha ha ha.... Lalu,
aku menunggu seseorang yang kupikir pantas untuk dititipkan mustika itu,
sebelum Nyai Kunti datang mengusikku. Dan ternyata, Danupaksi yang datang ke
kuburanku. Dengan demikian, selama Mustika Batu hijau belum musnah, aku masih
bisa tetap hidup. Ha ha ha...,” jelas Eyang Duraga, seraya tertawa
terbahak-bahak.
Rangga kini baru mengerti, mengapa Eyang Duraga
selalu bisa hidup kembali. Ternyata walaupun Pedang Kilat bisa menebas tubuh
Eyang Duraga, dan dia tidak memegang Mustika Batu Hijau, Eyang Duraga akan
tetap hidup. Selama, mustika itu belum dimusnahkan. Dan sebenarnya, keabadian
hidup di dunialah yang dicari Eyang Duraga. Walaupun dia mengakui telah kalah
oleh Pendekar Pedang Kilat dalam pertarungan secara jujur, namun jiwa iblisnya
menuntut untuk terus hidup di dunia.
“Akan kusempurnakan kematianmu, Eyang Duraga. Agar
kau tenang di alam abadimu,” kata Rangga mencoba memberi pengertian.
“Phuih! Tidak ada seorang pun yang bisa memutuskan
hubunganku dengan dunia!” dengus Eyang Duraga.
“Kenapa kau tetap bertahan, Eyang Duraga? Mayapada
ini bukan lagi tempat berpijakmu. Kau sudah memiliki dunia lain yang lebih
tenang dan abadi.”
“Jangan mengguruiku, Bocah! Jika kau mampu, hadapi
aku...!” tantang Eyang Duraga. Memang tidak ada pilihan lain lagi bagi Eyang
Duraga. Dia harus menghadapi Pendekar Rajawali Sakti, meskipun sudah menyadari
tidak akan mampu. Terlebih lagi sekarang ini Rangga memegang Pedang Kilat yang
paling ditakuti Eyang Duraga.
“Hiyaaat...!” Eyang Duraga benar-benar sudah tidak
peduli lagi, dan cepat mendahului menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Dua
pukulan dahsyat menggeledek dilepaskan laki-laki bagai mayat hidup itu. Namun
dengan gerakan manis sekali, Rangga berhasil mengelakkannya.
Pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti dan
Eyang Duraga berlangsung sengit sekali. Namun kali ini jelas terlihat kalau
Eyang Duraga seperti selalu ingin mendahului. Begitu bernafsunya hendak
menjatuhkan Rangga, sehingga melalaikan pertahanan diri sendiri. Kelalaian ini
tentu saja diketahui Rangga. Hanya saja Pendekar Rajawali Sakti belum mendapat
kesempatan yang tepat untuk memanfaatkannya.
Hanya satu yang menjadi tujuan utama Pendekar
Rajawali Sakti. Dan tampaknya, tujuannya tidak semudah yang diperkirakan. Dia
harus bisa menusukkan Pedang Kilat tepat di jantung Eyang Duraga, dan
meninggalkan pedang itu di dadanya. Dengan begitu, Eyang Duraga tidak akan
pernah bangkit kembali. Dan yang terpenting, Rangga harus dapat memusnahkan
Mustika Batu Hijau yang kini tampaknya telah bersemayam pada diri Danupaksi.
Dan Rangga menyadari kalau itu tidak mudah.
Pendekar Rajawali Sakti harus bergerak cepat selagi
mustika itu keluar hendak berpindah ke dalam tubuh orang lain lagi. Sedangkan
dia tidak tahu, bagaimana benda itu bisa berpindah dari orang yang satu, kepada
orang lain lagi.
“Yeaaah...!”
“Uts!” Hampir saja satu pukulan yang dilontarkan
Eyang Duraga bersarang di dada Rangga. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti
segera memiringkan tubuhnya ke kanan. Dan saat itu juga, Rangga meliukkan
tubuhnya ke depan. Lalu dengan cepat tubuhnya ditarik ke belakang. Dan...
“Yeaaah...!” Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali
Sakti meluncur deras. Pedangnya tertuju lurus ke arah dada laki-laki tua yang
seharusnya terbujur di dalam kuburnya. Serangan balik yang dilancarkan Pendekar
Rajawali Sakti demikian cepat luar biasa, sehingga Eyang Duraga tidak sempat
lagi menyadari.
Crab! Bresss!
“Aaa...!” Eyang Duraga menjerit keras melengking
tinggi. Pedang Kilat telah menembus dadanya, sampai ke punggung. Rangga cepat
melepaskan genggamannya pada gagang pedang itu. Bergegas tubuhnya melompat
mundur sejauh lima langkah. Sementara Eyang Duraga terhuyung-huyung limbung
sambil memandangi Pendekar Rajawali Sakti, seakan-akan tidak percaya dengan apa
yang dialaminya kini.
“Kau..., kau..., hebat...”
Bruk!
Hanya itu saja yang dapat keluar dari mulut Eyang
Duraga. Karena, laki-laki tua bertubuh busuk itu langsung ambruk, tak berkutik
lagi. Pada saat itu...
“Aaa...!”
“Heh...?!” Rangga terkejut ketika tiba-tiba saja
terdengar jeritan panjang melengking. Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat
begitu melihat Danupaksi menggelepar-gelepar di tanah sambil menjerit-jerit dan
meraung kesakitan. Rangga mendekati Pandan Wangi yang tampak kebingungan.
“Kenapa dia...?” tanya Rangga seperti untuk
diri-nya sendiri.
“Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja dia begitu.
Padahal, aku tidak memukulnya,” sahut Pandan Wangi masih bernada bingung.
Tiba-tiba.... Slap!
“Oh...?!”
“Pinjam pedangmu, Pandan. Yeaaah...!” Sret! Cring!
Bagaikan kilat, Rangga melompat sambil menyambar
pedang Pandan Wangi dari dalam warangkanya. Saat itu dari ubun-ubun kepala
Danupaksi melesat keluar sebuah benda bulat seperti mata kucing yang
memancarkan cahaya hijau terang. Benda itu meluncur ke arah mayat Eyang Duraga.
Dengan pikiran untung-untungan, Pendekar Rajawali Sakti berniat menghancurkan
benda yang diperkirakan Mustika Batu Hijau.
“Hiyaaa...!”
Bet!
Glarrr...!
Ledakan keras menggelegar terjadi begitu Rangga
membabatkan Pedang Naga Geni ke arah benda bersinar hijau itu. Dan tampak
Pendekar Rajawali Sakti terpental ke belakang sejauh tiga batang tombak. Pemuda
berbaju rompi putih itu jatuh bergulingan di tanah.
“Kakang...! Kau tidak apa-apa...?” seru Pandan
Wangi seraya bergegas menghampiri.
“Hhh...! Tidak...,” sahut Rangga mendesah. Rangga
bangkit berdiri seraya memandangi cahaya hijau yang memendar, kemudian
perlahan-lahan menghilang. Usahanya ternyata berhasil. Pada saat itu terdengar
rintihan lirih. Rangga dan Pandan Wangi secara bersamaan berpaling. Tampak
Danupaksi tengah bangkit berdiri seraya memegangi kepalanya.
“Oh, apa yang terjadi...?” Danupaksi bertanya
kebingungan.
“Tidak apa-apa, Danupaksi. Semuanya sudah selesai,”
jelas Pandan Wangi, kasihan melihat Danupaksi sangat kebingungan.
“Suiiit..!” Pendekar Rajawali Sakti bersiul panjang
melengking. Nadanya aneh. Dua kali dia bersiul nyaring. Kemudian setelah cukup
lama menunggu, terlihat sebuah titik putih keperakan di angkasa. Titik itu kini
semakin jelas terlihat bentuknya.
“Khraghk...!”
“Rajawali, ke sini!” seru Rangga seraya melambaikan
tangannya. Burung rajawali raksasa cepat meluruk turun, dan mendarat ringan di
depan Pendekar Rajawali Sakti.
“Ayo, Pandan. Ikut aku ke Lembah Bangkai,” ajak
Rangga sambil meloncat ke punggung Rajawali Putih. “Aku ingin mengambil Pedang
Rajawali Sakti.”
Pandan Wangi pun bergegas naik ke punggung burung
rajawali raksasa itu.
“Eh, Kakang, tunggu...! Jelaskan padaku, apa yang
telah terjadi terhadap diriku...?” bergegas Danupaksi mengejar.
“Kau pulang saja dulu ke istana,” ujar Rangga.
“Nanti kujelaskan di sana.” Pendekar Rajawali Sakti menoleh ke belakang, lalu
mengerdipkan sebelah matanya pada Pandan Wangi yang berada di belakangnya, dan
gadis itu hanya tersenyum-senyum saja.
Sedangkan Danupaksi terus mendesak, karena
benar-benar bingung dan tidak tahu semua yang telah terjadi pada dirinya. Namun
Rangga dan Pandan Wangi sudah melambung tinggi di angkasa bersama Rajawali
Putih.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
JARINGAN
HITAM
Emoticon