Pendekar Sakti Gento Guyon 04 - Bayar Nyawa


Dua sosok berpakaian serba kuning berlari cepat menuju sebuah pondok tersembunyi di puncak Gunung Wilis. Saat itu hujan lebat mengguyur puncak gunung, kabut tebal memutih menutupi pemandangan sedangkan suara angin menderu-deru mengiriskan. Beberapa kejap kemudian dua sosok tubuh yang berlari cepat di tengah derasnya hujan segera hentikan langkah. Mereka kini berdiri tegak di depan pintu pondok. Ternyata mereka adalah dua orang pemuda yang memiliki kemiripan wajah satu sama lain.

Beberapa saat lamanya mereka tegak di situ dengan pakaian basah kuyup. Ada rasa curiga terpancar lewat tatapan mata mereka ketika melihat pintu pondok yang terbuka.

"Apakah kau melupakan tugasmu mengunci pintu ketika hendak berangkat ke Wonogiri adik Ragil Pandara?" bertanya saudara tua yang bernama Barep Pandara sambil memperhatikan pemuda di sebelahnya.

"Tidak. Aku telah mengunci semua pintu. Lampu bagian dalam juga kupadam- kan. Karena aku tahu Raden Tua tak membutuhkan penerangan!" sahut Ragil Pandara.

Kedua pemuda bersaudara kembar yang mengabdikan diri pada majikannya selama belasan tahun itu saling pandang. "Ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi. Mari kita lihat...!!" sergah Barep Pandara dengan perasaan kecut dan hati diliputi kegelisahan.

Tanpa perduli dengan tubuh dan pakaian mereka yang basah kuyup. Kedua bersaudara kembar ini melangkah masuk, pintu dibuka lebar, namun mereka tak dapat melihat apapun karena suasana dalam ruangan dalam keadaan gelap gulita.

"Nyalakan pelita!" seru Barep Pandara ditujukan pada adiknya. Sementara sang adik sibuk mencari lampu yang tergantung di dinding, maka Barep Pandara mulai berteriak. "Raden Tua... kami datang. Raden... kami baru pulang dari Wonogiri!"

Tak terdengar suara jawaban. Gema suara si pemuda lenyap ditelan gemuruhnya hujan yang makin menggila. Sedangkan disaat itu pelita yang diambil Ragil Pandara baru saja menyala menerangi sebagian ruangan.

"Celaka! Ruangan ini dalam keadaan berantakan. Siapa yang melakukan semua ini?!" desis Ragil Pandara begitu melihat hampir semua perabotan yang terdapat di seluruh ruangan nampak berhamburan memenuhi lantai tanah pondok yang tidak seberapa luas, tak kurang beberapa jenis kitab yang di dalamnya terkandung pelajaran ilmu silat, ilmu pengobatan dan juga kitab-kitab sastra bergeletakan di atas lantai.

"Cari Raden Tua. Mari cepat kita cari!" perintah Barep Pandara kepada adiknya. Kedua pemuda itu akhirnya meneliti ke seluruh ruangan dalam. Sampai kemudian Ragil Pandara memekik kaget.

"Gusti Allah apa dosa orang tua

ini?"

"Adik apa yang kau temukan?" tanya

Barep Pandara yang berada di sudut ruangan yang lain. Dia cepat berpaling, memandang ke arah adik kembarnya. Barep Pandara melihat sang adik berdiri tegak dengan wajah pucat mata terbelalak dan mulut ternganga. Sekali pemuda ini berkelebat dia sampai di samping adiknya. Ketika dia ikut melihat ke arah mana adiknya memandang, Barep Pandara tanpa sadar sampai bersurut dua tindak ke belakang. Di depannya pemuda itu melihat satu sosok tubuh yang mempunyai cacat di bagian kedua kaki dan kedua tangan, dalam keadaan tergeletak kaku berlumuran darah. Bagian leher nampak menganga seperti digorok senjata tajam, sedangkan tulang dada berpatahan mencuat keluar. Di bagian lebih ke bawah lagi ternyata perut orang tua berambut putih yang mereka panggil 'Raden Tua' robek besar. Bagian isi perut berbusaian. Melihat luka yang terdapat di bagian leher, dada serta perut nampaknya masing-masing luka itu bukan disebabkan oleh satu senjata yang sama. Dalam perhitungan Barep Pandara sedikitnya ada dua orang yang telah datang membantai Raden Tua. Melihat semua apa yang telah terjadi baik Barep Pandara dan adiknya segera melakukan pemeriksaan. Mula-mula si mayat yang mereka teliti, karena tak menemukan apapun. Maka Ragil Pandara segera meneliti ke sekeliling di mana mayat itu ditemukan.

"Siapapun yang telah membunuhnya, aku yakin pembunuh itu belum jauh dari sini!" desis Barep Pandara dengan suara tersendat tak kuasa menahan rasa sedih dan haru.

"Kakang betul. Selain itu apa jawaban kita nanti jika putra dan putri Raden Tua menanyakan perihal kematian ayahnya?" ujar Ragil Pandara menimpali.

Dua abdi bersaudara kembar ini saling diam. Barep Pandara segera teringat kepergian mereka ke Wonogiri semata-mata karena mendapat kabar bahwa putra Raden Tua yang bernama Danang Pattira sedang menderita sakit keras. Raden Tua kemudian mengutus mereka untuk menyambangi putra tertua itu. Mereka kemudian pergi ke Wonogiri, tapi ketika mereka sampai di tempat kediaman Danang Pattira, putra bekas hartawan paling kaya di Wonogiri ini, kedua abdi kepercayaan ini jadi terkejut.

Danang Pattira ternyata dalam keadaan segar bugar tak kekurangan suatu apa. Malah ketika dia sampai di pendopo luar, Barep Pandara dan adiknya melihat Danang Pattira sedang berlatih diri menerapkan jurus-jurus ilmu silatnya yang handal itu. Sang putra sulung nampak kaget melihat kehadiran mereka. Setelah mendapat penjelasan dari kedua abdi itu maka Danang Pattira segera menyuruh Barep Pandara dan adiknya kembali ke gunung Wilis.

"Kakang ke marilah! Aku menemukan sesuatu!" seru Ragil Pandara. Sang kakak tersentak kaget dan lamunannya pun buyar seketika. Cepat sekali dia menghampiri adiknya yang berdiri tegak di bagian pintu belakang. Apa yang dilihat adiknya ternyata bukan lain adalah sebuah benda terbuat dari bahan perak berbentuk kupu- kupu yang menempel di dinding.

"Kupu Kupu Perak?" desis Barep Pandara begitu mengenali benda yang tergantung di bagian papan pintu. "Aku tak tahu benda ini milik siapa. Tapi aku merasa yakin benda ini pasti ada hubungannya dengan pembunuh Raden Tua."

"Apa yang dicarinya? Mengapa dia begitu tega membunuh orang tua papa yang tidak punya kekuatan apa-apa dengan cara begini keji?" tanya Ragil Pandara heran.

Barep Pandara berpikir sejenak. Dia ingat betul, Raden Ponco Sugiri atau yang sering mereka panggil dengan sebutan 'Raden Tua' orangnya sangat baik dan dermawan. Selain itu dia juga tak mempunyai seorang musuh pun. Raden Tua memiliki kekayaan melimpah ruah. Hampir seluruh tanah di daerah Imogiri konon dulunya adalah milik Raden Tua. Tak mengherankan bila dia adalah seorang bangsawan yang paling kaya. Bahkan harta bendanya sebagian tersimpan di suatu tempat yang dirahasiakan, sehingga bukan orang luar yang menginginkan harta itu saja yang tak tahu keberadaan harta itu, sebaliknya putranya sendiri bahkan tak mengetahuinya.

"Kita tak menemukan petunjuk selain kupu-kupu perak ini. Kurasa ada baiknya jika kita kuburkan mayat Raden Tua, setelah itu baru membawa kupu-kupu perak ini untuk ditunjukkan pada seluruh putra putri almarhum," pada akhirnya Ragil Pandara mengajukan pendapatnya.

"Kalau sudah ketemu, sebaiknya kau ambil kupu-kupu perak itu. Aku sendiri akan mengurus mayat Raden Tua. Nanti jika hujan mereda, kita secara bersama-sama menggali sebuah kubur. Besok pagi kurasa kita sudah bisa berangkat kembali ke Imogiri untuk menjumpai Raden Danang Pattira!" Ragil Pandara anggukkan kepala.

Dia kemudian meraih kupu-kupu perak yang bagian kakinya menancap di papan pintu. Begitu kupu-kupu perak berada dalam genggaman tangannya si pemuda memperhatikan hiasan yang terbuat dari bahan perak tersebut. Ada sesuatu yang dirasakannya aneh begitu dia menyentuh bagian perut kupu-kupu ini. Bagian perut kupu-kupu diusap beberapa kali. Mendadak si pemuda merasakan adanya suatu getaran yang sangat aneh menjalari tubuhnya.

"Gila... mengapa tanganku jadi terasa panas begini? Akh...!" teriak Ragil Pandara sambil mengibaskan tangan- nya yang memegang benda aneh itu. Tapi apa yang terjadi sungguh sulit dipercaya karena ternyata kupu-kupu perak itu tetap melekat di telapak tangannya. "Kakang Barep tolong...!" satu jeritan menyayat terlontar dari mulut si pemuda. Bersamaan dengan itu pula telapak tangan sampai pergelangan pemuda itu langsung melepuh, menggembung besar. Semakin lama semakin bertambah besar sampai akhirnya menge- luarkan suara letupan keras. Daging dan darah berhamburan ke seluruh penjuru arah.

"Adik Ragil Pandara... kau... apa yang terjadi!" seru Barep Pandara sambil melompat menghampiri adiknya. Ragil Pandara tampak terhuyung limbung, sementara matanya mendelik sambil memegangi tangannya yang hancur dengan tangan lain yang masih utuh. Barep Pandara mencoba merangkul adiknya agar jangan sampai jatuh. Tapi pada saat itu pula terdengar seruan keras sang adik.

"Akh... jangan... jangan kau sentuh tubuhku! Cepat menjauh...!" teriak Ragil Pandara yang kiranya sudah mengetahui bahwa kupu-kupu perak yang dipegangnya tadi bukan saja sangat beracun, tapi juga dikendalikan oleh satu kekuatan yang tidak terlihat.

"Adik kenapa?" seru sang kakak yang terpaksa urungkan niatnya tapi tetap tertegak di tempatnya.

Ragil Pandara tak sanggup lagi memberi jawaban karena pada saat itu juga kupu-kupu perak yang jatuh dari genggaman tangannya tadi kini nampak melayang, terbang berputar-putar di udara sebanyak tiga kali mengelilingi Barep Pandara. Kepakan sayapnya yang cepat menimbulkan suara mendengung yang bila didengar dengan seksama tidak ubahnya seperti suara orang yang melontarkan suara makian yang datang dari satu tempat yang sangat jauh.

"Siapapun yang merasa dirinya dekat dengan Raden Ponco Sugiri, maka mulai saat ini hidupnya pasti tak akan bertahan lama!" kata satu suara yang terdengar di antara suara dengung kepakan kupu-kupu perak. Suara aneh itu mendadak lenyap, Barep Pandara merasa kaget bukan main. Belum juga rasa kejutnya lenyap, kupu- kupu perak tadi mendadak menukik dan kini hinggap di bagian dada Ragil Pandara. Sekujur tubuh pemuda yang telah hancur bagian tangannya itu bergetar hebat. Dia jatuh tersungkur. Sang kupu-kupu perak nampaknya sedang mengerahkan racun dan kekuatan aneh yang terkandung di dalam tubuhnya. Tidak tega melihat segala penderitaan yang dialami oleh Ragil Pandara, maka Bara Pandara menghambur bermaksud meremas hancur kupu-kupu perak yang menempel erat di dada adiknya. Dalam keadaan setengah sadar di mana tubuhnya sendiri mulai bengkak menggembung di sana-sini, Ragil Pandara sempat melihat langkah nekad yang hendak diambil saudara tuanya. Diapun melepaskan pukulan sambil berteriak. "Sudah kukatakan, jangan sentuh tubuhku. Cepat pergi tinggalkan tempat ini! Kabarkan tentang semua yang terjadi di sini pada seluruh keluarga Raden Tua!" Seiring dengan terdengarnya suara teriakan sang adik, detik itu pula segulung angin keras menderu dan melabrak Barep Pandara hingga membuat tubuh si pemuda yang tak menyangka mendapat serangan jadi terpental. Dia jatuh terhempas melabrak pintu depan. Pada saat Barep Pandara hendak bangkit berdiri, detik itu pula sekujur tubuh Ragil Pandara yang telah menggembung bengkak secara aneh langsung meledak di sana- sini. Daging halus seperti dicacah, potongan tulang, kepala dan darah bermentalan ke berbagai sudut ruangan.

"Adikku... huk... huk... huk...!" seru Barep Pandara dengan mata terbelalak lebar dan tubuh menggigil melihat semua keganjilan yang terjadi. Dia ingin sekali mendekati kepingan tubuh adiknya. Tapi pada saat itu pula dari kepingan daging serta darah yang berserakan di lantai tanah dia melihat mahluk-mahluk putih beterbangan. Mahluk kecil yang beterbangan itu ternyata bukan lain adalah kupu-kupu perak.

"Celaka! Bagaimana binatang keparat itu dapat berkembang biak hanya dalam waktu yang singkat?!" desis si pemuda. Dia pun tak dapat berpikir lebih jauh tentang segala perubahan sekaligus keanehan yang terjadi di depan matanya karena saat itu dia melihat puluhan kupu- kupu perak yang beterbangan di atas kepingan mayat adiknya seperti mendapat perintah langsung menyerbu ke arahnya.

"Adik... adik... maafkan aku! Aku terpaksa meninggalkan dirimu dan Raden Tua berdua di sini." ujar Barep Pandara dengan perasaan pilu dan rasa bingung yang tiada terkira.

Laksana kilat Barep Pandara bergulingan ke arah pintu. Pintu cepat dibuka, dia lalu menyelinap keluar. Setelah menutupkan pintu itu kembali. Dia pun lari menghambur menuruni puncak gunung Wilis. Saat itu hujan sudah mulai reda, namun kabut tebal masih menyelimuti puncak Wilis sampai ke bagian lerengnya. Barep Pandara sama sekali tak mempedulikan semua itu. Dia terus saja berlari sampai akhirnya sosok si pemuda lenyap ditelan kepekatan kabut yang menyelimuti suasana di sekeliling puncak gunung itu.

Sementara di dalam pondok di mana mayat Raden Tua dan kepingan mayat Ragil Pandara berada, puluhan kupu-kupu perak yang berkembang biak secara aneh itu nampak berusaha menerobos keluar. Kawanan kupu-kupu aneh ini bahkan menyerbu pintu sambil semburkan cairan biru dari balik mulutnya. Setiap semburan membuat papan pintu seperti hangus nyaris menimbulkan lubang besar, namun pada saat itu pula terdengar suara seseorang yang seakan diucapkan dari sebuah tempat yang teramat jauh.

"Jangan dikejar! Apapun yang hendak dilakukannya dia tidak begitu berarti bagiku. Sekarang sebaiknya kau bawa teman-temanmu pulang, datang ke tempatku. Hidangan yang nikmat telah kusediakan untuk kalian. Ha... ha... ha!” kata suara itu. Puluhan kupu-kupu terbang mening- galkan pintu, terbang berputar di langit- langit rumah. Plaash! Puluhan kupu-kupu perak ini akhirnya lenyap menjadi setitik kabut yang tak meninggalkan bekas sama sekali.

2

DI tepi muara sungai Lanang yang menghadap langsung ke laut Kidul hampir setiap hari selalu terdengar suara orang melantunkan senandung yang meratapi nasib dan membuat haru bagi orang yang mendengarkannya. Di muara sungai yang banyak ditumbuhi pohon-pohon bakau banyak dihuni oleh kawanan kelelawar. Tak heran bila hampir setiap menjelang pagi atau setelah matahari terbenam, daerah itu selalu diwarnai oleh suara hiruk pikuk kelelawar.

Siang itu terik matahari terasa menggarang batok kepala. Deburan ombak di pantai laut kidul terdengar sayup-sayup di kejauhan. Tak jauh dari muara sungai seorang kakek tua berbadan gemuk besar luar biasa berwajah bulat berkening lebar duduk seenaknya di atas cabang pohon cepluk yang sedang berbuah lebat. Sambil duduk mulutnya terus mengunyah, sesekali terdengar pula suara menyiplak disertai seringai pertanda buah cepluk yang dimakannya walau berwarna merah, segar namun asam bukan main. Melihat besarnya badan si kakek dengan berat lebih dari dua ratus kati, seharusnya cabang pohon itu sudah patah sejak tadi. Tapi ternyata tidak, cabang pohon yang sekecil itu jangankan patah, bergoyangpun tidak. Ini merupakan pertanda bahwa si kakek gendut besar memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat luar biasa.

"Kau tak suka buah cepluk ini, Gege?" berucap si kakek yang bukan lain adalah Gentong Ketawa.

Pemuda yang duduk di cabang pohon di atas si kakek menyeringai. Sama seperti si kakek sikapnya acuh tak acuh. Sekali dia melirik ke bawah di mana Gentong Ketawa duduk sambil menikmati buah cepluk, setelah itu dia kembali memandang ke hamparan laut yang membiru di depannya.

"Aku tidak akan heran kau mengatakan buah itu manis. Orang sepertimu apa saja dicaplok, karena pada dasarnya kau memang manusia rakus. Ha... ha... ha!" sahut si pemuda disertai tawa tergelak-gelak.

Di cabang pohon bawah Gentong Ketawa ikutan tertawa, perut gendutnya bergoyang-goyang. Sambil tertawa dengan gerakan secepat kilat tangannya berkelebat ke atas. Wuuut! Satu buah cepluk melesat laksana kilat ke mulut si pemuda yang bukan lain adalah Gento Guyon. Terdengar suara orang seperti tersedak makanan. Tawa si pemuda lenyap, matanya mendelik sedangkan tangan kanan kini sibuk memijit-mijit bagian tenggorokannya. Melihat muridnya tidak ubahnya seperti ayam tertelan karet, tawa si kakek semakin bertambah keras hingga pohon cepluk yang didudukinya ikut pula terguncang keras.

"Ha... ha... ha! Dasar serakah, pura-pura malu padahal mau. Kalau mau makan harus dikunyah dulu, jangan langsung ditelan. Sekarang kau jadi kelolodan, tersedak. Bocah goblok....

Ha... ha... ha...!" kata si kakek sambil memegangi perutnya

Di cabang pohon atas Gento Guyon dengan muka merah dan mata berair terpaksa pukul bagian belakang lehernya sendiri, hingga buah cepluk meloncat keluar dari dalam tenggorokannya. Dengan perasaan kesal dia sambar buah cepluk yang masih hijau.

Wuut!

Belasan buah yang masih muda berhamburan melesat ke arah si kakek yang sedang tertawa. Tiga di antara buah itu masuk ke dalam mulutnya. Dua lagi menghantam kening si kakek yang lebar, satu menyentil tenggorokan dan yang lainnya jatuh di atas perut Gentong Ketawa. Buah yang masuk ke dalam mulut langsung tertelan, amblas ke dalam perut akibat sentilan buah di bagian leher. Sedangkan kening kakek Gentong Ketawa nampak benjol di tiga bagian berbentuk segitiga. Seakan tak percaya Gentong Ketawa mengusap keningnya. Tawa terhenti sedangkan mata mendelik besar.

"Guru, kau sedang mabok atau apa? Makan buah saja bisa ngawur begitu. Biasanya orang makan dimasukkan ke mulut, bukan dibenturkan ke jidat, leher atau perut. Rupanya kau tak puas memakan yang masak, hingga yang masih hijau pun guru telan. Dasar orang tua pikun. Ha... ha... ha!” kata Gento disertai tawa mengekeh.

Merasa kesal melihat ulah Gento yang konyol, si kakek sejenak jadi lupa kalau pemuda itu adalah muridnya sendiri. Enak saja tangan kanannya dihantamkan ke cabang pohon di atasnya. Seketika itu juga dari telapak tangan Gentong Ketawa menderu serangkum angin dingin yang langsung menghantam pohon di mana Gento berada. Cabang pohon rambas seperti dipulas angin ribut. Tapi sesaat sebelum itu Gento Guyon sudah melesat ke udara, berjumpalitan tiga kali, kemudian tubuhnya meluncur ke tempat semula. Tapi dia jadi terkejut begitu menyadari cabang pohon yang hendak ditujunya rambas gundul. Takut tubuhnya jatuh terhempas dari atas ketinggian, tanpa pikir panjang lagi dengan menggunakan sebagian tenaga luncuran dia berkelebat dan bergerak ke arah gurunya.

Bluk! Tanpa terduga oleh Gentong Ketawa gerakan terakhir yang dilakukan muridnya membuat pemuda itu dapat merangkul kedua bahu si kakek, hingga keadaannya seperti anak kecil yang digendong di bagian punggung.

"Bocah geblek! Apa-apaan kau...!" damprat Gentong Ketawa sambil mengibaskan bahunya agar tangan Gento terlepas.

"Ha... ha... ha. Asiiik... sudah digendong diayun lagi." kata si pemuda sambil tertawa-tawa.

"Kurang ajar. Kau benar-benar tak punya aturan sama sekali!" dengus si kakek. Kali ini dia menggerakkan tubuhnya lebih keras.

"Hei, cabang pohon ini bisa patah!" seru si pemuda.

"Biar, biar saja patah, nanti kita jatuh bersama-sama." dengus Gentong Ketawa cemberut.

Kraaak!

"Tuh kan, patah juga akhirnya!" celetuk si pemuda. Tubuh mereka pun akhirnya meluncur deras bersama patahan cabang pohon. Selagi kedua sosok tubuh ini meluncur deras ke bawah, murid dan guru masing-masing cari selamat. Sehingga mereka jatuh dengan kaki menjejak ke tanah.

"Murid sinting. Kau selalu membuatku kesal Gege!" teriak gurunya. Si pemuda tampan berambut gondrong ber- telanjang dada hendak menyahuti. Tapi mulutnya yang sudah membuka mendadak terkatup kembali karena pada saat yang bersamaan dari arah muara sungai Lanang terdengar suara sayup-sayup seseorang.

"Di muara sungai Lanang aku dibesarkan, di dalam bebas tidak bertuan. Di sini aku jauh dari bapak ibu moyangku. Aku berada di tengah suara cericit mahluk hitam kawanku. Tidurku berselimut dingin- nya malam. Aku makan dari belas kasihnya hewan. Tanah moyangku jauh dari impian. Tapi aku rindu ingin pulang ke haribaan ayah. Kadang rinduku ingin kembali dalam pelukan ibu. Sayang langkah terhalang oleh cacat celak laknat. Tuhan... oh Tuhan. Namamu selalu kuagungkan, namun mengapa nasib tak berpihak padaku? Kutahu ibuku telah berpulang. Tapi mengapa seorang ayah begitu tega mencampakkan daku dari kehidupannya? Ohh... malang sungguh malang. Aku ingin menangis. Huk... huk... huk!” Suara yang terdengar mendadak lenyap. Murid dan guru saling berpan- dangan. "Aneh...!" desis Gentong Ketawa. "Di tempat sesepi ini ternyata masih ada kehidupan juga. Entah buat siapa dia bicara. Tapi apa yang diucapkannya sungguh mengharukan menusuk kalbu."

"Mungkin itu suara jin laut, atau bisa jadi suara hantu penunggu muara. Sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini. Aku takut guru kesurupan dan ikutan bicara ngaco seperti suara yang kita dengar itu!" kata si pemuda. Gentong Ketawa gelengkan kepala.

"Tidak begitu Gege. Aku yakin yang bicara tadi adalah manusia. Pasti ada sesuatu yang membuat perasaannya tertekan dan hati tersiksa. Aku ingin tahu siapa dia adanya." tegas si kakek.

"Guru jangan nekad. Siapa tahu dia bermaksud menjebak kita," Gento Guyon tampak meragu. Gentong Ketawa keluarkan suara tawa bergelak. Dia berpikir sejenak lamanya. Menurut pendapat si kakek mustahil pemilik suara tadi menjebak mereka, karena ucapan orang itu nampaknya ditujukan pada dirinya sendiri.

"Aku harus ke sana!" pada akhirnya si kakek memutuskan.

"Guru...!" Gento berseru. Sejenak lamanya dia berdiri tegak dalam kebimbangan. Tapi setelah gurunya tak terlihat lagi dari pandangan mata, si pemuda lalu segera menyusulnya. "Dasar gendut keras kepala. Kalau sudah katanya tetap tak mau dibantah." rutuk si pemuda. Di muara sungai Lanang yang cukup dalam dan berair keruh begitu banyak ikan yang hidup di situ. Hampir setiap saat permukaan air berombak karena berbagai jenis ikan terus bermain menyambar apa

saja yang mengambang di atas air.

Di balik tikungan muara, di atas salah satu pohon bakau, sosok tubuh mendekam di situ. Sosok berpakaian hitam rombeng ini masih sangat muda. Wajahnya dipenuhi totol-totol hitam, mulutnya lancip seperti mulut kera, sedangkan hidung rata seperti hidung monyet. Di bagian leher si pemuda terdapat benjolan besar seperti gondok. Sedangkan punggung- nya bongkok, sehingga badan terkesan tertarik ke belakang. Selain cacat pada bagian wajah dan badan, ternyata tangan pemuda itu juga dalam keadaan cacat. Bagian tangan tidak tumbuh normal. Melainkan kecil seperti tangan bayi yang baru terlahir sedangkan panjangnya setengah dari panjang tangan orang dewasa. Walau kedua tangan cacat dan tidak berfungsi sama sekali. Tapi sosok pemuda yang memiliki banyak cacat itu memiliki dua kaki sempurna sebagaimana layaknya manusia lain. Ketika itu salah satu kaki si pemuda masuk ke dalam air. Hanya beberapa saat kaki terangkat ke atas.

Wuut! Pluk! Pluk!

Beberapa ekor ikan air payau berlesatan di udara. Si pemuda buka mulutnya lebar-lebar sambil menyendok.

Glek! Glek!

Ikan yang berhasil ditangkap dengan cara yang aneh ini dalam keadaan hidup langsung amblas ke dalam mulut si pemuda cacat. Di balik tonjolan akar pohon bakau si kakek yang melihat pemandangan ini mendadak merasa perutnya menjadi mual.

"Hoeek...hueek...!"

Buah cepluk berhamburan keluar dari mulut Gentong Ketawa. Gento yang baru saja sampai di tempat itu jadi kaget.

"Guru, kau kenapa? He... he... he. Aku tahu kau pasti terlalu banyak makan buah cepluk. Perutmu mulas, perutmu sakit. Rasakan sendiri...!" kata si pemuda. Karena masih muntah, Gentong Ketawa hanya dapat menunjuk-nunjuk ke arah mana tadi dia melihat pemuda aneh mengail ikan dengan kakinya.

Gento langsung memandang ke arah yang dimaksudkan gurunya. Tapi dia tidak melihat apapun di sana terkecuali puluhan kelelawar yang bergelantungan memenuhi cabang pohon.

"Cuma kelelawar, cuma bapak kampret buat apa ditakuti." sergah Gento.

"Kadal buntung, pentang matamu baik-baik. Kau lihat pemuda di atas pohon bakau itu?" sambil berkata si kakek layangkan pandangannya ke arah semula. Si orang tua jadi melengak kaget karena pemuda yang dilihatnya tadi ternyata lenyap dari pandangan mata, "Eeh, ke mana dia?" desis Gentong Ketawa heran.

"Ha... ha... ha. Sudah kukatakan buah yang kau makan sangat memabukkan. Sekarang semuanya terbukti bukan? Kau mabuk sungguhan!" kata si pemuda sambil cibirkan bibirnya.

"Aku tidak mabuk. Aku melihat pemuda cacat itu, dia memancing dengan kakinya. Memakan hasil kailan nya hidup- hidup. Sungguh aneh mengherankan." desis kakek itu sambil melempar pandang ke segenap penjuru sudut pohon.

"Nah ketahuan sudah, bicaramu ngaco kau mabuk berat guru." dengus Gento Guyon tetap tak percaya.

3

Mendengar ucapan muridnya si kakek terkesan tak perduli. Mata sipitnya terus saja jelalatan memandang ke arah mana tadi dia melihat pemuda bungkuk bermulut lancip, berhidung pesek, muka bertotol hitam. "Itu dia...!" berseru si kakek begitu melihat pemuda tadi julurkan kepala mengintip dari balik pohon. Seruan si kakek membuat si pemuda tarik wajahnya ke belakang, hingga ketika Gento meman- dang ke arah itu dia tak melihat apa-apa.

"Guru... kau sengaja hendak mempermainkan diriku?" gerutu si pemuda.

"Sialan, aku tak pernah mempermainkan dirimu, ngibul sedikit tak jadi apa. Tapi kali ini aku bicara serius. Kalau kau tak percaya cepat periksakan dari arah depan, biar aku dari arah belakang." berkata begitu tubuh tambun gemuk luar biasa segera berkelebat, lenyap di antara celah kerapatan pohon bakau.

"Hem, agaknya guru memang tidak main-main dengan ucapannya. Biarlah aku yang akan melihat dari arah depan sini," Gento Guyon akhirnya memutuskan. Pemuda ini kemudian melompati akar-akar bakau yang bersembulan di permukaan tanah. Belum lagi pemuda ini sampai di tempat gurunya melihat pemuda aneh tadi. Mendadak sontak terdengar suara pekikan aneh disertai dengan menderunya sinar hitam yang langsung menghantam Gento Guyon.

"Kampret. Belum sempat bertegur sapa malah disambut dengan pukulan maut begini rupa!" damprat si pemuda. Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya dia melesat ke salah satu cabang pohon yang terdapat di sebelahnya. Di belakangnya, di bawah sana terdengar suara ledakan berdentum. Beberapa pohon bakau bertum- bangan menimbulkan suara gemuruh hingga membuat kelelawar yang tinggal di situ beterbangan tak tentu arah. Sementara dari arah belakang di mana gurunya menyelidik juga terdengar suara orang mengumpat.

"Majikan pemilik muara, kami datang dengan membawa maksud baik. Jangan serang kami. Aih... tega juga kau memukul kakekmu ini!" pekik si kakek gendut. Sama seperti muridnya, laksana kilat dia langsung berlindung di balik kerapatan pohon cari selamat. Ledakan keras kembali terdengar beberapa pohon besar bertumbangan. Satu sosok tubuh berpakaian serba hitam berkelebat laksana kilat meninggalkan tempat persembunyiannya. Karena sosok aneh itu melesat melewati kepala Gento, maka pemuda ini mendongak ke atas. Dia tercengang dengan mata terbelalak. Walau sekilas namun dia sempat melihat sosok yang melintas di atas kepalanya tadi.

"Orang itu menanggung kutuk atau dosa apa hingga keadaannya begitu menyedihkan?" batin si pemuda. Belum juga hilang rasa kagetnya dari arah yang sama mengejar sosok tinggi tambun besar bukan main sambil tertawa tergelak-gelak.

"Kejar anak kampret itu jangan sampai lolos!" seru si kakek.

Gento yang merasa dilewati untuk yang kedua kalinya merutuk habis-habisan. "Yang tua saja tak tahu peradatan apalagi cuma sekedar anak kampret. Monyet betul!" Berkata begitu si pemuda segera menyusul gurunya. Sampai di satu tempat di luar daerah muara sungai Lanang orang yang dikejar gurunya mendadak hentikan langkah dan langsung membalikkan tubuh menghadap langsung ke arah si kakek. Memandang pada Gentong Ketawa sejenak dan juga Gento Guyon yang datang kemudian, agaknya pemuda ini segera menyadari kalau sebenarnya mereka bukanlah orang jahat. Sehingga ketegangan yang menyelimuti wajahnya secara perlahan lenyap.

"Agaknya di dunia ini sudah tidak ada tempat yang aman bagi si buruk rupa begini. Sejak kecil aku diasingkan, lalu diburu seperti kelinci. Wahai orang berbudi, kalau boleh aku meminta hendaknya kau membunuhku saat ini juga!" berkata pemuda bongkok muka bertotol hitam itu. Suaranya pelan, bergetar dan terkesan putus asa. Gento dan gurunya diam-diam merasa kaget. Tanpa sadar mereka saling melempar pandang.

"Satu lagi permintaan yang dilaknat Gusti Allah kudengar hari ini." kata si kakek berbisik.

"Mungkin dia mengira kau malaikat pencabut nyawa, hingga begitu melihatmu dia langsung merindukan kematian." menyahuti Gento Guyon dengan berbisik pula.

Gentong Ketawa sunggingkan seulas senyum. Dia tidak menanggapi ucapan muridnya. Sebaliknya sekarang dia melangkah maju mendekati pemuda bungkuk dengan cacat tubuh mengenaskan itu. Walau sadar pemuda itu telah melepaskan pukulan ke arahnya tadi, namun begitu melihat sikap serta keadaan si pemuda yang mengenaskan dengan suara perlahan Gentong Ketawa ajukan pertanyaan. "Anak muda siapa dirimu? Gerangan apa yang membuatmu merasa berputus asa hilang harapan?"

Pemuda yang ditanya tidak langsung menjawab, melainkan menangis terguguk seperti orang yang baru saja ditinggal mati orang yang dikasihinya. Si kakek gendut besar jadi serba salah dan usap- usap keningnya yang lebar.

Sebaliknya Gento Guyon jadi tidak sabar. "Sampai kapan kita harus menunggu dia berhenti menangis. Aneh... sungguh sebaiknya guru cari tahu apa yang membuatnya menangis?"

Sambil tersenyum si kakek anggukkan kepala. Dia baru saja hendak mengatakan sesuatu ketika pemuda itu hentikan tangisnya. Sejenak si pemuda menyeka air mata dengan punggung tangan, lalu duduk ngejelepok di atas tanah di bawah kerindangan pohon. Melihat apa yang dilakukan si pemuda maka si kakek juga ikut melakukan hal yang sama.

"Kakek, diriku yang buruk ini bernama Siwarana Sala Anuna." berkata si pemuda memperkenalkan diri.

Mendengar pemuda itu sebutkan namanya, Gento tak dapat menahan tawa. Sebaliknya Gentong Ketawa hanya senyum- senyum saja.

"Ha... ha... ha. Begitu banyak nama bagus di dunia ini. Mengapa kau mau diberi nama seburuk itu. Memang anumu yang mana yang salah. Apakah letaknya yang terbalik, miring atau agak ke samping." celetuk si pemuda masih saja tertawa-tawa.

Ditanya seperti itu si pemuda nampak bingung. "Aku tak tahu maksudmu!" kata si pemuda.

"Dasar tolol, apa harus kubuka dulu pakaianku. Aku sih mau saja, tapi aku takut si kakek gendut jadi ngiler. Karena kudengar anunya kakek itu disimpan di suatu tempat dalam lubang es. Ha... ha... ha!" ucapan Gento Guyon tentu merupakan satu banyolan belaka. Tapi hal ini membuat Gentong Ketawa seperti kebakaran jenggot. Dia mendelik, pipi menggembung sedangkan kedua tangannya dikepal.

"Murid sinting. Sekali lagi kau bicara seperti itu kubetot lidahmu!" rutuk si kakek sambil bersungut-sungut.

Siwarana Sala Anuna akhirnya jadi melongo begitu mengerti arti ucapan si pemuda. Dengan muka masam dia menjawab. "Tidak, anuku tidak ada yang salah. Semuanya normal saja tanpa kekurangan suatu apa."

"Hmm, begitu. Lalu apa yang membuatmu ingin mengakhiri hidup dengan cara menyedihkan seperti itu?" tanya si pemuda dengan mimik bersungguh-sungguh.

"Sulit aku mengatakannya pada kalian. Sejak kecil aku diasingkan oleh ayahku di tempat ini. Konon karena di dalam diriku tersimpan suatu rahasia yang amat penting bagi keselamatan harta pusaka milik keluarga. Tapi kemudian aku merasa tertipu, karena kemudian tanda atau rahasia apapun di tubuhku selain cacat cela yang kalian lihat ini. Aku merasa mungkin ayahku merasa malu punya anak cacat seperti diriku ini." kata si pemuda sambil tundukkan wajahnya.

"Siapa ayahmu?" tanya Gentong Ketawa sekedar ingin tahu.

"Ayahku adalah Raden Ponco Sugiri, hartawan terpandang di Wonogiri. Sedangkan ibuku sudah meninggal ketika melahirkan aku."

"Rupanya kau putra seorang Raden?" berkata begitu Gento berputar menge- lilingi si pemuda, sepasang matanya berkedap-kedip mengawasi sampai akhirnya dia tertawa sendiri. "Bicara terus terang sebenarnya kau tak pantas menjadi anak seorang raden. Pantasnya jadi anak kere. Tapi dasar nasibmu apes, ternyata kau tetap jadi kere juga. Ha... ha... ha!”

"Gege kau jaga mulutmu!" hardik Gentong Ketawa. Si pemuda langsung terdiam dan pura-pura memandang ke jurusan lain. Selanjutnya si kakek beralih pada Siwarana Sala Anuna. "Ternyata hidupmu tak putus dirundung malang. Aku turut prihatin mendengarnya. Tapi... percayalah kau tidak boleh berprasangka seburuk itu. Aku yakin ayahmu pasti mempunyai maksud-maksud tertentu hingga membawamu ke tempat ini." kata Gentong Ketawa.

"Kalau benar dugaanmu orang tua, tentu dia tidak akan membuatku sengsara seperti ini. Sekali dia datang ke tempat ini, lalu tak pernah muncul kembali. Apakah ini yang namanya baik?" dengus si pemuda sinis.

Si kakek tersenyum. "Kau tadi mengatakan ayahmu menyimpan suatu rahasia dalam dirimu. Mungkin satu rahasia besar, kalau boleh aku memeriksanya!" ujar si kakek.

"Apa... apa maksudmu kakek tua? Kau menyuruhku telanjang?" desis Siwarana Sala Anuna kaget dan berjingkrak mundur.

Belum sempat si kakek menjawab, Gento Guyon sudah nyeletuk. "Guruku tidak menyuruhmu bugil seutuhnya. Lagipula siapa yang mau melihat? Kami tidak punya kelainan. Lagipula kujamin anumu tidak bagus, mungkin bulukan dan bengkok serta ada kutilnya. Guruku hanya ingin kau menanggalkan baju!"

Mendengar ucapan Gento yang seenaknya, wajah pemuda bongkok berubah merah. Tapi walaupun merasa geram Siwarana Sala Anuna tidak mengambil tindakan apapun. Dia maklum kakek dan pemuda itu pasti bukan manusia semba- rangan. Walau terkadang bicara mereka terkesan ngaco seperti orang-orang yang kurang waras. Di samping itu juga dalam hati pemuda ini berharap agar kedua manusia aneh ini bersedia membantunya dalam mengungkapkan semua misteri yang tersimpan dalam dirinya.

"Baik, sekarang kubuka baju butut ini. Silakan kalian lihat!" kata si pemuda. Tanpa menunggu lama si pemuda buka bajunya. Gentong Ketawa segera meneliti punggung Siwarana. Tapi dia tak menemukan tanda atau apapun terkecuali tulang-tulang yang menonjol, dua bahu yang tipis memipih mengundang rasa iba. "Bagaimana guru?" tanya Gento

sambil datang menghampiri.

"Aku tak menemukan tanda apapun!" "Terang saja, matamu belekan begitu

jadi pandanganmu lamur." dengus si pemuda. Si kakek hanya menulikan telinga mendengar ucapan muridnya. Saat itu si pemuda sudah meneliti sekujur tubuh Siwarana. Sama seperti gurunya dia juga tak menemukan petunjuk apapun.

"Agaknya mataku ikut belekan juga guru. Sayang sekali aku hanya melihat punggung unta." kata Gento.

"Kunyuk, kuharap kau bisa menjaga mulutmu. Jika tidak aku bisa menghajarmu!" hardik Siwarana merasa tersinggung.

"Sialan, besar juga ambeknya kodok buduk ini!" gerutu si pemuda dalam hati. Siwarana merapikan pakaiannya lagi. Dia lalu menoleh, memandang ke arah Gentong Ketawa dengan tatapan tajam menusuk.

"Rahasia itu tidak terlihat. Cobalah kau ingat, mungkin ada petunjuk lain?"

"Petunjuk apa. Di mataku semua keluargaku turunan ayah seperti hidup dalam selubung misteri. Seperti ayahku yang buntung tangan dan kakinya. Kemudian aku juga tak tahu di mana ketiga saudaraku yang lain. Ayah sendiri sejak lama telah meninggalkan Wonogiri. Entah mengapa kini beliau mengasingkan diri di gunung Wilis."

"Ini suatu cerita yang menarik. Tapi selain itu apalagi keluhanmu yang lain?" tanya Gento Guyon ikut menanggapi. "Beberapa malam ini aku merasa ada orang yang mendatangi  muara sungai Lanang. Aku tak tahu apa yang dicarinya. Namun aku merasa keselamatanku sedang berada  dalam  incaran bahaya maut."

menerangkan Siwarana Sala Anuna.

"Orang yang mendatangi tempat tinggalmu laki-laki atau perempuan?" tanya Gentong Ketawa.

"Aku tak tahu. Saat itu malam gelap, mereka semua memakai kerudung."

"Mereka? Berarti orang itu tidak seorang diri?"

"Benar, mereka datang berdua." jawab si pemuda.

"Apa mungkin mereka menginginkan dirimu?" tanya Gento lagi.

"Bisa jadi begitu. Tapi untuk lebih jelasnya harus ada yang pergi ke gunung Wilis. Di sana tentu ayahku bisa memberikan jawaban."

"Lalu kau sendiri bagaimana?" tanya Gentong Ketawa.

"Andai saja kau bisa menolong dan melindungiku, orang tua. Tentu budimu tak kulupakan." Murid dan guru sama terdiam, Gentong Ketawa berpikir keras. Jika benar apa yang dikatakan Siwarana, rasanya lebih baik dia mengutus Gento muridnya untuk pergi ke gunung Wilis. Sementara dia sendiri bisa menemani pemuda banyak cacat itu di muara kali Lanang.

"Guru, bagaimana andai aku saja yang pergi ke gunung Wilis?"

Si kakek tersenyum. "Aku baru saja hendak berkata begitu. Jika kau pergi kau harus berhati-hati." pesan Gentong Ketawa. Dia lalu menoleh pada Siwarana. Pada pemuda itu dia bertanya. "Siapa yang harus ditemui oleh muridku?"

"Ayahku, Raden Ponco Sugiri biasa dipanggil dengan Raden Tua. Jika ayah tak ada. Orang lain yang bisa ditemu adalah Barep Pandara atau adik kembarnya Ragil Pandara. Mereka yang menjaga ayahku selama ini." ujar si pemuda.

"Guru, kalau begitu aku berangkat sekarang. Tidak sampai dua pekan di depan jika tidak ada halangan aku pasti sampai ke sini lagi."

"Jangan," sergah Siwarana. "Tak jauh dari Ponorogo persis di sebelah timur terdapat sebuah gunung. Kalau tak salah namanya gunung Liman. Dulu ayahku sering menyebut nama itu. Kurasa di tempat itu kita bisa melakukan pertemuan!" "Ingat Gege. Seperti yang dikatakan Siwarana. Kita bertemu di sebelah barat Ponorogo di kaki gunung Liman." Gentong Ketawa kembali menegaskan.

"Pasti kuingat. Bertemu di sebelah barat Ponorogo di kaki gunung Liman!" celetuk si pemuda mengulangi ucapan gurunya. "Sekarang aku mohon pamit guru." Gento menjura hormat. Setelah itu dia berkelebat pergi meninggalkan gurunya juga Siwarana.

4

Hanya selang satu hari setelah kedatangan Barep Pandara dan adik kembarnya. Di tempat kediaman Danang Pattira muncul seorang gadis berwajah cantik jelita berpakaian sutera putih ringkas, berambut panjang tergerai. Gadis itu menunggang seekor kuda berbulu putih. Sedangkan di bagian punggungnya tergan- tung sebuah kantong perbekalan di mana pada salah satu sisinya berhiaskan sulaman kupu-kupu putih dan biru.

Melihat gerak-geriknya setelah turun dari kuda yang langsung menuju bagian pintu depan, jelas sudah kalau gadis berwajah rupawan dengan dada padat menantang dan berpinggul bagus ini pastilah dia merupakan sanak kerabat Danang Pattira yaitu salah satu anak  Raden Ponco Sugiri. Beberapa saat lamanya si gadis berdiri mematung di depan pintu. Seakan ada keraguan merayapi hatinya ketika dia hendak mengetuk pintu di depannya. Tapi sejenak kemudian jemari mungilnya bergerak, mengetuk

Tok! Tok!

Suara ketukan pada pintu berlalu. Si gadis menunggu dengan perasaan tidak sabar. Karena tidak ada suara sahutan, maka si gadis bermaksud mengetuk untuk yang kedua kalinya. Pada saat itulah lapat-lapat dia mendengar suara langkah kaki mendekat ke pintu dari bagian dalam. Sebuah lubang kecil yang biasa dipergunakan melihat tamu yang datang tersibak, satu mata mengintip dari bagian dalam. Ada helaan nafas lega, selanjutnya pintu terkuak lebar. Satu sosok pemuda gagah berpakaian biru berdiri tegak di sana. Wajahnya menyunggingkan seulas senyum begitu melihat siapa yang datang. Sebaliknya gadis jelita berkulit putih bersih itu nampak tertegun dengan kening mengernyit dalam. Saat itu dia melihat wajah pemuda tampan yang berdiri dihadapannya nampak pucat, tubuhnya berkeringat. Sedangkan tangannya sedikit gemetar.

"Adik Ambini. Ada kabar apa hingga kau datang ke sini?" tanya si pemuda. Suaranya yang keras dan tegas menyadarkan si gadis dari lamunannya. Ambini sempat tersipu. Senyum merekah di sudut bibirnya yang kemerahan tanpa polesan pewarna. Hingga membuat terpesona bagi siapapun yang memandangnya.

"Kakang Danang Pattira Sena." berucap Ambini menyebut nama lengkap pemuda di hadapannya. "Entah mengapa hatiku tergerak untuk menyambangimu ke sini. Lagipula aku sudah sangat lama tak pernah melihat keindahan kota Wonogiri di malam hari."

"Kau benar. Mari masuk!" berkata begitu si pemuda melangkah masuk ke bagian ruangan tamu. Ambini mengikuti sang kakak tak jauh di belakang. Mereka duduk di atas permadani merah yang terbuat dari anyaman bulu domba. Sekilas Ambini layangkan pandang ke segenap penjuru ruangan. Suasana di dalam ruangan itu masih tetap seperti dulu. Beberapa jenis senjata yang terdiri dari tombak, pedang dan ruyung masih terpajang di pojok kiri ruangan. Lukisan gunung gersang yang dilukis di atas pelepah nipa juga masih dipajang di dinding ruangan dalam. Selain itu beberapa ekor harimau yang diawetkan tetap dibiarkan berada di tengah ruangan tamu. Tidak ada yang berubah setelah sepuluh tahun terpisah. Yang berubah adalah tentang keluarganya yang tercerai berai sejak badai topan dan gempa bumi memporak-porandakan daerah Wonogiri dan sekitarnya.

"Adikku apa yang kau pikirkan?" tanya Danang Pattira dengan tiba-tiba.

"Eeh... tidak. Aku heran mengapa wajah kakang seperti itu? Apakah kakang sakit?" tanya si gadis mencoba menutupi galau perasaannya sendiri.

"Eeh, tidak. Wajahku memang nampak pucat, karena aku baru saja melatih ilmu silat. Semuanya masih dalam tahap belajar, jadi terkadang selalu bersalahan!" kata si pemuda beralasan.

Mendengar ucapan Danang Pattira, sedikit banyaknya Ambini jadi terheran- heran. Seingatnya dulu sang kakak adalah pemuda yang sangat menyukai sastra, bukan berbagai macam ilmu silat.

"Kakang tidak salahkah pendengaranku ini?" tanya si gadis dengan mulut ternganga. Danang Pattira gelengkan kepala.

"Tidak! Kau tidak keliru mendengar dan aku mengucapkan sesuatu yang benar." jawab si pemuda enteng.

"Bukankah dulu kau paling membenci ilmu silat?"

"Memang. Tapi sejak topan celaka itu memporak-porandakan kota ini. Dan ayah kehilangan kaki serta tangan akibat dibuntungi oleh seseorang. Kini aku bertekad untuk mencari siapa adanya orang yang telah membuat cacat ayah kita serta mencuri peta rahasia penyimpanan harta kekayaan milik keluarga kita." tegas si pemuda. Berkata begitu tatap mukanya memancarkan kilatan cahaya aneh yang sulit ditebak. Ambini hela nafasnya yang terasa menyesak.

"Kakang Pattira. Aku sendiri sejak ikut dengan guruku yang misterius itu sama sekali tak tahu perkembangan yang terjadi dengan keluarga kita. Aku juga tak tahu     di mana  beradanya  kakang Aripraba. Sedangkan mengenai ayah, kabar yang  kudengar    beliau  saat   ini mengasingkan diri di gunung Wilis. Aku tak tahu maksud dari semua ini. Tapi di luar semua yang kukatakan aku juga mendengar kabarnya kita mempunyai seorang adik bungsu bernama Siwarana Sala Anuna." Mendapat   pertanyaan seperti  itu wajah Danang Pattira sempat berubah. Dia terdiam  sejenak   lamanya,  tapi  pada akhirnya dia berkata. "Mengenai perihal ayah aku tak berani mengusik. Sejak tangan dan kakinya dibuntungi oleh tokoh misterius   itu,  beliau lebih  banyak membisu.     Terlebih-lebih  bila   aku menanyakan tentang peta harta keluarga. Biasanya ayah langsung mengusirku. Ayah seperti merahasiakan sesuatu dari kita. Tapi biarlah, aku sendiri sudah tak pernah lagi melihat ayah di tempat pengasingan." Ujar pemuda itu seakan mengadukan sikap ayahnya pada sang adik. Setelah itu si pemuda kembali melanjutkan. "Sedangkan mengenai adik Aripraba aku sendiri tak tahu di mana dia gerangan. Lalu mengenai adik bungsu sial itu mana aku perduli di mana dia. Suatu ketika tiba-tiba saja dia raib. Sudahlah, jangan bicarakan tentang dia aku muak!!"

Mendengar suara kakaknya yang agak meninggi tentu saja si gadis terkejut besar. Bola matanya yang indah membulat besar, sedangkan kedua alisnya terangkat lebih ke atas.

"Kakang, apa maksudmu? Sungguh aku tidak mengerti mengapa kakang begitu membenci adik bungsu Siwarana?" ujar si gadis.

"Kau dengar! Aku benci padanya bukan saja karena cacat yang dibawanya sejak terlahir ke dunia ini. Aku benci karena melahirkan bocah menjijikkan itu ibu kita meninggal. Selain itu setelah kelahirannya, Wonogiri yang tak pernah dilanda musibah sepanjang masa, akhirnya berubah menjadi tempat terjadinya malapetaka. Bukan rakyat biasa saja yang menjadi korban. Tapi ayah juga mendapat serangan ganas dari seorang tokoh misterius, peta penyimpanan harta pusaka lenyap. Engkau menghilang beberapa tahun setelah kehilangan kewarasan. Bersusah payah aku yang selamat berusaha mengumpulkan saudara yang tercerai-berai. Tapi aku hanya bisa menemukan dirimu, adik Aripraba sendiri hingga sampai saat ini tidak kuketahui apakah masih hidup atau sudah mati." kata si pemuda seakan menyesalkan.

"Sudahlah, mudah-mudahan dia selalu berada dalam lindungan Gusti Allah. Aku sendiri jika guru memberi ijin padaku nantinya pasti akan mencari kakang Aripraba." berkata Ambini. Mendengar ucapan adiknya, Danang Pattira Sena tersentak tampak kaget. Entah mengapa si pemuda merasa ada sesuatu yang ganjil terdapat dalam diri sang adik yang memiliki kecantikan luar biasa itu. Suatu kelainan yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Lalu bila dia melirik ke arah kantong perbekalan Ambini yang berhiaskan sulaman kupu-kupu putih dan biru perasaan Danang Pattira semakin gelisah saja.

"Adik Ambini," ucap si pemuda sambil mengusap wajahnya. "Kukira apa yang kau katakan itu benar. Untuk mencari Aripraba jika kulakukan sendirian akan memakan waktu yang lama. Tapi jika kita mencarinya bersama-sama dalam waktu singkat pasti kita dapat menemukannya."

Ambini gelengkan kepala. "Maksudmu kita harus pergi bersama-sama begitu?" tanya si gadis. Danang Pattira anggukkan kepala. "Tidak! Kita tetap mencarinya dengan cara kita masing-masing. Jika di antara kita nantinya menemukan kakang Aripraba, maka dia harus kembali ke tempat tinggalmu ini secepatnya!" Ambini menegaskan.

Mendengar penjelasan adiknya, dalam hati pemuda itu berkata. "Dia semakin aneh. Gerak-gerik dan ucapannya mengundang rasa curiga. Ambini tak mau berjalan berdua denganku, apakah ini berarti dia merahasiakan sesuatu yang tak boleh kuketahui?" berpikir begitu si pemuda lalu ajukan satu pertanyaan biasa tapi cukup mengejutkan buat Ambini. "Adik, buat apa kita bersusah payah mencari Aripraba. Bukankah sejak ayah mengasingkan diri di puncak Wilis tidak sebaiknya kita urusi persoalan hidup kita masing-masing?"

"Semula aku juga berpendapat begitu. Tapi setelah kupikirkan cukup lama, aku merasa ada sesuatu yang dirahasiakan oleh ayah. Aku ingin tahu semua ini. Lagipula kakang Aripraba adalah anak terkasih ayah kita. Sejak badai topan melanda Wonogiri, memporak- porandakan semua yang dimiliki keluarga kita. Kakang Aripraba lenyap, peta rahasia tempat penyimpanan harta kekayaan keluarga kita juga ikut raib. Mengingat kakang Aripraba merupakan anak yang sangat dipercaya oleh ayah, aku menduga peta itu sekarang ada di tangannya." jelas Ambini.

"Bicara berbelit-belit, ternyata buntutnya pada peta harta juga. Rencana apa sebenarnya yang ada dalam benak adikku ini?" batin Danang Pattira. Mendadak dia ingat akan sesuatu hingga membuat tengkuknya menjadi dingin.

"Bagaimana pendapatmu kakang?" tanya si gadis setelah melihat saudara tuanya hanya diam saja.

Danang Pattira menarik nafas pendek. Sejenak tatap matanya menerawang memandangi langit-langit ruangan. Setelah itu dia memperhatikan adiknya sekilas. Setiap dia menatap wajah cantik jelita itu, entah mengapa dadanya berdebar keras, sedangkan darah di tubuhnya berdesir, wajah menjadi panas. Danang Pattira cepat tundukkan kepala. "Adik, aku tidak kemaruk dengan segala harta benda. Kalau ayah bersikap pilih kasih pada anaknya aku juga tidak perduli. Menurutku mencari tahu siapa adanya orang yang membuntungi kedua kaki dan tangan ayah adalah penting. Dan ini yang harus segera kita lakukan!" tegas si pemuda.

Ambini tersenyum. "Dengan ilmu yang kau pelajari dari kitab-kitab butut itu kau hendak mencari orang yang mencelakai ayah? Hi... hi... hi...!” ujar si gadis disertai tawa meremehkan.

"Kenapa rupanya?" tanya sang kakak tanpa merasa tersinggung.

"Kakang, jika ayah yang memiliki kepandaian silat dan ilmu kesaktian yang cukup tinggi saja tak mampu berbuat banyak bahkan tak sanggup mengenal orang yang telah membuatnya cacat begitu rupa, apalagi engkau? Namun walau bagaimanapun aku tentu tak bisa memaksamu. Kau boleh saja menunjukkan baktimu pada orang tua, tapi aku sendiri harus mencari harta kekayaan keluarga yang disembunyikan ayah. Untuk mendapatkannya kuncinya adalah peta rahasia itu."

Danang Pattira gelengkan kepala. "Kemauanmu begitu besar adikku.

Jika turut kataku, sebaiknya kau tak usah berlelah diri mencari adik Aripraba atau juga Siwarana. Kau tinggal saja di sini bersamaku. Rumah yang kubangun dari sisa puing kejayaan keluarga ini sangat besar. Sepi rasanya hidup seorang diri tanpa sanak tanpa kadang, tanpa saudara tanpa keluarga."

Mendengar ucapan kakaknya Ambini tersenyum tipis. Senyuman itu terasa mempesona, memikat. Tidak dibuat-buat tapi menggoda setiap mata yang melihatnya. "Kakang... mengapa kau tidak menikah saja, agar hidupmu tidak kesepian. Lagipula ke mana para kekasihmu itu?"

Danang Pattira tersenyum. "Para

kekasih?!" desis si pemuda sambil delikkan matanya. "Kekasihku hanya satu, yaitu Arum Sapana. Saat ini kami belum lagi terpikir untuk menikah, apalagi masing-masing sibuk dengan urusan sendiri. Mungkin dua tahun mendatang aku, maksudku kami akan melaksanakan hajat kami!" jelas si pemuda polos.

Si gadis tertawa renyah mendengar ucapan Danang Pattira. "Kuucapkan selamat. Kelak aku pasti akan datang di saat kau melaksanakan perhelatan suci itu!" selesai berkata Ambini bangkit berdiri. Dia menarik nafas hingga dadanya yang membusung bergerak turun naik mendebarkan.

"Adik kau hendak ke mana?" bertanya sang kakak yang hampir tak pernah lepas memperhatikan adiknya. Ambini merapikan anak rambut yang menutupi sebagian wajah. "Aku sudah tegaskan tadi. Yang ingin kulakukan saat ini adalah mencari kakang Aripraba. Syukur jika bertemu dengan adik kita yang malang Siwarana. Peta itu sangat penting bagiku, daripada jatuh ke tangan orang lain, bukankah harta yang disimpan ayah jatuh ke tangan kita sebagai anak-anaknya?"

"Kalau begitu mengapa kau tidak minta petunjuk ayah?" pancing Danang Pattira. Mendapat pertanyaan seperti itu, wajah si gadis tidak menunjukkan peru- bahan sama sekali.

Ambini tersenyum getir, tapi dia tetap memberi jawaban. "Percuma minta petunjuk ayah. Dia pasti akan marah besar bila aku menyinggung tentang peta dan juga harta yang disimpannya itu."

"Heh, terkadang aku juga merasa heran mengapa ayah bersikap pilih kasih terhadap anak-anaknya. Atau jangan- jangan...!" Danang Pattira tiba-tiba katupkan mulut tak jadi teruskan ucapan.

"Apa maksudmu kakang?" tanya Ambini heran.

"Tidak... tidak ada apapun!" sahut si pemuda dengan cepat.

"Dia jelas merahasiakan sesuatu dariku." membatin Ambini dalam hati sambil melirik kakaknya berusaha membaca apa yang disembunyikan si pemuda.

Sebaliknya Danang Pattira dalam hati juga membatin. "Mana mungkin aku berterus terang padanya. Walau dia adikku, tapi dia besar di tangan orang lain bahkan seorang guru misterius pula. Aku melihat di kantong perbelakalannya terdapat sulaman kupu-kupu. Menurut Barep Pandara kupu-kupu maut perak salah satu yang telah menewaskan adiknya di puncak gunung Wilis."

"Kakang kalau begitu aku mohon diri dulu." Ambini berpamitan.

"Baiklah... hati-hati di jalan." pesan Danang Pattira.

Si pemuda lalu mengantar adiknya sampai di halaman depan. Ambini segera melompat ke atas kuda tunggangan. Sesaat sebelum pergi meninggalkan Ambini masih sempat memperhatikan kakaknya dengan tatap matanya yang aneh.

Tapi semua ini tentu luput dari perhatian Danang Pattira karena dia sendiri dengan tergesa-gesa segera masuk ke dalam rumahnya. Masih dengan berdiri tegak sesampai di bagian dalam dia membuka mulut.

"Barep Pandara lekas ke mari!" katanya memanggil satu nama.

Dari balik sebuah kamar muncul seorang pemuda berpakaian kuning berwajah tampan. Dialah Barep Pandara. Dengan terbungkuk-bungkuk pemuda itu mengham- piri.

"Raden, apa yang dapat saya lakukan untuk Raden?" bertanya Barep Pandara dengan suara perlahan, sopan.

"Dari balik kamar kau tentu melihat kantong perbekalan adikku?!" bertanya si pemuda seakan ingin memastikan.

"Saya melihatnya Raden. Sebuah kantong dengan sulaman berupa kupu-kupu biru dan putih warna perak. Mengenai kupu-kupu biru saya belum pernah melihatnya sebelum ini. Tapi sulaman kupu-kupu putih, bentuknya sama persis dengan kupu-kupu perak yang menyerang dan menghancurkan adik saya Ragil Pandara. Apakah ini berarti ada kaitannya dengan kematian adik saya juga Raden Tua?"

"Sulit memastikan." sahut Danang Pattira setelah terdiam beberapa jenak lamanya. "Tapi walau dia adik kandungku, kami terpisah selama belasan tahun. Siapa yang mendidiknya aku pun tak tahu. Kurasa masih belum terlambat jika kau mengikutinya."

"Saya Raden...?!” terkejut Barep Pandara mendengar keputusan pemuda itu.

Danang Pattira mengulum senyum, tapi wajahnya masih membersitkan kesedihan mendalam. Dengan suara perlahan dia berkata. "Aku merasa sedih mengenang kematian ayah. Tapi akan lebih sedih lagi jika aku tak sanggup menangkap pembunuh ayahku. Pergilah Barep, ikuti Ambini. Dulu kewarasannya pernah terganggu setelah terbentur batu di bagian kepala. Siapa tahu sekarang masih suka angot dan kambuh. Sehingga Ambini melakukan per- buatan keji yang tidak disadarinya."

"Apa yang harus saya lakukan jika berhasil menyusulnya Raden?"

"Kau cukup mengikuti. Melihat apa saja yang dia lakukan termasuk juga mengingat dengan siapa saja dia bertemu!" pesan Danang Pattira.

"Baiklah, kalau Raden sudah berkata begitu. Saya akan berangkat sekarang juga." ujar Barep Pandara. Ketika si pemuda hendak melangkah pergi mendadak Barep Pandara hentikan langkah, dia berpaling sambil berkata. "Raden bolehkah saya menunggang kuda?"

"Tidak! Kau harus puas dengan berjalan kaki saja. Perjalanan dengan berkuda akan mengundang banyak rasa curiga." menerangkan Danang Pattira.

"Terima kasih atas petunjuk Raden." ujar Barep Pandara. Tanpa pikir panjang dia pun melangkah pergi.

5

Ketika sampai di puncak gunung Wilis, si gondrong tampan bertelanjang dada ini gelengkan kepala. Saat itu puncak gunung Wilis terasa sepi, walau tak diselimuti kabut namun udara dingin tetap terasa menusuk. Sejenak lamanya si pemuda kitarkan pandangan mata. Mengamat- amati keadaan di sekelilingnya dia tak menemukan atau melihat apapun.

"Edan, tempat ini sesunyi kuburan. Jangankan manusia sapi budek pun tak kutemui di sini." celetuk Gento Guyon sambil meringis. Tiba-tiba si pemuda menepuk keningnya sendiri. "Ah, aku baru ingat sekarang. Bagaimana jika pemuda banyak cacat itu menipuku? Aku dikadali, lalu guruku dikerjainya? Bisa morat-marit perabotan kakek gendut itu dibuatnya." Gento menyengir lalu berkelebat ke sebelah selatan puncak gunung. Sampai di dekat kerimbunan pohon langkahnya terhenti. Dia melihat di balik lebatnya pepohonan terdapat sebuah pondok yang agak tersembunyi. Jika mata kurang jeli tentu pondok ini tak terlihat karena dindingnya tertutup reranting pohon yang telah kering.

"Agaknya tempat butut itu yang dimaksudkan Siwarana Sala Anuna." ketika berkata begitu si pemuda meraba bagian bawah perut, kemudian senyumnya mengem- bang. "Aku beruntung tak ada yang salah pada anuku. Tapi... rumah Raden mengapa begini buruk, kandang ayam sekalipun masih lebih bagus. Si pemuda terdiam sejenak, berpikir. Menurut pemuda banyak cacat di pondok itu dijaga oleh dua pemuda kembar. Selain mereka Raden Tua juga berada di situ. Tapi mengapa dia tak melihat siapapun. "Aku harus menyelidik ke dalam." Baru saja Gento hendak melaksanakan niatnya mendadak sayup-sayup Gento mendengar suara isak tangis seseorang.

"Ada orang menangis? Siapa yang ditangisi?" batin si pemuda. "Ayah... ayah, mengapa begini buruk akhir hidupmu? Siapa yang telah berlaku keji terhadapmu?" kata satu suara dari dalam pondok di sela-sela isak tangis.

"Ayah...?!” gumam Gento. "Seorang abdi tak mungkin memanggil ayah pada juragannya." Penasaran Gento melangkah lebih mendekat lagi ke pondok.

"Hu... hu... hu, ayah. Maafkan aku karena baru sekarang dapat menyambangimu. Tapi mengapa harus berakhir begini. Siapa di luar!!” hardik suara yang sedang menangis.

Si pemuda melengak kaget. "Tikus buluk. Sedang asyiik menangis masih sempatnya bertanya siapa di luar." gerutu si pemuda. Tanpa ragu lagi Gento Guyon langsung menjawab. "Saya orang baik datang dari jauh."

Suara tangis terhenti, sepi sejenak. Pintu depan pondok membuka lebar, satu sosok tubuh berkelebat dan tahu-tahu sudah berdiri tegak di depan hidung Gento Guyon. Pemuda itu terkejut besar, walau kaget namun bibirnya tetap tersenyum ramah. Melihat cara orang yang datang menghampirinya. Gento Guyon maklum tentulah pemuda yang kini tegak di depannya bukan pemuda sembarangan. Sedikitnya dia memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat luar biasa.

Sejenak   lamanya   Gento   menatap pemuda itu, memperhatikan pakaiannya yang putih bersih, wajah yang tampan serta rambut panjangnya yang berminyak. Setelah membanding-bandingkan celananya sendiri dengan pakaian orang, akhirnya Gento menjura hormat.

"Orang gagah senang aku bertemu denganmu. Siapakah dirimu? Apa yang membuatmu menangis atau siapa yang kau tangisi?" Gento dengan sopan ajukan pertanyaan.

Si pemuda balas menatap, ada rasa curiga terpencar lewat tatap matanya yang tenang namun tajam menusuk.

"Kau sendiri siapa? Mengapa berkeliaran di daerah ini?"

"Oh, aku bukan orang liar. Aku datang ke mari atas permintaan seseorang. Namaku Gento Guyon." polos si pemuda menjawab.

"Gento Guyon, manusia sinting yang akhir-akhir ini namanya tersebar ke seluruh penjuru persilatan tanah Jawa. Mana gurumu kakek edan yang bernama Gentong Ketawa itu?" dengus si pemuda.

Mendengar orang yang tak dikenal mengetahui siapa dirinya bahkan diri sang guru, Gento pun tak mampu menutupi rasa kagetnya. Tapi paling tidak dia merasa jengkel juga ketika gurunya dikatakan edan oleh pemuda berbaju putih itu.

"Saudara, jika lagi sedih jangan kau bawa-bawa guruku. Kalau aku sampai marah, aku bisa memperpanjang tangismu sampai tujuh hari tujuh malam!" bentak si pemuda.

Pemuda di depannya tersenyum sinis. "Kau tak tahu apa yang sedang kurasakan. Sekarang pentang matamu, lihat baik- baik!" dengus si pemuda berpakaian putih itu. Belum lagi Gento dapat memahami arah ucapannya. Mendadak pemuda itu memutar tubuh, memunggungi Gento Guyon sedangkan kedua tangannya diarahkan lurus ke bagian pondok. Sejenak lamanya bibir si pemuda berkemak-kemik, ketika dua tangan didorong dan disentakkan ke udara, maka sekonyong-konyong pondok beratap ilalang berdinding ranting melesat ke udara dalam keadaan utuh. Gento tercengang, sedangkan pemuda itu menggerakkan kedua tangannya ke sebelah kiri ke arah lapangan rumput. Secara aneh pondok yang sudah mengapung di udara ikut pula bergerak searah dengan gerakan tangan. Ketika pemuda baju putih menurunkan tangannya dengan gerakan perlahan, pondok itu jatuh di atas lapangan rumput seperti diletakkan dengan sangat hati-hati.

"Walah hebat. Belum pernah ku melihat tontonan gratis semenarik ini. Bagus... bagus...!" Sambil bertepuk tangan Gento berseru memuji.

"Pemuda edan. Bukan pondok itu yang harus kau lihat. Buka matamu lihat ke lantai pondok itu!" kata si pemuda sambil menunjuk ke lantai pondok.

Gento alihkan perhatiannya ke arah yang ditunjuk si baju putih. Mata murid kakek kocak Gentong Ketawa terbelalak lebar. "Mustahil, sulit kupercaya!" desis si pemuda kaget. Dia melangkah mendekati sosok yang tergeletak di lantai dari pondok yang telah dipindahkan. Semakin dekat semakin jelas dia melihat satu sosok tubuh tergeletak di situ dalam keadaan membusuk. Jasad busuk itu tidak mempunyai tangan dan kaki. Kedua kaki maupun lengannya seperti bekas dipenggal. Melihat pada keadaan mayat, nampaknya kematian orang itu sudah lebih dari lima hari yang lalu.

"Si bungkuk mulut musang itu tidak berdusta. Mayat ini pasti ayahnya. Dan pemuda itu ketika menangis tadi aku mendengar dia memanggilnya ayah. Apakah mungkin dia saudaranya Siwarana?" pikir Gento.

"Kau tahu, itu adalah mayat ayahku. Hidup dalam kemalangan kehilangan kaki dan tangan. Sekarang kematiannya pun terasa lebih tragis!" menerangkan pemuda itu. "Sedangkan mayat yang di sebelah sana kurasa adalah mayat salah seorang kepercayaan ayah. Tubuhnya tercerai berai. Entah benda atau senjata apa yang melukainya."

Karena tak berapa jauh dari mayat pertama, hanya beberapa langkah saja Gento telah sampai di depan mayat kedua. "Mengerikan. Sulit kupercaya!" desis si pemuda begitu melihat kepingan tulang dan serpihan daging membusuk yang bertebaran di lantai pondok.

"Kau telah melihat kematian yang mengenaskan. Sekarang katakan siapa yang menyuruhmu ke sini?" tanya pemuda itu sinis.

Gento Guyon membalikkan tubuh hingga kini mereka saling berhadapan. "Sebelum kujawab pertanyaanmu, bukankah lebih baik kau katakan dulu siapa namamu agar aku tak kesalahan kata bicara pada orang yang salah." ujar Gento.

"Mengenai namaku rasanya tak penting. Yang jelas ada kemungkinan aku punya hubungan kerabat dengan keluarga Raden Tua. Nah tak perlu aku berpanjang kata. Sekarang katakan siapa yang menyuruhmu datang ke puncak gunung Wilis ini?"

Walau ragu, namun pada akhirnya Gento menjawab juga. "Yang menyuruhku ke mari adalah Siwarana Sala Anuna."

Mendengar disebutnya nama itu paras pemuda berpakaian putih sontak berubah kelam. Sekujur tubuhnya sempat bergetar. Ada kemarahan terpancar lewat tatap matanya. "Kau dengar baik-baik. Jika kau bertemu dengan si cacat bangsat itu katakan padanya agar membunuh diri secepat mungkin. Aku tak mau melihatnya ada di dunia ini!” tegas si pemuda.

Mendengar permintaan pemuda itu tentu Gento jadi terheran-heran. "Eh, kau ini siapakah? Malaikat maut atau setan haus darah. Pemuda itu sudah banyak mengalami kesengsaraan seumur hidup, mengapa kau memintanya untuk membunuh diri?" tanya Gento.

"Perintahku tak pernah kuulang, ucapanku tak boleh dibantah!" hardik si pemuda. Dengan penuh kemarahan dia melanjutkan. "Siwarana tak layak hidup. Kehadirannya hanya membawa sial bagi keluarga kami, kau paham?"

Mendengar itu Gento tertawa tergelak-gelak. "Tak kusangka kau masih anak turun Raden Tua. Kau pasti salah satu kakak dari Siwarana. Seorang kakak begitu tega menyuruh adiknya membunuh diri? Jika kau bukan manusia yang telah kehilangan kewarasan, pasti putra asuhan iblis. Ha... ha... ha!”

"Pemuda keparat jangan campuri urusanku!" maki si pemuda hampir tak dapat membendung amarahnya.

"Siapa yang mencampuri urusanmu? Tapi kalau boleh aku nasehatkan bukankah lebih baik lagi jika kau cari siapa pembunuh ayahmu?" dengus Gento polos. "Pembunuh ayahku? Aku memang sedang

mencarinya. Aku tak tahu apakah mungkin saudaraku yang melakukannya. Tapi terus terang aku telah merencanakan jauh sebelum ini. Bahkan sejak badai angin ribut memporak-porandakan Wonogiri!"

"Hemm, kau menduga malapetaka itu datangnya dari adikmu?" tebak Gento disertai senyum sinis.

"Mungkin. Sangat mungkin sekali! Sekarang kau tunggu apalagi? Pergilah dari hadapanku!" hardik si pemuda.

"Mungkin aku akan pergi setelah kau mau memberitahu siapa namamu!" ujar si pemuda.

"Baik. Kau catat dalam otakmu. Namaku Aripraba. Aku putera kedua Raden Ponco Sugiri. Nah aku sudah memberitahukan namaku. Sekarang kerjakan apa yang aku perintahkan!"

"Apa perintahmu? Aku sudah lupa." bertanya si pemuda sambil terbatuk-batuk. Merasa dipermainkan pemuda itu jadi marah besar. Matanya mencorong merah, sedangkan pelipisnya bergerak-gerak. "Monyet kurang ajar. Aku menyuruhmu agar menyampaikan pesan pada Siwarana untuk

membunuh diri!"

"Ha... ha... ha. Pesan gilamu pasti kusampaikan. Tapi ingin kulihat apakah sekarang kau mau bunuh diri di depanku?!" "Boleh, sebelum itu terjadi kau harus mendahuluiku berangkat ke akherat!"

Selesai berkata Aripraba melompat ke depan sambil hantamkan kedua tangannya ke bagian wajah Gento Guyon.

Melihat serangan ganas yang dapat meremukkan batok kepalanya itu si pemuda jelas tak mau mati konyol. Dia geser langkah ke samping, tubuh dibungkukkan sedangkan kepala dimiringkan.

Wuut!

Serangan luput menderu di atas kepala si pemuda. Tak menyia-nyiakan kesempatan Gento mendorongkan sikunya ke depan. Desss! Hantaman yang telak mendarat di bagian perut Aripraba. Setelah berhasil menghantam lawan sambil melompat mundur Gento memandang ke depan. Kejut di hati si pemuda bukan olah-olah begitu melihat lawan, jangankan cidera bergeming pun tidak. Padahal hantaman yang dilakukan si pemuda bukan saja sanggup menghancurkan tembok tebal tapi juga mampu meremukkan batu karang.

"Hebat, dia memiliki semacam kekebalan. Aku tak punya silang sengketa dengannya, jadi aku harus menjatuhkan dengan cara lain." batin Gento.

Baru saja pemuda itu kerahkan tenaga dalam ke bagian tangannya, pada saat itu pula lawan kembali menyerangnya dengan serangkaian serangan gencar yang tak berkeputusan. Sambaran angin dahsyat disertai mengepulnya debu di udara menyertai tendangan atau pukulan yang dilancarkan oleh Aripraba.

6

Gento Guyon menghindari semua serangan yang sangat berbahaya itu dengan menggunakan rangkaian jurus Kera Mabok yang digabungkan dengan jurus Belalang Terbang. Akibatnya tentu sangat hebat sekali. Sambaran kaki ataupun hantaman tangan yang dilakukan oleh lawan secara bertubi-tubi tak satu pun yang mengenai tubuh Gento. Malah jotosan yang oleh Aripraba diperkirakan menghantam dada lawan dengan telak secara aneh hanya mengenai tempat kosong.

"Celaka. Pemuda ini mempunyai jurus apa? Tubuhnya oleng, langkah grubak grubuk, kepala bergoyang tak mau diam, terkadang tubuhnya melesat di udara seperti mau terbang." membatin Aripraba dalam hati.

Sebaliknya Gento juga berkata dalam hati. "Setan itu sama sekali tak memberi kesempatan padaku. Sepertinya aku ini dia anggap sebagai seorang musuh bebuyutan!"

Belum lagi si pemuda melakukan serangan balasan lawan telah merubah jurus silatnya. Jika pertama tadi Aripraba lebih banyak melakukan serangan yang diarahkan ke bagian kepala dan dada, maka kini dia menyerang bagian perut dan kaki Gento. Adapun jurus yang diper- gunakan pemuda itu adalah jurus Menggempur Karang Memapas Kaki Bukit.

Akibatnya tentu bertambah lebih dahsyat lagi. Beberapa kejapan Gento merasa perut dan dadanya seperti dihantam gelombang angin panas bertubi-tubi, sedangkan kakinya laksana diterabas mata pedang. Kenyataan ini membuatnya melompat ke samping, lawan terus merangsak sambil hantamkan tangan kiri sedangkan kaki melabrak ke arah kaki Gento.

Dengan cepat murid Gentong Ketawa gerakkan tangannya menangkis hantaman lawan. Benturan keras terjadi, keduanya sama terhuyung. Tapi dalam keadaan seperti itu kaki lawan masih sempat menyambar kedua kakinya, sehingga pemuda ini pun jatuh dengan punggung menyentuh tanah terlebih dulu. Gento meringis kesakitan sambil mengusap-usap pantatnya. Melihat hal ini Aripraba yang merasa berada di atas angin tanpa membuang kesempatan langsung melepaskan pukulan mautnya. Angin dingin menderu, sinar biru berkiblat, melesat laksana kilat ke arah Gento.

"Kadal buduk. Tak kusangka dia ternyata memang hendak membuat celaka diriku!" rutuk Gento dalam hati. Tak mau konyol oleh serangan ganas lawannya. Maka pemuda ini sambil duduk bersila dan mata terpejam segera melepaskan pukulan Dewa Awan Mengejar Iblis. Selarik sinar merah kehitaman mencuat dari telapak tangan pemuda itu menderu di udara. Tak dapat dihindari lagi bentrokan antara kedua tenaga sakti pun tak dapat dihindari lagi.

Buum!

Ledakan keras menggelegar menggun- cang puncak gunung Wilis. Batu dan pasir bertebaran memenuhi udara membuat suasana jadi gelap. Satu sosok tubuh terlepas jauh dari hadapan si pemuda. Sedangkan Gento sendiri jatuh rebah menelentang di atas tanah. Nafasnya sesak, dada terasa panas laksana terbakar. Selain itu dia juga merasa ada cairan hangat yang menetes di sudut bibirnya. Ketika si pemuda menyeka mulutnya dia jadi menyeringai.

"Manusia geblek itu membuat aku keluarkan kecap. Kalau tak cepat kuberi pelajaran dia bisa jadi besar kepala!" dengus Gento. Dengan cepat dia bangkit berdiri. Saat itu suasana telah kembali seperti semula. Tapi pemuda ini jadi kaget, karena dia tidak melihat lagi lawan berada di tempat itu.

"Dia kabur, dia melarikan diri. Ternyata dia memang seorang pengecut yang tahu dirinya bersalah!" gerutu si pemuda. Dia berpikir sejenak sampai pada akhirnya memutuskan. "Pemuda itu berpesan jika urusan di sini selesai aku harus kembali ke muara sungai Lanang atau ke gunung Liman sebelah timur Ponorogo. Sebaiknya rencana itu kutunda dulu. Aku ingin menyelidik rahasia apa sebenarnya yang tersembunyi di balik serangkaian peristiwa yang menimpa keluarga Raden Ponco Sugiri. Aku harus tahu mengapa satu sama lain antara mereka nampaknya seperti bermusuhan." kata murid kakek aneh Gentong Ketawa sambil melangkah pergi tinggalkan tempat itu.

***

Di sebelah utara dusun Wilangan, tepat di tengah hamparan daerah ber- batuan. Di sana terdapat sebuah sumur tua yang sudah tidak terpakai. Di sekeliling sumur itu berserakan tulang belulang manusia. Pada waktu tertentu air sumur yang berwarna merah darah nampak bergerak seperti ada sesuatu yang hidup di dalamnya. Bahkan terkadang tak jarang terjadi pusaran yang menyedot seluruh air yang berada di dalamnya. Keanehan seperti itu sudah seringkali terjadi. Tak ada yang tahu apa sebenarnya yang terjadi di bawah sana. Hanya tulang belulang yang menjadi saksi bisu dari semua misteri yang tersembunyi di dasar sumur tersebut. Tapi walaupun tempat itu sudah bertahun-tahun tak pernah disambangi oleh siapapun, pagi itu di saat matahari baru menampakkan diri di ufuk sebelah timur, di pinggir sumur Getih seorang kakek renta berpakaian merah lusuh duduk

mencangkung menghadap ke mulut sumur.

Wajahnya yang cekung, angker mengerikan hampir tak terlihat karena tertutup rambutnya yang memutih panjang awut-awutan. Sambil duduk seperti itu sesekali dia membetulkan tempat yang didudukinya yaitu sebuah tengkorak kepala manusia yang telah ditumbuhi lumut.

Sejenak lamanya si kakek terdiam, sedangkan tongkat hitam di tangan terus digerakkan, diputar dengan cepat hingga menimbulkan suara angin menderu-deru. Di saat seperti itu tiba-tiba saja gerakkan tongkat terhenti. Dari mulut si kakek yang keriput terdengar suara racau yang tidak jelas. Sementara di dalam Sumur Getih justru permukaan airnya saat itu nampak bergolak hebat. Bersamaan dengan itu pula dari dalam mulut sumur mendadak terdengar satu suara menegur. "Rowe Rontek Panjane, gerangan apa yang membuatmu datang ke mari? Aku merasa tak mengundang, apakah kau sekarang merasa pantas bertatap muka denganku?"

Si kakek renta bertongkat ular kering yang diawetkan melengak kaget. Dia julurkan kepala, pentang mata melongok ke mulut Sumur Getih. Tidak terlihat apapun. Sumur dalam keadaan gelap gulita. Si kakek gelengkan kepala. Tapi akhirnya dia buka mulut menjawab.

"Wowor Baji Marani bergelar Arwah Darah Senggini, tak kusangka tidak kunyana matamu masih awas. Aku Rowe Rontek Panjane yang tak tahu diri terpaksa menyambangi ingin satu kepastian jawaban darimu?"

Dari dalam sumur di mana airnya yang berwarna merah terus bergejolak terdengar suara tawa panjang, dingin angker menyeramkan. Tawa lenyap, dari dalam sumur terdengar suara bergemuruh hebat. Angin dingin laksana es melesat dari dalamnya menyambar kakek renta dengan satu sapuan mematikan.

Si kakek renta bertubuh kurus kering tersentak kaget, wajah pucat mulut ternganga. Tapi dalam kagetnya dia masih sempat bergulingan menjauh dari mulut sumur selamatkan diri.

Wuus! Wuus!

Walaupun begitu kakinya masih sempat terkena sambaran angin dingin luar biasa itu. Si kakek mengeluh pendek, kakinya laksana beku. Tapi dengan mengerahkan tenaga dalam berhawa panas ke bagian kaki, maka hawa dingin yang menyerang kakinya berangsur lenyap.

Laksana kilat dia berdiri kembali. Belum hilang rasa kagetnya mendapat serangan gelap begitu rupa, dari dalam sumur terdengar suara mendesis panjang. Satu sosok tubuh dalam keadaan polos telanjang melesat berputar di udara secara kaku dan jatuh satu tombak di depan Rowe Rontek Panjani.

Blukk!

Sepasang mata yang terlindung di balik rambut yang awut-awutan itu terbelalak lebar, memandang ke depannya di mana satu sosok tubuh berkulit putih mulus berambut panjang tergeletak kaku dengan bibir mengulum senyum menggoda. Si kakek cepat palingkan wajah dari mayat gadis berumur belasan tahun itu, perhatiannya kini kembali tertuju ke mulut Sumur Getih.

"Arwah Darah Senggini, kau masih tetap menuruti keinginan nafsu sesatmu? Menggauli gadis-gadis tak berdosa, sungguh tak kusangka!" desis si kakek merasa jijik.

Dari dalam sumur kembali terdengar suara tawa dingin menusuk. Kemudian ketika suara tawa itu lenyap maka terdengar bentakan.

"Manusia setan keparat, urusanku denganmu tidak ada sangkut pautnya dengan masalah pribadiku. Jangan coba-coba alihkan pembicaraan dari persoalan yang sebenarnya. Muridmu si keparat Raden Ponco Sugiri yang telah membuat ulah. Jadi sekarang aku minta tanggung jawabmu! Sedangkan mengenai kesenanganku dengan gadis-gadis itu merupakan persoalan lain!"

"Ha... ha... ha.. Arwah Darah Senggini, kau telah menebar petaka di tujuh penjuru angin. Kau bahkan dulu telah memporak-porandakan Wonogiri dengan mengirimkan badai topan ke sana. Apakah semua ini masih belum cukup untuk menebus kesalahan muridku?"

Dari dalam sumur nampak terdengar suara erangan marah. Air Sumur Getih yang tadinya bergejolak kini nampak membentuk pusaran aneh yang langsung menukik menembus kedalaman. Di saat pusaran air telah menyentuh ke bagian dasar telaga, maka dari dasar telaga yang airnya tersibak melesat satu sosok tubuh seorang perempuan berpakaian putih panjang seperti daster. Hanya sekejapan perempuan itu berdiri tegak di depan Rowe Rontek Panjane.

Memandang pada perempuan cantik berkulit putih berhidung mancung dengan bibir merah menggairahkan itu si kakek jadi bersurut langkah. Dia mengusap matanya seakan tak percaya dengan penglihatannya sendiri.

"Bagaimana mungkin?" desis si kakek kaget. "Kau berubah, ini sulit kupercaya?"

"Hik... hik... hik. Di dunia ini segala sesuatunya bisa saja terjadi. Jadi apa yang aneh bangsat tua?" dengus si perempuan yang usia sebenarnya lebih dari tujuh puluh lima tahun.

"Kau pasti menggunakan mistik, mungkin juga menggunakan sihir untuk merubah wajahmu. Sebagaimana dulu kau minta bantuan jin untuk menghancurkan Wonogiri. Sekarang aku datang kepadamu dengan maksud membuat jelas semua persoalan yang selama ini belum sempat kita tuntaskan!" menerangkan si kakek tua, sementara matanya terus mengamati wajah perempuan cantik di depannya. Dalam pandangan Rowe Rontek Panjane, walaupun wajah perempuan itu cantik luar biasa bagaikan gadis berusia dua puluhan, tapi di balik semua itu mata hatinya dapat melihat satu sosok wajah tua keriput dari ujud si perempuan yang sesungguhnya.

"Aku tak akan menanggapi ucapanmu yang pertama. Tapi terus terang aku memandang perlu untuk mendengar semua alasan yang hendak kau sampaikan padaku, tentang janji yang telah diikrarkan." ujar si cantik yang sesungguhnya adalah seorang nenek tua berusia lanjut.

"Apakah semua perjanjian di masa lalu itu tak dapat dibatalkan kembali Wowor Baji Marani?" tanya Rowe Rontek Panjane menyebut nama asli perempuan itu. "Aku kau minta membatalkan semua janji yang telah dibuat oleh muridmu? Padahal kau melihat muridmu telah menikmati segala kemewahan hidup yang dia dambakan selagi dirinya hidup melarat? Coba kau ingat masa lalu dari muridmu. Ingat dan bayangkan kembali baik-baik!" tegas Arwah Darah Senggini. Si kakek terdiam. Kedua mata terpejam, sedangkan tubuh bergetar. Segala peristiwa yang terjadi dua puluh delapan tahun yang silam kini seakan terbayang kembali di

depan matanya.

7

Tiga puluh tahun yang lalu Raden Ponco Sugiri yang beristrikan Sri Rara Ageng hidup dalam kesengsaraan dan penghinaan keluarganya datang pada kakek Rowe Rontek Panjane yang bukan lain adalah gurunya sendiri. Ketika itu hari telah merembang petang, tapi suasana di dalam tempat kediaman kakek itu terasa lebih gelap dan menebar bau busuk menyengat. Rowe Rontek Panjane nampak terkejut ketika melihat wajah muridnya bengkak lebam membiru, bibir mengucurkan darah, hidung melesak hancur. Sedangkan mata kiri menggembung bengkak seperti bekas penganiayaan berat. Untuk diketahui, saat itu kepandaian silat atau ilmu kesaktian yang dimiliki Raden Ponco Sugiri belum tinggi, karena dia baru saja beberapa bulan diangkat murid dan baru mendapat pelajaran dasar-dasar ilmu silat dari kakek itu.

Di depan gurunya raden Ponco Sugiri sedikit pun tidak mengeluh, namun Rowe Rontek tahu di dalam dada sang murid menyimpan dendam tersembunyi yang sewaktu-waktu dapat meledak berubah menjadi angkara murka.

"Katakan apa lagi yang menimpa dirimu, Raden? Tubuh dan wajahmu babak belur bagai prajurit yang kalah perang. Pasti ini bukan perbuatan tukang pukul atau begundalnya para hartawan itu!” berkata si kakek sedangkan matanya tak pernah lepas dari wajah muridnya.

"Guru... sudahlah. Saya datang ke mari bukan untuk membesarkan masalah atau mengadukan perjalanan hidup yang sial dan nasib buruk yang menimpa diriku. Aku ingin berguru, meminta petunjuk agar guru sudi menurunkan ilmu kesaktian agar diriku tidak hina, lemah di mata manusia." sahut Raden Ponco Sugiri pelan dan sopan. Sikap laki-laki muda yang lemah lembut ini terkadang terasa menyentuh hati si kakek, hingga dia merasa tak tega melihat penderitaan muridnya.

Si kakek hela nafasnya. Dia memberikan dua butir pel, diberikannya pada sang murid.

"Telanlah, dalam waktu satu hari lukamu pasti sembuh!" ujar si kakek.

Raden Ponco Sugiri melakukan apa yang dikatakan gurunya. Setelah menelan obat pemberian gurunya, sang Raden merasakan dadanya menjadi sejuk. Perih di sekujur wajahnya lenyap, demikian juga rasa sakit hebat yang mendera bagian hidungnya.

"Guru, saya merasa berterima kasih sekali. Segala kebaikan ini hanya Gusti Allah yang dapat membalasnya." Raden Ponco Sugiri berkata haru dan teteskan air mata.

Kakek Rowe Rontek gelengkan kepala. "Lupakan semua budi, lupakan semua

jasa. Sekarang kau harus mengatakan siapa yang mencideraimu begini rupa? Raden Ronggo Anom... saudara tiri yang telah mengangkangi seluruh peninggalan harta orang tuamu, pasti dia orangnya!!" desis si kakek geram.

Tak menyangka sang guru mengetahui apa yang telah terjadi, Raden Ponco Sugiri belalakkan mata tak mampu menutupi rasa kagetnya. Merasa terlanjur ditambah dendam kesumat atas kecongkakan serta sifat tamak adik tirinya maka Raden Ponco berkata. "Memang dia orangnya. Saya hanya sedikit melakukan kesalahan dalam mengurus harta kekayaannya. Tapi dia menuduh jambangan emas kesayangannya saya yang mencuri. Dia menyiksa saya bahkan menyakiti bagian anggota rahasia saya. Setelah kelahiran anak saya yang ketiga ada kemungkinan saya tidak akan punya keturunan lagi!”

"Ah, setan mana yang telah meracuni jiwa adik tirimu itu hingga tega memperlakukan dirimu begini rupa?" seru si kakek gusar. "Hal ini tak bisa dibiarkan begitu saja. Kau harus melakukan sesuatu, paling tidak mengambil alih seluruh kekayaan peninggalan ayahmu!" kata orang tua itu kemudian.

Raden Ponco Sugiri tersenyum kecut, wajahnya murung sedangkan matanya menatap kosong ke arah pelita satu-satunya yang berada di ruangan itu.

"Dengan apa saya dapat melakukan semua itu guru? Raden Anom punya segudang tukang kepluk, berlusin pembunuh bayaran dan beberapa orang tokoh silat. Selain itu Raden Anom sendiri mempunyai kesaktian sangat tinggi. Seandainya pun kita berdua menghadapi mereka, menggempur bersama-sama pasti kita hanya membuang nyawa sia-sia." kata Raden Ponco Sugiri.

Si kakek terdiam, wajahnya yang tertutup rambut panjang awut-awutan nampak tegang sedangkan keningnya berkerut pertanda si kakek sedang berpikir keras mencari jalan keluar. Hingga pada akhirnya diapun berkata.

"Sekarang aku punya jalan. Keberhasilannya bisa kujamin, tapi mengenai resiko yang terjadi di kemudian hari aku tak berani mengatakannya. Pasti syaratnya terlalu berat bagimu!"

Mengingat akan nasib dan derita hidup yang dialaminya selama ini, tanpa pikir panjang lagi Raden Ponco Sugiri langsung berkata. "Apapun resikonya akan saya tanggung guru. Saya kasihan pada anak-anak saya juga istri saya. Mereka tidak pernah merasakan kesenangan hidup sama sekali!"

"Syarat yang harus kau tanggung terlalu berat Raden." kata gurunya.

"Sudah saya katakan, saya tak perduli! Meskipun nyawa saya sebagai taruhannya. Saya sudah tak tahan menjadi kacung adik tiri laknat itu. Setiap melakukan kesalahan berbalas dengan cambukan!" keluh Raden Ponco Sugiri.

Wajah yang berubah murung di balik rambut riap-riapan perlahan terangkat, mata memandang lurus ke depan, mulut yang tertutup kumis terbuka. "Kalau itu maumu aku tak bisa melarang. Tapi harus kau ingat, begitu kau keluar dari pintu rumah ini berarti kau sudah tak dapat lagi menarik keinginanmu. Segala ucapanmu telah tercatat di Sumur Getih."

"Sumur Getih? Siapa yang mencatatnya?" tanya Raden Ponco Sugiri terheran-heran.

"Nanti kau akan tahu sendiri. Sekarang kau tak usah banyak bertanya. Berdirilah!" perintah si kakek.

Meskipun tak tahu apa maksud keinginan gurunya, tapi dia bangkit dan berdiri juga. Si kakek kemudian bangkit.

"Kita akan melakukan perjalanan yang cukup jauh. Karena itu pejamkan matamu, jangan kau buka jika belum ada tanda dariku. Mengerti?!"

"Saya mengerti guru." sahut sang raden.

Dalam keadaan mata terpejam Raden Ponco Sugiri kemudian mendengar gumam Seperti orang yang sedang membaca mantra- mantra. Sedangkan di sekelilingnya terasa ada sambaran angin yang membuat sekujur tubuh sang Raden laksana diselimuti es. Lalu satu tangan menyambar pinggang. Raden Ponco Sugiri merasa tubuhnya tersentak, melesat bagaikan dibawa terbang.

Di saat dirinya dalam keadaan demikian rupa, ingin rasanya sang Raden membuka mata melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi dan di mana saat itu dia berada. Tapi niat itu tak dilaksanakan karena dia ingat dengan pesan Rowe Rontek Panjane. Apa yang dilakukan si kakek saat itu merupakan pengerahan dari salah satu ajian bernama Sapu Angin. Ajian ini dua tingkat lebih tinggi dari ilmu lari cepat yang dimiliki oleh banyak tokoh. Biasanya kakek itu hanya menggunakan ajian bila hendak melakukan perjalanan jauh untuk melaksanakan suatu urusan penting.

Raden Ponco Sugiri tak mampu mengingat berapa lama dirinya berada dalam bimbingan sang guru. Sampai kemudian dia merasa tubuhnya melesat turun dan kedua kaki menginjak tanah.

"Buka matamu, kita sudah sampai di tempat tujuan!" kata si kakek memberi aba-aba. Tanpa ragu Raden Ponco buka matanya. Dia terkejut begitu menyadari dirinya tidak lagi berada di tempat kediaman Rowe Rontek Panjane, melainkan di suatu tempat yang luas dipenuhi batu- batu besar, sedangkan setengah tombak di depannya dia melihat sebuah sumur yang gelap dan tak diketahui berapa dalamnya.

Sejenak lamanya Rowe Rontek Panjane memandang ke arah sumur. Lalu dengan suara keras dia berteriak. "Wowor Baji Marani sahabatku. Aku datang membawa muridku dengan harapan kau dapat membantu menyelesaikan persoalan yang sedang dihadapinya! Harap kau mau unjukkan diri!"

Di samping si kakek Raden Ponco diam membisu. Dia tak tahu kepada siapa gurunya bicara, karena di tempat itu selain sumur dan batu-batuan dia tidak melihat ada orang lain terkecuali mereka. Pertanyaan itu nampaknya segera berjawab, karena tak lama kemudian terdengar suara tawa mengikik aneh yang datang dari dalam sumur. Seiring dengan terdengarnya suara tawa dari dalam kegelapan sumur melesat satu sosok serba putih, berjumpalitan di udara sambil berputar, lalu jejakkan kaki tepat di hadapan sang Raden dan gurunya.

Ketika Raden Ponco memperhatikan dengan seksama, wajah laki-laki itu mendadak berubah pucat seperti kehilangan darah, tubuh menggigil sedangkan mulut ternganga kaget. Sosok yang berdiri tegak di depan mereka itu adalah sosok nenek tua renta, telinga kiri besar panjang, sedangkan mata menjorok ke dalam rongga, kedua hidung hampir tak pernah berhenti meneteskan darah, giginya yang hitam mencuat sedangkan bibir bawahnya yang besar menggelantung seperti sarang lebah. Dagunya sendiri tidak terlihat karena tertutup bibir yang bergelayutan itu.

"Hi... hi... hi, tamu datang mengapa tak memberi hormat pada tuan rumah? Duduk...!" perintah si nenek bermuka seangker setan ketus. Seiring dengan itu Raden Ponco merasakan adanya tekanan hebat di kedua bahunya, kedua kaki bergetar, lalu dia pun jatuh terduduk tak bangkit-bangkit lagi. Sedangkan gurunya masih dapat tegak di tempatnya meskipun kedua kakinya amblas melesak ke dalam tanah. Maklumlah sang Raden, perempuan bermuka angker bertelinga lebar panjang itu tengah menguji gurunya.

"Rowe Rontek Panjane, kau tetap seperti dulu. Keras kepala dan tak mau mengalah, padahal kau menyadari ilmu yang kau miliki hanya setahi kukuku. Puah...!" dengus si nenek.

Rowe Rontek Panjane hanya tersenyum sinis. Dia tahu betapa tingginya kesaktian yang dimiliki perempuan tua di depannya. Kesaktiannya sulit dijajaki, selain itu dia juga memiliki seorang jin yang dapat diperintahnya melakukan pekerjaan apa saja, termasuk juga menghabisi melenyapkan nyawa orang.

"Saat ini kesaktian yang dimiliki si tua bodoh ini memang tak seberapa dibandingkan tingginya ilmumu, mungkin nanti di suatu saat kau akan menjumpaiku dalam keadaan yang lain."

"Saat itu kau sudah mampus disantap cacing tanah! Hi... hi... hi." Si nenek berkata disertai tawa aneh panjang yang seakan datang dari alam para lelembut. Sekejapan tawanya terhenti. Dia melirik Raden Ponco Sugiri sekilas. Yang dipandang tundukkan wajahnya. "Aku sudah tahu riwayat hidup laki-laki ini. Aku juga sudah tahu maksud tujuan apa kau datang ke sini membawa muridmu. Sebelum kau datang tadi, aku sudah berusaha masuk mengintai ke tabir alam gaib, meminta petunjuk pada para setan sesat mereka- reka dan menghitung hari apes saudara tirimu itu. Malam ini jatuh pada untung mujurmu. Kau bisa hidup senang, menikmati kemewahan dengan anak istrimu di waktu mendatang...!"

"Apa maksudmu, nek?" tanya Raden Ponco heran juga kaget.

"Keparat, jangan bicara jika tak kuminta. Kau hanya boleh mendengar. Aku tahu bukankah maksud kedatanganmu ke sini adalah untuk mengambil alih harta peninggalan ayahmu yang diserakahi Raden Ronggo Anom? Mengambil begitu saja tidak mudah, terkecuali bila kau melenyapkan manusia sakti itu. Untuk melakukannya juga tidak mudah, jangankan kau dan gurumu. Aku sendiri tanpa bantuan Babad Nyawa mungkin tak sanggup."

Mendengar penjelasan si nenek Raden Ponco Sugiri jadi kaget. Dia tak menyangka harus berbuat sejauh itu. Tapi apa yang dikatakan oleh si nenek rasanya memang dapat diterima akal.

Terlanjur sudah melangkah, pantang bagi sang Raden untuk membatalkan niatnya.

"Lalu apa yang harus dilakukan muridku, Arwah Darah Senggini?" tanya si kakek.

"Hik... hik... hik. Muridmu tak perlu melakukan apapun. Aku yang melakukan segalanya dengan dibantu Babad Nyawa. Tapi dengan satu syarat, kelak aku meminta dua nyawa sebagai tebusan pekerjaan yang kulakukan sekarang. Per- tama aku meminta kedua tangan dan kakimu, Raden. Itu adalah penagihan janji yang paling ringan. Setelah itu aku baru datang meminta nyawamu!" kata si nenek tenang dan disertai seringai aneh.

Mendengar ucapan perempuan itu bukan hanya Rowe Rontek Panjane saja yang tersentak kaget, Raden Ponco Sugiri apalagi. Dia tak menyangka si nenek meminta tebusan seberat itu.

"Sobatku Arwah Darah Senggini, apakah tidak salah pendengaranku ini?"

"Kau tidak salah mendengar, aku juga merasa pasti tidak salah mengatakan. Kalian mengikat perjanjian denganku dan aku mengikat janji dengan setan! Saat Raden Ronggo Anom kubunuh, berarti aku menghutangkan nyawa padamu Raden, kelak aku menagih satu nyawa ditambah satu sebagai bunganya yaitu nyawa anakmu!"

"Anakku... anakku yang mana?" tanya sang Raden. Dia lalu teringat pada ketiga anaknya, satu perempuan dan dua laki- laki.

"Anakmu yang paling bungsu. Anak itu akan lahir kemudian setahun setelah kau datang ke sini!” tegas Arwah Darah Senggini.

"Tapi... muridku saat ini telah kehilangan fungsinya sebagai laki-laki, mustahil dia dapat memberikan satu keturunan lagi!" menerangkan si kakek.

Sekejap nenek angker itu pandangi Raden Ponco Sugiri. Mulai dari ujung rambut dan terhenti di bagian bawah perut. Ditatap seperti itu sang Raden menjadi jengah. "Atas kehendak setan segalanya bisa diatur!" berkata begitu Arwah Darah Senggini gerakkan tangan kanannya ke bagian bawah perut Raden Ponco Sugiri. Walaupun gerakan tangan itu tak sampai menyentuh di bagian itu. Namun sang Raden merasa anunya seperti diremas dan ditepuk pulang balik. Seketika dia juga merasakan adanya hawa hangat menjalari di sekitar bawah perutnya. Mula-mula terasa  sakit,  tapi  lama- kelamaan sang Raden merasa lega, mulas di perutnya akibat tepukan aneh juga hilang. "Bagaimana perasaanmu kini?" tanya nenek itu disertai senyum sekilas di bibirnya yang tebal.

"Aku merasa agak baikan nek." sahut Raden Ponco agak malu-malu.

"Nah itu artinya perjanjian tetap berjalan. Jika Raden Ronggo Anom telah kubunuh, jika hidupmu telah mapan. Kau harus menyerahkan anak bungsumu. Aku membutuhkan kulit juga nyawa bocah itu. kau serahkan padaku tepat usianya sepuluh tahun. Jika janjimu tak kau penuhi, kau harus membayar semua pengingkaranmu dengan seluruh nyawa keluargamu!"

Mendengar penjelasan si nenek, menggigillah tubuh Raden Ponco Sugiri. Dia memandang pada gurunya seakan minta pendapat, tapi kakek tua itu malah mengangkat bahu. "Seperti yang telah kukatakan, kau tak boleh bersurut langkah setelah meninggalkan pintu rumahku!" kata si kakek pelan.

"Baiklah, kupenuhi permintaanmu. Tangan dan kakiku kelak kuserahkan padamu, kemudian nyawaku juga kulit serta nyawa putraku yang terlahir di kemudian hari!" jawab Raden Ponco Sugiri dengan suara bergetar.

"Bagus! Kata sepakat sudah sama kita dapat. Sekarang kau pergilah, kembali ke Wonogiri. Besok pagi begitu kau sampai ke sana Raden Ronggo Anom pasti sudah terbujur tanpa nyawa. Harta pasti kau dapat, terkecuali harta milik nenek moyangmu yang pertama yang kini terkubur di kaki gunung Liman sebelah timur Ponorogo. Harta itu akan menjadi milikku. Karena aku yang akan memegang kuncinya, aku yang menyimpan peta penyimpanannya. Hik... hik... hik!"

"Tapi nek peta itu sekarang ada di suatu tempat disembunyikan oleh Raden Ronggo Anom." Sergah sang Raden yang mendadak jadi tidak rela jika harta keluarga yang dapat dijadikan untuk membangun kerajaan besar jatuh ke tangan orang lain.

"Peta itu hangus malam ini. Kelak dia akan dipindahkan oleh Babat Nyawa ke satu tempat. Tempat yang bergerak tak terjangkau oleh penglihatan mata biasa!"

"Apa maksudmu sobatku?" tanya si kakek heran.

"Kau tak perlu tahu. Sekarang pergilah kalian! Aku hendak mulai mengerjakan apa yang menjadi permin- taanmu, Raden!"

Merasa tak punya pilihan lain, maka Rowe Rontek Panjane mengajak muridnya untuk meninggalkan tempat itu. Tidak berapa lama setelah murid dan guru meninggalkan Sumur Getih. Maka Arwah Darah Senggini segera duduk bersila. Kedua mata dipejamkan sedangkan kedua tangan dilipat ke depan dada. Bibir dower si nenek nampak berkomat-kamit, lalu tubuhnya menggeletar hebat. Seiring dengan itu pula dari bagian ubun-ubun si nenek mengepulkan kabut putih, dari telapak tangan kanannya juga mengepulkan kabut. Tangan yang mengepulkan kabut lalu digosok-gosokkan ke telinga kirinya yang lebar dan panjang. Keanehan kemudian terjadi. Dari bagian telinga keluar asap tebal berwarna biru, asap semakin lama membubung tinggi ke udara. Membentuk satu sosok samar besar dan angker. Sosok samar itu semakin lama semakin jelas ujudnya. Sampai kemudian tampak jelas seraut wajah laki-laki berambut kaku seperti landak, alis tebal, cambang bawuk lebat, mata merah laksana api, sedangkan salah satu telinganya memakai anting besar, bulat berkilauan.

"Apa yang harus kulakukan junjunganku, aku Babat Nyawa datang memenuhi panggilan!" kata sosok setinggi delapan tombak itu disertai senyum mengerikan.

Si nenek buka matanya, ketika dia menoleh ke sebelah kiri Arwah Darah Senggini tersenyum.

"Bagus! Malam ini aku berkehendak agar kau mencabut nyawa Raden Ronggo Anom. Kau bunuh dia tepat di bagian jantung. Selain itu kau juga harus menghanguskan peta penyimpanan harta keluarga Raden Ponco Sugiri, kau ingat baik-baik isi peta itu, karena kelak kau harus memindahkannya ke tubuh seseorang yang bakal terlahir ke dunia ini!" pesan si nenek.

"Aku tak pernah mengecewakanmu. Tugas akan kujalankan dengan baik. Aku Babat Nyawa mohon diri" berkata begitu Bosok tinggi besar rangkapkan tangan bungkukkan badan. Setelah itu tubuhnya raib dari pandangan Arwah Darah Senggini. Si nenek tersenyum, dia tetap di situ. Sementara bulan sudah bergeser di langit sebelah  barat.  Angin dingin berhembus menampar wajah keriput si nenek

sakti.

***

Keesokan harinya setelah sampai di Wonogiri, Raden Ponco Sugiri yang kembali dengan diantar oleh gurunya mendapati kenyataan adik tirinya tewas secara aneh. Seluruh Wonogiri menjadi gempar, para kaki tangan Raden Anom apalagi. Baru saja tadi malam junjungan mereka bersenang- senang dengan empat orang gadis cantik. Saat itu sang Raden dalam keadaan segar bugar. Tapi kini sosok yang penuh angkara murka itu mati dengan cara aneh. Belum lagi hilang rasa kaget di hati mereka, Raden Ponco Sugiri dan gurunya menyerbu mereka. Dalam keadaan berduka kehilangan orang yang sangat mereka hormati, menghadapi serbuan sang Raden apalagi dibantu oleh orang tua yang memiliki kesaktian tinggi hanya dalam waktu singkat mereka pun bergelimpangan roboh. Sedangkan mereka yang selamat langsung melarikan diri.

"Kini tujuanmu telah tercapai." berkata si kakek beberapa saat setelah kejadian itu. "Kau bisa hidup layak. Tapi harus kau ingat janjimu pada Arwah Darah Senggini. Kau telah berhutang nyawa padanya, sesuai janjimu kelak kau harus membayar hutang itu dengan nyawamu juga anakmu sendiri!!"

Raden Ponco Sugiri anggukkan kepala. "Nyawa kubayar nyawa. Janji tak kulupakan. Terima kasih atas petunjuk dan bantuanmu guru!" kata sang Raden. Dia lalu memandang ke depan, tapi Rowe Rontek Panjane telah raib dari gedung megah itu.

8

"Sudah kau ingatkah semua per- janjian yang diucapkan muridmu dulu? Kau yang menjadi saksi, tapi apa yang kemudian terjadi? Muridmu mengkhianati janjinya sendiri. Dia tak menyerahkan tangan dan kakinya, sehingga aku yang terpaksa datang meminta anggota badannya. Kemudian ketika anaknya lahir, genap sepuluh tahun bocah itu tak diberikannya padaku. Tapi dia sembunyikan di suatu tempat. Aku memberinya ingat dengan menyuruh Babat Nyawa mengirim badai topan ke Wonogiri. Kubuat sanak keluarganya tercerai-berai. Tapi itu kuanggap belum cukup....!" kata Wowor Baji Marani alias Arwah Darah Senggini.

"Aku tak pernah lupa dengan segala janji yang telah disepakati antara kau dan muridku. Tapi bukankah kau sendiri telah membunuh Raden Ponco Sugiri?" tanya si kakek seakan ingin memastikan. Beberapa hari yang lalu sebelum menemui perempuan cantik yang aslinya adalah seorang nenek tua renta itu Rowe Rontek Panjane memang sengaja menyambangi muridnya untuk sekedar mengingatkan tentang janji sumpah sang murid pada nenek itu. Namun ketika sampai di puncak gunung Wilis ternyata Raden Ponco Sugiri ternyata telah tewas, jasadnya dalam keadaan membusuk.

Mata Arwah Darah Senggini mendelik besar. Mulutnya terkatup sedangkan kedua tangan tergetar. "Kau tahu apa tentang hidup dan matinya manusia? Agar kau tahu, aku sama sekali belum pernah menginjakkan kakiku ke puncak gunung Wilis. Aku bahkan tak pernah menyuruh Babat Nyawa mencari laki-laki keparat itu, bagaimana sekarang kau bisa mengatakan aku telah membunuhnya?" hardik si nenek marah.

"Apa? Jadi... jadi siapa yang membunuh muridku?" tanya si kakek kaget dan tak percaya dengan pendengarannya sendiri.

"Kau mengenal diriku sudah sangat lama, Rowe. Walau hidupku menyimpang jauh dari jalan yang telah digariskan Tuhan, tapi aku tak pernah berdusta! Kau mau percaya atau tidak itu terserah padamu. Satu hal yang harus kau ingat, kau harus memberikan nyawamu sebagai ganti nyawa muridmu!"

Mendengar ucapan si nenek, Rowe Rontek Panjane tersentak kaget. Sama sekali dia tak menyangka ujung dari semua langkah yang ditempuh muridnya akan berakhir dengan kematiannya sendiri. Padahal kedatangannya ke Sumur Getih adalah ingin memastikan apakah nenek itu telah menagih janjinya. Tapi siapa menyangka sang murid ternyata tewas bukan di tangan Arwah Darah Senggini. Lalu siapa yang telah membunuh Raden Ponco Sugiri? Beberapa saat lamanya si kakek mencoba berpikir dan menduga-duga siapa gerangan pembunuh sang murid. Tapi dia tak menduga siapa orangnya. Bisa jadi yang membunuh Raden Ponco Sugiri adalah salah satu dari keempat anaknya sendiri. Bukankah sejak sang Raden mengasingkan diri di puncak gunung Wilis anak-anaknya seperti saling curiga-mencurigai satu sama lain?

"Selesaikah kau berdoa, Rowe Rontek Panjane?" tanya Arwah Darah Senggini sambil memandang mendelik ke arah si kakek. Rowe Rontek tersentak kaget. Lamunannya buyar seketika.

"Apa maksudmu, Marani?" tanya si kakek.

"Kau pura-pura pikun, kau lupa? Nyawamu... kau harus serahkan nyawamu sebagai pengganti nyawa muridmu!" tegas si nenek.

"Tapi bukankah Raden Ponco Sugiri telah mati?"

"Hik... hik... hik. Kau benar, Raden keparat itu sudah mampus! Tapi bukan di tanganku. Siapa pembunuhnya kau bisa menanyakannya nanti pada malaikat penjaga neraka. Serahkan nyawamu sekarang juga, jika kau telah memberikan nyawamu setelah itu akan kucari semua anak turun Raden Ponco Sugiri...!"

Mendengar ucapan si nenek Rowe Rontek Panjane jadi terheran-heran.

"Apa maksudmu?"

"Maksudku sudah jelas. Aku akan mengambil jiwa seluruh anak turun Raden Ponco sebagai imbalan atas segala pengingkaran janji yang dilakukannya!" sahut Arwah Darah disertai tawa lebar. "Janji sudah terlanjur disepakati, muridku yang merasakan hidup senang sedang aku cuma kebagian tulahnya. Tapi aku tak mungkin menerima kematian seperti keledai tolol. Menyesal rasanya jika kau tak dapat menghentikan apa yang hendak dilakukannya!" batin kakek renta itu dalam hati. Tapi kemudian dia berkata. "Baiklah sobatku, jika muridku sudah mengikat janji padamu dan kau terikat janji dengan para setan. Sebagai gurunya aku akan membayar dengan nyawaku. Mengenai apa nanti yang akan kau lakukan setelah aku mati terserah dirimu. Sekarang aku siap, turunkan tangan jahatmu yang paling keji. Hantam bagian tubuhku yang kau sukai. Tapi ingat hanya dengan sekali hantam, jangan kau sakiti diriku terlalu lama!" berkata si kakek dengan suara bergetar dan memelas. Dia bahkan memejamkan matanya, tubuh dibungkukkan seakan siap menyerahkan kepala. Sedangkan kedua tangannya memegang tongkat ular kering.

Melihat sikap orang yang seperti pasrahkan nyawa siap menerima kematian, maka arwah darah Senggini siapkan satu pukulan yang dikenal dengan nama Mengguncang Bumi Menguras Lautan. Dua tangan digosokkan satu sama lain, sebentar saja kedua tangan itu menggeletar hebat disertai mengepulnya asap berwarna biru. Sedangkan tangan si nenek yang merubah wajahnya menjadi cantik secara tak wajar sampai ke bagian siku telah berubah menjadi biru pula. Si kakek yang pura-pura pejamkan mata menyadari bekas sahabatnya itu benar- benar menghendaki jiwanya. Sehingga dia yang memang telah menyiapkan pukulan di tangan kiri, serta siap menekan bagian leher tongkat ularnya segera mendahului lepaskan serangan.

"Aku sudah siap sahabatku!" Si kakek berseru. Bersamaan dengan terde- ngarnya seruan Rowe Rontek Panjane, maka detik itu dia menekan bagian leher tongkat ular kering sekaligus memba- renginya dengan hantaman tangan kiri. Selarik sinar putih menyilaukan ber- kiblat, menderu sebat disertai menebarnya hawa panas dari telapak tangan si kakek. Sedangkan di bagian mulut tongkat ular kering di tangan si kakek melesat pula cairan hitam disertai bau amis yang sangat luar biasa. Masing-masing serangan itu menghantam lurus ke bagian yang paling mematikan di tubuh lawannya.

Tak menyangka si kakek melakukan tindakan senekad itu tentu kejut Arwah Darah Senggini bukan olah-olah. Tapi dia adalah tokoh sesat yang memiliki segudang pengalaman. Sambil memaki dia bantingkan dirinya ke kiri, menelungkup sama rata dengan tanah sambil melepaskan pukulan Mengguncang Bumi Menguras Lautan.

"Tua bangka keparat! Kelicikanmu akan kubalas dengan kematian yang paling menyakitkan!" Suara teriakan si nenek cantik tenggelam oleh suara gemuruh suara pukulan maut yang dilepaskannya sendiri. Sinar hitam pekat menderu di udara, dua pukulan sakti sailing bentrok, menimbulkan suara berdentum menggetarkan Sumur Getih dan memporak-porandakan bebatuan yang terdapat di sekitar tempat itu.

Sosok si kakek Rowe Rontek Panjane terlempar dua tombak, si nenek tetap berada di tempatnya. Tapi dia menjerit kesakitan ketika bagian bahunya sempat terkena cairan racun yang tersembur dari tongkat hitam lawan. Laksana kilat Arwah Darah Senggini bangkit berdiri. Dia memperhatikan bahunya, si nenek jadi terkesiap. Bukan hanya pakaiannya yang hangus terkena sambaran cairan racun, tapi kulit dan daging bahunya juga melepuh gosong menimbulkan rasa sakit dan panas luar biasa. Si nenek segera telan sebutir pil berwarna hitam pipih seperti tahi ayam kering. Beberapa bagian bahu di sekitar luka ditotoknya untuk mencegah agar racun ganas tidak sampai menyebar ke pembuluh darah. Dalam hati dia tak menduga kalau bekas sahabatnya yang dulu memiliki tingkat kesaktian jauh berada di bawahnya ternyata kini ilmunya maju pesat. Dari pukulan yang dilepaskan si kakek tadi dia bahkan mengetahui tenaga dalam Rowe Rontek Panjane hanya satu tingkat di bawahnya. Tapi si nenek merasa tongkat ular kering di tangan si kakek itulah yang paling sangat berbahaya.

Karena itu begitu Arwah Darah Senggini melihat lawan tampak menderita luka dalam akibat bentrok pukulan tadi, tanpa memberi kesempatan dia langsung menyerbu ke arah lawan. Dua tangan berkelebat, satu menyambar ke arah tongkat dengan maksud merampas sedangkan satunya lagi lakukan jotosan ke bagian wajah. Sambaran angin keras menampar bagian wajah si kakek, walau terluka dia maklum kalau lawan mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dia miliki. Si kakek juga tahu lawan bermaksud merampas tongkat lawannya. Tanpa menghiraukan lukanya sambil memeluk tongkat dengan tangan kiri Rowe Rontek Panjane bergulingan ke samping, sebelum itu tangan kanan dipergunakan untuk menangkis jotosan lawan.

Duuk!

Benturan yang terjadi membuat Rowe Rontek Panjane mengerang kesakitan. Tangannya yang kurus bagaikan kulit pembalut tulang bengkak menggembung besar dan terasa remuk di bagian dalam. Belum lagi hilang rasa kaget Rowe Rontek, pada waktu bersamaan lawan kembali melepaskan pukulan Mengguncang Bumi Menguras Lautan. Sinar biru kembali berkiblat.

Melihat pukulan menyambar di depan wajahnya mustahil bagi orang tua itu sempat menghindari. Dalam keadaan terluka, Rowe Rontek putar tongkat ular di tangannya membentuk perisai diri. Angin dingin berkesiuran akibat demikian cepatnya si kakek memutar senjata.

Buuum!

Benturan keras tak dapat dihindari lagi, laki-laki tua itu menjerit, tongkat yang dijadikan perisai hancur berkeping- keping. Pukulan lawan bukan saja hanya menghancurkan tongkat, tapi juga menjebol dada orang tua itu, hingga bagian anggota dalam Rowe Rontek berhamburan keluar. Si kakek tewas seketika dengan mata melotot mulut ternganga lebar penasaran. Arwah Darah Senggini mendengus, memperhatikan mayat bekas sahabatnya lalu tertawa terbahak-bahak.

"Kau boleh belajar belasan tahun lagi di alam baka, setelah itu baru datang padaku. Huh...!" desis Arwah Darah Senggini. Dia lalu berpaling ke jurusan lain. Bibir mengurai senyum. "Aku harus mencari anak turun Raden Ponco Sugiri, akan kubunuh mereka semua. Tapi yang lebih penting lagi aku harus menemukan anaknya yang paling bungsu!" selesai berucap perempuan lalu berkelebat pergi.

9

Gadis berwajah cantik jelita berpakaian putih ringkas itu sadar sejak meninggalkan Wonogiri dirinya merasa ada orang yang terus mengikuti dirinya tak jauh di belakang sana. Tapi setiap dia menoleh ke belakang, orang yang mengikutinya sengaja menyelinap di balik semak belukar yang terdapat di kanan kiri jalan yang dia lalui.

"Aneh... entah mengapa dia mengikuti aku? Jika orang itu punya maksud tujuan yang jahat, tentu sudah sejak tadi malam dia dapat mencelakaiku. Tapi itu tak dilakukannya. Siapapun dia aku harus dapat menangkapnya hidup- hidup!" membatin si cantik yang tiada lain adalah Ambini.

Dia yang sengaja memacu kudanya secara perlahan kini menggebrak tali kendali kuda. Kuda berbulu putih itu lalu berlari cepat melewati kelebatan pohon dan semak-semak belukar. Ketika jalan setapak yang dilaluinya mulai mendaki punggung bukit kecil, dia membelokkan kudanya ke kiri, menyelinap di balik gelapnya bagian bawah pohon menunggu di sana dengan mata dipentang dan pendengaran dipertajam.

Beberapa saat berlalu si gadis masih belum melihat kemunculan orang yang membayanginya. Tapi dia terus menunggu sambil bersikap waspada. Tak lama kemudian dia melihat ranting belukar bergoyang-goyang, satu kepala terjulur memandang kian ke mari seperti orang bingung. Sekilas Ambini sempat melihat wajah orang itu, dia sempat terkesiap. Rasa-rasa Ambini pernah kenal dengan si pemilik wajah, dia mencoba berpikir mengingat-ingat. Sayangnya semakin keras dia mencoba mengingat, bagian belakang, kepalanya mendadak terasa sakit mendenyut.

Di depan sana Ambini melihat orang yang jujurkan kepala tadi sekarang sudah berdiri tegak. Dari tempatnya berada dengan jelas si gadis melihat sosok seorang pemuda berpakaian kuning berwajah tampan. Kembali pikiran Ambini yang pernah terganggu akibat terbentur batu saat terjadi badai topan di Wonogiri diselimuti perasaan aneh.

"Aku seperti mengenalnya... aku seperti...!" Ambini tak melanjutkan ucapannya karena pada saat itu si pemuda yang sibuk mencari dirinya tiba-tiba saja berseru. "Kupu-kupu perak! Celaka, ke mana aku harus lari. Kupu-kupu itu jumlahnya banyak sekali!"

Ambini merasa kaget dan dibuat tak mengerti dengan maksud ucapan si baju kuning. Selagi Ambini dibuat heran dari segala arah di mana pemuda itu berada tiba-tiba saja terdengar suara gemuruh aneh seperti suara sesuatu yang terbang di udara. Lalu di sekeliling pemuda itu terlihat kilatan cahaya putih yang berkelebat menyambar di udara menyerang pemuda berbaju kuning. Pemuda itu sambil berteriak ketakutan membuka bajunya. Dengan menggunakan baju dia berusaha mengusir si penyerang yang ternyata adalah kupu-kupu perak. Belasan kupu-kupu dapat dipukulnya hingga berpentalan. Tapi bajunya yang dipergunakan untuk memukul tampak hangus berlubang di sana-sini.

Melihat kenyataan ini bukan hanya pemuda itu saja yang dibuat terkejut, bahkan Ambini pun tak mampu menutupi rasa kagetnya. "Kupu-kupu perak. Mahluk kiriman dari alam gaib, siapa yang punya ulah!" desis si gadis heran.

"Mahluk jahanam, setelah tuanmu membunuh Raden Ponco Sugiri dan kau bunuh pula adikku hingga mayatnya pun tak dapat kupungut. Kini kau menghendaki nyawaku. Biarlah sebelum aku mati kau dulu yang kubikin mampus!" teriak si pemuda yang bukan lain adalah Barep Pandara. Pemuda itu sambil mengebutkan bajunya ke seluruh penjuru arah juga melepaskan pukulan yang bersumber pada hawa panas. Pukulan yang dilepaskannya dengan telak menghantam ke arah kawanan kupu-kupu maut itu. Begitu kena dihantam binatang yang dapat membunuh manusia secara mengerikan berkaparan. Tapi dia harus menguras seluruh tenaganya karena demikian banyaknya binatang itu yang menyerang.

Sementara itu Ambini jadi terkejut begitu mendengar Barep Pandara ada menyebut Raden Ponco Sugiri yang bukan lain adalah ayahnya sendiri. Yang mengejutkan si gadis pemuda itu mengatakan Raden Ponco telah terbunuh. Siapa yang membunuhnya? Pikir si gadis. Sekarang dia baru ingat, pemuda yang membuntutinya tentu adalah orang kepercayaan yang selama ini telah merawat ayahnya. Karena itu dia pun berteriak.

"Pemuda abdi ayahku. Selamatkan dirimu, aku akan mengusir mahluk-mahluk celaka itu!" kaget juga girang mendengar suara Ambini membuat Barep Pandara menoleh ke arah datangnya suara. Hanya sekilas saja memang, tapi kelengahan yang sedikit itu harus ditebusnya dengan mahal. Dari arah belakang sedikitnya sepuluh kupu-kupu perak hinggap di punggung juga di bagian leher. Ujung mulut binatang ini yang berbentuk belalai menghunjam menusuk kulitnya. Barep Pandara menjerit. Dia jatuh terhempas dan terguling-guling. Bersamaan dengan itu pula Ambini melesat dari atas punggung kudanya. Dalam keadaan berjumpalitan di udara dia meraup sesuatu dari balik kantong perbekalan. Dia lalu berkelebat, dilanjutkan dengan gerakan berputar di udara. Dalam kesempatan itu dia meremas benda bulat yang tergenggam dalam telapak tangannya. Ada cairan berwarna kuning berhamburan di udara disertai menebarnya bau harum semerbak. Begitu cairan itu berjatuhan di atas rerumputan maka ratusan kupu-kupu itu kini menyerbu ke arah cairan yang sengaja ditumpahkan oleh Ambini.

Dengan lahap kawanan kupu-kupu perak menghisap cairan manis itu. Tapi sekejap kemudian binatang itu berkaparan mati.

"Hi... hi... hi... makanlah madu racun pemberianku...!" dengus si gadis jejakkan kaki di atas tanah sambil tertawa panjang. Tapi kemudian dia segera teringat pada pemuda baju kuning tadi. Tawa terhenti, dia membalikkan badan. Di saat itu dia melihat tubuh pemuda berpakaian kuning nampak menggembung besar bagaikan balon yang mau meletus. Semua itu tentu mengejutkan Ambini.

"Kau... kau bukankah abdi ayahku. Apa yang terjadi?!" seru Ambini mencoba mendekati Barep Pandara.

"Ja... jangan mendekat. Sekujur tubuhku kini keracunan. Aku Barep Pandara. Raden Tua sudah berpulang. Aku... saya... dibuat tak mengerti dengan semua kejadian ini. Siapa pembunuh dan siapa yang akan terbunuh. Raden puteri kuingatkan berhati-hatilah!" kata Barep Pandara tak beraturan.

"Kau mengikuti aku, siapa yang telah menyuruhmu?" tanya Ambini dengan perasaan tercekat karena melihat sekujur tubuh Barep Pandara semakin bertambah membesar saja.

"Raden...!" Belum sempat Barep Pandara menyelesaikan ucapannya sekonyong-konyong tubuhnya yang seperti dipompa itu meledak.

"Oh...!" Ambini terpekik sambil mendekap wajahnya tak sanggup menyaksikan bagaimana tubuh Barep Pandara hancur berkeping-keping bertaburan di udara bagaikan ilalang terbakar.

Merinding tengkuk Ambini menyak- sikan semua ini. Ketika dia menjauhkan kedua tangan dari wajahnya. Dia melihat serpihan daging dan tulang belulang bertebaran di sekeliling tempat dia berdiri. Dia melompat menjauhi kepingan daging dan tulang-tulang yang bertaburan. Sejenak lamanya Ambini merasa dibuat bingung dan tak mengerti. Bagaimana mungkin tubuh Barep Pandara bisa meledak setelah terkena sengatan belalai kupu- kupu itu?

"Kupu-kupu perak itu rasanya pernah aku melihat, tapi entah di mana? Yang jelas dia bukan kupu-kupu biasa, mereka pasti berdatangan dari alam gaib. Siapa yang mengiring mereka ke mari?" kata Ambini seorang diri. Dia gelengkan kepala. "Mungkinkah abangku? Aku curiga dengan segala gerak-geriknya. Tapi ada kemungkinan saudaraku yang lain melakukan semua ini. Bisa jadi mereka berguru pada seseorang tokoh sakti yang memiliki kesaktian tinggi. Sayang aku tak tahu di mana kakang Aripraba dan adik Siwarana saat ini berada." batin gadis itu.

Dia akhirnya memutar tubuh, melangkah cepat mendapatkan kudanya yang masih berada di bawah pohon. Tanpa membuang waktu lagi dia melompat ke atas punggung kudanya. Namun pada waktu bersamaan mendadak terdengar suara tawa yang disertai dengan bergoyangnya cabang pohon di atas Ambini. Si gadis tentu saja merasa terkejut, diapun memandang ke atas pohon darimana suara tawa terdengar. Ambini tersentak kaget begitu melihat seorang pemuda tampan berambut gondrong bertelanjang dada berada di salah satu cabang pohon itu, dia tidak duduk melainkan bergelayutan, kakinya sengaja disangkutkan di cabang pohon tersebut, sedangkan kepala menghadap ke bawah. Hingga rambutnya yang diikat kain biru terjulai. Dilihat sepintas lalu apa yang dilakukan pemuda itu memang seperti kelelawar tidur. Apalagi kedua tangannya dilipat ke depan dada.

"Pemuda aneh, matanya terpejam. Mungkin saja dia tidur. Tapi yang tertawa tadi?" Ambini kitarkan pandang di sekitar atas pohon. Tak ada siapapun yang berada di sana selain pemuda itu. Merasa tidak punya kepentingan dengan si pemuda, maka si gadis hendak menggebrak kudanya. Tapi niat Ambini urung. Dia memang tak tahu sejak kapan si gondrong berada di pohon itu. Hanya bisa jadi pemuda itu merupakan tuan dari kupu-kupu perak yang telah menewaskan Barep Pandara. Ingat betapa mengenaskan kematian abdi setia itu. Maka tanpa pikir panjang lagi Ambini berteriak.

"Orang di atas pohon, apa yang kau lakukan di sini?" Tak ada jawaban. Si pemuda tetap seperti semula tadi. Diam tak bergerak, mata terpejam kedua tangan terlipat di depan dada.

"Hei apakah kau tak mendengar suaraku?" teriak Ambini lagi. Suara teriakan si gadis lenyap. Tubuh si pemuda nampak bergoyang-goyang seperti ditiup angin. Ambini tentu saja terkejut besar. Betapa tidak? Tadi dia berteriak disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Jika si gondrong itu orang biasa, pasti suara teriakannya membuat si pemuda pingsan atau paling tidak terjaga dari tidurnya.

Di bawah pohon masih dengan duduk di atas punggung kudanya Ambini katupkan bibirnya yang merah memikat. Kedua gerahamnya bergemeletukan. "Dia berlagak tuli atau memang sengaja ingin mempermainkan aku. Orang seperti ini hendaknya diberi pelajaran!" batin Ambini. Tanpa banyak pikir lagi si gadis lentikkan jari telunjuknya. Begitu jari dijentikkan maka selarik sinar putih berbentuk pipih laksana mata pedang menderu lalu menghantam bagian pangkal cabang pohon itu. Braak! Terdengar suara bergemeretakan. Bagian pangkal cabang pohon bagai dibabat mata pedang. Cabang itu berikut si pemuda meluncur deras ke bawah. Si gadis begitu melihat masih tetap berada dalam posisi kepala menghadap ke bawah belalakkan mata. Bagaimanapun di bawah pohon terdapat batu-batu besar. Jika pemuda tidak terjaga akibatnya tentu sangat menge- rikan. Dengan perasaan kaget dan merasa bersalah, maka Ambini melompat dari atas kudanya bermaksud menangkap tubuh si pemuda. Tapi gerakannya sekonyong-konyong jadi tertahan karena sejengkal lagi kepala pemuda itu menghantam batu, mendadak tangan pemuda melesat ke atas tanah menahan luncuran tubuhnya. Bluk!

Dengan gerakan perlahan dia jatuh rebah menelentang diatas batu-batu. Sesaat dia menggeliat, mata mengerjap dan dikedip-kedipkan. Dia lalu memandang ke sekelilingnya. Sampai kedua matanya nampak membulat lebar.

"Amboi... apakah aku tidak salah lihat, tidak sedang berada dalam buaian mimpi? Ada gadis begini cantiknya. Sayang sekali tidurku begitu lelap sehingga aku tak dapat melihatnya sejak tadi. Ah... Ha...!" Si gondrong tapuk keningnya sendiri. Dia segera duduk, sedangkan matanya hampir tak pernah lepas dari wajah Ambini. Merasa diperhatikan seperti itu dan setelah melihat tingkah si gondrong yang seperti orang sinting Ambini membentak.

"Pemuda mata keranjang, siapa dirimu? Berani kau menatapku begitu rupa, kubunuh kau!!"

Si Gondrong terkejut, dia nampak bingung. Kedua tangan mengusap mata pulang balik, mematut-matut dengan jemarinya. Di lain kejap wajah yang kaget itu nampak berubah riang, senyum terkembang.

"Ha...   ha...   ha.   Aku   sudah memeriksa, kau pasti salah lihat. Di mataku tak ada keranjangnya. Yang ada cuma belek, itu pun kecil-kecil. Jadi kau membohongi aku!" kata si gondrong yang bukan lain adalah Gento Guyon murid kakek Gentong Ketawa.

10

Rasa kaget si gadis kini berubah jadi kejengkelan. Sama sekali dia tak menyangka si gondrong berwajah tampan yang sempat membuat hatinya bergetar itu ternyata hanyalah seorang pemuda sinting. Tapi melihat apa yang dilakukannya tadi rasanya dia bukan pemuda sembarangan. Di rimba persilatan banyak orang yang mempunyai watak dan perilaku yang aneh untuk menutupi ketinggian ilmunya.

"Aku tak punya waktu banyak untuk melayanimu! Katakan padaku apakah engkau orangnya yang memiliki kupu-kupu perak itu?" hardik Ambini.

"Kupu-kupu perak mana aku punya. Di dunia ini aku tak punya siapa-siapa. Punya seorang guru itupun otaknya agak begini." berkata begitu Gento lintangkan jari telunjuknya di atas kening. "Inginnya punya seorang adik secantik dirimu!" kata Gento.

"Siapa sudi menjadi adikmu!" dengus Ambini ketus.

Gento tersenyum, lalu mengusap hidungnya. Enak saja dia menyahuti. "Jadi adik tidak mau, mungkin kau lebih senang kujadikan sebagai kekasih. Ah... kebetulan sekali yang satu itu aku belum punya. Ha... ha... ha!"

Merah padam   wajah  si gadis mendengar ucapan murid kakek Gentong Ketawa. Dia merasa sangat jengkel sekali. "Pemuda   sinting  mulutmu semakin kurang ajar saja. Rasakan tamparanku!" teriak si gadis. Sekali berkelebat dia telah sampai di depan si pemuda. Dengan cepat  tangannya  melayang    bermaksud menampar pipi. Tapi kali ini Ambini benar-benar dibuat kaget. Tamparannya yang dilakukan dengan sangat cepat itu hanya mengenai angin. Pemuda itu lenyap. Mata si gadis jelalatan mencari kian ke mari. Pemuda  bertelanjang   dada  itu

ternyata tak ditemukannya.

"Pemuda kurang ajar itu ternyata memang bukan manusia sembarangan. Huh... aku tak mengenalnya. Tapi kurasa bukan dia yang telah menggerakkan kupu-kupu dari alam baka itu. Sebaiknya aku mencari adik Siwarana saja. Mungkin dia mengetahui tentang kejadian aneh ini." berpikir begitu Ambini segera melompat ke atas kudanya. Kuda melangkah perlahan menuju jalan setapak di depannya. Tapi ketika sampai di jalan itu Ambini kembali dikejutkan dengan terdengarnya suara si pemuda. "Badan hancur, daging tercerai berai seperti dicacah, ini adalah korban tukang jagal untuk yang kedua. Tidak ada petunjuk selain kupu-kupu maut. Banyak kupu-kupu di dunia ini. Tapi yang beracun dan membuat tubuh manusia menjadi serpihan puing tak berguna baru dua kali kutemui!"

Ambini menatap tajam ke arah Gento yang bersikap acuh tak acuh. Belum lagi dia sempat ajukan pertanyaan, tiba-tiba terdengar suara teriakan menggelegar yang disertai dengan terciumnya bau busuk menyengat. "Siapa yang telah membunuh kupu-kupu itu, berarti dia harus menyerahkan tubuh dan nyawanya kepadaku!" kata satu suara.

"Yang jelas bukan aku. Tapi gadis itu!" sahut Gento.

Suara tadi lenyap, satu sosok melayang di udara. Dalam keadaan melesat di udara sosok itu lambaikan tangannya ke arah Gento Guyon. Satu gelombang angin berhawa panas luar biasa menderu melabrak pemuda itu, sementara sosok yang baru datang terus melesat menyambar pinggang Ambini.

Si gadis keluarkan seruan kaget. Dia segera melompat dari kuda, bergulingan selamatkan diri. Kuda meringkik keras dan tergelimpang roboh. Ketika Ambini melihat ke arah kudanya, dia melihat binatang tunggangan itu tak berkutik. Bagian punggungnya hangus. Si gadis menjadi sangat marah melihat kuda kesayangannya terkapar.

Sementara itu ketika Gento mendapat serangan dari sosok menebarkan bau busuk tadi dia langsung menghindar menjauh sambil merutuk. "Bangkai gila! Kau menghendaki gadis itu, tapi kau juga mau mengarah nyawaku. Kesalahan apa rupanya yang telah kulakukan?" ucapannya itu disambut dengan suara ledakan dari pukulan yang dilepaskan oleh bayangan yang berkelebat di atas kepalanya tadi. Guncangan akibat ledakan membuat tubuh Gento tergetar. Kini setelah getaran tak dirasakannya lagi si pemuda cepat berpaling memandang ke arah sosok yang berdiri tegak antara dirinya dan Ambini.

Baik murid kakek Gentong Ketawa maupun Ambini sama tak mampu menutupi rasa kagetnya begitu melihat orang yang berdiri di hadapan mereka. Sosok yang menyerang dan hendak menangkap Ambini ternyata adalah seorang laki-laki tua bertelanjang dada. Hampir sekujur tubuhnya yang pucat bagaikan mayat rusak, pelupuk matanya meleleh, pipi berlubang growak kanan kiri, bukit hidung tanggal hingga berupa dua lubang besar. Rambut rontok, bagian leher tepat di tenggorokan bolong, sedangkan perutnya tepat di bagian lambung juga berlubang, meneteskan cairan buduk berwarna kuning kehijauan.

Tak percaya dengan apa yang dilihatnya Gento mengusap matanya. "Ah gila betul. Dia seperti bukan manusia hidup. Manusia tak mungkin bisa bertahan hidup dalam keadaan begini rupa." batin Gento. Meskipun saat itu perasaannya dilayapi ketegangan, tapi sambil terse- nyum si pemuda berkata. "Orang tua, rupamu bagus amat? Kau habis berkunjung ke alam baka atau bagaimana? Atau kau memang orang yang sudah mati? Lalu di dalam kubur bumi menolak jasadmu yang busuk begini? Kasihan sekali. Daripada gentayangan meresahkan hati orang, bagaimana jika tubuh busukmu itu kubakar saja?"

Sosok yang terus pandangi Ambini dengan sepasang matanya yang berwarna kuning mengerikan sejak tadi kini menoleh, memutar badannya dengan gerakan yang kaku. Ada hawa angker aneh membersit lewat tatap mata sosok itu. Mulutnya terbuka mengeluarkan asap tebal berwarna hitam. Asap itu semakin menebal begitu dia berkata.

"Bocah tak tahu gelagat. Tak pandai bertuan pada siapa kau berhadapan. Aku manusia terhormat, kedudukanku lebih tinggi dari semua manusia yang ada di seluruh rimba persilatan ini. Lebih baik kau pergi mencari selamat. Urusanku dengan gadis cantik itu tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu. Aku Raden Ronggo Anom tak pernah mengulang ucapan dua kali. Jika kau membantah, ajal akan datang menjemputmu tak sampai sekedipan mata!" kata sosok yang mengaku sebagai Raden Ronggo Anom. Suaranya serak kaku dan dingin menyeramkan.

Gento tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan sosok angker yang tidak ubahnya seperti mayat hidup itu. Dia lalu berkata. "Rupanya kau datang mewakili malaikat maut. Tapi melihat tampangmu, kurasa kau sengaja dikirim setan pelayangan untuk cari perkara. Melihat pada rupamu, aku yakin kau baru saja menjalani hukuman berat di masa lalu. Kemudian kau bermaksud membawa gadis itu untuk menemanimu di alam baka. Kurasa jangankan dia, nenek pikun yang tubuhnya hanya tinggal rongsokan pun tak akan sudi ikut denganmu. Ha... ha... ha!" kata si pemuda disertai tawa tergelak-gelak.

Mendengar ucapan si pemuda sosok Raden Ronggo Anom tampak bergetar, hidungnya yang bolong besar mendengus mengeluarkan suara bagai sapi melenguh. Sebaliknya Ambini sendiri sempat terkesiap mendengar orang mengatakan siapa dirinya. Dia tahu pasti Raden Ronggo Anom telah meninggal secara aneh sekitar tiga puluh tahun yang lalu. Bagaimana manusia tamak, culas dan keji dan masih terhitung pamannya sendiri itu kini bisa bangkit kembali? Atau mungkin sosok setengah bangkai ini hanya mangaku- ngaku saja? Ingat akan ucapan Gento ketika melihat mayat Barep Pandara yang hancur berkeping-keping itu. Maka dengan suara berbisik dia bertanya.

"Pertama kali kau melihat mayat yang seperti itu keadaannya di mana?"

Merasa pertanyaan itu ditujukan padanya maka Gento menjawab. "Di puncak gunung Wilis."

"Puncak gunung Wilis. Di sana tempat pengasingan ayah. Menurut Barep Pandara ayah sudah meninggal." pikir Ambini. Dia lalu bertanya.

"Apakah kau melihat bangkai berjalan ini ada di sana saat itu?"

"Tidak. Aku bertemu dengan seorang pemuda bernama Aripraba. Aku juga melihat mayat yang sudah membusuk, tangan dan kakinya buntung."

"Yang dimaksudkannya pasti adalah ayahku. Tapi aku tak menyangka dia bertemu dengan saudaraku Aripraba. Sudah sangat lama aku tak bertemu dengan kakangku itu. Konon menurut kakang Danang Pattira, peta penyimpanan harta warisan keluarga ada di tangannya. Agaknya pemuda konyol ini tak tahu siapa diriku. Aku sendiri bingung pada siapa harus percaya." batin si gadis.

"Eeh, gadis cantik. Bangkai hidup ini memang apamu? Calon suami, kakek atau ayahmu? Mengapa dia begitu bernafsu ingin mendapatkanmu?" celetuk Gento setelah melihat Ambini hanya diam saja.

Si gadis melengak kaget. Sama sekali dia tak mengenal siapa adanya si gondrong. Mustahil dia berterus terang. Sehingga dia pun berkata. "Aku tak punya hubungan apapun dengan mahluk berwajah setan ini. Kurasa dia hendak menculik, membunuhku di suatu tempat. Atau seperti ucapanmu, dia hendak membawaku ke dalam liang kubur."

"Ah sayang, aku rasa tak rela jika gadis secantikmu harus menyerahkan diri pada mayat rombeng ini. Kalau kau mau, pangeran mu ini bersedia mengusirnya. Tapi dengan satu syarat...!"

"Katakan apa syaratmu?" tanya Ambini penasaran. Nampaknya dia mulai tertarik melihat cara dan sikap si pemuda yang polos.

Gento tersenyum. "Syaratnya menyu- sul belakangan. Sekarang kau hanya tinggal mengatakan apanya yang harus kutanggalkan? Tangannya, kaki, mata atau kepala atas bawah? Ha... ha... ha!" kata si pemuda disertai tawa tergelak-gelak. Sekejap kemudian tawanya terhenti. Dia melanjutkan. "Tapi mengingat keadaan tubuhnya yang hampir membusuk tak karuan rupa, bisa jadi yang di bawah sudah tanggal tanpa permisi."

Mendengar dan menyadari arti arah ucapan Gento Guyon wajah cantik Ambini merona merah juga tak dapat menahan geli. Sebaliknya sosok Raden Ronggo Anom sudah tak dapat menahan amarahnya.

11

Sejenak Raden Ronggo Anom menatap pemuda yang berdiri dengan tangan bertolak pinggang itu. Mulutnya yang selalu mengepulkan uap aneh berbau busuk bila bicara berucap. "Kau bocah sedeng yang pintar bicara. Aku suka padamu. Karena aku suka maka kau orang pertama yang kucarikan jalan kematian yang paling mudah!" dengus sosok yang mengaku sebagai Raden Ronggo Anom.

Si pemuda tertawa lagi. "Bangkai busuk yang mulutnya mengepul seperti cerobong asap. Kau boleh bicara apa saja, tapi hidup matinya manusia adalah persoalan takdir. Kau bicara seperti dewa, sebelum aku mati tentu aku akan mengucapkan selamat tinggal terlebih dulu padamu dan tentunya juga aku harus pamit pada gadis cantik sahabatku itu!" teriak si pemuda lantang. Menyadari agaknya sosok mayat hidup ini memiliki ilmu yang sangat tinggi, maka begitu melakukan gebrakan pertama dia langsung melepaskan pukulan Raja Dewa Ketawa. Begitu si pemuda hantamkan kedua tangannya ke arah lawan. Angin keras laksana badai topan menderu, hawa panas bergulung-gulung menyapu benda apa saja yang dilaluinya. Di depannya sana Raden Ronggo Anom tertawa aneh. Jari tangannya yang nyaris tanggal diacungkan menyambut deru angin yang melesat dari telapak tangan Gento.

Wuuut!

Jemari tangan itu nampak bergetar ketika membentur pukulan yang dilepaskan si pemuda. Secara aneh deru angin hebat yang sempat membuat Ambini terkagum-kagum dan sempat pula menyambar pohon di kanan kiri mereka hingga roboh seolah tersedot amblas ke dalam jemari tangan sosok mayat hidup.

Celakanya bukan hanya tenaga pukulan itu saja yang tersedot, tapi tubuh Gento sendiri seakan ikut tertarik. "Tikus gundul kebo budek. Mengapa bisa sampai terjadi begini?" rutuk si pemuda dalam hati. Dengan mata melotot dan mulut terpencong dia kerahkan tenaga dalam ke bagian kaki agar tubuhnya tetap bertahan di tempatnya. Apa yang dilakukannya ini berhasil hingga membuat tubuhnya bergoyang-goyang bagai pucuk cemara yang ditiup angin. Tapi hal ini nampaknya tak berlangsung lama, karena begitu mayat hidup gerakkan jemari tangannya ke atas, maka sekonyong-konyong tubuh Gento laksana disentakkan ke atas. Belum hilang rasa kejut di hati Ambini maupun Gento sendiri, mayat hidup telah memutar jemari tangannya. Tak pelak lagi tubuh Gento bagaikan titiran ikut berputar-putar hingga membuat kepalanya mendadak pusing dan pemandangan berkunang-kunang. Mendapat serangan aneh begitu rupa, Gento berpikir keras mencari jalan keluar.

"Setan ini memiliki ilmu aneh, aku harus melepaskan dua pukulan sekaligus. Akan kugabungkan pukulan Dewa Awan Mengejar Iblis dengan pukulan Selaksa Duka!" pikir si pemuda sambil menyalurkan tenaga dalam ke bagian tangannya. Seperti diketahui pukulan Dewa Awan Mengejar Iblis adalah satu pukulan dahsyat warisan Tabib Sesat Timur. Tabib sesat yang telah membuat sengsara si pemuda di waktu kecil. Untuk lebih jelas (baca Episode Tabib Setan). Sedangkan pukulan Selaksa Duka adalah warisan gurunya si kakek gendut besar Gentong Ketawa. Dua pukulan digabungan menjadi satu. Sebuah kekuatan hebat tercipta. Tak heran begitu Gento yang dalam keadaan berputar itu hantamkan kedua tangannya ke arah lawan, maka menggemuruhlah suara angin dahsyat disertai sambaran hawa panas dan dingin silih berganti. Dari telapak tangan pemuda itu berkelebat sinar putih menyilaukan mata, sedangkan dari tangan kiri menderu sinar merah hitam mengerikan.

Tak pelak lagi kedua pukulan maut itu menghantam tubuh lawannya. Terjadi ledakan keras mengguntur dua kali berturut-turut, terdengar suara tulang berderak-derak. Pasir dan debu berhamburan memenuhi udara, pemandangan jadi gelap seketika. Tanah terguncang, Mayat Hidup jatuh terbanting. Dia rebah menelentang, mulutnya mengerang, hidung mendengus mengepulkan asap aneh. Mayat Hidup merasakan sekujur tulang belulangnya laksana bertanggalan.

Melihat betapa tinggi serta anehnya ilmu yang dimiliki lawan. Maka Ambini berteriak. "Gondrong sinting aku akan membantumu!"

Selesai dengan ucapannya si gadis melolos pedang lentur yang melingkar di pinggangnya. Dia melesat ke arah lawan dengan gerakan laksana kilat. Sementara sambil mengayunkan senjata dia meraup sesuatu dari balik sakunya. Benda yang diraup dan ternyata merupakan serbuk beracun itu disambitkan ke bagian wajah lawannya. Sementara pada saat yang sama pedang di tangan kirinya melesat menghantam bagian perut.

Wuuus! Tringg!

Mayat hidup yang baru saja merasakan kehebatan pukulan yang dilepaskan pemuda bertelanjang dada tak sempat menghindar dari sabetan pedang dan tebaran serbuk beracun. Tapi apa yang terjadi kemudian membuat Gento berseru kaget dengan mata mendelik tak percaya. Betapa tidak, tebaran serbuk beracun yang dilepaskan Ambini tidak berpengaruh bagi lawan, malah berbalik menyerang pemi- liknya begitu hidung growong Mayat Hidup menghembusnya. Bukan itu saja, pedang di tangan Ambini yang membabat perut lawan juga seperti membentur palang baja. Malah pedang itu kini nampak rompal. Masih untung si cantik cepat berjumpalitan ke belakang selamatkan diri. Kalau tidak tentu dia menjadi korban serbuk beracunnya sendiri.

Dengan muka pucat dan wajah kucurkan keringat Ambini berdiri tegak. Matanya masih melotot seakan tak percaya dengan kenyataan yang dilihatnya.

"Manusia bangkai ini sesungguhnya punya ilmu aneh apa? Tubuhnya kebal senjata tak mempan pukulan!" desis si gadis. Tanpa sadar dia melirik ke arah Gento Guyon.

Pemuda itu kedipkan mata. Di tangannya kini tergenggam sebuah benda bulat berwarna kuning berkilau dengan besar tak lebih besar dari ibu jari dan sepanjang dua jengkal.

"Pemuda goblok itu. Dia hendak berbuat apa dengan benda sebesar itu?" rutuk Ambini yang menduga Gento telah berlaku tolol. Saat itu mayat hidup telah bangkit berdiri, kini dia memandang tajam ke arah si gadis. Sambil mengusap kuku- kukunya yang panjang hitam dan jelas mengandung racun jahat dia berseru. "Kali ini kau tak bakal lolos dari tanganku!"

Mendadak Mayat Hidup melompat ke depan, kedua tangan melakukan gerakan memeluk yang dilanjutkan dengan gerak menerkam. Jemari tangan berkuku hitam kanan kiri menyambar pinggang si gadis dari dua arah. Karena jaraknya yang hanya sekitar satu tombak, hanya dengan sekali lompatan Mayat Hidup hampir berhasil merengkuh Ambini. Si gadis berseru tertahan, sambil melompat mundur dia babatkan pedangnya ke arah jemari tangan lawan yang terjulur.

Tring! Tring!

Kembali terdengar suara berdentringan. Pedangnya laksana membentur baja tipis. Sedangkan tangan Mayat Hidup terus saja terjulur, Ambini jatuhkan diri, berguling-guling menghindar dari jangkauan lawannya. Selagi Mayat Hidup berupaya menyambar tubuh lawannya. Dari arah sampingnya terdengar teriakan menggeledek.

"Mayat busuk, kalau kau sudah jadi bangkai tak usah serakah hendak memeluk gadis itu. Aku yang hidup dan masih gagah begini saja tak berani sembarang peluk. Enak saja kau hendak berbuat kurang ajar! Kupecahkan kepalamu!"

Mayat Hidup mendengus panjang. Serentak dia menoleh, begitu menoleh dia melihat satu kilatan cahaya kuning berbentuk bulat lonjong menghantam kepala. Secepat apapun dia menghindar selamatkan kepala. Namun senjata di tangan Gento tetap menghantam kepalanya.

Tang! Tang!

Hantaman yang menggunakan seluruh tenaga dalam itu, jangankan batu karang atau kepala. Bola besi sekalipun pasti pecah. Tapi apa yang terjadi pada Mayat Hidup sungguh membuat Gento yang dibuat terpelanting dengan tenaga pukulannya yang membalik jadi geleng-geleng kepala seperti putus asa.

Ambini yang melihat semua ini juga jadi kecut. Dia menoleh ke arah Gento. Justru pada saat itu si pemuda itu sendiri selain heran melihat lawan tak dapat dibuatnya roboh setelah dihantam senjata Penggada Bumi juga heran melihat perubahan yang terjadi pada senjatanya sendiri.

Senjata sepanjang dua jengkal sebesar ibu jari itu begitu dipukulkan ke bagian kepala lawan nampak bergerak membesar sekaligus memanjang. Dalam keadaan kalut melihat kehebatan lawan, tapi dia juga tak mampu menahan geli. "Senjata ini seperti hidup saja. Ha... ha... ha! Dia jadi menggembung bengkak dan bergerak memanjang seperti ha... ha... ha..!"

"Hei... awas!" teriak Ambini tiba-

tiba.

Rupanya ketika itu selagi Gento

dibuat heran dengan keanehan senjata sendiri, Mayat Hidup mempergunakan kesempatan itu melompat ke arahnya sambil melepaskan satu pukulan dahsyat berhawa dingin luar biasa. Si pemuda terkesiap begitu melihat hawa dingin disertai sinar biru meluncur dan menghantam ke bagian dada. Sedapat mungkin secara reflek dia putar senjata di tangannya. Benturan keras tak dapat dihindari. Si pemuda jatuh terhempas. Mulutnya meneteskan darah. Di depannya sana Mayat Hidup terhuyung ke belakang. Melihat kenyataan ini tanpa membuang waktu lagi Ambini berkelebat dan menyambar tubuh si pemuda. Dalam gelapnya udara akibat ledakan tadi Ambini melarikan Gento yang sesungguhnya hanya menderita cidera ringan dari tempat itu.

"Gadis cantik! Kau tak mungkin bisa meloloskan diri dari tanganku. Pemuda itu pasti kubunuh sedangkan kau harus ikut denganku ke pesanggrahan abadi!" dengus si Mayat Hidup. Setelah membaca arah, dia lalu mengejar ke arah mana gadis itu membawa Gento Guyon.

12

Setelah menempuh perjalanan hampir dua hari lebih pada pagi berikutnya kakek berbadan tambun besar seperti raksasa dan pemuda bungkuk berwajah bertotol hitam bermulut runcing sampai di Ponorogo. Di tempat ini si kakek singgah sebentar di sebuah kedai memesan makanan untuk kemudian pergi lagi meneruskan perjalanan ke gunung Liman.

Di luar sepengetahuan si kakek atau pun si pemuda ketika mereka masuk ke dalam kedai tadi ada sepasang mata yang terus memperhatikan kehadiran mereka dengan tatapan matanya yang aneh. Bahkan ketika mereka meninggalkan kedai itu pemilik sepasang mata itu juga mengikuti mereka. Sampai sejauh itu baik si kakek gendut besar yang bukan lain adalah Gentong Ketawa maupun si bongkok Siwarana Sala Anuna tidak dapat mencium kehadiran penguntitnya.

Malah setelah sampai di luar dusun Ponorogo, Gentong Ketawa yang berjalan di belakang Siwarana berkata. "Kurasa gunung Liman tak jauh lagi dari sini. Aku lelah, perutku lapar. Kita istirahat saja dulu barang beberapa jenak lamanya. Di depan sana ada pohon besar, tempatnya teduh dari tempat itu kita bisa melihat keindahan gunung Liman. Makan sambil melihat pemandangan indah sungguh mengasyikkan, lebih sedap." Si kakek julurkan lidah basahi bibir. Dia melirik ke dalam kantong perbekalannya. Di sana dia menyimpan makanan dan juga sekendi tuak harum. Membayangkan nikmatnya tuak itu tenggorokan si kakek bergerak-gerak.

"Kakek... gunung Liman sudah dekat, mengapa kita harus istirahat? Jika sudah sampai di tempat tujuan kita bebas berbuat apa saja. Di sana kau bisa makan sepuasmu atau mengorok sepanjang hari." menyahuti si bongkok Siwarana.

"Sebenarnya apa yang kau cari di sana? Tempat penyimpanan harta karun keluargamu? Aku percaya harta itu cukup untuk mendirikan sebuah kerajaan yang paling besar di Jawa. Tapi terus terang kau mana pantas menjadi seorang raja...!" "Maksudmu?" tanya Siwarana tak

mengerti.

"Ha... ha... ha. Seharusnya kau tahu diri. Kau tak punya potongan atau tampang menjadi raja. Tapi kalau kau mau jadi raja di gurun pasir bolehlah. Aku yakin teman-temanmu pasti banyak di sana!" kata si kakek disertai tawa berderai.

Menyadari arah ucapan si kakek yang mengejek keadaan dirinya, wajah Siwarana sempat berubah. "Aku tak punya keinginan lagi apapun kek. Harta warisan keluarga bagaimana pun harus diselamatkan. Menurut ayah akulah yang menjadi kuncinya. Dalam diriku ada tanda, ada semacam peta. Aku baru ingat sekarang untuk melihatnya dengan jelas kita membutuhkan limau asam." ujar Siwarana.

Si kakek yang tadi hendak membuka mulut kini pandangi Siwarana. Mata si gendut yang sipit berkedap-kedip. "Limau asam? Mengapa kau tak bilang sedari tadi. Padahal aku banyak melihat buah limau di samping halaman kedai. Eeh... orang jelek. Bagaimana bentuk peta itu, apakah putih membentuk pulau seperti panu. Atau bulat seperti kurap? Ha... ha... ha!"

"Aku sendiri tak tahu, mungkin satu dari yang kau sebutkan itu." menyahuti si pemuda dengan perasaan jengkel. "Hei, kubilang kita istirahat dulu. Aku hendak makan dan minum barang sekejap." kata Gentong Ketawa. Enak saja dia duduk menjelepok di bawah pohon sambil menurunkan kantong perbekalannya.

Sementara Siwarana terus berjalan sambil berkata. "Makanlah di situ sepuasmu kakek Gendut. Aku tak punya selera, aku lebih baik menunggumu di depan sana dekat pohon pinus!" sahut Siwarana.

Si kakek anggukkan kepala. Dia segera membuka makanan yang dibungkus dengan daun pisang. Orang tua ini makan dengan lahap. Hanya dalam waktu sekejap makanan amblas ke dalam perut besar si kakek. Dia lalu membuka penutup kendi. Begitu terbuka tercium bau harum menyengat.

"Wah baunya saja sudah sangat sedap sekali, apalagi isinya?" gumam si kakek.

Gluk! Gluk!

"Betul-betul enak. Ha... ha... ha...!" kata Gentong Ketawa sambil menyapu mulutnya yang berselemotan tuak dengan punggung tangan, sedangkan wajah si kakek saat itu berubah memerah karena pengaruh tuak itu.

"Hem, ternyata hidup ini penuh dengan kenikmatan, walau palsu sedikit tidak mengapa. Ha... ha... ha." celetuk orang tua itu setelah meneguk habis isi tuak di dalam kendi.

Setelah merasa kekenyangan, dengan bermalas-malasan si kakek mendadak bangkit berdiri. Di saat itulah mendadak sontak dia dikejutkan dengan suara bergemuruh dahsyat yang disertai dengan terdengarnya suara jeritan Siwarana. Di depan sana ada lidah api sempat mencuat di udara, berkobar sekejap lalu lenyap. Suara bergemuruh sirna, jeritan Siwarana bagaikan terputus. Dalam kagetnya Gentong Ketawa memang sempat terkesiap. Tapi begitu menyadari bahaya apa kiranya yang terjadi pada Siwarana, maka tanpa membuang waktu lagi kakek gendut itu langsung berkelebat ke arah pohon pinus di mana suara gemuruh dan jeritan tadi datang.

Sampai di tempat itu si kakek tersentak kaget. Dia melihat tanah di bawah pohon terbelah merekah. Di kanan kirinya rumput dan semak-semak hangus terbakar. Api yang membakar sudah padam, namun Siwarana sendiri lenyap tak berketentuan. Kakek Gentong Ketawa hanya menemukan cabikan kain hitam yang merupakan bagian dari pakaian pemuda cacat itu.

"Jahanam keparat! Siapa yang telah melakukan semua ini?" desis si orang tua dengan perasaan tegang diliputi kecemasan. Dia lalu kitarkan pandang memperhatikan setiap sudut. "Siwarana... Siwarana... kau di mana?" teriak Gentong Ketawa memanggil-manggil nama pemuda itu. Gema suaranya lenyap begitu saja. Sunyi mencekam, di sudut sebelah kirinya dia melihat reranting pohon bergoyang seperti bekas tersentuh sesuatu yang bergerak. "Hh, siapapun yang membawa pemuda itu, aku berharap sesuatu yang sangat buruk tidak sampai terjadi pada dirinya!" membatin si kakek gendut dalam hati. Tanpa menunggu lebih lama orang tua ini segera mengejar ke arah di mana orang yang menculik Siwarana melarikan diri.

TAMAT