Pendekar Slebor 23 - Cincin Berlumur Darah


Pagi mulai menjelang. Suasana sejuk pagi 
ini mewarnai sebuah desa di sekitar Gunung 
Pengging. Para penduduk desa yang seharusnya 
dapat menikmati indahnya pagi, namun kini ha- 
rus menghadapi satu kenyataan pahit setelah ba- 
nyak tewas diserang ribuan tawon ganas, lupa, 
serangan dari manusia-manusia yang mengena- 
kan pakaian dan topeng merah. (Baca serial Pen- 
dekar Slebor dalam episode: "Manusia Pemuja 
Bulan"). 

Untunglah, ada seorang pendekar muda 
gagah perkasa yang telah menolong. Namun 
sayangnya, akibat suatu bokongan yang hebat, 
pendekar muda berpakaian hijau pupus yang ber- 
juluk Pendekar Slebor pun harus pingsan. 

Para penduduk yang melihat Pendekar Sle- 
bor dibawa pergi Manusia Pemuja Bulan dan ka- 
wannya yang membokong, hanya bisa menggeram 
marah. Mereka sendiri tidak menyangka kalau 
pendekar berwatak konyol yang selalu menyam- 
pirkan selembar kain bercorak catur di bahunya 
akan mendapatkan bokongan mematikan! 

Seorang pemuda yang dikenal bernama 
Sawedo menggeram marah. 

"Gila! Keadaan akan semakin gawat saja!" 
desis Sawedo. "Kita harus segera mengikuti mere- 
ka." 

"Sawedo, tahan!" seru seorang laki-laki 
yang berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Dia 
tak lain Longgom. "Jangan gegabah! Saat ini yang 
terbaik adalah menyingkir dari sini. Dengan kata 
lain, kita segera mengungsi." 

"Maksud Paman Longgom bagaimana?" 
tanya Sawedo. 

Sawedo adalah anak muda berhati pana- 
san, yang pernah menuduh Andika alias Pende- 
kar Slebor telah melakukan serangkaian pembu- 
nuhan. Namun akhirnya dia sadar kalau ternyata 
semua itu bukanlah perbuatan Pendekar Slebor. 
Yang diyakini saat ini, semua petaka yang terjadi 
adalah perbuatan Ki Wedokmurko yang mengakui 
diri sebagai Manusia Pemuja Bulan. 

Longgom menghela napas panjang. 

"Keadaan di sini benar-benar tidak men- 
guntungkan sekarang. Ki Wedokmurko alias Ma- 
nusia Pemuja Bulan, tentunya akan datang kem- 
bali ke sini. Mungkin pula, dia dan kawannya te- 
lah membunuh Andika. Jadi menurut hematku, 
lebih baik kita segera mengungsi dari sini." 

Sawedo terdiam. Begitu pula orang-orang 
yang berada di sana. Apa yang dikatakan Long- 
gom memang benar. Kalau saja Pendekar Slebor 
dibunuh Manusia Pemuja Bulan dan kawannya, 
berarti tak ada lagi pembela mereka. 

"Tidak!" sentak Sawedo tiba-tiba. "Maaf, 
Paman Longgom. Bukan maksudku untuk meno- 
lak usulmu. Aku dan beberapa orang akan tetap 
berjaga-jaga di sini." 

"Jangan bodoh!" sergah Longgom. "Bisa-
bisa kau hanya akan mengorbankan nyawa bela- 
ka. Sawedo!" 

"Paman..., sudah kepalang basah. Semua- 
nya sudah terjadi. Memang, lebih baik Paman dan 
kaum wanita serta anak-anak mengungsi dari de- 
sa ini. Tetapi aku akan tetap berada di sini, Pa- 
man. Bahkan kalau mungkin..., aku tetap akan 
mencari Andika," sahut Sawedo tegas. "Meskipun 
tak memiliki kepandaian berarti, aku akan men- 
cari manusia-manusia busuk itu! Aku lebih puas 
mati daripada dijajah seperti ini!" 

Longgom hanya menghela napas saja. Bila 
menuruti kata hati, dia pun akan tetap bertahan 
di sini. Namun bila melihat jumlah para pendu- 
duk yang telah mati akibat keganasan Manusia 
Pemuja Bulan, sudah tentu Longgom tidak meng- 
hendaki lagi terjadinya pembantaian di desa ini. 

"Baiklah, Sawedo.... Bila memang itu 
maumu, aku setuju. Tetapi, sama sekali aku tidak 
sudi menjadi pengecut. Bahkan itu pantang da- 
lam falsafah hidupku. Namun sekarang, yang ter- 
penting lagi adalah menyelamatkan nyawa para 
penduduk yang masih tersisa. Karena, tidak mus- 
tahil Manusia Pemuja Bulan dan kawannya akan 
datang lagi ke sini," desah Longgom. 

"Baiklah, Paman. Kurasa, usul Paman me- 
mang benar. Baik! Sekarang juga kita kumpulkan 
para penduduk." 

Lalu dibantu beberapa pemuda di sana, 
Sawedo dan Longgom mengumpulkan para pen- 
duduk. Tidak sulit untuk meyakinkan mereka se- 
karang, kalau Manusia Pemuja Bulan bukanlah 
orang baik. Yang lebih utama, dia bukanlah utu- 
san Dewa Bulan. Karena, tak ada Dewa Bulan 
yang patut disembah. Tak ada Utusan Dewa Bu- 
lan. Menurut Pendekar Slebor, pasti Ki Wedok- 
murko itu mempunyai maksud tertentu, dengan 
cara memanfaatkan keluguan mereka. Buktinya, 
berkali-kali dia menipu para penduduk untuk 
meminta sesajen seorang dara perawan suci yang 
akan dipersembahkan kepada Dewa Bulan. 

Para penduduk pun setuju ketika Longgom 
mengatakan mereka lebih baik mengungsi. 

"Keadaan di sini kemungkinan besar akan 
semakin parah," papar Longgom. "Akan semakin 
rata dengan tanah. Ketahuilah! Manusia Pemuja 
Bulan bukanlah seseorang yang patut dihormati. 
Dia adalah manusia bejat yang telah mengorban- 
kan dara-dara perawan milik kita untuk kepen- 
tingannya sendiri. Jadi, lebih baik kita akan men- 
gungsi dari sini." 

Mereka bersorak setuju. Karena sesung- 
guhnya mereka pun ngeri melihat musibah demi 
musibah yang datang. Sangat mengerikan sekali! 

"Yah! Kita memang harus pindah dari sini, 
Longgom. Kau benar. Tetapi, ke manakah kita 
akan mengungsi?" tanya seorang laki-laki berusia 
sekitar enam puluh lima tahun. 

"Ki Purwa.... Aku sudah memikirkan soal 
itu masak-masak. Kita akan mengungsi ke Lem- 
bah Bunga. Di sana terdapat sebuah jeram yang 
memang mengalirkan air sangat deras. Akan teta- 
pi, aku telah menemukan jalan menuju ke sana. 
Karena, di balik air terjun itu, terdapat sebuah 
gua yang cukup luas. Di sanalah kita akan men- 
gungsi untuk sementara," jelas Longgom. 

Laki-laki tua yang dipanggil Ki Purwa men- 
ganggukkan kepala. Longgom menunggu, barang 
kali saja ada yang hendak bertanya kembali. Te- 
tapi, sampai sejauh ini tak ada yang bertanya. 

Lalu Longgom pun segera memerintahkan 
mereka untuk membawa barang-barang yang di- 
perlukan. Yang sangat pokok, adalah bahan ma- 
kanan. 


*****

Tanah di sekitar Gunung Pengging sepi. 
Kalau dulu, setiap malam Jumat selalu ada upa- 
cara memuja bulan, tetapi kini hanya kosong be- 
laka. Angin di sana berhembus begitu keras. Din- 
gin menusuk tulang. 

Mendadak saja, disela-sela keheningan ma- 
lam dari tempat itu dua sosok tubuh berkelebat, 
dan hinggap di tempat itu. Keduanya mengedar- 
kan pandangan sebentar. Seolah mencari manu- 
sia di sana. Setelah tak melihat seorang pun be- 
rada di sana, mereka tersenyum puas. Rembulan 
yang bersinar penuh, menerangi keduanya. Yang 
seorang berwajah mirip seekor kera. Dia memakai 
ikat kepala bergambarkan wajah kera yang buas. 
Tubuh terbungkus pakaian merah. 

Yang seorang lagi, bertubuh agak kurus. 
Kedua tandan lebih panjang dari ukuran tangan 
biasa. Dia mengenakan pakaian hitam dengan 
kain bersilangan di dada. Ketika diperhatikan 
dengan seksama, yang menarik adalah lelaki se- 
belah kanannya. Karena yang sebelah kanan ter- 
buat dari sebatang besi tajam, mulai dari deng- 
kul. Sedangkan kaki yang satu lagi seperti kaki 
yang sewajarnya. 

"Inikah kesempatan kita untuk mencari 
mayat Ki Seta, Sudongdong!" kata laki-laki berpa- 
kaian hitam. 

"Layan! Yakinkah kau kalau harta itu se- 
benarnya ada di tubuh Ki Seta sendiri?" tanya la- 
ki-laki berwajah kera yang dipanggil Sudongdong. 

Laki-laki berpakaian hitam yang bernama 
Layan menganggukkan kepala. 

Memang sebenarnya, kedua orang ini ada- 
lah dua tokoh hitam. Sudongdong berjuluk si Ke- 
ra Sakti, sedang Layan berjuluk Setan Kaki Besi. 
Dan bila mereka datang ke Gunung Pengging ini, 
pasti ada maksud tertentu. 

"Yah! Telah lama sebenarnya kuikuti kabar 
tentang Ki Seta. Tak seorang pun yang tahu ten- 
tang dirinya, kecuali guruku bernama Resi Ang- 
gada. Karena, dia adalah adik seperguruan Ki Se- 
ta di Gunung Rinjani. Konon, kakak adik seper- 
guruan itu berguru pada Eyang Megatantra alias 
Malaikat Hati Emas, yang kesaktiannya tak ada 
duanya di dunia ini," tutur Layan. 

Sebentar Layan terdiam, seperti berusaha 
mengingat-ingat apa yang diketahuinya. 

"Sebelum ajalnya. Eyang Megatantra mem- 
berikan kepada Ki Seta dan guruku, masing- 
masing sebuah benda pusaka. Resi Anggada, 
mendapatkan sebuah kalung yang sangat ampuh, 
karena, memiliki kekuatan gaib aneh. Kalung itu 
mampu menyedot tenaga lawan tanpa terlihat dan 
tanpa disadari. Saat itulah, biasanya guruku 
menghabisi lawannya. Begitu mudahnya untuk 
menjatuhkan lawan," lanjut Layan menjelaskan. 

"Lalu apa yang diberikan Eyang Megatantra 
pada Ki Seta?" tanya Sudongdong. 

"Sebuah cincin bermata biru," sahut Layan. 

"Itukah harta yang disimpan Ki Seta?" ce- 
car Sudongdong dengan pandangan terbelalak. 
"Hanya sebuah cincin? Sialan! Hanya sebuah cin- 
cin saja dikatakan sebagai harta yang tak ternilai 
harganya! Kau ini rupanya sangat bodoh, Layan! 
Rasanya, sia-sia aku bersahabat denganmu sela- 
ma ini!" 

"Jangan sembarangan ngomong!" dengus 
Layan mendengar kata-kata Sudongdong yang 
meremehkannya. "Cincin bermata biru itu bukan- 
lah sembarang cincin. Dengan cincin itu, kita tak 
hanya mampu memindahkan tenaga lawan ke tu- 
buh kita. Tetapi, tenaga hewan, tumbuhan, apa 
saja yang dikehendaki dapat dimiliki hanya sekali 
mengarahkan cincin itu pada sasaran." 

"Gila!" desis Sudongdong, kagum. "Bisa- 
bisa, tanpa berlatih pun, kita akan memiliki tena- 
ga dalam dan kesaktian yang tinggi." 

"Makanya, jangan sembarang ngomong!" 
sungut Lanyan kesal. "Kau ini memang seringkali 
meremehkan orang? Nah! Katakan sekarang, 
apakah kau merasa aku bodoh, hah?" 

Sudongdong hanya mengibaskan tangan- 
nya saja. 

"Lalu, di mana cincin pusaka itu berada?" 
tanya lelaki berwajah kera ini. 

"Menurut cerita guruku sebelum mati, dia 
iri dengan keberuntungan Ki Seta. Karena, cincin 
pusaka milik Ki Seta mampu mengambil dan 
memindahkan tenaga dalam siapa saja yang bisa 
dialirkan ke tubuhnya hingga, tenaga dalamnya 
semakin kuat. Sedangkan kalung pusaka yang 
didapatkan guruku, hanya mampu menguras te- 
naga dalam lawan saja. Itulah yang menyerahkan 
guruku menjadi iri. Karena, dia serakah!" jelas 
Layan. 

Sudongdong mendengus. "Kau sendiri se- 
rakah!" 

"Aku kan muridnya!" 

"Sialan! Lalu?" 

"Terjadilah perkelahian hebat antara Ki Se- 
ta dengan guruku, tanpa ada yang kalah. Me- 
mang, perkelahian di antara mereka sangat wajar, 
karena tidak menggunakan benda-benda pusaka 
itu. Mereka bertarung menggunakan ilmu-ilmu 
yang diajarkan Eyang Megatantra," jelas Layan 
sambil memperhatikan sinar mata Sudongdong 
yang sudah memperlihatkan ketertarikannya. 

"Lalu benda-benda pusaka itu?" desak Su- 
dongdong. 

"Dijadikan sebagai taruhan. Yang menang, 
maka akan mendapatkan benda-benda pusaka 
itu," jawab Layan. 

"Gila! Salah seorang bisa berkhianat kalau 
begitu!" 

"Tetapi pertarungan itu berjalan sangat ju- 
jur." 

"Apa yang terjadi selanjutnya?" 

"Karena keduanya memiliki kesaktian sa- 
ma, maka akhirnya pertarungan itu pun berjalan 
berimbang. Ketika mereka melakukannya lagi, hal 
yang sama tetap terjadi. Hingga akhirnya dipu- 
tuskan, tak ada yang berhak memiliki benda- 
benda pusaka itu. Karena...." 

"Bodoh!" potong Sudongdong. "Lalu dike- 
manakan benda-benda pusaka itu?" 

"Mereka memang memiliki otak tidak wa- 
ras. Kalau guruku termasuk orang jahat, namun 
hatinya jujur. Ketika Ki Seta menginginkan kedua 
benda pusaka itu ditelan oleh masing-masing pe- 
miliknya, dia pun setuju. Ki Seta menelan cincin 
pusaka, sedangkan guruku menelan kalung pu- 
saka. Dan keanehan pun terjadi. Mendadak saja, 
keduanya menjadi lumpuh. Seluruh tenaga dalam 
yang mereka miliki hilang. Begitu pula kesaktian 
mereka. Jangankan memikirkan soal itu, mengge- 
rakkan tangan saja keduanya tidak mampu." 

"Gila! Bagaimana gurumu bisa menurun- 
kan ilmunya kepadamu?" 

Layan tertawa. Suaranya keras, memecah 
keheningan malam. 

"Mudah saja, karena otakku cerdik. Meski- 
pun guruku tak memiliki tenaga dalam dan ke- 
saktian lagi, namun pikiranku masih waras. Selu- 
ruh ilmu kesaktian yang pernah dipelajari masih 
diingatnya. Meskipun, semuanya telah musnah. 
Aku beruntung bertemu dengannya dua puluh 
tahun yang lalu. Memang, selama ini aku men- 
gabdi sekaligus merawatnya. Sehingga, akhirnya 
aku mengetahui dari cerita guruku sendiri kalau 
dulu memiliki kesaktian yang tiada banding. Ke- 
cuali, tentunya hanya bisa ditandingi oleh kesak- 
tian Ki Seta. Dengan hanya memberikan petunjuk 
kepadaku melalui mulut, dia pun menurunkan 
ilmunya kepadaku. Kau lihat hasilnya. Aku kini 
menjadi manusia sakti sekalung!" 

Sudongdong mendengus, walaupun men- 
gakui kecerdikan otak Setan Kaki Besi yang ber- 
hasil mendapatkan ilmu-ilmu sakti gurunya. 

"Layan!" sahut Sudongdong tiba-tiba. "Dari 
siapa kini mengetahui cerita tentang dua harta 
pusaka itu?" 

"Guruku sendiri. Kenapa?" 

"Bodoh! Di mana gurumu itu? Bukankah 
dia telah menelan kalung pusaka?" 

"Ya." 

"Bodoh! Bodoh! Kita harus mengambilnya! 
Kita harus menggali kuburannya, seperti yang 
akan kita lakukan pada Ki Seta!" ujar Sudong- 
dong berjingkat-jingkat. 

Layan mendengus jengkel. 

"Kalau aku tahu di mana mayatnya, tanpa 
mengusikmu aku sudah melakukannya!!" 

"Di mana mayatnya?" 

"Setelah menceritakan semua ini kepada- 
ku, Resi Anggada melompat ke dalam jurang yang 
sangat dalam, di sebelah utara Gunung Rinjani. 
Nah! Apakah kau mau mencoba mengorbankan 
nyawamu sendiri untuk mencari kalung pusaka 
itu, hah?! Kalau aku sudah tentu tidak. Karena..., 
hahaha.... Aku masih suka perempuan- 
perempuan montok untuk kugeluti di kasur!" 

Sudongdong mengibaskan tangannya. 

"Sudahlah, jangan melecehkan aku! Hanya 
sangat disayangkan, kalung pusaka itu. Padahal 
benda langka itu membuat kita akan disegani 
kawan maupun lawan." 

"Tetapi, hanya satu yang bisa kita da- 
patkan sekarang. Cincin sakti di tubuh Ki Seta." 

"Bagus! Sekarang, kita cari di mana mayat 
Ki Seta dikuburkan!!" 

Lalu mereka segera berkelebat di tengah 
kegelapan malam. Masing-masing membuka mata 
lebih lebar lagi. Karena, harta yang dirahasiakan 
Ki Seta adalah cincin pusaka yang seperti diceri- 
takan Layan atau Setan Kaki Besi. 




Dua sosok tubuh berkelebat menembus ke- 
remangan malam. Rembulan di atas sana tak ku- 
asa memancarkan sinarnya ke persada, karena 
terhalang gumpalan awan hitam. 

Salah satu sosok yang berkelebat, menge- 
nakan jubah berwarna hitam. Dia memanggul sa- 
tu sosok tubuh yang agaknya pingsan. Sementara 
di sebelahnya berlari seorang lelaki bertelanjang 
dada. 

Kedua sosok yang ternyata dua orang lelaki 
itu menghentikan larinya, ketika telah tiba bebe- 
rapa tombak di depan sebuah gua yang tertutup 
semak-semak dan tumbuhan merambat. 

"Gembel tua! Di sinikah gua yang kau 
maksudkan?" tanya lelaki berjubah hitam. 

"Benar, Wedokmurko," sahut lelaki berte- 
lanjang dada yang dipanggil Gembel Tua. 

Tanpa banyak cakap lagi mereka memasu- 
ki gua. Jika tak mengenal betul daerah ini, tak 
akan ada yang mengira di sini ada sebuah gua. 

Mereka terus melangkah memasuki gua 
yang semakin lama semakin melebar. Ada bebe- 
rapa obor dari getah pohon jarak yang menerangi 
gua itu didalamnya. 

Diruangan yang paling luas, lelaki berjubah 
hitam yang memang Wedokmurko terbahak- 
bahak sambil berputar. Sementara sosok yang 
pingsan itu masih berada di bahunya. 

"Hm... Tak jauh berbeda dengan gua yang 
kutempati selama ini! Hhh! Gara-gara Pendekar 
Busuk ini seluruh rencanaku gagal!" desis Ki We- 
dokmurko yang dikenal sebagai Manusia Pemuja 
Bulan sambil membanting sosok pingsan, berpa- 
kaian hijau pupus. 

Suara Manusia Pemuja Bulan yang keras 
membangunkan satu sosok tubuh ramping be- 
rambut panjang yang tidur di ruang lain. Dia ter- 
kurung oleh tonggak-tonggak besi yang mem- 
buatnya tak bisa keluar. Memang, sosok yang tak 
lain seorang gadis itu sedang dipenjara. Dan keti- 
ka mendengar suara ribut-ribut, dia mengetahui 
kalau ada yang datang ke sini. 

"Wedokmurko! Ini adalah kesempatan kita 
untuk membunuh Pendekar Slebor. Bila dia ma- 
sih hidup, maka seluruh rencana kita akan gagal" 
ujar Gembel Tua. 

"Kau benar. Gembel Tua! Hhh! Kita me- 
mang telah sepakat sejak lama. Kalau aku men- 
dapat dan mempelajari ajian 'Unggulan Dewa' kau 
mendapatkan cincin pusaka. Tetapi sekarang, ga- 
ra-gara Pendekar Slebor, rencana kita hampir 
gagal. Gembel Tua! Aku hanya membutuhkan 
seorang darah perawan lagi, maka seluruh ajian 
'Unggulan Dewa' yang kupelajari akan sempurna. 
Kau tahu sendiri bukan, aku telah banyak menge- 
luarkan tenaga untuk menghancurkan Pendekar 
Slebor. Yang membuatku muak, dia ternyata tahu 
kelemahanku. Karena ajian 'Unggulan Dewa' be- 
lum sempurna kupelajari, sehingga bahuku sebe- 
lah kanan tidak memancarkan sinar merah. Un- 
tungnya, kau datang dan langsung membokong 
Pendekar Slebor," papar Manusia Pemuja Bulan. 

Kata-kata Manusia Pemuja Bulan mem- 
buat sosok ramping yang berada dalam penjara 
itu tersentak. Yah, dia tahu sekarang. Orang yang 
berbicara memang Manusia Pemuja Bulan. Lalu, 
apa yang dikatakannya tadi? Pendekar Slebor? 
Benarkah Pendekar Slebor dalam keadaan ping- 
san dan sekarang berada di dalam kekuasaan 
mereka? Dan, apakah mereka bermaksud mem- 
bunuhnya? 

"Hanya seorang dara perawan bukanlah 
suatu masalah yang sulit." kata Gembel Tua. 

"Maksudmu?" tanya Ki Wedokmurko. 
Gembel Tua tersenyum. 

"Saat ini, aku pun memiliki seorang dara 
perawan yang bisa dikorbankan untuk menyem- 
purnakan ajian 'Unggulan Dewa'." 

"Mana dia? Mana?" desak Ki Wedokmurko 
tidak sabar. 

Gembel Tua tersenyum lagi. 

"Tadi kukatakan, masalah itu tidak sulit. 
Yang sulit sekarang, sudahkah kau mendapatkan 
di mana harta Ki Seta berada?" tukas Gembel 
Tua. 

Ki Wedokmurko alias Manusia Pemuja Bu- 
lan menggelengkan kepala. 

"Sayangnya, aku tidak tahu di mana harta 
Ki Seta yang berupa cincin pusaka itu," keluh 
Manusia Pemuja Bulan. 

Mendengar kata-kata itu. Gembel Tua bu- 
kannya marah, justru tersenyum. 

"Wedokmurko! Kau telah mendapatkan 
ajian 'Unggulan Dewa' dari sebuah kitab yang tak 
sengaja kita temukan. Kini, tibalah saatnya gili- 
ranku untuk mendapatkan cincin pusaka itu," 
ujar Gembel Tua sambil tersenyum penuh arti. 

"Hei? Kau sudah tahu harta Ki Seta itu?" 
tanya Ki Wedokmurko. 

Sementara satu sosok tubuh yang men- 
dengarkan pembicaraan itu pun tersentak. Harta 
Ki Seta? Cincin pusaka? Telinganya pun dibuka 
lebar-lebar untuk mendengarkan pembicaraan se- 
lanjutnya. Karena hal ini sangat menarik hatinya, 
terlalu sayang bila dilewatkan. Gembel Tua men- 
gangguk. 

"Kau tahu, di mana Ki Seta dimakamkan?" 
Gembel Tua malah balik bertanya. 

"Ya" 

"Antar aku ke sana." 

"Untuk apa?" 

"Karena, di perut Ki Seta-lah cincin pusaka 
itu berada." 

Untuk sesaat Ki Wedokmurko terdiam. 
"Tololnya aku!" bentak Manusia Pemuja 
Bulan sambil menepuk kepalanya. "Rupanya har- 
ta itu berada di depan mataku!" 

"Kau terkadang memang tolol!" sindir Gem- 
bel Tua. "Tetapi yang perlu kau ketahui sekarang 
ini, rahasia tentang harta Ki Seta yang berupa 
cincin pusaka itu telah terdengar orang-orang 
rimba persilatan. Dan dugaanku, dalam waktu 
singkat saja, maka akan bermunculan mereka. Di 
mana mayat Ki Seta dimakamkan?" 

"Di lereng Gunung Pengging sebelah ti- 
mur." 

"Hmm.... Wedokmurko! Kita harus sece- 
patnya tiba di sana lebih dulu. Menggali makam- 
nya dan membelah mayatnya," ujar Gembel Tua. 

"Jangan khawatir! Kita akan mendapatkan 
semua yang kita inginkan. Kini, tibalah giliranmu 
untuk mendapatkan cincin pusaka itu...," sahut 
Ki Wedokmurko sambil menepuk-nepuk bahu 
kawannya. 

"Kapan kita akan mencarinya?" 

"Kalau perlu, malam ini juga. Karena, lebih 
cepat lebih baik. Apalagi kau katakan tadi, orang- 
orang rimba persilatan sudah mengetahui tentang 
cincin pusaka yang berada di dalam tubuh Ki Se- 
ta." 

"Bagus! Lalu bagaimana dengan pendekar 
tengil itu?" 

Ki Wedokmurko terbahak-bahak "Mudah 
saja. Bunuh sekarang juga!" 

Gembel Tua pun ikut terbahak-bahak. Se- 
mentara satu sosok yang mendengarkan tentang 
rahasia harta Ki Seta, menghela napas panjang. 

•k'k'k 

"Bangsat! Di mana letak makam itu?" rutuk 
Sudongdong, setelah sekian lama mencari tak ju- 
ga menemukan makam Ki Seta. "Hei, Layan.... 
Yakinkah kau kalau makam itu berada di sekitar 
lereng Gunung Pengging ini?" 

Layan alias Setan Kaki Besi itu mengang- 
guk. 

"Hal itu tak diragukan lagi. Tetapi tidak 
usah ribut-ribut karena sebentar lagi kita pasti 
akan menemukannya!" ujar Layan. 

Belum lagi Sudongdong menyahuti kata- 
kata Setan Kaki Besi.... 

"Hik hik hik.... Rupanya sudah ada dua ke- 
roco tak berguna yang menginginkan cincin pu- 
saka itu!" 

Tiba-tiba terdengar suara terkekeh-kekeh, 
melengking di keremangan malam. 

Keduanya tersentak dan seketika men- 
gangkat kepala. Di ranting sebuah pohon besar 
tampak duduk tenang satu sosok tubuh sambil 
mengayun-ayunkan kedua kakinya yang menjun- 
tai. Sikap duduk begitu ringan sambil mengayun- 
ayunkan tubuhnya di ranting sekecil itu. Dalam 
sekali lihat saja, sudah bisa ditebak kalau wanita 
tua dengan rambut digelung ke atas itu bukanlah 
orang sembarangan. 

"Camar Hitam...!" desis Ki Wedokmurko 
dan Gembel tua, berbareng. 

Mereka mengenal wanita itu, yaitu sebagai 
Camar Hitam, seorang tokoh golongan hitam yang 
merajai daerah selatan. 

Tetapi bagi Sudongdong dan Layan, sama 
sekali tidak merasa gentar. Bahkan mereka sudah 
mengepalkan kedua tangan. Hati mereka panas 
melihat sikap si Camar Hitam. 

Sudongdong rupanya masih bisa menyem- 
bunyikan kemarahannya. 

"Tak kusangka..., rupanya orang selatan 
pun hijrah ke daerah barat ini," kata Sudongdong, 
sambil tertawa. 

"Monyet busuk! Apakah kau pikir aku akan 
berdiam diri di tempatku saja, hah?!" bentak Ca- 
mar Hitam sambil terkikik. 

Wajah Camar Hitam yang tirus penuh keri- 
put. Pakaiannya berwarna keperakan. Di tangan 
kanannya terpegang sebatang tongkat yang nam- 
pak kusam. 

"Lalu, untuk apa kau datang ke sini, hah?!" 
tanya Sudongdong balik membentak. 

"Hik hik hik.... Rupanya otakmu sama per- 
sis dengan wajahmu itu, Sudongdong! Telingaku 
masih tajam untuk mendengar tentang cincin pu- 
saka yang diributkan orang! Hhh! Apakah keda- 
tangan kalian di tempat ini untuk merebut benda 
yang sama?" 

Layan yang berjuluk Setan Kaki Besi, tak 
bisa menguasai amarahnya. 

"Camar Hitam! Selama ini, kupandang kau 
sebagai tokoh hitam nomor satu di selatan! Tetapi 
sekarang, malam ini sikapmu yang memuakkan 
itu telah membuat kemarahanku naik!" 

Mendengar bentakan yang bernada anca- 
man bukannya membuat Camar Hitam jeri, justru 
makin terkikik-kikik. Suaranya mirip kuntilanak 
yang sedang mencari bayi! 

"Hebat! Hebat sekali kata-katamu itu, 
Layan! Kau memang patut dijuluki Setan Kaki 
Besi! Tetapi..., hmmm. Rasanya, lebih baik mulai 
malam ini juga julukanmu itu aku ganti, menjadi 
Setan Tanpa Kaki!" 

"Keparat!" 

Layan langsung mengibaskan tangannya ke 
arah Camar Hitam. 

Srrrttt! 

Serangkum angin keras menderu ke arah 
nenek itu. Tetapi tanpa berpindah dari tempat 
duduknya di ranting yang kecil, Camar Hitam 
menggerakkan tangan kanannya yang memegang 
tongkat. 

Teb! Teb! Teb! 

Tiga buah daun putus karena ayunan 
tongkat Camar Hitam langsung meluncur ke arah 
Layan. 

Siiing! Siiing! Siiing! 

Dua buah daun yang telah dialirkan tenaga 
sakti, menghalau angin keras yang dilontarkan 
Setan Kaki Besi. Sementara sehelai daun lagi me- 
luncur deras ke arah kaki kiri Layan. 

Layan menggeram sambil melenting ke 
samping. 

"Anjing peot!" maki laki-laki itu begitu 
hinggap di tanah. 

"Hikhikhik.... Lumayan, lumayan keheba- 
tanmu itu, Layan. Kau memang masih pantas un- 
tuk diperhitungkan. Cuma, sayang. Malam ini, 
namamu akan terkubur di lereng Gunung Pengg- 
ing!" 

Layan sudah tidak mampu lagi menguasai 
amarahnya. Namun sebelum berbuat apa-apa.... 

"Camar Hitam...!" sela Sudongdong. "Kehe- 
batanmu memang tak perlu disangsikan lagi. Te- 
tapi, bagaimana kalau kita sama-sama mencari 
mayat Ki Seta dan mendapatkan cincin pusaka 
itu?" 

"Hmmm.... Boleh juga akal licikmu itu, Su- 
dongdong. Kau memang sangat terkenal karena 
kelicikanmu. Bila aku sudah menemukan di ma- 
na mayat Ki Seta, lalu kau akan membokongku? 
Hik hik hik.... Hebat, hebat sekali!" tukas Camar 
Hitam. 

"Bukan itu maksudku. Setelah menda- 
patkan mayat Ki Seta, kita akan mencari cincin 
pusaka itu. Karena menurutku, aku masih me- 
nyangsikan kalau cincin pusaka itu berada di da- 
lam tubuh Ki Seta," jelas Sudongdong sudah 
mengeluarkan akal bulusnya. 

Lelaki berwajah tirus itu tahu. Camar Hi- 
tam adalah orang yang mudah terpengaruh 
meskipun kesaktiannya teramat tinggi. Paling ti- 
dak, harapan Sudongdong, bila semua itu terlak- 
sana memang akan membokongnya. Wajahnya 
tadi sempat memerah ketika Camar Hitam mam- 
pu menebak maksudnya. Tetapi dia adalah orang 
licik, yang akan menggunakan segala macam cara 
untuk mendapatkan maksudnya. 

"Permainan seperti itu tak patut diberikan 
kepadaku. Sudongdong. Sudah tentu cincin pu- 
saka itu berada di perut Ki Seta," kata Camar Hi- 
tam. 

Sudongdong tertawa meremehkan, me- 
mancing rasa penasaran Camar Hitam. 

"Tak kusangka, orang yang ditakuti di sela- 
tan ternyata percaya kabar burung. Bahkan lang- 
sung percaya kalau dikatakan cincin pusaka itu 
berada di tubuh Ki Seta. Sayang sekali. Padahal 
seharusnya, harus dibuktikan dulu. Mencari 
mayat Ki Seta, sekaligus membuktikan apakah 
cincin pusaka itu benar-benar berada di dalam 
tubuhnya. 

Camar Hitam terdiam. Sudongdong tahu 
kalau nenek sakti itu telah terpengaruh kata- 
katanya. 

"Camar Hitam! Dalam dunia persilatan ini, 
orang yang paling sakti maka dialah yang akan 
menang. Nah! Apakah kau masih khawatir aku 
dan Layan membokongmu bila sudah menemu- 
kan cincin pusaka itu? Jelas tidak mungkin itu 
kami lakukan. Karena kami tahu akan kesak- 
tianmu. Kami tidak akan mampu melawanmu 
meskipun berdua. Tetapi, jangan lupa. Itu pun 
kalau memang cincin pusaka itu berada di perut 
Ki Seta." lanjut Sudongdong. 

Camar Hitam semakin terdiam, mulai ter- 
makan kata-kata Sudongdong. 

"Hhh! Tidak mungkin kalau cincin pusaka 
itu tidak ada di perut Ki Seta! Lantas, untuk apa 
kau dan Setan Kaki Besi mendatangi tempat ini, 
kalau bukan untuk memburu mayat Ki Seta, 
hah?!" dengus Camar Hitam. 

"Karena, kami masih ingin membuktikan 
berita burung itu. Apakah kau tidak malu, nama 
besarmu sebagai tokoh di selatan akan ditertawa- 
kan orang-orang rimba persilatan? Kau susah 
payah mendatangi wilayah barat ini hanya untuk 
menelan kebodohan. Karena, rupanya kabar ten- 
tang cincin pusaka itu hanyalah kabar burung? 
Sangat disayangkan!" 

Camar Hitam sudah benar-benar terkena 
ucapan si Kera Sakti. Ia benar-benar orang bo- 
doh, tak mempergunakan otaknya. Segala sesua- 
tunya hanya ditekankan pada kesaktiannya saja. 

"Tetapi, siapakah yang berhak menda- 
patkan cincin pusaka itu bila memang ternyata 
benar berada di perut Ki Seta?" tanya Camar Hi- 
tam. 

"Ha ha ha...! Bagaimana mungkin kau bisa 
langsung yakin cincin itu berada di perut Ki Seta? 
Hah?! Apakah kau melihatnya dia menelan cincin 
itu? Jangan bodoh, Camar Hitam!" tukas Sudong- 
dong. 

Kata-kata Sudongdong yang mengandung 
bujukan itu kini dimakan bulat-bulat oleh Camar 
Hitam. Dan tiba-tiba dia melompat dengan satu 
gerakan ringan manis sekali, lalu hinggap di ta- 
nah bagaikan sehelai kapas yang dipermainkan 
angin dengan mata menatap nyalang. 

"Aku menurut kata-katamu. Tetapi bila ka- 
lian membokongku, tak akan pernah kubiarkan 
hidup!" ancam Camar Hitam. 

Sudongdong terbahak-bahak. Pertama, un- 
tuk menutupi kekhawatirannya akan ancaman 
Camar Hitam. Kedua, menertawakan kata-kata 
Camar Hitam sendiri. 

Kalaupun dia akan membokongnya nanti, 
sudah bisa dipastikan si Camar Hitam akan men- 
jadi mayat. Dan, lelaki berwajah kera itu memang 
berniat melakukannya. 

"Camar Hitam! Tadi pun kukatakan, apa- 
kah aku dan Setan Kaki Besi akan mampu meng- 
hadapi kesaktianmu?" tukas Sudongdong penuh 
sanjungan. "Kami merasa kecil di hadapanmu. 
Dan lagi, kami cukup gentar mendengar ancaman 
itu. Sehingga, kami tidak berani mencoba-coba 
melakukannya. Kami harus menggunakan otak 
untuk melakukannya!" 

Camar Hitam kali ini bukan hanya mene- 
lan bulat-bulat kata-kata Sudongdong yang berbi- 
sa, bahkan tersenyum sumringah mendengar pu- 
jian itu. 

"Yah, kalian memang tak ada apa-apanya 
dibanding kesaktianku!" kata Camar Hitam den- 
gan dagu terangkat 

"Nah! Kau sendiri yakin, akan mampu 
mengalahkan kami...?" 

"Sudah, sudah! Sekarang jangan banyak 
mulut! Kita cari di mana makam Ki Seta!" 

Sudongdong tertawa puas. Layan pun ter- 
tawa dalam hati, memuji kepintaran Sudongdong 
untuk menghasut sekaligus membujuk Camar Hi- 
tam. Karena dia pun yakin, meskipun berdua 
akan menyerang Camar Hitam, belum tentu akan 
mampu menaklukkannya. 


Manusia Pemuja Bulan tersenyum puas 
melihat tubuh Pendekar Slebor yang telah terikat 
dengan rantai besi yang besar dan kuat. Di leher 
pendekar urakan itu melilit seutas tali besar, yang 
sangat menyulitkan untuk meloloskan diri. Kare- 
na bila Andika bergerak, maka tali yang melilit le- 
hernya akan semakin mengencang. 

Si Gembel Tua yang telah mengambil 
seember air, segera menyiramkannya ke tubuh 
Andika berkali-kali. Seketika, pemuda pewaris il- 
mu Lembah Kutukan itu gelagapan dan basah 
kuyup. Sebelumnya tadi, dia telah mengobati tu- 
buh Andika yang dibokongnya. 

Mata Pendekar Slebor mengerjap-ngerjap. 
Seluruh tubuhnya terasa sakit luar bisa. Dan 
alangkah terkejutnya Andika ketika merasa sulit 
saat menggerakkan kedua tangan dan kakinya. 
Rasa sakit pun sangat terasa, ketika lehernya 
bergerak. 

"Ha ha ha.... Pendekar Slebor..., selamat 
bertemu kembali...," kata Manusia Pemuja Bulan. 
Telinga Andika sayup-sayup mendengar 
kata-kata itu. Lalu penglihatannya ditajamkan. 
Dan dilihatnya dua sosok tubuh sudah menatap- 
nya dengan dingin. 

"Apakah kau merasa mampu melepaskan 
dirimu sekarang, Pendekar Slebor?" ejek Manusia 
Pemuja Bulan. "Sudah kukatakan, kau akan 
mampus karena terlalu lancang mencampuri se- 
gala urusanku!" 

Andika tersenyum. Meskipun sekujur tu- 
buhnya masih terasa lemas, namun pikirannya 
sudah bekerja. Pendekar Slebor pun tak heran 
melihat sosok di sebelah Manusia Pemuja Bulan 
yang menatapnya dengan sinis. 

"He he he...! Tridarma..., kita bertemu la- 
gi...," kata Andika, kalem. 

Gembel Tua yang tak lain Tridarma terse- 
nyum mengejek 

"Sekarang, kau tahu siapa aku, bukan?" 
kata Tridarma. Sikapnya sangat pongah. Andika 
nyengir. 

"Dari semula juga aku tahu, kalau kau bu- 
kan pelayan Eyang Ki Saptacakra. Mana ada sih, 
penghuni Lembah Kutukan kurus kerempeng se- 
perti itu!" cerocos Andika. 

Memang, sebelumnya Andika tertipu ting- 
kah laku Tridarma yang mengaku sebagai bekas 
pelayan Ki Saptacakra, Pendekar Lembah Kutu- 
kan beberapa puluh tahun yang lalu. Bersama 
Andika, dia pun saat itu ikut mencari Manusia 
Pemuja Bulan. Dan sekarang, tak tahunya laki- 
laki berusia delapan puluh lima tahun yang tak 
mengenakan baju itu adalah musuh dalam seli- 
mut (Untuk lebih jelasnya, silakan baca episode : 
"Manusia Pemuja Bulan"). 

Wajah Tridarma memerah. 

"Andika... Tak pernah kusangka kalau 
pendekar muda yang namanya sangat tersohor 
itu dapat tertipu oleh sebuah sandiwara kecil!" 
ejek Tridarma lagi. 

"He he he...! Namanya juga kan manusia. 
Terkadang suka lupa dan khilaf, kan?" sambut 
Andika enteng. "Tetapi ya..., sebenarnya aku juga 
sudah curiga. Hanya saja, aku sengaja membiar- 
kanmu merasa bangga karena kau mampu meni- 
pu pendekar ganteng dan hebat yang gagah ini," 

"Kau bodoh!" desis Tridarma. 

"Lumayan pujian itu," kata Andika enteng. 
Tridarma tersenyum mengejek. "Kau memang sle- 
bor! Pantas julukan Pendekar Slebor itu untuk- 
mu!" 

"Lumayan buat makan nasi, sih!" sahut 
Andika lagi. Tetap dengan gayanya yang urakan, 
"Eh! Apakah kalian sudah yakin, dengan kekua- 
tan rantai dan tali besar ini?" 

Justru wajah Ki Wedokmurko alias Manu- 
sia Pemuja Bulan yang memerah sekarang. Dia 
merasa diejek dengan kata-kata Pendekar Slebor. 

"Kau sudah tak berdaya, Pendekar Slebor! 
Jangan banyak tingkah sekarang!" bentak Manu- 
sia Pemuja Bulan. 

"He he he....! Aku hanya tanya saja, kok. 
Boleh, kan?" tukas Andika sambil memperkirakan 
kekuatan rantai dan tali besar itu. 

Pendekar Slebor yakin, rantai dan tali be- 
sar itu sudah dialiri tenaga dalam kuat oleh Ma- 
nusia Pemuja Bulan. Diam-diam hatinya menye- 
sali kebodohannya, ketika Tridarma mengaku pe- 
layan Ki Saptacakra. Andika baru menyadari ka- 
lau Tridarma adalah musuh dalam selimut, ketika 
mencari Mayang, gadis desa yang hendak dikor- 
bankan untuk Dewa Bulan. Keselamatan Mayang 
waktu itu dititipkan pada Tridarma. Dan ternyata, 
gadis itu tidak ada di tempat semula. 

Dan satu alasan lagi yang membuatnya 
semakin yakin kalau Tridarma adalah kawan Ma- 
nusia Pemuja Bulan, ketika penduduk yang ber- 
mukim di sekitar lereng gunung Pengging diserbu 
ribuan tawon. Saat itu, Tridarma mengatakan ka- 
lau ribuan tawon telah menyerang desa di lereng 
Gunung Pengging. Padahal pada saat yang sama 
Andika pun menajamkan telinganya, namun tak 
mendengar apa-apa. 

Lagi-lagi Andika menyadari kebodohannya, 
karena telah ditipu Tridarma. Dia yakin, sebenar- 
nya Tridarma sudah tahu kalau hari itu Manusia 
Pemuja Bulan akan mengeluarkan tawon-tawon 
ganasnya. Dan yang terpenting lagi, ketika Andika 
hendak mengorek keterangan salah seorang ma- 
nusia berpakaian dan bertopeng merah yang dike- 
tahui sebagai anak buah Manusia Pemuja Bulan. 
Namun tahu-tahu saja Tridarma muncul dan 
langsung membunuhnya (Baca serial Pendekar 
Slebor dalam episode: "Manusia Pemuja Bulan"). 

"Rupanya, Pendekar Slebor adalah orang 
bodoh!" ejek Tridarma 

"Kalau kau iri dengan kecerdikanku, seha- 
rusnya jangan mengatakan aku bodoh, dong," 
sergah Andika. "Nah.... Biasanya memang begitu. 
Orang bodoh suka mengaku pintar, dan enak saja 
mengatakan orang lain yang bodoh. Seperti kalian 
ini yang seharusnya.eagghhkkkhh!" 

Sebuah pukulan keras telah menghantam 
perut Andika. 

"Jangan banyak cincong! Nyawamu sudah 
di ujung Muluk!" bentak Tridarma. 

Andika masih nyengir saja. "Lumayan, 
memang aku sedang pegal!" 

"Bangsat!" 

Dengan geram Tridarma kembali melan- 
carkan pukulan ke sekujur tubuh Andika. Meski- 
pun Andika sudah mengeluarkan tenaga dalam- 
nya, namun dalam keadaan tak berdaya seperti 
itu harus merasakan sakit juga 

"Mampuslah kau. Pendekar Slebor!" dengus 
Tridarma sambil menendang wajah Andika. 

Duk! 

Wajah Pendekar Slebor langsung berbelok 
ke kiri. Bukan sakit akibat tendangan, melainkan 
karena ikatan tali pada lehernya. Tetapi dasar 
bandel. Andika cuma tersenyum-senyum saja. 

"Yah...! Lumayan tenagamu. Tridarma. Cu- 
kup untuk mengocok kue apem yang banyak di 
jual di pasar!" 

Tridarma hendak mengayunkan tangannya 
kembali, tetapi sudah ditahan Manusia Pemuja 
Bulan. 

"Biarkan manusia ini ngoceh terus mene- 
rus sampai berbusa. Sekarang, kita tinggalkan sa- 
ja dia di sini!" ujar Ki Wedokmurko. 

"Tidak! Aku ingin melihat sampai di mana 
kekuatannya?!" tolak Tridarma, tegas. 

"Biarkan saja dia berbuat semaunya! Toh, 
aku tidak bisa melawannya, bukan? Hei, jubah 
hitam jelek! Apakah kau tidak ingin memukulku 
juga?" sahut Pendekar Slebor, sambil tertawa. 

Mendengar tantangan itu, wajah Manusia 
Pemuja Bulan menjadi memerah. Dia tahu, saat 
ini tenaganya telah terkuras karena bertarung 
melawan Pendekar Slebor sebelumnya. Apalagi 
tenaganya juga harus disimpan untuk menyem- 
purnakan ajian 'Unggulan Dewa' yang sedang di- 
pelajarinya. Makanya dia hanya bisa menggeram. 

"Tridarma! Kalau kau ingin menghabisinya 
sekalian juga, lakukan! Aku menunggumu di 
luar!" ujar Manusia Pemuja Bulan sambil melang- 
kah keluar. 

"Hei, jangan di luar! Banyak nyamuk yang 
dapat menggigit tubuhmu..., eeiiggkkhh!" ujar 
Pendekar Slebor, yang kemudian terputus oleh 
hantaman Tridarma. 

Lelaki tak berbaju itu marah sekali men- 
dengar ejekan-ejekan pendekar urakan yang ko- 
nyol. 

Sementara di ruangan lain, di gua itu juga, 
satu sosok tubuh hanya bisa menangis menden- 
gar pukulan-pukulan Tridarma pada tubuh Pen- 
dekar Slebor. Sosok itu lak lain adalah Mayang, 
yang telah diculik Tridarma ketika Pendekar Sle- 
bor menyelamatkan para penduduk dari serangan 
tawon-tawon ganas. 

Air mata gadis itu terus menitik. 

•kJck 


"Sawedo! Ke mana lagi arah yang harus ki- 
ta tempuh?" tanya seorang pemuda pada Sawedo. 

Memang, setelah beristirahat untuk memu- 
lihkan tenaga, Sawedo segera mengajak tiga ka- 
wannya untuk berangkat mencari Pendekar Sle- 
bor. Meskipun ini termasuk rencana gila, akan te- 
tapi Sawedo yang merasa berhutang budi terha- 
dap Pendekar Slebor telah bertekad merelakan 
nyawanya demi keselamatan pemuda sakti itu. 
Sawedo sendiri sadar kalau dirinya bukanlah to- 
koh sakti. Buktinya, Pendekar Slebor saja berha- 
sil dikalahkan Manusia Pemuja Bulan dan ka- 
wannya itu. 

Apalagi dia? Memang, bagi Sawedo ini ada- 
lah perjalanan berat yang baru pertama dilaku- 
kan. 

Apalagi, Sawedo pun teringat kalau sebe- 
lumnya pernah menuduh Andika telah melaku- 
kan pembunuhan terhadap Medi, Kang Menggolo, 
dan istrinya. Inilah yang membangkitkan tekad- 
nya. Dia ingin menebus kesalahannya waktu itu 
dengan mencari Pendekar Slebor. 

"Aku tidak tahu, Subekti. Tetapi menurut 
firasatku, ia pasti dibawa ke arah timur," sahut 
Sawedo pada pemuda yang bertanya padanya. 

Saat ini mereka berada di sebuah hutan le- 
bat. Malam sangat pekat. Di samping sinar bulan 
yang malam ini tertutup awan hitam, juga sinar- 
nya tak mampu menembus lebatnya dedaunan. 

"Tetapi, bagaimana kita bisa menolongnya, 
sementara kita tidak memiliki kemampuan berar- 
ti?" tanya pemuda yang berkepala botak. Tangan 
kanannya memegang sebilah parang besar. 

"Itu juga yang kupikirkan, Jalu!" sahut Sa- 
wedo seraya menghela napas panjang. 

"Nah! Lalu, mengapa kau tetap bersikeras 
untuk mencarinya. Lagi pula, kita tidak tahu 
apakah dia masih hidup atau sudah mati? Kita 
sendiri melihat pendekar itu terkapar ketika dibo- 
kong laki-laki tua yang bertelanjang dada, lalu di- 
panggul Manusia Pemuja Bulan dalam keadaan 
pingsan?" tukas pemuda botak yang dipanggil Ja- 
lu. 

Kali ini Sawedo terdiam, lalu menghela na- 
pas panjang, 

"Memang, ini hanyalah kenekatan belaka. 
Tetapi budi baik pendekar sakti itu harus dibalas. 
Mungkin dia mengalami suatu siksaan yang me- 
nyakitkan saat ini," desah Sawedo. 

"Tetapi, Sawedo. Ke mana lagi kita harus 
mencarinya?" tanya pemuda lain yang sejak tadi 
diam saja. "Belum lagi kemungkinan besar Manu- 
sia Pemuja Bulan dan kawannya akan mudah 
menghancurkan kita." 

"Memang pahit kenyataan ini, Giri! Tetapi 
hatiku sudah mantap, meskipun tahu tenaga kita 
tidak akan ada gunanya," sahut Sawedo, sejenak 
Sawedo mengedarkan pandangan pada teman- 
temannya. "Sekarang bagaimana? Apakah kalian 
masih mau ikut bersamaku? Kalau kalian kebera- 
tan, aku tidak apa-apa. Silakan kalian kembali ke 
desa, atau menyusul rombongan yang dipimpin 
Paman Longgom ke Lembah Bunga." 

Tak ada sahutan. Mereka hanya saling 
pandang saja. 

"Sawedo! Jangan marah dengan kata-kata 
kami tadi. Kami hanya mengungkapkan suatu 
kemungkinan, kalau pencarian kita pada Pende- 
kar Slebor akan sia-sia. Ini sama saja mengantar- 
kan nyawa." kata Subekti. 

"Kuhargai soal itu. Tetapi, aku akan tetap 
mencarinya, meskipun sekali lagi kukatakan ke- 
mungkinan nyawa kita yang akan melayang. Ter- 
serah kalian. Meskipun terus terang, aku sangat 
mengharapkan sekali kalian ikut bersamaku," sa- 
hut Sawedo. 

Lagi-lagi mereka saling berpandangan. Me- 
rasa tak enak juga mendengar kata-kata Sawedo. 
Apalagi sampai membiarkannya pergi seorang diri 
dalam keadaan gawat seperti ini. 

"Sudahlah, kita lupakan saja percakapan 
kita barusan," kata Subekti lagi. "Kami akan tetap 
ikut bersama." 

Sawedo tersenyum. 
"Terima kasih." 


*** 

Rombongan yang dipimpin Longgom telah 
tiba di Lembah Bunga. Mengungsi di tempat yang 
jaraknya tak jauh itu memang membutuhkan ke- 
beranian luar biasa. Karena, akan sangat mudah 
sekali dicari lawan-lawan mereka. 

Tetapi yang dikatakan Longgom tentang 
sebuah gua yang luas terdapat di belakang air ter- 
jun, memang benar. Setelah mereka melintasi 
Lembah Bunga luas yang penuh ditumbuhi aneka 
bunga, mereka pun tiba di atas sebuah air terjun 
yang sangat deras. Suaranya bergemuruh dan 
sangat menakutkan. 

"Jalan mana yang akan kita tempuh untuk 
sampai ke gua itu, Longgom?" tanya laki-laki tua 
yang dikenal bernama Ki Purwa. 

"Di sebelah sana. Mari semua ikut aku!" 
ajak Longgom sambil menunjuk satu arah. 

Dan rombongan itu pun bergerak kembali. 

Jalan menurun bebatuan kini dijajaki. 

"Jalan satu-satunya untuk tiba di belakang 
gua itu, hanyalah lewat sini," kata Longgom, begi- 
tu berhenti di tempat yang agak rendah. 

"Gila!" seru Ki Purwa. "Apakah kau tidak 
lihat jalannya begitu landai dan penuh batu-batu 
tajam?" 

"Hanya itu jalan satu-satunya," sahut 
Longgom, pelan. 

"Kau mengada-ada, Longgom." 

"Tidak, Ki. Kita memang harus melalui ja- 
lan ini untuk tiba di belakang air terjun itu. Ba- 
nyak yang mengetahui jalan ini sebenarnya. Teta- 
pi, semuanya tak ada yang tahu jalan tembus un- 
tuk menuju ke gua di balik air terjun. Ayo, semua 
berpegangan dan hati-hati." 

Lalu satu persatu dengan dipimpin Long- 
gom, mereka pun menuruni jalan berbatu yang 
landai. Suasana terasa sangat tegang. Apalagi di- 
tingkahi bunyi gemuruh air terjun, yang mampu 
membuat kengerian semakin menjadi-jadi. Tetapi 
berkat kesabaran dan tekad yang gigih, mereka 
pun berhasil menuruni batu-batu itu. 

"Lewat sini!" tunjuk Longgom sambil men- 
gibaskan goloknya pada sebuah semak yang ting- 
gi dan besar. 

Setelah disibakkan dengan golok, terlihat- 
lah sebuah jalan yang sedikit berliku. Memang, 
tak seorang pun yang akan menyangka di balik 
rimbunnya semak itu terdapat sebuah jalan. 

Kemudian satu persatu mereka melangkah. 
Longgom sendiri dengan dibantu tiga orang pe- 
muda, menutupi jalan rahasia itu dengan semak- 
semak pula. 

Kini mereka menyusuri jalan yang berliku. 
Tidak terlalu landai dan banyak batu. Bahkan te- 
rasa malah mudah sekali. 

Tak lama kemudian, mereka pun tiba di 
sebuah tempat yang besar. Longgom memerin- 
tahkan beberapa pemuda untuk menyalakan obor 
yang dibawa, namun sejak tadi tidak dinyalakan. 

Dengan bantuan cahaya penerangan dari 
obor semakin terlihat gua yang besar itu. Jarang 
sekali angin berhembus di situ. Sehingga, tempat 
itu terasa hangat. Meskipun jarang ada angin 
yang masuk ke sana, namun karena dinginnya 
percikan-percikan air, suasana di sana tidak ter- 
lalu pengap. 

Ki Purwa mendesah kagum ketika melihat 
air terjun yang ada di hadapannya dari dekat. Ki- 
ni dia percaya pada Longgom. 



Fajar mulai menyingsing. Sinar mentari 
memberikan penerangan indah bagi alam. Begitu 
indah, seolah mampu membuai anak manusia da- 
lam rangkulan alam, dalam kenyamanan hidup 
yang bisa dirasakan. Hanya sayang, seringkali 
keindahan itu luluh oleh keangkara-murkaan 
yang terjadi. 

Sementara itu tiga sosok tubuh tampak 
masih mondar-mandir disekitar Gunung Pengg- 
ing. Mereka tak lain Sudongdong, Layan, dan 
Camar Hitam yang sedang mencari makam Ki Se- 
ta. Namun sampai mentari menampakkan ca- 
hayanya, makam itu belum juga ditemukan. 

Camar Hitam yang mengetuk-ngetuk setiap 
jengkal tanah dengan tongkat menggeram jengkel. 

"Gila! Di mana sebenarnya makam itu be- 
rada?" maki perempuan sakti ini penuh kemara- 
han. 

Camar Hitam merasa bosan berjalan, tak 
ubahnya orang buta yang setiap kali melangkah 
harus menjejakkan tongkatnya ke tanah, untuk 
menebak jalan mana yang lebih baik dijalani. 

"Lama-lama aku bisa gila mengetuk-ngetuk 
tanah seperti ini!" semburnya lagi penuh kejeng- 
kelan. 

"Sabar saja, nanti juga ketemu," ujar Su- 
dongdong yang diam-diam juga bosan dengan ke- 
giatan ini. 

Tanpa sepengetahuan Camar Hitam, berka- 
li-kali lelaki berwajah kera itu melirik Layan yang 
hanya mengangguk dengan pasti. Agaknya, Setan 
Kaki Besi itu tetap pada keyakinannya kalau 
mayat Ki Seta berada di sekitar sana. 

Camar Hitam menoleh. Dan ketika melihat 
senyum mengejek di bibir Sudongdong, dia men- 
dengus. Diam-diam hatinya membenarkan kata- 
kata Sudongdong tentang kemungkinan mayat 
dan cincin pusaka yang ada di tubuh Ki Seta. 

"Buang senyum monyetmu itu!" dengus 
Camar Hitam. 

Sudongdong tertawa dalam hati. Menerta- 
wakan kebodohan Camar Hitam! 

"Bila kau sudah menemukan mayat Ki Seta 
dan kebenaran tentang cincin pusaka itu, maka 
kau akan mampus!" desis lelaki berwajah kera 
itu, tetap dalam hati. 

Sudongdong memang telah menemukan 
suatu cara yang paling jitu daripada membokong. 
Tetapi, membokong pun akan dilakukan bila ren- 
cananya gagal. 

Camar Hitam kembali menjejakkan tong- 
katnya di setiap jengkal tanah sambil menggerutu 
berkali-kali. 

"Aku bukan orang buta! Aku bukan orang 
buta!" maki Camar Hitam. 

Setelah melakukan agak lama, tiba-tiba 
tongkatnya melesak ke dalam. 

"Hik hik hik.... Tak sia-sia pencarianku ini! 
Hik hik hik.... Ini dia harta yang tak ternilai har- 
ganya!" seru Camar Hitam. 

Sudah tentu Sudongdong dan Layan segera 
mendekati. 

"Kau menemukan makam itu, hah?!" tanya 
Sudongdong. 

Bukannya gembira, Camar Hitam justru 
memasang wajah sengit. 

"Ya. kalian mau apa?" 

"Hei?! Bukankah kau akan membuktikan 
tentang cincin pusaka itu?" kata Sudongdong 
sambil tersenyum. 

"Phuih...!" 

Camar Hitam membuang ludah melihat 
tampang monyet Sudongdong tersenyum. 

"Kini, tibalah saatnya bagi kalian untuk 
mampus!" kata perempuan cantik itu, mengge- 
ram. 

Sudongdong dan Layan terkejut. Namun le- 
laki bertampang kera yang memiliki otak licik itu 
lagi-lagi segera tersenyum. 

"Memang mudah sekali membunuh kami, 
Camar Hitam. Tetapi bukankah tadi sudah kuka- 
takan, apakah kau percaya kalau cincin pusaka 
itu berada di perut Ki Seta?" kata Sudongdong, 
enteng. 

"Itu urusanku!" sentak Camar Hitam den- 
gan tatapan menyalang. "Mau percaya atau tidak, 
itu urusanku! Kini urusan kalian, hanya mampus 
atau minggat dari sini!" 

Sudongdong tertawa lagi. 

"Sayang, sayang sekali. Hanya tinggal se- 
langkah saja, kau masih tidak mau membuktikan 
soal kebenaran itu. Kau masih dibawa pengaruh 
kabar burung rupanya, Camar Hitam!" sergah 
Sudongdong, kalem. 

"Jangan membodohiku!" 

"Ha ha ha.... Semua orang di rimba persila- 
tan ini sangat mengagumi kecerdasanmu!" kata 
Sudongdong. Dalam hati dia tertawa begitu meli- 
hat Camar Hitam mengangkat dagunya. "Mana 
mungkin kami berani membodohimu! Yang benar 
saja kau ini!" 

Sudongdong melihat kepala Camar Hitam 
semakin terangkat. Dia kembali terlena oleh kata- 
kata berbisa si Kera Sakti. 

"Sudongdong benar, Camar Hitam," timpal 
Layan. Dia tadi sengaja membiarkan Sudongdong 
sendiri berkata-kata. Karena Layan tahu, Si Kera 
Sakti lebih pandai mempergunakan lidahnya da- 
ripada dirinya sendiri. 

"Kami tak akan mampu menghadapi kesak- 
tianmu. Dan lagi, kau adalah orang yang cerdas," 
lanjut Layan. 

Dua orang telah memujinya, membuat Ca- 
mar Hitam menganggukkan kepalanya. Lalu den- 
gan tongkatnya dibongkarnya tanah yang tadi di- 
tekan dengan tongkatnya. 

Tanah itu memang membentuk kuburan. 
Lalu perlahan-lahan tanah itu terlihat semakin 
berkurang dan semakin dalam. 

Sudongdong dan Layan berusaha menahan 
dirinya untuk tidak melihat ke dalam lubang, 
agar tidak terlalu kelihatan menyolok dari pan- 
dangan Camar Hitam. Keduanya pun yakin, kalau 
tanah yang digali adalah kuburan Ki Seta. 

"Hayya! Bagus, bagus sekali! Tidak sia-sia 
aku meninggalkan daerah selatan untuk mencari 
cincin pusaka yang hebat ini!" seru perempuan 
sakti itu sambil melirik Sudongdong dan Layan. 

Si Kera Sakti dan Setan Kaki Besi beranjak 
untuk melihat satu sosok tubuh yang terbujur di 
tanah. Kaku. Namun yang mengherankan, tubuh 
itu belum hancur. Masih nampak kuat dan 
layaknya orang tidur belaka. 

Namun bisa dimaklumi bila mengingat la- 
tar belakang Ki Seta. Meskipun seluruh kesak- 
tiannya telah punah akibat menelan cincin pusa- 
ka itu, pengaruh kesaktiannya masih mampu me- 
lindungi tubuhnya dari koyakan alam. 

Sudongdong mendesah dalam hati. Kini dia 
harus lebih bersikap hati-hati, karena yang diin- 
ginkan sudah di ambang mata. Seperti yang dice- 
ritakan Setan Kaki Besi, sudah tentu cincin pu- 
saka itu memang berada di tubuh Ki Seta. Begitu 
pula kehadiran Camar Hitam. Perempuan tua ini 
tentu sudah yakin sekali kalau cincin pusaka itu 
memang berada di tubuh Ki Seta. 

Tetapi yang menjadi masalah sekarang, ba- 
gaimana untuk mengelabui Camar Hitam kemba- 
li? Paling tidak, berusaha agar cincin pusaka itu 
pindah tangan! 

"Camar Hitam! Kau baru bisa tertawa bila 
memang sudah melihat cincin pusaka itu!" ujar 
Sudongdong dengan suara melecehkan. "Kalau 
kau belum melihatnya, mana mungkin bisa ter- 
tawa seperti itu?" 

Tiba-tiba Camar Hitam menghentikan ta- 
wanya. Tatapannya tak sedap dilihat. Mata kela- 
bunya melotot dengan mulut tertarik ke dalam. 
Napasnya seperti tertahan. 

"Diaammm! Aku tidak mau dibodohi terus 
menerus, Sudongdong!" bentak perempuan tua 
ini. 

"Hei? Apa maksudmu?" balas Sudongdong 
sambil tersenyum. "Aku berkata apa adanya. Le- 
bih baik buktikan saja dulu tentang kebenaran 
cincin pusaka itu." 

Bukannya menjawab. Camar Hitam justru 
mengibaskan tongkatnya ke arah Sudongdong. 

Wuuuttt! 

"Heeiiittt!" 

Sudongdong telah melenting ke atas. Sam- 
baran tongkat itu dirasakan amat kuat sekali. 
Mampu meredam hawa panas di tubuhnya. 

Begitu menarik pulang kembali tongkatnya, 
Camar Hitam kembali menggerakkannya. Kali ini 
ke arah Layan yang sejak tadi memang sudah 
bersiaga. Dia juga menduga kalau kali ini Camar 
Hitam tak bisa dibohongi lagi. 

"Kau juga harus mampus, Buntung!" desis 
Camar Hitam. 

Layan menghindarinya dengan bersalto, la- 
lu hinggap di samping Sudongdong yang sudah 
bersiaga. 

Camar Hitam terkikik-kikik. 

"Bagus, bagus sekali! Dua pasangan yang 
pas! Kini, terimalah kematian kalian!" 

"Tahan!" seru Sudongdong. "Sudah lama 
aku menginginkan pertarungan ini sebenarnya!" 

Si Kera Sakti merasa kali ini tak ada jalan 
lain lagi, kecuali bicara apa adanya. Namun, mu- 
lutnya masih penuh bisa. 

"Tetapi, aku paling tidak suka bila berta- 
rung tanpa ada sesuatu yang dipertaruhkan," lan- 
jut si Kera Sakti. 

Camar Hitam menghentikan gerakannya, 
menancapkan tongkatnya di sisinya. 

"Apa yang akan kita pertaruhkan?" tanya 
perempuan tua sakti itu. 

"Cincin pusaka itu!" sahut Sudongdong, 
mantap. 

Layan tersenyum, memuji kecerdikan Su- 
dongdong. 

"Boleh, boleh saja! Tetapi, di mana cincin 
itu?" tanya Camar Hitam. 

"Bodoh! Bukankah kita akan membuktikan 
kalau cincin itu berada di tubuh Ki Seta?" maki si 
Kera Sakti. 

"Oh, ya... ya. Baik, aku setuju! Tetapi, sia- 
pa yang akan membedah mayat itu?" 

"Bagaimana kalau kau saja?" 

"Aku?" Camar Hitam terkikik. "Enak saja! 
Selagi aku melakukannya, kalian akan membo- 
kongku! Bagaimana kalau kau saja?" 

Sudongdong terdiam sesaat, memperguna- 
kan kemampuan liciknya lagi. 

"Baik! Layan yang akan melakukannya, 
sementara kita berdua menyaksikannya. Bagai- 
mana? Kau setuju dengan usul itu, Camar Hi- 
tam?" 

Camar Hitam mengangguk. 

"Lakukan!" 

Layan alias Setan Kaki Besi segera mela- 
kukan tugas itu. Kedua tangannya digerakkan. 
Dan seperti ada tenaga kuat sekali, mendadak sa- 
ja tubuh Ki Seta terangkat. Kalau tadi berada di 
lubang kuburannya, sekarang berada di tanah 
yang sejajar pijakan kaki mereka. 

Layan mengambil sebatang kayu yang 
ujungnya agak runcing. Kepalanya menoleh ke 
Camar Hitam dan Sudongdong yang mengangguk 
secara bersamaan. 

Lalu tangan Layan pun segera terangkat, 
siap menghujamkan kayu yang tajam ke tubuh Ki 
Seta, untuk mencari di bagian mana cincin pusa- 
ka yang tersembunyi. 

Namun belum lagi tangan itu turun ke tu- 
buh Ki Sela, serangkum angin berdesing. 

Trakkk! 

Kayu yang dipegang Layan patah! 

•k'k'k 

"Bangsat! Siapa yang berani berbuat nekat 
seperti ini?" bentak Layan sambil bangkit dengan 
mata nyalang. 

Sementara Camar Hitam dan si Kera Sakti 
pun bersiaga. Mereka tak melihat siapa-siapa di 
sana, kecuali mereka bertiga. Tetapi, tiba-tiba 
terdengar kikikan Camar Hitam. 

"Hik hik hik.... Rupanya Penguasa Alas Ro- 
ban pun sudah tiba di sini! Silakan keluar dan 
masuk ke kalangan, kalau tidak ingin dikatakan 
pengecut!" 

"Tak kusangka! Penciumanmu ternyata 
sangat tajam, Camar Hitam!" terdengar suara 
bernada berat, menandakan kewibawaan penuh. 
"Aku jadi malu sendiri karena masih saja nekat 
untuk bersembunyi! Baiklah, aku akan keluar!" 

Tak lama, satu sosok tubuh melenting dari 
satu tempat. Gerakannya sangat ringan. Dan ta- 
hu-tahu dia sudah hinggap di hadapan ketiganya. 
Satu sosok tubuh berpakaian putih seperti seo- 
rang pendeta. Wajah berkesan bijaksana. Jenggot 
putihnya cukup panjang. Di tangannya terdapat 
sebuah tasbih berwarna emas, yang ukurannya 
lebih besar dari tasbih biasa. 

"Ki Abdi Kanwa!" seru Camar Hitam. "Hik 
hikhik.... Kiranya cincin pusaka itu pun terdengar 
di telinga Penguasa Alas Roban, sehingga harus 
repot-repot keluar dari sarang!" 

Lelaki tua berpakaian putih yang dipanggil 
Ki Abdi Kanwa hanya tersenyum saja. Memang, 
kemunculan tokoh golongan putih dari Alas Ro- 
ban dikarenakan telah mendapat wangsit dari 
mimpinya, kalau sebuah cincin pusaka kelak 
akan menjadi sumber silang sengketa, yang akan 
menjadikan bumi bertabur darah. 

Sebagai orang golongan putih yang sebe- 
narnya sudah menyepi di Alas Roban, Ki Abdi 
Kanwa pun merasa terpanggil untuk menyelesai- 
kan masalah ini. Meskipun yang paling aneh, da- 
lam mimpinya ada seorang pemuda berpakaian 
hijau muda dan memiliki selembar kain bercorak 
catur di bahunya, yang akan mampu menyelesai- 
kan masalah ini. Tetapi siapa dia? Selama me- 
nyepi itu, Ki Abdi Kanwa tidak lagi menghiraukan 
masalah dunia ramai. Itu sebabnya, dia tak men- 
genali pemuda itu. 

Karena ingin menyelamatkan cincin pusa- 
ka itu, dan rasa penasarannya pada pemuda da- 
lam mimpinya, Ki Abdi Kanwa terpaksa harus ke- 
luar ke dunia ramai. 

"Aku pun tak menyangka kalau Camar Hi- 
tam pun sudah berada di sini. Itu menandakan 
betapa ramainya kabar tentang cincin pusaka mi- 
lik Ki Seta yang akan menjadi petaka di dunia 
persilatan ini." kata Ki Abdi Kanwa bijaksana. 

"Dan, apakah kehadiranmu di sini untuk 
merebut cincin pusaka itu?" sindir Camar Hitam. 

Ki Abdi Kanwa menggelengkan kepalanya. 

"Tidak.... Aku hanya menghendaki cincin 
pusaka itu dimusnahkan saja. Karena, akan me- 
nimbulkan perpecahan yang semakin menjadi di 
antara tokoh persilatan." 

Camar Hitam terkikik. 

"Ki! Apakah selama ini matamu buta dan 
telingamu tuli? Secara hukum alam, di rimba per- 
silatan ini pun sejak lama telah bermusuhan an- 
tara golongan hitam dan golongan putih!" 

"Aku mengerti! Itulah sebabnya, aku akan 
menghalangi siapa saja, baik dari golongan hitam 
maupun golongan putih yang menginginkan cin- 
cin pusaka itu!" sahut Ki Abdi Kanwa alias Pen- 
guasa Alas Roban. 

Sudongdong yang merasa bisa mengambil 
muka di hadapan Camar Hitam sekarang, segera 
mempergunakan kesempatan. 

"Hmmm.... Rupanya kaulah yang berjuluk 
Penguasa Alas Roban, Ki! Tak kusangka, tokoh 
putih yang bijaksana ternyata pandai memper- 
mainkan lidah! Berlagak ingin memusnahkan cin- 
cin pusaka itu. Padahal dalam hatinya berniat 
untuk menyerakahinya sendiri," sindir si Kera 
Sakti sambil melirik Camar Hitam. "Camar Hi- 
tam.... Jangan sampai kau terpancing ucapan- 
ucapannya yang bercabang itu. Hati-hati! Karena 
dia sangat pandai berkata-kata." 

"Jangan mengajari aku!" bentak Camar Hi- 
tam, lalu menoleh ke arah Penguasa Alas Roban. 
"Ki Abdi Kanwa..., ketahuilah! Aku berniat memi- 
liki cincin pusaka itu! Bila kau pun berniat pula, 
maka harus berhadapan denganku!" 

Ki Abdi Kanwa mengusap jenggotnya. 

"Memang.... Sepertinya pertarungan di an- 
tara kita tak akan bisa dielakkan lagi. Tetapi, ada 
suatu cara yang menurutku sangat menarik, se- 
hingga kita tidak perlu bertarung." 

"Apa?" terabas Camar Hitam 

"Bagaimana bila kau dan aku tidak ada 
yang memiliki cincin pusaka itu?" usul Ki Abdi 
Kanwa. 

"Maksudmu?" Camar Hitam mengerutkan 
keningnya. 

"Mudah saja. Cincin itu kita buang di satu 
tempat yang tak akan mungkin bisa didapatkan 
orang lain. Jadi, di antara kita tak ada yang me- 
milikinya. Dan kita tidak perlu repot-repot mem- 
perebutkannya. Dengan kata lain, kita akan aman 
dan selamat tanpa memikirkan cincin itu," jelas 
Ki Abdi Kanwa. 

"Camar Hitam!" bentak Sudongdong tiba- 
tiba. "Jangan mau dihasut olehnya! Itu hanya bu- 
jukan belaka!" 

"Diam!" dengus Camar Hitam. "Jangan 
campuri urusanku ini, Sudongdong! Ingat! Kau 
seharusnya sudah mati! Begitu pula kau, Layan! 
Sekarang, ini urusanku dengan Ki Abdi Kanwa! 
Membunuh kalian, sangat mudah sekali! Teramat 
mudah!" 

Lalu Camar Hitam berbalik pada Ki Abdi 
Kanwa yang masih berdiri tegak dengan wajah 
arif. 

"Maaf, aku sangat menginginkan cincin 
pusaka itu! Dengan izinmu atau tidak, aku tidak 
peduli! Yang pasti, siapa yang menginginkan cin- 
cin bermata biru yang sakti itu, harus melewatiku 
dulu!" 

Ki Abdi Kanwa menggeleng-geleng sambil 
menghela napas masygul. Ia memang sudah me- 
nebak sebelumnya, kalau semuanya ini akan 
menjadi seperti ini. Paling tidak, kekacauan akan 
semakin timbul karena nafsu orang-orang sera- 
kah. 

"Apa pun akan kulakukan untuk mem- 
buang cincin sakti itu. Camar Hitam!" 

Mata Camar Hitam menyipit. 

"Berarti, kau memang menantangku. Abdi 
Kanwa!" ujar Camar Hitam sambil memutar tong- 
katnya. "Bagus! Sudah lama sebenarnya aku pun 
ingin merasakan kehebatanmu, Penguasa Alas 
Roban! Rupanya, pagi ini kita memang ditakdir- 
kan untuk bertarung!" 

"Sebenarnya, aku enggan untuk mengge- 
rakkan seluruh tubuhku hanya untuk membela 
diri dan menyakiti lawan," kata Ki Abdi Kanwa pe- 
lan. 

"Sombong! Apa kau pikir kau akan mampu 
menyakitiku, hah?!" bentak Camar Hitam. 

Saat itu juga tubuh Camar Hitam sudah 
melenting ringan ke arah Ki Abdi Kanwa. Tong- 
katnya berputar tak ubahnya baling-baling bela- 
ka, menimbulkan angin menderu. 

Sementara Ki Abdi Kanwa kelihatan hanya 
menunggu serangan hingga dekat. Benar saja. 
Begitu dekat, bukannya menghindar, dia malah 
langsung menyongsong serangan Camar Hitam. 

"Nekat!" desis si Kera Sakti yang mengama- 
ti jalannya pertarungan. 

Yah! Siapa pun yang melihat akan menga- 
takan kalau Ki Abdi Kanwa sedang berada dalam 
kenekatan. Karena, gerakannya hanya mampu di- 
lakukan orang yang kesaktiannya sangat tinggi. 
Memapak serangan yang mengandung tenaga da- 
lam tinggi dari jarak dekat dengan hanya satu 
lompatan saja, sudah tentu dapat menguras tena- 
ga. Karena jarak yang dekat itu bisa ditahan 
hanya oleh orang yang bertenaga dalam besar. 
Begitulah pikiran Sudongdong. 

Sementara, Layan hanya tertegun saja me- 
nyaksikan kenekatan Ki Abdi Kanwa yang me- 
nyongsong serangan Camar Hitam. 

Tetapi yang dipikirkan Sudongdong ternya- 
ta jauh sekali dari kenyataannya. Karena, Ki Abdi 
Kanwa tidak bermaksud memapaki serangan Ca- 
mar Hitam. Dia hanya mencoba menguras tenaga 
Camar Hitam dalam sekali gebrak. 

Ki Abdi Kanwa yakin sekali, kalau Camar 
Hitam akan terkejut melihat dirinya yang berge- 
rak bagaikan hendak menyongsong serangan. 
Maka secara tidak langsung, Camar Hitam akan 
berpikiran kalau gebrakan yang dilakukan lelaki 
tua ini hanyalah suatu kenekatan belaka. Maka 
mau tak mau dia akan menambah kekuatannya. 
Maksudnya, dengan hanya sekali gebrak saja Ki 
Abdi Kanwa akan tersungkur. 

Namun dugaan perempuan sakti itu lain 
sekali. Karena sebelum tangannya yang telah di- 
tambahi tenaga dalam tinggi menyentuh sasaran, 
mendadak saja sosok Ki Abdi Kanwa bagaikan le- 
nyap. 

Pias! 

Dengan kecepatan sukar diikuti mata, tu- 
buh Ki Abdi Kanwa sudah berada di belakang 
Camar Hitam. Sementara, perempuan tua sakti 
itu terus meluncur ke arah sebuah pohon. Penga- 
ruh tenaga dalamnya yang dilipatgandakan, 
membuat tubuh Camar Hitam terus meluncur. 

Brakkk! 

Begitu menyentuh pohon besar, bukan 
hanya tumbang seketika. Begitu rebah di tanah 
dengan suara debuman keras, perlahan-lahan ba- 
tang pohon itu berubah menghitam. 


Setelah puas menghajar Pendekar Slebor 
hingga pingsan, Tridarma segera mengikuti Ma- 
nusia Pemuja Bulan untuk langsung mencari ma- 
kam Ki Seta. Karena menurutnya saat inilah yang 
paling tepat. Sudah tentu Tridarma dengan se- 
nang hati mengikutinya. Karena, kini tibalah gili- 
rannya untuk mendapatkan sesuatu yang telah 
lama dinantikannya. Cincin pusaka yang mampu 
menyerap seluruh tenaga milik siapa pun! 

"Kang Andika.... Kang, sadarlah...." 

Seruan yang terdengar penuh isak, telah 
dilakukan berkali-kali. Suaranya mengiba penuh 
rasa kasihan. Tetapi Pendekar Slebor yang baru 
saja menerima hantaman Tridarma yang bertubi- 
tubi masih terkulai tak berdaya. 

"Kang Andika..., sadarlah, Kang, sadar...," 
panggil Mayang lagi. Setelah merasa yakin kedua 
tokoh sesat itu tidak ada di tempatnya. 

Mayang mengusap air matanya. Gadis ini 
berusaha menyadarkan Andika yang terkulai 
dengan kedua tangan dan kaki terentang terikat. 
Mayang memegang tonggak-tonggak besi yang 
membuatnya tak bisa keluar dari sana, sehingga 
hanya bisa berseru-seru memanggil Andika tanpa 
bisa melihat bagaimana keadaan Pendekar Slebor 
yang diyakini tentunya dalam keadaan menderita 
sekali. 

Mayang tahu, dirinya adalah calon korban 




http: /ftuntddbuittisdl. blogs pot. cam 





untuk Dewa Bulan yang berhasil digagalkan Pen- 
dekar Slebor. Bisa jadi bila Manusia Pemuja Bu- 
lan itu tahu dirinya berada di sini, maka dia pun 
akan langsung menjadi korbannya. Kini Mayang 
tahu, untuk apa dirinya dan gadis-gadis itu di- 
korbankan. 

Ternyata tumbal gadis-gadis itu bukan un- 
tuk Dewa Bulan, melainkan untuk kepentingan 
Manusia Pemuja Bulan sendiri, demi menyem- 
purnakan ajian dahsyat yang sedang dipelaja- 
rinya. 

Mayang mendesah lega mengingat kalau 
kini sedikit bebas, meskipun tak heran bila akan 
tetap menjadi korban berikutnya. Hanya saja, 
yang membuatnya sedikit heran, ternyata Tridar- 
ma tidak mengatakan kalau dirinya berada di sini 
kepada Manusia Pemuja Bulan. Padahal, laki-laki 
berjubah hitam itu sudah mengatakan, kalau ma- 
sih kurang satu gadis lagi, sebagai syarat pe- 
nyempurnaan ilmunya. 

Entah kenapa Tridarma tidak mengatakan 
tentang dirinya pada Manusia Pemuja Bulan. 

"Kang Andika.... Jangan pingsan terus, 
Kang.... Jangan.... Ingat, Kang. Keselamatan kita 
terancam...," ujar Mayang dengan wajah penuh 
air mata, memikirkan keadaan Andika dan di- 
rinya sendiri yang berada di ujung tanduk. 

Tetapi sosok Andika tetap terkulai. Ru- 
panya pukulan dan tendangan bertubi-tubi yang 
dilakukan Tridarma tadi menyebabkan Pendekar 
Slebor pingsan kembali. Seharusnya Andika bisa 
mengeluarkan tenaga 'inti petir'nya. Akan tetapi 
ketika hendak melakukan tadi. Tridarma sudah 
menotok dua urat di bagian lengan kanan dan kiri 
di bawah ketiak Urat yang bisa menyebabkan se- 
seorang akan merasa lumpuh dalam beberapa 
waktu. 

Mayang masih berusaha menyadarkannya. 
Gadis ini tahu, keadaan sangat berbahaya. Sete- 
lah mencuri dengar tadi, diam-diam kini Mayang 
mengerti, harta apa yang sebenarnya diinginkan 
Manusia Pemuja Bulan dari kakeknya. Rupanya, 
ada sebuah cincin sakti di perut Ki Seta. Bahkan 
Mayang pun tahu, kalau dulu kakeknya seorang 
pendekar yang tangguh. 

Mayang teringat bagaimana setelah diting- 
gal Andika yang bermaksud menolong para pen- 
duduk dari serangan ribuan tawon ganas, Tri- 
darma mengajaknya pergi dari sana. Padahal se- 
mula dia menolaknya. Namun alasan yang diberi- 
kan Tridarma sangat masuk akal. Barangkali sa- 
ja, tawon-tawon ganas itu akan menyerang mere- 
ka pula. 

Hingga akhirnya Mayang pun terpengaruh, 
hingga langsung dibawa ke tempat ini dan dima- 
sukkan ke dalam sebuah ruangan mirip penjara 
secara paksa. Di sanalah dia tahu, siapa Tridarma 
sebenarnya. Lelaki itu tak lain adalah sahabat 
Manusia Pemuja Bulan. 

Ketika Tridarma tahu kalau pemuda itu 
yang berjuluk Pendekar Slebor, dia pun memain- 
kan peranan barunya untuk menipu Andika. 

Hati Mayang sangat sedih karena harus 
terkurung di sini dan berpisah dengan Andika. 
Namun sekarang, dia semakin bertambah sedih 
ketika melihat Andika justru berada dalam derita 
seperti itu. 

"Kang.... Sadarlah, Kang.... Ini aku, 
Mayang.... Bangunlah..., Kang Andika...," kata 
Mayang dengan suara semakin melemah. 

Tubuh gadis itu pun merosot turun dengan 
kedua tangan masih berpegangan pada tonggak- 
tonggak besi itu. Meskipun tidak bisa melihat, 
namun bisa dibayangkan derita yang dialami pe- 
muda urakan itu. Karena pukulan demi pukulan 
yang dilakukan Tridarma mampu didengarnya. 

"Kang Andika.... Sadarlah, Kang.... Sadar- 
lah...." Tak ada sahutan. Mayang mendesah putus 
asa. Bila saja bisa melihat di mana Andika bera- 
da, sudah tentu akan membangunkannya dengan 
melempar sesuatu. Misalnya, batu-batu kecil 
yang banyak di sana. Tetapi dia hanya bisa mem- 
bayangkannya saja. Dan Mayang yakin, kalau 
Andika sebenarnya berada tak jauh dari tempat- 
nya ditawan. 

Kini Mayang sudah putus asa. Hanya pa- 
srah saja. "Ah, Kang Andika.... Kenyataan ini san- 
gat pahit. Sungguh! Aku tidak pernah menyangka 
kalau akan mengalami kejadian seperti ini...!" 

Kebodohan memang pernah dirasakannya 
ketika Mayang hanya pasrah dan bersedia dijadi- 
kan sesajen untuk Dewa Bulan, sebagai penebus 
dosa-dosa kakeknya. Hingga ketika Medi datang 
dan menggodanya, dia hanya pasrah aja. Dan itu 
justru membuat Medi semakin merasa bebas. Ke- 
tika hampir saja merenggut miliknya yang paling 
berharga, mendadak saja Medi kelojotan dan 
menjadi mayat. Saat itu, Mayang melihat satu so- 
sok berpakaian dan bertopeng merah keluar den- 
gan cepatnya. (Baca serial Pendekar Slebor dalam 
episode: "Manusia Pemuja Bulan"). 

Sekarang, setelah yakin dengan kata-kata 
Andika bahwa Manusia Pemuja Bulan adalah to- 
koh sesat, justru Mayang berada dalam gengga- 
man Tridarma. Dan ternyata, Tridarma adalah 
teman dari Wedokmurko, alias Manusia Pemuja 
Bulan. Lepas dari mulut harimau, masuk ke mu- 
lut buaya. 

Diam-diam, sejak kebersamaannya dengan 
Andika meskipun terasa sesaat, benih-benih cinta 
perlahan tumbuh di hatinya. Bahkan semakin 
lama semakin subur itu kian mengembang. Yah! 
Dia memang telah jatuh hati pada pemuda itu. 

"Oh, Kang Andika.... Apakah kau tahu ten- 
tang....Hei?!" 

Mayang tiba-tiba menajamkan telinganya. 
Dia mendengar suara bagai keluhan datang dari 
ruang sebelah. Dengan penuh semangat gadis itu 
berdiri. 

"Kang Andika! Kang! Sadarkah kau, Kang?" 
seru Mayang kembali. 

"Ohh..., aagh...," keluhan yang jelas dari 
mulut Andika terdengar lagi. 

Wajah Mayang semakin gembira. Air ma- 
tanya diusap. 

"Kang..., Kang Andika...," panggil gadis itu 
dengan suara bergetar, bercampur kegembiraan. 

"Oh! Ma..., Mayang?" 

Memang, Andika sudah siuman dari ping- 
sannya. Dua kali dia jatuh pingsan dalam waktu 
tak terlalu lama. Namun kali ini lebih menya- 
kitkan, karena dipukuli tanpa bisa membalas. 

"Kang Andika! Ya! Aku Mayang, Kang! Aku 
Mayang!" seru Mayang gembira. 

"Mayang.... Hei, di mana kau ini?!" 

"Aku di sebelah ruanganmu. Kang!" 

"Di balik dinding batu itu?" 

"Ya!" 

"Kalau begitu, ke sini saja! Aku tidak bisa 
ke sana! Bukannya tidak mau, tetapi kedua kaki 
dan tanganku terikat!" ujar Pendekar Slebor, sok 
tahu. 

"Tidak bisa. Kang...," sahut Mayang. 

"Lho. kok tidak bisa? He he he..., apa kau 
tidak kangen denganku yang ganteng ini. 
Mayang?" kata Pendekar Slebor, seenaknya. 

Mayang menundukkan kepalanya sebelum 
menjawab. 

"Aku kangen sekali, Kang Andika. Kangen 
sekali." 

Gadis ini hanya menelan semua ucapannya 
dalam hati. Karena dia tahu, Andika hanya bergu- 
rau saja. Jelas dari nadanya yang bercanda. 

"Hei? Kenapa diam, Mayang?" tanya Andika 
yang sejak tadi menunggu sahutan Mayang. 

"Oh! Tidak, Kang.... Tidak.... Aku tidak bisa 
ke sana, Kang..., karena aku berada di sebuah 
dinding yang ditutup tonggak-tonggak besi. Aku 
dipenjara. Kang!" jelas gadis itu. 

Andika terdiam. 

"Ya, sudah!" kata Pendekar Slebor. "Kita 
hanya berdiam diri saja di balik dinding masing- 
masing! Aku juga dalam keadaan terikat." 

"Kang Andika...," panggil Mayang. 

"Sudah, sudah! Tidak usah ngomong lagi! 
Hei? Tahukah kau, di mana dua monyet belang 
itu?" tanya Pendekar Slebor. 

"Kedengarannya mereka keluar, Kang!" 

"Ke mana?" 

"Mencari harta Aki!" 

"Hei! Kau tahu dari mana?" 

"Mendengar percakapan mereka tadi. 

Kang." 

"Mayang..., di mana harta Aki itu berada?" 

"Aku tidak tahu secara pasti. Tetapi aku 
mendengar kata-kata Tridarma, kalau harta itu 
berada di tubuh Aki." 

"Di tubuh Aki? Hei! Kau yang benar saja, 
Mayang! Mana mungkin perut Akimu mampu 
menampung harta yang mungkin sangat banyak! 
Bahkan mulutnya saja sangat kecil!" sergah Andi- 
ka sambil tertawa. "Jangan-jangan, harta Akimu 
itu hanya sebuah cincin saja...!" 

"Kau benar, Kang Andika. Hanya sebuah 
cincin." 

"Hah?!" 

Andika melotot sampai lehernya terangkat. 

Lalu... 

"Hoieek!" 

"Kenapa, Kang Andika?" tanya Mayang. 

"Leherku tercekik! Sekarang tidak apa-apa, 
Mayang! Benarkah harta itu hanya sebuah cin- 
cin?" sahut Pendekar Slebor. 

"Benar, Kang. Aku mendengar kata-kata 
Tridarma, kalau cincin itu bukan sembarangan. 
Kang Andika..., ternyata Aki dulunya seorang 
pendekar. Dia mendapatkan cincin pusaka itu da- 
ri gurunya. Dan karena suatu sebab, dia menelan 
cincin itu yang justru melumpuhkan seluruh ke- 
saktiannya...." 

Andika terdiam. Rupanya, itulah rahasia 
harta Ki Seta. Sebuah cincin pusaka! Seketika sa- 
ja otak Andika yang cerdik bisa membayangkan, 
bagaimana banyaknya tokoh sakti yang sudah 
tentu akan memperebutkan cincin itu dalam tu- 
buh Ki Seta. 

Mayang sendiri terdiam. Otaknya pun 
membayangkan, bagaimana kakeknya yang su- 
dah meninggal masih saja dicari orang-orang sak- 
ti. Bisa dibayangkan pula bagaimana tubuh ka- 
keknya nanti akan dibedah oleh orang-orang itu 
untuk mencari cincin pusaka yang ditelannya. 
Oh, Mayang menutup wajahnya dengan kedua 
tangannya. Hatinya tak kuasa membayangkan 
semua itu. 

Tiba-tiba saja Mayang mengangkat kepa- 
lanya dengan cepat. Telinganya menangkap suara 
berderak yang angat keras sekali. 

"Oh, Tuhan?! Ada apa lagi ini?" desis gadis 
itu ketakutan seraya melangkah mundur sampai 
ke dinding. 

"He he he...! Kenapa takut kau, Mayang?" 
tegur satu sosok tubuh di depan tonggak-tonggak 
besi. 

Mayang membelalakkan matanya, lalu ber- 
lari ke depan. 

"Kang Andika!" seru gadis itu gembira. 

Tampak wajah Andika memar. Mungkin 
akibat pukulan yang dilakukan Tridarma. 

"Katanya kau terikat? Bagaimana bisa me- 
lepaskan diri?" tanya Mayang, bingung. 

Andika mengangkat bahunya saja. 

"Tidak tahu, ya? Tahu-tahu putus!" kata 
Pendekar Slebor sambil mengedipkan matanya. 

Mayang tersipu. Hatinya senang bukan 
main melihat pemuda yang dirindukan kini berdi- 
ri di hadapannya. 

Apa yang diucapkan Andika tadi tentu saja 
main-main. Mana mungkin rantai besar dan tali 
yang sudah dialirkan tenaga dalam oleh Manusia 
Pemuja Bulan putus begitu saja? 

Semula Andika memang tidak mampu me- 
mutuskannya, karena dalam keadaan tertotok. 
Tetapi ketika tubuhnya saat bercakap-cakap den- 
gan Mayang tadi dialiri tenaga dalam dengan 
mempergunakan ajian 'Guntur Selaksa', totokan 
yang dilakukan Tridarma pun terlepas. 

Menyadari hal itu, Andika lalu menaikkan 
tenaga 'inti petir'nya tingkat kedua puluh empat. 
Hingga perlahan-lahan tepat ketika menggabung- 
kan ajian 'Guntur Selaksa', dia berhasil memu- 
tuskan rantai di kedua tangan dan kakinya. Lalu 
dengan cepat dibukanya ikatan tali pada leher- 
nya. 

Pendekar Slebor sangat tertarik dengan ce- 
rita Mayang tadi. Makanya, dia segera mencari 
Mayang. Rupanya, ada rongga yang menghu- 
bungkan tempatnya ke tempat Mayang. 

"Sekarang kau mundur, Mayang...," ujar 
Andika. 

"Mau apa kau, Kang Andika?" 

"Lho? Apa kau tidak ingin kubebaskan, ya? 
Wah, wah.... Rupanya kau sudah jatuh cinta pada 
Tridarma, ya? Gawat. Bisa patah hati, nih!" selo- 
roh pemuda urakan ini. 

"Bukan, bukan itu maksudku, Kang," tu- 
kas Mayang buru-buru. "Tetapi..., ah! Sudah- 
lah.... Silakan, Kang...." Andika nyengir. 

"Agak menjauh, Mayang." 

Lalu Pendekar Slebor mengusap-usap ke- 
dua tangannya perlahan-lahan. Dan semakin la- 
ma terlihat kalau kedua tangan itu mengeluarkan 
cahaya kemerahan. Mayang yang sudah merapat 
di dinding gua hanya memperhatikan saja penuh 
kekaguman. 

Tampak Andika menempelkan kedua tan- 
gannya pada tonggak-tonggak besi. Bersamaan 
dengan itu terlihat cahaya kemerahan semakin 
lama semakin terang, menjalari dua tonggak besi 
yang dipegang Andika. Rupanya kekuatan tenaga 
petir yang mengalir di tubuh pemuda itu telah di- 
pergunakan kembali. 

Lalu terlihatlah tonggak besi itu putus di 
tengahnya sehingga membuat sebuah rongga 
yang bisa dilolosi tubuh Mayang yang kecil. 

"Cepat!" ujar Andika. 

Mayang segera berlari keluar. Hatinya 
gembira sekali ketika memegang tangan Andika. 

Andika sendiri merasa berdesir darahnya, 
ketika merasakan betapa eratnya genggaman tan- 
gan gadis itu. Genggaman penuh rindu dan kasih 
sayang yang tulus. Diam-diam Andika menghela 
napas panjang. Pemuda ini jadi teringat Ningrum, 
seorang gadis yang lebih tua darinya. Beberapa 
tahun yang lalu, gadis itu pernah dicintainya se- 
cara diam-diam. Cinta pertama yang dirasakan 
Andika. (Untuk mengetahui tentang Ningrum, si- 
lakan baca episode : "Lembah Kutukan" serta 
"Dendam Dan Asmara"'). 

Kini Pendekar Slebor bisa merasakan suatu 
getaran cinta yang terpancar melalui genggaman 
Mayang. Ah, entahlah.... Apa yang bisa dilaku- 
kannya tentang cinta. 

"Mayang.... Kau sudah aman sekarang. Ti- 
dak usah memegang lenganku terlalu erat," ujar 
Andika tanpa sadar. 

Dan Andika harus melihat wajah gadis itu 
yang tiba-tiba menunduk, serba salah. "Oh! Mak- 
sudku..., aku...." 

Gadis itu tampak gugup sambil memaling- 
kan wajahnya, membelakangi Andika. 

Andika menghela napas panjang. Sama se- 
kali pemuda ini tidak bermaksud untuk membuat 
Mayang malu. Sungguh, ia sangat buta dalam 
masalah cinta. Lalu, perlahan-lahan dipegangnya 
kedua bahu Mayang. 

"Maafkan aku, Mayang...," ucap Pendekar 
Slebor, perlahan. 

"Aku..., aku yang meminta maaf pada, Ka- 
kang.... Tidak sepantasnya aku berbuat seperti 
itu...," tukas Mayang. 

Andika membalikkan tubuh gadis itu un- 
tuk menghadapnya. Lalu diangkatnya dagu 
Mayang untuk menatapnya. Dan bisa terlihat ge- 
lepar cinta yang tak terbalas. 

"Oh, Tuhan.... Seperti inikah yang kualami 
dulu?" desah Andika dalam hati, mengingat ten- 
tang Ningrum. 

Karena tak tahan melihat sepasang mata 
bening yang mengerjap-ngerjap penuh gelora cin- 
ta itu, perlahan-lahan Andika menarik kepala 
Mayang dan mendekapnya. 

Mayang menyusupkan kepalanya. Seolah 
dia menemukan apa yang telah lama dicarinya. 

Kejadian itu hanya berselang beberapa 
saat, dengan dua perasaan berbeda. Yang dirasa- 
kan Mayang, dia semakin yakin kalau pemuda in- 
ilah yang akan menjadi kekasihnya. Sementara 
yang dirasakan Andika, dia berharap suatu saat 
Mayang bisa menemukan jodohnya. Pemuda yang 
menyayanginya setulus hati. 

"Mayang,.., ini adalah kesempatan kita un- 
tuk meloloskan diri, sebelum Manusia Pemuja 
Bulan dan Tridarma datang," kata Pendekar Sle- 
bor. 

Mayang menganggukkan kepala. Padahal, 
dia masih sangat menginginkan berada dalam 
rangkulan Andika. 

"Akan ke manakah kita, Kakang?" tanya 
Mayang pelan. 

Kali ini Andika bisa menangkap getaran 
lain dari panggilan itu. Kalau dulu yang dirasakan 
hanyalah ucapan sebagai rasa hormat belaka, 
sementara kali ini terdengar nada-nada cinta ka- 
sih tulus yang tercurah dari panggilan itu. 

Andika menghela napas panjang, tidak ta- 
hu harus berbuat apa. Sungguh mati, menghada- 
pi masalah begini, Andika mati kutu! 

"Kita kembali ke desamu," ajak Pendekar 
Slebor kemudian. "Juga, kita akan mencari ma- 
kam kakekmu. Aku yakin, kalau saat itu keadaan 
sudah teramat kacau. Pasti, para tokoh sakti su- 
dah bermunculan, untuk memperebutkan cincin 
pusaka milik kakekmu itu...." 

Mayang mengangguk. 

"Kakang! Aku tidak peduli siapa yang akan 
mendapatkan cincin pusaka itu. Tetapi yang tidak 
kuinginkan, kalau mereka membedah dan men- 
cabik-cabik tubuh Aki. Aku tidak bisa mem- 
bayangkannya, Kakang...," ungkap gadis ini. 

Andika mengangguk. 

"Barangkali, kita masih bisa menyela- 
matkannya, Mayang. Ayo kita pergi dari sini!" ajak 
Pendekar Slebor lagi. 

Belum lagi gadis itu menganggukkan kepa- 
la, Andika sudah menariknya dan siap memba- 
wanya lari. Tetapi karena keadaan gadis itu tidak 
siap, justru malah terjengkang ke arahnya. 

"1 lup!" 

Dengan sigap Andika merangkul. 

"Wah, wah.... Masih banyak orang nih!" se- 
loroh Pendekar Slebor tiba-tiba sehingga mem- 
buat wajah Mayang memerah. 

"Kang Andika sih, main tarik saja," cibir 
Mayang cemberut. 

Andika terkekeh-kekeh. Lumayan, tubuh 
yang empuk dan sintal itu, meskipun sejenak te- 
rasa hangat di tubuhnya. 

"Sudah, sudah. Sekarang apakah kau su- 
dah siap kubawa lari?" tanya Pendekar Slebor. 

Mayang mengangguk dengan tersipu. Da- 
lam keadaan genting semacam itu, bila bersama- 
sama Andika rasanya begitu menyenangkan seka- 
li. 

Tetapi Andika justru tertawa sambil meng- 
garuk-garuk kepalanya. 

"Coba kau bilang belum. Kan aku bisa me- 
narikmu lagi secara tiba-tiba, sementara kau da- 
lam keadaan tidak siap. Kan asyik kalau tubuh- 
mu nempel lagi!" seloroh Pendekar Slebor yang 
semakin membuat wajah gadis itu bersemu me- 
rah dadu. 

"Kang Andika menggoda terus!" sungut 
Mayang merajuk. Padahal, dadanya berdebar tak 
karuan. 



Camar Hitam langsung berbalik pada Ki 
Abdi Kanwa sambil menggeram marah. 

"Mahligai Permata Bidadari!" dengus Camar 
Hitam, menyebut jurus yang dikeluarkan Pengua- 
sa Alas Roban. 

Memang, jurus yang diperlihatkan Ki Abdi 
Kanwa tadi adalah jurus 'Mahligai Permata Bida- 
dari'. Suatu jurus menghindar yang hanya mem- 
pergunakan tenaga lemah saja, namun mampu 
menguras tenaga lawan. Karena lewat jurus ini, 
lawan akan mudah terpancing. 

"Karena aku tidak ingin bertarung den- 
ganmu, Camar Hitam," kata Ki Abdi Kanwa pula. 
"Sekarang ini, lebih baik kita selesaikan saja se- 
cara damai. Kita lemparkan cincin sakti itu ke 
kawah gunung, biar ditelan lahar panas. Dan kita 
kembali ke jalan masing-masing, tanpa membawa 
silang sengketa. Bukankah ini usul yang sangat 
menarik daripada kita yang sudah sama-sama tua 
harus adu kesaktian?" 

"Hhh! Orang banyak boleh mengagumimu 
karena kebijaksanaan, Ki Abdi Kanwa! Tetapi se- 
karang, ternyata semua ucapan dan sikapmu 
hanya omong kosong! Karena, kau tak lebih dari 
seorang penipu belaka! Makan seranganku ini!" 

Bukannya Camar Hitam yang menyahuti 
kata-kata Ki Abdi Kanwa, justru Sudongdong 
yang berteriak garang sambil menerjang. 

Tubuh si Kera Sakti meluncur dengan satu 
gerakan seperti monyet berayun. Gerakannya 
sangat lincah. Terkadang dilakukan dengan ber- 
gulingan dan melompat. Sementara tangan dan 
kakinya akan mencapai sasaran yang dituju. Itu- 
lah jurus 'Kera Sakti Mengurung Mangsa'. Suatu 
jurus yang mengandalkan kecepatan cukup ting- 
gi. Setiap serangannya mengandung ancaman 
berbahaya. Bahkan mampu membuat lawan ke- 
walahan. 

Namun yang dihadapi si Kera Sakti adalah 
Penguasa Alas Roban yang memiliki kesaktian 
tinggi. Tak heran kalau dengan mudahnya, seran- 
gan ganas yang dilakukan Sudongdong mampu 
dihindari. 

Rupanya jurus yang diperlihatkan si Kera 
Sakti merupakan sebuah rangkaian gerak cepat 
dan mematikan. Gerakan-gerakan sangat aneh. 
Mencakari dari atas, mencabik dari bawah, me- 
nampar dari samping, bahkan memukul dari be- 
lakang. Benar-benar mengurung lawan. 

Dan perlahan-lahan bila semula Penguasa 
Alas Roban hanya menggerakkan tubuhnya tanpa 
bergerak dari tempatnya berdiri, kali ini mulai 
menggeser untuk menghindari serangan gencar. 

Sudongdong bertindak demikian, bukan- 
nya berniat untuk menjatuhkan Ki Abdi Kanwa. 
Karena dia yakin, kesaktian sosok berpakaian pu- 
tih itu hanya bisa ditandingi Camar Hitam. Yang 
jelas dia bertindak demikian agar Camar Hitam 
tidak curiga. Seolah-olah dia berpihak pada pe- 
rempuan gadis itu. Maka secara tak langsung, le- 
laki berwajah kera itu bisa mendompleng Camar 
Hitam. 

Setan Kaki Besi berpikiran sama. Dia pun 
langsung meluruk menggebrak Penguasa Alas 
Roban. Serangannya pun tak kalah hebatnya. Te- 
rutama, setiap kali kaki kanannya yang terbuat 
dari besi itu berkelebat. 

Wuuut! Wuuut! 

Berdesir angin kencang yang membuat Ki 
Abdi Kanwa harus bekerja keras juga. Namun 
sampai saat ini, setelah sekian jurus terkuras, 
terlihatlah satu kenyataan. Ternyata Ki Abdi 
Kanwa belum juga menyerang. Bahkan masih sa- 
ja menghindari serangan-serangan yang sampai 
sejauh ini belum juga mengenai sasaran. 

Melihat hal itu, Sudongdong menggeram. 

"Ki Abdi Kanwa! Apakah selama ini kau lu- 
pa bagaimana harus menyerang?" seru si Kera 
Sakti mengejek. 

Ki Abdi Kanwa melompat mundur dengan 
ringan menghindari sapuan kaki Sudongdong dan 
sambaran kaki besi Layan. 

"Aku tidak perlu melupakannya," sahut 
Penguasa Alas Roban, kalem. 

"Bangsat! Apakah kau hanya besar lagak 
saja, padahal tidak akan mampu untuk menja- 
tuhkan kami?" dengus Sudongdong lagi. 

Si Kera Sakti semakin geram saja. Lebih 
geram lagi ketika melihat Camar Hitam hanya 
berdiri terpaku saja menyaksikan pertarungan. 
Sedikit pun tak terlihat kalau berkeinginan untuk 
membantu. 

"Ayo, Ki Abdi Kanwa! Perlihatkan keheba- 
tanmu!" teriak Sudongdong. 

Lalu si Kera Sakti kembali merangsek dari 
depan. Sementara Layan sudah menggebrak dari 
belakang. Namun dengan cepat Ki Abdi Kanwa 
melenting sekali lagi ke atas. 

"Sudongdong! Aku tidak pernah lupa ilmu 
yang kupelajari! Bahkan aku sangat ingat, bagai- 
mana orang sepertimu dan Layan harus diajar 
adat!" desis Penguasa Alas Roban. 

Tiba-tiba tubuh Ki Abdi Kanwa bergerak 
berputar, lalu meluruk ke arah Sudongdong. 

Sudongdong yang cukup terkejut mencoba 
menghindar. Sementara, Layan mencoba membo- 
kong, dengan maksud agar Sudongdong tidak ter- 
kena serangannya. Namun yang terjadi justru di 
luar dugaannya. Karena tanpa terlihat lagi, kaki 
Ki Abdi Kanwa tahu-tahu menyepak ke belakang. 

Begkh! 

"Ukh...!" 

Layan terhuyung ke belakang dengan mu- 
lut meringis kesakitan. Sementara Ki Abdi Kanwa 
terus menyerang Sudongdong yang dalam kea- 
daan gawat segera mempergunakan jurus 'Kera 
Sakti Hindari Kabut'. Jurus itu memang jurus 
andalan si Kera Sakti untuk menghindari. Dan ti- 
ba-tiba saja tubuhnya melompat ke dahan pohon. 

"Nguik..., nguik...!" 

Si Kera Sakti bersuara mengejek, membuat 
Ki Abdi Kanwa hanya tersenyum saja. Namun 
mendadak saja tangannya mengibas. Saat itu ju- 
ga serangkum angin keras menderu ke arah Su- 
dongdong. 

Cepat si Kera Sakti melompat ke dahan 
lain yang kontan berantakan. 

"Nenek busuk! Apakah kau akan membiar- 
kan tua putih itu membunuh kami?!" seru Layan 
yang masih menahan sakit sambil melotot garang 
pada Camar Hitam. 

Camar Hitam terkikik. 

"Kalaupun dia tidak mampu membunuh 
kalian, akulah yang akan membunuh kalian!" sa- 
hut Camar Hitam enteng. 

"Bangsat! Kau melupakan janjimu!" bentak 

Layan. 

"Hik hik hik! Apakah kau pikir semua ma- 
nusia dari golongan hitam bisa dipercaya? Dari 
golongan putih saja banyak yang berdusta. Apala- 
gi dari golongan hitam? Sudahlah, Layan. Kalau 
kau memang ingin memiliki cincin pusaka itu, ki- 
ta tentukan saja di sini sekarang! Siapa yang bisa 
hidup di antara kita berempat, maka dialah yang 
berhak mendapatkan cincin pusaka itu!" sahut 
Camar Hitam sambil terkikik. 

Layan mendengus, marah pada Ki Abdi 
Kanwa. Padahal seharusnya dia dan Sudongdong 
sudah berhasil menipu Camar Hitam. Namun se- 
karang, keadaannya justru menjadi gawat. 

Lalu dengan penuh kemarahan, Setan Kaki 
Besi menyerang lagi. Kali ini bukan Ki Abdi Kan- 
wa sasarannya, tapi si Camar Hitam! 

Sejenak Camar Hitam terkejut menerima 
serangan Layan yang mendadak. Namun nalu- 
rinya yang tajam dan kesaktiannya yang tinggi, 
cepat memberi perlawanan cukup berarti. 

Serangan yang dilakukan Layan menderu. 
Berkali-kali nyaris kaki kanannya yang terbuat 
dari besi memakan bagian-bagian tubuh perem- 
puan tua itu. 

"Bagus! Bagus sekali!" kata Camar Hitam 
sambil terkikik-kikik. "Inilah yang sangat kusukai 
darimu, Layan! Kau masih berlagak hebat, pa- 
dahal hanyalah sapi ompong belaka!" 

"Diam kau, Nenek Peot!" maki Layan ge- 
ram. 

Si Setan Kaki Besi terus menyerang dengan 
gencarnya. Meskipun tahu tidak bisa menandingi 
kesaktian Camar Hitam, namun hatinya geram 
sekali pada nenek peot itu. 

"Sejak semula kita sudah sepakat untuk 
bersama-sama mencari cincin sakti itu! Tetapi, 
ketika aku dan Sudongdong kewalahan mengha- 
dapi Ki Abdi Kanwa, kau enak-enak saja menon- 
ton, hah?!" rutuk Layan. 

"Bahkan aku sangat bersyukur bila kalian 
mampus!" sahut Camar Hitam, santai saja sambil 
mengayunkan tongkatnya. Lurus dari atas ke ba- 
wah. 

Layan menghindar dengan jalan bersalto ke 
belakang. 

Sementara itu, Sudongdong dengan jurus 
"Kera Sakti Hindari Kabut" kembali menyerang Ki 
Abdi Kanwa. Serangannya sangat lincah sekali, 
diiringi kelincahan tubuhnya saat menghindar. 

Ki Abdi Kanwa menghela napas panjang 
melihat kekeraskepalaan Sudongdong. Kehadi- 
rannya di dunia ramai ini bukanlah untuk men- 
cari silang sengketa, melainkan untuk mencoba 
mendamaikan kehidupan di muka bumi ini. 

Yah! Sesuai mimpi Penguasa Alas Roban, 
maka bisa dipastikan kalau tanah Jawa ini akan 
bersimbah darah. Hari ini saja sudah muncul tiga 
orang tokoh yang cukup disegani. Terutama, Ca- 
mar Hitam. Ki Abdi Kanwa menghela napas pan- 
jang. Entah siapa lagi yang akan muncul. 

"Hei, Kakek Busuk! Ayo, hajar aku! Aku in- 
gin lihat kecepatanmu saat menandingi jurusku 
ini!" tantang Sudongdong dengan sikap pongah. 
Tubuhnya lantas bergerak menyambar ke sana 
kemari dengan gerakan bagai seekor kera. 

Ki Abdi Kanwa menghela napas panjang. 
Yang menjadi pikirannya bukanlah Sudongdong 
dan Layan, tetapi si Camar Hitam yang dirasa- 
kannya setara dengan kesaktian yang dimilikinya. 
Tetapi, dia harus memberi pelajaran dulu pada 
Sudongdong. Biarlah Layan dihajar oleh Camar 
Hitam. 

Mendadak saja Ki Abdi Kanwa memutar 
tubuhnya setengah lingkaran. Gerakan itu dila- 
kukan bersamaan dengan serangan Sudongdong 
yang langsung luput. Masih dalam keadaan demi- 
kian, tangan Penguasa Alas Roban bergerak. 

Begkh! 

"Ugkh...!" 

Hantaman itu tepat mengenai punggung 
Sudongdong yang kontan tersuruk ke depan. Lalu 
seketika tubuhnya berbalik dengan tatapan nya- 
lang. 

"Bangsat kau, Orang Tua!" dengus si Kera 
Sakti. 

Ki Abdi Kanwa tersenyum. 

"Sudongdong. Lebih baik urungkan niatmu 
untuk memiliki cincin pusaka Ki Seta! Biarkan 
dia berada di perut Ki Seta selama-lamanya. Dan 
biarkan mayat Ki Seta tenang sepanjang zaman 
tanpa diganggu siapa pun...," ujar Ki Abdi Kanwa, 
halus. 

"Diam kau, Orang Tua! Jangan berkhotbah 
di sini! Apakah kau pikir aku bodoh yang tidak 
tahu akal bulusmu untuk menguasai cincin pu- 
saka itu!" bentak Sudongdong lagi. 

Ki Abdi Kanwa menggeleng-gelengkan ke- 
palanya. "Tak seorang pun di antara kita yang te- 
lah melihat cincin itu, bukan? Mungkin memang 
benar masih berada di perut Ki Seta. Jadi, biar- 
kan saja. Kalaupun sudah telanjur dibedah dan 
ditemukan cincin itu, lebih baik dibuang saja ke 
kawah Gunung Pengging. Dan, mayat Ki Seta kita 
kuburkan kembali." 

"Bangsat tua! Kau hendak mengangkangi 
cincin pusaka itu seorang diri rupanya! Heaaa!" 

Sudongdong sudah menyerang lagi. Kali ini 
lebih ganas dan lebih cepat. 

Ki Abdi Kanwa menggeleng-geleng. Dia be- 
nar-benar sedih kalau sebentar lagi darah akan 
bersimbah di sini. Apalagi Layan tampak sudah 
menjadi bulan-bulanan tongkat si Camar Hitam. 
Sudah jelas sekali, Setan Kaki Besi tak akan bisa 
menaklukkan Camar Hitam. Untuk menandingi 
saja sudah sulit bukan main! 

Akan tetapi, si Setan Kaki Besi nampak gi- 
gih. Tidak dipedulikan kalau berkali-kali tubuh- 
nya terkena hantaman tongkat Camar Hitam yang 
sudah dialirkan tenaga dalam tinggi. 

Ki Abdi Kanwa sendiri segera mengelakkan 
setiap serangan gencar ke arahnya. Lagi-lagi ha- 
tinya merasa sedih, bila membayangkan apa yang 
akan terjadi kelak. Yah! Kini, jumlah mereka saja 
sudah tiga orang. Sudah pasti akan semakin ba- 
nyak yang berdatangan menginginkan cincin pu- 
saka itu. 

Sementara itu Camar Hitam saat ini sedang 
menggerakkan tongkatnya ke arah Layan yang 
mencoba menghindar, namun sudah kehabisan 
tenaga. Berkali-kali tubuhnya menerima pukulan 
yang sangat mematikan. 

Hingga akhirnya.... 

Prakkk! 

"Aaakhhhggg!" 

Sebuah hantaman tongkat di kepala, tak 
bisa dihindari Setan Kaki Besi. Tubuhnya pun 
kontan tersungkur dengan kepala pecah. 

Begitu mendengar jeritan Layan sahabat- 
nya yang memilukan dan telah menjadi mayat, 
Sudongdong menggeram marah. Dari menyerang 
Ki Abdi Kanwa, dia melompat ke arah Camar Hi- 
tam dengan kekuatan penuh. 

"Manusia bangsat! Kau harus membalas 
nyawa Layan dengan nyawa busukmu!" bentak si 
Kera Sakti. 

"Hik hik hik! Bagus, bagus! Keroco macam 
kalian ini memang lebih baik mati saja! Daripada 
memusingkan kepala!" sambut si Camar Hitam. 

Wuuut! 

Tongkat perempuan sakti itu berkelebat, 
menyambar kaki Sudongdong yang langsung 
menghindar. Lalu dikirimkannya satu pukulan 
lurus sambil memutar tubuhnya. 

"Hebat!" puji Camar Hitam sungguh- 
sungguh. "Sayangnya, kau pun akan menyusul 
sahabatmu itu, Monyet Jelek!" 

Gempuran-gempuran yang dilakukan Su- 
dongdong semakin cepat dan gencar dengan tena- 
ga dalam berlipat ganda. Ia sudah tidak sabar un- 
tuk melihat Camar Hitam terkapar. Apalagi bila 
melihat Setan Kaki Besi yang kini telah menjadi 
mayat. 

Sementara itu Ki Abdi Kanwa hanya ter- 
diam saja, memperhatikan jalannya pertarungan. 

Lalu matanya melirik mayat Ki Seta yang terbujur 
kaku di atas tanah. Tubuh kaku itu tak bergem- 
ing sedikit pun. Kedua matanya terpejam. Bibir- 
nya tersenyum. Kedua tangannya terlipat di atas 
perut. 

Ki Abdi Kanwa mendesah pendek. Seorang 
pendekar tangguh di masa lalunya kini telah ter- 
bujur kaku, dalam keadaan menjadi mayat pun 
masih diributkan. Apa arti senyuman di bibir itu? 
Tanya Ki Abdi Kanwa dalam hati. Padahal, seben- 
tar lagi mayat itu akan tercabik-cabik. 

Tidak! Ki Abdi Kanwa mendesis dalam hati. 
Tidak akan pernah mayat pendekar itu dibiar- 
kannya akan dicabik-cabik manusia-manusia se- 
rakah yang menginginkan cincin pusaka itu. Dia 
bertekad akan mempertahankannya. Akan dibiar- 
kannya saja cincin pusaka itu berada di perut Ki 
Seta. 

Pertarungan sengit antara Camar Hitam 
lawan Sudongdong berlangsung seru. Rupanya 
tanpa disangka, si Kera Sakti mampu mengim- 
bangi serangan-serangan Camar Hitam. Jurus 
'Kera Sakti Hindari Kabut' sangat berguna dalam 
menghindari setiap serangan. Jurus itulah yang 
membuatnya seolah-olah mampu mengimbangi 
Camar Hitam. Sedangkan perempuan tua itu 
nampak semakin geram, karena sudah lewat lima 
belas jurus belum juga berhasil menangani lelaki 
berwajah kera itu. 

Kenyataan itu pun membuat Camar Hitam 
secara mendadak memutar tongkatnya menjadi 
seperti baling-baling di atas kepala. Angin yang 
berdesir sangat kencang, mampu merontokkan 
jantung orang yang memiliki tenaga dalam ren- 
dah. 

Sementara Sudongdong tersenyum mere- 
mehkan. 

"Apakah kau hanya bisa bermain baling- 
baling seperti anak kecil, hah?" ejek si Kera Sakti 
ini. 

"Penutup Jalan Darah!" justru saat itu ter- 
dengar seruan Ki Abdi Kanwa. 

"Camar Hitam! Perlukah kau memperguna- 
kan jurus yang sangat dahsyat itu hanya mem- 
pertahankan mayat Ki Seta saja?" lanjut Pengua- 
sa Alas Roban. 

Camar Hitam terkikik. Sementara desingan 
yang ditimbulkan akibat suara putaran baling- 
baling sangat keras. 

"Siapa pun yang menghalangiku untuk 
mendapatkan mayat Ki Seta, harus mampus!" 

Sudongdong malah tertawa-tawa. 

"Perlihatkanlah semua jurus rahasiamu, 
Nek! Aku, akan melayanimu sampai seribu jurus!" 
tantang Sudongdong sambil menggaruk-garuk 
kepalanya bagai gerakan seekor monyet. 

Wajah Camar Hitam memerah. 

"Hhh! Manusia yang mau mampus, me- 
mang bersikap seperti itu! Sudongdong! Lihat se- 
rangan!" 

"Tahan!" seru Ki Abdi Kanwa sambil meng- 
hentakkan tangannya. 

Tubuh Camar Hitam berhenti bergerak, ka- 
lau tidak ingin disambar angin yang menderu. 
Matanya mendelik. 

"Kau ada gilirannya nanti, Tua Bangka!" 
dengus Camar Hitam. 

"Aku menanti giliran itu! Sekarang kita 
tinggal bertiga. Lebih baik kita sepakati saja, tak 
ada yang mendapatkan cincin pusaka itu! Mayat 
Ki Seta kita kuburkan kembali! Dengan begitu, 
tak ada perpecahan dan pertarungan yang me- 
nimbulkan korban di antara kita!" Ki Abdi Kanwa. 

Camar Hitam terkikik-kikik. 

"Pintar! Pintar sekali otakmu. Penguasa 
Alas Roban! Kau mampu menuturkan kata-kata 
berbisamu. Setelah aku dan monyet itu setuju 
mayat Ki Seta dikuburkan kembali, kau diam- 
diam tentunya akan datang kembali ke sini. 
Menggalinya dan mengangkangi cincin pusaka itu 
seorang diri. Hik hik hik...! Usul yang bagus, teta- 
pi bodoh!" 

Wajah Ki Abdi Kanwa memerah. Namun 
otaknya tetap berpikir keras. 

"Baiklah.... Kita bedah tubuh Ki Seta! Sete- 
lah cincin itu didapatkan, kita lemparkan ke ka- 
wah Gunung Pengging. Bagaimana?" lanjut Pen- 
guasa Alas Roban, mengutarakan usulnya. 

"Camar Hitam! Apakah kau akan mengu- 
rungkan niatmu untuk menyerangku, hah?! 
Tongkatmu yang berputar itu hanya membuatku 
muak! Tak pantas kau memperlihatkan tenaga 
dalam seperti anak kecil begitu!" bentak Sudong- 
dong keras. 

Wajah Camar Hitam berpaling lagi pada 
Sudongdong. Matanya melotot penuh amarah. 

"Hhh! Rupanya kau memang ditakdirkan 
sebagai orang keseratus yang akan mampus den- 
gan jurus 'Penutup Jalan Darah'ku ini! Bagus! 
Bagus sekali!" sahut perempuan sakti itu, 

Sudongdong mengangkat kepalanya. "Aku 
merasa tersanjung! Tetapi sayangnya, justru kau- 
lah yang akan menjadi orang keseratus yang akan 
mati pada jurusku ini!" balas Sudongdong pon- 
gah. 

Tiba-tiba si Kera Sakti membuka kedua 
tangannya ke muka, dengan tubuh ditarik ke be- 
lakang agak condong. Kaki kanannya melangkah 
satu tindak. Sedang kaki kirinya melipat ke dalam 
Sepertinya jurus itu memang tak ada artinya. 

"Hik hik hik.... Meskipun jurusmu penuh 
tipuan, tetapi..., hanya pantas diperlihatkan oleh 
anak kecil saja!" ejek si Camar Hitam sambil ter- 
kikik-kikik. 

Begitu pula yang dipikirkan Ki Abdi Kanwa. 
Dia tidak melihat keistimewaan pada jurus yang 
diperlihatkan Sudongdong. Biarpun dikatakan 
penuh gerak tipu, tetapi Ki Abdi Kanwa yang bisa 
menebak ke mana arah lawan menyerang, sekali 
lagi tidak melihat sesuatu yang aneh. 

Jurus itu biasa-biasa saja. Apakah itu 
hanya pembuka pancingan saja? Ataukah, ada 
maksud tertentu dari si Kera Sakti dengan mem- 
buka jurus yang nampak kosong? 

Sudongdong tertawa. 

"Nah! Kalau kau menyangka jurusku ini 
tak berarti, silakan pergunakan 'Penutup Jalan 
Darah'mu untuk menyerangku!" ejek si Kera Sakti 
sambil menggerak-gerakkan kedua tangannya. 

Tongkat yang sejak tadi berputar di atas 
kepala Camar Hitam, semakin kencang saja, me- 
nimbulkan suara yang menderu-deru. Lalu tiba- 
tiba saja tubuh Camar Hitam meluruk ke muka, 
dengan gerakan cepat sekali 

"Kau akan menyesal seumur hidup karena 
berani menantangku, Sudongdong!" 

Hebat! Karena dalam sekali gerak saja, 
tongkat yang dipegang Camar Hitam sudah berge- 
rak beberapa kali. Seolah-olah sudah tercium ja- 
lan darah yang akan dimusnahkan. 

Dalam perkiraan Ki Abdi Kanwa, Sudong- 
dong akan hancur dalam sekali serang. Karena 
sama sekali tidak terlihat keistimewaan jurus 
yang diperlihatkannya. Memang, menghadapi 
'Penutup Jalan Darah' milik Camar Hitam, harus- 
lah mempunyai ilmu meringankan tubuh tinggi 
yang ditunjang tenaga dalam serta hawa murni. 

Namun yang membuat Penguasa Alas Ro- 
ban terkejut, bukan karena Sudongdong mampu 
menghindari serangan Camar Hitam. Bukan pula 
dia bisa membalas serangan itu. Tapi ketika tu- 
buh Camar Hitam sudah mendekat. Sudongdong 
melemparkan tiga buah benda ke arah perem- 
puan sakti itu. Sementara dua buah meluncur ke 
arah Ki Abdi Kanwa sendiri! 

Tanpa banyak pikir lagi, kedua tokoh sakti 
yang berbeda golongan itu, menepis benda-benda 
yang dilemparkan si Kera Sakti. Tidak ada leda- 
kan. Tidak ada kejutan apa-apa. Yang ada hanya- 
lah asap hitam yang sangat pekat! Dan..., men- 
gandung racun! 

Kedua tokoh tua itu terlambat untuk me- 
nutup jalan napas, karena hawa racun itu begitu 
kuat menyergap. 

Saat itu juga, Sudongdong langsung berge- 
rak menyambar mayat Ki Seta. 

"Makanlah Racun 'Ludah Kera' yang sangat 
keras itu. Dalam waktu dua hari, tubuh kalian 
akan diserang rasa sakit luar biasa! Tak satu pun 
tenaga dalam yang akan mampu menahan rasa 
sakit itu! Ha ha ha... Layan! Maafkan aku. Aku ti- 
dak bisa berbuat apa-apa, karena kau sudah ma- 
ti! Camar Hitam dan Ki Abdi Kanwa! Kini akulah 
yang berhak memiliki cincin pusaka itu. Dan se- 
bentar lagi, akan menguasai rimba persilatan ini!" 

Lalu sambil terbahak-bahak, si Kera Sakti 
berkelebat meninggalkan lereng Gunung Pengg- 
ing, meninggalkan dua sosok tubuh yang tergolek 
pingsan. Juga, meninggalkan satu sosok tubuh 
yang telah menjadi mayat. 

"Berhenti!" 

Satu bentakan terdengar cukup keras dis- 
ertai berlompatannya sepuluh orang dari balik 
semak dan langsung mengurung Sawedo dan ka- 
wan-kawannya. Mereka semuanya memakai pa- 
kaian hitam, dengan ikat kepala putih. Di pung- 
gung masing-masing terdapat sebilah pedang ti- 
pis, namun jelas sangat tajam. 

Sawedo dan ketiga temannya secara tidak 
langsung menjadi bersiaga. Bila melihat sikap pa- 
ra penghadangnya bisa dipastikan kalau mereka 
bukanlah orang baik-baik. Mereka tidak me- 
nyangka akan mengalami kejadian seperti ini. Hu- 
tan yang sekarang disinggahi sangat lebat, penuh 
pepohonan besar. 

"Hmmm..., ada apa sebenarnya ini? Men- 
gapa kalian semua menghalangi langkah kami?" 
tanya Sawedo yang mempunyai nyali cukup besar 
dengan mata menyipit. 

Salah seorang yang mengenakan ikat ping- 
gang berwarna merah terbahak-bahak. Wajahnya 
kasar, banyak ditumbuhi bulu. Hidungnya besar 
dengan mulut besar pula. Usianya kira-kira em- 
pat puluh lima tahun. Bila melihat ciri khas pa- 
kaiannya yang lain daripada yang lain, sudah bisa 
dipastikan kalau dia bertindak sebagai pemimpin. 

"Anak muda.... Lancang sekali kau bicara 
seperti itu terhadap Gagak Seto...," kata lelaki 
berwajah kasar ini dengan suara meremehkan. 
"Apakah kau sudah bosan hidup?" 

Sawedo yakin, yang berdiri di hadapannya 
bukan orang sembarangan. Nama Gagak Seto 
memang belum pernah didengar. Namun yang bi- 
sa dipastikan sekarang ini, sikap orang itu benar- 
benar menjengkelkan. 

"Baiklah, Kakang Gagak Seto.... Maafkan 
kelancanganku," ucap Sawedo sambil memutar 
otaknya yang cerdik. 

Sawedo merasa harus bisa mengulur wak- 
tu agar tidak terjadi bentrokan berdarah. Semen- 
tara ketika matanya melirik teman-temannya, me- 
reka sudah siap mencabut parang di pinggang. 

"Bagus! Kau beruntung hari ini, Anak Mu- 
da.... Aku tidak sedang ingin membunuh. Kau 
cukup menjawab pertanyaan-pertanyaanku saja, 
maka akan kuizinkan melanjutkan perjalanan. 
Ingat yang kukatakan tadi. Aku sedang tidak in- 
gin membunuh. Tetapi anak buahku..., ha ha 
ha.... Mereka sudah tidak sabar untuk meman- 
cung kalian...," kata Gagak Seto. 

Sawedo mendengus dalam hati. Benar du- 
gaannya, kalau mereka bukanlah orang baik- 
baik. Sungguh sial sebenarnya nasib Sawedo dan 
teman-temannya, karena harus berjumpa mereka. 

"Hhh! Apa yang ingin kau tanyakan, Gagak 
Seto?" tanya Sawedo dengan suara ditekan. 

Gagak Seto tertawa meskipun sempat ter- 
sentak sejenak. Karena, anak muda itu memang- 
gilnya tanpa ada rasa hormat. Sedang semua ber- 
nada menghormat dengan sebutan 'kakang'. Ru- 
panya anak muda ini memang mempunyai nyali. 

"Bagus! Bagus sekali. Aku menyukai anak 
muda yang penuh keberanian. Memiliki perhitun- 
gan matang dan mampu membuat siapa saja ter- 
pesona oleh keyakinannya. Tetapi, masalah itu 
nanti saja kita bicarakan. Hmmm..., Anak Muda! 
Kenalkah kau dengan seseorang yang bernama Ki 
Seta?" kata Gagak Seto. 

Mendengar pertanyaan itu bukan hanya 
Sawedo yang mengerutkan keningnya. Tetapi, ke- 
tiga temannya pun juga. Ki Seta? Ki Seta yang 
mana? Apakah Ki Seta kakeknya Mayang yang te- 
lah dibunuh Manusia Pemuja Bulan? 

"Maaf, Ki Seta mana yang kau maksud- 
kan?" tanya Sawedo. 

"Hmmm.... Kalau tidak salah dengar, dia 
seorang pendekar tangguh pada masa mudanya 
dulu," sahut Gagak Seto. 

Sawedo mengira, kalau orang yang dimak- 
sud bukan Ki Seta, kakeknya Mayang. Demikian 
pula ketiga kawannya. Karena sepengetahuan 
mereka, kakeknya Mayang bukanlah seorang 
pendekar di masa mudanya. 

"Maaf, kalau itu kami tidak tahu," kata Sa- 
wedo. 

"Hmm.... Ki Seta yang mana yang kalian 

tahu?" 

"Yang kami tahu selama ini, kami hanya 
mengenal seorang yang bernama Ki Seta di lereng 
Gunung Pengging" 

"Bagus, bagus sekali! Ki Seta itu yang kami 
maksud! Seorang laki-laki tua yang tinggal di Gu- 
nung Pengging. Karena pengaruh cincin pusaka 
yang ditelannya, seluruh kesaktiannya telah hi- 
lang. Sehingga, dia tak ubahnya seperti orang bo- 
doh. Bagus, Anak Muda. Bagus sekali...." 

Kening keempat pemuda dari lereng Gu- 
nung Pengging itu berkerut. Sama sekali tidak 
dimengerti, apa maksud Gagak Seto. Ki Seta du- 
lunya seorang pendekar sakti? Lalu karena mene- 
lan cincin pusaka, maka kesaktiannya lumpuh? 
Dongeng dari mana lagi ini? 

"Gagak Seto.... Kau sudah mendapatkan 
jawaban kami, bukan? Lebih baik izinkan kami 
untuk meneruskan perjalanan," ujar Sawedo. 
Enggan dia memikirkan dongeng bodoh itu. 

"Tunggu! Apakah Ki Seta ada di sekitar le- 
reng Gunung Pengging?" cegah Gagak Seta, ber- 
tanya. 

Sawedo menganggukkan kepalanya. 

"Bagus! Yang mana rumahnya?" 

"Sebuah kuburan." 

"Hei! Apa maks..., oh! Sebuah kuburan?" 

"Ya! Karena, Ki Seta sudah mati." 

Gagak Seto menjejak-jejakkan kakinya ke 
tanah dengan sikap sebal. 

"Bodoh! Gila kalau begini! Kita pasti sudah 
terlambat sekarang! Sudah bisa dipastikan, ba- 
nyak para tokoh sakti yang bermunculan untuk 
merebut cincin pusaka yang berada di perutnya! 
Hhh! Kita harus secepatnya tiba di lereng Gunung 
Pengging dan mencari makamnya! Gila! Ayo, ki- 
ta...." 

Kata-kata Gagak Seto terputus. Dan men- 
dadak saja kepalanya menoleh pada Sawedo dan 
yang lainnya. 

"Anak muda..., tahukah kau di mana ma- 
kam Ki Seta itu?" 

Sawedo yang cerdik dapat memperkirakan 
apa yang diinginkan Gagak Seto. Maka kepalanya 
menggeleng. "Aku tidak tahu," sahut Sawedo. 

"Dusta!" sentak Gagak Seto. 

"Kalau kau tidak percaya, aku tidak ada 
masalah. Yang pasti, aku tidak tahu di mana dia 
dimakamkan. Karena, aku bukanlah penduduk di 
sekitar lereng Gunung Pengging! Mendengar nama 
Ki Seta saja, hanya selentingan," sahut Sawedo, 
berdusta. 

Gagak Seto menyembur geram. Tangannya 
yang besar dan penuh bulu mengepal-ngepal. Ra- 
hangnya terkatup, seolah menahan semburan 
panas yang siap terlontar. 

Namun tiba-tiba saja tubuh Gagak Seto 
berkelebat, menyambar Jalu yang tak menyang- 
ka. Diseretnya pemuda itu dua tindak, dengan 
tangan tertelingkung. Tangan Gagak Seto yang 
kekar, melingkar di leher Jalu. 

Kalau tadi Gagak Seto nampak menyimpan 
kekesalan, sekarang justru terbahak-bahak. 

"Anak muda..., apakah kau akan mungkir 
dari jawabanmu terus? Ataukah, kau akan meli- 
hat leher kepala temanmu ini patah?" kata Gagak 
Seto, merasa menang. 

"Lepaskan dia!" sengat Sawedo marah. 

Sungguh Sawedo tak menyangka kalau la- 
ki-laki besar penuh bulu itu akan menyambar Ja- 
lu. Meminta Gagak Seto untuk melepaskan Jalu 
bukanlah suatu hal yang mudah. 

"Ha ha ha...! Kau lihat sendiri, betapa pu- 
catnya temanmu ini karena tak bisa bernapas. Ha 
ha ha.... Sebentar lagi, pasti dia akan kehabisan 
napas!" ujar Gagak Seto, pongah. 

"Gagak Seto! Tadi kau katakan tidak ingin 
membunuh hari ini!" seru Sawedo geram. 

"Benar!" sahut Gagak Seto, pendek. 

"Mengapa sekarang kau mau membunuh- 
nya, hah?!" 

"Tidak, tidak.... Aku hanya memperkecil ja- 
lan pernapasannya saja. Urusan membunuh, ha 
ha ha...! Sudah tentu urusan anak buahku. Jan- 
gan khawatir! Gagak Seto tak akan pernah men- 
gingkari janjinya...," kata laki-laki besar itu, ter- 
bahak-bahak. 

"Lepaskan dia!" bentak Sawedo. 

"Antarkan kami ke makam Ki Seta!" balas 
Gagak Seto. 

Meskipun masih tidak mengerti mengapa 
tahu-tahu ada orang yang mencari makam Ki Se- 
ta, Sawedo menghela napas masygul bercampur 
kesal. Apalagi melihat keadaan Jalu yang megap- 
megap. Wajahnya tampak semakin bertambah 
pucat. 

"Anak muda! Aku tidak suka banyak cin- 
cong! Antarkan kami ke makam Ki Seta. Atau, 
temanmu ini mampus?" ancam Gagak Seto. 

Sawedo kali ini menyerah, tidak bisa ber- 
buat apa-apa. Sementara Subekti dan Giri sudah 
memperhitungkan semuanya. Bila saja Sawedo 
nekat menyerang, maka keduanya tak mau ber- 
tindak tanggung lagi. Mati bersama menjadi tu- 
juan utama. Sebelumnya pun mereka telah sepa- 
kat untuk terus mencari Pendekar Slebor, walau 
nyawa taruhannya. Dan kini mereka juga tak 
akan membiarkan begitu saja melihat Jalu yang 
tampak menderita. 

"Baik, kami akan mengantarmu ke makam 
Ki Seta! Tetapi, mengapa kau begitu bernafsu se- 
kali untuk ke sana?" kata Sawedo, yang memang 
tak bisa berbuat apa-apa. 

Gagak Seto terbahak-bahak. Tangannya 
yang melingkar di leher Jalu berguncang. Sehing- 
ga membuat pemuda itu kembali menahan rasa 
sakit. 

"Bodoh! Apakah kau tidak tahu kalau se- 
lama hidupnya Ki Seta merahasiakan sebuah har- 
ta?!" dengus Gagak Seto. 

Sawedo terdiam, membiarkan Gagak Seto 
berkata-kata. Ia jadi teringat ketika Manusia Pe- 
muja Bulan memaksakan kehendaknya pada Ki 
Seta, agar memberitahukan di mana hartanya 
disimpan. Harta apa? Apakah Gagak Seto dan 
sembilan anak buahnya mengetahui tentang har- 
ta Ki Seta? 

"Hei, Anak Muda! Kau tahu tidak?" bentak 
Gagak Seto tiba-tiba. 

Sawedo langsung menganggukkan kepala. 

"Aku pernah mendengar tentang itu. Teta- 
pi, tidak pernah tahu harta apa," sahut Sawedo. 

"Ha ha ha.... Bodoh, bodoh sekali! Kau ru- 
panya memang buta, kalau di tempat tinggalmu 
sebenarnya ada seorang pendekar besar yang ti- 
dak bisa berbuat apa-apa, karena seluruh kesak- 
tiannya telah hilang. Hhh! Dulunya Ki Seta ada- 
lah pendekar tangguh yang sukar dicari tandin- 
gannya, kecuali adik seperguruannya sendiri. Ala, 
sudahlah.... Yang pasti, di perut Ki Seta terdapat 
sebuah cincin pusaka yang sangat hebat! Yang 
tak ada tandingannya untuk masa-masa seka- 
rang! Cincin itulah yang menyebabkannya lum- 
puh bersama seluruh kesaktiannya!" 

Sawedo dan yang lain mendengarkan den- 
gan seksama. Tetapi, apakah yang dimaksud 
orang penuh bulu ini adalah, Ki Seta kakeknya 
Mayang? 

Gagak Seto mengibaskan tangannya. 

"Sudahlah! Ayo kita segera berangkat! Jan- 
gan-jangan di sana sudah ramai para tokoh dunia 
persilatan yang sedang sibuk memperebutkan 
cincin pusaka itu!" ujar Gagak Seto. 

"Lepaskan kawanku dulu, baru kita be- 
rangkat!" seru Sawedo keras. 

Gagak Seto terbalik padanya dengan tata- 
pan geram. 

"Jangan menjual tampang di hadapanku, 
Anak Muda! Penuhi permintaanku. Atau teman- 
mu ini kukepruk kepalanya sampai hancur, 
hah?!" gertak Gagak Seto. 

Kali ini tak ada jalan lain yang bisa dilaku- 
kan Sawedo. Begitu pula Subekti dan Giri yang 
diam-diam menganggukkan kepala, tanda setuju. 

Gagak Seto terbahak-bahak keras begitu 
melihat kepala Sawedo mengangguk. Lalu dengan 
bengis, didorongnya tubuh Jalu hingga terjajar ke 
depan, seraya menendang perutnya. 

"Bagus! Kita berangkat sekarang!" ujar Ga- 
gak Seto, begitu Jalu menyusur tanah. 

Sawedo tak bisa lagi menahan geramnya. 
Namun, dia harus mundur karena tiga orang 
anak buah Gagak Seto sudah mencabut pedang, 
siap menyabet bagian-bagian tubuh Sawedo. 

Namun sebelum anak buah Gagak Seto 
melangkah... 

Des, des, des...! 

"Aaakh...!" 

Tiba-tiba saja tiga orang yang mengurung 
Sawedo dengan pedang terhunus berpentalan dis- 
ertai jeritan keras. Lalu mereka ambruk muntah 
darah. Dua orang langsung melayang nyawanya. 
Yang seorang lagi sekarat, siap menyusul nyawa 
kedua temannya. 

Gagak Seto melotot gusar. 

"Manusia busuk! Keluar kau?!" 

Dari balik sebuah semak, muncul satu so- 
sok tubuh berpakaian hijau muda dengan kain 
bercorak catur tersampir di pundak. Pemuda itu 
melangkah sambil cengar-cengir seperti orang tak 
punya dosa. 

"Pendekar Slebor...!" 

Justru Sawedo yang berseru. 

Sementara sosok yang memang Andika 
alias Pendekar Slebor hanya mengangkat tangan- 
nya saja. Sikapnya santai sekali. 

Mendengar sebuah julukan yang barusan 
diteriakkan Sawedo, Gagak Seto terbahak-bahak. 
Kalau tadi marah, kini menyembunyikan kemara- 
hannya di balik tawanya. 

"Tak kusangka, rupanya yang muncul di 
hadapanku Pendekar Slebor?" sambut Gagak Se- 
to, menunjukkan kepongahannya. 

"Kau pikir seorang pangeran, ya? Aku me- 
mang pantas jadi pangeran, bukan?" balas Andika 
sambil tertawa. 

"Pangeran? Ha ha ha...," ulang Gagak Seto 
disertai tawa mengejek. Namun tiba-tiba tawanya 
berhenti. "Pendekar Slebor! Lebih baik kau ming- 
gat dari sini, sebelum merasakan kehebatan Ga- 
gak Seto!" 

"Apa?" 

Andika memiringkan kepalanya. 

"Gagak Bego? O, rupanya julukanmu Ga- 
gak Bego?" ledek Andika sambil nyengir. 

"Kalau begitu, namaku Gagak Pintar." 

Wajah Gagak Seto memerah mendengar se- 
lorohan itu. Apalagi melihat tiga anak buahnya te- 
lah menjadi mayat, karena yang sekarat tadi kini 
sudah menyusul kedua temannya. 

"Rupanya. Pendekar Slebor memang iseng! 
Kerjanya hanya mengganggu orang lain saja! Ha- 
jar dia!" perintah Gagak Seto. 

Serentak enam orang anak buah Gagak Se- 
to mencabut pedang masing-masing. Mereka 
langsung mengurung Andika dengan wajah ang- 
ker. 

Andika masih cengar-cengir saja. 

"Kalau hanya begini saja sih, enteng! Kena- 
pa tidak kau sekalian saja, Gagak Bego? Barang- 
kali saja setelah bertarung denganku, kau sema- 
kin sadar kalau kau memang bego...," kata Andi- 
ka seenaknya. 

"Bunuh dia!" 

Serentak enam buah pedang menyerang 
pemuda sakti pewaris ilmu Pendekar Lembah Ku- 
tukan itu. Enam buah mata pedang berkilat di- 
timpa sinar mentari senja yang sudah menurun. 
Sementara Andika masih saja meloncat ke sana 
kemari dengan santainya. 

Wuuut! 

Srrrt! 

Pedang-pedang itu terus berkelebatan me- 
nyambar dengan cepat disusul seruan-seruan ke- 
ras yang menambah semangat bagi para penye- 
rang Andika. 

Sawedo yang tak pernah menyangka kalau 
Pendekar Slebor yang sedang dicarinya akan 
muncul di sini, diam-diam menghela napas pan- 
jang. Buru-buru didekatinya Jalu yang sedang 
memegangi perutnya. Sementara Giri dan Subekti 
bersiap membantu Andika, bila terdesak. Namun 
keduanya kini sudah tidak menyangsikan lagi ke- 
saktian Andika yang berjuluk Pendekar Slebor. 

"Kakang Sawedo...." 

Sawedo mengangkat kepalanya, menoleh 
pada satu tempat. 

"Mayang!" seru Sawedo terkejut. Mayang 
yang muncul dari balik semak mendekat. 

"Apa kabar, Kakang?" tanya Mayang, lang- 
sung. Tetapi pertanyaannya itu tidak segera dija- 
wab Sawedo. Sebenarnya dalam hati kecilnya, dia 
juga hendak mencari Mayang. Karena sesung- 
guhnya, dia sangat mengasihi gadis itu. Dan begi- 
tu gadis ini muncul, tiba-tiba saja dirangkulnya. 
Hanya sejenak, karena sejurus kemudian dile- 
paskannya dengan wajah tersipu. 

"Maaf..., aku terlalu gembira melihat kau 
selamat," ucap Sawedo memerah wajahnya. 
Mayang hanya tersenyum saja. 

"Yah, berkat pertolongan Kang Andika." 
Sawedo diam-diam menghela napas pendek. Lalu 
Mayang pun menceritakan tentang dirinya yang 
ditawan Tridarma, sampai dibebaskan oleh Pen- 
dekar Slebor yang juga lolos dari tawanan. 

"Syukurlah kalau begitu," desah Sawedo. 
Pertarungan Pendekar Slebor melawan enam 
orang berpakaian hitam yang menyerang gadis itu 
pun berlangsung seru. Kalau tadi Andika sengaja 
memperlambat serangannya sampai terdesak, ka- 
rena ingin mempermainkan Gagak Seto yang ter- 
lihat tersenyum puas. 

Namun kini, Pendekar Slebor tampak tiba- 
tiba saja bergerak laksana kilat. 

Des! Buk! Des! 

Brak! 

Tiga tubuh anak buah Gagak Seto lang- 
sung terpental ke belakang, muntah darah. Yang 
satu menabrak pohon yang tumbuh di situ. 

"He he he.... Mengapa kau tidak langsung 
turun saja, Gagak Bego?" leceh Andika. "Tetapi ti- 
dak heran ya, kalau orang pengecut itu hanya bi- 
sa bersembunyi di balik kegarangan semua!" 

"Bangsat busuk!" geram Gagak Seto. 

Saat itu juga lelaki kekar ini meluruk den- 
gan kedua tangan berbentuk paruh gagak. 

Andika melompat menghindari serangan. 
Sementara Subekti, Giri, dan Sawedo telah men- 
gambil alih ketiga sisa lawan Andika tadi. 

Andika terus menghindari gempuran- 
gempuran hebat Gagak Seto yang menggunakan 
jurus 'Gagak Membubung ke Langit'. Sebuah ju- 
rus yang sangat hebat dan cepat. 

Tetapi menghadapi jurus ini Andika justru 
tertawa-tawa. Sambil menghindar dan membalas 
mulutnya tak henti-hentinya mengoceh. 

"Lumayan! Lumayan juga kau, Gagak Bego! 
Tetapi, kesaktianmu hanya pantas untuk jadi tu- 
kang pukul di pasar kotapraja!" 

Sambil mengejek Andika bergerak cepat. 
Kakinya bagai seribu, seolah sangat hafal dengan 
bagian-bagian tanah yang diinjak. 

Dan kali ini. Gagak Seto yang menjadi ke- 
limpungan menghadapi gerakan kilat Andika. Se- 
bisanya tubuhnya melenting berkali-kali ke atas. 
Untuk menghindari sambaran kaki Pendekar Sle- 
bor yang cepat. Belum lagi, kedua tangan Andika 
yang terkadang memukul secara beruntun. 

"Hei, hei! Kenapa kau tidak mengepakkan 
kedua sayapmu untuk terbang?" seloroh Andika 
memanas-manasi. "Mungkin keberatan dosa ya, 
sehingga takut jatuh!" 

Pendekar Slebor terus bergerak cepat, 
membuat Gagak Seto benar-benar kelimpungan. 
Diam-diam kini disadari, kalau nama besar Pen- 
dekar Slebor bukan hanya omong kosong saja. 
Namun pendekar muda yang bijaksana namun 
urakannya tidak ketulungan itu memang sangat 
santer di seluruh tanah Jawa. Sangat dikenal 
baik oleh golongan sesat maupun golongan lurus. 
Bahkan, namanya pun dikenal para pendekar da- 
ri negeri seberang. 

Namun Gagak Seto yang sudah cukup la- 
ma malang melintang sebagai salah satu begun- 
dal yang ditakuti, tidak mau menyerah begitu sa- 
ja. 

Selagi Andika menyerang dengan cara me- 
matahkan setiap langkahnya, mendadak saja Ga- 
gak Seto bergerak ke atas. Lalu dia hinggap di ta- 
nah, bukan dengan kedua kaki. Tapi dengan ke- 
dua tangannya. Sementara kedua kakinya lurus 
ke atas. 

"Hei? Sedang apa, sih?" seru Andika sambil 
memperhatikan gerakan Gagak Seto. "Apa mata- 
mu mendadak juling, sehingga melihatku mesti 
pakai jungkir balik seperti itu?" 

"Anak muda...! Sekarang kau akan menga- 
kui kebebatan Gagak Seto!" desis Gagak Seto. 

Bagai baru sadar, Pendekar Slebor men- 
ganggukkan kepala. 

"O..., itu sebuah jurus, toh? Boleh, boleh! 
Aku juga ingin melihat seperti apa sih, jurusmu 
itu!" 

Tiba-tiba saja Gagak Seto bergerak. Luar 
biasa! Kedua tangannya yang dijadikan sebagai 
kaki bergerak begitu cepat. Bahkan mampu me- 
lompat-lompat, tak ubahnya kaki. 

Andika sampai terkejut bercampur kagum 
melihatnya. 

"Hebat!" puji Pendekar Slebor, tulus. 

"Dan kau akan merasakan yang lebih hebat 
lagi. Pendekar Slebor!" dengus Gagak Seto. Kedua 
kakinya yang mengangkat ke atas menderu-deru, 
bagaikan sebuah kepalan tangan yang mampu 
mematikan langkah lawan. 

Andika sendiri beberapa kali cukup terke- 
jut menyaksikan serangan aneh itu. 

Sementara itu, Sawedo, Giri, dan Subekti 
harus mendapatkan lawan yang tangguh. Bahkan 
terlihat lebih tinggi ilmunya dari mereka. Giri 
sendiri berkali-kali harus bergulingan untuk me- 
nyelamatkan selembar nyawanya dari sambaran 
pedang. 

Begitu pula Subekti. Serangannya seolah 
mati saja. Berkali-kali pula tubuhnya terkena 
sambaran ujung pedang yang tajam. Walau tidak 
mematikan, namun membuatnya pedih. Mungkin 
hanya Sawedo saja yang kelihatan bisa mengim- 
bangi lawannya, meskipun tak urung harus san- 
gat berhati-hati. 

Jalu yang menyaksikan ketiga sahabatnya 
bertarung mati-matian, hanya bisa menghela na- 
pas saja. Dia tidak kuasa untuk bangun, karena 
perutnya yang ditendang Gagak Seto tadi masih 
sakit sekali. 

"Habisi mereka semua! Kita harus cepat ke 
lereng Gunung Pengging!" seru Mayang, memberi 
semangat. 

Kata-kata itu masuk ke telinga Andika, 
yang menjadi ingat tujuan utama mereka. Me- 
mang sulit untuk masuk ke dalam serangan Ga- 
gak Seto yang mempergunakan ilmu anehnya. 
Namun kali ini Andika tidak mau bertindak tang- 
gung lagi. Tubuhnya segera melesat cepat, setelah 
mengalirkan tenaga 'inti petir' tingkat ketiga pu- 
luh di kedua tangannya. 

Des! Des! 

Dua pukulan Pendekar Slebor berbenturan 
dengan dua sepakan kaki Gagak Seto yang men- 
juntai ke atas. Tak ada pengaruh apa-apa. Bah- 
kan Gagak Seto terus mencecar. 

"He he he.... Sudah cukup belum kau ber- 
diri dengan kedua tanganmu?" ledek Andika. 

Sambil bertarung, Pendekar Slebor memi- 
kirkan pula kemungkinan Manusia Pemuja Bulan 
dan Tridarma yang pergi ke lereng Gunung Pengg- 
ing untuk mencari cincin pusaka di perut Ki Seta. 
Kalau mereka sudah berhasil mendapatkannya, 
maka akan sulit sekali untuk menghancurkan 
dua manusia sesat itu. 

Sementara Gagak Seto menyerang, tetap 
dengan serangan-serangan aneh! Saat itulah An- 
dika menderu maju dengan tubuh berguling. Lalu 
kedua kakinya tiba-tiba menyepak kedua tangan 
Gagak Seto yang dijadikan sebagai tumpuan. 

Tetapi sungguh luar biasa. Gagak Seto ter- 
nyata mampu mengangkat tubuhnya dengan lon- 
taran kedua tangannya. 

Sebenarnya, itulah yang memang diperhi- 
tungkan Andika. Begitu tubuh Gagak Seto te- 
rangkat, mendadak saja kaki Pendekar Slebor 
menyambar. 

Des! 

"Aaakh...!" 

Tubuh Gagak Seto terhuyung, lalu ambruk. 
Belum lagi dia bangkit, kaki Andika kembali 
menghantam perutnya. 

Desss...! 

Dan seketika kaki kanan Pendekar Slebor 
menyambar kepala Gagak Seto. 

Prak! 

"Aaa...!" 

Kepala itu pecah. Tamatlah riwayat Gagak 
Seto! 

Andika telah berdiri berkacak pinggang. 

"Cukup sudah, ya? Daripada kau capek? 
Eh, Sawedo! Minggir kalian semua! Heaaat!" 

Sawedo, Giri, dan Subekti langsung ming- 
gir begitu mendengar teriakan Andika. Tetapi 
yang sangat lucu, ketiga laki-laki berpakaian hi- 
tam-hitam dengan pedang di tangan itu justru 
menjadi kelabakan. Apalagi begitu melihat Gagak 
Seto yang merupakan ketua mereka sudah men- 
jadi mayat. 

Lebih baik melarikan diri saja daripada ma- 
ti konyol. Maka serentak ketiganya serabutan me- 
larikan diri. 

Andika cepat menghentikan serangannya. 
Dan kedua tangannya memukul-mukul pahanya 
sendiri. "Ayo! Kejar! Pegang, pegang!" Ketiga orang 
itu terus ngibrit terkencing-kencing. Sikap Andika 
yang kocak membuat Mayang tersenyum simpul. 

"Ah, Andika.... Sikapmu yang semaunya itu 
justru menjadi ciri khasmu. Orang bukannya ma- 
rah bila melihat sikapmu yang sedikit tengil dan 
urakan. Tapi malah akan tertawa bila tahu sifat- 
mu yang doyan bercanda...," gumam gadis ini da- 
lam hati. 

Tetapi, lain lagi bila yang dihadapi Andika 
adalah tokoh sesat. Mereka yang kegiatannya me- 
rasa dihalangi, akan dibuat bertekuk lutut sam- 
pai benar-benar tobat. 

"Sudahlah, Kang Andika.... Kita harus pergi 
menyelamatkan mayat Aki," kata Mayang kemu- 
dian. 

Andika berbalik. Segera disalaminya Sawe- 
do, Giri, Subekti dan Jalu. Seolah, saat itulah me- 
reka baru bertemu. Sawedo menceritakan para 
penduduk yang mengungsi ke Lembah Bunga di 
bawah pimpinan Paman Longgom. 

Sawedo juga menceritakan tentang Gagak 
Seto yang mengatakan kalau di tubuh Ki Seta 
terdapat sebuah cincin pusaka. Dan hal itu sege- 
ra ditanyakan pada Andika. Di luar dugaan Pen- 
dekar Slebor mengangguk. 

"Yah! Semuanya memang benar. Ki Seta, 
kakeknya Mayang, dulunya seorang pendekar. 
Dia telah menelan sebuah cincin sakti, sehingga 
punahlah seluruh kesaktiannya. Sudahlah.... Kita 
harus cepat sekarang! Karena aku yakin, sudah 
banyak para tokoh sakti yang memburu cincin 
pusaka itu!" ujar Pendekar Slebor. 

Setelah mengobati Jalu, mereka pun segera 
berangkat menuju lereng Gunung Pengging, tem- 
pat mayat Ki Seta dimakamkan. 



Malam semakin tinggi. Kesunyian mulai 
menyergap alam sekitarnya. Angin dingin ber- 
hembus. Terasa lain dari yang lain, seolah mengi- 
syaratkan kalau akan ada suatu kejadian yang 
menggiriskan. 

Di malam seperti ini Sudongdong alias si 
Kera Sakti telah siap dengan pekerjaannya, men- 
cari cincin pusaka di dalam tubuh mayat Ki Seta. 
Mayat itu sudah direbahkan di balik semak. Keti- 
ka merasa sudah cukup aman, akan dilakukan- 
nya pembedahan. Akan dicarinya cincin pusaka 
yang akan menjadikannya sebagai orang nomor 
satu di dunia persilatan. 

Sejenak si Kera Sakti memperhatikan seke- 
lilingnya. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. 
Mungkin saat ini Ki Abdi Kanwa dan si Camar Hi- 
tam dalam keadaan sekarat. 

Kini Sudongdong pun memulai maksud- 
nya. Diketuk-ketuknya mayat Ki Seta. Entah apa 
yang dilakukan, seolah mencari di mana cincin 
pusaka itu. 

Tahu-tahu lelaki berwajah kera itu terse- 
nyum. 

"Hmmm.... Rupanya terselip di antara tu- 
lang ekor," gumam si Kera Sakti puas. Lalu, diba- 
liknya mayat Ki Seta. 

Kini tibalah saatnya bagi Sudongdong un- 
tuk memiliki apa yang diimpi-impikannya. Tan- 
gannya pun terangkat, siap mengepruk tulang 
ekor Ki Seta. Namun belum lagi sempat menu- 
runkan tangannya, mendadak saja.... 

Tuk! Tuk! 

"Ohhh...!" 

Saat itu juga si Kera Sakti merasakan tu- 
buhnya menegak kaku. Seseorang telah meno- 
toknya hingga tak bisa bergerak seperti ini. 

"Keparat! Keluar kau?!" bentak si Kera Sak- 
ti marah. 

Sudongdong tidak perlu berteriak sampai 
dua kali. Karena tak lama kemudian dua sosok 
tubuh berloncatan ke arahnya. Yang seorang 
mengenakan jubah hitam. Sedang yang seorang 
lagi berambut putih acak-acakan tanpa memakai 
baju. 

Mereka tak lain memang Manusia Pemuja 
Bulan dan Tridarma. Setelah puas menyiksa Pen- 
dekar Slebor, Tridarma pun segera mengajak Ma- 
nusia Pemuja Bulan untuk mendatangi mayat Ki 
Seta. Karena, kini gilirannya untuk mendapatkan 
cincin pusaka itu. 

Namun karena Manusia Pemuja Bulan 
ngotot untuk menculik seorang dara perempuan 
guna menyempurnakan ajian 'Unggulan Dewa', 
maka perjalanan menuju Gunung Pengging jadi 
terhambat. 

Tridarma hanya mendengus saja ketika 
Manusia Pemuja Bulan membawa seorang pera- 
wan dalam keadaan pingsan, yang diculiknya ke- 
tika sedang mandi. Dan malam itu juga, seluruh 
ajian 'Unggulan Dewa' disempurnakannya. 

Kini lengkaplah sudah Manusia Pemuja 
Bulan dalam mempelajari ajian 'Unggulan Dewa' 
tersebut. 

Namun, rupanya keterhambatan itu mem- 
bawa keuntungan. Karena selagi Manusia Pemuja 
Bulan baru saja selesai menyempurnakan il- 
munya, Tridarma mendengar sesuatu yang mena- 
rik perhatiannya. Dia pun berkelebat cepat men- 
gikuti satu sosok tubuh bertampang monyet se- 
dang berlari sambil membopong satu sosok tubuh 
yang lunglai. 

Mata kelabu Tridarma yang awas itu bisa 
melihat jelas, kalau yang dibopong manusia ber- 
tampang monyet itu tak lain adalah Ki Seta. 

Setelah secara singkat menceritakan pada 
Manusia Pemuja Bulan, Tridarma segera menge- 
jar. Tentu saja diikuti pula oleh Manusia Pemuja 
Bulan. 

Ketika manusia bertampang monyet itu te- 
lah berhenti dan tengah menerka-nerka di mana 
gerangan cincin pusaka berada. Tridarma dan 
Manusia Pemuja Bulan bersembunyi. Baru ketika 
Sudongdong hendak memukul tulang ekor Ki Se- 
ta, barulah Manusia Pemuja Bulan yang bertin- 
dak. 

Dengan sebuah daun, Ki Wedokmurko me- 
notok urat di bawah pangkal lengan kanan Su- 
dongdong. Lalu keduanya mendekati Sudongdong 
yang kaku dengan tangan kanan terangkat. 

"Gembel Tua.... Rupanya nasib kita sangat 
beruntung. Tidak perlu bertindak seperti maling 
yang membawa-bawa lari mayat Ki Seta!" kata 
Manusia Pemuja Bulan, setelah meyakini sosok 
yang rebah itu memang mayat Ki Seta. 

Tridarma pun tertawa. 

"Ini namanya pucuk dicinta ulam pun tiba. 
Orang lain yang bersusah payah, kita yang mu- 
dah mendapatkannya. Dengan ajian 'Unggulan 
Dewa' yang telah sempurna kau kuasai serta cin- 
cin pusaka yang akan berada di tanganku, kita 
akan menjadi dua malaikat pencabut nyawa di 
rimba persilatan ini!" tambah Tridarma. Keduanya 
terbahak-bahak. 

Sudongdong yang sejak tadi menyipitkan 
matanya jadi jengkel. 

"Lepaskan totokan ini! Kita akan bertarung 
seribu jurus!" dengus si Kera Sakti 

Manusia Pemuja Bulan berpandangan den- 
gan Tridarma, lalu keduanya tertawa. 

"Bagus, bagus sekali.... Aku memang ingin 
mencoba kehebatan ajian 'Unggulan Dewa'. Dan 
tak disangka, aku menemukan lawan yang seper- 
tinya memang layak untuk menyambut ajian 
'Unggulan Dewa*," kata Manusia Pemuja Bulan. 

Manusia Pemuja Bulan menendang sebutir 
kerikil yang langsung meluncur ke arah si Kera 
Sakti. 

Tuk! 

Totokan yang dialami Sudongdong pun ter- 
lepas. Si Kera Sakti langsung menggeram. 

"Hhh! Tak akan pernah kubiarkan kalian 
mendapatkan cincin pusaka itu!" geram Sudong- 
dong sambil membuka jurusnya 'Kera Sakti Men- 
gurung Mangsa'. 

Manusia Pemuja Bulan terbahak-bahak. 
Sementara Tridarma menyingkir. 

"Benar tidak yang kukatakan, Gembel Tua? 
Dia memang pantas untuk mencoba ajian 
'Unggulan Dewa' yang telah sempurna ini!" leceh 
Manusia Pemuja Bulan. 

Dalam kesempurnaan, ajian 'Unggulan 
Dewa' yang dipelajari Manusia Pemuja Bulan se- 
cara tidak langsung sudah mengikat dan menyatu 
pada tubuhnya. Sehingga ketika merapatkannya, 
tidak menampakkan perubahan warna pada tu- 
buhnya. Kalau dulu selagi berhadapan dengan 
Pendekar Slebor, seluruh tubuhnya memancar- 
kan warna merah. Kecuali di salah satu bagian 
bahu kanannya. Saat itu, ajian 'Unggulan Dewa' 
yang dipelajarinya memang belum sempurna. 

"Hhh! Aku ingin tahu kehebatan ajian ca- 
cingmu itu!" tantang Sudongdong. 

Saat itu juga, si Kera Sakti meluruk maju 
dengan kekuatan penuh, ia ingin unjuk gigi, da- 
lam sekali gebrak saja lawan akan blingsatan. 

Namun, tiba-tiba tangan kanan Manusia 
Pemuja Bulan telah memancarkan sinar merah. 
Begitu mengibas meluncur sinar merah ke arah 
Sudongdong yang kontan blingsatan. 

Sudongdong yang merasa kalau ada se- 
buah tenaga raksasa mengarah kepadanya, beru- 
saha menghindar. Namun yang membuatnya he- 
ran, tubuhnya bagai diikat oleh tenaga raksasa. 
Sehingga dia tak bisa bergerak sedikit pun. Aki- 
batnya. 

Brak! 

"Aaakh...!" 

Tubuh Sudongdong kontan melayang, me- 
nabrak pohon hingga tumbang. Dan dadanya te- 
rasa sangat sakit. 

"Edan! Ajian apa ini?!" sentak si Kera Sakti 
dalam hati. 

Namun Sudongdong bukanlah orang pena- 
kut. Begitu bangkit dipersiapkannya bulatan hi- 
tam yang mengandung racun. Begitu menyerang, 
dilemparkannya lima buah sekaligus bulatan hi- 
tamnya. 

Akan tetapi, semuanya sia-sia saja. Karena 
ketika laki-laki berjubah hitam itu kembali men- 
gibaskan tangannya tanpa berpindah dari berdi- 
rinya, kembali tenaga raksasa menghantamnya. 

Seperti tadi, Sudongdong tidak bisa men- 
gendalikan keseimbangannya. Bahkan tidak 
mampu lagi menahan gempuran tenaga raksasa 
yang kuat. Tubuhnya bukan hanya terlontar, 
bahkan terlempar beberapa tombak. Lalu dia am- 
bruk dengan hidung dan mulut mengeluarkan da- 
rah, tanpa dapat bangkit lagi. 

Sudongdong telah tewas hanya dalam se- 
kali gebrak! Manusia Pemuja Bulan terbahak- 
bahak. "Gila! Sungguh di luar dugaan! Dia ternya- 
ta tidak layak untuk mencoba ajian 'Unggulan 
Dewa'!" kata Manusia Pemuja Bulan penuh se- 
mangat. 

"Kuakui, ajian 'Unggulan Dewa' itu sangat 
hebat. Bagus! Sebentar lagi, kita akan menguasai 
dunia persilatan!" sahut Tridarma. 

Tridarma lantas melangkah, mendekati 
mayat Ki Seta. Kalau tadi Sudongdong yang men- 
galami keterkejutan karena tiba-tiba tubuhnya 
menjadi kaku, kali ini Tridarma. Karena, begitu 
tangannya terulur siap mengangkat mayat Ki Se- 
ta, mendadak saja.... 

Ctarrr! 

Terdengar suara keras seperti suara lecu- 
tan yang memekakkan telinga. 

Tridarma langsung menarik pulang tan- 
gannya. Segera dia bergeser dua tindak. 

"Bangsat buduk! Siapa yang iseng begini, 
hah?!" maki Tridarma. 

Ki Wedokmurko alias Manusia Pemuja Bu- 
lan pun segera memasang kedua matanya penuh 
waspada. 


•k'k'k 


"Curang! Sangat curang sekali!" 

Terdengar suara halus yang disertai lang- 
kah gemulai dari sosok ramping berpakaian serba 
kuning. 

Yang muncul memang seorang gadis manis 
dengan betis mulus, karena celananya hanya se- 
batas lutut. Di dadanya terdapat hiasan bergam- 
bar kalajengking dengan sepasang capit terang- 
kat. Wajahnya memang sangat cantik, tak ubah- 
nya dewi yang baru turun dari kahyangan. Hi- 
dungnya bangir menawan dengan sepasang bibir 
mungil memerah. Sepasang alisnya hitam legam 
bak semut beriring. Pipinya montok. Kalau saja 
saat ini siang hari, jelas sekali terlihat kedua pipi 
itu kemerahan. Matanya jernih dengan bulatan 
indah, dihiasi bulu-bulu mata lentik. Di tangan- 
nya terdapat sebuah cambuk. 

Untuk sesaat Tridarma dan Manusia Pe- 
muja Bulan ternganga melihat kecantikan dara 
yang baru muncul. Namun hanya sesaat. 

"Hhh! Seekor ayam bulat menjual lagak di 
sini!" bentak Tridarma. 

Dara itu tersenyum. 

"Dan dua ekor kambing tua yang mau 
mampus masih juga berbuat curang pada manu- 
sia bertampang monyet yang sudah mampus!" ba- 
las gadis ini tenang. 

Manusia Pemuja Bulan masih bisa men- 
gendalikan amarahnya. 

"Nona manis..., siapa kau?" tegur Ki We- 
dokmurko. 

"Hhh!" 

Dara itu mengangkat dagunya. "Apakah 
kau belum mendengar tentang seorang dara jelita 
yang berasal dari Ngarai Sejuta Madu?" gadis ini 
malah balik bertanya. 

Manusia Pemuja Bulan diam-diam men- 
dengus. Rupanya gadis ini adalah Penguasa Nga- 
rai Sejuta Madu yang terletak tak jauh dari Pesisir 
Pantai Utara. 

"Tak kusangka! Cemeti Melati Kala pun 
hadir di sini," kata Manusia Pemuja Bulan kemu- 
dian. "Ada perlu apa kau sebenarnya, Ranjani?" 

Dara bernama Ranjani yang berjuluk Ce- 
mati Melati Kala tertawa. 

"Wah, wah...! Rupanya saat ini aku berte- 
mu orang yang pandai bersandiwara? Perbua- 
tanmu yang menipu para penduduk di sekitar le- 
reng Gunung Pengging sudah kudengar. Sayang- 
nya, aku terlambat menyelamatkan mereka dari 
tangan sesatmu. Tetapi sekarang, hi hi hi.... Tak 
kusangka di balik tanganmu yang sesat kau juga 
menginginkan satu kenyataan pahit yang harus 
kau dapatkan!" kata Ranjani dengan tawa terge- 
lak-gelak 

Wajah Manusia Pemuja Bulan memerah. 
Dia tahu, Ranjani alias Cemati Melati Kala adalah 
salah seorang tokoh lurus, yang menjadi Pengua- 
sa Ngarai Sejuta Madu. Berarti malam ini, keingi- 
nan Tridarma untuk membedah mayat Ki Seta 
guna mendapatkan cincin pusaka harus terham- 
bat. Karena, Manusia Pemuja Bulan yakin, gadis 
ini akan menjadi penghalang. Tetapi Ki Wedok- 
murko masih mencoba menggunakan otaknya. 

"Kalau cuma ingin menumpasku saja, kau 
tidak perlu capai-capai mencariku. Ranjani. Ka- 
rena, ketahuilah. Aku sudah insyaf," ujar Manu- 
sia Pemuja Bulan yang tidak mau mencari ribut 
dengan Ranjani. Karena dia tahu, saat ini adalah 
waktu yang paling tepat untuk membedah mayat 
Ki Seta. 

Ranjani tertawa. 

"Hebat, hebat! Dagelan pepesan kosong 
yang pernah kudengar! Baiklah, Wedokmurko! 
Kau boleh pergi dari sini bersama temanmu. Te- 
tapi, tinggalkan mayat Ki Seta!" 

Lagi wajah Ki Wedokmurko memerah. Ru- 
panya Penguasa Ngarai Sejuta Madu itu pun 
mengetahui tentang mayat Ki Seta yang menyim- 
pan harta tak ternilai. 

"Hhh! Kau hanya mencari penyakit saja, 
Dara Manis!" dengus Tridarma sebelum Manusia 
Pemuja Bulan buka suara. 

Ranjani tersenyum. 

"Atau kau yang sebenarnya mencari pe- 
nyakit?" tukas Ranjani. 

Tridarma menggeram marah. Lalu dengan 
cepat tubuhnya menerjang Ranjani. Namun tanpa 
bergeser dari tempatnya, Cemeti Melati Kala 
menggerakkan tangannya yang memegang cemeti. 

Ctarrr! 

"Jangan sampai kau tersentuh ujung ceme- 
ti itu, Tridarma! Cemetinya mengandung racun 
ular bludak yang banyak hidup di Ngarai Sejuta 
Madu!" ingat Ki Wedokmurko pada Tridarma. 

"Ternyata kau sangat pandai, Wedokmur- 
ko!" seru Ranjani. "Coba sekarang kulihat gaya 
menarimu!" 

Kali ini Penguasa Ngarai Sejuta Madu men- 
gebutkan cemetinya ke arah Manusia Pemuja Bu- 
lan. 

"Bangsat!" rutuk Manusia Pemuja Bulan 
seraya melenting menghindar. 

"Hi hi hi...! Lumayan juga untuk menghi- 
burku!" 

Tridarma cepat meluruk, coba membokong. 
Namun Ranjani telah berbalik seraya menge- 
butkan cemetinya. 

Ctar! 

"Monyet!" seru Tridarma jengkel, cepat me- 
nahan serangannya. 

Ranjani hanya tertawa-tawa saja. "Aku su- 
ka sekali. Sangat suka sekali dihibur tahan seper- 
ti monyet dungu menggaruk pantat!" ejek gadis 
itu. 

Ki Wedokmurko menggeram marah. Lalu 
segera dirangkumnya ajian 'Unggulan Dewa' yang 
baru saja memakan korban. 

Agaknya Tridarma mengetahui gelagat itu. 
Langsung tubuhnya melenting ke belakang, 
membiarkan Ki Wedokmurko melepas ajian 
'Unggulan Dewa' 

"Hhh! Cemeti Melati Kala! Coba lihat ju- 
rusku yang satu ini!" dengus Manusia Pemuja Bu- 
lan. 

"Silakan, silakan!" tantang Ranjani sambil 
mengibaskan kembali cemetinya. 

Bersamaan dengan itu, Manusia Pemuja 
Bulan mengibaskan kedua tangannya. Seketika 
angin dahsyat bergulung-gulung menderu ke arah 
Ranjani. 

Cemeti Melati Kala terkejut melihatnya. Se- 
gera tubuhnya melenting ke atas. Namun, ada 
keanehan yang dirasakannya. Karena, angin yang 
bergulung-gulung itu bagai mengejarnya. Maka 
tubuhnya pun melenting kembali dengan kalang 
kabut. 

"Gila!" maki gadis itu. 

"Ha ha ha...! Aku ingin melihat, sampai di 
mana kesabaranmu untuk menghindar terus me- 
nerus. Ranjani!" ejek Ki Wedokmurko sambil 
mengibaskan terus menerus kedua tangannya. 

Dan selagi Ranjani kerepotan menghindar 
ke sana kemari, Manusia Pemuja Bulan menderu 
maju dengan kedua tangan sudah terangkum 
ajian "Unggulan Dewa 1 ! 

Sebisanya Ranjani mengibaskan cemetinya. 
Kalau tadi hanya memecut biasa, kali ini bergerak 
bagaikan ular yang meliuk-liuk mencari sasaran. 

Namun Ki Wedokmurko yang sangat yakin 
dengan ajian 'Unggulan Dewa'nya terus mener- 
jang. Dan kini, justru Ranjani yang kali ini terke- 
jut melihatnya. 

Ctar! 

Ujung cemeti gadis itu menyambar dada Ki 
Wedokmurko. Di luar dugaan, tubuh itu tidak 
bergeming sama sekali! Bahkan terus menderu ke 
arahnya. 

Pucatlah wajah Penguasa Ngarai Seribu 
Madu. Dari sini dia yakin, ilmu yang diperli- 
hatkan Manusia Pemuja Bulan sangat dahsyat. 

Jalan satu-satunya memang hanya beru- 
saha menghindar. Namun itu pun sudah sulit. 
Karena selain angin yang bergulung-gulung itu te- 
rus menderu ke arahnya, dia juga harus meng- 
hindari serangan Ki Wedokmurko yang menderu 
maju. 

"Ha ha ha...! Rupanya nama besar Pengua- 
sa Ngarai Seribu Madu ternyata hanya omong ko- 
song belaka!" ejek Manusia Pemuja Bulan. 

Panas sekali telinga Ranjani mendengar 
ejekan itu. 

Namun, dia tak berani memapak serangan 
yang dirasakan semakin menjadi-jadi. 

Beberapa buah pohon yang tumbuh di sa- 
na pun bertumbangan terbawa angin kencang. 

Pohon yang berjarak dua puluh tombak dari tem- 
pat itu harus gugur dedaunannya. Ini menanda- 
kan ajian 'Unggulan Dewa' milik Manusia Pemuja 
Bulan begitu dahsyat dan sudah sempurna sekali. 

Sementara itu, Tridarma yang mundur dari 
pertarungan sudah membalikkan mayat Ki Seta. 
Tangannya pun siap mengepruk pinggul Ki Seta. 
Dia pun yakin, cincin pusaka itu berada di antara 
tulang ekor Ki Seta. 


8


"Si Kera Sakti...!" 

Satu sosok berpakaian putih yang kini su- 
dah dikotori debu tampak bergerak mulai siuman 
dari pingsannya. Yang dipikirkannya pertama kali 
ketika sadar adalah Sudongdong yang berjuluk si 
Kera Sakti. Makanya ketika sadar mulutnya lang- 
sung menyebut nama itu. Dengan cepat tubuhnya 
diangkat dan bersiaga. 

Tak ada siapa-siapa di sana, kecuali mayat 
Layan yang terbujur kaku dan sosok Camar Hi- 
tam yang mulai bergerak, siuman pula. 

Camar Hitam sendiri juga segera bersiaga 
begitu sadar. Yang dilihatnya hanyalah sosok Ki 
Abdi Kanwa yang nampak pucat dan sempoyon- 
gan. Perempuan sakti ini sendiri merasakan tu- 
buhnya bergetar. Rupanya racun yang dilempar- 
kan Sudongdong tadi sudah meresap ke seluruh 
tubuh mereka. 

"Ki...," desis Camar Hitam parau. 

Ki Abdi Kanwa memegang dadanya yang te- 
rasa sakit. Jantungnya terasa berdebar lebih ce- 
pat dari biasanya. 

"Kita terkena racun," kata Penguasa Alas 
Roban. 

"Bangsat si Sudongdong itu! Hkkhhh! Dia 
telah berlaku licik untuk membunuh kita!" maki 
perempuan sakti itu. 

"Camar Hitam...! Apakah silang sengketa di 
antara kita ini harus diteruskan?" tanya Ki Abdi 
Kanwa. "Manusia bertampang monyet itu sudah 
melarikan diri dari sini, dengan membawa mayat 
Ki Seta!" 

Camar Hitam mengeluh menahan sakit 
Tangannya mengibas. 

"Tidak! Kita sudahi saja. Aku harus hidup 
untuk membalas perbuatan Sudongdong!" sahut 
Camar Hitam, tegas. 

"Aku pun demikian!" 

"Hhh!" 

Sepasang mata Camar Hitam menyipit me- 
natap Ki Abdi Kanwa. 

"Namun bukan berarti berhenti sampai di 
sini! Bila kau sudah sembuh dari racun keparat 
ini, kita akan bertemu lagi!" 

Ki Abdi Kanwa hanya mengangguk. Rasa 
sakit di dadanya semakin terasa. Meskipun hawa 
murninya sudah dikerahkan untuk mengusir ra- 
cun itu, tetap saja masih merasakan sakit yang 
menyengat. 

Ketika tubuh Camar Hitam berkelebat Ki 
Abdi Kanwa hanya menghela napas panjang. Ru- 
panya, kehadirannya di dunia ramai kembali ha- 
nyalah untuk menjemput maut. Tidak! Dia tidak 
boleh mati dulu. Dia harus mengobati rasa sakit 
ini. 

"Huh! Di mana aku harus mencari pemuda 
berpakaian hijau pupus yang menyampirkan kain 
bercorak catur di lehernya?" dengus Penguasa 
Alas Roban pelan. 

Tetapi karena hawa racun yang memang 
harus disembuhkannya. Ki Abdi Kanwa pun me- 
ninggalkan tempat itu dengan penuh kesedihan. 
Dia merasa gagal untuk menenteramkan dunia 
ini. Semua terjadi gara-gara cincin pusaka yang 
membawa petaka! 


•kick 


"Anjing buduk! Siapa lagi yang ingin men- 
cari mampus!" geram Tridarma sekali lagi. 

Hati lelaki ini benar-benar geram. Kalau 
tadi gagal karena kehadiran Ranjani, kini gagal 
lagi entah ulah siapa. Karena tahu-tahu, gerakan 
tangannya yang hendak mengepruk Ki Seta me- 
lenceng. 

"He he he...! Sudah tak sabar, ya?" sahut 
sebuah suara disertai munculnya satu sosok tu- 
buh berpakaian hijau pupus yang cengar-cengir. 

"Pendekar Slebor!" seru Tridarma terkejut. 

"Nah, nah! Papan penggilesan! Apakah kau 
sudah mendapat wangsit dari Ki Saptacakra un- 
tuk mengepruk pinggul Ki Seta, hah?!" kata sosok 
yang baru muncul. 

Sosok itu tak lain dari Andika alias Pende- 
kar Slebor. Pemuda inilah yang menggagalkan 
rencana Tridarma dengan pukulan jarak jauhnya. 
Andika memang sangat geram karena berhasil di- 
kelabui Tridarma. 

"Nih! Lebih baik kau makan saja dulu an- 
gin dari pinggulku!" ujar Andika seraya menungg- 
ing. Dan.... 

Duuut! 

Tridarma bangkit sambil menggeram ma- 
rah. 

"Kau harus mampus, Pendekar Slebor!" de- 
sis Tridarma, sambil menyerang. 

Lelaki kerempeng ini tidak menyangka ka- 
lau Andika yang sudah dihajar sampai pingsan 
ternyata bisa meloloskan diri. Kalau pemuda ini 
berhasil meloloskan diri, sudah bisa dipastikan 
Mayang pun berhasil diselamatkan pula. Breng- 
sek! Jelas, dia tidak punya sandera sekarang! Se- 
benarnya, itulah maksud Tridarma kenapa tidak 
mengatakan tentang Mayang pada Manusia Pe- 
muja Bulan. Terutama di saat laki-laki berjubah 
hitam itu membutuhkan darah perawan guna pe- 
nyempurnaan ajian 'Unggulan Dewa'. 

Andika melenting menghindari serangan. 
Kali ini dia langsung menyerang, karena hatinya 
masih kesal. Yang jelas, Tridarma diberi pelaja- 
ran. Maka dalam gebrakan pertama saja, Pende- 
kar Slebor sudah menggunakan tenaga 'inti petir' 
tingkat delapan. Ini menandakan kalau kegera- 
mannya pada Tridarma sudah demikian memun- 
cak 

Gebrakan pertama Pendekar Slebor sangat 
menyulitkan Tridarma yang menyerang di bawah 
pengaruh amarahnya. Apalagi, bila seorang tokoh 
berada dalam kemarahan saat menyerang, maka 
sudah bisa dipastikan tidak akan bisa memu- 
satkan perhatiannya. 

Makanya, Pendekar Slebor pun mampu 
membuat Tridarma kalang kabut. Namun meski- 
pun demikian, laki-laki bertubuh kurus itu bu- 
kanlah tokoh sembarangan. Mendadak saja tu- 
buhnya mampu bergerak lincah laksana seekor 
kijang. 

"Heeeiiittt! Boleh juga, nih!" seru Andika 
sambil mempercepat gerakannya. Dan setiap kali 
tangannya bergerak, terdengar suara bagai petir 
menyalak. 

Tridarma mendengus. Serangan itu belum 
dibalasnya, karena Pendekar Slebor telah menu- 
tup setiap langkahnya. Namun dia masih berusa- 
ha menembus. 

"Heit! Mau ke mana, Kek? Jangan jauh- 
jauh! Sini, sini, biar tubuhmu itu kupatah- 
patahkan menjadi tulang bakar!" 

Pemuda sakti pewaris ilmu Pendekar Lem- 
bah Kutukan itu terus menyerang dahsyat dan 
cepat sekali. Dan ini membuat Tridarma harus 
kelabakan. 

Namun pada satu kesempatan, Tridarma 
berhasil melepaskan diri dari lingkaran serangan 
Andika dengan cara melemparkan pasir yang be- 
rada di dekatnya. Kemudian tubuhnya membuat 
lompatan ke belakang. 

Andika sendiri harus menghindari pasir itu. 

Dalam jeda hanya beberapa kedipan saja, 
Tridarma telah menggosok kedua tangannya yang 
seketika memancarkan sinar berwarna keemasan. 
Ketika Pendekar Slebor menyerang, tangannya di- 
kibaskan ke depan. 

Sing! Sing! Siiing! 

Seketika tiga buah larik sinar keemasan 
meluncur ke arah Pendekar Slebor! Kalau tadi 
Tridarma yang kalang kabut, kali ini Andika yang 
kelihatan kewalahan menghindari serangan den- 
gan berlompatan ke sana kemari. 

Tridarma bisa bernapas lega. 

"Ha ha ha...! Rupanya Pendekar Slebor bisa 
menjadi monyet juga!" 

"Kutu kupret! Monyet pitak! Awas kau, ya?" 
maki Andika. 

Lalu mendadak saja tubuh Pendekar Slebor 
meluruk ke arah Tridarma yang sudah kembali 
melontarkan sinar keemasannya. 

"Heh...?!" 

Tridarma terkejut, karena sinar keemasan 
itu berhasil ditepis Pendekar Slebor. Bahkan kini 
berbalik ke arahnya! 

Tridarma cepat menjatuhkan diri, bergulin- 
gan. Sehingga, sinar keemasan yang berbahaya 
itu menghantam beberapa pohon yang langsung 
tumbang. Rupanya, kali ini Andika tidak tang- 
gung-tanggung lagi. Segera tenaga 'inti petir'nya 
dikerahkan pada tingkat ketiga! Pada saat itu ju- 
ga, Pendekar Slebor terus menyerang. 

"Kali ini, kau harus merelakan nyawamu 
pergi ke akherat, Papan Penggilesan!" desis Pen- 
dekar Slebor. 

Namun belum lagi maksud Andika terlak- 
sana, serangkum angin besar yang bergulung- 
gulung meluruk ke arahnya tanpa dapat dicegah 
lagi. 

Brak! 

Tubuh Pendekar Slebor kontan terbawa 
angin dan menabrak pohon hingga tumbang. 

•kick 


Rupanya, dalam saat yang gawat bagi Tri- 
darma, Manusia Pemuja Bulan memberi ban- 
tuannya dengan mengibaskan ajian 'Unggulan 
Dewa' ke arah Pendekar Slebor. 

Sementara itu lawan Manusia Pemuja Bu- 
lan, Penguasa Ngarai Sejuta Madu yang sudah te- 
rombang-ambing dimainkan angin besar, kini 
hinggap di tanah dalam keadaan berlutut. Da- 
danya terasa nyeri karena berkali-kali terhantam 
angin besar. Kalau saja tenaga dalamnya tidak 
tinggi, bisa dipastikan akan mengalami nasib se- 
perti Sudongdong yang tenaga dalamnya berada 
dua tingkat di bawahnya. 

"Ha ha ha...! Kita bertemu lagi, Pendekar 
Slebor!" seru Manusia Pemuja Bulan sambil ter- 
bahak-bahak. "Untunglah, kau tidak dibunuh 
Tridarma waktu itu, sehingga bisa menyaksikan 
ajian 'Unggulan Dewa'ku yang sangat dahsyat 
ini!" 

Andika memegang dadanya yang terasa 
nyeri. Matanya sempat melirik ke arah dara jelita 
yang sejak tadi bertarung dengan Manusia Pemu- 
ja Bulan. Rupanya, gadis berpakaian kuning itu, 
sedang bersemadi. Gila! Bersemadi di tengah- 
tengah manusia kejam itu hanyalah mengundang 
maut! Tetapi, memang hanya itulah yang bisa di- 
lakukan, kalau tidak ingin nyawanya langsung 
putus. 

Andika pun berdiri dengan digagah- 
gagahkan. Perhatiannya dialihkan pada Manusia 
Pemuja Bulan atau Tridarma. 

Andika sendiri merasa beruntung. Karena 
begitu melihat pertarungan sengit antara Manusia 
Pemuja Bulan dengan dara jelita itu, sementara 
Tridarma sedang berusaha membedah mayat Ki 
Seta, Sawedo disuruhnya untuk membawa yang 
lainnya ke Lembah Bunga. Kalau tidak, sudah bi- 
sa dipastikan, walaupun mereka bersembunyi, 
akan terbawa angin dahsyat yang keluar dari pu- 
kulan Manusia Pemuja Bulan. 

Andika menatap Manusia Pemuja Bulan 
sambil nyengir. 

"He he he.... Lumayan, lumayan. Rupanya 
itu ajian 'Monyet Nangkring' yang sedang kau pe- 
lajari. Boleh juga" sahut Pendekar Slebor, enteng 
sambil mengusap-usap dadanya. 

Manusia Pemuja Bulan terbahak-bahak. 

"Jangan menyembunyikan ketakutanmu di 
balik suaramu. Pendekar Slebor!" sentak Manusia 
Pemuja Bulan. 

"He he he.... Aku tidak takut. Ini dadaku! 
Nah, mana dadamu? Kalau Papan Penggilesan itu 
sih tidak usah memperlihatkan dadanya? Sudah 
krempeng seperti itu, eh, masih nekat juga jual 
tampang!" balas Andika, sok kuat. 

"Bunuh dia, Wedokmurko!" seru Tridarma 
sambil membopong mayat Ki Seta. 

"Tak perlu diperintah manusia ini pun 
akan kubunuh, sebagai balasan dari perbuatan- 
nya yang mengacaukan seluruh rencanaku! Se- 
hingga, aku menjadi lebih lama untuk menyem- 
purnakan ajian 'Unggulan Dewa' yang kupelajari!" 
desis Manusia Pemuja Bulan dengan mata nya- 
lang. 

"O...! Jadi..., pendekar ganteng yang mem- 
buatmu mati kutu itu, aku ya?" kata Andika 
sambil tertawa. "Kalau begitu, apakah kau masih 
takut juga?" 

"Seettaaannn!" 

Manusia Pemuja Bulan mengibaskan ke- 
dua tangannya kembali, ke arah Pendekar Slebor. 
Seketika angin besar meluruk bergulung-gulung 
ke arah Andika Hawanya sangat panas. 

Andika menghindar dengan jalan melom- 
pat. Namun angin itu terus mengarah deras ke- 
padanya. 

"Kadal buntet!" maki Pendekar Slebor sam- 
bil meloloskan kain pusaka bercorak catur yang 
tersampir di bahunya. 

Bersamaan dengan itu, tiba-tiba saja hujan 
turun dengan derasnya. Benda cair bagaikan ri- 
buan jarum bagaikan ditumpahkan dari atas 
membasahi apa saja yang ada di bawah. 

Wuuut! 

Brrr! 

Arah angin bergulung-gulung itu bisa dibe- 
lokkan oleh Andika. Rupanya, kain pusaka wari- 
san Ki Saptacakra lebih kuat dari pada ajian 
'Unggulan Dewa' milik Ki Wedokmurko. Kini angin 
itu menderu ke arah Tridarma yang sedang mem- 
bopong mayat Ki Seta. 

"Bangsat!" maki Tridarma sambil melompat 
menghindar. Dan.... 

Blarrr...! 

Terdengar suara bagai ledakan, ketika an- 
gin itu menabrak sebuah pohon besar. 

Melihat hal itu, Ki Wedokmurko menjadi 
bertambah marah. Tidak disangka arah angin pa- 
nas yang bergulung-gulung miliknya berhasil di- 
belokkan oleh Pendekar Slebor. Dengan murka 
kekuatan ajian 'Unggulan Dewa'nya ditambah. 

Wrrr! 

Wrrr! 

Kembali angin panas bergulung-gulung ke 
arah Andika. Dan lagi-lagi Pendekar Slebor men- 
gibaskan kain pusakanya, mengarah pada Tri- 
darma yang lagi-lagi harus menghindari angin ba- 
lik itu. 

Bertepatan dengan itu, Penguasa Ngarai 
Sejuta Madu membuka matanya. Tubuhnya dira- 
sakan sudah lumayan, tidak terlalu sakit seperti 
tadi. Dan begitu matanya menangkap sosok Tri- 
darma sedang melenting, cemetinya dikibaskan. 

Ctarrr! 

Tridarma terkejut. Namun dalam saat yang 
gawat tubuhnya bisa bergulingan. 

"Monyet!" Ranjani terkikik. 

"Kau tak akan bisa membawa mayat Ki Se- 
ta begitu saja!" kala Cemeti Melati Kala. "Hiaaat!" 

Diiringi satu teriakan keras kembali gadis 
itu mengibaskan cemetinya dengan tubuh melu- 
ruk ke arah Tridarma. 

Dengan sigap Tridarma melemparkan tu- 
buh Ki Seta ke atas, dan nyangkut di rimbunnya 
dedaunan sebuah pohon. Lalu lelaki kerempeng 
ini cepat menghindari serangan dengan melompat 
ke samping sambil mengayunkan kakinya. 

Namun Ranjani sudah cepat berputar 
sambil mengibaskan cemetinya ke arah kaki yang 
terjulur itu. 

"Setttan!" rutuk Tridarma, seraya cepat 
menarik kakinya. 

Menghadapi cemeti yang mampu menjaga 
jarak itu membuat Tridarma mendengus-dengus. 
Kemudian segera dilontarkannya pukulan jarak 
jauh. Saat itu juga, meluruk sinar berwarna kee- 
masan ke arah Ranjani. 

Kali ini Penguasa Ngarai Sejuta Madu 
mendapatkan perlawanan seimbang. Jarak mere- 
ka semakin membentang saja. Tridarma menjaga 
jarak sambil melontarkan pukulan sinar keema- 
sannya. Sementara, Ranjani menjaga dengan ce- 
metinya yang mengandung racun pada ujungnya 

•kick 


Sementara itu, pertarungan antara Pende- 
kar Slebor dengan Manusia Pemuja Bulan sema- 
kin dahsyat dan seru. Ki Wedokmurko sudah me- 
nutup rangkaian serangan dengan cara meluruk 
maju. Kali ini langsung dikerahkannya aji 
'Unggulan Dewa' pada kedua tangannya yang siap 
mampir di tubuh Pendekar Slebor. 

Sudah tentu pemuda sakti itu tidak ingin 
tubuhnya dijadikan sasaran empuk. Maka segera 
dikerahkannya tenaga 'inti petir' tingkat pertama. 
Tingkat pamungkas. 

Duarrr! 

Suara bagai ledakan dahsyat terdengar he- 
bat begitu dua tenaga sakti berbenturan. Dan dua 
tubuh tampak terlontar ke belakang. Sama-sama 
telah terluka dalam, dan sama-sama ngotot. 

Kembali mereka mengempos semangat se- 
telah mempersiapkan diri dengan tenaga penuh. 
Kemudian mereka sama-sama meluruk maju. 

Blarrr...! 

Kembali benturan terjadi, disertai ledakan 
menggelegar. 

Kembali pula dua tubuh terlontar ke bela- 
kang. 

Kalau tadi keduanya langsung bangkit, kali 
ini hanya seorang. Dan sosok yang mengenakan 
jubah berwarna hitam tampak terbahak-bahak 
keras. Sementara Pendekar Slebor harus merang- 
kak untuk berdiri, karena dadanya terasa panas 
sekali. 

"Kini, ajalmu akan tiba Andika!" desis Ki 
Wedokmurko keras, karena suaranya mulai terte- 
lan suara derasnya hujan. 

Saat itu juga tubuh Ki Wedokmurko pun 
meluncur deras ke arah Andika. 

Meskipun telah terluka dalam, namun 
Pendekar Slebor tidak ingin ajal menjemputnya 
sekarang. Dengan cepat kain pusakanya diki- 
baskan. 

Ctarrr! 

Tubuh Ki Wedokmurko kontan tersampok 
kain pusaka dan kontan terhuyung beberapa 
tombak. Sementara Andika langsung melepas 
kain pusakanya, karena terasakan hawa panas 
menjalar. Dan ini semakin membuat dadanya te- 
rasa sakit. 

Jelas sekali keunggulan ajian 'Unggulan 
Dewa' milik Manusia Pemuja Bulan. Bila Ki We- 
dokmurko melontarkannya dari jarak jauh, masih 
mampu ditandingi kain pusaka Pendekar Slebor. 
Tetapi bila dialirkan pada kedua tangannya dan 
menderu maju, kain pusaka Pendekar Slebor 
mampu dipatahkan! Bahkan justru mengalirkan 
panas menyengat! 

Sementara itu, Tridarma mencoba mem- 
perpendek jarak dengan meluruk maju sambil 
melepaskan pukulan sinar keemasannya bertubi- 
tubi. 

Ranjani pun berbuat sama. Karena bila 
mundur, maka keadaannya yang akan terjepit. 
Dan dengan lincah sambil menghindari pukulan 
sinar keemasan yang sedang mengincar nya- 
wanya, cemetinya dikibaskan. 

Ctarrr! 

Suara cemeti itu terdengar keras, menga- 
lahkan hujan yang menderu kencang. Namun, hal 
ini membuat Tridarma terkejut. Karena tahu-tahu 
saja kakinya yang jadi sasaran cemeti yang lang- 
sung melilit di pergelangan. 

Bruk! 

Tubuh lelaki tua kerempeng itu jatuh ke 
bumi. Ketika Cemeti Melati Kala menarik ceme- 
tinya, wajah Tridarma terkena genangan becek 
akibat hujan yang terus menerus. Setengah tanah 
tampak masuk ke mulutnya. 

Saat itu juga, Ranjani menghabisi Tridar- 
ma. Maka dengan kekuatan penuh tubuhnya me- 
lenting maju, siap menjejakkan kakinya ke dada 
Tridarma. 

Namun semua itu harus dibayar mahal. 
Karena begitu kaki Ranjani berhasil menjejak ta- 
nah.... 

Jreggg! 

"Hegkh.... Hih!" 

Laki-laki tua berbadan kerempeng itu ma- 
sih bisa menggerakkan tangannya. 

Siiing! Crasss...! 

"Aaakhhh...!" 

Sinar warna keemasan yang meluncur dan 
tangan Tridarma menghantam tangan kiri Ranja- 
ni, yang langsung putus. Menimbulkan sakit bu- 
kan kepalang. Penguasa Ngarai Sejuta Madu itu 
pun kontan menjerit sambil menjatuhkan diri dan 
bergulingan. Dia sudah tidak malu lagi bersikap 
seperti anak kecil. Memang sakitnya sungguh luar 
biasa. Belum lagi terkena curahan hujan, yang 
membuatnya semakin bertambah nyeri. 

Sedangkan Tridarma sendiri masih melo- 
totkan matanya. Mulutnya yang terbuka menga- 
lirkan darah. Rupanya, injakan kaki Ranjani tadi 
membuat dadanya serasa pecah. Namun tenaga 
dalamnya segera dialirkan meskipun tidak ba- 
nyak membawa hasil. Jalan satu-satunya bila in- 
gin nyawanya masih tetap melekat, harus melari- 
kan diri. 

Dengan sisa-sisa tenaganya, Tridarma 
bangkit dan berlari agak sempoyongan. Tidak di- 
pedulikannya hujan yang turun deras. Tidak di- 
pedulikan lagi pertarungan antara Manusia Pe- 
muja Bulan dengan Pendekar Slebor. 

Tridarma bersumpah, suatu saat nanti. 
Penguasa Ngarai Sejuta Madu akan mendapatkan 
balasan dari perlakuannya hari ini. Begitu pula 
Pendekar Slebor! 

Sementara Pendekar Slebor sendiri begitu 
kewalahan menghadapi serangan-serangan Ma- 
nusia Pemuja Bulan yang ganas dan bertubi-tubi. 
Bahkan pada satu kesempatan, Andika tak sang- 
gup menghindari pukulan Manusia Pemuja Bu- 
lan. 

Bruk! 

Tubuh pemuda ini terlontar beberapa tom- 
bak ke belakang dan langsung muntah darah. Ka- 
lau saja bukan Andika yang telah mewarisi tenaga 
sakti Pendekar Lembah Kutukan, sudah bisa di- 
pastikan dadanya akan jebol dan mampus seketi- 
ka. 

Tubuh Pendekar Slebor pun semakin le- 
mah. Dan rasa sakit semakin menyiksanya. 

"Sekarang, apakah kau akan mampu me- 
nahan pukulanku lagi, hah?!" leceh Manusia Pe- 
muja Bulan sambil melirik Ranjani yang masih 
bergulingan sambil menahan sakit. 

Bagi Ki Wedokmurko yang terpenting ada- 
lah memusnahkan Pendekar Slebor lebih dulu. 
Urusan Ranjani bisa dilakukan kemudian. Dia 
pun tak mempedulikan kepengecutan Tridarma 
yang melarikan diri. 

Kini Manusia Pemuja Bulan menghimpun 
kembali seluruh sisa tenaganya yang dirangkum- 
nya dalam ajian 'Unggulan Dewa'. Diiringi seruan 
sangat keras, tubuhnya pun berkelebat ke arah 
Pendekar Slebor yang hanya berlutut menahan 
rasa sakit. 

"Yeaaa!" 

Sebelum Manusia Pemuja Bulan menurun- 
kan tangan telengasnya.... 

Glarrr...! 

Tiba-tiba saja sebuah petir menyambar tu- 
buh Andika yang langsung kelojotan, bagai disen- 
gat ribuan kala berbisa secara bersamaan. 

Melihat hal itu, Manusia Pemuja Bulan 
menghentikan serangannya. Bibirnya tersenyum 
gembira, karena Pendekar Slebor pun akhirnya 
harus mampus tanpa harus bersusah payah. 

"Ha ha ha.... Akhirnya kau pun mampus 
juga, Pendekar Slebor!" seru Manusia Pemuja Bu- 
lan sambil menyaksikan tubuh Andika yang ma- 
sih kelojotan. 

Sambil tersenyum kemenangan, Ki We- 
dokmurko bermaksud menghampiri Ranjani yang 
masih kelojotan. Namun baru saja dua tindak me- 
langkah.... 

"Kau tak akan bisa ke mana-mana, We- 
dokmurko!" 

Terdengar sebuah teguran dari belakang. 
Dengan sigap dan penuh keterkejutan, Manusia 
Pemuja Bulan membalikkan tubuhnya. Matanya 
hampir saja melompat keluar, karena di hada- 
pannya berdiri Pendekar Slebor dalam keadaan 
segar bugar. Sepertinya, pemuda itu tak menga- 
lami keluhan apa pun. 

Manusia Pemuja Bulan tidak tahu, kalau 
Pendekar Slebor yang telah memakan buah 'inti 
petir' mampu mengendalikan petir yang menyam- 
bar di tubuhnya. Bahkan bukan hanya itu saja, 
Pendekar Slebor pun dapat menyerap kekuatan 
petir yang membuat kekuatan tubuhnya bertam- 
bah sepuluh kali lipat. Kalau saja tadi Andika ti- 
dak dalam keadaan lemah, tidak akan sampai ke- 
lojotan seperti itu. 

"Bingung!" ejek Andika. "Kalau bingung, 
bunuh diri saja!" 

Manusia Pemuja Bulan menggeram marah. 
Kedua tangannya kembali terkepal. 

"Nah! Pasti marah, kan? Bingung, kan? Ti- 
dak usah bingung. Karena sebentar lagi kau akan 
mampus," ejek Andika enteng. 

Manusia Pemuja Bulan tak ingin banyak 
cakap lagi. Kembali dirangkumnya ajian 
'Unggulan Dewa'nya pada kedua tangannya. Lalu 
diiringi teriakan keras, tubuhnya meluruk ke arah 
Pendekar Slebor. 

Pendekar Slebor sendiri segera mengempos 
tubuhnya ke arah Manusia Pemuja Bulan, me- 
mapaki dengan kekuatan berlipat ganda. Dan.... 

Duarrr! 

Terdengar lagi suara benturan bagai leda- 
kan dahsyat. Kalau tadi tubuh keduanya terpen- 
tal ke belakang, kali ini hanya tubuh Manusia 
Pemuja Bulan saja. Sementara, Andika masih 
berdiri kukuh di bawah siraman hujan. Akibat 
sambaran petir tadi, di tubuhnya bergejolak ke- 
kuatan berlipat ganda. 

Manusia Pemuja Bulan merasakan da- 
danya jadi nyeri. Bahkan dari mulutnya menyem- 
bur darah agak kehitaman. Lalu dengan penasa- 
ran dan penuh nafsu membunuh, dia meluruk 
kembali. 

Sedang Andika tetap berdiri di tempatnya 
dengan mata tak berkedip. Begitu kedua tangan 
Manusia Pemuja Bulan yang berkekuatan penuh 
hampir menyentuh tubuhnya, mendadak sontak 
Pendekar Slebor mengibaskan kedua tangannya 
pula dengan tubuh sedikit condong ke depan. 
Dan.... 

Duarrr! 

Benturan kembali terjadi menimbulkan le- 
dakan keras menggelegar. Tubuh Manusia Pemu- 
ja Bulan kembali meluncur deras ke belakang. 
Kali ini lebih jauh! Dan kepalanya langsung 
menghantam sebuah pohon besar hingga pecah. 

Andika menghela napas panjang. Entah 
mengapa sekujur tubuhnya terasa lemas. Namun 
belum lagi beristirahat, terdengar erangan Ranja- 
ni. 

"Hmmm.... Gadis ini membutuhkan perto- 
longan," desis Andika dan langsung berkelebat. 

Pendekar Slebor mendapatkan sosok Ran- 
jani telah jatuh pingsan. Diangkatnya tubuh itu 
dan didudukkannya. Lalu, ditempelkannya kedua 
telapak tangan ke punggung Rajani. Di bawah si- 
raman hujan, Andika mengalirkan tenaga dalam- 
nya. 

Hujan telah berhenti. Kini di sekitar tempat 
itu becek tak menentu. Andika menghela napas 
panjang. Tenaganya kini benar-benar terkuras. 
Dia memang telah berhasil menghentikan darah 
yang keluar dari tangan kiri Ranjani yang putus. 

Penguasa Ngarai Sejuta Madu sendiri su- 
dah sadar. Dan dia merasakan kepedihan yang 
sangat di hatinya. Kini Ranjani telah menjadi ga- 
dis cacat. 

"Pendekar Slebor...," panggil gadis itu sam- 
bil mengangkat wajahnya. 

Andika tersenyum. 

"Terima kasih atas pertolonganmu...," ucap 
Ranjani 

"Lukamu telah sembuh, Ranjani...," sahut 
Andika tersenyum. "Tak pernah kusangka. Pen- 
guasa Ngarai Sejuta Madu masih demikian muda 
dan jelita...." 

Ranjani menundukkan kepalanya. Seha- 
rusnya, sebagai seorang dara hatinya merasa se- 
nang dipuji dengan tulus tanpa mengandung naf- 
su seperti itu. Namun kini, tangan kirinya telah 
buntung. Cacat! 

Namun sebagai Penguasa Ngarai Sejuta 
Madu. Ranjani memang tidak ingin bersikap cen- 
geng. Maka perlahan-lahan kepalanya diangkat 
dengan tegar. 

"Pendekar Slebor.... hendak diapakankah 
mayat Ki Seta yang menyimpan cincin pusaka 
itu?" tanya Ranjani. 

Andika tersenyum. 

"Aku akan menguburkannya," sahut Andi- 
ka, pelan. 

"Di mana?" 

Andika menggelengkan kepala sambil tetap 
tersenyum. 

"Maafkan aku, Ranjani.... Bukannya aku 
tidak percaya denganmu. Aku akan menguburkan 
mayatnya di satu tempat. Dan, tak seorang pun 
yang mengetahui di mana makamnya. Tak terke- 
cuali, cucunya sendiri." 

"Kau benar, Andika. Mayat Ki Seta memang 
harus dimakamkan di tempat aman," dukung 
Ranjani. 

"Kau percaya padaku?" 

Ranjani mengangguk 

"Yah.... Aku pun tak pernah menyangka, 
Pendekar Slebor yang ramai dibicarakan orang 
ternyata masih muda." 

Senyum di bibir Andika mulai nakal. "Kita 
sama-sama masih muda, bukan?" 

Ranjani mengangkat kepalanya. "Iya. La- 
lu?" 

Bukannya menjawab, Andika justru men- 
gedipkan sebelah matanya. Kontan Ranjani gela- 
gapan melihatnya. 

"Genit!" seru gadis itu dalam hati. Tetapi 
entah mengapa, kok gadis ini suka melihat kedi- 
pan penuh arti dari pendekar tampan itu. 

Tetapi dalam keadaan seperti itu, Ranjani 
tidak berani lagi memikirkan kemungkinan yang 
satu itu. 

"Cukup lama aku meninggalkan Ngarai Se- 
juta Madu. Mungkin anak buahku sudah cemas 
semuanya. Andika, sekali lagi kuucapkan terima 
kasih," ucap Ranjani seraya menghela napas pan- 
jang. 

Andika justru mengedipkan matanya. 

Ranjani jadi tersedak. Pemuda ini pasti 
bercanda. Namun tak urung jantung gadis ini 
dag-dig-dug juga. 

"Bila kau ada waktu, mampirlah ke Ngarai 
Sejuta Madu!" kata gadis itu, seraya berkelebat. 

Weeettt! 

Tubuh dara jelita itu pun menghilang. An- 
dika berdiri. 

"Ranjani...! Tunggu aku di sana! Kapan- 
kapan aku akan datang ke sana!" teriak Pendekar 
Slebor. 

"Kutunggu kau. Pendekar Slebor!" terden- 
gar sahutan Ranjani di kejauhan, bernada gembi- 
ra. 

Andika hanya tersenyum seorang diri. Be- 
naknya membayangkan betapa cantiknya Ranja- 
ni. Dan bajunya yang terkena siraman hujan itu 
masih menampakkan cetakan bagian-bagian tu- 
buhnya. 

Andika menepuk keningnya sendiri. 

"Dasar mata keranjang!" 

Lalu Pendekar Slebor menghampiri sebuah 
pohon tempat mayat Ki Seta tersangkut. Dihen- 
takkannya pohon itu hingga bergoyang. Dan 
mayat Ki Seta pun meluncur turun. 

Andika cepat mengangkat mayat Ki Seta. 
Dibawanya mayat itu ke desa tempat Mayang 
tinggal. 

Fajar sebentar lagi mulai menyingsing. Su- 
ara kokok ayam jantan pun sudah terdengar. 

Di belakang rumah Mayang, Pendekar Sle- 
bor telah menguburkan mayat Ki Seta. Dia berpi- 
kir, di situlah satu-satunya tempat aman untuk 
menguburkannya. Agar tidak menimbulkan peta- 
ka lagi, kuburan Ki Seta tidak berbentuk gundu- 
kan. Tetapi rata dengan tanah. 

Selesai dengan tugasnya, Pendekar Slebor 
berkelebat menuju Lembah Bunga. Cepat saja dia 
sampai di tempat itu, karena telah diberikan an- 
car-ancarnya oleh Sawedo. 

Sawedo sendiri yang menunggu di Lembah 
Bunga segera menyambut kedatangan Pendekar 
Slebor. 

"Bagaimana, Andika?" tanya Sawedo. 

Andika menggaruk-garuk kepalanya. 

"Semuanya sudah berakhir. Sekarang, ka- 
lian aman untuk kembali ke desa. Di mana yang 
lain?" 

"Di balik air terjun." 

"Oh! Apa ada jalan menuju ke sana?" 

"Paman Longgom yang menunjukkannya." 

Andika mengangguk-angguk 

"Sawedo. Nampaknya..., aku harus mene- 
ruskan perjalananku," kata Andika. 

"Oh! Mengapa demikian? Tidakkah kau in- 
gin singgah dulu di balik air terjun itu?" tanya 
Sawedo kaget. 

Andika menggeleng. Ada satu hal. mengapa 
Pendekar Slebor enggan pergi ke batik air terjun. 
Dia tidak ingin melihat Mayang bersedih bila di- 
tinggalnya. Andika tahu, Mayang menaruh hati 
padanya. Namun, diam-diam pun Andika tahu 
kalau Sawedo menaruh hati pada gadis itu. 

"Tidak! Sampaikan salamku pada semua- 
nya. Katakan, kalian semua sudah aman untuk 
kembali ke desa. O, ya, Sawedo.... Katakan pada 
Mayang, mayat kakeknya tak kurang suatu apa. 
Dia telah kumakamkan disatu tempat aman. Te- 
tapi, maaf. Aku tak bisa mengatakannya tentang 
tempat itu," kata Andika. 

Sawedo pun mengangguk penuh pengertian. 

"Itu memang lebih baik, Andika. O, ya. Kini 
aku tahu, siapa yang membunuh Medi, Kang 
Menggolo, dan istrinya. Dia tak lain adalah Manu- 
sia Pemuja Bulan sendiri. Soal Medi, Mayang te- 
lah menceritakannya kepadaku. Laki-laki itu me- 
mang patut mati, karena kehadirannya hanyalah 
mengganggu gadis-gadis dan istri orang saja," un- 
gkap Sawedo. 

"Jangan menyukuri yang mati. O, ya. Satu 
lagi yang perlu kukatakan padamu, sayangilah 
Mayang...," ujar Andika. 

"Apa? Oh!". 

"Jangan berlagak!" sahut Andika sambil 
mendorong kening Sawedo yang tergelak tersipu. 
"Aku mohon pamit!" 

Wuuusss! 

Tubuh Andika cepat berkelebat. Dan tahu- 
tahu dia sudah menghilang dari pandangan. Sa- 
wedo menarik napas panjang. Hatinya bersyukur 
pernah mengenal pemuda gagah itu. Tetapi berita 
yang terpenting sekali adalah mengajak pulang 
para penduduk yang mengungsi di balik air ter- 
jun. Terutama, amanat dari Pendekar Slebor tadi. 
Kalau dia harus menyayangi Maya. Tetapi tanpa 
disuruh lagi, pemuda ini memang akan me- 
nyayanginya. 


SELESAI