Pendekar Sakti Gento Guyon 01 - Tabib Setan


Sang surya belum lagi menampakkan diri di ufuk timur. Udara dingin di pinggir telaga masih terasa menusuk tulang. Tapi kakek tua berambut dan berjanggut putih itu sudah terjaga dari tidurnya. Dia menggeliat sedangkan mulutnya menguap lebar. Seolah ingat akan sesuatu, begitu selesai menyampirkan kantong perbekalannya yang butut dia pun bangkit berdiri. Sepasang mata si kakek memandang liar kian ke mari.

Setelah itu si kakek pun menyeringai ketika melihat benda yang dicari tergeletak tak jauh dari batu yang dijadikan alas tidurnya. Benda yang dicari si kakek ternyata hanya sebatang bambu sebesar lengan dengan panjang dua tombak di mana bagian ujungnya kecil. Bambu ini tidak beda dengan bambu yang sering dipergunakan orang untuk memancing. Dengan cepat si kakek menyambar bambu itu. Dari mulutnya terdengar dia berkata. "Jika bambu ini sampai hilang urusan bisa jadi repot."

"Kau hendak menyiksaku dengan benda celaka itu tabib?" Tiba-tiba saja terdengar suatu suara menyahuti, membuat si kakek tertawa tergelak- gelak. Dia lalu memandang ke atas. Di atas cabang pohon rendah, terlihat tergantung seorang bocah laki-laki berumur sekitar enam tahun. Bagian kepala menghadap ke bawah. Sedangkan kedua kakinya yang terikat di cantelkan ke cabang pohon. Sesekali tubuhnya tampak bergoyang-goyang bila bocah ini meronta. Nampaknya si bocah sangat tersiksa sekali. Sehingga dia kembali berkata dengan suara keras. "Tabib... cepat lepaskan ikatan di kakiku ini. Aku ingin bebas. Aku tak mau mengikutimu. Aku tak mau kau jadikan budak. Tabib, tabib gilaaa kau mendengar suaraku bukan?"

Si kakek hentikan tawanya. Matanya melotot memandang pada bocah gondrong yang tergantung. "Anak edan mana mungkin aku melepaskanmu. Kalau ikatan kulepas kau pasti akan minggat jauh. Kau harus ingat, hidupmu sudah ditakdirkan menjadi seorang budak. Sejak dirimu masih menjadi angin tanda-tanda itu sudah ada. Di ubun- ubun, di puser bahkan di sekujur tubuhmu tanda-tanda kesialan itu sudah ada. Kau tak akan pernah menjadi orang besar. Tidak akan menjadi panglima atau patih, apalagi raja. Kalau pun mungkin kau pasti menjadi raja edan, raja cacing tanah dan paling tinggi raja para pengemis. Aku sudah melihat semua itu. Hidup dan matimu sudah ditentukan oleh yang di atas. Dan kau tetap menjadi seorang budak. Kau akan menjadi budakku dari kecil sampai ubanan. Ha ha ha!" kata si tabib aneh disertai tawa panjang.

Bocah itu meronta. Dia kepalkan tangannya yang bebas bergerak. Matanya yang jenaka namun tajam berkedip- kedip. "Tabib...!" kata si bocah. Karena si tabib diam saja si bocah berteriak. "Tabib setaaan... kau memang manusia setan. Lekas kau turunkan aku. Tubuhku terasa panas, aku ingin mandi!" kata si bocah sambil melirik ke arah telaga yang bening.

Si kakek menimang-nimang batang bambu di tangannya. Dia menatap bocah itu sebentar. Setelah itu tertawa lagi. "Bocah edan, muslihat apa lagi yang ada dalam batok kepalamu? Aku tahu akal bulusmu? Jangan pernah mimpi aku membebaskanmu. Ha ha ha!"

"Setan, aku bukan minta untuk dibebaskan. Buat apa aku mengharap belas kasihan darimu. Aku hanya mengatakan harap kan turunkan aku. Aku mau mandi." jawab si bocah. Lalu dia pun tiba-tiba ikut pula tertawa. Si kakek menjadi heran.

"Kau... anak edan, apa yang kau tertawakan?" bentak si kakek yang sebenarnya memiliki nama asli Tabib Tapadara. Merasa heran tawa si bocah makin menjadi-jadi. Beberapa saat kemudian ketika tawanya terhenti dia berkata.

"Kakek tabib kurasa dalam hidup kau hanya tahu ilmu pengobatan saja. Kau urusi orang lain, tapi pada dirimu sendiri kau jadi kurang urus. Menurutku sebaiknya kita mandi bersama dalam telaga." jawab si bocah sambil tersenyum-senyum.

"Anak edan. Kau tak perlu menggurui aku. Kemarin aku sudah mandi. Jika sekarang kau mau mandi, baik. Permintaanmu kukabulkan. Mandilah sepuasmu. Ha ha ha!" Sambil tertawa-tawa si kakek gerakkan ujung bambunya ke arah celah kedua kaki si bocah yang terikat.

Wuut!

Di lain saat si bocah kini tergantung di bagian ujung bambu. Karena ujung bambu itu sangat lentur maka tubuh si bocah terguncang keras terombang-ambing kian kemari tak mau diam. Ini tentu merupakan siksaan tersendiri bagi si bocah apalagi saat itu kepalanya menghadap ke bawah.

"Tabib Setaan... aku hendak kau bawa ke mana?" tanya si bocah kesal sekali.

Si kakek menyeringai. "Kau minta mandi, sekarang aku akan memandikanmu anak edan." jawab orang tua itu. Enak saja dan seakan tidak punya rasa belas kasihan sama sekali bagian pangkal bambu dipikulnya. Sampai di pinggir telaga bambu diputar cepat hingga ujungnya yang diganduli si bocah berada di atas telaga. Gerakan cepat yang dilakukan si kakek membuat si bocah laksana dilontarkan, lalu berguncang keras ke kanan kiri dan gerakan bambu terhenti dengan tiba- tiba di atas telaga.

"Orang tua, kepalaku pusing. Kau perlakukan diriku begini rupa, apakah kau kira aku ini seekor ikan?" gerutu si bocah sambil memijiti kepalanya yang berdenyut sakit.

"Kau seorang budak. Tadi kau minta mandi, sekarang mandi sepuasmu!" Dengan tidak terduga bambu yang dipegang si kakek digerakkan ke bawah. Begitu ujung bambu meluncur maka tubuh si bocah yang tergantung di sana dengan kaki di atas kepala menghadap ke permukaan air ikut pula meluncur.

Byuur! Bleep!

Tubuh si bocah hingga ke bagian ujung bambu lenyap dalam kedalaman air. Air telaga bergelombang, si bocah meronta. Beberapa saat lamanya si bocah tenggelam dalam air, baru kemudian si kakek sentakkan bambu ke atas. Dengan begitu si bocah yang dalam keadaan basah kuyup ikut pula terahgkat. Si bocah megap-megap. "Tua bangka edan, aku bisa mati jika kau perlakukan seperti ini!" makinya.

"Ha ha ha. Ini adalah cara mandi yang bagus dan sangat langka. Kau kutenggelamkan, lalu kuangkat. Tenggelam... diangkat... tenggelam di angkat lagi. Bagus bukan?" kata sang Tabib.

Baru saja bocah itu hendak mengatakan sesuatu, bambu digerakkan ke bawah. Dengan begitu bocah ini pun ikut meluncur dan tercebur lagi ke dalam telaga. Gerakan ini dilakukan berulang kali oleh kakek tabib sampai akhirnya bocah itu menjadi lemas dan sulit bernafas.

Dengan nafas terengah-engah si bocah berkata. "Kakek tabib, terima kasih kau telah memandikan aku...!"

"Untuk ucapan terima kasihmu itu sekarang kau layak duduk dengan kaki tetap terikat!" ujar si kakek. Kemudian bambu digerakkannya. Kaki si bocah yang sengaja dicantolkan di sana terlepas. Tak ayal lagi bocah itu melayang dan jatuh dengan punggung menyentuh tanah di pinggiran telaga. Si bocah menggeliat kesakitan. Tapi kemudian setelah duduk dengan kaki terikat dia tersenyum. "Tabib Setan...!"

"Sekali lagi kau memanggilku Tabib Setan, kupecahkan kepalamu!" desis si kakek merasa tidak senang. "Tindakanmu sejahat setan. Bagaimana aku tidak memanggilmu begitu?" rutuk si bocah.

Dengan sikap tak perduli dia melanjutkan.

"Tabib... setelah kau mandikan aku apakah kau tidak berniat mandi?"

"Eeh, kau hendak mengajari aku yang sudah tua bangka. Setiap saat badanku selalu wangi karena kubaluri ramuan khusus. Lalu buat apa aku mandi?!" Si kakek kemudian menyeringai, "Aku tahu kau pasti hendak mencari kesempatan untuk melarikan diri."

Si bocah gelengkan kepala.

"Buat apa lagi. Semua itu percuma karena kau pasti menemukan aku juga. Aku percaya tubuhmu bau wangi. Tapi rambutmu aku yakin bau pesing. Ha ha ha."

"Apa? Rambutku bau pesing?" desis si kakek. Kemudian cuping hidungnya kembang kempis sedangkan kedua tangan mengusap-usap rambutnya sendiri. Sebagian rambutnya ternyata memang basah. Ketika tangan yang memegang rambut diciumnya. "

"Hemm, bau pesing!" kata si bocah sambil tertawa-tawa. Sang Tabib mendelik garang, wajahnya yang diwarnai keriput nampak merah padam. "Bocah edan. Kau kencingi aku disaat aku sedang tidur?" teriak Tabib Tapadara marah sekali.

"Salahmu sendiri tabib. Aku kau gantung di atas ketiduranmu. Malam tadi aku kedinginan. Karena kakiku kau ikat, terpaksa aku kencing begitu saja. Jika kau tak tidur dibawahku, mana mungkin air kencingku mengguyur kepalamu. Apakah engkau masih mau menyalahkan aku? Ha ha ha!" kata si bocah.

Tabib Tapadara sebenarnya sangat marah terhadap si bocah, namun setelah dia berpikir sejenak akhirnya dia menyadari semua itu memang kesalahannya sendiri.

"Bocah edan, gara-gara ulahmu sebagian ilmu yang kusimpan di kepalaku luntur. Seharusnya aku membu- nuhmu saat ini juga. Tapi mengingat tenagamu masih kubutuhkan, kematianmu bisa kutunda untuk beberapa purnama lagi." Dengus si kakek.

Si bocah cibirkan mulutnya. "Sejak dulu kau selalu mengancamku. Tapi ancamanmu tak pernah kau buktikan. Apa kau mengira aku takui mati, tabib... setan...!"

"Bocah kurang ajar. Awas kau, jangan berani pergi ke mana-mana aku terpaksa membersihkan bau pesing di kepalaku." Tabib Tapadara tanpa menghiraukan ucapan bocah itu langsung menuju ke pinggir telaga yang dangkal. Sebenarnya si bocah ingin mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri, namun karena kakinya terikat dan tidak dapat dibukanya terpaksalah dia diam di situ. Akan tetapi kejahilan muncul di dalam pikiran si bocah. Dia lalu beringsut mendekati bambu yang selama ini selalu dipergunakan oleh si kakek untuk menggantungnya ke mana pun kakek ini pergi.

"Tabib edan. Bertahun-tahun aku berada dalam cengkeramanmu tanpa sedikit pun kau beri aku kebebasan. Sekali-kali kau harus tahu rasa" dengus bocah itu dalam hati. Kemudian dengan menggunakan ujung bambu itu didorongnya panggung Tabib Tapadara yang sedang mencuci rambut di pinggir telaga.

Byuur!

"Ha ha ha. Basah sudah semuanya!" seru bocah itu sambil tertawa tergelak-gelak.

Sumpah serapah keluar dari mulut si kakek. Dia dalam keadaan basah kuyup melompat ke darat. Sampai di sana si kakek berlari, tangannya berkelebat menyambar tangan bocah itu. Sekali angkat melayanglah tubuh bocah itu di udara. "Tabib... kau hendak membunuhku. Tabib Setan...!" teriak si bocah ketakutan.

"Ternyata kau takut mati. Hemm... bocah menyebalkan!" gerutu si kakek. Dengan gerakan cepat dia menyambar bambu, kemudian ujung bambu diputar dan digerakkan sedemikian rupa. Di lain waktu celah kedua kaki si bocah yang dalam keadaan terikat sudah tergantung di ujung tombak itu.

"Sekarang tidak ada waktu lagi bagi kita untuk bermain-main. Kita harus pergi ke padang yang tak jauh dari lembah ini. Di sana kau harus mencari tetumbuhan untuk kujadikan ramuan." kata Tabib Tapadara.

Setelah itu sang tabib berlari secepat yang dapat dia lakukan. Karena larinya sesuka hati sendiri, tak ampun lagi si bocah yang digantung di ujung bambu yang lentur itu nampak pontang- panting terlempar kian ke mari. Tidak dapat dibayangkan betapa tersiksanya bocah ini.

"Kakek tabib, jangan terlalu kencang kau berlari. Aku... aku mau muntah...!"

"Kalau mau muntah, muntah saja tidak ada yang melarang. Di ujung bambu itu kau bebas berbuat apa saja, termasuk buang hajat jika kau mau!" kata si kakek diiringi tawa panjang. "Dasar setan. Kelak kau akan menerima, hukuman dariku." gerutu bocah ini dalam hati.

2

GGUYON

Apa yang diucapkan Tabib Tapadara memang benar tak jauh dari telaga terdapat sebuah padang luas di mana beberapa jenis tetumbuhan yang biasa dapat dipergunakan sebagai ramuan obat tumbuh subur di sana.

"He he he. Apa yang aku butuhkan tumbuh di sini. Aku tidak perlu bersusah payah, biar bocah edan ini saja yang memetiknya." pikir sang tabib. Kemudian dengan enak saja dia menggerakkan bambu yang dipanggulnya. Wuut! Ujung bambu yang sangat lentur bergetar, dengan begitu si bocah yang tergantung di bagian ujungnya terpelanting di udara.

"Tabib Setan. Kau memang iblis edan. Ikut denganmu aku selalu mendapatkan sialnya melulu." maki si bocah sambil melakukan gerakan berjumpalitan. Sehingga ketika jatuh kedua tangannya yang terlebih dahulu menyentuh tanah.

Si kakek tertawa terkekeh. Tanpa bicara dia menghampiri bocah itu. Tali dadung yang mengikat kedua kaki si bocah dilepaskannya. Begitu terlepas dia hendak melarikan diri. Tetapi sekali tangan si kakek berkelebat bocah ini jatuh tersungkur. Dia delikkan matanya, sedang mulutnya berkomat-kamit seperti orang bisu yang marah.

"Tidak ada gunanya kau melarikan diri. Semua jalan tertutup buatmu. Budakku, sekarang tiba waktunya bagimu untuk mengumpulkan daun-daun untuk kujadikan ramuan. Tapi sebelum itu seperti biasa kutotok dulu urat besar di punggung dan lehermu. Ha ha ha."

"Artinya aku tidak bisa melarikan diri lagi?"

"Ya, kalau pun itu kau lakukan hanya dalam waktu setengah hari kau segera mampus. Wajahmu membiru, tubuhmu gosong. Sebelum mati kau akan mengalami penderitaan yang sangat hebat." Baru saja kakek ini selesai bicara, tangannya kiri kanan bergerak cepat. Tahu-tahu bocah ini mendapati tubuhnya sudah dalam keadaan tertotok. Dia menyeringai kesakitan. Bagian kepalanya seperti digigiti serangga sedangkan punggung laksana diganduli batu besar. Sehingga ketika dia berjalan kepalanya bergoyang-goyang seperti penderita penyakit ayan sedangkan bagian punggungnya terus menggeliat seperti seorang penari. Si kakek tertawa terbahak-bahak.

"Sekarang kau benar-benar mirip penari edan. Hayo tunggu apa lagi, lakukan tugasmu!" perintah sang tabib. Karena bocah itu tetap tegak di tempatnya dengan badan serta kepala terus bergoyang tak mau diam akibat totokan, maka si kakek tabib jadi hilang rasa sabarnya. Ditepuknya pantat si bocah, hingga membuatnya melesat ke arah semak-semak di mana daun tetumbuhan yang dibutuhkan tabib itu berada.

"Edan... tua edan... dasar tabib setan...!" pekik si bocah yang merasa jantungnya laksana copot akibat tepukan menggunakan tenaga dalam yang dilakukan orang tua itu.

Makian bocah itu disambut dengan tawa si kakek. Dia sendiri lalu rebah menelentang di bawah sengatan matahari.

Apa yang terjadi antara tabib itu dengan si bocah ternyata tak lepas dari perhatian seorang kakek tua berbadan gemuk luar biasa berkening lebar bermuka bulat. Sebenarnya orang tua ini sudah menguntit mereka sejak beberapa hari ini. Tetapi si kakek gendut besar nampak agak segan berhadapan dengan Tabib Tapadara.

Sehingga melihat ulah si tabib yang dinilainya sewenang-wenang terhadap si bocah membuat kakek gendut besar itu hanya mampu mengurut dada.

Kini setelah melihat si bocah sedang memetik ramuan daun obat-obatan si kakek menyelinap di balik kelebatan pohon. Dia mendekati bocah itu. Setelah dekat, kerindangan pohon disibakkannya. Si bocah terperanjat. Si kakek menyengir. Bocah itu kedip- kedipkan matanya.

"Kakek gendut... dut... dut....

Kau ini siapa?" tanya si bocah polos, sementara kedua tangannya tetap sibuk memetik dedaunan dan memasukkannya ke dalam kantong besar.

"Aku... aku Gentong Ketawa!" jawab kakek gendut itu. Sambil berkata mulutnya terbuka hendak tertawa. Namun tangannya yang besar cepat tekap mulutnya sendiri. "Aku tak boleh tertawa, nanti tabib itu melihatku!"

Bocah itu tersenyum. Sepasang matanya yang bulat seperti kelereng berputar-putar jenaka.

"Namamu aneh juga lucu. Tapi...

badanmu memang bulat mirip gentong. Lagipula perutmu gendut besar, kek apakah kau sedang bunting? Mana isterimu?" tanya Si bocah polos.

Mendengar ucapan si bocah, sekali lagi si kakek gendut hampir tak kuasa menahan tawanya. Tapi sebagaimana tadi, kali ini dia buru-buru mendekap mulutnya. "Engkau sendiri siapa namamu?" tanya Gentong Ketawa. Ketika bicara si kakek tak lupa melirik ke arah lapangan di mana kakek tabib terlentang di sana berjemur matahari.

"Aku... aku tak tahu namaku. Aku belum diberi nama. Tabib tua yang sering kupanggil Tabib Setan suka memanggilku dengan nama bocah edan!" jawab si bocah.

"Bocah edan itu bukan nama. Kalau pun sebuah panggilan pasti cara memanggil yang jelek."

"Terkadang dia juga sering menyebutku, budak?!"

"Budak... kedudukannya lebih buruk dari kacung atau pembantu. Berarti dia orang jahat. Bagaimana kalau kau ikut denganku. Kau bisa menjadi muridku!" bujuk si kakek.

"Kalau kakek berani bilang sama tabib gila itu mungkin aku mau. Tapi nanti di sana aku kau suruh mengerjakan apa?" tanya si bocah dengan lugu.

Si kakek usap-usap keningnya yang lebar. Kalau dia harus bicara dengan Tabib Tapadara mana mungkin itu dilakukannya. Tabib tua itu selain sangat pandai dalam hal ilmu obat- obatan juga memiliki kesaktian tinggi. Bukan kesaktian dan ilmunya itu yang membuatnya agak segan, melainkan karena sang tabib memiliki pukulan dan beberapa jenis senjata rahasia beracun.

"Kau takut dengan tabib setan itu kek? Kulihat mukamu pucat, keringatmu bercucuran."

"Hus sembarangan. Siapa bilang aku takut. Aku tidak takut padanya. Hanya sekarang ini aku sedang malas saja berkelahi." kilah si kakek.

"Kalau takut ya sudah. Mungkin memang sudah jadi nasibku harus menjadi budaknya seumur hidup." kata bocah itu sedih.

"Kau jangan...!" ucapan Gentong Ketawa mendadak terputus karena pada saat itu terdengar suara Tabib Tapadara.

"Budakku, cepat ke mari. Aku dengar ada suara dari situ, kau bicara dengan siapa?"

"Aku bicara sama setan!" sahut si bocah dengan suara lantang.

Si kakek terlonjak kaget. Dia bangkit berdiri dan memandang ke arah di mana si bocah saat itu pura-pura sibuk mengumpulkan dedaunan.

"Apa kau bilang tadi?" Bocah itu gelengkan kepala.

"Aku tidak bicara dengan siapapun. Kau dengar?" rutuknya dengan mulut cemberut.

"Bocah edan. Aku yakin di sini banyak setannya. Sekarang setelah kau dapatkan dedaunan itu cepat kemari. Kita harus pergi. Aku merasa sejak beberapa hari ini kita telah dikuntit setan." kata si kakek tabib.

Di tempat persembunyiannya Gentong Ketawa memaki. "Sialan tabib gila itu. Aku dikatainya setan." gerutu si kakek gendut besar.

Sementara si bocah sempat melengak kaget ketika melihat ke balik kelebatan pohon ternyata si kakek tak tampak lagi berada di situ. Dengan sikap tanpa menimbulkan rasa curiga bocah itu akhinya kembali menjumpai Tabib Tapadara. Kantong berisi daun ramuan diambilnya. Kemudian dari balik pinggang dia mengeluarkan tali.

"Celaka dia mau menggantungku lagi." Desis si bocah.

Belum lagi hilang rasa kagetnya. Sreet! Sreet!

Bluk!

Si bocah jatuh terjerembab. Kemudian Tabib Tapadara mengambil bambu. Ujung bamboo digerakkannya di celah kedua kaki bocah ini. Sekali lagi si kakek menggerakkan bambu ke bahunya maka tubuh si bocah yang tergantung itu terguncang keras. Si kakek kembali melanjutkan perjalanannya.

Belum lagi dia jauh mengayunkan langkah. Dari arah atas seakan datang dari langit sosok tubuh besar luar biasa melayang dan jatuh dalam keadaan bersila persis di hadapannya.

Tabib Tapadara hentikan langkahnya. Dia pandangi orang tua berbaju hitam tidak terkancing ini dengan perasaan kaget juga heran. Lalu dia dongakkan kepala memandang ke langit. Mustahil kakek gendut besar itu jatuh dari langit.

Sementara itu si gendut Gentong Ketawa dengan sikap terkesan tidak perduli malah tadahkan tangannya. Dengan wajah memandang ke langit dan mata berkeriapan, mulutnya yang komat- kamit mengeluarkan suara tak jelas. Terkadang seperti suara dengung kumbang, lalu berubah seperti suara angin puyuh dan di lain saat berubah seperti suara orang mengomel.

"Walah-walah... aku sedang berdoa. Doa apa saja, aku ingin punya murid. Aku ingin punya budak yang dapat mewarisi ilmuku... aku ingin punya...!" ucapan si kakek seakan terputus. Tapi aneh mulutnya tetap komat-kamit.

Dia nampak begitu bersemangat dalam konsentrasinya, sehingga kedua matanya pun dipejamkan. Beberapa saat suara Gentong Ketawa lenyap. Tapi kemudian terdengar lagi. "Aku melihat bocah digantung. Kasihan. Padahal kalau diberikan padaku, aku pasti tidak menolak. Kurasa tulangnya bagus, kulitnya putih bersih. Kalau pun pantatnya burik tidak mengapa. Di bagian itu tak pernah dilihat orang, lagipula bisa ditutupi celana."

"Kakek tolol ini dukun atau apa? Kalau dia menghendaki aku jadi muridnya mengapa tak mau bicara terus terang dengan Tabib Setan?" gerutu bocah yang tergantung di ujung bambu bersungut-sungut.

Sementara itu kakek tabib yang memang sudah kaget melihat kehadiran Gentong Ketawa nampaknya tidak mau ambil perduii. Dengan sikap acuh Tabib Tapadara meninggalkan si kakek gendut besar ini begitu saja.

"Orang berdoa dan bertanya mengapa tak berjawab. Apa mungkin aku berhadapan dengan setan gagu? Kalau setan mengapa tubuhnya kelihatan dan kedua kali menginjak tanah? Kalau manusia mengapa tingkah lakunya seperti setan?" kata si kakek gendut masih dengan mata terpejam. Tapi kemudian daun telinganya bergerak- gerak. Dia tak mendengar suara apa- apa. Si kakek buka matanya. Ternyata si tabib sudah tak ada lagi di situ. "Dasar tabib kampret. Pergi tak mau bilang padaku. Bagaimana ya? Apakah bocah itu sebaiknya kularikan saja?" pikir si kakek. Dia bangkit dengan cepat. Lalu dengan tergesa-gesa pula dia mengikuti Tabib Tapadara.  

3

GGUYON Tiga bocah berpakaian serba putih dan berkepala gundul plontos itu masing-masing sibuk memainkan toya, roda-roda terbang dan juga pedang hitam besar yang terbuat dari kayu batu.

Melihat cara mereka memainkan senjata, juga gerakan tubuh mereka yang indah mengagumkan jelas sekali kalau mereka ini adalah bocah-bocah yang sudah sangat terlatih dan paling tidak murid dari seorang guru yang memiliki kepandaian sangat tinggi.

Semua ini terlihat ketika bocah itu nampak saling menyerang satu sama lain dengan senjata andalan masing- masing. Mula-mula si bocah ramping bermata bagus menggerakkan salah satu roda terbangnya ke arah si bocah bersenjata toya. Begitu roda bulat bergerigi tajam pada lingkaran luarnya menyambar ke arah dada. Maka dengan bertumpu pada ujung toya tubuhnya melenting ke udara. Toya dengan cepat digerakkannya ke arah roda terbang.

Tung! Benturan yang terjadi membuat roda maut itu terpental membalik ke arah pemiliknya. Begitu roda terbang pertama berbalik, maka roda terbang kedua melesat menghantam si botak bertoya yang kini sedang berjumpalitan di udara.

"Wei, Taktu curang. Mana boleh menyerang dengan dua senjata berturut- turut!" seru si botak yang ada pitaknya di bagian belakang kepala. Bocah ini kemudian menggerakkan golok kayu batu di tangannya sambil melompat.

Tuing...!

Benturan keras terjadi. Botak bersenjata golok kayu batu yang sangat besar itu terhuyung-huyung, dia hampir terpental terseret berat golok kayunya sendiri. Sedangkan roda terbang milik si botak berbadan ramping jatuh berkerintangan di atas tanah berbatu.

Si bocah botak bersenjata toya jejakkan kakinya di atas tanah. Dia menyeringai, lalu mengusap kepala botaknya yang keringatan sebanyak tiga kali.

"Terima kasih Takwa. Kalau tidak kau tolong mungkin kepalaku sudah copot menggelinding. Taktu sangat keterlaluan. Kita sedang latihan mengapa menyerang sungguhan?"

Bocah yang dipanggil Takwa tertawa senang. "Dia memang begitu. Dari kecil liciknya sudah kelihatan." kata Takwa. Si bocah berbadan ramping yang dipanggil Taktu tersenyum mencibir. "Kata guru walau sedang latihan kita harus bersikap sungguh-sungguh. Kita bertiga harus menjadi yang terbaik. Agar kelak kita dapat membantu guru dalam membalas dendam pada musuhnya!" tegas Taktu.

"Hi hi hi. Kita bukan sedang latihan. Kita sedang bermain-main. Lagipula jika guru sampai tahu kita berada di sini guru bisa marah. Sebaiknya kita pulang saja." usul bocah botak bersenjata toya yang biasa dipanggil Takga.

"Engkau benar, Takga." sahut bocah botak bertubuh ramping sambil memungut salah satu roda terbangnya yang tergeletak. "Mari kita tinggalkan tempat ini."

Takwa dan Takga menganggukkan kepala. Mereka kemudian berbalik langkah. Namun ketiga bocah berkepala botak ini menjadi kaget begitu melihat di depan mereka berdiri tegak seorang laki-laki berpakaian putih, berambut dan berjenggot putih. Yang membuat mereka jadi kecut, kakek itu memanggul sebatang bambu yang lazim dipergunakan untuk memancing. Sedangkan di ujung bambu tergantung seorang bocah berambut gondrong dengan kaki ke atas dan kepala ke bawah. "Takwa, siapa kakek ini? Nampaknya dia jahat sekali." tanya Takga dengan suara pelan.

"Mungkin juga setan yang biasa menculik anak kecil. Sebaiknya kita jangan hiraukan dia. Kita pergi secepatnya!" jawab Takwa.

"Sobat-sobatku... kalian bertiga anak tuyul apa anak setan? Mengapa kepala dibotaki seperti itu?" kata si bocah yang tergantung begitu melihat ketiga bocah itu.

"Enak saja kau bilang kami anak setan." kata si botak bertubuh ramping sewot. "Kau sendiri siapa? Keadaanmu sungguh menggenaskan."

"Betul. Seperti nelayan membawa ikan." menimpali si botak ketiga.

"Bukan nelayan yang membawa ikan. Tapi seperti ayam bodoh yang hendak dipotong. Hi hi hi...!"ujar Takwa sambil tertawa-tawa.

"Ha ha ha. Para bocah botak yang membawa senjata. Dibandingkan ilmu yang kalian miliki. Tentu ilmu simpananku lebih hebat. Aku digantung seperti ini karena sedang menjalani latihan. Kau lihat kakek yang memikulku itu? Sudah setua itu dia menjadi budakku. Kalau aku tak berilmu tinggi mana mungkin ia mau kusuruh membawaku seperti ini."

Ketiga bocah berkepala botak ini melengak kaget. Menurut penglihatan mereka kakek itu bukan orang tua bodoh. Paling tidak memiliki kepandaian tinggi. Jika benar apa yang dikatakan bocah yang tergantung di ujung bambu itu. Berarti bocah gondrong itu memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Sebaliknya Tabib Tapadara menjadi geram sekali mendengar ucapan bocah yang menjadi budaknya. Sambil menggeram dia membentak. "Bocah edan. Kalau benar ucapanmu sekarang aku ingin mengadu antara kau dengan salah seorang diantaranya." kata si kakek tabib.

"Eeh, kau hendak berbuat apa tabib?" tanya si bocah.

"Ha ha ha. Kau takut berkelahi dengan mereka? Pengecut!" dengus Tabib Tapadara disertai senyum mengejek.

"Huh, siapa takut? Coba turunkan aku, biar kuhajar salah satu dari botak-botak itu biar tahu rasa!"

Tabib Tapadara menyeringai. Bambu di bahunya diguncang ke bawah baru kemudian ditariknya ke depan. Dengan begitu kaki si bocah tidak tersangkut lagi di ujung bambu hingga terus meluncur. Tapi si bocah tidak sampai jatuh dengan kepala menghantam tanah lebih dulu karena dia menggerakkan tangannya saat meluncur tadi sehingga kepalanya tidak hancur menghantam batu sebagaimana yang diduga ketiga bocah berkepala botak ini.

Si kakek melepaskan tali yang mengikat kaki si bocah. Dia tersenyum. Namun bocah yang dijadikan pembantunya selama ini penuh rasa percaya diri. Hingga begitu terlepas dari ikatan dia langsung berdiri.

"Eh kalian para botak gundul. Apakah kalian ingin maju berbarengan melawanku atau satu persatu?" tanya bocah itu sambil bertolak pinggang.

"Aku Taktu...!"

"Apa itu Taktu?" tanya si bocah heran begitu melihat si botak berbadan ramping memperke-nalkan diri sambil menjura hormat.

"Taktu maksudnya botak ke satu. Sedangkan di sebelahku Takwa dan yang di sebelah sana Takga...!"

Mendengar penjelasan Taktu si bocah tak kuasa menahan tawanya.

"Nama kalian aneh amat. Mengapa di atas kepala kalian yang gundul itu tak diberi nomor saja sekalian biar orang mudah mengenali! Ha ha ha!"

"Eh, kau ini siapakah? Kalau mau menguji kepandaian tidak boleh menghina dan saling mencaci. Sekarang kau hanya tinggal mengatakan yang mana di antara kami yang kau inginkan melayanimu?" tanya Takga alias botak nomor tiga. Si bocah tersenyum, lagaknya petentang-petenteng penuh rasa percaya diri. Sambil bertolak pinggang dia berkata. "Mestinya kalian bertiga maju berbarengan. Dengan begitu aku tak terlalu lama menguras tenaga. Tapi agar lebih adil bagaimana kalau kalian yang menentukannya sendiri?"

Si botak nomor dua melangkah maju. "Aku bersedia melayanimu, namun sebelum itu tolong sebutkan dulu siapa namamu?" kata bocah berbadan lebih tegap dari dua kawannya ini sambil mehgusap-usap kepalanya yang gundul plontos.

Ditanya nama si bocah jadi bingung dan langsung menoleh pada si kakek tabib.

Seakan mengerti si tabib langsung menjawab. "Panggil saja bocah edan. Aku tidak sempat memberinya nama dan pasti aku tidak akan memberinya nama apapun."

"Aku pun tidak membutuhkan nama darimu, Tabib Setan!" dengus si bocah jadi geram sendiri.

Ketiga bocah botak itu saling pandang sesamanya.

"Kau bocah aneh. Nampaknya antara kau dan kakek setan itu memang tidak pernah akur. Tapi baiklah, sekarang aku mewakili kedua saudaraku yang lain. Aku Taktu ingin menunjukkan sesuatu padamu, harap jangan memandang rendah padaku." kata bocah kesatu.

Si bocah gondrong tersenyum- senyum. Beberapa saat lamanya dia pandangi si botak bertubuh ramping beralis lentik itu dari kepala sampai ke kaki. Lalu dia berucap. "Aku rasanya lebih senang berhadapan denganmu. Tutur katamu lembut, gerakan badanmu lemah gemulai. Aku yakin kau bocah banci. Ha ha ha!"

"Bocah gondrong lancang. Kau bertangan kosong akupun tanpa senjata. Sekarang lihat serangan!" teriak botak ke satu. Sambil berteriak keras si botak langsung menyerang. Tubuhnya dengan lincah berkelebat, tinjunya yang terkepal mendera kepala sedangkan kakinya menendang bagian perut si bocah gondrong.

Karena pada dasarnya memang tidak mengerti dasar maupun jurus-jurus silat maka si bocah menghindar sekenanya. Gerakan melompat ke belakang ini memang berhasil menghin- dari serangan Taktu alias si botak ke satu. Namun begitu si botak mence- carnya dengan serangan yang lebih cepat dan mengarah ke sekujur tubuhnya maka si bocah gondrong jadi kalang kabut. Dua tendangan beruntun yang dilepaskan oleh Taktu membuat si bocah terjengkang. Tapi tanpa menghiraukan rasa sakit yang mendera dada dan perutnya dia bangkit lagi.

"Jurus silatmu membuat kepalaku pusing. Sekarang aku akan menyerangmu dengan jurus Kacau!" dengus si bocah.

Kakek tabib cibirkan bibirnya. "Jurus apa itu?" tanya Taktu

heran.

"Entah aku pun tak tahu kok!" sahut si bocah. Kemudian sebelum rasa heran di hati Taktu lenyap, maka si bocah sudah melompat ke depan, kedua tangan melakukan gerakan mendorong sedangkan kepala menyeruduk. Serangan yang sangat cepat ini tentu tak sempat dihindari oleh Taktu. Dengan telak kepala si bocah menghantam perut Taktu. Botak ke satu menyeringai, dia nampak terhuyung. Tapi ketika lawannya menyerang kembali maka kedua tangannya tepat menepiskan kepala si bocah.

Plak! Plak! Gusraak!

Si bocah gondrong jatuh terpelanting. Kepalanya yang ditampar lawan terasa sakit berdenyut, namun dengan masih penasaran dia merangkak bangkit.

"Eeh edan, kau sudah kalah. Buat apa diteruskan permainan kita?" ujar Taktu.

"Betul. Ternyata dia cuma ber- mulut besar." Takwa menimpali. "Sebaiknya kita pergi!" "Tapi... tapi...!" Si bocah jadi gugup, mukanya merah seperti habis kena tamparan pulang balik. Dalam kesempatan itu pula terdengar suara suitan panjang.

Ketiga bocah berkepala botak ini mendadak berubah jadi ketakutan. Mereka memutar badan, lalu lari berserabutan menghambur dalam semak belukar. Tabib Tapadara tidak mengejar, dia hanya berkacak pinggang sambil tertawa tergelak-gelak.

Melihat kakek tabib tertawa, maka si bocah pun ikut tertawa. Kakek itu sekonyong-konyong hentikan tawanya. Dia melangkah menghampiri si bocah.

"Bocah tolol, sudah kalah malah tertawa. Anak edan... biar kujitaki kepalamu!" geram si kakek. Tangannya pun kemudian melayang ke kepala si bocah.

Tak! Tak! Tak!

Jitakan pada bagian kepala itu sakitnya bukan main. Sehingga sambil berguling-guling dengan kedua tangannya si bocah lindungi kepalanya. "Ampun Tabib Setan... ampun...!"

rintih si bocah.

"Dasar budak tidak berguna, hanya membikin malu! Sekarang biar kupatahkan tangan dan kakimu!" berkata begitu si kakek melompat mendekati si bocah gondrong, sedangkan tangannya berkelebat menyambar kaki bocah ini. Walaupun si bocah sudah berusaha menghindar nampaknya dia tak mungkin dapat menyelamatkan diri dari kekejaman si kakek tabib. Akan tetapi pada waktu bersamaan dari balik kerimbunan semak belukar melesat satu benda yang langsung menghantam tangan si tabib. 

Pletak! "Akh...!"

Tabib Tapadara menjerit kesakitan sambil menarik tangan yang terasa seperti dihantam palu godam. Belum lagi hilang rasa kagetnya dari arah semak-semak melayang sosok besar yang kemudian jatuh di antara kakek tabib dan si bocah.

Bluuk!

"Setan alas, kau lagi?!" maki Tabib Tapadara gusar. Seakan tidak menghiraukan ucapan orang, si gendut besar yang jatuhkan diri sambil bersila ini kembali keluarkan racauan seperti orang berdoa.

"Manusia terlahir tanpa dosa. Mengapa hendak disakiti? Kalau kau tak berkenan mengurusnya biar aku yang memeliharanya. Tuhan... Tuhan... berikan dia padaku." kata si kakek gendut besar alias Gentong Ketawa dengan mulut terus meracau.

"Kakek gendut, apakah bisamu cuma berdoa melulu? Kulihat kau begitu takut pada Tabib Setan. Padahal dia bukan orang yang pantas kau takuti. Badanmu besar, sedangkan kakek itu kerempeng. Sekali kau memukulnya pasti ampasnya mejret." celetuk si bocah yang kini sudah bangkit berdiri dan siap mengambil langkah seribu.

Gerak-gerik si bocah ternyata tidak lepas dari perhatian sang tabib. Sekali dia bergerak maka si bocah sudah dalam keadaan kaku tertotok tak mampu bergerak lagi.

"Bocah edan. Kau diam di sini! Biar kubereskan semua urusanku dengan setan gendut yang satu ini!" dengus Tabib Tapadara. Dia lalu berbalik dan menghadap langsung ke arah Gentong Ketawa.

Mulutnya menyeringai ketika melihat si kakek gendut masih juga meracau seperti orang berdoa sambil mengangkat kedua tangannya.

4

GGUYON

Gendut, mengapa kau selalu mengikuti kami? Apa sebenarnya yang kau inginkan?" hardik Tapadara marah. Dalam hati dia merasa yakin, pasti orang tua ini tadi yang telah menggagalkan niatnya mematahkan tangan si bocah. Gentong Ketawa pura-pura kaget, lalu buka matanya yang terpejam.

"Ee... apakah engkau bicara denganku, tabib?"

"Betul."

"Aku sengaja mengikutimu karena aku ingin meminta anak itu untuk kuangkat sebagai muridku." sahut Gentong Ketawa sambil menyembunyikan rasa takutnya. Sebenarnya dia sendiri belum pernah bentrok dengan Tabib Tapadara yang dikenal dengan julukan Tabib Sesat Timur dan oleh si bocah sering disebut Tabib Setan. Namun karena Gentong Ketawa sering mendengar sepak terjang dan keganasan tabib ini tidak urung berhadapan dengannya membuat hati si kakek menjadi keder juga.

Mendengar keinginan Gentong Ketawa, Tabib Tapadara dongakkan kepala ke langit. Kemudian terdengar tawanya yang keras menyeramkan;

"Kau inginkan bocah edan itu?" hardik sang tabib sesat setelah tawanya lenyap.

"Begitulah. Daripada kau gantung mubazir, bukankah lebih baik ikut denganku?' ujar si kakek.

"Huh, apa kau kira akan semudah itu. Terkecuali kau mau memenuhi syarat-syarat yang kuajukan."

"Apa syaratmu? Jika aku sanggup pasti akan kupenuhi." jawab Gentong Ketawa sambil kedipkan matanya ke arah si bocah. Bocah yang dikedipi malah unjukkan wajah cemberut.

"Syaratnya mudah, Kau harus bertarung denganku sampai salah seorang di antara kita ada yang kalah!" kata Tabib Sesat Timur.

"Seandainya aku yang menang?" "Kau boleh membawanya. Dengan

catatan kelak aku akan memberikan beberapa ilmu penting padanya."

"Seandainya aku kalah?" tanya Gentong Ketawa.

"Ha ha ha. Seandainya kau kalah, berarti budakku bertambah satu lagi. Aku akan memiliki dua budak yang harus patuh dan mengerjakan seluruh perintahku," tegas Tabib Tapadara.

Wajah si kakek sempat berubah pucat, perasaannya jadi ciut. Namun di lain kejab dia ikutan tertawa. Si bocah tentu saja menjadi sangat heran. Sedangkan si kakek seketika itu juga hentikan tawanya.

"Apa yang kau tertawakan?" "Rupanya kau manusia serakah

tabib. Jika aku menjadi budakmu apakah engkau akan mencantelkan aku di ujung bambu sebagaimana yang kau lakukan pada bocah itu? Badanmu kalah besar dengan badanku. Kalau itu sampai terjadi, aku takut bahumu miring dan punggungmu patah. Ha ha ha!" ejekan Gentong Ketawa membuat wajah Tabib Sesat Timur jadi memerah. Dia lalu melompat ke depan, sambil kirimkan satu jotosan si tabib membentak. "Tua bangka calon budak. Sekarang terimalah gebukanku!"

Walaupun saat itu yang diserang dalam keadaan duduk. Namun hanya dengan menggulingkan tubuhnya ke samping kiri, serangan tabib Tapadara mengenai tempat kosong.

Melihat kejadian ini si bocah yang dalam keadaan kaku tegak tertawa mengikik. "Dasar Tabib Setan, mulut saja yang besar tapi tak punya kebecusan apa-apa."

"Bocah setan, berani kau mengejekku nanti aku cambuk punggungmu!" seru si kakek tabib.

"Apa yang kau katakan hanya terjadi jika kau memenangkan pertarungan dengan si gendut itu bukan?" sahut si bocah hingga membuat telinga Tabib Sesat Timur jadi memerah. Diam-diam dia salurkan tenaga dalamnya ke arah tangan. Dalam waktu sekejab kedua telapak tangannya berubah menghitam sampai sebatas siku. Kakek Gentong Ketawa melengak kaget melihat perubahan ini.

Tak mau kalah dia juga kerahkan tenaga saktinya siap melepaskan pukulan Raja Dewa Ketawa. Laksana kilat si kakek memutar tangannya ke samping. Setelah itu tangan digerakkan ke depan. Bersamaan dengan itu pula dengan gerakan yang sangat ringan Gentong Ketawa melesat ke udara. Hal yang sama pun dilakukan oleh lawannya, sehingga bentrokan tenaga dalam pun tak dapat dihindari lagi.

Plaak! Dess!

Dua sosok tubuh sama terpental ke belakang. Tabib Tapadara jatuh terguling. Sedangkan Gentong Ketawa meskipun sempat terhuyung-huyung namun sempat jejakkan kakinya. Si kakek menyeringai menahan sakit, kedua tangannya seperti remuk. Namun dia masih dapat tertawa he-he-he-he.

"Tabib.. hayo tunggu apa lagi? Jangan bermalas-malasan di situ. Sekarang ini badanku sudah pegal- pegal!" kata si gendut besar.

"Jangan bangga dulu. Hiaa...!" sambil berteriak Tabib Tapadara melompat ke depan. Kakinya menyambar deras ke kaki Gentong Ketawa. Gerakan ini walaupun sulit namun masih dapat dihindari oleh si gendut. Tapi tanpa disangka-sangka, sang tabib gerakkan tangan kirinya ke bagian perut. Gentong Ketawa menangkis. Tabib Tapadara menarik serangan tangan kiri, di saat yang bersamaan dia susupkan pula tangan kanan. Melihat serangan ganas yang datang demikian cepatnya, maka Gentong Ketawa busungkan perutnya.

Dheel!

Hantaman yang mengenai perut membuat kakek tabib terpental sampai sejauh tiga tombak. Dia jadi kaget karena tangan yang dipergunakan untuk memukul tidak ubahnya seperti menghan- tam karung karet. Tapi aneh tangan Tabib Sesat Timur jadi memar membiru.

"Edan, punya ilmu apa kadal bunting itu?" maki kakek tabib dalam hati.

Melihat kenyataan ini sekali lagi si bocah tertawa tergelak-gelak. Sedangkan Gentong Ketawa kedipkan matanya pada si bocah. Melihat ulah si gendut dan bocah itu makin mendidihlah darah Tabib Sesat Timur. Sekonyong- konyong dia bangkit berdiri. Sambil mengusap dan memijit tangannya yang sakit bukan main, mata sang tabib melotot jelalatan memandang ke arah Gentong Ketawa dan si bocah silih berganti.

"Kadal gendut. Aku akan mempesiangi tubuhmu. Kurasa tubuhmu cocok untuk dijadikan campuran ramuan khusus!" geram Tabib Tapadara sengit.

"Ha ha ha. Kau dengar bocah! Majikanmu hendak menjadikan diriku sebagai campuran ramuan. Tapi terus terang, aku ini masih keturunan dewa. Dagingku tidak enak. Bila dimasak malah jadi racun, apakah kau mau bunuh diri?" ejek kakek Gentong Ketawa. Ucapan orang tua itu paling tidak membuat kaget Tabib Sesat Timur. Dia memang baru kali ini bertemu dengan Gentong Ketawa, namun sering mendengar orang tua dari lereng Merbabu ini banyak disebut orang sebagai dewa penolong. Mengingat kehadirannya selalu menjatuhkan diri dari atas, bisa saja gendut besar ini memang dewa benaran.

Tapi rasa penasaran dan amarah telah membuatnya lupa segala. Tanpa pernah terduga tiba-tiba dia menerjang ke depan. Sambil melompat kedua tangannya meraup kantong perbekalan. Setelah itu secara serentak kedua tangan langsung dihantamkan ke arah si kakek.

"Curang...! Kakek gendut menghindar. Tabib Setan menyambitkan senjata rahasianya kepadamu!" teriak si bocah.

Tidak diberi peringatan sekalipun Gentong Ketawa memang sudah melihatnya. Sambil kibaskan ujung bawah bajunya yang tidak terkancing enak saja dia berkata. "Diam saja kau di situ bocah. Senjata rahasia yang disambitkan padamu ini kecil-kecil. Apakah kau pernah melihat kakek setan ini menunjukkan senjata rahasianya yang lain? Ha ha ha!"

"Pernah tapi hanya sehari dua kali, itupun di saat dia sedang kencing. Hi hi hi!" sahut si bocah.

Mendengar ucapan kedua orang ini amarah si kakek bagaikan air bah yang meluap. Namun pada saat itu dia mendengar dari bagian ujung jubah lawannya mengeluarkan suara menggemuruh hebat. Angin laksana badai melabrak habis senjata rahasia yang disambitkan oleh Tabib Sesat Timur, sebagian senjata rahasia rontok dan sebagian lagi berbalik menyerang tuannya sendiri. Si kakek jadi terkesiap, wajahnya pucat dan nyaris tak dapat menahan kencing saking kecutnya. Namun dengan cepat dia bantingkan diri ke kanan cari selamat. Senjata rahasia lewat di atasnya dan menancap di batang pohon. Pohon itu langsung layu, daunnya berguguran.

Gentong Ketawa bergidik seram. Tak terbayangkan jika tubuhnya yang terkena sambitan senjata, bukan nyawanya saja yang rontok, tapi mungkin juga semua bulu yang tumbuh di sekujur tubuhnya ikut rontok tak tersisa.

"Bagaimana Tabib, apakah kau mengaku kalah?" tanya Gentong Ketawa sambil leletkan lidah. "Ha ha ha! Tabib Sesat Timur kalah?" ejek si kakek tabib. Dari balik pakaiannya dia mengeluarkan sebuah lonceng berwarna kuning terbuat dari bahan perunggu. Melihat si tabib keluarkan senjata andalannya maka si bocah kembali keluarkan seruan.

"Kakek gendut jangan bengong seperti monyet pikun. Dia keluarkan Genta Kematian. Jangankan kau, dulu ratusan gajah pun mati ketika Tabib Setan itu mengamuk!"

"Dia punya senjata aku juga punya. Tapi tidak ada gunanya kukeluarkan sekarang. Saat ini aku ingin sekali mendengar suara gemerincing biar aku bisa menari." sahut Gentong Ketawa.

"Ha ha ha. Kau ingin menari? Menarilah sambil berangkat ke akherat!" seru si kakek. Detik itu juga dia gerakkan lonceng di tangannya. Terdengar suara gemerincing aneh yang langsung terasa menusuk ke dalam telinga.

"Akhrrr... tabib edan. Hentikan suara lonceng celaka itu!" teriak si bocah sambil mendekap kedua telinganya dengan jemari tangan. Sementara itu Gentong Ketawa yang memang menutup indera pendengarannya nampak mulai menggoyangkan pinggulnya dengan gerakan seperti orang yang menari. Namun dentrang suara lonceng semakin lama semakin meninggi, si bocah nampak terhuyung-huyung akibat pengaruh suara Genta Kematian yang terasa semakin menusuk-nusuk liang telinganya.

Si bocah akhirnya terkapar tak sadarkan diri. Sementara itu gerakan tarian lucu si kakek kini nampak mulai kacau. Tubuhnya bergetar, keringat bercucuran akibat pengaruh getaran suara yang ditimbulkan lonceng itu. Sampai akhirnya si kakek hentikan tariannya. Sambil salurkan tenaga dalam dia membentak.

"Bocah itu sudah kau buat pingsan. Semua ini menandakan suara loncengmu tidak enak untuk didengar. Aku sendiri sudah bosan menari. Bagaimana jika sekarang lonceng kuhancurkan dan kau kuminta untuk menangis?"

"Ha ha ha! Mengapa harus berhenti menari? Hayo menarilah sampai tua!" sahut Tabib Sesat Timur.

"Baik, aku yang menari kau yang menangis!" dengus Gentong Ketawa. Bersamaan dengan ucapannya itu si kakek hantamkan kedua tangannya ke depan melepaskan satu pukulan hebat yang dikenal dengan nama Iblis Ketawa Dewa Menangis. Selarik sinar pelangi melesat laksana kilat menghantam lonceng di tangan lawannya. Tidak mau kalah Tabib Tapadara juga kerontangkan lonceng maut itu. Dari bagian dalam lonceng membersit keluar cahaya kuning kemilau yang langsung memapas serangan Gentong Ketawa.

Ledakan dahsyat pun menggema di udara. Gentong Ketawa jatuh terduduk sedangkan Tabib Tapadara terpelanting. Sebagian lingkaran bawah lonceng meleleh, dari mulut si tabib menyembur darah segar.

Tabib Sesat Timur seka darah yang meleleh di sudut bibirnya. Dia lalu mengambil dua buah pil berwarna merah dan langsung menelannya. Dengan terhuyung-huyung dia bangkit, setelah berdiri tegak si kakek berkata.

"Kadal gendut, aku mengaku kalah. Tapi ingat kelak aku akan mencarimu dan juga bocah itu. Kuharap kau dapat mendidiknya dengan baik." Sang tabib kemudian mengeluarkan tiga butir berwarna merah, hitam dan biru. Dia menghampiri si bocah dan memasukkan tiga butir pil warna-warni tadi ke dalam mulut si bocah.

"Heh, apa yang kau lakukan?" tanya Gentong Ketawa curiga.

"Ha ha ha. Bisa jadi racun yang mematikan. Kau bawa saja dia. Jika kau berjodoh dengannya tentu kau segera mempunyai murid, jika nasibmu sial paling tidak kau harus membuatkan sebuah kubur untuknya!" sahut Tabib Tapadara sambil melangkah pergi. "Kurang ajar. Jika dia sampai tidak tertolong, kelak aku pasti akan mencarimu!" teriak si kakek. Kemudian orang tua ini berlutut di samping si bocah. Telinganya didekatkan ke dada searah dengan jantung bocah itu. Terdengar suara degupan lemah.

Si kakek menyeringai. "Ha ha ha. Ternyata dia masih hidup... ha ha ha... masih hidup!" katanya nampak girang sekali. Si bocah lalu dipanggulnya. Sambil tertawa-tawa dia membawa bocah itu pergi.

5

GGUYON

Bagian halaman samping gedung Senopati malam hari tiga tahun yang lalu. Ni Seroja gadis cantik berpakaian serba putih memegang jemari tangan Sanjaya dengan erat, seakan dia takut kehilangan pemuda tampan putera Tumenggung Ageng Tirtamaya yang sangat dikasihinya. Beberapa saat berlalu, suasana dicekam kebisuan. Ketika Ni Seroja tengadahkan wajahnya Sanjaya dapat melihat betapa sepasang mata Ni Seroja nampak berkaca-kaca.

"Tidak usah menangis. Pertemuan jodoh dan maut semuanya ada di tangan Gusti Allah. Tak ada seorang pun manusia di dunia ini yang mampu melawan kehendak sang takdir. Saat ini aku tak bisa berbuat apapun. Aku bukan dari keluarga baik-baik. Ayahku baru saja meninggal di tiang gantungan. Di mata saudaramu aku juga turut menanggung akibatnya!" kata Sanjaya dengan wajah muram dan perasaan sedih. "Kakang, apapun kata Senopati aku

tak perduli. Aku sangat mencintaimu. Aku tetap ingin hidup bersamamu!" sergah Ni Seroja seakan tidak rela jika harus berpisah dengan Sanjaya.

"Siapa yang sanggup menentang kekuasaan saudaramu? Dia seorang Senopati yang memiiiki kekuatan dan kekuasaan. Tak mungkin aku yang tidak mempunyai kekuatan apa-apa menentang apa yang menjadi keputusannya. Walau tak jauh di lubuk hati aku tahu rasanya tak sanggup berpisah denganmu." jawab Sanjaya sedih.

"Kakang bagaimana kalau kita melarikan diri saja? Kita tak punya pilihan lain, lagipula kita juga tak mungkin bisa melakukan pertemuan rahasia seperti ini terus menerus. Lama kelamaan kakang Adipati bisa mengetahuinya. Jika hal itu sampai terjadi, bukan hanya kakang Sanjaya tapi aku juga bisa dijatuhi hukuman berat!" ujar si gadis. Apa yang dikatakan Ni Seroja memang benar. Sejak Tumenggung Ageng Tirtamaya diketahui menggelapkan upeti milik kerajaan Senopati Lambak Renggono melarang keras adiknya bertemu dengan Sanjaya, pemuda yang menjadi kekasih Ni Seroja. Apalagi sejak dulu Senopati memang tidak menyukai pemuda itu dan keluarganya.

"Jadi aku harus bagaimana, adik. Menentang larangan Senopati sama saja artinya dengan mencari mati. Aku sendiri sebenarnya tidak takut dengan semua ancamannya. Tapi bagaimana dengan dirimu sendiri?" tanya Sanjaya pelan.

"Bagiku menyeberangi lautan api pun asal kita dapat bersama-sama selalu rasanya tidak ada masalah." tegas Ni Seroja.

"Kalau itu sudah menjadi tekadmu, kurasa jalan satu-satunya agar kita dapat mewujudkan semua impian itu memang harus melarikan diri. Besok malam aku akan menunggumu di luar benteng gedung Senopati."

"Tidak besok, kakang, tapi sekarang! Sekarang saatnya yang tepat untuk mewujudkan semua impian kita!" desah Ni Seroja tegas.

"Lebih baik hidup memeluk mimpi daripada harus menjalani kenyataan yang kulaknat!" satu bentakan keras tiba-tiba mengumandang dalam kegelapan yang sunyi disertai berkelebatnya satu sosok bayangan ke arah mereka. Kejut kedua insan yang saling jatuh cinta itu bukan kepalang. Apalagi ketika mereka memandang ke depan, ternyata di situ telah berdiri tegak seorang laki- laki berusia tiga puluhan, berpakaian mewah bertopi tinggi. Di belakang laki-laki yang bukan lain adalah Senopati Lambak Renggono, saudara tua Ni Seroja. Di belakang Senopati hadir pula tiga perwira pembantu Senopati. Beberapa saat lamanya Senopati menatap Sanjaya dan adiknya dengan penuh rasa benci.

"Ni Seroja, apa kau tak tahu siapa pemuda yang kau cintai? Ayahnya penghianat kerajaan. Dia manusia yang tidak memiliki martabat sama sekali. Kedudukannya sama rendah dengan hewan. Dengan manusia seperti itu kau menumpahkan segala harapan hidup? Puah... malam ini kau tak akan pergi ke manapun!" hardik Senopati keras.

"Kakang, aku hanya ingin menjalani hidup sesuai dengan pilihanku. Jika kau tak suka atau merasa malu aku akan pergi jauh darimu. Kalau pun ada yang bersalah dalam hal ini, semata-mata adalah kesalahan ayahnya. Dia sama sekali tidak tahu menahu dalam urusan pemerintahan!" tegas Ni Seroja tetap pada pendiriannya. Mendengar ucapan adiknya maka gusarlah Senopati Lambak Renggono ini. Dalam hidup dia adalah manusia yang tidak suka dibantah. Apalagi yang membantah itu adalah adik kandungnya sendiri. Dengan penuh kemarahan dia berpaling pada ketiga perwiranya. "Perwira seret dia! Masukkan dalam ruangan penyekapan dan pasung!" perintah Senopati.

Dengan patuh ketiga perwira itu serentak menghampiri. Sanjaya tidak tinggal diam. Sambil menghalangi Sanjaya berteriak. "Senopati manusia keji. Kau ingin menghancurkan tali kasih yang dianugerahkan Gusti Allah pada manusia? Kelak kau akan mendapat balasan dari Tuhan!"

Buuuk!

Satu hantaman keras mendarat di wajah Sanjaya. Begitu kena dipukul wajah pemuda yang tak pandai ilmu silat ini bengkak lebam membiru. Melihat hal ini Ni Seroja berteriak histeris. "Kakang Lambak Renggono tega sekali kau berbuat itu padanya!"

Tanpa menghiraukan ucapan adiknya, Senopati memerintahkan ketiga perwira itu membawa Ni Seroja menuju ke ruangan khusus. Si gadis meronta karena menyadari sesuatu yang menge- rikan pasti akan terjadi pada Sanjaya. Sekuat apapun dia meronta, namun tenaga para perwira ini sangat tinggi sehingga apa yang di lakukannya hanya sia-sia saja.

Setelah Ni Seroja berlalu maka Senopati Lambak Renggono maju ke depan menghampiri Sanjaya. "Karena ulahmu kini adikku menjadi orang yang tidak mau menurut lagi dengan apa yang kukatakan. Kau harus mendapat ganjaran setimpal dariku. Akan kubuat cacat wajahmu, sehingga bukan hanya Ni Seroja saja yang jadi takut melihatmu. Tapi setanpun akan terkencing-kencing bila melihatmu!" dengus laki-laki itu sengit.

"Lambak Renggono, walau aku tak pandai ilmu silat. Siapa takut menghadapimu?" dengus Sanjaya dingin.

Melihat sikap orang yang sudah tidak memakai peradatan lagi saat bicara, maka Senopati menjadi sangat gusar. Tanpa banyak bicara lagi dia langsung menyerbu Sanjaya dengan serangan tangan kosong namun sangat berbahaya sekali. Mendapat serangan yang sangat bertubi-tubi, tentu saja Sanjaya yang tidak mengerti ilmu silat jadi bulan-bulanan sang Senopati. Walau pemuda ini sudah berulang kali mencoba menghindar, tapi semua yang dilakukannya hanya sia-sia. Dalam waktu singkat Sanjaya sudah terkapar dan menderita luka parah di bagian dalam. Celakanya di saat Sanjaya dalam keadaan terluka parah, tanpa perasaan sedikitpun dengan pedangnya Senopati Lambak Renggono menyayat-nyayat bagian wajah pemuda itu.

Sanjaya menjerit kesakitan. "Bunuh saja aku. Bunuh...!"

rintih si pemuda sambil mendekap wajahnya yang berlumuran darah.

"Ha ha ha! Kau sengaja kubiarkan hidup, biar kau dapat merasakan sebuah penderitaan yang pahit berkepanjangan!" kata Senopati:

Sambil menyarungkan pedangnya yang berlumuran darah, enak saja Senopati Lambak Renggono berlalu meninggalkan Sanjaya.

Pemuda itu sendiri dengan membawa luka dan dendam di hati akhirnya pergi entah ke mana. Ada yang mengatakan Sanjaya pergi menimba ilmu olah kanuragan di Lembah Setan. Ada pula yang mangatakan karena merasa putus asa melihat cacat wajahnya dia membunuh diri di lembah itu.

***

Dua tahun kemudian dunia persilatan dilanda kegemparan dengan munculnya seorang pendekar berwajah mengerikan, bergelar Pendekar Sesat Patah Hati. Pendekar itu bukan saja membantai tokoh golongan hitam, tapi juga setiap bertemu dengan perwira atau prajurit kerajaan pasti dibunuhnya. Tidak mengherankan kalau akhirnya bukan pihak kerajaan saja yang menghendaki nyawanya. Tapi dari golongan sesat juga menghendaki kepalanya.

Sayang kebanyakan mereka menemui ajal di tangan pendekar ini. Sekarang setelah berlangsung tiga tahun lebih, Sanjaya merasa tak ada gunanya lagi malang melintang di dunia persilatan. Walau hatinya merasa pedih, namun dia berusaha melupakan Ni Seroja. Apalagi sekarang wajahnya cacat begitu rupa.

Tapi akibat apa yang dilakukannya dulu kini membuntuti dirinya. Dulu dia pernah menebar angin, mungkin kini saatnya untuk menuai badai. Terbukti baru beberapa bulan dia menetap di Kuil Kuno yang sepi, sudah beberapa lawan datang melabraknya. Tapi karena kesaktian yang dimiliki oleh Pendekar Sesat Patah Hati ini sangat tinggi. Apalagi dia memiliki pukulan Gelombang Naga yang dahsyat itu. Sehingga tak satu pun dari lawan-lawannya yang dapat menyelamatkan diri.

Kini pemuda itu julurkan kedua kakinya. Sepasang  tangan  yang dipergunakan  untuk menekap wajah diusap-usapkan ke atas pelataran kuil. "Hah... setiap hari aku bosan mencium bau busukku sendiri. Jahanam Senopati Lambak Renggono. Mestinya sudah kubunuh dia sekarang ini, atau paling tidak kubuat cacat wajahnya. Tapi untuk apa...? Kurasa lebih baik dia kubiarkah hidup, tersiksa dalam kegelisahan." pikir Pendekar Sesat Patah hati.

Sementara itu tidak jauh dari pelataran depan kuil di balik kerapatan pohon besar tampak dua sosok bayangan berkelebat mendekati halaman. Sampai di satu tempat yang terlindung dua sosok berpakaian merah ini hentikan gerakannya

Ternyata mereka adalah dua orang laki-laki berambut kaku seperti ijuk, berwajah sangar berjenggot panjang dicat warna kuning dan merah. Di bagian punggung membekal senjata aneh berbentuk bulat setengah lingkaran tajam pada setiap sisinya yang berwarna putih mengkilat.

"Inikah Pendekar Sesat Patah Hati yang telah membunuh saudara kita Kala Hitam?" bertanya laki-laki berbadan pendek berkumis melintang.

"Tidak salah. Dia menggantung Kala Hitam di alun-alun, lehernya putus. Sedangkan kepalanya dijadikan bola." menyahuti sang teman yang jenggotnya dicat warna-warni.

Si pendek berkumis meiintang kepalkan tinjunya sambil kertakkan rahang. "Kurang ajar. Akan kutangkap dia hidup-hidup, setelah itu baru kucacah bagian tubuhnya yang lain!" geram si kumis meiintang.

"Ha... ha... ha...! Buat apa kalian berkorban nyawa perturutkan hawa nafsu ikuti langkah sesat. Kala Hitam kubunuh karena dia memperkosa dua gadis, membunuh orang tua gadis itu dan menjarah hartanya. Ketika aku mencoba memberi peringatan padanya. Dia malah nekad menyerangku. Apakah hal ini dapat dipersalahkan?" berkata Sanjaya.

Tentu saja kedua orang bertampang seram ini jadi kaget karena tidak menyangka lawan mendengar pembicaraan mereka. Karena ketika bicara keduanya saling berbisik dan sangat pelan sekali. Tetapi kini mereka tidak punya pilihan lain. Karena itu mereka berlompatan dari tempat persembunyian. Kini mereka berdiri tegak di depan Sanjaya. Melihat kehadiran mereka Sanjaya perlihatkan seringai mengerikan.

"Kau yang bergelar Pendekar Sesat Patah Hati?" tanya si kumis meiintang sinis.

"Pertanyaanmu rasanya tak perlu kujawab. Kalian sendiri siapa?" tanya Sanjaya.

"Aku Kala Biru dan yang

berjenggot panjang Kala Merah. Kau bunuh sahabat kami dan itu tak dapat kami terima, terkecuali kau mau membayar hutang nyawa teman kami itu!" kata Kala Biru sinis.

"Dengan apa aku harus membayarnya?" tanya Pendekar Sesat Patah Hati.

"Dengan nyawamu berikut kepalamu sendiri!" sahut Kala Merah.

Sepasang mata Sanjaya meredup. "Andainya itu dapat kau lakukan, aku tidak keberatan. Aku malah berterima kasih jika kalian berdua dapat membunuhku. Tapi terkadang hidup ini aneh. Banyak orang inginkan umur panjang namun malah cepat mati. Begitu juga sebaliknya, orang menginginkan supaya hidupnya cepat berakhir. Celakanya malaikat maut segan datang menjemput." kata Sanjaya tenang. "Sekarang kau tunggu apalagi? Majulah!"

Kedua orang ini saling pandang dan sama memberi isyarat. Selanjutnya dengan gerakan kilat mereka menyerang Sanjaya dengan serangan dahsyat yang dilakukan secara serentak. Angin menderu saat kedua tangan Kala Biru dan Kala Merah menghantam wajah dan perut Sanjaya. Tetapi secepat apapun serangan yang dilakukan lawannya, si pemuda masih mampu berkelit dan jatuhkan diri ke tanah. Dengan begitu serangan ganas kedua lawannya hanya mengenai tempat kosong. Namun tanpa terduga begitu mereka berada di belakang Sanjaya, tanpa menoleh salah satu kaki mereka menendang ke belakang. Serangan ini dikenal dengan jurus 'Sengatan Kala Maut' dan tentu saja lebih berbahaya bila sampai mengenai sasaran. Biasanya racun yang terkandung dalam kuku lawan cepat menyebar dan membuat lawannya tewas seketika.

Tetapi dengan gerakan aneh, Sanjaya menggulingkan dirinya ke depan dua kali. Kemudian posisinya berbalik arah, sedangkan tangannya bergerak menghantam betis lawannya.

Tes! Tes! "Arhh...!"

Kala Biru dan Kala Merah yang gagal lakukan serangan menjerit keras. Mereka berlompatan mundur. Ketika mereka melihat ke bagian betis masing- masing maka kagetlah mereka. Celana di bagian betis robek seperti diterabas senjata tajam. Lebih dari itu bagian betisnya juga terluka mengucurkan darah.

"Kurang ajar keparat! Kau melukai kami!" hardik Kala Merah sambil mencabut senjata anehnya yang tajam berkilat.

"Luka itu sebagai peringatan bahwa maut semakin dekat. Jika kalian tidak angkat kaki secepatnya dari hadapanku. Jangan menyesal seandainya sekejap lagi aku terpaksa mengambil tindakan tegas!" kata Sanjaya sengit.

Mana mungkin kedua lawannya mau mendengar apa yang dia ucapkan. Terbukti sambil berteriak keras senjata aneh bergagang panjang itu langsung didorongkannya ke arah lawan. Sinar putih berkilauan berkiblat disertai suara berdesing menggiriskan hati. Pertanda kedua lawan mengerahkan seluruh tenaga dalam yang mereka miliki.

Melihat dua serangan senjata yang datang dalam waktu bersamaan, Pendekar Sesat Patah Hati langsung melompat di udara, namun ketika pemuda ini melesat ke atas, tiba-tiba Kala Merah dan Kala Biru sambitkan senjata rahasianya berupa kala beracun ke arah Sanjaya.

Wut! Wut!

Sedikitnya sepuluh kala biru dan kala merah melesat sebat menghantam sepuluh bagian mematikan di tubuh Sanjaya. Sambil berjumpalitan, pemuda bermuka hancur mengerikan angkat tangannya ke atas. Setelah diangkat dihantamkan kedua tangannya ke arah kala-ka!a yang sangat beracun itu. Angin laksana topan menderu disertai hawa panas luar biasa. Akibat yang ditimbulkan sungguh sangat mengerikan sekali. Bukan hanya senjata rahasia berupa kala beracun itu saja yang hancur. Namun kedua lawannya sendiri keluarkan pekik kesakitan. Tubuh mereka melesat ke dalam tanah, senjata di tangan yang mereka jadikan perisai begitu menyadari lawan menggunakan pukulan Gelombang Naga meleleh.

Sanjaya jejakkan kakinya. Dia datang menghampiri kedua lawan yang terbenam sampai sedalam perut. Ternyata Kala Merah dan Kala Biru nampak terluka parah. Dari mulut, hidung dan telinga mengucurkan darah.

"Ha... ha... ha...! Tidak ada jalan selamat bagi kalian berdua." ujar si pemuda disertai tawa tergelak- gelak. Dia lalu dongakkan kepala memandang ke langit. Mata si pemuda mendadak nampak berkaca-kaca. "Aku melihat langit, aku melihat malaikat. Aku melihat maut itu menantimu. Heaaa...!" baru saja selesai bicara Pendekar Sesat Patah Hati hantamkan kedua tangannya ke arah kepala Kala Biru dan Kala Merah.

Prakk!

Terdengar suara berderak hancur akibat pecahnya kepala kedua laki-laki malang itu. Sanjaya bangkit berdiri. Namun baru saja dia hendak tinggalkan tempat itu mendadak terdengar derap suara langkah kuda yang datang dari seluruh penjuru arah. "Kurang ajar. Mereka pasti orang- orang suruhan Senopati Pamungkas! Sebaiknya aku bersembunyi dulu!" pikir si pemuda. Selanjutnya dia masuk ke dalam kuil meninggalkan mayat-mayat lawannya.

6

GGUYON

Benar saja, tak berselang lama setelah Sanjaya menyelinap masuk ke dalam kuil kuno di sekitar kuil bermunculan tidak kurang tiga puluh orang  suruhan  Senopati  Lambak Renggono.    Seluruh   pendatang   ini semuanya menunggang kuda. Sebagian di antaranya   berpakaian   prajurit  dan perwira tinggi kerajaan. Sedangkan yang lainnya dan berpakaian biasa tentulah dari dunia persilatan yang ikut bergabung dengan utusan Senopati. Begitu   mereka   sampai  dan mengepung   kuil. Banyak di  antara mereka yang jadi kaget ketika melihat dua mayat   dengan    separoh   badan terpendam di dalam tanah sedangkan

kepala mereka pecah mengerikan. "Manusia biadab itu. Mungkinkah

dia yang telah melakukannya?" Satu suara terdengar memecah keheningan. Ketika orang ini memandang ke arah datangnya suara. Ternyata yang bicara adalah seorang nenek renta berambut putih bergigi ompong, berpakaian warna putih sedangkan dari balik pakaiannya bersembulan kepala ular berbisa berkepala hitam. Di dunia persilatan dia dikenal dengan julukan Ratu Ular Kayangan. Biasanya dalam setiap menghadapi lawan-lawannya dia hanya cukup berdiri tegak dengan tangan terlipat di depan dada. Pada puncak pengerahan tenaga dalamnya dia hanya cukup memberi perintah. Dan puluhan ular berbisa yang bersembunyi di balik pakaiannya langsung berlesatan keluar menyerang lawan. Siapapun yang menjadi sasaran binatang melata ini nyawanya pasti tak akan tertolong hanya dalam waktu dua menit.

"Aku merasa pasti si keparat Pendekar Sesat Patah Hati ada di sekitar sini. Orang itu kelihatannya belum lama meninggal. Tempat sudah terkepung sekarang tunggu apalagi?" Yang baru saja bicara adalah seorang laki-laki bertelanjang dada. Di tangannya memegang sebuah gada besar. Sekujur tubuh laki-laki yang tak kalah menyeramkan dengan Ratu Ular Kayangan ini ditumbuhi bulu-bulu halus lebat. Tapi yang cukup mengherankan di seluruh permukaan kulitnya bersembulan urat-urat darah seperti akar tetumbuhan merambat.  "Aku paling tak sabar dalam mengurus satu persoalan. Pemuda itu pasti bersembunyi di dalam kuil itu." sahut perwira tinggi kerajaan yang jadi pimpinan rombongan. Untuk diketahui, perwira ini termasuk orang yang paling dipercaya oleh Senopati Lambak Renggono. Namanya Mantra Aji, berilmu tinggi dan termasuk seorang perwira pemberani. Kemudian dia memberi perintah.

"Prajurit, cepat periksa ke dalam!"

Lima orang prajurit sama anggukkan kepala dan sama pula melompat turun dari kuda masing- masing. Mereka kemudian mencabut senjata. Dengan pedang terhunus kelima prajurit itu bergegas menuju kuil melalui pintu depan. Di balik pintu ke lima prajurit itu lenyap dari pandangan mata. Kini semua mata tertuju ke arah kuil. Terkecuali perwira tinggi, Ratu Ular Kayangan dan laki-laki bertelanjang dada berjuluk Gada Dewa ini, maka mereka yang berada di situ sama diliputi ketegangan.

Hanya beberapa saat setelah ke lima prajurit masuk ke dalam kuil. Mendadak sontak terdengar suara jeritan menyayat lima kali berturut- turut. Mereka yang berada di luar jadi terkesiap kaget. Belum juga lenyap rasa kejut di hati mereka juga perwira itu terdengar suara berderak hancurnya atap kuil. Lima sosok tubuh berlesatan, melayang dan jatuh bergedebukan di hadapan perwira Mantra Aji.

Gada Dewa dalam kagetnya melompat turun dari atas punggung binatang tunggangannya. Dia segera memeriksa mayat ke lima prajurit itu. Mandadak wajah Gada Dewa berubah memucat. Di sekujur tubuh prajurit itu tak terdapat luka sedikit pun. Jasad mereka tetap utuh, hanya bagian wajahnya saja yang agak memucat.

"Dia membunuh para prajurit ini dengan ilmu Lilitan Ekor Naga!" desis Gada Dewa.

"Lilitan Ekor Naga?" mengulang Ratu Ular Kayangan dengan kening mengernyit. "Ilmu itu sangat langka, biasa darah korbannya menyumbat pembuluh jantung. Jantung pecah, rusak di bagian dalam namun utuh di bagian luar. Jahanam iblis!" Ratu Ular Kayangan menggereng. "Dia telah membunuh saudaraku Nini Rontek Selatan dengan cara yang sama."

"Sekarang apa yang harus kita lakukan? Aku sendiri juga harus membalaskan kematian saudara tuaku Pengemis Setan Akherat!" geram Gada Dewa tak kalah sengitnya.

"Kita semua punya tujuan yang sama." ujar Mantra Aji dengan suara bergetar. Selanjutnya dia berteriak ditujukan pada prajurit yang mengepung kuil itu. "Kalian semua serbu kuil itu dan bunuh siapa saja yang kalian temui di dalam sana!"

Tidak kurang dari dua puluh lima prajurit serentak turun dari kuda masing-masing. Dari seluruh penjuru kuil mereka dengan senjata di tangan langsung mendobrak pintu, sebagian di antaranya ada yang melompat ke atas genteng. Nampaknya masing-masing punya keinginan membunuh orang yang mereka cari yang selama ini mendengar namanya saja orang bisa dibuat lari terkencing-kencing.

Selagi mereka sibuk mencari jalan masuk. Maka pada kesempatan itu pula terdengar suara seruan yang terasa dingin menyeramkan. "Siapa yang berani masuk ke kuil ini. Berarti nyawanya siap berkorban secara sia-sia!" Seiring dengan terdengarnya suara itu, dari dalam kuil kuno mendadak terdengar suara deru angin yang terasa menggiriskan. Suara gemuruh angin semakin lama semakin bertambah keras. Kemudian terdengar suara jerit mengerikan yang saling susul menyusul disertai dengan terpentalnya belasan prajurit baik yang berada di dalam kuil, di atas bangunan maupun mereka yang baru saja mencapai pintu. Bukan hanya para prajurit itu saja yang berpentalan tak tentu arah, tapi yang lebih mengerikan lagi bagian atas kuil, dan seluruh dinding kuil runtuh, pecah terbelah seakan terdorong oleh satu tenaga raksasa yang tak kelihatan.

Dengan hancurnya seluruh dinding kuil, maka kini terlihat di tengah- tengah bangunan yang hancur porak poranda ini berdiri tegak seorang pemuda bermuka hancur mengerikan seperti daging dicacah.

Begitu melihat pemuda ini, maka berserulah perwira Mantra Aji ditujukan pada prajuritnya yang selamat dari amukan angin menggila yang berlangsung beberapa saat tadi.

"Tangkap pemuda jahanam buronan Senopati itu!!"

Beberapa prajurit yang berkaparan namun hanya terkena terpaan angin aneh mencoba bangkit.  Celakanya  mereka kehilangan   tenaga.  Sekujur   tubuh terasa lemas dan tak dapat digerakkan. Sebaliknya Gada Dewa yang melihat keanehan tadi diam-diam jadi kaget. Rasanya seumur hidup belum pernah dia melihat ada ilmu sehebat dan seaneh seperti yang dimiliki oleh pemuda bermuka  hancur  mengerikan   ini. Kelihatannya pemuda itu tak melakukan apa-apa.   Tapi mengapa prajurit dibuatnya tewas berkaparan sedangkan tembok kuil dibuatnya porak poranda. Lain lagi halnya dengan Ratu Ular Kayangan. Tadi dia memang sempat terkejut melihat apa yang terjadi di depan matanya, namun hal itu hanya berlangsung sesaat saja. Di lain kejap dia bergumam. "Darimana pemuda jahanam itu mendapatkan ilmu pukulan Gelombang Naga?" Pertanyaan ini seakan berlalu begitu saja. Perwira Mantra Aji sendiri saat itu menjadi marah ketika melihat tak seorang pun dari para prajuritnya yang selamat bergerak melakukan perintahnya.

"Prajurit apakah kalian tak mendengar perintahku!" bentak Mantra Aji tambah geram.

"Perwira... kami... kami...!" Prajurit yang mencoba menerangkan keadaan mereka tiba-tiba saja semburkan darah dari mulutnya. Dia tergeletak tewas dengan mata mendelik sedangkan darah terus menyembur dari bagian mulut dan hidung.

"Hah... apa yang terjadi...?" desis perwira tinggi itu sambil belalakkan matanya.

"Nampaknya mereka mengalami luka parah di bagian dalam," ujar Gada Dewa tegang.

"Sebaiknya kita keroyok saja dia sekarang."

"Bukan usul yang bagus," dengus Ratu Ular Kayangan sinis. "Aku harus jelaskan padanya mengapa kuinginkan nyawanya agar kelak setelah di neraka dia tak jadi roh penasaran."

"Ha… ha... ha...! Perwira tinggi. Kau lihat semua prajuritmu tak ada yang selamat. Aku telah melepaskan ilmu Gelombang Naga. Kalau pun mereka ada yang selamat, bergerak satu langkah saja membuat jiwa mereka tak akan tertolong. Sekarang kalian hanya bertiga! Katakan apa keperluanmu setelah itu cepat minggat dari hadapanku!" kata Sanjaya dingin menyeramkan.

"Pemuda edan, putra tumenggung yang korup. Kau bunuh prajurit kerajaan membuat dosamu tak terampuni. Ketahuilah aku diperintahkan oleh Senopati untuk membawa kepalamu ke hadapannya!" berucap perwira tinggi ini dengan suara bergetar.

"Aku tidak berkata sombong. Tapi kurasa keinginanmu itu hanya sebuah mimpi!" ujar Pendekar Sesat Patah Hati. Selanjutnya dia berpaling ke arah Gada Dewa dan Ratu Ular Kayangan. Kepada kedua orang ini Sanjaya ajukan pertanyaan. "Kulihat kalian bukan orang kerajaan. Lalu apa yang kalian inginkan hingga ikut menyibukkan diri mencariku?"

Ratu Ular Kayangan meludah. Dia menggebrak perut kuda dengan kakinya hingga kuda itu bergerak maju lebih mendekat ke arah si pemuda. "Kau kenal dengan Nini Rontek Selatan?" tanya si nenek dingin, sedangkan matanya yang berkilat memendam dendam mendelik besar.

Pendekar Sesat Patah Hati terdiam sejenak dengan kening berkerut seakan sedang berusaha mengingat-ingat. Si pemuda tersenyum, tapi senyumnya tentu tidak ubahnya seperti seringai karena seluruh wajah pemuda itu rusak.

"Begitu banyak jiwa yang melayang sia-sia di tanganku. Tapi pembunuhan yang kulakukan bukan karena tidak bersebab. Iblis Nini Rontek Selatan terpaksa kubunuh karena dia banyak menculik anak perawan untuk dijadikan tumbal ilmunya. Dia mati mengenaskan dengan mulut ditembus bambu kuning tembus sampai ke duburnya." jelas si pemuda dingin. Kini perhatiannya tertuju pada Gada Dewa. "Kau... manusia berbulu kunyuk muka monyet lutung, persoalan apa yang hendak kau selesaikan denganku?"

Walau tadinya sempat keder melihat kesaktian yang dimiliki oleh si pemuda. Mendengar dirinya disebut kunyuk kini amarah dan dendamnya terbangkitkan lagi. Sambil keluarkan suara menggereng dia membentak. "Aku ingin membalaskan kematian Pengemis Setan Akherat saudara tuaku!"

"Pengemis Setan Akherat!" Sanjaya mengulangi ucapan Gada Dewa. Mendadak tawa si pemuda meledak. "Ha... ha... ha. Agaknya bangsat tua itu sekarang sudah menjadi setan benaran dan mengemis di akherat." kata Sanjaya. "Aku terpaksa membunuh tua bangka itu ketika dia mencoba mengemis kehormatan puteri patih kerajaan. Nah... jika kau ikutan mengemis dengan saudaramu itu aku bersedia mengantarmu ke neraka!"

"Jahanam tengik. Kupecahkan batok kepalamu sekarang juga!" hardik Gada Dewa. Namun pada saat dia melabrak ke depan dari sampingnya menderu angin dingin yang menerpa tubuhnya hingga membuat laki-laki itu terhuyung. Ketika dia menoleh, ternyata yang menyerangnya barusan bukan lain adalah Ratu Ular Kayangan.

"Tua bangka kau...?!"

"Huh, enak saja kau mengambil keputusan. Hanya aku yang berhak membunuhnya!" hardik Ratu Ular Kayangan.

"Nyawaku hanya satu, tak mungkin dibelah menjadi tiga. Dari pada bersitegang sebaiknya kalian bertiga maju saja sekaligus!" tantang si pemuda sinis.

"Hik... hik... hik! Baru kali ini kudengar ada bocah ingusan patah hati yang berani bicara sombong di hadapan Ratu Ular Kayangan. Ingin kulihat apakah mulut besarmu sesuai dengan kenyataan yang ada?!" seru si nenek. "Aku juga punya tugas yang harus dilaksanakan. Kurasa supaya adil tidak ada salahnya jika kita mengeroyoknya!" kata perwira tinggi kerajaan itu sinis. Karena menyadari lawannya tidak dapat dianggap enteng, begitu melesat dari atas punggung kudanya dia langsung pergunakan pedang untuk menyerang Sanjaya. Serangan yang dilakukan dari udara itu tentu sangat berbahaya karena jika sampai Sanjaya lengah, maka kepalanya akan terbelah menjadi dua. Sebaliknya dari samping kanan, gada besar di tangan Gada Dewa menderu menghantam rusuk. Sedangkan dari arah depan lima kuku hitam beracun Ratu Ular Kayangan merobek ke arah perut, sedangkan tangan yang lain mencengkeram bagian bawah pusar Sanjaya. Serangan nenek ini bahkan lebih dahsyat bila dibandingkan dengan serangan pedang petinggi kerajaan maupun Gada Dewa. Namun ketiganya jelas sama berbahaya karena mengancam ke bagian yang mematikan. Melihat tiga serangan maut itu datangnya dalam waktu bersamaan, Sanjaya tak sempat berpikir lagi. Dengan cepat dia melompat mundur, kepala ditariknya ke belakang sedangkan kaki dihantamkan ke perut Gada Dewa.

Desss! Wuut! Sambaran kuku dan hantaman pedang hanya mengenai tempat kosong. Sebaiknya hantaman gada hampir saja menyambar tubuh krempeng si nenek. Selain itu Gada Dewa nampak terhuyung- huyung akibat perutnya kena ditendang oleh lawannya. Sama-sama keluarkan dengusan geram ketiga lawan Sanjaya merangsak maju. Kali ini tentu lebih berbahaya dari serangan pertama tadi, karena perwira tinggi kerajaan itu sendiri sekarang mengerahkan jurus- jurus pedang andalan. Sedangkan Gada Dewa memutar gadanya ke kiri atau ke atas. Di pihak Ratu Ular Kayangan sendiri saat itu sudah mulai menggunakan ular hitamnya yang terkenal sangat beracun itu. Mendapat serangan dahsyat luar biasa ini Pendekar Sesat Patah Hati nampak terdesak hebat. Apalagi saat itu dia harus menghindari patukan dua ekor ular berbisa yang melesat terbang kearahnya.

Sssst!

Dua ekor ular mendesis panjang, meluncur cepat laksana anak panah. Sanjaya tidak mungkin menangkis serangan ular-ular ini, karena akibatnya bisa membuat dirinya celaka. Dia pun jatuhkan diri, namun pada waktu bersamaan pedang di tangan perwira tinggi yang dibabatkan ke bawah mengikuti gerakannya yang menghindar menyambar bagian punggung.

Craas!

Sanjaya alias Pendekar Sesat Patah Hati mengeluh tertahan. Tanpa menghiraukan pakaian yang robek besar serta punggung yang terluka mengucurkan darah dia bergulingan. Pada saat itu kedua ular tadi begitu gagal mengenai sasaran langsung menancap di batang kayu. Batang kayu kering hangus dan mengepulkan asap berbau amis. Sementara Sanjaya nampaknya tidak terlepas dari ancaman maut, karena begitu punggung terluka dan dia bergulingan ke kiri. Gada Dewa gerakkan senjatanya ke bagian kepala pemuda itu.

Gada besar yang berat bukan main ini menderu mengeluarkan suara bersuit aneh. Sebelum gada tersebut menghantam remuk batok kepalanya, Pendekar Sesat Patah Hati segera lakukan gerakan aneh, hingga tubuhnya kini berputar dan tahu-tahu berdiri, baru kemudian menerobos kepungan lawannya.

"Dia telah terluka, hayo jangan beri kesempatan padanya untuk meloloskan diri!" teriak Mantra Aji. Perwira tinggi kerajaan, kaki tangan Senopati Lambak Renggono yang paling bersemangat menyerang Sanjaya karena dijanjikan mendapat hadiah besar dari Senopati langsung menyerbu kembali sambil babatkan pedangnya ke arah Sanjaya. Sinar putih bertabur di udara mengurung gerak dan langkah pemuda itu. Namun kali ini si pemuda nampaknya tidak berusaha menghindar. Sedangkan kedua tangan dengan jari diacungkan ke arah perwira ini nampak menggeletar dan mulai digerakkan.

"Awas! Dia melepaskan pukulan Gelombang Naga!" satu suara berseru. Dan yang keluar seruan barusan tadi bukan lain adalah Ratu Ular Kayangan. Gada Dewa yang baru saja melangkah maju sambil memutar gada besar di tangannya masih sempat bersurut langkah. Namun Mantra Aji sang perwira tinggi tidak sempat mengikuti kawannya. Kini begitu dia melihat selarik sinar putih yang meluncur ke arahnya dengan gerakan berkelok-kelok seperti gerakan ekor ular naga berlari, sang perwira putar pedang di tangannya membentuk perisai diri yang sangat kokoh. Kilatan cahaya pedang bertabur menutupi sekujur tubuh Mantra Aji. Tapi sehebat apapun pertahanan perwira tinggi ini. Sinar maut itu kemudian berhasil menyusup benteng pertahanan yang dibuat oleh laki-laki itu tanpa harus membentur batang pedang.

Beberapa saat kemudian Mantra Aji tertegak ketika sinar maut menghantam bagian dadanya. Mata laki-laki ini mendelik, mulut ternganga. Bukan hanya Gada Dewa saja yang terkejut. Tapi Ratu Ular Kayangan juga terkesiap begitu melihat tubuh perwira itu tiba- tiba saja membengkak gembung. Perubahan ini semakin lama semakin bertambah jelas dan tubuh sang perwira semakin membesar seperti balon karet yang dipompa.

Bledum!

Akhirnya tanpa dapat dicegah perwira kepercayaan Senopati Lambak Renggono inipun meledak hancur berkeping-keping berubah menjadi serpihan daging dan belulang yang bertebaran di udara. Bau amis darah menyengat perciuman. Sanjaya seka punggung lengannya yang terkena percikan darah. Gada Dewa tercengang dengan muka pucat dan tubuh menggigil. Melihat dahsyatnya ilmu kesaktian yang dimiliki oleh lawannya tanpa pikir panjang lagi dia memutar badan dan lari langkah seribu.

"Manusia pengecut. Daripada melarikan diri sebaiknya kau mampus!" hardik Ratu Ular Kayangan. Serentak dia meraih seekor ular dari balik pakaiannya. Begitu tangan digerakkan maka meluncurlah ular itu. Menyadari si nenek membokongnya sambil berlari Gada Dewa hantamkan senjatanya ke belakang. Namun tindakannya kalah cepat dengan serangan ular itu. Hingga dia pun jatuh tersungkur begitu ular menembus punggung sampai ke dada depan. Gada Dewa menggelepar dan tewas seketika.

Kini Ratu Ular Kayangan mem- balikkan badan. Dipandangnya Pendekar Sesat Patah Hati dengan tatapan aneh. Selanjutnya tanpa berkata apa-apa. Dia melipat kedua tangannya ke depan dada. Tidak berselang lama tubuh nenek renta itu bergetar hebat. Seiring dengan itu pula puluhan ekor ular berkepala hitam julurkan kepala.

"Hem, nenek ini benar-benar hendak membunuhku dengan ular- ularnya." batin Sanjaya.

"Hanya ilmu Gelombang Naga yang bisa membuktikan siapa di antara kami yang layak hidup lebih lama!" geram pemuda itu sinis.

Di depan sana Ratu Ular Kayangan diam tak menanggapi. Sebaliknya Sanjaya pun tidak tinggal diam. Dia kerahkan tenaga dalamnya ke bagian tangan. Ketika kedua tangannya terasa panas, maka kedua telapak tangan saling disatukan. Setelah itu dua jari telunjuk digerakkan lurus ke arah lawan. Seiring dengan itu pula tubuh Sanjaya berputar. Gerakan berputar ini semakin lama semakin bertambah cepat. Selanjutnya secara aneh mengerikan dari sekujur tubuh pemuda itu menderu angin dahsyat berhawa panas luar biasa. Angin laksana badai itu semakin lama semakin menebar, sementara dari arah lawannya belasan ular berkepala hitam melesat ke arah Sanjaya. Tetapi gerakan ular-ular ini seakan tertahan begitu membentur angin dahsyat yang bersumber dari ilmu Gelombang Naga yang dilepaskan oleh si pemuda.

Tas! Tas! Tas!

Letupan-letupan kecil terdengar begitu ular-ular itu membentur serangan Sanjaya. Sementara di depan sana si nenek nampak mulai terhuyung. Wajahnya berubah pucat, sedangkan pakaiannya tampak mulai robek di sana- sini ketika serangan lawan menderanya bertubi-tubi.

"'Hiyaaa...!" Pendekar Sesat Patah Hati tiba-tiba saja berteriak keras sambil sentakkan jari telunjuknya dari atas ke bawah dengan gerakan seperti membelah tubuh lawannya. Sinar putih setipis pedang melesat dari bagian ujung jemari Sanjaya. Sedangkan dari arah Ratu Ular Kayangan melesat sedikitnya lima ular hitam ke arah pemuda itu. Dua sinar maut yang seharusnya menghantam tubuh lawan yang satunya terpaksa dibelokkan ke arah ular-ular itu. Tapi sayang hanya empat yang dapat dibuatnya rontok, sedangkan yang satunya lagi berhasil menyusup ke dalam pertahanan Sanjaya. Crep! "Arkh...!"

"Akk...!"

Terdengar suara jeritan dua kali berturut-turut. Satu keluar dari mulut Ratu Ular Kayangan yang bagian bahunya terbelah sampai ke bagian perut akibat terkena pukulan Gelombang Naga. Sedangkan jeritan kedua keluar dari mulut Sanjaya yang kesakitan akibat patukan ular yang sangat berbisa itu.

Sanjaya merintih sambil menotok jalan darahnya agar racun ular tidak cepat menyebar ke seluruh tubuhnya. Walaupun begitu nampaknya Pendekar Sesat Patah Hati memang tak dapat bertahan lebih lama. Begitu hawa dingin menyerangnya, si pemuda kerahkan hawa panas untuk menolak pengaruh hawa dingin akibat pengaruh racun ular itu.

Namun pada akhirnya Sanjaya terkulai tak sadarkan diri. Sementara itu Ratu Ular Kayangan sendiri tewas seketika begitu sinar putih yang memiliki ketajaman melebihi pedang membelah bahunya.  

7

GGUYON Mendung hitam makin menebal, kilat menyambar dan gelegar petir sambung menyambung tiada henti. Hujan kemudian turun bagai tercurah dari langit. Di bawah sebatang pohon kering kakek gendut besar berwajah bulat berkening lebar, berhidung nyaris rata dengan pipinya yang tembem terus saja mendengkur seakan tak terpengaruh dengan suasana alam yang terjadi di sekelilingnya. Sesekali bahkan terdengar giginya bergemeretakan. Lalu mulutnya menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. Saat itu tubuh dan pakaiannya sudah basah kuyup. Tapi aneh nampaknya tidak ada tanda-tanda kalau orang tua aneh itu segera terjaga.

Tidak jauh dari tempat di mana si kakek gendut besar ini tergeletak. Seorang pemuda remaja berwajah tampan berambut gondrong terus saja melatih jurus-jurus silat yang baru diturunkan oleh si kakek.

Kaki kanan ditekuk ke depan, kaki kiri ditarik ke belakang. Tangan kiri yang terkepal dirapatkan ke bagian rusuk, tangan kanan dengan jemari terkembang ditarik ke belakang kemudian segera dihantamkannya ke depan.

"Heaa...!" Wuut!

Glaar!

Sinar hitam berkiblat dari telapak tangannya, lalu terdengar suara menderu dahsyat. Batu besar serta semak belukar yang jadi sasaran pukulan pemuda itu hancur berkeping- keping. Si pemuda berjingkrak kegirangan sambil tertawa-tawa. Sama seperti si kakek gendut besar, dia sama sekali tidak perduli dengan gelegar petir maupun derasnya hujan yang turun saat itu.

"Pukulan Di Balik Bukit Mengintai Bidadari. Kurasa ini termasuk pukulan yang hebat. Ha… ha... ha. Tapi aku mau mencoba pukulan yang lain." kata si pemuda. Sejenak dia berpikir, kening dikerut-kerutkan. Sampai akhirnya dia tersenyum ketika terlintas sesuatu di dalam benaknya. "Aku belum mencoba pukulan Iblis Ketawa Dewa Menangis!" katanya sambil menyeringai. "Iblis ketawa dewa menangis apa maksudnya? Ada-ada saja kakek tua itu?" ujar si pemuda lagi sambil gelengkan kepala.

Tapi kemudian si pemuda kerahkan tenaga dalam ke bagian kedua tangannya. Sekujur tubuhnya yang basah terguyur air hujan tampak bergetar hebat. Selanjutnya dengan cepat pula pemuda itu hantamkan kedua tangannya ke arah pohon kering.

Wuut!

Dua larik sinar pelangi melesat dari tangan pemuda itu. Hawa dingin luar biasa menebar. Ketika kedua pukulannya menghantam bagian tengah batang pohon, maka kagetlah si pemuda dibuatnya.

"Celaka!! Orang tua itu bukankah...!" Si pemuda tidak melanjutkan ucapannya melainkan hendak berlari ke bawah pohon untuk menyelamatkan si kakek dari reruntuhan pohon yang ambruk.

Buuum!

Terdengar suara ledakan keras berdentum. Bagian batang yang terkena pukulan hancur menjadi serpihan debu. Sedangkan bagian atasnya mengeluarkan suara bergemeretakan dan roboh. Wajah si pemuda berubah pucat ketika melihat bagian atas pohon runtuh menimpa si kakek gendut.

Tetapi aneh begitu pohon hendak menimpa dirinya si kakek tiba-tiba menggeliat, bangkit dan berjalan tergesa-gesa menjauh dari pohon.

"Kakek maafkan aku... aku tak ingat kau ada di bawah pohon itu!" kata si pemuda, namun dia jadi tercengang ketika melihat mata si kakek ternyata masih dalam keadaan terpejam. "Hei... ternyata dia berjalan dalam keadaan tidur!" ujar si pemuda.

Si kakek kemudian menggeliat dan kerjapkan matanya. Dia nampak kaget ketika menyadari saat itu ternyata hujan deras, lebih terkejut lagi begitu melihat si pemuda berlutut di depannya.

"Gege! Bocah edan, begitulah dulu Tabib Sesat Timur memanggilmu. Ternyata kau memang edan sungguhan. Aku menyuruhmu berlatih, tapi mengapa sekarang malah berlutut begitu rupa?" Si kakek lalu nampak sibuk memeriksa pakaiannya sendiri yang basah. "Mengapa kau tak mau membangunkan aku? Kurang ajar!"

"Tadi... tadi...!"

"Tadi apa? Kau hancurkan pohon itu hingga membuat aku kaget. Sekarang kau mau bicara apa lagi?" tanya si kakek gendut besar yang bukan lain adalah Gentong Ketawa.

"Tadi itu aku tak sengaja melakukannya. Sungguh kek...!"

"Jangan banyak bicara...! Terimalah ajalmu!" seru si kakek. Bersama dengan itu pula Gentong Ketawa dengan gerakan yang sangat ringan melesat ke depan. Kaki kanan dihantamkannya ke muka si pemuda.

"Celaka. Penyakit gila orang tua ini ternyata kambuh lagi!" rutuk si pemuda dalam hati. Mengingat tendangan yang dilakukan Gentong Ketawa disertai pengerahan tenaga dalam. Maka pemuda itu tidak mau berlaku ayal. Dengan cepat dia bergulingan ke samping. Dalam kesempatan itu Gentong Ketawa terus mengejar, kedua kakinya bergerak lincah berusaha menginjak perut maupun kepala si pemuda.

Jika sampai terinjak kaki si gendut yang beratnya lebih dari dua ratus kati ini, pasti pemuda itu tewas dengan kepala remuk dan isi perut berbusaian.

Duk! Duk!

Benturan kaki si kakek akibat serangannya meleset menimbulkan getaran hebat luar biasa. Bahkan hentakan-hentakan yang dilakukan si kakek membuat tanah amblas. Sampai sejauh itu serangan gencar yang dilakukan oleh Gentong Ketawa tidak mengenai sasaran.

"Kau hendak menghindar terus seperti tikus dikejar kucing? Huh..., memalukan. Sudah berapa banyak jurus- jurus maut yang kuturunkan padamu?" hardik si kakek dan kini kirimkan jotosan ke bagian dada muridnya yang rebah menelentang sambil menghindari tendangan kakinya.

"Ha... ha...ha. Begitu keinginanmu kek. Lihat baik-baik!" sahut si pemuda sambil tertawa padahal saat itu serangan Gentong Ketawa makin bertambah gencar dan berbahaya. Dengan bertumpu pada bagian punggungnya tubuh pemuda itu mendadak berputar. Tangan menangkis tendangan lawan, sedangkan kakinya dipergunakan untuk menyambut jotosan si kakek.

Plak! Desss!

Benturan yang terjadi antara tangan dan kaki antara murid dan guru membuat si kakek terhuyung. Sedangkan si gondrong menjerit sambil kibaskan tangannya.

"Ha... ha... ha! Memalukan sekali. Belajar denganku dari kecil sampai besar begini ternyata kau tak sanggup membuatku jatuh?" ejek Gentong Ketawa sambil terkekeh-kekeh.

Pemuda itu menyeringai. Dengan bertumpu pada kedua kakinya dia bangkit berdiri.

"Lihat serangan!" teriak si pemuda. Bersamaan dengan itu pula tubuhnya melesat ke arah Gentong Ketawa. Sampai di depan kakek itu si pemuda memutar tubuhnya. Tangan kanan membabat bagian leher, sedangkan tangan kiri menampar bagian pipi. Melihat serangan ganas ini si kakek tertawa panjang. Enak saja dia gerakkan tangannya menangkis. Tapi dia jadi kaget ketika tiba-tiba si pemuda tarik serangannya. Tanpa disadari orang itu kaki si pemuda yang sudah ditekuk dihantamkannya ke bagian perut Gentong Ketawa.

Desss!

Hantaman yang sangat keras membuat si kakek jatuh tersungkur dengan hidung mencium tanah. Pemuda gondrong itu tertawa bergelak. Dia menunjuk-nunjuk gurunya.

"Kau bilang aku tak bisa membuatmu jatuh? Ternyata tidak sulit melakukannya. Ha., ha... ha."

"Eh, kau tadi mempergunakan jurus apa? Rasanya aku tak pernah mengajarimu dengan jurus seperti itu?" tanya Gentong Ketawa sambil bangkit berdiri.

"Memang tidak. Yang kulakukan tadi namanya variasi gabungan dari jurus warisanmu dan jurus ciptaanku sendiri. Namanya jurus 'Ngaco"...!"

Gentong Ketawa sempat terbengong- bengong mendengar ucapan muridnya. Memang dia harus mengakui muridnya itu memiliki otak yang cerdik. Ada saja yang dipikirkannya. Satu hal yang terkadang membuat si kakek jadi pusing sendiri, pemuda yang selalu dipanggilnya Gege ini mempunyai sifat dan tingkah laku yang hampir sama dengan dirinya.

"Kau bocah kampret curang. Jangan kira kau bisa mengalahkan aku. Kau lihat ke mari!" seru si kakek sinis. Seiring dengan seruannya itu, maka Gentong Ketawa putar kedua tangannya. Kepala digoyang ke kiri kanan seperti orang pusing. Kemudian pinggul diogel- ogelkan. Sesekali pantat menungging.

"Jurus Tarian Dewa? Ha... ha... ha. Kulihat jurus itu seperti gerakan kerbau bunting mau buang hajat. Aku akan melayanimu dengan jurus Belalang Terbang!" seru si pemuda. Sejenak lamanya pemuda itu meniru gerakan si kakek sekedar untuk meledek. Kemudian kedua tangan dikembangkan ke samping, salah satu kaki diangkat ke belakang. Bersamaan dengan itu pula si pemuda melesat ke depan dengan kaki mengambang di udara.

Dari arah depan Gentong Ketawa berputar sambil tetap mengogel-ogelkan pantatnya menyambut serangan sang murid dengan kedua tangan terkembang pula.

Wuut! Des! Des!

Dalam hujan lebat yang tak kunjung henti keduanya sama terjengkang, bergulingan ke belakang. Tanpa menghiraukan rasa sakit yang mendera dada dan kedua tangannya si pemuda membalikkan badan.

"Aku akan memukulnya dengan Selaksa Duka!" membatin si pemuda dalam hati. Pemuda ini kemudian membalikkan badannya dan menghantam ke arah Gentong Ketawa. Tapi dia sendiri kemudian terkesiap kaget ketika melihat gurunya sambil tertawa-tawa telah bergerak mendahului melepaskan pukulan pula.

"Gege... kau kira dapat mengadali orang sepertiku. Selagi dirimu masih menjadi angin aku sudah mempelajari segala sifat manusia sampai tingkah laku binatang. Ternyata manusia lebih rendah   dari binatang  jika tidak mempergunakan akalnya." kata si kakek. "Kuya  tengik.  Huuup...!" Tiga kali berturut-turut si  gondrong dorongkan kedua tangannya ke arah si kakek. Untuk beberapa saat lamanya mereka nampak saling dorong pertanda antara murid dan guru itu sama-sama kerahkan tenaga saktinya. Mata si kakek mendelik besar, mulut terkatub sedangkan pipi menggembung, kedua kaki bahkan nampak amblas ke dalam tanah.

Sedangkan pemuda itu sendiri nampak mulai terseret ke belakang.

"Hiyaa...!"

Sekali lagi si pemuda dorongkan kedua tangannya ke depan. Di depan sana si kakek lakukan hal yang sama. Dua tenaga sakti saling tindih menindih. Hingga akhirnya terjadilah ledakan berdentum. Bunga api berpijar di udara. Dua sosok tubuh sama tertempar. Si pemuda mengerang, menggeliat lalu bangkit. Nafasnya menguik-nguik seperti orang yang menderita sakit nafas. Sedangkan dari sudut bibirnya meneteskan darah. Ketika dia memandang ke arah gurunya. Maka si kakek tertawa terbahak-bahak.

"Ha... ha... ha! Mulutmu keluar kecapnya bocah?" celetuk si kakek.

Si pemuda seka mulutnya. "Oh ini bukan kecap, tapi sambal. Hanya tinggal cari lalapan dan kita makan bersama-sama. Ha... ha... ha!"

"Dasar bocah edan!" gerutu si kakek. Tanpa menghiraukan ucapan Gentong Ketawa, pemuda itu duduk di atas batu. Si kakek datang menghampiri.

"Sudah berapa lama kau ikut denganku? Sepuluh atau dua belas tahun?" bertanya Gentong Ketawa sambil mengusap dagunya yang polos tanpa kumis dan jenggot.

"Berapa saja yang kakek suka. Yang penting kakek senang aku juga senang. Jadi kita sama-sama senang. Ha... ha... ha." sahut si pemuda sambil tertawa.

"Hem, begitu. Tapi kurasa ilmu yang kumiliki belum kuberikan padamu seluruhnya. Pada akhirnya nanti aku akan menurunkan semua ilmu kepadamu." ujar si kakek. Dia terdiam sejenak sambil memperhatikan wajah si pemuda. Yang diperhatikan jadi salah tingkah dan celingukan. "Gege... sejak kau dibawa Tabib Sesat Timur sampai sekarang setelah ikut denganku kau masih belum punya nama. Aku suka memanggilmu Gege, karena panggilan itu cocok dengan sebuah tempat indah di mana dulu sering aku melamun di sana untuk mendapatkan seorang murid."

"Di mana tempat itu kek?" tanya si pemuda.

"Tempatnya... emm... anu...!" Gentong Ketawa nampak bingung. "Aku sudah lupa. Tapi tempat itu bagus, indah dan nyaman. Kurasa masih di sekitar tanah Jawa ini juga." menerangkan kakek itu. Lalu dia menambahkan. "Sekarang aku sudah punya nama untukmu. Karena kau suka melucu dan tertawa-tawa sendiri, bagaimana jika kalau kau kuberi nama Gento Guyon? Gento Guyon itu kalau dipendekkan jadi Gege. Bagus bukan?"

Wajah si pemuda nampak cemberut. "Gurunya Gentong Ketawa, muridnya Gento Guyon." gumam si pemuda. "Nanti orang menyangka Gento anaknya Gentong. Padahal mana mungkin aku punya ayah berpipi tembem, hidung pesek jelek dan badan besar seperti gentong begini?" 

"Anak kampret. Tujuh hari tujuh malam aku mencari nama untukmu mengapa kau caci nama pemberianku? Lagipuia apa kau pikir aku mengakuimu sebagai anak?" damprat Gentong Ketawa. "Aku juga tak sudi jadi anakmu." "Atau kau suka aku memanggilmu

anak edan sebagaimana tabib setan itu memanggilmu?"

"Tobaat, jangan. Itu adalah sebuah panggilan yang lebih buruk dari keledai." dengus si pemuda.

"Baiklah, kuterima nama pemberian darimu. Selanjutnya kita mau apa? Apakah kau hendak menurunkan jurus- jurus silatmu yang lain?"

"Memang. Aku akan menurunkan Lima Jurus Langkah Dewa. Tapi tidak sekarang. Saat ini sebaiknya kita pergi. Aku ingin bertemu dengan Pendekar Sesat Patah Hati."

Kening si pemuda mengernyit. "Sudah sesat patah hati lagi. Siapa dia? Keponakanmu?"

"Bukan. Pendekar itu akhir-akhir ini menjadi buronan banyak tokoh. Termasuk Senopati kerajaan. Konon kudengar ayahnya bekas Tumenggung. Cintanya putus di tengah jaian akibat tidak direstui oleh Senopati Lambak Renggono. Entahlah, aku kurang tahu pasti. Sebaiknya kita berangkat saja sekarang." Gentong Ketawa kemudian bangkit berdiri. Gento Guyon alias Gege mengikuti pula.

"Kek kalau cintanya putus kenapa tak disambung lagi? Putusnya di jalan mana rupanya?" "Bocah geblek. Goblok dipelihara. Mana aku tahu cintanya putus di jalan mana. Mungkin juga di tengah jalan menuju neraka. Ha.. ha.. ha!" Sambil tertawa terbahak-bahak Gentong Ketawa berkelebat pergi.

Si pemuda geleng kepala. Setelah menyengir sendirian dia pun menyusul gurunya.

8

GGUYON

Ketika Tabib Tapadara sampai di kuil kuno yang porak poranda. Dia melihat puluhan mayat bergeletakan di sekitar kuil itu. Dua di antaranya bahkan telah membusuk.

"Begitu mudah orang membunuh, begitu mudah nyawa melayang, namun tak seorang pun yang mampu mengembalikan nyawa ke raganya." gumam tabib Tapadara yang saat itu berdiri tegak di antara mayat-mayat Ratu Ular Kayangan dan sosok seorang pemuda berwajah rusak mengerikan. Sang tabib memperhatikan mayat-mayat itu satu demi satu. "Kalau tak salah itu adalah mayat Ratu Ular Kayangan, yang di sebelah kiri mayat perwira tinggi. Dan yang mendam di dalam tanah ini pasti mayat Kala Biru dan Kala Merah. Lalu yang satu ini? Eeh... kulihat dadanya kembang kempis?" kata si kakek. Dengan agak ragu-ragu dia datang menghampiri. Dia membalikkan tubuh si pemuda yang dalam keadaan rebah miring. Setelah itu denyut nadi di bagian tangan segera diperiksanya.

"Aku merasa pasti pemuda ini terkena gigitan ular Kayangan. Tapi mengapa nenek itu sendiri tewas? Siapa yang membunuhnya? Kasihan sekali pemuda ini. Mukanya hancur seperti daging dicacah. Hemm...!" Tabib Sesat Timur berjingkrak kaget begitu ingat sesuatu. 

"Tidak salah penglihatanku. Dia pasti Sanjaya, Pendekar Sesat Patah Hati putra tumenggung Ageng Tirtamaya yang dihukum gantung akibat mengkorup upeti kerajaan. Dia adalah putra sahabatku sendiri. Huk... huk... huk!" Si kakek menangis sesunggukan bila mengenang kematian Tumenggung Ageng Tirtamaya yang menemui ajal di tiang gantungan itu. Sayang ketika itu dia terlambat datang menolong. "Aku harus menyembuhkan lukanya dan memunahkan racun bekas gigitan ular Kayangan." Dari balik kantong perbekalan Tabib Sesat Timur mengeluarkan empat butir pii warna hitam, kuning, merah dan hijau yang menebarkan bau amis luar biasa. Kemudian ke empat butir pii itu dimasukkannya ke dalam mulut Sanjaya. Setelah itu dari balik kantong yang lain si kakek mengambii sebuah pisau yang sangat tajam berwarna putih mengkilat.

Pisau itu kemudian ditancapkan ke bagian luka akibat gigitan ular di bagian leher si pemuda. Luka dibelah dan dikoreknya. Kulit bercampur daging bekas gigitan ular dibuang. Di bagian yang luka oleh si kakek tabib ditaburi serbuk ramuan. Ketika serbuk menyentuh permukaan luka terdengar suara desis aneh yang disertai dengan mengepulnya asap hitam berbau busuk. Si kakek kemudian menempelkan telapak tangannya ke dada Sanjaya. Sekejap dia kerahkan tenaga dalamnya ke bagian dada si pemuda. Pendekar Sesat Patah Hati nampak terguncang, dari  bagian mulutnya menyembur darah hitam kental. Si kakek terus kerahkan tenaga dalamnya,  sampai sekujur tubuhnya sendiri dilanda guncangan hebat dan

basah bersimbah keringat. "Hoeeek...!"

"Bagus. Terus keluarkan semua isi perutmu!" seru si kakek yang mulai menjauhkan tangannya dari dada si pemuda.

Orang tua ini kemudian menunggu untuk beberapa saat lamanya. Kemudian terdengar suara erangan yang keluar dari mulujt Sanjaya. Pemuda itu kerjapkan matanya. Dia jadi kaget ketika melihat kehadiran Tabib Sesat Timur di tempat itu.

"Kakek...? Bagaimana kau bisa hadir di sini?" gumam si pemuda heran tapi juga gembira.

"Puji syukur pada Tuhan. Kita masih dipertemukanNya!"

"Heh, biasanya kakek selalu mengatakan puji syukur kepada setan!" kata si pemuda heran.

Tabib Sesat Timur tersenyum kecut. "Itu dulu Sanjaya. Sekarang aku sudah tobat. Aku sudah semakin tua. Aku takut sebelum sempat bertobat ajal keburu menjemputku. Aku malu menghadap Tuhan dalam keadaan kotor. Selama ini aku hidup dalam kesesatan. Aku tidak ingin semua itu terus berlanjut. Sejak bocah edan tidak lagi bersamaku dan pergi dengan si gendut entah ke mana. Aku merasa kehilangan. Enam tahun dia bersamaku, tapi aku terus menyiksanya. Anak itu sangat menderita. Kini setelah dia pergi, baru kesadari betapa dia sangat berarti bagi diriku. Tapi lupakanlah!" ujar si kakek dengan wajah murung. Dia menghembuskan nafas yang terasa menyesak di dalam dadanya. Setelah itu perhatiannya tertuju pada Sanjaya alias Pendekar Sesat Patah Hati.

"Bagaimana kau sampai mengalami kejadian seperti ini? Kau terkena gigitan ular Kayangan. Aku yakin itu hasil perbuatannya." Berkata begitu si kakek tabib menunjuk ke arah Ratu Ular Kayangan.

"Engkau betul kek. Entahlah sejak ayahku meninggal hidupku makin tak menentu." kata Sanjaya. Kemudian si pemuda menceritakan segala sesuatu yang terjadi termasuk juga mengenai hubungannya dengan Ni Seroja yang ditentang oleh Senopati Lambak Renggono.

"Aku merasa ikut prihatin. Aku sendiri telah menyeiidiki siapa sebenarnya yang telah membocorkan kesalahan ayahmu pada paduka prabu. Aku sadari ayahmu memang bersalah. Tapi kalau bukan kareha ulah Senopati Lambak Renggono mungkin ayahmu masih hidup saat ini meskipun harus mendekam di penjara." ujar Tabib Sesat Timur beberapa saat setelah Sanjaya men- ceritakan segala sesuatunya.

"Jadi Senopati Lambak Renggono yang punya ulah?" desis si pemuda. "Mengapa dia berbuat begitu?" tanya Sanjaya ingin tahu.

"Kudengar ayahmu oleh sri baginda hendak diangkat menjadi Adipati di daerah lain. Kurasa Senopati itu merasa iri, sehingga dia sengaja mencari kesalahan ayahmu. Kebetulan sekali ayahmu memang kedapatan melakukan kesalahan." "Aku harus membuat perhitungan dengan Senopati itu." dengus Pendekar Sesat Patah Hati. Sang Tabib gelengkan kepala.

"Mengapa?"

"Senopati itu memiliki kesaktian sangat tinggi. Itu sebabnya dia dijuiuki Senopati Pamungkas. Dengan ilmu Gelombang Naga yang kau miliki tak terpikir olehku kau akan kalah melawannya. Tapi selain Senopati Lambak Renggono dia masih punya pasukan perang dalam jumlah besar. Lain halnya jika aku membantumu menculik Ni Seroja. Kemudian aku meninggalkan pesan untuknya, agar dia mau datang menemuimu seorang diri."

"Tapi aku tak mungkin bertemu dengan Ni Seroja dalam keadaan cacat begini rupa!" kata Sanjaya gelisah.

Si kakek tersenyum. "Aku telah menyelidik. Ni Seroja kurasa tetap mencintaimu. Saat ini dia dipasung dalam sebuah kamar. Kurasa ingatannya agak terganggu. Namun aku pasti bisa membantu menyembuhkannya bila dia telah bersamamu." tegas Tabib Tapadara.

"Tapi siapa yang akan ke sana?" "Tentu saja aku. Aku sudah tahu

tempatnya di mana Ni Seroja disekap. Asal kau percaya dengan kemampuanku. Aku yakin segala sesuatunya jadi beres sesuai dengan keinginanmu." "Baiklah kek. Aku menurut saja." jawab si pemuda pasrah.

"Kalau begitu sekarang kau pergi. Lukamu sudah tidak perlu dikhawatirkan lagi." kata sang tabib meyakinkan.

Sanjaya anggukkan kepala dan mengikuti kakek tabib pergi ke tempat kediaman Senopati Lambak Renggono.

* * *

Gadis cantik berambut awut-awutan itu baik malam ataupun siang hampir tak pernah berhenti menangis. Terkadang dia suka berteriak-teriak seperti orang kurang waras. Hal ini tentu saja mengandung rasa iba para pelayan yang melayani segala kebutuhannya. Sore itu Senopati Lambak Renggono sedang tidak berada di dalam gedung tempat kediamannya. Nini Parawit tahu benar akan hal itu. Menurut keterangan beberapa prajurit yang dapat dipercaya sang Senopati yang mandapat laporan tentang tewasnya belasan prajurit serta perwira tinggi yang sangat dipercaya berikut beberapa tokoh silat yang mendukungnya sedang memimpin pasukan untuk melakukan pengejaran ke kuil kuno yang terletak di luar dusun Mojokerto.

Kesempatan ini dipergunakan oleh kepala abdi Senopati ini untuk menyelinap ke dalam kamar di mana Ni Seroja dipasung. Dan secara kebetulan pula prajurit yang berjaga di depan pintu penyekapan merupakan orang yang sangat dekat dengan Nini Parawit sendiri. Sehingga dia tidak menjumpai banyak kesulitan.

"Nini… jika sampai Senopati tahu adiknya meloloskan diri. Bukan hanya nini sendiri. Tapi kami berdua akan digantung!" kata salah seorang di antara dua pengawal itu sambil membukakan pintu.

"Nini harus ingat, istriku di rumah sekarang sedang hamil besar. Anakku lima masih kecil-kecil. Kalau aku dibunuh oleh gusti Senopati, bukan saja anak-anakku menjadi yatim, tapi mereka juga akan sengsara!" menimpali pengawal yang satunya lagi. Laki-laki itu nampak sangat tegang sekali.

"Bertahun-tahun gusti Ni Seroja diperlakukan seperti hewan. Semua itu mengundang rasa ibaku. Sekarang aku akan menotok dan mengikat kalian berdua. Jika Senopati kembali dan mengetahui kejadian ini aku yang bertanggung jawab. Paham?"

"Tidak takutkah nini dengan hukuman yang akan nini jalani?" tanya pengawal pertama dengan suara bergetar.

Nenek tua berpakaian rapih itu tersenyum. "Aku dulu seorang ibu yang jahat. Kucegah anakku menikah dengan laki- laki yang dia cintai. Dia akhirnya mati membunuh diri. Aku menyesali semua itu. Tapi anakku tidak pernah kembali. Sekarang biarkan aku berbuat sedikit kebaikan untuk mengurangi beban derita batin yang selama ini menekan, jiwaku. Aku tak tega membiarkan gusti Ni Seroja menderita seperti itu. Biarkan aku korbankan nyawaku yang tidak berguna ini demi kebebasannya!" kata perempuan tua itu dengan mata berkaca-kaca.

Kedua pengawal itu menjadi terenyuh hati mereka. Belum pernah mereka mendengar ada seorang pelayan mau mengorbankan nyawa demi kepen- tingan orang lain.

"Nini, lakukanlah apa yang menjadi keinginanmu. Kami tak akan menghalangi tapi harap ikat kami dulu!" kata kedua pengawal itu hampir bersamaan. Nini Parawit anggukkan kepala. Kemudian dia dengan cepat melakukan dua totokan di punggung dan leher kedua pengawal ini. Ketika kedua pengawal rebah dalam keadaan kaku tertotok, Nini Parawit langsung mengikatnya.

Tak berselang lama perempuan tua ini dengan terbungkuk-bungkuk memasuki sebuah ruangan yang gelap dan pengap. Di dalam ruangan itu hanya terdapat sebuah tikar pandan lusuh, pelita minyak dan sebuah alat pemasung yang besar dan berat. Sedangkan gadis yang dipasung nampak bersandar pada tembok dinding berwarna putih kusam.

Melihat kehadiran Nini Parawit si gadis yang bukan lain adalah Ni Seroja nampak tersenyum dan mulai lagi menyanyi.

Nini Parawit tempelkan jari telunjuknya ke depan mulut. Dia ber- jalan mendekati. Selanjutnya nenek tua ini melepaskan kayu-kayu yang dijadikan kunci alat pemasung sambil berkata.

"Gusti... aku tahu gusti tidak gila sungguhan. Sekarang aku ingin menolongmu. Tapi setelah bebas harap kau pergi sejauh mungkin meninggalkan gusti Senopati. Cari Sanjaya yang kini bergeiar Pendekar Sesat Patah Hati. Doaku menyertaimu, semoga gusti selamat dan hidup bersama Sanjaya."

Diam-diam Ni Seroja jadi kaget menyadari nenek tua itu tahu keadaan yang sebenarnya, namun ada juga rasa haru di hati si gadis. Dia tak menyangka nenek itu mau berkorban nyawa demi kebahagiaannya. Hal ini menimbulkan rasa haru yang mendalam hingga membuat Ni Seroja menangis sesunggukkan. Ketika dia terbebas dari pasungan Ni Seroja hendak memeluk Nini Parawit. Namun si nenek mencegahnya. Dia malah kerahkan tenaga dalam ke bagian kaki si gadis untuk melancarkan jalan darahnya.

"Waktu gusti Ni Seroja tidak banyak. Aku telah melakukan apa yang dapat kulakukan. Sekarang cepat pergi lewat pintu belakang!" pinta Nini Parawit.

"Nini, kau telah melakukan pengorbanan besar untukku. Aku tak mampu membalasnya. Tapi aku pasti mengingatnya sepanjang hidup." kata Ni Seroja.

Nini Parawit anggukkan kepala. Sebelum pergi gadis cantik berambut panjang awut-awutan itu memeluk si nenek tua. Keharuan di hati si gadis yang merasa ditolong oleh orang tua itu sempat membuatnya tenggelam dalam kesedihan untuk beberapa saat lamanya. "Pergilah. Senopati sebentar lagi pasti akan kembali ke sini." ujar nenek itu. Ni Seroja pun akhirnya meninggalkan ruangan itu. Lewat pintu belakang tanpa arah tujuan yang pasti dia berlari di tengah kegelapan malam. Hanya beberapa saat  setelah kepergian Ni Seroja di depan pintu kamar yang dijadikan tempat memasung Ni Seroja selama ini muncul seorang laki-laki berbadan semampai berwajah beringas.  Laki-laki  itu memakai pakaian mewah, bertopi tinggi warna kuning,  sedangkan  di   punggungnya tergantung sebilah pedang dengan hulu berukir tengkorak kepala manusia. Melihat kemunculan laki-laki ini dua prajurit yang dalam keadaan terikat tentu sangat terkejut sekali.

Sebaiiknya si laki-laki yang bukan lain adalah Senopati Lambak Renggono juga tak kalah kagetnya.

"Apa yang telah terjadi?" hardik sang Senopati.

"Kami... kami...!" Salah seorang prajurit mencoba menjawab. Tapi tak kuasa melanjutkan ucapannya karena demikian tegangnya.

"Kurang ajar. Adikku lari... siapa yang telah melarikannya?!" bentak Senopati Lambak Renggono berang begitu melihat pintu kamar terbuka.

"Aku yang melakukannya gusti." Dari dalam kamar satu suara menjawab disertai dengan munculnya Nini Parawit. Sejenak lamanya sang Senopati tercengang  karena tidak  menyangka kepala pelayan yang sangat dia percaya berani melakukan tindakan senekad itu. "Tua bangka tak tahu diri. Kau telah melakukan kesalahan besar. Tidak sadarkah kau bahwa kesalahan yang telah kau   lakukan  itu tak akan mendapat pengampunan dariku?" dengus Senopati Lambak Renggono dengan mata mendelik dan wajah berubah beringas. Dia sendiri saat itu sedang merasa gusar karena ketika sampai di kuil kuno orang yang dia cari dan sangat dibencinya ternyata tak berada di tempat. Kini ketika kembali demi melihat adiknya meloloskan diri tentu saja membuat kemarahannya semakin memuncak.

"Aku mengerti gusti!" sahut Nini Parawit yang saat itu telah bersimpuh di depan sang Senopati.

"Kau sudah mengerti? Lalu mengapa kau bebaskan dia?"

"Aku tidak tega melihat penderitaannya." kata Nini Parawit. Sedikit pun tidak terlihat ada rasa takut terbayang di wajah orang tua itu.

"Orang tua edan. Kukira kau hanya pandai memasak dan menyusun hidangan tak tahunya kau pandai pula menotok dan mengikat kedua prajurit tolol ini. Jiwamu tak akan kuampuni!" teriak Senopati Lambak Renggono sambil acungkan lima jari tangannya ke arah Nini Parawit. Dua prajurit yang sudah mengetahui Senopati hendak melepaskan salah satu ajian mautnya tidak mampu berbuat banyak. Wajah mereka sama pucat tegang dan sama pula pejamkan matanya.

Beberapa saat kemudian dari empat jari tangan sang Senopati membersit sinar hitam redup berhawa dingin menusuk. Sinar itu sekejap lagi pasti akan menembus batok kepala Nini Parawit jika saat itu tidak terdengar suara bentakan disertai melesatnya sinar putih kemilau dari bagian atas langit-langit ruangan yang langsung memapas empat sinar hitam itu.

"Orang tua hendak dibunuhnya. Sungguh merupakan tindakan tidak terpuji."

Lalu ada suara lain yang menimpali. "Dia adalah manusia murtad yang tak takut kwalat. Dasar bangsat! Ha... ha... ha...!"

Terdengar suara empat kali suara letupan berturut-turut. Senopati terhuyung ke belakang dengan muka pucat dan kening mengernyit kaget. Bila dia melihat ke langit-langit ruangan, bagian atap rumahnya jebol bolong melompong. Tapi dia tak melihat apa-apa terkecuali kegeiapan semata. Dari letupan yang terjadi mengepul asap teba!, dalam kemarahannya akibat apa yang hendak dilakukannya digagalkan orang sang Senopati sempat mengendus bau sesuatu. Di bagian atas langit-langit rumahnya dia mendengar suara bergedebukan seperti suara anak kecil yang sedang bercanda. Lalu ada suara orang bicara.

"Huh, bau apa ini? Busuk amat?"

Selanjutnya ada suara serak berat menyahuti. "Kurang ajar, bocah edan. Kau yang kentut rupanya?" "Biarkan aku kentut. Asal kentutku membuat nenek itu jadi panjang umur. Ha... ha...ha!"

Merasa ada orang yang telah menghinanya begitu rupa dan sadar orang-orang itu pastilah memiliki kepandaian tinggi mengingat kehadirannya tak diketahui oleh pengawal yang berjaga di sekeliling gedung Senopati, maka sambil katupkan bibirnya dia menghantam ke atas, sedangkan Nini Parawit sendiri diam- diam segera menyingkir dan menyelinap pergi membawa rasa takutnya.

Sinar hitam berkiblat, hawa dingin menderu menghantam langit- langit gedung,

Buuum!

Ledakan keras berdentum. Langit- langit ruangan hancur berkeping- keping, atap genteng jebol. Di atas sana terdengar suara gelak tawa saling tindih menindih menyakitkan telinga.

"Lihat manusia murtad itu mengamuk. Gedung begini bagus hendak dihancurkannya!"

"Biarkan saja guru. Kurasa gilanya lagi kambuh. Kalau kita melarang urusan jadi kapiran!" kata suara di atas genteng.

"Setan! Siapa kau berani datang ke tempatku ini!" hardik Senopati Lambak Renggono sengit. "Ha... ha... ha. Yang datang justru kakek setan dan cucu setan. Kami datang ke mari karena merasa punya kepentingan dengan anak setan!" sahut suara di atas genteng.

"Betul. Anak setan perlu diberi pengajaran agar jangan sembarangan lagi hendak membunuh nenek tua tidak berdaya! Ha... ha... ha!"

Merasa diejek dan dipermainkan terus menerus. Maka lenyaplah sudah kesabaran di hati sang Senopati. Dengan tinju terkepal dan dihantamkan ke atas, maka tubuhnya pun melesat. Sinar hitam berkiblat menghantam bagian atas genteng di mana sang Senopati memperkirakan kedua tamu yang tak diundang itu berada.

Terdengar suara genteng berderak hancur disusul dengan munculnya sosok Senopati melalui atap yang baru dihancurkannya tadi. Dalam gelap hanya diterangi cahaya bintang Senopati Lambak Renggono melihat dua sosok laki-laki. Yang satu adalah seorang kakek tua berbadan besar luar biasa, berperut gendut. Baju hitamnya tidak terkancing, sedangkan wajahnya bulat. Pipi gemuk padat tembem, bukit hidungnya sama sekali nyaris lenyap sama rata dengan pipi. Sambil usap- usap perut dengan tangan kanan, tangan kirinya terkadang iseng mengorek lubang hidung. Melihat besarnya badan kakek  ini  pastilah   genteng  yang dipijaknya akan hancur berantakan. Akan tetapi hal itu tak terjadi, ini merupakan suatu tanda bahwa kakek itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tarap di atas sempurna. Sedangkan tak jauh dari kakek gendut   itu  berdiri  tegak   seorang pemuda    tampan  berambut gondrong, berpakaian biru dengan ikat kepala warna biru  pula. Sambil  berkacak pinggang   dan menggerakkan   kedua

bahunya pemuda ini menyeletuk. "Guru... lihat. Senopati ini

gagah juga ya? Rambut klimis, kumisnya yang melintang juga klimis. Tapi seperti yang baru kita lihat tadi tingkah lakunya seperti iblis. Ha... ha... ha!"

"Gege, jangan berani bicara sembarangan dengan tuan besarmu itu. Kalau dia sampai marah aku tidak ikutan menanggung akibatnya." kta si kakek yang bukan lain adalah Gentong Ketawa.

"Ha... ha... ha. Cepat guru berlutut di hadapannya. Katakan kedatangan kita ke sini hanya ingin memberi tahu bahwa adiknya yang pergi tak usah dicari." kata Gelge alias Gento Guyon.

Diam-diam Senopati jadi kaget mendengar ucapan si pemuda. Jika dia berkata begitu berarti mereka tahu di mana adiknya saat ini berada.

"Kalian yang melarikan adikku?" hardik Senopati bengis.

Gentong Ketawa gelengkan kepala. "Kami hanya melihat dia berlari

dalam gelapnya malam. Kemudian muridku itu mengambilkan kuda untuknya di kandang belakang gedung, maksud kami supaya dia jangan terlalu lelah. Setelah itu kami ke mari, bukankah begitu Gege?" Sambil berkata si kakek melirik muridnya sambil kedipkan mata satu kali. Gento Guyon ikut kedipkan matanya pula sambil tersenyum.

"Memang begitu Senopati. Aku terpaksa mencuri kuda demi adikmu, harap kau sudi mengampuniku!"

"Jahanam keparat! "Senopati menggeram. Dia kemudian berteriak keras. "Pengawal! Tangkap dua kunyuk ini hidup atau mati!"

Suara teriakan Senopati lenyap. Tapi tak seorang pengawal pun yang datang. Bahkan pengawal yang berjaga- jaga di atas gedung Senopati diam tak bergerak. Hal ini tentu menimbulkan rasa kaget dan heran. Gento Guyon terkekeh, sedangkan Gentong Ketawa tak mampu menahan tawanya.

"Jangan kaget Senopati. Kami terpaksa membuat pengawalmu tidur semua. Sedangkan pengawal yang di atas gedung sudah kami beritahu agar jangan meninggalkan tempat walaupun petir membelah kepala mereka. Ha... ha... ha!" kata Gento Guyon seenaknya.

"Saking patuhnya mereka kaku tegak. Telinga mendengar tapi berlagak tuli. Mereka ingin ke sini tapi takut pada guruku betul begitu guru?" ujar Gento Guyon.

"Kenyataannya memang begitu, Gege! Tapi kau lihat rambut di kepalanya berjingkrak tegak. Itu pertanda dia merasa kaget!"

"Kurasa semua bulu yang tumbuh di sekujur tubuhnya jadi tegak berdiri. Aku takut celananya robek! Ha... ha... ha." ujar Gento Guyon disertai tawa cekakakan. Mendidihlah darah Senopati Lambak Renggono mendengar semua kata- kata yang diucapkan oleh Gentong Ketawa dan muridnya. Tapi dia kemudian melengak kaget ketika melihat Gento Guyon dan Gentong Ketawa secara serentak sama jatuhkan diri. Kedua tangan yang dirangkapkan diletakkan di atas kepala dengan gerakan seperti orang menyembah.

Selanjutnya kedua orang ini buka mulut masing-masing hampir bersamaan mereka berucap. "Gusti Senopati! Maafkan kami. Sama sekali kami tak bermaksud menghinamu. Kami tadi hanya bercanda. Sekarang terimalah hormat kami." Apa yang terjadi kemudian bukan sebagaimana yang diharapkan oleh Senopati Lambak Renggono. Karena begitu Gento Guyon dan gurunya menggerakkan kedua tangan masing- masing ke depan. Maka serangkum hawa panas menderu sebat menghantam sang Senopati secara susul menyusul.

"Jahanam keparat, penipu tengik!" teriak sang Senopati. Sekonyong- konyong dia melesat ke udara. Di udara laki-iaki itu lakukan gerakan berjumpalitan tiga kali sambil pukulkan tangannya ke arah kedua lawannya.

Wuus! Wuss!

Angin dingin membersit, sinar hitam berkiblat dan melesat deras memapaki pukulan Selaksa Duka yang dilepaskan Gento dan gurunya. Tak dapat dihindari lagi bentrokan tenaga sakti pun terjadi. Atap gedung hancur berkeping-keping. Senopati sendiri jatuh terjengkang dan terguling-guiing untuk akhirnya jatuh di halaman depan. Sedangkan Gento dan gurunya jatuh terduduk di atas genteng. Gento merasa dadanya jadi sesak. Nafas kembang kempis dan aliran darahnya jadi kacau. Dia terpaksa kerahkan tenaga daiam untuk memulihkan kesehatannya. Sedangkan si kakek malah menyengir sambil mengusap wajahnya yang keringatan.

9

GGUYON

Ketika Gentong Ketawa memandang ke arah muridnya, maka si kakek tertawa tergelak-geiak. "Ada apa denganmu? Dadamu kembang kempis seperti diurut setan."

"Betul. Habis mengurut setannya langsung jatuh menggelinding ke bawah sana!" sahut si pemuda sambil menunjuk ke arah halaman depan.

Gentong Ketawa memperhatikan sejenak, memandang sejenak ke arah yang ditunjuk si pemuda. Setelah itu dia berkata. "Senopati memiliki senjata yang sangat berbahaya. Di samping itu dia juga mempunyai kesaktian tinggi. Kuharap kau berhati- hati dalam menghadapinya." pesan si kakek.

Gento Guyon mengangguk. Beberapa saat lamanya mereka menunggu. Tapi ternyata setelah lama menunggu Senopati Lambak Renggono tidak muncul- muncul juga.

"Guru... kurasa Senopati pergi mengejar adiknya. Bagaimana kaiau kita mengejar Senopati itu?" tanya Gento. "Dasar geblek. Untuk apa kita bermain kejar-kejaran?" sahut si kakek yang diam-diam jadi curiga. Apa yang dikatakan oleh Gento Guyon memang benar. Begitu Senopati menyadari bahwa kedua lawan yang dianggapnya kurang waras itu ternyata memiliki kesaktian tinggi. Maka dia yang khawatir adiknya bisa bertemu dengan Sanjaya langsung memerintahkan pasukan pemanah dengan menunggang kuda segera mengejar adiknya.

Kini si kakek dan Gento Guyon saling pandang. Namun perasaan mereka sama-sama tidak enak.

"Aku curiga bukan mustahil Senopati itu menjebak kita." gumam Gentong Ketawa.

Si pemuda tertawa terkekeh. "Kau ini selalu takut dengan bayang- bayangmu sendiri, guru. Semua prajurit telah kita totok. Mana mungkin mereka bisa sampai ke sini!"

"Gege.... Seorang Senopati hanya mempunyai prajurit dalam jumlah sekecil itu? Tidak mungkin bukan? Dia pasti mempunyai pasukan besar. Sebaiknya kita kejar saja Senopati itu."

"Guru apakah kau sudah linglung. Tadi kau mengatakan untuk apa mengejar Senopati itu. Sekarang kau malah mengatakan sebaliknya." gerutu Gento Guyon sambil gelengkan kepala. Si kakek hanya senyum-senyum saja. "Aku merasa tertarik mendengar jalan hidup Pendekar Sesat Patah Hati. Kalau benar kabar yang ku dengar tentang riwayat pemuda itu. Kurasa tidak salah jika kita membantunya agar jalan perjodohan antara pendekar itu dengan adik Senopati bertambah lancar. Pendekar itu dapat rejeki besar dan kita kebagian pahalanya. Syukur-syukur aku diberi kesempatan melihat pesta membelah durian di malam pertama. Apalagi di malam pesta suasananya hujan lebat. Ha... ha... ha!"

Baru  saja  si kakek selesai bicara. Pada waktu bersamaan dari segala penjuru arah di bagian atap gedung melesat puluhan batang anak panah yang menghujani kedua orang ini. Mendengar suara mendesing yang datang dari setiap sudut gedung sambil hantamkan kedua tangannya menangkis serangan anak panah  Gento  Guyon

nyeletuk.

"Guru... doamu terkabul. Sekarang benar-benar hujan. Tapi bukan hujan seperti yang kau inginkan. Melainkan hujan anak panah. Lengah sedikit tentu tubuh besarmu yang seperti raksasa ditembusi anak-anak panah ini!"

Si kakek memang sempat terkesiap melihat serangan gencar yang dilakukan oleh pasukan pemanah Senopati. Namun sambil tetap tertawa ha ha he he, Gentong Ketawa buka bajunya. Ketika baju diputar dan dikebutkan. Maka puluhan batang anak panah yang menghujani tubuhnya berpentalan tak karuan. Sebagian anak panah itu bahkan ada yang berbalik dan menghantam pemiliknya. Terdengar jerit di sana- sini. Gento Guyon sendiri sambil menghindari serangan anak panah berjingkrak melompat sesuka hatinya, namun walau gerakan yang dilakukannya terkesan seenaknya sendiri. Sampai sejauh itu tak sebatang pun anak panah yang menembus tubuhnya. Pada satu kesempatan si pemuda melepaskan pukulan Iblis Ketawa Dewa Menangis.

"Gege bocah edan. Kalau memukul jangan seenaknya sendiri. Apa kau mau membunuhku!" hardik Gentong Ketawa yang melihat sang murid juga melepaskan pukulan ke arahnya.

"Ha... ha... ha. Kalau sudah begini mana aku bisa membedakan mana kambing mana kerbau bengkak." sahut si pemuda.

Walaupun tubuh si kakek beratnya lebih dari dua ratus kati, namun sambil mengebutkan bajunya yang dipergunakan untuk mengusir serangan anak panah yang mendera mereka laksana hujan. Dengan gerakan ringan dia jatuhkan diri ke atas genteng. Bagaikan bantal guling tubuhnya menggelinding ke bawah dan.... Bluuk!

Si kakek jatuh di halaman samping dan berdiri tegak di sana. Sementara itu di atas genteng terdengar suara pekik dan jerit kematian ketika pukulan yang dilepaskan oleh Gento Guyon menghantam pasukan pemanah Senopati. Banyak di antara mereka yang tewas dengan tubuh berjatuhan dari atas gedung setelah habis tertawa-tawa aneh.

Kenyataan yang terjadi tentu saja membuat kawan-kawannya yang berhasil menyelamatkan diri jadi tercengang, kaget juga heran. Selagi para pemanah bersikap lengah melihat kenyataan yang terjadi. Di bawah gedung Senopati terdengar suara siulan pendek. Lalu Gento Guyon mendengar gurunya berkata melalui ilmu mengirimkan suara.

"Apa lagi yang kau tunggu di situ Gege? Tak ada gunanya kau melayani mereka. Karena itu hanya membuang tenaga sia-sia. Ayo kita merat dari sini. Rasanya belum kasip untuk mengejar anak gondoruwo yang mengejar adiknya itu."

"Kau benar kakek gondoruwo. Cucumu itu memang kelewat bandel. Awas kalau kutemui dia pasti kujitaki kepalanya pulang balik!" berkata begitu dengan gerakan yang sangat ringan Gento Guyon berkelebat turun. "Jangari biarkan dua kunyuk itu melarikan diri!" seru prajurit pemanah begitu melihat lawannya berkelebat pergi.

Murid dan guru tanpa menghiraukan teriakan para prajurit pemanah cepat tinggalkan tempat itu.

Setelah mereka jauh dari kejaran musuh-musuhnya sambil tetap berlari si kakek berucap. "Rupanya kau teringat kenangan indah ketika kau kalah berkelahi dengan salah seorang dari tiga bocah berkepala botak itu? Ha... ha... ha. Aku tak pernah lupa saat itu Tabib Sesat Timur menjitaki kepalamu!" "Tabib Setan!" desis si pemuda.

Kilatan matanya jelas tak mampu menyembunyikan rasa benci di hatinya. "Kelak bila aku bertemu dengannya aku pasti akan membalas perlakuannya dulu. Akan kujitaki kepalanya, lalu kugantung dia di atas puncak cemara." dengus Gento Guyon sengit.

"Jika kau sudah menggantungnya baru nanti kucarikan semut merah, kepalanya kubotaki."

"Kakinya kukuliti untuk kujadikan kasut. Sedangkan kulit badannya hendak kubikin tetabuhan. Nantinya kita bisa keliling kotaraja. Aku yang menabuh gendang, kau yang menari. Ha… ha... ha!" "Dasar sinting, kau kira aku ini orang gila?!" rutuk Gentong Ketawa sambil delikkan matanya.

Gento Guyon terkekeh-kekeh melihat gurunya jadi sewot.

10

GGUYON

Suasana di pagi itu masih diselimuti kabut tebal. Udara dingin terasa menusuk hingga ke sumsum tulang. Seakan tidak perduli dengan keadaan yang terjadi di sekitarnya. Gadis cantik Ni Seroja dengan wajah pucat dan rambut kusut masai terus memacu kuda tunggangannya. Binatang itu mendengus-dengus, tubuhnya berkeringat sedangkan dari mulutnya keluar busa putih. Tambaknya binatang ini memang sangat kelelahan setelah semalaman penuh terus dipacu tiada henti.

Memasuki hutan Mojokerto, jalan yang harus ditempuh merupakan perbukitan berbatu. Si gadis mencoba memaksa kudanya untuk mendaki bukit tersebut, namun baru beberapa langkah kuda itu mendaki, tiba-tiba kakinya bergetar. Tak berapa lama kuda ini terguling. Jika Ni Seroja tidak cepat melompat dan punggung kudanya, niscaya dia juga ikut terpelanting.

Sejenak lamanya dia pandangi binatang itu. Kini setelah kuda yang dia tunggangi sudah tak bergerak lagi maka barulah Ni Seroja sadar bahwa dirinya seorang diri.

"Ke mana aku hendak pergi?" kata Ni Sen dalam hati. Dengan wajah kuyu dan tatap matanya yang letih dia pandangi kelebatan hutan di sekelilingnya. Setelah sadar di mana dirinya saat itu berada. Diam-diam perasaan takut kini mulai merayapi hatinya. "Kakak Sanjaya? Tidak mungkin aku bisa hidup seorang diri. Di manakah dirimu saat ini berada?"

Tentu saja pertanyaan ini tidak pernah mendapatkan jawaban karena di tempat itu tidak ada siapapun terkecuali dirinya sendiri. Selagi si gadis diliputi rasa bingung. Mendadak di belakangnya terdengar suara ranting seperti terinjak kaki seseorang. Dalam kagetnya karena menyangka yang datang adalah Senopati Lambak Renggono yaitu kakak kandungnya sendiri, maka gadis ini pun menoleh.

Sepasang mata si gadis yang cekung dan seperti banyak menyimpan penderitaan iiu terbelalak lebar. Mulutnya ternganga hendak menjerit, namun tak sepatah katapun yang keluar dari bibirnya. "Ni Seroja...!" Satu suara terdengar disusul dengan mendekatnya laki-laki berwajah rusak hancur seperti dicacah ke arah gadis itu.

Melihat laki-laki itu semakin mendekatinya. Maka Ni Seroja pun menjerit. Menjerit lagi hingga akhirnya dia pun terkulai tak sadarkan diri.

"Ni Seroja kekasihku. Ini aku, Sanjaya... akh... mengapa keadaanmu begini mengenaskan?" kata Psndekar Sesat Patah Hati. Dengan cepat dia membaringkan Ni Seroja di tempat yang rata berlapiskan daun kering. Setelah itu dia memijit kening, pelipis dan bagian leher si gadis. Hanya beberapa saat seteiah itu si gadis merintih.

"Ni Seroja, tenanglah. Segala sesuatunya kurasa sudah berakhir." kata pemuda itu lagi menghibur.

Ni Seroja buka matanya. Kembali dia melihat wajah yang sangat mengerikan itu. Kini bahkan nampak demikian dekatnya.

"Jangan takut, Roja...!" kata Sanjaya menyebut panggilan akrab si gadis.

"Roja? Hanya Sanjaya yang memanggilku begitu. Suaramu... suaramu seperti tidak asing bagiku. Siapakah engkau ini yang sebenarnya?" tanya Ni Seroja bingung. "Aku Sanjaya. Senopati Lambak Renggono yang membuat wajahku cacat begini." ujar pemuda itu. Suaranya bergetar menahan sedih dan dendam.

"Kakak Sanjaya?!" pekik Ni Seroja. Tiba-tiba gadis itu duduk. Air matanya kini deras menetes. "Benarkah kau kakak Sanjaya?"

"Ya... Hanya aku bukan lagi Sanjaya yang dulu. Kini wajahku cacat mengerikan. Jangankan manusia, setan sekalipun lari bila melihatku."

Ni Seroja galengkan kepala. "Benarkah kakakku Lambak Renggono

yang telah merusak wajahmu?" tanya gadis itu ingin kepastian.

"Aku tidak berdusta." ujar si pemuda. Dia kemudian menceritakan segala sesuatunya yang telah terjadi.

"Tak kusangka dia sekejam itu. Semula kukira dia hanya mengusirmu. Tidak tahunya...!" Si gadis tiba-tiba memeluk Sanjaya tanpa perduli pengan cacat wajah yang dialami pemuda yang dicintainya itu.

"Dia bukan saja memisahkan kita. Tapi juga berusaha menghancurkan dirimu dan diriku. Aku benci kepadanya!" desis Ni Seroja sambil menyembunyikan wajahnya di dada Sanjaya yang kekar.

"Apa yang harus kulakukan?" tanya si pemuda sambil balas memeluk gadis yang sangat dia cintai. Perlahan Ni Seroja jauhkan wajahnya dari dada si pemuda. Dia pandangi wajah Sanjaya sambil berkata. "Senopati memiliki senjata sakti, selain itu ilmunya juga sangat tinggi. Aku sejak berpisah denganmu selama tiga tahun. Hidup dalam pasungan. Atas jasa baik Nini Parawit aku bebas. Tapi mengapa harus begini?" Si gadis kembali pandangi wajah Sanjaya yang hancur mengerikan.

"Aku tahu kau pasti sudah tidak mau lagi padaku karena keadaanku yang seperti ini. Tidak mengapa, aku maklum. Aku memang sudah tidak berguna. Sedangkan kau tetap cantik, pasti banyak yang mau menjadikanmu sebagai istri." kata Sanjaya sedih. Dia bangkit berdiri dan bermaksud meninggalkan tempat itu. Tapi si gadis cepat meraih tangannya.

"Kakak Sanjaya kau hendak ke mana?" tanya Ni Seroja ikut pula bangkit.

Pendekar Sesat Patah Hati palingkan wajahnya ke arah lain.

"Aku ingin pergi ke gedung Senopati menyusul Tabib Sesat Timur yang semula kuminta menjemputmu. Dan yang pasti aku akan membuat perhitungan dengan Senopati Lambak Renggono!"

"Aku maklum jika kau hendak melakukan hal itu. Tapi sebaiknya jangan lakukan. Lebih baik kita pergi ke tempat aman. Aku tak ingin berpisah lagi darimu kakak." ujar Ni Seroja tersendat.

Sanjaya tercekat, dia merasa seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Perlahan dia memutar tubuh dan pandangi gadis di depannya

"Apa maksudmu? Apakah aku masih mempunyai arti bagimu?" Sanjaya ajukan pertanyaan.

"Kakak... Seandainya kakimu buntung atau tubuhmu memiliki sepuluh cacat, rasa cintaku padamu tak pernah berubah."

"Benarkah apa yang kau katakan itu?" tanya Sanjaya terperangah seakan tidak percaya.

Ni Seroja tinpa ragu anggukkan kepala.

Betapa Saijaya merasa terharu mendengar ucapan gadis cantik itu. Dia tiba-tiba memeluk Ni Seroja. Gadis itupun balas merangkulnya. Dua kekasih yang telah terpisah sekian lama ini saling bertangisan menahan rasa haru dan bahagia yang tiada tara.

Selagi kedua insan yang saling mencinta ini saling berpelukan. Pada waktu bersamaan terdengar suara derap langkah kuda yang disusul dengan bentakan keras menggelegar. "Dua manusia kutuk sumpah. Kalian memang pantas kukirim ke neraka agar dapat meneruskan cinta mesum kalian!"

Dalam kejutnya baik Sanjaya maupun Ni Seroja lepaskan rangkulan. Wajah gadis ini mendadak berubah pucat pasi begitu melihat siapa yang datang. Sebaliknya Sanjaya alias Pendekar Sesat Patah Hati berubah sinis. Dendamnya pada Senopati Lambak Renggono memang kelewat memuncak. Apalagi bila dia teringat bahwa Se- nopati itu termasuk salah satu penyebab kematian ayahnya.

"Kau... akhirnya kita dapat bertemu juga Senopati?" kata Sanjaya dengan suara dingin menyeramkan.

Tidak jauh di depannya sana Senopati Lambak Renggono menyeringai sinis. Sedikitnya dia merasa puas karena cacat pemuda yang sangat dibencinya ternyata tidak dapat disembuhkan.

"Budak hina, putra penghianat kerajaan. Kau sungguh tak bermalu menaruh rasa cinta pada adikku. Kau pasti telah mengguna-gunainya hingga adikku Ni Seroja tergila-gila padamu!" dengus sang Senopati penuh rasa benci. "Mungkin begitu menurutmu. Tapi demi Tuhan aku tak pernah melakukan semua itu Lambak Rengdono?!" desis

Sanjaya tak kalah sinis. "Puah... bualan busuk. Siapa mau percaya dengan ucapan anak penghianat kerajaan?"

Melihat Senopati berulang kali menyebut-nyebut ayahnya. Maka mendidihlah darah Sanjaya.

"Senopati keparat! Ayahku tidak mungkin mati jika bukan karena ulahmu. Adikmu tidak akan menderita dan wajahku mustahil menjadi begini kalau bukan karena ulahmu juga! Sekarang tampaknya tidak ada jalan penyelesaian yang baik selain harus ada yang mati di antara kita!" geram Sanjaya.

"Hah, akupun tak pernah puas sebelum dapat melenyapkan nyawamu!" Seiring dengan ucapannya itu Senopati melompat dari atas kudanya. Sanjaya sendiri tidak tinggal diam. Dia melesat ke depan.

Melihat kejadian ini Ni Seroja berseru mencegah.

"Kakak Lambak Renggono, kakak Sanjaya jangan...!!"

Sia-sia saja seruan si gadis bagi kedua orang ini. Hanya beberapa saat kemudian terjadilah perkelahian sengit antara kedua tokoh muda yang sama-sama menyimpan dendam kesumat ini.

Sanjaya sendiri mengawali sera- ngan dengan serangkaian tendangan menggeledek bertubi-tubi. Sebaliknya Senopati Lambak Renggono yang sudah sangat berpengalaman di berbagai kalangan pertempuran ini dan men- jatuhkan banyak musuh tangguh hingga membuatnya dijuluki Senopati Pamungkas selalu berhasil menghindari tendangan gencar yang dilakukan lawannya. Pada satu kesempatan Senopati melompat ke samping ketika tendangan dahsyat yang dilancarkah oleh Sanjaya menghantam bagian rusuknya. Begitu tendangan luput dan lewat di atas bahu sang Senopati, maka tangan kanan pemuda itu lakukan gerakan membabat ke atas. Sanjaya melihat tangan lawan berkelebat menghantam selangkangannya. Dia tahu jika bagian itu kena diterabas ujung jemari lawannya maka akan sia-sialah hidupnya sebagai laki- laki. Untuk itu Sanjaya putar tubuhnya ke atas dalam satu gerakan yang sulit dan tak mungkin dapat dilakukan oleh tokoh silat biasa. Setelah kakinya berbalik ke atas, maka dengan telapak tangan terkembang dia menangkis.

Dess! Cres!

Sanjaya jatuh dengan kaki goyah dan tubuh agak menghuyung. Ketika pemuda itu melihat ke telapak tangannya yang dipergunakan untuk menangkis, maka terkejutlah dia. Bagian telapak tangan terluka mengucurkan darah bagaikan terkena goresan pedang. Di depan sana Senopati Lambak Renggono tersenyum sinis. "Dengan ujung tanganku ini sebentar lagi aku akan memotong leherrnu!" dengus Senopati.

Hanya tawa panjang dingin menggidikkan yang terdengar dari mulut Pendekar Sesat Patah Hati ini. Setelah menyedot dan menelan darahnya sendiri yang keluar dari telapak tangan. Pemuda ini kemudian memutar tubuhnya ke samping kiri, setelah itu dia angkat tangannya ke atas. Namun pada waktu bersamaan pula Senopati Lambak Renggono telah menyerbu ke arahnya sambil kirimkan satu tendangan dan satu pukulan menggeledek ke arah lawannya.

Angin dingin disertai sinar hitam kebiruan berkiblat mengiringi tendangan dan pukulan yang dilancarkan oleh Senopati. Melihat hal ini Sanjaya cepat hantamkan kedua tangannya ke depan. Sedangkan tubuhnya berkelit menghindari tendangan lawannya. Dua tangan saling beradu. Akibatnya Sanjaya terlempar, jatuh terguling- guling dengan mulut semburkan darah. Melihat hal ini Ni Seroja memekik kaget. Dia hendak memburu bermaksud memberikan pertolongan, namun bersamaan dengan itu pula Senopati Lambak Renggono yang hanya menderita luka ringan sudah melesat ke udara sambil melepaskan ajian Telapak Guntur. Selama jadi pimpinan belum ada seorang pun yang dapat menyelamatkan diri bila sudah terkena ajiannya ini. Ni Seroja hanya mampu menjerit histeris ketika terlihat seperti ada cahaya kilat menyambar keluar dari telapak tangan saudaranya yang langsung melesat menghantam Sanjaya. Pada waktu itu juga sebenarnya Pendekar Sesat Patah Hati menyadari bahaya yang mengancamnya. Untuk itu diam-diam dia kerahkan ilmu ajian Gelombang Naga yang dahsyat itu. Mendadak sontak dari sekujur tubuh si pemuda menderu angin yang sangat kencang laksana gelombang topan mengeluarkan suara bergemuruh bagaikan air bah yang menjebolkan bendungan. Lesatan cahaya putih laksana kilat yang membersit dari telapak tangan Senopati Lambak Renggono langsung amblas tersedot pusaran angin yang sangat kencang itu. Ni Seroja jatuh menelungkup sama rata dengan tanah. Sementara Senopati sendiri kini terpelanting jungkir balik dihantam pusaran angin tersebut.

"Edan... bangsat itu punya ilmu aneh yang membuatku jadi bulan-bulanan begini rupa." geram laki-laki itu sambil memukul kian ke mari dalam usahanya membebaskan diri dari ge- lombang angin yang menggilasnya. Tapi usahanya ini gagal. Dalam keadaan tubuh berputar-putar seperti gasing akibat pusaran topan dahsyat itu, Senopati Lambak Renggono cabut senjata andalannya.

Sriing!

Begitu senjata berkiblat di udara. Pusaran angin topan yang menggilasnya pupus dan buyar seketika. Sang Senopati yang sudah terluka di bagian dalam segera tancapkan Pedang Selaksa Iblis berwarna hitam di atas tanah.

Sanjaya terkejut sekali melihat kenyataan ini. Dia pun dengan gontai berdiri tegak. Ketika melihat sang Senopati cabut pedangnya, maka si pemuda sudah tak memberinya kesempatan lagi. Jari telunjuknya diputar tiga kali di udara. Selanjutnya dengan pengerahan tenaga dalam penuh Sanjaya acungkan jari telunjuknya ke arah lawan.

Sinar putih laksana mata pedang melesat ke arah Senopati. Lawan tertawa terkekeh.

"Hari ini akan diketahui siapa di antara kita yang patut hidup lebih lama di dunia ini!" seru Senopati pamungkas. Dia lalu menggerakkan pedang di tangan menyambut sinar putih berhawa panas membakar yang keluar dari telunjuk lawannya.

Jesss!

Sinar putih itu kemudian membentur pedang di tangan Senopati. Tapi sesuatu yang mengejutkan Sanjaya kemudian terjadi. Serangan yang dilancarkannya bukan saja tak mampu menghancurkan lawan maupun pedangnya. Tapi sebaliknya sinar maut itu seakan tersedot ke bagian badan pedang. Di lain kejap Sanjaya merasakan ujung telunjuk serta tangan bagaikan dibetot tanggal. Bahkan kemudian tubuh pemuda itu mulai terseret, tertarik mendekat ke arah lawannya.

Dengan segenap tenaga yang dia miliki dia berusaha menarik tangannya yang seakan tersedot ke arah senjata lawan. Gerakan ini ternyata tidak mendatangkan hasil sebagaimana yang diharapkannya. Di depan sana Senopati Lambak Renggono menyeringai.

"Sekejap lagi kau mampus di tanganku, bocah buruk!" dengus laki- laki itu.

Ni Seroja yang baru saja bangkit jadi kaget. Tapi dia tak berani melakukan apapun terkecuali menangis. Kira-kira sejarak satu langkah lagi dari lawannya di mana saat itu Senopati siap menggerakkan pedangnya untuk membunuh Sanjaya. Maka pada saat itu pula terdengar suara siulan.

"Dicari ke mana-mana tidak tahunya buruan kita ada di sini!"

"Tunggu apalagi." Menimpali suara kedua. "Kau urus anak setan itu sedang aku sebaiknya menonton saja!" Suara lenyap. Dari balik rumpun semak belukar melesat selarik sinar pelangi yang langsung menghantam bagian pergelangan tangan Senopati ini. Sang Senopati tentu tak mau tangannya jadi korban pukulan orang. Sehingga sambil bergulingan ke belakang dia tarik pedangnya. Dengan begitu serangannya terhadap Sanjaya melalui pedang anehnya itu lepas tak terkendali. Mempergunakan kesempatan itu dengan langkah terhuyung-huyung Sanjaya yang banyak kehilangan tenaga dalam akibat tersedot senjata lawannya segera duduk di bawah pohon untuk memulihkan tenaganya yang banyak terbuang sia-sia. Sedangkan Senopati Lambak Renggono sendiri saat itu begitu sinar pelangi menghantam pohon besar di sampingnya segera melompat bangkit. Terdengar suara berderak dan gemuruhnya pohon yang roboh.

Ketika Senopati memandang ke depan. Di sana dilihatnya berdiri tegak seorang pemuda berpakaian serba biru dan juga seorang kakek gendut besar luar biasa.

"Kau lagi?" gerutu Senopati Lambak Renggono geram.

Si pemuda yang bukan lain adalah Gento Guyon dan gurunya Gentong Ketawa tertawa lebar.  

11

GGUYON Agaknya dunia ini terlalu sempit bagi kita, Senopati. Kau lari, kami mengejar. Akhirnya kita bertemu lagi di sini." kata Gento Guyon sambil gelengkan kepala.

"Semua itu merupakan satu pertanda setiap langkahnya tidak direstui Tuhan. Gege... jangan kau ajak dia ngobrol. Salah-salah dia mencari kesempatan untuk melarikan diri lagi. Ha... ha... ha!" timpal Gentong Ketawa disertai tawa tergelak- gelak.

"Dua manusia edan keparat. Berani mencampuri urusanku. Kalian kira diri kalian itu siapa?" hardik Senopati Lambak Renggono berang.

"Ha... ha... ha. Baru tadi malam kita bertemu sekarang kau lupa. Bukankah kami ini saudaramu yang berbaik hati hendak menjadikanmu sebagai Senopati di neraka!" jawab Gento Guyon acuh.

"Puah, kau dan gurumu boleh bermimpi!" dengus sang Senopati. Mendadak Senopati Lambak Renggono melesat ke arah Gento. Pedang di tangan menderu membabat pinggang pemuda itu. Si pemuda melesat ke udara ketika merasakan sambaran hawa dingin dan berkelebatnya sinar hitam ke bagian pinggang.

"Senopati sinting. Diberi nasehat malah mencari penyakit." gerutu Gento Guyon sambil berjumpalitan di udara. Dengan begitu serangan pedang lawan luput. Tangan si pemuda meluncur deras menghantam bahu sedangkan tangan kirinya bergerak ke bagian kepala. Lawan selamatkan bahunya dengan melompat mundur ke belakang. Tapi bagian kepala tetap menjadi sasaran serangan lawannya.

Pletak! "Akh...!"

Senopati Lambak Renggono meraung kesakitan begitu terkena jitakan Gento. Bagian yang terkena jitakan benjol besar. Hal ini membuat Senopati menjadi sangat murka sekali. Sekarang dia melompat mundur. Seteiah itu langsung memutar pedangnya hingga menimbulkan suara berkesiuran aneh mengerikan.

"Gege awas! Lengah sedikit isi perutmu bisa medel!" teriak Gentong Ketawa begitu melihat Senopati mengerahkan jurus-jurus pedangnya yang hebat dan cepat luar biasa.

Sekejap saja Gento Guyon sudah terkurung sinar padang lawannya. Pemuda ini goyangkan kepala ke kiri atau ke kanan sedangkan kakinya berjingkrak tak karuan di saat pedang membabat bagian perut dan kakinya.

"Hebat amat. Aku tak diberinya kesempatan menarik nafas barang sejenak!" kata Gento Guyon.

Singg!

Pedang menderu menghantam ke dadanya. Gento melompat ke belakang.

"Hampir saja aku berpindah tempat ke dunia lain." gerutu si pemuda. Laksana kilat dengan mulut sengaja diperotkan dia hantamkan kedua tangannya ke arah Senopati itu.

Wuuuus!

Kembaii dua larik sinar pelangi menderu di udara, mengeluarkan suara bergemuruh hebat dan kemudian menghantam Senopati itu. Tapi lawannya tidak bodoh. Dengan mempergunakan pedang iblisnya dia menangkis serangan ganas lawannya.

Buuum!

Dua sosok tubuh sama terpental ke belakang di saat pukulan yang dilepaskan Gento membentur ujung pedang lawannya. Pemuda itu sendiri jatuh terduduk dengan dada terasa sesak dan wajah pucat. Di depan sana Senopati Lambak Renggono yang hanya mengalami guncangan pada bagian perutnya akibat benturan itu segera menerjang kembali sambil mengayunkan senjatanya ke bagian kepala Gento. "Weit... hendak kau apakan muridku? Enak saja kau mau membunuhnya. Dari tolol sampai pintar aku mengajarnya bukan untuk dibunuh! Husss!" Si kakek dengan gerakan yang enteng sekali melompat menghadang gerakan Senopati. Pelan saja tangannya melambai dengan gerakan seperti orang mengusir sesuatu. Tapi akibatnya sungguh luar biasa sekali. Hawa panas luar biasa menyambar disertai deru angin yang membuat gerakan Senopati Lambak Renggono jadi tertahan. Begitu lawan terdorong mundur, maka tinju kakek itu yang berat bukan main ditambah dengan pengerahan tenaga dalam penuh menghantam dada sang Senopati.

Braaak!

"Wuagkk...!" Laksana dicampakkan sang Senopati jatuh terbanting. Dari mulutnya menyembur darah segar. Tulang dadanya remuk melesat ke dalam. Dia terluka parah. Namun walau Senopati ini nyaris sekarat. Dengan tangan gemetaran dia mengangkat pedangnya.

"Eeh, apa yang hendak dilakukannya!" desis Gentong Ketawa heran.

"Orang tua awas!!" Tidak jauh di belakang si kakek terdengar satu seruan. Lalu ada sinar putih melesat melewati kepala Gentong Ketawa. Si kakek jatuhkan diri dengan kaki ditekuk. Sementara sinar putih yang melesat dari teiapak tangan Sanjaya kini menghantam pedang Senopati. Kembali satu keanehan terjadi. Sinar maut yang pernah membelah tubuh Ratu Ular Kayangan itu seakan amblas. Sadarlah si kakek dan muridnya kalau senjata lawan ternyata menyedot tenaga sakti milik lawannya.

"Gento, lakukan sesuatu!" teriak Gentong Ketawa. Dia sendiri saat itu langsung menghantam kaki Senopati Lambak Renggono dengan pukulan Selaksa Duka dengan maksud mengacaukan perhatian lawan. Dan nampaknya Senopati yang telah terluka parah itu memang terkecoh. Ketika dia menggerakkan pedang ke bawah menangkis serangan. Saat itu pula Gento Guyon melesat di udara, sedangkan kakinya menghantam kepala sang Senopati.

Praak!

Kepala Senopati berderak pecah. Dia tak sempat lagi menjerit, jatuh tersungkur tak berkutik lagi.

"Satu langkah yang baik. Ha... ha... ha!" gumam si kakek sambil tertawa-tawa.

"Menjadi tidak baik karena kita termasuk mengeroyoknya!" timpal si pemuda.

"Hust, dalam hal apapun. Kerjasama merupakan tindakan yang baik. Apalagi dia sangat berbahaya dan sesat pula!" sahut si kakek.

"Orang tua dan anak muda. Aku Sanjaya merasa berterima kasih atas budi pertolonganmu! Kelak aku akan membalasnya!"

"Eeh, jangan berterima kasih padaku. Tapi pada bocah itu." kata si kakek. Ketika dia menoleh ke belakang. Sanjaya nampak masih tetap menjura. Sementara tak jauh di belakangnya Ni Seroja datang menghampiri kekasihnya.

"Jangan berterima kasih padaku. Tapi bersyukurlah pada gusti Allah!" ujar Gento Guyon jadi salah tingkah.

"Ya, aku bersyukur pada gusti Allah dan berterima kasih pada kalian." ujar Sanjaya sambil menatap Ni Seroja.

"Sama-sama!" sahut si kakek. "Kembali kasih." ucap Gento.

Si kakek mendelik

"Eeh' apa maksudmu?" tanya si kakek melalui ilmu menyusupkan suara.

"Maksudku kekasihnya sudah kembali." celetuk si pemuda sambil kedipkan sebelah matanya.

Di depan mereka Sanjaya dan Ni Seroja yang baru saja merasa terbebas dari segala bencana saling berpelukan. Tanpa sadar Gento Guyon yang melihat kejadian mesra itu memeluk gurunya.

"Hei, apa-apaan kau... diriku kau peluk-peluk." dengus Gentong ketawa sambil mengibaskan tangan muridnya. Gento jadi malu hati.

"Eeh... maaf. Aku jadi ikut-ikut latah, habisnya kulihat asyiik sih!" kata si pemuda dengan muka merah tapi tak pernah lepas dari senyumnya.

Sanjaya dan Ni Seroja jadi malu hati dan sadar bahwa di tempat itu mereka tidak sendiri.

"Sanjaya... Ni Seroja tidak berada di tempatnya. Dia melarikan diri!" satu suara berseru. Walau belum melihat orangnya, namun Gento Guyon merasa mengenali suara itu. Dia dan gurunya saling pandang.

"Celaka si setan itu datang...!" kata Gento tegang.

"Jangan takut. Kalau dia berani macam-macam, kita gebuki saja dia bersama-sama." sahut Gentong Ketawa.

Tak berselang lama di tempat itu muncul Tabib Sesat Timur. Agaknya urusan orang tua itu sangat penting, terbukti dia seperti tidak menghiraukan kehadiran Gento dan gurunya.

"Hah, bukankah gadis ini yang seharusnya kujemput. Bagaimana dia bisa sampai di sini?" tanya Tabib Tapadara.

"Dia melarikan diri, kek. Senopati mengejarnya. Tapi kami berhasil membunuhnya!" jawab Sanjaya. "Pantasan kucari di gedung Senopati tak ada. Eeh... kau bilang tadi kami. Berarti kau tidak sendiri!"

Sanjaya menunjuk ke arah Gento dan gurunya. Ketika sang tabib memandang ke arah yang ditunjuk Sanjaya, maka berubahlah parasnya.

"Kkk... kau... bocah...!"

Belum sempat Tabib Sesat Timur melanjutkan ucapannya Gento kepalkan tangannya.

"Berani kau memanggilku bocah setan lagi. Kujitaki kepalamu sampai babak belur!"

"Ah, tidak disangka kita bertemu lagi. Aku sangat gembira sekali. Kalian telah menolong putra almarhum sahabatku. Aku sangat berterima kasih." kata si kakek.

"Eeh, bagaimana tabib sinting ini bisa berubah baik?" bisik Gento.

"Hati-hati. Bisa jadi dia hendak menipu kita." jawab Gentong Ketawa.

Tanpa menghiraukan Sanjaya dan kekasihnya, Tabib Tapadara mendekati Gento Guyon. "Aku sudah sangat rindu. Siapa namamu kini...?"

"Yang jelas bukan bocah setan." "Kau mengatakan rindu pada Gege,

apakah rindu untuk menggantungnya? Kalau itu niatmu, maka justru kau yang akan digantungnya. Ha… ha... ha." kata Gentong Ketawa. Tabib Sesat Timur gelengkan kepala.

"Maafkan kesalahanku di masa lalu. Gege... oh. Sebuah panggilan yang bagus. Kau telah membunuh Senopati, berarti ilmu kesaktianmu sudah sangat maju." puji sang tabib.

Gento menyengir. "Ya, supaya aku tak dijitaki orang lain."

Si kakek berubah muram. "Aku mengaku salah, kalau kau mau balas, balaslah. Tapi beri aku kesempatan untuk menurunkan ilmuku barang satu dua jurus."

"Jadi kau benar-benar telah tobat. Jika betul, karena dulu kita sudah pernah berjanji, masalah menurunkan ilmu kesaktian kuserahkan pada Gege...!" ujar Gentong Ketawa.

Si pemuda terkejut. Ingat akan segala kekejaman si kakek di masa lalu, sekarang dia masih belum percaya kalau Tabib Sesat Timur benar-benar telah insyaf. Sehingga dia pun berkelebat melarikan diri.

"Bocah... ee... Gege... tunggu. Kau hendak ke mana?" seru kakek tabib. Tanpa menghiraukan Sanjaya dan Ni Seroja si kakek tabib yang sudah sangat rindu pada Gento Guyon segera mengejar.

"Kurang asem. Gara-gara kau muridku jadi ketakutan. Awas jika dia sampai hilang kucungkil matamu." gerutu Gentong Ketawa ikutan mengejar. Sanjaya gelengkan kepala.

"Orang-orang tua yang aneh!" kata pemuda itu.

"Ya, tapi tanpa mereka belum tentu kita dapat bersatu kembali." sahut Ni Seroja. Sambil berangkulan kedua insan yang saling mencinta itu melangkah pergi.

TAMAT