DELAPAN
Tiga-hari tiga malam telah
dilewati Adhinata
yang mendekam di dasar sumur...
Selama itu tak ada
lain pekerjaan Adhinata selain
menghitung-hitung jari-
jari tangan dan kakinya. Atau
mencabuti bulu-bulu
yang tumbuh di badannya. Kalau
sudah bosan dengan
"pekerjaan" itu tak
ada lagi keisengan lain selain ma-
kan lumut. Dan kalau perutnya
sudah kenyang terisi,
hawa mengantuk pun datang.
Tidurlah dia dengan
menggeros. Demikianlah nasib
Adhinata selama terku-
rung di dasar sumur. Tak terasa
haripun kembali men-
jadi gelap lagi. Datangnya malam
ternyata begitu cepat,
karena bila hawa dingin
menyelimuti sekitar lubang
Adhinata cuma bisa menggigil
kedinginan. Untunglah
ingatannya mulai agak pulih, dan
dia dapat segera sa-
lurkan hawa hangat dari tenaga
dalamnya untuk men-
gusir hawa dingin yang
menyungsum tulang.
Adhinata memang sudah tak
perduli lagi akan
nasibnya. Bahkan sudah tak ingat
lagi berapa hari su-
dah dia bersemayam di dasar
sumur itu. Pada hari ke-
sembilan pemuda ini
kerutkan keningnya, karena
mendengar suara jeritan kaget
dari atas lubang. Dan
bersamaan itu batu-batu kecil
berjatuhan meluruk
atas kepala. Alangkah
terkejutnya Adhinata ketika
menengadah ke atas, melihat
sesosok tubuh melayang
ke bawah.
"Haaii...! ada orang
terperosok ke lubang sialan
ini...!" Sentaknya kaget.
Tak ayal dia sudah bangkit
berdiri. Dan.... tentu saja lengannya
dengan cepat se-
gera terentang untuk selanjutnya
sudah menangkap
tubuh orang yang jatuh
terperosok itu.
KREP...! Sekejap kemudian sosok
tubuh itu su-
dah berada dalam rengkuhan
sepasang tangannya
yang kuat. Orang itu
perdengarkan suara keluhan li-
rih. Segera saja Adhinata sudah
dapat menduga kalau
sosok tubuh itu adalah seorang
wanita. Karena terasa
ada dua buah benda lunak yang
menempel ke dada.
"Bagus...! kebetulan, kini
aku punya seorang
teman...!" Berdesis mulut
Adhinata dengan sepasang
matanya membeliak lebar
memperhatikan wajah
orang. Akan tetapi tiba-tiba
wajah Adhinata berubah
pucat. "Celaka...! aku tak
boleh menyentuhnya!" desis-
nya kaget. Dan serta-merta
Adhinata melepaskan pon-
dongannya. Tubuh wanita itu
jatuh berdebam ke tanah
lembab. Dan Adhinata melompat ke
sisi lubang.
Jantungnya berdetak keras.
Sepasang matanya
memperhatikan tubuh wanita itu
dengan cemas.
Segera terbayang akan apa yang
bakal terjadi.
Tak lama lagi di tempat itu akan
ada sesosok mayat
yang daging tubuhnya mencair,
menimbulkan bau bu-
suk. Ooh, alangkah tidak
menyenangkan...! Akan teta-
pi ditunggu sekian lama tak ada
terjadi apa-apa den-
gan wanita itu. Bahkan si wanita
itu sendiri sudah
membuka sepasang matanya. Dan
menggeliat untuk
bangkit berduduk. Sepasang
matanya menatap pada
Adhinata dengan tatapan heran.
Bibirnya tampak ter-
getar berucap.
"Ah... siapakah..
anda...?"
"Heh? kau tak apa-apa...?
Aneh...! Tubuhku
mengandung racun! aku... aku
telah menyentuh mu...!
Sukurlah kau tak apa-apa...!
Namaku Adhinata!" Tu-
kas Adhinata dengan wajah gerang
melihat wanita itu
tak terkena racun. Hal itu amat
mengherankan Adhi-
nata. Hingga terlongong Adhinata
menatap wanita itu
yang tak lain dari Giri Mayang
adanya. Entah apa yang
terjadi hingga wanita telegas
itu bisa jatuh terperosok
ke dalam lubang. Giri Mayang
sendiri pun terlongong
keheranan, karena tak menyangka
dirinya masih hi-
dup. Dia memang dalam keadaan
tanpa daksa. Bebe-
rapa luka ditubuhnya akibat
serangan Roro Centil
dengan batu kerikil, telah
mematikan beberapa urat ja-
lan darah di tubuhnya.
Dia memang berhasil meloloskan
diri dari maut
karena Roro tak mengejar. Bahkan
tak memperdulikan
lagi pada Wanita itu. Padahal
Giri Mayang masih be-
lum beberapa jauh, karena tak
dapat berlari cepat.
Bergelindingan tubuh Giri Mayang
dengan luka-luka
pada tubuhnya. Namun dia masih
bisa bangkit untuk
berlari dan berlari... Kembali
kakinya tersaruk, dan dia
jatuh terguling. Kali ini dia
tak dapat bangkit lagi. Se-
luruh urat darahnya terasa
ngilu. Dan mengeluhlah
dia panjang pendek.
Untunglah Roro Centil tak
menampakkan diri.
Namun begitu takutnya Giri
Mayang, hingga dia sem-
bunyi dibalik sebongkah batu.
Demikianlah. Berhari-
hari dia harus menahan lapar
karena tubuhnya tak
dapat digerakkan sama sekali.
Luka-luka kecil pada
sekujur tubuhnya mulai
membengkak. Merintih dia
menahan sakit. Akhirnya dengan
kuatkan diri dia me-
rangkak untuk mencari makanan
yang bisa dimakan.
Sekitar tempat itu amat gersang.
Cuma batu-batu me-
lulu yang terlihat. Susah payah
dia mendaki lereng-
lereng berbatu terjal itu dengan
setengah menangis.
Siang hari yang panas terik itu
dia telah hampir
tiba di ujung bukit batu.
Beberapa tombak lagi sudah
terlihat hutan dengan pepohonan
yang menghijau. Dia
mengharapkan akan menjumpai
sebuah desa. Atau
seorang penduduk desa yang
lewat. Dan akan selamat-
lah dia dari penderitaan. Akan
tetapi sungguh tragis.
Di saat dia sudah berjuang
setengah mati, justru bera-
kibat fatal. Akar pohon beringin
yang di raihnya telah
terlepas karena kakinya
tergelincir. Dan... menggelin-
dinglah tubuhnya ke bawah
tebing. Sungguh sukar
txt oleh
http://www.mardias.mywapblog.com
disangka kalau ternyata Giri
Mayang telah terjerumus
masuk ke sumur dimana Adhinata
berada di dasarnya.
Itulah peristiwa yang telah
dialami wanita itu.....
"Ah ... terima kasih atas
pertolonganmu...!"
Berkata Giri Mayang dengan wajah
menampilkan kegi-
rangan luar biasa mendapati
dirinya masih dapat se-
lamat dari maut untuk yang
kesekian kalinya.
"Tampaknya kau terluka,
kulihat banyak bekas
darah sekujur
tubuhmu...!"Berkata Adhinata dengan
menjalari sekujur tubuh wanita
itu dengan pandangan
matanya.
"Benar...!" sahut Giri
Mayang." Akan tetapi lu-
ka-luka ini bukan bekas aku
jatuh menggelinding, me-
lainkan aku diserang musuh
besarku!" sambungnya li-
rih. Adhinata kerutkan lagi
alisnya.
"Siapa musuh
besarmu...?" Tanya Adhinata.
Pertanyaan itu membuat wajah
Giri Mayang jadi beru-
bah seketika. Sepasang matanya
memancarkan cahaya
dendam yang berapi-api. Bibirnya
tergetar mengucap-
kan kata-kata... "Dialah
yang bernama Roro Centil.
Wanita iblis itu telah
menyiksaku setengah mati. Heh!
kelak aku akan membalasnya
perlakuan kejinya!" Se-
mentara Adhinata diam-diam mulai
memperhatikan
wajah wanita itu yang menurut
pandangannya cukup
cantik. Dan hatinya ternyata
telah tertarik padanya.
"Musuh besarmu itu kalau
aku bisa keluar dari
dalam sumur celaka ini pasti aku
lumatkan tubuhnya!
siapakah namamu, nona...?"
Bertanya Adhinata. "Na-
maku Giri Mayang. Dan kau...
mengapa bisa berada
didalam sumur ini?" Tanya
pula Giri Mayang setelah
menjawab pertanyaan Adhinata.
Hahaha... nasibku
sama seperti nasibmu. Aku pun
Jatuh terperosok ke
dalam sumur celaka ini karena
dikejar orang!" jawab
Adhinata.
"Dikejar orang? Apakah
kesalahanmu?"
"Tubuhku mengandung racun
yang amat hebat.
Apapun benda bernyawa yang ku
sentuh pasti menga-
lami keracunan hebat, dan...
mati! Itulah sebabnya
aku terperosok ke dalam lubang
celaka ini, karena
menghindari buruan dari
manusia-manusia yang
membunuhku! Dan yang mengejarku
waktu itu adalah
si perempuan bernama Roro Centil, yang khabarnya
adalah seorang Pendekar Wanita
yang berilmu tinggi!".
Tutur Adhinata. Tercenung Giri
Mayang dengan mena-
tap heran. Mengapa nasib mereka
bisa hampir bersa-
maan? Pikir Giri Mayang.
Mendengar penuturan bah-
wa tubuh pemuda itu mengandung
racun yang amat
hebat, justru membuat dia
bertanya.
"Kau katakan tubuhmu
mengandung racun,
mengapa kau telah menyentuh ku
aku mengalami ke-
racunan apa-apa?"
"Itulah anehnya...!I aku
sendiri juga heran. Pa-
dahal aku sudah menduga kau
pasti tewas! Bahkan si
RIRIWA BODAS musuh guruku si
Raja Racun telah
tewas karena beradu pukulan
dengan denganku!" Ber-
kata Adhinata. Sekonyong-konyong
ingat akan hal itu.
Padahal Adhinata sebelumnya
ingat sama sekali.
"Ha...? Jadi kaukah yang
telah membuat kema-
tian Ririwa Bodas?" Tanya
Giri Mayang dengan tersen-
tak kaget.
"Hahaha... benar! bahkan si
Raja Racun sendiri
yang telah ku angkat sebagai
guru baruku juga tewas
karena terkena racun
tubuhku...!" Melengak Giri
Mayang. Tahulah kini dia kalau
sebenarnya Adhinata
Adalah orang yang pernah disebut gurunya, yaitu si
Ririwa Bodas untuk bertarung
mengadu kesaktian
dengannya. Dan sang guru sendiri
juga akan menga-
dakan pertarungan mengadu
kesaktian dengan si Raja
Racun itu. Tak dinyana Giri
Mayang tak mengetahui
lagi nasib sang guru. Karena
belum waktunya tiba saat
perjanjian pertarungan mengadu
kesaktian, Giri
Mayang telah kena dipecundangi
Roro Centil.
Giri Mayang memang segera
kembali untuk
menjumpai gurunya. Namun goa
tempat tinggal sang
guru telah runtuh teruruk, entah
akibat gempa entah
dihancurkan orang. Tak
diketahuinya lagi kemana le-
nyapnya sang guru. Namun
akhirnya dijumpainya juga
mayat si Ririwa Bodas yang
segera dikenali olehnya.
Akan tetapi sudah dalam keadaan
hampir tinggal tu-
lang belulang. Cuma dari ruas
tulang dan sepasang tu-
lang kaki yang amat besar itulah
menguatkan dugaan-
nya kalau kerangka dengan daging
membusuk itu ada-
lah kerangka mayat si Ririwa
Bodas.
Seperti sudah menjadi
kebiasaannya Giri
Mayang selalu berhasil mencari pengganti
guru. Si Ri-
riwa Bodas itu entah gurunya
yang ke berapa. Akan te-
tapi kesemuanya itu dibunuh mati
olehnya setelah
mendapatkan ilmu, tentu sang
guru tewas dibunuh
orang. Karena hampir rata-rata
guru yang menjadi pi-
lihannya adalah tokoh-tokoh
golongan hitam.
Sukar diduga kalau ternyata
kedua orang mu-
rid dari dua tokoh golongan
hitam itu bisa bertemu.
Dan kejadian ini terjadi kelak
akan membuat gempar-
nya dunia persilatan. Dan
gegernya wilayah Kota Raja.
Karena beberapa bulan
kemudian....
"Suamiku Adhinata...! kita
akan Jadi sepasang
manusia yang ditakuti dan
berkuasa di Rimba Hijau!
Bagaimana kalau kita merebut
sebuah Kerajaan kecil
dipantai pesisir Pulau Jawa.
Setelah puas kita berse-
nang-senang, segera kita rebut
kerajaan lainnya satu
persatu. Wilayah kerajaan kita
akan menjadi semakin
besar dan luas! Hihihi... dengan
kehebatan racun yang
berada di tubuhmu, dengan mudah
kita akan menum-
pas siapa saja yang tak kita
ingini, termasuk si Roro
Centil itu! Bahkan masih banyak
lagi kaum pendekar
golongan putih musuh-musuh kita
yang harus kita
tumpas sampai tuntas! Dan...
selama itu aku akan te-
tap setia di sampingmu...!"
Berkata Giri Mayang. Wani-
ta ini duduk di atas punggung
kuda yang tetap, kekar
berkulit coklat kehitaman.
Pakaiannya dari kain sutera
yang mahal dengan bermacam
perhiasan tergerai di
leher, lengan dan kaki. Tiga
buah tusuk konde emas
terselip digelung rambutnya. Tak
ubahnya Giri Mayang
bagaikan istri seorang bangsawan
kaya raya. Atau bisa
pula mirip seorang permaisuri
sebuah Kerajaan. Se-
mentara Adhinata berpakaian
warna abu-abu dengan
ikat pinggang emas. Sebuah keris
terselip di belakang
punggungnya. Ikat kepalanya
bersulamkan benang
emas yang gemerlapan. Pada Ikat
pinggangnya tergan-
tung sebuah buntalan kecil yang
sudah dapat diduga
berisi uang emas dan perhiasan.
—~oOo~—~
SEMBILAN
ADHINATA berjalan pelahan
menuntun kuda
yang dinaiki Giri Mayang. Tak
ubahnya bagaikan seo-
rang anak bangsawan yang
menuntun kuda seorang
putri Raja. Sedangkan di belakangnya adalah sebuah
rumah gedung milik seorang
pembesar kerajaan yang
sudah dalam keadaan porak
poranda. Puluhan mayat
bergelimpangan dengan keadaan
mengerikan. Karena
hampir setiap mayat tak ada yang
bertubuh utuh.
Masing-masing sudah mirip
tengkorak, dengan daging
membusuk yang menimbulkan bau
tak sedap.
"Apapun yang kau ingini
pasti akan aku kabul-
kan, isteriku...! Apakah kau tak
berhasrat menempati
gedung Pembesar Kerajaan
ini...?"
"Heh! aku sudah bosan
berdiam di wilayah ini.
Bukankah kita ini Pengantin
baru? Aku ingin berbulan
madu di tempat yang tenang.
Kejadian ini pasti akan
menggemparkan wilayah Kota Raja.
Dengan demikian
apakah kita bisa mendapat ketenangan?"
Tukas Giri
Mayang.
"Hahaha... kau benar
istriku! marilah kita cepat
tinggalkan tempat ini. Kulihat
cuaca sudah
hampir gelap!" Berkata
Adhinata. Lalu melompat ke
atas punggung kuda di belakang
Giri Mayang. Sebelum
keprak kudanya, pemuda ini peluk
dulu tubuh "is-
tri"nya dengan mesra.
Bahkan menciumnya dengan
gairah.
"Hihihi... sudahlah,
suamiku...! mari kita be-
rangkat!" Berkata Giri
Mayang dengan suara lirih Ad-
hinata mengangguk.
Dan.....sesaat kemudian seekor
kuda dengan dua orang
penunggangnya telah men-
congklang lari dengan pesat
meninggalkan tempat itu.
Sementara dilangit cuaca mulai
semakin gelap. Awan
hitam menyebar ke arah barat
dengan hembusan an-
gin cukup kencang. Kuda dengan
dua penunggang itu
semakin menjauh. Dan akhirnya
lenyap dibalik tikun-
gan jalan menuju kesatu rumput
sisi hutan......
-oOo-
Tiga orang prajurit tampak
berlari-lari mema-
suki pintu gerbang Istana. Empat
orang Kepala Pen-
gawal segera menyongsongnya.
Mereka baru saja mau
berangkat menjalankan tugas,
dengan beberapa belas
prajurit yang telah disiapkan.
"Hai ....!? apa yang telah
terjadi? cepat katakan!"
Salah seorang prajurit segera
bicara dengan tanggap keterangan
tergagap.
"Celaka...! gedung gusti
telah kemasukan sepa-
sang perampok! Mereka telah
membunuhi prajurit. En-
tah bagaimana nasib gusti Patih
sendiri hamba tak
mengetahui...!" Ujarnya,
lalu lanjutkan laporannya.
"Pembunuhan itu seram
sekali! pu... puluhan prajurit
dan rakyat sekitar yang turut
menempur kedua pe-
rampok itu telah mati
keracunan...!" Ketiganya adalah
prajurit-prajurit dari gedung
kepatihan yang masih
tinggal hidup dan sempat
meloloskan diri dari maut.
Terbelalak empat pasang mata ke
empat kepala
pengawal itu. Segera hampir
berbareng mereka berkata
tertahan.
"Manusia Beracun...!"
sentak mereka kaget. Ce-
laka...! manusia itu telah
muncul lagi! kita terlambat
mengetahui!" Berkata salah
seorang dengan wajah pu-
cat.
"Cepat beri laporan pada
gusti Senapati...!" pe-
rintah seorang kepala pengawal
pada anak buahnya.
Segera salah seorang prajurit
berlari memasuki ruang
pendopo. Akan tetapi justru
Senapati Kerta Bum! telah
muncul di pintu pendopo Istana.
"MANUSIA BERACUN itu telah
muncul, gusti
Senapati...!" lapor
prajurit itu. Lalu laporkan apa yang
di dengar tadi. Laporan singkat itu membuat wajah
Senapati Kerta Bumi berubah
pucat.
"Bagaimana nasib Ki patih!?" tanya Senapati
Kerta Bumi.
"Entahlah, menurut yang
kami dengar belum
diketahui nasibnya...! sahut
prajurit itu. Ke empat ke-
pala pengawal segera datang
menyusul untuk meng-
hadap.
"Benarkah laporan yang
kudengar bahwa si
Manusia Beracun membantai
prajurit di Kepatihan?"
Tanya Senapati Kerta Bumi.
"Benar sekali gusti
Senapati, cuma tiga orang
prajurit itu yang berhasil
meloloskan diri. Si manusia
beracun itu bersama seorang
wanita. Mereka meram-
pok dan membunuhi para
pengawal...!" tutur salah
seorang kepala pengawal.
Senapati Kerta Bumi segera
perintahkan ketiga prajurit
kepatihan itu untuk meng-
hadap dan melapor sekalian pada
Baginda Raja. Dari
keterangan ketiga prajurit itu
segera diketahui siapa
adanya wanita pendamping si
manusia beracun. Yaitu
Giri Mayang. Karena mereka telah
mengenali wanita
itu, yang pernah membuat heboh
dengan ular-ular si-
luman ciptaan gurunya membunuh
habis keluarga
Adhipati Banjaran.
Tercenung Senapati Kerta Bumi.
Ada perasaan
ngeri juga di hatinya. Akan
tetapi dia segera perintah-
kan empat kepala pengawal yang
baru diangkat belum
lama itu untuk segera membagi
tugas menyelidiki,
menguntit kemana kepergiannya si
Manusia Beracun.
Empat kepala Pengawal segera
membagi tugas
pada kelompok prajuritnya. Lalu
bergegas menuju ke
wilayah gedung Kepatihan yang
terletak di sebelah ti-
mur Kota Raja. Pengejaran untuk
menyelidiki kemana
perginya si Manusia Beracun
ternyata mengalami ke-
gagalan. Karena si manusia
beracun sudah lenyap me-
ninggalkan wilayah itu. Tak
seorangpun menemukan
jejaknya. Kejadian mengerikan itu
telah membuat
Senapati Kerajaan Sunda Kelapa
itu merobah
keputusan untuk menumpas si
Manusia Beracun,
yang sudah jelas diperalat oleh
Giri Mayang, si wanita
yang masih menjadi buronan
Kerajaan. Ratusan laskar
telah disebar ke segenap penjuru
wilayah Kerajaan
Sunda Kelapa. Demikianlah
kekalutan yang melanda
di wilayah kerajaan itu.
Ternyata ki Patih Lengser She-
ta telah tewas berikut seluruh
keluarganya, yang dida-
pati para prajurit penyelidik di
dalam kamarnya...
Kejadian ini hampir mirip dengan
kematian Ad-
hipati Banjaran yang tewas oleh
ular-ular siluman. Be-
danya kini si Manusia Beracun
itulah yang membuat
mayat-mayat bergelimpangan, dan
membunuh habis
keluarga Patih Kerajaan Sunda Kalapa. Hujan turun
yang turun rintik-rintik membuat
suasana di halaman
gedung Kepatihan tampak semakin
seram juga meng-
harukan..........
Tak seorang pun dari para
petugas Kerajaan
yang berani menyentuh mayat yang
berkaparan itu.
Dan akhirnya mereka menyingkir
dari gedung Kepati-
han karena datangnya malam yang
gelap gulita mem-
buat mereka ngeri untuk berjaga
di sekitar gedung itu.
--000--
DUA HARI KEMUDIAN.
Menjelang Pagi, di sebuah jalan
desa...
Matahari baru saja merayap naik
ke ujung bu-
kit ketika seekor kuda dengan
dua penunggangnya se-
pasang sejoli yang mirip
orang-orang bangsawan itu
melintasi jalan desa.
"Kita akan terus kemana,
istriku...?" Bertanya
Adhinata. Sepasang lengannya
memeluk pinggang Giri
Mayang. Duduk berdua di punggung
kuda dengan se-
panjang jalan bermesraan begitu
saja tentu saja men-
gundang perhatian orang. Bahkan
tiga anak kecil yang
tengah bermain segera hentikan
permainannya untuk
menatap pada mereka.
"Kita sudah berada di wilayah tenggara. Desa
ini tampaknya tenang dan damai.
Bagaimana kalau ki-
ta berbulan madu di desa ini
saja...?"
"Aha, boleh juga! Tapi kita
harus bersikap baik
pada mereka...!"
"Bagus! saat ini kita
memang kita membutuh-
kan ketentraman. Usulmu baik
sekali. Hihihi... siapa
tahu kau jadi kepala desa di sini!" Ucap Giri Mayang
dengan suara berbisik. Sementara
sepasang matanya
menatap pada ketiga bocah yang
tengah menatap me-
reka. Giri Mayang gerakkan
lengannya menggapai.
"Hei, anak-anak manis
kemarilah!" panggilnya. Takut-
takut salah seorang anak
menghampiri. "Bagus! siapa
namamu...?" tanya Giri
Mayang.
"Namaku...ng...
Masiro..." sahut bocah itu den-
gan lugu.
"Kau tahu apakah nama desa
ini...?"
"Desa Tembiling...!"
Sahut anak itu.
"Aha...! bagus! coba
tunjukkan yang manakah
rumah kepala desa..?" Tanya
pula Giri Mayang.
"Kepala desa belum lama
meninggal, itulah ru-
mahnya!" Sahut anak itu
seraya menunjuk pada se-
buah rumah panggung yang cukup
besar berhalaman
bersih. Tentu saja membuat Giri
Mayang Jadi melen-
gak. "Kebetulan
sekali...!" Desisnya perlahan pada Ad-
hinata. Adhinata
mengangguk-angguk dengan terse-
nyum lebar. Girang sekali Giri
Mayang, segera lengan-
nya merogoh saku bajunya. Dan..
"Hihihi... terimalah ini,
persenan untukmu!"
ujarnya seraya berikan sekeping
uang perak. Akan te-
tapi anak ini tampaknya takut
untuk menerima.
"Hai, terimalah...! Ujar
Giri Mayang lagi. Baru-
lah bocah itu mau menerimanya.
Lalu Giri Mayang ga-
paikan lengannya pada dua bocah
lainya yang masih
berdiri terlongong. Bergegas
kedua anak kecil itu men-
datangi. Dan Giri Mayang pun
berikan pula pada ke-
dua bocah itu masing-masing
sekeping uang perak.
Tentu saja ketiga bocah itu
girang nya bukan main,
hingga tak sempat mengucapkan
terima kasih segera
menghambur lari dengan teriakan
girang. Tersenyum
Giri Mayang dan Adhinata dengan
berpandangan. Tak
lama Giri Mayang sudah
menjalankan kudanya untuk
mendatangi rumah Kepala Desa
itu.
Setelah bercakap-cakap dengan
seorang wanita
yang ternyata adalah janda
Kepala Desa Tembilang,
tampak kedua sejoli itu beranjak
masuk ke rumah
panggung. Tentu saja mereka
mendapat penyambutan
luar biasa sebagai "tetamu
terhormat" istri mendiang
Kepala Desa Tembilang itu. Tak
memakan waktu lama
penduduk bermunculan mengerumuni
ketiga bocah
tadi.
"Baik sekali nona Cantik
itu, kami diberinya
masing-masing sekeping
uang...!" Berkata Masiro den-
gan bangga, dan menujukkan
kepingan uang perak di-
telapak tangannya. Tentu saja
membuat mereka terke-
jut, karena sekeping uang perak
itu nilainya bukan se-
dikit. "Ah, bangsawan dari
manakah yang singgah ke
desa kita? berkata salah
seorang. "Entahlah tapi desa
kita tampaknya bakal mengalami
keberuntungan den-
gan kedatangan suami istri bangsawan itu. Mereka
seorang yang dermawan...!"
Ujar seorang kakek yang
memegangi lengan salah seorang
bocah tadi. Ternyata
bocah itu cucunya.
—~oOo~—~
SEPULUH
Dengan menunjukkan sikap
kedermawanan-
nya, Giri Mayang berhasil
menaruh simpati penduduk.
Bahkan rumah kepala desa itu
telah dibelinya. Di
bayarnya dengan harga mahal
untuk ditempati sejoli
itu. Tentu saja istri mendiang
si Kepala Desa itu tak
dapat menolak, bahkan merasa
suka-cita. Karena dia
memang amat memerlukan biaya
untuk menghidupi
anak dan keluarganya. Dengan
uang itu dia bisa mem-
bangun rumah lagi sisanya bisa
dibelikan kebun. De-
mikianlah, Giri Mayang dan
Adhinata menempati ru-
mah bekas Kepala Desa itu yang
telah dibelinya. Bebe-
rapa pembantu ditempatkan pada
rumah itu untuk
melayani keperluannya.
Rasa simpati penduduk akhirnya
telah menim-
bulkan kesepakatan para tetua
desa Tembilang untuk
mengangkat Adhinata sebagai
Kepala Desa pengganti
Kepala Desa lama yang telah
meninggal. Mereka be-
ranggapan apa salahnya jabatan
itu diberikan pada
bangsawan muda itu, karena toh
mereka telah mene-
tap di desa mereka.
Tanpa banyak liku-liku Adhinata
ditetapkan
sebagai pengganti Kepala Desa
Tembilang. Tentu saja
Adhinata tak menolak, dan dengan basa-basi yang
menarik hati seolah terpaksa
menerima pengangkatan
itu secara terpaksa, Adhinata
berujar, "Sebenarnya tak
ada niatku untuk menjabat Kepala
Desa disini, tapi
karena kalian berkehendak agar
desa ini ada pemim-
pinnya, terpaksa aku tak dapat
menolak keinginan ka-
lian...!" Ucap Adhinata,
yang segera diiringi dengan te-
pukan riuh. Dan tetua-tetua desa
memberikan ucapan
selamat dengan menyalami sang
Kepala Desa baru me-
reka. Begitu juga Giri Mayang
yang mendapat jabatan
tangan dari semua penduduk desa
Tembilang sebagai
istri dari Kepala Desa muda itu.
Kegembiraan rakyat desa
Tembilang ternyata di
iringi bermacam upacara adat
yang disaksikan sang
Kepala Desa baru itu bersama
istrinya. Menjelang sen-
ja upacara itu usailah sudah.
Para penduduk tampak
puas dapat menyuguhkan upacara
pengangkatan Ke-
pala Desa mereka dengan amat
meriah. Selesai dengan
semua itu, Giri Mayang meraih
tangan Adhinata untuk
segera dituntun masuk ke dalam
kamar yang telah di-
atur rapi oleh pembantu rumah.
Lega sekali perasaan
Giri Mayang, karena begitu pintu
kamar ditutup rapat
segera dia sudah memeluk
Adhinata erat-erat.
"Selamat...! selamat, tuan
ku Kepala Desa...
ucap Giri Mayang dengan gembira.
"Ahaai... akhirnya
kita bisa tinggal di desa ini
dengan tentram dan bulan
madu kita akan terasa bahagia
sekali..."
"Benar istriku...! kini kau
telah jadi istri seo-
rang Kepala Desa Tembilang!
hahaha...!" Berkata Ad-
hinata seraya pondong tubuh Giri
Mayang ke tempat
tidur...
Ketika sang malam merayap,
lengan Giri
Mayangpun merayap pula
menyingkirkan sesuatu
yang menghalangi tubuh Adhinata.
Sementara dia
sendiri sudah tanggalkan pula
pakaian mahalnya un-
tuk berganti dengan selimut.
Ketika "selimut" hangat
itu meneduhi tubuhnya, wanita
"bangsawan" itu pun
perdengarkan keluhan nikmat.
Terasa sekali baha-
gianya jadi istri seorang Kepala
Desa. Terasa sekali ba-
hagianya berbulan madu di desa
Tembilang yang ten-
tram itu. Terkadang terpikir
juga dibenak Giri Mayang,
alangkah bahagianya jadi orang
baik-baik. Dihormati
orang, dihargai sesama manusia
... Sayang semua itu
cuma selintas karena nafsu telah
lebih unggul dari ji-
wanya.
Jiwanya yang tadinya murni telah
dirusak, se-
telah dikotori dan dirasuki
nafsu-nafsu sesat. Hingga
kotorlah dan rusaklah jiwa
murninya...! Dan ketika de-
sah-desah napas Adhinata menghembusi telinganya,
Giri Mayang telah lupakan
pikiran baik dibenaknya.
Direngkuhnya laki-laki hebat itu
dengan nafsu yang
menggelora. Sementara Adhinata
yang masih "hijau"
itu mendesah puas dengan tenaga
mulai mengendur.
Tak lama dia sudah terlena
dengan tak memikirkan
apa-apa lagi. Bahkan tak lama
lagi sudah terdengar
suara dengkurnya membaur dengan
suara jengkerik
malam di sisi rumah
panggung...
Berlainan dengan Giri Mayang.
Dia masih be-
lum bisa pejamkan mata.
Khayalnya jauh melambung
setinggi langit. Pu-
askah dia dengan
"bersuamikan" Adhinata si Manusia
Beracun itu menurut ukuran
nafsunya? Tidak.....! Giri
Mayang cuma mau memperalat si
Manusia Beracun
demi cita-citanya. Dan untuk
jadi seorang "istri" setia
yang "menikah" tanpa
saksi dan penghulu di dasar
sumur berbau pengap itu, nanti
dulu...! Giri Mayang
bukan type wanita macam begitu.
Istri teladan... NO!
Kalau istri serong... YES!
Baginya 100 jejaka tulen
yang disuguhkan kepadanya masih
belum cukup un-
tuk waktu singkat sekalipun.
Demikianlah watak dan
pribadi Giri Mayang, si wanita
pendendam yang punya
1001 akal licik di benaknya.
Diam-diam Giri Mayang memaparkan
aji panyi-
rep untuk tak membuat bangun
Adhinata sampai pagi.
Bermacam-macam ilmu memang ada
dipunyainya.
Akan tetapi semua itu
dipelajarinya tidak sampai tun-
tas, karena sering berganti
guru. Dan ilmu Aji Panyirep
yang dapat membuat orang tidur
pulas itu untuk per-
tama kalinya dicobakan pada
Adhinata. Tak lama dia
sudah bangkit dari tempat tidur.
Bergegas mengena-
kan pakaiannya. Dan... di malam
yang larut itu, seso-
sok tubuh melompat dari jendela
rumah Kepala Desa
baru itu dengan tak menimbulkan
suara. Selanjutnya
setelah menutupkan kembali daun
jendela, sosok tu-
buh itu berkelebat, dan lenyap
di kegelapan malam...
Apakah yang dilakukan Giri
Mayang? Ternyata
mencari sesuatu yang baru untuk
pelengkap hasrat-
nya. Tentu saja dia harus
mencari penyalur hasratnya
itu di luar desa Tembilang.
Senyapnya malam itu tidaklah
mengganggu
langkahnya. Tak berapa lama
kakinya sudah mengin-
jak sebuah desa di wilayah barat
dari desa Tembilang.
Gerakannya memang telah kembali
gesit, sejak Giri
Mayang sembuh dari luka-lukanya.
Peristiwa di dasar
sumur yang secara kebetulan
bertemu dengan Adhina-
ta telah membuat Giri Mayang
bagaikan "bersayap" la-
gi. Sungguh sangat sukar diduga
kalau secara tak sen-
gaja Adhinata telah memakan
lumut aneh di dasar
sumur yang memulihkan kenormalan
tubuhnya. Ra-
cun yang mengendap di tubuhnya
secara berangsur
setelah berpadu dengan lumut
aneh berkhasiat yang
dimakannya, justru hal itu
membuat lenyapnya penga-
ruh racun ditubuhnya. Hingga
Giri Mayang tak terkena
pengaruh racun luar biasa ketika
menyentuh tubuh-
nya.
Satu keanehan lagi adalah lumut
di dasar su-
mur itu menyembuhkan pula
luka-luka Giri Mayang
dan membuat normal kembali jalan
darahnya yang
tersumbat akibat serangan Roro
Centil oleh batu keri-
kil. Demikianlah, keduanya
akhirnya bersatu hati un-
tuk mencari jalan keluar dari
dasar sumur itu. Bahkan
untuk memperkuat kesepakatan
mereka yang senasib
dan sehidup semati, akhirnya
mereka menyatakan diri
mereka sebagai suami istri.
Tentu saja di dasar sumur
itu Adhinata untuk pertama
kalinya mengecap nik-
matnya menjadi pengantin baru.
Apalagi sang "istri"
adalah seorang yang sudah
berpengalaman.
Hingga membuat Adhinata semakin
mencintai wanita
itu.
Demikianlah. Dengan menggali
lubang di dind-
ing sumur untuk injakan kaki,
mereka bersatu padu
dan saling membantu untuk
merayap naik ke atas. Je-
rih payah yang mereka lakukan
beberapa hari itu ak-
hirnya membuat mereka berhasil
keluar dari dasar
sumur itu. Dan tiba di atas
dengan selamat. Tentu saja
membuat kedua sejoli girangnya
tak dapat diutarakan.
Girl Mayang ternyata berotak
cerdik, walau ji-
wanya sesat. Mengetahui keanehan
yang terjadi pada
tubuh Adhinata yang telah lenyap
pengaruh racun di-
tubuhnya setelah makan lumut
ajaib itu membuat dia
berpikir keras. Giri Mayang tak
merasa yakin kalau ra-
cun di tubuh Adhinata bisa
lenyap selamanya, karena
pada pergelangan lengan dan kaki
Adhinata masih ter-
belit gelang-gelang racun
ciptaan si Raja Racun. Oleh
sebab itu dia segera usulkan
agar Adhinata mengetes
gelang besi itu, apakah masih
mengandung racun atau
tidak. Pendapatnya racun di
tubuh Adhinata tak bisa
lenyap dengan begitu saja dengan
cuma memakan lu-
mut. Dan bila khasiat lumut
ajaib itu sudah sirna ke-
kuatannya, tidak mustahil kalau
tubuh Adhinata kem-
bali dialiri racun maut itu. Dan
akan sangat berbahaya
bagi keselamatan jiwanya
sendiri, karena mau tak mau
dia adalah orang yang paling
dekat dengan Adhinata.
Siapa sangka kalau dalam keadaan
"bergaul" tahu-
tahu racun itu menjalar lagi. Dan dia bisa Jadi kor-
ban..."Demikian pikir Giri
Mayang.
Usul Giri Mayang disetujui
Adhinata karena dia
sendiripun memerlukan
mengetahui. Agaknya kata-
kata si Raja Racun kembali
teringat oleh Adhinata Yai-
tu kesempurnaan dalam memiliki
dan menguasai ge-
lang-gelang racun itu adalah
dengan membuka jalan
darah tertentu pada pergelangan
tangan dan kaki den-
gan melalui pengerahan tenaga
dalam. Hal itupun se-
gera dilakukan. Di tempat yang
landai di sisi danau
kecil berair jernih itu adalah
tempat yang cukup baik
untuk mencoba. Karena jauh dari
perkampungan dan
dirasakan cukup aman bagi
mereka. Karena walau ba-
gaimana hati Giri Mayang masih
kebat-kebit khawatir
berjumpa dengan Roro Centil.
Begitu juga dengan Ad-
hinata. Disamping khawatir
berjumpa dengan gurunya
yang mengancam akan membunuhnya,
Juga khawatir
orang-orang Kerajaan akan
mengejarnya. Sedangkan
dia dalam keadaan tak siap untuk
bertarung.
Pemuda itu duduk bersila di atas
batu, dengan
sepasang lengan terentang
menyilang di depan dada.
Sebelumnya pakaian atas Adhinata
telah dibuka. Sege-
ra Adhinata salurkan tenaga
dalamnya bolak-balik ke
sekujur tubuhnya. Hal yang
dilakukan berulang-ulang
itu ternyata membuat keringatnya
deras mengucur
disekujur tubuh. Dan, Adhinata
mulai membuka jalan
darah tertentu pada empat jalan
darah di pergelangan
kaki tangan.
Apa yang terjadi kemudian...?
Sepasang mata
Giri Mayang membelalak lebar tak
berkedip, karena
seketika tubuh Adhinata sebentar
berubah merah dan
sebentar berubah hijau. Keadaan
itu berlangsung cu-
kup lama, yaitu selama Adhinata
belum berhenti
membolak-balik salurkan tenaga
dalam ke sekujur tu-
buh dan menyimpannya kembali
pada keempat perge-
langan tangan dan kaki. Dan pada
saat tubuhnya be-
rubah hijau itu Adhinata
hentikan latihannya. Sepa-
sang matanya membuka menatap
pada Giri Mayang.
Melihat wajah Giri Mayang
berubah pucat tentu
saja membuat Adhinata jadi
terkejut dan terheran. Se-
kejap dia sudah melompat ke arah
wanita itu. Akan te-
tapi justru Giri Mayang melompat
dengan menjauhi.
"Jangan dekat...!
Berbahaya...! teriak Giri
Mayang.
"Hai..? kenapakah
kau?" tanya Adhinata tak
mengerti.
"Tubuhmu telah dialiri lagi
racun luar biasa
itu...!" teriak Giri Mayang
dengan tubuh bergidik ngeri
melihat tubuh Adhinata yang
berubah hijau menye-
ramkan itu.
"Ah...! tersentak kaget
Adhinata. Justru dia
sendiri tak mengetahui keadaan
dirinya. Barulah dia
sadar setelah melihat tubuhnya
demikian hijaunya.
"Jadi.... jadi racun itu
memang benar masih
mengendap di tubuhku?"
Berkata Adhinata dengan ke-
rutkan keningnya naikkan
sepasang alisnya yang teb-
al. "Benar! bukankah
dugaanku tepat sekali...? Hihi-
hi... tapi aku telah tahu
rahasianya. Segeralah kau sa-
lurkan lagi racun yang telah
menyebar itu ke pergelan-
gan tanganmu. Tepatnya ke tempat
gelang-gelang besi
itu!" perintah Giri Mayang.
Tak usah sampai dua kali
menyuruh, Adhinata telah
menuruti perintah itu.
"Nah, tubuhmu telah berubah
merah. Berarti
tubuhmu sudah tak mengandung
racun! Akan tetapi
kini gelang-gelang besi itu bisa
berbahaya bila tersen-
tuh orang, karena kini racun
luar biasa itu telah men-
gumpul di keempat gelang besi
itu! Nah, kini carilah
akal bagaimana agar gelang besi
itu tak membahaya-
kan orang...!" Ujar Giri
Mayang.
Termenung sejenak Adhinata,
tiba-tiba berseru
kegirangan.
"He...!? aku sudah tahu
caranya!"
Sekonyong-konyong Adhinata melompat kem-
bali ke atas batu. Akan tetapi
tidak duduk bersila se-
perti tadi, melainkan gerakan
tubuhnya tegak lurus
dengan kepala di bawah dan kaki
di atas. Kepalanya
bertumpu di atas batu. Barulah
sepasang lengannya
disilangkan ke depan dada. Ternyata dia melakukan
pernapasan terbalik dengan
pergunakan tenaga da-
lamnya menembus jalan darah
tersumbat di beberapa
bagian tubuh yang masih
tersumbat. Ternyata pe-
nyumbatan jalan darah itu adalah
dilakukan oleh si
Raja Racun. Justru sebelum
proses terakhir dilakukan
pada Adhinata, si Raja Racun
keburu tewas. Hal ini
memang pernah di bicarakan pada
Adhinata mengenal
cara-cara menguasai ke empat
pasang benda "mustika"
gelang besi itu.
Pengerahan tenaga dalam dengan
cara demi-
kian untuk membuka jalan darah
yang tersumbat itu
ternyata memakan waktu hampir
setengah hari. Giri
Mayang menunggu dengan sabar.
Dan dalam pada itu
secara berangsur kulit tubuh
Adhinata mulai mende-
kati kenormalan. Hingga selang
tak lama setelah lewat
waktu setengah hari pulihlah
tubuh Adhinata,
dan kembali normal seperti biasa
lagi.
"Cukup...!" teriak
Giri Mayang dengan wajah gi-
rang.
"Kau sudah berhasil
Adhinata...! ah, menak-
jupkan sekali suamiku...!"
Adhinata melompat kembali untuk
berdiri.
Akan tetapi terjungkal dengan
punggung terlebih dulu
menyentuh tanah. Mengeluh pemuda
itu. Ternyata
akibat terlalu lama
jungkir-balik membuat urat-
uratnya kaku. Akan tetapi sesaat
antaranya dia sudah
bangkit berdiri lagi.
"Hm, benarkah aku telah
berhasil menjinakkan
ke empat gelang besi beracun
ini?" tanya Adhinata.
"Tidak meragukan lagi! akan
tetapi untuk
menghilangkan was-was sebaiknya
dicoba dulu!" tukas
Giri Mayang.
"Tunggulah
sebentar...!" Berkata wanita itu se-
raya berkelebat ke arah hutan.
Tak berapa lama telah
kembali lagi dengan menjinjing
telinga seekor kelinci
ditangannya. Giri Mayang
lemparkan kelinci itu, yang
segera disambut Adhinata.
Demikianlah, setelah dites,
ternyata ke empat gelang itu
memang sudah jinak, ka-
rena kelinci itu tak terkena
pengaruh racun. Ternyata
kemudian Adhinata memang bisa
menguasai keempat
gelang besi itu, yang dapat
dipergunakan untuk men-
jadikan tubuhnya kembali
beracun, serta berubah bi-
asa lagi sekehendak hati.
Sukses besar itu amat
menggirangkan hati ke-
dua sejoli. Segera Giri Mayang
panggang daging kelinci
itu untuk makan bersama...
Demikianlah awal kisah
munculnya kembali si Manusia
Beracun yang didam-
pingi pasangannya yaitu Giri
Mayang.
—~oOo~—~
SEBELAS
Malam itu juga Giri Mayang telah
mendapatkan
seorang korban untuk pelampiasan
nafsu bejatnya.
Seorang laki-laki kekar telah
berada di atas pundaknya
dalam keadaan tidur menggores
dan... tertotok. Pada
pagi hari desa Limus yang
malamnya disinggahi Giri
Mayang segera terjadi kegaduhan,
karena seorang lela-
ki ditemukan dalam keadaan
telanjang bulat sudah
tak bernyawa lagi dengan tulang
leher remuk.
Kejadian itu ternyata telah
mengundang perha-
tian banyak orang, hingga sampai
siang hari penduduk
masih membicarakan kejadian aneh
itu. Bahkan ter-
nyata dua orang remaja berlainan
jenis yang dapat di-
katakan sepasang sejoli telah
melihat kejadian itu. Me-
reka tak lain dari Sambu Ruci
dan seorang gadis can-
tik yang menemaninya, yaitu
Parmi. Seperti telah dice-
ritakan Parmi dan Sambu Runci
mencari jejak Giri
Mayang yang telah menawan Roro
Centil. Ternyata da-
lam waktu sekian lama masih
belum menemukan jejak
Giri Mayang. Hingga secara tak
sadar sepasang sejoli
ini jadi semakin akrab. Bahkan
pula dihati keduanya
telah bersemi cinta yang
tersembunyi.
Walaupun demikian, Sambu Runci
belumlah
bisa bertenang hati karena
selalu mengkhawatirkan
nasib Roro Centil. Dan secara
kebetulan dia singgah di
desa tempat kejadian itu....
Wajah Parmi tampak me-
negang. Kejadian itu telah
menguatkan dugaannya ka-
lau Giri Mayang pasti tak berada
jauh dari desa Limus,
karena sudah dipastikan
laki-laki yang tewas itu ada-
lah korban pelampiasan nafsu
bejat wanita iblis itu.
"Sssst...! kakak Sambu,
mari kita ke sudut sana aku
akan bicarakan sesuatu
padamu...!" Ujar Parmi seraya
tarik lengan pemuda itu.
Ternyata Parmi sudah tak
canggung-canggung lagi pada
Sambu Ruci. Pemuda itu
mengangguk seraya menyeruak dari
kerumunan
orang. Disudut jalan desa itu
segera Parmi tuturkan
pendapatnya.
"Aku juga berpendapat demikian,
Parmi...! Se-
baiknya kita mulai menyelidiki
dimana adanya wanita
itu....!" tukas Sambu
Runci. Parmi mengangguk, lalu
segera menyusun rencana
penyelidikan di sekitar desa.
--oOo--
Pelacakan mencari jejak Giri
Mayang di desa itu
ternyata hasilnya nihil. Hingga
mereka segera berpisah
untuk kembali bertemu. Sambu
Ruci memutar ke arah
barat, dan Parmi ke arah timur
dengan patokan mere-
ka akan bertemu di bawah lereng
satu bukit yang ber-
nama bukit Ayam. Demikianlah.
Mereka pun mulai
bergerak sesuai dengan diaturnya
rencana itu.
Akan tetapi sungguh sukar sekali
diterka kalau
ternyata Giri Mayang sejak tadi
justru menguntit me-
reka. Dan pembicaraan itu sudah
tertangkap telinga
Giri Mayang sembunyi di atas
pohon. Sambu Ruci ter-
nyata beranjak langkahkan kaki
terlebih dulu. Parmi
menatap sejenak punggung pemuda
itu, lalu diapun
balikan tubuh untuk berkelebat
dari situ. Akan tetapi
kira-kira dua-tiga tombak
hentikan langkahnya untuk
lagi-lagi berpaling. Terasa
perpisahan sementara itu
memberatkan langkahnya. Hati
gadis ini memang su-
dah bersemikan cinta begitu
bersahabat dengan pe-
muda tampan itu yang pernah
menyelamatkan jiwanya
dari serangan maut Giri Mayang.
Akan tetapi justru
Sambu Ruci pun menolehkan...
Keduanya jadi sama-
sama tersenyum ketika bertatapan
muka. Namun
Sambu Ruci segera berkelebat
cepat setelah lambaikan
tangan pada dara cantik itu
seraya berkata. "Sampai
ketemu, adik Parmi...!"
Parmi cepat menyahut... "Sam-
pai jumpa nanti senja, kakak
Sambu...!" Dan gadis
itupun lambaikan tangannya, lalu
berkelebat cepat un-
tuk tidak menoleh lagi.
Diam-diam wajah gadis itu di-
jalari rona merah. Terasa
sesuatu yang indah meresap
di hati sanubarinya. Itulah
perasaan cinta...!
Akan tetapi baru beberapa tombak
Parmi ber-
lompatan cepat dari tempat itu
tiba-tiba terdengar sua-
ra tertawa mengikik. Dan...
tahu-tahu di hadapannya
telah muncul sesosok tubuh yang
melesat turun dari
cabang pohon.
"Hihihi..... hihihi....
selamat jumpa lagi nona
cantik yang tak lama lagi bakal
mampus...!" Membeliak
sepasang mata Parmi, bagaikan
mimpi melihat orang
yang sedang dicarinya justru
muncul di depan mata.
Tak terasa kakinya mundur dua
langkah.
"Bagus! akhirnya kau muncul
Juga perempuan
Iblis!" Bentak Parmi dengan
wajah menegang. Walau
hatinya terasa tergetar tapi dia
berusaha menutupinya
dengan bentakan. Dan sekejap
sepasang senjatanya te-
lah dicabut keluar dari belakang
punggung. Itulah se-
pasang gaetan yang tajam runcing
berkilatan.
"Heh! sayang sekali kalian
tak bisa menemukan
cinta laki-laki itu, Parmi...!
Pemuda tampan itu agak-
nya memang tak berjodoh
denganmu. Karena sebentar
lagi kau akan mampus! Dan...
hihihi... dia adalah ca-
lon kekasihku yang paling
istimewa!" Berkata Girl
Mayang dengan tertawa
menyeringai. Rasanya hati
Parmi bagaikan ditikam belati
saja mendengar ucapan
Giri Mayang. Kembali membayang
wajah kakak laki-
laki saudara seperguruannya yang
juga telah direbut
wanita itu yang berakhir dengan
kematian. Dan kini
lagi-lagi si wanita itu siap
merebut kembali pemuda
yang baru dikenalnya dan sudah
bersemi cinta diha-
tinya. Hal tersebut membuat
Parmi rasanya mau
membunuh diri saja saat itu.
Akan tetapi kelemahan jiwanya
saat itu segera
di tindihnya. Perbuatan tercela
dan pengecut itu tak
layak dipunyai seorang pendekar!
Kini orang yang di-
carinya telah muncul untuk
membunuhnya. Mana
Parmi mau berikan nyawanya
begitu saja? Justru dia
harus membalaskan dendam
kematian tiga orang sau-
dara seperguruannya yang tewas
oleh wanita itu. Me-
mikir demikian dia segera
lakukan serangan mener-
jang Giri Mayang dengan luapan
dendam berapi-api.
"Iblis keji! aku akan adu
jiwa denganmu....!"
bentak. Parmi Sepasang senjata
gaetannya menerjang
laksana gelombang berpuluh-puluh
yang menerjang
ganas si wanita terlengas itu.
Akan tetapi dengan men-
gumbar tertawa Giri Mayang
melayani serangan itu.
Tubuhnya berkelebatan dan
melompat dengan gesit.
Bahkan luncurkan kata-kata
ejekan pada Parmi.
Terasa panas wajah gadis ini
membuat dia me-
nerjang dengan berteriak-teriak
histeris. Betapapun
Parmi bukanlah tandingan Giri
Mayang, yang kalau
mau sudah sejak tadi robohkan si
gadis dengan puku-
lan apinya. Tapi agaknya Giri
Mayang punya rencana
lain.
"Hihihi... sebelum kubunuh
kau mampus ada
baiknya kau menyaksikan
bagaimana aku "bercinta"
dengan laki-laki tampan bernama
Sambu Ruci itu!"
Ejek Giri Mayang dengan melompat
ke atas dahan po-
hon menghindari sambaran ganas
sepasang gaetan
Parmi.
"Bedebah keparat...!
perempuan bejat! ku kelu-
arkan isi perutmu!" bentak
Parmi dengan bentakan
nyaring seperti menjerit. Dan...
kali ini Parmi merobah
gerakan silatnya. Aneh! beberapa
serangan dengan ju-
rus ini tampaknya membuat Giri
Mayang melengak
dan sejengkal rambutnya telah
kena tertabas putus
sepasang gaetan dan buyar
berterbangan. Kiranya se-
cara tak sadar Parmi telah
menggunakan jurus-jurus
dari Pedang Aksara yang dipunyai
Sambi Ruci. Kiranya
dalam waktu beberapa hari atau
selama hampir dua
pekan itu Parmi telah diajari
beberapa jurus ilmu Pe-
dang Aksara oleh Sambu Ruci.
Melihat serangan Jurus barunya
membawa ha-
sil mengagumkan membuat Parmi
semakin berseman-
gat untuk menjatuhkan lawan.
Bahkan kini dia berla-
ku hati-hati. Giri Mayang memang
mulai balas menye-
rang dengan beberapa pukulan dan
tendangan ka-
kinya. Untunglah Parmi yang
telah berlaku hati-hati
mampu mengimbangi serangan
ciptaan gurunya kare-
na Parmi memang cuma mempunyai
paling banyak li-
ma jurus dari ilmu pemberian
Sambu Ruci.
Ternyata hal itu cukup
merepotkan Giri Mayang
yang mulai terdesak. Karena
serangannya tak dapat
lagi dibaca kemana arahnya. Hal
mana membuat wani-
ta itu jadi berang. Tiba-tiba
tubuhnya melompat men-
jauh sejauh enam tujuh tombak.
Dan... mulailah dia
gunakan mantera dari ilmu
hitamnya! Tersentak Parmi
ketika melihat perubahan tubuh
Giri Mayang yang
menjadi seekor ular berkepala
tujuh, yang besarnya
hampir sebesar tubuh manusia.
Masing-masing kepala
ular itu menyeburkan api dari
mulutnya.
"Ilmu sihir...!"
teriak Parmi seraya melompat
menjauh. Sambaran-sambaran api
ternyata telah me-
nerjang tubuhnya. Bergulingan
Parmi menghindari
sambaran api itu dengan jantung
berdetak keras. Ha-
rapannya untuk merobohkan wanita
itu seketika pu-
nah. Tiga kilatan api sekaligus
meluncur untuk me-
nambus tubuh Parmi yang sudah
mengurungnya un-
tuk tak dapat lolos lagi dari
"pembalasan" Giri Mayang.
ilmu siluman tertinggi yang
telah dipelajarinya dari si
Ririwa Bodas itu untuk pertama
kalinya dipergunakan.
Ternyata memang ilmu hitam itu
bisa dipergunakan
manakala dirinya sedang marah
luar biasa.
Terperangah gadis cantik ini,
dua serangan li-
dah api dari mulut ular berhasil
dihindarkan. Akan te-
tapi serangan selanjutnya yang
juga beruntun dengan
cepat telah menembus tubuh Parmi
bersama dengan
terbakarnya dahan-dahan pohon.
Lenyaplah sudah tu-
buh Parmi terbungkus kobaran
api.... diiringi jeritan
terakhirnya. Mengetahui
korbannya sudah musnah,
ular besar berkepala tujuh itu
kembali lenyap. Dan....
menjelma lagi menjadi Giri
Mayang yang tertawa ceki-
kikan dengan bertolak pinggang.
WHUUUUK....! lengannya bergerak
memadam-
kan api seketika lenyap. Akan
tetapi terkejut Giri
Mayang karena tak menjumpai
tubuh Parmi terkapar
disitu. Api-api ciptaan itu
sebenarnya tak membakar
dahan pohon atau menambus tubuh
Parmi, karena
semua itu cuma ciptaan saja.
Akan tetapi serangan li-
dah api itu telah melumpuhkan
tubuh gadis murid si
nenek Pendekar Taring Naga.
Tentu saja Giri Mayang tak
mengetahui kalau
pada saat lidah api menyambar
tubuh Parmi, sebuah
bayangan putih telah berkelebat
menyelamatkan gadis
itu.
Ternyata berdiri tempat
ketinggian tampak seo-
rang kakek memondong tubuh Parmi
di kedua belah
tangannya. Dialah si kakek
penghuni puncak Tangku-
ban Perahu. Yaitu Ki Panunjang
Jagat. Tampaknya hal
itu membuat Giri Mayang tak
berniat menyelidiki, ka-
rena dia sudah berkelebat pergi
dari tempat itu. Walau
dihatinya membatin. "Aneh, kemana lenyapnya sosok
tubuh si Parmi itu? hm,
jangan-jangan sudah banyak
bermunculan para tokoh sakti
kaum putih. Aku perlu
segera bergabung dengan
Adhinata...!"
Dengan gerakan cepat Giri Mayang
segera ber-
kelebat menuju ke arah desa
Tembilang. Sementara itu
sosok tubuh Ki Panunjang
Jagatpun melesat lenyap.
Suasana tempat itu kembali
hening pada siang hari
yang terik itu... Akan tetapi
baru saja kakinya mengin-
jak mulut desa Tembilang,
tiba-tiba terdengar benta-
kan keras.
Wanita iblis...! kau kemanakan
sahabatku Roro
Centil, katakan apa yang telah
terjadi dengannya...?"
Dan... sesosok tubuh berkelebat
menghadang di hada-
pannya. Melengak Giri Mayang.
Akan tetapi bibirnya
segera tampilkan secercah
senyuman dan lirikan mata
genit.
"Ahaah...! kiranya anda yang
tampan! Hihi-
hih...!. sobat Sambu Ruci
mengapa kau mengkhawa-
tirkan sekali nasib dia?"
Tanya Giri Mayang.
"Setan apa perdulinya
dengan semua itu? dia
sahabatku, dan kau telah
berhasil merobohkannya,
tak nantinya kalau kau tak
berbuat licik! Hm, Jangan
kira kau dapat berbuat seenaknya
dengan segala ma-
cam perbuatanmu!" Bentak
Sambu Ruci dengan hati
mengkal. Terpaksa dia menahan
amarahnya karena
harus mengetahui dulu nasib Roro
yang amat dikha-
watirkannya.
"Hai, rupanya kau mau
mempacari dua orang
perempuan...? Apakah kau tak
sayangkan kematian
murid si nenek Pendekar Taring
Naga? Berkata Giri
Mayang tanpa memperdulikan
pertanyaan orang.
"Ha...? kau telah
membunuhnya...?" Tertawa
dingin Giri Mayang, seraya
Jawabnya "Benar! kupikir
dia "saingan" ku
karena aku... aku... hihihi... akupun
jatuh cinta padamu, Sambu
Ruci!" Tanpa malu-malu
Giri Mayang keluarkan isi
hatinya. Walaupun sebenar-
nya cinta yang dimilikinya
adalah cuma cinta imitasi
belaka. Karena cuma kehangatan
laki-laki yang belum
pernah dicicipinya saja yang
membuat wanita ini
menggandrungi orang.
"Perempuan edan...!"
tiba-tiba terdengar suara
melengking merdu. Terperangah
Giri Mayang. Sekele-
batan saja dia sudah mengetahui
suara siapa yang
berkumandang barusan.
"Nona Roro Centil...!"
Teriak Sambu Ruci den-
gan wajah girang. Sesosok tubuh
telah berkelebat
muncul dan berdiri di hadapan
mereka yang tak lain
memang si Pendekar Wanita Pantai
Selatan.
"Giri Mayang apakah kau
sudah siap untuk
menghadapiku ...?" Tantang
Roro dengan wajah dingin
membeku. Sepasang matanya
menatap wanita itu den-
gan sorot mata seolah mau
menembus jantung lawan.
"Heh...! aku memang sudah
siap untuk memba-
las penganiayaan mu padaku.
Tentu saja dengan tebu-
san nyawamu, Roro Centil!"
Ucap Giri Mayang dengan
angkuh menutupi gelaran hatinya.
Walau bagaimana
Giri Mayang memang masih merasa
ngeri akan sepak
terjang Roro. Walaupun
sebenarnya dia memiliki, ber-
macam ilmu, juga bermacam
kelicikan.
"Akan tetapi tidak sekarang
bila kau mengin-
ginkan pertarungan secara jujur.
Dan ingat...! kau bu-
kan seorang Pendekar Siluman,
bukan?"
"Hm, kau kira aku sebangsa
manusia setan se-
pertimu yang tak menepati janji,
untuk membunuhmu
siang-siang telah ku siapkan
cara terbaik mengirim
nyawamu ke neraka!" Berkata
Roro dengan bertolak
pinggang. Ternyata Roro mampu
menahan kesabaran
hatinya.
—~oOo~—~
DUA BELAS
"Baik...! ini adalah saat
terakhir aku menahan
sabar! kini katakanlah dimana
kau mau adakan perta-
rungan itu. Dan kapan
waktunya...!" sambung Roro
dengan suara tandas.
"Sayang... aku belum bisa
memberi keputusan
sekarang. Kau tunggulah bulan
depan. Aku akan beri-
kan kabar untukmu dan menyebar
berita tantangan
melalui orang-orang Rimba
Persilatan!" Jawab Giri
Mayang.
"Hai, sobat Roro Centil,
manusia licik macam
begini kalau dibiarkan hidup
lebih lama akan menye-
bar kejahatan seenaknya!"
tukas Sambu Ruci. Akan te-
tapi Giri Mayang cuma mendengus,
lalu berkata pada
Roro.
"Nah, kini berilah aku
jalan! kuharap kau mau
menunggu kesabaran mu untuk
menghadapiku, Roro
Centil! Tanpa kau cari, justru
aku yang akan menca-
rimu!" Seraya berkata Giri
Mayang gerakkan kakinya
untuk melangkah. Akan tetapi
Sambu Ruci telah per-
dengarkan bentakannya, seraya
cabut pedangnya un-
tuk segera digerakkan menghadang
di depan dada wa-
nita itu.
"Tunggu...! kini kau jawab
dulu pertanyaanku,
apakah yang kau lakukan terhadap
Parmi? apakah
benar kau telah
membunuhnya...?" kata-kata Sambu
Ruci terdengar agak tergetar.
Ternyata kini keselama-
tan gadis itulah yang
dikhawatirkan.
"Hm, baik! Kali ini aku tak
berdusta, dia mung-
kin masih hidup. Gadis itu telah
kena serangan puku-
lanku. Akan tetapi tak ku jumpai
sosok tubuhnya.
Pasti ada orang yang telah
menolongnya!" berkata Giri
Mayang. Seraya menatap pada Roro
menduga-duga
apakah wanita Pendekar ini yang
telah membawa ka-
bur sosok tubuh Parmi...? Pada
saat itu terdengar sua-
ra derap kaki kuda mendatangi.
Giri Mayang perli-
hatkan wajah girang, ketika
melihat siapa yang datang.
Sekali kakinya mengenjot tubuh.
Dia sudah melesat ke
udara seraya berteriak.
"Suamiku...! bagus, kau
menyusul ku! urusan
sudah selesai...!" Dan...
tepat sekali ketika kuda itu
hentikan berlari, tubuh Giri
Mayang sudah meluncur
turun. Detik selanjutnya wanita
itu sudah hinggap di
atas punggung kuda di sebelah
depan tubuh seorang
pemuda gagah yang tak lain dari
Adhinata, yang men-
gendarai kuda.
"Manusia Beracun...!"
tersentak Roro. Sementa-
ra Sambu Ruci cuma bisa terpaku
menatap si laki-laki
penunggang kuda.
"Hihihi... tidak salah,
Roro Centil, sampai jum-
pa lagi pada pertarungan
nanti!" Dan sambungnya lagi.
"Agar kau ketahui, si
Manusia Beracun ini adalah su-
amiku...!" Selesai berkata
demikian Giri Mayang putar
kudanya lalu memacu cepat
meninggalkan tempat
itu...
-oOo-
Saat Giri Mayang dan manusia
beracun berlalu,
sesosok tubuh berkelebat muncul.
Ternyata Ki Panun-
jang Jagat. Di kedua lengannya
masih memondong tu-
buh Parmi yang terkulai. Tentu
saja terkejut dan gi-
rangnya bukan kepalang Sambu
Ruci.
"Kakek, andakah yang telah
menolongnya...?"
tanya Sambu Ruci seraya menjura.
Sementara Roro
Centil kerutkan keningnya
menatap Ki Panunjang Ja-
gat dan gadis yang dipondongnya.
Apakah yang terjadi
dengannya?" tanya Roro.
"Dia sudah tewas...!"
berkata Ki Panunjang Ja-
gat dengan suara datar.
Tersentak seketika Sambu
Ruci. Serta-merta melompat ke
hadapan kakek itu.
"Parmi...!" teriak
Sambu Ruci tersendat. Ki Pa-
nunjang Jagat letakkan tubuh
yang dipondongnya di
atas rumput. Dan Sambu Ruci
duduk menekuk lutut
menatap padanya dengan air mata
berlinang.
"Wanita iblis itu telah
pergunakan ilmu sihir hi-
tam untuk merobohkan gadis ini. Seandainya hidup-
pun dia akan Jadi orang tak
berguna tanpa daksa, en-
tah murid siapakah gadis ini,
apakah sobat Sambu
Ruci mengenalnya?" tanya Ki
Panunjang Jagat. Sambu
Ruci anggukkan kepala. Seraya
ucapnya dengan nada
sedih. Dia murid si nenek
Pendekar Taring Naga. Keti-
ka saudara seperguruannya telah
tewas oleh si wanita
itu...!"
"Hm, agaknya kita telah
mengalami satu keka-
lahan total, kakek Panunjang
Jagat! Muridmu si Ma-
nusia Beracun kini telah
bergabung dengan Giri
Mayang. Akan sulitlah kiranya
untuk merobah watak-
nya. Bahkan kini Senapati Kerta
Bumi telah merobah
keputusan untuk menumpasnya.
Peristiwa beberapa
hari ini yang lalu telah
menggemparkan Kota Raja. Si
Manusia Beracun telah menumpas
prajurit-prajurit
pengawal di Kepatihan. Dan
membunuh Ki Patih Leng-
ser Sheta berikut seluruh
keluarganya...!" Penjelasan
Roro itu tentu saja membuat
sepasang mata Ki Panun-
jang Jagat membeliak. Giginya
yang masih utuh itu
berkerut menahan geram.
"Pasti si perempuan bejat
itu yang telah mem-
pengaruhi jiwanya! kalau demikian
tak ada jalan lain,
selain kita harus menumpas kedua
manusia itu...!"
"Benar, kakek Panunjang
Jagat! akan tetapi sa-
tu kesulitan yang tidak ringan
untuk menumpas si
manusia beracun! Tapi walau pun
begitu aku si Roro
Centil merasa orangnyalah yang
paling tepat untuk
membunuh mereka!" Ujar Roro
dengan bersemangat.
"Apakah kau akan melupakan
perjanjian untuk
bertarung dengan wanita itu,
sobat Roro Centil...?
tanya Ki Panunjang Jagat.
"Hihihi... hihi... segala
macam urusan dengan
manusia licik pengecut begitu
apakah akan aku pedu-
likan? Persetan dengan sebutan
Pendekar Siluman!
Aku toh merasa tak mempunyai
ilmu Siluman. Macan
Tutu! Siluman yang selalu
mengikut padaku itu ter-
nyata tak mau pergi
meninggalkan ku, apakah yang
harus kuperbuat?" ujar
Roro. Seraya dengan perguna-
kan kata-kata batinnya Roro
Centil perintahkan sang
Macan Tutul untuk segera
tampakkan diri.
Dan...."GRRRR...! Sekejap
saja disamping Roro telah
muncul sesosok tubuh harimau
tutul yang hampir se-
besar kerbau. Luar biasa
besarnya harimau tutul itu
hingga membuat Sambu Ruci
menindak mundur. Ki
Panunjang Jagat sendiri juga
melangkah mundur dan
tampak terkejut.
"Hihihi... Tutul! mereka
adalah kawan-kawan
kita!" ujar Roro seraya
mengelus-elus leher sang ma-
can, yang segera tempelkan
tubuhnya untuk mengge-
lendot manja ke tubuh Roro. Roro
peluk leher sang
macan dengan terharu. Tak lama
Roro segera berkata.
"Nah, baiknya sekarang
sobat Sambu Ruci, kau
semayamkanlah dulu Jenazah gadis
itu...! ah, sayang
dia telah tewas. Seandainya
masih hidup kukira dia
amat cocok untuk jadi pasangan
mu, Sambu Ruci....!"
Sambu Ruci cuma bisa tersenyum
pahit. Hatinya tak
keruan rasa hingga dalam keadaan
kaku demikian dia
cuma bisa menelan ludah tanpa
mampu bicara apa-
apa. Kecuali menatap Roro dan
mengalihkannya pada
jenazah Parmi yang terbaring
seperti tengah tidur le-
lap.
"Baiklah! kukira saatnya
sudah tiba untuk me-
numpas manusia yang bakal
membawa kericuhan di
jagat raya Ini...!" Setelah
menjura pada Ki Panunjang
Jagat dan menatap sejenak pada
Sambu Ruci serta be-
rikan seulas senyuman manis
padanya, Roro Centil ge-
rakkan tubuh melompat ke
punggung si Tutul. Dan se-
lanjutnya, sang macan sudah
melesat cepat ke arah
barat bagaikan lewatnya hembusan
angin. Sekejap sa-
ja sudah tak nampak bayangannya
lagi.....
Tertegun kedua laki-laki itu.
Terdengar seruan
kagum Ki Panunjang Jagat.
Sementara Sambu Ruci
cuma bisa menatap ke arah barat.
Seolah hatinya ikut
terbawa oleh kepergian Roro. Tak
lama kedengaran Ki
Panunjang Jagat menghela nafas,
lalu berpaling mena-
tap Sambu Ruci "Marilah ku
bantu kau membuat lu-
bang untuk mengubur
jenazah!" ujar kakek puncak
Tangkuban Perahu itu. Sambu Ruci
segera tersadar
dari tercenungnya. Segera
mengangguk dan cepat-
cepat beranjak untuk mencari
tanah baik yang akan
digali.....
-oOo-
Sementara itu.....
Satu jeritan panjang terdengar
parau dia rah
belakang bukit. Apakah yang
terjadi? Ternyata sesosok
tubuh berkelojotan meregang
nyawa, namun sekejap
sudah terkulai tewas. Tubuhnya
berubah membiru.
Dan sesaat antaranya membengkak,
lalu mencair den-
gan menimbulkan bau busuk
menyengat hidung.
"Hihihi... bagus, nenek
peot ini memang sudah
terlalu tua untuk jadi seorang
Pendekar. Dia lebih ba-
gus jadi Pendekar di
Akhirat...!" Terdengar satu suara
Wanita yang ternyata tak lain
dari Giri Mayang. Wanita
itu duduk ongkang-ongkang kaki
di atas kuda, semen-
tara Adhinata tegak berdiri di
atas batu. Kiranya dalam
perjalanan meninggalkan tempat
itu si Manusia Bera-
cun dan Giri Mayang telah
dicegat si nenek Pendekar
Taring Naga. Nenek Pendekar
Taring Naga itu tentu sa-
ja tak lain adalah mencegat Giri
Mayang yang telah
menipu serta membawa kabur murid
laki-lakinya.
Yang kemudian didapati telah
tewas. Kemurkaannya
membuat dia perintahkan ketiga
murid wanitanya
mencari jejak wanita itu. Hingga
nyaris menyangka
perbuatan Roro Centil, seperti
diceriterakan di bagian
depan.
Untunglah si
nenek Pendekar wanita itu ber-
jumpa dengan si Belut Putih
yaitu Gembul Sona yang
telah mengetahui bahwa adanya
seorang wanita pe-
nyamar Roro Centil yang
melakukan kejahatan mem-
fitnah Pendekar Wanita Pantai
Selatan itu. Hingga ben-
trokan dapat dihindari.
Belakangan si nenek ini men-
dengar berita kematian kedua
murid wanitanya oleh
wanita itu. Tentu saja di Rimba
Persilatan cepat tersiar
berita pertarungan yang membawa
kematian dua
orang murid wanitanya, dan
mengetahui selamatnya
seorang murid wanitanya bernama
Parmi karena dis-
elamatkan seorang pemuda
bergelar si Pendekar Selat
Karimata alias Sambu Ruci.
Dengan dendam berkobar, si nenek
pendekar
itu mencari jejak Giri Mayang.
Hingga akhirnya berha-
sil menjumpai setelah mendengar
berita adanya seo-
rang Kepala Desa di desa
Tembilang yang baru diada-
kan pengangkatan oleh penduduk
desa itu. Wanita
bangsawan istri si bangsawan
muda itu amat dicuri-
gainya. Dan benarlah, apa yang
menjadi dugaannya.
Pertarungan seru segera terjadi,
akan tetapi Giri
Mayang tidak turun tangan.
Adhinata-lah yang dipe-
rintahkan melayani wanita
Pendekar Tua itu oleh Giri
Mayang, yang kemudian berakhir
dengan kematian si
nenek Pendekar Taring Naga
dengan kematian yang
mengerikan.
Kiranya saat itu Ki Gembul Sona
telah melihat
kejadian itu. Dia memang berniat
membantu wanita
Pendekar itu untuk mencari Giri
Mayang. Melihat ke-
matian si nenek Pendekar Taring
Naga oleh si Manusia
Beracun, membuat keringat dingin
ki Gembul Sona
bercucuran ditempat
persembunyiannya. Kejadian itu
memang di luar dugaan, karena di
saat dia mau mun-
cul mencegah sahabat tuanya itu
telah keburu tewas
terkena pukulan Adhinata yang
mengandung racun
luar biasa.
"Hihihi... keluarlah dari
tempat persembunyian
mu, orang tua...!" Teriak
Giri Mayang mengumbar tawa
yang sejak tadi pentang mata dan
pasang telinga den-
gan duduk santai di atas kuda.
Mengetahui dirinya
sudah diketahui kedatangannya,
terpaksa Gembul So-
na munculkan diri. Berkelebatlah
dia keluar dari tem-
pat sembunyinya. Dan berdiri
tegak dengan gagah me-
natapkan pandangan pada
kedua sejoli itu berganti-
ganti.
"Bagus, ternyata anda
seorang Pendekar Tua
yang gagah dan bernyali macan.
Sayang kaupun akan
segera tewas menyusul sahabatmu
itu, Gembul Sona!"
Berkata Giri Mayang dengan suara
dingin. Dan ujarnya
pada Adhinata.
"Hihihi... suamiku, satu
lagi keledai tua ini kau
kirimkan nyawanya ke Alam Baka,
tampaknya dia su-
dah tak sabaran lagi untuk
mampusss...!" Membeliak
mata Gembul Sona karena
gusarnya. Dendamnya pada
wanita itu tak alang kepalang,
karena wanita itulah
yang telah membakar Pesanggrahan
dan menewaskan
beberapa orang anak buahnya.
Belakangan diketa-
huinya pula kalau si Ririwa
Bodas adalah gurunya,
yang telah membantai habis anak
buah dan para mu-
ridnya menggunakan ilmu hitam.
Bahkan dia sendiri
nyaris tewas. Dan wanita itu
pula yang telah menyebar
maut dengan ular-ular siluman
ciptaan si Ririwa Bo-
das. Menumpas wanita telengas
berhati iblis ini adalah
tugas kewajiban kaum Pendekar.
Dan.... memikir de-
mikian Ki Gembul Sona sudah
menghunus kerisnya
seraya membentak dengan suara
menggeledek.
"Giri Mayang...! turunlah
kau, mari bertarung
nyawa denganku, mengapa kau
memperalat murid ka-
kak seperguruanku ini untuk
melawanku? Sungguh
tak tahu malu!" Akan tetapi
Giri Mayang cuma tertawa
terpingkal-pingkal seraya
menjawab.
"Hihiihi.... dia ini
suamiku, masakan tak layak
kalau seorang suami membela dan
mewakilkan is-
trinya membunuh keledai tua
macam kau?"
"Setan...!" maki
Gembul Sona. Dadanya tampak
berombak-ombak karena menahan
geram. Sementara
Adhinata berdiri mematung
menatap paman gurunya
itu, agak ragu hatinya untuk menempur Ki Gembul
Sona.
"Adhinata, ingatlah! apakah
gurumu Ki Panun-
jang Jagat tak kau hargai jerih
payahnya mendidikmu
untuk menjadi seorang Pendekar
penegak kebenaran,
mengapa kau terbius oleh bujukan
wanita iblis itu un-
tuk melakukan perbuatan
tercela...?" berkata Gembul
Sona. Sebisa mungkin kakek ini
mencoba menyadar-
kan si Manusia Beracun.
"Kau memang perlu
dikasihani, Adhinata, kau
telah jadi korban ambisi si Raja
Racun yang mau me-
rajai dunia! Ingatlah, kejahatan
tak akan abadi di atas
jagat raya ini! kembalilah ke
jalan benar! aku akan
membantumu melenyapkan racun jahat
yang menge-
ram di tubuhmu...!" lanjut
Gembul Sona yang cepat
mengambil kesempatan di saat
Giri Mayang belum
mengambil kesempatan di saat
Giri Mayang belum
pentang suara.
"Tutup bacotmu, keledai
tua!" Tiba-tiba mem-
bentak Giri Mayang seraya lancarkan
pukulannya dari
jarak jauh. Angin panas
membersit menerpa tubuh
Gembul Sona. Namun dengan ajian
Belut Putih puku-
lan itu kalis, dan lewat tanpa
menyentuh kulitnya.
Menggeram marah Giri Mayang.
Tubuhnya sekejap su-
dah melompat dari punggung kuda.
Dan menerjang
kakek tua itu dengan hantaman
bertubi-tubi.
Sementara itu puluhan ekor kuda
telah mende-
kat dengan perdengarkan
derapnya. Dan ratusan lang-
kah laki-laki manusia mulai
mengepung sekitar tempat
itu. Ternyata lasykar Kerajaan
Sunda Kelapa yang di-
pimpin Senapati Kerta Bumi telah
mulai bergerak un-
tuk kedua buronan Kerajaan yang
telah membuat ke-
resahan hati sang Baginda Raja.
Dan menghawatirkan
merebut kekuasaan. Sekejapan
saja ratusan regu pe-
manah telah disiapkan ke segenap
penjuru. Tentu saja
semua itu tak luput dari mata
Adhinata. Timbulah se-
ketika kebimbangan di hati
pemuda Manusia Beracun
itu. Saat mana pertarungan hebat
tengah berlangsung
di hadapanya. Giri Mayang ternyata tak tahan emosi
untuk membunuh kakek tua bernama
Gembul Sona
itu dengan tangannya sendiri.
Ternyata setelah berta-
rung beberapa jurus, Giri Mayang
merasa kesulitan
kalau tak mempergunakan ilmu
sihir hitamnya. Segera
dia merobah dirinya menjadi
berujud seekor ular besar
berkepala tujuh. Terperangah Ki
Gembul Sona. Namun
berbarengan dengan saat itu Ki
Panunjang Jagat dan
Sambu Ruci telah berkelebat
muncul.
"Mari kita hadapi wanita
iblis ini bersama-
sama...!" Teriak Sambu
Ruci. Sementara Ki Panunjang
Jagat justru menatap pada
Adhinata. Dan.... kedua
pasang mata guru dan murid
itupun saling bertatapan.
Diam-diam Ki Gembul segera
membisiki di telinga ka-
kak seperguruannya ini.
"Hm, aku sudah mengambil
keputusan untuk
menumpasnya, amat berbahaya! kau
lihatlah sendiri
muridku ini telah menjadi musuh
Kerajaan! apakah
kau tak mengetahui kalau Adhinata telah membantai
habis para prajurit di
Kepatihan. Dan telah membunuh
pula Ki Patih Kerajaan Sunda
Kalapa! Rasanya sulit
aku melindungi!" Tukas Ki
Panunjang Jagat. Terkejut
Gembul Sona ketika menatap
berkeliling ternyata telah
berdiri berjajar ratusan
prajurit pemanah yang telah
slap melepaskan anak-anak
panahnya. Pada saat itu
tujuh kilatan lidah api dari
mulut ular penjelmaan Giri
Mayang telah meluncur untuk
menambus tubuh me-
reka. Terperangah ketiga
pendekar ini, segera berlom-
patan menghindarkan diri. Dan
sekejap saja terjadilah
pertarungan tiga orang pendekar
itu menempur mak-
hluk ular aneh berkepala tujuh
yang menyeramkan.
Suara-suara mendesis dan
kilatan-kilatan lidah api
menyumbrat disana-sini.
Dan ketiga pendekar ini pun
bertarung dengan
gigih untuk membunuh mahkluk
ular itu. Tampaknya
keadaan ular itu mulai terdesak,
karena kilatan-
kilatan cahaya pedang Sambu Ruci
dan keris pusaka
Ki Gembul Sona dapat melumpuhkan
sambaran lidah
api. Bahkan pedang Sambu Ruci
berhasil menabas pu-
tus leher salah satu ular.
Makhluk itu perdengarkan
desisannya. Menggelinjang dengan
menerjang semakin
hebat. Akan tetapi... Cras...!
kembali satu kepala ular
terbatas oleh keris Gembul
Sona. Terdengar jeritan suara
wanita. Dan se-
konyong konyong tubuh sang ular
itu lenyap jadi gum-
palan asap. Apakah yang
terlihat?.
Giri Mayang berdiri dengan tubuh
sempoyon-
gan. Tampak kedua buah lengannya
terbabat putus...!
Darah berhamburan memercik ke
tanah. Wajah wanita
ini perlihatkan seringai yang
menyeramkan. Pasukan
pemanah yang melihat kejadian
itu mulai maju lagi se-
tindak. Saat itu tiba-tiba
terdengar suara berkata den-
gan nada parau.
"Tunggu...! kalian tak
dapat membunuhnya be-
gitu saja! Dan..... berkelebat
sebuah bayangan me-
nyambar tubuh wanita itu.
Sekejap saja karena den-
gan gerakan cepat sekali sosok
tubuh yang me nyam-
bar tubuh Giri Mayang telah berkelebat
lenyap keluar
dari kepungan ratusan prajurit
pemanah tanpa terlihat
siapa yang menyambarnya.
Terperangah semua mata.
Bahkan betapa amat masygulnya
hati Senapati Kerta
Bumi. Akan tetapi pada saat itu,
berkelebat pula mun-
cul sesosok tubuh. Dialah Roro
Centil, yang duduk di
atas punggung harimau Tutul yang
besarnya hampir
sebesar kerbau. Segera semua
mata memandang ke
arahnya.
Tenang sobat-sobat! biarlah aku
yang menge-
jarnya! Hm, urusan si wanita itu
adalah urusanku...!"
Selesai berkata, Roro Centil
berikan isyarat menepuk
punggung si Harimau Tutul yang
perdengarkan ge-
ramnya. Dan.... melesatlah tubuh
si harimau Tutul itu
bagaikan lewatnya angin mengejar
Giri Mayang yang
dilarikan seseorang.
Sementara itu semua mata kini
tertuju pada si
Manusia Beracun. Urusan Giri
Mayang masih belum
tuntas, akan tetapi mereka cukup
mengandalkan ke-
mampuan Roro Centil untuk
menumpasnya. Kini uru-
san si Manusia Beracunlah yang
harus dituntaskan.
"Adhinata! apakah kau masih
menganggapku
sebagai gurumu?" tiba-tiba
Ki Panunjang Jagat ajukan
pertanyaan pada bekas muridnya.
Tampak wajah Ad-
hinata menegang, sebentar pucat
sebentar merah. Su-
kar sekali dia menjawab
pertanyaan gurunya. Semen-
tara suasana menjadi hening.
Dari ratusan manusia di
sekitar tempat itu seolah tak
terdengar sedikitpun sua-
ra. Selain semua mata menatap
pada si Manusia Bera-
cun, dan menunggu jawaban
kata-kata yang keluar
dari mulut pemuda itu.
"Aku... aku telah jadi
seorang murid yang mur-
tad, guru...!" Akhirnya
menjawab si Manusia Beracun.
"Semua itu dapat aku
ampuni, asalkan kau
kembali sadar! Apakah kau tetap
akan menuruti ambi-
si mu merajai kolong jagat ini
dengan kekuatan racun
dahsyat di tubuhmu...?"
Tanya Ki Panunjang Jagat.
"Tadinya aku berniat,
guru...!"
"Lalu apakah kini kau sudah
merobah niat
itu?" bertanya lagi Ki
Panunjang Jagat.
"Ya... aku... aku telah
merobah niat itu!" sahut
Adhinata dengan menunduk. Ki
Panunjang Jagat dan
Gembul Sona sailing berpandangan. Dan lambat-
lambat Senapati Kerta Bumi
menghampiri, lalu bisikan
kata-kata di telinga kakek
puncak Tangkuban Perahu.
Kini terlihat Ki Panunjang Jagat
manggut-manggut.
Wajahnya tak menampilkan
perobahan sedikitpun. La-
lu ujarnya pada Adhinata.
"Baiklah, muridku...!
sukurlah kalau kau telah
kembali pada kesadaranmu ...!
Kini gusti Adipati Kerta
Bumi dari kerajaan Sunda
Kalapa akan bicara pada
mu...!Selesai berkata Ki
Panunjang Jagat berpaling pa-
da Senapati itu seraya berkata.
"Silahkan bicara pa-
danya, Gusti Senapati...!"
Senapati ini mengganguk.
Dan Ki Panunjang jagat segera
menjura padanya, lalu
kedipkan mata pada Gembul Sona
dan Sambu Ruci.
Dan mendahului berkelebat keluar
dari lingkaran ke-
pungan prajurit. Hal mana segera
diikuti Gembul Sona
dan Sambu Ruci, yang segera
melompat keluar me-
nyusul Ki Panunjang Jagat.
Setiba di luar...
"Aneh, apakah yang akan
dibicarakan Senapati
Kerta Bumi itu? mengapa kita tak
diberi izin menden-
garnya...?" Tanya Gembul
Sona pada kakak sepergu-
ruannya. Sambu Ruci sendiri tak
mengerti. Dia hanya
menatap pada kedua tokoh tua
Rimba Persilatan itu si-
lih berganti. Tiba-tiba
terdengar suara aba-aba yang
sangat nyaring dari suara
Senapati Kerta Bumi. Ketika
mereka menoleh ke belakang,
segera terdengar suara
bising dari terlepasnya ratusan
anak panah yang se-
perti tiada habisnya. Dan selang
sesaat terdengar te-
riakan sorak sorai dari para
prajurit lasykar Kerajaan
Sunda Kelapa menggegap gempita.
Apakah yang terja-
di? Kiranya ratusan anak panah
segera meluruk ke tu-
buh Adhinata si Manusia Beracun
itu, begitu Senapati
Kerta Bumi memberi aba-aba, dan
secepat kilat me-
lompat keluar dari lingkaran
pasukan pemanah yang
telah mengurung si Manusia
Beracun.
Tak ampun lagi tubuh si Manusia
Beracun ro-
boh ke tanah dengan terpanggang
berpuluh-puluh
anak panah. Dan tewas.... tanpa
berkelojotan lagi. Ter-
nyata bisikan Senapati itu
adalah menyatakan bahwa
tak ada jalan lain bagi murid si
kakek puncak Tangku-
ban Perahu itu selain kematian.
Karena secara tidak
langsung Adhinata telah menjadi
musuh Kerajaan.
Dan titah Baginda Raja Kerajaan
Sunda Kalapa tak
dapat lagi dibantah, yaitu
menumpas si Manusia Bera-
cun karena membahayakan bagi
Kerajaan juga umat
manusia!
Kalau Sambu Ruci dan Gembul Sona
menoleh
ke belakang, adalah Ki Panunjang
Jagat tetap melang-
kah tanpa menoleh sedikitpun.
Bahkan berjalan den-
gan menundukkan wajahnya.
Ternyata dari celah ke-
dua kelopak mata kakek tua itu
telah membersit turun
dua titik air mata. Air mata
haru, tapi juga penuh ke-
relaan "Apakah yang
terjadi, kakang Panunjang Ja-
gat...?" tanya Gembul Sona,
seraya mengejar kakak se-
perguruannya dan terkejut
melihat wajah sedih serta
air mata kakek itu mengalir
turun membasahi pipi.
Sementara Sambu Ruci pun segera
balikan tubuhnya
menyusul kedua kakek itu.
Terdengar Ki Panunjang Jagat
menghela napas,
seraya ujarnya.
"Tak ada lain jalan selain
kematian yang harus
di jatuhkan pada Adhinata! karena dia telah
menjadi
musuh Kerajaan yang
membahayakan...! itu sudah
menjadi perintah Baginda Raja
Kerajaan Sunda Kala-
pa!" Terhenyak Ki Gembul Sona dan Sambu Runci,
yang seketika jadi tercenung
tanpa bisa bicara apa-
apa.
"Tapi aku bahagia, karena
Adhinata telah sadar
sesaat sebelum kematian
menjemputnya...!" sambung
Ki Panunjang Jagat.
"Benar! walaupun demikian
tragis kematiannya,
akan tetapi dia masih bisa
digolongkan sebagai pahla-
wan. Walaupun cuma sebagai
pahlawan tanpa jasa...!
Yah, kini tuntaslah sudah urusan
kita! sementara kita
bisa bernapas lega. Tinggal
menunggu kabar saja nanti
apakah Roro Centil dapat
menumpas wanita iblis itu?"
Tukas Ki Gembul Sona. Dan Ki
Panunjang Jagat cuma
manggut-manggut seraya menghela
nafas. Demikian
juga Sambu Ruci.
Sorot Matahari senja itu mulai
memudar. Di
ufuk barat sana terlihat cahaya
merah dari belakang
perbukitan. Ketika itu ketiga
orang pendekar pembela
kebenaran yang masing-masing
berbeda usia segera
berpisah. Gembul Sona pergi ke
arah barat. Sedangkan
Ki Panunjang Jagat menuju ke
utara. Dan Sambu Ruci
ke arah selatan...
Perjuangan kamu pendekar dalam
menumpas
segala macam bentuk kejahatan
agaknya memang tak
pernah tuntas. Karena 1001 macam
kejahatan selalu
bermunculan di atas jagat raya ini. Demikian pula
dengan Roro Centil sang Pendekar
wanita pantai Sela-
tan.
Sebulan kemudian memang ada
berita kema-
tian beberapa tokoh golongan
hitam, akan tetapi bu-
kanlah manusia yang diburu Roro,
karena Giri Mayang
seolah lenyap bagai ditelan
bumi. Adapun baiknya me-
nurut Pengarang diberitahukan
saja pada pembaca,
bahwa sosok tubuh yang menyambar
tubuh Giri
Mayang dan menyelamatkan jiwanya
tak lain dari si
nenek mata juling yang punya
anak buah tujuh mah-
luk kerdil. Kelak Giri Mayang
memang masih muncul
untuk menyebar kejahatan dengan
ilmu barunya yang
lebih hebat.
Dan adalah tugas kaum Pendekar
termasuk
Roro Centil si Pendekar wanita Pantai Selatan untuk
menumpasnya. Dengan demikian
berakhir kisah Lang-
kah-langkah Manusia Beracun....
TAMAT
Emoticon