Pendekar Sakti Gento Guyon 02 - Tanah Kutukan


Sebuah benda berwarna putih kehitaman melesat dari dalam lubang kubur. Benda bulat lonjong itu lalu melayang dan jatuh, menggelinding dekat kaki kakek tua berblangkon dekil yang berdiri berkacak pinggang dalam keadaan kaku tertotok. Setelah memperhatikan benda itu maka pucatlah wajah si kakek berpipi cekung berwajah tirus ini.

"Bangsat! Apa sebenarnya yang kau cari di kubur tua ini? Mengapa tengkorak sesepuh Pendekar Walet Putih kau keluarkan dari dalam kuburnya?" hardik si kakek juru kunci makam marah bukan main.

Dari dalam kubur di mana tengko- rak kepala manusia tadi melayang terdengar gumaman tak jelas disertai racau aneh. Lalu ada benda hitam tipis besar berkelebat di dalam lubang kubur.

Wing!

Crak! Crok!

Tanah pun lalu berhamburan keluar dari dalam makam. Setelah itu bagian tulang rusuk dan tulang belulang lainnya ikut pula berhamburan. Seba- gian menimpa blangkon butut si kakek.

Sebagian lagi mengenai dada, kaki dan wajah.

"Kurang ajar. Kwalat... kau pasti akan kwalat. Semua arwah yang berada dalam kubur itu mengutuki dirimu."

"Sambar geledek. Tua bangka, jika mulutmu tak mau diam aku akan menyumpalnya dengan tengkorak yang baru kulempar tadi. Kau mau?" terde- ngar suara dari dalam makam menyahuti. "Dulu aku juga pernah mengutuki orang yang pernah membuat sengsara kekasihku. Aku berdoa agar kekasihku kembali kepadaku. Tapi apa yang terjadi? Kurang ajar... orang itu malah panjang umur dan kekasihku hilang sampai kini. Doaku sia-sia, Tuhan jauh dariku, bahkan setan pun tak mendengar doa."

"Semua itu karena hatimu tidak bersih, jiwamu kotor. Doamu tidak iklas, kau pembohong, atau selama hidup mungkin kau selalu memakan barang-barang yang bukan menjadi hakmu!" kata si kakek juru kunci makam.

Dari dalam lubang kubur terdengar suara gerengan marah. Tulang belulang kembali melesat menghantam tubuh kaku si kakek, termasuk juga menghantam bibirnya hingga bengkak mengeluarkan darah. Si kakek juru kunci Kubur Tua menjerit kesakitan. Jeritan dibalas dampratan. "Juru kunci sial. Sekali lagi kau bicara yang mengusik hati dan membuat darahku mendidih kurobek mulutmu. Mana kau tahu hatiku bersih. Mana kau tahu dulu aku tak pernah bicara dusta. Semua yang kumakan bersih semua. Satu hal yang kau tidak tahu, bahwa sesungguhnya seseorang yang dosanya selangit tembus selalu panjang umur. Kau lihat orang jujur, kebanyakan umurnya pendek. Tubuh kurus kering. Sudahlah... aku harus menemukan barang itu, jika tidak buat apa aku menggali kubur keluarga Pendekar siapa ini." dengus orang di dalam lubang kubur. Yang ditanya diam membisu.

Selanjutnya terdengar suara pacul menghantam tanah keras diselingi dengan melesatnya potongan tulang belulang ke arah juru kunci Kubur Tua. Setelah itu sepi sejenak, terdengar suara tarikan nafas lelah.

"Sudah lima kubur yang kugali. Aku hanya mendapatkan tengkorak dan tulang belulang tak berguna. Jadi di mana beradanya tiga benda yang kucari itu?" batin orang yang berada di dalam kubur. "Aku harus mencarinya di tempat lain." pikirnya. Setelah itu orang yang membongkar seluruh makam sesepuh Pendekar Walet Putih melompat keluar. Ternyata dia adalah seorang kakek tua berambut putih berkepala botak di sebelah kiri sampai ke bagian belakang kepala. Sebagaimana kepalanya, maka alis mata di sebelah kiri juga tidak tumbuh barang sehelai pun. Selain rambut dan alis, kumis serta jenggotnya yang putih di sebelah kiri juga tidak tumbuh. Tubuh orang ini kurus kering. Jauh bertolak belakang dengan pacul yang tersampir di bahunya. Pacul itu besarnya bukan main, dengan sisi tajam bergerigi. Begitu dia berdiri di bibir kubur dengan muka murung dan perasaan bosan dia pandangi kakek juru kunci Kubur Tua. Dari mulutnya keluar suara. "Orang tua katakan siapa namamu?"

"Buat apa kau tanya namaku tua bangka tak tahu kramat?" dengus juru kunci makam sinis.

"Sekarang aku sudah letih dan kesal. Kau memilih menjawab pertanyaan atau pilih kukuburkan hidup-hidup di lubang ini?" Sambil berkata si kakek kurus bersenjata pacul besar menunjuk ke lubang kubur. "Aku Pemacul Iblis tak pernah ragu melakukan apa yang aku mau. Hayo jawab!" hardik si kakek. Sekali lompat dia telah sampai di hadapan juru kunci Kubur Tua. Melihat sikap Pemacul Iblis yang bersungguh- sungguh, dengan perasaan kesal akhirnya kakek itu terpaksa menjawab juga. "Aku... namaku Ki Rekso Monggo Jolodo Mbeo Ora Iso Ra Ketoro, putra Raden Mas Inggil Langit cucu Priyayi Bentet Mangku Burni dan...!" "Cukup! Namamu sepanjang jalan. Penggalan nama kelak akan kutulis di atas makammu. Sekarang aku berterima kasih karena kau telah memberi izin padaku menggali Kubur Tua. Sebelum aku pergi dan lupa untuk mengingat, sebenarnya makam keluarga siapa yang kau jaga ini?" tanya Pemacul Iblis.

"Kau manusia durhaka yang tak pernah menghormat arwah orang yang sudah mati. Dengar... kau baru saja menggali kubur keluarga Pendekar Walet Putih!" jelas Ki Rekso Monggo Jolodo. Dia berharap Pemacul Iblis jadi kaget dan minta maaf atas kesalahan yang telah dilakukannya. Tapi kenyataannya wajah Pemacul Iblis tidak menunjukkan perubahan apapun. Tetap tenang bersikap seakan tak mengenal nama besar Pendekar Walet Putih.

Dia kemudian berkata. "Walet itu binatang yang kecil, aku bahkan pernah membunuh seribu elang dan gagak hitam. Nama besar, pangkat dan kedudukan seseorang tidak pernah harus membuatku berjalan dengan terbungkuk-bungkuk di hadapannya. Apalagi dia sudah mati, huh." dengus Pemacul Iblis. "Jika Tiga Permata Langit tak kutemukan di sini, aku akan mencarinya di kubur lain. Selamat tinggal Ki Rekso Jolodo. Semoga mulutmu lodo lumer benaran karena terlalu banyak memaki dan menyumpah! Ho... ho... ho!" Selesai berkata sambil tertawa Pemacul Iblis tinggalkan Ki Rekso Monggo Jolodo begitu saja.

"Hei... bebaskan totokan ini. Bagaimana pun aku harus menguburkan tulang belulang itu kembali." seru si kakek.

"Kelak ada setan yang akan membebaskan totokanmu itu. Lagipula kau tak mungkin bisa memisahkan tulang yang sudah bercampur aduk." sahut Pemacul Iblis sayup-sayup di kejauhan. Mungkin benar apa yang dikatakan kakek sinting Pemacul Iblis. Dia sendiri sudah berusaha membebaskan totokan dengan pengerahan tenaga dalam sejak dirinya tertotok tadi. Namun usahanya tak pernah berhasil. Di luar semua itu dalam hati sesungguhnya juru kunci Kubur Tua keluarga Pendekar Walet Putih jadi kaget karena tidak mengira kedatangan Pemacul Iblis kiranya mencari Tiga Permata Langit.

"Entah untuk apa dia mencari senjata maut Tiga Permata Langit itu. Tapi aku merasa beruntung karena dia tak bisa menemukannya!" batin Ki Rekso Jolodo.

Baru saja juru kunci Kubur Tua menarik nafas lega mendadak sontak terdengar suara gelak tawa dan sempritan seperti yang terbuat dari batang padi.

"Ha... ha... ha. Hidungku mana kena ditipu. Dia pernah datang ke sini, penciumanku mengatakan semuanya ada di sini!" Belum juga gema suara orang lenyap di tempat itu muncul seorang laki-laki berbadan pendek setinggi pinggang. Wajah laki-laki berbadan dan bertingkah laku seperti bocah ini dipenuhi kerut merut. Bukit hidungnya tinggi dan besar sekali. Mulut kecil seperti mulut bocah. Sedangkan di sudut bibir terselip sempritan dari batang padi. Begitu bocah berwajah orang tua ini jejakkan kaki, dia nampak gelengkan kepala berulang kali melihat begitu banyak kubur tua di tempat itu dalam keadaan menganga. Pada akhirnya dia tak mampu menahan tawa begitu melihat Ki Rekso Monggo Jolodo berdiri tegak dekat gubuk buruk dalam keadaan kaku tertotok.

Dengan langkah tergesa-gesa bocah berwajah tua ini ayunkan kaki mendatangi. Si bocah tua kerutkan keningnya begitu melihat di bagian leher si kakek digantungi selembar kulit berisi pesan. Melihat tulisan itu si bocah tua tersenyum lebar.

"Cacing kurus itu rupanya sudah pula sampai ke sini." gumamnya. Kemudian kulit yang bertali dan digantungkan di leher juru kunci makam disentakkan. Sekali dia meniup, semp- ritan batang padi berbunyi, hidung kembang kempis mengendus.

"Tidak salah. Pesan konyol apalagi yang dia tinggalkan?" kata si bocah tua seakan tak menghiraukan Ki Rekso Monggo Jolodo. Kulit direntang, untuk selanjutnya dia pun mulai membaca.

Kepada Bocah Tua alias Hidung Setan

Saat ini aku sedang mencari Tiga Permata Langit. Aku tak tahu kau berada di mana. Semula dengan penciumanmu yang setajam penciuman setan kuharapkan bantuanmu. Tapi aku tak tahu kau sudah mampus atau masih hidup. Jika kau temukan pesan ini harap bantu aku mencari Tiga Permata Langit. Kau tahu urusan besar yang bakal kuhadapi di Tanah Kutukan.

Tanda Terima Kasih Sobatmu Pemacul Iblis

"Ha... ha... ha. Dasar Iblis linglung. Buat apa bersusah payah menggali?" celetuk Si Bocah Tua alias Hidung Setan. Lalu sempritan batang padi ditiup. Setelah itu bocah pendek berwajah tua pandangi kakek di depannya. "Eeh... kakek. Mengapa kau mau diperlakukan seperti ini oleh Pemacul Iblis?" tanya si bocah sambil kembang kempiskan cuping hidungnya yang besar. Yang ditanya tidak menjawab, melainkan katupkan bibirnya sedangkan kedua pipi menggembung besar. Si bocah berwajah tua tersenyum begitu melihatnya. "Aneh, pertanyaanku belum lagi kau jawab. Sekarang kau sudah unjukkan muka marah. Siapa yang hendak kau marahi? Aku...?!" Bocah Tua menunjuk dirinya sendiri.

"Siapa kau? Sahabatnya iblis pembawa pacul laknat tadi? Lekas minggat dari hadapanku jika tidak ingin kubunuh!" hardik Ki Rekso Monggo Jolodo berang.

"Walah galak amat kek. Apa kau ingat membebaskan totokan saja dirimu tak sanggup? Ha... ha... ha." kata Bocah Tua. Dengan acuh dia kembali meniup sempritan yang terselip di bibirnya.

Semakin bertambah kesal saja juru kunci Kubur Tua ini mendengar ucapan si bocah. Apalagi ketika mendengar Bocah Tua itu berkata. "Kau telah ketitipan pesan dari Pemacul Iblis. Pesan sudah diterima amanat harus dijalankan. Kau tahu kek, Pemacul Iblis tidak mungkin melakukan peker- jaan sia-sia dengan menggali makam itu jika tidak ada sesuatu yang amat penting dicarinya."

Ki Rekso Monggo Jolodo delikkan matanya.

"Apa maksudmu?" hardik kakek itu sinis. Tapi diam-diam hatinya berdebar gelisah.

Bocah Tua tersenyum. "Apakah kakek tahu tentang Tiga Permata Langit. Senjata maut yang dulu pernah dipergunakan Pendekar Walet Putih untuk menghancurkan musuhnya yang hebat?" Terkejutlah juru kunci Kubur Tua mendengar ucapan si bocah. Namun dia cepat menukas. "Benda itu tak ada di sini. Pemacul Iblis telah mencarinya tapi dia tak menemukan. Bahkan nama benda yang kau sebutkan itu baru kali ini aku mendengarnya, bocah berwajah kakek tua?!"

Bocah Tua terbahak-bahak. "Pemacul Iblis manusia dungu, dia tidak punya hidung sebagaimana hidungku. Hidung Setan tak dapat ditipu. Jika tadi sobatku membongkar kubur, maka sekarang pondok burukmu yang akan kubongkar! Aku mencium Tiga Permata Langit ada di dalam sana. Ha... ha... ha!" Sambil kembang kempiskan cuping hidungnya Bocah Tua berkelebat masuk ke arah gubuk.

Gusarlah Ki Rekso Monggo Jolodo melihat apa yang akan dilakukan oleh Si Bocah Tua. "Berani kau menghan- curkan pondokku, kubunuh kau!"

"Boleh saja. Tapi nanti setelah aku menemukan benda yang dicari oleh sahabatku itu." sahut Si Bocah Tua. Hanya beberapa saat kemudian juru kunci Kubur Tua dikejutkan oleh suara berderak dan hancurnya pondok. Ketika Ki Rekso Monggo Jolodo memandang ke arah pondok tinggalnya. Maka pondok itu hancur, atapnya yang terbuat dari ilalang berpelantingan. Bagian dinding terbang ke arah timur, kayu pondok mental ke arah barat.

Di tengah-tengah pondok yang telah hancur Bocah Tua berdiri tegak sambil mengapit sebuah kotak kayu batu yang baru dibongkarnya dari bawah lantai tanah. Dia mengacungkan kotak berwarna coklat itu ke arah Ki Rekso Monggo Jolodo. Melihat kotak si kakek langsung menggerung.

"Setan alas. Kembalikan kotak itu. Kembalikan...!!" teriak sang juru kunci.

Priiiiiit!

Bocah Tua tiup sempritan batang padinya hingga mengeluarkan suara aneh melengking."Tidak usah gusar. Kelak aku akan mengembalikan kotaknya padamu. Sedangkan isinya terserah pada sobatku Pemacul Iblis. Satu hal yang kau patut ketahui orang tua. Saat ini aku dan Pemacul Iblis sedang menghadapi masalah besar. Dia punya dendam berkarat pada seseorang. Jika tidak diselesaikan, mana mungkin dia dapat tidur dan mati dengan tenang. Begitu juga halnya aku. Istriku dikawin orang, bagaimana aku bisa enak makan enak tertawa? Kau harus punya rasa persaudaraan denganku! Ha... ha... ha...!"

"Persetan dengan segala urusanmu!" dengus Ki Rekso Monggo Jolodo berang.

"Betul. Aku memang si Hidung Setan. Ha... ha... ha!" sahut Si Bocah Tua sambil tertawa terpingkal-pingkal. "Sudahlah, kau tak usah marah-marah begitu. Kemarahan hanya memperpendek umur. Aku pinjam Tiga Mutiara Langit. Kelak aku akan kembalikan padamu." berkata begitu sambil berkelebat pergi dia usap tengkuk si kakek penjaga makam. Setelah itu Bocah Tua langsung menghilang dari pandangan juru kunci Kubur Tua.

Usapan yang dilakukan Bocah Tua ternyata membuat Ki Rekso Monggo Jolodo terbebas dari totokan Pemacul Iblis. Tapi untuk melakukan pengejaran rasanya sudah tak berguna. Karena dia menyadari di samping ilmu kesaktian Bocah Tua itu pasti memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat sempurna.

Akhirnya dia hanya berlutut dan menangis di depan tulang belulang yang bertumpuk di hadapannya.  

2

ENTO

UYON Setelah sekian lama berlari menjauhkan diri dari Tabib Sesat Timur, pemuda itu memperlambat lari- nya. Sesekali dia menoleh ke belakang, sedang mata jelalatan memandang ke setiap sudut. Kemudian pemuda tampan polos berambut gondrong itu pun tersenyum sendiri. Dia membuka baju, setelah itu baju diikatkan ke pinggang.

Masih dengan tersenyum si pemuda berkata. "Dia kira bisa memperlakukan aku seperti dulu? Dulu aku dibuatnya sengsara dengan kaki digantung di ujung bambu. Siapa sudi? Jika dia macam-macam kuikat tangan dan kakinya, setelah itu kuseret dengan kuda. Sekarang aku sudah aman. Sebaiknya aku istirahat di bawah pohon ini!" Si pemuda tampan yang bukan lain adalah Gege alias Gento Guyon segera duduk bersandar di batang kayu berdaun lebat.

Selagi duduk tiba-tiba Gento ingat pada gurunya. Waktu itu melihat kehadiran Tabib Tapadara Gento memang sangat takut sekali. Apalagi selama ikut dengan tabib itu dia sering mendapat perlakuan kasar dan disiksa lahir batin. Mengenai kekejaman Tabib Tapadara, dapat diikuti dalam episode 'Tabib Setan'. Ketika dia berlari menghindari Tabib Sesat Timur, Gento tak tahu apakah gurunya si Gentong Ketawa mengikutinya atau tidak. Yang jelas kini setelah tidak melihat gurunya si pemuda jadi celingukan bingung sendiri.

"Ke mana perginya kakek gendut. Mustahil dia tidak bisa mengikuti aku. Biar badannya besar luar biasa, biasanya dalam hal ilmu lari dia masih lebih cepat dibandingkan diriku.," pikir Gento Guyon.

Selagi dia tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dari pucuk pohon yang terlindung daun-daun lebat meluncur sebuah benda berwarna kuning. Pluk! Benda itu jatuh di samping Gento.

"Eeh, ada jambu. Bagaimana pohon kokosan ini bisa berbuah jambu. Daripada mubajir lebih baik kumakan saja. Paling juga sisa kampret. Bau kampret sedikit tidak mengapa!" Sambil menyengir seorang diri setelah celingak celinguk takut dilihat orang, Gento memungut jambu itu. Diperhatikan jambu tersebut ternyata masih bagus. Baru saja dia hendak menggigit jambu yang baru dipungutnya, mendadak. Pluuk! Kali ini yang jatuh di samping kanannya adalah buah rambutan hutan. Melihat ini Gento Guyon tak dapat menahan tawanya.

"Ha... ha... ha. Pohon ajaib, atau mungkin di atas pohon ada kampret ajaib? Tadi jambu yang jatuh, sekarang aku diberi rambutan. Baik sekali. Tapi bagaimana jika makanan ini ada racunnya?" gumam Gento Guyon. Dia lalu dongakkan kepala memandang ke atas pohon, ternyata di atas pohon tak ada siapapun.

"Ada kampret, kampret baik rupanya yang bersembunyi di situ!" kata Gento Guyon dengan suara sengaja dikeraskan.

Belum lagi dia sempat berbuat sesuatu di hadapannya berdiri tegak seorang kakek tua berambut putih berjenggot dan kumis serba putih. Kakek itu memakai pakaian serba hitam, di pinggangnya tergantung kantong perbekalan dan obat-obatan. Melihat kedatangan orang tua ini wajah si pemuda berubah pucat.

"Tabib Setan...!" desis Gento Guyon siap mengambil langkah seribu. Namun Tabib Sesat Timur cepat angkat tangan kanannya.

"Gento, kuharap kau tidak lari lagi dariku. Percayalah, aku tidak bermaksud jahat, aku sudah tobat. Kuharap kau mau mengerti. Sejak kau tidak bersamaku lagi aku merasa sangat kehilangan. Huk... huk... huk." Si kakek tabib menangis sesunggukkan. Air matanya bergulir menuruni pipinya yang keriput.

"Ternyata Tabib Setan ini kalau lagi menangis mukanya jelek sekali." batin Gento dalam hati. Tapi dia kemudian mendengus. "Huh, air mata buaya."

"Gento, aku datang kepadamu ingin member-kan sesuatu yang sangat besar artinya bagi dirimu." ujar si kakek suaranya halus perlahan.

Gento Guyon delikkan matanya. "Apa? Kau hendak mengajariku

bagaimana caranya meramu obat? Tanpa kau ajari sekalipun aku sudah bisa. Karena diam-diam semasa bersamamu dulu aku mengintip bagaimana caranya meramu obat."

Tabib Sesat Timur gelengkan kepala.

"Bukan itu. Seperti yang pernah kukatakan pada gurumu, aku berjanji hendak menurunkan barang sejurus dua jurus ilmu silat yang kumiliki. Sebagai penebus rasa sesalku bukankah sekarang waktunya yang tepat untuk melakukannya?"

"Ha... ha... ha. Tabib Setan...!" "Kumohon kau jangan lagi

memanggilku Tabib Setan. Aku malu Gento!" sergah Tabib Tapadara sedih.

"Baik, bagaimana kalau kupanggil kakek tabib gila?" tanya si pemuda disertai senyum mencemooh.

"Tolong kata gilanya jangan ikut disertakan."

Gento Guyon tersenyum sinis. "Permintaanmu banyak amat, dulu

kau tak pernah memberiku kesempatan untuk melepas lelah sama sekali. Tapi baiklah, sekarang apa yang hendak kau berikan padaku?"

"Pertama, aku  akan menurunkan jurus-jurus silat ampuh padamu. Jika jurus yang kuturunkan ini sudah kau kuasai, maka aku akan memberimu sebuah senjata yang sangat hebat dan sangat berguna bagimu." berkata si kakek tabib dengan mimik bersungguh-sungguh. "Senjata hebat belum  tentu berguna jika pemiliknya tidak hebat.

Apalagi kalau lawannya hebat-hebat semua." kata Gento.

"Kau betul. Tapi... sebelum itu apakah kau mau menunjukkan padaku jurus apa saja yang telah diwariskan kakek itu padamu? Kalau tidak keberatan kau tentu boleh memperli- hatkan salah satu di antaranya!"

"Tidak bisa. Apa yang diberikan oleh guruku tidak boleh dilihat olehmu, pula siapa yang berani menjamin kau tak akan mencuri jurus- jurus silatku. Lagipula aku sudah tahu akal licikmu!" kata Gento Guyon dengan mata berkedip-kedip.

"Ah, rupanya kau masih belum percaya. Baiklah, sekarang sebaiknya kau perhatikan baik-baik. Kau hanya punya kesempatan sekali, makanya ingat baik-baik. Aku tak pernah mengulang apa yang telah kutunjukkan padamu!" kata si kakek tabib.

Masih dengan tetap bersandar pada batang pohon Gento Guyon pentang matanya memandang pada si kakek. Di depan sana Tabib Sesat Timur sudah menarik kaki kirinya ke belakang. Sedangkan kaki depan ditekuk. Tangan kanan dikepal dan diangkat ke atas sedangkan tangan kiri sambil melompat ke udara dihantamkan ke depan.

Hawa dingin menderu disertai berkiblatnya sinar hitam di udara. Ketika sinar itu menghantam rumpun semak belukar, Maka semak-semak yang jadi sasaran langsung hangus menjadi debu. Si kakek teruskan gerakannya dengan berputar di udara. Setelah berjumpalitan dia hantamkan tangan kanannya yang terkepal. Begitu tangan kanan membuka, maka dari telapak tangan itu memancar sinar merah. Sebagaimana tadi sinar maut itu kembali menghantam semak belukar menghijau. Begitu kena hantaman terjadi ledakan berdentum. Si kakek jejakkan kakinya dengan kedua tangan ditadahkan. Di bawah pohon Gento perhatikan semua itu dengan terkagum- kagum. Bagaimana tidak? Semak belukar yang terkena pukulan kedua daunnya langsung rontok layu dan mengeriput, begitu juga bagian batang yang terkena pukulan. Tapi begitu melihat ke arah si kakek tabib, dia tak dapat menahan senyum. "Jurus apa itu tadi kakek tabib? Buntutnya kok tangan menadah seperti pengemis?"

Walaupun merasa ada ganjalan mendengar Gento seakan mengejek jurus hebat yang baru diperagakannya, namun dengan sabar kakek tabib menjawab juga. "Yang kau lihat tadi adalah jurus Dewa Memandang Dari Menara Langit. Siapapun yang menjadi sasaran jurus tadi tubuhnya pasti seperti yang kau lihat tadi."

"Hebat juga, tapi adakah yang lebih hebat dari itu?" tanya si pemuda lagi.

"Ada dan ini merupakan pukulan satu-satunya yang pantas kuwariskan padamu. Namanya Dewa Awan Mengejar Iblis!" sahut Tabib Sesat Timur.

"Hem, rupanya di awan banyak iblisnya. Coba kau perlihatkan padaku kek!" pinta Gento Guyon.

Tabib Sesat Timur menyeringai. "Kau lihatlah pohon di mana kau berdiri." Sesuai dengan perintah si kakek, maka Gento pun memandang ke atas di mana jambu dan rambutan tadi jatuh dari sana. Tabib Sesat Timur kemudian genjot kakinya. Laksana kilat tubuh si kakek berkelebat di udara. Kemudian terdengar suara menderu disertai gemeretaknya ranting dan daun-daun laksana diterabas pedang. Seiring dengan itu pula di atas ada semburan hawa panas membakar. Ranting- ranting dan daun berguguran.

"Hebat luar biasa. Aku bahkan hampir tak dapat mengikuti gerakan tubuh dan tangannya dengan mataku! Ternyata dia bukan hanya sekedar tabib, tapi orang sakti yang mempunyai ilmu tinggi." memuji Gento Guyon sambil berdecak kagum.

Belum lagi lenyap rasa takjubnya, di bagian pucuk pohon yang rambas gundul dan gosong hangus terdengar suara mengaduh disertai melayangnya satu sosok gemuk besar luar biasa dalam keadaan kalang kabut.

"Celaka betul. Orang tidur kok berani-beraninya mengganggu." Gerutu orang tua berbadan gendut besar luar biasa, berwajah bulat berkening lebar. Belum lagi suara gerutuannya lenyap. Bluuk! Bagai karung yang penuh berisi padi jatuh terhempas di atas tumpukan ranting dan daun. Melihat siapa yang jatuh, maka pucatlah wajah Gento Guyon seketika. Sekarang dia tahu orang yang telah melemparnya dengan jambu dan rambutan tadi pastilah si kakek berbadan besar gendut luar biasa yang bukan lain adalah Gentong Ketawa gurunya.

"Bagaimana guru bisa bersembunyi di atas sana tanpa kuketahui. Dia pasti marah besar Tabib Tapadara telah menghancurkan tempat ketidurannya." batin Gento dengan perasaan ciut. Tapi apa yang dikhawatirkannya itu ternyata tidak terjadi. Karena begitu jatuh di atas tumpukan ranting dan daun yang berguguran akibat pukulan yang dilepaskan Tabib Sesat Timur, maka si kakek gendut besar tidur lagi.

"Untung saat ini dia sedang mengantuk berat. Kalau tidak alamat celaka diriku!" kata si pemuda.

"Kalau dia sampai terjaga akupun jadi tidak enak telah menurunkan ilmuku kepadamu. Itu sebabnya kuminta kau merahasiakan semua ini!" satu suara terdengar di belakang Gento Guyon membuat pemuda ini cepat menoleh dan jadi kaget ketika melihat si kakek telah berdiri satu langkah di belakangnya. Jika Tabib Sesat Timur bermaksud jahat sebagaimana yang disangkakannya tentu sejak tadi dia sudah kena ditotok oleh kakek tabib itu.

"Kau betul kek. Lalu apakah ada lagi pukulan yang lebih hebat dari yang kulihat tadi?" tanya Gento Guyon. "Ha... ha... ha. Kau manusia serakah. Apa yang telah kutunjukkan tadi lebih dari cukup. Selagi gurumu tidur, sekarang sebaiknya kau duduk di hadapanku. Aku akan memindahkan tenaga sakti yang kumiliki padamu agar kau dapat mengamalkan jurus Dewa Memandang Dari Langit dan juga ilmu pukulan Dewa Awan Mengejar Iblis!"

"Ha... ha... ha. Bagaimana kalau kau menipuku lagi? Atau menggantungku di pucuk pohon yang telah kau gunduli dengan ilmu anehmu itu?"

"Bocah goblok, tidak tahukah kau selama ini aku teramat menyesal mengenang apa yang telah kulakukan terhadapmu dulu?" kata Tabib Sesat Timur dengan wajah muram.

"Aku setengah percaya setengah tidak dengan ucapanmu. Tapi jika kau nantinya menipuku, aku tidak akan mengampuni. Aku pasti membuat perhitungan yang lebih menyakitkan!" kata si pemuda. Dengan sikap waspada Gento menuruti perintah Tabib Sesat Timur. Dia duduk di hadapan si kakek dengan kaki bersila, tangan ditum- pangkan di atas lutut. Sedang matanya melirik terus mengawasi gerak-gerik si kakek tabib. Dan ternyata Tabib Sesat Timur memang punya niat baik. Terbukti setelah menempelkan kedua tangannya di punggung Gento Guyon dia salurkan hawa saktinya ke tubuh Gento. Mula-mula pemuda itu menggigil kedinginan di saat hawa sakti yang mengalir di punggungnya menjalar ke sekujur tubuh si pemuda. Gento Guyon menggigil, sedangkan dari bagian ubun-ubunnya mengepul kabut putih tipis yang kemudian bergulung-gulung di udara. Selanjutnya hawa dingin lenyap berganti dengan hawa panas yang membuat si pemuda mengerang dan menggeliat.

"Oh, gila amat. Panas bukan main, aku hampir tidak tahan. Tubuhku seperti dibakar atas bawah luar dalam." desis si pemuda.

"Diam! Jangan melakukan gerakan yang bisa membuat kita berdua jadi celaka!" gumam Tabib Sesat Timur memberi ingat.

Gento menyadari apa yang diucapkan kakek tabib itu memang ada benarnya. Hingga dia tak berani bergerak, bahkan bernafas pun dilakukannya sangat perlahan sekali, hingga ekspresi wajahnya nampak lucu dan kaku.

3

ENTO

UYON

Setelah berlangsung kurang lebih setengah jam lamanya. Tabib Sesat Timur tarik kedua tangannya dari punggung Gento Guyon, Si tampan berwajah lugu, namun panjang akal ini langsung memutar badan. Masih dalam keadaan bersila dia tersenyum saat dilihatnya pakaian maupun sekujur tubuh si kakek basah bersimbah keringat.

"Kek apakah tenaga dalam yang kau salurkan tadi sewaktu-waktu tidak berubah menjadi angin?" Tabib Sesat Timur matanya mendelik. "Gento, aku tahu kau suka bercanda. Mungkin lagak dan tawamu yang membuat si gendut besar memberimu nama Gento Guyon. Tapi ingat! Apa yang hendak kuberikan padamu ini bukan sesuatu yang dapat kau jadikan barang mainan," tegas orang tua yang ketika Gento masih kecil selalu membuatnya menderita.

"Maksud kakek tabib, engkau hendak memberiku senjata? Senjata apa? Pedang, keris, tombak atau golok? Kuharap bukan satu dari yang telah kusebutkan itu. Karena aku pasti tak mau menerimanya. Tolong katakan senjatanya panjang atau pendek. Besar atau kecil, tajam atau tumpul? Kalau yang tumpul kurasa aku sudah tidak butuh. Ha... ha... ha." Gento Guyon tertawa tergelak-gelak.

"Bocah edan. Sejak tadi aku sudah bicara apa padamu? Sekali seumur hidup bertemu denganku kuharap kau bersikap serius." hardik Tabib Sesat Timur marah. Di atas tumpukan ranting dan daun-daun, Gentong Ketawa nampak komat-kamit. Namun matanya tidak juga terbuka. Dia tetap tidur malah terdengar suara dengkurannya.

"Baiklah. Sekarang katakan saja apa yang hendak kakek sampaikan. Dua telingaku siap mendengar." ujar si pemuda.

Tabib Sesat Timur menarik nafas pendek, memperbaiki posisi duduknya baru kemudian berkata. "Aku punya senjata sakti, namanya Penggada Bumi. Senjata itu diciptakan oleh tiga tokoh di masa ratusan tahun yang silam. Senjata maut itu baru dapat kau pergunakan dalam keadaan terdesak. Kau baru tahu manfaatnya jika telah menyalurkan tenaga dalammu ke hulu senjata. Kekuatannya semakin bertambah dahsyat bila kau memukulkannya ke bumi. Ketika kau memukulkan Gada ke bumi, kau cukup menyebut Tiga nama Kebo. Pertama Kebo Ireng, Kebo Abang dan Kebo Putih. Mereka inilah yang menciptakan senjata Penggada Bumi. Dengan menyebut namanya ketika kita menggunakan senjata itu, berarti kita mohon keberkahan serta doa restu mereka!" jelas Tabib Tapadara.

Gento Guyon angkat telunjuknya. "Tanya kek." ucap Gento. Tabib Tapadara anggukkan kepala. "Bagaimana seandainya aku gugup dan jadi salah sebut?"

"Maksudmu?" Tabib Sesat Timur kernyitkan alisnya. "Misalnya aku menyebutnya begini. Kebo budek, kebo lumpuh dan kebo bogel?"

"Mudah-mudahan gada sakti itu akan mengemplang kepalamu sendiri biar otakmu yang sinting jadi benar." sahut kakek tabib tak dapat menahan senyum. Beberapa saat kemudian orang tua itu lanjutkan ucapannya. "Tentu saja kau tak boleh salah menyebut. Bagaimana pun kau harus menghormati hasil ciptaan mereka, walau kau tak pernah berjumpa langsung dengan orangnya." tegas si kakek.

"Kalau begitu aku akan menghapal- nya." Sesaat kemudian mulut Gento Guyon nampak komat-kamit seperti dukun membaca mantra. Hidung kembang kempis sedangkan mata tak hentinya berkedap- kedip. Setelah itu dia buka telapak tangan. Tangan ditiup lalu dikemp- langkan ke bagian kening. Si kakek jadi terheran-heran.

"Eeh, apa yang baru saja kau lakukan?" Si pemuda menyengir. "Dibaca, ditiupkan ke telapak tangan baru diletakkan di kening supaya ingat kek!"

Tabib Tapadara menghembuskan nafas sambil geleng kepala melihat tingkah laku Gento Guyon.

"Bertahun-tahun ikut bersamanya kau bukan jadi orang benar, sebaliknya malah bertambah edan nggak ketulu- ngan!" gerutu kakek tabib. "Tapi baiklah. Waktuku tak begitu lama, lagipula kau jangan bilang pada gendut gurumu bahwa aku telah memberimu senjata."

"Aku paling bisa menjaga rahasia. Sekarang aku mau melihat mana senjata itu?" Dalam hati Gento Guyon menduga yang namanya gada pasti sangat besar sekali. Seperti gada milik para prajurit kraton. Namun kening si pemuda berkerut tajam ketika melihat Tabib Sesat Timur membuka kantong perbekalan yang baru diambil dari balik pakaiannya. Selanjutnya ikat kantong dibuka. Ketika mulut kantong dijungkirkan ke bawah, maka mengge- lindinglah sebuah benda berwarna kuning keemasan dan memancarkan cahaya kemilau menyilaukan. Benda itu besar- nya tidak lebih besar dari ibu jari tangan. Panjang tak lebih dari dua jengkal dengan ujung agak besar dan hulu sebesar kelingking. Melihat senjata itu Gento Guyon jadi lemas tak bersemangat.

"Inikah barangnya kek?"

"Betul." menyahuti Tabib Sesat Timur.

"Kalau yang ini dibandingkan dengan punyaku pasti masih lebih besar lagi aku punya!" gerutu si pemuda bersungut-sungut

"Bocah edan. Sekali lagi kau bicara ngaco, kupecahkan mulutmu!" hardik Tabib Sesat Timur.

"Kalau itu kau lakukan aku pasti minggat!" ancam Gento Guyon.

"Wah edan. Jadi pendekar itu tidak boleh besar ngambeknya. Dari tadi sudah kukatakan kau jangan bicara apapun sebelum mendapat penjelasan dariku." kata si kakek dengan suara perlahan membujuk. "Seperti yang telah kukatakan, kesaktian senjata ini baru terlihat bila kau mengerahkan tenaga dalammu ke bagian hulu senjata. Penggada Bumi semakin bertambah dahsyat bila kau memukulkannya ke atas tanah. Mengerti?" tanya seorang tua sambil pandangi wajah pemuda itu lekat-lekat.

"Mengerti kek. Walau senjata ini besarnya seperti alat untuk mengupil, tapi aku masih punya kewarasan untuk menghargai karya orang lain. Untuk itu dengan senang hati aku menerimanya!" kata Gento Guyon sambil menjura hormat. Ini dilakukannya untuk pertama kali, sehingga sedikit banyaknya Tabib Sesat Timur merasa senang juga.

"Nah kau terimalah Penggada Bumi ini. Simpan dia baik-baik, jangan sampai ketahuan gurumu." pesan si kakek, seraya memungut gada itu lalu menyerahkannya pada Gento. Mengira gada kecil itu ringan, enak saja dia menanggapi. Namun diam-diam Gento Guyon jadi kaget, karena gada yang besarnya seibu jari dan sepanjang dua jengkal tersebut beratnya hampir sama dengan sembilan pedang baja. Lebih aneh lagi, Gento merasakan tangannya yang memegang Gada terasa bagai tersengat gumpalan es.

Setelah menyimpan senjata pemberian Tabib Sesat Timur di balik pinggang celananya dia kembali menjura.

"Kek apakah aku harus memanggilmu guru juga?" tanya Gento Guyon.

Si kakek gelengkan kepala.

"Tak usah. Cukup kau mengingatku di dalam hati sebagai orang yang pernah berbuat salah, namun menebus kesalahan yang kulakukan dengan penyesalan." sahut Tabib Sesat Timur sambil berdiri. "Sekarang aku harus pergi."

"Eeh, kau hendak pergi ke mana?" tanya Gento Guyon kaget.

"Aku hendak menemui saudaraku Sesat Barat dan Sesat Selatan."

"Ah, aku turut prihatin karena ternyata banyak saudaramu yang ter- sesat. Semoga setelah bertemu denganmu mereka akan menemukan jalan yang lurus!" ujar si pemuda.

"Kuharap begitu. Jika gurumu terjaga sampaikan salamku padanya!" pinta Tabib Sesat Timur. Selesai berucap sang tabib memutar langkah dan berkelebat pergi meninggalkan Gento yang terpana seorang diri.

Hanya beberapa saat setelah Tabib Sesat Timur pergi Gentong Ketawa menggeliat. Mulutnya menguap lebar, namun matanya masih terpejam.

"Huaaah... aku bermimpi melihat kebo kurus dan kebo lumpuh. Kemudian aku juga mimpi melihat ada Tabib Setan yang konon sudah bertobat menemuimu. Ahhh... klekerr... kleker...!" Sambil bicara si kakek gendut malah mengorok. Gento yang semula kaget menyangka gurunya mengetahui bahwa Tabib Tapadara telah menurunkan beberapa jurus dan memberikan sebuah senjata akhirnya jadi tersenyum sendiri.

"Kakek gemuk penidur. Hidupnya seperti musang. Kalau sudah makan kenyang dia bisa tidur seharian." cibir si pemuda.

Dia sendiri kemudian bermaksud meninggalkan gurunya seorang diri. Tapi baru saja dia hendak melangkah pergi, si kakek tiba-tiba menggeliat dan membuka matanya. "Ah sudah siang rupanya. Tapi eh... seingatku tadi aku tidur di atas pohon. Mengapa kini sudah pindah di bawah pohon.

Gentong Ketawa kemudian bangkit berdiri. Ketika dia dongakkan kepala ke atas, maka kagetlah orang tua ini dibuatnya. Pohon berdaun lebat itu kini telah gundul seperti dibabat senjata. Selain itu pohonnya sendiri hangus hitam seperti dibakar. Gentong Ketawa gelengkan kepala.

"Hebat luar biasa. Ada penebang pohon yang langsung membakar pohonnya. Tapi sedikit pun dia tidak mengusik tidurku, baik betul dia. Gege siapa orang itu?"

"Eeh, apa maksud guru?" tanya si pemuda pura-pura kaget.

"Apakah kau tak melihat siapa adanya orang hebat yang melakukan semua kegilaan ini?" tanya si kakek. Dia kemudian menghampiri muridnya.

"Mana aku tahu. Ketika aku sampai di sini sehabis makan jambu dan rambutan aku langsung tidur di situ." jawab si pemuda berlagak seperti orang kaget.

"Jambu dan rambutan? Kalau tak salah ingat bukankah aku yang memberikannya padamu." ujar si kakek.

"Betul begitu. Semula kukira ada kampret yang baik hati memberiku makanan, tidak kusangka ternyata kaulah orangnya. Ha... ha-ha."

"Bocah kurang ajar, berani kau mengatakan aku kampret sekali lagi tidak kujamin keselamatanmu." seru Gentong Ketawa. Dia sendiri kemudian tertawa terkekeh-kekeh.

"Apalagi yang ditertawakan oleh gendut pesek ini?" batin si pemuda. "Apakah dia hanya pura-pura tak tahu kalau Tabib Sesat Timur sudah datang ke mari?"

"Gege kau tahu mengapa aku tertawa?" tanya si kakek gendut besar kemudian.

"Aku tahu. Mungkin ada kerusakan pada syaraf tawamu, hingga penyakit gila guru sekarang kambuh lagi. Ha... ha... ha!"

"Murid sialan. Enak betul kau bicara. Perlu kau ketahui saat ini aku sedang memikirkan Tabib Setan. Kurasa sekarang ini dia tersesat di rumah orang yang hendak melahirkan. Jadi dia diminta pertolongannya oleh orang yang punya hajat untuk menolong istrinya."

"Yang guru katakan masih lumayan, bagaimana jika dia diminta membantu sapi yang hendak beranak oleh bapak sapi?"

Mendengar ucapan muridnya tawa Gentong Ketawa makin bertambah keras.

"Kau termasuk beruntung karena dia tak menemukanmu. Aku tahu kurasa dia ingin menurunkan ilmunya padamu. Kalau itu sampai terjadi aku sangat tidak setuju sekali. Aku yakin ilmu tabib itu selain jahat tentu jelek sekali. Itulah sebabnya seumur hidup kuminta kau jangan pernah menemuinya." "Guru goblok. Bagaimana dia bisa mengatakan ilmu tabib itu jelek. Aku sendiri sudah melihat kedahsyatannya. Bahkan jurus dan pukulan saktinya sudah diturunkan padaku." kata Gento dalam hati. Namun untuk menyenangkan hati Gentong Ketawa, pemuda itu berkata. "Apa yang guru katakan memang benar. Aku pun tidak mau mempunyai guru bekas orang jahat."

Gentong Ketawa tersenyum, merasa senang mendengar ucapan muridnya. "Nah seperti itu yang aku suka. Lagipula seorang murid mempunyai dua guru itu kurang bagus. Nanti salah satu gurunya merasa diguru tirikan!"

"Ha... ha... ha, kau ada-ada saja guru." kata Gento Guyon disertai tawa terkekeh-kekeh.

"Sudahlah, sekarang sebaiknya kita pergi!"

"Pergi ke mana?"

"Ke suatu tempat sesuai dengan mimpiku!"

"Hah...!" Si pemuda tersentak kaget mendengar ucapan gurunya. Tapi dia lebih kaget lagi ketika hendak ajukan pertanyaan ternyata gurunya sudah tak berada di tempat itu lagi.

"Orang tua aneh, dia hendak mendatangi tempat yang ada dalam mimpinya?" gumam Gento Guyon sambil gelengkan kepala.  

4

ENTO

UYON Laki-laki itu tersenyum ketika melihat lima gadis yang dalam keadaan kaku tertotok selesai dibaringkan di atas batu. Kelima gadis cantik itu sama sekali tak mengetahui apa yang bakal terjadi atas diri mereka. Sementara suasana senja kini telah berganti dengan kegelapan malam. Dan di sekeliling lapangan pasir yang luas itu sebagaimana biasanya kilat mulai menyambar menyelingi kegelapan. Hal ini sebenarnya merupakan sesuatu yang aneh. Karena saat itu langit cerah tanpa mendung dan cuaca dalam keadaan baik.

Sementara itu diatas altar, laki- laki berwajah angker berpakaian serba merah dan berjubah putih nampak mulai memeriksa kelima gadis yang menjadi tawanannya.

"Selamat datang di Tanah Kutukan. Bila telah sampai di sini tidak ada kemungkinan bagi kalian untuk kembali ke dunia luar. Karena aku akan mengorbankan kalian semua di Tanah Kutukan ini demi kesempurnaan ilmu yang kumiliki." kata laki-laki itu dengan suara dingin menusuk.

"Manusia iblis, apa maksud dari ucapanmu?" tanya salah seorang dari kelima gadis yang telah diberi pakaian warna merah memberanikan diri.

"Maksudku sudah jelas. Hampir setiap tiga purnama sekali aku harus mencari gadis-gadis perawan untuk kujadikan tumbal di tempat ini. Kelak jika semua ilmu yang kumiliki sudah mencapai tarap di atas sempurna barulah aku akan meninggalkan Tanah Kutukan ini untuk mencari Tiga Mutiara Langit. Hanya senjata itu yang paling kutakuti di dunia ini. Jika senjata itu telah berada dalam genggamanku, maka aku sudah dapat memastikan kekuasaan dunia ini sudah pula berada dalam genggamanku. Ha... ha... ha!"

"Terkutuk keji. Tindakanmu itu sungguh akan mendapat ganjaran yang setimpal dari Gusti Allah!" maki gadis yang terbaring di ujung altar persembahan.

Laki-laki yang rambut panjangnya berdiri tegak ini berjingkrak kaget mendengar ucapan si gadis. Sudah berpuluh-puluh kali dia melakukan korban persembahan. Namun baru kali ini calon korbannya berani bicara lantang. Kagum juga penasaran atas keberanian si gadis maka laki-laki itu datang menghampiri.

"Hebat luar biasa." berkata laki- laki itu setelah dekat dan berjongkok di depan si gadis. Sekilas dia memperhatikan wajah gadis itu. "Kau seorang gadis yang sangat pemberani. Aku Braga Swara merasa kagum padamu. Hem... aku ingat sekarang. Aku menculikmu di sebuah penginapan. Aku yakin kau bukan gadis sembarangan, Kau memiliki ilmu dan juga kepandaian silat. Siapa namamu?" tanya laki-laki itu sinis.

"Buat apa kau tahu namaku?" dengus si gadis. "Jika kau memang bukan laki-laki pengecut cepat bebaskan totokanku ini, mari kita bertarung sampai seribu jurus!"

"Hebat. Tapi ketahuilah, sehebat apapun ilmu yang kau miliki, jelas kau bukan tandinganku. Aku sendiri sebenarnya sangat menyukai gadis pemberani sepertimu. Tapi sayang waktuku sangat sempit." berkata begitu Braga Swara dongakkan wajahnya ke langit. Bulan sabit terlihat mengambang di puncak bukit. Selebihnya langit bertabur bintang. "Sekejap lagi segala sesuatunya harus segera dimulai. Aku harus menyalakan peiita dan pendupaan. Nanti bila bulan sabit telah bergerak meninggi, di saat itu acara persembahan tumbal dimulai. Setan dan roh gentayangan akan turut menyaksikan sekaligus menjadi saksi dari semua pengorbanan yang telah kulakukan. Sekarang tenang sajalah kalian semua di sini. Aku hendak melakukan sesuatu di bawah sana. Ha... ha... ha!" sambil tertawa-tawa Braga Swara melompat dari altar batu tinggi itu. Ketika kedua kakinya menyentuh permukaan pasir, maka tubuhnya amblas dan raib ke dalam tanah pasir itu.

Gadis di sudut altar melihat semua keanehan ini. Dalam hati dia sempat menjadi kaget ketika melihat kenyataan yang terjadi.

"Apa yang dilakukannya? Mengapa tubuh orang itu mendadak lenyap begitu menyentuh tanah?" batin si gadis. Tak lama kemudian setelah lelah memikirkan keanehan itu namun tak menemukan jawaban, si gadis akhirnya memandang ke samping di mana empat gadis lainnya dalam keadaan yang sama berada. "Kalian semua dengar. Nasib kita akan sama jika tidak melakukan sesuatu secepatnya." berkata gadis itu. Suaranya lirih namun dapat didengar dengan jelas.

Sepi sejenak, lalu gadis yang terbaring di sudut kiri altar menyahuti. "Bagaimana kami harus bersikap. Kami tak memiliki kepandaian apapun. Kami hanya gadis desa biasa. Seandainya saja kami dapat berbuat sesuatu pasti sejak tadi kami sudah meninggalkan tempat ini!" jawab gadis itu mewakili tiga temannya.

"Aku Ararini merasa prihatin dan tak kuasa membayangkan apa yang bakal terjadi. Tapi aku akan berusaha menolong kalian jika itu dapat kulakukan!" kata si gadis. Diam-diam Ararini kerahkan tenaga dalamnya untuk membebaskan totokan Braga Swara yang telah menculiknya. Namun akhirnya si gadis jadi kaget ketika mendapat kenyataan totokan yang dilakukan Braga Swara ternyata sulit dimusnahkan.

"Celaka. Totokan ini saja sulit kumusnahkan. Bagaimana aku bisa menolong mereka?" batin si gadis dalam hati. "Aku harus kembali ke penginapan. Setelah itu aku akan menemui guru. Sebelum Braga Swara datang ke sini, aku harus menggunakan ilmu Tapak Awan untuk meninggalkan tempat ini!" Beberapa saat kemudian bibir mungil si gadis nampak berkomat- kamit. Sekujur tubuhnya bergetar, kemudian dalam waktu yang tidak begitu lama seluruh tubuh gadis itu telah diselimuti asap putih. Bersamaan dengan melesatnya asap putih di udara, maka sosok Ararini ikut pula terangkat. Satu keajaiban terjadi. Begitu tubuhnya mengambang di udara dia pun atas bantuan tabir kabut gaib melesat pergi meninggalkan altar persembahan.

"Hei... mengapa kau tinggalkan kami. Katanya kau hendak menolong, kenyataannya kau malah pergi seorang diri!" teriak gadis yang terbaring di sudut kiri altar. "Maafkan aku. Saat ini aku sendiri tak mampu membebaskan totokan ini. Bagaimana aku bisa menolong kalian? Mungkin kelak aku akan kembali bersama guruku...!" kata Ararini.

"Ha... ha... ha...! Saat itu kau hanya menemukan tulang belulang gadis ini!" Satu suara menyahuti. Di atas altar satu sosok tubuh jejakkan kakinya. Ternyata yang datang adalah Braga Swara. Laki-laki itu sendiri jauh di dalam hatinya jadi terkejut. Dia ingat di rimba persilatan hanya ada satu tokoh yang memiliki ilmu ajian Telapak Awan. Sebuah ilmu langka yang dapat dipergunakan apabila pemilik ilmu itu dalam keadaan terdesak.

"Dia masih hidup? Tidak mungkin. Saat itu aku menghantamnya dengan pukulan mematikan. Tubuhnya terperosok ke dalam jurang, lagipula dia dalam keadaan hamil besar. Pasti dia mampus di dasar jurang Randu Blatung. Jahanam betul, mengapa aku bisa kecolongan seperti ini. Padahal tadi seharusnya kutanyakan apakah dia muridnya Sari Lukita atau bukan?" Sekali lagi Braga Swara dongakkan wajahnya ke langit. Ararini ternyata sudah tidak terlihat lagi.

Laki-laki itu jadi geram dan kepalkan tinjunya. Selanjutnya dia bangkit berdiri. Satu demi satu calon korban persembahan diperiksanya. Ke empat gadis nampak ketakutan sekali.

"Sudah menjadi suratan nasib. Kalian akan menjadi korban mahluk iblis di sini. Ha... ha... ha. Namun sebelum iblis muncul, saat ini aku membutuhkan darah kalian!" kata Braga Swara.

"Kumohon... kumohon lepaskan kami." rintih salah satu dari ketiga gadis dengan wajah tegang dan suara memelas.

Braga Swara menyeringai. "Sebentar lagi waktu pembebasan tiba. Tunggu dan harap bersabar!" kata laki- laki itu dingin.

Merasa yakin Braga Swara berniat membebaskan mereka. Maka para gadis itu nampak gembira sekali. Sementara Braga Swara kini sudah mengelilingi sebuah pendupaan yang baru saja dinyalakan. Di atas pendupaan besar berbentuk kerucut setinggi lutut sebilah pedang kecil nampak mulai menyala dikobari api.

Tidak seorangpun ada yang tahu apa yang akan dilakukan oleh Braga Swara. Yang jelas tidak berselang lama laki-laki itu mulai menari berlenggang lenggok mengelilingi pendupaan sedangkan mulutnya berkomat-kamit membaca mantra-mantra gaib.

"Cikalang tanah ilmuku, ilmu iblis kekuatan sesat. Aku adalah pemuja setan. Bumi sebagai tempatku bernaung dan berlindung. Bila kekuatan iblis sudah berkuasa dan menjadi pelindungku. Aku tidur di atas api, aku menari di atas awan. Kukencingi laut, segara jadi asin. Lalu aku gentayangan di atas bumi menebar malapetaka. Wahai para lurah dan penghulu kejahatan. Aku datang menghadap. Malam ini ilmu Cikalang Tanah harus kau sempurnakan. Korban persembahan telah kusediakan. Kuhirup darah mereka dan kau berhak atas jasad yang tidak berguna!"

Sambil membaca mantra disertai suara racau tak karuan, Braga Swara terus menari. Tubuhnya melejang tak karuan seperti orang yang kesurupan, sedangkan sepasang matanya kini telah berubah memerah, memancarkan cahaya aneh dalam gelapnya altar. Kemudian dari delapan penjuru arah terdengar suara raungan aneh disertai langkah yang menimbulkan getaran laksana gempa.

Seiring dengan itu pula Braga Swara menyambar pedang pendek yang dipanggang di atas pendupaan. Pedang yang telah berubah memerah laksana bara itu dibolang-balingkannya di udara. Kemudian sambil menggerung, dia menyambar pedang yang berputar aneh di udara. Selanjutnya Braga Swara berkelebat ke arah empat gadis sambil berteriak. "Sekarang saatnya kebebasan itu!" Sinar merah berkelebat menyambar leher mulus keempat gadis malang. Tidak ada pekik atau jerit kesakitan. Keempat gadis ini hanya mampu delikkan mata saking kagetnya. Setelah itu darah menyembur dari bagian leher yang menganga tersambar mata pedang.

Dengan lahap Braga Swara menyedot darah keempat gadis itu. Sebagian darah itu bahkan sengaja dimandikan ke sekujur tubuhnya. Begitu Braga Swara selesai menghirup darah korbannya maka dari sekujur tubuhnya memancarkan cahaya merah berhawa panas bukan kepalang. Laki-laki itu tertawa terkekeh-kekeh. Empat gadis yang bergeletakan tanpa nyawa dengan luka mengerikan di lehernya tidak dihiraukannya lagi. Sinar merah yang memancar di tubuhnya lenyap. Dia pun berjingkrak kegirangan.

"Ilmu aneh, kekuatan aneh. Aku telah menguasai ilmu Cikalang Tanah. Setiap saat aku bisa menyatu dengan bumi. Mereka yang menyimpan dendam padaku pasti akan menjadi kecewa begitu mendapatkan kenyataan ini. Ha... ha... ha." Braga Swara tertawa terbahak-bahak. Dia kemudian duduk berlutut setelah mengembalikan pedang pendek di atas pendupaan. Setelah itu kedua tangan dirangkapkan. Dia bungkukkan badan menjura ke delapan penjuru arah.

"Sahabatku. Aku kini percaya kau telah menepati janji. Sekarang tiba giliranku menepati janjiku. Telah kusediakan empat mayat perawan. Kau berhak memilikinya. Datanglah mendekat ke mari. Di atas altar korban persembahan hidangan telah menunggu!" seru Braga Swara dengan suara bergetar. Getaran keras kembali terjadi. Tanah pasir di sekeliling altar nampak bergerak aneh seperti ada mahluk bergerak di dalamnya.

"Hrauuuugkh...!"

Lalu terdengar suara lengkingan aneh. Dari empat penjuru sudut altar muncul empat kepala berbentuk aneh seperti kepala ular dengan leher panjang seperti jerapah, namun badannya sama sekali tak terlihat.

"Sahabat iblis terima kasih kau akhirnya mau datang." kata Braga Swara. Dia kemudian menunjuk ke arah empat mayat gadis yang baru saja dibunuhnya.

"Hrauuung...!" kembali terdengar suara empat mahluk yang munculkan kepalanya dari empat sudut altar itu. Empat kepala terjulur dengan mulut besarnya yang menganga lebar. Sekali sentak empat mayat gadis itu jatuh di atas pasir. Ketika empat kepala mahluk iblis itu lenyap di bawah permukaan pasir, maka masing-masing mayat yang berada di bawah ke empat sudut altar ikut pula lenyap terseret ke dalam tanah.

Braga Swara tertawa dingin menyeramkan.

Di atas langit sana bulan sabit sudah tak terlihat lagi.

5

ENTO

UYON

Dua pemuda berpakaian serba putih berkepala botak mondar-mandir di dalam kamar penginapan yang terdapat di sebuah kota kecil Tawangharjo. Salah seorang diantaranya yang membekal golok besar di bagian punggung kemudian nampak sibuk memeriksa jendela serta langit-langit kamar yang jebol. Sedangkan yang satunya lagi setelah memeriksa senjata berupa roda- roda kembar akhirnya buka suara.

"Senjata kakak Taktu Ararini, tempat perbekalannya semua ada di sini. Mana mungkin bertindak seperti orang linglung dengan meninggalkan senjatanya di sini."

"Kau betul adik Takga. Aku telah melihat bagaimana langit-langit itu jebol serta jendela yang rusak. Jelas menurutku ada seseorang berkepandaian tinggi menyelinap masuk ke tempat ini, lalu menculik kakak Taktu. Aku khawatir saat ini dia berada dalam bahaya besar. Seperti yang dipesan oleh guru Peri Tanpa Bayangan, musuh besarnya yang bernama Braga Swara adalah manusia licik berkepandaian sangat tinggi yang saat ini sedang mengamalkan ilmu keji. Salah satu syarat untuk menguasai ilmu iblis itu adalah dengan meminum darah perawan...!"

"Maksudmu kakak Taktu diculik oleh Braga Swara?" tanya Takga alias botak ketiga.

"Tepat." jawab Takwa alias Botak kedua serius.

"Tidak mungkin, Tanah Kutukan masih sangat jauh dari sini. Menurutku tidak mungkin Braga Swara berkeliaran sampai sejauh ini." bantah Takga.

Botak kedua usap-usap kepalanya yang plontos tanpa rambut.

Dia menyeringai di saat ketegangan merayapi dirinya.

"Ada sesuatu yang kau lupa, adik Takga. Pada waktu tertentu seperti yang kita dengar tiga purnama sekali Braga Swara gentayangan mencari calon korban. Dia tidak mencari perawan jelek korengan apalagi ingusan. Tapi yang hendak dijadikan korbannya pasti perawan cantik. Menurutmu apakah kakak Takga tidak cantik?" tanya Takwa.

Yang ditanya tersenyum. "Waktu kepalanya dibotaki oleh guru, dia memang mirip laki-laki tampan seperti kita. Tapi setelah rambutnya dibiarkan tumbuh memanjang, ternyata dia sangat cantik. Celakanya akibat mengamalkan ilmu Rintihan Kematian dan ilmu Melangkah Di Atas Mendung rambut di kepala kita sejak dibotaki pertama kali hingga sekarang tidak mau tumbuh lagi. Sedangkan kakak Takwa karena mengamalkan ilmu yang lain setelah dewasa rambutnya bagus badannya juga mulus. Maunya kakak Taktu Ararini jadi istriku. Ha... ha... ha."

"Hus bicaramu ngawur suka mencla- mencle. Kau harus ingat saat ini kakak Taktu pasti berada dalam bahaya besar. Kita harus melakukan sesuatu untuk menolongnya." ujar pemuda berkepala botak itu serius.

"Semua ini salahmu, coba kalau kita tidak terlalu banyak bermain di perjalanan, tentu kita sampai di penginapan ini bersama-sama. Sekarang kita hendak menuju ke Tanah Kutukan. Jika betul kakak Taktu ada di sana itu tak jadi soal, tapi jika ternyata tidak. Berarti kita hanya membuang tenaga sia-sia." sahut Takga.

"Lalu sekarang apa yang harus kita lakukan? Menunggu sampai guru menyusul ke mari menggebuk kita. Atau...?" Belum lagi Takwa sempat melanjutkan ucapannya. Tiba-tiba terdengar suara mengerang disertai hancurnya bagian langit-langit. Satu sosok melayang bersama hancurnya langit-langit ruangan. Melihat siapa yang jatuh, Takwa dan Takga berebut menyelamatkan mereka. Tapi akibatnya mereka bertubrukan satu sama lain sehingga kepala mereka benjut benjol sedangkan yang hendak ditolong malah jatuh bergedebukan di atas lantai.

"Kakak Taktu... apa yang terjadi denganmu?" seru Takwa dan Takga hampir bersamaan.

Di atas lantai gadis cantik yang pakaiannya telah diganti dengan pakaian merah merintih.

Asap tebal yang menyelubungi diri gadis itu kini berangsur lenyap dan hilang sama sekali.

"Kau... Takwa dan adik Takga, hampir saja kita tidak dapat bertemu selamanya." kata si gadi yang bukan lain adalah Ararini alias Taktu.

"Rupanya apa yang telah terjadi?" tanya Takwa.

"Braga Swara menculikku di saat aku menunggu kedatangan kalian di sini. Untung aku punya ajian Tapak Awan hingga aku dapat meloloskan diri. Jika tidak, mungkin nasibku sam seperti dengan keempat gadis malang itu. Kemudian Taktu Ararini menceritakan segal sesuatu yang terjadi di Tanah Kutukan.

"Kurang ajar. Jadi benar seperti yang dikatakan guru, Braga Swara saat ini sedang mengamalkan ilmu sesat dengan mengorbankan gadis perawan sebagai tumbalnya?" desis Takga sambil mengepalkan tinjunya.

"Apa yang dikatakan guru memang benar. Aku sendiri bahkan hampir menjadi korbannya" sahut Ararini yang semasa kecil dikenal sebagai Taktu alias botak kesatu. Untuk lebih jelas, ikuti serial Gento Guyon episode 'Tabib Setan'.

"Sekarang sebaiknya kita pergi ke Tanah Kutukan. Kita bertiga aku yakin mampu membunuhnya!" ujar Takwa.

"Kita tidak bisa gegabah. Tanah Kutukan merupakan tanah pasir yang bagian dalamnya selalu bergerak. Tanah itu tidak bisa kita pijak. Kita harus menunggu perintah dari guru. Bagaimana pun Braga Swara bukan manusia sembarangan. Aku sendiri sampai sekarang ini tak mampu membebaskan totokannya."

"Hah... jadi kakak masih dalam keadaan tertotok?" seru Takwa dan Takga kaget.

"Kau pikir aku mau jatuh sedemikian rupa?" dengus Ararini.

"Lalu bagian mana yang ditotok?" tanya Takga.

"Bagian punggung dan leherku." jawab Ararini.

"Itu sih gampang, biar aku yang membebaskannya!" ujar Takga. Pemuda beralis tebal ini lalu duduk di depan si gadis. Setelah mengetahui di bagian mana yang kena ditotok, maka Takga dengan tangan kanannya segera melakukan usapan beberapa kali. Tapi betapa kagetnya pemuda berkepala botak yang pitak di bagian belakang ini ketika menyadari usahanya untuk membebaskan totokan sama sekali tak berhasil.

"Kakak Takwa, totokan yang dilakukan iblis itu alot amat. Sebaiknya kita gabungkan tenaga dalammu dan tenaga dalamku untuk menolong kakak Taktu." pinta Takga.

Sambil bersungut-sungut Takwa datang menghampiri. Dia lalu duduk di belakang adiknya. "Jadi orang jangan sombong, mulut besar kemampuan tak ada. Hayo sekarang lakukan!" berkata begitu Takwa menempelkan kedua tangan di bagian punggung adik seperguruannya yang paling bungsu. Begitu Takga merasa mendapat tenaga tambahan. Maka dengan dua jari tangan dia menyentuh leher dan punggung Taktu.

Plash!

Totokan itu lenyap. Begitu merasa bebas Taktu melompat bangkit berdiri, lalu meraih roda-roda terbangnya yang tergeletak di atas balai tempat tidur. Senjata diletakkan di bagian punggung. Setelah itu dia pandangi kedua pemuda di depannya.

"Kita tidak mungkin datang ke sana bertiga, seperti yang kukatakan tadi paling tidak kita harus menunggu petunjuk guru." Sekali lagi Taktu memberi penegasan.

"Apakah kita tidak dapat mengambil keputusan sendiri. Apa-apa minta petunjuk? Kalau tidak memalukan kurasa mau buang hajat pun harus minta petunjuk." kata Taktu tidak sabaran.

Taktu dan Takwa saling pandang, lalu sama tersenyum.

"Satu hal yang membuatku heran sampai kini, mengapa guru dan Braga Swara itu bermusuhan? Kebenciannya pada laki-laki itu tampaknya begitu mendalam." sergah Takwa.

"Jadi kau belum tahu apa yang membuat guru bersikap seperti itu?" tanya Taktu alias Ararini.

Bukan hanya Takwa yang gelengkan kepala, Takga juga ikut menggeleng.

"Jadi kakak Taktu tahu?" tanya Takga.

Si gadis anggukkan kepala. Dia lalu kerutkan keningnya, mencoba mengingat segala sesuatu yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Sampai kemudian Taktu berkata. "Malam itu kulihat guru menangis, ketika aku datang kulihat wajahnya begitu sedih. Akupun lalu bertanya gerangan apa yang telah terjadi." sampai di sini Taktu hentikan ucapannya.

"Lalu bagaimana, kau ikut menangis juga?" tanya Takwa tidak sabaran.

Taktu gelengkan kepala.

"Katanya guru sangat bersedih karena meninggalkan suaminya dan pergi dengan pemuda lain. Entah mengapa dia begitu tergila-gila dengan pemuda itu. Mereka kemudian mengembara, hingga guru hamil. Tapi pemuda mata keranjang itu kemudian malah bermaksud membunuhnya dengan memukul guru sampai akhirnya masuk ke dalam jurang. Guru selamat, namun anak dalam kandungannya meninggal. Sedangkan pemuda itu kemudian pergi dengan wanita lain. Bertahun-tahun guru menyesali nasib. Menyesal karena telah meninggalkan suaminya. Dendamnya pada pemuda yang tak bertanggung jawab itu begitu mendalam. Di sisi lain dia juga merasa dikejar-kejar dosa. Karena itu dia kemudian membotaki kepalanya dan menjadi seorang rahib. Namun rasa penasaran membuatnya meninggalkan biara, kemudian memperdalam ilmu silatnya guna untuk membalas dendam. Rupanya setelah melakukan penyelidikan pemuda yang bernama Braga Swara setelah malang melintang melakukan berbagai kejahatan termasuk juga menodai gadis-gadis serta istri orang. Dia kemudian mengasingkan diri di Tanah Kutukan untuk memperdalam ilmu baru yang dimilikinya. Terbukti kemudian dengan keyakinannya yang menyesatkan dia banyak menculik para gadis diambil darahnya kemudian mayat gadis itu diberikan pada mahluk iblis yang tinggal di bawah tanah pasir."

"Huk... huk... huk. Jahanam betul laki-laki itu. Kasihan sekali guru. Memangnya wajah suaminya jelek hingga dia meninggalkannya begitu saja!" tanya Takga sambil mengusap matanya yang memerah.

"Entahlah, mungkin itu menyangkut masalah yang sangat pribadi sekali. Sekarang ini sebaiknya kita bersiap- siap untuk berangkat." kata Taktu pada kedua adik seperguruannya.

"Kita bertiga berangkat ke sana, apakah itu namanya tidak membuang nyawa sia-sia?" tanya Takwa sambil memutar toya di tangannya.

"Apapun yang terjadi kita tanggung bersama." jawab Taktu dan Takga. Merasa tak punya pilihan lain, akhirnya Takwa terpaksa mengikuti kedua saudara seperguruannya.  

6

ENTO

UYON Sampai di satu tempat si gendut besar luar biasa ini hentikan larinya. Matanya yang sipit berputar memandang jelalatan ke setiap sudut tanah lapangan luas di hadapannya. Si kakek monyongkan bibirnya. Wajahnya yang keringatan perlihatkan rasa kecewa.

"Jelas bukan di sini tempat yang kulihat dalam mimpiku itu. Dalam mimpi aku melihat lapangan pasir yang sangat luas. Di tengah lapangan itu terdapat sebuah altar dari batu hitam. Sedangkan lapangan ini dikelilingi pohon besar, batu-batu cadas, sarang landak dan juga beberapa jenis ular berbisa. Hemm, aku datang ke alamat yang salah." kata si kakek gendut Gentong Ketawa.

Selagi si kakek dilanda kebi- ngungan, maka pada saat itu pula mendadak sontak dia mendengar suara orang di belakangnya. "Inikah tempat yang kau lihat dalam mimpimu guru. Tempat seperti ini kadal buntung pun kurasa tidak mau tinggal di sini!"

Mendengar suara yang sangat dikenalnya, Gentong Ketawa langsung menoleh. Dia jadi kaget begitu melihat tahu-tahu Gento Guyon telah berdiri tegak di belakangnya.

"Kau... bagaimana ilmu lari cepat dan ilmu meringankan tubuhmu jadi sehebat ini?" tanya Gentong Ketawa dengan kening berkerut.

"Ha... ha... ha. Aku bukan pemalas sepertimu guru. Setiap hari aku berlatih, sedangkan kau enak- enakan tidur. Sudahlah, jangan pula sekarang kau hendak mengalihkan perhatian. Menurutmu guru melihat lapangan pasir yang luas. Di tengah lapangan itu ada sebuah altar pemujaan. Apakah tempat seperti ini yang kau maksudkan?" tanya Gento.

Gentong Ketawa buru-buru menjawab. "Bukan... tempatnya jelas bukan seperti ini. Kita keliru lagi."

"Sudah sepuluh kali kita keliru. Yang aku herankan kau percaya dengan segala macam mimpi, sungguh edan. Bagaimana jika sekarang kita pergi ke tempat lain saja sambil melatih ilmu yang baru."

"Mana boleh begitu. Kau dengar... yang kulihat dalam tidurku bukan hanya sekedar mimpi, tapi semacam petunjuk. Aku melihat pembunuhan keji di sana. Aku juga melihat mahluk aneh berleher panjang berkepala empat. Semua ini merupakan suatu bukti aku bukan hanya sekedar mimpi." kata Gentong Ketawa tetap bersikeras.

Gento Guyon gelengkan kepala. Rasanya percuma saja dia memberi pengertian pada gurunya. karena bagaimana pun kakek itu tetap bersikeras pada pendiriannya.

Tapi mungkin apa yang dikatakan kakek Gentong Ketawa memang ada benarnya. Kalau tidak mana mungkin gurunya ngotot seperti itu.

"Sekarang apa? Setelah mendatangi sarang kecoak ini selanjutnya kita ke mana?" tanya si pemuda dengan mata berkedip-kedip.

Si kakek jadi bingung dan merasa pusing sendiri. Beberapa saat lamanya dia terdiam. Berpikir sejenak namun otaknya tidak menemukan suatu kesimpulan apapun. Akhirnya Gentong Ketawa jadi bicara sesuka hati sendiri. "Tempat itu yang pasti masih di sekitar tanah Jawa juga. Jika kita mau menelusuri atau mencarinya secara teliti lama kelamaan pasti akan kita ketemukan juga. Ha... ha... ha."

Gento Guyon belalakkan mata dan jadi kesal mendengar ucapan gurunya. Dengan mulut terpencong dia keluarkan suara. "Guru... berapa lama kita harus melakukannya? Tanah Jawa ini luas. Dua purnama kita melakukan pelesiran perjalanan tak akan usai. Kurasa sampai botak sariawan sekalipun kita tidak menemukan tempat yang guru maksud. Terkecuali kita berpindah tempat."

"Eeh, apa maksudmu?! Pindah tempat juga tak jadi apa asal kita menemukan daerah yang kulihat dalam mimpiku itu." ujar si kakek yang tidak mengerti arah ucapan muridnya.

"Ha... ha... ha. Pasti akan membuatku sangat repot dan aku sendiri belum tentu bersedia melakukannya. Karena tempat itu ada di akherat. Ha.. ha... ha." kata Gento Guyon disertai tawa bergelak.

Mata sipit si kakek mendelik. Pelipisnya bergerak-gerak, rahang menggembung, sedangkan wajahnya yang bulat nampak memerah. "Gege murid edan. Mengapa kau tidak terus terang mengatakan agar aku mati!"

"Hal itu sudah kukatakan tapi dalam doa yang kupanjatkan! Ha... ha... ha." sambil memegangi perutnya si pemuda,kembali tertawa.

"Bocah edan anak kampret. Kupecahkan batok kepalamu sekarang juga!" hardik Gentong Ketawa. Lupa bahwa di antara mereka adalah murid dan guru yang mempunyai watak serta sifat aneh. Dengan gerakan seringan kapas secepat angin berhembus. Sosok tinggi besar luar biasa ini melesat ke arah si pemuda. Salah satu tangan mencengkeram dada sedangkan tangannya yang lain dihantamkan ke bagian kepala muridnya.

"Bagus. Sintingnya lagi angot, murid sendiri pun hendak dibunuhnya. Ha... ha... ha!" Kemudian enak saja Gento Guyon gerakkan tangan kanan menangkis kedua tangan si kakek dengan gerakan dari bawah ke atas.

Terjadi benturan yang membuat Gento terhuyung. Namun cepat sekali dia susupkan tangan kiri ke perut gurunya. Jemari tangan menggelitik hingga membuat si kakek tertawa tergelak-gelak.

"Sudah... sudah. Aku paling tidak tahan bila kau gelitiki." Tubuh besar si kakek terhuyung-huyung, sedangkan kedua tangan menekab bagian perutnya. Gento surut, dia lalu membolak-balik tangan yang memang membiru akibat bentrok dengan tangan gurunya tadi.

Sebaliknya Gentong Ketawa sendiri jadi heran. Rasanya dia merasa asing dengan gerakan silat yang dilakukan muridnya. "Kau tadi menggunakan jurus apa. Rasanya aku belum pernah mengajarkan jurus seaneh itu padamu?"

"Ah, mengapa aku berlaku ceroboh? Mestinya tidak kuperlihatkan jurus warisan Tabib Sesat Timur padanya." batin si pemuda. Namun dasar otaknya cerdik dan panjang akal. Tenang saja dia menjawab. "Yang guru lihat tadi jurus Belalang Mabuk yang kugabung dengan jurus ciptaanku sendiri. Hasilnya seperti yang guru lihat. Ha... ha... ha." kata Gento disertai tawa terkekeh-kekeh.

Si kakek terdiam, berpikir sesaat lalu manggut-manggut. Walau kurang yakin betul, namun dia percaya muridnya mampu melakukan hal itu mengingat muridnya memang cerdik dan banyak akalnya.

"Kau memang lain dari yang lain. Kelak aku yakin kau pasti lebih hebat dariku." puji si kakek.

"Dasar pikun, apa yang kukatakan langsung dipercaya begitu saja." batin si pemuda merasa geli sendiri.

"Hu... hu... hu.. Hidup di dunia lebih lama menunggu apa? Setiap langkah penuh kesialan karena ulahku sendiri. Suamiku... maafkanlah diriku yang bodoh dan penuh dosa ini." Selagi Gento dan gurunya saling pandang dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mereka dikejutkan dengan terdengarnya suara tangis.

"Ada setan menangis?" desis Gento.

"Bukan setan. Bangsa setan tak pernah menangis. Suaranya datang dari arah sana!" kata si kakek. Murid dan guru ini kemudian berkelebat ke arah datangnya suara. Mereka berdiri di balik kerimbunan semak belukar, mengintai dari balik semak-semak itu. Tidak jauh di depan mereka tepat di atas batang kayu yang roboh duduk sosok nenek tua berpakaian serba putih dan berkepala botak. Melihat kepala si nenek, Gento langsung menyeringai, sedangkan Gentong Ketawa nyaris tak mampu menahan tawanya. Untung Gento cepat bekap mulut gurunya. Kalau tidak kehadiran mereka pasti diketahui oleh nenek botak yang sedang menangis.

"Guru apa yang dilakukannya di sini? Menangis bersedih-sedih seorang diri. Jangan-jangan dia peri gundul." bisik si pemuda dekat telinga gurunya. "Bukan... kurasa dia neneknya

tuyul." sahut gurunya.

"Memangnya nenek tuyul gundul begitu?" tanya Gento heran.

"Mana aku tahu dia nenek tuyul apa emak tuyul. Melihat tuyul saja aku belum pernah." jawab Gentong Ketawa. Lagi-lagi dia hampir tak kuasa menahan tawanya.

Gento Guyon terdiam, dia lalu julurkan kepala memperhatikan nenek di atas batang kayu dengan seksama.

Sejenak kemudian tangis si nenek terdengar lagi. Kali ini lebih keras tersendat-sendat.

"Dia menangis lagi guru. Kalau tidak coba guru bujuk sana. Elus-elus kepalanya agar dia merasa disayang. Siapa tahu dia baru saja habis ditinggal mati suaminya. Kalau kalian berjodoh kurasa guru dan dia merupakan pasangan yang serasi." kata Gento sambil tersenyum.

"Serasi gigimu meletus." dengus si kakek cemberut. "Enak saja kau menyuruh dan menjodoh-jodohkan orang. Biar jelek begini mencari gadis perawan aku masih sanggup."

Gento Guyon tidak menanggapi melainkan menyengir. Sementara nenek itu sudah hentikan tangisnya. Mulutnya berucap. "Braga Swara, Tanah Kutukan bukan berarti apa-apa bagiku. Aku pasti datang ke sana untuk menuntut balas atas segala dosamu. Manusia keparat, laki-laki durjana. Kau tak akan lolos dari kematian!" Selesai berkata begitu tanpa menghiraukan kehadiran Gento dan gurunya si nenek bangkit kemudian berkelebat pergi. Gentong Ketawa tak kuasa lagi menahan tawa yang ditahannya sejak tadi.

"Apa yang kau tertawakan guru. Bukankah nenek itu ada menyebut Tanah Kutukan. Kurasa lebih baik kita mengikutinya. Mumpung bau keringatnya masih tercium sehingga kita tidak kehilangan jejak." ujar si pemuda. Si kakek hentikan tawanya. "Perempuan itu kurasa putus asa berat. Mungkin saja dia bingung, kau lihat tadi kepalanya jadi gundul begitu." kata si kakek.

"Aku jadi ingat tiga bocah botak yang kita temukan dulu ketika aku masih kecil. Mungkin mereka punya hubungan tertentu dengan nenek itu. Kurasa sebaiknya kita ikuti saja dia. Siapa tahu kita bisa sampai ke tempat yang ada dalam mimpimu!" ujar Gento. "Aku setuju. Mari kita pergi." kata Gentong Ketawa.

7

ENTO

UYON

Empat kubur yang berada di bawah pohon rindang itu nampaknya baru saja digali. Tiga dari kubur itu sama sekali tidak diberi batu nisan. Sedangkan yang terletak di sudut kanan menancap tegak sebuah nisan yang di atasnya bukan tertera nama orang yang dikuburkan melainkan nama benda.

Pemacul Iblis mengamat-amati keempat makam satu persatu, mulutnya menyeringai ketika melihat makam yang terletak di sudut kanannya.

"Di sini terkubur dengan damai Tiga Permata Langit'."

Begitu bunyi tulisan di batu nisan. Pemacul Iblis berdecak penuh rasa kagum. Dia jatuhkan diri, berlutut di samping makam sambil mengelus-elus nisan kepala makam tidak ada henti dia berucap. "Oh, dewa mana yang begitu berbaik hati padaku. Susah payah aku mencari Tiga Permata Langit. Tidak tahunya dengan mudah kutemukan di sini." Kata laki-laki berambut botak, beralis licin berjenggot dan berkumis licin tanpa rambut masing- masing di sebelah kiri ini sambil berjingkrak girang.

Namun beberapa saat kemudian keningnya berkerut tajam. Dia berpikir mungkinkah semudah itu untuk mendapatkan Tiga Permata Langit? Dia sendiri telah mencari tiga senjata maut itu di tempat pemiliknya, yaitu Kubur Tua para keluarga Pendekar Walet Putih. Seperti diketahui setelah seluruh makam digali Pemacul Iblis tidak mendapati benda yang dicarinya berada di salah satu makam tersebut. Jadi mungkinkah seseorang telah memindahkan benda itu? Siapa? Juru kunci makam?

Rasanya mustahil sekali. Pemacul Iblis meninggalkan Ki Rekso Monggo Jolodo dalam keadaan tubuh kaku tertotok. Tidak mudah membebaskan totokannya terkecuali orang itu memiliki tenaga dalam lebih tinggi dari tenaga dalam yang dimiliki oleh Pemacul Iblis.

"Mengapa harus ragu? Keraguan tidak pernah menyelesaikan semua masalah. Sebaiknya kugali tiga makam lainnya, baru setelah itu makam yang ada nisannya." pikir kakek berbadan kurus kering ini.

Pacul besar berwarna hitam kemudian diturunkan. Dengan cepat dia mulai menggali kubur pertama. Ternyata kubur ini dalamnya cuma selutut. Pemacul Iblis harus menelan keke- cewaannya karena tidak menemukan apa- apa di situ. Sambil mengerutu kesal karena merasa tertipu, si kakek berpindah ke makam yang satunya lagi. Dengan kecepatan luar biasa Pemacul Iblis mulai melanjutkan pekerjaannya menggali. Hasilnya tetap kosong. Begitulah yang terjadi di makam ketiga.

"Bangsat kurang ajar siapa yang berani menipuku?" maki Pemacul Iblis dengan muka merah padam. Beberapa saat lamanya si kakek memandang ke segenap penjuru arah, kenyataan yang dia hadapi membuat Pemacul Iblis rupanya jadi curiga. Namun dia tidak melihat ada tanda-tanda mencurigakan di tempat itu. Kini perhatiannya beralih pada makam satu-satunya yang belum digali.

"Di sini satu-satunya harapanku. Jika tidak kutemukan Tiga Permata Langit di sini entah ke mana lagi harus kucari." kata kakek tua itu seorang diri.

Dengan perasaan diliputi rasa penasaran Pemacul Iblis kembali mengayunkan pacul besarnya. Ketika pacul itu melesat menghantam tanah kubur, angin berkesiuran disertai suara mendesing tajam pertanda si kakek mengerahkan tenaga dalam yang dimilikinya.

Tanah berhamburan, sekejap makam pun tergali cukup dalam. Sampai akhirnya pacul si kakek membentur sesuatu. Craak! Benturan keras yang terjadi membuat hati Pemacul Iblis berdebar keras. Dengan hati-hati dia menggali sisa tanah dengan kedua tangannya hingga kemudian dia melihat sebuah kotak hitam berbentuk empat persegi. Kotak diangkatnya. Si kakek menyeringai.

"Akhirnya kudapatkan juga. Ha... ha... ha." Pemacul Iblis melompat keluar dari dalam lubang. Dia merasa yakin sekali isi kotak bukan lain adalah Tiga Permata Langit. Mungkin inilah yang membuatnya tertawa.

Dengan sangat berhati-hati, sambil duduk di bawah pohon Pemacul Iblis mulai membuka kotak itu. Mulut tersenyum, kumisnya yang cuma sebelah berjingkrak. "Dasar kalau sudah rejeki, terkadang tidak perlu mencari dia akan datang sendiri. Ho… ho... ho." kata si kakek. Lalu penutup kotak dibukanya. Ketika penutup kotak dibuka tercium bau busuk menyengat. Hidung si kakek mengendus-endus, bau busuk semakin menyengat. Meskipun mulai ragu si kakek membuka penutup kotak yang kedua.

Begitu terbuka seluruh kotak dicampakkannya. Perut Pemacul Iblis terasa mual.

"Kurang ajar keparat. Siapa yang berani mempermainkan aku dengan menaruh kotoran manusia ke dalam kotak? Huek... huek...!" Pemacul Iblis semburkan muntahan dari dalam perutnya. Dalam kesempatan tu mendadak sontak terdengar suara tawa cekikikan dari balik gundukan batu yang terdapat di belakang pohon. Pemacul Iblis yang sudah sangat marah karena merasa dipermainkan orang tekab mulutnya. Dia memandang ke arah datangnya suara. Tanpa bicara lagi sambil katupkan bibirnya dia menghantam ke arah gundukan batu. Sinar hijau berkiblat, hawa panas menebar. Di balik gundukan batu terdengar suara pekikan disertai dengan berkelebatnya satu sosok berbadan kecil pendek berpakaian kuning. Di saat sosok itu melesat di udara terdengar suara sempritan aneh. Pukulan yang dilepaskan si kakek menghantam pinggang gundukan batu. Batu besar hancur berkeping-keping. Di depan Pemacul Iblis kini berdiri satu sosok dengan tinggi sepinggang berhidung besar, bermulut kecil sedangkan wajahnya dipenuhi keriput seperti wajah seorang kakek tua.

"Bocah tua keparat. Kau rupanya yang punya kerja. Kurang ajar! Kubunuh kau!!" berkata begitu si kakek kurus yang merasa tertipu ini sambar pacul besarnya. Pacul diayunkan mengeluarkan suara menderu, cahaya hitam berkelebat menghantam ke bagian kepala si Bocah Tua alias Hidung Setan. Jika tidak menghindar secepat yang dapat dilakukan bocah berwajah kakek renta ini, pastilah kepalanya jadi terbelah. Tapi sambil tertawa cekikikan enak saja Bocah Tua menggeser tubuhnya ke samping. Pacul besar amblas ke dalam tanah tidak mengenai sasarannya.

Melihat   serangannya gagal, Pemacul Iblis menggerung marah. Sambil mencabut pacul dia hantamkan tangan kirinya ke arah si Bocah Tua. Serangan ini bukan  pukulan biasa. Karena siapapun yang menjadi sasaran tubuhnya akan hangus gosong dan tewas seketika. "Tua bangka gila. Kau memukulku dengan pukulan Petir Neraka?!" Si Bocah Tua keluarkan seruan kaget. Sadar betapa ganasnya pukulan yang dilepaskan si kakek, maka Si Bocah Tua gulingkan dirinya ke samping, lalu berjumpalitan menjauh selamatkan diri. Sinar  merah   bara  menderu, menghanguskan apa saja yang dilaluinya sampai kemudian mengeluarkan suara berdentum  begitu  menghantam  pohon besar di atas makam. Pohon hangus menyala  dan  mengeluarkan  suara

gemeretak mengerikan. "Tobaaaat...!"

"Heem, lekaslah kau bertobat sebelum aku memukulmu dengan pukulan Halilintar Iblis!" seru Pemacul Iblis. Kakek yang gampang naik darah dan pernah gila akibat kekasihnya diculik oleh Braga Swara ini angkat kedua tangannya yang sudah berubah merah kehitaman.

"Tobat jangan kau lakukan itu. Aku... aku bisa mampus! Aku minta maaf, sungguh aku mohon maaf." berkata begitu Si Bocah Tua rangkapkan kedua tangannya sambil membungkuk hormat. Melihat sikap yang ditunjukkan oleh Si Bocah Tua, kemarahan Pemacul Iblis jadi surut. Perlahan dia turunkan kedua tangannya. Dia lalu melangkah maju sambil membentak.

"Katakan mengapa kau mengerjai aku?"

"Aku... aku hanya bercanda. Maafkanlah." ujar Si Bocah Tua jadi salah tingkah.

"Jadi betul kau yang membuat makam-makaman?"

"Benar."

"Kau juga yang telah membuang hajat dalam kotak, kemudian menguburkan kotak itu?!" bentak Pemacul Iblis masih tak mampu memendam rasa kesalnya.

"Iya. aku.... Semua itu karena iseng. Kulihat setiap tempat yang kau lalui pasti kau gali. Semua kubur kau buat porak poranda. Jadi tiba-tiba timbul keisenganku untuk mengerjaimu." kata Si Bocah Tua. "Kurang ajar betul. Tidak tahukah kau bahwa sejak dulu aku punya keinginan besar untuk membalas dendam pada Braga Swara. Aku tak mau mati konyol sebelum dendam terbalaskan mengingat ilmu kesaktian yang dimiliki oleh Braga Swara kini semakin bertambah tinggi." tegas si kakek.

Si Bocah Tua gelengkan kepala. Dia tersenyum, tapi wajahnya unjukkan tampang sedih. "Kau baru kehilangan kekasih, itupun sempat membuat linglung selama bertahun-tahun. Sedangkan aku! Huk... huk... huk. Istriku malah dibawa kabur oleh Braga Iblis. Dasar nasib, namun aku masih dapat tertawa-tawa sebagaimana yang kau lihat. Hi... hi... hi!"

"Jadi kau tidak punya rasa dendam untuk membalas kepedihan hatimu?" tanya Pemacul Iblis.

"Walau badanku pendek, tapi dendamku pada Braga Swara setinggi gunung. Saat ini kurasa kalau pun kita bersatu tak mungkin dapat mengalahkan laki-laki durjana itu. Namun harus kau ingat, dengan Tiga Permata Langit ada di tangan kita, kurasa dia tidak akan luput dari maut!"

"Hah, jadi benda itu sekarang ada padamu?" desis Pemacul Iblis dengan mata mendelik saking kagetnya.

Si Bocah Tua anggukkan kepala. Dia kemudian menceritakan bagaimana Tiga Permata Langit itu dia dapatkan. Setelah itu diapun kembali tertawa.

"Kurang ajar." dengus Pemacul Iblis. "Kelebihanmu, walau badan kecil tapi dikaruniai hidung besar oleh Tuhan. Selain itu penciumanmu sangat tajam. Jika aku punya penciuman sepertimu, tentu aku tidak dapat kau tipu. Sekarang coba tunjukkan bagaimana rupa Tiga Permata Langit itu?" pinta Pemacul Iblis. Nada suaranya berubah pelan bersahabat.

"Benda itu sekarang ada dalam mulutku."

"Hah apa? Cepat keluarkan, aku mau melihatnya!" desak Pemacul Iblis sambil melangkah mundur.

"Tiga Permata Langit tidak boleh kau lihat sebelum kita sampai di Tanah Kutukan." jawab Si Bocah Tua sambil melangkah mundur.

"Aku hanya ingin melihat!" berkata begitu Pemacul Iblis melompat. Maksudnya hendak mencengkeram leher Si Bocah Tua.

Tapi Bocah Tua membentak. "Kau mencekikku? Bagaimana jika ketiga Permata Iblis sampai tertelan? Dia akan mendekam dalam perutku. Untuk mengeluarkannya membutuhkan waktu satu purnama. Itupun jika aku makan buah, jika aku makan ubi yang keluar cuma kentut melulu tanpa ampas. Bisa jadi setahun kemudian kita baru dapat membalas dendam. Saat itu mungkin kau sudah mati karena digerogoti penyakit dendam."

Mendengar ucapan Si Bocah Tua, Pemacul Iblis urungkan niatnya. Dia jadi ragu-ragu antara ingin memaksa bocah itu memperlihatkan Tiga Permata Langit atau urung. Karena tidak ingin terjadi sesuatu di luar perhitungan maka Pemacul Iblis akhirnya hentikan gerakannya.

"Baiklah. Jika begitu katamu aku tak berani memaksa. Sekarang kita tunggu apalagi?"

"Maksudmu?" Si Bocah tak mengerti.

"Kita harus pergi ke Tanah Kutukan untuk mengadakan perhitungan dengan Braga Swara, bagaimana pendapatmu?"

"Hi... hi... hi. Perhitungan memang sudah saatnya dilakukan. Tapi kita tidak bisa datang menyatroni begitu saja. Kita harus menyelidik lebih dulu. Karena menurut yang kudengar Tanah Kutukan sangat berbahaya. Tak sembarang orang bisa me|oloskan diri bila telah sampai di sana!" kata Si Bocah Tua.

"Kau benar. Saranmu nanti akan kupikirkan di tengah jalan." sahut Pemacul Iblis.

Tanpa bicara lagi kedua orang kemudian sama tinggalkan tempat itu.  

8

ENTO

UYON Mendekati tanah luas berpasir, di balik grombol kayu putih Gento Guyon dan Gentong Ketawa hentikan larinya. Saat itu panas terik, matahari tepat berada di atas kepala. Panas yang menyengat terasa membakar batok kepala, membuat si kakek gendut besar luar biasa mengipas-ngipas wajahnya dengan jemari tangan.

Dari balik kelebatan kayu itu dengan jelas Gento dapat melihat kilauan pasir yang memutih memancarkan cahaya warna-warni akibat sengatan matahari. Tapi ada sesuatu yang menarik perhatian pemuda ini. Dia melihat di tengah-tengah padang pasir terdapat sesuatu berwarna hitam yang cukup lebar dan berbentuk seperti altar pemujaan.

"Guru lihat. Mungkin di sinilah tempatnya yang guru lihat dalam mimpimu itu." berkata si pemuda tanpa mengalihkan perhatian dari lapangan pasir di depannya.

Si kakek gendut hentikan gerakan tangannya yang mengipas. Dia bangkit lalu berjalan mendekati muridnya. Sejenak lamanya dia memperhatikan dengan kening berkerut. Senyum kakek Gentong Ketawa mengembang.

"Tidak salah aku melihat, tempat inilah yang kulihat dalam mimpiku. Mungkin lapangan pasir ini yang dimaksud nenek botak sebagai Tanah Kutukan." seru si kakek sambil berjingkrak kegirangan.

"Kalau benar ke mana perginya nenek itu? Seharusnya dia sudah sampai lebih awal di tempat ini dan kita. kenyataannya kita tidak melihat ada siapapun di sini."

"Aku juga heran. Aku malah khawatir nenek itu membunuh diri di tempat yang kita lalui tadi?" ujar Gentong Ketawa.

"Ya, di sana memang ada jurang. Tepat di sisi kiri jalan di balik lamping batu. Kasihan sekali. Sudah botak sengsara begitu membunuh diri pula." celetuk Gento dengan mimik serius.

"Jika dia mati sesat sungguh sangat kusesalkan. Arwahnya pasti tidak diterima bumi dan langit, terkatung sengsara seumur-umur di atas angin!" gumam si kakek.

"Memang kau suka padanya, guru?" tanya si pemuda setengah menyindir.

"Murid geblek. Apalagi yang ada di balik batok kepalamu itu?!" dengus si kakek sengit. Si pemuda hendak tertawa, namun gurunya kini malah membekap mulutnya. Dia menempelkan telunjuk tangan kirinya ke bibir sendiri. "Ssst... jangan berisik. Kau lihat kakinya tidak menjejak tanah sama sekali. Aku jadi curiga bukan mustahil lapangan pasir ini tidak punya kekuatan untuk menahan berat badan kita." ujar si kakek.

Si pemuda memandang ke depan lebih teliti lagi. Dia tidak memperhatikan bagaimana kaki sosok berpakaian merah itu seakan mengambang di atas tanah. Perhatiannya justru tertuju pada sesuatu yang berada dalam panggulan orang itu.

"Guru, melihat gerak geriknya yang seperti sudah terbiasa berada di tempat ini kurasa dialah orangnya yang menjadi musuh nenek botak. Sekarang coba perhatikan! Bukankah dia seperti memanggul seorang perempuan." ujar Gento.

Gentong Ketawa memperhatikan sejenak lamanya, kemudian anggukkan kepala. "Kau tidak salah melihat, dia memang membawa seorang perempuan. Tapi siapa perempuan itu? Tubuhnya kaku seperti kayu, kurasa dia dalam keadaan tertotok."

"Tanah Kutukan. Firasatku menga- takan perempuan itu akan dijadikan korban persembahan." kata si pemuda.

Gentong Ketawa diam tidak menanggapi. Kini dia lebih banyak mencurahkan perhatiannya ke tengah lapangan pasir di mana sosok berpa- kaian merah telah sampai di altar. Dari kejauhan meskipun samar si kakek melihat orang berpakaian dan berjubah merah meletakkan perempuan yang dipanggulnya tadi. Sekejab orang itu nampak mengucapkan sesuatu, namun tak terdengar jelas di telinga Gentong Ketawa karena suara hembusan angin menderu-deru melenyapkan suara orang itu.

Tak berselang lama sosok berpakaian merah kembali meninggalkan altar juga perempuan yang dibawanya. Dia berlari cepat ke arah mana tadi pertama dia datang. Dari tempat persembunyiannya, baik si kakek maupun muridnya sama dapat melihat bahwa orang berjubah dan berpakaian merah itu bukan lain adalah seorang laki- laki berwajah angker, wajahnya nyaris tak terlihat karena tertutup cambang bawuk lebat. Sedangkan rambutnya yang panjang awut-awutan berwarna merah diikat sehelai kain berwarna merah.

"Apa yang hendak dilakukannya?" tanya Gento berbisik.

"Aku tak tahu. Bisa jadi dia hendak menjemputku!" celetuk si kakek. Gento Guyon cibirkan mulut. "Kau kira dia suka manusia sejenis. Kau sudah terlalu tua. Semuanya termasuk perabotan sudah bulukan." sahut si pemuda. Gentong Ketawa  hanya menyeringai. Sementara laki-laki berpakaian merah sudah mendekati tepi lapangan agak jauh di sebelah kanan mereka. Kemudian orang ini lenyap di balik kelebatan semak belukar.

"Bagaimana kalau kita mengikutinya?" usul Gento Guyon sambil memperhatikan ke arah lenyapnya laki- laki tadi.

"Jangan!" sergah si kakek. "Jika tempat tinggalnya di tengah lapangan pasir ini, tentu dia akan kembali. Sekarang sebaiknya kita tolong saja gadis itu." kata si kakek. Walau pun merasa agak kecewa Gento akhirnya hanya mengikuti apa yang dikatakan Gentong Ketawa. Mereka kemudian keluar dari grombol kayu putih. Sebelum sampai di tepi lapangan pasir si pemuda memungut potongan kayu.

"Bagaimana apakah kita langsung menuju ke tengah lapangan itu. Segalanya harus dilakukan dengan cepat jika tidak ingin ketahuan orang tadi." kata si kakek begitu mereka berada di tepi lapangan pasir.

"Memikirkan keselamatan orang memang suatu perbuatan baik. Namun kita juga harus memikirkan keselamatan diri sendiri." ujar si pemuda sambil tersenyum.

"Eeh, apa maksudmu?" tanya si kakek gendut tak mengerti.

"Tadi kita melihat orang itu berlari seperti mengambang di atas pasir. Berarti di balik lapangan pasir ini pasti ada apa-apanya." Tanpa bicara lagi Gento Guyon lemparkan kayu yang dibawanya ke atas pasir. Begitu potongan kayu menyentuh permukaan pasir. Di tengah lapangan terjadi pergolakan hebat, sedangkan potongan kayu itu sendiri secara perlahan lenyap, masuk ke dalam seperti tersedot oleh satu kekuatan yang tak terlihat. Si kakek delikkan matanya, mulut ternganga seakan tak percaya.

"Itu yang akan terjadi pada kita, seandainya tadi guru berlaku ceroboh." kata si pemuda.

"Pasir ini hidup?" desis si kakek.

"Bisa jadi begitu, yang jelas pasir di lapangan ini tak bisa menahan berat badan kita, atau bisa jadi juga di dalam pasir ini hidup mahluk aneh pemakan bangkai."

Apa yang dikatakan muridnya membuat si kakek diliputi ketegangan. Wajah pucat, sedangkan tengkuknya menjadi dingin. Tak terbayangkan bagaimana seandainya tadi dia langsung menuju ke tengah lapangan itu.

"Hmm, masih bagus kau berlaku cerdik. Jika tidak nasibku entah bagaimana." kata si kakek sambil memandang muridnya dengan tatapan penuh rasa terima kasih.

"Paling tidak nama depanmu dapat tambahan almarhum guru. Kemudian aku hidup seorang diri. Betapa hampa rasanya." sahut Gento sambil tertawa.

"Kita harus melakukan sesuatu agar bisa sampai ke sana."

"Caranya bagaimana guru?" tanya si pemuda.

"Caranya sedang kupikirkan." kata si kakek.

"Kalau begitu berpikirnya di tempat persembunyian kita tadi, biar tidak dilihat orang."

"Eeh iya, kau betul." menyahuti si kakek sambil mengetuk keningnya berulang kali. Melihat hal ini sambil melangkah ke tempat semula Gento Guyon berkata dalam hati.

"Dasar orang tua aneh. Mau berpikir saja kepala diketuk-ketuk segala."

9

GGUYON

Ketika laki-laki berpakaian dan berjubah merah sampai di tepi lapangan pasir. Dia tidak langsung pergi, melainkan berdiri tegak di situ sementara matanya berputar liar mencari ke setiap sudut. Mulut laki- laki itu membuka. Kata makian terlontar. "Kurang ajar. Aku tadi meletakannya di sini. Mustahil gadis itu dapat menyelamatkan diri. Siapa yang berani berbuat iseng di sarang iblis?"

Ucapan laki-laki ini seakan berlalu begitu saja. Dia kepalkan tinjunya. Dia ingat betul, selama ini tak ada yang mengusik bila dia meletakkan calon korbannya di tepi lapangan. Karena baginya tidak mungkin membawa dua gadis culikan sekaligus ke altar persembahan mengingat tanah di lapangan itu mudah goyah. Jika dia membawa beban terlalu berat, tentu tanah jadi amblas dan dia pasti terperosok tenggelam ke dalam pasir.

Tapi kini salah satu gadis yang ditinggalkannya di tepi lapangan mendadak lenyap. Mana mungkin hal itu bisa terjadi jika tak orang yang melakukannya. Ingat dirinya dipermain- kan orang, maka laki-laki berpakaian merah yang bukan lain adalah Braga Swara menjadi sangat marah.

"Siapa yang berada di sekitar Tanah Kutukan ini harap tunjukkan diri!" Braga Swara keluarkan teriakan lantang.

Teriakan laki-laki itu lenyap. Sunyi sejenak, tapi beberapa saat kemudian terdengar suara gelak tawa yang disertai dengan berkelebatnya dua bayangan putih ke arah laki-laki itu.

Hanya sekejap saja di hadapan Braga Swara berdiri tegak dua orang pemuda tampan berpakaian putih berkepala botak. Kemudian di belakang kedua pemuda itu datang menghampiri seorang gadis cantik berpakaian putih berambut panjang. Braga Swara tidak mengenali siapa adanya kedua pemuda bersenjata golok besar dan toya ini. Namun dia tentu masih ingat siapa gadis bersenjata roda kembar yang berdiri di belakang dua pemuda yang tak dikenalnya. Dia bukan lain Ararini alias Taktu, gadis yang meloloskan diri dari altar persembahan dengan menggunakan ilmunya yang aneh.

"Ha... ha... ha! Beberapa waktu yang lalu kau lolos dari tanganku. Kini datang lagi bersama dua pemuda ini. Apa sebenarnya yang hendak kau lakukan di tempat ini?" tanya Braga Swara.

Taktu melangkah maju, melewati dua saudaranya yang berdiri tegak di hadapannya. "Kami menginginkan kepalamu!" dengus Taktu dingin.

Sepasang mata Braga Swara membulat besar. Apa yang dikatakan oleh gadis di depannya membuat dia tak mampu menahan tawanya. "Kau hendak memenggal kepalaku? Hal yang sama juga diucapkan oleh orang-orang yang mendahuluimu. Sayang sebelum mereka sempat melampiaskan dendam kesumat, nyawa mereka keburu terbang ke neraka." sahut Braga Swara. "Kau gadis yang cantik, sebenarnya aku merasa tertarik dengamu. Suaramu lantang, kurasa kau sangat hebat dalam hal bercinta. Namun sebelum segalanya berubah menjadi menyakitkan ada dua pertanyaan yang ingin kuajukan!" kata Braga Swara. Sepasang matanya menjelajahi sekujur tubuh si gadis seakan dia hendak menelan gadis itu bulat-bulat. Memang harus diakuinya sejak pertama kali dia menculik Taktu alias Ararini dari penginapan. Braga Swara sudah merasa tertarik pada kecantikan si gadis. Apalagi Taktu memiliki pinggul bagus serta bentuk dada yang indah. Ditambah lagi dengan kulitnya yang mulus. Keadaan fisik Taktu sangat sesuai dengan seleranya.

Sebaliknya melihat pandangan mesum Braga Swara, Taktu menjadi naik darah. Dengan menahan kegeraman di dada Taktu membentak. "Apa syaratmu iblis keparat? Cepat katakan!"

"Pertama, apakah kalian orangnya yang telah membebaskan gadis yang kutinggalkan di sini?"

"Betul. Gadis itu bahkan mungkin sudah berkumpul dengan keluarganya." Yang menjawab adalah Takga. Si botak dengan pitak di belakang kepala yang dikenal sangat jujur, polos, bersahaja.

"Bagus. Pertanyaanku kedua, meli- hat ilmu Tapak Awan yang dipergunakan gadis itu meloloskan diri dari altar persembahan. Aku ingin tahu apa hubungan kalian dengan Peri Tanpa Bayangan?"

Taktu, Takwa dan Takga serentak keluarkan tawa terbahak-bahak. Sekarang mereka benar-benar merasa yakin telah datang pada orang yang tepat. Takwa melompat maju. Dengan wajah merah padam mengingat kekejaman yang dilakukan Braga Swara terhadap gurunya dia berkata.

"Peri Tanpa Bayangan kuingat beberapa tahun yang lalu dikelabui oleh seorang laki-laki durjana. Setelah dirinya hamil, kemudian laki- laki bangsat itu bermaksud membunuhnya secara keji. Mungkin kini dia masih hidup, bisa jadi juga sudah mati jadi arwah gentayangan yang ingin menuntut balas. Sedangkan kami adalah hantu gundul yang diutus untuk mencopoti perabotanmu yang sudah banyak memakan korban itu. Ha... ha... ha!"

Di samping rasa kaget mendengar penjelasan Takwa, Braga Swara juga menjadi sangat geram mendengar ucapan pemuda itu. Hingga tanpa banyak bicara lagi sepuluh jari tangannya ke depan kemudian disibakkan ke kiri dengan gerakan merobek. Angin deras berkesiuran, sinar merah membersit melabrak kedua pemuda dan gadis itu.

Taktu, Takwa dan Takga yang sudah bersikap waspada langsung berlompatan ke belakang selamatkan diri. Begitu sinar maut menghantam tempat kosong disertai ledakan tiga kali berturut- turut. Maka Taktu memberi aba-aba untuk melepaskan pukulan balasan. Tiga pasang tangan didorong ke depan. Enam larik sinar melesat, berkelebat dengan kecepatan laksana kiiat menghantam bagian kepala badan dan kaki Braga Swara. Serangan yang dilakukan secara bersamaan ini jelas sulit dihindari oleh lawannya. Karena paling tidak alah satu dari pukulan ini pasti mengenai sasarannya juga. Kenyataan ini disadari benar oleh lawannya. Namun Braga Swara adalah seorang tokoh dunia hitam yang sudah kenyang pengalaman di samping licik pula. Sehingga tanpa ayal lagi sambil mendorongkan kedua tangan memapaki enam serangan sekaligus dia melompat ke udara.

Tas! Bruum!

Enam ledakan terjadi secara bersamaan. Ketiga lawan nampak terdorong mundur. Saat itu Braga Swara yang masih mengambang di udara sambil berjumpalitan, begitu kakinya menghadap bawah tanpa menjejak tanah lebih dulu dia terus melesat. Satu tangan menyambar ganas ke wajah Taktu, sedangkan tangannya yang lain lakukan gerakan menjebol dada Takga.

"Hem, benar-benar iblis!" gumam Takwa sambil gerakkan toyanya menyabet tangan Braga Swara dari atas ke bawah. "Bagus telah kau   tolongi   kami dari cengkeraman tangan menjijikkan

itu." celetuk Takga.

Sambil huyungkan tubuhnya ke kiri dia cabut golok besarnya yang terbuat dari kayu batu. Sementara Taktu kembali melompat mundur. Sedangkan Braga Swara sambil memaki terpaksa batalkan serangan, tarik kedua tangannya dari pentungan Toya. Toya menghantam tanah hingga menimbulkan letupan dan lubang besar. Dengan tangan kiri bertumpu pada toyanya Takwa jatuhkan diri, kaki kanan menyambar kaki lawannya.

Dess!

Hantaman keras yang mendarat di bagian kaki belakang Braga Swara membuat laki-laki itu jatuh menelungkup. Selagi laki-laki itu berusaha bangkit sambil menggerung. Kesempatan ini dipergunakan oleh Takga. Dia melompat, lalu babatkan golok besarnya ke bagian punggung Braga Swara.

Lawan hanya sempat merasakan ada hawa dingin menyambar punggungnya. Untuk menghindar tentu akibatnya bisa fatal, karena mata golok kayu batu yang berat bukan main itu sudah sangat dekat dengan pinggangnya. Karena itu Braga Swara dengan gerakan kilat balikkan badan. Setelah itu dia hantamkan tangan kanannya ke perut Takga.

"Adik awas!" Taktu berteriak kaget melihat serangan balik lawan yang tidak dapat diduga ini. Dia sendiri langsung luncurkan salah satu roda bergerigi membabat tangan Braga Swara. Sedangkan Takwa dengan ujung toya mendorong dada adik seperguruannya guna menolong Takga.

Takga alias botak ketiga memang tak mungkin dapat menghindari pukulan lawannya, mengingat tubuhnya saat itu meluncur mengikuti gerakan golok. Dorongan toya yang dilakukan Takwa setidaknya menyelamatkan bagian perutnya dari pukulan maut lawan. Tapi Braga Swara saat menyadari serangannya luput tidak membiarkan lawannya lolos begitu saja. Dengan tangan kiri dia mencengkeram kaki Takga, sedangkan tangan kanan dikibaskan ke arah roda terbang yang dilayangkan Taktu.

Breet!

Ujung kaki celana Takga berderak robek. Bukan hanya itu saja bagian kakinya terluka. Empat bekas cakaran kuku menimbulkan luka cukup dalam. Namun Takga masih sanggup selamatkan diri.

Sementara hantaman tangan kanan Braga Swara ke arah roda terbang menimbulkan pusaran angin keras yang langsung menghantam senjata milik Taktu. Sesaat di udara roda berhenti berputar, selanjutnya berbalik ke arah pemiliknya dengan kecepatan berlipat ganda. Gadis ini keluarkan seruan kaget. Dia tidak punya pilihan, sedangkan Takwa yang melihat serangan balik ini tak mungkin menolong mengingat jarak di antara mereka terpaut jauh. Di sebelah sana Taktu jatuhkan diri sama rata dengan tanah. Roda terbang bergerigi setajam pedang yang seharusnya membabat pinggang si gadis kini mendesing di atas kepala Taktu. Pada kesempatan itu si gadis gerakkan roga terbang yang satunya lagi. Sehingga terdengar suara berdentringan ketika kedua roga terbang itu saling berbenturan satu sama lain. Dengan muka pucat bersimbah keringat Taktu melompat bangkit. Ketika dia melihat ke arah Takga, dilihatnya Takwa sedang berupaya menolong adik mereka.

Braga Swara yang berdiri tegak di antara ketiga saudara kembar itu keluarkan tawa tergelak-gelak.

"Adikmu tak akan selamat dalam waktu satu malam di muka. Dia sudah terkena racun Upas Bumi yang terdapat di ujung kukuku! Ha... ha ... ha." kata Braga Swara.

Taktu menjadi khawatir dan juga geram mendengar ucapan lawannya. Namun dia tak mungkin datang membantu, mengingat lawannya bisa menghabisi mereka pada saat yang tak terduga.

Sementara itu Takwa sudah menotok nadi besar di kaki Takga untuk mencegah agar racun Upas Bumi tidak cepat menjalar ke sekujur tubuh adiknya. Dia juga mengambil obat sebesar telur puyuh sambil berkata.

"Telan. Racun itu tidak akan berarti apa-apa jika kau menelan pilat (pil bulat) sebesar ini!"

Sambil menyeringai menahan sakit Takga buka mulutnya. Tak urung matanya mendelik ketika berusaha menelan pil yang mengandung hawa panas laksana membakar tenggorokan dan perutnya itu. Setelah mendelik-delik   seperti ayam  yang tertelan karet, Takga mengurut-urut tenggorokannya. Kemudian dia mendamprat. "Sial  betul.  Aku seperti menelan bara api. Apa tidak ada lagi pil yang lebih besar dari yang kau berikan tadi." sindir Taktu

sambil bersungut-sungut.

"Ada. Besarnya kurang lebih seperti kelapa!" jawab Takwa.

"Kurang ajar. Dalam keadaan seperti ini masih sempatnya kakak Takwa bercanda."

"Dua botak memuakkan. Aku inginkan saudara tua seperguruan kalian. Jika beberapa hari kemarin aku mau menjadikannya sebagai tumbal, maka kini pikiranku berubah. Hari ini aku ingin bersenang-senang dengannya. Tapi sebelum itu terjadi. Aku harus membunuh kalian berdua. Nantinya mayat kalian akan kuberikan pada sahabat iblis yang tinggal di dalam lapangan pasir itu!" menukas Braga Swara tiba- tiba

"Iblis tengik. Sebelum kau sentuh kakak Taktu, kupotong kepalamu. Sebelum kau bunuh kami. Kucincang dulu tubuhmu!" hardik Takga yang kini sudah berdiri tegak dengan golok dilintangkan di depan dada. Selanjutnya dengan cepat dia berkata ditujukan pada dua saudaranya yang lain. "Saatnya menggunakan jurus Maut Dari Alam Roh!" kata Takga memberi aba-aba.

"Maut Dari Alam Roh!" Takwa menyahuti.

"Telah kurasakan kekuatan itu datang!" seru Taktu. Sekonyong-konyong Taktu putar tubuhnya. Dengan gerakan yang aneh laksana kilat Taktu melesat ke udara. Di lain kejap, dia telah berdiri tegak dengan kaki berpijak satu di bahu Takwa dan satunya lagi di bagian bahu Taktu. Tangan tiga saudara seperguruan itu berputar sebat, menimbulkan angin bergulung-gulung. Braga Swara nampak kaget sekali melihat keanehan yang terjadi. Lebih terkejut lagi ketika melihat masing- masing senjata di tangan ketiga lawannya melesat menyerang dirinya.

10

ENTO

UYON

Toya yang melayang dengan sendirinya milik Takwa berputar mengemplang kepala dan punggung Braga Swara, sedangkan golok hitam menderu menghantam leher, sedangkan roda-roda terbang milik Taktu menjebol dada sedangkan satunya lagi mengincar bagian di bawah perut.

Tiga serangan dahsyat yang dilakukan melalui pengendalian tenaga sakti ini memang bukan serangan sembarangan. Seorang tokoh silat tingkat tinggi sekalipun belum tentu dapat menyelamatkan diri dari serangan ganas mengerikan ini,

Begitu juga yang terjadi dengan Braga Swara. Dalam kagetnya dia cepat berkelit, melompat mundur sambil menggoyangkan kepalanya menghindari kemplangan toya dan sabetan golok. Sementara tangan kanan kiri dipukulkan ke arah dua roda terbang. Dua sinar maut berwarna biru membersit menghantam roda terbang milik Taktu. Melihat hal ini Taktu yang berdiri di atas bahu kedua adik seperguruannya gerakkan tangan yang dibentang lurus ke arah senjata ke atas. Sehingga roda terbang melesat ke atas. Kedua sinar biru menghantam tempat kosong, sedangkan roda-roda terbang Taktu kini menukik ke bawah menghantam bahu dan dada Braga Swara.

"Jahanam keparat!" Laki-laki itu lontarkan makian keras. Dia jatuhkan diri selamatkan dadanya, tapi dengan cepat sekali roda yang satunya lagi menghantam bahunya.

Bress!

Terdengar suara pakaian robek disertai daging yang tersayat. Braga Swara meraung kesakitan. Darah menyembur, namun sambil bergulingan laki-laki itu masih sempat menghantam ketiga lawan yang mengendalikan senjata secara aneh dengan pukulan 'Pasir Merah'.

Begitu tangan dikibaskan, maka di udara bertaburan ribuan cahaya merah laksana kunang-kunang yang ditiup topan. Hawa panas menghampar. Taktu, Takwa dan Takga yang tengah memusatkan hati dan pikiran dalam upaya mereka mengerakkan senjata mereka dari jarak yang jauh terkesiap kaget, namun terlambat untuk menyelamat diri. Tak ayal lagi ketiga saudara seperguruan ini berpelantingan terkena hantaman pukulan maut itu.

Jerit kesakitan keluar dari mulut mereka. Ketiga saudara seperguruan itu sama merasakan tubuh mereka laksana ditancapi jarum yang membara. Dari sekujur tubuh mereka ada darah yang menetes. Tapi ternyata murid-murid Peri Tanpa Bayangan ini ternyata mempunyai daya tahan yang hebat. Terbukti walau dalam keadaan terluka mereka merayap bangkit.

Braga Swara sendiri begitu senjata lawan berkerontangan jatuh dan setelah melihat lawan-lawannya dalam keadaan terluka. Meskipun dirinya saat itu juga dalam keadaan terluka bermaksud menghabisi lawan.

"Kecelakaan besar bagi kalian. Terimalah ajalmu!" Braga Swara mengakhiri ucapannya sambil mengadu tangannya satu sama lain. Detik itu juga dari telapak tangan yang saling berbenturan itu mencuat lidah api yang menjulang tinggi bagaikan ular naga siap memangsa lawannya. Setelah sampai pada ketinggian tertentu, lidah api itu kemudian meliuk. Bagian ujungnya melebar seperti selendang. Setelah itu menukik ke bawah bergerak cepat menggulung ketiga lawannya.

"Celaka! Cari selamat masing- masing!" teriak Takga. Dan murid Peri Tanpa Bayangan itu pun akhirnya menghambur, berlarian mencari perlindungan di balik pohon. Namun lidah api yang telah melebar ini secara aneh membelah menjadi tiga bagian. Masing-masing bagian mengejar ke arah Taktu, Takwa dan Takga.

"Tobat! Tobat! Matilah aku." seru Takwa, begitu melihat lidah api yang mengejarnya kini membakar pohon yang dijadikan tempat perlindungan. Tak sampai di situ saja. Dengan terbakarnya pohon, secara aneh dari seluruh permukaan tanah bermunculan lidah api yang lain. Para pemuda itu tentu saja kalang kabut. Bagaimana pun mereka menjadi panik mendapat serangan yang datang dari atas dan dari tanah yang dipijaknya ini.

Selagi Braga Swara terbahak-bahak dengan serangan mautnya itu. Selagi Taktu, Takwa dan Takga yang mulai terbakar pakaiannya ini kalang kabut memadamkan api yang membakar. Maka pada saat itu pula terdengar satu seruan keras. "Berani mempermainkan murid-muridku. Maka ajalmu semakin menjadi sulit menyakitkan!" Seiring dengan bentakan itu pula satu sosok berpakaian putih melayang di udara. Orang yang datang itu hantamkan tangannya ke delapan arah. Secara aneh hawa dingin laksana es menderu memadamkan lidah api dan juga sumber api yang bermunculan dari dalam permukaan tanah. Melihat lidah api dapat dipadamkan oleh orang yang baru saja datang menyelamatkan lawan- lawannya, kagetlah Braga Swara dibuatnya. Dia lebih terkejut sekali begitu melihat siapa yang munculkan diri di tempat itu.

"Sari Lukita??" desisnya heran.

Dengan sikap acuh namun menyimpan dendam perempuan berkepala botak berpakaian serba putih itu memperha- tikan ketiga muridnya. Ternyata mereka menderita luka bakar di bagian punggung dan juga kaki serta tangan. Melihat hal ini semakin bertambah marahlan Peri Tanpa Bayangan.

"Dengan ilmu Segoro Geni itu kau hendak menghabisi mereka? Bangsat durjana. Kejahatanmu selangit tembus, jangankan manusia setan sekalipun merinding melihat perbuatanmu!" hardik Sari Lukita alias Peri Tanpa Bayangan sangat gusar sekali. Terlintas dalam pikirannya akan perbuatan yang dilakukan Braga Swara di masa lalu. Bujuk rayunya yang memabukkan. Serta kekejiannya saat hendak membunuh Sari Lukita di saat perempuan itu mengatakan dirinya hamil. Semua ini membuat perempuan setengah baya tersebut jadi sangat marah.

"Kukira ajalmu sudah tidak akan lama lagi. Aku pasti akan membunuhmu. Akan kucincang tubuhmu sampai lumat!" teriak Peri Tanpa Bayangan kalap.

Tak jauh di belakang perempuan itu, murid-muridnya yang menderita luka bakar meskipun dalam keadaan terluka nampaknya siap untuk membantu gurunya.

"Sari Lukita. Kau dengar, saat ini aku sedang terluka. Jika kau merasa punya kepentingan sebaiknya kau datang di lapangan pasir Tanah Kutukan. Maaf, aku harus pergi sekarang. Ha-ha... ha!" berkata begitu Braga Swara langsung putar tubuh dan berlari meninggalkan perempuan itu.

"Iblis durjana hendak lari ke mana kau!" seru Peri Tanpa Bayangan. Tidak memberi kesempatan lagi dia langsung menghantam dengan tangan kanan. Sinar putih menderu, hawa dingin menghampar. Namun Braga Swara tanpa menoleh lagi sambil terus berlari kibaskan tangannya pula ke belakang.

Glaaar!

Dentuman keras menggelegar, Sari Lukita terjajar. Debu dan pasir bertaburan memenuhi udara hingga membuat pemandangan perempuan itu jadi terhalang. Ketika debu yang menutupi udara sirna, maka Braga Swara sudah tak berada lagi di tempat itu.

"Ke mana manusia durjana itu melarikan diri!" tanya si perempuan mencoba menindih amarahnya.

"Kami melihat dia menuju ke lapangan pasir itu guru!" jawab Takwa yang saat itu terduduk lesu sambil memapah Taktu. Walau hati wanita ini sangat penasaran melihat musuh besarnya melarikan diri, namun mendengar rintihan murid-muridnya Peri Tanpa Bayangan jadi tidak tega meninggalkan mereka. Dia pun lalu menghampiri mereka. Kejut di hatinya bukan olah-olah ketika melihat kenyataan sesungguhnya. Takwa dan Takga menderita luka bakar yang sangat parah, walaupun memang bagian wajah mereka tidak cidera sedikitpun.

Peri Tanpa Bayangan berlutut di depan murid-muridnya. Dia mengeluarkan serbuk obat-obatan dari balik pakaiannya. "Taburkan serbuk ini ke bagian luka kalian. Dalam waktu yang tidak lama kukira luka itu pasti sudah mengering." kata Sari Lukita. Takwa dan Takga masing-masing satu bungkus serbuk. Mereka saling bergantian menaburkah ke bagian luka satu sama lain. Sementara orang tua itu sendiri menghampiri Taktu.

"Apa yang terjadi denganmu?" tanya Sari Lukita. Dia memperhatikan wajah muridnya. Ternyata wajah gadis itu tampak membiru. "Kau... kau terkena pukulan Tangan Pasir Merah. Bagaimana hal itu bisa terjadi?"

"Kami mengerahkan jurus Maut Dari Alam Roh ketika Braga Swara melepaskan pukulan Tangan Pasir Merah. Waktu itu kami sebenarnya sudah berhasil melukainya. Tapi kiranya kami kurang beruntung." kata Taktu. Dia juga kemudian menceritakan segala sesuatu yang hampir terjadi pada dirinya beberapa hari sebelum itu.

Mendengar penjelasan muridnya geraham si nenek bergemeletukan, pelipis bergerak-gerak. Sedangkan kedua tangan dikepalkan. Akan tetapi kepada muridnya dengan suara lembut dia berkata. "Aku menyesal telah melibatkan kalian semua. Tapi aku berjanji jika urusan gila ini telah selesai kalian boleh pergi ke mana saja kalian sukai. Yang terpenting di manapun kalian berada jangan melakukan sesuatu yang membuat aku marah!"

"Tapi rasanya aku suka tinggal bersama guru di Goa Cadas Angin." kata si gadis.

"Kalau aku lebih suka mengembara." menimpali Takwa.

"Aku ikut denganmu kakak Takwa." ujar Takga pula.

"Sudahlah, kau boleh ikut dengan siapa saja. Yang penting sembuhkan lukamu dulu. Setelah itu kita sama- sama pergi ke tengah lapangan pasir bersama-sama." sergah Peri Tanpa Bayangan. Selanjutnya si nenek berpaling pada Taktu. "Kau menghadap ke arah sana, aku akan menyembuhkan luka dalammu melalui pengerahan tenaga dalam. Mungkin tengah malam nanti kita baru bisa bergerak ke tengah lapangan pasir!" ujar perempuan itu. Taktu membalikkan badan. Peri Tanpa Bayangan segera salurkan tenaga dalamnya ke punggung sang murid. Beberapa saat kemudian dari sekujur tubuh gadis itu tampak mengeluarkan asap tebal berbau kulit terbakar. Taktu mengerang, mengerang lagi sampai akhirnya tak sadarkan diri.

11

ENTO

UYON

Di sebelah utara lapangan pasir dua sosok tubuh mendekam di balik kerimbunan semak belukar. Saat itu matahari baru saja tenggelam di upuk barat. Kegelapan menyelimuti alam sekitarnya. Di balik semak belukar di mana dua sosok itu berada suasana tempat ini terasa lebih gelap karena terlindung pohon-pohon berdaun lebat.

"Kau yakin di sini bangsatnya Braga Swara bersembunyi?" tanya sosok pendek setinggi pinggang orang dewasa yang mendekam di sebelah kakek kurus kering yang bahunya digelantungi pacul besar.

"Hal itu tak kuragukan. Sudah lebih tiga kali aku menyelidik. Hasilnya tidak perlu dirisaukan. Malam ini Braga Swara harus melunasi semua hutang berikut bunganya terhadapku!" kata si kakek kurus berkepala botak, beralis botak, berkumis dan berjanggut botak masing-masing di sebelah kiri.

"Menurutmu, tanah pasir ini tidak bisa kita pijak. Aku sendiri tak mau terkubur hidup-hidup. Lalu bagaimana kita bisa sampai ke tengah lapangan itu?" tanya sosok pendek bertingkah laku seperti bocah, namun memiliki wajah seperti seorang kakek renta ragu.

"Aku sudah memikirkannya. Dengan ilmu meringankan tubuh aku akan mempergunakan pacul ini untuk meluncur melewati lapangan pasir ini. Sedangkan kau bisa menggunakan papan kayu." berkata begitu si kakek kurus berwajah angker menarik papan kayu dari balik semak, membersihkan kotoran yang terdapat di papan kayu kemudian menyerahkannya pada sosok pendek berpakaian hitam yang tiada lain adalah Si Bocah Tua.

"Bagaimana cara menggunakannya?" tanya si bocah sambil mengamat-amati kayu papan di tangannya.

Si kakek yang bukan lain adalah Pemacul Iblis jadi kesal sekali. "Bocah tua menyebalkan. Kecil tidak mau mampus, sudah besar hanya bikin pusing orang lain." dengus Pemacul Iblis sinis. "Tentu kau bisa mempergunakan kedua kakimu. Papan ini kau pijak, ilmu meringankan tubuh kau kerahkan sedangkan sebelah kakimu mendayung."

Si pendek berhidung besar bermulut mungil seperti bocah tersenyum.

"Ternyata otakmu cukup cerdik juga. Sekarang sebaiknya perjalanan menyenangkan ini mulai kita lakukan." kata Si Bocah Tua.

"Perjalanan menyenangkan?! Mungkin kau betul, salah sedikit bukan hanya badanmu, tapi juga kurasa nyawamu ikut amblas! Ho... ho... ho." sambil berkata Pemacul Iblis berdiri. Mereka kemudian berjalan mendekati lapangan pasir. Setelah sampai di pinggir lapangan pasir Pemacul Iblis turunkan pacul besarnya. Dia berpegangan pada gagang pacul, salah satu kaki diletakkan dia tas pacul sedangkan kakinya yang lain bebas untuk digerakkan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Si Bocah Tua.

"Perjalanan dimulai...!" seru si kakek kurus.

"Aku mengikut di belakang. Eeh... tapi sebelum kasib aku ingin tahu kita berhentinya di mana?" tanya Si Bocah Tua.

"Di neraka. Tentu saja di atas altar itu tolol?!" dengus Pemacul Iblis. Bersamaan dengan ucapannya itu si kakek melesat ke tengah lapangan pasir dengan kecepatan laksana kilat. Sesekali kaki mereka mendayung, setiap kaki menyentuh permukaan pasir maka di bawah permukaan tanah pasir itu terjadi gejolak tidak ubahnya seperti gelombang laut. Gejolak yang terjadi semakin nyata ketika Pemacul Iblis dan Si Bocah Tua hampir mendekati altar di mana ada satu sosok tubuh tergeletak diam di sana.

"Kurang ajar. Apakah kau tidak merasakan ada sesuatu bergerak mengikuti kita, sobat?" tanya Si Bocah Tua yang mulai merasakan papan kayunya yang dipergunakan untuk berpijak mulai oleng.

"Yang aku tahu kau mengikutiku. Jika kau merasa ada sesuatu yang mengikutimu mungkin saja setan." sahut Pemacul Iblis tanpa menoleh ke belakang.

Si Bocah Tua baru saja hendak membuka mulutnya kembali, ketika dengan tiba-tiba saja dia merasakan adanya satu gerakan hebat di bawah papan kayu yang dipergunakan untuk mengarungi lapangan pasir tersebut. Belum lagi hilang kejut di hati Si Bocah Tua mendadak dia merasakan papannya seperti dihantam satu kepala dari bawah. Si Bocah Tua terpelanting, jungkir balik di udara sambil menjerit. "Pemacul Iblis. Si keparat itu ada di bawah kita!"

Pemacul Iblis melengak kaget. Dia yang sudah hampir mencapai sisi altar berpaling dan mendapati Si Bocah Tua alias Hidung Setan berjumpalitan melewati atas kepalanya selamatkan diri.

Bruk!

Si Bocah Tua jatuh dengan punggung di atas altar. Tanpa menghiraukan rasa sakit yang mendera punggungnya, si pendek berwajah kakek renta memandang ke arah di mana tadi papannya dihantam oleh sesuatu dari bawah permukaan pasir. Dengan bantuan cahaya bulan purnama sekelebatan dia melihat satu sosok kepala lonjong bermuiut runcing bermata seperti api. Sekejap saja kepala itu melenyapkan diri. Sementara itu Pemacul Iblis yang baru saja jejakkan kakinya di atas altar jadi terkesima melihat mata sahabatnya nampak mendelik besar seperti melihat setan.

"Mahluk itu. Dia hampir saja menelanku." desis Si Bocah Tua, cuping hidungnya kembang kempis dan penciumannya yang tanjam mencium bau amis menyengat dan busuknya bangkai.

"Hei, apa sebenarnya yang kau lihat?" seru Pemacul Iblis heran. Mata si kakek jelalatan memandang ke setiap sudut altar. Di sudut kiri altar matanya membentur satu sosok gadis dalam keadaan polos tanpa selembar benangpun. Tanpa menunggu jawaban Si Bocah Tua, Pemacul Iblis segera memeriksa gadis itu. Gadis berambut panjang ini ditemukan si kakek dengan leher menganga seperti bekas tusukan pedang. Bila melihat ke arah bagian tubuhnya yang lain. Pastilah si gadis malang telah dinodai sebelum akhirnya dibunuh secara keji.

Si kakek bergidik ngeri. Dengan perasaan diselimuti ketegangan orang tua itu sambar pakaian yang teronggok dekat si mayat. Dengan mempergunakan pakaian seadanya dia tutupi bagian aurat mayat.

"Satu korban telah jatuh. Entah siapa korban berikutnya?" desis Pemacul Iblis sambil kitarkan pandang ke segenap penjuru lapangan dengan sikap waspada.

"Mungkin kita tak akan selamat apalagi keluar dari tempat ini dalam keadaan hidup-hidup. Aku telah melihatnya, aku bahkan mencium kehadirannya di sekitar kita!" desah Si Bocah Tua tegang.

"Ada apa sebenarnya? Kau seperti orang mengingau. Mahluk apa yang kau lihat?!" hardik Pemacul Iblis merasa tidak tenang.

"Hantu Singa Lodraya." dalam takutnyaSi Bocah Tua menggumamkan satu nama.

"Maksudmu mahluk ular berkepala singa itu? Apakah mahluk iblis itu benar-benar ada?" tanya Pemacul Iblis heran

"Apa yang kukatakan tidak keliru. Dulu Braga Swara pernah sesumbar bersahabat dengan mahluk terkutuk dari neraka itu. Mahluk ganas yang konon tidak dapat dijinakkan. Nyatanya Braga Swara tidak bohong. Dia tinggal di Tanah Kutukan ini, berarti Hantu Singa Lodraya telah menjadi sahabatnya."

"Bocah Tua, mengapa sekarang kau berubah jadi sepengecut itu? Apakah kau tidak ingat lagi bagaimana Sari Lukita istrimu dilarikannya? Jika kau bicara tentang segala hantu keparat, sebaiknya kau ceburkan dirimu ke dalam pasir itu. Buat apa kau hidup jika tak punya kehormatan dan harga diri?" hardik Pemacul Iblis yang merasa sangat tidak senang mendengar ucapan kawannya yang terlalu menganggap tinggi kehebatan ilmu lawannya.

"Lalu apa yang akan kita lakukan. Selain mayat gadis itu, keparat Braga Swara tidak ada di sini. Ke mana kita harus mencari?" tanya Si Bocah Tua bingung.

"Kau pernah mendengar tentang ilmu Cikalang Tanah?" tanpa menghiraukan pertanyaan sang teman, Si Bocah Tua ajukan pertanyaan pula.

"Apa maksudmu?"

"Ho... ho... ho. Bukan tubuhmu saja yang pendek, ternyata otakmu juga rupanya setolol kerbau. Kudengar Braga Swara mengamalkan ilmu sesat itu. Siapapun yang berhasil menguasai ilmu tersebut dia bisa hidup di mana saja. Dia juga bahkan dapat mendekam di dalam tanah sampai seratus hari." jelas si kakek.

"Tapi untuk mengamalkannya tidak mudah. Kudengar hampir setiap bulan sabit muncul di langit dia harus melakukan korban persembahan dengan meminum darah gadis yang masih perawan! Jika betul mengapa aku tidak melihat mayat mereka?" tanya Bocah Tua.

Kembali Pemacul Iblis tertawa tergelak-gelak. Dia menunjuk ke arah lapangan pasir. "Andai kau kulemparkan ke atas pasir itu apakah kau tidak tenggelam? Kurasa mayat bekas korban persembahan dibuang ke lapangan pasir ini. Sudahlah... jangan ajukan pertanyaan tolol lagi padaku. Aku akan menunggu, jika Braga Swara tidak muncul akan kupacul seluruh lapangan pasir tanpa aku perdulikan seberapa dalamnya!"

Si Bocah Tua bangkit berdiri. Walau perasaannya jadi gelisah, namun kini tidak ada lagi rasa takut menyelimuti hatinya. Apalagi mengingat di dalam mulutnya, di samping geraham kanan dan sebelah kiri tersimpan Tiga Permata Langit. "Braga Swara manusia laknat, laki-laki durjana!" tiba-tiba terdengar teriakan keras dari mulut si kakek. "Aku Pemacul Iblis dan sahabatku Hidung Setan datang menyambangi ingin minta pertanggun- jawabmu. Aku tahu kau berada di sekitar lapangan ini, diam mendekam di satu tempat di bawah tanah. Jika kau bukan seorang pengecut, cepat datang ke hadapan kami dan akui semua dosa kejahatanmu, setelah itu baru membunuh diri!"

Sepi! Suara teriakan Pemacul Iblis lenyap begitu saja. Kemudian angin menderu-deru, permukaan pasir bergelombang bagaikan alunan air di tengah lautan.

Di tepi lapangan pasir sebelah timur si gondrong bertelanjang dada yang baru saja keluar dari balik rumpun kayu putih julurkan kepala dan memandang lurus ke tengah lapangan.

"Orang gila mana lagi yang baru saja berteriak." katanya perlahan. Rupanya dia sempat mendengar suara teriakan Pemacul Iblis yang sangat keras bagaikan geluduk karena kakek itu menyertakah tenaga dalam ketika berteriak tadi. Si gendut besar luar biasa kibaskan lembaran daun waru yang sudah disatukannya menjadi tiga lapis, Sekejap dia mengangkat daun waru itu, kepala didongakkan sedangkan matanya mulai memeriksa. Melalui cahaya bulan dia dapat melihat daun waru itu tidak ada yang berlubang sedikitpun.

Selanjutnya sambil tersenyum dia melangkah mendekati muridnya.

"Gege... daun waru milikku tidak ada yang berlubang. Sekarang sudah malam, sebaiknya kita mulai menye- berangi lapangan pasir ini."

"Tidakkah guru mendengar ada orang yang baru saja berteriak tadi. Dia memanggil Braga Swara." ujar Gento.

"Itu adalah nama iblis jahat. Nama yang sama juga pernah disebutkan oleh nenek botak. Lalu buat apa kau pikirkan segala macam suara yang aku dengar? Di tempat seperti ini seribu macam suara bisa saja terjadi. Sudahlah, jangan berpikir yang bukan- bukan. Sekarang sudah saatnya bagi kita untuk melakukan sesuatu."

"Guru... tidakkah kau merasa telah mencampuri urusan orang lain? Bagaimana jika kita berada di pihak yang salah?"

"Salah bagaimana. Orang berpa- kaian merah itu kejahatannya sudah sering kudengar. Orang persilatan menjulukinya dengan Iblis Pemetik Bunga. Sekarang tidak ada waktu bagi kita. Aku sendiri tidak mau melewatkan tontonan yang menarik ini." ujar Gentong Ketawa. Gentong Ketawa tanpa menunggu muridnya lagi langsung meletakkan lembaran daun waru di atas pasir. Begitu sebelah kakinya diletakkan di atas daun waru. Maka kaki kirinya lakukan gerakan seperti mengayuh di atas permukaan pasir. Sungguh hebat mengagumkan. Tubuh si kakek melesat kencang di atas permukaan pasir. Padahal berat badan orang tua ini lebih dari dua ratus kati. Tapi aneh, kaki yang cuma berpijak pada daun waru ini sama sekali tidak amblas ke dalam tanah.

Di tepi lapangan pasir muridnya si Gento Guyon masih berdiri tegak di situ sambil memandangi gurunya. Ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya. Dia merasa yakin di dalam tanah pasti ada mahluk yang mendekam di sana. Entah mahluk apa, yang jelas sangat berbahaya.

Seperti yang dilakukan oleh gurunya, Gento juga meletakkan daun waru di atas pasir. Setelah itu kaki kiri diletakkan di atas daun waru. Dengan kaki kanan digenjotkan di atas permukaan pasir kejap kemudian tubuhnya juga sudah ikut meluncur sebagaimana yang terjadi pada gurunya.  

12

ENTO

UYON Pemacul Iblis sebenarnya sudah tidak sabar lagi menunggu jawaban yang diinginkannya. Sedangkan Si Bocah Tua nampak berjalan mondar-mandir di atas altar dengan mata hampir tidak pernah berhenti mengawasi setiap sudut yang dianggapnya sangat mencurigakan.

Baru saja mulut Pemacul Iblis hendak membuka kembali, pada saat itu terjadi gejolak hebat di bagian belakang altar.

"Pemacul Iblis, lihat!" Si Bocah Tua keluarkan seruan keras. Dengan cepat sekali si kakek tua balikkan badan, lalu memandang ke arah yang ditunjuk oleh Si Bocah Tua.

"Inilah jahanamnya yang kutunggu. Sudah tak sabar rasanya aku memacul remuk batok kepalanya!" gumam si kakek geram.

Gejolak yang terjadi di permukaan pasir terhenti. Di bagian lapangan lainnya terjadi pula gejolak yang lain. Sementara dari tempat terjadinya gejolak yang pertama terdengar satu suara yang amat keras menggeledek.

"Kalian menungguku! Ha... ha... ha! Bekal apa yang kalian bawa ke mari?"

"Aku membekal dendam kesumat juga sebuah pacul besar untuk menghancurkan isi kepalamu!" sahut Pemacul Iblis lantang.

"Terima kasih. Kau baik amat. Kematianmu akan kubuat semudah mungkin. Lalu kalau boleh aku bertanya apa yang membuatmu sangat menginginkan diriku?" tanya suara dari balik tanah pasir disertai tawa bergelak.

"Kau ingat gadis yang bernama Minawati? Untuk membuka jalan pikiranmu perlu kutegaskan. Dia mempunyai tahi lalat di kening. Kau menculiknya dari tempat tinggal orang tua gadis itu. Keluarganya kau bunuh semua, sedangkan gadis itu kau perkosa. Kemudian mayatnya kau gantung di atas kandang kambing."

"Minawati, sorga kenikmatan yang tak kan pernah kulupakan seumur hidup. Dia membuatku puas. Sayang aku cuma berkenan memperistrinya satu malam saja. Kau sendiri apanya?" tanya suara itu lagi.

Dengan wajah memerah pipi menggembung dan rahang bergemeletukan, sambil menahan amarah Pemacul Iblis menjawab. "Aku kekasihnya, dia calon istriku!"

"Ha... ha... ha. Hanya calon, kau hanya dapat menikmati malam pertama dalam mimpi, kau tidur berpelukan dengan angin. Minawati jadi arwah pengantin penasaran sedangkan kau sendiri sampai ubanan dan rambut rontok sebelah tetap dalam kesen- dirian. Kasihan...!"

Mendengar jawaban yang bernada sangat meremehkan itu hilanglah sudah kesabaran di hati si kakek. Dia melompat mendekati bibir altar sambil menghantam ke arah datangnya suara dengan pukulan Petir Neraka. Sinar merah kehitaman berkiblat, hawa panas disertai angin ribut menghampar. Sinar merah itu kemudian menghantam tanah pasir di mana sumber suara suara berasal. Dentuman keras menggelegar, pasir yang merah menyala akibat terkena pukulan muncrat di udara. Asap hitam mengepul, bergulung-gulung di udara dan lenyap.

"Tobat. Kau hendak menenggelamkan altar ini!" bisik Si Bocah Tua yang sempat jatuh terduduk akibat guncangan keras yang terjadi.

Sejenak lamanya Pemacul Iblis menunggu. Tanah pasir bergolak seakan ada sesuatu di bawahnya yang berpindah tempat. Kemudian terdengar suara tawa. "Bukan diriku yang kau hantam, bagaimana aku bisa mati!" seru suara itu.

Pemacul Iblis melengak kaget, begitu juga halnya dengan Si Bocah Tua.

"Tidak usah gusar Pemacul Iblis. Sekarang aku ingin ajukan pertanyaan pada Si Bocah Tua."

"Jahanam keparat. Aku muak mendengar suaramu, mengapa tidak kau perlihatkan diri secepatnya!" hardik Si Bocah Tua sewot.

"Itu adalah urusan nanti. Kau dengar dulu. Apa tuntutanmu hingga kau datang ke mari?"

"Hem, kau tentu tak akan lupa dengan perempuan bernama Sari Lukita. Dia istriku. Kau menggodanya. Apakah kau sudah mengingatnya?!" hardik Si Bocah Tua berang.

"Hemm, perempuan itu memang cukup mengesankan. Keinginannya selalu menggebu, cintanya panas bergelora. Sayang dia perempuan lemah iman, hingga mudah masuk dalam perangkap bujuk rayu. Tapi itu salahmu sendiri. Kau seorang laki-laki, tentu kau tahu apa yang diinginkan wanita sebagai istrimu. Sayang... kau tak dapat memenuhinya. Padahal perempuan bukan bantal guling yang cukup kau peluk dan kau belai-belai. Ha... ha... ha...!"

Merasa ditelanjangi karena kelemahannya dibuka oleh Braga Swara maka Si Bocah Tua jadi kalang kabut. Dia juga bermaksud menghajar Braga Swara. Tapi apanya yang hendak dihajar, sedangkan batang hidung laki- laki durjana itu sendiri tak kelihatan.

Akhirnya dia hanya mampu kepalkan tinjunya, sedangkan matanya mencorong marah.

"Jadi, kalian datang karena wanita. Sungguh memalukan, padahal aku sendiri kalau mau mampu mencari sepuluh gadis cantik dalam sekedipan mata. Huh... kukira kau dan temanmu kakek kurus itu membawa kabar penting apa. Namun aku bukanlah orang yang tidak menghormati tamu. Setiap tamu yang datang pasti akan kusambut dengan segala keramahan. Lihat ke mari, junjunganmu berkenan memperlihatkan diri!" Baru saja suara orang itu lenyap. Tanah pasir di mana suara berasal berputar hebat membentuk pusaran yang semakin dalam makin melebar. Dari lubang pusaran pasir yang tersibak melesat satu sosok tubuh, berputar di udara, berjumpalitan dengan gerakan yang indah mengagumkan. Selanjutnya melesat ke arah altar sambil lembaikan tangan kirinya ke arah Pemacul Iblis dan Si Bocah Tua tidak ubahnya seperti orang yang melambaikan tangan pada sahabat yang sudah lama bertemu.

Serangkum sinar merah menderu. Pemacul Iblis memaki, dia tekuk kaki kanan ke depan, sedangkan tangannya dilambaikan pula ke arah si baju merah. Si Bocah Tua juga tak tinggal diam, sambil melompat ke atas hindari serangan dia juga menghantam lawan dengan pukulan Mendung Berputar Di Atas Menara. Selarik sinar hitam membersit dari telapak tangan Si Bocah Tua, sedangkan dari tangan Pemacul Iblis yang telah melepaskan pukulan Petir Neraka melesat pula sinar merah kehitaman disertai mengepulnya asap hitam seperti awan berarak.

Tak terelakkan lagi masing-masing pukulan itu saling berbenturan di udara. Membuat Braga Swara tersentak ke belakang dengan dada sesak dan perut berdenyut sakit. Tapi dia masih dapat melakukan gerakan berjumpalitan di udara dan jejakkan kakinya pula di sudut kiri altar. Pemacul Iblis jatuh terduduk. Sedangkan Si Bocah Tua nampak terkapar di lantai altar. Nafasnya kembang kempis, menguik seperti penderita sesak nafas, menggeliat dan melompat bangkit dengan wajah sepucat kapas. Cepat dia atur jalan darahnya. Masih beruntung Tiga Permata Langit yang tersimpan dalam mulutnya tak sampai tertelan. Jika tidak, alamat sendiri bakal celaka.

Dengan sigap Pemacul Iblis begitu bangkit langsung melompat mendekati Si Bocah Tua. Di depan mereka Braga Swara menyeringai.

"Kalian tidak tahu aku berada di rumah sendiri. Walaupun kalian berdua aku sendiri, belum tentu kalian bisa lolos dari tempat ini dalam keadaan hidup. Apalagi jika aku menyuruh empat sahabatku menyerang kalian. Jangankan tulang, kentut kalian pun tak akan tersisa!" dengus Braga Swara sinis.

"Manusia sombong. Apa kau menyangka bakal lolos dari tangan kami!" hardik Pemacul Iblis. Dia yang sudah menyalurkan tenaga dalamnya ke bagian tangan, sekonyong-konyong melompat ke depan. Tangan kiri menyambar bagian wajah sedangkan tangan kanan menderu menjotos dada Braga Swara.

"Aku inginkan barangnya!" teriak Si Bocah Tua. Dengan sangat cepat luar biasa, bocah berwajah kakek tua ini bergulingan di lantai altar. Tubuhnya terus menggelundung, kaki ditendangkan ke bagian pinggang sedangkan kedua tangan melesat terjulur dengan gerakan meremas.

Dua serangan tokoh sakti yang sama-sama dilamun dendam kesumat ini jelas bukan serangan biasa. Setangguh apapun lawannya paling tidak dia tidak bakal sanggup menghindar dari salah satu serangan ganas ini. Tapi di sinilah Braga Swara yang belum sembuh dari luka di bahu kirinya akibat terkena sambaran roda terbang Taktu membuktikan kehebatanya. Sambil melompat ke samping, tangannya diki- baskan dari atas ke bawah menangkis serangan Pemacul Iblis. Sedangkan kakinya menyapu kedua tangan Si Bocah Tua yang mencengkeram bagian bawah perutnya.

Plask! Plak! Des!

Tiga pasang tangan saling beradu keras. Dua serangan lawan dibuat mentah terkecuali tendangan Si Bocah Tua memang tak dapat dia hindari. Braga Swara terhuyung, langkahnya termiring-miring. Pinggang serasa remuk, namun dia tak menghiraukannya. Pemacul Iblis tampak tergetar. Sedangkan Si Bocah Tua kini sudah bangkit berdiri, menerjang ke depan dengan satu lompatan tinggi, sedangkan tangannya membabat ke arah leher. Angin bersiuran menyertai berkele- batnya tangan Si Bocah. Tapi pada saat itu pula, Braga Swara sambil menggereng sudah pula melompat. Begitu tubuhnya mengambang di udara, dia menghantam Si Bocah Tua dengan satu pukulan jarak pendek yang ganas.

Hawa panas menyengat, sinar merah berkiblat. Si Bocah Tua terkejut. Tangannya yang semula membabat leher, kini terpaksa ditarik dan didorongkan ke depan. Tapi gerakannya kalah cepat, karena pada saat itu pukulan yang dilepaskan Braga Swara telah menghantam dadanya.

Tidak ayal lagi tubuh Si Bocah Tua mencelat sejauh dua tombak dan terhempas di lapangan pasir. Sekejap saja dalam keadaan terluka dalam dan semburkan darah dari mulutnya sosok Si Bocah Tua nampak mulai tenggelam tersedot ke dalam pasir itu. Melihat hal ini, Pemacul Iblis yang semula sudah akan mempergunakan pacul mautnya untuk menggempur lawan terpaksa batalkan niat. Cepat sekali dia melompat ke lapangan pasir untuk menyelamatkan kawannya. Dengan kaki bertumpu pada pacul, tangannya yang lain menyambar Si Bocah Tua. Laksana kilat dia mencoba melontarkan kawannya ke atas altar. Tapi tiba-tiba Si Bocah Tua menjerit. Dari bagian bawah pasir kakinya seperti ada yang menarik.

"Jahanam keparat. Mahluk celaka itu!" seru Pemacul Iblis. Tarik menarik terjadi, Si Bocah Tua ayunkan kakinya. Pada saat itulah di bagian bawah pasir terjadi satu gerakan hebat. Kemudian di sekeliling Pemacul Iblis bermunculan tiga kepala aneh berbentuk kepala singa namun leher dan badan seperti ular berwarna hitam.

"Kalian tidak bakal Solos dari mahluk-mahluk iblis itu! Dari sini aku akan memendam kalian! Ha... ha... ha." kata Braga Swara disertai tawa tergelak-gelak. Braga Swara angkat kedua tangannya yang telah berubah merah laksana bara itu. Dalam keadaan begitu rupa di mana Pemacul Iblis sedang berusaha keras menyelamatkan kawannya di samping juga menghadapi serangan empat mahluk pemakan bangkai yang dikenal dengan nama Hantu Singa Lodraya tidak mungkin baginya menghindari pukulan Braga Swara. Akan tetapi pada saat itu satu sosok tinggi besar luar biasa nampak berkelebat ke arah altar. Bersamaan dengan melesatnya sosok besar itu melesat pula sinar putih disertai dengan terdengarnya suara bergemuruh. Braga Swara yang baru saja hendak mendorongkan kedua tangannya ke arah Pemacul Iblis dan Bocah Tua terkejut. Dia cepat berbalik dan menangkis. Sayang gerakannya kalah cepat.

Di lain kejap tahu-tahu dia merasakan tubuhnya seperti ditindih batu es, mencelat dan terhempas di bawah altar. Sekejap saja laki-laki itu lenyap tenggelam ke dalam pasir.

Di atas altar sosok besar gendut yang baru jejakkan kaki tertawa terkekeh-kekeh.

Pada saat yang bersamaan di mana Pemacul iblis sedang menarik Si Bocah Tua dan tengah menghadapi keroyokan empat mahluk berkepala singa dan berbadan ular. Berkelebat pula satu bayangan lain yang langsung menghajar ketiga mahluk aneh itu dari belakang dengan satu pukulan beruntun. Tujuh larik sinar pelangi menderu, disertai dengan menebarnya hawa panas dan dingin silih berganti. Tiga kepala mahluk aneh seakan terdorong ke depan. Namun dengan cepat sekali ketiga kepala itu lenyapkan diri sebelum tujuh larik sinar pelangi menghantam mereka. Dengan begitu pukulan mengenai tempat kosong melewati kepala Pemacul Iblis. Terjadi dentuman tiga kali berturut-turut.

"Tobaat biyung. Tobaaat...!" seru Pemacul Iblis. Namun getaran hebat yang terjadi membuatnya dapat menarik Si Bocah Tua. Dia melontarkan Si Bocah Tua ke atas altar. Tanpa menghiraukan sengatan panas akibat pukulan penolongnya, dia gerakkan paculnya yang nyaris tenggelam. Wuuut! Dan Pemacul Iblis melesat ke atas altar. Di belakangnya menyusul pula sosok pemuda berambut gondrong berbadan tegak bertelanjang dada.

"Terima kasih... terima kasih kau telah menyelamatkan kami!" berkata kakek tua itu.

Si gondrong yang bukan lain adalah Gento Guyon menyengir. Dia nyaris tak mampu menahan tawa. Bukan karena ucapan Pemacul Iblis, melainkan karena melihat bagian kepala, alis kumis dan jenggot si kakek yang serba botak di sebelah kiri.

Ketika kakek kurus ini berpaling ke samping kirinya dia jadi kaget saat melihat seorang kakek tua berbadan besar bukan main berdiri tegak tanpa melepas senyumnya.

"Kalian ini siapa sebenarnya?" tanpa Pemacul Iblis heran.

"Kami orang kesasar yang ingin melihat bocah-bocah nakal bermain di Tanah Kutukan ini." menyahuti si kakek Gentong Ketawa.

"Arkh... ya Tuhan kakiku...!" satu suara berseru kesakitan. Serentak mereka menoleh. Maka pucatlah wajah Pemacul Iblis. Dia melihat kedua kaki Si Bocah Tua telah buntung hingga sebatas betis.

Pemacul Iblis melompat mendatangi. "Mahluk celaka itu menggigit putus kedua kakimu?" desis si kakek sambil kepalkan tinjunya. Tiba-tiba dia berseru. "Tiga Permata Langit lekas kau keluarkan!"

"Aku tahu ajalku tak akan lama. Gigitan mahluk keparat itu sungguh sangat beracun!! Hoeek...!" Sambil berkata Si Bocah Tua muntahkan sesuatu. Tiga buah benda sebesar ibu jari memancarkan sinar biru berkilauan tersembur dari mulutnya. Tanpa merasa jijik Pemacul Iblis pungut ketiga benda itu. Dia langsung memasukkan ke dalam mulut, menyimpannya di bawah lidah. Sejenak dia merasakan hawa sejuk yang luar biasa. Namun si kakek kurang menghiraukan semua itu. Karena pada saat yang sama Si Bocah Tua sudah terkulai dengan sekujur tubuh menghitam dan mata tertutup rapat.

"Sahabatku... ah... jangan mati dulu.... Sahabatku...!" Pemacul Iblis menggerung bagaikan orang gila sambil mengguncang tubuh Si Bocah yang diam tak bergerak lagi.

"Mahluk itu sungguh sangat berbahaya." desis Gentong Ketawa. Mata si kakek tampak jelalatan memandang kian ke mari. Di atas pasir tidak terlihat gejolak apapun.

"Ke mana bangsat berpakaian merah tadi?" tanya Gento Guyon yang turut merasa sedih melihat kematian Si Bocah Tua.

"Aku di sini. Bersama empat kawanku yang siap membunuh kalian!" satu suara menyahuti. Hanya sekejapan mata sebelum kejut di hati Gento lenyap. Tiba-tiba di empat tempat tanah tersibak, pasir berhamburan di udara. Empat kepala berupa kepala singa dan berbadan ular hitam besar munculkan diri. Begitu muncul mereka mengeluarkan lengkingan aneh. Serentak dengan itu pula mahluk aneh ini langsung mengepung altar dari empat sudut.

"Bunuh...!" Satu suara berseru keras. Dari dalam pasir sosok Braga Swara munculkan diri. Melesat ke udara, berjumpalitan demikian rupa dan begitu jejakkan diri di atas altar dia langsung menyerang Gento Guyon dan gurunya. Melihat serangan ganas yang dilakukan lawan Gentong Ketawa tertawa mengekeh.

"Ternyata dia bukan hanya besar nafsu memperkosa gadis, tapi juga besar kemauannya Gege!" kata si kakek sambil menyambut tendangan aneh yang dilepaskan Braga Swara.

Tubuh besar si kakek meliuk, tendangan luput. Tapi kini tangan kiri Braga Swara menghantam ke arah Gento Guyon.

Sinar merah biru melesat dari tangan laki-laki itu. Gento melompat ke udara. Di udara tubuhnya berputar, kepala mendongak ke langit, sedangkan tangan dijulurkan. Dua larik sinar membersit dari ujung jari telunjuknya. Sinar itu mengejar ke arah Braga Swara. Lawan kaget karena serangan lawan mampu menembus pertahanan bahkan memupus pukulan yang dilepaskannya.

Jdddddt!

Sinar biru terus memburu. Braga Swara jatuhkan diri, berguling-guling di atas altar. Tapi ke manapun dia pergi sinar itu tetap memburunya. Gento Guyon tertawa mengekeh. Braga Swara tak punya pilihan lain. Dia kembali menghantam dengan pukulan Gempa Bumi. Dari tangan kiri yang dikibaskannya dalam keadaan melentang menderu suara aneh disertai goncangan hebat di bagian altar. Dua kekuatan sakti saling bertemu.

Bledum!

Ledakan berdentum bukan saja membuat altar seperti diangkat dan dibanting. Tapi juga membuat pasir bermuncratan di udara, hingga peman- dangan di sekeliling altar menjadi gelap. Dua mayat di atas altar bergoyang-goyang. Gentong Ketawa jatuh duduk berlutut. Sedangkan Gento rebah menelentang dengan nafas kembang kempis. Braga Swara masih dapat berdiri tegak meskipun sudut bibirnya mengucurkan darah.

"Kau mempergunakan pukulan apa tadi? Perasaan aku tak pernah menurunkan ilmu seaneh itu!" tanya si kakek dalam kejutnya.

Gento tersenyum. "Itu tadi pukulan Gajah Menendang Kelinci. Ha... ha... ha." Dalam hati si pemuda berkata. "Guru gendeng, dalam keadaan begini masih juga dia mempersoalkan segala ilmu."

Sementara itu Braga Swara sendiri sesungguhnya terkejut besar, tak menyangka lawan yang masih semuda itu tenaga dalam dan pukulan saktinya sungguh hebat luar biasa.  

13

ENTO

UYON Di sudut lain masih di tempat yang sama Pemacul Iblis nampaknya sedang mengumbar kemarahan. Dia yang merasa kehilangan sahabat akibat keganasan Hantu Singa Lodraya. Kini melampiaskan dendam kesumat dan kemarahannya pada empat mahluk ganas yang menyerang dari bibir altar. Pacul besar di tangan kanannya menderu, berkelebat menyambar, membabat atau mengepruk kepala empat mahluk aneh pemakan bangkai ini. Di samping itu dengan tangan kiri hampir tak pernah berhenti dia melepaskan pukulan Petir Neraka dan Halilintar Iblis silih berganti. Setiap kedua pukulan itu menyambar kepala maupun leher mahluk berkepala singa berbadan ular hitam besar. Secara cepat mahluk ini lenyapkan kepalanya di balik pasir, untuk kemudian muncul kembali dan lakukan serangan balasan.

"Setan kampret. Mereka sengaja mengecohku!" desis si kakek menjadi geram. Kini Pemacul Iblis tidak lagi mengumbar dua pukulan ganasnya melainkan cuma memutar pacul di tangan. Angin menderu-deru, sinar hitam berkelebatan. Empat mahluk semakin mendekat dan membuka mulutnya lebar-lebar. Pacul digerakkan ke arah mahluk yang hendak menelannya. Mata pacul menghantam moncong mahluk itu. Tapi benturan yang keras hanya membuat mahluk itu bergoyang tersentak ke belakang. Tiga kepala lainnya dengan mulut terbuka berserabutan menyerang Pemacul Iblis. Tidak punya pilihan lain, kakek itu terpaksa semburkan salah satu Permata Langit dari mulutnya.

"Puuuh!" Plopp!

Byaaar!

Benda biru berkilauan melesat di udara. Setelah bergesekan dengan udara benda itu menyala terang, membesar dan menghantam salah satu kepala Hantu Singa Lodraya. Mahluk yang menjadi sasaran mencoba berkelit. Tapi sebelum kepalanya lenyap, bagian kepala itu meledak menyemburkan darah berwarna hitam. Tiga kawannya nampak menjadi jerih, namun hanya sekejap. Karena beberapa saat kemudian mereka telah menyerang kembaii dengan kecepatan berlipat ganda.

Karena mahluk-mahluk itu menjadi marah melihat kematian kawannya. Maka kini mereka semakin bertambah ganas dan beringas sekali. Pemacul Iblis jadi terdesak hebat, tak mampu membalas serangan lawan terkecuali hanya menghindar dan berkelit. Tapi pada saat kakek tua ini terdesak hebat. Pada saat itulah di udara tampak ada empat sosok melayang bagaikan datang dari langit. Empat sosok yang melesat dengan cepat ke arah altar itu kemudian sama hantamkan kedua tangannya ke arah mahluk-mahluk yang mengeroyok Pemacul Iblis.

Sinar putih, merah dan biru menukik tajam ke bagian kepala ketiga mahluk berkepala singa. Yang menjadi sasaran keluarkan suara auman dan desis panjang. Serentak mereka buka mulutnya lebar-lebar. Tiga sinar maut tersedot amblas ke dalam mulut tiga Hantu Singa Lodraya.

Keempat sosok berpakai putih berseru kaget. Tiga di antaranya bahkan ikut tersedot dan meluncur ke mulut ketiga mahluk ganas itu. Yang satunya dengan gerakan cepat segera melakukan langkah penyelamatan dengan mendorong ketiga muridnya agar jangan masuk ke mulut mahluk itu.

Bresss!

Dua pemuda berkepala botak jatuh terhempas di atas pasir, begitu juga dengan gadis yang satunya lagi.

"Selamatkan diri kalian!" teriak perempuan tua berkepala botak yang bukan lain adalah Peri Tanpa Bayangan. Taktu, Takwa dan Takga mencoba berlari ke arah altar yang luas. Tapi tiga mahluk tadi kini telah menghadangnya. Cepat sekali masih tetap sambil berlari mereka serentak menghantam. Pukulan yang sangat keras mengandung angin dahsyat hanya membuat kepala tiga mahluk yang munculkan diri setengah badan bergoyang oleng bagai pucuk cemara yang ditiup angin. Setelah kembali menyerang disertai gerungan panjang.

Gurunya tidak tinggal diam, sedangkan Pemacul Iblis kembali menyambitkan dua Permata Langit ke bagian kepala mahluk-mahluk itu. Begitu melesat di udara kedua benda itu langsung membesar dan menghantam dua di antara tiga mahluk ini. Kembali kepala dua Hantu Singa Lodraya meledak, Dengan kepala hancur tubuh mahluk-mahluk ini amblas lenyap ke dalam pasir lapangan. Yang satunya lagi kembali menyerang Taktu, Takwa dan Takga.

"Lari ke arah altar!" Kembali Sari Lukita memberi peringatan.

"Biarkan kami yang mengha- dapinya!" seru Pemacul Iblis. Kedua pemuda dan gadis itu lari berserabutan mendekati altar, sedangkan dari altar si kakek dan Lukita Sari menghambur ke arah Hantu Singa Lodraya. Kiranya gerakan ketiga murid perempuan botak itu tidak semulus yang mereka bayangkan sebab mahluk ganas berkepala singa itu tidak membiarkan mereka lolos begitu saja. Dengan mulut terbuka dia menyerang Takga yang berada paling dengan dengannya.

"Wah gawat!" seru Takga sambil hantamkan tangannya ke arah lawannya. Hawa panas menghampar ditambah lagi dengan pukulan Takwa dan Taktu yang bermaksud menolong saudaranya membuat udara semakin bertambah panas menyengat. Hantu Singa Lodraya tarik lehernya menjauh ke belakang. Justru dari bagian belakang Pemacul Iblis ayunkan senjatanya dengan disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Di samping Pemacul Iblis, Sari Lukita juga melepaskan pukulan ganas yang dikenal dengan nama Menyepi Sendiri Dalam Kubur. Hantu Singa Lodraya tak sempat lagi menghindar ketika hawa dingin menggiriskan serta mata pacul besar menghantam kepala dan tubuhnya.

Praaak! Glaar!

Mahluk itu meraung kesakitan. Tubuhnya meliuk, kepala yang hancur menukik tajam ke pasir. Sekejap saja singa berkepala ular lenyap tersedot ke dalam pasir.

Tanpa menghiraukan mahluk itu lagi, Pemacul Iblis, Sari Lukita dan juga Taktu, Takwa dan Takga kembali ke altar. Sampai di sana mereka langsung menyepung Braga Swara yang sedang menghadapi gempuran Gentong Ketawa dan Gento Guyon. Si kakek sendiri setelah pertempuran berlangsung lebih dari seratus lima puluh jurus nampak terluka di bagian dalam. Sedangkan Gento pipinya lebam membiru kena dijotos lawan. Braga Swara pakaiannya sudah pula compang-camping terkena pukulan lawan yang bertubi-tubi.

Dia harus mengakui, menghadapi dua manusia aneh itu saja dia sudah sangat kewalahan. Walau pun ilmu Braga Swara sangat tinggi mustahil dia unggul menghadapi mereka semua.

"Orang tua gendut, aku inginkan kepala Braga Swara!" teriak Sari Lukita. Dia melompat ke kalangan perkelahian. Tanpa banyak bicara perempuan ini langsung kirimkan satu pukulan menggeledek. Segulung angin kencang menderu melabrak Braga Swara. Laki-laki itu tertawa mengekeh. Sambil melompat tinggi Braga Swara membentak. "Perempuan bocah panjang umur pendek pikiran. Suamimu sudah mampus di sudut altar itu. Aku juga sudah tak berkenan lagi dengan tubuh keriputmu. Sekarang aku akan mengirimmu ke neraka dengan pukulan Gempa Bumi!" Berkata begitu Braga Swara yang semakin bertambah hebat kekuatannya bila sudah mengapung di udara segera hantamkan kedua tangannya keempat penjuru arah.

"Menghindar!" teriak Gentong Ketawa yang sudah merasakan kehebatan pukulan maut lawannya. Taktu, Takwa dan Takga begitu merasakan getaran dan guncangan hebat langsung jatuhkan diri menelungkup sama rata dengan lantai. Sedangkan Pemacul Iblis kiblatkan paculnya menangkis serangan lawan. Di sudut kiri si kakek gendut besar sambil duduk lepaskan pukulan Dewa Menangis Iblis Tertawa. Agak di sebelah kanannya Gento Guyon dengan kaki ditekuk menghantam dengan pukulan Dewa Awan Mengejar Iblis. Satu ilmu dahsyat warisan Tabib Sesat Timur. Sedangkan Lukitas Sari yang telah menciptakan ilmu pamungkas Menggulung Langit sudah pula kibaskan tangannya ke arah Braga Swara.

Dari telapak tangan laki-laki itu deru angin disertai melesatnya cahaya merah tampak tiada putus-putusnya. Dari tiga arah sinar putih, biru dan ungu mengebubu menghantam Braga Swara. Sehebat apapun kesaktian Braga Swara menghadapi tiga gempuran dahsyat ini dia tak bisa berbuat banyak.

Ledakan dahsyat bergema membuat altar amblas terguncang. Pasir berhaburan dari sekeliling altar. Braga Swara terkapar dengan tubuh tercabik-cabik bersimbah darah. Kakek Gentong Ketawa rebah menelentang dengan mulut meneteskan darah. Gento Guyon jatuh dengan kaki berlutut, wajah pucat dan dada bergetar.

Sedangkan Sari Lukita sempat terhuyung. Di sudut sebelah kiri Pemacul Iblis memaki-maki begitu melihat pacul besarnya bolong sebesar pangkal lidi akibat dipergunakan untuk menangkis pukulan lawan.

"Kampret setan. Beruntung kau datang Lukita Sari. Tapi suamimu Si Bocah Tua kakinya buntung dimakan mahluk setan. Hu... hu... hu." Pemacul Iblis menangis terguguk-guguk seperti anak kecil. Dia hampiri mayat Si Bocah Tua sedangkan mayat gadis yang dia lihat sejak awal kedatangan tadi tidak terlihat hilang entah ke mana.

Lukita Sari alias Peri Tanpa Bayangan jadi melengak kaget. Setengah berlari sambil menangis dia hampiri mayat Si Bocah Tua. Begitu berlutut di samping mayat Si Bocah Tua, hatinya terenyuh, perasaannya seperti diiris- iris. Entah pedang macam apa yang dipergunakan untuk mengiris jelas sangat sakit dan sedih sekali. Dia peluki mayat suaminya.

"Maafkan aku, kakang. Kebodohanku membuat aku menyesal juga membuat menderita seumur hidup. Maafkan aku kakang. Aku tidak berguna. Hu... hu... hu!" kata si nenek botak sambil memeluki mayat Si Bocah Tua.

"Huk... huk... huk! Semuanya sudah terjadi. Jangan kau tangisi dia. Hu... hu... hu...." kata Pemacul Iblis. Di belakang mereka hanya diam dengan wajah tertunduk. Sedangkan Gento Guyon dan gurunya saling pandang. "Pemacul Iblis itu manusia sedeng agaknya. Dia melarang orang menangis, tapi dia sendiri tetap terguguk kucurkan air mata." gumam Gento bersungut-sungut.

"Kau iri? Kalau mau ikutan menangis membantu nenek botak itu silahkan. Aku sendiri lebih baik pergi daripada ikut terharu. Salah- salah...!" Gentong Ketawa tidak meneruskan ucapannya.

"Salah-salah kepala kita ikutan jadi botak juga guru." kata si pemuda tak dapat menahan tawa.

"Ha... ha... ha...!" Gentong Ketawa sambil tergelak-gelak berke- lebat pergi dengan menyambar tangan muridnya. Taktu, Takwa dan Takga melengak kaget.

"Kakek dan pemuda itu, rasanya aku mengenal mereka!" desis Takga.

"Betul. Dia bocah yang dulu kepalanya dijitaki tabib setan ketika kalah melawanku!" menimpali Taktu alias Ararini.

Di kejauhan sayup-sayup mereka mendengar Gento Guyon berkata. "Gadis cantik dan dua pemuda botak. Syukur kalian masih ingat denganku. Aku masih penasaran dengan permainan tempo hari. Kapan waktu aku pasti akan menjitaki kepala kalian."

Lalu terdengar suara si kakek. "Perlu apa kau berkelahi dengan mereka. Salah-salah rambutmu rontok semuanya. Mending kalau cuma yang di atas kalau yang di bawah ikutan rontok bagaimana! Ha., ha... ha." Lalu terdengar suara bekakakan yang semakin menjauh sampai akhirnya lenyap sama sekali. Taktu, Takwa dan Takga gelengkan kepala sambil menahan senyum. Sementara itu Sari Lukita dan Pemacul Iblis begitu mendengar tawa tersentak kaget. Mereka hentikan tangisnya. Ketika mereka sama menoleh ke arah si kakek dan pemuda gondrong tadi berdiri. Ternyata kakek dan pemuda aneh itu lenyap.

"Ke mana mereka?" tanya Peri Tanpa Bayangan ditujukan pada muridnya.

"Sudah pergi guru." menjawab Takga.

"Kita belum sempat mengucapkan terima kasih atas bantuan mereka!" menimpali Pemacul Iblis.

"Orang-orang aneh berkepandaian tinggi. Kelak aku pasti membalas jasa baik mereka." gumam Sari Lukita yang masih dirundung sesal dan kesedihan. Tapi tanpa bicara lagi perempuan ini mengangkat mayat Si Bocah Tua, dengan diikuti oleh Pemacul Iblis dan diiringi ketiga muridnya mereka meninggalkan altar persembahan.

Tinggallah mayat Braga Swara yang terkapar membeku didera angin menjelang pagi.

TAMAT