Pendekar...!" Berkata murid
Ki Gembul Sona.
"Hm, sudahlah...! kemana
kawan-kawanmu
yang lain? Tampaknya sukar untuk
menyelamatkan
rumah Pesanggrahan ini, juga
menyelamatkan barang-
barang di dalamnya! Api sudah menyebar ke seluruh
ruangan. Ujar laki-laki itu. Ternyata seorang pemuda
yang berwajah tampan, hampir
mirip wanita. Sebatang
pedang tampak tersembul di bahu kanannya. Belum
lagi murid Ki Gembul Sona
menyahut, sudah terdengar
suara riuh di belakangnya. Dan
bermunculan kawan-
kawannya, yang serentak
berteriak-teriak panik. Juga
muncul Ki Gembul Sona dengan
memondong seorang
muridnya yang terluka pada
sebelah pundaknya.
"Celaka...! celaka...!
Ludaslah semuanya...! Oh,
dosa apakah gerangan yang
kulakukan? Siapa manu-
sianya yang telah membakar
Pesanggrahan ku ini?"
Terdengar suara Ki Gembul Sona,
yang sudah berdiri
terpaku tanpa dapat berbuat
apa-apa. Sementara api
kian melahap habis Pesanggrahan
itu, hingga beberapa
kejap kemudian sudah tinggal
puing-puing
belaka......Sisa-sisa murid Ki
Gembul Sona
Cuma tertunduk dengan wajah
sedih. Keadaan seketi-
ka sunyi senyap bagaikan tak ada
orang di tempat itu.
Cuma yang terdengar suara helaan
nafas dan suara
berderaknya kayu-kayu yang sudah
memulai di makan
api, yang berjatuhan saling
tumpuk. Langit seperti di-
warnai oleh warna hitam yang
membumbung ke atas
dari sekitar pesanggrahan yang
sudah tak berbentuk
lagi.....
-ooOoo-
Sosok tubuh si manusia kate itu
berkelebat ce-
pat dari Bukit Datar. Gerakan
larinya aneh sekali, ka-
rena ekornya dijadikan penunjang
tubuhnya, yang se-
lalu menjulur terlebih dulu
untuk mengangkat tubuh-
nya. Hingga seperti dilontarkan,
tubuh si kakek kale
Ririwa Bodas itu melesat cepat
menyeberangi tebing-
tebing terjal. Ternyata kakek
kate itu memondong se-
sosok tubuh wanita pada sebelah pundaknya. Semen-
tara di belakang si kakek kate itu sesosok bayangan
tubuh mengejarnya diiringi
bentakan-bentakan keras.
"Berhenti kau kakek
siluman...! Heh, jangan harap kau
dapat loloskan diri dart
tanganku...!" Terdengar suara
bentakannya yang bersuara
nyaring. Kejar-kejaran itu
terus berlanjut, hingga sudah
melewati beberapa anak
sungai. Siapakah gerangan sosok
tubuh dalam pon-
dongan si Ririwa Bodas itu? dan
siapa pula yang men-
gejarnya? Marilah kita ikuti
pertarungan yang tadi ten-
gah berlangsung di Bukit datar.
Ketika itu si Ririwa
Bodas tengah lancarkan pukulan
apinya yang dahsyat
ke arah punggung Ki Gembul Sona.
Terperangah laki-
laki tua berambut coklat itu.
Akan tetapi segera dia
pergunakan ilmu ajian
"Belut Putih" untuk menghada-
pi terjangan pukulan si kakek
kate, karena tak mung-
kin lagi baginya untuk melompat
atau menghindar.
Angin panas itu telah tinggal
sejengkal lagi di belakang
punggungnya.
PLASSH...! Terkejut si Ririwa
Bodas, karena an-
gin panas yang dahsyat dari
pukulannya itu telah le-
wat bagaikan kalis, tanpa
melukai atau membakar
hangus tubuh Ki Gembul Sona.
Cuma pa-
kaiannya saja yang terbakar
hancur dan berhambu-
ran. Sedangkan punggung Ki
Gembul Sona tetap utuh
tanpa hangus. Akan tetapi tubuh
itu terhuyung ke de-
pan beberapa langkah. Sekejap Ki
Gembul Sona sudah
txt oleh
http://www.mardias.mywapblog.com
cabut kerisnya, dan balikkan
tubuh dengan cepat. Dan
melesatlah tubuhnya untuk
menukik menghujamkan
kerisnya ke ubun-ubun kepala si
kakek kate...
TRANG! Terdengar suara benturan
keras. Ter-
nyata si kakek kate telah
menyampok mental keris Ki
Gembul Sona. Kakek ini
perdengarkan teriakan terta-
han. Tubuhnya lakukan salto
beberapa kali ke udara.
Dan sekejap sudah jejakkan kaki
di atas batu. Nyaris
keris di tangannya terlempar
lepas dari genggamannya.
Kakek itu rasakan lengannya
kesemutan. Akan tetapi
pada saat itu si kakek kate
telah lemparkan tongkat-
nya ke arah Ki Gembul Sona.
Bibir si Ririwa Bodas ini
tampak bergerak-gerak membaca
mantra. Seraya ber-
bareng dengan lemparan tongkat
itu, dia membentak
keras.
"Kau hadapilah ular
ku...!"
"HOSSSSSS...!"
Tiba-tiba tongkat si kakek kate
telah berubah menjadi seekor
ular yang ngangakan
mulutnya menyambar ke arah batok
kepala Ki Gembul
Sona. Terperangah kakek ini.
Namun dengan mengger-
tak gigi secepat kilat tabaskan
kerisnya ke kepala ular
raksasa "ciptaan" itu.
Akan tetapi benarlah seperti kata
muridnya. Ular ciptaan itu
mempunyai kekebalan kulit
yang luar biasa kerasnya, (tentu
saja, karena ciptaan
itu adalah tongkat ular baja si
kakek kate yang dicip-
takan menjadi ular dengan
menggunakan ilmu hitam,
atau ilmu siluman).
Tampaknya kejadian pertarungan
seperti tadi
segera berlangsung lagi. Ki Gembul
Sona keluarkan te-
riakan-teriakan gusar yang
merangsak ular ciptaan
itu. Akan tetapi setiap kali
kerisnya menyentuh kulit
ular, segera terpental balik.
Sementara Ki Gembul Sona tengah
sibuk
menghadapi ular ciptaan si
Ririwa Bodas ini berkelebat
mendekati ke arah Pandan Sari.
"Kehkehkeh... gadis cantik!
kau ikutilah aku...!"
Desisnya dengan suara serak. Dan
sekonyong-
konyong ekor si kakek kate itu
telah menggulung tu-
buhnya, dan membelit pinggangnya
dengan erat. Ter-
perangah beberapa murid Ki
Gembul Sona. Sementara
si gadis itu sudah terpekik
kaget. Sepasang Trisulanya
segera digunakan menghujani
kulit ekor si Ririwa Bo-
das. Akan tetapi mengeluh gadis
ini, karena tahu-tahu
lengan si kakek kate itu telah
berkelebat menotoknya.
Sekejap tubuhnya sudah terkulai
tak berkutik. Sekali
lengan si kakek itu menyambar,
maka berpindahlah
tubuh Pandan Sari ke atas
pundaknya.
Tiba-tiba tubuhnya sudah
berkelebat lagi ke
tempat pertarungan seraya
kirimkan serangan hebat
pada Ki Gembul Sona, untuk membantu
"ular"nya me-
nyudahi pertarungan. Saat itu Ki
Gembul Sona dalam
keadaan lengah. Kemarahan
menghadapi ular raksasa
itu yang Kembali muncul dan
"hidup" lagi, membuat
dia tak waspada akan kejadian
disekelilingnya. Bahkan
tak menyadari kalau murid terkasihnya telah
berada
dipundak musuhnya.
WHHUUKKK...! Hantaman yang
menyemburkan
hawa panas itu menerjang
mengarah batok kepala Ki
Gembul Sona. Agaknya si Kakek
ini tak mampu berke-
lit lagi. Dan saat itu dia tak
sempat pergunakan ajian
"Belut Putih"
BLASSS...! Terdengar teriakan
tertahan Ki
Gembul Sona, seolah terasa
kepalanya seperti sudah
hangus sekejapan. Akan tetapi
teriakan tertahan itu
berbareng dengan teriakan si
kakek kate, yang sebe-
lumnya didahului oleh satu
bentakan nyaring. Sesosok
bayangan berkelebat
menyelamatkan nyawanya me-
mapaki serangan ganas si Ririwa
Bodas. Tubuh si ka-
kek kate terdorong ke udara tiga tombak. Nyaris saja
tubuh gadis dalam pondongannya
itu terlepas.
Akan tetapi dengan gesit tubuhnya
berjumpali-
tan. Ekornya menjulur untuk
menyangga tubuhnya
dari kejatuhan. Sekejap dia
sudah dapat jejakkan kaki
ke tanah dengan baik.
Menyeringai wajah si kakek kate
ini karena rasakan telapak
tangannya perih dan ngilu
akibat terlepasnya persendian
tangannya. Heran ber-
campur terkejut si kakek kate
menatap pada sosok tu-
buh semampai yang sudah muncul
di situ. Siapa lagi
kalau bukan sang Pendekar Wanita
Pantai Selatan
RORO CENTIL.
Ternyata Pendekar Wanita ini
datang tepat pa-
da waktunya dan secara tak
sengaja telah menyela-
matkan nyawa Ki Gembul!
"Hm, kakek siluman buntut
kadal, tongkat ular
ciptaanmu itu hebat sekali...!
Berkata Roro. Dan seke-
jap tubuhnya sudah berkelebat ke
arah sang ular yang
masih menempur Ki Gembul Sona.
Senjata Rantai Ge-
nitnya tahu-tahu sudah mendesing
ke arah kepala
"ular" raksasa itu.
PRRAKK...! Terdengar suara
berderak keras.
Tubuh ular segera menggeliat,
kemudian roboh meng-
gabruk. Ketika tubuh sang ular
berubah ujud menjadi
tongkat yang lagi-lagi hancur
bagian ujungnya, Roro
Centil sudah berkelebat untuk
menyambarnya.
"Tongkat sialan mu ini
lebih baik dipendam ke
dalam bumi!" Berkata Roro
Centil, seraya menghujam-
kan tongkat baja si kakek kate,
hingga amblas ke da-
lam tanah tak kelihatan lagi
ujungnya. Terperangah Ki
Gembul Sona. Kemunculan seorang
gadis yang telah
menyelamatkan nyawanya dan
sekaligus memusnah-
kan "ular" ciptaan si
Ririwa Bodas itu membuat ha-
tinya tersentak kaget dan
girang. Pandangan matanya
sudah membentur pada senjata
Rantai Genit-nya Roro
Centil. Melihat sepasang benda
yang berbandulan mi-
rip sepasang buah dada itu,
segera Ki Gembul Sona
mengetahui siapa gadis cantik di
hadapannya.
Ah, ah...! anda pasti Pendekar
Wanita RORO
CENTIL! apakah dugaanku yang tua
renta ini tidak sa-
lah..?" Ucapnya dengan
menatap pada Roro.
"Hihihih...! tepat sekali
dugaanmu, kakek jang-
kung...! Biarlah aku mewakilkan
mu menghajar
si kakek siluman buntut kadal
itu!" Sahut Roro,
yang sudah balikkan tubuh
menatap pada si Ririwa
Bodas. Sementara si kakek kate
cukup terkejut meli-
hat tindakan Roro yang
memusnahkan ular ciptaannya
dan sekaligus melenyapkan
tongkatnya hingga amblas
ke dalam tanah. Hatinya
membatin. Hebat...! Macam
inikah cantiknya si Pendekar
Wanita Pantai Selatan
Roro Centil, yang menjadi musuh
muridku? Memang
sungguh-sungguh cantik, dan juga
berilmu tinggi...!
Sayang kalau dia harus tewas,
bangkainya saja aku
masih tak menolak untuk ku
cicipi...!
Otak kotor si kakek kaki gajah
ini sudah beker-
ja sampai sejauh itu, karena
hatinya diam-diam men-
gagumi akan kecantikan serta
kemontokan tubuh sang
dara perkasa Pantai Selatan itu.
***
DELAPAN
Sebenarnya walaupun belum pernah
bertemu
muka, si kakek kate itu sudah
dapat menerka siapa
adanya wanita kosen yang cantik
jelita di hadapannya
itu, karena juga dengan melihat
sepasang senjata Ran-
tai Genit di tangan gadis
Pendekar itu. Akan tetapi di
luar dugaan, justru Roro Centil
telah mengenali siapa
laki-laki kate di hadapannya. Karena pada peristiwa
belakangan ini, Roro Centil
telah terjerumus ke sarang
Siluman Buaya Putih.
Dari sang Ratu Siluman Buaya
Putih itu Roro
mengetahui kalau di wilayah sekitar Jawa Barat ada
berdiam seorang tokoh Rimba
Hijau yang amat kejam
dan telengas. Dialah yang
bernama RIRIWA BODAS,
yang memiliki ilmu-ilmu siluman
jahat hingga kakek
kate itu mempunyai ekor yang
tumbuh dipantatnya.
*(Untuk mengungkap pertemuan
Roro Centil
dengan sang Ratu Siluman Buaya
Putih amat panjang
kisahnya. Untuk itu pengarang
anda MARIO GEMBA-
LA akan mengisahkan secara
terperinci dalam kisah
yang tersendiri, yaitu berjudul:
"CINTA & DENDAM
RATU SILUMAN BUAYA
PUTIH")*.
"Eh, kakek muka kriput
buntut kadal...! turun-
kan gadis itu dari
pundakmu...!" Bentak Roro dengan
suara nyaring dan terdengar
gemas. Akan tetapi si ka-
kek kate itu cuma tertawa
menyeringai, kendati ha-
tinya agak jeri melihat
kehebatan si Pendekar Wanita
yang masih berusia muda dan
cantik itu.
"Kehkehkeh...! selamat
jumpa nona Pendekar
RORO CENTIL! Aku si Ririwa Bodas
salah seorang
pengagum mu. Memang sudah lama
aku menantikan
kemunculan anda! Sayang hari ini
aku tak dapat me-
layani mu, kelak muridkulah yang
akan menghadapi
anda nona Pendekar Perkasa...!
Dan... kehkehkeh...!
mengenai gadis ini, terpaksa aku
tak dapat mele-
paskannya...!" Berkata si
Ririwa Bodas. Selesai buka
mulut, si kakek kate itu sudah
gerakkan ekornya un-
tuk mengait dahan pohon. Dan...
WHUSS...! Tubuhnya
sudah melayang cepat untuk
melesat pergi. Dengan
beberapa kali lompatan saja
sudah berada sejauh dua
puluh tombak.
Akan tetapi Roro Centil sudah
gerakkan tubuh-
nya melesat untuk mengejar,
diiringi bentakan nyar-
ing.
"Kakek keriput buntut
kadal...! jangan harap
kau dapat loloskan diri dari
tanganku...!( Siapakah
muridmu yang mendendam padaku
itu?" Teriak Roro
Centil.
"Dia akan kau ketahui kalau
kau sudah berha-
dapan...!" Sahut si kakek
kate tanpa menoleh, dan se-
makin cepat berkelebatan untuk melarikan
si gadis da-
lam pondongannya...
Ki Gembul Sona sudah kelebatkan
tubuh un-
tuk turut mengejar, akan tetapi
Roro Centil segera ber-
kata.
"Kakek jangkung, biar aku
yang menyela-
matkan muridmu itu...!" Dan
melesatlah tubuh Roro
Centil untuk memburu si Ririwa
Bodas. Sementara Ki
Gembul Sona cuma bisa menatap
saja dengan hati ke-
bat-kebit. Akan tetapi dia
merasa yakin kalau sang
Pendekar Wanita Pantai Selatan
akan dapat menyela-
matkan murid terkasihnya itu
....
Tiba-tiba dilihatnya asap
mengepul di kejau-
han. Langit pada sebelah utara
tampak menghitam.
Hati si kakek rambut coklat ini
jadi tersentak kaget.
Hatinya memikir. Ah,
jangan-jangan telah terjadi ke-
bakaran di Pesanggrahan ku!
Memang si kakek jang-
kung yang bergelar si Belut
Putih ini mengetahui betul
letak tempat pesanggrahannya. Dugaannya ternyata
tak keliru, karena setelah
ramai-ramai mereka kembali
bersama para muridnya yang
terluka, cuma bisa me-
nyaksikan rumah Pesanggrahannya
sudah tinggal
puing-puing belaka.
Demikianlah. Sementara Ki Gembul
Sona ten-
gah dilanda kekalutan dengan bermacam musibah
yang menimpa, Roro Centil Sang
Pendekar Wanita Pan-
tai Selatan itu tengah mengejar
si kakek kate Ririwa
Bodas yang sudah amat jauh
meninggalkan wilayah
selatan itu ...
Akan tetapi ketika telah
memasuki wilayah
tempat kediaman si kakek kate
itu, Roro Centil telah
kehilangan jejak.
"Setan alas...! gadis murid
si kakek jangkung
itu harus
kuselamatkan...!I" Deals Roro dengan wajah
menampakkan kemendongkolan,
karena sejauh itu Ro-
ro tak dapat melakukan tindakan
apa-apa. Khawatir
kalau melukai si gadis yang
berada dalam pondongan
si Ririwa Bodas.
Di hadapannya adalah bukit batu.
Tak terlihat
sebuah celah kecilpun untuk si
kakek kate menyelinap
masuk, apalagi dengan membawa
korbannya dalam
pondongan. Akan tetapi Roro
Centil tak kekurangan
akal. Segera bibirnya telah
berdesis.
"Tutul Sahabatku...!"
kau kejarlah siluman tua
itu, dan rebut kembali gadis
yang diculiknya...!" Seba-
gai sahutannya adalah suara
menggeram, yang kemu-
dian terasa angin membersit
lewat di sampingnya. Itu-
lah pertanda sang harimau Tutul
sudah menjalankan
perintah.
Kalau saja Roro Centil
pergunakan mata batin-
nya tentu akan melihat sebuah
lubang menganga di
hadapannya. itulah goa tempat
sarang si Ririwa Bodas,
yang telah menutupnya dengan
kekuatan gaib yang
amat hebat, hingga tak menampak
ada lubang disana
kecuali batu-batu yang rapat
dinding bukit.
Badan si makhluk siluman sahabat
Roro itu
sudah melesat masuk dengan
cepat, bagaikan angin
yang berhembus lewat...
Sementara Roro Centil bahkan
melompat he
atas tebing bukit itu untuk
mengamati kemana geran-
gan lenyapnya si kakek kate
Ririwa Bodas.
-ooOoo-
GUBUK KECIL di puncak pohon itu
tampaknya
seperti tak berpenghuni. Karena
tak terlihat seperti bi-
asanya seorang kakek berkaki
satu duduk di "rumah
burung" Itu untuk menikmati
asap tembakaunya den-
gan cangklong terbuat dari
tulang ayam. Kakek berka-
ki buntung itu seorang yang tuna
wicara alias gagu.
Pekerjaannya sehari-hari tak
lain dari berburu. Bila
mendapatkan hasil buruannya
tentu segera memang-
gangnya dan menyantapnya di
rumah burung yang be-
rada di puncak pohon. Untuk
memanjat ke atas telah
disediakan sebuah tangga tali
yang menjuntai sampai
ke tanah. Itulah rumah mungil
tempat beristirahatnya
si kakek gagu berkaki satu.
Akan tetapi sukar diterka kalau
ternyata di da-
lam pondok kecil itu telah diisi
oleh dua orang anak
manusia berlainan jenis yang
tengah melakukan per-
buatan terkutuk. Laki-laki itu
ternyata tak berdaya,
ketika tubuhnya yang tertotok
kaku, di bawa berkele-
bat ke puncak pohon. Dan
sekejapan saja sudah dire-
bahkan di dalam pondok yang cuma
beralaskan tikar
pandan kumal.
Ternyata adalah si wanita yang
telah membakar
Pesanggrahan Ki Gembul Sona.
Dialah si Roro Centil
gadungan. Menatap tubuh
laki-laki yang bertubuh ke-
kar itu "Roro Centil"
sudah tak sabar untuk segera
menyalurkan keinginannya.
Lengannya sudah berge-
rak menyingkirkan apa yang
menghalangi tubuh laki-
laki bernama Tanggor itu.
BREET...! WEK! WEEK...!
BREET! BREBEET...! BRET! Sekejap
saja tubuh
si laki-laki itu sudah membugil.
Kini gantilah wanita
itu yang melepaskan pakaiannya.
Tentu saja sepasang
mata Tanggor jadi membeliak.
Kebencian dan birahi
mengaduk menjadi satu. Akan
tetapi dengan mengger-
tak gigi Tanggor menahan
rangsangan hebat itu, den-
gan memejamkan matanya.
"Laki-laki bodoh!"
memaki Roro Centil gadun-
gan. lengannya sudah bergerak
untuk memencet urat
nadi di leher laki-laki itu,
seraya berdesis dengan ge-
ram.
"Apakah kau lebih senang
mati, dari pada me-
nikmati tubuhku....?" Hm,
jawablah ..." Tentu saja si
laki-laki itu sudah belalakkan
matanya lagi dengan
megap-megap dan menyeringai
kesakitan.
"Hm, jarang aku mau digauli
laki-laki semba-
rangan! Dan kau mendapat
kesempatan istimewa,
mengapa kau menolak?".
Berkata si wanita itu seraya
lepaskan cengkeramannya.
"Baik...! baik...! lepaskanlah totokanku...! aku
akan menuruti kemauanmu,
perempuan bejat!" Berka-
ta laki-laki murid Ki Gembul
Sona itu.
"Hihihi... makilah aku
sepuasmu, laki-laki ga-
gah! Asal kau turuti kehendakku,
aku tak penasaran
lagi! Sahut si Roro Centil gadungan, yang segera ge-
rakkan lengannya membebaskan tubuh laki-laki itu
dari pengaruh totokannya.
"Hm, dengarlah! Tanggor!
walau kau cuma ke-
pala pengawal penjaga
Pesanggrahan si tua bangka
Gembul Sona itu, aku senang
padamu! Kalau kau
mau, aku akan mengangkatmu
menjadi Kepala Pen-
gawal di Kadipaten...!
Bersediakah kau?"
Sejenak termenung si Tanggor
itu. Sementara
wanita itu sudah rebahkan
tubuhnya ke dadanya yang
bidang dan berbulu lebat. Terasa
dua gumpal benda
lunak menindih dadanya. Dan
jantungnya segera ber-
detak cepat.
"Aku amat menyenangi mu,
sayang...! maukah
kau menjadi Kepala pengawal
Kadipaten? Kau akan
memperoleh sebuah kuda yang
bagus, dan pakaian
keperwiraan. Ketahuilah! aku
adalah istri dari Adipati
ANTABOGA yang sekarang memegang
kekuasaan!
Mengenai hubungan kita, aku
dapat mengaturnya.
Kau akan kuberi sebuah rumah
tinggal yang aman,
untuk aku sewaktu-waktu
datang...!"
"Akan tetapi bukankah
kau... kau seorang Pen-
dekar Penjunjung Kebenaran?
Kalau kau benar seo-
rang Pendekar pembela yang
lemah, mengapa kau
menjadi seorang penjahat? Kau
lakukan perbuatan ke-
jam membunuh kawan-kawanku, dan
membakar Pe-
sanggrahan! Apakah itu perbuatan
seorang Pendekar?"
Berkata Tanggor dengan mendidih
perasaannya yang
menggebu. Hawa rangsangan
semakin lama semakin
sukar untuk ditolak, karena
seketika wanita itu sudah
mendidih tubuhnya.
"Hihihi... aku lakukan itu
karena suruhan
orang, kakang Tanggor!"
Berkata Roro Centil gadungan
seraya membelai wajah dan leher
laki-laki itu.
"Si... siapa yang telah
menyuruhmu...?" Tanya
Tanggor dengan napas sesak.
Dirasakan sekujur tu-
buhnya seperti lemah lunglai.
Tak kuasa dia menahan
gejolak rangsangan yang sudah
menggelegak meme-
nuhi dadanya...
"Guruku ...!" Ujar si
wanita dengan menggeliat
di dada laki-laki itu. Terasa
nafasnya semakin membu-
ru, dan bibirnya mulai keluarkan
desahan-desahan
kecil. Terlalu sukar bagi
Tanggor untuk lakukan ber-
macam pertanyaan, karena
sepasang matanya sudah
menjadi nanar. Dan sesuatu yang
terlalu indah menu-
rut naluri kelaki-lakiannya
telah membuat dia seperti
terperosok kesatu lembah yang
teramat dalam tak be-
rujung...
Selanjutnya dari "rumah
burung" itu sudah
terdengar suara-suara berdesahan
dan rintih-rintih
kecil yang membaur dengan irama
margasatwa di seki-
tar hutan...
-ooOoo-
Sesosok tubuh melompat-lompat
dengan gera-
kan lincah. Walaupun cuma
berkaki tunggal, si kakek
gagu itu dapat melakukan
perjalanan cepat dengan
menggunakan sebuah tongkat kayu
bercabang pe-
nyangga tubuhnya. Dari kejauhan
dia sudah melihat
ke arah "rumah burung"
tempat dia berhuni. Ternyata
si kakek gagu kaki tunggal ini
mempunyai naluri yang
peka. Dia sudah mengetahui
adanya orang lain yang
menghuni tempat tinggalnya itu.
Tampak alisnya ber-
gerak turun, sepasang matanya
menatap beberapa la-
ma. Heh? siapa pula orangnya
yang berani mengotori
rumah tempat tinggalku? Berkata
dia dalam hati. Tiba-
tiba tubuhnya sudah berlompatan
untuk segera tiba di
bawah pohon. Diraihnya tangga
tali untuk digerak-
gerakan, seraya berteriak.
"Wuuuuh! wuuuh...! wuuuu
...!" Suara teria-
kannya kedengaran aneh, tapi
maksudnya adalah
mengusir orang yang berada di
atas, di dalam "rumah
burung"nya itu agar segera
turun. Tentu saja si kakek
gagu tak mengetahui kalau di
dalam rumah burung itu
dua anak manusia berlainan jenis
tengah memadu
asmara. Kembali dia
menyentak-nyentakkan tangga ta-
li itu dengan berteriak-teriak
seperti tadi. Tiba-tiba
amat terkejut si kakek gagu
ketika tahu- tahu dari atas
terdengar suara jeritan parau,
diiringi terlemparnya se-
sosok tubuh menggabruk ke bawah.
Dan sebuah
bayangan kuning melompat turun
dengan gerakan rin-
gan. Akan tetapi segera
berkelebat pergi tanpa menghi-
raukan si kakek gagu kaki
buntung itu menuju arah
utara.
Si kakek gagu itu jadi terheran
dan meman-
dang sekilas. Akan tetapi segera melompat untuk
menghampiri orang yang jatuh
dari "rumah burung" di
atas pohon. Seketika wajah kakek
gagu itu jadi pucat
dan terperangah memandang
sesosok tubuh laki-laki
yang sudah tewas dengan tubuh
telanjang bulat. Pada
saat itu telah berkelebat pula
ke arahnya sesosok tu-
buh berpakaian sutera warna
hitam, berambut beria-
pan.
"Apakah yang telah terjadi
kek...?" Bertanya
pendatang ini yang tak lain dari
Roro Centil adanya.
Sementara Roro sudah segera
palingkan wajahnya se-
telah sekilas melihat mayat yang
tergeletak itu, yang
mulutnya tampak mengalirkan
darah. Kini menatap
pada si kakek gagu setelah
lakukan pertanyaan. Tentu
saja si kakek gagu itu tak bisa
bicara, kecuali cuma
berkata.
"Wuuuh! wuuuh...!
wuuh...!" Seraya menunjuk
ke arah utara dimana si wanita
tadi berkelebat. Tahu-
lah Roro Centil kalau orang tua
kaki satu itu tak bisa
bicara. Cepat sekali tubuh Roro
Centil sudah bergerak
mengejar ke arah yang ditunjuk
kakek gagu itu
Beberapa saat, Roro sudah dapat
melihat
adanya sebuah bayangan kuning
berkelebatan dengan
sebat menerobos hutan belukar.
Kali Ini Roro tak la-
kukan bentakan, kecuali dengan
diam-diam mengikuti
kemana sosok tubuh itu
berkelebat. Diam-diam ha-
tinya membatin. Eh, siapakah
wanita itu? Dia seperti
membawa bandulan senjata Rantai
Genit seperti senja-
taku!
Akan tetapi baru saja dia mau
lakukan lompa-
tan untuk menghadang, tiba-tiba
terdengar bentakan
keras di belakangnya. Dan
beberapa sosok tubuh su-
dah mengurung Roro. Terkejut
Centil ketika mengenali
mereka adalah tujuh mahluk
kerdil yang sudah tidak
mirip manusia lagi. Karena dari
kepala-kepala ketujuh
makhluk kerdil itu ada sepasang
tanduk. Masing-
masing bermata bulat menonjol,
dengan mulut menye-
ringai menampakkan taring-taring
yang runcing tajam.
Tubuhnya hitam berbulu dengan
kaki yang tak me-
nyentuh tanah. Tersentak Roro
Centil, yang sudah da-
pat menduga mereka adalah
siluman-siluman kerdil
yang jahat.
Seperti ada yang mengomandokan,
ketujuh
makhluk kerdil itu sudah
menerjang Roro Centil. Akan
tetapi Roro sudah waspada sejak
tadi. Segera gerakkan
lengannya menghantamkan ke kiri
dan kanan. Sayang,
yang dihadapi Roro bukanlah
manusia biasa, melain-
kan mahluk siluman, hingga
hantaman-hantaman itu
tak berarti. Sekejap tubuh-tubuh
mahluk kerdil itu
sudah berpencar. Pukulannya
seperti menembus
bayangan belaka. Ketika
tahu-tahu tubuh Roro sudah
kena disergap ketujuh mahluk
siluman kerdil itu.
Menghadapi demikian tampak Roro
Centil agak panik.
Namun segera hentakkan kakinya
untuk melompat se-
tinggi sepuluh tombak. Ketujuh
mahluk kerdil itu ter-
bawa ke atas. Ternyata Roro
Centil gunakan jurus "Pu-
saran Angin Puyuh" warisan
si kakek bulat si Dewa
Angin Puyuh sahabat baiknya yang
berbaik hati menu-
runkan beberapa jurus ilmunya.
Hebat akibatnya, karena serentak
ketujuh mah-
luk kerdil itu berpental
terlepas dari tubuhnya. Dengan
beberapa kali lakukan salto di
udara, tubuh Roro su-
dah kembali jejakan kaki ke
tanah. Sebat sekali, Roro
Centil sudah gerakkan tubuhnya
untuk teruskan men-
gejar si wanita baju kuning
tadi, tanpa menghiraukan
tujuh mahluk kerdil yang entah
berpentalan kemana...
***
Sementara seekor harimau tutul
berkelebat
menyusulnya, yang melompat
bagaikan terbang. Pada
moncongnya menggigit baju di
punggung seorang gadis
yang digondolnya. Dialah si
Tutul sahabat Roro yang
telah berhasil menyelamatkan
gadis bernama Pandan
Sari itu. Apakah sebenarnya yang
telah terjadi?. Ki-
ranya di dalam goa yang pintunya
telah ditutup den-
gan ilmu gaib hingga tak
kelihatan lubangnya, si kakek
kate baringkan tubuh Pandan Sari
di atas batu beralas
tikar. Kakek kate ini tersenyum
menyeringai menatap
gadis yang telah tertotok itu.
Sementara sebuah
bayangan hitam menunggu disudut
ruang goa, menca-
ri kesempatan untuk menggondol
si gadis yang terta-
wan itu.
Akan tetapi si kakek kate itu
justru tak segera
pergi, bahkan mulai beraksi
dengan merayapi sekujur
tubuh sang gadis, dan mulai
menyibakkan pakaian
sang korban untuk segera
membukanya. Melihat de-
mikian, sang harimau Tutul yang
masih membentuk
asap hitam itu sudah tak sabar
untuk segera bergerak.
Melompatlah dia menerjang kakek
kate. Terkejut si Ri-
riwa Bodas ini karena tahu-tahu
sebuah bayangan hi-
tam meluncur menerjang ke
arahnya. Secara reflek dia
sudah bergerak untuk melompat.
Segera matanya su-
dah menatapi pada seekor harimau
tutul sebesar ker-
bau yang berada di atas batu.
Cepat si harimau tutul
siluman itu balikkan tubuh sang
gadis, dan menggigit
baju dipunggungnya. Lalu
bergerak melompat keluar
dari ruangan goa.
Karena dalam keadaan terkesima,
ketika si ha-
rimau tutul sudah melesat keluar
goa, barulah dia ter-
sadar kalau korbannya sudah
digondol si harimau tu-
tul. "Kurang ajar...!"
memaki si kakek kate, tubuhnya
segera berkelebat mengejar. Dan
terjadilah kejar-
kejaran hingga sampai jauh
keluar dari wilayah si Ri-
riwa Bodas. Akan tetapi pada
saat itu sudah berkelebat
sesosok tubuh menghadang.
Terkejutlah si kakek kate
ini, segera sudah jatuhkan diri
berlutut, dan bibirnya
terdengar kata-kata tergetar.
"Datuk guru...! Aku
menghaturkan sembah
bakti." "Hm,
bangunlah...!" Ujar sosok tubuh di hada-
pannya, yang ternyata adalah
seorang pertapa tua ber-
tubuh jangkung. Kumis, dan
jenggotnya panjang men-
juntai hampir sedepa. Disamping
bertubuh jangkung,
tubuh kakek pertapa ini boleh juga
disebut tinggi be-
sar. Hingga berhadapan dengan si
kakek itu seperti
seorang raksasa saja layaknya.
Kakek tinggi besar ini
berjubah hitam, juga berkulit
hitam. Dialah seorang
tokoh yang sudah lama
menyembunyikan diri di Pulau
Andalas. Bersama RATAN SUGAR.
Entah bagaimana si
datuk ini bisa berada di Pulau
Jawa. Ternyata keda-
tangannya memang mencari si
kakek kate itu.
"Ada hal apakah kiranya
Datuk guru menyusul
kemari?" Tanya si kakek
kate dengan heran.
"Kau terlalu gegabah
membuat keonaran, Abi
Ghamus...! hal itu akan
membahayakan dirimu! Se-
baiknya kau pulang, dan
tinggalkan petualanganmu
serta niat gilamu untuk
menguasai Dunia Persilatan!"
Ujar kakek yang bertubuh hebat
itu. Sejenak terme-
nung si Ririwa Bodas yang
ternyata bernama Abi
Ghamus itu.
"Akan tetapi Datuk
guru..." Tukas si kakek kate
dengan terkejut.
"Kau tak akan mampu
menghadapi para tokoh
kaum Rimba hijau, muridku! Dan
hal itu akan sia-sia
belaka! Kau perlu menambah lagi
ilmu-ilmu yang kau
tuntut dan meninggalkan wilayah
ini dengan secepat-
nya! Juga saran ku adalah
sebaiknya kau menghamba
saja pada Kerajaan Sriwijaya!
Kukira tenagamu bisa
bermanfaat bagi keamanan
disana...!" Potong Ratan
Sugar dengan cepat.
"Tidak bisa sekarang Datuk
guru...! aku punya
perjanjian dengan si Raja Racun
untuk bertanding il-
mu. Kira-kira tinggal menunggu
sampai Purnama
mendatang...!I" menyahut si
kakek kate Ririwa Bodas.
"Ah, lupakanlah...!"
Tandas Ratan Sugar den-
gan suara agak ditekan. Akan
tetapi pada saat itu ter-
dengar suara tertawa berkakakan
yang menggetarkan
bumi. Dan muncullah sesosok
tubuh dengan gerakan
ringan ke hadapan mereka.
"Hahahaha... haha RIRIWA
BODAS! Tak usah
menunggu sampai purnama bulan
depan. Hari ini ku
kira cukup baik untuk aku
wakilkan guruku si Raja
Racun membuat kau hidup kekal di
alam Baka...
***
SEMBILAN
Terkejut si kakek kate melihat
yang muncul
adalah pemuda murid si Raja
Racun yang bernama
ADHINATA itu. Akan tetapi
keadaannya kini lain. Pe-
muda itu mengenakan baju rompi
warna hitam dengan
lengan atas terbuka. Juga
dadanya tersibak. Pada se-
pasang lengannya mengenakan
sebuah gelang besi
berwarna hitam legam. Juga pada
sepasang kaki pe-
muda itu melingkar sepasang
gelang besi serupa. Ra-
tan Sugar si kakek tinggi besar
asal India ini cuma
krenyitkan kening menatapnya.
Diam-diam hatinya
tersentak memandang tubuh pemuda
itu mengelua-
rkan sinar kebiruan. Akan tetapi
tak sempat berfikir
jauh karena si kakek kate
muridnya itu sudah mem-
bentak parau.
"Bagus...! akan tetapi
kemanakah gurumu?
mengapa tak munculkan
diri?" Tanya Ririwa Bodas.
"Hahaha... haha... si Raja
Racun itu sudah du-
luan! Segeralah kau menemuinya
di kuburan...!" Ber-
kata Adhinata dengan suara
jumawa. Mendengar kata-
kata demikian, mana si kakek
kate mau percaya begitu
saja. Hatinya membatin. Hm, si
Raja Racun itu terlalu
menganggap enteng padaku! Dia
cuma munculkan
muridnya untuk menghadapiku... ?
Akan tetapi Ririwa
Bodas sudah membentak hebat.
Ekornya tiba-tiba
menjulur untuk menghantam kaki
si murid Raja Ra-
cun yang cuma memakan waktu dua
kali bulan pur-
nama itu. Serangan itu adalah
untuk memancing tu-
buh Adhinata melompat ke atas. Sementara dengan
diam-diam dia telah salurkan
tenaga dalam yang hebat
pada sepasang tangan. Sekali
hantam akan mampus-
lah si anak sombong itu!
Pikirnya. Di luar dugaan, ke-
tika ekor si kakek kate
menyambar kakinya, pemuda
itu justru secepat kilat telah
menangkapnya dengan
sebat. Apa yang terjadi?
Terdengar suara kakek kate
meraung panjang. Tubuhnya sudah
melompat untuk
jatuhkan diri bergulingan.
Dan pada saat itu Adhinata
dengan tawa berge-
lak segera enjot tubuh untuk
hantamkan lengannya.
Terperangah kakek kate. Walaupun
dia dalam keadaan
kesakitan yang amat sangat yang
diketahuinya akibat
apa, namun segera papaki
serangan pemuda itu den-
gan pukulan yang tadi sudah
disiapkan. Sementara
segelombang angin yang
mengeluarkan asap warna bi-
ru sudah menerjang dahsyat. Hawa
dingin menyusup
ke tulang sumsum. Ketika kakek kate memapaki se-
rangan itu dengan hantaman
lengannya, segera ter-
dengar suara parau si kakek kate
dan teriakan terta-
han pemuda itu.
DHEESS...!
Kakek kate terlempar bergulingan dengan
berkelojotan. Sedangkan si
pemuda itu terpental hing-
ga membentur dahan pohon, tepat
pada belakang ke-
palanya. Sungguh satu kejadian
yang amat aneh juga
mengerikan. Karena kalau Adhinata jatuh pingsan tak
sadarkan diri, adalah si kakek
kate berekor ular itu
meraung-raung parau dengan
berkelojotan bagai ayam
disembelih. Tak lama tubuhnya
menegang untuk
menggeliat. Dan kejap
selanjutnya, segera terkulai layu
tak berkutik lagi. Keadaannya
amat mengerikan kare-
na seketika tubuh si kakek itu
berubah menjadi warna
kebiruan. Dan pelahan-lahan
menjadi cair. Untuk se-
lanjutnya jadi bangkai yang
menimbulkan bau yang
menusuk hidung.... Sementara
ekornya telah lenyap.
Terkesiap si kakek tinggi besar,
bagaikan tak percaya
menatap tubuh ke dua orang yang
terkapar itu silih
berganti.
"MANUSIA BERACUN....!"
Pekiknya dengan ka-
get. Barulah dia menyadari sinar
kebiruan yang timbul
dari tubuh anak muda itu adalah
sinar racun yang
dahsyat, yang seumur hidupnya
belum pernah dijum-
pai. Tertegun seketika si kakek
hitam bertubuh tinggi
besar itu.
"Haiiih! sudah kukatakan
tak usah menghirau-
kan segala macam adu
kesaktian! Ternyata nasibmu
buruk Abi Ghamus! Harus menemui
kematian dengan
begitu rupa...!" Seraya
berucap, tubuh Ratan Sugar to-
koh asal India yang sejak lama
menyembunyikan diri
di Pulau Andalas itu segera
berkelebat pergi mening-
galkan tempat itu, dengan hati
penuh
kemasygulan.
Sepeninggal si kakek tinggi
besar berkulit hitam
yang kumis dan jenggotnya
panjangnya hampir sedepa
itu, sesosok tubuh berkelebat
muncul. Sukar diper-
caya, karena yang muncul itu
adalah si kakek muka
putih Ki Panunjang Jagat. Dia
berdiri tercenung me-
mandang tubuh Adhinata yang
tergeletak tak sadarkan
diri akibat benturan kepalanya
dengan batang pohon.
Apakah yang sebenarnya terjadi
dengan Ki Panunjang
Jagat?
Ternyata ketika
itu tubuhnya jatuh meluncur
ke dalam jurang yang dalam,
keadaan cuaca yang ber-
kabut di kedalaman jurang terjal
itu membuat dia tak
mampu melihat apa-apa. Akan
tetapi dengan belalak-
kan mata lebar-tebar Ki
Panunjang Jagat sempat Juga
melihat dasar jurang. Hatinya
melunjak girang. Seba-
gai seorang kakek kosen yang
sudah banyak mengenal
bahaya, tentulah tidak mandah
saja untuk menghada-
pi maut yang sudah di depan mata. Sesungguhnya
kematian itu memang telah
ditentukan oleh Tuhan
Yang Maha Esa. Dia cuma
manusia... Kalau ditakdir-
kan untuk mati, ya mati...!
Melihat dasar jurang itu
harapannya untuk hi-
dup timbul lagi. Siapa yang mau
tubuhnya hancur re-
muk di atas batu cadas dari
tempat yang amat tinggi
itu? Segera sepasang lengannya
bergerak menghantam
batu cadas di dasar jurang. Hal
itu amat menguntung-
kannya, karena segera tubuhnya tertahan luncuran-
nya. Dan selanjutnya dengan
bersalto mempergunakan
hantaman yang menimbulkan reaksi
menahan tubuh
itu, Ki Panunjang Jagat dapat
mendarat dengan ringan
di dasar lembah dengan selamat.
Kakek ini jatuhkan lututnya ke
tanah dengan
menarik napas lega. Sementara
benaknya berpikir pa-
da kejadian tadi. Entah siapa
telah menyerangnya
hingga dia salah lompat,
hingga terperosok ke dalam
jurang. Dasar jurang itu sunyi
lenggang. Kabut tipis
seperti menyebar yang membuat
pandangannya agak
mengabur. Segera Ki Panunjang
Jagat meneliti kea-
daan sekitarnya. Tiba-tiba
tatapan matanya terbentur
pada sesosok tubuh yang
selangkah terhuyung-
huyung, dengan tertawa
sendirian. Tersentak hati si
kakek penghuni puncak Tangkuban
Perahu itu. Seje-
nak Ki Panunjang Jagat terpaku
menatap sosok tubuh
itu, karena seperti mengenali
siapa adanya laki-laki
yang berperawakan demikian.
"Ah? apakah dia bukannya
Adhinata? Apakah
diapun terjerumus ke dalam
jurang ini, hingga selama
lebih dari dua bulan sejak
kepergiannya belum juga
sampai ke Pesanggrahan Ki Gembul
Sona?" Desis Ki
Panunjang. Jagat. Niatnya
mencari jalan untuk me-
rayap naik ke atas lagi jadi diurungkan. Dengan hati
berdebar diam-diam Ki Panunjang
Jagat bergeser dari
tempatnya untuk memperhatikan
lebih dekat. Betapa
terkejutnya si kakek muka putih
melihat sesosok
mayat tergeletak dengan keadaan
pakaian yang hancur
dan kulit tubuh membiru.
Lagi-lagi hatinya tersentak.
"Si Raja Racun...!"
desisnya dengan suara per-
lahan. Apakah gerangan yang
terjadi? Berkata
dalam hati si kakek Tangkuban
Perahu ini.
Namun cepat-cepat menyelinap ke
balik batu ketika di-
lihatnya Adhinata balikkan
tubuh.
"Hahaha... selamat tinggal
guru! Dua bulan le-
bih kau lakukan percobaan dengan
bermacam cara,
akhirnya begitu berhasil, tak
dinyana kau bahkan
mampus terlebih dulu...!"
Berkata Adhinata, yang
membuat Ki Panunjang Jagat yang
sembunyi di bela-
kang batu untuk ketiga kalinya
jadi tersentak kaget.
Hah!? Dia berguru pada si Raja
Racun? percobaan
apakah yang dilakukan manusia
golongan hitam ini
hingga menewaskannya...!
Sementara Adhinata sudah
tambahkan kata-kata lagi.
"Maaf, guru...! aku malas
mengubur jenazah-
mu, hahaha... biarlah aku
wakilkan kau untuk meng-
hadapi si Ririwa Bodas!"
Selesai ucapkan kata-kata,
Adhinata segera balikkan tubuh
dan melangkah pergi.
Ki Panunjang Jagat tak berlaku
ayal, segera unjukkan
diri di hadapan muridnya. Sekejap sudah melompat
keluar.
"Adhinata...! tunggu
dulu!" Teriak kakek ini.
Pemuda itu menoleh dan sepasang
mata lebar-lebar
melihat orang di hadapannya.
"Guru...!?" Tersentak
kaget Adhinata, yang se-
gera tekuk kedua lututnya untuk
bersimpuh. Seraya
ucapnya.
"Maaf, guru...! aku belum
sampai ke Pe-
sanggrahan paman guru Gembul
Sona! dan aku batal-
kan niat untuk teruskan pelajaran
berguru padanya!"
"Bagus! begitulah seorang
murid yang berbakti?
kau telah batalkan niat, karena
kau lalu bergu-
ru pada tokoh sesat si Raja
Racun!"
"Aku cuma tertarik
dengan dua pasang benda
mustika, guru...! Tak dinyana
kalau kejadiannya bakal
begin...!"
"Apa maksud ucapanmu?
kejadian apakah?
dan benda mustika macam apa yang
telah menggiur-
kan hatimu?" bertanya Ki
Panunjang Jagat.
***
SEPULUH
Akan tetapi tiba-tiba
Adhinata berkelebat me-
lompat menjauh, seraya
berteriak. "Maaf, guru...! aku
tak dapat menceritakan, aku tak
dapat menceritakan-
nya padamu! Amat menyesal aku
telah menjadi murid
yang tak berbakti padamu!
segalanya sudah terlanjur!"
"Terlanjur bagaimana?"
bentak Ki Panunjang
Jagat seraya berkelebat
mengejar. Adhinata segera
berkelebat pula melompat dengan
cepat, tampaknya
seperti ketakutan melihat
gurunya. Terjadilah kejar-
kejaran antara guru dan murid.
"Bocah keparat! lima tahun
aku mendidikmu
untuk kau menjadi seorang
pendekar berhati putih,
tak nyana kau menempuh jalan
sesat! Jangan harap
kau mimpi untuk lolos dari
tanganku..! kau harus ber-
tobat, dan meminta maaf padaku!
Kau tak ku perke-
nalkan memiliki ilmu si Raja
Racun!" teriaknya lagi.
"Sudah terlambat, guru...!"
Balas berteriak Ad-
hinata, lalu percepat gerakannya
untuk segera merat
dari hadapan gurunya. Ternyata
Adhinata setelah
mendapat gemblengan si kakek
puncak Tangkuban Pe-
rahu itu Justru memiliki gerakan
lincah dan gesit me-
lebihi gurunya, hingga beberapa
saat kemudian Ki Pa-
nunjang Jagat telah kehilangan
jejak.
Demikianlah.... peristiwa
belakangan hingga
munculnya kakek puncak Tangkuban
Perahu itu di
saat terjadinya pertarungan
muridnya dengan Ririwa
Bodas. Yang justru adalah musuh
yang telah mem-
buatnya jatuh ke dalam jurang.
-ooOoo-
"MANUSIA BERACUN...!?"
Sentak pula Ki Pa-
nunjang Jagat, seperti kata-kata
yang dilontarkan Ra-
tan Sugar yang sudah berkelebat
pergi. Terpengaruh
bagaikan tak percaya pada
penglihatannya, Ki Panun-
jang Jagat menatap tubuh
muridnya mengeluarkan si-
nar kebiruan, yang berhawa
dingin mencekam dan
menggidikkan.
"Aku tak boleh
menyentuhnya...! berbahaya!
berbahaya...!" desis sang
kakek ini. Segera hatinya su-
dah membatin. "Pantas dia
berusaha menjauhi ku,
ternyata tubuhnya mengandung
racun yang amat luar
biasa!" Tak terasa kakinya
sudah mundur melangkah
dua tindak.
Pada saat itulah berkelebat pula
sesosok tubuh,
yang tak lain dari Roro Centil.
Di atas pundaknya ter-
sangkut tubuh seorang gadis.
Ternyata Roro Centil
pun sudah sejak tadi berada di
tempat itu. Ketika baru
saja harimau tutul mengantarkan
Pandan Sari yang
dibawa dengan menggigit baju
gadis itu, Roro Centil
mendengar suara parau. Roro
memang baru saja terle-
pas dari serbuan mahluk-mahluk kerdil
Siluman itu.
Segera Roro Centil mencari
dimana adanya arah suara
teriakan itu. Dan melihat si
kakek kate tengah berkelo-
jotan meregang nyawa. Tak lama
kemudian tewas den-
gan tubuh berubah mencair,
mengerikan sekali. Se-
mentara di bawah pohon
tergeletak sesosok tubuh tak
bergerak entah pingsan entah
mati, Roro tak mengeta-
huinya.
Kakek puncak Tangkuban Perahu
itu terkejut
melihat Roro Centil yang
memondong tubuh seorang
wanita. Ketika Roro turunkan
bebannya untuk dire-
bahkan di tanah, segera Ki
Panunjang Jagat mengenali
siapa adanya gadis itu.
"Siapakah anda, nona...?
Gadis itu aku menge-
nalnya! Dia murid adik
seperguruanku Gembul Sona!"
Bertanya dia setelah menjura
pada Roro. Dilakukan-
nya pertanyaan itu karena memang
dia tak mengeta-
hui kejadian di atas bukit
karena tubuhnya sudah me-
layang ke dasar jurang.
Tersenyum Roro Centil. Roro
memang telah da-
tang terlambat untuk menolak
pukulan si kakek kate,
yang justru kemunculannya adalah
di saat si kakek
kate itu tengah melancarkan
serangan ganas pada ka-
kek Jangkung muka putih yang
sudah di lihatnya ber-
hasil meremukkan kepala ular
dengan hantaman pu-
kulannya. Segera Roro menyahuti.
"Namaku Roro...!
Lengkapnya RORO CENTIL!"
Sahutnya.
"Ah, sukurlah kau orang tua
bisa selamat dari
kematian! Kalau demikian aku tak
perlu repot-repot
mengantarkan gadis murid adik
seperguruanmu si ka-
kek Jangkung rambut coklat
itu!" Ujar Roro, yang se-
gera ceritakan kejadiannya
secara singkat. Adapun Ki
Panunjang Jagat sejak tadi
mengingat-ingat nama
yang baru disebutkan itu.
Memandang pada senjata
Rantai Genit di pinggang Roro,
barulah dia sadar dan
tersentak kaget.
"Sungguh tak dinyana aku
masih bisa mengen-
al dan bertemu muka dengan
Pendekar Wanita Pantai
Selatan yang namanya sudah
tersohor. Ternyata masih
muda belia dan cantik!"
Berkata Ki Panunjang Jagat.
"Terima kasih atas bantuan
anda, nona Pende-
kar Roro Centil!"
Sambungnya. Manusia aneh berekor
ini aku baru melihatnya. Sungguh
tak kusangka kalau
dialah yang lakukan pukulan
dahsyat hingga aku sa-
lah lompat dan masuk
jurang!" Akan tetapi Roro tak
menyahuti, karena wanita
Pendekar ini perdengarkan
suara. "Aiiih...!? Tubuhnya
melangkah dua tindak,
dengan menatap ke belakang tubuh
Ki Panunjang Ja-
gat. Terkejut si kakek ini.
Ketika palingkan tubuh, se-
kilas sudah melihat punggung
Adhinata yang berkele-
bat cepat, untuk selanjutnya
lenyap dikerimbunan hu-
tan. Roro tak sempat berfikir
lagi untuk mengejar, ka-
rena dia memang menyangka lawan
si kakek kate itu
sudah tewas. Tak disangka kalau
tiba-tiba tubuh yang
terkapar itu melompat berdiri,
dan kabur dengan cepat
sekali.
"Haiiih...! kelak bocah itu
akan membuat ke-
gemparan di Dunia
Persilatan!" Berkata si kakek pun-
cak Tangkuban Perahu dengan wajah
menampak te-
gang dan hati yang masygul.
"Siapakah dia
kakek..?" Tanya Roro.
"Dia muridku...!
"Muridmu? mengapa sikapnya
demikian terha-
dap seorang guru? Apakah dia
mempunyai kesalahan
terhadap kau orang tua...?"
Tanya Roro lagi. Ki Panun-
jang Jagat anggukkan kepala.
Seraya kemudian men-
ceritakan secara singkat
kejadian yang menimpa mu-
ridnya. Roro Centil mendengarkan
penuturan itu den-
gan penuh perhatian. Sementara
gadis bernama Pan-
dan Sari ternyata telah sadar
dari pingsannya. Gadis
itu terkejut mengetahui di
hadapannya ada dua orang
yang tengah berbincang-bincang.
Yang seorang sudah
dikenalnya. Akan tetapi seorang
lagi adalah baru per-
tama kali dilihatnya.
Roro Centil segera beranjak
menghampiri. "Eh,
adik manis...! kau ikutlah pada
kakek ini. Dia kakak
seperguruan gurumu Ki Gembul
Sona!" Ujar Roro se-
raya kemudian berpaling pada Ki
Panunjang Jagat. Se-
raya berucap.
"Terima kasih atas
penjelasan mu, kakek Tang-
kuban Perahu.... Aku harus segera pergi lagi. Masih
banyak urusan yang belum ku
selesaikan!" Akan tetapi
baru saja habis kata-kata Roro.
Sudah terdengar sua-
ra...
"Tunggu, nona Roro
Centil...!" Dan dua sosok
tubuh sudah berkelebat di
hadapannya. Melengak Ro-
ro melihat siapa salah seorang
dari keduanya. Ternyata
yang seorang adalah Ki Gembul
Sona, sedangkan seo-
rang lagi adalah seorang pemuda
tampan berkulit pu-
tih yang menyandang pedang
dipundak. Agak lupa-
lupa ingat Roro melihat wajah
pemuda itu. Akan tetapi
segera terluncur kata-katanya.
"Apakah kalau tak sa-
lah kau si Pendekar Selat
Karimata, alias si Bujang
Nan Elok...?" Tanya Roro
Centil. Pemuda itu terse-
nyum, lalu tertawa gembira.
"Hahaha... benar! benar
sekali, nona... Roro!
kau masih ingat padaku? ah,
sukurlah...! Rasanya ba-
hagia sekali aku bisa berjumpa
lagi dengan anda, nona
Pendekar Roro Centil...!"
"Hm, begitukah... ?"
Jawab Roro dengan beri-
kan seulas senyum di bibir. Membuat jantung si pe-
muda itu seperti
berdentang-dentang berdebaran, ka-
rena sukar dikipakan senyum yang
menghias di bibir
sang dara jelita itu. Ternyata
"CINTA" telah sejak lama
bersemayam di hati si Bujang Nan
Elok sejak perjum-
paan mereka di Pulau Andalas.
Dan dia sudah maju
dua tindak untuk menjabat tangan
sang "dara pujaan
hati" dengan jantung
bergemuruh. Sementara Ki Gem-
bol Sona tampak gembira sekali
memeluk kakak se-
perguruannya yang disangkanya
sudah tewas, ternyata
masih segar bugar. Sedangkan
Pandan Sari segera
menjura di hadapan kedua orang
tua itu.
"Sukurlah kau selamat,
muridku...! mengapa
kau tak ucapkan terima kasih
pada Nona Pendekar
Roro Centil yang telah
menolongmu?" Ucap Ki Gembul
Sona. Pandan Sari memang sejak
tadi mau buka sua-
ra, namun keburu muncul gurunya
bersama seorang
laki-laki tampan berkulit putih.
Melihat tatapan mata
si Bujang Nan Elok itu seperti
melekat tak mau lepas
menatap sang Pendekar Wanita
itu, Pandan Sari jadi
tersipu dan agak jengah kalau
terus memperhatikan.
Hingga dia tak sempat buka
mulut. Selanjutnya den-
gan terburu-buru segera melompat
menghampiri gu-
runya dan sang uwak guru, untuk
menjura.
Sukar diceritakan kegembiraan,
juga rasa haru
pada pertemuan itu. Roro Centil
terpaksa batalkan
niatnya untuk menguntit si
wanita yang menyaru se-
bagai dirinya. Dalam pembicaraan
selanjutnya dilaku-
kan sambil beranjak meninggalkan
tempat itu. Terden-
gar suara si kakek Puncak
Tangkuban Perahu.
"Walaupun si Ririwa Bodas
itu sudah tewas,
akan tetapi masih ada hai lain
yang menjadi masalah
kita. Yaitu Adhinata murid
tunggalku itu, yang telah
menjadi seorang MANUSIA
BERACUN...!" Ki Gembul
Sona manggut-manggut seraya
ucapnya. "Ya, disamp-
ing muridmu itu kukira masalah
memang belum tun-
tas, karena wanita yang mengaku
bernama Roro Centil
itu telah membuat keonaran
dimana-mana! Di samp-
ing telah membakar seluruh
Pesanggrahan ku, juga te-
lah mulai mempengaruhi Adipati
Antaboga yang baru!"
"Benar kakek sahabat...!
aku mendengar berita
dari seorang pengawal Kadipaten,
justru si wanita itu
telah menjadi istrinya Adipati
Antaboga. tukas si Bu-
jang Nan Elok yang nama
sebenarnya adalah SAMBU
RUCI. Dia berjalan berdua dengan
Roro Centil.
"Hihih...! biarlah untuk
urusan wanita itu, se-
rahkan saja padaku! Dia memang
sengaja membuat
keonaran untuk memancing
kebencian kaum Rimba
Hijau padaku! Wanita itu memang
menaruh dendam
padaku! entah persoalan apa...!
"Aku belum bisa menduganya
siapa wanita itu
kalau belum bertemu
muka...!" Ujar Roro. Lalu cerita-
kan tentang kata-kata si Kakek
kate berekor ular, yang
pernah mengatakan bahwa muridnya
menaruh den-
dam yang amat hebat terhadapnya.
"Jelas perbuatan-
nya adalah untuk mengundangku
datang mencarinya.
Aku memang tengah mengutitnya,
setelah wanita itu
lakukan perbuatan bejat dengan
seseorang. Dan telah
membunuh pula laki-laki
korbannya...!" Tutur Roro.
"Kalau dia ternyata adalah
isterinya Adipati An-
taboga, kebetulan sekali! Akan
lebih mudah bagiku un-
tuk melabraknya...!" Ujar
Roro lebih bersemangat.
"Aku setuju, nona Roro...!
aku bersedia mem-
bantu!" Roro cuma tersenyum
menoleh pada Sambu
Ruci, akan tetapi segera
mengangguk.....
***
SEBELAS
Adipati Antaboga yang
digembar-gemborkan
mempunyai ilmu tinggi dan aji
penangkal ilmu-ilmu hi-
tam itu ternyata adalah
"boneka"nya si wanita yang
menyamar menjadi Roro Centil
gadungan. Tak seo-
rangpun mengetahui kalau tumbal
yang digunakan
untuk penangkal yang disebarkan
pada penduduk
adalah cuma
"permainan" si wanita itu. Karena dia
sendirilah yang membuat mala
petaka dan dia sendiri
pula yang membuat tumbalnya.
Ketika malam telah
melingkupi mayapada.
"Adipatiku...! agaknya kita
tak dapat bertahan
lama di tempat ini! Musibah
besar telah menimpa ku!"
Berkata Roro Centil gadungan
dengan bertolak ping-
gang. "Musibah apakah itu,
dewiku...?" Tanya Adipati
Antaboga. Dia seorang laki-laki
yang diculik dari kota
Raja. Bertampang gagah. Berusia
sekitar 35 tahun.
Bertanya demikian, sang Adipati
ini beranjak mende-
kati seraya menggamit dagu si
wanita. Dan selanjutnya
sudah raih pinggang orang untuk
segera di pondong ke
pembaringan bertilam sutera.
Tak seperti biasanya si wanita
ini berdiam diri
tanpa gerakkan lengannya untuk
merangkul leher
sang "suami".
Tampaknya si Adipati ini tak terkejut
mendengar sang "istri"
mendapat musibah yang belum
diketahui mendapat musibah apa.
"Apakah yang telah terjadi,
dewiku?" Kembali
dia lakukan pertanyaan seraya rebahkan tubuh
"is-
tri"nya ke pembaringan.
"Guruku Ririwa Bodas telah
tewas oleh si Raja
Racun. Roro Centil si Pendekar
wanita Pantai Selatan
itu sudah muncul, sedangkan aku
belum punya per-
siapan untuk menghadapi.
Rusaknya rencanaku ada-
lah gara-gara tewasnya
guruku...! Kita harus secepat-
nya pindah dari sini...!"
Barulah si Adipati itu belalak-
kan matanya.
"Pindah... ? Akan tetapi
aku telah diangkat
resmi oleh pihak Kerajaan untuk
menduduki jabatan
Adipati, memerintah di beberapa
wilayah di sekitar Ka-
dipaten. Bagaimana mungkin aku
bisa meninggalkan
jabatanku?" Tukas Adipati
Antaboga.
"Jadi kau lebih sayang
jabatanmu dari pada
aku?" Tanya sang
"istri" dengan wajah kecut. "Bukan
begitu Dewiku...! Akan tetapi
sebaliknya kita gunakan
cara lain agar mendapat bantuan
dari pihak Kera-
jaan...!"
"Maksudmu... ?" Tanya
si wanita dengan mena-
tap tajam sang Adipati.
"Kau harus dekati
orang-orang Kerajaan, teru-
tama Senapati Kerta Bumi.
Tujuannya adalah agar
mengirimkan bantuan
lasykar untuk menangkap musuh
besarmu itu!" Tutur
sang Adipati dengan wajah
serius.
"Senapati Kerta Bumi belum
tentu bisa diper-
budak oleh kita! Aku merasa
kalau hal perbuatanku
ini justru telah bocor oleh
orang yang paling dekat
denganku!"
"Siapakah orang yang kau
maksudkan Dewi-
ku...?" Tanya sang Adipati
dengan wajah berubah agak
pucat. Sementara jantungnya
berdebaran semakin ce-
pat.
"Hm, kaulah orangnya!"
Berkata sang istri"
dengan suara dingin. Kau kira
aku belum mencium
perbuatan mu yang diam-diam
melaporkan pada Pihak
Kerajaan dengan mengutus
seorang, Pengawal Kadipa-
ten untuk melaporkan tindakanku,
dan sekaligus
membongkar rahasiaku...!"
Lanjut ucapannya. Terpe-
rangah seketika sang Adipati.
Sementara diam-diam
lengannya sudah meraba ke bawah
tilam. Disana telah
disembunyikan sebuah keris untuk
menamatkan wani-
ta yang telah menjadikannya
sebuah "boneka" hidup.
Akan tetapi mulut sang Adipati
ini bicara lemah lem-
but dengan membujuk. Bahkan
merangsangnya den-
gan ciuman bertubi-tubi.
"Janganlah berprasangka demikian, Dewiku...!
Aku akan tetap menjadi
pengabdianmu yang setia. Kau
telah mengangkat derajatku
dengan menjadi Adipati di
Kadipaten Ini, masakan aku akan
berkhianat?. Justru
tujuanku adalah demi kelanggengan
hidup kita!" Sang
"istri" cuma berdiam
diri tanpa menjawab. Dan biarkan
lengan "suami"nya
menyelusuri lekuk-liku tubuhnya.
Tapi lama- kelamaan sikap sang
"istri" mulai lain.
"Hihih... sebenarnya aku
hanya menggertak mu
saja, Adipati ku...! Soalnya aku
khawatir kau kepincut
pada si Roro Centil betulan?
Aku... aku cemburu! Dan
rasanya ingin cepat-cepat
melenyapkan wanita keparat
itu secepatnya! Aku takut dia
merebut mu dari tan-
ganku...!" Berkata si
wanita. Suaranya tiba-tiba jadi li-
rih dan manja. Seraya mendekap
tubuh sang Adipati
erat-erat. Sang Adipati pun
tertegun seketika karena
melihat perubahan sikap
"istri"nya. Akan tetapi dia se-
gera berikan keinginan
sang "istri" yang sekonyong-
konyong mempunyai hasrat menggebu.
"Ah, Adipati ku...! aku amat mencintaimu...!
kau gagah dan amat perkasa!
Rencanamu itu bagus
sekali...!" ucapnya dengan
berdesah kenikmatan. Kepa-
la sang Adipati ini telah
membenam diantara celah da-
danya.
Sementara itu keadaan di luar
gedung Kadipa-
ten.... Cahaya bulan masih
menerangi sekitar tempat
itu walau cuma remang-remang.
Adalah aneh kalau
penjaga Kadipaten telah
bermunculan, dan bergerak
menyusup untuk mengurung kamar
sang Adipati den-
gan gerakan hati-hati dan
senjata terhunus.
Mereka sembunyi di sisi tembok pintu kamar,
dan menyelinap ke berapa tempat gelap lainnya. Se-
mentara telinga mereka memasang
pendengaran ke
arah kamar peraduan Adipati.
Keadaan remang men-
jadi tegang, karena dari dalam
kamar sang Adipati ter-
dengar suara rintih dan tertawa
kecil serta desah-
desah napas menggebu. Tiga
pengawal yang rapatkan
telinganya ke tembok wajahnya
tampak tegang, semen-
tara lengannya mencekal senjata
dengan gemetar.
Mereka semua mengetahui kalau si
wanita itu
adalah seorang yang berkepandaian
tinggi dan punya
ilmu hitam yang mengerikan.
Kesabaran memang di-
butuhkan saat itu, disamping
harus menahan napas
agar tak bersitkan udara terlalu
keras dari hidung. Ti-
ba- tiba terdengar suara
bentakan dari dalam kamar.
"Mampuslah kau wanita
Iblis...!" Diiringi suara
keluhan dan suara bergedubrakan
di atas pembarin-
gan seperti tengah terjadi
pergelutan hebat. Tak lama
keadaan kembali senyap. Hal mana
menimbulkan tan-
da tanya para pengawal Kadipaten
yang telah menge-
pung di luar
kamar. Kepala Pengawal bernama
Wage
segera memberi isyarat untuk
menerjang ke dalam.
Dan.....
BRRAAKKK...! Pintu telah
diterjang hingga jebol
berantakan. Mereka segera
berlompatan dengan senja-
ta-senjata terhunus. Segera saja
terlihat pemandangan
di dalam ruangan kamar. Di atas
pembaringan tubuh
sang Adipati terkapar dengan
tubuh telanjang bulat.
Pada lehernya tertancap kerisnya
sendiri yang berlu-
muran darah, berpuncratan ke
atas bantal dan tilam.
Sementara sesosok tubuh tanpa busana
menatap ke
arah mereka dengan putarkan
pandangan ke arah pa-
ra penyergap-penyergap itu.
Rambutnya beriapan, dan
tampak wajahnya tampilkan
kegusaran hebat. Saat itu
juga dia sudah membentak keras.
"Bagus! kalian semua cari
mati!" Akan tetapi ti-
ga pengawal segera menerjang
dengan senjata-senjata
telanjangnya untuk menebas tubuh
wanita itu. Cepat
sekali terjadinya, ketika lengan
si wanita itu mengibas
dan melompat gesit menghindari
terjangan maut. Sege-
ra terdengar suara jeritan
ketiga pengawal. Tubuh-
tubuh mereka berpentalan, karena
segelombang angin
panas menghantam mereka. Dan...
blug! blug! blug!
Ketiganya roboh dengan tubuh
berbau sangit alias go-
song.
Terkesiap beberapa pengawal lainnya. Namun
Wage sudah maju melompat
menerjang dengan putar-
kan senjata sepasang goloknya.
Wage memang mem-
punyai kepandaian tinggi, dan
sudah terkenal amukan
sepasang goloknya ini hingga
mendapat julukan si Se-
pasang Golok Naga Kembar.
WHERRR...! WHUKK! WHUUK...!
WHUUKK!
Hebat terjangan sepasang golok
ini. Karena se-
kejap sudah mengurung tubuh
telanjang si wanita itu,
yang sudah tak sempat lagi
menutupi auratnya. Se-
mentara beberapa pengawal siap dengan tombak-
tombak terhunus untuk menjaga
jangan sampai wani-
ta itu melarikan diri. Akan
tetapi bukanlah hai yang
mudah untuk menangkap atau
membunuhnya.
"Kau tak dapat lolos dari
sepasang golokku,
wanita iblis!" Membentak si
Kepala Pengawal, yang
kembali menerjang dengan hebat.
Dua bayangan golok
laki-laki bernama Wage ini
bagaikan sepasang Naga
yang mengamuk. Menerjang,
menabas, menusuk dan
melingkar-lingkar melancarkan
serangan-serangan
dahsyat yang berbahaya. Akan
tetapi suatu kesempa-
tan, si Wanita berhasil
menyambar pakaiannya. Len-
gannya kirimkan serangan menahan
terjangan itu
dengan mendadak, dan sepasang
kakinya menjejak
untuk melompat ke sisi tembok.
Disana tergantung se-
pasang senjata Rantai Genit
tiruan. Sekali lengannya
bergerak, sepasang senjata itu
sudah disambarnya.
WHUK! WHUKI WHUK...! Tahu-tahu
dia sudah
menerjang dengan lemparan
sepasang Rantai Genit ti-
ruan itu. Tentu saja membuat
Wage jadi, terkejut, ka-
rena tahu-tahu bandulan rantai
telah membelit tu-
buhnya. Sedangkan yang sebuah
lagi terbabat putus
kena sambaran goloknya. Saat
Wage terperangah itu,
si wanita telah gerakkan
lengannya menghantam Wage
dengan pukulan Inti Apinya yang
hebat. BHUUSSS...!
Terdengar suara teriakan parau
si Kepala Pen-
gawal. Tubuhnya seketika
tertambus api yang memba-
kar tubuhnya. Seketika jatuh
menggabruk dengan
berkelojotan. Dan... tewaslah
Wage dengan keadaan
tubuh matang hangus. Tak lama
sosok tubuh wanita
itu Sudah berkelebat keluar,
dengan melompat dari
jendela kamar. Sungguh di luar
dugaan. Saat itu juga
membersit puluhan anak panah ke
arahnya. Tersentak
wanita ini. Beruntung tadi dia
menyambar pakaiannya
yang belum sempat untuk
dikenakan. Segera dengan
teriakan keras, lengannya
gunakan pakaian itu untuk
menghalau panah yang meluruk
deras ke arahnya.
PRAS! PRASS..! PRASS..!
Berpentalan puluhan anak panah
beberapa
arah. Namun tak urung tiga
batang panah berhasil
menancap dipundak dan betis
serta pahanya. Menjerit
wanita ini. Dan Jatuh
menggabruk. Saat itu kembali
puluhan anak panah menerjangnya. Akan tetapi se-
buah bayangan kilat telah
menyelamatkan nyawanya.
Keadaan itu sudah tak mungkin
di elakkan lagi oleh
wanita itu karena dia dalam
keadaan terluka. TRANGI-
TRANG...! TRANG...! Muncullah
di hadapan si wanita
itu seorang wanita juga yang tak
lain dari Roro Centil
adanya. Ternyata Roro pergunakan
senjata Rantai Ge-
nitnya untuk menghalau serangan.
Tentu saja hal de-
mikian membuat terkejut pemimpin
dari pasukan
laskar kerajaan yang dipimpin oleh Senapati Kerta
Bumi sendiri.
"Tahan...!" Teriak
Roro seraya mengangkat se-
belah lengannya.
"Pendekar RORO CENTIL...!
"Teriak Senapati
Kerta Bumi hampir berbareng
dengan teriakan prajurit
Lasykarnya.
***
DUA BELAS
SENAPATI KERTA BUMI melompat ke hadapan
wanita Pendekar Pantai Selatan
dengan perlihatkan
wajah cerah.
"Ah, sungguh tak dinyana
anda muncul di saat
seperti ini! Aku Senapati Kerta
Bumi menghaturkan
hormat pada anda, nona Pendekar
Roro Centil! Semen-
tara itu puluhan pengawal Lasykar Kerajaan sudah
mengurung wanita itu dengan anak
panah siap dile-
pas. Keadaan sudah tak
memungkinkan wanita itu un-
tuk berkutik. Roro Centil
tersenyum. Tanpa perintah
Senapati takkan ada yang berani
membunuh wanita
itu.
Roro balas menjura ketika
Senapati Kerta Bumi
barusan bungkukkan tubuh menjura
padanya. "Ah,
ah...! apa-apaan ini? Kau sudah
mengenalku, sobat
Senapati?" Tanya Roro
dengan wajah menampakkan
senyum.
"Akulah yang
memberitahu...! Menyahuti seseo-
rang dengan diiringi sosok tubuh
berkelebat melompat
ke hadapan mereka. Ternyata
Sambu Ruci, alias si Bu-
jang Nan Elok.
"Apakah penyerangan ini
atas usulmu juga...!?"
Tanya Roro lagi. "Ah, sama
sekali tidak! Sejak sebulan
yang lalu aku banyak mendengar
tersiarnya berita seo-
rang Pendekar Wanita yang bernama
Roro Centil ba-
nyak melakukan perbuatan tercela
di wilayah ini.
Sungguh mati aku tak percaya!
Karena aku sudah
mengenal watak nona Roro tak
mungkin demikian!"
"Benar...! nyaris saja
akupun beranggapan de-
mikian, nona Pendekar RORO
CENTIL...!! kalau saja
sobat Sambu Ruci ini tak
menuturkan adanya musuh
dalam selimut yang telah
menghancur leburkan ke-
luarga Adipati Kambangan, yang
tewas berikut pulu-
han prajurit pengawal
Kadipaten!" Tukas Senapati Ker-
ta Bumi. Akhirnya Roro pun
maklum dan manggut-
manggut mengerti. Hampir saja
menuduh Sambu Ruci
menggagalkan niatnya untuk
melabrak wanita yang
menyamar sebagai dirinya itu.
Walaupun Roro menyatakan tak
keberatan di-
bantu oleh Sambu Ruci untuk
melabrak wanita itu,
tapi ternyata Roro telah berangkat
pada malam itu seo-
rang diri untuk menemui si
wanita yang menyaru di-
rinya di gedung Kadipaten.
Ternyata sudah keduluan
oleh lasykar Senapati Kerta Bumi
yang nyaris membu-
nuh wanita itu. Hal demikian
akan membuat kecewa
Roro Centil. Karena dia memang
ingin mengetahui sia-
pa adanya wanita itu dan dendam
permusuhan apa-
kah yang telah dikatakan si
kakek buntut ular Ririwa
Bodas terhadap dirinya... Pada
saat itu.
"Hihihi... Roro Centil!
akhirnya kau datang ju-
ga! mengapa tak kau biarkan aku
mampus terpang-
gang anak panah? Apakah kau tak
menyesal menolong
jiwaku?" Semua segera
menoleh pada wanita itu, yang
dalam keadaan menyeringai
kesakitan karena paha,
bahu dan betisnya tertancap tiga
batang anak panah,
ternyata masih mampu umbar
suara. Roro sudah ba-
likkan tubuh dan menatap pada
wanita itu.
"Heh! justru aku inginkan
kau hidup! kau ha-
rus berurusan denganku, karena
kau telah cemarkan
nama baikku di wilayah
ini...!" Bentak Roro. "Kini se-
butkanlah siapa dirimu! dan ada
permusuhan apakah
denganku hingga kau mendendam
padaku!?" Bentak
Roro dengan bertolak pinggang.
Wanita itu perdengar-
kan dengusan di hidung, dan
meludah ke tanah.
"Cuih...! Masih ingatkah
kau setahun yang lalu
pernah seorang laki-laki tua bernama
TUN PAMERA?
Kau telah pergunakan binatang
siluman harimau tutul
untuk membunuhnya!" Ucapnya
dengan wajah mem-
bersitkan kemarahan dan dendam
yang luar biasa.
Tercenung sejenak Roro Centil,
seraya menggumam.
"Tun Parera...?" Sejenak Roro
mengingat-ingat
dengan krenyitkan keningnya.
"Apakah maksudmu si Paderi
palsu yang men-
jabat Ketua Dua di Kuil Istana
Hijau dengan nama Pa-
deri Sapta Dasa Griwa
itu...?"
"Heh! palsu atau tidak
bukan urusanmu! keta-
huilah, aku adalah anak
perempuannya. Namaku GIRI
MAYANG! Di wilayah Pulau Andalas
itu aku digelari si
Kelabang Kuning...! Tekad ku tak
pernah surut untuk
membalas dendam pati walaupun
aku harus mati di
tangan mu atau di tangan para
lasykar Senapati itu!"
Silahkan kau turun tangan
Pendekar Wanita yang he-
bat! Walau aku mungkin saat ini
mati, namun dendam
ku akan sampai ke liang
akhirat...! Heh! akan tetapi
apalah artinya keharuman namamu
kalau membunuh
lawan dengan menggunakan
binatang siluman? Kukira
lebih baik gelarmu saja dengan
gelar si Pendekar Wani-
ta Siluman Roro Centil!
Hihihi... hihii.....
hihi....." Terpingkal-pingkal
tertawa si wanita yang ternyata
bernama Giri Mayang
alias si Kelabang Kuning itu,
hingga sampai mengelua-
rkan air mata. Pedihnya hati,
sakitnya perasaan yang
bercampur rasa iri hati dan
dendam yang belum juga
terbalaskan, membuat Giri Mayang
mengumbar terta-
wanya sejadi-jadinya.
Roro Centil terdiam sesaat.
Suara tertawa wani-
ta itu sungguh amat menyakitkan
anak telinga. Bukan
karena berisi tenaga dalam yang
tinggi, akan tetapi be-
risi sindiran pedas yang telah
menyentuh hati sanuba-
rinya. Dan hati itu terluka
sudah. Ucapan wanita itu
memang benar setelah
ditimbang-timbang. Akan tetapi
hatinya kembali membantah. Toh,
dia tidak menuntut
ilmu siluman, karena si harimau
Tutul datang padanya
seperti sudah menjadi kodrat,
hingga si binatang mak-
hluk siluman itu telah
mengakuinya sebagai pengganti
Ratunya! (baca kisah: Siluman
Kera Putih). Makin la-
ma suara tertawa wanita itu
semakin santar, seperti
membuat tergetarnya jantung Roro. Seakan-akan ha-
tinya diiris sembilu! Tiba-tiba
Roro membentak keras
menggeledek.
"DIAAAM...!" Tentu
saja semua yang berada di
situ terlonjak kaget. Nyaris
saja anak-anak panah itu
terlepas dari masing-masing
busurnya, karena para
pengawal dari pasukan panah
itupun terlonjak kaget.
Kali ini Roro Centil yang
perdengarkan suara tertawa
melengking tinggi. Keadaan jadi
gempar. Karena seke-
tika itu juga Roro Centil telah
melesat tinggi, sejauh
dua puluh tombak. Semua yang
berada di bawah men-
dongak ke atas untuk melihat apa
yang dilakukan si
Pendekar Wanita Pantai Selatan
itu. Ternyata tubuh
Roro Centil kembali meluncur ke
bawah. Dan sepasang
kakinya hinggap dengan ringan di
atas tanah.
Gerakan mendadak itu adalah
pelampiasan
kemarahannya. Akan tetapi Roro
Centil telah mengam-
bil keputusan di atas tadi.
Apakah membunuh mam-
pus si wanita bernama Giri
Mayang itu atau tidak!
Ternyata keputusan telah diambil
untuk tidak dilaku-
kan. Kalau Roro waktu itu
mengambil keputusan
membunuhnya tanpa perduli akan
segala macam har-
ga diri dan lain-lain, tentu
detik itu Giri Mayang sudah
tewas dengan batok kepala pecah.
Karena Roro Centil
di waktu menukik bisa lancarkan
pukulan dengan se-
kejap.
Semua mata tertuju pada Roro,
yang tampak
bersitkan wajah seram. Karena
rambutnya yang beria-
pan itu sebagian menutupi
wajahnya.
"Nona Pendekar Roro! karena
wanita ini sudah
menyangkut urusan Kerajaan, dan
banyak sudah me-
newaskan orang-orang penting
dari Kerajaan Sunda
Kalapa, ku harap anda berikan
dirinya untuk kami ja-
dikan tawanan Kerajaan. Mengenai
hukuman padanya
terserah Baginda Raja"
Berkata Senapati Kerta Bumi.
Akan tetapi Roro Centil
perdengarkan tertawanya, se-
raya ujarnya dengan nada ketus.
"Maaf, sobat Senapa-
ti...! bukan aku mementingkan
diriku sendiri, akan te-
tapi biarlah dia ku bebaskan.
Dan tak seorangpun
yang kuperkenankan
membunuhnya!"
Seraya berkata, Roro Centil
segera beri isyarat
pada si harimau Tutul untuk menampakkan
diri.
Gemparlah seketika semua lasykar
sang Senapati. Ka-
rena segera muncul di situ
seekor harimau tutul yang
amat besar. Menampakkan
taringnya yang runcing.
Senapati inipun terkejut, tak terasa
kakinya sudah
mundur dua langkah. Harimau
tutul perdengarkan
suaranya menggeram dahsyat,
kemudian mendekati
Roro dan menjilat-jilat
lengannya.
"Tutul...! sahabatku! kau
pergilah! Dan jangan
ikuti lagi diriku! Bukan aku
membenci mu, tapi aku
akan mencoba menggunakan
sepasang lenganku ini
untuk membunuh siapa saja yang
membuat keonaran
dimuka bumi ini! Untuk
membuktikan bahwa Roro
Centil bukan seorang Pendekar
Siluman...!" Berkata
Roro dengan suara tegas.
Mendengar ucapan Roro de-
mikian, sang harimau Tutul
perdengarkan suara men-
gaum panjang, membuat tanah
bergetaran. Tak lama
tubuh harimau jejadian itupun
meluncur pergi bagai-
kan hembusan angin. Dan lenyap
dari pandangan ma-
ta...
Terperangah semua orang, dan
rata-rata mena-
rik napas karena baru pertama
kali melihat seekor Ha-
rimau Tutul sebesar dan sehebat
itu. Akan tetapi hati
mereka juga bergidik seram,
karena sang Harimau itu
bukan harimau biasa melainkan
mahluk siluman.
"Nah, bangkitlah kau, Giri
Mayang! Pergilah
kemana kau suka. Dendam dalam
dadamu itu boleh
kau lampiaskan kapan waktu saja!
Aku selalu siap un-
tuk menghadapimu...!" Ujar
Roro dengan suara lan-
tang.
Selesai berkata Roro Centil
segera menatap pa-
da Senapati Kerta Bumi.
"Kuharap kau perintahkan
anak buahmu untuk menyingkir,
sobat Senapati!" Ta-
tapan Roro seperti melunturkan
kekerasan hati Sena-
pati ini, hingga dengan segera
serta merta lalu perin-
tahkan anak buahnya untuk
membebaskan si wanita
dari kepungan. Terhuyung Giri
Mayang bangkit berdiri.
Sebelah lengannya dipergunakan
untuk menutupi ba-
gian tubuhnya yang terbuka
dengan pakaian yang be-
lum sempat dikenakan itu.
"Bagus! kelak aku pasti
akan mencarimu Roro
Centil! bila telah sembuh
lukaku!" Berkata si wanita
bernama Giri Mayang itu dengan
suara parau.
"Pergilah...! Tapi jangan
coba-coba kau meng-
ganggu rakyat atau wilayah
Kerajaan Sunda Kelapa ini!
Aku tak akan mengampunimu untuk
kedua kali!" Giri
Mayang tak menjawab. Dengan
terpincang-pincang se-
gera berlalu dari tempat itu.
Dan lenyap di keremangan
malam.
"Akupun harus pergi, sobat
Senapati. Kuharap
kau tak perlu khawatir, Bila
terjadi apa-apa, aku ma-
sih berada di wilayah 'sini!.
Roro dengan menjura pada
Senapati Kerta Bumi.
"Terima kasih atas
bantuanmu, nona Pendekar
Roro Centil!". Sambu Ruci
yang sedari tadi terpaku di
tempatnya melihat Roro menjura,
diapun ikut-ikutan
menjura, dan mohon diri pada
Senapati itu.
"Nona Roro...! Tunggulah
aku...!" Teriaknya ke-
tika Roro segera berkelebat
melompat pergi.
"Hihihi... kau seperti anak
kecil saja. apakah
mau minta digendong?" Ujar
Roro. seraya berpaling,
dan hentikan langkahnya.
"Digendong pun aku
mau...!" tukas Sambu Ruci
alias si Bujang Nan Elok.
Tubuhnya segera berkelebat
cepat untuk menyusul Roro. Tak
lama kedua tubuh itu
sudah berkelebatan pergi
meninggalkan tempat itu
dengan cepat. Senapati Kerta
Bumi dan para anak
buahnya memandangi mereka hingga
sampai lenyap di
keremangan sinar bulan...
TAMAT
Judul mendatang:
LANGKAH-LANGKAH SI MANUSIA
BERACUN
Emoticon