SATU
TIDAK ada suara yang lebih indah daripada suara
alam. Terlebih lagi suara deburan ombak yang menghantam batu-batu "karang
di pantai. Begitu indahnya, hingga membuat seorang pemuda berbaju rompi putih
termangu. Dia berctiri di atas sebuah batu karang yang cukup tinggi, dan
menjorok ke tengah laut.
Tanpa berkedip, kedua matanya memandang lurus ke
arah sepasang burung camar putih yang bermain-main lincah. Di antara gulungan
ombak. Suara jerit sepasang burung camar itu bagaikan nyanyian alam sehingga
menambah indahnya suasana siang hari yang panas ini. Seringkali pemuda itu
tersenyum manakala melihat sepasang burung camar itu sating memperebutkan ikan
yang berhasil diperoleh salah seekor pasangannya.
"Hhh.... Seandainya setiap manusia bisa bebas
seperti camar itu...," terdengar desahan halus, hampir tidak terdengar di
telinga.
Pemuda tampan berbaju rompi putih itu memalingkan
mukanya ketika mendengar ayunan kaki yang ringan dari arah belakang. Tampak
seorang gadis bertubuh ramping tengah berjalan menghampirinya. Ayunan
langkahnya begitu ringan, dan tidak tergesa-gesa. Wajahnya cantik sekali.
Kulitnya putih, dan begitu pas dengan baju ketat berwarna biru langit yang
dipakainya. Sehelai sabuk kuning keemasan melilit pinggangnya. Sedangkan sebuah
kipas putih keperakan terselip di sabuk itu. Gadis itu berhenti berjalan tepat
di dekat batu karang yang sangat besar menjorok ke tengah laut.
"Sampai kapan kau akan tetap di sana,
Kakang?" tanya gadis itu agak berteriak. Bahkan membuat sepasang burung
camar yang tengah bercanda jadi terkejut.
"Hup!" Ringan sekali gerakan pemuda
berbaju rompi putih itu saat melompat dari atas batu karang. Dua kali tubuhnya
berputaran di udara, lalu mendarat manis sekali di depan gadis berbaju biru.
Sedikit pun tidak terdengar suara saat sepasang kakinya menjejak pasir .pantai
yang putih dan basah. Dia tersenyum, lalu mengayunkan kakinya tanpa
berkata-kata lagi. Gadis cantik berbaju biru itu mengikuti. Langkahnya langsung
disejajarkan di samping kanan pemuda berbaju rompi putih ini.
"Kapan kita sampai di Karang Setra,
Kakang?" Tanya gadis cantik berbaju biru itu.
"Tidak lama lagi," sahut pemuda berbaju
rompi putih.
"Rasanya aku sudah kangen, ingin berkumpul
lagi bersama Cempaka dan Danupaksi."
Pemuda berbaju rompi putih yang tak lain adalah
Rangga, hanya tersenyum saja. Sedangkan gadis di sampingnya yang dikenal
bernama Pandan Wangi atau berjuluk si Kipas Maut, terus berjalan. Pandangannya
nampak lurus ke depan. Mereka ber-jalan berdampingan menyusuri pantai berpasir
putih yang selalu dibasahi air laut Beberapa kali lidah ombak menjilati kaki
mereka.
"Kakang...," terdengar manja suara Pandan
Wangi
Gadis itu memeluk lengan Rangga. Sikapnya memang
manja sekali. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya mendiamkan saja. Dia
bergumam sedikit dan terus melangkah tanpa memalingkan muka sedikit pun juga.
Dalam beberapa hari ini, gadis itu sudah merasa kalau sikap Rangga agak lain.
Pendekar Rajawali Sakti lebih sering murung, dan tidak lagi banyak bicara. Dari
sikapnya itu, Pandan Wangi sudah bisa meraba kalau ada sesuatu yang sedang
mengganggu pikiran Rangga.
"Ada apa, Pandan?" Tanya Rangga yang
menunggu lama. Tapi, Pandan Wangi masih diam saja memandangi wajah tampan di
sampingnya ini.
"Kenapa Kakang seperti tidak ingin kembali ke
Karang Setra?" tanya Pandan Wangi, bernada ragu-ragu.
Rangga hanya tersenyum saja. Pendekar Rajawali
Sakti bukan tidak ingin kembali ke Karang Setra. Tanah kelahirannya memang
selalu ditinggalkan, karena itu adalah tuntutan jiwa kependekarannya. Hanya
saja, semakin dekat dengan Kerajaan Karang Setra, hatinya semakin gelisah saja.
Dia sendiri tidak tahu, apa penyebab semua itu. Tidak biasanya Rangga mempunyai
perasaan begini. Biasanya, setiap tempat yang akan disinggahinya selalu
dianggap sama. Dan tentu saja memiliki persoalan yang menuntutnya untuk
diselesaikan. Dan memang selama ini, tidak pernah ada keluhan. Tugasnya sebagai
seorang pendekar, memang harus membantu siapa saja yang membutuhkan
pertolongan. Tidak peduli, apakah itu orang berpangkat, atau rakyat jelata.
Ayunan langkah mereka terhenti ketika dari arah
depan teriihat debu mengepul, membumbung tinggi ke angkasa. Sementara bumi yang
dipijak terasa bergetar bagai terjadi gempa. Suara gemuruh deburan ombak, mulai
terganggu oleh deru angin kencang disertai menggemuruhnya suara bagaikan
bebatuan berjatuhan dari atas bukit. Belum lagi ada yang sempat berpikir lebih
jauh, mendadak saja....
"Pandan, awas...!" seru Rangga keras dan
tiba-tiba sekali.
"Hup! Yeaaah...!"
Tubuh Rangga cepat melenting sambil memberi
perintah pada Pandan Wangi, tepat di saat gumpalan debu bersama tiupan angin
badai melanda ke arah mereka. Pandan Wangi yang tidak cepat menyadari terlambat
untuk menghindar.
"Aaa. .!"
"Pandan...!"
Rangga terkejut bukan main, melihat Pandan Wangi
tergulung gumpalan debu yang terus bergerak cepat disertai hembusan angin
kencang dan suara gemuruh. Tubuh Pandan Wangi kini seperti lenyap tertelan
gumpalan debu bagai bola raksasa itu.
"Hap! Hiya! Hiyaaa...!"
Cepat Rangga berlompatan mempergunakan ilmu
meringankan tubuh untuk mengejar Pandan Wangi yang lenyap tergulung gumpalan
debu itu. Namun belum jauh Rangga bertindak mengejar, mendadak saja gumpalan
debu bagai bola raksasa itu menghilang. Dan ternyata, Pandan Wangi juga turut
lenyap bersamaan dengan lenyapnya gumpalan debu itu. Rangga menghentikan pengejarannya,
tepat di tempat gumpalan bola debu raksasa tadi menghilang.
"Heh...! Ke mana dia...?"
Rangga jadi kebingungan sendiri. Pandangannya
beredar ke sekeliling, namun tidak ada yang dapat dilihat lagi. Keadaan di
tepian pantai ini kembali tenang. Hanya deburan ombak dan teriakan burung camar
saja yang terdengar saling bersahutan. Tidak ada lagi suara bergemuruh bagai
badai. Tidak ada lagi gulungan debu serta angin topan yang menjalar. Bahkan
Pandan Wangi juga tidak nampak di sekitar tepian pantai ini. Rangga benar-benar
tidak bisa memahami kejadian yang baru saja dialaminya ini. Dia tidak tahu,
dari mana datangnya, dan kemana lenyapnya gumpalan debu yang membawa Pandan
Wangi pergi.
"Heh...?!" Rangga tersentak kaget ketika
tiba-tiba tempat yang dipijaknya bergetar hebat Dan belum lagi bisa melakukan
sesuatu, mendadak....
Glarr...!
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melentingkan
tubuhnya ke udara, ketika tiba-tiba saja tempat yang dipijaknya terbongkar
bersama ledakan dahsyat menggelegar. Debu dan pasir berhamburan ke udara,
membentuk jamur raksasa. Beberapa kali Rangga ber-jumpalitan di udara, sebelum
mendarat manis sekali di tempat yang cukup jauh dan aman.
Debu masih teriihat mengepul, membumbung tinggi ke
angkasa. Rangga sampai terpana menyak-sikan debu dan pasir membentuk jamur
raksasa. Begitu indah, namun tersembunyi kedahsyatan yang mengerikan. Kalau
saja Pendekar Rajawali Sakti tidak cepat melompat ke udara, pasti tubuhnya
bakal hancur bersama debu dan pasir itu tadi. Perlahan namun pasti, debu dan
pasir itu menyebar tertiup angin. Tampak sebuah lubang yang sangat besar menganga
sekitar tiga batang tombak didepan Rangga.
"Hm...." Rangga mengerutkan kening ketika
melihat ke dalam lubang yang menganga lebar di depannya. Di dalam lubang itu
terdapat undakan tangga yang menuju ke dalam tanah. Yang membuat kening
Pendekar Rajawali Sakti semakin dalam berkerut, undakan tanah itu seperti
terbuat dari batangan emas. Kuning berkilat tertimpa teriknya cahaya matahari.
Perlahan Rangga mendekati lubang itu. Dan keningnya
semakin berkerut dalam. Ternyata undakan tangga kuning keemasan itu menuju
sebuah pintu yang sangat besar, dan berdaun pintu dari besi.baja putih berkiat
Pintu itu terbuka lebar, seakan-akan memperilakan Pendekar Rajawali Sakti untuk
masuk kesana. Sebentar pemuda berbaju rompi putih itu tertegun memandangi ke
arah pintu di dalam lubang besar di depannya ini.
"Masuklah, tidak ada yang perlu
dikhawatirkan."
"Heh...?!" Rangga terlonjak kaget begitu
tiba-tiba terdengar suara menggema. Suara itu demikian jelas, seakan-akan
berada dekat di telinganya. Rangga terlompat mundur dua tindak. Pandangannya
beredar ke sekeliling. Tapi, tidak ada seorang pun yang terlihat di sekitar
tepian pantai ini. Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengarahkan pandangan ke
dalam lubang. Pintu di dalam lubang itu masih tetap terbuka lebar.
"Masuklah, Pendekar Rajawali Sakti,"
kembali terdengar suara menggema.
"Hm..., siapa kau?" Tanya Rangga.
Sikapnya penuh kewaspadaan.
"Kau akan tahu jika sudah berada di dalam
istanaku," sahut suara itu lagi.
Rangga terdiam. Sebentar otaknya berputar untuk
menuruti suara yang terdengar tanpa ujud itu. Perlahan kakinya melangkah
mendekati lubang itu. Satu undakan tangga kuning keemasan dipijaknya. Perlahan
kakinya bergerak menuruni undakan tangga berjumlah tujuh buah itu satu persatu.
Rangga berhenti sebentar setelah sampai didepan pintu besi baja putih berkilat.
Keadaan di balik pintu ini begitu gelap, tanpa ada
cahaya sedikit pun yang menerangi. Perlahan Rangga melangkahkan kakinya
memasuki pintu yang sangat besar ini. Kembali Pendekar Rajawali Sakti terkejut.
Karena begitu berada di dalam, mendadak saja pintu itu cepat bergerak menutup.
Suasana di dalam begitu gelap, sampai-sampai untuk melihat tangan sendiri tidak
bisa.
"Aku harus menggunakan aji 'Tatar
Netra'," gumam Rangga dalam hati.
Namun belum juga Pendekar Rajawali Sakti
mengerahkan aji 'Tatar Netra', terdengar derit daun pintu yang bergerak
membuka. Tampak seberkas cahaya menyilaukan bergerak perlahan dari arah depan.
Cahaya yang begitu terang dan semakin membesar itu sangat menyilaukan mata.
Rangga menyipitkan matanya sedikit. Sebentar diamati sekitarnya. Ternyata dia
berada dalam sebuah gua yang berlorong amat panjang. Namun gua ini sekarang
begitu terang, seperti berada di luar sana.
"Berjalanlah terus mengikuti lorong ini,
Pendekar Rajawali Sakti," kembali terdengar suara menggema bernada berat.
"Hm...," Rangga bergumam. Perlahan
Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan langkahnya menyusuri lorong yang cukup
besar dan panjang ini. Sebuah lorong lurus, tanpa ada belokan sedikit pun.
Rangga merasa kalau lorong ini terus menurun. Jalan yang dilalui tidak bisa
terlihat, karena tertutup kabut tebal hingga sebatas lutut Perlahan lahan
Pendekar Rajawali Sakti berjalan dengan mata tajam mengamati sekelilingnya.
"Hm.... Sepertinya, lorong ini tidak pernah
ada habisnya," gumam Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti terus berjalan
perlahan-lahan. Dan memang, lorong ini seperti tidak berujung. Pemuda berbaju
rompi putih itu menoleh ke belakang. Agak terkejut juga dia. Karena setiap
tempat yang dilewati, selalu tertutup kabut tebal, sehingga tidak bisa lagi melihat
tempat asal masuk tadi. Namun anehnya, hawa di sini begitu hangat Padahal tidak
ada sinar matahari. Dan cahaya yang menerangi juga berasal dari batu-batu
dinding, dan langit-langit lorong ini.
"Tempat apa ini..?" Rangga bertanya-tanya
dalam hati.
Entah sudah berapa lama Rangga berjalan, tapi belum
juga menemukan ujung lorong yang berkabut tebal ini. Semakin jauh berjalan,
semakin terasa kalau jalan yang dilaluinya terus menurun. Namun Pendekar
Rajawali Sakti terus saja mengayunkan kakinya. Setiap tempat yang dilangkahi
selalu diamatinya. Tidak ada yang bisa dijadikan petunjuk menarik. Yang
teriihat hanya gumpalan kabut tebal, dengan bebatuan memancarkan sinar terang
bagai matahari.
"Berbeloklah ke kanan, Pendekar Rajawali
Sakti," terdengar lagi suara berat menggema dekat telinga Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti menghentikan ayunan
langkahnya. Tubuhnya diputar ke arah kanan, lalu kembali berjalan
perlahan-Iahan mengikuti petunjuk suara yang didengarnya. Rasa penasaran
semakin menebal menguasai dirinya untuk mengetahui sumber suara itu. Pendekar
Rajawali Sakti jadi melupakan Pandan Wangi yang menghilang terbawa gumpalan
debu yang datang tiba-tiba di tepi pantai tadi. Entah kenapa, suara dan tempat
ini seakan-akan menguasai seluruh alam jiwa dan raga Pendekar Rajawali Sakti.
Namun demikian, Rangga masih merasakan kalau kesadarannya tetap seperti biasa,
tak terganggu sedikit pun.
"Masuklah ke pintu yang berada di
tengah."
Rangga menatap pintu paling tengah di depannya. Ada
lima buah pintu yang bentuk dan ukurannya sama persis. Sebentar Pendekar
Rajawali Sakti terdiam, kemudian langkahnya terayun menuju pintu paling tengah.
Ayunan langkahnya kembali terhenti di depan pintu.
Sebentar diamatinya bagian dalam pintu di depannya. Begitu gelap, seperti
pertama kali masuk ke dalam lorong ini. Kemudian Rangga mengamati pintu-pintu
lain yang bentuk dan ukurannya sama persis. Perlahan kakinya kembali terayun
memasuki pintu itu.
Aneh...! Begitu kakinya melewati pintu, keadaan di
dalam menjadi terang benderang. Rangga berdecak, seakan-akan tidak percaya
dengan apa yang disaksikannya.
Dia seperti berada dalam sebuah taman surga yang
begitu indah tak ada bandingnya. Pendekar Rajawali Sakti berdiri terpaku
memandangi "sekitamya sambil beberapa kali berdecak kagum.
Sungguh....! Belum pernah Pendekar Rajawali Sakti
melihat alam begitu indah, bagai taman Swargaloka yang khusus diperuntukkan
bagi dewa. Begitu mudahnya, sehingga sukar dilukiskan dengan kata-kata seindah
apa pun juga. Pandangan Pendekar Rajawali Sakti kemudian tertuju pada sebuah
bangunan berbentuk istana kecil yang memancarkan cahaya kuning keemasan.
"Selamat datang di taman istanaku, Pendekar
Rajawali Sakti...."
"Oh...?!" Rangga terkejut. Pendekar
Rajawali Sakti langsung memutar tubuhnya. Dia semakin terkejut begitu melihat
seorang laki-laki yang sebaya dengannya tahu-tahu sudah berdiri tidak jauh
darinya. Di belakang laki-laki berwajah tampan dan berkulit putih halus bagai
kulit seorang gadis remaja itu berdiri berjajar gadis-gadis cantik mengenakan
kemben sebatas dada. Mereka seperti sengaja memperlihatkan bagian kulit bahu
dan sebagian dada atas yang putih mulus tanpa cacat sedikit pun.
Di samping kanan dan kiri pemuda tampan berpakaian
indah itu, berdiri dua orang laki-laki tua oerjubah putih dan dua orang
perempuan tua yang juga mengenakan jubah putih. Mereka semua meme-gang tongkat
kayu hitam berlekuk yang pada bagian kepala berbentuk bulat seperti telur angsa.
Pemuda itu melangkah perlahan mendekati Rangga.
"Maaf, jika cara mengundang kami kurang
berkenan di hatimu, Pendekar Rajawali Sakti," ucap pemuda tampan itu.
Suaranya terdengar lembut, namun sangat besar dan
berat Bahkan mengandung kewibawaan yang sangat besar. Rangga hanya tersenyum
saja. Hatinya masih diliputi kekaguman yang amat sangat terhadap keadaan di
tempat ini. Demikian pula orang-orangnya, serta pakaian yang dikenakan. Bagi
Pendekar Rajawali Sakti hal ini sangat aneh. Mereka ber-pakaian seperti
layaknya para dewa dan dewi di kahyangan. Apakah dia berada di Swargaloka....?
Rangga cepat menghilangkan pikiran seperti itu. Pendekar Rajawali Sakti tidak
ingin berpikir terlalu jauh dulu.
"Mari..., sebaiknya kita bicara di
dalam," ajak pemuda itu ramah.
Rangga tak dapat menolak ajakan yang ramah ini,
meskipun hati dan pikirannya saat ini dipenuhi segudang pertanyaan dan
keheranan tentang semua yang dialaminya. Dia belum mengerti, untuk apa
manusia-manusia aneh ini mengundangnya ke sini? Dan lagi..... Dimana sekarang
Pandan Wangi berada? Rangga jadi teringat Pandan Wangi. Dan baru kali ini dia
teringat kekasihnya itu. Tapi pada saat seperti ini, rasanya tidak layak
bertanya. Terlebih lagi, sikap orang-orang di sini begitu ramah, seperti
menyambut seorang tamu agung yang sudah lama dinantinantikan.
Rangga terpaksa memendam rasa keingintahuannya yang
mulai menggejolak dalam dada. Diikutinya saja pemuda tampan berpakaian indah
dan aneh ini, menuju ke bangunan istana kecil yang seluruh dindingnya berwarna
kuning keemasan. Di belatang mereka, tampak mengikuti dua orang laki-laki tua
dan dua orang perempuan tua berjubah putih, serta dua puluh gadis cantik
berkemben sebatas dada.
***
DUA
Kekaguman Rangga semakin bertambah setelah berada,
di dalam bangunan istana kecil. Dari luar, bangunan itu memang teriihat
sederhana. Tapi begitu berada di dalamnya, seluruh istana yang ada di mayapada
ini pasti tidak bisa menandingi. Bahkan Rangga yakin kalau istananya sendiri di
Karang Setra juga tidak bisa membandingi. Begitu indah! Bahkan seluruh dinding,
lantai, dan langit-langitnya seperti terbuat dari emas murni berhiaskan
manik-manik batu permata.
Mereka kini berkumpul di sebuah ruangan yang cukup
besar dan duduk di lantai beralaskan permadani tebal yang empuk, menghadapi
sebuah meja rendah yang lebar berbentuk bulat. Meja besar berkilat itu penuh
segala macam makanan yang mengundang sclera siapa saja yang melihat. Tapi tidak
buat Rangga. Selera makannya hilang seketika teringat Pandan Wangi. Apalagi,
dia tidak tahu maksud undangan orang-orang ini padanya, dengan cara yang aneh
dan sukar dimengerti.
"Maaf, kalau boleh tahu, apa nama tempat ini.
Dan, siapa Kisanak serta Nisanak semua...," ujar Rangga mendahului.
"Aku Pangeran Argabaja. Dan mereka ini adalah
para pengawal serta dayang-dayangku," pemuda tarapan itu memperkenalkan
diri, serta semua orang yang berada dalam ruangan ini.
Dua orang laki-laki tua yang duduk di sebelah kanan
Pangeran Argabaja bernama Ki Sundrata. Dia mengenakan kalung bermata satu buah.
Sedangkan seorang lagi bernama Ki Pulung. Dia mengenakan kalung bermata dua.
Sementara dua wanita tua yang duduk di sebelah kiri Pangeran Argabaja
masing-masing adalah Nyai Amoksa dan Nyai Sutirani. Masing-masing juga
mengenakan kalung bermata tiga dan empat Pangeran Argabaja sendiri menjelaskan
kalau jumlah mata kalung yang dikenakan keempat pengawal pribadinya sekaligus
merupakan tanda tingkat kepandaian. Yang memiliki jumlah mata kalung sedikit,
tingkatannya semakin tinggi dari yang lainnya.
Sedangkan di belakang mereka, duduk berjajar
gadis-gadis cantik yang hanya mengenakan kemben sebatas dada. Namun pada
punggung mereka tersampir sebilah pedang bergagang hitam berhiaskan batu
permata merah, bagai batu merah delima yang cukup besar ukurannya.
"Kami sudah memperkenalkan diri. Dan kami
sudah tahu, siapa Kisanak sesungguhnya," kata Pangeran Argabaja. Nada
suaranya masih terdengar lembut.
"Dari mana Pangeran mengetahui tentang
diriku?" Tanya Rangga ingin tahu.
"Namamu sudah terkenal sampai ke negeri kami,
Pendekar Rajawali Sakti," jelas Pangeran Argabaja.
"Di mana negeri Pangeran?" Tanya Rangga
lagi.
"Sukar untuk dikatakan, Pendekar Rajawali
Sakti. Karena, saat ini kami sendiri tidak tahu, di mana sekarang negeri kami
berada. Kami masih beruntung, karena taman kecil ini tidak ikut lenyap bersama
yang lainnya," kali ini nada suara Pangeran Argabaja terdengar agak sendu.
"Lenyap...?!" Rangga terkejut tidak
mengerti. Sukar dipercaya kalau sebuah negeri bisa lenyap tanpa diketahui.
Sebuah negeri bukanlah seorang manusia yang bisa pergi ke mana saja yang sesuka
kakinya melangkah. Rangga memandangi Pangeran Argabaja dalam-dalam, seakan-akan
tengah mencari kebenaran kata-kata pemuda itu. Namun dari raut wajah dan sinar
mata Pangeran Argabaja, tercermin kesungguhan. Bahkan sinar mata yang merembang
sendu itu seperti menyimpan kedukaan yang amat dalam.
"Bagaimana kejadiannya sehingga sebuah negeri
bisa hilang?" Tanya Rangga mencoba bisa memahami.
"Itulah yang sulit kukatakan, Pendekar
Rajawali Sakti. Kami semua sedang berada di dalam taman kecil ini. Tapi begitu
tiba-tiba saja, kami tidak bisa keluar karena seluruh taman ini terkurung
bebatuan. Sepertinya kami berada di dalam sebuah lubang yang tiba-tiba saja
mengurung kami hidup-hidup. Kami tidak tahu lagi, kemana harus keluar dari
tempat ini," Pangeran Argabaja mencoba mengisahkan.
"Aneh...," desis Rangga seraya
menggelengkan kepalanya beberapa kali.
Cerita yang dikisahkan Pangeran Argabaja memang
sangat aneh dirasakan Pendekar Rajawali Sakti. Bagaimana mungkin sebuah taman
yang cukup luas bisa terkubur dalam waktu sekejap saja? Bahkan tanpa diketahui
sama sekali. Lebih parah lagi, ternyata juga tidak ada jalan keluar. Padahal,
Rangga sendiri bisa datang ke tempat ini. Dan itu berarti ada jalan yang bisa
ditempuh. Kembali Rangga mengamati Pangeran Argabaja dan semua orang yang ada
di ruangan ini dalam-dalam. Namun yang didapatinya hanya kesenduan dan sinar
mata penuh harap akan pertolongan dari pemuda berbaju rompi putih ini.
"Hhh.... Apa yang harus kulakukan...?"
desah Rangga perlahan, seakan-akan bicara pada diri sendiri.
"Kami hanya meminta agar kau membebaskan kami
dari keterkurungan ini," pinta Pangeran Argabaja.
***
Di dalam taman kecil ini, sukar diketahui siang dan
malam. Keadaannya selalu saja sama. Ini karena cahaya yang berasal dari
batu-batuan yang menerangi sekitamya tersebar pada sekeliling dinding taman
kecil ini. Apa yang menjadi keraguan serta pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti,
kini hampir terjawab sudah. Tempat ini memang terkubur rapat. Orang lain bisa
masuk ke taman kecil ini, tapi tidak ada celah sedikit pun untuk bisa keluar.
Dan itu merupakan salah satu dari sekian banyak
pertanyaan yang belum terjawab. Bagaimana mungkin jalan masuk bisa tertutup dan
tidak bisa lagi diketahui asalnya...? Lalu, siapa yang menuntun Rangga hingga
sampai ke tempat asing terpencil ini? Apakah Pangeran Argabaja sendiri, atau
salah se-orang pengawalnya yang sudah berusia lanjut itu? Atau mereka semua
yang menuntunnya ke tempat ini? Semua pertanyaan itu sukar sekali dijawab. Dan
memang, Rangga tidak punya kesempatan bertanya lagi pada Pangeran Argabaja.
Sementara itu, Pangeran Argabaja dan semua orang
yang beberapa waktu lalu dilihatnya, kini sirna begitu saja bagai tertelan
bumi. Sudah tiga kali Rangga mengelilingi taman kecil ini, tapi tidak seorang
pun dijumpai. Dan seakan-akan terasakan kalau taman kecil ini terasa semakin
mengecil, karena tiba-tiba saja dinding-dindingnya bergerak mendekati Rangga.
"Sial...!" umpat Rangga seraya
menghantamkan tinjunya ke sebuah batu yang cukup besar di depannya.
Batu yang memancarkan cahaya terang itu hancur
berkeping-keping, memperdengarkan suara bergemuruh bagai terjadi gempa.
Pandangan Rangga beredar ke sekeliling dengan mata memerah, bagai mata elang.
Gerahamnya bergemeletuk. Sepertinya Pendekar Rajawali Sakti tengah menahan
kemarahan yang amat sangat. Tak terlihat seorang pun di sekitar taman ini.
Rangga sekarang yakin betul kalau dirinya tertipu.
Dicobanya untuk mencari jalan keluar dari taman ini. Tapi setelah
berputar-putar beberapa kali mengelilingi taman kecil itu, belum juga
ditemukan. Seluruh dinding yang terbuat dari batu bercahaya terang, bagaikan
tembok penjara yang rapat dan sangat kokoh. Dan itu terus bergerak merapat.
Sementara, taman itu semakin mengecil saja. Dan
jika Pendekar Rajawali Sakti tidak juga bisa mencari jalan keluar, berarti
tubuhnya akan terjepit hingga jadi dendeng. Dan itu berarti pula, tamatlah
riwayat Pendekar Rajawali Sakti.
"Akan kucoba menghancurkan dinding batu
ini," gumam Rangga seraya menatap salah satu sisi dinding.
Pendekar Rajawali Sakti merenggangkan kakinya, laIu
menarik napas dalam-dalam seraya meletakkan kedua tangan di pinggang. Sebentar
perhatiannya dipusatkan pada satu titik, untuk mengumpulkan kekuatan tenaga
dalam pada kepalan tangan. Sesaat kemudian....
"Hiyaaa...!"
Glarrr!
Ledakan keras terdengar menggelegar seperti hendak
memecahkan gendang telinga, begitu satu pukulan bertenaga dalam sempurna sekali
dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti. Namun apa yang terjadi....
"Keparat..!" umpat Rangga melihat dinding
yang habis dihantamnya masih tetap utuh. Dinding itu tidak berubah sama sekali,
bahkan terus bergerak hendak melumatkan tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Rangga
memandangi kepalan tangannya yang memerah, karena pengerahan tenaga dalam
penuh. Kembali Pendekar Rajawali Sakti bersiap melakukan pukulan kembali. Kali
ini kekuatan tenaga dalamnya ditingkatkan penuh. Seluruh wajahnya jadi lemerah
bagai terbakar sinar matahari. Tatapan matanya begitu tajam, seakan-akan hendak
menembus dinding batu di depannya.
Glarrr...! Kembali terdengar ledakan keras
menggelegar. Rangga cepat melompat ke belakang tiga langkah begitu dinding yang
dihantamnya benjetar. Ledakan itu benar-benar keras, seakan-akan hendak
me-runtuhkan seluruh dinding serta langit-langit batu yang menimbun taman kecil
ini.
"Bedebah...!" lagi-lagi Rangga mengumpat
geram. Meskipun dinding yang terkena pukulannya tadi sempat bergetar, namun
tetap tidak berubah sama sekali. Rangga memandangi dinding itu dengan mata
tajam menusuk. Sulit dipercaya apa yang baru saja di saksikannya. Pukulan maut
yang dilepaskannya tidak berarti sama sekali. Padahal pukulan itu dikeluarkan
lewat jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Selama ini, tidak
seorang pun yang bisa menahan jurus maut itu. Bahkan batu karang yang paling
keras sekalipun akan hancur berkeping-keping bila terkena pukulannya. Tapi batu
dinding ini.... Sama sekali tidak berubah bentuknya, dan terus ber-gerak
perlahan memperdengarkan suara gemuruh. Sepertinya, kematian Rangga tinggal
menunggu waktu saja.
"Apa yang harus kulakukan sekarang...?"
gumam Rangga bertanya sendiri. Sedangkan hatinya mulai guncang, melihat
dinding-dinding Itu terus bergerak hendak melumat dirinya.
***
Beberapa kali Rangga mencoba menghancurkan
dinding-dinding yang mengelilinginya. Dan setiap kali dicoba, sama sekali tidak
berubah. Keringat sudah membasahi seluruh wajah dan tubuh Pendekar Rajawali
Sakti. Namun demikian, dia belum berputus asa. Kekuatan dinding batu itu
membuatnya jadi penasaran "Sepertinya harus dicoba dengan jurus 'Pedang
Pemecah Sukma'," gumam Rangga dalam hati.
Sret! Sinar biru berkilau seketika menyemburat
begitu Pedang Pusaka Rajawali Sakti tercabut dari warangkanya. Sebentar Rangga
memandangi mata pedang yang memancarkan sinar biru itu, kemudian membawanya ke
depan dada. Dengan kedua tangan menggenggam erat tangkai pedang, Pendekar
Rajawali Sakti bersikap mengerahkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Satu jurus
simpanan yang yang sangat dahsyat dan jarang dikeluarkan dalam pertarungan,
kecuali terpaksa sekali.
"Hup...!" Rangga menarik pedangnya ke
samping sehingga ujungnya tegak lurus. Pandangan matanya begitu lajam, menembus
dinding batu di depannya. Seluruh tubuhnya bergetar, dan wajahnya memerah bagai
bara. Rangga mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam yang disalurkan ke dalam
pedang di tangan.
"Hiyaaa....!" Sambil berteriak keras
menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil mengayunkan pedang ke
depan. Begitu dahsyatnya jurus 'Pedang Pemecah Sukma'! Akibatnya ketika mata
pedang menghantam dinding batu bercahaya terang, terjadi ledakan dahsyat
menggelegar, disertai percikan api yang berkobar bagai hendak menghanguskan
seluruh isi taman ini. "Yeaaah...!"
Cepat Rangga melompat mundur sambil menarik kembali
pedangnya. Seluruh taman kecil yang kian menyempit ini bergetar,
memperdengarkan suara ber-gemuruh. Rangga memasukkan kembali pedangnya ke dalam
warangka di punggung. Asap tebal masih berkepul dari batu yang terkena babatan
pedang sakti itu. Perlahan-lahan asap itu menyebar, tepat saat getaran itu
mereda.
"Berhasil...," desis Rangga begitu
melihat lubang pada dinding batu. Cepat Pendekar Rajawali Sakti itu melompat,
menerobos lubang menganga di dinding batu bercahaya terang itu. Setelah berapa
kali berjumpalitan di udara, maka dengan manis sekali kakinya mendarat Dan pada
saat itu pula, dinding-dinding berwarna keemasan tadi telah benar-benar rapat.
"Heh...?" Bukan main terkejutnya Pendekar
Rajawali Sakti itu, karena dirinya kini telah berada di tepi pantai. Suara
deburan ombak terdengar jelas mengusik telinga. Sedangkan matahari bersinar
terang di atas kepala. Keadaannya persis seperti ketika masuk ke dalam lubang
yang ternyata sebuah taman kecil yang terpendam.
"Apakah aku bermimpi...?" Rangga
bertanya-tanya sendiri dalam hati. Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan
pandangan ke sekeliling. Namun sejauh mata memandang, hanya pantai yang
teriihat. Tidak ada dinding yang mengurung dirinya, dan hampir melumat tubuhnya
tadi. Tidak ada lubang di pasir yang dimasukinya. Juga, tidak ada taman yang
indah bagai taman Swargaloka milik para dewa di kahyangan. Segalanya seperti
sediakala. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti merasakan ada yang kurang. Ya...,
tidak ada lagi Pandan Wangi di sampingnya.
"Heh...?! Di mana Pandan Wangi...?"
Rangga celingukan mencari-cari kekasihnya itu. Tapi memang, Pandan Wangi tidak
ada lagi di tempat Ini. Rangga melompat ke atas sebuah batu karang vang cukup
tinggi. Dari puncak batu karang ini, bisa terlihat jelas ke seluruh pantai.
Namun tidak seorang pun yang terlihat Keadaan pantai ini begitu sepi, kecuali
debur ombak dan jerit burung camar saja yang terdengar.
"Pandan...!" teriak Rangga
sekuat-kuatnya. Suara teriakan Pendekar Rajawali Sakti menggema jauh terbawa
angin. Namun tak ada sahutan sama sekali. Panggilan Rangga hanya disahuti
burung camar. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berteriak memanggil Pandan
wangi, tapi gadis yang dicintainya itu tetap tidak ada. Malah menyahut pun
tidak. Ada kecemasan terselip di hatinya. Dia kembali teringat peristiwa yang
baru saja dialami. Waktu itu, Pandan Wangi menghilang setelah tergulung
gumpalan debu. Dan dia sendiri terkurung di dalam sebuah taman yang sangat
aneh.
"Hm.... Siapa itu yang datang...?" gumam
Rangga ketika matanya menangkap sebuah gerak yang cukup jauh dan hampir tidak
terlihat.
Semakin lama apa yang dilihat Pendekar Rajawali
Sakti, semakin terlihat jelas. Hampir saja jantung Rangga berhenti befdetak
begitu dapat melihat jelas apa yang ada di sana. Di antara kepulan debu dan
derap langkah kaki yang membuat bumi bergetar, teriihat serombongan orang
berpakaian seragam bagai prajurit. Lima orang tampak berada paling depan
menunggang kuda. Mereka menggiring seorang wanita cantik dan masih muda serta
berbaju biru. Dia terpancang di tiang kayu, di atas sebuah gerobak yang ditarik
empat ekor kuda.
"Pandan Wangi...," desis Rangga ketika
mengenali gadis yang terikat di tiang itu. Tanpa berpikir panjang lagi,
Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari atas batu. Sungguh ringan
gerakannya, karena ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai taraf sempuna.
Bagaikan segumpal kapas, Rangga mendarat manis sekali di depan rombongan itu.
"Berhenti...!" bentak Rangga keras.
Namun rombongan itu seperti tidak mendengar
suaranya. Mereka terus saja bergerak perlahan dengan irama tetap. Suara
genderang yang ditabuh dua orang bertelanjang dada, seakan-akan hendak
menggetarkan jantung siapa saja yang mendengarnya. Rangga berdiri agak
menghadang di depan. Matanya tajam menatap laki-laki muda yang berada paling
depan. Dikenalnya betul siapa pemuda tampan itu.
"Pangeran Argabaja...! Kuminta kalian
berhenti!" bentak Rangga lagi dengan suara lebih keras.
Rombongan yang dipimpin Pangeran Argabaja itu tetap
bergerak tanpa menghiraukan bentakan Rangga. Mereka semakin mendekati Pendekar
Rajawali Sakti. Hal ini membuat Rangga benar-benar geram. Dia sudah merasa
tertipu, dan sekarang pangeran tampan itu membawa Pandan Wangi dalam keadaan
terikat di tiang kayu.
"Bedebah...! Kalian memaksaku melakukan
kekerasan, heh...?!" geram Rangga sengit. Pendekar Rajawali Sakti segera
menarik kaki kanannya ke belakang satu tindak. Sementara kedua tangannya
terkepal erat berada di samping pinggang. Dan kini rombongan itu semakin dekat
saja.
"Kalian yang memaksa...! Hiyaaa...!"
Wus...! Begitu Rangga menghentakkan kedua tangannya
ke depan dengan jari-jari terbuka lebar, seketika itu juga berhembus angin
topan dahsyat. Rupanya Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan aji 'Bayu Bajra'
untuk menghentikan rombongan itu. Namun apa yang terjadi...? Rombongan kecil
itu terus bergerak dengan irama tetap, seakan tidak terpengaruh sama sekali
oleh ajian yang dikerahkan Rangga.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Rangga semakin memperhebat ajiannya. Pasir di
pantai ini berhamburan ke udara, tersapu badai yang diciptakan Pendekar
Rajawali Sakti. Batu-batu karang mulai berhamburan, beterbangan ke arah
rombongan kecil itu. Namun tetap saja mereka bergerak dengan irama tetap.
Rangga jadi tertegun, karena tak satu pun batu-batu karang yang beterbangan itu
mengenai mereka. Bahkan seperti lewat begitu saja, meskipun jelas sekali Rangga
melihat kalau ada beberapa di antaranya yang terkena hempasan batu.
Pendekar Rajawali Sakti memang tak tahu kalau
rombongan Pangeran Argabaja mempergunakan aji 'Tinggal Raga'. Ajian ini memang
harus digunakan bila mereka berada di luar laut. Tanpa menggunakan ajian ini,
jasad mereka akan terbakar matahari. Namun bila malam hari, ajian ini memang
bisa ditanggalkan.
Jadi sekarang tidak heran bila mereka bagaikan
sebuah bayangan saja. Dan kini Rangga telah mencabut ajiannya. Sejenak dia
tertegun, lalu melangkah mundur beberapa tindak. Sedangkan rombongan kecil itu
terus bergerak maju. Perlahan, namun pasti mereka semakin mendekati lautan.
Sementara deburan ombak semakin terdengar keras. Sedikit Rangga berpaling ke
belakang.
"He...?!" Mata Pendekar Rajawali Sakti
jadi terbeliak. Laut yang semula tenang, kini seperti mengamuk. Ombak
berrgulung-gulung setinggi gunung. Sedangkan langit menjadi kelam tersaput awan
hitam. Angin pun terasa semakin kencang, dengan suaranya yang mengguruh. Alam
seakan-akan hendak murka. Rangga kembali berpaling memandang rombongan kecil
yang sudah demikian dekat dengan dirinya.
"Pandan! Kau dengar aku...?!" seru Rangga
mencoba memanggil Pandan Wangi.
Namun si Kipas Maut itu tetap diam dengan kepala
terkulai, tertunduk lemah. Seluruh tubuhnya terikat tambang yang menyatu dengan
tiang di atas gerobak kayu. Sebenamya yang disapa Rangga adalah sukma Pandan
Wangi. Sedangkan jasadnya ada di dalam lautan. Si Kipas Maut itu memang telah
dimasuki ajian Tinggal Raga'. Ajian ini memang bisa diberikan pada orang lain.
Hanya saja, orang yang diberikan akan menjadi tak berdaya, dan tak tahu walau
sukmanya telah terpisah dari jasadnya. Rangga menggeser kakinya ke samping.
Pikirannya terasa buntu. Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu, makhluk apa yang
sedang dihadapinya ini.
"Aku harus menangkap salah seorang dari
mereka," desis Rangga dalam hati. Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat
menerjang salah seorang dayang yang berjalan di belakang Pangeran Argabaja dan
empat orang tua pengawalnya. Namun.... "Heh....?!"
Pendekar Rajawali Sakti itu terkejut bukan main.
Ternyata dia seperti menerjang sebuah bayangan saja. Jelas-jelas tangannya
menyentuh tubuh salah seorang dayang. Tapi, ternyata tidak terasakan apa-apa,
selain hawa dingin yang menyentuh kulit tengannya. Rangga jadi penasaran.
Didekatinya salah seorang yang berpakaian seragam prajurit, dan mencoba mencekal
tangannya. Lagi-lagi Pendekar Rajawali Sakti terkejut, karena prajurit itu
tidak bisa tertangkap. Padahal, tidak ada gerakan berkelit sedikit pun.
"Makhluk silumankah mereka...?" pikir
Rangga. Pendekar Rajawali Sakti semakin heran dan penasaran. Tangannya
dijulurkan hendak menyentuh tubuh salah seorang prajurit Tapi..., tangan
Pendekar Rajawali Sakti malah menembus tubuh prajurit itu. Cepat-cepat Rangga
menarik kembali tangannya. Dia benar-benar tidak mengerti akan semua ini.
Sementara Pangeran Argabaja yang berada didepan bersama empat pengawal tuanya,
mulai memasuki laut yang mengamuk bergelombang setinggi gunung.
"Hei! Berhenti...!" bentak Rangga sekuat-kuatnya.
Namun rombongan itu tetap saja bergerak. Perlahan-lahan namun pasti, mereka
mulai memasuki lautan. Sedikit pun mereka tidak mempedulikan Rangga yang jadi
kebingungan. Tidak mungkin Pendekar Rajawali Sakti bisa ikut menceburkan diri
ke dalam laut yang tengah murka begini. Rangga hanya bisa memperhatikan
disertai pikiran kalut.
Sedikit demi sedikit, mereka mulai menghilang
ditelan gelombang laut. Dan begitu tidak terlihat lagi, mendadak saja alam
kembali cerah. Matahari ber-sinar terang, dan langit pun nampak cerah kembali.
Laut kembali tenang, dan angin bertiup lembut per-lahan.
"Oh.... Apa yang terjadi...? Apakah aku akan
kehilangan Pandan wangi...?" rintih Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti jatuh terduduk lemas.
Pandangannya nanar tertuju ke tengah lautan. Dia begitu yakin kalau gadis yang
dibawa tadi adalah Pandan wangi. Tapi, untuk apa mereka membawa Pandan Wangi?
Juga, untuk apa mereka mengurung Pendekar Rajawali Sakti di dalam tanah, di
sebuah taman indah bagai taman Swargaloka? Siapa mereka sebenarnya...?
Pertanyaan yang sangat sukar dijawab.
"Dewi Penguasa Samudera...," desis Rangga
perlahan. "Oh, apakah mereka orang-orangnya Dewi Penguasa
Samudera...?"
Rangga tersentak mendapat pikiran demikian.
Tubuhnya menggerinjang bangkit berdiri. Ditatapnya ombak di lautan yang
bergulung indah dan teratur. Kepalanya menggeleng perlahan, seakan-akan
men-coba menghilangkan pikiran yang tiba-tiba saja timbul di kepalanya. Dia
tidak percaya kalau Dewi Penguasa Samudera memerintahkan prajuritnya untuk
menculik seorang gadis. Untuk apa...?
"Tidak...! Pandan Wangi harus kembali! Dia
tidak boleh jadi tumbal! Apa pun yang terjadi, aku harus menyelamatkannya!
Hmm... Dewi Penguasa Samudera..."
***
TIGA
Sampai hari menjelang tengah malam, Rangga masih
berada di tepi pantai. Dia duduk bersila, bersikap semadi. Pandangannya lurus
ke depan, menatap tajam ke tengah laut yang kini nampak menghitam. Udara pun
semakin dingin terasa menusuk kulit. Namun Pendekar Rajawali Sakti tetap duduk
bersila, tak bergeming sedikit pun juga. Seluruh jiwa dan raganya dipasrahkan
pada sang Pencipta. Dan Rangga memohon agar dipertemukan dengan Dewi Penguasa
Samudera.
Pada tengah malam, saat itu bulan hanya bersinar
separuhnya saja. Namun keinginan Pendekar Rajawali Sakti belum juga
terkabulkan. Seakan-akan permohonan Rangga tidak ditanggapi para dewa yang
bersemayam di kahyangan. Namun Pendekar Rajawali Sakti itu tetap duduk diam.
Hatinya sudah bertekad, tidak akan bangun sebelum permohonannya dikabulkan. Dia
ingin bertemu Dewi Penguasa Samudera, dan meminta kembali kekasihnya.
"Cras!" Tiba-tiba saja kilat menyambar,
membelah langit. Cahayanya yang terang dan hanya sesaat itu, membuat Rangga
sedikit terkejut. Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, mendadak saja di
depannya muncul segumpal asap tebal! Perlahan-lahan, asap itu menghilang
bersama tiupan angin. Dari gumpalan asap itu muncul seorang wanita berparas
cantik bagai dewi. Pakaiannya indah berwarna biru.
Bahunya yang putih, tertutup selendang tipis
berwarna biru juga. Pada kepalanya terdapat sebentuk mahkota kecil. Di tangan
kanannya tertenggam sebatang tongkat pendek berwarna kuning keemasan berbentuk
seekor ular. Begitu cantiknya, sampai-sampai Rangga terpana memandangnya.
"Untuk apa kau memanggilku, Rangga?" lembut
sekali suara wanita itu bertanya.
"Siapa kau?" suara Rangga terdengar agak
tertahan.
"Aku Dewi Penguasa Samudera," sahut
wanita itu memperkenalkan diri. Senyumnya terkembang, begitu menawan sekali.
"Kau..., Dewi Penguasa Samudera...?"
Rangga seakan-akan ingin memastikan.
Wanita itu tidak menjawab, dan hanya tersenyum
saja. Begitu manis, membuat parasnya yang cantik semakin bertambah cantik.
Entah kenapa, Rangga sampai terpana, dan sempat menelan ludah untuk membasahi
tenggorokannya yang mendadak saja jadi terasa kering.
"Kau sudah memanggilku, dan aku kini berada di
sini. Katakan, apa yang kau inginkan, Rangga?" ujar Dewi Penguasa
Samudera. Suaranya masih tetap terdengar lembut menggelitik telinga.
Rangga tidak perlu bertanya lagi, dari mana wanita
cantik penguasa lautan di jagat raya ini bisa tahu namanya. Dari banyak cerita
yang telah didengarnya selama ini, Dewi Penguasa Samudera memang bukan manusia.
Bisa dikatakan, dia jelmaan Dewi yang ditugaskan melindungi lautan. Dan dia
bisa mengetahui nama seseorang tanpa bertanya lebih dahulu.
"Aku ingin kau mengembalikan kekasihku,"
sahut Rangga seraya bangkit berdiri.
"Kekasihmu...? Siapa kekasihmu?" Tanya
Dewi Penguasa Samudera.
"Jangan berpura-pura, Nyai Dewi. Siang tadi
orang-orangmu telah menculik Pandan Wangi. Bahkan mereka sempat mengurungku di
taman kecil bawah tanah. Pasti mereka membawanya masuk ke dalam laut,"
Rangga menunjuk ke tengah lautan.
"Sekarang bukan bulan purnama pertama untuk
tahun ini, Rangga. Tidak ada pengawalku yang mencari korban. Lagi pula, di
istanaku tidak ada gadis yang bernama Pandan Wangi. Kau boleh lihat ke sana,
kalau tidak percaya," tenang sekali jawaban Dewi Penguasa Samudera.
Rangga tersenyum tipis. Pendekar Rajawali Sakti
tahu, seandainya masuk ke dalam istana wanita ini, sangat kecil kemungkinannya
bisa kembali lagi. Kalau pun kembali, pasti sudah jadi mayat. Dia tahu, siapa
wanita cantik penguasa lautan ini. Dia adalah seorang wanita yang sepanjang
zaman selalu tampak cantik. Bahkan selalu menginginkan pemuda-pemuda tampan
untuk dijadikan teman hidup sementara. Di samping itu, Dewi Penguasa Samudera
juga mencari gadis-gadis cantik untuk dijadikan tumbal bagi kelangsungan hidup
kerajaannya di dasar lautan.
Dan yang pasti, pemuda-pemuda yang sudah tidak
diinginkan Dewi Penguasa Samudera lagi akan dikembalikan ke permukaan, namun
sudah menjadi mayat. Sedangkan rohnya tetap hidup, namun menjadi budak di
kerajaan dasar laut Rangga memang belum pernah mengalami sendiri. Tapi
cerita-cerita seperti itu sangat melekat dan dipercayai orang-orang yang hidup
di pesisir pantai. Bahkan mereka yang tinggal jauh dari pantai pun
mempercayainya. Setiap tahun, Dewi Penguasa Samudera ini mencari gadis muda dan
seorang pemuda tampan.
"Bagaimana...? Masih belum percaya?"
"Aku tidak percaya," sahut Rangga agak
mendengus.
Dewi Penguasa Samudera tertawa renyah. Begitu merdu
suara tawanya, bagaikan sebuah kidung yang dinyanyikan pesinden temama. Rangga
sempat menelan ludahnya, tapi tetap bertahan untuk tidak ter-goda. Wanita ini
memang penuh daya pesona, dan sanggup melemahkan hati siapa saja yang
berhadapan dengannya.
"Silakan datang ke istanaku, Rangga. Pintu
istanaku selalu terbuka lebar untukmu," ujar Dewi Penguasa Samudera lagi.
"Aku akan datang saat fajar menyingsing nanti.
Dan kalau ternyata Pandan Wangi ada di sana, aku tidak segan-segan
menghancurkan kerajaanmu!" terdengar nada ancaman dalam suara Rangga.
"Silakan, Rangga. Aku yakin, kau pasti tidak
ingin kembali lagi setelah berada di istanaku."
"Persetan...!" dengus Rangga dalam hati.
"Ha ha ha...!"
Rangga kembali duduk bersemadi. Saat itu seluruh
tubuh Dewi Penguasa Samudera tertutup asap tebal yang muncul dari sela-sela
pasir. Dan begitu asap menghilang, tubuh wanita itu juga ikut lenyap dari
pandangan mata. Rangga memejamkan matanya, untuk kembali melakukan semadi. Kini
Pendekar Rajawali Sakti meminta kekuatan dan perlindungan dari sang Pencipta
jagat raya ini.
"Apa pun yang akan terjadi, Pandan Wangi harus
kudapatkan kembali," tekad Rangga dalam hati.
Perlahan Rangga membuka matanya saat merasakan
hangatnya sinar sang mentari. Dari balik cakrawala di tengah lautan, nampak
menyemburat rona merah yang berasal dari bola api raksasa yang siap
menghangatkan sebagian permukaan bumi ini. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti
bangkit berdiri. Pandangannya begitu tajam tidak berkedip, menatap lurus ke
tengah lautan.
Baru saja kakinya hendak terayun, mendadak saja
telinganya mendengar suara ribut-ribut dari arah belakang. Pendekar Rajawali
Sakti berpaling ke belakang. Tampak puluhan orang berjalan beriringan sambil
menabuh berbagai macam gamelan. Bukan hanya orang tua dan orang-orang dewasa
saja, bahkan anak-anak pun ikut serta dalam iring-iringan itu.
Beberapa di antaranya menggotong tandu berbentuk
perahu yang dihiasi bermacam-macam bunga dan buah-buahan. Para wanita terlihat
membawa baki-baki yang penuh segala macam makanan dan rangkaian bunga. Sejenak
Rangga tertegun menyaksikannya. Iring-iringan itu nampak berjalan cepat
melewatinya.
"Maaf, Kisanak. Boleh aku bertanya...?"
Rangga mencegat salah seorang laki-laki setengah baya yang berjalan paling
belakang.
Laki-laki setengah baya itu memandangi Rangga dari
ujung kepala hingga ujung kaki. Sementara iring-iringan itu terus bergerak
mendekati pantai. Rangga terpaksa mengayunkan kaki karena laki-laki setengah
baya yang dicegatnya sudah kembali berjalan menyusul rombongannya.
"Kenapa mereka seperti membawa sesaji,
Paman?" Ranya Rangga tanpa peduli, karena sikap orang yang ditanya
kelihatan tidak menanggapi.
"Dua hari lagi bulan purnama pertama tahun
ini," sahut laki-laki setengah baya itu tanpa menghentikan ayunan
langkahnya.
"Purnama awal tahun...?" Rangga
tersentak, seakan-akan tidak percaya.
揑ya. Kenapa...?" laki-laki setengah baya itu
memandangi Rangga dalam-dalam. "Kau pasti bukan penduduk sini."
"Benar, Paman Aku kebetulan saja lewat, dan
bermalam di sini," Rangga membenarkan.
Kembali laki-laki setengah baya itu memandang
Rangga, seakan-akan tidak percaya kalau pemuda berbaju rompi putih ini tadi
bermalam di pantai ini. Kemudian perhatiannya dialihkan ke arah orang-orang
yang mulai melakukan upacara sesaji. Secara beramai-ramai bawaan masing-masing
dilemparkan dan dihanyutkan oleh perahu yang dihiasi beraneka macam bunga dan
buah-buahan ke tengah laut Mereka menggiring dengan perahu yang banyak tertambat
di pantai ini.
"Kenapa Paman memandangku seperti melihat
hantu...?" tegur Rangga merasa jengah.
"Siapa namamu, Anak Muda?" Tanya
laki-laki setengah baya itu.
"Rangga," sahut Rangga.
"Aku Balek. Orang-orang biasa memanggilku
Paman Balek. Hm.... Apa benar kau semalam telah berada di sini?"
Rangga mengangguk.
"Kau tidak menemui peristiwa apa-apa
semalam?" Tanya Paman Balek lagi.
Rangga tidak segera menjawab. Sekarang malah
terbalik. Pendekar Rajawali Sakti yang memandangi laki-laki setengah baya ini
dalam-dalam. Agak terkejut juga hatinya mendengar pertanyaan Paman Balek
barusan.
"Aku melihat serombongan prajurit membawa
seorang tawanan melintasi tempat ini," jelas Rangga tanpa mengatakan yang
sebenarnya.
"Apa yang kau lakukan?" Tanya Paman Balek
lagi.
"Tidak ada," sahut Rangga, berbohong.
"Syukurlah kau tidak mendapatkan suatu apa
pun, Anak Muda. Dan sebaiknya, segeralah pergi sebelum senja datang. Kau sangat
tampan dan gagah seperti putra bangsawan. Jika Dewi Penguasa Samudera
melihatmu, pasti kau akan dijadikan pengantinnya untuk satu tahun."
Rangga terdiam mendengar penjelasan Paman balek
barusan. Tapi dia tetap tidak ingin mengatakan semua peristiwa yang dialaminya
semalam, sehingga harus kehilangan Pandan Wangi.
"Bulan purnama tinggal dua hari lagi. Tapi
Dewi Penguasa Samudera belum juga memilih calon tumbalnya," jelas Paman
Balek setengah bergumam, seakan berbicara pada dirinya sendiri.
Hampir saja Rangga keterlepasan bicara untuk
mengatakan kalau perempuan itu sudah mendapatkan lumbal. Tapi mulutnya masih
bisa ditahan untuk mengeluarkan kata-kata. Dia tahu kalau Pandan Wangi semalam
ditangkap pesuruh Dewi Penguasa Samudera untuk dijadikan tumbal tahunan. Dan
sebelum bulan purnama datang, semua penduduk yang bermukim lekat pantai akan
mempersembahkan sesaji untuk memohon keselamatan, agar terhindar dari bencana.
Di samping itu, mereka juga meminta agar hasil tangkapan di laut selalu
berlimpah. Itu memang sudah menjadi suatu adat turun-temurun dari nenek moyang
mereka.
Rangga baru tersadar dari lamunannya setelah Paman
Balek tidak ada lagi di sampingnya. Laki-laki setengah baya itu sudah bergabung
bersama rombongannya untuk melakukan upacara sesaji. Untuk beberapa saat
lamanya Rangga hanya memperhatikan saja dari tempatnya berdiri.
"Aku harus menyelamatkan Pandan Wangi....
Harus!" Lagi-lagi Rangga bertekad dalam hati.
Tapi tekadnya tidak mungkin dilaksanakan hari ini,
karena upacara sesaji ini akan berlangsung sampai senja nanti. Dan yang pasti,
malam ini di laut akan ramai oleh para nelayan yang menangkap ikan. Dan
biasanya, setelah upacara seperti ini, malamnya mereka akan mendapatkan hasil
tangkapan yang berilmpah dari biasanya. Jadi tidak mungkin Rangga terjun ke
laut hari ini.
"Aku pasti akan datang ke istanamu, Dewi
Penguasa Samudera," desis Rangga dalam hati.
***
Tidak semua rencana bisa terlaksana. Rangga sudah
merencanakan kalau malam ini hendak ke Istana Penguasa Samudera. Tapi semua
rencananya terpaksa dibatalkan. Dan memang, tidak mungkin menyelam ke dasar
laut dalam keadaan begini ramai. Penduduk sekitar pesisir pantai malam ini
mengadakan suatu pesta pantai yang begitu meriah.
Malam yang seharusnya gelap pekat, menjadi terang
benderang oleh cahaya obor yang terpancang di sepanjang pantai. Sedangkan di
lautan sana, tampak perahu-perahu nelayan hilir mudik. Semua orang yang tinggal
di sekitar pesisir pantai ini tumpah ruah. Maka, pantai yang semula tenang dan
damai, kini jadi padat oleh segala macam tingkah polah para penduduk. Semua ini
merupakan bagian dari upacara persembahan yang dilakukan penduduk sekitar
pantai, yang kehidupannya sangat ditunjang oleh hasil laut
"Hhh.... Apa yang harus kulakukan
sekarang...?" kehih Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti kini duduk bertopang dagu
di atas batu karang, memandangi keramaian yang terjadi di pantai ini. Bisa saja
dia tidak peduli dengan keramaian ini. Tapi Rangga tidak mau membuat penduduk
yang sedang melaksanakan upacara persembahan jadi terganggu.
"Kau tidak ikut bergembira bersama mereka,
Anak Muda...?"
"Oh...!" Rangga agak tersentak kaget
ketika tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang.
Pendekar Rajawali Sakti berpaling. Sungguh dia
tidak tahu kalau di belakangnya sudah berada seorang laki-laki setengah baya.
Bergegas Rangga berdiri dan menganggukkan kepalanya. Ternyata dia laki-laki
yang siang tadi ditemuinya. Rangga mencoba bersikap ramah, meskipun di dalam
hatinya begitu gelisah, memikirkan Pandan Wangi.
"Saat seperti ini, biasanya dimanfaatkan
anak-anak muda untuk mencari jodoh. Kau tidak bergabung dengan mereka, Anak
Muda?" kata laki-laki setengah baya itu lagi yang siang tadi mengenalkan
diri Pendekar Rajawali Sakti sebagai Paman Balek.
"Terima kasih," ucap Rangga diiringi
senyuman yang dibuat seramah mungkin.
"Sejak tadi, kau kuperhatikan selalu saja
merenung. Ada sesuatu yang mengganjal pikiranmu, Anak Muda?" Tanya Paman
Balek.
Rangga tidak langsung menjawab, dan hanya tersenyum
saja. Sungguh dia tidak tahu kalau laki-laki setengah baya ini memperhatikannya
sejak tadi. Dan memang diakui, kalau pengamatan Paman Balek tidak meleset
sedikit pun. Hatinya memang sedang gelisah, memikirkan nasib Pandan Wangi yang
belum jelas sampai saat ini.
"Paman, berapa lama pesta seperti ini
ber-langsung?" tanya Rangga.
"Tidak tentu, Anak Muda. Biasanya upacara
seperti ini berlangsung sampai Dewi Penguasa Samudera memilih seorang gadis
untuk tumbalnya," jelas Paman Balek.
"Apakah sudah ada yang dipilih?" Tanya
Rangga lagi.
"Sampai saat ini, belum ada satu keluarga pun
yang melaporkan kehilangan anak gadisnya. Yaaah..., memang tidak seperti
biasanya...."
"Maksud, Paman?"
"Biasanya kalau sudah malam begini, sudah ada
keluarga yang melaporkan kehilangan anak gadisnya. Tapi sampai jauh malam
begini, belum juga ada yang melaporkan. Aku tidak tahu, apakah Dewi Penguasa
Samudera sudah mendapatkannya atau belum."
"Kalau sudah ada, apa tanda-tandanya, Paman?"
"Sulit dikatakan, Anak Muda. Tapi biasanya,
kalau dewi Penguasa Samudera sudah mendapatkan gadis tumbalnya, akan muncul
sinar terang dari tengah lautan. Dan itulah tenda yang sudah ada sejak nenek
moyang dulu, sehingga upacara pun akan berakhir. Maka, para nelayan bisa bebas
mencari ikan di lautan."
"Apakah maksud Paman sinar terang
itu...?" Rangga menunjuk ke tengah laut sebelah Timur.
"Oh...!" Paman Balek tersentak begitu
memandang ke arah yang ditunjuk Pendekar Rajawali Sakti.
Pada saat itu, semua orang yang memadati pantai
juga melihat sinar terang yang menyemburat di tengah lautan sebelah Timur.
Suasana gaduh men-dadak lenyap, dan hening sunyi. Tapi itu hanya sebentar saja.
Begitu sinar terang lenyap, kembali mereka ribut. Rangga tidak mengerti, apa
yang diributkan. Dan ini langsung ditanyakan pada Paman Balek.
"Apa yang mereka ributkan, Paman?" tanya
Kangga.
"Mereka ingin tahu, anak gadis siapa yang
dijadikan tumbal tahun ini," sahut Paman Balek.
Rangga terdiam tidak bertanya lagi. Diperhatikannya
orang-orang yang terus saling bertanya. Dan satu demi satu, mereka mulai
meninggalkan pantai ini. Orang-orang tua mereka membawa keluarganya pergi. Dan
mereka yang mempunyai anak gadis dan ternyata masih berada di sampingnya, merasa
gembira. Bukan hanya Rangga, tapi juga Paman Balek memperhatikan dengan penuh
perhatian. Tidak berapa lama, suasana di pantai ini jadi sunyi. Tampak
perahu-perahu nelayan mulai menjauh ke tengah.
***
Malam terus merayap semakin jauh. Rangga dan Paman
Balek masih tetap berada di pantai. Sementara keramaian yang terjadi tadi, kini
telah benar-benar lenyap. Nyala api obor sudah dipadamkan. Dan kini keadaan
pantai kembali gelap dan sunyi. Hanya deru angin saja yang terdengar,
ditingkahi deburan ombak menjilat batu karang.
"Aneh...," desah Paman Balek perlahan,
seaka bicara pada dirinya sendiri.
"Apanya yang aneh, Paman?" tanya Rangga
seraya berpaling menatap laki-laki setengah baya sampingnya
"Ya..., aneh. Tidak ada seorang pun yang
melaporkan padaku kalau telah kehilangan anak gadisnya. Padahal Dewi Penguasa
Samudera sudah memberi tanda, kalau sudah mendapatkan gadis tumbalnya,"
pelan sekali nada suara Paman Balek.
Rangga menelan ludahnya mendengar keterangan
laki-laki tua setengah baya ini. Dia langsung teringat Pandan Wangi. Disadari
kalau Dewi Penguasa Samudera sudah mendapatkan Pandan Wangi untuk dijadikan
tumbal. Dan itu berarti, untuk selamanya Rangga tidak akan bisa bertemu Pandan
Wangi lagi.
"Oh, tidak...!" desis Rangga dalam hati.
"Aku harus menyelamatkan Pandan Wangi."
Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali
Sakti berlari cepat menuju ke laut Paman Balek terkejut melihat anak muda
berbaju rompi putih itu berlari cepat seperti hendak menceburkan diri ke
lautan.
"Hei..! Mau apa kau ke sana...?!" teriak
Paman Balek.
Namun Rangga tidak mempedulikan teriakan itu. Dia
terus berlari kencang, lalu melompat terjun ke dalam laut Melihat kenekatan
pemuda itu, Paman Balek jadi tersentak kaget. Cepat laki-laki setengah baya itu
berlari ke tepi pantai yang agak tinggi dan curam. Di sana, Rangga melompat
menceburkan diri ke dalam laut.
"Gila...! Apa yang dilakukannya...?"
Paman Balek tidak dapat lagi melihat Pendekar
Rajawali Sakti yang sudah tenggelam ke dalam laut. Dia hanya bisa berdiri di
tepi batu karang. Pandangannya tak berkedip, mencari-cari. Tapi, Rangga tidak
terlihat lagi di laut. Pemuda berbaju rompi putih itu benar-benar sudah
tenggelam.
"Dewata Yang Agung.... Pertanda apa semua
ini...? Jangan kau limpahkan musibah pada kami," desah Paman Balek seraya
menengadahkan kepalanya ke atas, memandang langit yang menghitam kelam.
Laki-laki setengah baya itu bergegas berbalik, lalu
berjalan setengah berlari meninggalkan tepian pantai ini. Wajahnya kelihatan
begitu menegang dan agak pucat. Sungguh tidak dimengerti sikap pemuda yang
dikenalnya siang tadi Dia telah menceburkan diri ke tengah laut, pada saat
malam seperti ini? Padahal, semua penduduk di sekitar pantai ini baru saja
selesai melakukan upacara, persembahan pada Dewi Penguasa Samudera.
Sementara itu Rangga yang menceburkan diri ke ialam
laut, terus berenang semakin dalam. Dipergunakannya ilmu yang didapat dari Satria
Naga Emas, sehingga dapat leluasa bergerak di dalam air. Bahkan bisa bernapas
bebas seperti ikan. Keadaan malam yang begitu pekat, membuat keadaan di dalam
laut begitu gelap. Rangga terpaksa menggunakan aji Tatar Netra. Dengan ajian
itu, semuanya dapat terlihat jelas, meskipun keadaan sekitarnya begitu gelap.
"Hm...," Rangga menggumam dalam hati
ketika matanya melihat sebuah titik cahaya, jauh di depannya.
Pendekar Rajawali Sakti mempercepat gerakannya
menuju ke arah cahaya yang dilihatnya itu. Matanya tidak berkedip sedikit pun
memperhatikan cahaya di depannya yang semakin terlihat jelas. Semakin dekat,
Pendekar Rajawali Sakti memperlambat berenangnya. Keningnya jadi berkerut,
karena cahaya itu datang dari sebuah lubang yang cukup besar di dasar laut
Lubang itu berada di tengah-tengah tumpukan batu karang yang membentuk seperti
bukit di dasar lautan ini
Pendekar Rajawali Sakti berhenti tepat di depan
lubang yang memancarkan sinar terang menyilaukan itu. Diperhatikannya lubang
itu dengan seksama. Tapil sinar terang itu menyulitkannya untuk bisa menembus
ke dalam lubang. Perlahan-lahan Rangga mendekati, dan perlahan-lahan pula masuk
ke dalam lubang itu.
"Hei...!"
Wusss!
***
EMPAT
Rangga terkejut bukan main, ketika tiba-tiba
dirinya terasa seperti terkena terpaan angin yang begitu kuat. Dan sebelum
sempat menyadari apa yang bakal terjadi, mendadak saja tubuhnya seperti
tersedot sesuatu dengan kuat sekali. Keseimbangan tubuhnya tidak dapat lagi
dipertahankan, dan terus meluncur tanpa dapat terkendali lagi. Tubuhnya
berputar-putar tersedot suatu tenaga yang begitu kuat Pendekar Rajawali Sakti
meluncur deras bagai berada di sebuah lorong bercahaya menyilaukan yang penuh
kabut tebal.
Begitu kuatnya tarikan itu, membuat seluruh otot
dan tulang-tulang Rangga seperti tercabut dari tubuhnya. Pendekar Rajawali
Sakti itu merasa kepalanya mulai pening, dan pandangannya jadi
berkunang-kunang. Keseimbangan tubuhnya benar-benar tidak dapat dikendalikan
lagi. Seluruh kekuatan tenaga dalamnya sudah dikerahkan, tapi tetap saja tidak
mampu menahan tarikan kuat ini.
"Aaakh...!" Rangga menjerit
sekuat-kuatnya. Seluruh kekuatan tenaganya yang terakhir sudah dikerahkan,
namun usaha ini malah mengakibatkan kesadarannya menghilang. Dan Pendekar
Rajawali Sakti itu benar-benar tidak berdaya lagi. Dia jatuh pingsan, terbawa
arus yang begitu kuat menariknya Tubuhnya berputar, melayang-layang bagai di
udara.
Entah berapa lama Rangga tidak sadarkan Begitu
matanya terbuka, terasa ada hembusan angin sejuk yang membawa aroma harum menyengat
hidung. Pendekar Rajawali Sakti bergegas menggerim jang hendak bangkit, namun
terpekik. Ternyata seluruh tubuhnya terasa begitu nyeri. Otot dan tulang
tubuhnya seperti terputus.
Mata Rangga terpejam kembali, dan sebentar kemudian
terbuka perlahan-lahan. Sebentar matanya dibiasakan melihat pada keadaan
terang, setelah beberapa waktu tidak sadarkan diri dalam kegelapan.
"Oh.... Di mana aku...?" desah Rangga
perlahan. Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan berkeliling. Dicobanya
untuk mengingat-ingat peris-tiwa yang baru saja dialami, hingga tidak sadarkan
diri. Dan sekarang, tahu-tahu dirinya sudah berada di sebuah kamar yang sangat
indah berukuran besar. Kembali pandangan Rangga beredar ke sekeliling.
Benar...! Dia berada dalam sebuah kamar yang
ruangannya ditata indah sekali. Bagaikan berada di dalam kamar seorang raja.
Perlahan Rangga meng-geliatkan tubuhnya. Mulutnya meringis, menahan nyeri pada
persendian tubuhnya. Namun dengan memaksakan diri, akhirnya pemuda berbaju
rompi putih itu bisa duduk di tepi pembaringan.
"Kau sudah bangun rupanya, Rangga...."
"Eh...?!" Rangga tersentak kaget begitu
tiba-tiba sja terdengar suara lembut tidak jauh di samping kanannya.
Pendekar Rajawali Sakti menoleh. Sungguh dia tidak
tahu kalau dirinya tidak sendirian di kamar ini. Ternyata ada seorang wanita
berparas cantik bagai bidadari di kamar ini. Dia duduk di sebuah kursi yang
sangat besar, terbuat dari kayu berukir dan beralaskan beludru halus berwarna
biru laut.
"Dewi Penguasa Samudera...," desis Rangga
mengenali wanita cantik itu.
Wanita yang dikenal bernama Dewi Penguasa Samudera
itu tersenyum manis sekali. Rangga cepat memalingkan wajah ketika wanita itu
menggerakkan tubuhnya. Baru disadari, kalau pakaian yang dikenakan Dewi
Penguasa Samudera ini begitu tipis. Bahkan terlalu banyak belahannya, sehingga
beberapa bagian tubuhnya menyembul keluar.
"Kau benar-benar menepati janjimu, Rangga. Aku
sungguh kagum. Karena belum ada seorang pun yang hasil melewati lorong cahaya
dengan selamat," jelas Dewi Penguasa Samudera. Suaranya terdengar lembut
"Aku datang bukan untukmu, Dewi Penguasa
Samudera," sahut Rangga tanpa berpaling sedikit pun.
Rangga tahu, sekali saja terperangkap, sukar untuknya
melepaskan diri. Wanita ini memiliki daya yang begitu kuat dalam melemahkan
hati laki-laki. Selama ini, tak seorang pun yang sanggup menolak bila Dewi
Penguasa Samudera melemparkan jerat yang dikenal dengan 'Jerat Penyebar
Asmara'. Dan Rangga juga tahu, kalau kekuatan dari jerat itu bersumber di
matanya!
"Kembalikan Pandan Wangi, atau terpaksa
istanamu ini kuobrak-abrik!" ancam Rangga.
"Ah! Kau tidak perlu mengancam seperti itu,
Rangga. Periksalah seluruh istanaku ini. Tidak ada yang bernama Pandan Wangi di
sini," tetap lembut nada suara Dewi Penguasa Samudera.
"Kau pikir aku percaya pada omonganmu...?'
dengus Rangga ketus seraya turun dari pembaringan. Kemudian, dia bangkit
berdiri.
Dewi Penguasa Samudera hanya tersenyum saja. Dia
juga bangkit dari duduknya, lalu berjalan genit menghampiri Pendekar Rajawali
Sakti. Langkahnya berhenti tepat sekitar dua tombak didepan Rangga. Senyumnya
tetap mengembang, dan matanya me-mancarkan kekuatan dahsyat yang menggoda.
Rangga mulai merasakan adanya tarikan kuat yang
mengganggu lubuk hatinya. Namun Pendekar Rajawali Sakti tetap berusaha bertahan
agar tidak tergoda. Sedapat mungkin, Pendekar Rajawali Sakti berusaha
mengalihkan pandangan dari mata wanita cantik ini. Dia cepat melangkah mundur
saat tangan Dewi Penguasa Samudera menjulur ke arah dadanya.
"Ternyata kau lebih sulit dari dugaanku,
Rangga," ujar Dewi Penguasa Samudera.
"Jangan paksa aku untuk bertindak kasar
padamu, Nisanak!" dengus Rangga.
Dewi Penguasa Samudera tertawa renyah. Begitu merdu
suara tawanya, membuat jantung Rangga sempat tergelitik. Entah bagaimana,
Pendekar Rajawali Sakti menatap tajam ke arah bola mata Dewi Penguasa Samudera.
Namun cepat wajahnya di-palingkan, begitu terasa dadanya berdebar kencang.
"Setan...!" dengus Rangga dalam hati.
"Sampai kapan aku dapat bertahan...? Wanita ini benar-benar cantik. Tapi
aku tidak boleh tergoda! Sekuat apa pun daya tarikmu. Aku tidak boleh
tergoda!"
Sambil mendengus, Pendekar Rajawali Sakti melangkah
mendekati pintu yang tertutup rapat Sedangkan Dewi Penguasa Samudera hanya
memandangi saja. Bibirnya tetap menyunggingkan senyuman yang manis sekali.
Rangga mencoba membuka pintu. Tapi begitu menyentuh gagang pintu, mendadak
saja....
"Akh...!" Cepat Rangga menarik tangannya.
Pendekar Rajawali Sakti seperti tersengat ribuan lebah, saat tangannya
menyentuh gagang pintu. Rangga melangkah mundur beberapa tindak, tidak
mempedulikan Dewi Penguasa Samudera yang tertawa melihat tingkahnya.
"Hup...!" Rangga mengerahkan tenaga
dalamnya. Tangannya diletakkan di samping dada, dengan jari-jari tangan
terkembang merapat Kedua kakinya ditarik terbuka cukup lebar. Tatapan matanya
tajam, harus ke pintu. Sebentar napasnya ditahan, lalu dalamnya disalurkan ke
telapak tangan.
"Apa yang kau lakukan, Rangga?" Tanya
Penguasa Samudera. Nada suaranya terdengar meremehkan.
"Persetan dengan kau...! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak nyaring, Rangga melompat seraya
menghentakkan kedua tangannya ke depan. Tepat begitu kedua telapak tangan
Pendekar Rajawali Sakti menghantam daun pintu, terdengar ledakan dahsyat
menggelegar.
"Akh...!" Rangga terpekik tertahan.
Tubuhnya kembali terpental balik ke belakang, jatuh bergulingan di lantai yang
dingin dan licin berkilat Namun, Pendekar Rajawali Sakti cepat bangkit berdiri.
Kedua matanya agak terbeliak tidak percaya melihat daun pintu itu tetap kokoh,
sedikit pun mengalami kerusakan.
"Ha ha ha...!" Dewi Penguasa Samudera
tertawa terbahak-bahak.
"Huh!" dengus Rangga kesal.
"Kau tidak akan bisa keluar dari sini tanpa
seizinku, Rangga."
Rangga tidak mempedulikan kata-kata bemada ejekan
itu. Kembali didekatinya pintu yang masih kokoh tertutup rapat Dia sadar, kalau
saat ini berada di dunia lain. Bukan dunia nyata, tempat makhluk liidup
bertubuh kasar dan memiliki roh hidup. Tapi berada di dunia halus. Dan mereka
yang tinggal di sini hanya merupakan roh, tanpa jasad kasar.
"Akan kucoba dengan aji 'Batara Naga',"
gumam Kangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti segera mempersiapkan aji
'Batara Naga' yang didapat dari Satria Naga Emas. Kedua tangannya dikepal erat,
sejajar pinggang. Perlahan kaki kanannya ditarik ke belakang. Lalu kaki kiri
tertekuk, hingga tubuhnya sedikit rendah. Tatapan matanya tertuju lurus ke arah
pintu.
"Hup!"
Cepat sekali Rangga menjulurkan tangan kiri ke
lepan, lalu cepat memutarnya bagai baling-baling. Dan begitu kakinya ditarik
hingga merapat kembali, dengan cepat tangan kanannya menghentak ke depan seraya
menarik tangan kiri kembali sejajar pinggang. "Hiyaaat...!"
Bagaikan kilat, Rangga melompat begitu tangan
kanannya kembali ditarik sejajar pinggang. Lalu, kedua tangannya yang terkepal,
cepat dihentakkan menghantam daun pintu yang kokoh tertutup rapat itu.
Glarrr...!
Kembali terdengar ledakan dahsyat saat Rangga
menghantamkan pukulan yang mengandung ajian 'Batara Naga' ke pintu itu. Seluruh
dinding kamar ini jadi bergetar, bagaikan diguncang gempa. Rangga melentingkan
tubuh ke belakang, saat mendengar suara berderak.
"Yeaaah...!"
Begitu melihat pintu itu roboh, Rangga cepat
melesat keluar. Hal ini membuat Dewi Penguasa Samudera, terkejut. Sama sekali
tidak disangka kalau Ranga dapat menjebol pintu.
"Hei! Kembali...!" teriak Dewi Penguasa
Samu dera.
Tapi terlambat Rangga sudah cepat menghilang. Dewi
Penguasa Samudera mendengus sambil meng-hentakkan kakinya ke lantai. Bergegas
didekatinya meja kecil yang berada di sudut ruangan ini. Sambil mendengus
kesal, digebraknya meja kecil itu dengan keras.
Brak!
"Kemari kalian...!" bentak Dewi Penguasa
Samudera.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di tengah
ruangan ini muncul seorang pemuda berwajah cukup tampan, bersama empat orang
tua. Mereka membungkuk, merapatkan satu tangan kanan di dada untuk memberi
hormat pada Dewi Penguasa Samudera. Mereka adalah Pangeran Argabaja dan empat
orang pengawalnya yang sudah berusia lanjut.
"Kalian tangkap anak itu, tapi jangan sampai
terluka," perintah Dewi Penguasa Samudera.
"Hamba laksanakan, Kanjeng Dewi," sahut
Pangeran Argabaja.
Tanpa menunggu perintah dua kali, mereka bergas
meninggalkan ruangan itu. Sementara Dewi Penguasa Samudera menghempaskan diri
di atas pembaringan dengan kesal.
"Rangga.... Huh! Kau akan berlutut di
kakiku!" lengus Dewi Penguasa Samudera. "Tidak mungkin ada yang
menolak keinginanku! Kau harus menyerah dan berlutut di kakiku, Rangga.
Harus...!"
***
Sementara itu, Rangga sudah sampai di luar bangunan
istana yang megah. Dia tidak tahu kalau sekarang ini berada di bagian belakang
istana yang merupakan sebuah dataran luas berbatu-batu. Rangga menghentikan
larinya. Dia tertegun sejenak, memandangi sekitarnya. Di tempat ini, begitu
banyak orang. Semuanya laki-laki muda, dan hanya mengenakan cawat dari
rerumputan.
Para laki-laki-muda itu tampak tengah sibuk bekerja
menghancurkan batu dan mengangkutnya ke tempat yang cukup jauh. Tampaknya
mereka tengah membangun sebuah benteng batu yang sangat luas. Tidak nampak ada
matahari, tapi keadaan di tempat ini sangat terang bagaikan siang hari. Tak ada
seorang pun dari mereka yang memperhatikan kedatangan Pendekar Rajawali Sakti.
Seakan-akan, mereka tidak telihat ada orang lain di dekatnya. Rangga mendekati
salah seorang yang sedang mengumpulkan bongkahan batu.
"Kisanak...," tegur Rangga.
Tapi orang itu tidak mempedulikan teguran Ranga.
Malah terus saja sibuk bekerja, mengumpulkan bongkahan batu. Seakan-akan dia
tidak mendengar teguran itu. Rangga menjulurkan tangannya, hendak menyentuh
pundak orang itu. Tapi....
"Heh...?!"
Pendekar Rajawali Sakti terkejut bukan main. Sama
sekali dia tidak merasakan menyentuh sesuatu. Padahal, tangannya jelas-jelas
memegang pundak laki-laki muda yang berusia sebaya dengannya. Sepertinya tangan
Rangga menyentuh bayangan saja. Begitu hampa, bagai angin. Rangga menarik
kakinya ke belakang satu tindak. Diperhatikannya orang itu beberapa saat.
"Kisanak...," kembali Rangga menegur
serai menyentuh pundak orang itu.
Tetap saja orang itu tidak memperhatikan, dan terus
sibuk bekerja mengumpulkan batu, lalu memasukkannya ke dalam keranjang bambu.
Rangga jadi kebingungan. Didekatinya seorang lagi, dan mencoba menegumya. Namun
tetap saja tidak mendapatkan sambutan. Beberapa orang sudah didekati. Mereka
semua sama saja. Seperti bayangan hidup!
"Apakah mereka bukan manusia? Kenapa tubuhnya
tidak tersentuh olehku...?" Rangga jadi bertanya-tanya sendiri di dalam
hati.
Memang, sebenamya mereka adalah pemuda-pemuda yang
pernah menjadi suami Dewi Penguasa Samudera selama satu tahun. Begitu sudah
tidak terpakai lagi, mereka dibunuh. Lalu, mayatnya di-lempar ke dunia fana
lagi, di pinggir pantai. Sedangkan rohnya harus menjadi budak Dewi Penguasa
Samudera untuk selama-lamanya.
Perhatian Pendekar Rajawali Sakti kini beralih ke
sebuah bangunan batu yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Bangunan batu itu
hanya memiliki satu pintu pada bagian depan, dan di sekelilingnya terdapat
banyak jendela kecil berjeruji besi. Bangunan itu lebih tepat bila dikatakan
sebuah bangunan penjara. Rangga jadi tertarik untuk mengetahui lebih jelas
lagi. Bergegas kakinya diayunkan mendekati bangunan batu yang lebih mirip
penjara itu.
Timbul rasa keheranannya, karena tidak teriihat ada
seorang pun yang menjaga pintu bangunan ini. Dan memang tidak terlihat adanya
penjaga di sekitar tempat ini, seperti layaknya sebuah istana yang dikelilingi
para prajurit penjaga. Dan orang-orang aneh itu.... Tidak satu pun dari mereka
yang memperhatikan Pendekar Rajawali Sakti.
Perlahan Rangga membuka pintu bangunan itu. Suara
berderit dari engsel pintu yang terbuat dari lempengan besi baja itu terbuka
perlahan-lahan. Keadaan di dalam bangunan itu sangat terang, meskipun tidak
satu pun terlihat adanya penerang disana. "Kosong...," desis Rangga
bergumam.
"Apa yang kau cari di sini, Rangga...?"
"Heh...?!"
Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba saja dengar
teguran dari arah belakang. Dan belum Pendekar Rajawali Sakti sempat berpaling,
mendadak punggungnya terasa dihantam keras.
Diegkh!
"Akh...!" Rangga terpekik tertahan.
Pendekar Rajawali Sakti terjajar ke dinding
bangunan batu ini, namun cepat menguasai diri dan berbalik. Di depannya kini
berdiri seorang pemuda tampan mengenakan baju indah dari sutra. Di kang pemuda
itu berdiri dua orang wanita tua dan orang laki-laki lanjut usia. Rangga mengenali
mereka, karena memang sudah pernah bertemu sebelumnya.
"Pangeran Argabaja...," desis Rangga
seraya natap tajam pemuda yang berusia sebaya dengannya,
Pemuda berwajah tampan berpakaian indah hanya
tersenyum saja. Sementara Rangga menggeser kakinya sedikit ke kanan.
Diperhatikannya empat orang tua di belakang Pangeran Argabaja yang sudah mulai
bergerak menyebar.
"Di mana kau sembunyikan Pandan Wangi?"
Tanya Rangga langsung, dengan suara keras.
"Tidak ada yang bernama Pandan Wangi di sini
Rangga," sahut Pangeran Argabaja.
"Kau pikir aku percaya...?" dengus Rangga
sengit
"Kau bisa lihat sendiri di sini. Tidak ada
satu wanita yang bernama Pandan Wangi. Sebaiknya jangan mencari kesulitan,
Rangga. Kanjeng Ratu cukup senang padamu. Kau bisa hidup senang di sini. Apa
saja yang kau inginkan, bisa mudah terlaksana," bujuk Pangeran Argabaja.
"Jangan coba-coba membujukku, Argabaja."
"Sayang..., sikapmu itu akan menyulitkan
dirimu sendiri, Rangga."
"Aku tidak punya waktu meladenimu! Serahkan
saja Pandan Wangi!" bentak Rangga semakin gusar.
Pangeran Argabaja tersenyum lebar. Kepalanya
mengegos sedikit ke kanan. Maka dua orang wanita iua yang selalu
mendampinginya, melompat maju. mendekati Rangga. Tongkat kayu hitam yang berada
di dalam genggaman tangan mereka, tersilang di depan dada. Sedangkan Rangga
sudah bisa menyadari, apa yang bakal terjadi terhadap dirinya.
"Masih ada kesempatan untuk merubah sikap,
Rangga. Kanjeng Ratu pasti akan memaafkan sikapmu," bujuk Pangeran
Argabaja lagi. Nada suaranya tetap terdengar lunak dan lembut.
"Majulah kalian. Aku ingin tahu, sampai di
mana kehebatan makhluk-makhluk dasar samudera!" tantang Rangga langsung.
Memang tidak ada pilihan lain lagi bagi Pendekar
Rajawali Sakti itu. Disadari, sikap yang lemah akan membuat dirinya semakin
tidak berdaya. Dan semua inii memang sudah diperhitungkan sejak semula. Yang
jelas, segala rintangan harus dihadapi. Hanya satu yang menjadi tujuannya,
mendapatkan kembali Pandan Wangi dalam keadaan selamat.
"Kau memilih jalan yang terburuk, Rangga. Kau
akan menyesal telah menantang kami," ancam Pangeran Argabaja.
Setelah berkata demikain, Pangeran Argabaja menepuk
tangannya dua kali. Maka dua orang wanita tua bersenjata tongkat kayu hitam,
berlompatan menyebar ke samping kanan dan kiri Pendekar Rajawali Sakti. Mereka
memutar-mutar tongkatnya dengan cepat hingga menimbulkan suara angin yang
menderu bagai topan. Rangga cepat menggeser kaki belakang dua tindak. Dirasakan
putaran tongkat itu mengandung hawa panas yang semakin lama semakin terasa
menyengat kulit
"Hep...!"
Cepat Pendekar Rajawali Sakti menahan napas lalu
memindahkan jalan pernapasan dari hidung pusar di perutnya. Langsung terasa
kalau putaran tongkat berhawa panas itu mengandung racun yang dapat membuat
kesadarannya menghilang. Racun itu memang tidak berbahaya, tapi dapat membuat
daya pikirnya hilang. Dengan cara memindahkan per-napasan, sangat kecil
kemungkinan bisa terpengaruh racun itu.
Trak!
Tiba-tiba saja kedua wanita tua yang dikenal Rangga
bernama 'Nyai Amoksa dan Nyai Sutirani menghentakkan tongkat secara bersamaan
ke tanah berbatu. Tampak asap kebiru-biruan mengepul pada ujung tongkat kayu
berwarna hitam itu. Dan secepat kilat, secara bersamaan mereka beriompatan
menyerang.
Rangga cepat menarik tubuh ke belakang. Dan secepat
itu pula, kedua tangannya dihentakkan hingga terentang lebar ke samping dengan
lebar. Kedua kakinya ditekuk kedepan, hingga lututnya hampir menyentuh tanah.
Begitu Nyai Amoksa dan Nyai Sutirani berada di udara, Rangga cepat sekali
melesat ke udara dengan tangan mengembang lebar. Pendekar Rajawali Sakti
mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', salah satu jurus ampuh dari
rangkaian lima lurus rajawali.
Bet!
Bet!
Cepat sekali kedua tangan Rangga bergerak mengebut
ke arah dua batang tongkat yang melayang deras mengancam kepalanya. Tak pelak
lagi, benturan keras pun terjadi. Akibatnya, terjadilah ledakan dahsyat
lenggelegar. Rangga melentingkan tubuhnya lebih tinggi ke udara. Setelah
berputaran beberapa kali, kemudian jurusnya cepat dirubah menjadi 'Rajawali
Menukik Menyambar Mangsa.
"Hiyaaa...!"
Jurus ini memang tidak mungkin digunakan untuk
menyerang dua lawan sekaligus. Dan Rangga memilih Nyai Sutirani yang berada
paling dekat dengannya. Kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat bagai
berputar, mengincar kepala Nyai Sutirani namun wanita tua itu cepat sekali
mengegoskan kepalanya, menghindari incaran kaki pemuda berbaju rompi putih ini.
Dan tanpa diduga sama sekali, tongkatnya dikebutkan ke atas.
Bet'
"Uts! Yeaaah...!"
Rangga cepat melentingkan tubuh, lalu berputaran di
udara. Tindakan ini diambil untuk menghindari sabetan tongkat wanita tua itu.
Ringan sekali kakinya mendarat kembali di tanah berbatu, sekitar dua tombak
jauhnya dari Nyai Sutirani. Namun belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa
menarik napas lega, Nyai Amoksa sudah kembali menyerang cepat luar biasa.
"Hiyaaat..!"
"Hup! Yeaaah...!"
Rangga cepat mengegoskan tubuh, menghindari tusukan
ujung tongkat kayu hitam yang runcing itu. Dan begitu terhindar dari ancaman
maut itu, dengan cepat sekali tangan kanannya bergerak mengibas ke lambung Nyai
Amoksa. Begitu cepatnya serangan balasan yang dilakukarmya, sehingga Nyai
Amoksa tidak sempat lagi menghindar.
Begkh!
"Akh...!" Nyai Amoksa memekik tertahan.
Wanita tua itu terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap lambungnya yang
terkena sodokan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Rangga cepat melompat
ke belakang sejauh tiga tindak, Hatinya agak terkejut juga melihat Nyai Amoksa
bisa cepat menguasai diri, dan kembali berdiri tegak. Padahal tadi todokannya
mengandung pengerahan tenaga dalam penuh. Dan biasanya, jika orang yang terkena
sodokannya, perut lawan akan terburai pecah. Tapi Nyai Amoksa sama sekali tidak
mengalami luka sedikit pun luga. Bahkan malah tersenyum dengan mata berbinar.
Belum lagi hilang rasa keterkejutan Pendekar
Rajawali Sakti, mendadak saja dari arah lain datang serangan yang dilancarkan
Nyai Sutirani. Wanita tua ini melompat cepat bagai kilat seraya mengibaskan
tongkat ke arah dada Rangga. Namun pemuda berbaju rompi putih itu manis sekali
dapat meng-hindarinya. Tubuhnya ditarik sedikit ke samping, dan tangannya cepat
bergerak menangkis tongkat itu.
Tak!
Rangga cepat melompat mundur begitu dapat
menghindari serangan yang begitu cepat dan tidak terduga sama sekali. Namun
hatinya jadi terkejut, karena Nyai Sutirani bisa berbalik cepat tanpa menyentuh
tanah sedikit pun. Wanita tua itu kembali melakukan serangan gencar. Sabetan
dan tusukan tongkatnya Segitu cepat dan keras. Dan setiap gerakan tongkatnya,
mengandung hawa panas menyengat kulit.
Rangga agak kewalahan juga menghadapi
serangan-serangan yang dilancarkan Nyai Sutirani. Dan Pendekar Rajawali Sakti
semakin kelabakan, begitu Nyai Amoksa ikut menyerang. Hal ini membuatnya harus
berjumpalitan menghindari serangan-serangan yang datang bagai gelombang itu.
"Hhh! Aku tidak mungkin menghadapi mereka
dengan tangan kosong. Terlalu berbahaya...," Rangga dalam hati.
Menyadari kalau jurus-jurus yang dimiliki wanita
tua itu sangat dahsyat, Rangga cepat melentingkan tubuh ke udara. Setelah
beberapa kali berputaran, lalu manis sekali kakinya mendarat di atas se-bongkah
batu yang cukup besar. Cepat-cepat pedang-nya yang tersampir di punggung
ditarik.
Sret! Cring...!
LIMA
Seketika itu juga, cahaya biru terang menyemburat
menyilaukan mata ketika Rangga mencabut pedangnya. Nyai Amoksa dan Nyai
Sutirani seketika melompat mundur. Mata mereka terbeliak, dan mulut ternganga
melihat pamor pedang di tangan Rangga yang begitu luar biasa dahsyatnya. Bukan
hanya kedua wanita tua itu saja yang terkejut melihat pedang di tangan Kangga.
Bahkan Pangeran Argabaja dan dua orang laki-laki tua yang masih mendampingi di
sampingnya ikut ternganga melihat pamor pedang itu. Mereka seakan-akan tidak
percaya dengan apa yang disaksikannya. Mereka bagaikan melihat sosok dewa yang
baru turun dari kahyangan.
"Ayo! Maju kalian semua jika ingin merasakan
tajamnya pedangku!" bentak Rangga menantang.
Pendekar Rajawali Sakti sudah tidak dapat lagi
menahan kesabarannya, karena benar-benar merasa dipermainkan dan dianggap
rendah. Sebenarnya bukan itu saja persoalannya. Kemarahannya timbul karena
mereka sama sekali tidak mau mengakui kalau telah menculik Pandan Wangi.
Padahal Rangga melihat dengan mata kepala sendiri kalau mereka telah membawa
Pandan Wangi, masuk ke dalam laut setelah mengurung dirinya di sebuah tempat di
dalam tanah.
Dan kini, lima orang itu malah melangkah mundur
perlahan. Empat orang tua itu berdiri berjajar mengapit Pangeran Argabaja.
Sikap mereka benar-benar seperti melindungi pemuda tampan ini.
Sementara Rangga sudah menyilangkan pedang di depan
dada. Pandangan matanya menyorot tajam, seakan-akan hendak menelan kelima orang
yang berdiri di depannya bulat-bulat.
"Kanjeng Pangeran, sebaiknya hal ini
diberitahukan pada Kanjeng Ratu," bisik Ki Sundrata pelan.
"Benar, Kanjeng Pangeran. Tidak mungkin kita
bisa menangkapnya. Pedang pusaka itu berbahaya sekali," sambung Ki Pulung.
"Baiklah, akan kuberitahukan pada Kanjeng
Ratu. Dan sementara aku pergi, kalian tetap berusaha menahannya di sini,"
ujar Pangeran Argabaja.
"Akan kami usahakan, Kanjeng Pangeran,"
jawab Ki Sundrata.
Pangeran Argabaja bergegas memutar tubuhnya, lalu
berlari kencang meninggalkan tempat itu. Rangga yang melihat pangeran muda itu
hendak pergi, tidak ingin membiarkan begitu saja. Karena Pendekar Rajawali
Sakti telah memastikan kalau Pangeran Argabajalah yang harus bertanggung jawab
atas hilangnya Pandan Wangi.
"Jangan lari kau! Hiyaaa...!"
Begitu Rangga melompat hendak mengejar Pangeran
Argabaja, secepat kilat empat orang tua Ianjut usia melesat menghadang Pendekar
Rajawali Sakti. Hampir bersamaan, mereka mengibaskan tongkat ke arah Pendekar
Rajawali Sakti yang melayang di udara
"Pengecut..!
Uts!" Rangga jadi geram setengah mati atas
sikap empat orang tua yang menghadangnya. Kalau saja Pendekar Rajawali Sakti
tidak segera melentingkan tubuh ke belakang, pasti ujung-ujung tongkat runcing
itu merobek tubuhnya. Dua kali pemuda berbaju rompi putih itu berputaran di
udara, lalu manis sekali mendarat di tanah berbatu, sejauh tiga batang tombak
dari empat orang tua itu.
"Jangan biarkan dia keluar dari sini...!"
seru Ki Sundrata.
Belum lagi hilang suara laki-laki tua itu, tiga
orang tua lainnya segera berlompatan mengepung Rangga. Mereka bergerak berputar
sambil mengayun-ayunkan tongkat, mengelilingi Pendekar Rajawali Sakti. Mereka
seakan-akan membentuk rantai hidup yang mengurung pemuda berbaju rompi putih
ini.
"Kalian pikir bisa mencegahku dengan cara
begitu, heh?!" dengus Rangga sengit. "Tahan ini...! Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melesat ke
depan. Seketika pedangnya dikebutkan kuat-kuat disertai pengerahan tenaga dalam
sempurna. Begitu sempurnanya tenaga dalam yang dikeluarkan Pendekar Rajawali
Sakti, sampai-sampai membuat deru angin bagaikan topan yang siap menghancurkan
daerah berbatu ini.
Glarrr...!
Ledakan keras terdengar menggelegar begitu mata
pedang Rangga menghantam sebongkah batu yang sangat besar. Seketika bayangan
lingkaran yang mengelilingi Pendekar Rajawali Sakti mendadak saja lenyap.
Tampak empat orang tua yang berputaran megelilingi pemuda itu berpentalan ke
belakang sambil memekik keras tertahan. "Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Rangga melesat cepat meninggalkan
tempat itu. Pada saat yang sama, keempat orang tua yang bergelimpangan telah
bisa bangkit berdiri. Mereka bergegas hendak mengejar. Namun mendadak saja....
"Tahan...!"
Empat orang lanjut usia itu tidak jadi mengejar.
Tubuh mereka diputar, dan langsung berlutut begitu melihat seorang wanita
cantik berbaju biru muda tahu-tahu sudah berada di tempat berbatu ini. Di
samping wanita cantik itu berdiri Pangeran Argabaja.
"Bangunlah kalian," ujar wanita cantik
yang ternyata Dewi Penguasa Samudera.
"Maafkan kami, Kanjeng Ratu. Kami tidak
sanggup menahan pemuda itu lebih lama lagi," ucap Ki Sundrata mewakili
yang lainnya.
"Dia memang bukan lawan kalian.
Berdirilah," ujar Dewi Penguasa Samudera, lembut.
Keempat orang tua itu bangkit berdiri. Kembali
nereka memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung,
kemudian menyingkir agak ke tepi. Sementara Dewi Penguasa Sam memandang lurus
ke arah kepergian Rangga tadi.
"Pergilah. Masih banyak yang harus kalian
kerjakan," ujar Dewi Penguasa Samudera lagi.
Tanpa membantah sedikit pun, keempat orang itu
segera meninggalkan tempat berbatu ini, memberi sembah penghormatan sekali
lagi. Sementara Pangeran Argabaja masih tetap mendampingi cantik itu di
sampingnya.
"Bagaimana, Kanjeng Ratu...? Apakah Kanjeng
Ratu tetap tidak ingin melenyapkannya?" Tanya Pangeran Argabaja setelah
empat orang tua pengawal tidak terlihat lagi.
"Apa kau tidak bisa menghilangkan sebutan itu,
Argabaja?!" dengus Dewi Penguasa Samudera tanpa menjawab pertanyaan pemuda
di sampingnya.
"Maaf, Kanda Dewi," ucap Pangeran
Argabaja.
"Itu lebih baik, Argabaja. Bagaimanapun juga,
kau adalah adikku. Dan aku tidak suka kalau kau tetap memanggilku Kanjeng Ratu.
Aku masih bisa menerima jika di depan orang lain."
"Akan kuingat, Kanda Dewi."
Dewi Penguasa Samudera diam membisu. Pandangannya
tetap tidak beralih ke arah kepergian Rangga. Sedangkan Pangeran Argabaja ikut
terdiam. Dia menyesal, karena lupa menyebut wanita cantik ini dengan panggilan
Kanjeng Ratu.
Dan memang, Dewi Penguasa Samudera selalu
menganggap Argabaja adiknya. Padahal di antara mereka tidak ada turunan darah
sama sekali. Hanya saja Argabaja tidak ingin mengecewakan wanita cantik ini.
Dan dia tahu, apa akibatnya jika menolak. Keinginan wanita ini. Baginya, tidak
ada persoalan sama sekali bila dianggap adik. Malahan, dia memiliki kekuasaan
di daerah ini, meskipun segala yang dilakukannya harus setahu dan disetujui
Dewi Penguasa Samudera. Namun dalam beberapa hal, wanita ini membebaskan
Argabaja bertindak, sebatas tidak merugikan dan mengancam keutuhan kerajaan
dasar samudera ini.
"Hm... Dia memang membawa pedang pusaka
itu," nada suara Dewi Penguasa Samudera terdengar bergumam, seakan-akan
bicara pada dirinya sendiri. Tapi apakah mungkin dia jelmaan Pendekar Rajawali?
Rasanya tidak mungkin dia itu...., ah! Meskipun Rangga berjuluk Pendekar
Rajawali Sakti, dan sekarang sudah berada di sini, rasanya tidak mirip
dengan...."
"Kanda Dewi masih saja suka mengenang masa
lalu. Apakah masa lalu tidak bisa dilupakan?" potong Argabaja cepat
Dewi Penguasa Samudera hanya tersenyum saja. Dia tahu
kalau adiknya ini tidak pernah menyukai kenangan masa lalu. Sering Argabaja
menasihatkan agar dia melupakan masa lalu. Tapi bagi Dewi Penguasa Samudera,
masa lalu merupakan kenangan yang tidak bisa dilupakan. Memang mudah untuk
bicara, tapi rasanya sukar melupakan kenangannya bersama Pendekar Rajawali.
Kenangan yang begitu berkesan dan manis, tapi juga
menyakitkan hati. Hingga kini, rasa sakit itu masih tetap membekas. Bahkan
berkembang menjadi sebuah dendam yang tidak pernah pupus selama jiwanya masih hidup.
Hal ini sudah berlangsung puluhan tahun lamanya. Bahkan sudah mencapai seratus
tahun lebih namun tetap saja tidak bisa terlupakan begitu saja. Dan di hatinya
telah timbul suatu tekad yang berasal dari rasa sakit hati. Kemudian rasa sakit
hati berkembang menjadi dendam yang hanya dirinya saja yang tahu. Bahkan
Argabaja sendiri tidak tahu, apa yang terkandung di balik dinding hati wanita
cantik ini.
"Ayo kita ke sana, Argabaja," ajak Dewi
Penguasa Samudera, setelah bisa melupakan kenangan lalunya.
"Ke mana?" Tanya Argabaja.
"Kita temui Pendekar Rajawali Sakti. Aku tahu
di mana dia sekarang berada," sahut Dewi Penguasa Samudera.
Argabaja tidak bisa membantah. Diturutinya saja
keinginan wanita cantik yang entah sudah berapa puluh tahun usianya, tapi masih
saja kelihatan cantik bagai gadis remaja berusia tujuh belasan tahun. Mereka
kemudian berjalan bersisian, namun tapak kaki sama sekali tidak menyentuh
tanah. Mereka bagaikan berjalan di atas angin saja.
***
Sementara itu, Rangga kini sudah berada di sebuah
hutan yang tidak begitu lebat Dia berhenti berlari di bawah sebatang pohon yang
sangat besar dan rimbun daunnya. Pendekar Rajawali Sakti menghempaskan tubuhnya
di atas akar yang menyembul keluar dari dalam tanah. Disekanya keringat yang
membanjiri wajah dan leher. Entah sudah berapa lama dia berlari, tapi tidak
juga menemukan apa yang dicarinya.
"Hhh..., daerah ini begitu luas. Aku tidak
tahu lagi, ke mana harus mencari Pandan Wangi. Apakah aku harus kembali ke
istana itu lagi...?" Rangga berbicara pada dirinya sendiri.
Pandangan Pendekar Rajawali Sakti beredar ke
sekeliling. Dan mendadak saja dirasakan ada sesuatu yang janggal di hutan ini.
Tidak ada suara sama sekali. Bahkan suara burung atau serangga pun tidak
terdengar. Udara di hutan ini begitu sejuk, tapi sama sekali tidak terasa
adanya hembusan angin. Perlahan-lahan Kangga bangkit berdiri. Sikapnya langsung
waspada. Perasaannya mengatakan, kalau ada bahaya yang ngancam dirinya. Dan
belum lagi dapat berpikir panjang, mendadak saja....
"Heh...?!"
Akar pohon yang tadi didudukinya tiba-tiba menjadi
hidup, dan langsung menjalar cepat membelit kakinya. Rangga tersentak kaget.
Cepat dia mencoba melepaskan belitan akar itu. Namun belum juga berhasil
melepaskan belitan akar itu, pohon-pohon disekitarnya mendadak saja bergerak
hidup. Ranting ranting pohon menjulur hendak menangkap Pendel Rajawali Sakti.
"Apa ini...? Kenapa mereka jadi
hidup...?"
Rangga tidak sempat lagi berpikir terlalu jauh.
Cepat-cepat kekuatan tenaga dalamnya dipusatka Lalu dengan keras sekali akar
yang membelit kakinya dihantam. Seketika akar itu hancur remuk. Cepat-cepat
Pendekar Rajawali Sakti melompat mundur. Namun belum juga sempat menarik napas
lega, belakangnya menjulur sebatang pohon bambu. Langsung dibelitnya pinggang
pemuda itu.
"Hih! Yeaaah...!"
Cepat Rangga memberikan tebasan tangan kiri pada
pohon bambu yang hidup dan membelit pinggangnya. Batang pohon bambu itu patah,
bagaikan ditebas sebilah golok tajam. Rangga bergegas melompat kembali, dan
cepat berlari menjauhi tempat itu. Namun belum juga berlari jauh, pepohonan di
sekitarnya bergerak merapat, seperti hendak mengurungnya hutan ini. Rangga
semakin kebingungan dan tidak mengerti. Dia berhenti berlari. Dipandanginya
pohon pohon yang terus bergerak perlahan mendekati.
"Benar-benar tempat siluman...! Hhh.... Apa
yang harus kulakukan sekarang...?"
Rangga terus memutar otaknya, mencari keluar dari
kepungan pepohonan yang bergerak hidup ini. Rasanya memang tidak ada jalan
untuk bisa meloloskan diri, kecuali.... Pendekar Rajawali Sakti mendongakkan
kepala ke atas.
"Oh! Kalau saja Rajawali Putih bisa
mendengarku...," bisik Rangga dalam hati.
Namun Pendekar Rajawali Sakti itu tidak ingin
banyak berharap dapat pertolongan dari burung rajawali raksasa sahabatnya.
Disadari kalau saat ini berada di alam lain daerah siluman, di dasar laut Tidak
mungkin Rajawali Putih bisa mendengar, meskipun memanggilnya dengan siulan sakti.
Rangga terus berpikir keras, mencari jalan keluar. Sementara pohon-pohon di
sekitarnya terus bergerak semakin dekat.
"Khraaaghk...!"
"Heh...?!"
Hampir saja jantung Pendekar Rajawali Sakti copot,
ketika tiba-tiba saja terdengar suara nyaring begitu keras dan agak serak.
Suara itu demikian jelas terdengar memecah angkasa, dan sangat dikenali Rangga.
Hampir dia tidak percaya terhadap pen-dengarannya, dan menganggap itu hanya
khayalannya saja. Tapi ketika melihat ada bayangan besar di atas kepalanya, hatinya
langsung gembira. Kepalanya didongakkan ke atas, dan melihat Rajawali Putih
melayang-layang di atas kepalanya. Begitu besar dan gagah sekali.
"Khraghk...!"
"Rajawali Putih! Cepat ke sini...!"
teriak Rangga kencang.
"Khraaaghk...!"
Tapi burung raksasa itu seperti tidak mendengar
seruannya. Burung itu tetap melayang-layang berputaran di atas kepala pemuda
itu. Hal ini membuat Rangga jadi keheranan atas sikap Rajawali Putih Kembali
Pendekar Rajawali Sakti memanggil dan meminta Rajawali Putih turun mengambilnya.
Namun tetap saja burung rajawali raksasa itu, tidak mendengarkan.
"Hm.... Kenapa dia tidak mau turun? Apa Karena
po
Gumaman Rangga terhenti mendadak. Hatinya terkejut,
karena di sekitarnya tidak ada lagi pepohonan yang hidup mengepungnya. Semua
pohon di sekelilingnya tampak diam tak bergerak sedikit pun. Rangga jadi
tertegun, semakin tidak mengerti atas semua kejadian yang dialaminya. Begitu
aneh dan sukar diterima akal sehat manusia. Pendekar Rajawali Sakti kembali
mendongak ke atas. Tampak Rajawali Putih masih tetap melayang-layang di atas
kepalanya.
"Ha ha ha...!"
"Hei...?!"
Lagi-lagi Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba
saja terdengar tawa keras menggelegar dan menggema. Seakan-akan suara itu
datang dari segala penjuru mata angin. Dari suaranya, Rangga sudah dapat
memastikan kalau pemilik suara itu adalah wanita. Tapi siapa...? Dan di mana
pemilik suara tawa yang menggema itu? Belum juga Rangga mendapat-kan
jawabannya, mendadak saja...
Slap...!
ENAM
"Uts! Yeaaah...!"
Cepat sekali Rangga melompat ke samping begitu
tiba-tiba dari depannya meluncur sebuah bayangan biru muda. Dua kali Pendekar
Rajawali Sakti berjumpalitan di udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya di
tanah. Dan kini, hampir dia tidak percaya dengan apa yang disaksikannya. Di
depannya kini berdiri seorang gadis cantik, mengenakan baju ketat berwarna biru
muda. Di punggungnya tersembul sebuah gagang pedang berbentuk kepala naga
berwama hitam. Pada sabuk kuning keemasan yang melingkar di pinggangnya,
terselip sebuah kipas keperakan yang ujung-ujungnya runcing bagai mata anak
panah.
"Pandan Wangi...," desis Rangga dengan
nada suara setengah tidak percaya.
Wajah gadis berbaju biru itu memang Pandan Wangi.
Baik bentuk tubuh, pakaian, maupun senjatanya sdalah milik Pandan Wangi. Hanya
saja, gadis itu seperti tidak mengenali Pendekar Rajawali Sakti. Tatapan
matanya kosong dan tajam sekali, menusuk langsung ke bola mata pemuda tampan di
depannya. Bibirnya yang merah berbentuk indah itu, terkatup rapat Menyiratkan
sikap permusuhan.
"Pandan... Kaukah Pandan Wangi...?" Tanya
Rangga ragu-ragu.
Dari pengalamannya selama berada di dalam kekuasaan
Dewi Penguasa Samudera ini, Pendekar Rajawali Sakti jadi tidak mudah percaya
begitu saja. Dan kini, Rangga mendongakkan kepala ke atas. udara sana, masih
terlihat Rajawali Putih yang melayang berputaran tepat di angkasa. Burung
rajawali raksasa itu seakan-akan ingin menyaksikan sepasang kekasih yang kini
berhadapan dengan sikap bermusuhan dan saling tidak percaya. Perhatian Ranga
kembali terpusat pada Pandan Wangi.
"Pandan, jawablah. Apakah kau benar-benar
Padan Wangi...?" Tanya Rangga ingin meyakinkan kalau yang ada di depannya
adalah Pandan Wangi Atau mungkin hanya khayalannya saja.
Pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti sama sekali
tidak dijawab dengan kata-kata, tapi malah dijawab dengan serangan cepat dan
dahsyat. Rangga tersentak sesaat Bergegas tubuhnya dimiringkan ke kanan,
menghindari pukulan keras bertenaga dalam tinggi yang dilepaskan Pandan Wangi.
"Pandan, tunggu...!" seru Rangga seraya
melompat menjauh.
Namun Pandan Wangi tidak mempedulikan. Kembali
diserangnya Pendekar Rajawali Sakti itu dengan jurus-jurus cepat dan mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi. Rangga terpaksa harus berjumpalitan,
menghindari serangan-serangan seraya mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah
Ajaib'. Satu jurus yai hanya digunakan untuk menghindar, tanpa melakukan
serangan balasan sedikit pun. Kalau ada serangan balasan, itu hanya bersifat
mencari jarak saja. Namun, sama sekali tidak membahayakan lawan.
Dan rupanya Pandan Wangi mengetahui jurus yang
digunakan Rangga. Gadis itu terus mendesak. Meskipun beberapa kali Rangga
melakakan serangan balasan, namun sedikit pun Pandan Wangi tidak peduli. Tentu
saja hal ini membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi semakin ragu-ragu. Dia menyadari
kalau Pandan Wangi tahu persis semua jurus-jurus yang dimilikinya. Dan setiap
melakukan serangan balasan lewat jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', cepat ditarik
kembali serangannya. Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin melukai, sebelum yakin
benar tentang gadis ini.
"Pandan, hentikan...!" sentak Rangga
seraya melompat cepat ke belakang sejauh dua batang tombak.
Namun Pandan Wangi benar-benar tidak mempedulikan
peringatan itu. Bahkan gadis itu kembali melompat menerjang seraya mencabut
senjata yang terselip di pinggang. Sebuah senjata berbentuk kipas berwarna
keperakan.
"Hiyaaat..!"
Bet!
"Uts!"
Hampir saja ujung kipas yang berbentuk bagai mata
anak panah itu merobek kulit dada Rangga. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti
cepat menarik tubuhnya ke belakang. Dan belum lagi keseimbangan tubuhnya sempat
dikuasai, Pandan Wangi sudah melepaskan satu tendangan lurus yang keras,
bertenaga dalam tinggi. Yang dituju adalah perut pemuda berbaju rompi putih
itu.
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat Rangga melentingkan tubuhnya ke belakang,
sehingga tendangan Pandan Wangi tidak mengenai sasaran. Dua kali Pendekar
Rajawali Sakti berputar udara, lalu manis sekali mendarat di tanah, sejauh dua
batang tombak dari Pandan Wangi.
"Hhh! Jurus-jurusnya sama persis dengan ya
dimiliki Pandan Wangi. Dia benar-benar ingin membunuhku...," keluh Rangga
dalam hati.
Saat itu Pandan Wangi sudah kembali bersiap hendak
melakukan serangan. Dibukanya kembangan jurus yang digunakan untuk menyerang
Pendekar Rajawali Sakti. Maka pemuda berbaju rompi putih itu langsung
menyadari, kalau jurus yang dibuka Pandan Wangi merupakan jurus dahsyat dan
tidak bisa dianggap main-main lagi.
"Apa yang harus kulakukan sekarang...?"
keluh Rangga dalam hati.
"Hiyaaat..!"
Bagai seekor sengala lapar, Pandan Wangi melompat
cepat menyerang Rangga. Senjatanya yang berupa kipas berwama keperakan,
berkelebat cepat mengincar bagian-bagian tubuh yang peka dan mematikan. Rangga
yang tahu kalau jurus itu sangat dahsyat dan tidak bisa dianggap remeh, tidak
akan bermain-main lagi.
"Hiyaaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti cepat melesat tinggi ke
udara. Dan secepat itu pula, tubuhnya menukik deras hendak menyambar Pandan
Wangi. Gerakannya persis seperti seekor burung rajawali menyambar mangsanya.
Dan memang, Rangga tengah mengerahkan lurus 'Rajawali Menukik Menyambar
Mangsa'. Tapi begitu sasarannya hampir mengena, mendadak saja Rangga cepat
membelokkan sasaran. Pendekar Rajawali Sakti hanya mengibaskan tangannya ke
arah dada gadis itu.
Perubahan yang dilakukan begitu cepat, membuat
Pandan Wangi tampak kelabakan. Dan gadis itu terlambat untuk menghindari
sodokan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti itu. Memang pada saat itu dia
sibuk mempertahankan kepalanya yang semula menjadi incaran serangan Rangga.
Dieghk!
"Akh...!" Pandan Wangi terpekik tertahan.
Gadis itu terhuyung-huyung ke belakang sambil
memegangi dadanya yang terkena sodokan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti.
Dan belum juga Pandan Wangi bisa menguasai keseimbangan tubuh-nya, nendadak
saja Rangga sudah melompat cepat Langung dilepaskannya satu totokan tajam ke
arah dada dekat tenggorokan gadis itu. Pandan Wangi benar-benar tidak dapat
lagi menghindar, sehingga....
"Ah...!"
Gadis cantik berbaju biru itu langsung jatuh lemas
ke tanah berumput ketika tertotok di bagian dada dekat tenggorokan. Bergegas
Rangga menghampiri. Namun sebelum sempat menyentuh tubuh gadis itu, mendadak
saja sebuah bayangan hijau berkelebat cepat menyambar tubuh Pandan Wangi.
"Hei..?!" Rangga tersentak kaget.
Dan belum lagi hilang rasa keterkejutannya,
mendadak saja dari balik pepohonan bermunculan gadis-gadis muda yang cantik.
Mereka semua mengenakan kemben warna hijau muda sehingga bagian dada dan
pundaknya terlihat jelas. Jumlah mereka cukup banyak. Entah berapa puluh
banyaknya. Dan mereka semua membawa senjata berupa tombak serta pedang di
punggung.
Sementara itu Pandan Wangi sudah lenyap setelah
disambar bayangan hijau tadi. Rangga memutar tubuhnya periahan-lahan, merayapi
gadis-gadis cantik yang kini mengelilinginya. Seluruh hutan ini jadi penuh oleh
gadis cantik berkemben hijau. Mereka bergerak lahan, semakin rapat mengurung
Pendekar Rajawali Sakti. Tak ada celah sedikit pun yang bisa digunan untuk
keluar dari kepungan ini.
Rangga mendongakkan kepala ke atas. Tampak di atas
sana seekor burung rajawali putih raksasa berputar-putar, seakan-akan ingin
menjadi saksi atas nasib Pendekar Rajawali Sakti di sarang Dewi Penguasa
Samudera ini. Rangga mengalihkan per-hatiannya pada gadis-gadis cantik yang
semakin dekat rapat mengepungnya. Mereka semua menghunus senjata yang ditujukan
ke arah pemuda itu.
"Sebaiknya menyerah saja, Rangga. Tidak ada
gunanya melawan," tiba-tiba terdengar suara keras dan lantang.
Suara itu jelas datang dari atas kepalanya.
Pendekar Rajawali Sakti mendongakkan kepala ke atas. Tapi yang ada di sana
hanyalah seekor burung rajawali aksasa yang sejak, tadi melayang-layang
mengitari tempat ini. Namun begitu mengarahkan pandangan ke ebelah kanan,
tampak di atas sebatang pohon yang cukup tinggi berdiri seorang pemuda berwajah
tampan dan berpakaian sangat indah. Rangga mengenali pemuda itu sebagai
Pangeran Argabaja.
Yang membuat mata Pendekar Rajawali Sakti jadi
terbeliak, Pangeran Argabaja kini tengah memegangi tangan seorang gadis cantik
berbaju biru. Dia adalah Pandan Wangi. Kepala gadis itu nampak terkulai lemas
bagai tak memiliki tenaga.
"Ini peringatan terakhir, Rangga. Jika kau
memang mencintai gadis ini, sebaiknya menyerah!" suara Pangeran Argabaja
terdengar lantang.
"Pengecut..!" dengus Rangga menggeram.
"Ha ha ha...!" Pangeran Argabaja tertawa
terbahak-bahak.
"Turun kau, Iblis! Aku siap mengadu nyawa
denganmu!" teriak Rangga tidak kalah lantangnya.
Pangeran Argabaja terus tertawa terbahak-bahak,
sehingga membuat Rangga semakin geram. Pendekar Rajawali Sakti melihat Pandan
Wangi sama sekali tidak berdaya. Bahkan tidak ada satu senjata pun yang melekat
di tubuhnya.
"Kau akan menyesal bermain-main
Argabaja!" teriak Rangga lantang.
Setelah berkata demikian, Rangga cepat melompat
bagai kilat hendak menerjang Pangeran Argabaja yang berada di atas pohon. Namun
sebelum mencapai pemuda itu, mendadak saja beberapa batang tombak meluncur
deras ke arahnya. Rangga terpaksa memutar tubuh, berjumpalitan menghindari
serbuan puluhan tombak itu. Dan kakinya kemudian mendarat di termpatnya semula.
"Ha ha ha...! Sudah kukatakan, tidak ada
gunanya melawan, Rangga!" seru Pangeran Argabaja mengejek.
"Kesaktianmu tidak ada artinya di sini...! Ha ha...!"
"Iblis...!" desis Rangga menggeram.
Pangeran Argabaja menjentikkan ujung jarinya. Maka
seketika itu juga, gadis-gadis berkemben hijau meluruk deras menyerang Pendekar
Rajawali Sakti dari segala penjuru. Tak ada lagi kesempatan bagi Rangga untuk
menghalau mereka dengan aji 'Bayu Bajra'. Maka cepat Pendekar Rajawali Sakti
mengeluarkan arkan jurus pertama dari rangkaian lima jurus ' Rajawali Sakti'.
Semua jari tangan Rangga mengembang kaku bagai
cakar burung. Tubuhnya meliuk-liuk indah menghindari setiap serangan yang
datang. Dan setiap kali mendapatkan kesempatan, dengan cepat tangannya
dikibaskan ke arah lawan yang terdekat
Pekik pertempuran dan jerit kesakitan berbaur
menjadi satu. Tubuh-tubuh gadis muda teriihat mulai bergelimpangan terkena
sambaran jari-jari tangan Rangga yang mengeras kaku. Bahkan tidak sedikit
tombak dan pedang yang patah. Dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah lebih
dari sepuluh orang yang tergeletak tak bergerak lagi. Namun, tak ada tanda luka
sedikit pun pada tubuh mereka. Dan memang, Rangga sengaja tidak membunuh
mereka, dan hanya membuat lumpuh.
"Tahaan..!"
Mendadak saja terdengar seruan keras menggelegar.
Seketika itu juga gadis-gadis cantik yang mengeroyok Rangga, berlompatan
mundur. Cepat sekali gerakan mereka, hingga sebentar saja per-tarungan telah
berhenti mendadak. Rangga langsung mengarahkan pandangan pada suara bentakan
keras tadi.
"Dewi Penguasa Samudera...," desis Rangga
begitu melihat seorang wanita cantik tahu-tahu sudah berada di dalam hutan ini.
Wanita cantik yang mengenakan baju warna biru tipis
itu melangkah gemulai menghampiri Rangga. Sementara itu gadis-gadis muda yang
tadi menyerang Pendekar Rajawali Sakti, segera berlutut dengan kepala
tertunduk. Dari atas pohon, tampak meluncur turun Pangeran Argabaja. Tangannya
masih memegangi lengan Pandan Wangi yang tetap lemah tak berdaya. Manis sekali
pemuda itu mendarat di samping kanan Dewi Penguasa Samudera. Kemudian
diserahkannya Pandan Wangi pada dua orang gadis muda berkemben hijau. Kini
Pandan Wangi dipegangi orang gadis pada tangan kanan dan kirinya.
"Seharusnya kau tidak perlu keras kepala ini,
Rangga. Kita bisa membicarakannya baik-baik, ujar Dewi Penguasa Samudera lembut
Senyumnya terkembang begitu manis dan menawan.
Namun sinar matanya memancarkan sesuatu yang aneh, dan sangat kuat daya
pancarnya. Perhatian Rangga cepat dialihkan dari bola mata yang indah. Pendekar
Rajawali Sakti tahu kalau pusat kekuatan yang dimiliki Dewi Penguasa Samudera
berada pada matanya. Dan ini tidak bisa dilawan dengan tatapan mata juga.
"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Sudah
jelas kau menculik Pandan Wangi. Dan sekarang, aku minta dia dikembalikan
padaku!" agak ketus nada suara Rangga.
"Gadis itukah yang kau maksud?" Dewi
Penguasa Samudera menunjuk Pandan Wangi yang masih tetap lemah tak berdaya.
"Kau sudah tahu siapa dia."
"Kalau gadis itu yang kau maksud, sama sekali
aku tidak menculiknya. Lagi pula, sudah banyak gadis cantik di sini. Dan kini
aku sama sekali tidak memerlukan gadis-gadis lagi," masih tetap lembut
suara Penguasa Samudera.
"Kalau tidak menculik, lalu untuk apa kau bawa
Pandan Wangi ke sini?" Tanya Rangga sengit
"Terpaksa," sahut Dewi Penguasa Samudera
kalem.
"Terpaksa...? Heh...! Hanya itukah alasanmu?
Terpaksa menculik Pandan Wangi dan gadis-gadis lain
hanya untuk dijadikan tumbal! Ketahuilah, Dewi Peguasa Samudera. Apa pun alasan
yang kau kemukakan, aku tidak akan menerima perbuatanmu. Teriebih lagi, kau
mengambil anak gadis orang dan menjadikannya tumbal," lantang suara
Rangga.
"Kau sama saja dengan orang-orang dungu di
pantai sana yang menuduhku menculik anak gadis mereka. Tapi, mereka selalu
memohon padaku agar hasil tangkapan ikan berlimpah!" dengus Dewi Penguasa
Samudera.
"Kau memang tidak pernah mengambil secara
langsung. Tapi, kau perintahkan orang-orangmu untuk menculik mereka. Bagiku itu
sama saja, Dewi Penguasa Samudera. Kau tetap harus bertanggung jawab atas semua
perbuatanmu selama ini."
"Jangan mengadiliku, Rangga. Sama sekali aku
tidak pernah menculik gadis-gadis. Apalagi menjadi-kan tumbal. Kau bisa lihat
sendiri, begitu banyak gadis di sini. Jadi, untuk apa harus mencari gadis-gadis
lagi. Dan lagi, aku tidak pernah melakukan tumbal apa pun iuga. Tuduhanmu sama sekali
tidak beralasan, Rangga."
"Apa pun yang kau katakan, aku tidak peduli.
Sekarang juga aku minta, kembalikan Pandan Wangi!" desak Rangga.
"Tentu saja, Rangga. Kau pasti akan
mendapatkan Pandan Wangi kembali. Aku hanya meminjamnya sebentar," ujar
Dewi Penguasa Samudera lembut.
"Apa lagi alasan yang akan kau kemukakan?'
Dengus Rangga semakin sinis.
Pendekar Rajawali Sakti benar-benar sudah muak
terhadap wanita ini Sikap dan lagaknya sangat menjengkelkan sekali. Terlebih,
dia sering mendengar kalau wanita ini selalu mencari gadis-gadis muda untuk
dijadikan tumbal. Walaupun hal itu sudah berjalan ratusan tahun, dan sudah
menjadi kebiasaan yang diterima penduduk sekitar pantai, tapi Rangga tidak
pernah mau menerima adanya tumbal persembahan yang mengorbankan nyawa manusia.
Segala macam bentuk tumbal, merupakan wujud dari persekutuan dengan iblis.
Plok! Plok! Plok!
Dewi Penguasa Samudera menepuk tangan tiga kali.
Maka seketika gadis-gadis yang berada memadati tempat ini membungkukkan badan
memberi hormat. Kemudian mereka bergerak meninggalkan tempat ini. Pangeran
Argabaja pun bergegas meninggalkan tempat ini. Dan kini tinggal Rangga dan Dewi
Penguasa Samudera saja yang tetap di tempat ini. Bahkan burung rajawali raksasa
yang sejak tadi berputar-putar di angkasa pun, kini sudah tidak terlihat lagi.
Entah pergi ke mana burung raksasa itu.
Sebentar saja hutan ini menjadi sunyi. Namun sikap
Rangga semakin waspada saja. Hatinya tidak ingin terjerat oleh wanita cantik
yang selalu haus cinta ini. Pendekar Rajawali Sakti bisa merasakan dari sinar
mata wanita itu, ketika sejak pertama kali bertemu. Sinar mata itu memancarkan
hasrat yang kuat untuk menaklukkan Pendekar Rajawali Sakti.
Perlahan-lahan Dewi Penguasa Samudera meng-hampiri
Rangga. Senyumnya masih tetap mengembang manis. Sementara Rangga hanya berdiri
tegak, bersikap penuh waspada. Dia tahu kalau wanita cantik penguasa lautan ini
punya banyak cara licik untuk menjatuhkan lawan. Terlebih lagi menaklukkan
laki-laki muda gagah dan tampan. Segala cara akan ditempuh untuk mendapatkan
yang diinginkannya.
"Kau tidak akan berhasil membujukku, Nisanak.
Lebih baik bebaskan Pandan Wangi. Maka aku tidak akan mengusik
kehidupanmu," kata Rangga mendahului.
"Aku senang mendengar ancamanmu, Rangga.
Begitu menggairahkan dan membuat semangat hidupku semakin menyala," lembut
sekali suara Dewi Penguasa Samudera.
Rangga hanya mendengus saja. Bau harum yang
memancar dari tubuh Dewi Penguasa Samudera begitu menusuk cuping hidung Rangga.
Begitu keras, sehingga membuat kepala Pendekar Rajawali Sakti terasa pening.
Namun cepat disadarinya, kalau aroma harum yang tercium ini merupakan salah
satu cara untuk melemahkannya. Maka Rangga cepat menggeser kakinya dua langkah
ke belakang.
"Siasat licik apa lagi yang kau gunakan untuk
menaklukkanku, Dewi Penguasa Samudera...?" Dengus Rangga, sinis.
Dewi Penguasa Samudera malah tersenyum makin manis.
Dalam hatinya, diakui kalau pemuda tampan ini begitu hebat. Pendekar Rajawali
Sakti bisa tahu kalau wanita itu mengenakan sesuatu yang dapat membuat
laki-laki jadi terangsang. Tapi pemuda tampan berbaju rompi putih ini malah
mengetahuinya, dan langsung cepat mencegahnya. Hal ini semakin membuat wanita
itu bertambah penasaran ingin menaklukkannya. Dan mendadak saja....
Bet!
"Heh...?!"
Rangga tersentak kaget begitu tiba-tiba tangan
kanan Dewi Penguasa Samudera bergerak cepat mengibas ke kanan. Dan sebelum
Pendekar Rajawali Sakti sempat menyadari, sebuah benda halus seperti jarum
berwama kuning keemasan meluncur deras ke arahnya. Cepat-cepat Rangga
memiringkan tubuh hendak menghindari benda yang dilontarkan Dewi Penguasa
Samudera. Namun gerakannya terlambat sedikit. Terlebih lagi, jarak mereka
memang terlalu dekat Sehingga....
"Akh...!" Rangga memekik tertahan saat
benda kecil berbentuk jarum keemasan itu menembus kulit dadanya.
Pendekar Rajawali Sakti seketika terhuyung-huyung
ke belakang. Dicabutnya benda kecil yang menancap cukup dalam di dadanya. Saat
itu juga kepalanya terasa jadi pening, dan matanya berkunang-kunang. Pemuda itu
menggeleng-gelengkan kepala, namun rasa pening yang dirasakan semakin kuat
menguasai seluruh kepalanya. "Kau.... Kau, Iblis...."
Begitu selesai berkata, Rangga langsung ambruk ke
tanah. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti masih bisa mendengar suara tawa Dewi
Penguasa Samudera, untuk kemudian kesadarannya benar-benar lenyap. Seluruh alam
dirasakan begitu gelap, sunyi tanpa kehidupan.
"Kau tahu, Rangga. Tak ada seorang pun yang
dapat melepaskan diri dariku," ujar Dewi Penguasa Samudera seraya tertawa
terbahak-bahak.
Pada saat itu muncul Pangeran Argabaja. Pemuda ini
tersenyum-senyum melihat Rangga tergeletak tak sadarkan diri di depan ujung
jari kaki Dewi Penguasa Samudera. Dibalikannya tubuh Rangga hingga terlentang.
Kemudian matanya menatap wanita cantik yang tertawa kecil mengikik.
"Kau hebat, Kanda Dewi," puji Argabaja.
"Bawa dia, dan kurung bersama
kekasihnya," perintah Dewi Penguasa Samudera.
"Baik," sahut Argabaja.
"Tapi ingat, jangan kau sakiti mereka."
Argabaja hanya meringis saja. Kemudian diangkatnya
tubuh Rangga, dan dipanggul di pundak. Dewi Penguasa Samudera meiepaskan pedang
yang berada di punggung Pendekar Rajawali Sakti. Dipandanginya pedang itu
dengan sinar mata berbinar. Sementara Argabaja sudah beranjak pergi membawa
Rangga yang sudah tidak sadarkan diri.
"Pendekar Rajawali.... Semoga kau dapat
melihat kalau aku bisa menguasai pedang pusaka ini. Dengan pedang ini, aku
dapat menguasai seluruh dunia. ha ha...!"
Suara tawa Dewi Penguasa Samudera menggema keras ke
seluruh hutan. Dan suara tawa itu terus terdengar, meskipun wanita cantik itu
sudah melesat bagaikan kilat meninggalkan hutan itu.
TUJUH
"Ohhh...." Rangga menggeleng-gelengkan
kepala sambil merintih lirih. Perlahan matanya terbuka, lalu mencoba bangkit
berdiri. Namun sebuah tangan halus telah menahan dadanya. Kepalanya masih
terasa pening, dan berkunang-kunang. Matanya disipitkan mencoba nelihat jelas.
Samar-samar terlihat seraut wajah dekat di atas wajahnya.
Perlahan-lahan, penglihatan Pendekar Rajawali Sakti semakin terang dan jelas.
Seraut wajah itu tersenyum tipis, namun sorot matanya begitu redup menyiratkan
kelesuan yang amat sangat Rangga sangat mengenali wajah cantik yang tampak lesu
ini.
"Pandan...," desis Rangga seraya mencoba
bangkit
Gadis berbaju biru itu membantu Rangga duduk.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti bisa duduk dengan punggung bersandar pada
dinding batu yang keras dan dingin berlumut. Sebentar dipandanginya wajah
cantik di depannya, kemudian matanya beredar ke sekeliling. Kesadarannya
langsung mengatakan kalau dirinya berada di dalam ruangan penjara batu yang
tidak begitu besar dan kotor.
"Pandan.... di mana ini?" Tanya Rangga
seraya memandangi wajah gadis di depannya.
Gadis itu memang Pandan Wangi. Meskipun wajahnya
tampak kusut dan lesu dengan rambut acak-acakan, tapi kecantikannya tidak
pudar. Baju yang dikenakannya koyak di beberapa tempat. Rangga cepat
mengalihkan perhatiannya dari pemandangan indah itu, lalu kembali mengamati
wajah Pandan Wangi.
"Kakang...," desis Pandan Wangi. Mendadak
saja gadis itu menangis dan memeluk Pendekar Rajawali Sakti. Rangga jadi
kebingungan tidak mengerti. Pandan Wangi menangis semakin keras. Pelukannya
juga begitu kuat, seakan-akan tidak ingin melepaskan pemuda ini kembali. Rangga
menepuk-nepuk lembut punggung gadis itu.
"Hsss.... Sudah, Pandan. Hentikan tangismu.
Ceritakan apa yang terjadi, dan kenapa sampai begini...?" pelan dan lembut
sekali suara Rangga.
Agak lama juga Pandan Wangi bisa menguasai dirinya.
Perlahan pelukannya dilepaskan. Dipandanginya wajah Pendekar Rajawali Sakti,
seakan-akan ingin memastikan kalau yang berada di depannya kini benar-benar
kekasihnya. Sesekali masih terdengar isaknya.
"Kita harus segera keluar dari sini, Kakang.
Mereka tahu kalau kau murid Pendekar Rajawali yang sudah meninggal seratus
tahun lalu. Mereka menyanderaku, untuk memancing kau ke sini, Kakang. Mereka
akan membunuhmu kalau terbukti kau murid Pendekar Rajawali," jelas Pandan
Wangi dengan suara terisak.
"Lalu, kenapa kau jadi begini? Apa yang mereka
lakukan padamu?" Tanya Rangga tanpa mempedulikan peringatan Pandan Wangi.
Pandan Wangi tidak segera menjawab, tapi malah
kembali menangis terisak. Sukar bagi Rangga untuk menenteramkan gadis ini. Dia
hanya dapat menunggu sampai tangis Pandan Wangi mereda.
"Laki-laki itu.... Dia mencoba
menodaiku...!" jelas Pandan Wangi masih terisak.
"Argabaja, maksudmu...?"
Pandan Wangi mengangguk. "Keparat..!"
desis Rangga menggeram.
Dipandanginya Pandan Wangi dalam-dalam.
"Dia menodaimu, Pandan?" Tanya Rangga
hati-hati. Dadanya seketika bergemuruh, berharap hal itu tidak sampai terjadi
pada diri kekasihnya.
Pandan Wangi menggeleng perlahan. Isak tangis-nya
sudah kembali mereda. Bahkan hanya sesekali saja terdengar. Sementara Rangga
menghembuskan napas lega, begitu mengetahui kalau hal itu belum sampai menimpa
Pandan Wangi. Kalaupun sampai terjadi, tidak ada ampun lagi bagi Argabaja. Dan
ini pun sudah membuat hati Pendekar Rajawali Sakti panas seperti terbakar.
Melihat keadaan pakaian yang koyak, pastilah Pandan
Wangi berusaha mempertahankan diri. Tapi, kenapa Pandan Wangi kelihatan
lemah...? Biasanya kalau ada laki-laki yang bermaksud kurang ajar padanya,
gadis itu tidak segan-segan menghajar. Bahkan kalau hampir sampai menodai, dia
tidak segan-segan membunuh. Atau paling tidak membuat laki-laki itu jadi tidak
berdaya, dan tak mungkin mengganggu wanita lagi.
Sebenarnya, Pandan Wangi kelihatan lemah disebabkan
oleh pengaruh aji 'Tinggal Raga' yang disalurkan ke tubuhnya oleh Pangeran
Argabaja. Hal ini dilakukan agar Pandan Wangi bisa dibawa ke dasar lautan.
Kemudian jasadnya yang tertinggal di tepi pantai diseret ombak, untuk kemudian
dibawa ke dasar lautan juga. Itulah sebabnya mengapa waktu Pendekar Rajawali
Sakti bertemu Pandan Wangi di tepi pantai dan tengah ditawan, gadis itu tidak
bisa berbuat apa-apa Karena saat itu hanya sukmanya.
"Dia seperti binatang, Kakang. Aku diikat,
dan... Untung Dewi Penguasa Samudera datang dan membatalkan niat pemuda keparat
itu. Oh...," Pandan Wangi tidak sanggup lagi meneruskan kata-katanya.
"Sudahlah, Pandan. Akan kubalas kekurangajaran
ini. Yang penting sekarang, aku bisa bertemu denganmu dalam keadaan selamat Itu
saja yang ter-penting bagiku. Tentang cara bagaimana kita bisa keluar dari
tempat ini, nanti dipikirkan bersama," ujar Rangga lembut.
"Akan kubunuh iblis keparat itu, Kakang,"
desis Pandan Wangi menggeram.
Rangga tersenyum kecut. Dia tahu watak gadis ini
Kalau sudah berkata demikian, sukar dicegah lagi. Kalau Pandan Wangi sudah
bilang akan membunuh, pastl dilaksanakan. Apalagi ini menyangkut harga dirinya
sebagai seorang wanita yang juga seorang pendekar. Peristiwa yang dialaminya
memang dapat membuat aib yang sangat besar. Apalagi kalau sampai tersebar ke
seluruh rimba persilatan.
Semua orang di dalam rimba persilatan akan
mengejeknya. Dan yang lebih menyakitkan lagi, tokoh-tokoh hitam rimba
persilatan tidak akan lagi menghor-matinya. Mereka akan menganggap Pandan Wangi
sebagai wanita rendah yang murahan. Dan lebih gila lagi, mereka akan
berlomba-lomba untuk dapat tidur bersama gadis ini. Sungguh menyakitkan. Dan
ini sangat dirasakan Rangga, sehingga tidak mungkin dapat mencegah apabila
Pandan Wangi benar-benar ingin membunuh Pangeran Argabaja.
***
Cukup lama juga Rangga bersemadi memulihkan
tenaganya. Sementara Pandan Wangi yang telah pulih setelah diberi hawa murni
oleh Pendekar Rajawali Sakti, hanya diam saja, namun otaknya terus bekerja
keras. Dia berusaha mencari jalan untuk dapat meloloskan diri dari tempat kotor
yang pengap ini. Selagi gadis itu menatap ke arah pintu besi, Rangga bangun
dari semadinya. Kemudian dihampirinya gadis itu. Pandangannya juga tertuju ke
arah pintu yang tampak kokoh dan sukar ditembus.
"Kau bisa menjebol pintu itu, Kakang?"
tanyi Pandan Wangi seraya berpafing sedikit pada Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga tidak langsung menjawab. Dihampirinya daun pintu besi yang hitam itu,
kemudian diamatinya pintu itu beberapa saat Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti
melangkah mundur menjauhi pintu itu. Rangga kembali teringat pengalamannya di
dalam kamar Dewi Penguasa Samudera. Pintu kamar yang tampaknya begitu mudah
dijebol, ternyata begitu kuat hingga harus menggunakan aji 'Batara Naga' untuk
menjebolnya.
Sedangkan pintu yang kini dihadapinya terbuat dari
besi yang sangat tebal dan tampak kokoh. Namun memang hanya dari pintu itu saja
jalan keluar dari ruangan sempit, kotor, dan pengap ini. Tajam sekali Rangga
memandangi pintu itu, seakan-akan sedang mengukur kekuatan pintu besi di
depannya ini.
"Hap...!"
Sambil menarik tangan agar sejajar dada, Pende kar
Rajawali Sakti menahan napas. Perlahan napasnya dihembuskan, lalu tangannya
bergerak turun hingga sejajar pinggang. Kemudian kaki kanannya ditarik sedikit
ke belakang. Perlahan-lahan tangan kanannya menjulur kedepan, lalu bergerak
berputar dua kali.
"Hup! Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar
Rajawali Sakti melompat Langsung dilepaskan pukulan keras disertai pengerahan
aji 'Batara Naga.
Glarrr...!
Satu ledakan keras terdengar menggelegar begitu
pukulan Rangga menghantam pintu besi itu. Tampak Pendekar Rajawali Sakti
terpental balik ke belakang. Tubuhnya segera berputaran dua kali, sebelum
kembali mendarat di lantai kotor dan dingin ini.
"Gila...!" desis Rangga hampir tidak
percaya melihat pintu besi itu masih tetap kokoh.
"Kalau saja pedangmu ada, pasti mudah untuk
mendobraknya, Kakang," keluh Pandan Wangi.
Rangga tersentak, dan langsung berpaling pada gadis
itu. Baru disadari kalau pedangnya tidak ada lagi di punggungnya. Dan dia tahu,
siapa yang mengambil senjata pusakanya itu. "Keparat..!" dengus
Rangga. Namun semuanya sudah terjadi, dan tidak perlu lagi disesali.
"Pandan, kerahkan aji Tapak Geni'. Dan aku
akan mengerahkan aji 'Batara Naga' sekali lagi," ujar Rangga.
"Kenapa tidak kau gunakan aji 'Cakra Buana
Sukma' saja, Kakang?"
"Sifat aji 'Cakra Buana Sukma' sangat lunak,
Pandan. Aku tidak yakin akan bisa digunakan untuk mendobrak pintu besi
ini," sahut Rangga.
"Tapi ajian itu bisa menghancurkan batu,
bukan?"
Rangga tidak langsung menjawab. Aji 'Cakra Buana
Sukma' memang bersifat sangat lunak, dan hampir tidak berwujud hasilnya. Tapi
pada tingkatan terakhir, ajian itu bisa jadi sangat ganas. Bahkan sebongkah
batu cadas yang besar dan keras sekalipun, mampu dihancurkannya. Tapi apakah
ajian itu mampu mendobrak sebuah pintu besi yang begitu kokoh? Dan ini belum
pernah dilakukan Rangga.
"Aku belum pernah menggunakan ajian itu untuk
menghancurkan besi, Pandan," jelas Rangga.
"Aku rasa ini kesempatan baik untuk mencobanya
Kakang. Aku yakin, aji 'Cakra Buana Sukma' mampu menjebol pintu itu," ujar
Pandan Wangi memberi semangat.
"Baiklah, akan kucoba," akhirnya Rangga
menyerah juga.
Pandan Wangi melangkah mundur ketika Rangga mulai
memusatkan perhatian untuk mengerahkan ajian yang sangat dahsyat itu. Tampak
Rangga merentangkan kedua kakinya, lalu merapatkan telapak tangan di depan
dada. Tatapan matanya begitu tajam, tertuju lurus ke arah pintu besi yang masih
tampak kokoh itu.
Perlahan sekali, tubuh Pendekar Rajawali Sakti
bergetar. Lalu tubuhnya bergerak miring ke kanan, dan sebentar kemudian ditarik
miring ke kiri. Kembali Rangga menegakkan tubuhnya. Begitu kakinya dirapatkan,
tampak cahaya biru menyemburat keluar dari kedua telapak tangannya yang merapat
didepan dada. Cahaya biru itu semakin memendar begitu Rangga merenggangkan
tangannya.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...! Yeaaah...!"
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil menghentakkan kedua
tangan ke depan. Sinar biru yang memancar dari kedua telapak tangannya
nembentuk bulatan sebesar kepala. Keras sekali Rangga menggedor daun pintu besi
itu dengan kedua telapak tangan yang terkembang berselimut cahaya biru.
Gbrrr...! Kembali terdengar ledakan dahsyat
menggelegar begitu kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti menghantam
pintu, Dan untuk kedua kalinya pula, Rangga terpental ke belakang, lalu
berputaran beberapa kali di udara. Namun manis sekali Pendekar Rajawali Sakti
bisa mendarat di lantai.
Tampak debu mengepul disertai asap kebiruan pada
daun pintu itu. Dan ketika asap kebiruan itu memudar, tampak pintu yang terbuat
dari besi tebal dan kokoh itu jebol berantakan. Pandan Wangi bergegas
menghampiri pemuda berbaju rompi putih itu, lalu memeluknya dengan perasaan
bahagia.
"Ayo kita keluar, Pandan," ajak Rangga
seraya melepaskan pelukan gadis itu.
Mereka kemudian bergegas berlari keluar dari
ruangan yang pengap ini sambil bergandengan tangan. Tak tampak seorang penjaga
pun di tempat ini. Mereka terus berlari menyusuri lorong batu, yang lebih mirip
sebuah lorong gua yang panjang dan beriiku. Mereka terus berlari, mempergunakan
ilmu meringankan tubuh. Maka sebentar saja mereka sudah begitu jauh
meninggalkan ruangan pengap itu.
Rangga maupun Pandan Wangi terkejut bukan main
begitu keluar dari lorong gua batu yang sangat panjang dan berliku. Temyata
didepan mulut gua ini sudah menunggu Pangeran Argabaja dan empat orang tua
pengawalnya. Bahkan mulut gua ini sudah dikepung puluhan gadis cantik yang
hanya berkemben hijau. Mereka semua membawa tombak dan pedang.
"Mau coba lari? Tidak semudah itu, Pendekar
Rajawali Sakti," terdengar sinis nada suara Pangeran Argabaja.
Rangga menatap tajam penuh kebencian pada pemuda
tampan itu. Kakinya melangkah maju dua tindak, lalu menarik tangan Pandan Wangi
agar tetap berada di belakangnya.
"Bagus sekali kau sudah berada di sini,
Argabaja. Aku memang akan mencarimu, dan akan membuat perhitungan
denganmu," dengus Rangga tidak kalah sinisnya.
"Ha ha ha..." Pangeran Argabaja tertawa
terbahak-bahak.
Sebentar kemudian, ujung jarinya dijentikkan tiga
kali. Maka sekitar dua puluh orang gadis bersenjata tombak segera melangkah
maju mendekati Rangga dan Pandan Wangi dari segala penjuru. Mereka siap menyerang,
dan tinggal menunggu perintah saja.
"Kau tetap berada di belakangku, Pandan,"
Rangga berbisik.
"Baik," sahut Pandan Wangi.
"Hep...!" Rangga cepat mengatupkan kedua
telapak tangannya di depan dada. Lalu kedua tangannya cepat diangkat ke atas, dan
bergerak turun hingga merentang lebar ke samping. Bersamaan dengan bergeraknya
tangan itu kembali menyatu di depan dada, Pendekar Rajawali Sakti berseru
nyaring.
"Aji 'Bayu Bajra'...! Hiyaaa...!"
Bersamaan dengan merentangnya kedua telapak tangan
Pendekar Rajawali Sakti, mendadak saja ber-tiup angin kencang bagai badai
topan. Begitu kencangnya, sehingga membuat suara menderu-deru memekakakkan
telinga. Gadis-gadis yang mengepung tempat itu jadi terkejut setengah mati.
Mereka mencoba menghindar, namun terlambat, karena badai topan yang diciptakan
Pendekar Rajawali Sakti sudah mengantam mereka.
Jerit dan teriakan melengking tinggi terdengar
saling sambut. Tubuh-tubuh gadis muda itu beterbangan bagai daun kering yang
tertiup angin. Bahkan pepohonan dan bebatuan juga ikut berhamburan, karena tak
sanggup menahan gempuran badai yang semakin dahsyat.
Sementara Pangeran Argabaja dan empat orang tua
pengawalnya jadi sibuk bertahan agar tidak ikut terlempar. Mereka juga tidak
punya kesempatan menghindar lagi, dan terpaksa mengadu kekuatan dengan Pendekar
Rajawali Sakti. Macam-macam yang dilakukan untuk menjaga agar tidak terlempar.
Bahkan mereka juga sibuk menghindari batu-batu dan pepohonan yang berhamburan
bagai tercabut dari tanah.
"Hiyaaa...!" Mendadak saja, Pangeran
Argabaja mengibaskan tangan kanan ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Seketika
dari telapak tangannya meluncur deras seberkas sinar merah.
"Awas, Kakang...!" seru Pandan Wangi
memperingatkan.
"Hup! Yeaaah...!" Cepat Rangga
menghentakkan kedua tangannya ke depan. Maka seketika itu juga badai yang
mengamuk langsung terkumpul, menyambut sinar merah yang memancar dari tangan
kanan Pangeran Argabaja.
"Awas...!" seru Pangeran Argabaja.
Pemuda itu cepat melompat ke samping begitu
serangannya berbalik terkena hempasan badai aji 'Bayu Bajra' yang dilepaskan
Pendekar Rajawali Sakti. Empat orang tua yang berada di samping pemuda itu juga
cepat berlompatan menghindar. Saat itu Rangga sudah menarik kembali ajiannya.
"Hiyaaa...!"
"Pandan, tahan...!" seru Rangga, terkejut
melihat Pandan Wangi melesat cepat menerjang Pangeran Argabaja. Namun
peringatan Pendekar Rajawali Sakti sudah terlambat Kini Pandan Wangi sudah
menyerang Pangeran Argabaja dengan jurus-jurus maut. Meski-pun hanya tangan
kosong saja, Pandan Wangi tidak bisa dianggap enteng. Ini terbukti, Pangeran
Argabaja begitu kelabakan menghindari setiap serangan yang datang beruntun
bagai hujan itu. Terpaksa tubuhnya berjumpalitan, dan membanting diri ke tanah
untuk menghindari serangan Pandan Wangi.
Sementara tangannya sendiri sudah sibuk menghadapi
keroyokan empat orang tua yang rata-rata memiliki tingkat kepandaian tinggi.
Hanya dengan tangan kosong saja, tampaknya Rangga agak kerepotan juga
menghadapi empat orang berkemampuan tinggi ini. Terlebih lagi, mereka
nenggunakah senjata berupa tongkat yang runcing. Namun Pendekar Rajawali Sakti
masih mampu menghadapi dengan cepat merubah-rubah jurusnya. Bahkan selalu
menggabung-gabungkan lima jurus dari lima ingkaian jurus 'Rajawali Sakti' yang
sangat ampuh.
Dengan jurus-jurus itu, terlalu sukar bagi empat
rang tua itu untuk mendesak Rangga. Bahkan kini tampak kerepotan menghindari
serangan balasan Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa kali pukulan dan tendangan
Rangga hampir bersarang di tubuh mereka. Sementara itu di tempat lain, tampak
Pandan Wangi masih terus mendesak Pangeran Argabaja.
"Hiyaaa...!" Tiba-tiba saja Pandan Wangi
melompat ke atas, lalu cepat menjatuhkan diri dan bergelimpangan di tanah. Dan
begitu melompat bangkit, di tangannya tergenggam sebilah pedang yang
dipungutnya dari tanah. Bagaikan Kilat, si Kipas Maut kembali menyerang angeran
Argabaja. Dengan sebilah pedang di tangan, Pandan Wangi semakin terlihat ganas.
"Mampus kau! Hiyaaat..!" Cepat sekali
Pandan Wangi mengibaskan ke arah dada pemuda tampan itu. Namun pada itu,
Pangeran Argabaja mencabut pedang yang tergantung di pinggang. Lansung
pedangnya dikibaskan untuk menangkis serangan pedang Pandan Wangi.
Trang!
"Hup! Yeaaah...!"
Begitu serangan bisa tertangkis, cepat sekali
Pandan Wangi memiringkan tubuhnya ke kiri. Lalu bagaikan kilat, kaki kanannya
melayang ke depan Pangeran Argabaja tersentak, tidak mengira kalau gadis ini
akan berbuat seperti itu. Dia cepat melompat mundur ki belakang dua tindak.
Tapi sungguh tidak diduga sama sekali, ternyata
tendangan Pandan Wangi hanya merupakan tipuan saja. Dan gadis itu memang sudah
memperkirakan kalau Pangeran Argabaja akan melakukan penyelamatan diri dengan
mundur ke belakang. Dan pada saat itu, Pandan Wangi meluruk deras sambil
menusukkan pedang ke arah dada.
"Hiyaaa...!"
"Heh...?! Hait..!"
Untuk kedua kalinya Pangeran Argabaja terkejut
Cepat-cepat pedangnya dikibaskan untuk menangkis tusukan pedang si Kipas Maut
itu. Seketika bunga api pun berpijar saat dua pedang itu kembali beradu keras.
Kali ini Pangeran Argabaja kembali terkejut amat sangat. Jari-jari tangannya
terasa kaku dan tergetar begitu pedangnya berbenturan dengan pedang Pandan
Wangi.
Belum lagi hilang rasa keterkejutannya, mendadak
saja Pandan Wangi sudah memberi satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi ke
dada pemuda itu. Dan teryata serangan kilat ini sama sekali tidak diduga
Pangeran Argabaja, sehingga terlambat untuk menghindar.
Begkh!
"Akh...!" Pangeran Argabaja memekik
tertahan. Tubuh pemuda tampan perlente itu terpental sekitar setengah batang
tombak ke belakang. Keras sekali tubuhnya ambruk menghantam tanah. Pandan.
Wangi tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Cepat tubuhnya melompat, meluruk
deras sambil menghunus pedang tertuju langsung ke dada Pangeran Argabaja.
"Mampus kau, Keparat..! Hiyaaat..!"
Bres!
"Aaa...!" Satu jeritan panjang melengking
terdengar menyayat begitu pedang Pandan Wangi menghunjam dalam di dada Pangeran
Argabaja. Cepat Pandan Wangi mencabut pedangnya kembali. Seketika itu juga,
darah muncrat keluar dari dada yang berlubang tertembus pedang.
"Binatang sepertimu tidak pantas hidup!
Hih...!"
Cras...! Pangeran Argabaja tidak bisa lagi bersuara
ketika Pandan Wangi menebas lehernya hingga hampir buntung. Seketika itu juga,
pemuda itu tewas disertai semburan darah segar dari leher. Pandan Wangi
melompat mundur. Ada kepuasan di hatinya setelah mcnewaskan laki-laki yang
hampir membuat dirinya ternoda.
Gadis itu berpaling ke arah Rangga yang masih
bertarung sengit menghadapi empat orang tua pengawal Pangeran Argabaja. Tanpa
berpikir panjang lagi, Pandan Wangi cepat melompat masuk dalam kancah
pertempuran.
"Hiyaaat..!"
DELAPAN
Bagaikan kilat, Pandan Wangi menebaskan pedangnya
ke arah Nyai Sutirani. Serangan si Kipas Maut yang begitu cepat dan mendadak
sekali itu, tidak sempat disadari. Akibatnya wanita tua itu tak mampu lagi
menghindar.
Cras!
"Aaa...!" jerit Nyai Sutirani melengking
tinggi.
Pedang Pandan Wangi merobek dada wanita tua itu.
Seketika darah muncrat keluar dengan deras sekali. Nyai Sutirani
terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang berlumuran darah. Dan
sebeum sempat menyadari apa yang terjadi, Pandan Wangi sudah cepat kembali
membabatkan pedang, langsung diarahkan ke leher wanita tua bertongkat hitam
itu.
"Hiyaaat..!"
Bret!
"Aaa...!" untuk kedua kalinya Nyai
Sutirani menjerit panjang melengking tinggi. Wanita tua itu langsung ambruk ke
tanah. Sebentar tubuhnya menggelepar meregang nyawa, kemudian diam tak
bergerak-gerak lagi. Kehadiran Pandan Wangi yang langsung menewaskan Nyai
Sutirani begitu cepat, membuat tiga orang tua lainnya jadi terperanjat. Mereka
segera berlompatan mundur, dan langsung berpaling ke arah Pangeran Argabaja.
Bukan main terkejutnya mereka begitu melihat
Pangeran Argabaja sudah tergeletak tidak bernyawa lagi. Darah masih mengucur
deras. Dari dada dan lehernya. Sementara itu Pandan Wangi sudah menghampiri
Rangga.
"Keparat..! Kau harus membayar nyawa Pangeran
Argabaja!" geram Ki Sundrata seraya menatap tajam Pandan Wangi.
"Dia sudah pantas menerima kematiannya,"
sambut Pandan Wangi dingin.
"Bocah keparat..! Mampus kau! Hiyaaa...!"
Ki Sundrata tidak dapat lagi menahan kemarahannya
begitu mengetahui junjungannya tewas. Tubuhnya cepat melompat menerjang Pandan
Wangi. Namun belum juga sampai pada gadis itu, mendadak saja Pandan Wangi
melemparkan pedang disertai pengerahan tenaga dalam ke arah laki-laki tua
bertongkat hitam itu.
"Yeaaah...!"
"Wus...!"
Bles!
"Aaakh..!"
Akibat terlalu dipenuhi amarah yang meluap-luap Ki
Sundrata tidak bisa menguasai diri. Dan inilah yang mengakibatkannya lengah.
Pedang yang dilemparkan Pandan Wangi tepat menancap di dada laki-laki usia
lanjut itu, hingga tembus ke punggung.
Keras sekali Ki Sundrata jatuh ke tanah. Tubuhnya
nenggelepar sebentar, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Pandan Wangi
menghampiri mayat Ki Sundrata, lalu mencabut pedang dari dada laki-laki tua
itu. Saat ini, Pandan Wangi merasa dirinya telanjang. Tapi dengan pedang yang
ditemukan tergeletak di tanah tadi, kini dia tidak lagi merasa terlalu
telanjang. Baginya yang terpenting sekarang, memegang senjata. Dan pedang ini
sudah meminta tiga nyawa. Gadis itu kemudian kembali menghampiri Rangga.
Sementara Ki Pulung dan Nyai Amoksa nampak pucat
melihat tinggal mereka berdua saja yang masih hidup. Sementara di sekitamya
banyak bergelimpangan gadis yang sudah tidak bernyawa lagi. Beberapa nasih
terlihat hidup, namun keadaannya tidak lagi memungkinkan bisa berdiri. Yang
terdengar hanya rintihan halus mereka.
"Aku akan mengampuni, jika kalian mau
menunjukkan di mana senjata kami tersimpan," kata Rangga, tajam nada
suaranya.
Ki Puking dan Nyai Amoksa tidak segera menjawab.
Mereka saling berpandangan sebentar, lalu memandangi mayat-mayat yang
bergelimpangan di sekitarnya. Mereka sadar, kalau tidak mungkin melawan Rangga
dan Pandan Wangi hanya berdua saja. Sedangkan berempat saja, sukar mendesak
Pendekar Rajawai Sakti tadi. Mereka menyadari kalau kemampuannya masih berada
di bawah pemuda tampan berbaju rompi putih itu.
"Kami tidak tahu, di mana senjata-senjata itu.
Senjata kalian disimpan Kanjeng Ratu. Jadi hanya Kanjeng Ratu sendiri yang
tahu," ujar Ki setelah berpandangan sebentar pada Nyai Amoksa.
"Benar! Kami tidak berdusta. Hanya Kanjeng
yang tahu, di mana senjata itu disimpan," sambung Nyai Amoksa.
"Di mana ratu kalian?" Ranya Rangga.
"Di dalam istana," sahut Nyai Amoksa
seraya menunjuk ke arah sebuah bangunan yang megah dan tampak anggun.
Rangga dan Pandan Wangi mengarahkan pandangan ke
bangunan yang ditunjuk Nyai Amoksa sebentar. Kemudian, mereka kembali
memusatkan perhatian pada dua orang tua ini.
"Kalian harus mengantarkan kami ke sana,"
perintah Rangga.
"Tapi...," Nyai Amoksa ingin menolak.
"Tidak ada tapi-tapian!" bentak Rangga
memotong.
Tak ada pilihan lain lagi bagi kedua orang itu.
Rasanya mereka benar-benar terpojok sekarang ini. Pilihan apa pun yang
dijatuhkan, akan berakibat sama. Apalagi mereka sudah yakin tidak akan mampu
menandingi Pendekar Rajawali Sakti. Dan mereka tidak ingin mati seperti kedua
temannya. Tapi jika menuruti permintaan pemuda ini, mereka pun juga akan mati.
Sebab, Penguasa Samudera sudah pasti akan membunuh mereka karena dianggap
berkhianat. Satu pilihan yang sulit, tapi itu harus.
"Kalau kami tunjukkan, apakah kalian akan
menjamin keselamatan kami berdua?" Tanya Ki Pulung.
"Itu urusanmu sendiri!" dengus Pandan
Wangi ketus.
"Kalau begitu...."
Belum lagi Ki Pulung selesai berkata-kata, mendadak
saja secercah cahaya merah meluruk deras ke arah laki-laki tua itu. Begitu
cepatnya, sehingga Ki Pulung tidak sempat lagi berkelit menghindar. Dan...
"Aaakh...!" Ki Pulung menjerit kencang
begitu cahaya merah itu menghantam tubuhnya.
Seketika Ki Pulung terjatuh ke tanah, lalu
menggelepar seperti ayam disembelih. Tampak dadanya menghitam hangus bagai
terbakar. Perlahan-lahan tubuh laki-laki tua itu meleleh hancur disertai
kepulan asap tipis berwarnah merah.
Melihat kemarian Ki Pulung yang begitu mengerikan,
Nyai Amoksa jadi gemetar. Lalu, dia cepat berbalik dan berlari kencang. Tapi
belum juga berlari jauh, mendadak saja sebuah bayangan biru muda berkelebat
cepat bagaikan kilat menghadang perempuan tua itu.
Tahu-tahu di depan Nyai Amoksa sudah berdiri Dewi
Penguasa Samudera. Maka Nyai Amoksa langsung berlutut di depan wanita cantik
itu. Dipandanginya Rangga dan Pandan Wangi yang berdiri agak jauh. Wanita
cantik itu melangkah dua tindak ke depan. Tampak di kanan dan kiri pinggangnya
tergantung dua pedang, yang sudah pasti milik Rangga dan Pandan Wangi.
Sementara di tangan kanannya tergenggam sebuah kipas baja putih keperakan yang
terkembang. Itu pun juga milik Pandan Wangi Seakan-akan wanita ini ingin
menunjukkan kalau sudah bisa menguasai senjata itu, dan kini tinggal menguasai
pemiliknya.
"Perempuan setan...! Kembalikan milik kami!'
bentak Pandan Wangi menggeram sengit.
"Aku rasa kekasihmu tidak menginginkan
benda-benda ini kembali. Dia sudah mengatakan, hanya meminta kau saja, dan
bukan benda-benda ini," ujar Dewi Penguasa Samudera lembut dan terdengar
tenang sekali.
'Perempuan keparat..! Kau selalu saja mencari
gara-gara!" geram Pandan Wangi semakin sengit.
"Ha ha ha...! Kau salah kalau menuduhku Pandan
Wangi. Seharusnya tuduhlah kekasihmu. Dia yang membuat semua ini terjadi,"
Dewi Penguasa Samudera menunjuk Rangga.
"Kau jangan memutarbalikkan kenyataan,
Penguasa Samudera!" dengus Rangga.
"Kau murid Pendekar Rajawali, bukan...?"
Dewi Penguasa Samudera bernada ingin meyakinkan dirinya sendiri.
"Benar! Dan pedang itu warisan dari mendiang
guruku," sahut Rangga agak terkejut juga mendengar pertanyaan itu.
"Bagus! Itu berarti kau harus tinggal di sini
menggantikan gurumu."
"Kalau hanya aku yang diinginkan, kenapa kau
melibatkan Pandan Wangi? Dia tidak tahu apa-apa, dan kau tidak berhak
melibatkannya!" sentak Rangga lantang.
"Sudah kukatakan padamu, aku terpaksa
menggunakan Pandan Wangi agar kau datang ke sini," masih tetap tenang nada
suara Dewi Penguasa Samudera.
"Apa sebenarnya yang kau inginkan
dariku?" Tanya Rangga.
"Karena kau murid Pendekar Rajawali, maka kau
harus menggantikan gurumu yang telah mati. Dia sudah berjanji akan menjadi
pendampingku yang setia, tapi dia ingkar janji. Dan sampai sekarang dia tidak
pernah muncul. Malah ilmu-ilmunya diturunkan padamu. Dan sekarang kau yang
harus menggantikannya, Rangga. Kau lihat..!" Dewi Penguasa Samudera
menunjuk ke atas.
Rangga dan Pandan Wangi mendongak, dan melihat ke
atas kepala mereka. Tampak di atas sana terlihat seekor burung rajawali putih
raksasa. Burung itu terbang melayang berputar-putar di atas kepala mereka.
Sebagai bangsa siluman, tentunya Dewi Penguasa samudera memiliki ilmu sihir.
Maka tak heran kalau dia bisa menyihir sesuatu menjadi benda yang diinginkan.
Itu pun juga dialami Pendekar Rajawali Sakti ketika harus menghadapi
pohon-pohon yang hidup. Dan kini Dewi Penguasa Samudera juga menyihir sebongkah
batu karang besar menjadi Rajawali Putih, mirip tunggangan Pendekar Rajawali
Sakti.
"Aku sudah ciptakan Rajawali Putih untuk
pengganti Rajawali Putih milik gurumu. Dia bisa kau perintah apa saja, setelah
aku mengizinkan dan menyerahkannya padamu, Rangga. Nah! Sekarang, sebaiknya kau
ikut denganku ke istana. Kita akan menikah dan hidup abadi di Kerajaan Dasar
Samudera ini," lanjut Dewi Penguasa Samudera.
"Perjanjian itu antara kau dan guruku, Dewi
Penguasa Samudera. Jadi tidak ada alasan menuntut sesuatu dariku. Kalau merasa
guruku ingkar janji, pasti ada alasannya. Tidak mungkin guruku ingkar janji
kalau bukan karena kau sendiri yang membuatnya begitu," Rangga membela
gurunya.
"Huh! Dia hanya cemburu! Dia tidak berhak
melarangku berhubungan dengan laki-laki lain. Itu sudah menjadi bagian dari
hidupku. Seharusnya dia bisa mengerti, kalau memang ingin hidup bersamaku sini.
Tapi rupanya dia tidak mau memahami, sehingga mengingkari janjinya. Dan
sekarang, kau sebagai muridnya harus bertanggung jawab. Aku sudah bersumpah!
Jika Pendekar Rajawali mempunyai murid, muridnyalah yang harus menggantikan
kedudukannya," agak keras suara Dewi Penguasa Samudera.
"Jika aku menolak keinginanmu?" Tanya
Ranga memancing.
"Mati di tanganku!" sahut Dewi Penguasa
Samudera, singkat.
"Aku memilih yang kedua."
"Setan...! Ternyata kau sama saja dengan
gurumu! Kau memang harus mati, Rangga...!"
Setelah berkata demikian, Dewi Penguasa Samudera
langsung melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Kipas milik Pandan Wangi
yang berada di dalam kekuasannya dikebutkan. Rangga cepat melompat mundur
sambil mendorong tubuh Pandan Wangi. Serangan Dewi Penguasa Samudera tidak
mengenai sasaran sama sekali.
Tentu saja hal ini membuat wanita cantik itu jadi
geram. Kembali diserangnya Rangga dengan jurus-jurus cepat dan dahsyat luar
biasa. Rangga terpaksa berpelantingan menghindari serangan-serangan yang
dilakukan wanita ini. Sementara Pandan Wangi tidak bisa berbuat apa-apa, dan
hanya dapat menyaksikan perrtarungan itu. Demikian pula Nyai Amoksa. Wanita tua
itu hanya dapat menyaksikan tanpa dapat berbuat sesuatu.
Sementara pertarungan terus berjalan semakin
sengit. Jurus demi jurus berlalu cepat Tanpa terasa, pertarungan sudah berjalan
lebih dari sepuluh jurus. Namun, tampaknya pertarungan itu akan berlangsung
lebih lama lagi.
"Modar...! Yeaaah...!"
Sret!
Bet!
Cepat sekali Dewi Penguasa Samudera mencabut pedang
bergagang kepala naga, dan langsung dikebutkan ke arah dada Pendekar Rajawali
Sakti. Namun dengan gerakan manis sekali, pemuda berbaju rompi putih ini
menghindari tebasan pedang itu. Tubuhnya segera merunduk, hingga sejajar
pinggang Dewi nguasa Samudera. Pedang itu pun lewat tanpa mengenai sasaran.
Cepat Rangga menggeser kakinya kedepan, lalu
tangannya bergerak cepat ke arah pinggang wanita itu. Dan sebelum Dewi Penguasa
Samudera sempat menyadari, tahu-tahu Rangga sudah mencekal pedangnya sendiri
yang berada di pinggang cantik penguasa lautan ini.
Tap!
Cring...!
"Heh...?!"
Dewi Penguasa Samudera terkejut bukan main. Tapi
sebelum sempat menyadari, Rangga sudah melompat mundur sambil membawa Pedang
Pusaka Rajawali Sakti yang berhasil diambil dari warangkanya dipinggang wanita
itu. Sinar biru berkilauan seketika menyemburat terang memancar dari pedang
itu.
"Keparat..!" geram Dewi Penguasa Samudera
merasa kecolongan.
"Bagus, Kakang! Sekarang hantam wanita
itu...!" seru Pandan Wangi girang melihat Rangga sudah menguasai kembali
pedangnya.
"Phuih!" Dewi Penguasa Samudera begitu sengit
mendengar kata-kata Pandan Wangi. Sayang, jaraknya dengan si Kipas Maut itu
jauh. Jadi, dia tidak mungkin melampiaskan kekesalannya pada gadis itu.
Apalagi, kini perhatiannya kemudian tercurah pada Pendekar Rajawali Sakti.
Wanita itu membuang kipas baja putih begitu saja, lalu mencabut pedang
bergagang kepala naga.
Sret!
"Hiyaaa...!"
Bet!
Bet!
Dengan pedang di tangan, Dewi Penguasa Samudera
kembali menyerang Rangga. Kali ini serangannya semakin dahsyat. Malah setiap
kebutan pedang itu menimbulkan hawa panas menyengat. Namun dengan Pedang
Rajawali Sakti berada di tangan, Rangga mudah sekali menandingi permainan
pedang wanita cantik ini. Dan kini Pendekar Rajawali Sakti tidak
tanggung-tanggung lagi. Segera dikerahkannya jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Satu
jurus yang sangat dahsyat dan biasa dikeluarkan jika menghadapi lawan tangguh.
Dan Rangga menganggap Dewi Penguasa Samudera adalah lawan yang paling tangguh
yang pernah dihadapinya.
Buktinya, dia belum pernah mengeluarkan seluruh
kemampuan, kecuali pada lawannya kali ini. Dan Rangga merasa benar-benar
terkuras kemampuannya. Pertarungan ini pun berjalan lama. Entah sudah berapa
puluh jurus, tapi pertarungan masih berlangsung sengit. Sedangkan Rangga belum
mau mengerahkan ilmu kesaktian, sebelum lawannya mengeluarkan lebih dahulu. Dan
ini memang sudah menjadi kebiasaannya jika bertarung satu lawan satu.
"Hup!"
Tiba-tiba saja Dewi Penguasa Samudera melompat
mundur. "Kau memang tangguh, Rangga. Tapi cobalah tahan ajianku ini,"
dengus Dewi Penguasa Samudera.
Kening Rangga sedikit berkernyit melihat wanita
cantik itu mulai mempersiapkan ilmu kesaktian. Dan Pendekar Rajawali Sakti
tidak ingin menandinginya dengan ilmu kesaktian tingkat rendah. Dia tahu, ilmu
yang akan dikeluarkan wanita ini pasti sangat dahsyat dan berbahaya.
Cepat Pendekar Rajawali Sakti melintangkan pedang
di depan dada, lalu menggosok mata senjata itu dengan telapak tangannya.
Sebentar saja, cahaya biru yang memancar dari mata pedang menggumpal membentuk
bulatan. Pada saat itu, Dewi Penguasa Samudera sudah siap melakukan serangan.
"Hiyaaat..!"
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...! Yeaaah...!"
Cepat Rangga memindahkan pedang ke tangan kiri,
lalu tangan kanannya menghentak ke depan. Itu dilakukan tepat ketika Dewi
Penguasa Samudera mengibaskan tangan ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Tak pelak
lagi, dua telapak tangan beradu keras dl udara.
"Heh...?! Hih...!"
Dewi Penguasa Samudera sangat terkejut ketika
melihat Rangga menggunakan aji 'Cakra Buana Sukma'. Perempuan cantik ini tidak
menduga kalau lawannya memiliki ajian yang sangat ampuh itu. Ajian yang menjadi
andalan Pendekar Rajawali yang hidup seratus tahun lalu. Dewi Penguasa Samudera
segera mencoba menarik tangannya, tapi terlambat. Ternyata aji 'Cakra Buana
Sukma' sudah bekerja cepat, sehingga tangan wanita itu tidak dapat dilepaskan
lagi. Dewi Penguasa Samudera langsung merasa tenaganya mulai tersedot tanpa
dapat dikendalikan lagi.
Sia-sia saja mencoba melepaskan diri. Semakin keras
berusaha, semakin kuat saja daya tarik yang menyedot tenaga keluar. Tubuh Dewi
Penguasa Samudera mulai terasa lemas. Bahkan kesaktian dan segala kemampuannya
ikut tersedot. Tubuhnya semakin lemas, dan wajahnya kian pucat. Perlawanannya
pun semakin mengendur saja, hingga akhirnya terhenti sama sekali.
"Yeaaah...!"
Rangga menghentakkan tangan kuat-kuat. Seketika itu
juga tubuh Dewi Penguasa Samudera terlempar keras, hingga punggungnya
menghantam sebongkah batu yang cukup besar. Dewi Penguasa Samudera kini
tergeletak lemas. Napasnya tersengal, dan tubuhnya bagai tidak memiliki tenaga
lagi.
Kini Pendekar Rajawali Sakti melangkah menghampiri.
Sebentar dipandanginya wanita itu. Lalu, dilepaskannya sarung pedang yang
berada di pinggang wanita ini. Pendekar Rajawali Sakti memungut pedang
bergagang kepala naga hitam, dan memasukkan ke dalam warangkanya. Dia kemudian
juga memungut kipas baja putih. Senjata-senjata itu diberikan pada Pandan
Wangi, sedangkan dirinya sendiri mengenakan kembali pedangnya di punggung.
"Kita apakan dia, Kakang?" Tanya Pandan
Wangi seraya menatap tajam pada Dewi Penguasa Samudera.
"Tinggalkan saja. Dia perlu waktu cukup lama
utuk memulihkan kekuatannya kembali," sahut Rangga sambil mengajak Pandan
Wangi meninggalkan daerah kekuasan Dewi Penguasa Samudera ini. Dengan petunjuk
Nyai Amoksa, mereka dapat kembali ke dunia nyata kembali. Sementara Dewi
Penguasa Samudera hanya bisa menggerutu dan mendendam dalam hati.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
MUSTIKA KUBURAN TUA
Emoticon