Pendekar Slebor 24 - Dagelan Setan



Hari pasaran jatuh pada hari ini. Seperti telah 
berlangsung selama ratusan tahun, malam pasaran di 
Desa Wetan akan banyak menyedot pengunjung. 
Maklum, di samping digelar panggung hiburan di 
alun-alun, juga para pedagang dari berbagai penjuru 
akan menggelar pula dagangan masing-masing. 
Malam seperti itu biasanya menjadi kesempatan bagi 
para penduduk untuk membeli barang-barang murah. 
Dari panci sampai terasi. Dari sandal bakiak sampai 
pewangi ketiak. Bagaimana tidak murah, kalau setiap 
pedagang bersaing mencuri minat para pembeli? 

Sejak matahari terlelap dalam buaiannya di ufuk 
barat, alun-alun sudah seperti satu-satunya bunga 
mekar dirubungi segerombolan lebah haus madu. 
Sendiri-sendiri atau bergerombol, para penduduk 
sekitar Desa Wetan datang dengan harapan sama. 
Tak muda. Tak tua. Tak lelaki, tak wanita. Semuanya 
bersama-sama memadati tempat tersebut. Dan kalau 
ada seorang kakek jompo tak ingat mati, tentu juga 
ingin datang dengan senyum berseri. Biarpun tak 
punya gigi! 

Syukur, langit cukup ramah. Tak ada ancaman dari 
gerombolan awan kelabu pekat. Tak ada. Bentangan 
langit tampak polos. Namun sesekali diusap oleh 
sapuan-sapuan awan halus. Sementara bulan di atas 
sana, menjadi penghias utama keriangan malam 
pesta rakyat itu. 

Utara, selatan, barat, dan timur sisi alun-alun 
menjadi ajang tarung para pedagang dalam bersilat 
lidah untuk berebut pembeli. Meja-meja sesak 
dagangan berjejer tak begitu teratur. Ada juga 
pedagang yang tak ingin repot-repot. Cukup dengan 
alas tikar pandan lebar untuk memajang dagangan. 

Suara mereka tak kalah nyaring dengan pekikan 
kawanan manyar laut. Belum selesai teriakan di sini, 
sudah menyambung teriakan di sana. Suasana jadi 
hingar-bingar. Karena terlalu bersemangatnya, se- 
orang pedagang malah sempat terbatuk-batuk. 
Bahkan sampai terkencing di celana, karena tersedak 
suaranya sendiri. Dagangannya jadi bau pesing! 

"Ayo, ayo! Jangan ragu-ragu memilih! Jangan ragu 
membeli. Dagangan ini memang agak bau. Tapi, itu 
karena dagangan ini berasal dari luar negeri yang 
dibawa bersama ikan mentah di dalam kapal dagang 
dari negeri antah berantah!" kelit pedagang itu, asal 
cuap. 

Dasar penipu! 

Untuk menarik perhatian, seorang pedagang yang 
lain pakai mencak-mencak. Kakinya menendang kiri 
dan kanan. Saking semangatnya.... 

Bret! 

Celananya kontan robek di bagian yang terlarang. 
Dengan wajah merah dia langsung menutup bagian 
yang robek dengan kedua tangan sambil cengar- 
cengir. 

Tepat di tengah kesimpangsiuran, panggung besar 
dari susunan bambu kuning telah berdiri. Lampu- 
lampu minyak di pinggirannya tak kalahterang di- 
banding lampu-lampu milik para pedagang. Seperti- 
nya, sinar terang lampu minyak panggung hendak 
menyombong pada temaram cahaya purnama. 

Ketika pengunjung kian membludak, ketika ke- 
bisingan makin merangkak, ketika waktu terus me- 
rayap mendekati pekatnya malam, acara di atas 
panggung pun dimulai. 

Tampak panggung dinaiki seorang penghulu desa 
yang memberikan sambutan membosankan. Suara- 
nya parau, tak mengundang selera siapa pun. Basa- 
basinya terlalu banyak. Dengan enaknya dia meng- 
obral banyak janji pada rakyat yang sering dibodohi. 
Khususnya, sewaktu lelaki itu mendukung pemilihan 
kepala desa tahun lalu. 

"Saudara-saudara yang aku cintai, penduduk desa 
yang kuhormati, betapa gembiranya hari ini karena 
menyaksikan kegembiraan saudara sekalian...." 

Dan seterusnya..., dan seterusnya.... Semuanya 
lebih banyak bumbu pepesan kosong! 

Sewaktu para pengunjung mulai menggerutu, baru- 
lah acara hiburan dimulai. Hiburan pertama diisi 
penyanyi-penyanyi kampung yang akrab dipanggil 
'sinden', diiringi tetabuhan gamelan. Lagu-lagu ber- 
irama kedaerahan dilambungkan. Rakyat ikut me- 
lambung. Memang! Lantunan suara seorang sinden 
pun ternyata lebih diharapkan, ketimbang gembar- 
gembor sesepuh desa bermuka dua. 

Penduduk bertempik-sorak pekat sekali, sewaktu 
rombongan kesenian daerah turun dari panggung. 
Mereka puas. Tapi belum cukup puas buat me- 
ninggalkan alun-alun. Apalagi malam belum terlalu 
larut, dan masih ada dua acara lagi. Satu hiburan 
dagelan. Dan puncaknya, pagelaran wayang sampai 
pagi! 

Plok.J Plok.J Plok.J 

"Suit..., suit...!" 

"Dagelannya yang lucu! Kalau tak lucu, mending 
jadi tukang sunat saja!" teriak para penonton. 

"Ayo, Kang! Buat supaya kita lupa dengan ke- 
susahan! Kalau bisa, sampean aku jodohkan sama 
mbahku!" 

Demikian sambutan penduduk sewaktu seorang 
lelaki pendagel daerah naik ke panggung. Wajahnya 
terlihat tolol sekali. Malah anak kambing tak punya 
otak pun masih kalah bodoh. Dan itu saja sudah 
membuat pengunjung terbahak-bahak. Apalagi se- 
waktu lelaki itu menaik-naikkan kumis tanggungnya 
yang kurang pupuk. 

"Saudara-saudara.... Anu, maaf. Hamba mau men- 
dagel. Tolong jangan ditertawakan, ya.... Anu, hamba 
masih kikuk. Kalau ditertawakan, hamba nanti tak 
bisa mendagel...," mulai si pendagel. Tetap dengan 
tampang bloonnya yang kelewat mengenaskan. 

"Hua-hua-ha!" 

Penonton menyambut. 

"Anu.... Mohon maaf kalau ada kata yang salah, 
terus terang saja, hamba baru jadi pendagel. Hamba 
hanya meneruskan kepandaian bapak hamba juga 
yang jadi pendagel. Bapak hamba itu nerusin 
kakeknya. Kakek saya itu sudah tua.... Eh, anu... 
pendagel juga maksud saya." 

"Hua-ha-ha!" 

"Hua-ha-ha! Lucu juga sampean! Sialan!" 

Terus dan terus pendagel bertampang tolol itu 
bercuap-cuap. Setiap kali kalimatnya terhenti, tawa 
gelak penduduk pecah. 

Beberapa saat berselang, masuk lagi lelaki pen- 
dagel lain, kira-kira berusia tiga puluh tahun. Yang 
satu ini berwajah tak kalah mengenaskan dibanding 
yang pertama. Hanya saja, dia mengenakan se- 
macam polesan hitam arang di sekujur wajahnya itu. 
Di atas mata, dibuat garis putih seperti alis yang 
melengkung berkepanjangan, dan mengeriting pada 
ujungnya. 

Baru dua langkah dari anak tangga panggung, 
lelaki celemongan itu tersandung palang lampu 
minyak. Dia kontan jatuh berdebam sampai panggung 
bersuara laksana beduk. 

Penonton kontan terpingkal-pingkal. 

Sementara si pendagel yang baru masuk melilit-lilit 
di lantai panggung, karena keningnya mencium 
bambu. 

"Sampean siapa?" tanya pendagel pertama. 

"Sampean brengsek! Masa' kawan jatuh malah 
ditanya begitu?! Biar disambar geledek pelan-pelan 
baru tahu rasa!" umpat pendagel yang baru saja 
terjatuh. Ditepuk-tepuknya pakaian serba hitamnya 
yang kedodoran. Bibirnya yang dipoles semerah bibir 
janda genit meringis berkepanjangan. 

"Ah! Aku tak kenal sampean? Sampean jangan 
main-main. Nanti kupanggilkan keamanan, lho!" 

"Lho? Wong keamanannya sudah aku sogok, kok! 
Kantongnya kusisipkan uang.... Ditambah, bambu 
panjang ke perutnya. He-he-he. Namanya juga 
disogok!" 

"Hua-ha-ha!" 

Tontonan sepertinya menjadi lebih meriah. 
Dagelan yang dipertontonkan makin seru. Pengunjung 
tak henti tergelak-gelak. Sementara, si pendagel 
pertama sesungguhnya bukanlah sedang mendagel. 
Dia sungguh-sungguh waktu menanyakan rekan tak 
dikenalnya. Matanya berkilat, gusar campur bingung. 
Tapi, tak satu mata penonton pun yang menangkap 
kejadian ini. 

"Paijo! Paijo! Sampean bagaimana sih, jadi 
pemimpin dagelan! Masa' ada orang naik panggung 
sampean diem saja?!" seru si pendagel pertama, di 
antara riuh-rendah suara penonton. Teriakannya 
ditujuan pada kawannya di belakang panggung. 

Tak ada jawaban. Tentu saja itu membuatnya 
penasaran. 

"Paijo! Aku tahu telinga sampean setengah budek! 
Tapi sampean dengar teriakanku, toh?!" teriak si 
pendagel berwajah tolol itu lagi, sengit. 

Pendagel berwajah coreng-moreng mendekatinya. 

"Ssst..., sssttt! Sampean jangan begitu.... Damai 
saja, damai...." 

Kegusaran si pendagel pertama memuncak sudah. 
Mendadak, didorongnya lelaki itu dengan kasar. Dan 
dia segera turun memanggil keamanan. 

Sementara lelaki yang didorong terjatuh kembali. 
Pantatnya terantuk ujung panggung, membuat 
matanya mendelik sebesar mata buto ijo. 

Ledakan tawa penonton terpancing kembali. 
Mereka masih mengira kalau kejadian barusan 
adalah satu babak dagelan. Sayang, mereka tak 
menyadari sedikit pun kalau satu adegan kematian di 
panggung akan segera dimulai.... 

"Sampean brengsek! Sampean brengsek apa tidak, 
sih?!" maki pendagel berwajah coreng-moreng seraya 
bangkit. "Jangan tinggal aku sendirian di panggung! 
Aku bisa mati berdiri! Kalau aku mati berdiri, bagai- 
mana nanti menguburnya?!" 

Tiba-tiba lelaki berwajah coreng-moreng ini me- 
narik pendagel berwajah tolol keras-keras. Sampai- 
sampai, pendagel itu terlempar ke tengah panggung 
kembali. Cara terlemparnya di mata penonton seperti 
wajar-wajar saja. Bahkan kembali mengundang tawa. 

Sampai pendagel berwajah coreng-moreng men- 
dekati, tubuh lelaki itu belum juga bangkit. 

"Sampean bagaimana, toh? Mau mendagel, apa 
mau tidur? Kalau mau tidur, kenapa tak mengajak 
bini sekalian?" 

Dijemputnya tangan lelaki yang tergeletak itu, 
masih di dalam kepungan gelak tawa penonton. 
Begitu tangan tadi ditarik untuk membangunkan, 
ketika itu juga gelak tawa berganti teriakan dan 
pekikan kengerian! 

Apa yang terjadi? 

Ternyata, tubuh pendagel pertama sudah tak utuh 
lagi! Bagian-bagian tubuhnya menjadi rapuh. 

Buktinya, tangannya terlepas ketika ditarik 
pendagel coreng-moreng.... 

"Wah! Sampean tak tahu terima kasih. Aku sudah 
mau menolong berdiri, sampean malah ngasih 
tangan. He-he-he.J" celoteh pendagel berwajah 
coreng-moreng. Bibirnya memperlihatkan senyum 
samar, yang berkesan begitu bengis! 

"Apa-apaan ini!" 

Tiba-tiba seorang keamanan desa bertubuh kekar 
dan berkumis baplang melompat ke atas panggung. 
Tangan kanannya sudah menghunus golok besar. 

"He-he-he.... Sampean linglung? Ini kan hanya 
dagelan...," kilah pendagel coreng-moreng sambil 
melambai-lambaikan potongan tangan yang di- 
pegangnya. 

Darah dari potongan tangan itu tampak masih 
menetes-netes ke permukaan panggung. 

"Dia bukan anggota dagelan kami, Kang!" jerit 
seorang perempuan di tengah-tengah penonton. 

"Kalau begitu, siapa kau sebenarnya?!" tanya 
centeng tadi, lantang dengan sikap siaga penuh. 
Wajahnya sendiri tak bisa menyembunyikan ke- 
ngerian melihat bagaimana mayat di atas panggung 
seperti terpotong-potong. 

"Hie-he-he! Kau mau tahu siapa aku sebelum 
tubuhmu pun kubuat seperti lelaki itu? Aku adalah 
Pendagel Setan! Dengar aku? Pendagel Setan! Hei, 
dunia persilatan! Kalian dengar aku?! Akulah 
Pendagel Setan yang akan siap membuat nyali kalian 
semua menciut!" 




"Kau benar-benar manusia biadab!" 

Bersama makian kalap, centeng alun-alun ber- 
kumis baplang itu melabrak lelaki asing yang 
menyebut dirinya Pendagel Setan. Satu sebutan yang 
bukan saja aneh, tapi juga ganjil! 

Golok di tangan keamanan itu menebas deras 
bagian dada Pendagel Setan. Tentunya dia sudah 
benar-benar mata gelap, menyadari kebiadaban 
orang di depannya. Sebenarnya, centeng itu pun juga 
merasa ngeri di dasar hatinya. Dari hasil tindakannya 
pada korban saja, sudah bisa dilihat bagaimana 
dalamnya kesaktian Pendagel Setan. Ilmu silatnya 
mungkin hanya seujung jari dibanding Pendagel 
Setan. Hanya karena nyalinya besar, maka dengan 
nekat centeng alun-alun itu melabrak juga dengan 
golok bergerak membabat. 

Wuk! Srat! 

"Heh?!" 

Centeng alun-alun menjadi terperanjat sekaligus 
gembira. Sulit dipercaya kalau golok yang diayunkan 
ternyata mengenai sasaran. Matanya jelas-jelas 
menyaksikan baju hitam Pendagel Setan tersayat. 

Setelah terhuyung sejenak, tubuh Pendagel Setan 
ambruk. 

Si centeng terdiam dengan napas memburu. 
Dadanya turun naik tak teratur. Sedang matanya 
menatap tanpa kedip ke tubuh lawan yang ter- 
telungkup. 

"Benarkah aku telah berhasil merobohkannya?" 
tanya hati si centeng bimbang. 

Untuk memastikan, lelaki kekar ini melirik mata 
goloknya. Tak ada darah! Kejap itu juga, disadarinya 
permainan licik lawan. 

Sayang kesadarannya terlambat. Karena.... 

"He-he-he..,." 

Wrrr! 

Tubuh yang semula tergeletak diam di depan 
centeng itu tiba-tiba memperdengarkan tawa meng- 
gidikkan, disusul gerakkan meluncur di atas 
permukaan panggung. Bagai gerak menerjang seekor 
ular lapar, tubuh Pendagel Setan tiba di dekat 
sasaran. Lalu.... 

Crep! 

Cengkeraman kilat tangan Pendagel Setan tahu- 
tahu telah 'mencuri' benda berharga di selangkangan 
si centeng! Untuk sebuah serangan, sasaran di 
daerah itu akan menjadi serangan mematikan. 
Apalagi, Pendagel Setan melakukannya dengan cara 
telengas. Seketika 'benda simpanan' centeng itu 
tercerabut dari tempatnya! 

Crot.J 

"Aaa.J" 

Darah cepat membanjiri celana bagian 
selangkangan centeng malang itu. Untuk beberapa 
saat tubuhnya mengejang kuat dengan tangan 
mendekap erat bagian terluka. Kelopak matanya 
membeliak. Mulutnya membuka, seperti hendak 
menggugurkan erangan kematian yang terkunci di 
tenggorokan. 

Setelah itu, centeng yang berani mati ini ambruk 
menemani korban sebelumnya di permukaan 
panggung. 

Sementara, Pendagel Setan hanya terkekeh 
panjang, menyaksikan hasil kerjanya. Raut wajahnya 
bengis diperlihatkan berkawal kilatan kebiadaban di 
kedua biji matanya. 

Melihat kejadian itu, penduduk makin berubah 
kalang-kabut. Jeritan dan pekik bertumbukan, saling 
tindih, saling penggal. Gerombolan orang yang 
sebelumnya memadat cukup teratur, kini serabutan 
kian kemari seperti gerombolan semut terusik tangan 
jahil. 

Yang mampu lari dalam kekacauan, akan segera 
mencari jalan keluar. Tak peduli apakah akan 
menginjak tubuh-tubuh yang terjatuh atau tidak. 
Beberapa wanita bergelimpangan pingsan. Tubuh 
mereka nenjadi sasaran empuk jejakan kaki-kaki liar. 

Kegemparan memuncak begitu kekacauan me- 
rembet pada tempat-tempat para pedagang meng- 
gelar dagangan. Lampu-lampu minyak terlanggar, lalu 
membakar. Api pun lahir, membakar apa-apa yang 
bisa dibakar. Temaram langit malam pun disaput 
jilatan warna merah. 

"Kebakaraaan!" 

"Tolong! Tolong.... Jempolku hilang!" 

"Copet! Copeeet! Manusia kutu kupret tidak tahu 
adat! Kalau mau nyopet jangan lagi kacau begini!" 

Dan serentetan kekacauan berlanjut.... Di antara 
semua itu, menerabas teriakan lantang berisi 
tantangan! 

"Pendekar Slebor! Dengarlah tantanganku! Dunia 
persilatan boleh kau buat terkagum pada kehebatan- 
mu. Tapi tidak denganku. Suatu saat nanti, akan kita 
buktikan siapa sesungguhnya manusia terhebat di 
'panggung gila' ini!" 

Pagi baru saja lahir. Dimulai sapuan cahaya merah 
saganya di cakrawala belahan timur, matahari mulai 
merambah naik. Satwa menyambutnya dengan suka 
cita, bertolakbelakang dengan keadaan di alun-alun 
Desa Wetan. Di sana, asap tipis masih mengambang 
lambat menodai udara. Kebakaran semalam tinggal 
sisa. Puing-puing arang berserakan masih mengepul- 
kan asap tipis. Delapan mayat berserakan di sekitar 
panggung yang telah porak-poranda. 

Seorang wanita berkebaya merah muda terisak- 
isak di tengah-tengah kehancuran itu. Dengan 
selendangnya yang sudah terkena hitam arang di 
sana-sini, tubuhnya bersimpuh di dekat serakan 
mayat. Wajahnya sebenarnya cukup ayu. Hanya 
karena kejadian semalam, membuat wajahnya agak 
tak karuan. 

"Ada apa, Neng?" 

Terdengar sapaan halus, seramah hawa pagi. 
Wanita itu menghentikan tangisnya. Kepalanya 
menoleh. Tampak sosok gagah berotot berdiri di 
sampingnya. Wajahnya tampan. Dari wajah itu pula 
perempuan ini bisa menemukan keramahan. Terlebih 
dengan sebaris senyum yang sanggup menjerat hati 
banyak dara. Pakaiannya tak bisa dibilang resik. 
Berwarna hijau pupus, dan terlihat tak begitu terurus. 

"Kakang siapa?" tanya perempuan ini dengan 
suara tersendat-sendat. 

"Aku hanya seorang pengelana, Neng," jawab 
pemuda berbaju hijau pupus dengan kain bercorak 
catur tersampir di bahunya, menyembunyikan jati diri 
sesungguhnya. "Sudikah kau menerangkan apa yang 
sesungguhnya terjadi di tempat ini?" 

Mendapati pertanyaan pemuda berpakaian hijau 
ini, si wanita berkebaya malah menyambung tangis- 
nya yang sudah kekeringan air mata. Sepertinya, 
tangis sebelumnya belum dituntaskan. 

"Tujuh mayat ini adalah teman-teman serom- 
bonganku yang mestinya manggung semalam. Satu 
orang lagi, mayat keamanan desa. Bagaimana aku 
tidak sedih? Mereka itu kawan senasib se- 
penanggungan. Mereka sudah seperti saudara...." 
tutur wanita ini. 

"Sudahlah, Neng. Relakan mereka." hibur pemuda 
itu. "Kenapa mereka sebenarnya, Neng?" 

Pemuda itu. bertanya lagi, karena jawaban 
perempuan yang ditanya tidak cukup jelas baginya. 

"Mereka dibunuh, Kang...." 

"Siapa yang melakukannya?" 

"Aku tidak tahu. Lelaki bajingan itu tahu-tahu saja 
datang dengan menyamar menjadi satu anggota 
rombongan dagelan kami. Dia mengaku sebagai 
Pendagel Setan...." 

"Pendagel Setan?" bisik pemuda tampan ini 
mengulangi. Di telinganya nama itu begitu asing dan 
aneh. 

"Setelah membunuh, dia mengancam orang-orang 
persilatan, Kang. Apa Kakang orang persilatan?" 
lanjut perempuan itu lagi. 

"Kenapa, Neng?" 

"Kalau Kakang orang persilatan, sebaiknya hati- 
hati terhadap orang itu." 

Anggota rombongan dagelan yang tersisa itu 
berhenti sejenak. Dia seperti mengingat sesuatu. 

"Dan kalau Kakang bertemu..., Pendekar Slebor, 
bilang pula padanya agar hati-hati," lanjut peremuan 
itu lagi. 

Pemuda berpakaian hijau menjadi tertarik pada 
kalimat terakhir wanita di sampingnya. Terlihat jelas 
dari perubahan raut wajahnya. 

"Kudengar, lelaki iblis itu sempat mengancam 
Pendekar Slebor. Katanya, dia akan menantang 
Pendekar Slebor. Apa Kakang kenal Pendekar 
Slebor?" 

Pemuda ini tidak menyahut, tidak juga meng- 
gerakkan kepala sebagai jawaban. Bukannya karena 
tak ingin menanggapi pertanyaan perempuan anggota 
rombongan dagelan itu. Tapi dalam pikirannya saat 
itu hanya ada satu kecamuk yang mengusik. Sampai 
semuanya dituntaskan oleh.... 

"Pendekar Sleeebooorrr! Oiii, apa itu kau?!" 

Terdengar teriakan mengguntur dari seseorang di 
kejauhan. Pemuda yang dipanggil dan tak lain 
Pendekar Slebor sendiri, cepat menoleh ke asal 
panggilan bernada serampangan tadi. Wajahnya 
berubah asam, demi menyaksikan siapa yang sedang 
berlari serabutan menuju tempatnya. 

Orang itu adalah lelaki besar bertelanjang dada. Di 
seluruh tubuh hingga wajahnya ditumbuhi bulu-bulu 
kasar panjang. Dengan berlari sambil melompat- 
lompati puing-puing, orang yang datang itu sudah 
seperti biang kera dari hutan. 

"Kiamat.... Kenapa orang gila seperti dia mesti 
bertemu aku lagi," rutuk Pendekar Slebor. 

Wanita di dekat Andika langsung memekik melihat 
kehadiran lelaki seram itu. Dalam benaknya, ter- 
gambar seekor gorila besar tersasar yang bisa saja 
mengoyak-ngoyaknya dengan cakarnya yang setajam 
mata pisau. 

"Tenang, Neng. Dia tidak apa-apa. Sudah jinak," 
ujar Andika, setengah memaki lelaki yang dimaksud. 

Siapa lelaki tinggi besar dipenuhi bulu di mana- 
mana itu? Andika mengenalnya sebagai Lelaki 
Berbulu Hitam, tokoh tua sakti yang malang 
melintang lebih dahulu beberapa puluh tahun 
dibanding Andika sendiri. Hanya karena awet muda 
saja, lelaki itu tidak seperti tokoh-tokoh seangkatan- 
nya. 

(Untuk mengetahui lebih jelas tentang tokoh satu 
ini, bacalah episode: "Manusia Dari Pusat Bumi" dan 
"Pengadilan Perut Bumi"!). 

Lelaki Berbulu Hitam adalah salah satu tokoh 
sinting jajaran atas yang berperangai kasar. 
Kemarahannya mudah terpancing, seperti mudahnya 
minyak terbakar api. Dunia persilatan sulit menentu- 
kan dari golongan mana asalnya. Hitam tidak, putih 
pun bukan. Dia hanya bertarung mengikuti ke- 
marahan. Tapi kalau sudah bertemu anak muda 
buyut Pendekar Lembah Kutukan, sikapnya secara 
mengherankan bisa berubah sama sekali. 

"Aooo, kita bertemu kembali, Tuan Penolong," seru 
Lelaki Berbulu Hitam seraya menubruk Andika. 
Langsung dipeluknya Andika keras-keras, lalu meng- 
guncang-guncangkannya. 

"Berhenti!" bentak Andika. Isi perutnya bisa keluar 
semua kalau terus diurak-urak seperti ini. 

Lelaki Berbulu Hitam tidak peduli. Mungkin hatinya 
terlalu girang bertemu Tuan Penolong yang bisa 
menolong menghilangkan sifat pemarahnya, sesuai 
wangsit yang dulu didapat. 

"Sudah! Sudah!" Pendekar Slebor mulai berteriak- 
teriak kalap. 

Bagaimana Andika tidak mengkelap? Sudah 
pelukan manusia setengah serigala itu kerasnya 
seperti jepitan bukit karang, baunya pun lebih 
menyengat daripada seratus ekor bandot! 

Karena tak juga dilepas, Andika jadi tak sabar lagi. 
Daripada muntah, lebih baik diberinya teman lama- 
nya yang sinting itu sedikit bogem. 

Begh! 

Tinju Andika yang sengaja disalurkan tenaga sakti 
segera memangsa perut Lelaki Berbulu Hitam. Biji 
mata lelaki itu membeliak seketika. Bibirnya meringis 
lebar-lebar. Sebentar kemudian.... 

"Khoeeekkh!" 

Isi perut Lelaki Berbulu- Hitam termuntahkan 
semua.... Untung Andika cepat menghindar. Kalau 
tidak, tahu sendiri. 

"Tuan Penolong! Apa kau melihat seorang jelek di 
sekitar tempat ini?" tanya Lelaki Berbulu Hitam 
beberapa saat kemudian. 

"Siapa yang kau maksud?" tanya Andika. 

"Orang jelek, ya jelek." 

"Yang kumaksud namanya!" 

"Aku tidak tahu. Hanya wajahnya saja yang kuingat. 
Hitam berlumur arang. Wajah jelek itu benar-benar 
membuatku sebal. Ingin kucopot wajah orang itu!" 
jelas Lelaki Berbulu Hitam dengan gigi-giginya 
bergemeletuk menahan geram. 

"Ya dialah orangnya, Kang!" sambut wanita 
anggota rombongan dagelan itu tiba-tiba. "Orang ber- 
ciri-ciri seperti itulah yang telah melakukan pem- 
bantaian semua ini!" 

Andika tercenung. Menurut cerita wanita di dekat- 
nya, namanya disebut-sebut oleh bajingan itu. Dan 
jika bajingan itu masih di sekitar tempat ini, ke- 
mungkinan besar dirinya sedang diawasi. 

"Hebat," bisik Andika samar. "Seberapa tinggi ilmu 
kesaktiannya, hingga aku tidak menyadari sedang 
diawasi?" 




Tindakan Pendagel Setan di Desa Wetan sebenarnya 
merupakan kelanjutan dari sepak terjangnya yang keji 
selama sepekan ini. Sejak kemunculan pertamanya, 
lelaki aneh itu terus mencuri nyawa demi nyawa. Tak 
peduli, apakah korbannya adalah orang persilatan 
atau bukan. Bahkan tega-teganya dia menjatuhkan 
tangan pada seorang bocah tak berdosa sekalipun! 

Dalam sepekan saja, sudah lebih dari lima belas 
orang kehilangan nyawa. Sembilan di antaranya mati 
dalam keadaan serupa seperti nasib naas yang 
menimpa pendagel di Desa Wetan. Tubuh mereka 
menjadi amat rapuh. Sampai usikan seekor gagak 
pun dapat dengan mudah mencabut bagian-bagian 
tubuh mereka! Sedangkan sisanya, mati dengan cara 
tak kalah aneh. Mayat mereka mengejang dengan 
tangan mendekap perut. Sebenarnya, hal itu tidak 
aneh. Yang aneh justru wajah-wajah mereka mem- 
perlihatkan kalau saat menemui ajal mereka sedang 
tertawa. 

Sulit dipahami, apa mau tokoh sesat yang men- 
dadak saja melambung namanya karena kebiadaban- 
nya. Di samping karena belum pernah dikenal dunia 
persilatan sebelumnya. Juga karena kesimpang- 
siurannya dalam menelan korban. 

Lalu, anggapan pun merebak. Banyak kalangan 
persilatan menganggap Pendagel Setan tak lebih dari 
orang sinting yang haus darah. Dia tak bisa disebut 
sebagai orang golongan hitam. Apalagi, golongan 
putih. 

Tak sedikit tokoh hitam sendiri menjadi muak 
mendengar sepak terjang Pendagel Setan. Bagi 
sebagian golongan hitam, membunuh seorang bocah 
tak berdaya, tak lebih dari tindakan meludahi kepala 
sendiri. Harga diri mereka akan dicemooh oleh 
selaksa bibir warga persilatan. 

Namun, Pendagel Setan justru sebaliknya. Dengan 
kesan penuh kebanggaan, sehabis membunuh, 
ditinggalkannya tanda berupa boneka kayu berwajah 
hitam, tepat di atas tubuh mayat si bocah yang 
tertimpa kemalangan. 

Waktu terus melaju menyiduk hari demi hari. 

Tiga pekan setelah kejadian di Desa Wetan, terjadi 
keributan antara beberapa bocah hijau di sebentang 
persawahan kering. Ada empat bocah lelaki berlarian 
di pematang. Anak yang terdepan membawa lari 
sesuatu di tangannya. Sementara tiga yang lainnya 
ngotot mengejar, hendak merebutnya. 

Perebutan benda di tangan bocah di depan rupa- 
nya sudah berlangsung cukup lama dan seru. 
Keadaan mereka semua sudah tak karuan. Badan 
mereka yang bertelanjang dada sudah dilumuri 
lumpur coklat. Rambut mereka kotor dan basah. 

"Oi, Pitak! Kasih boneka itu padaku! Kalau kau 
terus lari, nanti akan kutambah pitakmu jadi dua 
belas!" teriak salah seorang bocah terbesar, bernada 
dongkol. 

"Kalau mau boneka ini, tangkap aku! Dasar gede 
bohong! Bisanya cuma makan!" balas anak yang 
dikejar seraya melompati lubang di pematang dengan 
kelincahan seekor menjangan. 

Kejar-kejaran berlangsung sengit. Anak yang di- 
buru rupanya jauh lebih gesit dan lincah dibanding 
para pengejarnya. Padahal untuk ukuran tubuh, anak 
itu jauh lebih kecil dari yang lain. 

Kejar-kejaran tiba di atas desa. Kalau saja tak 
menabrak seorang wanita yang menghadang larinya, 
tentu anak hitam dekil si pembawa boneka itu sudah 
menghilang dari para pemburunya. 

"Waduh! Maaf, Kak!" ucap si bocah, merasa 
bersalah karena telah menabrak. 

Yang ditabrak adalah seorang wanita berpakaian 
pendekar. Wajahnya tak cantik. Tapi memendarkan 
kesan ayu jika diperhatikan. Tanpa pupur atau 
tambalan di wajah. Pakaiannya cenderung seder- 
hana. Warnanya hitam dari atas hingga ke bawah. 

"Kenapa kau lari-lari tak karuan, Adik Kecil?" tanya 
wanita berpakaian pendekar seraya menyibak rambut 
panjangnya yang menutupi wajah. 

"Itu, Kak. Ada anak-anak brengsek mau merebut 
boneka yang kudapat," lapor bocah dekil ini. 

Sambil berkata, kepala bocah ini terus menoleh ke 
belakang. Sinar matanya sebentar-sebentar terlihat 
takut. Sebentar kemudian, terlihat memelas. Tentu 
saja bocah cerdik itu hendak memancing rasa 
kasihan orang yang baru ditemuinya. 

"Kakak seorang pendekar, bukan?" tanya bocah ini 
kemudian. 

Wanita berpakaian hitam mengangguk. 

"Kalau begitu, tolong aku, ya?" 

Wanita itu mengangguk lagi. 

"Memangnya kau kenapa, Adik Kecil?" 

Bibir si bocah memancung. Dengan bibir itu pula, 
ditunjuknya anak-anak yang mengejarnya. Mereka 
sudah tampak pula di kejauhan. 

"Itu...! Mereka mau merebut bonekaku ini, Kak!" 
lapor bocah pitak ini kelimpungan. 

Beberapa saat, bocah ini sudah berlari mengitari 
tubuh si pendekar wanita. Dari kanan ke kiri, dari kiri 
ke kanan. Seolah-olah, kawanan bocah yang menge- 
jarnya sudah sampai di dekatnya. 

Sementara itu anak-anak yang mengejar makin 
dekat. Dan ini membuat si bocah dekil kian 
kelimpungan. Sampai akhirnya, dia tak bisa lagi 
menahan kakinya, hendak lari kembali. 

"Tunggu dulu!" cegah pendekar wanita. Dicekalnya 
pergelangan tangan anak itu. Sengaja ditahannya, 
karena tertarik pada boneka di tangan si bocah. 
Bentuk boneka itu mengingatkannya pada desas- 
desus yang belakangan terdengar santer. 

"Lepaskan aku, Kak! Mereka mau menjadikan aku 
perkedel!" teriak si Bocah. 

"Biar kulihat boneka itu dulu," ujar pendekar 
wanita berpakaian hitam ini. 

Mata si bocah mendelik. 

"Apa?! Jadi kakak mau boneka ini juga?!" 

"Aku mesti melihatnya. Hanya melihat apa tidak 
boleh. Nanti akan kukembalikan," bujuk pendekar 
wanita ini. 

"Nih, ambil saja sekalian!" tukas si bocah sengit. 

Bocah ini segera menyodorkan boneka di tangan- 
nya kasar-kasar. Setelah itu, dia buron. Apa lagi yang 
mau diperbuatnya kalau kawanan anak-anak yang 
mengejar sudah demikian dekat? 

"Pendekar kok masih senang boneka! Pendekar 
apa itu?!" maki bocah itu di kejauhan. 

Sementara para bocah pengejar sudah melewat 
pendekar wanita itu setelah sebelumnya berhenti 
sebentar untuk melihat boneka yang diperebutkan. 

Sepeninggalan anak-anak kampung tadi, si 
pendekar wanita mengamati baik-baik boneka di 
tangannya. 

"Jelas. Ini memang boneka yang digemparkan 
orang persilatan. Ini pasti milik Pendagel Setan," 
gumam wanita ini. 

Sebentar kemudian, kepalanya menoleh ke arah 
bocah kecil tadi menghilang, seraya menghentak 
napas. 

"Sayang..., aku tak sempat menanyakan di mana 
boneka maut ini ditemukan," desah wanita ini, 
menyesali. 

Setahu wanita ini, boneka itu adalah tanda khusus 
Pendagel Setan pada korban kebiadabannya. 

"Tentu Pendagel Setan telah kembali bertindak keji 
di sekitar sini. Manusia busuk itu!" geram pendekar 
itu. 

Lalu. Wanita ini pun berpikir untuk mencari tahu. 
Akan diperiksanya daerah sekitar. Dia yakin, mayat 
korban Pendagel Setan masih ada. Entah di mana. 
Bahkan ada kemungkinan juga Pendagel Setan pun 
masih berkeliaran. 

"Rasanya ingin sekali aku memecahkan tempurung 
kepala manusia busuk itu!" 

Baru saja kakinya hendak melangkah, mendadak 
saja naluri kependekaran wanita ini menangkap 
ketidakberesan. Tubuhnya menegang. Seluruh 
kemampuan inderanya segera dikerahkan. Sekarang 
perasaannya makin jelas menangkap adanya ketidak- 
beresan. Telinganya menangkap desir halus dari arah 
utara yang begitu cepat, berkekuatan, serta lurus 
sepanjangjalan setapak menuju dirinya. 

Segera pendekar wanita ini bersiaga. 

Sekejap kemudian, matanya menangkap gerakan 
cepat sosok seseorang. Tidak bisa dipastikan, wanita 
atau lelaki. Gerakanya begitu cepat, hingga matanya 
sulit memperhatikan bentuk tubuh serta wajah orang 
yang baru datang. 

Wanita itu sendiri sempat terkejut, menyaksikan 
kecepatan yang mengagumkan di depan matanya. 
Untuk ukuran dirinya, gerakan itu sudah jauh 
beberapa tingkat di atasnya. Karena itu tubuhnya 
makin menegang. Hatinya merasa yakin, bahaya yang 
akan dihadapinya mungkin bisa membuang nyawa ke 
neraka! 

Sampai.... 

"Minggir! Minggir! Jangan halangi jalanku! Ter- 
dengar teriakan mengguntur orang yang sedang 
berlari deras di depan. 

Wush! 

Begitu sampai, si pendekar wanita sepenuh tenaga 
melenting ke udara seraya berputaran tiga kali. Dan 
tindakannya ternyata cukup untuk menghindari ter- 
jangan sosok tadi. 

Begitu menjejakkan kakinya di tanah, wanita ini 
menjadi heran. Ternyata orang yang melesat tadi 
tidak melakukan serangan lanjutan. Sosok ber- 
kecepatan tinggi itu malah terus memaju geraknya. 
Sepertinya, keberadaan si pendekar wanita cuma 
dianggap kentut! 

"Hei, berhenti kau!" hardik si pendekar wanita. 

"Jidatmu empuk!" balas orang tadi, lebih sengit. 

Meski belum yakin bisa menandingi ilmu me- 
ringankan tubuh orang tadi, si pendekar wanita 
memutuskan untuk mengejar. Namun belum sempat 
kakinya digerakkan, sudah terdengar lagi desir yang 
sama dari arah yang sama pula. 

Wanita ini cepat berbalik. Dan persis seperti tadi, 
tampak pula sesosok tubuh bergerak demikian cepat. 
Tak kalah gesit dan tak kalah mengagumkan. Bahkan 
tampaknya memiliki ilmu meringankan tubuh yang 
tinggi. 

Sekali lagi, si pendekar wanita dipaksa terperanjat 
tak alang-kepalang. Siapa lagi ini? Kenapa jalan ini 
tiba-tiba disantroni orang-orang kelas atas dunia 
persilatan? Tanpa bisa berpikir lebih jauh, dia harus 
menyelamatkan diri dari labrakan orang brengsek ini. 

Seperti cara menghindar sebelumnya, pendekar 
wanita berpakaian hitam-hitam itu melenting ke 
udara tinggi-tinggi. Segenap kekuatan harus dikerah- 
kan, karena kecepatan yang harus dihindari begitu 
dahsyat. 

"Bagus! Lompat yang tinggi! Aku mau lewat!" seru 
orang tadi, enteng. Suaranya seperti seorang 
pemuda. Sedang gaya seruannya terlalu acuh. 

"Berhenti!" teriak wanita ini, begitu mendarat. 

Si pendekar wanita berusaha menahan. Tapi, 
teriakannya dianggap angin lalu saja oleh orang tadi. 
Siapa yang tak gusar dibegitukan? Maka, wanita ini 
tak ingin membiarkan orang tak tahu adat tadi lewat 
begitu saja, seperti orang sebelumnya. 

Tahu kalau orang yang dikejar tak mungkin di- 
bekuk dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh 
tanggung-tanggung, wanita ayu itu langsung meng- 
empos seluruh kemampuan lari cepatnya sampai 
puncak. 

Beberapa saat, si pendekar wanita ini memang 
masih mampu menguntit. Namun selang sekian saat 
berikutnya, dia sudah keteter jauh. Buruannya lari 
bagai setan kesiangan. Maka sebentar saja, buruan- 
nya sudah lenyap di batas hutan kecil. 

"Kunyuk dekil! Brengsek!" 

Sumpah serapah terlempar dari mulut mungil 
pendekar wanita ini. Siapa sebenarnya dua orang 
penuh teka-teki tadi? Apa hubungannya dengan 
Pendagel Setan yang dicurigai si pendekar wanita 
telah menyatroni daerah itu? 




Di pinggir sebentang sungai dangkal berair jernih dua 
sosok tubuh menghentikan larinya begitu sampai di 
tempat itu. Yang pertama tiba, langsung saja me- 
lompat ke batu besar di tengah-tengah sungai. Belum 
dua puluh tarikan napas celana buluknya sudah 
dilorotkan sambil tergesa-gesa jongkok. Lalu bau tak 
sedap pun mencemari udara. 

Sementara yang tiba belakangan mulutnya tak 
henti-hentinya menggerutu. Dengan agak terengah- 
engah di tepian sungai, dikutukinya habis-habisan 
orang yang kini begitu khusuk membuang limbah 
perutnya! 

Memang kedua orang itulah yang telah 
menyerobot jalan pendekar wanita berpakaian hitam- 
hitam tadi. Siapa mereka? Tak lain tak bukan, 
Pendekar Slebor dan Lelaki Berbulu Hitam. 

"Biar mati disambar geledek nyasar kau!" rutuk 
Andika, dongkol bukan main. 

Sewaktu mereka berjalan bersama tadi, tiba-tiba 
saja si tua bangka awet muda itu lari kelimpungan 
sepenuh tenaga. Andika tentu saja terkejut. Dikiranya, 
ada bahaya yang ditangkap naluri Lelaki Berbulu 
Hitam. Karena setahu Andika, si tua tak waras itu 
memang memiliki naluri tajam. Bukankah dia 
memang setengah serigala? 

Andika pun mengejar. 

Kejar-kejaran berlangsung seru, tanpa juntrungan. 
Lelaki Berbulu Hitam berlari seperti hendak mampus 
di tengah jalan. Andika tentu saja makin ke- 
bingungan. Makanya dia tak kalah ngotot menguntit 
manusia batu itu. 

Untuk mengejar tokoh sekelas Lelaki Berbulu 
Hitam, bukan kerja mudah buat Andika. Biarpun 
dirinya telah dibekali ilmu warisan Pendekar Lembah 
Kutukan yang kecepatannya begitu menghebohkan. 
Asal tahu saja, Lelaki Berbulu Hitam adalah tokoh 
bangkotan yang telah lebih dahulu malang melintang 
di tengah dunia persilatan puluhan tahun silam. Dia 
adalah salah satu dedengkot yang sulit dicari 
tandingannya. Kalaupun perawakan dan wajahnya 
tak menjadi keriput atau keropos, itu karena 
pengaruh campuran darah serigala dan manusia 
dalam dirinya. Bahkan kalau Andika bertarung 
dengannya, belum tentu dapat menang. 

Jika kini tokoh pemberang itu seperti kerbau 
dicocok hidungnya terhadap pendekar muda dari 
Lembah Kutukan, penyebabnya karena muslihat 
tokoh seangkatannya, Raja Penyamar. 

Raja Penyamar telah memberikan wangsit palsu 
kepada Lelaki Berbulu Hitam. Dalam wangsitnya, 
disebutkan bahwa hanya Pendekar Slebor yang bisa 
menolong Lelaki Berbulu Hitam dalam mengenyahkan 
sifat pemberangnya yang kelewatan. 

(Untuk mengetahui cerita itu, bacalah episode: 
Pengadilan Perut Bumi") 

Bahkan Andika tak mempedulikan si pendekar 
wanita yang sedang melintasi jalan tadi. Padahal, 
matanya sempat berbinar-binar sewaktu menemukan 
betapa ayunya gadis itu. 

Lalu setelah kejar-kejaran gila itu berujung di tepi 
sungai, kedongkolan Andika pun meletus. Yang 
semula dikira keadaan genting, ternyata hanya 
keadaan 'darurat' buat perut sial Lelaki Berbulu 
Hitam. 

Apa tidak keterlaluan? 

Belum puas Andika menumpahkan kedongkolan- 
nya, mendadak terdengar teriakan sengit seorang 
wanita melabrak angkasa. Telinga pemuda dari 
Lembah Kutukan mendengarnya. Sementara Lelaki 
Berbulu Hitam di tengah sungai sampai menahan 
kembali 'sesuatu' yang hendak keluar, karena begitu 
terkejut. 

Selanjutnya, ketajaman telinga Pendekar Slebor 
menangkap pula suara-suara yang selama ini sudah 
begitu dikenalnya. Semacam kericuhan dalam 
sebuah pertarungan. 

"Apa yang terjadi?" tanya Andika, pada diri sendiri. 
Sementara itu, pendengarannya dipusatkan untuk 
menentukan arah kericuhan barusan. 

Begitu bisa ditentukan, Andika tak menunggu lama 
lagi segenap kemampuan ilmu meringankan tubuh- 
nya digenjot. 

"Hei, jangan tinggalkan aku!" teriak Lelaki Berbulu 
Hitam. "Tuan Penolong! Sudikah Tuan bersabar 
sebentar sampai aku menuntaskan 'kewajibanku' ini!" 

"Sisakan saja buat besok!" 

'k 'k 'k 

Begitu sampai, Andika melihat seorang wanita 
berpakaian hitam sedang bertempur dengan orang 
berpakaian aneh. Wajah dipenuhi coreng-moreng. 
Belakangan, nama dan sepak terjangnya meng- 
gemparkan dunia persilatan. Dialah Pendagel Setan! 

Wanita ini tampak begitu bernafsu menghambur- 
kan serangan pada Pendagel Setan. Tampaknya 
kekejian tokoh aneh yang didengar selama ini, telah 
membuat hasratnya menggebu untuk mengenyah- 
kannya. 

Segenap jurus telah dikerahkan wanita berpakaian 
berwarna hitam itu. Namun hingga saat itu, tak ada 
satu pun serangannya membawa hasil. Rupanya si 
pendekar wanita itu telah salah duga. Karena 
memang, Pendagel Setan bukan tokoh sesat 
sembarangan. Bahkan Pendekar Slebor sendiri pun 
belum tentu memiliki kesempatan untuk mengalah- 
kannya. 

"Ciaaah!" 

Satu tusukan jari berkuku panjang milik pendekar 
wanita berpakaian hitam mencoba merobek teng- 
gorokan Pendagel Setan lewat jurus puncaknya yang 
diberi nama 'Amukan Macan Hitam Betina'. Setiap 
sambaran kuku tangannya, bisa berarti kematian. 
Jangankan kulit manusia. Bahkan kayu paling keras 
di jagad ini pun bisa dicaciknya dengan mudah. 

Menghadapi serangan liar ini, Pendagel Setan tak 
tampak kelimpungan. Santai saja kepalanya me- 
lengos. Sepertinya, dia tak bergerak. Tapi hasilnya 
ternyata bisa mementahkan sambaran kuku ke 
kerongkongannya. 

Wukh! 

Luputnya serangan tadi membuat pendekar wanita 
yang baru saja turun ke dunia persilatan menyusuli- 
nya dengan cabikan tangan yang lain. Ulu hati 
Pendagel Setan hendak dikoyak dari arah samping. 

Untuk serangan berikutnya, entah kenapa 
Pendagel Setan tak tampak berniat menghindar. Dia 
hanya menanti. Sekejap kemudian, cakar wanita itu 
pun sampai. 

Blep! 

Terdengar suara lembut yang nyaris tersamar 
dengan hempasan napas Pendagel Setan, tepat 
ketika cakaran pendekar wanita itu mendarat. 

Di kejauhan Andika tak mempercayai kenyataan 
itu. Kalau serangan pertama yang tak kalah hebat 
dapat dimentahkan begitu gampang, tak mungkin 
serangan berikutnya dapat mudah sekali menemui 
sasaran. Ada sesuatu yang ganjil. Begitu pikir Andika 
Meski tangan kiri pendekar wanita itu tampak ter- 
sangkut di perut Pendagel Setan. 

Ketajaman pengamatan Pendekar Slebor memang 
beralasan. Buktinya di kancah pertarungan sana, 
Pendagel Setan melontarkan tawa keangkuhannya. 
Wajah coreng-morengnya menengadah ke langit, se- 
akan mengejek malaikat maut yang gagal men- 
jemputnya. 

Apa yang sesungguhnya terjadi? 

Dengan kemahirannya memainkan otot, dengan 
menakjubkan Pendagel Setan telah menjepit kuku 
wanita itu di lipatan perutnya! Sungguh satu tindakan 
yang teramat sulit, sekaligus berjudi dengan nyawa 
sendiri. Bagaimana tidak sulit dan berbahaya? Sebab 
kalau saja salah perhitungan dalam meredam 
sambaran tenaga cakar tadi, tak ayal lagi kulit 
perutnya akan terkoyak! Bahkan isinya akan ambrol 
keluar. 

Kalau Andika sebelumnya curiga, wanita itu justru 
sebaliknya. Saat ini dia sudah yakin kalau tengah 
melangkah pada satu kemenangan. Dalam per- 
kiraannya, tentu cakar tangannya telah merejam 
dalam-lalam ke perut lawan. Dan kini siap mem- 
bedolnya. 

Sewaktu hendak melakukan hentakan ke sisi perut 
Pendagel Setan. Pendekar wanita ini dipaksa 
menyadari perhitungannya yang luput. 

"Hiii!" 

Berawal lengkingan seperti erang macan betina, 
pendekar wanita itu berusaha melepaskan jepitan 
perut lawan. 

Gagal. 

Dua-tiga kali dicobanya lagi. Hasilnya, tetap nihil. 
Malah jari-jari kukunya terasa seperti hendak ter- 
lepas. Pedih bukan main. 

Menyaksikan ketidakberdayaan lawan, Pendagel 
Setan melepas tawa kembali. Ocehannya pun 
mengalir. Suaranya cempreng. Menyakitkan untuk 
didengar siapa pun. 

"Percuma kau terus mencoba menarik kukumu. 
Nanti malah yang lain keluar dari bagian belakang- 
mu!" oceh Pendagel Setan. Ucapannya seperti hendak 
mendagel. Sayang, yang terdengar justru nada meng- 
gidikkan. 

"Jangan harap kau bisa membunuh Macan Hitam 
Betina?!" bentak wanita yang menyebut dirinya 
Macan Hitam Betina. 

Cepat sekali satu kaki wanita ini bergerak 
menyapu ke atas. Gerakan yang dilakukannya benar- 
benar mempesona. Kakinya menebas ke atas, 
melewati tangannya yang terjepit. Bagian selang- 
kangannya seperti tak memiliki tulang. Begitu lentur 
bergerak. Bahkan dengan lentur, dicobanya mem- 
beset kening Pendagel Setan dengan kuku jarinya. 
Padahal, tubuh laki-laki itu jauh lebih tinggi darinya. 

Tap! 

Sewaktu Pendagel Setan menangkap kakinya 
Macan Hitam Betina membuat satu gerakan lentur 
kembali. Sebelah kakinya yang lain menyapu pulang 
ke atas. Gerakan ini pun tak mudah dilakukan. 
Karena, kaki yang digunakan untuk menyapu harus 
pula dijadikan jejakan, sekaligus untuk melompat. 

Usaha wanita itu kali ini berhasil membuat 
Pendagel Setan agak kelimpungan. Dua serangan 
kaki tak terduga, membuatnya harus membuang 
tubuh ke belakang. 

Sebelah tangan Macan Hitam Betina memang 
terbebas. Tapi akibatnya, pendekar wanita pemberani 
ini harus membayarnya dengan kehilangan empat 
kuku jarinya yang telah tertarik paksa, karena kulit 
perut lawan masih menjepitnya. 

"Aaakh!" 

Begitu merasakan sakit pada tangannya, Macan 
Hitam Betina mengeluh tertahan. Darah menetes dari 
keempat kuku jarinya. Perihnya sudah pasti tak 
terkira. Menahan siksaan rasa sakit. Wajah ayunya 
sampai menjadi memucat. Sementara, matanya me- 
merah dan agak tergenang. 

"Kenapa, Cah Ayu? Kau tak bisa lagi menggaruk 
dengan jari kirimu?" cemooh Pendagel Setan, diiringi 
seringai memuakkan di pandangan Macan Hitam 
Betina. 

Dan dengan gaya padat ejekan, Pendagel Setan 
mengumpulkan kuku-kuku wanita ini yang masih 
terjepit di kulit perutnya. 

"Kau membutuhkan ini?" tanya Pendagel Setan. 

"Chih! Manusia tengik!" maki wanita ini penuh 
gejolak kemurkaan. 

Macan Hitam Betina meludah kasar. 

"Karena aku tak memerlukannya," lanjut Pendagel 
Setan. "Nih, ambil kembali!" 

Wush! 

Pendagel Setan seketika melemparkan potongan 
kuku tadi ke arah pemiliknya. Derasnya luncuran 
kuku demikian sulit terukur. Sampai-sampai, mata 
Macan Hitam Betina tak dapat menangkap gerakan- 
nya. 

Tanpa mau menanggung akibatnya, Macan Hitam 
Betina mengerahkan seluruh kemampuan ilmu me- 
ringankan tubuhnya untuk menghindari hujaman 
kuku-kukunya sendiri. Seketika tubuh sintalnya me- 
lenting ke udara seraya berputar seperti seekor 
manyar yang pamer dengan gerakan lincahnya. 

Namun siapa sangka wanita ini telah terkecoh? 

Tak heran Macan Hitam Betina menyangka kalau 
lawan ternyata sama sekali belum melempar kuku- 
kuku di tangannya. Gerakan melempar tadi dibuat 
Pendagel Setan hanya untuk menipu. Jadi, kalau tadi 
mata Macan Hitam Betina tak menangkap gerak laju 
kuku-kukunya, itu bukan karena kecepatan yang 
demikian tinggi! Tapi karena Pendagel Setan belum 
melepas kuku-kuku itu. 

Saat diudara seperti itu, Macan Hitam Betina bisa 
dibilang mati. Di lain pihak, Pendagel Setan meng- 
anggapnya sebagai peluang emas. Maka dengan licik, 
dilemparnya kuku-kuku yang masih ditangannya. Kali 
ini memang benar-benar dilakukan! 

Wush! Srrr! 

Tampaknya, si pendekar wanita perkasa akan 
mengalami nasib mengenaskan, terhujam kukunya 
sendiri! Senjata makan tuan? 




Mati memang selamanya tidak ditentukan manusia. 
Kalaupun keadaan mungkin sudah tak memungkin- 
kan seorang bisa hidup, dengan keputusan Penguasa 
Semesta, hal itu tak akan terjadi. 

Tak! Tak! 

Pada saat-saat genting, mendadak serbuan empat 
potongan kuku yang mengancam nyawa Macan Hitam 
Betina tersapu sesuatu di udara. Maka laju menggila 
dari kuku-kuku itu kontan terjegal. Kekuatan pem- 
bunuh yang terkandung di dalamnya saat itu pula 
terpedaya. Penyebabnya hanya oleh empat butir 
kerikil kecil yang mendadak meluncur penuh 
kekuatan, tepat memapas laju gerak semua kuku! 
Seketika, kuku-kuku itu berserakan di tanah. 

Jelas, ada orang yang ikut campur tangan dalam 
serangan itu. Namun tak sulit untuk mengira, 
perbuatan siapa itu. Ya, hasil kerajinan tangan 
Pendekar Slebor! 

"Bukankah tak jantan jika seorang lelaki harus 
bersikap telengas pada lawan yang sudah tak 
berdaya? Apalagi lawannya seorang wanita...," kata 
Pendekar Slebor, sok berlagak bagai seorang 
bijaksana. 

Andika keluar dari persembunyian, tak jauh di 
belakang calon lawannya. 

Terdengar decak pemuda urakan ini kemudian. 

"Kalau kau baru saja melakukan itu, aku jadi 
sangsi apakah kau masih memiliki kejantanan. Ufh, 
maaf! Aku tak bermaksud mengatakan kalau kau 
sudah tak memiliki...." 

Andika terkekeh memenggal kata-katanya 
sebentar. 

"Tak memiliki 'gagak' simpanan lagi!" tambah 
Pendekar Slebor pedas sekali, berteriak menirukan 
suara gagak. 

"Akhirnya kau keluar juga dari lubang per- 
sembunyianmu...," kata Pendagel Setan, tanpa 
menoleh. 

Andika mengangkat kening. 

Bagaimana tokoh sesat ini bisa mengetahui 
kehadirannya secara jelas? Hati pendekar muda itu 
langsung bertanya heran. Padahal setahu dia, selama 
bertarung dengan Macan Hitam Betina, tak sekalipun 
Pendagel Setan memperhatikan tempat persembunyi- 
annya. 

"Sialan! Apa di belakang kepalanya dia memiliki biji 
mata simpanan!" rutuk Andika. "Boleh juga orang 
ini...." 

"Dari tadi aku menunggumu untuk ambil bagian 
dalam dolanan ini. Sayang sekali, sekarang seleraku 
susut sudah," kata tokoh aneh ini, enteng. 

Andika merasa calon lawannya hendak menyingkir. 

Dugaan Pendekar Slebor terbukti. Tanpa sempat 
membiarkan Andika melakukan apa-apa, bahkan 
untuk satu tarikan napas pun, tangan tokoh bertabiat 
ganjil itu bergerak cepat. Dikeluarkannya sesuatu dari 
balik baju. Lalu.... 

Buhs! 

Tepat ketika tangan Pendagel Setan menghempas 
mengembangkan kepulan asap kelabu pekat, 
menyelimuti seluruh tubuhnya beberapa saat. 
Menghilangnya kabut kelabu secara perlahan, diikuti 
pula oleh lenyapnya tubuh Pendagel Setan! 

"Kunyuk buduk atau tengik!" maki Andika jengkel 
sekali. 

"Belum waktunya kita bertemu, Pendekar Slebor. 
Memang aku ingin sekali menggelitiki perutmu atau 
mencabuti bulu-bulumu. Tapi, aku harus bersabar. 
Karena aku telah mempersiapkan tempat istimewa 
untuk kencan kita. 0, ya.... Jangan lupa bawa bunga! 
He-he-he!" 

Tak lama berselang, telinga pemuda sakti dari 
Lembah Kutukan itu menerima kiriman suara dari 
kejauhan. Bisikannya begitu halus, seolah-olah 
terdengar langsung dari lubang telinga Pendekar 
Slebor. Hebatnya, yang mendengarnya hanya Andika. 
Tentu saja itu dilakukan dengan keahlian mengirim 
suara yang tinggi. 

Andika mendengus. Muak sekali tantangan itu 
terdengar. 

Sepeninggal Pendagel Setan, Andika mendekati 
Macan Hitam Betina yang masih berkutat menahan 
pedih luar biasa di ujung jari-jari kirinya. Di samping 
ingin tahu siapa sesungguhnya si ayu itu, anak muda 
mata bongsang ini ingin juga mendekatinya. Bukan- 
kah pada kesempatan sebelumnya dia hanya sempat 
melewati perempuan berwajah sejuk itu? Kalau 
sekarang ada kesempatan buat jadi pahlawan, 
tunggu apa lagi? Begitu pikir pendekar urakan ini. 
Kucing mana mau menyia-nyiakan daging empuk! 

"Biar aku bantu, Nona...," kata Andika, me- 
nawarkan jasa. 

"Siapa kau?" Wanita ayu itu malah bertanya. 
Tatapannya memendam bara kecurigaan. 

"Aku? Ah, Nona cukup memanggilku Andika," sahut 
Andika, lugas. 

"Julukanmu! Aku ingin tahu julukanmu!" bentak 
Macan Hitam Betina galak. 

Andika tak menyangka wanita berwajah sejuk 
seperti dia, ternyata ketusnya seperti setan 
perempuan. 

"Biarkan aku menolongmu dulu...." 

"Tak perlu!" 

Andika menggaruk-garuk jidat, menggaruk-garuk 
pantat, dan menggaruk-garuk hidung. Mulutnya 
cengengesan serba salah. Kalau biji matanya bisa 
digaruk, tentu sudah digaruknya pula. 

"Jangan cengengesan seperti itu! Kau sudah 
melakukan kesalahan, tahu?!" hardik Macan Hitam 
Betina. Sepasang bola matanya membesar, meng- 
gemaskan. 

"Aku melakukan kesalahan? Kesalahan apa?" 
tukas Andika. 

"Gara-gara kau, manusia busuk itu pergi! Padahal 
aku sudah akan membuat remuk batok kepalanya!" 
tuding Macan Hitam Betina, sengit. 

"Ah! Yang kutahu, kepala kaulah yang hampir 
bocor," tukas Andika. 

Di samping ketus, ternyata perempuan ini juga 
sedikit tinggi hati. Tapi Andika senang. Rasanya sifat 
ugal-ugalannya menjadi gatal kalau bertemu makhluk 
betina seperti ini. 

"Bicara sekali lagi seperti itu, kepalamu akan 
menjadi ganti kepala manusia busuk itu!" dengus 
Macan Hitam Betina. 

"Jangan," sergah Andika. "Rugilah aku kalau begitu. 
Kau tahu sendiri, kepalaku jauh lebih bagus daripada 
kepala si tengik tadi. Lihat! Betapa tampannya aku. 
Sedangkan orang itu, ah! Monyet jelek saja mungkin 
masih kalah jelek!" 

Andika sengaja melantur. Biasa, sifat urakannya 
yang pernah terbentuk sebagai bocah gelandangan 
kotapraja dulu mulai kambuh. 

"Kau memang minta dihajar, heh!" 

"Salah! Yang betul, aku ingin sekali minta di...." 

Andika memonyongkan bibir. Matanya dipejamkan. 
Dasar buaya! 

"Lelaki bajingan!" 

Setumpuk kekesalan yang menggelayuti teng- 
gorokan, diwujudkan Macan Hitam Betina dengan 
meraih batu sekepalan tangan di dekat kakinya. Lalu 
langsung dilemparnya wajah Pendekar Slebor. 
Didasari rasa gemas, lemparannya pun bukan 
sembarangan. Disalurkannya setengah tenaga dalam 
tingkat ke sekian. Dia berharap, moncong pemuda di 
depannya remuk! 

Wukh! 

Batu meluncur deras menuju sasaran. Arahnya 
begitu tepat menuju bibir Andika yang masih saja 
memancung hebat. Dan pemuda urakan itu 
tampaknya seperti tak mengindahkan bahaya yang 
bisa membuat bibirnya cacat. Dia masih monyong. 
Matanya masih terpejam. Apa maunya pemuda 
urakan satu ini? Apa dia sudah bosan memiliki wajah 
tampan? 

Tepat ketika batu itu sudah tinggal sejengkal lagi 
dari bibirnya. Andika melengos. Walhasil, batu itu 
meluncur terus ke belakang. Jauh ke belakang. 
Sampai.... 

Bletak! 

"Wiaaauuu!" 

Terdengar teriakan seseorang. Suaranya meng- 
gelegar seperti salakan binatang buas dari pojok 
bumi. Itu pun kalau bumi ini ada pojoknya. 

"Sshiaapaaa yang berani-berani membuat jidatku 
bengkak seperti ini!" 

Lelaki Berbulu Hitam tahu-tahu muncul di sana 
dengan mendekap jidat. Bibirnya meringis-ringis 
parah. Sementara matanya mendelik-delik liar, 
sepertinya siap menelan siapa saja yang berada di 
dekatnya! 

Demi melihat wujud mengerikan orang yang baru 
muncul. Macan Hitam Betina nyaris memekik. Untung 
mulutnya cepat ditutup. Selama turun ke dunia 
persilatan beberapa purnama lalu, belum pernah 
ditemukannya manusia seseram ini. Saking terkejut- 
nya, rasa pedih di ujung jari kirinya terlupakan. 
Berbulu hitam. Taring di mulutnya. Tinggi besar. Kalau 
bukan raja dari segala raja monyet, barangkali orang 
ini setan penunggu keramat yang keluar siang bolong! 
Begitu pikir si pendekar wanita. 

"Siapa?" ulang Lelaki Berbulu Hitam. Suara laki-laki 
ini makin menggelegar, sanggup menggetarkan nyali 
siapa pun. Pendekar Slebor sendiri jadi sempat ngeri 
juga. Manusia tak waras satu ini tak akan 
memandang siapa-siapa, kalau sudah berang. Andika 
hanya takut ubun-ubunnya digeragot! 

"Oh! Rupanya ada Tuan Penolongjuga di sini." 

Kalimat lelaki berdarah setengah serigala itu 
berubah melunak, mendapati Pendekar Slebor. Biar- 
pun tampak dipaksakan, bibirnya masih berusaha 
tersenyum. Akhirnya, yang muncul malah raut wajah 
orang telat buang hajat. 

"Apa Tuan Penolong tahu, siapa yang telah 
melempar batu sembarangan?" tanya Lelaki berbulu 
Hitam. 

Andika meringis. 

"Memangnya akan kau apakan orang itu?" tukas 
Andika. 

Lelaki Berbulu Hitam memperlihatkan taringnya. 

"Akan kukunyah dagingnya! Grrr!" 

Melihat itu, maka tubuh Macan Hitam Betina pun 
menciut. 

Andika melirik. Dia senang sekali menyaksikan si 
ayu itu mengkeret seperti karet terjemur. Permainan 
usilnya pun diperpanjang. 

"Kalau aku jadi kau, Pak Tua. Bukan saja akan 
kukunyah daging orang itu! Bahkan akan kujemur 
dagingnya untuk persediaan makan selama satu 
bulan!" kata Andika memanas-manasi. 

"Betul. Tuan Penolong! Akan kujemur dagingnya! 
Grrr!" 

Macan Hitam Betina makin menciut. Biarpun 
menganggap dirinya sebagai pendekar, namun jiwa 
kewanitaannya tetap tak bisa dilenyapkan sama 
sekali. Kalau dia, berani menghadapi Pendagel Setan, 
semata-mata karena kesombongannya yang kelewat. 
Macan Hitam Betina menganggap ilmu yang dimiliki 
sudah hebat. Padahal, dia tergolong hijau di dunia 
persilatan. Masih belum kenyang makan asam 
garam. Jadi, tak heran kalau sikapnya begitu. 
Memang baru seumur hidup dilihatnya orang se- 
mengerikan itu. 

Wajah ayu Macan Hitam Betina jadi memucat. 
Kalau Andika terus mengompori Lelaki Berbulu Hitam, 
sebentar saja tentu wanita ini akan pingsan. 

"Jadi, siapa yang telah melempar batu itu. Tuan 
Penolong?" desak Lelaki Berbulu Hitam, tak sabar. 

Andika melirik lagi Macan Hitam Betina. 
Perempuan itu kian memucat. 

"Ah! Barangkali batu itu hanya terbawa angin. Pak 
Tua...," kata Pendekar Slebor kemudian, melegakan 
hati si wanita ayu di dekatnya. 

Lelaki Berbulu Hitam menggerutu. Sekarang ke- 
berangannya tak bisa ditumpahkan pada siapa-siapa. 
Pada angin pun percuma. Bagaimana bisa melabrak 
angin? 

Kemarahan yang tertahan itu berakibat buruk buat 
diri laki-laki berdarah serigala ini. Perutnya jadi 
demikian mulas melilit-lilit. Sebentar saja, dia sudah 
berlari kembali ke arah kedatangannya. 

"Mau ke mana, Pak Tua?!" teriak Andika. 

"Sungai!" 

"Dasar otak bekas! Mana ada batu sekepal tangan 
terbawa angin sepoi-sepoi seperti ini." gumam Andika, 
cengengesan. 




Ada sebuah tempat rahasia yang tersembunyi dari 
jangkauan orang-orang persilatan. Tempat yang bisa 
dibilang kelewat mengerikan bagi siapa saja. Bahkan 
untuk seorang pemberani sekali pun! 

Di sana, menghampar luas sebuah padang kering. 
Bahkan terlalu kering. Rumput liar yang biasa 
sanggup bertahan hidup di tanah gersang, tak 
mampu bertahan di tempat tersebut. Dataran yang 
lowong. Gundul seperti gurun. Tanahnya berwarna 
hitam, terlihat rapuh ketika diterjang angin. 

Sementara beberapa batang pepohonan yang 
masih berdiri hanya tinggal batang-batang kering. 
Cabang dan rantingnya gundul meranggas, seperti 
gapaian tangan-tangan makhluk dari alam lain. Di 
atas cabang-cabangnya, berhimpun ratusan burung 
pemakan bangkai yang bertengger berjajar, seperti 
serdadu kematian menanti perang. Warna hitam 
mereka seperti menggantikan daun. 

Di atas sana, langit diselubungi mega kelam. 
Bukan. Gumpalan-gumpalan yang tak beranjak itu 
bukanlah awan. Itu tak lebih dari kabut beracun yang 
telah mengungkung tempat ini selama ratusan tahun. 
Sari pati tanah langka di bawahnya, telah mengikat 
secara aneh gumpalan-gumpalan kabut beracun itu. 
Dari tahun ke tahun. 

Hanya burung-burung pemakan bangkai di atas 
cabang-cabang kering yang tetap bertahan hidup, 
seakan-akan menjadi penghuni tetap. Jumlah mereka 
begitu banyak, mendirikan bulu roma. Mereka 
memang telah beranak-pinak. Kadang mereka pergi 
bergerombol keluar jika harus mencari mayat untuk 
santapan! 

Di samping mereka, ada manusia yang juga dapat 
bertahan hidup. Kini, dia berdiri memandangi hasil 
kerjanya, membangun panggung dari susunan ke- 
rangka tulang manusia! 

Orang itu tak lain dari Pendagel Setan. 

Kerangka terakhir telah ditancapkan ke tanah, 
sebagai bagian terakhir dari panggung ganjil meng- 
gidikkan yang dibangun selama sekian pekan. Di 
salah satu sudut panggung, dia berdiri berkacak 
pinggang. Dipandanginya panggung hasil karyanya 
dengan kepuasan pekat di mata. 

"Semuanya sudah siap. Tempatku membuktikan 
diri selaku penguasa rimba persilatan telah ku- 
bangun! Tinggal tunggu tamu kehormatanku, 
Pendekar Slebor! He-he-he, Pendekar Slebor! Dia aka 
tiba di sini pada hari yang kurencanakan untuk 
mengantar nyawa! Ya, mengantar nyawa!" kata 
Pendagel Setan sesumbar. 

Kembali Pendagel Setan memandangi bentangan 
tonggak-tonggak tulang manusia berbentuk pang- 
gung. Cukup lama, hingga hatinya yang keji merasa 
puas. 

"Padang Mega Racun! Kau akan menjadi saksi 
untukku. Menjadi saksi terbunuhnya pendekar muda 
besar tanah Jawa di tanganku. Pada saatnya nanti!" 
pekik Pendagel Setan ke segenap penjuru dataran 
kerontang di sekelilingnya. 

Burung-burung pemakan bangkai di ranting-ranting 
pohon kering menyambutinya dengan koakan ramai, 
bersama suara kepakan sayap riuh. 

Ringan, kaki Pendagel Setan menjejaki tonggak- 
tonggak tulang manusia. Satu demi satu, menuju 
tengah-tengah panggung ganjil yang dibangunnya. 
Setibanya di sana, lelaki itu berdiri untuk beberapa 
tarikan napas. 

Selanjutnya, kedua tangan lelaki ini bergerak 
lamban seirama setiap hembusan napasnya. Selang 
berikutnya, sepasang tangan kerempengnya meng- 
hasilkan suara berkecipak. Terdengar seperti per- 
mukaan air yang dimainkan. Dari gerakan lamban, 
tangan itu terus bergerak kian cepat. Cepat dan terus 
bertambah cepat. 

Pada saatnya, gerak tangan itu membentuk 
bayangan sayap seekor burung raksasa. Angin besar 
itu terlahir, berputar-putar liar di sekeliling arah gerak 
kedua tangan tersebut. 

Dua pusaran angin dengan arah berbeda ter- 
bentuk sudah. Pusarannya terus meninggi, meng- 
gapai kabut pekat beracun. Seperti memiliki ke- 
kuatan, pusaran angin ciptaan itu menarik inti racun 
dari kabut di atas sana, menuju sepasang tangan 
lelaki ganjil itu. Semuanya terserap perlahan, seakan 
air terhisap tanah. 

Tak lama, tangan Pendagel Setan pun berubah 
warna. Warnanya kini seperti kabut pekat di atas. 
Kelabu dan terus makin kelabu. Lalu... 

"Khhh!" 

Drrrttt! 

Dari kebutan sepasang tangan yang terus bergerak 
itu, meluncur deras hawa kasap mata menuju satu 
sasaran. 

Trash! Zhhh! 

Seketika kawanan burung pemakan bangkai se- 
batang pohon beterbangan kacau seperti baru 
digebah angin ribut. Dan memang, pohon kering 
besar itu telah menjadi sasarannya. Sebentar batang 
kokoh pohon tersebut bergetar seperti baru saja ada 
gempa. Begitu angin melewatinya, seluruh kulit pohon 
itu terkelupas bersamaan! Tak hanya itu. Serat-serat 
kayu bagian dalamnya pun turut bertebaran. 

"Lihatlah, kawan-kawanku!" seru Pendagel Setan 
pada seluruh burung pemakan bangkai yang setia, 
memperhatikan gerak-geriknya. "Dengan sempurna- 
nya tenaga 'Kepak Racun Pemakan Bangkai'-ku, 
tubuh Pendekar Slebor akan kubuat bernasib sama 
dengan pohon itu!" 

Lagi-lagi binatang-binatang menjijikkan di atas 
sana menyambuti seruan Pendagel Setan dengan 
koakan serta kepakan sayap yang ramai. 

"Nah! Kini, tibalah kalian menjalankan tugas!" 

Pendagel Setan melanjutkan seruannya pada 
seluruh burung pemakan bangkai di sana. 

Dari tengah-tengah panggung ganjil miliknya, 
tubuh kerempeng itu melompat ringan jauh ke depan. 
Lalu manis sekali dia hinggap kembali sekitar lima 
belas tombak dari tempat semula. Di sana, tepat di 
bawah kakinya, sudah tersedia tumpukan gulungan- 
gulungan kecil tanah berwarna hitam. 

Plokk! 

Pendagel Setan bertepuk tangan sekali. 

Tampaknya, tepukan itu amat berarti bagi 
kawanan burung di atas ranting-ranting pepohonan 
kering. Satu persatu binatang-binatang itu terbang 
menuju ke arah Pendagel Setan. Ketika tiba, tangan 
Pendagel Setan menjemput satu gulungan tanah 
hitam, lalu melemparkannya kepada burung tadi. 

Saat itu juga burung itu mencengkeram tanah 
hitam, dan segera terbang ke angkasa, meninggalkan 
Padang Mega Racun. Satu persatu begitu. Sampai 
seluruhnya menghilang di balik kabut kelabu pekat. 

'k 'k 'k 

"Hei, jangan pergi!" 

Andika mengurungkan langkahnya. Kepalanya 
menoleh ke arah Macan Hitam Betina dengan 
tatapan gemas. 

"Tadi kau menolak niat baikku menolongmu. 
Sekarang, ketika aku mau pergi, kau malah menahan- 
ku! Jadi apa maumu sebenarnya heh?!" tanya Andika, 
sewot. 

"Aku mau kau mengatakan siapa dirimu se- 
sungguhnya!" tandas Macan Hitam Betina. 

Memang, sejak Andika keluar dari persembunyian 
tadi, wanita itu masih saja ngotot ingin mengetahui 
julukannya. 

"Yang pasti, aku bukan siluman pasar burung. 
Atau, tengkulak kebun singkong. Atau, monyet lupa 
diri...." 

"Diam!" 

"Atau kecoak jompo...," kata Andika seraya me- 
lanjutkan langkah santai. 

"Diam!" 

"Atau..., perempuan brengsek seperti kau!" Andika 
berbalik lagi dengan mata melotot. 

Dongkol setengah mampus dia diperlakukan 
seperti anak tiri seperti itu. 

"Kau benar-benar mau tahu siapa aku?!" hardik 
Pendekar Slebor keras-keras, sampai otot-otot di 
lehernya seperti hendak meletus. 

"Katakan kalau kau tak ingin mampus di tangan- 
ku!" teriak Macan Hitam Betina, tak kalah keras. 

"Aku...." 

"Tuan Muda!" 

Mendadak seseorang menjegal niat Andika. Dari 
arah tenggara, datang tergopoh-gopoh petani tua. 
Tubuhnya masih berlumur lumpur sawah. Masih 
basah. Besar kemungkinan, dia baru saja meninggal- 
kan pekerjaannya. Menilik parasnya, orang itu 
tampaknya sedang dicekam ketakutan. 

"Apa Tuan Muda seorang pendekar?" susul petani 
tua itu tergesa. 

Tahu keadaan mendesak, Andika tak ingin ber- 
lama-lama lagi. Dianggukinya pertanyaan si bapak 
petani cepat. 

"Ada apa, Orang Tua?" tanya Andika. 

"Di desa..., di Desa Wetan...." 

"Perlahan-lahan, Orang Tua. Biar aku bisa jelas 
mengerti keadaannya." 

"Ah! Aku sulit menjelaskannya, Tuan Muda. 
Sebaiknya Tuan Muda ikut aku segera," pinta si 
petani tua mendesak. 

"Baik!" sahut Andika mengangguk mantap. 

Petani tua ini cepat beranjak. Dan Andika meng- 
ikuti dari belakang. 

"Tunggu! Aku ikut!" ujar Macan Hitam Betina 
belakang Andika. 

'k 'k 'k 

Andika, Macan Hitam Betina, dan si petani tua tiba 
di pinggir desa yang dimaksud. Di pematang sawah 
yang tergelar megah sepanjang tepi desa, mereka 
berdiri menatap langit. Petani tua telah menunjukkan 
sesuatu pada Andika clan Macan Hitam Betina. 

"Ah! Bukankah itu hanya awan mendung saja. 
Orang Tua?" kata Andika, menyaksikan gerombolan- 
gerombolan kecil awan kelabu berarak terpisah 
angkasa. "Tapi, tunggu...." 

Andika langsung menajamkan pandangan. 

"Memang aneh," bisik Pendekar Slebor kemudian. 

"Benar, Tuan Muda. Gumpalan-gumpalan awan 
kelabu itu selalu mengikuti ke mana kawanan burung- 
burung pemakan bangkai melayang." 

"Benar, Orang Tua," dukung Andika. "Lalu, kenapa 
keanehan itu membuat kau merasa harus mem- 
beritahukan aku, Orang Tua?" 

"Karena sekitar lima belas tahun silam di Desa 
Wetan ini terjadi hal yang sama," papar si petani tua. 
"Dan apa Tuan Muda ingin tahu kejadian selanjut- 
nya?" 

Andika mengangguk. Sementara Macan Hitam 
Betina di sisinya menampakkan wajah sungguh- 
sungguh, menanti kelanjutan cerita petani tua itu. 

"Puluhan warga desa mati dalam satu hari!" 

"Apa sebabnya, Orang Tua?" selak Matan Hitam 
Betina. Mulut ketusnya rupanya tak bisa ditahan lagi. 

"Arakan-arakan awan yang mengikuti kawanan 
burung pemakan bangkai itu ternyata mengandung 
racun mengerikan! Begitu tiba di atas desa kami, 
kabut itu menurunkan semacam embun tipis ke 
segenap penjuru desa. Siapa saja yang menghirup, 
akan mati di tempat. Keadaan seluruh korban begitu 
menggidikkan..» Tuan-tuan Muda mau tahu, apa yang 
terjadi?" 

"Mau, mau!" terjang Macan Hitam Betina bernafsu. 

"Mereka mati dengan tubuh menjadi rapuh! Ihhh! 
Bayangkan saja, tubuh mereka bahkan dengan 
mudah dipreteli kawanan burung-burung pemakan 
bangkai. Sepertinya daging dan tulang mereka telah 
berubah selunak lumut!" papar orang tua ini. 

Andika bergidik. Terlebih perempuan di sebelah- 
nya. 

"Kebetulan waktu itu ada beberapa pendekar yang 
singgah di desa kami. Mereka berusaha mencari 
tahu, apakah semua itu hanya kejadian alam biasa. 
Atau, perbuatan seseorang. Sebelum tahu apa yang 
sesungguhnya tengah berlangsung, mereka semua 
ditemukan tewas di tengah sawah," lanjut orang tu ini. 

Lelaki berkulit gesang itu berhenti sebentar. 
Tampaknya dia pun nyaris tak bisa menguasai rasa 
ngeri yang melata liar dalam dirinya 

"Salah seorang yang sekarat sempat member- 
tahukan pada kami, bahwa kejadian itu adalah 
perbuatan seorang wanita yang terusir dari desa. 
Sayang, sebelum semuanya jadi jelas, ajal men- 
jemputnya...." 

Andika menatap kembali langit di atas sana. Laju 
gumpalan-gumpalan kabut kelabu di atas sana kian 
dekat ke arah Desa Wetan, bersama meluncurnya 
kawanan burung pemakan bangkai tepat di bawah 
gumpalan-gumpalan kabut. Matanya menyempit. 
Kerutan tegang terlihat. 

Kalau Andika memperhatikan keadaan para 
korban dalam cerita bapak tua tadi, didapatinya ada 
kemiripan dengan korban perbuatan Pendagel Setan 
beberapa waktu sebelumnya. Tapi, kenapa pendekar 
sekarat dalam cerita si petani tua justru mengatakan 
bahwa kejadian itu didalangi seorang wanita? Lalu 
apa kaitannya dengan peristiwa kini? Apa pula 
kaitannya dengan Pendagel Setan? Andika belum 
bisa menemukan titik terang dalam masalah ini. 
Semuanya masih samar baginya. 

"Begini saja, Orang Tua. Sebaiknya cepatlah pergi 
ke desa. Ingatkan mereka untuk segera mengungsi 
ke tempat yang lebih aman. Sementara itu, aku akan 
mencoba semampuku menghalangi gumpalan- 
gumpalan kabut beracun itu, kalau bisa akan kucoba 
menyingkirkannya...," ujar Andika mantap. 

"Bagaimana denganku?" tukas pendekar wanita di 
dekatnya. 

"Kau? Sebaiknya cepat mencari kain gombal, lalu 
sumpal mulutmu!" 

Andika memang masih menyimpan kejengkelan- 
nya pada Macan Hitam Betina. 




"Koakk! Koakk!" 

Angkasa dicemari teriakan-teriakan memekakkan 
kawanan burung pemakan bangkai. Berjumlah 
ratusan. Mereka telah tiba di atas desa yang dituju. 
Desa yang lima belas tahun lalu telah menjadi 
korban, kini hendak dimangsa kembali! 

Seperti cerita bapak petani tua, saksi hidup 
kejadian terdahulu, kawanan burung pemakan 
bangkai itu akan menggiring gumpalan-gumpalan 
kabut beracun menuju atas desa. Di beberapa sudut 
desa, beberapa ekor burung melepaskan gulungan 
tanah sehitam jelaga dari cakarnya. Gulungan tanah 
sebesar kepalan tangan itu meluncur jatuh, siap 
menebar bencana. Demikian pula kejadian di 
beberapa sudut lain. 

Sesungguhnya, bukan gulungan tanah hitam itu 
yang mengancam nyawa penduduk. Melainkan, awan 
pekat kelabu di atasnya. Seperti diketahui, gulungan- 
gulungan tanah itu berasal dari Padang Mega Racun 
yang memang jenis tanah langka. Dan tanah itu 
memiliki daya tarik kuat ke bawah, terhadap 
gumpalan-gumpalan kabut yang mengandung racun 
tertentu. 

Seperti daya pada besi sembrani yang bisa 
menarik besi lain. 

Maka, jika gumpalan-gumpalan tanah itu dijatuh- 
kan di tempat tertentu akan ada gumpalan-gumpalan 
kabut beracun di angkasa! Kabut beracun itulah yang 
telah membantai puluhan bahkan ratusan warga 

Desa Wetan ini, lima belas tahun silam! Dan kali ini, 
gumpalan-gumpalan kabut racun itu pun siap 
menebar maut. 

Di atas sana, para makhluk yang telah andil meng- 
giring kabut tersebut melayang-layang tiada henti. 
Mereka terbang dalam gerak bergairah menebar 
kematian. Bukankah mereka hanya menunggu 
beberapa saat untuk mendapatkan limpahan 
makanan lezat bagi mereka yang berupa bangkai- 
bangkai manusia! 

Benarkah mereka akan segera merayakan pesta 
besar? Tidak! Sebelum mereka tiba, nyatanya pen- 
duduk desa telah berhasil diungsikan secepatnya, 
atas pemberitahuan petani tua tadi. Desa kini 
menjadi melompong. Suasana senyap meraja. Jalan- 
jalan lengang. Yang jelas, desa itu berubah menjadi 
desa mati tak berpenghuni. 

Senja datang perlahan. Ketika itu, bobot kabut 
kelabu pekat yang menggelantung di angkasa men- 
jadi lebih berat. Lambat tapi pasti, gumpalan- 
gumpalan itu merayap turun dari angkasa, menjamah 
hampir segenap bagian desa. Jalan-jalan menjadi 
ladang kabut. Begitu juga pekarangan-pekarangan 
rumah penduduk, kebun-kebun, atau petak-petak 
tempat bermain para bocah. 

Binatang-binatang ternak yang tak sempat dibawa 
mengungsi mengalami nasib naas saat itu juga. 
Mereka bergelimpangan di sana sini, dalam lautan 
kabut yang menggerayang lamban namun me- 
matikan. 

Tak lebih dari empat tarikan, kabut beracun tadi 
telah berhasil melempar keluar nyawa binatang- 
binatang ternak malang dari jasadnya. Ayam, 
kambing, bahkan seekor kerbau jantan kekar sekali 
pun. Lalu, bagaimana bila manusia? 

Kalau hanya sampai di sana, mungkin tak terlalu 
menggidikkan. Namun daya kerja racun yang dibawa 
kabut tadi rupanya tak berhenti sampai di situ saja. 
Setelah tubuh binatang-binatang mangsanya ber- 
gelimpangan, secara lambat kekenyalan daging serta 
kekerasan tulangnya mulai digerogoti. Tak lama, 
daging dan tulang bangkai-bangkai itu menjadi 
demikian rapuh. Begitu rapuh, sampai tiupan angin 
sepoi-sepoi pun mampu menerbangkan bulu-bulu 
mereka. Atau lebih mengerikan lagi, dapat membuat 
kulit terkelupas! 

Lebih mengerikan dari itu, ternyata kejadian itu 
berlangsung ketika korban sedang sekarat. Artinya, 
mereka akan begitu tersiksa luar biasa, saat bagian 
demi bagian tubuh terlepas dan terkelupas! 

Itulah kedahsyatan racun dari Padang Mega 
Racun, tempat Pendagel Setan menyempurnakan 
ilmunya, sekaligus tempat nanti Pendekar Slebor 
akan ditantang mengadu jiwa! Itu berarti, sebentuk 
tantangan amat berat akan dihadapi pendekar muda 
dari tanah Jawa itu. Sebab, di samping kesaktian 
lawan yang belum lagi dapat diukur, racun di padang 
tersembunyi itu pun akan menyambutnya.... 

Sementara itu, sesosok tubuh tak dikenal me- 
masuki wilayah desa maut tadi. Langkahnya lambat. 
Dan amat ringan. Bahkan gerak kabut pun masih 
kalah ringan. Cahaya senja yang sekarat dan tebalnya 
kabut, membuat perawakan orang itu jadi tidak begitu 
jelas. Yang pasti, dia bukanlah Pendagel Setan. 

Sosok itu terus berjalan lurus. Sekilas ekor jubah 
panjang hitamnya melambai lamban mengikuti irama 
lagkahnya. Rambutnya sepanjang bahu. Sulit untuk 
menentukan, apa warnanya. 

Tiba di tengah-tengah desa, sosok itu meng- 
hentikan langkah. Ditatapnya bangkai-bangkai 
binatang tanpa gerak. Lama dia begitu, sampai 
akhirnya memutuskan untuk melanjutkan langkah. 
Siapa orang itu? 

Lalu, ke mana Andika? Bukankah anak muda itu 
sebelumnya berniat akan menghadang gerak 
gumpalan kabut? Ternyata, dia tak berhasil. Jadi, apa 
yang telah terjadi? 

Senja makin tua digerogoti waktu. Hari mulai 
meredup. Matahari kian terpuruk. 

"Tuan Penolong! Hoi, Tuan Penolong! Kemana 
kau?!" 

Lelaki Berbulu Hitam memangil-manggil Andika. 
Manusia berdarah setengah serigala itu tampak 
berjalan celingukan di tempat Andika dan Macan 
Hitam Betina sebelumnya. 

Mulas di perutnya sudah dapat dienyahkan. Di 
samping karena 'persediaan'nya sudah terkuras, juga 
karena keberangannya menguap. Padahal, kepalanya 
masih benjut sebesar telur angsa. 

"Ah! Ke mana dia? Kenapa aku ditinggal begitu 
rupa!" 

Taring Lelaki Berbulu Hitam menyembul. Sifat 
berangasannya pasti bakal mencelat lagi, kalau 
bukan Andika yang sedang dicarinya. 

"Tuan Penolong! Di mana kau? Beritahu aku! Apa 
kau dongkol padaku?! Aku janji tak akan buang hajat 
lagi sepanjang hayat, supaya Tuan tidak dongkol lagi 
padaku!" 

Alis lembut Lelaki Berbulu Hitam terungkit. 

Sambil memegangi pantatnya, mulutnya meringis 
kecut. Laki-laki kekar berbulu ini berpikir, bila tidak 
buang hajat sepanjang hayat, apa nanti tidak 
sengsara? 

"Eh! Maksudku bukan itu, Tuan Penolong! 
Maksudku, aku janji tak akan pernah lagi buang hajat 
di sungai!" ralat Lelaki Berbulu Hitam terburu-buru, 
seolah takut sumpah sebelumnya jadi telanjur. 

"Maaf, Kisanak!" 

Mendadak terdengar teguran dari belakang. Lelaki 
Berbulu Hitam menoleh. Tampak di depannya lelaki 
tua telah berdiri di belakangnya. Usianya tujuh 
puluhan. Berjubah hitam pudar yang tampaknya tak 
kalah tua dengan pemiliknya. Tubuhnya tak terbilang 
renta, jika dibanding usianya. Kumisnya putih tipis tak 
terawat, seputih rambutnya yang memanjang hingga 
bahu. Orang tua itulah yang tampak di desa korban 
keganasan racun di Padang Mega Racun. 

Tahu kalau bukan Andika yang menegurnya, acuh 
saja Lelaki Berbulu Hitam meneruskan langkahnya. 

"Maaf, Kisanak. Bisakah kau berhenti sejenak? 
Aku ingin sedikit bertanya padamu," tegur orang tua 
itu kembali. 

"Aku sedang mencari seseorang!" sahut Lelaki 
Berbulu Hitam, ketus dan sambil lalu. 

"Tapi, bukankah tak rugi bila sedikit menolongku, 
Kisanak," usik orang tua itu kembali. Nada ramah 
ucapannya masih terjaga. 

"Aku tak peduli," tandas Lelaki Berbulu Hitam. 

Orang tua itu menyusul. Langkah Lelaki Berbulu 
Hitam dijajarinya dengan ringan. 

"Maaf sekali lagi, Kisanak. Aku ingin bertanya 
untuk keadaan yang begitu mendesak. Ini 
menyangkut keadaan genting yang bisa merenggut 
korban nyawa," lanjut orang tua itu tak menyerah. 

Lelaki Berbulu Hitam menggeram. Dipenggalnya 
langkah kakinya. Dengan mata membesar, ditatapnya 
orang tua tadi. 

"Apa kau tak dengar perkataanku tadi. Aku bilang, 
aku tak peduli. Yang aku peduli, aku mesti 
menemukan Tuan Penolongku!" tegas Lelaki Berbulu 
Hitam. 

Orang tua berjubah hitam itu mengangkat tangan. 
Bibirnya tersenyum ramah, sekaligus sejuk. 

"Baik..., baik.... Begini saja, Kisanak. Kalau kau 
sudi menjawab pertanyaanku, maka aku akan mem- 
bantu mencarikan orang yang kau cari. Bagaimana?" 

Lelaki menyeramkan berdarah serigala yang di- 
tawari malah menatap tajam. Parasnya seperti seekor 
serigala lapar hendak menelan mangsa hidup-hidup. 
Memang susah berurusan dengan orang semacam 
dia. Kalau maunya hitam, ya mesti hitam. Tak bisa 
putih. Apalagi loreng! 

"Kau pikir aku butuh pertolonganmu?! Grrr!" 

Geraman Lelaki Berbulu Hitam pun meluncur. 

Orang tua berjubah hitam tetap tenang. Dia hanya 
mengangkat bahu. 

"Baiklah. Aku akan bertanya pada orang lain saja 
kalau begitu." 

"Bagus, grrr...." 

"Aku mohon pamit," hatur si orang tua. 

"Tidak bagus!" bentak Lelaki Berbulu Hitam, 
memaksa orang tua tadi mengurungkan niatnya. 

"Apa maksudmu?" 

"Kepalamu harus kukepruk dulu!" 

Bibir keriput orang tua berjubah hitam mem- 
perlihatkan senyum samar. 

"Kenapa kau hendak mengeprukku? Bukankah 
aku tak berbuat salah?" 

"Siapa bilang?! Kau telah memancing ke- 
beranganku! Kau tahu, apa artinya itu?" 

Si orang tua mengangkat bahu. 

"Kalau kau tak kuhajar, itu artinya bakal membuat 
perutku mulas lagi." 

Sekali lagi kening orang tua berjubah hitam 
dipaksa berkernyit. Apa hubungannya perut mulas 
dengan semua ini? 

"Dan kalau perutku mulas, aku harus buang hajat 
lagi," susul Lelaki Berbulu Hitam. 

Si orang tua mulai merasa orang berpenampilan 
seram ini sudah tak waras. Ucapannya makin ngalor 
ngidul tak karuan. 

"Kalau aku buang hajat lagi, berarti Tuan Penolong 
akan makin dongkol padaku. Dan kalau Tua Penolong 
dongkol padaku, aku tak akan diizinkan bertemu lagi 
dengannya. Dan kalau tak diizinkan bertemu lagi 
dengannya, aku bakal tak sembuh. Dan kalau aku tak 
sembuh...." 

"Baik..., baik!" 

Cerocos yang tak sempat diselingi tarikan napas 
itu cepat-cepat dihentikan si orang tua. Masalahnya 
dia merasa jadi ikut sinting kalau terus menyimak 
ucapan ngelantur yang tak dimengerti itu. 

"Kalau aku punya salah, aku minta maaf," lanjut 
orang tua itu. 

"Grrr! Tak bisa begitu!" 

Wukh! 

Tahu-tahu saja, tangan setebal badan ular sanca 
hutan Lelaki Berbulu Hitam ngeloyor deras ke kepala 
si orang tua. Jaraknya cukup jauh. Namun, orang tua 
berjubah hitam dibuat terkesiap mendapati angin 
pukulan berkekuatan hebat dihasilkan gerakan 
tangan Lelaki Berbulu Hitam. 

Si orang tua cepat menangkis. Dia tahu, apa 
akibatnya kalau pelipisnya sampai terhajar tinju besar 
Lelaki Berbulu Hitam. 

Plak! 

Tangan mereka berbenturan. Si orang tua ter- 
dorong beberapa tindak ke belakang. Sungguh tak 
dikira kalau tenaga lawan jauh lebih kuat dari 
perkiraannya. Pergelangan tangannya pun terasa ber- 
denyut-denyut. 

"Kau tak boleh menangkis! Jangan buat aku 
berang!" dengus Lelaki Berbulu Hitam. 

"Bagaimana aku tak menangkis kalau pelipisku 
bakal remuk oleh kepalanmu?" sanggah si orang tua. 

"Kalau begitu, kita berkelahi! Berkelahi!" 

Memangnya tadi itu apa? Rutuk orang tua ber- 
jubah hitam dalam hati. 

Wesss! 

Satu terjangan seekor serigala dilakukan Lelaki 
Berbulu Hitam. Wajar saja gerakan itu sering dilaku- 
kan tanpa sadar kalau sedang marah, mengingat dia 
dibesarkan oleh sepasang serigala hutan besar. Dan 
kuku panjang hitamnya pun menebas udara, menuju 
dada. 

Si orang tua tak mau membuat kesalahan kedua. 
Dia masih belum yakin telah dapat mengukur tingkat 
kekuatan lawan. Karena itu, tak dipapakinya 
sambaran tangan, namun hanya menyampingkan 
badan. 

Sambaran yang berhasil dimentahkan makin 
menyuburkan keberangan Lelaki Berbulu Hitam. 
Kakinya segera membuat tendangan kasar melingkar. 

Orang tua berjubah hitam memanfaatkan ruang 
kosong di bawah kaki lawan. Tubuhnya cepat 
merunduk. Merasa dirinya terancam, dia pun merasa 
harus melakukan serangan balasan. Punggung 
tangannya dikibaskan ke selangkangan Lelaki 

Berbulu Hitam amat cepat. 

Cletat! 

"Whiaaauuu!" 

Tak alang kepalang, Lelaki Berbulu Hitam me- 
mekik nyaring. Dua bola rahasia di balik celananya 
kontan perih berdenyut-denyut. Perutnya sampai 
dibuat mual. Sikap meremehkan lawan yang tampil 
renta di matanya membuatnya ceroboh. 

Tubuh bongsor Lelaki Berbulu Hitam melintir-lintir 
serabutan. Tangannya mendekap 'mesra-mesra' milik- 
nya yang paling berharga di seantero jagi raya! 

"Akan kumamah dagingmu, Jompo Keparat!" maki 
Lelaki Berbulu Hitam di antara erangan dan geraman. 

"Ada apa ini?!" 

Suasana panas pemicu pertarungan besar men- 
dadak dipadamkan oleh sebuah teguran. Lelaki bulu 
Hitam mengurungkan niat hendak menerkam 
tengkuk orang tua berjubah hitam dengan taringnya, 
meski 'kelereng' kesayangannya masih sakit sampai 
ulu hati, meski keberangannya sudah naik sampai 
ubun-ubun, bahkan meski dunia sedang kiamat, dia 
memang harus menghentikan serangan. Soalnya, 
yang telah berdiri tidak jauh dari situ bukan orang 
sembarangan baginya. Dia ternyata Andika, anak 
muda yang dikira bisa mengenyahkan sifat pem- 
berangnya. 

"Ke mana saja kau, Pak Tua Bulu? Aku 
kelimpungan mencarimu kian kemari! Apa kau tak 
tahu aku membutuhkan pertolonganmu?!" sembur 
Andika sewot. 

Sewaktu mengatakan pada petani tua hendak 
menahan gerak burung-burung penggiring kabut 
beracun, Pendekar Slebor berpikir untuk meminta 
bantuan Lelaki Berbulu Hitam. Sesepuh sakti seperti 
dia, biarpun kurang waras, agaknya masih bisa 
diandalkan bantuannya. Tapi sewaktu kembali ke 
tepian sungai, Lelaki Berbulu Hitam sudah raib. Yang 
menjengkelkan, Andika malah hanya menemukan 
bau busuk sekawanan dedemit! 

"Tuan Penolong dari mana saja?!" sambut Lelaki 
Berbulu Hitam. 

Semestinya wajah penuh bulu itu memperlihatkan 
raut gembira. Karena suasana sedang panas. 
Wajahnya malah seperti hendak memusuhi Andika. 

"Sudah kubilang tadi, aku mencari-carimu, Pak Tua 
Bulu. Aku butuh pertolonganmu!" sahut Andika. 

"Tidak usah, Tuan Penolong...." 

"Tak usah apa?!" sentak Andika, naik darah. "Ini 
persoalan nyawa banyak penduduk desa!" 

"Bukan itu, Tuan Penolong." 

"Jadi apa?!" 

"Tak usah memanggilku 'Pak Tua Bulu'. 
Kedengarannya terlalu jelek. Kedengarannya mirip- 
mirip 'ulat bulu', atau mirip...." 

"Ah! Siapa yang peduli," gerutu Andika. "Ayo, 
sebaiknya cepat ikut aku!" 

"Tak usah tergesa, Andika," sapa orang tua ber- 
jubah hitam. Mengherankan! Ternyata dia mengenali 
pendekar muda dari Lembah Kutukan! 

Andika menoleh. Sejak tiba tadi, dia kurang 
memperhatikan siapa lawan Lelaki Berbulu Hitam. 
Pendekar Slebor terlalu digerecoki kedongkolan pada 
manusia kelebihan bulu itu. Di samping itu, hari 
memang sudah semakin senja. Kegelapan mulai 
merambah. 

"Apa aku tak salah lihat?" gumam Andika. 

Dengan terpana, Andika menatap orang tua tadi. 
Wajah itu pernah dikenalnya. Bukan hanya kenal. 
Bahkan Andika pernah begitu dekat. Seperti dekatnya 
seorang cucu pada sang eyang. 

"Ki Patigeni?" bisik Andika tak yakin. 

Orang tua yang dipanggil Ki Patigeni membuka 
lebar-lebar kedua tangannya. 

"Kau kira siapa? Apa aku mirip hantu salah jalan?" 
gurau orang tua ini enteng. 

Kontan saja Andika memburu. Didekapnya orang 
tua itu padat kerinduan. Dia seperti bertemu orang 
yang dianggapnya sudah tak akan pernah lagi 
dijumpai. Sementara Ki Patigeni menyambutnya 
dengan pelukan tak kalah hangat. Sesaat mereka 
saling mengguncang-guncangkan badan seraya ter- 
bahak-bahak ramai. 

Ki Patigeni adalah salah seorang rekan seper- 
juangan Andika. Dia yang membantu Andika dalam 
kejadian beberapa tahun silam, ketika dunia per- 
silatan digegerkan oleh kemunculan Ratu Racun. 

(Baca kisahnya dalam episode: "Geger Ratu 
Racun"). 

"Ceritakan tentang kabarmu, Ki!" pinta Andika 
meletup-letup. 

Sesaat Pendekar Slebor jadi terlupa dengan 
kejadian di desa. Bagaimana dia tidak begitu? Sebab 
selama ini Andika tahu kalau Ki Patigeni telah mati 
terkena salah satu racun ganas Ratu Racun. Kalau 
sekarang bertemu, betapa mengejutkan baginya. 

"Tuan Penolong," sela Lelaki Berbulu Hitam. 

Andika mengira manusia langka satu itu ingin 
diperkenalkan dengan Ki Patigeni. 

"O, iya, Ki. Perkenalkan ini..." 

"Bukan itu, Tuan Penolong," potong Lelaki Berbulu 
Hitam. "Aku hanya mau tanya, bolehkah aku pergi ke 
sungai lagi?" pinta Lelaki Berbulu Hitam memelas. 

Gara-gara tak jadi mengepruk batok kepala Ki 
Patigeni, perutnya jadi ngadat lagi! 




Malam tak lagi gulita. Api unggun membubung, 
membentuk tarian aneh membunuh gelap di tempat 
Andika bertemu Ki Patigeni. Kedua orang itu kini 
sedang hangat bercakap-cakap. Sementara Lelaki 
Berbulu Hitam sudah sejak lepas senja tadi 
bersemadi di semak-semak. 

Di balik batu besar sekitar tujuh delapan tombak 
ke selatan, seorang wanita mengintip. Dia adalah 
Macan Hitam Betina. Sewaktu di pinggir desa siang 
tadi. Andika meninggalkannya pergi begitu saja. 
Pendekar wanita ketus itu berusaha menguntit. Tapi, 
jangan harap Andika bisa dikejar dengan mudah. 
Tentu saja, karena di dunia persilatan ilmu meringan- 
kan tubuh Pendekar Slebor masih berada dalam 
jajaran atas. Sementara, Macan Hitam Betina cuma 
seorang pendekar wanita tergolong bau kencur. 
Di samping kedigdayaannya masih tanggung. 
Pengalamannya pun masih seujung kuku. 

Andai tahu siapa yang dikejarnya saat itu, tidak 
akan mau Macan Hitam Betina melakukan pekerjaan 
bodoh itu. Setelah kehilangan jejak dan be-putar- 
putar tak menentu hingga malam hari. Pendekar 
Slebor baru bisa ditemukannya lagi. Dan api unggun 
telah menolongnya sampai di tempat itu. 

Macan Hitam Betina segera menguping per- 
cakapan Andika dan Ki Patigeni. Dua lelaki bertaut 
usia itu sedang membincangkan kenangan lama 
mereka, saat berurusan dengan Ratu Racun. 

Mereka membicarakan segalanya. Termasuk, tipu 
muslihat Ki Patigeni. Andika pernah dikecohnya 
dengan berpura-pura mati. Seperti Pendekar Lembah 
Kutukan buyut Andika pernah pula mengecoh anak 
muda itu di Lembah Kutukan (Baca episode: 
"Dendam dan Asmara") Orang tua itu melakukannya, 
karena berharap Andika kian memendam tekad untuk 
menumpas Ratu Racun. Tipuannya demikian 
sempurna. Bahkan Andika sendiri yang mengubur- 
kannya waktu itu. 

"Ah! Tanpa kau berpura-pura mati pun, aku tetap 
memiliki tekat sebulat telur monyet dalam menumpas 
setiap kebatilan! Ha-ha-ha!" tukas Andika, bergurau 
pada Ki Patigeni. 

"Tapi aku jadi tak habis pikir, kenapa Pendekar 
Slebor yang digembar-gemborkan berotak seencer 
bubur bayi, masih bisa kutipu. Bukankah kau tahu, 
aku pernah mengalahkan guru Ratu Racun? Kalau 
begitu, mestinya kau berpikir aku tak akan begitu 
mudah ditamatkan oleh racun muridnya?" cemooh Ki 
Patigeni. Seperti dulu, dia suka mencemooh Andika 
sambil bergurau. 

"Apa?! Jadi kau ini Pendekar Slebor yang meng- 
gemparkan itu?!" 

Mendadak saja terdengar seruan kaget dari balik 
batu. Ketika Pendekar Slebor dan Ki Patigeni 
menoleh, tampak Macan Hitam Betina keluar dari 
persembunyiannya. Sejak Andika berkumpul dengan 
Ki Patigeni dan Lelaki Berbulu Hitam, dia terus 
menguntit. Wanita sok tahu itu curiga dengan 
mereka. 

"Kau lagi...," gerutu Andika. "Kenapa tak enyah saja 
jauh-jauh dari tempat ini?" 

Wanita ayu itu mendekati Andika dengan sinar 
mata berbinar-binar. Bertolak-belakang sekali dengan 
sebelumnya. Wajahnya pun kini berhias senyum 
malu-malu. Mekar seperti bunga. 

"Aku rasanya harus minta maaf padamu...," kata 
Macan Hitam Betina di depan Andika. Sikapnya serba 
salah. Telapak tangannya terus digosok-gosokkan. 
Sewaktu bicara, pandangannya tak berani bertemu 
dengan pandangan Andika. 

"Aku tak mengerti maksudmu?" tukas Andika. 

"Maksudku, aku minta maaf. Kemarin aku telah 
begitu lancang," ucap Macan Hitam Betina, menjelas- 
kan. 

"Siapa bilang kau lancang? Kau cuma brengsek, 
ketus, angkuh, dan sok tahu!" 

"Ah! Jangan begitu..., Pendekar Slebor. Kemarin 
kita cuma salah paham. Kalau tahu kau ternyata 
pendekar besar, tak akan aku berbicara 
sembarangan..." 

Andika mencibir. Jelek sekali. 

'k 'k k 

Siang terik. 

Empat orang memasuki desa siang itu. Sepi 
mengungkung. Tak seorang penduduk pun yang 
berani pulang. Mereka masih cemas dengan kabut 
beracun maut yang masih mengepung desa. 

Tak seperti kemarin senja, kabut kelabu sudah tak 
bergentayangan lagi. Panggangan panas matahari 
telah menyebabkan bobot kabut menjadi ringan. 
Semuanya perlahan-lahan menguap ke angkasa, ber- 
kumpul kembali membentuk gumpalan-gumpalan 
mirip awan mendung. Dan jika hari menjadi senja, 
ancaman maut kabut tersebut siap turun kembali 
mengepung setiap sudut desa. 

Kemari sore, ketika Andika hendak mengajak 
menyelidik desa, Ki Patigeni mencegahnya. Pada 
Andika dikatakan, bahwa sampai saat itu tak ada 
korban manusia. Dan pemuda ini tak perlu khawatir. 
Di samping itu, Ki Patigeni punya rencana lain. Sebab 
itu, mereka pun menghabiskan malam dengan mem- 
buat api unggun di tempat yang sama, untuk 
menunggu siang tiba. 

Pendekar Slebor, Lelaki Berbulu Hitam, Ki Patigeni, 
serta Macan Hitam Betina yang belakangan mengaku 
bernama asli Cempaka, memutuskan untuk me- 
masuki desa. Ki Patigeni yang banyak tahu tentang 
racun, mengatakan bahwa pada siang terik seperti 
saat itu, mereka bisa memasuki desa. 

Sesuai petunjuk Ki Patigeni pula, mereka mulai 
menyingkirkan seluruh gulungan-gulungan tanah 
hitam sebesar kepalan tangan yang memenuhi 
beberapa wilayah desa. 

Tak mudah mereka melakukan pekerjaan seperti 
itu. Karena, mereka harus memindahkan seluruh 
benda penyebab mengambangnya kabut racun di 
atas desa ke tempat yang dianggap aman. Satu- 
satunya tempat sementara yang jarang diinjak 
penduduk desa hanya hutan lebat di sebelah 
tenggara desa. Namun jaraknya hampir seperempat 
hari untuk sampai ke sana. 

Dengan sedikit memutar otak encernya, Andika 
mendapat jalan yang dapat mempermudah mem- 
percpat pekerjaan itu. Dengan peti-peti kayu bekas 
tempat telur yang didapat dari sebuah gudang milik 
penduduk, mereka menghanyutkan seluruh gulungan 
tanah langka itu. Kebetulan, sungai yang sempat 
dicemari 'limbah' milik Lelaki Berbulu Hitam 
memotong hutan sebelah tenggara. Agar tak terus 
terbawa arus, Andika meminta Macan Hitam Betina 
untuk menunggu seluruh peti di dalam hutan. Wanita 
itu pula yang akan mengumpulkan seluruh gulungan 
tanah ke tempat teraman. 

Ketika sebagian demi sebagian gulungan tanah 
dihanyutkan, maka sebagian demi sebagian kabut 
kelabu di angkasa pun bergerak mengikuti arah arus 
sungai. 

Dengan disingkirkannya seluruh gulungan tanah ke 
dalam hutan, maka desa pun menjadi terbebas dari 
ancaman kabut racun. 

'k 'k 'k 

Cempaka alias si Macan Hitam Betina meng- 
hempas napas keras-keras. Disapunya peluh yang 
membanjiri dahi. Letih pun menggelayuti sekujur 
tubuhnya. Dia pun terduduk di rerumputan hutan. 
Tugas dari Andika baru saja diselesaikan. Gumpalan- 
gumpalan tanah dari Padang Mega Racun telah 
terkumpul di sebuah lubang bekas jebakan binatang. 

Kalau dipikir-pikir, sampai semua monyet jadi 
botak pun Cempaka tak akan sudi diperintah 
seenaknya seperti itu. Selaku seorang yang meng- 
anggap dirinya pendekar, harga dirinya seperti di- 
guyur lumpur hitam. Masa' dirinya diperintah 
melakukan pekerjaan kasar seperti kuli batu? 
Memindahkan peti-peti dari sungai, mengangkutnya, 
lalu mengumpulkannya pada lubang. 

Berhubung yang memintanya Andika, anak muda 
yang namanya melambung sebagai Pendekar Slebor, 
Cempaka malah merasa mendapat kehormatan. 

Bagi wanita itu, Pendekar Slebor seperti sosok 
seorang pahlawan pujaan. Sebelum turun ke dunia 
persilatan, Cempaka memang sudah banyak dengar 
bagaimana sepak terjang pemuda itu. Bagaimana 
kekuatan kharismanya. Termasuk, ketampanannya, 
tentu. Karena begitu sering mendengar berita-berita 
luar biasa tentang Pendekar Slebor, lama kelamaan 
hatinya jadi kesemsem. Dia sering berkhayal bisa 
bertemu pemuda sakti itu. Atau lebih keterlaluan lagi, 
dia membayangkan dirinya berjalan bergandengan 
mesra dengan Andika. Atau bahkan, memimpikan 
menjadi kekasihnya. 

Kalau sekarang seluruh impian Macan Hitam 
Betina terwujud, apa itu bukan kejutan? Apa itu tidak 
membuatnya mau melakukan pekerjaan-pekerjaan 
yang dianggap tak pantas bagi seorang pendekar 
wanita seperti dia? 

Cempaka membayangkan wajah Andika. Ketam- 
panan anak muda itu benar-benar menggetarkan 
perasaan. Kekaguman wanita ini bertambah bila 
melihat mata setajam elang milik Andika. 

"Andai aku benar-benar menjadi kekasihnya...," 
bisik wanita ini lamat. 

Tanpa sadar, perempuan ayu itu memainkan 
ujung-ujung rambutnya. Tak bedanya tingkah gadis 
desa yang sedang dilanda kasmaran. Sewaktu 
matanya tertumbuk pada luka di jari-jari tangan 
kirinya, dia jadi menyesal kenapa kemarin malah 
menolak pertolongan pemuda tampan itu. Bukankah 
sungguh membirukan perasaannya jika Andika 
memegang jemarinya yangterluka, lalu mengobatinya 
penuh kelembutan? Khayalan dalam benaknya makin 
liar saja. Sampai.... 

"Kita bertemu lagi, Nona Ayu!" 

Cempaka terlonjak ketika tiba-tiba terdengar 
teguran kasar. Sejurus kepalanya menoleh ke arah 
suara. Tampak seseorang yang telah menyebabkan 
jari-jemari lentiknya menjadi rusak. Pendagel Setan! 

"Kau rupanya, Manusia Keparat! Aku memang 
berharap dapat bertemu kembali denganmu dan 
mencopot kepala jelekmu dari badan!" desis Macan 
Hitam Betina. 

Sifat wanita ini memang sok hebat. Biarpun 
kemarin sudah hampir mampus di tangan Pendagel 
Setan, tetap saja seolah-olah bisa mengalahkan lelaki 
sesat itu. 

Pendagel Setan terkekeh. Lama-kelamaan dia ter- 
pingkal-pingkal. Sampai kedua tangannya mendekap 
perut. Tak ada yang bisa ditertawakan siapapun pada 
saat itu. Tapi baginya, tetap ada sesuatu yang lucu. 

"Sinting!" maki Macan Hitam Betina dengan wajah 
mematang. 

"Kau mengira akan bisa mengenyahkanku. 
Sementara, kemarin saja kau sudah nyaris mampus 
di tanganku. Untung saja Pendekar Slebor segera 
menolongmu!" ejek Pendagel Setan. 

"Kau ingin membuktikannya sekarang?" 

"Membuktikan apa, Nona Ayu yang kehilangan 
kuku?" 

"Bahwa aku dapat menumpasmu! Manusia macam 
kau memang semestinya cepat-cepat mati!" 

Pendagel Setan terkekeh lagi. Terbahak lagi. Juga 
mendekap perutnya lagi. Jelas saja sikapnya lebih 
cepat memancing kegusaran Macan Hitam Betina 
yang merasa dilecehkan. 

"Manusia keparat! Haiii!" 

Cempaka pun seketika menerjang Pendagel Setan. 
Dari jarak enam tombak, dia melompat tinggi dengan 
sebelah kaki siap menghantam dada Pendagel Setan 
di depan. 

Wukh! 

Hanya angin yang menjadi sasaran tendangan 
terbang Macan Hitam Betina, karena tubuh Pendagel 
Setan lebih cepat berjumpalitan ke belakang. 
Tangannya dijadikan tumpuan untuk membalikkan 
badan kembali. 

Dengan kalap, Cempaka melanjutkan serangan. 
Begitu kakinya tiba kembali di tanah, punggung 
tangan kanannya dibabatkan ke kepala. Seperti 
serangan sebelumnya, usahanya kali ini pun penuh 
tenaga. Tampaknya, perempuan itu benar-benar ber- 
nafsu hendak menghabisi Pendagel Setan secepat- 
nya. Mungkin baginya lebih cepat melenyapkan tokoh 
aneh dari muka bumi, akan lebih baik. 

Seperti sedang bermain kucing-kucingan, Pendagel 
Setan sekali lagi berjumpalitan ke belakang. Tahu 
kalau tokoh aneh ini butuh tempat berpijak belakang. 
Macan Hitam Betina melompat lebih jauh mencoba 
lebih dahulu tiba di tempat Pendagel Setan akan 
berpijak. Kalau tiba lebih dahulu kesempatannya 
akan lebih besar untuk bisa menyarangkan serangan 
pada lawan yang belum siap. Begitu pikirnya. 

Tep! 

Memang, Macan Hitam Betina bisa menyusul 
jumpalitan lawan. Kakinya menjejak lebih dahulu, 
setelah melenting dan berputar di udara. Apakah itu 
berarti pula dia bisa memanfaatkan kelemahan 
lawan? 

Ternyata, tidak juga, Cempaka terlalu percaya 
pada kemampuan dirinya. Sementara sejauh itu, dia 
tak sungguh-sungguh tahu orang macam apa yang 
dihadapi. 

Sewaktu Macan Hitam Betina mencoba mencabik 
wajah lawan dengan jari kanan dari arah bawah, 
dengan lincah Pendagel Setan membuat pijakan 
cepat. Dan dengan cepat pula tubuhnya terlempar 
kembali ke tempat sebelumnya. 

Tindakan itu bukan sekadar untuk menyelamatkan 
wajahnya dari sambaran cakar Cempaka. Namun 
sekaligus juga mengirimkan tendangan dengan dua 
kaki ke rusuk. 

Desss.J 

"Aaakh.J" 

Berbareng bunyi sambaran tangannya. Cempaka 
merasa uluhatinya bagai dihantam gelondongan 
pohon. Mual teramat sangat. Bahkan untuk beberapa 
saat, dia tak bisa menarik napas. Begitu jaringan 
pernapasannya bisa menarik udara, pandangannya 
langsung berkunang-kunang. 

Pendagel Setan rupanya benar-benar mau bermain 
kucing-kucingan dahulu. Buktinya, serangannya tak 
segera dilancarkan pada saat dia bisa melakukannya. 
Sengaja dibiarkan Macan Hitam Betina menikmati 
rasa mualnya. 

"Bagaimana? Apakah kau tadi belum sarapan? 
Mestinya kau sudah memuntahkan semua isi perut. 
Apa pendekar muda tampan itu terlalu kikir untuk 
membelikanmu sarapan? He-he-he!" cemooh 
Pendagel Setan memuakkan. 

Cempaka menggoyang-goyangkan kepala be- 
berapa kali. Rambutnya jadi kacau. Sebagian 
menutupi wajahnya yang berkeringat. Pucat. Perutnya 
masih terasa mual. Dia ingin muntah. Sewaktu men- 
dengar perkataan tokoh menyebalkan ini, keinginan 
itu sekuatnya ditahan. 

Dengan tubuh agak membungkuk memegangi 
perut, pendekar wanita beradat keras itu meludah 
tanah. 

"Kurasa, kau adalah lelaki yang semasa kecilnya 
tak pernah mendapatkan perhatian orang lain! 
Tingkahmu terlalu tengik! Kau pikir, orang akan 
tertawa menyaksikan dagelan busukmu?!" desis 
Cempaka. 

"Setidaknya, aku bisa tertawa. Aku bisa mener- 
tawai kesaktian mereka, aku bisa menertawai 
hilangnya nyawa mereka!" sahut Pendagel Setan, 
menggidikkan. 

"Ya! Kau memang sudah tak waras!" 

"Ya! Yang penting, aku bisa tertawa! Ha-ha-ha!" 

"Kubunuh kau!" 

Dengan gejolak semangat tarung yang semakin 
payah, perempuan ayu yang menjuluki diri Macan 
Hitam Betina itu menerkam Pendagel Setan. 
Dorongan kemurkaan yang sejak awal menguasai 
membuat gerakannya tak terarah. Kalau gerakannya 
yang semula teratur saja belum tentu bisa sekadar 
membuat lawan kelimpungan, apalagi dengan 
keadaan begitu? 

Namun apa memang wanita itu benar-benar 
sedang dikuasai kemurkaannya? Ternyata, tidak 
begitu. Cempaka tergolong dara berotak jernih. Dia 
sering mengagumi kecerdikan Andika karena 
memang memiliki kelebihan dalam hal itu. Dan salah 
satu impiannya bila berjumpa Andika adalah 
mengadu kecerdikan! 

Dengan begitu, tentu Cempaka tahu kalau lawan 
bukan tanding ilmu kedigdayaannya. Jalan satu- 
satunya yang terbaik adalah meloloskan diri. Setelah 
itu, memberitahukan Andika. Berhadapan dengan 
pemuda itu, Pendagel Setan pasti akan ketemu 
batunya. 

Jadi, apa rencana yang ada di benak Macan Hitam 
Betina saat itu? 

Saat mendekap perut tadi, diam-diam Cempaka 
mengeluarkan serbuk pupur yang digunakan untuk 
merawat kulit wajah ayunya. Di depan muka Pendagel 
Setan, seketika ditaburkannya serbuk pupur itu 
sekuat tenaga. 

Wrrr! 

Saat itu juga, mata Pendagel Setan terlabrak 
'senjata rahasia' si perempuan yang rupanya 
senantiasa berusaha menjaga keayuannya. Perih 
dirasa. Tangannya serabutan mendekap kedua mata. 

Saat itulah Cempaka langsung mempergunakan 
kesempatan untuk melepas tendangan putarnya. 

Wuk! 

Tendangan pertama berhasil dihindari Pendagel 
Setan hanya dengan mendengar bunyinya. Namu 
tendangan kedua yang menyusul cepat di belakang 
tak bisa lagi dihindari tanpa melihat. Dan.... 

Begkh! 

"Ugkh.J" 

Sekarang uluhati Pendagel Setan bisa menikmati 
rasa mual tak terkira. Paling tidak, sebagai bayaran 
atas tendangannya pada perut Macan Hitam Betina 
barusan. 

Saat Pandagel Setan bergulingan di tanah 
menahan pedih di mata serta mual di perutnya, 
Macan Hitam Betina langsung menggenjot tubuh. 
Ditinggalkannya tempat itu dengan senyum cukup 
puas. 

"Kau pun boleh memuntahkan seluruh isi perutmu 
sekarang manusia busuk!" ejek Cempaka di 
kejauhan. 

Sesaat setelah Macan Hitam Betina pergi, 
Pendagel Setan bangkit dengan segenap kemurkaan. 
Tubuhnya pun digenjot pula, mengejar perempuan 
tadi. 

"Kau akan merasakan akibat dari perbuatanmu 
tadi. Nona Ayu! Kau akan tahu nanti!" ancam lelaki 
ini. 


•k-k -k 




"Ke mana Cempaka? Kenapa dia belum juga tiba?" 

Andika mulai khawatir pada keadaan perempuan 
itu. Hari sudah menjelang senja, namun Cempaka 
belum juga tiba. 

Seluruh desa telah bersih dari tanah pembawa 
kabut maut. Sebetulnya, akan sangat menyulitkan 
mencari gulungan-gulungan sebesar kepalan yang 
tersebar di beberapa sudut desa. Untunglah ada 
seseorang yang bisa diandalkan untuk itu.... Lelaki 
Berbulu Hitam. 

Manusia setengah serigala itu memang memiliki 
kelebihan dalam penciumannya. Seperti seekor 
anjing pelacak, dia dapat mengendusi tempat-tempat 
jatuhnya tanah itu. Meskipun, ada di lubang tikus! 
Kebetulan pula, tanah dari Padang Mega Racun itu 
menghasilkan bau yang khas. Anyir seperti bangkai 
binatang laut. 

Sudah hampir sepertiga hari mereka menunggu 
kedatangan Cempaka di balai desa. Sementara orang 
yang ditunggu belum juga muncul. 

"Mungkin sebentar lagi," hibur Ki Patigeni, men- 
coba menenangkan Andika. 

Lelaki tua itu duduk mengangkat kaki di salah satu 
kursi bambu di pinggiran balai desa. Sementara 
Lelaki Berbulu Hitam seperti kemarin malam, me- 
lakukan semadinya di sebelah gapura. 

Sebenarnya, Ki Patigeni pun khawatir terhadap 
keselamatan dara itu. Yang diketahuinya dari Andika, 
Cempaka belum lama memasuki keganasan dunia 
persilatan. Tapi, akan lebih bijaksana jika segala 
sesuatu dilakukan dengan tenang. Begitu per- 
timbangan Ki Patigeni. 

Andika berjalan mondar-mandir. Wajahnya ketat, 
menampakkan kekhawatiran. 

"Mestinya dia telah sampai dan melaporkan 
semuanya pada kita," kata pemuda itu lagi. 

"Ya, mestinya begitu," timpal Ki Patigeni. 

Andika menghentikan langkahnya tiba-tiba. Di- 
lepaskannya pandangan jauh ke atas sana, ke arah 
hutan tempat pembuangan gulungan-gulungan tanah 
hitam. Wajahnya berubah cepat. Sinar matanya ter- 
lihat begitu tegang. 

"Ada apa, Andika?" tanya Ki Patigeni. 

"Cepat ikut aku, Ki!" ajak Andika. 

Tanpa ingin menanyakan tujuan mereka, Ki 
Patigeni mengikuti Andika. Orang tua itu percaya 
penuh pada Andika, karena memang sudah kenal 
baik. Seluruh pertimbangannya terkadang tak bisa 
diremehkan begitu saja. 

Mereka berlari cepat mengerahkan ilmu me- 
ringankan tubuh. Tak begitu lama, mereka tiba di 
bukit batas desa. Dari bukit itu, Andika menunjukkan 
sesuatu pada Ki Patigeni. 

"Lihatlah, Ki...," ujar pemuda ini seraya menunjuk 
jauh-jauh ke ubun-ubun hutan sebelah tenggara. 

"Tuhan...! Tampaknya kita telah salah perhitungan, 
Andika," desah Ki Patigeni. 

Orang tua ini melihat gumpalan-gumpalan kabut 
beracun kini menggelantung di atas hutan sebelah 
tenggara desa. 

"Gumpalan-gumpalan kabut itu amat dikenali oleh 
pemiliknya, bukan? Dan dari kejauhan itu bisa dilihat 
mudah. Artinya...." 

"Artinya, kecurigaan Pendagel Setan dapat ter- 
pancing," sela Ki Patigeni. "Kemungkinan besar dia 
akan mendatangi tempat itu. Dan...." 

"Dan Cempaka pasti dalam bahaya. Dia tak akan 
sanggup menghadapi kesaktian manusia laknat itu!" 
rutuk Andika ikut-ikutan menyelak, "Sebaiknya kita 
cepat ke sana, Ki!" 

Mereka beranjak lagi. Dengan mengerahkan 
seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuh yang 
dimiliki. 

'k k 'k 

Cempaka tiba di desa yang saat ini masih sepi. 
Biarpun sudah cukup aman dari kabut beracun, 
penduduk masih belum berani kembali. Setelah 
mencari-cari beberapa lama, barulah dia menemukan 
Lelaki Berbulu Hitam di balai desa. 

"Mana Kang Andika, Orang Tua?" tanya wanita itu 
pada Lelaki Berbulu Hitam yang masih khusuk 
bersemadi. 

Tak ada sahutan. Lelaki Berbulu Hitam tetap tak 
bergeming. Kepalanya menopang ke tanah. Sedang- 
kan kakinya menjulur lurus ke atas. Sementara, 
kedua tangannya menyangga di kedua sisi untuk 
menjaga keseimbangan. 

"Kang Andika di mana?" ulang Cempaka, lebih 
keras. 

"Aku sedang bersemadi. Aku tak mendengar 
ucapanmu," jawab Lelaki Berbulu Hitam, akhirnya. 
Matanya tetap terpejam, tanpa merubah sikap tubuh- 
nya. 

"Aku tahu kau sedang bersemadi, Orang Tua. Tapi 
aku harus bertemu Kang Andika secepatnya," tegas 
Cempaka. 

Lelaki Berbul.u Hitam tak menyahuti lagi. Keadaan- 
nya seperti mayat. Tentu saja hal ini membuat Macan 
Hitam Betina jadi demikian dongkol. Padahal, 
keadaannya sedang dalam bahaya besar, karena 
Pendagel Setan masih memburunya. Sebentar lagi, 
tentu manusia sesat itu akan sampai juga. Tapi, 
manusia jelek satu ini malah menganggapnya 
nyamuk pengganggu semadi. 

"Sialan...," maki Cempaka, menggerutu. 

Sebal bukan main wanita ini. Dengan sedikit usil, 
hendak didepaknya satu tangan penyanggah 
keseimbangan tubuh Lelaki Berbulu Hitam. 

"Hih!" 

Sapuan kaki pendekar wanita yang masih hijau di 
dunia persilatan itu tak menghasilkan apa-apa. 
Jangankan bisa menjatuhkan tubuh terbalik si 
manusia setengah serigala. Menyentuh tangannya 
saja, tidak. Karena, Lelaki Berbulu Hitam cepat 
mengangkat tangannya. 

Cempaka makin sebal. Dia masih punya 
kesempatan mengusili Lelaki Berbulu Hitam cepat 
terjaga dari semadi anehnya. Satu tangan lain yang 
masih menyangga tubuh Lelaki Berbulu Hitam akan 
disapunya juga. Siapa tahu, kali ini berhasil. 

Wukh! 

Macan Hitam Betina gagal lagi. Seperti tadi, Lelaki 
Berbulu Hitam lebih cepat mengangkat tangannya. 
Sekarang tubuhnya terbalik tanpa topangan tangan 
satu pun. Kedua tangannya sudah bersidekap di 
depan dada. Hanya kepalanya saja yang jadi 
penyanggah ke lantai balai desa. 

Keliru kalau Macan Hitam Betina menganggap 
remeh manusia satu itu. Sejauh ini, Cempaka 
memang belum tahu secara jelas, siapa Lelaki 
Berbulu Hitam sesungguhnya. Jangankan kedigayaan. 
Usianya saja sudah bertaut terlalu jauh. Seperti 
jauhnya mata kaki dengan mata kepala. Andika yang 
memiliki kesaktian tangguh saja, masih berpikir 
bolak-balik untuk berurusan dengan manusia 
setengah serigala itu! 

Dua kali gagal, menyebabkan Cempaka makin 
sebal saja melihat Lelaki Berbulu Hitam. Tenaga 
dalamnya cepat dikerahkan. Akan dihentaknya tubuh 
terbalik itu dengan sepenuh tenaga. Biar terjengkang 
sekalian. Demikian pikir Cempaka lagi. 

Deb! 

Begitu tenaga dorongan wanita itu meluruk deras 
ke sepasang kaki, Lelaki Berbulu Hitam tiba-tiba 
mencelat. 

Duk! Duk! Duk! 

Sinting! Manusia kurang waras itu melompat- 
lompat dengan kepalanya! 

"Ada apa ini! Kenapa kau berani-beraninya 
mengusik semadi Lelaki Berbulu Hitam?! Apa sudah 
bosan hidup?!" bentak Lelaki Berbulu Hitam meledak- 
ledak, sesudah membalikkan tubuh. 

"Maaf, Orang Tua. Aku terpaksa melakukannya. 
Aku ingin bertanya padamu, di mana Kang Andika?" 
ucap Cempaka, bergegas. Hatinya ngeri juga melihat 
wajah berang menakutkan lelaki yang berdiri di 
depannya. 

"Siapa Andika?!" 

"Siapa Andika?" gumam Cempaka terheran-heran. 
Masa' kawan sendiri dia tidak tahu? 

"Andika," ulang Cempaka menegaskan. Barangkali 
saja laki-laki ini salah dengar. 

"Aku dengar kau bilang Andika! Tapi, siapa 

Andika?!" bentak Lelaki Berbulu Hitam berkoar lagi. 
Cara bicaranya seperti sedang terjadi gempa bumi di 
tempat itu. 

"Andika.... Masa' kau tidak tahu, Orang Tua? 
Pemuda yang sering kau panggil Tuan Penolong?" 

"Ooo, Tuan Penolong?" 

Nada bicara Lelaki Berbulu Hitam melandai. Kalau 
sudah dengar nama itu, dia jadi mesti ngotot 
menahan keberangannya. 

"Ya, betul! Ke mana dia?!" gegas Cempaka. 
Waktunya makin mendesak. 

"Aku tak tahu. Aku sedang bersemadi ketika dia di 
sini bersama si kerempengjelek itu." 

Cempaka mendesah. Semakin tipis harapannya 
untuk bisa lolos dari tangan Pendagel Setan. Dia 
percaya dan yakin, hanya Andika yang bisa meng- 
hadapi manusia sesat itu. 

"Ah! Rupanya kau di sini, Nona Ayu!" 

Kekhawatiran perempuan itu terbukti sudah. 
Pendagel Setan kini benar-benar muncul di gerbang 
balai desa!" 

"Jangan mengira kau bisa lolos dengan mudah 
dariku, Nona Ayu," kata Pendagel Setan seraya 
melangkah perlahan, mendekati Macan Hitam Betina. 

"Siapa?" tanya Lelaki Berbulu Hitam pada 
Cempaka, sambil melirik Pendagel Setan. 

Perempuan cerdik ini cepat memutar otaknya. Dan 
secepat itu pula didapatnya. 

"Dia musuh Tuan Penolong, Orang Tua!" tunjuk 
Cempaka penuh keyakinan, supaya mendapat 
bantuan lelaki berperawakan menyeramkan di dekat- 
nya. 

"Bagus! Sejak kemarin aku memang ingin sekali 
meremukkan batok kepala seseorang. Tapi, selalu 
gagal...," sambut Lelaki Berbulu Hitam, melegakan 
Macan Hitam Betina. 

"He-he-he! Kau pikir dirimu siapa, Orang Jelek?" 
leceh Pendagel Setan. 

Sama seperti Macan Hitam Betina, lelaki itu pun 
tak begitu jelas mengenal Lelaki Berbulu Hitam. 
Dalam hal ini, dia telah melakukan kesalahan besar. 
Yakni telah mengusik naga tua yang lama tak mem- 
buat kegemparan semenjak masa jayanya puluhan 
tahun silam! 

Lelaki Berbulu Hitam maju dengan langkah yang 
menggetarkan balai desa. Kalau taringnya sudah 
diperlihatkan, berarti siap mengepruk batok kepala 
seseorang dengan kepalan sebesar kelapa! 

"Sebaiknya kita menghadapi berdua, Orang Tua...," 
aju Macan Hitam Betina. 

Cempaka menganggap Lelaki Berbulu Hitam 
termasuk bukan tandingan Pendagel Setan. Kalau 
dihadapi berdua, mungkin mereka masih punya 
sedikit kesempatan untuk mengalahkan. 

Lelaki Berbulu Hitam melirik dengan bola mata 
mendeliki perempuan ayu itu. 

"Kau hendak menghinaku anak perawan bau 
kencur?!" hardik lelaki keturunan serigala ini 
menggelegar. "Kau pikir aku tak sanggup mengorek 
isi kepala si muka arang ini dengan tanganku 
sendiri?! Grrr...." 

Cempaka mengangkat bahu. Kalau maunya begitu, 
mau bilang apa? 

"Kau tak menyesal kalau seluruh bulumu kubuat 
rontok?!" ledek Pendagel Setan, pongah. 

Lelaki Berbulu Hitam sudah tak mau banyak bacot 
lagi. Dia juga tak mau berkelahi seperti anak kemarin 
sore. Apalagi sampai bertukar jurus segala macam. 
Kalau mau menentukan siapa yang unggul, mesti 
langsung adu kesaktian! 

Dreg! 

Tanah balai desa kembali bergemuruh manakala 
Lelaki Berbulu Hitam membuat kuda-kuda dengan 
menghentak kakinya. Kedua kakinya setengah mem- 
bentang, dan agak tertekuk ke dalam. Tangannya 
membuka ke depan dengan telapak mengepal kuat- 
kuat. Begitu membuat gerakan ke atas seraya 
memalangkan pergelangan tangan, tercipta bunyi 
gemeretak tulangnya, disusul lolongan dari mulut 
Lelaki Berbulu Hitam yang bagai serigala di tengah 
malam buta. 

Debh! 

Sekelebat tangan Lelaki Berbulu Hitam meng- 
hentak ke depan. Saat itu juga menderu angin 
pukulan tajam berdesing, mirip suara lempengan baja 
yang disabetkan ke udara. 

"Swing!" 

"Uts!" 

Kalau saja Pendagel Setan tak cepat-cepat 
membuang tubuh jauh-jauh ke atas, tak disangsikan 
lagi kepalanya akan terbelah dua. Dan otaknya akan 
benar-benar terkuras dari tempurungnya! 

Lompatan yang disertai tenaga dalam tingkat tinggi 
membuat tubuh Pendagel Setan meluncur deras. 
Atap balai desa jebol seketika. Di atas wuwungan, 
lelaki sesat itu kini berdiri dengan wajah pias. 

Pendagel Setan benar-benar dibuat terkesiap oleh 
serangan Lelaki Berbulu Hitam barusan. Belum lagi 
terkena angin serangan itu. Mendengar bunyinya 
saja, telinganya sudah begitu pedih. 

Namun, bukan itu yang membuat Pendagel Setan 
terkesiap. Masalahnya dia pernah mendengar 
selentingan pukulan khas itu. Pukulan yang hanya 
dimiliki satu-satunya tokoh kawakan kelas atas yang 
malang melintang puluhan tahun silam. Tokoh yang 
bisa dibilang salah seorang sesepuh dunia persilatan. 

"Tinju Raja Serigala!" desis Pendagel Setan. Lelaki 
sesat ini yakin sekali dengan dugaannya. Dari cara 
Leaki Berbulu Hitam membuat kuda-kuda, suara 
pukulannya, juga lolongan tadi, amat cocok dengan 
gambaran selentingan yang didengarnya. 

Mata lelaki itu menyipit ketat. Wajahnya 
menegang. 

"Keparat! Kalau begitu, aku telah berhadapan 
dengan Lelaki Berbulu Hitam!" rutuk Pendagel Setan. 
"Kenapa bangkotan itu belum mati juga? Kata Nyai 
Wangkil, dia berusia tua. Tapi kenapa seperti baru 
berusia empat puluhan? Apa guru salah? 

Seruntun pertanyaan bergeliat di benak Pendagel 
Setan. 

Brask! 

Tanpa sempat mendapat jawaban dari pertanyaan- 
pertanyaannya, Pendagel Setan dipaksa bersiap 
kembali. Lawan bertubuh tinggi besar berbulu lebat 
itu telah menyusulnya menerobos atap balai desa. 
Wuwungan bertebaran ke mana-mana, mengiringi 
munculnya Lelaki Berbulu Hitam. 

Mereka kini saling berhadapan. Lelaki Berbulu 
Hitam terus menggeram-geram. Kuda-kudanya tak 
berubah seperti sebelumnya. 

"Menurut guruku, kau pasti Lelaki Berbulu Hitam, 
tokoh tua yang menggemparkan dunia persilatan 
puluhan tahun silam itu," duga Pendagel Setan. 

"Kau pikir sedang berhadapan dengan siapa, kah?! 
Dengan kutu busuk?!" 

"Bagus! Dengan begitu, aku bisa membuktikan 


pada dunia persilatan bahwa akulah yang pantas 
menjadi raja di raja dunia persilatan! Aku akan 
mengenyahkanmu, Lelaki Berbulu Hitam! Seperti aku 
akan menundukkan Pendekar Slebor! He-he-he!" kata 
Pendagel Setan, sesumbar. 

"Siapa Pendekar Slebor?!" bentak Lelaki Berbulu 
Hitam, tak mengerti. 


10 


Pendekar Slebor dan Ki Patigeni tak menemukan 
Cempaka di tempat yang dituju. Padahal, di tempat 
inilah dara ayu itu bisa ditemukan. Tempat pem- 
buangan tanah langka dan aneh itu sepi-sepi saja. 
Keadaannya kacau balau. Sewaktu mereka 
memeriksa, Andika menemukan bekas serbuk pupur 
Cempaka. 

"Sepertinya, baru saja terjadi pertarungan di 
tempat ini, Ki," nilai Andika. 

"Benar. Aku pun berpendapat begitu," dukung Ki 
Patigeni. "Tapi, kenapa tak ada darah? Hanya terlihat 
sedikit kacau di tempat ini...." 

"Ya! Karena tak ada yang terluka dalam 
pertarungan itu." 

"Maksudmu?" 

Andika menyodorkan tangannya. Di ujung jari 
telunjuknya ada bekas serbuk pupur. 

"Ini pupur wanita, Ki. Tertabur di sekitar tempat 
itu." 

Andika pun lantas menunjuk tempat Pendagel 
Setan berdiri sebelumnya. 

"Kalau pupur ini berhamburan tak disengaja, 
kenapa hanya tersebar di sekitar situ saja?" sambur 
Andika. 

"Artinya?" 

"Aku yakin, Cempaka berhasil melarikan diri 
dengan siasat serbuk pupur ini," duga Andika yakin. 

Ki Patigeni mengangguk-angguk. "Ya-ya. Aku 
mengerti sekarang," gumam orang ini 

Sementara itu benak Ki Patigeni memuji ke- 
enceran otak si anak muda urakan ini. Sejenak dia 
jadi teringat ketika bekerja sama dengan Pendekar 
Slebor dalam memecahkan teka-teki Ratu Racun. 
Andika pun dapat membuat dugaan yang cemerlang 
seperti sekarang. 

"Masalahnya sekarang, ke mana Cempaka me- 
larikan diri? Lalu, apakah dia bisa meloloskan diri dari 
kejaran Pendagel Setan?" tanya Andika bimbang 
serta cemas. 

"Apa tidak mungkin dia kembali ke desa, Andika?" 
tanya Ki Patigeni. 

"Kembali ke desa?" 

"Mungkin dia merasa butuh pertolongan. Bukan- 
kah dia tahu kalau kau adalah pendekar muda besar 
itu?" 

Andika meringis. Sempat-sempatnya dia begitu. 

"Kalau begitu, sebaiknya kita kembali ke sana, Ki!" 

"Kau, bukan kita," tukas Ki Patigeni. 

"Maksudmu, Ki?" tanya Andika heran. 

"Aku harus berusaha mencari dia di sekitar hutan 
ini. Hanya untuk menjaga kemungkinan kalau gadis 
itu belum kembali ke desa," tandas Ki Patigeni. 

Sekarang giliran Andika memuji kecemerlangan 
otak Ki Patigeni dalam hati. 

'k 'k 'k 

Sementara itu, sabung keunggulan antara 
Pendagel Setan melawan Lelaki Berbulu Hitam me- 
masuki keadaan panas. Menghadapi lelaki keturunan 
serigala itu, Pendagel Setan baru kena batunya. 
Tokoh bangkotan itu memang bukan sembarang 
lawan buatnya. Meskipun Pendagel Setan memiliki 


kehebatan menggemparkan belakangan ini, namun 
masih tergolong orang baru dalam dunia persilatan. 

'Tinju Raja Serigala' milik Lelaki Berbulu Hitam tak 
henti-hentinya berdesing, mengepung lelaki sesat tak 
berbelas itu dari segala sudut. Lesatan tenaga dalam 
pukulan Lelaki Berbulu Hitam begitu cepat, membuat 
Pendagel Setan benar-benar kelimpungan kian 
kemari. 

Memang, pada masa jayanya dulu, Lelaki Berbulu 
Hitam amat kesohor dengan kecepatan geraknya 
yang selincah dan segesit serigala. Tokoh-tokoh 
seangkatan yang menjadi saingannya seperti 
Pendengar Dungu (Pernah bertemu di episode : 
"Manusia Dari Pusat Bumi") hanya memiliki kelebihan 
pada tenaga dalamnya. Bukan kecepatannya. 

Swing! 

Masih melenting-lenting ringan dari wuwungan ke 
wuwungan lain. Lelaki Berbulu Hitam terus ber- 
semangat menggempur Pendagel Setan dengan 
seruntun tinju jarak jauhnya. Setiap kali melesat dari 
sasaran, pasti ada yang jadi korban. Kalau tidak 
pepohonan terbelah menjadi dua seperti baru saja 
dihantam kapak raksasa, bisa juga ubun-ubun rumah 
oran lain. Untung saja, saat itu keadaan desa kosong 
melompong. Kalau penduduk masih ada di sana, apa 
jadinya? 

Dan setiap kali Pendagel Setan berhasil mengelak 
dari tinju berhawa maut, setiap kali pula kulitnya 
terasa pedih. Padahal, jarak elakan yang diambilnya 
sudah cukup jauh dari angin 'Tinju Raja Serigala'. 

Kalau saja wajah lelaki tak berbelas itu tidak 
dicorengmorengkan, tentu paras keterkejutannya 
sudah nampakjelas. 

Di bawah mereka, Cempaka, si pendekar wanita 


sok hebat ini tertegun-tegun menyaksikan per- 
tarungan di atas. Dia dipaksa berdecak berkali-kali. 
Selama turun ke dunia persilatan, baru kali ini 
menyaksikan pertarungan yang demikian memukau. 

Sungguh tak disangka, manusia menyeramkan 
yang nampaknya hanya punya adat besar itu ternyata 
memiliki kesaktian yang sanggup membuat Pendagel 
Setan kelimpungan. Dan Cempaka semakin kagum 
dalam hati. Menyesal dia sudah mengusilinya. Kalau 
tidak, bisa saja dia meminta orang tua bertampang 
dedemit itu mengajarinya beberapa ilmu simpanan. 

Deb-deb! 

"Grrhhh!" 

Sadar dirinya berada dalam keadaan tidak 
menguntungkan kalau terus terdesak. Pendagel 
Setan mulai berusaha mengimbangi serangan liar 
Lelaki Berbulu Hitam. Sambil melenting indah ke atap 
lain, dia lepasnya pukulan jarak jauh di udara. 

Bagi Lelaki Berbulu Hitam, serangan awal 
Pendagel Setan tidak berarti apa-apa. Dia mudah 
sekali bisa mementahkannya. Bahkan dengan cara 
memapak telak-telak dengan telapak tangan berkuku 
panjangnya! 

Des! 

"Grhh.... Ha-ha!" Lelaki Berbulu Hitam tertawa 
menyaksikannya. 

Pamer kekuatan dia! 

Tapi apa dengan begitu, Pendagel Setan akan 
mudah dipecundangi? Benarkah? 

Pertanyaan Lelaki Berbulu Hitam tak mendapatkan 
jawaban memuaskan. Sebaliknya. Pendagel Setan 
justru tengah mempersiapkan serangan maut ber- 
bahaya. Ilmu simpanan yang telah berhasil di- 
sempurnakan saat di Padang Mega Racun akan diuji 
coba pada Pendekar Slebor. 

Dalam beberapa tarikan napas, sepasang tanga 
lelaki sesat itu membuat gerakan teratur, bertenaga 
dan cepat. Setiap perubahan tangannya, me- 
ninggalkan bentuk bayangan seperti kepak sayap 
seekor burung raksasa. 

Werrr...! 

Pada saatnya, pusaran angin besar tercipta pada 
ujung sepasang tangan Pendagel Setan. Angin yang 
membentuk puting beliung, merangsak angkasa 
membabibuta. 

Sebenarnya, ilmu itu kurang sempurna jika di- 
kerahkan di luar Padang Naga Racun. Inti racun yang 
semestinya bisa diserap melalui angin puting beliung, 
tak akan terjadi di tempat lain. Namun bukan berarti 
bahaya pukulan andalan Pendagel Setan ini akan 
berkurang. 

Menyaksikan gerakan khas yang dilakukan 
Pendagel Setan, wajah Cempaka di bawah sana 
mendadak berubah. Garis-garis kekhawatiran men- 
jalar cepat. Di mulutnya mendesis tak kentara di 
antara gemuruh amukan puting beliung ciptaan 
Pendagel Setan. 

"Heaaa.J" 

Manakala Pendagel Setan melontarkan segenap 
kekuatan tenaga pukulan pamungkasnya, tanpa 
dapat dimengerti Cempaka melenting mendekati dua 
lelaki di atas wuwungan. 

"Pak Tua, menyingkir!" seru Cempaka pada Lelaki 
Berbulu Hitam di udara. 

Lelaki Berbulu Hitam terperangah. Pada saat yang 
sama, Pendagel Setan telah melepas pukulannya. 

Wush! 

Meskipun otak Lelaki Berbulu Hitam sering tak 
sehat, tapi dalam keadaan seperti itu, nalurinya bisa 
merasakan bahaya yang siap menelan bulat-bulat 
Cempaka. 

Tanpa memikirkan akibatnya, Lelaki Berbulu Hitam 
menyergap tubuh Cempaka. 

Dash! 

Namun usaha itu ternyata mesti dibayar dengan 
mahal. Punggung berotot Lelaki Berbulu Hitam 
langsung menjadi santapan empuk pukulan 
pamungkas lawan! 

Cempaka selamat. Namun Lelaki Berbulu Hitam 
tidak. Dia terlempar amat jauh. Begitu tiba di tanah, 
tubuhnya mengejang, lalu terkulai. 

Mengapa Cempaka melakukan tindakan bodoh 
tadi? 

'k 'k 'k 

Begitu matahari tenggelam sebagian, Andika 
sampai di Desa Wetan. Balai desa yang semula 
ditinggalkan dalam keadaan utuh, kini sudah porak- 
poranda tak karuan. Bangunan itu seolah baru saja 
disapu angin puting beliung. Potongan-potongan atap 
rumbia berserakan di mana-mana. Kayu-kayu dinding 
bangunan pun sebagian telah luruh. 

"Sialan! Dedemit buduk mana yang baru saja 
mengamuk!" rutuk Andika. 

Bergegas Andika berlari memasuki balai desa. 
Sama seperti keadaan di luar bangunan, bagian 
dalamnya pun sudah tak karuan lagi. Di dalam sana, 
tubuh Lelaki Berbulu Hitam ditemukan tengah ter- 
golek. 

"Pak Tua Bulu! Kau tak apa-apa?!" tanya Pendekar 
Slebor, tercekat. 


Andika mendekat. Lelaki Berbulu Hitam dilihatnya 
bergemik. 

"Oh, Tuan Penolong.... Kukira siapa," sambut Lelaki 
Berbulu Hitam payah. 

Sudut bibir lelaki keturunan serigala ini masih 
dialiri darah. Dia berusaha bangkit. Karena masih 
lemah, dia terjatuh lagi. Andika pun membantu 
menopangnya. 

"Apa yang telah terjadi?" tanya Andika. 

"Orang bermuka arang, Tuan Penolong. Dia datang 
ke sini tanpa izin. Lalu menantangku berkelahi tanpa 
izin pula. Sial! Dasar manusia sial! Ukh-ukh!" 

"Pendagel Setan?" gumam Andika. "Bagaimana 
bisa orang itu mengalahkan Lelaki Berbulu Hitam 
yang kesaktiannya masih sulit dicari tandingan hingga 
sekarang?" Andika kian dibuat penasaran. Kalau 
begitu, seberapa tinggi tingkat kesaktiannya? 

"Kenapa orang itu bisa ke sini?" 

"Orang yang mana?!" Lelaki Berbulu Hitam malah 
balik bertanya. 

"Yang mana lagi, Pak Tua Bulu. Bukankah kau tadi 
sedang membicarakan orang bermuka arang?!" tukas 
Andika, agak jengkel juga. 

"O, itu. Kukira Tuan Penolong menanyakan 
perempuan bau kencur itu...," tutur Lelaki Berbulu 
Hitam terseok-seok. 

"Siapa maksudmu?" 

"Tuan Penolong ini bagaimana? Aku harus jawab 
yang mana dulu? Pertanyaan pertama tadi atau yang 
kedua?!" tukas Lelaki Berbulu Hitam. Biar sudah 
payah, sifat berangnya masih juga tak soak. 

Andika maklum. 

"Ceritakan semuanya!" ujar Andika, mengambil 
jalan singkat. Biar jadi tak bertele-tele lagi. 

Lelaki Berbulu Hitam pun menceritakan sejelas- 
jelasnya tentang kejadian belum lama. Juga tentang 
kedatangan Macan Hitam Betina yang disebutnya 
perawan bau kencur. Kemudian tak ketinggalan 
laporan pertarungannya dengan Pendagel Setan. 

"Sekarang ke mana wanita itu?" tanya Andika 
cepat sebelum Lelaki Berbulu Hitam menamatkan 
cerita yang seperti tak mau tamat-tamat itu. 

"Wanita yang mana?" 

Lagi-lagi Lelaki Berbulu Hitam bertanya tanpa 
juntrungan. 

"Perawan bau kencur itu," jelas Andika. 

"O. Dia...." 

"Ke mana dia?!" bentak Andika. 

"Diboyong," jawab manusia setengah serigala itu, 
singkat. 

"Oleh Pendagel Setan?" 

"Siapa Pendagel Setan?" 

"Biang kunyuk!" maki Andika dalam hati. 

Manusia berbadan bongsor satu ini sepertinya 
hanya kenal orang dari sebutan yang diberikan oleh 
bacotnya sendiri. 

"Lelaki bermuka arang itu!" tegas Andika untuk 
kesekian kali menegaskan. 

"O, iya!" 

"Ke mana?!"' 

Lelaki Berbulu Hitam menggeleng. Andika berang. 
Dihantamnya lantai balai desa. "Kalau terjadi apa-apa 
pada perempuan itu, kau akan kukuliti, manusia 
busuk keparat!" geram Andika digebah kemurkaan. 

Betapa Andika tahu kalau Pendagel Setan tak 
akan mempersoalkan siapa yang dibunuhnya, meski 
seorang pendekar wanita tak punya nama sekali pun. 
Lebih dari itu, dia bahkan tega membunuh bocah tak 
berdosa! 

"Siapa manusia busuk?!" sela Lelaki Berbulu 
Hitam. 

Setelah itu laki-laki ini terjeringkang kembali, 
ketika Andika menotok jalan darahnya. 

Mata Pendekar Slebor kini tertumbuk pada tulisan 
buruk di potongan dinding balai desa. Tulisan itu 
rupanya berisi tantangan dari Pendagel Setan. 

Andika mendekati. Lalu dibacanya tulisan itu. 

O-hooo, Pendekar Slebor! 

Tentu kau terkejut mendapati kenyataan yang 
baru saja kau saksikan, bukan? Jangan terkejut. 
Siapa tahu kau berpenyakit jantung dan mati 
karenanya. He-he-he! 

O, iya. Aku pinjam dulu kawan barumu yang ayu 
ini. Kau boleh mengambilnya pada akhir pekan ini. 
Tempatnya di Padang Mega Racun. Kalau kau 
terlambat mengambilnya, jangan salahkan kalau 
perempuan itu.... He-he-he! 

Kau belum tahu tempat itu, bukan? Jangan 
bingung atau ragu. Kau bisa mengikuti burung- 
burungku yang akan datang menjadi petunjuk 
jalanmu pada hari pertemuan kita. Kuharap 
pertemuan itu berlangsung dengan mesra! 

Pendagel Setan 

"Mesra, tai kucing!" 

Andika menghajar dinding kayu yang bertuliskan 
pesan yang digurat oleh tangan Pendagel Setan. 

Kalau sebelumnya tantangan hanya bersifat desas- 
desus mulut ke mulut, kini Andika mendapatkan 
kepastian tantangan manusia sesat tak berhati itu. 

"Bagus! Aku memang ingin sekali menghancurkan 
wajah jelekmu itu!" geram si anak muda dari Lembah 
Kutukan, sambil menghantam telapak tangan dengan 
tinju sendiri. 

'k 'k 'k 

Padang Mega Racun terus dikepung kabut kelabu 
pekat mengandung racun ganas. Di tengah-tengah 
padang kering-kerontang itu, terlihat panggung ganjil 
di kejauhan yang dibangun khusus untuk satu 
pertarungan maut antara Pendagel Setan dengan 
Pendekar Slebor. 

Ancaman besar akan dihadapi si anak muda sakti, 
Pendekar Slebor. Pertama, karena racun yang 
menyelimuti seluruh kawasan Padang Mega Racun 
telah siap merejamnya begitu Andika mulai mengirup 
udara di sana. Kedua, kesaktian penantanghya 
ternyata berada pada tingkat tokoh kelas atas dunia 
persilatan. Sebagaimana tingginya, berum pernah 
diketahui Andika. Karena selama ini Pendagel Setan 
tak pernah sekali pun bertarung dengan Pendekar 
Slebor. 

Yang hanya diketahui Andika, Pendagel Setan 
nyatanya sanggup mempecundahgi Lelaki,Berbulu 
Hitam. Setidaknya, kedigdayaan sang penantang 
sekelas dengan Lelaki Berbulu Hitam! 

Di samping itu, Pendekar Slebor sama sekali tak 
mengenal seluk-beluk Padang Mega Racun, daerah 
yang bagi lawannya adalah tempat tinggal dan 
tempatnya menyempurnakan kesaktian. 

Namun lepas dari semua itu, Andika adalah 
Andika. Kekuatan tekadnya sudah menjadi sifat yang 
tak bisa dihadang. Kalau dia merasa harus datang ke 
satu tempat untuk satu kewajiban, maka bagaimana 
pun bahayanya, akan disatroninya juga. 

Dan ketika burung-burung pemakan bangkai milik 
Pendagel Setan mulai terlihat di awang-awang 
sebelah utara desa, Andika pun mengikutinya. Men- 
jelang perjalanan setengah hari, barulah anak muda 
itu sampai di gerbang Padang Mega Racun. 

Dari gapura masuk yang tersusun dari batok-batok 
tengkorak manusia setinggi sepuluh kaki, Andika 
merasa seperti hendak memasuki alam lain yang 
begitu asing. Sepanjang mata memandang melalui 
gerbang itu yang terlihat berupa kabut kelabu 
bergulung-gulung, hamparan tanah hitam kering, 
pepohonan kerontang merangas. burung-burung 
pemakan bangkai, serta susunan tulang manusia 
yang membentuk panggung kematian! 

Beberapa puluh langkah dari gerbang, udara 
tempat ini sudah dikuasai racun dan racun. Dan 
Andika amat menyadarinya. Lalu, bagaimana dia bisa 
masuk tanpa menjadi santapan racun ganas Padang 
Mega Racun? 

Sebelum berangkat ke tempat itu, Andika sempat 
bertemu Ki Patigeni. Dari orang tua yang mengenal 
banyak racun, Pendekar Slebor dibekali sebutir obat 
pulung pemusnah racun kabut Padang Mega Racun. 
Hanya sebuah. Itu pun hanya bertahan sepertiga hari. 
Jika Andika berada lebih lama dari waktu yang 
ditetapkan, maka akan mati! Sayangnya, obat pulung 
itu pun tinggal satu-satunya milik Ki Patigeni setelah 
dibuat dalam kurun waktu dua puluh lima tahun. 

Di kejauhan sana, tepatnya di atas panggung 
tulang-belulang manusia, Pendagel Setan telah berdiri 
dengan sikap menantang. Bibirnya tak lekang dari 
senyum pongah. 

"Ayo, Pendekar Slebor! Masuklah ke tempatku! 
Kudengar kau memiliki nyali yang begitu besar dalam 
menghadapi setiap tantangan maut! Apa kau akan 
berdiri saja di situ sampai menjadi uzur?!" tantangan 
Pendagel Setan membahana. 

Andika berusaha sekuat tenaga untuk tetap 
tenang. Kemarahannya yang menggelegak-gelegak 
dikendalikannya. Dia sudah cukup mengambil 
pelajaran dalam petualangan-petualangan mautnya, 
untuk tidak mengundang maut dengan bertindak 
mata gelap. 

Perlahan dikeluarkannya obat pulung dari Ki 
Patigeni. Digenggamnya kuat-kuat sesaat, lalu 
ditelannya. Kini, dia siap menghadapi Pendagel Setan 
dengan taruhan nyawa. 

Langkah-langkah mantap pun dibuat Andika. 
Sedikit demi sedikit, jarak antara pemuda itu dengan 
sang lawan kian dekat. Sampai akhirnya, Pendekar 
Slebor berdiri di sisi panggung ganjil milik Pendagel 
Setan calon lawan tandingnya. 

"Ayo naiklah! Kenapa kau masih menunggu?!" 

Andika tak ingin banyak cakap. Tubuhnya cepat 
melenting ringan, lalu hinggap di salah satu tonggak 
tulang. 

"Kita mulai?" tanya Andika datar. 

Pendagel Setan menyeringai. 

"Kenapa tidak?" 

Mereka pun bersiap. Sama-sama membuat kuda- 
kuda. Sama-sama menyiapkan jurus pembuka. 

Pada jarak sekitar tiga tombak, dua lelaki jantan 
itu berhadapan penuh ketegangan. Andika tak bisa 
lagi main-main dengan calon lawannya. Kalau Lelaki 
Berbulu Hitam dikalahkan, berarti jurus-jurus atau 
kekuatan tenaga dalam tingkat awal miliknya sudah 
tidak bisa lagi diharapkan. 

Itu sebabnya Pendekar Slebor langsung mengerah- 
kan tenaga sakti warisan buyutnya, Pendekar Lembah 
Kutukan pada tingkat keenam dari sembilan tingkat 
yang dimilikinya. 

Jurus-jurusnya pun adalah hasil ciptaannya yang 
dulu pernah diandalkan untuk menyelamatkan diri 
dari terjangan hujan petir di Lembah Kutukan. Jurus 
yang dapat membentuk benteng cahaya putih di 
sekujur tubuhnya, akibat pengerahan tenaga dalam 
pada tingkat puncak. 

"Hiaaa!" 

Berbareng teriakan menggetarkan seluruh Padang 
Mega Racun, Pendekar Slebor meluruk ke arah 
Pendagel Setan. Jurus mengubak hujanan petir 
memagari dirinya, sekaligus mengancam lawan dari 
segenap penjuru. 

Deb! Deb! 

Dua tinju beruntun hendak disarangkan pendekar 
muda dari tanah Jawa itu ke arah kepala dan dada 
Pendagel Setan. Tinju beruntun mematikan, yang 
mungkin dapat melumatkan karang paling keras yang 
pernah ada di bumi! 

Namun Pendagel Setan memiliki ketajaman peng- 
lihatan untuk mengetahui arah pukulan Pendekar 
Slebor. Satu-satunya cara menyelamatkan diri adalah 
memapakinya. Hanya saja dia harus tepat meng- 
empos tenaga dalam ke sepasang tangannya. Sebab, 
kesalahan pernitungan bisa berakibat maut! Apalagi 
pukulan bertenaga dalam pendekar muda dari 
Lembah Kutukan sudah bukan cerita kosong lagi. 
Bahkan sejak buyutnya sendiri, Pendekar Lembah 
Kutukan yang menjadi cerita rakyat, pukulan itu telah 
begitu ditakuti. 

Das! Das! 

Perhitungan Pendagel Setan kali ini tak jauh 
meleset. Pengerahan tenaga tangkisan di kedua 
tangannya nyatanya cukup untuk menahan tinju 
Pendekar Slebor agar tak meredamkan kepala serta 
dadanya. Namun begitu, bukanlah berarti luput dari 
akibatnya. 

Deras juga tubuh Pendagel Setan terdorong ke 
belakang. Runcingnya tonggak-tonggak tulang- 
belulang pembentuk panggung akan merejamnya 
kalau sedikit saja keseimbangannya hilang. 
Beruntung, seluruh petak-petak tulang telah 
disusunnya demikian rupa. Seluruh sela bangunan 
ganjil itu diketahuinya betul, hingga dia pun tahu di 
mana harus berpijak. 

Tep! 

Ringan sekali kaki Pendagel Setan menjejak ujung 
paling barat tonggak tulang. Sebentar tubuhnya 
limbung, selanjutnya bisa menguasai keseimbangan 
lagi. 

"Hebat! Hebat!" puji Pendagel Setan, nampak lebih 
mirip sebagai ejekan. 

Andika hanya mencibir. Jurus-jurus kembangan 
'Mengubak Hujanan Petir' masih dikerahkannya. 
Perlahan, tubuh kekar pemuda itu mulai diselubungi 
sinar putih keperakan, seperti kabut bercahaya. 
Dimulai dari sekujur tangannya yang terus bergerak 
hingga membentuk bayangan ganda. Menyusul, 
sepasang kakinya. Hingga akhirnya, seluruh badan 
pemuda itu benar-benar diselimuti kekuatan sakti 
tenaga warisan Pendekar Lembah Kutukan! 

"Saatnya kau akan mampus, manusia tak berhati!" 
desis Andika sarat ancaman. 

"Hiaaa!" 

Berikutnya, sosok pemuda sakti itu bagai 
menjelma menjadi bayangan liar. Tubuh Pendekar 
Slebor terus meluruk secepat kilat menuju Pendagel 
Setan di ujung panggung ganjil. 

Sebelumnya, Pendagel Setan pun telah mem- 
persiapkan ilmu pamungkasnya yang baru saja di- 
sempurnakan. Pukulan yang sanggup menyerap inti 
racun dalam kabut kelabu di atas sana. 

Saat sosok Pendekar Slebor berkelebat, tangan 
Pendagel Setan tak kalah cepat mengepak bagai 
irama sayap burung pemakan bangkai. Angin raksasa 
dari kedua tangannya menyeret segenap racun 
dahsyat gulungan kabut racun. 

Dan.... 

Dash! 

Terjadi benturan. Amat keras! Sehingga mampu 
membuat seluruh batang pepohonan kering menjadi 
retak terkena getarannya. 

Seketika gerombolan burung pemakan bangkai 
berhamburan ke udara. Sebagian terbang dengan 
limbung penuh luka. Namun lebih banyak mati 
seketika, dengan tubuh hancur berserpih! 

Usai adu tenaga itu, dua sosok tergeletak tanpa 
gerak. Satu tubuh Pendekar Slebor, yang lain tubuh 
Pendagel Setan. 

Siapa yang menemui ajal? 

Sulit menentukan bila menilik keadaan mereka. 
Pakaian keduanya terkoyak-koyak. Sebagian kulit pun 
begitu. Darah hitam kental mengalir lamban dari 
seluruh pori-pori keduanya. 

Lama keadaan itu berlangsung. 

Menilik keadaan Pendagel Setan, ternyata lebih 
parah. Kedua tangannya hancur dengan dada 
terkoyak. Sementara dada Pendekar Slebor masih 
turun naik, walaupun begitu lalu Andika pingsan. 
Padahal dia harus segera meninggalkan Padang 
Mega Racun secepatnya. Pengaruh obat pulung 
penawar yang diberikan Ki Patigeni beberapa saat 
lagi akan punah. 

Menjelang saat-saat segenap kekuatan racun 
menerobos tubuh Pendekar Slebor yang hampir 
kehilangan pemunah, mendadak sepasang tangan 
halus meraih tubuhnya. Diangkatnya tubuh Andika, 
lalu dipapahnya. 

Orang itu adalah Cempaka. 

Penuh teka-teki, perempuan yang tak terlihat 
seperti baru saja menjadi tawanan itu berkata samar. 

"Kakak seperguruanku itu memang lebih baik mati, 
Kang Andika. Dia terlalu serakah dalam menyem- 
purnakan ilmu, sehingga telah membuatnya 
kehilangan akal sehat. Lupa segalanya.... Aku semula 
memang sudah yakin kalau Pendagel Setan adalah 
kakak seperguruanku sendiri yang tak lain Kaladewa, 
walaupun wajahnya dicoreng-moreng yang membuat 
aku sedikit pangling. Hm..., jadi dia memakai julukan 
Pendagel Setan., 

Siapa sesungguhnya Cempaka? 

Pendekar berpengamatan jeli macam Pendekar 
Slebor sekalipun, akan terperangah jika tahu kalau 
Cempaka ternyata adik seperguruan Pendagel Setan! 

Sejak lelaki sesat itu berhasil menyempurnakan 
ilmunya, otaknya jadi tak waras. Kalau sedang 
dilanda kegilaan, Pendagel Setan tak bisa lagi mem- 
bedakan apa-apa. Tidak kebenaran. Tak pula 
kebatilan. Bahkan adik seperguruannya sendiri ter- 
lupakan. Apalagi mengenali. 

Cempaka waktu berusia sepuluh tahun juga murid 
Nyai Wangkil selain Kaladewa yang berusia lima belas 
tahun. Nyai Wangkil sendiri adalah tokoh hitam yang 
lima belas tahun lain menyebar petaka di Desa 
Wetan. Perbuatannya, persis dengan apa yang di- 
lakukan Pendagel Setan. 

Begitu tumbuh menjadi seorang gadis, agaknya 
pikiran jernih Cempaka terbuka, bahwa gurunya 
ternyata adalah tokoh sesat. Ini benar-benar bertolak 
belakang dengan jiwanya. 

Pada usia tujuh belas tahun, Cempaka melarikan 
diri dari Nyai Wangkil. Gadis itu lantas berguru di 
Blambangan pada seorang tokoh alirah putih. Baru 
begitu menginjak dewasa, dia turun ke dunia 
persilatan, sampai akhirnya tanpa diduga bertemu 
Kaladewa yang berjuluk Pendagel Setan. 

Dari gerak silat Kaladewa, Cempaka ingat betul itu 
adalah jurus-jurus yang diturunkan Nyai Wangkil. 
Sampai akhirnya Cempaka semakin yakin, setelah 
melihat sepak terjang Kaladewa terhadap penduduk 
Desa Wetan. Suatu tindakan yang sama persis 
dengan apa yang diperbuat Nyai Wangkil lima belas 
tahun yang lalu. Apalagi, kemudian Kaladewa 
membawanya ke Padang Mega Racun, tempatnya 
waktu kecil. 

Sejak kecil, Cempaka sudah meminum semacam 
ramuan yang membuatnya dengan leluasa memasuki 
Padang Mega Racun. Itu sebabnya, ketika dia diculik 
Pendagel Setan, keadaannya biasa-biasa saja. 
Untungnya juga, Pendagel Setan lupa kalau yang 
diculik adalah adik seperguruannya sendiri. 

Nyai Wangkil pun pernah bercerita, kalau terlalu 
banyak ilmu yang diserap, akan menyebabkan orang 
jadi edan. Cempaka ingat betul. Maka dia semakin 
takut berguru pada Nyai Wangkil. 

Cempaka terus melangkah, keluar dari Padang 
Mega Racun. Ada satu kebanggaan dalam dirinya, 
bisa menyelamatkan Andika. Paling tidak pemuda 
urakan ini nanti tak akan menganggap sok tahu lagi. 


SELESAI 


Serial PENDEKAR SLEBOR  selanjutnya : 
SENGKETA DI GUNUNG MERBABU