SATU
“RORO CENTIL...! Jangan harap
kau dapat me-
loloskan diri dari tangan
kami!" Terdengar bentakan
keras yang diiringi dengan
berlompatannya sosok-
sosok tubuh dari balik candi.
"Aliii...!? apakah gerangan
kesalahanku? tak
hujan tak angin tahu-tahu kalian
datang dan muncul
mau membunuhku...! hm, siapakah
kalian?" Roro Cen-
til menatapkan pandangannya satu
persatu pada em-
pat orang di hadapannya.
Ternyata mereka adalah tiga
orang wanita yang masih tampak
muda-muda. Berpa-
kaian singsat. Rata-rata
mengenakan baju berwarna
ungu. Dan masing-masing lengan
kanannya mencekal
senjata gaetan yang amat
runcing. Wajah-wajah mere-
ka menampilkan dendam permusuhan
yang amat da-
lam terhadap Roro. Entah dendam
apakah gerangan,
karena Roro sendiri memang
merasa tak mempunyai
kesalahan terhadapnya.
"Heh! kiranya pendekar
wanita yang punya na-
ma besar seperti anda mempunyai
akhlak rendah!"
Membentak salah seorang yang
berwajah paling cantik
diantara keempatnya. "Kami
adalah murid dari pergu-
ruan Taring Naga Putih!"
Nah, sebulan yang lalu anda
muncul di perguruan kami. Kami
dari Perguruan Naga
Putih amat mengagumi anda dan
telah mendengar ten-
tang sepak terjang serta
kehebatan anda dalam hal
membela kebenaran, akan
tetapi.... perbuatan anda
menculik serta membunuh kakak
seperguruan kami
benar-benar keterlaluan!
Seharusnya kamilah yang
bertanya, apakah tingkah laku
semacam itu adalah
perbuatan seorang
pendekar...?"
Terkejut Roro Centil bukan
kepalang. Alisnya
mencuat naik. Sepasang matanya
membelalak karena
dia merasa tak pernah melakukan
hal itu. Mendengar
adanya perguruan Taring Naga
Putih pun baru men-
dengarnya. Akan tetapi Roro tak
sempat untuk bicara,
karena sudah terdengar bentakan
salah seorang yang
berwajah mirip laki-laki.
“Kakak Parmi...! biarlah aku
yang mewakilkan
mu mengirim nyawanya ke Neraka!
Pendekar Wanita
berakhlak bejat ini sudah
selayaknya mampus!
SREK! Gadis ini sudah mencabut
sebuah lagi
senjata gaetannya dari belakang
punggung, dan maju
dua tindak ke hadapan Roro.
Melihat demikian salah
seorang kawannya tak mau tinggal
diam.
"Eh, jangan serakah kakak
Sri Kendil! tangan-
ku sudah gatal untuk
menghajarnya! perempuan bejat
macam begini tak perlu dibunuh
secara cepat, akan te-
tapi kematian secara pelahan
yang lebih baik! hm,
maksudku di bunuh
pelan-pelan...!" Melangkah pula
dua tindak gadis berambut
kepang, yang bertampang
galak ini.
“Aiii...! sabar dulu adik-adik
manis...! aku me-
rasa tak melakukan hal demikian.
Jangan-jangan ka-
lian salah terka...!"
Berkata Roro sambil tersenyum.
Akan tetapi hatinya diam-diam
mengeluh. "Celaka! ini
pasti ulah perbuatan si Giri
Mayang keparat itu. Siapa
lagi kalau bukan dia yang telah
menyebar kericuhan
dengan menyamar sebagai
diriku!"
“Bedebah...! seumur hidup baru
kujumpai seo-
rang pendekar bermuka dua!
jelas-jelas aku lihat den-
gan mata kepala sendiri, kau
menculik kakak sepergu-
ruanku mengapa kini kau
mungkir?" Teriak Parmi se-
raya maju melompat.
"Ah ah...! tampaknya kau
amat menyayangi ka-
kak seperguruanmu itu! Kulihat
di matamu ada sema-
cam sinar yang berbeda dengan
sinar mata kedua
adikmu. Kakak seperguruan kalian
itu pasti seorang
laki-laki yang gagah dan
berwajah tampan. Dan... kau
sudah jatuh cinta setengah mati
padanya bukan?"
Berkata Roro dengan tersenyum
sambil menunjuk ke
arah Parmi. Gadis ini memang
lain dari dua gadis itu,
karena Roro dapat melihat ada
setitik air bening dis-
udut mata Parmi. Semakin
berkaca-kacalah sepasang
mata gadis ini. Akan tetapi dia
telah membentak gusar.
"Perempuan bejat! aku akan
adu jiwa dengan-
mu...!" Dan senjata
gaetannya telah dicabut lagi keluar
lagi dari belakang punggung.
Selanjutnya dengan
mempergunakan sepasang senjata
gaetan itu, dia su-
dah menerjang Roro Centil dengan
beringas. Sementa-
ra isaknya tersendat
dikerongkongan.
WHHUT! WHUUUT! WHUUTT...!
Hebat serangan si dara yang
paling cantik dian-
tara kedua gadis baju ungu itu.
Sepasang senjata gae-
tan itu menerjang bertubi-tubi
ke arah bagian-bagian
tubuh Roro. Bahkan yang lebih
mengerikan adalah
Parmi selalu mengarah kepada
bagian leher dan sepa-
sang matanya.
"Aiih...! berbahaya
sekali...!" Teriak Roro seraya
berkelebatan menghindar.
Ternyata cuma dengan tiga
kali bergerak ke kiri dan ke
kanan serta doyongkan tu-
buh ke belakang Roro telah dapat
meloloskan diri dari
serangan maut segebrakan itu.
Mengetahui serangan
berbahayanya dihindari dengan
tersenyum-senyum
jumawa membuat Parmi semakin bernafsu
untuk men-
jatuhkan lawannya. Dan dengan
menggertak nyaring
kembali dia lancarkan serangan
beruntun yang lebih
berbahaya lagi. Kali ini
sepasang gaetannya berubah
bagaikan belasan cahaya berkilau
yang membersit
mengurung tubuh Roro, diiringi suara
mendesing yang
mengeluarkan hawa dingin. Ayal
sedikit saja leher atau
perut bisa kecantol gaetan maut
itu.
Akan tetapi Roro Centil masih
melayani seran-
gan itu dengan tersenyum manis.
Bahkan mengajari
lawannya menyerang.
"Yaaak, tebas ke bawah
mengarah kaki! terjang
menyilang sambil menendangi
serang ke kiri-kanan
dengan serangan bolak-balik!
Bagus...!" Teriak Roro se-
raya lengannya bergerak
menangkap kedua lengan ga-
dis itu. TAP...!
Sekejap saja lengan Parmi telah
kena tertang-
kap oleh cekalan kuat Roro
Centil. Melihat demikian
kedua saudara seperguruan gadis
itu lakukan seran-
gan berbareng, seraya membentak.
"Lepas...!"
Cahaya-cahaya menyilaukan dari ke-
dua pasang gaetan si dua gadis
baju ungu nyaris
membobol perut Roro. Terpaksa
Roro lepaskan ceka-
lannya dengan mengenjot tubuh
melesat ke udara se-
tinggi lima tombak. Ringan
sekali sepasang kakinya
hinggap di atas candi.
Terperangah kedua gadis itu se-
raya menengadah ke atas.
"Hai...! kau kira semudah
itu mau melarikan di-
ri?" kejaaar...!"
Teriak Sri Kendil.
"Hihihi... siapa yang mau
melarikan diri?" ber-
kata Roro. Tiba-tiba si Pendekar
Wanita Pantai Selatan
meluncur turun ke arah mereka.
Tentu saja hal demi-
kian tak disia-siakan ketiga
murid dari Perguruan Li-
dah Naga Putih itu. Serentak
menyambutnya dengan
terjangan maut. Akan tetapi yang
terdengar adalah ju-
stru teriakan ketiga dara baju
ungu itu berbareng den-
gan terpentalnya senjata-senjata
mereka. Aneh sekali,
karena seketika itu tubuh ketiga
gadis sudah dalam
keadaan tertotok kaku dalam
posisi menyerang. Apa-
kah gerangan yang terjadi?
Ternyata Roro Centil baru
saja memperagakan ilmu dari
jurus "Bayangan Kem-
bar"
Ilmu ini cuma bisa dimiliki oleh
orang yang
tingkat ilmunya sudah amat
tinggi. Karena mengan-
dalkan kecepatan yang melebihi
cepatnya kejapan ma-
ta. Hingga ketiga gadis itu
menyangka tubuh Roro
Centil berada di hadapan mereka
dan akan berhasil
kena di robohkan. Tak dinyana
dengan gerakan yang
sukar diikuti oleh mata, justru
Roro Centil sudah me-
lesat ke arah sisi dan lakukan
serangan pada ketiga
lawannya yang menerjang
bayangannya. Hingga seke-
japan saja ketika senjata dapat
dibuat terlepas dari
masing-masing pemiliknya, bahkan
sekaligus melan-
carkan totokan.
Terbelalak tiga pasang mata
dara-dara murid
dari Perguruan Lidah Naga.
Masing-masing hatinya
sudah mengucap. "Matilah
aku...! Akan tetapi pada
saat itu terdengar suara tertawa
mengekeh dibarengi
dengan kata-kata.
"Hebat...! hebat...! jurus ilmu
Bayangan Kembar itu sukar untuk
dikuasai, tapi ter-
nyata telah menguasainya, sobat
Roro Centil!" Tentu
saja Roro Centil segera
palingkan wajahnya, dan mena-
tap pada sosok tubuh yang
barusan saja berkelebat ke
hadapannya.
Itulah sosok tubuh seorang
wanita tua berju-
bah putih berwajah masih cantik
walau telah penuh
keriput. Di lengannya tercekal sebuah tongkat putih
tipis, bengkok dan berujung
runcing. Rambutnya ter-
gelung rapi dengan tusuk konde
perak. Tak berapa la-
ma, sudah disusul dengan
berkelebatnya sesosok tu-
buh lagi, dibarengi kata-kata.
"Haiiih! hampir saja
terjadi lagi salah paham!
selamat jumpa nona Pendekar Roro
Centil...!" Ternyata
orang kedua yang barusan muncul
adalah Ki Gembul
Sona, yaitu si kakek yang
berjulukan si Belut Putih.
Seketika wajah Roro Centil
berubah cerah.
"Ah... selamat datang pula
pada kalian orang
tua gagah, sungguh kebetulan
sekali bisa muncul dis-
ini...!" Tukas Roro seraya
menjura.
"Bolehkah aku bertanya
apakah bibi yang ber-
tongkat adalah guru dari ketiga
gadis ini? Tanya Roro.
Hm......benar! kuharap anda
dapat memaafkan
kekeliruan mereka karena telah
menyangka anda si
pembuat kericuhan! mereka memang
masih hijau dan
belum banyak pengalaman di luar.
Kematian murid la-
ki-laki kami telah membuat
mereka menjadi nekat un-
tuk mencari anda demi membalas
dendam!" ujar si
wanita tua seraya balas menjura.
"Aku si perempuan tua renta
ini adalah yang di
juluki kaum Rimba Hijau si
Pendekar Tongkat Taring
Naga!" sambungnya
memperkenalkan diri. Roro Centil
tersenyum manggut-manggut.
Tiba-tiba Roro Centil se-
gera balikkan tubuhnya. Sepasang
lengannya berge-
rak. Dan... segelombang angin
telah membersit keluar
dari sepasang lengannya.
Tersentak ketiga gadis itu
karena sekejap mereka sudah
terbebas dari pengaruh
totokan. Tentu saja mereka
cepat-cepat memungut
kembali senjata masing-masing
yang bergeletakan di
tanah. Selanjutnya segera
melompat ke hadapan sang
guru mereka.
"Murid-muridku hayo lekas
kalian minta maaf
pada nona Pendekar Roro
Centil!" Ketiga murid ini
tampak ragu-ragu, bahkan salah
seorang sudah berka-
ta,
"Akan tetapi, guru...
bukankah dia... dia ucap-
nya tergagap.
"Seseorang telah menyaru
mirip nona Pendekar
Roro Centil ini! Kalian telah
salah menduga orang.
Hayo cepat minta maaf...!"
Bentak si Pendekar Tongkat
Taring Naga dengan plototkan
matanya. Tentu saja
membuat ketiga gadis baju ungu
itu terperangah den-
gan mata membelalak. Dan
serta-merta segera menju-
ra di hadapan Roro.
"Maafkan kekeliruan kami,
sobat Pendekar Ro-
ro Centil! kami tak mengetahui
tentang hal itu!" ucap
Parmi yang mewakilkan bicara.
"Akan tetapi bolehkan anda
menjelaskan siapa
sebenarnya yang melakukan tipu
muslihat keji mem-
fitnah anda itu?" Tiba-tiba
Parmi langsung ajukan per-
tanyaan.
"Benar! kami ingin
mengetahui dan harus men-
getahui..." Berkata Sri
Kendil yang menatap Roro den-
gan pandangan tajam. Dari
tatapannya itu jelas dia
masih kurang percaya dengan
penuturan gurunya.
"Hihihi... silahkan kalian
tanyakan pada guru-
mu, atau pada kakek rambut
coklat itu. Beliau-beliau
pasti akan menjawabnya!"
Sahut Roro dengan terse-
nyum seraya leletkan lidah
membasahi bibirnya.
"Nah maaf... aku tak bisa
berlama-lama dis-
ini...!" Ujar Roro.
Selanjutnya dengan sekali genjot tu-
buh sang Pendekar wanita ini
sudah melayang ke atas
candi yang paling tinggi. Dan
saat berikutnya sudah
lenyap melompat ke belakang
candi.
—~oOo~—~
DUA
Desa Cilutung yang mengalir pula
disana kali
Cilutung tampak pada slang hari
itu amat lengang.
Udara panas membuat seorang
laki-laki berusia antara
20 tahun itu melepaskan lelah
duduk di bawah pohon.
Dia seorang laki-laki gagah yang
berwajah cukup tam-
pan. Memakai baju rompi warna
hitam, dengan dada
telanjang. Rambutnya tak
terurus. Pada pergelangan
lengan dan kaki pemuda ini
membelit empat buah ge-
lang besi berwarna hitam.
Dialah ADHINATA, murid Ki
Panunjang Jagat
dari puncak Tangkuban Perahu. Laki-laki
yang pernah
menjadi murid si Raja Racun ini
tampak seperti kebin-
gungan untuk menentukan
langkahnya. Sementara
perutnya sudah berbunyi
berkeriutan minta di isi.
"Ah, aku harus cari
makanan...! perutku lapar.
Kukira did alam desa ini pasti
ada warung nasi. Atau...
aku bisa minta pada salah
seorang penduduk. Tak ku
punyai sekepingpun uang
perak...!" gumamnya perla-
han. Sesaat dia sudah bangkit
berdiri. Dan melangkah
memasuki desa. Jalannya tak
terlalu cepat karena da-
lam melangkah itu benaknya terus
bekerja.
"Tubuhku mengandung racun
yang amat hebat!
aku harus hati-hati untuk tidak
menyentuh siapa saja!
haiih...! sungguh aku tak
menyangka kalau akan begi-
ni jadinya! semua ini gara-gara
aku kepincut dengan
benda pusaka si Raja Racun yang
ternyata adalah ha-
sil ciptaannya!" desisnya
lirih.
Kedai nasi mang Sakri didesa itu
terkenal den-
gan kelezatan masakannya. Warung
nasi itu adalah sa-
tu-satunya yang paling besar di
desa itu. Bahkan begi-
tu terkenalnya masakan maupun
pelayanannya, mang
Sakri pernah di undang ke rumah
Adipati Bayu Nin-
grat untuk memasak di gedungnya.
Ya...! sejak itu se-
makin terkenal saja kedai nasi
mang Sakri. Hingga wa-
rungnya diperlebar, dan
berdagang slang malam. Ka-
rena banyak para pelanggan yang
memesan dari per-
bagai tempat, juga yang sengaja
datang untuk makan
di situ.
Seperti juga hari itu. Tampak
lima penunggang
kuda telah singgah di warungnya. Kelima ekor kuda
segera di tambatkan di tempat
yang telah tersedia,
bahkan diberi rumput pula untuk
menyenangkan hati
para pelanggan. Beberapa pelayan
laki-laki maupun
perempuan tampak sibuk
mencarikan meja dan tem-
pat duduk, karena mereka tahu
kelima penunggang
kuda itu adalah tamu-tamu
istimewa yang sering
memesan makanan. Kesemuanya
adalah dari Kota Ra-
ja. Mang Sakri sudah tidak lagi
memasak di dapur, cu-
kup memerintahkan saja pada para
pelayan. Berkat
didikan mang Sakri
pelayan-pelayan tamu maupun ju-
ru masak mengolah makanan telah
pandai untuk me-
nyesuaikan selera orang.
Beberapa saat setelah kelima
orang penung-
gang kuda itu mendapat tempat
duduk dan memesan
makanan. Adhinata dengan langkah
terhuyung mema-
suki kedai. Seorang pelayan
laki-laki segera menyam-
but di pintu. Pemuda ini menatap
mata pelayan. Tentu
saja si pelayan ini kerutkan
keningnya, karena baru
sekali ini ada tetamu yang
memasuki kedai dengan ba-
ju kumal dan rambut awut-awutan.
Bahkan sepasang
mata laki-laki yang ditatapnya
itu terlihat merah seper-
ti habis mabuk.
"Boleh aku bertanya, apakah
aku bisa bicara
dengan yang punya kedai
ini?" Tanya Adhinata. Melen-
gak si pelayan, dan ajukan pula
pertanyaan dengan
menatap tajam orang di
hadapannya.
"Apakah maksudmu menanyakan
majikanku?"
Tanyanya.
"Ah, kau panggil sajalah majikanmu,
aku mau
bicara hanya dengannya! Sahut
Adhinata.
"He...!? lagakmu macam tuan
besar saja! ma-
tamu merah, jangan-jangan kau
baru saja mabuk! ke-
dai kami sedang kedatangan
orang-orang terhormat.
Sebaiknya kau katakan maksudmu!
atau nanti saja se-
telah para tamu kami sudah
pulang...!" kau lihat! ma-
jikanku sedang sibuk menghormati
tamu...!" Ucap si
pelayan dengan tandas.
Tercenung sejenak Adhinata,
segera dia meno-
leh pada laki-laki tua bertubuh
gemuk yang tengah
bercakap-cakap dengan lima orang
tamu yang berpa-
kaian mewah. "Hm, aku tak
pernah minum-minuman
keras! mataku merah karena aku
kurang tidur! baik-
lah, nanti aku bicara sendiri
pada majikanmu! Sedia-
kanlah makanan, perutku
lapar...!" Ujar Adhinata se-
raya melangkah masuk.
"Eh tunggu dulu! bajumu
kotor tubuhmu dekil
dari kumal. Dengan keadaanmu
seperti itu pasti teta-
mu kami akan menyingkir pergi!
Lagi pula apakah kau
punya uang untuk membayar
makanan...! cegah pe-
layan yang dengan sigap telah
menghalangi di pintu.
Tentu saja hal demikian membuat
Adhinata jadi gusar.
Tadinya dia mau berterus terang
untuk meminta sepir-
ing nasi pada majikan si pelayan
itu. Akar tetapi kare-
na sang pelayan melarangnya
dengar memberikan ala-
san. Adhinata Jadi batalkan
niatnya untuk berterus
terang. Benaknya berfikir saat
tadi ialah makan dulu
mengisi perut, urusan bayar
adalah belakangan.
Kini melihat si pelayan itu
dengan bertolak
pinggang melarangnya masuk,
membuat pemuda ini
jadi mendongkol. Dan hilanglah kesabarannya,
bahkan
lupa kalau dia harus
berhati-hati untuk bertindak. Se-
kali lengannya bergerak
dicengkeramnya baju si pe-
layan seraya membentak.
"Pelayan kurang ajar! kau
berani melarang aku
makan disini? aku kan tetamu?
segala alasan kau ke-
luarkan, kau kira aku tak mampu
membayar? Akan te-
tapi apakah yang terjadi?
Tiba-tiba si pelayan menjerit
parau. Tubuhnya berkelojotan
bagai ayam di sembelih.
Terkejut Adhinata. Ketika dia
lepaskan cekalannya,
tubuh si pelayan itu jatuh
mengambruk lalu diam tak
berkutik lagi. Gemparlah
seketika keadaan di dalam
kedai nasi itu. Beberapa orang
sudah segera melompat
untuk melihat kejadian di pintu
kedai. Begitu juga ke-
lima tetamu berkuda, yang sudah
bergegas melompat
dari kursi masing-masing.
Berpasang-pasang mata menatap
terbelalak
pada mayat si pelayan yang
tubuhnya mulai mencair
kehitaman!
"Hih...! dia telah kena
pukulan beracun!" berka-
ta salah seorang dari kelima
penunggang kuda.
"Dia lari kesana...! si
pembunuh itu!" teriak
seorang pelayan yang melihat
berkelebatnya tubuh
Adhinata. Tak usah menunggu
terlalu lama, serentak
kelima tamu dari Kota Raja itu
telah berkelebatan me-
lompat untuk mengejar. Ternyata
Adhinata yang tahu
gelagat tidak baik segera angkat
kaki dari muka kedai.
Dengan gerakan cepat dia
menyelinap masuk pada se-
buah pintu rumah yang kebetulan
terbuka. Akan teta-
pi terdengar jeritan dari dalam.
Sesosok tubuh tertum-
buk tubuhnya dan terlempar
membentur dinding. Ter-
nyata seorang wanita penghuni
rumah itu telah jadi
korban kedua. Berkelojotan tubuh
wanita itu meregang
nyawa, dan sesaat kemudian pun
tewas dengan tubuh
berubah kehitaman.
Tentu saja hal itu membuat
Adhinata terperan-
gah. Dia memang tak sengaja
membenturnya. "Celaka
...! aku harus segera kabur dari
tempat ini!" Desisnya.
Dan... BRRAK... dia sudah
menerobos keluar mener-
jang daun pintu bagian belakang.
Akan tetapi telah
terdengar bentakan keras.
"Manusia keji! kau telah
terkepung!" Dan bebe-
rapa sosok tubuh sudah mengurungnya.
Ketika Adhi-
nata menatap pada mereka,
tahulah dia kalau yang
mengejarnya adalah tetamu kedai
nasi yang rata-rata
berpakaian mewah tadi.
"Pembunuh biadab! apakah
kesalahan pelayan
itu, hingga kau membunuhnya
dengan kejam?" Bentak
salah seorang dari mereka.
"Aku... aku tak
sengaja..." Teriak Adhinata den-
gan panik.
"Manusia keji macam begini
mengapa tak cepat
dibunuh mampus? Hayo kita
ringkus dia! Teriak salah
seorang yang sudah tak sabar.
Dan sekejap sudah
menghunus golok panjangnya.
Tentu saja yang lainnya
pun berbuat sama. Masing-masing
mencabut keluar
senjatanya. Salah seorang
menerjang mendahului. Pe-
dang berkilauan dilengannya
ditabaskan ke arah leher
Adhinata. Terkejut laki-laki
ini. Lengannya bergerak
menangkis. TRANG...! Luar biasa!
pedang si penyerang
itu terpental patah dua. Dan
bersamaan dengan itu
terdengar jeritan ngeri salah
seorang kepala pengawal
dari Kota Raja itu. Tubuhnya
seketika menghitam dan
jatuh berkelojotan. Cuma
beberapa kejap saja lang-
sung tewas dengan keadaan tubuh
berubah mengeri-
kan.
Tentu saja keempat kawannya jadi
tersentak
dan melompat mundur.
"Pergi...! pergilah! atau
berikan aku pergi dari
sini! aku... aku tak
sengaja...!" teriak Adhinata dengan
wajah pucat. Sungguh di luar
dugaannya kalau tang-
kisannya barusan membawa efek
demikian hebat. Dan
tak ayal Adhinata segera melesat
untuk melarikan diri.
Akan tetapi keempat kepala
Pengawal Kerajaan itu
mana mau membiarkan orang yang
telah menyebab-
kan kematian kawannya itu melarikan
diri? Serentak
telah mengejar dengan membentak
keras.
"Keparat...! kejar...! dia
telah membunuh kawan
kita....!" Dan
berkelebatlah sosok-sosok tubuh keempat
kepala Pengawal, mengejar
Adhinata. Akan tetapi pada
saat itu berkelebat sesosok
tubuh menghadang si em-
pat Kepala Pengawal.
"Tahan...! jangan
kejar...!" Tentu saja teriakan
nyaring itu menghentikan langkah
mereka. Dan ketika
menatap ke arah si penghadang, ternyata seorang wa-
nita muda yang cantik rupawan.
Siapa lagi kalau bu-
kan Roro Centil, sang Pendekar
Wanita Pantai Selatan.
"He!? siapakah nona?
mengapa menghalangi
kami mengejar manusia keji
itu?" Tanya salah seorang
dari Kepala Pengawal.
"Dia si MANUSIA BERACUN!
pengejaran kalian
amat berbahaya! apakah kalian
sudah tak sayang
nyawa...?" Berkata Roro
dengan menatap tajam pada
mereka satu persatu.
"MANUSIA BERACUN...??"
Teriak mereka den-
gan kaget hampir berbareng. Dan
menatap Roro den-
gan membeliakkan mata.
"Benar! aku memang tengah menguntitnya,
ternyata dia telah mulai membawa
korban!" Tukas Ro-
ro dengan wajah serius.
"Nah, maaf, aku harus
meneruskan menguntit-
nya Aku menghawatirkan akan
banyak terjadi kejadian
yang mengundang maut!" Ucap
Roro. Dan selesai ber-
kata demikian tubuh si Pendekar
Wanita itu sudah
berkelebat lenyap dari hadapan
mereka. Melesat cepat
untuk mengejar Adhinata, hingga
tak sempat lagi
keempat Pengawal itu untuk
menanyakan siapa di-
rinya. Akan tetapi pada saat itu
terdengar suara di be-
lakang mereka.
"Kalian beruntung dapat
peringatan dari Pen-
dekar Wanita itu! Seharusnya
kalian ucapkan terima
kasih...!" Kata-kata itu
jelas ditunjukkan pada keempat
Kepala Pengawal ini. Tentu saja
serentak mereka putar
tubuh untuk melihat siapa yang
bicara.
"Ah, Gusti Senapati Kerta
Bumi...!" Teriak me-
reka hampir berbareng. Dan tak
ayal segera menjura
hormat pada sang atasan ini.
"Sudahlah! kalian bukan
sedang dalam tugas!
Ucap sang Senapati.
"Bawalah mayat kawanmu pu-
lang, dan tugas baru telah
menanti kalian...!" Selesai
berkata Senapati Kerta Bumi
melangkah pergi dari si-
tu. Keempat Kepala Pengawal
mengangguk seraya ber-
gegas menghampiri mayat
kawannya. Akan tetapi ter-
perangah mereka, karena tubuh
sang kawan telah be-
rubah mencair dan menimbulkan
bau busuk.
"Gusti Senapati...!"
Teriak salah seorang seraya
mengejar laki-laki berusia 35
tahun itu.
"Ada apakah?" Tanyanya
dengan palingkan wa-
jah pada si Kepala Pengawal.
"Mengerikan sekali, gusti
Senapati! mayat ka-
wan kami..." Segera si
Kepala Pengawal ini beritahukan
apa yang dilihatnya. Tampak
wajah Senapati Kerta
Bumi berubah.
"Mari...! aku segera
melihatnya!" Ujarnya seraya
mendahului melompat. Kepala
Pengawal ini segera
menyusul di belakangnya. Terperangah
Senapati Kerta
Bumi menyaksikan keadaan mayat.
Karena tubuh si
Kepala Pengawal yang malang itu
telah menjadi cairan
hitam. Kulitnya meleleh
menampakkan tulang-
belulangnya dari sebagian
tubuhnya. Sementara hawa
busuk menyebar dari mayat itu.
"Edan! luar biasa sekali
racun itu...! benar-
benar amat mengerikan...! entah
racun apakah yang
telah mengendap di tubuh
laki-laki itu?" Gumam sang
Senapati dengan mengelus
jenggotnya yang tipis. Bah-
kan dia telah menatap pula pada
potongan pedang si
Kepala Pengawal yang telah
tewas. Ternyata potongan
pedang itupun telah berubah
menghitam.
"Racun yang amat ganas itu
adalah warisan si
Raja Racun! Manusia itu telah
menciptakan empat
buah gelang beracun yang
diwariskan pada pemuda
itu! Dunia ini akan dilanda
musibah besar! karena si
Raja Racun telah berhasil
mencapai cita-citanya men-
ciptakan seorang manusia yang
tubuhnya mengan-
dung racun luar biasa, walaupun
dia sendiri harus te-
was!" Satu suara lembut
terdengar dari seberang jalan.
Tampak seorang kakek duduk di
atas sebuah batu be-
sar dengan lengan mengelus
jenggotnya yang panjang
menjuntai memutih. "Kakek
tua...! siapakah... anda?"
Tanya Senapati Kerta Bumi yang
segera telah melihat
siapa orangnya yang bicara.
Ringan sekali gerakan
orang tua berjubah putih itu,
sekejap sudah hing-
gapkan kakinya ke tanah di hadapan Senapati Kerta
Bumi.
"Aku si kakek tua yang sial
ini bernama Panun-
jang Jagat, Gusti Senapati.
Terimalah hormatku ....
Ucap kakek itu seraya menjura pada
Senapati Kerta
Bumi. Buru-buru Senapati ini
balas menjura. Dari ge-
rakannya hamba Kerajaan ini
telah mengetahui kalau
si kakek Panunjang Jagat adalah
seorang tokoh Rimba
Hijau yang berilmu tinggi.
"Aneh, anda menyebut diri
anda sial. Apakah
hubungannya dengan masalah ini?
dan anda tampak-
nya mengetahui benar dengan
perihal manusia bera-
cun itu!" Bertanya Senapati
Kerta Bumi,
"Bagaimana tak kukatakan
diriku sial? si ma-
nusia beracun itu adalah muridku
sendiri yang telah
ku gembleng untuk menjadi
seorang pendekar kaum
golongan putih. Eii, tahu-tahu
mengangkat si Raja Ra-
cun itu menjadi gurunya pula.
Dan... jadilah dia ma-
nusia yang menakutkan...! entah bagaimana nasib-
nya, kalau dia dipengaruhi kaum
golongan hitam?. Tak
ada lain jalan selain
membunuhnya siang siang...! "
Ujar sang kakek Puncak Tangkuban
Perahu dengan
wajah sedih. Tampak dari
sepasang mata tua kakek itu
mengalir air bening yang
meluncur turun membasahi
pipinya yang keriput.
Terangguk-angguk kepala Senapati
Kerta Bumi
yang diiringi dengan helaan
napas. "Benar-benar di
luar dugaanku, ternyata anda
guru dari Manusia Be-
racun itu. Masalah ini memang
amat besar dan rumit,
tapi kukira kita memang harus
bertindak cepat sebe-
lum kasip. Benar seperti yang
dikhawatirkaa anda, ka-
lau muridmu itu telah
dipengaruhi kaum golongan se-
sat, akan membahayakan bukan
saja terhadap rakyat
akan tetapi juga membahayakan
Kerajaan. Bahkan bi-
sa membahayakan umat
manusia!" Ujar sang Senapati
dengan menatap wajah Ki
Panunjang Jagat.
"Ya! memang lebih cepat
kulenyapkan nyawa
murid murtad itu adalah lebih
bagus!" Tukas Ki Pa-
nunjang Jagat. Akan tetapi
Senapati Kerta Bumi cepat
menyambar bicara.
"Tidak...! bukan dengan membunuhnya, kita
harus cari jalan untuk
melenyapkan racun yang men-
gendap ditubuhnya! Akan tetapi
apakah watak dari si
Raja Racun itu belum mengendap
pada jiwa muridmu,
sobat Ki Panunjang Jagat?"
"Mudah-mudahan tidak,
karena waktu yang di-
pergunakan si Raja Racun untuk
memproses si Adhi-
nata muridku itu menjadi manusia
beracun cuma ber-
kisar antara dua bulan!"
Sahut Ki Panunjang Jagat se-
raya menghapus air matanya.
"Sebenarnya waktu itu
aku menitahkan pada Adhinata
untuk meneruskan
berguru pada adik seperguruanku Gembul
Sona. Dan
kuperintahkan dia turun gunung
dari puncak Tangku-
ban Perahu. Akan tetapi dua
bulan kemudian ketika
aku menyambangi adikku di
pesanggrahannya, ternya-
ta muridku tak kujumpai ada di
sana. Belakangan ba-
ru ku ketahui dia berguru pada
si Raja Racun, tokoh
hitam dari Rimba Hijau. Aku bisa
menduganya karena
kujumpai mayat si Raja Racun
dalam keadaan seperti
mayat Pengawal Kerajaan
ini!" Tutur Ki Panunjang Ja-
gat lebih lanjut, seraya menatap
pada mayat yang telah
membusuk itu.
"Baiklah sobat Panunjang
Jagat! aku akan be-
rusaha sebisa mungkin untuk
membantumu...!"
"Terima kasih atas bantuan anda sebelumnya
gusti Senapati...! "
Senapati Kerta Bumi anggukkan
kepalanya dengan tersenyum,
seraya ujarnya.
"Jangan khawatir, orang
Kerajaan tidak akan
memusuhi muridmu, sepanjang dia
masih dalam kea-
daan belum diperalat orang
lain...! Ki Panunjang Jagat
manggut-manggut. Lalu segera
menjura untuk mohon
diri. Akan tetapi tiba-tiba dia
balikkan tubuhnya se-
raya menatap pada mayat.
"Mayat itu sebaiknya
dibakar saja, jangan coba-
coba menyentuhnya! amat
berbahaya...!"
-ooOoo-
TIGA
"Setan alas...! aku kehilangan jejak!" Memaki
Rora Centil. Tubuh sang dara ayu
ini berkelebatan ke
beberapa arah, dan kepalanya
dipalingkan ke kiri dan
ke kanan. Akan tetapi sosok
tubuh si manusia beracun
sudah lenyap tak kelihatan
bayangannya lagi.
Tiba-tiba Roro melihat sosok
bayangan yang
menyelinap ke balik tebing.
Tentu saja hal itu tak dis-
ia-siakan. Segera dia berkelebat
kesana. Akan tetapi
tiba-tiba... RRRRRRTT! RRRRTT!
RRRRTT...! Terperan-
gah Roro Centil, beberapa utas
tali telah menjeratnya.
Dan tak ampun lagi kaki dan
lengannya serta ping-
gangnya kena terjerat.
"Alii...! ? aku terjebak dalam pe-
rangkap! Desis Roro dengan
terkejut. Cepat sekali be-
kerjanya tali-temali itu, karena
sekejap Roro Centil te-
lah tergantung pada beberapa
utas tali dengan kaki
terpentang, kepala di bawah dan
kaki di atas. Tali-tali
yang menggantung tubuh Roro
menjulur dari beberapa
arah. Yaitu dari atas tebing
batu dan beberapa batang
pohon tinggi.
"Hihihihi... begitu
mudahnya menjebak seorang
wanita Pendekar yang perkasa...!
" Tiba-tiba terdengar
suara tertawa mengikik tanpa
terlihat orangnya. Roro
segera mengenali suara itu.
"Keparat si Giri Mayang
rupanya!" Desis Roro
tersentak. Dan... saat itu pula te-
lah berkelebatan tujuh sosok
makhluk kerdil mengu-
rung di bawah Roro. Tentu saja
Roro mengenal mak-
hluk-makhluk ini, karena pernah
diserang oleh mere-
ka. Benaknya segera memikir.
"Setan alas...! kalau be-
gitu mahluk-mahluk kerdil ini
baladnya si Giri
Mayang...!" Diam-diam Roro
kerahkan tenaga dalam-
nya untuk dapat segera
melepaskan diri dari jeratan
tali. Akan tetapi pada saat itu
serangkum angin telah
menerpa tubuhnya. Terdengar si
Pendekar Wanita ini,
karena segera merasai tubuhnya
tak dapat digerakkan
lagi. Hebat, serangan aneh itu.
Roro Centil tak mampu
berkutik lagi, karena seketika
jalan darahnya telah ter-
sumbat. Dan dengan demikian dia
tak mampu lagi un-
tuk berbuat apa-apa.
"Hehehe... hehehee...
selamat berjumpa nona
Pendekar Roro Centil!"
Terdengar suara tertawa men-
gekeh serak yang diiringi kata-kata. Dan sesosok tu-
buh berkelebat muncul. Sekali
gerakan lengannya
memutar, tali temali yang
menjerat tubuh Roro terpa-
pas putus terkena sambaran angin
aneh. Tanpa bisa
dicegah lagi, tubuh Roro
meluncur jatuh. Dan.... mah-
kluk-mahkluk kerdil itu segera
menangkapnya.
"Bagus! inilah saatnya
kemenangan berada di
pihak kita!" Terdengar
suara nyaring dan diiringi den-
gan berkelebat muncul sesosok
tubuh wanita dengan
ram but terurai. Siapa lagi
kalau bukan Giri Mayang.
Entah bagaimana si wanita yang
amat mendendam
pada Roro Centil itu bisa berada
di tempat itu, dan apa
pula hubungannya dengan nenek
renta bertangan ko-
song yang berilmu tinggi itu?.
"Hihihi... guru! berikanlah
padaku manusia
yang telah menghinaku itu!"
berkata Giri Mayang den-
gan menatap pada si nenek tangan
kosong. Entah se-
jak kapan tahu-tahu wanita ini
telah pula mengangkat
guru pada si nenek tua renta
berkalung mutiara indah
itu.
Si nenek berikan isyarat pada
ketujuh makhluk
kerdil untuk melepaskan tubuh
Roro dari pegangan
tangan-tangan mereka. Serentak
berlompatanlah mak-
hluk-mahkluk kerdil itu dengan
patuh.
"Heheheheh mau kau
apakan-kah dia?" Ta-
nyanya.
"Guru...! terima kasih atas bantuanmu sekali
lagi! kali ini biarkanlah aku
yang akan menentukan
hidup matinya perempuan bernama
Roro Centil ini!"
Berkata Giri Mayang dengan menatap
pada gurunya
lalu alihkan tatapannya pada
Roro yang terkapar di
tanah dengan keadaan tak
berdaya. Sejurus antaranya
si nenek bertangan kosong yang
ternyata bermata jul-
ing itu termenung, tapi kemudian
ujarnya...
"Heeheheh... heheh...
baiklah! akan tetapi ku
beri waktu kau untuk segera
membunuhnya tidak le-
bih dari dua hari. Selewat dua
hari aku tak mau men-
dengar adanya nama Roro Centil
di atas jagat ini!"
"Baik, baik...! jangan khawatir! manusia pem-
bunuh muridmu si Kupu-kupu Emas
ini aku jamin
kau akan segera melihat
bangkainya dalam keadaan
tidak utuh!" Berkata Giri
Mayang dengan tersenyum
menyeringai. Sementara itu Roro
Centil jadi terkejut
karena segera mengetahui kalau
si nenek bermata jul-
ing itu adalah guru si Kupu-kupu
Emas yang telah te-
was di tangannya, sewaktu berada
di Pulau Andalas.
Selesai berkata, Giri Mayang
segera sambar tu-
buh Roro. Dan sekejap saja sudah
dibawa berkelebat
meninggalkan tempat itu.
"Dua hari lagi silahkan kau
datang melihat ke tempat
tinggalnya, guru... teriak Giri
Mayang yang masih sempat
berpesan pada guru ba-
runya.
Nenek mata juling tak menjawab,
akan tetapi
segera berkelebat pergi diikuti
ketujuh mahkluk cebol
piaraannya.
-ooOoo-
"Iblis perempuan! tahan
langkahmu!" Terdengar
bentakan nyaring. Giri Mayang
yang baru saja tiba di-
balik bukit jadi terkejut dan
hentikan langkahnya,
karena beberapa sosok tubuh
berkelebatan
menghadang. Ternyata ketiga
murid si nenek Pendekar
Taring Naga, yaitu si tiga gadis
berbaju ungu. Giri
Mayang tatapkan matanya pada
ketiga dara dihada-
panya. Tiba-tiba dia tertawa
mengikik, dan berkata
dengan nada dingin.
"Hihihi... kiranya tiga
saudara seperguruan dari
Perempuan Taring Naga! He? mau apa
kalian mengha-
dangku? Hm, rupanya kalian mau
mencari mati...!"
"Bedebah! perempuan laknat!
kau telah mencu-
lik dan membunuh kakak laki-laki
saudara sepergu-
ruan ku! kau telah memfitnah
pula nama Pendekar
Roro Centil! kau harus mempertanggung jawabkan
perbuatan mu!" Bentak Sri
Kendil dengan berang. Dan
sepasang senjata gaetannya telah
tercekal di kedua
lengannya.
"Hihihi.... nona Pendekar
pujaan kalian itu kau
lihat sendiri sudah tak berkutik
dalam tanganku! apa-
kah kalian mau jual lagak untuk
mencari mati? Se-
baiknya lekas kalian merangkak
pergi dari sini!" Ben-
tak Giri Mayang. Sejak tadi
mereka memang telah ber-
prasangka dan tengah
menduga-duga pada wanita
yang berada di atas pundak Giri
Mayang. Kini semakin
jelaslah kalau wanita itu benar
Roro Centil adanya.
Tentu saja membuat mereka cukup
terkejut, juga
khawatir.
"Hah? Le... lepaskan
dia!" Bentak Sri Kendil
dengan mata mendelik. Akan
tetapi Girl Mayang terta-
wa mengikik, seraya berkata
lantang.
"Silahkan kalian rebut nona
Pendekar pujaan
kalian ini dari tangan ku!"
"Bedebah! kau turunkan dulu
dia dari pun-
dakmu! dan hadapi kami!"
teriak Parmi, si dara paling
cantik diantara mereka.
"Hm, baik! kalian kira aku
sebangsa manusia
pengecut yang mau menjadikan si
Roro Centil ini un-
tuk perisai...? Kalian rasakan
nanti sepak terjangkut
berkata Girl Mayang dengan
senyum sinis. Giri Mayang
jatuhkan tubuh Roro menggabruk
ke tanah. Dan ber-
kata lagi dengan suara dingin.
Silahkan kalian maju berbareng!
kalian mau
membalas dendam kematian kakak
seperguruanmu,
bukan? Hihihi... dia memang
laki-laki gagah. Sayang
aku terpaksa membunuhnya, karena
itulah kebiasaan
ku kalau aku sudah bosan!"
Selesai bicara, kembali Gi-
ri Mayang perdengarkan suara
tertawa mengikik. Se-
mentara diam-diam dia telah
salurkan tenaga dalam
inti api pada kedua lengannya.
"Iblis perempuan sundal!
aku akan adu jiwa
denganmu!" membentak Parmi
dengan geram, dan se-
pasang mata berkaca-kaca. Seraya
kemudian mener-
jang wanita ini dengan kemarahan
meluap-luap. Sepa-
sang senjata gaetannya menyambar
bagai kilat menga-
rah leher. Akan tetapi dengan
tersenyum Giri Mayang
merunduk cepat. Sebelah
lengannya Lantas bergerak
menghantam ke perut lawan.
WHUUK!
Angin panas membersit menyambar
perut Par-
mi Untunglah gadis ini cepat
pula berkelit dengan ja-
tuhkan diri bergulingan. Giri
Mayang tak memberi ke-
sempatan untuk gadis itu
bangkit. Segera melesat un-
tuk kembali hantamkan telapak
tangannya bertubi-
tubi. Akan tetapi saat itu telah
terdengar bentakan,
berbareng dengan menerjangnya
Sri Kendil dan gadis
rambut kepang. Dua pasang gaetan
itu berkilatan me-
nyambar tubuhnya dari perbagai
tempat. "Bagus...!"
teriak Giri Mayang. Gesit sekali
wanita itu berloncatan
menghindar dari serangan ganas.
Tiba-tiba Giri Mayang mulai
merubah gerakan
silatnya. Sekejap saja tampak
ketiga lawannya mulai
menyerang dengan serabutan,
karena Giri Mayang
mempergunakan jurus-jurus yang
mengacaukan se-
rangan lawan. Ternyata sambil
mempergunakan juru-
sannya, bibir Girl Mayang tampak
komat-kamit mem-
baca mantera-mantera. Itulah
ilmu hitam yang diper-
gunakan untuk menyerang syaraf
lawan. Hingga dalam
pandangan ketiga gadis itu,
mereka seperti menghada-
pi mahkluk menyeramkan.
Pada satu kesempatan Giri Mayang
hantamkan
lengannya kedua arah.
WHUUKI WHUUKKK...!
Tak ampun lagi terdengar jeritan
menyayat ha-
ti. Sri Kendil dan si gadis
rambut kepang yang berna-
ma Nirawuni terlempar dengan
tubuh menghitam han-
gus. Bukan saja Parmi salah satu
dari ketiga gadis itu
saja yang terperanjat, akan
tetapi Roro Centil yang da-
lam keadaan tak berdaya itupun
terkesiap kaget. "Iblis
telengas Giri Mayang! kelak kau
rasakan kalau bisa
terbebas dari totokan si nenek
mata juling itu!"
maki Roro Centil dalam hati.
Ternyata lidah dari Pantai
Selatan inipun dibuatnya menjadi
kelu dan tak dapat
mengeluarkan suara. Kecuali
sepasang matanya saja
yang mendelik gusar.
--000--
EMPAT
"Hihihi... segeralah kaupun
berangkat menyu-
sul kedua saudara seperguruanmu itu!" Berkata
Giri
Mayang seraya hantamkan
lengannya mengarah ke
tubuh Parmi yang sedang
terlongong dengan mata
membelalak. Akan tetapi pada
saat itu berkelebat sinar
kilat berhawa dingin yang
meluluhkan pukulan inti api
Giri Mayang, disertai bentakan
keras. "Wanita terlen-
gas, kejam nian kau...! "
BHUURRR...! pukulan inti api
Giri Mayang membalik ke udara,
dan menyambar da-
han pohon besar. Hebat dan
mengerikan sekali, pohon
itu terbakar hangus.
Daun-daunnya rontok kering,
berjatuhan meluruk ke bawah.
Tersentak Parmi bukan
buatan. Dalam keadaan
terperangah tadi, nyaris saja
nyawanya melayang kalau tak
datang sosok tubuh
yang menangkis serangan
berbahaya itu. Ternyata dis-
itu telah tegak berdiri seorang
pemuda tampan berpa-
kaian serba putih. Di
lengannya tercekal sebuah pe-
dang yang berkilauan seperti
perak. Dialah SAMBU
RUCI si Pendekar Selat Karimata,
alias si Bujang Nan
Elok.
Kalau Roro Centil diam-diam
merasa girang
dengan kemunculan pemuda
sahabatnya ini, adalah
Giri Mayang memandang dengan
terkejut. Bibirnya su-
dah bergetar untuk membentak.
Akan tetapi, aneh...!
tampaknya Giri Mayang sulit
untuk mengeluarkan ka-
ta-kata dari mulutnya. Seumur
hidup barulah dia me-
lihat seorang laki-laki yang
tampannya sedemikian ru-
pa. Tiba-tiba, cepat sekali Girl
Mayang balikkan tubuh,
dan menyambar tubuh Roro yang
tergeletak ditanah.
Selanjutnya dengan gerakan sebat
segera angkat kaki
dari tempat itu.
"Haiii? pengecut busuk!
mengapa kau melari-
kan diri...?" Teriak Sambu
Ruci. Sepasang matanya se-
gera dapat melihat siapa adanya
sosok tubuh yang di
panggul dipundak wanita itu.
"Hah? dia... Roro Cen-
til...!" Sentak Sambu Ruci
dengan berdesis. Akan tetapi
baru dia mau berkelebat
menyusul, sebuah benda te-
lah dilemparkan ke arahnya.
BRUSSS...! Benda itu meledak menimbulkan
asap hitam yang menyebar
menghalangi pandangan.
Ketika Sambu Runci menerobos
asap, tubuh Giri
Mayang sudah tak kelihatan lagi.
"Kurang ajar, akal licik
untuk melarikan diri!"
Memaki Sambu Ruci dengan hati
masygul. Saat itu
Parmi telah lemparkan sepasang
senjatanya, dan
memburu ke arah kedua tubuh
saudara sepergu-
ruaannya yang terkapar dengan
keadaan mengerikan.
Tubuh Sri Kendil dan Nirawuni
yang dalam keadaan
menghitam hangus itu ditatapnya
dengan air mata
mengenang.
Tak kuat melihat kengerian yang
terpampang di
matanya, gadis ini menangis
terisak dengan menekap
wajahnya dengan kedua belah
tangan. Menghadapi
kenyataan yang amat luar biasa
itu, pandangan mata
Parmi menjadi gelap dan
berkunang-kunang. Kepa-
lanya terasa berdenyutan. Dan
bumi yang dipijak tera-
sa berputar. Akhirnya si gadis
itu roboh pingsan tak
sadarkan diri. Sementara itu
Sambu Ruci telah berke-
lebat menghampiri.
Tentu saja hal itu membuat Sambu
Runci jadi
kebingungan.
"Ah, dia pingsan pula...!
bagaimana ini... ?" Ter-
sentak Sambu Runci. Sambu Runci
memang serba sa-
lah, karena dia baru mau berniat
menyusul Roro yang
dilarikan Giri Mayang akan
tetapi melihat keadaan ga-
dis itu tak sampai hati dia
meninggalkannya. Terlebih
melihat kematian kedua gadis
kawannya yang hangus
mengerikan.
"Kasihan...! aku harus menolong gadis ini, dan
menguburkan mayat kedua gadis
malang ini...! " Ber-
kata Sambu Ruci seorang diri.
Demikianlah... dengan
segera si Pendekar Selat
Karimata menggali tanah, lalu
menguburkan jenazah kedua gadis
malang itu dengan
hati ikut terharu. Bahkan tak
terasa air matanya meni-
tik turun dari kelopak mata.
Matahari mulai menggelincir ke
arah barat. Dan
selesailah pekerjaan Sambu
Runci. Dua gunduk tanah
yang ditimbun juga dengan batu
dan pasir telah bera-
da ditempat itu. Pada tanah
datar di sisi bukit. Angin
pegunungan berhembus menyejukkan
tubuh.
Laki-laki ini menyeka peluhnya
yang meluncur turun
ke dahi. Kini tatapan matanya
dialihkan ke bawah po-
hon dimana dia merebahkan tubuh
Parmi yang masih
tak sadarkan diri.
Mendengar langkah-langkah kaki
menghampiri
agaknya gadis ini mulai sadar
dari pingsannya. Dan
sekejap dia sudah melompat
bangun. Dilihatnya seso-
sok tubuh laki-laki yang tadi
telah menyelamatkan ji-
wanya berada di hadapannya.
Berdiri dengan meman-
dang kagum pada gadis itu.
Memang tak dapat di
sangkal kalau Parmi adalah
seorang dara yang cantik
Berambut ikal. Dengan ikat
kepala bercorak kembang-
kembang warna merah. Tatapan
matanya sayu, akan
tetapi sedikit membelalak karena
segera terlihat dua
gundukan tanah yang sudah dapat
diduga adalah ku-
buran kedua saudara
seperguruannya.
"Anda.... anda yang telah
mengebumikan jena-
zah kedua saudara
seperguruanku...?" bertanya Parmi
dengan memandang tajam, akan
tetapi diam-diam ha-
tinya berdebar keras. Pemuda itu
seorang laki-laki
yang amat tampan. "Siapakah
gerangan dia ini..?" ber-
kata Parmi dalam hati. Sementara
itu dengan terse-
nyum Sambu Runci segera
menjawab.
"Benar...! kulihat kau telah jatuh pingsan tak
sadarkan diri. Aku lalu
menolongmu memindahkan ke
tempat yang teduh disini,
kemudian segera ku gali ta-
nah untuk mengubur jenazah...!
" Terlihat senyum tre-
nyuh di bibir sang gadis. Sepasang matanya kembali
berkaca-kaca. Dan sepasang bibir
mungil itupun
tampak tergetar mengucapkan
kata-kata...
"Te... terima kasih atas
pertolongan anda, tu... tuan
Pendekar!" Ucapnya dengan
suara lirih. Dan... setetes
air bening kembali mengalir
turun ke pipinya yang pu-
tih ranum.
"Andapun telah pula
menyelamatkan nyawaku.
Betapa besar budi anda, entah
dengan apa aku harus
membalasnya. Lanjut Parmi dengan
tundukkan wajah,
dan cepat-cepat lengannya
menghapus air matanya.
"Ah, sudahlah...!
pertolongan itu adalah sudah
menjadi dasar dari setiap
golongan pendekar. Siapakah
namamu, adik...?"
"Namaku amat jelek. Apakah
kau sudi menden-
garnya?" Balas bertanya
sang gadis dengan senyum di
paksakan.
"Ah, Jelek atau bagus cuma
sebuah nama. Tapi
yang jelas orangnya kan cantik...?" goda Sambu Ruci
dengan tersenyum. Sengaja dia
bergurau untuk melu-
pakan kesedihan sang gadis itu.
"Ah, anda terlalu memuji!
aku sedang dalam
kesedihan begini, kalau anda mau
tahu namaku tentu
tak keberatan pula kalau anda
menyebutkan nama
anda, bukan?" Berkata sang
gadis dengan tersipu.
"Haha... mengapa tidak?
namaku Sambu Ruci!"
sahut Sambu Ruci pendek tanpa
memperkenalkan ju-
lukannya. Akhirnya sang gadis
baju ungu itupun se-
butkan pula namanya.
"Aku... aku Parmi, atau
kepanjangannya Parmi
Sudira..."
"Aha...! nama yang begitu
bagus mengapa kau
katakan jelek?" kelakar
Sambu Ruci dengan tersenyum
dan geleng-gelengkan kepala.
"Bagus dan cantik secantik
orangnya! sam-
bungnya dengan menatap tajam
pada wajah sang gadis
yang semakin merona merah saja
wajahnya.
"Sudira itu tentu nama
ayahmu, ataukah nama
suamimu.. ?" tiba- tiba Sambu Ruci ajukan perta-
nyaan.
"Suami...? ah, mana aku punya
suami... itu
nama ayahku!" sahut Parmi.
"Ya, ya... aku percaya!
baiknya kau ceritakan
riwayatmu, apakah sebabnya bisa
bentrok dengan wa-
nita bersama Giri Mayang
itu?" Tanya Sambu Ruci
yang segera alihkan pembicaraan.
Terdengar suara he-
laan napas si gadis. Wajahnya
kembali menampakkan
kesedihan. Akan tetapi segera
dia sudah memulai beri-
kan penuturan.
Demikianlah, secara kebetulan
Parmi akhirnya
dapat berkenalan dengan Sambu
Ruci si Pendekar Se-
lat Karimata. Dan Parmi pun
tuntas pula menceritakan
siapa dirinya serta persoalan
apa hingga dapat bentrok
dengan Giri Mayang, yang nyaris
saja dia menyangka
Roro Centil biang pelaku dari
kejahatan itu. Tercenung
sejenak Sambu Ruci. Segera
terlintas lagi nasib Roro
yang sedang dalam keadaan tak
berdaya di tangan Giri
Mayang. Walaupun bagaimana hati
pemuda ini yang
sudah kepincut oleh Roro, tak
bisa berpeluk tangan
membiarkan Giri Mayang menawan
si Dara Pantai Se-
latan itu.
"Dimanakah tempat tinggalmu,
nona Parmi...
aku akan mengantarkanmu pulang.
Selesai itu aku
harus mencari jejak si wanita
Iblis itu. Dia telah berha-
sil menawan sahabatku Roro
Centil. Amat berbahaya
dan mengkhawatirkan sekali.
Wanita iblis itu amat te-
lengas dan mempunyai ilmu
tinggi..!"
"Kami bertiga sudah
bertekad mencari jejak si
wanita iblis pembunuh saudara
laki-laki kakak seper-
guruaku. Ternyata telah berhasil
menjumpai. Akan te-
tapi kedua saudara seperguruanku
kembali tewas di-
tangan iblis wanita telengas
itu. Tak ada lain jalan, aku
akan turut mencari jejak nona
Pendekar Roro Centil.
Ajaklah aku kemana kau pergi,
sobat Sambu Ruci...! "
Berkata Parmi dengan wajah
bersemangat.
Tercenung Sambu Ruci. Walau
dalam hati tak
menyetujui gadis itu turut serta
dalam melacak jejak
Giri Mayang, akan tetapi Sambu
Ruci memang tak da-
pat menolak keputusan si gadis.
Juga dikhawatirkan
hal itu akan menyinggung
perasaan sang gadis yang
amat bersemangat dan berani itu.
Akhirnya Sambu
Ruci pun mengangguk.
—~oOo~—~
LIMA
Kemanakah gerangan lenyapnya
Adhinata, si
manusia beracun? Ternyata dia
berada dalam sebuah
lubang sumur yang amat dalam.
Kalau Adhinata tak
memiliki kepandaian tinggi,
serta akal cerdik yang di-
pergunakan, niscaya
tulang-tulang tubuhnya telah pa-
tah-patah karena jatuh dari
tempat ketinggian terje-
rumus masuk ke dalam sumur itu.
Itulah pula sebab-
nya Roro Centil kehilangan
jejak.
Di dalam sumur itu Adhinata
termangu-mangu.
Untuk merayap naik amat sulit,
karena dinding sumur
penuh lumut yang amat licin.
Sedangkan untuk me-
lompat keluar juga tak mungkin,
karena dalamnya
sumur lebih dari lima puluh
kaki. Kecuali dia punya
sayap untuk terbang barulah dia
bisa keluar dari su-
mur itu. Berpikir demikian,
Adhinata jadi termangu-
mangu dengan mulut memaki
panjang pendek.
"Sial! siaaal...! mengapa
nasib buruk selalu me-
nimpa ku? Kini nasibku tak lebih
buruk dari nasib si
Raja Racun! cepat atau lambat
akhirnya toh
aku akan mati kelaparan di asar
sumur celaka ini...!"
Malam pun semakin merayap,
Adhinata masih
termangu-mangu di dasar sumur tanpa bisa berpikir
apa-apa selain menunggu
datangnya maut. Dan lagi-
lagi hawa lapar menggerogoti
perutnya. Akan tetapi ti-
ba-tiba dia berseru kegirangan.
Matanya menatap pada
lumut yang menempel tebal
didinding sumur.
"Ha...? aku... masih bisa
hidup! mengapa aku
jadi tolol? lumut ini bisa
menjadi bahan makananku!
hahaha..." Tergelak-gelak
Adhinata. Dan serta merta
lengannya sudah mencongkel lumut
itu. Lalu langsung
memakannya dengan lahap. Tak
perduli lagi bagaima-
na rasanya, baginya yang panting
adalah dia bisa ber-
tahan hidup sambil menunggu
kemukjizatan yang da-
pat menolong dirinya keluar dari
sumur itu.
Adhinata memang sudah
ditakdirkan menga-
lami hal yang aneh-aneh.
Perjumpaanya dengan si Ra-
ja Racun telah membawa akibat
tubuhnya mengan-
dung racun yang amat hebat.
Empat buah gelang besi
berwarna hitam yang terpasang di
empat anggota tu-
buhnya adalah empat buah gelang
yang sudah diren-
dam dengan racun puluhan tahun
dengan bermacam
racun jahat. Semasa hidupnya si
Raja Racun telah be-
rambisi menciptakan seorang
manusia yang amat luar
biasa yang
bakal diperalat untuk menguasai Dunia
Persilatan. Hingga dengan segala
daya dia berhasil
menciptakan gelang-gelang besi
itu. Apakah yang telah
menyebabkan kematian si Raja
Racun itu? marilah ki-
ta ungkapkan peristiwanya.
--000--
Betapa girangnya si Raja Racun
tokoh hitam itu
yang telah menemukan Adhinata,
yang dianggap cocok
untuk dijadikan bahan percobaan
keempat gelang be-
sinya. Si Raja Racun memang
telah mendusta Adhina-
ta dengan mengatakan bahwa dia
memiliki dua pasang
benda pusaka, yang kalau
Adhinata mengingini pasti
dia akan memberikannya. Adhinata
yang baru turun
gunung dan belum banyak
pengalaman segera kepin-
cut untuk memiliki dua pasang
gelang pusaka itu. Ka-
rena menurut Langir Setho bakal
menjadikannya seo-
rang yang luar biasa di dunia
persilatan.
Demikianlah, Adhinata di bawah ke
tempat
tinggal tokoh hitam itu.
Selanjutnya dengan menuruti
setiap perintah dan petunjuk si
Raja Racun, yang telah
di angkat guru oleh Adhinata,
pemuda murid Ki Pa-
nunjang Jagat dari puncak
Tangkuban Perahu itu di
proses dengan waktu singkat
hingga tubuhnya men-
gandung racun yang amat luar
biasa dahsyatnya. Akan
tetapi justru si Raja Racun
sendiri tewas tanpa sengaja
karena kecerobohan yang di luar
dugaannya.
Keempat buah gelang besi itu
telah terpasang di
pergelangan keempat anggota
tubuh Adhinata. Dia
memerintahkan pemuda itu
menyalurkan tenaga da-
lam untuk menyebarkan pengaruh
racun dari keempat
gelang besi ke sekujur tubuhnya.
Sebelumnya Adhina-
ta memang telah meminum beberapa
macam ramuan
untuk memperkuat tubuh, yang
harus dimakannya se-
lama waktu satu bulan. Hal itu
pernah dicobanya pada
beberapa pemuda yang di Jadikan
calon memproses
ide gilanya itu, akan tetapi
dari tiga orang pemuda
yang dicobanya itu telah tewas.
Hingga si Raja Racun
segera merobah beberapa macam
ramuan, dengan me-
nambahi ramuan lain. Hal itu
memang berhasil baik
seperti yang telah dicobakan
pada Adhinata. Akan te-
tapi Adhinata ternyata tak mampu
mengembalikan ra-
cun yang menyebar ditubuhnya ke
tempat asalnya yai-
tu keempat buah gelang besi itu.
Adhinata memang ti-
dak mati, akan tetapi dia tak
sadarkan diri hingga be-
berapa hari.
Tentu saja hal itu amat
mengkhawatirkan si Ra
Racun. Berbagai cara dilakukan
untuk menyadarkan
Adhinata. Kekhawatiran akan
kegagalannya semakin
memuncak karena setelah lewat
dua pekan, Adhinata
tetap belum sadar dari
pingsannya. Untunglah ra-
muan-ramuan yang dijejalkan di
mulut Adhinata dapat
memperkuat tubuhnya untuk masih
tetap bisa berta-
han hidup. Sepekan pun berlalu
lagi, dan Adhinata te-
tap terkapar tanpa daya. Semakin
gelisahlah hati Lan-
gir Setho. Tinggal satu proses
lagi yang harus dite-
rapkan pada tubuh pemuda itu.
Akan tetapi keadaan
Adhinata semakin memburuk.
Nafasnya tinggal satu-
satu.
Akhirnya si Raja Racun ini jadi
nekat. Proses
yang satu lagi harus
dilaksanakan, yaitu merendam
tubuh Adhinata dalam kubangan
air beracun. Tanpa
harus menunggu lama lagi, si
Raja Racun segera cem-
plungkan tubuh Adhinata dalam
kubangan air bera-
cun yang telah disiapkan. Ketika
pemuda yang jadi
bahan percobaannya satupun belum
ada yang sampai
pada proses terakhir ini, karena
telah keburu tewas di-
awal percobaan. Cuma Adhinatalah
yang bisa menca-
pai proses akhir ini. Akan
tetapi itupun masih dalam
teka-teki......
-ooOoo-
Tiga hari tiga malam si Raja
Racun merendam
tubuh Adhinata dalam kubangan
air beracun itu. Se-
lama itu Langir Setho kerahkan
tenaga dalamnya un-
tuk membantu menguatkan tubuh
Adhinata dengan
saluran tenaga dalamnya ke tubuh pemuda itu. Ter-
nyata hebat akibatnya. Racun
yang menyebar di tubuh
Adhinata telah bercampur telah
bercampur lagi dengan
racun. Napas pemuda itu sudah
semakin gawat. Detik-
detik maut hampir menjelang.
Semakin resah hati si
Raja Racun. Kekhawatiran akan
kegagalan percobaan-
nya semakin memuncak. Karena
bila gagal kali ini bu-
kan saja dia harus memulai
segalanya dari nol, akan
tetapi hal ini juga telah
menguras habis tenaga dalam-
nya, dan telah merugikan tidak
sedikit dari usahanya
yang sia-sia itu.
Dan... pada detik-detik yang
mendebarkan itu
ternyata Langir Sheto hampir
melonjak karena girang-
nya. Tampak napas Adhinata
kembali normal secara
berangsur-angsur.
"Bagus muridku...! kau...
kau berhasil! berha-
sil...! hahaha... hehe..."
Tertawa gelak-gelak si Raja Ra-
cun karena girangnya. Akan
tetapi tiba-tiba dia menje-
rit keras. Cekalan lengannya
pada bahu pemuda itu
yang selama tiga hari tiga malam
tak pernah lepas un-
tuk menyalurkan tenaga dalam
yang mengalirkan ha-
wa hangat ketubuh Adhinata,
mendadak sontak di le-
paskan. Terhuyung-huyung tubuh
si Raja racun mun-
dur ke belakang. Wajahnya pucat bagai mayat dan
membiru. Akan tetapi tak berlangsung lama, karena
segera tubuh Langir Sheto jatuh
menggabruk untuk
selanjutnya berkelojotan bagai
ayam disembelih. Dan
kejap berikutnya tubuh si Raja
racun sudah tak ber-
kutik lagi dengan keluarnya
suara mengorok bagai
kerbau dipotong.
--ooOoo--
Beberapa saat antaranya tubuh si
Raja Racun
itupun mencair dengan
mengeluarkan bau busuk yang
amat mengganggu hidung. Tewasnya
si Raja Racun
yang berhasil dengan
percobaannya. Akan tetapi me-
minta korban jiwanya sendiri.
Demikian kisah yang di
alami Adhinata, hingga dia
menjadi si Manusia Bera-
cun. Betapa amat mengerikan kini
keadaan tubuhnya
membuat Adhinata sendiri menjadi
serba salah. Kare-
na dengan demikian justru
menyulitkan dirinya sendi-
ri.
Masalahnya adalah si Raja Racun
telah tewas.
Sedangkan dia tak dapat
mengendalikan racun yang
mengendap dalam tubuhnya karena
tak mengetahui
caranya. Seandainya
dia dapat berfikir secara normal
mungkin hal itu bisa dilakukan.
Akan tetapi efek sam-
pingan dari proses yang terjadi
pada tubuhnya juga te-
lah merusak jaringan syaraf.
Hingga Adhinata tak lebih
dari seorang pemuda tolol.
Terkadang dia berambisi
untuk merajai Dunia persilatan,
tapi terkadang begitu
ketakutan akan keadaan dirinya.
Dan berusaha men-
jauhi manusia, karena dia
khawatir untuk menyen-
tuhnya.
—~oOo~—~
ENAM
GIRI MAYANG tertawa sinis
menatap Roro Cen-
til, yang telah dikuliti seluruh
pakaiannya. Bahkan te-
lah menambah beberapa totokan untuk memperkuat
agar si musuh besarnya tak dapat
lepas lagi dari tan-
gannya. Giri Mayang ambil seutas
tambang, lalu men-
gikat tubuh kedua pergelangan
tangan Roro Centil. Se-
lanjutnya telah mengereknya
ke atas pada dua buah
tiang yang menyangga sebuah
balok panjang. Rumah
itu adalah sebuah rumah tempat
seorang pandai besi.
Si pandai besinya sendiri telah
dibunuhnya. Mayatnya
telah di lemparkannya ke sungai di
belakang rumah
itu. Tentu saja disana banyak
bermacam alat-alat kerja
si pandai besi. Dari tungku tempat bara api, sampai
palu, pahat kikir dan perbagai
alat lainnya.
Dan... tungku api itu memang
sudah menyala
sejak tadi. Tubuh Roro Centil
terayun-ayun pada seu-
tas tambang. Kakinya cuma berada
satu jengkal di
atas tanah. Entah kejahatan apa
yang akan dilakukan
wanita telengas ini. Dengan
bertolak pinggang Giri
Mayang menatap tubuh Roro dengan
tersenyum sinis.
"Hm, bentuk tubuhmu memang
patut dikagumi
Roro Centil! Memang membuat aku
jadi mengiri! Hihi-
hi... akan tetapi tak lama lagi
aku akan membuat kulit
tubuhmu yang putih itu menjadi
seperti kulit macan
loreng...!" Berkata Giri
Mayang seraya perdengarkan
suara tertawa mengikik dan
terpingkal-pingkal geli.
"Heh, mengapa tak kau bunuh
mampus saja
aku sekalian?" bentak Roro.
Ternyata totokan pada
urat suaranya telah dibuka oleh
Giri Mayang. Mak-
sudnya memang dia ingin
mendengar suara Roro yang
menjerit-jerit ketika menjalani
siksaan darinya.
"Hihih... hihi... aku
memang mau membunuh
mu Pendekar Perkasa! Akan tetapi
secara pelahan-
lahan. Biar kau rasakan enaknya
menjalani kematian
dengan caraku ini...!"
sahut Giri Mayang dengan terse-
nyum dingin. Selesai berkata
Giri Mayang beranjak
menghampiri tungku. Bara api
menyala di dalamnya
Dan tampak beberapa batang besi
telah terbakar me-
rah membara. Giri Mayang meraih
sebatang besi yang
sudah membara ujungnya itu.
Lalu beranjak mendekati Roro
Centil.
"Ck, ck, ck.... sayang,
tubuh mulus mu itu
akan menjadi buruk, Roro Centil.
Bersiap-siaplah un-
tuk menahan rasa sakit...!"
Berkata Giri Mayang den-
gan suara dingin. Membeliak
sepasang mata Roro Cen-
til. Baru sekali inilah dia kena
dikerjai orang. Bahkan
justru berhadapan dengan wanita
sadis yang memben-
cinya setengah mati. Tak dapat
dibayangkan Roro bak-
al menjalani siksaan yang tidak
ringan.
Sepasang mata Giri Mayang
menjalari sekujur
tubuh Roro. Dan... besi panjang
bergagang kayu yang
ujungnya merah membara itu sudah
bergerak mende-
kati tubuh Roro. Beberapa detik
lagi Giri Mayang akan
mendengar suara jerit kesakitan
dari tubuh Roro Cen-
til. Akan tetapi tiba-tiba....
"Tunggu...!" Terdengar
suara teriakan yang me-
nahannya. Besi panas itu sudah
tinggal beberapa inci
lagi dari kulit tubuh Roro.
Terpaksa Giri Mayang hen-
tikan gerakannya, untuk segera
berpaling ke arah sua-
ra barusan. Tampak sesosok tubuh
berkelebat masuk
ke dalam ruangan.
"Weiaaaah, sabar dulu sobat
Kelabang Kuning!
welaah, welaaah, sayangnya kalau
kulit yang putih
mulus itu kau bikin
cacad...!" Berkata sosok tubuh itu
yang ternyata adalah seorang
laki-laki yang sikapnya
amat genit. laki-laki ini
berusia sekitar 40 tahun. Ber-
tubuh jangkung, dan berbaju
gombrong hingga mirip
orang kedodoran. Wajahnya tampak
lucu, tanpa kumis
dan jenggot. Sebelah telinganya
memakai anting-anting
besar. Melihat kemunculan
laki-laki aneh ini tampak
Giri Mayang disamping terkejut,
juga mendongkol se-
kali. Laki-laki yang sikapnya
genit ini adalah adik tiri
ayahnya yang sudah tewas.
Bernama PORAK SUPIH.
Porak Supih inilah yang
memperkenalkan dirinya den-
gan si nenek mata juling, yang
cuma memberi waktu
dua hari padanya untuk segera
membunuh Roro.
Bahkan Girl Mayang telah pula
mengangkat si
nenek mata juling itu sebagai
gurunya. Giri Mayang
memang belum menerima tambahan
ilmu, akan tetapi
nenek yang mempunyai
"piaraan" tujuh makhluk ker-
dil (siluman) itu telah beberapa
kali membantunya.
Walaupun si nenek mata juling
itu sendiri belum resmi
mengangkat Giri Mayang menjadi
muridnya. Hubun-
gan apakah si nenek mata juling
dengan Porak Supih?
Tak lain dan tak bukan wanita
tua renta mata juling
itu adalah ibunya sendiri.
"Mau apa kau muncul disini,
paman Porak Su-
pih. Sekali ini kuminta kau tak
mencampuri urusanku!
Segera keluarlah...! aku tak mau
kau mengganggu aca-
ra ku!" Berkata Giri Mayang
dengan suara tegas dan
hati mangkel. Akan tetapi Porak
Supih malah cengar-
cengir dan garuk kepala yang
tidak gatal. pasang ma-
tanya menjalari sekujur tubuh
Roro dengan membinar
binal. Seraya ujarnya.
"Welaaah...! Kelabang
Kuning! sombong kali
kau ini, bah...! Berilah aku
kesempatan untuk masya
dulu dengannya, alangkah
menyesalnya kalau kesem-
patan yang langka ini
tersia-sia! Kudengar wanita yang
kau tawan ini adalah seorang
Pendekar Wanita kena-
maan. Ooh... alangkah
sayangnya... Welaah, welaah!
aku tidak mau pergi!"
Berkata Porak Supih yang telah
semakin kurang ajar menatap Roro
yang dalam kea-
daan tanpa penutup aurat tubuh.
Perbuatan Giri
Mayang memang sudah sangat
keterlaluan. Dan diam-
diam apa yang telah diperlakukan
Giri Mayang ini te-
lah dicatat direlung hati Roro.
Di ukir dibenak tanpa
bisa dihapus lagi.
Mendengar jawaban kata-kata
Porak Supih, Gi-
ri Mayang semakin mendongkol.
Akan tetapi mengingat
laki-laki ini masih ada hubungan
famili dengan ayah-
nya, Giri Mayang jadi serba
salah kalau harus lakukan
kekerasan untuk mengusirnya. Apa
lagi Porak Supih
sudah banyak menanam jasa
padanya. Dan.. kali ini
Giri Mayang memohon dengan
halus.
"Paman Porak Supih...! si
Roro Centil ini adalah
musuh besar yang telah membunuh
ayahku. Biarlah
aku memberinya siksaan pedih.
Aku akan membuat-
nya mati secara perlahan-lahan.
Bahkan dia juga mu-
suh nenek NORI...!" Ujar
Giri Mayang dengan suara
datar. Nenek Nori yang dimaksud
adalah si nenek ma-
ta juling.
Akan tetapi membersit perasaan
mengiri dan
cemburu, ketika melihat sepasang
mata Porak Supih
sejak tadi tak berkejap-kejap
merayapi kemulusan tu-
buh Roro ke setiap lekuk liku
dengan pandangan mata
membinar. Bahkan kata-kata Giri
Mayang seperti tak
didengarnya.
"Heh... heh... walau
bagaimana tak kuperke-
nankan kau menyiksanya! Aku
sudah benar-benar ja-
tuh hati padanya... dan...
aku... aku sudah tak kuat
untuk menahan lagi!"
Berkata Porak Supih seraya be-
ranjak melangkah mendekati tubuh
Roro yang meng-
gantung tak mau bergerak.
Akan tetapi tiba-tiba...
"Tunggu...! tak
kuperkenankan pula kau me-
nyentuhnya, kecuali..."
Bentak Giri Mayang. Besi pa-
nas yang merah membara itu telah
meluncur, mena-
han langkah tindakan kaki
Porak Supih. Dan... besi
panas itu cuma tinggal berjarak
setengah jengkal dari
leher Porak Supih. Terpaksa
laki-laki ini hentikan
langkahnya. Kedipan mata wanita
itu membuat Porak
Supih mengerti. Segera saja dia
tertawa bergelak dan
berkata.
"Beres...! untuk jasamu ini
aku pasti akan
membalas dengan yang lebih
baik...!"
"Nah, beri aku lewat...!
kelak kalau sudah hi-
lang penasaran ku, baru ku persilahkan kalau kau
mau menyiksanya atau mencabut
nyawanya...!" Lan-
jutnya dengan gerakan lengan
menepiskan besi panas.
Aneh! serangkum hawa dingin
telah menyambar besi
panas membara itu, dan...
CHESSSSS...! Terdengar
bunyi seperti bara disiram air.
Ujung besi panas yang
merah membara itu seketika
kembali menghitam kepu-
tih-putihan, serta menimbulkan
asap tipis akibat pa-
damnya ujung besi membara itu.
Dan... sekali lompat dia sudah
berada di hada-
pan Roro. Sepasang lengannya
bergerak untuk mende-
kap tubuh Roro Centil, dengan
nafsu yang sudah
menggelagak tak terbendung
lagi.....
DHESS...! BRRAAKKK...!
Terdengar suara jeritan parau disertai terlem-
parnya tubuh Porak Supih yang
membentur dinding
ruangan rumah, menimbulkan
bergedubrakan. Dua
tiang penyangga tempat
menggantung tubuh Roro ta-
hu-tahu telah patah berubah
menjadi beberapa po-
tong. Dan tambang yang mengikat
Roro telah putus.
Bahkan Roro Centil sendiri sudah
tak ada disana.
Apakah yang terjadi?
WHUUKK...! tahu-tahu serangkum
angin telah
menyambar tubuh Giri Mayang yang
terpukau dengan
mata membelalak. Wanita itu
terdengar teriakan terta-
han, seraya jatuhkan diri
bergulingan.
PRRASS...! Tanah di tengah
ruangan itu me-
nyemburat berlubang. Tubuh Giri
Mayang berguling-
guling menghindari serangan
dahsyat yang tak diketa-
hui siapa penyerangnya.
Sambaran-sambaran angin
dahsyat yang bisa membuat
tubuhnya hancur luluh
itu mengejar tubuhnya tiada
henti.
BRRRAAKKK...! Dengan satu
teriakan keras,
Giri Mayang berhasil menerobos
keluar ruangan den-
gan melompat ke atas menjebol
atap genting. Beberapa
kejap kemudian wanita itu sudah
jejakkan kaki di luar
rumah. Terengah-engah nafas Giri
Mayang. Wajahnya
pucat bagai kertas. Jantungnya
berdebaran. Akan te-
tapi baru saja dia bernafas
lega, lagi-lagi angin keras
menyambar dahsyat...
BHLAARRR...! Batu-batu
beterbangan hancur.
Dan untuk yang kesekian kalinya
wanita ini berhasil
menyelamatkan diri dari maut
dengan melompat tinggi
mencelat pergi dari tanah yang
dipijaknya. Jantungnya
terasa copot, ketika dia
jejakkan lagi kakinya di tanah,
sebuah bayangan tubuh telah
berkelebat... dan sekejap
telah berdiri di hadapannya.
"Hah...!???... kka...
kau... (glek...!) Giri Mayang
menelan ludah. Terasa kelu
tenggorokannya untuk
berteriak kaget. Ternyata
bagaikan area telanjang yang
mengerikan sesosok tubuh telah
berdiri di hadapan-
nya. Siapa lagi kalau bukan Roro
Centil. Yang mem-
buat jantung Giri Mayang
menyentak kerai adalah di
lengan dara ini telah tercekal
sebuah kepala manusia
yang dijambak rambutnya.
Potongan kepala manusia
itu tak lain dari kepala Porak
Supih. Dara menetes tu-
run memercik di atas batu yang
di injaknya. Dan selu-
ruh Rambut Roro Centil berdiri
menegang ke atas ba-
gaikan duri-duri landak.
Sepasang matanya meman-
carkan hawa pembunuhan yang
membuat nyali Giri
Mayang seketika seperti meleleh.
Keringat dingin men-
gembun dan menetes dari sekujur
tubuhnya. Seolah-
olah dia tidak melihat manusia
lagi, akan tetapi seperti
melihat malaikat maut yang
berdiri di hadapannya.
"Alih.... am... ampuni
nya.. nyawaku.. nona...
nona Pendekar.... Berkata Giri
Mayang dengar suara
gemetar. Akan tetapi sebelah
lengan Roro Centil malah
terangkat ke arahnya. Tersentak
Jantung wanita ini.
Sebelum sesuatu yang mengerikan
terjadi, Giri Mayang
telah genjot tubuhnya untuk
kabur...
Cepat sekali Giri Mayang angkat
langkah seribu
menyelamatkan jiwanya. Nyalinya
sudah hilang lenyap
untuk menghadapi Roro Centil
yang sudah berubah
mengerikan. Ternyata Roro Centil
batalkan menghan-
tam wanita itu dengan pukulan
dahsyatnya. Lengar
bergerak menjumput sebutir batu.
Sekali remas han-
curlah batu itu jadi beberapa
kerikil kecil. Dan...
WHUURR...! Segenggam kerikil itu
sudah me-
luncur deras mengejar tubuh Giri
Mayang yang ber-
lompatan melarikan diri.
Terdengar suara menjerit wa-
nita itu. Tubuhnya menggelinding
jatuh. Akan tetapi
segera bangkit lagi dengan tubuh
luka-luka. Beberapa
butir kerikil telah membenam di
anggota tubuhnya.
Dan Giri Mayang terus berlari
jatuh bangun. Hingga
beberapa saat kemudian sudah
lenyap dibalik batu
tebing.....
Ternyata Roro Centil tidak
mengejar. Melainkan
berkelebat kembali menuju ke
rumah pandai besi,
tempat tinggal sementara Giri
Mayang alias si Kela-
bang Kuning itu. WHUUUSS...! Dia
telah lemparkan
kepala Porak Supih ke arah
sungai di belakang si pan-
dai besi. Lalu berkelebat masuk
kembali ke dalam ru-
mah. Apakah sebenarnya yang
telah terjadi, hingga Ro-
ro dapat terlepas dari belenggu
dan pengaruh totokan
pada tubuhnya?
Kiranya diam-diam Roro Centil
telah berhasil
melepaskan diri dari pengaruh
totokan. Hawa murni
yang dikumpulkan di pusar
berhasil menyebar untuk
membuka totokan. Roro Centil
memang mempunyai
tenaga dalam tinggi yang sudah
jarang tandingannya.
Pengaruh totokan si nenek mata
juling sebenarnya te-
lah sirna karena Roro terus menerus
kerahkan tenaga
dalam untuk mengalirkan hawa
murni ke sekujur tu-
buhnya. Akan tetapi Roro Centil
memang belum mam-
pu bertindak, karena untuk
mengembalikan kenorma-
lan aliran darah memakan waktu
beberapa saat lagi.
Tak dinyana Giri Mayang telah
menambahnya
dengan totokan lagi, memperkuat
totokan si nenek ma-
ta juling. Bahkan lalu membuka
pakaiannya. Selanjut-
nya telah mengikat kedua
lengannya. Lalu menggan-
tung tubuhnya pada dua tiang
penyangga balok. Pada
saat besi panas membara itu
sudah siap menggores
kulit tubuh, sebenarnya Roro
sudah terlepas dari pen-
garuh totokan Giri Mayang yang
berhasil tembus oleh
hawa murni dari dalam tubuh
Roro.
Demikianlah, hingga kemudian
muncul Porak
Supih...
Ketika Porak Supih rentangkan
tangannya un-
tuk memeluk tubuh Roro, si
Pendekar Wanita Pantai
Selatan ini langsung hantamkan
kakinya hingga tubuh
Porak Supih terlempar dengan
tulang-tulang bagian
dalam tubuhnya remuk. Lalu
memutuskan tali dan
menghantam kedua penyangga itu
hingga patah men-
jadi beberapa potong.
Selanjutnya menerjang Giri
Mayang, yang ternyata masih
mampu menyelamatkan
diri.
Ketika Giri Mayang menjebol atap
wuwungan,
Porak Supih ternyata masih bisa
lakukan serangan
bokongan dengan hamburan ratusan
jarum beracun!
Untunglah Roro Centil punya
naluri yang teramat pe-
ka. Sambaran halus dari
serangkuman senjata rahasia
itu berhasil dipunahkan dengan
kibasan rambutnya.
Selanjutnya dengan geram, Roro
Centil balik-
kan tubuh... Dan apakah yang di
lakukannya? Ternya-
ta sekali lengannya bergerak,
Roro telah puntirkan ke-
pala orang dengan menjambak
rambutnya. Sekali sen-
takkan, putuslah kepala itu dari
tubuhnya. Selanjut-
nya melesat mengejar Giri
Mayang. Dan kembali
menghantam wanita itu dengan
pukulan-pukulan
maut. Namun berakhir dengan
mengalahnya Roro Cen-
til, karena Roro memegang janji.
Hingga loloslah Giri
Mayang dari maut......
Ketika Matahari merayap naik
hampir tepat di
atas kepala, Roro Centil sudah
tinggalkan lereng bukit
yang telah membawa peristiwa
maut. Terdengar suara
helaan napas si Pendekar Wanita
Pantai Selatan. Per-
bagai peristiwa telah banyak
dialami. Akan tetapi pen-
galaman barusan telah membuka
matanya betapa ba-
nyaknya manusia licik di kolong
jagat ini. Juga manu-
sia-manusia berakhlak bejat yang
mengumbar nafsu
seenaknya. Porak Supih ternyata
sudah dikenali Roro
Centil, ketika dalam salah satu
pengembaraanya men-
dengar akan kebrutalan laki-laki
aneh beranting-
anting sebelah itu. Entah berapa
banyak suami dari
wanita-wanita yang diingini
telah dibunuh. Dan mem-
perkosa mereka. Bahkan tidak
jarang wanita yang su-
dah hamil akibat perbuatannya
itu dibunuhnya pula.
Roro pernah mengejar Porak Supih
untuk menangkap-
nya dan menyerahkannya pada
seorang Tumenggung
di salah satu wilayah Kerajaan
kecil dipesisir laut Pu-
lau Jawa di wilayah selat Sunda. Akan tetapi
Porak
Supih berhasil meloloskan diri.
Hingga ketika men-
jumpai Porak Supih muncul di hadapannya, Roro tak
memberinya kesempatan untuk
hidup lagi.
Dengan perdengarkan suara
tertawa tawar, Ro-
ro Centil berkelebat menuju ke
arah barat.......
—~oOo~—~
Emoticon